BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Konseptual
1. Kemampuan Berpikir Geometri Van Hiele
a) Kemampuan berpikir geometri Van Hiele
Kemampuan adalah berasal dari kata mampu, mampu berarti
kuasa atau sanggup melakukan sesuatu. Sedangkan berpikir
menurut Santrock (2008), adalah memanipulasi atau mengelola dan
mentransformasikan informasi dalam memori. Ini sering dilakukan
untuk membentuk konsep, bernalar, dan berpikir secara kritis,
membuat keputusan, berpikir kreatif, dan memecahkan masalah.
Menurut Walgito (1980), terdapat beberapa macam pendapat
mengenai definisi berpikir, diantaranya ada yang menganggap
berpikir sebagai suatu proses asosiasi saja, pandangan semacam ini
yang dikemukakan oleh kaum assosiasionist. Adapula yang
memandang berpikir sebagai suatu proses penguatan hubungan
antara stimulus dan respons, pandangan semacam ini yang
dikemukakan oleh kaum fungsionalist. Diantaranya ada yang
mengemukakan bahwa berpikir merupakan suatu kegiatan psikis
untuk mencari hubungan antara dua objek atau lebih. Hubungan
antara dua objek atau lebih dapat dicari dengan melalui proses
berpikir. Menurut Solso (2007), berpikir adalah proses yang
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
membentuk
representasi
mental
baru
melalui
transformasi
informasi oleh interaksi kompleks dari atribut mental yang
mencangkup
pertimbangan,
pengabstrakan,
penalaran,
penggambaran, pemecahan masalah, logis, pembentukan konsep,
kreativitas dan kecerdasan. Hal ini diperjelas lagi oleh Valentine
(1965) (dalam Kuswana, 2013), berpikir dalam kajian psikologis
secara tegas menelaah proses dan pemeliharaan untuk suatu
aktivitas yang berisi mengenai "bagaimana" yang dihubungkan
dengan gagasan-gagasan yang diarahkan untuk beberapa tujuan
yang diharapkan.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa berpikir adalah proses mentransformasikan
informasi dalam memori, untuk membentuk konsep, pemecahan
masalah,
bernalar,
membuat
kesimpulan
dan
mampu
menghubungkan gagasan-gagasan yang diarahkan untuk beberapa
tujuan yang diharapkan.
Geometri menjelaskan tentang hubungan dan penalaran. Ideide geometri berguna dalam mewakili dan memecahkan masalah di
bidang matematika dan dalam situasi dunia nyata, sehingga
geometri harus diintegrasikan apabila memungkinkan dengan
materi lain. Geometri representasi dapat membantu siswa
memahami dari materi dan pecahan, histogram dan scatterplots
dapat memberikan wawasan tentang data, dan grafik koordinat
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
serta dapat melayani untuk menghubungkan geometri dan aljabar.
(NCTM, 2000). Geometri merupakan salah satu materi yang ada di
sekolah menengah atas.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kemampuan berpikir geometri adalah suatu kemampuan yang
dimiliki oleh siswa untuk melakukan proses mentransformasikan
informasi geometri dalam memori, untuk membentuk konsep,
pemecahan masalah, bernalar, membuat kesimpulan dan mampu
menghubungkan ide-ide geometri.
Di dalam teori Van Hiele menjelaskan mengenai tingkatan dari
kemajuan berpikir geometri siswa. Di dalam teori tersebut
diuraikan lima tingkatan yaitu dimulai dari tingkatan yang paling
dasar yaitu tingkat visualisasi dan akan terus meningkat ke tingkat
yang paling maju yaitu ketepatan.
Karakteristik tingkat-tingkat Van Hiele (Van De Walle, 2006) ,
yaitu :
1) Tingkatan-tingkatan tersebut bertahap. Untuk sampai pada
tiap-tiap tingkatan di atas tahap 0, siswa harus menempuh
tingkatan sebelumnya. Untuk menempuh sebuah tingkatan
berarti seseorang haruslah menguasai pemikiran geometri
yang cocok pada tingkatan tersebut dan telah membuat
dalam pikirannya sendiri tipe-tipe objek atau hubungan
yang merupakan fokus pemikiran di tingkat selanjutnya.
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
2) Tingkatan-tingkatan tersebut tidaklah bergantung
usia
seperti tahap perkembangan Piaget. Siswa tingkat tiga atau
siswa sekolah menengah dapat berada pada tingkat 0.
