BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab kajian pustaka membahas mengenai

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab kajian pustaka membahas mengenai teori-teori yang digunakan
dalam penelitian mengenai pengaruh karakteristik individu pada etika penyusun
laporan keuangan. Landasan-landasan teori dalam bab ini diambil dari teori-teori
dari studi pustaka yang berkaitan dan mendukung penelitian, dipergunakan
sebagai dasar dan kerangka berpikir untuk merumuskan hipotesis dan menjelaskan
suatu fenomena. Teori yang dipergunakan dalam penelitian yaitu teori atribusi,
teori etika, etika penyusunan laporan keuangan, dan karakteristik individu. Kajian
pustaka juga merujuk pada kajian empiris penelitian sebelumnya.
2.1
Landasan Teori
Teori yang dipergunakan dalam penelitian yaitu teori atribusi, teori
etika, etika penyusunan laporan keuangan, dan karakteristik individu.
2.1.1 Teori Atribusi
Teori atribusi mempelajari bagaimana seseorang menginterpretasikan
suatu peristiwa dan alasan atau sebab perilakunya. Teori ini dikembangkan oleh
Fritz Heider yang mengargumentasikan bahwa perilaku seseorang itu ditentukan
oleh kombinasi antara kekuatan internal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari
dalam diri seseorang misalnya kemampuan atau usaha dan kekuatan eksternal
yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar, misalnya kesulitan tugas atau
keberuntungan (Suartana, 2010).
Menurut Robbin (2008; 177), perilaku yang disebabkan secara internal
11
12
merupakan perilaku yang diyakini dipengaruhi oleh kendali pribadi individu
bersangkutan. Sedangkan perilaku eksternal muncul akibat adanya pengaruh luar
yang memaksa individu dalam berperilaku. Robbins (2008:177) menyatakan
selain dari faktor internal dan eksternal, penentuan perilaku individu sebagian
besar tergantung pada tiga faktor, yaitu:
1) Kekhususan, merujuk pada perilaku yang ditunjukkan individu berbeda dalam
situasi yang berbeda.
2) Konsensus, perilaku yang menunjukkan saat semua individu menghadapi
situasi yang serupa merespon dengan cara yang sama.
3) Konsistensi, merujuk pada perilaku yang sama yang dilakukan seseorang dari
waktu ke waktu.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori atribusi karena peneliti
akan melakukan studi empiris karakteristik mempengaruhi perilaku etis
penyusun laporan keuangan , khususnya pada karakteristik individu penyusun
laporan keuangan itu sendiri. Pada dasarnya karakteristik individu penyusun
laporan keuangan merupakan salah satu penentu terhadap perilaku etis karena
merupakan suatu faktor internal yang mendorong seseorang dalam berperilaku.
Faktor-faktor individual terbukti merupakan faktor yang signifikan untuk
memprediksi perilaku etis seseorang (Reis dan Mitra, 1998).
2.1.2 Teori Etika
Etika
diartikan
sebagai
nilai-nilai
dan
norma-norma
moral
dalam suatu masyarakat, dalam hal ini, etika sama artinya dengan moral atau
moralitas, yaitu apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas
13
dilakukan, dan sebagainya (Satyanugraha,2003). Etika atau lazim juga disebut
etik, berasal dari kata Yunani, ethos yang berarti norma-norma, nilai-nilai,
kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik. Hal
ini seperti dikemukakan oleh Simorangkir (2001), yang mengemukakan bahwa
etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berperilaku menurut ukuran
dan nilai yang baik.
Etika menjadi perhatian penting masyarakat Indonesia belakangan ini,
setelah terjadinya berbagai degradasi moral yang terjadi di kalangan praktisi
maupun
akademisi,
dengan
tindakan-tindakan
berupa
korupsi
dan
penyelewengan-penyelewengan yang lain, yang otomatis merupakan suatu
pelanggaran terhadap etika, baik etika profesi maupun etika pada umumnya.
Suseno (1987) mengungkapkan
bahwa etika merupakan filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandanganpandangan moral.
mengungkapkan
keduanya
Madjid
dalam
Ludigdo
dan
Machfoedz)
bahwa etika adalah sebanding dengan moral, dimana
merupakan
menunjukkan
(1992
filsafat tentang adat kebiasaan.
