ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI ANAK SEBAGAI

advertisement
ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI ANAK SEBAGAI PELAKU
TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK
(Studi Kasus Putusan Nomor : 01. / Pid.sus-An / 2015 / PN.Ngw)
Oleh :
Yon Tedy Teja Mukti
NPM. 12100015
Universitas Slamet Riyadi Surakarta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengkaji penerapan sanksi pidana terhadap tindak
pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak, dan mengkaji
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana
persetubuhan dalam Perkara Nomor 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw.
Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Ngawi. Jenis penelitian yuridis
sosiologis, yakni meneliti tentang penerapan sanksi tindak pidana persetubuhan yang
dilakukan anak terhadap anak di Pengadilan Negeri Ngawi. Sifat penelitian deskriptif,
yaitu menggambarkan tentang penerapan sanksi tindak pidana persetubuhan yang
dilakukan anak terhadap anak di Pengadilan Negeri Ngawi. Sumber data menggunakan
sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan
studi lapangan dan studi kepustakaan. Analisis datanya menggunakan metode kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hakim Pengadilan Negeri Ngawi dalam
menerapkan sanksi pidana dalam putusan perkara Nomor : 01/Pid.susAn/2015/PN.Ngw, yakni pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan menjalani pelatihan
kerja selama 3 (tiga) bulan, dirasa sudah adil. Sebab Hakim berpedoman pada UndangUndang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Sanksi pidana penjara selama 2 (dua) tahun
merupakan sanksi pidana penjara di bawah minimum (5 tahun), hal ini adalah adil baik
bagi masyarakat maupun pencari keadilan itu sendiri, karena berdasarkan Pasal 79 ayat
(3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa pidana
penjara minimum tidak berlaku terhadap anak. Pertimbangan Hakim dalam
menjatuhkan sanksi pidana penjara dan pelatihan kerja tersebut, didasarkan karena
terdakwa berlaku sopan di persidangan, mengakui terus terang dan menyesali
perbuatannya, dan
masih berusia muda (belum dewasa). Hakim memberikan
kesempatan terhadap terdakwa untuk bisa lebih memperbaiki diri agar kelak tidak
mengulangi lagi perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.
Kata kunci : Penerapan sanksi pidana bagi anak, tindak pidana persetubuhan.
PENDAHULUAN
Tindak pidana persetubuhan oleh anak terhadap anak merupakan bagian dari
kesusilaan yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang
No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
1
2
tentang Perlindungan Anak, yang mana dalam undang-undang tersebut mengatur
tentang persetubuhan yang dilakukan terhadap anak dalam Pasal 81 ayat (1). Salah satu
kasus
yang
menjadi
momok
bagi
masyarakat
dan
memasuki
tahap
yang
memprihatinkan, karena setiap harinya tindak pidana persetubuhan yang melibatkan
anak sebagai pelakunya sering kita dengar dan kita ketahui dari berbagai media masa.
Banyak tindak pidana persetubuhan yang menimpa anak sebagai pelakunya ataupun
sebagai korbannya yang terjadi tidak hanya di lingkungan sekolah, lingkungan rumah
(bertetangga), bahkan terjadi di lingkungan keluarga.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
oleh anak disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adanya dampak negatif dari
perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan
informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara
hidup sebagai orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam
kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan dan bimbingan
dan pembinaan dalam pengembangan sikap perilaku penyesuain diri, serta pengawasan
dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan
masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan
pribadinya 1.
Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 1 butir ke 15 dalam Undang-undang
Perlindungan Anak menyebutkan tentang perlindungan khusus bagi anak adalah
1
Gatot Supramono, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan,. hlm.158
3
perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan
dengan hukum. Pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada
anak melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang
mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara.
Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak didasarkan pada kebenaran,
keadilan, dan kesejahteraan anak. Penjatuhan pidana atau tindakan merupakan suatu
tindakan yang harus mempertanggungjawabkan dan bermanfaat bagi anak. Hakim wajib
mempertimbangkan keadaan anak, keadaan rumah, keadaan lingkungan dan laporan
pembimbing kemasyarakatan. Sanksi pidana yang diterapkan kepada anak yang
melakukan tindak pidana dan melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi
anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Hal yang terpenting yang perlu diperhatikan dalam tindak pidana persetubuhan
adalah “pembuktian”. Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) menyatakan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Untuk menentukan seseorang dapat
dijatuhi hukuman pidana sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah (Pasal
183 KUHAP). Khusus terhadap tindak pidana persetubuhan, dengan adanya ketentuan
Pasal 183 KUHAP ini maka semakin sulit saja seorang korban untuk menuntut
pelakunya. Karena sangat jarang ada saksi yang mengetahui adanya tindak pidana
persetubuhan kecuali tindak pidana persetubuhan tersebut tertangkap basah atau pelaku
lebih dari satu orang. Begitu juga dengan pengakuan pelaku, seorang pelaku tindak
pidana persetubuhan jarang yang mengakui perbuatannya. Kalaupun pelaku mengakui
4
perbuatannya tetapi kalau bukti yang lain tidak ada maka pelaku belum dapat dikenakan
hukuman.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan mengkaji penerapan
sanksi pidana terhadap tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap
anak dan mengkaji pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak
pelaku tindak pidana persetubuhan dalam Perkara Nomor 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw.
