I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia

advertisement
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi yang cukup
besar di bidang perikanan, terutama karena memiliki luas perairan mencapai 5,8
juta km2 atau sama dengan 2/3 dari luas wilayah Indonesia1. Berdasarkan luas
perairan yang meliputi 2/3 bagian dari total luas wilayahnya, Indonesia memiliki
potensi hasil perikanan yang melimpah baik perikanan tangkap maupun perikanan
budidaya. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi salah satu negara yang
dapat merajai bisnis perikanan dunia. Adanya keunggulan tersebut membuat
Indonesia memiliki peluang yang besar untuk terus melakukan ekspansi
perdagangan produk hasil perikanan di pasar dunia.
Berdasarkan data statistik Indonesia, sektor perikanan telah memberikan
kontribusi terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 199.219,00
miliar pada tahun 2010. Secara terperinci, potensi sektor perikanan di dalam
perekonomian nasional dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pendapatan Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000
Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006-2010
Kontribusi Terhadap PDB (Miliar Rupiah)
Lapangan
Usaha
2006
2007
2008
2009
2010
Tanaman
Pangan
214.346,3 265.090,9 347.871,70
419.194,8
483.521,1
Perkebunan
63.401,4 81.595,5 106.186,40
11.423,1
135.258,1
Peternakan
51.074,7 61.325,2
82.835,40
104.883,9
119.094,9
Kehutanan
30.065,7 35.883,7
39.992,10
45.119,6
48.050,5
Perikanan
74.335,7 97.697,3 136.435,80
176.620,0
199.219,0
Total PDB 3.339.216,8 3.950.893 4.948.688,4 5.603.871,2 6.422.918,2
Sumber: BPS (2011)
Pada Tabel 1, kontribusi subsektor perikanan menempati urutan kedua
setelah subsektor tanaman pangan. Sumbangan sektor perikanan terhadap nilai
PDB menunjukkan nilai yang terus meningkat selama selang periode tahun 2006
hingga 2010. Trend PDB subsektor perikanan yang semakin meningkat ini
1
(http://www.mgi.esdm.go.id). Morfologi Dasar Laut Indonesia. Diakses tanggal 10
April 2012.
menunjukkan prospek yang sangat menjanjikan bagi Indonesia dan seluruh
stakeholder yang terlibat dalam kegiatan agribisnis perikanan.
Menurut Suryawati (2007), produksi perikanan Indonesia telah mengalami
kenaikan yang cukup pesat. Pertumbuhan produksi tersebut mencapai 6,87
persen/tahun pada periode 1977-1988, 8,25 persen/tahun pada periode 1988-1995,
3,72 persen/tahun pada periode 1995-1998, dan 4,35 persen/tahun pada periode
1998-2003. Pada semua periode, pertumbuhan tinggi yang terjadi di sebagian
besar produksi merupakan hasil kontribusi perikanan tangkap laut yang berperan
sangat dominan pada perikanan Indonesia.
Ikan dan produk perikanan lainnya merupakan komoditas perdagangan
yang sangat prospektif. Pada tahun 2007, total ekspor produk perikanan tangkap
dunia telah mencapai 90.063.851 ton, dan telah terjadi peningkatan rata-rata
sebesar 0,54 persen apabila dibandingkan dengan tahun 2003. Sedangkan total
produksi perikanan budidaya dunia telah mencapai 50.329.007 ton dengan
kenaikan rata-rata sebesar 6,65 persen jika dibandingkan dengan total produksi
tahun 2003. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumberdaya perikanan,
pada tahun 2007 berada di peringkat ketiga untuk perikanan tangkap dunia setelah
China dan Peru. (DKP, 2009).
