Eksistensi Pedagang Kaki Lima Studi Tentang Kontribusi Modal

advertisement
BAB IX
MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL
Dalam bab berikut disajikan uraian tentang kontribusi,
pengaruh atau peran modal sosial terhadap perlawanan
(resistensi) PKL. Konsep-konsep pokok atau unsur-unsur
modal sosial sosial, yaitu kepercayaan, jaringan dan norma
dikaji sejauhmana berkontribusi terhadap resistensi PKL.
Demikian pula, dua jenis modal sosial, yaitu modal sosial terikat
(bonding social capital) dan modal sosial yang menjembatani
(bridging social capital) dilihat peranannya dalam membangun
kekuatan perlawanan PKL.
Dalam bagian ini dikemukakan terjadinya pertemuan
antara modal personal berupa kepemimpinan tokoh kunci PKL,
yang di dalamnya terdapat nilai pengorbanan dengan modal
sosial, berupa struktur interaksi dan jaringan sosial yang
membentuk apa yang disebut dengan modal sosial pengorbanan
(sacrifice of social capital). Modal sosial pengorbanan inilah
yang memiliki peran kunci dalam mendorong perlawanan PKL
terhadap kebijakan yang diambil Pemkot Semarang.
A. Implementasi Kebijakan yang Tidak Memihak PKL
Meskipun diakui bahwa sektor informal memiliki
kontribusi bagi pembangunan ekonomi, namun kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah beserta aparatus represifnya
berkecenderungan menempatkan PKL sebagai pengganggu
yang harus disingkirkan. Meskipun diakui jasa besarnya dalam
menyerap surplus angkatan kerja, sektor informal hingga
sekarang tetap masih menjadi sektor terpinggirkan,
dianaktirikan, dan tidak jarang dianggap sebagai “penyakit”
dalam perekonomian (Samhadi 2006:33).
399
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Data-data yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber
menunjukkan bahwa pandangan negatif Pemerintah Daerah
lebih mengkristal daripada persepsi positifnya tentang sektor
informal, khususnya PKL. Sikap pengabaian, pembiaran,
bahkan pengusiran, penertiban, penggusuran atau sikap tindak
kekerasan lainnya tampak lebih dominan ketimbang sikap dan
tindakan pembimbingan dan pemberdayaan.
Berdasarkan data Konsorsium Kemiskinan Kota, sepanjang
tahun 2001 dan 2003 saja tidak kurang dari 24.748 PKL dan
kios jalanan yang digusur dari tempat mereka mencari nafkah
(Samhadi 2006:33). Gerobak dan kios mereka dihancurkan.
Dalam kurun waktu yang sama, sebanyak 550 pengamen
ditangkap dan 17.103 becak digaruk atau dimusnahkan,
sehingga 34.000 orang kehilangan mata pencaharian. Padahal,
saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997, sektor
informal terbukti mampu menunjukkan ketangguhan dan
mampu menjadi peredam (buffer) gejolak di pasar kerja
perkotaan dengan menampung limpahan jutaan buruh korban
PHK sektor formal.
Pasca krisis, sektor informal kembali menjadi katup
pengaman di tengah ketidakmampuan pemerintah dan sektor
formal menyediakan lapangan kerja. Menurut data BPS (2006),
sektor informal menyerap kurang lebih 70% angkatan kerja,
sementara sektor formal hanya 30%.
PKL bagaikan rumput di dalam pot bunga, sehingga harus
dicabut sampai ke akar-akarnya agar tidak mengganggu
pertumbuhan bunga. Hak hidup PKL harus dihapus. Itulah
pikiran dan pendapat yang memicu Pemkot Bandar Lampung
untuk memperindah kotanya dengan cara menyapu bersih
PKL, seperti PKL yang beroperasi di Bambu Kuning, Pasar Pasir
Gintung, dan sekitar Pangkal Pinang (Stiawan ZS 2008).
Di Semarang, kekejaman petugas satpol PP juga nampak
ketika mereka melakukan razia penertiban PKL di sepanjang
400
BAB IX
MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL
jalan Thamrin, kawasan Kampung Kali, jalan MT. Haryono, dan
jalan Menteri Supeno sepanjang bulan November 2009. Para
petugas satpol PP berseragam lengkap yang menggelar razia
penertiban langsung membongkar lapak-lapak yang digunakan
untuk berdagang dan menaikkan beberapa gerobak dagangan
ke dalam truk.
Pada bulan Maret 2010, ratusan petugas Satpol PP juga
melakukan penggusuran terhadap PKL di Sampangan (Suara
Merdeka Sabtu 13 Maret 2010). Demikian pula, PKL Basudewo
juga digusur (Suara Merdeka edisi Metro Kamis 24 Juni 2010;
Kompas edisi Semarang Sabtu 26 Juni 2010; Kompas edisi
Semarang Selasa 29 Juni 2010).
Era otonomi daerah mestinya memberi keleluasaan kepada
Pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan publik dan
memberi pelayanan prima kepada masyarakat demi
meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun dari hasil survei
Universitas Gadjah Mada pada tahun 2002, masih banyak
kelemahan dari implementasi otonomi daerah. Kelemahan itu
diantaranya:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
petugas kurang responsif dalam memberi pelayanan,
kurang inovatif, sehingga berbagai pelayanan sering
terlambat,
kurang accesible, sehingga pelayanan tidak dapat dijangkau
oleh masyarakat,
kurang koordinasi, sehingga pelayanan sering bertubrukan
satu sama lain atau bahkan saling menunggu,
terlalu birokratis, terutama dalam hal perizinan,
kurang mau mendengar keluhan, saran, dan aspirasi
masyarakat,
tidak efisien, sehingga banyak dijumpai berbagai
persyaratan yang tidak relevan dibebankan kepada
pelanggan (Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat 2009:85).
401
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Padahal, penerapan otonomi daerah sesungguhnya
ditujukan untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan
kepada kelompok masyarakat yang paling bawah, dengan
memperhatikan ciri khas budaya dan lingkungan setempat,
sehingga kebijakan publik dapat diterima dan produktif dalam
memilih kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat (Ridwan dan
Achmad Sodik Sudrajat 2009:110-111).
