OLAHRAGA TRADISIONAL MENYIPET DAN BALOGO DI MASYARAKAT KOTA PALANGKA RAYA Oleh: Abd Rahman Azahari Dosen FKIP Universitas Palangka Raya ABSTRACT Culture of the past has been duly preserved and developed as well as cultural richness can also be a tourismobject. Culture festivalas a form of preservation in addition also the promotion of various cultural forms that exist for the benefit of tourism development. One of local or traditional cultural wealth is a traditional sport such as manyipet and balogo.In order concept and planning of the government indeveloping and preserving traditional sports manyipetwas good enough, because it was included in the curriculum of local curriculum (Muatan Lokal) already exists invitational events, the winner of the invitational represent to follow Isen Mulang Culture Festival, and the winner was sent to participate the championship level, namely the International Borneo Sipet Tournament (BOST) whis was held in Pontianak in West Kalimantan which will also be promoted at the ASEAN Tourism Forum (ATF). The formulation of the problem is (1) How the traditional sports activities of manyipet and balogo in the Palangka Raya society? Focusing first festival and conservation efforts that include: Festival manyipet and balogo, Invitational manyipet and balogo, Curriculum manyipet and balogo, Development of manyipet and balogo.The second focus includes the development of capabilities that consists of several indicators, namely: technical ability, the ability of strategy, tactics capability. The third focus is the cultural education that includes an attitude of sportsmanship and chivalry. The fourth focus is developing psychosocial skills include communication and empathy. (2) The second problem is the traditional sports activities of manyipet and balogo in the Palangkarayasociety with focus in internal and external factors. Through qualitative approach grounded research model, and analysis of coding with the withdrawal of informants purposive sampling technique. Based on the analysis, it produced some findings, propositions minor and major propositions, namely: lack of funding, infrastructure, facilities, coordination between institutions, technology and globalization advance cause of the declining sprit of practicing and performing and the shift from traditional sport religious motifs into traditional sporting achievement and profit patterned. The attention of the government, resulting in a lack of passion invitational practicing and performing the cause of the condition of the traditional sport become too timid to live, but unwilling to die. The conclusions of this study are as follows 1. Traditional Sports menyipet and balogo is a cultural wealth of Dayak society in Palangkaraya, those often participate in cultural festivals isen Mulang. 2. Menyipet and balogo is full of various teachings and noble values. 3. The efforts of preservation and development of local culture through festivals and added into local curriculum. 4. The efforts of preservation and development was less supported by financial support, complete facilities and infrastructure, education and training activities for teachers,and lack of invitation. 5. Traditional Sports manyipet and balogo only on city of Palangka Raya birthday celebration and Isen Mulang culture festival. 41 6. The players of balogo and menyipet sport usualy the older people, so gradually the sport will be destroyed in tune with the aging of the players. 7. The younger generation does not like menyipet and balogo sport because they feel it cannot support their income or may not be back alive in the future. 8. The constraints faced in traditional sport of menyipet and balogo in society of Palangka raya city can be grouped into two, they are internal constraints and external constraints. Internal constraints were such as monotonous, low value creativity, and boring, have a high degree of difficulty. External constraints include a lack of coordination between agencies, departments of education (curriculum), professional coaching, and training infrastructure limitations. Implications of the study as follows: reviewed from the aspects of social action, so the results of this study reinforce the theory of action Parsons, that "all social actions undertaken by traditional sports players, municipalities, students and teachers in the town of Palangka Raya in traditional sports menyipet and balogo always base to a predetermined goal, which is to achieve the feat in Isen Mulang cultural festival held once a year throughout Central Kalimantan province. Reviewed from Max Weber's theory of social action and symbolic interactionist theory Hebert Mead, the results of this study reinforce the view of Weber and Mead, that anyaction by individuals or groups always thought positive and negative aspects that will occur from the action, and the ability to predict for the futuret, although in a simple form, in accordance with the level of knowledge. Reviewed from the symbolic interactionist theory, the results of this study reinforce the view Mead, that the city of Palangka Raya society action in the process of developing and preserving traditional sports ofmanyipet andbalogo was greatly influenced by the reality on the field and logical thinking ahead about the traditional sports and the interaction between them in the environment or society.phenomenological theory is always traying to understand the culture through cultural view of the owner or the culprit. There are three cultural phenomenon they are ideas,activities and artifact.Those cultural phenomenon if the noteon a line to the three states of culture as contained in the definition of culture Koentjaraningrat. Ideas is equal to the system of ideas,activities isequal to the action,and the last is artifact which identical with the human work. Keywords: Social Interaction, Social Action and Traditional Sports Abstrak Budaya masa lalu sudah sepatutnya dilestarikan dan dikembangkan disamping sebagai kekayaan budayaan juga bisa sebagai objek pariwisata. Festival budaya sebagai salah satu bentuk pelestarian disamping juga bentuk promosi berbagai budaya yang ada untuk kepentingan pengembangan pariwisata. Salah satu kekayaan budaya lokal atau tradisional adalah olahraga tradisional menyipet dan balogo. Dalam tataran konsep dan atau perencanaan langkah pemerintah kota dalam mengembangkan dan melestarikan olahraga tradisional menyipet sudah cukup baik, sebab sudah dimasukan dalam kurikulum muatan lokal, sudah ada kegiatan invitasi, pemenang dari invitasi mewakili pemerintah kota untuk mengikuti Festival Budaya Isen Mulang, dan pemenangnya dikirim mengikuti kejuaraan tingkat Kalimantan yaitu dalam Internasional Borneo Sipet Tournament (BOST) yang diselenggarakan di Pontianak Provinsi Kalimantan Barat yang juga akan dipromosikan di tingkat ASEAN Tourism Forum (ATF). 42 Adapun rumusan masalahnya adalah (1) bagaimana kegiatan olahraga tradisional menyipet dan balogo di masyarakat Kota Palangka Raya ? dengan fokus pertama festival dan upaya pelestarian yang meliputi : Festival menyipet dan balogo, Invitasi menyipet dan balogo, Kurikulum menyipet dan balogo, Pengembangan menyipet dan balogo. Fokus kedua meliputi pengembangan kemampuan yang terdiri dari beberapa indikator, yaitu : kemampuan teknik, kemampuan strategi, kemampuan taktik. Fokus ketiga adalah pendidikan budaya yang meliputi sikap sportivitas dan sikap ksatria. Fokus ke empat pengembangan keterampilan psikososial yang meliputi komunikasi dan empati. Masalah kedua adalah kegiatan olahraga tradisional menyipet dan balogo di masyarakat Kota Palangka Raya dengan fokus faktor internal dan eksternal. Melalui pendekatan kualitatif dengan model penelitian grounded, dan analisis coding dengan teknik penarikan informan purposive sampling. Berdasarkan analisis tersebut maka dihasilkan beberapa temuan, proposisi minor dan proposisi mayor yaitu : Terbatasnya dukungan dana, sarana prasarana, koordinasi antar institusi pemerintah, kemajuan tekhnologi dan globalisasi berakibat pada menurunnya semangat berlatih dan berprestasi dan terjadinya pergeseran dari olahraga tradisional yang bermotif religi menjadi olahraga tradisional yang bermotif prestasi dan keuntungan. Adapun yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah : 1. Olahraga tradisional menyipet dan balogo merupakan kekayaan budaya masyarakat Dayak di Palangka Raya dan sering diikutsertakan dalam Festival Budaya Isen Mulang. 2. Menyipet dan Balogo sarat dengan berbagai ajaran dan nilai-nilai luhur. 3. Upaya pelestarian dan pengembangan budaya lokal melalui berbagai festival dan memasukan ke dalam kurikulum muatan lokal. 4. Upaya pelestarian dan pengembangan kurang didukung oleh dukungan dana, kelengkapan fasilitas dan sarana/prasarana, kegiatan pendidikan dan latihan bagi guru, kurangnya invitasi. 5. olahraga tradisional menyipet dan balogo hanya ada pada acara perayaan ulang tahun kota Palangka Raya dan Festival Budaya Isen Mulang saja. 6. Para pemain olahraga menyipet dan balogo rata-rata sudah tua, sehingga secara perlahan olahraga tersebut akan musnah seirama dengan semakin tuanya para pemainnya. 7. Generasi muda kurang menyenangi olahraga tradisional menyipet dan balogo sebab tidak bisa diharapkan untuk menjadi pekerjaan atau sandaran hidup dimasa mendatang. 8. Kendala-kendala yang dihadapi dalam kegiatan olahraga tradisional menyipet dan balogo di masyarakat Kota Palangka Raya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kendala internal dan kendala eksternal. Kendala internal misalnya adalah monoton, nilai kreativitas rendah, dan membosankan, memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Kendala eksternalnya antara lain kurang adanya koordinasi antar instansi, Dinas Pendidikan (Kurikulum), kepelatihan yang profesional, keterbatasan sarana prasarana latihan. Implikasi penelitian sebagai berikut : ditinjau dari aspek tindakan sosial, maka hasil penelitian ini memperkuat teori tindakan sosial Parsons, yaitu “semua tindakan sosial yang dilakukan oleh pemain olahraga tradisional, pemerintah kota, siswa dan guru di kota Palangka Raya dalam olahraga tradisional menyipet dan balogo selalu mendasarkan kepada suatu tujuan yang telah ditentukan, yaitu untuk meraih prestasi dalam Festival Budaya Isen Mulang yang diadakan setahun sekali se Provinsi Kalimantan Tengah. Ditinjau dari teori tindakan sosial Max Weber dan teori interaksionis simbolik Hebert Mead, maka hasil penelitian ini memperkuat pandangan Weber dan Mead, bahwa “Setiap tindakan yang dilakukan individu maupun kelompok selalu dipikirkan aspek positif dan negatif yang akan terjadi dari tindakan tersebut, dan kemampuan memprediksi ke depan, meskipun dalam bentuk sederhana, sesuai dengan tingkat pengetahuannya. 43 Ditinjau dari teori interaksionis simbolik, maka hasil penelitian ini memperkuat pandangan Mead, bahwa tindakan masyarakat kota Palangka Raya dalam proses mengembangkan dan melestarikan olahraga tradisional menyipet dan balogo sangat dipengaruhi realita di lapangan dan berpikir logis kedepan tentang olahraga tradisional tersebut serta proses interaksi diantara mereka dalam lingkungan atau komunitasnya. Teori fenomenologi selalu berusaha untuk memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Terdapat tiga gejala kebudayaan yakni ideas, activities dan artifact. Ketiga gejala kebudayaan ini jika diperhatikan sejajar dengan tiga wujud kebudayaan sebagaimana tercantum dalam definisi kebudayaan Koentjaraningrat. Ideas (gagasan-gagasan) sejajar dengan sistem gagasan, activities (aktivitas) sejajar dengan tindakan, dan terakhir artifact yang seanalog dengan hasil karya manusia. Kata Kunci : Interaksi Sosial, Tindakan Sosial dan Olahraga Tradisional PENDAHULUAN Didalam olahraga tradisional, apapun jenisnya selalu mengandung ajaran-ajaran luhur dari pemiliknya, dan hal tersebut sebagai upaya pembentukan karakter bagi pemiliknya. Olahraga tradisional tidak hanya sekedar menggerakkan anggota tubuh dengan tujuan agar menjadi bugar dan sehat, namun juga mencoba meresapi perilaku moral dan bentuk penanaman perilaku moral dan nilai-nilai dari pemilik olahraga tradisional tersebut. Olahraga tradisional tidak hanya sekedar membantuk tubuh menjadi sehat melainkan juga bisa sebagai alat membela diri jika diserang atau menghadapi suatu tindak kejahatan, seperti halnya pencak silat, dan termasuk juga menyipet atau juga disebut menyumpit. Oleh karena itu olahraga tradisional juga merupakan bentuk dari pendidikan jasmani. Olahraga tradisional banyak mengandung keunikan-keunikan, yang sudah jarang atau mungkin tidak ditemui dalam masyarakat modern. Sebab olahraga tradisional juga bisa dikatakan sebagai olahraga masyarakat pada zaman dahulu atau olahraga tradisional merupakan cerminan dari budaya masyarakat dulu. Keunikan-keunikan tersebut tidak hanya menjadi sesuatu yang menarik dan enak ditonton, tetapi juga merupakan sajian yang mungkin tidak dijumpai di tempat lain. Oleh karena itu olahraga tradisional juga bisa menjadi objek wisata yang disajikan kepada para wisatawan. Orang datang ke suatu daerah bukan hanya sekedar ingin berolahraga tradisional tersebut juga ingin menikmati keunikannya dan sebagai ragam budaya bangsa. Masyarakat Kalimantan tengah yang suku Dayak sebagai penduduk asli, sudah tentu sangat kaya dengan ragam budayanya, dan salah satunya adalah olahraga tradisional. Olahraga tradisional sudah menempati posisi yang penting dalam kehidupan seharihari masyarakat di Kota Palangka Raya bahkan meningkatnya minat masyarakat ditunjukkan dengan semakin bertambahnya club-club atau kelompok-kelompok dari berbagai cabang olahraga termasuk kegiatan olahraga tradisional. Di Kalimantan Tengah juga terdapat banyak sekali olahraga tradisional namun yang sering dipertandingkan dalam event-event wisata atau pekan seni dan budaya di Kalimantan Tengah diantaranya: Meyipet, Sepak Sawut, Bagasing, Balogo, Besey kambe, Magaruhi, Meneweng dan Menyila Kayu yang saat ini menjadi ajang untuk menarik perhatian masyarakat luas. Berbagai macam kegiatan olahraga tradisional sebagaimana tersebut di atas, merupakan refleksi dari kehidupan sehari-hari suku Dayak di Kota Palangka Raya. Hal; tersebut sebagai aktivitas hidup suku Dayak dalam bekerja, berburu, dan dalam berpesta selepas panen. Seperti Meyipet, awalnya bukanlah sebagai suatu olahraga, namun merupakan 44 salah satu cara berburu di hutan, karena pada saat itu belum dikenal dan diketahui berburu dengan senjata api, sehingga berburu menangkap burung, kijang, babi dengan menggunakan sipet (sumpit). Demikian juga dengan besey kambe (mendayung atau berperahu), merupakan salah satu aktivitas yang tidak mungkin ditinggalkan oleh masyarakat Dayak, sebab mereka pada umumnya bermukim di tepi sungai, dan perahu merupakan satusatunya kendaraan atau sarana transportasi, baik ke ladang, mencari ikan maupun bepergian, demikian juga dengan yang lainnya, dan dalam perkembangannya menjadi olahraga tradisional yang sering ditampilkan pada acara-acara tertentu, seperti dilombakan dalam kaitannya dengan kegiatan wisata dan pesta budaya. Palangka Raya sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah tumbuh dan berkembang bukan saja sebagai pusat pemerintahan saja tetapi juga menjadi pusat ekonomi, pusat politik regional kalimantan tengah, pusat pendidikan yang sekaligus menjadi pusat budaya dan agent perubahan sosial budaya. Sudah bisa dipastikan bahwa masyarakatnya yang beragam, dan hingar bingar kehidupan kota menjadi karakter tersendiri dalam kehidupan kota. Hal tersebut berpengaruh pada kehidupan budaya masyarakatnya, sehingga tidak dijumpai lagi kehidupan masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan bersahaja sebagai masyarakat tradisional, melainkan tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat modern. Nilai-nilai sosial secara perlahan bergeser berganti menjadi nilai-nilai modern, sikap kebersamaan dan bergeser menjadi sikap individualistis dan sendi-sendi kehidupan juga bergeser menjadi tonggak kehidupan modern. Secara lambat tapi pasti dan seiring dengan perkembangan zaman dan arus modernisasi (kemajuan teknologi) hal tersebut tidak lagi menjadi sarana pekerjaan dan transportasi. Sebab dewasa ini hampir setiap sarana transportasi sudah menggunakan teknologi, seperti kendaraan bermotor maupun perahu bermotor. Dalam perkembangannya hal tersebut menjadi olahraga tradisional. Olahraga tradisional sarat dengan nilai-nilai budya, hal tersebut lebih disebabkan karena olahraga tersebut berakar dari budaya. Demikian juga dengan olahraga tradisional menyipet dan balogo. Pada olahraga menyipet, dulunya merupakan alat mata pencaharian yaitu peralatan berburu dan sekaligus sebagai peralatan untuk melindungi diri dari serangan musuh arau binatang buas. Namun seiring dengan perkembangan teknologi dan semakin menipisnya wilayah hutun/berburu, maka sipet tersebut mengalami pergeseran atau perubahan pemanfaatannya, dulu menjadi senjata atau alat berburu bergeser atau berubah menjadi alat olahraga (menyipet dan balogo). Sikap dan jiwa patriotisme tersebut tersalurkan menjadi sikap sportif, jujur dan berjiwa besar dalam olahraga tradisional menyipet dan balogo. Namun tidak demikian dengan balogo. Olahraga tradisional Balogo lahir sebagai permainan pengisi aktu luang sehabis bekerja memanen padi atau tanaman pertanian lain. Olahraga tradisional sarat dengan nilai-nilai budya, hal tersebut lebih disebabkan karena olahraga tersebut berakar dari budaya. Demikian juga dengan olahraga tradisional menyipet dan balogo. Pada olahraga menyipet, dulunya merupakan alat mata pencaharian yaitu peralatan berburu dan sekaligus sebagai peralatan untuk melindungi diri dari serangan musuh arau binatang buas. Namun seiring dengan perkembangan teknologi dan semakin menipisnya wilayah hutun/berburu, maka sipet tersebut mengalami pergeseran atau perubahan pemanfaatannya, dulu menjadi senjata atau alat berburu bergeser atau berubah menjadi alat olahraga (menyipet dan balogo). Sikap dan jiwa patriotisme tersebut tersalurkan menjadi sikap sportif, jujur dan berjiwa besar dalam olahraga tradisional menyipet dan balogo. Namun tidak demikian dengan balogo. Olahraga tradisional Balogo lahir sebagai permainan pengisi aktu luang sehabis bekerja memanen padi atau tanaman pertanian lain. KAJIAN PUSTAKA 45 2.1. Tinjauan Tentang Kebudayaan Mempelajari tentang nilai-nilai sosial budaya suatu masyarakat tentu saja juga harus mempelajari kebudayaannya, karena tidak ada masyarakat tanpa budaya dan tidak ada budaya tanpa masyarakat sebagai wadah pendukungnya. