PEMBATALAN PERKAWINAN DENGAN ALASAN

advertisement
PEMBATALAN PERKAWINAN DENGAN ALASAN KETIDAKGADISAN
(Analisis Putusan Nomor: 019/Pdt.G/2007/PA.Bks)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana (S.Sy)
Oleh :
LAILA WAHDAH
NIM: 107044100297
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432H/2011M
PEMBATALAN PERKAWINAN DENGAN ALASAN KETIDAKGADISAN
(Analisis Putusan Nomor: 019/Pdt/G/2007/PA.Bks.)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Laila Wahdah
NIM: 107044100297
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag
NIP. 150321584
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432H/2011M
PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI
Skripsi
berjudul
PEMBATALAN
PERKAWINAN
DENGAN
ALASAN
KETIDAKGADISAN (Analisis Putusan Nomor: 019/Pdt.G/2007/PA.Bks.) telah
diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juni 2011. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. sy) pada
Program Studi Peradilan Agama.
Jakarta, 17 Juni 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua Majelis
:
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA
NIP. 195003061976031001
2. Sekretaris
:
Dra. Hj. Rosdiana, MA
NIP. 196906102003122001
3. Pembimbing
:
Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag
NIP. 150321584
4. Penguji I
:
Dra. Maskufah, M.Ag
NIP. 196807031994032002
5. Penguji II
:
Arip Purqon, M.Ag
NIP. 197904272003121002
PEDOMAN TRANSLITERASI
‫ا‬
= Tidak dilambangkan
‫ط‬
= t
Untuk Vokal Pendek /
‫ب‬
= b
‫ظ‬
= z
harokat dan tanwin
‫ت‬
= t
‫ع‬
= ‘
= a
pendek
‫ث‬
= ts
‫غ‬
= gh
= i
pendek
‫ج‬
= j
‫ف‬
= f
= u
pendek
‫ح‬
= h
‫ق‬
= q
konsonan
‫خ‬
= kh
‫ك‬
= k
= an
‫د‬
= d
‫ل‬
= l
= in
‫ذ‬
= dz
‫م‬
= m
= un
‫ر‬
= r
‫ن‬
= n
rangkap / double
‫ز‬
= z
‫و‬
= w
‫س‬
= s
‫ھ‬
= h
‫ش‬
= sy
‫ال‬
= lâ
‫ص‬
= s
‫ء‬
= ٰ
‫ض‬
= d
‫ي‬
= y
Untuk Vokal Panjang
Untuk Madd dan Diftong
‫ا‬
ْ‫َاو‬
= aw
ْ‫ُاو‬
= û
ْ‫اَي‬
= ay
ْ‫اِي‬
= î
‫و‬
‫ي‬
= â
= û
= î
Panjang
Panjang
Panjang
KATA PENGANTAR
   
Tiada kata selain rasa syukur yang paling dalam kehadirat Allah SWT, atas
hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang sangat
sederhana ini dengan baik dan tepat waktu.
Shalatullah wasalamuhu, semoga tetap tercurah limpahkan kepada Baginda
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, dan sahabat, yang telah mengemban risalah
Islam, sehingga dengan bekal sunnah dan syiroh beliau, umat Islam terhantarkan
dalam upaya mengamal baktikan seluruh syari’at Allah SWT.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menemui hambatan dan
cobaan. Walaupun harus melalui proses yang cukup sulit dan rumit, namun berkat
hidayah dan inayah Allah SWT sebagai manifestasi kasih sayang-Nya, penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan Penulis sadar dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini
hanyalah setitik debu untuk menuju jalan kesuksesan. Penulis juga sadar sepenuhnya
bahwa diri ini berutang budi kepada banyak pihak yang telah membantu langsung
maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga ingin mengucapkan
rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah berjasa, baik
berupa bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi inin dengan baik. oleh karena itu penulis patut menghaturkan
ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada:
v
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs., H. A. Basiq Djalil, SH., selaku Ketua Jurusan dan ibu Hj.
Rosdiana, MA., sebagai Sekertaris Jurusan Program Studi Ahwal AlSyakhsyiah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak. Dr. Muhammad Ali Wafa, S.Ag, M.Ag Selaku Dosen Pembimbing
yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan kesabarannya
untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Ketua Pengadilan Agama Bekasi beserta staf jajarannya dan Bidan Ari
Rokhriyanti, Am. Keb yang telah membantu proses kelancaran dalam
memeroleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.
5. Seluruh Dosen dan civitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum, terima
kasih atas ilmu dan bimbinganya. Seluruh Staf Akademik, Jurusan, Kasubag
Keuangan dan Perpustakaan terima kasih atas bantuan dalam upaya
membantu mempelancar penyelesaian skripsi ini.
6. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas pengorbanan dan cinta kasihnya baik moril
dan materill, serta doa yang tak terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan
studi Penulis. Segala hormat Penulis sembahkan.
vi
7. Seluruh keluarga besarku, kakak-kakak ku As’ad Samsul Arifin
Nurul
Hidayati, Nur Hasan dan Yulia, adik-adik ku Rosa rosmalayati Dan Ali zainal
abidin, serta ponakan ku Maulida dan Najmi Sharul Mubarok, yang senantiasa
memberi dorongan dan motivasi agar Penulis tetap semangat dalam
menempuh studi di kampus tercinta ini.
8. Teman-temanku tercinta, teman-teman seperjuangan di Peradilan Agama A
dan B angkatan 2007, semuanya yang tidak biasa disebutkan satu persatu,
yang
senantiasa
menebarkan
benih-benih
keceriaan
dalam
bingkai
kebersamaan. Semoga ukhuwah dan pertemanan yang kita jalin berjalan
dengan baik selamanya
9. Sahabat Delimaku, Astrian Widiyantri, Desi Amalia, Tajul Mutaqin, Mariah
dan Mariam Mahdalina, yang selalu berbagi dalam suka dan duka, yang setia
mendengarkan keluh kesah penulis dan selalu siap membantu penulis ketika
penulis mengalami kesulitan. Terimakasih atas persahabatan dan dukungan
yang kalian berikan. Semoga persahabatan kita abadi selamanya sampai tua
nanti.
Hanya kepada Allah-lah penulis berharap dan berdo’a agar beliau-beliau
mendapat balasan dari Allah dengan sebaik-baik balasan. Amin……..
Suatu kenyataan yang tak terpungkiri lagi terhadap kekurangan dan
kebodohan diri Penulis dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, untuk itu kritik
dan saran konstruktif selalu Penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan
datang.
vii
Akhirnya hanya kepada Allah Penulis memohon dan berharap, semoga skripsi
yang sederhana ini ada guna dan manfaatnya, baik untuk pribadi Penulis maupun bagi
mereka yang mencintai ilmu pengetahuan, serta bagi generasi penerus. Amin ya
Rabbal Aalamin
Sebagai kata akhir, penulis panjatkan doa semoga skripsi ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.
Jakarta, 31 Mei 2011
Penulis
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................
v
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah ....................................................................
1
B. Rumusan dan Pembatasan Masalah ..................................................
4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................
5
D. Metode Penelitian..............................................................................
7
E. Review Studi Terdahulu ....................................................................
9
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 11
BAB II
PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Pengertian Fasakh Dalam perkawinan ............................................. 13
B. Sebab Jatuhnya Fasakh Dalam Perkawinan ...................................... 17
C. Batalnya Perkawinan Dalam Prespektif UU No.1 tahun 1974 ........ 21
D. Batalnya Perkawinan Dalam Prespektif Kompilasi Hukum Islam .. 24
BAB III
KETIDAKGADISAN ISTRI SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN
PERKAWINAN
A. Kegadisan dan Ketidakgadisan Menurut Islam ................................. 29
B. Ketidakgadisan Menurut Ilmu Kedokteran ....................................... 34
1. Keperawanan Menurut Ilmu Kedokteran .................................... 34
ix
2. Sebab-sebab Hilangnya Keperawanan ........................................ 38
3. Ciri-ciri Keperawanan ................................................................. 40
C. Pengaruh Ketidakgadisan Dalam Keharmonisan Berumah tangga... 43
D. Ketidakgadisan Sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan................. 49
BAB IV ANALISIS PUTUSAN ( No: 019/Pdt.G/2007/PA. Bekasi ).
A. Deskripsi Kasus Perkara No: 019/Pdt.G/2007/PA. Bekasi ............... 51
B. Analisis
Putusan
No:
019/Pdt.G/2007/PA.Bekasi
Menurut
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
KompiLasi Hukum Islam .................................................................. 61
C. Analisis Penulis ................................................................................. 65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 70
B. Saran-saran ........................................................................................ 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah SWT, berpasang - pasangan
antara laki-laki dan perempuan yang dilindungi secara hukum dalam ikatan
perkawinan yang sah sesuai dengan syari’at Islam dengan tujuan untuk
membentuk rumah tangga atau keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.1
Membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah seperti dengan
apa yang menjadi cita - cita suami isteri, pada kenyataannya banyak yang tidak
sesuai dengan harapan, yang disebabkan oleh beberapa persoalan, sehingga
perkawinan tersebut tidak dapat diteruskan lagi. Salah satu persoalan yang sering
muncul dan menimbulkan perselisihan adalah seksualitas dan virginitas
(keperawanan) dari pihak wanita. Hal ini dimungkinkan, sebab sebagian
masyarakat kita masih menganggap bahwa persoalan virginitas itu merupakan
sesuatu yang harus diperhatikan, dijaga dan tidak dapat diremehkan.
Oleh sebab itu, apabila seorang suami mendapatkan kondisi istrinya tidak
seperti yang diharapkan seperti ketika setelah terjadinya perkawinan atau
dikatakan sudah tidak gadis lagi, terlepas dari unsur kesengajaan ataupun unsur
ketidaksengajaan dan juga di luar sepengetahuan istri seperti akibat dari olah raga
yang tanpa disadarinya merupakan penyebab utama dari ketidakgadisan itu.
1
Pasal 3, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, hal. 67
1
2
Dengan keadaan istri yang demikian, dapat dipastikan akan muncul reaksi
dari suami seiring dengan kenyataan yang dihadapinya. Reaksi ini akan timbul
bentuk yang beraneka ragam, tergantung dari penilaian masing-masing individu
yang mengalaminya. Bagi mereka yang dapat memahami dan menerima
kenyataan tersebut mungkin tidak ada masalah, namun bagi mereka yang tidak
dapat menerima tentu akan timbul masalah yang dapat berwujud kemarahan,
kecurigaan, kekecewaan dan merasa tertipu, yang selanjutnya akan berkembang
menjadi konflik di antara suami-istri tersebut, yang pada akhirnya mereka akan
mengambil jalan khiyar, yaitu meneruskan atau memutuskan perkawinan dengan
jalan yang baik.
Oleh karena itu hal tersebut seringkali dijadikan alasan oleh pihak suami
untuk menghentikan rumah tangganya dengan cara proses hukum yang disebut
pembatalan perkawinan2, sebagaimana yang tercantum pada pasal 27 ayat 2 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta KHI pasal 72 ayat 2 yang berbunyi ;
"Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan, apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka atau merasa tertipu mengenai diri suami atau istri.3
Pada prinsipnya secara yuridis formal, UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan telah menentukan batasan-batasan bagi para pihak untuk terjadinya
perceraian, dimana hal tersebut bersifat limitatif yang berarti tidak ada alasan lain
2
3
130
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional , (Jakarta: Reneka Cipta, 1991), hal. 67
Inpres RI No.1 Tahun 1991( Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia), Depag RI 1998, hal.
3
yang dapat dijadikan landasan untuk melakukan pembatalan perkawinan. Akan
tetapi menghadapi kasus ketidakgadisan yang menyebabkan munculnya perasaan
kecewa, merasa tertipu, kecurigaan dan kemarahan dari pihak suami, maka
diperlukan interpretasi/penafsiran guna mendapatkan landasan hukum yang tepat
dalam upaya menyelesaikan persoalan tersebut.
Dalam sebuah pernikahan kita sering mendengar kata fasakh. Fasakh dapat
di artikan “ rusak”, akan tetapi dalam hukum pernikahan fasakh diartikan dengan
rusaknya tali perkawinan, seperti: adanya cacat dalam akad atau karena sebab lain
yang datangnya belakangan (setelah akad baru diketahui), maka dengan
sendirinya tali pernikahan menjadi rusak.4
Zaman modern sekarang ini banyak sekali masyarakat kita terpengaruh
pada pergaulan bebas seperti: free sex yang berakibat hilangnya kegadisan
sehingga banyak wanita yang telah kehilangan keperawananya di luar tali
pernikahan. Ini berakibat banyaknya perceraian dan pembatalan perkawinan yang
disebabkan oleh kekecewaan masing-masing suami-istri, karena melihat
kenyataan setelah menikah
yang sama sekali tidak pernah mereka ketahui
sebelumnya.
Berdasarkan pemaparan di atas penulis mencoba melakukan penelitian
terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Bekasi dalam bentuk
skripsi dengan judul “Pembatalan Perrkawinan Dengan Alasan Ketidakgadisan
(Analisis Putusan Nomor: 019/Pdt.G/2007/PA. Bekasi )”.
4
Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 130
4
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama
Bekasi, maka penulis melakukan pembatasan yaitu hanya pada putusan
mengenai pembatalan perkawinan dengan perkara Nomor: 019/Pdt.G/2007/
PA.Bekasi”.
2. Perumusan Masalah
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang pasal 22
yaitu“ Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Namun pada kenyataanya masih banyak para pihak yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan tanpa mengikuti
aturan hukum yang ada, sehingga pernikahannya menjadi rusak dan dapat
dibatalkan seperti: istri yang melakukan kebohongan mengenai hal kondisinya
yang sudah tidak perawan.
Sehubungan dengan permasalahan di atas dan untuk memudahkan
penulis dalam penulisan skripsi ini, maka yang akan menjadi rincian rumusan
permasalahan skripsi ini antara lain:
a. Apa saja alasan-alasan melakukan pembatalan perkawinan yang terdapat
dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan?
b. Apakah ketidakgadisan seorang istri dapat dijadikan sebagai alasan pihak
suami untuk melakukan pembatalan perkawinan dalam pernikahan Islam?
