BAB III PENYAJIAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Penyajian Data 1. Biografi Nurcholis Madjid Nurcholish Madjid lahir di Mojoanyar, Jombang, 17 Maret 1939/26 Muharam 1358). Seorang cendekiawan muslim Indonesia yang dikenal dengan gagasannya tentang pembaruan pemikiran Islam. Lahir dari kalangan keluarga pesantren, ia adalah putra seorang guru Madrasah Al-Wathaniah di Jombang, Haji Abdul Madjid. Pendidikan awal ia peroleh dari Sekolah Rakyat (pagi) dan Madrasah Ibtidaiah (sore) di daerah kelahirannya. Kemudian ia melanjut ke Pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang, selama 2 tahun. Salah satu gurunya adalah KH Hasyim Asy'ari. Kemudian ia meneruskan pendidikan ke Kulliyatul muallimin al-Islamiyah (KMI) di Pesantren Darussalam, Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, sampai tamat 1960. la mengajar selama setahun lebih di pesantren itu. Pendidikan tinggi ia peroleh dari Fakultas Adab (Sastra Arab dan Kebudayaan Islam), jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, sampai menyandang gelar sarjana (1968).1 Sejak Maret 1978, ia mendapat kesempatan mengikuti studi lanjut (tugas belajar) diUniversitas Chicago, Amerika Serikat sampai 1 Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, EnsiklopediIslam, Cet. 3, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 104 35 36 meraih gelar doktor dalam bidang Kalam dan Falsafah dengan predikat cum laude (Maret 1984) Selama menjadi mahasiswa IAIN, Nurcholish Aktif di organisasi kemahasiswaan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). la pernah menjadi ketua Umum Pengurus Besar HMI untuk dua periode 1966-1969 dan 1969-1971; presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, 1967-1969; asisten IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations/Federasi Organisasi-organisasi Mahasiswa Islam Internasional), 1968-1971. Nur Cholish pernah menjadi staf pengajar di IAIN (1972-1974) serta pemimpin umum majalah Mimbar, Jakarta (1971-1974), dan pemimpin redaksi majalah Forum. Bersama teman-temannya, ia mendirikan dan memimpin LSIK (Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, 1972-1976) dan LKIS (Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi, 1974— 1977). Sebelum dan sepulangnya dari Amerika Serikat ia bekerja di LIPI sebagai anggota staf peneliti, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; mendirikan dan menjadi ketua Yayasan Paramadina, yang aktif dalam kajian keislaman; menjadi penulis tetap harian Pelita, Jakarta; 1988 anggota MPR; Agustus 1991 dosen tamu di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada.2 Nurcholish terkenal dengan gagasannya tentang pembaruan pemikiran 2 Ibid, hlm. 104 Islam.Menurut dia, Islam harus dilibatkan dalam 37 pergulatan-pergulatan modernistik yang didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran keislamantradisional yang telah mapan, sekaligus diletakkan dalam konteks keindonesiaan. Nurcholish Madjid pertama kali menyampaikan ide-ide pembaharuannya secara formal pada 2 Januari 1970 di Jakarta dalam acara halal bihalal di depan keluarga HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia), dengan judul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat". Bahasannya mencakup: 'Islam Yes, Partai Islam No', Kuantitas versus Kualitas, Liberalisasi Pandangan terhadap 'Ajaran Islam' sekarang (Sekularisasi, Kebebasan Berpikir, Idea of Progress, dan Sikap Terbuka), dan perlunya kelompok pembaharuan "liberal". Makalah tersebut kemudian dilengkapi wawancara dengan Harian Kompas (1 April 1970), yang bahasannya mencakup: Beragama secara Konvensional, Sekularisasi dan Sekularisme, dan Beberapa 'Asuhan' dari Agama (Al-Qur'an). Sebelumnya, 5 Februari 1970, ia menyampaikan pidato pada acara HUT ke-3 HMI di Jakarta, dengan judul "Menuju Pembaharuan Pemikiran dalam Islam", memberikan kuliah di Pusat Kesenian Jakarta, 30 Oktober 1972, dengan judul "Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Ummat Islam Indonesia," dan sebagainya yang dimuat dalam Pos bangsa, Tribun, dan Panji Masyarakat. 