Bab I PENDAHULUAN “…kenikmatan dan sensasi yang muncul ketika nongkrong (di angkringan, burjoan atau kafe)…berbeda-beda dan tak dapat dipertukarkan satu dengan yang lain.”1 A. Latar Belakang Seiring dengan merebaknya coffee-shop (warung kopi atau kafe) saat ini, makin banyak orang yang menjadikan kafe sebagai tempat bertemu muka, tempat mampir ketika pulang kuliah/bekerja/berkegiatan bahkan hingga menjadi ‘tempat ketiga’. Bagi sebagian orang, ‘tempat ketiga’ antara rumah dan kantor yang memungkinkan orang mengunjungi kafe dalam durasi waktu lebih dari dua jam atau lebih dari sekedar menikmati secangkir kopi. Saat ini kafe tidak lagi didominasi orang-orang dewasa atau laki-laki saja sebagai mana warung kopi atau kafe pada masa awal merebaknya tempat ngopi di tahun dua ribu-an. Kafe pada awal masa tenarnya masih berupa tempat untuk sekedar mampir menikmati kopi lalu kemudian pergi. Tidak nampak ruang yang luas, kursi dan meja yang hanya sekedarnya karena orang datang kemari hanya sekedar mampir atau membeli 1 . Iwan Pribadi; seorang pengamat gaya hidup yang tinggal di Yogyakarta dan pernah bekerja sebagai marketing sebuah warung kopi, via http://donnyverdian.net/iwan-pribadi-coffeeshopdi-jogja-bagaimana-baiknya/ 1 untuk dibawa pulang2. Jauh berbeda keadaannya dengan saat ini, kafe mengambil ruang yang cukup luas di sudut-sudut kota dan beberapa sudut-sudut ruang pertokoan moderen. Kursi-kursi dan meja yang cukup banyak jumlahnya, sofa atau kursi berbusa empuk yang nyaman mulai memenuhi sudut kafe dan tidak ketinggalan berbagai fasilitas penunjang kenyamanan seperti pendingin ruangan, saluran televisi kabel hingga yang tak boleh ketinggalan koneksi internet nirkabel atau wi-fi. Gaya hidup yang telah mengalir dalam nadi mereka melalui kopi menjadikan kafe atau kedai kopi sebagai pilihan gaya hidup yang telah menjadi satu dalam nadi mereka yang bisa didapatkan, di-isi ulang atau bahkan ditingkatkan3. Keberagaman pilihan yang ditawarkan tempat-tempat ngopi ini menjadikan orang memiliki pilihan akan sebuah gaya hidup baru yang lebih ‘cair’ dan bisa secara tidak disadari menjadikan bagian dari kehidupan mereka sehingga kecenderungan untuk terikat pada kegiatan ini pun cukup tinggi 4. Keberadaan orang-orang yang menyesap kopi di sudut kafe dengan berbagai alasan telah menjadi fenomena ini menarik dan tentu saja hal ini memiliki efek dalam kehidupan sosial kita, terutama soal perubahan gaya hidup, pola konsumsi serta bentuk interaksi yang terjadi. Kafe sebagai ‘tempat ketiga’ antara rumah dan tempat kerja atau sekolah5 merupakan salah satu penyebab sekaligus dampak akan adanya kegiatan minum kopi dan berbincang di luar rumah. Seperti menjadi hal yang biasa ketika orang-orang mulai memindahkan kegiatan sehari-hari mereka ke 2 . Schultz via Simon, 2009. . Tucker, 2011. 4 . Haryanto, 2008. 5 . Simon, 2009. 3 2 kedai kopi; belajar, bekerja, mengobrol bersama teman & keluarga, mencari hiburan atau bahkan sekedar menonton tayangan yang notabene bisa ditonton di rumah. Tidak jauh berbeda dengan apa yang ada dan terjadi di Yogyakarta ketika gambaran fenomena berkegiatan sehari-hari justru banyak ditemui di kafe-kafe maupun kedai kopi yang menjamur di berbagai wilayah sudut kota. Melihat dinamika kafe di Yogyakarta yang pada awalnya mungkin hanya sebuah warung atau kedai dengan ruang yang tak terlalu besar, menjual minuman dengan varian yang terbatas dan pengunjung yang homogen berjenis kelamin laki-laki6. Seiring waktu, ketika ruang makin luas, variasi menu yang ditawarkan makin beragam maka pengunjung pun mulai beragam; laki-laki perempuan, tua muda pun ikut mengunjungi kafe. Bukan lagi sekedar tempat minum kopi yang didominasi lakilaki namun telah perlahan berubah menjadi ruang yang memiliki keragaman. Tidak saja dari segi jenis kelamin pengunjung, namun juga usia, status sosial, kegiatan serta berbagai alasan dan motif mendatangi kedai kopi di Yogyakarta. Perubahan ini tentu saja menjadi satu poin penting apabila kita melihat kafe di Yogyakarta saat ini telah mengalami banyak sekali perubahan dan sehubungan dengan apa saja yang dilakukan para pengunjungnya, tentunya ini ada alasan tersendiri. Begitu mudahnya menemukan kafe di sudut-sudut kota Yogyakarta dan pertumbuhannya sangat dinamis jika dilihat dalam satu bulan ada beberapa nama 6 . Susanti, 2007. 3 baru yang muncul atau paling tidak dalam tiga bulan terakhir beberapa kafe lama pun berganti nama atau konsep disamping beberapa lainnya memilih tutup. Kafe di Yogyakarta pun mengalami keragaman baik dari sekedar jual kopi sampai makanan sajian sepanjang hari. Mulai dari yang sekedar kopi instan seduhan angkringan, kedai-kedai ‘patungan’ para mahasiswa rantau sampai kedai kopi ternama internasional pun ada. Dari kafe berkonsep warung dengan nama yang menggunakan istilah lokal hingga yang ke-barat-baratan, hampir semuanya bisa kita temukan. Disamping dikenal sebagai kota pelajar juga dikenal sebagai kotanya para seniman sehingga tidak jarang kafe menjadi salah satu tujuan berkumpulnya para seniman Yogyakarta, dari yang sekedar bercengkrama, mengadakan pertunjukan hingga mengisi panggung-panggung reguler di kafekafe tersebut untuk menghibur para pengunjung. Ada pula beberapa kafe yang menjadi tempat berkumpulnya sejumlah klub atau kelompok hobi tertentu pada malam-malam tertentu, seperti halnya kelompok musik blues, klub baca, klub kuliner, klub fotografi dan masih banyak lagi. Bermacamnya jenis orang dan kepentingan yang hadir dalam ruang kafe