Adat kebiasaan
arti mode tingkah laku manusia, suatu konstansi tindakan
manusia. Karenanya secara umum etika atau moral adalah filsafat, ilmu atau
disiplin tentang moda-moda tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi
tindakan manusia.
Arens dan Loebbecke (1995) menyatakan bahwa etika secara umum
didefinisikan sebagai perangkat moral dan nilai. Dari definisi tersebut dapat
dikatakan bahwa etika berkaitan erat dengan moral dan nilai-nilai yang
14
berlaku. Selanjutnya, Harsono (1997) mengemukakan bahwa etika adalah
hal-hal yang berkaitan dengan masalah benar dan salah. Hal demikian juga
dikemukakan oleh Steiner (dalam Reiss dan Mitra 1998), yang mengemukakan
bahwa perilaku yang beretika dalam sebuah organisasi adalah melaksanakan
tindakan secara fair sesuai hukum konstitusional dan peraturan pemerintah yang
dapat diaplikasikan.
Berkaitan dengan etika profesi, Chua et al. (1994) mengemukakan
bahwa etika profesional berkaitan dengan perilaku moral. Perilaku moral di sini
lebih terbatas pada pengertian yang meliputi kekhasan pola etis yang
diharapkan untuk profesi tertentu. Hal ini juga dikemukakan Machfoedz
(dalam Ludigdo dan
Machfoedz, 1999) yang menyebutkan
profesionalisme suatu profesi mensyaratkan
dimiliki
oleh setiap
anggota
profesi,
bahwa
tiga hal utama yang harus
yaitu
keahlian,
berpengetahuan
dan berkarakter. Karakter menunjukkan personality seorang professional, yang
diantaranya diwujudkan
profesi
yang
dalam
sikap
dan
tindakan
etisnya.
Setiap
memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat memiliki
kode etik yang merupakan seperangkat prinsip-prinsip moral dan mengatur
tentang perilaku profesional (Sukrisno, 1996).
Sasaran etika adalah moralitas. Moralitas suatu masyarakat berkaitan
dengan adat istiadat dan kebiasaan yang telah diterima selaku perilaku yang
baik atau buruk dalam masyarakat
bersangkutan
(Simorangkir,
atau
dalam
kelompok
yang
2001). Kenyataannya orang bertindak menurut
prinsip-prinsip yang mereka yakini.
15
2.1.3 Perilaku etis
Perilaku etis dalam berorganisasi adalah melaksanakan tindakan secara
adil sesuai dengan hukum dan peraturan pemerintah yang dapat diaplikasikan
(Reiss dan Mitra, 1998 dalam Nugrahaningsih, 2005). Riset tentang isu-isu
etika dalam akuntansi, secara umum menghindari diskusi filosofi tentang
benar atau salah dan pilihan baik atau buruk. Namun lebih difokuskan pada
perilaku etis atau tidak etis para akuntan yang didasarkan pada apakah
mereka mematuhi kode etik profesinya atau tidak. Perilaku etis merupakan
perilaku yang mempunyai prinsip benar dan salah yang telah diterima
masyarakat.
Perilaku etis juga sering disebut sebagai komponen dari
kepemimpinan, dalam hal ini pengembangan etika merupakan hal penting bagi
kesuksesan individu sebagai pemimpin suatu organisasi (Morgan, 1993). Hal ini
juga dikemukakan Larkin (2000), yang menyatakan bahwa kemampuan untuk
dapat mengidentifikasi perilaku etis dan tidak etis sangat berguna dalam
semua profesi termasuk auditor. Jika auditor melakukan tindakan yang tidak
etis, maka hal tersebut akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap
profesi auditor tersebut (Khomsiyah dan Indriantoro, 1998).
Penelitian ini menggali aspek perilaku dalam penyelenggaraan laporan
keuangan yang dilakukan oleh kelompok pejabat penatausahaan dan bendaraha
di masing-masing SKPD. Aspek ini merupakan hal yang sangat vital yang
dapat mempengaruhi perilaku etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan
laporan keuangan.
16
2.1.4 Etika dan Jabatan
Etika atau norma dan nilai-nilai masyarakat meresap dalam diri kita,
sehingga hubungan antar sesama akan turut membentuk identitas diri. Hal ini
berkaitan penetapan suatu norma akan membutuhkan berbagai persyaratan
dan cara.