Tanpa mengabaikan upaya pemenuhan kebutuhan domestik, produksi
perikanan Indonesia, terutama untuk komoditas bernilai tinggi, didorong untuk
memasok keperluan ekspor. Total ekspor produk perikanan Indonesia pada tahun
2007-2011 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Menurut Komoditas Utama
Tahun 2007-2011
Tahun (ton)
Komoditas
2007
2008
2009
2010
2011
Udang
157.545
170.583
150.989
145.092
158,062
Tuna, Cakalang
121.316
130.056
131.550
122.450
141,774
Ikan lainnya
393.679
424.401
430.513
622.932
618,294
Kepiting
21.510
20.713
18.673
21.537
23,089
Lainnya
160.279
165.923
149.688
191.564
218,130
Sumber: KKP (2012)
Tabel 2 menunjukkan bahwa ekspor produk perikanan Indonesia
cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Seluruh komoditas unggulan
2
sektor perikanan Indonesia antara lain adalah udang, ikan tuna, cakalang, tongkol,
rumput laut, ikan hias, dan lain sebagainya memiliki potensi yang besar untuk
diperdagangkan di pasar dunia dengan tujuan utama adalah Jepang, Amerika, dan
Uni Eropa. Pada Tabel 2 terlihat bahwa udang memiliki volume ekspor terbesar di
pasar dunia bila dibandingkan dengan hasil sumberdaya laut Indonesia lainnya.
Peningkatan ekspor yang terjadi tidak terlepas dari meningkatnya
konsumsi produk perikanan, karena adanya perubahan pola makan masyarakat
dunia dari red meat ke white meat. Hal ini berarti peluang terhadap peningkatan
ekspor komoditas perikanan semakin besar. Meskipun jumlah ekspor udang
Indonesia masih tergolong fluktuatif dan mengalami penurunan pada tahun 2009
dan 2010, namun udang tetap menjadi salah satu komoditas andalan ekspor
perikanan Indonesia. Fluktuasi ekspor udang Indonesia tersebut diduga karena
adanya persaingan yang cukup ketat dengan negara eksportir udang lainnya yang
diketahui memiliki teknologi, cara pengolahan, dan strategi pemasaran yang lebih
baik (Setiyorini, 2010).
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu dan tekonologi
khususnya di bidang pangan, udang semakin akrab dengan para konsumen di
negara maju sebagai bahan pangan yang bergizi. Hal ini membuat harga udang di
pasar internasional sangat beragam. Keragaman harga ini bukan saja berkaitan
dengan ukuran, warna, tekstur, cita rasa, dan bentuk penyajian produknya, tetapi
juga berkaitan dengan preferensi konsumen dan negara asal udang tersebut.
Udang putih (white shrimps) yang berasal dari laut tropika di pasaran Amerika
Serikat dan Eropa memiliki harga yang lebih baik jika dibandingkan dengan
udang warna lain diperairan yang sama. Kuruma shrimps (Panaeus japonicus)
memiliki harga yang istimewa di pasar Jepang. Di pasaran Eropa, tiger shrimps
memiliki harga yang tinggi karena ukuran, tekstur daging, dan cita rasanya
banyak digemari oleh para konsumen di pasar yang bersangkutan (Murty, 1991).
Melihat besarnya potensi udang untuk terus diekspor ke dunia, Direktorat
Pemasaran Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan jumlah
target nilai ekspor yang besar pada produk udang hingga tahun 2014. Secara
terperinci, jumlah target nilai ekspor produk hasil perikanan tahun 2012-2014
dapat dilihat pada Tabel 3.
3
Tabel 3. Target Ekspor Hasil Perikanan Berdasarkan Komoditas Utama Tahun
2012-2014
Nilai Ekspor (US$ 1000)
No
Komoditas
2012
2013
2014
1 Udang-Shrimp
1.327.954
1.812.891
2.042.576
2 Tuna/Cakalang-Tuna/Skipjack
481.742
540.135
714.256
3 Sarden Kaleng
44.944
46.332
62.787
4 Ikan Dasar (Kakap Merah,Putih,
818.744
827.788
1.029.043
Layur, dll)
5 Kerapu
239.235
242.124
302.428
6 Kepiting
262.001
333.424
318.289
7 Tilapia
21.607
21.868
27.314
8 Bandeng
4.358
4.411
5.509
9 Rumput Laut
125.465
125.951
126.097
10 Lainnya
300.842
303.398
372.190
TOTAL
3.600.000
4.200.000
5.000.000
Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri, KKP (2011)
Pada tahun 2011, target yang ditetapkan untuk nilai ekspor produk
perikanan sebesar US$ 3,2 miliar disambut dengan optimis oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan akan tercapai. Perhitungan dari Januari – Oktober 2011,
total nilai ekspor perikanan sudah mencapai US$ 2,8 miliar, sehingga target US$
3,2 miliar akan tercapai diakhir tahun 20112. Data saat ini ternyata menunjukkan
bahwa target tersebut telah tercapai. Tabel 3 menunjukkan bahwa udang
ditargetkan akan memperoleh nilai ekspor hasil perikanan yang paling besar dari
komoditas perikanan lainnya yaitu sebesar US$ 1.3 miliar pada tahun 2012 dan
terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa udang
tetap menjadi komoditas primadona hasil perikanan Indonesia untuk terus
ditingkatkan kinerja ekspornya, sehingga mampu memenuhi permintaan dunia
akan udang yang terus meningkat.
