Ota Rabu Malam Musik Ritual Disusun oleh Hanefi MUSIK RITUAL Disusun oleh Hanefi Sistem Kepercayaan Pendekatan Sosiologis Tokoh: Emile Durkheim (1858-19170 “Bentuk agama yang paling elementer dapat ditemukan dalam Totemisme” Totem merupakan suatu objek penyembahan, tetapi bukan dewa. Pada dirinya sendiri, Totem tidak memiliki sesuatu yang dapat menimbulkan ketakutan atau kehormatan; bahkan secara primitif dan universal tidak dianggap didiami oleh suatu roh. Totem mempunyai sifat sosial dan Totem merupakan simbol dari suatu suku bangsa (etnik). Suatu masyarakat totemis, bagi anggota masyarakatnya bahwa Totem itu ibarat “dewa” bagi para penganutnya. Bagi Individu, bahwa masyarakat mewakili keunggulan fisik serta kewibawaan moral. Karena individu hidup sendiri dan baginya kehidupan tergantung sama sekali pada masyarakatnya yang kemudian dianggap sebagai kudus. Dengan demikian, Totem melambangkan kekudusan dan lambang suku bangsanya sendiri. Jadi, agama suatu proyeksi pengalaman sosial: kekudusan atau Tuhan dan masyarakat merupakan hal yang satu dan sama (Eliade, 1987:19). Pendekatan Etnologis Tokoh: E.B. Tylor (1871) dalam “Primitive Culture” Tahap awal agama adalah kepercayaan animisme: kepercayaan bahwa alam mempunyai jiwa. Kepercayaan ini fundamental dan universal, bisa menerangkan pemujaan terhadap orang mati, pemujaan terhadap leluhur (nenek moyang) dan menjelaskan asal mula dewa. Ota Rabu Malam /2014 Tahap berikutnya, animisme berkembang menjadi politeisme dan kemudian menjadi monoteisme (Eliade, 1987:22). Pendekatan Historis Tokoh: Wilhelm Schmidt (1868-1954) Pada masyarakat yang paling primitif terdapat suatu kepercayaan akan pencipta yang kekal, yaitu Tuhan Tertinggi Yang Maha Baik dan Maha Tahu. Tuhan dianggap berdiam di langit. Anggapan ini ditemuinya pada tradisi-tradisi yang paling tua pada sisa-sisa kebudayaan yang paling kuno seperti di suku-suku bangsa Australia Tenggara (suku bangsa Aborijin), beberapa daerah di Asia Utara, Amerika Utara, suku bangsa di Tierra del Fuego dan suku bangsa Pygmea. Pendapat ini diperkuat oleh M. Dhavamony: Monoteisme ada dua, 1) monoteisme eksplisit yaitu kepercayaan akan satu Tuhan tanpa dewa-dewa yang lain; 2) monoteisme implisit yaitu kepercayaan akan satu dewa tertinggi di atas dewa-dewa lain yang lebih rendah (Eliade, 1987:30-31). Pendekatan Fenomenologis Tokoh: Rudolf Otto (1869-1937) Pendekatan yang dikemukakan adalah pendekatan non-rasional dengan menggunakan pengalaman religius. Pengalaman itu disebut Nominous, yaitu “Yang Kudus” dalam arti kekudusan non-moral. Di hadapan Yang Kudus, bahwa manusia mempunyai perasaan tidak berarti, tidak lebih dari sebuah ciptaan. Untuk menjelaskan perasaan ini, Otto mengutip teks Kitab Suci: Abraham berkata kepada Tuhan bahwa dia adalah makhluk yang tidak lebih dari debu dan abu (Kej 18:27). MUSIK RITUAL Prof. R.M. Soedarsono dalam pidato pengukuhan guru besarnya berjudul “Peranan Seni Budaya dalam Sejarah Kehidupan Manusia Kontinuitas dan Perubahannya”, mengemukakan: “Hampir semua bentuk seni pertunjukan dahulu berfungsi sebagai sarana upacara” (1985:3). Ota Rabu Malam /2014 “Kehadiran musik nusantara pada zaman primitif tidak berdiri sendiri, melainkan sangat erat hubungannya dengan unsur kepercayaan yang bersif magis. Musik itu banyak digunakan dalam kegiatan ritual seperti menurunkan hujan, berburu, perang, memanggil dan mengusir roh, menolak wabah penyakit, dan lain sebagainya” (I. Made Bandem dalam R.M. Soedarsono, et al., ed., 1985:304) Secara historis kita dapat melihat ke paparan di atas dimana Soedarsono telah mengemukakan bahwa musik ritual itu hidup hampir di seluruh nusantara. Hal demikian memang dapat ditemui pada akhir abad ke-20 melalui pengalaman langsung dan fakta-fakta dari berbagai media. Namun kita masih bertanya ketika kita menghadapi suatu praktek musik yang menggunakan unsur-unsur kekuatan atau makhluk gaib, di Minangkabau misalnya, ada praktek musik debus, saluang sirompak, nyanyian mengambil madu, dan lain sebagainya. Di Mentawai, semua musik yang digunakan dalam upacara-upacara adalah musik yang terkait dengan kekuatan