“Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota

advertisement
“Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Tebing
Tinggi dalam Perlindungan Konsumen di Kota Tebing Tinggi
Provinsi Sumatera Utara”
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Lidia Asrida
NIM: 1111048000052
KONSENTRASIHUKUMBISNIS
PROGRAMSTUDIILMUHUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015M
PERANAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA
TEBING TINGGI DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI KOTA
TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Lidia Asrida
NIM: 1111048000052
KONSENTRASIHUKUM BISNIS
PROGRAMSTUDIILMUHUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436H/2015M
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “ PERANAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
(BPSK) KOTA TEBING TINGGI DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI KOTA
TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA” telah diajukan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum
Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2 April 2015.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program
Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 2 April 2015
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber – sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universita Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Maret 2015
Lidia Asrida
iii
ABSTRAK
LIDIA ASRIDA. 1111048000052. “Peranan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) Kota Tebing Tinggi dalam Perlindungan Konsumen di Kota
Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara”. Konsentrasi Hukum Bisnis. Program
Studi Ilmu Hukum. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidatullah Jakarta. 1436
H / 2015 M. xi + 81 halaman + halaman daftar pustaka + halaman lampiran. Kondisi
yang sangat tidak seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha atau penyedia jasa
merupakan suatu potensi yang sangat besar menimbulkan persengketaan antara
konsumen dengan pelaku usaha atau penyedia jasa. Untuk penyelesaian sengketa
antara konsumen dengan pelaku usaha atau penyedia jasa dimungkinkan diselesaikan
di luar pengadilan. Pada tingkat Kabupaten/Kota penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang
ada di masing – masing Kabupaten/Kota. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui
peranan BPSK Kota Tebing Tinggi dalam melakukan perlindungan terhadap hak – hak
konsumen di Kota Tebing Tinggi dan mengetahui hambatan – hambatan yang
dihadapi dalam melakukan perlindungan terhadap hak – hak konsumen di Kota
Tebing Tinggi. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif dengan metode
analisis yuridis empiris menggunakan pendekatan kepustakaan dan penelitian
lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BPSK Kota Tebing Tinggi telah
mampu berperan dalam perlindungan terhadap hak – hak konsumen dengan cara
konsiliasi, mediasi, dan arbitrase sesuai dengan tugas dan kewenangannya
sebagaimana yang diatur pada Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Tetapi dalam melaksanakan
tugasnya, BPSK Kota Tebing Tinggi dihadapkan pada berbagai hambatan. Hambatan
utama yang dihadapi adalah faktor sumber daya manusia. Walaupun secara pendidikan
formal seluruh Anggota memiliki kualitas yang baik, akan tetapi secara teknis dan
fungsional Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi belum memiliki kualitas yang
memadai, sebab hampir 50 % dari Anggota bukan berlatar belakang Sarjana Hukum,
sehingga selalu terjadi perdebatan diantara anggota dalam pengambilan keputusan.
Faktor sumber daya perangkat kerja dan pembiayaan juga menjadi faktor penghambat
yang dihadapi BPSK Kota Tebing Tinggi. Sangat kecilnya alokasi anggaran dan
sangat minimnya asset yang dimiliki oleh BPSK Kota Tebing Tinggi menyebabkan
rendahnya kinerja Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi.
Masih minimnya pengetahuan lembaga lainnya yang menganggap bahwa BPSK Kota
Tebing Tinggi tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa konsumen.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase
Pembimbing : Burhanuddin,SH., MH.,
Amrizal Siagian,S.Hum., M.Si.,
Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d. Tahun 2014
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim…
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat
serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PERANAN
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA TEBING TINGGI
DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI KOTA TEBING TINGGI PROVINSI
SUMATERA UTARA”. Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan
alam semesta Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari
zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang inu. Untuk dapat terselesainya
penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan dan bimbingan
dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Asep Saepudin Jahar, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Djawahir Hejazziey,SH.,MA., selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Arip Purkon,MA., selaku sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Burhanuddin, SH., MH dan Amrizal Siagian, S.Hum., M.Si., selaku Dosen
Pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan
skripsi ini dengan penuh kesabaran, dan ketelitian serta memberikan masukan
dan mau meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis
hingga skripsi ini selesai.
4. Ir. Iboy Hutapea selaku ketua Badan Penyelesian Sengketa Konsumen kota
Tebing Tinggi dan Erdy Willis,SH., selaku wakil ketua BPSK Kota Tebing
Tinggi. Dan seluruh anggota majelis dan kesekretariatan BPSK Kota Tebing
Tinggi yang telah memberikan fasilitas dan waktu kepada penulis untuk
v
melakukan penelitian dan memperoleh data – data informasi guna
menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan
guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga Allah SWT senantiasa
membalas jasa – jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai
amal jariyah untuk beliau semua.
7. Kedua orang tua tercinta yaitu ayahanda Muhammad Dimiyathi, S.Sos.,
M.TP., dan ibunda Harliaminda, S,H., MKn., yang telah tulus dan sabar
memberikan semangat dan dukungan dari segi materiil dan moriil serta selalu
mendoakan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan dari sekolah dasar
hingga Perguruan Tinggi dan agar skripsi ini berjalan dengan lancar hingga
ini selesai. Begitu juga untuk adik tercinta Delila Sandriva, yang telah
memberikan semangat dan dukungan selama ini kepada penulis.
8. Kepada Arya Dharma yang banyak memberikan dukungan, semangat dan
motivasi kepada penulis selama ini hingga skripsi ini selesai.
9. Sahabat – sahabatku tercinta Ismi Tamia, Esty Lenggogeni, Devi Putriana
Silaban, Novita Wulandari Sinaga, dan Artina Gangga Sitompul, terima kasih
untuk kebersamaannya selama ini dan selalu memberikan semangat kepada
penulis.
10. Sahabat – sahabat tercinta di kampus khususnya untuk Yunita, Syahirah
Banun, Fitriana, Clara Fenty zahara, Citra Chandrika, Verina Pradita
terimakasih atas kebersamaannya dan kekeluargaan selama ini dan selalu
menemani penulis.
vi
11. Sahabat – sahabat terhebat di HMPS Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, khususnya M. Rizky Firdaus, Rizky Arisandi, Dwi Puji Apriyantok,
serta senior – senior bang Rizky Haryo Wibowo, bang Soma, dan adik – adik
tersayang Ria Marsella dan Sylvia Amanda terimakasih atas kebersamaan,
keceriaan, semangat dan motivasinya, terimakasih sudah menjadi keluarga
baru bagi penulis.
12. Keluarga besar Ilmu Hukum kelas B dan Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum
Bisnis angkatan 2011 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan teman – teman
Kuliah Kerja Nyata SEHATI 2014, terimakasih atas ilmu dan kebersamaan
untuk selalu berbagi.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca. Sekian terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta,13 Maret 2015
Lidia asrida
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………...………….……
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ……………………………………………...
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………….……………………
ABSTRAK …………………………………………………………………………...
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………...
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………...
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………..
i
ii
iii
iv
v
viii
x
xi
BAB I
:
PENDAHULUAN………………………..…………………………
A. Latar Belakang Masalah ………………..………………………..
B. Pembatasan Masalah …………………..………………………...
C. Perumusan Masalah …………………...…………………………
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...………………………...
1. Tujuan Penelitian …………………..………………………..
2. Manfaat Penelitian ………………..…………………………
E. Metode Penelitian ……………………..…………………………
1. Pendekatan Penelitian …...…………………………………..
2. Jenis Penelitian …………………..………………………….
3. Sumber Data ………..……………………………………….
4. Teknik Pengumpulan Data ……..…………………………...
5. Subjek Penelitian …..………………………………………..
6. Tenik Pengolahan Data ……..……………………………….
7. Metode Analisis Data ………………..……………………...
F. Sistematika Penulisan ………..…………………………………..
1
1
5
6
6
6
7
7
7
8
8
10
11
13
13
14
BAB II
:
TINJAUAN KEPUSTAKAAN ……………..………………………
A. Perlindungan Konsumen …………..…………………………….
1. Pengertian Perlindungan Konsumen ………...………………
2. Hak dan Kewajiban Konsumen ……………..………………
3. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha …………..……………...
B. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen …………...…………..
1. Pengertian Sengketa Konsumen …………..………………...
2. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen …..…..
3. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen …………………………………………………...
4. Keanggotaan dan Sekretarian Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen …………..……………………………………….
5. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen ……..………...
6. Majelis dan Panitera ………………..……………………….
16
16
16
19
20
23
23
25
viii
26
31
32
34
BAB III
BAB IV
BAB V
:
:
:
7. Alat Bukti dan Saksi ………...………………………………
8. Tata Cara Persidangan ……………………………..………..
9. Putusan ………………………………………………………
C. Kerangka Konseptual …………………………..………………..
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ………………..…………..
35
36
40
42
44
DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN …….………………………….
A. Gambaran Singkat Kota Tebing Tinggi ……..…………………..
B. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing
Tinggi…………………………………………………………….
47
47
PEMBAHASAN …………………………………………………….
A. Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing
Tinggi ……………………………………………………………
1. Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ….....
2. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen ……..……..
3. Penyelesaian Sengketa Konsumen ………..………………...
a. Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Konsiliasi dan
Mediasi ……………………..…………………………...
b. Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Arbitrase …....
4. Putusan ………………………………………………………
B. Hambatan Yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Kota Tebing Tinggi ………………………………….
1. Faktor Sumber Daya Manusia ……...……………………….
2. Faktor Sumber Daya Perangkat Kerja ……...……………….
3. Faktor Sumber Daya Pembiayaan …...……………………...
4. Faktor Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum
Lainnya………………………………………………………
55
76
PENUTUP ………………….……………………………………….
1. Kesimpulan …………...……………………………………..
2. Saran …………………...……………………………………
78
78
79
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….
LAMPIRAN – LAMPIRAN
ix
50
55
55
57
60
62
65
68
70
71
73
74
82
DAFTAR TABEL
TABEL 1
: Daftar Subjek Penelitian …………………………………………
12
TABEL 2
: Susunan Personalia Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota
Tebing Tinggi ……………..........…………………………………..
51
: Jumlah Perkara Yang Ditangani dan Diselesaikan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi ……………
54
: Tingkat Pendidikan Anggota dan Tenaga Sekretariat Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi …………....
71
TABEL 3
TABEL 4
x
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1
GAMBAR 2
GAMBAR 3
: Struktur Organisasi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Kota Tebing Tinggi Periode 2011 – 2016 ……………………..
52
: Prosedur
Permohonan
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen……………...............................................................
60
: Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Konsiliasi,
Mediasi, dan Arbitrase ………………………………………...
61
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan perekonomian yang terjadi dengan begitu pesat, telah
menghasilkan beragam jenis dan variasi barang / jasa.1 Begitu juga Indonesia,
perkembangan yang terjadi pada akhir – akhir ini membawa sebuah perubahan yang
begitu signifikan terhadap Bangsa Indonesia. Hal ini dimulai dari terjadinya krisis
ekonomi pada pertengahan tahun 1997, yang akhirnya menyebabkan terjadinya
reformasi total terhadap seluruh sistem penyelenggaraan pemerintahan, politik,
penegakan hukum, ekonomi, dan sosial budaya.
Pada sisi yang lain, dengan makin berkembangnya teknologi telah mengubah
peta dunia menjadi lebih kecil dan mudah terjangkau serta tidak mengenal batas-batas
negara, sehingga setiap permasalahan pembangunan negara cenderung mempunyai
ciri yang mengglobal. Globalisasi tersebut dapat juga dirasakan oleh pemerintah
daerah. Oleh karena itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus berupaya
merubah cara-cara lama pelaksanaan pembangunan agar lebih menyesuaikan
terhadap perkembangan lingkungan yang nyaris tak terbatas.
Pembangunan dan perkembangan perekonomian, khususnya
bidang
perindustrian dan perdagangan telah menghasilkan berbagai variasi barang dan jasa
1
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Kencana, 2013) h. 1
1
2
yang dibutuhkan masyarakat sebagai konsumen. Globalisasi dan perdagangan bebas
yang didukung oleh kemajuan teknologi telah memperluas ruang gerak arus transaksi
barang dan jasa melintasi batas – batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan
jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi dalam negeri maupun produksi luar
negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak akan memberikan manfaat bagi para
konsumen, sebab konsumen sangat membutuhkan barang dan jasa yang berkualitas
untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhannya, sedangkan pelaku usaha dan/atau
penyedia jasa sudah barang tentu mengharapkan keuntungan yang sebesar – besarnya.
Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya kedudukan yang sangat tidak seimbang
antara pelaku usaha dan penyedia jasa dengan konsumen, dimana konsumen akan
dijadikan objek aktivitas bisnis oleh pelaku usaha atau penyedia jasa.
Konsumen selalu berada pada posisi lemah dibandingkan dengan produsen
ataupun pelaku usaha. Konsumen pada umumnya kurang memperoleh informasi
lengkap mengenai produk yang dibelinya. Kenyataan seperti itu seringkali
disebabkan
ketidakterbukaan
produsen
mengenai
keadaan
produk
yang
ditawarkannya.2 Pelaku usaha memiliki pengetahuan yang lebih tentang informasi
atas keadaan produk yang dibuatnya. Mereka umumnya berada pada posisi lebih kuat,
2
NHT Siagian, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,
(Jakarta: Panta Rei, 2005, cet. Pertama), h. 14
3
baik dari segi ekonomi, dan tentunya pula dalam posisi tawar menawar (bargaining
position).3
Setiap perusahaan / pelaku usaha harus memiliki tanggung jawab sosial ,
yaitu kepedulian dan komitmen moral pelaku usaha terhadap kepentingan
masyarakat, terlepas dari kalkukasi untung dan rugi perusahaan. Perusahaan harus
bertanggung jawab terhadap perlindungan konsumennya.4
Kondisi yang sangat tidak seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha
atau penyedia jasa merupakan suatu potensi yang sangat besar menimbulkan
persengketaan antara konsumen dengan pelaku usaha atau penyedia jasa. Untuk
penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha atau penyedia jasa
dimungkin
diselesaikan
di
luar pengadilan.
