ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK (Studi Kasus Putusan Nomor : 01. / Pid.sus-An / 2015 / PN.Ngw) Oleh : Yon Tedy Teja Mukti NPM. 12100015 Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengkaji penerapan sanksi pidana terhadap tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak, dan mengkaji pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana persetubuhan dalam Perkara Nomor 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw. Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Ngawi. Jenis penelitian yuridis sosiologis, yakni meneliti tentang penerapan sanksi tindak pidana persetubuhan yang dilakukan anak terhadap anak di Pengadilan Negeri Ngawi. Sifat penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan tentang penerapan sanksi tindak pidana persetubuhan yang dilakukan anak terhadap anak di Pengadilan Negeri Ngawi. Sumber data menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan studi lapangan dan studi kepustakaan. Analisis datanya menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hakim Pengadilan Negeri Ngawi dalam menerapkan sanksi pidana dalam putusan perkara Nomor : 01/Pid.susAn/2015/PN.Ngw, yakni pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan menjalani pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan, dirasa sudah adil. Sebab Hakim berpedoman pada UndangUndang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Sanksi pidana penjara selama 2 (dua) tahun merupakan sanksi pidana penjara di bawah minimum (5 tahun), hal ini adalah adil baik bagi masyarakat maupun pencari keadilan itu sendiri, karena berdasarkan Pasal 79 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa pidana penjara minimum tidak berlaku terhadap anak. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana penjara dan pelatihan kerja tersebut, didasarkan karena terdakwa berlaku sopan di persidangan, mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya, dan masih berusia muda (belum dewasa). Hakim memberikan kesempatan terhadap terdakwa untuk bisa lebih memperbaiki diri agar kelak tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Kata kunci : Penerapan sanksi pidana bagi anak, tindak pidana persetubuhan. PENDAHULUAN Tindak pidana persetubuhan oleh anak terhadap anak merupakan bagian dari kesusilaan yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 1 2 tentang Perlindungan Anak, yang mana dalam undang-undang tersebut mengatur tentang persetubuhan yang dilakukan terhadap anak dalam Pasal 81 ayat (1). Salah satu kasus yang menjadi momok bagi masyarakat dan memasuki tahap yang memprihatinkan, karena setiap harinya tindak pidana persetubuhan yang melibatkan anak sebagai pelakunya sering kita dengar dan kita ketahui dari berbagai media masa. Banyak tindak pidana persetubuhan yang menimpa anak sebagai pelakunya ataupun sebagai korbannya yang terjadi tidak hanya di lingkungan sekolah, lingkungan rumah (bertetangga), bahkan terjadi di lingkungan keluarga. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagai orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan dan bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap perilaku penyesuain diri, serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya 1. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 1 butir ke 15 dalam Undang-undang Perlindungan Anak menyebutkan tentang perlindungan khusus bagi anak adalah 1 Gatot Supramono, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan,. hlm.158 3 perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum. Pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak didasarkan pada kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan anak. Penjatuhan pidana atau tindakan merupakan suatu tindakan yang harus mempertanggungjawabkan dan bermanfaat bagi anak. Hakim wajib mempertimbangkan keadaan anak, keadaan rumah, keadaan lingkungan dan laporan pembimbing kemasyarakatan. Sanksi pidana yang diterapkan kepada anak yang melakukan tindak pidana dan melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal yang terpenting yang perlu diperhatikan dalam tindak pidana persetubuhan adalah “pembuktian”. Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP). Khusus terhadap tindak pidana persetubuhan, dengan adanya ketentuan Pasal 183 KUHAP ini maka semakin sulit saja seorang korban untuk menuntut pelakunya. Karena sangat jarang ada saksi yang mengetahui adanya tindak pidana persetubuhan kecuali tindak pidana persetubuhan tersebut tertangkap basah atau pelaku lebih dari satu orang. Begitu juga dengan pengakuan pelaku, seorang pelaku tindak pidana persetubuhan jarang yang mengakui perbuatannya. Kalaupun pelaku mengakui 4 perbuatannya tetapi kalau bukti yang lain tidak ada maka pelaku belum dapat dikenakan hukuman. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan mengkaji penerapan sanksi pidana terhadap tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak dan mengkaji pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana persetubuhan dalam Perkara Nomor 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw. LANDASAN TEORI Tinjauan tentang Tindak Pidana Persetubuhan Istilah yang pernah digunakan baik yang digunakan dalam perundang-undangan maupun dari literatur-literatur hukum diantaranya adalah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum dan yang terakhir adalah perbuatan pidana. 2 Menurut Moeljatno yang dikutib Adam Chazawi, dalam memberikan defenisi tentang strafbaarfeit, menggunakan istilah perbuatan pidana. Pengertian perbuatan pidana sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dimana disertai dengan ancaman pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut” 3. Berdasarkan beberapa pengertian tindak pindana tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan yang melanggar norma ataupun hukum, wajib untuk dilakukan hukuman atau sanksi agar tatanan hukum dan kesejahteraan masyarakat tetap dapat terjaga. Setiap tindak pidana terdapat unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, yang secara umum dapat dibagi menjadi 2 macam unsur, unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat atau yang ada dalam diri si Pelaku. 2 3 Adam Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 67-68 Ibid, hlm. 71 5 Tindak pidana persetubuhan menurut KUHP dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pemaksaan melakukan persetubuhan dan persetubuhan tanpa pemaksaan. Diperkosa, disetubuhi, direnggut kehormatannya, digagahi atau kata-kata lainnya sering tertulis dalam media massa untuk menggambarkan perbuatan keji berbentuk pemaksaan hubungan seksual. Indonesia, dengan KUHP-nya yang berlaku sejak tahun 1918 telah mengkualifikasikan perbuatan pemaksaan hubungan seksual ini sebagai kejahatan dengan sebutan sebagai pemerkosaan, dan kejahatan ini termuat dalam Buku II Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan.Kualifikasi pemerkosaan menurut Pasal 285 KUHP adalah : “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Tindak pidana Pasal 285 ini memiliki persamaan dengan tindak pidana merusak kesopanan, perbuatan cabul atau pencabulan (Pasal 289) yang telah diterangkan persamaan tersebut terletak pada unsur perbuatan materiil kedua jenis kejahatan, yaitu memaksa (dwingen) dengan kekerasan dan ancaman kekerasan. Perbedaannya ialah memaksa pada perkosaan ditujukan pada terjadinya persetubuhan atau si pembuat dapat bersetubuh dengan perempuan yang dipaksa. Lebih lanjut ditegaskan lagi dalam Pasal 291 ayat 2 KUHP, yaitu : “Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 285, 286, 287 dan 290 itu mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun”. KUHP Pasal 286 dan Pasal 287 juga mengenal kejahatan persetubuhan yang tidak mensyaratkan adanya pemaksaan dari pelaku terhadap korbannya, yakni dalam bentuk : 1) Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam pidana penjara paling lama 9 tahun (vide Pasal 286 KUHP). 6 2) Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita yang umurnya belum 15 tahun, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun (vide Pasal 287 ayat 1 KUHP). - Jika persetubuhan mengakibatkan wanitanya luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun (Pasal 291 ayat 1 KUHP). - Jika persetubuhan mengakibatkan wanitanya mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun (Pasal 291 ayat 2 KUHP). Tinjauan tentang Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan". Dalam KUH Pidana Pasal 45, memaparkan bahwa dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan sesuatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi batas usia seseorang masih dikategorikan sebagai anak, dalam pasal tersebut adalah sebelum enam belas tahun. Namun dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, maka ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 45 di atas tidak berlaku lagi. Wagiati Soetodjo, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur, yaitu: a. b. c. d. adanya perbuatan manusia; perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum; adanya kesalahan; orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan. 4 4 Wagiati Soetodjo, 2010. Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 12. 