35 BAB III PENYAJIAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A

advertisement
BAB III
PENYAJIAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A.
Penyajian Data
1.
Biografi Nurcholis Madjid
Nurcholish Madjid lahir di Mojoanyar, Jombang, 17 Maret
1939/26 Muharam 1358). Seorang cendekiawan muslim Indonesia
yang dikenal dengan gagasannya tentang pembaruan pemikiran Islam.
Lahir dari kalangan keluarga pesantren, ia adalah putra seorang guru
Madrasah Al-Wathaniah di Jombang, Haji Abdul Madjid. Pendidikan
awal ia peroleh dari Sekolah Rakyat (pagi) dan Madrasah Ibtidaiah
(sore) di daerah kelahirannya. Kemudian ia melanjut ke Pesantren
Darul Ulum Rejoso, Jombang, selama 2 tahun. Salah satu gurunya
adalah KH Hasyim Asy'ari. Kemudian ia meneruskan pendidikan ke
Kulliyatul muallimin al-Islamiyah (KMI) di Pesantren Darussalam,
Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, sampai tamat 1960.
la mengajar selama setahun lebih di pesantren itu. Pendidikan tinggi ia
peroleh dari Fakultas Adab (Sastra Arab dan Kebudayaan Islam),
jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
sampai menyandang gelar sarjana (1968).1
Sejak Maret 1978, ia mendapat kesempatan mengikuti studi
lanjut (tugas belajar) diUniversitas Chicago, Amerika Serikat sampai
1
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, EnsiklopediIslam, Cet. 3, PT. Ichtiar Baru van
Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 104
35
36
meraih gelar doktor dalam bidang Kalam dan Falsafah dengan
predikat cum laude (Maret 1984) Selama menjadi mahasiswa IAIN,
Nurcholish Aktif di organisasi kemahasiswaan, Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI). la pernah menjadi ketua Umum Pengurus Besar HMI
untuk
dua periode 1966-1969 dan 1969-1971; presiden Persatuan
Mahasiswa Islam Asia Tenggara, 1967-1969; asisten IIFSO
(International Islamic Federation of Students Organizations/Federasi
Organisasi-organisasi Mahasiswa
Islam Internasional), 1968-1971.
Nur Cholish pernah menjadi staf pengajar di IAIN (1972-1974) serta
pemimpin umum majalah Mimbar, Jakarta (1971-1974), dan
pemimpin redaksi majalah Forum. Bersama teman-temannya, ia
mendirikan dan memimpin LSIK (Lembaga Studi Ilmu-Ilmu
Kemasyarakatan, 1972-1976) dan LKIS (Lembaga Kebajikan Islam
Samanhudi, 1974— 1977). Sebelum dan sepulangnya dari Amerika
Serikat ia bekerja di LIPI sebagai anggota staf peneliti, menjadi dosen
di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta; mendirikan dan menjadi ketua Yayasan Paramadina, yang
aktif dalam kajian keislaman; menjadi penulis tetap harian Pelita,
Jakarta; 1988 anggota MPR; Agustus 1991 dosen tamu di Institute of
Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada.2
Nurcholish terkenal dengan gagasannya tentang pembaruan
pemikiran
2
Ibid, hlm. 104
Islam.Menurut
dia,
Islam
harus
dilibatkan
dalam
37
pergulatan-pergulatan modernistik yang didasarkan atas kekayaan
khazanah pemikiran keislamantradisional yang telah mapan, sekaligus
diletakkan dalam konteks keindonesiaan.
Nurcholish Madjid pertama kali menyampaikan ide-ide
pembaharuannya secara formal pada 2 Januari 1970 di Jakarta dalam
acara halal bihalal di depan keluarga HMI, GPI (Gerakan Pemuda
Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Persami (Persatuan Sarjana
Muslim Indonesia), dengan judul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran
Islam dan Masalah Integrasi Umat". Bahasannya mencakup: 'Islam
Yes, Partai Islam No', Kuantitas versus Kualitas, Liberalisasi
Pandangan terhadap 'Ajaran Islam' sekarang (Sekularisasi, Kebebasan
Berpikir, Idea of Progress, dan Sikap Terbuka), dan perlunya
kelompok pembaharuan "liberal". Makalah tersebut kemudian
dilengkapi wawancara dengan Harian Kompas (1 April 1970), yang
bahasannya mencakup: Beragama secara Konvensional, Sekularisasi
dan Sekularisme, dan Beberapa 'Asuhan' dari Agama (Al-Qur'an).