Etika pada umumnya didefinisikan sebagai suatu usaha yang
sistematis dengan menggunakan rasio untuk menafsirkan pengalaman moral
individual dan sosial sehingga dapat menetapkan aturan untuk mengendalikan
perilaku manusia serta nilai-nilai yang berbobot untuk dapat dijadikan
sasaran dalam hidup (Simorangkir, 2001). Demikian juga mengenai hubungan
etika dengan jabatan akan membutuhkan berbagai persyaratan.
Sejalan dengan perkembangan jaman, manusia memiliki kelompokkelompok profesi tertentu dengan berbagai tingkat jabatan dalam profesi
tersebut. Dewasa ini profesi-profesi tersebut menyusun dan menerima etika
bersama sehubungan dengan profesi mereka, yang disebut dengan kode etik.
Kode etik tidak tepat apabila berupa peraturan-peraturan
yang
dititikberatkan kepada sanksinya bagi mereka yang melanggar etika tersebut
(Simorangkir, 2001). Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari
diri para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka,
sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan (Simorangkir,
2001).
Jadi
kode etik adalah hasil murni yang sesuai dengan aspirasi profesi suatu
kelompok tertentu, demi untuk kepentingan bersama.
Berkaitan dengan peranan kode etik dalam penulisan ini, penulis
memandang bahwa para pelaku akuntansi di sektor publik berperan sama
17
dengan para pelaku akuntansi di sektor swasta. Sihwahjoeni dan Gudono (2000)
mengemukakan bahwa dalam melaksanakan profesinya, seorang akuntan
diatur oleh suatu kode etik akuntan. Kode etik akuntan, yaitu norma perilaku
yang mengatur hubungan antara akuntan dengan para klien, antara akuntan
dengan sejawatnya, dan antara profesi dalam masyarakat.
2.1.5 Etika Penyusun Laporan Keuangan
Laporan Keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi
keuangan utama kepada pihak-pihak diluar perusahaan. Laporan keuangan
yang sering disajikan adalah Laporan Laba Rugi, Neraca, Laporan perubahan
Ekuitas, Arus kas, Catatan atas Laporan keuangan . Standar Akuntansi
Keuangan ( 2010) menyebutkan karakteristik yang harus dimiliki oleh laporan
keuangan agar bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan
keputusan, diantaranya:
1) dapat dipahami, kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan
keuangan adalah kemudahanya untuk segera dapat dipahami oleh pemakai.
2) relevan, informasi yang tertuang dalam laporan keuangan haruslah relevan,
suatu laporan keuangan dikatakan relevan apabila dapat mempengaruhi
keputusan ekonomi pemakai dengan membantu mereka mengevaluasi
peristiwa masa lalu, masa kini, atau masa depan, menegaskan, mengkoreksi
hasil evaluasi perusahaan di masa lalu.
3) dapat diandalkan, laporan keuangan dikatakan memiliki keandalan apabila
informasi yang terkandung bebas dari pengeertian yang menyesatkan, dan
dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang jujur.
18
4) dapat dibandingkan, laporan keuangan harus dapat dibandingkan antar
periode untuk mengidentifikasi kecenderungan posisi dan kinerja suatu
perusahaan.
5) memperhatikan kendala informasi yang relevan dan andal, dalam usaha
mencapai keseimbangan relevansi dan keandalan, kebutuhan pengambil
keputusan merupakanpertimbangan yang menentukan keseimbangan antara
biaya dan manfaat, dan keseimbangan antar karakteristik laporan keuangan.
6) penyajian yang wajar, laporan keuangan harus menyajikan dengan wajar
posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahan.
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (dalam SAK, 2010), etika dalam
penyusunan laporan keuangan yang disusun harus didasarkan pada prinsip
akuntansi yang lazim, dan di Indonesia prinsip akuntansi disusun oleh Ikatan
Akutansi Indonesia. Unsur penyajian laporan keuangan yang layak terdiri dari
empat kategori yaitu :
1) Disclosure (Pengungkapan Laporan Keuangan)
Laporan keuangan merupakan komponen sentral dari pelaporan keuangan
dan memegang peran penting dalam mengkomunikasikan efek dari berbagai
transaksi serta kejadian-kejadian ekonomi lain bagi para pengambil keputusan.