LANDASAN TEORI
Tinjauan tentang Tindak Pidana Persetubuhan
Istilah yang pernah digunakan baik yang digunakan dalam perundang-undangan
maupun dari literatur-literatur hukum diantaranya adalah tindak pidana, peristiwa
pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat
dihukum dan yang terakhir adalah perbuatan pidana. 2 Menurut Moeljatno yang dikutib
Adam Chazawi, dalam memberikan defenisi tentang strafbaarfeit, menggunakan istilah
perbuatan pidana. Pengertian perbuatan pidana sebagai “perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, dimana disertai dengan ancaman pidana tertentu bagi yang
melanggar larangan tersebut” 3.
Berdasarkan beberapa pengertian tindak pindana tersebut di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan yang melanggar norma ataupun
hukum, wajib untuk dilakukan hukuman atau sanksi agar tatanan hukum dan
kesejahteraan masyarakat tetap dapat terjaga. Setiap tindak pidana terdapat unsur-unsur
yang terkandung di dalamnya, yang secara umum dapat dibagi menjadi 2 macam unsur,
unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat atau
yang ada dalam diri si Pelaku.
2
3
Adam Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 67-68
Ibid, hlm. 71
5
Tindak pidana persetubuhan menurut KUHP dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu
pemaksaan melakukan persetubuhan dan persetubuhan tanpa pemaksaan. Diperkosa,
disetubuhi, direnggut kehormatannya, digagahi atau kata-kata lainnya sering tertulis
dalam media massa untuk menggambarkan perbuatan keji berbentuk pemaksaan
hubungan seksual. Indonesia, dengan KUHP-nya yang berlaku sejak tahun 1918 telah
mengkualifikasikan perbuatan pemaksaan hubungan seksual ini sebagai kejahatan
dengan sebutan sebagai pemerkosaan, dan kejahatan ini termuat dalam Buku II Bab
XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan.Kualifikasi pemerkosaan menurut Pasal
285 KUHP adalah : “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”.
Tindak pidana Pasal 285 ini memiliki persamaan dengan tindak pidana merusak
kesopanan, perbuatan cabul atau pencabulan (Pasal 289) yang telah diterangkan
persamaan tersebut terletak pada unsur perbuatan materiil kedua jenis kejahatan, yaitu
memaksa (dwingen) dengan kekerasan dan ancaman kekerasan. Perbedaannya ialah
memaksa pada perkosaan ditujukan pada terjadinya persetubuhan atau si pembuat dapat
bersetubuh dengan perempuan yang dipaksa. Lebih lanjut ditegaskan lagi dalam Pasal
291 ayat 2 KUHP, yaitu : “Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 285,
286, 287 dan 290 itu mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15
tahun”.
KUHP Pasal 286 dan Pasal 287 juga mengenal kejahatan persetubuhan yang
tidak mensyaratkan adanya pemaksaan dari pelaku terhadap korbannya, yakni dalam
bentuk :
1) Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, diancam pidana penjara paling lama 9 tahun (vide Pasal 286 KUHP).
6
2) Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita yang umurnya belum 15 tahun,
diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun (vide Pasal 287 ayat 1 KUHP).
- Jika persetubuhan mengakibatkan wanitanya luka-luka berat, dijatuhkan pidana
penjara paling lama 12 tahun (Pasal 291 ayat 1 KUHP).
- Jika persetubuhan mengakibatkan wanitanya mati, dijatuhkan pidana penjara
paling lama 15 tahun (Pasal 291 ayat 2 KUHP).
Tinjauan tentang Anak
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, menyebutkan, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan".
Dalam KUH Pidana Pasal 45, memaparkan bahwa dalam hal penuntutan pidana
terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan sesuatu perbuatan sebelum umur
enam belas tahun. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi batas usia seseorang masih
dikategorikan sebagai anak, dalam pasal tersebut adalah sebelum enam belas tahun.