Kebijakan publik berupa Peraturan Daerah yang mengatur
masalah PKL, Satpol PP, dan persoalan ketertiban umum,
tampaknya memang lebih bernuansakan kekuasaan (power),
menunjukkan betapa sangat berkuasanya (powerfull) elit
pemerintah daerah dan kebijakan publik tersebut cenderung
bersifat mengatur, mengendalikan, bahkan terkesan kurang
bersahabat terhadap sektor informal, terutama PKL yang
menjalankan usaha di pusat-pusat keramaian.
Dalam penelitian disertasi tentang Resistensi dan
Akomodasi: Suatu Kajian tentang Hubungan-hubungan
Kekuasaan pada PKL, Preman, dan Aparat di Depok Jawa Barat,
Siswono (2009) menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah
kota Depok terhadap PKL bersifat ambivalen, di mana di satu
sisi PKL dianggap sebagai “penyelamat” karena menyediakan
lapangan kerja, memberi kemudahan bagi warga kota untuk
mendapatkan barang dengan harga murah, menambah daya
tarik kota, dan membuat kota menjadi lebih hidup, tetapi di sisi
lain, PKL dianggap sebagai “penyakit” yang membuat kota
menjadi semrawut, kotor, dan tidak indah.
Beberapa Peraturan Daerah (Perda), seperti Perda Kota
Sukabumi Nomor 2 Tahun 2004 tentang Ketertiban Umum,
Perda Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan,
Perda Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun
2007 tentang Ketertiban Umum, Perda Kabupaten Jembrana
Nomor 5 Tahun 2007 tentang Kebersihan dan Ketertiban
402
BAB IX
MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL
Umum, dan Perda kota Semarang nomor 11 tahun 2000 isinya
tidak jauh berbeda, yaitu mengatur, melarang, dan menertibkan
PKL agar tidak berdagang atau menjalankan usaha di tepi jalan
atau tempat lainnya yang menimbulkan gangguan ketertiban
umum.
Ketertiban umum yang menjadi roh perda-perda PKL yang
ditetapkan oleh pemerintah, dipahami sebagai suatu tatanan
atau keadaan yang teratur sesuai dengan norma-norma yang
berlaku di masyarakat, guna mewujudkan kehidupan
masyarakat yang dinamis, aman, tenteram lahir dan batin.
Namun sayangnya, ketertiban umum ini dipahami oleh para
penguasa sebagai kegiatan mengatur, mengendalikan, dan
menertibkan, bahkan menindak. Aroma hukumnya masih
bercorak rechtmatig atau mengatur supaya tertib, tidak
doelmatig atau menyejahterakan. Padahal menurut prinsip
Syracuse, ketertiban umum harus dipahami sebagai sejumlah
aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau
serangkaian prinsip-prinsip mendasar yang mendasari
berdirinya masyarakat (Komnas HAM 2008:25). Aspek hak
asasi manusia yang menjadi inti dari setiap peraturan hukum
termasuk perda, tampaknya tidak disentuh dalam contoh dari
beberapa perda di atas.
Demikian pula, kebijakan publik berupa perda yang dibuat
oleh pemerintah daerah, yang bersinggungan dengan
keberadaan PKL, tampaknya lebih banyak mengatur,
mengendalikan, menertibkan, dan menindak para PKL, seolaholah mereka adalah society and state enemy yang harus
dibersihkan dari muka bumi.
Morrell, et al (2008:4) dalam penelitiannya melihat bahwa
Peraturan Daerah yang mengatur PKL tidak jelas, kontradiktif,
dan bersifat menghukum. Tidak mengherankan jika peraturan
yang dibuat oleh penguasa daerah cenderung tidak memihak
kelompok miskin, yang mereka pandang tidak memiliki nilai
403
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
ekonomi. Ekonomi modern yang mengandalkan pada sektor
formal yang mereka layani. Kapitalisme dengan tuah
kelimpahruahan yang mereka bela, bukan kelembagaan
ekonomi non-formal atau sektor informal yang mereka
perjuangkan. Inilah yang menyebabkan perilaku penguasa
dengan kekuasaan hegemonik melalui aparatusnya memusuhi
PKL, yang secara ekonomi dan sosial tidak menguntungkan
mereka. Tindakan tidak adil dan sewenang-wenang dari
pemerintah daerah (kabupaten atau kota) mendapat
penentangan dan perlawanan (resistensi) dari para pedagang
kaki lima.
B.
Modal Sosial sebagai Penguat Resistensi PKL
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa resistensi
adalah sikap oposan atau negatif terhadap peraturan dan
kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Sikap resisten selalu
muncul manakala kebijakan yang diambil pemerintah
menegasikan keberadaan PKL atau dianggap mengganggu ruang
hidup PKL, sehingga atas perlakuan pemerintah tersebut,
mereka berani melakukan perlawanan. Perlawanan atau
resistensi yang ditunjukkan para PKL Semarang, khususnya di
Sampangan dan Basudewo sebagai respon terhadap
implementasi kebijakan publik Pemkot Semarang, dilakukan
tanpa rasa takut. Bentuk perlawanan PKL bervariasi.
Sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya bahwa bentuk
perlawanan atau resistensi PKL dikategorikan dalam dua
bentuk, yaitu perlawanan dengan kekerasan (resistance by
violence) dan perlawanan tanpa kekerasan (resistance by
nonviolence).
Bentuk-bentuk perlawanan dengan kekerasan, yaitu
melakukan adu mulut, mendorong petugas, mempertahankan
bangunan dan lapak yang akan dibongkar, menaiki begu dan
404
BAB IX
MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL
menghalangi
pengemudi
untuk
menjalankan
begu,
memblokade jalan, dan menghadang petugas yang akan
membongkar bangunan dan lapak PKL.
Kegiatan perlawanan tanpa kekerasan yang ditempuh para
PKL, mengambil bentuk, seperti melakukan demonstrasi,
berorasi, membuat pamflet atau poster, membuat spanduk, dan
mendirikan Posko Anti Penggusuran. Selain itu, PKL juga
melakukan perlawanan dengan taktik “run and back”, atau lari
ketika petugas Satpol PP melakukan penertiban terhadapnya
dan kembali berjualan setelah tidak ada petugas yang
melakukan penertiban.