Sebelumnya, 5 Februari 1970, ia menyampaikan pidato pada
acara HUT ke-3 HMI di Jakarta, dengan judul "Menuju Pembaharuan
Pemikiran dalam Islam", memberikan kuliah di
Pusat Kesenian
Jakarta, 30 Oktober 1972, dengan judul "Menyegarkan Paham
Keagamaan di Kalangan Ummat Islam Indonesia," dan sebagainya
yang dimuat dalam Pos bangsa, Tribun, dan Panji Masyarakat.
38
Ide-idenya tersebut mendapat pro dan kontra, sehingga tahun
70-an ia disebut tokoh kontroversi. Ada pula yang menyebutnya
dengan "NatsirMuda", sebutan yang dihubungkan dengan nama salah
seorang tokoh
partai
Masyumi
yang berpandangan
modern,
Mohammad Natsir.3
2.
Karya Nurcholis Madjid
Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan sebagai seorang
cendekiawan
Muslim
Indonesia
yang
produktif.
Kajian
dan
penelusuran terhadap karya-karya Nurcholish Madjid dianggap perlu
dalam rangka mencari mata rantai gagasan dan pemikirannya, serta
hubungannya dengan konsep-konsep pembaruan yang menjadi
bahasan sentral tulisan ini. Dalam pembahasan ini, karya-karya yang
dihasilkan Nurcholish Madjid, baik berupa buku, artikel atau tinjauan
buku, tidak akan diungkap dan dijelaskan semua. Pembahasan hanya
akan ditekankan kepada beberapa karyanya yang dianggap mewakili
gagasan gagasan sentralnya. Karya Nurcholish Madjid yang telah
beredar adalah sebagai berikut:
Khazanah Intelektual Islam (1984). Karya suntingan ini
dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu segi kejayaan Islam
di bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan
teologi. Nurcholish Madjid memperkenalkan tokoh-tokoh Muslim
klasik, seperti Al-Kindi, Al-Asy'ary, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali,
3
Abdul Qodir, Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia,
Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 103-115
39
Ibn Rusyd, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun, Al-Afghani, dan Muhammad
Abduh. Sebagaimana dikatakan secara "jujur" oleh Nurcholish
Madjid,
buku
ini
merupakan
sekadar
pengantar
pemikiran
kepadakajian yang lebih luas dan mendalam tentang kha2anah
kekayaan pemikiran Islam.
Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (1987).Eksistensi buku
ini mampu menunjukkan "giginya" dengan beberapa kali cetak
ulang.Buku ini hanya semacam kumpulan tulisan yang "tercecer" yang
dikemas dalam rentang waktu dua dasawarsa sebagai wujud respons
terhadap isu-isu yang berkembang saat itu. Signifikansi buku
ini
terlihat dengan jelas bagaimana Nurcholish Madjid "menganyam"
pemikiran dalam gagasan-gagasan di sekitar kemodernan, keislaman,
dan keindonesiaan. Di bawah prinsip "untuk mencari dan terus
mencari kebenaran", bahwa Tuhan adalah kebenaran yang mutlak.
Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (1992). Sebuah
buku yang menunjukkan "kesempurnaan" dan kelengkapan muatan
isinya, bukan karena jumlah halamannya tetapi perspektif yang utuh
dan komprehensif sekaligus merupakan karya monumentalnya. Franz
Magnis Suseno, seorang rohaniawan Katolik mengomentarinya,
sebagai buku tentang 'Islam Ideal' yang memuat secara mendalam dan
substantif argumen-argumen pembaruan Islam di Indonesia yang
dirintisnya sejak tahun 70-an.