5
c. Bagaimana pertimbangan Majelis hakim Pengadilan Bekasi dalam
memutuskan perkara pembatalan perkawinan disebabkan ketidakgadisan
istri?
Demikianlah, beberapa masalah yang dapat penulis rumuskan dalam
pembahasan skripsi ini.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis dalam skripsi ini dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui apa saja alasan-alasan melakukan pembatalan
perkawinan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan?
b. Untuk mengetahui hukum tentang ketidakgadisan istri dapat dijadikan
sebagai alasan suami untuk melakukan pembatalan perkawianan
c. Untuk mengetahui batasan-batasan sebagai alasan untuk melakukan
pembatalan perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 dalam putusan
Hakim Pengadilan Agama Bekasi.
2. Manfaat Penelitian
Meskipun dalam penulisan skripsi ini sifatnya sangat sederhana,
namun penulis sangat berharap setelah tersusunnya skripsi ini, penulis
mempunyai keyakinan ada beberapa manfaat yang sekiranya diperoleh baik
secara teoritis maupun secara praktis.
6
a. Secara Teoritis
Dapat
memberikan
pemikiran
bagi
pengembangan
ilmu
pengetahuan khususnya khazanah Islam yang berhubungan dengan ilmu
hukum, terutama tentang ketidakgadisan istri sebagai alasan pembatalan
perkawinan.
b. Secara Praktis
Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi masyarakat dan penegak hukum sehingga mempunyai
wawasan yang lebih komferhensip khususnya khazanah ilmu pengetahuan
pada umumnya dan bagi disiplin pengetahuan yang berkaitan dengan
masalah ketidakgadisan istri sebagai alasan suami untuk melaksanakan
pembatalan perkawinan sehingga dapat dijadikan landasan dalam
pemecahan masalah fiqh dan memberi pengertian pada masyarakat tentang
ketidakgadisan istri sebagai alasan suami untuk melaksanakan pembatalan
perkawinan, sehingga diharapkan masyarakat dapat terhindar dari
pergaulan yang menyesatkan dan menyimpang dari norma-norma hukum.
D. Metodelogi Penelitian
1. Pendekatan masalah
Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif analisis yaitu metode yang menggambarkan
dan memberikan analisa terhadap kenyataan dilapangan, sedangkan yang
7
dimaksud penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu adalah
penelitian hukum yang dilakukan untuk mengkaji aturan hukum yang bersifat
mengutus baik tertulis maupun tak tertulis. Dalam hal ini objeknya ialah
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan sebuah putusan
hakim di Pengadilan Agama.
2. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang di peroleh dari hasil kajian bahan hukum
terhadap Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
tentang pembatalan perkawinan dengan alasan ketidakgadisan, berserta
putusan Pengadilan Agama Bekasi No. 019/ Pdt.G/ 2007/ PA. Bekasi dan
hasil wawancara oleh hakim Pengadilan Agama Bekasi.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang
diambil dari buku-buku, internet yang terkait dengan permasalahan
pembatalan perkawinan
8
3. Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data
sebagai berikut:
a. Interview atau wawancara yaitu Tanya jawab lisan antara dua orang yang
bertujuan untuk mendapatkan data dari tanggan pertama (primer). Adapun
maksud dari wawancara tersebut adalah untuk mengetahui kewenangan
badan
Peradilan
Agama
dalam
menangani
kasus
Pembatalan
Perkawinan Dengan Alasan Ketidakgadisan.
b. Studi dokumentasi, terdiri dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum
primer, bahan hukum primer dalam skripsi ini adalah Undang-Undang
No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, KHI dan amar putusan Pengadilan
Agama Bekasi No. 019/ Pdt. G/ 2007/ PA. Bekasi, yang telah berkekuatan
hukum tetap. Sedangkan bahan hukum sekundernya adalah buku-buku
hukum lain yang mendukung dan memperjelas.
4. Metode Analisa Data
Data yang telah terkumpul diolah, dianalisis, dan diinterpretasikan
untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dengan langkahlangkah sebagai berikut :
a. Seleksi Data : setelah memperoleh data dan bahan-bahan penelitian baik
melalui studi dokumentasi, maupun wawancara, lalu diperiksa kembali
satu persatu agar tidak terjadi kekeliruan.
9
b. Klasifikasi Data : setelah data dan bahan diperiksa lalu di klasifikasikan
dalam bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil kesimpulan.
5. Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan adalah content analysist dan analisis
wacana. Dalam hal ini, setiap data akan dianalisis dari beberapa sudut
pandang. Data yang dianalisis merupakan data yang bersumber dari sumber
data, baik yang didapat melalui wawancara maupun studi dokumenter.
E. Review Study Terdahulu
Untuk menentukan arah pembahasan dalam penelitian skripsi ini, penulis
menelaah literature yang sudah membahas tentang judul yang akan di penulis
kemukakan dalam penulisan skripsi.
1. Nur Ulfah Mariana (Peradilan Agama) dengan judul “Pembatalan Perkawinan
Akibat Poligami Tanpa Izin Dari Istri Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus
Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”, di dalam skripsi ini menjelaskan
implikasi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
dalam menerapkan hukum poligami yang tidak memenuhi persyaratan.
Sedangkan yang penulis bahas adalah Pembatalan Perkawinan Dengan Alasan
Ketidakgadisan (Analisis Putusan No. 019/ Pdt. G/ 2007/ PA. Bekasi).
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam.
10
2.
Maimunah “Putusan Perkara Pembatalan Perkawinan Di Pengadilan Agama
Jakarta Timur” ( Peradilan Agama), Nim:102044125012, di dalam skripsi ini
Menjelaskan pembatalan
mempunyai istri,
perkawinan karena sebelumnya si suami sudah
sehingga pernikahan
dapat dibatalkan karena adanya
penipuan dalam hal status sosial yang dilakukan oleh salah satu pihak dan
diskripsi ini juga menjelaskan perbedaan KHI dan Undang-Undang No.1
tahun 1974 dalam pembatalan perkawinan. Sedangkan yang penulis bahas
adalah Pembatalan Perkawinan Dengan Alasan Ketidakgadisan (Analisis
Putusan No. 019/ Pdt. G/ 2007/ PA. Bekasi). Menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini tidak keluar dari pembahasan dan dari kerangka
yang telah ditentukan, maka penulis menggunakan sistematika pembahasan
sebagai berikut :
Bab pertama diawali dengan bab pendahuluan yang menggambarkan isi
skripsi diantaranya kerangka teori dan langkah-langkah penulisan secara
metodologi, review studi terdahulu dan sistematika penulisan, dalam bab
pendahuluan ini penulis menguraikan beberapa hal yang diperlukan, meliputi latar
belakang masalah yang diperlukan bagi pemahaman keseluruhan masalah yang
memuat beberapa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis sebagai problema
utama yang akan dicari jawabannya. Dalam bab ini juga terdapat tujuan dan
11
kegunaan penulisan skripsi ini yang diharapkan dapat menambah wawasan bagi
masyarakat tentang ketidakgadisan sebagai alasan pembatalan nikah. Kemudian
diterangkan penegasan judul yang berisi keterangan tentang isi judul tersebut,
serta dikemukan pula kajian pustaka sebagai uraian singkat mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dan dipaparkan metode yang
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan penulisan dan juga ditulis
sistematika pembahasan.
Bab kedua mengenai pembatalan perkawinan, bab ini merupakan pola
dasar pemikiran tentang hal-hal yang akan diuraikan secara diskriptif terkait
dengan masalah yang diangkat. Pertama, Pengertian fasakh dan Sebab jatuhnya
fasakh dalam pernikahan dan kedua, pengertian pembatalan perkawinan menurut
KHI serta menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
alasanya pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam Dan UndangUndang No.1 Tahun 1974, dan akibat pembatalan perkawinan menurut Kompilasi
Hukum Islam serta Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Bab ketiga, mengenai tentang ketidakgadisan istri, mulai dari pengertian
ketidakgadisan menurut Islam, Ketidakgadisan menurut kedokteran, Sebab-sebab
hilang kegadisan, pengaruh ketidakgadisan dalam keharmonisan berumah tangga.
sampai tentang ketidakgadisan sebagai alasan pembatalan perkawinan oleh pihak
suami.
Bab keempat, analisis putusan (No:019/Pdt.G/2007/PA.Bekasi). Dari
uraian bab dua dan bab tiga di atas, maka dapat diambil annalisa tentang
12
permasalahan yang dibahas, dari analisa dapat diketahui jawaban dari beberapa
pertanyaan dalam rumusan masalah didepan membahas tentang kedudukan
ketidakgadisan istri sebagai alasan pembatalan perkawinan dalam putusan hakim
menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Bab kelima, merupakan bab terakhir berupa penutup yang berisikan
kesimpulan atau ringkasan dan gambaran umum dari sebuah pembahasan.
Kemudian dilanjutkan dengan saran-saran yang sesuai dengan tujuan pembahasan
skripsi ini.
BAB II
PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Pengertian Fasakh Dalam Perkawinan
Pengertian fasakh secara umum bisa dipahami sebagai memutuskan atau
membatalkan suatu ikatan pernikahan disebabkan suatu alasan yang telah
ditentukan oleh syara. Arti fasakh ialah merusak atau membatalkan ini berarti
bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusak atas permintaan salah satu pihak
oleh Pengadilan Agama.
Di dalam fiqih, batalnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Yang
dimaksud fasakh, secara etimologi atau menurut bahasa adalah:
" Fasakh adalah merusak pekerjaan atau akad”
Sedangkan secara terminology atau istilah syar’i, fasakh adalah
pembatalan akad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat
antara suami dan istri.1
Fasakh artinya adalah batalnya perkawinan melalui pengadilan yang
hakikatnya hak suami istri disebabkan sesuatu yang diketahui setelah akad
berlangsung. Misalnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang
1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ( Beirut: Daarul Fikr, 1983), jilid: viii, cet ke-37, hal. 268.
13
14
menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah
perkawinan.2
Sedangkan menurut Ali Hasabillah dalam bukunya al-furqah Baina
Zaujani, mengatakan tentang definisi fasakh secara terminology adalah suatu
yang merusak akad (perkawinan) dan dia tidak dinamakan talaq.3
Sayyid Sabiq dalam kitab karanganya Fiqih Sunnnah menyatakan, bahwa
memfasakh akad nikah adalah membatalkan dan melepaskan ikatan pertalian
antara suami istri, fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi
pada akad nikah atau karena hal-hal lain yang datang membatalkan kelangsungan
perkawinan.4
Adapun contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam
akad perkawinan adalah:
1. Setelah akad nikah ternyata istri adalah saudara susuan
2. Suami istri masih kecil diakadkan setelah dewasa, ia berhak untuk
meneruskan ikatan perkawinanya dahulu itu atau mengakhirinya. Khiyar ini
disebut dengan khiyar baliq. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri,
hal ini disebut dengan fasakh akad.
Dari definisi lain, Abdul Mujid mengartikan fasakh sebagai alasan
pembatalan perkawinan oleh istri karena antara suami dan istri terdapat cacat atau
2
( http:// makmun-anshory. Blogspot. com/ 2009/06/ khulu-dan-fasakh-dalam-hukum-Islam.
Html, diaskes di Jakarta 20 Desember 2011.
3
Ali Hasabillah, al-furqah Baina Zaujani,( Kairo : Daarul fikr, 1949), cet ke 1, hal. 169.
4
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terjemahan. Nor Hasanuddin, (Jakarta : Pena Pundi Aksara,
2006), hal. 211.
15
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau suami tidak dapat memberi uang
belanja atau nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya.
Para ulama telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari para istri
mengetahui ada aib pada pihak lainnya sebelum akad nikah dan ia menerima
secara tegas atau ada tanda yang menunjukan kerelaannya, maka hak untuk
meminta fasakh dengan alasan aib tersebut hilang.
Ada 8 (delapan) aib atau cacat yang membolehkan khiyar di antaranya:
Tiga berada pada keduanya (suami atau istri) yaitu gila, penyakit kusta dan supak.
Dua terdapat dalam laki-laki yaitu: unah (lemah sahwat), impoten. Tiga lagi dari
perempuan yaitu: tumbuh tulang dalam lubang kemaluan yang menghalangi
persetubuhan, dan tumbuh daging dalam kemaluan, atau basah karena penyakit
(keputihan) yang menyebabkan hilangnya kenikmatan bersetubuh.5
Selain fasakh ada juga istilah yang hampir sama dengan fasakh yaitu
fasid. Menurut Al-Jaziri yang dimaksud dengan nikah fasid nikah yang tidak
memenuhi syarat-syarat sahnya untuk melaksanakan pernikahan, sedangkan
fasakh atau nikah bathil adalah nikah yang tidak memenuhi rukun nikah yang
telah ditetapkan oleh syara. Hukum dari kedua bentuk perikahan itu adalah sama
saja yaitu tidak sah.6
5
Muhammad Jawad Mughnyiah, Fiqh Lima Madzhab, terjemahan, ( Jakarta: PT Lentera
Basretama, 2004), hal. 351
6
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqhu Ala Al-Mazhibil Al-Arba’ah, Juz IV, (Beirut: Darul
fikri,1982), hal.118
16
Hukum Islam menganjurkan sebelum pernikahan dibatalkan terlebih
dahulu perlu diadakan penelitian yang mendalam untuk memperoleh keyakinan
bahwa semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam sudah tepenuhi.
Jika persyaratan tersebut masih belum lengkap atau masih terdapat halangan,
maka pelaksanaan akad pernikahan perlu dicegah.
Menurut Al-Jaziri jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh seseorang
tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja dan belum
terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut perlu dibatalkan, yang melakukan
perkawinan tersebut tidak berdosa, jika terjadi persetubuhan maka itu dipandang
sebagai wathi’syubhat, tidak dipandang sebagai perzinahan.7
Maka maksud dari fasid disini adalah merupakan suatu putusan
Pengadilan yang diwajibkan melalui persidangan bahwa perkawinan yang telah
dilangsungkan tersebut mempunyai cacat hukum, hal itu disebabkan tidak
terpenuhi persyaratan atau rukun nikah atau disebabkan dilanggarnya ketentuan
yang mengharamkan perkawinan tersebut.
