PEMBUKTIAN SURAT PALSU (Studi terhadap Putusan Perkara

advertisement
PEMBUKTIAN SURAT PALSU
(Studi terhadap Putusan Perkara Nomor :144/Pid.B/2006/PN.Pwt)
SKRIPSI
Oleh:
CANDRA RIZQI HARIYUNAN
E1A008065
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
LEMBAR PENGESAHAN
PEMBUKTIAN SURAT PALSU
(Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 144/Pid.B/2006/PN.Pwt)
Oleh:
Candra Rizqi Hariyunan
E1A008065
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan
Pada tanggal
Mei 2012.
Penguji I/
Pembimbing I,
Penguji II /
Pembimbing II,
Penguji /
Penilai
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum
NIP. 19640923 198901 1 001
Dr. Hibnu Nugroho,S.H., M.H
NIP. 19640724 199002 1 001
Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H.
NIP. 19581019 198702 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S.
NIP. 19520603 198003 2 001
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :
Nama
: CANDRA RIZQI HARIYUNAN
NIM
: E1A008065
Judul Skripsi : PEMBUKTIAN SURAT PALSU(Studi Terhadap Putusan
Perkara Nomor: 144/Pid.B/2006/PN.Pwt).
Adalah benar bahwa skripsi ini merupakan hasil karya sendiri, baik sebagian
maupun seluruhnya, semua informasi dan sumber data yang digunakan dalam
penyusunan skripsi ini disebutkan dalam daftar pustaka dan telah dinyatakan
secara jelas keberadaannya.
Bila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menanggung resiko,termasuk
pencabutan gelar kesarjanaan yang saya sandang.
Purwokerto,
Mei 2012
CANDRA RIZQI HARIYUNAN
ABSTRAK
Oleh:
Candra Rizqi Hariyunan
E1A008065
Sistem Pembuktian dan alat – alat bukti merupakan bagian terpenting
dari keseluruhan proses pidana dalam persidangan. Pasal 184 ayat (1) KUHAP
telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang – undang
yang meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa. Dalam perkara No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt salah satu alat bukti surat
yang digunakan adalah berupa surat yang diduga palsu. permasalahannya
kemudian adalah bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti surat tersebut, jika
dikaitkan dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 184 KUHAP. Setidaknya
permasalahan ini yang menjadi alasan bagi penulis untuk mengambil skripsi
dengan judul “PEMBUKTIAN SURAT PALSU (Studi terhadap Putusan Perkara
Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt.).”
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data terhadap Putusan No.
144/Pid.B/2006/PN.Pwt. maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Surat Keterangan
No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 dan surat – surat lain yang berkaitan dengan surat
keterangan tersebut dihadirkan oleh penuntut umum di persidangan dan dijadikan
alat bukti yang sah berupa surat (Pasal 187 huruf b KUHAP) dipersidangan dan
berkedudukan sama dengan alat bukti lainnya serta alat bukti tersebut akan dinilai
oleh hakim secara bebas. Sehingga semuanya diserahkan kepada penilaian hakim
dalam mengambil keputusan.
Sedangkan Pertimbangan Hukum hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa dalam putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt adalah :
a. Segi yuridis yaitu dengan terpenuhinya unsur – unsur pasal yang didakwakan,
dan terpenuhi batas minimum pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP yaitu
berupa keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, Surat
Keterangan Tamat Sekolah dan surat lainnya yang berkedudukan sebagai alat
bukti surat.
b. Segi Non Yuridis yaitu dengan mempertimbangkan mengenai perbuatan
terdakwa tersebut dapat mengurangi rasa kepercayaan masyarakat terhadap
Lembaga Perwakilan Rakyat, hal ini yang memberatkan hukuman terdakwa.
Namun karena terdakwa sopan, kooperatif, belum pernah dihukum dan tulang
punggung keluarga, sehingga hal ini dapat meringankan hukuman terdakwa.
Kata Kunci : Pembuktian, Alat Bukti Surat, Pemalsuan surat
ABSTRACT
Oleh:
Candra Rizqi Hariyunan
E1A008065
System of Proof and evidence are the most important part of the whole
process in a criminal trial. Article 184 paragraph (1) KUHAP has defined the
limitatif valid evidence according to the laws which include the statements of
witnesses, expert testimony, letters, instructions and a description of the
defendant. In case No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt one of the tools used are
documentary evidence of the alleged fake letter. problem then is how the strength
of evidence proving that letter, if it is associated with the Article 183 and Article
184 KUHAP. At least this problem is the reason for the writer to take the thesis
with the title "FORGED LETTERS EVIDENCE (Study of Decision on Case No.:
144/Pid.B/2006/PN.Pwt.)."
Based on the results of research and data analysis of the Decision No.
144/Pid.B/2006/PN.Pwt. then it can be concluded that the Certificate of No.
2809/E/SLTP Nas/I/2001 and letter - another letter relating to the certificate
presented by the prosecution at the trial and used as valid evidence in the form of
a letter (Article 187 letter b KUHAP) in court and are equal with other evidences
and the evidence will be assessed by the judge freely. So everything is left to the
judgment of judges in making decisions.
Legal Considerations the judge in imposing criminal judgment against
the decision Number: 144/Pid.B/2006/PN.Pwt are:
a. Juridical aspect is the fulfillment of element that were charged, and met the
minimum threshold of proof in Article 183 KUHAP, the form of witness
testimony, expert testimony, the statements of the defendant, school graduation
certificate and other documents that are located as evidence a letter.
b. Non-juridical aspect is to consider the defendant's actions may reduce the
sense of public confidence in the institutions of Representatives, this is a
burdensome penalty defendants. However, because the defendant polite,
cooperative, has not been convicted and backbone of the family, These things
can relieve defendant.
Keywords: Evidence, Evidence letter, letter Counterfeitin
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, taufik, da
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan
judul: “PEMBUKTIAN SURAT PALSU (Studi terhadap Putusan Perkara
Nomor: 144/Pid.B/2006/PN.Pwt)” untuk memenuhi syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum di Fakultas hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi tidak akan dapat terselesaikan
dengan baik, tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya atas bantuan dan
dukungan dari semua pihak, baik moral maupun material, baik langsung maupun
tidak langsung, sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai dengan baik.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada :
1.
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
2.
Sanyoto, S.H., M.Hum, selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
3.
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I Skripsi, atas segala
bantuan, arahan, dukungan dan masukkan yang telah diberikan selama
penulisan skripsi ini.
4.
Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II Skripsi, atas
segala bantuan, arahan, dukungan dan masukkan yang telah diberikan selama
penulisan skripsi ini.
.
5.
Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji skripsi ini.
6.
Hj. Setiadjeng Kadarsih, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik.
7.
Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto.
8.
Kepada orang tua dan adikku yang tercinta, yang telah memberikan dorongan
baik moril dan spirituil untuk senantiasa agar penulis menjadi sukses
dikemudian hari;
9.
Seluruh teman angkatan 2008, OKD (Forum), Kolom Lor (Futsal Club),
teman PLKH dan teman semasa KKN yang sudah memberikan pengalaman
tentang arti persaudaraan, persahabatan dan membantu pula menghilangkan
kejenuhan selama perkuliahan, semoga kita semua masih bisa berteman baik
dan semoga kita semua sukses. Amin.
10. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, semoga
semua kebaikan yang diberikan kepada penulis dapat dipertimbangkan
sebagai perbuatan mulia dan berguna, semoga Allah SWT membalas amal
kebaikan anda semua;
Harapan penulis semoga sumbangan pemikiran yang dapat penulis berikan
dan kemukakan dalam skripsi ini akan dapat memberikan sumbangan manfaat
bagi semua pihak yang membutuhkan.
Purwokerto,
Mei 2012
Candra Rizqi Hariyunan
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL …………………………………………………
i
HALAMAN JUDUL……………………………………………………
ii
LEMBAR PENGESAHAN…………...……………………………….
iii
SURAT PERNYATAAN ………………………………………………. iv
ABSTRAK ……………………………………………………………..
v
ABSTRACT ……………………………………………………………
vi
KATA PENGANTAR………………………………………………….
vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………
ix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………..
1
B. Perumusan Masalah …………………………………….
10
C. Tujuan Penelitian ……………………………………….
10
D. Kegunaan Penelitian ……………………………………
10
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana …………………..
12
2. Tujuan Hukum Acara Pidana ……………………….
14
B. Pembuktian
1. Macam – macam Alat Bukti ………………………..
16
2. Sistem Pembuktian ………………………………….
27
C. Barang Bukti
1. Pengertian dan Macam Barang Bukti ……………....
37
2. Pemeriksaan Surat ………………………………….
39
D. Tindak Pidana Pemalsuan Surat. ………………………
43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian ………………………………………
53
B. Spesifikasi Penelitian …………………………………..
54
C. Lokasi Penelitian ……………………………………….
55
D. Jenis Bahan Hukum …………………………………….
55
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ………………….
55
F. Metode Penyajian Bahan Hukum ………………………
56
G. Metode Analisis Bahan Hukum ………………………..
56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB V
A. Hasil Penelitian …………………………………………
57
B. Pembahasan …………………………………………….
115
PENUTUP
A. Simpulan ……………………………………………….
142
B. Saran ……………………………………………………
143
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Hukum merupakan suatu aturan yang hidup dimasyarakat yang oleh
masyarakat harus dipatuhi dan dijalankan. Unsur-unsur hukum sendiri menurut
para sarjana hukum Indonesia adalah :
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan
masyarakat
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
c. Peraturan itu bersifat memaksa
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan itu adalah tegas.1
Pada era sekarang ini penegakan hukum merupakan bagian dari
tuntutan masyarakat yang menginginkan adanya suatu reformasi hukum,
untuk itu maka sangatlah perlu adanya peningkatan kesadaran akan hak dan
kewajiban dari setiap warga negara dalam upaya pencapaian tujuan negara itu
sendiri. Selain itu, hal yang tidak kalah penting yaitu diperlukan adanya
kesadaran dari para aparat penegak hukum sebagai pelaksana penegakan
hukum dalam menggunakan kewenangannya, karena penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum akan berdampak
buruk terhadap proses penegakan hukum itu sendiri, maka aparat penegak
hukum yang benar dan adil harus menjelma pada semua unsur
penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
1
C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, Hal. 39.
Pembagian tentang macam-macam hukum terbagi menjadi berbagai
macam golongan diantaranya dilihat dari isinya.
Hukum dilihat dari isinya dibedakan menjadi hukum publik dan
hukum privat. Hukum publik merupakan hukum yang mengatur
kepentingan umum, hubungan antara negara dengan perseorangan.
Kemudian hukum privat merupakan hukum yang mengatur hubunganhubungan antara orang yang satu dengan yang lain, yang
menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.2
Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu Negara. Bagian lain – lain adalah : Hukum Perdata, Hukum Tata
Negara dan Tata Pemerintahan, Hukum Agraria, Hukum Perburuhan,
Hukum Intergentil, dan sebagainya. Biasanya bagian hukum tersebut
dibagi dalam dua jenis yaitu Hukum Publik dan Hukum Privat, dan
hukum pidana ini digolongkan dalam golongan hukum publik, yaitu
mengatur hubungan antara Negara dan perseorangan atau mengatur
kepentingan umum. Sebaliknya hukum privat mengatur hubungan
antara perseorangan atau mengatur kepentingan perseorangan.3
Sumber utama hukum pidana adalah Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana (KUHP), yang terdiri dari 3 buku. Buku I berisi mengenai aturan
umum hukum pidana, Buku II mengenai tindak pidana kejahatan dan Buku
III mengenai tindak pidana pelanggaran.
Sebagaimana yang diterangkan di dalam Memorie van Toelichting
(MvT), pembedaan dan pengelompokan tindak pidana menjadi
kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen) didasarkan
pada pemikiran bahwa :
1.
2.
2
3
Pada kenyataannya dalam masyarakat ada sejumlah perbuatan
– perbuatan yang pada dasarnya sudah mengandung sifat
terlarang (melawan hukum), yang karenanya pada pembuatnya
patut dijatuhi pidana walaupun kadang – kadang perbuatan
seperti itu tidak dinyatakan dalam Undang – Undang.
Disamping itu ada perbuatan – perbuatan yang baru
mempunyai sifat terlarang dan kepada pembuatnya diancam
Ibid, Hlm.75.
Moeljatno, 1993, Asas – Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 1-2.
dengan pidana setelah perbuatan itu dinyatakan dalam Undang
– Undang.4
Pemikiran yang demikian tergambar dari istilah rechtsdelicten untuk
kejahatan sebagaimana yang dimaksudkan pertama, dan wetdelicten untuk
menyebut pelagaran sebagaimana yang dimaksudkan kedua, yang ada pada
kenyataannya kejahatan berupa tindak pidana lebih berat daripada
pelanggaran.
Teranglah bahwa bagi kejahatan pada dasarnya sifat terlarangnya atau
tercelanya perbuatan itu adalah terletak pada masyarakat, sedangkan bagi
pelanggaran karena dimuatnya dalam Undang – Undang.
Kejahatan – kejahatan yang dimuat dalam Buku II, digolongkan ke
dalam bentuk – bentuk tertentu, yang pada pokoknya didasarkan pada
kepentingan hukum yang dilanggar / dibahayakan oleh perbuatan itu.
Banyak kepentingan hukum dalam masyarakat yang dilindungi oleh
Undang – Undang, yang pada pokoknya dapat dikelompokkan
menjadi 3 golongan besar, yakni : kepentingan hukum perorangan,
kepentingan hukum masyarakat dan kepentingan hukum Negara.5
Tiga (3) kelompok kepentingan hukum itu, walaupun dapat dibedakan
namun adakalanya suatu kepentingan hukum dapat dimasukkan ke dalam
lebih dari satu golongan kepentingan hukum tersebut. Seperti pada kejahatan
pemalsuan surat (surat keterangan tamat sekolah). Pelanggaran terhadap
kepentingan hukum atas kepercayaan pada ijazah dan penggunaan ijazah itu
sebagai sarana untuk mencalonkan menjadi wakil rakyat, tidak saja berupa
pelanggaran/ penyerangan terhadap kepentingan hukum masyarakat tetapi
juga sekaligus terhadap kepentingan hukum Negara.
4
Adami Chazawi, 2002, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, hlm 1.
5
Ibid, hlm 2.
Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan
adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan
ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (obyek), yang sesuatunya itu tampak
dari luar seolah – olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan
dengan yang sebenarnya.
Kejahatan
Pemalsuan
ini
dimuat
dalam
Buku
II
KUHP
dikelompokkan menjadi 4 golongan, yakni :
1. Kejahatan sumpah palsu (Bab IX).
2. Kejahatan pemalsuan uang (Bab X)
3. Kejahatan pemalsuan materai & merek (Bab XI)
4. Kejahatan pemalsuan surat (Bab XII).
Penggolongan tersebut didasarkan atas obyek dari pemalsuan, yang
jika dirinci lebih lanjut ada 6 obyek kejahatan, yaitu (1) keterangan di atas
sumpah, (2) mata uang, (3) uang kertas,(4) materai,(5) merek, dan (6) surat.
Dibentuknya pengaturan mengenai kejahatan pemalsuan ini pada
pokoknya ditujukan bagi perlindungan hukum atas kepercayaan masyarakat
terhadap kebenaran sesuatu : keterangan di atas sumpah, atas uang sebagai
alat pembayaran, materai, merek, serta surat – surat. Oleh karena kebutuhan
hukum masyarakat terhadap kepercayaan atas kebenaran pada obyek – obyek
tadi, maka Undang – Undang menetapkan bahwa kepercayaan itu harus
dilindungi dengan cara mencantumkan perbuatan berupa penyerangan
terhadapnya tadi sebagai suatu larangan dengan disertai ancaman pidana.
Demi penegakan hukum pidana materiil di Indonesia maka digunakan
hukum acara pidana yang ada di KUHAP ( Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana). Tahapan penegakan hukum acara pidana (formil) dalam
KUHAP dari awal meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan
di sidang pengadilan, pelaksanaan dan pengawasan putusan, serta jika
diperlukan maka dilakukan upaya hukum.
Adanya hukum acara pidana diharapkan masyarakat dapat mengetahui
peran penegak hukum dan proses beracara dalam menegakkan hukum pidana
materiil dan dapat menghayati hak dan kewajibannya untuk meningkatkan
pembinaan sikap penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masingmasing kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya
negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945.
KUHAP sebagai pedoman dalam beracara pidana yang dinyatakan
berlaku harus ditaati, dalam pengertian bahwa bagi para teoritis
banyak hal yang dapat diperbuat untuk disumbangkan kepada
kebutuhan penerapan hukum agar dapat berlaku dan hidup sesuai
dengan cita-cita hukum6.
Tindakan awal dalam pengungkapan suatu perkara maka sangat
penting adalah diadakannya penyidikan, penyidikan dalam KUHAP Pasal 1
butir 2 yaitu:
Serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut undang-undang ini
(KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan itu
6
Bambang Poernomo, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta Buku, Yogyakarta,
1988, Hal. 163
membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangka.
Tindakan penyidikan dilakukan oleh penyidik dan penyidik
pembantu yang tugasnya adalah dalam rangka persiapan ke arah pemeriksaan
di pengadilan. Penyidik disini adalah orang yang mengetahui, menerima
laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga
merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang
diperlukan. Para penyidik mempersiapkan alat-alat bukti yang sah, sehingga
dapat dipergunakan untuk membuat suatu perkara menjadi jelas atau terang
dan juga mengungkap siapa pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana.
Upaya penyidik dalam mengungkap tentang kejahatan pemalsuan
surat maka dilihat dulu / dicek terlebih dahulu mengenai isi surat itu benar
atau tidak, lalu lembaga yang mengeluarkan itu benar atau tidak, dan lihatlah
syarat – syarat untuk mendapatkan surat itu, apakah telah sesuai prosedur atau
belum. Dalam pemeriksaan ini biasanya penyidik harus berkoordinasi dengan
instansi – instansi yang terkait.
Di dalam surat terkandung arti atau makna tertentu dari sebuah
pikiran, yang kebenarannya harus dilindungi. Diadakan kejahatan pemalsuan
surat ini adalah ditujukan pada perlindungan hukum terhadap kepercayaan
masyarakat terhadap kebenaran akan isi surat – surat.
Membuat surat palsu adalah menyusun surat atau tulisan pada
keseluruhannya. Adanya surat ini karena dibuat secara palsu. Surat ini
mempunyai tujuan untuk menunjukkan bahwa surat seakan – akan
berasal dari orang lain daripada penulisnya ( pelaku ). Ini disebut
pemalsuan meteriil ( materiele valsheid ). Asal surat itu adalah palsu.
Perbuatan memalsukan surat dilakukan dengan cara melakukan
perubahan – perubahan tanpa hak ( tanpa izin yang berhak ) dalam
suatu surat atau tulisan, perubahan mana dapat mengenai tanda
tangannya maupun mengenai isinya. Tidak perduli, bahwa ini
sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak benar atau sesuatu yang
benar; perubahan isi yang tidak benar menjadi benar merupakan
pemalsuan surat.7
Kejahatan pemalsuan surat dibentuk dengan tujuan untuk melindungi
kepentingan hukum publik perihal kepercayaan terhadap kebenaran atas
isi 4 macam objek surat, yaitu :
1. surat yang menimbulkan suatu hak;
2. surat yang menerbitkan suatu perikatan;
3. surat yang menimbulkan pembebasan utang, dan
4. surat yang dibuat untuk membuktikan suatu hal/keadaan tertentu.
Berdasarkan hal diatas, maka terdapat perbuatan yang dilarang terhadap
4 macam surat tersebut adalah pebuatan membuat surat palsu
(valschelijk opmaaken) dan memalsu (vervalsen).8
Kejahatan pemalsuan surat ada dua (2) yaitu : membuat surat palsu
dan menggunakan surat palsu. hal ini tertuang di dalam Pasal 263 ayat (1)
KUHP yang berbunyi :
(1) Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat
yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau
pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari
sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh
orang lain pakai surat tersebut seolah – olah isinya benar dan
tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana
penjara paling lama enam tahun.
ayat (2), yang berbunyi :
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah
7
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17867/3/chapterII.pdf , diakses tanggal 15
November 2011.
8
adamchazawi.blogspot.com/2011/06/pemalsuan-surat-pasal-263-kuhp.html., diakses
tanggal 15 November 2011.
– olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian.
Berkaitan dengan kasus pemalsuan surat, diperlukan suatu pembuktian
secara cepat. Salah satunya yaitu dengan melalui pembuktian dengan
menggunakan barang bukti surat. Analisis terhadap barang bukti tersebut
diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana ini yang bertujuan untuk
mengetahui atau menyelidiki apakah benar terdapat unsur kesengajaan untuk
menggunakan surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah –olah
benar dan
tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian.
Pengaturan tentang penggunaan alat bukti surat dalam pembuktian di
persidangan diatur dan disebutkan di dalam KUHAP. Sebagaimana yang
tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) yang menyatakan surat sebagai alat bukti
yang sah dan untuk pengaturan lebih lanjut mengenai alat bukti surat ini
diatur pula dalam Pasal 187 KUHAP.
Putusan di Pengadilan Negeri Purwokerto terdapat suatu kasus
mengenai Tindak Pidana “Dengan Sengaja Menggunakan Surat Palsu”,
dimana hakim memutus terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga)
bulan karena terbukti melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP yang berbunyi :
“Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah –
olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian”.
Hakim dalam putusan tersebut mendasarkan pada alat bukti surat yaitu
sebagai berikut :
a. 1 (satu) lembar Surat Keterangan Nomor 2809/E/SLTP.Nas/I/2001
tertanggal 5 Januari 2001 a.n Suherman.
b. 1
(satu)
lembar
lampiran
Surat
Keterangan
Nomor
2809/E/SLTP/Nas.I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 a.n Suherman
berupa daftar nilai
c. 1 (satu) lembar fotocopy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan sama
dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) SMU program ilmu
pengetahuan sosial atas nama Suherman dengan nomor seri STTB No.
03 Mup 0006309 yang telah disahkan oleh Pengadilan Negeri
Purwokerto sesuai dengan aslinya.
d. 1 (satu) lembar surat Nomor 420./013380/30 tertanggal 2 April 2001.
e. 1 (satu) Surat Nomor 048.8/890/2001 tertanggal 10 April 2001.
f. Buku Induk dan Agenda, semuanya diserahkan kepada penuntut umum
untuk perkara lain.
Putusan Perkara Nomor: 144/Pid.B/2006/PN.Pwt mengenai kejahatan
pemalsuan surat dalam hal ini mengenai pemalsuan surat keterangan tamat
sekolah, yang putusannya menjatuhkan terdakwa dengan pidana 3 (tiga)
bulan penjara. Hal ini menarik bagi penulis karena suatu surat palsu atau yang
diduga palsu itu dapat dijadikan alat bukti dan membuktikan tindak pidana
pemalsuan surat. Hal ini membuat penulis ingin mengetahui dan mendalami
tentang tindak pidana pemalsuan surat palsu ini.
B. Perumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
mengambil pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti surat dalam tindak pidana
dengan sengaja menggunakan surat palsu terhadap Putusan Nomor :
144/Pid.B/2006/PN.Pwt?
2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa dalam Putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kekuatan alat bukti surat dalam pembuktian di
persidangan mengenai tindak pidana dengan sengaja menggunakan surat
palsu berdasarkan putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt.
2. Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan hukum apa sajakah yang
dipakai oleh hakim dalam menjatuhkan pidana bagi terdakwa berdasarkan
Putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt.
D. Kegunaan Penelitian.
1. Kegunaan Teoritis
Bahwa dengan hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah
wacana dan pengetahuan hukum dalam bidang hukum acara pidana
terutama dalam penggunaan alat bukti surat dalam mengungkap kasus
dengan sengaja menggunakan surat palsu dan apa sajakah yang menjadi
pertimbangan hakim untuk memutus kasus tersebut.
2. Kegunaan Praktis
Bahwa dengan hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi acuan wacana
bagi para praktisi pengambil kebijakan atau akademisi dalam menelaah
suatu permasalahan di bidang hukum acara pidana dan dapat pula
digunakan untuk memberikan wacana ataupun pengetahuan baru tentang
hukum acara pidana bagi akademisi dan/atau masyarakat pada umumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Acara Pidana.
1. Pengertian Hukum Acara Pidana.
Hukum Acara Pidana berhubungan erat dengan adanya Hukum
Pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan –
peraturan yang memuat cara bagaimana badan – badan Pemerintah
yang berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaaan dan Pengadilan harus
bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan Hukum
Pidana.9
Hukum pidana formal ( Hukum Acara Pidana ) mengatur tentang
bagaimana Negara melalui alat – alatnya melaksanakan haknya
untuk memidana dan menjatuhkan pidana.10
Pengaturan mengenai Hukum Acara Pidana diatur dalam Undang Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, akan tetapi dalam KUHAP tidak menerangkan lebih lanjut
mengenai pengertian Hukum Acara Pidana, akan tetapi lebih menekankan
pada bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili,
praperadilan,
putusan
pengadilan,
upaya
hukum,
penyitaan,
penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan yang lainnya. Pengertian
hukum acara pidana lebih banyak didefinisikan oleh para ahli hukum
seperti definisi yang diberikan oleh de Bosch Kemper, bahwa Hukum
Acara Pidana adalah keseluruhan asas - asas dan peraturan undang –
undang mengenai mana Negara menjalankan hak – haknya karena terjadi
pelanggaran undang – undang pidana. Pendapat lain dari Van Bemmelen
9
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Bandung : Sumur
Bandung, hlm 15.
10
Jur Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 4.
juga mengemukakan bahwa ia melukiskan hukum acara pidana sebagai
berikut :
“Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh negara, karena adanya pelanggaran undang-undang
pidana, yaitu sebagai berikut.
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran
2. Sedapat mungkin menyidik perbuatan itu.
3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si
pembuat dan kalau perlu menahannya.
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada
hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut.
5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan
yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan
pidana atau tindakan tata tertib.
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.
7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan
tata tertib11.
Rumusan
pengertian
Hukum
Acara
Pidana
sebagaimana
dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, pada hakekatnya tujuan
yang hendak dicapai oleh ketentuan hukum acara pidana adalah mencari
dan mendapatkan kebenaran dari suatu perkara pidana.
Mengenai ruang lingkup berlakunya, hukum acara pidana punya
lingkup yang lebih kecil, yaitu hanya mulai pada mencari kebenaran,
penyidikan, penyelidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana
(eksekusi) oleh jaksa. Pembinaan narapidana tidak termasuk hukum acara
pidana. Apalagi yang menyangkut perencanaan undang – undang pidana.
Dengan terciptanya KUHAP, maka untuk pertama kalinya di
Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti
11
Ziad, 2005, Diktat Hukum Acara Pidana, Purwokerto: Fakultas Hukum Unsoed, hlm 1
meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada
kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai meliputi peninjauan kembali .
Dalam ruang lingkupnya tersebut, hukum acara pidana ini berfungsi
untuk menjalankan hukum pidana (materiil), sehingga disebut hukum
pidana formal atau hukum acara pidana.
2. Tujuan Hukum Acara Pidana.
Tujuan hukum acara pidana mencari dan mendapatkan kebenaran
telah ditegaskan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan
oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut :
“Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan memperoleh
kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap – lengkapnya
dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum
acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuuk mencari
siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan
putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa
suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa
itu dapat dipersalahkan.”12
Menurut Mr.J.M. Van Bemmelen dalam bukunya Leerboek van her
Nederlandse Straf Frocesrecht, menyimpulkan bahwa tiga fungsi pokok
acara pidana adalah:
a. Mencari dan menemukan kebenaran;
b. Pengambilan putusan oleh hakim;
c. Pelaksanaan daripada putusan.
Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting adalah mencari kebenaran
karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya, kemudian
setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan
bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan
tepat) yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan
hukum acara pidana adalah mencari kebenaran merupakan tujuan antara,
12
Loc.cit.
dan tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban,
ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat13.
Menurut Mardjono Reksodiputro, tujuan sistem peradilan pidana dapat
dirumuskan sebagai berikut :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas,
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulagi lagi kejahatannya.14
Dalam rangka mencapai tujuannya, maka sistem peradilan pidana
memiliki desain prosedur (procedural design) yang ditata melalui KUHAP.
Menurut Mardjono Reksodiputro secara garis besar dibagi menjadi tiga
tahap, yaitu 2 tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap prajudikasi
(pre-judication), (b) tahap sidang pengadilan atau tahap ajudikasi
(adjudication), tahap setelah pengadilan atau purnaajudikasi (post
adjudication).15
Melihat kepentingan yang menuntut perhatian dalam Acara Pidana, maka
terdiri dari dua macam kepentingan yaitu :
1. Kepentingan masyarakat, bahwa seorang yang melanggar suatu
peraturan hukum pidana harus mendapat hukuman yang setimpal
dengan kesalahannya guna keamanan masyarakat, dan
2. Kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan
secara adil sedemikian rupa, sehingga jangan sampai orang yang
tidak berdosa, mendapat hukuman, atau kalau memang ia berdosa,
jangan sampai ia mendapat hukuman yang terlalu berat, tidak
seimbang degan kesalahannya.16
Tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah
merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai
suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan, dan
kesejahteraan dalam masyarakat.17
13
Jur Andi Hamzah. Op.cit, Hal. 8.
Hibnu Nugroho, “Merekonstruksi Sistem Penyidikan Dalam Peradilan Pidana”, Jurnal
Hukum Pro Justitia, Volume 26 No. 1 Januari 2008, hlm 19.
14
15
Ibid, hlm 20.
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hlm 15-16.
17
Jur Andi Hamzah, Op.cit, hlm 9.