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Seokanto S, (1999) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (Material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarny, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat. Koentjaraningrat , (1990:180) mendefinisikan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kebudayaan adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar (learned behavior), (A. Hoebel, 1958 : 152-153). Jika dikaji tentang konsep kebudayaan tersebut di atas, maka terdapat dua hal penting, yaitu aktivitas manusia, dan kegiatan belajar. A. L Krober dan c. Kluckhohn (1952) mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola tingkah laku, baik eksplisit maupun implisit yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudan dalam benda-benda materi. Kata kebudayaan berasal dari kata Sansakerta Buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi dan akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal, Koentjaraningrat (1990:181). P.J . Zoetmulder (1951) mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan yang majemuk budi-daya , yang berarti “daya dari budi”. 2.2. Wujud Kebudayaan Dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu, (1) kompleks ide, gagasan, nilai, peraturan; (2) kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; (3) benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1990). Ide dan gagasan manusia yang hidup dalam suatu masyarakat memberi jiwa kepada masyarakat yang bersangkutan. Ide atau gagasan ini sering disebut sebagai sistem budaya atau cultural sistem, sistem budaya ini antara lain terbentuk adat atau adat istiadat. Bentuk kebudayaan yang kedua yaitu sistem sosial yang terkait dengan tindakan manusia yang telah terpola. Sedangkan wujud yang ketiga dari kebudayaan merupakan kebudayaan fisik, sebagai hasil karya manusia. Berbicara tentang budaya, dalam hal ini budaya dipandang sebagai cara hidup dapat dirumuskan sebagai interaksi yang saling meneguhkan antara kultural bias (nilai dan norma yang diyakini) dan sosial practice (hubungan sosial) (Thompson, 1990). Way of life (cara hidup) merupakan kombinasi dari “hubungan sosial dan nilai atau norma yang diayakini” (Thompson, 1990). Tumbuhnya budaya sebagai way of life (cara hidup) tergantung pada hubungan yang saling mendukung antara kultural dan hubungan sosial. Budaya sebagai cara hidup dan bentuk keorganisasian serta persepsi secara koheren, maka nilai dan norma tidak lagi terpisah dari struktur dan tindakan melainkan merupakan bagian dari tindakan itu sendiri. Pilihan mengenai hubungan sosial tertentu akan melahirkan cara pandang tertentu terhadap sekitarnya, orang yang mengikuti pola hubungan sosial tertentu melahirkan nilai dan kepercayaan yang tertentu pula, dan sebaliknya tentang pandangan dunia melegitimasi pola hubungan sosial yang sesuai dengan pandangan dunia tersebut. 2.3.Unsur-unsur Kebudayaan Unsur-unsur kebudayaan yakni keseluruhan dari tindakan manusia yang berpola berkisar sekitar pranata-pranata tertentu yang amat banyak jumlahnya; dengan demikian 46 sebenarnya suatu masyarakat yang luas selalu dapat kita perinci ke dalam pranata-pranata yang khusus. Sejajar dengan itu suatu kebudayaan yang luas selalu dapat pula kita rinci ke dalam unsur-unsurnya yang khusus. C. Kluckhohn dalam sebuah karangan berjudul Universal Categories of Culture (1953) mengambil sari dari berbagai kerangka tentang unsur-unsur kebudayaan universal yang ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita lihat sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, (7) kesenian. 2.4. Nilai-Nilai Budaya dalam Masyarakat Di dalam kehidupan masyarakat terjadi dinamika hubungan satu sama lain yang di tentukan oleh kekuatan pengikatnya dan dikenal dengan nilai-nilai atau norma. Koentjaraningrat (1997), menjelaskan untuk dapat membedakan kekuatan pengikat dalam masyarakat tersebut, secara sosiologi dikenal adanya empat pengertian, yakni : Cara (usage), yakni kebiasaan seseorang yang disengaja atau tidak dianggap lumrah untuk dirinya, tetapi menjadi tidak lumrah untuk orang lain. Penyimpangan terhadap kebiasaan semacam ini hanya terletak pada kesantunan atau tidak. Demikian juga dengan kebiasaan (folksway), yang menurut Mac Iver and Page (1967) merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat, misalnya kebiasaan menghormati orang yang lebih tua sudah merupakan kebiasaan yang dihormati. Nilai-nilai sosial tata kelakuan (mores) kebiasaan yang hidup dalam interaksi manusia, yang dijaga dan dilindungi, bahkan dia menjadi alat pengawas atau kontrol dalam masyarakat. Kemudian adat istiadat (custom). Jiwa kekerabatan sebagai salah satu nilai budaya Kalimantan Tengah, sudah mendarah daging dalam masyarakat dan umumnya sifat luas serta bertopang pada ikatan darah. Semuanya itu disadari oleh kebersamaan yang sudah dibangun dalam lingkup rumah adat sebagai pusat dan yang mengatur segala kegiatan masyarakat. Adanya ikatan ini mempertebal rasa solidaritas antara mereka. Hal ini jelas tampak dalam pesta-pesta, dalam upacara-upacara adat atau bila menghadapi bahaya yang mengancam suku, dan pada melaksanakan sesuatu bagi kepentingan seseorang atau bersama. Nilai budaya melalui rumah adat yang juga menonjol adalah cara-cara di dalam mencari nafkah yang mendorong dan menyebabkan Masyarakat Kalimantan Tengah memiliki cara pikir sosial-kolektif. Dalam hal ini pertanian misalnya, ada banyak tanah garapan adalah milik suku, walau di zaman ini sistem serupa itu agaknya semakin berkurang tersebab meningkatnya penduduk dan karena setiap keluarga, ingin mempunyai tanah garapan sendiri. Tetapi milik bersama atas tanah yang mendorong rasa persatuan dan keterikatan dalam masyarakat. Banyak tanah pertanian Masyarakat Kalimantan Tengah terdiri dari dataran tinggi, rendah dan bukit-bukit serta hutan belantara. Sebagian tenah dipakai untuk perladangan, meski ada sebagian kecil saja yang gersang dan kering. 2.5.Kebudayaan Sebagai Cara Hidup Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1986) dideskripsikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kebudayaan dapat dibedakan dalam tiga wujud yakni: (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas tindakan berpola oleh manusia dalam masyarakat; dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. 2.6. Pengertian Dayak Sebutan kata Dayak, adalah sebutan yang umum di Kalimantan. Bahkan di 47 seluruh Indonesia, setiap orang yang mendengar kata Dayak, sudah tentu pandangannya tertuju kepada salah satu suku di Indonesia yang mendiami Kalimantan. Apakah arti kata Dayak itu yang sebenarnya? O.K. Rahmat dan R. Sunardi, mengatakan bahwa kata Dayak adalah satu perkataan menamakan stam-stam yang tidak beragama Islam yang mendiami pedalaman Kalimantan. Istilah ini sendiri diberikan oleh bangsa di pesisir Kalimantan yang berarti gunung. Bila Bangsa Melayu yang mendiami pesisir Kalimantan yang memberi istilah Dayak kepada stam-stam yang tidak beragama Islam yang mendiami pedalaman Kalimantan dan berarti orang gunung, maka timbul suatu pertanyaan, siapakah orang Melayu itu? Bila dilihat dari arti yang umum, tidak lain, yang dinamakan bangsa Melayu pada waktu itu adalah orang-orang yang berasal dari Melayu dan berbahasa Melayu. Akan tetapi apabila yang dimaksud dengan orang Melayu adalah orang Dayak yang telah menganut agama Islam, akan terasa ada yang janggal. Bila dilihat dari sisi orang Dayak sendiri, yang disebut orang Melayu ialah orang-orang yang berasal dari daerah Melayu dan para pendatang lainnya, selain Tionghoa, yang tinggal di Kalimantan. Muncul lagi pertanyaan, apakah ada kata Dayak dalam bahasa Melayu yang artinya orang gunung? Sampai saat ini belum pernah ada kamus yang menyatakan bahwa Dayak berarti orang gunung. Kemungkinan pengertian kata Dayak sama dengan orang gunung, disebabkan karena sebagian besar orang-orang Dayak tinggal di udik-udik sungai yang tanahnya bergunung-gunung, tetapi bukan berarti bahwa kata Dayak berarti orang gunung. Di samping nama Dayak, kita kenal juga istilah Dyak yang merujuk pula pada pengertian Dayak. Istilah Dyak ini diberikan oleh orang-orang Inggris kepada suku-suku Dayak di Kalimantan Utara. Suku Dayak di Kalimantan, tersebar di seluruh pulau Kalimantan, hidup berpencar, di hulu-hulu sungai, di gunung-gunung, lembah dan kaki bukit. Untuk menyebut identitas diri, menyebut tempat asal, mereka memakai daerah aliran sungai besar di mana mereka bertempat tinggal. Misalnya yang berasal dari daerah Sungai Barito, mereka menyebut diri sebagai uluh Barito, demikian pula yang berasal dari daerah aliran Sungai Kahayan, uluh Kahayan. Ada uluh Katingan, uluh Kapuas dan sebagainya. Dayak juga dapat berarti Sahawung. Suatu organisasi orang-orang Dayak, diberi nama Partai Daya. Dengan demikian kata Dayak dan Daya, dalam bahasa Ngaju, menunjukkan kata sifat dan menunjukkan pula suatu kekuatan. Demikian pula kata Sahawung, yang berarti sifat kepahlawanan seseorang, gagah perkasa, dan tidak kenal menyerah. Kalau kita hubungkan sifat orang-orang Dayak di masa lalu, yang terkenal dengan semboyan Menteng Ureh Mamut, yang berarti seseorang yang mempunyai kekuatan gagah berani dan tidak kenal menyerah, maka nama Daya Sahawung lebih condong kepada kata sifat. Dalam bahasa Sangen, Dayak berarti bakena yang artinya gagah, cantik. 2.7. Pengertian dan Konsep Olahraga Masyarakat Sebagaimana diuraikan diatas, maka pada olahraga masyarakat di luar negeri disebut sebagai "sport for all". Sport for All di dunia yang tumbuh dan berkembang sejak tahun 1970an, te1ah meluas di segala penjuru dunia. Organisasi-organisasi sport for all telah dibentuk baik tingkat internasional, regional, continental, nasional maupun local. Yang menjadi masalah adalah apa sebenarnya pengertian akan sport for all itu dan apa yang mennjadi konsep akan berkembangnya sport for all di dunia. Pengertian akan sport for all itu sendiri. Memiliki arti kalimat itu sendiri dapat diterjemahkan dalam “Olahraga untuk semua”, artinya olahraga itu bukan monopoli olahragawan berprestasi saja, tetapi olahraga dapat dilakukan oleh siapa saja, tak terbatas pada jenis kelamin dan usianya, malah bagi yang belum melakukan dianjurkan oleh World Health Organisation yang terkenal dengan singkatan WHO yaitu Badan Dunia yang bergerak dibidang kesehatan. Yang menjadi tujuan dari WHO dengan semboyan "health for all" 48 adalah agar semua penduduk di dunia ini, tanpa membedakan usia, jenis kelamin, status kaya atau miskin bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Suatu tujuan yang amat mulia akan tetapi hasilnya pun masih jauh dari harapan, karena beragamnya masyarakat dimana mereka tinggal, masih terdapatnya perbedaan menyolok antara Negara kaya dan miskin serta perbedaan status kaya miskin pada suatu masyarakat dalam satu Negara. Pendek kata Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bergerak di bidang kesehatan pun masih belum mampu untuk mengatasi sepenuhnya kendala untuk merealisasikan gerakan "health for all". Demikian pula gerakan dalam merealisasikan "sport for all". Meskipun telah banyak organisasi olahraga masyarakat yang terlibat dan bertujuan untuk merealisasikannya, namun hasilnya juga masih belum memuaskan. Adapun konsep yang mendasari mengapa orang berpaling pada olahraga masyarakat atau sport for all sebagai salah satu pilihan untuk dikembangkan, dapat di inventarisasi sebagai berikut : berkurangnya gerakan fisik manusia dalam kehidupan modern dewasa ini, sebagai akibat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, sehingga kehidupan manusia dimudahkan dengan memencet tombol untuk mencapai tujuannya. Dalam hal ini dapat diberikan contoh tersedianya lift dalam gedung bertingkat, tombol remote control untuk tidak perlu berjalan mendekati pesawat televise untuk memindah channel ataupun mengatur volume suara, tersedianya telepon selular sebagai pilihan untuk tidak selalu tergantung pada telepon rumah, dan masih banyak contoh yang lain lagi. Olahraga masyarakat sudah merupakan kebutuhan masyarakat banyak, selain sangat bermanfaat untuk masyarakat banyak guna memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran, sehingga banyak Negara telah meyakini bahwa dengan memasyarakatkan olahraga akan, dapat menekan atau mengurangi anggaran di bidang kesehatan suatu Negara. Sebagai reaksi atas gerakan olimpic. Sebagaimana diketahui gerakan olimpik telah berangsur-angsur mendapatkan pupularitasnya, sejak pad tahun 1886 olympiade modern yang pertama diadakan di kota Athena, Yunani. Sejak tahun 1984, yaitu pada olympiade ke 23 di Los Angeles, Amerika Serikat, ollympiade telah dikelola secara "kodern management", yang dapat menghasilkan untung besar bagi panitia sampai ratusan Juta U.S. Dollar. Sejak itu' Negara-negara berlomba-lomba untuk menjadi tuan rumah olympiade, bahkan sudah cenderung kearah komersialisasi. Pada dasarnya ollympiade yang hanya mempertandingkan 28 cabang olahraga itu, irengetrapkan seleksi yang ketat bagi atlet yang akan berlaga d i kancah olympiade yang diikuti hanya kurang lebih 10.000 orang dari hampir 200 negara. Seleksi yang ketat dan inemprioritaskan atlit-atlit muda yang punya bakat tinggi, pada cabang olahraga yang hanya 28 cabang itu dirasakan sangat membatasi keikutsertaan masyarakat banyak. Oleh karena itu sebagai reaksi atas berkembangnya gerakan olimpik tersebut di ciptakan olahraga masyarakat, yang tidak membatasi peserta, baik dari segi umur, jenis kelamin, keanggotaan pada organisasi nasional/internasional tertentu, dan lain-lain. 2.8. Pengertian Olahraga Tradisional Olahraga tradisional merupakan bagian dan hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat yang disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan sendiri pada dasarnya merupakan kemampuan manusia untuk menyesuaikan din secara aktif terhadap lingkungannya. Oleh karena itu kebudayaan merupakan pola bagi tingkah laku yang nyata maupun yang abstrak, dan diperoleh serta diwariskan melalui proses belajar dengan menggunakan lambang-lambang. Olahraga tradisional Indonesia yang berupa permainan pada dasarnya merupakan perwujudan dan proses adaptasi masyarakat Indonesia dalam menghadapi lingkungannya dalam bentuk permainan. Realita proses kemunculan suatu jenis olahraga tradisional atau permainan rakyat adalah sebagai ekspresi diri dan adaptasi atas apa yang mereka alami dan rasakan. Sebagai misal adalah permainan “perisaian” di Nusa Tenggara Barat; permainan ini muncul sebagai proses adaptasi dan penalaran atas apa yang mereka alami, mereka berpikir 49 bahwa hujan yang diharapkannya akan turun ketika mereka mau berkorban mengeluarkan darahnya. Untuk itulah, mereka melakukan permainan “perisaian” hingga salah satu diantara mereka mengeluarkan darah akibat cambukan lawan. 2.10. Manfaat Olahraga Tradisional Olahraga tradisional sebagai hasil budaya merupakan wujud dan jati diri bangsa. Olahraga tradisional dalam kemunculannya dapat menjadi terapi atas krisis jati diri bangsa. (Dwi Arbaningsih 2003) menyebutnya dengan istilah pada saat bangsa Indonesia mengidap amnesia sosial, lupa akan jati dirinya. Dalam statusnya sebagai sebuah permainan, olahraga tradisional dapat mengembangkan intelegensia praktis, pendidikan budaya (culture education), dan keterampilan psikososial. a. Pengembangan intelegensia praktis Sebagai suatu permainan, olahnaga tradisional menuntut adanya kemampuan teknik, strategi dan taktik. Teknik, strategi, dan taktik dapat dilakukan dengan baik manakala tersedia kemampuan intelegensia praktis yang memadai, atau sebaliknya kemampuan intelegensia menjadi berkembang manakala dirangsang oleh tuntutan kemampuan teknik, strategi, dan taktik dalam suatu permainan. Arbiningsih mencontohkan, bahwa di dalam permainan gobak sodor (hadang) terdapat pola pikir mempertahankan wilayah dari serangan musuh. Didalam upaya mempertahankan wilayah, maka perlu memiliki jiwa patriotisme, nasionalis, dan keberanian untuk membela tanah air. Karakter ini tidak bisa datang begitu saja, tetapi harus ditanamkan dididik melalui sistem pendidikan yang tepat guna. Nilai-nilai nasionalis, keberanian dan patriotisme serta semangat untuk membela wilayah ini tidak sekedar dihafal, tetapi harus dipraktekkan melalui latihan dan simulasi pada hari-hari tertentu. b. Pendidikan Budaya (culture education) Sebagai permainan tradisional yang diwariskan secara turun temurun, olahraga tradisional dapat dijadikan sebagai alat pendidikan dalam menanamkan budaya kepada masyarakat. Selain itu, olahraga tradisional yang di dalamnya mengandung unsur menang dan kalah dapat dijadikan alat dalam menanamkan budaya sportivitas atau “ksatria”, yaitu siap menerima kemenangan tanpa rasa sombong dan menerima kekalahan tanpa rasa sakit hati dan mencari-cari alasan. Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. c. Pengembangan Keterampilan Psikososial Sebagai suatu permainan, olahraga tradisional melibatkan orang lain dalam pelaksanaannya. Keterlibatan orang lain dapat terjadi proses sosialisasi dan komunikasi antara sesama di sinilah dapat berkembang-nya keterampilan psikososial seperti: komunikasi, asertivitas, dan empati. Adanya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, olahraga tradisional sangat tepat untuk dijadikan bahan ajar dalam pendidikan jasmani. Dalam fungsinya sebagai bahan ajar, olahraga tradisional juga dapat dijadikan bentuk permainan bagi anak-anak dan masyarakat dalam mengisi waktu luang atau kegiatan rekreasi. Permainan rakyat yang telah dibakukan sebagai olahraga tradisional tentu telah dikaji kandungan nilai gerak dan fisiologisnya. Dengan demikian olahraga tradisional dapat dijadikan bentuk latihan untuk meningkatkan kemampuan gerak dan kebugaran jasmani. Manfaat lain dan olahraga tradisional adalah dan segi ekonomi. Banyaknya jenis 50 olahraga tradisional di Indonesia dapat dijadikan salah satu sajian yang menghibur bagi para wisatawan. Hal mi mengandung makna bahwa olahraga tradisional dapat menyuburkan industri pariwisata yang akan berdampak pada kegiatan ekonomi masyarakat dan bangsa Indonesia. 