40
Di dalamnya terungkap "misteri" tema Tauhid dan Emansipasi
Harkat Manusia, disiplinilmu keislaman tradisional, membangun
masyarakat etis serta universalisme Islam dan kemodernan.Dalam
pengantarnya, Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa agama Islam
mengajarkan manusia untuk menjaga dirinya di masa datang untuk
keselamatan dunia dan akhirat.Selanjutnya Nurcholish Madjid
memaparkan lebih jauh bagaimana manusia mempunyai tujuan hidup
yang transendental berdasarkan Iman yang dinyatakan dalam bentuk
amal, kebajikan sosial, menciptakan masyarakat egaliter dan inklusif
dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Islam,
Kerakyatan
dan
Keindonesiaan:
Pikiran-pikiran
Nurcholish Madjid "Muda" (1994). Sebagaimana terungkap dalam
buku Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, dalam buku ini
Nurcholish Madjid berbicara mengenai keislaman, keindonesiaan, dan
kemodernan, dengan penekanan bagaimana menciptakan masyarakat
berkeadilan dengan nilai-nilai tauhid.
Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah (1995). Dalam buku refleksi ini
pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid lebih tertuang dan terarah
pada makna dan implikasi penghayatan iman terhadap perilaku
sosial.Lebih jauh Nurcholish Madjid menyatakan bahwa sejarah umat
Islam mengalami perkembangan dan sekaligus distorsi di tangan umat
Islam sendiri sehingga menjadi mitos dan dongeng. Diungkapkan oleh
41
Komaruddin Hidayat, sebagai "kata pengantar",Nurcholish Madjid
menunjukkan konsistensinya sebagai
pemikir
yang apresiatif,
memiliki akses intelektual terhadap khazanah Islam klasik, dan tetap
konsisten dengan cita-cita humanisme dan modernisme Islam.
Ditambah lagi kesempurnaan Nurcholish Madjid dengan wawasan
kesejarahan dan sosiologis telah memungkinkan Nurcholish Madjid
menyuguhkan interpretasi doktrin Islam yang terbebas dari pemihakan
kepada kepentingan politik praktis.
Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi
Baru Islam Indonesia (1995). Sebagaimana buku Islam Doktrin dan
Peradaban, buku ini memiliki mainstream yang sama, yaitu
menghadirkan ajaran Islam secara lebih human, adil, inklusif, dan
egaliter. Perbedaannya Nurcholish Madjid menyuguhkannya dengan
gaya yang lebih kosmopolit.dan universal dan mempertimbangkan
aspek
kultural
paham-paham
keagamaan
yang
berkembang.
Muhammad Wahyuni Nafis dalam kata pengantar buku ini
menyatakan Nurcholish Madjid mengajak bagaimana memahami
mana yang benar-benar agama yang karenanya bersifat mutlak dan
mana yang benar-benar sebagai budaya yang karenanya relatif dan
sementara sifatnya.
Masyarakat Religius (1997). Buku ini dengan muatan lima bab
mengetengahkan Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen
pribadi dan sosial, konsep keluarga Muslim, prinsip medis dan
42
kesehatan keluarga Muslim serta konsep mengenai eskatologis dan
kekuatan supraalami.Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai lslam
Dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (1997). Karya Nurcholish
Madjid ini "hanya" sebuah wawancara, sehingga berbeda dengan buku
Nurcholish Madjid lainnya. Wawancara ini pernah dimuat dalam
berbagai media massa sekitar tahun 1970 sampai 1996 dengan tema
yang sangat beragam dan spontan, meliputi berbagai persoalan aktual;
politik, budaya, pendidikan, sampai peristiwa 27 Juli "kelabu". Fachry
Ali seorang pengamat politik dalam kata pengantar buku ini
mengomentari, "sangat menarik dan menjadi pendukung penting
untuk dapat menangkap semua gagasan yang pernah dilontarkan
Nurcholish Madjid".
Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (1999).Sebuah karya
Nurcholish Madjid yang dapat dikatakan merupakan perjalanan
panjang pandangan sosial politik Nurcholish Madjid dalam wacana
perpolitikan Islam di Indonesia. Buku ini berisi semua gagasan dalam
pembaruan pemikiran yang pernah dilontarkan Nurcholish Madjid
dalam berbagai bidang tranformasi nilai-nilai Al-Qur'an dalam
mewujudkan masyarakat madani istilah ini semakin populer dalam
wacana intelektual Indonesia saat ini. Dari karya-karya tulis
Nurcholish Madjid yang telah disebutkan, ada satu karkteristik kuat
yang dapat
diangkat ke permukaan. Semuanya berangkat dari
keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi umat Islam.Dari sikap
43
itu, Nurcholish Madjid lalu mengajukan alternatif agar Islam menjadi
agama yang benar-benar fungsional dalam kehidupan. Untuk itu, AlQur'an dan Sunnah Nabi harus ditafsirkan secara kreatif, kritis dan
bertanggung jawab serta dipahami secara keseluruhan dengan
menggunakan metode filosofis sehingga nilai-nilai universal yang
dikandungnya mampu menjadi landasan yang kukuh bagi segala
tindakan umat, dan dapat sesuai dengan kehidupan konkret.
Nurcholish Madjid tidak diragukan lagi telah memberikan kontribusi
yang cukup berharga bagi pengembangan wacana keislaman modern,
khususnya di Indonesia.
B.
Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Hukum Waris Mewarisi Muslim
dan Non Muslim
Menurut Nurcholish Madjid, sistem pemikiran fiqih bila berhubungan
dengan agama lain maka kesimpulan hukum yang diambil cenderung kaku
dan keras. Kafir menurut ulama fiqih klasik, merupakan salah satu
kelompok yang diharamkan untuk menerima dan memberi warisan
(mawani' al-irtsi). Ayat yang digunakan sebagai landasan hukum adalahi:
ِ ِ ‫ولَن ََْيعل ه‬
ِِ
‫ني َسبِيلا‬
َ ‫ين َعلَى ال ُْم ْؤمن‬
َ ‫اّللُ ل ْل َكاف ِر‬
ََ َ
Artinya:Dan Allah tidak memberikan jalan kepada orang-orang Kafir
untuk menundukkan (memusnahkan) orang-orang mukmin
(QS. 4: 141).
Sedangkan Menurut beliau Hadist yang digunakan sebagai landasan
44
normatif, yaitu seorang Muslim tidak mewarisi kepada orang-orang kafir,
begitu pula orang kafir tidak mewarisi kepada orang Muslim.4
Selanjutnya Nurcholish Madjid mengatakan bahwa Ibn Rusyd
mengakui, sebagian besar ulama melarang atau mengharamkan waris beda
agama/terutama berdasarkan ayat dan hadis di atas. Dan ini menurut
Nurcholish Madjid merupakan problem mendasar fiqih yang melibatkan
agama lain. Fiqih sangat tidak toleran terhadap agama lain. Namun, masih
terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum seorang Muslim mewarisi
non-Muslim.Para ulama terbelah dalam dua pendapat.
Pertama, mereka yang mutlak menolak waris beda agama, baik
seorang Muslim mewarisi seorang kafir atau sebaliknya, berdasarkan kedua
dalil di atas. Mazhab Syafi'i termasuk kelompok ini.
Kedua, mereka yang membolehkan hukum seorang Muslim mewarisi
seorang kafir dan mengharamkan kebalikannya. Ini berdasarkan analogi
(qiyas) diperbolehkannya pernikahan seorang Muslim dengan wanita nonMuslim (Ahli Kitab), sebagaimana disinyalir dalam surat al-Ma'idah ayat 5.
Yang termasuk dalam kelompok kedua antara lain: Mu'adz ibn Jabal,
Mu'awiyah, Sa'id ibn al-Musayyab dan Masruq.5
Pemandangan ini menurut Nurcholish Madjid menjelaskan, bahwa
para ulama terdahulu masih mencoba untuk mencari "jalan alternatif" dalam
kaitannya dengan agama lain. Salah satu buktinya, lanjut Nurcholish Madjid
4
Nurcholish Madjid, et al., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, cet ke-5,
2004, hlm.165
5
Ibid
45
dalam hukum yang berkaitan dengan agama lain, seperti waris beda
agama,selalu ada pelbagai pandangan yang menegaskan adanya perbedaan
cara pandang terhadap agama lain. Namun, yang tersosialisasi kadangkala
hanya pandangan mayoritas (al-jamahir), sedangkan pandangan ulama
minoritas yang membela hak-hak non-Muslim cenderung "dilupakan" atau
dihilangkan begitu saja. Pandangan kelompok kedua yang memberikan
ruang waris beda agama merupakan upaya ijtihadi yang perlu diapresiasi,
karena mereka mau mengakomodasi non-Muslim. Dan mereka mempunyai
landasan normatif yang sangat kuat.
