penatagunaan tanah dalam rangka pengembangan

advertisement
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
PENATAGUNAAN TANAH DALAM RANGKA
PENGEMBANGAN
WILAYAH KOTA ATAS PEMBANGUNAN KAWASAN
PERUMAHAN
Muhammad Hery Kurniawan
Magister Kenotariatan
[email protected]
ABSTRAK
Permasalahan penatagunaan tanah dan perumahan merupakan salah satu
permasalahan dalam rangka pengembangan wilayah kota. Pertumbuhan
penduduk yang semakin padat ditambah jumlah urbanisasi yang semakin besar
membuat lahan perkotaan semakin menyempit. Derasnya arus urbanisasi,
ditambah dengan lahan perkotaan yang semakin menyempit menjadi penyebab
kenapa tatakelola kota menjadi penting untuk dibahas. Akan tetapi UndangUndang Pokok Agraria tidak mengatur mengenai penatagunaan tanah untuk
perumahan. Kondisi ini bisa menjadi penyebab utama amburadulnya
penatagunaan kota serta perumahan yang tidak mempedulikan lingkungan
sekitar. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
Undang-Undang Pokok Agraria terutama pasal 14 yang menjelaskan tentang
pengaturan penatagunaan tanah dirancang lebih detail dan lengkap menyesuaikan
realita yang berkembang serta pada pasal 15 yang seharusnya mampu mencakup
pengaturan penatagunaan tanah pengembangan wilayah kota atas kawasan
perumahan secara lebih jelas dan rinci.
Kata kunci : UUPA, Penatagunaan tanah, penataan perumahan.
ABSTRACT
Stewardshipof landandhousingproblemsisone ofthe problemsin developingareas
of the city. Increasinglydensepopulation growthplus theincreasingly largenumber
ofurbanizationmakesurban
landnarrowing.
The
rapidurbanization,
coupledwithurban landincreasinglynarrowedthe causewhy thegovernance ofthe
citybecomesimportanttobe discussed. However,the Basic AgrarianLawdoes
notregulate
thestewardshipof
landforhousing.
This
conditioncouldbe
themaincause ofdamage to thestewardshipof the city andhousingdo
notcareaboutthe environment. This research is anormative juridicalusing statute
approach. The study concludedthat theBasic AgrarianLaw, especially
Article14,whichdescribes
thelandstewardshiparrangementsdesigned
moredetailedandcompletetailor-growing realityandin article15,whichshould be
able toincludelandstewardshiparrangementsfor regional developmentover
thecityresidential areasmore clearlyand in detail.
Keyword: Basic Agrarian Law, stewardship of land, housing arrangement.
1
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
1.1. Latar Belakang
Tanah merupakan hal penting bagi kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan
tanah bisa dimanfaatkan bermacam-macam oleh manusia. Namun demikian,
penguasaan tertinggi atas tanah adalah negara. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa “Bumi, air, dan termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Pasal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan hukum antara Negara
sebagai subjek tanah dan tanah itu sendiri. Dengan kata lain, Negara mempunyai
kewenangan tertinggi untuk mengatur tanah yang bertujuan untuk kemakmuran
rakyat. Hal ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 05 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-poko Agraria (selanjutnya disebut UUPA)
disebutkan bahwa Hak menguasai dari Negara memberikan wewenang: 1) mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air,dan ruang angkasa tersebut; 2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; 3) menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air,dan ruang angkasa.
Kondisi yang sering terjadi adalah peruntukan dan penggunaan tanah tidak
sejalan dengan penatagunaan tanah. Tanah mengalami penurunan kuantitas dan
kualitas seiring dengan dinamika penduduk dan pesatnya pembangunan. Salah
satunya adalah pengembangan wilayah kota. Pengembangan wilayah kota idealnya
membutuhkan penataan ruang yang baik. Penataan ruang yang baik diperlukan
perencanaan tata ruang yang baik pula. Perencanaan tata ruang wilayah merupakan
kegiatan menentukan rencana lokasi berbagai kegiatan dalam ruang agar memenuhi
berbagai kebutuhan manusia dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia.
Dengan demikian perencanaan ini sangatlah penting. Untuk terwujudnya suatu
pembangunan yang baik dan berhasil harus mempunyai perencanaan yang matang
dan baik serta dapat dilaksanakan. Perencanaan merupakan suatu alat untuk
meningkatkan nilai tambah sumber daya yang tersedia dalam satu wilayah atau
2
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
daerah dalam rangka mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
sebesar-besarnya dalam kurun waktu tertentu1.
Salah satu pengembangan wilayah kota yang membutuhkan perencanaan
matang adalah pembangunan kawasan perumahan. Hal ini karena tingginya laju
pertumbuhan penduduk akan menimbulkan kebutuhan lahan perumahan dan
pemukiman yang sangat besar, sementara kemampuan Pemerintah sangat terbatas.
Menurut catatan, hanya 15% kebutuhan perumahan yang mampu disediakan oleh
pemerintah, sisanya sebesar 85% disediakan oleh masyarakat atau swasta. Apabila
pembangunan perumahan yang dilakukan oleh masyarakat atau swasta tidak
dikendalikan pengembangannya, maka akan menimbulkan masalah besar yang
mengancam kawasan yang lain2.
Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia masih menghadapi
permasalahan besar dalam menata perkembangan dan pertumbuhan perumahan dan
pemukiman kota. Fenomena yang terlihat jelas adalah semakin meluaskan
pemukiman kumuh yang berdampingan dengan kawasan perumahan elite. Selain itu,
semakin tidak nyamannya kondisi lingkungan akibat meningkatnya kepadatan
penduduk, kurangnya wilayah hijau dan ruang-ruang terbuka, dan meningkatnya
jumlah kendaraan bermotor dengan cepat.
Rumah dan perumahan seyogyanya dipandang sebagai bagian dari lingkungan
pemukiman dan lingkungan pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup.
Perluasan areal untuk pemukiman dan perumahan mengakibatkan terjadinya
perubahan lingkungan alam yang semua berfungsi sebagai area penyerapan air
menjadi lingkungan buatan yang menolak resapan air. Kontradiksi antara perlunya
perumahan dan pemukiman dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
1
Zaidar. Hukum Tata Ruang Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa Press
Budiman Arif. 2004. Aplikasi Penataan Perumahan dan Pemukiman Masyarakat Dalam
Penataan Ruang Kota Sesuai Kebijakan Pemerintah. Sekretaris Jenderal Departemen Pemukiman dan
Prasarana Wilayah.