maka perubahan yang terjadi selanjutnya adalah beragamnya orang-orang serta kegiatan yang ada di kafe di Yogyakarta menjadikan ruang kafe sebagai layaknya panggung tempat orang memainkan peran dan memilih perannya di panggung-panggung pilihan mereka tersebut. Hadir sebagai salah satu pilihan lokasi untuk berkegiatan di luar rumah maupun tempat kerja atau sekolah, dari menikmati minuman dan makanan sembari berbincang maupun bertemu sapa dengan siapa saja hingga melakukan 4 berbagai proses interaksi maupun menikmati waktu sendiri, kafe sendiri memiliki fungsi yang hampir mirip dengan sebuah arena pertunjukan yang melibatkan individu bak di sebuah arena pertunjukan; datang dengan berbagai motif maupun tujuan, dalam waktu yang berbeda-beda, mengenakan pakaian yang beragam, membicarakan hal-hal yang beragam, menggunakan sudut ruang yang berbedabeda meski dalam satu arena, serta membawa pemahaman pribadi mereka masingmasing tentang sebuah tempat bernama kafe dan melakukan kegiatan di dalamnya. Keberadaan kafe dalam keseharian masyarakat Yogyakarta telah menempati posisi tersendiri sebagai salah satu alternatif tempat memanfaatkan waktu luang maupun untuk tujuan yang lebih penting. Berbagai hal yang mungkin terjadi di dalamnya oleh berbagai macam individu yang hadir turut memberikan kontribusi pada proses konsumsi ruang kafe dewasa ini. Pola konsumsi ruang berubah seiring dengan perubahan selera, motif dan kepentingan individu yang berada di dalamnya. Proses memaknai kegiatan konsumsi dalam ruang kafe menjadikan elemen-elemen di dalamnya yang merangkai atau terlibat dalam sebuah kegiatan konsumsi ruang kafe menarik untuk dikaji lebih lanjut. Perubahan ruang kafe dan gaya hidup telah turut mengubah pola konsumsi dan juga motif individu dalam mengunjungi kafe. Jika kita lihat lebih jauh, dinamika yang terjadi pada pemaknaan ruang serta konsumsi akan berdampak pada sektor usaha jasa dan usaha kuliner. Perubahan ini mempengaruhi orientasi konsumsi seseorang sehingga kajian ini dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam memprediksi maupun membaca arah pola konsumsi masyarakat saat ini dan yang akan datang. 5 Selain itu, dalam konteks kota Yogyakarta sendiri studi ini nantinya bisa menjadi tolok ukur tingkat dan pola konsumsi gaya hidup terutama dalam sektor pelayanan jasa dan barang kuliner serta pemanfaatan ruang publik. B. Rumusan Masalah Pemaknaan kegiatan konsumsi pada ruang tertentu tidak lepas dari siapa saja yang ada dalam ruang tersebut, apa saja yang dilakukan dan mengapa mereka melakukan kegiatan tertentu tersebut. Ruang kafe menjadi sebuah tempat dimana orang-orang memilih untuk mengaktualisasi dirinya melalui proses konsumsi. Proses aktualisasi diri terjadi tidak hanya karena adanya interaksi antar personal tetapi juga interaksi individu dengan ruang yang ada di sekitarnya. Ketika ruang menjadi bagian dari sebuah proses aktualisasi diri maka apa yang ada dalam ruang tersebut akan turut menentukan kegiatan, perilaku serta bagaimana orang-orang memaknai ruang kafe. Sebagai sebuah panggung, ruang kafe memiliki pemeranpemeran yang heterogen, peran yang beragam mulai dari penampilan hingga apa yang dibicarakan serta berbagai sarana pendukungnya yang turut melengkapi proses aktualisasi diri. Untuk mengetahui bagaimana proses pemaknaan kegiatan konsumsi ruang kafe oleh para pengguna ruangnya maka dirumuskan beberapa rumusan permasalahan sebagai berikut: 6 1. Bagaimana ruang kafe dikonsumsi sebagai panggung sosial oleh penggunanya? 2. Bagaimana pola konsumsi ruang kafe jika dilihat sebagai sebuah panggung sosial? 3. Bagaimana konsumsi ruang kafe dimaknai dalam konteks sebagai panggung sosial? Rumusan masalah ini ditujukan guna mengetahui bagaimana konsumen kafe memaknai ruang kafe sebagai panggung sosial sehingga mereka memilih berada di sebuah kafe. Hal ini sehubungan dengan pola konsumsi seseorang terhadap gaya hidup, di mana menghabiskan waktu di kafe merupakan salah satu bagian di dalamnya. Sebagian besar praktek konsumsi ruang dalam kafe terjadi seiring dengan proses konsumsi baik itu makanan, minuman serta proses bersosialisasi. Ruang kafe dalam penelitian ini menjadi tempat yang memungkinkan segala bentuk interaksi, konsumsi dan komunikasi terjadi antara individu dengan individu serta individu dengan ruang itu sendiri. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Kafe yang selama ini identik dengan tempat minum kopi atau tempat bercengkrama sembari menikmati minuman dan makanan pada perkembangannya tidak lagi sebatas kegiatan itu-itu saja. Persoalan minum kopi tidak lagi semata mengobati ‘dahaga kafein’ dalam tubuh tetapi juga dahaga sosial, dahaga kultural 7 serta dahaga akan budaya yang terlekat menjadi satu dalam secangkir kopi. Begitu pula dengan kafe yang notabene menjadi tempat tujuan bagi mereka yang ingin menikmati kopi, kini mereka menuju kafe tidak semata untuk menikmati secangkir kopi saja namun telah terjadi dinamika motif dan tujuan seseorang ketika mengunjungi sebuah kafe. Dalam tesis ini penulis mencoba menganalisis ragam perilaku konsumen kafe terhadap ruang kafe itu sendiri, menggambarkan serta memberikan penjelasan mengenai bagaimana pengguna ruang kafe membawa diri mereka ke dalam ruang tersebut. Dengan berbagai peran serta perilaku yang secara tidak langsung telah menjadi bagian dari kebutuhan sosial, ruang kafe yang selama ini mereka kunjungi secara langsung maupun tidak langsung telah menjadi panggung sosial yang menampilkan berbagai peran, perilaku serta dialog-dialog yang turut mendefinisikan bagaimana orang menjadikan dirinya aktor atau pemeran dalam sebuah drama sosial. Diharapkan melalui tesis ini pula dapat diketahui makna ruang kafe itu sendiri sehubungan dengan individu yang ada didalamnya serta menganalisis perilaku serta makna perilaku terhadap ruang kafe. Kegiatan menikmati waktu, minuman, makanan, berbincang dengan kolega atau keluarga di luar rumah merupakan salah satu kegiatan yang notabene ditemukan di sudut-sudut ruang kafe. Namun di beberapa tempat lain tentunya akan berbeda lagi nilai yang disajikan atau dibawa oleh masing-masing individu pada kegiatan ngafe. Begitu pula yang ada di Yogyakarta ketika konsumen lebih heterogen baik dari latar belakang budaya, pekerjaan maupun status sosialnya 8 serta pola konsumsi yang berbeda. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian dalam etnografi mengenai budaya kafe sehubungan dengan proses konsumsi dalam ranah kajian materialisme, budaya konsumsi dan pengelolaan gaya hidup (post) modern. D. Tinjauan Pustaka Sebelum datang gelombang minum kopi dari Eropa, awal ritual minum kopi muncul dari Turki pada abad ke-16 ketika tentara militer Turki (Janissary) menghabiskan waktu mereka di sebuah kedai kopi. Ketika para tentara yang memiliki pangkat menengah ke atas ini tidak lagi aktif berperang namun mereka masih menjaga ritual mereka berkumpul di kedai-kedai kopi untuk membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan politik, peperangan serta pemerintahan. Pada perkembangannya pembicaraan semacam ini terus menerus bergulir seiring waktu dan menumbuhkan berbagai tempat berbincang baru di penjuru Turki 7. Kafe dalam keseharian orang Turki pada masa itu adalah sebagai tempat dimana perbincangan politik dapat bergulir dengan hangat dan tanpa khawatir akan menimbulkan gerakan yang mengancam stabilitas negara karena pada akhirnya kafe-kafe ini menjadi wadah nostalgia para veteran perang dan tentara-tentara muda yang tidak lagi bekerja untuk peperangan namun lebih sebagai aparatur negara. Kafe di Turki berkembang layaknya jamur di musim penghujan, memenuhi sudut-sudut kota tak hanya oleh para Janissary tetapi juga para sufi dan 7 . Sajdi, 2007 ; p.118 9 masyarakat sipil. Perbincangan tidak melulu seputar politik namun juga agama hingga ekonomi. Pengertian cafe [cafè] menurut Sadily diartikan menjadi dua terminologi: 1. Yang berarti ‘restoran, rumah makan’ dan 2. Warung kopi. Hornby mengartikan cafe [cafè] dalam dua terminologi: “a place where you can buy drinks and simple meals”; yaitu sebuah tempat dimana kita bisa membeli minuman dan makanan kecil, dan “small shop (store thath sells sweets, newspaper, food, etc) usually stays open later than other shop/store”; dimana kafe lebih mengacu pada kedai atau warung yang menjual tidak hanya minuman dan makanan kecil tetapi juga koran dan buka hingga larut malam. Kafe dalam terminologi bahasa indonesia dapat diartikan sebagai tempat minum kopi yang pengunjungnya dihibur musik; tempat minum yang pengunjungnya dapat memesan minuman seperti kopi, teh, bir dan kue-kue; atau juga dapat disebut kedai kopi. Wackwitz (2007) memaparkan dalam tulisannya mengenai sebuah kafe di London yang sejak puluhan tahun menyajikan sajian khas yang selalu ia sempatkan untuk cicipi setiap harinya bersama secangkir kopi. Secangkir espresso pekat yang ia nikmati di kafe ini hingga puluhan tahun kemudian selalu menghadirkan perasaan yang hangat akan memori masa mudanya ketika menghabiskan waktu. Segala hal yang ada dalam ruang kafe ini menimbulkan ‘coffeeshop feelings’ atau perasaan yang timbul ketika berada diantara aroma kopi yang diseduh, keriuhan berbisik di sekitar tempat duduk dan suara musik yang mengalun perlahan. 10 “In certain moments- "in the blink of an eye"- a sense of occasion is created in which this experience is suddenly for all time: this shabby room, smelling of coffee, be- comes the center of the world, while the tin ashtrays and sugar bowls are transformed into sumptuous goblet.8” Kafe menjadi gambaran sederhana Wackwitz mengenai ruang sosial yang telah di-desain ulang oleh para seniman urban menjadi ruang publik yang memungkinkan memiliki keterikatan dengan kondisi ruang pribadi sehari-hari. Hal itu pula yang ia bayangkan ketika melihat apa yang terjadi di sekitar saat duduk di dalam sebuah kafe dan menemukan hal yang selama ini kita rasa dekat dengan keseharian diri kita; pembicaraan yang hangat, memandangi pejalan kaki di luar kafe lewat jendela, membaca buku dan hal-hal familier lainnya. Tucker (2011) melihat bahwa kafe tidak semata tempat yang menyajikan kopi semata tetapi juga sebagai wadah atau ruang berdiskusi, debat persoalan politik hingga untuk mengekspresikan diri. “Coffee shops are as much about a place and an experience as they are about serving a beverage. Historically, coffeehouses gained fame as places for intellectual discussions, political debates, and free social expression” (Connery 1997)9. Saat ini kafe tetap pada asal mulanya sebagai sebuah tempat berdiskusi namun telah mengalami berbagai perubahan-perubahan kecil, sesuai dengan lingkungan dimana kafe tersebut dibangun. Beberapa kafe yang di kemudian hari menjamur pun tak lepas dari kegiatan yang serupa namun tentu saja di daerah yang berbeda maka akan membawa pola yang berbeda. Dari varian sajian pun 8 9 . Wackwitz, 2007; p.5 . Connery, 1997 via Tucker, 2011. 