1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Diabetes mellitus

advertisement
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Diabetes
mellitus
merupakan
salah
satu
penyakit
yang
prevalensinya terus mengalami peningkatan di dunia, baik di negara maju
maupun negara sedang berkembang, jumlah penderita yang mengalami
diabetes mellitus merupakan kelompok yang terbanyak, mencapai kurang
lebih 90 – 95 % dari pengidap diabetes mellitus di dunia (Suiraoka, 2012).
Data Organisasi Kesehatan Dunia, saat ini terdapat 366 juta jiwa dengan
diabetes mellitus di dunia, di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 8,4 juta
dan akan meningkat menjadi 21,8 juta pada tahun 2030, sehingga Indonesia
menduduki peringkat keempat setelah Amerika Serikat, China dan India
diantara negara-negara yang memiliki penyandang diabetes terbanyak,
dengan populasi penduduk terbesar di dunia (Sidartawan, 2011).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, jumlah penduduk
Indonesia yang mengalami diabetes adalah 5,7% atau sekitar 12 juta
penduduk. Provinsi Kalimantan Barat dan Maluku Utara menduduki
peringkat tertinggi untuk pengidap penyakit DM dengan prevalensi masingmasing 11,1% (Aditama, 2011).
Diabetes Melitus biasanya mulai terjadi saat usia dewasa yaitu diatas
usia 20 tahun. Berdasarkan pola pertambahan penduduk, penduduk di
Indonesia yang berusia diatas 20 tahun diperkirakan pada tahun 2030 nanti
akan ada 194 juta dengan asumsi prevalensi diabetes pada daerah urban
1
2
(14,7%) dan rural ( 7,2%) maka diperkirakan terdapat 212 juta penyandang
diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Lebih dari 80%
kematian akibat diabetes terjadi pada negara berpenghasilan menengah
kebawah (WHO, 2012). Indonesia termasuk negara dengan penghasilan
menengah ke bawah. Menurut data Riskesdas tahun 2007 diabetes mellitus
merupakan penyebab kematian nomor 5 dengan proporsi kematian sebesar
5,7%. Total kematian karena diabetes akan mengalami peningkatan 50%
pada sepuluh tahun ke depan. Diabetes Mellitus diprediksikan akan menjadi
penyebab kematian nomor tujuh di dunia pada tahun 2030 nanti (WHO,
2012).
Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman 2012, jumlah
penderita diabetes mellitus terbanyak di Kabupaten Sleman adalah di
wilayah kerja Puskesmas Godean 1 yaitu sebanyak 1427 pasien.
Berdasarkan studi pendahuluan diperoleh data dari Puskesmas Godean I
bahwa telah tercatat sebanyak 62 orang terdiagnosa menderita diabetes
mellitus dari bulan Januari 2014 hingga Mei 2014. Rincian jumlah penderita
yang terdiagnosis menderita diabetes mellitus hingga bulan Mei 2014
adalah sebagai berikut : pada bulan Januari sebanyak 13 orang, Februari
sebanyak 13 orang, Maret sebanyak 17 orang, April sebanyak 12 orang dan
Mei sebanyak 7 orang.
Tingginya prevalensi diabetes mellitus berkaitan erat dengan
perilaku masyarakat dalam melakukan tindakan pencegahan. Upaya
pencegahan diabetes mellitus dilakukan melalui 3 tahap pencegahan,
3
meliputi pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Upaya pencegahan
primer ditujukan pada individu yang belum menderita diabetes mellitus
tetapi memiliki risiko untuk menderita diabetes mellitus. Upaya pencegahan
primer diabetes mellitus ini melalui modifikasi gaya hidup yang meliputi
pola makan yang sesuai, aktivitas fisik, penurunan berat badan, dan berhenti
merokok.
Diabetes Melitus
merupakan penyakit hiperglikemia akibat
insensitifitas sel terhadap insulin. Oleh karena insulin tetap dihasilkan oleh
sel-sel beta pankreas Melitus (Corwin, 2009). Diabetes melitus adalah suatu
kumpulan gejala yang timbul karena adanya peningkatan kadar gula glukosa
darah akibat penurunan insulin yang progresif atau resistensi insulin atau
keduanya (Soegondo dkk, 2011). Diabetes mellitus tipe 2 merupakan jenis
yang paling banyak ditemukan yaitu lebih dari 90% kasus. Angka kejadian
diabetes mellitus meningkat pada populasi berumumr 40 tahun. Di
indonesia jarang dijumpai penderita diabetes mellitus tipe 1. Hal ini ada
hubungannya dengan letak georafis Indonesia yang terletak di daerah
katulistiwa, faktor genetik dan diagnosis yang terlambat sehingga pasien
sudah meninggal akibat komplikasi sebelum terdiagnosis (Suyono, 2007).