Dalam pandangan yang lebih jauh, hal-hal yang dilarang dalam hak
waris (mawani' al-irtsi) bukan merupakan hal yang baku dan absolut.
Sewaktu-waktu hukum tersebut bisa berubah sesuai dengan konteks yang
berbeda. Dulu, tatkala hukum waris ini turun, memang harus diakui adanya
kekhawatiran dan ketakutan terhadap non-Muslim. Yang terjadi sebenarnya
bukan hanya perbedaan agama, melainkan perbedaan kepentingan politik
dan kepentingan ekonomi antara komunitas Muslim dan non-Muslim.
Sikap tersebut telah ditunjukkan oleh Umar ibn-Khatthab, tatkala
Hudzayfah dan Thalhah menikahi Ahli Kitab. Umar berkata dengan bijak,
"saya tidak melarang pernikahan tersebut, tapi saya hanya khawatir dan
takut.....". Ucapan Umar ibn Khattab ini sebenarnya bukan sebagai "fatwa
keagamaan", akan tetapi lebih tepat bila disebut sebagai sikap politis.6
6
Ibid., hlm. 167
46
Demikian penjelasan Nurcholish Madid.Lebih jauh Nurcholish
Madjid menjelaskan bahwa dalam pandangan yang lebih mendasar, ayat
yang digunakan para ulama
fiqih di atas merupakan ayat yang tidak
menunjuk langsung pada pengharaman waris beda agama, melainkan hadis
yang bersifat umum. Karenanya, ayat tersebut tidak bisa secara serta-merta
bisa dijadikan landasan untuk melarang waris beda agama. Dalam banyak
ayat, Tuhan justru mengakomodasi agama-agama langit (Kristen, Yahudi
dan Shabi'ah) dan mereka yang beramal shaleh.
Mereka pun akan mendapatkan surga di hari kiamat nanti. Dengan
demikian tegas Nurcholish Madjid bahwa sejatinya hukum waris harus
dikembalikan pada semangat awalnya yaitu dalam konteks keluarga (ulu alarham), keturunan (nasab) dan menantu (shakhr), apapun agamanya.Yang
menjadi tujuan utama dalam waris adalah mempererat hubungan keluarga.
Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan
pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama
diperbolehkan.
Sedangkan hadis yang melarang waris beda agama harus dibaca dalam
semangat zamannya, yang mana terdapat hubungan kurang sehat dengan
agama lain (kafir). Maka bila hubungan Muslim dengan non-Muslim dalam
keadaan normal dan kondusif, maka menurut Nurcholish Madjid secara
otomatis matan hadis tersebut tidak bisa digunakan.7
7
Ibid., hlm. 168
47
Berdasarkan uraian di atas maka intinya, Nurcholish Madjid
berpendapat bahwa hukum waris beda agama diperbolehkan.Nurcholish
Madjid dalam metode istinbath hukumnya menggunakan al-Qur'an surat alBaqarah ayat 62 dan ayat sejenis pada al-Qur'an surat 5 ayat 69. Dalam
suratAl-Baqarah ayat 62 Allah SWT berfirman:
ِ ِ
ِ
ِ َّ
ِ َّ
ِ
‫حا ِ ا‬
َّ ‫ارى َو‬
ُ ‫ين َه‬
َ ِ‫الصابِئ‬
َ َّ‫ادواْ َوالن‬
َ ‫آم َن ِِب َّّلل َوالْيَ ْوآ ا ِو ِر َو َعم َل‬
َ ‫ني َم ْن‬
َ ‫ين‬
َ‫ص‬
َ ‫آمنُواْ َوالذ‬
َ ‫إِ َّن الذ‬
‫ف َعلَْي ِه ْم َوالَ ُه ْم ََْي َزنُو َن‬
ٌ ‫َج ُرُه ْم ِعن َد َرهّبِِ ْم َوالَ َو ْو‬
ْ ‫فَ لَ ُه ْم أ‬
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Shabi'in, siapa saja di antara
mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian
dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan
Mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.”
