PENGARUH KERAPATAN VEGETASI MANGROVE TERHADAP

advertisement
PENGARUH KERAPATAN VEGETASI MANGROVE
TERHADAP POPULASI BAKTERI VIBRIO SP.
DI PESISIR BONTANG
Awliya Prama Arta1, Asfie Maidie2 dan Gina Saptiani2
1
2
Balai Karantina Ikan Sepinggan. Laboratorium Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
ABSTRACT. The Influence of Mangrove Vegetation Density on Vibrio sp.
Bacteria Population in Bontang Coastal Zone. The research was conducted to
find out the influence of mangrove density and bacteria Vibrio sp. population and
the influence of mangrove vegetation density related to water quality of
mangrove in coastal area of Bontang. The research resulted that there was a
positive relationship between mangrove vegetation density and numbers of
bacteria Vibrio sp. with correlation of r = 0.472, significantly level of 0.0001 and
regression equation of Y = 1560.25.35X. There were also positive relationship
between mangrove vegetation density and numbers of mangrove litter with
correlation of r = 0.910, significantly level of 0.0001 and regression equation of
Y = 433.75+30.4X, between litter density and numbers of Vibrio sp. colonies
with correlation of r = 0.537, significantly level 0.007 and regression equation of
Y = 66.990.184X, between water quality and mangrove density that had a
highest significantly dissolved oxygen with significantly level of 0.0001 and
correlation value of r = 0.690, pH of water with significantly level of 0.0001 and
correlation level of r = 0.862 and TOM with significantly level of 0.0001 and
correlation level of r = 0.732. The increasing of mangrove density could cause
increasing of mangrove litter which influenced the declining of numbers of Vibrio
sp. This research was expected to be used as a consideration for next research
about the importance of mangrove for biodiversity, especially pathogenic
microorganism such as Vibrio sp. bacteria.
Kata kunci: mangrove, kerapatan, serasah, Vibrio sp., Bontang
Hutan mangrove merupakan kawasan yang berperan penting dalam memberikan
fungsi dan manfaat bagi manusia dan alam; mangrove mempunyai fungsi ekologis,
biologis dan ekonomis. Salah satu fungsi ekologis dari keberadaan hutan mangrove
adalah menyediakan sejumlah makanan dan unsur hara bagi biota yang ada di
sekitarnya. Unsur hara dan sejumlah besar bahan organik pada hutan mangrove
berasal dari jatuhan daun-daun mangrove serta hasil dekomposisi oleh
mikroorganisme.
Penyebaran hutan mangrove di Indonesia berada di sepanjang pantai Sumatera,
Kalimantan dan Irian Jaya. Jenis yang banyak ditemukan di Indonesia dan
merupakan ciri-ciri utama dari hutan mangrove adalah genera Avicennia, Ceriops,
Bruguiera dan beberapa spesies dari genera Rhizophora (Nybakken, 1992).
Luas hutan mangrove di Indonesia berdasarkan data pada tahun 1999
diperkirakan mencapai 8,6 juta ha, yang mana 5,3 juta ha di antaranya dalam kondisi
rusak (Anonim, 2001). Kerusakan tersebut disebabkan oleh konversi hutan
mangrove yang intensif pada tahun 1990-an menjadi lahan pertambakan terutama di
133
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009
134
Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dalam rangka memacu ekspor komoditas
perikanan. Hilangnya mangrove dari ekosistem perairan pantai telah menyebabkan
keseimbangan ekologis lingkungan pantai terganggu dan menurunnya biodiversity.
Mangrove berperan penting dalam menjaga stabilitas ekosistem pesisir.
Berdasarkan penelitian Halide (1998), kualitas air terutama kekeruhan mengalami
penurunan hingga 50% pada saat air pasang melewati mangrove sepanjang 200 m.
Selanjutnya Ahmad dan Mangampa (2000) melaporkan, bahwa mangrove selain
dapat menstabilkan konsentrasi NO3-N dan PO4-P juga mampu menghambat
pertumbuhan bakteri Vibrio sp.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di wilayah pesisir Bontang pada empat stasiun
pengamat, yaitu Bontang Kuala, Rawa Indah, Baltim (PT Badak NGL) dan Pulau
Kedindingan. Penelitian dilakukan selama 3 bulan, pada bulan Juni hingga Agustus
2009.
