PENGARUH KERAPATAN VEGETASI MANGROVE TERHADAP POPULASI BAKTERI VIBRIO SP. DI PESISIR BONTANG Awliya Prama Arta1, Asfie Maidie2 dan Gina Saptiani2 1 2 Balai Karantina Ikan Sepinggan. Laboratorium Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ABSTRACT. The Influence of Mangrove Vegetation Density on Vibrio sp. Bacteria Population in Bontang Coastal Zone. The research was conducted to find out the influence of mangrove density and bacteria Vibrio sp. population and the influence of mangrove vegetation density related to water quality of mangrove in coastal area of Bontang. The research resulted that there was a positive relationship between mangrove vegetation density and numbers of bacteria Vibrio sp. with correlation of r = 0.472, significantly level of 0.0001 and regression equation of Y = 1560.25.35X. There were also positive relationship between mangrove vegetation density and numbers of mangrove litter with correlation of r = 0.910, significantly level of 0.0001 and regression equation of Y = 433.75+30.4X, between litter density and numbers of Vibrio sp. colonies with correlation of r = 0.537, significantly level 0.007 and regression equation of Y = 66.990.184X, between water quality and mangrove density that had a highest significantly dissolved oxygen with significantly level of 0.0001 and correlation value of r = 0.690, pH of water with significantly level of 0.0001 and correlation level of r = 0.862 and TOM with significantly level of 0.0001 and correlation level of r = 0.732. The increasing of mangrove density could cause increasing of mangrove litter which influenced the declining of numbers of Vibrio sp. This research was expected to be used as a consideration for next research about the importance of mangrove for biodiversity, especially pathogenic microorganism such as Vibrio sp. bacteria. Kata kunci: mangrove, kerapatan, serasah, Vibrio sp., Bontang Hutan mangrove merupakan kawasan yang berperan penting dalam memberikan fungsi dan manfaat bagi manusia dan alam; mangrove mempunyai fungsi ekologis, biologis dan ekonomis. Salah satu fungsi ekologis dari keberadaan hutan mangrove adalah menyediakan sejumlah makanan dan unsur hara bagi biota yang ada di sekitarnya. Unsur hara dan sejumlah besar bahan organik pada hutan mangrove berasal dari jatuhan daun-daun mangrove serta hasil dekomposisi oleh mikroorganisme. Penyebaran hutan mangrove di Indonesia berada di sepanjang pantai Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Jenis yang banyak ditemukan di Indonesia dan merupakan ciri-ciri utama dari hutan mangrove adalah genera Avicennia, Ceriops, Bruguiera dan beberapa spesies dari genera Rhizophora (Nybakken, 1992). Luas hutan mangrove di Indonesia berdasarkan data pada tahun 1999 diperkirakan mencapai 8,6 juta ha, yang mana 5,3 juta ha di antaranya dalam kondisi rusak (Anonim, 2001). Kerusakan tersebut disebabkan oleh konversi hutan mangrove yang intensif pada tahun 1990-an menjadi lahan pertambakan terutama di 133 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 134 Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dalam rangka memacu ekspor komoditas perikanan. Hilangnya mangrove dari ekosistem perairan pantai telah menyebabkan keseimbangan ekologis lingkungan pantai terganggu dan menurunnya biodiversity. Mangrove berperan penting dalam menjaga stabilitas ekosistem pesisir. Berdasarkan penelitian Halide (1998), kualitas air terutama kekeruhan mengalami penurunan hingga 50% pada saat air pasang melewati mangrove sepanjang 200 m. Selanjutnya Ahmad dan Mangampa (2000) melaporkan, bahwa mangrove selain dapat menstabilkan konsentrasi NO3-N dan PO4-P juga mampu menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio sp. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di wilayah pesisir Bontang pada empat stasiun pengamat, yaitu Bontang Kuala, Rawa Indah, Baltim (PT Badak NGL) dan Pulau Kedindingan. Penelitian dilakukan selama 3 bulan, pada bulan Juni hingga Agustus 2009. Kegiatan yang dilakukan adalah menganalisis manfaat mangrove terhadap bakteri Vibrio sp. dan kualitas air di lingkungannya dengan melakukan penelitian secara in situ dan eks situ. Objek penelitian adalah sedimen yang berasal dari wilayah dengan kerapatan mangrove tinggi dan rendah. Pemeriksaan dan identifikasi bakteri sampel dilakukan secara eks situ di Laboratorium Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan serta Laboratorium Mikrobiologi Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman. Pengukuran kerapatan mangrove dan pengukuran kualitas air dilakukan secara in situ pada setiap stasiun pengamatan. Data yang diperoleh berasal dari data primer dan sekunder. Seluruh data yang diperoleh merupakan data primer kecuali informasi tentang iklim, demografi, peta muka bumi dan peraturan pemerintah. Data primer dikerjakan secara in situ (lokasi penelitian) dan eks situ (Laboratorium Mikrobiologi Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan). Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data primer yaitu metode survei dengan mengambil data pada titik yang telah ditentukan dan menganalisis kerapatan mangrove, menggunakan metode TPC untuk penghitungan bakteri dan analisis data statistik dengan menggunakan software SPSS 11,5 sebagai alat bantu. Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan dan identifikasi terhadap bakteri adalah TCBSA, TSA, NaCl, aquades, alkohol. Peralatan untuk pemeriksaan dan identifikasi bakteri adalah autoclave, inkubator, laminar flow, cawan petri, erlenmeyer, oven, penggerus, pipet, timbangan analitik, gelas ukur, beaker glass, tabung reaksi, magnetic stirer, mikroskop, kaca objek, jarum ose, bunsen, kuvet, tabung durham, ruang gelap dan coloni counter/hand counter. Untuk menghitung kerapatan mangrove digunakan meteran, tali dan hand counter, sedangkan uji kualitas air digunakan hand refraktometer, thermometer, DO meter dan pH meter. Perhitungan koloni bakteri dilakukan dengan menggunakan metode Total Plate Count (TPC) berdasarkan jumlah yang layak dihitung (30300 koloni). Jumlah 135 Arta dkk. (2009). Pengaruh Kerapatan Vegetasi Mangrove bakteri per gram dihitung sebagai jumlah pada tingkat pengenceran dan pada cawan petri dengan menggunakan koloni counter dan hand counter. Menurut Bengen (2001), kerapatan jenis mangrove dapat dihitung dengan menggunakan metode analisis sebagai berikut: Di = ni/A, yang mana Di = kerapatan jenis i, Ni = jumlah tegakan dari suatu jenis i dan A = luas areal pengambilan contoh (m2). Untuk mengetahui keeratan hubungan antara kerapatan mangrove dengan bakteri Vibrio sp. dan kualitas air, maka dilakukan analisis regresi dan korelasi. Data dianalisis menggunakan uji statistik yaitu dengan analisis regresi sederhana untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung, sedangkan analisis korelasi digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antar variabel. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kawasan penelitian dibagi berdasarkan pemanfaatan fungsi lahan. Pembagian fungsi lahan ini berdasarkan aktivitas manusia yang terdapat di dalamnya. Pada lokasi penelitian didapatkan karakteristik fungsi lahan yang berbeda satu sama lainnya. Karakteristik fungsi lahan tersebut adalah sebagai berikut: a. Bontang Kuala: koordinat 00o08’17,2” LU dan 117º30’39,0” BT, merupakan daerah pertambakan yang tidak produktif yang berdekatan dengan lokasi pemukiman warga. b. Rawa Indah: koordinat 00o07’13,1” LU dan 117º30‘29,2” BT, merupakan daerah pertambakan produktif budidaya udang windu (Penaeus monodon Fab.) dan ikan bandeng (Chanos chanos Forsk.) serta jauh dari pemukiman penduduk. c. Baltim (PT Badak NGL): koordinat 117o33’41,4“ BT dan 00o0,5’35,7” LU, merupakan lokasi mangrove yang berada di dekat outlet PT Badak NGL yang berfungsi sebagai cooling water perusahaan dan jauh dari pemukiman penduduk. d. Pulau Kedindingan: koordinat 117o33’20,6” BT dan 00o05’36,5” LU, merupakan wilayah kepulauan yang ditutupi oleh vegetasi mangrove dan selalu tergenang oleh pasang air laut, lokasi pulau ini bebas dari aktivitas manusia. Populasi Bakteri Vibrio sp. Hasil isolasi bakteri di sedimen pada setiap lokasi stasiun pengamatan menunjukkan perbedaan yang signifikan, hal ini dibuktikan dari jumlah koloni bakteri yang tumbuh dalam media agar Thiosulphate Citrate Bile Sucrose (TCBS), bahwa jumlah koloni Vibrio sp. yang berada di Rawa Indah dan Bontang Kuala adalah yang terbanyak, sedangkan koloni bakteri yang berasal dari Pulau Kedindingan dan Baltim (PT Badak NGL) jumlahnya lebih sedikit. Jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada media TCBSA dapat dilihat pada Tabel 1. Sesuai dengan pendapat Rukyani (1993) dan Prajitno (1995), bahwa tingkat kepadatan bakteri serta kondisi lingkungan yang kurang baik menyebabkan bakteri Vibrio sp. berubah menjadi patogen dan bila mencapai kepadatan 104 cfu/ml bakteri Vibrio sp. akan JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 136 sangat patogenik. Kerapatan mangrove dan kualitas air dapat mempengaruhi pertumbuhan koloni tersebut. Dari koloni bakteri yang tumbuh terdapat bakteri yang menghasilkan cahaya (berpendar), yaitu di Bontang Kuala dan Baltim (PT Badak NGL). Bontang Kuala merupakan petak tambak yang tidak produktif dengan kedalaman lumpur yang tinggi dan sedikit terdapat hutan mangrove, sedangkan di Baltim (PT Badak NGL) terdapat areal mangrove yang didominasi anakan mangrove dengan kandungan lumpur yang tinggi serta mengeluarkan bau yang menyengat. Tabel 1. Jumlah Koloni yang Tumbuh di Media TCBSA Lokasi Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V Stasiun VI 101 102 103 101 102 103 101 102 103 101 102 103 101 102 103 101 102 103 Bontang 252 26 - >300 207 10 >300 238 70 >300 146 21 >300 246 80 >300 111 31 Kuala Rawa >300 >300 31 248 14 1 >300 143 22 >300 124 9 >300 >300 48 244 54 2 Indah PT Badak 194 49 9 154 43 3 211 54 12 >300 113 11 43 25 1 275 6 NGL Pulau 52 2 1 50 7 - 150 10 1 94 12 43 5 71 10 Kedindingan Selain itu suhu di Baltim adalah ekstrem yaitu antara 35–36oC. Suhu yang tinggi dapat mempengaruhi daya racun amonia dan senyawa beracun lainnya. Sesuai dengan pendapat Prayitno (1995), bahwa suhu optimum pertumbuhan bakteri Vibrio sp. berkisar antara 30–35oC. Kandungan bahan organik tanah yang tinggi diakibatkan oleh hasil aktivitas rumah tangga, industri atau sisa hasil pembusukan yang tidak menumpuk di dasar perairan. Hal ini dapat memacu perkembangbiakan bakteri menjadi lebih patogenik. Peningkatan jumlah koloni bakteri Vibrio sp. berpendar sangat berbahaya karena akan bersifat patogenik dan dapat menginfeksi biota di dalam perairan tersebut. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Vibrio sp. Untuk memastikan koloni bakteri yang telah ditumbuhkan pada media TCBSA adalah bakteri Vibrio sp., maka dilakukan beberapa uji lanjutan yang berdasarkan atas pengamatan morfologi koloni bakteri, morfologi sel bakteri dan pengujian sifat biokimia dari sampel sedimen tersebut, setelah dibandingkan dengan buku pedoman identifikasi Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Austin dan Austin, 1987) didapatkan hasil identifikasi dan tersaji pada Tabel 2. Populasi bakteri yang tumbuh pada media TCBSA ada beberapa koloni yang berwarna kekuningan dan ada pula yang kehijauan pada masa inkubasi 18 jam. Pada masa 24 jam sebagian koloni bakteri ada yang berubah menjadi hijau atau kuning dan mengalami pertumbuhan populasi sampai masa inkubasi 36 jam, sedangkan pada masa inkubasi 48 jam cenderung tidak mengalami banyak perubahan. Perubahan bentuk dan warna koloni menjadi hitam terjadi pada masa lebih dari 48 jam. 137 Arta dkk. (2009). Pengaruh Kerapatan Vegetasi Mangrove Tabel 2. Identifikasi Bakteri Vibrio sp. Lokasi Warna Bentuk Bontang Kuala Kuning & hijau Rawa Indah Kuning & hijau Kedindingan Kuning & hijau Bontang Kuning & Lestari/Baltim hijau Bulat Uji Uji Gram motility Motil – Bulat – Motil Bulat – Motil Bulat – Motil Toleransi garam 3% + (menyebar) + (menyebar) + (menyebar) + (menyebar) Uji katalase + (berbuih) + (berbuih) + (berbuih) + (berbuih) Uji Vibriostat oksidase (sensitivitas) + (ungu) + (menjauhi kertas uji) + (ungu) + (menjauhi kertas uji) + (ungu) + (menjauhi kertas uji) + (ungu) + (menjauhi kertas uji) Kerapatan Mangrove Hasil pengamatan terhadap kerapatan mangrove di lokasi penelitian ditemukan beberapa jenis mangrove seperti Rhizophora sp., Avicenia sp., Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp. Mangrove jenis Rhizophora sp. lebih dominan ditemukan di lokasi penelitian. Data kerapatan janis mangrove hasil pengamatan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kerapatan Mangrove di Setiap Lokasi (Stasiun) Lokasi Bontang Kuala Rawa Indah Kedindingan Baltim (NGK) 1 34 35 2286 579 Kerapatan mangrove (individu/ha) 2 3 4 5 13 23 589 528 33 41 336 479 2797 2485 2484 2258 525 521 213 579 6 534 386 1722 448 Berdasarkan hasil identifikasi kerapatan mangrove di tiap lokasi diketahui, bahwa Pulau Kedindingan merupakan wilayah pesisir dengan kerapatan mangrove paling tinggi. Baltim merupakan wilayah pesisir dengan kerapatan mangrove sedang, sedangkan Bontang Kuala dan Rawa Indah merupakan wilayah yang memiliki kerapatan mangrove yang rendah. Serasah Mangrove Di stasiun dengan kerapatan mangrove tinggi ditemukan kandungan serasah yang lebih tinggi daripada serasah pada stasiun dengan kerapatan mangrove yang rendah. Berat serasah selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Berat Serasah di Setiap Lokasi (Stasiun) Lokasi Bontang Kuala Rawa Indah Kedindingan Baltim (NGK) 1 11,3 3,5 79,6 44,3 Serasah (gr/m2/minggu) 2 3 4 5 0 0 45,4 48,7 6,6 7,9 37,2 40,8 97,5 83,1 79,4 70,7 50,3 47,8 23,6 54,7 6 37,4 39,8 63,7 39,6 Rataan 23,8 22,6 79,0 43,4 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 138 Berat serasah tertinggi adalah di Pulau Kedindingan dan terendah terdapat pada Rawa Indah. Produktivitas mangrove berupa guguran serasah mempunyai nilai produktivitas primer yang lebih tinggi daripada ekosistem lain, yaitu 20 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas laut bebas dan lima kali lebih tinggi dari nilai produktivitas perairan pantai (Nontji, 1993). Menurut Soediro dkk. (1997), selain berfungsi sebagai bahan organik yang kaya akan bahan makanan bagi mikroorganisme, serasah