Faktanya beberapa siswa dan orang dewasa terus berada di
tingkat 0 dan cukup banyak orang dewasa yang tak pernah
mencapai tingkat 2.
3) Pengalaman geometri merupakan faktor tunggal terbesar
dalam mempengaruhi perkembangan dalam tingkatantingkatan tersebut. Kegiatan-kegiatan yang memberikan
kesempatan siswa menelusuri, berdiskusi, dan berinteraksi
dengan materi pada tingkatan selanjutnya, meningkatkan
pengalaman pada tingkat saat ini, dan memiliki kesempatan
terbaik dalam mengembangkan tingkat pemikiran bagi
siswa-siswa tersebut.
4) Ketika instruksi atau bahasa yang digunakan terletak pada
tingkatan yang lebih tinggi daripada yang siswa miliki, aka
nada komunikasi yang kurang.
b) Tingkatan berpikir geometri Van Hiele
Menurut Mayberry (dalam Abdussakir, 2010) teori Van Hiele
yang dikembangkan oleh dua pendidik berkebangsaan Belanda,
Pierre Marie Van Hiele dan Dina Van Hiele-Goldef, menjelaskan
tentang perkembangan berpikir siswa dalam belajar geometri.
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
Tingkatan-tingkatan berpikir geometri Van Hiele (Van De Walle,
2006), yaitu :
1) Level 0 (Visualisasi)
(Objek-objek pikiran pada level 0 berupa bentuk-bentuk)
Siswa-siswa pada tingkatan awal ini mengenal dan
menamakan bentuk-bentuk berdasarkan pada karakteristik
luas dan tampilan dari bentuk-bentuk tersebut. Siswa-siswa
ini mampu membuat pengukuran dan bahkan berbicara
tentang sifat-sifat bentuk, tetapi sifat-sifat tersebut tak
terpisahkan dari wujud yang sebenarnya. Siswa pada
tingkatan ini akan memilih dan mengklarifikasikan bentuk
berdasarkan wujud atau tampilannya. Penekanan pada level
0 terdapat pada bentuk-bentuk yang dapat diamati,
dirasakan, dibentuk, dipisahkan, atau digunakan dengan
beberapa cara oleh siswa. Tujuan umum yaitu menelusuri
bagaimana bentuk-bentuk serupa atau berbeda, serta
menerapkan ide-ide ini untuk membuat berbagai kelompok
daru bentuk-bentuk. Beberapa kelompok dari bentukbentuk ini memiliki sebutan, yaitu persegi panjang,
segitiga, prisma, silinder, dan sebagainya. Sifat-sifat
bentuk, seperti sisi-sisi yang sejajar, simetri, sudut siku-siku
dan sebagainya, tercakup pada level ini tapi hanya secara
informal dan berdasarkan pengamatan.
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
2) Level 1 (Analisis)
(Memahami sifat-sifat dari bangun ruang)
Siswa pada tingkatan analisis dapat menyatakan
semua bentuk dalam golongan selain bentuk satuannya.
Pada tahap ini siswa dapat menyebutkan sifat-sifat bangun
ruang sebanyak mungkin.
3) Level 2 (Deduksi Informal)
(Melihat adanya hubungan sifat-sifat antar objek geometri)
Siswa pada tahap deduksi informal mulai dapat
berpikir tentang sifat-sifat objek geometri tanpa batasan
dari objek-objek tertentu, mereka dapat membuat hubungan
di antara sifat-sifat tertentu.
4) Level 3 (Deduksi)
(Membuktikan teorema dengan menggunakan pemikiran
logis yang terartikulasi)
Pada tingkat deduksi, siswa mampu meneliti bukan
hanya sifat-sifat bentuk saja. Pemikiran mereka sebelumnya
telah menghasilkan dugaan mengenai hubungan antar sifatsifat. Ketika analisis pendapat informal ini berlangsung,
struktur sebuah sistem lengkap dengan aksioma, definisi,
teorema, efek dan postulat mulai berkembang dan dapat
dihargai sebagai alat dalam pembentukan kebenaran
geometri. Pada tingkat ini, siswa mulai menghargai
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
kebutuhan dari system logika yang berdasar pada kumpulan
asumsi minimum dan dimana kebenaran lain dapat
diturunkan. Siswa pada tingkat ini mampu bekerja dengan
pernyataan-pernyataan abstrak tentang sifat-sifat geometri
dan membuat kesimpulan lebih berdasarkan pada logika
daripada naluri. Siswa juga dapat menemukan hubunganhubungan yang nantinya mereka buktikan.