16
B. Pembuktian.
1. Macam – Macam Alat Bukti.
Dalam hal ini di dunia ilmu pengetahuan hukum ada dua sistem yang
dianut. Yang satu dinamakan sistim “accusatoir”, yang lain sistem
“inquisitoir”. Intinya sistim accuisitoir itu adalah menganggap seorang
tersangka, yaitu pihak yang didakwa sebagai suatu subjek berhadapan
dengan pihak yang mendakwa, sehingga kedua belah pihak mempunyai
hak – hak yang sama nilainya dan hakim berada di atas kedua belah pihak
itu untuk menyelesaikan soal perkara (pidana) antara mereka menurut
peraturan Hukum Pidana yang berlaku. Sedangkan sistem inquisitoir itu
menganggap si tersangka sebagai suatu barang, suatu objek, yang harus
diperiksa wujudnya berhubung dengan suatu pendakwaan. Pemeriksaan
wujud ini berupa pedengaran si tersangka tentang dirinya pribadi. Oleh
karena sudah ada suatu pendakwaan yang sedikit banyak telah diyakini
kebenarannya oleh yang mendakwa melalui sumber pengetahuan di luar
tersangka, maka pendengaran tersangka sudah semestinya merupakan
pendorongan kepada tersangka, supaya mengaku saja kesalahannya.
Sekiranya sudah terang, bahwa dalam Negara Indonesia, juga
berhubung dengan adanya suatu sila dari Pancasila yang merupakan Peri
Kemanusiaan, harus dalam hakekatnya dianut sistim accusatoir. Maka
dalam melakukan kewajibannya pejabat – pejabat dan penuntut perkara
pidana harus selalu ingat kepada hakekat ini dan menganggap tersangka
selalu sebagai seorang subjek yang mempunyai hak penuh untuk membela
diri.
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu
perbuatan, dimana dengan alat –alat bukti tersebut, dapat digunakan
sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas
kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh
terdakwa.18
Proses pemeriksaan pada acara pidana diperlukan ketentuan –
ketentuan dalam hukum acara pidana yang akan terlihat dalam acara
pemeriksaan biasa yang terkesan sulit dalam pembuktiannya dan
membutuhkan penerapan hukum yang benar dan pembuktian yang
obyektif dan terhindar dari rekayasa para pelaksana persidangan. Untuk
menemukan suatu kebenaran yang obyektif juga salah satunya dengan
menggunakan alat bukti. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP
disebutkan mengenai alat bukti yang sah untuk membantu hakim dalam
mengambil keputusan, alat bukti itu ialah :
a. Keterangan Saksi
b. Keterangan Ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.
a. Keterangan Saksi.
18
Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi Di
Indonesia, Jakarta: Raih Asa Sukses, hlm 23.
Pada umumnya semua orang bisa menjadi saksi. Pengecualiannya
terdapat dalam Pasal 168 KUHAP berikut :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama – sama
sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama – sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan, dan anak – anak saudara terdakwa
sampai derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama – sama sebagai terdakwa.
Di dalam Pasal 170 KUHAP dijelaskan juga mengenai mereka – mereka
yang karena pekerjaannya, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberi
keterangan sebagai saksi. Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan
atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk kewajiban untuk
menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang – undangan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan
perundang – undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang
dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menentukan
sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan
tersebut.19
Keterangan saksi yang diberikan di depan penyidik sebagaimana
terdapat dalam berita acara penyidikan (berkas perkara) merupakan
pedoman dalam pemeriksaan sidang.
Pengertian kesaksian adalah keterangan lisan seseorang, dimuka
sidang pengadilan, dengan sumpah terlebih dahulu tentang peristiwa
tertentu yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, tetapi mengenai hal – hal
yang dikatakan oleh orang lain bukan merupakan kesaksian yang sah,
melainkan disebut saksi de auditu / testimony de auditu.
19
Jur Andi Hamzah, Op.cit, hlm 262.
Menurut Pasal 163 KUHAP, dikatakan bahwa jika keterangan saksi
di dalam sidang ternyata berbeda dengan yang ada dalam berkas perkara,
hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta meminta
keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara
persidangan.
Harus juga diingat bahwa perbedaan keterangan saksi tersebut harus
disertai dengan alasan – alasan yang bisa diterima. Apabila bisa diterima
baru bisa dicatat dalam berita acara persidangan. Apabila tidak bisa
diterima akal, tentu saja pencabutan keterangan saksi tersebut harus
ditolak.
Seseorang yang menjadi saksi juga harus punya rasa tanggung
jawab atas segala hal yang telah ia ungkapkan di muka persidangan. Oleh
karena itu, di dalam Pasal 224 KUHP mengaturnya, yaitu :
“barang siapa dipanggil sebagai saksi atau juru bahasa menurut
undang – undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban
berdasarkan undang – undang yang harus dipenuhinya diancam:
1. Dalam perkara pidana, pidana penjara paling lama sembilan
bulan.
2. Dalam perkara lain dengan pidana penjara paling lama enam
bulan.
Untuk menilai kebenaran keterangan saksi diatur dalam Pasal 185
ayat (6). Dan menuntut kewaspadaan tinggi dari hakim dalam memutus
dan sungguh – sungguh memperhatikan :
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang
lain;
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti
lain.
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk
memberi keterangan yang tertentu.
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang
pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya
keterangan itu dipercaya.
b. Keterangan Ahli.
Definisi ahli menurut :
a. Pasal 120 KUHAP, adalah ahli yang mempunyai keahlian
khusus.
b. Pasal 132 KUHAP, adalah ahli yang mempunyai keahlian
tentang surat dan tulisan palsu.
c. Pasal 133 KUHAP menunjuk Pasal 179 KUHAP, untuk
menentukan korban luka keracunan atau mati adalah ahli
kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya.
Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua
oleh Pasal 183 KUHAP. Ini berbeda dengan HIR dahulu tidak
mencantumkan keterangan ahli sebagai alat bukti. Keterangan ahli sebagai
alat bukti tersebut sama dengan Ned.Sv. dan hukum acara pidana modern
di banyak negeri.
Berdasarkan Pasal 186 KUHAP yang menyatakan bahwa
keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di bidang
pengadilan. Jadi, Pasal tersebut tidak menjawab siapa yang disebut
ahli dan apa itu keterangan ahli. Pada penjelasan pasal tersebut juga
tidak menjelaskan hal ini. Keterangan ahli menurut Pasal 343 Ned.
Sv. Disana dikatakan bahwa keterangan ahli adalah pendapat
seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang
dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya.20
Keterangan ahli dan keterangan saksi itu berbeda. Jika dilihat dari
segi isi keterangan yang diberikan, maka terlihat perbedaannya yaitu
ketika seorang saksi memberikan keterangan maka ia hanya memberikan
keterangan mengenai apa yag dialami saksi itu sendiri sedangkan
keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian mengenai hal – hal
20
Ibid, hlm 272-273.
yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal itu
sesuai bidang ilmu yang ahli kuasai.
Intinya adalah keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti yang
memiliki kekuatan pembuktian, ialah :
- Keterangan ahli yang memiliki keahlian khusus dalam bidangnya
sehubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
- Dan bentuk keterangan yang diberikannya sesuai dengan keahlian
khusus
yang
dimilikinya
berbentuk
keterangan
“menurut
pengetahuannya.
c. Surat
Alat bukti surat selanjutnya adalah surat yang pengertiannya
dicantumkan dalam Pasal 187 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat
atas sumpah jabatan atau dikaitkan dengan sumpah, adalah :
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat
dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang
keteranganya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang –
undangan atas surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal
atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yanh memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Surat sebagai bukti, baik autentik maupun bawah tangan, misal
surat kelahiran, surat nikah, surat ijazah, surat wasiat, surat perjanjian
utang, surat jual beli, surat tanah, surat mobil atau motor, surat muatan,
surat neraca, surat kapal, obligasi, visum et repertum, surat dari
laboratorium mabes POLRI dan lain sebagainya.
d. Petunjuk
Penerapan alat bukti petunjuk oleh hakim dalam praktik hendaknya
digunakan dengan hati – hati karena sangat dekat dengan sifat kewenangan
yang dominan dalam penilaian yang bersifat subjektif sekali. Oleh karena
itu, hakim dalam menggunakan alat bukti petunjuk harus arif dan
bijaksana dan berdasarkan hati nurani.
Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai
berikut:
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
Diperjelas lagi di ayat (2) pasal diatas, yang berbunyi :
“Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari :
a. Keterangan saksi;
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.
Dalam ayat (3) dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
“Mengenai kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana,
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya”.
Jadi, berbeda dengan alat bukti yang lain, yakni keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, dan keterangan terdakwa. Pengertian diperoleh,
artinya alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti langsung (indirect
bewijs). Oleh karena itu, banyak yang menganggap alat bukti petunjuk
bukan merupakan alat bukti.
Menurut Van Bemmelen mengatakan, “Akan tetapi keasalahan yang
terutama adalah, bahwa orang telah menganggap petunjuk – petunjuk itu
sebagai suatu alat bukti, sedang dalam kenyataannya adalah tidak
demikian”.21
Sementara itu, P.A.F Lamintang mengatakan, “Petunjuk memang
hanya merupakan dasar yang dapat dipergunakan oleh hakim untuk
menganggap suatu kenyataan sebagai terbukti, atau dengan perkataan lain
petunjuk itu bukan merupakan suatu alat bukti, seperti misalnya
keterangan saksi yang secara tegas mengatakan tentang suatu dasar
pembuktian belaka, yakni dari dasar pembuktian mana kemudian hakim
dapat menganggap suatu kenyataan itu sebagai terbukti, misalnya karena
adanya kesamaan antara kenyataan tersebut dengan kenyataan yang
dipermasalahkan.”22
Pembuktian sebagai dasar perkara pidana sering harus didasarkan
atas petunjuk – petunjuk. Hal ini karena jarang sekali terjadi seorang yang
melakukan kejahatan, terlebih – lebih mengenai tindak pidana berat, akan
melakukannya dengan terang – terangan. Pelakunya selalu berusaha
menghilangkan jejak perbuatannya. Hanya karena diketahui keadaan –
keadaan tertentu tabir tersebut kadang – kadang dapat terungkap sehingga
kebenaran yang ingin disembunyikan terungkap.”
21
22
Alfitra, 2011, Op.cit, hlm 102.
Loc.cit, Ibid.
Terkait penggunaan alat bukti petunjuk, tugas hakim sebenarnya
akan lebih sulit. Ia harus mencari hubungan antara perbuatan,
mengkombinasikan akibat – akibatnya dan akhirnya sampai pada suatu
keputusan tentang terbukti atau tidaknya sesuatu yang telah didakwakan.
e. Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam
Pasal 184 ayat (1). Penempatannya pada urutan terakhir inilah salah satu
alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan
keterangan terdakwa dilakukan sesudah pemeriksaan keterangan saksi –
saksi.
Dapat dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat
bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan
terdakwa
hendaknya
didengar.
Apakah
itu
berupa
penyangkalan,pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari
perbuatan atau keadaan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh
keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian menurut HR
dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944.
Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena
pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat – syarat berikut ;
a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan.
b. Mengaku ia bersalah.
Keterangan Terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas
pengertiannya dari pengakuan terdakwa, bahkan menurut Memorie
van Toelichting Ned.Sv. penyangkalan terdakwa boleh juga menjadi
alat bukti sah. 23
Keterangan terdakwa ini berbeda dengan pengakuan terdakwa,
keterangan terdakwa ini punya arti yang lebih luas jika dibandingkan
dengan pengakuan terdakwa. Oleh karena itu, dengan memakai keterangan
23
Jur Andi Hamzah, Op.cit, hlm 278.
terdakwa dapat dikatakan lebih maju daripada pengakuan terdakwa.
Keterangan terdakwa ada kemungkinan berisi pengakuan terdakwa.
Keterangan terdakwa ini tidak perlu sama dengan pengakuan
terdakwa. Pengakuan terdakwa sebagai alat bukti mempunyai syarat
– syarat :
1. Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan, dan
2. Mengaku ia bersalah.
Namun demikian, ada kemungkinan terdakwa memberikan
pengakuan untuk sebagian. Terdakwa mengaku melakukan delik
yang didakwakan, tetapi ia tidak mengaku bersalah. Misal terdakwa
mengaku membunuh korban, tetapi ia tidak mengaku bersalah karena
membela diri.24
Ketentuan mengenai keterangan terdakwa diatur lebih rinci di dalam
Pasal 189 KUHAP sebagai berikut :
1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri
atau alami sendiri.
2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri.
4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, tetapi harus disertai dengan alat bukti yang lain.
24
Alfitra, 2011, Op.cit, hlm 111.
Apa yang dianggap sebagai alat bukti yang sah hanyalah apa yang
telah diuraikan diatas, selain dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa maka dianggap tidak sah, umpamanya
sangkaan belaka, hasil nujum perdukunan yang lazim dipraktikkan di
kampung – kampung seperti misalnya melihat tanda – tanda dalam sebuah
primbon, melihat gambar dari kuku yang telah dicat hitam oleh anak kecil,
melihat telapak tangan, dan mencocokkan fenomena alam, dan sebagainya.
Alat - alat bukti di atas dapat diajukan dari pihak terdakwa maupun
dari pihak Kejaksaan. Biasanya jika alat bukti tersebut diajukan dari pihak
terdakwa maka terkesan untuk meringankan hukuman terdakwa,
sedangkan jika alat bukti tersebut dihadirkan oleh pihak kejaksaan dalam
hal ini oleh jaksa maka sifat alat bukti tersebut terkesan untuk
memberatkan karena seorang jaksa kedudukannya sebagai wakil dari
Negara dan demi kepentingan masyarakat umum maka ia harus bersikap
obyektif.
Selain dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan
bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang
melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak
menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan
acuan untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana.
Pada dasarnya yang mengajukan alat bukti dalam persidangan adalah
penuntut umum (alat bukti yang memberatkan) dan terdakwa atau
penasihat hukum (jika ada alat bukti yang bersifat meringankan).
Terdakwa tidak dibebani pembuktian. Hal ini merupakan jelmaan
asas praduga tak bersalah (Pasal 66 KUHAP). Jadi, pada prinsipnya yang
membuktikan kesalahan terdakwa adalah penuntut umum.
Hakim dalam proses persidangan pidana bersifat aktif. Oleh karena
itu, apabila dirasa perlu hakim bias memerintahkan penuntut umum untuk
menghadirkan saksi tambahan. Demikian sebaliknya apabila dirasa oleh
hakim cukup, hakim bisa menolak alat bukti yang diajukan dengan alasan
hakim sudah menganggap tidak perlu karena sudah cukup meyakinkan.
Namun demikian harus diingat bagi hakim, mengajukan alat bukti
merupakan hak bagi penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum.
Oleh karena itu, penolakan pengajuan alat bukti haruslah benar – benar
dipertimbangkan dan beralasan.
Tindak pidana “Dengan Sengaja Menggunakan Surat Palsu",
penyidik dan hakim dapat mengungkapkannya dengan menggunakan alat
bukti surat yang berkaitan dengan kasus di atas, hal ini dilakukan untuk
membuktikan bahwa telah terjadi kesengajaan untuk menggunakan surat
palsu tersebut, dalam hal ini adalah ijazah yang dipalsukan tetapi selain itu
juga harus didasarkan pada persesuaian antara keterangan para saksi yang
ada dengan barang bukti yang diajukan di persidangan.
2. Sistem Pembuktian
Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang
mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan
alat – alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan – tindakan dengan
prosedur khusus guna mengetahui fakta – fakta yuridis di persidangan,
sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat – syarat dan tata cara
mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima,
menolak, dan menilai suatu pembuktian.
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting
dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian
inilah nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat – alat
bukti yang ditentukan undang – undang tidak cukup membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan
dari hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat
dibuktikan dengan alat – alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184
KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan
dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, para hakim harus hati – hati,
cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah
pembuktian.25
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan
yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana.
Terdapat bagian yang juga tidak kalah pentingnya dalam Hukum
Pembuktian adalah masalah pembagian beban pembuktian yang
berat sebelah berarti a priori menjerumuskan pihak yang menerima
beban yang terlampau berat, dalam jurang kekalahan. Melakukan
pembagian beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu
pelanggaran hukum atau undag – undang yang merupakan alasan
bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Hakim atau
Pengadilan yang bersangkutan.26
Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam
proses pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut:
1. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha
untuk meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada
agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat
atau catatan dakwaan.
2. Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian adalah
merupakan usaha sebaliknya untuk meyakinkan hakim yakni
berdasarkan alat bukti yang ada agar menyatakan seorang
terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau
meringankan pidananya. Untuk itu, tedakwa atau penasihat
25
Mohammad Taufik Makarao & Suharsil, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm 102-103.
26
Subekti, 2008, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, hlm 15.
hukum jika mungkin harus mengajukan alat – alat bukti yang
menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya, bukti
tersebut disebut bukti kebalikan.
3. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut, yakni dengan
adanya alat – alat bukti yang ada dalam persidangan, baik yang
berasal dari penuntut umum maupun penasihat hukum/ terdakwa
dibuat atas dasar untuk membuat keputusan.27
Mengenai perkembangannya, hukum acara pidana menunjukkan
bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang
didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu
dan tempat (Negara).
Menurut bukunya Andi Hamzah disebutkan bahwa terdapat beberapa
sistem atau teori pembuktian untuk membuktikan perbuatan yang
didakwakan. Sistem atau teori pembuktian itu antara lain :
a. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang – undang
secara positif (Positive wettelijk bewijstheorie ).
Sistem pembuktian ini didasarkan melulu kepada alat –
alat pembuktian yang disebut undang – undang. Dikatakan
secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang – undang
melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai
dengan alat – alat bukti yang disebut oleh undang – undang,
maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. sistem ini
disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie). 28
Sistem ini memposisikan seorang hakim laksana robot
yang menjalankan undang – undang. Namun demikian ada
kebaikan dalam sistem ini, yakni hakim akan berusaha
membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh
27
28
Alfitra, Op.cit, hlm 25.
Jur Andi Hamzah, Op.cit, hlm 251.
nuraninya sehingga benar – benar objektif. Artinya, menurut cara
– cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undang – undang.
b. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
melulu. (conviction intime).
Sistem ini berlawanan secara berhadap – hadapan dengan
teori pembuktian menurut undang – undang secara positif, ialah
teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu. Dengan
sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada
alat – alat bukti dalam undang – undang. Sistem ini dianut oleh
peradilan juri di Perancis.29
Sistem
pembuktian
ini,
dasar
keyakinan
hakim
dilandaskan kepada integritas personal yang meliputi kejujuran,
kehormatan, martabat, dan charisma hakim itu sendiri untuk
menyusun pertimbangan yang dilakukannya dengan sadar.
Pengakuan yang diberikan oleh terdakwa dan saksi – saksi saja
masih belum tentu kebenarannya. Terdakwa dan saksi yang
memberikan keterangan itu tetap harus dinilai sebagai manusia
biasa yag mungkin lupa, emosional, dan subjektif. Mereka itu
tidak akan selalu bersikap netral terhadap peristiwa yang
dialaminya sendiri, hakimlah yang harus menjadi netral dan
objektif terhadap peristiwa yang dialami terdakwa dan saksi.
Dengan netralitas dan objektifitas memandang peristiwa itu apa
adanya, lalu hakim menyusun pertimbangan untuk menilai.
Ukuran penilaian itu adalah keyakinan hati nuraninya sendiri dan
integritas pribadi dalam jabatan hakim yang diembannya.
29
Ibid. hlm 252.
c. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas
alasan yang logis (Laconviction Raisonnee).
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang
bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan
kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu
kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan –
peraturan pembuktian tertentu. Jadi keputusan hakim dijatuhkan
dengan suatu motivasi.
Sistem pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas
karena hakim bebas untuk menyebut alasan – alasan
keyakinannya.
Sistem ini berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi
keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan
(conclusive) yang logis, yang tidak berdasarkan kepada undang –
undang, tetapi ketentuan – ketentuan menurut ilmu pengetahuan
hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tetang pelaksanaan
pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan.30
Sebenarnya sistem Laconviction Raisonnee merupakan
jalan tengah atau yang berdasarkan hakim sampai batas tertentu
ini terpecah menjadi dua sub sistem atau sub teori yaitu :
-
Conviction Raisonne, artinya sub sistem ini berpangkal
tolak pada keyakinan hakim, yang didasarkan kepada
satu kesimpulan yang logis tidak selalu hanya kepada
undang – undang saja, tapi juga kepada keyakinan
menurut sistem ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh
hakim itu sendiri. Jadi, keyakinan itu bisa menurut
system ilmu pengetahuan yang ada dikuasai oleh
hakim itu sendiri. hal ini seperti yang telah diuraikan
sebelumnya di atas.
-
Negatief Wettelijk Bewijstheorie, artinya sub sistem
ini berpangkal tolak keyakinan
30
Ibid, hlm 253.
berdasarkan aturan
pembuktian yang diatur dalam Undang – Undang,
sehingga tidak boleh ada keyakinan diluar Undang –
undang itu, walaupun keyakinan itu masih dapat
dipertanggungjawabkan menurut ilmu pengetahuan.
Dengan kata lain, ilmu pengetahuan itu hanya bisa
digunakan sebagai dasar keyakinan bilamana telah
dimasukkan sebagai aturan ke dan di dalam Undang –
Undang.
d. Teori pembuktian berdasarkan Undang – undang secara Negatif
(Negatief Wettelijk).
Sistem ini berpangkal tolak pada aturan – aturan
pembuktian yang ditetapkan secara limitative oleh undang –
undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim. 31
Sistem negative ini ada dua hal yang merupakan syarat
untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni :
-
Wettelijk: adanya alat bukti yang sah yang telah
ditetapkan oleh undang – undang.
-
Negatief : adanya keyakinan (nurani) dari hakim,
yakni berdasarkan bukti – bukti tersebut hakim
meyakini kesalahan hakim.
Sistem pembuktian yang dianut di Indonesia adalah menggunakan
teori pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif
(negatief wettelijk)32
31
Ibid, hlm 254.
Samidjo, 1988, Responsi Hukum Acara Pidana Dalam Penerapan Sistem Kredit
Semester, hlm 239-240.
32
Sistem pembuktian di atas adalah pengaturan tentang macam –
macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti, dan
dengan cara – cara bagaimana alat – alat bukti itu dipergunakan serta
dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya di depan
sidang pengadilan.
Hal yang sama juga digunakan di Negara Eropa Kontinental yang
tertuang dalam Pasal 183 KUHAP.
Dalam Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali
apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dari pasal tersebut di atas, putusan hakim haruslah didasarkan pada
dua syarat, yaitu :
a. Minimum dua alat bukti, dan
b. Dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.
Jadi, meskipun di dalam persidangan telah diajukan dua atau lebih,
bila hakim tidak yakin bahwa terdakwa bersalah, terdakwa tersebut akan
dibebaskan.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa KUHAP menganut sistem
pembuktian negatife wettelijk. Minimum pembuktian yakni dua alat bukti
yang bisa disimpangi dengan satu alat bukti untuk pemeriksaan perkara
cepat (diatur dalam Pasal 205 sampai Pasal 216 KUHAP). Jadi, jelasnya
menurut penjelasan Pasal 184 KUHAP, pemeriksaan perkara cepat cukup
dibuktikan dengan satu alat bukti dan keyakinan hakim.
Dasar hukum pembuktian hukum acara pidana mengacu pada Pasal
183-189 KUHAP. Yang dapat disimpulkan bahwa pembuktian dalam
perkara pidana menurut hukum acara pidana itu:
1. Bertujuan mencari kebenaran material,
atau yang sesungguhnya.
2. Hakimnya bersifat aktif. Hakim
mendapatkan bukti yang cukup untuk
kepada tertuduh.
3. Alat buktinya bisa berupa keterangan
surat, petunjuk, keterangan terdakwa.33
yaitu kebenaran sejati
berkewajiban untuk
membuktikan tuduhan
saksi, keterangan ahli,
Pembuktian ini adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan
dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti
yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim
membuktikan kesalahan yang didakwakan. Pembuktian juga
merupakan kegiatan membuktikan, dimana membuktikan berarti
memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai
kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan
meyakinkan.34
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan
yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam
hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika
seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim,
33
http://www.pnpmperdesaan.or.id/downloads/Pembuktian%20dalam%20Perkara%20Pidana.pdf, diakses tanggal 3
November 2011.
34
http://lawmetha.wordpress.com/2011/06/03/pembuktian-dalam-hukum-acara-pidana/,
diakses tanggal 16 September 2011.
untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata
yang cukup puas dengan kebenaran formal.
Bentuk perbandingannya adalah jikalau kekuatan pembuktian dari
akte autentik di dalam acara perdata bersifat mengikat hakim,karena
hakim perdata harus menganggap sesuatu hal terbukti oleh akte
autentik kecuali jika ada kontra bukti yang melumpuhkan kekuatan
pembuktian dari akte itu, maka dalam hukum acara pidana lain lagi,
bagi Hakim, tidak ada alat bukti satupun yang akan mengikat hakim
tentang kekuatan pembuktian, kecuali kalau tidak yakin akan
kesalahan dari terdakwa, tentunya hakim tidak boleh serampangan
menyampingkan begitu saja suatu akte autentik sebagai bukti
melainkan harus ada alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.35
Pembuktian merupakan proses untuk menentukan hakikat adanya
fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran
yang logis terhadap fakta-fakta masa lalu yang tidak terang menjadi
terang yang berhubungan dengan adanya tindak pidana. Pembuktian
dalam acara pidana sangat penting karena nantinya akan terungkap
kejadian yang sebenarnya berdasarkan berbagai macam alat bukti yang
ada dalam persidangan.
Secara konkret, Adami Chazawi menyatakan, bahwa dari
pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan,
sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2
bagian, yaitu:
1. Bagian kegiatan pengungkapan fakta.
2. Bagian pekerjaan penganalisisan fakta
penganalisisan hukum.
yang
sekaligus
Di dalam bagian pengungkapan fakta, alat-alat bukti diajukan ke
muka sidang oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum atau
atas kebijakan majelis hakim untuk diperiksa kebenarannya. Proses
pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis
mengucapkan secara lisan bahwa pemeriksaan terhadap
35
C. Djisman Samosir, 1985, Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Bandung: Bina
Cipta, hlm. 90.
perkara dinyatakan selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP).
Setelah bagian kegiatan pengungkapan fakta telah selesai, maka
selanjutnya Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan majelis
hakim melakukan penganalisisan fakta yang sekaligus
penganalisisan hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian
dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya
(requisitoir). Bagi Penasehat Hukum pembuktiannya dilakukan
dalam nota pembelaan (pledoi), dan akan dibahas majelis hakim
dalam putusan akhir (vonis) yang dibuatnya.36
Menurut M. Yahya Harahap, Pembuktian adalah ketentuan yang
beisi penggarisan dan pedoman kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur
alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh
dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang
didakwakan37.
Pembuktian ini menjadi penting apabila suatu perkara tindak
pidana telah memasuki tahap penuntutan di depan sidang pengadilan.
Tujuan adanya pembuktian ini adalah untuk membuktikan apakah
terdakwa benar bersalah atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Menurut Yahya Harahap hanya alat bukti yang mencapai batas
minimal yang memiliki nilai kekuatan pembuktian untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila alat bukti tidak mencapai
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam KUHAP, maka
pelanggaran itu dengan sendirinya menyampingkan standar Beyond
a reasonable doubt (patokan penerapan standar terbukti secara sah
dan meyakinkan) dan pemidanaan yang dijatukan dapat dianggap
sewenang-wenang.38
Mengingat KUHAP mengandung sistem akusatur (accusatory
procedure) artinya bahwa kedudukan tersangka atau terdakwa dalam
setiap tingkat pemeriksaan adalah subyek bukan sebagai obyek
36
http://lawmetha.wordpress.com/2011/06/03/pembuktian-dalam-hukum-acara-pidana/,
diakses tanggal 16 September 2011.
37
M. Yahya harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaaan sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika,
Jakarta, Hal.252.
38
http://lawmetha.wordpress.com/2011/06/03/pembuktian-dalam-hukum-acara-pidana/,
diakses tanggal 16 September 2011.
pemeriksaan karena itu tersangka atau terdakwa harus diposisikan dan
diperlakukan dalam kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai
harkat dan martabat serta harga diri. Dalam hal ini KUHAP juga
menerapkan asas praduga tidak bersalah sehingga setiap proses
pembuktian terhadap terdakwa / tersangka yang disangka, didakwa,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan di muka persidangan harus
dianggap tidak besalah sampai adanya putusan hakim yang mengatakan
bahwa ia bersalah dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
C. Barang Bukti
1. Pengertian dan Macam Barang Bukti.
Kata barang bukti antara lain terdapat dalam pasal – pasal berikut :
a. Pasal 21 ayat (1) KUHAP :
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap
seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan barang bukti yang cukup, dalam hal
adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa melarikan diri merusak atau
menghilangkan barang bukti dan mengulangi lagi tindak pidana.
b. Pasal 45 ayat (2) KUHAP :
Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang
dipakai sebagai barang bukti. Pasal 46 ayat (2) KUHAP
menyebutkan: apabila perkara sudah diputus, benda yang
dikenakan penyitaan disebut dalam putusan oleh hakim bahwa
benda itu dirampas untuk Negara, untuk dimusnahkan atau
untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika
benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam
perkara lain.
c. Pasal 181 ayat (1) KUHAP:
Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala
barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal
benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 Undang – undang ini. Pasal 181 ayat
(2) KUHAP. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim
ketua kepada saksi.
Di dalam KUHAP ditentukan cara – cara untuk memperoleh barang
bukti, yaitu sebagai berikut :
a. Penggeledahan (diatur di dalam Pasal 32 KUHAP, Pasal 37 ayat
(1) dan ayat (2) KUHAP, Pasal 125 KUHAP, Pasal 127 ayat (1)
KUHAP, Pasal 127 ayat (2) KUHAP).
b. Penyitaan (diatur di dalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP, Pasal 39
KUHAP Pasal 46 ayat (1) KUHAP, Pasal 128 KUHAP, Pasal
130 ayat (1) KUHAP).
c. Pemeriksaan Surat (diatur dalam Pasal 47 ayat (1) KUHAP,
Pasal 47 ayat (2) KUHAP, Pasal 49 ayat (1) KUHAP, Pasal 131
KUHAP.