Oleh karena itu, menjadi hal yang sangat penting untuk melihat besarnya
peluang pasar yang dapat dipenuhi oleh Indonesia. Amerika Serikat, Jepang, dan
Uni Eropa merupakan pasar utama ekspor udang Indonesia. Ketiga negara tujuan
ekspor ini memiliki pola konsumsi yang berbeda akan udang, sehingga kebutuhan
2
(http://www.kkp.go.id). Ekspor Udang Ditargetkan Naik 100 persen. Diakses tanggal
09 Mei 2012.
4
impor tiga negara ini pun berbeda. Kebutuhan tiga negara tujuan ekspor terbesar
di dunia akan udang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kebutuhan Impor Udang Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa
Tahun 2002 – 2008
Jepang
Amerika Serikat
Uni Eropa
Tahun
Volume Trend
Volume Trend Volume Trend
(ribu ton)
(%)
(ribu ton) (%) (ribu ton) (%)
2002
251,19
332,88
345,73
2003
235,49 -0,06
399,62 0,20
412,33 0,19
2004
244,21
0,04
396,96 -0,01
403,75 -0,02
2005
234,73 -0,04
397,38 0,00
433,60 0,07
2006
232,18 -0,01
420,31 0,06
490,08 0,13
2007
208,99 -0,10
417,30 -0,01
495,52 0,01
2008
198,52 -0,05
431,75 0,03
471,29 -0,05
Rata-rata
229,33 -0,04
399,46 0,05
436,04 0,06
Pertumbuhan
Sumber: BPS (2009), (diacu dalam Setiyorini 2010), (diolah)
Tabel 4 menunjukkan kebutuhan konsumsi akan udang di Jepang,
Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Dari tahun 2002-2008, kebutuhan udang di
Jepang tidak mencapai 300 ribu ton, sedangkan di Amerika Serikat dan Uni Eropa
selalu berada diatas 300 ribu. Rata-rata pertumbuhan volume kebutuhan udang di
Amerika Serikat mencapai 399 ribu ton dengan kenaikan rata-rata sebesar 0,05
persen. Meskipun rata-rata peningkatan kebutuhan udang di Uni Eropa hanya
berbeda 0,01 persen dengan Amerika Serikat, namun dari Tabel 4 dapat dilihat
bahwa Uni Eropa memiliki kebutuhan udang yang lebih besar dibandingkan
Amerika Serikat dan Jepang. Setiap tahunnya, volume kebutuhan udang di Uni
Eropa selalu berada di atas Amerika Serikat dan Jepang. Ini menunjukkan bahwa
Uni Eropa telah menjadi pasar ekspor terbesar untuk komoditas udang.
Banyaknya kebutuhan impor udang di Uni Eropa selalu diupayakan untuk
terpenuhi seluruhnya melalui permintaan ke berbagai negara eksportir udang,
salah satunya Indonesia. Permintaan impor udang oleh Uni Eropa yang dapat
dipenuhi oleh Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.
