Bab I PENDAHULUAN

advertisement
Bab I
PENDAHULUAN
“…kenikmatan dan sensasi yang muncul ketika nongkrong (di angkringan, burjoan atau kafe)…berbeda-beda dan tak dapat dipertukarkan satu dengan yang
lain.”1
A. Latar Belakang
Seiring dengan merebaknya coffee-shop (warung kopi atau kafe) saat ini,
makin banyak orang yang menjadikan kafe sebagai tempat bertemu muka, tempat
mampir ketika pulang kuliah/bekerja/berkegiatan bahkan hingga menjadi ‘tempat
ketiga’. Bagi sebagian orang, ‘tempat ketiga’ antara rumah dan kantor yang
memungkinkan orang mengunjungi kafe dalam durasi waktu lebih dari dua jam
atau lebih dari sekedar menikmati secangkir kopi. Saat ini kafe tidak lagi
didominasi orang-orang dewasa atau laki-laki saja sebagai mana warung kopi atau
kafe pada masa awal merebaknya tempat ngopi di tahun dua ribu-an. Kafe pada
awal masa tenarnya masih berupa tempat untuk sekedar mampir menikmati kopi
lalu kemudian pergi. Tidak nampak ruang yang luas, kursi dan meja yang hanya
sekedarnya karena orang datang kemari hanya sekedar mampir atau membeli
1
. Iwan Pribadi; seorang pengamat gaya hidup yang tinggal di Yogyakarta dan pernah bekerja
sebagai marketing sebuah warung kopi, via http://donnyverdian.net/iwan-pribadi-coffeeshopdi-jogja-bagaimana-baiknya/
1
untuk dibawa pulang2. Jauh berbeda keadaannya dengan saat ini, kafe mengambil
ruang yang cukup luas di sudut-sudut kota dan beberapa sudut-sudut ruang
pertokoan moderen. Kursi-kursi dan meja yang cukup banyak jumlahnya, sofa
atau kursi berbusa empuk yang nyaman mulai memenuhi sudut kafe dan tidak
ketinggalan berbagai fasilitas penunjang kenyamanan seperti pendingin ruangan,
saluran televisi kabel hingga yang tak boleh ketinggalan koneksi internet nirkabel
atau wi-fi.
Gaya hidup yang telah mengalir dalam nadi mereka melalui kopi
menjadikan kafe atau kedai kopi sebagai pilihan gaya hidup yang telah menjadi
satu dalam nadi mereka yang bisa didapatkan, di-isi ulang atau bahkan
ditingkatkan3. Keberagaman pilihan yang ditawarkan tempat-tempat ngopi ini
menjadikan orang memiliki pilihan akan sebuah gaya hidup baru yang lebih ‘cair’
dan bisa secara tidak disadari menjadikan bagian dari kehidupan mereka sehingga
kecenderungan untuk terikat pada kegiatan ini pun cukup tinggi 4. Keberadaan
orang-orang yang menyesap kopi di sudut kafe dengan berbagai alasan telah
menjadi fenomena ini menarik dan tentu saja hal ini memiliki efek dalam
kehidupan sosial kita, terutama soal perubahan gaya hidup, pola konsumsi serta
bentuk interaksi yang terjadi. Kafe sebagai ‘tempat ketiga’ antara rumah dan
tempat kerja atau sekolah5 merupakan salah satu penyebab sekaligus dampak akan
adanya kegiatan minum kopi dan berbincang di luar rumah. Seperti menjadi hal
yang biasa ketika orang-orang mulai memindahkan kegiatan sehari-hari mereka ke
2
. Schultz via Simon, 2009.
. Tucker, 2011.
4
. Haryanto, 2008.
5
. Simon, 2009.
3
2
kedai kopi; belajar, bekerja, mengobrol bersama teman & keluarga, mencari
hiburan atau bahkan sekedar menonton tayangan yang notabene bisa ditonton di
rumah.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang ada dan terjadi di Yogyakarta ketika
gambaran fenomena berkegiatan sehari-hari justru banyak ditemui di kafe-kafe
maupun kedai kopi yang menjamur di berbagai wilayah sudut kota. Melihat
dinamika kafe di Yogyakarta yang pada awalnya mungkin hanya sebuah warung
atau kedai dengan ruang yang tak terlalu besar, menjual minuman dengan varian
yang terbatas dan pengunjung yang homogen berjenis kelamin laki-laki6. Seiring
waktu, ketika ruang makin luas, variasi menu yang ditawarkan makin beragam
maka pengunjung pun mulai beragam; laki-laki perempuan, tua muda pun ikut
mengunjungi kafe. Bukan lagi sekedar tempat minum kopi yang didominasi lakilaki namun telah perlahan berubah menjadi ruang yang memiliki keragaman.
Tidak saja dari segi jenis kelamin pengunjung, namun juga usia, status sosial,
kegiatan serta berbagai alasan dan motif mendatangi kedai kopi di Yogyakarta.
Perubahan ini tentu saja menjadi satu poin penting apabila kita melihat kafe di
Yogyakarta saat ini telah mengalami banyak sekali perubahan dan sehubungan
dengan apa saja yang dilakukan para pengunjungnya, tentunya ini ada alasan
tersendiri.
Begitu mudahnya menemukan kafe di sudut-sudut kota Yogyakarta dan
pertumbuhannya sangat dinamis jika dilihat dalam satu bulan ada beberapa nama
6
. Susanti, 2007.
3
baru yang muncul atau paling tidak dalam tiga bulan terakhir beberapa kafe lama
pun berganti nama atau konsep disamping beberapa lainnya memilih tutup. Kafe
di Yogyakarta pun mengalami keragaman baik dari sekedar jual kopi sampai
makanan sajian sepanjang hari. Mulai dari yang sekedar kopi instan seduhan
angkringan, kedai-kedai ‘patungan’ para mahasiswa rantau sampai kedai kopi
ternama internasional pun ada. Dari kafe berkonsep warung dengan nama yang
menggunakan istilah lokal hingga yang ke-barat-baratan, hampir semuanya bisa
kita temukan. Disamping dikenal sebagai kota pelajar juga dikenal sebagai
kotanya para seniman sehingga tidak jarang kafe menjadi salah satu tujuan
berkumpulnya para seniman Yogyakarta, dari yang sekedar bercengkrama,
mengadakan pertunjukan hingga mengisi panggung-panggung reguler di kafekafe tersebut untuk menghibur para pengunjung. Ada pula beberapa kafe yang
menjadi tempat berkumpulnya sejumlah klub atau kelompok hobi tertentu pada
malam-malam tertentu, seperti halnya kelompok musik blues, klub baca, klub
kuliner, klub fotografi dan masih banyak lagi. Bermacamnya jenis orang dan
kepentingan yang hadir dalam ruang kafe maka perubahan yang terjadi
selanjutnya adalah beragamnya orang-orang serta kegiatan yang ada di kafe di
Yogyakarta menjadikan ruang kafe sebagai layaknya panggung tempat orang
memainkan peran dan memilih perannya di panggung-panggung pilihan mereka
tersebut.