PKL Sampangan dan Basudewo dalam melakukan
perlawanan menggunakan dua stategi dan bentuk perlawanan
sekaligus, yaitu melalui kekerasan dan nonkekerasan;
sedangkan PKL Kokrosono hanya menggunakan strategi
nonkekerasan. PKL Sampangan dan Basudewo menggunakan
cara-cara kekerasan dan nonkekerasan, karena dua hal.
Pertama, bangunan dan lapak yang mereka gunakan untuk
berdagang telah dihancurkan oleh petugas Satpol PP.
Kedua, inisiasi, dukungan, dan pembelaan dari paguyuban
PKL, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Kemahasiswaan,
dan organisasi lainnya, memberikan kekuatan kepada PKL
untuk melakukan perlawanan terhadap Pemkot Semarang.
Sementara itu, PKL Kokrosono dalam melakukan
perlawanan tidak menggunakan cara kekerasan, karena mereka
tidak pernah mengalami kekerasan fisik dari petugas Satpol PP,
kecuali yang terjadi sebelum tahun 2009. Selain itu, tidak
adanya lembaga yang mendampinginya membuat PKL
Kokrosono ciut nyalinya dalam melawan petugas. Tabel di
bawah ini menginformasikan bagaimana strategi atau bentuk
perlawanan yang ditunjukkan PKL terhadap Pemkot.
405
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Tabel 16. Bentuk Perlawanan Yang Ditunjukkan PKL Sampangan,
Basudewo, dan Kokrosono
Lokasi PKL
Bentuk Perlawanan
Sampangan
Kekerasan
Nonkekerasan
Basudewo
Kekerasan
Nonkekerasan
Kokrosono
Nonkekerasan
Sumber: Data Primer.
Perlawanan dengan kekerasan dan nonkekerasan yang
diperlihatkan oleh PKL Sampangan dan Basudewo dapat
dipahami, karena mereka dalam memperjuangkan keinginan
dan tujuannya, tidak dilakukan sendirian oleh PKL yang
bersangkutan, tetapi dibantu atau didukung oleh organisasi
lain, seperti PPKLS, Pattiro, LBH Semarang, LBH Panti
Marhaen, BEM di kota Semarang, dan yang lain.
Bantuan dan dukungan datang dari berbagai organisasi
tersebut, karena: (1) di dua lokasi ini sudah ada organisasi
internal meskipun sudah lama tidak berfungsi, (2) di dua lokasi
PKL tersebut terdapat tokoh kunci yang menjadi titik masuk
(entry point ) bagi masuknya dukungan organisasi lain, (3) PKL
di dua lokasi tersebut relatif stabil dan tidak mobile, dan (4)
pemerintah kota lebih banyak melakukan aktivitas penertiban
dan penggusuran, yang dalam beberapa hal disertai kekerasan
di dua lokasi tersebut.
Sementara itu, perlawanan PKL Kokrosono (liar) tidak
menampakkan bentuk kekerasan, karena (1) PKL di lokasi
tersebut tidak terorganisasi, (2) anggota PKL memiliki tingkat
mobilitas yang tinggi, dalam arti PKL yang berjualan di lokasi
tersebut bisa berganti-ganti, (3) dukungan organisasi lain tidak
ada, dan (4) tidak ada tokoh kunci. Pada saat ada penertiban
dan penggusuran, yang mereka lakukan dalam merespon
penggusuran tersebut adalah tidak berdagang atau lari dan
kembali berdagang ketika petugas Satpol PP sudah tidak ada
lagi.
406
BAB IX
MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian
Handoyo (2010) yang menemukan dua bentuk perlawanan PKL
Sampangan dan Basudewo di Semarang, yaitu perlawanan
dengan kekerasan (resistance by violence) dan perlawanan
tanpa kekerasan (resistance without violence). Beradu mulut,
menghadang petugas, mendorong petugas Satpol PP,
mempertahankan lapak atau bangunan yang akan dibongkar,
bermain kucing-kucingan, dan menolak direlokasi, merupakan
bentuk perlawanan dengan kekerasan.
Perlawanan tanpa kekerasan dilakukan dengan cara
berdemonstrasi, berorasi, membuat spanduk, membentuk
paguyuban, meminta bantuan LSM dan mahasiswa, serta
mendirikan posko anti penggusuran. Dukungan dari elemen
mahasiswa, PPKLS, dan LSM lainnya, mempertebal keberanian
mereka melawan petugas.
Berbeda dengan penelitian Handoyo, Alisjahbana (2006)
dalam penelitian PKL di Surabaya menemukan tiga bentuk
perlawanan PKL, yaitu perlawanan terbuka, terselubung, dan
normatif. Bentuk perlawanan terbuka diantaranya adalah
melawan petugas, berjualan di tempat terlarang, menolak
relokasi, melakukan demonstrasi, dan meminta izin secara
paksa. Main kucing-kucingan, memberi upeti, menebus barang
dagangan, mencari tempat tersembunyi, membentuk
paguyuban dan mengumpulkan iuran, serta mencari dukungan
LSM dan mahasiswa merupakan bentuk dari perlawanan
terselubung. Perlawanan normatif berupa penolakan terhadap
Perda nomor 17 tahun 2003 yang dinilai mengancam
kelangsungan usaha PKL.
Dari penelitian Alisjahbana, Handoyo, dan disertasi ini,
terdapat kesamaan bahwa PKL memiliki banyak cara dan
strategi untuk melakukan perlawanan ketika mereka digusur,
mulai dari yang sifatnya nonkekerasan hingga bercorak
407
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
kekerasan. Semua itu mereka lakukan demi mempertahankan
kelangsungan usaha dan kehidupan mereka.
Siswono (2009) dalam disertasinya tentang Resistensi dan
Akomodasi: Suatu Kajian tentang Hubungan-hubungan
Kekuasaan pada PKL, Preman, dan Aparat di Depok Jawa Barat
menemukan bahwa sikap mendua dari pemerintah kota dalam
penerapan Perda nomor 14 tahun 2006 menimbulkan dampak
yang kontraproduktif terhadap PKL, preman, dan aparat. Salah
satu bentuk kontraproduktif tersebut adalah perlawanan
(resistensi) yang dilakukan oleh PKL ketika dilakukan operasi
penertiban.