Menurut Nurcholish Madjid, ayat ini menunjukkan bahwa surga itu
bukan monopoli orang yang menamakan dirinya Islam. Karena siapa saja
yang beramal saleh maka ada peluang masuk surga. Ayat ini juga
mengisyaratkan bahwa perbedaan agama tidak bisa dijadikan sebagai dasar
perbedaan dalam penilaian Tuhan. Karenanya tidak adil bila perbedaan
agama dijadikan dasar untuk menghalangi waris mewaris. Tuhan menilai
manusia dalam tiga aspek, pertama, beriman kepada Allah; kedua, beriman
pada hari kemudia; ketiga, beramal saleh.8
Dalam metode istinbathnya, Nurcholish Madjid menyoroti secara
tajam, bahwa sebagian pengkaji dan
aktivis fiqih terjebak dalam
kubanganatalisme, sehingga wacana fiqih yang semula bersifat terbuka dan
8
Ibid., hlm. 169
48
beragam, akhirnya masuk dalam wilayah politik dan upaya perebutan
otoritas. Fenomenanya, ada semacam gelembung memori kolektif untuk
menghadirkan kembali sejarah yang terkoyak (al-tarikh al-mumazzaq)
dalam arena politik, tentu saja dengan mengatasnamakan resistensi terhadap
kebiadaban modernitas. Indikasinya, seperti kecenderungan memukul beduk
"Piagam Jakarta" dan "formalisasi Syariat" yang diderivasi ke dalarn "fiqih
negara Islam" dan "fiqih Khilafah Islamiyah" hampir menasional dan kian
menemukan momentum politik bersamaan dengan digelarnya desentralisasi.
Formalisasi fiqih yang awalnya bersifat kultural, pada akhirnya
dijadikan "mesin kekuasaan" untuk merebut kekuatan politik. Ini
menunjukkan adanya "pendulum peradaban", sebagaimana disebut Ibn
Khaldun sebagai "tarik ulur" yang membawa peradaban dari kemegahannya
menuju kehancuran. Tentu saja, konteks di masa lalu dengan masa kini dan
masa yang akan datang pasti berbeda. Masyarakat modern mempunyai
logika dan sikap yang jauh berbeda dengan apa yang dihadapi masyarakat
Arab di zaman dulu. Mungkin juga letak geografis di mana Islam
diturunkan dengan letak geografis Indonesia dan beberapa negara Asia
lainnya memberikan inspirasi bagi lahirnya sebuah tafsir baru terhadap
doktrin dan dogma keagamaan Perbedaan konteks dan sejarah inilah yang
menyebabkan perlunya pembacaan yang bersifat distingtif antara Syari'ah
dan maqashid al-Syari'ah.
Selama ini ada upaya untuk menguniversalisasikan Syariat untuk
semuazaman dan tempat.Apa yang diproduk ulama di masa lalu dianggap
49
sebagai solusi bagi problem kemanusiaan kontemporer. Ini bukan tanpa
konsekuensi.Akibatnya, syariat sebagai pranata, nilai yang komprehensif
menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan (ibadah mahdhah) dan
hubungan manusia dengan manusia dan makhluk lainnya (mu'amalah),
mengalami kemandulan.Yang tampak ke permukaan adalah wajah fiqih
yang keras, kaku dan rigid. Fiqih sebagai cara mengambil kesimpulan
sebuah hukum. yang berasal dari sumber asli agama (al-Qur'an dan hadis)
pada akhirnya juga menjadi sangat teosentris, karena fiqih lebih dianggap
sebagai otoritas pengetahuan daripada upaya memfungsionalisasikan
doktrin keagamaan untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi dalam
realitas sehari-hari. Dr. Yusuf al-Qardhawi melihat kenyataan mandulnya
fiqih ini ditandai dengan sistematisasi fiqih yang dimulai dengan
pembahasan mengenai ibadah. Menurutnya, karakteristik fiqih seperti ini
telah memandulkan cara pandang fiqih terhadap masalah-masalah sosial,
politik dan ekonomi.
