BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab kajian pustaka membahas mengenai teori-teori yang digunakan dalam penelitian mengenai pengaruh karakteristik individu pada etika penyusun laporan keuangan. Landasan-landasan teori dalam bab ini diambil dari teori-teori dari studi pustaka yang berkaitan dan mendukung penelitian, dipergunakan sebagai dasar dan kerangka berpikir untuk merumuskan hipotesis dan menjelaskan suatu fenomena. Teori yang dipergunakan dalam penelitian yaitu teori atribusi, teori etika, etika penyusunan laporan keuangan, dan karakteristik individu. Kajian pustaka juga merujuk pada kajian empiris penelitian sebelumnya. 2.1 Landasan Teori Teori yang dipergunakan dalam penelitian yaitu teori atribusi, teori etika, etika penyusunan laporan keuangan, dan karakteristik individu. 2.1.1 Teori Atribusi Teori atribusi mempelajari bagaimana seseorang menginterpretasikan suatu peristiwa dan alasan atau sebab perilakunya. Teori ini dikembangkan oleh Fritz Heider yang mengargumentasikan bahwa perilaku seseorang itu ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang misalnya kemampuan atau usaha dan kekuatan eksternal yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar, misalnya kesulitan tugas atau keberuntungan (Suartana, 2010). Menurut Robbin (2008; 177), perilaku yang disebabkan secara internal 11 12 merupakan perilaku yang diyakini dipengaruhi oleh kendali pribadi individu bersangkutan. Sedangkan perilaku eksternal muncul akibat adanya pengaruh luar yang memaksa individu dalam berperilaku. Robbins (2008:177) menyatakan selain dari faktor internal dan eksternal, penentuan perilaku individu sebagian besar tergantung pada tiga faktor, yaitu: 1) Kekhususan, merujuk pada perilaku yang ditunjukkan individu berbeda dalam situasi yang berbeda. 2) Konsensus, perilaku yang menunjukkan saat semua individu menghadapi situasi yang serupa merespon dengan cara yang sama. 3) Konsistensi, merujuk pada perilaku yang sama yang dilakukan seseorang dari waktu ke waktu. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori atribusi karena peneliti akan melakukan studi empiris karakteristik mempengaruhi perilaku etis penyusun laporan keuangan , khususnya pada karakteristik individu penyusun laporan keuangan itu sendiri. Pada dasarnya karakteristik individu penyusun laporan keuangan merupakan salah satu penentu terhadap perilaku etis karena merupakan suatu faktor internal yang mendorong seseorang dalam berperilaku. Faktor-faktor individual terbukti merupakan faktor yang signifikan untuk memprediksi perilaku etis seseorang (Reis dan Mitra, 1998). 2.1.2 Teori Etika Etika diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral dalam suatu masyarakat, dalam hal ini, etika sama artinya dengan moral atau moralitas, yaitu apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas 13 dilakukan, dan sebagainya (Satyanugraha,2003). Etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani, ethos yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik. Hal ini seperti dikemukakan oleh Simorangkir (2001), yang mengemukakan bahwa etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berperilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. Etika menjadi perhatian penting masyarakat Indonesia belakangan ini, setelah terjadinya berbagai degradasi moral yang terjadi di kalangan praktisi maupun akademisi, dengan tindakan-tindakan berupa korupsi dan penyelewengan-penyelewengan yang lain, yang otomatis merupakan suatu pelanggaran terhadap etika, baik etika profesi maupun etika pada umumnya. Suseno (1987) mengungkapkan bahwa etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandanganpandangan moral. mengungkapkan keduanya Madjid dalam Ludigdo dan Machfoedz) bahwa etika adalah sebanding dengan moral, dimana merupakan menunjukkan (1992 filsafat tentang adat kebiasaan. Adat kebiasaan arti mode tingkah laku manusia, suatu konstansi tindakan manusia. Karenanya secara umum etika atau moral adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang moda-moda tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi tindakan manusia. Arens dan Loebbecke (1995) menyatakan bahwa etika secara umum didefinisikan sebagai perangkat moral dan nilai. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa etika berkaitan erat dengan moral dan nilai-nilai yang 14 berlaku. Selanjutnya, Harsono (1997) mengemukakan bahwa etika adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah benar dan salah. Hal demikian juga dikemukakan oleh Steiner (dalam Reiss dan Mitra 1998), yang mengemukakan bahwa perilaku yang beretika dalam sebuah organisasi adalah melaksanakan tindakan secara fair sesuai hukum konstitusional dan peraturan pemerintah yang dapat diaplikasikan. Berkaitan dengan etika profesi, Chua et al. (1994) mengemukakan bahwa etika profesional berkaitan dengan perilaku moral. Perilaku moral di sini lebih terbatas pada pengertian yang meliputi kekhasan pola etis yang diharapkan untuk profesi tertentu. Hal ini juga dikemukakan Machfoedz (dalam Ludigdo dan Machfoedz, 1999) yang menyebutkan profesionalisme suatu profesi mensyaratkan dimiliki oleh setiap anggota profesi, bahwa tiga hal utama yang harus yaitu keahlian, berpengetahuan dan berkarakter. Karakter menunjukkan personality seorang professional, yang diantaranya diwujudkan profesi yang dalam sikap dan tindakan etisnya. Setiap memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat memiliki kode etik yang merupakan seperangkat prinsip-prinsip moral dan mengatur tentang perilaku profesional (Sukrisno, 1996). Sasaran etika adalah moralitas. Moralitas suatu masyarakat berkaitan dengan adat istiadat dan kebiasaan yang telah diterima selaku perilaku yang baik atau buruk dalam masyarakat bersangkutan (Simorangkir, atau dalam kelompok yang 2001). Kenyataannya orang bertindak menurut prinsip-prinsip yang mereka yakini. 15 2.1.3 Perilaku etis Perilaku etis dalam berorganisasi adalah melaksanakan tindakan secara adil sesuai dengan hukum dan peraturan pemerintah yang dapat diaplikasikan (Reiss dan Mitra, 1998 dalam Nugrahaningsih, 2005). Riset tentang isu-isu etika dalam akuntansi, secara umum menghindari diskusi filosofi tentang benar atau salah dan pilihan baik atau buruk. Namun lebih difokuskan pada perilaku etis atau tidak etis para akuntan yang didasarkan pada apakah mereka mematuhi kode etik profesinya atau tidak. Perilaku etis merupakan perilaku yang mempunyai prinsip benar dan salah yang telah diterima masyarakat. Perilaku etis juga sering disebut sebagai komponen dari kepemimpinan, dalam hal ini pengembangan etika merupakan hal penting bagi kesuksesan individu sebagai pemimpin suatu organisasi (Morgan, 1993). Hal ini juga dikemukakan Larkin (2000), yang menyatakan bahwa kemampuan untuk dapat mengidentifikasi perilaku etis dan tidak etis sangat berguna dalam semua profesi termasuk auditor. Jika auditor melakukan tindakan yang tidak etis, maka hal tersebut akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap profesi auditor tersebut (Khomsiyah dan Indriantoro, 1998). Penelitian ini menggali aspek perilaku dalam penyelenggaraan laporan keuangan yang dilakukan oleh kelompok pejabat penatausahaan dan bendaraha di masing-masing SKPD. Aspek ini merupakan hal yang sangat vital yang dapat mempengaruhi perilaku etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan laporan keuangan. 