5) Level 4 (Rigor)
(Objek-objek pemikiran pada tingkat 4 berupa sistemsistem deduktif dasar dari geometri)
Dalam tahap ini siswa sudah mulai menyadari
betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang
melandasi suatu pembuktian. Pada tahap ini siswa bernalar
secara formal dalam sistem matematika dan dapat
menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma dan
definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak
didefinisikan, aksioma, definisi, teorema dan pembuktian
formal dapat dipahami.
Menurut teori, ada lima tingkat berpikir dalam geometri.
Tingkat ini dijelaskan oleh Van Hiele di berbagai tempat
dengan
syarat-syarat
umum
dan
perilaku
pada
setiap
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
tingkatannya. Level berpikir geometri menurut teori Van Hiele
(Usiskin, 1982) yaitu:
1) Level 1: regcognition
Siswa pada level ini dapat memberikan nama dari tampilan
dan pengelompokan berdasarkan bentuk.
2) Level 2: analysis
Siswa pada level ini dapat mengidentifikasikan sifat dari
sebuah bentuk.
3) Level 3: order
Siswa pada level ini dapat berpikir secara logika dan dapat
menghubungkan antar sifat, namun tidak mengoprasikan
dengan sistem matematika.
4) Level 4: deduction
Pada level ini siswa memahami pentingnya deduksi dan
peran postulat, teorema, dan bukti. (bukti dapat ditulis
dengan pemahaman)
5) Level 5: rigor
Pada level ini siswa dapat memahami perlunya ketegasan
dan mampu membuat kesimpulan abstrak. (geometri nonEuclid dapat dipahami)
Model terdiri dari lima tingkat berpikir. Tingkat, berlabel
"visualisasi," "analisis," "informal deduksi," "deduksi," dan
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
"rigor" masing-masing menggambarkan karakteristik dari proses
berpikir. Seorang pelajar bergerak secara berurutan dari awal,
atau dasar, tingkat (visualisasi), dimana ruang hanya diamati
sifat dari angka-angka tidak secara eksplisit diakui, melalui
urutan yang tercantum di atas tingkat tertinggi (rigor), yang
berkaitan dengan aspek-aspek abstrak yang resmi dari deduksi.
Berikut ini tingkat berpikir geometri menurut Van Hiele
(Crowley, 1987), yaitu:
1) Level 0 (basic level): Visualization
Pada tahap awal ini siswa dapat mengidentifikasikan
bentuk tertentu dan menamakan bentuk-bentuk tersebut.
2) Level 1: Analysis
Pada tahap ini, analisis konsep geometri dimulai. Siswa
mulai membedakan karakteristik bentuk geometri. Sifatsifat yang muncul kemudian digunakan untuk konsep
berikutnya.
3) Level 2: Informal Deduction
Pada tahap ini, siswa dapat membangun hubungan timbal
balik antar sifat.
4) Level 3: Deduction
Pada tahap ini, siswa dapat membangun sebuah bukti bukan
hanya menghafal dari sebuah definisi, aksioma, dan
postulat.
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
5) Level 4: Rigor
Pada tahap ini, siswa dapat bekerja diberbagai sistem
aksioma yaitu mempelajari geometri non Euclid dan dapat
membandingkan sistem yang berbeda.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa kemampuan berpikir geometri Van Hiele adalah suatu
kemampuan yang menggambarkan tentang kemajuan tingkattingkat berfikir siswa dalam belajar geometri, proses
mentransformasikan informasi geometri dalam memori, untuk
membentuk konsep, pemecahan masalah, bernalar, membuat
kesimpulan dan mampu menghubungkan ide-ide geometri.
Berdasarkan penjabaran dari beberapa ahli di atas, maka
dalam penelitian ini peneliti mengambil lima tingkatan berpikir
geometri Van Hiele, yaitu:
1) Level 0: Visualisasi
Pada tahap ini, siswa mengenal dan menamakan
bentuk-bentuk berdasarkan pada karakteristik dan tampilan
dari bentuk-bentuk geometri. Penekanan pada level 0
terdapat pada bentuk-bentuk yang diamati, dirasakan,
dibentuk, dipisahkan atau digunakan dengan beberapa cara
oleh siswa.
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
Contoh:
Berikut ini manakah yang termasuk dalam bentuk kotak ?
