HUBUNGAN FERMENTABILITAS DAN KECERNAAN BEBERAPA LEGUM POHON DENGAN PENYERAPAN MINERAL Ca DAN P PADA DOMBA LOKAL JANTAN OLEH NUNIK PUJI HARYANTI D24101065 PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 PENDAHULUAN Latar belakang Hijauan merupakan bahan makanan utama bagi ruminansia seperti domba baik yang diberikan dalam bentuk segar maupun dalam bentuk hijauan kering. Pada pertanian lahan kering sumber air bergantung pada curah hujan, sehingga pada musim kemarau sering terjadi defisiensi nutrisi dan mineral yang disebabkan rendahnya produksi dan kualitas padang penggembalaan alam. Hal ini akan menyebabkan penurunan produktifitas ternak. Selain kandungan nutrisi yang rendah, keberadaan rumput juga berfluktuatif tergantung pada musim, yaitu terjadi surplus pada musim penghujan dan akan terjadi kekurangan pada saat musim kemarau. Untuk menanggulangi defisiensi pakan pada ternak, perlu dicari alternatif pakan lain yang cukup tersedia dan tidak bersaing dengan manusia. Leguminosa pohon merupakan tanaman yang dapat tumbuh pada lahan yang miskin unsur hara dan tahan kekeringan sampai beberapa bulan. Sehingga ketersediaannya tidak tergantung oleh musim. Karakteristik yang khas dari leguminosa adalah kandungan protein tinggi dan kecernaan yang lebih tinggi dari rumput. Selain itu legum pohon memiliki kandungan mineral makro yang lebih tinggi dari rumput lapang, sehingga leguminosa dapat digunakan sebagai suplementasi hijauan pakan. Adanya antinutrisi pada leguminosa dalam batas tertentu dianggap menguntungkan karena dapat menyediakan protein by pass yang mudah dicerna oleh usus, Selain kandungan protein, legum pohon juga memiliki kandungan mineral makro yang cukup tinggi seperti Ca (kalsium) dan P (Phospor). Seperti yang telah diungkapkan oleh Underwood dan Suttle (1999), bahwa kandungan mineral legum cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan rumput. Selain untuk memenuhi kebutuhan ternak itu sendiri, mineral juga dibutuhkan oleh mikroba di dalam rumen. Duran dan Kawashima (1980) menyatakan bahwa, didalam rumen mineral dipergunakan untuk berbagai aktifitas antara lain untuk pembentukan sel, aktivitas selulolitik dan pertumbuhan mikroba. Disamping itu, mineral juga dipergunakan dalam mengatur tekanan osmotik, buffering capacity, potensial reduksi dan kelarutan di dalam rumen. 2 Kandungan mineral makro dalam hijauan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya spesies, umur tanaman, pengelolaan, iklim dan tipe tanah (McDowell dan G. valle, 2000). Pada daerah yang masih mengandalkan sistem ekstensif, kandungan mineral hijauan tergantung pada ketersediaan air. Pada musim hujan kualitas hijauan relatif baik kandungan mineralnya, sedangkan pada musim kering akan terjadi sebaliknya. Perumusan Masalah Domba memerlukan hijauan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan untuk berproduksi. Pada musim kemarau, produksi hijauan menurun dengan kualitas yang rendah, sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan nutrisi ternak. Untuk mengatasi defisiensi tersebut, perlu dilakukan suplementasi rumput lapang dengan legum pohon. Pada lahan yang krisis unsur hara, legum pohon dapt tumbuh dengan baik. Selain itu, legum pohon memiliki kandungan protein kasar dan mineral makro yang lebi tinggi dibandingkan degan rumput lapang. Sehingga suplementasi rumput lapang diharapkan dapat memnuhi kebutuhan nutrisi ternak Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara fermentabilitas dan kecernaan pakan beberapa legum pohon dengan penyerapan mineral Ca dan P. 3 TINJAUAN PUSTAKA Sistem Pencernaan Domba Ternak ruminansia berbeda dengan ternak non ruminansia karena memiliki lambung sejati (abomasum) dan