PEMBUKTIAN SURAT PALSU (Studi terhadap Putusan Perkara Nomor :144/Pid.B/2006/PN.Pwt) SKRIPSI Oleh: CANDRA RIZQI HARIYUNAN E1A008065 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012 LEMBAR PENGESAHAN PEMBUKTIAN SURAT PALSU (Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 144/Pid.B/2006/PN.Pwt) Oleh: Candra Rizqi Hariyunan E1A008065 Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan Disahkan Pada tanggal Mei 2012. Penguji I/ Pembimbing I, Penguji II / Pembimbing II, Penguji / Penilai Dr. Angkasa, S.H., M.Hum NIP. 19640923 198901 1 001 Dr. Hibnu Nugroho,S.H., M.H NIP. 19640724 199002 1 001 Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H. NIP. 19581019 198702 2 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. NIP. 19520603 198003 2 001 PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini, saya : Nama : CANDRA RIZQI HARIYUNAN NIM : E1A008065 Judul Skripsi : PEMBUKTIAN SURAT PALSU(Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 144/Pid.B/2006/PN.Pwt). Adalah benar bahwa skripsi ini merupakan hasil karya sendiri, baik sebagian maupun seluruhnya, semua informasi dan sumber data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini disebutkan dalam daftar pustaka dan telah dinyatakan secara jelas keberadaannya. Bila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menanggung resiko,termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang saya sandang. Purwokerto, Mei 2012 CANDRA RIZQI HARIYUNAN ABSTRAK Oleh: Candra Rizqi Hariyunan E1A008065 Sistem Pembuktian dan alat – alat bukti merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pidana dalam persidangan. Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang – undang yang meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam perkara No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt salah satu alat bukti surat yang digunakan adalah berupa surat yang diduga palsu. permasalahannya kemudian adalah bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti surat tersebut, jika dikaitkan dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 184 KUHAP. Setidaknya permasalahan ini yang menjadi alasan bagi penulis untuk mengambil skripsi dengan judul “PEMBUKTIAN SURAT PALSU (Studi terhadap Putusan Perkara Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt.).” Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data terhadap Putusan No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt. maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 dan surat – surat lain yang berkaitan dengan surat keterangan tersebut dihadirkan oleh penuntut umum di persidangan dan dijadikan alat bukti yang sah berupa surat (Pasal 187 huruf b KUHAP) dipersidangan dan berkedudukan sama dengan alat bukti lainnya serta alat bukti tersebut akan dinilai oleh hakim secara bebas. Sehingga semuanya diserahkan kepada penilaian hakim dalam mengambil keputusan. Sedangkan Pertimbangan Hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dalam putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt adalah : a. Segi yuridis yaitu dengan terpenuhinya unsur – unsur pasal yang didakwakan, dan terpenuhi batas minimum pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP yaitu berupa keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, Surat Keterangan Tamat Sekolah dan surat lainnya yang berkedudukan sebagai alat bukti surat. b. Segi Non Yuridis yaitu dengan mempertimbangkan mengenai perbuatan terdakwa tersebut dapat mengurangi rasa kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga Perwakilan Rakyat, hal ini yang memberatkan hukuman terdakwa. Namun karena terdakwa sopan, kooperatif, belum pernah dihukum dan tulang punggung keluarga, sehingga hal ini dapat meringankan hukuman terdakwa. Kata Kunci : Pembuktian, Alat Bukti Surat, Pemalsuan surat ABSTRACT Oleh: Candra Rizqi Hariyunan E1A008065 System of Proof and evidence are the most important part of the whole process in a criminal trial. Article 184 paragraph (1) KUHAP has defined the limitatif valid evidence according to the laws which include the statements of witnesses, expert testimony, letters, instructions and a description of the defendant. In case No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt one of the tools used are documentary evidence of the alleged fake letter. problem then is how the strength of evidence proving that letter, if it is associated with the Article 183 and Article 184 KUHAP. At least this problem is the reason for the writer to take the thesis with the title "FORGED LETTERS EVIDENCE (Study of Decision on Case No.: 144/Pid.B/2006/PN.Pwt.)." Based on the results of research and data analysis of the Decision No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt. then it can be concluded that the Certificate of No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 and letter - another letter relating to the certificate presented by the prosecution at the trial and used as valid evidence in the form of a letter (Article 187 letter b KUHAP) in court and are equal with other evidences and the evidence will be assessed by the judge freely. So everything is left to the judgment of judges in making decisions. Legal Considerations the judge in imposing criminal judgment against the decision Number: 144/Pid.B/2006/PN.Pwt are: a. Juridical aspect is the fulfillment of element that were charged, and met the minimum threshold of proof in Article 183 KUHAP, the form of witness testimony, expert testimony, the statements of the defendant, school graduation certificate and other documents that are located as evidence a letter. b. Non-juridical aspect is to consider the defendant's actions may reduce the sense of public confidence in the institutions of Representatives, this is a burdensome penalty defendants. However, because the defendant polite, cooperative, has not been convicted and backbone of the family, These things can relieve defendant. Keywords: Evidence, Evidence letter, letter Counterfeitin KATA PENGANTAR Puji Syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, taufik, da hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul: “PEMBUKTIAN SURAT PALSU (Studi terhadap Putusan Perkara Nomor: 144/Pid.B/2006/PN.Pwt)” untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi tidak akan dapat terselesaikan dengan baik, tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya atas bantuan dan dukungan dari semua pihak, baik moral maupun material, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai dengan baik. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada : 1. Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 2. Sanyoto, S.H., M.Hum, selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 3. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I Skripsi, atas segala bantuan, arahan, dukungan dan masukkan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. 4. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II Skripsi, atas segala bantuan, arahan, dukungan dan masukkan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. . 5. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji skripsi ini. 6. Hj. Setiadjeng Kadarsih, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik. 7. Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 8. Kepada orang tua dan adikku yang tercinta, yang telah memberikan dorongan baik moril dan spirituil untuk senantiasa agar penulis menjadi sukses dikemudian hari; 9. Seluruh teman angkatan 2008, OKD (Forum), Kolom Lor (Futsal Club), teman PLKH dan teman semasa KKN yang sudah memberikan pengalaman tentang arti persaudaraan, persahabatan dan membantu pula menghilangkan kejenuhan selama perkuliahan, semoga kita semua masih bisa berteman baik dan semoga kita semua sukses. Amin. 10. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, semoga semua kebaikan yang diberikan kepada penulis dapat dipertimbangkan sebagai perbuatan mulia dan berguna, semoga Allah SWT membalas amal kebaikan anda semua; Harapan penulis semoga sumbangan pemikiran yang dapat penulis berikan dan kemukakan dalam skripsi ini akan dapat memberikan sumbangan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Purwokerto, Mei 2012 Candra Rizqi Hariyunan DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ………………………………………………… i HALAMAN JUDUL…………………………………………………… ii LEMBAR PENGESAHAN…………...………………………………. iii SURAT PERNYATAAN ………………………………………………. iv ABSTRAK …………………………………………………………….. v ABSTRACT …………………………………………………………… vi KATA PENGANTAR…………………………………………………. vii DAFTAR ISI…………………………………………………………… ix BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………….. 1 B. Perumusan Masalah ……………………………………. 10 C. Tujuan Penelitian ………………………………………. 10 D. Kegunaan Penelitian …………………………………… 10 TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana ………………….. 12 2. Tujuan Hukum Acara Pidana ………………………. 14 B. Pembuktian 1. Macam – macam Alat Bukti ……………………….. 16 2. Sistem Pembuktian …………………………………. 27 C. Barang Bukti 1. Pengertian dan Macam Barang Bukti …………….... 37 2. Pemeriksaan Surat …………………………………. 39 D. Tindak Pidana Pemalsuan Surat. ……………………… 43 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ……………………………………… 53 B. Spesifikasi Penelitian ………………………………….. 54 C. Lokasi Penelitian ………………………………………. 55 D. Jenis Bahan Hukum ……………………………………. 55 E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum …………………. 55 F. Metode Penyajian Bahan Hukum ……………………… 56 G. Metode Analisis Bahan Hukum ……………………….. 56 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V A. Hasil Penelitian ………………………………………… 57 B. Pembahasan ……………………………………………. 115 PENUTUP A. Simpulan ………………………………………………. 142 B. Saran …………………………………………………… 143 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Hukum merupakan suatu aturan yang hidup dimasyarakat yang oleh masyarakat harus dipatuhi dan dijalankan. Unsur-unsur hukum sendiri menurut para sarjana hukum Indonesia adalah : a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib c. Peraturan itu bersifat memaksa d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan itu adalah tegas.1 Pada era sekarang ini penegakan hukum merupakan bagian dari tuntutan masyarakat yang menginginkan adanya suatu reformasi hukum, untuk itu maka sangatlah perlu adanya peningkatan kesadaran akan hak dan kewajiban dari setiap warga negara dalam upaya pencapaian tujuan negara itu sendiri. Selain itu, hal yang tidak kalah penting yaitu diperlukan adanya kesadaran dari para aparat penegak hukum sebagai pelaksana penegakan hukum dalam menggunakan kewenangannya, karena penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum akan berdampak buruk terhadap proses penegakan hukum itu sendiri, maka aparat penegak hukum yang benar dan adil harus menjelma pada semua unsur penyelenggaraan pemerintahan dan negara. 1 C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Hal. 39. Pembagian tentang macam-macam hukum terbagi menjadi berbagai macam golongan diantaranya dilihat dari isinya. Hukum dilihat dari isinya dibedakan menjadi hukum publik dan hukum privat. Hukum publik merupakan hukum yang mengatur kepentingan umum, hubungan antara negara dengan perseorangan. Kemudian hukum privat merupakan hukum yang mengatur hubunganhubungan antara orang yang satu dengan yang lain, yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.2 Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara. Bagian lain – lain adalah : Hukum Perdata, Hukum Tata Negara dan Tata Pemerintahan, Hukum Agraria, Hukum Perburuhan, Hukum Intergentil, dan sebagainya. Biasanya bagian hukum tersebut dibagi dalam dua jenis yaitu Hukum Publik dan Hukum Privat, dan hukum pidana ini digolongkan dalam golongan hukum publik, yaitu mengatur hubungan antara Negara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum. Sebaliknya hukum privat mengatur hubungan antara perseorangan atau mengatur kepentingan perseorangan.3 Sumber utama hukum pidana adalah Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), yang terdiri dari 3 buku. Buku I berisi mengenai aturan umum hukum pidana, Buku II mengenai tindak pidana kejahatan dan Buku III mengenai tindak pidana pelanggaran. Sebagaimana yang diterangkan di dalam Memorie van Toelichting (MvT), pembedaan dan pengelompokan tindak pidana menjadi kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen) didasarkan pada pemikiran bahwa : 1. 2. 2 3 Pada kenyataannya dalam masyarakat ada sejumlah perbuatan – perbuatan yang pada dasarnya sudah mengandung sifat terlarang (melawan hukum), yang karenanya pada pembuatnya patut dijatuhi pidana walaupun kadang – kadang perbuatan seperti itu tidak dinyatakan dalam Undang – Undang. Disamping itu ada perbuatan – perbuatan yang baru mempunyai sifat terlarang dan kepada pembuatnya diancam Ibid, Hlm.75. Moeljatno, 1993, Asas – Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 1-2. dengan pidana setelah perbuatan itu dinyatakan dalam Undang – Undang.4 Pemikiran yang demikian tergambar dari istilah rechtsdelicten untuk kejahatan sebagaimana yang dimaksudkan pertama, dan wetdelicten untuk menyebut pelagaran sebagaimana yang dimaksudkan kedua, yang ada pada kenyataannya kejahatan berupa tindak pidana lebih berat daripada pelanggaran. Teranglah bahwa bagi kejahatan pada dasarnya sifat terlarangnya atau tercelanya perbuatan itu adalah terletak pada masyarakat, sedangkan bagi pelanggaran karena dimuatnya dalam Undang – Undang. Kejahatan – kejahatan yang dimuat dalam Buku II, digolongkan ke dalam bentuk – bentuk tertentu, yang pada pokoknya didasarkan pada kepentingan hukum yang dilanggar / dibahayakan oleh perbuatan itu. Banyak kepentingan hukum dalam masyarakat yang dilindungi oleh Undang – Undang, yang pada pokoknya dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan besar, yakni : kepentingan hukum perorangan, kepentingan hukum masyarakat dan kepentingan hukum Negara.5 Tiga (3) kelompok kepentingan hukum itu, walaupun dapat dibedakan namun adakalanya suatu kepentingan hukum dapat dimasukkan ke dalam lebih dari satu golongan kepentingan hukum tersebut. Seperti pada kejahatan pemalsuan surat (surat keterangan tamat sekolah). Pelanggaran terhadap kepentingan hukum atas kepercayaan pada ijazah dan penggunaan ijazah itu sebagai sarana untuk mencalonkan menjadi wakil rakyat, tidak saja berupa pelanggaran/ penyerangan terhadap kepentingan hukum masyarakat tetapi juga sekaligus terhadap kepentingan hukum Negara. 4 Adami Chazawi, 2002, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hlm 1. 5 Ibid, hlm 2. Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (obyek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah – olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Kejahatan Pemalsuan ini dimuat dalam Buku II KUHP dikelompokkan menjadi 4 golongan, yakni : 1. Kejahatan sumpah palsu (Bab IX). 2. Kejahatan pemalsuan uang (Bab X) 3. Kejahatan pemalsuan materai & merek (Bab XI) 4. Kejahatan pemalsuan surat (Bab XII). Penggolongan tersebut didasarkan atas obyek dari pemalsuan, yang jika dirinci lebih lanjut ada 6 obyek kejahatan, yaitu (1) keterangan di atas sumpah, (2) mata uang, (3) uang kertas,(4) materai,(5) merek, dan (6) surat. Dibentuknya pengaturan mengenai kejahatan pemalsuan ini pada pokoknya ditujukan bagi perlindungan hukum atas kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran sesuatu : keterangan di atas sumpah, atas uang sebagai alat pembayaran, materai, merek, serta surat – surat. Oleh karena kebutuhan hukum masyarakat terhadap kepercayaan atas kebenaran pada obyek – obyek tadi, maka Undang – Undang menetapkan bahwa kepercayaan itu harus dilindungi dengan cara mencantumkan perbuatan berupa penyerangan terhadapnya tadi sebagai suatu larangan dengan disertai ancaman pidana. Demi penegakan hukum pidana materiil di Indonesia maka digunakan hukum acara pidana yang ada di KUHAP ( Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Tahapan penegakan hukum acara pidana (formil) dalam KUHAP dari awal meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, pelaksanaan dan pengawasan putusan, serta jika diperlukan maka dilakukan upaya hukum. Adanya hukum acara pidana diharapkan masyarakat dapat mengetahui peran penegak hukum dan proses beracara dalam menegakkan hukum pidana materiil dan dapat menghayati hak dan kewajibannya untuk meningkatkan pembinaan sikap penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masingmasing kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. KUHAP sebagai pedoman dalam beracara pidana yang dinyatakan berlaku harus ditaati, dalam pengertian bahwa bagi para teoritis banyak hal yang dapat diperbuat untuk disumbangkan kepada kebutuhan penerapan hukum agar dapat berlaku dan hidup sesuai dengan cita-cita hukum6. Tindakan awal dalam pengungkapan suatu perkara maka sangat penting adalah diadakannya penyidikan, penyidikan dalam KUHAP Pasal 1 butir 2 yaitu: Serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut undang-undang ini (KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan itu 6 Bambang Poernomo, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta Buku, Yogyakarta, 1988, Hal. 163 membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka. Tindakan penyidikan dilakukan oleh penyidik dan penyidik pembantu yang tugasnya adalah dalam rangka persiapan ke arah pemeriksaan di pengadilan. Penyidik disini adalah orang yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Para penyidik mempersiapkan alat-alat bukti yang sah, sehingga dapat dipergunakan untuk membuat suatu perkara menjadi jelas atau terang dan juga mengungkap siapa pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana. Upaya penyidik dalam mengungkap tentang kejahatan pemalsuan surat maka dilihat dulu / dicek terlebih dahulu mengenai isi surat itu benar atau tidak, lalu lembaga yang mengeluarkan itu benar atau tidak, dan lihatlah syarat – syarat untuk mendapatkan surat itu, apakah telah sesuai prosedur atau belum. Dalam pemeriksaan ini biasanya penyidik harus berkoordinasi dengan instansi – instansi yang terkait. Di dalam surat terkandung arti atau makna tertentu dari sebuah pikiran, yang kebenarannya harus dilindungi. Diadakan kejahatan pemalsuan surat ini adalah ditujukan pada perlindungan hukum terhadap kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran akan isi surat – surat. Membuat surat palsu adalah menyusun surat atau tulisan pada keseluruhannya. Adanya surat ini karena dibuat secara palsu. Surat ini mempunyai tujuan untuk menunjukkan bahwa surat seakan – akan berasal dari orang lain daripada penulisnya ( pelaku ). Ini disebut pemalsuan meteriil ( materiele valsheid ). Asal surat itu adalah palsu. Perbuatan memalsukan surat dilakukan dengan cara melakukan perubahan – perubahan tanpa hak ( tanpa izin yang berhak ) dalam suatu surat atau tulisan, perubahan mana dapat mengenai tanda tangannya maupun mengenai isinya. Tidak perduli, bahwa ini sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak benar atau sesuatu yang benar; perubahan isi yang tidak benar menjadi benar merupakan pemalsuan surat.7 Kejahatan pemalsuan surat dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kepentingan hukum publik perihal kepercayaan terhadap kebenaran atas isi 4 macam objek surat, yaitu : 1. surat yang menimbulkan suatu hak; 2. surat yang menerbitkan suatu perikatan; 3. surat yang menimbulkan pembebasan utang, dan 4. surat yang dibuat untuk membuktikan suatu hal/keadaan tertentu. Berdasarkan hal diatas, maka terdapat perbuatan yang dilarang terhadap 4 macam surat tersebut adalah pebuatan membuat surat palsu (valschelijk opmaaken) dan memalsu (vervalsen).8 Kejahatan pemalsuan surat ada dua (2) yaitu : membuat surat palsu dan menggunakan surat palsu. hal ini tertuang di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP yang berbunyi : (1) Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah – olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. ayat (2), yang berbunyi : (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah 7 repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17867/3/chapterII.pdf , diakses tanggal 15 November 2011. 8 adamchazawi.blogspot.com/2011/06/pemalsuan-surat-pasal-263-kuhp.html., diakses tanggal 15 November 2011. – olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Berkaitan dengan kasus pemalsuan surat, diperlukan suatu pembuktian secara cepat. Salah satunya yaitu dengan melalui pembuktian dengan menggunakan barang bukti surat. Analisis terhadap barang bukti tersebut diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana ini yang bertujuan untuk mengetahui atau menyelidiki apakah benar terdapat unsur kesengajaan untuk menggunakan surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah –olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Pengaturan tentang penggunaan alat bukti surat dalam pembuktian di persidangan diatur dan disebutkan di dalam KUHAP. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) yang menyatakan surat sebagai alat bukti yang sah dan untuk pengaturan lebih lanjut mengenai alat bukti surat ini diatur pula dalam Pasal 187 KUHAP. Putusan di Pengadilan Negeri Purwokerto terdapat suatu kasus mengenai Tindak Pidana “Dengan Sengaja Menggunakan Surat Palsu”, dimana hakim memutus terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan karena terbukti melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP yang berbunyi : “Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah – olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian”. Hakim dalam putusan tersebut mendasarkan pada alat bukti surat yaitu sebagai berikut : a. 1 (satu) lembar Surat Keterangan Nomor 2809/E/SLTP.Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 a.n Suherman. b. 1 (satu) lembar lampiran Surat Keterangan Nomor 2809/E/SLTP/Nas.I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 a.n Suherman berupa daftar nilai c. 1 (satu) lembar fotocopy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan sama dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) SMU program ilmu pengetahuan sosial atas nama Suherman dengan nomor seri STTB No. 03 Mup 0006309 yang telah disahkan oleh Pengadilan Negeri Purwokerto sesuai dengan aslinya. d. 1 (satu) lembar surat Nomor 420./013380/30 tertanggal 2 April 2001. e. 1 (satu) Surat Nomor 048.8/890/2001 tertanggal 10 April 2001. f. Buku Induk dan Agenda, semuanya diserahkan kepada penuntut umum untuk perkara lain. Putusan Perkara Nomor: 144/Pid.B/2006/PN.Pwt mengenai kejahatan pemalsuan surat dalam hal ini mengenai pemalsuan surat keterangan tamat sekolah, yang putusannya menjatuhkan terdakwa dengan pidana 3 (tiga) bulan penjara. Hal ini menarik bagi penulis karena suatu surat palsu atau yang diduga palsu itu dapat dijadikan alat bukti dan membuktikan tindak pidana pemalsuan surat. Hal ini membuat penulis ingin mengetahui dan mendalami tentang tindak pidana pemalsuan surat palsu ini. B. Perumusan Masalah. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti surat dalam tindak pidana dengan sengaja menggunakan surat palsu terhadap Putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt? 2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dalam Putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kekuatan alat bukti surat dalam pembuktian di persidangan mengenai tindak pidana dengan sengaja menggunakan surat palsu berdasarkan putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt. 2. Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan hukum apa sajakah yang dipakai oleh hakim dalam menjatuhkan pidana bagi terdakwa berdasarkan Putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt. D. Kegunaan Penelitian. 1. Kegunaan Teoritis Bahwa dengan hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wacana dan pengetahuan hukum dalam bidang hukum acara pidana terutama dalam penggunaan alat bukti surat dalam mengungkap kasus dengan sengaja menggunakan surat palsu dan apa sajakah yang menjadi pertimbangan hakim untuk memutus kasus tersebut. 2. Kegunaan Praktis Bahwa dengan hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi acuan wacana bagi para praktisi pengambil kebijakan atau akademisi dalam menelaah suatu permasalahan di bidang hukum acara pidana dan dapat pula digunakan untuk memberikan wacana ataupun pengetahuan baru tentang hukum acara pidana bagi akademisi dan/atau masyarakat pada umumnya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Acara Pidana. 1. Pengertian Hukum Acara Pidana. Hukum Acara Pidana berhubungan erat dengan adanya Hukum Pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan – peraturan yang memuat cara bagaimana badan – badan Pemerintah yang berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaaan dan Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan Hukum Pidana.9 Hukum pidana formal ( Hukum Acara Pidana ) mengatur tentang bagaimana Negara melalui alat – alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.10 Pengaturan mengenai Hukum Acara Pidana diatur dalam Undang Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, akan tetapi dalam KUHAP tidak menerangkan lebih lanjut mengenai pengertian Hukum Acara Pidana, akan tetapi lebih menekankan pada bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan yang lainnya. Pengertian hukum acara pidana lebih banyak didefinisikan oleh para ahli hukum seperti definisi yang diberikan oleh de Bosch Kemper, bahwa Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan asas - asas dan peraturan undang – undang mengenai mana Negara menjalankan hak – haknya karena terjadi pelanggaran undang – undang pidana. Pendapat lain dari Van Bemmelen 9 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Bandung : Sumur Bandung, hlm 15. 10 Jur Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 4. juga mengemukakan bahwa ia melukiskan hukum acara pidana sebagai berikut : “Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana, yaitu sebagai berikut. 1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran 2. Sedapat mungkin menyidik perbuatan itu. 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya. 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut. 5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib. 6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut. 7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib11. Rumusan pengertian Hukum Acara Pidana sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, pada hakekatnya tujuan yang hendak dicapai oleh ketentuan hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran dari suatu perkara pidana. Mengenai ruang lingkup berlakunya, hukum acara pidana punya lingkup yang lebih kecil, yaitu hanya mulai pada mencari kebenaran, penyidikan, penyelidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa. Pembinaan narapidana tidak termasuk hukum acara pidana. Apalagi yang menyangkut perencanaan undang – undang pidana. Dengan terciptanya KUHAP, maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti 11 Ziad, 2005, Diktat Hukum Acara Pidana, Purwokerto: Fakultas Hukum Unsoed, hlm 1 meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai meliputi peninjauan kembali . Dalam ruang lingkupnya tersebut, hukum acara pidana ini berfungsi untuk menjalankan hukum pidana (materiil), sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana. 2. Tujuan Hukum Acara Pidana. Tujuan hukum acara pidana mencari dan mendapatkan kebenaran telah ditegaskan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut : “Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap – lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”12 Menurut Mr.J.M. Van Bemmelen dalam bukunya Leerboek van her Nederlandse Straf Frocesrecht, menyimpulkan bahwa tiga fungsi pokok acara pidana adalah: a. Mencari dan menemukan kebenaran; b. Pengambilan putusan oleh hakim; c. Pelaksanaan daripada putusan. Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting adalah mencari kebenaran karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya, kemudian setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan hukum acara pidana adalah mencari kebenaran merupakan tujuan antara, 12 Loc.cit. dan tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat13. Menurut Mardjono Reksodiputro, tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas, bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulagi lagi kejahatannya.14 Dalam rangka mencapai tujuannya, maka sistem peradilan pidana memiliki desain prosedur (procedural design) yang ditata melalui KUHAP. Menurut Mardjono Reksodiputro secara garis besar dibagi menjadi tiga tahap, yaitu 2 tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap prajudikasi (pre-judication), (b) tahap sidang pengadilan atau tahap ajudikasi (adjudication), tahap setelah pengadilan atau purnaajudikasi (post adjudication).15 Melihat kepentingan yang menuntut perhatian dalam Acara Pidana, maka terdiri dari dua macam kepentingan yaitu : 1. Kepentingan masyarakat, bahwa seorang yang melanggar suatu peraturan hukum pidana harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya guna keamanan masyarakat, dan 2. Kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga jangan sampai orang yang tidak berdosa, mendapat hukuman, atau kalau memang ia berdosa, jangan sampai ia mendapat hukuman yang terlalu berat, tidak seimbang degan kesalahannya.16 Tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.17 13 Jur Andi Hamzah. Op.cit, Hal. 8. Hibnu Nugroho, “Merekonstruksi Sistem Penyidikan Dalam Peradilan Pidana”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume 26 No. 1 Januari 2008, hlm 19. 14 15 Ibid, hlm 20. Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hlm 15-16. 17 Jur Andi Hamzah, Op.cit, hlm 9. 16 B. Pembuktian. 1. Macam – Macam Alat Bukti. Dalam hal ini di dunia ilmu pengetahuan hukum ada dua sistem yang dianut. Yang satu dinamakan sistim “accusatoir”, yang lain sistem “inquisitoir”. Intinya sistim accuisitoir itu adalah menganggap seorang tersangka, yaitu pihak yang didakwa sebagai suatu subjek berhadapan dengan pihak yang mendakwa, sehingga kedua belah pihak mempunyai hak – hak yang sama nilainya dan hakim berada di atas kedua belah pihak itu untuk menyelesaikan soal perkara (pidana) antara mereka menurut peraturan Hukum Pidana yang berlaku. Sedangkan sistem inquisitoir itu menganggap si tersangka sebagai suatu barang, suatu objek, yang harus diperiksa wujudnya berhubung dengan suatu pendakwaan. Pemeriksaan wujud ini berupa pedengaran si tersangka tentang dirinya pribadi. Oleh karena sudah ada suatu pendakwaan yang sedikit banyak telah diyakini kebenarannya oleh yang mendakwa melalui sumber pengetahuan di luar tersangka, maka pendengaran tersangka sudah semestinya merupakan pendorongan kepada tersangka, supaya mengaku saja kesalahannya. Sekiranya sudah terang, bahwa dalam Negara Indonesia, juga berhubung dengan adanya suatu sila dari Pancasila yang merupakan Peri Kemanusiaan, harus dalam hakekatnya dianut sistim accusatoir. Maka dalam melakukan kewajibannya pejabat – pejabat dan penuntut perkara pidana harus selalu ingat kepada hakekat ini dan menganggap tersangka selalu sebagai seorang subjek yang mempunyai hak penuh untuk membela diri. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat –alat bukti tersebut, dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.18 Proses pemeriksaan pada acara pidana diperlukan ketentuan – ketentuan dalam hukum acara pidana yang akan terlihat dalam acara pemeriksaan biasa yang terkesan sulit dalam pembuktiannya dan membutuhkan penerapan hukum yang benar dan pembuktian yang obyektif dan terhindar dari rekayasa para pelaksana persidangan. Untuk menemukan suatu kebenaran yang obyektif juga salah satunya dengan menggunakan alat bukti. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai alat bukti yang sah untuk membantu hakim dalam mengambil keputusan, alat bukti itu ialah : a. Keterangan Saksi b. Keterangan Ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa. a. Keterangan Saksi. 18 Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi Di Indonesia, Jakarta: Raih Asa Sukses, hlm 23. Pada umumnya semua orang bisa menjadi saksi. Pengecualiannya terdapat dalam Pasal 168 KUHAP berikut : a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama – sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama – sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak – anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama – sama sebagai terdakwa. Di dalam Pasal 170 KUHAP dijelaskan juga mengenai mereka – mereka yang karena pekerjaannya, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi. Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang – undangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.19 Keterangan saksi yang diberikan di depan penyidik sebagaimana terdapat dalam berita acara penyidikan (berkas perkara) merupakan pedoman dalam pemeriksaan sidang. Pengertian kesaksian adalah keterangan lisan seseorang, dimuka sidang pengadilan, dengan sumpah terlebih dahulu tentang peristiwa tertentu yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, tetapi mengenai hal – hal yang dikatakan oleh orang lain bukan merupakan kesaksian yang sah, melainkan disebut saksi de auditu / testimony de auditu. 19 Jur Andi Hamzah, Op.cit, hlm 262. Menurut Pasal 163 KUHAP, dikatakan bahwa jika keterangan saksi di dalam sidang ternyata berbeda dengan yang ada dalam berkas perkara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara persidangan. Harus juga diingat bahwa perbedaan keterangan saksi tersebut harus disertai dengan alasan – alasan yang bisa diterima. Apabila bisa diterima baru bisa dicatat dalam berita acara persidangan. Apabila tidak bisa diterima akal, tentu saja pencabutan keterangan saksi tersebut harus ditolak. Seseorang yang menjadi saksi juga harus punya rasa tanggung jawab atas segala hal yang telah ia ungkapkan di muka persidangan. Oleh karena itu, di dalam Pasal 224 KUHP mengaturnya, yaitu : “barang siapa dipanggil sebagai saksi atau juru bahasa menurut undang – undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang – undang yang harus dipenuhinya diancam: 1. Dalam perkara pidana, pidana penjara paling lama sembilan bulan. 2. Dalam perkara lain dengan pidana penjara paling lama enam bulan. Untuk menilai kebenaran keterangan saksi diatur dalam Pasal 185 ayat (6). Dan menuntut kewaspadaan tinggi dari hakim dalam memutus dan sungguh – sungguh memperhatikan : a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu. d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. b. Keterangan Ahli. Definisi ahli menurut : a. Pasal 120 KUHAP, adalah ahli yang mempunyai keahlian khusus. b. Pasal 132 KUHAP, adalah ahli yang mempunyai keahlian tentang surat dan tulisan palsu. c. Pasal 133 KUHAP menunjuk Pasal 179 KUHAP, untuk menentukan korban luka keracunan atau mati adalah ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya. Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua oleh Pasal 183 KUHAP. Ini berbeda dengan HIR dahulu tidak mencantumkan keterangan ahli sebagai alat bukti. Keterangan ahli sebagai alat bukti tersebut sama dengan Ned.Sv. dan hukum acara pidana modern di banyak negeri. Berdasarkan Pasal 186 KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di bidang pengadilan. Jadi, Pasal tersebut tidak menjawab siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Pada penjelasan pasal tersebut juga tidak menjelaskan hal ini. Keterangan ahli menurut Pasal 343 Ned. Sv. Disana dikatakan bahwa keterangan ahli adalah pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya.20 Keterangan ahli dan keterangan saksi itu berbeda. Jika dilihat dari segi isi keterangan yang diberikan, maka terlihat perbedaannya yaitu ketika seorang saksi memberikan keterangan maka ia hanya memberikan keterangan mengenai apa yag dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian mengenai hal – hal 20 Ibid, hlm 272-273. yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal itu sesuai bidang ilmu yang ahli kuasai. Intinya adalah keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian, ialah : - Keterangan ahli yang memiliki keahlian khusus dalam bidangnya sehubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. - Dan bentuk keterangan yang diberikannya sesuai dengan keahlian khusus yang dimilikinya berbentuk keterangan “menurut pengetahuannya. c. Surat Alat bukti surat selanjutnya adalah surat yang pengertiannya dicantumkan dalam Pasal 187 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikaitkan dengan sumpah, adalah : a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keteranganya itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang – undangan atas surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yanh memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Surat sebagai bukti, baik autentik maupun bawah tangan, misal surat kelahiran, surat nikah, surat ijazah, surat wasiat, surat perjanjian utang, surat jual beli, surat tanah, surat mobil atau motor, surat muatan, surat neraca, surat kapal, obligasi, visum et repertum, surat dari laboratorium mabes POLRI dan lain sebagainya. d. Petunjuk Penerapan alat bukti petunjuk oleh hakim dalam praktik hendaknya digunakan dengan hati – hati karena sangat dekat dengan sifat kewenangan yang dominan dalam penilaian yang bersifat subjektif sekali. Oleh karena itu, hakim dalam menggunakan alat bukti petunjuk harus arif dan bijaksana dan berdasarkan hati nurani. Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai berikut: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. Diperjelas lagi di ayat (2) pasal diatas, yang berbunyi : “Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. Dalam ayat (3) dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut : “Mengenai kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya”. Jadi, berbeda dengan alat bukti yang lain, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan keterangan terdakwa. Pengertian diperoleh, artinya alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti langsung (indirect bewijs). Oleh karena itu, banyak yang menganggap alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti. Menurut Van Bemmelen mengatakan, “Akan tetapi keasalahan yang terutama adalah, bahwa orang telah menganggap petunjuk – petunjuk itu sebagai suatu alat bukti, sedang dalam kenyataannya adalah tidak demikian”.21 Sementara itu, P.A.F Lamintang mengatakan, “Petunjuk memang hanya merupakan dasar yang dapat dipergunakan oleh hakim untuk menganggap suatu kenyataan sebagai terbukti, atau dengan perkataan lain petunjuk itu bukan merupakan suatu alat bukti, seperti misalnya keterangan saksi yang secara tegas mengatakan tentang suatu dasar pembuktian belaka, yakni dari dasar pembuktian mana kemudian hakim dapat menganggap suatu kenyataan itu sebagai terbukti, misalnya karena adanya kesamaan antara kenyataan tersebut dengan kenyataan yang dipermasalahkan.”22 Pembuktian sebagai dasar perkara pidana sering harus didasarkan atas petunjuk – petunjuk. Hal ini karena jarang sekali terjadi seorang yang melakukan kejahatan, terlebih – lebih mengenai tindak pidana berat, akan melakukannya dengan terang – terangan. Pelakunya selalu berusaha menghilangkan jejak perbuatannya. Hanya karena diketahui keadaan – keadaan tertentu tabir tersebut kadang – kadang dapat terungkap sehingga kebenaran yang ingin disembunyikan terungkap.” 21 22 Alfitra, 2011, Op.cit, hlm 102. Loc.cit, Ibid. Terkait penggunaan alat bukti petunjuk, tugas hakim sebenarnya akan lebih sulit. Ia harus mencari hubungan antara perbuatan, mengkombinasikan akibat – akibatnya dan akhirnya sampai pada suatu keputusan tentang terbukti atau tidaknya sesuatu yang telah didakwakan. e. Keterangan Terdakwa Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1). Penempatannya pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan sesudah pemeriksaan keterangan saksi – saksi. Dapat dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan,pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat – syarat berikut ; a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan. b. Mengaku ia bersalah. Keterangan Terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas pengertiannya dari pengakuan terdakwa, bahkan menurut Memorie van Toelichting Ned.Sv. penyangkalan terdakwa boleh juga menjadi alat bukti sah. 23 Keterangan terdakwa ini berbeda dengan pengakuan terdakwa, keterangan terdakwa ini punya arti yang lebih luas jika dibandingkan dengan pengakuan terdakwa. Oleh karena itu, dengan memakai keterangan 23 Jur Andi Hamzah, Op.cit, hlm 278. terdakwa dapat dikatakan lebih maju daripada pengakuan terdakwa. Keterangan terdakwa ada kemungkinan berisi pengakuan terdakwa. Keterangan terdakwa ini tidak perlu sama dengan pengakuan terdakwa. Pengakuan terdakwa sebagai alat bukti mempunyai syarat – syarat : 1. Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan, dan 2. Mengaku ia bersalah. Namun demikian, ada kemungkinan terdakwa memberikan pengakuan untuk sebagian. Terdakwa mengaku melakukan delik yang didakwakan, tetapi ia tidak mengaku bersalah. Misal terdakwa mengaku membunuh korban, tetapi ia tidak mengaku bersalah karena membela diri.24 Ketentuan mengenai keterangan terdakwa diatur lebih rinci di dalam Pasal 189 KUHAP sebagai berikut : 1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. 2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. 3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, tetapi harus disertai dengan alat bukti yang lain. 24 Alfitra, 2011, Op.cit, hlm 111. Apa yang dianggap sebagai alat bukti yang sah hanyalah apa yang telah diuraikan diatas, selain dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa maka dianggap tidak sah, umpamanya sangkaan belaka, hasil nujum perdukunan yang lazim dipraktikkan di kampung – kampung seperti misalnya melihat tanda – tanda dalam sebuah primbon, melihat gambar dari kuku yang telah dicat hitam oleh anak kecil, melihat telapak tangan, dan mencocokkan fenomena alam, dan sebagainya. Alat - alat bukti di atas dapat diajukan dari pihak terdakwa maupun dari pihak Kejaksaan. Biasanya jika alat bukti tersebut diajukan dari pihak terdakwa maka terkesan untuk meringankan hukuman terdakwa, sedangkan jika alat bukti tersebut dihadirkan oleh pihak kejaksaan dalam hal ini oleh jaksa maka sifat alat bukti tersebut terkesan untuk memberatkan karena seorang jaksa kedudukannya sebagai wakil dari Negara dan demi kepentingan masyarakat umum maka ia harus bersikap obyektif. Selain dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana. Pada dasarnya yang mengajukan alat bukti dalam persidangan adalah penuntut umum (alat bukti yang memberatkan) dan terdakwa atau penasihat hukum (jika ada alat bukti yang bersifat meringankan). Terdakwa tidak dibebani pembuktian. Hal ini merupakan jelmaan asas praduga tak bersalah (Pasal 66 KUHAP). Jadi, pada prinsipnya yang membuktikan kesalahan terdakwa adalah penuntut umum. Hakim dalam proses persidangan pidana bersifat aktif. Oleh karena itu, apabila dirasa perlu hakim bias memerintahkan penuntut umum untuk menghadirkan saksi tambahan. Demikian sebaliknya apabila dirasa oleh hakim cukup, hakim bisa menolak alat bukti yang diajukan dengan alasan hakim sudah menganggap tidak perlu karena sudah cukup meyakinkan. Namun demikian harus diingat bagi hakim, mengajukan alat bukti merupakan hak bagi penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum. Oleh karena itu, penolakan pengajuan alat bukti haruslah benar – benar dipertimbangkan dan beralasan. Tindak pidana “Dengan Sengaja Menggunakan Surat Palsu", penyidik dan hakim dapat mengungkapkannya dengan menggunakan alat bukti surat yang berkaitan dengan kasus di atas, hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa telah terjadi kesengajaan untuk menggunakan surat palsu tersebut, dalam hal ini adalah ijazah yang dipalsukan tetapi selain itu juga harus didasarkan pada persesuaian antara keterangan para saksi yang ada dengan barang bukti yang diajukan di persidangan. 2. Sistem Pembuktian Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat – alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan – tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta – fakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat – syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat – alat bukti yang ditentukan undang – undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat – alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, para hakim harus hati – hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian.25 Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Terdapat bagian yang juga tidak kalah pentingnya dalam Hukum Pembuktian adalah masalah pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti a priori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat, dalam jurang kekalahan. Melakukan pembagian beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau undag – undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Hakim atau Pengadilan yang bersangkutan.26 Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut: 1. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan. 2. Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian adalah merupakan usaha sebaliknya untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada agar menyatakan seorang terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu, tedakwa atau penasihat 25 Mohammad Taufik Makarao & Suharsil, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm 102-103. 26 Subekti, 2008, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, hlm 15. hukum jika mungkin harus mengajukan alat – alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya, bukti tersebut disebut bukti kebalikan. 3. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut, yakni dengan adanya alat – alat bukti yang ada dalam persidangan, baik yang berasal dari penuntut umum maupun penasihat hukum/ terdakwa dibuat atas dasar untuk membuat keputusan.27 Mengenai perkembangannya, hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (Negara). Menurut bukunya Andi Hamzah disebutkan bahwa terdapat beberapa sistem atau teori pembuktian untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian itu antara lain : a. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang – undang secara positif (Positive wettelijk bewijstheorie ). Sistem pembuktian ini didasarkan melulu kepada alat – alat pembuktian yang disebut undang – undang. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang – undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat – alat bukti yang disebut oleh undang – undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie). 28 Sistem ini memposisikan seorang hakim laksana robot yang menjalankan undang – undang. Namun demikian ada kebaikan dalam sistem ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh 27 28 Alfitra, Op.cit, hlm 25. Jur Andi Hamzah, Op.cit, hlm 251. nuraninya sehingga benar – benar objektif. Artinya, menurut cara – cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undang – undang. b. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu. (conviction intime). Sistem ini berlawanan secara berhadap – hadapan dengan teori pembuktian menurut undang – undang secara positif, ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat – alat bukti dalam undang – undang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Perancis.29 Sistem pembuktian ini, dasar keyakinan hakim dilandaskan kepada integritas personal yang meliputi kejujuran, kehormatan, martabat, dan charisma hakim itu sendiri untuk menyusun pertimbangan yang dilakukannya dengan sadar. Pengakuan yang diberikan oleh terdakwa dan saksi – saksi saja masih belum tentu kebenarannya. Terdakwa dan saksi yang memberikan keterangan itu tetap harus dinilai sebagai manusia biasa yag mungkin lupa, emosional, dan subjektif. Mereka itu tidak akan selalu bersikap netral terhadap peristiwa yang dialaminya sendiri, hakimlah yang harus menjadi netral dan objektif terhadap peristiwa yang dialami terdakwa dan saksi. Dengan netralitas dan objektifitas memandang peristiwa itu apa adanya, lalu hakim menyusun pertimbangan untuk menilai. Ukuran penilaian itu adalah keyakinan hati nuraninya sendiri dan integritas pribadi dalam jabatan hakim yang diembannya. 29 Ibid. hlm 252. c. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Laconviction Raisonnee). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan – peraturan pembuktian tertentu. Jadi keputusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan – alasan keyakinannya. Sistem ini berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusive) yang logis, yang tidak berdasarkan kepada undang – undang, tetapi ketentuan – ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tetang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan.30 Sebenarnya sistem Laconviction Raisonnee merupakan jalan tengah atau yang berdasarkan hakim sampai batas tertentu ini terpecah menjadi dua sub sistem atau sub teori yaitu : - Conviction Raisonne, artinya sub sistem ini berpangkal tolak pada keyakinan hakim, yang didasarkan kepada satu kesimpulan yang logis tidak selalu hanya kepada undang – undang saja, tapi juga kepada keyakinan menurut sistem ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh hakim itu sendiri. Jadi, keyakinan itu bisa menurut system ilmu pengetahuan yang ada dikuasai oleh hakim itu sendiri. hal ini seperti yang telah diuraikan sebelumnya di atas. - Negatief Wettelijk Bewijstheorie, artinya sub sistem ini berpangkal tolak keyakinan 30 Ibid, hlm 253. berdasarkan aturan pembuktian yang diatur dalam Undang – Undang, sehingga tidak boleh ada keyakinan diluar Undang – undang itu, walaupun keyakinan itu masih dapat dipertanggungjawabkan menurut ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan itu hanya bisa digunakan sebagai dasar keyakinan bilamana telah dimasukkan sebagai aturan ke dan di dalam Undang – Undang. d. Teori pembuktian berdasarkan Undang – undang secara Negatif (Negatief Wettelijk). Sistem ini berpangkal tolak pada aturan – aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitative oleh undang – undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim. 31 Sistem negative ini ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni : - Wettelijk: adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh undang – undang. - Negatief : adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan bukti – bukti tersebut hakim meyakini kesalahan hakim. Sistem pembuktian yang dianut di Indonesia adalah menggunakan teori pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif (negatief wettelijk)32 31 Ibid, hlm 254. Samidjo, 1988, Responsi Hukum Acara Pidana Dalam Penerapan Sistem Kredit Semester, hlm 239-240. 32 Sistem pembuktian di atas adalah pengaturan tentang macam – macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara – cara bagaimana alat – alat bukti itu dipergunakan serta dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya di depan sidang pengadilan. Hal yang sama juga digunakan di Negara Eropa Kontinental yang tertuang dalam Pasal 183 KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dari pasal tersebut di atas, putusan hakim haruslah didasarkan pada dua syarat, yaitu : a. Minimum dua alat bukti, dan b. Dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Jadi, meskipun di dalam persidangan telah diajukan dua atau lebih, bila hakim tidak yakin bahwa terdakwa bersalah, terdakwa tersebut akan dibebaskan. Dari uraian diatas jelaslah bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian negatife wettelijk. Minimum pembuktian yakni dua alat bukti yang bisa disimpangi dengan satu alat bukti untuk pemeriksaan perkara cepat (diatur dalam Pasal 205 sampai Pasal 216 KUHAP). Jadi, jelasnya menurut penjelasan Pasal 184 KUHAP, pemeriksaan perkara cepat cukup dibuktikan dengan satu alat bukti dan keyakinan hakim. Dasar hukum pembuktian hukum acara pidana mengacu pada Pasal 183-189 KUHAP. Yang dapat disimpulkan bahwa pembuktian dalam perkara pidana menurut hukum acara pidana itu: 1. Bertujuan mencari kebenaran material, atau yang sesungguhnya. 2. Hakimnya bersifat aktif. Hakim mendapatkan bukti yang cukup untuk kepada tertuduh. 3. Alat buktinya bisa berupa keterangan surat, petunjuk, keterangan terdakwa.33 yaitu kebenaran sejati berkewajiban untuk membuktikan tuduhan saksi, keterangan ahli, Pembuktian ini adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Pembuktian juga merupakan kegiatan membuktikan, dimana membuktikan berarti memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan.34 Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, 33 http://www.pnpmperdesaan.or.id/downloads/Pembuktian%20dalam%20Perkara%20Pidana.pdf, diakses tanggal 3 November 2011. 34 http://lawmetha.wordpress.com/2011/06/03/pembuktian-dalam-hukum-acara-pidana/, diakses tanggal 16 September 2011. untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal. Bentuk perbandingannya adalah jikalau kekuatan pembuktian dari akte autentik di dalam acara perdata bersifat mengikat hakim,karena hakim perdata harus menganggap sesuatu hal terbukti oleh akte autentik kecuali jika ada kontra bukti yang melumpuhkan kekuatan pembuktian dari akte itu, maka dalam hukum acara pidana lain lagi, bagi Hakim, tidak ada alat bukti satupun yang akan mengikat hakim tentang kekuatan pembuktian, kecuali kalau tidak yakin akan kesalahan dari terdakwa, tentunya hakim tidak boleh serampangan menyampingkan begitu saja suatu akte autentik sebagai bukti melainkan harus ada alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.35 Pembuktian merupakan proses untuk menentukan hakikat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta masa lalu yang tidak terang menjadi terang yang berhubungan dengan adanya tindak pidana. Pembuktian dalam acara pidana sangat penting karena nantinya akan terungkap kejadian yang sebenarnya berdasarkan berbagai macam alat bukti yang ada dalam persidangan. Secara konkret, Adami Chazawi menyatakan, bahwa dari pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan, sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu: 1. Bagian kegiatan pengungkapan fakta. 2. Bagian pekerjaan penganalisisan fakta penganalisisan hukum. yang sekaligus Di dalam bagian pengungkapan fakta, alat-alat bukti diajukan ke muka sidang oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum atau atas kebijakan majelis hakim untuk diperiksa kebenarannya. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis mengucapkan secara lisan bahwa pemeriksaan terhadap 35 C. Djisman Samosir, 1985, Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Bandung: Bina Cipta, hlm. 90. perkara dinyatakan selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP). Setelah bagian kegiatan pengungkapan fakta telah selesai, maka selanjutnya Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan majelis hakim melakukan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi Penasehat Hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (pledoi), dan akan dibahas majelis hakim dalam putusan akhir (vonis) yang dibuatnya.36 Menurut M. Yahya Harahap, Pembuktian adalah ketentuan yang beisi penggarisan dan pedoman kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan37. Pembuktian ini menjadi penting apabila suatu perkara tindak pidana telah memasuki tahap penuntutan di depan sidang pengadilan. Tujuan adanya pembuktian ini adalah untuk membuktikan apakah terdakwa benar bersalah atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Menurut Yahya Harahap hanya alat bukti yang mencapai batas minimal yang memiliki nilai kekuatan pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila alat bukti tidak mencapai sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam KUHAP, maka pelanggaran itu dengan sendirinya menyampingkan standar Beyond a reasonable doubt (patokan penerapan standar terbukti secara sah dan meyakinkan) dan pemidanaan yang dijatukan dapat dianggap sewenang-wenang.38 Mengingat KUHAP mengandung sistem akusatur (accusatory procedure) artinya bahwa kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah subyek bukan sebagai obyek 36 http://lawmetha.wordpress.com/2011/06/03/pembuktian-dalam-hukum-acara-pidana/, diakses tanggal 16 September 2011. 37 M. Yahya harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaaan sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.252. 38 http://lawmetha.wordpress.com/2011/06/03/pembuktian-dalam-hukum-acara-pidana/, diakses tanggal 16 September 2011. pemeriksaan karena itu tersangka atau terdakwa harus diposisikan dan diperlakukan dalam kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat serta harga diri. Dalam hal ini KUHAP juga menerapkan asas praduga tidak bersalah sehingga setiap proses pembuktian terhadap terdakwa / tersangka yang disangka, didakwa, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan di muka persidangan harus dianggap tidak besalah sampai adanya putusan hakim yang mengatakan bahwa ia bersalah dan memperoleh kekuatan hukum tetap. C. Barang Bukti 1. Pengertian dan Macam Barang Bukti. Kata barang bukti antara lain terdapat dalam pasal – pasal berikut : a. Pasal 21 ayat (1) KUHAP : Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan barang bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa melarikan diri merusak atau menghilangkan barang bukti dan mengulangi lagi tindak pidana. b. Pasal 45 ayat (2) KUHAP : Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti. Pasal 46 ayat (2) KUHAP menyebutkan: apabila perkara sudah diputus, benda yang dikenakan penyitaan disebut dalam putusan oleh hakim bahwa benda itu dirampas untuk Negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. c. Pasal 181 ayat (1) KUHAP: Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Undang – undang ini. Pasal 181 ayat (2) KUHAP. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua kepada saksi. Di dalam KUHAP ditentukan cara – cara untuk memperoleh barang bukti, yaitu sebagai berikut : a. Penggeledahan (diatur di dalam Pasal 32 KUHAP, Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, Pasal 125 KUHAP, Pasal 127 ayat (1) KUHAP, Pasal 127 ayat (2) KUHAP). b. Penyitaan (diatur di dalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP, Pasal 39 KUHAP Pasal 46 ayat (1) KUHAP, Pasal 128 KUHAP, Pasal 130 ayat (1) KUHAP). c. Pemeriksaan Surat (diatur dalam Pasal 47 ayat (1) KUHAP, Pasal 47 ayat (2) KUHAP, Pasal 49 ayat (1) KUHAP, Pasal 131 KUHAP. Ketentuan yang tidak kalah penting ada dalam Pasal 45 KUHAP yang berisi hal – hal berikut : a. Apabila benda yang dapat lekas rusak atau membahayakan sehingga tidak mungkin untuk disimpan terlalu lama, atau biaya penyimpanannya terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat dijual lelang. b. Hasil lelang tersebut dipakai sebagai barang bukti. c. Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil benda tersebut untuk pembuktian. Dari penjelasan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pengertian barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan, dan atau penggeledahan, dan atau pemeriksaan surat untuk diambil alih, dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Kalau dilihat dari ketentuan di dalam Pasal 181 KUHAP tentang pemeriksaan barang bukti, seakan – akan hanya bersifat formal. Padahal, secara material, barang bukti sering kali sangat berguna bagi hakim untuk menyadarkan keyakinannya; Seperti yang kita ketahui, KUHAP menganut sistem pembuktian negatif, yakni : a. Adanya macam – macam alat bukti yang ditentukan oleh undang – undang dan b. Adanya keyakinan bagi hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana. Meskipun telah ada alat bukti yang ditentukan oleh undang – undang serta melebihi minimum pembuktian, hakim tidak harus yakin bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Singkatnya, hakim tidak bisa dipaksa yakin berdasarkan alat bukti yang ada, meskipun alat bukti yang ada sudah memenuhi syarat pembuktian. Bahkan sering kali hakim membebaskan seorang terdakwa berdasarkan barang bukti yang ada di dalam persidangan. 2. Pemeriksaan Surat Menurut A.Karim Nasution, yang pertama yang perlu dikemukakan adalah hanya surat – surat yang telah diserahkan dalam perkaralah yang dapat dianggap sebagai alat bukti. Jika surat – surat tersebut tidak diserahkan dan dimasukkan dalam berkas perkara yang ada pada hakim, surat – surat itu tidak dapat dipakai sebagai alat bukti, juga tidak untuk membuktikan adanya suatu petunjuk atau aanwijzing. Walaupun sesuatu surat dipergunakan sebagai alat bukti, surat tersebut tetap harus dibacakan atau diisinya secara ringkas diberitahukan dalam persidangan, jika hakim ingin mempergunakan alat bukti.39 Pasal – pasal yang berkaitan dengan pemeriksaan surat adalah sebagai berikut : Pasal 47 KUHAP, yang berbunyi : (1) Penyidik berhak berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sefdang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua Pengadilan Negeri. (2) Untuk kepentingan tersebut penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan. (3) Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini, dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam ayat tersebut. Pasal 48 KUHAP, yang berbunyi : (1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara. (2) Apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi ”telah dibuka oleh penyidik” dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta identitas penyidik. (3) Penyidik dan paa pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh – 39 Alfitra, Op.cit, hlm 91. sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan itu. Pasal 49 KUHAP, yang berbunyi : (1) Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 75. (2) Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepada jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan. Pemeriksaan surat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah diuraikan secara jelas di dalam pasal di atas. Baik itu mengenai siapa yang berhak memeriksa, membuka dan menyita surat, pihak – pihak yang berkaitan dan wilayah pemeriksaan surat tersebut ada dimana. Ketiga pasal diatas, mengatur tentang pemeriksaan surat (Pasal 47,48,49 KUHAP) yang dimaksud pemeriksaan surat menurut 3 pasal diatas adalah pemeriksaan terhadap surat yang tidak langsung punya hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa, akan tetapi dicurigai dengan alasan yang kuat.40 Pasal lain yang masih berkaitan dengan pemeriksaan surat adalah Pasal 131 KUHAP, yang berbunyi : (1) Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya, penyidik segera pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya dan jika perlu menyitanya. (2) Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 129 undang – undang ini. Selain itu ada juga Pasal 132 KUHAP yang berbunyi : 1. Dalam hal ada laporan bahwa sesuatu surat / tulisan palsu atau dipalsukan/ diduga palsu oleh penyidik maka untuk 40 Suryono Sutarto, 1987, Sari Hukum Acara Pidana I, Semarang: Yayasan Cendekia Purna Dharma, hlm 52-53. 2. 3. 4. 5. 6. kepentingan penyidikan oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli. Dalam hal itu kalau timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau dipalsukan, penyidik dengan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat dapat segera datang atau dapat minta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan pembanding. Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak dapat dipisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131, penyidik dapat minta supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan. Dalam hal surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menjadi bagian dari suatu daftar, penyimpan membuat salinan sebagai penggantinya sampai surat yang asli diterima kembali yang dibagian bawah dari salinan iitu penyimpan mencatat apa sebab salinan itu dibuat. Dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan daam waktu yag ditentukan dalam surat permintaan, tanpa alasan yang sah, penyidik berwenang mengambilnya. Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam pasal ini dibebankan pada dan sebagai biaya perkara. Jadi, apabila ada laporan mengenai surat / tulisan palsu atau dipalsukan maka jika dirasa perlu, penyidik dapat memanggil ahli untuk dimintai keterangannya yang berkaitan dengan keahliannya tersebut. Dan jika ada dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau dipalsukan maka penyidik atas izin Ketua Pengadilan Negeri meminta kepada penjabat berwenang untuk meminta surat aslinya. Jika ada surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, maka penyidik bisa meminta untuk dikirimkan beserta tanda terimanya. Selain itu, surat yang tidak menjadi bagian dari suatu daftar, maka penyimpan diharapkan membuat salinannya untuk diserahkan ke penyidik sebagai penggantinya sampai yang asli diterima kembali. Namun jika ternyata surat yang diminta penyidik itu tidak segera dikirim oleh penyimpan maka penyidik berhak mengambilnya. Yang perlu diingat bahwa semua biaya pemeriksaan surat ini dimasukkan ke dalam biaya perkara. D. Tindak Pidana Pemalsuan Surat. Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda – tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai bahan pembuktian. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memuat tanda – tanda bacaaan, atau meskipun memuat tanda – tanda bacaan, tetap tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat. 41 Selanjutnya beberapa ahli memberikan definisi surat sebagai berikut: Menurut Sudikno Mertokusumo: ”Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.”42 Menurut Pitlo, yang termasuk surat adalah segala sesuatu yang mengandung buah pikiran atau isi hati seseorang. Dengan demikian potret atau gambar tidak dapat dikatakan sebagai surat karena tidak memuat tanda-tanda bacaan atau buah pikiran.43 Menurut Asser-Anema sebagai berikut : “surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan pikiran.”44 Surat adalah suatu lemaran kertas yang di atasnya terdapat tulisan yag terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka yang mengandung/ berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat 41 Alfitra,2011, Op.cit, hlm 86. Fernandes Raja Saor, 21 Maret 2010, “Tinjauan Umum Pembuktian Pidana Terhadap Alat Bukti Surat”, tersedia di website http://raja1987.blogspot.com/2010/03/tinjauan-umumpembuktian-pidana.html, diakses tanggal 12 Desember 2011. 43 Ibid, diakses tanggal 12 Desember 2011. 44 Jur Andi Hamzah, Op.cit, hlm 276. 42 berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apapun.45 Pengertian surat menurut KUHAP adalah surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 187 KUHAP, yaitu yang dibuat atas sumpah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah, yaitu: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. b. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Jenis surat ini dapat dikatakan hampir meliputi segala jenis surat yang dibuat oleh pengelola administrasi dan kebijakan eksekutif. c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari surat alat pembuktian lain (surat pada umumnya). Seharusnya surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat – surat resmi hanyalah yang diatur dalam Pasal 187 huruf a,b,c KUHAP. Sementara itu, yang diatur dalam Pasal 187 huruf d KUHAP, termasuk surat biasa yang setiap hari bisa dibuat oleh seseorang. Surat – surat yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf a,b,c KUHAP memang sejak semula diperuntukkan untuk membuktikan sesuatu. Surat resmi yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf a KUHAP misalnya : berita acara penyidik dan surat yang dibuat oleh pejabat 45 Adami Chazawi, 2002, Op.cit, hlm 99. umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri seperti surat yang dibuat oleh seorang notaris. Pasal 187 huruf b KUHAP, Contoh: Kartu Tanda Penduduk, Akta Keluarga, Akta Tanda Lahir, dan sebagainya. Pasal 187 huruf c KUHAP, Contoh: Visum Et Repertum dari Ahli Kedokteran Kehakiman. Pasal 187 huruf d KUHAP, Contoh: buku harian seorang pembunuh yang berisi catatan mengenai pembunuhan yang pernah ia lakukan. Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengn sebenarnya.46 Tidak semua surat dapat menjadi obyek pemalsuan surat, melainkan terbatas pada 4 macam surat, yakni : 1. Surat yang menimbulkan suatu hak; 2. Surat yang menimbulkan suatu perikatan; 3. Surat yang menimbulkan pembebasan hutang; 4. Surat yang diperuntukkan mengenai bukti mengenai sesuatu hal.47 Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada / belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara perbuatan memalsu, adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula. Surat ini disebut dengan surat yang dipalsu. Dua unsur perbuatan dan 4 unsur objek pemalsuan surat tersebut, bersifat 46 47 Ibid, hlm 99. Ibid, hlm 101-102. alternatif. Harus dibuktikan salah satu wujud perbuatannya dan salah satu objek suratnya. Membuktikannya ialah melalui dan menggunakan hukum pembuktian dengan menggunakan minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana dalam Pasal 183 jo 184 KUHAP. Perbuatan membuat surat adalah melakukan suatu perbuatan dengan cara apapun mengenai sebuah surat. Misalnya: KTP, sehingga menghasilkan sebuah KTP. Hal-hal yang harus dibuktikan mengenai perbuatan membuat ini antara lain, adalah wujud apa termasuk bagaimana caranya dari perbuatan membuat (misalnya menggunakan mesin cetak/ketik dsb), dan siapa yang melakukan wujud tersebut, berikut kapan (temposnya) dan dimana (locusnya) - semuanya harus jelas, artinya dapat dibuktikan. Tidak cukup adanya fakta kedapatan pada seseorang, atau digunakan sebagai bukti identitas menginap di sebuah hotel. Dalam Hukum pembuktian tidak mengenal dan tidak tunduk pada anggapan, melainkan harus dibuktikan setidak-tidaknya memenuhi syarat minimal pembuktian. Hukum pembuktian dibuat untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan, dan untuk menghindari kesewenangwenangan hakim. Pasal 183 KUHAP tentang syarat minimal pembuktian, menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan pidana, ialah syarat subjektif yang dilandasi syarat objektif. Harus ada keyakinan hakim yang dibentuk berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah. Tiga keyakinan hakim yang dibentuk atas dasar (objektif) minimal 2 alat bukti yang sah tersebut, ialah hakim yakin tindak pidana terjadi, hakim yakin terdakwa melakukannya dan hakim yakin terdakwa bersalah. Menggunakan bagaimanapun sebuah wujudnya atas surat sebuah adalah surat melakukan dengan perbuatan menyerahkan, menunjukkan, mengirimkannya pada orang lain yang orang lain itu kemudian dengan surat itu mengetahui isinya. Ada 2 syarat adanya “seolah-olah surat asli dan tidak dipalsu” dalam Pasal 263 (1) atau (2) KUHP, ialah: (pertama) perkiraan adanya orang yang terpedaya terhadap surat itu, dan (kedua) surat itu dibuat memang untuk memperdaya orang lain. Arti dapat merugikan menurut Ayat (1) maupun ayat (2) Pasal 263 KUHP. Istilah “dapat” adalah perkiraan yang dapat dipikirkan oleh orang yang normal. Namun perkiraan itu harus didasarkan pada keadaan yang pasti, yang jelas dan tertentu. Jika keadaan atau hal-hal tersebut di atas benar-benar ada, maka kerugian itu bisa terjadi. Contoh, sebuah SIM palsu atau dipalsu atas nama A. Bila A mengemudi dengan menggunakan SIM palsu dapat merugikan pengguna jalan dengan alasan keadaan yang harus dibuktikan ialah yang bersangkutan tidak mampu mengemudi dengan baik. Jelas dan tertentu, ialah bagi pengguna jalan, bukan semua orang. Namun jika keadaan itu tidak ada, misalnya pekerjaan A yang digelutinya bertahaun-tahun adalah mengemudi, maka perbuatan mengemudikan kendaraan itu tidak dapat merugikan pengguna jalan lainnya, karena kemahiran mengemudi sudah dikuasainya. Maka alasan merugikan pengguna jalan tidak bisa digunakan. Ada perbedaan perihal “dapat merugikan” menurut ayat (1) dan menurut ayat (2). Perbedaannya, ialah surat palsu atau dipalsu menurut ayat (1) belum digunakan, sementara ayat (2) surat sudah digunakan. Oleh karena menurut ayat (2) surat sudah digunakan, maka hal kerugian menurut Ayat (2) harus jelas dan pasti perihal pihak mana yang dirugikan dan kerugian berupa apa yang akan diderita oleh orang/pihak tertentu tersebut. Ada 2 pihak yang dapat menderita kerugian, ialah: (1) Pihak/orang yang namanya disebutkan di dalam surat palsu tersebut, atau (2) Pihak/orang – siapa surat itu pada kenyataaannya digunakan. Namun harus jelas bahwa perkiraan kerugian ini adalah akibat langsung dari penggunaannya. Artinya tanpa menggunakan surat palsu/dipalsu, kerugian itu tidak mungkin terjadi. Dalam perbuatan membuat surat palsu terdapat juga pemalsuan intelektuil (intelectuele valsheid), berhubung isinyapun bertentangan dengan kebenaran. Perbuatan membuat surat palsu dapat mengenai tanda tangan maupun mengenai isi daripada tulisan atau surat, dimana perbuatan itu menggambarkan secara palsu bahwa surat itu baik secara keseluruhannya maupun dari hanya tanda tangannya atau isinya berasal dari seorang yang namanya tercantum dibawah tulisan itu (Pemalsuan secara Materiil).48 Pemalsuan dalam penandatanganan dapat juga terjadi : - - - 48 Meniru tanda tangan seseoang yang tidak ada, seperti orang yang telah meninggal dunia, atau yang sama sekali tidak pernah ada (fiktif); Penandatangan dengan nama sendiri, apabila isi dan penggunaan surat itu menimbulkan gambaran seakan – akan tanda tangan itu berasal dari seorang yang sama namanya ; Mengisi suatu blangko kertas segel yang telah lebih dulu dibubuhi tanda tangan orang lain, pengisian mana pada H.A.K. Moch. Anwar, 1994,Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP BUKU II), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm 189 keseluruhannya bertentangan dengan kehendak penandatanganan maupun menyimpang dari kehendaknya; - Pembubuhan tanda tangan orang lain dengan menirunya atas persetujuannya. 49 Dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP diatur mengenai perlarangan untuk membuat surat palsu, selain itu, perbuatan kedua yang dilarang dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP adalah memalsukan surat. Perbuatan memalsukan surat ini dilakukan dengan cara melakukan perubahan – perubahan tanpa hak (tanpa izin yang berhak) dalam suatu surat atau tulisan, perubahan mana dapat mengenai tanda tangannya maupun mengenai isinya. Tidak peduli, bahwa ini sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak benar ataupun sesuatu yang benar, perubahan isi yang tidak benar menjadi benar merupakan pemalsuan surat. Pemalsuan perubahan itu dapat terdiri atas : - Penghapusan kalimat, kata angka, tanda tangan; - Penambahan dengan satu kalimat, kata atau angka. - Penggantian kalimat, kata, angka, tanggal dan/atau tanda tangan.50 Perbuatan perubahan itu menimbulkan perubahan atas tampaknya maupun atas isinya serta tujuannya semula. Dengan demikian perbuatan perubahan itu mengganggu, memperkosa surat atau tulisan asli. Perbuatan penggunaan surat palsu tidak diperlukan untuk kejahatan pemalsuan surat itu, tetapi dengan sendirinya dapat menimbulkan kejahatan kedua. Jadi sama sekali tidak dipersoalkan, penggunaan mana yang dikehendaki oleh pelaku tetapi perbuatan penggunaan itu disyaratkan oleh 49 50 Ibid, hlm 189-190. Ibid, hlm 190. Undang – Undang bahwa penggunaan yang dikehendaki oleh pelaku dapat menimbulkan kerugian. Membuat surat palsu merupakan perbuatan yang dilarang, selain itu memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan juga merupakan perbuatan yang dilarang. Hal ini sesuai dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP. Menurut H.A.K Moch. Anwar di dalam bukunya, ia mengatakan sebagai berikut : “Dalam pasal 263 ayat (2) ini, pemalsuannya sendiri tidak merupakan kejahatan. Selanjutnya tujuan atas penggunaan dapat berlainan dari pada tujuan dari pada pemalsu atau pelaku pemalsuan tanpa karenanya meniadakan penghukuman terhadap orang yang menggunakannya atau pemakaiannya. Pemakaian atau penggunaan ini dapat dilakukan oleh orang lain dari pada orang yang membuat surat palsu atau yang memalsukan surat. Undang – undang tidak menutup setiap cara penggunaannya tidak menuntut penggunaannya berdasarkan peraturan – peraturan hukum yang berlaku terhadap surat itu. Dengan demikian penggunaan dapat terdiri atas pengajuan atau penempatan pada suatu tempat dimana surat itu harus atau dapat menimbulkan akibat, pun penyampaian surat itu kepada seseorang yang kemudian melakukan penggunaannya”.51 Dari uraian Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Pasal 263 ayat (1) punya unsur lain daripada pemalsuan yaitu pemakaian surat palsu atau surat dipalsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan / dimaksudkan petindak. Dalam unsur ini terkandung pengertian bahwa (1) pemakaian surat belum dilakukan. Hal ini ternyata dari adanya perkataan “jika” dalam kalimat / unsur itu, dan (2) karena penggunaan surat belum dilakukan, maka dengan sendirinya kerugian itu belum ada. Hal ini ternyata juga dari adanya perkataan “dapat”. 51 Ibid, hlm 194-195. Kerugian yang timbul akibat dari pemakaian surat palsu atau surat dipalsu, tidak perlu diketahui atau disadari oleh petindak. Hal ini ternyata dari adanya suatu arrest HR (8-6-1897) yang mengatakan bahwa “petindak tidak perlu mengetahui terlebih dahulu kemungkinan timbulnya kerugian ini”.52 Pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP ini juga terdapat unsur pemakaian surat palsu atau surat dipalsu itu dapat menimbulkan kerugian. Walaupun perihal unsur ini baik pada ayat (1) maupun ayat (2) mempunyai persamaan, tetapi ada perbedaan. Perbedaannya adalah, pada ayat 1 bahwa kemungkinan akan timbulnya kerugian itu adalah akibat dari pemakaian surat itu belum dilakukan. Karena yang baru dilakukan adalah membuat surat palsu dan memalsu suratnya saja. Akan tetapi pada ayat (2), kerugian yang mungkin terjadi akibat dari pemakaian surat palsu atau surat dipalsu itu, dimana pemakaian surat itu sendiri sudah dilakukan, akan tetapi kerugian itu tidak perlu nyata – nyata telah timbul. Oleh karena dipisahnya antara kejahatan membuat surat palsu dan memalsu surat dengan kejahatan memakai surat palsu atau surat dipalsu, maka terhadap hal yang demikian dapat menjadi pelanggaran ayat (1) pelanggaran ayat (2) dapat dilakukan oleh orang yang sama. Dalam hal demikian telah menjadi pembarengan perbuatan. Unsur kesalahan pada ayat (2) yakni dengan sengaja. Dalam hal ini kesengajaan meliputi baik pada perbuatan memakai, surat palsu atau surat dipalsu, seolah – olah surat asli dan tidak dipalsu maupun pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian. 52 Adami Chazawi, Op.cit, hlm 105. Artinya ialah, (1) petindak menghendaki melakukan perbuatan memakai, (2) ia sadar atau insyaf bahwa surat yang ia gunakan itu adalah surat palsu atau surat yang dipalsu, (3) ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu adalah seolah – olah pemakaian surat asli dan tidak dipalsu, dan (4) ia sadar mengetahui bahwa penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Unsur kesengajaan yang demikian itu harus dibuktikan.53 53 Ibid, hlm 107. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan – pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan Perundang - undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).54 Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Secara lebih rincinya pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan perundangundangan, dan pendekatan kasus. a. Pendekatan Perundang - undangan. Pendekatan perundang - undangan dilakukan dengan menelaah semua undang – undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Untuk itu penulis harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: 1) Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis. 54 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, hlm 93. 2) All-inclusive artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan kekurangan hukum. 3) Sistematic, bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis. b. Pendekatan Kasus. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk mempelajari norma – norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama kasus – kasus yang telah diputus. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian hukum yang dilakukan adalah dengan penelitian preskriptif, yaitu suatu penelitian untuk mendapatkan saran – saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tertentu. Jadi, penelitian ini penulis akan memberikan preskriptif mengenai kekuatan pembuktian dan pertimbangan hukum dalam menjatuhkan pidana yang digunakan oleh Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dengan tujuan untuk mendapatkan saran – saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tertentu (Studi Putusan Nomor : 144 / Pid. B / 2006 / PN. Pwt ). C. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto. D. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dan data primer (wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto). Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a. Bahan Hukum Primer. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 3) Putusan Nomor : 144/Pid. B/2006/PN.Pwt. b. Bahan Hukum Sekunder. Bahan – bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku - buku teks, kamus – kamus hukum, jurnal – jurnal hukum, dan komentar – komentar atas putusan pengadilan. 55 Dan sumber lain untuk mendukung penelitian ini. E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum a. 55 Metode Kepustakaan. Ibid, hlm 141 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kepustakaan, tujuannya untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapatpendapat, ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan tersebut dapat berupa, peraturan perundangan dan karya ilmiah para sarjana. b. Metode Dokumenter. Selain metode kepustakaan, dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode dokumenter yaitu dengan cara pengumpulan bahan dengan menelaah terhadap dokumen – dokumen pemerintah maupun non-pemerintah. Misalnya : Putusan Pengadilan, Instruksi, Aturan Suatu Instansi, Publikasi, Arsip – arsip ilmiah dsb. F. Metode Penyajian Bahan Hukum Data yang disajikan berbentuk uraian yang disusun secara sistematis, dan di dalam penyusunannya dibuat secara singkat dan jelas, sehingga penyusunan data dapat dipahami dan mudah dipelajari. G. Metode Analisis Bahan Hukum Metode analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif yaitu data yang diperoleh akan dianalisis dengan pembahasan dan penjabaran hasil-hasil penelitian dengan mendasarkan pada norma-norma dan doktrin-doktrin yang berkaitan dengan materi yang diteliti. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian tentang kekuatan pembuktian alat bukti surat palsu atau yang diduga palsu dan pertimbangan hakim dalam memutus perkara terhadap Putusan Nomor: 144/Pid.B/2006/PN.Pwt yang dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto, maka diperoleh data berupa data sekunder dan data primer, data – data tersebut adalah sebagai berikut : A. Data Sekunder 1. Duduk Perkara Pada Putusan 144/Pid.B/2006/PN.Pwt Pengadilan telah terjadi Negeri tindak Purwokerto pidana “Dengan Nomor: sengaja menggunakan surat palsu” yang dilakukan oleh terdakwa dengan identitas: Nama Lengkap Tempat Lahir Umur / Tanggal Lahir Jenis Kelamin Kewarganegaraan Tempat Tinggal : Suherman bin Sandjukri : Cilacap : 52 tahun / 5 Februari 1954 : Laki-laki : Indonesia : Perum Limas Agung Permai, Kelurahan Bancar Kembar, Kecamatan Purwokerto Utara, Kabupaten Banyumas. Agama : Kristen Prostestan Pekerjaan : Ketua.Anggota DPRD Banyumas Kejadian tersebut bermula ketika akan diselenggarakannnya ujian persamaan SMU tahun 2001 yang diadakan oleh Departemen Pendidikan Nasional Wilayah Propinsi Jawa Tengah, dengan persyaratan bagi peserta sebagaimana telah ditentukan dalam Surat Kepala Kantor Departemen Pendidikan Nasional Wilayah Propinsi Jawa Tengah No. 079.a/103.07/U/2001 tanggal 21 Februari 2001 perihal Juknis Ujian Persamaan dapat mengikuti ujian persamaan SMU tahun 2001 diantaranya adalah: melampirkan salinan atau foto copy ijazah/ STTB SLTP/ Mts atau memiliki Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama Dengan Surat Tannda Tamat Belajar SLTP yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang. Dengan dibukanya pendaftaran ujian persamaan SMU tahun 2001 tersebut, meskipun pendaftarannya sudah ditutup terakhir tanggal 6 April 2001, namun terdakwa berupaya untuk tetap bisa ikut ujian persamaan SMU tahun 2001 walaupun terdakwa menyadari kalau tidak memiliki ijazah atau STTB SLTP / Mts sebagai salah satu persyaratan yang ditentukan Panitia Ujian Persamaan SMU tahun 2001 tersebut diatas. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, bertempat dirumah terdakwa di Perum Limas Agung Permai, Kel. Bancarkembar, Kec. Purwokerto Utara, Kab.Banyumas terdakwa menyuruh Sdri. Ringahyatul Qiromah untuk menyerahkan berkas pendaftaranujian persamaan SMU tahun 2001 miliknya yang berisi Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tanggal 5 Januari 2001 kepada Panitia ujian persamaan SMU tahun 2001 di Kanwil Departemen Pendidikan Nasional Wilayah Propinsi Jawa Tengah di Semarang, dimana Surat Keterangan tersebut dipakai terdakwa sebagai pengganti untuk memenuhi salah satu persyaratan ujian persamaan SMU tahun 2001 yang harus melampirkan yakni salinan atau foto copy ijazah/ STTB SLTP/Mts atau memiliki Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama dengan Surat Tanda Tamat Belajar SLTP yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; Bahwa ternyata Surat Keterangan No. No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tanggal 5 Januari 2001 yang dipakai oleh terdakwa dalam mendaftar ujian persamaan SMU tahun 2001 tersebut dibuat oleh Kepala SMP Nasional Sidareja yang pembuatannya sudah direkayasa atas permintaan terdakwa sehingga isinya tidak benar, dimana Surat Keterangan tersebut baru dibuat tanggal 4 Mei 2001, disamping itu isinya seolah – olah terdakwa sebagai siswa SMP Nasional Sidareja dinyatakan tamat dan telah lulus ujian Negara tahun 1970. Padahal kenyataannya terdakwa sebagai siswa SMP Nasional Sidareja telah mengikuti Ujian Negara tahun 1970 dinyatakan tamat tidak lulus dan tidak memiliki Surat Tanda Tamat Belajar SMP. Dengan perbuatan terdakwa menggunakan Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tanggal 5 Januari untuk persyaratan pendaftaran ujian persamaan SMU tahun 2001 tersebut akhirnya terdakwa bisa mengikuti ujian persamaan SMU tahun 2001. Akibat perbuatan terdakwa tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi pihak Kanwil Departemen Pendidikan Nasional Wilayah Propinsi Jawa tengah. 2. Dakwaan Penuntut Umum Berdasarkan uraian tersebut di atas maka terdakwa didakwa melakukan tindak pidana dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang diduga palsu dengan dakwaan kombinasi / Alternatif Komulatif dengan membuktikan dakwaan yang dikomulatifkan yaitu dakwaan pertama primair melanggar Pasal 266 ayat (2) KUHPdan subsidair yang melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP Atau Dakwaan Kedua yang melanggar Pasal 263 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 3. Pembuktian a) Alat – alat bukti dipersidangan Pemeriksaan Saksi – Saksi Untuk membuktikan kebenaran surat dakwaan dari penuntut umum, penuntut umum telah mengajukan saksi – saksi dipersidangan yang telah disumpah berdasarkan keyakinannya masing – masing yaitu : 1. Saksi SUDARSONO: Saksi adalah Wakil Ketua PAC PDIP Baturaden sekaligus Fungsionaris PDIP Banyumas.saksi bersama teman Anggota PDI Perjuangan membentuk Team investigasi yangberjumlah 10 orang, diketuai oleh Yoyok Sukoyo. Team berusaha menyelidiki sebagaimaa berita yang dimuat disurat kabar tentang kebenaran berita pemalsuan surat oleh terdakwa tersebut dengan mendatangi SMP Nasional Sidareja, Kabupaten Cilacap.Team investigasi itu melakukan kunjungan pada hari Kamis tanggal 9 Maret 2006 ke SMP Nasional Sidareja, Kabupaten Cilacap dan diterima oleh Bapak Suwandi, S.Pd., Kepala Sekolah SMP tersebut dan Bapak Agus Musadi (TU SMP Nasional Sidareja). Berdasarkan keterangan dari Kepala Sekolah bahwa benar Suherman tercatat sebagai siswa di SMP Nasional Sidareja, terdakwa sekolah sampai kelas III dan mengikuti Ujian Nasional akan tetapi hanya tamat dan tidak lulus. Sehingga terdakwa tidak memiliki ijazah SMP.Disana saksi dan Teamditunjukan selembar Surat Keterangan Nomor : 1809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 yang isinya menyatakan bahwa terdakwa benar – benar siswa SMP Nasional Sidareja dan telah mengikuti Ujian Nasional tahun 1970 dan dinyatakan tamat. Pada hari Jum’at tanggal 10 Maret 2006 Team pergi ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap. Menurut keterangan Kepala Dinasnya yaitu Bapak Drs. Sutoyo MS. M.Ed menyatakan bahwaia pernah mengesahkan Surat Keterangan No: 2809/E/SLTP Nas/1/2001 tanggal 5 Januari 2001 tersebut.Yang menandatangani Surat Keterangan tersebut adalah Kepala SMP Nasional Sidareja (Bapak Tasam Partono, S.Pd). Surat keterangan itu terbit atas permintaan Ringahyatul Qiromah, S.Pd. Berdasarkan pengakuan Kepala SMP Nasional Sidareja, surat keterangan tersebut ada daftar nilainya, akan tetapi saksi waktu itu tidak melihat lampiran daftar nilai tersebut. Yang membuat surat keterangan tersebut adalah Bapak Suwandi yang dulu selaku Wakil Kepala Sekolah SMP Nasional.Namun oleh karena Bapak Suwandi bingung tidak tahu mata pelajaran apa saja yang diujikan pada tahun 1970 lalu Bapak Suwandi membuat daftar nilai sesuai mata pelajaran saat Bapak Suwandi lulus SMP Nasional Sidareja tahun 1960. Surat keterangan tersebut kemudian bermasalah karena tidak memenuhi syarat tanggalnya untuk mengikuti Ujian Persamaan SLTA.Bahwa saat saksi melakukan investigasi di SMP Nasional Sidareja diberitahu ada 2 surat bernomor sama yaitu 2809/E/SLTP Nas/1/2001 taggal 5 Januari 2001 atas nama Suherman NIS : 920 yang menerangkan bahwa ia benar – benar siswa SMP Nasional Sidareja dan telah mengikuti ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan tamat dan yang kedua surat keterangan bernomor : 2809/E/SLTP Nas/1/2001 tertanggal 09 januari 2001 atas nama Supriyanto tentang ralat STTB SLTP.Bahwayang menandatangani kedua surat tersebut adalah Kepala Sekolah SMP Nasional Sidareja yang saat itu dijabat oleh Bapak Tasam Partono, S.Pd. dengan terbitnya dua surat keterangan bernomor sama atas nama dua orang sebagaimana dijelaskan oleh pihak SMP Nasional Sidareja bahwa hal tersebut terjadi karena kecerobohan pihak Tata Usaha. Menurut keterangan pihak SMP Nasional Sidareja, surat bernomor : 2809/E/SLTP Nas/1/2001 tersebut milik Supriyanto. Waktu Teamdatang kesana surat keterangan atas nama Supriyanto tidak diperlihatkan namun hanya dijelaskan oleh pihak SMP Nasional Sidareja. 2. Saksi TJAROKO WIBOWO: Saksi adalah kader PDI Perjuangan Banyumas.Saksi juga ikut dalam team investigasi yang pada tanggal 9 Maret 2006 berangkat ke SMP Nasional Sidareja untuk melakukan Investigasi. Disana ditemukan surat keterangan ada dua yang atas nama terdakwa yaitu masing – masing: - Surat Keterangan Nomor : 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 yangmenerangkan bahwa Suherman benar – benar siswa SLTP Nasional Sidareja dan telah mengikuti Ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan TAMAT. - Surat Keterangan Nomor : 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 tertanggal 26 April 2001 yang menerangkan bahwa Suherman benar – benar siswa SLTP Nasional Sidareja dan telah mengikuti Ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan TAMAT TIDAK LULUS. Berdasarkan keterangan Kepala Sekolah yang menyatakan bahwa benar terdakwa terdaftar sebagai siswa SMP Nasional Sidareja, sekolah di tempat tersebut sampai kelas III dan telah mengikuti ujian Negara pada tahun 1970 dan dinyatakan tamat tapi tidak lulus. oleh karenanya terdakwa tidak memiliki ijazahSMP sehingga dengan terbitnya surat keterangan bernomor : 2809/ E/SLTP Nas/I/2001 digunakan untuk melengkapi persyaratan terdakwa agar bisa mengikuti ujian persamaan SLTA. Pada tanggal 10 Maret 2006, Team berkunjung ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Cilacap, Berdasarkan keterangan Kepala Dinas bahwa ia pernah mengesahkan dan melegalisir Surat Keterangan Nomor : 2809/E/SLTP Nas/I/2001 yang isinya menyatakan terdakwa tamat.Kemudian saksi ikut melaporkan terdakwa ke polisi, karena sebagai kader ingin punya ketua yang bersih walaupun secara materiil saksi tidak dirugikan. Seteleh melakukan investigasi tersebut, saksi menilai bahwa Surat Keterangan Nomor : 2809/E/SLTP Nas/I/2001 adalah tidak sama dengan STTB atau Surat Berpenghargaan sama dengan STTB. Di dalam surat keterangan tersebut identitas memang tidak dipalsukan, namun hanya ada perbedaan keterangan pada dua surat keterangan tersebut. 3. Saksi LUKI EKO KRISNADI: Saksi adalah Kader PDI Perjuangan. Saksi mengetahui kasus ini dari surat kabar pada tahun 2005. Kemudian saksi langsung mengkonfirmasi tentang kebenaran berita yang dimuat di surat kabar ke pihak yang melapor yaitu Sdr. A.R. Hasan. Saksi bersama kawan sesama kader PDI Perjuangan termasuk Sdr. A.R. Hasan melakukan investigasi pada tanggal 9 Maret 2006 ke SMP Nasional Sidareja dan tanggal 10 Maret 2006 ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Cilacap, Disana pihak SMP Nasional Sidareja saat itu menunjukanSurat Keterangan Nomor : 2809/E/SLTP Nas/I/2001. Surat keterangan tersebut isinya menerangkan pada pokoknya bahwa terdakwa benar siswa SMP Nasional Sidareja dan telah mengikuti Ujian Negara tahun 1970 dinyatakan tamat tapi tidak lulus, sehingga secara otomatis tidak memiliki ijazah SMP. Menurut pihak SMP Nasional Sidareja Selain fotocopy Surat Keterangan Nomor ; 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tersebut, ada surat lain yaitu Surat Keterangan Nomor : 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 tertanggal 26 April 2001 tetapi saksi tidak tahu apa isi surat keterangan tersebut. Saksi hanya tahu ada dua surat bernomor sama atas nama dua orang berbeda yaitu Surat Keterangan Nomor: 2809/E/SLTP Nas/I/2001 yang satu atas nama Supriyanto danyang satunya atas nama Suherman. Namun saksi tidak melihat surat keterangan atas nama Supriyanto. Menurut Kepala Sekolah SMP Nasional Sidareja saat itu tidak sama kedudukannya dengan STTB. Setelah mengetahui fakta – fakta di atas, saksi sendiri bersama Yoyok Sukoyo, AR Hasan. Sudarsono, saksi Caroko dan masih ada yanglainyang namanya saksi lupa kemudian melaporkan terdakwa ke polisi pada tanggal 24 Maret 2006 termasuk Abdulrohim Hasan. 4. SaksiADJI PRIYANTO: Saksi adalah kader PDI Perjuangan.Saksi ikut Team investigasi bertemu dengan Kepala SMP Nasional Sidareja yaitu Bapak Suwandi dan seorang staf TU bernama Agus Marsaid.Disana saksi tahu surat keterangan tersebut yang isinya menyatakan bahwa Suherman benar siswa SMP Nasional Sidareja, telah mengikuti Ujian Negara tahun 1970 dan dinyatakan tamat tidak lulus. Diketahui pula dari keterangan Bapak Suwandi bahwa ada surat keterangan lain yaitu surat keterangan nomor : 2809/E/SLTP Nas/I/2001 yang menerangkan sama akan tetapi kata TIDAK LULUS ditiadakan sehingga hanya TAMAT. Surat keterangan tersebut dibuat atas permintaan Terdakwa melalui Ibu Ringahyatul Qiromah untuk melengkapi persyaratan mengikuti ujian persamaan SLTA. Penerbitan Surat Keterangan No: 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tesebut melalui beberapa proses yaitu : - Terdakwa melalui saudara iparnya yaitu ibu Ringahyatul Qiromah minta surat keterangan ke SMP Nasional Sidareja dan pihak SMP Nasional Sidareja memberikan surat keterangan atas nama terdakwa Suherman tertanggal 26 April 2001 Nomor : 2809/E/SLTP Nas/I/2001 yang menerangkan bahwa benar Suherman adalah siswa SMP Nasional Sidareja telah mengikuti Ujian Negara tahun 1970 dinyatakan Tamat Tidak Lulus. - Kedua, Sdri. Ringahyatul datang lagi menghadap Kepala SMP Nasional Sidareja untuk merubah isi surat keterangan tersebut dengan menghilangkan kata Tidak Lulus sehingga Surat Keterangan tersebut hanya menyatakan bahwa Terdakwa benar siswa SMP Nasional Sidareja telah mengikuti Ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan Tamat. - Ketiga, Sdri. Ringahyatul atas perintah terdakwa minta penambahan daftar nilai untuk lampiran surat keterangan tersebut yang kemudian diterbitkan surt keterangan Nomor : 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 dengan lampiran daftar nilai. - Keempat, Terdakwa minta perubahan tanggal pada Surat Keterangan Nomor : 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 tertanggal 26 April 2001 menjadi tertanggal 5 Januari 2001, untuk isi tidak mengalami perubahan. DisanaTeam investigasi tidak pernah ditunjukan Surat Keterangan Nomor : 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 atas nama Supriyanto, saksi juga tidak pernah ditunjukan surat keterangan tertanggal 26 April 2001. 5. Saksi ABDUR RAHIM HASAN: Saksi adalah Anggota dan Calon Legislatif Propinsi Jateng Daerah pemilihan Magelang. Saksi tahu kasus ini dari media massa pada akhir tahun 2004 yang memberitakan bahwa Terdakwa dicoret dari daftar Calon Legislatif oleh KPUD Banyumas karena ijazah Upers-nya terdakwa dicabut oleh Diknas Jawa Tengah. Pada bulan Februari tahun 2005 saksi melakukan invetigasi secara pribadi untuk mengetahui kebenarannya yakni dengan mendatangi Diknas Jawa Tengah di Semarang dan disana ditemui oleh Pak Gatot, Temo Suhadi dan Kemas Amarudin. Saat di Diknas Jawa Tengah, saksi diperbolehkan melihat dokumen yaitu Surat Nomor 2809, foto copy KTP danraport atas nama terdakwa. Isi dari surat nomor 2809 menyatakan bahwa tedakwa benar siswa SMP Nasional Sidareja, ikut ujian Negara dan dinyatakan Tamat dan terlampir daftar nilai serta cap tiga jari. Pada tanggal 9 Maret 2006 saksi bersama Team pencari fakta melakukan investigasi ke SMP Nasional Sidareja. Disana Pak Suwandi menginformasikan secara detail perihal surat No. 2809 dan mengatakan bahwa terdakwa tidak pernah mempunyai ijazah SLTP. Kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Bapak Suwandi bahwa Surat No. 2809 mengalami 4 kali proses perubahan yaitu: - Surat keterangan pertama adalah surat dengan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 tanggal 26 April 2001 menyatakan bahwa Suherman benar – benar siswa SMP Nasional Sidareja dan telah mengikuti Ujian Negara pada tahun 1970 dan dinyatakan Tamat Tidak Lulus. - Kemudian Surat Keterangan No 2831 tersebut tanggalnya dirubah menjadi tertanggal 5 Januari 2001, tanggal lahir Suherman dirubah semula tanggal 5 Februari 1954 menjadi 16 Agustus 1953 dan kalimat tidak lulus dihilangkan, sehingga dalam Surat Keterangan tersebut tertulis Tamat. - Bahwa perubaha ketiga, Surat Keterangan tersebut dilampiri daftar nilai. - Perubahan ke empat, surat keterangan no. 2831 tersebut dirubah menjadi Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tanggal 5 Januari 2001. Pada tanggal 10 Maret 2006 rombongan Team pencarifakta itu melakukan investigasi ke Diknas Cilacap, disana ditemui oleh Pak Sutoyo dan Pak Tasam Partono.Mereka tidak tahu – menahu dalam surat No. 2809 tersebut ada materai, cap tiga jari dan fotonya Suherman, menurut Pak Tasam sebagian tanda tangan ditutupi materai artinya tanda tangan baru ditempeli materai. Saksi juga tahu perihal surat bernomor 2809 milik 2 orang, yakni milik Supriyanto dan Suherman, dan menurut Pak Suwandi sebagai pengganti ijazahnya Supriyantoyang hilang.Saksi juga mengaku pernah diperlihatkan surat bernomor 2831 yang digunakan untuk Upers, surat tersebut bermula tertanggal 26 April 2001, kemudian diubah menjadi tanggal 5 Januari 2001, sehingga ada perbedaan. Menurut Pak Suwandi tanggal tersebut disesuaikan dengan Ujian persamaan di Diknas Semarang. Saksi juga mengatakan bahwa Surat Keterangan No. 2831 tertulis Tamat tidak lulus, sedangkan surat keterangan No. 2809 tertulis Tamat. 6. Saksi TASAM PARTONO, BA: Saksi adalah Kepala Sekolah SMP Nasional Sidareja sejak Tahun 1989 s/d tahun 2004. Saksi menjabarkan bahwa pembuatan surat keterangan No. 2809/SLTP Nas/I/2001 tanggal 5 Januari 2001 yang tanggal dan bulannya saksi lupa, tahun 2001.Yang mengetik surat keterangan tersebut adalah Sdr. Agus Marsaid danyang menandatangani surat tersebut adalah saksi sendiri sedangkan yang membawa surat tersebut adalah Sdri. Ringahyatul yang diantar suaminya. Selain Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tanggal 5 Januari 2001 ada juga Surat Keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 tanggal 26 April 2001. Permintaan surat keterangan tersebut dilakukan secara bertahap, pada waktu itu ibu Ringahyatul datang ke tempat saksi, katanya disuruh Terdakwa minta Surat Keterangan yang menyatakan Terdakwa pernah bersekolah di SMP Nasional Sidareja. Saksi kemudian membuatkan surat bernomor 2831 yang isinya menyatakan bahwa terdakwa benar siswa SMP Nasional Sidareja, telah mengikuti Ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan Tamat tidak lulus dan yang membuat surat tersebut adalah staf saksi yang bernama Pak Suwandi. Saksi mendapatkan data terdakwa pernah ikut Ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan Tamat tidak lulus dari Buku Induk ada nama Suherman (terdakwa) dan informasi dari mantan guru terdakwa. Setelah surat keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 jadi kemudian diberikan ke ibu Ringahyatul, beberapa hari kemudian Ibu Ringahyatul datang lagi dan meminta agar Surat Keterangan No. 2831 tulisan tidak lulus agar dihilangkan, jadi hanya tertulis Tamat. Saksi tidak tahu perihal permintaan siapa agar tulisan tidaklulus dihilangkan. Kemudian ibu Ringahyatul datang lagi minta agar Surat Keterangan No. 2831 dilampiri pula dengan daftar nilai, selanjutnya Surat Keterangan No. 2831 yang dilampiri daftar nilai diganti menjadi Surat keterangan No. 2809. Saksi menjelaskan lebih lanjut bahwa apabila siswa mengikuti Ujian Negara yang dinyatakan Lulus diberi ijazah, yang tidak lulus tidak diberi ijazah, hanya diberi Surat Keterangan Tamat/ Selesai Belajar saja. Jika tidak punya ijazah SMP maka tidak boleh mengikuti Ujian Persamaan. Mengenai terdakwa ikut atau tidak ujian persamaan saksi mengatakan tidak tahu, namun petugas di Kepolisian yang memberitahukan kepada saksi bahwa Surat Keterangan No. 2809 tersebut oleh terdakwa dipergunakan sebagai syarat mengikuti ujian persamaan SLTA. Pada waktu menandatangani surat keterangan tersebut, saksi percaya kepada Ibu Ringahyatul karena beliau adalah staf saksi sendiri dan pada tahun 1972 saksi sebagai gurunya Terdakwa kelas II SMA dan saya beranggapan Terdakwa sudah punya ijazah SLTP. Menurut saksi, surat keterangan No. 2831 berubah menjadi Surat No. 2809 atas permintaan untuk mengikuti ujian Upers, jadi perihal surat tersebut tidak ada kesalahan. Baik surat keterangan No : 2809dan 2831 isinya sama. Surat No. 2831 dibuat pada tanggal 26 April 2001 tetapi saksi lupa kapan surat tersebut kembali lagi menjadi Surat bernomor 2809 pada bulan mei 2001 dan di atas kertas, surat No. 2809 tertanggal 5 Januari 2001. Surat dibuat oleh saksi tanggal 5 januari 2001 hal tersebut dikarenakan substansinya sama dan tidak mengecek dan percaya pada staf maka surat tersebut saksi tandatangani. Surat Keterangan No. 2809 ada 2 surat karena staf saksi yang memberi nomor dobel yang satu atas nama Supriyanto (yang bersangkutan lulus) dan yang satunya lagi atas nama Terdakwa. Surat yang berlaku adalah suratyang terakhir/perubahan terakhir, dan surat keterangan yang tidak berlaku tidak ada surat pembatalannya dan hal tersebut disadari oleh saksi sebagai kealpaan pihak SMP Nasional. Surat keterangan yang dilampiri dengan daftar nilai adalah sebagai surat keterangan tamat dan bukan sebagai pengganti ijazah, hal tersebut tidak mungkin karena Terdakwa tidak lulus. Ketika saksi menandatangani surat keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tanggal 5 Januari 2001 saksi tidak tahu apakah ada atau tidak pas foto, cap jari dan materai dan tentang siapa yang menempel. Dan tanda tangan saksi dalam surat keterangan tersebut sebagaimana tertutup materai. Menurut saksi, suratyang tidak sesuai dengan fakta – fakta adalah perihal tanggal surat, tanggal lahir dan daftar nilai. Karena daftar nilai yang dibuat adalah kesepakatan karena buku induknya tidak ada dan daftar nilai dibuat setelah Surat keterangan dibuat. 7. Saksi RINGAHYATUL QIROMAH: Saksi adalah guru SMP Nasional Sidareja.Pada waktu itu saksi dimintai oleh Terdakwa untuk minta surat keterangan di SMP Nasional Sidareja.Pada tahun 2001, waktu malam hari lewat telepon, terdakwa bilang kepada saksi “Dik,saya minta tolong ke Kepala Sekolah minta surat keterangan dan kalau sudah jadi tolong diantar”. Lalu saksi memintakan surat itu ke SMP Nasional Sidareja dengan menemui Pak Tasam Partono (kepala sekolah) dan mengatakan kakak saksi minta surat keterangan, lalu Pak Tasam mengiyakan, setlah jadi, surat diserahkan Pak Suwandi kepada saksi. Saksi tidak membaca surat keterangan tersebut karena saksi hanya mengatakan ke Kepala Sekolah minta surat keterangan saja, oleh Pak Suwandi surat tersebut sudah dimasukan ke amplop, saksipun tidak membuka amplop tersebut. Sore harinya surat diserahkan ke terdakwa dirumahnya, dan setelah surat tersebut dibaca, dari terdakwa saksi mengetahui isi surat tersebut dan kemudian surat tersebut saksi bawa pulang kembali. Menurut saksi surat itu tidak ada foto dan tertulis tamat tidak lulus. Lalu terdakwa minta surat keterangan tamat dan saksi tindak lanjuti. Saksi menghadap Kepala Sekolah lagi dan mengatakan Herman minta surat keterangan Tamat, Kepala Sekolah menyuruh ditaruh di atas meja dan tidak membaca surat keterangan tersebut. Keesokan harinya saksi menanyakan surat keterangan tersebut, lalu Kepala Sekolah bilang minta kepada Pak Suwandi yang kemudian Pak Suwandi menyerahkan surat keterangan tersebut. Selang 1-2 hari surat keterangan tersebut saksi serahkan ke terdakwa dan pada waktu itu dibaca oleh terdakwa dengan disaksikan oleh saksi, namun setelah beberapa hari surat keterangan itudikembalikan lagi. Saksi menanyakan ke terdakwa untuk apa surat itu, lalu terdakwa bilang kalau surat itu untuk mendaftar Ujian Persamaan (Upers) kemudian saksi menanyakan “apakah bisa?” lalu terdakwa menjawab “ya dicoba”. Karena saksi sering ke Cilacap, terdakwa minta tolong supaya menanyakan apakah pendaftaran Ujian Persamaan masih ada apa tidak ,dan oleh terdakwa surat keterangan tersebut diserahkan kepada saksi, kemudian saksi telepon ke Dinas Cilacap menanyakan perihal Upers tersebut. Lalu saksi ke Diknas Cilacap mengatakan sudah cukup dan sudah diberangkatkan ke Semarang, oleh Diknas Cilacap pula saksi tahu syarat – syarat untuk dapat mengikuti ujian persamaan.Diknas menerangkan bahwa Upers sudah ditutup tanggal pendaftarannya, dan waktu itu saksi hanya bawa raport kelas 1,2 dan 3 SMP saja.Kemudian saksi pergi ke Semarang, saksi langsung ke Diknas Pendidikan Propinsi dan ketemu dengan Panitia Upers dengan membawa surat keterangan Tamat, KTP, raport kelas 1,2 dan 3 SMP yang sudah dilegalisir, panitia Upers mengatakan pendaftaran Upers sudah tutup. Kemudian saksi pulang, 1-2 hari kemudian dapat surat dari Kanwil Diknas Semarang yang isi suratnya mengatakan Suherman tidak bisa mengikuti Upers karena sudah terlambat, perihal tersebut saksi sampaikan ke terdakwa. Menurut saksi, pada waktu itu Suherman belum didaftarkan Upers dan belum dicatat dan identitas belum disampaikan kepada pak Suhadi dan lucunya syarat – syarat yang diajukan tidak dikomentari oleh panitia. Kemudian saksi kedatangan tamu bernama Pak Sugito TU SMP Nasional Sidareja yang mengatakan agar saksi bertemu dengan Pak Slamet Kepala Sekolah SMA Nasional sekarang jam 7, lalu sekitar jam 7 saksi ketemu dengan Pak Slamet yang pada waktu itu memegang Buku Induk Terdakwa dan saksi diberi fotocopynya dan Pak Slamet mengatakan agar foto copy tersebut dan syarat – syarat lainnya dibawa ke Diknas Cilacap ketemu dengan Pak Sutoyo. Syarat – syarat yang dimaksud adalah fotocopy raport kelas 1,2 dan 3, surat keterangan tamat dan KTP asli dan foto. Selanjutnya saksi sampaikan hal itu ke terdakwa dan saksi disuruh untuk ditindaklanjuti, pagi harinya saksi ke Diknas Cilacap dan ketemu dengaan Pak Sutoyo yang sudah tahu permasalahannya.Pak Sutoyo bilang kepada saksi supaya mendaftarkan lagi Terdakwa ke Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah. Berkas yang saksibawa itu menurut petugas Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah yaitu Pak Temon Suhadi ada kekurangan yakni mengganti tanggal lahir, pas foto dan harus ada daftar nilainya dan atas permintaan terdakwa saksi menghadap Kepala Sekolah SMP Nasional Sidareja dan minta supaya surat keterangan diperbaiki. Setelah diperbaiki, dibacalah oleh saksi dan isinya menyatakan bahwa terdakwa benar siswa pada sekolah SMP Nasional, telah mengikuti Ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan tamat.Pak Sutoyo kemudian menyuruh supaya surat &syarat – syaratnya dibawa ke Semarang untuk didaftarkan lagi, lalu saksi sampaikan hal tersebut kepada Terdakwa, kemudian terdakwa minta tolong sekalian agar syaratnya diantar lagi ke Semarag. Di Diknas Semarang, berkasnya saksi serahkan ke Pak Temon Suhadi. Pak Temon mengatakan “Bu Ringah, Surat Keterangan dilengkapi foto, materai dan sekalian daftar nilainya, bilang kepada Pak Tasam dan Pak Tasam sudah paham perihal tersebut”.Lalu saksi pulang ke cilacap. Keesokan harinya saksi ke Sekolah SMP Nasional dan bertemu Kepala Sekolah, lalu saksi sampaikan perihal penjelasan dari Pak Temon Suhadi bahwasurat keterangannya ada kekurangannya yaitu pas foto, materai dan daftar nilai. Kepala sekolah mengatakan “ nanti saya buatkan dan mengenai daftar nilai ke Pak Suwandi saya sendiri kurang paham”. Ada 2 surat keterangan, yang pertama fotonya berbaju hitam tentang siapa yang menempelkan foto dan materai tersebut, saksi sudah lupa mungkin saja saksi sendiri yang menempelkan. Sedangkan ketika diperlihatkan surat keterangan yang lain oleh Majelis Hakim, Saksi mengatakan bahwa ia yang menempelkan. Setelah lengkap, Kepala Sekolah bilang ke saksi agar minta daftar nilai ke Pak Suwandi, setelah persyaratan lengkap saksi bawa ketempat Terdakwa dan mengatakan berkasnya sudah beres, kemudian dengan saksi diantar oleh terdakwa ke Diknas Propinsi Jawa Tengah Semarang, sesampainya di Semarang saksi sendiri menghadap Panitia sedangkan Terdakwa ada kepentingan partai. Di Diknas Propinsi Jawa Tengah ketemu dengan Pak Temon Suhadi, dan beliau mengatakan persyaratannya belum dilegalisir, tanggal lahirnya disamakan dengan tanggal lahir yang di SMA, tanggal pembuatan surat keterangan disesuaikan dan foto berbaju putih dan tidak berkacamata, tanggal lahir disamakan dengan KTP (tahun 2001). Selanjutnya saksi ketemu dengan Pak Tasam dan disampaikan penjelasan dari Pak Temon Suhadi tersebut, saksi katakan masih belum rampung karena persyaratannya masih kurang, yaitu mengenai tanggal lahir disamakan di SMU dan KTP. Setelah selesai pada hari sabtu sekitar jam 10.00 WIB saksi diantar suami ke rumah terdakwa. Disana, surat keterangan saksi tempeli foto, cap jari dan materai, setelah itu saksi menemui Pak Tasam. Pada waktu itu surat keterangan belum ditandatangani oleh Pak Tasam, setelah ketemu dengan Pak Tasam baru surat keterangan tersebut ditandatangani dan di cap sekolah dengan disaksikan pula oleh suami saksi. Setelah itu diantar Pak Chujangi ke Diknas Propinsi Jawa Tengah Semarang ke pak Temon Suhadi, disana saksi membayar uang pendaftaran dan diberi kartu peserta ujian setelah itu saksi pulang ke Sidareja.Kartu ujian itu tidak saksi baca sehingga saksi hanya bisa mengira-ira kalau isinya mungkin berupa jadwal ujian, besok harinya Terdakwa ke rumah saksi untuk mengambil kartu ujian tersebut.Saksi tidak tahu pelaksanaan ujian persamaan tersebut. Saksi tahu bahwa terdakwa adalah siswa SMP Nasional Sidareja karena terdawa sekelas dengan kakak saksi, namun perihal apakah terdakwa lulus / tidak lulus sekolah di SMP tersebut, saksi tidak tahu. Yang pertama minta surat keterangan setelah dibaca tertulis Tamat tidak lulus dan minta diperbaiki tidak lulus dihilangkan, perubahan surat keterangan ke2 dan ke-3 merupakan kelanjutannya dan dalam surat keterangan ditambah dengan foto dan materai, sedangkan perubahan ke-3 dan ke-4 adalah perubahan tanggal lahir, tanggal pembuatan surat dan pasfoto. Alasan tanggal harus sesuai dengan yang di SMA karena hal tersebut atas permintaan Panitia Upers.Menurut saksi syarat untuk bisa mengikuti Upers adalah cukup dengan Surat Keterangan saja, ijazah tidak ditanyakan. Saksi mau dimintai tolong oleh terdakwa untuk mengurusi surat keterangan tersebut adalah karena terdakwa adalah kakak ipar saksi, usianya sudah tua, saksi bertugas sebagai Guru di SMP Nasional Sidareja dan saksi tahu terdakwa sekolah di SMA Nasional Sidareja tersebut. Lalu atas permintaan panitia, foto yang berbaju hitam kemudian diganti dengan yang berbaju putih.. Panitia Upers ternyata tidak mempermasalahkan ijazah, dan mengenai penerbitan surat keteranganyang hingga 4 kali itu adalah tidak aneh karena hal itu atas permintaan Panitia Upers. 