evaluasi efektivitas ekstrak otak ikan patin

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Derajat Pemijahan
Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka
dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang
tidak menyebabkan ikan lele Sangkuriang memijah, sebagian memijah dan
perlakuan yang berhasil semua ikan lele Sangkuriang memijah (Lampiran 1).
Penyuntikan NaCl fisiologis 0,9% (kontrol) setiap periode penelitian tidak
merespon ikan lele Sangkuriang memijah. Selanjutnya hasil yang sama
ditunjukkan pada hasil penelitian September 2010 yaitu perlakuan dosis 750 mg
otak patin/kg bobot induk. Kemudian dosis 100 mg/kg, 150 mg/kg dan 200
mg/kg pada penelitian Oktober serta dosis 100 mg/kg (Januari 2011).
Perlakuan yang menunjukkan keberhasilan ovulasi atau memijah sebagian
terjadi pada dosis 500 mg/kg yaitu 66% (September 2010) dan hasil penelitian
pada bulan Januari 2011 yaitu dosis 150 mg/kg (33%), 200 mg/kg, 250 mg/kg dan
300 mg/kg yaitu masing-masing 66%. Untuk perlakuan dengan derajat pemijahan
100% ditunjukkan pada perlakuan dosis 250 mg/kg dan ovaprim (September
2010) serta hipofisa ikan patin (Januari 2011).
Dengan demikian maka
keberhasilan ovulasi sangat ditentukan oleh dosis otak ikan patin. Dosis rendah
atau dosis yang tinggi (750 mg/kg) tidak dapat merangsang ikan lele Sangkuriang
memijah.
Fekunditas Pemijahan
Berdasarkan
hasil
pengamatan
fekunditas
pemijahan
ikan
lele
Sangkuriang, maka dalam penelitian ini dibagi kedalam dua kelompok. Pertama
perlakuan yang menghasilkan telur yaitu perlakuan dosis otak ikan patin 150
mg/kg, 200 mg/kg, 250 mg/kg, 300 mg, 500 mg/kg dan ovaprim 0,3 ml/kg dan
kedua perlakuan yang tidak menghasilkan telur yaitu pada penyuntikan dosis otak
ikan patin 100 mg/kg, 750 mg/kg dan penyuntikan NaCl fisiologis 0,9% (kontrol
negatif).
Rataan prosentase telur yang dihasilkan dalam penelitian ini jumlahnya
berbeda untuk setiap perlakuan. Penyuntikan ekstrak otak ikan patin dengan dosis
500 mg/kg induk ikan menghasilkan telur berkisar antara 8,13 – 8,75 atau ratarata 8,44 ± 0,44% dari bobot induk ikan, sedangkan perlakuan penyuntikan
ekstrak otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg menghasilkan telur berkisar
antara 10 – 11,56 atau rata-rata 10,73 ± 0,77% dari bobot induk dan perlakuan
penyuntikan ovaprim berkisar antara 10 – 11,25 atau rata-rata 10,64 ± 0,67%.
Pada penelitian selanjutnya nilai fekunditas relatif dosis 200 mg/kg, 250 mg/kg
dan 300 mg/kg serta perlakuan kontrol (hipofisa ikan patin dan ovaprim) berkisar
antara 9,17 – 12,22% (Lampiran 1).
Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan
yang sangat nyata (P≤0,01) antara perlakuan penyuntikan ekstrak otak ikan patin
dosis 500 mg/kg dengan perlakuan penyuntikan ekstrak otak ikan patin dengan
dosis 250 mg/kg dan penyuntikan ovaprim 0,3 ml/kg. Sedangkan antara perlakuan
dosis otak ikan patin 250 mg/kg dan pemberian ovaprim 0,3 ml/kg tidak berbeda
nyata (Gambar 8 dan Lampiran 3). Kemudian pada penelitian berikutnya
menunjukkan bahwa dosis 250 mg/kg tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan dosis
200 mg/kg, 300 mg/kg, hipofisa ikan patin dan ovaprim (Lampiran 8).