Penelitian yang dilakukan Alisjahbana dan Siswono tidak
menjelaskan bagaimana peran faktor kelembagaan dan jaringan
sosial terhadap perlawanan yang ditunjukkan PKL selama ini.
Perspektif modal sosial belum digunakan dalam riset dua
peneliti tersebut. Dari beberapa hasil penelitian, termasuk hasil
penelitian disertai ini muncul pertanyaan apa yang
menyebabkan para PKL resisten dan berani melawan
pemerintah? Mengapa mereka tidak mau digusur atau
direlokasi ke tempat lain yang disediakan pemerintah ? Apakah
mereka melawan demi menyambung hidup (survival strategy)
ataukah ada basis penguat lain yang menyebabkan mereka
resisten terhadap kebijakan pemerintah ? Modal apakah yang
menjadi kekuatan (power) PKL dalam mempertahankan hidup
dan kehidupannya serta melakukan perlawanan kepada
pemerintah?
Berdasarkan hasil penelitian, penelitian disertasi ini
menemukan bahwa modal sosial, dalam hal ini kelembagaan
dan jaringan sosial, memberi kekuatan kepada PKL untuk
melakukan perlawanan kepada pemerintah kota. Analisis
mengenai bagaimana modal sosial menjadi penguat bagi
resistensi pedagang kaki lima, atau bagaimana modal sosial
memampukan para PKL melawan pemerintah kota, dilakukan
408
BAB IX
MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL
dengan cara menelusuri tipe-tipe modal sosial dan unsur-unsur
modal sosial yang ditengarai menjadi kekuatan pendorong para
PKL melakukan perlawanan terhadap kebijakan yang diambil
oleh pemerintah kota.
Dalam penelitian ini, tipe modal sosial yang digunakan
untuk menganalisis sejauhmana resistensi PKL berkaitan
dengan modal sosial yang dimiliki adalah bonding social capital
dan bridging social capital. Dalam kelompok PKL, baik yang
mempunyai bonding social capital kuat maupun yang memiliki
bridging social capital, para anggota kelompok memiliki tingkat
kepercayaan yang tinggi, kepatuhan pada norma, dan
mempunyai jaringan sosial, yang menyebabkan mereka mampu
bertahan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah modal sosial
tersebut dimiliki oleh para PKL yang menempati lokasi di
Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono.
Pertanyaan berikut adalah apakah jika mereka memiliki
modal sosial tersebut, dapatkah digunakan sebagai basis
kekuatan ketika mereka berhadapan dengan kekuasaan
pemerintah kota Semarang dengan kebijakannya yang acapkali
tidak menguntungkan posisi para PKL. Kebijakan publik yang
diambil oleh pemerintah kota Semarang selama ini (di bawah
kepemimpinan walikota Sukawi Sutarip selama periode jabatan
2000-2010) tidak akomodatif terhadap PKL. Pendekatan yang
digunakan oleh Sukawi, utamanya dalam menata PKL yang
tidak terorganisasi adalah pendekatan kekuasaan dan
keamanan, sehingga tidak heran jika selama kepemimpinannya
banyak terjadi penggusuran terhadap PKL.
Pendekatan kekuasaan adalah cara atau strategi yang
ditempuh oleh Pemkot lebih dititikberatkan pada relasi kuasa,
yakni perintah atau instruksi pemerintah harus dipatuhi oleh
masyarakat, karena pemerintah yang tahu persis apa kebutuhan
masyarakat dan apa yang harus mereka lakukan. Dalam
pendekatan kekuasaan ini, Pemkot menerapkan cara-cara
409
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
koersi atau kekerasan untuk menata PKL. Bagi PKL yang tidak
patuh, diberi hukuman berupa digusur tempat dan lapak yang
digunakan untuk berdagang, dan orang-orangnya diusir ke luar
dari tempatnya berjualan.
Pendekatan keamanan dimaknai sebagai cara atau strategi
yang diambil pemerintah dalam mengelola kegiatan
pemerintahan
dan
pembangunan semata-mata
demi
menciptakan rasa aman dan nyaman bagi seluruh warga
masyarakat dan yang penting pula adalah aman bagi sang
penguasa atau pemerintah. Sebut saja razia penertiban PKL
yang dilakukan oleh Pemkot di sepanjang jalan Thamrin,
kawasan Kampung Kali, di wilayah Kokrosono, jalan MT.
Haryono, dan jalan Menteri Supeno pada penghujung tahun
2009. Bahkan menjelang masa jabatan Sukawi berakhir, pada
pada awal hingga pertengahan tahun 2010, Sukawi beserta
aparatnya juga melakukan penggusuran PKL yang menjalankan
usaha dan berdagang di wilayah Sampangan dan Basudewo.
Berkaitan dengan kebijakan penataan PKL, mestinya
Pemkot belajar dari keberhasilan pemerintah kota Surakarta.
PKL di Surakarta pada tahun 2005 mencapai 5.817 orang dan
pada tahun 2007, pada saat relokasi dilakukan, PKL yang
berdagang di jalanan berjumlah 3.917 orang (Morrell et al.
2008). Meskipun jumlah PKL tidak sebanyak PKL yang ada di
kota Semarang, tetapi penataan PKL di Surakarta dilakukan
secara sistematis, dengan perencanaan yang matang dan
dipandu buku panduan penataan PKL. Pendekatan komunikasi
dan inovasi dipilih walikota Surakarta untuk menata PKL.
Tidak kurang dari 45 kali pertemuan dan dialog dilakukan
walikota dengan PKL selama kurun waktu enam bulan. Selain
itu, walikota beserta jajarannya berkeliling kota dengan
bersepeda, mengobrol secara informal dengan PKL, dan
membangun kepercayaan PKL dengan melepas baju kebesaran
pejabat ketika sedang menemui PKL.
410
BAB IX
MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL
Pendekatan komunikasi dengan cara persuasif dan
nonotoriter terbukti berhasil merelokasi PKL tanpa
perlawanan. Pemkot Semarang menggunakan pendekatan
kekerasan (keamanan) dan kekuasaan, sehingga dampaknya
adalah perlawanan dari PKL.
Cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh Pemkot, melalui
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang menyebabkan
banyak bangunan dan lapak yang diratakan dan tidak sedikit
PKL yang harus kehilangan mata pencaharian. Hal tersebut
menimbulkan perlawanan (resistensi) PKL terhadap Pemkot
ataupun simbol-simbol yang merepresentasikan Pemkot.
Perlawanan atau resistensi PKL tampak sekali pada kasus
penggusuran PKL di Sampangan dan Basudewo. Pertanyaan
yang muncul adalah mengapa PKL yang sebagian besar
berpendidikan rendah dan umumnya pedagang, berani
melakukan perlawanan terhadap pemerintah kota yang
memiliki sumberdaya keamanan dan kekuasaan yang
berlimpah ?
Dari hasil penelitian, terbukti bahwa PKL memiliki relasi
dengan organisasi yang cukup kuat sebagai tempat mengadu
atau meminta perlindungan, yaitu Paguyuban Pedagang Kaki
Lima Semarang (PPKLS). PPKLS ini pun tidak berjuang
sendirian. Organisasi ini didukung oleh Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Semarang dan organisasi kemahasiswaan intra
maupun ekstra kampus yang ada di kota Semarang. Jaringan
sosial (social networking) inilah yang membuat PKL
Sampangan dan Basudewo mampu bertahan di tempatnya
masing-masing.
Modal sosial berupa jaringan sosial ini telah dimiliki
kelompok-kelompok PKL yang menjadi unit analisis penelitian.
Hanya PKL Kokrosono (liar) yang tidak memiliki organisasi,
paguyuban atau jaringan, karena mereka umumnya pekerja
mandiri dan mobilitasnya tinggi. Lapak yang digunakan untuk
411
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
berdagang kebanyakan tidak permanen, bahkan banyak juga
yang berdagang secara lesehan. Meskipun tidak terorganisasi,
PKL Kokrosono memiliki modal sosial tidak seperti yang
dipunyai PKL Sampangan dan PKL Basudewo, yaitu norma
reprositas, kerjasama, dan solidaritas. Sebagai contoh, ketika ada
penjual kehabisan barang yang akan dibeli seorang pembeli, ia
dapat mengambil (pinjam) barang dari penjual lainnya.
Demikian pula, ketika ada penertiban dari petugas Satpol PP,
maka yang memiliki informasi akan memberi pedagang
lainnya. Inilah yang disebut dengan norma reprositas.
Kepercayaan (trust) yang diberikan anggota kelompok PKL
Sampangan dan Basudewo kepada ketuanya, membuat
kelompok PKL ini kuat, tidak mudah dipengaruhi, dan tidak
mudah dipecah, sehingga perasaan senasib sependeritaan
membawa mereka tetap bertahan dari gempuran aparat
pemerintah kota. Demikian pula, dukungan dari pak Sutarjo
atau yang sering disebut mbah Tarjo sebagai penasihat PKL
Basudewo dan semangat berkorban dari mbak Rini (ketua
PPKLS) memberikan tambahan kekuatan bagi PKL untuk
melakukan perlawanan terhadap Pemkot Semarang.
Mbah Tarjo, seorang pensiunan pegawai negeri ini
meskipun sudah “sepuh” (tua), tetapi semangatnya berkobarkobar dan berapi-api dalam memberi motivasi dan dukungan
kepada para pedagang untuk berjuang mempertahankan
bangunan dan lapak yang mereka gunakan untuk berdagang.
Rumahnya yang berdekatan dengan lokasi PKL Basudewo
membuat mbah Tarjo tidak pernah absen dalam rapat-rapat
yang diselenggarakan paguyuban PKL Basudewo. Waktu bagi
mbah Tarjo tidak menjadi masalah, karena sehari-hari beliau
ada di rumah, sehingga sewaktu-waktu dibutuhkan PKL, beliau
dapat hadir secepatnya. Sikap bijak dan hati-hati yang
diperlihatkan mbah Tarjo dipadu dengan sikap tegas, berani,
dan tanpa kompromi dari ketua PKL Basudewo, yaitu pak
Achmad, menjadi sandaran dan kekuatan tersendiri bagi PKL
412
BAB IX
MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL
dalam perjuangan mempertahankan tempat, bangunan, dan
lapak untuk berdagang.
Mbak Rini, ketua PPKLS, termasuk orang yang “entengan”,
siap membantu kapan saja dibutuhkan PKL. Meskipun kerjanya
menjaga parkir di sekitar bundaran Simpang Lima, namun
mbak Rini tidak pernah absen dari aktivitas yang dilakukan
PKL Sampangan dan Basudewo, mulai dari rapat-rapat, “melekmelekan” di posko anti penggusuran, audiensi dan negosiasi
dengan pihak pemerintah, hingga demonstrasi.
Jiwa
pengorbanan mbak Rini menular kepada semua anggota PKL,
baik di Sampangan maupun di Basudewo. Rasa “ewuh
pakewuh”, membuat anggota PKL mengikuti apa yang
dilakukan oleh pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini. Jiwa
pengorbanan itulah yang membuat mereka bersedia melakukan
apa saja demi tujuan bersama, yaitu bertahan di lokasi agar
dapat melanjutkan usahanya.
Kepemimpinan, berian, dan perasaan rela berkorban dari
pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini menjadi sesuatu yang
esensial bagi menguatnya modal sosial. Pengorbanan yang
ditunjukkan ketiga tokoh kunci PKL ini, dibantu organisasi
yang bersimpati kepada nasib PKL, menjadi titik masuk bagi
berkembangnya perasaan saling percaya di antara pedagang,
kepatuhan pada norma bersama, menguatnya rasa solidaritas
dan berbagi di antara mereka, sehingga melalui kelompok PKL
masing-masing, mereka meneguhkan tekat untuk tetap
bertahan di lokasi dan siap melawan petugas Satpol PP yang
menggusur mereka.