8. Saksi H. SOEDARWAN: Saksi adalah Ketua Yayasan SMP dan SMA Nasional Sidareja. Saksi tidak mengetahui mengenai surat keterangan yang digunakan oleh terdakwa. Mengenai daftar nilai tersebut karena daftar induknya hilang kena banjir, saksi memanggil guru – guru untuk membicarakan hal tersebut untuk kemudian mencari dan kemudian bisa ditemukan.Sebelum buku induk ini ketemu, saksi yang mengurusi dan memanggil semua guru untuk mengisi daftar nilai terdakwa.Jadi ada nilainya setelah buku induk ketemu.Nilai yang diisi adalah yang hilang saja dan yang mengurusi pengisian nilai sudah pindah.Pengisian nilai didasari atas kepatutan, kepatutan disini maksudnya, sebagai contoh guru – guru tahu terdakwa pandai olahraganya maka diberi nilai sesuai denan kemampuannya.Nilai yangbenar adalah nilai yang ada di dalam buku induk. Mengenai Surat Keterangan No 2809 dan 2831 saksi tidak tahu sama sekali dan penggunaan oleh terdakwa hanya dari mendengar saja. Jadi, setelah buku induk ketemu, lalu saksi serahkan tugas pembuatan nilai ke Kepala Sekolah dan guru- guru.Dan setelah terbit nilai, terdakwa tetap dinyatakan tidak lulus. Terdakwa hanya dinyatakan tamat, sebagaimana Surat Edaran Mendiknas No. 1 Tahun 2005 pasal ayat (5) dan (7) ijazah adalah dokumen resmi bagi siswa tamat lulus ujian nasional, kalau tidak lulus tamat saja. 9. Saksi AGUS MARSAID: Saksi sebagai TU di SMP Nasional Sidareja. Saksi pernah diperintah oleh Pak Tasam (Kepala Sekolah) untuk membuatkan Surat Keterangan atas nama terdakwa. Waktunya pada bulan April 2001.Yang mengkonsep surat tersebut adalah Pak Suwandi bukan Pak Tasam. Surat yang dimaksud adalah identitas terdakwa, benar siswa pada sekolah SMP Nasional Sidareja dan telah mengikuti ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan Tamat tidak lulus.saksi memberi nomor sesuai agenda surat keluar, kemudian saksi ketik. Setelah selesai diketik, surat tersebut diletakkan di atas meja Kepala Sekolah, kemudian Kepala Sekolah memerintahkan saksi untuk mengetik suratnya sama dengan surat keterangan pertama hanya menghilangkan kata tidak lulus, jadi tinggal tertulis tamat, setelah selesai surat keterangan tersebut saksi serahkan kepada Kepala Sekolah. Ada kelanjutannya, yaitu dilampiri dengan daftar nilai, setelah selesai saksi ketik diserahkan kepada Kepala Sekolah, kemudian surat keterangan diganti nomornya yang semula bernomor 2831 diganti dengan nomor 2809, pada Surat Keterangan No.2809 tersebut ada perubahan tanggal lahir terdakwa dan tanggal pembuatan surat yang semula tertanggal 26 April 2001 diganti dengan tanggal 5 April 2001 dan isi suratnya sama. Perubahan surattersebut karena disuruh oleh Ibu Ringahyatul yang sudah ketemu dengan Pak Tasam dan sudah bilang atas perubahan tersebut. Penomoran surat menjadi No. 2809 berdasarkan agenda surat keluar bulan Januari 2001. Perihal penomoran surat keterangan tersebut saksi khilaf sehingga ada penomoran surat dobel yang pertama atas nama Supriyanto perihal kehilangan dan yang kedua dan isi surat keterangan dinyatakan Tamat. Surat keterangan atas nama terdakwa tersebut dilampiri daftar nilai dan yang membuat daftar nilai adalah Pak Suwandi. Saksi tidak tahu tentang penggunaansurat keterangan tersebut.Mengenai penomoran surat keterangan No.2809 berdasarkan agenda surat keterangan tersebut keluar saja dan bukan untuk ijazah tetapi surat keluar dan pemberian nomor seharusnya berurutan. Agenda surat keluar milik terdakwa dan atas nama Supriyanto adalah buku agenda tahun 2010. Perihal nomor surat tersebut tidak dikonsultasikan dengan Kepala Sekolah karena permohonan administrasi adalah biasanya menjadi kewenangan saksi. 10. Saksi YOYOK SUKOYO: Saksi sebagai Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Banyumas.Sebenarnya saksi awalnya tidak terlalu memperhatikan mengenai masalah terdakwa yang sejak awal pencalonannya sudah banyak masalah. Dari mulai pencoretan Calon Legislatif atas nama terdakwa oleh KPUD Banyumas, sampai dengan saksi yang menerima surat kaleng tentang terdakwa pada saat menjadi mahasiswa. Tapi karena sebagai Wakil Ketua DPC maka saksi mempunyai tanggung jawab moral terhadap partai, maka permasalahan terdakwa bersama denganteman - teman ditindaklanjuti. Langkah awalnya kami membentuk Team Investigasi, Team ini langsung mencari fakta dengan mendatangi SMP Nasional Sidareja pada tanggal 9 Maret 2001 dan diterima oleh Pak Suwandi, Agus Marsaid dan Pak Soedarwan. Menurut penuturan mereka, bahwa substantif sebelum muncul surat keterangan No. 2809, diawali dengan Terdakwa minta Surat Keterangan dan oleh SMP Nasional dibuat Surat Keterangan No. 2831 yang tertulis Tamat Tidak Lulus, hal tersebut berdasarkan penjelasan dari SMP Nasional Sidareja dan ditunjukan fotocopy Surat Keterangannya. Surat Keterangan No. 2831 dan 2809 berbeda jauh, yaitu pengganti foto dan daftar nilai terlampir pada surat keterangan No. 2831 yang sebelumnya tidak ada. Surat keterangan No. 2809 tersebut yang pertama atas namaSupriyanto dan yang kedua atas nama Terdakwa. Menurut saksi, secara substantif Terdakwatelah menggunakan Surat Keterangan No.2809 sebagai pengganti ijazah untuk kepentingan mengikuti ujian persamaan. Menurut pihak sekolah mengenai pembuatansurat sampai 4 kali itu karena salah. Yang dipakai terdakwa adalah surat keterangan yang terakhir. Mengenai surat keterangan yang digunakan oleh terdakwa telah ditanyakan kepada pihak sekolah, pertama tertulis tamat dan pas foto dan penggunaannya tidak sesuai dengan permintaan. Saksi juga menerangkan kalau ada perbedaan yaitu surat keterangan yang pertama dibuat tertanggal 26 April 2001 dan surat keterangan yang terakhir yang digunakan terdakwa tertanggal 5 Januari 2001 dan katanya tanggal tersebut disesuaikan dengan waktu ujian persamaan. Kemudian setahu saksi nama sebenarnya terdakwa adalah HERMAN. Hal ini sama seperti yang tertera di Surat Keputusan dari Ketua Megawati. Tapi mendadak di dalam surat keterangan itu berubah menjadi SUHERMAN. Menurut pejelasan pihak sekolah bahwayang namanya surat keterangan adalah tidak ada fotonya. Saksi hanya tahu perihal surat keterangan itu karena terjadi geger karena pencalonan terdakwa sebagai Anggota Dewan dicoret oleh KPU, menurut ceritanya ijazah SLTA terdakwa dicabut oleh Diknas. Tapi terdakwa tetap maju untuk mencalonkan diri. 11. Saksi SUWANDI: Saksi sejak tahun 1976-1979 bekerja dibagian Tata Usaha, Tahun 1980 1989 sebagai guru kemudian sekarang menjadi Kepala Sekolah SMP Nasional Sidareja. Kebetulan saksi yang menandatangani surat keterangan tersebut, secara kronologisnya adalah pada awalnya Kepala Sekolah SMP Nasional Sidareja yang pada waktu itu dijabat oleh Pak Tasam Partono memanggil saksi dan diperintahkan membuat konsep Surat Keterangan yang menyatakan pernah sekolah. Dalam konsep nomor surat masih kosong, konsep surat saksi melihat dalam buku induknya dan ada nama Suherman benar siswa pada sekolah kami dan telah mengikuti Ujian Negara pada tahun 1970 dinyatakan Tamat tidak lulus. Draf tersebut saksi serahkan kepada Kepala Sekolah yang kemudian dicetak dengan nomor surat 2831 tanggal 26 April 2001, setelah Kepala Sekolah tandatangan surat keterangan tersebut saksi serahkan kepada Ibu Ringahyatul. Saksi tidak tahu tentang Surat Keterangan yang dibuat atas permintaan siapa, saksi didatangi oleh ibu Ringahyatul dan kemudian saksi tanyakan perihal surat keterangan tersebut dan katanya untuk Pak Herman. Isi surat berdasarkan buku induk, Setelah konsep surat sudah selesai, saksi serahkan kepada Kepala Sekolah setelah diperiksa dan tidak ada perubahan kemudian surat tersebut dicetak setelah jadi diserahkan kepada ibu Ringahyatul, kemudian ada permintaan surat keterangan lagi, permintaan tersebut langsung kepada Kepala Sekolah dengan permintaan tanggal lahir dirubah dan kata tidak lulusnya dihilangkan. Yang mengetik surat keterangan tersebut adalah bagian Tata Usaha. Konsep surat hanya satu, perubahan surat keterangan Ibu Ringah langsung ke Bagian Tata Usaha setelah ketemu dengan Kepala Sekolah. Ibu Ringah datang lagi ke Kepala Sekolah dan minta agar dibuatkan lagi daftar nilai, dan surat keterangan tetap bernomor 2831 dan sudah ada fotonya. Kemudian surat keterangan tersebut ada perubahan lagi, surat keterangan tersebut semula tertanggal 26 April 2001 dirubah menjadi tertanggal 5 Januari 2001. Perubahan tanggal surat berdasarkan atas permintaan dan nomor suratnya berubah menjadi No. 2809. Surat No. 2809 dibaca saksi, isinya sama dengan surat No. 2831 yang berbeda hanya tanggal dan nomor surat tetapi surat bernomor 2809 belum ada fotonya. Setelah ada masalah kemudian membuka buku agenda keluar ternyata ada 2 surat keterangan yang bernomor sama yaitu nomor2809 yang pertama atas nama Supriyanto dan yang ke 2 atas nama terdakwa, kedua surat tersebut isinya beda.Menurut saksi, suratno. 2809 bukan pengganti ijazah, itu surat keterangan biasa. Mengenai daftar nilai pada waktu itu saksi diperintahkan Kepala Sekolah untuk membuatkan daftar nilai, karena bingung kemudian tanya ke Pak Soedarwan sebagai mantan Kepala Sekolahnya terdakwa, kemudian dibentuklah Team termasuk saksi didalamnya. Untuk membuat daftar nilai yang tidak lulus, kemudian dibuatkan nilai secara kepatutan dengan kurikulum 13 mata pelajaran dengan nilai tidak lulus.Menurut saksi, daftar nilai itu dibuat ketika buku induknya belum ketemu. Saksi menerangkan bahwa daftar nilai yang tercantum dalam Surat Keterangan tidak ada acuannya, surat keterangan itupun diminta tanpa ada surat permohonan. Mengenai pemasangan foto, cap jari dan materai dalam surat keterangan tersebut saksi mengatakan tidak tahu. Perihal tanggal lahir, daftar nilai tersebut merupakan kesalahan sekolah dan yang dirugikan adalah sekolah, terdakwa juga dirugikan oleh sekolah. Saksi mengatakan tidak tahu tentang perubahan ke 2 dan ke 3 dari surat keterangan tersebut. Menurut saksi, yang melatarbelakangi atas kesalahan administrasi tersebut adalah datanya tidak lengkap, surat keterangan atas permintaan terdakwa dan perintah Kepala Sekolah. 12. Saksi Drs. SUTOYO MS, M, Ed. Saksi adalah Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap sejak tahun 2001 s/d sekarang(tahun 2006). Saksi pernah membaca dan menandatangani surat keterangan dari SMP Nasional Sidareja, surat tersebut intinya menyatakan Tamat. Saksi melihat kalau surat keterangan tersebut belum ada fotonya. Menurut saksi, ia telah menandatangani 2 (dua) surat dan hal tersebut berdasarkan atas permintaan, surat keterangan pengganti ijazah juga dimintakan tandatangan Kepala Dinas.Menurut saksi, yang bertanggung jawab karena telah menandatangani suratyang tidak sesuai di Lapangan adalah Kepala Sekolah. Dalam persidangan saksi menerangkan bahwa saksi membenarkan bahwasurat keterangan No. 048.8/890/2001 dikeluarkan oleh Diknas hanya untuk menyatakan bahwa terdakwa benar sebagai siswa SMP Nasional Sidareja tetapi saksi tidak tahu apakah terdakwa punya ijazah atau tidak. Menurut saksi surat keterangan itu bisa dipakai sebagai pengganti ijazah SMP agar bisa ikut Ujian persamaan. Tapi kembali lagi bahwa urusan propinsi apabila bisa / tidaknya diterima untuk mengikuti ujian persamaan di Semarang apabila tanpa adanya rekomendasi dari Dinas Pendidikan & Kebudayaan. 13. Saksi TEMON SUHADI: Saksi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Diknas Propinsi dan bertugas menangani dokumen ijazah.Saksi bertugas sebagai anggota panitia ujian persamaan. Saksi mengetahui kasus ini setelah mendapat surat panggilan dari Polisi dan diperiksa Polisi pada tahun 2006. Menurut saksi, ia pernah menerima pendaftaran ujian persamaan SMA atas nama Terdakwa pada tahun 2001, yang membawa berkas pendaftaran atas nama terdakwa saat itu adalah seorang ibu bernama Ibu Ringahyatul, yangdatang sebelum pelaksanaan ujian,yang jelas saat itu pendaftaran sudah tutup tapi ujiannya belum dilaksanakan, saat itu Ibu Ringahyatul datang pukul 11.00 WIB sampai 13.00 WIB tidak saksi terima, kemudian pada sekitar jam 16.00 WIB Ibu Ringahyatul datang ke rumah saksi, merengek minta berkas pendaftaran atas nama Terdakwa supaya diterima. Namun berkas tidak saksi terima, lalu Ibu Ringah pulang. Selang beberapa hari kemudian Ibu Ringahyatul datang lagi ke Kantor menemui saksi dengan permintaan yangsama, kemudian saksi berembug dengan Team, lalu karena berkas sudah lengkap, berkas kemudian diterima.Saksi tahu seluruh syarat ujian persamaan SMA, yaitu:Ijazah/STTB SMP atau Mts, Raport kelas 1,2 dan 3 SMA, Pas foto 3X4, Foto copy KTP. Saksi menyatakan pernah melihat Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 dan isinya pada pokoknya menerangkan bahwa Suherman benar – benar siswa SMP Nasional Sidareja telah mengikuti ujian Negara dan dinyatakan Tamat. Surat keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 pada saat itu dianggap sebagai pengganti ijazah. Sehingga setelah disepakati rapat Team Panitia, akhirnya disepakati bahwa terdakwa diterima sebagai calon peserta ujian Terdakwa dibuatkan nomor ujian, walaupun waktu pendaftarannya lambat, akan tetapi persyaratan dianggap lengkap. Setelah itu tidak ada persoalan apapun yang menyangkut terdakwa. Pengumunan ujian dilaksanakan sekitar sebulan kemudian dan terdakwa benar telah mengikuti ujian serta dinyatakan lulus. Saksi tidak tahu dikemudian hari timbul masalah sehubungan ujian persamaan yang terdakwa ikuti tersebut. Kalau ijazah /STTB SMP atau Mts tidak ada tidak bisa ikut ujia persamaan SMA, kecuali kalau ijazahnya ada tapi hilang atau rusak harus ada surat pengganti ijazahyang diminta oleh yang bersangkutan dan sebelumnya harus ada laporan Polisi tentang kehilangan ijazah tersebut. Yang berwenang mengeluarkan surat penggati ijazah adalah pihak SMP yang bersangkutan dan disahkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten untuk pengganti ijazah asli yang hilan sesuai dengan Keputusan Dirjen Dikdasmen tentang Pedoman dan Mekanisme Pengelolaan Dokumen Nomor: 501/C/Kep/I/1993 tanggal 17 November 1993. Saksi mengatakan bahwa Kalau hanya tamat tidak bisa mengikuti ujian persamaan. Persyaratan terdakwa bisa diterima saat itu karena dilihat secara sepintas persyaratan yang dibawa oleh Ibu Ringahyatul telah lengkap dan sepintas menganggap surat keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 sebagai surat keterangan pengganti ijazah, disitu saksi bersama Team merasa dikelabui. Persyaratan yang diserahkan Ibu Ringahyatul saat itu antara lain: surat keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001, fotocopy raport, pas foto dan foto copy KTP terdakwa. 14. Saksi CHUDJANGI, S.pd.: Saksi adalah PNS di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas.Saksi tahu kasus ini karena saksi pernah diperiksa oleh Penyidik berkaitan kasus ini. Saksi kenal Ibu Ringahyatul Qiromah karena waktu itu ikut mengantar berkas pendaftaran ujian persamaan atas nama siapa dan saksi tidak tahu ke Semarang. Tujuan saksi ke Semarang bukan untuk mengantar berkas ujian persamaan akan tetapi saksi mengantar data ujian nasional SLTP/SLTA dan saksi waktu itu hanya menumpang mobil Ibu Ringahyatul yang kebetulan tujuannya sama ke Dinas Pendidikan Nasional. Saks pergi ke Semrang atas perintah Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cilacap yaitu Bapak Sutoyo. Saksi sempat bertanya kepada bu Ringahyatul tentang tujuan beliau ke Semarang, lalu dijawab oleh Ibu Ringahyatulbahwa ia akan mendaftar ujian persamaan. Saksi tidak tahu atas nama siapa Ibu Ringahyatul mendaftar ujian persamaan karena hal tersebut tidak ditanyakan oleh saksi. Ketika sampai tempat tujuan, saksi langsung antar berkas yang saksi bawa dan diserahkan sama piket yang sedang jaga, sedangkan Ibu Ringahyatul mencari tujuan lain. Setelah urusan selesai, saksi pulang kembali bersama dengan Ibu Ringahyatul.Saksi tidak tahu bahwa Ibu Ringahyatul membawa pulang lagi berkas yang dibawanya dari Cilacap saat itu. Saksi tidak tahu bahwa di waktu lain Ibu Ringahyatul pergi lagi ke Kantor Dinas Pendidikan Propinsi. Selain saksi – saksi yang disumpah yang dihadirkan oleh penuntut umum, juga didengar keterangan saksi – saksi dibawah sumpah yang diajukan oleh Penasehat Hukum Terdakwa yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : 1. SAKSI BASIRAN: Bahwa saksi adalah tetangga dan teman satu sekolah Terdakwa saat di SMP Nasional Sidareja.Pada tahun 1970 saksi dan terdakwa pernah ikut ujian Negara dan penyelenggaraannya di SMP Negeri Cilacap.Saat pengumuman hasil kelulusan dibagikan ke siswa dalam sebuah amplop, karena sesuai saran dari sekolah bahwa amplop supaya dibuka dirumah dan saksi mengetahui hasilnya setelah sampai di rumah, serta saat itu saksi lulus.isi amplop hanya pernyataan LULUS/ TIDAK LULUS. Dalam pengumuman tidak ada kata TAMAT TIDAK LULUS. saksi melihat terdakwa juga hadir untuk mengambil amplop pengumuman saat itu, tetapi saksi tidak tahu apakah terdakwa lulus apa tidak, yang saksi tahu bahwa terdakwa tidak lulus setelah dua tahun kemudian yaitu sekitar tahun 1972, itupun saksi tahu hanya dari cerita teman – teman. Saksi tidak tahu bagi yang tidak lulus diberi tanda tamat apa tidak. Setelah mengikuti ujian dan dinyatakan lulus, lalu saksi mendapatkan ijazah. Dalam ijazah terdapat lampiran daftar nilai, akan tetapi pada saat persidangan saksi tidak membawa lampian daftar nilai tersebut, selain ijazah, tidak ada sural lain yang diberikan kecuali piagam penghargaan. 2. SAKSI SUJARI Saksi adalah teman sekolah di SMP Nasional Sidareja.Saksi dan terdakwa pernah ikut ujian Negara saat duduk di SMP pada tahun 1970.Pada saat pengumuan hasil ujian dimasukkan dalam amplop, dan sesuai saran pihak sekolah amplop supaya dibuka dirumah dan ternyata saksi dinyatakan tidak lulus. Saksi mengetahui bahwa sebagian teman juga ada yang tidak lulus, tetapi tidak tahu terdakwa lulus atau tidak. Karena saksi tidak lulus ujian, maka saksi minta pada sekolah untuk dibuatkan surat keterangan yang menyatakan bahwa saksi pernah sekolah di SMP Nasional tersebut. Surat keterangan diminta oleh saksi supaya saksi bisa melanjutkan sekolah walaupun akhirnya surat tersebut tidak digunakan karena saksi tidak melanjutkan sekolah akibat ketiadaan biaya sekolah. Saksi minta surat keterangan ke Pak Soedarwan (kepala sekolah) di SMP NAsional Sidareja pada tahun 1971. Surat keterangan milik saksi tidak dilampiri daftar nilai. Menurut saksi, siswa yang lulus mendapatkan ijazah, dan bagi yang tidak lulus tidak mendapatkan ijazah. 3. SAKSI Drs. SENTOT SUPRIONO, M.Pd : Saksi adalah PNS yakni guru di SMK II Purwokerto. saksi menjelaskan bahwa dalam periode tahun 1945 s/d tahun 1973 semua siswa diberi Surat Tanda Tamat Belajar bagi siswa yang lulus dan tamat, dan saksi membawa contohnya Surat tanda Tamat Belajar dan memperlihatkan kepada Majelis Hakim kemudian pada tahun 2003 sampai dengan sekarang (tahun 2006). Perihal Tamat adalah merupakan kebijaksanaan sekolah siswa yang bersangkutan dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi seperti di SMA Nasional Sidareja tersebut. Bagi siswa yang lulus mendapatkan 2 (dua) surat yaitu Surat Tanda Tamat Belajar dan Surat Tanda Lulus, bagi siswa yang tidak lulus akan mendapatkan Surat Tanda Tamat Belajar saja. Bagi siswa yang lulusdiberi ijazah, sedangkan yang tidak lulus diberikan Surat Keterangan Tamat Belajar. Bahwa sebagaimana Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 17 Tahun 2003 kriteria Tamat / Lulus sebagai berikut:Menyelesaikan program sampai dengan yang terakhir, Mengikuti ujian Nasional. Menurut saksi, jika siswa itu lulus pasti tamat, kalau tamat belum tentu lulus.dibawah tahun 1995 sekolah swasta tersebut ada yang terdaftar dan yang disamakan, sekolah bisa menyelenggarakan kegiatannya termasuk ujian atas dasar sekolah induk. Pada tahun 1970 sistem ujiannya adalah ujian lokal dan ujian Negara. Keterangan Ahli Jaksa Penuntut Umum mengajukan seorang saksi ahli yang bernama NOOR AZIS SAID, yang telah memberikan keterangan dibawah sumpah yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : Beliau menerangkan bahwa ada 2 (dua) jenis surat, yaitu: 1. Surat Biasa. 2. Akta Authentik. Akte authentik adalah Akta yang dibuat oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu.Akta yang dibuat oleh pejabat umum/ Negeri yang berhubungan dengan tugas pekerjaannya.Contoh: Rektor mempunyai kewenangan mengeluarkan ijazah S-I, S-II dan S-III. Berhubungan dengan kasus terdakwa yaitu Surat Keterangan No. 2809, maka surat keterangan akta penting karena yang mengeluarkan adalah Pejabat Negeri dan ada NIP-nya. Dalam surat keterangan tersebut ada foto yang tidak berhak, sekolah swasta yang membuat, maka Diknas tidak punya tanggung jawab jadi Surat Keterangan tersebut adalah Akta Authentik. Akta Authentik sesuai syarat – syarat yang dibuat oleh Pejabat Umum, yaitu Pejabat yang mempunyai kewenangan untuk itu. Dalam mempergunakan surat keterangan ditinjau dari segi hukum apabila: 1. Menyerahkan surat kepada orang lain untuk dipergunakan lebih lanjut, dianggap mempergunakan. 2. Menyerahkan surat dimana surat tersebut dibutuhkan. Ada 2 pendapat mengenai surat palsu secara klasik, yaitu : 1. Membuat suratyang isinya tidak sesuai / tidak benar. 2. Membuat suratyang isinya lain sehingga menjadi lain dari aslinya yang dilakukan dengan cara merubah, menambah dan mengurangi. Membuat surat palsu yang isinya tidak benar dibuat oleh orang / Pejabat yang berwenang untuk itu, itu masuk dalam pengertian surat palsu. Sehubungan dengan kasus terdakwa yaitu surat keterangan yang bertuliskan TAMAT, kata tamat seharusnya ada keterangan dari pihak sekolah, dikatakan tamat harus ada bukti yang punya bobot perbuatan hukum, isi surat tidak menerangkan isinya, termasuk surat palsu.Terdakwa menyuruh orang membuat suratyang tidak sebenarnya berarti orang tersebut kedudukannya sebagai penganjur dan dapat dikenakan Pasal 55 ayat (1) ke -2 KUHP. Setelah saksi membaca dakwaan, terdakwa didakwa melanggar Pasal 263266 KUHP. Pasal – pasal tersebut memuat surat / akta dengan ciri – ciri khusus baik mengenai jenis, sifat maupun perbuatanya, Pasal 263 KUHP ketentuan yang bersifat Genus (pokok) meliputi segala surat, sedangkan Pasal 264-266 KUHP baru pembuktian ke authentik, Pasal 263 KUHP merupakan Genus Straff yaitu ketentuan yang bersifat pokok. Terdakwa tidak punya ijazah dan kemudian minta surat keterangan tamat belajar terkait dengan hal tersebut adalah ada istilah TAMAT, pertanyaan secara hukum bukti tamatnya mana, tidak punya STTB dan kalau tidak ada STTB-nya maka tidak bisa dikatakan tamat. Surat Keterangan No. 2809 yang saksi anggap sebagai fakta authentik, andai kata si pembuat surat tersebut merasa salah maka menandatangani suatu surat tidak boleh beralasan khilaf, tanda tangan dianggap tahu isi surat tersebut, siapa yang salah itu tergantung sapa yang memasukkan data authentik tersebut. Apabila surat itu digunakan maka yang membuat dan menggunakan surat tersebut bisa dikenakan Pasal 263 KUHP itu kalau surat tersebut bukan dinilai sebagai akta authentik yang dibuat Pejabat tertentu maka dikenakan Pasal 266 KUHP. Terkait dengan surat keterangan yang dicabut berarti jika dicabut atas inisiatif sendiri karena adanya kesalahan, tetapi apabila pencabutan surat tersebut dicabut setelah digunakan hanya sebatas meringankan pemidanaan. Selain itu, Penasehat Hukum Terdakwa juga mengajukan ahli sebanyak 2 (dua) orang yang masing – masing bernama Prof. Dr. NYOMAN SERIKAT PUTRA, S.H.M.H. dan Dr. KARDOYO, M.Pd., yang telah memberikan keterangan dibawah sumpah pada pokoknya masing – masing menerangkan sebagai berikut : 1. SAKSI Prof. Dr. NYOMAN SERIKAT PUTRA, S.H.M.H. : Menurut saksi, dalam Pasal 266 ayat (2) KUHP mengenai menggunakan Akta Authentik yang ternyata tidak benar tetapi dianggap benar, yang penting dalam pasal ini adalah menggunakan Akta Authentik dan Pasal 263 ayat (1) tidak lepas dari Pasal 266 ayat (2) KUHP. Mengenai suratyang dibuat dan ditandatangani oleh Kepala Sekolah, isinya adalah authentik, perihal sah atau tidaknya surat tersebut bukan wewenang saksi untuk menilainya. Surat palsu adalah surat yang tidak sesuai dengan faktanya, yang membuat surat palsu adalah pelakunya, sebagaimana Pasal 55 KUHP paling tidak ada 4 pelaku, yaitu : yang melakukan, yang menyuruh melakukan, turut melakukan dan turut serta melakukan, dan mengenai pertanggungjawabannya adalah dilihat dari azas tingkat kesengajaan itu sejauh mana dilakukan. Unsur – unsur kesalahan adalah: kesengajaan betul, kesengajaan kepastian, kesengajaan maksud dan kesengajaan kemungkinan. Untuk mengetahui seseorang sengaja harus ada pengetahuan dan kehendak. Kesengajaan juga harus dipenuhi 3 unsur, yaitu : a. Kemampuan bertanggungjawab. b. Kesengajaan kealpaan. c. Tidak ada alasan penghapus kesalahan atau pemaaf. Jika salah satu unsur kesengajaan tidak terpenuhi, maka tidak bisa dipidana. Lalu mengenai surat keterangan No. 2809, saksi telah membaca surat tersebut. Tamat berarti menyelesaikan sekolah di SMP itu dan bukan berarti untuk melanjutkan sekolah. Mengenai dakwaan Pasal 266 ayat (1) da (2) terdapat kata “dapat” adalah menunjuk pada delik formil, yakni dari kata menggunakan aktif disimpulkan sebagai sengaja. Jika tidak ada unsur kesengajaan maka ada 3 teknis untuk mengetahui hal tersebut, yaitu : adanya maksud, sadar kepastian/ keharusan dan sadar kemungkinan. 