Pada tingkat
Kabupaten/Kota
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dapat dilakukan melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen yang ada di masing – masing Kabupaten/Kota.
Pengaturan tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di atur dalam
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dari pasal 49 sampai dengan
Pasal 58.5 Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 49
ayat 5 di sebutkan bahwa ” Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan
penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.”6 Tugas pokok BPSK
3
I b i d, h. 201
Zulham,Hukum Perlindungan Konsumen, h. 3
5
Abdul Halim Barkatullah, Hak – Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media , 2010, Cet.
Pertama), h. 90
6
Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen
Kementerian Perdagangan, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
TentangPerlindungan Konsumen, (t.t, t.p, t.h,) h.42
4
4
adalah menyelesaikan sengketa – sengketa konsumen melalui jalur luar pengadilan,
yaitu dengan cara mediasi, arbitrasi atau konsiliasi.
Proses kerja yang dilakukan oleh BPSK mirip dengan pengadilan, karenanya
BPSK disebut sebagai quasi badan peradilan untuk menangani kasus – kasus
konsumen, seperti halnya dengan badan penyelesaian sengketa di bidang perpajakan
atau perburuhan.7
Berkenaan dengan uraian di atas, peneliti merasa sangat tertarik untuk
mempelajari dan mendalami tentang keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) dalam melindungi hak – hak para konsumen. Penelitian terhadap
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam melindungi hak–hak para
konsumen yang dilakukan ini, tidak dimaksudkan untuk mendukung atau menentang
fungsi dan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), akan
tetapi dimaksudkan untuk memposisikan fungsi dan kewenangan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) tersebut secara kontekstual dalam bidang perlindungan
konsumen. Untuk melaksanakan pasal 49 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Dalam menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi di
Kota tersebut maka di pandang perlu untuk membentuk Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, maka berdasarkan Keputusan Presiden No. 23 Tahun 2009 Tentang
Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Kota Tebing Tinggi,
7
265
NHT. Siagian, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk , h.
5
Kota Binjai dan Kabupaten Bogor, terbentuklah
Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Pada Kota Tebing Tinggi
Dalam Penelitian ini, peneliti memfokuskan penelitian pada Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen yang berada di Kota Tebing Tinggi Sumatera
Utara. Oleh karena itu, judul dalam penelitian ini adalah, “Peranan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Tebing Tinggi dalam Perlindungan
Konsumen di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara”.
B. Pembatasan Masalah
Dalam hal permasalahan, Bambang Sunggono menyebutkan bahwa :
“Permasalahan merupakan kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan apa yang
sebenarnya, antara apa yang diperlukan dengan apa yang tersedia, antara harapan
dengan capaian atau singkatnya antara das sollen dengan das sein.”8 Berkenaan
dengan defenisi tersebut, maka permasalahan dalam penelitian dibatasi pada peranan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam memberikan perlindungan terhadap
konsumen.
8
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2005), h. 103
6
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan Pembatasan masalah di atas, maka
permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
a. Bagaimanakah peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing
Tinggi dalam melakukan perlindungan terhadap hak – hak konsumen di Kota
Tebing Tinggi ?
b. Apa sajakah hambatan yang dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Kota Tebing Tinggi dalam melakukan perlindungan terhadap hak – hak
konsumen di Kota Tebing Tinggi ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitan
Berangkat dari latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka
tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Kota Tebing Tinggi dalam melakukan perlindungan terhadap hak
– hak konsumen di Kota Tebing Tinggi.
b. Untuk mengetahui hambatan – hambatan yang dihadapi Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK ) Kota Tebing Tinggi dalam
melakukan perlindungan terhadap hak – hak konsumen di Kota Tebing
Tinggi.
7
2. Manfaat Penelitian
Sehubungan dengan tujuan penelitian yang dilakukan, maka manfaat
dan hasil yang diharapkan dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Untuk Penelitian. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
penelitian yang akan dilakukan berikutnya, guna pengembangan hukum
perlindungan konsumen
b. Untuk Ilmu Pengetahuan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat merupakan
sumbangan pemikiran terhadap konsep, teori, dan praktek yang lebih baik
sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum
bisnis.
c. Untuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Hasil penelitian
ini juga diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada Badan
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
(BPSK)
dalam
rangka
proses
perlindungan terhadap hak– hak konsumen.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan
deskriptif. Pendekatan deskriptif dilakukan dengan kualitatif yang digunakan
8
untuk mendiskripsikan dengan cara mengeksplorasikan hasil – hasil temuan
dan analisis serta pembahasan data yang diperoleh.9
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan analisis yuridis empiris.
Yuridis
empiris adalah suatu pendekatan yang dilakukan untuk menganalisa tentang
sejauh manakah suatu peraturan atau perundang-undangan atau hukum yang
sedang berlaku secara efektif, dalam hal ini pendekatan tersebut dapat
digunakan untuk menganalisis secara kualitatif.10 Oleh karena itu analis
yuridis empiris dilakukan untuk menganalisis tentang sejauh mana suatu
peraturan atau perundang-undangan atau hukum berlaku secara efektif dalam
masyarakat.
Dengan demikian Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam
Perlindungan Konsumen akan dikaji dengan cara menilai dan menganalisis jalannya
proses perlindungan konsumen yang dilakukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen dengan sudut pandang yuridis empiris.
3. Sumber Data
Sumber
penelitian
yang
di
gunakan
dalam
penelitian
ini
menggunakan beberapa sumber yaitu :
9
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rinneka Cipta, 2000) h. 138.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2010, Cet.
Ketiga), h.52
10
9
a. Sumber Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup ketentuan–
ketentuan perundang – undangan yang berlaku dan mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat.11 Bahan hukum primer terdiri dari perundang –
undangan, putusan hakim,dll.12 Penelitian ini menggunakan sumber
hukum primer karna menggunakan peraturan perundang – undangan UU
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan
Kementerian Perdagangan RI, Direktorat Jenderal Standarisasi dan
Perlindungan Konsumen, Himpunan Peraturan Perlindungan Konsumen
Seri Kelembagaan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti misalnya hasil penelitian, buku – buku
hukum, skripsi, tesis, disertasi hukum, jurnal,dan lain-lainl.13 Kegunaan
bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti semacam
“petunjuk” kearah mana peneliti melangkah.14 Seperti buku–buku tentang
Perlindungan Konsumen dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,
dan skripsi yang berkaitan dengan Perlindungan konsumen.
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2010, Cet.
Ketiga), h.52
12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2010, Cet. Keenam), h.141
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h.52
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 155
10
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah
kamus, wawancara, dan lain-lain.15 Dalam penelitian ini, untuk
melengkapi penelitian maka di gunakan wawancara kepada informan
yang terkait dengan badan Perlindungan Konsumen.
4. Teknik Pengumpulan Data
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian pendekatan penelitian,
bahwa penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan pendekatan
deskriptif, maka pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan berbagai
teknik, sebagai berikut :
a. Penelitian Kepustakaan ; Penelitian ini dilakukan dengan cara
mempelajari bahan bacaan berupa buku-buku yang dijadikan referensi
dan dokumen yang berkaitan dengan pokok permasalahan penelitian guna
memperoleh teori-teori dan informasi yang dibutuhkan.
b. Penelitian Lapangan ; penelitian ini dilakukan dengan melakukan
kunjungan langsung ke lokasi penelitian untuk menemui pihak – pihak
yang terlibat penyelesaian sengketa konsumen pada Badan Penyelesaian
15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h.53
11
Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi. Penelitian lapangan ini
dilakukan dengan teknik – teknik sebagai berikut :
 Wawancara, yakni merupakan teknik pengumpulan data dengan cara
tanya jawab langsung antara peneliti dengan para subjek penelitan.
Teknik ini dilakukan dengan panduan seperangkat pedoman
pertanyaan yang terstruktur. Teknik wawancara ini dimaksudkan
untuk mengetahui pendapat atau pandangan para aktor yang terlibat
dalam penyelesaian sengketa konsumen pada Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi.
 observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
mengunjungi langsung lokasi penelitian dalam hal ini melakukan
pengamatan kegiatan – kegiatan yang dilakukan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi
5. Subjek Penelitian
Melihat luas dan banyaknya jumlah populasi, peneliti merasa perlu
melakukan penentuan sampel untuk dijadikan subjek penelitian. Walaupun
populasi adalah Aparatur dan para pihak yang terkait dengan penyelesaian
sengketa konsumen, namun populasi tidak homogen secara sempurna. Oleh
karena itu peneliti mengacu kepada pendapat Sumadi Suryabrata, yang
menyebutkan bahwa :
12
“... makin besar sampel yang diambil akan makin tinggi taraf
representativeness sampelnya. Ketentuan ini berlaku selama populasinya
tidak homogen secara sempurna. Jika populasinya homogen secara
sempurna, besar sampel tidak mempengaruhi taraf representatifnya sampel.
Untuk populasi yang demikian itu sampel cukup kecil saja.”16
Untuk mendapatkan informan yang berhubungan dengan Peran Badan
penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Perlindungan Konsumen, maka
digunakan purposive sampling. Menurut S. Nasution, bahwa :
“ Sampling purposive dilakukan dengan mengambil orang-orang yang
terpilih betul oleh peneliti menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh
sampel itu. Misalnya orang yang mempunyai tingkat pendidikan tertentu,
jabatan tertentu, usia tertentu, yang pernah aktif dalam kegiatan
masyarakat tertentu.” 17
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka Aparatur yang
dijadikan informan adalah para Anggota dan Tenaga Sekretariat Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi. Dengan demikian
subjek penelitian dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1
Daftar Subjek Penelitian
No.
1
1
2
16
17
Subjek Penelian
2
Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Kota Tebing Tinggi
Tenaga Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Kota Tebing Tinggi
Jumlah
Jumlah
(orang)
3
9
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Rajawali , 1983), h. 68
S. Nasution, Metode Research Penelitian Ilmiah, (Bandung : Jemmars ,1987), h. 76
4
13
13
6. Teknik Pengolahan Data
Dalam Teknik pengolahan data dalam penelitian ini digunakan teknik
tabulasi data, dimana seluruh jawaban subjek penelitian dikumpulkan dalam
suatu tabel. Masing – masing jawaban subjek penelitian tersebut
dikelompokkan dengan menampilkan tabel dan prosentase.
Hal ini sejalan dengan pendapat Suharsimi Arikunto (1985), yang
menjelaskan :
“… sebaliknya data kualitatif yang seringkali dikuantitatifkan, diangkakan
sekedar untuk mempermudah penggabungan dua atau lebih data variabel,
kemudian sesudah didapat hasil akhir lalu dikualifikasikan… Terhadap data
yang bersifat kualitatif yaitu yang digambarkan dengan kata – kata atau
kalimat, dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.
Selanjutnya data yang bersifat kuantitatif yang berwujud angka – angka hasil
perhitungan atau pengukuran dapat diproses melalui beberapa cara anatara
lain :
a. dijumlahkan, dibandingkan dengan jumlah yang diharapkan dan diperoleh
prosentase…teknik ini sering disebut dengan deskriptif kualitatif…”18
Dengan demikian analisa data ini terbatas pada penggambaran,
penjelasan dan penguraian secara mendalam dan sistematis tentang keadaan
yang sebenarnya dengan berpedoman pada teori sebelumnya.
7. Metode Analisis Data
Analisis data adalah “proses penyederhanaan data ke dalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.”19 Oleh karena itu, setelah
18
19
103.
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta : Rinneka Cipta, 2000), h. 98
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta : LP3ES, 1989), h.
14
data diperoleh dari instrumen penelitian berupa kajian kepustakaan, dan
wawancara, maka data - data tersebut terlebih dahulu akan dikelompokkan,
diklasifikasikan, diolah dan dianalisis secara kualitatif. Selanjutnya data yang
telah dianalisis secara kualitatif tersebut akan dituangkan dalam bentuk
deskriptif melalui prosedur penalaran deduktif. Dalam hal prosedur penalaran
deduktif ini, Bambang Sunggono menyebutkan bahwa :
Pada prosedur deduktif, bertolak dari suatu proposisi umum yang
kebenarannya telah diketahui (diyakini) dan berakhir pada suatu
kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus. Pada prosedur
ini, kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang bersifat
aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu
dipermasalahkan lagi. Hal ini berarti bahwa pada deduksi setiap proposisi
itu hanya akan dapat dinyatakan sebagai proposisi yang benar kalau ia
dapat dirunutkan kembali secara logis (atau ditemukan sebagai hasil
penyimpulan) dari suatu proposisi asas yang mengandung kebenaran
pangkal tersebut. Jadi, tidak akan ada satu proposisi apa pun yang boleh
dianggap benar karena esensinya sendiri kecuali hasil runutan kebenaran
pangkal yang sudah harus dianggap self evident (dan didudukkan sebagai
asumsi aksiomatik) itu.20
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara
ringkas tentang susunan isi laporan hasil penelitian (skripsi) ini. Adapun sistematika
penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab Pertama,
merupakan Bab Pendahuluan yang berisikan uraian tentang Latar
Belakang Masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah,
Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan
20
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum,, hal. 11.