Ketentuan yang tidak kalah penting ada dalam Pasal 45 KUHAP
yang berisi hal – hal berikut :
a. Apabila benda yang dapat lekas rusak atau membahayakan
sehingga tidak mungkin untuk disimpan terlalu lama, atau biaya
penyimpanannya terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan
persetujuan tersangka atau kuasanya dapat dijual lelang.
b. Hasil lelang tersebut dipakai sebagai barang bukti.
c. Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan
sebagian kecil benda tersebut untuk pembuktian.
Dari penjelasan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa
pengertian barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik
dalam penyitaan, dan atau penggeledahan, dan atau pemeriksaan surat
untuk diambil alih, dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda
bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Kalau dilihat dari ketentuan di dalam Pasal 181 KUHAP tentang
pemeriksaan barang bukti, seakan – akan hanya bersifat formal. Padahal,
secara material, barang bukti sering kali sangat berguna bagi hakim untuk
menyadarkan keyakinannya;
Seperti yang kita ketahui, KUHAP menganut sistem pembuktian
negatif, yakni :
a. Adanya macam – macam alat bukti yang ditentukan oleh
undang – undang dan
b. Adanya keyakinan bagi hakim untuk menyatakan terdakwa
bersalah telah melakukan tindak pidana.
Meskipun telah ada alat bukti yang ditentukan oleh undang –
undang serta melebihi minimum pembuktian, hakim tidak harus yakin
bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan. Singkatnya, hakim tidak bisa dipaksa yakin berdasarkan alat
bukti yang ada, meskipun alat bukti yang ada sudah memenuhi syarat
pembuktian. Bahkan sering kali hakim membebaskan seorang terdakwa
berdasarkan barang bukti yang ada di dalam persidangan.
2. Pemeriksaan Surat
Menurut A.Karim Nasution, yang pertama yang perlu dikemukakan
adalah hanya surat – surat yang telah diserahkan dalam perkaralah yang
dapat dianggap sebagai alat bukti. Jika surat – surat tersebut tidak
diserahkan dan dimasukkan dalam berkas perkara yang ada pada hakim,
surat – surat itu tidak dapat dipakai sebagai alat bukti, juga tidak untuk
membuktikan adanya suatu petunjuk atau aanwijzing. Walaupun
sesuatu surat dipergunakan sebagai alat bukti, surat tersebut tetap harus
dibacakan atau diisinya secara ringkas diberitahukan dalam
persidangan, jika hakim ingin mempergunakan alat bukti.39
Pasal – pasal yang berkaitan dengan pemeriksaan surat adalah
sebagai berikut :
Pasal 47 KUHAP, yang berbunyi :
(1) Penyidik berhak berhak membuka, memeriksa dan menyita
surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi,
jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika
benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai
hubungan dengan perkara pidana yang sefdang diperiksa,
dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua
Pengadilan Negeri.
(2) Untuk kepentingan tersebut penyidik dapat meminta kepada
kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk
menyerahkan kepadanya surat dimaksud dan untuk itu harus
diberikan surat tanda penerimaan.
(3) Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal
ini, dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam ayat
tersebut.
Pasal 48 KUHAP, yang berbunyi :
(1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu
ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat
tersebut dilampirkan pada berkas perkara.
(2) Apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada
hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan
segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan
telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau
pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi ”telah
dibuka oleh penyidik” dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan
beserta identitas penyidik.
(3) Penyidik dan paa pejabat pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh –
39
Alfitra, Op.cit, hlm 91.
sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang
dikembalikan itu.
Pasal 49 KUHAP, yang berbunyi :
(1) Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 75.
(2) Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada
kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepada jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan.
Pemeriksaan surat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) telah diuraikan secara jelas di dalam pasal di
atas. Baik itu mengenai siapa yang berhak memeriksa, membuka
dan menyita surat, pihak – pihak yang berkaitan dan wilayah
pemeriksaan surat tersebut ada dimana.
Ketiga pasal diatas, mengatur tentang pemeriksaan surat (Pasal
47,48,49 KUHAP) yang dimaksud pemeriksaan surat menurut 3
pasal diatas adalah pemeriksaan terhadap surat yang tidak langsung
punya hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa, akan tetapi
dicurigai dengan alasan yang kuat.40
Pasal lain yang masih berkaitan dengan pemeriksaan surat adalah
Pasal 131 KUHAP, yang berbunyi :
(1) Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya
sehingga ada dugaan kuat dapat diperoleh keterangan dari
berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya, penyidik
segera pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk
menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar dan
sebagainya dan jika perlu menyitanya.
(2) Penyitaan
tersebut
dilaksanakan
menurut
ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 129 undang – undang ini.
Selain itu ada juga Pasal 132 KUHAP yang berbunyi :
1. Dalam hal ada laporan bahwa sesuatu surat / tulisan palsu atau
dipalsukan/ diduga palsu oleh penyidik maka untuk
40
Suryono Sutarto, 1987, Sari Hukum Acara Pidana I, Semarang: Yayasan Cendekia Purna
Dharma, hlm 52-53.
2.
3.
4.
5.
6.
kepentingan penyidikan oleh penyidik dapat dimintakan
keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.
Dalam hal itu kalau timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu
atau dipalsukan, penyidik dengan izin Ketua Pengadilan Negeri
setempat dapat segera datang atau dapat minta kepada pejabat
penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan
surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan
sebagai bahan pembanding.
Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk
pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak dapat dipisahkan dari
daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131, penyidik dapat
minta supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang
ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan kepadanya untuk
diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan.
Dalam hal surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
menjadi bagian dari suatu daftar, penyimpan membuat salinan
sebagai penggantinya sampai surat yang asli diterima kembali
yang dibagian bawah dari salinan iitu penyimpan mencatat apa
sebab salinan itu dibuat.
Dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan daam waktu
yag ditentukan dalam surat permintaan, tanpa alasan yang sah,
penyidik berwenang mengambilnya.
Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam
pasal ini dibebankan pada dan sebagai biaya perkara.
Jadi, apabila ada laporan mengenai surat / tulisan palsu atau
dipalsukan maka jika dirasa perlu, penyidik dapat memanggil ahli
untuk dimintai keterangannya yang berkaitan dengan keahliannya
tersebut. Dan jika ada dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau
dipalsukan maka penyidik atas izin Ketua Pengadilan Negeri
meminta kepada penjabat berwenang untuk meminta surat aslinya.
Jika ada surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, maka
penyidik bisa meminta untuk dikirimkan beserta tanda terimanya.
Selain itu, surat yang tidak menjadi bagian dari suatu daftar, maka
penyimpan diharapkan membuat salinannya untuk diserahkan ke
penyidik sebagai penggantinya sampai yang asli diterima kembali.
Namun jika ternyata surat yang diminta penyidik itu tidak segera
dikirim oleh penyimpan maka penyidik berhak mengambilnya.
Yang perlu diingat bahwa semua biaya pemeriksaan surat ini
dimasukkan ke dalam biaya perkara.
D. Tindak Pidana Pemalsuan Surat.
Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda – tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
bahan pembuktian. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak
memuat tanda – tanda bacaaan, atau meskipun memuat tanda –
tanda bacaan, tetap tidak mengandung buah pikiran, tidaklah
termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat. 41
Selanjutnya beberapa ahli memberikan definisi surat sebagai
berikut:
Menurut Sudikno Mertokusumo:
”Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian.”42
Menurut Pitlo, yang termasuk surat adalah segala sesuatu yang
mengandung buah pikiran atau isi hati seseorang. Dengan demikian
potret atau gambar tidak dapat dikatakan sebagai surat karena tidak
memuat tanda-tanda bacaan atau buah pikiran.43
Menurut Asser-Anema sebagai berikut :
“surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda
baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan
pikiran.”44
Surat adalah suatu lemaran kertas yang di atasnya terdapat tulisan
yag terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka yang
mengandung/ berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat
41
Alfitra,2011, Op.cit, hlm 86.
Fernandes Raja Saor, 21 Maret 2010, “Tinjauan Umum Pembuktian Pidana Terhadap
Alat Bukti Surat”, tersedia di website http://raja1987.blogspot.com/2010/03/tinjauan-umumpembuktian-pidana.html, diakses tanggal 12 Desember 2011.
43
Ibid, diakses tanggal 12 Desember 2011.
44
Jur Andi Hamzah, Op.cit, hlm 276.
42
berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer
komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara
apapun.45
Pengertian surat menurut KUHAP adalah surat sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 187 KUHAP, yaitu yang dibuat atas sumpah
jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah, yaitu:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas
dan tegas tentang keterangannya itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Jenis surat ini
dapat dikatakan hampir meliputi segala jenis surat yang dibuat oleh
pengelola administrasi dan kebijakan eksekutif.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahlian mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi daripadanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dari surat alat pembuktian lain (surat pada umumnya).
Seharusnya surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah. Surat – surat resmi hanyalah yang diatur dalam Pasal
187 huruf a,b,c KUHAP. Sementara itu, yang diatur dalam Pasal 187
huruf d KUHAP, termasuk surat biasa yang setiap hari bisa dibuat oleh
seseorang. Surat – surat yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf a,b,c
KUHAP memang sejak semula diperuntukkan untuk membuktikan
sesuatu. Surat resmi yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf a KUHAP
misalnya : berita acara penyidik dan surat yang dibuat oleh pejabat
45
Adami Chazawi, 2002, Op.cit, hlm 99.
umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau
dialaminya sendiri seperti surat yang dibuat oleh seorang notaris.
Pasal 187 huruf b KUHAP, Contoh: Kartu Tanda Penduduk, Akta
Keluarga, Akta Tanda Lahir, dan sebagainya. Pasal 187 huruf c KUHAP,
Contoh: Visum Et Repertum dari Ahli Kedokteran Kehakiman. Pasal 187
huruf d KUHAP, Contoh: buku harian seorang pembunuh yang berisi
catatan mengenai pembunuhan yang pernah ia lakukan.
Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau
sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan
dengn sebenarnya.46
Tidak semua surat dapat menjadi obyek pemalsuan surat, melainkan
terbatas pada 4 macam surat, yakni :
1. Surat yang menimbulkan suatu hak;
2. Surat yang menimbulkan suatu perikatan;
3. Surat yang menimbulkan pembebasan hutang;
4. Surat yang diperuntukkan mengenai bukti mengenai sesuatu hal.47
Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah
surat yang sebelumnya tidak ada / belum ada, yang sebagian atau seluruh
isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat
palsu. Sementara perbuatan memalsu, adalah segala wujud perbuatan apapun
yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus,
mengubah atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan
surat
semula.
Surat
ini
disebut
dengan
surat
yang
dipalsu.
Dua unsur perbuatan dan 4 unsur objek pemalsuan surat tersebut, bersifat
46
47
Ibid, hlm 99.
Ibid, hlm 101-102.
alternatif. Harus dibuktikan salah satu wujud perbuatannya dan salah satu
objek suratnya. Membuktikannya ialah melalui dan menggunakan hukum
pembuktian dengan menggunakan minimal dua alat bukti yang sah
sebagaimana dalam Pasal 183 jo 184 KUHAP.
Perbuatan membuat surat adalah melakukan suatu perbuatan dengan
cara apapun mengenai sebuah surat. Misalnya: KTP, sehingga menghasilkan
sebuah KTP. Hal-hal yang harus dibuktikan mengenai perbuatan membuat ini
antara lain, adalah wujud apa termasuk bagaimana caranya dari perbuatan
membuat (misalnya menggunakan mesin cetak/ketik dsb), dan siapa yang
melakukan wujud tersebut, berikut kapan (temposnya) dan dimana (locusnya)
- semuanya harus jelas, artinya dapat dibuktikan. Tidak cukup adanya fakta
kedapatan pada seseorang, atau digunakan sebagai bukti identitas menginap
di sebuah hotel. Dalam Hukum pembuktian tidak mengenal dan tidak tunduk
pada anggapan, melainkan harus dibuktikan setidak-tidaknya memenuhi
syarat minimal pembuktian. Hukum pembuktian dibuat untuk menjamin
kepastian hukum dan keadilan, dan untuk menghindari kesewenangwenangan hakim.
Pasal 183 KUHAP tentang syarat minimal pembuktian, menetapkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan pidana, ialah syarat
subjektif yang dilandasi syarat objektif. Harus ada keyakinan hakim yang
dibentuk berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah. Tiga keyakinan hakim
yang dibentuk atas dasar (objektif) minimal 2 alat bukti yang sah tersebut,
ialah hakim yakin tindak pidana terjadi, hakim yakin terdakwa melakukannya
dan hakim yakin terdakwa bersalah.
Menggunakan
bagaimanapun
sebuah
wujudnya
atas
surat
sebuah
adalah
surat
melakukan
dengan
perbuatan
menyerahkan,
menunjukkan, mengirimkannya pada orang lain yang orang lain itu kemudian
dengan surat itu mengetahui isinya.
Ada 2 syarat adanya “seolah-olah surat asli dan tidak dipalsu” dalam
Pasal 263 (1) atau (2) KUHP, ialah: (pertama) perkiraan adanya orang yang
terpedaya terhadap surat itu, dan (kedua) surat itu dibuat memang untuk
memperdaya orang lain.
Arti dapat merugikan menurut Ayat (1) maupun ayat (2) Pasal 263
KUHP. Istilah “dapat” adalah perkiraan yang dapat dipikirkan oleh orang
yang normal. Namun perkiraan itu harus didasarkan pada keadaan yang pasti,
yang jelas dan tertentu.
Jika keadaan atau hal-hal tersebut di atas benar-benar ada, maka
kerugian itu bisa terjadi. Contoh, sebuah SIM palsu atau dipalsu atas nama A.
Bila A mengemudi dengan menggunakan SIM palsu dapat merugikan
pengguna jalan dengan alasan keadaan yang harus dibuktikan ialah yang
bersangkutan tidak mampu mengemudi dengan baik. Jelas dan tertentu, ialah
bagi pengguna jalan, bukan semua orang. Namun jika keadaan itu tidak ada,
misalnya pekerjaan A yang digelutinya bertahaun-tahun adalah mengemudi,
maka perbuatan mengemudikan kendaraan itu tidak dapat merugikan
pengguna jalan lainnya, karena kemahiran mengemudi sudah dikuasainya.
Maka
alasan
merugikan
pengguna
jalan
tidak
bisa
digunakan.
Ada perbedaan perihal “dapat merugikan” menurut ayat (1) dan menurut ayat
(2). Perbedaannya, ialah surat palsu atau dipalsu menurut ayat (1) belum
digunakan, sementara ayat (2) surat sudah digunakan. Oleh karena menurut
ayat (2) surat sudah digunakan, maka hal kerugian menurut Ayat (2) harus
jelas dan pasti perihal pihak mana yang dirugikan dan kerugian berupa apa
yang akan diderita oleh orang/pihak tertentu tersebut. Ada 2 pihak yang dapat
menderita kerugian, ialah: (1) Pihak/orang yang namanya disebutkan di
dalam surat palsu tersebut, atau (2) Pihak/orang – siapa surat itu pada
kenyataaannya digunakan. Namun harus jelas bahwa perkiraan kerugian ini
adalah akibat langsung dari penggunaannya. Artinya tanpa menggunakan
surat palsu/dipalsu, kerugian itu tidak mungkin terjadi.
Dalam perbuatan membuat surat palsu terdapat juga pemalsuan
intelektuil (intelectuele valsheid), berhubung isinyapun bertentangan
dengan kebenaran. Perbuatan membuat surat palsu dapat mengenai
tanda tangan maupun mengenai isi daripada tulisan atau surat, dimana
perbuatan itu menggambarkan secara palsu bahwa surat itu baik
secara keseluruhannya maupun dari hanya tanda tangannya atau
isinya berasal dari seorang yang namanya tercantum dibawah tulisan
itu (Pemalsuan secara Materiil).48
Pemalsuan dalam penandatanganan dapat juga terjadi :
-
-
-
48
Meniru tanda tangan seseoang yang tidak ada, seperti orang yang
telah meninggal dunia, atau yang sama sekali tidak pernah ada
(fiktif);
Penandatangan dengan nama sendiri, apabila isi dan penggunaan
surat itu menimbulkan gambaran seakan – akan tanda tangan itu
berasal dari seorang yang sama namanya ;
Mengisi suatu blangko kertas segel yang telah lebih dulu
dibubuhi tanda tangan orang lain, pengisian mana pada
H.A.K. Moch. Anwar, 1994,Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP BUKU II), Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, hlm 189
keseluruhannya bertentangan dengan kehendak penandatanganan
maupun menyimpang dari kehendaknya;
- Pembubuhan tanda tangan orang lain dengan menirunya atas
persetujuannya. 49
Dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP diatur mengenai perlarangan untuk
membuat surat palsu, selain itu, perbuatan kedua yang dilarang dalam Pasal
263 ayat (1) KUHP adalah memalsukan surat. Perbuatan memalsukan surat
ini dilakukan dengan cara melakukan perubahan – perubahan tanpa hak
(tanpa izin yang berhak) dalam suatu surat atau tulisan, perubahan mana
dapat mengenai tanda tangannya maupun mengenai isinya. Tidak peduli,
bahwa ini sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak benar ataupun sesuatu
yang benar, perubahan isi yang tidak benar menjadi benar merupakan
pemalsuan surat.
Pemalsuan perubahan itu dapat terdiri atas :
- Penghapusan kalimat, kata angka, tanda tangan;
- Penambahan dengan satu kalimat, kata atau angka.
- Penggantian kalimat, kata, angka, tanggal dan/atau tanda
tangan.50
Perbuatan perubahan itu menimbulkan perubahan atas tampaknya
maupun atas isinya serta tujuannya semula. Dengan demikian perbuatan
perubahan itu mengganggu, memperkosa surat atau tulisan asli.
Perbuatan penggunaan surat palsu tidak diperlukan untuk kejahatan
pemalsuan surat itu, tetapi dengan sendirinya dapat menimbulkan kejahatan
kedua. Jadi sama sekali tidak dipersoalkan, penggunaan mana yang
dikehendaki oleh pelaku tetapi perbuatan penggunaan itu disyaratkan oleh
49
50
Ibid, hlm 189-190.
Ibid, hlm 190.
Undang – Undang bahwa penggunaan yang dikehendaki oleh pelaku dapat
menimbulkan kerugian.
Membuat surat palsu merupakan perbuatan yang dilarang, selain itu
memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan juga merupakan perbuatan
yang dilarang. Hal ini sesuai dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP. Menurut
H.A.K Moch. Anwar di dalam bukunya, ia mengatakan sebagai berikut :
“Dalam pasal 263 ayat (2) ini, pemalsuannya sendiri tidak merupakan
kejahatan. Selanjutnya tujuan atas penggunaan dapat berlainan dari
pada tujuan dari pada pemalsu atau pelaku pemalsuan tanpa karenanya
meniadakan penghukuman terhadap orang yang menggunakannya
atau pemakaiannya. Pemakaian atau penggunaan ini dapat dilakukan
oleh orang lain dari pada orang yang membuat surat palsu atau yang
memalsukan surat. Undang – undang tidak menutup setiap cara
penggunaannya tidak menuntut penggunaannya berdasarkan peraturan
– peraturan hukum yang berlaku terhadap surat itu. Dengan demikian
penggunaan dapat terdiri atas pengajuan atau penempatan pada suatu
tempat dimana surat itu harus atau dapat menimbulkan akibat, pun
penyampaian surat itu kepada seseorang yang kemudian melakukan
penggunaannya”.51
Dari uraian Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa Pasal 263 ayat (1) punya unsur lain daripada pemalsuan
yaitu pemakaian surat palsu atau surat dipalsu tersebut dapat menimbulkan
kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan / dimaksudkan
petindak. Dalam unsur ini terkandung pengertian bahwa (1) pemakaian surat
belum dilakukan. Hal ini ternyata dari adanya perkataan “jika” dalam kalimat
/ unsur itu, dan (2) karena penggunaan surat belum dilakukan, maka dengan
sendirinya kerugian itu belum ada. Hal ini ternyata juga dari adanya
perkataan “dapat”.
51
Ibid, hlm 194-195.
Kerugian yang timbul akibat dari pemakaian surat palsu atau surat
dipalsu, tidak perlu diketahui atau disadari oleh petindak. Hal ini
ternyata dari adanya suatu arrest HR (8-6-1897) yang mengatakan
bahwa “petindak tidak perlu mengetahui terlebih dahulu kemungkinan
timbulnya kerugian ini”.52
Pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP ini juga terdapat unsur pemakaian
surat palsu atau surat dipalsu itu dapat menimbulkan kerugian. Walaupun
perihal unsur ini baik pada ayat (1) maupun ayat (2) mempunyai persamaan,
tetapi ada perbedaan.
Perbedaannya adalah, pada ayat 1 bahwa kemungkinan akan
timbulnya kerugian itu adalah akibat dari pemakaian surat itu belum
dilakukan. Karena yang baru dilakukan adalah membuat surat palsu dan
memalsu suratnya saja.
Akan tetapi pada ayat (2), kerugian yang mungkin terjadi akibat dari
pemakaian surat palsu atau surat dipalsu itu, dimana pemakaian surat itu
sendiri sudah dilakukan, akan tetapi kerugian itu tidak perlu nyata – nyata
telah timbul.
Oleh karena dipisahnya antara kejahatan membuat surat palsu dan
memalsu surat dengan kejahatan memakai surat palsu atau surat dipalsu,
maka terhadap hal yang demikian dapat menjadi pelanggaran ayat (1)
pelanggaran ayat (2) dapat dilakukan oleh orang yang sama. Dalam hal
demikian telah menjadi pembarengan perbuatan.
Unsur kesalahan pada ayat (2) yakni dengan sengaja. Dalam hal ini
kesengajaan meliputi baik pada perbuatan memakai, surat palsu atau
surat dipalsu, seolah – olah surat asli dan tidak dipalsu maupun
pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian.
52
Adami Chazawi, Op.cit, hlm 105.
Artinya ialah, (1) petindak menghendaki melakukan perbuatan
memakai, (2) ia sadar atau insyaf bahwa surat yang ia gunakan itu
adalah surat palsu atau surat yang dipalsu, (3) ia sadar atau
mengetahui bahwa penggunaan surat itu adalah seolah – olah
pemakaian surat asli dan tidak dipalsu, dan (4) ia sadar mengetahui
bahwa penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Unsur
kesengajaan yang demikian itu harus dibuktikan.53
53
Ibid, hlm 107.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1.
Metode Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.
Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi
dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari
jawabnya. Pendekatan – pendekatan yang digunakan di dalam
penelitian hukum adalah pendekatan Perundang - undangan (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan perbandingan (comparative
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).54
Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode pendekatan yuridis normatif. Secara lebih rincinya pendekatan
yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan perundangundangan, dan pendekatan kasus.
a. Pendekatan Perundang - undangan.
Pendekatan perundang - undangan dilakukan dengan
menelaah semua undang – undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Untuk itu
penulis harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1) Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada
didalamnya terkait antara satu dengan lain secara
logis.
54
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, hlm 93.
2) All-inclusive artinya bahwa kumpulan norma hukum
tersebut cukup mampu menampung permasalahan
hukum yang ada, sehingga tidak akan kekurangan
hukum.
3) Sistematic, bahwa disamping bertautan antara satu
dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga
tersusun secara hierarkis.
b. Pendekatan Kasus.
Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan
telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan isu yang
dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Tujuan dari pendekatan
ini adalah untuk mempelajari norma – norma atau kaidah
hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama kasus
– kasus yang telah diputus.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian hukum
yang dilakukan adalah dengan
penelitian preskriptif, yaitu suatu penelitian untuk mendapatkan saran –
saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah
tertentu. Jadi, penelitian ini penulis akan memberikan preskriptif mengenai
kekuatan pembuktian dan pertimbangan hukum dalam menjatuhkan pidana
yang digunakan oleh Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dengan tujuan
untuk mendapatkan saran – saran mengenai apa yang harus dilakukan
untuk mengatasi masalah tertentu (Studi Putusan Nomor : 144 / Pid. B /
2006 / PN. Pwt ).
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto.
D. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa
data sekunder dan data primer (wawancara dengan Hakim Pengadilan
Negeri Purwokerto). Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter
Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum
tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan
hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a.
Bahan Hukum Primer.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau
risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan
dan putusan-putusan hakim.
Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3) Putusan Nomor : 144/Pid. B/2006/PN.Pwt.
b.
Bahan Hukum Sekunder.
Bahan – bahan sekunder berupa semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi
tentang hukum meliputi buku - buku teks, kamus – kamus
hukum, jurnal – jurnal hukum, dan komentar – komentar atas
putusan pengadilan. 55 Dan sumber lain untuk mendukung
penelitian ini.
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
a.
55
Metode Kepustakaan.
Ibid, hlm 141
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kepustakaan,
tujuannya untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapatpendapat, ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat
dengan pokok permasalahan. Kepustakaan tersebut dapat berupa,
peraturan perundangan dan karya ilmiah para sarjana.
b.
Metode Dokumenter.
Selain metode kepustakaan, dalam penelitian ini penulis juga
menggunakan metode dokumenter yaitu dengan cara pengumpulan
bahan dengan menelaah terhadap dokumen – dokumen pemerintah
maupun non-pemerintah. Misalnya : Putusan Pengadilan, Instruksi,
Aturan Suatu Instansi, Publikasi, Arsip – arsip ilmiah dsb.
F. Metode Penyajian Bahan Hukum
Data yang disajikan berbentuk uraian yang disusun secara
sistematis, dan di dalam penyusunannya dibuat secara singkat dan jelas,
sehingga penyusunan data dapat dipahami dan mudah dipelajari.
G. Metode Analisis Bahan Hukum
Metode analisis data dilakukan dengan menggunakan metode
analisis normatif kualitatif yaitu data yang diperoleh akan dianalisis
dengan pembahasan dan penjabaran hasil-hasil penelitian dengan
mendasarkan pada norma-norma dan doktrin-doktrin yang berkaitan
dengan materi yang diteliti.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Penelitian tentang kekuatan pembuktian alat bukti surat palsu atau yang
diduga palsu dan pertimbangan hakim dalam memutus perkara terhadap Putusan
Nomor: 144/Pid.B/2006/PN.Pwt yang dilakukan di wilayah hukum Pengadilan
Negeri Purwokerto, maka diperoleh data berupa data sekunder dan data primer,
data – data tersebut adalah sebagai berikut :
A. Data Sekunder
1. Duduk Perkara
Pada
Putusan
144/Pid.B/2006/PN.Pwt
Pengadilan
telah
terjadi
Negeri
tindak
Purwokerto
pidana
“Dengan
Nomor:
sengaja
menggunakan surat palsu” yang dilakukan oleh terdakwa dengan identitas:
Nama Lengkap
Tempat Lahir
Umur / Tanggal Lahir
Jenis Kelamin
Kewarganegaraan
Tempat Tinggal
: Suherman bin Sandjukri
: Cilacap
: 52 tahun / 5 Februari 1954
: Laki-laki
: Indonesia
: Perum Limas Agung Permai, Kelurahan
Bancar Kembar, Kecamatan Purwokerto
Utara, Kabupaten Banyumas.
Agama
: Kristen Prostestan
Pekerjaan
: Ketua.Anggota DPRD Banyumas
Kejadian tersebut bermula ketika akan diselenggarakannnya ujian
persamaan SMU tahun 2001 yang diadakan oleh Departemen Pendidikan
Nasional Wilayah Propinsi Jawa Tengah, dengan persyaratan bagi peserta
sebagaimana telah ditentukan dalam Surat Kepala Kantor Departemen Pendidikan
Nasional Wilayah Propinsi Jawa Tengah No. 079.a/103.07/U/2001 tanggal 21
Februari 2001 perihal Juknis Ujian Persamaan dapat mengikuti ujian persamaan
SMU tahun 2001 diantaranya adalah: melampirkan salinan atau foto copy ijazah/
STTB SLTP/ Mts atau memiliki Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama
Dengan Surat Tannda Tamat Belajar SLTP yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang.
Dengan dibukanya pendaftaran ujian persamaan SMU tahun 2001 tersebut,
meskipun pendaftarannya sudah ditutup terakhir tanggal 6 April 2001, namun
terdakwa berupaya untuk tetap bisa ikut ujian persamaan SMU tahun 2001
walaupun terdakwa menyadari kalau tidak memiliki ijazah atau STTB SLTP / Mts
sebagai salah satu persyaratan yang ditentukan Panitia Ujian Persamaan SMU
tahun 2001 tersebut diatas. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, bertempat
dirumah terdakwa di Perum Limas Agung Permai, Kel. Bancarkembar, Kec.
Purwokerto Utara, Kab.Banyumas terdakwa menyuruh Sdri. Ringahyatul
Qiromah untuk menyerahkan berkas pendaftaranujian persamaan SMU tahun
2001 miliknya yang berisi Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tanggal
5 Januari 2001 kepada Panitia ujian persamaan SMU tahun 2001 di Kanwil
Departemen Pendidikan Nasional Wilayah Propinsi Jawa Tengah di Semarang,
dimana Surat Keterangan tersebut dipakai terdakwa sebagai pengganti untuk
memenuhi salah satu persyaratan ujian persamaan SMU tahun 2001 yang harus
melampirkan yakni salinan atau foto copy ijazah/ STTB SLTP/Mts atau memiliki
Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama dengan Surat Tanda Tamat Belajar
SLTP yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
Bahwa ternyata Surat Keterangan No.
No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001
tanggal 5 Januari 2001 yang dipakai oleh terdakwa dalam mendaftar ujian
persamaan SMU tahun 2001 tersebut dibuat oleh Kepala SMP Nasional Sidareja
yang pembuatannya sudah direkayasa atas permintaan terdakwa sehingga isinya
tidak benar, dimana Surat Keterangan tersebut baru dibuat tanggal 4 Mei 2001,
disamping itu isinya seolah – olah terdakwa sebagai siswa SMP Nasional Sidareja
dinyatakan tamat dan telah lulus ujian Negara tahun 1970. Padahal kenyataannya
terdakwa sebagai siswa SMP Nasional Sidareja telah mengikuti Ujian Negara
tahun 1970 dinyatakan tamat tidak lulus dan tidak memiliki Surat Tanda Tamat
Belajar SMP.