16 2.1.4 Etika dan Jabatan Etika atau norma dan nilai-nilai masyarakat meresap dalam diri kita, sehingga hubungan antar sesama akan turut membentuk identitas diri. Hal ini berkaitan penetapan suatu norma akan membutuhkan berbagai persyaratan dan cara. Etika pada umumnya didefinisikan sebagai suatu usaha yang sistematis dengan menggunakan rasio untuk menafsirkan pengalaman moral individual dan sosial sehingga dapat menetapkan aturan untuk mengendalikan perilaku manusia serta nilai-nilai yang berbobot untuk dapat dijadikan sasaran dalam hidup (Simorangkir, 2001). Demikian juga mengenai hubungan etika dengan jabatan akan membutuhkan berbagai persyaratan. Sejalan dengan perkembangan jaman, manusia memiliki kelompokkelompok profesi tertentu dengan berbagai tingkat jabatan dalam profesi tersebut. Dewasa ini profesi-profesi tersebut menyusun dan menerima etika bersama sehubungan dengan profesi mereka, yang disebut dengan kode etik. Kode etik tidak tepat apabila berupa peraturan-peraturan yang dititikberatkan kepada sanksinya bagi mereka yang melanggar etika tersebut (Simorangkir, 2001). Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan (Simorangkir, 2001). Jadi kode etik adalah hasil murni yang sesuai dengan aspirasi profesi suatu kelompok tertentu, demi untuk kepentingan bersama. Berkaitan dengan peranan kode etik dalam penulisan ini, penulis memandang bahwa para pelaku akuntansi di sektor publik berperan sama 17 dengan para pelaku akuntansi di sektor swasta. Sihwahjoeni dan Gudono (2000) mengemukakan bahwa dalam melaksanakan profesinya, seorang akuntan diatur oleh suatu kode etik akuntan. Kode etik akuntan, yaitu norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan dengan para klien, antara akuntan dengan sejawatnya, dan antara profesi dalam masyarakat. 2.1.5 Etika Penyusun Laporan Keuangan Laporan Keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan utama kepada pihak-pihak diluar perusahaan. Laporan keuangan yang sering disajikan adalah Laporan Laba Rugi, Neraca, Laporan perubahan Ekuitas, Arus kas, Catatan atas Laporan keuangan . Standar Akuntansi Keuangan ( 2010) menyebutkan karakteristik yang harus dimiliki oleh laporan keuangan agar bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan, diantaranya: 1) dapat dipahami, kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan adalah kemudahanya untuk segera dapat dipahami oleh pemakai. 2) relevan, informasi yang tertuang dalam laporan keuangan haruslah relevan, suatu laporan keuangan dikatakan relevan apabila dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini, atau masa depan, menegaskan, mengkoreksi hasil evaluasi perusahaan di masa lalu. 3) dapat diandalkan, laporan keuangan dikatakan memiliki keandalan apabila informasi yang terkandung bebas dari pengeertian yang menyesatkan, dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang jujur. 18 4) dapat dibandingkan, laporan keuangan harus dapat dibandingkan antar periode untuk mengidentifikasi kecenderungan posisi dan kinerja suatu perusahaan. 5) memperhatikan kendala informasi yang relevan dan andal, dalam usaha mencapai keseimbangan relevansi dan keandalan, kebutuhan pengambil keputusan merupakanpertimbangan yang menentukan keseimbangan antara biaya dan manfaat, dan keseimbangan antar karakteristik laporan keuangan. 6) penyajian yang wajar, laporan keuangan harus menyajikan dengan wajar posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahan. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (dalam SAK, 2010), etika dalam penyusunan laporan keuangan yang disusun harus didasarkan pada prinsip akuntansi yang lazim, dan di Indonesia prinsip akuntansi disusun oleh Ikatan Akutansi Indonesia. Unsur penyajian laporan keuangan yang layak terdiri dari empat kategori yaitu : 1) Disclosure (Pengungkapan Laporan Keuangan) Laporan keuangan merupakan komponen sentral dari pelaporan keuangan dan memegang peran penting dalam mengkomunikasikan efek dari berbagai transaksi serta kejadian-kejadian ekonomi lain bagi para pengambil