Untuk itu laporan keuangan harus dapat menyediakan informasi mengenai
perusahaan dan operasinya kepada pihak yang berkepentingan sebagai basis
dalam pengambilan keputusan yang disajikan secara bervariasi sesuai dengan
kebutuhan dan masalah yang tercakup. Variasi tersebut antara lain meliputi
informasi mengenai laba atau rugi terhadap investasi untuk mengidentifikasikan
19
hubungan-hubungan informasi tersebut, maka diperlukan analisis data yang
dingkapkan dalam perhitungan laporan laba rugi, neraca, laporan arus kas dan
catatan
atas
laporan
keuangan
tersebut
sebagai
komponen
laporan
keuangan. Disclousure meliputi (1) penyediaan informasi yang cukup, akurat, dan
tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan, (2)
mempublikasikan informasi keuangan serta informasi lainya yang material dan
berdampak signifikan pada kinerja perusahaan, (3) investor harus dapat
mengakses informasi penting perusahaan secara mudah pada saat yang
diperlukan.
2) Cost & Benefit (beban perusahaan untuk melakukan pengungkapan)
Terkait dengan etika Cost and Benefit, perusahaan harus mengungkapkan
laporan keuangan walaupun beban yang digunakan dalam pengungkapan laporan
keuangan tersebut besar, karena semakin tinggi tingkat materialitas yang
diungkapkan oleh perusahaan dalam laporan keuangan, manfaat yang di dapatkan
atas pengungkapan tersebut juga akan semakin besar bagi stakeholder.
3) Responsibility (tanggung jawab dalam penyajian laporan keuangan yang
informatif bagi penggunanya)
Responsibility adalah tanggung jawab yang harus dimiliki oleh manajer ,
hal ini dapat dilihat dari sikap profesionalisme manajer dalam menyusun laporan
keuangan. Responsibility mengharuskan pihak manajemen bertanggung jawab
atas apa yang dilaporkan dalam laporan keuangan artinya pihak manajemen harus
membuat laporan itu sesuai dengan kenyataan sebenarnya sehingga laporan
keuangan itu memberikan informasi yang dapat dipercaya bagi penggunanya.
20
4) Misstatement (kecenderungan terhadap salah saji)
Laporan keuangan suatu perusahaan harus terhindar dari salah saji yang
disengaja agar tidak menimbulkan kesalahan bagi pihak manajemen dalam
pengambilan keputusan baik itu yang bersifat krusial maupun tidak. Manajer
dilarang melakukan salah saji secara sengaja dengan berbagai alasan, karena
laporan keuangan tersebut tidak akan mencerminkan kondisi perusahaan yang
sebenarnya.
Penelitian Yulianti dan Fitriany (2005) menggunakan indikator
manajemen laba, misstatement
(kecenderungan untuk melakukan salah saji
dalam laporan keuangan), disclosure (pengungkapan laporan keuangan), cost
and benefit, dan responsibility dalam mengukur etika penyusunan laporan
keuangan.
2.1.6 Karakteristik Individu
Karakteristik individual terdiri atas sejumlah aspek atau dimensi tertentu
dari suatu kriteria yang dapat diatribusikan pada masing-masing individu
sehingga masing-masing dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (Robbins,
2006:38). Setidaknya terdapat empat karakteristik individu dalam kaitannya
dengan pelaksanaan pekerjaan yaitu (1) karakteristik biografis, (2) karakteristik
kemampuan, (3) karakteristik kepribadian, dan (4) karakteristik
belajar.
Robbins menjelaskan bahwa karakteristik individu yang paling mudah diamati
yang mempengaruhi seorang individu dalam berorganisasi adalah karakteristik
biografis. Kondisi biografis merupakan situasi nyata yang menjadi latar
belakang dari ciri fisik setiap individu. Karakteristik biografis mencakup
21
beberapa sifat yaitu umur, jenis kelamin, status perkawinan, pengalaman kerja.
Karakeristik individu mempengaruhi sikap dan perilaku tertentu
(Robbins, 2006). Sejalan dengan penelitian Mudrack (1993); Reiss dan Mitra
(1998); Nugrahaningsih (2005), Fauzi (2001); Fatmawati (2007), Kidwell et
al (1987), Clikeman dan Henning (2000) menemukan bukti faktor-faktor
individual yang mempengaruhi perilaku etis. Penelitian – penelitian tersebut
menggunakan beberapa faktor individual yang memengaruhi perilaku antara
lain: Locus of control, Sensitivitas keadilan, Gender, Disiplin Akademis dan
Pengalaman Kerja.