(a)
(c)
(b)
(e)
(d)
(f)
(h)
(g)
Jawab: Yang merupakan bentuk kotak adalah: (a), (b), (f),
(g), dan (h)
2) Level 1: Analisis
Pada tahap ini, siswa mengenali sebuah bentuk
geometri dan akan menyebutkan sifat-sifat dari bentuk
geometri sebanyak mungkin.
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
Contoh:
Sebutkan sifat-sifat dari bangun berikut:
Jawab:
Sifat-sifat dari bangun prisma segilima adalah:
a) memiliki bidang alas dan bidang atas berupa segilima
yang kongruen (2 alas tersebut juga merupakan sisi
prisma segilima)
b) memilki 7 sisi (2 sisi berupa alas atas dan bawah, 5 sisi
lainnya merupakan sisi tegak yang semuanya berbentuk
persegi panjang)
c) memiliki 15 rusuk
d) memiliki 10 titik sudut
3) Level 2: Deduksi Informal
Pada tahap ini, siswa mulai berpikir tentang sifat-sifat
objek geometri tanpa batasan dari objek-objek tertentu,
serta dapat membuat suatu hubungan diantara sifat-sifat
geometri.
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
Contoh:
Diketahui
kubus
ABCD.EFGH,
garis
l
merupakan
perpanjangan dari garis AD. Tentukanlah titik yang berada
didalam garis l dan berada diluar garis l.
l
Jawab:
Titik yang terletak didalam garis l adalah titik A dan titik D.
Sedangkan titik yang berada diluar garis l adalah titik B, C,
E, F, G, dan H.
4) Level 3: Deduksi
Pada tahap ini, siswa membuktikan kebenaran geometri
dengan menggunakan aksioma, definisi, dan teorema.
Contoh:
Diketahui kubus ABCD.EFGH dengan panjang rusuk 6 cm.
Titik Q berada di tengah-tengah garis BF. Hitunglah jarak
antara titik H ke titik Q.
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
Jawab:
FQ =
Q
1
× 6 = 3 cm
2
HF = HG 2 + GF 2
HQ = HF 2 + FQ 2
HF = 6 2 + 6 2
HQ =
HF = 36 + 36
HQ = 72 + 9
HF = 72
HQ = 81 = 9 cm
(6 2 ) + 3
2
2
HF = 6 2 cm
Jadi, jarak antara titik H ke titik Q adalah 9 cm.
5) Level 4: Rigor
Pada tahap ini, siswa dapat membuktikan berdasarkan
pada aksioma-aksioma yang berbeda tanpa menghadirkan
teori-teori konkrit.
Contoh:
Jika diketahui kubus ABCD.EFGH, garis FC merupakan
diagonal bidang BCGF. Buktikan jika garis GC sejajar
dengan bidang ADHE.
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
Jawab:
Bidang ABCD // bidang EFGH, sehingga jarak titik C ke
titik D sama dengan jarak titik F ke titik E. karena garis FC
terletak pada bidang BCGF maka garis FC sejajar dengan
bidang ADHE.
2. Adversity Quotient (AQ)
a) Pengertian Adversity Quotient (AQ)
Menurut Stolz (2003) mengemukakan bahwa Adversity
Quotient (AQ) memiliki tiga bentuk. Pertama Adversity Quotient
(AQ) adalah satu kerangka konseptual yang baru untuk memahami
dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, Adversity
Quotient (AQ) adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon
seseorang dalam menghadapi kesulitan. Kemudian yang ketiga,
Adversity Quotient (AQ) adalah serangkaian peralatan yang
memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang
terhadap kesulitan.
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
Menurut Agustian (2002), Adversity Quotient (AQ) adalah
kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan
sanggup bertahan hidup.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Adversity Quotient (AQ) merupakan suatu kecerdasan yang
dimiliki seseorang dalam menghadapi suatu kesulitan dan kemauan
yang kuat berkaitan dengan daya juang dalam mengatasi hambatan
sehingga mampu untuk memanagemen hambatan tersebut menjadi
sebuah keberhasilan.
b) Tingkatan golongan Adversity Quotient (AQ)
Menurut Stoltz (2003) ada tiga golongan respon terhadap
tantangan-tantangan, yaitu:
1) Adversity Quotient (AQ) rendah yang disebut dengan
Quitters
Ada banyak orang yang memilih untuk keluar,
menghindari kewajiban dan berhenti. Mereka ini disebut
Quitters
atau
orang-orang
yang
berhenti.
Mereka
menghentikan pendakian, mereka menolak kesempatan,
mereka mengabaikan dorongan inti yang manusiawi untuk
mendaki.
Pada
golongan
ini
juga
lebih
memilih
meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.
Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
pada golongan Quitters ini memiliki ciri-ciri yang pertama
memilih untuk berhenti. Ciri-ciri yang kedua menghindar
dari kewajiban. Kemudian ciri-ciri yang ketiga menyerah
sebelum sampai pada tujuan pendakian.
Pada golongan Quitters, memiliki ciri-ciri yang pertama
memilih untuk berhenti. Untuk golongan pelajar hal ini
ditunjukkan dengan jika siswa menemukan suatu kesulitan
saat mengerjakan soal, mereka tidak mau berjuang untuk
bisa mengatasi kesulitan tersebut dan memilih berhenti
untuk tidak mengerjakan soal tersebut. Ciri-ciri yang kedua
menghindar dari kewajiban. Untuk golongan pelajar hal ini
ditunjukkan dengan siswa menghindar dari kewajiban siswa
untuk belajar dan mengerjakan tugas dari guru. Kemudian
ciri-ciri yang ketiga menyerah sebelum sampai pada tujuan
pendakian. Untuk golongan pelajar hal ini ditunjukkan
dengan adanya rasa puas terhadap hasil yang telah
diperoleh namun siswa merasa ketidak mampuannya untuk
menghadapi kesulitan tersebut.
2) Adversity Quotient (AQ) sedang yang disebut dengan
Campers
Pada golongan ini adalah golongan campers atau orangorang yang berkemah. Mereka yang telah berusaha sedikit
namun memilih untuk berhenti mendaki karena telah
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
merasa
puas
dan
merasa
bosan
sehingga
mereka
mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat datar yang
rata dan nyaman untuk berkemah. Berbeda dengan
Quitters, Campers sekurang-kurangnya telah menanggapi
tantangan pendakian. Mereka telah mencapai tingkat
tertentu. Namun, demikian meskipun Campers telah
berhasil mencapai tempat perkemahan, mereka tidak
mungkin
mempertahankan
keberhasilan
itu
tanpa
melanjutkan pendakiannya.
Untuk golongan pelajar hal ini ditunjukkan dengan
ketika mereka diberikan kewajiban untuk mengerjakan
tugas mereka melakukan kewajiban tersebut namun siswa
cepat merasa puas dengan hasil usahanya. Usaha tersebut
dilakukan semata-mata karena adanya rasa takut terhadap
gurunya. Siswa juga tidak memperjuangkan lagi apa yang
sudah dia kerjakan katika mengalami kesulitan.
3) Adversity Quotient (AQ) tinggi yang disebut dengan
Claimbers
Claimbers adalah golongan yang tidak cepat merasa
puas dan berusaha untuk meraih ketingkat yang paling
tinggi. Untuk semua hal yang mereka kerjakan, mereka
benar-benar
memahami
tujuannya
dan
mengetahui
bagaimana perasaan gembira yang sesungguhnya.
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
Untuk golongan pelajar hal ini ditunjukkan dengan
adanya usaha yang maksimal untuk mencapai tujuan yang
dia inginkan. Mereka tidak cepat merasa puas dan
menjadikan
kegagalan
sebagai
cambuk
untuk
melakukannya lagi agar mendapatkan hasil yang terbaik.
Mereka melaksanakan semua kewajiban sebagai siswa dan
melakukan usaha tanpa pamrih atau karena adanya rasa
takut terhadap gurunya. Serta siswa mempunyai daya juang
yang tinggi ketika menghadapi kesulitan dalam belajar
maupun dalam mengerjakan tugas dari guru.
c) Dimensi dan indikator Adversity Quotien (AQ)
Stoltz (2003) mengemukakan bahwa Adversity Quotient (AQ)
terdiri dari
empat dimensi-dimensi pokok yaitu CO 2 RE yang
menjadi dasar penyusunan alat ukur Adversity Quotien (AQ) pada
seseorang. Dimensi-dimensi tersebut, yaitu:
1) Control (Pengendalian)
Control atau kendali adalah tingkat kendali yang dirasakan
seseorang terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan
kesulitan, kendali ini mempertanyakan beberapa banyak
kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang
menimbulkan
kesulitan,
kendali
ini
diawali
dengan
pemahamannya bahwa sesuatu apapun itu, dapat dilakukan
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
kendali ini yang memberikan kekuatan. Tanpa adanya kendali,
tindakan dan harapan akan hancur dan dengan kendali ini pula
hidup dapat berubah dan tujuan akan terlaksana. Orang-orang
yang memiliki Adversity Quotient (AQ) tinggi, akan merasakan
kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup
dari pada orang yang memiki Adversity Quotient (AQ) rendah.