Dari pemaparan tentang pengertian batal perkawinan secara literal di atas
dapatlah dikemukan bahwa secara sederhana yang dimaksud batalnya perkawinan
atau pembatalan perkawinan ialah rusak atau tidak sah perkawinanya kerena tidak
memenuhi salah satu syarat perkawinan atau diharamkan oleh agama.
7
Abdurrahman Al-Jaziri., Al-Fiqhu Ala Al-Mazhibil Al-Arba’ah,jilid IV, (Beirut: Darul
fikri,1982) hal.119
17
Jadi pembatalan perkawinan mengangap perkawinan yang telah dilakukan
sebagai peristiwa yang tidak sah atau diangap tidak pernah ada. Dengan begitu
perkawinan tersebut cacat menurut hukum dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
B. Sebab Jatuhnya Fasakh Dalam Perkawinan
Ada beberapa hal yang menyebabkan perkawinan dapat rusak atau
difasakhkan, dengan fasakh tersebut akad perkawinanya tidak berlaku lagi
Sebab-sebab itu antara lain:
1. Apabila seorang laki-laki menipu seorang perempuan atau sebaliknya.
Misalnya seorang laki-laki mandul, maka si perempuan atau laki-laki berhak
mengajukan Fasakh manakala dia memngetahui, kecuali bila ia memilih untuk
tetap menjadi suami atau istri dan Ridha digauli. Umar bin Khatab berkata
kepada laki-laki yang mandul dan akan mengawini seorang perempuan:“
Beritahukan padanya bahwa kamu mandul, biarkan dia memilih“.
2. Seseorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan yang mengaku perawan
tetapi ternyata janda, maka laki-laki tersebut berhak minta ganti rugi
maharnya sebanyak sekitar mahar seorang gadis atau janda.
3. Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, kemudian kedapatan bahwa
si istri cacat tidak dapat di campuri. Misalnya selalu ishtihadhah atau selalu
keluar darah dari rahimnya, Istihadhah adalah aib, karena itu ia dapat
menyebabkan fasakh dan merusakan nikah.
18
4. Seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tetapi di tubuh perempuan ada
penghalang yang menyebabkan si istri tidak dapat di gauli, misalnya
kemaluanya tersumbat, tubuh daging atau robek, atau ada tulangnya, suami
boleh mengajukan fasakh dan membatalkan akadnya.
5. Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan tetapi perempuan itu
mengidap penyakit atau cacat seperti supak, kusta atau gila.8
Wanita boleh dikembalikan lagi kepada keluarganya karena mengidap
salah satu dari lima cacat, yaitu: gila, lepra, sopak, lubang kemaluan mampat
(rataq)
ataupun
terdapat
didalamnya
tulang
(qarn)
yang
menggangu
persetubuhan.9
Sebaliknya, laki-laki pun boleh ditolak dengan lima cacat: gila, lepra,
sopak, batang zakar putus ataupun tidak berdaya (impoten). Karena dengan
pernikahan dimaksudkan agar hubungan bisa langeng, sedangkan dengan adanya
penyakit-penyakit tersebut kesenangan bersama tak bisa dicapai. Maka disini
diperbolehkan memilih, apakah perkawinan akan diteruskan atau tidak, agar
memimbulkan bahaya pada kedua belah pihak yang tiada berkesudahan. Karena
Islam tentu tidak menghendaki baha apapun hal-hal yang menimbulkan bahaya:
َ‫( َال ضَرَ َر وَ الَضِرَر‬dalam keadaan darurat tidak apa-apa jika tidak melakukan suatu
kewajiban).
8
Alhamdani H.SA, alih bahasa Drs. Agus Salim, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam
(Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hal. 52
9
Syaikh Kamil Muhamad’Uwaidah, Fikih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hal.
433
19
Demikianlah hal-hal yang berkaitan dengan cacat yang menyebabkan lakilaki dan perempuan berhak membatalkan akadnya apabila salah satu pihak
mempunyai cacat yang tidak diketahui pada waktu akad di langsungkan. Maka
suami berhak mengajukan fasakh dan membatalkan perkawinanya, maka si
perempuan juga berhak mengajukan fasakh apabila suami mempunyai cacat yang
menyebabkan ia lari dari suaminya.10
Fasakh juga dapat terjadi ketika seorang suami atau istri terbukti melangar
syarat-syarat pernikahan yang sebelumnya telah disepakati oleh kedua belah
pihak ketika terjadinya akad pernikahan dan dihadiri oleh hakim misalnya ketika
seseorang calon suami atau istri mengajukan syarat seperti merdeka, cakap, kaya,
perawan atau perjaka, terbebas dari aib seperti: “ saya nikahkan kamu dengan
syarat bahwa kamu perawan atau merdeka ”. Ketika telah terjadi pernikahan dan
diketahui istrinya didapati tidak perawan karena sebab zina maka pernikahan
tersebut akan fasakh dengan sendirinya. Hal ini dapat terjadi karena adanya salah
satu syarat yang tidak terpenuhi atau telah mengingkari syarat nikah dan juga
adanya salah satu pihak yang merasa dirugikan.
Namun ketika tidak adanya syarat yang disebutkan dalam akad pernikahan
dan didapati istrinya sudah tidak perawan maka suami dapat memilih antara
mempertahankan pernikahan atau membatalkanya, ini semua berdasarkan yang
telah dijabarkan oleh Sayyid Ad-Dimyati dalam kitabnya I’anatu Tholibin.11
10
Syaikh Kamil Muhamad’Uwaidah, Fikih Wanita,. hal.434
Ad-Dimyati, I’anatut Thalibin, (ttp. Kerjasama Syirkahal-Ma’arif Lithobi an-Nashr dengan
Syirkah Nurul Tsaqofahal-Islamiyyah ), Juz 3,tth. hal. 336-337
11
20
‫ا‬
Artinya: “Dan diperbolehkan atas suami dan istri untuk memilih dengan berbagai
syarat yang telah terjadi ketika akad bukan sebelum akad. Seperti
syarat pada salah satu suami atau istri adalah merdeka atau memiliki
keturunan yang baik atau kecakapan atau keperawanan atau
keperjakaan atau bersih dari aib-aib seperti saya menikahkan engkau
dengan syarat bahwasanya kamu masih gadis atau merdeka. Maka jika
telah jelas dengan apa-apa yang telah disyaratkan maka jatuhlah
fasakh sekalipun tanpa ada qadhi (hakim) seperti telah disyaratkan
sebuah kegadisan akan tetapi diketahui bahwa ia tidak gadis maka
diperbolehkanya kepergiannya (wanita) atas keinginan suami dan ia
telah mengingkari sebuah kejujuran. Atau telah hilang keperjakaan
maka perempuan berhak untuk meningalkanya kerena ia telah
mengingkari syarat nikah. Maka berdasarkan pendapat ulama semua
adalah hak istri untuk menfasakhnya juga. Akan tetapi berdasarkan
pendapat yang dibenarkan bahwa bagi istri untuk mengembalikan
mahar jika di thalaq sebelum dukhul ”.
Mengenai sebab merasa tertipu oleh pihak lawan berakad maka dapat
memohon kepada pihak Pengadilan Agama karena terdapat hal-hal yang tidak
mungkin mendatangkan ketentraman dalam pergaulan hidup berumah tangga
mereka. Misalnya ada pengakuan sebagai anak kandung dan ternyata anak asuh
saja, atau istri mengaku gadis tetapi ternyata tidak gadis dan sebagainya.12
12
hal. 143
Achma Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1995), cet ke-1,
21
Maka disini telah terjadi unsur penipuan atau pembohongan dari pihak
perempuan yang dilarang oleh syari’at, aib yang ada pada diri perempuan telah di
tutup-tutupinya atau oleh keluarganya. Padahal pernikahan itu harus bersendikan
kejujuran dan ketulusan, untuk mencapai tujuan pernikahan dan apabila terjadi
penipuan maka tujuan tersebut tidak akan tercapai dengan baik.
C. Batalnya Perkawinan Dalam Perspektif UU No.1 Tahun 1974
1. Pengertian Fasakh
Masalah pembatalan perkawinan sudah diatur dalam Undang-undang
Perkawinan yang dinyatakan dengan tegas pada pasal 22 yaitu“ Perkawinan
dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan”.
Dalam penjelasannya, kata ”dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa
batal atau bisa tidak batal, apabila menurut ketentuan hukum agamanya
masing-masing tidak menentukan lain. Istilah “dapat”nya perkawinan dapat
menimbulkan salah faham karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian
batal (nieting) tersebut. Batal berarti nieting zonder kracht (tidak ada
kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nieting
verklaad, sedangkan absolute nieting adalah pembatalan mutlak.13
13
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal
Center Publishing, 2002), hal. 25
22
Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-undang ini berarti dapat
difasidkan jadi relative nieting. Dengan demikian perkawinan ini dapat
dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena
adanya pelangaran terhadap ketentuan aturan tertentu.14
Pada dasarnya terjadinya pembatalan perkawinan bisa disebabkan
dua
kemungkinan.
Pertama,
adanya
pelangaran
terhadap
prosedur
perkawinan. Misalnya tidak terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak
dihadiri para saksi dan alasan prosedur lainya. Kedua, adanya pelanggaran
terhadap materi perkawinan. Misalnya perkawinan dilakukan dengan
ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami istri.15
Mengenai konsep pembatalan perkawinan di dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkwinan yang diatur dalam pasal 22, 24,26 ayat 1
dan 2, dalam pasal 27 ayat 1 dan 2 (mengatur mengenai sebab-sebab batalnya
perkawianan), pasal 23 (para pihak yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan),16 pasal 25 (tempat mengajukan pembatalan perkawinan, pasal 28
ayat 1 mulai (berlaku pembatalan perkawinan), pasal 28 ayat 2 (akibat hukum
pembatalan perkawinan), pasal 26 ayat (2) dan pasal 27 ayat (3) (gugur hak
pembatalan perkawinan).
14
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Direktorat Pembinanan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Tahun 2001,
hal. 154
15
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, Juli 2006), cet ke-3, hal. 107
16
Abdul Mannan dan Fauzan, Pokok-pokok Hukum Pedata: Wewenang Peradilan Agama,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hal. 19
23
2. Sebab Jatuhnya Fasakh
Di dalam Undang-undang perkawinan. Pasal 22 Perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Pasal 24 “Barang siapa karena perkawinan masih
terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih
adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru,
dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undangundang ini”. Pasal 26 (1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau
yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami
atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. (2) Hak untuk membatalkan oleh suami
atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka
setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte
perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya
sah.
Pasal 27, (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan
dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri
dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
isteri.
24
D. Batalnya Perkawinan Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam
1. Pengertian Fasakh
Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang
artinya merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab
putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan
perkawinan yang telah berlangsung. Secara definitif, sulit untuk memberikan
rumusan tentang pembatalan perkawinan, namun untuk sekedar memberikan
batasan agar dipahami apa yang dimaksud pembatalan perkawinan tersebut,
maka pembatalan perkawinan diartikan sebagai suatu tindakan guna
memperoleh keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang
dilaksanakan batal.
Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan definisi pembatalan
perkawinan secara konkrit, namun Kompilasi Hukum Islam hanya
menguraikan mengenai konsepsi dari pembatalan perkawinan serta hal-hal
yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam mengenal dua macam pembatalan
perkawinan yaitu: perkawinan batal demi hukum dan perkawinan dapat
dibatalkan.
Perkawinan batal demi hukum yaitu Perkawinan yang melangar
larangan perkawinan yang mutlak, sehingga perkawinan mutlak harus
dibatalkan. Sedangkan perkawinan dapat dibatalkan yaitu yang melangar
larangan suatu perkawinan yang bersifat relative, pelanggaran larangan
25
perkawinan tanpa sengaja. Kekurangan syarat, sehingga perkawinan dapat
dibatalkan dan bisa pula tidak dapat dibatalkan.
Dalam mengemukan jenis perkawinan yang dibatalkan, Kompilasi
Hukum Islam mengaturnya dalam beberapa pasal: pasal 70,71 dan 72 ayat 1
dan ayat 2 (mengatur mengenai sebab-sebab batalnya perkawinan) pasal 74
ayat 1 (tempat pengajuan gugatan pembatalan perkawinan), ayat 2 (saat di
mulai berlakunya pembatalan perkawinan), pasal 75 dan 76 (akibat hukum
pembatalan perkawinan), pasal 73 ayat 3 (gugur hak pembatalan
perkawinan).17
Dengan demikian, jelaslah bahwa Kompilasin Hukum Islam secara
eksplisit mengandung dua pengertian pembatalan perkawinan yaitu, pertama
perkawinan batal demi hukum seperti yang termuat pada pasal 70 dan kedua
perkawinan yang dapat dibatalkan (relatif) seperti yang terdapat pada pasal 71.
2. Sebab Jatuhnya Fasakh
Sehubungan dengan sahnya perkawinan, selain harus memenuhi
syarat-syarat dan rukun perkawinan, perlu diperhatikan juga ketentuanketentuan yang ada dalam hukum perkawinan Islam. Apabila dikemudian hari
diketemukan penyimpangan terhadap syarat sahnya perkawinan maka
perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan menjadikan ikatan
perkawinan yang telah ada menjadi putus. Ini berarti bahwa perkawinan
tersebut dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada, dan suami isteri yang
perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri.
17
H. Abdurrahman. Kompilasi hukum Islam, Akademia presindo, 1991
26
Fasakh disebabkan oleh dua hal18:
a. Disebabkan oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau
terdapat adanya halangan perkawinan.
b. Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak
memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan.
Beberapa faktor penyebab terjadinya pembatalan perkawinan atau
fasakh tersebut, ialah:19
a. Syiqaq
Yaitu adanya pertengkaran antara suami isteri yang terus menerus.
Ketentuan tentang syiqaq ini terdapat dalam QS: an-Nisa ayat 35 yang
berbunyi:
           
           
 
35/4:‫النساء‬
Artinya: dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
Maka kirimlah seorang hakam20 dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang
hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.21
18
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 253
19
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, hal. 245-252
20
Hakam ialah juru pendamai.