2.11. Perspektif Sistem Teknologi Tradisional Tentang sistem teknologi tradisional tersebut tokoh budaya Indonesia Koentjaraningrat menjelaskan bahwa terdapat 8 macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik digunakan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat petani di daerah pedesaan. Ke delapan sistem peralatan tersebut adalah : (1) alat-alat produksi; (2) senjata; (3) wadah; (4) alat untuk membuat api; (5) makanan, minuman, bahan pembangkit gairah dan jamu; (6) pakaian dan perhiasan; (7) tempat berlindung dan rumah; (8) alat-alat trasnportasi (2005: 23). Suatu deskripsi etnografi sudah memadai apabila ke delapan unsur kebudayaan fisik itu tercantum di dalamnya. Ahli budaya lain JJ. Honigmann dalam bukunya The world Of Man (1959: 290) menjelaskan bahwa teknologi adalah “.....segala tindakan baku ang digunakan manusa untuk mengubah aloam, termasuk tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain.” Oleh karena itu teknologi adalah cara manusia membuat, memakai dan memelihara seluruh peralatannya, dan bahkan bertindak selama hidupnya. Teknologi tradisional adalah teknologi yang dihasilkan manusia adalah teknologi yang sederhana, baik itu bersifat tunggal, misalnya kalau di Pulau Kalimantan dikenal dengan sumpit (sipet) mupun yang dibuat secara massal (alat tenun bukan mesin). Berdasarkan pada penggunaannya, alat-alat produksi dalam budaya tradisional dapat dikelompokkan sebagai berikut : (1) alat potong; (2) alat tusuk; (3) alat untuk melubangi; (4) alat pukul; (5) alat giling; (6) alat peraga; (7) alat untuk membuat api; (8) alat untuk meniup api; (9) alat pertanian; (10) alat penangkapan ikan dan lain sebagainya. Alat-alat produksi tersebut di atas sampai sekarang masih kita gunakan dan diproduksi terus, hakekatnya tetap yaitu sebagai alat-alkat produksi, peralatan kerja yang membantu pekerjaan manusia, namun bentuknya atau desainnya yang berbeda. Sumpit di Kalimantan bagi suku Dayak) sebagai teknologi tradisional yang berfungsi sebagai senjata dan alat bekerja yaitu untuk berburu (menangkap burung, kera, babi hutan, kijang dan lain sebagainya). Namun dewasa ini sumpit sudah tidak sepopuler dulu sebagai alat berburu (sebab sudah ada senjata). Penggunaan sumpit dalam berburu adalah dengan ditiup dan ujung dari anak sumpit sudah dibubuhi racan, jadi kekuatan sumpit terletak pada kemampuan manusia meniupnya. 2.12. Kegiatan Olahraga Tradisional Ada empat tahapan utama dalam kegiatan olahraga tradisional, yaitu perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengawasan. 2.13.1. Perencanaan Perencanaan yaitu usaha untuk menemukan jawaban yang meyakinkan terhadap lima pertanyaan pokok, yaitu: a. Apa program pembinaan dan pengembangan olahraga tradisional yang akan diterapkan dikarenakan dalam satu kurun waktu tertentu di masa yang akan datang? b. Siapa yang akan bertanggung jawab pada setiap bentuk kegiatan dan kepada siapa ia mempertanggungjawabkan pekerjaannya? c. Prosedur, mekanisme dan metode kerja yang bagaimana yang akan digunakan dalam pembinaan dan pengembangan olahraga tradisional secara strategis? d. Apakah ada penjadwalan kegiatan yang jelas dan yang hams ditaati di dalam pembinaan dan pengembangan olahraga tradisional? e. Apakah alasan yang digunakan untuk membuat sebuah program pembinaan dan pengembangan olahraga tradisional benar-benar dapat dipertanggung jawabkan? 51 Pengelola olahraga tradisional yang telah menyusun perencanaan dengan baik dan tepat berarti sudah 30 % melakukan pelestarian; sisanya 50 % adalah pelaksanaan program, dan 20 % evaluasi. Hal ini mengandung makna bahwa perencanaan merupakan hal yang penting dan menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dalam kegiatan olahraga tradisional. 2.13.Kegiatan Program kegiatan dimaksudkan sebagai upaya menjaga keberadaan suatu jenis olahraga tradisional. Program ini dilakukan melalui upaya memperkenalkan olahraga tradisional kepada seluruh lapisan masyarakat dan menjadikan olahraga Tradisional sebagai bentuk latihan jasmani bagi masyarakat. Program kegiatan dilakukan dalam bentuk festival, invitasi, dan memasukkan suatu jenis olahraga tradisional sebagai muatan lokal, materi pelajaran pendidikan jasmani di sekolah. a. Festival Festival, dari bahasa Latin berasal dari kata dasar "festa" atau pesta dalam bahasa Indonesia. Festival biasanya berarti "pesta besar" atau sebuah acara meriah yang diadakan dalam rangka memperingati sesuatu, atau juga bisa diartikan dengan hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting atau bersejarah, atau pesta rakyat (W.J.S Purwadarminta: Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka). Bisa pula berarti sayembara atau perlombaan. Festival olahraga tradisional bagi pelaku merupakan ajang kreasi dan unjuk kebolehan, dan bagi pengelola merupakan tempat aktualisasi atas program yang dilakukannya, dan bagi masyarakat merupakan tempat mengenal berbagai jenis olahraga tradisional. Dalam festival dapat dijadikan upaya sosialisasi, sehingga olahraga tradisional semakin dikenal masyarakat yang muaranya akan dipraktikkan oleh sebagai bentuk latihan jasmani dalam mencapai tingkat kebugaran yang baik. b. Invitasi Olahraga Tradisional Invitasi merupakan mata rantai kegiatan kejuaraan dalam cabang olahraga. Kejuaraan invitasi lebih bersifat tidak resmi, diadakan atas dasar undangan untuk berprestasi, sesuai dengan arti kata invitare (mengundang). Tujuan utama invitasi ialah menguatkan tali persahabatan antar atlit pada cabang tersebut. Karena tidak memburu prestasi semata-mata, kerapkali kejuaraan invitasi seringkali dipakaai untuk pemansan, uji coba untuk memantau kemampuan atlit . c. Suplementasi Kurikulum Menyadari bahwa olahraga tradisional merupakan warisan budaya yang sarat dengan ajaran nilai-nilai luhur yang merupakan karakter dan jati diri suku yang memilikinya, maka upaya mewariskan pada generasi berikutnya menjadi prioritas. Bentuk dan cara untuk melstarikan budaya leluhur tersebut salah satunya dengan cara memasukkanya ke dalam kurikulum muatan lokal. Hal ini mengingat sebagian besar generasi penerus merupakan anak yang berada yang sedang mengikuti proses pendidikan di sekolah. Diterapkannya olahraga tradisional sebagai muatan lokal materi pelajaran berarti terdapat upaya memperkenalkan dan mewariskan olahraga tradisional kepada generasi penerus. d. Pengembangan Program pengembangan merupakan upaya untuk menjadikan suatu jenis olahraga tradisional yang bersifat lokal kedaerahan dan hanya dapat dilakukan oleh masyarakat setempat men jadi olahraga tradisional yang bersifat nasional dan dapat dilakukan oleh masyarakat luas. Salah satu bentuk pengembangan adalah melalui pembakuan; yaitu merupakan kegiatan untuk membuat ketentuan yang baku mengenai peraturan 52 pertandingan/perlombaan dan peralatan, sehingga jenis olahraga tersebut memenuhi syarat keselamatan dan layak untuk dipertandingkan/perlombakan. Program pembakuan dilakukan melalui proses kajian secara teoretik dan empirik. - Kajian Teoritik Kajian teoritik merupakan langkah awal dalam upaya pembakuan. Dari kajian ini akan didapatkan informasi tentang kelayakan suatu jenis olahraga tradisional sebagai suatu bentuk latihan jasmani; kelayakan dalam statusnya sebagai bentuk permainan yang mengandung arti olahraga dan budaya tradisi. - Kajian Empirik Kajian empirik perlu dilakukan mengingat tidak semua hal yang layak secara teoritik akan layak pula secara empirik. Sebagai contoh adalah kelayakan lebar lapangan hadang yang lebarnya 9 meter, lebar tersebut secara teoritik sudah ditetapkan berdasarkan data ratarata panjang lengan dan kelincahan anak, ternyata secara empiric sangat sulit bagi anak untuk mempertahankan wilayahnya dari serangan lawan. Keadaan seperti ini manjadikan permainan kurang menarik mengingat tidak ada persaingan yang ketat. 2.15. Olahraga Menyipet dan Balogo 2.15.1. Sipet/Menyipet (Menyumpit/Bermain Sumpit) Sipet (Sumpitan), Merupakan sebuah senjata utama selain Mandau, bagi suku Dayak. Umumnya terbuat dari kayu ulin. Bentuknya bulat dibor dengan diameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ - ¾ cm yang digunakan untuk memasukan ‘damek’ (bahasa Dayak Ngaju), bahasa Indonesia ‘damak’ yaitu anak sumpitan dengan bentuk bulat, berdiameter kurang dari 1cm. Anak sumpit dapat terbuat dari lidi pelepah rigel/handiwung ( sedang/sejenis palm hutan ) atau bisa juga dari bambu yang diraut, yang salah satu ujungnya berbentuk seperti kerucut yang terbuat dari kayu massanya ringan dari kayu pelawi atau batang taberu yang dikeringkan (bahasa Indonesia tamberau). Ini namanya ‘pimping damek’ berfungsi sebagai sayap kendali supaya anak sumpit dapat melesat dengan lurus atau sebagai penyeimbang saat lepas dari rombak sipet (lobang sumpit). Gambar 2.1. Gambar horisontal Sipet, senjata sekaligus alat olahraga menyipet Gambar 2.2. Tempat menyimpan damek Sedangkan ujungnya yang lain adalah mata anak sumpit. Mata anak sumpt diberi racun yang sangat mematikan binatang buruan atau manusia terbuat dari getah tumbuhtumbuhan (gita siren, ditambah dengan ramuan lainnya seperti bisa binatang : ular, dan kalajengking) atau ujung matanya bisa juga disambung dengan panting ikan pari, atau besi yang dibuat secara khusus. ‘Taberau’ merupakan jenis tumbuhan gelagah yang biasanya tumbuh dipinggir sungai bentuknya seperti pohon tebu, pohon inilah yang sangat ringan untuk dikendalikan anak sumpit. Pada ujung sumpit sebelah atas ada mata tombak, dalam 53 bahasa Dayak Ngaju mata tombak itu disebut ‘sangguh’ sipet jika pada jaman dahulu berfungsi untuk menombak binatang buruan. Dahulu ‘sangguh sipet’ ini terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah dianyam, ‘simpei sipet’. Kelengkapan lain pada sumpitan ini yaitu disebut ‘telep’ menyimpan ‘ipu’ (ipuh atau racun damak). Dahulu dalam proses pembuatan sumpit atau sipet dilakukan dengan dua cara yaitu pertama keterampilan tangan dari sang pembuat. Cara kedua, yaitu dengan menggunakan tenaga dari alam dengan memanfaatkan kekuatan arus air riam (air jeram) yang dibuat menjadi semacam kincir penumpuk padi. Harga jual sumpit atau sipet telah ditentukan oleh hukum adat, yaitu sebesar ‘jipen ije atau due halamaung taheta’ (senilai satu buah atau dua buah guci antik yang baru). Menurut kepercayaan suku Dayak sumpit atau sipet ini tidak boleh digunakan untuk membunuh sesama. Sumpit atau sipet hanya dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti berburu. Sipet ini tidak diperkenankan atau pantang diinjak-injak apalagi dipotong dengan parang karena jika hal tersebut dilakukan artinya melanggar hukum adat, yang dapat mengakibatkan pelakunya akan ‘impautang’ (dituntut / didenda dalam rapat adat) dari segi penggunaannya sumpit atau sipet ini memiliki keunggulan tersendiri karena dapat digunakan sebagai senjata jarak jauh dan tidak merusak alam karena bahan pembuatannya yang alami. 2.15.2. Logo / Balogo (Bermain Logo) Permainan Balogo ini mengandung mitos sekaligus filosofi yang luhur sebagai tradisi permainan yang diwariskan nenek moyang Suku Dayak Kalimantan Tengah. Pada kehidupan masa lalu Suku Dayak di Kalimantan Tengah, permainan balogo itu merupakan permainan yang dipercaya bisa mengukur tingkat kesuburan (keberuntungan) kehidupan mereka. Tradisi permainan balogo ini memang ada hampir di seluruh wilayah Kalimantan Tengah kendati tidak diketahui jelas sejak kapan tradisi itu mulai berjalan. Dimasyarakat setempat, permainan ini bersifat musiman. Biasanya digelar setelah masa panen padi dan upacara Tiwah. Usai upacara Tiwah di mana para pesertanya dianggap telah banyak ‘membuang’ harta, masyarakat lantas mencoba mereka-reka tingkat keberuntungannya di kemudian hari. Setelah menggelar upacara Tiwah, sama artinya itu, telah membuang harta. Guna mengukur apakah kita masih punya rejeki setelah upacara Tiwah itu, dipermainkan permainan balogo. Balogo itu, pada awalnya merupakan permainan orang per orang. Sifatnya permainan coba-coba bagi setiap orang yang ikut bermain. Jika pada suatu pertandingan ternyata hasilnya seseorang menang., berarti seseorang itu akan lebih dulu sukses, gampang rejekinya disbanding peserta yang lain. Demikianlah tentang mtosnya. Nama permainan balogo diambil dari kata logo, yaitu bermain dengan menggunakan alat logo. Logo terbuat dari bahan tempurung kelapa dengan ukuran garis tengah sekitar 5-7 cm dn tebal antara 1-2 cm dan kebanyakan dibuat berlapis dua yang direkatkan dengan bahan aspal atau dempul supaya berat dan kuat. Gambar 2.4. stick sebagai alat pemukul Gambar 2.3. Macam-macam bentuk Logo 54 Gambar 2.4. Struktur permainan Balogo Bentuk alat logo ini bermacam-macam, ada yang berbentuk bere (labilabi/bulus), bajuku (penyu), sagitelo (segitiga), bentuk kaliangan (layang-layang), dan dawen sirih (daun sirih bundar). Dalam permainnya harus dibantu dengan sebuah alat yang disebut ‘ungkang’ (panapak) atau kadang-kadang beberapa daerah ada yang menyebutnya dengan campa yakni stik atau alat pemukul yang panjangnya sekitar 40 cm dengan lebar 2 cm terbuat dari bilah bambu atau bilah kayu. Fungsi ‘ ungkang’ (panapak) atau campa ini adalah untuk mendorong logo agar bisa meluncur dan merobohkan logo pihak lawan yang dipasang saat bermain. Permainan balogo ini bisa dilakukan satu lawan satu atau secara beregu. Jika dimainkan secara beregu, maka jumlah pemain yaitu “naik” (yang melakukan permainan) harus sama dengan jumlah pemain yang “pasang” (pemain yang logonya dipasang untuk dirobohkan). Jumlah pemain beregu minimal 2 orang dan maksimal 5 orang. Jumlah logo yang dimainkan sebanyak jumlah pemain yang disepakati dalam permainan. Cara memasang logo ini adalah didirikan berderet ke belakang pada garis-garis melintang. Karena inti dari permainan balogo ini adalah keterampilan memainkan logo agar bisa merobohkan logo lawan yang dipasang. Regu yang paling banyak dapat merobohkan lawan, mereka itulah pemenangnya. 2.16.1.Teori Tindakan Sosial Dalam rngka membedah permasalahan dalam penelitian ini, maka diperlukan teori-teori sosial, dalam hal ini teori tindakan sosial Parsons menjadi teori utama. Dalam teori tindakan sosial terdapat beberapa pemikiran Parson dalam menganalisis fenomena sosial (Johnson Doyle, 1981; Priyono. H. 2002), antara lain : Pertama, elemen dasar untuk suatu tindakan sosial adalah bersifat voluntaristik (tindakan sosial yang berdasarkan nilai-nilai sosial yang dianut bersama secara sukarela dan diterima atau diakui oleh anggota masyarakat). Kedua, Kerangka tujuan (mens-ends framework) sebagai alat analisis yang terdiri dari (1) setiap tindakan itu memiliki tujuan, (2) tindakan terjadi dalam suatu situasi, dan (3) secara normatif tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan. Jadi, tindakan itu dilihat sebagai satuan kenyataan sosial yang paling kecil dan paling fundamental (Johnson, D. 1981; Abraham, 1982). Ketiga, Terdapat empat komponen dasar, yaitu : (a) alat untuk mendukung terlaksananya kegiatan; (b) kondisi atau lingkungan yang ikut mewarnai suatu tindakan; (c) Tujuan sebagai dasar orientasi individu dalam bertindak; (d) norma sosial yang berlaku dalam kelompok atau masyarakat yang bersifat kompleks (Johnson, D. 1982; Hamilton, 1990). 55 Kelima, ada tiga parameter teoritis tentang tindakan individu dalam tindakan sosial, yaitu : (a) individu benar-benar memiliki kebebasan untuk memilih alat dan tujuan yang akan dicapai dan lebih mementingkan keuntungan (paham kaum ulititarism); (b) pilihan-pilihan individu dalam bertindak sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya (paham positive anti intelektual); (c) pilihan-pilihan individu dalam bertindak diatur dan dipengaruhi oleh norma dan nilai-nilai bersama yang telah disepakati bersama (paham kaum idealisme). Posisi pemikiran Parsons tentang tindakan sosial adalah memadukan ketiga paham tersebut (Hamilton, 1990). 2.16.2.Teori Kebudayaan a. Kebudayaan Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Definisi tersebut jika ditelusuri lebih jauh mempertimbangkan arah-arahan yang disampaikan Kroeber dan Talcott Parson yang menginginkan pembedaan secara tegas antara sisi gagasan dan sisi tindakan dalam kebudayaan. Terdapat tiga gejala kebudayaan yakni ideas, activities dan artifact. Ketiga gejala kebudayaan ini jika diperhatikan sejajar dengan tiga wujud kebudayaan sebagaimana tercantum dalam definisi kebudayaan Koentjaraningrat. Ideas (gagasan-gagasan) sejajar dengan sistem gagasan, activities (aktivitas) sejajar dengan tindakan, dan terakhir artifact yang seanalog dengan hasil karya manusia. Dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Koentjaraningrat membuat tipe-tipe masyarakat atau dalam istilahnya "tipe-tipe sosial-budaya" yang mengklasifikasikan masyarakat Indonesia ke dalam kelompok-kelompok tersebut. Koentjaraningrat menyebut adanya 6 tipe mulai dari masyarakat berdasarkan sistem berkebun yang sederhana, bercocok tanam di sawah, bercocok tanam di sawah tetapi dengan diferensiasi dan stratifikasi yang sedang, hingga masyarakat perkotaan bahkan metropolitan dengan ciri-ciri yang kompleks. b. Adat- Istiadat Sistim Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi. Sistem nilai budaya. merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat, karena nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah pada warga masyarakat. Pandangan hidup, biasanya mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh sebagian individu dan golongan-golongan dalam masyarakat.Konsep ideologi. Konsep ini juga merupakan suatu sistem hidup atau cita-cita, yang ingin sekali dicapai oleh banyak individu dalam masyarakat. Adat Istiadat, Norma dan Hukum, Telah dipelajari bahwa nilai budaya sebagai pedoman yang member arah dan orientasi terhadap hidup bersifat amat umum. 2.16.3.Teori Interaksionisme Simbolik Gagasan-gagasan tentang interaksi sosial bisa dirujukkan dengan baik dalam teori interaksionisme simbolik. Teori ini unik dalam sosiologi yang sering dilihat sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat secara umum. Sementar teori interaksionisme simbolik mempelajari mengenai individu. Namun demikian pengertian individu di sini adalah mereka yang membentuk masyarakat. Ada tiga ilmuwan sosiologi dalam konteks teori interaksionisme simbolik ini yakni George H. Mead, Erving Goffman dan George Homans. Dalam kajian sosiologis dalam kaitannya dengan teori interaksionisme simbolik ini, maka kunci utama kehidupan sosial adalah interaksi sosial. Kimball Young menyatakan bahwa interaksi sosial adalah inti dari 56 kehidupan sosial. Artinya, dengan melihat, menggambarkan, serta menganalisis hubungan sosial antar manusia berarti bisa dilihat tingkatan kehidupan sosial yang lebih luas. Dalam perkembangan sosiologi, obyek perhatian hubungan sosial adalah kajian yang termasuk baru. Oleh karena itu, setelah mempelajari skup makro masyarakat, para sosiolog mengalihkan perhatian pada wilayah mikro. Keadaan ini dipelopori dengan menguatnya perspektif interaksionisme simbolik. Dengan tokoh seperti George H. Mead, Herbert Blumer, Erving Goffman dan Howard Becker. Di sini ditegaskan bahwa hubungan sosial bukanlah barang yang sekali jadi, melainkan dibentuk dengan interpretasi para aktor yang mengambil makna di dalamnya. Interaksi bermakna aktor saling mengambil catatan, saling mengkomunikasikan dan saling menginterpretasikan sepanjang terus berjalan. Oleh karena itu, hampir semua bentuk interaksi sosial adalah simbolik. Proses interaksi simbolik berarti bahwa dalam membuat keputusan dan berkaitan langsung dengan aliran tindakan yang terus menerus. Dalam hal ini Blumer menyatakan: Symbolic interaction involves interpretation, or ascertaining the meaning of actions or remarks of the other person, and definition, or conveying indications to another person as to how he is to act. Human association consist of process of such interpretation and definition. Through this process the participants fit their own acts to the ongoing acts of one another and guide others in doing so.