Hadir sebagai salah satu pilihan lokasi untuk berkegiatan di luar rumah
maupun tempat kerja atau sekolah, dari menikmati minuman dan makanan
sembari berbincang maupun bertemu sapa dengan siapa saja hingga melakukan
4
berbagai proses interaksi maupun menikmati waktu sendiri, kafe sendiri memiliki
fungsi yang hampir mirip dengan sebuah arena pertunjukan yang melibatkan
individu bak di sebuah arena pertunjukan; datang dengan berbagai motif maupun
tujuan, dalam waktu yang berbeda-beda, mengenakan pakaian yang beragam,
membicarakan hal-hal yang beragam, menggunakan sudut ruang yang berbedabeda meski dalam satu arena, serta membawa pemahaman pribadi mereka masingmasing tentang sebuah tempat bernama kafe dan melakukan kegiatan di
dalamnya.
Keberadaan kafe dalam keseharian masyarakat Yogyakarta telah menempati
posisi tersendiri sebagai salah satu alternatif tempat memanfaatkan waktu luang
maupun untuk tujuan yang lebih penting. Berbagai hal yang mungkin terjadi di
dalamnya oleh berbagai macam individu yang hadir turut memberikan kontribusi
pada proses konsumsi ruang kafe dewasa ini. Pola konsumsi ruang berubah
seiring dengan perubahan selera, motif dan kepentingan individu yang berada di
dalamnya. Proses memaknai kegiatan konsumsi dalam ruang kafe menjadikan
elemen-elemen di dalamnya yang merangkai atau terlibat dalam sebuah kegiatan
konsumsi ruang kafe menarik untuk dikaji lebih lanjut. Perubahan ruang kafe dan
gaya hidup telah turut mengubah pola konsumsi dan juga motif individu dalam
mengunjungi kafe. Jika kita lihat lebih jauh, dinamika yang terjadi pada
pemaknaan ruang serta konsumsi akan berdampak pada sektor usaha jasa dan
usaha kuliner. Perubahan ini mempengaruhi orientasi konsumsi seseorang
sehingga kajian ini dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam memprediksi
maupun membaca arah pola konsumsi masyarakat saat ini dan yang akan datang.
5
Selain itu, dalam konteks kota Yogyakarta sendiri studi ini nantinya bisa menjadi
tolok ukur tingkat dan pola konsumsi gaya hidup terutama dalam sektor pelayanan
jasa dan barang kuliner serta pemanfaatan ruang publik.
B. Rumusan Masalah
Pemaknaan kegiatan konsumsi pada ruang tertentu tidak lepas dari siapa
saja yang ada dalam ruang tersebut, apa saja yang dilakukan dan mengapa mereka
melakukan kegiatan tertentu tersebut. Ruang kafe menjadi sebuah tempat dimana
orang-orang memilih untuk mengaktualisasi dirinya melalui proses konsumsi.
Proses aktualisasi diri terjadi tidak hanya karena adanya interaksi antar personal
tetapi juga interaksi individu dengan ruang yang ada di sekitarnya. Ketika ruang
menjadi bagian dari sebuah proses aktualisasi diri maka apa yang ada dalam ruang
tersebut akan turut menentukan kegiatan, perilaku serta bagaimana orang-orang
memaknai ruang kafe. Sebagai sebuah panggung, ruang kafe memiliki pemeranpemeran yang heterogen, peran yang beragam mulai dari penampilan hingga apa
yang dibicarakan serta berbagai sarana pendukungnya yang turut melengkapi
proses aktualisasi diri.
Untuk mengetahui bagaimana proses pemaknaan kegiatan konsumsi ruang
kafe oleh para pengguna ruangnya maka dirumuskan beberapa rumusan
permasalahan sebagai berikut:
6
1. Bagaimana ruang kafe dikonsumsi sebagai panggung sosial oleh
penggunanya?
2. Bagaimana pola konsumsi ruang kafe jika dilihat sebagai sebuah
panggung sosial?
3. Bagaimana konsumsi ruang kafe dimaknai dalam konteks sebagai
panggung sosial?
Rumusan masalah ini ditujukan guna mengetahui bagaimana konsumen
kafe memaknai ruang kafe sebagai panggung sosial sehingga mereka memilih
berada di sebuah kafe. Hal ini sehubungan dengan pola konsumsi seseorang
terhadap gaya hidup, di mana menghabiskan waktu di kafe merupakan salah satu
bagian di dalamnya. Sebagian besar praktek konsumsi ruang dalam kafe terjadi
seiring dengan proses konsumsi baik itu makanan, minuman serta proses
bersosialisasi. Ruang kafe dalam penelitian ini menjadi tempat yang
memungkinkan segala bentuk interaksi, konsumsi dan komunikasi terjadi antara
individu dengan individu serta individu dengan ruang itu sendiri.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Kafe yang selama ini identik dengan tempat minum kopi atau tempat
bercengkrama sembari menikmati minuman dan makanan pada perkembangannya
tidak lagi sebatas kegiatan itu-itu saja. Persoalan minum kopi tidak lagi semata
mengobati ‘dahaga kafein’ dalam tubuh tetapi juga dahaga sosial, dahaga kultural
7
serta dahaga akan budaya yang terlekat menjadi satu dalam secangkir kopi. Begitu
pula dengan kafe yang notabene menjadi tempat tujuan bagi mereka yang ingin
menikmati kopi, kini mereka menuju kafe tidak semata untuk menikmati
secangkir kopi saja namun telah terjadi dinamika motif dan tujuan seseorang
ketika mengunjungi sebuah kafe.