21
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Bandung: Gema Risalah Press,
1993), hal. 66
27
b. Adanya cacat
Yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani
atau cacat rohani atau jiwa. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum
perkawinan, namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku
setelah terjadi akad perkawinan, baik ketahuan atau terjadinya itu setelah
suami isteri bergaul atau belum.
c. Ketidakmampuan suami memberi nafkah
Pengertian nafkah disini berupa nafkah lahir atau nafkah batin, karena
keduanya menyebabkan penderitaan dipihak isteri.
d. Suami gaib (al-mafqud)
Maksud gaib disini adalah suami meninggalkan tempat tetapnya dan tidak
diketahui kemana perginya dan dimana keberadaannya dalam waktu yang
lama.
e. Dilanggarnya perjanjian dalam perkawinan
Sebelum akad nikah suami dan isteri dapat membuat perjanjian
perkawinan. Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan tersebut dapat
menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan.
Sebab-sebab perkawinan dapat batal demi hukum dan dapat dibatalkan
oleh Pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan
perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedur perkawinan. Kedua, pelanggaran
tehadap meteri perkawinan.22 Perkawinan yang dapat dibatalkan adalah suatu
22
Abdull Manan dan Fauzan, Pokok-pokok Perdata: Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta;
Rajawali Pers, 2000), hal. 19
28
perkawinan yang berlangsung antara calon suami istri, namun salah satu
pihak dapat meminta kepada Pengadilan supaya perkawinan tersebut
dibatalkan.23
Adapun alasan pembatalan perkawinan karena terdapat sesuatu pada
suami atau istri yang menyebabkan tidak mungkin melanjutkan hubungan
perkawinan baik karena diketahui bahwa salah satu di antara rukun dan syarat
tidak terpenuhi atau terjadi sesuatu dikemudian hari, maka perkawinan
dihentikan baik oleh hakim atau dengan sendirinya seperti kebohongan
mengenai kondisi istri yang sudah tidak perawan lagi. Adapun alasan
pembatalan perkawinan karena adanya kesalahan yang terjadi pada waktu
akad atau sesuatu yang terjadi kemudian setelah akad itu yang mencegah
kelangsungan hubungan perkawinan itu.24
Apabila pembatalan perkawinan telah terjadi, baik dalam bentuk
pelanggaran terhadap hukum perkawinan, atau terdapatnya halangan yang
tidak memungkinkan dilanjutkannya perkawinan, maka terjadilah akibat
hukum berupa tidak diperbolehkannya suami rujuk kepada mantan isterinya
selama isteri itu menjalani masa iddah. Akan tetapi apabila keduanya
berkeinginan untuk melanjutkan perkawinannya, mereka harus melakukan
akad nikah baru. Akibat lainnya ialah pembatalan perkawinan tersebut tidak
mengurangi bilangan thalaq.25
23
Salim HS., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) cet
ke-2, hal.71
24
Amir Syarifuddin, Gari-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003 ) cet ke-2, hal. 133
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 253
25
BAB III
KETIDAKGADISAN ISTRI SEBAGAI
ALASAN PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Kegadisan dan Ketidakgadisan Menurut Islam
Dalam Islam sendiri, memang masalah keperawanan tidak pernah
disinggung secara tegas, hanya ada beberapa masalah hukum yang dikaitkan
dengan keperawanan ini, diantaranya tentang perwalian bagi wanita yang akan
menikah, selebihnya Islam bisa dibilang tidak terlalu mempermasalahkan
keperawanan. Bahkan Rasulullah SAW, beberapa kali menikah dengan wanitawanita yang bukan perawan lagi. Jadi ada orang yang mempermasalahkan
keperawanan dan mencari dasar dalam Islam, dia tidak akan menemukannya.
Islam hanya mempermasalahkan bagaimana cara hilangnya keperawanan
itu, apakah melalui prosedur tetap yang benar, yakni melalui pernikahan yang sah,
atau diobral sebagai sedekah dengan alasan cinta buta, ekonomi atau alasanalasan lain yang lebih bersifat duniawi. Dalam hal ini Islam sangat ketat dan
sangat tegas mengatur prosedur menghilangkan keperawanan ini, yang hanya bisa
dilakukan melalui satu prosedur tetap, yaitu pernikahan yang sah. Sedangkan
alasan-alasan lain yang lebih bersifat duniawi, Islam dengan tegas menetapkan
proses penghilangan keperawanan itu sebagai tindakan melawan hukum dengan
hukuman yang sangat berat.1Misalnya seorang gadis yang melakukan hubugan
1
http// id. Wikipedia.org/wiki. hilangnya keperawanan, hoeda, on September 14th, 2009
29
30
badan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya atau disebut dengan berzina, maka
ia wajib dihukum rajam sebanyak 100 kali rajam.
Keperawanan secara bahasa bermakna virginity atau kesucian atau
kegadisan, yang dima‟nai seorang wanita yang belum pernah melakukan
hubungan seksual atau sengama. Wanita yang masih perawan disebut gadis.2
Keperawanan atau kevirgin berasal dari kata ُ‫بِكْر‬-َ‫ اَبْكَر‬perawan ٌ‫ بِكُر‬atau
ُ‫ العُزّرِيَة‬kata yang biasanya di tandai dengan adanya selaput darah pada diri seorang
wanita,3 dalam Islam adalah Farji vagina seorang wanita yang secara syara belum
pernah dimasuki oleh sesuatu atau dukhul. Dalam kata lain kemaluan seseorang
wanita belum pernah bersetubuh sehingga kemaluan dari farjinya masih utuh dari
penjamahan apapun termasuk kecelakaan secara fisik. Sedangkan secara istilah
keperawanan adalah selaput tipis yang ada dalam kemaluan wanita, yang disebut
juga dengan kegadisan.4
Perawan adalah yang belum pecah selaput daranya, atau juga istilah
perawan mengandung arti belum pernah melakukan hubungan seksual. Sementara
itu istilah tidak perawan digunakan bagi perempuan yang sudah pernah
melakukan hubugan seksual.
2
3
http://id. Wikipedia.org/wiki/perawan, diaskes tanggal 10 Februari 2011
Ahmad Warson Munawir, Al- Muawir kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Agustus 1984),
4
M. Nu‟amin Yasin, Fiqih Kedokteran (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet ke-enam, hal.
hal. 110
74
31
Demikian halnya laki-laki disebut perjaka jika ia belum pernah mengauli
wanita, dalam sebuah hadits disebutkan:
Artinya: “Seseorang perjaka yang sudah melakukan hubungan seksual dengan
seseorang gadis, maka hukumnya didera seratus kali dan dibuang dari
negerinya selama setahun”.(HR. Muslim)5
Keperawanan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam Islam, karena
yang dimaksud adalah kesucian seorang wanita dengan cara memelihara dirinya
dari hubungan atau pergaulan yang menyimpang dari syariat, yang mengandung
dosa dan murka dari Allah, bukan perawan dalam arti utuh yaitu selaput darah
perempuan yang mengalir tidaknya darah di malam pertama, karena itu tidak
menjadi tolak ukur keperawanan seorang perempuan.
Keperawanan dalam Islam sangat urgent dengan sebab:
1.
Membedakan status janda dan status gadis dalam ikatan perkawinan
2.
Membedakan gadis baik-baik atau gadis sholeha dengan gadis binal yang
statusnya gadis tetapi keperawananya sudah diumbar kemana-mana.
3.
Menurut ad-Dimyati dalam kitab Inatut Thalibin menjelaskan
5
Imam Muslim, Shohih Muslim, ( Beirut: Dar-aFikr,tth), jilid I, hal. 723
32
Artinya: “Dan di perbolehkan bagi suami dan istri untuk memilih dengan
sebagai syarat yang telah terjadi ketika akad bukan sebelum akad
Seperti syarat pada salah satu suami atau istri adalah merdeka atau
memiliki keturunan yang baik atau kecakapan atau keperawanan
atau keperjakaan atau bersih dari aib-aib seperti saya menikahkan
engkau dengan syarat.6
Seperti syarat pada salah satu suami atau istri adalah merdeka atau
memiliki keturunan yang baik atau kecakapan atau kegadisan atau keperjakaan
atau bersih dari aib-aib seperti saya menikahkan engkau dengan syarat
bahwasanya kamu masih gadis atau kamu merdeka”.
Dalam al-Qur‟an Allah memerintahkan setiap orang beriman, baik lakilaki maupun perempuan, untuk senantiasa menjaga kehormatanya dan
menjauhkan hal-hal yang dapat membawa kepada ternodanya kesucian, Allah
berfirman:
            
30/24:‫ النور‬     
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian
itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat".(Q.S. An-Nur:30).
Sedangkan pada kaum wanita yang beriman, Allah lebih detail lagi dalam
menekankan pentingnya mereka menjaga kehormatan dan menghindari diri dari
6
Ad- Dimyati, I’anatut Thalibin, (ttp. Kerjasama Syirkahal-Ma‟arif Lithobi an-Nashr dengan
Syirkah Nurul Tsaqofahal-Islamiyyah ), Juz 3,tth. hal. 336-337
33
perbuatan yang dapat membawa kepada timbulnya permasalahan dan menodai
kesucian. Dalam Al-Qur‟an Allah berfirman:
         
             
         
            
           
              
31/24:‫ النور‬         
Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung. (Q.S. An-Nur:31)
34
Ajaran dalam Islam tentang keperawanan sudah sangat jelas, Islam
mengharuskan setiap umatnya, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjaga
kehormatannya dan tidak menyerahkan kesuciannya, kecuali pada pasangan hidup
yang sah menurut ajaran agama, jadi setiap wanita wajib menjaga virginitasnya
(keperawananya) dan hanya boleh menyerahkan kepada sang suami.
Berdasarkan keterangan di atas penulis bisa menyimpulkan bahwa Islam
sangat menjunjung tinggi permasalahan kegadisan, dapat dijadikan sebagai khiyar
syarat dalam akad nikah dengan syarat ketika khiyar tersebut harus dihadiri oleh
hakim, maka akibat hukumnya ketika setelah akad nikah dan sang istri terbukti
telah kehilang kegadisanya, maka pernikahan fasakh dengan sendirinya. Hal yang
demikian seperti khiyar syarat dalam jual beli.
B. Keperawanan Menurut Ilmu kedokteran
1. Keperawanan Menurut Ilmu kedokteran
Menurut kamus kedokteran Vir-gin (I-Virgo) adalah seseorang yang
belum pernah melakukan hubungan seksual. Vir-gin-al berkenaan dengan
seorang perawan/keperawan. Vir-gin-ity (L.Virginitas) adalah keadaan masih
perawan.7Keperawanan adalah belum pernah berhubungan seksual, dalam
bahasa Inggris, perawan disebut virginity.8Kata perawan atau virgin berasal
dari kata virgo dalam bahasa Yunani dan Latin yang berarti gadis atau
7
.Dorlan, W.A.Newman, kamus kedokteran Dorland, alih bahasa, dr Huriawati Hartanto,dkk,
( Jakarta : penerbit Buku kedokteran EGC, 2002) ,edisi-29, hal. 2398
8
John M. Echols dan Hasan Syadily, kamus Bahasa Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2000), cet ke- 24, hal. 630
35
perawan. Kata “perawan” dalam bahasa Indonesia memiliki akar kata “rawan”
atau mudah terkena sesuatu atau patah atau robek. Bisa juga kata rawaniotu
mengambarakan sifat yang mudah terpengaruh. Dengan demikian, secara
etimologis, pada awal kata “ perawan ” tidak hanya menunjuk pada pada
wanita saja, tetapi bisa juga dikenakan laki-laki. Analogi kata “perjaka” dan
“keperjakaan” malah mengaburkan makna yang tersirat didalamnya. Seakanakan “perjaka” tidak memiliki sifat yang rentan seperti yang di jelaskan di
atas.9
Seperti yang di jelaskan bahwa seorang perawan adalah seorang
wanita yang belum pernah melakukan hubungan seksual atau senggama.
Secara umum „perawan‟ juga direlasikan dengan kesucian. Secara istilah
Islami, keperawanan bukan sekadar masih utuhnya selaput dara di vagina,
melainkan setiap wanita yang belum pernah melakukan aktivitas-aktivitas
seksual.
Bagi beberapa orang yang mempunyai pemikiran yang cukup terbuka,
kehilangan keperawanan bukanlah suatu hal yang perlu dirisaukan, atau
bahkan dipermasalahkan. Bahkan kalau kita sempat berkeliling dunia maya,
dan masuk kebeberapa forum yang membahas tentang pengalaman mereka
yang telah kehilangan keperawanan, beberapa diantaranya sepertinya
“bangga”dengan status barunya itu.
9
Dr. Pribakti B,ApOG (K), Tips dan Trik Merawat Organ Intim Panduan Peraktis Kesehatan
Reproduksi Wanita, ( Yokyakarta: Pustaka Banua, 2008), cet ke-1 hal.1
36
Dalam zaman pertengahan, virginitas menjadi istilah seksual yang
menunjukan pada wanita hatero seksual yang secara fisik belum pernah di
masuki alat kelamin pria. Keperawanan di anggap pemberian Tuhan yang
hanya boleh di lepaskan untuk suami. Wanita diharapkan menahan diri sampai
perkawinan. Seseorang wanita di anggap menjatuhkan kehormatan keluarga
kalau ia berhubungan seks sebelum menikah. Jika melangar akan dihukum
berat. Pada zaman itu, untuk membuktikan keperawanan dipakai cara medis
atau mistik.
Berbicara tentang keperawanan berarti menyangkut dengan selaput
dara (hymen) karena kebanyakan orang mengangap bahwa seseorang diangap
masih virgin ketika pertama kali bersengama mengeluarkan darah atau sobek
selaput daranya. Akan tetapi saya jelas-jelas kurang setuju apabila ukuran
sebuah virginitas diukur pada ada atau tidaknya hymen. Ya, hymen, atau
selaput dara. Keperawanan tidak identik dengan masih utuh atau tidaknya
hymen. Karena hymen ada yang mudah sobek walaupun sang pemilik hanya
jatuh dari sepeda waktu kecil atau terkena hal-hal lain. Ada juga meskipun
sudah hamil hymen masih tetap utuh meskipun sudah 'dicelupin', karena
hymen-nya elastis dan baru rusak setelah melahirkan. 10
Hymen juga ada yang tipis dan ada yang tebal. Jadi, untuk wanita yang
punya hymen tipis itu mudah sekali robek walaupun cuma gara-gara jatuh.
