Studi Histopatologi Insang, Usus Dan Otot Ikan

advertisement
STUD1 HISTOPATOLOGI INSANG, USUS DAN OTOT IKAN
GURAMI (Osphronemus gournmy) AKLBAT INFESTASI
PARASIT PROTOZOA DI DESA CARANGPULANG
r)RAMAGA BOGOR
RENNY SAFETY ANGGIE
B04104101
FAKULTAS KEDOKTERAN IKEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRAK
ItENNY SAFETY ANGGIE. Studi Histopatologi Insang, Usus dan Otot Ikan
Gurami (0sphronet~zu.sgouranzy) Akibat Infestasi Parasit Protozoa di Desa
Carangpulang Dramaga Bogor. Dibimbing oleh BAMBANG PONTJO
PRIOSOERYANTO dan SRI UTAMI HANDAJANI.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan histopatologi organ
insang, usus dan otot pada ikan gurani di Desa Carangpulang Bogor. Lima belas
ekor ikan gurami berumur kira-kira 1 tahun digunakan sebagai sampel dalam
penelitian ini. Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan pewamaan
hematoksilin dan eosin (HE). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa organ yang
sering menunjuldcan perubahan secara histopatologi adalah insa~ig.I n s a g banyak
terinfelcsi ole11 parasit yaitu protozoa berflagela Ichthyobodo s l ~ ,Myxozoa
(Henneguyu sp dan Myxobolus sp) dan protozoa yang belum teridentifikasi.
Perubahan patologi pada insang yang banyak ditemukan meliputi oedema,
telangiektasis dan penebalan pada lamela. Pada organ usus tidak ditemukan
perubal~anspesifik, sedangkan pada organ otot banyak ditemukan degenerasi
hialin dan vakuola hingga nekrosa. Hasil pemeriksaan histopatologi tersebut
memperkuat diagnosis bahwa kerusakan insang ikan disebabkan terinfeksi
protozoa Ichthyobodo sp dan Myxozoa yang dapat menyebabkan penyakit
ichthyobodosis. Disamping agen infeksius parasit protozoa, diduga polutan kimia
inenjadi salah satu penyebab non infeksius yang mengakibatkan lesio patologi
oedema, telangiektasis darr penebalan pada lame!a.
Kata kunci: ikan gurami, histopatologi, insang, protozoa
ABSTRACT
RENNY SAFETY ANGGIE. Histopathological Study of Gills, Intestines and
Muscles of Gouralny Fish (Osphronelnus gouranzy) Due to Infestation of
Protozoan Parasites in Carangpulang Village Dra~nagaBogor. Under the direction
of BAMBANG PONTJO PRIOSOERYTANTO and SRI UTAMI HANDAJANI.
The aim o f the research was to find out the histopathological lesions of
gouranzy Jish gills, intestines, and muscles )on7 Cararzgpularzg Village Bogor.
Fifteen fishes about a year old wlere used as sample in this research.
Histopathological examination was done by lzenzatoxiilin and eosin stain (HE).
Microscopically, gill was the ~izostcommon organ with pathological lesions. Gill
was o f e n infected by j'lagellun~protozoa parrrsites, such as Ichthyobodo sp,
Myxozoa (Hennegujla sp and Myxobolus sp) and unidentified protozoa. In
l e muscle tissue
intestines, no specijic pathological change was found, ~ ~ h i in
hyaline and vacuola degenerations as well as necrotic lesions were commonly
detected. Based on all findings mentioned above, the lesion of gill fishes were
inzcted by protozoa Ichthyobodo sp and myxozoa which can cause
ichthyobodosis. Moreover, we suggest that a non infectious agent such crs
chemical polutans as one of the caused of oedema, telangiectasis and thickening
of Iamella of the gills.
Keywords: gourumyjish, histopathology, gill, protozoa
STUD1 HISTOPATOLOGI INSANG, USUS DAN OTOT LKAN
GURAMI (Osphrorzemus gouramy) AKIBAT INFESTASL
PARASIT PROTOZOA D l DESA CARANGPULANG
DRAMAGA BOGOR
RENNY SAFETY ANGGIE
B04104101
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk nxemperolzh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
: Studi Histopatologi Insang, Usns dan Otot Ikan Gurami
(Osphrone~zus gouramy) Akibat
Infestasi
Parasit
Protozoa di Desa Carangpulang Dramaga Bogor
Nama Mahasiswa
: Renny Safety Anggie
Nomor Pokok
: B04104101
Pembimbing I1
Dr. dfh. $ki Utami Handaiani, MS
NIP: 131 578 839
NIP: 131 578 834
Mengetahui,
,28
Tanggal Iulus :
i
-4
A ~ l lLUUB
.-,
DENGAN n\rI SAYA MENYATAKAN BAHWA KARYA ILMIAH IN1 BENARBENAR MERlJPAKAN KARYA I L M ~ A HSENDIkI YANG BELUM PERNAH
DIAJUKAN SEBAGAl KAKYA I L M I A PADA
~
LEMBAGA MANAPUN.
P~RGIJRUANTINGGI ATAU
RIWAYAT HIDUP
Pe~lulisdilal~irkandi Gresik pada tanggal I Agustus 1986, penulis adalah
anak pertanla dari dua bersaudara dari pasangan bapak Sugiyanto dan ihu
Kustiyah.
Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TIC Sub Unit
Dharma Wanita Petrokimia Gresik pada tahun 1992, pendidikan dasar di SDN
Petrokimia Gresik pada tahun 1998, sekolah lanjutan tingkat pertalna di SLTP
Negeri 1 Gresik yang diselesaikan hingga tahun 2001 dan sekolah menengah atas
di SMA Negeri 1 Gresik yang diselesaikan tahun 2004.
Penulis dilerima menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor (FKH-IPB) pada tahun 2004 melalui jalur Udangan Seleksi
Masuk IPB (USMI).
PRAKATA
Alhun~dulilluhirobilulanzin. Segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan rahn~at,taufik dan hidayah-Nya serta kemudahan dan pertolonganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul "Studi Histopatologi
Insang, Usus dan Otot Ikan Gurami (Osphrorzemus gotaamy) Akibat Infestasi
Parasit Protozoa di Desa Carangpulang Dramaga Bogor ". Skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran I-Iewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Dalam proses penelitian dan penyusunan banyak sekali hambatan dan
rintangan yang dihadapi penulis, namun karena pertolongan dan kenludahan Allah
SWT akhirnya hambatan bisa diselesaikan. Bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak juga sangat membantu selesainya skripsi ini. Dalan~kesempatan ini penulis
ingin lnengucapkan terima kasih yang sebesar-besamya atas dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak.
1. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, P11.D sebagai dosen pembimbing
I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan perhatian, bimbingan,
arahan, telaah dan koreksi yang sangat berguna bagi penulis selarna
penelitian dan penyusunan skripsi.
2. Dr. drh. Sri Utami Handajani, MS sebagai dosen pembimbinz I1 yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan perhatian, bitnbingan, arahan, telaah
dan koreksi yang sangat berguna bagi penulis dalam identifikasi protozoa
selama penelitian dan penyusunan skripsi.
3. drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D yang telah memberikan perhatian, bimbingan
dan bantuan selama penelitian yang sangat berguna bagi penulis.
4. Dr. drh. Eva Harlina, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan saran, arahan dan bimbingan dalam kegiatan akademik
penulis.
5. drh. Adi Winarto, Ph.D selaku dosen penilai yang telah memberikan saran
dan arahannya.
6. Seluruh staf pengajar dan pegawai Laboratoriun~Patologi, I-Ielminthologi
dan Protozoologi FKH-IPB yang telah memberikan bantuannya.
DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR IS1 ...................................................................................................
vi
...
DAFTAR TABEL ............................................................................................ v111
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
ix
I . PENDAI-IULUAN ........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .................................................................................
1.2Tujuan...............................................................................................
..
1.3 Manfaat Penelltlan....................................................................
1
2
2
I1. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
2.1 Ikan Gurami Osphronemus gouranzy ................................................
2.1.1 Klasifikasi.................................................................................
2.1.2 Morfologi.................................................................................
2.1.3 Habitat .....................................................................................
2.1.4 Alat Pernafasan Labirin ...........................................................
2.1.5 Pencernaan ...............................................................................
2.1.6 Pertumbuhan ............................................................................
2.1.7 Reproduksi dan Perkembangbiakan........................................
2.1.8 Strain Gurarni .........................................................................
2.1.9 Histologi dan Histopatologi Insang .........................................
2.1.10 Histologi dan Histolopatologi Saluran Pencemaan (Usus)....
2.1 11 Histologi dan Histopatologi Otot.............................................
2.1.11.1OtotPolos ...................................................................
2.1.1 1.2 Otot Lurik ..................................................................
2.2 Hama dan Penyakit Gurami ...............................................................
2.2.1 Harna Gurami ...........................................................................
2.2.2 Penyakit Non Infeksius ...........................................................
2.2.3 Penyakit Infeksius ................................................................
2.2.4 Parasit yang Menyerang ..........................................................
2.2.4.1 Ektoparasit ..................................................................
2.2.4.2 Protozoa Ichtyobodo sp .............................................
2.2.4.2.1 Pengendalian ................................................
2.2.4.2,. Myxozoa .................................................................
2.2.4.3.1 Pengendalian ................................................
2.3 Imunitas ...........................................................................................
2.4 Darah Ikan ........................................................................................
I11. BAHAN DAN METODE ..........................................................................
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian...........................................................
..
3.2 Metode Penellt~an..............................................................................
3
3
3
4
5
5
6
6
7
8
8
10
11
11
12
13
13
13
14
14
15
15
19
21
25
25
26
29
29
29
3.3 Bahan dan Alat .................................................................................
2,. ". 1 Bahan .....................................................................................
,2.2.2
. " Alat ..........................................................................................
3.4 Pelnbuatan Preparat Nistologi ......................... .
.
.....................
3.5 Pewarnaan Preparat Histologi ...........................................................
IV . HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
29
29
30
30
31
33
4.1 Perubahan pada Insang ...................................................................
4.1.1 Oedema dan Telangiektasis ...................................................
4.1.2 I-Iiperplasia dan I-Iipertrofi Lamela ........................................
4.1.3 Ichthyobodo sp (Costia sp) ....................................................
4.1.4 Myxozoa ................................................................................
4.1.5 Protozoa Beluin Teridentifikasi .............................................
4.2 Perubahan pada Otot .......................................................................
4.3 Perubahan pada Usus ......................................................................
V . KESIMPULAN ...........................................................................................
5.1. Kesimpulan ......................................................................................
5.2. Saran ................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
64
64
65
66
DAFTAR TABEL
No
Teks
Halatnan
I . Perubalian Histopatologi lnsang .......................................................
34
2 . Perubahan Histopatologi Otot .........................................................
57
3 . Perubahan Histopatologi Usus .......................................................
61
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Teks
Ikan gurami (Osphr~onemusgouramy)..................................................
3
Ichtyobodo sp ........................................................................................ 17
Ichtyobodo sp yang memiliki bentuk spel-ti komdtetesan air mata ...... 18
. .
Ichthyobodo sp lnelekat di sepanjang epltel Insang ............................. !8
Ichihyobodo sp melekat di sel epitel ..................................................
19
Hennegqa sp dan spora Myxobolus sp ................................................ 22
Chloromyxutn sp merupakan salah satu spesies dari Myxozoa ............. 24
Myxidiurn sp merupakan salah satu spesies dari Myxozoa .................... 24
Telangiektasis pada insang ikan gurami ............................................... 40
Oedema pada insang ikan gurami ........................................................ 40
Lamela insang berbentuk seperti pentungan ..........................................
41
Ichthyobodo .sp dan Myxozoa di insang ikan gurami .......................... 46
Ichthyobodo sp dan Myxozoa di insang ikan gurami ........................... 46
Plasmodia muda di epithelium interlamela di ikan gurami dengan
....
kapsul kolagen mengeulingl plasmcdia .................................................
50
Plasmodia muda di epithelium intralamela di ikan gurami dengan
kapsul kolagen mengelilingi plasmodia ................................................. 50
Lesio pada insang ikan gurami yang berisi plasmodia dengan
spora matang dari Myxobolus sp .....................................................
51
Hiperplasia dan perubahan tempat epithelium respiratori dari insang
ikan yang terinfeksi oleh kista Henneguya sp ...................................... 53
Telangiektasis dan sarang Myxozoa mengintiltrasi lamela
..
sekunder dl Insang ikan gurami ...........................................................
53
Spora Myxobolus sp dan Henneguya sp berukuran
11,25 x 3, 75 pm menginfiltrasi kartilago insang ikan gurami .............. 54
Spora Myxozoa mengintiltrasi kartilago insnag ikan gurami .............. 54
21 .
Protozoa belum teridentifikasi di epitel lamela insang ikan gurami ..... 5G
22 .
Nekrosa pada olot ikan gurami ......................................... ................... 59
23 .
Degenerasi lemalc dan hialin pada otot ikan gurami .......................... 59
24.
Usus pada ikan gurami .........................................................................
63
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
lkan gurami telah lama dikenal oleh manusia. Ikan gurami banyak memiliki
jenis, namun secara garis besar dikelompokan menjadi dua macam yaitu sebagai ikan
hias dan ikan konsumsi manusia. Contoh ikan gurami sebagai ikan hias yailu Giant
Red Tail Gouranii yang me~niliki nama spesies 0spl~ronernu.slaticlaviu.~,Blue
CJouranzi, Moorzlight Gour-unzi, Honey Gouranii, Pear-1 Sourai,;, Kissing Gouranti,
Snakeskin Gouvami, Neon Blue Dwarf Gourami dan masih banyak lagi, sedangkan
jenis ikan gurami yang biasa dikonsuinsi manusia yaitu Giant Gourami dengan nalna
spesies Os17hronemusgoura~ny.
Gurami (Osphronemus gouramy) merupakan salah satu dari ikan air tawar
konsuinsi yang rnempunyai ni!ai ekonomis tinggi (Sendjaja dan Riski 2002). Gurami
alias giant gourami (gurami raksasa) bukan ikan baru di Indonesia. Sebagai ikan
budidaya, gurami suaah dipublikasikan sebagai ikan konsumsi dan ikan hias sejak
tahun 1802. Publikasi secara besar-besaran tentang gurami berlangsung sejak tahun
1895 (Sitanggang dan Sarwono 1987).
Tempat asal gurami belum diketahui. Namun inenurut Sitanggang dan
Sarwono (1987) disebut, gurami asli dari Kepulauan Sunda Besar. Penyebarannya
sebagai ikan budidaya meliputi wilayah sangat luas. Seperti Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Malaysia, Thailand, Cina, India, Srilanka, Kepulauan Sychilin dan
Australia.
Penyebaran gurami ke seluruh Kepulauan Indonesia dan negara tetangga
sebagai ikan budidaya dimulai dari Jawa. Tahun 2002, kepala distrik Tondano
(Sulawesi
Utara)
mendatangkan
gurami
dari
Jawa
ke
Tondano
untuk
dikembangbiakkan. Tahun 1916 gurami dibawa dari Jawa ke Madura dan tahun 1926
dari Jawa dikirim ke Filipina, juga untuk dikembanybiakkan. Di Jawa saat itu,
budidaya gurami untuk menghasilkan benih maupun ikan konsumsi telah tersebar
luas di Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Purworkerto dan Magelang (Sitanggang dan
Sarwono 1987).
Gurami adalah salah satu jenis ikan air tawar yang banyak dipilih petani untuk
dipelihara. Keunggulan gurami bagi petani antara laill ikan ini dapat berbiak secara
alami, mudah dipelihara karena bersifat pemakan apa saja dan dapat hidup di air
tergenang. Selain itu, harga~iyarelatif mahal. Habitat asli gurami adalah rawa dataran
rendah yang berair dalam. Ikan ini bersifat sangat peka terhadap suhu rendah dan
memiliki organ pernaiasan tambahan sehingga dapat mengambil oksigen dari luar air
(Jangltaru 1998).
Masalah hama dan penyakit pada ikan gurami merupakan kendala yang serius
karena menpebabkan tingkat kematian tinggi, terutaina pada fase benih. Nama dan
penyakit pada ikan umumnya terjadi setelah ikan mengalami gangguan uon infeksius
dan infeksius. Gangguan non infeksius yang umumnya menjadi penyebab primer
antara lain kerusakan fisik, kurang gizi, berkurangnya mutu air dan sanitzsi
lingkungan yang buruk (Jangkaru 1998).
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan histopatologi
insang, usus dan otot yang dapat disebabkan oleh gangguan infeksius dan non
infeksius pada
ikan gurami yang dibudidayakan di desa Carangpulang Dramaga
Bogor.
1.3 Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai perubahan
patologi pada organ-organ ikan gurami serta penyebabnya sehingga dapat digunakan
untuk strategi penanggulangan penyakit-penyakit pada ikan gurami baik yang bersifat
infeksius maupun non infeksius.