lambung muka yang membesar yang terbagi dalam tiga ruangan yaitu rumen, retikulum dan omasum (Tillman et al, 1989). Ternak ruminansia memamah biak kembali dan mengunyah pakannya serta telah beradaptasi secara fisiologis untuk mengkonsumsi pakan yang berserat tinggi (Arora, 1989). Rumen merupakan suatu organ khusus pada ternak ruminansia tempat bangsungnya penernaan selulosa dan polisakarida tanaman melalui aktivitas fermentasi mikroba tertentu (Brock dan Madigan, 1991). Hungate (1966) menyatakan bahwa ada tiga macam ikroba yang ada dalam rumen yaitu protozoa, kapang dan bakteri. Adanya mikroba yang berperan dalam pemecahan pakan menyebabkan ternak ruminansia mampu mencerna pakan serat yang berkualitas endah, sehingga kebutuhan asam-asam amino untuk nutrisi tidak sepenuhnya tergantung pad kualitas protein yang diberikan (Sutardi, 1980). Fermentabilitas Pakan Berdasarkan perubahan yang terjadi dalam alat pencernaan, proses pencernaan dibagi menjadi tiga jenis yaitu; 1) pencernaan mekanik yang terjadi disalam mulut, 2) pencernaan hidrolik dan 3) pencernaan fermentatif yang terjadi didalam rumen (Sutardi, 1980). Percernaan fermentatif merupakan perubahan senyawa tertentu menjadi senyawa lain yang sama sekali berbeda dengan molekul zat makanan asalnya. Dengan kata lain, pencernaan fermentatif merupakan pencernaan lebih lanjut dimana zat monomer-monomer dari pencernaan hidrolik segera dikataboliskan lebih lanjut, misalnya protein difermentasi menjadi amonia, karbohidrat menjadi VFA (Church, 1974). Pencernaan fermentatif oleh mikroba adalah sebagai berikut: karbohidrat dihidrolii menjadi mono dan disakarida, kemudian difermentasi menjadi VFA (asam asetat, propionat dan butirat). Hasil tersebut selanjutnya akan diserap oleh dinding rumen dan dikatabolisasikan oleh ternak. Protein sebagian besar dirubh menjadi peptida dan amonia, kemudian akn disintesis menjadi protein sel mikroba dan akhirnya dicerna dalam usus. Sebagian amonia akan diserap melalui dinding rumen 4 kemudian menjadi urea melalui daur ulang saliva dan masuk kembali ke rumen, sebagian lagi dikeluarkan melalui urin (McDonald, 1988). Asam asetat merupakan volatile fatty acids (VFA) utama yang dihasilkan oleh pencernaan fermentati dalam rumen dan merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia (Sutardi, 1980). Sebagian besar ketiga komponen VFA diserap langsung melalui dinding rumen; hanya sedikit asetat, beberapa propionat dan sebagian butirat dapat diserap atau dimetabolisme dalam dinding rumen (Parakkasi, 1999). Adanya organ pencernaan fermentatif bagi ruminansia memiliki beberapa keuntungan (Sutardi, 1980), yaitu: 1) dapat mencerna bahan makanan dengan serat kasar yang tinggi, sehingga tidak bersaing dengan manusia, 2) mampu mengubah sembarang N termasuk NPN seperti urea menjadi protein bermutu tinggi, 3) kebutuhan akan asam amino untuk nutrisi protein tidak bergantung pada kualitas protein makanan, 4) produk fermentasi dalam rumen dapat disajikan kepada usus halus dalam bentuk mudah dicerna dan 5) kapasitas rumen yang besar mampu menampung makanan dalam jumlah yang banyak sehingga proses makan berlangsung cepat. Mikroba sangat berperan penting dalam proses fermentasi. Sebagian besar (70-80%) suplai energi pada ternak ruminansia berasal dari proses fermentasi didalam rumen, sehingga kebutuhan mikroba harus benar-benar diperhatikan. Kelarutan mineral baik langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi produk fermentasi Leguminosa Pohon Leguminosa pohon memiliki beberapa karakteristik yang khas antara lain : kandungan proteinnya yang tinggi (12,5 – 20,7 %) dengan kecernaan yang lebih tinggi dari rumput, kandungan mineral (khususnya kalsium dan posfor) dan vitamin yang tinggi. Selain itu, leguminosa pohon mampu mensuplai protein fermentable dan by pass (dengan adanya tannin). Keuntungan lain dari leguminosa pohon adalah dapat meningkatkan kesuburan tanah, melidungi tanah dari erosi dan merupakan penghasil kayu yang bermutu (Allen dan Allen, 1981) Fleming (1973) mengatakan bahwa secara umum kandungan elemen mineral pada leguminosa lebih banyak dibandingkan pada rumput. Mineral Ca dan Mg pada 5 legum pakan lebih tinggi dari rumput (Serra et al,. 