BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan homeostasis

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadaan homeostasis atau seimbang pada sel merupakan hasil dari fungsi
sel normal yang memerlukan keseimbangan antara kebutuhan fisiologik,
keterbatasan struktur sel, serta kemampuan metabolisme. Keadaan fungsional sel
dapat berubah ketika bereaksi terhadap stress yang ringan untuk mempertahankan
keseimbangan sel (Mitchell dkk., 2008). Bila suatu sel mendapatkan rangsang
atau stimulus patologik, secara fisiologik dan morfologik, sel kemudian
melakukan adaptasi, yaitu perubahan sel sebagai reaksi terhadap stimulus dan sel
masih dapat bertahan hidup dan mengatur fungsinya. Stimulus patologik yang
diperbesar hingga melampaui adaptasi sel terhadap stimulus maka berlanjut
menjadi jejas sel yang bersifat sementara (reversibel). Ketika stimulus tersebut
terus bertambah besar dan menetap, sel kemudian mengalami jejas menetap
(ireversibel) dan berakhir dengan kematian sel (Sudiono dkk., 2003).
Kematian sel dibedakan menjadi nekrosis dan apoptosis berdasarkan
macam pola morfologik dan mekanik. Dua proses yang mendasari perubahan
morfologik pada sel nekrosis adalah denaturasi protein dan pencernaan sel oleh
enzim (Sudiono dkk., 2003). Nekrosis merupakan jenis kematian sel yang umum
dijumpai setelah sel terpapar stimulus eksogen, seperti iskemi dan rangsang kimia.
Keadaan ini menyebabkan pembengkakan sel, selanjutnya sel pecah terjadi
denaturasi dan koagulasi protein sitoplasma, serta hancurnya organel sel (Kumar
1
2
dkk., 2003). Penelitian Klaassen dkk. (2010) menyatakan bahwa nekrosis jaringan,
adalah salah satu contoh dari toksisitas kimiawi kompleks yang melalui empat
langkah. Pertama, bahan toksik disampaikan pada target atau sasaran. Kedua,
bahan toksik
berinteraksi dengan molekul target. Ketiga, memicu gangguan
dalam fungsi sel dan/atau struktur, yang sedang melakukan perbaikan pada tingkat
molekuler, seluler dan/atau jaringan. Keempat, ketika gangguan yang disebabkan
oleh bahan toksik melebihi kapasitas perbaikan atau saat perbaikan menjadi
malfunctional, maka terjadi toksisitas.
Bahan kimia yang mempunyai efek toksisitas banyak macamnya dan
banyak orang yang tidak menyadari akan keberadaannya, bahkan orang yang
berkontak langsung dengan bahan tersebut. Salah satu kegiatan yang melibatkan
banyak bahan kimia berbahaya adalah produksi batik. Batik merupakan salah satu
warisan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Kata batik berasal dari bahasa
Jawa, yaitu “amba” yang berarti luas dan “tik” atau “nitik” yang berarti
menggambar atau menandai (Dani, 2012). Batik Indonesia secara resmi telah
diakui UNESCO dengan dimasukkan ke dalam Daftar Representatif sebagai
Budaya Tak Benda Warisan Manusia (Representative List of the Intangible
Cultural Heritage of Humanity) (Suryanto, 2009).
Batik merupakan kain bergambar yang dibuat dengan teknik rintang warna.
Rintang warna menggunakan bahan malam/lilin yang ditorehkan pada kain disaat
masih panas dan cair. Torehan malam ini berupa gambar, garis, dan titik-titik.
Saat melakukan pewarnaan pada kain, bagian yang tertutup malam tidak akan
menyerap warna, sehingga setelah dilakukan proses pelepasan malam bagian
3
tersebut akan berwarna putih membentuk motif pada kain batik (Gratha, 2012).