38 Ide-idenya tersebut mendapat pro dan kontra, sehingga tahun 70-an ia disebut tokoh kontroversi. Ada pula yang menyebutnya dengan "NatsirMuda", sebutan yang dihubungkan dengan nama salah seorang tokoh partai Masyumi yang berpandangan modern, Mohammad Natsir.3 2. Karya Nurcholis Madjid Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan sebagai seorang cendekiawan Muslim Indonesia yang produktif. Kajian dan penelusuran terhadap karya-karya Nurcholish Madjid dianggap perlu dalam rangka mencari mata rantai gagasan dan pemikirannya, serta hubungannya dengan konsep-konsep pembaruan yang menjadi bahasan sentral tulisan ini. Dalam pembahasan ini, karya-karya yang dihasilkan Nurcholish Madjid, baik berupa buku, artikel atau tinjauan buku, tidak akan diungkap dan dijelaskan semua. Pembahasan hanya akan ditekankan kepada beberapa karyanya yang dianggap mewakili gagasan gagasan sentralnya. Karya Nurcholish Madjid yang telah beredar adalah sebagai berikut: Khazanah Intelektual Islam (1984). Karya suntingan ini dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu segi kejayaan Islam di bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi. Nurcholish Madjid memperkenalkan tokoh-tokoh Muslim klasik, seperti Al-Kindi, Al-Asy'ary, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, 3 Abdul Qodir, Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 103-115 39 Ibn Rusyd, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun, Al-Afghani, dan Muhammad Abduh. Sebagaimana dikatakan secara "jujur" oleh Nurcholish Madjid, buku ini merupakan sekadar pengantar pemikiran kepadakajian yang lebih luas dan mendalam tentang kha2anah kekayaan pemikiran Islam. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (1987).Eksistensi buku ini mampu menunjukkan "giginya" dengan beberapa kali cetak ulang.Buku ini hanya semacam kumpulan tulisan yang "tercecer" yang dikemas dalam rentang waktu dua dasawarsa sebagai wujud respons terhadap isu-isu yang berkembang saat itu. Signifikansi buku ini terlihat dengan jelas bagaimana Nurcholish Madjid "menganyam" pemikiran dalam gagasan-gagasan di sekitar kemodernan, keislaman, dan keindonesiaan. Di bawah prinsip "untuk mencari dan terus mencari kebenaran", bahwa Tuhan adalah kebenaran yang mutlak. Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (1992). Sebuah buku yang menunjukkan "kesempurnaan" dan kelengkapan muatan isinya, bukan karena jumlah halamannya tetapi perspektif yang utuh dan komprehensif sekaligus merupakan karya monumentalnya. Franz Magnis Suseno, seorang rohaniawan Katolik mengomentarinya, sebagai buku tentang 'Islam Ideal' yang memuat secara mendalam dan substantif argumen-argumen pembaruan Islam di Indonesia yang dirintisnya sejak tahun 70-an. 40 Di dalamnya terungkap "misteri" tema Tauhid dan Emansipasi Harkat Manusia, disiplinilmu keislaman tradisional, membangun masyarakat etis serta universalisme Islam dan kemodernan.Dalam pengantarnya, Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa agama Islam mengajarkan manusia untuk menjaga dirinya di masa datang untuk keselamatan dunia dan akhirat.Selanjutnya Nurcholish Madjid memaparkan lebih jauh bagaimana manusia mempunyai tujuan hidup yang transendental berdasarkan Iman yang dinyatakan dalam bentuk amal, kebajikan sosial, menciptakan masyarakat egaliter dan inklusif dalam mencari kebenaran dan keadilan. Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-pikiran Nurcholish Madjid "Muda" (1994). Sebagaimana terungkap dalam buku Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, dalam buku ini Nurcholish Madjid berbicara mengenai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan, dengan penekanan bagaimana menciptakan masyarakat berkeadilan dengan nilai-nilai tauhid. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (1995). Dalam buku refleksi ini pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid lebih tertuang dan terarah pada makna dan implikasi penghayatan iman terhadap perilaku sosial.Lebih jauh Nurcholish Madjid menyatakan bahwa sejarah umat Islam mengalami perkembangan dan sekaligus distorsi di tangan umat Islam sendiri sehingga menjadi mitos dan dongeng. Diungkapkan oleh 41 Komaruddin Hidayat, sebagai "kata pengantar",Nurcholish Madjid menunjukkan konsistensinya sebagai pemikir yang apresiatif, memiliki akses intelektual terhadap khazanah Islam klasik, dan tetap konsisten dengan cita-cita humanisme dan modernisme Islam. Ditambah lagi kesempurnaan Nurcholish Madjid dengan wawasan kesejarahan dan sosiologis telah memungkinkan Nurcholish Madjid menyuguhkan interpretasi doktrin Islam yang terbebas dari pemihakan kepada kepentingan politik praktis. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (1995). Sebagaimana buku Islam Doktrin dan Peradaban, buku ini memiliki mainstream yang sama, yaitu menghadirkan ajaran Islam secara lebih human, adil, inklusif, dan egaliter. Perbedaannya Nurcholish Madjid menyuguhkannya dengan gaya yang lebih kosmopolit.dan universal dan mempertimbangkan aspek kultural paham-paham keagamaan yang berkembang. Muhammad Wahyuni Nafis dalam kata pengantar buku ini menyatakan Nurcholish Madjid mengajak bagaimana memahami mana yang benar-benar agama yang karenanya bersifat mutlak dan mana yang benar-benar sebagai budaya yang karenanya relatif dan sementara sifatnya. Masyarakat Religius (1997). Buku ini dengan muatan lima bab mengetengahkan Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial, konsep keluarga Muslim, prinsip medis dan 42 kesehatan keluarga Muslim serta konsep mengenai eskatologis dan kekuatan supraalami.Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai lslam Dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (1997). Karya Nurcholish Madjid ini "hanya" sebuah wawancara, sehingga berbeda dengan buku Nurcholish Madjid lainnya. Wawancara ini pernah dimuat dalam berbagai media massa sekitar tahun 1970 sampai 1996 dengan tema yang sangat beragam dan spontan, meliputi berbagai persoalan aktual; politik, budaya, pendidikan, sampai peristiwa 27 Juli "kelabu". Fachry Ali seorang pengamat politik dalam kata pengantar buku ini mengomentari, "sangat menarik dan menjadi pendukung penting untuk dapat menangkap semua gagasan yang pernah dilontarkan Nurcholish Madjid". Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (1999).Sebuah karya Nurcholish Madjid yang dapat dikatakan merupakan perjalanan panjang pandangan sosial politik Nurcholish Madjid dalam wacana perpolitikan Islam di Indonesia. Buku ini berisi semua gagasan dalam pembaruan pemikiran yang pernah dilontarkan Nurcholish Madjid dalam berbagai bidang tranformasi nilai-nilai Al-Qur'an dalam mewujudkan masyarakat madani istilah ini semakin populer dalam wacana intelektual Indonesia saat ini. Dari karya-karya tulis Nurcholish Madjid yang telah disebutkan, ada satu karkteristik kuat yang dapat diangkat ke permukaan. Semuanya berangkat dari keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi umat Islam.Dari sikap 43 itu, Nurcholish Madjid lalu mengajukan alternatif agar Islam menjadi agama yang benar-benar fungsional dalam kehidupan. Untuk itu, AlQur'an dan Sunnah Nabi harus ditafsirkan secara kreatif, kritis dan bertanggung jawab serta dipahami secara keseluruhan dengan menggunakan metode filosofis sehingga nilai-nilai universal yang dikandungnya mampu menjadi landasan yang kukuh bagi segala tindakan umat, dan dapat sesuai dengan kehidupan konkret. Nurcholish Madjid tidak diragukan lagi telah memberikan kontribusi yang cukup berharga bagi pengembangan wacana keislaman modern, khususnya di Indonesia. B. Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Hukum Waris Mewarisi Muslim dan Non Muslim Menurut Nurcholish Madjid, sistem pemikiran fiqih bila berhubungan dengan agama lain maka kesimpulan hukum yang diambil cenderung kaku dan keras. Kafir menurut ulama fiqih klasik, merupakan salah satu kelompok yang diharamkan untuk menerima dan memberi warisan (mawani' al-irtsi). Ayat yang digunakan sebagai landasan hukum adalahi: ِ ِ ولَن ََْيعل ه ِِ ني َسبِيلا َ ين َعلَى ال ُْم ْؤمن َ اّللُ ل ْل َكاف ِر ََ َ Artinya:Dan Allah tidak memberikan jalan kepada orang-orang Kafir untuk menundukkan (memusnahkan) orang-orang mukmin (QS. 4: 141). Sedangkan Menurut beliau Hadist yang digunakan sebagai landasan 44 normatif, yaitu seorang Muslim tidak mewarisi kepada orang-orang kafir, begitu pula orang kafir tidak mewarisi kepada orang Muslim.4 Selanjutnya Nurcholish Madjid mengatakan bahwa Ibn Rusyd mengakui, sebagian besar ulama melarang atau mengharamkan waris beda agama/terutama berdasarkan ayat dan hadis di atas. Dan ini menurut Nurcholish Madjid merupakan problem mendasar fiqih yang melibatkan agama lain. Fiqih sangat tidak toleran terhadap agama lain. Namun, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum seorang Muslim mewarisi non-Muslim.Para ulama terbelah dalam dua pendapat. Pertama, mereka yang mutlak menolak waris beda agama, baik seorang Muslim mewarisi seorang kafir atau sebaliknya, berdasarkan kedua dalil di atas. Mazhab Syafi'i termasuk kelompok ini. Kedua, mereka yang membolehkan hukum seorang Muslim mewarisi seorang kafir dan mengharamkan kebalikannya. Ini berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya pernikahan seorang Muslim dengan wanita nonMuslim (Ahli Kitab), sebagaimana disinyalir dalam surat al-Ma'idah ayat 5. Yang termasuk dalam kelompok kedua antara lain: Mu'adz ibn Jabal, Mu'awiyah, Sa'id ibn al-Musayyab dan Masruq.5 Pemandangan ini menurut Nurcholish Madjid menjelaskan, bahwa para ulama terdahulu masih mencoba untuk mencari "jalan alternatif" dalam kaitannya dengan agama lain. Salah satu buktinya, lanjut Nurcholish Madjid 4 Nurcholish Madjid, et al., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, cet ke-5, 2004, hlm.165 5 Ibid 45 dalam hukum yang berkaitan dengan agama lain, seperti waris beda agama,selalu ada pelbagai pandangan yang menegaskan adanya perbedaan cara pandang terhadap agama lain. Namun, yang tersosialisasi kadangkala hanya pandangan mayoritas (al-jamahir), sedangkan pandangan ulama minoritas yang membela hak-hak non-Muslim cenderung "dilupakan" atau dihilangkan begitu saja. Pandangan kelompok kedua yang memberikan ruang waris beda agama merupakan upaya ijtihadi yang perlu diapresiasi, karena mereka mau mengakomodasi non-Muslim. Dan mereka mempunyai landasan normatif yang sangat kuat. Dalam pandangan yang lebih jauh, hal-hal yang dilarang dalam hak waris (mawani' al-irtsi) bukan merupakan hal yang baku dan absolut. Sewaktu-waktu hukum tersebut bisa berubah sesuai dengan konteks yang berbeda. Dulu, tatkala hukum waris ini turun, memang harus diakui adanya kekhawatiran dan ketakutan terhadap non-Muslim. Yang terjadi sebenarnya bukan hanya perbedaan agama, melainkan perbedaan kepentingan politik dan kepentingan ekonomi antara komunitas Muslim dan non-Muslim. Sikap tersebut telah ditunjukkan oleh Umar ibn-Khatthab, tatkala Hudzayfah dan Thalhah menikahi Ahli Kitab. Umar berkata dengan bijak, "saya tidak melarang pernikahan tersebut, tapi saya hanya khawatir dan takut.....". Ucapan Umar ibn Khattab ini sebenarnya bukan sebagai "fatwa keagamaan", akan tetapi lebih tepat bila disebut sebagai sikap politis.6 6 Ibid., hlm. 167 46 Demikian penjelasan Nurcholish Madid.Lebih jauh Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa dalam pandangan yang lebih