Penduduk usia lanjut diperkirakan jumlahnya 10% dari keseluruhan
pendududk di negara maju dan sekitar 5-8% di negara berkembang. Usia
lanjut mengakibatkan prevalensi penyakit-penyakit degeneratif khususnya
diabetes mellitus. Kejadian diabetes meliitus pada usia lanjut cenderung
semakin meningkat pula (Shasikiran dkk, 2004).
4
Diabetes melitus yang diderita oleh usia lanjut sebagian besar adalah
diabetes tipe 2. Diabetes meliitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang
erat hubungannya dengan proses usia, namun belum dapat dipastikan
diabetes mellitus yang diderita oleh usia lanjut memang dimulai sejak waktu
dewasa atau baru diderita saat sudah tua (Rochmah, 2006). Salah satu faktor
yang dapat menjadi penyebab dari prevalensi diabetes mellitus tipe 2 tinggi
pada usia lanjut adalah menurunnya fungsi sel beta pankreas dalam
mensekresi insulin seiring bertambahnya usia (Mudaliar dan Edelman,
2001).
Penyakit diabetes mellitus merupakan suatu penyakit kronis yang
mempunyai dampak negatif terhadap fisik maupun psikologis penderita,
gangguan fisik yang terjadi seperti poliuria, polidipsia, polifagia, mengeluh
lelah dan mengantuk (Price & Wilson, 2006), disamping itu dapat
mengalami penglihatan kabur, kelemahan dan sakit kepala. Dampak
psikologis yang terjadi seperti kecemasan, kemarahan, berduka, malu, rasa
bersalah, hilang harapan, depresi, kesepian, tidak berdaya (Brunner &
Suddarth, 2002), juga dapat menjadi pasif, tergantung, merasa tidak
nyaman, bingung dan merasa menderita (Purwaningsih & Karlina, 2012).
Hasil dari wawancara dengan psikolog puskesmas bahwa
kebanyakan pasien yang di rujuk ke poli psikologi hampir 70% penderita
diabetes mellitus, pasien mengalami kecemasan akan kematian dan
kesulitan untuk bisa beradaptasi kebiasaan-kebiasaan yang baru seperti diet
karbohidrat, pasien juga mengalami penurunan kebugaran seperti cepat
5
lelah dalam beraktivitas, kontol emosi yang buruk seperti sering marah jika
diingatkan tentang, minum obat yang teratur, asupan makanan yang boleh
dimakan dan yang tidak boleh dimakan. Pasien juga mengalami kecemasan
yang merupakan reaksi terhadap penyakit karena dirasakan sebagai suatu
ancaman, ketidaknyamanan akibat nyeri dan keletihan, perubahan diet,
berkurangnya kepuasan seksual, timbulnya krisis finansial, frustasi dalam
mencapai tujuan, kebingungan dan ketidakpastian masa kini dan masa
depan (Brunner & Suddarth, 2002).
Terkait pengendalian diabetes bagi para penderita baik pola makan,
olah raga, gaya hidup, tata aturan bagi penderita, dampak penyakit diabetes
mengakibatkan kecemasan bagi penderita. Hal tersebut dapat berdampak
pada aspek-aspek kehidupan dari pasien tersebut juga akan berdampak pada
kebahagian dan kualitas hidup pasien. Hal serupa juga diungkapkan oleh
salah satu pasien puskesmas “M”, seorang ibu berusia 55 tahun, yang
mengungkapkan jika dirinya mengalami hambatan dalam beraktivitas,
karena badannya sering sakit, kesemutan dan penglihatannya mulai
terganggu. Ketakutan akan komplikasi yang dialaminya membuat “M”
menjadi merasa tidak mempunyai harapan hidup karena keterbatasan fisik
dan ekonomi.
Sementara itu hal serupa diungkapkan subjek lain “P”, seorang
bapak berusia 56 tahun mengeluh malas mengikuti aturan diet makan.