Ini
menunjukkan bahwa dosis 200 mg/kg merupakan dosis terendah otak ikan patin
yang memberikan nilai fekunditas pemijahan ikan lele Sangkuriang tertinggi yaitu
11,38 ± 0,87%.
a
a
b
Gambar 8. Fekunditas pemijahan ikan lele Sangkuriang yang disuntik otak ikan
patin dengan dosis 250 mg/kg, 500 mg/kg induk ikan
dan ovaprim 0,3 ml/kg induk ikan.
Derajat Pembuahan
Hasil pengamatan derajat pembuahan telur ikan lele Sangkuriang pada
September 2010 dan Januari 2011 menunjukkan perbedaan hasil. Secara statistik,
hasil penelitian pada September 2010 terjadi perbedaan yang sangat nyata
terhadap derajat pembuahan dari setiap perlakuan (P<0,01). Penyuntikan ekstrak
otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg memiliki rata-rata derajat pembuahan
lebih tinggi yaitu 83,3±2,95% dari pada perlakuan kontrol positif (ovaprim) yaitu
63,93±0,25% dan rata-rata derajat pembuahan terendah ada pada perlakuan
penyuntikan ekstrak otak ikan patin dengan dosis 500 mg/kg yaitu 43,34 ± 3,53%
(Gambar 9; Lampiran 4).
a
c
b
Gambar 9. Derajat pembuahan telur ikan lele Sangkuriang yang disuntik otak ikan
patin dengan dosis 250 mg/kg, 500 mg/kg induk
dan ovaprim 0,3 ml/kg induk.
Pada penelitian Januari 2011, pemberian dosis otak ikan patin sebesar 150
mg/kg induk gagal mengalami derajat pembuahan. Telur ikan lele Sangkuriang
yang didapatkan berwarna putih pada jam keenam dari proses pembuahan
(Gambar 10). Sedangkan untuk perlakuan lainnya tidak memberikan perbedaan
yang nyata (P>0,05) terhadap derajat pembuahan (Tabel 7). Dosis otak ikan patin
sebesar 200 mg/kg induk merupakan dosis terendah dari otak ikan patin yang
masih memberikan pengaruh yang tinggi terhadap derajat pembuahan ikan lele
Sangkuriang yaitu 90,63 ± 9,50%.
a
b
Gambar 10. Telur ikan lele Sangkuriang yang dibuahi berwarna
kekuningan (a) dan yang tidak dibuahi berwarna putih keruh (b).
Derajat Penetasan
Hasil derajat penetasan telur ikan lele Sangkuriang pada September 2010
menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada setiap
perlakuan. Penyuntikan ekstrak otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg memiliki
derajat penetasan telur ikan lele Sangkuriang yang tinggi yaitu 78,45 ± 2,80%,
kemudian kontrol positif (ovaprim) yaitu 56,11 ± 0,12% dan derajat penetasan
terendah ada pada penyuntikan ekstrak otak ikan patin dengan dosis 500 mg/kg
yaitu 14,49 ± 1,01% (Gambar 11).
a
c
b
Gambar 11. Derajat penetasan telur ikan lele Sangkuriang yang disuntik
otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg, 500 mg/kg induk ikan
dan ovaprim 0,3 ml/kg induk ikan.
Pengujian dosis otak ikan patin pada Januari 2011 menunjukkan bahwa
dosis terendah yang menyebabkan kegagalan penetasan telur ikan lele
Sangkuriang ditunjukkan pada penyuntikan dosis 150 mg/kg, sedangkan untuk
penyuntikan 200 mg/kg, 250 mg/kg, hipofisa ikan patin (3:1) dan ovaprim
0,3 ml/kg memberikan nilai derajat penetasan yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
yaitu masing-masing 76,3 ± 6,14%, 76,75 ± 4,1%, 75,01 ± 10,69% dan 76,73
± 15,56%.