2. SAKSI Dr. KARDOYO, M.Pd. : Saksi bekerja sebagai dosen di UNS selain itu juga menjabat sebagai Sekertaris Manejemen Pendidikan yang tugasnya adalah membantu Ketua Program yang berkaitan dengan managerial.Saksi tidak pernah masuk dalam kepanitiaan ujian persamaan. Sehubungan perkara ini, dilihat dari konsep pendidikan maka pendidikan merupakan sebuah sistem mulai siswa masuk dalam proses belajar mengajar perlu mendapat dukungan (input) dari Kepala Sekolah, Guru, orang tua dan masyarakat. Sistem pendidikan harus melalui pencernaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran.Sesuai dengan Undang – Undang yang berlaku syarat ujian persamaan SMA harus dipenuhi dan apabila tidak, otomatis tidak bisa ikut ujian persamaan. Ujian persamaan ada 3, yaitu : a. Ujian persamaan masuk kelas I semester II; dilaksanakan apabila proses kelas II da kelas II belum dilaksanakan; b. Ujian persamaan masuk kelas II semester IV, dilaksanakan apabila proses kelas II dan kelas III sudah dilalui; c. Ujian persamaan tamatan SMA, dilaksanakan apabila proses kelas I, kelas II dan kelas III dilalui langsung masuk ujian persamaan tamatan SMA; Bahwa untuk mengikuti ujian persamaan kelas I SMA harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam undang – undang antara lain harus lulus SLTP atau yang sederajat. Dalam periode tertentu bagi siswa yang tidak lulus bisa mengikuti jenjang pendidikan lebih lanjut dan hal tersebut berlangsung pada periode tahun 1970 an, pada periode tersebut antara yang lulus dan yang tidak lulus jelas dinyatakan.Yang dimaksud TAMAT berarti telah mengikuti sebuah proses pembelajaran. Soal bisa diterima mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau tidak tergantung pada panitia. Maksud kata Tamat dalam surat keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 berarti telah mengikuti sebuah proses pembelajaran dan pada tahun 1970 ada dua hal yaitu tamat dan lulus. yang dimaksud dengan lulus pada tahun 1970 adalah telah menyelesaikan proses pembelajaran dan memenuhi syarat –syarat yang ditentukan dalam Ujian Negara. Bagi siswa yang lulus akan diberi ijazah sedangkan bagi yang tamat akan diberi Surat Keterangan Tamat. Surat keterangan tamat bisa digunakan dalam proses mengikuti jenjang yang lebih tinggi dengan syarat yang bersangkutan setelah masuk ke jenjang yang diikutinya dalam tahun berjalan bisa memperoleh kelulusan dengan mengikuti paket yang telah disediakan. Pada tahun 1970, surat tanda tamat wajib diberikan kepada siswa yang tidak lulus, dan surat keterangan tersebut diberikan oleh pihak sekolah kalau administrasinya tertib. Jika ujian lokal maka nilainya ditentukan oleh guru yang bersaangkutan, sedangkan ujian Negara yang menentukan nilai adalah Team penyelenggara ujian Negara tersebut. Bagi siswa yang tidak lulus bisa mendaftar ke Perguruan Tinggi kalau yang bersangkutan di kemudian hari bisa menunjukkan tanda lulus. tanda lulus diberikan apabila yang bersangkutan telah mengikuti ujian paket C dan dinyatakan lulus dan kenyataan yang ada sekarang, lulusan paket C bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Secara formil, aturan bisa disimpangi, namun secara materiil boleh disimpangi dan itu tergantung dari Panitia. Mengenai surat keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 dan surat No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 maka secara substansi adalah sama. Bahwa persyaratan ijazah sebagaimana dipersyaratkan dalam surat No. 079.a/I03.07/U/2001 adalah: salinan atau foto copy ijazah / STTB SLTP Mts atau memiliki Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama dengan Surat Tanda Tamat Belajar SLTP yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang. Jika ada kekeliruan maka siswa yang bersangkutan bisa memperoleh surat keteranganyang sifatnya perbaikan kekeliruan pada surat keterangan tersebut. Keterangan Terdakwa. Bahwa terdakwa lahir di Sidareja Cilacap pada tanggal 5 September 1954. Terdawa pertama sekolah di SD Negeri I Sidareja Cilacap pada tahun 1962 sampai tahun 1968, terdakwa lulus dan mendapat STTB.STTB tersebut ada tapi hilang karena banjir. Lalu terdakwa melanjutkan ke SMP Nasional Sidareja sekitar tahun 1968 sampai tahun 1970.Saat itu Kepala Sekolahnya adalah Bapak Soedarwan. Ketika SMP terdakwa mengikuti ujian lokal dan ujian Negara.Ujian tersebut dilaksanakan di Cilacap.Namun terdakwa tidak lulus ujian Negara. Lalu terdakwa mengakubahwa ia pernah masuk SMA Nasional Sidareja tahun 1971. Waktu itu ada himbauan bahwa seluruh siswa SMP Nasional Sidareja yang telah mengikuti ujian Negara baik yang telah lulus maupun tidak lulus supaya masuk SMA Nasional Sidareja. SMA terdakwa tempuh selama 4 (empat) tahun karena Terdakwa pernah tidak naik kelas dari kelas I ke kelas II. Namun terdakwa tidak pernah mengikuti ujian SMA dan tidak memiliki ijazah SMA. Terdakwa masuk PDI Perjuangan sampai sekarang (tahun 2006) dan menjabat sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan Banyumas sejak tahun 2001 sampai tahun 2006 dan terpilih kembali dalam periode 2006 sampai tahun 2011. Terdakwa juga menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Banyumas periode 2004/2009.Memang salah satu syarat sebagai anggota DPRD minimal harus memiliki ijazah SLTA/sederajat. Terdakwa pernah datang ke SMA Nasional Sidareja dan bertemu Kepala Sekolah dan terdakwa minta surat keterangan dari SMA Nasional Sidareja untuk memenuhi syarat mengikuti ujian persamaan, lalu terdakwa pergi menemui Ketua Yayasan Nasional dan bertemu Bapak Darwan dan pada waktu itu terdakwa menyampaikan niatnya untuk minta surat keterangan tanda tamat SMP dan keterangan lain dari SMA Nasional. Saat itu terdakwa tidak tahu apa saja syarat mengikuti ujian persamaan. Terdakwa lalu menemui seorang guru SMP Nasional Sidareja bernama Pak Slamet di rumahnya dan saat itu terdakwa hanya sebatas minta surat keterangan tanda tamat dari SMP Nasional. Pak Slamet langsung menyanggupi permintaan terdakwa pada saat itu. Terdakwa berpesan kepada Pak Slamet bahwa nanti yangakan mengurus surat keterangan tersebut adalah adik terdakwa yang bernama Ringahyatul Qiromah. Kemudian terdakwa mendapatkan surat keterangan sesuai atas permintaannya namun terdakwa tidak tahu proses keluarnya surat keterangan tersebut karena yang mengurus adalah Ibu Ringahyatul Qorimah. Terdakwa pun tidak ingat nomor surat keterangan tersebut. Isi surat keterangan adalah keterangan terdakwa tamat dari SMP Nasional Sidareja. Terdakwa menerima surat setelah 3-4 hari pulang dari rumah Pak Slamet. Yang membuat surat keterangan tersebut adalah pihak SMP Nasional Sidareja yang ditandatangani oleh Bapak Tasam Partono, S.Pd (Kepala Sekolah). Terdakwa menyatakanbahwa benar Surat Keterangan No: 2809/E/SLTP Nas/I/2001, terdakwa terima dari Ibu Ringahyatul Qiromah. Saat menerimanya surat itu belum ada fotonya dan tidak ada lampiran daftar nilai. Surat keterangan tersebut terdakwa yang ambil di rumah Ibu Ringahyatul. Saat terdakwa tanda tangan sekalian cap tiga jari dan waktu itu belum ada materainya tetapi foto sudah tertempel dan terdakwa tidak tahu siapa yang menempel materai pada surat keterangan tersebut.Setelah ketemu Pak Slamet,Terdakwa minta tolong ke Ibu Ringahyatul. Saat surat itu jadi, lalu terdakwa pergi mengambil surat tersebut di rumah Ibu Ringah, Setelah terdakwa baca sepintas, surat keterangan tersebut memakai kata tidak lulus yaitu Tamat Tidak Lulus, seharusnya Tamat saja. Menurut terdakwa, isi surat keterangan tersebut tidak benar, setelah diketahui hal tersebut lalu terdakwa melakukan perubahan dengan menghilangkan kata tidak lulus, sehingga hanya kata Tamat. Perubahan lainnya, surat keterangan ditempeli pas foto terdakwa yang berbaju hitam kemudian dirubah lagi dengan pas foto dengan baju putih. Daftar nilai dibuat setelah ada permintaan dari Dinas Pendidikan Nasional Propinsi sebagai lampiran surat keterangan dan yang mengurus daftar nilai adalah Ibu Ringah. Terdakwa menerima kembali surat keterangan tersebut setelah 2 sampai 3 hari minta tolong kepada Ibu Ringahyatul untuk mengurusnya. Terdakwa menerima surat keterangan yang dilampiri daftar nilai di rumah terdakwa karena surat tersebut diantar ibu Ringahyatul ke rumah terdakwa di Purwokerto dan menurut terdakwa surat keterangan tersebut sudah benar. Surat telah ditandatangani oleh Bapak Tasam Partono,S.Pd. dan selanjutnya surat keterangan tersebut dibawa Ibu Ringahyatul untuk dilegalisir di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap lalu digunakan untuk mendaftar ujian persamaan SMA di Semarang. Terdakwa mengatakan bahwaia tidak pernah disodori syarat – syarat mengikuti ujian persamaan sebelum mendaftar. Untuk mendaftar ujian persamaan, selain surat keterangan juga membawa KTP. terdakwa pernah mengantar Ibu Ringahyatul ke Semarang untuk mendaftar ujian persamaan. Terdakwa tahu ada ujian persamaan tapi tidak tahu kapan dibuka pendaftaran ujian persamaan dan kapan pendaftaran ditutup. Terdakwa tidak tahu siapa yang ditemui di Diknas Semarang karena terdakwa tidak masuk dan yang masuk ke kantor Dinas Pendidikan saat itu hanya Ibu Ringah dan hal tersebut dilakukan atas permintaan Ibu Ringahyatul. Terdakwa tidak mengenal orang yang bernama Temon Suhadi dan Sudarto di Dinas Pendidikan Semarang. Sesampai di Semarang, Ibu Ringah menghubungi terdakwa melalui telpon yang mengatakan bahwa pendaftaran telah ditutup. Setelah Ibu Ringah pulang dari Semarang, dua hari kemudian Ibu Ringahyatul telpon terdakwa yang mengatakan bahwa ada faksimile dari Semarang supaya melengkapi berkas dan membawa kembali ke Semarang.Lalu terdakwa dan Ibu Ringah ke Semarang tetapi terdakwa tidak ikut turun ketika tiba di Diknas Propinsi karena mengikuti Rapat partai.Setelah dijemput kembali, Ibu Ringahyatul mengatakan bahwa berkas sudah diterima oleh panitia dan diberikan tanda bukti penerimaan berkas beserta kartu ujian. Terdakwa mengikuti ujian di SMA N 5 Purwokerto, dan terdakwa dinyatakan lulus setelah mengikuti ujian persamaan saat itu. Terdakwa menyatakan namayang sebenarnya adalah Suherman dan panggilannya adalah Herman. Terdakwa mengurus surat – surat pada tahun 2001 setelah ada dorongan menjadi Calon Legislatif, terdakwa menyatakan tidak fokus ikut ujian persamaan SMP atau SMA. Menurut terdakwa, walaupun ujian Negara tidak lulus tetapi pada ujian lokal terdakwa lulus, sehingga terdakwa merasa tamat. Tidak ada tindakan Ibu Ringahyang bertentangan dengan kemauan terdakwa.Terdakwa tidak tahu berkas pendaftaran ujian persamaan pernah ditolak oleh Diknas Kabupaten Cilacap. Terdakwa juga tidak tahu nilai – nilai tersebut sesuai dengan hasil yang diperoleh terdakwa apa tidak. Barang Bukti di Persidangan Bahwa di dalam persidangan telah diajukan barang bukti antara lain berupa : - Surat Keterangan lampirannya; No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 beserta - Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 beserta lampirannya; - Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 beserta lampirannya; - Surat Keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 beserta lampirannya; 4. - Surat Keterangan No. 048.8/890/2001; - Surat Keterangan No. 420/01380/30; - Pengganti Surat Keterangan No. 353.b/E/SMP Nas/VII/05; - Buku Daftar Induk; - Buku Agenda Keluar SLTP Nasional Sidareja; - Daftar Kumpulan Nilai golongan A dan Keputusan UP. SMP. 1970; - Daftar Kumpulan Nilai golongan B dan Keputusan UP. SMP. 1970; - Pendaftaran UP.SMP Th 1970 SMP Nasional Sidareja; - Fotocopy KTP atas nama SUHERMAN; Tuntutan Penuntut Umum Penuntut telah mengajukan tuntutan pidana terhadap terdakwa tertanggal 16 Oktober 2006 yang pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : 1. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Menggunakan Akte Authentik yang seolah – olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 266 ayat (2) KUHP; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 5 (lima) bulan perintah supaya terdakwa segera masuk; 3. Menyatakan barang bukti berupa : - 1 (satu) lembar Surat Keterangan Nomor : 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tanggal 5 januari 2001 an. SUHERMAN. - 1 (satu) lembar Lampiran Surat Keterangan Nomor : 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tanggal 5 Januari 2001 an. SUHERMAN. - 1 (satu) lembar Foto copy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama Dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) SMU Program Ilmu Pengetahuan Sosial atas nama SUHERMAN dengan Nomor seri STTB No. 03 Mup 0006309 (telah disahkan oleh PN Purwokerto sesuai dengan aslinya). - 1 (satu) lembar Surat Nomor : 420/01380/30 tanggal 2 April 2001. - 1 (satu) lembar Surat Nomor : 048.8/890/2001 tanggal 10 April 2001. - Buku Induk dan Agenda, semuanya diserahkan kepada Penuntut Umum untuk bukti perkara lain. 4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,5. Putusan Pengadilan a. Pertimbangan Hukum Hakim Menimbang,bahwa setelah Majelis mempelajari berkas – berkas perkara serta dengan mendasarkan fakta – fakta dipersidangan yang diperoleh dari keterangan saksi – saksi maupun bukti berupa surat – surat yang diajukan dalam persidangan, maka Majelis Hakim cenderung menitikberatkan pada pembuktian dalam dakwaan pertama, dimana dalam dakwaan pertama tersusun secara subsidier yaitu dakwaan pertama primer dan dakwaan pertama subsidier. Dan setelah Majelis Hakim mempertimbangkan dakwaan yang paling relevan dengan fakta – fakta hukum yang terungkap di persidangan, yaitu dakwaan Pertama Subsidair, yaitu melanggar pasal 263 ayat (2) KUHP; Menimbang, bahwa Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi : “ Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah – olah benar tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian”,sehingga dapat disimpulkan unsur – unsurnya adalah : 1. Barang Siapa. 2. Dengan sengaja memperunakan surat palsu atau dipalsukan seolah – olah surat itu asli. 3. Penggunannya dapat menimbulkan kerugian. Ad.1 Unsur Barang Siapa. Maksud dari unsur barang siapa dalam perkara ini, sesuai dengan uraian yang diberikan oleh Majelis Hakim adalah menunjukkan adanya subyek hukum yang mampu mempertanggungjawabkan atas perbuatannya, dimana untuk dapat dipidananya seseorang sebagai subyek hukum harus memiliki kemampuan bertanggung jawab. Berdasarkan fakta dipersidangan telah ternyata dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum tertanggal 23 Juni 2006 telah menentukan atau menunjuk bahwa terdakwa yang diajukan dalam persidangan yaitu Suherman, dimana berdasarkan fakta dipersidangan tersebut terdakwa adalah sebagai orang yang telah dewasa dan sehat jasmani maupun rohani serta tidak terdapat adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf dalam teori hukum pidana, sehingga dengan demikian terdakwa dianggap sebagai subyek hukum yang mampu untuk mempertanggungjawabkan atas perbuatannya. Ad.2 Unsur Dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah – olah surat itu asli. Unsur “Dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah – olah surat itu asli” tersebut Majelis mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Bahwa Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP/Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 tersebut tidak sesuai dengan sebenarnya atau palsu, hal mana didasarkan pada fakta – fakta di persidangan yang diperoleh dari keterangan saksi Ringahyatul Qiromah, saksi Tasam Partono, dan saksi Suwandi serta bukti surat – surat yang diajukan dalam persidangan atas hubungannya antara yang satu dengan yang lain dapatlah diperoleh adanya fakta bahwa SMP Nasional Sidareja telah menerbitkan Surat Keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 tertanggal 26 April 2001 surat mana dibuat dan ditandatangani oleh Kepala Sekolah SMP Nasional Sidareja Kabupaten Cilacap yang bernama Tasam Partono yang pada pokoknya dalam surat tersebut menerangkan bahwa terdakwa benar – benar siswa SMP Nasional Sidareja dan telah mengikuti ujian Negara tahun 1970 dinyatakan Tamat tidak lulus. dan hal ini diakui sendiri oleh terdakwa dalam persidagan serta dikuatkan oleh keterangan saksi Tasam Partono selaku Kepala SMP Nasional Sidareja yang bahwasanya terdakwa adalah tidak lulus. Dengan memperhatikan kronologi peristiwa yang terjadi, maka dengan demikian unsur bahwa “surat atau akta tersebut palsu” dianggap terbukti. Selanjutnya mengenai “unsur kesengajaan” bagi terdakwa untuk menggunakan surat keterangan yang palsu tersebut, maka di dalam membuktikan Majelis Hakim mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Bahwa Majelis mensitir yurisprudensi yang menyatakan bahwa barang siapa menyuruh orang lain untuk menunjukan surat yang palsu atau yang dipalsukan, berarti sama saja dengan telah mempergunakan surat tersebut (H.R. 26 pebr.1934, N.J 1934, 788,W.12756; 26 Maret 1934, N.J 1934.945, W 12760; 14 Nop, 1988, 1939 No 367). Bahwa untuk dapat dinyatakan bahwa terdakwa telah terbukti memenuhi unsur dengan sengaja menggunakan surat palsu tersebut haruslah terdapat adanya suatu kehendak pada diri terdakwa untuk mempergunakan surat yang dipalsukan atau yang dibuat secara palsu itu seolah – olah merupakan sepucuk surat asli yang dipalsukan atau yang dibuat secara palsu itu seolah – olah merupakan sepucuk surat yang asli dan yang tidak dipalsukan dan disamping itu haruslah terdapat adanya pengetahuan pada diri terdakwa bahwa surat yang ia pergunakan itu merupakan sepucuk surat yang dipalsukan atau yang dibuat secara palsu. Bahwa untuk dapat menyatakan terdakwa terbukti mempunyai kehendak atau pengetahuan sebagaimana yang dimaksudkan di atas, tidaklah perlu menggantungkan adanya pengakuan dari terdakwa, melainkan dapat menarik kesimpulan tentang adanya kehendak atau pengetahuan diri terdakwa tersebut dari kenyataan – kenyataan yang terungkap dalam persidangan baik yang diperoleh dari keterangan terdakwa sendiri, keterangan saksi – saksi maupun dari alat bukti lainnya yang oleh jaksa penuntut umum diajukan sebagai bukti di depan sidang Pengadilan. Berdasarkan uraian diatas, maka Majelis berpendapat dengan mendasarkan fakta yang diperoleh dari keterangan saksi Ringahyatul Qiromah, saksi Tasam Partono, dan saksi Suwandi serta bukti surat – surat yang diajukan dalam persidangan atas hubungannya antara yang satu dengan yang lain dapatlah diperoleh adanya suatu kesengajaan pada diri terdakwa untuk menggunakan surat keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 yang merupakan surat palsu tersebut untuk syarat pendaftaran UPERS SMU, dan hal mana didasarkan bahwa kendatipun secara fisik pendaftaran tersebut bukan dilakukan oleh terdakwa, namun dalam hal ini terdakwa telah mengetahui dan bahkan menghendaki bahwa hal tersebut adalah untuk kepentingan terdakwa, sehingga dengan demikian menurut majelis telah terdapat adanya suatu kesengajaan pada diri terdakwa untuk menggunakan surat keterangan tersebut yang ternyata palsu. Menimbang bahwa dari hal tersebut, maka unsur dengan sengaja menggunakan surat palsu yang seolah – olah surat itu aslidan tidak dipalsukan telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Ad.3 Unsur Penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian. Unsur “Penggunaannya dapat menimbulkan kerugian” tersebut Majelis mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Bahwa yang dimaksud dengan kerugian dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP tersebut adalah bukanlah hanya terbatas pada kerugian yang bersifat kebendaan saja, melainkan juga yang tidak bersifat kebendaan, seperti halnya kepentingan masyarakat. Sementara arti kata “dapat” dalam unsur pasal tersebut dapatlah diketahui bahwa kerugian itu tidaklah perlu benar – benar timbul, karena yang disyaratkan didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP tersebut hanyalah kemungkinan timbulnya suatu kerugian. Sehingga walaupun tidak terdapat adanya kerugian yang ditimbulkan atas perbuatan terdakwa, namun apabila dalam penggunaannya dimungkinkan dapat menimbulkan adanya kerugian, maka unsur tersebut dianggap telah terbukti. Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut dapatlah menimbulkan adanya kerugian yang bahwasanya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan akan berkurang terutama kepada SMP Nasional Sidareja yang telah mengeluarkan surat palsu tersebut termasuk Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap yang telah melegalisir surat yang palsu tersebut. Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut diatas, maka Majelis tidak sependapat dengan apa yang telah dinyatakan oleh Penasehat Hukum terdakwayang menyatakan bahwaunsur kerugian tidak terbukti,hal mana didasarkan bahwa terlepas ada tidaknya kerugian akibat perbuatan terdakwa, Namun apabila perbuatannya dapat dimungkinkan Timbulnya kerugian, maka unsur telah menimbulkan kerugian dianggap telah terbukti. Menimbang bahwa sebagai akibat dari perbuatan terdakwa tersebut dapatlah menimbulkan adanya kerugian yangbahwasanya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan akan berkurang terutama kepada SMP Negeri Sidareja yang telah mengeluarkan surat palsu tersebut termasuk Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap yang telah melegalisir surat yang palsu tersebut. Menimbang bahwa dari pertimbangan – pertimbangan diatas maka unsur – unsur sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP dalam dakwaan pertama subsidair telah terpenuhi, sehingga dengan demikian oleh karena unsur – unsur dalam pasal tersebut telah terpenuhi, maka terdakwa dianggap telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang disebutkan dalam dakwaan pertama subsidair tersebut. Menimbang bahwa oleh karena terdakwa dianggap telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, maka terhadap terdakwa tersebut haruslah dijatuhi hukuman sesuai dengan rasa keadilan menurut hukum maupun keadilan masyarakat. Menimbang bahwa selama persidangan ternyata tidak terdapat adanya alasan – alasan yang dapat menghapuskan pemidanaan atau kesalahan terhadap terdakwa, maka terdakwa haruslah dianggap mampu mempertanggungjawabkan atas perbuatannya. Menimbang bahwa karena terdakwa dinyatakan melakukan tindak pidana dan dihukum, maka selanjutnya majelis akan mempertimbangkan lamanya pidana yang layak dijatuhkan terhadap terdakwa. Menimbang bahwa tujuan penjatuhan pidana terhadap seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana bukanlah merupakan usaha balas dendam atas perbuatan yang dilakukannya, melainkan untuk mengembalikan nilai – nilai kepatutan di dalam kehidupan masyarakat yang telah dilanggar atau disimpangi oleh terdakwa.Dan penjatuhan pidana terhadap seseorang yang telah dianggap terbukti melakukan tindak pidana tidak jauh bedanya seperti seorang dokter yang memberi obat kepada seorang pasien yang sedang sakit. Apabila dosis (takaran obat) yang diberikan kurang dari dosis yang semestinya, maka si pasien tidak akan sembuh atau lama baru sembuh, namun sebaliknya apabila takaran obat yang diberikan terlalu keras bukannya si pasien akan sembuh, akan tetapi bahkan dapat menjadi fatal, bahkan akan mengalami keadaan yang tidak diharapkan. Menimbang bahwa dalam kasus ini ternyata terdakwa saat ini masih berstatus sebagai Ketua DPRD Kabupaten Banyumas dan sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDI Perjuangan Banyumas yang masih kooperatif, sehingga kendatipun terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, namun dibalik itu setidak – tidaknya terdakwa telah memiliki jasa yang patut dihormati sebagai orang yang telah bertugas menjalankan roda pemerintahan di Kabupaten Banyumas. Sehingga dengan demikian kiranya sudah cukup pantas dan wajar apabila terdakwa dihukum sebagaimana yang tercantum dalam putusan ini. Menimbang bahwa disamping hal tersebut diatas, bahwa tujuan penjatuhan pidana terhadap terdakwa adalah sebagai Prevensi Spesial yaitu penjatuhan pidanaagar tedakwa tidak melakukan tindak pidana lagi, namun disamping Prevensi Spesial tersebut tujuan pemidaan juga memiliki tujuan sebagai Prevensi General yaitu bahwa penjatuhan pidana terhadap terdakwa adalah sebagai usaha untuk mencegah masyaarakat atau peringatan kepada masyarakat umum agar tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Menimbang bahwa oleh karena terdakwa dijatuhi pidana, maka dibebani pula untuk membayar biaya perkara ini. Menimbang bahwa terhadap barang buki oleh karena masih diperlukan oleh Penuntut Umum, maka barang bukti tersebut dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dijadikan barang bukti dalam perkara lain. Menimbang bahwa sebelum Majelis menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, maka akan dipertimbangkan terlebih dahulu hal – hal yang memberatkan maupun hal – hal yang meringankan bagi terdakwa. Hal yang memberatkan. - Perbuatan terdakwa dapat mengurangi rasa kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga Perwakilan Rakyat. Hal yang meringankan. - Terdakwa sopan dalam persidangan. - Terdakwa belum pernah dihukum. - Terdakwa kooperatif dalam mengikuti persidangan. - Terdakwa sebagai tulang punggung bagi keluarga. b. Amar Putusan Hakim. 1. Menyatakan bahwaterdakwa : SUHERMAN Bin SANDJUKRI, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan pertama primair. 2. Membebaskan terdakwa : SUHERMAN Bin SANDJUKRI oleh karena itu dari dakwaan tersebut. 3. Menyatakan terdakwa SUHERMAN bin SANDJUKRI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ Dengan Sengaja Menggunakan Surat Palsu” 4. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama : 3 (tiga) bulan; 5. Menyatakan barang bukti berupa : a. 1 (satu) lembar Surat Keterangan nomor 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 a.n Suherman. b. 1 (satu) lembar lampiran Surat Keterangan nomor 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 a.n Suherma berupa daftar nilai. c. 1 (satu) lembar fotocopy surat keterangan yang berpenghargaan sama dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) SMU Program ilmu pengetahuan social atas nama Suherma dengan Nomor seri STTB No. 03 Mup 0006309 yang telah disahkan oleh Pengadilan Negeri Purwokerto sesuai dengan aslinya. d. 1 (satu) lembar surat Nomor 420/013380/30 tertanggal 2 April 2001. e. 1 (satu) Surat Nomor 048.8/890/2001 tertanggal 10 April 2001. f. Buku Induk dan Agenda, semuanya diserahkan kepada Penuntut Umum untuk perkara lain. 6. Menetapkan terdakwa dibebani membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). B. Data Primer Untuk melengkapi data sekunder mengenai putusan nomor 144/Pid.B/2006/PN.Pwt, penulis memperoleh data hasil wawancara dengan Budi Setiawan, S.H.,yang merupakan Hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto pada tanggal 27 Januari 2012.Berdasarkan hasil wawancara penulis mendapatkan data – data sebagai berikut : 1. Setiap pengajuan alat bukti di persidangan diserahkan seluruhnya pada penuntut umum, alat bukti apa sajakah yang dapat ditujukan untuk memperkuat surat dakwaannya sehingga dapat meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa, sedangkan hakim hanya menilai alat bukti yang dihadirkan di persidangan dan nantinya akan memberikan pertimbangan hukum dan mengambil keputusan. 