15
Sistematika Penulisan.
Bab Kedua,
merupakan Bab Tinjauan Kepustakaan yang berisikan uraian
tentang Perlindungan Konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, Kerangka Konseptual, dan Tinjauan (Review) Kajian
Terdahulu
Bab Ketiga,
merupakan Bab Deskripsi Objek Penelitian yang berisikan uraian
tentang Gambaran Singkat Kota Tebing Tinggi, dan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi.
Bab Keempat,
merupakan Bab Pembahasan yang berisikan uraian tentang
peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing
Tinggi dalam melakukan perlindungan terhadap hak – hak
konsumen, dan hambatan yang dihadapi Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi dalam melakukan
perlindungan terhadap hak – hak konsumen,.
Bab Kelima,
merupakan Bab Penutup yang berisikan uraian tentang
Kesimpulan dan Saran.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Dalam alinea IV Pembukaan UUD-1945 secara tegas dinyatakan
bahwa tujuan Negara Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan
umum,
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
dan
ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Meningkatnya kebutuhan – kebutuhan konsumen pada saat ini
membuka peluang pasar yang besar bagi para pelaku usaha dan/atau penyedia
jasa. Pada satu sisi konsumen membutuhkan barang dan/atau pelayanan jasa
yang berkualitas, sedang di sisi lain para pelaku usaha dan/atau penyedia
menjadikan para konsumen sebagai objek aktivitas bisnisnya guna
mendapatkan keuntungan yang sebesar – besarnya. Perbedaan kepentingan
merupakan potensi besar terjadi sengketa antara pelaku usaha dan/atau
penyedia dengan para konsumen. Oleh hak – hak konsumen sebagai objek
aktivitas bisnis pelaku usaha dan/atau penyedia harus dilindungi.
16
17
Keinginan yang ingin dicapai dalam perlindungan konsumen adalah
menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Terbukti
dalam
semua
norma
perlindungan
konsumen
dalam
UU
Perlindungan Konsumen memiliki sanksi pidana.1
Hubungan hukum antara pelaku usaha dan Konsumen dalam sejarah
mencakup dua macam doktrin, yaitu doktrin caveat emptor, yang kemudian
berkembang menjadi caveat venditor.
Doktrin caveat emptor disebut juga let the buyer beware atau
pembeli harus melindungi dirinya sendiri yang merupakan dasar dari lahirnya
sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku
usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak
perlu ada proteksi apapun bagi pihak konsumen. Doktrin ini memiliki makna
bahwa konsumen sendiri yang harus memikirkan dan bertanggung jawab atas
perlindungan terhadap kepentingannya. Pelaku usaha tidak bertanggung jawab
atas cacat atau kerugian.
Doktrin emptor kemudian berkembang kearah caveat venditor
dimana pelaku usaha yang harus berhati – hati atas produk yang ditawarkan.
Doktrin ini dikemukakan karena diyakini bahwa pelau usaha adalah pihak
yang paling mengetahui informasi secara benar, jelas, dan jujur atas setiap
barang dan / atau jasa yang dikonsumsi. Oleh karena itu, pihak pelaku usaha
harus lebih waspada dan berhati hati dalam memproduksi sesuatu produk,
1
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 22
18
jangan sampai bertentangan dengan tuntutan, criteria, dan kepentingan
konsumen. suatu prinsip hubungan yang semula menekankan kepada
kesadaran konsumen sendiri untuk melindungi dirinya berubah menjadi
kesadaran pelaku usaha untuk melindungi konsumen.2
Fenomena yang terjadi saat ini adalah kelemahan konsumen, dimana
tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama
disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, perlu
dilakukan perlindungan konsumen melalui upaya pemberdayaan konsumen,
pembinaan dan pendidikan konsumen.
Menurut Troelstrup, konsumen pada dasarnya memiliki posisi tawar
yang lemah dan terus melemah, hal ini disebabkan:3
1. Terdapat banyak produk, merek dan cara penjualannya
2. Daya beli konsumen semakin meningkat
3. Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum
banyak diketahui semua orang
4. Model – model produk lebih cepat berubah
5. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang
lebih besar kepada bermacam – macam pelaku usaha
6. Iklan yang menyesatkan
7. Wanprestasi oleh pelaku usaha
2
Abdul Halim Barkatullah, Hak – Hak Konsumen, (Nusa Media : Bandung) Cet-1, 2010, hal.
3
Ibid., hal. 9
19
19
Dalam rangka pemberdayaan, pembinaan, dan pendidikan terhadap
konsumen, pemerintah telah berupaya melindungi hak – hak konsumen
melalui Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Undang – Undang ini menganut asas manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
2.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Terkait dengan hak dan kewajiban para konsemen, pemerintah telah
mengatur hak dan kewajiban konsumen sebagaimana tertuang dalam pasal 4
dan pasal 5 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, yang menyatakan :
Pasal 4
Hak konsumen adalah :
1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
20
9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
a.
b.
c.
d.
3.
Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah :
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.4
Hak dan kewajiban Pelaku Usaha
Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan
hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut
terjadi karena keduanya memang saling mengkehendaki dan mempunyai
tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lain.
A. Zen Umar Purba dalam menguraikan konsep hubungan pelaku
usaha dan konsumen mengemukakan bahwa kunci pokok perlindungan
hukum bagi konsumen adalah bahwa konsumen dan pelaku usaha saling
membutuhkan.
Produksi
tidak
ada
artinya
kalau
tidak
ada
yang
mengkonsumsinya dan produk yang di konsumsi secara aman dan
memuaskan, pada gilirannya akan merupakan promosi gratis bagi pelaku
usaha.5
4
Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen
Kementerian Perdagangan, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
TentangPerlindungan Konsumen, h.8
5
Abdul Halim Barkatullah, Hak – Hak Konsumen, h. 14
21
Dalam transaksi jual – beli, pelaku usaha sering tidak memperhatikan
kondisi produk yang dijual. Kondisi merupakan hal yang sangat penting atau
utama dalam suatu transaksi, dimana jika tidak diperhatikan pelaku usaha
akan sangat merugikan konsumen.
Guna menjamin keseimbangan kepentingan antara pelaku usaha
dan/atau penyedia jasa, pemerintah juga telah mengatur hak dan kewajiban
konsumen sebagaimana tertuang dalam pasal 6 dan pasal 7 Undang – Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan :
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
22
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.6
Dalam Islam juga di ajarkan bahwa sebagai pelaku usaha, harus bersikap
jujur dalam melakukan jual – beli atau ketika menawarkan barang/jasa kepada
konsumen. Segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka
atau kerelaan antara masing – masing pihak, tidak ada boleh ada ancaman,
tekanan, penipuan. Jika hal ini tidak di penuhi, maka transaksi tersebut
dilakukan dengan cara yang Bathil.7 Seperti yang terdapat pada surah An-Nisa
ayat 29 dan sabda Rasulullah :
“ Wahai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta kamu di
antara kamu dengan jalan yang bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang
berdasarkan kerelaan di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri
kamu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang Kepadamu”(QS: An – Nisa 4:29)
6
Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen
Kementerian Perdagangan, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
TentangPerlindungan Konsumen, (t.t, t.p, t.h,) h. 11
7
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah ( Jakarta : Kencana, 2012), h. 97
23
“ Seorang muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Tidak halal bagi
seorang muslim menjual sesuatu kepada saudaranya, sementara di dalamnya
terdapat cacat, kecuali ia menjelaskannya”. (HR. Ibnu Majah)
Hal ini menjelaskan bahwa, dalam melakukan suatu tindakan muamalah,
harus atas dasar kerelaan kedua belah pihak dan haram hukumnya bagi seseorang
menjual barang yang memiliki cacat (cacat produk) tanpa menjelaskan kepada
pembeli (konsumen).8 Artinya, pelaku usaha wajib menjelaskan semua informasi
tentang barang/jasa yang ia tawarkan, agar halal baginya kegiatan jual – belinya.
B. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
1. Pengertian Sengketa Konsumen
Sengketa konsumen, terdiri dari dua kata, yaitu Sengketa dan
“Konsumen”. Menurut Suharso dan Ana Retnoningsih, “sengketa diartikan
sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan perbedaan pendapat.”9 Sedangkan
Sudarsono mengatakan, “sengketa adalah susuatu yang menyebabkan
perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih, dan bisa di
bawa perkara ke pengadilan.”10 Dan konsumen diartikan sebagai pengguna
8
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 60
Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi lux, ( Semarang : Widya
Karya, 2014, Cet. Kesepuluh), h. 477
10
Sudarsono, Kamus Hukum, ( Jakarta : Rineka Cipta, 2007, Cet. Kelima) h. 433
9
24
barang – barang hasil industri.”11 Selanjutnya dalam Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal : 10
Desember 2001, yang dimaksud dengan “sengketa konsumen adalah
sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi
atau kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat
mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.”12
Asal mula sengketa berawal pada situasi dimana pihak yang merasa
dirugikan oleh pihak lain. Biasanya dimulai oleh perasaan tidak puas, bersifat
subjektif dan tertutup yang dialami oleh perorangan maupun kelompok.
Apabila perasaan kecewa atau tidak puas disampaikan kepada pihak kedua
dan pihak kedua menanggapi dan dapat memuaskan pihak pertama maka
selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, apabila perbedaan pendapat tersebut
terus berkelanjutan maka akan terjadi apa yang disebut sengketa. Sengketa
dalam pengertian sehari – hari dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana
pihak – pihak yang melakukan upaya – upaya perniagaan mempunyai
masalah yaitu menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu tetapi pihak yang lainnya menolak atau tidak berlaku demikian.
“Sengketa dapat juga dimaksudkan sebagai adanya ketidakserasian antara
pribadi – pribadi atau kelompok – kelompok yang mengadakan hubungan
11
Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi lux, h. 265
Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen
Kementerian Perdagangan, Himpunan Peraturan Perlindungan Konsumen Seri Kelembagaan, (t.t, t.p,
t.h,) h.40
12
25
karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar.”13 Menurut Gulliver,
“suatu sengketa (dispute) hanyalah terjadi bila pihak yang mempunyai
keluhan (klaim) semula atau seseorang atas namanya, telah meningkatkan
perselisihan pendapat yang semula dari perdebatan diadik (dua pihak)
menjadi hal yang dimasuki bidang publik.”14
2. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Konsumen yang menjadi objek aktifitas bisnis yang dilakukan oleh
pelaku usaha dan/atau penyedia jasa untuk mendapatkan keuntungan sebesarbesarnya. Hal tersebut akan cenderung merugikan konsumen sebagai pihak
yang dianggap paling lemah. Hal-hal tersebut menyebabkan terjadinya
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dan/atau penyedia jasa, karena
konsumen merasa dirugikan oleh pelaku usaha dan/atau penyedia jasa. Oleh
karena itu , hak konsumen harus dilindungi dan ditegakkan secara hukum
oleh negara. Penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha dan/atau
penyedia jasa dapat dilalukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
Penyelesaia sengketa antara konsumen dengan dan/atau penyedia jasa serta
penegakkan hak – hak konsumen di luar pengadilan, dilakukan oleh Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
13
Abdul Halim Barkatullah, Hak – Hak Konsumen, h. 73
T.O. Ihromi, Antropologi Hukum, Penerjemah Sulistyowati ( Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia, 1993), h. 210
14
26
Dalam pasal 1 point 11 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa, “ Badan Penyelesaian
Sengketa
Kosumen
adalah
Badan
yang
bertugas
menangani
dan
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.”15 Selanjutnya
dalam penjelasan pasal 1 point 11 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa “Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen ini dibentuk untuk menangani sengketa konsumen yang
efisien, cepat, murah dan professional.”16 Adapun sengketa yang diselesaikan
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konseumen adalah kasus – kasus
sengketa yang berskala kecil dan bersifat sederhana.
Oleh karena itu, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau yang
lazim disebut dengan BPSK adalah lembaga non struktural yang mempunyai
fungsi menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan.
3. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dibentuk di Daerah
Kabupaten atau Kota, dengan kedudukan berada di Ibukota Kabupaten atau
Kota.
Berdasarkan
pasal
3
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang
15
Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen
Kementerian Perdagangan, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
TentangPerlindungan Konsumen, h. 6
16
Ibid, h. 63
27
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
, disebutkan bahwa tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen adalah :
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,
dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam undang-undang nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen;
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari
konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen;
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen.
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, atau setiap orang
yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang – undang
nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan
huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat
bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di
pihak konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan undang – undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen;17
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan
sengketa antara pelaku uhasa dan/atau penyedia menempuh cara konsiliasi,
17
Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen
Kementerian Perdagangan, Himpunan Peraturan Perlindungan Konsumen Seri Kelembagaan, h.41
28
mediasi, atau arbitrase. Cara penyelesaian tersebut bukanlah merupakan
proses penyelesaian sengketa secara berjenjang, akan tetapi cara penyelesaian
tersebut dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang
bersengketa. Dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, pada pasal 1
point 9, 10, dan 11, dinyatakan bahwa :
9. konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para
pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para
pihak.
10. mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasehat dan
penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak
11. arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa
menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK.18
Selanjutnya dalam memberikan konsultasi perlindungan konsumen,
dalam pasal 8 Dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, disebutkan
bahwa :
a. konsultasi tentang pelaksanaan hak dan kewajiban konsumen untuk
menuntut ganti rugi sehubungan dengan penggunaan atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang merugikan konsumen.
b. Koordinasi tentang upaya untuk memperoleh pembelaan dalam
penyelesaian sengketa konsumen.