Walaupun sering melakukan kontrol ke puskesmas juga sering melanggar
pantangan diabetes, misalnya minum kopi manis, sirup manis, dan teh
6
manis. Jika diabetesnya kambuh, “P” merasa lemas, cepat lelah, dan sering
tertidur. “P” juga mengakui saat diingatkan untuk minum obat secara teratur
langsung cepat marah karena merasa jenuh untuk terus meminum obat
secara teratur.
Berdasarkan hasil wawancara praktikan dengan beberapa pasien
pengidap diabetes melitus, pasien akan marasa cemas memikirkan
komplikasi yang mungkin saja akan dialami. Kecemasan ini menimbulkan
gejala-gejala tersendiri pada pasien, antara lain gejala yang nampak melalui
fisik, psikologis, dan sosial. Gejala fisik seperti susah tidur, tidak nafsu
makan, rasa nyeri di sekujur tubuh, jantung berdebar-debar, tekanan darah
meningkat, dan kadar glukosa darah juga meningkat. Gejala psikologis
seperti sedih, gelisah, takut dan sosial seperti merasa sendiri, merasa hanya
dirinya sendiri yang mengalami hal ini. Mereka juga mengalami penurunan
kualitas hidup seperti penurunan phisycal being seperti menurunnya
kebugaran, seperti cepat lelah dalam beraktivitas, lamanya waktu
pengobatan yang setap 1 bulan kontrol kembali serta untuk mengambil obat
secara rutin juga membuat pasien khawatir akan proses pengobatan
terutama ketakutan akan komplikasi pada organ ginjal karena terus-menurus
minum obat. Dari dampak penyakit pada beberapa pasien mengalami
pembengkakan kaki dan nyeri pada bagian kaki, keadaan ini membuat
kegiatan sehari-hari terganggu karena merasa sulit untuk berjalan terlalu
lama, keadaan ini membuat pasien lebih banyak berdiam diri dan duduk di
rumah. Pasien mengalami penurunan dalam psychological being seperti
7
rendahnya kontrol diri dalam mengatur pola makan, minum obat secara
teratur, dan rendahnya penyesuaian emosi seperti mudah marah.
Burroughs, Desikan, Waterman, Gilin & McGill (2004) mengatakan
kualitas hidup terdiri beberapa aspek yang terdiri dari aspek kepuasan terapi
berkaitan tentang proses pasien selama menjalani perawatan atau
pengobatan, seperti waktu yang dibutuhkan untuk berobat dan harapan
individu terhadap pengobatan yang akan datang. Aspek dampak terapi
berkaitan dengan kemampuan pasien dalam melakukan beberapa hal selama
pengobatan seperti makan, aktivitas fisik, aktivitas harian, gangguan akibat
penyakit dan kondisi kesakitan. Aspek kekhawatiran terkait diabetes
berkaitan dengan kondisi psikologis pasien yang disebabkan penyakitnya,
seperti perasaan cemas, ketakutan, perasaan sedih, rendah hati dan perasaan
bahagia atau damai. Aspek kekhawatiran terhadap sosial dan pekerjaan
berkaitan dengan kondisi kesehatan mempengaruhi hubungan sosial pasien
dengan lingkungannya dan kemampuan pasien menjalankan aktivitas
pekerjaannya.
Renwick dan Brown (1996) mendefinisikan kualitas hidup sebagai
tingkat dimana seseorang menikmati terjadinya segala peristiwa penting
dalam kehidupannya atau dengan kata lain sejauh mana seseorang merasa
bahwa dirinya dapat menguasai atau tetap dapat mengontrol kehidupannya
dalam segala kondisi yang terjadi.
Kualitas hidup pasien seharusnya menjadi perhatian penting bagi
pada professional kesehatan karena dapat menjadi acuan keberhasilan dari
8
suatu tindakan atau intervensi atau terapi. Di samping itu, data tentang
kualitas hidup juga dapat merupakan data awal untuk pertimbangan
merumuskan intervensi atau tindakan yang tepat bagi pasien. Pasien juga
akan berhadapan dengan stressor kehidupan lainnya. Pada pasien tertentu
stresor yang menahun tersebut dapat menyebabkan pasien kehilangan jati
dirinya, kehilangan ide-ide, sering merasa sedih, tidak berdaya dan putus
asa, merasa bersalah dan mudah marah. Penelitian Goodridge, dkk (2005)
mengungkapkan diabetes dapat mempengaruhi kualitas hidup para
penderita terkait emosi negatif, efek sosial, berkurangnya aktifitas sosial,
kondisi keluarga yang kurang kondusif misalnya menjadi tegang dan
perhatian berlebih, kerja yang sangat kurang (terhambat) hingga masalah
keuangan. Seperti di usia lanjut dan lebih rentan mengalami DRPs karena
banyak menggunakan obat dan penuaan terkait dengan perubahan
patofisiologis (Vinks dkk, 2006). Drug related problems (DRPs)
merupakan suatu tantangan besar bagi penyedia layanan kesehatan karena
DPRs terkait dengan moralitas, morbiditas, dan kualitas hidup pasien
(Mahmoud, 2008).