2.1.7 Locus Of Control
Locus of control merupakan cara pandang seseorang terhadap suatu
peristiwa apakah dia mampu mengendalikan (control) peristiwa yang terjadi
pada
dirinya
(Rotter dalam Prasetyo, 2002). Locus
of
control
menggambarkan tingkat kepercayaan individu bahwa satu kekuatan dalam
diri masing-masing (Joe, 1971; dalam Reiss dan Mitra, 1998). Sementara
itu,
Falikhatun
(2003)
juga menyatakan bahwa berdasarkan teori locus of
control, seseorang yang merasa tidak nyaman dalam satu lingkungan budaya
tertentu akan mengalami ketidakberdayaan dan kekhawatiran.
Locus of control menurut Kreitner dan Kinicki (2003) ( dalam
Abdulloh 2006), terdiri dari dua konstruk
yaitu internal dan eksternal,
apabila seseorang yang meyakini bahwa apa yang terjadi selalu berada
dalam kontrolnya dan selalu mengambil peran serta bertanggung jawab dalam
setiap pengambilan keputusan termasuk dalam internal locus of control,
22
sedangkan seseorang yang meyakini bahwa kejadian dalam hidupnya berada
diluar kontrolnya termasuk dalam external locus of control. Secara lebih jelas
dapat digambarkan bahwa individu dengan locus of control internal percaya
bahwa peristiwa dalam hidupnya ditentukan oleh usaha dan perilakunya
sendiri, sedangkan seseorang dengan locus of control eksternal percaya bahwa
peristiwa dalam hidupnya ditentukan oleh nasib, kesempatan dan kekuatan
lain yang berada di luar kendali individu tersebut.
Reiss dan Mitra (1998) mengemukakan bahwa individu dengan internal
locus of control cenderung lebih tidak menerima tindakan tertentu yang kurang
etis dibandingkan dengan individu dengan external locus of control. Hal ini
didukung dengan penelitian yang dilakukan Muawanah dan Indriantoro (2001)
yang mengemukakan bahwa individu dengan internal locus of control akan
lebih mungkin berperilaku etis dalam situasi konflik dibanding dengan
individu dengan external locus of control
2.1.8 Lama Menjabat
Pengalaman kerja yang dimiliki oleh para pegawai tentunya berbedabeda, sesuai pengalaman pekerjaan yang telah mereka lewati. Kidwell et
al. (1987) melakukan penelitian tentang perilaku manajer dalam menghadapi
situasi dilema etika, hasil penelitiannya bahwa manajer dengan pengalaman
kerja
yang
lebih
lama mempunyai hubungan yang positif dengan
pengambilan keputusan etis. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian
Larkin (2000) dan Glover et.al. (2002). Larkin (2000) melakukan penelitian
yang melibatkan internal auditor di lembaga keuangan dan menyatakan bahwa
23
internal auditor yang berpengalaman cenderung lebih konservatif dalam
menghadapi situasi dilema etika. Sementara Glover et.al. (2002) yang
melakukan penelitian pada beberapa mahasiswa program bisnis, menyatakan
bahwa mahasiswa yang senior lebih berperilaku etis dibandingkan dengan
yang lebih yunior.
Pengalaman dapat diperoleh melalui pelatihan, supervisi, maupun review
kinerja yang diberikan oleh auditor senior. Januarti (2011) berpendapat bahwa
pengalaman auditor berkembang searah dengan pengalaman audit, diskusi audit,
pelatihan, dan penggunaan standar. Gusnardi (2003) mengukur pengalaman
audit melalui jabatan auditor, lama bekerja, peningkatan keahlian, serta
pelatihan audit yang pernah diikuti.
Widiastuti (2003) membagi level hierarkis auditor menjadi dua, yaitu
termasuk kategori senior jika telah bekerja lebih dari dua tahun dan kurang dari
dua tahun termasuk kategori yunior, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
terdapat
perbedaan
persepsi secara signifikan terhadap kode etik akuntan
Indonesia antara akuntan senior dan yunior. Menurut Prasetyo (2004), perilaku
etis antara auditor senior dan yunior dipengaruhi oleh pengalaman kerja, hal ini
karena selama bekerja, auditor dihadapkan pada tindakan- tindakan yang
berkaitan dengan perilaku etis. Penelitian lain yang meneliti adanya perbedaan
perilaku
etis
ini
juga
dilakukan
oleh
Nugrahaningsih
(2005)
yang
menyimpulkan bahwa auditor yunior cenderung lebih etis dibandingkan auditor
senior.