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Gurami Osphrone~nusgouramy
Fakta bahwa ikan gurami untuk makanan konsumsi manusia sudah biasa
terjadi ketika kita melihat ukuran ikan gurami yang besar. Diperlukan suatu kolam
sangat besar untuk memeliharanya dan harus tersedia banyak makanan terutama
material sayuran sebagai pakan ikan gurami (Mills 1992).
Gambar 1. Ikan gurami (Osphronemus gouraniy)
2.1.1 Klasifikasi
Penduduk di Jawa menyebutnya gurami, gurame, gurameh, grameh, brami. Di
Sumatra dan Kalimantan akrab disebut kalui, kalua, kalwe, kali dan sialui. Dalam
daftar klasifikasi (pengelompokan biologi), gurami termasuk dalam bangsa
Labirinthici dan suku Anabantidae (Sitanggang dan Sarwono 1987).
Klasifikasi gurami secara lengkap menurut Saanin (1984) adalah sebagai
berikut, termasuk dalam filum Chordata yang merupakan hewan bertulang belakang,
kelas Pisces yaitu ikan yang bernafas dengan insang, ordo Labyrinthici adalah ikan
yang memiliki alat pernafasan tambahan labirin, sub-ordo Anabantoidea dan famili
Anabantidae memiliki sekitar 20 genus. Ikan guralni yang dikonsumsi manusia
inasuk ke dalam genus Osphvonemzrs dan memiliki nama spesies Osphr-onenzzcs
gournmy.
2.1.2 Morfologi
Gurami memiliki bentuk fisik khas. Badalinya pipih, agak panjang dan lebar.
Badan itu tertutup sisik yang kuat dengan tepi agak kasar. Mulutnya kecil, letaknya
miring, tidak tepat di bawah ujung bibir. Bibir bawah terlihat menonjol sedikit
dibandingkan bibir atas. Ujung mulut dapat disembulkan sehingga muka menonjol
(Sitanggang dan Sarwono 2002).
Penampilan gurami dewasa (tua) berbeda dengan yang masih muda.
Perbedaan itu dapat diamati berdasarkan ukuran tubub, warna bentuk kepala dan dahi.
Warna dan perilaku gurami muda jzuh lebih menarik dibandingkan gurami dewasa.
Ciri khas gurami dewasa yaitu memiliki lebar badan hampir dua kali pa11jang
kepala atau ?4 kali panjang tubuh. Bentuk kepala dempak (tumpul), berdahi agak
menonjol. Tonjolan dahi gurami jantan yarlg sudah tua berbentuk seperti cula.
Gurami dewasa berpunggung tinggi. Di atas punggung terdapat sirip punggung yang
keras dan tajam. Di bawah sirip punggung terdapat tulang rusuk yang bergaris
menyilang. Panjang sirip punggung dapat mencapai pangkal ekor, begitu pula sirip
dubur. Sirip ekor berbentuk busur.
Ciri khas gurami muda yaitu berukuran seperti korek api, memiliki 8 garis
tegak berwarna hitam pada kedua sisi badannya. Garis tegak itu biasanya hilang
setelah ikan dewasa. Gurami muda berkepala lancip ke depan, berdahi rata. Sirip
duburnya terdapat bintik gelap yang dilingkari wama kuning atau keperakan. Sirip
dadanya terdapat bintik hitam. Pada perut terdapat sirip perut. Jari-jari sirip perutnya
akan mengalami perubahan menjadi sepasang benang panjang yang berfungsi sebagai
alat peraba setelah ikan dewasa. Warna tubuh dan punggung gurami muda pada
umumnya bin1 kehitaman dengan bagian perut putih. Menjelang dewasa warna tubuh
dan punggung berubah menjadi kecoklatan dan warna perutnya berubah menjadi
kuning keperakan (Sitanggang dan Sarwono 2002).
2.1.3 Habitat
Di ala~n,gurami mendiami perairan yang tenang dau tergenang seperti rawarawa, situ dan danau. Di sungai yang berarus deras, jarang dijumpai guranii.
Kehidupannya yang menyukai perairan bebas arus itu terbukti, ketika gurami sangat
mudah dipelihara di kolaln (Sitanggang dan Sarwono 2002). Budidaya ikan gurami di
air yang agak asin dilaltukan penduduk di Cengkareng, Kamal, dan Tegal Alur di
wilayah Jakarta Barat.
Walau gtrami dapat dibudidayakan di dataran rendah dekat pantai, perairan
yang paling optimal untult budidaya adalah yang terletak pada ketinggian 5 - 4 0 0
meter di atas permukaan laut seperti di Bogor, Jawa Barat. Ikan ini masih bertoleransi
sampai pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut seperti di Banjarnegara,
Jawa Tengah. Yang jadi patokan adalah suhu air di lingkungan hidupnya. Suhu ideal
untuk gurami adalah 24°C -28°C (Sitanggang dan Sarwono 2002).
2.1.4 Alat Pernafasan Labirin
Gurami sering kelihatan menyembulkan mulutnya yang menonjol di
permukaan air. Gerakannya itu berusaha untuk mengambil oksigen dari udara bebas.
Oksigen yang terisap akan diikat olehnya dengan labirin. Dengan cara ini gurami
dapat hidup dalam perairan dengan kondisi oksigen terlarut sangat rendah, asalkan
udara di atas permukaan air tersedia.
Labirin adalah alat pernafasan tambahan pada ikan berupa lipatan-lipatan
epithelium pernafasan. Alat tambahan ini merupakan turunan dari lembar insang
pertama. Labirin terletak pada suatu rongga di belakang atau di atas insang. Dengan
adanya alat tarnbahan ini, ikan rnampu hidup di perairan yang miskin oksigen terlarut,
asalkan permukaan perairan terdapat udara bebas. Labirin memiliki pembuluh darah
kapiler yang mampu mengambil oksigen langsung dari udara. Udara ditampung di
rongga labirin saat akan muncul di permukaan air. Kalau labirin ikan tidak
mempunyai kesempatan mengambil oksigen langsung dari udara bebas yang
dikarenakan permukaan air tertutup oleh tanaman atau material lain, maka ikan akan
mati.
Sa~npaisaat ini labirin pada gurami masih merupakan misteri yang belu~n
terjawab. Apakah alat itu hanya digunaltan bernafas apabila oksigen terlarut dala~nair
sangat rendah, atau ~nutlakdigunakan sekalipun oksigen terlarut cukup (Sitanggang
dan Sarwono 2002).
2.1.5 Pencernaan
Saluran pencernaan ikan terdiri dari segmen mufut, faring, esophagus,
lambung, pilorik, usus, rektum dan anus. Usus s-bagai salah satu segmen saluran
pencemaan ikan yang berfungsi sebagai telnpat terjadinya pencernaan dan
penyerapan zat makanan. Perbandingan panjang usus dengan panjang tubuh ikan
herbivora (pemakan nabati) adalah 3.70-6.0, ikan omnivora (pemakan nabati dan
hewani) 1.30-4.20 dan ikan karnivora (pemakan hewani) adalah 0.50-2.40 panjang
tubuh (Opuszynsky dan Shireman 1995).
Ikan gurami adalah salah satu jenis ikan pemakan tumbuh-tumbuhan air yang
mempunyai usus yang pendek dibandingkan ikan jenis herbivora lainnya. Menurut
Affandi (1993) ikan gurami yang panjang total tubuhnya antara 3.8-5.0 cm
mempunyai rasio panjang usus terhadap panjang total tubuh sebesar 1.11-1.64
sedangkan yang berukuran panjang total 13.5-15 cm mempunyai rasio panjang usus
terhadap panjang total tubuh sebesar 1.31-2.3 1.
2.1.6 Pertumbuhan
Pertumbuhan gurami sangat lambat dibandingkan jenis-jenis ikan budidaya
yang lain. Pertumbuhan gurami sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan, kesehatan,
pakan, ruang hidup dan umur. Untuk mendapatkan gurami dengan berat 1 kg dari
benih 1 cm membutuhkan waktu sekitar 4-5 tahun di kolam pekarangan dengan
pemeliharaan tradisional (Sitanggang dan Sarwono 1987).
Secara umum, di habitat alaminya gurami mencapai panjang total sekitar 15
cm pada umur satu tahun, 25 cm pada umur dua tahun, dan 30 cm pada umur tiga
tahun. Berbeda dengan burung dan mamalia, sebagian besar ikan mempunyai
kapasitas meneruskan pertumbuhan selama hidupnya bila kondisi lingkungan
llidupnya memungkinkan. Walaupun detnikian, pertumbuhan ikan di usia tua relatif
lambat (Jangkaru 2002).
Pertumbuhan ikan akan berlangsung cepat pada umur 3-5 tahun. Selanjutnya
ikan tua lebih banyak mempergunakan pasokan energi dan zat hara untuk
pemeliharaan tubuhnya. Pertumbuhan awal individu mengalami perlambatan selama
pematangan kelamin pertama kali. Sebagian besar energi dan zat hara dipergunakan
untuk perkembangan kelamin. Selain itu, selama rnembuat sarang dan menjaga
anaknya, pertumbuhan gurami mengalami hambatan karena pada masa it11 gurami
umumnya makan sedikit bahkan tidak makan sama sekali (Jangkaru 2002).
Pertumbuhan individu gurami per hari raia-rata hanya mencapai 2,O gram
menurut hasil penelitian Pusat Percobaan Perikanan Darat di Depok (197811979).
Untuk mendapatkan gurami konsumsi berbobot 500 gramlekor dari benih 1 cm,
diperlukan masa pemeliharaan lebih dari setahun. Pembesaran gurami secara
tnonokultur dan intensif, untuk mencapai panjang total sekitar 15 cm (berbobot 400600 gramlekor) dari benih 1 cm, membutuhkan waktu pemeiiharaan satu sampai satu
setengah tahun. Panjang 25 cm (600-800 gramlekor) dicapai pada umur dua tahun,
dan 30 cm (1000 gramlekor) pada umur 3 tahun. Pertumbuhan gurami baru
berlangsung cepat pada umur 3-5 tahun. Untuk mendapatkan gurami sebagai ikan
konsumsi berbobot 500 gramlekor butuh masa pemeliharaan lebih dari satu tahun
(Sitanggang dan Sanvono 2002).
2.1.7 Reproduksi dan Perkembangbiakan
Di perairan umum, gurami berkembang biak pada musim kering. Kalau
dipelihara di kolam, gurami dapat berkembang biak sepanjang tahun. Matang kelamin
pada umur 3-8 tahun untukjantan dan untuk betina umur 4-10 tahun.
Gurami berkembang biak dengan cara membuat sarang yang berdiameter
antara 30-38 cm. Di alam bebas biasanya sarang dibuat tersembunyi di antara
tumbuh-tumbuhan air atau rumput di pinggir perairan. Tempat itu biasanya terhindar
dari pengaruh arus yang mengalir deras. Letak sarang pada kedalaman sekitar 30 cm
dari permukaan air.
Ketika akan bertelur, betina induk selalu berdampingan dengan jantan induk.
Betina induk dapat mengliasilkan telur antara 500-3000 butir. Telur bersifat
mengapung. karena mengandung globul minyak.
Telur dapat menetas dalam waktu 30-35 jam setelah dilepas dari tubuh
induknya. Larva yang meneias hidup terapung dengan bagian perut ke atas atau
menempel pada tumbuli-tumbuhan dengan alat perieinpel di kepala.
Larva yang baru menetas hidup dengan sisa-sisa kuning telur yang masih ada
pada tubuhnya. Lima hari kemudian cadangan kuning telur habis, !arva pun mulai
makan jasad renik yang terdapat di alam. Pakan gurami ketika masih benih lembut
adalah infusoria, selanjutnya berganti rotifera dan daphnia. Setelah berumur dua
bulan, gurami dapat makan jentik-jentik nyamuk, cacing sutera dan plankton.
Seianjutnya dapat makan tumbuh-tumbuhan lunak dan rayap (Sitanggang dan
Sarwono 2002).
2.1.8 Galur Gurami
Peternak gurami di Bogor membedakan ada 6 macam galur gurami
berdasarkan daya produksi telur, kecepatan tumbuh, ukuran atau bobot maksimal
gurami dewasa. Masing-masing adalah angsa (soang, geese gou~ami),jepun (jepang,
japonica), blausafir, paris, bastar (pedaging) dan porselen. Empat terakhir banyak
dikembangkan di Jawa Barat. Bagi orang awam sulit membedakan tiap-tiap galur
tersebut. Selain enam galur di atas, berdasarkan wama terdapat gurami hitam, albino
(putih) dan belang. Gurami hitam paling banyak dijumpai, yang lain jarang. Gurami
albino dan belang kurang disukai karena sangat lambat tumbuh. Di Cisaat Sukabumi
(Jawa Barat), para petani mengenal dua galur benih gurami untuk dibesarkan sebagai
ikan konsumsi yaitu galur kapas dan batu (Sitanggang dan Sarwono 2002).
2.1.3 Histologi dan Histopatologi Insang
Histologi merupakan teknik yang digunakan untuk mempelajari jaringan
normal,
sedangkan
untuk
kelainan-kelainan
pada jaringan
disebut
teknik
histopatologi. Preparasi jaringan meliputi beberapa langkah termasuk fiksasi jaringan,
dehidrasi, clearing, embedding sampel, blocking, preparasi sectiori, pewarnaan dan
lnozrnting jaringan (OIE 2003).
Insang adalah struktur yang paling sempurna darI badan teleost. Menipunyai
sifat mudah terluka karena lokasi insang yang ekstemal dan langsung kontak dengat?
air, yang berarti bahwa insang dapat rusak akibat material perusak apapun di dalam
air itu. Insang juga, dengan alamiah, tempat dengan suplai bahan gizi yang baik,
lokasi yang aman dan disukai protozoa eksternal serta parasit trematoda monogenean.
Inbang mempunyai jumlah komponen relatif sedikit: epithelium, endothelium, sel
pilar, fibrosa dan stroma kartilaginous di dalam lamela primer dan sel khusus seperti
sel mukus, sel kloridz, sel granul eosinofil dan makrofag. Gangguan eksternal yang
paling sering terjadi disebabkan oleh perubahan permiabilitas. Pada umumnya tanda
yang paling awal adalah hiperplaisa atau hipertrofi dari sel lamela individual yang
membesar dan meningkatkan ketebalan dari lamela sekunder individu. Ini sering
diikuti oleh suatu peningkatan volume sekresi mukus. Jika stimulasi irritan terjadi
lebih kuat, dapat timbul tiga respon berbeda yaitu oedema lamela, biperplasia lamela
dan fusi lamela, yang perlu diperhatikan adalah apabila hasil akhimya berupa bentuk
kompleks dari ketiga lesio tersebut. (Roberts 2001).
Teleost mempunyai limz pasang insang berbentuk melengkung. Banyak
lamela sekunder berbentuk setengah lingkaran berbaris sepanjang kedua sisi dari
lamela primer. Lamela primer terdiri dari pendukung jaringan kartilago, sistetn
vaskuler dan epitel banyak lapis. Suatu lapisan ganda dari sel epitel mendasari epitel
lamela sekunder. Lapisan luar adalah sel epitel respirasi, dimana mempunyai
mikrovili dan mikroridge tipis pada permukaan apikal, dimana sebagai lapisan
pendukung sel epitel yang menempati membran dasar (basal). Epitel lamela sekunder
tersusun dari banyak sel pilar, yang dapat dipendekkan dan terpisah dari saluran
kapiler (Takashima dan Hibiya 1995).
Perubahan patologi yang paling umum diamati dalam insang adalah
hiperplasia sel respirasi. Hiperplasia ini bisa terjadi akibat dari stimuli zat kimia
polutan, infeksi parasit dan faktor lingkungan yang lain misalnya pH yang rendah.
Banyaknya rnukus dari sel juga meningkat dalam respon terhadap infeksi parasit dan
kualitas air yang memburuk. Sel ini mengeluarkan materi mukus pada permukaan
epitel dalam usaha untuk melindungi jaringan insang. Perubahan akut dalam jaringan
insang meliputi fusi pada lamela dan sel piknosis. Dalam kasus kronis, akan ada
nekrosis, sel desquamasi, oedema dan ditandai derajat infiltiasi dari sel granuler
eosinofil dan tipe leukosit lainnya (Hoole el al. 2001).