18
Ibid., h. 40
29
c. Konsultasi tentang pelaksanaan hak dan kewajiban pelaku usaha yang
berkaitan dengan perlindungan konsumen.
d. Konsultasi tentang bentuk dan tata cara penyelesaian sengketa
konsumen di BPSK.
e. Konsultasi tentang pelaksanaan perundang-undangan yang berkaitan
dengan perlindungan konsumen.
f. Hal – hal lain yang berhubungan dengan perlindungan konsumen.19
Terkait dengan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku,
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, pada pasal 9 menyebutkan bahwa :
(1) Pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, dilakukan oleh BPSK dengan atau
tanpa pengaduan dari konsumen.
(2) Hasil pengawasan pencantuman klausula baku sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang membuktikan adanya pelanggaran
terhadap larangan pencantuman klausula baku di dalam Undangundang Perlindungan Konsumen, diberitahukan secara tertulis
kepada pelaku usaha sebagai peringatan.
(3) Peringkatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan
3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu untuk masingmasing peringatan 1(satu) bulan.
(4) Bilamana pelaku usaha tidak mengindahkan peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka BPSK melaporkan
kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang ruang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perlindungan Konsumen
untuk dilakukan penyidikan dan proses penuntutan sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.20
Selanjutnya, tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen yang menyangkut penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen,
meliputi penelitian, penilaian dan penyelidikan untuk menegetahui dan
19
20
Ibid., h. 42
Ibid., h. 42
30
meyakini adanya pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen dalam
rangka penyelesaian sengketa konsumen. Hal sejalan dengan amanat pasal 10
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, menyebutkan bahwa :
Penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf f, meliputi :
a. penelitian dan pemeriksaan trhadap bukti surat, dokumen, bukti
barang, hasil uji laboratorium, dan bukti lain yang diajukan baik oleh
konsumen maupun oleh pelaku usaha;
b. pemeriksaan terhadap konsumen, pelaku usaha, saksi dan saksi ahli
atau terhadap orang lain yang mengetahui adanya pelanggaran
terhadap ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen.21
Dalam tugas dan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen yang menyangkut putusan dan penetapan ada atau tidaknya ganti
rugi di pihak konsumen, maka putusan dan penetapan tersebut meliputi ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Dalam pasal 12 ayat (2)
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dinyatakan bahwa :
(2) Ganti rugi atas kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
berupa :
a. pengembalian uang;
b. penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara
nilainya; atau
21
Ibid., h. 43
31
c. perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan.22
Keanggotaan dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
4.
Keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen paling sedikit
berjumlah 3 (tiga) orang dan paling banyak 5 (lima) orang. Anggota BPSK
terdiri dari unsur pemerintah, unsure konsumen, dan unsur pelaku usaha.
Berarti jumlah minimal anggota BPSK adalah Sembilan orang dan maksimal
15 orang.23 Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ini ditetapkan
oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI. Susunan keanggotaan BPSK
diatur dalam pasal 50 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan bahwa Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (1) terdiri
atas Ketua merangkap anggota; Wakil Ketua merangkap anggota; Anggota.24
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, secara tegas telah diatur dalam pasal 49 ayat (2) Undang –
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang
menyatakan bahwa:
(2) Untuk, dapat diangkat menjadi anggota Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
22
23
I b i d, h. 43
NHT Siagian, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, h.
211
24
Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen
Kementerian Perdagangan, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
TentangPerlindungan Konsumen, h. 42
32
a.
b.
c.
d.
e.
Warganegara Republik Indonesia
Berbadan sehat
Berkelakuan baik
Tidak pernah dihukum karena kejahatan
Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan
konsumen
f. Berusia sekurang – kurangnya 30 (tiga puluh) tahun25
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen dibantu oleh Sekretariat. Sekretariat ini terdiri atas
Kepala Sekretariat yang disebut dengan Sekretaris dan anggota sekretariat.
Pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris dan anggota secretariat
ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI. Selain menjalan
tugas dan fungsi kesekretariatan, Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen juga berfungsi sebagai Panitera baik dalam persidangan maupun di
luar persidangan BPSK.
Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen
5.
Sebagaimana dimaklumi bahwa Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen adalah lembaga non struktural yang diberi tugas dan wewenang
untuk menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan/atau penyedia jasa
dengan konsumen. Setiap konsumen atau ahli waris konsumen yang dirugikan
oleh pelaku usaha dan/atau penyedia jasa, dapat mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen baik secara tertulis maupun lisan melalui Sekretariat BPSK.
25
Ibid, h. 41
33
Permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan oleh
ahli waris atau kuasanya dilakukan apabila konsumen meninggal dunia, sakit
atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan sendiri
baik secara tertulis maupun lisan yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter dan bukti Kartu Tanda Penduduk (KTP), serta dinyatakan tidak cakap
bertindak dalam hukum sesuai ketnetuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, atau orang asing (Warga Negara Asing).
Permohonan yang diajukan untuk penyelesaian sengketa konsumen
telah diatur dalam pasal 16 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang
berbunyi :
Permohonan penyelesaian sengketa konsumen secara tertulis harus
memuat secara benar dan lengkap mengenai:
a. nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya
disertai bukti diri;
b. nama dan alamat lengkap pelaku usaha;
c. barang atau jasa yang diadukan;
d. bukti perolehan (bon, faktur, wkitansi dan dokumen bukti lain);
e. keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang atau jasa
tersebut;
f. saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh;
g. foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada.26
26
Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen
Kementerian Perdagangan, Himpunan Peraturan Perlindungan Konsumen Seri Kelembagaan, h.41
34
6.
Majelis dan Panitera
Sebagaimana layaknya sebuah persidangan, maka persidangan
penyelesaian sengekata konsumen yang akan dilakukan oleh Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen harus dibentuk sebuah Majelis. Hal ini
secara tegas diamanatkan dalam pasal 18 Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001
Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, yang menyebutkan bahwa :
(1) Setiap penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dilakukan oleh
Majelis yang dibentuk berdasarkan Keputusan Ketua BPSK dan dibantu
oleh Panitera.
(2) Majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jumlah anggotanya harus
ganjil dan paling sedikit 3 (tiga) orang yang mewakili unsur pemerintah,
unsure konsumen dan unsur pelaku usaha yang salah satu anggotanya
wajib berpendidikan dan berpengetahuan di bidang hukum.
(3) Ketua Majelis ditetapkan dari unsur pemerintah.27
Dalam membantu majelis melaksanakan persidangan ditetapkan
panitera yang berasal dari anggota Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen. Tugas dari panitera tersebut ditetapkan pada pasal 19 ayat (2)
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang menyatakan :
(2) Tugas Panitera meliputi :
a. mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen;
b. menyimpan berkas laporan;
c. menjaga barang bukti;
27
Ibid., h. 45
35
d. membantu Majelis menyusun putusan;
e. membantu penyampaian putusan kepada konsumen dan pelaku
usaha;
f. membuat berita acara persidangan;
g. membantu Majelis dalam tugas-tugas penyelesaian sengketa
konsumen.28
7.
Alat Bukti dan Saksi
Alat bukti merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan
suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan
sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan atas kebenaran
adanya suatu perbuatan hukum. Dalam proses penyelesaian sengketa
konsumen, pembuktian merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Adapun alat bukti dalam penyelesaian sengketa konsumen, telah diatur dalam
pasal 21 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang berbunyi :
Alat bukti dalam penyelesaian sengketa konsumen berupa :
a. barang dan/atau jasa;
b. keterangan para pihak yang bersengketa;
c. keterangan saksi dan/atau saksi ahli;
d. surat dan/atau dokumen;
e. bukti-bukti lain yang mendukung.29
Saksi dalam penyelesaian sengketa konsumen merupakan orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelesaian sengketa
28
29
Ibid., h. 45
Ibid., h. 45
36
konsumen. Dalam setiap proses penyelesaian sengketa konsumen dengan cara
Konsiliasi atau Mediasi atau Arbitrase, saksi dapat dihadirkan oleh Majelis
dan/atau atas saran atau permintaan para pihak yang bersengketa. Saksi –
saksi dapat berupa saksi yang mengetahui secara pasti tentang persegketaan
dan/atau saksi ahli.
8.
Tata Cara Persidangan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penanganan dan
penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan cara konsiliasi, mediasi,
dan arbitrase. Ketiga cara penyelesaian sengketa tersebut bukanlah merupakan
proses penyelesaian sengketa secara berjenjang, akan tetapi cara penyelesaian
tersebut dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang
bersengketa.
Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dengan perantaraan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya
diserahkan kepada para pihak. Dalam konsiliasi sebagaimana diatur dalam
pasal 28 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka majelis
mempunyai tugas :
a. memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
37
b. memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
c. menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
d. menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.30
Sedangkan tata cara penyelesaian sengketa dengan konsiliasi diatur
dalam pasal 29 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang menyatakan :
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi adalah :
a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada
konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk
maupun jumlah ganti rugi;
b. Majelis bertindak pasif sebagai Konsiliator;
c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan
mengeluarkan keputusan.
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dengan perantaraan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak yang
bersengketa. Dalam mediasi sebagaimana diatur dalam pasal 30 Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor :
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka majelis mempunyai tugas :
a.
b.
c.
d.
30
memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
Ibid, h. 47
38
e. secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa
konsumen sesuai dengan praturan perundang-undangan di bidang
perlindungan konsumen.31
Adapun tata cara penyelesaian sengketa dengan mediasi diatur dalam
pasal 31 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang menyatakan :
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Mediasi adalah :
a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada
konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk
maupun jumlah ganti rugi;
b. Majelis bertindak aktif sebagai Mediator dengan memberikan nasehat,
petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa;
c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan
mengeluarkan ketentuan.32
Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan
sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen. Dalam arbitrase sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
:
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, dinyatakan bahwa :
Pasal 32
(1) Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase, para pihak
memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha
dan konsumen sebagai anggota Majelis.
31
32
Ibid., h. 47
Ibid., h. 47
39
(2) Arbitor yang dipilih oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur
Pemerintah sebagai Ketua Majelis.
Pasal 33
(1) Ketua Majelis di dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada
konsumen dan pelaku usaha, mengenai upaya upaya hukum yang
digunakan oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
(2) Dengan izin Ketua Majelis, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa
dapat mempelajari semua berkas yang berkaitan dengan persidangan dan
membuat kutipan seperlunya.
Pasal 34
(1) Pada hari persidangan I (pertama) Ketua Majelis wajibmendamaikan
kedua belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai
perdamaian, maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan
konsumen dan surat jawaban pelaku usaha.
(2) Ketua Majelis memberikan kesempatan yang sama kepada konsumen dan
pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang
dipersengketakan.
Pasal 35
(1) Pada persidangan I (pertama) sebelum pelaku usaha memberikan
jawabannya konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat surat
pernyataan.
(2) Dalam hal gugatan dicabut oleh konsumen sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) maka dalam persidangan pertama Majelis wajib mengumumkan
bahwa gugatan dicabut.
(3) Apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi perdamaian
antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, Majelis wajib
membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian.
Pasal 36
(1) Apabila pelaku usaha atau konsumen tidak hadir pada hari persidangan I
(pertama) Majelis memberikan kesempatan terakhir kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk hadir pada persidangan ke II (kedua) dengan
membawa alat bukti yang diperlukan.
(2) Persidangan ke II (kedua) diselenggarakan selambat-lambatnya dalam
waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak hari persidangan I (pertama) dan
diberitahukan dengan surat panggilan kepada konsumen dan pelaku usaha
oleh Sekretariat BPSK.
40
(3) Bilamana pada persidangan ke II (kedua) konsumen tidak hadir, maka
gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya jika pelaku usaha
yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa
kehadiran pelaku usaha.33
9.
Putusan
Dalam hal putusan penyelesaian sengketa dengan cara Konsiliasi
atau Mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh
konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan. Perjanjian tertulis tersebut
dikuatkan dengan Keputusan Majelis yang ditandatangani oleh Ketua dan
anggota Majelis. Keputusan Majelis ini tidak memuat sanksi administratif.
Sedangkan hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara
Arbitrase dibuat dalam bentuk putusan Majelis yang ditandatangani oleh
Ketua dan anggota Majelis. Keputusan Majelis ini dapat memuat sanksi
administratif.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dalam pasal
40 disebutkan bahwa putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat
berupa:
(1)
a.
b.
c.
33
Putusan BPSK dapat berupa :
perdamaian;
gugatan ditolak; atau
gugatan dikabulkan.
Ibid., h. 48
41
(2) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan
kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa pemenuhan :
a. ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); dan atau
b. sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.
200.000.000, (dua ratus juta rupiah).34
Selanjutnya dalam pasal 54 ayat (3) Undang – Undang Nomor 8
Tahun 1999 disebutkan, bahwa : “ putusan majelis bersifat final dan
mengikat. “ Hal ini senada dengan bunyi pasal 42 Keputusan Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
:
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang menyatakan :
(1) Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
(2) Terhadap putusan BPSK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada Pengadilan Negeri di
tempat konsumen yang dirugikan.35
Sehubungan uraian – uraian di atas, maka dapatlah dipahami bahwa
penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Bilamana para
pihak telah bersepakat memilih Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
sebagai tempat penyelesaian sengketa, maka para pihak dapat menyepakati
untuk memilih salah satu cara penyelesaian sengketa yang berlaku di Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu cara konsiliasi, atau mediasi atau
34
35
Ibid., h. 49
Ibid., h. 50
42
arbitrase. Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen adalah final dan bersifat mengikat.