2
3
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
dengan upaya pelestarian lingkungan ibarat dua mata uang yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya 3.
Menurut penelitian menyatakan bahwa terdapat beberapa komponen yang
menjadi program prioritas dalam pengembangan kawasan perkotaan adalah
pengembangan pusat-pusat pemukiman potensial termasuk pemukiman kumuh pada
daerah pinggiran dengan program penataan kembali wilayah administratif kecamatan,
peningkatan pelayanan prasarana transportasi dan komunikasi untuk membuka
keterisolasian daerah dengan daerah sekitarnya. Pengembangan kawasan ini
dilakukan dengan penyerasian pendekatan pembangunan (prosoperity approach) dan
pendekatan keamanan (security approach) 4.
Menyikapi hal tersebut, maka sangat perlu untuk melakukan pengembangan
wilayah perkotaan sebagai langkah untuk melakukan penataan ulang terhadap
lingkungan fisik perkotaan serta peremajaan wilayah kota. Oleh karena itu, dengan
adanya infrastruktur yang dinilai cukup memadai, maka kawasan kota perlu penataan
beberapa komponen untuk pengembangan kawasan perkotaan sebagai daerah pusat
kegiatan pemerintahan. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Komponenkomponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan
(infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan5.
Secara hukum, untuk menyikapi hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 52 UU No.5/1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, dan sejalan dengan ketentuan dalam UU No.24/1992
tentang Penataan Ruang, maka perlu dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut
juga pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan
3
Syahmuddin. 2010. Pengembangan Kawasan Perumahan dan Pemukiman Pada Kota
Terpadu Mandiri (KTM) Mahalona Kabupaten Luwu Timur. Universitas Diponegoro Semarang.
4
Jones Hendra M. Sirait. 2009. Konsep Pengembangan Kawasan Kota. Wahana Hijau Jurnal
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Vol. 4, No. 3.
5
Ibid
4
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
pemanfaatan tanah yang tertuang dalam PP No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah
(selanjutnya disebut PP Penatagunaan Tanah). Hukum Agraria nasional merupakan
alat bagi pencapaian tujuan pembangunan maka tata guna tanah yang merupakan
bagian dari Hukum Agraria nasional harus mempunyai tujuan searah dengan tujuan
pembangunan Nasional.
Secara garis besar, Peraturan Pemerintah tersebut memuat ketentuan yang
mengatur tanah, terutama yang terkait aspek pengelolaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah. Struktur tata ruang harus didasarkan pada tujuan dan strategi
pengembangan tata ruang kota yang disesuaikan dengan kebijaksanaan tata ruang
yang telah ditetapkan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota, maupun peraturan
dan kebijakan sektoral lainnya.
Berdasarkan wacana diatas muncul suatu pertanyaan mengenai seperti apa
gambaran penatagunaan tanah berdasarkan UUPA serta penataagunaan tanah dalam
rangka pengembangan wilayah kota atas kawasan perumahan yang juga berdasarkan
UUPA. Dari hal itu, maka akan diketahui penataagunaan tanah dan pengembangan
wilayah kota yang dilakukan sudah sesuai dengan UUPA.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan uraian di atas, masalah pokok yang dapat dirumuskan dalam
penelitian ini adalah:
a. Bagaimana penatagunaan tanah berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria?
b. Bagaimana penatagunaan tanah dalam rangka pengembangan wilayah kota atas
kawasan perumahan berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini
adalah:
a. Untuk menganalisis penatagunaan tanah berdasarkan Undang-undang Pokok
Agraria
5
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
b. Untuk menganalisis penatagunaan tanah dalam rangka pengembangan wilayah
kota atas kawasan perumahan berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria.
Pembahasan
1.
Arti Penting Pengaturan Pertanahan Dalam UUPA
Tanah merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia. Betapa tidak
setiap dinamika manusia dilakukan di atas tanah. Baik itu tempat tinggal, tempat
mencari nafkah, dan beragam kegiatan lainnya. Tanah menjadi komponen yang tak
terpisahkan dengan kehidupan manusia. Sesuai dengan teori ini maka pemerintah
Indonesia memberikan perhatian yang besar terhadap hal-hal yang berakitan dengan
tanah. Perhatian itu diejawantahkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Salah satu dari peraturan perundang-undangan tersebut adalah UUPA.
Hak atas tanah yang dapat dipunyai dan diberikan kepada perseorangan dan
badan hukum diatur dalam ketentuan Pasal 16 UUPA ayat (1) yakni: Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, hak membuka tanah, hak
memungut hasil hutan, hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas
yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.
Orang yang memiliki hak atas tanah mempunyai dua wewenang yaitu
wewenang umum dan wewenang khusus6 :
1. Wewenang umum, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk
menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi, air dan ruangan yang ada di
atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturanperaturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA).
2. Wewenang Khusus, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk
menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya.
6
Soedikno, Mertokusumo. 1988. Hukum dan Politik Agraria, Op.cit
6
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
2.
UUPA Tidak Mengatur Secara Komprehensif Terkait Penatagunaan Tanah
UUPA sebagai induk hukum pertanahan nasional, kendati tetap berpacu
terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, seharusnya memperhatikan secara
objektif terhadap tanah. Bukan hanya hak-hak orang yang memiliki tanah saja. Hal
ini untuk menjamin keberlangsungan tanah dan untuk menjaga tata letak kota agar
tetap baik dan bagus. Tanah adalah benda yang akan diwariskan terhadap anak-cucu
Indonesia. Eksistensi tanah dan bagaimana sistem peruntukannya seharusnya menjadi
aturan yang lebih awal dibuat, bukan malah hak-hak memilikinya yang terlebih
dahulu diatur. Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal, bahwa kondisi semacam ini
bisa mengancam eksistensi tanah, karena hanya hak pemiliknya yang dijamin.
Sedangkan eksistensi tanahnya tidak diperhatikan.
Pada diktum b konsideran UUPA disebutkan bahwa UUPA harus mampu
mengakomodir mengenai tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa untuk
kepentingan rakyat Indonesia. Selain kepastian hukum bagi para pemilik tanah,
sebenarnya UUPA diprospek bisa menyelesaikan permasalahan yang berkaitan
dengan fungsi bumi secara umum. Fungsi bumi yang pada akhirnya diniatkan untuk
kepentingan masyarakat secara umum, bukan hanya untuk kepentingan para pemilik
tanah saja. Selain itu UUPA juga harus menjadi pengejawantahan dari Ketuhanan
Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial.