Waktu Laten Pemijahan
Hasil pengamatan waktu laten pemijahan ikan lele Sangkuriang pada
September 2010 menunjukkan bahwa pemberian dosis otak ikan patin 500 mg/kg
(16 ± 1,50 jam) memberikan pengaruh yang signifikan (P<0,05) dengan dosis
otak ikan patin 250 mg/kg 11,33 ± 1,15 jam dan ovaprim 0,3 ml/kg 8 ± 0,0 jam,
sedangkan antara dosis otak ikan patin 250 mg/kg dan ovaprim 0,3 ml/kg tidak
berbeda nyata (P>0,05) (Gambar 12).
b
a
a
Gambar 12.Waktu laten pemijahan ikan lele Sangkuriang yang disuntik
otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg, 500 mg/kg induk
dan ovaprim 0,3 ml/kg induk.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa waktu laten pemijahan ikan
lele Sangkuriang pada Januari 2011 tidak berbeda nyata (P>0,05). Penyuntikan
otak ikan patin sebanyak 200 mg/kg merupakan dosis terendah yang memberikan
waktu laten pemijahan yang sama dengan penyuntikan ovaprim 0,3 ml/kg dan
hipofisa ikan patin sebanyak 3 dosis (3:1)( Lampiran 8).
Perkembangan Diameter Telur
Berdasarkan pengukuran diameter telur hasil pemijahan ikan lele
Sangkuriang menunjukkan bahwa perlakuan pemberian dosis otak ikan patin dan
ovaprim terjadi perbedaan yang sangat nyata (P≤0,01) (Gambar 13 dan
Lampiran 7). Pemberian ovaprim dengan dosis 0,3 ml/kg bobot induk ikan
mempunyai nilai rataan diameter tertinggi yaitu 1,69 ± 0,01 mm, sedangkan untuk
perlakuan dosis otak ikan patin sebanyak 250 mg/kg dan 500 mg/kg masing-
masing adalah 1,67 ± 0,006 dan 1,63 ± 0,006 mm. Tetapi bila dilihat dari
distribusi ukuran diameter telur, pemberian dosis ovaprim memperlihatkan
diameter yang tidak merata, hal ini terlihat dari standar deviasi yang tinggi yaitu
0,01 mm, sedangkan perlakuan dosis otak ikan patin 250 dan 500 mg/kg
mempunyai nilai standar deviasi yang sama dan nilainya lebih kecil yaitu 0,06
mm. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi ukuran diameter relatif merata.
c
a
b
Gambar 13. Perkembangan diameter telur ikan lele Sangkuriang
yang disuntik otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg, 500 mg/kg induk ikan
dan ovaprim 0,3 ml/kg induk ikan.
Selanjutnya pada penelitian Januari 2011 menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata (P>0,05) dari setiap perlakuan terhadap diameter telur ikan
lele Sangkuriang (Lampiran 8). Dari hasil tersebut diperoleh bahwa dosis 200
mg/kg merupakan dosis terendah otak ikan patin yang masih memberikan
pengaruh perkembangan diameter telur yaitu sebesar 1,51±0,09 mm. Hal ini
mengindikasikan adanya perbedaan antara pengaruh hormon dengan waktu atau
bulan penyuntikan. Perbedaan waktu penyuntikan berkaitan erat dengan siklus
reproduksi atau musim pemijahan ikan lele Sangkuriang.
Berdasarkan uraian hasil penelitian tersebut diatas, data lengkap hasil
penelitian disajikan pada Tabel 5 dan 6.
Tabel 5. Kinerja pemijahan ikan lele Sangkuriang yang disuntik otak ikan patin
berbagai dosis pada September 2010.
Dosis otak ikan patin (mg/kg bobot ikan lele Sangkuriang)
Parameter
250
500
750
Ovaprim
0
100
66
-
100
-
11,33 ± 1,15a
16 ± 1,50b
-
8 ± 0,00a
-
Perkembangan
Diameter Telur (mm)
1,67±0,01a
1,63±0,006b
-
1,69±0,01c
-
Fekunditas Pemijahan
(%)
10,73±0,77a
8,44 ± 0,44b
-
10,64 ±0,65a
-
Derajat Pembuahan (%)
83,3±2,95a
43,34±3,53b
-
63,93±0,25c
-
-
c
-
Derajat Pemijahan (%)
Waktu Laten
Pemijahan (Jam)
Derajat Penetasan (%)
78,45±2,80
a
14,49±1,01
b
56,11±0,12
Keterangan: Angka pada baris yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (P>0,05).