11 berbeda, jika di Amerika kopi hitam biasa disandingkan dengan roti bakar atau semacam roti yang dipanaskan dalam wajan (toast) lain halnya dengan di Taiwan dimana kopi hitam ditambah semacam buih susu yang tawar diatasnya serta di Aceh biasa disajikan kopi yang dicampur dengan telur mentah. Tidak sepenuhnya salah, bila ada anggapan bahwa budaya minum kopi yang sangat ramai sekarang ini di Indonesia dipengaruhi oleh budaya luar negeri. Terutama setelah gerai kopi ternama asal Amerika yang berlogo bulatan hijau dengan gambar putri duyung telah sukses menancapkan budaya pop di seluruh dunia, termasuk Indonesia.10 Ngopi adalah istilah yang digunakan sebagian warga Indonesia saat sedang santai minum dan menikmati makanan ringan. Namun istilah ngopi ini juga bisa pada arti yang sebenarnya yaitu ‘minum secangkir kopi’. Kebiasaan minum kopi di negeri ini rupanya sudah menjadi budaya turun-temurun karena dari kalangan tua hingga muda saat ini banyak yang menyukainya dan bahkan menjadikannya sebuah hobi. Agar tidak terkesan kuno dan kolot kini hampir di setiap kafe maupun tempat nongkrong anak muda lain di kota-kota besar di Indonesia banyak menyediakan berbagai jenis minuman yang berbahan dasar kopi. Minuman yang satu ini boleh dibilang legendaris karena peminatnya tidak pandang zaman. Di luar negeri pun minuman ini termasuk ke dalam jajaran minuman orang kalangan atas yang hanya dapat ditemukan di kedai-kedai kopi khusus dengan berbagai jenis aroma khas berdasarkan asal tumbuhnya tanaman biji itu. Beberapa jenis kopi yang lumayan terkenal diantaranya Arabika, Robusta, Lanang, Chiccory, Luwak dan masih banyak jenis lainnya yang di bandrol dengan harga beragam. 10 . http://khatulistiwacoffee.com/?p=101 diakses 26 September 2013 12 Berdasarkan pengamatan penulis di Yogyakarta, budaya minum kopi kini sedang marak di kalangan mahasiswa, terutama yang sedang dikejar waktu pengumpulan tugas-tugas yang kerap kali memaksa mereka untuk begadang. Kopi adalah rujukan utama mahasiswa sebagai pendamping di kala terjaga di malam hari. Seperti diketahui bahwa kandungan kafein dalam kopi dapat menghilangkan rasa kantuk maka mereka memilih minum kopi tiap kali terjaga hingga larut dan tidak sedikit dari mereka juga merasa kecanduan karena hampir setiap hari meminum kopi.11 Menghabiskan waktu di kedai kopi bagi mereka yang ada di Yogyakarta bukanlah hal baru semenjak menjamurnya berbagai warung kopi atau kedai kopi baik itu yang sederhana hingga yang berbentuk kafe atau restoran. Ketika warung kopi merebak di Yogyakarta pada awal tahun 200012, kegiatan menghabiskan waktu di warung kopi menjadi salah satu kegiatan yang banyak ditemui di sudutsudut kota. Tidak hanya kafe-kafe tetapi juga warung kopi model lesehan yang justru dikatakan sebagai gelombang awal tradisi ngopi-nya anak muda di Yogyakarta. Sebuah laman tentang dunia per-kopi-an pernah menuliskan sebuah paragraf untuk mengawali tulisannya mengenai warung kopi di Yogyakarta; “Datanglah ke Jogja, nikmati kopi lesehan ala kota gudeg ini dengan seharga 1.700 (rupiah) per cangkir, kopi termurah yang saya temukan di kota gudeg ini. Tak usah khawatir akan diusir bila hendak berlamalama di sini. Main catur atau mau main kartu tak dilarang, tengkurep pun sah-sah saja seberapa lama pun yang anda mau. Anggap saja ini 11 12 . http://www.republika.co.id/berita/rol-to-campus/uin-sunan-gunung-djati/12/10/21/mc8ukkngopi-antara-hobi-dan-kebutuhan. diakses 26 September 2013 . via http://donnyverdian.net/iwan-pribadi-coffeeshop-di-jogja-bagaimana-baiknya/ 13 kamar kos kedua, mungkin begitu pikiran pengunjung yang membuat cafe sejenis ini cukup menjamur terutama di kawasan yang berdekatan dengan para mahasiswa.”13 Pada awal munculnya warung kopi serta kafe di Yogyakarta didominasi oleh warung-warung kopi tanpa meja kursi dan sarana ala kadarnya namun tetap mengutamakan menu kopi enak serta suasana yang santai. Pernyataan di atas seraya mengabarkan bahwa acara minum kopi di Yogyakarta adalah kegiatan santai, tidak terikat waktu, tidak ada batasan bersikap seolah-olah di rumah sendiri (atau di kamar kos kedua, jika mengutip dari pernyataan di atas). Geliat penikmat kopi serta tempat ngopi di Yogyakarta tidak hanya berhenti di situ saja, Oktober tahun 2013 lalu komunitas ‘Ngopi Jogja’ berinisiatif menyelenggarakan Pekan Ngopi Jogja yang misi utamanya mengenalkan kopi produksi lokal Merapi dan Menoreh kepada warga Yogyakarta pada khususnya dan para pecinta kopi di seluruh Indonesia pada umumnya. Komunitas pecinta kopi yang memiliki akun sosial media twitter (at)Ngopijogja ini memilih kata ‘ngopi’ sebagai bagian judul pekan pecinta kopi Ygyakarta bukan tanpa alasan, sang penggagas acara sekaligus pemilik akun Ngopi Jogja beralasan agar tetap dekat kepada kalangan yang mungkin bukan penikmat kopi, tetapi penyuka aktivitas dan gaya hidup ngopi, berkumpul dan berdiskusi di warung kopi atau coffee shop14. Kajian mengenai konsumsi ruang publik selama ini telah banyak membahas soal penggunaan ruang oleh masyarakat atau publik dengan berbagai kepentingan. 