Dalam tesis ini penulis mencoba menganalisis ragam perilaku konsumen
kafe terhadap ruang kafe itu sendiri, menggambarkan serta memberikan
penjelasan mengenai bagaimana pengguna ruang kafe membawa diri mereka ke
dalam ruang tersebut. Dengan berbagai peran serta perilaku yang secara tidak
langsung telah menjadi bagian dari kebutuhan sosial, ruang kafe yang selama ini
mereka kunjungi secara langsung maupun tidak langsung telah menjadi panggung
sosial yang menampilkan berbagai peran, perilaku serta dialog-dialog yang turut
mendefinisikan bagaimana orang menjadikan dirinya aktor atau pemeran dalam
sebuah drama sosial. Diharapkan melalui tesis ini pula dapat diketahui makna
ruang kafe itu sendiri sehubungan dengan individu yang ada didalamnya serta
menganalisis perilaku serta makna perilaku terhadap ruang kafe.
Kegiatan menikmati waktu, minuman, makanan, berbincang dengan
kolega atau keluarga di luar rumah merupakan salah satu kegiatan yang notabene
ditemukan di sudut-sudut ruang kafe. Namun di beberapa tempat lain tentunya
akan berbeda lagi nilai yang disajikan atau dibawa oleh masing-masing individu
pada kegiatan ngafe. Begitu pula yang ada di Yogyakarta ketika konsumen lebih
heterogen baik dari latar belakang budaya, pekerjaan maupun status sosialnya
8
serta pola konsumsi yang berbeda. Penelitian ini diharapkan dapat menambah
kajian dalam etnografi mengenai budaya kafe sehubungan dengan proses
konsumsi dalam ranah kajian materialisme, budaya konsumsi dan pengelolaan
gaya hidup (post) modern.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum datang gelombang minum kopi dari Eropa, awal ritual minum kopi
muncul dari Turki pada abad ke-16 ketika tentara militer Turki (Janissary)
menghabiskan waktu mereka di sebuah kedai kopi. Ketika para tentara yang
memiliki pangkat menengah ke atas ini tidak lagi aktif berperang namun mereka
masih menjaga ritual mereka berkumpul di kedai-kedai kopi untuk membahas
segala sesuatu yang berhubungan dengan politik, peperangan serta pemerintahan.
Pada perkembangannya pembicaraan semacam ini terus menerus bergulir seiring
waktu dan menumbuhkan berbagai tempat berbincang baru di penjuru Turki 7.
Kafe dalam keseharian orang Turki pada masa itu adalah sebagai tempat dimana
perbincangan politik dapat bergulir dengan hangat dan tanpa khawatir akan
menimbulkan gerakan yang mengancam stabilitas negara karena pada akhirnya
kafe-kafe ini menjadi wadah nostalgia para veteran perang dan tentara-tentara
muda yang tidak lagi bekerja untuk peperangan namun lebih sebagai aparatur
negara. Kafe di Turki berkembang layaknya jamur di musim penghujan,
memenuhi sudut-sudut kota tak hanya oleh para Janissary tetapi juga para sufi dan
7
. Sajdi, 2007 ; p.118
9
masyarakat sipil. Perbincangan tidak melulu seputar politik namun juga agama
hingga ekonomi.
Pengertian cafe [cafè] menurut Sadily diartikan menjadi dua terminologi: 1.
Yang berarti ‘restoran, rumah makan’ dan 2. Warung kopi. Hornby mengartikan
cafe [cafè] dalam dua terminologi: “a place where you can buy drinks and simple
meals”; yaitu sebuah tempat dimana kita bisa membeli minuman dan makanan
kecil, dan “small shop (store thath sells sweets, newspaper, food, etc) usually
stays open later than other shop/store”; dimana kafe lebih mengacu pada kedai
atau warung yang menjual tidak hanya minuman dan makanan kecil tetapi juga
koran dan buka hingga larut malam. Kafe dalam terminologi bahasa indonesia
dapat diartikan sebagai tempat minum kopi yang pengunjungnya dihibur musik;
tempat minum yang pengunjungnya dapat memesan minuman seperti kopi, teh,
bir dan kue-kue; atau juga dapat disebut kedai kopi.
Wackwitz (2007) memaparkan dalam tulisannya mengenai sebuah kafe di
London yang sejak puluhan tahun menyajikan sajian khas yang selalu ia
sempatkan untuk cicipi setiap harinya bersama secangkir kopi. Secangkir espresso
pekat yang ia nikmati di kafe ini hingga puluhan tahun kemudian selalu
menghadirkan perasaan yang hangat akan memori masa mudanya ketika
menghabiskan waktu. Segala hal yang ada dalam ruang kafe ini menimbulkan
‘coffeeshop feelings’ atau perasaan yang timbul ketika berada diantara aroma kopi
yang diseduh, keriuhan berbisik di sekitar tempat duduk dan suara musik yang
mengalun perlahan.
10
“In certain moments- "in the blink of an eye"- a sense of occasion is
created in which this experience is suddenly for all time: this shabby
room, smelling of coffee, be- comes the center of the world, while the
tin ashtrays and sugar bowls are transformed into sumptuous
goblet.8”
Kafe menjadi gambaran sederhana Wackwitz mengenai ruang sosial yang
telah di-desain ulang oleh para seniman urban menjadi ruang publik yang
memungkinkan memiliki keterikatan dengan kondisi ruang pribadi sehari-hari.
Hal itu pula yang ia bayangkan ketika melihat apa yang terjadi di sekitar saat
duduk di dalam sebuah kafe dan menemukan hal yang selama ini kita rasa dekat
dengan keseharian diri kita; pembicaraan yang hangat, memandangi pejalan kaki
di luar kafe lewat jendela, membaca buku dan hal-hal familier lainnya.
Tucker (2011) melihat bahwa kafe tidak semata tempat yang menyajikan
kopi semata tetapi juga sebagai wadah atau ruang berdiskusi, debat persoalan
politik hingga untuk mengekspresikan diri.
“Coffee shops are as much about a place and an experience as they
are about serving a beverage. Historically, coffeehouses gained fame
as places for intellectual discussions, political debates, and free social
expression” (Connery 1997)9.
Saat ini kafe tetap pada asal mulanya sebagai sebuah tempat berdiskusi
namun telah mengalami berbagai perubahan-perubahan kecil, sesuai dengan
lingkungan dimana kafe tersebut dibangun. Beberapa kafe yang di kemudian hari
menjamur pun tak lepas dari kegiatan yang serupa namun tentu saja di daerah
yang berbeda maka akan membawa pola yang berbeda. Dari varian sajian pun
8
9
. Wackwitz, 2007; p.5
. Connery, 1997 via Tucker, 2011.