keputusan. Untuk itu laporan keuangan harus dapat menyediakan informasi mengenai perusahaan dan operasinya kepada pihak yang berkepentingan sebagai basis dalam pengambilan keputusan yang disajikan secara bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang tercakup. Variasi tersebut antara lain meliputi informasi mengenai laba atau rugi terhadap investasi untuk mengidentifikasikan 19 hubungan-hubungan informasi tersebut, maka diperlukan analisis data yang dingkapkan dalam perhitungan laporan laba rugi, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan tersebut sebagai komponen laporan keuangan. Disclousure meliputi (1) penyediaan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan, (2) mempublikasikan informasi keuangan serta informasi lainya yang material dan berdampak signifikan pada kinerja perusahaan, (3) investor harus dapat mengakses informasi penting perusahaan secara mudah pada saat yang diperlukan. 2) Cost & Benefit (beban perusahaan untuk melakukan pengungkapan) Terkait dengan etika Cost and Benefit, perusahaan harus mengungkapkan laporan keuangan walaupun beban yang digunakan dalam pengungkapan laporan keuangan tersebut besar, karena semakin tinggi tingkat materialitas yang diungkapkan oleh perusahaan dalam laporan keuangan, manfaat yang di dapatkan atas pengungkapan tersebut juga akan semakin besar bagi stakeholder. 3) Responsibility (tanggung jawab dalam penyajian laporan keuangan yang informatif bagi penggunanya) Responsibility adalah tanggung jawab yang harus dimiliki oleh manajer , hal ini dapat dilihat dari sikap profesionalisme manajer dalam menyusun laporan keuangan. Responsibility mengharuskan pihak manajemen bertanggung jawab atas apa yang dilaporkan dalam laporan keuangan artinya pihak manajemen harus membuat laporan itu sesuai dengan kenyataan sebenarnya sehingga laporan keuangan itu memberikan informasi yang dapat dipercaya bagi penggunanya. 20 4) Misstatement (kecenderungan terhadap salah saji) Laporan keuangan suatu perusahaan harus terhindar dari salah saji yang disengaja agar tidak menimbulkan kesalahan bagi pihak manajemen dalam pengambilan keputusan baik itu yang bersifat krusial maupun tidak. Manajer dilarang melakukan salah saji secara sengaja dengan berbagai alasan, karena laporan keuangan tersebut tidak akan mencerminkan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Penelitian Yulianti dan Fitriany (2005) menggunakan indikator manajemen laba, misstatement (kecenderungan untuk melakukan salah saji dalam laporan keuangan), disclosure (pengungkapan laporan keuangan), cost and benefit, dan responsibility dalam mengukur etika penyusunan laporan keuangan. 2.1.6 Karakteristik Individu Karakteristik individual terdiri atas sejumlah aspek atau dimensi tertentu dari suatu kriteria yang dapat diatribusikan pada masing-masing individu sehingga masing-masing dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (Robbins, 2006:38). Setidaknya terdapat empat karakteristik individu dalam kaitannya dengan pelaksanaan pekerjaan yaitu (1) karakteristik biografis, (2) karakteristik kemampuan, (3) karakteristik kepribadian, dan (4) karakteristik belajar. Robbins menjelaskan bahwa karakteristik individu yang paling mudah diamati yang mempengaruhi seorang individu dalam berorganisasi adalah karakteristik biografis. Kondisi biografis merupakan situasi nyata yang menjadi latar belakang dari ciri fisik setiap individu. Karakteristik biografis mencakup 21 beberapa sifat yaitu umur, jenis kelamin, status perkawinan, pengalaman kerja. Karakeristik individu mempengaruhi sikap dan perilaku tertentu (Robbins, 2006). Sejalan dengan penelitian Mudrack (1993); Reiss dan Mitra (1998); Nugrahaningsih (2005), Fauzi (2001); Fatmawati (2007), Kidwell et al (1987), Clikeman dan Henning (2000) menemukan bukti faktor-faktor individual yang mempengaruhi perilaku etis. Penelitian – penelitian tersebut menggunakan beberapa faktor individual yang memengaruhi perilaku antara lain: Locus of control, Sensitivitas keadilan, Gender, Disiplin Akademis dan Pengalaman Kerja. 