13 . Wahid, 2009 via http://www.cikopi.com/2009/08/kopi-lesehan-di-jogja/ diakses 8 Agustus 2013 14 . http://ngopijogja.com/?p=71 diakses pada 3 desember 2013 14 Beberapa tulisan lain juga pernah membahas mengenai warung kopi atau warkop sebagai ruang untuk bersosialisasi. Membaca beberapa tulisan sebelumnya mengenai warung kopi sebagai tempat menghabiskan waktu luang, berkumpul bersama teman-teman yang se-hobi, serta mengobrolkan segala hal.15 Senada dengan Warung kopi di Aceh yang digunakan sebagai wadah berkomunikasi antar warga satu sama lain. Setiap orang datang ke warung kopi dengan berbagai maksud dan tujuan, tidak sekedar minum kopi saja. Fungsi warung kopi di Aceh sebagai sarana bertegur-sapa, berdiskusi serta berbincang ditemani secangkir kopi. Dengan adanya warung kopi tersebut memberikan kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk saling bertegur sapa maupun berdiskusi dengan orangorang dari berbagai strata sosial.16 Beberapa tulisan mengenai warung kopi, kafe serta coffee shop dari paparan sebelumnya mengambil poin pada individu atau orang-orang yang menikmati kopi di ruang-ruang tersebut. Artikel-artikel dalam beberapa laman juga menuliskan mengenai bagaimana konsumen menghabiskan waktu di kafe dengan berbagai cerita tentang si minuman kopi itu sendiri. Dalam tulisan lain juga di bahas mengenai gambaran ruangan atau lokasi kafe namun tidak secara spesifik disebutkan melainkan hanya sebagai pelengkap cerita pengalaman minum kopi di kafe oleh si pengunjung. Kafe sendiri sebagai ruang atau tempat ditulis dalam beberapa literatur desain interior dan arsitektur. Kesatuan interaksi antara ruang kafe, pemilik kafe, penyaji jasa dan barang serta konsumen kafe itu sendiri masih belum tergali lebih dalam. Tulisan ini sekiranya mencoba menjabarkan bagaimana 15 . Iffah, 2004. 16 . Mauriza, 1998. 15 interaksi yang terjadi diantara elemen-elemen tersebut sehubungan dengan proses aktualisasi diri di ruang kafe yang pada nantinya akan dianalogikan sebagai sebuah proses ‘drama sosial’ dimana semua elemen tersebut memainkan ‘peran’ mereka di ‘panggung’ bernama kafe. E. Kerangka Pemikiran Kegiatan konsumsi dalam kajian Materialisme dan Gaya Hidup dari ruang kafe dalam kajian ini ingin mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi seseorang atau pun kelompok dalam hal mengkonsumsi ruang publik sebagai bagian dari membangun identitas diri di ruang publik. Dalam kajian budaya materi, dan identitas, identitas itu sendiri dibagi menjadi beberapa hal 17, antara lain: 1. Identitas merupakan bagian dari konstruksi modernitas; Tidak lepas dari pengaruh Eropa dengan gelombang globalisasinya di mana modernitas hadir dan turut mempengaruhi definisi ruang hidup dan gaya hidup masyarakat. Hall (1996) juga menyatakan modernitas telah mentransformasikan identitas-identitas baru yang terlekat dalam bentuk individualisme yang baru. 2. Identitas sebagai konstruksi hitoris; mengacu pada ujaran Giddens bahwa identitas gaya hidup merupakan representasi dari masa lalu. Pilihanpilihan yang dibuat orang tidak lepas dari pengalaman masa lalu dimana 17 . catatan perkuliahan Materialisme dan Gaya Hidup, 22 Oktober 2012 16 orang cenderung memilih barang atau jasa yang sudah familiar atau telah dicoba sebelumnya daripada memilih yang benar-benar baru. 3. Identitas materi adalah identitas kelas; identitas dalam hal ini terkait dengan adanya pelapisan dalam suatu masyarakat. Ketika dikenakan dengan nilai kebendaan maka materi dilekatkan sebagai penanda identitas tertentu18. Poin pertama dari ketiga pemahaman identitas di atas yang menyebutkan bahwa konstruksi modernitas merupakan bagian dari pembentukan identitas, penggunaan ruang kafe dalam kajian ini melahirkan identitas-identias baru yang berlapis, mengacu pada pengertian modernitas yang tak lepas dari pengaruh Eropa turut mempengaruhi definisi ruang dan gaya hidup pada masyarakat modern. Dalam sejarah Turki pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-18, perubahan sosial ekonomi masyarakat seiring dengan perubahan perilaku dalam keseharian, hal ini nampak pada perilaku mereka di ruang publik, seperti yang dikatakan Sajdi (2007) : ‘...along with a series of socio-economic transformations, a peculiar set of socio-cultural changes occurred that marked a critical moment in the political transformation of relations between the Ottoman state and society. This transformation will be demonstrated in the cultural sphere of ritual performance, particularly in the development of the political rituals surrounding imperial circumcision festivals from the late sixteenth to the early eighteenth centuries.’ Untuk berinteraksi, orang membutuhkan ruang atau tempat sebagai wadah interaksi mereka. Habermas (2003) mendefinisikan ruang publik sebagai semua 18 . Goffman, 1986. 17 wilayah kehidupan sosial kita yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik. Ia juga memberikan pandangan bahwa ruang publik menjadi elemen dasar dan essensial bagi pembentukan civil society. Adanya ruang publik yang netral, tidak dikuasai maupun dikungkung oleh suatu selubung tertentu merupakan cerminan ruang publik yang menjadi standart ideal bagi Habermas. Sebagai salah satu bentuk ruang publik, kafe menjadi tempat yang dituju orang ketika membutuhkan ruang selain ruang kerja mereka dan rumah. Para pemilik kafe pun membangun tempat usaha mereka sebagai sebuah tempat antara ruang kerja dan ruang pribadi atau rumah sehingga konsumen merasa nyaman berlama-lama tinggal di kafe untuk menghabiskan secangkir kopi, membaca buku atau mengerjakan pekerjaan yang belum tuntas hingga sekedar melepaskan penat dengan menikmati suasana kafe beserta alunan musik. Ruang kafe dibangun sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan konsumen serta memberikan tempat berinteraksi dan mengaktualisasi diri. Penggunaan ruang kafe sebagai salah satu ruang publik oleh konsumen dan pengelola kafe dalam perkembangannya tidak lagi sekedar menjadi ruang bersosialisasi, tetapi kegiatan