Kualitas hidup merupakan sebuah konsep yang mencangkup
berbagai pengalaman manusia. Dalam domain medis, kualitas hidup
merupakan aspek kesehatan dari sudut pandang pasien dan bisa diunghkap
sebagai status fungsional dan kesejahteraan pasien. Diabetes mellitus
merupakan suatu penyakit kronis yang paling menjadi perhatian dalam
populasi bila dilihat dari dampak kesehatan yang bisa dialami pasien.
9
Diabetes mellitus sangat berhubungan dengan komplikasi vaskular, dan
dalam pedoman internasional dan naisonal tujuan keseluruhan pengobatan
diabetes mellitus adalah mencegah komplikasi akut dan kronis, dan
mempertahankan kualitas hidup yang baik bagi pasien. Dengan demikian,
pengetahuan tentang Health Related Quality Of Life (HRQoL) pada pasien
diabetes mellitus, serta faktor-faktor penentunya sangat penting (Wandell,
2005).
Suatu penelitian menjelaskan bahwa kejadian hipoglikemia, terapi
diabetes mellitus, perawatan diabetes mellitus di rumah, pengaruh
komorbiditas, target kadar glukosa darah, peran keluarga, edukasi tentang
diabetes mellitus dan keselamatan pasien merupakan 8 domain yang perlu
diperhatikan dalam perawatan diabetes mellitus pada pasien usia lanjut agar
menghasilkan kualitas hidup yang palimng baik dan berdampak pada
kualitas perawatan diabetes mellitus secara individu (Sinclair dkk, 2012),
dan validasi Diabetes Quality Of Life Clinical Trial Quessionaire
(DQLCTQ) melaporkan bahwa kualitas hidup yang rendah serta gangguan
status psikologis pasien dengan diabetes bisa mempengaruhi kontrol
metabolisme sehingga bisa mempengaruhi kadar glukosa dalam darah
pasien.
Kualitas hidup seharusnya menjadi perhatian penting bagi para
profesional kesehatan karena dapat menjadi acuan keberhasilan dari
suatu/tindakan atau terapi (Coons, 2005). Selanjutnya kualitas hidup pasien
yang menurun akan mempengaruhi kepedulian pasien terhadap dirinya
10
sendiri sehingga akhirnya mempengaruhi kontrol dan manajemen diabetes
(Singh dan Bradley, 2006).
Kualitas hidup merupakan salah satu outcome terapi yang dapat
digunakan untuk menilai efek terapi terhadap kesehatan pasien. Bernagai
efek samping yang mungkin dapat terjadi pada diabetes mellitus pada
akhirnya dapat menyebabkan komplikasi. Komplikasi yang dialami pasien
dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, terapi psikologis dapat
meningkatkan kualitas hidup, walaupun tidak semua aspek kualitas hidup
dapat ditingkatkan. Terapi psikologis dapat meningkatkan beberapa aspek
kualitas hidup antara lain adalah kualitas hidup baik fisik maupun
psikologis, hubungan sosial maupun lingkungan. Menurut peneliti ada
beberapa faktor yang mendorong perlunya pengukuran kualitas hidup
terhadap pasien diabetes mellitus tipe 2, yaitu prevalensi diabetes mellitus
terus meningkat baik di dunia maupun di Indonesia, selain ini lebih banyak
penelitian yang mengangkat seputar masalah klinik diabetes mellitus
sehingga perlu penelitian lebih banyak mengenai kualitas hidup mengingat
peningkatan kualitas hidup merupakan salah satu sasaran terapi pada
menejemen diabetes mellitus, penyakit diabetes merupakan penyakit kronis
yang memerlukan terapi terus menerus sehingga efektifitas dan
efek
samping pengobatan dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien,
pasien diabetes mellitus cenderung menderita komplikasi yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien (Sari, 2010).