UUPA harus menjadi penyebab terciptanya keadilan agraria, di mana tidak ada
ketimpangan dalam pemilikan penguasaan dan pemanfaatan tanah serta kekayaan
alam lainnya. Hal ini sebagai perwujudan dari asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Ini merupakan kenyataan yang menjadi komitmen dari eksistensi UUPA.7
Pembuatan UUPA juga berdasarkan kepada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar dan Manifesto Politik
Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam Pidato Presiden tanggal 17
Agustus 1960. Sesuatu yang diambil oleh peraturan perundang-undangan tersebut
dalam UUPA adalah pengaturan mengenai pemilikan dan penggunaan tanah sebesar 7
Sediono M.P.T dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan
Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa, Jakarta, Gramedia, 1984, hal. 429
7
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
besarnya dipergunakan untuk kepentingan kemakmuran rakyat baik perseorangan
atau gotong royong. Oleh karena pentingnya dibuat aturan baru. Akan tetapi diktumdiktum dalam konsideran tersebut tidak terejawantahkan dalam keseluruhan isi dari
UUPA. Sebagaimana sudah disinggung pada paragraf sebelumnya, bahwa UUPA
hanya mengatur kepemilikan pribadi dan penggunaannya, sedangkan penggunaan dan
pemanfaatan untuk kepentingan orang banyak (kemakmuran) sama sekali tidak
terakomodir.
3.
Penatagunaan Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat
Perhatian pemerintah terhadap perlindungan dan kepastian hukum untuk
pemilik tanah. Subjektifitas yang begitu tinggi ini sampai menutupi untuk
memperhatikan masalah lain, yaitu bagaimana peruntukan dan tata kelola tanah yang
dimiliki. UUPA hanya mengatur peruntukan tanah sampai pada penggunaan tanah
sesuai jenis hak atas tanah yang dimiliki. Pengaturannya sebagai berikut “Hak Milik,
Pasal 20. (1) Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6”. Berdasarkan
pengaturan hak milik ini maka begitu jelas betapa pasal tersebut hanya mengatur hak
dari si pemilik tanah. Orang yang memiliki hak milik atas tanah adalah pemegang hak
terkuat, seolah-olah orang lain tidak bisa menganggu kepemilikannya dan mau
dipergunakan untuk apa tanah yang dimilikinya tersebut.
Kemudian untuk Hak guna usaha diatur sebagai berikut “Hak guna-usaha.
Pasal 28. (1) Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29,
guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan”. Pada hak guna usaha ini juga
dijelaskan bahwa pemegang hak guna usaha berhak untuk mengusahakan tanah
dalam berbagai sektor, baik itu perikanan, pertanian, atau peternakan. Hak tersebut
diberikan oleh Negara kepada seseorang dalam rentan waktu yang ditentukan. Sama
dengan pasal sebelumnya, yaitu pengaturan hak milik, pengaturan hak guna usaha
hanya menyentuh ranah hak-hak yang bisa dilakukan oleh si empunya hak atas tanah
dan penggunaan untuk kepentingan si pemegang hak atas tanah pula. Sedangkan
bagaimana bentuk bangunan yang boleh dibangun di atas tanah tersebut diatur.
8
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
Selanjutnya adalah pengaturan hak guna bangunan, UUPA mengatur
demikian : “Hak guna-bangunan. Pasal 35. (1) Hak guna-bangunan adalah hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”. Pengaturan ini adalah
pengaturan yang paling terlihat betapa UUPA tidak mengatur tentang peruntukan
tanah dalam konteks bangunannya. Hak atas bangunan adalah hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya dalam jangka
waktu 30 (tiga) puluh tahun. Bentuk apa yang boleh dibangun, bagaimana pengaturan
bangunan yang boleh dibangun di daerah-daerah tertentu, hal seperti ini belum diatur
dalam UUPA. Bagian penjelasan pasal tersebut memberikan penjelasan sebagai
berikut “Berlainan dengan hak guna-usaha maka hak guna-bangunan tidak mengenai
tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang.” Jadi tidak ada ketentuan tentang
penatagunaan tanah.
Hak yang juga diatur oleh UUPA adalah hak sewa. “Hak Sewa untuk
bangunan. Pasal 44. (1) Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas
tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan
bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa”. Hak
sewa untuk bangunan adalah hak yang didapat untuk membangunan bangunan di atas
tanah yang disewa. Hak sewa untuk bangunan ini juga tidak diatur bangunan apa,
bagaimana penagunaan tanahnya juga tidak diatur. Pada bagian penjelasan pasal ini
hanya memberikan penjelasan sebagai berikut :
Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat
khusus maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunanbangunan berhubung dengan ketentuan pasal 10 ayat 1. Hak sewa tanah
pertanian hanya mempunyai sifat sementara (pasal 16 yo 53). Negara tidak
dapat menyewakan tanah, karena Negara bukan pemilik tanah.
UUPA hanya mengatur mengenai macam-macam hak atas tanah, bagaimana
hak pemegang hak atas tanah tersebut. Tidak ada pengaturan mengenai penatagunaan
tanah, kriteria bangunan. Kendati dalam hak-hak atas tanah tersebut adalah hak sewa
9
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
atas bangunan dan hak guna bangunan. Pengaturannya hanya sebatas terhadap
pemilik, bukan terhadap tanah yang dihaki.
Pengaturan peruntukan tanah yang diatur dalam UUPA tidak sampai
mengatur tentang bagaimana tanah itu digunakan dalam hal tata letak bangunan yang
berada di atas tanah, antisipasi kerusakan tanah dan lain sebagainya. Padahal kondisi
tersebut sangat mungkin terjadi. Maka dari itu perlu pengaturan untuk hal tersebut.
Jika tidak, maka tanah yang seharusnya menjadi elemen terpenting dalam kehidupan
manusia, justru akan berperan sebaliknya, tanah malah menjadi hal yang paling
dibenci manusia karena tata letak bangunan di atasnya yang tidak tertata rapi dan
tanah-tanah banyak tercemari oleh limbah.