mangrove juga diketahui dapat menghambat perkembangan bakteri Vibrio sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Naiborhu dkk. (1999), bahwa serasah mangrove mengandung senyawa aktif alami berupa flavonoid, steroid, fenol hidrokuinon dan tanin yang dapat menghambat bahkan membunuh bakteri Vibrio sp. Parameter Perairan Pengukuran dan pengambilan sampel kualitas air di stasiun penelitian diambil sebanyak enam titik lokasi. Secara umum parameter yang diukur pada lokasi penelitian adalah pengukuran terhadap salinitas perairan, suhu, oksigen terlarut, derajat keasaman perairan dan derajat keasaman sedimen. kondisi kualitas air pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Pengukuran Kualitas Air di Lokasi Penelitian Peubah Unit BK Stasiun pengamatan RI PK NGL DO mg/l 3,65 4,34 6,58 5,26 Salinitas ‰ 32,83 31,33 35,00 34,00 Suhu 31,63 32,03 31,20 36,47 C pH air 6,20 6,40 7,42 8,30 pH tanah 4,96 5,36 7,27 5,81 BOT % 29,00 23,20 6,50 29,30 Keterangan: BK = Bontang Kuala. RI = Rawa Indah. PK = Pulau Kedindingan NGL = Baltim (PT Badak NGL) Berdasarkan hasil penelitian, maka untuk mengetahui hubungan antara kerapatan vegetasi mangrove dengan jumlah koloni bakteri, maka dilakukan uji korelasi dan untuk mengetahui besarnya pengaruh kerapatan vegetasi mangrove terhadap koloni bakteri dan parameter perairan, maka digunakan uji regresi linier sederhana. Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Koloni Bakteri Vibrio sp. Keberadaan mangrove dengan kerapatan yang tinggi dapat menekan populasi bakteri. Untuk melihat kekuatan hubungan di antara kedua variabel ini, maka digunakan analisis statistik dengan menggunakan software SPSS 11,5 kemudian didapatkan hasil seperti pada Tabel 6. 139 Arta dkk. (2009). Pengaruh Kerapatan Vegetasi Mangrove Tabel 6. Analisis Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Jumlah Koloni Bakteri Model 1 Constant Bakteri Unstandardized coefficients B Std. Error 1560,218 334,332 -5,350 2,132 Standardized coefficients Beta -0,472 T Sig. 4,667 -2,509 0,000 0,020 Dari Tabel 6 diperoleh persamaan regresi Y = 1560,25,35X. Untuk menguji signifikansi persamaan regresi tersebut, maka dilakukan uji T, yang mana T hitung = 2,509. T tabel = 2,074 maka (T hitung > T tabel, sehingga signifikan). Korelasi = 0,472 (arah hubungan adalah negatif. Signifikansi = 0,02 (signifikan). Dari hasil analisis statistik dengan korelasi dan regresi linear sederhana didapatkan hubungan yang menjelaskan bahwa kerapatan mangrove dengan jumlah koloni bakteri memiliki hubungan yang cukup kuat dan arah hubungannya adalah negatif. Berdasarkan hasil analisis regresi korelasi dan grafik regresi, maka hasil penelitian di lapangan adalah sesuai dengan penghitungan statistik dan sesuai dengan literatur yang ada. Analisis statistik tersebut menunjukkan bahwa kerapatan mangrove mempengaruhi jumlah koloni bakteri di alam dan juga menjelaskan bahwa semakin tinggi kerapatan mangrove, maka semakin kecil jumlah koloni bakteri yang hadir. Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Serasah Mangrove Data hasil penelitian diperoleh, bahwa kerapatan mangrove mempengaruhi jumlah serasah yang dihasilkan, maka untuk menguji kebenaran dari hipotesis tersebut dilakukan uji statistik regresi dan korelasi. Hasil yang didapatkan adalah seperti tampak pada Tabel 7. Tabel 7. Analisis Kerapatan Mangrove dengan Serasah Mangrove Model 1 Constant Serasah Unstandardized coefficients B Std. error 433,752 147,514 30,146 2,933 Standardized coefficients Beta 0,910 T Sig. 2,940 10,279 0,008 0,0001 Analisis tersebut