Selanjutnya, pemberitahuan putusan kepada pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen dilakukan secara
tertulis dan disampaikan kepada pelaku usaha dengan bukti penerimaan atau
bukti pengiriman putusan paling lambat 5 (lima) hari setelah putusan
ditetapkan. Hal ini secara tegas tertuang dalam pasal 13 Keputusan Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
:
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang menyatakan bahwa :
(1) Pemberitahuan putusan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf l,
dilakukan secara tertulis dan disampaikan ke alamat pelaku usaha dengan
bukti penerimaan atau bunti pengiriman, selambat-lambatnya dalam waktu
5 (lima) hari kerja terhitung sejak putusan ditetapkan.
(2) Pelaku usaha dianggap telah menerima pemberitahuan putusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhitung sejak hari dan tanggal
pelaku usaha menandatangani penerimaan surat pemberitahuan putusan.36
C. Kerangka Konseptual
Berkenaan dengan uraian di atas, maka kerangka konseptual dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Sengketa, dalam penelitian ini diartikan sebagai hal yang menyebabkan
perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih.
36
Ibid., h. 43
43
b. Konsumen, dalam penelitian ini diartikan sebagai tiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain dan tidak di perdagangkan.
c. Pelaku usaha atau penyedia jasa, dalam penelitian ini diartikan sebagai setiap
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang
ekonomi.
d. Sengketa konsumen, dalam penelitian ini diartikan sebagai masalah antara
pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atau kerusakan,
pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang
atau memanfaatkan jasa.
e. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dalam penelitian ini diartikan
sebagai sebuah badan atau lembaga yang dibentuk di Kabupaten / Kota
bersifat non struktural yang berfungsi untuk menangani dan menyelesaikan
sengketa konsumen di luar pengadilan.
f. Perlindungan Konsumen, dalam penelitian ini diartikan sebagai upaya –
upaya yang menjamin adanya kepastian hokum untuk memberikan
perlindungan atas hak – hak konsumen.
g. Konsiliasi, dalam penelitian ini diartikan sebagai sebuah proses penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan Badan
44
Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk mempertemukan para pihak yang
bersengketan dimana penyelesaian sengketa diserahkan kepada para pihak
yang bersengketa secara mufakat.
h. Mediasi, dalam penelitian ini diartikan sebagai sebuah proses penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan Badan
Penyelesaian Sengekata Konsumen sebagai mediasi dan/atau penasehat
dimana penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak yang bersengekata.
i. Arbitrase dalam penelitian ini diartikan sebagai sebuah proses penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang
bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Berdasarkan konsep – konsep di atas, maka Peran Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen dalam Perlindungan Konsumen, dalam penelitian ini
diartikan sebagai upaya – upaya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam
melindungi hak – hak konsumen sesuai tugas dan wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen di luar pengadilan melalui cara konsiliasi,
mediasi, dan arbitrase.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian ataupun kajian terdahulu yang
pernah dilakukan dalam bidang perlindungan konsumendan/atau perlindungan
hukum adalah :
45
1. “Perlindungan
Hukum
Bagi
Konsumen
Terhadap
Pembatalan
Penerbangan.”Oleh Indirawati Putri, Mahasiswi Fakultas Syariah dan
Hukum, Jurusan Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013).
Secara singkat dapat diuraikan bahwa penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui perlindungan terhadap konsumen apabila maskapai penerbangan
melakukan pembatalan penerbangan. Konsumen menyampaikan gugatan
kepada Pengadilan Negeri Tangerang dan gugatan tersebut dimenangkan oleh
konsumen sebagai penggugat. Putusan Pengadilan Negeri Tangerang tersebut
telah sesuai dengan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
Berbeda dengan apa yang diteliti oleh penulis, yaitu penulis meneliti Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Melindungi hak – hak konsumen di
Kota Tebing – Tinggi.
2. “Kedudukan dan Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
dalam Rangka Menyelesaikan Sengketa Konsumen di tinjau dari UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”. Oleh Jefta Novendri,
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2011).
Secara singkat dapat di uraikan dalam penelitian ini di lakukan untuk
mengetahui lebih kepada bagaimana Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen
melalui UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. dan
hambatan dalam proses Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK.
46
Pembahasan penelitian ini di buat hanya BPSK secara umum. Dan metode
penelitian yang digunakan hanya dengan metode Kepustakaan.
Berbeda dengan yang diteliti oleh penulis, yaitu penulis meneliti bagaimana
peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi dalam
melindungi hak – hak konsumen di Kota Tebing Tinggi, dan peneliti meneliti
apasaja hambatan yang dihadapi oleh BPSK dalam perannya melindungi hak
– hak Konsumen di Kota Tebing Tinggi. Pembahasan penelitian ini dibuat
lebih Khusus karena meneliti langsung di BPSK Kota Tebing Tinggi. Dan
metode yang di gunakan adalah analisis yuridis empiris dan menggunakan
teknik pengumpulan data dengan menggunakan Penelitian Kepustakaan dan
Penelitian Lapangan dengan menggunakan wawancara dan observasi
langsung yang peneliti turun langsung ke BPSK Tebing Tinggi. Titik focus
dan locus penelitian ini sudah jelas berbeda.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa secara
mendasar belum terdapat kajian terdahulu yang sama dengan penelitian yang
akan dilakukan ini, baik fokus, metode penelitian dan lokasi, yaitu : “Peran
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Tebing Tinggi dalam
Perlindungan Konsumen di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara”.
BAB III
DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
A. Gambaran Singkat Kota Tebing Tinggi
Kota Tebing Tinggi adalah salah satu Daerah Otonom yang ada di
Propinsi Sumatera Utara, yang terletak di bagian timur Sumatera Utara dengan
jarak orbitasi dengan Kota Medan sebagai Ibukota Propinsi sekitar 82 km,
dengan tersedianya prasarana dan sarana perhubungan yang baik dan lancar.
Kota Tebing Tinggi juga terletak pada jalur Lintas Sumatera yang
menghubungkan Kota Medan dengan Ibukota-Ibukota Propinsi lain yang ada di
bagian selatan Pulau Sumatera ( Padang, Pekan Baru, Jambi, Palembang,
Bengkulu dan Bandar Lampung ).
Secara geografis Kota Tebing Tinggi berada di antara 30 19l sampai
dengan 30 21l lintang utara dan di antara 980 11l sampai dengan 980 21l bujur
timur, dengan luas wilayah administrasi sebesar 38,438 km2 atau 3.843,80 ha
yang dibagi atas 5 (lima) Kecamatan, yaitu Kecamatan Rambutan yang terbagi
atas 7 kelurahan, Kecamatan Padang Hilir yang terbagi atas 7 Kelurahan,
Kecamatan Tebing Tinggi Kota yang terbagi atas 7 Kelurahan, Kecamatan
Padang Hulu terbagi atas 7 Kelurahan, dan Kecamatan Bajenis yang terbagi atas
7 Kelurahan.
47
48
Secara administratif batas-batas wilayah Kota Tebing Tinggi adalah
sebagai berikut :
Sebelah Utara
:Berbatasan dengan PTP Nusantara II Kebun Rambutan
Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Bedagei.
Sebelah Timur
:Berbatasan dengan PT. Socfindo Kebun Tanah Besi
Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Bedagei.
Sebelah Selatan :Berbatasan dengan PTP Nusantara III Kebun Pabatu
Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Bedagei.
Sebelah Barat
:Berbatasan dengan PTP Nusantara III Kebun Bandar Bejambu
Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Bedagei.
Topografinya merupakan dataran rendah dengan ketinggian sekitar 20
m dari permukaan laut dan berada pada kemiringan 0 % sampai dengan 8 %,
beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 1100 ml sampai
dengan 2000 ml pertahun dan suhu udara berkisar antara 250 C sampai dengan
270 C.
Luas wilayah Kota Tebing Tinggi sebesar 38,438 km2 atau 3.843,80 ha
telah digunakan untuk pemukiman 2.049,47 km2, sarana perekonomian dan
kegiatan sosial budaya 148,91 km2, perhubungan 182 km2, pertanian (sawah,
tegalan/kebun) 1.140,09 km2, industri 21,40 km2, semak belukar 135,60 km2 dan
lain-lain (termasuk rawa-rawa) 165,33 km2 ( sumber : Tebing Tinggi dalam
angka tahun 2013).
49
Kota Tebing Tinggi memiliki jumlah penduduk sebanyak 167.999 jiwa,
dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 0,71 % setiap tahun. Kepadatan
penduduk sebesar 4.370 jiwa / km2, dengan jumlah rumah tangga sebesar 50.243
KK dan rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 4 jiwa setiap KK.
Untuk melayani kebutuhan penduduk Kota Tebing Tinggi dalam
penyediaan barang dan jasa, di Kota Tebing Tinggi terdapat lembaga atau badan
pelaku usaha / penyedia jasa, sebagai berikut :
1. Bidang Pendidikan. Sarana pendidikan tingkat SD dan MI sebanyak 103
unit, SLTP dan MTs sebanyak 31 unit dan SMA, SMK dan MA sebanyak 35
unit.
2. Bidang Kesehatan. Rumah Sakit Umum 5 unit, Rumah Sakit Bersalin 4 unit,
Puskesmas dan Puskesmas Pembantu 25 unit, Balai Pengobatan Umum 3
unit, Praktek Dokter 56 unit,
Praktek Bidan 62 unit, Laboratorium
Kesehatan 4 unit, Apotik 28, Sinse 12 unit.
3. Bidang Perindustrian. Industri Besar/Sedang berstatus perorangan 4 unit,
berstatus PT 6 unit dan berstatus CV 1 unit. Industri Kecil/Menengah
sebanyak 256 unit. Penyedia jasa listrik 1 unit dan penyedia jasa air bersih 1
unit.
4. Bidang Perdagangan. Perusahaan sebanyak 320 perusahaan, pedangang
sebanyak 1.183 pedagang, dan pertokoan sebanyak 1.298 toko.
50
5. Bidang Keuangan. Perbankan sebanyak 23 bank. Lembaga Keuangan non
Perbankan (BPR dan Pegadaian) 18 unit, Koperasi 213 unit.
B. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi terbentuk
pada Tahun 2009 berdasarkan Keputusan Presiden No. 23 Tahun 2009 Tanggal
29 Agustus 2009 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Pada Kota Tebing Tinggi, Kota Binjai dan Kabupaten Bogor.
Dengan terbentuknya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota
Tebing Tinggi, maka diangkat dan ditetapkan Keanggotaan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi periode Tahun 2011 – 2016
berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 396/M-DAG/KEP/5/2011
Tanggal 31 Mei 2011 Tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi. Anggota Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi yang diangkat berdasarkan Keputusan
Menteri Perdagangan RI tersebut telah mewakili 3 (tiga) unsure sebagaimana
yang diamanatkan pada pasal 49 ayat (3) Undang – Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan : “ Anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari unsur pemerintah, unsur
konsumen dan unsur pelaku usaha.1 Untuk mendukung kelancaran tugas Badan
1
Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen
Kementerian Perdagangan, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
TentangPerlindungan Konsumen, h.42
51
Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi, maka diangkat dan
ditetapkan pula Tenaga Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Kota Tebing Tinggi periode Tahun 2011 – 2016 berdasarkan Keputusan Direktur
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan RI Nomor
139/PDN/KEP/11/2011 Tanggal 25 November 2011 Tentang Pengangkatan
Kepala Sekretariat dan Anggota Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Kota Tebing Tinggi.
Susunan personalia Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota
Tebing Tinggi dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2
Susunan Personalia
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi
No.
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Nama
2
Ir. IBOY HUTAPEA
ERDY WILLIS, SH
MAHFUD FAUZI, SE
YANTI PERAWATI, SH
ALFIAN NAZRI, SH
Dra. Hj. FARIDA HANUM
SITI MASITA S, SH
BASYARUDDIN, SH
Drs. ZULFAN KURNIAWAN
MAHYUDANIL, SH, MH
M. CHOLID RIDHA, SE
Hj. JELITA PASARIBU, SH
13
MERY HUTAHAEAN, SH
Jabatan
3
Ketua BPSK Kota Tebing Tinggi
Wakil Ketua BPSK Kota Tebing Tinggi
Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi
Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi
Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi
Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi
Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi
Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi
Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi
Kepala Sekretariat BPSK Kota Tebing Tinggi
Kasi Tata Usaha BPSK Kota Tebing Tinggi
Kasi Pelayanan, Pengaduan dan Konsultasi
BPSK Kota Tebing Tinggi
Kasi Kepaniteraan BPSK Kota Tebing Tinggi
Unsur
4
Pemerintah
Pelaku Usaha
Konsumen
Konsumen
Konsumen
Pemerintah
Pemerintah
Pelaku Usaha
Pelaku Usaha
-
Sumber : BPSK Kota Tebing Tinggi dengan modifikasi
Berdasarkan peraturan – peraturan pembentukan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi tersebut di atas, jika digambarkan
52
secara srtuktural, maka Struktur Organisasi Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Kota Tebing Tinggi dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 1
Struktur Organisasi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Kota Tebing Tinggi Periode 2011 – 2016
KETUA
Ir. Iboy Hutapea
WAKIL KETUA
Erdy Willis, SH
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
ANGOTA - ANGGOTA
Mahfud Fauzi, SE
Yanti Perawati S, SH
Alfian Nazri, SH
Dra. Hj. Farida Hanum
Siti Masita S, SH
Basyaruddin Nasution, SH
Drs. Zulfan Kurniawan
KEPALA SEKRETARIAT
Mahyudanil, SH, MH
TATA USAHA
M. Cholid Ridha, SE
PELAYANAN, PENGADUAN &
KONSULTASI
Hj. Jelita Pasaribu, SH
KEPANITERAAN
Mery Hutahaean, SH
Sumber : BPSK Kota Tebing Tinggi dengan modifikasi
Dalam
melaksanakan
tugasnya,
Badan
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen Kota Tebing Tinggi didukung prasarana dan sarana sebagai berikut :
1. Gedung kantor
: 1 unit seluas 40 m2
53
2. Meja kerja
: 3 buah
3. Kursi kerja
: 6 buah
4. Meja dan kursi sidang: 1 set
5. Komputer
: 1 set
Anggaran pembiayaan dalam pelaksanaan tugas operasional Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi dianggarkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Tebing Tinggi yang
dialokasikan pada Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA) Dinas Koperasi, Usaha
Mikro Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan Kota Tebing Tinggi.