2.1 .I0 I-Iistologi dan I-Iistopatologi Saluran Pencernaan (Usus)
Saluran intestin (usus) adalah organ penting yang berhubungan dengan
penyakit. Banyak parasit patogen yang mencapai usus dan masuk ke usus per oral,
khususnya melalui makanan yang terkontaminasi (Hoole et al. 2001). Walaupun
panjang usus relatif bisa dibedakan menurut diet ikan, umumnya usus ikan adalah
suatu tabung sederhana yang tidak membesar dalam diameter untuk membentuk suatu
kolon secara posterior. Mungkin saja lursls, sigmoid atau bergulung, tergantung pada
bentuk dari rongga abdomen. Usus memiliki bentuk simple, mukoid, kolumnar
epithelium, melapisi suatu submukosa sering berlebih diwarisi dengan sel granuler
eosinofilik dan terbatas oleh suatu mukosa muskularis tebal dan lapisan fibroelastis
(Roberts 200 I).
Usus meluas dari bagian akhir pylorus perut sampai anus dan meliputi
duodenum, usus interior, usus posterior dan rektum. Pada beberapa jenis ikan,
batasan-batasan antara bagian-bagian yang berdekatan adalah suram tak jelas.
Duodenum adalah bagian dari usus yang mempunyai pembukaan dari hati dan saluran
pankreas dan jugapyloric caeca. Demikian juga rektum dengan jelas dapat dibedakan
dari bagian sebelumnya oleh adanya Mep ileorektal, yang lebih tebal muskulusnya,
berlimpah sel mukus dan berkurang aktivitas absorpsi. Epitel mukosa usus terdiri atas
sel epitel selapis (Takashima dan Hibiya 1995).
Patologi dari usus dipengaruhi oleh kehadiran bakteri di dalam lumennya. Ini
berbeda menurut musim dan siklus reproduktif, tetapi secara umum mampu dari
sedikit invasi lokal dalam ha1 trauma. Sebagai tambahan, berbagai parasit dan bakteri
patogenik menemukan usus menyediakan suatu lingkungan yang cocok dan infeksi
primer berasal dari usus tersebut. Perubahan patologi dalam usus ikan kurang baik
dipelajari dan kebanyakan dari infor~nasitersedia didasarkan sebagian besar atas
peristiwa pengainatan kebetulan. Situasi menyatakan lebih diperumit sebab spesics
yang paling sederhana, yang tidak makan pada waktu ~nusimdingin, mengalami
perubahan degeneratif dari lapisan mukosa saluran usus yang ditandai oleh
degenerasi apoptotik sepanjang periode itu. Ini mungkin dikacaukan kedua-duanya
dengan perubahan aktif patologi dan dengan post-mortem atas fiksasi yang tidak baik
dari jaringan nonnal, yang mana diuraikan di dalam literatur sebagai patologikal
(Roberts 2001).
2.1.1 1 Histologi dan Patologi Otot
Beberapa ikan berenang dengan mendayung atau gerakan melambai dari sirip
tel-tentu, dalam ha1 ini otot yang sesuai sudah sangat maju dan yang utama myomere
mungkin sangat dikurangi. Corak yang paling jelas nyata dari otot ikan adalah
melipat dan menyambungkan myomere. Secara eksternal, otot badan menduduki
kuadrant dari badan, terpisah dari satu sama lain oleh septum median dan tranversal
horisontal septum. Keciua kelompok otot di dorsal septum horisontal disebut otot
epaxial sedangkan yang ventral disebut olot hypaxial (Roberts 200 I).
Otot dari teleost sama seperti vertebrata yang lain, yaitu terdiri atas unit
memanjang yang disebut serat otot. Secara morfologi seperti halnya secara
fungsional, dua macam otot, polos dan lurik dikenali dan belakangan
iili
dibagi lagi
ke dalam jenis berbeda berupa otot rangka dan jantung (Takashima dan Hibiya 1995).
2.1.11.1 OtotPolos
Serabut otot polos memanjang, sel spindle-shaped berfungsi melakukan
pergerakan kontraktil involuntari dan memelihara bentuk dari banyak jaringan sepel-ti
dinding dari saluran pencernaan makanan, hati dan saluran pankreas. Sel otot diatur
satu demi satu atau di dalam bungkus. Di dalam lapisan atau hungkus dari otot polos,
suatu kuantitas kecil dari jaringan berhubungan dengan fibroblasts, kolagenous,
serabut elastis dan kapiler serta syaraf autonom hadir di antara serabut itu. Permukaan
dari pembungkus otot pada umumnya ditutup dengan suatu membran tipis ke lamina
basal dari epithelial. S t ~ ~ dult~~astruktural
i
sudah menunjukkan bahwa tidak ada
penghubung khusus antara sel berdekatan. Sarcoplasma zuxtanuclear berisi
mitokondria yang sedikit langsing. Sitoplasma diisi myofilamen paralel tipis. Dalam
potongan melintang, myofilarnen teriihat seperii titik kecil. Dalam penampang
longitudinal. inti yang panjang, tunggal dan tipis terpusat. di bagian tengah paling luas
dari
serabut. inti sel lcaya akan kromatin dan berisi satu sampai lima nukleoli
(Takashima dan Hibiya 1995).
2.1.1 1.2 Otot Lurik
Ada dua macaln otot lurik pada ikan, yaitu otot putih dan merah. Perubahan
patologi yang biasa ditemukan meliputi nekrosis (myopathy), inflamasi dan
degenerasi hialin (Hoole el al. 2001).
Otot lurik berhubungan erat dengan sistem rangka. Bentuk komposisi
tergantung pada tulang yang terkait. Otot lateral adalah contoh yang khas dari otot
rangka' ikan teleostei. Muskulatur ini terdiri atas S-Shaped myomere diatur
berdampingan sepanjang kedua sisi badan itu. Myomere terpisah dari satu sama lain
oleh kolagen miosepta. Di dalam potongan melintang hewan vertebrata dapat dilihat
beberapa kelompok otot. Sebagai ta~nbahanterhadap muskulatur lateral, otot lurik
juga meliputi otot yang dihubungkan dengan pergerakan dari sirip (flexor otot dari
caudal dan sirip pektoral, serta otot levator dari dorsal dan sirip anal) seperti halnya
dengan membuka dan menutup gerakan mulut (Takashima and Hibiya 1995).
Menurut Takashima dan Hibiya (1995) secara histologis serabut terdiri atas
sarkoplasma, myofibril, nukleus dan sarkolemma. Sarkoplasrna mengisi ruang di
antara myofibril. Myofibril dengan bahan gizi yang memainkan suatu peran penting
di dalam proses serabut otot kontraksi. Nukleus berbentuk oval atau spindle-shaped
dan menunjukkan variasi dalam ukuran. Nukleus selalu terletak di bawah
sarkolemma. Keberadaan dari banyak nukleus di dalam serabut otot tunggal
merupakan karakteristik otot lurik. Melingkupi serabut otot adalah endomisium, yang
berisi fibroblast dan makrofag. Sel jaringan konektif ini memainkan suatu peran
fagositotik penting dalam kasus inflamasi.
Serabut otot lnerah pada umumnya lebih tipis dibanding serabut otot biasa.
Serabut otot merah berisi lebih sarkoplasma dibandingkan otot biasa dan myofibril
otot berdarah membentuk apa yang diketaliui sebagai bidang Cohnheirn pada
potongan melintang mereka. Bagaimanapun, bidang Cohnheim tersembunyi di dalarn
serabut otot biasa. Serabut otot diinervasi oleh serabut syaraf myelin menghubungkan
ke jalan kecil spinal cord melewati spinal afferent dan efrerent (Takashima dan
Hibiya 1995).
2.2 llama dan Penyakit Gurami
Memelihara gurami tidak terlepas dari gangguan hama dan penyakit. Kedua
gangguan itu bisa mengakibatkan kerugian yang tidak kecil apabila tidak dicegah atau
ditanggulangi sejak awal. Gangguan pada ikan gurarni yaitu penyakit non infeksius
dan penyakit infeksius (Sitanggang dan Sanvono 2002).
2.2.1 Haina Gurami
Predator dan pesaing gurami adalah ikan liar pemangsa dan beberapa jenis
ikan peliharaan. Tergolong ikan liar pemangsa adalah gabus (Ophiocephalus
striatus), belut (Monopterus albus), lele (Clarias batracus) dan banyak lagi yang lain.
Beberapa jenis ikan peliharaan seperti tawes, mujair dan sepat bukan pemangsa,
tetapi mereka merupakan pesaing dalam memperoleh pakan. Akibatnya benih gurami
yang masih kecil sering kalah bersaing. Predatror lainnya adalah biawak (Varanus
salvator), kura-kura (Tryonix cartilaginow), katak (Rana spec), ular dan bermacammacam burung (Sitanggang dan Sanvono 2002).
2.2.2 Penyakit Non Infeksius
Gangguan-gangguan penyakit non parasit bisa berupa pencemaran air seperti
adanya gas beracun serupa asam belerang atau amoniak, kerusakan akibat
penangkapan atau kelainan tubuh karena keturunan. Ikan yang sakit biasanya kurus
dan lamban gerakannya. Kalau penyebab penyakit gas beracun, biasanya ikan lebih
2.2.4.1 Ektoparasit
Salah satu parasit yang paling sering menyerang gurami adalah A~.gzilzls
indicus. Parasit ini tergolong Crustae tingkat rendah yang hidup sebagai ektoparasit.
A~egulus indicus menempel pada sisik atau sirip. Gangguan parasit ini dapat
meni~nbulkan lubang kecil yang akhimya mengundang infeksi sekunder yang
disebabkan oleh bakteri atau virus (Sitanggang dan Sanvono 2002). Pada kulit dan
insang ikan tampak adanya kutu yang menempel kuat dan terjadinya pendarahan pada
bekas gigitan. Argulus sp merupakan penyebab penyakit ini, kutu air ini menyerang
kulit dan insang ikan lalu menghisap darahnya (Jangkaru 2002).
Parasit
Dactylogyrus
dan
Gyrodactylus
termasuk
keluarga
cacing
(monogenea). Kedua cacing ini berbentuk bulat memanjang dan pada ujung tubuhnya
terdapat alat penempel dan mulut penghisap. Dactylogyrus menyerang insang,
sedangkan Gyrodactylus menyerang tubuh dan sirip. Gejala klinis pada ikan yang
terserang parasit ini adalah ikan menjadi lemah, kurang nafsu makan dan megapmegap seperti kekurangan oksigen (Jangkaru 2002). Mudah dikenal dengan adanya
alat penempel posterior yang disebut opisthaptor, yang dilengkapi duri, kait, jangkar
atau alat penghisap. Kehanyakan monogenea hidup sebagai ektoparasit pada ikan laut
dan tawar, beberapa pada amphibi, reptil dan avertebrata lain. Sebagai ektoparasit
menempel pada permukaan tubuh, sirip, rongga mulut dan insang. Kebanyakan
monogenea memakan lendi: dan sel-sel pada permukaan tubuh inang (Suwignyo
el
al. 2005).
2.2.4.2 Protozoa Ichthyobodo sp
Klasifikasi secara lengkap menurut Levine et al. (1980) dalarn Roberts (2001)
adalah sebagai berikut, Ichthyobodo sp termasuk kingdom Protista. Karakteristik dari
kingdom ini adalah uniseluler dan atau koloni. Mempunyai inti sel (nukleus),
termasuk eukaryotik. Makanan diambil dengan cara absorbsi, menelan benda padat
atau fotosintesa, reproduksi seksual maupun aseksual. Ichthyobodo sp masuk ke
dalam subkingdom protozoa. Karakterisistik sub kingdom ini hanya terdiri dari satu
sel dan biasanya berukuran mikroskopis antara 5-5000 mikron, rata-rata antara 30-
300 inikron. Ich/hyobodo s p termasuk filum Sarcomastigophora. Karakteristik dari
filum ini berdasarkan alat untuk bergerak menggunakan flagela atau pseudopodia.
Nukleus satu macanl. Ichthyobodo sp merupakan
subfilum Mastigophora karena
bergerak dengan satu atau beberapa buah flagela. Ichthyobodo sp merupakan kelas
Zoomastigophora yang diltaralcterisitikan dengan tidak memiliki khloroplast dan
inempunyai bermacani-macain llagela, yang sering membantu untuk membedakan
ordo yang berbeda. Ichthyobodo sp termasuk ke dalam ordo Retortamonodida ltarena
pada ordo ini dikarakteristikan dengan dua atau empat flagela, satu flagela dip~!tar
secara posterior. Ichlhyobodo sp merupakan famili Monadidae dan
genus
Ichthyobodo.
Ichthyobodo merupakan parasit khusus bcrbahaya bagi ikan muda dan dapat
menyerang anak ikan bahkan telur ikan. Penyakit ini dikenal dengan ichtyobodosis
yang sebelumnya dikenal sebagsi costiasis (Noga 2000).
Ichlhyobodo sp dahulu dikenal dengan sebutan Costia sp. Protozoa ini adalah
parasit obligat berllagela dengan satu siklus hidup. Parasit ini berlokasi di insang,
kulit dau sirip. Costiasis, sebuah penyakit yang disebabkan oleh protozoa berflagela
yaitu Costia necatrix (Anonim 2008). Karena ukurannya yang cukup besar,
Ichthyobodo dapat dengan mudah dilihat pada perbesaran lOOx, dan terlihat jelas
dengan perbesaran 200x (Durborow 2003).
Menurut Durborow (2003) Ichthyobodo adalah suatu protozoa sangat kecil
hampir sebesar suatu sel darah merah. Ukuran panjangnya sekitar 10-20 pm dengan
dua pasang flagela, yang berfungsi untuk bergerak dan melekat pada insang dan kulit
inangnya. Ichthyobodo sp tergolong dalam Protomonadina, famili Monadidae
(Anonim 2008). Protozoa ini merupakan suatu parasit sel tunggal berbentuk seperti
suatu tanda koma atau tetesan air mata. Menggunakan flagela untuk bergerak dan
menyerang ikan sebagai inangnya. Flagela berstruktur panjang, seperti bentuk
menyapu yang digunakan untuk menggerakkan suatu organisme atau sel melalui
suatu lingkungan air. Flagela protozoa biasanya berjumlah satu sampai empat flagela.
Ketika tidak berada dalam tubuh ikan, Ichthyobodo berenang secara tidak teratur
(Durborow 2003).
Cara Ichthyobodo sp menginfeksi inangnya yaitu ketika flagela menempel sel
inang, sebuah sisa flagellum ditempatkan di permukaan ikan dan pergerakan flagellar
dari badan sel kadang-kadang terlihat seperti suatu kedipan lilin bernyala.
Ichthyobodo juga dapat dilihat tanpa bergerak berbaris di sepanjang tepi dari insang,
menjadikan insang tampak seperti bergigi tajam. Iritasi dari parasit ini dapat
menyebabkan insang bengkak. Organisme ini terkenal karena memiliki efek buruk
untuk lingkungan air seperti kolam (tambalc) dan dapat menyebabkan kematian
signifikan ketika infestasinya banyak. Itu dapat menyebabkan infeksi pada temperatur
36°F sampai 86°F (Durborow 2003). Menurut Noga (2000) penyebab penyakit
Ichthybodo necalor yaitu diatas batas kisaran temperatur 2°C-30°C (36°F-86OF).
Gambar 2. Ichthyobodo sp (Anonim 2008)
Gambar 3. Ichtyobodo sp yang memiliki bentuk seperti koma atau tetesan air mata
(Durborow 2003)
Gambar 4. Ichtyobodo sp melekat di sepanjang epitel insang (Durborow 2003)
Gambar 5. Ichthyobodo sp melekat di sel epitel (Anonim 2008)
2.2.4.2.1 Pengendalian
Ichthyobodosis secara luas terdistribusi dalam spesies ikan yang berbeda,
terutama dalam larva dan umur muda, serta kematian dapat terjadi pada anak ikan
atau ikan hias dengan infeksi sedang hingga infeksi hebat. Selain keinatian langsung,
kerusakan tidak langsung terjadi hingga mengurangi kondisi kesehatan dan lesion
insang harus dipertimbangkan. Diagnosis berdasarkan uji mikroskopis dan
histopatologi.
Penangulangan penyakit pada gurami dapat dilakukan melalui sanitasi air dan
kolam, desinfeksi peralatan dan ikan, serta vaksinasi. Sebelum masuk ke kolam, air
dapat disanitasi dengan melewatkannya pada bak pengendapan lalu ke bak filter.
Sanitasi kolam yang dilakukan setelah pemanenan dapat ditempuh dengan
menaburkan kapur. Deinfeksi peralatan dilakukan dengan KMn04. Desinfeksi ikan
yang akan ditebar dilakukan dengan betadine atau KMn04. Agar kekebalan ikan
meningkat dan berlanjut maka dilakukan vaksinasi ulang pada umur 1-1,s bulan
melalui pakan (Jangkaru 1998).
Semua ikan yang baru masulc harus dikarantina sarnpai yakin bahwa rnereka
bebas dari' parasit. Ikan-ikan harus dipisahkan berdasarkan umur dan ikan carrier
harus dicegah tnasuk ke dalam kolam. Usaha pencegahan dapat dilakukan yaitu
dengan menciptakan suasana kesegaran dan menjamin kesehatan bagi ikan sehingga
ikan mempunyai daya tahan terhadap serangan penyakit. Bila terdapat ikan yang
diserang segera dipindahkan ikan tersebut dan segera melakukan pengeringan kolam.