Namun dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak, maka ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 45 di atas tidak berlaku
lagi.
Wagiati Soetodjo, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia,
jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung
unsur-unsur, yaitu:
a.
b.
c.
d.
adanya perbuatan manusia;
perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum;
adanya kesalahan;
orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan. 4
4
Wagiati Soetodjo, 2010. Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 12.
7
Berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo UU No.
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Anak adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan yang
dimaksud anak yang berkonflik dengan hukum menurut Pasal 1 butir 2 dan 3 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan
sebagai berikut:
Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan
hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi
tindak pidana.
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Di Indonesia ada beberapa Patron Perundang-Undangan yang mengatur tentang
anak, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan berbagai peraturan lainnya yang berkaitan
dengan masalah anak.
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak merumuskan sebagai berikut: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat
(3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
merumuskan sebagai berikut:
Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan
hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi
tindak pidana.
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana
8
Tinjauan tentang Sanksi Pidana
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana. Sudarto dalam Sholehuddin, menyatakan
pemberian pidana in abstracto adalah menetapkan stelsel sanksi hukum pidana yang
menyangkut pembentuk undang-undang, sedangkan pemberian pidana in concereto
menyangkut berbagai badan kesemuanya mendukung dan melaksanakan stesel sanksi
hukum pidana itu. 5
Sementara menurut Barda Nawawi Arief dalam Sholehuddin, menyatakan
sehubungan dengan masalah penetapan sanksi pidana sebagai sarana untuk mencapai
tujuan, maka sudah barang tentu harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan
yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan umum tersebut. 6 Barulah dengan
kemudian bertolak atau berorientasi pada tujuan itu dapat ditetapkan cara, sarana, atau
tindakan apa yang dapat digunakan.
Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Pidana hanya dapat dijatuhkan apabila ada kesalahan terdakwa, yang dibuktikan
di sidang pengadilan. Kesalahan terdakwa tentunya sebagaimana yang termaktub dalam
dakwaan penuntut umum. Terdakwa bukan begitu saja dapat dinyatakan bersalah dan
dijatuhi pidana, tetapi harus didukung oleh alat bukti minimum yang sah. Alat bukti
minimum itu harus dapat meyakinkan Hakim akan kesalahan terdakwa. Setelah itu,
barulah pidana dapat dijatuhkan. Hal itu sesuai dengan rumusan pasal 183 KUHAP
yang menegaskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
5
Sholehuddin, 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. "Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya", Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 114.
6
Ibid, hlm. 118.
9
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya. Dalam hal itu, Undang-undang menghendaki adanya minimum
alat bukti yaitu dua alat bukti yang dapat meyakinkan Hakim akan kesalahan terdakwa
dan tindak pidana yang dilakukannya.
Maksud sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut adalah minimal
dua alat bukti yang sah menurut KUHAP. Pasal 184 ayat (1) KUHAP, menyebut alat
bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa.
Asas Restorative Justice
Saat ini di dalam sistem hukum di Indonesia, sudah mulai mengarah kepada
pengadopsian konsep restorative justice . Namun untuk sementara, masih diberlakukan
secara partial dan memandang tingkat urgenitas yang sangat mendasar, yaitu dapat
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 6 UU Sistem Peradilan Anak, yang
menegaskan sebagai berikut: “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak
pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.”
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di di Kabupaten Ngawi tepatnya di Pengadilan Negeri
Ngawi. Jenis penelitian Yuridis Sosiologis. Pendekatan yuridis, dikarenakan
menjelaskan masalah yang dikaitkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sedangkan pendekatan sosiologis yaitu memperjelas masalah yang diteliti
10
berdasarkan kenyataan yang ada. 7 Penelitian ini akan meneliti tentang penerapan sanksi
tindak pidana persetubuhan yang dilakukan anak terhadap anak dibawah umur di
Pengadilan Negeri Ngawi.
Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana penelitian bertujuan memberikan
gambaran, melukiskan serta memaparkan data yang diperoleh dari penelitian. Dalam
penelitian ini menggambarkan tentang penerapan sanksi tindak pidana persetubuhan
yang dilakukan anak terhadap anak di Pengadilan Negeri Ngawi. Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini berupa: sumber data primer, dan sumber data sekunder.
Teknik Pengumpulan Data yang digunakan untuk melakukan penelitian terdiri
dari: Studi lapangan, dan studi kepustakaan. Metode analisa yang digunakan adalah
metode kualitatif. Analisis data dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang
kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang ada serta disusun secara sistematis
dan logis, sehingga diperoleh suatu hasil penelitian tentang: ”Penerapan sanksi pidana
bagi anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak di Pengadilan
Negeri Ngawi”.