Tabel 6. Kinerja pemijahan ikan lele Sangkuriang yang disuntik otak ikan patin
pada Januari 2011
Dosis otak ikan patin (mg/kg bobot ikan lele Sangkuriang)
Parameter
100
150
200
250
300
Hipofisa
Ovaprim
0
Derajat
Pemijahan (%)
-
33,33
66,66
66,66
66,66
100
100
-
Waktu Laten
pemijahan
(Jam)
-
8,47
±0a
9.25
±1,06a
10,5
±0,58a
9,99
±1,96a
10,
±1,48a
8.08
±0,22a
-
Perkembangan
diameter telur
(mm)
-
1,55
±0.04a
1,51
±0,09a
1,56
±0,05
1,55
±0
1,52
±0,07
1,61
±0,04
-
Fekunditas
pemijahan (%)
-
11,76
11,38
±0,87
11,85
±3,44a
11,93
±1,97a
9,17
±1,44a
12,22
±4,01a
-
Derajat
Pembuahan (%)
-
-
90,63
±9,50a
90
±6,88a
90,23
±10,88a
82,37
±10,12a
84,03
±12,11a
-
-
-
76,3
±6,14a
76,75
±4,1a
-
75,01
±10,69a
76,73
±15,56a
-
Derajat
Penetasan (%)
Keterangan: Angka pada baris yang diikuti hurup superscript yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata (P>0,05).
Fisik-Kimia Air
Kualitas air media pemeliharaan selama penelitian dalam keadaan
terkontrol untuk pemijahan ikan lele Sangkuriang. Kisaran suhu rata-rata pada
awal penelitian dan akhir penelitian adalah 23,5-25,50C, dengan rata-rata pH 6,8 7,2 dan kadar amonia 0,003-0,06 mg/L serta kandungan oksigen 4,17 – 5,6 ppm.
Hasil pengukuran kualitas air yang diperoleh selama penelitian menunjukkan nilai
yang berbeda untuk pengamatan suhu, pH dan oksigen. Sedangkan nilai yang
sama untuk pengamatan ammonia pada setiap perlakuannya, namun masih berada
dalam kisaran yang optimum untuk kelangsungan hidup ikan lele pada beberapa
perlakuan ( Tabel 7).
Tabel 7. Fisik-Kimia air dalam wadah pemeliharaan ikan lele Sangkuriang pada
September 2010.
Dosis otak ikan
patin (mg/kg
bobot ikan lele
Sangkuriang)
250
DO (mg/l)
Suhu (0C)
pH
Amonia (mg/l)
4,17 - 5,38
23,5-25,5
6,8 - 7,2
0,003-0,06
500
4,31 - 5,33
24-25,5
6,8 – 7,0
0,003-0,06
750
4,05 - 5,52
23,5-25,5
6,8- 7,0
0,003-0,06
Ovaprim
4,56 - 5,67
24-25,5
6,9,- 7,2
0,003-0,06
NaCl fisiologis
4,12 - 5,24
23,5-25,5
6,8-7,1
0,003-0,06
Optimal
> 3b
20-28a
6,5 – 9b
< 0,1b
Keterangan :
a
Fisik-Kimia Air
Huet 1971 ; b Boyd 1982
Pada Tabel 3 terlihat bahwa suhu media pemeliharaan berada pada kisaran
23,5-25,50C untuk semua perlakuan, dan masih berada dalam kisaran optimal
untuk kelangsungan hidup benih ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Huet
(1971) bahwa suhu perairan yang optimum yang dapat mendukung kelangsungan
hidup ikan berada pada kisaran 20 - 280C.
Nilai pH selama penelitian berkisar antara 6,8 - 7,2 , nilai tersebut masih
berada dalam kisaran normal. Nilai pH yang normal bagi kehidupan ikan adalah
berkisar 6,5 - 9 (Boyd 1982).
Nilai Ammonia selama penelitian berkisar antara 0,003 - 0,06 ppm, nilai
ini masih cukup baik dan berada dalam kisaran normal. Konsentrasi ammonia
yang masih bisa ditolelir oleh ikan adalah tidak boleh melebihi 1 ppm, karena jika
konsentrasinya berlebih maka akan menghambat daya serap haemoglobin dalam
darah. Batas konsentrasi kandungan ammonia yang dapat mematikan ikan lele
adalah lebih besar dari 0,1 ppm (Boyd 1982).