Memperbaiki kondisi air secara umum sering paling mudah dilakukan. Pencegahan
yang baik adalah dengan menjaga kondisi air dengan baik dan selalu meiakukan
pergantian dengan teratur (Reclos 2006). Usahakan air selalu dalam temperatur 80-83
"F dalam beberapa hari.
Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kimia dan
antibiotika melalui perendaman, penambahan dalam pakan dan injeksi (Jangkaru
1998). Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan CuS04 (Copper Sulfat) dan
KMnOj (Kalium Permanganat) dengan dosis tunggal pada konsentrasi yang pas
biasanya efektif (Durborow 2003).
Pengobatan terbaik adalah menggunakan copper sulfat selama beherspa hari.
Copper sulfat atau potassium permanganat dalam bak ikan joga dapat digunakan
sebagai obat altematif (Anonim 2006). Acriflavine (trypaflavine) bisa digunakan
sebagai pengganti. Acriflavine dapat berkemungkinan menyebabkan ikan menjadi
steril dan copper dapat meracuni ikan (Anonim 2008).
Ichthyobodosis atau costiasis dapat diobati dengan formalin 1:4000 atau
1:6000 dalam bak ikan dengan kandungan udara oksigen yang bagus (Pellitero 2008).
Pengobatan yang mudah juga dapat dilakukan dengan pemberian garam NaCl di bak
ikan, yang biasanya disebut dengan salt treatment. Malachite green juga dapat
digunakan sebagai pengobatan pada ikan gurami (Anonim 2006). Solusi ini stabil
hanya sepanjang malachite green terjaga tetap dingin dan jauh dari cahaya. Tidak
boleh menjaga atau menyimpan malachite green bersama dengan makanan di dalam
lemari es karena malachite green bersifat toksik tinggi dan karsinogenik.
2.2.4.3 Myxozoa
Sampai saat ini Myxozoa diklasifikasikan sebagai parasit Protista. Pada
awalnya klasifikasi menempatkan Myxozoa dengan Mikrosporida, dan di bawah
filum Apicomplexa, bersama-sama dalam kelas Sporozoa. Sebagaimana keragaman
sejarah makhluk hidup yang telah dipahami dengan lebih baik, kelas Sporozoa hanya
mengacu pada Apicomplexa sedangkan Mikrosporida dan Myxozoa tetap daiam
Cnidospora. Baru-baru ini, sesuai dengan perbedaan yang sangat besar pada
kompc?s:si ultrastruktural parasit-parasit ini, Myxozoa telah dinaikkan ke tingkat
filum. Hal ini menyebabkan Myxozoa berdiri sendiri sebagai filum tanpa afinitas
filogenetik yang jelas terhadap Protista yang lain. Ahli sistematika telah gaga1
menentukan tentang afinitas filogenetik Myxozoa, juga tidak bisa menemukao
hubungan yang sinkron pada asal-usul Cnidaria. Jadi sekarang Myxozoa berdiri
sendiri dan berpisah dengan Cnidaria (Siddal et al. 1995).
Klasifikasi Henneguya sp menurut Wikipedia (2008)adalah sebagai berikut,
Henneguya sp merupakan kingdom Animalia. Karakterisitlk dari kingdom tersebut
adalah multiseluler dengan tipe sel eukaryotik tanpa dinding sel. Henneguya sp dari
genus Henneguya ini masuk ke dalam filum Myxozoa. Filum Myxozoa
dikarakteristikan dengan spora multiseluler, dengan satu atau lebih kapsul polar dan
katup. Klasifikasi berdasarkan struktur dari spora, Henneguya sp merupakan kelas
Myxosporea karena karakteristik dari kelas tersebut memiliki dua tipe yang unik,
tetapi lebih dari enam nematosit seperti kapsul polar, masing-masing memiliki
filamen polar bergulung. Tahap trophozoit secara umum berkembang baik dan pada
tahap ini mengambil tempat utama proliferasi. Spora tersebut bisa jadi coelozoic atau
histozoic. Henneguya sp termasuk ordo Bivalvulida. Karakteristik dari ordo tersebut
adalah spora dengan dua katup. Henneguya sp merupakan sub ordo Platysporina.
Platysporina memiliki karakteristik yaitu spora dengan dua kapsul polar pada satu
kutub dalam tempat sutural. Gambar 6 adalah gambar Henneguya sp dan spora
Myxobolus sp yang merupakan salah satu spesies dari Myxozoa.
Gambar 6. Henneguya sp (panah) dan spora Myxoboltcs sp (kepala panah)
(Siddal et al. 1995)
Kunci karakteristik dari Myxozoa meliputi perkembangan dari spora
multiseluler, terdapat kapsul polar dalam spora dan peruraian sel endogenous dalaln
kedua-duanya yaitu tahap trophozoit dan sporogoni. Satu dari karakteristik yang
paling penting dari myxosporean adalah bahwa kecuali autogamy (reproduksi
seksual), semua tahap adalah bentuk multinukleus dimana sel-sel (primer)
membungkus sel yang berisi sel sekunder (Noga 2000).
Myxozoa adalah parasit yang tersebar secara luas di tempat asli dan kolam
yang besar pada populasi ikan. lnfeksi kecil pada ikan hanya menimbulkan minimal
masalah, tetapi dalam infestasi yang banyak dapat menjadi masalah serius, khususnya
ikan muda. Myxozoan adalah parasit yang mempengaruhi jaringan secara luas.
Parasit tersebut sangat banyak dan beragain kelompok dari organisme, istimewa dari
bentuk spora dan ukuran. Spora dapat diamati dalam preparat kecil dari area yang
terinfeksi pada perbesaran 200x atau 400x atau dengan pemotongan histologi
(Klinger et al. 2002).
Jenis myxosporean lain dalam sistem rangka dari ikan air tawar dan ikan air
laut sering terjadi walaupun ada gejala kecil bahwa parasit tersebut menyebabkan
kerusakan signifikan. Untuk contoh, Myxobolus cartiliganis ditemukan dalam
cartilago (tulang rawan) di dasar sirip dan lengkung insang dari centrarchid (Hoffman
et al. 1965 dalam Robert 2001). Pada umumnya terjadi di insang ikan jenis carp yaitu
Myxobolus intrachondrealis yang berbeda spora ellipsoidal dan kapsul polar lebih
panjang (Molnar 2000).
Cara transmisi untuk kebanyakan semua myxozoan tidak diketahui, tetapi
bukti atau tanda berpendapat bahwa pada beberapa myxozoan patogen ikan memiliki
siklus bidup tidak langsung. Ketakjuban pada ha1 itu bahwa siklus hidup tersebut
dapat menghendaki penyempurnaan dari dua macam siklus hidup yang meliputi
seekor vertebrata (ikan) dan seekor invertebrate (cacing gelang) induk semang, yang
tiap siklus hidup mempunyai tahap seks~lalsendiri dan tahap aseksual (Wolf et al.
dalam Noga 2000).
Klasifikasi Myxobolus sp secara lengkap menurut Wikipedia (2008) adalah
Myxobolus sp sama dengan Henneguya sp hanya berbeda pada famillinya. Myxobolus
sp termasuk dalam kingdom Animalia, filum Myxozoa, kelas Myxosporca, ordo
Bivalvulicia. Myxobolus sp termasuk dalam famili Myxobolidae dan genus
Myxobolus.
Dapat dilihat pada Gambar 7 yaitu Chloromyxum sp dan Gambar 8
merupakan Myxidium sp. Semuanya adalah spesies dari Myxozoa yang dapat
dijumpai pada ikan air tawar maupun air laut.
Gambar 7. Chloromyxum sp (Siddal et al. 1995)
Gambar 8. Myxidiutn sp (Siddal et al. 1995)
2.2.3.1 Pengendalian
Berdasarkan diagnosa, tiga aplikasi dari 10 ml formalinlm' efektif dalam
kasus ini. Lima belas hari kemudian, ikan diuji kembali dan kista parasit-parasit
tersebut tidak ada lagi. Perubahan jaringan ada pada insang setelah pengobatan hanya
sebuah kongesti siriusoidal ringan dan hiperplasia epitel yang ringan pada dasar
lamela sekunder (Martins et ul. 1999).
Dengan pengecualian disinfeksi dan karantina, tidak ada penyembuhan nyata
yang sempuma untuk infeksi myxozoan, walaupun fumagilin dan malachite green
menunjukkan beberapa kemampuan. Spora myxozoa hidup lama, beberapa dapat
bertahan hidup dengan baik selama lebih dari satu tahun, jadi disinfeksi diharuskan
untuk eradikasi atau pemberantasan (Noga 2000).
2.3 Imunitas
Sistem kekebalan non-spesifik mencakup pertahanan pertama dan pertahanan
kedua. Pertahanan pertama yaitu pertahanan fisik meliputi, sisik, kulit dan mukus.
Mukus memiliki kemampuen menghambat kolonisasi mikroorganisme pada kulit,
insang dan mukosa. Mukus ikan mengandung imunoglobulin (IgM) alami dan bukan
sebagai respon dari pemaparan antigen (Irianto 2005). lmunoglobulin merupakan
antibodi yang dapat menghancurkan patogen yang menyerang tubuh. Adapun sisik
dan kulit berperan dalam melindungi ikan dari kemungkinan luka dan sangat penting
peranannya dalam mengendalikan osmolaritas tubuh. Kerusakan pada sisik atau kulit
dapat mempermudah patogen menginfeksi inang.
Aktivitas sel yang merupakan kekebalan non-spesifik atas masuknya antigen
tertentu ke dalam tubuh ikan dibagi atas dua aksi. Pertama, sistem kekebalan nonspesifik bekerja dengan mempertahankan
diri terhadap masuknya antigen.
Mekanisme pertahanan tersebut yaitu dengan menghancurkan antigen bersangkutan
secara non-spesifik melalui proses fagositosis (Irianto 2005). Sel-sel fagositik
utamanya terdiri dari monosit (prekursor-prekursor makrofag), makrofag dan
granulosit (leukosit granular) (Kresno 1996).
Selain fagositosis, respon kekebalan non-spesifik yang kedua adalah reaksi
inflamasi. Sel-sel sistem kekebalan tersebar di seluruh tubuh, tetapi bila terjadi infeksi
di satu tempat maka sel-sel kekebalan perlu dipusatkan ke lokasi infeksi. Sela~na
respon tersebut berjalan, terjadi tiga proses penting, yaitu : peningkatan aliran darah
yang banyak membawa sel polimorfonuklear (PMN) ke area infeksi polilnorfonuklear
(PMN) merupakan gabungan sel neutrofil, eosinofil dan basofil (Icresno 1996).
Sistem imun pada ikan umumnya hampir sama dengan hewan vetebrata lain,
perbedaannya hanya terletak pada organ pembentukannya, proses pembentukan, serta
jenis dan komponen imunnya (Fange 1982). Sistem ini sangat tergantung pada suhu
dan dipengaruhi faktor lingkungan yang lain (Anderson 1974). Organ pembentuk
respon imun dan darah dikenal sebagai organ limphomieloid disebut demikian karena
jaringan limphoid dan meiloid bergabung menjadi satu. Jaringan tersebut terutama
terbentuk dari jaringan granulopoietik yang kaya akan enzim lisozim yang diduga
mempunyai peran penting dalam reaksi kekebalan tubuh (Fange 1982). Pada ikan,
jaringan pembentuk darah terdapat dalam stroma limpa dan intersitiuxi ginjal.
Antigen yang masuk ke dalam tubuh akan difagosit oleh makrofag, selanjutnya
makrofag akan mengirim pesan kepada limfosit yang aktif. Limfosit akan membelah
diri (proliferasi) dan akan membentuk antibodi (Anderson 1974).
2.4 Darah lkan
Darah ikan tersusun atas sel-sel darah yang tersuspensi dalam plasma dan
diedarkan tubuh melalui sistem resirkulasi tertutup, terdiri atas sel darah merah dan
sel darah putih. Fungsi utama darah adalah untuk mensuplai nutrien seperti glukosa
dan elemen-elemen penting serta oksigen ke jaringan dan untuk mengangkut hasil
buangan metabolisme seperti karbondioksida dan asam laktat. Selanjutnya disebutkan
bahwa dalam darah juga terdapat sel-sel darah putih dan materi-materi lain seperti
asam amino, lemak dan hormon. Pemeriksaan darah penting artinya untuk
memantapkan diagnosa suatu penyakit. Penyimpangan fisiologis ikan menyebabkan
komponen-komponen darah juga mengalami perubahan. Perubahan gambaran darah
dan kimia darah baik secara kualitatii maupun kuantitatif dapat menentukan kondisi
ikan atau status kesehatannya (Wedemeyer et al. 1990).
Eritrosit ikan memiliki inti, ulnumnya berbentuk bulat dan oval tergantung
pada jenis ikannya. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan sitoplasma terlihat jernih
kebiruan dengan pewarnaan Giemsa (Chinabut el al. 1991). Leukosit merupakan unit
metabolik aktif dari sistem pertahanan tubuh, dimana sel ini akan disirkulasikan
secara khusus ke daerah yang mengalami infeksi maupun yang mengalami
peradangan. Leukosit dibentuk di stem sel dalam sumsum tulang dan sebagian lagi di
jaringan limfe. Terdiri dari granulosit (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan agranulosit
(monosit, limfosit dan sel plasma) (Guyton 1997). Peruba'nan jumlah total leukosit
dan jenis leukosit dapat dijadikan indikator adanya penyakit infeksi tertentu pada ikan
(Blaxhall 1971).
Limfosit merupakan sel untuk pertahanan tubuh memiliki ukuran diameter
antara 4,5-12,Opn (Moyle and Chech 1988) dengan kelinlpahan berkisar 71,1282,88% dari total sel darah putih dalam darah ikan (Blaxhal 1971). Chinabut et al.
(1991), menyatakan bahwa inti sel limfosit hampir memenuhi ruangan sel, berwarna
gelap dengan sedikit tersisa sitoplasma yang mengelilingi inti dan tidak bergranula.
Limfosit mempunyai peranan dalem respon imunitas.
Monosit ikan berbentuk bulat-oval, intinya terletak ditengah sel dengan
sitoplasmanya tidak bergranula. Monosit merupakan sel makrofag yang berperan
penting dalam memfagosit mikroorganisme patogen (Nabib dan Pasaribu 1989).
Anderson dan Siwicki (1993) menyatakan bahwa aktivitas fagositik meningkat pada
awal terjadinya infeksi dan menurun pada infeksi yang telah kronis.
Chinabut et al. (1991), menyatakan bahwa neutrofil adalah sel darah putih
yang dapat meninggalkan pembuluh darah, mengandung vakuola yang berisi enzim
yang digunakan oleh sel tersebut untuk menghancurkan organisme yang dimakannya.
Neutrofil berbentuk bulat dengan inti dapat memenuhi sebagian ruang sitoplasma dan
terdapat granula dalam sitoplasmanya. Selain netrofil terkadang dapat ditemukan
adanya granulosit lainnya yakni basofil dan eosinofil.
Basofil mengandung histamine dan heparin yang diduga berperan dalam
mempertahankan keseimbangan normal antara sistem pembekuan dan sistem anti
pembekuan. Eosinofil berperan dalam proses fagositosis kompleks antigen-antibodi
dan pada kasus penyakit alergi, kadar eosinofil yang beredar dalam sirkulasi
meningkat (Ganong i988).
Trombosit merupakan sel darah yang tidak berinti dan paling kecil ukurannya
(Chinabut et al. 1991). Sel-sel ini bekerja secara bersama-sama melalui dua cara
untvk mencegah perlyakit: (I) dengan proses fagositosis dan (2) dengan membentuk
dan menghasilkan antibodi. Trombosit akan diganti kira-kira 10 hari setelah
diproduksi (Guyton dan Hall 1997).
111. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dau Tempat Pe~lelitia~l
Pcnelitian dilaksanakan mulai Juli 2007 hingga Agustus 2007, bertempat
di Laboratorium Patologi, Departernen Klinik, Reproduksi dan Patologi, dan
Laboratorium Helminthologi serta Laboratorium Protozoologi, Departemen Ilinu
Penyakit I-Iewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan Il'B.
3.2 Metode Penelitian
Untuk mencapai sasaran tujuan penelitian ini ada beberapa ha1 yang
dilakukan meliputi: pengambilan ikan gurami di tambak air tawar desa
Carangpulang, kelurahan Cikarawang, Dramaga Bogor sebagai sampel penelitian
sebanyak 15 ekor ikan gurami dengan berat berkisar antara 200-400 gram.