24
2.1.9 Sensitivitas keadilan
Equity berhubungan dengan fairness (keadilan) yang dirasakan
seseorang dibanding orang lain (Fauzi, 2001). Sensitivitas keadilan mencoba
menjelaskan perbedaan perilaku etis dan tidak etis yang disebabkan karakteristik
individual.
Konsep Teori ekuitas (equity theory) pertama kali dikembangkan oleh
John Stacey Adams pada tahun 1963. Teori ekuitas adalah teori yang
menjelaskan kepuasan relasional dalam hal persepsi distribusi yang adil/tidak
adil dari sumber daya dalam hubungan interpersonal. Menurut teori ekuitas,
motivasi seseorang dihubungkan dengan ekuitas (equity), dan keadilan (fairness
dan justice) yang diterapkan oleh pihak manajemen.
Sensitivitas keadilan merupakan suatu persepsi sesorang terhadap
keadilan dengan membandingkan antara inputs dan outcomes yang diperoleh
dari orang lain (Ustadi dan Utami, 2005). Sensitivitas keadilan menjelaskan
perbedaan perilaku etis dan tidak etis yan disebabkan karakter inividual
(Nugrahaningsih, 2003). Reiss dan Mitra (1998) menyarankan utuk
menggunakan sensitivitas keadilan sebagai salah satu faktor individu yang
mempengaruhi perilaku etis seseorang. Mowday (1991) dalam Mueller and
Clarke (1998) menjelaskan bahwa equity theory sebagai suatu teori universal
dari human motivation dan behavior harus dapat mengukur perbedaan perilaku
seseorang ditempat kerja (Lucynda dan Endro, 2012).
Menurut Huseman et al. (1987) ada tiga tipe individual yang
memiliki tingkat sensitivity to equity, yaitu benevolents, equity sensitivities,
25
dan entitleds. Individu benevolents cenderung berperilaku murah hati dan lebih
senang memberi daripada menerima (inputs>outcomes), dan cenderung
melakukan tindakan etis sebagai akibat sifatnya yang tidak mementingkan diri
sendiri. Individu equity sensitivities digambarkan sebagai individu yang
memiliki keseimbangan antara inputs dan outcomes. Sedangkan individu
entitleds digambarkan sebagai individu yang lebih senang menerima lebih
daripada memberi (outcomes> inputs). Individu entitleds lebih banyak menuntut
haknya daripada memikirkan apa yang dapat diberikan, sehingga individu
cenderung melakukan tindakan tidak etis bila hasil yang diperoleh lebih kecil
dari input yang diberikan.
2.1.10 Gender
Pengertian gender menurut Fakih (2001) dalam Martadi (2006) adalah
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Gender dapat diartikan sebagai
pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang tidak hanya mengacu
pada perbedaan biologisnya tetapi mencakup nilai-nilai
(Berninghausen
dan
Kerstan,
sosial
1992 dalam Hamiseno, 2010).
budaya
Hal
ini
mendorong penelitian yang mengaitkan peran laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat dan dikaitkan
dengan
kemampuan
perempuan
dalam
melaksanakan tugas sesuai profesinya.
Perbedaan gender diantara pria dan wanita dibentuk oleh suatu
proses
yang sangat panjang. Pembentukan perbedaan tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa hal misalnya, melalui sosialisasi, budaya yang
26
berlaku serta kebiasaan-kebiasaan yang ada. Perbedaan gender ini sebenarnya
tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Dalam
kenyataannya, perbedaan gender telah menyebabkan berbagai ketidakadilan
baik bagi pria maupun wanita. Ketidakadilan gender tersebut dapat berwujud
dalam
berbagai
bentuk
ketidakadilan,
misalnya
marginalisasi,
proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi pengambilan keputusan, stereotyping
dan
diskriminasi, pelabelan negatif, kekerasan, bekerja untuk waktu yang lebih
lama dan memikul beban ganda (Glover et al., 2002).