5
Tabel 5. Kontribusi Ekspor Udang Indonesia Terhadap Kebutuhan Impor
Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa Tahun 2002 – 2008
Jepang
Amerika Serikat
Uni Eropa
Tahun
Volume Trend
Volume
Trend Volume Trend
(ribu ton) (%)
(ribu ton)
(%) (ribu ton) (%)
2002
59,62
16,84
16,11
2003
60,24 0,01
21,90 0,30
24,10 0,50
2004
49,28 -0,18
40,54 0,85
24,35 0,01
2005
48,05 -0,02
50,70 0,25
27,18 0,12
2006
50,58 0,05
61,24 0,21
35,23 0,30
2007
40,33 -0,20
60,40 -0,01
28,85 -0,18
2008
39,58 -0,02
80,48 0,33
26,83 -0,07
Rata-rata
49,67 -0,06
47,44 0,32
26,09 0,11
Pertumbuhan
Sumber: BPS (2009), (diacu dalam Setiyorini 2010), (diolah)
Tabel 5 menunjukkan kontribusi ekspor udang Indonesia terhadap
kebutuhan impor di tiga negara importir utama komoditas udang. Pemenuhan
kebutuhan impor udang di Uni Eropa memiliki rata-rata pertumbuhan sebesar 11
persen, namun kontribusi Indonesia terhadap kebutuhan udang di Uni Eropa
masih sangat kecil dibandingkan Jepang dan Amerika Serikat. Pemenuhan
kebutuhan di Uni Eropa dari udang asal Indonesia cenderung berada dibawah
30.000 ton, sehingga untuk mengatasi hal ini pada tahun 2012 ditargetkan ekspor
udang menjadi 300.000 ton3 untuk memenuhi kebutuhan dunia akan udang,
khususnya di Uni Eropa.
1.2. Perumusan Masalah
Sektor perikanan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap PDB
Indonesia, dimana udang merupakan komoditas unggulan yang mempunyai nilai
ekspor terbesar dari nilai perdagangan dunia hasil perikanan. Bagi Indonesia,
udang merupakan komoditas ekspor andalan dan sumber perolehan devisa,
sehingga kinerja ekspor udang Indonesia perlu dikaji lebih dalam agar di masa
yang akan datang dapat memenuhi kebutuhan pasar dunia, khususnya di Uni
Eropa. Indonesia sebagai salah satu negara eksportir utama udang dunia telah
memiliki sumberdaya yang cukup untuk terus meningkatkan kinerja ekspornya.
Produksi udang Indonesia yang tergantung oleh luas lahan tambak dan laut telah
3
(http://www.bisnis.com). Ekspor Udang; Target Volume Naik Jadi 300.000 Ton.
Diakses tanggal 09 Mei 2012.
6
tercukupi,
bahkan
setiap
tahunnya
cenderung
mengalami
peningkatan
(Rakhmawan 2009).
Dewasa ini, dalam perdagangan internasional, banyak negara di dunia
telah memberikan pembatasan atas jenis dan jumlah komoditas udang yang dapat
diimpor negaranya. Pembatasan atas jenis ataupun jumlah yang dilakukan, pada
dasarnya untuk melindungi konsumen dari komoditas udang yang diimpor,
termasuk dari Indonesia. Atas pembatasan dan peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh negara importir, berbagai masalah pun muncul dalam
pengembangan
ekspor
udang
Indonesia.
Kegiatan
perdagangan
udang
internasional yang terjadi hingga saat ini sangat dinamis, karena negara-negara
importir memperhatikan kualitas, harga, jenis udang, dan faktor lainnya dalam
mengimpor udang. Selain itu, kebijakan udang internasional terkadang merugikan
salah satu negara eksportir dan menguntungkan negara eksportir yang lainnya.
Kondisi ini biasanya disebut dengan istilah diskriminasi baik berupa kebijakan
tarif atau nontarif.
Ketiga importir terbesar di dunia, yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni
Eropa memiliki pola konsumsi yang berbeda-beda. Selain itu, kebijakan dan
peraturan yang ditetapkan pun berbeda. Uni Eropa memiliki pola perdagangan
yang jauh lebih kompleks dan rumit jika dibandingkan pasar Jepang dan Amerika
Serikat. Perdagangan udang di Uni Eropa meliputi berbagai bangsa dan negara
yang ada di Eropa, hubungan tradisional antara satu negara Eropa dengan
pemasok tertentu dari suatu negara juga menentukan pola perdagangan udang
impor yang dianutnya (Murty, 1991).
Dikemukakan oleh Nugroho (2007) yang diacu dalam Painthe (2008),
terdapat masalah dalam pasar Uni Eropa yang sering dialami oleh eksportir dalam
memenuhi standar internasional, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan
Sanitary and Phytosanitary (SPS), Technical Barrier to Trade (TBT), dan tarif.