Karenanya, Qardhawi mengajukan alternatif pemikiran agar fiqih
direformasi menjadi fiqih realitas (fiqh al-waqi') dan fiqih prioritas (fiqh alawlawiyat), yaitu fiqih yang dapat dijadikan sinaran baru bagi problem
kemanusiaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini,
Syariat diharapkan tidak lagi hanya
bercorak vertikalistik, yang hanya
mengupas masalah hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan mencoba
merambah masalah-masalah kemanusiaan.9
9
Ibid., hlm. 168
50
Fiqih didesak untuk menyentuhisu-isu kesetaraan gender (fiqh almar'ah'), ketatanegaraan (fiqh al-dawlah), kewarganegaraan (fiqh almuwathanah)dan
lain-lain.Di
sini
semakin
terlihat,
bahwa
mendinamisasikan fiqih merupakan langkah awal guna mendekonstruksi
Syariat dari wajahnya yang statis, eksklusif dan diskriminatif menjadi
Syariat yang dinamis, inklusif dan egalitarianistik.
Langkah kolosal yang dilakukan ulama kontemporer dalam rangka
memperbarui fiqih adalah mencoba melihat Syariat sebagai sumber nilai dan
etika sosial, bukan hanya sekadar sumber hukum. Kendatipun tidak bisa
dimungkiri, bahwa Syariat juga mengatur hal-hal yang bersifat taken for
granted, tapi meletakkan Syariat hanya dalam kerangka sumber hukum
dapat menyebabkan hilangnya kelenturan Syariat. Akibatnya, Syariat rentan
pada monopoli tafsir untuk kepentingan kekuasaan.Sejarah peradaban fiqih
misalnya memberikan contoh menarik, bahwa fiqih selalu digunakan oleh
penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Tafsir keagamaan harus
merujuk pada kepentingan kekuasaan tertinggi (khalifah), bukan kepada
realitas kemanusiaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat.
Untuk itu, yang mesti diangkat ke permukaan adalah Syariat dalam
arti sebagai sumber kemaslahatan.Kemaslahatan yang dimaksud tidak hanya
kemaslahatan untuk Tuhan dan penguasa secara berdiri sendiri-sendiri,
melainkan kemaslahatan bagi manusia di seantero alam, apapun agama,
suku dan rasnya. Karenanya, yang perlu dikedepankan adalah
fiqh al-
maqashid, yaitu fiqih yang lebih mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan
51
universal,seperti kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan daripada hukumhukum yang bersifat partikular.10
Para ulama klasik menyebut al-maqashid sebagai ilmu yang
mendasari kelahiran fiqih (ushul al-fiqh). Sejak kelahirannya pertama kali
oleh Imam al-Syafi'i dalam karya besarnya, al-Risalah, fiqh al-maqashid ini
kurang mendapat perhatian dari pemerhati masalah keagamaan. Dalam
kurun waktu yang cukup lama. Syariat hanya dilihat dalam bentuk-bentuk
hukum partikular (furu'). Konsekuensinya, ilmu yang mendasari kelahiran
fiqih tidak banyak tersentuh. Syariat dan fiqih yang dianut lebih sekadar
upaya mengejawantahkan Mukadimah kesimpulan-kesimpulan hukum yang
diproduksi para ulama atau mazhab yang berkembang di masa lalu.
Karenanya, yang diperlukan saat ini adalah upaya menguak kembali
hakikat doktrin keagamaan, terutama mengembalikan syariah pada
maqashid al-syari'ah, memulangkannya pada ushul fiqh, sehingga Syariat
dapat rnenegosiasikan visinya dengan kekinian dan kemodernan. Bukan
hanya itu, Syariat diharapkan dapat memotret konteks, ruang dan zamannya.