2.1.7 Locus Of Control Locus of control merupakan cara pandang seseorang terhadap suatu peristiwa apakah dia mampu mengendalikan (control) peristiwa yang terjadi pada dirinya (Rotter dalam Prasetyo, 2002). Locus of control menggambarkan tingkat kepercayaan individu bahwa satu kekuatan dalam diri masing-masing (Joe, 1971; dalam Reiss dan Mitra, 1998). Sementara itu, Falikhatun (2003) juga menyatakan bahwa berdasarkan teori locus of control, seseorang yang merasa tidak nyaman dalam satu lingkungan budaya tertentu akan mengalami ketidakberdayaan dan kekhawatiran. Locus of control menurut Kreitner dan Kinicki (2003) ( dalam Abdulloh 2006), terdiri dari dua konstruk yaitu internal dan eksternal, apabila seseorang yang meyakini bahwa apa yang terjadi selalu berada dalam kontrolnya dan selalu mengambil peran serta bertanggung jawab dalam setiap pengambilan keputusan termasuk dalam internal locus of control, 22 sedangkan seseorang yang meyakini bahwa kejadian dalam hidupnya berada diluar kontrolnya termasuk dalam external locus of control. Secara lebih jelas dapat digambarkan bahwa individu dengan locus of control internal percaya bahwa peristiwa dalam hidupnya ditentukan oleh usaha dan perilakunya sendiri, sedangkan seseorang dengan locus of control eksternal percaya bahwa peristiwa dalam hidupnya ditentukan oleh nasib, kesempatan dan kekuatan lain yang berada di luar kendali individu tersebut. Reiss dan Mitra (1998) mengemukakan bahwa individu dengan internal locus of control cenderung lebih tidak menerima tindakan tertentu yang kurang etis dibandingkan dengan individu dengan external locus of control. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan Muawanah dan Indriantoro (2001) yang mengemukakan bahwa individu dengan internal locus of control akan lebih mungkin berperilaku etis dalam situasi konflik dibanding dengan individu dengan external locus of control 2.1.8 Lama Menjabat Pengalaman kerja yang dimiliki oleh para pegawai tentunya berbedabeda, sesuai pengalaman pekerjaan yang telah mereka lewati. Kidwell et al. (1987) melakukan penelitian tentang perilaku manajer dalam menghadapi situasi dilema etika, hasil penelitiannya bahwa manajer dengan pengalaman kerja yang lebih lama mempunyai hubungan yang positif dengan pengambilan keputusan etis. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Larkin (2000) dan Glover et.al. (2002). Larkin (2000) melakukan penelitian yang melibatkan internal auditor di lembaga keuangan dan menyatakan bahwa 23 internal auditor yang berpengalaman cenderung lebih konservatif dalam menghadapi situasi dilema etika. Sementara Glover et.al. (2002) yang melakukan penelitian pada beberapa mahasiswa program bisnis, menyatakan bahwa mahasiswa yang senior lebih berperilaku etis dibandingkan dengan yang lebih yunior. Pengalaman dapat diperoleh melalui pelatihan, supervisi, maupun review kinerja yang diberikan oleh auditor senior. Januarti (2011) berpendapat bahwa pengalaman auditor berkembang searah dengan pengalaman audit, diskusi audit, pelatihan, dan penggunaan standar. Gusnardi (2003) mengukur pengalaman audit melalui jabatan auditor, lama bekerja, peningkatan keahlian, serta pelatihan audit yang pernah diikuti. Widiastuti (2003) membagi level hierarkis auditor menjadi dua, yaitu termasuk kategori senior jika telah bekerja lebih dari dua tahun dan kurang dari dua tahun termasuk kategori yunior, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi secara signifikan terhadap kode etik akuntan Indonesia antara akuntan senior dan yunior. Menurut Prasetyo (2004), perilaku etis antara auditor senior dan yunior dipengaruhi oleh pengalaman kerja, hal ini karena selama bekerja, auditor dihadapkan pada tindakan- tindakan yang berkaitan dengan perilaku etis. Penelitian lain yang meneliti adanya perbedaan perilaku etis ini juga dilakukan oleh Nugrahaningsih (2005) yang menyimpulkan bahwa auditor yunior cenderung lebih etis dibandingkan auditor senior. 