Penggunaan lelehan malam panas pada proses pembuatan batik akan diawali
dengan melelehkan malam. Malam batik akan dipanaskan, meleleh, dan
menghasilkan asap malam batik. Polutan yang terdapat dalam asap malam batik
mengandung gas-gas NO2, SO2, CO, CO2, HC, dan H2S (Santoso, 1993). Pekerja
batik yang terpapar asap malam batik mengalami penurunan VO2max (volume
oksigen maksimum udara yang dikonsumsi tubuh selama melakukan aktivitas
intensif pada tekanan udara 1 atm) (Hafidzah, 2009). Pada proses pembuatan batik,
selain menggunakan lelehan malam juga tidak pernah lepas dari penggunaan
bahan-bahan kimia (Lestari, 2007).
Pembuatan batik dengan pewarna sintetis maupun batik dengan pewarna
alami tetap menggunakan bahan kimia, terutama pada proses mordanting
(membuka pori-pori kain) dan proses fiksasi warna (Widodo, 2012). Bahan kimia
yang digunakan dalam industri batik meliputi pigmen, zat pewarna, dan
malam/lilin. Di dalam zat pewarna (dyes) terdapat bermacam senyawa kimia,
termasuk naftol, benzidine, dan otolidine. Pada pigmen terdapat berbagai jenis
logam berat termasuk aluminium, Cu, Zn, timbal, magnesium, serta senyawa lain
seperti iron oxide, dan silikat. Bahan-bahan kimia ini dapat bersifat karsinogen,
serta menimbulkan iritasi pada kulit, pada mata, serta menimbulkan gangguan
pada sistem pernafasan (Lestari, 2007). Pewarna sintetis yang umum digunakan
adalah naftol, indigosol, remazol, dan procion (Gratha, 2012).
Naftol adalah bahan pewarna batik merupakan derivat naftalena yang satu
atau lebih atom H (hidrogen)nya digantikan oleh gugus OH (hidroksil), atau dapat
4
juga disebut naftalena yang mempunyai gugus OH. Senyawa yang paling penting
adalah nafta-1-ol (1-naftol) dan nafta-2-ol (2-naftol). Naftol ini merupakan salah
satu komponen kopling dari pewarna azo atau garam diazonium (Eagleson, 2012).
Naftol dan garam diazonium bekerja secara berkaitan, naftol merupakan bahan
pewarna dan garam diazonium sebagai bahan pembangkit warna. Warna naftol
tidak akan keluar jika tidak dibangkitkan oleh garam diazonium (Susanto, 1980).
Doherty dkk. (1984) menyatakan bahwa mekanisme toksisitas oleh 1naftol pada tikus yang telah diisolasi adalah terjadinya ikatan kovalen antara 1naftol dengan 1,2 atau 1,4 naftoquinone. Efek sitotoksik 1-naftol ini diikuti oleh
penurunan kadar glutathione (GSH) intraseluler dan kerusakan pada permukaan
hepatosit. Garam diazonium C.I. Disperse Blue 291 menunjukkan sifat genotoksik
dan
mutagenesis
berdasarkan
induksi
fragmentasi
DNA,
pembentukan
mikronukleus dalam sel, dan adanya peningkatan indeks apoptosis pada sel
mamalia (HepG2) (Tsuboy dkk., 2007).
Menurut Zeilmaker dkk. (2000), paparan bahan pewarna azo yang
merupakan hasil ikatan antara naftol dan garam diazonium dapat melalui
penyerapan dermal, pencernaan oral, inhalasi, dan kontak dengan lingkungan
yang tercemar pewarna azo. Inhalasi merupakan jalur paparan yang paling
berpengaruh untuk pekerja pada proses produksi barang yang berhubungan
dengan bahan kimia, seperti pada perajin batik yang menggunakan pewarna
tersebut. Semua komponen atau zat yang masuk melalui jalur pernafasan secara
terus menerus, akan berpengaruh terhadap mukosa organ pernafasan yang
dilaluinya. Rongga hidung dan rongga mulut dihubungkan oleh orofaring (Brand,
5
2014), sehingga substansi yang terhirup saat proses inhalasi dapat masuk dan
mengendap di rongga mulut serta dapat mengakibatkan perubahan sel terutama
bila subtansi tersebut bersifat genotoksik (Nina, 2008). Penelitian yang dilakukan
Rajkokila dkk. (2010) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan frekuensi
mikronukleus dan anomali inti sel pada mukosa bukal pekerja pom bensin yang
terpapar uap benzene. Salah satu tugas dari mukosa sendiri adalah menjadi
pelindung dari paparan zat berbahaya, antigen, maupun organisme patogen (Ross
dkk., 2003).