Gender merupakan faktor yang signifikan dalam menentukan perilaku
etis (Ruegger dan King, 1992 dalam Nugrahaningsih, 2005). Penelitian Reiss
dan Mitra (1998) menunjukkan bahwa wanita lebih etis dibandingkan laki-laki,
sementara Yulianti dan Fitriany (2005) dalam penelitiannya mengemukakan
bahwa jenis kelamin hanya memiliki pengaruh dalam tindakan manajemen laba,
sedangkan untuk misstate, disclosure dan responsibility tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara wanita dan laki-laki.
2.1.11 Latar Belakang Pendidikan
Latar belakang pendidikan merupakan historis pendidikan yang pernah
dilampaui oleh seseorang. Lawrence (1998) menyatakan bahwa seorang
dengan pengetahuan dan
keahlian
mempunyai
kesanggupan
untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan spesifik. Seorang dengan tingkat pendidikan
lebih tinggi dapat lebih baik dalam penyesuaian atas adanya aturan baru dan
mempunyai pengetahuan, keahlian
atau kesanggupan dalam mengesahkan
laporan keuangan. Latar belakang pendidikan dan jenjang pendidikan menjadi
27
faktor penting dalam penyelesaian sebuah pekerjaan.
Pendidikan adalah serangkaian kegiatan komunikasi antara manusia
dewasa dengan anak didik secara tatap muka, menggunakan media dalam
rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya agar dapat
mengembangkan potensinya semaksimal
manusia
dewasa
dan
bertanggung
mungkin
supaya
menjadi
jawab (Idris,1992). Potensi di sini
meliputi potensi fisik, emosi, sosial, moral, pengetahuan dan keterampilan.
Penelitian Clikeman and Henning (2000) mengenai sosialisasi kode
etik profesi pada mahasiswa akuntansi menunjukkan bahwa mahasiswa
akuntansi memiliki sikap yang lebih positif dibandingkan mahasiswa jurusan
lain terhadap etika penyusunan laporan keuangan, dalam hal ini berkaitan
dengan tindakan manajemen laba.
2.2
Hasil Penelitian Sebelumnya
Beberapa
bukti
empiris
tentang
faktor-faktor
individual
yang
mempengaruhi perilaku etis menunjukkan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya oleh Mudrack (1993); Reiss dan Mitra
(1998);
Nugrahaningsih
(2005); Ustadi dan Utami (2005); Fauzi (2001); Fatmawati (2007); Kidwell et al
(1987); Clikeman dan Henning (2000). Penelitian – penelitian tersebut
menggunakan beberapa faktor individual yang memengaruhi perilaku antara
lain: Locus of control, Sensitivitas keadilan, Gender, Disiplin Akademis dan
Pengalaman Kerja. Sementara itu penelitian Yulianti dan Fitriany (2005) tentang
Persepsi Mahasiswa Akuntansi terhadap Etika Penyusunan Laporan Keuangan
menggunakan faktor manajemen laba, misstate (kecenderungan untuk
28
melakukan salah saji dalam laporan keuangan), disclosure (pengungkapan
laporan keuangan), cost and benefit, dan responsibility dalam mengukur etika
penyusunan laporan keuangan.
Penelitian Mudrack (1993) menunjukkan bahwa faktor individu yang
berpengaruh terhadap perilaku etis adalah Locus of Control (LoC). Hasil
penelitian Reiss dan Mitra (1998) dalam Nugrahaningsih (2005) menunjukkan
bahwa individu dengan internal locus of control cenderung lebih tidak
menerima tindakan tertentu yang kurang etis sedangkan individu dengan
external locus of control cenderung lebih menerima tindakan tertentu yang
kurang etis. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan Muawanah
dan Indriantoro (2001) yang mengemukakan bahwa individu dengan internal
locus of control akan lebih mungkin berperilaku etis dalam situasi konflik
dibanding dengan individu dengan external locus of control. Sejalan dengan
penelitian Jones dan Kavanagh (1996) dan Ustadi dan Utami (2005)
menjelaskan bahwa individu yang memiliki internal LoC cenderung berperilaku
etis dibandingkan individu dengan eksternal LoC. Berbeda dengan penelitian
yang dilakukan Fatmawati (2007) yang menghasilkan LoC tidak memengaruhi
perilaku etis auditor di Kantor Akuntan Publik.