menunjukkan persamaan Y = 433,75+30,14X. Maka persamaan regresi tersebut diuji T untuk mengetahui signifikansinya. Diketahui T hitung = 10,279. T tabel = 2,819. Maka T hitung > T tabel. Persamaan regresi adalah signifikan. Korelasi = 0,91. Signifikansi = 0,0001 (signifikan). Berdasarkan hasil analisis statistik tersebut, diperoleh nilai korelasi sebesar 0,91 yang menerangkan bahwa kerapatan mangrove dengan kandungan serasah mangrove memiliki hubungan korelasi yang sangat kuat, dengan arah hubungan regresi searah. JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 140 Hasil analisis terhadap kerapatan mangrove dengan serasah mangrove berdasarkan hasil di lapangan dan statistik menunjukkan kesesuaian bahwa semakin tinggi kerapatan mangrove maka akan semakin besar jumlah serasah yang dihasilkan. Hubungan Serasah Mangrove dengan Jumlah Koloni Bakteri Serasah mangrove berpengaruh terhadap jumlah populasi bakteri. Untuk melihat kekuatan hubungan kedua variabel ini, maka digunakan analisis statistik regresi dan korelasi. Hasilnya seperti tampak pada Tabel 8. Tabel 8. Analisis Hubungan Jumlah Serasah dengan Jumlah Koloni Bakteri Model 1 Constant Bakteri Unstandardized coefficients B Std. error 66,991 9,654 0,062 0,184 Standardized coefficients Beta T Sig. 0,537 6,939 2,985 0,000 0,007 Berdasarkan data di atas, diperoleh persamaan regresi Y = 66,990,184X. Kemudian diuji tingkat signifikansi persamaan regresi liniear tersebut dengan uji T. Diketahui T hitung = 2,985. T tabel = 2,819. Maka T hitung > T tabel. Korelasi = 0,537 (arah hubungan adalah negatif). Signifikan = 0,007. Berdasarkan persamaan di atas, diperoleh nilai korelasi sebesar 0,537 yang menerangkan bahwa serasah mangrove mempunyai hubungan yang kuat dengan jumlah koloni bakteri dengan arah hubungan regresi yang negatif. Dari hasil analisis diperoleh bahwa hubungan serasah dengan jumlah koloni bakteri memiliki keeratan hubungan yang kuat. Sesuai dengan hasil penelitian di lapangan bahwa semakin besar jumlah serasah mangrove maka jumlah koloni bakteri akan semakin kecil. Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Parameter Kualitas Air Untuk mengetahui hubungan kerapatan vegetasi mangrove dengan semua parameter kualitas air dilakukan uji korelasi. Dari hasil uji korelasi diperoleh hasil dari berbagai variabel parameter. Variabel kerapatan mangrove menunjukkan bahwa kerapatan vegetasi mangrove berhubungan dengan parameter kualitas air. Di antara berbagai parameter kualitas air, yang memiliki taraf signifikansi yang terkuat adalah oksigen terlarut (r = 0,690), pH tanah (r = 0,862) dan BOT (r = 0,732). Ketiga parameter tersebut memiliki nilai korelasi yang kuat dan menunjukkan adanya hubungan terhadap pengaruh kerapatan mangrove dengan ketiga parameter kualitas perairan tersebut. 141 Arta dkk. (2009). Pengaruh Kerapatan Vegetasi Mangrove KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hubungan kerapatan vegetasi mangrove dengan berbagai parameter perairan dan populasi bakteri Vibrio sp. menghasilkan jumlah koloni bakteri Vibrio sp dari yang paling banyak ke yang paling sedikit adalah Bontang Kuala, Rawa Indah, Baltim/PT Badak NGL dan Pulau Kedindingan, sedangkan lokasi penelitian yang memiliki bakteri Vibrio sp. berpendar hanya terdapat di Bontang Kuala dan Baltim (PT Badak NGL). Kerapatan vegetasi mangrove berturut-turut adalah sebagai berikut: Pulau Kedindingan (1570,2 ind/ha), Baltim/PT Badak NGL (318,3 ind/ha), Bontang Kuala (191,2 ind/ha) dan Rawa Indah (123,5 ind/ha). Dilihat dari kualitas airnya, yang memiliki kriteria baik adalah