Kemudian sampel ikan gurami dinekropsi dan diambil insang, usus serta ototnya.
Selanjutnya orgaq-organ tersebut dibuat preparat histopatologi yang diwarnai
dengan Hem~toksilindan Eosin (Laboratorium Histopatologi, 1551). Dilanjutkan
pengamatan laboratorium dengan menggunakan mikroskop cahaya dilakukan
untuk melihat perubahan patologis pada insang, usus dan otot.
3.3 Bahan dan Alat
3.3.1 Bahan
1. Sampel ikan gurami
2. Parafin
3. Buffer Netral Formalin (BNF) 10%
4. Xylol
5. Alkohol absolut
6. Alkohol95%
7. Alkohol80%
8. Mayer Hematoxylin
9. Lithium carbonat
10. Eosin
1 1. Aquades
12. Perekat neofren
3.3.2 Alat
- Cover glass
- Mikrotom
- Obyek glass
- Pemanas air
- Pisau bedah
- Lemari pendinginllemari es
- Inkubator dengan suhu 52°C
- Mikroskop
3.4 Pembuatan Preparat Histologi
Sampel ikan gurami diamati kelainan patologinya secara makroskopis,
setelah itu sebagian organ respirasi, digesti, dan otot dipisahkan. Organ respirasi
yang diambil yaitu insang. Sedangkan organ digesti yang diambil yaitu usus.
Organ lain yang diambil untdk diamati yaitu otot. Untuk mencegah pembusukkan
maka organ-organ tersebut disimpan dalam larutan formalin dan diberi kode
protokol. Sampel jaringan difiksasi dalam larutan BNF 10% selama 3x24 jam.
Selanjutnya sampel jaringan dipotong kecil dan dimasuldtan ke dalam tissue
cassete untuk dilakukan proses deludrasi di dalam seri larutan alkohol dengan
konsentrasi bertingkat, dijemihkan di dalam Xylol dan di embedding
dalam
parafin.
Organ yang telah berbentuk blok parafin dipotong dengan menggunakan
mikrotom dengan ketebalan 4pm, kemudian hasil potongan dimasukkan ke dalam
air biasa dan diletakkan pada objek glass, proses peletakkan harus cermat dan
hati-hati supaya tidak ada rongga udara yang akan menghalangi organ yang akan
dilihat, bila terdapat rongga udara di dalam preparat dapat dihilangkan dengan
cara menekan bagian yang dimaksud dengan tujuan agar udara terdorong ke
pinggir sehingga tidak menghalangi pandangan. Bila proses peletakkan preparat
sudah dianggap tepat, maka preparat dimasukkan ke dalam air panas dengan
tujuan untuk menghilangkan lapisan parafin yang ada, kemudian dilakukan
pengeringan dan diberi kode protokol pada preparat sesuai dengan nomor protokol
pada spesimen. Preparat d.imasukkan kedalam inkubator dengan suhu 52OC
minimal 2 jam atau maksimal 1 hari. Setelah itu dapat dilakukan pewamaan pada
preparat yang ada.
3.5 Pewarnaan Preparat Histoloyi
Pewarnaan HE dilakukan untuk pengamatan terhadap struktur umuni
jaringan. Ada 5 tal~apanyang harus dilakukan yaitu:
1. Deparafinisasi, yaitu sediaan dimasukkan ke dalam serial larutan Xylol 111,
11, dan I dengan rnaksud uniuk rnelarutkan parafin dari jari~lgan.
2. Dehidrasi, yaitu sediaan dimasukkan ke dalam serial larutan alkohol
(alkohol 111, 11, I, alkohol loo%, 9596, 90%, SO%, dan 70%).
3. Pewaniaan.
4. Clearing atau penjernihan dengan Xylol I, I1 dan 111.
5. Mounting atau penutupan sediaan dengan cover glass.
Metode yang digunakan adalah rnetode laboratorium histopatologi FKH
IPB tahun 1991, dengan cara merendam preparat secara h e r u t a n dengan
menggunakan :
1. Xylol I selama 2 menit
2. Xylol I1 selama 2 menit
3. Alkohol absolute selama 2 menit
4. Alkohol95% selama 1 menit
5. Alkohol80% selama 1 menit
6. Dicuci dengan air keran selama 30 detik
7. Mayer haematoxylin selama 8 menit
8. Dicuci dengan air keran selama 2 menit
9. Eosin selama 2-3 menit
10. Dicuci dengan air keran selama 30-60 detik
11. Alkohol95% (lox celupan)
12. Alkohol absolute I (lox celupan)
13. Alkohol absolute 11 selama 2 menit
14. Xylol I selama 1 menit
15. Xylol I1 selama 2 menit
16. Preparat ditutup dengan cover glass.
Setelah proses pewamaan selesai maka preparat histologi tersebut sudah
dapat diamati. Untuk mengamatinya digunakan rnikroskop cahaya yang
dilengkapi dengan alat foto dengan perbesaran objektif 4x, lox, 40x dan 100x.
Hasil pengamatail tersebut selanjutnya dievaluasi secara deskriptif.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perubahan pada Insang
Hasil pengamatan histopatologi bahwa pada sampel ikan gurami mengalami
telangiektasis di sepanjang lamela sekunder yang merupakan pelebaran kapiler dan
pembuluh darah yang bersifat permanen. Sampel ikan gurami banyak ditemukan
parasit protozoa Ichthyobodo .xp di insang, protozoa tersebut ditemukan sebesar
33,3% (5 sampel ikan gurami) dari 15 sampel ikan gurami. Terlihat pada pembesaran
fokus objektif lOOx Ichthyobodo sp menginfiltrasi epitel lamela sekunder. Di sekitar
protozoa terjadi hiperplasia pada sel mukus dan hipertrofi pada sel lameia sekunder.
Hiperplasia pada sel mukus dan hipertrofi pada sel lamela sekunder juga
terjadi pada semua ikan gurami yang tidak ditemukan infestasi Ichthyobodo sp. Pada
beberapa sampel ikan guran?i banyak ditemukan parasit protozoa yang belum
teridentifikasi sebesar 26,7% (4 sampel ikan gurami) dari 15 sampel ikan gurami.
Protozoa-protozoa tersebut menempel pada sel epitel lamela sekunder dan lamela
primer (Gambar 20). @edema lamela terjadi pada insang yaitu sebesar 53,3% (8
sampel ilcan gurami) dari 15 sampel ikan gurami. Oedema lamela menyebabkan epitel
lamela sekunder hampir terlepas dari kapiler bahkan selnpurna terlepas dari lamela
primer. Pengamatzn menunjukan terjadi penebalan pada ujung lamela primer
menyerupai pentungan pada semua sampel ikan gurami.
Hiperplasia lamela sekunder merupakan akibat dari respon terhadap kondisi
air yang buruk maupun infeksi parasit mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah
sel klorid meluas sampai ke permukaan lamela sekunder sehingga terjadi penebalan
pada lamela sekunder dan diikuti juga dengan terjadinya perubahan bentuk sel pilar
(Roberts 2001). Ditemukan banyak kelompok protozoa Myxozoa menginfiltrasi
tulang rawan lamela primer sebesar 40% (6 sampel ikan gurami) dari 15 sampel ikan
gurami. Serta banyak juga ditemukan kelompok Myxozoa di interlamela dan
intralamela insang yang berisi spora Myxozoa sebesar 26,7% (4 sampel ikan gurami)
dari 15 sampel ikan gurami. Perubahan histopatologi secara lengkap pada insang
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perubahan Histopatologi Insang
Ikarl gurami
Perubahan histopatologi
-
Telangiaktasis terjadi di lamela sekunder
-
Banyak kelompok protozoa berisi lchthyobodo
sp dan Myxozoa menginfiltrasi epitel lamela
sekunder
-
Hiperplasia pada sel mukus
Hipertrofi pada sel lamela sekunder
- Kelompok
protozoa
berisi
Myxozoa
me~ginfiltrasitulang rawan di lamela primer
-
Penebalall pada ujung lamela primer
- Ditemukan
teridentifikasi
parasit
protozoa
inenempel
epitel
belum
lamela
sekunder
-
Banyak kelompok protozoa interlamela dan
intralemela, di dalamnya berisi Myxozoa
-
Banyak Ichthyobodo sp di sepanjang insang
- Banyak sel debris di sekitar lamela
-
Hipertrofi pada sel lamela sekunder
- Telangiaktasis terjadi di lamela sekunder
- Penebalan pada ujung lamela primer
-
Oedema pada lamela sekunder
-
Di luar sekitar lamela sekunder banyak
infestasi protozoa Ichthyobodo sp
-
Telangiaktasis terjadi di lamela sekunder
-
Terdapat
kelompok
protozoa
teridentifikasi di lamela sekunder
belum
Ikan gurami
Perubahan histopatologi
-
Penebalan pada ujung lamela primer
-
Oedema pada lamela sekunder
-
Hiperplasia pada sel mukus
-
Ada
Hipertrofi pada sel lamela sekunder
sarang
protozoa
interlamela
dan
intralamela, di dalamnya berisi Myxozoa
-
Telangiaktasis terjadi di lamela sekunder
-
Kelompok
protozoa
berisi
Myxozoa
menginfiltrasi tuiang rawan di lamela primer
-
Penebalan pada ujung lamela primer
- Hiperplasia pada sel mukus
- Hipertrofi pada sel lamela sekunder
-
Oedema pada lamela sekunder
- Ada
kefompok
protozoa
intralamela,
di
dalamnya berisi Myxozoa
-
Telangiaktasis terjadi di lamela sekunder
-
Oedema pada lamela sekunder
-
Banyak sel goblet pada ujung penebalan
lamela primer
-
+
Kelompok protozoa Myxozoa sangat besar di
ujung
penebalan
lamela
primer
dan
menginfiltrasi tulang rawan di lamela primer
-
Hipertrofi pada sel lamela sekunder
-
Hiperplasia pada sel mukus
Penebalan pada ujung lamela primer
-
Kelompok Myxozoa di interlamela insang
Ikan gurami
Perubahan histopatologi
- Telangiaktasis terjadi di lamela sekunder
- Penebalan lamela sekunder seperti pentungan
-
Kongesti eritrosit sepanjang lamela primer
-
Ditemukan
parasit
protozoa
belum
teridentifikasi menempel lamela sekunder
- Hiperplasia pada sel mukus
- Hipertrofi pada sel lamela sekunder
-
Penebalan pada ujung lamela primer
-
Oedema pada larnela sekunder
-
Hiperplasia pada sel n~ukus
Hipertrofi pada sel lamela sekunder
- Telangiaktasis terjadi di lamela sekunder
-
Kelompok
pratozoa
berisi
Myxozoa
menginfiltrasi tulang rawan di lamela primer
-
Telangiaktasis terjadi di lamela sekunder
-
Hipertrofi pada sel lamela sekunder
-
Hiperplasia pada sel mukus
-
Telangiaktasis terjadi di lamela sekunder
Penebalan pada ujung lamela primer
- Hiperplasia pada sel rnukus
- Diternukan
parasit
protozoa
belum
tcridentifikasi menempel lamela sekunder
- Oederna pada lamela sekunder
- Penebalan pada ujung lamela primer
Ikan gurami
Perubahan histopatologi
-
Di luar sekitar lamela sekunder banyak
protozoa Ichthyobodo sp
-
Kelompok
menginfiltrasi
protozoa
lamela
berisi
sekunder
Myxozoa
bentuk
intralamelar
- Hiperplasia pada sel mukus
- Telangiaktasis terjadi di lamela sekunder
-
Oedema pada lamela sekunder
Penebalan pada ujung lamela primer
- Ditemukan banyak parasit protozoa belum
teridentifikasi menempel lamela sekunder
-
Hipertrofi pada sel lamela sekunder
- ichthyobodo sp di sepanjang lamela sekunder
-
Telangiaktasis terjadi di lamela sekunder
-
Hiperplasia padz sel mulcus
-
Penebalan pada ujung lamela primer
-
Di luar sekitar ltimela sekunder banyak
protozoa Ichthyobodo sp
-
Telangiaktasis terjadi di lamela sekunder
- Penebalan pada ujung lamela primer
- Hipertrofi pada sel lamela sekunder
- Hiperplasia pada sel mukus
-
Kelompok
protozoa
berisi
Myxozoa
menginfiltrasi tulang rawan di lamela primer
Ikan g ~ ~ r a m i
Perubahan histopatologi
-
Telangiaktasis terjadi di lamela sekunder
-
Hipertrofi pada sel lamela sekunder
-
Hiperplasia pada sel mukus
-
Kongesti eritrosit sepanjang larnela primer
-
Kelompok
Penebalan pada ujung lamela prime1
protozoa
berisi
Myxozoa
menginfiltrasi tulang rawan di lamela primer
15
-
Telangiaktasis terjadi di lamela sekunder
-
Penebalan pada ujung lamela primer
-
Hiperplasia pada sel mukus
-
Telangiaktasis terjadi di lamela selcunder
-
Penebalan pada ujung lamela primer
-
Hiperplasia pada sel mukus
Hipertrofi pada sel lamela sekunder
Hipertrofi pada sel lamela sekunder
Banyak faktor yang menyebabkan telangiektasis, oedema, hipertrofi,
hiperplasia dan nekrosis pada lamela primer dan lamela sekunder insang.
Kemungkinan faktor-faktor tersebut karena adanya gangguan infeksius (endoparasit
dan ektoparasit) dan non infeksius.
4.1.1 Oedema Lamela dan Telangiektasis
Oedema lamela paling sering mengikuti ekspose polutan kimia seperti logam
berat, tidak terkecuali bahan kimia pestisida dan fonnalin terapeutik atau hidrogen
peroxida berlebih. Yang akhirnya pemisahan oedematous lengkap dari epithelium
respiratori lamela primer dan sekunder dengan nekrosis dari sel epithelial lamela dan
hebatnya sering menyebabkan kematian, distress respiratori dan osmoregulatori
mungkin terjadi.
Oedema lamela juga bisa terjadi akibat keracunan amonia. Amonia ti~nbul
karena pakan ikan yang berlebihan, metabolisme pakan berlebih menghasilkan
ekskresi amonia. Dapat dilihat pada Garnhar 9 adalah telangiektasis dan Gambar 10
~
epitel insang
merupakan oedema pada insang ikan gurami. Bentuk N H ~nelnasuki
dan menjadi toksik. Keracunan ammonia ekut menyebabkan oedema sehingga epitel
sel terangkat dan desquamasi, sedgngkan keracunan amonia kronik menyebabkan
proliferasi difus epitel lamela insang. Pada keracunan ammonia kronik menimbulkan
lamela insang berbentuk seperti pentungan (Gambar 11). Amonia akan meningkat
jumlahnya pada kondisi pH dan suhu air meningkat, filter biologis berkurang jumlah
dan aktifitasnya diniana filter biologis tersebut adalah bakteri Nitrosomonas
mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan bakteri Nitrobacter mengoksidasi nitrit
menjadi nitrat.
Oedema lamela menunjukkan bahwa kapiler insang ikan yang disuplai dengan
darah pada tekanan arteri langsung dari jantung, sangat mirip dengan glomerulus
ginjal. Ultrafiltrasi sangat rendah, sedangkan oedema karena ultrafiltrat sangat
mungkin terjadi walaupun dalam insang yang sehat. Ion kalsium sangat penting untuk
mengurangi permeabilitas membran sehingga ha1 ini penting pada daerah air lunak
(>< air sadah). Hal yang luar biasa, ketika derajat pemulihan ikan yang terinfeksi dan
mengalami oedema lamela yang sangat parah ketika untuk kembali menjadi kondisi
yang baik (Robert 2001).
Gambar 9. Telangiektasis pada insang ikan gurami (HE, 1 bar= 60 pm)
Gambar 10. Oedema pada insang ikan gurami (HE, 1 bar= 60 pm)
Gambar 11. Lamela insang berbentuk seperti pentungan (HE,l b a d 0 ~ m )
Perubahan patologis karakteristik insang, yang disertai dengan trauma kimia
atau fisik, biasanya ditemukan di pembudidayaan ikan. Setelah pengelompokkan atau
pemindahan kolam atau berhubungan dengan kondisi parasitik tapi dapat juga terjadi
sehubungan dengan sisa metabolisme atau polusi kirnia, dikenali karena adanya
bintik-bintik kecil pada lamela sekunder.
Secara histologi, jelas bahwa luka-luka berawal dalam ruptur sisa-sisa pilar
atau pilaster, sel-sel yang biasanya bergabung pada permukaan dorsal lamela
sekunder sampai ventral. Hasilnya dilatasi kapiler lamela dan penggumpalan darah,
di mana trombosit dan fibrosis bergabung dengan lamela di dekatnya atau diserap
lagi. Jika ada banyak telangiektasis lamela, fungsi respirator bisa terganggu terutama
pada suhu tinggi, saat level oksigen metabolik tinggi. Bila ikan tersebut terusmenerus mengalami trauma itu, dapat terjadi ruptur dan hemoragi fatal.