Dengan perbuatan terdakwa menggunakan Surat Keterangan No.
2809/E/SLTP Nas/I/2001 tanggal 5 Januari untuk persyaratan pendaftaran ujian
persamaan SMU tahun 2001 tersebut akhirnya terdakwa bisa mengikuti ujian
persamaan SMU tahun 2001. Akibat perbuatan terdakwa tersebut dapat
menimbulkan kerugian bagi pihak Kanwil Departemen Pendidikan Nasional
Wilayah Propinsi Jawa tengah.
2. Dakwaan Penuntut Umum
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka terdakwa didakwa melakukan
tindak pidana dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang diduga palsu
dengan dakwaan kombinasi / Alternatif Komulatif dengan membuktikan dakwaan
yang dikomulatifkan yaitu dakwaan pertama primair melanggar Pasal 266 ayat (2)
KUHPdan subsidair yang melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP Atau Dakwaan
Kedua yang melanggar Pasal 263 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
3. Pembuktian
a) Alat – alat bukti dipersidangan
Pemeriksaan Saksi – Saksi
Untuk membuktikan kebenaran surat dakwaan dari penuntut umum, penuntut
umum telah mengajukan saksi – saksi dipersidangan yang telah disumpah
berdasarkan keyakinannya masing – masing yaitu :
1. Saksi SUDARSONO:
Saksi adalah Wakil Ketua PAC PDIP Baturaden sekaligus Fungsionaris
PDIP Banyumas.saksi bersama teman Anggota PDI Perjuangan membentuk Team
investigasi yangberjumlah 10 orang, diketuai oleh Yoyok Sukoyo. Team berusaha
menyelidiki sebagaimaa berita yang dimuat disurat kabar tentang kebenaran berita
pemalsuan surat oleh terdakwa tersebut dengan mendatangi SMP Nasional
Sidareja, Kabupaten Cilacap.Team investigasi itu melakukan kunjungan pada hari
Kamis tanggal 9 Maret 2006 ke SMP Nasional Sidareja, Kabupaten Cilacap dan
diterima oleh Bapak Suwandi, S.Pd., Kepala Sekolah SMP tersebut dan Bapak
Agus Musadi (TU SMP Nasional Sidareja).
Berdasarkan keterangan dari Kepala Sekolah bahwa benar Suherman
tercatat sebagai siswa di SMP Nasional Sidareja, terdakwa sekolah sampai kelas
III dan mengikuti Ujian Nasional akan tetapi hanya tamat dan tidak lulus.
Sehingga terdakwa tidak memiliki ijazah SMP.Disana saksi dan Teamditunjukan
selembar Surat Keterangan Nomor : 1809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari
2001 yang isinya menyatakan bahwa terdakwa benar – benar siswa SMP Nasional
Sidareja dan telah mengikuti Ujian Nasional tahun 1970 dan dinyatakan tamat.
Pada hari Jum’at tanggal 10 Maret 2006 Team pergi ke Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap. Menurut keterangan Kepala Dinasnya yaitu
Bapak Drs. Sutoyo MS. M.Ed menyatakan bahwaia pernah mengesahkan Surat
Keterangan No: 2809/E/SLTP Nas/1/2001 tanggal 5 Januari 2001 tersebut.Yang
menandatangani Surat Keterangan tersebut adalah Kepala SMP Nasional Sidareja
(Bapak Tasam Partono, S.Pd).
Surat keterangan itu terbit atas permintaan Ringahyatul Qiromah, S.Pd.
Berdasarkan pengakuan Kepala SMP Nasional Sidareja, surat keterangan tersebut
ada daftar nilainya, akan tetapi saksi waktu itu tidak melihat lampiran daftar nilai
tersebut. Yang membuat surat keterangan tersebut adalah Bapak Suwandi yang
dulu selaku Wakil Kepala Sekolah SMP Nasional.Namun oleh karena Bapak
Suwandi bingung tidak tahu mata pelajaran apa saja yang diujikan pada tahun
1970 lalu Bapak Suwandi membuat daftar nilai sesuai mata pelajaran saat Bapak
Suwandi lulus SMP Nasional Sidareja tahun 1960. Surat keterangan tersebut
kemudian bermasalah karena tidak memenuhi syarat tanggalnya untuk mengikuti
Ujian Persamaan SLTA.Bahwa saat saksi melakukan investigasi di SMP Nasional
Sidareja diberitahu ada 2 surat bernomor sama yaitu 2809/E/SLTP Nas/1/2001
taggal 5 Januari 2001 atas nama Suherman NIS : 920 yang menerangkan bahwa ia
benar – benar siswa SMP Nasional Sidareja dan telah mengikuti ujian Negara
pada tahun 1970 dinyatakan tamat dan yang kedua surat keterangan bernomor :
2809/E/SLTP Nas/1/2001
tertanggal 09 januari 2001 atas nama Supriyanto
tentang ralat STTB SLTP.Bahwayang menandatangani kedua surat tersebut
adalah Kepala Sekolah SMP Nasional Sidareja yang saat itu dijabat oleh Bapak
Tasam Partono, S.Pd. dengan terbitnya dua surat keterangan bernomor sama atas
nama dua orang sebagaimana dijelaskan oleh pihak SMP Nasional Sidareja bahwa
hal tersebut terjadi karena kecerobohan pihak Tata Usaha. Menurut keterangan
pihak SMP Nasional Sidareja, surat bernomor : 2809/E/SLTP Nas/1/2001 tersebut
milik Supriyanto. Waktu Teamdatang kesana surat keterangan atas nama
Supriyanto tidak diperlihatkan namun hanya dijelaskan oleh pihak SMP Nasional
Sidareja.
2. Saksi TJAROKO WIBOWO:
Saksi adalah kader PDI Perjuangan Banyumas.Saksi juga ikut dalam team
investigasi yang pada tanggal 9 Maret 2006 berangkat ke SMP Nasional Sidareja
untuk melakukan Investigasi. Disana ditemukan surat keterangan ada dua yang
atas nama terdakwa yaitu masing – masing:
-
Surat Keterangan Nomor : 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001
yangmenerangkan bahwa Suherman benar – benar siswa SLTP Nasional Sidareja
dan telah mengikuti Ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan TAMAT.
-
Surat Keterangan Nomor : 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 tertanggal 26 April 2001
yang menerangkan bahwa Suherman benar – benar siswa SLTP Nasional Sidareja
dan telah mengikuti Ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan TAMAT TIDAK
LULUS.
Berdasarkan keterangan Kepala Sekolah yang menyatakan bahwa benar
terdakwa terdaftar sebagai siswa SMP Nasional Sidareja, sekolah di tempat
tersebut sampai kelas III dan telah mengikuti ujian Negara pada tahun 1970 dan
dinyatakan tamat tapi tidak lulus. oleh karenanya terdakwa tidak memiliki
ijazahSMP sehingga dengan terbitnya surat keterangan bernomor : 2809/ E/SLTP
Nas/I/2001 digunakan untuk melengkapi persyaratan terdakwa agar bisa
mengikuti ujian persamaan SLTA.
Pada tanggal 10 Maret 2006, Team berkunjung ke Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Cilacap, Berdasarkan keterangan Kepala Dinas bahwa ia pernah
mengesahkan dan melegalisir Surat Keterangan Nomor : 2809/E/SLTP
Nas/I/2001 yang isinya menyatakan terdakwa tamat.Kemudian saksi ikut
melaporkan terdakwa ke polisi, karena sebagai kader ingin punya ketua yang
bersih walaupun secara materiil saksi tidak dirugikan.
Seteleh melakukan investigasi tersebut, saksi menilai bahwa Surat
Keterangan Nomor : 2809/E/SLTP Nas/I/2001 adalah tidak sama dengan STTB
atau Surat Berpenghargaan sama dengan STTB. Di dalam surat keterangan
tersebut identitas memang tidak dipalsukan, namun hanya ada perbedaan
keterangan pada dua surat keterangan tersebut.
3. Saksi LUKI EKO KRISNADI:
Saksi adalah Kader PDI Perjuangan. Saksi mengetahui kasus ini dari surat
kabar pada tahun 2005. Kemudian saksi langsung mengkonfirmasi tentang
kebenaran berita yang dimuat di surat kabar ke pihak yang melapor yaitu Sdr.
A.R. Hasan. Saksi bersama kawan sesama kader PDI Perjuangan termasuk Sdr.
A.R. Hasan melakukan investigasi pada tanggal 9 Maret 2006 ke SMP Nasional
Sidareja dan tanggal 10 Maret 2006 ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Cilacap, Disana pihak SMP Nasional Sidareja saat itu menunjukanSurat
Keterangan Nomor : 2809/E/SLTP Nas/I/2001. Surat keterangan tersebut isinya
menerangkan pada pokoknya bahwa terdakwa benar siswa SMP Nasional Sidareja
dan telah mengikuti Ujian Negara tahun 1970 dinyatakan tamat tapi tidak lulus,
sehingga secara otomatis tidak memiliki ijazah SMP. Menurut pihak SMP
Nasional Sidareja Selain fotocopy Surat Keterangan Nomor ; 2809/E/SLTP
Nas/I/2001 tersebut, ada surat lain yaitu Surat Keterangan Nomor : 2831/E/SLTP
Nas/IV/2001 tertanggal 26 April 2001 tetapi saksi tidak tahu apa isi surat
keterangan tersebut.
Saksi hanya tahu ada dua surat bernomor sama atas nama dua orang
berbeda yaitu Surat Keterangan Nomor: 2809/E/SLTP Nas/I/2001 yang satu atas
nama Supriyanto danyang satunya atas nama Suherman. Namun saksi tidak
melihat surat keterangan atas nama Supriyanto.
Menurut Kepala Sekolah SMP Nasional Sidareja saat itu tidak sama
kedudukannya dengan STTB. Setelah mengetahui fakta – fakta di atas, saksi
sendiri bersama Yoyok Sukoyo, AR Hasan. Sudarsono, saksi Caroko dan masih
ada yanglainyang namanya saksi lupa kemudian melaporkan terdakwa ke polisi
pada tanggal 24 Maret 2006 termasuk Abdulrohim Hasan.
4. SaksiADJI PRIYANTO:
Saksi adalah kader PDI Perjuangan.Saksi ikut Team investigasi bertemu
dengan Kepala SMP Nasional Sidareja yaitu Bapak Suwandi dan seorang staf TU
bernama Agus Marsaid.Disana saksi tahu surat keterangan tersebut yang isinya
menyatakan bahwa Suherman benar siswa SMP Nasional Sidareja, telah
mengikuti Ujian Negara tahun 1970 dan dinyatakan tamat tidak lulus. Diketahui
pula dari keterangan Bapak Suwandi bahwa ada surat keterangan lain yaitu surat
keterangan nomor : 2809/E/SLTP Nas/I/2001 yang menerangkan sama akan tetapi
kata TIDAK LULUS ditiadakan
sehingga hanya TAMAT. Surat keterangan
tersebut dibuat atas permintaan Terdakwa melalui Ibu Ringahyatul Qiromah untuk
melengkapi persyaratan mengikuti ujian persamaan SLTA.
Penerbitan Surat Keterangan No: 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tesebut melalui
beberapa proses yaitu :
-
Terdakwa melalui saudara iparnya yaitu ibu Ringahyatul Qiromah minta
surat keterangan ke SMP Nasional Sidareja dan pihak SMP Nasional
Sidareja memberikan surat keterangan atas nama terdakwa Suherman
tertanggal 26 April 2001 Nomor : 2809/E/SLTP Nas/I/2001 yang
menerangkan bahwa benar Suherman adalah siswa SMP Nasional Sidareja
telah mengikuti Ujian Negara tahun 1970 dinyatakan Tamat Tidak Lulus.
-
Kedua, Sdri. Ringahyatul datang lagi menghadap Kepala SMP Nasional
Sidareja untuk merubah isi surat keterangan tersebut dengan menghilangkan
kata Tidak Lulus sehingga Surat Keterangan tersebut hanya menyatakan
bahwa Terdakwa benar siswa SMP Nasional Sidareja telah mengikuti Ujian
Negara pada tahun 1970 dinyatakan Tamat.
-
Ketiga, Sdri. Ringahyatul atas perintah terdakwa minta penambahan daftar
nilai untuk lampiran surat keterangan tersebut yang kemudian diterbitkan
surt keterangan Nomor : 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 dengan lampiran daftar
nilai.
-
Keempat, Terdakwa minta perubahan tanggal pada Surat Keterangan Nomor
: 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 tertanggal 26 April 2001 menjadi tertanggal 5
Januari 2001, untuk isi tidak mengalami perubahan.
DisanaTeam investigasi tidak pernah ditunjukan Surat Keterangan Nomor
: 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 atas nama Supriyanto, saksi juga tidak pernah
ditunjukan surat keterangan tertanggal 26 April 2001.
5. Saksi ABDUR RAHIM HASAN:
Saksi adalah Anggota dan Calon Legislatif Propinsi Jateng Daerah
pemilihan Magelang. Saksi tahu kasus ini dari media massa pada akhir tahun 2004
yang memberitakan bahwa Terdakwa dicoret dari daftar Calon Legislatif oleh
KPUD Banyumas karena ijazah Upers-nya terdakwa dicabut oleh Diknas Jawa
Tengah. Pada bulan Februari tahun 2005 saksi melakukan invetigasi secara
pribadi untuk mengetahui kebenarannya yakni dengan mendatangi Diknas Jawa
Tengah di Semarang dan disana ditemui oleh Pak Gatot, Temo Suhadi dan Kemas
Amarudin. Saat di Diknas Jawa Tengah, saksi diperbolehkan melihat dokumen
yaitu Surat Nomor 2809, foto copy KTP danraport atas nama terdakwa. Isi dari
surat nomor 2809 menyatakan bahwa tedakwa benar siswa SMP Nasional
Sidareja, ikut ujian Negara dan dinyatakan Tamat dan terlampir daftar nilai serta
cap tiga jari.
Pada tanggal 9 Maret 2006 saksi bersama Team pencari fakta melakukan
investigasi ke SMP Nasional Sidareja. Disana Pak Suwandi menginformasikan
secara detail perihal surat No. 2809 dan mengatakan bahwa terdakwa tidak pernah
mempunyai ijazah SLTP. Kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Bapak Suwandi
bahwa Surat No. 2809 mengalami 4 kali proses perubahan yaitu:
-
Surat keterangan pertama adalah surat dengan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001
tanggal 26 April 2001 menyatakan bahwa Suherman benar – benar siswa SMP
Nasional Sidareja dan telah mengikuti Ujian Negara pada tahun 1970 dan
dinyatakan Tamat Tidak Lulus.
-
Kemudian Surat Keterangan No 2831 tersebut tanggalnya dirubah menjadi
tertanggal 5 Januari 2001, tanggal lahir Suherman dirubah semula tanggal 5
Februari 1954 menjadi 16 Agustus 1953 dan kalimat tidak lulus dihilangkan,
sehingga dalam Surat Keterangan tersebut tertulis Tamat.
-
Bahwa perubaha ketiga, Surat Keterangan tersebut dilampiri daftar nilai.
-
Perubahan ke empat, surat keterangan no. 2831 tersebut dirubah menjadi Surat
Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tanggal 5 Januari 2001.
Pada tanggal 10 Maret 2006 rombongan Team pencarifakta itu melakukan
investigasi ke Diknas Cilacap, disana ditemui oleh Pak Sutoyo dan Pak Tasam
Partono.Mereka tidak tahu – menahu dalam surat No. 2809 tersebut ada materai,
cap tiga jari dan fotonya Suherman, menurut Pak Tasam sebagian tanda tangan
ditutupi materai artinya tanda tangan baru ditempeli materai.
Saksi juga tahu perihal surat bernomor 2809 milik 2 orang, yakni milik
Supriyanto dan Suherman, dan menurut Pak Suwandi sebagai pengganti ijazahnya
Supriyantoyang hilang.Saksi juga mengaku pernah diperlihatkan surat bernomor
2831 yang digunakan untuk Upers, surat tersebut bermula tertanggal 26 April
2001, kemudian diubah menjadi tanggal 5 Januari 2001, sehingga ada perbedaan.
Menurut Pak Suwandi tanggal tersebut disesuaikan dengan Ujian persamaan di
Diknas Semarang. Saksi juga mengatakan bahwa Surat Keterangan No. 2831
tertulis Tamat tidak lulus, sedangkan surat keterangan No. 2809 tertulis Tamat.
6. Saksi TASAM PARTONO, BA:
Saksi adalah Kepala Sekolah SMP Nasional Sidareja sejak Tahun 1989 s/d
tahun 2004. Saksi menjabarkan bahwa pembuatan surat keterangan No.
2809/SLTP Nas/I/2001 tanggal 5 Januari 2001 yang tanggal dan bulannya saksi
lupa, tahun 2001.Yang mengetik surat keterangan tersebut adalah Sdr. Agus
Marsaid danyang menandatangani surat tersebut adalah saksi sendiri sedangkan
yang membawa surat tersebut adalah Sdri. Ringahyatul yang diantar suaminya.
Selain Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tanggal 5 Januari 2001 ada
juga Surat Keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 tanggal 26 April 2001.
Permintaan surat keterangan tersebut dilakukan secara bertahap, pada
waktu itu ibu Ringahyatul datang ke tempat saksi, katanya disuruh Terdakwa
minta Surat Keterangan yang menyatakan Terdakwa pernah bersekolah di SMP
Nasional Sidareja. Saksi kemudian membuatkan surat bernomor 2831 yang isinya
menyatakan bahwa terdakwa benar siswa SMP Nasional Sidareja, telah mengikuti
Ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan Tamat tidak lulus dan yang membuat
surat tersebut adalah staf saksi yang bernama Pak Suwandi. Saksi mendapatkan
data terdakwa pernah ikut Ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan Tamat tidak
lulus dari Buku Induk ada nama Suherman (terdakwa) dan informasi dari mantan
guru terdakwa. Setelah surat keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 jadi
kemudian diberikan ke ibu Ringahyatul, beberapa hari kemudian Ibu Ringahyatul
datang lagi dan meminta agar Surat Keterangan No. 2831 tulisan tidak lulus agar
dihilangkan, jadi hanya tertulis Tamat. Saksi tidak tahu perihal permintaan siapa
agar tulisan tidaklulus dihilangkan. Kemudian ibu Ringahyatul datang lagi minta
agar Surat Keterangan No. 2831 dilampiri pula dengan daftar nilai, selanjutnya
Surat Keterangan No. 2831 yang dilampiri daftar nilai diganti menjadi Surat
keterangan No. 2809. Saksi menjelaskan lebih lanjut bahwa apabila siswa
mengikuti Ujian Negara yang dinyatakan Lulus diberi ijazah, yang tidak lulus
tidak diberi ijazah, hanya diberi Surat Keterangan Tamat/ Selesai Belajar saja.
Jika tidak punya ijazah SMP maka tidak boleh mengikuti Ujian Persamaan.
Mengenai terdakwa ikut atau tidak ujian persamaan saksi mengatakan tidak tahu,
namun petugas di Kepolisian yang memberitahukan kepada saksi bahwa Surat
Keterangan No. 2809 tersebut oleh terdakwa dipergunakan sebagai syarat
mengikuti ujian persamaan SLTA.
Pada waktu menandatangani surat keterangan tersebut, saksi percaya
kepada Ibu Ringahyatul karena beliau adalah staf saksi sendiri dan pada tahun
1972 saksi sebagai gurunya Terdakwa kelas II SMA dan saya beranggapan
Terdakwa sudah punya ijazah SLTP.
Menurut saksi, surat keterangan No. 2831 berubah menjadi Surat No. 2809
atas permintaan untuk mengikuti ujian Upers, jadi perihal surat tersebut tidak ada
kesalahan. Baik surat keterangan No : 2809dan 2831 isinya sama. Surat No. 2831
dibuat pada tanggal 26 April 2001 tetapi saksi lupa kapan surat tersebut kembali
lagi menjadi Surat bernomor 2809 pada bulan mei 2001 dan di atas kertas, surat
No. 2809 tertanggal 5 Januari 2001.
Surat dibuat oleh saksi tanggal 5 januari 2001 hal tersebut dikarenakan
substansinya sama dan tidak mengecek dan percaya pada staf maka surat tersebut
saksi tandatangani. Surat Keterangan No. 2809 ada 2 surat karena staf saksi yang
memberi nomor dobel yang satu atas nama Supriyanto (yang bersangkutan lulus)
dan yang satunya lagi atas nama Terdakwa.
Surat yang berlaku adalah suratyang terakhir/perubahan terakhir, dan surat
keterangan yang tidak berlaku tidak ada surat pembatalannya dan hal tersebut
disadari oleh saksi sebagai kealpaan pihak SMP Nasional. Surat keterangan yang
dilampiri dengan daftar nilai adalah sebagai surat keterangan tamat dan bukan
sebagai pengganti ijazah, hal tersebut tidak mungkin karena Terdakwa tidak lulus.
Ketika saksi menandatangani surat keterangan No. 2809/E/SLTP
Nas/I/2001 tanggal 5 Januari 2001 saksi tidak tahu apakah ada atau tidak pas foto,
cap jari dan materai dan tentang siapa yang menempel. Dan tanda tangan saksi
dalam surat keterangan tersebut sebagaimana tertutup materai.
Menurut saksi, suratyang tidak sesuai dengan fakta – fakta adalah perihal
tanggal surat, tanggal lahir dan daftar nilai. Karena daftar nilai yang dibuat adalah
kesepakatan karena buku induknya tidak ada dan daftar nilai dibuat setelah Surat
keterangan dibuat.
7. Saksi RINGAHYATUL QIROMAH:
Saksi adalah guru SMP Nasional Sidareja.Pada waktu itu saksi dimintai
oleh Terdakwa untuk minta surat keterangan di SMP Nasional Sidareja.Pada
tahun 2001, waktu malam hari lewat telepon, terdakwa bilang kepada saksi
“Dik,saya minta tolong ke Kepala Sekolah minta surat keterangan dan kalau
sudah jadi tolong diantar”. Lalu saksi memintakan surat itu ke SMP Nasional
Sidareja dengan menemui Pak Tasam Partono (kepala sekolah) dan mengatakan
kakak saksi minta surat keterangan, lalu Pak Tasam mengiyakan, setlah jadi, surat
diserahkan Pak Suwandi kepada saksi. Saksi tidak membaca surat keterangan
tersebut karena saksi hanya mengatakan ke Kepala Sekolah minta surat
keterangan saja, oleh Pak Suwandi surat tersebut sudah dimasukan ke amplop,
saksipun tidak membuka amplop tersebut. Sore harinya surat diserahkan ke
terdakwa dirumahnya, dan setelah surat tersebut dibaca, dari terdakwa saksi
mengetahui isi surat tersebut dan kemudian surat tersebut saksi bawa pulang
kembali. Menurut saksi surat itu tidak ada foto dan tertulis tamat tidak lulus. Lalu
terdakwa minta surat keterangan tamat dan saksi tindak lanjuti. Saksi menghadap
Kepala Sekolah lagi dan mengatakan Herman minta surat keterangan Tamat,
Kepala Sekolah menyuruh ditaruh di atas meja dan tidak membaca surat
keterangan tersebut.
Keesokan harinya saksi menanyakan surat keterangan tersebut, lalu Kepala
Sekolah bilang minta kepada Pak Suwandi yang kemudian Pak Suwandi
menyerahkan surat keterangan tersebut. Selang 1-2 hari surat keterangan tersebut
saksi serahkan ke terdakwa dan pada waktu itu dibaca oleh terdakwa dengan
disaksikan oleh saksi, namun setelah beberapa hari surat keterangan
itudikembalikan lagi. Saksi menanyakan ke terdakwa untuk apa surat itu, lalu
terdakwa bilang kalau surat itu untuk mendaftar Ujian Persamaan (Upers)
kemudian saksi menanyakan “apakah bisa?” lalu terdakwa menjawab “ya dicoba”.
Karena saksi sering ke Cilacap, terdakwa minta tolong supaya
menanyakan apakah pendaftaran Ujian Persamaan masih ada apa tidak ,dan oleh
terdakwa surat keterangan tersebut diserahkan kepada saksi, kemudian saksi
telepon ke Dinas Cilacap menanyakan perihal Upers tersebut. Lalu saksi ke
Diknas Cilacap mengatakan sudah cukup dan sudah diberangkatkan ke Semarang,
oleh Diknas Cilacap pula saksi tahu syarat – syarat untuk dapat mengikuti ujian
persamaan.Diknas
menerangkan
bahwa
Upers
sudah
ditutup
tanggal
pendaftarannya, dan waktu itu saksi hanya bawa raport kelas 1,2 dan 3 SMP
saja.Kemudian saksi pergi ke Semarang, saksi langsung ke Diknas Pendidikan
Propinsi dan ketemu dengan Panitia Upers dengan membawa surat keterangan
Tamat, KTP, raport kelas 1,2 dan 3 SMP yang sudah dilegalisir, panitia Upers
mengatakan pendaftaran Upers sudah tutup. Kemudian saksi pulang, 1-2 hari
kemudian dapat surat dari Kanwil Diknas Semarang yang isi suratnya mengatakan
Suherman tidak bisa mengikuti Upers karena sudah terlambat, perihal tersebut
saksi sampaikan ke terdakwa.
Menurut saksi, pada waktu itu Suherman belum didaftarkan Upers dan
belum dicatat dan identitas belum disampaikan kepada pak Suhadi dan lucunya
syarat – syarat yang diajukan tidak dikomentari oleh panitia. Kemudian saksi
kedatangan tamu bernama Pak Sugito TU SMP Nasional Sidareja yang
mengatakan agar saksi bertemu dengan Pak Slamet Kepala Sekolah SMA
Nasional sekarang jam 7, lalu sekitar jam 7 saksi ketemu dengan Pak Slamet yang
pada waktu itu memegang Buku Induk Terdakwa dan saksi diberi fotocopynya
dan Pak Slamet mengatakan agar foto copy tersebut dan syarat – syarat lainnya
dibawa ke Diknas Cilacap ketemu dengan Pak Sutoyo. Syarat – syarat yang
dimaksud adalah fotocopy raport kelas 1,2 dan 3, surat keterangan tamat dan KTP
asli dan foto. Selanjutnya saksi sampaikan hal itu ke terdakwa dan saksi disuruh
untuk ditindaklanjuti, pagi harinya saksi ke Diknas Cilacap dan ketemu dengaan
Pak Sutoyo yang sudah tahu permasalahannya.Pak Sutoyo bilang kepada saksi
supaya mendaftarkan lagi Terdakwa ke Kantor Pendidikan dan Kebudayaan
Propinsi Jawa Tengah. Berkas yang saksibawa itu menurut petugas Kantor
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah yaitu Pak Temon Suhadi ada
kekurangan yakni mengganti tanggal lahir, pas foto dan harus ada daftar nilainya
dan atas permintaan terdakwa saksi menghadap Kepala Sekolah SMP Nasional
Sidareja dan minta supaya surat keterangan diperbaiki.
Setelah diperbaiki, dibacalah oleh saksi dan isinya menyatakan bahwa
terdakwa benar siswa pada sekolah SMP Nasional, telah mengikuti Ujian Negara
pada tahun 1970 dinyatakan tamat.Pak Sutoyo kemudian menyuruh supaya surat
&syarat – syaratnya dibawa ke Semarang untuk didaftarkan lagi, lalu saksi
sampaikan hal tersebut kepada Terdakwa, kemudian terdakwa minta tolong
sekalian agar syaratnya diantar lagi ke Semarag.
Di Diknas Semarang, berkasnya saksi serahkan ke Pak Temon Suhadi. Pak
Temon mengatakan “Bu Ringah, Surat Keterangan dilengkapi foto, materai dan
sekalian daftar nilainya, bilang kepada Pak Tasam dan Pak Tasam sudah paham
perihal tersebut”.Lalu saksi pulang ke cilacap.
Keesokan harinya saksi ke Sekolah SMP Nasional dan bertemu Kepala
Sekolah, lalu saksi sampaikan perihal penjelasan dari Pak Temon Suhadi
bahwasurat keterangannya ada kekurangannya yaitu pas foto, materai dan daftar
nilai. Kepala sekolah mengatakan “ nanti saya buatkan dan mengenai daftar nilai
ke Pak Suwandi saya sendiri kurang paham”.
Ada 2 surat keterangan, yang pertama fotonya berbaju hitam tentang siapa
yang menempelkan foto dan materai tersebut, saksi sudah lupa mungkin saja saksi
sendiri yang menempelkan. Sedangkan ketika diperlihatkan surat keterangan yang
lain oleh Majelis Hakim, Saksi mengatakan bahwa ia yang menempelkan.
Setelah lengkap, Kepala Sekolah bilang ke saksi agar minta daftar nilai ke
Pak Suwandi, setelah persyaratan lengkap saksi bawa ketempat Terdakwa dan
mengatakan berkasnya sudah beres, kemudian dengan saksi diantar oleh terdakwa
ke Diknas Propinsi Jawa Tengah Semarang, sesampainya di Semarang saksi
sendiri menghadap Panitia sedangkan Terdakwa ada kepentingan partai. Di
Diknas Propinsi Jawa Tengah ketemu dengan Pak Temon Suhadi, dan beliau
mengatakan persyaratannya belum dilegalisir, tanggal lahirnya disamakan dengan
tanggal lahir yang di SMA, tanggal pembuatan surat keterangan disesuaikan dan
foto berbaju putih dan tidak berkacamata, tanggal lahir disamakan dengan KTP
(tahun 2001). Selanjutnya saksi ketemu dengan Pak Tasam dan disampaikan
penjelasan dari Pak Temon Suhadi tersebut, saksi katakan masih belum rampung
karena persyaratannya masih kurang, yaitu mengenai tanggal lahir disamakan di
SMU dan KTP. Setelah selesai pada hari sabtu sekitar jam 10.00 WIB saksi
diantar suami ke rumah terdakwa. Disana, surat keterangan saksi tempeli foto, cap
jari dan materai, setelah itu saksi menemui Pak Tasam. Pada waktu itu surat
keterangan belum ditandatangani oleh Pak Tasam, setelah ketemu dengan Pak
Tasam baru surat keterangan tersebut ditandatangani dan di cap sekolah dengan
disaksikan pula oleh suami saksi. Setelah itu diantar Pak Chujangi ke Diknas
Propinsi Jawa Tengah Semarang ke pak Temon Suhadi, disana saksi membayar
uang pendaftaran dan diberi kartu peserta ujian setelah itu saksi pulang ke
Sidareja.Kartu ujian itu tidak saksi baca sehingga saksi hanya bisa mengira-ira
kalau isinya mungkin berupa jadwal ujian, besok harinya Terdakwa ke rumah
saksi untuk mengambil kartu ujian tersebut.Saksi tidak tahu pelaksanaan ujian
persamaan tersebut. Saksi tahu bahwa terdakwa adalah siswa SMP Nasional
Sidareja karena terdawa sekelas dengan kakak saksi, namun perihal apakah
terdakwa lulus / tidak lulus sekolah di SMP tersebut, saksi tidak tahu.