(Artinya: interaksicnisme simbolik terdiri atas interpretasi, atau memastikan arti-arti tindakan atau perkataan orang lain dan definisi atau menyampaikan petunjuk pada orang lain seperti bagaimana ia berlaku. Kumpulan manusia terdiri atas proses seperti interpretasi dan definisi. Lewat proses ini para partisipan menjadikan tindakan mereka pada aktivitas yang tidak pernah henti satu dengan lain dui memberikan petunjuk pasangannya itu untuk melakukan sebagaimana yang dikehendaki. Gambar 1 Simbol dan Pengambilan Peran dalam Teori Interaksionisme Simbolik Obyek Sosial Interaksi Aksi Simbol sebagaisebagai ciri khusus Penafsiran atas situasi Obyek Sosial Bahasa sebagai ciri khusus dari simbol (Sumber: Wallme dan Alison, 1980) Goffman menjelaskan bahwa dalam melakukan hubungan sosial bisa dikaji beberapa hal sebagai berikut. a. Ungkapan-ungkapan yang tersirat, yaitu ungkapan, baik direkayasa atau tidak yang menunjukkan teateris, jenis-jenis kontekstual dan non verbal, baik direkayasa ataukah tidak. Dalam interaksi sosial bukan saja yang dilihat apa kata/kalimat dalam interaksi 57 tersebut. Melainkan, perasaan yang kuat dimainkan. Maka ungkapan-ungkapan mimik wajah, syarat, kualitas tindakan dapat menunjukkan maksud. Hubungan sosial bisa dikatakan terdiri atas komunikasi non-verbal dan verbal. b. Setiap aktor yang sedang berpartisipasi akan mengatur perasaan-perasaan yang sebenarnya dari mengkomunikasikan pandangan situasi tersebut. Sehingga orang lain akan menerimanya. Jadi demi keberlangsungan, hubungan sosial ada semacam konsensus pura-pura, di mana setiap partisipan menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. c. Dalam penampilan hubungan sosial seorang aktor dapat membohongi dirinya sendiri sebagaimana motif-motif dia yang sebenarnya, dan ia juga dapat membohongi orang lain. Dalam penampilan aktor akan selalu menyesuaikan dan memisah-misahkan penonton yang dilihatnya. Dalam hubungan sosial aktor akan memisah-misahkan penonton agar, ia bisa berlaku tepat. d. Ketika individu bekerjasama untuk menyusun penampilan secara rutin, maka mereka membuat team pertunjukan. Penampilan ini bisa dibuat dengan status silang antar pemain. Goffman menjelaskan agar fakta-fakta bisa disembunyikan, maka penampilan kita membutuhkan wilayah-wilayah yang terpisah. Wilayah depan adalah suatu wilayah dimana team tersebut menghadirkan penampilan mereka, sebagaimana dikehendaki para penonton. Sedangkan wilayah belakang adalah suatu tempat di mana kesan-kesan yang dibentuk melalui penampilan berbeda dengan permasalahan yang sebenarnya. Impression manajemen (pengaturan kesan-kesan) adalah pada saat para aktor kembali ke daerah panggung belakang, karena pada saat itulah seseorang akan mendeteksi karakter yang mengesankan dan tersembunyi. 2.16.4. Teori Fenomenologi Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen). 58 2.17. Kerangka Konseptual Kerangka Konseptual Penelitian Masyarakat Olahraga Tradisional Meyipet dan Balogo di Masyarakat Kota Palangka Raya Penentuan Informan dengan Purposive Fokus -Tokoh masyarakat, - Kepala Disbudpar - Kepala Disdikpora - Guru Olahraga. - Siswa/club - Pelatih - Atlit Wawancara, Dokumentasi Observasi A.1. Kegiatan Olahraga Tradisional Menyipet dan Balogo di Masyarakat Kota Palangka Raya : - Festival - Invitasi - Suplemen Kurikulum - Pengembangan 2. Pengembangan Kemampuan Motorik : - Kemampuan Tehnik - Kemampuan Strategi - Kemampuan Taktik 3. Pendidikan Budaya: - Sikap Sportivitas - Sikap Kesatria 4. Pengembangan Keterampilan Psikososial: - Komunikasi - Empati B.Kendala – kendala dalam Kegiatan Olahraga Tradisional Meyipet dan Balogo di Masyarakat Kota Palangka Raya : - Internal - eksternal. 59 Teori Utama adalah - Teori Tindakan Sosial Teori Pendukung : - Teori Budaya - Interaksionisme Simbolik, - Teori Fenomenologi -, Analisis Data : Grounded Temuan Penelitian Proposisi Minor Proposisi Mayor METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan. pendekatan kualitatif dan diharapkan mendapatkan hasil yang mendalam (insight) sekaligus menyeluruh (holistic). Dikatakan demikian, karena menurut Muhadji pendekatan kualitatif dilandasi filsafat fenomenologi, yang melahirkan beberapa istilah, seperti naturalistik oleh Guba, etnometodologi oleh Bogdan, dan interaksionisme simbolik oleh Blumer, dan masing-masing mempunyai kekhasan dalam menjalankan penelitiannya. Pendekatan kualitatif karena sifat data (jenis informasi) yang dikumpulkan bersifat kualitatif. Alasan memakai pendekatan naturalistik karena situasi lapangan penelitian bersifat natural, wajar, atau sebagaimana adanya (natural setting), tanpa manipulasi dan tidak diatur dengan eksperimen atau test. Penelitian kualitatif sangat menekankan pemilihan latar alamiah, karena fenomena yang dikaji, apapun bentuknya, punya makna yang hakiki bila berada dalam konteksnya yang asli atau alamiah. Pemilihan metode kualitatif tersebut dengan pertimbangan : Pertama metode kualitatif memiliki keunggulan, antara lain (i) lebih melihat proses daripada produk dari objek penelitiannya; (ii) sebagai upaya pemahaman penelitian perilaku dan penelitian motivasional, (iii) menggunakan analisis data secara induktif; (iii) untuk meneliti latar belakang fenomena yang tidak dapat diteliti dengan menggunakan penelitian kuantitatif, (iv) untuk meneliti sesuatu secara mendalam (v) untuk meneliti sesuatu latar belakang misalnya tentang motivasi, peranan, nilai, sikap dan persepsi, (vi) dimanfaatkan peneliti yang ingin meneliti sesuatu dari segi prosesnya (Moleong, J. Lexi. 2004 : 7). Kedua, peneliti berusaha mendeskripsikan dan memahami masyarakat yang menjadi sasaran pengamatan tadi lebih dipandang sebagai subyek yang memiliki kreativitas, pendapat, sikap, dan cita-cita tentang diri mereka sendiri atau dunia luar. Ketiga, Sifat dari permasalahan yang diteliti lebih sesuai jika digunakan pendekatan kualitatif daripada pendekatan kuantitatif, sebab sifat permasalahan yang menghendaki data yang dikumpulkan bersifat data kualitatif tentang kegiatan olahraga tradisional meyipet dan balogo, dan kendala-kendala dalam kegiatan olahraga tradisional tersebut. Keempat, sifat dari permasalahan dalam penelitian ini dan tujuan yang hendak diperoleh yaitu tentang kajian fenomena dari olahraga tradisional yang hendak mengungkap dibalik yang tampak dari fenomena tersebut yang sulit dipahami oleh metode kuantitatif. Realita fenomena sosial sering tampil dalam kondisi yang normal, kompleks, jamak dan 60 dinamik, oleh karena itu kajian dengan menggunakan pendekatan kualitatif akan lebih proporsional. Kelima, karena penelitian ini merupakan kajian fenomenologi maka hal tersebut termasuk di dalam jenis penelitian definisi sosial dan materi penelitian menyangkut budaya maka analisis penelitian yang proporsional adalah dengan strategi analisis penelitian Grounded Theory yang dikembangkan oleh Strauss dan Corbin, yaitu melalui prosedur open coding (perspektif emik). Paradigma definisi sosial. Sebagaimana yang dikemukakan dalam paradigma definisi sosial bahwa teori interaksionisme simbolik dan fenomenologi masuk di dalam kategorinya. Teori interaksionisme simbolik menurut Blumer dalam hal ini sudah digunakan untuk memahami interaksi yang terjadi dalam kegiatan olahraga tradisional. 3.2. Penentuan Informan Salah satu karakter dari penelitian kualitatif adalah mendasarkan pada realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks, dan didalamnya mengandung regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi. Oleh karena itu data atau informasi ditelusuri seluas-luasnya dan sedalam mungkin sesuai dengan variasi yang ada, sehingga fenomena yang diteliti dapat berlangsung secara utuh. Dalam prosedur penentuan informan yang terpenting adalah bagaimana dapat menemukan informan kunci (key informan) atau situasi sosial tertentu yang syarat informasi sesuai dengan fokus penelitian dengan benar sesuai secara metodologi. Penentuan informan, berperan penting dan menentukan terhadap keberhasilan penelitian. Memperhatikan kenyataan sosial dan realita bahwa peneliti adalah dosen Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi, dan aspek lain bahwa peneliti juga orang asli Kalimantan Tengah yang dari kecil sampai sekarang dibesarkan di Kalteng, dan sekaligus sebagai pelaku olahraga tradisional tersebut. Maka penentuan informan yang sesuai dengan metodologi dan pendekatan kualitatif adalah purposive (Sanggar Kanto dalam Burhan Bungin, 2003: 51). yaitu penentuan informan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu (sesuai dengan metodologis). Adapun pertimbangan dimaksud antara lain, (1), (2) pengambil kebijakan (Dinas Budaya dan Pariwisata), dan (Guru Olahraga). 3.3. Fokus Penelitian A. 1. Kegiatan olahraga tradisional menyipet dan balogo di masyarakat Kota Palangka B. Raya. a. Festival menyipet dan balogo b. Invitasi menyipet dan balogo c. Suplemen Kurikulum menyipet dan balogo d. Pengembangan menyipet dan balogo 2. Pengembangan Kemampuan Motorik a. Kemampuan teknik b. Kemampuan strategi c. Kemampuan taktik. 3. Pendidikan Budaya a. Sikap sportivitas b. Sikap Kesatria 4. Pengembangan Keterampilan Psikososial a. Komunikasi b. Empati B. Kendala-kendala dalam Kegiatan olahraga tradisional menyipet dan balogo di masyarakat Kota Palangka Raya. 1. Faktor Internal 2. Faktor Eksternal. 61 3.4. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Masyarakat Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah, dengan alasan : 3.4.1. Memiliki penduduk yang beragam baik itu suku, asal usul, agama dan budaya, namun hidup secara harmonis, masing-masing dapat melaksanakan hak dan kewajiban sosial budaya (tanpa harus terganggu). 3.4.2. Ancaman pengaruh teknologi, budaya dan globalisasi lebih besar, jika dibandingkan dengan pedesaan, yang secara faktual masih terpelihara dan eksis olahraga tradisional menyipet dan balogo tersebut. 3.4.3. Kehidupan kota lebih berkarakter individualistis, dan materialistis, sehingga penghargaan yerhadap penggunaan waktu untuk mengejar dan mengumpulkan materi lebih dihargai. 3.5. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data untuk menjawab permasalahan penelitian ini adalah menggunakan instrumen pendekatan kualitatif sebagai berikut: a. Instrumen utama adalah peneliti sendiri dengan menggunakan berfikir analisis mampu membuat/menarik kesimpulan/verifikasi terhadap fenomena yang diteliti; b. Instrumen bantu adalah teridiri dari sarana-sarana atau alat-alat yang dapat membantu si peneliti (instrumen utama) dalam menarik kesimpulan atau membuat verifikasi terhadap fenomena yang diteliti. 3.6. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi sebagaimana pendapat Bogdarn dan Taylor (dalam Baharuddin, 2005;79) maka pengumpulan data akan dilakukan dengan pengamatan (observasi), wawancara mendalam, dan melakukan tilikan dokumen yang relevan. Dalam hal ini peneliti akan terjun langsung ke lapangan untuk mengamati, melakukan wawancara mendalam, dan melakukan tilik dokumen untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan. Secara operasional, pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan sebagai berikut : 3.6.1. Observasi Observasi atau pengamatan dapat diklasifikasikan atas pengamatan melalui cara berperan serta dan yang tidak berperan serta. Pada pengamatan tanpa peran serta, pengamat hanya melakukan satu fungsi, yaitu mengadakan pengamatan. Pengamatan berperan serta melakukan dua peranan sekaligus, yaitu sebagai pengamat dan sekaligus menjadi anggota resmi dari kelompok yang diamati (Moleong, 1991;126-127). Dalam penelitian ini pengamatan dilakukan pada setiap ada kegiatan yang menyajikan tentang olahraga tradisional khususnya Menyipet dan Balogo di Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah. 3.6.2. Wawancara Sebagaimana ditegaskan Lincoln dan Guba (Moleong, 1991,135) maksud mengadakan wawancara antara lain: mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan-kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu, memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan 62 memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota. Dengan mengacu kepada fokus penelitian, wawancara akan dilakukan terhadap informan kunci yang terdiri dari pengambil keputusan dan kebijakan kaitannya dengan budaya dan olahraga tradisional (Disbudpar), guru pendidikan jasmani dan Olahraga, tokoh masyarakat. 3.6.3. Dokumentasi Moleong (1991;161) menjelaskan bahwa dokumen digunakan dalam penelitian karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan. Dalam penelitian ini dokumen yang akan ditilik mencakup dokumen-dokumen kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan kaitannya dengan olahraga tradisional. Langkah-langkah pengumpulan data tersebut di atas bukan merupakan urutan yang kaku tetapi teknik-teknik itu secara operasional bersifat fleksibel sesuai situasi, kondisi, dan tuntutan di lapangan. Dalam hal ini tetap harus terjaga konsistensi dan kecermatan penggunaan teknik-teknik tersebut sehingga informasi yang diperoleh terjaga kualitasnya dan memenuhi standar kredibilitas, standar transferabilitas, standar dependabilitas dan standar konfirmabilitas yang dipersyaratkan dalam penelitian kualitatif. 3.7. Sumber Informasi Menurut Lufland dan Lofland (Moleong, 1993; 112) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sedangkan Arikunto (1997;107) menjelaskan bahwa untuk mempermudah identifikasi sumber data penelitian dapat disingkat 3P, yaitu Person (sumber data berupa orang), Place (sumber data tempat), dan Paper (sumber data berupa simbol). 3.8. Teknik Analisis Data Menurut Patton yang dikutip Moleong, (2002), analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satu uraian dasar. Analisis data pertama-tama bermaksud mengorganisasikan data. Semua data yang terkumpul yang terdiri dari catatan lapangan dan komentar peneliti, gambar foto, dokumen berupa laporan, biografi, artikel, dan sebagainya diatur, diurutkan, dikelompokkan, diberi kode, dan kemudian dikategorisasikan. Pengorganisasian dan pengelolaan data tersebut minimal dapat menemukan tema dan proposisi sebagai teori substantif. Mengingat pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, maka antara kegiatan pengumpulan data dan analisis data tidak mungkin dipisahkan satu sama lain, berlangsung simultan atau serempak dan terus menerus (Noeng Muhajir, 1990), sebelum, selama dan sesudah pengumpulan data. Grounded Theory. yaitu suatu teori yang diperoleh melalui studi fenomena yang mewakilinya. Karena itu, teori ini lalu diketemukan, dikembangkan, dan juga diuji secara professional melalui pengumpulan data yang sistematis, di samping itu juga dianalisis data tersebut yang berkaitan dengan fenomena yang diteliti (Anselm Strauss, Juliet Corbin yang disadur oleh Djunaidi Ghoni; 1997:17), melalui prosedur coding, yang terdiri dari tiga tahapan : open coding; axial coding; dan selective coding. 63 Kerangka Analisis Penelitian olahraga tradisonal Menyipet dan Balogo di Masyarakat Kota Palangka Raya Fokus Teori Utama - Teori Tindakan Sosial Teori Pendukung : - Teori Budaya - Teori Interaksionis Simbolik - Teori Fenomenologi A.1. Kegiatan Olahraga Tradisional Menyipet dan Balogo di Masyarakat Kota Palangka Raya : - festival - Invitasi - Suplemen Kurikulum - Pengembangan 2. Pengembangan Kemamuan Motorik : - Kemampuan Tehnik - Kemampuan Strategi - Kemampuan Taktik 3. Pendidikan Budaya: - Sikap Sportivitas - Sikap Kesatria 4. Pengembangan Keterampilan Psikososial: - Komunikasi - Empati B. Kendala – kendala dalam Kegiatan Olahraga Tradisional Meyipet dan Balogo di Masyarakat Kota Palangka Raya : - Internal Analisis Grounded - Eksternal. Temuan-temuan PROPOSISI 3.9. Keabsahan Data Penelitian 64 Untuk memperoleh keabsahan hasil penelitian, penulis menggunakan langkahlangkah sebagaimana yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba. Menurut Lincoln dan Guba (1985), ada empat kriteria utama validitas guna menjamin keabsahan hasil penelitian kualitatif, yaitu: standar kredibilitas, standar transferabilitas, standar dependabilitas dan standar konfirmabilitas (Faisal dalam Baharuddin, 1990: 31-33) : a. Standar kredibilitas adalah terpenuhinya persyaratan validitas internal, yang ditempuh dengan mengamati, mencermati, mengenali secara langsung, serta memahami dengan baik dan mendalam bagaimana interaksi sosial dalam kegiatan olahraga tradisional di lokasi penelitian dalam jangka waktu yang relatif lama. Untuk mengecek kebenaran hasil penelitian dilakukan triangulasi data, (sumber, teori dan metode), diskusi yang cukup panjang dengan berbagai kalangan (peer debriefing) dalam rangka negative case analysis, member checking; b. Standar transferabilitas adalah terpenuhinya validitas eksternal, yang dilakukan dengan mencari sebanyak mungkin gambaran tentang konteks yang melingkupi obyek penelitian; c. Standar dependabilitas adalah terpenuhinya persyaratan reliabilitas, yang dilakukan dengan mencermati padu tidaknya suatu konsep, kategori, atau. penarikan kesimpulan dengan data yang tersedia termasuk kenyataan yang ada di lapangan itu sendiri; d. Standar konfirmabilitas, yaitu terpenuhinya persyaratan obyektivitas, yang dilakukan dengan mencermati padu tidaknya hasil penelitian secara keseluruhan dengan data dan kenyataan lapangan. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 5.1. Festival dan Upaya Pelestarian Festival yang berkaitan dengan budaya di Palangka Raya dikenal dengan Festival Budaya Isen Mulang (FBIM). Festival ini dilaksanakan setahun sekali bertepatan dengan hari ulang tahun provinsi Kalimantan Tengah yaitu pada setiap tanggal 19-24 bulan Mei. Adapun yang difestivalkan adalah aneka ragam kesenian dan budaya masyarakat Kalimantan Tengah, maupun masyarakat pendatang namun bermukim atau penduduk kota Palangka Raya, seperti suku Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat). Adapun acara di festival ini dimulai dari acara pembukaan yaitu diisi acara pawai yang diikuti ribuan orang dari berbagai kabupaten kota di provinsi Kalimantan Tengah, Lomba membuat makanan tradisional, lomba tari, permainan tradisional dan juga pemilihan putra/putri pariwisata. Memperhatikan fenomena mengenai budaya tradional yang tercermin melalaui olahraga tradisionalnya menyipet dan balogo yang ada saat ini di kota Palangka Raya, sebagai suatu bentuk penghargaan masyarakat kota Palangka Raya terhadap kebudayaannya yang sarat dengan nilai-nilai luhur, norma-norma dan berbagai aturan yang mengendalikan segala tindakan manusia terkandung didalamnya. Norma-norma dan aturan-aturan yang mengendalikan tindakan manusia dan yang memantapkan stuktur sosial dinilai sebagai hasil interpretasi si aktor terhadap kejadian-kejadian yang dialaminya. Berikut diagram alir mengenai Festival Budaya Isen Mulang dilaksanakan. Globalisasi, Kemajuan Teknologi, Pendidikan Budaya lokal yang hampir punah (Menyipet dan Balogo) Upaya Pelestarian dan Pengembangan 65 Sarat dengan ajaran dan nilai-nilai luhur Pelaksanaan Festival Budaya Isen Mulang Diagram 5.1. Alasan Penyelenggaraan Festival Budaya Isen Mulang Temuan Penelitian 1. Festival sebagai ajang atau media untuk pelestarian budaya masyarakat kota Palangka Raya. 2. Festival merupakan cerminan budaya perilaku masyarakat Dayak tempo dulu dan patut untuk dipelajari sebagai budaya leluhur. Proposisi : Melalui festival, dapat dilestarikan, dipelajari dan sebagai cerminan perilaku masyarakat masa lalu dan budaya masa lalu. 5.1.1. Menyipet Pada kehidupan yang lalu, menyipet bukanlah sebagai salah satu jenis olahraga tradisional, namun menyipet sebagai salah satu jenis pekerjaan yang bertujuan untuk menambah variasi jenis lauk atau sekaligus untuk membasmi hama tanaman (berburu babi). Menyipet merupakan salah satu senjata bagi orang Dayak, disamping untuk melindungi diri dari serangan musuh juga sebagai senjata untuk berburu. Oleh karena itu setiap anak laki-laki maupun perempuan sangat tertarik dan diajari oleh orang tuanya dan khususnya bagi anak laki-laki selalu diajak oleh orang tunya untuk berburu dengan alat sipet. Bakan senjata sipet ini sangat ditakuti oleh orang-orang Belanda pada era penjajahan Belanda dulu, karena penggunaan sipet tidak menimbulkan suara, tetapi jika terkena sudah bisa dipastikan akan mati. Hal ini dapat terjadi karena diujung sipet telah dibubuhi racun yang mematikan. Dalam kaitanya dengan upaya pelestarian menyipet, yang salah satu upayanya adalah melalui festival menyipet pada akhirnya berpulang kepada individu dari peserta itu sendiri. Karena menyipet dimainkan oleh perorangan, satu-satu, sehingga sangat tergantung pada kemampuan individu. Mereka sudah memiliki peralatan untuk menyipet, mereka mau mematuhi norma-norma atau tidak, mereka bermain jujur sportif atau tidak. Hal iinilah yang diikupas oleh Parsons bahwa (a) individu benar-benar memiliki kebebasan untuk memilih alat dan tujuan yang akan dicapai dan lebih mementingkan keuntungan (paham kaum ulititarism); (b) pilihan-pilihan individu dalam bertindak sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya (paham positive anti intelektual); (c) pilihan-pilihan individu dalam bertindak diatur dan dipengaruhi oleh norma dan nilai-nilai bersama yang telah disepakati bersama (paham kaum idealisme). Posisi pemikiran Parsons tentang tindakan sosial adalah memadukan ketiga paham tersebut (Hamilton, 1990). 1. Hutan yang semakin menipis 2. Kemajuan Teknologi Dulu : Menyipet sebagai Mata Pencaharian (Berburu) dan membela diri 1. Pendidikan 2. Tidak dapat menjadi Jaminan masa depan 3. Tidak ada kreativitas, membosankan, monoton. Menyipet sebagai Olahraga Tradisional yang sarat dengan nilai66 nilai luhur Perkembangan Olahraga Ttradisional Menyipet tidak maksimal (ada tetapi tidak eksis) Diagram 5.2. Diagram Alir Olahraga Tradisional Menyipet Temuan Penelitian. 1. Menyipet dulu untuk berburu atau membela diri, sipet sebagai alat untuk bekerja, namun sekarang sipet sebagai alat untuk berolahraga. 2. Olahraga tradisional menyipet dalam kondisi mati suri, sebab tidak ada lagi aktivitasnya, baik itu di sekolah, di kampung-kampung atau di kompleks perumahan, maupun di masyarakat, kecuali menjelang ada festival saja. 3. Masyarakat kota Palangka Raya kurang peduli pada olahrga tradisional menyipet dan Balogo. 4. Faktor yang membuat generasi muda atau remaja tidak tertarik dengan menyipet adalah tidak ada unsur kreativitas, memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, serta perlu latihan yang terus menerus, konsentrasi tinggi, dan membosankan. 5. Atlit olahraga tradisional menyipet rata-rata sudah berumur 30 tahun lebih, dan kaderisasi kurang berjalan dengan baik. Proposisi minor Kemajuan teknologi, dan pendidikan menjadi faktor penyebab terjadinya pergeseran dan perubahan perilaku masyarakat terhadap penggunaan alat berburu (sipet) 5.2.1. Balogo Sebagaimana olahraga tradisional menyipet, balogo merupakan jenis permainan anak-anak tempo dulu sebagai pengisi waktu sehabis panen padi atau pada acara-acara adat, namun sekarang permainan seperti itu anak-anak sudah tidak mau lagi melakukan, mereka lebih asyik main permainan elektronik (game di computer). Sebagai permainan team, maka unsur kerja sama, kerja keras, taat sama wasit, sangsi atau hukuman dari wasit jika melanggar, semangat seportivitas, dari para pemain dan wasit serta official merupakan norma yang harus dipatuhi. Permainan balogo merupakan suatu permainan yang sangat menghormati dan mematuhi apa yang telah disepakati bersama. Jadi sebelum permainan balogo dimulai, team dari masing-masing regu, bersama dengan wasit, official berunding mengenai berbagai aturan yang harus dipatuhi bersama. Jadi pada permainan balogo sangat menjunjung tinggi azaz musyawarah mufakat. Pada permainan balogo sarat dengan berbagai ajaran kebaikan antara lain ajjaran kerjasama, ajran kejujuran, ajaran tentang menyelesaikan masalah dengan musyawarah mufakat dan ajaran kejujuran. Karena dalam kehidupan bersama dalam masyarakat tidak menutup kemungkinan nilai-nilai budaya tersebut tadi sangat diperlukan, agar kehidupan bermasyarakat menjadi harmonis. Atas alasan itulah maka pemerintah sangat mendukung permainan ini untuk dilestarikan. Hal itulah yang menjadi salah satu dari tujuan festival balogo dilaksanakan. Sebagaimana pada menyipet, festival balogopun juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Disamping bertujuan agar balogo menjadi tetap eksis (para remaja juga 67 menyenagi hal ini), juga pada permainan ini secara tidak langsung terjadi proses penanaman nilai-nilai budaya sebagaimana tersebut diatas pada para pemainnya, sehingga para pemain balogo tertanam jiwa kejujuran, sikap tidak egois, sikap kerjasama, sikap kerja keras dan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan persoalan. Adapun konsep tentang tujuan dalam suatu kegiatan tersebut dijelaskan dalam teori tindakan Parsons yang menyatakan bahwa segala sesuatu tentu memiliki tujuan, dan diperlukan media, situasi dan kondisi untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu keberadaan atau dukungan sarana dan prasarana serta dana sangat diperlukan dalam mencapai tujuan dari kegiatan tersebut. Simbol-simbol tersebut sebagai media interaksi antar manusia sehingga keadaan ini dipelopori dengan menguatnya perspektif interaksionisme simbolik. Tokoh seperti George H. Mead, Herbert Blumer, Erving Goffman dan Howard Becker. Dapat dijelaskan bahwa hubungan sosial bukanlah barang yang sekali jadi, melainkan dibentuk dengan interpretasi para aktor yang mengambil makna di dalamnya. Interaksi bermakna aktor saling mengambil catatan, saling mengkomunikasikan dan saling menginterpretasikan sepanjang terus berjalan. Oleh karena itu, hampir semua bentuk interaksi sosial adalah simbolik. Proses interaksi simbolik berarti bahwa dalam membuat keputusan dan berkaitan langsung dengan aliran tindakan yang terus menerus. Temuan : 1. Tata aturan permainan dalam balogo tergantung pada kesepakatan antara pemain, wasit, official dan manager. 2. Nilai budaya yang terkandung dalam permainan balogo adalah kesederhanaan, keterampilan, kerja keras, kerja sama, semangat pantang mundur dan sportivitas. Proposisi Minor : Permainan balogo sangat menghargai azaz musyawarah dan sarat dengan ajaran-ajaran kearifan lokal. 5.2.2. Invitasi Menyipet dan Balogo Invitasi untuk olahraga tradisional menyipet dan balogo di kota Palangka Raya diadakan setiap tahun sekali menjelang hari ulang tahun kota Palangka Raya. Dalam kesempatan ini pemerintaha kota Palangka Raya sekaligus juga mencari bibit unggul yang akan mewakili pemerintahan kota dalam festival budaya yang diselenggarakan di pemerintahan provinsi Kalimantan Tengah pada bulan Mei setiap tahunnya juga dalam rangkaian ulang tahun atau hari jadi provinsi Kalimntan Tegah. Oleh karena itu semua club menyipet yang ada di kota Palangka Raya sudah mempersiapkan diri untuk melakukan latihan dalam rangka meningkatkan ketrampilan mereka baik menyipet maupun balogo. Invitasi olahraga tradisional menyipet dan balogo dilakukan dalam rangka upaya pemerintah untuk melestarikan budaya yang dimiliki khususnya oleh masyarakat Dayak di Palangka Raya. Upaya pelestarian dalam bentuk melakukan invitasi yang nantinya bermuara pada festival budaya sebagau usaha kerja keras pemerintah untuk pelestarian budaya, walaupun budaya tersebut kurang disenangi oleh generasi muda. Para generasi muda bukannya tidak bisa melakukan tetapi sekedar bisa dan mengetahui bahwa menyipet dan balogo itu adalah salah satu bentuk permainan olahraga tradisional nenek moyang mereka. Hal ini sebagai upaya pembentukan karakter (caracter building) masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah pada umumnya dan khususnya di kota Palangka Raya. Disampng itu invitasi olahraga tradisional menyipet dan balogo sebagai bentuk estafet penanaman nilai-nilai atau pembangunan karakter masyarakat Dayak di kota Palangka Raya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh George H. Mead, Erving Goffman dan George Homans dalam kajian interaksi onisme simbolik. Jadi bukan hanya sekedar olahraga tradisional menyipet dan balogo yang dilestarikan akan tetapi didalam kedua olahraga tersebut mengandung makna-makna atau ajaran nilai-nilai budaya yang luhur dari leluhur 68 mereka yang perlu untuk diturunkan kepada mereka. Jadi melalui upaya pelestarian budaya atau olahraga tradisional berarti juga melestarikan nilai-nilailuhur dari leluhur mereka. Kandungan nilai-nilai luhur dalam kedua olahraga tradisional tersebut merangsang, mendorong dan memotivasi mereka untuk tetap terus berlatih berinvitasi walaupun apapun yang menjadi tantanganya. Sebab club-club menyipet dan club balogo di kota Palangka Raya keberadaannya jauh dari baik, sayangnya semangat dan motivasi sebagaimana tersebut di atas hanya dimiliki oleh pemain atau atlit menyipet maupun balogo yang minimal sudah berusia di atas 30 tahun. Kendala yang lain lagi adalah pemerintah kurang memperhatikan dan membantu keberadaan mereka. Mereka tidak pernah memperoleh bantuan dana, lapangan berlatih juga tidak ada. Dana operasional mereka peroleh dari iuran para anggota. Mereka bergerak untuk berlatih menjelang diadakanya invitasi. Itupun belum terjadwal dan terkoordinir dengan baik. Jika tidak menghadapi festival juga tidak ada latihan dan artinya tidak ada lagi kedengaran semangat menyipet dan balogo. Para remaja atau siswa hanya berlatih untuk mengisi waktu senggang di sekolah, itupun tidak disertai dengan semangat yang tinggi, kaena yang penting bisa dan mengerti tata ara permainan. Sebagai suatu kegiatan olahraga yang melibatkan orang banyak, sudah tentu koordinasi memiliki peran yang sangat penting dan menentukan kebehasilan kegiatan tersebut. Mengingat kegiatan invitasi tersebut suatu ajang seleksi dari club-club menyipet dan balogo yang lebih dari satu, maka Lemahnya koordinasi antar instansi dapat berdampak buruk pada kualitas atlit olahraga. Lemahnya koordinasi antar instansi menyebabkan ketidakpastian suatu kegiatan, dan iin cukup berbahaya. Terjadi dua sisi semangat yang berbeda tujuan atau sasaran yang ingin cicapai, di satu sisi memiliki semangat juang yang tinggi, dorongan untuk belajar yang sangat tinggi sebagimana leluhur merekaa, namun di ssi yang lain adalah semangat menyerah, yang didasari oleeh melemahnya semangat mereka. Sebab para siswa olahraga tradisional menyipet dan balogo tidak menarik mereka, belajarnya sulit dan memerlukan daya nalar yang tinggi. Invitasi merupakan ajang untuk mengukur kemampuan yang dimiliki oleh setiap pemain baik itu menyipet maupun balogo. Invitasi menyipet dan balogo yang diselenggarakan di kota Palangka Raya merupakan kegiatan rutin setiap tahun. Sebagaimana kegiatan festival, kegiatan invitasi jelas memiliki tujuan, yaitu pertama untuk memilih caloncalon pemain yang mewakili kota Palangka Raya dalam permaian menyipet dan balogo dalam festival budaya nantinya, juga sebagai jang mencari bibit-bibit unggul atlit menyipet. Sayangnya kegiatan ini tampak monoton, kurang sosialisasi, sehingga kurang diketahui oleh masyarakat, tidak memiliki fasilitas atau lapangan pertandingan yang memadai, sehingga invitasi berjalan tidak maksimal. Kondisi ini sebagaimana dikupas dengan jelas dalam teori tindakan Parsons, bahwa untuk mencapai tujuan dari setiap tindakan harus didukung oleh sarana atau fasilitas yang memadai (termasuk dukungan dana), dan situasi yang mendukung. Sementara itu kurangnya dukungan sarana atu fasilitas seperti lapangan yang memadai, sebagai simbol bahwa kegiatan invitasi tidak berjalan maksimal dan terdapat kurang kesiapan yang memadai. Menyipet Terbatasnya Dukungan/Fasilitas Invitasi 69 Balogo 1. Ajang Seleksi Atlit 2. Evaluasi atlit 3. Mencari bibit-bobit atlit Festival Diagram 5.3. Invitasi Menyipet dan balogo Temuan Penelitian 1. Terdapat 5 club menyipet di kota Palangka Raya, dan setiap kecamatan memiliki 1 club menyipet, demikian juga dengan balogo. 2. Setiap club menyipet maupun balogo, tidak memiliki lapangan dan sarana latihan yang memadai, mereka berlatih di samping rumah 3. Terbatasnya perhatian dan dukungan dana, fasilitas dari Pemerintah terhadap clubclub yang ada. 4. Invitasi menyipet dan balogo diadakan menjelang hari ulang tahun kota Palangka Raya, selain itu tidak pernah diadakan invitasi. 5. Invitasi menyipet maupun balogo bertujuan untuk memilih pemain dalam rangka menghadapi festival budaya. 6. Invitasi menyipet, aturan main, wasit belum terkoordinir dengan baik, belum tersosialisasi secara merata. 7. Generasi muda tidak menyenangi balogo, katanya itu sudah tidak zamannya lagi. 8. Para pemain menyipet maupun balogo rata-rata sudah berusia 30 tahun lebih. Proposisi Minor Minimnya perhatian, dukungan dana, sarana prasarana olahraga, lapangan, sosialisasi, dan invitasi mendorong olahraga menyipet dan balogo mati suri dan kurang disenangi generasi muda. 5.2.3. Kurikulum Menyipet dan Balogo Disdikpora mempunyai tanggung jawab sesuai dengan amanat Undang undang Nomor 3 Tahun 2005, tentang Keolahragaan Nasional, bahwa olahraga tradisonal yang ada harus tetap dilestarikan. Hal ini dijabarkan lebih lanjut sebagai awal dan pengembangan pendidikan kearifan lokal dalam rangka pembentukan karakter bangsa. Dalam rangka mencapai itu semua, pemerintah kota Palangka Raya khususnya Dinas Pendidikan memasukan olahraga tradisional menyipet dan balogo ke dalam kurikulum SMA dan SMK sebagai muatan lokal. Hal ini sebagai bentuk atau upaya pemerintah untuk melestarikan menyipet dan balogo sebagai olahraga tradisional yang patut untuk dipelajari dan dikuasai oleh siswa yang kemudian dikembangkan. Secara umum tujuan program pendidikan muatan lokal adalah mempersiapkan murid agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang lingkungannya serta sikap dan perilaku bersedia melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam, kualitas sosial, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan nasional maupun pembangunan setempat. Tujuan penerapan muatan lokal pada dasarnya adalah sebagai (1) bahan pengajaran lebih mudah diserap oleh murid., (2) sumber belajar di daerah dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan. (3) murid dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah yang ditemukan di sekitarnya., (4) murid lebih 70 mengenal kondisi alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya yang terdapat di daerahnya. Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar maka besar kemungkinan murid dapat mengamati, melakukan percobaan atau kegiatan belajar sendiri. Belajar mencari, mengolah, menemukan informasi sendiri dan menggunakan informasi untuk memecahkan masalah yang abadi lingkungannya merupakan pola dasar dari belajar. Belajar tentang lingkungan dan dalam lingkungan mempunyai daya tarik tersendiri bagi seorang anak. Makin sering murid mendengar dan melihat maka makin besar dorongan untuk lebih melihat dan mendengar. Lingkungan secara keseluruhan mempunyai pengaruh terhadap cara belajar siswa. Semakiin sering anak melihat menyipet dan balogo dipertandingkan maka hal tersebut semakin menjadi dorongan pada anak untuk lebih tertarik dan mempelajari hal tersebut. Namun fenomena mengenai menyipet dan balogo tidak demikian, sebab hampir tidak pernah dilihat ada pertandingan atau invitasi menyipet dan balogo di kota Palangka Raya, kecuali jika sudah dekat dengan hari ulang tahun kota Palangka Raya atau sudah dekat dengan bulan Mei atau Festival Budaya Isen Mulang. Anggapan pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan bahwa dengan memasukkannya olahraga tradisional menyipet dan balogo ke dalam kurikulum muuatan lokal tugasnya sudah selesai dan sudah cukup sebagai upaya pelestarian buudaya lokal atau olahraga tradisional, itu merupakan anggapan yang salah. Seharusnya dibarengi dengan kebijakan pertandingan antar pelajar mengenai menyipet dan balogo, bantuan diklat bagi guru olahraganya, sehingga nantinya menjadi bersemangat dan memiliki kemampuan yang profesional dalam mengajar menyipet dan balogo. Temuan Penelitian 1. Pemerintah kota Palangka Raya melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan telah memasukan olahraga tradisional menyipet dan balogo ke dalam kurikulum muatan lokal. 2. Pemasukan olahraga tradisional menyipet dan balogo kedalam kurikulum muatan lokal tidak disertai dengan kebijakan memberikan DIKLAT mengenai menyipet dan balogo, dukungan sarana prasarana menyipet dan balogo secara memadai, dan pertandingan atau invitasi antar pelajar tentang hal tersebut. 3. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kota Palangka Raya belum pernah mengadakan pekan olahraga antar pelajar tentang olahraga tradisional menyipet dan balogo. Proposisi Minor Memasukan olahraga tradisional menyipet dan balogo ke dalam kurikulum muatan lokal sebagai bentuk upaya pelestarian budaya lokal belum cukup tanpa disertai dengan pemberian DIKLAT, dukungan sarana prasarana menyipet dan balogo secara memadai, dan pertandingan atau invitasi antar pelajar. 