Telangiektasis yang ekstensif membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih daripada
luka-luka hiperplasia pada insang (Robert 2001).
4.1.2 Hiperplasia dan Hipertroil Lamela
Hipcrplasia lamela lebih merupakan respon jangka panjang dari sel malpigi
terhadap level terendah iritasi. Sel-sel pada dasarnya berasal dari lamela primer,
kemudian pindah secara distal. Pada tahap awalnya, membentuk sekelompok sel pada
tepi tonjolan lamela sekunder dan disebut "clubbing lamela".
Mungkin sekali terjadi penambahan jumlah sel mukus di dasar lamela, tapi
sangat bervariasi hasilnya. Nantinya seluruh ruang lamela terisi oleh metaplasia
mukus yang bergerak sehingga daerah respirasi sangat berkurang.
Penebalan epitelium lamela biasanya berhubungan dengan peningkatan
jumlah dan migrasi sel malpigi pada lamela primer. Insang yang rusak karena
keasaman air yang disebabkan oleh hujan asam dan kemudian peningkatan dalam
larutan alumunium tanah, menunjukkan bahwa oedema lamela memang terjadi. Hal
ini disertai dengan derajat pembengkakan lamela dan hipertropi pada sel-sel epitelia
individu.
Ada juga perubahan yang terjadi pada arsitektur sel pilar dasar, tetapi faktor
utananya adalah peningkatan jumlah se! klorid yang signifikan. Hal ini meluas pada
permukaan lamela sekunder dan bukannya bertempat di lubang kecil yang cekung
(terbenam). Sel-sel klorid tersebut bahkan muncul di permukaan.
Tipe sel-set klorid ini memunc~:lkan hiperplasia lamela dengan level-level
penyerapan alumunium tinggi dalam insang, dapat juga terlibat dengan fluksionik
melalui epitelia dan dengan fungsi sel klorid normal. Hal ini dapat terjadi lebih jelas
dan akut pada suhu rendah, pada daerah yang terjadi peradangan pada insang, sekresi
mukus dan komponen-komponen khusus. Utamanya dari dasar lamela dan epidermis
lamela primer terpoliferasi, terbentuk lapisan luas yang buruk (kenyal) dan kutikula
insang yang terlihat normal (Robert 2001).
4.1.3
Ichthyobodo sp (Costiasp)
Parasit adalah organisme yang hidup pada organisme lain (inang) dan
menghisap zat makanan dari organisme tersebut. Penyakit parasit adalah penyakit
yang disebabkan oleh aktivitas organisme parasit. Cara penyerangan parasit
dibedakan dalam dua kelompok yaitu ektoparasit dan endoparasit. Organisme yang
termasuk parasit pada ikan dapat dikelompokkan atas protozoa, cacing dan
arthropoda.
Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mengatasi penyakit yang
menyerang
ikan
budidaya
adalah
rnendeteksi
tanda-tanda
serangan
dan
rnengidentifikasi secepat mungkin penyebabnya. Identifikasi adalah kegiatan
penentuan indentitas organisme bedasarkan ciri atau tanda yang ada pada organistne
tersebut.
Pa& larnela insang baik Lamela primer dan sekunder banyak ditemukan
protozoa berflagela yaitu Ichthyobodo sp. Protozoa ini bersifat parasit yang
menempel di sel epitel insang dan mukosa dari ikan. Dengan cara itulah Ichthyobodo
sp mendapatkan makanan dari inangnya. Di sekitar lamela terlihat kumpulan atau
kelompok protozoa Ichthyobodo sp, protozoa-protozoa tersebut dengan bebas
berenang beberapa saat, tetapi akan mati setelah satu jam meninggalkan inangnya.
Ichthyobodo sp atau Costia sp merupakan protozoa dengan flagelz eksternal.
Cara paling mudah untuk mengidentifikasi Ichthyobodo sp adalah dengan pola
corckscrew-swimming dari Ichthyobodo sp. Protozoa tersebut berlokasi di insang,
kulit dan sirip ikan. Infeksi pada ikan terjadi cepat dan langsung kehilangan kondisi,
yang sering dikarakteristikkan dengan ikan kurus dan terlihat malas bergerak.
Ichthyobodo (Costia) spp adalah beberapa dari parasit protozoa berflagela
(-15 x 5 pm) yang paling umum dan terkecil dari kulit dan insang ikan. Protozoa
tersebut berbentuk datar, organisme berbentuk buah pit dengan 2 flagela dari
panjangnya yang tidak sama. Ichthyobodo bergerak seperti merangkak, pola spiral
dan organisme free-swimming dengan mudah untuk identifikasi dalam penglihatan
langsung. Sekali menempel pada inang, organisme tersebut menjadi susah untuk
dilihat dan sering kali gaga1 dilihat jika dilakukan oleh pemula, tetapi pergerakan
khas dari sebuah nyala api yang berkedip adalah karakteristik dari protozoa tersebut.
Pengaruh pada kulit sering menjadi berwama abu-abu baja dan insang nampak
bengkak. Produksi mukus berlebih, kadang-kadang menjadi seperti "blue slime"
merupakan karakteristik ichthyobodosis. Tanda behavioral dari infestasi protozoa
tersebut meliputi lethargy, anorexia, piping, dan Jlashing. Dalam kasus akut, ikan
nampak hypoxia dan sering berenang ke permukaan air. Dalan~kasus kronis, ikan
menjadi lemah, kurus dan anorexia (Anonim 2006).
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan yaitu ikan-ikan gurami tersebut
aktif berenang, tidak ada tanda-tanda lemas dan fisik ikan tidak kurus. Kemungkinan
infestasi protozoa Ichthyobodo sp pada ikan gurami tersebut masih dalam jumlah
yang kecil sehingge tidak menyebabkan kasus akut dan kronis pada ikan.
Ichthyobodo sp adalah protozoa kecil berflagela berukuran 8 hingga 12 pm.
Dua flagela terdapat pada kutub anterior sel. Dalatn pergerakan bebas Ichthyobodo
terlihat seperti bentuk kacang, tetapi ketikil meneinpel pada insang Ichthyobodo
berbentuk seperti buah pir. Ichthyobodo sp dapat bertahan hidup hanya pada ikan.
Tanpa inang, Ichthyobodo akan mati dalan sejam, mengerut menjadi menyerupai
sebuah bola. Ichthyobodo tidak dapat bertoleransi dengan temperatur di atas 30°C
(Herbert et (41. 1989).
Ichthyobodo necator berads? dalam dua bentuk menurut Noga (2000), yaitu
bentuk lepas, bentuk bergerak yang memiliki dua flagela atau jika predivisional,
empat flagela, semuanya itu sulit untuk dilihat dalam parasit yang aktif bergerek.
Sambil parasit hidup menginfeksi ikan, parasit tersebut mengerut ke dalam behtuk
pyriform dan bentuk melekat dan penetrasi epithelium. Transisi antara bentuk
tersebut terjadi sekitar lima menit.
Dapat dilihat pada Gambar 12 dan Gambar 13 adalah infestasi protozoa
Ichthyobodo sp dalam jumlah besar di insang ikan gurami dengan perbesaran objektif
yang berbeda. Bentuk khas menyerupai tetesan air mata dan sedikit bulat identik
dengan Ichthyobodo sp. Juga terlihat bentuk protozoa filum Myxozoa yaitu
Hennegztya sp yang khas menyerupai bentuk sperma. Kedua genus tersebut berada
bersama-sama dengan infestasi Ichthyobodo sp.
Ichthyobodo dapat menyebabkan kematian pada ikan, terkadang dengan
sedikit patologi yang jelas tetapi di waktu lain diikuti spongiosis dan pelepasan epitel.
Iritasi jaringan juga diawali pada hiperplasia epithelial dan meningkatnya produksi
mukus, menjadikan ikan berwarna kebiruan (Noga 2000). Ichthyobodo hidup di
sepanjang sel epitel insang. Ichthyobodo, sifat infeksinya sama dengan parasit yang
lain, menyebabkan iritasi, produksi mukus lebih besar dan kasus ekstrim,
menyebabkan trauma epitel. Semua perubahan tersebut menyebabkan gangguan
respirasi pada ikan, cnengakibatkan kelnatian dari infeksi hebat pada ikan rnuda,
dengan gejala klinis asphyxia
Diagnosis dengan mudah dibuat dari biopsi kulit atau insang. Bentukkeeswimnzing menunjukkan sebuah karakteristik gerak bergetar ketika bergerak, yang
disebabkan oleh pergantian refraktiliti ketika menggerakkan tubuh cressent-shaped
tersebut. Menempelnya parasit-parasit tersebut lebih sulit untuk dideteksi, tetapi
dalarn infestasi besar, mereka dapat berlokasi pada tepi epitel insang dengan fokus
mikroskop perbesaran 400x. Parasit tersebut juga terlihat berayun dengan perlahanlahan sambil menempel (Noga 2000).
Sejucnlah kecil dari parasit tersebut tidak selalu menirnbulkan gejala klinis.
Ichthyobodo dapat dengan cepat meninggalkan inangnya yang sudah mati, sehingga
membuat perkiraan jumlah parasit dalam preparat histologi susah dilakukan.
Ichthyobodo menginfiltrasi ke dalam insang atau sirip, dan hidup dari sitoplasma,
menyebabkan hiperplasia epidermis dan ~nerusak sel-sel goblet (Anonim 2006).
Respon yang paiing umum dari insang yang rusak adalah hiperplasia dan hipertrofi
dari sel epitel yang dapat terjadi kemungkinan mengawali fusi yang berdekatan dari
lamela sekunder atau lamela primer. Oleh karena itu, melemahkan pertukaran gas
pada tempat luka dan dapat mengawali distress alat respirasi. Hal tersebut dapat
terjadi karena luka oleh pamit atau kualitas air yang buruk. Hiperplasia dan
hipertrofi dapat disebabkan oleh aktifitas protozoa yang hidup pada inangnya.
Beberapa bakteri patogen mernproduksi substansi yang menstimulasi proliferasi sel
epitel. Hiperplasia epitel &an fusi lamela juga dapat disebabkan oleh defisiensi
vitamin. Pergantian dalam struktur insang paling mudah dikenal dalam preparat
histologi, tetapi jika
hiperplasia insang terdeteksi pada wet mount yang
mengindikasikan bahwa kerusakan serius sedang terjadi.
Gambar 12. Ichthyobodo sp (panah) dan Myxozoa (kepala panah) di insang ikan
gurami (HE, 1 bar= 60 pm)
Gambar 13. Ichthyobodo sp (panah) dan Myxozoa (kepala panah) di insang ikan
gurami (HE,I ba~=20 pm)
Hasil pengamatan yang telali dilakukan yaitu terlihat sebagian besar
~chrh~obodo
sp tidak menginfiltrasi sel epitel lamela, melainkan terlihat jelas berada
bebas di antara lalnela primer dan sekunder insang membentuk kelompok. Sedangkar.
sebagian kecil lainnya menginfiltrasi sel epitel lamela primer dan sekunder insang,
dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13.
Akibat umum dari infeksi Ichthyobodo sp terhadap insang adalah
telangiektasis atau dilatasi dari sejumlah kecil pembuluh darah di lamela sekunder.
Kondisi ini dapat juga akibat dari sejumlah racun yang mencemari lingkungan
(environmental toxin). Telangiektasis dapat menjadi penyebab secara iatrogenik
dalam beberapa ikan oleh konkusi cranial (Herman and Meade 1985 dalam Noga
2000). Nekrosis nampak jelas dari jaringan insang (gillrot) berkarakter dari rusaknya
lamela sekunder dan dalam kebanyakan kasus, mengelupasnya jaringan insang
hingga ke tulang cartilago/tulang rawan dari lamela primer. Itu juga dapat terjadi
akibat pigmentasi bakteri dan macam-macam toksin.
4.1.4 Myxozoa
Myxozoa parasit utama pada invertebrata dan vertebrata poikilotermik,
dicirikan dengan spora mu!tiseluler, dinding sel yang terdiri atas satu, dua atau tiga
sampai enam katub yang terkadang dilengkapi dengan Senjolan yang panjang. Spora
dikembangkan dalam plasmodia multinukleat (pansporoblast) dan dicirikan dengan
adanya 1-6 kapsul polar, yang masing-masing terdiri dari satu padatan yang
bergelung filamen polar. Dengan menggunakan alat yang terakhir (kapsul polar ke-6)
spora disentuhkan ke dinding usus ketika ingestasi oleh induwsemang. Sporoplasma
meninggalkan spora dan masuk ke dinding usus dan (mungkin) didistribusikan ke
organ-organ
dan
reproduksi
aseksual
dimulai. Myxozoa
didiagnosa
dan
diklasifikasikan menurut susunan katub spora dan lokasi kapsul polarnya.
Kelas Myxosporea dari filum Myxozoa terdapat banyak spesies, beberapa dari
mereka patogen, parasit pada organ ikan dan jaringan yang berbeda. Uji ulas
menunjukkan adanya beberapa spora lamela filamen insang, yang diidentifikasi
sebagai Henrteguya sp (Myxozoa : Myxobolidae).
Tahap perkembangan Myxozoa yaitu spora memiliki satu binukleat atau dua
sporoplasma uninukleat, satu hingga enam (biasanya dua) kapsul kutub (refraktil
dalam spora hidup; masing-masing memiliki filamen kutub) dan sebuah kulit
cangkang dengan dua sampai enam pembuluh. Ketika spora memasuki tubuh si
inang, ha1 tersebut memicu adanya kutub lingkar filamen. Pembuluh spora
memisahkan diri, menghasilkan infektif sporoplasma. Saat spora pecah, terjadi
~ e n g ~ a b u n g adua
n sporoplasma uninukleat, menghasilkan satu-satunya tahapan
uninukleat dalam siklus hidup parasit. Kemudian zigot akan berpindah ke target
jaringan inang. Walau begiru, terdapat gejala bahwa kejadian tersebut dapat terjadi
dalam intermediate host. Sekali waktu dalam inang, tropozoit biasanya berpindah
secepat mungkin ke dalam jaringan target. Meski begitu, di beberapa spesies, tahap
pemisahan proliferatif dapat menimbulkan gejala dalam organ daripada jaringan
target yang meningkatkan jumlah parasit dalam inang tanpa adanya sporogenesis
(tahap ekstrasporogonik) (Noga 2000).
Di dalam jaringan target, tropozoit dapat berkembangbiak dengan salah satu
diantara dua cara. Di beberapa spesies, nukleus dibagi untuk menghasilkan plamodia
besar berisi sel generatif, sebanyak mungkin nuklei yang merupakan plasmodia itu
sendiri. Dalam spesies lain terdapat plasmodia kecil dalam jumlah besar, masingmasing memiliki satu nukleus vegetatif yang dibagi untuk menghasilkan banyak
parasit sebelum sporogoni. Dalam coelozoic spesies, plasmodia melapisi dinding
lumen atau permukaan epithelial, dimana mereka bisanya terbagi dengan membelah
diri menjadi dua bagian atau lebih atau dengan memproduksi kuncup multinukleat
mega 2000).
Dalam Coelozoic spesies, secara tetap plasmodia membelah diri dan
memproduksi spora terus-menerus, menghasilkan infeksi yang dapat bertahan lama.
Sebaliknya, produksi spora dalam histozoic plasmodia terjadi secara berkelanjutan
dan bahkan plasmodium matang dalam paket besar spora. Plasmodia dikondisikan
dekat dengan suatu permukaan luar, seperti insang atau intestine, mungkin ruptur,
menghasilkan spora. Diseminasi spora dari jaringan yang lebih dalam kemungkinan
bergantung pada kematian inang oleh predator. Spora termasuk talian terhadap
lingkungan sekitar Woga 2000).
Dapat dilihat pada Gambar 14 adalah insang ikan gurami, terlihat jelas sarang
Myxozoa yaitu plasmodia muda Henneguya sp di epithelium interlamela yang
dikelilingi kapsul kolagen, sedangkan Gambar 15 adalah bentuk epithelium
intralamela yang berisi plasmodia muda yang dikelilingi kapsul kolagen juga.
Parasit berkembang di dalam bagian insang interlamela (luar) dan intralamela
(dalam). Plasmodia dikelilingi ole11 kolagen tipis. Pada tahap lanjut, infeksi
menyebabkan deformasi (per~bahansusunan) struktur lamela, dan menyebabkan
hiperplasia yang hebat di dalam sel epitel, tapi tidak di dalam sel mukus. Tidak ada
reaksi peradangan yang teramati pada ikan yang terinfeksi (Adriano el al. 1995).
Berdasarkan hasil pengamatan terdapat protozoa Myxozoa di intralamela dan
interlamela pada insang. Protozoa tersebut dikelilingi kolagen tipis yang
kemungkinan berisi Myxozoa dari salah satu siklus hidupnya yaitu tahap plasmodia
muda dari Henneguya sp.