Di antara ulama klasik yang sangat menonjol dalam mengembangkan
fiqh maqashid adalah Abu Ishaq al-Syathibi (790 H).Beliau menulis sebuah
buku amat menarik, yaitu al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah (Beberapa
Konsensus dalam Dasar-dasar Syariat). Buku tersebut bisa dipandang
10
Ibid., hlm. 170
52
sebagai kerangka metodologis dalam memahami Syariat, dan bukannya
kesimpulan-kesimpulan hukum (istinbath al-ahkam).11
Pandangan seperti ini dikemukakan, karena seakan-akan Syariat atau
fiqih secara umum hanya dipahami oleh sebagian kalangan sebagai
kebenaran kognitif (al-haqiqah fi al-adzhan), bukan sebagai kebenaran
praksis (al-haqiqah fi al-a'yan) Syariat disakralkan sebagai pandangan yang
kebenarannya tidak bisa ditafsir
dan diperdebatkan. Akibatnya, kita
mengalami kemiskinan paradigmatik dan metodologis, karena yang
dilakukan para ulama saat ini hanya sekadar reproduksi pandanganpandangan klasik (al-fahm al-turatsy li al-'ashr) tanpa melakukan upaya
persenyawaan dengan problem kemanusiaan yang senantiasa berkembang
dan semakin menantang.
Al-Syathibi dalam fiqh maqashid-nya itu menghendaki agar ilmu
dasar-dasar fiqih (ushul fiqh) diwacanakan kembali. Bahkan, menurut dia,
ilmu
dasar-dasar
fiqih
merupakan
tujuan
utama
diletakkannya
fiqih.Karenanya, fiqh maqashid bersifat definitif (qath'iy). Sedangkan fiqih
sebagai cara mengambil kesimpulan hukum bersifat hipotetis (zhanny).
Fiqih-fiqih yang diproduksi ulama di zaman dahulu pada hakekatnya
bersifat relatif, karena pandangan mereka lebih merupakan hipotesishipotesis yang tidak bisa digunakan untuk mengatasi pelbagai persoalan di
banyak tempat dan zaman.Mazhab yang mereka kembangkan mempunyai
11
Ibid., hlm. 171
53
konteksnya tersendiri, sehingga jika ditarik ke dalam konteks yang berbeda,
maka perlu diuji ulang perihal aktualitas dan kontektualitasnya.12
Dalam mereformasi fiqih, al-Syathibi sebagai penganut mazhab
Imam Malik menulis sebuah kerangka umum Syariat. Menurutnya, dalam
Syariatterdapat beberapa varian yang mesti dipahami secara utuh, antara
lain: hukum, tujuan umum, dalil dan ijtihad. Hal ini menunjukkan bahwa
Syariat tidak hanya hukum belaka, karena ada varian lain yang sangat
penting yaitu tujuan-tujuan utama (maqashid al-Syari'ah) diturunkannya
Syariat kepada manusia.Dan tujuan-tujuan tersebut merupakan nilai-nilai
yang sangat prinsipil dalam Islam. Jika diperas dan dicari inti sarinya, maka
tujuan-tujuan utama Syariat adalah "kemaslahatan", yang didefinisikan
sebagai "mengambil yang bermanfaat dan menghindari yang merusak (jalb
al-manafi' wa dar-u al-masafid)."
Pandangan seperti ini mencerminkan sebuah cara pandang yang
terbuka terhadap doktrin-doktrin keagamaan. Imam al-Syathibi memberikan
sinaran baru terhadap Syariat.Menurutnya, agama tidak hanya memuat
ajaran yang menekankan aspek ritual dan peribadatan (al-ta'abbud), tetapi
juga membawa misi kemaslahatan bagi manusia (al-mashlahat al'ammah).Dimensi kemanusiaan inilah yang kurang diapreasi secara lebih
mendalam oleh pengkaji fiqih, sehingga yang terjadi hanya perhatian
terhadap masalah-masalah ritual belaka.13
12
Ibid., hlm. 170
13
Ibid., hlm. 171
Download