11
Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya penyakit diabetes harus
ditangani dengan baik dengan metode pencegahan yang tepat agar tidak
memberikan dampak negatif, terlebih kepada mereka yang memiliki
penyakit fisik. Menurut Puchalski (dalam Hawari, 2002), beberapa
penelitian menujukkan bahwa intervensi psikoreligi dapat membantu
mempercepat proses penyembuhan dengan cara meningkatkan kekebalan
tubuh, selain terapi dari medik psikiatri. Faktor psikologis bersifat positif
yaitu bebas dari gangguan psikologis seperti stres, cemas dan depresi
melalui jaringan psikoneuroendokrin. Jaringan tersebut dapat meningkatkan
kekebelan tubuh, sehingga menjadikan seseorang tidak mudah sakit atau
dapat mempercepat proses penyembuhan. Teori psikoreligi memegang
peranan penting sebagai faktor psikologis yang bersifat positif (Hawari,
2002).
Menurut Emmons, McCullough & Tsang (2004) mengatakan bahwa
orang yang bersyukur memiliki tingkatan yang lebih tinggi dalam emosi
positif, kepuasan hidup, vitalitas, optimisme dan lebih rendah dalam tingkat
stres dan depresi. Rasa syukur memperkaya rasa bahagia dalam tingkatan
yang lebih tinggi daripada turunnya emosi negatif. Syukur lebih membuat
bahagia daripada menghilangkan kesedihan. Penelitian Bono, Emmons,
McCullouh (2004) mengatakan bahwa bersyukur bisa mencegah kondisi
emosi dan mencegah kondisi patologis.
Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa kualitas
hidup dapat ditingkatkan melalui beberapa metode seperti, pelatihan
12
mindfulness untuk meningkatkan kualitas hidup psikologis pasien diabetes
melitus tipe II. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0.000 (P<0.05).
Menjelaskan bahwa pelatihan mindfulness dapat meningkatkan kualitas
hidup psikologis pasien diabetes mellitus tipe II (Martini, 2015). Sedangkan
pada pelatihan kebersyukuran pernah dilakukan pada pasien diabetes
mellitus tipe II untuk menurunkan kecemasan pada pasien diabetes mellitus
dengan
memperoleh nilai P 0.006 (P<0.05) sehingga pelatihan
kebersyukuran dapat menurunkan kecemasan pada pasien diabetes mellitus
(Pratiwi, 2015). Metode lainnya seperti support therapy yang ditunjukkan
baik pada pasien maupun care givers nya yaitu orang tua pasien. Dalam
beberapa waktu kualitas hidup baik pasien maupun orangtua akan
meningkat, hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,011 yang berarti p
value < α 0,05 Ohaeri dan Tawfiq (2009). Pendampingan oleh bidang klinis
berupa konseling, screening dan terapi obat juga dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien (Allen, 2006). Pemberian support group therapy dan
keterampilan khusus juga dapat meningkatkan kualitas hidup Andayani,
Ibrahim, & Asdie (2010). Kekurangan penelitian ini hanya terfokus pada
dukungan sosial dan dukungan keluarga pada pasien dan tidak ada unsur
psikoreligiusitas dalam penelitain ini.
Dapat disimpulkan bahwa tingkatkebersyukuran pasien DM
mengalami peningkatan setelah mendapat perlakuan berupa intervensi
kebersyukuran yaitu sebesar 15, 13%. Terapi psikoreligius merupakan salah
satu bentuk psikoterapi yang mengkombinasikan pendekatan kesehatan jiwa
13
modern dan pendekatan aspek religius atau keagamaan yang dimana
bertujuan meningkatkan mekanisme koping / mengatasi masalah (Elkaysi,
2013). WHO telah menetapkan unsur spiritual (agama) sebagai salah satu
dari 4 unsur kesehatan. Keempat unsur kesehatan tersebut adalah sehat fisik,
sehat psikis, sehat sosial dan sehat spiritual (Hawari, 2008). Doa yang
berarti seruan, menyampaikan ungkapan, permintaan, permohonan
pertolongan adalah menghadapnya seseorang dengan tulus ikhlas kepada
Allah, dan memohon pertolongan dari-Nya, yang mahakuasa, Maha
Pengasih dan Penyayang (Elkaysi, 2012). Sedangkan dzikir adalah
kesadaran tentang kehadiran Allah dimana dan kapan saja, serta kesadaran
akan kebersamaan-Nya dengan makhluk (Supradewi, 2005).