24 2.1.9 Sensitivitas keadilan Equity berhubungan dengan fairness (keadilan) yang dirasakan seseorang dibanding orang lain (Fauzi, 2001). Sensitivitas keadilan mencoba menjelaskan perbedaan perilaku etis dan tidak etis yang disebabkan karakteristik individual. Konsep Teori ekuitas (equity theory) pertama kali dikembangkan oleh John Stacey Adams pada tahun 1963. Teori ekuitas adalah teori yang menjelaskan kepuasan relasional dalam hal persepsi distribusi yang adil/tidak adil dari sumber daya dalam hubungan interpersonal. Menurut teori ekuitas, motivasi seseorang dihubungkan dengan ekuitas (equity), dan keadilan (fairness dan justice) yang diterapkan oleh pihak manajemen. Sensitivitas keadilan merupakan suatu persepsi sesorang terhadap keadilan dengan membandingkan antara inputs dan outcomes yang diperoleh dari orang lain (Ustadi dan Utami, 2005). Sensitivitas keadilan menjelaskan perbedaan perilaku etis dan tidak etis yan disebabkan karakter inividual (Nugrahaningsih, 2003). Reiss dan Mitra (1998) menyarankan utuk menggunakan sensitivitas keadilan sebagai salah satu faktor individu yang mempengaruhi perilaku etis seseorang. Mowday (1991) dalam Mueller and Clarke (1998) menjelaskan bahwa equity theory sebagai suatu teori universal dari human motivation dan behavior harus dapat mengukur perbedaan perilaku seseorang ditempat kerja (Lucynda dan Endro, 2012). Menurut Huseman et al. (1987) ada tiga tipe individual yang memiliki tingkat sensitivity to equity, yaitu benevolents, equity sensitivities, 25 dan entitleds. Individu benevolents cenderung berperilaku murah hati dan lebih senang memberi daripada menerima (inputs>outcomes), dan cenderung melakukan tindakan etis sebagai akibat sifatnya yang tidak mementingkan diri sendiri. Individu equity sensitivities digambarkan sebagai individu yang memiliki keseimbangan antara inputs dan outcomes. Sedangkan individu entitleds digambarkan sebagai individu yang lebih senang menerima lebih daripada memberi (outcomes> inputs). Individu entitleds lebih banyak menuntut haknya daripada memikirkan apa yang dapat diberikan, sehingga individu cenderung melakukan tindakan tidak etis bila hasil yang diperoleh lebih kecil dari input yang diberikan. 2.1.10 Gender Pengertian gender menurut Fakih (2001) dalam Martadi (2006) adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Gender dapat diartikan sebagai pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang tidak hanya mengacu pada perbedaan biologisnya tetapi mencakup nilai-nilai (Berninghausen dan Kerstan, sosial 1992 dalam Hamiseno, 2010). budaya Hal ini mendorong penelitian yang mengaitkan peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan dikaitkan dengan kemampuan perempuan dalam melaksanakan tugas sesuai profesinya. Perbedaan gender diantara pria dan wanita dibentuk oleh suatu proses yang sangat panjang. Pembentukan perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal misalnya, melalui sosialisasi, budaya yang 26 berlaku serta kebiasaan-kebiasaan yang ada. Perbedaan gender ini sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Dalam kenyataannya, perbedaan gender telah menyebabkan berbagai ketidakadilan baik bagi pria maupun wanita. Ketidakadilan gender tersebut dapat berwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan, misalnya marginalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi pengambilan keputusan, stereotyping