Kegiatan yang dilakukan adalah menganalisis manfaat mangrove terhadap
bakteri Vibrio sp. dan kualitas air di lingkungannya dengan melakukan penelitian
secara in situ dan eks situ. Objek penelitian adalah sedimen yang berasal dari
wilayah dengan kerapatan mangrove tinggi dan rendah. Pemeriksaan dan identifikasi
bakteri sampel dilakukan secara eks situ di Laboratorium Balai Karantina Ikan
Kelas I Sepinggan Balikpapan serta Laboratorium Mikrobiologi Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman. Pengukuran kerapatan
mangrove dan pengukuran kualitas air dilakukan secara in situ pada setiap stasiun
pengamatan.
Data yang diperoleh berasal dari data primer dan sekunder. Seluruh data yang
diperoleh merupakan data primer kecuali informasi tentang iklim, demografi, peta
muka bumi dan peraturan pemerintah. Data primer dikerjakan secara in situ (lokasi
penelitian) dan eks situ (Laboratorium Mikrobiologi Balai Karantina Ikan Kelas I
Sepinggan Balikpapan). Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data
primer yaitu metode survei dengan mengambil data pada titik yang telah ditentukan
dan menganalisis kerapatan mangrove, menggunakan metode TPC untuk
penghitungan bakteri dan analisis data statistik dengan menggunakan software SPSS
11,5 sebagai alat bantu.
Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan dan identifikasi terhadap bakteri
adalah TCBSA, TSA, NaCl, aquades, alkohol. Peralatan untuk pemeriksaan dan
identifikasi bakteri adalah autoclave, inkubator, laminar flow, cawan petri,
erlenmeyer, oven, penggerus, pipet, timbangan analitik, gelas ukur, beaker glass,
tabung reaksi, magnetic stirer, mikroskop, kaca objek, jarum ose, bunsen, kuvet,
tabung durham, ruang gelap dan coloni counter/hand counter. Untuk menghitung
kerapatan mangrove digunakan meteran, tali dan hand counter, sedangkan uji
kualitas air digunakan hand refraktometer, thermometer, DO meter dan pH meter.
Perhitungan koloni bakteri dilakukan dengan menggunakan metode Total Plate
Count (TPC) berdasarkan jumlah yang layak dihitung (30300 koloni). Jumlah
135
Arta dkk. (2009). Pengaruh Kerapatan Vegetasi Mangrove
bakteri per gram dihitung sebagai jumlah pada tingkat pengenceran dan pada cawan
petri dengan menggunakan koloni counter dan hand counter.
Menurut Bengen (2001), kerapatan jenis mangrove dapat dihitung dengan
menggunakan metode analisis sebagai berikut: Di = ni/A, yang mana Di = kerapatan
jenis i, Ni = jumlah tegakan dari suatu jenis i dan A = luas areal pengambilan contoh
(m2).
Untuk mengetahui keeratan hubungan antara kerapatan mangrove dengan
bakteri Vibrio sp. dan kualitas air, maka dilakukan analisis regresi dan korelasi. Data
dianalisis menggunakan uji statistik yaitu dengan analisis regresi sederhana untuk
mengetahui besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung,
sedangkan analisis korelasi digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antar
variabel.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kawasan penelitian dibagi berdasarkan pemanfaatan fungsi lahan. Pembagian
fungsi lahan ini berdasarkan aktivitas manusia yang terdapat di dalamnya. Pada
lokasi penelitian didapatkan karakteristik fungsi lahan yang berbeda satu sama
lainnya. Karakteristik fungsi lahan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bontang Kuala: koordinat 00o08’17,2” LU dan 117º30’39,0” BT, merupakan
daerah pertambakan yang tidak produktif yang berdekatan dengan lokasi
pemukiman warga.
b. Rawa Indah: koordinat 00o07’13,1” LU dan 117º30‘29,2” BT, merupakan
daerah pertambakan produktif budidaya udang windu (Penaeus monodon Fab.)
dan ikan bandeng (Chanos chanos Forsk.) serta jauh dari pemukiman penduduk.
c. Baltim (PT Badak NGL): koordinat 117o33’41,4“ BT dan 00o0,5’35,7” LU,
merupakan lokasi mangrove yang berada di dekat outlet PT Badak NGL yang
berfungsi sebagai cooling water perusahaan dan jauh dari pemukiman
penduduk.
d. Pulau Kedindingan: koordinat 117o33’20,6” BT dan 00o05’36,5” LU,
merupakan wilayah kepulauan yang ditutupi oleh vegetasi mangrove dan selalu
tergenang oleh pasang air laut, lokasi pulau ini bebas dari aktivitas manusia.