Orang yang religius atau orang yang taat menjalankan ajaran
agamanya relatif lebih sehat dan mampu mengatasi penderitaan penyakitnya
sehingga proses penyembuhan penyakitnya pun lebih cepat. Pada
prinsipnya, dalam tubuh manusia terdapat jaringan psiko-neuro-endokrin
yang berpengaruh pada faktor – faktor kejiwaan seseorang. Jaringan ini
berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh. Dzikir yang antara lain
digunakan sebagai terapi psikoreligius akan mampu menaikkan kekebalan
tubuh manusia melalui jaringan psiko-neuro-endokrin tersebut (Zainul,
2007).
Respon emosional yang positif atau dari pengaruh terapi
psikoreligius dengan doa dan dzikir ini berjalan mengalir dalam tubuh dan
diterima oleh batang otak. Setelah diformat dengan bahasa otak, kemudian
14
ditransmisikan ke salah satu bagian otak besar yakkni thalamus, kemudian,
Thalamus menstansmisikan impuls hipokampus (pusat memori yang vital
untuk mengkoordinasikan segala hal yang diserap indera) untuk
mensekresikan GABA (Gama Amino Batiric Acid) yang bertugas sebagai
pengontrol respon emosi, dan menghambat asetylcholine, serotonis dan
neurotransmiter
yang
lain
yang
memproduksi
sekresi
kortisol.
Sehinggaakan terjadi proses homeostasis (keseimbangan). Semua protektor
yang ada di dalam tubuh manusia bekerja dengan ketaatan beribadah , lebih
mendekatkan diri kepada Allah SWT dan pandai bersyukur sehingga
tercipta suasana keseimbangan dari neurotransmitter yang ada di dalam otak
(Sholeh, 2005).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang kebersyukuran, maka
pada penelitian ini peneliti tertarik untuk meneliti tentang kualitas hidup
dengan menggunakan intervensi kebersyukuran. Peneliti berasumsi
menurunnya kualitas hidup yang dialami penderita diabetes sangat
membutuhkan suatu penanganan agar kualitas hidup pada penderita
diabetes melitus dengan membuang emosi-emosi negatif, pikiran irasional,
serta perilaku yang kurang tepat pada diri penderita diabetes melitus, agar
penderita dapat mengelola diri dengan baik, mengurangi kecemasan hingga
stres yang mereka alami. Bersyukur ketika mengalami penyakit kronis
seperti diabetes mellitus dapat dimaknai sebagai suatu keadaan psikologis
yang memperlihatkan bahwa dirinya masih diberikan kesempatan hiudp
lebih lama walau masih tersisa ada penyesalan perilaku di masa lalu, namun
15
kemudian menerima cobaab dari Allah SWT. Menyadari bahwa setiap
cobaan dan musibah mengandung hikmah.
Bersyukur ketika mengalami penyakit kronis seperti diabetes
mellitus dapat dimaknai sebagai suatu keadaan psikologis berupa pikiran
dan pemikiran positif bahwa diusianya masih diberikan nikmat dan
kesempatan hiudp walau masih tersisa ada penyesalan perilaku di masa lalu
namun kemudian dapat menerima cobaan dari Allah SWT, selanjutnya
memaknai bahwa setiap cobaan , musibah mengandung hikmah yang tidak
ternilai harganya hal ini merupakan tanda-tanda bersyukur (Krause, 2006).
Individu juga mampu melanjutkan
hidupnya memasukkan agenda
perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.
Sebagai upaya peningkatan kualitas hidup penderita diabetes
melitus dengan membuang emosi negatif, pikiran irasional, serta perilaku
yang kurang tepat pada penderita diabetes melitus, peneliti akan
memberikan terapi kebersyukuran pada pasien diabetes melitus. Dengan
harapan pasien dapat mengontrol emosi, mengendalikan perilaku, dan pada
akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes melitus.