Seseorang yang memiliki control yang tinggi cenderung
mampu mengendalikan diri dalam menghadapi kesulitan, dan
mudah bangkit dari ketidakberdayaan.
2) Origin dan Ownership (Asal-Usul dan Pengakuan)
Istilah Origin dan Ownership disebut juga dengan asal-usul
dan pengakuan, yang akan mempertanyakan apa atau siapa
yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seorang individu
menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sendiri sebagai
penyebab asal-usul kesulitan. Orang yang Origin-nya rendah
cenderung berpikir bahwa semua kesulitan atau permasalahan
yang
datang
itu
karena kesalahan,
kecerobohan,
atau
kebodohan dirinya sendiri serta memuat perasaan dan pikiran
merusak semangatnya. Sedangkan semakin tinggi pengakuan
seseorang, maka semakin besar ia akan mengakui akibat-akibat
dari suatu perbuatan apapun penyebabnya. Sebaliknya semakin
rendah pengakuan seseorang maka ia semakin tidak mengakui
akibat akibatnya apapun penyebabnya. Seseorang yang O 2
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
yang tinggi maka orang tersebut mampu menempatkan rasa
bersalah secara wajar, dan bertanggungjawab atas apa yang
telah dilakukan.
3) Reach (Jangkauan)
Reach yang disebut juga dengan istilah jangkauan, yang
berarti sejauh mana dampak kesulitan terhadap dampak aspek
lain dalam kehidupannya. Orang yang Reach-nya tinggi, maka
semakin besar kemungkinannya untuk merespon kesulitan
sebagai suatu yang spesifik dan terbatas, mampu memetakan
masalah dengan tepat dan mampu memaksimalkan sisi positif
dari suatu kesulitan. Semakin efektif seseorang menahan atau
mambatasi jangkauan kesulitan, ia akan merasa semakin lebih
berdaya dan perasaan kewalahannya akan berkurang, menjaga
kesulitan
supaya
tetap
berada ditempatnya,
kesukaran-
kesukaran hidup dan tantangan hidup menjadi lebih mudah
ditangani.
4) Endurance (Daya Tahan)
Endurance yang disebut sebagai daya tahan, yaitu rentang
waktu kesulitan dan penyebab kesulitan, berapa lama kesulitan
akan berlangsung, dan berapa lamakah penyebab kesulitan.
Berdasarkan hasil penelitian Seligmen (Stoltz, 2003) tentang
teori Atribusi menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
dramatis antara orang yang mengaitkan kesulitan dengan
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
sesuatu yang sifatnya sementara versus sesuatu yang sifatnya
lebih permanen. Ia menemukan bahwa orang yang melihat
kemampuan mereka sebagai penyebab kegagalan, cenderung
kurang bertahan di bandingkan dengan orang yang mengaitkan
kegagalan dengan usaha (penyebab yang sifatnya sementara)
yang mereka lakukan. Seseorang yang memiliki Endurance
yang tinggi maka orang tersebut akan menilai kesulitan atau
kegagalan bersifat sementara sehingga memiliki sikap optimis
dalam menghadapi kesulitan.
Selanjutnya berdasarkan uraian tersebut, dapat di
tentukan indikator-indikator Adversity Quotient (AQ) dari
dimensi-dimensi Adversity Quotient (AQ), yaitu:
1) Control (Pengendalian)
Indikator dari dimensi Control antara lain mampu
mengendalikan diri dalam menghadapi kesulitan dan tidak
mudah putus asa dalam meraih kesuksesan.
2) Origin dan Ownership (Asal usul dan Pengakuan)
Indikator dari dimensi Origin & Ownership antara lain
menempatkan rasa bersalah secara wajar dan bertanggung
jawab atas apa yang telah dilakukan.
3) Reach (Jangkauan)
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
Indikator dari dimensi Reach antara lain mampu melakukan
pemetaan masalah dengan tepat dan mampu berpikir positif
ketika berada dalam situasi yang sulit.
4) Endurance (Daya Tahan)
Indikator dari dimensi Endurance antara lain memandang
kesulitan atau kegagalan hanya bersifat sementara dan optimis
dalam menghadapi kesulitan.