Populasi Bakteri Vibrio sp.
Hasil isolasi bakteri di sedimen pada setiap lokasi stasiun pengamatan
menunjukkan perbedaan yang signifikan, hal ini dibuktikan dari jumlah koloni
bakteri yang tumbuh dalam media agar Thiosulphate Citrate Bile Sucrose (TCBS),
bahwa jumlah koloni Vibrio sp. yang berada di Rawa Indah dan Bontang Kuala
adalah yang terbanyak, sedangkan koloni bakteri yang berasal dari Pulau
Kedindingan dan Baltim (PT Badak NGL) jumlahnya lebih sedikit. Jumlah koloni
bakteri yang tumbuh pada media TCBSA dapat dilihat pada Tabel 1. Sesuai dengan
pendapat Rukyani (1993) dan Prajitno (1995), bahwa tingkat kepadatan bakteri
serta kondisi lingkungan yang kurang baik menyebabkan bakteri Vibrio sp. berubah
menjadi patogen dan bila mencapai kepadatan 104 cfu/ml bakteri Vibrio sp. akan
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009
136
sangat patogenik. Kerapatan mangrove dan kualitas air dapat mempengaruhi
pertumbuhan koloni tersebut. Dari koloni bakteri yang tumbuh terdapat bakteri yang
menghasilkan cahaya (berpendar), yaitu di Bontang Kuala dan Baltim (PT Badak
NGL). Bontang Kuala merupakan petak tambak yang tidak produktif dengan
kedalaman lumpur yang tinggi dan sedikit terdapat hutan mangrove, sedangkan di
Baltim (PT Badak NGL) terdapat areal mangrove yang didominasi anakan
mangrove dengan kandungan lumpur yang tinggi serta mengeluarkan bau yang
menyengat.
Tabel 1. Jumlah Koloni yang Tumbuh di Media TCBSA
Lokasi
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Stasiun IV
Stasiun V
Stasiun VI
101 102 103 101 102 103 101 102 103 101 102 103 101 102 103 101 102 103
Bontang
252 26
- >300 207 10 >300 238 70 >300 146 21 >300 246 80 >300 111 31
Kuala
Rawa
>300 >300 31 248 14 1 >300 143 22 >300 124 9 >300 >300 48 244 54 2
Indah
PT Badak
194 49
9 154 43 3 211 54 12 >300 113 11 43
25
1 275 6
NGL
Pulau
52
2
1
50
7
- 150 10 1
94 12 43
5
71 10 Kedindingan
Selain itu suhu di Baltim adalah ekstrem yaitu antara 35–36oC. Suhu yang
tinggi dapat mempengaruhi daya racun amonia dan senyawa beracun lainnya. Sesuai
dengan pendapat Prayitno (1995), bahwa suhu optimum pertumbuhan bakteri Vibrio
sp. berkisar antara 30–35oC. Kandungan bahan organik tanah yang tinggi
diakibatkan oleh hasil aktivitas rumah tangga, industri atau sisa hasil pembusukan
yang tidak menumpuk di dasar perairan. Hal ini dapat memacu perkembangbiakan
bakteri menjadi lebih patogenik. Peningkatan jumlah koloni bakteri Vibrio sp.
berpendar sangat berbahaya karena akan bersifat patogenik dan dapat menginfeksi
biota di dalam perairan tersebut.
Isolasi dan Identifikasi Bakteri Vibrio sp.
Untuk memastikan koloni bakteri yang telah ditumbuhkan pada media TCBSA
adalah bakteri Vibrio sp., maka dilakukan beberapa uji lanjutan yang berdasarkan
atas pengamatan morfologi koloni bakteri, morfologi sel bakteri dan pengujian sifat
biokimia dari sampel sedimen tersebut, setelah dibandingkan dengan buku pedoman
identifikasi Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Austin dan Austin,
1987) didapatkan hasil identifikasi dan tersaji pada Tabel 2.