2. Kedudukan alat bukti surat sama dengan alat bukti yang lain yang diatur di dalam Pasal 184 KUHAP, dimana alat bukti yang diajukan di persidangan dikaitkan dengan alat bukti yang lain baik saksi, ahli dan keterangan terdakwa maka akan diperoleh suatu fakta hukum yang berkaitan dan akan digunakan untuk membahas unsur – unsur pasal dari dakwaan Penuntut Umum. Jadi alat bukti surat sama pentingnya dengan alat bukti yang lain untuk membuktikan dakwaan penuntut umum. 3. Penuntut dalam membuktikan surat itu palsu adalah harus dihadirkan instansi yang membuatnya atau orang yang membuat. Kenapa surat itu harus terbit. Karena secara hukum surat itu terbit karena ada suatu kepentingan,kalau dalam surat perkara ini misalnya ada keterangan tentang kelulusan seseorang terhadap jenjang pendidikan maka ada syarat – syarat yang harus dipenuhi misalnya yang berhak mendapatkan ijazah adalah seseorang yang mengikuti proses belajar mengajar dari awal sampai akhir dan orang yang bersangkutan telah dinyatakan lulus dalam suatu ujian yang telah ditentukan menurut ketentuan yang berlaku. Manakala tidak memenuhi syarat – syarat tersebut maka hakim berkesimpulan dan sesuai fakta – fakta hukum yang ada di persidangan bahwa surat tersebut palsu. 4. Alat bukti surat dalam perkara pemalsuan surat sangat penting, karena dakwaan Pasal 263 ayat (1) ataupun (2) adalah yang dibuktikan tentang keabsahan ataupun kepalsuan dari suatu surat itu harus atau seharusnya terbit itu palsu atau tidak. 5. Di Indonesia tidak dikenal secara khusus lembaga yang dapat menentukan suatu surat sah atau palsu. dan lembaga yang menentukan suatu surat sah atau palsu adalah hanya lembaga pengadilan melalui proses persidangan. 6. Alat bukti yang pokok dalam tindak pidana pemalsuan adalah menyangkut proses apapun yang namanya pemalsuan adalah proses, proses pembuatan, proses penerbitan, proses yang berkaitan dengan surat tersebut dimungkinkan ada hal – hal yang tidak sesuai proses. 7. Dalam memutus, hal – hal yang perlu diperhatikan dalam memutus tentang bukti surat palsu adalah surat mana yang didakwakan sebagai surat palsu, instansi mana saja yang terkait dan terlibat atau orang siapa saja yang terkait dan terlibat dalam pembuatan surat tersebut, disamping itu ada syarat – syarat khusus yang harus dipenuhi terhadap terbitnya surat palsu tersebut. 8. Saksi yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum yang tujuannya meringankan terdakwa atau menguatkan pembelaan dari pihak terdakwa dapat digunakan yaitu sebagai tambahan alat bukti dan menguatkan keyakinan hakim namun tergantung persesuaiannya dengan putusan yang diambil dipersidangan oleh hakim. Dan harus didukung dengan alat bukti yang lain tidak bisa berdiri sendiri. 9. Keterangan terdakwa dipersidangan yang mengakui dirinya telah melakukan tindak pidana tidak dapat dijadikan patokan untuk menentukan kesalahan terdakwa di persidangan karena harus didukung dengan alat bukti lain. Hal ini untuk menghindari adanya rekayasa kasus dimana terdakwa disuruh untuk mengakui kesalahan yang tidak ia perbuat karena perintah orang lain sehingga dalam persidangan harus memperhatikan alat bukti yang lain agar tidak menghilangkan obyektifitas di persidangan, serta untuk mewujudkan sistem pembuktian negatif yang dianut KUHAP. 10. Keterangan ahli pun demikian, tidak bisa berdiri sendiri. harus dikaitkan dengan alat bukti yang lain. Jadi, semua alat bukti harus didukung dengan alat bukti yang sah lainnya yang dihadirkan penuntut umum di persidangan. Selain itu juga dilakukan wawancara terhadap hakim lain di Pengadilan Negeri Purwokerto yaitu Abdul Latip.SH.MHpada tanggal 27 Januari 2012, yang berhasil diambil data-data sebagai berikut : 1. Mengenai beban pembuktian dalam perkara pidana pada dasarnya semuanya ada di penuntut umum, namun hakim disini juga tidak juga harus pasif sekali. Hakim juga harus aktif karena dalam perkara pidana ia juga harus mencari kebenaran materiil. 2. Kedudukan alat bukti surat sama dengan alat bukti yang lain, sesuai dengan yang diatur di dalam Pasal 184 KUHAP. Artinya alat bukti surat ini sama – sama saling mendukung dengan alat bukti lain (misalnya : keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk dan keterangan terdakwa), untuk mengungkap kejadian yang sebenar - benarnya. 3. Kedudukan alat bukti surat (surat yang diduga palsu) itu sangat penting di dalam pembuktian tindak pidana pemalsuan surat, karena surat – surat yang diduga palsu ini bisa diposisikan menjadi barang bukti dan alat bukti di persidangan. Selain itu, alat bukti surat ini penting karena termasuk hierarkhi dari Pasal 184 KUHAP, dan yang memang harus dibuktikan itu adalah mengenai keabsahan dari surat yang diduga palsu tersebut. 4. Walaupun penting tetapi tetap saja hakim tidak boleh mengesampingkan alat bukti yang sah lainnya yang ada di dalam Pasal184 KUHAP. 5. Dalam tindak pidana pemalsuan surat, untuk pembuktian di persidangan, jika menyangkut prosedur pembuatan surat yang dipalsukan maka cara mengetahui sah atau tidaknya bisa menghadirkan instansi / orang yang membuatnya atau yang berkaitan dengan penerbitan surat tersebut. Selain itu bisa juga meminta bantuan dari ahli dalam bidang yang berkaitan, misal : ahli di bidang pendidikan untuk pemalsuan ijasah. Untuk pembuktian terhadap tanda tangan dalam sebuah surat yang dipalsukan, maka bisa diperiksa di Laboratorium. 6. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam memutus , awalnya adalah dengan melihat dasar dakwaannya dahulu, lalu kemudian baru melihat alat bukti yang dihadirkan di persidangan sesuai Pasal 184 KUHAP, selain itu juga hakim juga harus memperhatikan hal – hal lain misalnya hal – hal yang meringankan dan memberatkan. 7. Keyakinan hakim timbul setelah mendengar dan memperhatikan alat bukti yang dihadirkan di persidangan. 8. Alat bukti lain selain surat semisal keterangan terdakwa, keterangan ahli, keterangan saksi. Kesemuanya itu tidak dapat berdiri sendiri, harus dikaitkan dengan alat bukti lain.jadi, semua alat bukti harus didukung dengan alat bukti yang sah lainnya yang dihadirkan penuntut umum di persidangan. Hal ini untuk menghindari hilangnya obyektifitas di persidangan serta agar sesuai dengan sistem pembuktian negatif yang dianut di dalam KUHAP. 9. Untuk saksi yang meringankan yang dihadirkan oleh penasehat hukum diposisikan sebagai tambahan alat bukti untuk menguatkan keyakinan hakim. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian dari Putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt dan dengan melakukan studi pustaka serta wawancara dengan salah satu Hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto yang berhubungan dengan obyek penelitian, maka dilakukan analisis sebagai berikut : 1. Pertimbangan Hakim Menilai Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Surat Palsu Pada Putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt. Pembuktian merupakan titik sentral di dalam pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara, perbuatan membuktikan untuk menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa terhadap suatu perkara pidana di dalam sidang Pengadilan. Didalam proses pembuktian tersebut, kebenaran yang dicari adalah kebenaran materiil. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum acara pidana yang ditegaskan di dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Kebenaran materiil itu sendiri adalah kebenaran yang selengkap – lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tetap, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Pembuktian adalah kegiatan membuktikan, dimana membuktikan berarti memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Menurut van Bummulen dan Moeljatno, membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang apakah hal yang tertentu itu sungguh – sungguh terjadi dan apa sebabnya demikian. Senada dengan hal tersebut, Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan “membuktikan” mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.56 Dalam proses pembuktian ini, secara yuridis hakim memiliki kebebasan yang sangat luas, akan tetapi secara yuridis pula undang – undang memberikan dasar bagi hakim dalam memutus suatu perkara pidana yaitu Pasal 183 dan 184 KUHAP. Pasal 183 KUHAPmerupakan syarat minimum pembuktian yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Pasal 183 KUHAP memiliki syarat menilai kekuatan pembuktian dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa, yaitu pertama syarat obyektif, dimana suatu 56 Alfitra, Op.cit, hlm 22-23. tindak pidana hanya bisa diputuskan oleh hakim apabila terpenuhi minimal dua alat bukti, syarat selanjutnya yaitu syarat subyektif, berupa keyakinan hakim terhadap kedua alat bukti tersebut, apakah hakim yakin bahwa terdakwa benar – benar melakukan pidana syarat ini diserahkan sepenuhnya kepada hakim dalam menilai.Hal ini menunjukan bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian negatif (negatife wettelijk). Berdasarkan dengan Pasal 183 KUHAP tersebut maka undang – undang menentukan macam alat bukti secara limitatif yang tercantum pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu: 1. Keterangan saksi 2. Keterangan Ahli. 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan Terdakwa. Berkaitan dengan tindak pidana pemalsuan, Budi Setiawan SH selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto menyatakan bahwa: Menurut pendapat Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang bernama Budi Setiawan. SH bahwa Alat bukti yang pokok dalam tindak pidana pemalsuan adalah menyangkut proses apapun yang namanya pemalsuan adalah proses, proses pembuatan, proses penerbitan, proses yang berkaitan dengan surat tersebut dimungkinkan ada hal – hal yang tidak sesuai proses.57 Dalam tindak pidana pemalsuan surat yang ada di Putusan No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt penggunaan alat bukti surat amat sangat membantu 57 Wawancara dengan Budi Setiawan, SH. selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, tanggal 27 Januari 2012, Di Pengadilan Negeri Purwokerto. hakim dalam mengungkap tindak pidana yang dilakukan terdakwa karena berkaitan dengan proses baik pembuatan atau penerbitan serta proses hingga surat tersebut bisa keluar. Dengan barang bukti surat yang dihadirkan di persidangan tersebut, proses pembuktian akan lebih efektif. Berkaitan dengan hal di atas, selaku Abdul Latip. S.H., M.H. Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto menyatakan bahwa: Menurut pendapat Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang bernama Abdul Latip. S.H., M.H. bahwa Walaupun penting tetapi tetap saja hakim tidak boleh mengesampingkan alat bukti yang sah lainnya yang ada di dalam Pasal184 KUHAP.58 Dilihat dari pengertiannya, maka terdapat berbagai definisi dari para ahli mengenai surat, antara lain sebagai berikut : Surat itu sendiri adalah segala sesuatu yang memuat tanda – tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai bahan pembuktian. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memuat tanda – tanda bacaaan, atau meskipun memuat tanda – tanda bacaan, tetap tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.59 Selanjutnya beberapa ahli memberikan definisi surat sebagai berikut: Menurut Sudikno Mertokusumo: ”Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.”60 Menurut Pitlo, yang termasuk surat adalah segala sesuatu yang mengandung buah pikiran atau isi hati seseorang. Dengan demikian potret atau gambar tidak dapat dikatakan sebagai surat karena tidak memuat tanda-tanda bacaan atau buah pikiran.61 58 Wawancara dengan Abdul Latip,S.H.,M.H.. selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, tanggal 27 Januari 2012, Di Pengadilan Negeri Purwokerto. 59 Alfitra,2011, Op.cit, hlm 86. 60 Fernandes Raja Saor, 21 Maret 2010, “Tinjauan Umum Pembuktian Pidana Terhadap Alat Bukti Surat”, tersedia di website http://raja1987.blogspot.com/2010/03/tinjauan-umumpembuktian-pidana.html, diakses tanggal 12 Desember 2011. 61 Ibid, diakses tanggal 12 Desember 2011. Menurut Asser-Anema sebagai berikut : “surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan pikiran.”62 Surat adalah suatu lemaran kertas yang diatasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka yang mengandung/ berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apapun.63 Berdasarkan definisi surat diatas, maka yang dimaksud dengan surat palsu adalah surat yang isinya baik sebagian atau seluruhnya tidak sesuai dengan yang sebenarnya atau senyatanya. Di dalam persidangan perkara No. 144/Pid.B/20006/PN.Pwt saksi ahli yang bernama Bapak Noor Aziz Said juga menyatakan bahwa ada 2 pendapat mengenai surat palsu secara klasik, yaitu : 1. Membuat surat yang isinya tidak sesuai / tidak benar. 2. Membuat surat yang isinya lain sehingga menjadi lain dari aslinya yang dilakukan dengan cara merubah, menambah dan mengurangi. Berkaitan dengan alat bukti surat yang dipalsukan ini, Baik Budi Setiawan, SH maupun Abdul Latip,S.H.,M.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto menyatakan bahwa: Menurut pendapat Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang bernama Budi Setiawan. SH bahwa alat bukti surat dalam perkara pemalsuan surat sangat penting, dakwaan Pasal 263 ayat (1) atau ayat (2) adalah yang dibuktikan tentang keabsahan atau kepalsuan dari suatu surat itu harus atau seharusnya terbit itu palsu atau tidak.64 Menurut pendapat Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang bernama Abdul Latip,S.H., M.H. bahwa Kedudukan alat bukti surat 62 Jur Andi Hamzah, Op.cit, hlm 276. Adami Chazawi, 2002, Op.cit, hlm 99. 64 Wawancara dengan Budi Setiawan, SH. selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, tanggal 27 Januari 2012, Di Pengadilan Negeri Purwokerto. 63 (surat yang diduga palsu) itu sangat penting di dalam pembuktian tindak pidana pemalsuan surat, karena surat – surat yang diduga palsu ini bisa diposisikan menjadi barang bukti dan alat bukti di persidangan. Selain itu, alat bukti surat ini penting karena termasuk hierarkhi dari Pasal 184 KUHAP, dan yang memang harus dibuktikan itu adalah mengenai keabsahan dari surat yang diduga palsu tersebut. 65 Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka alat bukti surat mempunyai peran penting dalam membuktikan tindak pidana pemalsuan surat, walaupun alat bukti surat mempunyai peranan penting tetapi tetap harus didukung dengan alat bukti lain agar memenuhi syarat minimum pembuktian dan menguatkan keyakinan hakim. Adapun pasal yang mengatur tentang alat bukti surat adalah Pasal 187 KUHAP yang menyatakan bahwa : “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaann yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang – undangan atas surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. 65 Wawancara dengan Abdul Latip, S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, tanggal 27 Januari 2012, Di Pengadilan Negeri Purwokerto. Jadi surat yang dimaksud pada Pasal 187 KUHAP adalah surat yang dibuat oleh pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte surat keterangan atau surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang diadili. Syarat mutlak agar surat dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang – undang ialah : - Surat yang dibuat atas sumpah jabatan. - Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Dalam Putusan No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt, terdapat barang bukti berupa : - Surat Keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 beserta lampirannya; - Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 beserta lampirannya; - Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 beserta lampirannya; - Surat Keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 beserta lampirannya; - Surat Keterangan No. 048.8/890/2001; - Surat Keterangan No. 420/01380/30; - Pengganti Surat Keterangan No. 353.b/E/SMP Nas/VII/05; - Buku Daftar Induk; - Buku Agenda Keluar SLTP Nasional Sidareja; - Daftar Kumpulan Nilai golongan A dan Keputusan UP. SMP. 1970; - Daftar Kumpulan Nilai golongan B dan Keputusan UP. SMP. 1970; - Pendaftaran UP.SMP Th 1970 SMP Nasional Sidareja; - Fotocopy KTP atas nama SUHERMAN; Berdasarkan hal diatas, jika semua barang bukti surat dikaitkan dengan uraian Pasal 187 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa semua bukti surat dalam perkara No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt yang dihadirkan di persidangan termasuk dalam Pasal 187 huruf b KUHAP yaitusurat yang berbentuk “menurut ketentuan perundang – undangan” atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya, dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaaan.Jadi, Surat Keterangan No. 2809/E?SLTP Nas/I/2001 dan surat lain yang ada dalam perkara No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt ini selain sebagai barang bukti dapat juga dinilai sebagai alat bukti surat. Dalam pemeriksaan surat di persidangan, dikarenakan beban pembuktian ada padaPenuntut Umum, maka penuntut umum dalam perkara ini menghadirkan orang –orang yang berkaitan dengan pembuatan surat keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001. Diantaranya yakni : Bapak Tasam Partono selaku Mantan Kepala Sekolah SMP Nasional yang dulu mengeluarkan surat keterangan tersebut, Bapak Drs. Sutoyo.MS.M.Ed selaku Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang dulu melegalisir surat keterangan tersebut, Bapak Suwandi selaku TU yang dulu mengetik surat keterangan tersebut. Ibu Ringahyatul Qiromah selaku orang yang disuruh terdakwa untuk mengurus pembuatan surat keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 ke SMP Nasional Sidareja dan mengurus pendaftaran terdakwa ke ujian persamaan SMU. Dan Temon Suhadi selaku PNS yang menangani dokumen ijazah dan juga menjadi anggota panitia pelaksanaan ujian persamaan SMU yang akan diikuti terdakwa serta saksi – saksi lain yang dinilai berkaitan atau berkepentingan. Keterangan saksi – saksi ini dapat membantu penuntut umum dalam membuktikan kesalahan terdakwa dan dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam mengambil keputusan. Berkaitan dengan beban pembuktian perkara pidana Budi Setiawan SH selaku Hakim Pengadilan Negeri menyatakan bahwa: Setiap pengajuan alat bukti di persidangan diserahkan seluruhnya pada penuntut umum, alat bukti apa sajakah yang dapat ditujukan untuk memperkuat surat dakwaannya sehingga dapat meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa, sedangkan hakim hanya menilai alat bukti yang dihadirkan di persidangan dan nantinya akan memberikan pertimbangan hukum dan mengambil keputusan.66 Pendapat tak berbeda jauh juga diutarakan oleh Abdul Latip, S.H., M.H., yang menyatakan bahwa: Mengenai beban pembuktian dalam perkara pidana pada dasarnya semuanya ada di penuntut umum, namun hakim disini juga tidak juga harus pasif sekali. Hakim juga harus aktif karena dalam perkara pidana ia juga harus mencari kebenaran materiil.67 Proses pengajuan alat bukti tersebut bertujuan untuk mencari unsur – unsur yang memenuhi ketentuan pasal yang didakwakan. Dalam perkara No.144/Pid.B/2006/PN.Pwt , terdakwa diancam dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP, maka unsur yang harus dipenuhi adalah unsur “barang siapa”,Unsur “Dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau dipalsukan seolah – olah surat itu asli” dan unsur “Penggunaannya dapat menimbulkan kerugian”. Berkaitan dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti surat, dapat ditinjau dari segi teori serta menghubungkannya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP. 1. Ditinjau dari segi formal. Dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b dan c adalah alat bukti yang sempurna. Sebab bentuk surat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan 66 Wawancara dengan Budi Setiawan, S.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, tanggal 27 Januari 2012, di Pengadilan Negeri Purwokerto. 67 Wawancara dengan Abdul Latip, S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, tanggal 27 Januari 2012, Di Pengadilan Negeri Purwokerto. peraturan perundang – udangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal dalam pembuatannya serta dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang, dam pembuatan serta keterangan yang terkandung dalam surat di buat atas sumpah jabatan maka ditinjai dari segi formal alat bukti surat seperti yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b dan c adalah alat bukti yang bernilai “sempurna”. 2. Ditinjau dari segi materiil. Dari sudut materiil , semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187, “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Pada diri alat bukti surat itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat , sama hal dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama – sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang “bersifat bebas”. Tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formal alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b dan c sifat kesempurnan formal tersebut tidak dengan sendirinya mengandung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat.68 Berdasarkan Pasal 187 KUHAP memberikan pembatasan penggunaan alat bukti yang dapat mempunyai nilai pembuktian yang sah yaitu surat resmi. Begitu juga dengan alat bukti surat yang dihadirkan oleh Penuntut Umum di persidangan perkara pidana Nomor 144/Pid.B/2006/PN.Pwt. atas nama terdakwa yang menunjukan bukti surat berupa Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP.Nas/I/2001 dan surat lainnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, serta ditinjau dari segi formil dan dari segi materiil maka surat - surat dalam Perkara No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt ditempatkan sebagai alat bukti surat oleh hakim dan dinilai mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas yang sama dengan alat bukti lain, karena kedudukan alat bukti surat tersebut terhadap alat bukti lainnya saling menguatkan dan mendukung, dimana penilaiannya tetap ada ditangan hakim.Berarti hakim mempergunakan atau tidak mempergunakannya hal ini tergantung beberapa asas, Menurut Yahya Harahap ada tiga asas alasan keterkaitan hakim atas alat bukti surat, yaitu : 68 Yahya Harahap,Op.cit. hlm 309-310 a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiil waarheid), bukan mencari kebenaran formal. Nilai kebenaran dan kesempurnaan formal dapat disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran materiil dan kebenaran sejati yang digariskan olah penjelasan Pasal 183 KUHAP yang memikul kewajiban bagi hakim untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi seseorang . b. Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut undang – undang secara negatif. Dimana hakim dalam memutus harus berdasarkan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa itu bersalah atau tidak. Hakim diberi kebebasan untuk menentukan putusan yang diambilnya dengan tetap memperhatikan tanggung jawab dengan moral yang tinggi atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan kebenaran sejati. c. Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183 KUHAP hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan minimal dua alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan untuk memberikan keputusan dipersidangan.69 Keterangan – keterangan diatas semakin memperkuat bahwa hakim dalam menilai kekuatan Surat Keterangan Tamat Sekolah dan surat lain yang terdapatdalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 144/Pid.B/2006/PN/Pwt. dikategorikan sebagai alat bukti surat yang sah karena mendasarkan pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP dan Pasal 187 huruf b KUHAP serta dengan penyitaan surat yang dilakukan sesuai prosedur maka surat – surat yang ada dalam Putusan Nomor: 144/Pid.B/2006/PN/Pwt. telah memenuhi syarat sebagai alat bukti surat yang sah. Selain itu juga, kekuatan pembuktian alat bukti surat dalam putusan nomor 144/Pid.B/2006/PN.Pwt adalah seimbang dengan alat bukti yang lain, yaitu mempunyai nilai pembuktian bebas tergantung dengan keyakinan hakim apakah dapat memperkuat pembuktian akan kesalahan terdakwa sehingga menjadikan pertimbangan hakim dalam memutus perkara dan 69 Ibid, hlm 310-311 menjatuhkan putusan pidana atas tindakan pemalsuan surat berupa penggunaan surat palsu atau surat yang diduga palsu yang dilakukan oleh terdakwa yakni dengan pidana penjara selama 3 (bulan) kepada terdakwa. 2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dalam Putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt. Tujuan hukum acara telah ditegaskan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakimansebagai berikut : “Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap – lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”70 Berdasarkan tujuan tersebut, aparat penegak hukum dalam menangani dan memeriksa suatu perkara pidana pada setiap tahap pemeriksaannya agar dapat bertindak secara jujur dan tepat dalam rangka menemukan dan mengungkapkan kebenaran materiil suatu perkara pidana dan akhirnya dapat memberikan putusan yang tepat yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Di dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana di Pengadilan, tindakan hakim harus didasarkan pada asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam hal dan menurut cara yang diatur di dalam Undang – undang. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Pasal 1 angka 9 KUHAP. Dalam hal proses pemeriksaan di Pengadilan, maka hakim terikat oleh ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa : 70 Ziad, Op.cit, hlm 1 “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Pasal 183 KUHAP memiliki syarat menilai kekuatan pembuktian dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa, yaitu pertama syarat obyektif, dimana suatu tindak pidana hanya bisa diputuskan oleh hakim apabila terpenuhi minimal dua alat bukti, syarat selanjutnya yaitu syarat subjektif, berupa keyakinan hakim terhadap kedua alat bukti tersebut, apakah hakim yakin bahwa terdakwa benar – benar melakukan pidana syarat ini diserahkan sepenuhnya kepada hakim dalam menilai. Berkaitan dengan Pasal 183 KUHAP tersebut maka undang – undang menentukan macam alat bukti yang sah, yang secara limitatif yang tercantum pada Pasal 184 KUHAP : (1) a. b. c. d. e. (2) Alat bukti yang sah ialah : Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan terdakwa. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Dalam bukunya, M.Yahya Harahap juga mengatakan bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan : a. Penjumlahan dari sekurang – kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus saling bersesuaian, saling menguatkan, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain; b. Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan saksi dengan keterangan terdakwa jelas terdapat saling persesuaian.71 Dalam perkara No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt ada beberapa alat bukti yang diajukan di persidangan, yaitu : keterangan saksi – saksi yang berjumlah 14 orang dengan kesaksian masing – masing menguatkan dakwaan dari Penuntut Umum dan sebagian keterangan saksi dibenarkan oleh terdakwa. Selain itu, alat bukti lain yaitu berupa Keterangan Ahli yang berjumlah 3 Orang, saksi A de Charge berjumlah 3 orang, alat bukti surat yang berjumlah 13 macam serta keterangan terdakwa, dapat diambil kesimpulan bahwa syarat obyektif Pasal 183 KUHAP dalam Perkara No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt sudah terpenuhi. Dengan keseluruhan alat bukti tersebut memberi keyakinan kepada hakim bahwa telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang didakwakan. Pengertian pertimbangan hakim sendiri adalah pendapat mengenai baik dan buruk dalam menjatuhkan putusan.Sebelum menjatuhkan putusan maka hakim perlu mempertimbangkan beberapa hal.Baik itu pertimbangan hukum (yuridis) maupun pertimbangan non hukum (non yuridis). Berkaitan dengan pertimbangan yuridis hakim dalam mengambil putusan, maka hakim akan mengarah pada bunyi Pasal 183 KUHAP serta harus sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menentukan secara rinci ataulimitatif jenis alat bukti yang sah. Penerapan Pasal 183 KUHAP tersebut memaksa hakim untuk menerapkan prinsip minimum pembuktian berdasarkan alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP secara rinci atau limitatif dan digabungkan dengan keyakinan 71 Ibid, hlm 283-284 hakim yang bersifat subyektif yaitu tentang persesuaian, saling menguatkan, dan tidak bertentangan antara alat bukti satu dengan yang lainnya yang semuanya dinilai oleh hakim. Dalam hal ini hakim harus hati – hati, cermat dan matang dalam menilai, mempertimbangkan serta memahami suatu perkara dan pemahaman hakim akan nilai keadilan sangat mendukung profesi sebagai hakim. Setelah Majelis mempelajari berkas – berkas perkara serta dengan mendasarkan fakta – fakta dipersidangan yang diperoleh dari keterangan saksi – saksi yang hadir serta bukti berupa surat – surat yang diajukan dalam persidangan, maka Majelis Hakim cenderung menitikberatkan pada pembuktian dalam dakwaan pertama, dimana dalam dakwaan pertama tersusun secara subsidier yaitu dakwaan pertama primer dan dakwaan pertama subsidier. Dalam pertimbangan hukumnya hakim mempertimbangkan dakwaan yang sesuai dan paling relevan dengan fakta – fakta hukum yang terungkap di persidangan, yaitu dakwaan pertama subsidair, karena perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur – unsur dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yang berbunyi : Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah – olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Unsur – unsur tersebut adalah : 1. Unsur “Barang Siapa”. 2. Unsur “Dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau dipalsukan seolah – olah surat itu asli”. 3. Unsur “Penggunaannya dapat menimbulkan kerugian”. Ad.1 Unsur Barang Siapa. Maksud dari unsur barang siapa dalam perkara ini, sesuai dengan uraian yang diberikan oleh Majelis Hakim adalah menunjukkan adanya subyek hukum yang mampu mempertanggungjawabkan atas perbuatannya, dimana untuk dapat dipidananya seseorang sebagai subyek hukum harus memiliki kemampuan bertanggung jawab. Berdasarkan fakta dipersidangan telah ternyata dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum tertanggal 23 Juni 2006 telah menentukan atau menunjuk bahwa terdakwa yang diajukan dalam persidangan, dimana berdasarkan fakta dipersidangan tersebut terdakwa adalah sebagai orang yang telah dewasa dan sehat jasmani maupun rohani serta tidak terdapat adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf dalam teori hukum pidana, sehingga dengan demikian terdakwa dianggap sebagai subyek hukum yang mampu untuk mempertanggungjawabkan atas perbuatannya. Ad.2 Unsur “Dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah – olah surat itu asli”. Unsur “Dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah – olah surat itu asli” tersebut Majelis mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Bahwa Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP/Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 tersebut tidak sesuai dengan sebenarnya atau palsu, hal mana didasarkan pada fakta – fakta di persidangan yang diperoleh dari keterangan saksi Ringahyatul Qiromah, saksi Tasam Partono, dan saksi Suwandi serta bukti surat – surat yang diajukan dalam persidangan atas hubungannya antara yang satu dengan yang lain dapatlah diperoleh adanya fakta bahwa SMP Nasional Sidareja telah menerbitkan Surat Keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 tertanggal 26 April 2001 surat mana dibuat dan ditandatangani oleh Kepala Sekolah SMP Nasional Sidareja Kabupaten Cilacap yang bernama Tasam Partono yang pada pokoknya dalam surat tersebut menerangkan bahwa terdakwa benar – benar siswa SMP Nasional Sidareja dan telah mengikuti ujian Negara tahun 1970 dinyatakan Tamat tidak lulus. dan hal ini diakui sendiri oleh terdakwa dalam persidangan serta dikuatkan oleh keterangan saksi Tasam Partono selaku Kepala SMP Nasional Sidareja yang bahwasanya terdakwa adalah tidak lulus. Dengan memperhatikan kronologi peristiwa yang terjadi, maka dengan demikian unsur bahwa “surat atau akta tersebut palsu” dianggap terbukti. Selanjutnya mengenai “unsur kesengajaan” bagi terdakwa untuk menggunakan surat keterangan yang palsu tersebut, maka di dalam membuktikan Majelis Hakim mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Bahwa Majelis mensitir yurisprudensi yang menyatakan bahwa barang siapa menyuruh orang lain untuk menunjukan surat yang palsu atau yang dipalsukan, berarti sama saja dengan telah mempergunakan surat tersebut (H.R. 26 pebr.1934, N.J 1934, 788,W.12756; 26 Maret 1934, N.J 1934.945, W 12760; 14 Nop, 1988, 1939 No 367). Bahwa untuk dapat dinyatakan bahwa terdakwa telah terbukti memenuhi unsur dengan sengaja menggunakan surat palsu tersebut haruslah terdapat adanya suatu kehendak pada diri terdakwa untuk mempergunakan surat yang dipalsukan atau yang dibuat secara palsu itu seolah – olah merupakan sepucuk surat asli yang dipalsukan atau yang dibuat secara palsu itu seolah – olah merupakan sepucuk surat yang asli dan yang tidak dipalsukan dan disamping itu haruslah terdapat adanya pengetahuan pada diri terdakwa bahwa surat yang ia pergunakan itu merupakan sepucuk surat yang dipalsukan atau yang dibuat secara palsu. Bahwa untuk dapat menyatakan terdakwa terbukti mempunyai kehendak atau pengetahuan sebagaimana yang dimaksudkan di atas, tidaklah perlu menggantungkan adanya pengakuan dari terdakwa, melainkan dapat menarik kesimpulan tentang adanya kehendak atau pengetahuan diri terdakwa tersebut dari kenyataan – kenyataan yang terungkap dalam persidangan baik yang diperoleh dari keterangan terdakwa sendiri, keterangan saksi – saksi maupun dari alat bukti lainnya yang oleh jaksa penuntut umum diajukan sebagai bukti di depan sidang Pengadilan. Berdasarkan uraian diatas, maka Majelis berpendapat dengan mendasarkan fakta yang diperoleh dari keterangan saksi Ringahyatul Qiromah, saksi Tasam Partono, dan saksi Suwandi serta bukti surat – surat yang diajukan dalam persidangan atas hubungannya antara yang satu dengan yang lain dapatlah diperoleh adanya suatu kesengajaan pada diri terdakwa untuk menggunakan surat keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 yang merupakan surat palsu tersebut untuk syarat pendaftaran UPERS SMU, dan hal mana didasarkan bahwa kendatipun secara fisik pendaftaran tersebut bukan dilakukan oleh terdakwa, namun dalam hal ini terdakwa telah mengetahui dan bahkan menghendaki bahwa hal tersebut adalah untuk kepentingan terdakwa, sehingga dengan demikian menurut majelis telah terdapat adanya suatu kesengajaan pada diri terdakwa untuk menggunakan surat keterangan tersebut yang ternyata palsu. Menimbang bahwa dari hal tersebut, maka unsur dengan sengaja menggunakan surat palsu yang seolah – olah surat itu aslidan tidak dipalsukan telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Ad.3 Unsur “Penggunaannya dapat menimbulkan kerugian”. Unsur “Penggunaannya dapat menimbulkan kerugian” tersebut Majelis mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Bahwa yang dimaksud dengan kerugian dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP tersebut adalah bukanlah hanya terbatas pada kerugian yang bersifat kebendaan saja, melainkan juga yang tidak bersifat kebendaan, seperti halnya kepentingan masyarakat. Sementara arti kata “dapat” dalam unsur pasal tersebut dapatlah diketahui bahwa kerugian itu tidaklah perlu benar – benar timbul, karena yang disyaratkan didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP tersebut hanyalah kemungkinan timbulnya suatu kerugian. Sehingga walaupun tidak terdapat adanya kerugian yang ditimbulkan atas perbuatan terdakwa, namun apabila dalam penggunaannya dimungkinkan dapat menimbulkan adanya kerugian, maka unsur tersebut dianggap telah terbukti. Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut dapatlah menimbulkan adanya kerugian yang bahwasanya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan akan berkurang terutama kepada SMP Nasional Sidareja yang telah mengeluarkan surat palsu tersebut termasuk Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap yang telah melegalisir surat yang palsu tersebut. Sesuai dengan fakta - fakta hukum yang terungkap dipersidangan, dimana dalam acara pembuktian pemeriksaan alat bukti saksi, keterangan dari saksi – saksi yang dihadirkan dipersidangan oleh Penuntut umum (berjumlah 14 orang yaitu Sudarsono,Tjaroko, Luki Eko Krisnadi, Adji Priyanto, Abdur Rahim Hasan, Tasam Partono, Ringahyatul, H.Soedarwan, Agus Marsaid, Suwandi, Drs. Sutoyo.MS.M.Ed., Temon Suhadi dan Chudjangi,S.Pd.) telah memenuhiunsur – unsur sebagai saksi, keterangan saksi tersebut didengarkan dalam persidangan. Selain itu juga ada saksi – saksi a dechargeyang dihadirkan oleh Penasehat Hukum. Keterangan tersebut berasal dari Basiran, Sujaridan Drs. Sentot Supriono,M.Pd., maka oleh hakim dapat dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Keterangan saksi – saksi dipersidangan tersebut memperkuat dakwaan yang dijatuhkan kepada terdakwa dan menunjukan bahwa terdakwa telah benar – benar menggunakan surat palsu yaitu berupa Surat Keterangan Nomor 2809/E/SLTP Nas/I/2001 untuk mendaftar dalam Ujian Persamaan SMU tahun 2001. Untuk penilaian kebenaran keterangan saksi - saksi dipersidangan sebagai alat bukti yang sah, harus terdapat saling berhubungan antara keterangan – keterangan saksi satu dengan yang lain, sehingga dapat membentuk keterangan yang membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Namun dalam menilai dan mengkonstruksikan kebenaran keterangan para saksi, maka menurut Pasal 185 ayat (6) KUHAP diuraikan sebagai berikut : Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh – sungguh memperhatikan : e. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. f. Alasan yang mungkin Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; g. dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu. h. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Jadi, disini keterangan saksi disini bersifat bebas tergantung dari penilaian bebas hakim. Yang perlu diingat adalah Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai bukti adalah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP : i. yang saksi lihat sendiri. ii. saksi dengar sendiri. iii. dan saksi alami sendiri. iv. serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.72 Keterangan saksi tersebut dalam persidangan dinyatakan diterima atau tidak diterima oleh hakim tergantung persesuaiannya dengan alat bukti yang lainnya seperti keterangan dari saksi yang dihadirkan di persidangan yang mendukung atau tidak dengan fakta yang terungkap di persidangan.Penilaian diserahkan kepada hakim yang tertuang dalam pertimbangannya dalam putusan. Setelah pemeriksaan saksi – saksi di persidangan, kemudian diberikan juga alat bukti keterangan terdakwa yang dalam keterangannya terdapat hal yang tidak sinkron, yaitu disatu segi Surat Keterangan Nomor2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 tersebut telah dibuat sesuai dengan sebenarnya, namun dilain segi Penasehat Hukum terdakwa dan terdakwa sendiri dalam keterangannya mengakui bahwa benar nilai yang menjadi lampiran Surat Keterangan Nomor 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 tersebut tidak sesuai dengan 72 Ibid, hlm 287. nilai terdakwa sebenarnya. Sementara daftar nilai tersebut adalah merupakan lampiran yang menjadi rangkaian kesatuan dengan surat keterangan tersebut. Selain itu ada ketidaksinkronan di dalam isi surat tersebut yaitu surat keterangan tersebut seharusnya isinya menjelaskan bahwa terdakwa adalah siswa SMP Nasional dan telah mengikuti ujian Negara tahun 1970 dinyatakan tamat dan nilai terlampir, namun ternyata berdasarkan keterangan Pak Tasam dan diakui juga oleh terdakwa didalam keterangannya bahwasanya terdakwa telah mengikuti ujian Negara tahun 1970 namun tidak lulus dan hal tersebut telah tertuang dalam Surat Keterangan Nomor 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 tertanggal 26 April 2001 dan banyak lagi ketidaksinkronan isi surat keterangan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa surat keterangan Nomor 2809/E/SLTP Nas/I/2001 tertanggal 5 Januari 2001 tersebut dianggap surat palsu dan di dalam keterangannya terdakwa secara tersirat mengakui bahwa ia telah menggunakan surat keterangan yang dianggap palsu tersebut untuk mendaftar Ujian Persamaan tahun 2001. Keterangan terdakwa diatur lebih lanjut dalam Pasal 189 KUHAP bahwa keterangan terdakwa adalah mengenai apa yang terdakwa nyatakan di persidangan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alasan sendiri dan keterangan tersebut hanya dipergunakan terhadap dirinya sendiri. keterangan terdakwa sendiri tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, oleh karena itu harus didukung dengan alat bukti lain untuk menunjukkan kesalahannya. Hal ini sesuai dengan asas pembuktian yang dianut di KUHAP yaitu asas pembuktian undang – undang negatif yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP. Menurut keterangan dari Budi Setiawan SH selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto mengatakan pengakuan terdakwa dipersidangan yang mengakui dirinya telah melakukan tindak pidana tidak dapat dijadikan patokan untuk menentukan kesalahan terdakwa di persidangan karena harus didukung dengan alat bukti lain. Hal ini untuk menghindari adanya rekayasa kasus dimana terdakwa disuruh untuk mengakui kesalahan yang tidak ia perbuat karena perintah orang lain sehingga dalam persidangan harus memperhatikan alat bukti yang lain agar tidak menghilangkan obyektifitas di persidangan, serta untuk mewujudkan sistem pembuktian negatif yang dianut KUHAP.73 Hal yang dikemukakan hakim Budi Setiawan di atas senada dengan pendapat yang diutarakan oleh Hakim Abdul Latip, S.H., M.H. di dalam keterangannya yang intinya menyebutkan bahwa : Alat bukti lain selain surat semisal keterangan terdakwa, keterangan ahli, keterangan saksi. Kesemuanya itu tidak dapat berdiri sendiri, harus dikaitkan dengan alat bukti lain.jadi, semua alat bukti harus didukung dengan alat bukti yang sah lainnya yang dihadirkan penuntut umum di persidangan.Hal ini untuk menghindari hilangnya obyektifitas di persidangan serta agar sesuai dengan sistem pembuktian negatif yang dianut di dalam KUHAP.74 Setelah keterangan saksi dan keterangan terdakwa selesai diberikan dipersidangan maka selanjutnya diajukan pula oleh penuntut umum berupa keterangan ahli.Baik Penuntut Umum maupun Penasehat Hukum, keduanya menghadirkan ahli. Penuntut Umum menghadirkan Bapak Noor Aziz Said, sedangkan dari pihak Penasehat Hukum juga menghadirkan 2 orang ahli yaitu Prof.DR.Nyoman Serikat Putra,S.H.M.H. dan DR. Kardoyo,M.Pd. Para ahli ini dihadirkan di persidangan untuk membantu hakim dalam menilai suatu perkara di persidangan sesuai keahliannya.Hal ini sesuai dengan Pasal 133 KUHAP yang intinya memberi wewenang kepada penyidik 73 Wawancara dengan Budi Setiawan, S.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, tanggal 27 Januari 2012, di Pengadilan Negeri Purwokerto. 74 Wawancara dengan Abdul Latip S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, tanggal 27 Januari 2012, di Pengadilan Negeri Purwokerto. mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter maupun ahli lainnya. Selain itu dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 179KUHAP dijelaskan pula secara berkaitan satu dengan yang lain. - Intinya adalah keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian, ialah : Keterangan ahli yang memiliki keahlian khusus dalam bidangnya sehubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. Dan bentuk keterangan yang diberikannya sesuai dengan keahlian khusus yang dimilikinyya berbentuk keterangan “menurut pengetahuannya”. 75 Setelah keterangan saksi, keterangan terdakwa dan keterangan ahli. Ada alat bukti yang tidak kalah penting yaitu alat bukti surat yang berjumlah 13 buah, yaitu : Surat Keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 beserta lampirannya, Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 beserta lampirannya, Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 beserta lampirannya, Surat Keterangan No. 2831/E/SLTP Nas/IV/2001 beserta lampirannya, Surat Keterangan No. 048.8/890/2001, Surat Keterangan No. 420/01380/30, Pengganti Surat Keterangan No. 353.b/E/SMP Nas/VII/05, Buku Daftar Induk, Buku Agenda Keluar SLTP Nasional Sidareja, Daftar Kumpulan Nilai golongan A dan Keputusan UP. SMP.1970, Daftar Kumpulan Nilai golongan B dan Keputusan UP.SMP. 1970, Pendaftaran UP.SMP Th 1970 SMP Nasional Sidareja, Fotocopy KTP atas nama SUHERMAN. Berdasarkan hasil penelitian, alat bukti yang dihadirkan dipersidangan yaitu berupa keterangan saksi, keterangan terdakwa dan keterangan ahli kemudian didukung oleh barang bukti surat - surat yang dihadirkan dipersidangan telah menunjukan suatu fakta – fakta hukum yang terungkap dipersidangan yang 75 Yahya Harahap, Op.cit, hlm 299. menunjukkan rangkaian peristiwa yang pada intinya terdakwa telah memenuhi unsur Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Penilaian kekuatan pembuktian alat bukti di persidangan yaitu alat bukti saksi – saksi yang dihadirkan di persidangan, keterangan terdakwa, dan keterangan ahli dinilai oleh hakim secara bebas sesuai dengan asas hukum acara pidana yang menekankan untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran yang sebenar – benarnya yang merupakan tujuan hukum acara pidana. Diantara alat bukti dipersidangan tidak ada yang dominan dan alat bukti yang satu harus dilengkapi dengan alat bukti yang lain yang saling berkesesuaian. Selain itu, Hakim juga mempertimbangkan dari segi non yuridis dalam menjatuhkan putusan yaitu : Hal yang memberatkan. - Perbuatan terdakwa dapat mengurangi rasa kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga Perwakilan Rakyat. Hal yang meringankan. - Terdakwa sopan dalam persidangan. - Terdakwa belum pernah dihukum. - Terdakwa kooperatif dalam mengikuti persidangan. - Terdakwa sebagi tulang punggung bagi keluarga. Dalam kasus ini terdakwa yang saat itu masih berstatus sebagai Ketua DPRD Kabupaten Banyumas dan sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDI Perjuangan Banyumas yang masih Kooperatif, sehingga kendatipun terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang telah didakwakan oleh Penuntut Umum, namun dibalik itu setidak – tidaknya terdakwa telah memiliki jasa yang patut dihormati sebagai orang yang telah bertugas menjalankan roda pemerintahan di Kabupaten Banyumas. Pertimbangan hakim ini didasarkan pada pembuktian yang ada dalam KUHAP yang menganut sistem pembuktian negatif yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP, antara batas minimum pembuktian dan keyakinan hakim harus saling mendukung walau sebenarnya antara keduanya mengandung unsur yang berbeda. Batas minimum pembuktian yaitu minimum 2(dua) alat bukti tersebut mengandung unsur obyektif yaitu sesuai yang telah ditetapkan oleh Undang – Undang dan unsur subyektif dari keyakinan hakim, walaupun demikian keduanya harus saling mendukung. Pembuktian pada Putusan Perkara Nomor 144/Pid.B/2006/PN.Pwt. juga menggunakan sistem pembuktian negatif dimana penuntut umum menghadirkan saksi dipersidangan yang dalam keterangannyatelah disebutkan di uraian sebelumnya yang menunjukan bahwa saksi telah mengalaminya sendiri, melihat dan mendengar tentang kejadian tersebut dan menunjukan bahwa terdakwa benar telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat. Kemudian dari keterangan terdakwa sendiri yang juga mengakui perbuatannya bahwa ia telah dinyatakan tidak lulus SMP, sehingga tidak mempunyai ijazah tapi tetap saja mendaftar ujian persamaan SMU dengan Surat Keterangan No, 2809/E/SLTP Nas/I/2001 dan yang ada juga keterangan ahli dan alat bukti surat yang kesimpulannya bahwa telah terjadi tindakan pemalsuan surat berupa Surat Keterangan yang oleh terdakwa digunakan sebagai pengganti ijazah SMPnya lalu mendaftar ujian persamaan SMU dengan Surat Keterangan itu. Kemudian didukung barang bukti yang dihadirkan di persidangan yang semakin memperkuat dakwaan penuntut umum. Pertimbangan hukum hakim dalam perkara No. 144/Pid.B/2006/PN.Pwt telah sesuai dengan aturan yang ada. Dari segi hukumnya yaitu terpenuhinya unsur – unsur Pasal 263 ayat (2) KUHP, syarat penjatuhan pidana sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan dikaitkan dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP menunjukan bahwa syarat minimum 2 alat bukti dan disertai keyakinan hakim telah terpenuhi, serta dari segi non yuridisada keadaan atau hal – hal yang memberatkan dan meringankan telah dipertimbangkanpula oleh hakim dalam putusannya seperti yang telah diuraikan sebelumnya, sehingga unsur pemalsuan surat berupa penggunaan surat palsu atau yang dianggap palsu yang dilakukan oleh terdakwa telah terpenuhi dan sesuai dengan Pasal 263 ayat (2) KUHAP yang sesuai dengan dakwaan penuntut umum dalam dakwan pertama subsidair. Berdasarkan pembuktian yang di pengadilan maka hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan pidana penjara. BAB V PENUTUP A. Simpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan yaitu : 1. Kekuatan pembuktian alat bukti surat dalam tindak pidana dengan sengaja menggunakan surat palsu terhadap Putusan Nomor: 144/Pid.B/2006/PN.Pwt adalah sebagai berikut : Bahwa Surat Keterangan No. 2809/E/SLTP Nas/I/2001 dan surat – surat lain yang berkaitan dengan surat keterangan tersebut, dihadirkan oleh penuntut umum di persidangan,merupakan alat bukti yang sah karena memenuhi syarat formil dan materiil dan dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat sesuai Pasal 187 huruf b KUHAP.Surat Keterangan Tamat Sekolah dan surat lain tersebutmempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, artinya hakim bebas memakai sebagai alat bukti surat untuk dasar pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana yakni pidana penjara selama 3 (tiga) bulan terhadap terdakwa (Suherman). 2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dalam putusan Nomor : 144/Pid.B/2006/PN.Pwt telah adalah : a. Segi Yuridis. Yaitu dengan terpenuhinya unsur – unsur pasal yang didakwakan, dan terpenuhi batas minimum pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP yaitu berupa keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, Surat Keterangan Tamat Sekolah dan surat lainnya yang berkedudukan sebagai barang bukti sekaligus pula sebagai alat bukti surat. b. Segi NonYuridis. Yaitu dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan terdakwa dapat mengurangi rasa kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga Perwakilan Rakyat, hal ini dapat memberatkan hukuman bagi terdakwa.Namun karena terdakwa sopan dalam persidangan, belum pernah dihukum, kooperatif dalam mengikuti persidangan dan sebagai tulang punggung bagi keluarga, sehingga hal tersebut dapat meringankan hukuman terdakwa. B. Saran. 1. Kepada para hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana, yang terdakwanya adalah seorang pejabat, masih mempertimbangkan jabatan dan jasa – jasa pejabat tersebut sebagai hal yang meringankan, dimana hal itu dipandang sebagai hal yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. 2. Hendaknya hakim dalam memutus perkara pidana, juga harus memberikan efek jera bagi pelakunya, agar sebagai upaya preventif dan contoh bagi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA A. Literatur : Alfitra. 2011.Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi Di Indonesia.Jakarta: Raih Asa Sukses. Anwar , H.A.K. Moch. 1994.Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP BUKU II).Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Chazawi ,Adami. 2002.Kejahatan Mengenai Pemalsuan.Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. C.S.T. Kansil.1989.Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Hamzah, Andi.2008.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap M, Yahya. 2002.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaaan sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali.Jakarta: Sinar Grafika. __________. 2010.Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. IKAHI. “ Penegakan Hukum Yang Berkeadilan. “Varia Peradilan Tahun ke XX No. 241 (Nopember 2005).hlm 6. _________. “Perilaku Hukum di Pengadilan Dalam Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Bermartabat. “Varia Peradilan Tahun ke XXII No. 272 (Juli 2008).Hlm 32. Makarao ,Mohammad Taufik & Suharsil.2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek.Jakarta: Ghalia Indonesia. Marzuki,Peter Mahmud. 2010.Penelitian Hukum.Jakarta: Kencana. Moeljatno. 1993.Asas – Asas Hukum Pidana.Jakarta: Rineka Cipta. Poernomo, Bambang. 1988.Orientasi Yogyakarta: Amarta Buku. Hukum Acara Pidana. Prodjodikoro, Wirjono. 1980. Hukum Acara Pidana Di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung. Samidjo.1988.Responsi Hukum Acara Pidana Dalam Penerapan Sistem Kredit Semester. Samosir, C. Djisman. 1985. Hukum Acara Perbandingan. Bandung: Bina Cipta. Pidana Dalam Soemantro,Ronny Hanitijo. 1983.Metodologi Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia: Jakarta. Soerdjono, Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. 1981. Subekti. 2008.Hukum Pembuktian.Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Sutarto, Suryono. 1987.Sari Hukum Acara Pidana I.Semarang: Yayasan Cendekia Purna Dharma. Ziad. 2005. Diktat Hukum Acara Pidana.Purwokerto: Fakultas Hukum Unsoed. B. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Moeljatno. 2008. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta: Bumi Aksara. C. Sumber Lain : Adamchazawi.blogspot.com/2011/06/pemalsuan-surat-pasal-263kuhp.html., diakses tanggal 15 November 2011. http://lawmetha.wordpress.com/2011/06/03/pembuktian-dalamhukum-acara-pidana/, diakses tanggal 16 September 2011. http://www.pnpmperdesaan.or.id/downloads/Pembuktian%20dalam%20Perkara% 20Pidana.pdf, diakses tanggal 3 November 2011. Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17867/3/chapterII.pdf. diakses tanggal 15 November 2011. Saor, Fernandes Raja, 21 Maret 2010, “Tinjauan Umum Pembuktian Pidana Terhadap Alat Bukti Surat”, tersedia di website http://raja1987.blogspot.com/2010/03/tinjauan-umumpembuktian-pidana.html, diakses tanggal 12 Desember 2011. Nugroho, Hibnu. “Merekonstruksi Sistem Penyidikan Dalam Peradilan Pidana”. Jurnal Hukum Pro Justitia. Volume 26 No. 1 Januari 2008. Wawancara dengan Budi Setiawan, S.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, tanggal 27 Januari 2012, Di Pengadilan Negeri Purwokerto. Wawancara dengan Abdul Latip, S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, tanggal 27 Januari 2012, Di Pengadilan Negeri Purwokerto.