Ada juga pesenam atau penari yang ngelakuin split, sehingga hymen-nya
10
http// id. Wikipedia.org/wiki perawan, diaskes tanggal 10 Februari 2011
37
robek. Itu tidak bisa dijadikan satu alasan untuk kehilangan keperawanan.
Virginitas itu hilang begitu telah terjadi hubungan seks, baik merusak hymen
atau tidak. Rusaknya hymen hanya salah satu indikasi saja, meskipun tidak
selalu identik dengan masih perawan atau tidak.
Tinjauan masalah keperawanan tergantung dari mana melihatnya,
biasa di tinjau dari religious atau sosial. Batasan keperawanan untuk
masyarakat Indonesia pada umumnya masih sangat relative. Yaitu diukur dari
ada tidaknya pendarahan pada saat berhubungan suami istri pada pertama kali.
Padahal pendarahan atau tidaknya pada saat pertama kali berhubungan sangat
tergantung dari jenis hymen (selaput dara). Jika jenis hymennya tebal maka
untuk merobeknya diperlukan beberapakali hubungan suami istri atau bahkan
tidak keluar darah sama sekali, sehingga robekan selaput darah (curuncula
hymanalis) terjadi saat melahirkan.11
Selaput dara mempunyai bentuk yang berbeda-beda, dari yang
siminular atau bulan sabit yang berlubang-lubang dan yang ada pemisahnya
(septum). Kekuatan selaput darapun berbeda-beda, mulai yang kaku sampai
yang lunak sekali. Hiatus himenetalis (lubang selaput dara) berukuran dari
seujung jari. Umumnya selaput dara ini sobek pada saat melakukan hubungan
intim, namun kecelakaan atau benturan keras yang mengenai vagina bisa
berakibat pendarahan dalam vagina, dan pengoyakan hymen.12
11
Dr Budi Santoso, SpOG (K), Panduan kesehatan Repoduksi Wanita,( Jakarta: 2007), SKP
doks Distribution, cet Ke-1. hal. 151
12
Dr. Pribakti B,ApOG (K), Tips dan Trik Merawat Organ Intim Panduan Peraktis
Kesehatan Reproduksi Wanita, ( Yokyakarta:Pustaka Banua, 2008), cet ke -1 hal.1
38
Selaput darah yang elastic menyebabkan tidak mudah robek bahkan
pada hubungan sex sekalipun. Ada juga yang sangat tipis dan sangat rapuh
sehingga sangat mudah robek lewat aktifitas lain. Kalau seseorang perempuan
ketika berhubungan seks pertama kali tidak mengeluarkan darah, ada
beberapa kemungkinan. Mungkin hymen itu sudah robek, tapi darahnya tidak
banyak, jadi tidak mudah terlihat oleh mata. Banyak orang mengira kalau
selaput darah robek maka darah akan keluar banyak. Sebetulnya hymen itu
sangat tipis sehingga robeknya tidak selalu menyebabkan keluarnya darah.13
2. Sebab-sebab Hilangnya Keperawanan
Jaringan vulva (bagian luar alat kelamin wanita) biasanya sangat tipis
dan mudah sobek sebelum pubertas. Kegiatan apa saja yang menekan jaringan
vulva biasa merusak atau merobek hymey (selaput darah). Banyak gadis-gadis
yang tidak sadar kalau selaput darahnya sudah sobek atau hilang sebab
aktifitas fisik seperti: naik kuda, bersepeda, memasukan tampon atau ketika
menstrubasi gadis ini tidak tahu karena mungkin tidak terjadi pendarahan atau
darah yang menetes terlalu sedikit, juga tidak terasa sakit atau terjadi ketika
ia masih kanak-kanak sehingga ia lupa atau tidak mengerti apa yang telah
terjadi.14
13
Dr. Pribakti B,ApOG (K), Tips dan Trik Merawat Organ Intim Panduan Peraktis
Kesehatan Reproduksi Wanita, hal. 16
14
Dono Baswardono, Perawan tiga detik, (Yogyakarta: Galang Press, tth), hal. 32
39
Ketika seorang gadis bersengama, hymen ini akan rusak dan sobek
oleh penis yang ereksi. Hal ini bisa disertai rasa sakit atau tidak nyaman dan
pendarahan bisa juga tidak.
Begitulah selain karena hubungan seksual, hal-hal non–seksual berikut
ini juga bisa merobek hymen seperti:
a. Kecelakaan atau luka , seperti jatuh terdudukdan terkena benda yang
menonjol, memanjat pagar atau pohon.
b. Kegiatan olahraga seperti naik kuda, naik sepeda, bermain enjot-enjotan,
lompat tinggi, lari haling rintang, senam dan aktifitas lain seperti menari.
c. Mastrubasi, terutama yang dilakukan dengan benda asing besar seperti
lilin atau wibrator.15
Menurut Muh. Nu‟aim, dalam Fikih Kedokteran, menjelaskan
penyebab hilangnya selaput dara diantaranya: Pertama, hilangnya selaput dara
karena sesuatu yang tidak dikatagorikan maksiat seperti perkosaan, naik
sepeda dan sebagainya. Kedua, hilangnya selaput dara karena maksiat atau
berzina, dan Ketiga, hilangnya selaput dara karena pernikahan.16
Mungkin setiap kejadian munculnya pendarahan dari vagina pada
perempuan lajang
15
16
yang bukan disebabkan persetubuhan, melainkan
Dono Baswardono, Perawan tiga detik, hal. 33
Muh. Nu‟aim Yasin, Fikih Kedokteran, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hal. 207
40
disebabkan terjadinya pencideraan selaput dara, termasuk pada kejadian
perkosaan.17
Hymen atau selaput dara bukanlah indikator mutlak keperawanan
seorang gadis. Selaput dara bisa saja robek tetapi si gadis masih perawan, atau
sebaliknya, selaput dara tidak robek padahal si gadis sudah tidak perawan. Hal
ini bisa terjadi karena definisi “tidak perawan” adalah pernah melakukan
hubungan seksual dengan lawan jenis, tidak peduli apakah selaput daranya
robek atau tidak.18
Virginitas itu hilang begitu telah terjadi hubungan seks, baik merusak
hymen atau tidak. Rusaknya hymen hanya salah satu indikasi saja, meskipun
tidak selalu identik dengan masih perawan atau tidak.
3. Ciri-ciri Keperawanan
Secara fisik perawan ditandai dengan utuhnya selaput darah yang
berada pada daerah vagina. Dan hilangnya keperawanan biasanya disertai
dengan keluarnya darah dari daerah vagina (tergantung bentuk dan ketebalan
selaput dara) saat mengadakan hubungan seksual pertama kali.
Keperawanan adalah sesuatu hal yang sangat berharga bagi setiap
kaum perempuan yang masih gadis. Masih memiliki keperawanan bagi
seorang gadis tentu saja membuat sang perempuan tersebut memiliki tingkat
17
Hendrawan Nadesul, “Cara Sehat Menjadi Perempuan”, hal. 29-30
Ahmad Sudirman Abass, Problematika pernikahan dan solusinya, (Jakarta: PT. Prima Heza
Lestari, 2006), hal. 8
18
41
derajat yang lebih tinggi dari pada gadis yang lainnya. Menjaganya tentu saja
adalah hal yang gampang-gampang susah. Untuk mengetahui apakah sang
gadis itu masih perawan atau tidak, diperlukan tes tentunya. Tes keperawanan
bisa dilakukan di rumah sakit atau bidan terdekat, namun apabila mau, anda
bisa mengetesnya sendiri.
Sebelum itu kita harus mengenal Hymen atau Selaput Dara. Hymen
atau selaput Dara, adalah sebuah selaput tipis yang mengelilingi lingkaran
vagina wanita muda. Hymen dapat berupa berbagai bentuk. Selaput dara
paling umum adalah berbentuk seperti setengah bulan. Bentuk ini
memungkinkan darah menstruasi dapat mengalir keluar dari vagina seorang
gadis.
Selain itu ada juga bentuk-bentuk Hymen lainya. Berikut ini adalah
pemaparan dari bentuk-bentuk Hymen atau Selaput Dara atau anatomi
vagina:19
a. Bentuk annulus sempurna selaput dara. Hal ini disebut annulus karena
selaput dara membentuk sebuah cincin di sekeliling lubang vagina. Dan
bentuk Selaput Dara yang seperti inilah yang disebut perawan. Selaput
seperti ini biasanya masih dimiliki gadis usia 13 tahun kebawah.
b. Bentuk selaput dara berbentuk crescentic. Membentuk sebuah bentuk
sabit, seperti bulan setengah, di atas atau (seperti dalam kasus ini) di
19
http://maman 84. Wordpress. Com/2010/04/04/ cara-menditeksi-keperwanan-denganmelihat-wagina/
42
bawah vagina. Bentuk Selaput Dara seperti ini juga masih dapat dikatakan
Perawan.
c. Bentuk selaput dara seorang perempuan dengan pengalaman seksual
sendiri (internal) atau disebut masturbasi. Bahwa bentuknya ini sudah
tidak sempurna seperti cincin annulus selaput dara. Namun begitu seorang
gadis yang melakukan masturbasi masih dapat dinyatakan perawan,
selama masturbasi itu dilakukan oleh gadis itu sendiri, tidak dengan
batuan orang lain.
d. Bentuk selaput dara yang dapat dikatakan tidak lagi perawan: adalah
selaput dara seorang wanita yang hanya memiliki sedikit aktivitas seksual.
Dapat berupa karena pelecehan seksual ataupun tindakan berhubungan
intim. Dan ini biasanya terjadi saat pertama pertama kali Selaput Dara
tertembus. Dapat dikatakan bahwa hal ini dikategorikan sebagai tidak
perawan lagi.
e. Bentuk selaput dara vulva yaitu seorang wanita yang telah melahirkan.
Selaput dara benar-benar hilang, atau mungkin tersisa sedikit. Yang jelas
ini sudah bukan perawan lagi, melainkan sudah emak-emak.
Menurut Ibu Bidan Ari Rokriyati, untuk mengetahui hymen wanita
dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dalam, bisa melalui rumah sakit
maupun bidan terdekat. Sebenarnya selaput darah bisa dilihat langsung ke
dalam kemaluan gadis, apabila setelah menikah permukaan gadis yang pernah
melakukan hubungan badan, terkesan lembam (memar), pintu kemaluan tidak
43
tertutup rapat, agak renggang sedikit berarti itu sudah tidak prawan. Kalau
gadis yang masih perawan, kemaluannya senantiasa tertutup rapat dan ciut.
Kita bisa juga mencoba perhatikan warna kemaluan gadis, kalau
permukaannya pintu kemaluannya berwarna ungu, kemerah-merahan berarti
dia masih suci, akan tetapi kalau warna merah sudah pudar malah menjadi
pucat, berarti dia sudah tidak suci lagi.20
C. Masalah ketidakgadisan dan hubungannya dengan keharmonisan berumah
tangga.
Istri merupakan tempat penenang bagi suaminya, tempat menyemaikan
benihnya, pengatur rumah tangganya, ibu dari anak-anaknya, tempat tambatan
hatinya, tempat menumpahkan rahasinya dan mengadukan nasibnya. Karena itu
Islam menganjurkan agar memeilih istri yang shalihah dan menyatakan sebagai
perhiasan yang terbaik yang sepatutnya dicari dan diusahakan mendapatkanya
dengan sunguh-sunguh.
Yang dimaksud shalihah di sini adalah hidup mematuhi agama dengan
baik, bersikap luhur, memperhatikan hak-hak suaminya. Sifat-sifat seperti inilah
yang patut di perhatikan oleh laki-laki. Adapun sifat-sifat duniawi yang tidak
mempunyai nilai baik, luhur dan utama, Islam menyuruh menjahuinya.21
20
Wawancara, oleh Ibu Bidan Ari Rokriyati, pada hari selasa tanggal 4 April 2011,di Klinik
Ari, Gempol Cakung Timur, Jakarta Timur
21
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ( Bandung: Alma‟arif, 1994), cet ke-8, jilid. 6, hal. 28
44
Terutama kepada seorang wanita yang pernah melakukan zina. Pada
dasarnya kebanyakan laki-laki menyenangi perempuan yang cantik, berharta,
berkedudukan bernasab tinggi atau nenek moyangnya terpandang tanpa
memperhatikan lagi keluhuran ahlaknya dan baik buruknya pendidikannya.
Sehingga perkawinanya akan menimbulkan kepahitan dan berakhir dengan
malapetaka dan kerugian. Karena itulah Rasullah saw. Memperingatkan orangorang yang kawin sedemikian ini dengan sabdanya:
Artinya: “Jahuilah olehmu si cantik yang beracun”, Lalu sesorang sahabat
bertanya: “Wahai Rasullah, siapakah si cantik yang beracun itu?”
Jawabnya: “Perempuan yang cantik, tetapi dalam lingkungan yang jahat.”
Dan sabdanya pula:
Artinya: “Jaganlah kamu kawin dengan perempuan karena cantiknya, barangkali
kecantikanya itu akan membinasakannya. Dan jaganlah kamu kawin
dengan perempuan karena hartanya, barangkali dengan kekayaanya itu
akan menyebabkan durhaka, tetapi kawinlah kamu dengan perempuan
karena agamanya. Sesungguhnya perempuan tak berhidung lagi budek,
tapi beragama adalah lebih baik baginya (dari pada yang lainnya)”.22
22
Hadists riwayat Abd Hamid. Dalam sanadnya ada Abdur Rahman bin Ziyad al-Afriqy,
seorang rawi yang lemah.
45
Tujuan peringatan ini, agar dalam perkawinan, pada tujuan utamanya
jaganlah mencari kepentingan duniawi semata-semata yang tidak dapat berbuah
baik dan berguna bagi pelakunya. Tetapi yang wajib di perhatikan lebih dahulu
adalah persyaratan agamanya itulah akal dan jiwa akan dapat terpimpin.23
Oleh karena itu keperawanan menurut sosial adalah kesucian atau
kehormatan seorang wanita yang harus di jaga dan di pertahankan sampai ia
menikah karena keperawanan adalah mahkota wanita.