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Persetubuhan yang Dilakukan
Oleh Anak Terhadap Anak
Merujuk pada keputusan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi dalam menjatuhkan
sanksi pidana pada terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI
PUTRA dalam kasus tindak pidana persetubuhan, menurut pendapat peneliti bahwa
Hakim dalam pemeriksaan perkara pidana berusaha mencari dan membuktikan
7
Hlm. 7.
Soerjono Soekanto. 1996. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press.
11
kebenaran materiil berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, serta
berpegang teguh pada apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan Penuntut Umum.
Berdasarkan posisi kasus tindak pidana persetubuhan di atas, maka dapat
disimpulkan telah sesuai dengan ketentuan baik hukum pidana formil maupun hukum
pidana materiil dan syarat dapat dipidananya seorang terdakwa, hal ini didasarkan pada
pemeriksaan dalam persidangan, dimana alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut
Umum, termasuk didalamnya keterangan saksi saling berkesesuaian ditambah
keterangan terdakwa yang mengakui secara jujur perbuatan yang dilakukannya. Oleh
karena itu, Hakim Pengadilan Negeri Ngawi menyatakan bahwa unsur perbuatan
terdakwa telah sesuai rumusan delik yang terdapat dalam Pasal 81 ayat (2) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor
35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang berbunyi:
“Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap
Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain”.
Unsur-unsurnya, sebagai berikut:
a. Unsur setiap orang
Maksud dari setiap orang adalah tiada lain merupakan kata yang menunjuk
kepada subyek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban yang kepadanya secara
pribadi dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum pidana, dimana dalam
undang-undang Nomor 11 tahun 2012 adalah anak yang telah berumur 12 tahun,
namun ia belum berumur 18 tahun.
Dalam pemeriksaan perkara ini Penuntut Umum telah mengajukan dan
menuntut ke persidangan seseorang anak yang bernama FERNANDO ERSA
YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA sebagai anak yang berkonflik dengan
12
hukum, yang mana identitasnya yang tercantum dalam dakwaan dan berkas perkara
ini telah benar dan dibenarkan oleh Anak Fernando Ersa sendiri serta dibenarkan
oleh saksi-saksi yang dihadirkan ke
persidangan bahwa Fernando Ersa adalah seorang anak yang telah berumur 15 tahun
sehingga anak Fernando Ersa yang umurnya lebih dari 12 tahun, namun belum
berumur 18 tahun masuk lingkup pengertian anak sebagaimana yang dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
serta selama pemeriksaan di persidangan keadaan Anak Fernando Ersa telah nyata
dalam keadaan sehat wal’afiat dan cakap menurut hukum.
Dengan demikian Pengadilan berpendapat bahwa atas diri anak FERNANDO
ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA dapat dimintai pertanggungjawaban
atas perbuatannya secara hukum pidana. Atas dasar tersebut di atas, maka majelis
hakim berpendapat, unsur setiap orang telah terpenuhi
b. Unsur dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
1) Dengan kesengajaan dalam Memorie van Toelichting/ Memori penjelasan pada
pokoknya adalah suatu perbuatan yang dikehendaki dan diketahui (willens en
wetens), sedangkan pengertian membujuk adalah berusaha supaya orang menuruti
kehendak yang membujuk bukan memaksa, dengan menggunakan hadiah atau
perjanjian akan memberikan uang/barang atau pengaruh yang berlebih-lebihan
yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau suatu tipu
muslihat/serangkaian kebohongan, dalam hal ini saksi korban Dewi Anggraini
diajak oleh anak Fernando Ersa ke rumahnya dan saat diruang tamu anak
Fernando Ersa memeluk saksi korban Dewi Anggraini sambil mengatakan ia
ingin berhubungan badan dengan kata-kata “ayo ML”, lalu saksi korban Dewi
13
Anggraini menjawab “emoh, aku wedi nek meteng.” (tidak mau, aku tidak berani
nanti kalau hamil).
2) Dengan melakukan persetubuhan adalah, melakukan suatu perbuatan dengan cara
memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan, dalam hal
ini anak Fernando Ersa menciumi pipi, bibir dan payudara saksi korban Dewi
Anggraini, lalu anak Fernando Ersa melepas pakaian saksi korban Dewi
Anggraini dan pakaiannya sendiri hingga selutut, lalu ia juga membuka celananya
hingga selutut kakinya, dan kemudian ia memasukkan alat kelaminnya kedalam
alat kelamin saksi korban Dewi Anggraini dan ia goyang-goyangkan kurang lebih
5 menit lalu keluar spermanya yang dikeluarkan di seprai yang berada di ruang
tamu.