B. Penelitian Relevan
Berikut ini adalah beberapa penelitian yang relevan terkait
kemampuan berpikir geometris Van Hiele. Pada penelitian mengenai
pemecahan masalah geometri dengan menggunakan representasi aljabar
untuk sekolah menengah atas tingkat 3 pada tingkat berpikir geometri Van
Hiele yang diteliti oleh Suwito, dkk (2016) menunjukkan siswa pada
tingkat 3 untuk tingkat Van Hiele memiliki kemampuan yang baik untuk
memecahkan
masalah
geometri
aljabar
dalam
konten
dengan
memanfaatkan pengurangan penalaran ketrampilan berpikir untuk
membangun struktur geometri dalam sistem aksioma dalam memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi. Umumnya, tingkat sekolah menengah
pertama anak-anak memiliki kemampuan Van Hiele pada tingkat 0-2,
tetapi sesuai dengan pengalaman, belajar dapat membantu siswa untuk
dapat mengoptimalkan potensi. Masalah geometri terkait erat dengan
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
aljabar, banyak masalah geometri dapat diselesaikan dengan mudah, jika
berubah dalam aljabar atau sebaliknya.
Berbeda dengan penelitian tersebut, hasil penelitian mengenai
analisis keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah
geometri berdasarkan tingkat berpikir Van Hiele oleh Muhassanah (2014)
menunjukkan hasil bahwa keterampilan geometri yang dimiliki siswa
berdasarkan tingkat berpikir Van Hiele itu ternyata berbeda-beda dan
berurutan sesuai dengan tingkat berpikir Van Hiele dan hasil penelitian
mengungkapkan bahwa setiap siswa dalam sebuah kelas itu mempunyai
tingkat berpikir yang berbeda-beda.
Selain itu penelitian mengenai mencirikan perkembangan tingkat
Van Hiele dalam geometri oleh Burger dan Shaughnessy (1986)
menunjukkan hasil bahwa dalam belajar geometri, siswa rata-rata hanya
mampu sampai dengan level 3 atau deduksi belum mencapai pada level
tertinggi yaitu level 4 atau rigor.
Berbeda dengan penelitian di atas, hasil penelitian mengenai
paradigm alternative untuk mengevaluasi perolehan tingkatan Van Hiele
oleh Gutierrez, Jaime, dan Fortuny (1991) menunjukan hasil bahwa
seorang siswa bisa saja mengembangkan dua tingkat penalaran berturutturut pada saat yang bersamaan, namun yang biasanya terjadi adalah
perolehan siswa tingkat rendah lebih lengkap dari pada siswa tingkat
tinggi. Tidak semua siswa menggunakan satu tingkat, tetapi beberapa
diantaranya menggunakan beberapa tingkat pada saat bersamaan, namun
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
tergantung pada kesulitan masalah. Proses pemikiran manusia yang
berbeda-beda ada yang sederhana dan ada pula yang linier yang
mempengaruhi hal tersebut.
Sedangkan penelitian tentang The Van Hiele Levels of Geometric
Thought in Undergraduate Preservice Teachers oleh Mayberry (1983)
menunjukan hasil bahwa 70% dari pola-pola respon siswa yang belajar
geometri berada di bawah level 3.
Adapun persamaan penelitian ini dengan beberapa penelitian diatas
yaitu sama-sama mengacu pada kemampuan berpikir geometri Van Hiele
siswa. Sedangkan perbedaan penelitian ini terletak pada variabel tinjauan,
subjek, dan tempat penelitian. Pada penelitian ini, variabel tinjauan yang
digunakan
adalah
Adversity
Quotient
(AQ).
Sedangkan
tempat
penelitiannya di SMA Negeri Wangon dengan subjek penelitian adalah
siswa kelas X tahun ajaran 2016/2017. Penelitian ini akan terfokus untuk
menganalisis kemampuan berpikir geometri Van Hiele siswa SMA Negeri
Wangon ditinjau dari Adversity Quotient (AQ).
C. Kerangka Pikir
Pada dasarnya penentu sebuah kesuksesan seseorang
dalam
hidupnya baik dalam hal pendidikan ataupun yang lainnya bukan hanya
dari kecerdasan intelegensi (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) saja. Banyak
orang yang memiliki IQ tinggi namun ia tidak memiliki kemampuan untuk
berempati dengan orang lain, bergaul dengan orang lain, serta tidak
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
berusaha untuk bahagia. Menurut Stoltz (2003), kemampuan tersebut
disebut dengan EQ. Namun, tidaklah cukup hanya sekedar memiliki IQ
dan EQ yang tinggi. Beberapa orang yang memiliki IQ yang tinggi berikut
segala aspek EQ, namun mereka gagal menunjukkan kemampuannya.