11
berbeda, jika di Amerika kopi hitam biasa disandingkan dengan roti bakar atau
semacam roti yang dipanaskan dalam wajan (toast) lain halnya dengan di Taiwan
dimana kopi hitam ditambah semacam buih susu yang tawar diatasnya serta di
Aceh biasa disajikan kopi yang dicampur dengan telur mentah. Tidak sepenuhnya
salah, bila ada anggapan bahwa budaya minum kopi yang sangat ramai sekarang
ini di Indonesia dipengaruhi oleh budaya luar negeri. Terutama setelah gerai kopi
ternama asal Amerika yang berlogo bulatan hijau dengan gambar putri duyung
telah sukses menancapkan budaya pop di seluruh dunia, termasuk Indonesia.10
Ngopi adalah istilah yang digunakan sebagian warga Indonesia saat sedang
santai minum dan menikmati makanan ringan. Namun istilah ngopi ini juga bisa
pada arti yang sebenarnya yaitu ‘minum secangkir kopi’. Kebiasaan minum kopi
di negeri ini rupanya sudah menjadi budaya turun-temurun karena dari kalangan
tua hingga muda saat ini banyak yang menyukainya dan bahkan menjadikannya
sebuah hobi. Agar tidak terkesan kuno dan kolot kini hampir di setiap kafe
maupun tempat nongkrong anak muda lain di kota-kota besar di Indonesia banyak
menyediakan berbagai jenis minuman yang berbahan dasar kopi. Minuman yang
satu ini boleh dibilang legendaris karena peminatnya tidak pandang zaman. Di
luar negeri pun minuman ini termasuk ke dalam jajaran minuman orang kalangan
atas yang hanya dapat ditemukan di kedai-kedai kopi khusus dengan berbagai
jenis aroma khas berdasarkan asal tumbuhnya tanaman biji itu. Beberapa jenis
kopi yang lumayan terkenal diantaranya Arabika, Robusta, Lanang, Chiccory,
Luwak dan masih banyak jenis lainnya yang di bandrol dengan harga beragam.
10
. http://khatulistiwacoffee.com/?p=101 diakses 26 September 2013
12
Berdasarkan pengamatan penulis di Yogyakarta, budaya minum kopi kini
sedang marak di kalangan mahasiswa, terutama yang sedang dikejar waktu
pengumpulan tugas-tugas yang kerap kali memaksa mereka untuk begadang.
Kopi adalah rujukan utama mahasiswa sebagai pendamping di kala terjaga di
malam hari. Seperti diketahui bahwa kandungan kafein dalam kopi dapat
menghilangkan rasa kantuk maka mereka memilih minum kopi tiap kali terjaga
hingga larut dan tidak sedikit dari mereka juga merasa kecanduan karena hampir
setiap hari meminum kopi.11
Menghabiskan waktu di kedai kopi bagi mereka yang ada di Yogyakarta
bukanlah hal baru semenjak menjamurnya berbagai warung kopi atau kedai kopi
baik itu yang sederhana hingga yang berbentuk kafe atau restoran. Ketika warung
kopi merebak di Yogyakarta pada awal tahun 200012, kegiatan menghabiskan
waktu di warung kopi menjadi salah satu kegiatan yang banyak ditemui di sudutsudut kota. Tidak hanya kafe-kafe tetapi juga warung kopi model lesehan yang
justru dikatakan sebagai gelombang awal tradisi ngopi-nya anak muda di
Yogyakarta. Sebuah laman tentang dunia per-kopi-an pernah menuliskan sebuah
paragraf untuk mengawali tulisannya mengenai warung kopi di Yogyakarta;
“Datanglah ke Jogja, nikmati kopi lesehan ala kota gudeg ini dengan
seharga 1.700 (rupiah) per cangkir, kopi termurah yang saya temukan
di kota gudeg ini. Tak usah khawatir akan diusir bila hendak berlamalama di sini. Main catur atau mau main kartu tak dilarang, tengkurep
pun sah-sah saja seberapa lama pun yang anda mau. Anggap saja ini
11
12
. http://www.republika.co.id/berita/rol-to-campus/uin-sunan-gunung-djati/12/10/21/mc8ukkngopi-antara-hobi-dan-kebutuhan. diakses 26 September 2013
. via http://donnyverdian.net/iwan-pribadi-coffeeshop-di-jogja-bagaimana-baiknya/
13
kamar kos kedua, mungkin begitu pikiran pengunjung yang membuat
cafe sejenis ini cukup menjamur terutama di kawasan yang berdekatan
dengan para mahasiswa.”13
Pada awal munculnya warung kopi serta kafe di Yogyakarta didominasi
oleh warung-warung kopi tanpa meja kursi dan sarana ala kadarnya namun tetap
mengutamakan menu kopi enak serta suasana yang santai. Pernyataan di atas
seraya mengabarkan bahwa acara minum kopi di Yogyakarta adalah kegiatan
santai, tidak terikat waktu, tidak ada batasan bersikap seolah-olah di rumah sendiri
(atau di kamar kos kedua, jika mengutip dari pernyataan di atas). Geliat penikmat
kopi serta tempat ngopi di Yogyakarta tidak hanya berhenti di situ saja, Oktober
tahun 2013 lalu komunitas ‘Ngopi Jogja’ berinisiatif menyelenggarakan Pekan
Ngopi Jogja yang misi utamanya mengenalkan kopi produksi lokal Merapi dan
Menoreh kepada warga Yogyakarta pada khususnya dan para pecinta kopi di
seluruh Indonesia pada umumnya. Komunitas pecinta kopi yang memiliki akun
sosial media twitter (at)Ngopijogja ini memilih kata ‘ngopi’ sebagai bagian judul
pekan pecinta kopi Ygyakarta bukan tanpa alasan, sang penggagas acara sekaligus
pemilik akun Ngopi Jogja beralasan agar tetap dekat kepada kalangan yang
mungkin bukan penikmat kopi, tetapi penyuka aktivitas dan gaya hidup ngopi,
berkumpul dan berdiskusi di warung kopi atau coffee shop14.
Kajian mengenai konsumsi ruang publik selama ini telah banyak membahas
soal penggunaan ruang oleh masyarakat atau publik dengan berbagai kepentingan.