Sanksi pidana yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi kepada
terdakwa Fernando Ersa semata-mata bertujuan untuk memberikan titik jera dan
memperbaiki perilakunya di kemudian hari. Dalam hal ini Hakim dalam memberikan
sanksi pidana terhadap terdakwa Fernando Ersa lebih pada pendekatan keadilan
restorative bukan tindakan balas dendam sebagai usaha pencegahan agar tidak
terulangnya tindak pidana tersebut ataupun orang lain tidak mengikuti untuk melakukan
tindak pidana sekaligus sebagai usaha perbaikan agar terpidana menyadari kesalahan
dan dapat memperbaiki dirinya dikemudian hari sebagaimana yang diamanatkan dalam
undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku
Tindak Pidana Persetubuhan Dalam Perkara Nomor 01/Pid.Sus-An/2015/PN.Ngw
Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi yang menangani perkara tindak
pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak dalam menjatuhkan
14
putusan harus mencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni tidak hanya berdasarkan
pertimbangan yuridisnya tetapi juga pertimbangan sosiologisnya, yang mengarah pada
latar belakang terjadinya kejahatan. Oleh sebab itu Hakim dituntut untuk mempunyai
keyakinan dengan mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan alat-alat bukti yang sah,
serta menciptakan hukum sendiri yang bersendikan keadilan yang tentunya tidak
bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala hukum.
Berdasarkan putusan perkara Nomor 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw., menyatakan
bahwa terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana persetubuhan. Oleh
karenanya terdakwa dijatuhi sanksi pidana penjaran selama 2 (dua) tahun dan 3 (tiga)
bulan pelatihan kerja. Dengan demikian perbuatan terdakwa FERNANDO ERSA
YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA adalah perbuatan melawan hukum dan tidak
terdapat alasan pembenaran, terdakwa juga adalah orang yang menurut hukum mampu
bertanggung jawab dan dia melakukan perbuatan dengan sengaja serta tidak ada alasan
pemaaf. Sehingga dengan demikian putusan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi yang
berisikan sanksi pidana penjara dan pelatihan kerja sudah tepat, dan menurut pendapat
peneliti, Hakim tidak menjatuhkan alternatif sanksi tindakan karena disini Hakim lebih
mempertimbangkan efek jera dari sanksi yang ia jatuhkan, karena ditakutkan terdakwa
FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA dapat mengulangi
perbuatannya dikemudian hari.
KESIMPULAN
Hakim Pengadilan Negeri Ngawi dalam menerapkan sanksi pidana terhadap
pelaku tindak pidana persetubuhan yang dilakukan anak terhadap anak dalam putusan
perkara Nomor: 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw, yakni menjatuhkan pidana kepada
15
terdakwa Fernando Ersa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan menjalani
pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan, dirasa sudah adil. Sebab Hakim dalam
menjatuhkan sanksi pidana dengan berpedoman pada Undang-Undang No. 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2011 tentang
Sistem Peradilan Anak. Pemberian sanksi pidana yang berupa penjara selama 2 (dua)
tahun lamanya merupakan sanksi pidana penjara di bawah minimum (5 tahun), hal ini
adalah adil baik bagi masyarakat maupun pencari keadilan itu sendiri, karena
berdasarkan Pasal 79 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak bahwa pidana minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak.
Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi dalam menjatuhkan pidana
terhadap tindak pidana persetubuhan dalam perkara putusan Nomor : 01/Pid.susAn/2015/PN.Ngw lebih mengutamakan perbaikan diri terhadap terdakwa FERNANDO
ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA, ini terlihat dalam pemberian hukuman
yang paling ringan berdasarkan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,
seharusnya mendapat sanksi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun sesuai yang
diatur dalam Pasal 81 tersebut, tetapi karena berbagai pertimbangan diantaranya,
terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA berlaku sopan di
persidangan, mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya, dan masih berusia
muda (belum dewasa). Oleh karenanya Hakim memberikan kesempatan terhadap
terdakwa untuk bisa lebih memperbaiki diri agar kelak tidak mengulangi lagi perbuatanperbuatan yang melanggar hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Adam Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Gatot Supramono, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan.
16
Sholehuddin, 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. "Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya", Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soerjono Soekanto. 1996. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Wagiati Soetodjo, 2010. Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Putusan Perkara Nomor 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Download