Pembahasan
Keberhasilan pemijahan ikan dicirikan dari tingkat pemijahan ikan.
Indikator tersebut sangat penting untuk mengetahui derajat pemijahan yaitu
perbandingan antara jumlah ikan yang memijah dengan jumlah ikan yang
dipijahkan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian otak
ikan patin berpengaruh terhadap derajat pemijahan ikan lele Sangkuriang.
Penyuntikan tanpa menggunakan otak ikan patin (penyuntikan NaCl fisiologis
0,9%), dosis otak ikan patin dosis rendah (100 mg/kg induk) dan dosis otak ikan
patin yang terlalu tinggi (750 mg/kg induk) tidak berhasil merangsang ikan lele
Sangkuriang berovulasi atau memijah. Menurut Head et al. (1995) kemampuan
ikan untuk berovulasi sangat dipengaruhi oleh pemberian atau penggunaan
hormon yang efektif. Penggunaan dosis yang tepat akan membuat kontraksi otot
ovari terpacu terus menerus dan bukaan saluran telur membesar sehingga telur
yang dikeluarkan lebih banyak.
Ketidakberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah yang disuntik dengan
dosis otak ikan patin yang rendah diduga disebabkan kandungan GnRH yang
terdapat pada otak tidak berpotensi atau tidak cukup kuat untuk merangsang
kelenjar hipofisa mensekresikan hormon LH (luteinizing hormone) secara
sempurna. Menurut Muhammad et al. (2003) rendahnya hormon gonadotropin
yang masuk dalam darah dapat menyebabkan kemampuan hormon gonadotropin
untuk mengovulasikan telur sangat terbatas. Selanjutnya Matty (1985)
menjelaskan bahwa hormon LH berfungsi merangsang proses ovulasi dan
pemijahan induk ikan betina, sedangkan yang menyebabkan kegagalan ovulasi
pada pemberian dosis yang tinggi yaitu perlakuan 750 mg/kg adalah karena
kelebihan hormon GnRH. Pada kondisi ini reseptor yang berfungsi sebagai
pembawa hormon GnRH menuju organ target (kelenjar hipofisa) kelebihan
muatan, sehingga hormon GnRH tidak dapat merangsang kelenjar hipofisa untuk
mensekresikan hormon LH yang bertugas untuk merangsang ovulasi. Selain itu
diduga kelebihan pemberian otak akan diikuti terjadinya akumulasi dopamin,
sehingga kerja LH untuk merangsang ovulasi terhalangi atau terjadi pemblokiran
oleh dopamine (Zohar et al. 1989). Menurut Sahoo et al. (2004), jika hormon
yang masuk kedalam tubuh terlalu banyak maka akan terjadi mekanisme umpan
balik negatif yang menghambat kontraksi otot ovari dengan ditandai dengan
mengecilnya saluran telur (oviduct).
Kandungan hormon GnRH dalam otak dipengaruhi oleh kondisi dari dari
kematangan gonad ikan donor (ikan patin). Hal ini dibuktikan pada perlakuan
dosis 250 mg/kg yang menggunakan ikan patin ukuran 500 g dan dosis 200 mg/kg
yang menggunakan ikan patin betina belum matang gonad. Hasilnya
menunjukkan ikan lele Sangkuriang tidak ovulasi. Sedangkan pada penyuntikan
ikan lele Sangkuriang dengan menggunakan otak ikan patin yang berasal dari ikan
patin yang sudah matang gonad pada dosis yang sama berhasil merangsang ikan
lele Sangkuriang mijah dengan derajat pemijahan 66%. Selain itu, keberhasilan
pemijahan lele Sangkuriang juga harus memperhatikan kesiapan induk baik betina
maupun jantan. Selama pengamatan dalam penelitian, pemeriksaan telur induk
dengan cara kanulasi harus dikerjakan sebaik mungkin supaya ikan tidak
mengalami stress, karena berdampak pada kegagalan pemijahan ikan lele
Sangkuriang yang disuntik dengan otak ikan patin. Berbeda dengan penyuntikan
dengan hipofisa atau ovaprim, meskipun kondisi induk ikan kematangannya
kurang dan agak stress tetapi induk ikan tersebut tetap mengalami ovulasi.