Menurut Gayle (2007), tidak hanya aspek fisik, aktivitas sehari-hari dan
kehidupan sosial yang memerlukan adanya perubahan, diperlukan pula bagi
penderita penyakit kronis untuk mengintegrasikan kondisi psikologis yang
memiliki peranan dalam adaptasi terhadap penyakit yang disertai, dalam hal
ini diabetes melitus. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang
16
pengaruh pelatihan kebersyukuran untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien diabetes mellitus.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang kebersyukuran, maka
pada penelitian ini peneliti tertarik untuk meneliti tentang kualitas hidup
dengan menggunakan intervensi kebersyukuran. Peneliti berasumsi bahwa
kualitas hidup yang dialami pasien DM sangat membutuhkan suatu
penanganan agar pasien DM mampu meningkatkan kualitas hidup yang
menurun dan mampu menerima musibah dan cobaan dari Allah swt berupa
penyakit dengan tetap bersyukur, karena setiap cobaan dan musibah yang
diberikan mengandung hikmah yang merupakan rahmat dari Allah SWT.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh pelatihan
kebersyukuran sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup pada pasien
Diabetes Mellitus
B. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menguji secara empiris pelatihan
kebersyukuran untuk meningkatkan kualitas hidup pasien Diabetes
Mellitus.
C. Manfaat penelitian
1. Memberikan sumbangan pengetahuan, khusus bagi Psikologi Klinis
tentang hal-hal yang berkaitan dengan kualitas hidup pada pasien
17
Diabetes Mellitus dan dapat memberikan sumbangan bagi kekayaan
Psikologi Islami dalam menangani kasus-kasus klinis.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu membantu pasien
Diabetes Mellitus dalam meningkatkan kualitas hidup dengan cara
religius,
dan
memperoleh
wawasan
mengenai
diabetes
yang
berhubungan dengan tingginya kadar gula dalam darah (hiperglikemia).
Dengan demikian, pasien diabetes mampu bersyukur dan selalu berpikir
positif setiap kejadian yang dihadapi dan menyerahkan segala cobaan
dan musibah kepada Allah SWT.
D. Keaslian penelitian
1. Keaslian Topik
Dalam penelitian tentang pelatihan terapi kebersyukuran sebagai
upaya meningkatkan kualitas hidup pada orang dengan diabetes
mellitus, sebelumnya sudah pernah ada yang melakukan penelitian yang
sama antara variable, subjek, dan terapinya.
Masalah yang diangkat oleh peneliti belum pernah diteliti
sebelumnya, tetapi sudah ada penelitian mengenai variabel variabel
yang ingin diteliti secara terpisah. Penelitian Rahmawaty (2011),
“pengaruh pelatihan regulasi emosi terhadap peningkatan subjekctive
well being pada penderita diabetes mellitus”, menunjukkan bahwa ada
perbedaan subjective well being antara kelompok eksperimen yang
diberikan perlakuan pelatihan regulasi emosi dengan kelompok kontrol
yang tidak diberikan perlakuan regulasi emosi.
18
Mutia (2009), meneliti tentang “G-CBT (Gratitude- Cognitive
Behavior
Therapy)
untuk
menurunkan
depresi
pada
remaja,
menunjukkan ada perbedaan tingkat depresi antara kelompok yang
mendapat terapi atau perlakuan dengan kelompok yang tidak mendapat
terapi, sehingga terapi G-CBT mampu menurunkan tingkat depresi yang
dialami oleh remaja. Penelitian Aji (2013), lebih memfokuskan untuk
meneleti tentang pelatihan kebersyukuran dalam meningkatkan
penerimaan orangtua terhadap anak retardasi mental. Penelitian ini
menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang signifikan pada
penerimaan orangtua terhadap anak retardasi mental pada pretest dan
posttes di kelompok ekperimen dan kelompok kontrol.
Penelitian yang berhubungan dengan stres pada pasien Diabetes
Mellitus juga pernah diteliti oleh Syahfitriani (2009) dan Habibah
(2010). Hasil analisis data penelitian Syahfitriani (2009), menunjukkan
bahwa pelatihan EFT (Emotional Freedom Technique) berpengaruh
terhadap penuruan stres penderita Diabetes Mellitus tipe 2. Berdasarkan
analisis mann-whitney u terhadap gained score antara prestest dan
posttest diperoleh hasil bahwa ada perbedaan tingkat stres yang
signifikan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
sesudah perlakuan (posttest) dengan nilai p=0,0000 (p<0,05). Hasil
analisis data tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat
stres saat posttest pada kelompok eksperimen yang diberikan pelatihan
dibandingkan kelompok kontrol yang tidak diberikan pelatihan. Hasil
19
penelitian yang dilakukan Habibah (2010), menunjukkan bahwa
pelatihan membaca Al-Quran dapat menurunkan tingkat stres, apabila
membaca Al-Quran dilakukan secara terus-menerus dan insentif.