Berkaitan dengan Sanitary and Phytosanitary (SPS) yaitu ketentuan mengenai
zero tolerance yang ditetapkan Uni Eropa, ternyata masih menjadi bahan
perdebatan di forum internasional mengingat sampai sekarang belum ada standar
internasional tentang batas ambang yang diperbolehkan (maximum residu limit)
terutama dari Codex Alimentarius. Dalam hal tarif, walaupun dalam KTM III
7
WTO di Doha telah disepakati bahwa semua hambatan tarif akan segera
dievaluasi dan digraduasi, namun dalam kenyataannya komitmen ini masih terus
diganjal oleh negara-negara maju (Putro, 2007). Tarif yang diberlakukan bagi
komoditas udang ekspor saat ini bervariasi dan bersifat diskriminatif untuk
beberapa negara pengekspor. Selain itu, ketatnya standardisasi yang ditetapkan
Uni Eropa untuk melindungi konsumennya mengakibatkan banyak terdeteksinya
produk-produk perikanan yang masuk ke Uni Eropa oleh European-RASFF
dengan berbagai alasan terkait keamanan dan kesehatan konsumen.
Hal inilah yang dialami Indonesia dalam memenuhi permintaan komoditas
udang di pasar internasional, khususnya Uni Eropa. Oleh sebab itu, perlu dikaji
setiap peraturan atau kebijakan yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor.
Kebijakan yang ditetapkan oleh negara pengimpor, khususnya Uni Eropa,
diharapkan tidak lagi menjadi hambatan, melainkan dapat dipenuhi, sehingga
kinerja ekspor udang Indonesia meningkat. Berdasarkan uraian dan fakta-fakta
dalam hambatan perdagangan udang di pasar Uni Eropa dan juga mengacu pada
latar belakang yang telah dibuat, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1) Apa saja kebijakan perdagangan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa yang
menjadi hambatan bagi ekspor komoditas udang Indonesia?
2) Bagaimana kasus-kasus yang pernah terjadi terkait kebijakan yang ditetapkan
Uni Eropa kepada Indonesia dalam ekspor udang?
3) Apa saja yang telah dilakukan pemerintah sebagai respon untuk penanganan
kebijakan yang menjadi hambatan bagi kinerja ekspor udang Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengidentifikasi kebijakan perdagangan di Uni Eropa yang menghambat
kinerja ekspor udang Indonesia.
2) Menganalisis kasus notification oleh European-RASFF terhadap produk
ekspor udang Indonesia atas kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa.
3) Mendeskripsikan kebijakan pemerintah dalam penanganan kebijakan yang
ditetapkan Uni Eropa untuk meningkatkan kinerja ekspor udang Indonesia.
8
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa:
1) Masukan bagi pemerintah dan pelaku ekspor sebagai rekomendasi suatu
kebijakan yang dapat meningkatkan produksi dan ekspor udang Indonesia
guna mewujudkan Indonesia sebagai negara eksportir udang utama di dunia.
2) Bagi kaum akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan, masukan, dan sumber informasi untuk penelitian yang akan
dilakukan selanjutnya serta meningkatkan motivasi untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan guna mendukung peningkatan perdagangan udang
Indonesia.
3) Bagi penulis, kegiatan penelitian ini menjadi proses pembelajaran yang baik
untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan dan wawasan dalam
hal perdagangan internasional komoditas perikanan Indonesia khususnya
udang.
4) Bagi masyarakat umum, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi sumber
informasi untuk mengetahui kondisi ekspor udang Indonesia.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini berfokus pada komoditas udang Indonesia
yang di ekspor ke Uni Eropa. Udang yang diperdagangkan di pasar Uni Eropa
tidak dibedakan berdasarkan udang beku dan udang segar ataupun jenisnya.
Banyak kebijakan yang yang ditetapkan dalam perdagangan udang Indonesia ke
Uni Eropa, namun dalam penelitian ini dilakukan deskripsi dan analisis kebijakan
yang dinyatakan menjadi hambatan bagi Indonesia hingga tahun 2011 terhadap
ekspor komoditas udang. Kasus yang pernah terjadi dalam setiap kebijakan yang
ditetapkan oleh Uni Eropa juga dianalisis. Kebijakan dan Regulasi perdagangan
Indonesia juga dideskripsikan sebagai ekuivalen kebijakan dengan Uni Eropa,
selanjutnya dilihat pengaruh dari kebijakan-kebijakan tersebut
terhadap
perkembangan ekspor udang Indonesia.
9
Download