Ikan lele Sangkuriang yang berhasil memijah akan ditentukan oleh
fekunditas pemijahan atau prosentase bobot telur yang berhasil dikeluarkan
dengan bobot induk ikan sebelum memijah. Ikan lele Sangkuriang yang disuntik
NaCl fisiologis 0,9% tidak berpengaruh terhadap fekunditas pemijahan, hal ini
karena pada larutan tersebut tidak terdapat hormon gonadotropin, sehingga
kemampuan hormon dalam mengovulasikan telur sangat terbatas. Menurut
Nagahama (1987) menyatakan bahwa keberhasilan ovulasi tergantung pada proses
pematangan tahap akhir oosit. Kemudian Selman dan Wallace (1989) melaporkan
bahwa oosit yang sudah menjadi telur dan telah siap diovulasikan akan terjadi
apabila telah mendapat rangsangan hormonal yang sesuai.
Hal ini mengindikasikan bahwa dosis otak patin sebanyak 250 mg/kg
bobot induk ikan lele Sangkuriang mempunyai kemampuan yang sama dengan
penyuntikan menggunakan ovaprim dalam merangsang jumlah telur yang
diovulasikan. Tingginya nilai fekunditas pemijahan yang dihasilkan oleh kedua
perlakuan tersebut menunjukkan bahwa rangsangan hormonal yang diberikan
sesuai. Pada penyuntikan dosis otak patin 500 mg/kg, meskipun dosisnya lebih
tinggi tetapi nilai fekunditas pemijahannya lebih rendah. Hal ini dikarenakan telur
yang mengalami ovulasi hanya sebagian (ovulasi parsial) yang disebabkan
kurangnya rangsangan LH. Sahoo et al. (2004) menjelaskan bahwa dosis yang
terlalu tinggi kemungkinan akan membuat telur yang telah matang gonad akan
berlebih menerima hormon, sehingga proses ovulasi akan ditekan dan
menyebabkan telur yang keluar lebih sedikit dibandingkan dengan telur yang
disuntikkan dengan dosis yang tepat.
Berhasilnya ikan mengeluarkan telur tidak terlepas dari proses pematangan
akhir oosit oleh maturation inducing hormone (MIH).
Seperti yang telah
dikemukakan oleh Goetz (1983) dan Stacey (1984) bahwa hormon gonadotropin
yaitu luteinizing hormone (LH) menyebabkan telur mengalami proses pematangan
dengan merangsang sintesa maturation inducing steroid (MIS) dari sel-sel theca
folikel. Tingginya kadar hormon estrogen akan memacu produksi LH semakin
banyak, maka saat pematangan folikel telah mencapai titik maksimalnya akan
diikuti pelepasan LH yang membanjir (LH surge) yang mampu menggertak
dinding folikel untuk melepaskan ovum.
Nilai fekunditas pemijahan ikan lele Sangkuriang yang disuntik otak ikan
patin dan ovaprim akan mempengaruhi keberhasilan derajat pembuahan telur.
Pada penyuntikan ovaprim 0,3 ml/kg induk ikan, nilai fekunditas pemijahannya
tinggi yaitu antara 10,64 ± 0,65% - 12,22 ± 4,01%. Tetapi nilai derajat
pembuahannya rendah yaitu 63,93 ± 0,25% - 84,03 ± 12,11% dibandingkan
penyuntikan dengan otak ikan patin sebanyak 200 mg/kg yaitu 90,63 ± 9,50%.
Hal ini diduga ikan lele Sangkuriang yang disuntik ovaprim menghasilkan telur
yang belum siap terbawa keluar, sehingga telur tersebut tidak terbuahi dan
berdampak pada derajat penetasan telur yang rendah (Billard & Marcel, 1980).