Jenis atau tipologi modal sosial yang ada pada kelompok
PKL Sampangan dan Basudewo adalah modal sosial terikat
(bonding social capital) atau modal sosial berbasis tempat dan
modal sosial menjembatani (bridging social capital). Modal
sosial berbasis tempat, yaitu bonding social capital merupakan
tipikal dari PKL Sampangan dan Basudewo. PKL Sampangan
413
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
dan Basudewo memiliki ikatan kekeluargaan dan jiwa
kebersamaan yang tinggi, karena interaksi di antara mereka
berlangsung sangat intensif. Norma resiprositas, solidaritas, dan
jiwa pengorbanan yang menular dari kepemimpinan pak
Achmad, menyebabkan persatuan anggota PKL menjadi sangat
kokoh. Identitas tempat, seperti Sampangan dan Basudewo,
menjadi identitas kelompok PKL, sehingga mengusik mereka
dari lahan yang mereka tempati, ibarat mengusir mereka dari
rumahnya sendiri. Itukah sebabnya, lahan tersebut akan
dipertahankan sekuat mungkin. “Sedumuk batuk, senyari
bumi”, atau sejengkal tanah pun, akan dipertahankan karena
hal itu berkaitan dengan kehormatan sebagai pedagang yang
sudah mencintai tanahnya.
Selain memiliki modal sosial terikat, PKL Sampangan dan
Basudewo juga mempunyai jaringan sosial dengan kelompok
PKL dan elemen masyarakat lainnya atau dengan kata lain,
kelompok PKL tersebut juga mempunyai modal sosial yang
menjembatani, karena mampu berkomunikasi dengan
organisasi lainnya. Melalui jaringan sosial yang dibangun tokoh
kunci PKL dengan kelompok PKL lainnya, informasi dapat
diperoleh secara mudah, termasuk informasi tentang waktu
penggusuran, sehingga anggota PKL dapat bersiap-siap
menghadapi penggusuran tersebut.
Pendampingan yang dilakukan oleh LBH Semarang dan
LBH Panti Marhaen, serta perlindungan yang diberikan oleh
PPKLS, sebagai modal sosial yang berharga, menjadikan
kelompok PKL Sampangan dan Basudewo bertambah
keberaniannya melakukan perlawanan kepada pemerintah kota
Semarang. Modal sosial ini menyuntikkan energi kepada
anggota untuk bertindak bersama mempertahankan lahan dan
melakukan perlawanan kepada pemerintah.
Modal sosial yang dibangun di bawah kepemimpinan
(modal personal) pak Achmad dengan jiwa pengorbanan yang
414
BAB IX
MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL
total kepada perjuangan PKL, didukung oleh mbah Tarjo dan
mbak Rini yang memiliki relasi cukup banyak di pemerintahan,
memperkokoh barisan PKL dalam melakukan perlawanan
terhadap Pemkot Semarang. Tanpa kepemimpinan dan jiwa
pengorbanan mereka, tindakan kolektif atau mobilisasi
melawan kebijakan pemerintah tidak akan berlangsung. Seperti
dikatakan Fransisco (2010), “mobilization without leadership is
extremly difficult”.
Apa yang dilakukan pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak
Rini merupakan tindakan pengorbanan, yang dilandasi oleh
moralitas altruistik yang mengutamakan kepentingan orang
banyak. Mereka menghayati falsafah bahwa hidup baik adalah
hidup yang bermanfaat bagi orang lain. Dalam kaitan dengan
tindakan pengorbanan ini, Baier sebagaimana dirujuk Hazlitt
(2003:158) menyatakan bahwa kemungkinan hidup terbaik bagi
setiap orang adalah mungkin hanya jika setiap orang mengikuti
aturan moralitas, yaitu aturan yang sering diperlukan individu
untuk melakukan pengorbanan sejati.
Modal sosial yang dikembangkan pak Achmad, mbah Tarjo,
dan mbak Rini, dalam penelitian ini disebut dengan modal
sosial dengan pengorbanan atau sacrifice of social capital. Hal
ini benar, karena tanpa pengorbanan dari tokoh-tokoh PKL,
seperti pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini tidak mungkin
PKL Sampangan dan Basudewo mampu bertahan, meskipun
pada akhirnya hampir seluruh PKL Basudewo harus
menyingkir dari tepi sungai Banjir Kanal Barat yang selama ini
mereka gunakan sebagai tempat berdagang dan menjalankan
aktivitas ekonomi, karena tepi sungai sebelah barat dan timur
telah dirapikan oleh peralatan berat proyek normalisasi sungai.
Perlawanan kolektif telah berakhir, karena semua
bangunan permanen maupun semi permanen dan lapak-lapak
yang ada sudah hancur tak bersisa. Berakhirnya perlawanan
tersebut tidak berarti modal sosial mereka hilang. Modal sosial
415
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
yang lahir dari interaksi di antara anggota PKL dalam bonding
social capital dan antara peguyuban PKL dengan paguyuban
PKL lainnya dalam bridging social capital, masih tampak
meskipun sebagian PKL sudah ke luar dari tempat berdagang
mereka. Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan model modal
sosial yang menjadi penguat bagi resistensi pedagang kaki lima
(PKL) di Sampangan dan Basudewo, sebagai berikut.
Bonding SC
Trust
Leadership
Modal Sosial
Modal Sosial
Pengorbanan
Norm
Networking
Kekuatan bagi
Resistensi
Bridging SC
Kebijakan Pemerintah
Gambar 57. Modal Sosial Pengorbanan sebagai penguat Resistensi
PKL
Gambar di atas menunjukkan bahwa yang menjadi
kekuatan perlawanan PKL, utamanya PKL Basudewo adalah
kepemimpinan yang ditunjukkan oleh pak Achmad, mbah
Tarjo, dan mbak Rini. Kepemimpinan dengan pengorbanan
menghasilkan apa yang disebut dengan
modal sosial
pengorbanan (sacrifice of social capital). Modal sosial ini
dibangun oleh pak Achmad bersama penasihat PKL, yaitu
mbah Tarjo dan ketua PPKLS, mbak Rini dengan menjalin
relasi dengan jaringan yang lebih luas, baik dengan asosiasi PKL
lain, juga dengan sejumlah LSM, seperti LBH Semarang, LBH
Perjuangan (Panti Marhaen), dan Pattiro, serta BEM di kota
416
BAB IX
MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL
Semarang, aparat Kepolisian, Satpol PP, Dinas Pasar, dan DPRD
kota Semarang.