Populasi bakteri yang tumbuh pada media TCBSA ada beberapa koloni yang
berwarna kekuningan dan ada pula yang kehijauan pada masa inkubasi 18 jam. Pada
masa 24 jam sebagian koloni bakteri ada yang berubah menjadi hijau atau kuning
dan mengalami pertumbuhan populasi sampai masa inkubasi 36 jam, sedangkan
pada masa inkubasi 48 jam cenderung tidak mengalami banyak perubahan.
Perubahan bentuk dan warna koloni menjadi hitam terjadi pada masa lebih dari 48
jam.
137
Arta dkk. (2009). Pengaruh Kerapatan Vegetasi Mangrove
Tabel 2. Identifikasi Bakteri Vibrio sp.
Lokasi
Warna
Bentuk
Bontang Kuala Kuning &
hijau
Rawa Indah
Kuning &
hijau
Kedindingan
Kuning &
hijau
Bontang
Kuning &
Lestari/Baltim
hijau
Bulat
Uji
Uji
Gram motility
Motil
–
Bulat
–
Motil
Bulat
–
Motil
Bulat
–
Motil
Toleransi
garam 3%
+
(menyebar)
+
(menyebar)
+
(menyebar)
+
(menyebar)
Uji
katalase
+
(berbuih)
+
(berbuih)
+
(berbuih)
+
(berbuih)
Uji
Vibriostat
oksidase (sensitivitas)
+ (ungu) + (menjauhi
kertas uji)
+ (ungu) + (menjauhi
kertas uji)
+ (ungu) + (menjauhi
kertas uji)
+ (ungu) + (menjauhi
kertas uji)
Kerapatan Mangrove
Hasil pengamatan terhadap kerapatan mangrove di lokasi penelitian ditemukan
beberapa jenis mangrove seperti Rhizophora sp., Avicenia sp., Bruguiera sp. dan
Xylocarpus sp. Mangrove jenis Rhizophora sp. lebih dominan ditemukan di lokasi
penelitian. Data kerapatan janis mangrove hasil pengamatan di lokasi penelitian
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kerapatan Mangrove di Setiap Lokasi (Stasiun)
Lokasi
Bontang Kuala
Rawa Indah
Kedindingan
Baltim (NGK)
1
34
35
2286
579
Kerapatan mangrove (individu/ha)
2
3
4
5
13
23
589
528
33
41
336
479
2797
2485
2484
2258
525
521
213
579
6
534
386
1722
448
Berdasarkan hasil identifikasi kerapatan mangrove di tiap lokasi diketahui,
bahwa Pulau Kedindingan merupakan wilayah pesisir dengan kerapatan mangrove
paling tinggi. Baltim merupakan wilayah pesisir dengan kerapatan mangrove
sedang, sedangkan Bontang Kuala dan Rawa Indah merupakan wilayah yang
memiliki kerapatan mangrove yang rendah.
Serasah Mangrove
Di stasiun dengan kerapatan mangrove tinggi ditemukan kandungan serasah
yang lebih tinggi daripada serasah pada stasiun dengan kerapatan mangrove yang
rendah. Berat serasah selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Berat Serasah di Setiap Lokasi (Stasiun)
Lokasi
Bontang Kuala
Rawa Indah
Kedindingan
Baltim (NGK)
1
11,3
3,5
79,6
44,3
Serasah (gr/m2/minggu)
2
3
4
5
0
0
45,4 48,7
6,6
7,9 37,2 40,8
97,5 83,1 79,4 70,7
50,3 47,8 23,6 54,7
6
37,4
39,8
63,7
39,6
Rataan
23,8
22,6
79,0
43,4
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009
138
Berat serasah tertinggi adalah di Pulau Kedindingan dan terendah terdapat pada
Rawa Indah. Produktivitas mangrove berupa guguran serasah mempunyai nilai
produktivitas primer yang lebih tinggi daripada ekosistem lain, yaitu 20 kali lebih
tinggi dari nilai produktivitas laut bebas dan lima kali lebih tinggi dari nilai
produktivitas perairan pantai (Nontji, 1993). Menurut Soediro dkk. (1997), selain
berfungsi sebagai bahan organik yang kaya akan bahan makanan bagi
mikroorganisme, serasah mangrove juga diketahui dapat menghambat
perkembangan bakteri Vibrio sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Naiborhu dkk.