Anggaran pembiayaan dan belanja Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Kota Tebing Tinggi mulai dianggarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Kota Tebing Tinggi Tahun 2011. Alokasi anggaran sejak tahun
2011 s/d 2015 adalah sebagai berikut :
1. Tahun Anggaran 2011
: Rp 172.510.000,-
2. Tahun Anggaran 2012
: Rp 263.146.000,-
3. Tahun Anggaran 2013
: Rp 250.702.000,-
4. Tahun Anggaran 2014
: Rp 228.800.000,-
5. Tahun Anggaran 2015
: Rp 322.688.600,-
Sejak
terbentuknya
dan
beroperasionalnya
Badan
Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi sejak tahun 2011 s/d 2015, belum
banyak perkara yang ditangani dan diselasaikan oleh Badan Penyelesaian
54
Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi. Jumlah perkara / pengaduan tentang
penyelesaian sengketa konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Kota Tebing Tinggi, dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3
Jumlah Perkara Yang Ditangani dan Diselesaikan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi
Jumlah
Pengaduan
Jumlah
Pengaduan
Yang
ditolak
Jumlah
Pengaduan
Yang
dicabut
Konsialiasi
Mediasi
Arbitrase
Jumlah
2011
4
0
0
2
1
1
4
Jumlah
Keberatan
Atas
Putusan
BPSK
0
2012
8
0
0
0
4
4
8
1
8
28
0
0
10
0
Tahun
2013
2014
30
10
0
0
2
0
Jumlah Pengaduan Yang Diselesaikan
1
0
19
10
2015
8
0
0
0
1
1
2
0
Jumlah
60
0
2
3
35
14
52
1
Sumber : BPSK Kota Tebing Tinggi dengan modifikasi
Keterangan
Kasasi
6 pengaduan
dalam
pemeriksaan
berkas
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi
1. Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Penyelesaian sengketa konsumen dalam perkembangan kehidupan
masyarakat dapat diselesaikan oleh suatu badan atau lembaga yang secara
hukum telah dibentuk oleh pemerintah berdasarkan pasal 49 ayat (1) UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Kabupaten / Kota di Indonesia
adalah untuk menjawab dan menyelesaikan berkembangnya permasalahan
yang terjadi berkaitan dengan sengketa di bidang perlindungan konsumen.
Khusus Kota Tebing Tinggi telah dibentuk Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 23 Tahun
2009 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada
Kota Tebing Tinggi, Kota Binjai, dan Kota Bogor. Sebagaimana layaknya
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen lainnya, maka BPSK Kota Tebing
Tinggi merupakan badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan
sengketa antara pelaku usaha dan atau penyedia jasa dengan konsumen.
Penyelesaian sengketa ini dilakukan di luar pengadilan.
55
56
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, maka kewenangan yang
paling mendasar pada BPSK Kota Tebing Tinggi adalah melaksanakan
penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase, serta
memberikan
konsultasi
perlindungan
konsumen
dan
pengawasan
pencantuman klausa baku.
Erdy Willis, SH selaku Wakil Ketua BPSK Kota Tebing Tinggi
mengatakan bahwa :
pengadilan negeri dalam memeriksa dan mengadili sengketa konsumen
menggunakan Hukum Acara Perdata dengan tetap memperhatikan
ketentuan yang terdapat dalam Undang – Undang Pokok Kehakiman,
Undang – Undang Perlindungan Konsumen, dan Undang – Undang
Mahkamah Agung. Sedangkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
menggunakan Undang – Undang Perlindungan Konsumen, Undang –
Undang Arbitrase1
Pada kesempatan lain, Ir. Iboy Hutapea selaku Ketua BPSK Kota
Tebing Tinggi mengatakan bahwa:
Jika di Pengadilan Negeri para pihak dapat dikuasakan kepada Pengacara,
sedangkan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Tanpa Pengacara,
Pada prinsipnya penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen tanpa lawyer (pengacara), hal ini
mengingat yang ditonjolkan dalam proses penyelesaian sengketa adalah
musyawarah kekeluargaan, bukan masalah aspek hukum yang ketat, kaku
karena putusan yang diharapkan di Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen adalah win-win solution.2
Pada kesempatan yang sama, Alfian Nazri, SH selaku Anggota BPSK
Kota Tebing Tinggi mengatakan bahwa :
1
Erdy Willis, Wakil Ketua BPSK Kota Tebing Tinggi, wawancara tanggal 12 Pebruari 2015.
Iboy Hutapea, Ketua BPSK Kota Tebing Tinggi, wawancara tanggal 10 Pebruari 2015
2
57
Sengketa konsumen yang bukan kewenangan BPSK antara lain
tergugatnya adalah bukan lembaga atau instansi pemerintah baik sipil
maupun militer, barang atau jasa yang dikonsumsi secara hukum dilarang
untuk dikonsumsi atau diperdagangkan, kasus pidana yang dilakukan oleh
pelaku usaha.3
Dengan memahami pernyataan kedua subjek penelitian di atas, maka
penyelesaian sengketa konsumen dengan jalur pengadilan adalah suatu
penyelesaian sengketa secara konvensional melalui litigasi sistem peradilan.
Sedangkan
penyelesaian
sengeketa
konsumen
melalui
jalur
Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah penyelesaian melalui non-litigasi
akan tetapi lebih mengedepankan win-win solution melalui jalur konsiliasi,
mediasi dan arbitrase, sepanjang sengketa konsumen tersebut tidak termasuk
dalam kategori barang atau jasa yang secara hukum dilarang untuk
diperdagangkan.
2. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Konsumen yang merasa hak – haknya telah dirugikan dapat
mengajukan
permohonan
penyelesaian
sengketa
konsumen
melalui
Sekretariat Badan Penyelesaian Sengekta Konsumen. Pelaku usaha juga dapat
melakukan hal yang sama. Permohonan tersebut dapat diajukan secara tertulis
atau secara lisan.
Permohonan yang dibuat secara tertulis diberikan bukti tanda terima
oleh Sekretariat Badan Penyelesaian Sengekta Konsumen kepada pemohon.
3
Alfian Nazri, Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi, wawancara tanggal 17 Pebruari 2015
58
Sedangkan permohonan yang dibuat secara tidak tertulis harus dicatat oleh
Sekretariat Sekretariat Badan Penyelesaian Sengekta Konsumen dalam suatu
formulir yang disediakan dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol oleh
konsumen dan kepada pemohon diberikan bukti tanda terima. Berkas
permohonan penyelesaian sengketa konsumen baik yang tertulis maupun tidak
tertulis dicatat oleh Sekretariat Badan Penyelesaian Sengekta Konsumen dan
dibubuhi tanggal dan nomor registrasi.
Permohonan yang diajukan untuk penyelesaian sengketa konsumen
harus dibuat secara benar dan lengkap dengan mengacu pada pasal 16
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Pengajuan permohonan penyelesaian sengketa konsumen dapat juga
dilakukan oleh ahli waris ataupun kuasanya. Permohonan yang diajukan oleh
ahli waris atau pihak yang diberikan kuasa dilakukan dengan memperhatikan
persyaratan yang telah ditetapkan pada pasal 15 ayat (3) Keputusan Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
:
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen.
59
Mahyudanil, SH, MH selaku Kepala Sekretariat BPSK Kota Tebing
Tinggi dan Mery Hutahaean, SH selaku Kasi Kepaniteraan Sekretariat BPSK
Kota Tebing Tinggi mengatakan bahwa:
Data pengaduan yang diterima secara benar dan lengkap diajukan oleh
Kepala Sekretaiat kepada Ketua BPSK, selanjutnya Ketua BPSK
membuat surat panggilan kepada tergugat dan penggugat agar hadir pada
sidang pertama. Ketua BPSK juga harus membentuk majelis dan
menunjuk panitera, hal ini harus dilakukan sebelum sidang pertama. Bagi
pengaduan yang tidak lengkap, pengaduan tersebut dikembalikan kepada
pengadu untuk dilengkapi.4
Selanjutnya Yanti Perawati, SH selaku Anggota BPSK Kota Tebing
Tinggi mengatakan bahwa:
Ketua BPSK dapat menolak permohonan penyelesaian sengketa
konsumen jika permohonan yang disampaikan tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana yang diatur dalam pasal 16 Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001
Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen, dan penolakan juga dapat dilakukan apabila
permohonan yang diajukan bukan merupakan kewenangan BPSK
sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.5
Secara singkat proses pengajuan permohonan penyelesaian sengketa
konsumen, dapat dilihat pada gambar berikut ini :
4
Mahhyudanil, Mery Hutahaean, Kepala Sekretariat BPSK Kota Tebing Tinggi, wawancara
tanggal 17 Pebruari 2015
5
Yanti Perawati, Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi, wawancara tanggal 17 Pebruari 2015
60
Gambar 2
Prosedur Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Panggil Para
Pihak
diterima
Ajukan
permohonan
Sekretariat
BPSK
PEMOHON
Ketua
BPSK
tanda terima
Pemberitahuan penolakan
Rapat
Anggota
BPSK
ditolak
Sumber : BPSK Kota Tebing Tinggi dengan modifikasi
3. Penyelesaian Sengketa Konsumen
Dalam penyelesaian sengketa konsumen antara pelaku usaha
dan/atau penyedia jasa telah ditetapkan paling lama 21 (dua puluh satu) hari
kerja terhitung sejak tanggal ditetapkannya gugatan diterima, baik itu melalui
konsiliasi, mediasi mapun arbitrase. Hal ini secara tegas tertuang dalam pasal
55 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Secara singkat prosedur penyelesaian sengketa konsumen melalui
BPSK Kota Tebing Tinggi secara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase dapat
dilihat pada gambar dibawah ini :
61
Gambar 3
Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen
Secara Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase
Majelis
Panitera
Konsiliator / Mediator
PUTUSAN MAJELIS
Tentang
Pengesahan /
pengukuhan Hasil
Musyawarah
Hasil Musyawarah
berupa Kesepakatan
Tertulis Para Pihak
Konsumen
p
a
n
g
g
i
l
a
n
Sekretariat
BPSK
Konsiliasi
Forum
Musyawarah
Penentuan
Cara
Penyelesaian
Pelaku
Usaha
Mediasi
Arbitrase
Panggilan
Pertama
Panggilan
Kedua
Salah Satu
Pihak Tidak
Hadir
Sidang Gugatan
Dikabulkan Tanpa
Kehaditan Pelaku
Usaha
Konsumen
Tidak Hadir
Sidang Penetapan
Gugatan Batal Demi
Hukum
Gugatan
Dicabut
MAJELIS
Umumkan
Pencabutan
Para Pihak Hadir
Sidang Majelis
Upaya Damai
Para Pihak Hadir
Pelaku Usaha
Tidak Hadir
Forum
Musyawarah
Para Pihak
Memilih Berdamai
PUTUSAN MAJELIS
Umumkan Tetapkan
Damai
PUTUSAN MAJELIS
Sumber : BPSK Kota Tebing Tinggi dengan modifikasi
Teruskan
Arbitrase
 Pembacaan Isi Gugatan
 Pembacaan Nota Jawaban
 Para Pihak diberi kesempatan
yang sama menjelaskan hal
yang dipersengketakan.
PUTUSAN MAJELIS
62
a. Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Konsiliasi dan Mediasi
Sidang penyelesaian sengketa konsumen secara konsiliasi dan
mediasi berdasarkan metode pilihan para pihak tersebut maka:
a. Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen membentuk Majelis
(terdiri dari 3 (tiga) orang anggota yang mewakili semua unsur) dan
menentukan waktu sidang pertama;
b. Majelis BPSK menentukan sidang I (pertama) dan dapat dilakukan
sidang lebih dari 1 (satu) kali jika dibutuhkan, tanpa melebihi waktu
21 (dua puluh satu) hari kerja;
c. Dalam pelaksanaan sidang antara konsumen dan pelaku usaha
dipertemukan dalam sebuah forum musyawarah;
Pada saat konsumen dan pelaku usaha berada di forum
musyawarah, maka majelis mempunyai peranan yang berbeda pada dalam
setiap metode / cara penyelesaian sengketa konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen secara konsiliasi, majelis
memiliki peran sebagai berikut :
a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian kepada para
pihak yang bersengketa baik bentuk maupun jumlah ganti rugi;
b. Majelis bertindak pasif sebagai konsiliator;
c. Majelis menerima hasil musyawarah para pihak yang bersengketa dan
mengeluarkan keputusan.