Yang pertama minta surat keterangan setelah dibaca tertulis Tamat tidak
lulus dan minta diperbaiki tidak lulus dihilangkan, perubahan surat keterangan ke2 dan ke-3 merupakan kelanjutannya dan dalam surat keterangan ditambah
dengan foto dan materai, sedangkan perubahan ke-3 dan ke-4 adalah perubahan
tanggal lahir, tanggal pembuatan surat dan pasfoto. Alasan tanggal harus sesuai
dengan yang di SMA karena hal tersebut atas permintaan Panitia Upers.Menurut
saksi syarat untuk bisa mengikuti Upers adalah cukup dengan Surat Keterangan
saja, ijazah tidak ditanyakan. Saksi mau dimintai tolong oleh terdakwa untuk
mengurusi surat keterangan tersebut adalah karena terdakwa adalah kakak ipar
saksi, usianya sudah tua, saksi bertugas sebagai Guru di SMP Nasional Sidareja
dan saksi tahu terdakwa sekolah di SMA Nasional Sidareja tersebut. Lalu atas
permintaan panitia, foto yang berbaju hitam kemudian diganti dengan yang
berbaju putih.. Panitia Upers ternyata tidak mempermasalahkan ijazah, dan
mengenai penerbitan surat keteranganyang hingga 4 kali itu adalah tidak aneh
karena hal itu atas permintaan Panitia Upers.
8. Saksi H. SOEDARWAN:
Saksi adalah Ketua Yayasan SMP dan SMA Nasional Sidareja. Saksi tidak
mengetahui mengenai surat keterangan yang digunakan oleh terdakwa. Mengenai
daftar nilai tersebut karena daftar induknya hilang kena banjir, saksi memanggil
guru – guru untuk membicarakan hal tersebut untuk kemudian mencari dan
kemudian bisa ditemukan.Sebelum buku induk ini ketemu, saksi yang mengurusi
dan memanggil semua guru untuk mengisi daftar nilai terdakwa.Jadi ada nilainya
setelah buku induk ketemu.Nilai yang diisi adalah yang hilang saja dan yang
mengurusi pengisian nilai sudah pindah.Pengisian nilai didasari atas kepatutan,
kepatutan disini maksudnya, sebagai contoh guru – guru tahu terdakwa pandai
olahraganya maka diberi nilai sesuai denan kemampuannya.Nilai yangbenar
adalah nilai yang ada di dalam buku induk. Mengenai Surat Keterangan No 2809
dan 2831 saksi tidak tahu sama sekali dan penggunaan oleh terdakwa hanya dari
mendengar saja. Jadi, setelah buku induk ketemu, lalu saksi serahkan tugas
pembuatan nilai ke Kepala Sekolah dan guru- guru.Dan setelah terbit nilai,
terdakwa tetap dinyatakan tidak lulus. Terdakwa hanya dinyatakan tamat,
sebagaimana Surat Edaran Mendiknas No. 1 Tahun 2005 pasal ayat (5) dan (7)
ijazah adalah dokumen resmi bagi siswa tamat lulus ujian nasional, kalau tidak
lulus tamat saja.
9. Saksi AGUS MARSAID:
Saksi sebagai TU di SMP Nasional Sidareja. Saksi pernah diperintah oleh
Pak Tasam (Kepala Sekolah) untuk membuatkan Surat Keterangan atas nama
terdakwa. Waktunya pada bulan April 2001.Yang mengkonsep surat tersebut
adalah Pak Suwandi bukan Pak Tasam. Surat yang dimaksud adalah identitas
terdakwa, benar siswa pada sekolah SMP Nasional Sidareja dan telah mengikuti
ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan Tamat tidak lulus.saksi memberi nomor
sesuai agenda surat keluar, kemudian saksi ketik. Setelah selesai diketik, surat
tersebut diletakkan di atas meja Kepala Sekolah, kemudian Kepala Sekolah
memerintahkan saksi untuk mengetik suratnya sama dengan surat keterangan
pertama hanya menghilangkan kata tidak lulus, jadi tinggal tertulis tamat, setelah
selesai surat keterangan tersebut saksi serahkan kepada Kepala Sekolah. Ada
kelanjutannya, yaitu dilampiri dengan daftar nilai, setelah selesai saksi ketik
diserahkan kepada Kepala Sekolah, kemudian surat keterangan diganti nomornya
yang semula bernomor 2831 diganti dengan nomor 2809, pada Surat Keterangan
No.2809 tersebut ada perubahan tanggal lahir terdakwa dan tanggal pembuatan
surat yang semula tertanggal 26 April 2001 diganti dengan tanggal 5 April 2001
dan isi suratnya sama. Perubahan surattersebut karena disuruh oleh Ibu
Ringahyatul yang sudah ketemu dengan Pak Tasam dan sudah bilang atas
perubahan tersebut. Penomoran surat menjadi No. 2809 berdasarkan agenda surat
keluar bulan Januari 2001. Perihal penomoran surat keterangan tersebut saksi
khilaf sehingga ada penomoran surat dobel yang pertama atas nama Supriyanto
perihal kehilangan dan yang kedua dan isi surat keterangan dinyatakan Tamat.
Surat keterangan atas nama terdakwa tersebut dilampiri daftar nilai dan
yang membuat daftar nilai adalah Pak Suwandi. Saksi tidak tahu tentang
penggunaansurat keterangan tersebut.Mengenai penomoran surat keterangan
No.2809 berdasarkan agenda surat keterangan tersebut keluar saja dan bukan
untuk ijazah tetapi surat keluar dan pemberian nomor seharusnya berurutan.
Agenda surat keluar milik terdakwa dan atas nama Supriyanto adalah buku
agenda tahun 2010. Perihal nomor surat tersebut tidak dikonsultasikan dengan
Kepala Sekolah karena permohonan administrasi adalah biasanya menjadi
kewenangan saksi.
10. Saksi YOYOK SUKOYO:
Saksi
sebagai
Wakil
Ketua
DPC
PDI
Perjuangan
Kabupaten
Banyumas.Sebenarnya saksi awalnya tidak terlalu memperhatikan mengenai
masalah terdakwa yang sejak awal pencalonannya sudah banyak masalah. Dari
mulai pencoretan Calon Legislatif atas nama terdakwa oleh KPUD Banyumas,
sampai dengan saksi yang menerima surat kaleng tentang terdakwa pada saat
menjadi mahasiswa. Tapi karena sebagai Wakil Ketua DPC maka saksi
mempunyai tanggung jawab moral terhadap partai, maka permasalahan terdakwa
bersama denganteman - teman ditindaklanjuti.
Langkah awalnya kami membentuk Team Investigasi, Team ini langsung
mencari fakta dengan mendatangi SMP Nasional Sidareja pada tanggal 9 Maret
2001 dan diterima oleh Pak Suwandi, Agus Marsaid dan Pak Soedarwan. Menurut
penuturan mereka, bahwa substantif sebelum muncul surat keterangan No. 2809,
diawali dengan Terdakwa minta Surat Keterangan dan oleh SMP Nasional dibuat
Surat Keterangan No. 2831 yang tertulis Tamat Tidak Lulus, hal tersebut
berdasarkan penjelasan dari SMP Nasional Sidareja dan ditunjukan fotocopy
Surat Keterangannya. Surat Keterangan No. 2831 dan 2809 berbeda jauh, yaitu
pengganti foto dan daftar nilai terlampir pada surat keterangan No. 2831 yang
sebelumnya tidak ada. Surat keterangan No. 2809 tersebut yang pertama atas
namaSupriyanto dan yang kedua atas nama Terdakwa. Menurut saksi, secara
substantif Terdakwatelah menggunakan Surat Keterangan No.2809 sebagai
pengganti ijazah untuk kepentingan mengikuti ujian persamaan. Menurut pihak
sekolah mengenai pembuatansurat sampai 4 kali itu karena salah. Yang dipakai
terdakwa adalah surat keterangan yang terakhir. Mengenai surat keterangan yang
digunakan oleh terdakwa telah ditanyakan kepada pihak sekolah, pertama tertulis
tamat dan pas foto dan penggunaannya tidak sesuai dengan permintaan. Saksi juga
menerangkan kalau ada perbedaan yaitu surat keterangan yang pertama dibuat
tertanggal 26 April 2001 dan surat keterangan yang terakhir yang digunakan
terdakwa tertanggal 5 Januari 2001 dan katanya tanggal tersebut disesuaikan
dengan waktu ujian persamaan. Kemudian setahu saksi nama sebenarnya
terdakwa adalah HERMAN. Hal ini sama seperti yang tertera di Surat Keputusan
dari Ketua Megawati. Tapi mendadak di dalam surat keterangan itu berubah
menjadi SUHERMAN. Menurut pejelasan pihak sekolah bahwayang namanya
surat keterangan adalah tidak ada fotonya. Saksi hanya tahu perihal surat
keterangan itu karena terjadi geger karena pencalonan terdakwa sebagai Anggota
Dewan dicoret oleh KPU, menurut ceritanya ijazah SLTA terdakwa dicabut oleh
Diknas. Tapi terdakwa tetap maju untuk mencalonkan diri.
11. Saksi SUWANDI:
Saksi sejak tahun 1976-1979 bekerja dibagian Tata Usaha, Tahun 1980 1989 sebagai guru kemudian sekarang menjadi Kepala Sekolah SMP Nasional
Sidareja. Kebetulan saksi yang menandatangani surat keterangan tersebut, secara
kronologisnya adalah pada awalnya Kepala Sekolah SMP Nasional Sidareja yang
pada waktu itu dijabat oleh Pak Tasam Partono memanggil saksi dan
diperintahkan membuat konsep Surat Keterangan yang menyatakan pernah
sekolah. Dalam konsep nomor surat masih kosong, konsep surat saksi melihat
dalam buku induknya dan ada nama Suherman benar siswa pada sekolah kami dan
telah mengikuti Ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan Tamat tidak lulus. Draf
tersebut saksi serahkan kepada Kepala Sekolah yang kemudian dicetak dengan
nomor surat 2831 tanggal 26 April 2001, setelah Kepala Sekolah tandatangan
surat keterangan tersebut saksi serahkan kepada Ibu Ringahyatul. Saksi tidak tahu
tentang Surat Keterangan yang dibuat atas permintaan siapa, saksi didatangi oleh
ibu Ringahyatul dan kemudian saksi tanyakan perihal surat keterangan tersebut
dan katanya untuk Pak Herman.
Isi surat berdasarkan buku induk, Setelah konsep surat sudah selesai, saksi
serahkan kepada Kepala Sekolah setelah diperiksa dan tidak ada perubahan
kemudian surat tersebut dicetak setelah jadi diserahkan kepada ibu Ringahyatul,
kemudian ada permintaan surat keterangan lagi, permintaan tersebut langsung
kepada Kepala Sekolah dengan permintaan tanggal lahir dirubah dan kata tidak
lulusnya dihilangkan. Yang mengetik surat keterangan tersebut adalah bagian Tata
Usaha. Konsep surat hanya satu, perubahan surat keterangan Ibu Ringah langsung
ke Bagian Tata Usaha setelah ketemu dengan Kepala Sekolah. Ibu Ringah datang
lagi ke Kepala Sekolah dan minta agar dibuatkan lagi daftar nilai, dan surat
keterangan tetap bernomor 2831 dan sudah ada fotonya. Kemudian surat
keterangan tersebut ada perubahan lagi, surat keterangan tersebut semula
tertanggal 26 April 2001 dirubah menjadi tertanggal 5 Januari 2001. Perubahan
tanggal surat berdasarkan atas permintaan dan nomor suratnya berubah menjadi
No. 2809. Surat No. 2809 dibaca saksi, isinya sama dengan surat No. 2831 yang
berbeda hanya tanggal dan nomor surat tetapi surat bernomor 2809 belum ada
fotonya.
Setelah ada masalah kemudian membuka buku agenda keluar ternyata ada
2 surat keterangan yang bernomor sama yaitu nomor2809 yang pertama atas nama
Supriyanto dan yang ke 2 atas nama terdakwa, kedua surat tersebut isinya
beda.Menurut saksi, suratno. 2809 bukan pengganti ijazah, itu surat keterangan
biasa. Mengenai daftar nilai pada waktu itu saksi diperintahkan Kepala Sekolah
untuk membuatkan daftar nilai, karena bingung kemudian tanya ke Pak
Soedarwan sebagai mantan Kepala Sekolahnya terdakwa, kemudian dibentuklah
Team termasuk saksi didalamnya. Untuk membuat daftar nilai yang tidak lulus,
kemudian dibuatkan nilai secara kepatutan dengan kurikulum 13 mata pelajaran
dengan nilai tidak lulus.Menurut saksi, daftar nilai itu dibuat ketika buku
induknya belum ketemu. Saksi menerangkan bahwa daftar nilai yang tercantum
dalam Surat Keterangan tidak ada acuannya, surat keterangan itupun diminta
tanpa ada surat permohonan.
Mengenai pemasangan foto, cap jari dan materai dalam surat keterangan
tersebut saksi mengatakan tidak tahu. Perihal tanggal lahir, daftar nilai tersebut
merupakan kesalahan sekolah dan yang dirugikan adalah sekolah, terdakwa juga
dirugikan oleh sekolah. Saksi mengatakan tidak tahu tentang perubahan ke 2 dan
ke 3 dari surat keterangan tersebut.
Menurut saksi, yang melatarbelakangi atas kesalahan administrasi tersebut
adalah datanya tidak lengkap, surat keterangan atas permintaan terdakwa dan
perintah Kepala Sekolah.
12. Saksi Drs. SUTOYO MS, M, Ed.
Saksi adalah Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Cilacap sejak tahun 2001 s/d sekarang(tahun 2006). Saksi pernah membaca dan
menandatangani surat keterangan dari SMP Nasional Sidareja, surat tersebut
intinya menyatakan Tamat. Saksi melihat kalau surat keterangan tersebut belum
ada fotonya.
Menurut saksi, ia telah menandatangani 2 (dua) surat dan hal tersebut
berdasarkan atas permintaan, surat keterangan pengganti ijazah juga dimintakan
tandatangan Kepala Dinas.Menurut saksi, yang bertanggung jawab karena telah
menandatangani suratyang tidak sesuai di Lapangan adalah Kepala Sekolah.
Dalam persidangan saksi menerangkan bahwa saksi membenarkan
bahwasurat keterangan No. 048.8/890/2001 dikeluarkan oleh Diknas hanya untuk
menyatakan bahwa terdakwa benar sebagai siswa SMP Nasional Sidareja tetapi
saksi tidak tahu apakah terdakwa punya ijazah atau tidak. Menurut saksi surat
keterangan itu bisa dipakai sebagai pengganti ijazah SMP agar bisa ikut Ujian
persamaan. Tapi kembali lagi bahwa urusan propinsi apabila bisa / tidaknya
diterima untuk mengikuti ujian persamaan di Semarang apabila tanpa adanya
rekomendasi dari Dinas Pendidikan & Kebudayaan.
13. Saksi TEMON SUHADI:
Saksi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Diknas Propinsi dan bertugas
menangani dokumen ijazah.Saksi bertugas sebagai anggota panitia ujian
persamaan. Saksi mengetahui kasus ini setelah mendapat surat panggilan dari
Polisi dan diperiksa Polisi pada tahun 2006. Menurut saksi, ia pernah menerima
pendaftaran ujian persamaan SMA atas nama Terdakwa pada tahun 2001, yang
membawa berkas pendaftaran atas nama terdakwa saat itu adalah seorang ibu
bernama Ibu Ringahyatul, yangdatang sebelum pelaksanaan ujian,yang jelas saat
itu pendaftaran sudah tutup tapi ujiannya belum dilaksanakan, saat itu Ibu
Ringahyatul datang pukul 11.00 WIB sampai 13.00 WIB tidak saksi terima,
kemudian pada sekitar jam 16.00 WIB Ibu Ringahyatul datang ke rumah saksi,
merengek minta berkas pendaftaran atas nama Terdakwa supaya diterima. Namun
berkas tidak saksi terima, lalu Ibu Ringah pulang. Selang beberapa hari kemudian
Ibu Ringahyatul datang lagi ke Kantor menemui saksi dengan permintaan
yangsama, kemudian saksi berembug dengan Team, lalu karena berkas sudah
lengkap, berkas kemudian diterima.Saksi tahu seluruh syarat ujian persamaan
SMA, yaitu:Ijazah/STTB SMP atau Mts, Raport kelas 1,2 dan 3 SMA, Pas foto
3X4, Foto copy KTP.
Saksi menyatakan pernah melihat Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP
Nas/I/2001 dan isinya pada pokoknya menerangkan bahwa Suherman benar –
benar siswa SMP Nasional Sidareja telah mengikuti ujian Negara dan dinyatakan
Tamat. Surat keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 pada saat itu dianggap
sebagai pengganti ijazah. Sehingga setelah disepakati rapat Team Panitia,
akhirnya disepakati bahwa terdakwa diterima sebagai calon peserta ujian
Terdakwa dibuatkan nomor ujian, walaupun waktu pendaftarannya lambat, akan
tetapi persyaratan dianggap lengkap. Setelah itu tidak ada persoalan apapun yang
menyangkut terdakwa. Pengumunan ujian dilaksanakan sekitar sebulan kemudian
dan terdakwa benar telah mengikuti ujian serta dinyatakan lulus.
Saksi tidak tahu dikemudian hari timbul masalah sehubungan ujian
persamaan yang terdakwa ikuti tersebut. Kalau ijazah /STTB SMP atau Mts tidak
ada tidak bisa ikut ujia persamaan SMA, kecuali kalau ijazahnya ada tapi hilang
atau rusak harus ada surat pengganti ijazahyang diminta oleh yang bersangkutan
dan sebelumnya harus ada laporan Polisi tentang kehilangan ijazah tersebut. Yang
berwenang mengeluarkan surat penggati ijazah adalah pihak SMP yang
bersangkutan dan disahkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
untuk pengganti ijazah asli yang hilan sesuai dengan Keputusan Dirjen
Dikdasmen tentang Pedoman dan Mekanisme Pengelolaan Dokumen Nomor:
501/C/Kep/I/1993 tanggal 17 November 1993. Saksi mengatakan bahwa Kalau
hanya tamat tidak bisa mengikuti ujian persamaan.
Persyaratan terdakwa bisa diterima saat itu karena dilihat secara sepintas
persyaratan yang dibawa oleh Ibu Ringahyatul telah lengkap dan sepintas
menganggap surat keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 sebagai surat
keterangan pengganti ijazah, disitu saksi bersama Team merasa dikelabui.
Persyaratan yang diserahkan Ibu Ringahyatul saat itu antara lain: surat keterangan
No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001, fotocopy raport, pas foto
dan foto copy KTP terdakwa.
14. Saksi CHUDJANGI, S.pd.:
Saksi adalah PNS di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Banyumas.Saksi tahu kasus ini karena saksi pernah diperiksa oleh Penyidik
berkaitan kasus ini. Saksi kenal Ibu Ringahyatul Qiromah karena waktu itu ikut
mengantar berkas pendaftaran ujian persamaan atas nama siapa dan saksi tidak
tahu ke Semarang. Tujuan saksi ke Semarang bukan untuk mengantar berkas ujian
persamaan akan tetapi saksi mengantar data ujian nasional SLTP/SLTA dan saksi
waktu itu hanya menumpang mobil Ibu Ringahyatul yang kebetulan tujuannya
sama ke Dinas Pendidikan Nasional. Saks pergi ke Semrang atas perintah Kepala
Dinas Pendidikan Kabupaten Cilacap yaitu Bapak Sutoyo. Saksi sempat bertanya
kepada bu Ringahyatul tentang tujuan beliau ke Semarang, lalu dijawab oleh Ibu
Ringahyatulbahwa ia akan mendaftar ujian persamaan. Saksi tidak tahu atas nama
siapa Ibu Ringahyatul mendaftar ujian persamaan karena hal tersebut tidak
ditanyakan oleh saksi. Ketika sampai tempat tujuan, saksi langsung antar berkas
yang saksi bawa dan diserahkan sama piket yang sedang jaga, sedangkan Ibu
Ringahyatul mencari tujuan lain. Setelah urusan selesai, saksi pulang kembali
bersama dengan Ibu Ringahyatul.Saksi tidak tahu bahwa Ibu Ringahyatul
membawa pulang lagi berkas yang dibawanya dari Cilacap saat itu. Saksi tidak
tahu bahwa di waktu lain Ibu Ringahyatul pergi lagi ke Kantor Dinas Pendidikan
Propinsi.
Selain saksi – saksi yang disumpah yang dihadirkan oleh penuntut umum,
juga didengar keterangan saksi – saksi dibawah sumpah yang diajukan oleh
Penasehat Hukum Terdakwa yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :
1. SAKSI BASIRAN:
Bahwa saksi adalah tetangga dan teman satu sekolah Terdakwa saat di
SMP Nasional Sidareja.Pada tahun 1970 saksi dan terdakwa pernah ikut ujian
Negara dan penyelenggaraannya di SMP Negeri Cilacap.Saat pengumuman hasil
kelulusan dibagikan ke siswa dalam sebuah amplop, karena sesuai saran dari
sekolah bahwa amplop supaya dibuka dirumah dan saksi mengetahui hasilnya
setelah sampai di rumah, serta saat itu saksi lulus.isi amplop hanya pernyataan
LULUS/ TIDAK LULUS. Dalam pengumuman tidak ada kata TAMAT TIDAK
LULUS. saksi melihat terdakwa juga hadir untuk mengambil amplop
pengumuman saat itu, tetapi saksi tidak tahu apakah terdakwa lulus apa tidak,
yang saksi tahu bahwa terdakwa tidak lulus setelah dua tahun kemudian yaitu
sekitar tahun 1972, itupun saksi tahu hanya dari cerita teman – teman. Saksi tidak
tahu bagi yang tidak lulus diberi tanda tamat apa tidak.
Setelah mengikuti ujian dan dinyatakan lulus, lalu saksi mendapatkan
ijazah. Dalam ijazah terdapat lampiran daftar nilai, akan tetapi pada saat
persidangan saksi tidak membawa lampian daftar nilai tersebut, selain ijazah,
tidak ada sural lain yang diberikan kecuali piagam penghargaan.
2. SAKSI SUJARI
Saksi adalah teman sekolah di SMP Nasional Sidareja.Saksi dan terdakwa
pernah ikut ujian Negara saat duduk di SMP pada tahun 1970.Pada saat
pengumuan hasil ujian dimasukkan dalam amplop, dan sesuai saran pihak sekolah
amplop supaya dibuka dirumah dan ternyata saksi dinyatakan tidak lulus. Saksi
mengetahui bahwa sebagian teman juga ada yang tidak lulus, tetapi tidak tahu
terdakwa lulus atau tidak. Karena saksi tidak lulus ujian, maka saksi minta pada
sekolah untuk dibuatkan surat keterangan yang menyatakan bahwa saksi pernah
sekolah di SMP Nasional tersebut. Surat keterangan diminta oleh saksi supaya
saksi bisa melanjutkan sekolah walaupun akhirnya surat tersebut tidak digunakan
karena saksi tidak melanjutkan sekolah akibat ketiadaan biaya sekolah. Saksi
minta surat keterangan ke Pak Soedarwan (kepala sekolah) di SMP NAsional
Sidareja pada tahun 1971. Surat keterangan milik saksi tidak dilampiri daftar nilai.
Menurut saksi, siswa yang lulus mendapatkan ijazah, dan bagi yang tidak lulus
tidak mendapatkan ijazah.
3. SAKSI Drs. SENTOT SUPRIONO, M.Pd :
Saksi adalah PNS yakni guru di SMK II Purwokerto. saksi menjelaskan
bahwa dalam periode tahun 1945 s/d tahun 1973 semua siswa diberi Surat Tanda
Tamat Belajar bagi siswa yang lulus dan tamat, dan saksi membawa contohnya
Surat tanda Tamat Belajar dan memperlihatkan kepada Majelis Hakim kemudian
pada tahun 2003 sampai dengan sekarang (tahun 2006).
Perihal Tamat adalah merupakan kebijaksanaan sekolah siswa yang
bersangkutan dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi seperti di
SMA Nasional Sidareja tersebut. Bagi siswa yang lulus mendapatkan 2 (dua) surat
yaitu Surat Tanda Tamat Belajar dan Surat Tanda Lulus, bagi siswa yang tidak
lulus akan mendapatkan Surat Tanda Tamat Belajar saja. Bagi siswa yang
lulusdiberi ijazah, sedangkan yang tidak lulus diberikan Surat Keterangan Tamat
Belajar. Bahwa sebagaimana Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia No. 17 Tahun 2003 kriteria Tamat / Lulus
sebagai berikut:Menyelesaikan program sampai dengan yang terakhir, Mengikuti
ujian Nasional.
Menurut saksi, jika siswa itu lulus pasti tamat, kalau tamat belum tentu
lulus.dibawah tahun 1995 sekolah swasta tersebut ada yang terdaftar dan yang
disamakan, sekolah bisa menyelenggarakan kegiatannya termasuk ujian atas dasar
sekolah induk. Pada tahun 1970 sistem ujiannya adalah ujian lokal dan ujian
Negara.
Keterangan Ahli
Jaksa Penuntut Umum mengajukan seorang saksi ahli yang bernama
NOOR AZIS SAID, yang telah memberikan keterangan dibawah sumpah yang
pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : Beliau menerangkan bahwa ada 2
(dua) jenis surat, yaitu:
1. Surat Biasa.
2. Akta Authentik.
Akte authentik adalah Akta yang dibuat oleh pejabat yang ditunjuk
untuk itu.Akta yang dibuat oleh pejabat umum/ Negeri yang
berhubungan dengan tugas pekerjaannya.Contoh: Rektor mempunyai
kewenangan mengeluarkan ijazah S-I, S-II dan S-III.
Berhubungan dengan kasus terdakwa yaitu Surat Keterangan No. 2809,
maka surat keterangan akta penting karena yang mengeluarkan adalah Pejabat
Negeri dan ada NIP-nya. Dalam surat keterangan tersebut ada foto yang tidak
berhak, sekolah swasta yang membuat, maka Diknas tidak punya tanggung jawab
jadi Surat Keterangan tersebut adalah Akta Authentik. Akta Authentik sesuai
syarat – syarat yang dibuat oleh Pejabat Umum, yaitu Pejabat yang mempunyai
kewenangan untuk itu.
Dalam mempergunakan surat keterangan ditinjau dari segi hukum apabila:
1. Menyerahkan surat kepada orang lain untuk dipergunakan lebih lanjut,
dianggap mempergunakan.
2. Menyerahkan surat dimana surat tersebut dibutuhkan.
Ada 2 pendapat mengenai surat palsu secara klasik, yaitu :
1. Membuat suratyang isinya tidak sesuai / tidak benar.
2. Membuat suratyang isinya lain sehingga menjadi lain dari aslinya yang
dilakukan dengan cara merubah, menambah dan mengurangi.
Membuat surat palsu yang isinya tidak benar dibuat oleh orang / Pejabat
yang berwenang untuk itu, itu masuk dalam pengertian surat palsu. Sehubungan
dengan kasus terdakwa yaitu surat keterangan yang bertuliskan TAMAT, kata
tamat seharusnya ada keterangan dari pihak sekolah, dikatakan tamat harus ada
bukti yang punya bobot perbuatan hukum, isi surat tidak menerangkan isinya,
termasuk surat palsu.Terdakwa menyuruh orang membuat suratyang tidak
sebenarnya berarti orang tersebut kedudukannya sebagai penganjur dan dapat
dikenakan Pasal 55 ayat (1) ke -2 KUHP.
Setelah saksi membaca dakwaan, terdakwa didakwa melanggar Pasal 263266 KUHP. Pasal – pasal tersebut memuat surat / akta dengan ciri – ciri khusus
baik mengenai jenis, sifat maupun perbuatanya, Pasal 263 KUHP ketentuan yang
bersifat Genus (pokok) meliputi segala surat, sedangkan Pasal 264-266 KUHP
baru pembuktian ke authentik, Pasal 263 KUHP merupakan Genus Straff yaitu
ketentuan yang bersifat pokok.
Terdakwa tidak punya ijazah dan kemudian minta surat keterangan tamat
belajar terkait dengan hal tersebut adalah ada istilah TAMAT, pertanyaan secara
hukum bukti tamatnya mana, tidak punya STTB dan kalau tidak ada STTB-nya
maka tidak bisa dikatakan tamat. Surat Keterangan No. 2809 yang saksi anggap
sebagai fakta authentik, andai kata si pembuat surat tersebut merasa salah maka
menandatangani suatu surat tidak boleh beralasan khilaf, tanda tangan dianggap
tahu isi surat tersebut, siapa yang salah itu tergantung sapa yang memasukkan
data authentik tersebut.
Apabila surat itu digunakan maka yang membuat dan menggunakan surat
tersebut bisa dikenakan Pasal 263 KUHP itu kalau surat tersebut bukan dinilai
sebagai akta authentik yang dibuat Pejabat tertentu maka dikenakan Pasal 266
KUHP. Terkait dengan surat keterangan yang dicabut berarti jika dicabut atas
inisiatif sendiri karena adanya kesalahan, tetapi apabila pencabutan surat tersebut
dicabut setelah digunakan hanya sebatas meringankan pemidanaan.