(1999), bahwa serasah mangrove mengandung senyawa aktif alami berupa
flavonoid, steroid, fenol hidrokuinon dan tanin yang dapat menghambat bahkan
membunuh bakteri Vibrio sp.
Parameter Perairan
Pengukuran dan pengambilan sampel kualitas air di stasiun penelitian diambil
sebanyak enam titik lokasi. Secara umum parameter yang diukur pada lokasi
penelitian adalah pengukuran terhadap salinitas perairan, suhu, oksigen terlarut,
derajat keasaman perairan dan derajat keasaman sedimen. kondisi kualitas air pada
lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Pengukuran Kualitas Air di Lokasi Penelitian
Peubah
Unit
BK
Stasiun pengamatan
RI
PK
NGL
DO
mg/l
3,65
4,34
6,58
5,26
Salinitas
‰
32,83
31,33
35,00
34,00
Suhu
31,63
32,03
31,20
36,47
C
pH air
6,20
6,40
7,42
8,30
pH tanah
4,96
5,36
7,27
5,81
BOT
%
29,00
23,20
6,50
29,30
Keterangan: BK = Bontang Kuala. RI = Rawa Indah. PK = Pulau Kedindingan
NGL = Baltim (PT Badak NGL)
Berdasarkan hasil penelitian, maka untuk mengetahui hubungan antara
kerapatan vegetasi mangrove dengan jumlah koloni bakteri, maka dilakukan uji
korelasi dan untuk mengetahui besarnya pengaruh kerapatan vegetasi mangrove
terhadap koloni bakteri dan parameter perairan, maka digunakan uji regresi linier
sederhana.
Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Koloni Bakteri Vibrio sp.
Keberadaan mangrove dengan kerapatan yang tinggi dapat menekan populasi
bakteri. Untuk melihat kekuatan hubungan di antara kedua variabel ini, maka
digunakan analisis statistik dengan menggunakan software SPSS 11,5 kemudian
didapatkan hasil seperti pada Tabel 6.
139
Arta dkk. (2009). Pengaruh Kerapatan Vegetasi Mangrove
Tabel 6. Analisis Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Jumlah Koloni Bakteri
Model
1
Constant
Bakteri
Unstandardized
coefficients
B
Std. Error
1560,218
334,332
-5,350
2,132
Standardized
coefficients
Beta
-0,472
T
Sig.
4,667
-2,509
0,000
0,020
Dari Tabel 6 diperoleh persamaan regresi Y = 1560,25,35X. Untuk menguji
signifikansi persamaan regresi tersebut, maka dilakukan uji T, yang mana T hitung =
2,509. T tabel = 2,074 maka (T hitung > T tabel, sehingga signifikan). Korelasi =
0,472 (arah hubungan adalah negatif. Signifikansi = 0,02 (signifikan).
Dari hasil analisis statistik dengan korelasi dan regresi linear sederhana
didapatkan hubungan yang menjelaskan bahwa kerapatan mangrove dengan jumlah
koloni bakteri memiliki hubungan yang cukup kuat dan arah hubungannya adalah
negatif. Berdasarkan hasil analisis regresi korelasi dan grafik regresi, maka hasil
penelitian di lapangan adalah sesuai dengan penghitungan statistik dan sesuai
dengan literatur yang ada. Analisis statistik tersebut menunjukkan bahwa kerapatan
mangrove mempengaruhi jumlah koloni bakteri di alam dan juga menjelaskan
bahwa semakin tinggi kerapatan mangrove, maka semakin kecil jumlah koloni
bakteri yang hadir.
Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Serasah Mangrove
Data hasil penelitian diperoleh, bahwa kerapatan mangrove mempengaruhi
jumlah serasah yang dihasilkan, maka untuk menguji kebenaran dari hipotesis
tersebut dilakukan uji statistik regresi dan korelasi. Hasil yang didapatkan adalah
seperti tampak pada Tabel 7.