Studi histcpatologi menunjukkan hiperplasia epitel dan memenuhi ruang
diantara lamela sekunder, kongesti dan teleangiektasis sinusoidal, juga mengamati
hyperplasia pada sel goblet dan beberapa kista parasit. Beberapa kista terletak di
antara lamela sekunder, tertutup atau tidak dengan epithelium hiperplasik.
Patogenesis sebagian besar Myxozoa yang menginfeksi ikan relatif tak
berbahaya, hanya memacu reaksi ringan inang. Tetapi infeksi hebat dapat menjadi
serius, mengakibatkan kerusakan mekanik dari pseudokista dari nekrosis jaringan dan
inflamasi dari trophozoit. Ikan muda biasanya paling rentan terinfeksi myxozoan
(Noga 2000).
Tahap awal dari siklus hidup biasanya inemacu sedikit reaksi inang, tetapi
plasmodia dengan spora matang sering menyebabkan inflamasi besar. Secara
menarik, dalam banyak kasus, kerusakan jaringan terjadi paling besar setelah
kematian inang, ketika enzim dilepaskan oleh parasit dipercaya dapat menyebabkan
liquifaksi otot dalam jumlah besar. Otot lisis dapat menyebabkan reduksi serius
dalam nilai karkas (Noga 2000).
Gambar 14. Plasmodia muda di epithelium interlamela di ikan gurami dengan
kapsul kolagen mengelilingi plasmodia (HE, 1 bar= 40 pm)
Gambar 15. Plasmodia muda di epithelium intralamela pada ikan gurami dengan
kapsul kolagen mengelilingi plasmodia (HE, 1 bar= 40 pm)
Gambar 16. Lesio pada insang ikan gurami yang berisi plasmodia dengan spora
matang dari Myxobolus sp (HE, I bar= 60 pm)
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan diperoleh hasil yaitu plasmodia
muda terbungkus oleh spora matang berkembang dalam jumlah yang besar. Dilihat
dari Gambar 16 ciri kerusakan insang yaitu berbatasan dalam kapiler darah pada
lamela sekunder, menginfiltasi dalam tulang rawan lamela insang dan nekrosis dari
sel lamela yang berdekatan, kemungkinan protozoa tersebut adalah Myxobolus sp.
Gambar 16 adalah lesio pada insang ikan gurami. Terlihat menyerupai sarang
protozoa, lesio tersebut terjadi karena perkembangan tahap plasmodial dari
Myxobolus sp. Awalnya tahap plasmodial berkembang dalam kapiler-kapiler
pembuluh darah di lamela sekunder insang. Patogenesitasnya, luka luka kecil yang
nampak pada ikan-ikan yang terinfeksi dengan parah seperti perubahan warna yang
tetap insang mempengaruhi bagian sirip dari lengkung insang yang pertama benvarna
merah gelap. Pemeriksaan histologi mengungkapkan bahwa luka-luka sel epitel
insang berkembang bersama tahap plasmodia, yang lokasinya berbatasan dengan
kapiler pada bagian apikal lamela sekunder. Satu plasmodia hanya berkembang di
setiap lamela sekunder. Sebagaimana yang teramati dari materi yang bersekat,
volume plasmodia meningltat kira-kira sepuluh kali lipat dari bagian terkecil pada
tahap awal tnenjadi plasmodia terbesar yang terbungkus bersama spora matang.
Tahap akhir infeksi disertai dengan luka-luka insang yang lebih parah termasuk
adhesi, fusi (penyatuan), dan nekrosis dari lamela yang berdekatkan. Sejauh marla
kerusakan insang dan dampalmya terhadap fungsi insang meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah dan ukuran plasmodia yang berkembang dalam lamela
sekunder (Dykova efal. 2003).
Studi histopatologi mengungkapkan adanya pendarahan dan peradangan foci
yang parah pada epithelium insang, dilnana kista berada. Biasa~tya,luha-luka juga
terlihat dan lebih sering pada lamela sekunder. Selain itu, teramati bahwa kista
melibatkan dua lapisan sel yang terelongasi, fibroblast seperti sel, dan dengan h a t
radang merembes mononuklear. Kista mendorong lamela, mengurangi efisiensi
pernafasan. Hiperplasia dan pemirldahan epitel pernafasan juga teramati (Martins el
al. 1999). Gambar 17 adalah insang ikan gurami yang terinfeksi oleh kista
Henneguya sp, terjadi hiperplasia dan perubahan tetnpa? epithelium respiratori.
Insang cenderung lebih terpengaruti oleh Myxobolus spp. Semakin tinggi
tingkat infeksi pada insang menunjukkan habitat Myxobolus spp semakin cocok.
Insang ikan merupakan tempat penting untuk berkembangnya penyakit akibat
protozoa, karena kaya dengan sumber darah, media penting untuk agen penular.
Karena pertukaran gas terjadi melalui insang, mereka dengan mudah terkontaminasi
dari sumber eksternal luar insang (Awal et al. 2001). Dapat dilihat pula pada Gambar
18 adalah telangiektasis dan sarang Myxozoa menginfiltrasi lamela sekunder, di
dalamnya terdapat tahap perkembangan dari spora Myxozoa.
Gambar 17. Hiperplasia dan perubahan tempat epithelium respiratori dari insang ikan
yang terinfeksi oleh kista Henneguya sp (HE, 1 bar= 80 pm)
Gambar
18. Telangiektasis (panah) dan sarang Myxozoa (kepala panah)
menginfiltrasi lamela sekunder di insang ikan gurami (HE, 1 bar= 40 pm)
Gambar 19. Spora Myxobolus sp dan Henneguya sp berukuran 11,25 x 3,75
menginfiltrasi kartilago insang ikan gurami 1 (HE, 1 bat- 60 pm)
Gambar 20. Spora Myxozoa menginfiltrasi kartilago insang ikan gurami
(HE, 1 bat- 20 pm)
Dapat dilihat pada Gambar 19 &an 20, plasmodia dari Myxobolus sp yang
berlokasi dalam substansi cartilaginous (tulang rawan) insang dan jaringan
menyerupai tulang menghubungkan mereka, dikelilingi oleh sel kartilago ciri hyalin.
Bukan kapsul dari asai inang dapat diamati diantara plasmodia. Sekali-kali, berbagai
plasmodia terlihat berdampingan. Menurut Molnar (2000), dalam satu kasus, infeksi
terdeteksi dalam dua bagian yang menyatil dari struktur cartilaginous insang, jadi
plasmodia disebabkan lesio tersendiri dalam membagi kedua kartilago.
Gambar 19 dan 20 adalah bentuk spora Henneguya sp dan Myxobolus sp
memiliki ukuran 11,25 x 3,75 pm. Terlihat bentuk lateral dari spora Henneguya sp
dan Myxobolus sp. Spora Henneguya sp agak lonjong sedangkan spora Myxobolus sp
lebih bulat.
4.1.5 Protozoa Belum Teridentifikasi
Pada ikan gurami juga ditemukan banyak infestasi protozoa menyerupai
Sarcocystis sp dan Toxoplasma sp pada mamalia yang sebarusnya Sarcocystis sp dan
Toxoplasma sp hidup di sel otot mamalia dan aves bukan pada insang ikan.
Protozoa yang belum teridenrifikasi ini memiliki bentuk seperti bulan sabit,
berinti satu dan flagela tidak terlihat jelas. F!agela tidak terlihat jelas kemungkinan
dikarenakan flagela telah meluruh pada jaringan insang saat protozoz tersebut
menempel epitel lamela insang. Protozoa ini ada yang memiliki bentuk bulat sabit
yang ramping dan bentuk bulan sabit sedikit menggembung. Hal ini hampir
menyerupai tahap perkembangan bentuk bradizoit dari Toxoplasma pada mamalia.
Ikan gurami di tambak yang diambil sebagai sampel ini, sangat dekat dengan
rumah penduduk dan populasi hewan mamalia lain. Banyak faMor yang dapat
mempengaruhi protozoa belum teridentifikasi ini bisa mencemari air tawar atau air
tambak tempat hidup ikan gurami tersebut. Karena protozoa tersebut tidak bisa
diidentifikasi sehingga belum bisa diketahui protozoa tersebut bersifat patogen atau
tidak patogen.
Dapat dilihat pada Gambar 21 adalah protozoa yang belum teridentifikasi di
epitel lamela insang pada ikan gurami dengan perbesaran objektif 40x. Tidak
ditemukan perubahan histopatologi secara spesifik, hanya terlihat hipertrofi pada sel
lamela sekunder dan hiperplasia sel mukus.. Hal ini masih dipertanyakan sehingga
diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai protozoa tersebut agar bisa diidentifikasi
dan diketahui sifatnya yang patogen atau tidak patogen.
Gambar 21. Protozoa belum teridentifikasi di epitel lamela insang ikan gurami.
(HE, I bar= 40 pm)
4.2 Perubahan pada Otot
Perubahan mikroskopis pada otot ikan gurami secara umum mengalami
degenerasi lemak, degenerasi hialin dan nekrosa. Degenerasi lemak pada perbesaran
fokus objektif mikroskop l00x tampak seperti lubang vakuola besar berbatas jelas
dalam sel otot, sedangkan nekrosa (Gambar 22) terlihat bentuk sel otot tidak
beraturan abnormal dan degenerasi hialin nampak lebih merah pekat pada sel otot
tersebut. Pada ikan gurami 3, ikan gurami 11, ikan gurami 13 dan ikan gurami 14
tidak ditemukan perubahan spesifik. Secara lengkap dapat dilihat perubahan
histopatologi otot pada Tabel 2.
Tabel 2. Perubahan Histopatologi Otot
Ikan gurami
Perubahan histopatologi
1
Degenerasi hialin, degenerasi lemak dan nekrosa
2
Degenerasi hialin, degenerasi lemak dan nekrosa
3
Tidak ditemukan perubahan spesifik
4
Degenerasi lemak
5
6
Degenerasi hialin, degenerasi lemalc dan nekrosa
Degenerasi lemak
7
Degenerasi lemak dan nekrosa
8
Degenerasi lemak dan nekrosa
9
Degenerasi lemak dan nekrosa
10
Degenerasi hialin, degenerasi lemak dan nekrosa
11
Tidak ditemukan perubahan spesifik
12
Degenerasi lemak
13
Tidak dite~nxkanperubahan spesifik
14
Tidaic ditemukan perubahan spesifik
15
Nekrosa
Nekrosa pada sel otot dapat bersifat seinentara atau permanen. Pada kerusakan
sel yang bersifat sementara, sel mengalami perubahan untuk beradaptasi agar tetap
hidup sedangkan sel yang mengalami kelusakan permanen maka sel akan mengalami
kematian. Sel yang mengalami kerusakan dapat diendapi oleh berbagai macam zat
kimia atau zat-zat seperti cairan, lipid, protein, gula, mineral dan pigmen.
Akumulasi lemak iiltraseluler dinamakan degenerasi lemak. Berbagai jenis
lemak dapat mengendap dalam sel, seperti kolesterol, trigliserida dan fosfolipid. Di
bawah pengamatan mikroskop, akumulasi lemak intraseluler menyebabkan sel
membesar berisi vakuola-vakuola lemak (Gambar 23). Membedakan antara ruang
jernih cairan dengan lemak sulit dilakukan jika menggunakan pewarnaan Hematoxilin
dan Eosin. Seharusnya pewamaan yang tepat digunakan adalah pewamaan khusus
lemak, misalnya Sudan 111, Sudan IV atau Oil Red mewarnai lemak menjadi merah,
Nile Blue Sulfat menjadi biru atau Sudan Black menjadi hitam.
Pada sel otot ikan banyak ditemukan degenerasi lemak dan nekrosa. Hal ini
mungkin disebabkan oleh myopathy yaitu (I) trauma atau stress fisik akibat beniuran,
kekasaran sewaktu penangkapan dan panas matahari pada air kolam yang dangkal,
(2) defisiensi vitamin misalnya vitamin E dan vitamin B, (3) Toksisitas seperti
hidrocortisone dan alloxan, dan (4) Infeksius seperti sarang parasitik. Degenerasidegenerasi tersebut bisa juga karena rhabdomyopathy defisiensi vitamin E yang
sering dijumpai pada kondisi ( I ) defisiensi nutrisi vit E, C d m Se sebagai antioksidan
membran sel, (2) pada pakan banyak terdapat lemak tengik, kelebihan lemak tak
jenuh, antioksidan kurang, (3) iklim d m suhu air lebih dingin sedangkan kebutuhan
pakan juga bertambah banyak serta (4) terjadi anorexia sewaktu sakit.
Gambar 23 adalah degenerasi lemak d m hialin pada otot ikan gurami, vakuola
terlihat besar pada satu sel otot, yang merupakan kelanjutan dari degenerasi granuler.
Degenerasi granuler adalah penambahan-penambahan yang paling parah pada serat
otot. Degenerasi hialin yang tersebut di atas diistilahkan nekrosis koagulasi,
sementara degenerasi granuler kadang disebut nekrosis liquifaksi. Seperti dijelaskan
perubahan-perubahan di atas, degenerasi granuler menginfeksi serat seluruhnya atau
hanya sebagian. Penampilan serat terinfeksi bervariasi sesuai kondisi patologisnya.
Sarkoplasma menjadi granuler dan menampilkan banyak massa eosinofilik tak teratur
dalam sarkolema terkadang serabut yang bersih dapat tetap dala~nbagian yang tidak
terinfeksi dalam serat. Infiltrasi fagosit ke dalam bagian yang rusak sering ditemukan
tetapi kadang serat seluruhnya (kecuali untuk intinya) dapat kolaps dan menghilang
bersama-sama
serat-serat dengan fagosit yang mengisi bagian-bagian yang
terdegenerasi disebut kantong-kantong tubular (Zellenschlauche). Serat-serat otot
yang berdekatan pada serat terinfeksi juga menunjukkan pembelahan longitudinal
dengan hipertropi inti dan hiperplasia inti, tetapi lebih terlihat daripada pada seratserat degenerasi hialin (Takashima dan Hibiya 1995).
Gambar 22. Nekrosa pada otot ikan gurami (HE, 1 bar= 60 pm)
Gambar 23. Degenerasi lemak (kepala panah) dan hialin (panah) pada otot ikan
gurami (HE, 1 bar= 40 pm )
Degenerasi hialin merupakan perubahan yang mengikuti clozrdy swelling.
Kromatik
inti
berkondensasi
dan
serabut menghilang.
Dan
serat-seralnya
menunjukkan kehomogenan dan temoda dengan eosin. Serat-serat terhyalinisasi
nampak lebih rapuh dari pada serat-serat yang utuh. Jika degenarasi hialin terjadi
pada sebagian serat otot yang terlihat normal didekat serat yang terinfeksi dapat
menampakkan pembelahan longitudinal yang cukup sering dengan pemeriksaan yang
lebih intens (Takashima dan Hibiya 1995). Gambar 22 adalah nekrosa yang terjadi
pada otot ikan gurami, terlihat jelas terbentulcnya kerusakan-kerusakan pada sel otot.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, degenerasi hialin dapat
dijumpai pada sitoplasma atau inti sel. Degenerasi hialin intraseluler dapat terjadi
akibat absorbsi, sekresi, zat toksik (logam berat, racun dari lingkungan), infeksi virus,
protein agregasi dan pclimerasi.
Cloudy swelling sering terlihat selama penambahan patologis awal pada serat-
serat otot, mengacu pada pembengkakan lokal atau umum yang diikuti dengan
menghilangnya striation pada bagian yang terinfeksi. Inti hanya terjadi sedikit
perubahan tapi bagian yang bengkak bisa memperlihatkan bagian-bagian eosinofilik.
Cloudy .welling kemungkinan kondisi tidak baik yang dihasilkan oleh perubahan-
perubahan sitoplasma (Takashima dan Hibiya 1995).
4.3 Perubahan pada Usus
Perubahan pada usus ikan gurami tidak ditemukan. Epitel mukosa usus,
lamina propria dan tunika muskularis tidak mengalami kelainan spesifik. Juga tidak
ditemukan parasit baik protozoa, helminth dan ektoparasit. Lumen usus besar dan vili
sangat pendek dalam keadaan rapat.
Usus besar adalah perpanjangan dari saluran makanan. Dimulai dari
sambungan ileosesal dan diakhiri di anus. Pembagian anatomi secara klasiWkuno
meliputi sekum, kolon, rektum dan anus. Tabel 3 merupakan pengamatan semua
preparat organ usus yang diperiksa secara histopatologi dan tidak ditemukan kelainan
secara spesifik.