7 Berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan yang dimaksud anak yang berkonflik dengan hukum menurut Pasal 1 butir 2 dan 3 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan sebagai berikut: Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Di Indonesia ada beberapa Patron Perundang-Undangan yang mengatur tentang anak, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan berbagai peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah anak. Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak merumuskan sebagai berikut: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak merumuskan sebagai berikut: Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana 8 Tinjauan tentang Sanksi Pidana Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Sudarto dalam Sholehuddin, menyatakan pemberian pidana in abstracto adalah menetapkan stelsel sanksi hukum pidana yang menyangkut pembentuk undang-undang, sedangkan pemberian pidana in concereto menyangkut berbagai badan kesemuanya mendukung dan melaksanakan stesel sanksi hukum pidana itu. 5 Sementara menurut Barda Nawawi Arief dalam Sholehuddin, menyatakan sehubungan dengan masalah penetapan sanksi pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka sudah barang tentu harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan umum tersebut. 6 Barulah dengan kemudian bertolak atau berorientasi pada tujuan itu dapat ditetapkan cara, sarana, atau tindakan apa yang dapat digunakan. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pidana hanya dapat dijatuhkan apabila ada kesalahan terdakwa, yang dibuktikan di sidang pengadilan. Kesalahan terdakwa tentunya sebagaimana yang termaktub dalam dakwaan penuntut umum. Terdakwa bukan begitu saja dapat dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, tetapi harus didukung oleh alat bukti minimum yang sah. Alat bukti minimum itu harus dapat meyakinkan Hakim akan kesalahan terdakwa. Setelah itu, barulah pidana dapat dijatuhkan. Hal itu sesuai dengan rumusan pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh 5 Sholehuddin, 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. "Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya", Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 114. 6 Ibid, hlm. 118. 9 keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam hal itu, Undang-undang menghendaki adanya minimum alat bukti yaitu dua alat bukti yang dapat meyakinkan Hakim akan kesalahan terdakwa dan tindak pidana yang dilakukannya. Maksud sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut adalah minimal dua alat bukti yang sah menurut KUHAP. Pasal 184 ayat (1) KUHAP, menyebut alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Asas Restorative Justice Saat ini di dalam sistem hukum di Indonesia, sudah mulai mengarah kepada pengadopsian konsep restorative justice . Namun untuk sementara, masih diberlakukan secara partial dan memandang tingkat urgenitas yang sangat mendasar, yaitu dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 6 UU Sistem Peradilan Anak, yang menegaskan sebagai berikut: “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.” METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di di Kabupaten Ngawi tepatnya di Pengadilan Negeri Ngawi. Jenis penelitian Yuridis Sosiologis. Pendekatan yuridis, dikarenakan menjelaskan masalah yang dikaitkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan pendekatan sosiologis yaitu memperjelas masalah yang diteliti 10 berdasarkan kenyataan yang ada. 7 Penelitian ini akan meneliti tentang penerapan sanksi tindak pidana persetubuhan yang dilakukan anak terhadap anak dibawah umur di Pengadilan Negeri Ngawi. Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana penelitian bertujuan memberikan gambaran, melukiskan serta memaparkan data yang diperoleh dari penelitian. Dalam penelitian ini menggambarkan tentang penerapan sanksi tindak pidana persetubuhan yang dilakukan anak terhadap anak di Pengadilan Negeri Ngawi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa: sumber data primer, dan sumber data sekunder. Teknik Pengumpulan Data yang digunakan untuk melakukan penelitian terdiri dari: Studi lapangan, dan studi kepustakaan. Metode analisa yang digunakan adalah metode kualitatif. Analisis data dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang ada serta disusun secara sistematis dan logis, sehingga diperoleh suatu hasil penelitian tentang: ”Penerapan sanksi pidana bagi anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak di Pengadilan Negeri Ngawi”. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Persetubuhan yang Dilakukan Oleh Anak Terhadap Anak Merujuk pada keputusan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi dalam menjatuhkan sanksi pidana pada terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA dalam kasus tindak pidana persetubuhan, menurut pendapat peneliti bahwa Hakim dalam pemeriksaan perkara pidana berusaha mencari dan membuktikan 7 Hlm. 7. Soerjono Soekanto. 1996. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press. 11 kebenaran materiil berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, serta berpegang teguh pada apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan Penuntut Umum. Berdasarkan posisi kasus tindak pidana persetubuhan di atas, maka dapat disimpulkan telah sesuai dengan ketentuan baik hukum pidana formil maupun hukum pidana materiil dan syarat dapat dipidananya seorang terdakwa, hal ini didasarkan pada pemeriksaan dalam persidangan, dimana alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, termasuk didalamnya keterangan saksi saling berkesesuaian ditambah keterangan terdakwa yang mengakui secara jujur perbuatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, Hakim Pengadilan Negeri Ngawi menyatakan bahwa unsur perbuatan terdakwa telah sesuai rumusan delik yang terdapat dalam Pasal 81 ayat (2) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi: “Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”. Unsur-unsurnya, sebagai berikut: a. Unsur setiap orang Maksud dari setiap orang adalah tiada lain merupakan kata yang menunjuk kepada subyek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban yang kepadanya secara pribadi dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum pidana, dimana dalam undang-undang Nomor 11 tahun 2012 adalah anak yang telah berumur 12 tahun, namun ia belum berumur 18 tahun. Dalam pemeriksaan perkara ini Penuntut Umum telah mengajukan dan menuntut ke persidangan seseorang anak yang bernama FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA sebagai anak yang berkonflik dengan 12 hukum, yang mana identitasnya yang tercantum dalam dakwaan dan berkas perkara ini telah benar dan dibenarkan oleh Anak Fernando Ersa sendiri serta dibenarkan oleh saksi-saksi yang dihadirkan ke persidangan bahwa Fernando Ersa adalah seorang anak yang telah berumur 15 tahun sehingga anak Fernando Ersa yang umurnya lebih dari 12 tahun, namun belum berumur 18 tahun masuk lingkup pengertian anak sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta selama pemeriksaan di persidangan keadaan Anak Fernando Ersa telah nyata dalam keadaan sehat wal’afiat dan cakap menurut hukum. Dengan demikian Pengadilan berpendapat bahwa atas diri anak FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya secara hukum pidana. Atas dasar tersebut di atas, maka majelis hakim berpendapat, unsur setiap orang telah terpenuhi b. Unsur dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 1) Dengan kesengajaan dalam Memorie van Toelichting/ Memori penjelasan pada pokoknya adalah suatu perbuatan yang dikehendaki dan diketahui (willens en wetens), sedangkan pengertian membujuk adalah berusaha supaya orang menuruti kehendak yang membujuk bukan memaksa, dengan menggunakan hadiah atau perjanjian akan memberikan uang/barang atau pengaruh yang berlebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau suatu tipu muslihat/serangkaian kebohongan, dalam hal ini saksi korban Dewi Anggraini diajak oleh anak Fernando Ersa ke rumahnya dan saat diruang tamu anak Fernando Ersa memeluk saksi korban Dewi Anggraini sambil mengatakan ia ingin berhubungan badan dengan kata-kata “ayo ML”, lalu saksi korban Dewi 13 Anggraini menjawab “emoh, aku wedi nek meteng.” (tidak mau, aku tidak berani nanti kalau hamil). 2) Dengan melakukan persetubuhan adalah, melakukan suatu perbuatan dengan cara memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan, dalam hal ini anak Fernando Ersa menciumi pipi, bibir dan payudara saksi korban Dewi Anggraini, lalu anak Fernando Ersa melepas pakaian saksi korban Dewi Anggraini dan pakaiannya sendiri hingga selutut, lalu ia juga membuka celananya hingga selutut kakinya, dan kemudian ia memasukkan alat kelaminnya kedalam alat kelamin saksi korban Dewi Anggraini dan ia goyang-goyangkan kurang lebih 5 menit lalu keluar spermanya yang dikeluarkan di seprai yang berada di ruang tamu. Sanksi pidana yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi kepada terdakwa Fernando Ersa semata-mata bertujuan untuk memberikan titik jera dan memperbaiki perilakunya di kemudian hari. Dalam