mendasar, ayat yang digunakan para ulama fiqih di atas merupakan ayat yang tidak menunjuk langsung pada pengharaman waris beda agama, melainkan hadis yang bersifat umum. Karenanya, ayat tersebut tidak bisa secara serta-merta bisa dijadikan landasan untuk melarang waris beda agama. Dalam banyak ayat, Tuhan justru mengakomodasi agama-agama langit (Kristen, Yahudi dan Shabi'ah) dan mereka yang beramal shaleh. Mereka pun akan mendapatkan surga di hari kiamat nanti. Dengan demikian tegas Nurcholish Madjid bahwa sejatinya hukum waris harus dikembalikan pada semangat awalnya yaitu dalam konteks keluarga (ulu alarham), keturunan (nasab) dan menantu (shakhr), apapun agamanya.Yang menjadi tujuan utama dalam waris adalah mempererat hubungan keluarga. Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan. Sedangkan hadis yang melarang waris beda agama harus dibaca dalam semangat zamannya, yang mana terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir). Maka bila hubungan Muslim dengan non-Muslim dalam keadaan normal dan kondusif, maka menurut Nurcholish Madjid secara otomatis matan hadis tersebut tidak bisa digunakan.7 7 Ibid., hlm. 168 47 Berdasarkan uraian di atas maka intinya, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa hukum waris beda agama diperbolehkan.Nurcholish Madjid dalam metode istinbath hukumnya menggunakan al-Qur'an surat alBaqarah ayat 62 dan ayat sejenis pada al-Qur'an surat 5 ayat 69. Dalam suratAl-Baqarah ayat 62 Allah SWT berfirman: ِ ِ ِ ِ َّ ِ َّ ِ حا ِ ا َّ ارى َو ُ ين َه َ ِالصابِئ َ َّادواْ َوالن َ آم َن ِِب َّّلل َوالْيَ ْوآ ا ِو ِر َو َعم َل َ ني َم ْن َ ين َص َ آمنُواْ َوالذ َ إِ َّن الذ ف َعلَْي ِه ْم َوالَ ُه ْم ََْي َزنُو َن ٌ َج ُرُه ْم ِعن َد َرهّبِِ ْم َوالَ َو ْو ْ فَ لَ ُه ْم أ Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Shabi'in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan Mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Menurut Nurcholish Madjid, ayat ini menunjukkan bahwa surga itu bukan monopoli orang yang menamakan dirinya Islam. Karena siapa saja yang beramal saleh maka ada peluang masuk surga. Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa perbedaan agama tidak bisa dijadikan sebagai dasar perbedaan dalam penilaian Tuhan. Karenanya tidak adil bila perbedaan agama dijadikan dasar untuk menghalangi waris mewaris. Tuhan menilai manusia dalam tiga aspek, pertama, beriman kepada Allah; kedua, beriman pada hari kemudia; ketiga, beramal saleh.8 Dalam metode istinbathnya, Nurcholish Madjid menyoroti secara tajam, bahwa sebagian pengkaji dan aktivis fiqih terjebak dalam kubanganatalisme, sehingga wacana fiqih yang semula bersifat terbuka dan 8 Ibid., hlm. 169 48 beragam, akhirnya masuk dalam wilayah politik dan upaya perebutan otoritas. Fenomenanya, ada semacam gelembung memori kolektif untuk menghadirkan kembali sejarah yang terkoyak (al-tarikh al-mumazzaq) dalam arena politik, tentu saja dengan mengatasnamakan resistensi terhadap kebiadaban modernitas. Indikasinya, seperti kecenderungan memukul beduk "Piagam Jakarta" dan "formalisasi Syariat" yang diderivasi ke dalarn "fiqih negara Islam" dan "fiqih Khilafah Islamiyah" hampir menasional dan kian menemukan momentum politik bersamaan dengan digelarnya desentralisasi. Formalisasi fiqih yang awalnya bersifat kultural, pada akhirnya dijadikan "mesin kekuasaan" untuk merebut kekuatan politik. Ini menunjukkan adanya "pendulum peradaban", sebagaimana disebut Ibn Khaldun sebagai "tarik ulur" yang membawa peradaban dari kemegahannya menuju kehancuran. Tentu saja, konteks di masa lalu dengan masa kini dan masa yang akan datang pasti berbeda. Masyarakat modern mempunyai logika dan sikap yang jauh berbeda dengan apa yang dihadapi masyarakat Arab di zaman dulu. Mungkin juga letak geografis di mana Islam diturunkan dengan letak geografis Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya memberikan inspirasi bagi lahirnya sebuah tafsir baru terhadap doktrin dan dogma keagamaan Perbedaan konteks dan sejarah inilah yang menyebabkan perlunya pembacaan yang bersifat distingtif antara Syari'ah dan maqashid al-Syari'ah. Selama ini ada upaya untuk menguniversalisasikan Syariat untuk semuazaman dan tempat.Apa yang diproduk ulama di masa lalu dianggap 49 sebagai solusi bagi problem kemanusiaan kontemporer. Ini bukan tanpa konsekuensi.Akibatnya, syariat sebagai pranata, nilai yang komprehensif menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan (ibadah mahdhah) dan hubungan manusia dengan manusia dan makhluk lainnya (mu'amalah), mengalami kemandulan.Yang tampak ke permukaan adalah wajah fiqih yang keras, kaku dan rigid. Fiqih sebagai cara mengambil kesimpulan sebuah hukum. yang berasal dari sumber asli agama (al-Qur'an dan hadis) pada akhirnya juga menjadi sangat teosentris, karena fiqih lebih dianggap sebagai otoritas pengetahuan daripada upaya memfungsionalisasikan doktrin keagamaan untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi dalam realitas sehari-hari. Dr. Yusuf al-Qardhawi melihat kenyataan mandulnya fiqih ini ditandai dengan sistematisasi fiqih yang dimulai dengan pembahasan mengenai ibadah. Menurutnya, karakteristik fiqih seperti ini telah memandulkan cara pandang fiqih terhadap masalah-masalah sosial, politik dan ekonomi. Karenanya, Qardhawi mengajukan alternatif pemikiran agar fiqih direformasi menjadi fiqih realitas (fiqh al-waqi') dan fiqih prioritas (fiqh alawlawiyat), yaitu fiqih yang dapat dijadikan sinaran baru bagi problem kemanusiaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, Syariat diharapkan tidak lagi hanya bercorak vertikalistik, yang hanya mengupas masalah hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan mencoba merambah masalah-masalah kemanusiaan.9 9 Ibid., hlm. 168 50 Fiqih didesak untuk menyentuhisu-isu kesetaraan gender (fiqh almar'ah'), ketatanegaraan (fiqh al-dawlah), kewarganegaraan (fiqh almuwathanah)dan lain-lain.Di sini semakin terlihat, bahwa mendinamisasikan fiqih merupakan langkah awal guna mendekonstruksi Syariat dari wajahnya yang statis, eksklusif dan diskriminatif menjadi Syariat yang dinamis, inklusif dan egalitarianistik. Langkah kolosal yang dilakukan ulama kontemporer dalam rangka memperbarui fiqih adalah mencoba melihat Syariat sebagai sumber nilai dan etika sosial, bukan hanya sekadar sumber hukum. Kendatipun tidak bisa dimungkiri, bahwa Syariat juga mengatur hal-hal yang bersifat taken for granted, tapi meletakkan Syariat hanya dalam kerangka sumber hukum dapat menyebabkan hilangnya kelenturan Syariat. Akibatnya, Syariat rentan pada monopoli tafsir untuk kepentingan kekuasaan.Sejarah peradaban fiqih misalnya memberikan contoh menarik, bahwa fiqih selalu digunakan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Tafsir keagamaan harus merujuk pada kepentingan kekuasaan tertinggi (khalifah), bukan kepada realitas kemanusiaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, yang mesti diangkat ke permukaan adalah Syariat dalam arti sebagai sumber kemaslahatan.Kemaslahatan yang dimaksud tidak hanya kemaslahatan untuk Tuhan dan penguasa secara berdiri sendiri-sendiri, melainkan kemaslahatan bagi manusia di seantero alam, apapun agama, suku dan rasnya. Karenanya, yang perlu dikedepankan adalah fiqh al- maqashid, yaitu fiqih yang lebih mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan 51 universal,seperti kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan daripada hukumhukum yang bersifat partikular.10 Para ulama klasik menyebut al-maqashid sebagai ilmu yang mendasari kelahiran fiqih (ushul al-fiqh). Sejak kelahirannya pertama kali oleh Imam al-Syafi'i dalam karya besarnya, al-Risalah, fiqh al-maqashid ini kurang mendapat perhatian dari pemerhati