Maka dari itu, pada dasarnya bukanlah IQ ataupun EQ yang menentukan
suksesnya seseorang. Akan tetapi, yang menentukan kesuksesan seseorang
adalah kecerdasan seseorang dalam menghadapi dan mengatasi sebuah
hambatan yang dikenal sebagai Adversity Quotient (AQ).
Seorang remaja selalu dihadapkan dengan berbagai masalah dalam
kehidupannya. Ketika seorang remaja, terutama siswa sekolah menengah
tidak memiliki kecerdasan untuk menghadapi kesulitan yang dihadapinya
maka ia akan memandang bahwa hidupnya penuh dengan kesulitan.
Seseorang yang memiliki Adversity Quotient (AQ) yang tinggi maka ia
tidak akan mudah menyerah ketika dihadapkan pada situasi yang sulit dan
selalu mencari jalan keluar untuk mengatasi kesulitan tersebut karena ia
yakin bahwa kesulitan itu bersifat sementara dan tidak akan melebihi
kemampuannya. Sedangkan seseorang yang memiliki Adversity Quotient
(AQ) sedang biasanya lumayan baik dalan menyikapi kesulitan hidup
selama segala sesuatunya berjalan dengan lancar.
Namun ketika segala sesuatunya berjalan di luar dari apa yang
direncanakan maka akan mengalami beban frustasi karena usaha yang
dilakukan tidak maksimal dan hanya sekedarnya saja. Lain halnya dengan
seseorang yang memiliki Adversity Quotient (AQ) rendah akan cepat
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
menyerah ketika baru dihadapkan pada situasi yang sulit sebelum
memberikan usahanya untuk menyikapi kesulitan tersebut. Untuk itulah
seseorang penting memiliki Adversity Quotient (AQ) yang tinggi untuk
kebaikan dalam dirinya, dan seseorang yang memiliki Adversity Quotient
(AQ) sedang ataupun rendah masih bisa mengembangkan Adversity
Quotient (AQ) menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Pengembangan
Adversity Quotient (AQ) dapat dikembangkan melalui pendidikan
khususnya dalam mata pelajaran matematika yang sebagian besar siswa
mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Pada situasi inilah
Adversity Quotient (AQ) seorang siswa dapat diasah dan dikembangkan.
Di dalam dunia pendidikan sekarang ini, diharapkan para guru
untuk memperhatikan Adversity Quotient (AQ) siswa, karena pentingnya
Adversity Quotient (AQ) dimiliki oleh seorang siswa untuk meraih
prestasinya
terutama
prestasi
matematika.
Pada
dasarnya
tujuan
diadakannya mata pelajaran matematika sendiri adalah agar siswa mampu
menghadapi keadaan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan
memecahkan permasalahan matematis akan menuntut siswa untuk berpikir
secara logis, kritis, sistematis, dan dibutuhkan daya juang untuk dapat
memecahkan permasalahan tersebut, sehingga diharapkan keterampilan
yang diperoleh dalam belajar matematika dapat ditransfer dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satu materi yang banyak diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari adalah materi geometri. Geometri merupakan salah
satu mata pelajaran di sekolah menengah atas, dimana siswa belajar
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
tentang memahami sebuah ruang. Didalam belajar geometri menurut teori
Van Hiele ada lima tingkatan, yaitu tingkat 0 (visualisasi), tingkat 1
(analisis), tingkat 2 (deduksi informal), tingkat 3 (deduksi), dan tingkat 4
(rigor), dimana setiap tingkatan memerlukan sebuah daya juang atau
Adversity Quotient (AQ) untuk menuju ke tingkatan berikutnya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diduga bahwa seorang siswa
memiliki Adversity Quotient (AQ) yang tinggi maka ia juga memiliki
kemampuan berpikir geometri pada tingkat yang tinggi bahkan bisa
mencapai pada tingkat rigor, sedangkan jika seorang siswa memiliki
Adversity Quotient (AQ) yang sedang maka kemungkinan ia memiliki
kemampuan berpikir geometri pada tingkat yang sedang atau belum
sampai ke tingkat rigor, dan berbeda pula bagi siswa yang memiliki
Adversity Quotient (AQ) yang rendah kemungkinan akan memiliki
kemampuan berpikir geometri pada tingkat paling rendah yaitu tingkat
visualisasi.
Analisis Kemampuan Berpikir…, Tyas Dyah Setiana, FKIP UMP, 2017
Download