63
Konsiliasi adalah suatu bentuk proses penyelesaian sengketa di
luar pengadilan. Pada proses tersebut dilibatkan pihak lain di luar pihak
yang sedang bersengketa, pihak lain tersebut bertindak sebagai konsiliator
yang bersikap pasif. Adapun yang bertindak sebagai konsiliator adalah
majelis yang telah disetujui oleh Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen. Tujuan dilibatkannya konsiliator adalah agar dapat dengan
mudah tercapai kata sepakat atas pemasalahan yang terjadi. Adanya
konsiliator yang memilliki latar belakang pengetahuan mengenai
konsumen tentunya akan dapat mempermudah para pihak untuk mencapai
kata sepakat. Konsiliator dapat mengusulkan solusi penyelesaian
sengketa, tetapi tidak berwewenang memutus perkaranya. Majelis BPSK
menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para
pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti kerugiannya.
Terhadap usulan konsiliator, para pihak yang bersengketa harus
menyatakan persetujuan atas usulan tersebut dan menjadikannya sebagai
kesepakatan penyelesaian sengketa.
Sedangkan penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi,
majelis memiliki peran sebagai berikut :
a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian kepada para
pihak yang bersengketa, mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;
64
b. Majelis bertindak aktif sebagai Mediator dengan memberikan nasehat,
petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa;
c. Majelis menerima hasil musyawarah para pihak yang bersengketa dan
mengeluarkan keputusan;
Mediator sebagai pihak ketiga harus memiliki sejumlah
persyaratan dan keahlian (skill), yang akan membantu menjalankan
proses
mediasi.
Mediator
tidak
melakukan
intervensi
terhadap
pengambilan keputusan.6 Majelis selaku mediator tidak mempunyai
wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para
pihak untuk menyelesaikan persoalan – persoalan yang diserahkan
kepadanya. Dalam sengketa di mana salah satu pihak lebih kuat dan
cenderung menunjukkan kekuasaannya, maka Majelis selaku mediator
memegang peran penting untuk menyetarakannya. Kesepakatan dapat
tercapai dengan mediasi, jika para pihak yang bersengketa berhasil
mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian
sengketa dengan arahan konkret dari mediator. Penyelesaian sengketa
melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa
dengan didampingi oleh mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya
proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk
6
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, & Hukum Nasional , (Jakarta
: Kencana, 2011, cet- kedua), h. 60
65
maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin
tidak terulangnya kembali kerugian konsumen.
b. Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Arbitrase
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas
dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, pada pasal 1
ayat (11) mendefinisikan “Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang
bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada
BPSK”7
Dengan cara arbitrase ini, para pihak menyerahkan sepenuhnya
kepada majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk
memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Pasal
32 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menyatakan bahwa:
(1) Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase, para
pihak memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur
pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis BPSK;
(2) Arbiter yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbiter
ketiga dari anggota BPSK dari unsure pemerintah sebagai ketua
7
Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen
Kementerian Perdagangan, Himpunan Peraturan Perlindungan Konsumen Seri Kelembagaan, h.40
66
majelis BPSK. Jadi unsur pemerintah selalu dipilih untuk menjadi
ketua majelis.8
Prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara
arbitrase dilakukan dengan 2 (dua) persidangan, yaitu persidangan
pertama dan persidangan kedua.
Prinsip-prinsip pada persidangan pertama, yaitu:
a. Kewajiban majelis BPSK memberikan petunjuk tentang upaya
hukum bagi kedua belah pihak.
b. Kewajiban majelis BPSK untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Dalam hal tercapai perdamaian, maka hasilnya wajib dibuatkan
penetapan perdamaian oleh majelis BPSK.
c. Pencabutan gugatan konsumen dilakukan sebelum pelaku usaha
memberikan jawaban,dituangkan dengan surat penyataan, disertai
kewajiban majelis mengumumkan pencabutan gugatan tersebut
dalam persidangan.
d. Kewajiban majelis BPSK untuk memberikan kesempatan yang sama
bagi para pihak, yaitu :
1) Kesempatan yang sama untuk mempelajari berkas yang
berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya.
8
Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen
Kementerian Perdagangan, Himpunan Peraturan Perlindungan Konsumen Seri Kelembagaan, h.48
67
2) Pembacaan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku
usaha, jika tidak tercapai perdamaian.
Sedangkan prinsip-prinsip pada persidangan kedua, yaitu:
a. Kewajiban majelis BPSK untuk memberikan kesempatan terakhir
sampai persidangan kedua disertai kewajiban para pihak membawa
alat bukti yang diperlukan, bila salah satu pihak tidak hadir pada
persidangan pertama.
b. Persidangan kedua dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 5
(lima) hari kerja sejak hari persidangan pertama.
c. Kewajiban sekretariat BPSK untuk memberitahukan persidangan
kedua dengan surat panggilan kepada para pihak. Pengabulan
gugatan konsumen, jika pelaku usaha tidak datang pada persidangan
kedua (verstek), sebaliknya gugatan digugurkan, jika konsumen yang
tidak datang.
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian
atas
kerusakan,
pencemaran
akibat
mengonsumsi
barang
yang
diperdagangkan, dan/atau kerugian konsumen atas jasa yang dihasilkan.
Manakala gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan
kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, dapat berupa ganti
rugi dan/atau sanksi administratif.
68
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa dalam penyelesaian
sengketa konsumen secara arbitrase, upaya perdamaian melalui
musyawarah mufakat tetap dikedepankan. Artinya dalam penyelesaian
sengketa konsumen di BPSK Kota Tebing Tinggi tetap berupaya dengan
putusan yang win-win solution.
4. Putusan
Sejak berdirinya BPSK Kota Tebing Tinggi pada Tahun 2011 sampai
dengan Februari 2015, telah menangani sengketa konsumen dalam bidang
Sengketa Barang dan Sengketa Jasa.
Dari kedua bidang sengketa tersebut yang perkara paling banyak
adalah sengketa jasa jenis kredit sepeda motor (leasing) sebanyak 40 perkara
atau 66,67 % dari 60 perkara yang terdaftar. Sedangkan selebihnya sebanyak
20 perkara atau 33,33 % adalah perkara sengketa lainnya seperti perbankan,
perbengkelan, penerbangan, dan listrik.
Selanjutnya dari 60 permohonan pengaduan yang diterima telah
diselesaikan dan diputuskan sebanyak 52 perkara atau 86,67 %. Sedangkan
selebihnya sebanyak 8 perkara atau 13,33 % masih ada 6 perkara (10 %) yang
sedang dalam tahap pemeriksaan berkas pengaduan dan ada 2 perkara (3,33
%) yang dicabut oleh pemohon. Dari 52 perkara yang telah diputuskan oleh
BPSK Kota Tebing Tinggi tersebut, 51 perkara (98,08 %) dimenangkan oleh
69
pihak konsumen. Dan 1 perkara (1,92 %) di menangkan oleh pelaku usaha,
karena konsumen 2 kali berturut – turut tidak datang ke persidangan. Hal ini
membuktikan bahwa BPSK Kota Tebing Tinggi telah mampu berperan dalam
melindungi hak – hak konsumen di Kota Tebing Tinggi. Sebanyak 52 perkara
yang telah diputuskan oleh BPSK Kota Tebing Tinggi, ada 51 perkara (98,08
%) yang final dan memiliki kekuatan hukum tetap. Sedangkan 1 perkara (1,92
%) lagi yang dilakukan secara arbitrase, diajukan keberatan dan melakukan
kasasi pada tingkat Mahkamah Agung setelah melalui proses pengajuan
keberatan kepada Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli. Hal ini
memperlihatkan bahwa para pihak yang bersengketa telah dapat menerima
putusan BPSK Kota Tebing Tinggi dalam penyelesaian sengketa antara
konsumen dengan pelaku usaha dan/atau penyedia jasa.
Hal ini menjelaskan bahwa BPSK Kota Tebing Tinggi dapat
melindungi hak – hak konsumen di kota Tebing Tinggi, 98,08% sengketa di
menangkan oleh Konsumen yang dirugikan haknya. Peran BPSK Tebing
Tinggi ini juga secara tersirat dalam Islam bahwa wajib hukumnya
melaksanakan amanat yang telah di berikan kepada seseorang, seperti yang
terdapat pada Hadis Riwayat Abu Dawud dan Al - Tirmidzi di bawah ini :
70
“ Tunaikanlah amanat itu kepada orang yang memberi amanat
kepadamu dan jangan kamu mengkhianati orang yang
mengkhianatimu”(HR. Abu Dawud dan Al- Tirmidzi)
Hal ini menjelaskan bahwa dalam Islam wajib hukumnya melaksanakan
amanat yang telah diberikan kepada seseorang, dan dari peran yang
dilakukan oleh BPSK Kota Tebing Tinggi membuktikan bahwa mereka telah
melaksanakan amanat dan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat
dalam menyelesaikan sengketa Konsumen dengan baik, terbukti dengan
hampir 100% sengketa di menangkan oleh konsumen.
B. Hambatan yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota
Tebing Tinggi
Dalam menggerakkan suatu organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi tersebut, sudah pasti membutuhkan tersedianya berbagai sumber daya
sebagai penggerak organisasi tersebut. Berbagai sumber daya tersebut meliputi
sumber daya manusia, bahan baku pekerjaan, perangkat kerja, prosedur kerja,
dan pembiayaan.
BPSK Kota Tebing Tinggi sebagai sebuah organisasi atau badan yang
menyelenggarakan penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha
71
dan/atau penyedia jasa, sudah barang tentu memudahkan berbagai sumber daya
yang memadai. Keterbatasan sumber daya yang ada pada BPSK Kota Tebing
Tinggi saat merupakan faktor penghambat bagi BPSK Kota Tebing Tinggi dalam
menyelenggarakan perlindungan terhadap hak – hak konsumen di Kota Tebing
Tinggi. Faktor – faktor penghambat yang paling menonjol dirasakan oleh BPSK
Kota Tebing Tinggi adalah faktor sumber daya manusia, perangkat kerja, dan
pembiayaan, serta Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum lainnya.
1. Faktor Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia pada BPSK Kota Tebing Tinggi berjumlah 13
(tiga belas) orang, yang terdiri dari 9 (sembilan) orang anggota dan 4 (empat)
orang tenaga sekretariat. Seluruh tenaga personalia BPSK Kota Tebing Tinggi
yang berjumlah 13 (tiga belas) orang tersebut berdasarkan tingkat pendidikan
telah memadai, sebab keseluruhannya berlatar belakang pendidikan minimal
sarjana (S-1). Tingkat pedidikan Anggota dan Tenaga Sekretariat BPSK Kota
Tebing Tinggi dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 4
Tingkat Pendidikan Anggota dan Tenaga Sekretariat
BPSK Kota Tebing Tinggi
No
1
2
Jabatan
Anggota
Tenaga Sekretariat
Jumlah
Tingkat Pendidikan
Ketarangan
Sarjana
Non Sarjana
Hukum
Hukum
Jumlah
5
4
9
3
1
4
8
5
13
Sumber : BPSK Kota Tebing Tinggi dengan modifikasi
72
Dari tabel di atas, dapat dipahami bahwa 4 orang dari 9 orang (44,45
%) Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi tidak berlatar belakang pendidikan
Sarjana Hukum, akan tetapi berlatar belakang pendidikan yang beragam, yaitu
Sarjana Teknik Industri 1 orang, Sarjana Ekonomi 2 orang, dan Sarjana Sastra
1 orang.
Erdy Willis, SH selaku Wakil Ketua BPSK Kota Tebing Tinggi
mengatakan bahwa :
Sering terjadi perdebatan diantara anggota BPSK dalam menentukan
diterima atau tidak diterima suatu pengaduan, atau juga dalam
pengambilan keputusan untuk penetapan Putusan Sidang. Perdebatan itu
terjadi karena adanya perbedaan pandangan (pola pikir) diantara anggota,
Hal ini alamiah karena hampir 50% Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi
bukan berpendidikan Sarjana Hukum.9
Terdapatnya anggota BPSK Kota Tebing Tinggi yang tidak
berpendidikan Sarjana Hukum disebabkan peraturan yang mengatur
persyaratan Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi sebagaimana tertuang dalam
pasal 49 ayat (2) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, dan pasal 7 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
13/M-DAG/PER/3/2010 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Sekretariat Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen tidak ada mengatur dan mewajibkan Anggota Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen harus memiliki pendidikan terakhir Sarjana
Hukum.
9
Erdy Willis, Wakil Ketua BPSK Kota Tebing Tinggi, wawancara tanggal 12 Pebruari 2015.
73
Untuk menutupi kekurangan dari anggota BPSK Kota Tebing Tinggi
yang memiliki latar belakang non Sarjana Hukum, dirahapkan BPSK Kota
tebing Tinggi berusaha untuk melakukan pelatihan teknis dan fungsional di
bidang Perlindungan Konsumen, khususnya Hukum Acara dan Perlindungan
Konsumen, atau melakukan kunjungan kerja ke BPSK Kabupaten/Kota yang
lebih sudah terlebih dahulu terbentuk, agar memiliki pengetahuan yang lebih
dalam tugasnya melindungi hak – hak konsumen.
2. Faktor Sumber Daya Perangkat Kerja
Perangkat kerja atau lazim disebut prasarana dan sarana, merupakan
salah satu faktor penentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. BPSK
Kota Tebing Tinggi pada saat memiliki perangkat kerja atau prasarana dan
sarana yang sangat tidak memadai, sebagaimana tertuang pada Bab III
penelitian ini.