Kepercayaan (trust) yang diberikan kepada ketua PKL,
membuat anggota PKL bersedia mengikuti kiprah pak Achmad
selaku ketua PKL dalam mempertahankan lokasi tempat
mereka berdagang. Aturan-aturan (norm), seperti membayar
iuran dan hadir dalam rapat-rapat juga dipatuhi para anggota,
semata-mata demi perjuangan mempertahankan bangunan dan
lapak yang mereka gunakan untuk berdagang. Semua anggota
bersedia berkorban berjuang bersama untuk mempertahankan
lokasi berdagang. Pengorbanan tersebut lahir dari energi positif
yang dipancarkan aktivitas dan interaksi tiga tokoh PKL.
Interaksi di antara 3 tokoh PKL tersebut melahirkan energi
sosial yang menyuntikkan jiwa pengorbanan dan solidaritas
kepada anggota kelompok PKL.
Sebagai penguat resistensi, modal sosial tidak muncul
dengan sendirinya. Mekanisme modal sosial menjadi semen
resistensi PKL terhadap Pemkot Semarang, dapat ditelusuri dari
kontribusi yang dimainkan oleh komponen modal sosial, yaitu
organisasi. Organisasi yang dibentuk oleh PKL, yaitu Persatuan
Pedagang Lestari Makmur (PPLM) di Basudewo pada tanggal 2
September 2010, yang didaftarkan ke Notaris dengan Akta
Notaris Nomor 2 Tanggal 2 September 2010 memberikan basis
hukum yang kuat bagi eksistensi sekaligus aktivitas PKL dalam
mencari nafkah.
Organisasi inilah yang menjadi landasan bagi PKL dalam
melakukan interaksi dengan pihak pemerintah terutama dalam
kaitannya dengan kebijakan merelokasi PKL. Dalam Anggaran
Dasar PPLM disebutkan bahwa untuk mencapai maksud dan
tujuan PPLM, antara lain dilakukan dengan cara menghimpun,
merumuskan, dan memperjuangkan aspirasi PKL serta menjadi
basis massa untuk melawan ketidakadilan atau kebrobokan
penegak hukum.
417
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Berpegang pada ketentuan Anggaran Dasar tersebut, pak
Achmad beserta pengurus melakukan rapat-rapat koordinasi
guna membahas nasib dan masa depan PKL Basudewo.
Meskipun tidak dihadiri oleh seluruh PKL yang beraktivitas di
Basudewo, rapat-rapat organisasi berjalan baik. Tidak kurang
dari 20 kali rapat telah dilakukan, sampai akhirnya mereka
tercerai berai setelah lokasi mereka berdagang diratakan oleh
begu proyek dan mesin-mesin penggusur pemerintah kota.
Norma atau kesepakatan untuk hadir dalam rapat diikuti para
anggota paguyuban PKL. Iuran sebagai bagian dari norma
tersebut juga dibayar oleh anggota, baik untuk kepentingan
konsumsi rapat, biaya mengurus Akta PPLM, biaya dalam
melakukan demonstrasi, atau pun biaya pendampingan PKL
oleh Lembaga Bantuan Hukum Perjuangan (Panti Marhaen).
Kepercayaan atau trust yang diberikan kepada pak Achmad
selaku ketua sekaligus pendiri PPLM menjadi pelumas
(lubricate) bagi berlangsungnya interaksi di antara anggota
PPLM. Kepercayaan ini juga mendorong pak Achmad dan
pengurus lainnya melakukan berbagai cara untuk
menperjuangkan nasib PKL. Melalui organisasi yang dibentuk
dan modal sosial pengorbanan yang dimiliki pak Achmad dan
mbah Tarjo, mereka dapat membangun jaringan sosial yang
lebih luas untuk mendapatkan dukungan atas perjuangan PKL.
Beberapa organisasi, seperti PPKLS, LBH Semarang, LBH
Perjuangan(Panti Marhaen), Pattiro Semarang, FSBI, GMNI,
PMII, HMI, KAMMI, BEM KM Undip, BEM Unnes, BEM IKIP
PGRI, KPK-PRD Semarang, dan SRMI memberi dukungan
yang tidak kecil kepada PKL, tidak hanya dalam hal
mengorganisasi perjuangan mempertahankan lokasi berdagang,
tetapi juga dalam melakukan negosiasi kepada Pemkot untuk
memperoleh solusi terbaik bagi PKL.
Organisasi internal dan eksternal serta jiwa pengorbanan
dari ketua, penasihat PKL, dan ketua PPKLS melahirkan apa
yang disebut sacrifice of social capital. Modal sosial
418
BAB IX
MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL
pengorbanan inilah yang memberi kekuatan bagi tindakan
kolektif yang dilakukan PKL dalam melakukan penolakan atas
kebijakan relokasi dari Pemkot. Dalam aras teori, dari
penelitian tersebut dapat dikembangkan model penguatan
resistensi melalui modal sosial yang dikembangkan. Ilustrasi
dari mekanisme penguatan tindakan kolektif dalam melakukan
perlawanan terhadap pemerintah berdasarkan basis modal
sosial dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 58. Mekanisme Modal Sosial mendorong Tindakan Kolektif
Melawan Pemerintah
Modal sosial pengorbanan yang lahir dari kepemimpinan
pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini tidak terbentuk
begitu saja. Modal sosial tersebut awalnya dimulai dari adanya
masalah bersama (common problem) yang dihadapi PKL, yaitu
akan digusurnya tempat mereka oleh aparat pemerintah.
Penggusuran dan penertiban ini menyebabkan para PKL gusar,
khawatir, cemas dan takut. Adanya masalah yang sama dan
perasaan yang tidak jauh berbeda, mendorong mereka
419
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
berinteraksi membentuk paguyuban, merevitalisasi paguyuban
yang sudah ada dan membangun relasi dengan paguyuban lain.
Dalam interaksi sosial ini, muncul tokoh-tokoh PKL yang
menampakkan kepemimpinan dan jiwa pengorbanan.