Selain itu faktor individu yang mempengaruhi perilaku etis adalah
gender. Hasil Penelitian Fatmawati (2007) menunjukkan bahwa gender
berpengaruh terhadap perilaku etis. Wanita ditunjukkan lebih etis dibandingkan
pria (Reiss and Mitra, 1998). Penelitian Ameen et al (1996) menghasilkan
simpulan bahwa mahasiswa akuntansi wanita lebih sensitif terhadap isu – isu
29
etis dan lebih tidak toleran terhadap perilaku tidak etis.
penelitian Ameen et al (1996), penelitian
Sejalan dengan
Cohen, Pant, dan Sharp (1998)
menunjukkan bahwa mahasiswa wanita memandang lebih positif untuk suatu
tindakan etis daripada mahasiswa pria.Sedangkan penelitian Nugrahaningsih
(2005) menghasilkan simpulan yang berbeda, dimana tidak ada perbedaan
perilaku etis antara auditor pria dan auditor wanita.
Penelitian Mueller and Clarke (1998) menunjukkan bahwa perilaku
seseorang dipengaruhi persepsi mereka terhadap sensitivitas keadilan.
Sensitivitas
keadilan
didefinisikan
sebagai
variabel
personalitas
yang
menunjukkan reaksi individu ketika merasakan adil atau tidak adil (Huseman et
al, 1987). Huseman et al. (1987). Menjelaskan bahwa individu dapat
dikategorikan sebagai benevolent, equity sensitivity, dan entitleds (getters).
Penelitian Ustadi dan Utami (2005) menunjukkan bahwa mahasiswa akuntansi
dengan kategori benevolent cenderung berperilaku lebih etis dibandingkan
mahasiswa akuntansi dengan kategori entileds, sejalan dengan hasil penelitian
Nugrahaningsih (2005) yang menemukan bukti bahwa auditor dengan kategori
benevolent cenderung berperilaku lebih etis dibandingkan dengan auditor
dengan kategori entitles. Berbeda dengan penelitian Fatmawati (2007) yang
menemukan faktor sensitivitas keadilan tidak berpengaruh terhadap perilaku etis
auditor di Kantor Akuntan Publik.
Pengalaman kerja mempegaruhi perilaku seseorang dalam menghadapi
situasi dilema etika (Kidwell et al, 1987). Manager dengan dengan pengalaman
kerja lebih lama mempunyai hubungan positif dengan pengambilan keputusan
30
etis. Hasil penelitian Glover et al (2002) menunjukkan bahwa mahasiswa senior
lebih berperilaku etis dibandingkan dengan mahasiswa yunior. Widiastuti
(2003) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi
secara signifikan terhadap kode etik akuntan Indonesia antara akuntan senior
dan yunior. Larkin (2000) melakukan penelitian yang melibatkan internal
auditor di lembaga keuangan dan menyatakan bahwa internal auditor yang
berpengalaman cenderung lebih konsevatif dalam menghadapi situasi dilema
etika. Pengetahuan auditor tentang audit akan semakin berkembang dengan
bertambahnya pengalaman kerja yang dapat diukur melalui lamanya auditor
dalam menjabat jabatannya. Penelitian Prasetyo ( 2004) menunjukkan perilaku
etis antara auditor senior dan yunior dipengaruhi oleh pengalaman kerja karena
selama bekerja audior dihadapkan pada tidakan-tindakan yang berkaitan dengan
perilaku etis. Sementara itu Fanani et al. (2008) mengemukakan bahwa tidak
terdapat perbedaan etika penyusunan laporan keuangan antara pegawai senior
dan yunior.
Latar belakang pedidikan dan jenjang pendidikan menjadi faktor penting
dalam peyelesaian sebuah pekerjaan (Lawrence, 1998). Seseorang dengan tingkat
pendidikan lebih tiggi dapat lebih baik dalam penyesuaian atas aturan baru dan
mempunyai pegetahuan, keahlian dan kesanggupan dalam menyiapkan laporan
keuangan. Penelitian
Clikeman dan Henning (2000) menunjukkan bahwa
mahasiswa akuntansi memiliki sikap yang lebih positif dibandingkan
mahasiswa jurusan lain terhadap etika penyusunan laporan keuangan, dalam hal
ini berkaitan dengan tindakan manajemen laba.
Download