1995). Hal serupa juga dilaporkan Sutardi et. al, (1994) yang menganalisa kandungan abu, Ca dan P beberapa legum pohon (Tabel 1). Tabel 1. Komposisi Abu, Ca dan P Beberapa Legum Pohon (% BK) Jenis legum Abu Ca P Lamtoro Kaliandra Gamal Angsana Jayanti 8,43 6,06 8,95 6,24 8,43 2,77 1,35 2,24 0,52 2,77 0,19 0,25 0,26 0,45 0,19 Mineral Ca dalam hijauan umumnya terikat dalam kalsium-oksalat (Ward dan Herber, 1982) bahkan dalam dindig sel (McManus et al., 1979), sehingga sulit untuk dicerna. Oleh karena itu ketersediaan mineral tidak selalu dikaitkan dengan kuantitas mineral. Untuk ternak ruminansia, mineral tidak hanya dibutuhkan bagi ternak tetapi juga diperlukan oleh mikroba didalam rumen yang digunakan untuk menunjang proses fermentasi yang optimal (Duran dan Kawashima, 1980). Kaliandra (Calliandra calothyrsus) Kaliandra merupakan tanaman kecil dengan tinggi umumnya 4-6 m, memiliki tipe daun majemuk ganda dan berwarna hijau gelap seperti terlihat seperti Gambar 1.Tanaman ini dapat tumbuh pada periode musim kering 3-6 bulan tanpa kehilangan daunnya dan tidak tahan genangan. Kaliandra dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur karena adanya simbiosis yang menguntungkan antara rhizobium dan mikoriza. Produksi hijauan dan dahan muda, menghasilkan bahan segar 46,2 ton/ha/tahun dengan kandungan protein 22% dan mengandung tannin cukup tinggi (1-3%) sehingga daya cernanya rendah (35-42%). Pemberian pada ternak tidak bermasalah, dari penelitian domba yang diberi hijauan kaliandra sebanyak 40-60% dari pakan menghasilkan respon pertumbuhan yang baik (Allen dan Allen 1981). 6 (a) (b) Gambar 1. Daun Kaliandra, Bunga (a) dan Polongnya (b) Lamtoro (Leucaena leococephala) Tanaman ini hanya tumbuh pada daerah tropik dan sub-tropik, tahan musim kering sampai 8-10 bulan (Allen dan Allen, 1981). Lamtoro merupakan legum pohon yang memiliki tipe daun majemuk ganda. Tanaman ini banyak digunakan sebagai hijauan makanan ternak, peneduh dan tanaman hias (Skerman, 1977). Lamtoro memiliki bunga berwarna putih seperti tampak pada Gambar 2. Gambar 2. Bentuk Daun, Bunga dan Polong Lamtoro Kecernaan lamtoro berkisar antara 65-87% dengan kandungan protein kasar 25.9%, kalsium 2.36% dan posfor 0.23%. Lamtoro mengandung zat antinutrisi berupa tannin (10.15%) dan mimosin (3-5%) (Skerman,1977 dan NAS, 1977). Pada saat tumbuh kandungan mimosin bisa mencapai 10% .Pengaruh mimosin pada ternak yaitu dapat menyebabkan kerontokan bulu dan mempengaruhi fetus pada ternak non ruminan (Allen dan Allen, 1981). 7 Gamal (Glirisidia sepium) Gamal (Glirisidia sepium) merupakan legum pohon dengan ketinggian mencapai 5-15 m, tipe daunnya majemuk sederhana dan memiliki bunga berbentuk kupu-kupu berwarna putih dan merah jambu. Tandan perbungaan panjangnya 2-12 cm, muncul dibawah ketiak daun, terutama pada daun-daun yang telah gugur. Kelopak daun berwarna hijau kemerahan, sedangkan daun mahkota berwarna merah jambu keputihan atau ungu (Roemantyo, 1993). Sebagai pakan, daun gamal mengandung 3-5% nitrogen, 13-30% serat kasar, 6-% abu, sedikit karoten dengan kecernaan berkisar antara 48-77% (Roemantyo, 1993) serta NDF 45%, ADF 34% (Allen dan Allen, 1981). Bentuk daun