yang dilakukan lebih beragam. Mengutip tulisan Giddens (1984) bahwa aktivitas manusia yang terdistribusikan melalui ruang merupakan hal mendasar dalam analisa kehidupan sosial ketika interaksi manusia. Apa yang terjadi dalam ruang dan pada tataran waktu dan kegiatan tertentu mengandung berbagai makna sosial. Ruang dalam konteks kafe sebagai ruang publik yang dipergunakan umum tidak terlepas dari pemaknaan konsumen ruang itu sendiri, baik pemilik kafe maupun pengunjung kafe. Selain itu waktu juga 18 menjadi bagian penting dalam sebuah operasional ruang pada waktu-waktu tertentu akan menimbulkan suasana yang berbeda dalam sebuah ruang, semisal kafe yang memiliki outdoor section atau tempat di luar ruangan seperti taman maka pada senja hingga malam meja-meja akan dihiasi dengan lilin atau lentera kecil beserta lampu-lampu teduh di sekitar area duduk untuk memberikan kesan teduh, hangat dan santai. Hal ini tentu tidak ditemukan di dalam ruangan yang notabene dilengkapi pendingin ruangan, lampu-lampu yang berpijar terang serta beberapa pasang televisi19. Giddens (1984) menggunakan konsep Goffman (1959) mengenai pembagian ruang menjadi dua; depan dan belakang yang keduanya turut mempengaruhi perilaku yang akan tampil di sana. Konsep ‘depan’ dan ‘belakang’ ini menurut Goffman secara disadari akan membedakan jenis perilaku yang ditampilkan pada ruang ‘depan’ akan cenderung kaku, dibuat-buat dan canggung layaknya tampil pada sebuah ‘panggung’ sedangkan ruang ‘belakang’ justru lebih longgar, sekenanya dan lebih bebas. Pemaknaan ruang ini tidak lepas dari para pengguna ruang yang mengisi ruang-ruang tersebut baik sebagai pengelola ruang maupun pengkonsumsi ruang. Keduanya sama-sama sebagai individu-individu yang menggunakan kafe sebagai ‘panggung’nya. Individu-individu yang berinteraksi dalam satu ruang yang sama yaitu kafe tidak hanya konsumen saja tetapi juga si pemilik usaha serta pramusaji yang menghubungkan ruang kafe itu sendiri dengan para konsumen. Mereka yang 19 . Giddens, 1984; p.133 19 datang ke kafe sebagai konsumen tentulah berbeda dengan mereka yang bekerja di kafe, mengelola kafe serta sekedar mampir di kafe tanpa membeli. Individu yang berada dalam ruang kafe membawa identitas personal mereka masing-masing yang kemudian akan mengalami penyesuaian dengan kultur atau budaya yang berlaku di ruang tersebut hingga individu-individu ini kemudian menjadikan diri mereka menggunakan pilihan yang ada atau ditawarkan. Mereka bersikap sebagai diri mereka sendiri dengan berbagai latar belakang yang dibawa sebelum datang ke kafe, ketika berada di kafe maka sikap manasuka yang ada dalam diri mereka menjadi sama rata atau stereotip dengan lainnya sehingga pramusaji akan memberikan sikap yang sama kepada konsumen satu dengan lainnya 20. Begitu pula dengan konsumen itu sendiri yang juga memiliki pandangan umum mengenai sikap pramusaji serta orang-orang yang bertugas menjalankan kafe sehingga sikap yang ditunjukkan pun akan senada dengan sikap yang diharapkan oleh pengelola dan pramusaji kafe. Meskipun memiliki kesamaan praduga soal motif kedatangan konsumen ke kafe yang sudah disadari dan diantisipasi, konsumen memiliki alasan mengenai kenapa mereka datang kemari dan memilih memesan makanan ini atau minuman itu serta duduk di sini bukan di sana. Cotte dan Ratneshwar (2000) memberikan pendapatnya mengenai timestyle atau mode waktu dimana seseorang sebagai individu telah memiliki pembagian waktunya masing-masing sehubungan dengan bagaimana mereka menghabiskan waktunya dalam sehari. Setidaknya seseorag membagi waktunya dengan melihat beberapa faktor penimbang, yaitu: (1). 20 . Goffman, 1963. 20 Dimensi sosial; ketika seseorang harus menjadi individu atau menjadi makhluk sosial, (2). Dimensi polikronik; kegiatan paralel ataukah serial, (3). Dimensi waktu; apakah soal kemarin, saat ini, atau esok hari, dan (4). Dimensi perencanaan; perkiraan dalam mengatur waktu bagi seseorang21. Faktor-faktor tersebut turut mempengaruhi pola konsumsi seseorang baik itu terhadap barang, jasa dan terutama adalah konsumsi waktu dalam ruang kafe. Dimensi-dimensi yang bersinggungan dalam konsumsi ruang adalah ketika orang-orang yang berada di dalamnya melakukan kegiatan seperti halnya bercengkrama, menonton televisi, bergawai hingga makan minum. Dimensi utama yang menjadi pokok analisa adalah dimensi sosial terkait keberadaan kegiatan di ruang kafe serta dimensi waktu yang membedakan pola konsumsi pada ruang kafe. Ruang kafe yang dipergunakan untuk mengkonsumsi baik itu barang, jasa, suasana serta waktu tentunya memiliki fungsi yang berkaitan dengan adanya interaksi antar orang-orang dengan lingkungan sekitarnya yaitu ruangan itu sendiri. Pada dasarnya ruang kafe layaknya sebuah rumah pun memiliki bagianbagian ruang atau pemetaan struktur ruangan yang berfungsi memudahkan mobilitas pramusaji, konsumen serta menjadikan ruangan tersebut mudah diakses untuk berbagai kegiatan. Goffman (1959) memberikan gambaran rinci mengenai pembagian ruang yang ia sebut juga sebagai konsep ‘dramaturgi’ atau ruang publik sebagai sebuah panggung dimana individu memainkan perannya masingmasing. Individu dalam pertunjukan pengertian Goffman adalah orang yang mengenakan topeng untuk memainkan peran di panggung, dengan artian setiap 21 . Cotte & Ratneshwar, 2000. 