Penggunanaan tanah yang tidak selaras dengan penatagunaan tanah akan
menjadi boomerang bagi manusia. Tanah akan mengalami penurunan kuantitas dan
kualitas seiring dengan dinamika penduduk dan pesatnya pembangunan. Salah
satunya adalah pengembangan wilayah kota. Rumah dan perumahan seyogyanya
dipandang sebagai bagian dari lingkungan pemukiman dan lingkungan pemukiman
adalah bagian dari lingkungan hidup. Perluasan area pemukiman dan perumahan
mengakibatkan terjadinya perubahan lingkungan alam yang semua berfungsi sebagai
area penyerapan air menjadi lingkungan buatan yang menolak resapan air.
Kontradiksi antara perlunya perumahan dan pemukiman dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan upaya pelestarian lingkungan ibarat dua mata uang
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya 8.
Keberadaan
peraturan
perundang-undangan
harus
seutuhnya
untuk
kesejahteraan rakyat. UUPA harus kembali diluruskan dengan kembali kepada tujuan
awal mengapa UUPA dibuat. UUPA yang pada awalnya menjadi penghapus
dualisme peraturan perundang-undangan tentang pertanahan dan menjadi pelopor
lahirnya hak-hak atas tanah, sekarang harus diarahkan kepada mengatur dualisme
pengertian kesejahteraan rakyat dalam pertanahan. Artinya UUPA bukan hanya
bertugas untuk mengatur tentang hak-hak pemilik tanah, melainkan juga harus
8
Syahmuddin. 2010. Pengembangan Kawasan Perumahan dan Pemukiman Pada Kota
Terpadu Mandiri (KTM) Mahalona Kabupaten Luwu Timur. Op.cit
10
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
memperhatikan tata kota akibat banyaknya pembangunan rumah dan perumahan di
kota.
Penatagunaan tanah tidak diatur dalam UUPA, kendati UUPA merupakan
induk pengaturan pertanahan nasional. Penatagunaan tanah pada dasarnya sudah
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah (selanjutnya disingkat dengan PP 16/2004) yang menyebutkan bahwa
penatagunaan tahan berdasarkan asas “Penatagunaan tanah berasaskan keterpaduan,
berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan,
persamaan, keadilan dan perlindungan hukum”. PP 16/2004 juga mengatur pada pasal
14 disebutkan bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah wajib mengikuti
persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada
Peraturan Pemerintah (PP) ini juga tidak diatur secara lengkap mengenai bagaimana
penatagunaan tanah. PP 16/2004 dalam penyusunannya berdasarkan pada UUPA,
akan tetapi didalamnya juga diatur. Padahal sebagai PP seharusnya mengatur lebih
rinci dari Undang-undang. Pada PP tersebut justru menyebutkan bahwa penatagunaan
tanah harus sesuai peraturan perundang-undangan, tidak jelas peraturan perundangundangan yang mana. Sejatinya pada PP tersebut pengaturannya lebih dititikberatkan
pada penatagunaan dan pemanfaatan tanah pada kawasan lindung dan kawasan
budidaya, bukan pada tanah secara umum.
Melihat gejolak penduduk yang setiap saat mengalami peningkatan, maka
penataan kota merupakan keniscayaan. Lahan-lahan diperkotaan harus tertata dengan
baik agar lahan di daerah perkotaan tidak terbatas. Jika pemukiman mengalami
keterbatasan, maka ini adalah masalah baru yang juga butuh penanganan. Sebelum
masalah tersebut terjadi atau terjadi lebih parah maka harus segera diambil langkah
praktis dan kongkrit. Supaya tata kota bisa terlihat baik, dan ramah unutk didatangi
oleh semua orang.
Sebuah penelitian menyatakan bahwa terdapat beberapa komponen yang
menjadi program prioritas dalam pengembangan kawasan perkotaan. Pengembangan
kawasan perkotaan tersebut adalah pengembangan pusat-pusat pemukiman potensial
termasuk pemukiman kumuh pada daerah pinggiran dengan program penataan
11
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
kembali wilayah administratif kecamatan, peningkatan pelayanan prasarana
transportasi dan komunikasi untuk membuka keterisolasian daerah dengan daerah
sekitarnya. Pengembangan kawasan ini dilakukan dengan penyerasian pendekatan
pembangunan (prosoperity approach) dan pendekatan keamanan (security approach)
9
.
Tata guna tanah membentuk dasar struktur perkotaan dan tanah perkotaan
merupakan
cerminan
dari
struktur
sosial
kota.
Perubahan
sosial-ekomoni
mempengaruhi pola tata guna tanah kota dan pada gilirannya tata guna tanah
mempengaruhi perkembangan lebih lanjut dari masyarakat perkotaan dengan cara
menentukan tata letak berbagai fungsi perkotaan. Masalah penyediaan tanah untuk
saat mendatang hanyalah merupakan satu aspek perolehan sumber daya alam yang
tersedia untuk memenuhi kebutuhan yang berkembang sebagai akibat kemajuan
teknologi dan pertumbuhan ekonomi. Keterkaitan antara sumber daya dan kebutuhan
tergantung pada jumlah sumber daya yang tersedia, besarnya kebutuhan, serta sistem
sosial-ekonomi dalam penggunaan dan pembagian sumber daya tersebut. Sedangkan
kebutuhan berubah sebagai akibat perkembangan teknologi dan struktur sosialekonomi. Dengan demikian maka tujuan utama kebijakan tanah perkotaan adalah
penyediaan tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan perkotaan dalam lokasi yang
tepat, dan dengan harga yang wajar. Hal ini karena kebijakan pertanahan merupakan
bagian dari kebijakan pembangunan, maka dari itu struktur politik dan sosialekonomi suatu negara dan tingkat pertumbuhan berpengaruh terhadap kebijakan
pertanahan.10
Maka dari itu pengembangan wilayah perkotaan perlu untuk mendapat
perhatian yang cukup besar. Pengembangan wilayah perkotaan merupakan langkah
awal untuk melakukan penataan ulang terhadap lingkungan fisik perkotaan serta
peremajaan kota. Kota perlu untuk ditata ulang, penataan beberapa komponen untuk
pengembangan kawasan perkotaan sebagai pusat pemerintahan11. Pentingnya
9
Jones Hendra M. Sirait. 2009. Konsep Pengembangan Kawasan Kota. Op.cit
Maria S.S., Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta, PT.