Sebaliknya, tingginya derajat pembuahan telur ikan lele Sangkuriang pada
penyuntikan dosis 250 mg/kg pada Oktober 2010 dan 200 mg/kg pada Januari
2011, kemungkinan disebabkan terjadinya kesesuaian antara kerja hormon GnRH
dalam otak untuk merangsang hipofisa mensekresikan LH. Penggunaan dosis
yang tepat merupakan salah satu faktor keberhasilan pemijahan dalam sistem
pemijahan ikan dengan rangsangan hormonal. Hormon LH yang masuk ke dalam
darah atau tubuh ikan merangsang proses pematangan telur sehingga mencapai
proses pematangan tahap akhir. Dengan semakin banyaknya telur yang mencapai
pematangan tahap akhir, maka akan semakin banyak pula telur yang dapat dibuahi
oleh sperma, sehingga mengakibatkan prosentase pembuahan telur ikan lele
Sangkuriang yang dihasilkan juga meningkat. Ini dikarenakan didalam proses
fertilisasi, hanya telur-telur yang telah mencapai pematangan tahap akhir atau
germinal vesicle break down (GVBD) yang dapat dibuahi oleh sperma. Kemudian
pada dosis penyuntikan yang lebih tinggi yaitu 500 mg/kg induk, prosentase
derajat pembuahan telur lele Sangkuriang menurun. Ini dikarenakan oleh
menurunnya tingkat kematangan telur yang dihasilkan, akibat terganggunya
keseimbangan dan kerja hormon-hormon reproduksi di dalam tubuh induk ikan
lele Sangkuriang.
Telur yang dibuahi akan menetas bila proses embriogenesis berlangsung
dengan baik dan kinerja dari enzim chorionase yang dapat memecahkan lapisan
chorion telur. Proses embriogenesis dipengaruhi oleh kerja hormon yang
dikeluarkan oleh embrio, volume kuning telur, suhu, oksigen terlarut, pH, salinitas
dan intensitas cahaya. Pada saat penetasan, kadar pH pada akuarium adalah 6,8
dan kandungan oksigen terlarut adalah 4,2 - 5,6 mg/l, sedangkan suhu air
mencapai 28 - 31.5oC. Sejalan dengan pendapat Lagler et al. (1977) bahwa faktor
yang dapat mempengaruhi penetasan telur adalah kualitas perairan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan derajat penetasan telur ikan lele
Sangkuriang yang disuntik ekstrak otak ikan patin dipengaruhi oleh derajat
pembuahan telur. Seperti yang dinyatakan oleh Oyen et al. (1991) bahwa
prosentase daya tetas telur selalu ditentukan oleh prosentase fertilitas telur,
dimana semakin tinggi prosentase fertilitas telur maka akan semakin tinggi pula
prosentase daya tetas telur, kecuali bila ada faktor lingkungan yang
mempengaruhi seperti perubahan suhu yang mendadak, oksigen dan pH.
Pemberian dosis ekstrak otak ikan berpengaruh terhadap waktu laten
pemijahan. Pada penyuntikan dosis 500 mg/kg, waktu latennya lebih lambat
dibandingkan dengan dosis 250 mg/kg, hal ini masih berkaitan dengan kerja dari
reseptor yang membawa hormon GnRH. Dalam kasus ini, reseptor masih dapat
menghantarkan hormon GnRH mencapai organ target (kelenjar hipofisa) tetapi
tidak maksimal karena hormon yang dibawanya terlalu banyak. Sejalan dengan
hasil penelitian Masrizal dan Azhar (2002) bahwa pemberian dosis kelenjar
hipofisa ayam sebanyak 800 mg/kg induk lele dumbo menyebabkan waktu laten
pemijahannya menurun. Hal ini diduga karena terjadinya over dosis yang
menyebabkan terganggunya sistem kerja hormon dalam proses ovulasi tersebut.