21 individu memasang ‘topeng’ untuk memberikan gambaran tentang dirinya kepada orang lain. Hal ini juga disebutkan sebagai ‘playing role’ atau memainkan peran. Ketika seseorang memainkan peran dalam sebuah pertunjukan maka ia akan memunculkan ekspresi yang dapat memicu impresi orang lain terhadap dirinya, akan tetapi impresi yang didapatkan orang lain belum tentu sama dengan yang dimaksudkan oleh mereka yang memainkan peran tersebut. Hal ini juga bisa disebut sebagai ‘self illusion’ atau ilusi diri dimana seseorang nampak bersikap seperti A namun pada dasarnya ia justru memiliki sikap B. Peran yang dimainkan oleh individu tentunya tidak lepas dari panggung yang menjadi lokasi atau tempat dimana individu memainkan peran-peran mereka. Dalam sebuah panggung tentu ada beberapa hal yang mendukung terjadinya sebuah pertunjukan dan memainkan peran. Dalam hal ini, setting atau latar dari panggung merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah pertunjukan seperti halnya meja kursi, dekorasi, tata ruang, letak dan berbagai hal yang berhubungan dengan penciptaan sebuah arena memainkan peran sebagai bagian dari alat berekspresi. Setiap orang yang melakoni peran dalam sebuah panggung juga memiliki ‘personal front’ atau panggung pribadi mereka yang lekat dengan alat ekspresi sebagai pendukung untuk melakoni perannya. Dalam hal ini, contoh alat ekspresi tersebut antara lain; pakaian, usia, ras, dialek atau logat dalam berbicara serta sikap ketubuhan. Alat atau atribut ekspresi yang dimiliki atau dikenakan oleh seseorang memiliki tujuan untuk mendukung penampilan yang juga disertai adanya sikap 22 guna menyempurnakan sebuah penampilan. Pentingnya penampilan dalam sebuah pertunjukan dapat menentukan siapa sebenarnya diri yang sedang ia bawakan atau ia perankan. Penampilan memiliki fungsi untuk menunjukkan status sosial seseorang, sebagai contoh orang yang memakai jas berwarna putih secara umum dapat dilekatkan pada peran seorang ahli medik atau setidaknya mereka yang bekerja di bidang medik kesehatan. Lain halnya dengan sikap merupakan gerak tubuh yang dihasilkan seseorang untuk menentukan atau menegaskan peran yang mereka mainkan dalam situasi-situasi tertentu. Sikap dalam sebuah pertunjukan tentu tidak lepas dari penampilan dan mereka saling melengkapi hingga menyajikan satu peran yang utuh. Peran yang menyeluruh ditampilkan dalam ‘panggung’ yang memiliki kepentingan kebutuhan dari pemerannya. Mereka yang berperan dalam panggung bersama dengan pemeran-pemeran lainnya yang saling menampilkan diri mereka dalam wadah yang disebut ‘panggung sosial’. Panggung sosial adalah bentuk kompleks dari ruang terdepan bagi para pemeran dimana dalam ruang ini timbul ekspektasi dan abstraksi dari sebuah peran. Drama sosial yang dimainkan dalam panggung ini tentu tidak lepas dari berbagai sikap dramatikal yang memenuhi hampir keseluruhan pertunjukan. Atribut yang dikenakan, sikap yang ditunjukkan serta ekspresi yang dipakai melengkapi penampilan seseorang untuk tampil di panggung mereka baik itu secara personal atau sosial. Panggung kemudian menjadi tempat beberapa orang mengalami dan melakukan representasi kolektif mereka terhadap sesuatu dan mengalami representasi oleh orang lain. Ketika penampilan dan sikap yang dibawa seseorang 23 ke panggung maka ia sedang melakukan representasi terhadap dirinya untuk orang lain. Pada saat yang bersamaan, orang lain pun melakukan representasi atas apa yang dilihat, dialami dan dirasakan ketika berhadapan dengan orang lain sehingga mereka melakukan representasi versi mereka mengenai orang lain. Representasi kolektif yang terjadi tidak semata-mata terjadi begitu saja tanpa memperhatikan berbagai atribut yang mereka bawa serta ketika melakukan interaksi tersebut. Tidak ubahnya panggung sosial, demikian pula ruang pada kafe kemudian dipergunakan konsumennya. Hal ini juga diperkuat dengan adanya interaksiinteraksi yang terjadi di dalamnya seiring waktu, seperti pendapat Massey (1994) bahwa ruang dan waktu adalah dua entitas tak terpisahkan secara relasional terbentuk melalui interrelasi objek. Konstruksi tempat turut dipengaruhi konstruksi sosial yang terjadi atas tempat itu sendiri, selain dimensi waktu yang mendeterminasi pola konsumsi ruang. Faktor keragaman pengunjung dilihat dari jenis kelamin juga menjadi salah satu faktor yang membedakan pola konsumsi antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini Massey (1994) menuliskan mengenai ruang yang tergenderkan dimana penggunaan ruang tersimbolisasi dalam tanda-tanda gender tertentu, dalam kasus ini ruang kafe dimasukkan dalam konteks ruang ‘laki-laki’ atau ruang publik dimana keberadaan perempuan masih dianggap sub-ordinat. Ruang modernis maskulin juga disebutkan Massey sebagai poin kedua dalam konstruksi sosial atas tempat atau ruang dimana laki-laki mendominasi pemaknaan dalam sebagian besar atau hampir keseluruhan ruang publik dan menjadikannya sebagai wadah objek konsumsi laki-laki. Rimoldi (1997) menegaskan bahwa konstruksi 24 ruang secara sosial dibentuk untuk kepentingan berkelompok, laki-laki dan perempuan. Pemaknaan ruang itu sendiri, apakah privat atau publik tidak semata dilihat karena ia laki-laki sehingga dapat ke ranah publik dan perempuan tidak diperbolehkan tetapi melihat identitas apa yang dibawa, kebutuhan serta kapabilitas sebagai makhluk sosial22. Kedua ranah tersebut (privat dan publik) sejatinya merupakan keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan sebagai bagian dari eksistensi kelangsungan hidup individu. F. Metode Penelitian F.