Kompas Nusantara, 2008, hal. 221
11
Jones Hendra M. Sirait. 2009. Konsep Pengembangan Kawasan Kota. Loc.cit
10
12
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
penataan perkotaan ini karena secara definitif kota adalah kawasan yang mempunyai
kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi12.
Kota tidak boleh luput dari perhatian karena merupakan pusat masyarakat
dalam melakukan transaksi dan distribusi pelayanan jasa, pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi masyarakat. Jika kota mengalami masalah dengan tata
kota maka segala aktifitas tersebut akan mengalami gangguan yang cukup berarti.
Jika semua dinamika tersebut mengalami gangguan, maka segala urusan dan
dinamika masyarakat baik di kota maupun desa akan mengalami gangguan pula.
Dinamika negara secara keseluruhan akan mengalami gangguan pula.
4.
Pentingnya Penatagunaan Tanah Dalam Rangka Pengembangan Wilayah
Kota Atas Kawasan Perumahan
Problem penataan kota memang menjadi problem sistemik yang dialami
hampir setiap kota besar di Indonesia saat ini. Derasnya arus urbanisasi, ditambah
dengan lahan perkotaan yang semakin menyempit menjadi penyebab kenapa
tatakelola kota menjadi penting untuk dibahas. Buruknya penatagunaan tanah bisa
dikatakan menjadi penyebab utama amburadulnya penatagunaan kota, terutama
bangunan rumah dan perumahan.
Tingginya laju pertumbuhan penduduk akan menimbulkan kebutuhan lahan
perumahan dan pemukiman yang sangat besar, sementara kemampuan Pemerintah
sangat terbatas. Menurut catatan, hanya 15% kebutuhan perumahan yang mampu
disediakan oleh pemerintah, sisanya sebesar 85% disediakan oleh masyarakat atau
swasta. Apabila pembangunan perumahan yang dilakukan oleh masyarakat atau
swasta tidak dikendalikan pengembangannya, maka akan menimbulkan masalah
besar yang mengancam kawasan yang lain13.
12
Ibid
Budiman Arif. 2004. Aplikasi Penataan Perumahan dan Pemukiman Masyarakat Dalam
Penataan Ruang Kota Sesuai Kebijakan Pemerintah. Op.cit
13
13
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
Fenomena tersebut membawa dampak yang luar biasa terhadap eksistensi
perkotaan. Salah satu akibat dari buruknya penatagunaan tanah dalam rangka
pengembangan wilayah kota atas kawasan perumahan adalah banjir dan hilangnya
lahan pertanian subur di Kota. Menurut penelitian Saut Sagala dkk, dalam beberapa
dekade terakhir, kejadian atau peristiwa banjir mengalami peningkatan secara global
(IFRC, 2010; Jha et al., 2012a).14
Selain itu jika penatagunaan tanah dalam rangka pengembangan wilayah kota
atas kawasan perumahan tidak dikendalikan, juga mengancam eksistensi lahan subur
yang bisa digunakan sebagai lahan pertanian. Padahal kawasan perkotaan masih
memiliki potensi pertanian yang apabila dikembangkan dapat memenuhi kebutuhan
pangan warganya. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan aspek positif bagi
keberlanjutan suatu kawasan perkotaan. Menurut Sarosa (2002) salah satu ciri
kawasan
perkotaan
berkelanjutan
adalah
kawasan
perkotaan
yang
dapat
mempromosikan swasembada pangan dan mempunyai siklus makanan tertutup.
Artinya kawasan perkotaan berkelanjutan harus dapat menyediakan kebutuhan
pangan bagi warganya secara mandiri.15
5.
UUPA dan Peraturan Perundang-Undangan Lain Tidak Mengatur Secara
Holisitk Terkait Penatagunaan Tanah Dalam Rangka Pengembangan
Wilayah Kota Atas Kawasan Perumahan
UUPA sebagai induk instrumen pengaturan pertanahan nasional hanya
mengatur pertanahan sebatas hal-hal yang boleh dilakukan oleh orang yang
memegang hak atas tanah. Hak atas tanah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
16 UUPA ayat (1) yakni: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, dan Hak Sewa, dalam UUPA hanya mengatur tentang bagaimana
implementasi hak itu, dan sama sekali tidak menyentuh penatagunaan tanah kendati
itu adalah hak guna bangunan dan hak sewa untuk bangunan. UUPA hanya sebatas
14
Saut Sagala, Alih Fungsi Lahan Rawa dan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana Banjir :
Studi Kasus Kota Palembang, Jurnal Perencanaan Tata Ruang dan Kebencanaan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
15
Abrilianty O.N, Potensi Pengembangan Pertanian Perkotaan Untuk Mewujudkan Kawasan
Perkotaan Bandung yang Berkelanjutan, Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB
14
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
memperhatikan kebutuhan subjektifitas (pemilik hak) bukan objektifitas (tanah itu
sendiri). Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan yang cukup rumit. Pengaturan
ini mungkin lahir karena tujuan utama lahirnya UUPA adalah untuk memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum. Sehingga melupakan eksistensi tanah itu
sendiri termasuk dalam penatagunaan tanah.
Fenomena ini berdampak terhadap munculnya stigma dalam masyarakat
bahwa siapa yang memiliki tanah, maka dialah yang berkuasa atas tanah tersebut,
termasuk kebebasan untuk mempergunakan tanahnya. Kondisi ini berpotensi terhadap
terciptanya tata kota yang kacau dan lingkungan yang bersih dan sehat. Tidak ada
aturan mengenai aturan bagaimana penatagunaan tanah dalam UUPA berpotensi
terciptanya bangunan-bangunan yang berdiri di atas tanah menjadi semrawut, kacau
dan parahnya tidak mempedulikan lingkungan sekitar. Hal seperti ini sangat mungkin
terjadi, terutama pada wilayah perkotaan. Lahan-lahan kota akan semakin menyempit
dengan persentase penduduk (baik tetap maupun tidak) setiap saat semakin
bertambah. Lahan yang sempit ini menjadi masalah yang sistemik dan butuh
perhatian besar untuk penyelesaiannya.