13
. Wahid, 2009 via http://www.cikopi.com/2009/08/kopi-lesehan-di-jogja/ diakses 8 Agustus
2013
14
. http://ngopijogja.com/?p=71 diakses pada 3 desember 2013
14
Beberapa tulisan lain juga pernah membahas mengenai warung kopi atau warkop
sebagai ruang untuk bersosialisasi. Membaca beberapa tulisan sebelumnya
mengenai warung kopi sebagai tempat menghabiskan waktu luang, berkumpul
bersama teman-teman yang se-hobi, serta mengobrolkan segala hal.15 Senada
dengan Warung kopi di Aceh yang digunakan sebagai wadah berkomunikasi antar
warga satu sama lain. Setiap orang datang ke warung kopi dengan berbagai
maksud dan tujuan, tidak sekedar minum kopi saja. Fungsi warung kopi di Aceh
sebagai sarana bertegur-sapa, berdiskusi serta berbincang ditemani secangkir kopi.
Dengan adanya warung kopi tersebut memberikan kesempatan bagi seluruh
lapisan masyarakat untuk saling bertegur sapa maupun berdiskusi dengan orangorang dari berbagai strata sosial.16
Beberapa tulisan mengenai warung kopi, kafe serta coffee shop dari paparan
sebelumnya mengambil poin pada individu atau orang-orang yang menikmati
kopi di ruang-ruang tersebut. Artikel-artikel dalam beberapa laman juga
menuliskan mengenai bagaimana konsumen menghabiskan waktu di kafe dengan
berbagai cerita tentang si minuman kopi itu sendiri. Dalam tulisan lain juga di
bahas mengenai gambaran ruangan atau lokasi kafe namun tidak secara spesifik
disebutkan melainkan hanya sebagai pelengkap cerita pengalaman minum kopi di
kafe oleh si pengunjung. Kafe sendiri sebagai ruang atau tempat ditulis dalam
beberapa literatur desain interior dan arsitektur. Kesatuan interaksi antara ruang
kafe, pemilik kafe, penyaji jasa dan barang serta konsumen kafe itu sendiri masih
belum tergali lebih dalam. Tulisan ini sekiranya mencoba menjabarkan bagaimana
15
. Iffah, 2004.
16
. Mauriza, 1998.
15
interaksi yang terjadi diantara elemen-elemen tersebut sehubungan dengan proses
aktualisasi diri di ruang kafe yang pada nantinya akan dianalogikan sebagai
sebuah proses ‘drama sosial’ dimana semua elemen tersebut memainkan ‘peran’
mereka di ‘panggung’ bernama kafe.
E.
Kerangka Pemikiran
Kegiatan konsumsi dalam kajian Materialisme dan Gaya Hidup dari ruang
kafe dalam kajian ini ingin mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi
seseorang atau pun kelompok dalam hal mengkonsumsi ruang publik sebagai
bagian dari membangun identitas diri di ruang publik. Dalam kajian budaya
materi, dan identitas, identitas itu sendiri dibagi menjadi beberapa hal 17, antara
lain:
1.
Identitas merupakan bagian dari konstruksi modernitas; Tidak lepas dari
pengaruh Eropa dengan gelombang globalisasinya di mana modernitas
hadir dan turut mempengaruhi definisi ruang hidup dan gaya hidup
masyarakat.
Hall
(1996)
juga
menyatakan
modernitas
telah
mentransformasikan identitas-identitas baru yang terlekat dalam bentuk
individualisme yang baru.
2.
Identitas sebagai konstruksi hitoris; mengacu pada ujaran Giddens bahwa
identitas gaya hidup merupakan representasi dari masa lalu. Pilihanpilihan yang dibuat orang tidak lepas dari pengalaman masa lalu dimana
17
. catatan perkuliahan Materialisme dan Gaya Hidup, 22 Oktober 2012
16
orang cenderung memilih barang atau jasa yang sudah familiar atau telah
dicoba sebelumnya daripada memilih yang benar-benar baru.
3.
Identitas materi adalah identitas kelas; identitas dalam hal ini terkait
dengan adanya pelapisan dalam suatu masyarakat. Ketika dikenakan
dengan nilai kebendaan maka materi dilekatkan sebagai penanda
identitas tertentu18.
Poin pertama dari ketiga pemahaman identitas di atas yang menyebutkan
bahwa konstruksi modernitas merupakan bagian dari pembentukan identitas,
penggunaan ruang kafe dalam kajian ini melahirkan identitas-identias baru yang
berlapis, mengacu pada pengertian modernitas yang tak lepas dari pengaruh Eropa
turut mempengaruhi definisi ruang dan gaya hidup pada masyarakat modern.
Dalam sejarah Turki pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-18, perubahan
sosial ekonomi masyarakat seiring dengan perubahan perilaku dalam keseharian,
hal ini nampak pada perilaku mereka di ruang publik, seperti yang dikatakan Sajdi
(2007) :
‘...along with a series of socio-economic transformations, a peculiar
set of socio-cultural changes occurred that marked a critical moment
in the political transformation of relations between the Ottoman state
and society. This transformation will be demonstrated in the cultural
sphere of ritual performance, particularly in the development of the
political rituals surrounding imperial circumcision festivals from the
late sixteenth to the early eighteenth centuries.’
Untuk berinteraksi, orang membutuhkan ruang atau tempat sebagai wadah
interaksi mereka. Habermas (2003) mendefinisikan ruang publik sebagai semua
18
. Goffman, 1986.
17
wilayah kehidupan sosial kita yang memungkinkan kita untuk membentuk opini
publik. Ia juga memberikan pandangan bahwa ruang publik menjadi elemen dasar
dan essensial bagi pembentukan civil society. Adanya ruang publik yang netral,
tidak dikuasai maupun dikungkung oleh suatu selubung tertentu merupakan
cerminan ruang publik yang menjadi standart ideal bagi Habermas. Sebagai salah
satu bentuk ruang publik, kafe menjadi tempat yang dituju orang ketika
membutuhkan ruang selain ruang kerja mereka dan rumah. Para pemilik kafe pun
membangun tempat usaha mereka sebagai sebuah tempat antara ruang kerja dan
ruang pribadi atau rumah sehingga konsumen merasa nyaman berlama-lama
tinggal di kafe untuk menghabiskan secangkir kopi, membaca buku atau
mengerjakan pekerjaan yang belum tuntas hingga sekedar melepaskan penat
dengan menikmati suasana kafe beserta alunan musik.
Ruang kafe dibangun sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan
konsumen serta memberikan tempat berinteraksi dan mengaktualisasi diri.