Tabel 7. Analisis Kerapatan Mangrove dengan Serasah Mangrove
Model
1
Constant
Serasah
Unstandardized
coefficients
B
Std. error
433,752
147,514
30,146
2,933
Standardized
coefficients
Beta
0,910
T
Sig.
2,940
10,279
0,008
0,0001
Analisis tersebut menunjukkan persamaan Y = 433,75+30,14X. Maka
persamaan regresi tersebut diuji T untuk mengetahui signifikansinya. Diketahui T
hitung = 10,279. T tabel = 2,819. Maka T hitung > T tabel. Persamaan regresi adalah
signifikan. Korelasi = 0,91. Signifikansi = 0,0001 (signifikan).
Berdasarkan hasil analisis statistik tersebut, diperoleh nilai korelasi sebesar 0,91
yang menerangkan bahwa kerapatan mangrove dengan kandungan serasah
mangrove memiliki hubungan korelasi yang sangat kuat, dengan arah hubungan
regresi searah.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009
140
Hasil analisis terhadap kerapatan mangrove dengan serasah mangrove
berdasarkan hasil di lapangan dan statistik menunjukkan kesesuaian bahwa semakin
tinggi kerapatan mangrove maka akan semakin besar jumlah serasah yang
dihasilkan.
Hubungan Serasah Mangrove dengan Jumlah Koloni Bakteri
Serasah mangrove berpengaruh terhadap jumlah populasi bakteri. Untuk
melihat kekuatan hubungan kedua variabel ini, maka digunakan analisis statistik
regresi dan korelasi. Hasilnya seperti tampak pada Tabel 8.
Tabel 8. Analisis Hubungan Jumlah Serasah dengan Jumlah Koloni Bakteri
Model
1
Constant
Bakteri
Unstandardized
coefficients
B
Std. error
66,991
9,654
0,062
0,184
Standardized
coefficients
Beta
T
Sig.
0,537
6,939
2,985
0,000
0,007
Berdasarkan data di atas, diperoleh persamaan regresi Y = 66,990,184X.
Kemudian diuji tingkat signifikansi persamaan regresi liniear tersebut dengan uji T.
Diketahui T hitung = 2,985. T tabel = 2,819. Maka T hitung > T tabel. Korelasi =
0,537 (arah hubungan adalah negatif). Signifikan = 0,007.
Berdasarkan persamaan di atas, diperoleh nilai korelasi sebesar 0,537 yang
menerangkan bahwa serasah mangrove mempunyai hubungan yang kuat dengan
jumlah koloni bakteri dengan arah hubungan regresi yang negatif.
Dari hasil analisis diperoleh bahwa hubungan serasah dengan jumlah koloni
bakteri memiliki keeratan hubungan yang kuat. Sesuai dengan hasil penelitian di
lapangan bahwa semakin besar jumlah serasah mangrove maka jumlah koloni
bakteri akan semakin kecil.
Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Parameter Kualitas Air
Untuk mengetahui hubungan kerapatan vegetasi mangrove dengan semua
parameter kualitas air dilakukan uji korelasi. Dari hasil uji korelasi diperoleh hasil
dari berbagai variabel parameter. Variabel kerapatan mangrove menunjukkan bahwa
kerapatan vegetasi mangrove berhubungan dengan parameter kualitas air. Di antara
berbagai parameter kualitas air, yang memiliki taraf signifikansi yang terkuat adalah
oksigen terlarut (r = 0,690), pH tanah (r = 0,862) dan BOT (r = 0,732). Ketiga
parameter tersebut memiliki nilai korelasi yang kuat dan menunjukkan adanya
hubungan terhadap pengaruh kerapatan mangrove dengan ketiga parameter kualitas
perairan tersebut.
141
Arta dkk. (2009). Pengaruh Kerapatan Vegetasi Mangrove
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hubungan kerapatan vegetasi mangrove dengan berbagai parameter perairan
dan populasi bakteri Vibrio sp. menghasilkan jumlah koloni bakteri Vibrio sp dari
yang paling banyak ke yang paling sedikit adalah Bontang Kuala, Rawa Indah,
Baltim/PT Badak NGL dan Pulau Kedindingan, sedangkan lokasi penelitian yang
memiliki bakteri Vibrio sp. berpendar hanya terdapat di Bontang Kuala dan Baltim
(PT Badak NGL).