Pengaturan tentang eksistensi tanah dan penatagunaan tanah justru diatur
dalam peraturan perundang-undangan lain. Meskipun adanya kewenangan pemegang
hak atas tanah dalam melakukan pemanfaatan atas tanahnya tersebut, diharuskan juga
baginya untuk tetap memperhatikan kelestarian lingkungannya. Pemakaian
mengandung kewajiban memelihara kelestarian kemampuan tanah serta mencegah
kerusakan tanah, sesuai dengan tujuan pemberian, isi hak, serta peruntukan tanah
telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah dari daerah ditempat tanah tersebut
terletak16. Seberapa dalam tubuh bumi dapat digunakan ditentukan oleh tujuan dari
pengunaan tanahnya yang sesuai dengan batas-batas kewajaran, sedangkan mengenai
kepemilikan bangunan dan tanaman yang berada di atas tanah yang dihaki, yang
digunakan adalah asas hukum adat, yaitu asas pemisahan horizontal, bahwa
“bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan”.
16
Elza, Syarif. 2012. Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan.
Op.cit
15
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
Maka hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan
tanaman yang ada diatasnya17.
Salah satu yang mengatur mengenai kawasan perumahan adalah UndangUndang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
(selanjutnya disingkat menjadi UU 1/2011). Pada pasal 20 disebutkan bahwa
penyelenggaraan perumahan juga meliputi pengendalian perumahan. Pada dasarnya
penataan perumahan dalam UU1/2011 ini sudah diatur. Tidak hanya pada pasal 20,
melainkan juga pada pasal 59 yang pada intinya mengamanatkan bahwa
penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perkotaan salah satunya adalah
mencakup “pencegahan tumbuh dan berkembangnya lingkungan hunian yang tidak
terencana dan tidak teratur” sebagaimana disebut dalam poin f. Sayangnya, pada
pasal-pasal yang lain pengaturan secara rinci mengenai perumahan apa saja yang
termasuk dalam lingkup pengendalian, dan perumahan yang bagaimana yang
dianggap hunian tidak terencana dan tidak teratur dalam UU 1/2011 tidak diatur
secara jelas dan konkret.
Pengaturan tentang kawasan perumahan diatur dalam Peraturan Menteri
Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 10 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Pemukiman Dengan Hunian Berimbang (selanjutnya
disingkat Permen 10/2012). Permen 10/2012 juga tidak ditemukan tentang
penatagunaan tanah untuk kawasan perumahan. Padahal semestinya sebagai peraturan
menteri yang khusus menangani perumahan aturan tersebut mengatur secara jelas dan
tuntas. Akan tetapi kenyataannya tidak. Masalah penataan tanah untuk kawasan
perumahan seolah dibiarkan dalam ketidakjelasan.
Kemudian pengaturan penataan juga bisa dilihat dalam Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU 26/2007). Rencana tata ruang
dalam undang-undang tersebut salah satunya adalah untuk menghasilkan Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional yang kemudian akan menjadi pedoman dalam
Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi dan Penyusunan rencana tata ruang
17
Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Op.cit
16
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
wilayah kabupaten. Akan tetapi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
tersebut hanya berisi sesuatu yang sifatnya global dalam hal pertanahan. Poin f dalam
pasal 20 tersebut bisa dianggap sebagai pengaturan yang juga mencakup
penatagunaan tanah, tapi tidak menyebut secara spesifik terhadap penatagunaan
rumah untuk perumahan, apalagi di kawasan perkotaan.
Permen ini hanya mengatur tentang perumahan yang di dalamnya terdapat
ketentuan mengenai perumahan, termasuk pengertian dan kriteria rumah sehat dan
perumahan kumuh. Pasal 1 butir (2) dijelaskan bahwa rumah adalah bangunan
gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan
keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya serta aset bagi pemiliknya.
Sedangkan definisi Perumahan tertera dalam butir (11) yaitu perumahan adalah
kumpulan rumah sebagai bagian dari pemukiman, baik perkotaan maupun perdesaan,
yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya
pemenuhan rumah yang layak huni. Pasal 1 butir (14) menyebutkan bahwa
Perumahan kumuh adalah perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi
sebagai tempat hunian.
Begitupun dengan peraturan perundang-undangan lain. Menurut Undang–
Undang Perumahan dan Pemukiman Tahun 1992, bahwa sarana lingkungan
merupakan fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan
pengembangan kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam kaitan ini, kriteria
penentuan baku kelengkapan pendukung prasarana dan sarana lingkungan dalam
perencanaan kawasan perumahan kota sesuai dengan Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor: 378/KPTS/1987 menyebutkan bahwa untuk menghasilkan suatu
lingkungan perumahan yang fungsional sekurang–kurangnya bagi masyarakat
penghuni, harus terdiri dari kelompok rumah– rumah, prasarana lingkungan dan
sarana lingkungan.
Arahan yang diberikan oleh Departemen Pekerjaan Umum RI melalui
petunjuk baku tentang Perencanaan Kawasan Perumahan Kota bahwa prasarana
adalah penyediaan air bersih, penyediaan moda transportasi, persampahan, dan sistem
sanitasi. Sedangkan sarana adalah kelengkapan lingkungan yang berupa fasilitas
17
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
pendidikan, kesehatan, perbelanjaan dan niaga, pemerintahan, pelayanan umum,
peribadatan, rekreasi, kebudayaan, olahraga, dan lapangan terbuka.
6.
Pengaturan Penatagunaan Tanah Dalam Rangka Pengembangan Wilayah
Kota Atas Kawasan Perumahan Tidak Sesuai Dengan Konsep dan Tujuan
Pengadaan Perumahan
Tujuan yang diinginkan dari adanya penyelenggaraan perumahan dan
kawasan pemukiman dengan hunian berimbang adalah18:
1. Menjamin ketersediaan rumah mewah, rumah menengah, dan rumah sederhana
bagi masyarakat yang dibangu dalam satu hamparan atau tidak dalam satu
hamparan untuk rumah sederhana;
2. Mewujudkan kerukunan antar berbagai golongan masyarakat dari berbaga profesi,
tingkatan ekonomi dan status sosial dalam perumahan, pemukiman, lingkungan
hunian, dan kawasan pemukiman;
3. Mewujudkan subsidi silang untuk penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas
umum, serta pembiayaan pembangunan perumahan;
4. Menciptakan keserasian tempat bermukim baik secara sosial dan ekonomi; dan
5. Mendayagunakan penggunaan lahan yang diperuntukkan bagi perumahan dan
kawasan pemukiman.
Poin keempat dari tujuan yang diinginkan adanya penyelenggaraan
perumahan dan kawasan pemukiman dengan hunian berimbang adalah “menciptakan
keserasian tempat bermukim baik secara sosial dan ekonomi” dan “mendayagunakan
penggunaan lahan yang diperuntukkan bagi perumahan dan kawasan pemukiman.