Tetapi di zaman modernisasi seperti sekarang ini banyak sekali anak yang
meranjak dewasa terpengaruh dengan pergaulan bebas
diantaranya free sex,
mereka tidak mengangap bahwa keperawanan adalah sesuatu yang urgent yang
harus di jaga dan di pertahanakan, sikap seorang wanita untuk menjaga
keperawanannya hingga menikah dianggap sangat kampungan dan tidak relevan
dengan zaman karena seks adalah suatu hal yang biasa dilakukan dan mempunyai
kenikmatan tersendiri, kekurangan pengetahuan ilmu agama dan bahayanya yang
terjadi akibat seks bebas yang menjadikan free sex suatu hal yang tidak dapat di
hindari dan di hilangkan.
Keperawanan seorang perempuan, untuk orang-orang di bagian Timur
belahan dunia, lebih dari dari emas bagi keluarga mereka. Hal ini tidak logis
untuk dijelaskan betapa pentingnya keperawanan dibandingkan dengan tanggung
jawab sesudah menikah. Banyak pria muda pada umumnya akan sangat bangga
jika ia dapat menikahi seorang perawan muda yang masih perawan. Bukan hanya
23
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ( Bandung: Alma‟arif, 1994), cet ke-8, jilid. 6, hal. 29
46
itu, prinsip ini juga diperkuat oleh nilai-nilai religi di Indonesia yang melarang
hubungan sex sebelum menikah. Menurut nilai-nilai tersebut “sex”sebelum
menikah adalah dosa.
Jika seseorang melakukannya, orang tersebut akan merasa berdosa
tertuduh oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarat dan juga oleh agama. Mungkin
kebanggaan seorang pria tersebut berkaitan dengan hal ini. Sebagai dampaknya,
seorang pria yang menikahi seorang perawan akan merasa sangat dihargai. Hal ini
akan nyata dalam perlakuannya terhadap pasangannya.24 Suami itu akan
memperlakukannya dengan sangat baik, bahkan sesudah bulan madu. Banyak
bukti dalam pernikahan semacam ini menunjukkan bahwa keluarga yang menikah
dengan cara yang demikian bertahan selama-lamanya, hingga kematian
memisahkan mereka, keluarga tersebut juga hidup dengan rukun, dan sangat kuat
cinta mereka, tidak gampang tergoda dengan rayuan apapun.
Di lain sisi, terdapat banyak kasus di mana terjadi hubungan gelap antara
seorang istri dengan mantan pacarnya. Hal ini akan membawa dampak yang
sangat fatal bagi keluarganya. Dalam kasus-kasus demikian, tidak sedikit suami
yang dengan berani membantai istri mereka hingga napasnya yang terakhir, itu
sesuatu yang sangat tragis. Dalam situasi yang berbeda, beberapa wanita merasa
depresi yang disebabkan oleh kehilangan keperawanan mereka karena
persetubuhan dengan orang lain dalam keluarga baru mereka bahkan sesudah
suami mereka memaafkan mereka atas kelalaian mereka tersebut.
24
ttp://id.shvoong.com/society-and-news/culture/2106511-pentingnya-keperawanan-dalamrumah-tangga/
47
Secara psikologis, hal ini akan mempengaruhi hubungan bukan hanya
antara suami dan istri, tetapi juga dengan generasi selanjutnya sebagai hasil dari
pernikahan mereka. Istri semacam ini akan merasa bersalah dan merasa rendah
diri.
Sebaliknya perasaan bersalah, kecurigaan, kekecewaan dan merasa tertipu,
yang dimiliki seorang suami akan bekerja sama persis seperti yang terjadi pada
seorang istri. Seorang suami menjadi sangat lemah, dan cenderung menggunakan
kekerasan. Tentu hal ini sangat tidak baik dalam pertumbuhan suatu keluarga
karena terus menerus akan menjadi konflik di antara suami-istri tersebut, yang
pada akhirnya mereka akan mengambil jalan khiyar, yaitu meneruskan atau
memutuskan dengan jalan yang baik. Mengenai sebab merasa tertipu oleh pihak
suami, maka suami dapat memohon kepada pihak Pengadilan Agama karena
terdapat hal-hal yang tidak mungkin mendatangkan ketentraman dalam pergaulan
hidup berumah tangga mereka.25
Oleh sebab itu nikahilah seseorang yang tidak memiliki gejala-gejala
demikian. Bila tidak, di dalam keluarga akan ada banyak masalah dalam jangka
waktu yang lama, suatu masa yang hanya penuh dengan pertengkaran, sakit hati,
tangisan dan air mata dalam rumah tangga. Jadi, bila hari ini Anda adalah seorang
perawan, Anda bukan orang yang ketinggalan zaman, tetapi Anda adalah orang
yang membawa kecerahan di masa yang akan datang.
25
1, hal. 14
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1995), cet ke-
48
D. Ketidakgadisan sebagai alasan pembatalan perkawinan
Pada dasarnya terjadinya pembatalan perkawinan bisa disebabkan dua
kemungkinan. Pertama, adanya pelangaran terhadap prosuderal perkawinan.
Misalnya tidak terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi
dan alasan prosuderal lainya. Kedua, adanya pelanggaran terhadap materi
perkawinan. Misalnya perkawinan dilakukan ancaman, terjadi salah sangka
mengenai calon suami istri.26 Dan yang terjadi disini adalah adanya pelangaran
terhadap materi perkawinan yaitu terjadi salah sangka mengenai diri istri yang
sudah tidak perawan lagi.
Posisi perempuan yang tidak perawan berada di pihak yang serba salah.
Mengaku kepada calon suami kalau dirinya sudah tidak perawan lagi, kelak ini
semua akan jadi sebuah bumerang. Hari-hari perkawinan perempuan yang
suaminya mengetahui kalau selaput dara istrinya sudah cacat sebelum menikah
selalu menjadi tersudut di pihak yang salah. Posisi ini dapat dijadikan dalih oleh
suami untuk menyudutkannya. Hampir semua suami tidak bisa menerima istri
yang sudah cacat selaput daranya. Menjadikan suami pantas berlaku seenaknya
dan mengambil sikap terhadap istrinya yang di anggap sudah cemar, karena ia
berpikir dibalik kecacatanya selaput dara tersimpan pula kecacatan moral (berlaku
seks bebas).
26
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi
KritisPerkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, Juli 2006), cet ke-3. hal.107
49
Oleh sebab itu seorang istri harus jujur kepada suaminya dan orang-orang
sekitarnya tentang keadaan dia sebenarnya, dan yang paling utama hendaklah ia
jujur kepada Allah sebagai bentuk pelaksanaan perintah Allah.27
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang jujur.” (QS. At-Taubah: 119).
Juga sebagai implementasi perintah Nabi s.a.w.,”Hendaklah kalian berlaku
jujur sebab kejujuran akan mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan
mengantarkan menuju surga. Dan seseorang hendaklah bersikap jujur dan
berusaha untuk jujur hingga ia ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang jujur”28
Setelah terbukti bahwasanya seseorang istri sudah tidak perawan lagi
dengan mengetahui bukti-bukti yang sudah dijelaskan pada pembahasan diatas
kemudian di tambahkan lagi dengan adanya pengakuan dari istrinya tersebut
setelah terjadinya perkawinan.
Maka hal ini dapat dijadikan alasan oleh pihak suami untuk menghentikan
lajur rumah tangganya dengan cara proses hukum yang disebut pembatalan
perkawinan, sebagaimana yang tercantum pada pasal 27 ayat 2 UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan serta KHI pasal 72 ayat 2 yang berbunyi ;
27
Syaikh Mahmud al-Mahri, Perkawinan Idaman, (Jakarta: Qisthi Press, 2010), cet ke-1,
2011. hal 18
28
Hadis sahih, riwayat Muslim, Kitab al-Birr wa ash-Shillah wa a-lAdab, no. 2607.
50
"Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan, apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka atau merasa tertipu mengenai diri suami atau istri.29.
Batalnya perkawinan menjadikan ikatan perkawinan yang telah ada
menjadi putus. Ini berarti bahwa perkawinan tersebut dianggap tidak ada bahkan
tidak pernah ada, dan suami isteri yang perkawinannya dibatalkan dianggap tidak
pernah kawin sebagai suami isteri.
29
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Reneka Cipta 1991 dan Inpres RI No.1 Th 1991
kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Depag RI 1998.hal. 130
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN ( No: 019/Pdt.G/2007/PA. Bekasi )
A. Deskripsi Kasus Perkara No: 019/Pdt.G/2007/PA. Bekasi
1. Pihak-pihak yang berpekara
Pengadilan Agama Bekasi yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara tertentu pada tingkat pertama dalam persidangan majelis telah
menjatuhkan putusan sebagai mana tersebut di bawah ini dalam perkara cerai
talak antara:
Selamet Riyad (nama samaran) bin Zubair (nama samaran) umur 32
tahun, agama Islam. Selanjutnya disebut sebagai : Pemohon Melawan
Maulida Aziz (nama samaran) binti Ahmad Aziz (nama samaran)
umur 27 tahun, agama Islam, pekerjaan Guru Swasta, bertempat tinggal
Pengilingan Jakarta Timur. Selanjunya disebut degan Termohon
Pengadilan Agama tersebut;
-
Telah memeriksa dan mempelajari berkas perkara;
-
Telah mendengar keterangan Pemohon dan Termohon, para saksi dan
keterangan lainya;
2. Tentang Duduk Perkara
Bahwa, Pemohon telah mengajukan surat permohonanya tertanggal 04
Januari 2007, yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Bekasi
51
52
di bawah Register Nomor; 019/Pdt./G/2007/PA. Bekasi, tanggal 16 Januari
2007, dengan mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
-
Bahwa Pemohon telah menikah dengan Termohon pada Tanggal 25 Juni
2006 di hadapan Pejabat Kantor Urusan Agama kecamatan Pulogadung,
Jakarta Timur sebagaimana ternyata dalam Kutipan Akta Nomor:
934/127/YI/2006;
-
Bahwa selama berumah tangga Pemohon dan Termohon belum dikaruniai
keturunan;
-
Bahwa sejak beberapa hari hingga satu bulan setelah pernikahan rumah
tangga Pemohon dengan Termohon, Pemohon sudah merasakan adanya
ketidak harmonisan, selama itu pula Pemohon menyimpan pertanyaan, hal
itu disebabkan Termohon tidak bersikap jujur dan terbuka dalam hal
kondisi Termohon ( gadis atau tidak ), sehingga untuk mnghilangkan rasa
keraguan tersebut, Pemohon menanyakan langsung kepada Termohon
tentang setatus dirinya ( gadis atau tidak );
-
Bahwa akhirnya pada tanggal 21 Juli 2006 Pemohon mendapatkan
jawaban Termohon dengan jujur mengakui dirinya sudah tidak gadis
karena sebelum menikah dengan Pemohon telah melakukan hubungan
suami istri dengan mantan pacarnya;
-
Bahwa keraguan tersebut telah terjawab dengan adanya pengakuan
Termohon dan sejak itu hubungan rumah tangga sudah tidak dapat
dipertahankan lagi, yang kemudian pada tanggal 30 Juli 2006 Pemohon
53
menyerahkan Termohon kepada orangtuanya dan Termohonpun menerima
upaya tersebut, maka atas pertimbangan itulah Pemohon mengajukan
permohonan tersebut;
-
Bahwa dengan uraian tersebut di atas, rumah tangga antara Pemohon dan
Termohon sudah tidak dapat dibina dengan baik, sehingga untuk mencapai
rumah tangga yang diatur dalam Undang-undang Nomor. 1 tahun 1974,
sudah sulit untuk diwujudkan lagi, oleh karena itu Pemohon telah sesuai
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun1975;
-
Bahwa dengan kejadian tersebut di atas, rumah tangga antara Pemohon
dan Termohon sudah tidak dapat dibina dengan baik sehingga untuk
mencapai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah
sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 sudah tidak dipertahankan lagi, dan oleh karenanya Pemohon mohon
kepada Pengadilan Agama Bekasi kiranya dapat menjatuhkan putusan
sebagai berikut;
a. Mengabulkan permohonan Pemohon;
b. Mengizinkan Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak Terhadap
Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Bekasi;
c. Menetapkan biaya perkara sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
Bilamana Pengadilan Agama Bekasi berpendapat lain mohon putusan
yang seadil-adilnya.
54
Bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan Pemohon dan
Termohon datang menghadap di persidangan secara pribadi, kemudian majelis
hakim berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak tetapi usaha tersebut
tidak berhasil, maka atas perkaranya harus dilanjutkan
terlebih dahulu
dibacakan surat permohonan Pemohon dalam persidangan yang tertutup untuk
umum, yang ternyata isi dan maksudnya tetap dipertahankan oleh Pemohon;
Bahwa Termohon adalah seorang istri yang bertenpat tinggal di luar
daerah yurisdiksi Pengadilan Agama di mana Pemohon bertempat tinggal,
namun atas pertanyaan majelis hakim Termohon menyatakan tidak keberatan
atas perkaranya diperiksa di Pengadilan Agama di mana pemohon bertempat
tinggal;
Bahwa karena itu Termohon menberikan jawaban secara lisan
terhadap surat permohonan Pemohon tersebut, yang pada pokoknya
membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil permohonan Pemohon.