Selain itu, Penasehat Hukum Terdakwa juga mengajukan ahli sebanyak 2
(dua) orang yang masing – masing bernama Prof. Dr. NYOMAN SERIKAT
PUTRA, S.H.M.H. dan Dr. KARDOYO, M.Pd., yang telah memberikan
keterangan dibawah sumpah pada pokoknya masing – masing menerangkan
sebagai berikut :
1. SAKSI Prof. Dr. NYOMAN SERIKAT PUTRA, S.H.M.H. :
Menurut saksi, dalam Pasal 266 ayat (2) KUHP mengenai menggunakan
Akta Authentik yang ternyata tidak benar tetapi dianggap benar, yang penting
dalam pasal ini adalah menggunakan Akta Authentik dan Pasal 263 ayat (1) tidak
lepas dari Pasal 266 ayat (2) KUHP.
Mengenai suratyang dibuat dan ditandatangani oleh Kepala Sekolah, isinya
adalah authentik, perihal sah atau tidaknya surat tersebut bukan wewenang saksi
untuk menilainya.
Surat palsu adalah surat yang tidak sesuai dengan faktanya, yang membuat
surat palsu adalah pelakunya, sebagaimana Pasal 55 KUHP paling tidak ada 4
pelaku, yaitu : yang melakukan, yang menyuruh melakukan, turut melakukan dan
turut serta melakukan, dan mengenai pertanggungjawabannya adalah dilihat dari
azas tingkat kesengajaan itu sejauh mana dilakukan. Unsur – unsur kesalahan
adalah: kesengajaan betul, kesengajaan kepastian, kesengajaan maksud dan
kesengajaan kemungkinan.
Untuk mengetahui seseorang sengaja harus ada pengetahuan dan kehendak.
Kesengajaan juga harus dipenuhi 3 unsur, yaitu :
a. Kemampuan bertanggungjawab.
b. Kesengajaan kealpaan.
c. Tidak ada alasan penghapus kesalahan atau pemaaf.
Jika salah satu unsur kesengajaan tidak terpenuhi, maka tidak bisa dipidana.
Lalu mengenai surat keterangan No. 2809, saksi telah membaca surat tersebut.
Tamat berarti menyelesaikan sekolah di SMP itu dan bukan berarti untuk
melanjutkan sekolah. Mengenai dakwaan Pasal 266 ayat (1) da (2) terdapat kata
“dapat” adalah menunjuk pada delik formil, yakni dari kata menggunakan aktif
disimpulkan sebagai sengaja. Jika tidak ada unsur kesengajaan maka ada 3 teknis
untuk mengetahui hal tersebut, yaitu : adanya maksud, sadar kepastian/ keharusan
dan sadar kemungkinan.
2. SAKSI Dr. KARDOYO, M.Pd. :
Saksi bekerja sebagai dosen di UNS selain itu juga menjabat sebagai
Sekertaris Manejemen Pendidikan yang tugasnya adalah membantu Ketua
Program yang berkaitan dengan managerial.Saksi tidak pernah masuk dalam
kepanitiaan ujian persamaan. Sehubungan perkara ini, dilihat dari konsep
pendidikan maka pendidikan merupakan sebuah sistem mulai siswa masuk dalam
proses belajar mengajar perlu mendapat dukungan (input) dari Kepala Sekolah,
Guru, orang tua dan masyarakat. Sistem pendidikan harus melalui pencernaan,
pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran.Sesuai dengan Undang – Undang yang
berlaku syarat ujian persamaan SMA harus dipenuhi dan apabila tidak, otomatis
tidak bisa ikut ujian persamaan.
Ujian persamaan ada 3, yaitu :
a. Ujian persamaan masuk kelas I semester II; dilaksanakan apabila proses
kelas II da kelas II belum dilaksanakan;
b. Ujian persamaan masuk kelas II semester IV, dilaksanakan apabila proses
kelas II dan kelas III sudah dilalui;
c. Ujian persamaan tamatan SMA, dilaksanakan apabila proses kelas I, kelas
II dan kelas III dilalui langsung masuk ujian persamaan tamatan SMA;
Bahwa untuk mengikuti ujian persamaan kelas I SMA harus memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam undang – undang antara lain harus lulus
SLTP atau yang sederajat. Dalam periode tertentu bagi siswa yang tidak lulus bisa
mengikuti jenjang pendidikan lebih lanjut dan hal tersebut berlangsung pada
periode tahun 1970 an, pada periode tersebut antara yang lulus dan yang tidak
lulus jelas dinyatakan.Yang dimaksud TAMAT berarti telah mengikuti sebuah
proses pembelajaran. Soal bisa diterima mengikuti jenjang pendidikan yang lebih
tinggi atau tidak tergantung pada panitia. Maksud kata Tamat dalam surat
keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 berarti telah mengikuti sebuah proses
pembelajaran dan pada tahun 1970 ada dua hal yaitu tamat dan lulus. yang
dimaksud dengan lulus pada tahun 1970 adalah telah menyelesaikan proses
pembelajaran dan memenuhi syarat –syarat yang ditentukan dalam Ujian Negara.
Bagi siswa yang lulus akan diberi ijazah sedangkan bagi yang tamat akan diberi
Surat Keterangan Tamat. Surat keterangan tamat bisa digunakan dalam proses
mengikuti jenjang yang lebih tinggi dengan syarat yang bersangkutan setelah
masuk ke jenjang yang diikutinya dalam tahun berjalan bisa memperoleh
kelulusan dengan mengikuti paket yang telah disediakan.
Pada tahun 1970, surat tanda tamat wajib diberikan kepada siswa yang tidak
lulus, dan surat keterangan tersebut diberikan oleh pihak sekolah kalau
administrasinya tertib. Jika ujian lokal maka nilainya ditentukan oleh guru yang
bersaangkutan, sedangkan ujian Negara yang menentukan nilai adalah Team
penyelenggara ujian Negara tersebut. Bagi siswa yang tidak lulus bisa mendaftar
ke Perguruan Tinggi kalau yang bersangkutan di kemudian hari bisa menunjukkan
tanda lulus. tanda lulus diberikan apabila yang bersangkutan telah mengikuti ujian
paket C dan dinyatakan lulus dan kenyataan yang ada sekarang, lulusan paket C
bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
Secara formil, aturan bisa disimpangi, namun secara materiil boleh
disimpangi dan itu tergantung dari Panitia. Mengenai surat keterangan No.
2809/E/SLTP Nas/I/2001 dan surat No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 maka secara
substansi adalah sama. Bahwa persyaratan ijazah sebagaimana dipersyaratkan
dalam surat No. 079.a/I03.07/U/2001 adalah: salinan atau foto copy ijazah / STTB
SLTP Mts atau memiliki Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama dengan
Surat Tanda Tamat Belajar SLTP yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang. Jika ada kekeliruan maka siswa yang bersangkutan bisa memperoleh
surat keteranganyang sifatnya perbaikan kekeliruan pada surat keterangan
tersebut.
Keterangan Terdakwa.
Bahwa terdakwa lahir di Sidareja Cilacap pada tanggal 5 September 1954.
Terdawa pertama sekolah di SD Negeri I Sidareja Cilacap pada tahun 1962
sampai tahun 1968, terdakwa lulus dan mendapat STTB.STTB tersebut ada tapi
hilang karena banjir. Lalu terdakwa melanjutkan ke SMP Nasional Sidareja
sekitar tahun 1968 sampai tahun 1970.Saat itu Kepala Sekolahnya adalah Bapak
Soedarwan.
Ketika SMP terdakwa mengikuti ujian lokal dan ujian Negara.Ujian tersebut
dilaksanakan di Cilacap.Namun terdakwa tidak lulus ujian Negara. Lalu terdakwa
mengakubahwa ia pernah masuk SMA Nasional Sidareja tahun 1971. Waktu itu
ada himbauan bahwa seluruh siswa SMP Nasional Sidareja yang telah mengikuti
ujian Negara baik yang telah lulus maupun tidak lulus supaya masuk SMA
Nasional Sidareja. SMA terdakwa tempuh selama 4 (empat) tahun karena
Terdakwa pernah tidak naik kelas dari kelas I ke kelas II. Namun terdakwa tidak
pernah mengikuti ujian SMA dan tidak memiliki ijazah SMA.
Terdakwa masuk PDI Perjuangan sampai sekarang (tahun 2006) dan
menjabat sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan Banyumas sejak tahun 2001 sampai
tahun 2006 dan terpilih kembali dalam periode 2006 sampai tahun 2011.
Terdakwa juga menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Banyumas periode
2004/2009.Memang salah satu syarat sebagai anggota DPRD minimal harus
memiliki ijazah SLTA/sederajat.
Terdakwa pernah datang ke SMA Nasional Sidareja dan bertemu Kepala
Sekolah dan terdakwa minta surat keterangan dari SMA Nasional Sidareja untuk
memenuhi syarat mengikuti ujian persamaan, lalu terdakwa pergi menemui Ketua
Yayasan Nasional dan bertemu Bapak Darwan dan pada waktu itu terdakwa
menyampaikan niatnya untuk minta surat keterangan tanda tamat SMP dan
keterangan lain dari SMA Nasional. Saat itu terdakwa tidak tahu apa saja syarat
mengikuti ujian persamaan. Terdakwa lalu menemui seorang guru SMP Nasional
Sidareja bernama Pak Slamet di rumahnya dan saat itu terdakwa hanya sebatas
minta surat keterangan tanda tamat dari SMP Nasional. Pak Slamet langsung
menyanggupi permintaan terdakwa pada saat itu.
Terdakwa berpesan kepada Pak Slamet bahwa nanti yangakan mengurus
surat keterangan tersebut adalah adik terdakwa yang bernama Ringahyatul
Qiromah. Kemudian terdakwa mendapatkan surat keterangan sesuai atas
permintaannya namun terdakwa tidak tahu proses keluarnya surat keterangan
tersebut karena yang mengurus adalah Ibu Ringahyatul Qorimah. Terdakwa pun
tidak ingat nomor surat keterangan tersebut.
Isi surat keterangan adalah keterangan terdakwa tamat dari SMP Nasional
Sidareja. Terdakwa menerima surat setelah 3-4 hari pulang dari rumah Pak
Slamet. Yang membuat surat keterangan tersebut adalah pihak SMP Nasional
Sidareja yang ditandatangani oleh Bapak Tasam Partono, S.Pd (Kepala Sekolah).
Terdakwa menyatakanbahwa benar Surat Keterangan No: 2809/E/SLTP
Nas/I/2001, terdakwa terima dari Ibu Ringahyatul Qiromah. Saat menerimanya
surat itu belum ada fotonya dan tidak ada lampiran daftar nilai. Surat keterangan
tersebut terdakwa yang ambil di rumah Ibu Ringahyatul.
Saat terdakwa tanda tangan sekalian cap tiga jari dan waktu itu belum ada
materainya tetapi foto sudah tertempel dan terdakwa tidak tahu siapa yang
menempel materai pada surat keterangan tersebut.Setelah ketemu Pak
Slamet,Terdakwa minta tolong ke Ibu Ringahyatul.
Saat surat itu jadi, lalu terdakwa pergi mengambil surat tersebut di rumah
Ibu Ringah, Setelah terdakwa baca sepintas, surat keterangan tersebut memakai
kata tidak lulus yaitu Tamat Tidak Lulus, seharusnya Tamat saja.
Menurut terdakwa, isi surat keterangan tersebut tidak benar, setelah
diketahui hal tersebut lalu terdakwa melakukan perubahan dengan menghilangkan
kata tidak lulus, sehingga hanya kata Tamat. Perubahan lainnya, surat keterangan
ditempeli pas foto terdakwa yang berbaju hitam kemudian dirubah lagi dengan
pas foto dengan baju putih.
Daftar nilai dibuat setelah ada permintaan dari Dinas Pendidikan Nasional
Propinsi sebagai lampiran surat keterangan dan yang mengurus daftar nilai adalah
Ibu Ringah. Terdakwa menerima kembali surat keterangan tersebut setelah 2
sampai 3 hari minta tolong kepada Ibu Ringahyatul untuk mengurusnya.
Terdakwa menerima surat keterangan yang dilampiri daftar nilai di rumah
terdakwa karena surat tersebut diantar ibu Ringahyatul ke rumah terdakwa di
Purwokerto dan menurut terdakwa surat keterangan tersebut sudah benar. Surat
telah ditandatangani oleh Bapak Tasam Partono,S.Pd. dan selanjutnya surat
keterangan tersebut dibawa Ibu Ringahyatul untuk dilegalisir di Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap lalu digunakan untuk mendaftar ujian
persamaan SMA di Semarang. Terdakwa mengatakan bahwaia tidak pernah
disodori syarat – syarat mengikuti ujian persamaan sebelum mendaftar. Untuk
mendaftar ujian persamaan, selain surat keterangan juga membawa KTP.
terdakwa pernah mengantar Ibu Ringahyatul ke Semarang untuk mendaftar ujian
persamaan. Terdakwa tahu ada ujian persamaan tapi tidak tahu kapan dibuka
pendaftaran ujian persamaan dan kapan pendaftaran ditutup.
Terdakwa tidak tahu siapa yang ditemui di Diknas Semarang karena
terdakwa tidak masuk dan yang masuk ke kantor Dinas Pendidikan saat itu hanya
Ibu Ringah dan hal tersebut dilakukan atas permintaan Ibu Ringahyatul. Terdakwa
tidak mengenal orang yang bernama Temon Suhadi dan Sudarto di Dinas
Pendidikan Semarang. Sesampai di Semarang, Ibu Ringah menghubungi terdakwa
melalui telpon yang mengatakan bahwa pendaftaran telah ditutup. Setelah Ibu
Ringah pulang dari Semarang, dua hari kemudian Ibu Ringahyatul telpon
terdakwa yang mengatakan bahwa ada faksimile dari Semarang supaya
melengkapi berkas dan membawa kembali ke Semarang.Lalu terdakwa dan Ibu
Ringah ke Semarang tetapi terdakwa tidak ikut turun ketika tiba di Diknas
Propinsi karena mengikuti Rapat partai.Setelah dijemput kembali, Ibu
Ringahyatul mengatakan bahwa berkas sudah diterima oleh panitia dan diberikan
tanda bukti penerimaan berkas beserta kartu ujian.
Terdakwa mengikuti ujian di SMA N 5 Purwokerto, dan terdakwa
dinyatakan lulus setelah mengikuti ujian persamaan saat itu. Terdakwa
menyatakan namayang sebenarnya adalah Suherman dan panggilannya adalah
Herman. Terdakwa mengurus surat – surat pada tahun 2001 setelah ada dorongan
menjadi Calon Legislatif, terdakwa menyatakan tidak fokus ikut ujian persamaan
SMP atau SMA. Menurut terdakwa, walaupun ujian Negara tidak lulus tetapi pada
ujian lokal terdakwa lulus, sehingga terdakwa merasa tamat. Tidak ada tindakan
Ibu Ringahyang bertentangan dengan kemauan terdakwa.Terdakwa tidak tahu
berkas pendaftaran ujian persamaan pernah ditolak oleh Diknas Kabupaten
Cilacap. Terdakwa juga tidak tahu nilai – nilai tersebut sesuai dengan hasil yang
diperoleh terdakwa apa tidak.
Barang Bukti di Persidangan
Bahwa di dalam persidangan telah diajukan barang bukti antara lain berupa :
-
Surat
Keterangan
lampirannya;
No.
2831/E/SLTP
Nas/IV/2001
beserta
-
Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 beserta lampirannya;
-
Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 beserta lampirannya;
-
Surat
Keterangan
No.
2831/E/SLTP
Nas/IV/2001
beserta
lampirannya;
4.
-
Surat Keterangan No. 048.8/890/2001;
-
Surat Keterangan No. 420/01380/30;
-
Pengganti Surat Keterangan No. 353.b/E/SMP Nas/VII/05;
-
Buku Daftar Induk;
-
Buku Agenda Keluar SLTP Nasional Sidareja;
-
Daftar Kumpulan Nilai golongan A dan Keputusan UP. SMP. 1970;
-
Daftar Kumpulan Nilai golongan B dan Keputusan UP. SMP. 1970;
-
Pendaftaran UP.SMP Th 1970 SMP Nasional Sidareja;
-
Fotocopy KTP atas nama SUHERMAN;
Tuntutan Penuntut Umum
Penuntut telah mengajukan tuntutan pidana terhadap terdakwa tertanggal
16 Oktober 2006 yang
pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan :
1. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana Menggunakan Akte Authentik yang seolah –
olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya, sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 266 ayat (2) KUHP;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 5
(lima) bulan perintah supaya terdakwa segera masuk;
3. Menyatakan barang bukti berupa :
- 1 (satu) lembar Surat Keterangan Nomor : 2809/E/SLTP Nas/I/2001
tanggal 5 januari 2001 an. SUHERMAN.
- 1 (satu) lembar Lampiran Surat Keterangan Nomor : 2809/E/SLTP
Nas/I/2001 tanggal 5 Januari 2001 an. SUHERMAN.
- 1 (satu) lembar Foto copy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan
Sama Dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) SMU Program Ilmu
Pengetahuan Sosial atas nama SUHERMAN dengan Nomor seri STTB
No. 03 Mup 0006309 (telah disahkan oleh PN Purwokerto sesuai
dengan aslinya).
- 1 (satu) lembar Surat Nomor : 420/01380/30 tanggal 2 April 2001.
- 1 (satu) lembar Surat Nomor : 048.8/890/2001 tanggal 10 April 2001.
- Buku Induk dan Agenda, semuanya diserahkan kepada Penuntut Umum
untuk bukti perkara lain.
4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,5.
Putusan Pengadilan
a.
Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang,bahwa setelah Majelis mempelajari berkas – berkas perkara
serta dengan mendasarkan fakta – fakta dipersidangan yang diperoleh dari
keterangan saksi – saksi maupun bukti berupa surat – surat yang diajukan dalam
persidangan, maka Majelis Hakim cenderung menitikberatkan pada pembuktian
dalam dakwaan pertama, dimana dalam dakwaan pertama tersusun secara
subsidier yaitu dakwaan pertama primer dan dakwaan pertama subsidier. Dan
setelah Majelis Hakim
mempertimbangkan dakwaan yang paling relevan
dengan fakta – fakta hukum yang terungkap di persidangan, yaitu dakwaan
Pertama Subsidair, yaitu melanggar pasal 263 ayat (2) KUHP;
Menimbang, bahwa Pasal 263 ayat (2)
Kitab Undang – Undang
Hukum Acara Pidana yang berbunyi : “ Diancam dengan pidana yang sama,
barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang
dipalsu, seolah – olah benar tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian”,sehingga dapat disimpulkan unsur – unsurnya adalah :
1. Barang Siapa.
2. Dengan sengaja memperunakan surat palsu atau dipalsukan seolah –
olah surat itu asli.
3. Penggunannya dapat menimbulkan kerugian.
Ad.1 Unsur Barang Siapa.
Maksud dari unsur barang siapa dalam perkara ini, sesuai dengan uraian
yang diberikan oleh Majelis Hakim adalah menunjukkan adanya subyek hukum
yang mampu mempertanggungjawabkan atas perbuatannya, dimana untuk dapat
dipidananya seseorang sebagai subyek hukum harus memiliki kemampuan
bertanggung jawab.
Berdasarkan fakta dipersidangan telah ternyata dalam surat dakwaan
jaksa penuntut umum tertanggal 23 Juni 2006 telah menentukan atau menunjuk
bahwa terdakwa yang diajukan dalam persidangan yaitu Suherman, dimana
berdasarkan fakta dipersidangan tersebut terdakwa adalah sebagai orang yang
telah dewasa dan sehat jasmani maupun rohani serta tidak terdapat adanya alasan
pembenar maupun alasan pemaaf dalam teori hukum pidana, sehingga dengan
demikian terdakwa dianggap sebagai subyek hukum yang mampu untuk
mempertanggungjawabkan atas perbuatannya.
Ad.2 Unsur Dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang
dipalsukan seolah – olah surat itu asli.
Unsur “Dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang
dipalsukan seolah – olah surat itu asli” tersebut Majelis mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut :
Bahwa Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP/Nas/I/2001 tertanggal 5
Januari 2001 tersebut tidak sesuai dengan sebenarnya atau palsu, hal mana
didasarkan pada fakta – fakta di persidangan yang diperoleh dari keterangan
saksi Ringahyatul Qiromah, saksi Tasam Partono, dan saksi Suwandi serta bukti
surat – surat yang diajukan dalam persidangan atas hubungannya antara yang
satu dengan yang lain dapatlah diperoleh adanya fakta bahwa SMP Nasional
Sidareja telah menerbitkan Surat Keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001
tertanggal 26 April 2001 surat mana dibuat dan ditandatangani oleh Kepala
Sekolah SMP Nasional Sidareja Kabupaten Cilacap yang bernama Tasam
Partono yang pada pokoknya dalam surat tersebut menerangkan bahwa terdakwa
benar – benar siswa SMP Nasional Sidareja dan telah mengikuti ujian Negara
tahun 1970 dinyatakan Tamat tidak lulus. dan hal ini diakui sendiri oleh
terdakwa dalam persidagan serta dikuatkan oleh keterangan saksi Tasam Partono
selaku Kepala SMP Nasional Sidareja yang bahwasanya terdakwa adalah tidak
lulus.
Dengan memperhatikan kronologi peristiwa yang terjadi, maka dengan
demikian unsur bahwa “surat atau akta tersebut palsu” dianggap terbukti.
Selanjutnya mengenai “unsur kesengajaan” bagi terdakwa untuk menggunakan
surat keterangan yang palsu tersebut, maka di dalam membuktikan Majelis
Hakim mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
Bahwa Majelis mensitir yurisprudensi yang menyatakan bahwa barang
siapa menyuruh orang lain untuk menunjukan surat yang palsu atau yang
dipalsukan, berarti sama saja dengan telah mempergunakan surat tersebut (H.R.
26 pebr.1934, N.J 1934, 788,W.12756; 26 Maret 1934, N.J 1934.945, W 12760;
14 Nop, 1988, 1939 No 367).
Bahwa untuk dapat dinyatakan bahwa terdakwa telah terbukti memenuhi
unsur dengan sengaja menggunakan surat palsu tersebut haruslah terdapat
adanya suatu kehendak pada diri terdakwa untuk mempergunakan surat yang
dipalsukan atau yang dibuat secara palsu itu seolah – olah merupakan sepucuk
surat asli yang dipalsukan atau yang dibuat secara palsu itu seolah – olah
merupakan sepucuk surat yang asli dan yang tidak dipalsukan dan disamping itu
haruslah terdapat adanya pengetahuan pada diri terdakwa bahwa surat yang ia
pergunakan itu merupakan sepucuk surat yang dipalsukan atau yang dibuat
secara palsu.
Bahwa untuk dapat menyatakan terdakwa terbukti mempunyai kehendak
atau pengetahuan sebagaimana yang dimaksudkan di atas, tidaklah perlu
menggantungkan adanya pengakuan dari terdakwa, melainkan dapat menarik
kesimpulan tentang adanya kehendak atau pengetahuan diri terdakwa tersebut
dari kenyataan – kenyataan yang terungkap dalam persidangan baik yang
diperoleh dari keterangan terdakwa sendiri, keterangan saksi – saksi maupun
dari alat bukti lainnya yang oleh jaksa penuntut umum diajukan sebagai bukti di
depan sidang Pengadilan.
Berdasarkan
uraian
diatas,
maka
Majelis
berpendapat
dengan
mendasarkan fakta yang diperoleh dari keterangan saksi Ringahyatul Qiromah,
saksi Tasam Partono, dan saksi Suwandi serta bukti surat – surat yang diajukan
dalam persidangan atas hubungannya antara yang satu dengan yang lain dapatlah
diperoleh adanya suatu kesengajaan pada diri terdakwa untuk menggunakan
surat keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 yang
merupakan surat palsu tersebut untuk syarat pendaftaran UPERS SMU, dan hal
mana didasarkan bahwa kendatipun secara fisik pendaftaran tersebut bukan
dilakukan oleh terdakwa, namun dalam hal ini terdakwa telah mengetahui dan
bahkan menghendaki bahwa hal tersebut adalah untuk kepentingan terdakwa,
sehingga dengan demikian menurut majelis telah terdapat adanya suatu
kesengajaan pada diri terdakwa untuk menggunakan surat keterangan tersebut
yang ternyata palsu.
Menimbang bahwa dari hal tersebut, maka unsur dengan sengaja
menggunakan surat palsu yang seolah – olah surat itu aslidan tidak dipalsukan
telah terbukti secara sah dan meyakinkan.
Ad.3 Unsur Penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian.
Unsur “Penggunaannya dapat menimbulkan kerugian” tersebut Majelis
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
Bahwa yang dimaksud dengan kerugian dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP
tersebut adalah bukanlah hanya terbatas pada kerugian yang bersifat kebendaan
saja, melainkan juga yang tidak bersifat kebendaan, seperti halnya kepentingan
masyarakat. Sementara arti kata “dapat” dalam unsur pasal tersebut dapatlah
diketahui bahwa kerugian itu tidaklah perlu benar – benar timbul, karena yang
disyaratkan didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2)
KUHP tersebut hanyalah kemungkinan timbulnya suatu kerugian. Sehingga
walaupun tidak terdapat adanya kerugian yang ditimbulkan atas perbuatan
terdakwa,
namun
apabila
dalam
penggunaannya
dimungkinkan
dapat
menimbulkan adanya kerugian, maka unsur tersebut dianggap telah terbukti.
Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut dapatlah menimbulkan adanya
kerugian yang bahwasanya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
pendidikan akan berkurang terutama kepada SMP Nasional Sidareja yang telah
mengeluarkan surat palsu tersebut termasuk Kantor Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Cilacap yang telah melegalisir surat yang palsu tersebut.
Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut diatas, maka Majelis tidak
sependapat dengan apa yang telah dinyatakan oleh Penasehat Hukum
terdakwayang menyatakan bahwaunsur kerugian tidak terbukti,hal mana
didasarkan bahwa terlepas ada tidaknya kerugian akibat perbuatan terdakwa,
Namun apabila perbuatannya dapat dimungkinkan Timbulnya kerugian, maka
unsur telah menimbulkan kerugian dianggap telah terbukti.
Menimbang bahwa sebagai akibat dari perbuatan terdakwa tersebut
dapatlah
menimbulkan
adanya
kerugian
yangbahwasanya
kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga pendidikan akan berkurang terutama kepada SMP
Negeri Sidareja yang telah mengeluarkan surat palsu tersebut termasuk Kantor
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap yang telah melegalisir surat
yang palsu tersebut.
Menimbang bahwa dari pertimbangan – pertimbangan diatas maka unsur
– unsur sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP dalam
dakwaan pertama subsidair telah terpenuhi, sehingga dengan demikian oleh
karena unsur – unsur dalam pasal tersebut telah terpenuhi, maka terdakwa
dianggap telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
sebagaimana yang disebutkan dalam dakwaan pertama subsidair tersebut.
Menimbang bahwa oleh karena terdakwa dianggap telah terbukti secara
sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, maka terhadap terdakwa tersebut
haruslah dijatuhi hukuman sesuai dengan rasa keadilan menurut hukum maupun
keadilan masyarakat.
Menimbang bahwa selama persidangan ternyata tidak terdapat adanya
alasan – alasan yang dapat menghapuskan pemidanaan atau kesalahan terhadap
terdakwa, maka terdakwa haruslah dianggap mampu mempertanggungjawabkan
atas perbuatannya.
Menimbang bahwa karena terdakwa dinyatakan melakukan tindak pidana
dan dihukum, maka selanjutnya majelis akan mempertimbangkan lamanya
pidana yang layak dijatuhkan terhadap terdakwa.
Menimbang bahwa tujuan penjatuhan pidana terhadap seseorang yang
telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana bukanlah merupakan usaha
balas
dendam
atas
perbuatan
yang
dilakukannya,
melainkan
untuk
mengembalikan nilai – nilai kepatutan di dalam kehidupan masyarakat yang
telah dilanggar atau disimpangi oleh terdakwa.Dan penjatuhan pidana terhadap
seseorang yang telah dianggap terbukti melakukan tindak pidana tidak jauh
bedanya seperti seorang dokter yang memberi obat kepada seorang pasien yang
sedang sakit. Apabila dosis (takaran obat) yang diberikan kurang dari dosis yang
semestinya, maka si pasien tidak akan sembuh atau lama baru sembuh, namun
sebaliknya apabila takaran obat yang diberikan terlalu keras bukannya si pasien
akan sembuh, akan tetapi bahkan dapat menjadi fatal, bahkan akan mengalami
keadaan yang tidak diharapkan.
Menimbang bahwa dalam kasus ini ternyata terdakwa saat ini masih
berstatus sebagai Ketua DPRD Kabupaten Banyumas dan sebagai Ketua Dewan
Pimpinan Cabang PDI Perjuangan Banyumas yang masih kooperatif, sehingga
kendatipun terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, namun dibalik itu
setidak – tidaknya terdakwa telah memiliki jasa yang patut dihormati sebagai
orang yang telah bertugas menjalankan roda pemerintahan di Kabupaten
Banyumas. Sehingga dengan demikian kiranya sudah cukup pantas dan wajar
apabila terdakwa dihukum sebagaimana yang tercantum dalam putusan ini.
Menimbang bahwa disamping hal tersebut diatas, bahwa tujuan
penjatuhan pidana terhadap terdakwa adalah sebagai Prevensi Spesial yaitu
penjatuhan pidanaagar tedakwa tidak melakukan tindak pidana lagi, namun
disamping Prevensi Spesial tersebut tujuan pemidaan juga memiliki tujuan
sebagai Prevensi General yaitu bahwa penjatuhan pidana terhadap terdakwa
adalah sebagai usaha untuk mencegah masyaarakat atau peringatan kepada
masyarakat umum agar tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah
dilakukan oleh terdakwa.
Menimbang bahwa oleh karena terdakwa dijatuhi pidana, maka dibebani
pula untuk membayar biaya perkara ini.
Menimbang bahwa terhadap barang buki oleh karena masih diperlukan
oleh Penuntut Umum, maka barang bukti tersebut dikembalikan kepada
Penuntut Umum untuk dijadikan barang bukti dalam perkara lain.