Dinding
LISLISbesar
menyesuaikan diri dengan polalcorak yang dideskripsika~i
untuk usus halus. I-lal-ha1 penting dari usus besar adalah : tidak ada vili, kripta usus
yang panjang dan lurus, membuka permukaan di tepi laminal, sel gobletnya menarik
perhatian, tidak mempunyai sel adopili granul (asidofilik granul), lipatan yang
melingkar dari usus halus ditempatkan oleh lipatan longitudinal, jaringan limpatik
yang tercecer dan bongkol getah bening yang menarik perhatian (Banks 1993).
Usus adalah suatu pipa berongga yang berjalan dari bagian pilorik lambung
sampai dubur, dengan rnemodifikasi pada berbagai bagiannya tetapi dalam
keseluruhannya terdiri dari empat selaput atau lapisan: mukosa, submukosa,
muskularis dan adventisia atau serosa. Usus terdiri dari usus kecil (duodenum,
jejenum dan ileum) dan usus besar (kolon, usus buntu dan rektum).
Tabel 3. Perubahan Histopatologi Usus
lkan gurami
Perubahan histopatologi
1
Tidak ditsmuksn perilbahan spesifilc
2
Tidak ditemukan pernbahan spesifik
3
Tidak ditelnukan perubahan spesifik
4
Tidak ditemukan perubahan spesifik
5
Tidak ditemukan perubahan spesifik
6
Tidak ditemukan perubahan spesifik
7
Tidak ditemukan perubahan spesifik
8
Tidak ditemukan perubahan spesifik
9
Tidak ditemukan perubahan spesifik
10
Tidak ditemukan perubahan spesifik
11
Tidak ditemukan perubahan spesifik
12
Tidak ditemukan perubahan spesifik
13
Tidak ditemukan perubahan spesifik
14
Tidak ditemukan perubahan spesifik
15
Tidak ditemukan perubahan spesifik
-
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan (Gambar 24)
merupakan usus besar seperti kolon, usus buntu atau reltlum. Keistimewaan dari usus
besar yaitu mukosa tidak memiliki vilus atau sedikit memiliki vilus karena proses
penyerapall sari-sari makanan mulai berkurang. Menurut Bevelander dan Ramaley
(1988),
di dalam usus besar lipatan melingkar diganti oleh lipatan semilunar.
Lipatan-lipatan ini tidak hanya meliputi mukosa dan submukosa tetapi juga lapisan
dalam dari muskularis dan terlihat makroskopis pada bagian luar maupun bagian
dalam dari usus. Mukosa usus besar ini tidak mempunyai vilus. Lamina propria
banyak mengandung kelenjar. Ini adalah kelenjat-kelenjar tubuler sederhana,
berkerumun padat, diselaputi epitel yang serupa dengan penutup mukosa. Submukosa
dari usus besar tidak mempunyai kelenjar. Muskularis mukosa yaitu lapisan lingkaran
dalam dari muskularis yang kontinu sekeliling dinding dan terbentuk menjadi lipatanlipatan bersama mukosa dan submukosa. Serosa ini menganduog endapan-endapan
besar jaringan lemak yang menonjol pada pennukaan luar pipanya.
Masing-masing terdiri dari suatu tonjolan jaringan penyambung submukosa
yang lertutup oleh mukosa. Lipatan-lipatan melingkar memberikan suatu permukaan
yang lebih luas untuk penyerapan bahan makanan. Pennukaan mukosa diperluas
dengan adanya tonjolan-tonjolan kecil seperti jari-jari dari epitel dan lamina propria
yang menutup per~i~ukaan
tiap plica (lipatan) (Bevelander dan Ramaley 1988).
Di bawah mikroskop pada usus kecil masing-masing vilus tampak terdiri
dari suatu tonjolan dari lamina propria yang tertutup dengan epitel selapis. Menurut
Bevelander dan Ramaley (1988) lamina propria adalah jaringan retilkuler dan
mengandung kapiler dan limfatika dan serat-serat otot terpencar. Kelenjar mukosa
terdapat pada lamina propria. Muskularis mukosa terdiri dari dua lapisan otot polos,
suatu lapisan lingkaran dalam dan lapisan membujur luar. Submukosa berada setelah
muskularis mukosa, dasarnya yaitu suatu lapisan jaringan areoler yang mengandung
pembuluh darah dan saraf dari pleksus-pleksus Brunner dan Meissner. Muskularis
usus kecil pada seluruh bagian panjangnya terdiri dari suatu lapisan dalam otot polos
berbentuk lingkaran dan suatu lapisan luar membujur. Serosa usus kecil berupa suatu
lapisan jaringan penyambung yang tertutup oleh mesotel.
Gambar 24. Usus pada ikan gurami: (p) lumen, (q) vili, (r) submukosa, (s) otot
melingkar dan (t) otot membujur. (HE, 1 bar= 100 pm)
Dapat dilihat pada Gambar 24 yaitu usus dengan mukosa memiliki vilus
pendek. Kemungkinan merupakan potongan usus besar. Menurut Bevelander dan
Ramaley 1988, vilus usus besar berbeda dengan vilus usus kecil. Keistimewaan usus
kecil pada duodenum yaitu vilus seperti daun, pada jejunum khas dengan vilus tinggi
dan pada ileum memiliki vilus berbentuk gada. Permukaan dalamnya pada
pemeriksaan sepintas tampak ditandai oleh adanya rigi-rigi yang terletak melingkar
dan meluas ke dalam lumen.
V. KESlMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Ditemukan protozoa pada epitel lamela insang yaitu Ichthyobodo pada lima
ekor ikan gurami, Myxozoa (Henneguya sp dan Myxobolus sp) pada sembilan
ekor ikan gurami dan protozoa belum teridentifikasi pada empat ekor ikan
gurami.
2. Perubahan histopatologi pada insang yang terinfeksi Ichthyobodo sp yaitu
terjadi hiperpiasia pada sel mukus dan hipertrofi pada sel lamela sekunder,
sedangkan perubahan histopatologi pada insang yang terinfeksi Myxozoa
yaitu deformasi (perubahan susunan) struktur lamela dan menyebabkan
hiperplasia yang hebat di dalam sel epitel, tapi tidak di daiam sel mukus, tidak
ada reaksi peradangan yang teramati pada ikan yang terinfeksi.
3. Infeksi Ichthyobodo sp dan Myxozoa (Hennegzya sp dan Myxobolus sp)
dalam jumlah kecil pada insang tidak berpengaruh pada ikan gurami, tetapi
jika dalam infestasi yang lebih banyak Ichthyobodo sp dapat menyebabkan
ichthyobodosis, sedangkan Myxozoa (Henneguyn sp dan Myxobolus sp) dapat
menyebabkan kerusakan insang yang berakibat kemsakan jaringan dan
kematian ikan gurami.
4. Perubahan histopatologi pada insang akibat infeksi protozoa yang belum
teridentifikasi yaitu tidak ditemukan perubahan secara spesifik, hanya terlihat
hipertrofi pada sel lamela sekunder dan hiperplasia sel mukus lamela.
5. Hasil pemeriksaan histopatologi otot menunjukkan bahwa otot banyak
mengalami degenerasi vakuola, degenerasi hialin dan nekrosa. Hanya empat
ekor ikan yang tidak ditemukan perubahan spesifik.
6. Hasil pemeriksaan histopatologi usus menunjukkan bahwa tidak ditemukan
kelainan secara spesifik.
7. Gangguan non parasit yang menyebabkan oedema, telangiektasis dan
penebalan pada lamela menyerupai pentungan kemungkinan karena polutan
kimia
5.2. Saran
Penyakit pada ikan gurami dapat menimbulkan kerugian yang besar pada
petani budi daya ikan gurami. Khususnya penyakit yang disebabkan oleh
Ichthyobodo sp dan Myxozoa (Henneguya sp dan Myxobolus sp) pada ikan gurami
yang dapat menyebabkan kerusakan insang bahkan kematian ikan. Pencegahan awal
dan pengobatan intensif dapat dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi kasus
infeksi Ichthyobodo sp dan Myxozoa (Nenneguya sp dan Myxobolus sp). Sanitasi
yang baik, mutu air, kandungan oksigen yang cukup untuk populasi ikan, luas kolam
sebagai tempat hidup ikan dan makanan ikan cukup gizi harus diperhatikan dalam
menjaga kondisi ikan terhadap penyakit yang disebabkan oleh parasit protozoa. Serta
harus dijauhkan dari polutan kimia yang dapat menyebabkan kontaminasi pada
insang ikan.
Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang membutuhkan waktu
lebih lama untuk protozoa yang belum teridentifikasi sehingga dapat diketahui
sifatnya yang patogen atau tidak patogen pada ikan gurami serta dapat diketahui cara
pencegahan dan pengobatannya.
DAFTAR PUSTAIL4
Affandi, R. 1993. Studi Kebiasaan Makanan tkan Gurami (Osphronemous gouramny).
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia l(2): 56-57.
Affriailto, E., E. Liviawati. 1992. Pengendalian Harna dun Penyakit Ikan. Yogyakarta.
Penerbit Kanisius.
Adriano, EA. Sarah, A and Nelson SC. 2005. Histophatology and ultrastructure of
Henneguya caudalongula sp and infecting Prochilodus lineatus (Pisces:
Prochilodontidae) cultivated in the state of SZo Paulo, Brazil. Vol. 100(2):
117-181.
Anderson DP. 1974. Fish Immunology. TFH Publication Ltd Hongkong. 239 ps.
Anderson DP and A. K. Siwicki. 1993. Basic Haematology and Serology for Fish
Health Programs. Paper Presented in second Symposiuln on Diseases in
Asian Aquaculture "Aquatic Animal Health and The Environment". Phuket,
Thailand. 25-29"' October 1993.p. 185-202.
Anonim. 2006. Freshwater Fish Parasities. v\~ww.exotixpetvet.net.[IS Maret 20081
Anonim. 2006. Helminthiasis. Iittp://www.merckvetme~i~~al.com
[I5 Maret 20081
Anonim. 2008. Koi fish Parasites. litt~://w~v\v.koic~~~iiru.co.uk/varasites.lit~n
[I5
Maret 20081
Anonim.
2008. Parasitic Diseases of Fish. httv://aq.ansc.vurdue.edu/
~urses/aq448/diseases~parasites.I1t111.2
[ 15 Maret 20081
Anonini. 2006. Protozoa Infecting Gills and Skin. I1t1v:l \\\\\\.~iicrcl;\
c.11i1:1ni1n!.:oni
Invlii indcx.is~~'!ctile=li~m/L~c~
1704 IO.htni [ I 5 Maret 20081
Anonim. 2008. Protozoan Fish Diseases. littp:llu~ww.mvpets.net.a~~/fled
protozoan
fish diseases/I24/Protozoan%20Fish%20Diseases.htm 115 Maret 20081
Awal MA, Anjuman AB, Kartic JC, Gias UA dan Masamichi, K. 2001.
Myxosporidian Infection of Gills and Skin among Carp from Nursery Ponds
in Bangladesh: Histopathology. (5): 265-276.
Banks, WJ. 1993. Applied Veterinary Histology Third Edition. Mosby, inc. St Louis.
Bevelander, G dan Judith AR. 1988. Dasar-Dasar Histologi. Edisi Kedelapan.
Jakarta: Erlangga.
Blaxhall PC. 1971. The Haematological Assessment of the Health of Fresh Water
Fish. A Review of Selected Literature. Jurnal Fish Biology 4593-608.
Boris, IK dan Victoria EM. 2000. Ectoparasites of Fish an Invertebrates of the Salton
Sea. Center for Inland Waters and Department of Biology, San Diego State
San
Diego. htt~://~~\v~v.sci.sdsu.ed~~/sdItonlFisliParasile
University,
Poster.html [ 15 maret 2008 ]
Chinabut S, Limsuwan C, dan Kitsawat P. 1991. Histology of The Walking Catfish
(Clarias batrachus). Departement of Fisheries Thailand. Thailand. 96p.
Dykova, I. Iva, F dan Pin, N. 2003. New data on Myxobolus longisporus (Myxozoa:
Myxobolidae), a gill infecting parasite of carp, Cyprinus carpio
haernatopterus, from Chinese lakes. 50:263-268.
Durborow, RM. 2003. Protozoan Parasites. Sourthen Regional Aquaculture Center.
http://aquanic.ordp~ibiicat/~isda
rac/efs/srac/470lfs.pdf. [lSMaret 20081
Fange R. 1982. A Comparative Study of Limphomieloid Tissue in Fish. J. Dev.
Comp. Immunol. Supl. 2 :23-33.
Ganong, WF. 1995. Buku Fisiologi Kedoktei-an (Review of Medical Physiology).
Edisi 10. Jakarta. Hlm 443-445
Guyton, AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC. Terjemahan dari:
TextBook of Medical Physiology. Philadelphia, Pennsylvania. Hlm 544551.
Guyton AC, dan Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9 (Terjemah).
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Herbek, RA dan Howard HH. 1989. Handbook of Fish Diseases. TFH Publication,
inc. United State.
Hoole, D., D. Bucke. P, Burgess dan I, Wellby. 2001. Disease of Carp and other
Cyprinid Fishes. United Kingdom: Blackwell Science.
Irianto A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press, Yogyakaka.
256 hlm.
Jangkaru, Z. 1998. Memacu Pertunlbuhan Gurami. Jakarta: Penebar Swadaya.
Klinger RE dan Ruth FF. 2002. Introduction to Freshwater Fish Parasites.
http://edis.iiis.ufl.ed~1/FAO41[15 Maret 20081
Kresno SB. 1996. Itnzinologi Diagnosis dun Prosedur Laboratorizmz. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Martins ML, Souza VN, Moraes JRE dan Moraes FR. 1999. Gill Infection of
Leporir?us
niacrocephalus
Garavello
&
Britski,
1988
0steichthyes:Anostomidae) by Hennegya leporinicola n. sp. (Myxozoa:
Myxobolidae). Vol 59No 3.
Mills, D. 1992. Tropical Aquarium Fishes, How to Keep Fresh Water Fish. London:
Chancellor Press.
Molnar, K. 2000. Myxobolus intrachondrealis sp. n. (Myxosporea: Myxobolidae), A
Parasit of The Gill Carti!age of The Common Carp, Cyprit7u.s carpio. 47:
167-171. Moyle PB, Cech JJ. 1988. Fishes: An Introduction to Ichthyologv.
2''d ed. Prentice Hall, Inc. USA
Nabib R dan Pasaribu FH. 1989. Patologi dun Penyakit Ikan. Pusat Antar Universitas
Institut Pertanian Bogor.
Noga EJ. 2000. Fish Diseases Diagnosis and Treatnzent. Iowa State University Press.
State Avenue, Ames, Iowa.
[OIE]. 2003. Manual of Diagnostic test for Aquatic Animal 2003. hti~:!!www.oie.int
Opuszynski, K dan J. V. Shireman. 1995. Herbivorous Fishes Culture and Use for
Wced Managenzent. Departmen of Fisheries and Aquatic Sciences Institut of
Food Agricultural Sciences, University F!orida. CRC Press. 233p.
Pellitero PA. 2008. Report about Fish Parasitic Diseases. http://ressources.ciheam.
org/om/pdf/b49/04600222.pdf. [15 Maret 20081
Reclos GJ. 2006. Diseases in the Aquarium. http://www.malawicichlidhomepage.com
/aquainfo/disease-3.html [I5 Maret 20081
Roberts RJ. 2001. Fish Patologv. Third Edition. London: W. B. Saunders.
Sendjaja, JT dan M.H. Riski. 2002. Usaha Pembenihan Gurumi. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dun Kunci Identz3kasi Ikan. Volume I dan 11. Jakarta:
Bina Cipta.
Siddall ME, Martin DS, Bridge, D, Cone DM, Desser SS. 1995. Say goodbye to a
phylum: Myxozoa are Cnidaria. http://\~~\\~\~~.koidoctor.co.uklhealtli/
~n~sazoa.html
126 April 20081
Sitanggang, M. dan B. Sarwono. 2002. Bzrdi Duyu Gurumi. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Studivianto dan Gunesti. 2007. Identifikasi Parasit yang Menyerang lkan di Balai
Karantina lkan Juanda, Surabaya, Jawa Timur. litt~~:!iadin.lib.t~~iair.ac.id!
[20 Februari 20083
Suwignyo, S. Bambang, W. Yusli, W dan Majariana, K. 2005. Avel-tebrata Air. Jilid
1. Jakarta: Penebar Swadaya.
Takashima, F dan Hibiya, T. 1995. An Atlas of Fish Ifistology Normal and
Pathological Features. Second Edition. Tokyo: Kodansha LTD..
Wedemeyer GA. Bartob BA. dan McLeay DJ. 1990. Stress and Aclimation In Moylr
P (Eds.). Methods for Fish Biology. American Fisheries Society.
[Wikipedia]. 2008. Myxobolus cerebralis. litlp:/!w\\~w.wikipedia.org [26 April 20081
Download