Sedangkan terhadap permohonan cerai Pemohon terhadap Termohon, maka
Termohon menerima dan tidak keberatan;
Bahwa Pemohon telah mengangap cukup; tidak lagi menangapi
jawaban Termohon, demikian Termohon tidak ada lagi hal lain yang ingin
disampaikan;
Bahwa
untuk
menguatkan
dalil-dali
mengajukan bukti-bukti tertulis sebagi berikut;
permohonan
Pemohon
55
a. Photo Kopi Kutipan Akta Nikah An. Pemohon dan Termohon Nomor;
934/127YI/2006, tertanggal 26 Juni 22006 yang dikeluarkan Kantor
Urusan Agama Kecamatan Pulogadung, telah dicocokan dengan aslinya,
dilegalisir dan bermaterai cukup (P. 1);
b. Photo Kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) An. Pemohon Nomor
10.5501.070674.1011, tertanggal 23- 12-2005, telah dicocokan dengan
aslinya, dilegalisir dan bermaterai cukup (P.2);
Bahwa telah didengar pula keterangan dua orang saksi yang
memberikan keterangan;
Bahwa, terhadap keterangan saksi-saksi tersebut Pemohon dan
Termohon membenarkan dan tidak menyatakan keberatan;
Bahwa, pada akhirnya Pemohon dan Termohon memberikan
kesimpulan yang menyatakan Pemohon tetap pada pendiriannya semula
sedangkan Termohon tidak keberatan untuk bercerai;
Bahwa segala peristiwa jalanya persidangan selengkapnya telah
tercantum dalam berita acara persidangan, dan untuk meringkas putusan ini
selanjutnya ditunjuk sebagai bagian yang tidak terpisah dari putusan ini;
3. Tentang Hukumnya
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
sebagai mana yang tersebut si atas;
Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan
keduanya datang menghadap secara pribadi di persidangan, kemudian majelis
56
hakim berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak tetapi usaha tersebut
tidak berhasil, maka atas perkaranya harus dilanjutkan persidangan;
Menimbang, bahwa Termohon adalah sorang isteri yang bertempat
tinggal di luar daerah yurisdiksi Pengadilan Agama Bekasi yang dimohonkan
cerai talak oleh Pemohon di Pengadilan Agama di mana Pemohon bertempat
tinggal (bukti P.2), namun atas pertanyaan majelis hakim Termohon
menyatakan tidak keberatan atas perkaranya diperiksa di Pengadilan di mana
Pemohon bertempat tinggal, oleh karena itu majelis melanjutkan atas
pemeriksaanya;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P. 1 harus dinyatakan, antara
Pemohon dan Termohon masih terikat hubungan tali perkawinan yang sah,
yang berarti antara keduanya masih terdapat hubungan hukum dalam ikatan
perkawinan;
Menimbang, bahwa dengan uraian tersebut maka Pemohon dan
Termohon berkuwalitas sebagai pihak yang berpekara dan Pengadilan Agama
Bekasi berhak dan berwenang untuk memeriksa atas perkaranya ( Vide Pasal
4, Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2006 Jo
Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 );
Menimbang, bahwa Pemohon dalam surat permohonannya mendalikan
sebagaimana yang tesebut di atas yang pada pokoknya adalah bahwa sejak
beberapa hari hingga satu bulan setelah pernikahan rumah tangga Pemohon
57
dan Termohon, dirasakan adanya ketidak harmonisan, selama itu pula
Pemohon menyimpan pertanyaan, hal itu disebabkan Termohon tidak bersikap
jujur dan terbuka dalam hal kondisi Termohon ( gadis tau tidak ), sehingga
untuk menghilangkan rasa keraguan tersebut, Pemohon menanyakan langsung
kepada Termohon tantang status dirinya ( gadis atau tidak ) dan akhirnya pada
tanggal 21 Juni 2006 Pemohon mendapatkan jawaban. Termohon denga jujur
mengakui bahwa dirinya sudah tidak gadis lagi karena sebelum menikah
dengan Pemohon, telah melakukan hubungan suami isteri dengan mantan
pacarnya kemudian pada tanggal 30 Juli 2006 Pemohon menyerahkan
Termohon kepada orang tuanya;
Menimbang, bahwa Termohon memberikan jawaban secara lisan yang
pada pokoknya membenarkan dan mengakui seluruh dalil-dalil permohonan
Pemohon. Sedangkan terhadap permohonan cerai Pemohon terhadap
Termohon, maka Temohon menerima dan tidak keberatan;
Menimbang, bahwa meskipun termohon telah mengakui dalil
permohonannya, namun pengakuan dalam perkara perceraian atas dasar
alasan terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran adalah dianggap
belum cukup bukti, karena ada asas
bahwa pengakuan terhadap dalil
perceraian dalam alasan tersebut adalah sebuah kebohongan (de grote leugen)
sebagaimana asas pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 836
K/Pdt/ 1990, tanggal 28 November 1991.
58
Menimbang, bahwa karena itu telah didengar keterangan dua orang
saksi dari wakil keluarga masing-masing yang memberi keterangan yang
saling ada kesesuaian yang pada pokoknya menyatakan, bahwa benar antara
Pemohon dengan Termohon sejak awal bulan sudah tidak harmonis, sering
diwarnai perselisihan yang disebabkan karena kondisi Termohon yang sudah
tidak perawan lagi dan Termohon sekarang sudah berpisah tempat tinggal;
sejak Termohon diserahkan oleh Pemohon kepada orng tua Termohon pada
tanggal 30 Juni 2006;
Menimbang bahwa berdasarkan keterangan Pemohon dan Termohon
serta keterangan para saksi tersebut di atas telah ditemukan fakta hukum,
bahwa antara Pemohon dan Termohon adalah sebagai suami isteri yang sah
dan sejak awal perjalanan perkawinanya terjadi ketidak harmonisan karena
factor sebagaimana tersebut di atas sehingga anatra keduanya telah berpisah
tempat tinggal sejak tanggal 30 Juni 2006;
Menimbang, bahwa suami isteri yang telah pisah tempat tinggal dan
tidak saling memperdulikan sudah merupakan fakta adanya perselisihan dan
pertengkaran sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam rumah
tangga, dan dapat dijadikan alasan untuk mengabulkan gugaatan perceraian
sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor : 1354/K/Pdt/2000,
tanggal 08 September 2003;
Menimbang, bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon dengan
kondisi sebagaimana tersebut di atas patut diduga tidak terjalin sebuah
59
komunikasi harmonis secara wajar, di mana keduanya telah hidup berpisah
tempat tinggal. Hal tersebut mengindikasikan, bahwa kedua belah pihak tidak
lagi mampu menjalani kehidupan berumah tangga seperti yang dicita-citakan
dalam mengarungi bahtera kehidupannya, bahkan sebaliknya keluarga
tersebut telah mengalami keretakan dan karena itu majelis berpendapat antara
keduanya tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;
Menimbang bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga yang sejahtera lahir maupun batin sebagaimana yang dikehendaki
Firman Allah dalam surat Al-Rum ayat 21 dan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, hal mana maksud
tersebut tidak terwujud dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon, bahkan
kini keduanya telah berpisah tempat tinggal. Oleh karena itu majelis
berpendapat kurang ada manfaatnya, bahkan akan memdatangkan madharat
manakala perkawinan meraka dipertahankan, sesuai dengan kaidah fiqih yang
maksudnya: Menghindari mafsadah yang sudah nyata harus didahulukan dari
pada mengharapkan adanya maslahah;
Menimbang bahwa berdsarkan segenap pertimbangan tersebut di atas
majelis hakim berpendapat permohonan Pemohon telah terbukti kebenarnya
dan karena itu dinilai telah cukup alasan sehingga permohonan Pemohon patut
untuk dikabulkan dengan berdasarkan ketentuan Pasal 19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo Pasal 116 (f) Kompilasi Hukum Islam;
60
Menimbang
bahwa
dengan
terpenuhinya
alasan
permohonan
Pemohon, maka sesuai ketentuan Pasal 118 Kompilasi Hukum Islam, majelis
hakim menetapkan memberi izin untuk menjatuhkan talak raj’i kepada
Termohon;
Menimbang, bahwa perkara ini adalah termasuk dalam lingkup
perkawinan, maka berdasarkan Pasal 89 (1) Undang-undang Nomor 7 tahun
1989 Pemohon dibebani untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam
perkara ini yang besarnya sebagaimana tersebut dalam amar putusan;
Menimbang, bahwa apa yang menjadi tuntutan Pemohon semuanya
telah dipertimbangkan. Oleh karena itu atas perkaranya telah dapat diambil
putusan;
Memperhatikan segenap dalil syar’i peraturan perundang-undang yang
terkait;
4. Putusan
MENGADILI
a. Mengabulkan permohonan Pemohon
b. Menetapkan mengizinkan Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak
terhadap Termohon di depan siding Pengadilan Agama Beksi
c. Membebankan kepada Pemohon untuk membyar biaya perkara ini sebesar
Rp 196.000.- ( seratus Sembilan puluh enam ribu rupiah);
Dengan demikaian dijatuhkanya putusan ini pada hari rabu tanggal 07
Maret 2007 M. bertepatan dengan tanggal 17 Shofar 1428 H. oleh kami
61
Yayan Atmaja, SH. Sebagai hakim ketua, Dra. Lelita Dewi SH. M. Hum. Dan
Drs. Humaidi Yusuf. Masing-masing sebagai hakim anggota, putusan mana
diucapkan pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum yang dihadiri
oleh hakim-hakim anggota tersebut dengan didampingi oleh Drs. E. Arifudin
sebagai panitera dengan dihadiri Pemohon dan Termohon;
B. Analisis putusan No. 019/Pdt.G/2007/PA.Bekasi menurut Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Masalah
putusan
perkara
di
Pengadilan
Agama
Bekasi
No.
019/Pdt.G/2007/PA. Bekasi, sudah tepat karena pada dasarnya sudah diatur dalam
Undang-undang Perkawinan yang dinyatakan dengan tegas pada Pada pasal 19
huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 (f) Kompilasi
Hukum Islam yang berbunyi: “antara suami dan istri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga”. Akan tetapi dalil yang menyatakan perceraian atas dasar alasan
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran adalah diangap belum cukup
bukti, karena ada asas yang menyatakan bahwa pengakuan terhadap dalil
perceraian dalam alasan tersebut adalah sebuah kebohongan ( de grote leugen )
sebagaimana asas yang tersebut pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Nomor:836 K/Pdt/1990, tanggal 28 November 1991. Oleh karena itu harus ada
bukti-bukti lain lagi yang menyatakan penyebab perceraian tersebut, seperti
keterangan saksi dan bukti tentang kondisi Termohon yang sudah tidak perawan
62
lagi serta ada Undang-undang yang menjelaskan hal tersebut yaitu pada Undangundang Perkawinan pasal 27 ayat 2 yang berbunyi:” Seorang suami atau isteri
dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri”.
Mengenai pasal-pasal tentang peraturan pembatalan perkawinan tersebut
harus lebih ditingkatkan, karena tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada masalah
kebohongan tentang ketidakgadisan dalam sebuah perkawinan, ini disebabkan
karena mereka kurang faham tentang adanya Undang-undang yang menyatakan
“seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri
suami atau istri”. Apabila suami mengetahui adanya peraturan pembatalan
perkawinan tersebut, maka diharapkan suami berani untuk menuntut atau
mempertahankan haknya. Dengan adanya pemahaman tersebut, maka diharapkan
dapat meminalisir kejadian seperti ini di dalam rumah tangga. Hal ini juga
diharapkan akan dapat merendam hasrat suami untuk tidak melakukan pembatalan
perkawinan dan tidak langsung melaporkan ke Pengadilan Agama. Akan tetapi
terlebih dahulu melakukan musyawarah secara kekeluargaan antara suami dan istri
Adapun annalisa tentang putusan di Pengadilan Agama Bekasi dengan
perkara nomor 019/Pdt.G/2007/PA.Bks, menurut Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:
1. Dasar hukum yang dijadikan landasan pertimbangan hakim dalam
mengabulkan gugatan Pemohon adalah Pada pasal 19 huruf (f) Peraturan
63
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 (f) Kompilasi Hukum Islam
yang berbunyi: “antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga”. Semua ini disebabkan karena istri tidak bersikap jujur dan terbuka
tentang kondisi Termohon (gadis atau tidak).
Berdasarkan pasal di atas, jelas bahwa suami mempunyai kewenangan
untuk mengajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama karena terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan kebohongan
mengenai kondisi istri yang sudah tidak perawan.
2. Adapun pengajuan pembatalan perkawinan, diajukan kepada Pengadilan
Agama yang berwenang sesuai dengan pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 Jo pasal 74 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan:
“Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan
atau tempat tinggal suami atau istri”.
Untuk mengajukan ke Pengadilan Agama bisa langsung secara pribadi
atau oleh kuasa hukumnya. Berlakunya putusan pembatalan perkawinan
dimulai sejak putusan Pengadilan Agama dan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan (pasal 28 ayat 1
Undang-undang Perkawinan).
64
3. Dalam pelaksanaan persidangan, Termohon menyatakan mengakui dan
membenarkan dali-dalil yang diajukan Pemohon dengan tidak sedikitpun
bantahan. Berdasarkan hal tersebut, maka Pengadilan Agama Bekasi
mengabulkan permohonan tersebut, yaitu antara Pemohon dan Termohon yang
telah melangsungkan pernikahan di Kantor Urusan Agama Nomor;
934/127YI/2006,
dan
sejak
awal
perjalanan
perkawinanya
terjadi
ketidakharmonisan karena factor tersebut di atas, sehinnga keduanya telah
berpisah tempat tinggal sejak tanggal 30 Juni 2006.
Sedangkan jika merujuk di dalam Kompilasi Hukum Islam tidak
menyebutkan definisi pembatalan perkawinan secara konkrit, namun
Kompilasi Hukum Islam hanya menguraikan mengenai konsepsi dari
pembatalan perkawinan serta hal-hal yang berhubungan dengan pembatalan
perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam mengenal dua macam pembatalan perkawinan
yaitu: perkawinan batal demi hukum dan perkawinan dapat dibatalkan.
Perkawinan batal demi hukum yaitu Perkawinan yang melangar larangan
perkawinan yang mutlak, sehingga perkawinan mutlak harus dibatalkan.
Sedangkan perkawinan dapat dibatalakan yaitu yang melangar larangan suatu
perkawinan yang bersifat relative, pelanggaran larangan perkawinan tanpa
sengaja. Kekurangan syarat sehingga perkawinan dapat dibatalkan dan bisa
pula tidak dapat dibatalkan, dengan cara memperbaharui perkawinanya yang
sesuai dengan aturan hukum berlaku.
65
4. Dengan berpedoman pada pembahasan di atas maka putusan Pengadilan
Agama Bekasi Nomor 019/Pdt.G/2007/PA.Bks. Sudah sesuai dengan Undangundang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam dengan tetap berpegang
teguh pada asas keadilan dan kemaslahatan bagi para pencari kebenaran dan
keadilan. Dengan demikian, maka aturan hukum mengenai pembatalan
perkawinan karena ketidakgadisan yang terdapat dalam Undang-undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam adalah untuk menjamin kepastian
hukum yang jujur dan respon perempuan dalam menjaga ke hormatannya.