Penggunaan ruang kafe sebagai salah satu ruang publik oleh konsumen dan
pengelola kafe dalam perkembangannya tidak lagi sekedar menjadi ruang
bersosialisasi, tetapi kegiatan yang dilakukan lebih beragam. Mengutip tulisan
Giddens (1984) bahwa aktivitas manusia yang terdistribusikan melalui ruang
merupakan hal mendasar dalam analisa kehidupan sosial ketika interaksi manusia.
Apa yang terjadi dalam ruang dan pada tataran waktu dan kegiatan tertentu
mengandung berbagai makna sosial. Ruang dalam konteks kafe sebagai ruang
publik yang dipergunakan umum tidak terlepas dari pemaknaan konsumen ruang
itu sendiri, baik pemilik kafe maupun pengunjung kafe. Selain itu waktu juga
18
menjadi bagian penting dalam sebuah operasional ruang pada waktu-waktu
tertentu akan menimbulkan suasana yang berbeda dalam sebuah ruang, semisal
kafe yang memiliki outdoor section atau tempat di luar ruangan seperti taman
maka pada senja hingga malam meja-meja akan dihiasi dengan lilin atau lentera
kecil beserta lampu-lampu teduh di sekitar area duduk untuk memberikan kesan
teduh, hangat dan santai. Hal ini tentu tidak ditemukan di dalam ruangan yang
notabene dilengkapi pendingin ruangan, lampu-lampu yang berpijar terang serta
beberapa pasang televisi19.
Giddens
(1984)
menggunakan
konsep
Goffman
(1959)
mengenai
pembagian ruang menjadi dua; depan dan belakang yang keduanya turut
mempengaruhi perilaku yang akan tampil di sana. Konsep ‘depan’ dan ‘belakang’
ini menurut Goffman secara disadari akan membedakan jenis perilaku yang
ditampilkan pada ruang ‘depan’ akan cenderung kaku, dibuat-buat dan canggung
layaknya tampil pada sebuah ‘panggung’ sedangkan ruang ‘belakang’ justru lebih
longgar, sekenanya dan lebih bebas. Pemaknaan ruang ini tidak lepas dari para
pengguna ruang yang mengisi ruang-ruang tersebut baik sebagai pengelola ruang
maupun pengkonsumsi ruang. Keduanya sama-sama sebagai individu-individu
yang menggunakan kafe sebagai ‘panggung’nya.
Individu-individu yang berinteraksi dalam satu ruang yang sama yaitu kafe
tidak hanya konsumen saja tetapi juga si pemilik usaha serta pramusaji yang
menghubungkan ruang kafe itu sendiri dengan para konsumen. Mereka yang
19
. Giddens, 1984; p.133
19
datang ke kafe sebagai konsumen tentulah berbeda dengan mereka yang bekerja di
kafe, mengelola kafe serta sekedar mampir di kafe tanpa membeli. Individu yang
berada dalam ruang kafe membawa identitas personal mereka masing-masing
yang kemudian akan mengalami penyesuaian dengan kultur atau budaya yang
berlaku di ruang tersebut hingga individu-individu ini kemudian menjadikan diri
mereka menggunakan pilihan yang ada atau ditawarkan. Mereka bersikap sebagai
diri mereka sendiri dengan berbagai latar belakang yang dibawa sebelum datang
ke kafe, ketika berada di kafe maka sikap manasuka yang ada dalam diri mereka
menjadi sama rata atau stereotip dengan lainnya sehingga pramusaji akan
memberikan sikap yang sama kepada konsumen satu dengan lainnya 20. Begitu
pula dengan konsumen itu sendiri yang juga memiliki pandangan umum mengenai
sikap pramusaji serta orang-orang yang bertugas menjalankan kafe sehingga sikap
yang ditunjukkan pun akan senada dengan sikap yang diharapkan oleh pengelola
dan pramusaji kafe.
Meskipun memiliki kesamaan praduga soal motif kedatangan konsumen ke
kafe yang sudah disadari dan diantisipasi, konsumen memiliki alasan mengenai
kenapa mereka datang kemari dan memilih memesan makanan ini atau minuman
itu serta duduk di sini bukan di sana. Cotte dan Ratneshwar (2000) memberikan
pendapatnya mengenai timestyle atau mode waktu dimana seseorang sebagai
individu telah memiliki pembagian waktunya masing-masing sehubungan dengan
bagaimana mereka menghabiskan waktunya dalam sehari. Setidaknya seseorag
membagi waktunya dengan melihat beberapa faktor penimbang, yaitu: (1).
20
. Goffman, 1963.
20
Dimensi sosial; ketika seseorang harus menjadi individu atau menjadi makhluk
sosial, (2). Dimensi polikronik; kegiatan paralel ataukah serial, (3). Dimensi
waktu; apakah soal kemarin, saat ini, atau esok hari, dan (4). Dimensi
perencanaan; perkiraan dalam mengatur waktu bagi seseorang21. Faktor-faktor
tersebut turut mempengaruhi pola konsumsi seseorang baik itu terhadap barang,
jasa dan terutama adalah konsumsi waktu dalam ruang kafe. Dimensi-dimensi
yang bersinggungan dalam konsumsi ruang adalah ketika orang-orang yang
berada di dalamnya melakukan kegiatan seperti halnya bercengkrama, menonton
televisi, bergawai hingga makan minum. Dimensi utama yang menjadi pokok
analisa adalah dimensi sosial terkait keberadaan kegiatan di ruang kafe serta
dimensi waktu yang membedakan pola konsumsi pada ruang kafe.
Ruang kafe yang dipergunakan untuk mengkonsumsi baik itu barang, jasa,
suasana serta waktu tentunya memiliki fungsi yang berkaitan dengan adanya
interaksi antar orang-orang dengan lingkungan sekitarnya yaitu ruangan itu
sendiri. Pada dasarnya ruang kafe layaknya sebuah rumah pun memiliki bagianbagian ruang atau pemetaan struktur ruangan yang berfungsi memudahkan
mobilitas pramusaji, konsumen serta menjadikan ruangan tersebut mudah diakses
untuk berbagai kegiatan. Goffman (1959) memberikan gambaran rinci mengenai
pembagian ruang yang ia sebut juga sebagai konsep ‘dramaturgi’ atau ruang
publik sebagai sebuah panggung dimana individu memainkan perannya masingmasing. Individu dalam pertunjukan pengertian Goffman adalah orang yang
mengenakan topeng untuk memainkan peran di panggung, dengan artian setiap
21
. Cotte & Ratneshwar, 2000.