Beberapa ciri dari sel nekrosis atau kematian sel akibat paparan bahan
kimia berbahaya adalah sitoplasma sel berwarna lebih eosinofilik dengan
pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Sel juga tampak lebih berkilau karena
kehilangan glikogen, mengalami vakuolisasi dan
membran sel mengalami
fragmentasi. Tanda yang paling jelas dari nekrosis terletak pada gambaran inti
selnya. Perubahan inti sel meliputi piknosis, kariolisis, dan karioreksis (Mitchell
dkk., 2008). Piknosis ditandai dengan terjadi pengerutan inti dan terlihat lebih
basofil. Pada tahap piknosis ini sepertinya terjadi penggumpalan DNA menjadi
massa yang solid (Robbins dan Kumar, 1995).
Pemantauan mengenai efek sitotoksik dapat dilakukan dengan pengamatan
inti sel yang berupa piknosis, kariolisis, dan karioreksis (Angelieri dkk., 2010).
Frekuensi inti sel piknosis diketahui mengalami peningkatan pada mukosa bukal
perokok dibanding dengan mukosa bukal bukan perokok (Nersesyan, 2006).
Menurut Celik dkk. (2003) pemantauan efek genotoksik, sitotoksik, indikasi
paparan bahan kimia dan respon toksik dilakukan dengan teknik eksfoliasi sel
6
epitel bukal. Penggunaan mukosa bukal sebagai biomarker ini berdasarkan pada
morfologi mukosa bukal yang merupakan lining mucosa dan area non-keratinisasi
(Chatterjee, 2006). Rongga mulut terdiri dari tiga mukosa, masticatory mucosa,
lining mucosa, dan specialized mucosa. Epitel yang terdapat dalam lining mucosa
ini merupakan epitel non-keratinisasi. Mukosa non-keratinisasi terdiri dari tiga
lapisan, yaitu stratum basal, stratum spinosum, dan stratum superfisial (Ross dkk.,
2003). Pada keadaan normal, tidak didapatkan lapisan granular dan jarang
dijumpai inti sel yang menyusut atau piknosis, dengan kata lain peningkatan sel
piknosis pada mukosa non-keratinisasi merupakan keadaan yang abnormal
(Squier dan Brogden, 2011).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana frekuensi inti sel piknosis
mukosa bukal pada perajin batik akibat paparan bahan pewarna azo?
C.
Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai peningkatan jumlah inti sel piknosis sudah pernah
dilaporkan oleh Sudha dkk. (2011) untuk menguji efek sitotoksik paparan
kromium terhadap jaringan rongga mulut. Penelitian ini dilakukan dengan metode
usapan sel epitel bukal. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadi peningkatan
prevalensi mikronukleus dan inti sel abnormal seperti binukleus, broken egg,
karioreksis, kariolisis dan piknosis yang ditemukan pada pekerja penyepuhan
7
kromium. Tsuboy dkk. (2007) secara in vitro menunjukkan bahwa pewarna azo CI
Disperse Blue 291 ini menginduksi pembentukan mikronukleus, fragmentasi
DNA, dan peningkatan jumlah kematian sel pada sel hepatoma manusia (HepG2).
Berdasarkan hasil pencarian penulis, belum ada laporan penelitian mengenai
analisis peningkatan jumlah inti sel piknosis pada epitel mukosa bukal perajin
batik terhadap paparan bahan pewarna azo.
D.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan yang telah diuraikan, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui frekuensi inti sel piknosis mukosa bukal pada perajin
batik akibat paparan bahan pewarna azo.
E.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Diharapkan dapat digunakan sebagai informasi ilmiah mengenai efek
toksisitas bahan pewarna azo yang digunakan oleh perajin batik.
2. Diharapkan hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan bagi perajin batik
untuk selalu menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dalam upaya
mengurangi efek paparan terhadap bahan kimia.
3. Sebagai
acuan
untuk
dijadikan
dasar
bagi
penelitian
selanjutnya.
Download