Sehingga boleh dikatakan topik penelitian serupa sudah pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
2. Keaslian Teori
Teori kualitas hidup yang akan digunakan didalam penelitian ini
menggunakan Burroughs (2004). Sedangkan teori kebersyukuran yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah mengadaptasi teori dari
kebersyukuran yang dikemukakan oleh Al-Ghazali (2013). Penelitian
sebelumnya yang pernah menggunakan teori Al-Ghazali (2013) yaitu
pelatihan kebersyukuran untuk menurunkan tingkat stres pada pasien
diabetes mellitus tipe 2 oleh Vivi (2015), hasil penelitian yaitu ada
penurunan yang signifikan dalam menurunkan stres pada pasien
diabetes mellitus.
3. Keaslian Alat Ukur
Dalam penelitian tentang pelatihan terapi kebersyukuran sebagai
upaya meningkatkan kualitas hidup pada orang dengan diabetes mellitus
mengadaptasikan alat ukur dari penelitian oleh Burroughs (2004).
Development and validation of the diabetes quality of life brief clinical
inventory. Mengindetifikasi lima faktor utama yang mendasari. Satu set
gabungan dari 15 pertanyaan itu dengan ( alpha = 0,85 ) dan valid ,
meskipun beberapa pertanyaan yang lebih relevan dengan diabetes tipe
20
1 atau tipe 2 . Untuk pasien dengan diabetes tipe 1 persediaan singkat
15 item itu sama atau lebih efektif memprediksi perilaku perawatan diri
( skala disingkat R2 = 0.360 ; skala penuh R2 = 0,254 ) dan kepuasan
dengan kontrol diabetes ( disingkat scaleR2 = 0,562 ; skala penuh R2 =
0.580 ) dari pada yang asli 60 item DQOL . Untuk pasien diabetes tipe
2 , hanya kepuasan dengan kontrol diabetes baik - diprediksi , tetapi
persediaan 15 item menyumbang sebanyak varian seperti aslinya 60
item DQOL ( skala disingkat R2 = 0,513 ; skala penuh R2 = 0,492 ) .
Hasil penelitian menunjukkan terdapatnya hasil positif yang sangat
signifikan dalam pengukuran dan efektivitas skala kualitas hidup
penderita diabetes mellitus tipe II.
4. Keaslian Subjek
Penelitian dalam bidang psikologi dengan subjek penelitian
penderita diabetes mellitus sudah banyak dilakukan. Di Indonesia,
penelitian mengenai penyakit diabetes mellitus pernah dilakukan oleh
Listiana (2005) yang meneliti depresi pada penderita diabetes mellitus.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara
ketegaran dan dukungan sosial dengan depresi pada penderita diabetes.
Penelitian Pratiwi (2015) dengan subjek penderita diabetes mellitus,
menyatakan bahwa pelatihan kebersyukuran untuk menurunkan tingkat
stres pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Metode pengobatan utama
yang diberikan pelatihan kebersyukuran, metode tersebut dapat
menurunkan tingkat kecemasan pada penderita diabetes mellitus.
21
Penelitian di luar negeri mengenai penyakit diabetes mellitus juga
pernah dilakukan oleh Rose dkk (2002) yang meneliti tentang faktor
psikologis yang mempengaruhi kualitas hidup penderita diabetes
mellitus. Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa efikasi diri dan
pandangan yang optimis terhadap kehidupan mempengaruhi kualitas
hidup penderita diabetes.
Subjek penelitian menggunakan subjek yang pernah dilakukan
penelitian-penelitian sebelumnya yaitu pasien Diabetes Mellitus yang
sudah pernah mendapatkan perlakuan psikologis. Sementara teori dalam
penelitian ini menggunakan teori kebersyukuran yang berbeda dari
penelitian yang sebelumnya yaitu menggunakan teori Al-Ghazali (2013)
dan penelitian sebelunya sudah ada yang melakukannya yaitu penelitian
Pratiwi (2015) dengan subjek penderita diabetes mellitus, menyatakan
bahwa pelatihan kebersyukuran untuk menurunkan tingkat stres pada
pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan menggunakan teori Al-Ghazali.
Download