21
individu memasang ‘topeng’ untuk memberikan gambaran tentang dirinya kepada
orang lain. Hal ini juga disebutkan sebagai ‘playing role’ atau memainkan peran.
Ketika seseorang memainkan peran dalam sebuah pertunjukan maka ia akan
memunculkan ekspresi yang dapat memicu impresi orang lain terhadap dirinya,
akan tetapi impresi yang didapatkan orang lain belum tentu sama dengan yang
dimaksudkan oleh mereka yang memainkan peran tersebut. Hal ini juga bisa
disebut sebagai ‘self illusion’ atau ilusi diri dimana seseorang nampak bersikap
seperti A namun pada dasarnya ia justru memiliki sikap B. Peran yang dimainkan
oleh individu tentunya tidak lepas dari panggung yang menjadi lokasi atau tempat
dimana individu memainkan peran-peran mereka.
Dalam sebuah panggung tentu ada beberapa hal yang mendukung terjadinya
sebuah pertunjukan dan memainkan peran. Dalam hal ini, setting atau latar dari
panggung merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah pertunjukan seperti
halnya meja kursi, dekorasi, tata ruang, letak dan berbagai hal yang berhubungan
dengan penciptaan sebuah arena memainkan peran sebagai bagian dari alat berekspresi. Setiap orang yang melakoni peran dalam sebuah panggung juga
memiliki ‘personal front’ atau panggung pribadi mereka yang lekat dengan alat
ekspresi sebagai pendukung untuk melakoni perannya. Dalam hal ini, contoh alat
ekspresi tersebut antara lain; pakaian, usia, ras, dialek atau logat dalam berbicara
serta sikap ketubuhan.
Alat atau atribut ekspresi yang dimiliki atau dikenakan oleh seseorang
memiliki tujuan untuk mendukung penampilan yang juga disertai adanya sikap
22
guna menyempurnakan sebuah penampilan. Pentingnya penampilan dalam sebuah
pertunjukan dapat menentukan siapa sebenarnya diri yang sedang ia bawakan atau
ia perankan. Penampilan memiliki fungsi untuk menunjukkan status sosial
seseorang, sebagai contoh orang yang memakai jas berwarna putih secara umum
dapat dilekatkan pada peran seorang ahli medik atau setidaknya mereka yang
bekerja di bidang medik kesehatan. Lain halnya dengan sikap merupakan gerak
tubuh yang dihasilkan seseorang untuk menentukan atau menegaskan peran yang
mereka mainkan dalam situasi-situasi tertentu. Sikap dalam sebuah pertunjukan
tentu tidak lepas dari penampilan dan mereka saling melengkapi hingga
menyajikan satu peran yang utuh. Peran yang menyeluruh ditampilkan dalam
‘panggung’ yang memiliki kepentingan kebutuhan dari pemerannya. Mereka yang
berperan dalam panggung bersama dengan pemeran-pemeran lainnya yang saling
menampilkan diri mereka dalam wadah yang disebut ‘panggung sosial’. Panggung
sosial adalah bentuk kompleks dari ruang terdepan bagi para pemeran dimana
dalam ruang ini timbul ekspektasi dan abstraksi dari sebuah peran. Drama sosial
yang dimainkan dalam panggung ini tentu tidak lepas dari berbagai sikap
dramatikal yang memenuhi hampir keseluruhan pertunjukan. Atribut yang
dikenakan, sikap yang ditunjukkan serta ekspresi yang dipakai melengkapi
penampilan seseorang untuk tampil di panggung mereka baik itu secara personal
atau sosial.
Panggung kemudian menjadi tempat beberapa orang mengalami dan
melakukan representasi kolektif mereka terhadap sesuatu dan mengalami
representasi oleh orang lain. Ketika penampilan dan sikap yang dibawa seseorang
23
ke panggung maka ia sedang melakukan representasi terhadap dirinya untuk orang
lain. Pada saat yang bersamaan, orang lain pun melakukan representasi atas apa
yang dilihat, dialami dan dirasakan ketika berhadapan dengan orang lain sehingga
mereka melakukan representasi versi mereka mengenai orang lain. Representasi
kolektif yang terjadi tidak semata-mata terjadi begitu saja tanpa memperhatikan
berbagai atribut yang mereka bawa serta ketika melakukan interaksi tersebut.
Tidak ubahnya panggung sosial, demikian pula ruang pada kafe kemudian
dipergunakan konsumennya. Hal ini juga diperkuat dengan adanya interaksiinteraksi yang terjadi di dalamnya seiring waktu, seperti pendapat Massey (1994)
bahwa ruang dan waktu adalah dua entitas tak terpisahkan secara relasional
terbentuk melalui interrelasi objek.
Konstruksi tempat turut dipengaruhi konstruksi sosial yang terjadi atas
tempat itu sendiri, selain dimensi waktu yang mendeterminasi pola konsumsi
ruang. Faktor keragaman pengunjung dilihat dari jenis kelamin juga menjadi salah
satu faktor yang membedakan pola konsumsi antara laki-laki dan perempuan.
Dalam hal ini Massey (1994) menuliskan mengenai ruang yang tergenderkan
dimana penggunaan ruang tersimbolisasi dalam tanda-tanda gender tertentu,
dalam kasus ini ruang kafe dimasukkan dalam konteks ruang ‘laki-laki’ atau
ruang publik dimana keberadaan perempuan masih dianggap sub-ordinat. Ruang
modernis maskulin juga disebutkan Massey sebagai poin kedua dalam konstruksi
sosial atas tempat atau ruang dimana laki-laki mendominasi pemaknaan dalam
sebagian besar atau hampir keseluruhan ruang publik dan menjadikannya sebagai
wadah objek konsumsi laki-laki. Rimoldi (1997) menegaskan bahwa konstruksi
24
ruang secara sosial dibentuk untuk kepentingan berkelompok, laki-laki dan
perempuan. Pemaknaan ruang itu sendiri, apakah privat atau publik tidak semata
dilihat karena ia laki-laki sehingga dapat ke ranah publik dan perempuan tidak
diperbolehkan tetapi melihat identitas apa yang dibawa, kebutuhan serta
kapabilitas sebagai makhluk sosial22. Kedua ranah tersebut (privat dan publik)
sejatinya merupakan keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan sebagai bagian dari
eksistensi kelangsungan hidup individu.