dan biji pada Gambar 3. Zat yang kurang menguntungkan dalam tanaman ini adalah adanya faktor anti nutrisi dengan kandungan flavanol 1-3,5% dan 3-5% fenol total menurut bahan kering. Kandungan tersebut dapat mengganggu selera ternak (Roemantyo, 1993). Untuk beberapa ternak seperti kuda dan tikus, tanaman ini merupakan racun tapi tidak untuk sapi dan kambing (Pittier, 1944). (a) (b) Gambar 3. Daun dan Biji Polong Gamal Turi (Sesbania glandiflora) Tanaman ini berbentuk pohon dengan tinggi mencapai 10 m, batang lurus dengan ranting menggantung, pertumbuhanya cepat dan dan perakaranya dangkal dipermukaan (Allen dan Allen, 1981). Termasuk legum dengan tipe daun majemuk sederhana dan memiliki bunga yang besar berwarna putih dan merah (Gambar 4) dan hanya cocok ditanam pada daerah tropis (Skerman, 1977). Turi berfungsi sebagai makanan ternak dan pupuk hijau, daunnya mengandung karbohidrat 42.30%, protein 8 kasar 30.13% dan serat kasar 5.1%. (Kareem and Sundarajaj, 1967). Pemberian pada sapi umumnya 1.8 Kg segar/hari. Batasan penggunaanya dikarenakan adanya kandungan antinutrisi berupa conavanine dan saponin. (a) (b) (c) Gambar 4. Bentuk Daun,Bunga (a dan b) Biji Polong Turi(c) Angsana (Pterocarpus indicus) Angsana merupakan tanaman hutan yang dapat tumbuh dengan cepat degan ketinggian 35-40m (Allen dan Allen, 1981). Penggunaan dalam pakan ternak dibatasi oleh adanya tannin yang merupakan senyawa kimia yang bersifat racun. Dalam jumlah kecil, tannin dipandang menguntungkan bagi ternak ruminansia karena dapat mencegah degradasi protein yang berlebihan oleh mikroorganisme rumen, akan tetapi, kandungan tannin yang tinggi dapat mengganggu metabolisme protein dan karbohidrat sehingga dapat menurunkan penampilan ternak (Leng, 1997). Bantuk daun, bunga dan buah terlihat pada Gambar 5. Kandungan nutrisi angsana berdasarkan analisa proksimat adalah sebagai berikut: protein 18.35%, serat kasar 24.12%, kalsium 1.02%, phosphor 0.86% dan kandungan tannin mencapai 1.15%. Menurut Widiyanto (1992), penggunaan tepung angsana dalam ransum akan meningkatkan konsumsi bahan kering yang dipengaruhi oleh peningkatan palatabilitas ransum. 9 Gambar 5. Bentuk Daun dan Bunga Angsana Kandungan Antinutrisi Leguminosa Anti nutrisi pada leguminosa sering dikatakan sebagai faktor pembatas dalam penggunannya sebagai pakan, karena sebagian besar dari zat tersebut bersifat racun bagi ternak. Secara alami, anti nutrisi tersebut terdapat dalam tanaman sebagai proteksi dari serangan hama. Tannin merupakan salah satu anti nutrisi yang sering terdapat dalam leguminosa (Leng, 1997), selain itu juga ada mimosin, asam sianida (pada lamtoro), saponin (turi), dan flavanol (gamal). Tannin: merupakan senyawa polifenol yang terdapat alami dengan sifat utamanya dapat berikatan dengan protein. Menurut Prince et al. (1980), tannin memiliki beberapa sifat yang dapat bersifat sebagai anti nutrisi, yaitu: 1) rasa sepat dari tannin dapat menurunkan konsumsi ternak, 2) tannin dapat membentuk ikatan kompleks engan protein dan zat makanan lainnya, dengan protein endogen dan dengan enzimenzim pencernaan, 3) penyerapan tannin dan hasil hidrolisanya dapat meracuni ternak dan 4) mengganggu fungsi saluran pencernaan karena tanin dapat melukai saluran pencernaan. Tanin berpengaruh terhadap ternak sejak pakan bertanin tinggi dikonsumsi, yaitu pada saat mastikasi. Terikatnya tanin pakan dengan saliva dapat menjadikan pakan tidak palatabel sehingga dapat menurunkan konsumsi pakan (Makkar, 1993; Cheeke dan shull, 1985). Lebih lanjut dijelaskan bahwa tanin dapat menonaktifkan enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba dan dapat juga menimbulkan keracunan bagi mikroba (Makkar, 1993) 10