Kerapatan vegetasi mangrove berturut-turut adalah sebagai berikut: Pulau
Kedindingan (1570,2 ind/ha), Baltim/PT Badak NGL (318,3 ind/ha), Bontang Kuala
(191,2 ind/ha) dan Rawa Indah (123,5 ind/ha).
Dilihat dari kualitas airnya, yang memiliki kriteria baik adalah di Pulau
Kedindingan.
Semakin tinggi kerapatan mangrove, maka jumlah koloni bakteri semakin kecil,
dengan nilai korelasi yang cukup kuat (0,472). Dilihat dari tingkat kerapatan
mangrove, maka semakin tinggi kerapatan vegetasi mangrove, serasah yang
dihasilkan semakin tinggi pula, dengan nilai korelasi yang sangat kuat (0,91),
sedangkan semakin tinggi jumlah serasah mangrove, maka jumlah koloni bakteri
semakin sedikit dengan nilai korelasi yang kuat di antara keduanya (0,537).
Hasil uji korelasi variabel kerapatan mangrove terhadap parameter kualitas air
diketahui, bahwa di antara berbagai parameter kualitas air, yang memiliki hubungan
signifikansi yang terkuat adalah oksigen terlarut, pH tanah dan BOT, dengan nilai
korelasi yang kuat, sehingga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
terhadap pengaruh kerapatan mangrove dengan ketiga parameter kualitas perairan
tersebut.
Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian diharapkan dapat bermanfaat
sebagai bahan informasi dan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut mengenai
arti penting mangrove terhadap biodiversity terutama mikroorganisme yang
berpotensi merugikan ekosistem seperti bakteri Vibrio sp. Perlu dilakukan
inventarisasi dan penataan terhadap mangrove yang memiliki kandungan anti
bakteria yang berfungsi mengurangi populasi bakteri di alam.
Diperlukan penelitian lebih lanjut dan rinci mengenai zat anti bakteria
mangrove. Penelitian terhadap bakteri lebih lanjut hendaknya dilakukan pada waktu
dan jangkauan yang lebih luas sehingga didapat informasi yang lebih akurat sebagai
data base keberadaan bakteri di pesisir Bontang.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, T. and M. Mangampa. 2000. The Use of Mangrove Stands for Bioremediation in A
Close Shrimp Culture System. Proceeding of International Symposium on Marine
Biotechnology. Bogor Agricultural University, Bogor. h 114122.
Anonim. 2001. Kriteria dan Standar Teknis Rehabilitasi Hutan Mangrove. Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Jakarta. 79 h.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009
142
Austin, B. and D.A. Austin. 1987. Bacterial Fish Pathogens: Disease in Farmed and Wild
Fish. Research Associate in Fish Microbiology. British Library Herriot-Watt University,
Edinburgh.
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Cetakan Ketiga. Pusat Kajian Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian
Bogor. 60 h.
Halide, H. 1998. Pengaruh Vegetasi Mangrove terhadap Kekeruhan dan Sedimenatasi
Partikel Lumpur. Laporan Penelitian Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. 4 h.
Naiborhu, P.E.; I. Effendi, dan N. Hasibuan. 1999. Sensitivitas Bakteri Aeromonas
hydrophila terhadap Mangrove (Xylocarpus granatum, Avicennia alba, Sonneratia
ovata, Excoecaria agallocha). Hasil Penelitian Laboratorium Parasit dan Penyakit Ikan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau. 41 h.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. 368 h.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Prajitno, A. 1995. Vibrio spp. dan MBV Primadona Penyakit Udang Windu di Tambak.
Bahan Pelatihan Nasional Keterampilan dan Bina Usaha Mandiri Bidang Budidaya Air
Payau dan Air Tawar. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, Malang. 17 h.
Rukyani, A. 1993. Penanggulangan Penyakit Udang Windu. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan, Jakarta.
Soediro, D.K.; Ruslan dan L. Soediro. 1997. Telaah Kandungan Senyawa Flavonoid dan
Asam Fenolat dalam Kulit Batang Rhizophora mucronata Lamk. (Rhizophoraceae),
suatu Tumbuhan Mangrove. Laporan Institut Teknologi Bandung.
Download