5.2.4. Pengembangan Menyipet dan Balogo Menyadari bahwa olahraga trdisional menyipet dan balogo memiliki kandungan nilai-nilai budaya yang luhur dan memiliki keteladanan sosial yang tinggi dari ajaran olahraga tersebut, mka pemerintah melalui invitasi, memasukannya ke dalam kurikulum muatan lokal dan festival berupaya keras untuk melestarikannya dan mengembangkan olahraraga tradisional tersebut. Memperhatikan bahwa olahraga tradisional menyipet dan balogo tersebut sudah dimasukkan ke dalam kurikulum muatan lokal, sehingga sudah seharusnya hal tersebut menjadi sesuatu yang rutin dipelajari oleh siswa, namun tidak demikian faktanya. Hal ini disebabkan peralatan olahraga menyipet dan balogo kurang tersedia atau dengan kata lain kebijakan memasukkan menyipet dan balogo ke dalam kurikulum muatan lokal tidak disertai dengan kebijakan lain dari pemerintah yang mendukung pelaksanaan kurikulum muatan lokal tersebut. Akibatnya pelaksanaan olahraga tradisional menyipet dan balogo di sekolah tidak 71 berjalan sebagaimana mestinya. Artinya upaya pelestarian dan pengembangan melalui sekolah kurang berhasil. Invitasi menyipet dan balogo dilakukan selalu berkaitan dengan hari ulang tahun suatu instansi, belum disusun secara organisatoris dan sistematis sebagaimana layaknya organisasi olahraga. Namun invitasi dan festival yang dilakukan sebagai upaya pengembangan dari olahraga tradisional tersebut dengan harapan nantinya bisa dilaksanakan suatu even internasional. Sebagaimana yang terjadi di Festival Budaya Isen Mulang yang memang menamplkan berbagai acara seni, ketrampilan dan berbagai budaya masa lalu, dan juaranya nantinya akan diikutkan ke dalam Internasional Borneo Sipet Tournament (BOST) yang diselenggarakan di Pontianak Provinsi Kalimantan Barat yang juga akan dipromosikan di tingkat ASEAN Tourism Forum (ATF). Secara konsep langkah-langkah pengembangan olahraga tradisonal menyipet dan balogo sudah cukup baik, mulai dari memasukan olahraga tradisional menyipet dan balogo kedalam kurikulum, kemudian melakukan invitasi, dari invitasi berlanjut ke festival, juara di festival akan mewakili provinsi dan bertanding di tingkat antar provinsi, yaitu Internasional Borneo Sipet Tournament (BOST), namun demikian pesertanya sudah termasuk Malaysia, Brunei dan Philipina. Berangkat dari BOST kemudian mengikuti di kejuaraan tingkat ASEAN Tourism Forum (ATF). Temuan Penelitian : 1. Olahraga Tradisional Menyipet dn Balogo sudah masuk kedalam rangkaian rencana pengembangan yang dimulai dari sekolah, invitasi, festival budaya, International Borneo Sipet Ttournament (BOST), dan terakhir ATF. 2. Secara konseptual rencana pelestarian menyipet dan balogo di sekolah sudah berjalan cukup baik, namun dalam pelaksanaan masih berjalan kurang baik, yang disebabkan oleh kurangnya perhatian dan koordinasi antar instnsi. Proposisi Minor Perhatian dan koordinasi merupakan kunci sukses dalam pelaksanaan kegiatan budaya atau olahraga tradisional, mulai dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional, dan hal tersebut sebagai upaya pengembangan. 5.3. Pengembangan Kemampuan Motorik Olahraga sebagai bentuk gerak fisik dari pamnusia yang dikenal dengan aktivitas jasmani yang didesain uuntuk meninngkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan ketrampilan motorik, pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif dan kecerdasan emosi. Salah satu tujuan berolahraga adalah mengembangkan aktivitas jasmani dimaksud adalah pengembangan kemampuan motorik (motoric ability). Adapun kemampuan motorik itu sendiri adalah kemampuan gerak dasar dari seseorang yang berkaitan dengan pelaksanaan dan peragaan suatu ketrampilan yang relatif melekat. Jadi jika hal tersebut dilakukan pada olahraga tradisional menyipet dan balogo, maka seorang atlit menyipet dan balogo harus memiliki dan mengembangkan kemampuan gerak dasar dari menyipet dan balogo tersebut. Kemamppuan terhadap keberhasilan suatu permainan olahraga. Oleh karena itu setiap atlit harus memiliki dan menguasai kemampuan teknik dari jenis olahraga yang dimainkaannya. 5.3.1. Kemampuan Teknik Teknik dasar adalah faktor utama selain kondisi fisik, taktik, dan mental seorang pemain. Sipet adalah senjata jarak jauh yang mengandalkan kemampuan pengolahan napas si pemakai senjata tersebut sebagai pemicu utamanya. Tentu saja ada teknik pengolahan tersendiri yang harus dikuasai penyipet, yang berbeda dengan pengolahan napas untuk kebutuhan lain. Bahwa napas adalah sumber daya energi yang bisa dimanfaatkan manusia untuk kebutuhan-kebutuhan yang bahkan sebelumnya tidak pernah terbayangkan. 72 Tekhnik pernapasan akan berhubungan langsung dengan posisi tubuh penyipet. Lazimnya, Sipet digunakan dengan posisi tubuh berdiri atau berjongkok. Kedua posisi ini sangat memudahkan penyipet memampatkan napasnya dan meledakkannya atau meniup dengan seketika melalui mulut, mendorong damek yang ada pada lubang sipet. Begitupun, cara memegang sipet sangat berpengaruh akurasi tembakan. Cara yang benar memegang sipet adalah kedua telapak tangan harus menghadap ke atas. Kedua telapak tangan itu sebaiknya berdekatan atau bersentuhan. Tingkat konsentrasi yang tinggi pada sasaran tembak sangat dibutuhkan. Menyipet, sebagaimana halnya sebuah keterampilan, adalah kemampuan yang diraih oleh kebiasaan atau latihan. Semakin banyak berlatih, kemampuan menyipet tentu akan semakin tinggi. Kemampuan teknik akan berkembang dengan sendirinya seirama dengan kontinyuitas latihan, uji tanding guna untuk meningkatkan jam terbang dan menambah pengalaman. Oleh karena itu kegiatan seperti invitasi olahraga itu penting. Demikian juga dengan kemampuan teknik balogo yang harus dikuasai dan dikembangkan adalah posisi kuda-kuda dan siap memukul champa. Posisi memegang champa, melatih konsenttrasi agar logo pasang terkena saat dipukul oleh logo serang, atau minimal mendekati logo pasang. Kemampuan teknik yang dapat diperoleh dan dikembangkan jika berlatih terus secara kontinyu antara lain : a. Mengembangkan daya nalar, kreatif dan pengambil keputusan yang tepat. b. Menganalisis kesiapan fisik, teknik dan mental c. Mengendalikan emosi, d. Mencegah cidera. e. Mengantisipasi kekuatan dan kelemahan lawan. Kemampuan motorik memang harus dikembangkan melalui latihan-latihan secara kontinyu, sehingga kelenturan otot tetap bisa terjaga, tidak hanya pada saat mau bertanding saja, walaupun dalam kondisi, dukungan dana, fasilitas yang terbatas. Dalam masalah pengembangan kemampuan teknik, tidak bisa ditinggalkan peran dari pelatih. Pelatih sudah tentu mengetahui tentang kualitas kemampuan teknik dari masing-masing pemainnya. Pengembangan kemampuan motorik melalui latihan-latihan rutin itu berarti mengembangkan hubungan atau interaksi dengan orang lain, minimal sesama pemain. Latihan bersama, disamping meningkatkan kemampiuan motorik, kemampuan teknik, namun juga dapat menciptakan peningkatan kerja sama team (keterpaduan) dalam team atau kelompok. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh George Herbert Mead, Charon menjelaskan hubungan sosial dengan orang lain bukan berarti sederhana, melainkan hubungan sosial bersifat kompleks. Sebab pada saat pemain melakukan hubungan sosial bukan hanya mengembangkan bahasa atau simbol-simbol yang dimaknai sama, tetapi, juga mengambil peran (role taking) dari orang lain dengan tujuan untuk memahami dan komunikasi. Tentu dalam proses mengambil peran tentu tidak bisa lepas dari faktor emosional. Dalam hal ini pemain tidak hanya mengerti pemain se team dalam suatu permainan, namun juga berupaya untuk merasakan sebagaimana orang lain lakukan itu. Kemampuan untuk mengambil peran dalam interaksi sosial secara bersama ini menjadikan hubungan sosial sangat kompleks dan hampir tidak pernah dapat diramalkan secara sempurna. 1. Latihan bersama 2. Pertandingan persahabatan. 3. Invitasi Keterbatasan dana, Fasilitas, peralatan Menyipet dan balogo 73 Intruksi Pelatih 1. Peningkatan Kemampuan Teknik. 2. Peningkatan kemampuan kerjasama/kekompakan Diagram 5.4. Peningkatan Kemampuan Teknik Temuan Penelitian : 1. Para pemain sudah memiliki kemampuan teknik dalam olahraga tradisional menyipet maupun balogo dan terus ditingkatkan melalui latihan. 2. Para pemain di club masing-masing sudah berlatih secara teratur dan kontinyu ditengah kondisi dana dan sarana parasarana latihan yang seadanya. 3. Belum dimilikinya sanggar atau Gedung Olahraga dan Seni (GORSENI) yang khusus untuk berlatih olahraga tradisional berdampak pada motivasi atau semangat berlatih dan bertanding atlit, dan atlit berlatih pada bulan-bulan mendekati bulan Mei. Proposisi Minor Minimnya fasilitas atau sarana prasarana bukan hambatan untuk meningkatkan kemampuan teknik, sepanjang didukung oleh semangat atau motivasi yang tinggi untuk berlatih, bertanding dan menjadi juara. 5.3.2. Kemampuan Strategi Kemampan strategi adalah suatu siasat atau akal yang dirancang sebelum pertandingan berlangsung dan digunakan oleh pemain maupun pelatih untuk memenangkan pertandingan yang dilaksanakan secara sportif dan sehat. Strategi mengacu pada gerakangerakan yang dibutuhkan dalam pertandingan. Kedudukan strategi dalam olahraga memiliki makna sebagai pendukung aspek taktik olahraga. Maka antara taktik dan strategi memiliki perbedaan, akan tetapi dalam pelaksanaannya keduanya saling berkaitan serta mendukung untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu memenangkan pertandingan. Menjalankan strategi permainan tidak bisa lepas dari kondisi kebugaran dan semangat pemain. Kondisi kebugaran pemain merupakan persyaratan mutlak yang harus dijaga oleh pemain, karena menentukan kualiitas permainan dan juga dalam menjalankan suatu strategi. Demikian pula denggan faktor psikologi yang terimplementasin dalam bentuk motivasi, semangat bertanding, dan mental juara. Kondisi ini yang harus terus dimonitor dan menjadi alasan pemilihan pemain. Ciri-ciri suatu kemampuan strategi dalam permainan khususnya dalam olahraga tradisional menyipet dan balogo antara lain : a. Siasat yang disusun sebelum pertandingan dimulai. b .Penyusunan siasat didasari kondisi, tempat serta sistem yang dipakai. c. Mengutamakan pada hasil observasi kekuatan lawan. d. Keberadaan pelatih lebih berperan daripada si atlit. Maka dari itu seorang Pelatih harus memperhatikan ke 4 hal tersebut, dan memerlukan kerjasama dengan ilmuwan berbagai disiplin ilmu, disamping tugas pokoknya meningkatkan ketrampilan dalam segii tehnik, taktik, dan strategi pertandingan. Strategi mengacu pada gerakan-gerakan yang dibutuhkan dalam pertandingan. Kedudukan strategi dalam olahraga memiliki makna sebagai pendukung aspek taktik olahraga. Antara taktik dan 74 strategi memiliki perbedaan, akan tetapi dalam pelaksanaannya keduanya saling berkaitan serta mendukung untukmencapai tujuan yang sama, yaitu memenangkan pertandingan. Strategi dalam permainan balogo secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai strategi penyerangan. Strategi penyerangan diartikan sebagai suatu siasat yang dijalankan oleh perorongan, kelompok,maupun tim terhadap lawan dengan tujuan memimpin dan mematahkan pertahanan dalam rangka memenangkan pertandingan secara sportif. Strategi penyerangan dapat dibedakan menjadi : a. Strategi menghantam logo pasang 1 dan kena sampai logo 3. b.Strategi meletakkan logo serang dekat dengan logo pasang, dan bisa menghantam semua logo pasang. c. Strategi bermain cepat. Kebugaran, semangat bermain, motivasi, mental juara Pelatih + Pakar Team (Official) Menyipet dan Balogo Kemampuan Strategi Diagram 5.5 : Diagram Alir Kemampuan Strategi Temuan Penelitian : 1. Club-club menyipet maupun balogo sudah mempersiapkan dengan matang melalui latihan cukup, latih tanding cukup, istirahat cukup, persiapan peralatan sipet, damek yang sesuai sudah cukup baik, konsentrasi yang kuat (pikiran fokus). 2. Dalam invitasi ataupun festival penyipet dari kota Palangka Raya menggunakan damek yang superior, dan sering menjadi juara. 3. Strategi team menyipet di palangka Raya adalah berdiri tegak, posisi kuda-kuda atau bisa saja membungkuk, memegang sipet dengan benar, dan kekuatan tiupan, serta konsentrasi. 4. Strategi bermain team balogo Palangka Raya dengan permainan cepat, dan meletakkan logo serang berdekatan dengan logo pasang. Proposisi Minor Konsentrasi tinggi, penggunaan peralatan yang terbaik, didukung dengan kemampuan teknik, taktik dan kemampuan strategi yang tepat merupakan media untuk menjadi pemenang dalam setiap permainan atau perlombaan. 5.3.3. KemampuanTaktik Hakekat olahraga merupakan kegiatan fisik yang mengandung sifat permainan dan berisi perjuangan melawan diri sendiri atau dengan orang lain atau konfrontasi dengan unsur-unsur alam. Kegiatan olahraga meliputi gaya pertandingan, maka kegiatan itu harus dilaksanakan dengan semangat atau jiwa sportif. Pada olahraga kelompok mendorong manusia saling bertanding dalam suasana kegembiraan dan kejujuran. Taktik adalah suatu siasat atau pola pikir tentang bagaimana menerapkan teknik-teknik yang telah dikuasai 75 didalam bermain untuk menyerang lawan secara sportif guna mencari kemenangan. Atau dengan kata lain taktik adalah siasat yang dipakai untuk menembus pertahanan lawan secara sportif sesuai dengan kemampuan yang telah dimiliki oleh pemain atau atlit. Pada hakikatnya, penggunaan taktik dalam suatu permainan olahraga adalah suatu usaha mengembangkan kemampuan berpikir, kreativitas, serta improvisasi untuk menentukan altenatif terbaik memecahkan masalah yang di hadapi dalam suatu pertandingan secara efektif, efesien, dan produktif dalam rangka memperoleh hasil yang maksimal yaitu sebuah kemenangan dalam pertandingan. Kemampuan taktik harus terus ditingkatkan, caranya adalah dengan latihan baik secara individu maupun kelompok. Secara individu, kemampuan teknik harus ditingkatkan dalam rangka menciptakan kerja sama team bisa harmonis. Kerja sama team sulit terbentuk dan solit jika masing-masing individu memiliki kemampuan individu yang tidak sama. Hal ini akan menguntungkan lawan dalam menciptakan strategi guna melemahkan kekompakkan team. Latihan secara team atau bersama-sama harus terus dilakukan dalam rangka menciptakan keharmonisan team. Agar masing-masing pemain mengetahui kebiasaan kawan, mengetahui apa yang sering dipikirkan lawan, apa yang dikehendaki oleh pimpinan team, perlu latihan kerjasama dalam waktu yang lama. Latihan secarabersam-sama saja belumlah cukup jika belum diujicobakan atau uji tanding dengan group lain. Kegiatan uji tanding sangat berperan dalam pembentukan kerjasama dan kekompakkan. Melalui seringnya latihan bersama, bermain bersama, menghadapi lawan bersama-sama, maka akan terbentuk kebersamaan, kekompakkan, dan saling mengerti apa yang dikehendai teman sepermainan. Jika sudah demikian maka taktik dikuasai dengan matang. Peran pelatih tidak bisa dianggap enteng, sebab sudah menjadi tugas pelatih untuk memberikan saran dan solusi dalam setiap pertandingan. Apa yang telah dijelaskan di atas menggambarkan bahwa betapa pentingnya latihan dalam suatu kegiatan olahraga itu. Oleh karena itu olahraga tradisional menyipet dan balogo harus sering berlatih, baik bersama-sama maupun sendiri. Latihan olahrga juga bertujuan agar otot-otot tetap terjaga dan selalu siap jika sewaktu-waktu digunakan untuk berolahraga. Sudah diketahui bersama bahwa baik menyipet maupun balogo berlatih tidak teratur dan tidak kontinyu (tidak terjadwal). Hal itu disebabkan bahwa kurangnya dukungan dana, kurangnya fasilitas, minimnya waktu (karena harus berbagi dengan pekerjaan, ingat pemain menyipet maupun balogo di Palangka Raya adalah minimal umur 30 tahun), minimnya peralatan olahraga. Itupun berlatihnya setelah mendekati hari invitasi maupun festival. Karena faktor pemainnya yang pada umumnya adalah karyawan (orang yang sudah bekerja), menyebabkan latihan tidak terpola, namun demikian, besarnya semangat untuk upaya pelestarian budaya olahraga tradisional, maka kemampuan taktik tetap terpelihara. Hal tersebut juga didukung oleh faktor pengalaman. Temuan Penelitian 1. Minimnya dukungan dana, lapangan, fasilitas, peralatan menyebabkan club atau pemain juga jarang berlatih. 2. Pemain menyipet maupun balogo dari Palangka Raya merupakan pemain yang sudah berpengalaman, sehingga walaupun berlatih tidak teratur atau tidak terpola, namun tetap memiliki kemampuan taktik yang cukup baik. Proposisi Minor Kemampuan taktik pemain olahraga tidak sepenuhnya bergantung pada faktor kontinyuitas, kualitas sarana dan prasarana latihan, namun juga semangat atau motivasi untuk menang dan pengalaman. 5.4. Pendidikan Budaya Sudah diketahui bersama bahwa olahraga dapat menjadi media dalam membangun karakter seseorang. Olahraga dan aktivitas fisik adalah salah satu cara bagi seseorang untuk meningkatkan kebugaran serta mengoptimalisasikan fungsi organ-organ tubuh. Namun demikian, selain untuk tujuan di atas olahraga serta aktivitas fisik dapat pula 76 dijadikan sarana bagi seseorang maupun sekelompok orang untuk membangun karakter masing-masing. Seperti diketahui bahwa dengan berolahraga, karakter individu dapat dengan mudah diketahui serta dapat membawa seseorang ke dalam situasi yang lebih baik. Partisipasi dalam olahraga merupakan bagian gaya hidup sehat yang perlu dikembangkan. Partisipan olahraga mulai dari usia muda sampai tua, dari tingkat permainan untuk tujuan rekreasi sampai tingkat profesional. Alasan keikutsertaan seseorang dalam olahraga sangat beragam mulai dari alasan kesehatan, kebugaran, maupun dengan alasan lain seperti membentuk karakter positif dan sosialisasi. Banyak orang menemukan olahraga sebagai sumber kegembiraan dan kepuasan diri. Tidak diragukan lagi bahwa banyak anak muda mengalami kematangan kepribadian melalui pengalaman dalam olahraga. Namun demikian, efek pasti olahraga pada pembentukan karakter positif sangat ditentukan kondisikondisi yang dialami pada saat berolahraga. 5.4.1. Sikap Sportivitas Karakter dan sportivitas itu sulit untuk didefinisikan secara pasti, sehingga terdapat beberapa pendapat dan definisi. Seseorang yang berkarakter memiliki kebijaksanaan untuk mengetahui dan membedakan mana yang benar dan mana yang salah, jujur, dapat dipercaya, adil, hormat, dan bertanggung jawab, mengakui dan belajar dari kesalahan, dan berkomitmen untuk hidup menurut prinsip-prinsip tersebut (Dimyati, 2010). Terkait dengan hal tersebut di atas, penulis dapat merangkum definisi tersebut menjadi sebuah pengertian sederhana mengenai karakter, yaitu sebuah cara untuk bersikap secara terhormat kepada seluruh komponen pertandingan. Dalam hal ini seluruh komponen pertandingan meliputi pelatih, lawan, wasit, penonton, dan lain sebagainya terkait dengan pertandingan tersebut. sportifitas yaitu merupakan kata sifat yang berarti jujur dan kesatria atau gagah. Kata sportifitas yang sebagai kata benda mempunyai arti orang yang melakukan olahraga tersebut (harus) memiliki kejujuran dan sikap ksatria dalam bertindak dan berperilaku saat berolahraga, seperti disiplin, mengikuti ketentuan dan peraturan yang telah ditetapkan atau yang telah disepakati bersama, terutama saat mengikuti suatu pertandingan atau perlombaan olahraga. Jadi sportifitas dalam olahraga adalah perilaku atau tindakan dari seorang atau sekelompok olahragawan yang memperlihatkan sikap jujur, kesatria, disiplin, dan menaati ketentuan dan peraturan pertandingan/ perlombaan olahraga, guna mencapai sesuatu yang diharapkan. Nilai-nilai : Kejujuran, rendah hati/tidak sombong, bisa menerima kelebihan lawan dan kelemahan diri, moral/mental yang baik Olahraga Tradisional Menyipet dan Balogo Pendidikan Budaya Sikap Sportivitas Diagram 5.6 : Munculnya Sikap Sportivitas Temuan Penelitian 1. Dalam olahraga tradisional menyipet dan balogo mengandung ajaran jujur atau sportif, rendah hati atau tidak sombong, setia kawan, dan berjiwa besar. 