Oleh karena itu putusan ini seharusnya merupakan pembatalan perkawinan
yang diputuskan di Pengadilan Agama Bekasi dengan Nomor perkara
019/Pdt.G/2007/PA.Bekasi, karena telah sesuai dengan Undang-undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
C. Analisis Penulis Terhadap Putusan Nomor: 019/Pdt.G/2007/PA.Bks.
Dalam
hal
menganalisa
tentang
putusan
perkara
Nomor:
019/Pdt.G/2007/PA.Bekasi penulis memandang bahwa keputusan Majelis Hakim
yang berdasarkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang telah ada dikemukakan di
Pengadilan juga kepada ketentuan pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 jo Pasal 116 (f) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “antara
suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Adalah benar adanya karena
tujuan dari sebuah pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang sejahtera
66
lahir maupun batin hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Rum ayat
21 yang berbunyi:
 
            
)21 :‫ (الروم‬   
       
Artinya: dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Berdasarkan analisis penulis bahwasanya dalam putusan perkara Nomor:
019/Pdt.G/2007/PA.Bekasi
yang
telah
diputuskan
oleh
Majelis
Hakim
Pengadilan Agama Bekasi sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nur ayat 3
yang menjelaskan tentang pernikahan pezina hanya boleh dilakukan oleh pezina
dan orang musyrik hanya boleh dinikah oleh orang yang musyrik, Jelaslah
konteks diturunkan ayat di atas keharaman menikahi wanita yang berzina bagi
laki-laki yang tidak menzinahinya, adalah dalam rangka melindungi nilai dan
martabat orang-orang yang beriman. Oleh karena itu pernikahan itu harus
bersendikan kejujuran dan ketulusan, untuk mencapai tujuan pernikahan baik.
Seperti perintah dalam hadist Nabi s.a.w.,”Hendaklah kalian berlaku jujur sebab
kejujuran akan mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkan
menuju surga, dan seseorang hendaklah bersikap jujur dan berusaha untuk jujur
hingga ia ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang jujur”.1
1
Hadis sahih, riwayat Muslim, Kitab al-Birr wa ash-Shillah wa a-lAdab, no. 2607.
67
Penulis
juga
berpendapat
019/Pdt.G/2007/PA.Bekasi
bahwa
Masalah
putusan
Nomor:
ini sebenarnya sudah betul dan sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku, akan tetapi lebih tepatnya lagi putusan ini
seharusnya mengenai pembatalan perkawinan bukan mengenai talak raj’I, karena
permasalahan yang terjadi disini adalah mengenai kebohongan, sikap ketidak
jujuran Termohon dan keterbukaan Termohon dalam hal kondisi Termohon (gadis
atau tidak) seperti yang dijelaskan dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974, pasal
27 ayat 2 berbunyi:” seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau istri”, dan menurut bapak Hakim Humaidy
selaku hakim ketua di Pengadilan Agama Bekasi, bahwasanya seseorang boleh
mengajukan pembatalan perkawinan dalam jangka waktu 6 bulan setelah menikah
diketahui adanya kebohongan tersebut, jika lewat dari 6 bulan maka hakim tidak
dapat
mengabulkan
permohonan
pembatalan
perkawinan2,
sedangkan
terungkapnya kebohongan dalam kasus ini hanya dalam jangka waktu satu bulan
setelah pernikahan, jadi disebut dengan Pembatalan perkawinan bukan talak raj’i.
Walaupun ke dua katagori tersebut boleh rujuk setelah habis masa iddahnya
wanita akan tetapi jika dilihat dari seginya talak raj'i dapat mengurangi bilangan
talak, sedangkan fasakh tidak mengurangi bilangan talak, dan penulis juga
berpendapat bahwa perlu adanya penambahan dalam peraturan perundang-
2
Wawancara, oleh Bapak Hakim Humaidy Yusuf, pada hari Jum’at, 15 April 2011, di
Pengadilan Agama Bekasi
68
undangan yang berlaku di Negara Indonesia, karena kejadian dalam perkara
Nomor: 019/Pdt.G/2007/PA. Bekasi, dilandasi sikap ketidak jujuran Termohon
dan keterbukaan Termohon dalam hal kondisi Termohon (gadis atau tidak). Hal
yang demikian sesuai dengan Undang-undang No. 1 tahun 1974, pasal 27 ayat
(22), yang berbunyi: “Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau istri”.
Mengenai sebab merasa tertipu oleh pihak istri maka suami dapat
mengajukan permohonan ke Pengadilan karena terdapat hal-hal yang tidak
mungkin mendatangkan ketentraman dalam pergaulan hidup berumah tangga
mereka, misalnya: adanya pengakuan sebagai anak kandung tetapi ternyata anak
asuh saja, dan istri mengaku gadis tetapi ternyata bukan dan sebagainya.
Dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menjelaskan dalam pasal 72
ayat 2: “Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau
salah sangka mengenai diri suami atau istri”. Jangka waktu mengajuka
pembatalan perkawinan adalah 6 bulan setelah berlangsungnya akad, apabila
dalam janka waktu 6 bulan tidak mengunakan haknya untuk mengajukan
pembatalan perkawinan, maka haknya gugur.
69
Hal yang demikian diatas juga menjelaskan dalam pasal 19 Peraturan
Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 9 tahun 1975 yang berbunyi:
“Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:3
1. Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain diluar
kemampuanya
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahyakan pihak lain
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
3
hal. 120
Achma Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1995), cet ke-1,
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis uraikan tentang pembatalan perkawinan dengan alasan
ketidakgadisan, maka dibawah ini penulis sajikan beberapa kesimpulan sebagai
intisari dari pembahasan sebelumnya.
1. Alasan-alasan untuk melakukan pembatalan perkawinan yang terdapat dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Yaitu yang
sudah diatur dalam pasal 22, 24, 26, ayat 1 dan 2 dan dalam pasal 27 ayat 1
dan 2 ( ini mengatur mengenai sebab-sebab batalnya perkawianan), yang
berbunyi:
Pasal 22 : Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 24 Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah
satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat
mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi
ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 26 (1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami
atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
70
71
Pasal 27 (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman
yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau isteri.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 dan 72 yang diantaranya
“Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan, apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka atau merasa tertipu mengenai diri suami atau istri.
2. Ketidakgadisan seorang istri dapat dijadikan sebagai alasan pihak suami untuk
melakukan pembatalan perkawinan dalam pernikahan Islam, karena
tidak
memenuhi salah satu syarat perkawinan atau di haramkan oleh agama dan
juga adanya pelangaran terhadap materi perkawinan yaitu terjadinya
kebohongan mengenai diri istri yang sudah tidak perawan lagi, karena suami
merasa tertipu oleh istri, dan terjadi perselisihan terus menerus serta
pertengkaran sehingga tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga, maka suami berhak untuk melakukan pembatalan perkawinan dan
melaporkan masalah ini ke Pengadilan Agama, karena terdapat hal-hal yang
tidak mungkin mendatangkan ketentraman dalam pergaulan hidup berumah
tangga mereka. Masalah ketidakgadisan seorang istri ini seperti yang
dijelaskan dalam Undang-undang No.1 tahun 1974, pasal 27 ayat (2) serta
72
KHI pasal 72 ayat 2 yang berbunyi:” seorang suami atau istri dapat
mengajukan
permohonan
pembatalan
perkawinan
apabila
waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
istri”.
3. Pertimbangan
Majelis
Hakim
dalam
memutuskan
perkara
No:
19/Pdt.G/2007/PA.Bks adalah kepada ketentuan Pasal 19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 116 (f) Islam yang berbunyi: “Antara
suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Hal ini benar adanya
karena tujuan dari sebuah pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang
sejahtera lahir maupun batin hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat
Al-rum ayat 21. Oleh karena itu majelis hakim berpendapat kurang ada
manfaatnya, bahkan akan memdatangkan madharat manakala perkawinan
meraka dipertahankan, sesuai dengan kaidah fiqih yang maksudnya:
Menghindari mafsadah yang sudah nyata harus didahulukan dari pada
mengharapkan adanya maslahah.
B. Saran-saran
Dalam menyikapi permasalahan masalah ini, penulis mempunyai beberapa
saran atau pandangan yang bertujuan untuk membantu pihak-pihak yang
bersangkutan. Beberapa saran yang penulis berikan dalam sebuah tulisan seperti
berikut ini:
73
1. Penulis menghimbau kepada seluruh pemuda-pemudi agar berhati-hati dalam
pergaulan terhadap lawan jenis karena dorongan hawa nafsu, seringkali
menjerumuskan manusia ke lembah kenistaan dan penyimpangan terhadap
norma-norma agama.
2. Bagi laki-laki atau perempuan yang hendak menikah sebaiknya didasarkan
kepada kejujuran tentang keadaan yang sebenarnya, karena ke jujuran di atas
segala-galanya, dan jika kita terus menerus berbohong maka akan
menghancurkan masa depan kita.
3. Kepada seluruh masyarakat dan tokoh masyarakat untuk mempersempit
peluang terjadinya pergaulan bebas dan perzinahan, karena wanita maupun
laki-laki yang telah melakukan perbuatan zina nantinya akan menghadapi
permasalahan yang sulit dalam kehidupan rumah tangga kelak, jika diketahui
telah pasanganya kehilangan keperawan ataupun keperjakaan.
4. Pengawasan dan bimbingan orang tua harus lebih ditingkatan, terutama
masalah pergaulan bebas remaja seperti free sex pada jaman sekarang ini,
sebagai factor penyebab hilangnya kehormatan wanita atau hamil diluar
nikah. Karena jika kurang pengawasan dan bimbingan dari orang tua,
pergaulan bebas tersebut akan meluas dan merusak generasi muda saat ini dan
yang akan mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Dan Terjemahan” Departemen agama RI Bandung: Gema Risalah, Press,
1993.
Abdurrahman “ Himpunan Peraturan UU Tentang Perkawinan” Jakarta: akademika
presindo, 1986, cet- 1
Abdurrahman SH. Ma. “ Kompilasi Hukum Islam “ Jakarta: Akademika Presindo,
1996.
Al-Jaziri Abdurrahman, Al-Fiqhu Ala Mazhibil Arba’ah, Juz IV, Darul fikri
Beirut,1982.
Al Zuhaily, Wahbah, al-Figh al- Islami Wa Adillatuhu, Juz VII, Damsyiq: Dar al-Fikr),
1989.
Al-Mahri Mahmud Syaikh. Perkawinan Idaman, Jakarta: Qishti Press, 2010, cet-1
Anwar, H. Muhammad, Hukum Perkawinan Dalam Islam Dan Pelaksanaanya,
Berdasarkan UU. No. 1 Tahun 1974 Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1984.
Abass Ahmad Sudirman, Problematika pernikahan dan solusinya, Jakarta: PT. Prima
Heza Lestari, 2006
Echols M John. dan Syadily Hasan, kamus Bahasa Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2000), cet ke- 24.
Fuad Said, H.A. “ Perceraian Menurut Hukum Islam” Bandung: Pustaka Setia, 1999.
H.SA Alhamdani, Salim Agus, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam Jakarta:
Pustaka Amani, 1989
http://makmun-anshory. Blogspot. com/2009/06/khulu-dan-fasakh-dalam-hukumIslam). Html, diaskes di Jakarta 20 Desember 2011
http://id. Wikipedia.org/wiki/perawan, diaskes tanggal 10 Februari 2011
http//id. Wikipedia.org/wiki. hilangnya keperawanan, hoeda, on September 14th,
2009
http://id.shvoong.com/society-and-news/culture/2106511-pentingnya-keperawanandalam-rumah-tangga
74
75
http://maman 84. Wordpress. Com/2010/04/04/ cara-menditeksi-keperwanan-denganmelihat-wagina
Kuzari Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1995),
cet ke-1
Manan Abdul dan Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata: Wewenang Peradilan
Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
Mannan Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: kencana
Prenada Media Group, Mei 2008, cet. Ke-2
Mughnyiah Jawad Muhammad, Fiqh Lima Madzhab, Jakarta: PT Lentera Basretama,
2004.
Muchtar, Drs. H. Kamal, Asas-asas Hukum islam tentang perkawinan, Jakarta:
Bulan bintang, 1987.
Nuruddin Amiur dan Tarigan Akmal Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974
sampai KHI. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Juli 2006), cet. Ke-3.
Newman W.A. Dorlan, kamus kedokteran Dorland, alih bahasa, Dr. Huriawati
Hartanto,dkk, ( Jakarta : penerbit Buku kedokteran EGC, 2002) ,edisi-29,
hal. 2398
Ny. Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk keluarga, B.P.K. Gunung Mulia, 1988.
Pedoman Penyusunan Skripsi, Fakultas Syar’iah dan Hukum, Jakarta 2007.
Pribakti B,ApOG (K), Tips dan Trik Merawat Organ Intim Panduan Peraktis
Kesehatan Reproduksi Wanita, Yokyakarta, Pustaka Banua,2008.
Prodjohamidjojo Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal
Center Publishing, 2002,
Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah, ( Bandung: Alma’arif, 1994), cet ke-8, jilid. 6
Sudarsono. “ Hukum Perkawinan Nasional” Jakarta: Rineka Cipta, 1991 dan Inpres
RI No 1 Thn 1991.
Salinan Putusan Pengadilan Agama Bekasi No: 019/Pdt/2007/PA.Bks
Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, Jakarta: Rajawali pres, 2003.
76
Santoso Budi, SpOG (K), Panduan kesehatan Repoduksi Wanita,Jakarta: 2007, SKP
doks Distribution, cet Ke-1
Sudarsono,SH. Hukum Perkawinan Nasional, Reneka Cipta 1991 dan Inpres Ri No.1
Th 1991 kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Depag RI 1998
Sostro Atmojo, H. Asro, H. A. Wasit Awlawi, MA. Hukum Perkawinan di Indonesia,
Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Syarifuddin Amir, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006.
Uwaidah’ Muhamad Kamil Syaikh, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.
Tim penulis Resda “ Kamus Filsafat” Cet 1, Bandung: Remaja Resda, Karya, 1995.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1976.
Yasin M. Nu’amin, Fiqih Kedokteran, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007, cet Ke-6.
Download