Menimbang bahwa sebelum Majelis menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa, maka akan dipertimbangkan terlebih dahulu hal – hal yang
memberatkan maupun hal – hal yang meringankan bagi terdakwa.
Hal yang memberatkan.
-
Perbuatan terdakwa dapat mengurangi rasa kepercayaan masyarakat
terhadap Lembaga Perwakilan Rakyat.
Hal yang meringankan.
-
Terdakwa sopan dalam persidangan.
-
Terdakwa belum pernah dihukum.
-
Terdakwa kooperatif dalam mengikuti persidangan.
-
Terdakwa sebagai tulang punggung bagi keluarga.
b. Amar Putusan Hakim.
1. Menyatakan bahwaterdakwa : SUHERMAN Bin SANDJUKRI, tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana dalam dakwaan pertama primair.
2. Membebaskan terdakwa : SUHERMAN Bin SANDJUKRI oleh
karena itu dari dakwaan tersebut.
3. Menyatakan terdakwa SUHERMAN bin SANDJUKRI telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “
Dengan Sengaja Menggunakan Surat Palsu”
4. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama : 3 (tiga) bulan;
5. Menyatakan barang bukti berupa :
a. 1
(satu)
lembar
Surat
Keterangan
nomor
2809/E/SLTP
Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 a.n Suherman.
b. 1 (satu) lembar lampiran Surat Keterangan nomor 2809/E/SLTP
Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 a.n Suherma berupa daftar
nilai.
c. 1 (satu) lembar fotocopy surat keterangan yang berpenghargaan
sama dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) SMU Program
ilmu pengetahuan social atas nama Suherma dengan Nomor seri
STTB No. 03 Mup 0006309 yang telah disahkan oleh Pengadilan
Negeri Purwokerto sesuai dengan aslinya.
d. 1 (satu) lembar surat Nomor 420/013380/30 tertanggal 2 April
2001.
e. 1 (satu) Surat Nomor 048.8/890/2001 tertanggal 10 April 2001.
f. Buku Induk dan Agenda, semuanya diserahkan kepada Penuntut
Umum untuk perkara lain.
6. Menetapkan terdakwa dibebani membayar biaya perkara ini sebesar
Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
B. Data Primer
Untuk
melengkapi
data
sekunder
mengenai
putusan
nomor
144/Pid.B/2006/PN.Pwt, penulis memperoleh data hasil wawancara dengan Budi
Setiawan, S.H.,yang merupakan Hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto pada
tanggal 27 Januari 2012.Berdasarkan hasil wawancara penulis mendapatkan data
– data sebagai berikut :
1. Setiap pengajuan alat bukti di persidangan diserahkan seluruhnya pada
penuntut umum, alat bukti apa sajakah yang dapat ditujukan untuk
memperkuat surat dakwaannya sehingga dapat meyakinkan hakim
tentang kesalahan terdakwa, sedangkan hakim hanya menilai alat bukti
yang dihadirkan di persidangan dan nantinya akan memberikan
pertimbangan hukum dan mengambil keputusan.
2. Kedudukan alat bukti surat sama dengan alat bukti yang lain yang
diatur di dalam Pasal 184 KUHAP, dimana alat bukti yang diajukan di
persidangan dikaitkan dengan alat bukti yang lain baik saksi, ahli dan
keterangan terdakwa maka akan diperoleh suatu fakta hukum yang
berkaitan dan akan digunakan untuk membahas unsur – unsur pasal dari
dakwaan Penuntut Umum. Jadi alat bukti surat sama pentingnya dengan
alat bukti yang lain untuk membuktikan dakwaan penuntut umum.
3. Penuntut dalam membuktikan surat itu palsu adalah harus dihadirkan
instansi yang membuatnya atau orang yang membuat. Kenapa surat itu
harus terbit. Karena secara hukum surat itu terbit karena ada suatu
kepentingan,kalau dalam surat perkara ini misalnya ada keterangan
tentang kelulusan seseorang terhadap jenjang pendidikan maka ada
syarat – syarat yang harus dipenuhi misalnya yang berhak mendapatkan
ijazah adalah seseorang yang mengikuti proses belajar mengajar dari
awal sampai akhir dan orang yang bersangkutan telah dinyatakan lulus
dalam suatu ujian yang telah ditentukan menurut ketentuan yang
berlaku. Manakala tidak memenuhi syarat – syarat tersebut maka hakim
berkesimpulan dan sesuai fakta – fakta hukum yang ada di persidangan
bahwa surat tersebut palsu.
4. Alat bukti surat dalam perkara pemalsuan surat sangat penting, karena
dakwaan Pasal 263 ayat (1) ataupun (2) adalah yang dibuktikan tentang
keabsahan ataupun kepalsuan dari suatu surat itu harus atau seharusnya
terbit itu palsu atau tidak.
5. Di Indonesia tidak dikenal secara khusus lembaga yang dapat
menentukan suatu surat sah atau palsu. dan lembaga yang menentukan
suatu surat sah atau palsu adalah hanya lembaga pengadilan melalui
proses persidangan.
6. Alat bukti yang pokok dalam tindak pidana pemalsuan adalah
menyangkut proses apapun yang namanya pemalsuan adalah proses,
proses pembuatan, proses penerbitan, proses yang berkaitan dengan
surat tersebut dimungkinkan ada hal – hal yang tidak sesuai proses.
7. Dalam memutus, hal – hal yang perlu diperhatikan dalam memutus
tentang bukti surat palsu adalah surat mana yang didakwakan sebagai
surat palsu, instansi mana saja yang terkait dan terlibat atau orang siapa
saja yang terkait dan terlibat dalam pembuatan surat tersebut,
disamping itu ada syarat – syarat khusus yang harus dipenuhi terhadap
terbitnya surat palsu tersebut.
8. Saksi yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum yang tujuannya
meringankan terdakwa atau menguatkan pembelaan dari pihak
terdakwa dapat digunakan yaitu sebagai tambahan alat bukti dan
menguatkan keyakinan hakim namun tergantung persesuaiannya
dengan putusan yang diambil dipersidangan oleh hakim. Dan harus
didukung dengan alat bukti yang lain tidak bisa berdiri sendiri.
9. Keterangan terdakwa dipersidangan yang mengakui dirinya telah
melakukan tindak pidana tidak dapat dijadikan patokan untuk
menentukan kesalahan terdakwa di persidangan karena harus didukung
dengan alat bukti lain. Hal ini untuk menghindari adanya rekayasa
kasus dimana terdakwa disuruh untuk mengakui kesalahan yang tidak ia
perbuat karena perintah orang lain sehingga dalam persidangan harus
memperhatikan alat bukti yang lain agar tidak menghilangkan
obyektifitas
di
persidangan,
serta
untuk
mewujudkan
sistem
pembuktian negatif yang dianut KUHAP.
10. Keterangan ahli pun demikian, tidak bisa berdiri sendiri. harus
dikaitkan dengan alat bukti yang lain. Jadi, semua alat bukti harus
didukung dengan alat bukti yang sah lainnya yang dihadirkan penuntut
umum di persidangan.
Selain itu juga dilakukan wawancara terhadap hakim lain di Pengadilan Negeri
Purwokerto yaitu Abdul Latip.SH.MHpada tanggal 27 Januari 2012, yang
berhasil diambil data-data sebagai berikut :
1. Mengenai beban pembuktian dalam perkara pidana pada dasarnya
semuanya ada di penuntut umum, namun hakim disini juga tidak juga
harus pasif sekali. Hakim juga harus aktif karena dalam perkara pidana
ia juga harus mencari kebenaran materiil.
2. Kedudukan alat bukti surat sama dengan alat bukti yang lain, sesuai
dengan yang diatur di dalam Pasal 184 KUHAP. Artinya alat bukti
surat ini sama – sama saling mendukung dengan alat bukti lain
(misalnya : keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk dan keterangan
terdakwa), untuk mengungkap kejadian yang sebenar - benarnya.
3. Kedudukan alat bukti surat (surat yang diduga palsu) itu sangat penting
di dalam pembuktian tindak pidana pemalsuan surat, karena surat –
surat yang diduga palsu ini bisa diposisikan menjadi barang bukti dan
alat bukti di persidangan. Selain itu, alat bukti surat ini penting karena
termasuk hierarkhi dari Pasal 184 KUHAP, dan yang memang harus
dibuktikan itu adalah mengenai keabsahan dari surat yang diduga palsu
tersebut.
4. Walaupun
penting
tetapi
tetap
saja
hakim
tidak
boleh
mengesampingkan alat bukti yang sah lainnya yang ada di dalam
Pasal184 KUHAP.
5. Dalam tindak pidana pemalsuan surat, untuk pembuktian di
persidangan, jika menyangkut prosedur pembuatan surat yang
dipalsukan maka cara mengetahui sah atau tidaknya bisa menghadirkan
instansi / orang yang membuatnya atau yang berkaitan dengan
penerbitan surat tersebut. Selain itu bisa juga meminta bantuan dari
ahli dalam bidang yang berkaitan, misal : ahli di bidang pendidikan
untuk pemalsuan ijasah. Untuk pembuktian terhadap tanda tangan
dalam sebuah surat yang dipalsukan, maka bisa diperiksa di
Laboratorium.
6. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam memutus , awalnya adalah
dengan melihat dasar dakwaannya dahulu, lalu kemudian baru melihat
alat bukti yang dihadirkan di persidangan sesuai Pasal 184 KUHAP,
selain itu juga hakim juga harus memperhatikan hal – hal lain misalnya
hal – hal yang meringankan dan memberatkan.
7. Keyakinan hakim timbul setelah mendengar dan memperhatikan alat
bukti yang dihadirkan di persidangan.
8. Alat bukti lain selain surat semisal keterangan terdakwa, keterangan
ahli, keterangan saksi. Kesemuanya itu tidak dapat berdiri sendiri,
harus dikaitkan dengan alat bukti lain.jadi, semua alat bukti harus
didukung dengan alat bukti yang sah lainnya yang dihadirkan penuntut
umum di persidangan. Hal ini untuk menghindari hilangnya
obyektifitas di persidangan serta agar sesuai dengan sistem pembuktian
negatif yang dianut di dalam KUHAP.
9. Untuk saksi yang meringankan yang dihadirkan oleh penasehat hukum
diposisikan sebagai tambahan alat bukti untuk menguatkan keyakinan
hakim.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian dari Putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt
dan dengan melakukan studi pustaka serta wawancara dengan salah satu Hakim di
Pengadilan Negeri Purwokerto yang berhubungan dengan obyek penelitian, maka
dilakukan analisis sebagai berikut :
1. Pertimbangan Hakim Menilai Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Surat
Palsu Pada Putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt.
Pembuktian merupakan titik sentral di dalam pemeriksaan perkara pidana
di Pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi suatu
proses, cara, perbuatan membuktikan untuk menunjukkan benar atau salahnya si
terdakwa terhadap suatu perkara pidana di dalam sidang Pengadilan.
Didalam proses pembuktian tersebut, kebenaran yang dicari adalah
kebenaran materiil. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum acara pidana yang
ditegaskan di dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Kebenaran materiil itu
sendiri adalah kebenaran yang selengkap – lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tetap, dengan
tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan
apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Pembuktian adalah kegiatan membuktikan, dimana membuktikan berarti
memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai kebenaran,
melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan.
Menurut van Bummulen dan Moeljatno, membuktikan adalah
memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang apakah
hal yang tertentu itu sungguh – sungguh terjadi dan apa sebabnya
demikian. Senada dengan hal tersebut, Martiman Prodjohamidjojo
mengemukakan “membuktikan” mengandung maksud dan usaha untuk
menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa sehingga dapat diterima
akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.56
Dalam proses pembuktian ini, secara yuridis hakim memiliki kebebasan
yang sangat luas, akan tetapi secara yuridis pula undang – undang memberikan
dasar bagi hakim dalam memutus suatu perkara pidana yaitu Pasal 183 dan 184
KUHAP. Pasal 183 KUHAPmerupakan syarat minimum pembuktian yang
berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Pasal 183 KUHAP memiliki syarat menilai kekuatan pembuktian dalam
menjatuhkan pidana kepada terdakwa, yaitu pertama syarat obyektif, dimana suatu
56
Alfitra, Op.cit, hlm 22-23.
tindak pidana hanya bisa diputuskan oleh hakim apabila terpenuhi minimal dua
alat bukti, syarat selanjutnya yaitu syarat subyektif, berupa keyakinan hakim
terhadap kedua alat bukti tersebut, apakah hakim yakin bahwa terdakwa benar –
benar melakukan pidana syarat ini diserahkan sepenuhnya kepada hakim dalam
menilai.Hal ini menunjukan bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian negatif
(negatife wettelijk).
Berdasarkan dengan Pasal 183 KUHAP tersebut maka undang – undang
menentukan macam alat bukti secara limitatif yang tercantum pada Pasal 184 ayat
(1) KUHAP, yaitu:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan Ahli.
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa.
Berkaitan dengan tindak pidana pemalsuan, Budi Setiawan SH selaku
Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto menyatakan bahwa:
Menurut pendapat Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang bernama
Budi Setiawan. SH bahwa Alat bukti yang pokok dalam tindak pidana
pemalsuan adalah menyangkut proses apapun yang namanya pemalsuan
adalah proses, proses pembuatan, proses penerbitan, proses yang
berkaitan dengan surat tersebut dimungkinkan ada hal – hal yang tidak
sesuai proses.57
Dalam tindak pidana pemalsuan surat yang ada di Putusan No.
144/Pid.B/2006/PN.Pwt penggunaan alat bukti surat amat sangat membantu
57
Wawancara dengan Budi Setiawan, SH. selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto,
tanggal 27 Januari 2012, Di Pengadilan Negeri Purwokerto.
hakim dalam mengungkap tindak pidana yang dilakukan terdakwa karena
berkaitan dengan proses baik pembuatan atau penerbitan serta proses hingga surat
tersebut bisa keluar. Dengan barang bukti surat yang dihadirkan di persidangan
tersebut, proses pembuktian akan lebih efektif.
Berkaitan dengan hal di atas, selaku Abdul Latip. S.H., M.H. Hakim
Pengadilan Negeri Purwokerto menyatakan bahwa:
Menurut pendapat Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang
bernama Abdul Latip. S.H., M.H. bahwa Walaupun penting tetapi tetap
saja hakim tidak boleh mengesampingkan alat bukti yang sah lainnya
yang ada di dalam Pasal184 KUHAP.58
Dilihat dari pengertiannya, maka terdapat berbagai definisi dari para ahli
mengenai surat, antara lain sebagai berikut :
Surat itu sendiri adalah segala sesuatu yang memuat tanda – tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai bahan
pembuktian. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memuat tanda
– tanda bacaaan, atau meskipun memuat tanda – tanda bacaan, tetap
tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian
alat bukti tertulis atau surat.59
Selanjutnya beberapa ahli memberikan definisi surat sebagai berikut:
Menurut Sudikno Mertokusumo:
”Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian.”60
Menurut Pitlo, yang termasuk surat adalah segala sesuatu yang
mengandung buah pikiran atau isi hati seseorang. Dengan demikian
potret atau gambar tidak dapat dikatakan sebagai surat karena tidak
memuat tanda-tanda bacaan atau buah pikiran.61
58
Wawancara dengan Abdul Latip,S.H.,M.H.. selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto,
tanggal 27 Januari 2012, Di Pengadilan Negeri Purwokerto.
59
Alfitra,2011, Op.cit, hlm 86.
60
Fernandes Raja Saor, 21 Maret 2010, “Tinjauan Umum Pembuktian Pidana Terhadap
Alat Bukti Surat”, tersedia di website http://raja1987.blogspot.com/2010/03/tinjauan-umumpembuktian-pidana.html, diakses tanggal 12 Desember 2011.
61
Ibid, diakses tanggal 12 Desember 2011.
Menurut Asser-Anema sebagai berikut :
“surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda
baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan
pikiran.”62
Surat adalah suatu lemaran kertas yang diatasnya terdapat tulisan
yang terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka yang
mengandung/ berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat
berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer
komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara
apapun.63
Berdasarkan definisi surat diatas, maka yang dimaksud dengan surat
palsu adalah surat yang isinya baik sebagian atau seluruhnya tidak sesuai dengan
yang sebenarnya atau senyatanya. Di dalam persidangan perkara No.
144/Pid.B/20006/PN.Pwt saksi ahli yang bernama Bapak Noor Aziz Said juga
menyatakan bahwa ada 2 pendapat mengenai surat palsu secara klasik, yaitu :
1. Membuat surat yang isinya tidak sesuai / tidak benar.
2. Membuat surat yang isinya lain sehingga menjadi lain dari aslinya
yang dilakukan dengan cara merubah, menambah dan mengurangi.
Berkaitan dengan alat bukti surat yang dipalsukan ini, Baik Budi
Setiawan, SH maupun Abdul Latip,S.H.,M.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri
Purwokerto menyatakan bahwa:
Menurut pendapat Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang
bernama Budi Setiawan. SH bahwa alat bukti surat dalam perkara
pemalsuan surat sangat penting, dakwaan Pasal 263 ayat (1) atau ayat
(2) adalah yang dibuktikan tentang keabsahan atau kepalsuan dari
suatu surat itu harus atau seharusnya terbit itu palsu atau tidak.64
Menurut pendapat Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang
bernama Abdul Latip,S.H., M.H. bahwa Kedudukan alat bukti surat
62
Jur Andi Hamzah, Op.cit, hlm 276.
Adami Chazawi, 2002, Op.cit, hlm 99.
64
Wawancara dengan Budi Setiawan, SH. selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto,
tanggal 27 Januari 2012, Di Pengadilan Negeri Purwokerto.
63
(surat yang diduga palsu) itu sangat penting di dalam pembuktian
tindak pidana pemalsuan surat, karena surat – surat yang diduga palsu
ini bisa diposisikan menjadi barang bukti dan alat bukti di persidangan.
Selain itu, alat bukti surat ini penting karena termasuk hierarkhi dari
Pasal 184 KUHAP, dan yang memang harus dibuktikan itu adalah
mengenai keabsahan dari surat yang diduga palsu tersebut. 65
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka alat bukti surat mempunyai
peran penting dalam membuktikan tindak pidana pemalsuan surat, walaupun alat
bukti surat mempunyai peranan penting tetapi tetap harus didukung dengan alat
bukti lain agar memenuhi syarat minimum pembuktian dan menguatkan
keyakinan hakim.
Adapun pasal yang mengatur tentang alat bukti surat adalah Pasal 187
KUHAP yang menyatakan bahwa :
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP,
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaann yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan
yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang –
undangan atas surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan
yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dari alat pembuktian yang lain.
65
Wawancara dengan Abdul Latip, S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto,
tanggal 27 Januari 2012, Di Pengadilan Negeri Purwokerto.
Jadi surat yang dimaksud pada Pasal 187 KUHAP adalah surat yang dibuat
oleh pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte surat keterangan atau surat
lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang diadili.
Syarat mutlak agar surat dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut
undang – undang ialah :
-
Surat yang dibuat atas sumpah jabatan.
-
Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.
Dalam Putusan No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt, terdapat barang bukti berupa :
-
Surat Keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 beserta lampirannya;
-
Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 beserta lampirannya;
-
Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 beserta lampirannya;
-
Surat Keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 beserta lampirannya;
-
Surat Keterangan No. 048.8/890/2001;
-
Surat Keterangan No. 420/01380/30;
-
Pengganti Surat Keterangan No. 353.b/E/SMP Nas/VII/05;
-
Buku Daftar Induk;
-
Buku Agenda Keluar SLTP Nasional Sidareja;
-
Daftar Kumpulan Nilai golongan A dan Keputusan UP. SMP. 1970;
-
Daftar Kumpulan Nilai golongan B dan Keputusan UP. SMP. 1970;
-
Pendaftaran UP.SMP Th 1970 SMP Nasional Sidareja;
-
Fotocopy KTP atas nama SUHERMAN;
Berdasarkan hal diatas, jika semua barang bukti surat dikaitkan dengan
uraian Pasal 187 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa semua bukti surat
dalam perkara No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt yang dihadirkan di persidangan
termasuk dalam Pasal 187 huruf b KUHAP yaitusurat yang berbentuk “menurut
ketentuan perundang – undangan” atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai
hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya, dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaaan.Jadi, Surat
Keterangan No. 2809/E?SLTP Nas/I/2001 dan surat lain yang ada dalam perkara
No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt ini selain sebagai barang bukti dapat juga dinilai
sebagai alat bukti surat.
Dalam pemeriksaan surat di persidangan, dikarenakan beban pembuktian
ada padaPenuntut Umum, maka penuntut umum dalam perkara ini menghadirkan
orang –orang yang berkaitan dengan pembuatan surat keterangan No.
2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001. Diantaranya yakni : Bapak
Tasam Partono selaku Mantan Kepala Sekolah SMP Nasional yang dulu
mengeluarkan surat keterangan tersebut, Bapak Drs. Sutoyo.MS.M.Ed selaku
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang dulu melegalisir surat keterangan
tersebut, Bapak Suwandi selaku TU yang dulu mengetik surat keterangan tersebut.
Ibu Ringahyatul Qiromah selaku orang yang disuruh terdakwa untuk mengurus
pembuatan surat keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 ke SMP Nasional
Sidareja dan mengurus pendaftaran terdakwa ke ujian persamaan SMU. Dan
Temon Suhadi selaku PNS yang menangani dokumen ijazah dan juga menjadi
anggota panitia pelaksanaan ujian persamaan SMU yang akan diikuti terdakwa
serta saksi – saksi lain yang dinilai berkaitan atau berkepentingan. Keterangan
saksi – saksi ini dapat membantu penuntut umum dalam membuktikan kesalahan
terdakwa dan dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam mengambil
keputusan.
Berkaitan dengan beban pembuktian perkara pidana Budi Setiawan SH
selaku Hakim Pengadilan Negeri menyatakan bahwa:
Setiap pengajuan alat bukti di persidangan diserahkan seluruhnya pada
penuntut umum, alat bukti apa sajakah yang dapat ditujukan untuk
memperkuat surat dakwaannya sehingga dapat meyakinkan hakim
tentang kesalahan terdakwa, sedangkan hakim hanya menilai alat bukti
yang dihadirkan di persidangan dan nantinya akan memberikan
pertimbangan hukum dan mengambil keputusan.66
Pendapat tak berbeda jauh juga diutarakan oleh Abdul Latip, S.H., M.H.,
yang menyatakan bahwa:
Mengenai beban pembuktian dalam perkara pidana pada dasarnya
semuanya ada di penuntut umum, namun hakim disini juga tidak juga
harus pasif sekali. Hakim juga harus aktif karena dalam perkara pidana ia
juga harus mencari kebenaran materiil.67
Proses pengajuan alat bukti tersebut bertujuan untuk mencari unsur –
unsur yang memenuhi ketentuan pasal yang didakwakan. Dalam perkara
No.144/Pid.B/2006/PN.Pwt , terdakwa diancam dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP,
maka unsur yang harus dipenuhi adalah unsur “barang siapa”,Unsur “Dengan
sengaja mempergunakan surat palsu atau dipalsukan seolah – olah surat itu asli”
dan unsur “Penggunaannya dapat menimbulkan kerugian”.
Berkaitan dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti
surat, dapat ditinjau dari segi teori serta menghubungkannya dengan beberapa
prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP.
1. Ditinjau dari segi formal.
Dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b
dan c adalah alat bukti yang sempurna. Sebab bentuk surat yang disebut
di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan
66
Wawancara dengan Budi Setiawan, S.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto,
tanggal 27 Januari 2012, di Pengadilan Negeri Purwokerto.
67
Wawancara dengan Abdul Latip, S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto,
tanggal 27 Januari 2012, Di Pengadilan Negeri Purwokerto.
peraturan perundang – udangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal
dalam pembuatannya serta dibuat dan berisi keterangan resmi dari
seorang pejabat yang berwenang, dam pembuatan serta keterangan yang
terkandung dalam surat di buat atas sumpah jabatan maka ditinjai dari
segi formal alat bukti surat seperti yang disebut dalam Pasal 187 huruf a,
b dan c adalah alat bukti yang bernilai “sempurna”.
2. Ditinjau dari segi materiil.
Dari sudut materiil , semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam
Pasal 187, “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Pada
diri alat bukti surat itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang
mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat , sama hal dengan
nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan
ahli, sama – sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang “bersifat
bebas”. Tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formal alat bukti surat
yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b dan c sifat kesempurnan formal
tersebut tidak dengan sendirinya mengandung nilai kekuatan pembuktian
yang mengikat.68
Berdasarkan Pasal 187 KUHAP memberikan pembatasan penggunaan alat
bukti yang dapat mempunyai nilai pembuktian yang sah yaitu surat resmi. Begitu
juga dengan alat bukti surat yang dihadirkan oleh Penuntut Umum di persidangan
perkara pidana Nomor 144/Pid.B/2006/PN.Pwt. atas nama terdakwa yang
menunjukan bukti surat berupa Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP.Nas/I/2001
dan surat lainnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, serta ditinjau dari segi
formil dan dari segi materiil maka surat - surat dalam Perkara No.
144/Pid.B/2006/PN.Pwt ditempatkan sebagai alat bukti surat oleh hakim dan
dinilai mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas yang sama dengan alat bukti
lain, karena kedudukan alat bukti surat tersebut terhadap alat bukti lainnya saling
menguatkan dan mendukung, dimana penilaiannya tetap ada ditangan
hakim.Berarti hakim mempergunakan atau tidak mempergunakannya hal ini
tergantung beberapa asas, Menurut Yahya Harahap ada tiga asas alasan
keterkaitan hakim atas alat bukti surat, yaitu :
68
Yahya Harahap,Op.cit. hlm 309-310
a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran
materiil atau kebenaran sejati (materiil waarheid), bukan mencari
kebenaran formal. Nilai kebenaran dan kesempurnaan formal dapat
disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran materiil
dan kebenaran sejati yang digariskan olah penjelasan Pasal 183 KUHAP
yang memikul kewajiban bagi hakim untuk menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi seseorang .
b. Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP
yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut undang – undang
secara negatif. Dimana hakim dalam memutus harus berdasarkan
sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dengan alat bukti
tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa itu bersalah atau
tidak. Hakim diberi kebebasan untuk menentukan putusan yang
diambilnya dengan tetap memperhatikan tanggung jawab dengan moral
yang tinggi atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan kebenaran
sejati.
c. Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183 KUHAP
hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan minimal dua alat
bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan untuk
memberikan keputusan dipersidangan.69
Keterangan – keterangan diatas semakin memperkuat bahwa hakim dalam
menilai kekuatan Surat Keterangan Tamat Sekolah dan surat lain yang
terdapatdalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor:
144/Pid.B/2006/PN/Pwt. dikategorikan sebagai alat bukti surat yang sah karena
mendasarkan pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP dan Pasal 187 huruf b
KUHAP serta dengan penyitaan surat yang dilakukan sesuai prosedur maka surat
– surat yang ada dalam Putusan Nomor: 144/Pid.B/2006/PN/Pwt. telah memenuhi
syarat sebagai alat bukti surat yang sah. Selain itu juga, kekuatan pembuktian alat
bukti surat dalam putusan nomor 144/Pid.B/2006/PN.Pwt adalah seimbang
dengan alat bukti yang lain, yaitu mempunyai nilai pembuktian bebas tergantung
dengan keyakinan hakim apakah dapat memperkuat pembuktian akan kesalahan
terdakwa sehingga menjadikan pertimbangan hakim dalam memutus perkara dan
69
Ibid, hlm 310-311
menjatuhkan putusan pidana atas tindakan pemalsuan surat berupa penggunaan
surat palsu atau surat yang diduga palsu yang dilakukan oleh terdakwa yakni
dengan pidana penjara selama 3 (bulan) kepada terdakwa.
2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
dalam Putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt.
Tujuan hukum acara telah ditegaskan dalam Pedoman Pelaksanaan
KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakimansebagai berikut :
“Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan memperoleh
kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap – lengkapnya dari
suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana
secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuuk mencari siapakah pelaku
yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan
selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna
menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan
dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”70
Berdasarkan tujuan tersebut, aparat penegak hukum dalam menangani dan
memeriksa suatu perkara pidana pada setiap tahap pemeriksaannya agar dapat
bertindak secara jujur dan tepat dalam rangka menemukan dan mengungkapkan
kebenaran materiil suatu perkara pidana dan akhirnya dapat memberikan putusan
yang tepat yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Di dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana di
Pengadilan, tindakan hakim harus didasarkan pada asas bebas, jujur, dan tidak
memihak dalam hal dan menurut cara yang diatur di dalam Undang – undang. Hal
ini sesuai dengan yang dinyatakan Pasal 1 angka 9 KUHAP.
Dalam hal proses pemeriksaan di Pengadilan, maka hakim terikat oleh
ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa :
70
Ziad, Op.cit, hlm 1
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Pasal 183 KUHAP memiliki syarat menilai kekuatan pembuktian dalam
menjatuhkan pidana kepada terdakwa, yaitu pertama syarat obyektif, dimana suatu
tindak pidana hanya bisa diputuskan oleh hakim apabila terpenuhi minimal dua
alat bukti, syarat selanjutnya yaitu syarat subjektif, berupa keyakinan hakim
terhadap kedua alat bukti tersebut, apakah hakim yakin bahwa terdakwa benar –
benar melakukan pidana syarat ini diserahkan sepenuhnya kepada hakim dalam
menilai.
Berkaitan dengan Pasal 183 KUHAP tersebut maka undang – undang
menentukan macam alat bukti yang sah, yang secara limitatif yang tercantum pada
Pasal 184 KUHAP :
(1)
a.
b.
c.
d.
e.
(2)
Alat bukti yang sah ialah :
Keterangan saksi;
Keterangan ahli;
Surat;
Petunjuk;
Keterangan terdakwa.
Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Dalam bukunya, M.Yahya Harahap juga mengatakan bahwa untuk
membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan :
a. Penjumlahan dari sekurang – kurangnya seorang saksi ditambah
dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan
penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus saling bersesuaian,
saling menguatkan, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan
yang lain;
b. Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua
orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun
penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan
terdakwa, asal keterangan saksi dengan keterangan terdakwa jelas
terdapat saling persesuaian.71
Dalam perkara No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt ada beberapa alat bukti yang
diajukan di persidangan, yaitu : keterangan saksi – saksi yang berjumlah 14 orang
dengan kesaksian masing – masing menguatkan dakwaan dari Penuntut Umum
dan sebagian keterangan saksi dibenarkan oleh terdakwa. Selain itu, alat bukti lain
yaitu berupa Keterangan Ahli yang berjumlah 3 Orang, saksi A de Charge
berjumlah 3 orang, alat bukti surat yang berjumlah 13 macam serta keterangan
terdakwa, dapat diambil kesimpulan bahwa syarat obyektif Pasal 183 KUHAP
dalam Perkara No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt sudah terpenuhi. Dengan keseluruhan
alat bukti tersebut memberi keyakinan kepada hakim bahwa telah terjadi tindak
pidana sebagaimana yang didakwakan.
Pengertian pertimbangan hakim sendiri adalah pendapat mengenai baik
dan buruk dalam menjatuhkan putusan.Sebelum menjatuhkan putusan maka
hakim perlu mempertimbangkan beberapa hal.Baik itu pertimbangan hukum
(yuridis) maupun pertimbangan non hukum (non yuridis).
Berkaitan dengan pertimbangan yuridis hakim dalam mengambil putusan,
maka hakim akan mengarah pada bunyi Pasal 183 KUHAP serta harus sesuai
dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menentukan secara rinci ataulimitatif
jenis alat bukti yang sah.
Penerapan Pasal 183 KUHAP tersebut memaksa hakim untuk menerapkan
prinsip minimum pembuktian berdasarkan alat bukti yang diatur dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP secara rinci atau limitatif dan digabungkan dengan keyakinan
71
Ibid, hlm 283-284
hakim yang bersifat subyektif yaitu tentang persesuaian, saling menguatkan, dan
tidak bertentangan antara alat bukti satu dengan yang lainnya yang semuanya
dinilai oleh hakim. Dalam hal ini hakim harus hati – hati, cermat dan matang
dalam menilai, mempertimbangkan serta memahami suatu perkara dan
pemahaman hakim akan nilai keadilan sangat mendukung profesi sebagai hakim.
Setelah Majelis mempelajari berkas – berkas perkara serta dengan
mendasarkan fakta – fakta dipersidangan yang diperoleh dari keterangan saksi –
saksi yang hadir serta bukti berupa surat – surat yang diajukan dalam persidangan,
maka Majelis Hakim cenderung menitikberatkan pada pembuktian dalam
dakwaan pertama, dimana dalam dakwaan pertama tersusun secara subsidier yaitu
dakwaan pertama primer dan dakwaan pertama subsidier.
Dalam pertimbangan hukumnya hakim mempertimbangkan dakwaan yang
sesuai dan paling relevan dengan fakta – fakta hukum yang terungkap di
persidangan, yaitu dakwaan pertama subsidair, karena perbuatan terdakwa telah
memenuhi unsur – unsur dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana yang berbunyi :
Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja
memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah –
olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian.
Unsur – unsur tersebut adalah :
1.
Unsur “Barang Siapa”.
2.
Unsur “Dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau dipalsukan
seolah – olah surat itu asli”.
3.
Unsur “Penggunaannya dapat menimbulkan kerugian”.
Ad.1 Unsur Barang Siapa.
Maksud dari unsur barang siapa dalam perkara ini, sesuai dengan uraian
yang diberikan oleh Majelis Hakim adalah menunjukkan adanya subyek hukum
yang mampu mempertanggungjawabkan atas perbuatannya, dimana untuk dapat
dipidananya seseorang sebagai subyek hukum harus memiliki kemampuan
bertanggung jawab.
Berdasarkan fakta dipersidangan telah ternyata dalam surat dakwaan jaksa
penuntut umum tertanggal 23 Juni 2006 telah menentukan atau menunjuk bahwa
terdakwa yang diajukan dalam persidangan, dimana berdasarkan fakta
dipersidangan tersebut terdakwa adalah sebagai orang yang telah dewasa dan
sehat jasmani maupun rohani serta tidak terdapat adanya alasan pembenar maupun
alasan pemaaf dalam teori hukum pidana, sehingga dengan demikian terdakwa
dianggap sebagai subyek hukum yang mampu untuk mempertanggungjawabkan
atas perbuatannya.
Ad.2 Unsur “Dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang
dipalsukan seolah – olah surat itu asli”.
Unsur “Dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan
seolah – olah surat itu asli” tersebut Majelis mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut :
Bahwa Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP/Nas/I/2001 tertanggal 5
Januari 2001 tersebut tidak sesuai dengan sebenarnya atau palsu, hal mana
didasarkan pada fakta – fakta di persidangan yang diperoleh dari keterangan saksi
Ringahyatul Qiromah, saksi Tasam Partono, dan saksi Suwandi serta bukti surat –
surat yang diajukan dalam persidangan atas hubungannya antara yang satu dengan
yang lain dapatlah diperoleh adanya fakta bahwa SMP Nasional Sidareja telah
menerbitkan Surat Keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 tertanggal 26 April
2001 surat mana dibuat dan ditandatangani oleh Kepala Sekolah SMP Nasional
Sidareja Kabupaten Cilacap yang bernama Tasam Partono yang pada pokoknya
dalam surat tersebut menerangkan bahwa terdakwa benar – benar siswa SMP
Nasional Sidareja dan telah
mengikuti ujian Negara tahun 1970 dinyatakan
Tamat tidak lulus. dan hal ini diakui sendiri oleh terdakwa dalam persidangan
serta dikuatkan oleh keterangan saksi Tasam Partono selaku Kepala SMP
Nasional Sidareja yang bahwasanya terdakwa adalah tidak lulus.
Dengan memperhatikan kronologi peristiwa yang terjadi, maka dengan
demikian unsur bahwa “surat atau akta tersebut palsu” dianggap terbukti.
Selanjutnya mengenai “unsur kesengajaan” bagi terdakwa untuk menggunakan
surat keterangan yang palsu tersebut, maka di dalam membuktikan Majelis Hakim
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
Bahwa Majelis mensitir yurisprudensi yang menyatakan bahwa barang
siapa menyuruh orang lain untuk menunjukan surat yang palsu atau yang
dipalsukan, berarti sama saja dengan telah mempergunakan surat tersebut (H.R.
26 pebr.1934, N.J 1934, 788,W.12756; 26 Maret 1934, N.J 1934.945, W 12760;
14 Nop, 1988, 1939 No 367).
Bahwa untuk dapat dinyatakan bahwa terdakwa telah terbukti memenuhi
unsur dengan sengaja menggunakan surat palsu tersebut haruslah terdapat adanya
suatu kehendak pada diri terdakwa untuk mempergunakan surat yang dipalsukan
atau yang dibuat secara palsu itu seolah – olah merupakan sepucuk surat asli yang
dipalsukan atau yang dibuat secara palsu itu seolah – olah merupakan sepucuk
surat yang asli dan yang tidak dipalsukan dan disamping itu haruslah terdapat
adanya pengetahuan pada diri terdakwa bahwa surat yang ia pergunakan itu
merupakan sepucuk surat yang dipalsukan atau yang dibuat secara palsu.
Bahwa untuk dapat menyatakan terdakwa terbukti mempunyai kehendak
atau pengetahuan sebagaimana yang dimaksudkan di atas, tidaklah perlu
menggantungkan adanya pengakuan dari terdakwa, melainkan dapat menarik
kesimpulan tentang adanya kehendak atau pengetahuan diri terdakwa tersebut dari
kenyataan – kenyataan yang terungkap dalam persidangan baik yang diperoleh
dari keterangan terdakwa sendiri, keterangan saksi – saksi maupun dari alat bukti
lainnya yang oleh jaksa penuntut umum diajukan sebagai bukti di depan sidang
Pengadilan.
Berdasarkan uraian diatas, maka Majelis berpendapat dengan mendasarkan
fakta yang diperoleh dari keterangan saksi Ringahyatul Qiromah, saksi Tasam
Partono, dan saksi Suwandi serta bukti surat – surat yang diajukan dalam
persidangan atas hubungannya antara yang satu dengan yang lain dapatlah
diperoleh adanya suatu kesengajaan pada diri terdakwa untuk menggunakan surat
keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 yang
merupakan surat palsu tersebut untuk syarat pendaftaran UPERS SMU, dan hal
mana didasarkan bahwa kendatipun secara fisik pendaftaran tersebut bukan
dilakukan oleh terdakwa, namun dalam hal ini terdakwa telah mengetahui dan
bahkan menghendaki bahwa hal tersebut adalah untuk kepentingan terdakwa,
sehingga dengan demikian menurut majelis telah terdapat adanya suatu
kesengajaan pada diri terdakwa untuk menggunakan surat keterangan tersebut
yang ternyata palsu.
Menimbang bahwa dari hal tersebut, maka unsur dengan sengaja
menggunakan surat palsu yang seolah – olah surat itu aslidan tidak dipalsukan
telah terbukti secara sah dan meyakinkan.
Ad.3 Unsur “Penggunaannya dapat menimbulkan kerugian”.
Unsur “Penggunaannya dapat menimbulkan kerugian” tersebut Majelis
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
Bahwa yang dimaksud dengan kerugian dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP
tersebut adalah bukanlah hanya terbatas pada kerugian yang bersifat kebendaan
saja, melainkan juga yang tidak bersifat kebendaan, seperti halnya kepentingan
masyarakat. Sementara arti kata “dapat” dalam unsur pasal tersebut dapatlah
diketahui bahwa kerugian itu tidaklah perlu benar – benar timbul, karena yang
disyaratkan didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP
tersebut hanyalah kemungkinan timbulnya suatu kerugian. Sehingga walaupun
tidak terdapat adanya kerugian yang ditimbulkan atas perbuatan terdakwa, namun
apabila dalam penggunaannya dimungkinkan dapat menimbulkan adanya
kerugian, maka unsur tersebut dianggap telah terbukti.
Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut dapatlah menimbulkan adanya
kerugian yang bahwasanya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan
akan berkurang terutama kepada SMP Nasional Sidareja yang telah mengeluarkan
surat palsu tersebut termasuk Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Cilacap yang telah melegalisir surat yang palsu tersebut.
Sesuai dengan fakta - fakta hukum yang terungkap dipersidangan, dimana
dalam acara pembuktian pemeriksaan alat bukti saksi, keterangan dari saksi –
saksi yang dihadirkan dipersidangan oleh Penuntut umum (berjumlah 14 orang
yaitu Sudarsono,Tjaroko, Luki Eko Krisnadi, Adji Priyanto, Abdur Rahim Hasan,
Tasam Partono, Ringahyatul, H.Soedarwan, Agus Marsaid, Suwandi, Drs.
Sutoyo.MS.M.Ed., Temon Suhadi dan Chudjangi,S.Pd.) telah memenuhiunsur –
unsur sebagai saksi, keterangan saksi tersebut didengarkan dalam persidangan.
Selain itu juga ada saksi – saksi a dechargeyang dihadirkan oleh Penasehat
Hukum. Keterangan tersebut berasal dari Basiran, Sujaridan Drs. Sentot
Supriono,M.Pd., maka oleh hakim dapat dijadikan pertimbangan dalam
mengambil keputusan.
Keterangan saksi – saksi dipersidangan tersebut memperkuat dakwaan
yang dijatuhkan kepada terdakwa dan menunjukan bahwa terdakwa telah benar –
benar menggunakan surat palsu yaitu berupa Surat Keterangan Nomor
2809/E/SLTP Nas/I/2001 untuk mendaftar dalam Ujian Persamaan SMU tahun
2001. Untuk penilaian kebenaran keterangan saksi - saksi dipersidangan sebagai
alat bukti yang sah, harus terdapat saling berhubungan antara keterangan –
keterangan saksi satu dengan yang lain, sehingga dapat membentuk keterangan
yang membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Namun dalam
menilai dan mengkonstruksikan kebenaran keterangan para saksi, maka menurut
Pasal 185 ayat (6) KUHAP diuraikan sebagai berikut :
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan
sungguh – sungguh memperhatikan :
e. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.
f. Alasan yang mungkin Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan
yang lain;
g. dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.
h. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
Jadi, disini keterangan saksi disini bersifat bebas tergantung dari penilaian
bebas hakim. Yang perlu diingat adalah
Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai bukti adalah keterangan
yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP :
i. yang saksi lihat sendiri.
ii. saksi dengar sendiri.
iii. dan saksi alami sendiri.
iv. serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.72
Keterangan saksi tersebut dalam persidangan dinyatakan diterima atau
tidak diterima oleh hakim tergantung persesuaiannya dengan alat bukti yang
lainnya seperti keterangan dari saksi yang dihadirkan di persidangan yang
mendukung atau tidak dengan fakta yang terungkap di persidangan.Penilaian
diserahkan kepada hakim yang tertuang dalam pertimbangannya dalam putusan.
Setelah pemeriksaan saksi – saksi di persidangan, kemudian diberikan juga
alat bukti keterangan terdakwa yang dalam keterangannya terdapat hal yang tidak
sinkron, yaitu disatu segi Surat Keterangan Nomor2809/E/SLTP Nas/I/2001
tertanggal 5 Januari 2001 tersebut telah dibuat sesuai dengan sebenarnya, namun
dilain segi Penasehat Hukum terdakwa dan terdakwa sendiri dalam keterangannya
mengakui bahwa benar nilai yang menjadi lampiran Surat Keterangan Nomor
2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 tersebut tidak sesuai dengan
72
Ibid, hlm 287.
nilai terdakwa sebenarnya. Sementara daftar nilai tersebut adalah merupakan
lampiran yang menjadi rangkaian kesatuan dengan surat keterangan tersebut.
Selain itu ada ketidaksinkronan di dalam isi surat tersebut yaitu surat keterangan
tersebut seharusnya isinya menjelaskan bahwa terdakwa adalah siswa SMP
Nasional dan telah mengikuti ujian Negara tahun 1970 dinyatakan tamat dan nilai
terlampir, namun ternyata berdasarkan keterangan Pak Tasam dan diakui juga
oleh terdakwa didalam keterangannya bahwasanya terdakwa telah mengikuti ujian
Negara tahun 1970 namun tidak lulus dan hal tersebut telah tertuang dalam Surat
Keterangan Nomor 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 tertanggal 26 April 2001 dan
banyak lagi ketidaksinkronan isi surat keterangan tersebut. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa surat keterangan Nomor 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal
5 Januari 2001 tersebut dianggap surat palsu dan di dalam keterangannya
terdakwa secara tersirat mengakui bahwa ia telah menggunakan surat keterangan
yang dianggap palsu tersebut untuk mendaftar Ujian Persamaan tahun 2001.
Keterangan terdakwa diatur lebih lanjut dalam Pasal 189 KUHAP bahwa
keterangan terdakwa adalah mengenai apa yang terdakwa nyatakan di persidangan
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alasan sendiri
dan keterangan tersebut hanya dipergunakan terhadap dirinya sendiri. keterangan
terdakwa sendiri tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah telah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, oleh karena itu harus
didukung dengan alat bukti lain untuk menunjukkan kesalahannya. Hal ini sesuai
dengan asas pembuktian yang dianut di KUHAP yaitu asas pembuktian undang –
undang negatif yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP.
Menurut keterangan dari Budi Setiawan SH selaku Hakim Pengadilan
Negeri Purwokerto mengatakan pengakuan terdakwa dipersidangan yang
mengakui dirinya telah melakukan tindak pidana tidak dapat dijadikan
patokan untuk menentukan kesalahan terdakwa di persidangan karena
harus didukung dengan alat bukti lain. Hal ini untuk menghindari adanya
rekayasa kasus dimana terdakwa disuruh untuk mengakui kesalahan yang
tidak ia perbuat karena perintah orang lain sehingga dalam persidangan
harus memperhatikan alat bukti yang lain agar tidak menghilangkan
obyektifitas di persidangan, serta untuk mewujudkan sistem pembuktian
negatif yang dianut KUHAP.73
Hal yang dikemukakan hakim Budi Setiawan di atas senada dengan
pendapat yang diutarakan oleh Hakim Abdul Latip, S.H., M.H. di dalam
keterangannya yang intinya menyebutkan bahwa :
Alat bukti lain selain surat semisal keterangan terdakwa, keterangan ahli,
keterangan saksi. Kesemuanya itu tidak dapat berdiri sendiri, harus
dikaitkan dengan alat bukti lain.jadi, semua alat bukti harus didukung
dengan alat bukti yang sah lainnya yang dihadirkan penuntut umum di
persidangan.Hal ini untuk menghindari hilangnya obyektifitas di
persidangan serta agar sesuai dengan sistem pembuktian negatif yang
dianut di dalam KUHAP.74
Setelah keterangan saksi dan keterangan terdakwa selesai diberikan
dipersidangan maka selanjutnya diajukan pula oleh penuntut umum berupa
keterangan ahli.Baik Penuntut Umum maupun Penasehat Hukum, keduanya
menghadirkan ahli. Penuntut Umum menghadirkan Bapak Noor Aziz Said,
sedangkan dari pihak Penasehat Hukum juga menghadirkan 2 orang ahli yaitu
Prof.DR.Nyoman Serikat Putra,S.H.M.H. dan DR. Kardoyo,M.Pd.
Para ahli ini dihadirkan di persidangan untuk membantu hakim dalam
menilai suatu perkara di persidangan sesuai keahliannya.Hal ini sesuai dengan
Pasal 133 KUHAP yang intinya memberi wewenang kepada penyidik
73
Wawancara dengan Budi Setiawan, S.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto,
tanggal 27 Januari 2012, di Pengadilan Negeri Purwokerto.
74
Wawancara dengan Abdul Latip S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto,
tanggal 27 Januari 2012, di Pengadilan Negeri Purwokerto.
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter maupun ahli lainnya. Selain itu dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal
179KUHAP dijelaskan pula secara berkaitan satu dengan yang lain.
-
Intinya adalah keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti yang
memiliki kekuatan pembuktian, ialah :
Keterangan ahli yang memiliki keahlian khusus dalam bidangnya
sehubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
Dan bentuk keterangan yang diberikannya sesuai dengan keahlian khusus
yang dimilikinyya berbentuk keterangan “menurut pengetahuannya”. 75
Setelah keterangan saksi, keterangan terdakwa dan keterangan ahli. Ada
alat bukti yang tidak kalah penting yaitu alat bukti surat yang berjumlah 13 buah,
yaitu : Surat Keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 beserta lampirannya,
Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 beserta lampirannya, Surat
Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 beserta lampirannya, Surat Keterangan
No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 beserta lampirannya, Surat Keterangan No.
048.8/890/2001, Surat Keterangan No. 420/01380/30, Pengganti Surat Keterangan
No. 353.b/E/SMP Nas/VII/05, Buku Daftar Induk, Buku Agenda Keluar SLTP
Nasional Sidareja, Daftar Kumpulan Nilai golongan A dan Keputusan UP.
SMP.1970, Daftar Kumpulan Nilai golongan B dan Keputusan UP.SMP. 1970,
Pendaftaran UP.SMP Th 1970 SMP Nasional Sidareja, Fotocopy KTP atas nama
SUHERMAN.
Berdasarkan hasil penelitian, alat bukti yang dihadirkan dipersidangan
yaitu berupa keterangan saksi, keterangan terdakwa dan keterangan ahli kemudian
didukung oleh barang bukti surat - surat yang dihadirkan dipersidangan telah
menunjukan suatu fakta – fakta hukum yang terungkap dipersidangan yang
75
Yahya Harahap, Op.cit, hlm 299.
menunjukkan rangkaian peristiwa yang pada intinya terdakwa telah memenuhi
unsur Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Penilaian
kekuatan pembuktian alat bukti di persidangan yaitu alat bukti saksi – saksi yang
dihadirkan di persidangan, keterangan terdakwa, dan keterangan ahli dinilai oleh
hakim secara bebas sesuai dengan asas hukum acara pidana yang menekankan
untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran yang sebenar – benarnya yang
merupakan tujuan hukum acara pidana. Diantara alat bukti dipersidangan tidak
ada yang dominan dan alat bukti yang satu harus dilengkapi dengan alat bukti
yang lain yang saling berkesesuaian.
Selain itu, Hakim juga mempertimbangkan dari segi non yuridis dalam
menjatuhkan putusan yaitu :
Hal yang memberatkan.
-
Perbuatan terdakwa dapat mengurangi rasa kepercayaan masyarakat
terhadap Lembaga Perwakilan Rakyat.
Hal yang meringankan.
-
Terdakwa sopan dalam persidangan.
-
Terdakwa belum pernah dihukum.
-
Terdakwa kooperatif dalam mengikuti persidangan.
-
Terdakwa sebagi tulang punggung bagi keluarga.
Dalam kasus ini terdakwa yang saat itu masih berstatus sebagai Ketua
DPRD Kabupaten Banyumas dan sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDI
Perjuangan Banyumas yang masih Kooperatif, sehingga kendatipun terdakwa
telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang telah
didakwakan oleh Penuntut Umum, namun dibalik itu setidak – tidaknya terdakwa
telah memiliki jasa yang patut dihormati sebagai orang yang telah bertugas
menjalankan roda pemerintahan di Kabupaten Banyumas.
Pertimbangan hakim ini didasarkan pada pembuktian yang ada dalam
KUHAP yang menganut sistem pembuktian negatif yang diatur dalam Pasal 183
KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP, antara batas minimum pembuktian dan
keyakinan hakim harus saling mendukung walau sebenarnya antara keduanya
mengandung unsur yang berbeda. Batas minimum pembuktian yaitu minimum
2(dua) alat bukti tersebut mengandung unsur obyektif yaitu sesuai yang telah
ditetapkan oleh Undang – Undang dan unsur subyektif dari keyakinan hakim,
walaupun demikian keduanya harus saling mendukung.
Pembuktian pada Putusan Perkara Nomor 144/Pid.B/2006/PN.Pwt. juga
menggunakan sistem pembuktian negatif dimana penuntut umum menghadirkan
saksi dipersidangan yang dalam keterangannyatelah disebutkan di uraian
sebelumnya yang menunjukan bahwa saksi telah mengalaminya sendiri, melihat
dan mendengar tentang kejadian tersebut dan menunjukan bahwa terdakwa benar
telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat. Kemudian dari keterangan
terdakwa sendiri yang juga mengakui perbuatannya bahwa ia telah dinyatakan
tidak lulus SMP, sehingga tidak mempunyai ijazah tapi tetap saja mendaftar ujian
persamaan SMU dengan Surat Keterangan No, 2809/E/SLTP Nas/I/2001 dan
yang ada juga keterangan ahli dan alat bukti surat yang kesimpulannya bahwa
telah terjadi tindakan pemalsuan surat berupa Surat Keterangan yang oleh
terdakwa digunakan sebagai pengganti ijazah SMPnya lalu mendaftar ujian
persamaan SMU dengan Surat Keterangan itu. Kemudian didukung barang bukti
yang dihadirkan di persidangan yang semakin memperkuat dakwaan penuntut
umum.
Pertimbangan hukum hakim dalam perkara No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt
telah sesuai dengan aturan yang ada. Dari segi hukumnya yaitu terpenuhinya
unsur – unsur Pasal 263 ayat (2) KUHP, syarat penjatuhan pidana sesuai dengan
Pasal 183 KUHAP dan dikaitkan dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP menunjukan
bahwa syarat minimum 2 alat bukti dan disertai keyakinan hakim telah terpenuhi,
serta dari segi non yuridisada keadaan atau hal – hal yang memberatkan dan
meringankan telah dipertimbangkanpula oleh hakim dalam putusannya seperti
yang telah diuraikan sebelumnya, sehingga unsur pemalsuan surat berupa
penggunaan surat palsu atau yang dianggap palsu yang dilakukan oleh terdakwa
telah terpenuhi dan sesuai dengan Pasal 263 ayat (2) KUHAP yang sesuai dengan
dakwaan penuntut umum dalam dakwan pertama subsidair. Berdasarkan
pembuktian yang di pengadilan maka hakim menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan pidana penjara.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan yaitu :
1. Kekuatan pembuktian alat bukti surat dalam tindak pidana dengan sengaja
menggunakan
surat
palsu
terhadap
Putusan
Nomor:
144/Pid.B/2006/PN.Pwt adalah sebagai berikut :
Bahwa Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 dan surat – surat
lain yang berkaitan dengan surat keterangan tersebut, dihadirkan oleh
penuntut umum di persidangan,merupakan alat bukti yang sah karena
memenuhi syarat formil dan materiil dan dapat dikategorikan sebagai alat
bukti surat sesuai Pasal 187 huruf b KUHAP.Surat Keterangan Tamat
Sekolah dan surat lain tersebutmempunyai nilai kekuatan pembuktian
bebas, artinya hakim bebas memakai sebagai alat bukti surat untuk dasar
pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
yakni pidana penjara selama 3 (tiga) bulan terhadap terdakwa
(Suherman).
2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa dalam putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt telah adalah :
a. Segi Yuridis.
Yaitu dengan terpenuhinya unsur – unsur pasal yang didakwakan, dan
terpenuhi batas minimum pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP yaitu
berupa keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, Surat
Keterangan Tamat Sekolah dan surat lainnya yang berkedudukan
sebagai barang bukti sekaligus pula sebagai alat bukti surat.
b. Segi NonYuridis.
Yaitu dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan terdakwa dapat
mengurangi
rasa
kepercayaan
masyarakat
terhadap
Lembaga
Perwakilan Rakyat, hal ini dapat memberatkan hukuman bagi
terdakwa.Namun karena terdakwa sopan dalam persidangan, belum
pernah dihukum, kooperatif dalam mengikuti persidangan dan sebagai
tulang punggung bagi keluarga, sehingga hal tersebut dapat
meringankan hukuman terdakwa.
B. Saran.
1.
Kepada para hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana, yang
terdakwanya adalah seorang pejabat, masih mempertimbangkan jabatan
dan jasa – jasa pejabat tersebut sebagai hal yang meringankan, dimana
hal itu dipandang sebagai hal yang bertentangan dengan rasa keadilan
masyarakat.
2.
Hendaknya hakim dalam memutus perkara pidana, juga harus
memberikan efek jera bagi pelakunya, agar sebagai upaya preventif dan
contoh bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur :
Alfitra. 2011.Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata
dan Korupsi Di Indonesia.Jakarta: Raih Asa Sukses.
Anwar , H.A.K. Moch. 1994.Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP
BUKU II).Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Chazawi ,Adami. 2002.Kejahatan Mengenai Pemalsuan.Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada.
C.S.T. Kansil.1989.Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
Hamzah, Andi.2008.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Harahap M, Yahya. 2002.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP Pemeriksaaan sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali.Jakarta: Sinar Grafika.
__________. 2010.Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan
KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
IKAHI. “ Penegakan Hukum Yang Berkeadilan. “Varia Peradilan
Tahun ke XX No. 241 (Nopember 2005).hlm 6.
_________. “Perilaku Hukum di Pengadilan Dalam Mewujudkan
Penegakan Hukum Yang Bermartabat. “Varia Peradilan Tahun
ke XXII No. 272 (Juli 2008).Hlm 32.
Makarao ,Mohammad Taufik & Suharsil.2004. Hukum Acara Pidana
Dalam Teori dan Praktek.Jakarta: Ghalia Indonesia.
Marzuki,Peter Mahmud. 2010.Penelitian Hukum.Jakarta: Kencana.
Moeljatno. 1993.Asas – Asas Hukum Pidana.Jakarta: Rineka Cipta.
Poernomo, Bambang. 1988.Orientasi
Yogyakarta: Amarta Buku.
Hukum
Acara
Pidana.
Prodjodikoro, Wirjono. 1980. Hukum Acara Pidana Di Indonesia.
Bandung: Sumur Bandung.
Samidjo.1988.Responsi Hukum Acara Pidana Dalam Penerapan
Sistem Kredit Semester.
Samosir, C. Djisman. 1985. Hukum Acara
Perbandingan. Bandung: Bina Cipta.
Pidana
Dalam
Soemantro,Ronny Hanitijo. 1983.Metodologi Penelitian Hukum.
Ghalia Indonesia: Jakarta.
Soerdjono, Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.
1981.
Subekti. 2008.Hukum Pembuktian.Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Sutarto, Suryono. 1987.Sari Hukum Acara Pidana I.Semarang:
Yayasan Cendekia Purna Dharma.
Ziad. 2005. Diktat Hukum Acara Pidana.Purwokerto: Fakultas
Hukum Unsoed.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Moeljatno. 2008. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP).
Jakarta: Bumi Aksara.
C. Sumber Lain :
Adamchazawi.blogspot.com/2011/06/pemalsuan-surat-pasal-263kuhp.html., diakses tanggal 15 November 2011.
http://lawmetha.wordpress.com/2011/06/03/pembuktian-dalamhukum-acara-pidana/, diakses tanggal 16 September 2011.
http://www.pnpmperdesaan.or.id/downloads/Pembuktian%20dalam%20Perkara%
20Pidana.pdf, diakses tanggal 3 November 2011.
Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17867/3/chapterII.pdf.
diakses tanggal 15 November 2011.
Saor, Fernandes Raja, 21 Maret 2010, “Tinjauan Umum Pembuktian
Pidana Terhadap Alat Bukti Surat”, tersedia di website
http://raja1987.blogspot.com/2010/03/tinjauan-umumpembuktian-pidana.html, diakses tanggal 12 Desember 2011.
Nugroho, Hibnu. “Merekonstruksi Sistem Penyidikan Dalam
Peradilan Pidana”. Jurnal Hukum Pro Justitia. Volume 26 No. 1
Januari 2008.
Wawancara dengan Budi Setiawan, S.H. selaku Hakim Pengadilan
Negeri Purwokerto, tanggal 27 Januari 2012, Di Pengadilan
Negeri Purwokerto.
Wawancara dengan Abdul Latip, S.H., M.H., selaku Hakim
Pengadilan Negeri Purwokerto, tanggal 27 Januari 2012, Di
Pengadilan Negeri Purwokerto.
Download