2. Melalui permainan menyipet dan balogo terbentuk semangat sportivitas, berjiwa besar, dan sikap rendah hati. Proposisi Minor : Melalui olahraga tradisional terbentuk sikap sportif, jujur, rendah hati dan berjiwa besar. 77 5.4.2. Sikap Ksatria Tugas utama seorang kesatria adalah menegakkan kebenaran, bertanggung jawab, lugas, cekatan, pelopor, memperhatikan keselamatan dan keamanan, adil, dan selalu siap berkorban untuk tegaknya kebenaran dan keadilan. Pada zaman dahulu, ksatria merujuk pada kasta bangsawan, tentara, hingga raja. Pada zaman sekarang, kesatria merujuk pada profesi seseorang yang mengabdi pada penegakan hukum, kebenaran dan keadilan prajurit, bisa pula berarti perwira yang gagah berani atau pemberani. Kelompok ini termasuk pemimpin negara, pimpinan lembaga atau tokoh masyarakat yang tugasnya untuk menjamin terciptanya kebenaran, kebaikan, keadilan, dan keamanan masyarakat, bangsa, dan negara. Adapun yang dimaksud dengan bersikap ksatria dalam olahraga adalah berjiwa kesatria yaitu sikap atau perberbuatan atau sesuatu yang menghasilkan kebaikan antara kita dan orang lain. Dalam makna yang sesungguhnya adalah “mengalah” karena lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri, hal itulah yang kini sulit untuk dicapai. Mengalah bukan berarti kalah, namun berbuat sesuatu yang membuat situasi yang lebih terkendali. Biarlah diri kita tersakiti, namun yakinlah suatu saat rasa sakit itu akan terobati dan tergantikan dengan kebahagiaan. Biarkan kita mengalah demi kebahagiaan orang lain, selama itu benar dan tidak membahayakan kehidupan salah satu dari mereka. Daripada kita harus memaksakan kebahagiaan pada diri kita, yang sebenarnya kebahagiaan itu belum jatah hidup kita. Memang berat rasanya untuk mengalah demi kebahagiaan orang lain. Namun setidaknya muncul rasa bangga, karena telah menang melawan rasa egois. Janganlah mengedepankan sikap egois terhadap suatu masalah. Karena sesungguhnya sikap egois itulah yang kelak menjadi racun hidup. Senyumlah terhadap kebahagiaan mereka, jangan menyesal telah besikap mengalah. Tuhan akan membalas segala ketulusan yang kita perbuat. Memang sulit sekali dilakukan, namun setidaknya dipraktikkan dari hal yang kecil terlebih dahulu. Terutama saat menghadapi suatu masalah, kesampingkan rasa egois. Andai kata sikap mengalahlah yang menjadi jalan keluar terbaiknya, maka coba lakukanlah. Hidup tak selamanya pahit dan getir, suatu saat akan ditemukan manisnya hidup yang telah dipupuk dengan rasa tulus tanpa pamrih itu. Bahkan akan lebih manis dari yang dibayangkan. Dunia memang banyak orang yang pandai, tapi orang yang pandai belum tentu bersikap benar. Namun hakekatnya, orang yang bersikap benar adalah pandai. 1. Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya. 2. Kemandirian dan tanggungjawab. 3. Kejujuran atau amanah diplomatis. 4. Hormat dan santun. 5. Dermawan, suka tolongmenolong dan gotong royong. 6. Percaya diri dan pekerja keras. 7. Kepemimpinan dan keadilan 8. Baik dan rendah hati. 9. Karakter toleransi, Olahraga Tradisional Menyipet dan Balogo Pendidikan Budaya Sikap Ksatria kedamaian, dan kesatuan 78 Diagram 5.7 : Munculnya Sikap Ksatria dalam Olahraga Menyipet dan Balogo Temuan Penelitian 1. Terdapat sembilan karakter ajaran luhur dalam menyipet dan balogo, yaitu karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, Kedua kemandirian dan tanggungjawab, kejujuran atau amanah. hormat dan santun, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong atau kerjasama, percaya diri dan pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, kedelapan baik dan rendah hati; kesembilan karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. 2. Para pemain olahraga tradisional menyipet dan balogo memiliki sikap ksatria, minimal sikap percaya diri dalam bertanding, rendah hati, setia kawan, jujur atau sportif, dan cinta Tuhan Yang Maha Esa. Proposisi Minor Melalui olahraga tradisional tertanam dan terbentuk sikap-sikap ksatria dalam diri atlit. 5.5. Pengembangan Ketrampilan Psikososial Banyak faktor yang mempengaruhi dalam menjalin interaksi sosial, antara lain faktor intelektual atau pendidikan, emosional, dan aspek spiritual. Hasil dari interaksi sosial tersebut menghasilkan suatu tingkah laku atau perilaku. Psikososial adalah satu kesatuan dari aspek intelektual, emosional dan pembawaan spiritual. Menekankan pada hubungan yang dekat dan dinamis, dekat antara aspek psikologis dari pengalaman sesorang (pemikiran, perasaan, tingkah laku) dan pengalaman sosial yang ada disekelilingnya (hubungan dengan orang lain, tradisi, budaya), yang secara terus menerus saling mempengaruhi satu sama lain. Olahraga disamping sebagai media untuk ulah fisik supaya sehat atau bugar, namun juga sebagai media untuk berinteraksi sosial, baik itu sesama pemain, pemain dengan pelatih, pemain dengan offisial, maupun pemain dengan penonton, demikian dalam olahraga tradisional. Bahkan dalam olahraga tradisonal menyipet dn balogo sarat dengan muatan ajaran-ajaran nilai luhur dari budaya masa lalu. Jadi melalui menyipet dan balogo kita bisa menonton bagaimana manusia masa lalu berkomunikasi atau berinteraksi, menyampaikan pesan nilai-nilai budaya, mengajarkan tentang permusyawaratan, mengajarkan tentang kejujuran, menghargai kelompok ataupun manusia lain, dan menghormatnya, serta belajar berjiwa besar. 5.5.1. Komunikasi Interaksi sosial adalah peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama ataupun melalui media. Mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain, atau berkomunikasi satu sama lain. Mereka belajar berprilaku sebagaimana orang dewasa berperilaku dengan sesamanya, seperti dalam (1) mengorganisasikan kegiatankegiatan olahraga dan sosial, (2) memilih pemimpin, dan (3) menciptakan peraturan dalam kelompok. Proses dari mengambil peran (role taking) adalah emosional. Keberhasilan proses ini akan membimbing kita tidak hanya dalam kaitan mengerti orang lain, melainkan pula berupaya untuk merasakan sebagaimana orang lain lakukan itu. Kemampuan untuk mengambil peran dalam interaksi sosial secara bersama ini menjadikan hubungan sosial sangat kompleks dan hampir tidak pernah dapat diramalkan secara sempurna. Bahkan, keberhasilan hubungan sosial akan bergabung dengan ciri lain. Seperti interaksi yang 79 berubah-ubah, sebab termasuk berfikir tentang harapan orang lain (role expectations), menentukan petunjuk tindakan yang menyesuaikan dan mendiskusikan kerangka harapan. Dalam berolahraga terjadi kebersamaan, terbentuk rasa senasib sepenanggungan, berjuang bersama untuk memenangkan pertandingan atau perlombaan, secara jujur dan menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas. Perasaan saling mengerti diantara kawan sepermainan, saling menghargai tersebut terbentuk sebagai hasil dari latihan dan berkumpul serta bermain bersama. Hal ini memang harus diciptakan supaya pemain tidak main sendiri (merasa dirinya lebih dari yang lain, kemudian egois main sendiri). Temuan Penelitian 1. Dalam menyipet ataupun balogo terjadi interaksi sosial atau berkomunikasi dengan teman main, pelatih atau guru, atlit berlatih menerima kawan main apa adanya, dia tidak melihat asal suku, bahasa, agama maupun status sosial (kaya atau miskin. 2. Dalam menyipet dan balogo tercipta kebersamaan, semangat olahraga untuk menang, semangat berlatih, sportif, rasa senasib sepenanggungan dan meningkatkan rasa tenggang rasa, semangat sportivitas. Proposisi Minor : Olahraga menciptakan kebersamaan, saling menghargai dan menghormati, statussosial, dan membentuk sikap jujur, sportif dan sikap ksatria, semangat membara. 5.5.2. Empati Perbedaan antara simpati dan empati, simpati itu adalah , rasa kasih; rasa setuju; rasa suka. keikutsertaan merasakan perasaan (senang, susah, dsb) orang lain. Ber-simpati, 1 menaruh kasih, suka (akan). 2 ikut serta merasakan perasaan orang lain. Empati, (Psikhologi) keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Ber-empati, mampu memahami perasaan dan pikiran orang lain. Oleh karena itu empati adalah kemampuan Anda untuk berhubungan dan memahami perspektif serta situasi orang lain. Hubungan kuat yang abadi hampir selalu dibangun di atas empati. Ini adalah keterampilan hidup yang membutuhkan kesadaran diri, praktik dan pengalaman. Jadi ber-empati mempunyai pengertian lebih dalam, karena ada usaha ‘mengidentifikasi diri’. Simpati bersifat ‘transenden’ (menjaga jarak terhadap obyek), sedangkan empati bersifat ‘imanen’ (menyatu dengan obyek). Semua sama-sama penting, tergantung kondisi dan situasi. Saat tertentu boleh jadi kita mementingkan simpati, saat lain kita mementingkan empati atau pada kondisi lainnya lagi kita menggunakan simpati dan empati sama besarnya. Sikap toleransi berarti sikap yang rela menerima dan menghargai perbedaan dengan orang atau kelompok lain. Empati adalah sikap yang secara ikhlas mau merasakan pikiran dan perasaan orang lain. Sikap tolerans dan empati ini sangat penting ditumbuhkembangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia multicultural. Pengembangan sikap toleransi dan empati sosial, maka masalah-masalah yang berkaitan dengan keberagaman sosial budaya akan dapat dikendalikan, sehingga tidak mengarah pada pertentangan sosial yang dapat mengancam diisintegrasi nasional.. Oleh karena itu, penempatan diri sebagai warga masyarakat yang merupakan bagian utuh dari bangsa Indonesia. Perlu dikembangkan sikap dan perilaku yang dilandasi oleh sikap demokratis, toleransi, empati, solidaritas, tolong menolong, dan kekeluargaan. Memelihara dan mewujudkan kehidupan masyarakat yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya nasional. Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Empati adalah kemampuan berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk menolong sesama, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa 80 yang orang lain rasakan dan pikirkan. Karakter yang diperoleh dari hasil berlatih olahraga menyipet dan balogo sebagaimana penjelasan pak Lodeweik tersebut secara perlahan membentuk rasa empati kepada kawan sepelatihan dan berkembang serta melekat pada dirinya membentuk sikap empati kepada orang yang memerlukan. Sikap empati ini penting sebab dengan memiliki sikap ini. Sikap Sportivitas, Sikap Ksatria Interaksi sosial dan interaksi simbolik Menyipet dan balogo Keterbasan dana, Fasilitas, koordinasi Intruksi Pelatih Pengembangan Psikososial : 1. Komunikasi dan 2. Empati Diagram 5.8 : Pengembangan Komunikasi dan emppati Temuan Penelitian 1. Pada saat sudah dijadwal untuk bermain diinvitasi maupun festival saja latihan menyipet maupun balogo dimulai. 2. Pada suasana berlatih dan bertanding itulah perasaan senasib sepenanggungan (empati) terbentuk. Proposisi Minor : Seringnya berkumpul, berlatih bersama, bertanding bersama, membentuk rasa empati, senasib sepenanggungan. 5.6. Kendala-kendala dalam Kegiatan olahraga tradisional Menyipet dan Balogo di masyarakat Kota Palangka Raya. Setiap kegiatan sudah tentu memiliki daya dukung dan hambatan atau kendala, demikian juga dengan olahraga tradisional menyipet dan balogo. Apalagi kedua jenis olahraga tradisional hanya endemik di pulau Kalimantan dan Papua. Sebagai olahraga tradisional yang tidak populer, sudh tentu tidak memiliki penggemar sehingga tidak banyak yang berminat. Walaupun oleh pemerintah sudah dimasukkan ke dalam kurikulum mutan lokal, namun belum tentu serta merta banyak yang berminat. Berikut di bawah ini merupakan beberapa kendala, baik internal maupun eksternal. 5.6.1. Kendala Faktor Internal 81 Faktor kendala tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kendala faktor internal adalah faktor kendala yang berasal dari dalam olahraga tradisional menyipet dan balogo itu sendiri, misalnya monoton, nilai kreativitas rendah, dan membosankan, memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Adapun kendala faktor eksternal adalah kendala yang berasal dari luar lahraga tradisional itu sendiri, misalnya dari masyarakat, pemerintah, dinas pendidikan, dinas pariwisata. 5.6.1.1. Monoton Kebosanan biasanya terjadi bila seseorang mengalami peristiwa yang sama secara berulang, terus dan rutin. Kecenderungan adanya suatu perubahan dari yang telah telah ada, dan kita menginginkan adanya variasi dalam kehidupan. Karena hanya begitu-begitu saja, akhirnya perasaan bosan menghinggapi karena sudah tidak suka lagi sebab sudah terlalu sering atau banyak dan itu ke itu saja. Kegiatan yang monoton akan mempercepat datangnya lelah, karena orang tersebut merasa capek melakukan aktivitas yang membosankan itu,dan karena itu nafsu untuk melakukan aktivitas menjadi hilang Sikap bosan dapat pula dikurangi atau dihindari apabila pekerjaan itu dibuat menarik sehingga menimbulkan perhatiannya, rangsangan, motivasi, dan interesse bagi yang melakukan aktivitas tersebut. Suasana bosan ini juga terjadi di olahraga. Kadang-kadang terjadi, bahwa atlet-atlet kurang prestasinya, ataupun sebaliknya atlet berpotensi sekalipun,tiba-tiba meninggalkan olahraganya tanpa alasan yang jelas. Malah ada yang sama sekali tidak mau lagi melakukan cabang olahraganya atau cabang olahraga lainnya. Disamping itu, untuk bisa menyipet proses belajarnya cukup lama, dan cukup sulit serta diperlukan semangat dan motivasi tinggi, dan setelah bisa, olahraga menyipet ini untuk apa. Sebab dalam even-even lain tidak pernah dipertandingkan baik itu menyipet maupun balogo, kecuali di lingkup provinsi Kalimantan Tengah dan mungkin pulau Kalimantan. Urut-urutan menyipet itu adalah pegang sipet di pangkalnya, masukan damek, tempelkan sipet pada mulut, dan perhatikan sasaran, kemudian tiup dengan kuat. Sementara itu kegiatan balogo, meliputi : pasang logo pasang pada tempat yang telah ditentukan, pasang juga logo serang yang telah ditentukan, tempelkan champa, dan perhatikan sasaran (logo pasang) lalu pukul., ya begitu terjadi berulang-ulang sampai ada pemenangnya. Semuanya dibatasi oleh waktu yang telah diberikan dan disepakati bersama. Temuan Penelitian 1. Sistem permainan olahraga tradisional menyipet dan balogo bersifat monoton sehingga permainan idak menarik. 2. Olahraga tradisional menyipet dan balogo ini sudah kehilangan penggemarnya. Proposisi Minor Sistem permainan pada olahraga tradional yang monoton menyebabkan olahraga tradisional tersebut ditinggalkan penggemarnya. 5.6.1.2. Tingkat Kesulitan Setiap kegiatan yang ditekuni, baik itu kegiatan otak, maupun fisik tentu selalu mengandung tingkat kesulitan, hanya bedanya tingkat kesulitan itu setiap kegiatan memupunyai tingkat kesulitan yang tidak sama. Perbedaan tingkat kesulitan ini juga dipengaruhi oleh bakat, minat dan semangat ingin bisa yang tidak sama. Setiap manusia selalu mempunyai solusi dalam menghadapi tingkat kesulitan tersebut. Tergantung pada perbedaan tingkat kemampuan manusia itu sendiri. Dalam upaya mempelajari sesuatu (olahraga tradisional) tentunya ada pelatih, dalam hal ini menjadi tugas pelatih dalam mengatasi tingkat kesulitan tersebut. Kegigihan, semangat dan motivasi tinggi serta sikap tidak mudah menyerah membantu dalam memecahkan kesulitan itu. Tingkat kesulitan yang terdapat dalam belajar menyipet antara 82 lain, kekuatan meniup. Sebab hal ini sangat tergantuung pada bagaimana seseorang menghimpun udara dalam paru-parunya yang kemudia melepaskannya dalam waktu yang singkat. Hal ini diperlukan latihan meniup sipet di dalam air. Kemudian kesulitan kedua adalah damek masuk pada tiga lingkaran skor tertinggi (yaitu nilai 10, 9, dan 8) dari jarak 50 meter, 100 meter ataupun 200 meter. Inilah tingkat kesulitan paling tinggi, sementara sipetnya sendiri cukup berat. Tingkat kesulitan yang terakhir adalah setelah bisa atau setelah menjadi atlit menyipet, kegiatan ini jarang dimainkan dalam even-even olahraga, kecuali pada hari ulang tahun suatu instansi atau pada festivalbudaya. Bagian yang terakhir ini dapat merontokkan semangat bertanding dan melemahkan motivasi. Jika tidak memiliki bakat yang kuat memang sungguh sulit dan hampir dibilang tidak mungkin bisa memegang sipet diujung sambil meniup dan mengenai sasaran. Sebab sipetnya itu sendiri sudah cukup berat apalagi memegangnya diujung sumpit sambil meniup. Kondisi inilah yang menjadi penyebab para generasi muda, bahkan mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani dan Olahraga tidak mau dan tidak menyenangi menyumpit, sekedar mengetahui tata cara bermainnya saja. Cukup mudah untuk mempelajari sampai bisa bermain balogo, hanya permainan ini juga tidak disenangi oleh anak-anak sekarang karena permainan ini dimainkan ditempat terbuka dan berpanas-panas. Temuan Penelitian 1. Olahraga tradisional menyipet cukup sulit dipelajari, dan balogo cukup muda dipelajari. 2. Olahraga tardisional tidak dapat dipakai untuk suatu pekerjaan yang dapat menjadi sandaran hidup layak. Proposisi Minor : Tingkat kesulitan yang tinggi dan tidak dapat dijadikan pekerjaan yang dapat menjadi sandaran hidup layak menyebabkan olahraga tradisional tidak disenangi para remaja. 5.7. Kendala Faktor Ekternal Faktor eksternal yang menjadi penghambat dalam upaya pelestarian budaya tradisi tersebut adalah kurangnya sosialisasi dan mediasi baik itu dari pihak yang bertanggung jawab menangani masalah tersebut maupun media sebagai sarana public relations yang menjembatani informasi kepada masyarakat. Selain itu, peran masyarakat juga cukup penting untuk mengajarkan pada generasi muda agar memiliki keahlian untuk melestarikan budaya yang dimilikinya. Namun, realisasi di lapangan hal tersebut tidak terlaksana sehingga generasi muda tidak peduli dengan eksistensi budayanya sendiri Usaha untuk menjaga kelestarian budaya tradisi dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah pementasan-pementasan seni budaya tradisional di berbagai pusat kebudayaan atau tempat umum yang dilakukan secara berkesinambungan. 5.7.1. Kurangnya Koordinasi antar Instansi Kordinasi berkaitan dengan penempatan berbagai kegiatan yang berbeda-beda pada keharusan tertentu, sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya melalui proses yang tidak membosankan. Koordinasi juga dapat diartikan sebagai suatu usaha kerja sama antara badan, instansi, unit dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu, sehingga terdapat saling mengisi, saling membantu dan saling melengkapi. Pengkoordinasian merupakan upaya untuk menyelaraskan satuan-satuan, pekerjaan-pekerjaan, dan orang-orang agar dapat bekerja secara tertib dan seirama menuju kearah tercapainya tujuan tanpa terjadi kekacauan (chaos), penyimpangan, percekcokan dan kekosongan kerja (vaccum). Jadi, koordinasi dapat dimaknai sebagai proses penyatupaduan sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan dari unit-unit lembaga untuk mencapai tujuan lembaga secara efektif dan efisien. 