Lahan yang digunakan sebagai tempat dibangunnya perumahan harus dipakai sesuai
kebutuhan. Hal ini mengisyaratkan bahwa lahan yang akan digunakan sebagai tempat
pembangunan perumahan harus benar-benar digunakan sesuai sosial dan ekonomi.
Penggunaan lahan yang berlebihan akan mengakibatkan lahan akan menyempit siasia karena pemakaian yang berlebihan padahal tidak dibutuhkan. Keserasian yang
dimaksudkan adalah bangunan perumahan tersebut harus memperhatikan tata kota
yang baik. Tidak sekedar membangun menuruti kehendaknya sendiri atau sesuka
18
Pasal 3, Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 10 Tahun 2012
18
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
hatinya. Tata kota harus diperhatikan agar bangunan kota tertata dengan baik dan
tidak amburadul.
Menurut Ernan Rustiadi dan Setia Hadi tujuan-tujuan dari pembangunan
terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3)
keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan19. Tujuan yang perlu
diperhatikan secara seksama disini adalah keberimbangan, dan keberlanjutan.
Keberimbangan artinya perumahan yang dibangun tidak hanya melihat satu sisi
kepentingan saja yaitu membangun perumahan yang bagus dan mewah sesuai
keinginan pembeli, akan tetapi juga harus memperhatikan sisi lain yaitu
keberimbangan penggunaan lahan agar lahan tidak semakin menyempit sia-sia akibat
penggunaan lahan untuk sesuatu yang tidak dibutuhkan. Hal ini karena kota akan
selalu membutuhkan banyak lahan untuk pembangunan perumahan lain, karena
padatnya penduduk kota yang setiap saat mengalami peningkatan. Pembangunan
berkelanjutan sangat diharapkan untuk kepentingan dan kebaikan bersama sesama
bangsa Indonesia.
Pengembangan wilayah kota harus benar-benar direncanakan dengan matang.
Pengembangan kawasan perkotaan harus berpedoman pada rencana tata ruang yang
dapat dijadikan sebagai dasar membuat atau melaksanakan pengembangan wilayah
kota. Rencana tata ruang kawasan perkotaan telah dibedakan dalam 3 Jenis rencana
dengan tingkat kedalaman yang berbeda, diantaranya adalah20:
1.
Rencana Struktur, adalah kebijakan yang menggambarkan arahan tata ruang
untuk Kawasan Perkotaan Metropolitan dalam jangka waktu sesuai dengan
rencana tata ruang;
2.
Rencana Umum, adalah kebijakan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang
harus dilindungi dan dibudidayakan serta diprioritaskan pengembangannya
dalam jangka waktu perencanaan;
3.
Rencana rinci, yang terdiri dari:
19
Ernan Rustiadi, Setia Hadi. 2006. Pengembangan Agropolitan Sebagai Strategi
Pembangunan Pedesaan dan Pembangunan Berimbang, dalam Kawasan Agropolitan Konsep
Pembangunan Desa Kota Berimbang.Op.cit
20
Jones Hendra M. Sirait, Op.cit.
19
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
a. Rencana Detail, merupakan pengaturan yang memperlihatkan keterkaitan
antara blok-blok penggunaan kawasan untuk menjaga keserasian pemanfaatan
ruang dengan manajemen transportasi kota dan pelayanan utilitas kota.
b. Rencana Teknik, merupakan pengaturan geometris pemanfaatan ruang yang
menggambarkan keterkaitan antara satu bangunan dengan bangunan lainnya,
serta keterkaitannya dengan utilitas bangunan dan utilitas kota/kawasan
(saluran drainase, sanitasi dll).
7.
Penatagunaan Tanah Dalam Rangka Pengembangan Wilayah Kota Atas
Kawasan Perumahan Perlu Diatur Dalam UUPA
UUPA sebagai induk peraturan perundang-undangan pertanahan nasional
sama sekali tidak memuat penatagunaan tanah dalam rangka pengembangan wilayah
kota atas kawasan perumahan. Akan tetapi dari beberapa peraturan perundangundangan tersebut tidak ada yang secara jelas dan komprehensif mengatur mengenai
penatagunaan tanah dalam rangka pengembangan wilayah kota atas kawasan
perumahan. UUPA menjadi satu-satunya peraturan perundang-undangan yang secara
tersurat disebutkan dalam Misi Badan Pertanahan Nasional (BPN). UUPA juga
dijadikan landasan dalam melakukan penguatan terhadap lembaga pertanahan.
Berikut bunyi Visi dan Misi BPN :
Visi misi dari Badan Pertanahan Nasional adalah21 :
Visi:
Menjadi lembaga yang mampu mewujudkan tanah dan pertanahan untuk
sebesa-rbesar kemakmuran rakyat, serta keadilan dan keberlanjutan sistem
kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia.
Misi:
Mengembangkandan menyelenggarakan politik dan Kebijakan pertanahan
untuk:
21
Buku
Saku
Reformasi
Birokrasi
BPN
RI,
diakses
http://www.bpn.go.id/Portals/0/assets/program-prioritas/reformabirokrasi/Isi%20Buku%20Saku%20Reformasi%20Birokrasi%20BPN%20RI.pdf 17/01/2015
20
dari
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
a. Peningkatan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber-sumber baru
kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan
pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan.
b. Peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan
bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah (P4T).
c. Perwujudan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi
berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air dan
penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga
tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari.
d. Keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan
Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang
akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat.
Menguatkan lembaga pertanahan sesuai dengan jiwa, semangat, prinsip dan
aturan yang tertuang dalam UUPA dan aspirasi rakyat secara luas.
Penyempurnaan pengaturan pertanahan dalam UUPA juga bisa menjadi jalan
dari penyelesaian permasalahan pertanahan yang selama ini tidak jelas arah
penanganannya. Permasalahan tersebut terutama yang menyangkut penatagunaan
tanah dalam rangka pengembangan wilayah kota atas kawasan perumahan. Sejatinya
ada banyak kawasan subur di perkotaan yang sudah mulai hilang karena dipakai
untuk pembangunan perumahan.