Gedung yang ditempati sebagai prasarana BPSK Kota Tebing Tinggi
bukan milik (asset) sendiri, akan tetapi menumpang pada bagian gedung
Dinas Koperasi, Usaha Mikro Kecil Menengah, Perindustrian dan
Perdagangan Kota Tebing Tinggi dengan luas gedung hanya 40 m2. Meja dan
kursi kerja serta komputer juga masih merupakan asset Dinas Koperasi, Usaha
Mikro Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan Kota Tebing Tinggi.
74
BPSK Kota Tebing Tinggi pada kenyataannya sudah diberikan sebuah
kantor yang bisa digunakan untuk menjadi ruangan persidangan oleh dinas
Koperasi, Usaha Mikro Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan Kota
Tebing Tinggi, agar BPSK Kota Tebing Tinggi bisa lebih leluasa dalam
melakukan persidangan. Namun, infrastruktrur yang ada pada bangunan itu
juga
masih
sangat
minim
dan
tidak
memiliki
anggaran
untuk
memperbaikinya, sehingga BPSK memilih untuk menumpang di bangunan
kantor Dinas Koperasi, Usaha Mikro Kecil Menengah, Perindustrian dan
Perdagangan.
BPSK kota Tebing Tinggi diharapkan agar memberikan permohonan
penambahan Anggaran kepada Pemerintahan Kota Tebing Tinggi, agar dapat
meminta penambahan pada sarana dan prasarana yang lebih memadai.
3. Faktor Sumber Daya Pembiayaan
Selain sumber daya manusia dan perangkat kerja, anggaran yang
merupakan sumber daya pembiayaan juga merupakan faktor yang sangat
penting dalam setiap kegiatan suatu organisasi atau lembaga. Sejak terbentuk
pada tahun 2011, BPSK Kota Tebing Tinggi memiliki alokasi anggaran yang
sangat kecil. Alokasi anggaran belanja BPSK Kota Tebing Tinggi sejak tahun
2011 s/d 2015 ini sebagaimana tertuang pada Bab III penelitian ini masih
merupakan bagian dari Belanja Langsung Daftar Pelaksanaan Anggaran
75
(DPA) Dinas Koperasi, Usaha Mikro Kecil Menengah, Perindustrian dan
Perdagangan Kota Tebing Tinggi. Belanja Langsung yang dianggarkan
tersebut hanya mampu untuk membayar honor Anggota dan Tenaga
Sekretariat serta Alat Tulis Kantor (ATK) BPSK Kota Tebing Tinggi. Jumlah
alokasi anggaran yang diberikan oleh Pemerintah Kota Tebing Tinggi
sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab III terdahulu.
Ir. Iboy Hutapea selaku Ketua BPSK Kota Tebing Tinggi mengatakan
bahwa :
Seharusnya mengingat begitu luas dan kompleksnya permasalahan
perindustrian dan perdagangan, BPSK Kota Tebing Tinggi mampu
menyelesaikan persengketaan yang mungkin muncul antara pelaku usaha
dengan konsumen, namun dari segi jumlah personil, BPSK kota Tebing
Tinggi masih beranggotakan 9 orang majelis, seharusnya sudah diisi oleh
15 orang majelis, namun karena terbatasnya anggaran, masih di gunakan
9 orang majelis, jika tetap berlanjut sepeti ini, BPSK Kota Tebing Tinggi
akan kewalahan menghadapi sengketa – sengketa, namun sekarang masih
di usahaan untuk mengoptimalkan anggota yang sudah ada.10
Kenyataan ini menggambarkan partisipasi dan perhatian Pemerintah
Kota Tebing Tinggi terhadap BPSK Kota Tebing Tinggi masih rendah.
Minimnya alokasi anggaran yang diberikan Pemerintah Kota Tebing Tinggi
sangat berdampak terhadap tingkat kinerja BPSK Kota Tebing Tinggi.
Padahal Keputusan Presiden No. 23 Tahun 2009 Tanggal 29 Agustus 2009
Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Kota
Tebing Tinggi, Kota Binjai dan Kabupaten Bogor pada pasal 3 secara tegas
10
Iboy Hutapea, Ketua BPSK Kota Tebing Tinggi, wawancara tanggal 10 Pebruari 2015.
76
menyatakan bahwa, “ biaya pelaksanaan tugas BPSK dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.”
BPSK
Kota
Tebing
Tinggi
sudah
memberikan
permohonan
penambahan anggaran kepada pemerintahan Kota Tebing Tinggi, namun
Pemerintahan Kota Tebing Tinggi masih memiliki keterbatasan anggaran,
sehingga belum bisa memenuhi semua permohonan dari BPSK Kota Tebing
Tinggi.
Jika Pemerintah Kota Tebing Tinggi mengalami ketebatasan anggaran,
maka BPSK Kota Tebing Tinggi melalui Dinas Koperasi, Usaha Mikro
Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan Kota Tebing Tinggi agar
menyampaikan permohonan alokasi anggaran pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) ataupun
Dana Tugas Pembantuan yang dikelola oleh Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia. Dengan terpenuhinya anggaran yang dibutuhkan BPSK
Kota Tebing Tinggi, di harapkan akan meningkatkan kinerja dan keefektifan
anggota BPSK Kota Tebing Tinggi dalam melindungi hak – hak konsumen.
4. Faktor Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum Lainnya
Selain dari hambatan dari faktor internal, hambatan juga datang dari
faktor eksternal BPSK Kota Tebing Tinggi. BPSK Kota Tebing Tinggi
sebagai badan yang melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan
77
seharusnya juga mendapatkan dukungan dari lembaga – lembaga peradilan
dan penegak hukum lainnya. BPSK Kota Tebing Tinggi yang berdiri pada
tahun 2011 tidak dapat dikatakan baru, akan tetapi rasa ketidakpercayaan dari
lembaga – lembaga penegak hukum lainnya masih saja ada. BPSK Kota
Tebing Tinggi masih sering di anggap tidak berwenang untuk menangani
suatu perkara termasuk dengan cara Arbitrase. Kurangnya komunikasi antar
badan dan lembaga ini membuat tidak efektifnya BPSK sebagai badan yang
bertugas untuk melindungi konsumen. Ketika salah satu pihak mengajukan
keberatan
ke
Pengadilan
Negeri,
Pengadilan
Negeri
banyak
yang
mempertanyakan kewenangan dan tugas dari BPSK Kota Tebing Tinggi,
demikian juga jika BPSK Kota Tebing Tinggi melaporakan suatu kasus yang
mengandung unsur pidana kepada pihak Kepolisian.
Untuk mengurangi rasa ketidaktahuan lembaga peradilan dan penegak
hukum lainnya, BPSK Kota Tebing Tinggi agar melakukan komunikasi dan
koordinasi yang lebih intensif dengan Lembaga Peradilan dan Lembaga
Penegak Hukum lainnya. Hal ini dimaksudkan kiranya Lembaga Peradilan
dan Lembaga Penegak Hukum lainnya dapat lebih memahami tentang
keberadaan dan kewenangan BPSK Kota Tebing Tinggi. Dan BPSK Kota
Tebing Tinggi di harapkan lebih merangkul dan bekerjasama dengan
Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum lainnya, agar bersama –
sama melindungi hak – hak masyarakat sebagai konsumen.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beradasarkan uraian-uraian pada Bab – Bab terdahulu, maka peneliti
menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. BPSK Kota Tebing Tinggi dalam melakukan penyelesaian sengketa
konsumen sejak tahun 2011 s/d 2015 dengan penyelesaian perkara sebanyak
52 perkara dan perkara tersebut sebanyak 51 perkara (98,08 %) dimenangkan
oleh para konsumen, dan telah final serta berkekuatan hukum tetap. Hal ini
membuktikan bahwa BPSK Kota Tebing Tinggi telah mampu berperan dalam
melakukan perlindungan terhadap hak – hak konsumen arbitrase sesuai
dengan tugas dan kewenangannya. Akan tetapi jika dilihat dari rentang waktu
yang cukup pajang antara tahun 2011 s/d 2015, jumlah permohonan
penyelesaian sengketa konsumen dan jumlah perkara yang diselesaikan
dengan rentang waktu yang cukup panjang tersebut maka penanganan perkara
sengketa konsumen oleh BPSK Kota Tebing Tinggi masih dikategorikan
sangat sedikit di bandingkan dengan jumlah penduduk dan jumlah pelaku
usaha yang ada di Kota Tebing Tinggi.
2. Hambatan utama yang dihadapi oleh BPSK Kota Tebing Tinggi dalam
melaksanakan tugas – tugasnya adalah faktor sumber daya manusia Anggota
78
79
BPSK Kota Tebing Tinggi. Walaupun berdasarkan jenjang pendidikan formal
seluruh Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi telah dapat dikatakan memiliki
kualitas yang baik. Akan tetapi secara teknis dan fungsional Anggota BPSK
Kota Tebing Tinggi belum memiliki kualitas yang memadai, sehingga selalu
terjadi perdebatan diantara anggota dalam pengambilan keputusan. Faktor
sumber daya perangkat kerja dan pembiayaan juga menjadi faktor
penghambat yang dihadapi BPSK Kota Tebing Tinggi. Sangat kecilnya
alokasi anggaran dan sangat minimnya asset yang dimiliki oleh BPSK Kota
Tebing Tinggi menyebabkan rendahnya kinerja BPSK Kota Tebing Tinggi.
Selain itu faktor penghambat lainnya adalah masih kurangnya pemahaman
Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum lainnya terdahap
keberadaan dan kewenangan BPSK Kota Tebing Tinggi, yang membuat tidak
efektifnya BPSK dalam menjalankan tugas dan mengakibatkan kurangnya
rasa kepercayaan dari masyarakat.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dirumuskan di atas, maka peneliti
merumuskan beberapa saran kepada pihak – pihak terkait, sebagai berikut :
1. BPSK Kota Tebing Tinggi pada masa
yang akan datang dapat
memprogramkan publikasi dan sosialisasi tentang Perlindungan Konsumen
dan keberadaan BPSK Kota Tebing Tinggi. Publikasi dapat dilakukan melalui
80
berbagai media informasi seperti media cetak ataupun media elektronik.
Sedangkan sosialisasi kiranya dapat dilakukan sampai pada tingkat kelurahan
dengan harapan masyarakat dapat memahami dan sadar akan kewajiban dan
haknya sebagai konsumen serta paham tentang wadah tempat mereka
menyelesaikan sengketa jika terjadi sengketa antara konsumen dengan pelaku
usaha dan/atau penyedia jasa.
2. a. Bagi Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi yang berpendidikan non Sarjana
Hukum agar segera dikirim untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan
teknis dan fungsional bidang hukum khususnya Hukum Acara dan
perlindungan konsumen.
b. BPSK Kota Tebing Tinggi agar mengajukan penambahan anggaran melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada Pemerintah Kota
Tebing Tinggi . Jika Pemerintah Kota Tebing Tinggi mengalami
ketebatasan anggaran, maka BPSK Kota Tebing Tinggi melalui Dinas
Koperasi, Usaha Mikro Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan
Kota Tebing Tinggi agar menyampaikan permohonan alokasi anggaran pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui Dana Alokasi
Khusus (DAK) ataupun Dana Tugas Pembantuan yang dikelola oleh
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Dengan terpenuhinya asset
sebagai sumber daya perangkat kerja dan tersedianya sumber pembiayaan
81
yang cukup maka diharapkan kinerja BPSK Kota Tebing Tinggi akan
meningkat.
c. BPSK Kota Tebing Tinggi agar melakukan komunikasi dan koordinasi yang
lebih intensif dengan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum
lainnya. Hal ini dimaksudkan kiranya Lembaga Peradilan dan Lembaga
Penegak Hukum lainnya dapat lebih memahami tentang keberadaan dan
kewenangan BPSK Kota Tebing Tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab suci :
Al – Qur’an dan Terjemahannya
Buku Bacaan
Abbas, Syahrizal, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, & Hukum
Nasional , Jakarta : Kencana, 2011.
Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian. Jakarta : Rinneka Cipta. 2000.
Barkatullah, Abdul Halim. Hak – Hak Konsumen. Bandung : Nusa Media,
2010.
Ihromi, T.O. Antropologi Hukum. Penerjemah Sulistyowati. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia, 1993
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, Jakarta : Kencana, 2012.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana. 2010.
Nasution, S.. Metode Research Penelitian Ilmiah. Bandung : Jemmars. 1987.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Grasindo: Jakarta)
2000.
Siagian, NHT, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung
Jawab Produk. Jakarta : Panta Rei, 2005.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survai. Jakarta :
.
LP3ES, 1989.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas
Indonesia. 2010.
Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta : Rineka Cipta, 2007.
Suharso dan Ana Retnoningsih. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi lux.
Semarang : Widya Karya, 2014.
82
83
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2005.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta : Rajawali, 1983.
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Kencana, 2013.
Peraturan – Peraturan
Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan
Konsumen Kementerian Perdagangan, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan
Konsumen Kementerian Perdagangan, Himpunan Peraturan Perlindungan
Konsumen Seri Kelembagaan, KEPMEN Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen.
KEPMEN Perindustrian dan Perdagangan Nomor 396/M-DAG/KEP/5/2011
Tentang Pengangkatan Anggota Badan penyelesaian Sengketa Kota Tebing Tinggi.
Keputusan Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negeri Kementrian
Perdagangan dan Perindustrian Nomor 139/PDN/KEP/11/2011 Tentang
pengangkatan Kepala Sekretariat dan Anggota Sekretariat Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi.
Keputusan Presiden RI Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Kota tebing Tinggi, Kota Binjai dan Kota
Bogor.
Download