83 Koordinasi sangat diperlukan dalam managemen, terutama untuk menyatukan kesamaan pandangan antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan kegiatan dan tujuan organisasi, demikian juga dengan organisasi pelatihan olahraga maupun pembelajaran olahaga tradisional. Koordinasi diperlukan untuk menghubungkan bagian yang satu dengan bagian yang lain sehingga tercipta suatu kegiatan yang terpadu mengarah pada tujuan umum lembaga sebagaimana jari-jari kerangka payung. Tanpa koordinasi, spesialisasi dan pembagian kerja yang dilakukan pada setiap usaha kerja sama akan sia-sia karena setiap bagian cenderung hanya memikirkan pekerjaan atau tugas masing-masing dan melupakan tujuan lembaga secara keseluruhan. Melalui koordinasi setiap bagian yang menjalankan fungsi dengan spesialisasi tertentu dapat disatupadukan dan dihubungkan satu sama lain sehingga dapat menjalankan peranannya secara selaras dalam mewujudkan tujuan bersama. Koordinasi sangat penting meningkatkan efesiensi dan efektifitas pencapaian tujuan lembaga. Koordinasi antar instansi, siswa, lembaga pembelajaran, club olahraga tradisional masih sangat minim, masing-masing masih jalan sendiri-sendiri. Ditambah lagi minimnya invitasi yang dilakukan, menjadi semakin lengkap kegagalan organisasi pelestarian budaya dalam bentuk olahraga tradisional. Invitasi olahraga tradisional hanya diadakan setahun sekali, itupun dananya menumpang pada anggaran peringatan ulang tahun kota atau anggaran festival. Temuan Penelitian 1. Minimnya koordinasi antar instansi dalam masalah upaya pelestarian olahraga tradisional memyipet dan balogo antara Dinas Pendidikan dan dinas Pariwisata. 2. Minimnya invitasi dan pertandingan-pertandingan dalam kaitannya dengan olahraga tradisional menyipet dan balogo menjadi salah satu penyebab olahraga tersebut sebagai pengisi waktu luang dan remaja tidak menyenangi olahraga tradisional tersebut. Proposisi Minor Minimnya koordinasi dan invitasi mendorong olahraga tradisional hanya sekedar pengisi waktu luang dan tidak disenangi remaja. 5.7.2. Lemahnya Kedudukan Mata Pelajaran Olahraga Tradisonal dalam kurikulum sekolah (Muatan Lokal) di Palangka Raya Kurikulum muatan lokal ialah program pendidikan yang diisi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah dan wajib dipelajari oleh murid didaerah tersebut. Muatan Lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi mata pelajaran muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan. Muatan lokal merupakan bagian dari struktur dan muatan kurikulum yang terdapat pada Standar Isi di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan. Keberadaan mata pelajaran muatan lokal merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan yang tidak terpusat, sebagai upaya agar penyelenggaraan pendidikan di masing-masing daerah lebih meningkat relevansinya terhadap keadaan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan nasional sehingga keberadaan kurikulum muatan lokal mendukung dan melengkapi kurikulum nasional. Muatan lokal merupakan mata pelajaran, sehingga satuan pendidikan harus mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis muatan lokal yang diselenggarakan. Satuan pendidikan dapat menyelenggarakan satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahwa dalam satu tahun satuan pendidikan dapat menyelenggarakan dua mata pelajaran muatan lokal. 84 Keadaan daerah adalah segala sesuatu yang terdapat didaerah tertentu yang pada dasarnya berkaitan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial ekonomi, dan lingkungan sosial budaya. Kebutuhan daerah adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di suatu daerah, khususnya untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat tersebut, yang disesuaikan dengan arah perkembangan daerah serta potensi daerah yang bersangkutan. Kebutuhan daerah tersebut misalnya kebutuhan untuk (1) melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah; (2) meningkatkan kemampuan dan keterampilan di bidang tertentu, sesuai dengan keadaan perekonomian daerah. Menyadari apa yang telah dijelaskan di atas, dan dalam upaya melestarikan budaya luhur yaitu olahraga tradisional menyipet dan balogo, maka dinas pendidikan memasukan olahraga tradisional menyipet dan balogo tersebut ke dalam muatan lokal dari suatu kurikulum. Namun hal tersebut belum cukup, tanpa adanya dukungan dana untuk mengembangkan kedua olahraga tradisional tersebut dalam suatu pertandingan-pertandingan. Dukungan dana untuk keperluan pengembangan kedua olahraga tradisional tersebut, Diklat bagi guru yang mengajar olahraga yang tidak pernah ada, dukungan sarana prasarana olahraga tersebut yang minim, belum lagi saling melempar tanggung jawab dengan instansi lain jika terjadi kekurangan. Perhatian guru atau satuan pendidikan menjadi kurang maksimal dalam mengembangkan olahraga tradisional, karena berada pada kurikulum muatan lokal, apalagi tidak termasuk pelajaran yang diujikan nasional. Hal ini juga menjadi kendala dalam upaya pelestarian. Artinya memasukan olahraga tradisioanl dalam suatu kuriklum muatan lokal belum cukup tanpa harus diperhatikan, didukung dengan berbagai kebijakan dari pemerintah, dan juga gurunya serta yang lebih penting lagi masyarakat. Temuan Penelitian 1. Memasukan olahraga tradisional menyipet dan balogo kedalam kurikulum muatan lokal tanpa disertai dengan pemberian berbagai kebijakan dari pemerintah. 2. Olahraga tradisional menyipet dan balogo dalam kurikulum muatan lokal kurang didukung oleh dana, diklat dan kegiatan lanjut sebagai upaya pelestarian . Proposisi Minor Kurangnya dukungan dana, pendidikan dan latihan bagi guru, dan kegiatan lanjut dan pemberian kebijakan-kebijakan lain menjadi penyebab sulitnya kurikulum muatan lokal untuk berkembang. 5.7.3. Keterbatasan Sarana/Prasarana latihan Sarana olah raga adalah sumber daya pendukung yang terdiri dari segala bentuk dan jenis peralatan serta perlengkapan yang digunakan dalam kegiatan olah raga. Prasarana olah raga adalah sumber daya pendukung yang terdiri dari tempat olah raga dalam bentuk bangunan di atasnya dan batas fisik yang statusnya jelas dan memenuhi persyaratanyang ditetapkan untuk pelaksanaan program kegiatan olah raga. Sarana maupun alat merupakan benda yang dibutuhkan dalam pembelajaran olahraga, dan alat tersebut sangat mudah dibawa sehingga sarana atau alat tersebut sangat praktis dalam pelaksanaan pembelajaran. Alat olahraga merupakan hal yang mutlak harus dimiliki sekolah, tanpa ditunjang dengan hal ini pembelajaran pendidikan jasmani tidak akan dapat berjalan dengan baik. Dalam proses pembelajaran dan pelatihan olahraga menyipet dan balogo akan berjalan maksimal jika didukung dengan sarana yang baik dan mencukupi, maka peserta latihan atau siswa bahkan guru akan dapat menggunakan sarana tersebut dengan baik dan maksimal. Tentunya peserta pelatihan di club maupun di sekolah akan merasa senang dan puas dalam memakai sarana yang terdapat di sekolahnya. Memiliki sarana yang memenuhi 85 standar, maka dapat dikembangkan keinginannya untuk terus mencoba olahraga yang disenanginya. Salah satu fungsi alat peraga, yaitu penggunaan alat peraga dalam pengajaran diutamakan untuk mempertinggi belajar mengajar. Penggunaan sarana yang baik mempunyai peranan penting untuk meningkatkan kualitas latihan hasil belajar. Oleh karena itu, penyediaan sarana olahraga harus ideal sesuai dengan jumlah siswa yang berlatih. Tersedianya sarana olahraga yang ideal akan meningkatkan efektif efisiensi dan kualitas latihan. Namun sebaliknya, sarana olahraga yang tidak ideal pembelajaran dan pelatihan olahraga dapat terhambat, kurang efektif, dan banyak waktu yang terbuang. Kendala Internal : 1. Monoton 2. Tingkat kesulitan yang tinggi untuk belajar menyiipet Menyipet dan balogo Kendala Eksternal : 1. Kurangnya Koordinasi antar Instansi 2. Lemahnya kedudukan matpel OR Menyipet dan Balogo dalam kurikulum lokal 3. Keterbatasan sapras Prestasi dalam Invitasi dan festival Diagram 5.9. Kendala Internal dan eksternal terhadap Menyipet dan Balogo Disamping itu juga, kualitas dan kondisi sarana dan prasarana pendidikan jasmani yang kurang atau tidak ideal serta tidak layak masih digunakan dalam pembelajaran, akan mempengaruhi proses pembelajaran pendidikan jasmani. Peralatan olahraga yang tidak layak dipakai justru menjadi masalah bagi kualitas latihan. Bagaimana bisa memperoleh prestasi yang maksimal jika tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Temuan Penelitian 1. Sarana prasarana latihan olahraga tradisional menyipet dan balogo sangat terbatas, sehingga harus berlatih disamping rumah. 2. Berlatih olahraga tradisional menyipet dan balogo dengan kondisi seadanya. Proposisi Minor Keterbatasan sarana prasarana latihan olahraga tradisional menyebabkan semangat berlatih dan bertanding menurun. Proposisi Mayor : 86 Terbatasnya dukungan dana, sarana prasarana, koordinasi antar institusi pemerintah, kemajuan tekhnologi dan globalisasi berakibat pada menurunnya semangat berlatih dan berprestasi dan terjadinya pergeseran dari olahraga tradisional yang bermoti f religi menjadi olahraga tradisional yang bermotif prestasi dan keuntungan . PENUTUP 6.1. Kesimpulan 6.1.1. Olahraga tradisional menyipet dan balogo merupakan kekayaan budaya masyarakat Dayak di Palangka Raya dan sering diikutsertakan dalam Festival. Budaya Isen Mulang. 6.1.2. Menyipet dan Balogo sarat dengan berbagai ajaran dan nilai-nilai luhur. 6.1.3. Upaya pelestarian dan pengembangan budaya lokal melalui berbagai festival dan memasukan ke dalam kurikulum muatan lokal. 6.1.4. Upaya pelestarian dan pengembangan kurang didukung oleh dukungan dana, kelengkapan fasilitas dan sarana/prasarana, kegiatan pendidikan dan latihan bagi guru, kurangnya invitasi. 6.1.5. Olahraga tradisional menyipet dan balogo hanya ada pada acara perayaan ulang tahun kota Palangka Raya dan Festival Budaya Isen Mulang saja. 6.1.6. Para pemain olahraga menyipet dan balogo rata-rata sudah tua, sehingga secara perlahan olahraga tersebut akan musnah seirama dengan semakin tuanya para pemainnya. 6.1.7. Generasi muda kurang menyenangi permainan menyipet dan balogo sebab tidak bisa diharapkan untuk menjadi pekerjaan atau sandaran hidup dimasa mendatang. 6.1.8. Kendala-kendala yang dihadapi dalam kegiatan olahraga tradisional menyipet dan balogo di masyarakat Kota Palangka Raya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kendala internal dan kendala eksternal. Kendala internal misalnya adalah monoton, nilai kreativitas rendah, dan membosankan, memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Kendala eksternalnya antara lain kurang adanya koordinasi antar instansi, Dinas Pendidikan (Kurikulum), kepelatihan yang profesional, keterbatasan sarana prasarana latihan. DAFTAR PUSTAKA AAHPERD. 1999. Physical Education for Lifelong Fitness, The Physical Best Teacher’s Guide. Human Kinetics. Adian, Donny Gahral, 2001, Matinya Metafisika Barat, Jakarta: komunitas Bambu Aldridge, J. and Soldman, R. 2002. Current Issues And Trends In Education. Boston: Allya And Baron. Arikunto, Suharsimi (2002). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan dan Praktek. Jakarta Rineka Cipta. Armando Pribadi. (Desember 2010). Fair Play. Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Sport Enterpreuneur, di FIK UNY. ASFAA, Sport For All Structures In Asian and Oceanian Countries, Sasakawa Sports Foundation, Tokyo, 1997. 87 Blumer, Herbert. (1986). Symbolic Interactionism: Perpective and Method. Berkeley and London: University of California Press. Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Charon, J. M. 1979. Symbolic Interactionism, an Introduction, an Interpretation, an Integration. New Jersey. Prentice Hall. Dwi Anibiningsih Soeleiman. 2003. Memahami Olahraga Tradisional Nusantara dalam Konteks Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia. Makalah Sarasehan Olahraga Tradisional, Nusa Dua, Bali. Deutcher Sportbund, Memorandum for the Action :Trim yourself through Sport", Frankfurt, 1971. Deutcher Sportbund, International Congress, Fundamentals of Sport for All, D.S.B., Frankfurt on the Main, 1986. Depdikbud, 1990, Astronomi, dan Meteorologi Tradisionaldi Daerah Kalimantan Tengah, Dirjen Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Jakarta Depdiknas, 2004, Panduan Pengelolaan Olahraga Tradisional, Dirjen Olahraga, Bagian Proyek Olahraga Masyarakat, Jakarta. Depdiknas, 2004, Kumpulan Olahraga Tradisional, Dirjen Olahraga, Bagian Proyek Olahraga Masyarakat, Jakarta. Depdiknas, 2004, Perkembangan Olahraga Masyarakat Di Indonesia, Dirjen Olahraga, Bagian Proyek Olahraga Masyarakat, Jakarta Dimyati. (2010). Peran Guru sebagai Model Dalam Pembelajaran Karakter dan Kebajikan Moral Melalui Pendidikan Jasmani. Yogyakarta: Cakrawala Pendidikan, 85-98. Eddiyana Hatia, dkk. (2002). Model Pengembangan Olahraga Masyarakat. Pemerintah Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan FPOK UPI Bandung. Fadjria Novari Manan. 2003. Revitalisasi Olahraga Tradisional sebagai Asset Budaya. Makalah Sarasehan Olahraga Tradisional, Nusa Dua, Bali. Geddes, W. R. 1968, Nine Dayak Nigths, London, Oxfor, and New York : Basic Books. Geertz, Clifford, 1973, Agricultura Invulation The Process of Ecological Change in Indonesia,. Bartkley University of California. Harsuki, Istilah/Pengertian/Definisi Olahraga, Penjurusan, Dalam Mengembangkan Keahlian dan Kode Etik Profesi Olahraga, Suatu Makalah, Semarang, 1982. Harsuki, Hasil Survey Lapangan Olahraga di Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta, 1973. I. B. Wirawan. (2012). Teori-Teori Sosial Dalam Paradigma, Kencana Prenada Group Jakarta. Jung, Insung, Seonghee Choi, Cheolil Lim, Junghoon Leem, TT. Pengaruh Berbagai Jenis Interaksi terhadap Prestasi Belajar, Kepuasan dan Partisipasi dalam Pembelajaran Berbasis Web (http://cat.inist.fr/?aModele= afficheN&cpsidt). Diunduh 23 Mei 2010. Jurgen Palm, Role of Sporting and Recreation Associations in Considering Ways to Increase participation in Physical Activity, Proceedings : Conrefence on People and Participation, Melbourne, 1977. Krober, A.L., C. Kluckhohn, 1952, Culture, Critical Review of Consepts and Definitions, Cambrige, Peabody Museum of American Anthropology. Kantor Menpora, Sejarah Olahraga Indonesia, Kantor Menpora, Jakarta, 1991. Kantor Menpora, Pola Dasar Pembangunan Olahraga, Kantor Menpora, Jakarta, 1984. Koentjaraningrat, 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djembatan, Jakarta. 88 Koentjaraningrat, 2005. Pengantar Antropologi, Pokok-pokok Etnografi Jilid II. Jakarta. Rineka Cipta. ---------------, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta. Lauer, H. Robert. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Rineka Cipta, Jakarta. Moleong, Lexy. (1991). Metodologi penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Matthew B. Miles - A. Michael Huberman. 2009. Analisis Data Kualitatif. Universitas Indonesia. Jakarta. Menpora 1999. Kebijakan Pemberdayaan Panji Olahraga. Kantor MENPORA. Jakarta. Nila Riwut, 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur), Pusaka Lima, Palangka Raya. Ngurah Nala. 2003. Pengembangan Olahraga Tradisional dari Perspektif Budaya. Makalah Sarasehan Olahraga Tradisional, Nusa Dua, Bali. Narwoko Dwi J – Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi, Teks dan Pengantar, Prenada Media, Jakarta. Offeny A. Ibrahim. 2014. Seni Budaya Kalimantan Tengah , Jenggala Pustaka Utama, Surabaya. Parsons, Talcott. (1978) Action Theory and the Human Condition. New York: Free Press. Parsons. Talcott (1937) The Structure of Sosial Action. New York: McGraw-Hill. Poloma, Margaret. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV. Rajawali. 1984. Poerwanto, Hari, 2000, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antrolpologi, Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Prijono, H. 2002. Anthony Giddens. Suatu Pengantar. Grafika Mardi Yuana. Bogor. Ravo, Bernand. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:Prestasi Pustaka. Ritzer, George dan Goodman, Douglas. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana., Ritzer, George 1996. Sosial Theory, Fourth Edition, The McGraw-Hill Companies, inc., New York. Riwut Tjilik, 1979, Kalimantan Membangun, Agung Offset, Yogyakarta. Rusli Luthan. 2002. Pengembangan Olahraga Masyarakat. Makalah Workshop Pengembangan Olahraga Masyarakat. Jakarta. Sugiono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung. Sondang P. Siagian (1997). Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku, Administrasi, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta. Soekanto, Soejono, 1999, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta. Sondang P. Siagian (1985). Analisis serta Perumusan Kebijakan dan Strategi Organisasi, PT. Gunung Agung, Jakarta. Soeprapto, Riyadi. 2001. Interaksionisme Simbolik dalam Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Averoes dan Pustaka Pelajar Sutedjo Brajanegara, Sejarah Pendidikan Indonesia, Ketua Badan Kongres Pendidikan Indonesia, Yogyakarta. Sutopo, HB. (2006). Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Negeri Sebelas Maret Sutopo, H.B., 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press. Stephen P. Savage. (1981). The Theories of Talcott Parsons: The Sosial Relations of Action. London: Macmillan. Strauss, A, and Corbin, J. (1990). Basics of Qualitative Research Grounded Theory Procedures and Techniques. London; Sage Publications. Suwarno. 2007. Perubahan sosial masyarakat Bakumpai di Tumbang Samba Kabupaten Katingan. Desertasi: Universitas Merdeka Malang. 89 Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada, Jakarta, Turner, Jonathan. The Structure of Sociological Theory. California: Wadsworth Publishing Company, 1991. UNESCO, International Charter on Physical Education and Sport, Paris, 1978 Veeger, K.J. 1990. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat sosial atas hubungan individumasyarakat dalam cakrawala sejarah Sosiologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.. Walace and Alison Wolf. 1980. Contemporary Sociological Theory: Continuing The Classical Tradition. New Jersey: Prentice Hall. W.J.S Purwadarminta: Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka. Jakarta Zeitlin, I. M. 1973. Rethinking Sociology: A Critique of Contempory Theory. New Jersey: Prentice Hall. http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/25/fenomenologi-1/ http://sarwono.staff.uns.ac.id/2009/03/06/fenomenologi-dan-hermeneutika-4/ http://veggy.wetpaint.com/page/Fenomenologi,+Hermeneutika+dan+Positivisme 90