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Yogyakarta dimana alasan dipilihnya lokasi ini adalah Kota Yogyakarta dikenal selain sebagai Kota Pelajar juga dikenal sebagai tujuan wisata serta sebagai miniatur Indonesia dimana berbagai budaya yang datang dari luar daerah menyatu melebur dan tumbuh di sini dibawa para pelajar dan perantau dari berbagai daerah di Indonesia. Pemilihan lokasi kedai kopi atau kafe dilakukan secara random sampling dengan pertimbangan kawasan masih di dalam lingkup Kota Yogyakarta. Yogyakarta dalam satu windu terakhir ini juga telah tumbuh menjadi lokasi tujuan kuliner dimana banyak sekali warung makan, restoran hingga kafe yang dapat ditemukan di berbagai sudut kota. Maraknya kafe begitu pula kedai kopi mau tidak mau telah ikut memberikan andil dalam peningkatan konsumsi kopi masyarakat Jogja terutama bagi para mahasiswa dan pelajar. 22 . Rimoldi, 1997; p.117 25 F.2 Sumber Data Penelitian ini mewawancarai 6 orang informan dengan 2 orang pengelola kafe, 2 orang pengamat dan penggiat kafe di Yogyakarta serta 2 orang konsumen kafe. Informan ini dipilih berdasarkan lokasi, jenis kafe yang dikelola serta intensitas keberadaan dalam ruang kafe yang lebih dari dua jam setiap kunjungan khususnya bagi konsumen. Pemilik kafe dipilih dari beberapa kafe yang berada di kawasan pusat kota yang sekiranya telah berdiri lebih dari satu tahun. Seluruh informan melalui wawancara insidental di kafe dalam waktu yang berbeda-beda, antara bulan Agustus 2014 hingga Desember 2015 dan beberapa juga melalui pesan singkat. F.3 Teknik Pengumpulan Data Penelitian diawali dengan observasi partisipasi, wawancara mendalam serta beberapa dokumentasi terkait ruang kafe serta kegiatan di dalamnya. Mengunjungi kafe dalam waktu acak untuk melihat perubahan suasana dan jenis pengunjung yang datang, menggunakan fasilitas kafe serta membangun obrolan dengan kru serta konsumen sembari memesan kopi, ikut membuat kopi dan mengalami suasana kafe secara berkala. Penelitian ini juga menggunakan data sekunder dari literatur-literatur yang telah ada sebelumnya dari berbagai sumber guna melengkapi data yang akan digunakan dalam penelitian. F.4 Analisis Data Proses analisa dalam penelitian ini menggunakan data primer dari hasil wawancara mendalam dengan para informan yang sehubungan dengan topik 26 penelitian. Didukung dengan pengamatan serta keterlibatan langsung dalam kegiatan di ruang kafe secara berkala. Tulisan-tulisan dalam literatur yang telah ada serta artikel-artikel dalam media yang telah membahas topik senada dengan penelitian ini turut digunakan sebagai data pendukung. Hasil akhir dari proses analisa data yang ada kemudian menghasilkan rumusan yang menjabarkan atau menjelaskan mengenai dinamika makna ruang serta pola konsumsi ruang kafe di Kota Yogyakarta. G. Sistematika penulisan Tulisan ini akan disusun dalam beberapa bab yang masing-masing bab memaparkan penjelasan serta analisa dari hipotesa-hipotesa yang ada serta berusaha menjawab pertanyaan yang ada. Pada Bab I dituliskan latar belakang mengenai penelitian ini, pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Pada Bab II paparan mengenai setting penelitian yang meliputi sejarah kemunculan kedai kopi di dunia hingga Yogyakarta serta perkembangannya dalam dua tahun terakhir hingga saat ini, apa saja yang ditawarkan oleh kedai kopi, bagaimana bentuk ruang, pembagian ruang serta penataan dekorasi kafe, kisaran menu dan sajian, sarana prasarana yang disediakan oleh kafe bagi pengguna ruang hingga kegiatan apa saja yang ada dalam sebuah kafe. Pada bab III mengenai Membangun Ruang Sosial di Kafe: pembentukan ruang kafe oleh pemilik usaha kafe. Meliputi bagaimana pemilik kafe membentuk 27 kafe tersebut, sarana apa saja yang dia sediakan, tema apa yang mereka pakai, bagaimana mereka membagi ruang dan meletakkan kursi dan meja, suasana yang dimunculkan dalam ruang kafe, siapa saja yang menjalankan interaksi di kafe, bagaimana pemilik/pengelola kafe mempersiapkan kafe, tujuan membentuk ruang kafe. Dalam bab ini juga dibahas mengenai pembangunan ruang sosial dalam ruang kafe beserta dinamika yang terjadi dalam ruang kafe yang ada saat ini di Kota Yogyakarta. Pada bab IV Konsumsi Ruang Kafe : Berpentas di Panggung Sosial, memaparkan tentang para pengunjung yang berinteraksi di ruang cafe. Siapa saja yang datang dan berada ke kafe, apa saja yang mereka lakukan, apa yang mereka bawa kesana, apa yang mereka tampilkan disana, datang sebagai siapa kah mereka, apa saja tujuan mereka ketika datang ke kafe, kapan mereka mendatangi kafe, bagaimana mereka menggunakan sarana yang ada, dengan siapa saja mereka berinteraksi selama berada di ruang kafe, apa saja yang mereka bicarakan. Bagaimana ruang kafe kemudian dimaknai oleh para pengguna ruang. Apakah ruang kafe dipergunakan sesuai dengan tujuan si pemilik atau ternyata berbeda sama sekali, bagaimana kafe menjadi ‘tempat ketiga’ antara rumah dan tempat kerja/sekolah/kuliah, apa saja interaksi yang terjadi disana, siapa saja yang menggunakan ruang kafe sebagai tempat ‘melakukan peran’nya, bagaimana sikap dan penampilan para pengguna ruang mempengaruhi penggunaan ruangnya, kegiatan apa yang dilakukan disana dan mengapa mereka melakukannya disana, sejauh mana kafe menjadi ‘panggung sosial’ bagi mereka yang berinteraksi di dalamnya. 28 Pada bab V merupakan bab kesimpulan dan saran dari pembahasan keseluruhan bab sebelumnya, wacana-wacana yang muncul setelahnya dari penelitian ini dan terbukanya beberapa celah untuk kajian lanjutan yang diharapkan dapat membangun suatu hasil berpikir yang baru dalam kajian tersebut. 29