gaib atau makhluk gaib. Di Riau masih ditemui hingga kini upacaraupacara ritual yang menggunakan musik seperti upacara pengobatan Belian, upacara Gumantan, dan lain sebagainya. Pertanyaan yang dipandang perlu apakah musik berperan dalam melibatkan kekuatan atau makhluk gaib itu hadir dan reaktif terhadap prilaku bermusik para musisinya dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa bermusik itu. Karena kita perlu mengetahui apakah sebuah ritual digunakan untuk memenuhi keinginankeinginan pribadi/sekelompok manusia untuk keuntungan tertentu, atau ritual itu dilakukan sebagai akibat dari suatu fenomena kehidupan atau alam sehingga manusia membutuhkan pertolongan terhadap kekuatan atau roh-roh/makhluk gaib. Apabila sebuah ritual merupakan kegiatan memenuhi kehendak/keinginan seseorang atau sekelompok orang dengan menggunakan makhluk gaib, barangkali dapat dikategorikan sifat ritual itu menjadi ritual magis (mejik). Dalam hal ini Ota Rabu Malam /2014 manusia memanfaatkan (“menyuruh”) makhluk gaib untuk kepentingannya. Gejala seperti itu dapat dicontohkan sebagaimana praktek musik Sirompak di Taeh, praktek musik Sordam pada masyarakat Batak Toba, dan lain sebagainya. Apabila suatu ritual menggunakan musik sebagai media bagi manusia menyampaikan maksud terkait dengan konsep keagamaan (kepercayaan), barangkali dapat dikategorikan sifat ritual itu sebagai ritual keagamaan (kepercayaan). Biasanya, manusia yang melakukan ritual itu bersifat menyandar, mengharap, dan minta pertolongan terhadap makhluk/kekuatan gaib; dan atau bersyukur telah dilindungi (diselamatkan), diberi rezki, dan lain sebagainya oleh roh/kekuatan gaib. Banyak fakta ditemukan bahwa dalam praktek musik ritual cendrung terjadi trance (kesurupan). Dari berbagai data yang dapat dipertanggungjawabkan, kesurupan itu akibat interaksi makhluk gaib dengan peserta upacara (termasuk musisi), bagi Gilbert Rouget (1985: 132) menyebut hal itu sebagai possession trance (trance kesurupan) yaitu adanya sesuatu kekuatan, roh leluhur, kekuatan yang datang dari luar diri manusia, yang dianggap menguasai jiwa seseorang sehingga hilang atau terjadi perubahan dari kesadarannya. Trance kesurupan dalam praktek musik ritual lebih banyak ditemui pada masyarakat-masyarakat yang masih mempertahankan kepercayaan nenek moyangnya seperti kepercayaan animisme dan kepercayaan pra Islam di dalam kehidupan masyarakat. Di masyarakat Mentawai ada ritus Mulajjou, di masyarakat Petalangan dan Talang Mamak Riau ada ritual Belian, di masyarakat Kerinci ada ritual Asyeik, dan lain sebagainya. Tentu kita ingin mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi antara musik dan trance, agar kita memperoleh pedoman maka mari kita simak sedikit tentang sedikit analisis yang dikemukakan Margaret Kartomi (1973. 166): “terjadinya peristiwa trance dalam ebeg (salah satu ritual di Jawa) selalu didukung oleh bunyi Ota Rabu Malam /2014 musik yang selalu mempunyai metrum reguler, pengulangan secara formula ritmis dan melodis.” Jadi, kita perlu mengetahui bahwa musik ritual memiliki berbagai aspek yang saling terkait, udan studi ke arah itu adalah domain kita, terutama dalam kaitannya dengan disiplin akademik yang tengah kita pelajari. Kenyataan-kenyataan yang ditemui pada peristiwa ritual itu memposisikan kita harus memiliki pondasi yang jelas dimana seyogyanya pondasi itu sudah tertanam melalui proses pembelajaran: bagaimana memahami bahwa trance didukung oleh metrum reguler, pengulangan formula ritmis dan melodis? Ota Rabu Malam /2014 Dipublis oleh Ota Rabu Malam adalah ruang diskusi dan pusat kajian seni pertunjukan yang berbasis di Sumatera. OTRM didirikan oleh mahasiswa Seni Karawitan ISI Padangpanjang beserta alumni, bekerja dengan mempresentasikan kembali karya-karya yang pernah ditampilkan, ataupun arsip-arsip dan dokumentasi penelitian, untuk dibahas di ruang publik sebagai pengembangan ilmu pengetahuan. Sejak didirikan pada 30 Oktober 2013 OTRM telah melakukan serangkaian diskusi, kuliah umum, worskshop ataupun bedah setiap minggunya – Rabu Malam. www.otarabumalam.wordpress.com Ota Rabu Malam /2014