F. Metode Penelitian
F.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Yogyakarta dimana alasan
dipilihnya lokasi ini adalah Kota Yogyakarta dikenal selain sebagai Kota Pelajar
juga dikenal sebagai tujuan wisata serta sebagai miniatur Indonesia dimana
berbagai budaya yang datang dari luar daerah menyatu melebur dan tumbuh di
sini dibawa para pelajar dan perantau dari berbagai daerah di Indonesia. Pemilihan
lokasi kedai kopi atau kafe dilakukan secara random sampling dengan
pertimbangan kawasan masih di dalam lingkup Kota Yogyakarta. Yogyakarta
dalam satu windu terakhir ini juga telah tumbuh menjadi lokasi tujuan kuliner
dimana banyak sekali warung makan, restoran hingga kafe yang dapat ditemukan
di berbagai sudut kota. Maraknya kafe begitu pula kedai kopi mau tidak mau telah
ikut memberikan andil dalam peningkatan konsumsi kopi masyarakat Jogja
terutama bagi para mahasiswa dan pelajar.
22
. Rimoldi, 1997; p.117
25
F.2 Sumber Data
Penelitian ini mewawancarai 6 orang informan dengan 2 orang pengelola
kafe, 2 orang pengamat dan penggiat kafe di Yogyakarta serta 2 orang konsumen
kafe. Informan ini dipilih berdasarkan lokasi, jenis kafe yang dikelola serta
intensitas keberadaan dalam ruang kafe yang lebih dari dua jam setiap kunjungan
khususnya bagi konsumen. Pemilik kafe dipilih dari beberapa kafe yang berada di
kawasan pusat kota yang sekiranya telah berdiri lebih dari satu tahun. Seluruh
informan melalui wawancara insidental di kafe dalam waktu yang berbeda-beda,
antara bulan Agustus 2014 hingga Desember 2015 dan beberapa juga melalui
pesan singkat.
F.3 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian diawali dengan observasi partisipasi, wawancara mendalam serta
beberapa dokumentasi terkait ruang kafe serta kegiatan di dalamnya.
Mengunjungi kafe dalam waktu acak untuk melihat perubahan suasana dan jenis
pengunjung yang datang, menggunakan fasilitas kafe serta membangun obrolan
dengan kru serta konsumen sembari memesan kopi, ikut membuat kopi dan
mengalami suasana kafe secara berkala. Penelitian ini juga menggunakan data
sekunder dari literatur-literatur yang telah ada sebelumnya dari berbagai sumber
guna melengkapi data yang akan digunakan dalam penelitian.
F.4 Analisis Data
Proses analisa dalam penelitian ini menggunakan data primer dari hasil
wawancara mendalam dengan para informan yang sehubungan dengan topik
26
penelitian. Didukung dengan pengamatan serta keterlibatan langsung dalam
kegiatan di ruang kafe secara berkala. Tulisan-tulisan dalam literatur yang telah
ada serta artikel-artikel dalam media yang telah membahas topik senada dengan
penelitian ini turut digunakan sebagai data pendukung. Hasil akhir dari proses
analisa data yang ada kemudian menghasilkan rumusan yang menjabarkan atau
menjelaskan mengenai dinamika makna ruang serta pola konsumsi ruang kafe di
Kota Yogyakarta.
G. Sistematika penulisan
Tulisan ini akan disusun dalam beberapa bab yang masing-masing bab
memaparkan penjelasan serta analisa dari hipotesa-hipotesa yang ada serta
berusaha menjawab pertanyaan yang ada.
Pada Bab I dituliskan latar belakang mengenai penelitian ini, pertanyaan
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Pada Bab II paparan mengenai setting penelitian yang meliputi sejarah
kemunculan kedai kopi di dunia hingga Yogyakarta serta perkembangannya
dalam dua tahun terakhir hingga saat ini, apa saja yang ditawarkan oleh kedai
kopi, bagaimana bentuk ruang, pembagian ruang serta penataan dekorasi kafe,
kisaran menu dan sajian, sarana prasarana yang disediakan oleh kafe bagi
pengguna ruang hingga kegiatan apa saja yang ada dalam sebuah kafe.
Pada bab III mengenai Membangun Ruang Sosial di Kafe: pembentukan
ruang kafe oleh pemilik usaha kafe. Meliputi bagaimana pemilik kafe membentuk
27
kafe tersebut, sarana apa saja yang dia sediakan, tema apa yang mereka pakai,
bagaimana mereka membagi ruang dan meletakkan kursi dan meja, suasana yang
dimunculkan dalam ruang kafe, siapa saja yang menjalankan interaksi di kafe,
bagaimana pemilik/pengelola kafe mempersiapkan kafe, tujuan membentuk ruang
kafe. Dalam bab ini juga dibahas mengenai pembangunan ruang sosial dalam
ruang kafe beserta dinamika yang terjadi dalam ruang kafe yang ada saat ini di
Kota Yogyakarta.
Pada bab IV Konsumsi Ruang Kafe : Berpentas di Panggung Sosial,
memaparkan tentang para pengunjung yang berinteraksi di ruang cafe. Siapa saja
yang datang dan berada ke kafe, apa saja yang mereka lakukan, apa yang mereka
bawa kesana, apa yang mereka tampilkan disana, datang sebagai siapa kah
mereka, apa saja tujuan mereka ketika datang ke kafe, kapan mereka mendatangi
kafe, bagaimana mereka menggunakan sarana yang ada, dengan siapa saja mereka
berinteraksi selama berada di ruang kafe, apa saja yang mereka bicarakan.
Bagaimana ruang kafe kemudian dimaknai oleh para pengguna ruang. Apakah
ruang kafe dipergunakan sesuai dengan tujuan si pemilik atau ternyata berbeda
sama sekali, bagaimana kafe menjadi ‘tempat ketiga’ antara rumah dan tempat
kerja/sekolah/kuliah, apa saja interaksi yang terjadi disana, siapa saja yang
menggunakan ruang kafe sebagai tempat ‘melakukan peran’nya, bagaimana sikap
dan penampilan para pengguna ruang mempengaruhi penggunaan ruangnya,
kegiatan apa yang dilakukan disana dan mengapa mereka melakukannya disana,
sejauh mana kafe menjadi ‘panggung sosial’ bagi mereka yang berinteraksi di
dalamnya.
28
Pada bab V merupakan bab kesimpulan dan saran dari pembahasan
keseluruhan bab sebelumnya, wacana-wacana yang muncul setelahnya dari
penelitian ini dan terbukanya beberapa celah untuk kajian lanjutan yang
diharapkan dapat membangun suatu hasil berpikir yang baru dalam kajian
tersebut.
29
Download