Pengorbanan
waktu
misalnya,
selama
masa-masa
ketidakpastian nasib mereka, para PKL dikoordinasi oleh pak
Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini untuk rapat di Posko
Anti Penggusuran. Tidak jarang mereka juga begadang atau
“lek-lekan” di Posko untuk mengantisipasi adanya tindakan
penggusuran dari aparat Satpol PP. Pengorbanan para PKL yang
diawali oleh pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini juga
ditunjukkan dengan pengorbanan tenaga dan uang.
Pengorbanan tenaga, misalnya turut membantu PKL yang
mendirikan lapak yang habis dihancurkan oleh aparat Satpol
PP. Pengorbanan uang tampak dari bantuan pak Achmad dan
mbah Tarjo yang membiayai konsumsi untuk rapat-rapat PKL.
Para anggota paguyuban PKL juga berkorban uang dengan
turut iuran untuk mengurus nasib mereka. Iuran dipakai tidak
hanya untuk konsumsi rapat, tetapi juga untuk mengurus nasib
mereka melalui LBH Panti Marhaen.
Pengorbanan yang semula diawali oleh pak Achmad, mbah
Tarjo, dan mbak Rini kemudian diikuti oleh anggota PKL
lainnya. Modal sosial pengorbanan ini memberi kontribusi
positif bagi menguatnya perlawanan (resistensi) mereka
terhadap pemerintah kota Semarang. Ilustrasi mengenai
terbentuknya modal sosial pengorbanan dapat dilihat pada
gambar berikut.
420
BAB IX
MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL
Gambar 59. Mekanisme terciptanya Modal Sosial Pengorbanan
C. Rangkuman
Modal sosial memiliki unsur-unsur yang jika semuanya
berfungsi akan memiliki manfaat besar dalam bidang ekonomi,
politik, dan sosial. Unsur-unsur modal sosial meliputi
kepercayaan (trust), norma (norm), dan jaringan (network).
Hubungan sosial diikat oleh kepercayaan dan kepercayaan
dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak.
Kerja antar simpul (orang atau kelompok), melalui media
hubungan sosial menjadi satu kerjasama, bukan kerja bersamasama.Unsur-unsur modal sosial ini ditengarai juga dimiliki oleh
kelompok PKL di tiga lokasi penelitian.
Dalam penelitian di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono
juga ditemukan dua jenis atau bentuk modal sosial, yaitu
bonding social capital dan bridging social capital. Modal sosial
terikat atau bonding social capital cenderung bersifat ekslusif
dan berorientasi ke dalam (inward looking). Individu yang
421
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
menjadi anggota kelompok cenderung homogen dan bersifat
konservatif. Kelompok yang lebih banyak memiliki modal
sosial jenis bonding ini, para anggotanya terhubung secara kuat,
positif, dan bersifat timbal balik. Jenis modal sosial ditemukan
di PKL Sampangan dan Basudewo. Ikatan hubungan yang
negatif relatif kurang dan jaringan yang dibentuk cenderung
sangat padat atau tebal. Kepercayaan yang dibangun diantara
anggota sangat kuat dan dalam kelompok seperti itu, jaringan
pertukaran sosial tercipta dengan baik.
Kelompok dalam bonding social capital, memiliki
kelebihan, seperti kerjasama yang lebih besar, konformitas yang
lebih besar untuk menyetujui norma bersama, berbagi
informasi lebih besar, tetapi cenderung kurang terlibat dalam
kaitannya dengan sesuatu yang berada di luar kelompok.
Namun terlepas dari semua itu, kelompok bertipe bonding
cenderung memiliki efektivitas yang lebih baik. Kelompok
dengan bonding social capital sebagaimana dijumpai pada
komunitas PKL Basudewo dan Sampangan memiliki resistensi
kuat terhadap perubahan, misalnya berkenaan dengan
kebijakan relokasi.
Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging social
capital) merupakan bentuk modern dari suatu pengelompokan,
grup, asosiasi, atau masyarakat. Prinsip-prinsip yang dianut
didasarkan pada nilai-nilai universal, seperti persamaan,
kebebasan, kemajemukan, kemanusiaan, terbuka, dan mandiri.
Mekanisme perantara dalam hubungan yang menjembatani ini
memutus kesenjangan (gap) diantara anggota-anggota yang
tidak terkoneksi. Bridging social capital ini ditemukan di
kelompok PKL Sampangan dan Basudewo.
Normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, yang
dampaknya adalah penertiban, penggusuran, dan pemindahan
PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, menimbulkan
perlawanan (resistensi) dari para PKL. Perlawanan dilakukan
422
BAB IX
MODAL SOSIAL PENGUAT RESISTENSI PKL
dengan cara kekerasan maupun nonkekerasan. Mereka
melawan untuk memperjuangkan keinginan dan tujuan, agar
dapat berdagang dan menjalankan aktivitas ekonomi di lokasi
yang selama ini mereka tempati.
Perlawanan ini tidak mungkin terjadi tanpa ada dukungan
dari anggota PKL (bonding social capital) dan organisasi yang
mereka miliki, serta organisasi supra, seperti PPKLS, Pattiro,
LBH Semarang, LBH Panti Marhaen, BEM di kota Semarang,
dan yang lain. Adanya kepemimpinan dari tokoh kunci PKL
memperkuat semangat juang dari PKL untuk melawan
kebijakan relokasi Pemkot. Inilah yang disebut dengan modal
sosial dengan pengorbanan (sacrifice of social capital). Tanpa
pengorbanan yang diberikan oleh tokoh kunci yang dipercaya,
modal sosial tidak akan dapat dibangun dan diperkuat.
Tindakan kolektif yang ditunjukkan anggota PKL,
misalnya dengan menghadiri rapat-rapat, membayar iuran,
melakukan demonstrasi, memperkuat barisan untuk
menghadang kedatangan aparat Satpol PP yang akan
melakukan penggusuran, dan lain-lain, dapat berlangsung
karena ada tokoh kunci yang dengan jiwa pengorbanan dan
kepemimpinannya menjadi pelumas bagi interaksi antaranggota
sekaligus menjadi kekuatan (power) pendorong bagi terjadinya
perlawanan PKL terhadap kebijakan relokasi yang ditempuh
Pemkot Semarang.
423
Download