dan diskriminasi, pelabelan negatif, kekerasan, bekerja untuk waktu yang lebih lama dan memikul beban ganda (Glover et al., 2002). Gender merupakan faktor yang signifikan dalam menentukan perilaku etis (Ruegger dan King, 1992 dalam Nugrahaningsih, 2005). Penelitian Reiss dan Mitra (1998) menunjukkan bahwa wanita lebih etis dibandingkan laki-laki, sementara Yulianti dan Fitriany (2005) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa jenis kelamin hanya memiliki pengaruh dalam tindakan manajemen laba, sedangkan untuk misstate, disclosure dan responsibility tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara wanita dan laki-laki. 2.1.11 Latar Belakang Pendidikan Latar belakang pendidikan merupakan historis pendidikan yang pernah dilampaui oleh seseorang. Lawrence (1998) menyatakan bahwa seorang dengan pengetahuan dan keahlian mempunyai kesanggupan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan spesifik. Seorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi dapat lebih baik dalam penyesuaian atas adanya aturan baru dan mempunyai pengetahuan, keahlian atau kesanggupan dalam mengesahkan laporan keuangan. Latar belakang pendidikan dan jenjang pendidikan menjadi 27 faktor penting dalam penyelesaian sebuah pekerjaan. Pendidikan adalah serangkaian kegiatan komunikasi antara manusia dewasa dengan anak didik secara tatap muka, menggunakan media dalam rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya agar dapat mengembangkan potensinya semaksimal manusia dewasa dan bertanggung mungkin supaya menjadi jawab (Idris,1992). Potensi di sini meliputi potensi fisik, emosi, sosial, moral, pengetahuan dan keterampilan. Penelitian Clikeman and Henning (2000) mengenai sosialisasi kode etik profesi pada mahasiswa akuntansi menunjukkan bahwa mahasiswa akuntansi memiliki sikap yang lebih positif dibandingkan mahasiswa jurusan lain terhadap etika penyusunan laporan keuangan, dalam hal ini berkaitan dengan tindakan manajemen laba. 2.2 Hasil Penelitian Sebelumnya Beberapa bukti empiris tentang faktor-faktor individual yang mempengaruhi perilaku etis menunjukkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Mudrack (1993); Reiss dan Mitra (1998); Nugrahaningsih (2005); Ustadi dan Utami (2005); Fauzi (2001); Fatmawati (2007); Kidwell et al (1987); Clikeman dan Henning (2000). Penelitian – penelitian tersebut menggunakan beberapa faktor individual yang memengaruhi perilaku antara lain: Locus of control, Sensitivitas keadilan, Gender, Disiplin Akademis dan Pengalaman Kerja. Sementara itu penelitian Yulianti dan Fitriany (2005) tentang Persepsi Mahasiswa Akuntansi terhadap Etika Penyusunan Laporan Keuangan menggunakan faktor manajemen laba, misstate (kecenderungan untuk 28 melakukan salah saji dalam laporan keuangan), disclosure (pengungkapan laporan keuangan), cost and benefit, dan responsibility dalam mengukur etika penyusunan laporan keuangan. Penelitian Mudrack (1993) menunjukkan bahwa faktor individu yang berpengaruh terhadap perilaku etis adalah Locus of Control (LoC). Hasil penelitian Reiss dan Mitra (1998) dalam Nugrahaningsih (2005) menunjukkan bahwa individu dengan internal locus of control cenderung lebih tidak menerima tindakan tertentu yang kurang etis sedangkan individu dengan external locus of control cenderung lebih menerima tindakan tertentu yang kurang etis. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan Muawanah dan Indriantoro (2001) yang mengemukakan bahwa individu dengan internal locus of control akan lebih mungkin berperilaku etis dalam situasi konflik dibanding dengan individu dengan external locus of control. Sejalan dengan penelitian Jones dan Kavanagh (1996) dan Ustadi dan Utami (2005) menjelaskan bahwa individu yang memiliki internal LoC cenderung berperilaku etis dibandingkan individu dengan eksternal LoC. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Fatmawati (2007) yang menghasilkan LoC tidak memengaruhi perilaku etis auditor di Kantor Akuntan Publik. Selain itu faktor individu yang mempengaruhi perilaku etis adalah gender. Hasil Penelitian Fatmawati (2007) menunjukkan bahwa gender berpengaruh terhadap perilaku etis. Wanita ditunjukkan lebih etis dibandingkan pria (Reiss and Mitra, 1998). Penelitian Ameen et al (1996) menghasilkan simpulan bahwa mahasiswa akuntansi wanita lebih sensitif terhadap isu – isu 29 etis dan lebih tidak toleran terhadap perilaku tidak etis. penelitian Ameen et al (1996), penelitian Sejalan dengan Cohen, Pant, dan Sharp (1998) menunjukkan bahwa mahasiswa wanita memandang lebih positif untuk suatu tindakan etis daripada mahasiswa pria.Sedangkan penelitian Nugrahaningsih (2005) menghasilkan simpulan yang berbeda, dimana tidak ada perbedaan perilaku etis antara auditor pria dan auditor wanita. Penelitian Mueller and Clarke (1998) menunjukkan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi persepsi mereka terhadap sensitivitas keadilan. Sensitivitas keadilan didefinisikan sebagai variabel personalitas yang menunjukkan reaksi individu ketika merasakan adil atau tidak adil (Huseman et al, 1987). Huseman et al. (1987). Menjelaskan bahwa individu dapat dikategorikan sebagai benevolent, equity sensitivity, dan entitleds (getters). Penelitian Ustadi dan Utami (2005) menunjukkan bahwa mahasiswa akuntansi dengan kategori benevolent cenderung berperilaku lebih etis dibandingkan mahasiswa akuntansi dengan kategori entileds, sejalan dengan hasil penelitian Nugrahaningsih (2005) yang menemukan bukti bahwa auditor dengan kategori benevolent cenderung berperilaku lebih etis dibandingkan dengan auditor dengan kategori entitles. Berbeda dengan penelitian Fatmawati (2007) yang menemukan faktor sensitivitas keadilan tidak berpengaruh terhadap perilaku etis auditor di Kantor Akuntan Publik. Pengalaman kerja mempegaruhi perilaku seseorang dalam menghadapi situasi dilema etika (Kidwell et al, 1987). Manager dengan dengan pengalaman kerja lebih lama mempunyai hubungan positif dengan pengambilan keputusan 30 etis. Hasil penelitian Glover et al (2002) menunjukkan bahwa mahasiswa senior lebih berperilaku etis dibandingkan dengan mahasiswa yunior. Widiastuti (2003) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi secara signifikan terhadap kode etik akuntan Indonesia antara akuntan senior dan yunior. Larkin (2000) melakukan penelitian yang melibatkan internal auditor di lembaga keuangan dan menyatakan bahwa internal auditor yang berpengalaman cenderung lebih konsevatif dalam menghadapi situasi dilema etika. Pengetahuan auditor tentang audit akan semakin berkembang dengan bertambahnya pengalaman kerja yang dapat diukur melalui lamanya auditor dalam menjabat jabatannya. Penelitian Prasetyo ( 2004) menunjukkan perilaku etis antara auditor senior dan yunior dipengaruhi oleh pengalaman kerja karena selama bekerja audior dihadapkan pada tidakan-tindakan yang berkaitan dengan perilaku etis. Sementara itu Fanani et al. (2008) mengemukakan bahwa tidak terdapat perbedaan etika penyusunan laporan keuangan antara pegawai senior dan yunior. Latar belakang pedidikan dan jenjang pendidikan menjadi faktor penting dalam peyelesaian sebuah pekerjaan (Lawrence, 1998). Seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tiggi dapat lebih baik dalam penyesuaian atas aturan baru dan mempunyai pegetahuan, keahlian dan kesanggupan dalam menyiapkan laporan keuangan. Penelitian Clikeman dan Henning (2000) menunjukkan bahwa mahasiswa akuntansi memiliki sikap yang lebih positif dibandingkan mahasiswa jurusan lain terhadap etika penyusunan laporan keuangan, dalam hal ini berkaitan dengan tindakan manajemen laba.