Menurut Bardach et al. (1972) kelebihan dosis kelenjar hipofisa dalam teknik
hipofisa dapat membuat ikan tidak memijah atau kembali sama seperti pada
tingkat gonad belum matang (premature). Berbeda dengan dosis otak patin
250 mg/kg mempunyai waktu laten lebih cepat. Hal ini kemungkinan reseptor
bekerja secara optimal sesuai dengan kapasitasnya untuk membawa GnRH pada
organ target. Selanjutnya hormon GnRH bekerja merangsang kelenjar hipofisa
untuk mensekresikan hormon LH sebagai hormon gonadotropin yang berfungsi
untuk merangsang telur ovulasi. Begitu juga dengan ovaprim yang merupakan
kontrol positif memiliki waktu laten lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan
pemberian ekstrak otak ikan patin, karena ovaprim memiliki kandungan sGnRH
dan domperidon yaitu sejenis antidopamin yang berfungsi menghambat
hipothalamus dalam mengekresikan dopamin yang akan memerintahkan hipofisis
untuk menghentikan sekresi GtH-I maupun GtH-II atau menghambat penyebaran
gonadotropin. Pada penelitian Januari 2011, penyuntikan ekstrak otak ikan patin
sebanyak 200 mg/kg induk ikan, mempunyai respon yang sama dengan
penyuntikan ovaprim 0,3 ml/kg induk ikan dan hipofisa ikan patin 3 dosis
terhadap waktu laten pemijahan ikan lele Sangkuriang.
Berdasarkan hasil penelitian September 2010, menunjukkan bahwa
penyuntikan ekstrak otak ikan patin dan ovaprim 0,3 ml/kg berpengaruh terhadap
diameter telur hasil pemijahan ikan lele Sangkuriang.
Adanya perbedaan
diameter telur antar perlakuan menunjukkan bahwa hormon dapat mempengaruhi
ukuran diameter telur. Hal ini disebabkan terjadinya peningkatan diameter oosit
yang diisi oleh masa kuning telur yang homogen pada saat waktu menjelang
ovulasi, sebagai dampak peningkatan kadar estrogen dan vitelloginin (Tam et al.,
1986) dan adanya penyerapan lumen ovari setelah ikan diberi suntikan hormon
(Selman dan Wallace, 1989). Sejalan dengan penelitian Mollah dan (1983) bahwa
pemberian dosis HCG mampu meningkatkan diameter Clarias macrocephalus.
Selanjutnya Pulungan (1992) menyatakan pemberian esktrak hipofisa sapi yang
diawetkan dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh terhadap diameter
telur Clarias batrachus. Selanjutnya pada penelitian Januari 2011, diperoleh
bahwa dosis
200 mg/kg merupakan dosis terendah otak ikan patin yang masih
memberikan pengaruh terhadap diameter telur yaitu sebesar 1,51±0,09 mm. Ini
mengindikasikan adanya perbedaan antara pengaruh hormon dengan waktu
penyuntikan. Perbedaan waktu penyuntikan berkaitan erat dengan siklus
reproduksi atau musim pemijahan ikan lele Sangkuriang. Selain itu kondisi ikan
donor (ikan patin) juga berpengaruh, selama pengamatan ada perbedaan kualitas
kematangan gonad dari ikan donor yang digunakan. Pada September 2010, donor
yang digunakan mengandung testis yang memenuhi isi perut. Ini merupakan
indikator bahwa gonad ikan donor (ikan patin) dalam kondisi matang gonad.
Berdasarkan perhitungan ekonomis, penggunaan otak ikan patin untuk
penyuntikan ikan lele Sangkuriang relatif lebih murah dibandingkan dengan
penggunaan ovaprim ataupun hipofisa. Untuk penyuntikan ikan lele Sangkuriang
seberat 1 kg dibutuhkan 200 mg otak ikan patin. Biaya yang dibutuhkan untuk
membeli 200 mg otak ikan patin sekitar Rp 125,-. Hal ini berdasarkan asumsi
harga kepala patin Rp 1500 per kg dan dalam satu kg terdapat 3 kepala ikan patin
yang berasal dari ikan patin berukuran 1 kg. Dalam kepala ikan patin tersebut
mengandung otak sebanyak ± 800 mg otak, sehingga dapat digunakan untuk
penyuntikan 4 kg induk lele Sangkuriang. Sedangkan penyuntikan ikan lele
Sangkuriang dengan hipofisa membutuhkan 3 kepala ikan patin, sehingga biaya
yang diperlukan sebesar Rp 1500,-. Selanjutnya penyuntikan ikan lele Sangkurang
dengan ovaprim sebanyak 0,3 ml/kg induk membutuhkan biaya Rp 6.000,-.
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka penggunaan otak ikan patin lebih
menguntungkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Download