Simpulan
Simpulan dari pembahasan di atas adalah:
1. UUPA memang sudah mengatur peruntukan tanah pada pasal 14, akan tetapi
UUPA tidak mengatur secara jelas dan rinci mengenai penatagunaan tanah. UUPA
hanya mengatur secara jelas dan rinci tentang hak pemilik atas tanah pada pasal
16, 17, dan pasal 18 serta pasa 53 UUPA. Padahal penatagunaan tanah merupakan
hal yang penting untuk diatur. Bangunan di atas tanah (rumah atau perumahan)
harus dibangun berdasarkan penatagunaan tanah agar bangunan yang ada tidak
merusak tata kota, karena kota adalah kawasan yang berfungsi sebagai tempat
21
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
2. Penatagunaan tanah dalam rangka pengembangan wilayah kota atas kawasan
perumahan penting untuk dilakukan. Jika tidak dilakukan maka akan menimbulkan
kacaunya penatagunaan tanah dalam rangka pengembangan wilayah kota atas
kawasan perumahan. Pada prinsipnya UUPA sudah mengatur penatagunaan tanah
dalam rangka pengembangan wilayah kota atas kawasan perumahan. Akan tetapi
pengaturan lebih rinci tidak ditemukan pada pasal selanjutnya. Sama halnya
dengan UUPA, peraturan perundang-undangan lain juga tidak mengatur
penatagunaan tanah dalam rangka pengembangan wilayah kota atas kawasan
perumahan secara lengkap dan jelas. Padahal pembangunan harus memuat lima
prinsip, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4)
kemandirian; dan (5) keberlanjutan.
Saran
Saran dari penelitian ini adalah :
1. Pengaturan penatagunaan tanah pada pasal 14 UUPA seharusnya diatur secara
lebih detail dan lengkap dengan menyesuaikan terhadap relaitas yang berkembang
serta teori-teori baru dalam bidang penatagunaan tanah.
2. Pengaturan penatagunaan tanah pada pasal 15 UUPA seharusnya mencakup
pengaturan penatagunaan tanah pengembangan wilayah kota atas kawasan
perumahan secara lebih jelas dan rinci, dengan melihat kondisi penatagunaan
tanah pengembangan wilayah kota atas kawasan perumahan serta menyesuaiakan
22
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
dengan konsep pembangunan dan pengembangan kawasan perumahan di wilayah
kota.
23
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Harsono, B. (2008). Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Marzuki, P. M. (2008). Penelitian Hukum. Jakarta: Fajar Interpratama Offset.
M.P.T, Sediono dan Wiradi, Gunawan. (1984). Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola
Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa. Jakarta. Gramedia.
Mertokusumo, S. (1988). Hukum dan Politik Agraria. Jakarta: Karunika.
Rustiadi, E., dan Setia Hadi. (2006). Pengembangan Agropolitan Sebagai Strategi
Pembangunan Pedesaan dan Pembangunan Berimbang, dalam Kawasan
Agropolitan Konsep Pembangunan Desa Kota Berimbang.edisi Buku
Kawasan Agropolitan: Konsep Pembangunan Desa Kota Berimbang.
Bogor:Crestpent Press, P4W-LPPM IPB.
Santosa, U. (2012). Hukum Agraria Kajian Komprehensif. Jakarta: Kharisma Putra
Utama.
S.S., Maria. (2008). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta. PT.
Kompas Nusantara.
Suhariningsih. (2009). Tanah Terlantar. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Supriadi. (2008). Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.
Syarif, E. (2012). Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus
Pertanahan. Jakarta: Gramedia.
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2001). Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). Jakarta: Rajawali Pers.
Zaidar. Hukum Tata Ruang Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa Press
JURNAL DAN ARTIKEL
Arif, Budiman. (2004). Aplikasi Penataan Perumahan dan Pemukiman Masyarakat
Dalam Penataan Ruang Kota Sesuai Kebijakan Pemerintah.
SekretarisJenderal Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah.
24
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
Dewi, M., T. (2013). Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Kota Samarinda Dalam
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman (Tinjauan Pasal 6 Undangundang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman).
Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah.
(2003). Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang di Indonesia: Tinjauan
Teoritis dan Praktis. Stadium General Sekolah Tinggi Teknologi Nasional
(STTNAS).
Ginting, D. (2011). Reformasi Hukum Tanah dalam Rangka Perlindungan Hak Atas
Tanah Perorangan dan Penanaman Modal dalam Bidang Agribisnis. Jurnal
Hukum No. 1, Vol. 18 , 63-82.
Najmulmunir, Nandang. (2008). Analisis Strategi Pengembangan Wilayah Kota
Bekasi. Jurnal Madani Edisi I.
O.N, Abrilianty. Potensi Pengembangan Pertanian Perkotaan Untuk Mewujudkan Kawasan
Perkotaan Bandung yang Berkelanjutan. Jurnal Perencanaan dan Pengembangan
Kebijakan ITB.
Parera, R., A., dkk. (2010). Dampak Pemukiman Baru Pada Perkembangan Wilayah
Sekitar Desa Soya Kecamatan Sirimau Kota Ambon. Seminar Nasional
Perumahan dalam Pembangunan Kota.
Sirait, J., H., M. (2009). Konsep Pengembangan Kawasan Kota. Wahana Hijau
Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Vol. 4, No. 3.
Syahmuddin. (2010). Pengembangan Kawasan Perumahan dan Pemukiman Pada
Kota Terpadu Mandiri (KTM) Mahalona Kabupaten Luwu Timur. Universitas
Diponegoro Semarang.
Widayanti, Rina. Formulasi Model Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap
Angukutan Kota di Kota Depok. Jurnal Tata Guna Lahan Universitas Gunadarma. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria.
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah.
25
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional.
Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 10 Tahun 2012
Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
WEBSITE
Buku
Saku
Reformasi
Birokrasi
BPN
RI,
diakses
dari
http://www.bpn.go.id/Portals/0/assets/program-prioritas/reformabirokrasi/Isi%20Buku%20Saku%20Reformasi%20Birokrasi%20BPN%20RI.pdf
17/01/2015.
Erawan, Anto. (2013). Survei: Derasnya Urbanisasi Dongkrak Kebutuhan Hunian. Diakses
pada 07 April 2014, dari http://www.rumah.com/berita-properti/2013/5/4169/surveiderasnya-urbanisasi-dongkrak-kebutuhan-huni.
Sekilas Reforma Agraria, diakses dari http://www.bpn.go.id/Program/Reforma-Agraria,
17/01/2015. 26
Download