hal ini Hakim dalam memberikan sanksi pidana terhadap terdakwa Fernando Ersa lebih pada pendekatan keadilan restorative bukan tindakan balas dendam sebagai usaha pencegahan agar tidak terulangnya tindak pidana tersebut ataupun orang lain tidak mengikuti untuk melakukan tindak pidana sekaligus sebagai usaha perbaikan agar terpidana menyadari kesalahan dan dapat memperbaiki dirinya dikemudian hari sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Dalam Perkara Nomor 01/Pid.Sus-An/2015/PN.Ngw Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi yang menangani perkara tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak dalam menjatuhkan 14 putusan harus mencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni tidak hanya berdasarkan pertimbangan yuridisnya tetapi juga pertimbangan sosiologisnya, yang mengarah pada latar belakang terjadinya kejahatan. Oleh sebab itu Hakim dituntut untuk mempunyai keyakinan dengan mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan alat-alat bukti yang sah, serta menciptakan hukum sendiri yang bersendikan keadilan yang tentunya tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala hukum. Berdasarkan putusan perkara Nomor 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw., menyatakan bahwa terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana persetubuhan. Oleh karenanya terdakwa dijatuhi sanksi pidana penjaran selama 2 (dua) tahun dan 3 (tiga) bulan pelatihan kerja. Dengan demikian perbuatan terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA adalah perbuatan melawan hukum dan tidak terdapat alasan pembenaran, terdakwa juga adalah orang yang menurut hukum mampu bertanggung jawab dan dia melakukan perbuatan dengan sengaja serta tidak ada alasan pemaaf. Sehingga dengan demikian putusan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi yang berisikan sanksi pidana penjara dan pelatihan kerja sudah tepat, dan menurut pendapat peneliti, Hakim tidak menjatuhkan alternatif sanksi tindakan karena disini Hakim lebih mempertimbangkan efek jera dari sanksi yang ia jatuhkan, karena ditakutkan terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA dapat mengulangi perbuatannya dikemudian hari. KESIMPULAN Hakim Pengadilan Negeri Ngawi dalam menerapkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan yang dilakukan anak terhadap anak dalam putusan perkara Nomor: 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw, yakni menjatuhkan pidana kepada 15 terdakwa Fernando Ersa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan menjalani pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan, dirasa sudah adil. Sebab Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana dengan berpedoman pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Anak. Pemberian sanksi pidana yang berupa penjara selama 2 (dua) tahun lamanya merupakan sanksi pidana penjara di bawah minimum (5 tahun), hal ini adalah adil baik bagi masyarakat maupun pencari keadilan itu sendiri, karena berdasarkan Pasal 79 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa pidana minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi dalam menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana persetubuhan dalam perkara putusan Nomor : 01/Pid.susAn/2015/PN.Ngw lebih mengutamakan perbaikan diri terhadap terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA, ini terlihat dalam pemberian hukuman yang paling ringan berdasarkan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, seharusnya mendapat sanksi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun sesuai yang diatur dalam Pasal 81 tersebut, tetapi karena berbagai pertimbangan diantaranya, terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA berlaku sopan di persidangan, mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya, dan masih berusia muda (belum dewasa). Oleh karenanya Hakim memberikan kesempatan terhadap terdakwa untuk bisa lebih memperbaiki diri agar kelak tidak mengulangi lagi perbuatanperbuatan yang melanggar hukum. DAFTAR PUSTAKA Adam Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Gatot Supramono, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan. 16 Sholehuddin, 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. "Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya", Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soerjono Soekanto. 1996. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Wagiati Soetodjo, 2010. Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Putusan Perkara Nomor 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.