masalah keagamaan. Dalam kurun waktu yang cukup lama. Syariat hanya dilihat dalam bentuk-bentuk hukum partikular (furu'). Konsekuensinya, ilmu yang mendasari kelahiran fiqih tidak banyak tersentuh. Syariat dan fiqih yang dianut lebih sekadar upaya mengejawantahkan Mukadimah kesimpulan-kesimpulan hukum yang diproduksi para ulama atau mazhab yang berkembang di masa lalu. Karenanya, yang diperlukan saat ini adalah upaya menguak kembali hakikat doktrin keagamaan, terutama mengembalikan syariah pada maqashid al-syari'ah, memulangkannya pada ushul fiqh, sehingga Syariat dapat rnenegosiasikan visinya dengan kekinian dan kemodernan. Bukan hanya itu, Syariat diharapkan dapat memotret konteks, ruang dan zamannya. Di antara ulama klasik yang sangat menonjol dalam mengembangkan fiqh maqashid adalah Abu Ishaq al-Syathibi (790 H).Beliau menulis sebuah buku amat menarik, yaitu al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah (Beberapa Konsensus dalam Dasar-dasar Syariat). Buku tersebut bisa dipandang 10 Ibid., hlm. 170 52 sebagai kerangka metodologis dalam memahami Syariat, dan bukannya kesimpulan-kesimpulan hukum (istinbath al-ahkam).11 Pandangan seperti ini dikemukakan, karena seakan-akan Syariat atau fiqih secara umum hanya dipahami oleh sebagian kalangan sebagai kebenaran kognitif (al-haqiqah fi al-adzhan), bukan sebagai kebenaran praksis (al-haqiqah fi al-a'yan) Syariat disakralkan sebagai pandangan yang kebenarannya tidak bisa ditafsir dan diperdebatkan. Akibatnya, kita mengalami kemiskinan paradigmatik dan metodologis, karena yang dilakukan para ulama saat ini hanya sekadar reproduksi pandanganpandangan klasik (al-fahm al-turatsy li al-'ashr) tanpa melakukan upaya persenyawaan dengan problem kemanusiaan yang senantiasa berkembang dan semakin menantang. Al-Syathibi dalam fiqh maqashid-nya itu menghendaki agar ilmu dasar-dasar fiqih (ushul fiqh) diwacanakan kembali. Bahkan, menurut dia, ilmu dasar-dasar fiqih merupakan tujuan utama diletakkannya fiqih.Karenanya, fiqh maqashid bersifat definitif (qath'iy). Sedangkan fiqih sebagai cara mengambil kesimpulan hukum bersifat hipotetis (zhanny). Fiqih-fiqih yang diproduksi ulama di zaman dahulu pada hakekatnya bersifat relatif, karena pandangan mereka lebih merupakan hipotesishipotesis yang tidak bisa digunakan untuk mengatasi pelbagai persoalan di banyak tempat dan zaman.Mazhab yang mereka kembangkan mempunyai 11 Ibid., hlm. 171 53 konteksnya tersendiri, sehingga jika ditarik ke dalam konteks yang berbeda, maka perlu diuji ulang perihal aktualitas dan kontektualitasnya.12 Dalam mereformasi fiqih, al-Syathibi sebagai penganut mazhab Imam Malik menulis sebuah kerangka umum Syariat. Menurutnya, dalam Syariatterdapat beberapa varian yang mesti dipahami secara utuh, antara lain: hukum, tujuan umum, dalil dan ijtihad. Hal ini menunjukkan bahwa Syariat tidak hanya hukum belaka, karena ada varian lain yang sangat penting yaitu tujuan-tujuan utama (maqashid al-Syari'ah) diturunkannya Syariat kepada manusia.Dan tujuan-tujuan tersebut merupakan nilai-nilai yang sangat prinsipil dalam Islam. Jika diperas dan dicari inti sarinya, maka tujuan-tujuan utama Syariat adalah "kemaslahatan", yang didefinisikan sebagai "mengambil yang bermanfaat dan menghindari yang merusak (jalb al-manafi' wa dar-u al-masafid)." Pandangan seperti ini mencerminkan sebuah cara pandang yang terbuka terhadap doktrin-doktrin keagamaan. Imam al-Syathibi memberikan sinaran baru terhadap Syariat.Menurutnya, agama tidak hanya memuat ajaran yang menekankan aspek ritual dan peribadatan (al-ta'abbud), tetapi juga membawa misi kemaslahatan bagi manusia (al-mashlahat al'ammah).Dimensi kemanusiaan inilah yang kurang diapreasi secara lebih mendalam oleh pengkaji fiqih, sehingga yang terjadi hanya perhatian terhadap masalah-masalah ritual belaka.13 12 Ibid., hlm. 170 13 Ibid., hlm. 171