di Pulau Kedindingan. Semakin tinggi kerapatan mangrove, maka jumlah koloni bakteri semakin kecil, dengan nilai korelasi yang cukup kuat (0,472). Dilihat dari tingkat kerapatan mangrove, maka semakin tinggi kerapatan vegetasi mangrove, serasah yang dihasilkan semakin tinggi pula, dengan nilai korelasi yang sangat kuat (0,91), sedangkan semakin tinggi jumlah serasah mangrove, maka jumlah koloni bakteri semakin sedikit dengan nilai korelasi yang kuat di antara keduanya (0,537). Hasil uji korelasi variabel kerapatan mangrove terhadap parameter kualitas air diketahui, bahwa di antara berbagai parameter kualitas air, yang memiliki hubungan signifikansi yang terkuat adalah oksigen terlarut, pH tanah dan BOT, dengan nilai korelasi yang kuat, sehingga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan terhadap pengaruh kerapatan mangrove dengan ketiga parameter kualitas perairan tersebut. Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan informasi dan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut mengenai arti penting mangrove terhadap biodiversity terutama mikroorganisme yang berpotensi merugikan ekosistem seperti bakteri Vibrio sp. Perlu dilakukan inventarisasi dan penataan terhadap mangrove yang memiliki kandungan anti bakteria yang berfungsi mengurangi populasi bakteri di alam. Diperlukan penelitian lebih lanjut dan rinci mengenai zat anti bakteria mangrove. Penelitian terhadap bakteri lebih lanjut hendaknya dilakukan pada waktu dan jangkauan yang lebih luas sehingga didapat informasi yang lebih akurat sebagai data base keberadaan bakteri di pesisir Bontang. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, T. and M. Mangampa. 2000. The Use of Mangrove Stands for Bioremediation in A Close Shrimp Culture System. Proceeding of International Symposium on Marine Biotechnology. Bogor Agricultural University, Bogor. h 114122. Anonim. 2001. Kriteria dan Standar Teknis Rehabilitasi Hutan Mangrove. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Jakarta. 79 h. JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 142 Austin, B. and D.A. Austin. 1987. Bacterial Fish Pathogens: Disease in Farmed and Wild Fish. Research Associate in Fish Microbiology. British Library Herriot-Watt University, Edinburgh. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Cetakan Ketiga. Pusat Kajian Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. 60 h. Halide, H. 1998. Pengaruh Vegetasi Mangrove terhadap Kekeruhan dan Sedimenatasi Partikel Lumpur. Laporan Penelitian Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. 4 h. Naiborhu, P.E.; I. Effendi, dan N. Hasibuan. 1999. Sensitivitas Bakteri Aeromonas hydrophila terhadap Mangrove (Xylocarpus granatum, Avicennia alba, Sonneratia ovata, Excoecaria agallocha). Hasil Penelitian Laboratorium Parasit dan Penyakit Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau. 41 h. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. 368 h. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Prajitno, A. 1995. Vibrio spp. dan MBV Primadona Penyakit Udang Windu di Tambak. Bahan Pelatihan Nasional Keterampilan dan Bina Usaha Mandiri Bidang Budidaya Air Payau dan Air Tawar. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, Malang. 17 h. Rukyani, A. 1993. Penanggulangan Penyakit Udang Windu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. Soediro, D.K.; Ruslan dan L. Soediro. 1997. Telaah Kandungan Senyawa Flavonoid dan Asam Fenolat dalam Kulit Batang Rhizophora mucronata Lamk. (Rhizophoraceae), suatu Tumbuhan Mangrove. Laporan Institut Teknologi Bandung.