Eksistensi Lembaga Mediasi Sebagai Sarana

advertisement
Majalah Hukum Forum Akademika
Eksistensi Lembaga Mediasi Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Medis
Oleh:
Evalina Alissa dan Arrie Budhiartie1
Abstrak
Sengketa medis merupakan perbedaan pendapat antara pihak pasien sebagai
penerima pelayanan kesehatan/kedokteran (health receivers) dengan
dokter/dokter gigi dan/atau rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan
kedokteran (health providers). Bila di dalam UU No. 29/2004 penyelesaian
sengketa medis hanya dapat dilakukan melalui jalur litigasi dan pengaduan
kepada MKDKI, maka sejak diundangkannya UU No.36/2009 tentang Kesehatan
dan UU No.44/2009 diakuilah keberadaan lembaga mediasi sebagai lembaga
penyelesai sengketa medis. Beberapa permasalahan mendasar yang berkaitan
dengan eksistensi lembaga mediasi ini adalah kedudukan hukum lembaga mediasi
sebagai lembaga penyelesaian sengketa medis di luar pengadilan, bentuk-bentuk
sengketa medis yang dapat diselesaikan melalui mediasi serta kekuatan hukum
keputusan mediasi medis. Oleh karena itu, ke depannya diperlukan suatu
sosialisasi terhadap mekanisme dan fungsi lembaga mediasi medis ini agar
didapatkan proses pelayanan kesehatan yang professional namun tetap humanis
sesuai nilai-nilai Pancasila.
Kata Kunci: sengketa medis, mediasi, pasien, dokter, alternatif penyelesaian
sengketa.
A. Pendahuluan
Penyelenggaraan
upaya
kesehatan
merupakan
salah
satu
program
pemerintah yang sangat penting mengingat pemenuhan terhadap hak atas derajat
kesehatan yang merupakan bagian dari konsep hak asasi manusia, adalah menjadi
tanggung jawab pemerintah. Seperti yang diutarakan dalam Teori John Locke2
bahwa perlindungan hak-hak kodrati merupakan basis pendirian negara, dimana
kekuasaan negara yang diberikan rakyat lewat kontrak sosialnya dan dilaksanakan
melalui hukum yang dibentuk adalah ditujukan untuk melindungi hak-hak kodrati
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi.
Titon Slamet Kurnia; 2007; Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di
Indonesia; Alumni; Bandung, hal. 67.
2
29
Majalah Hukum Forum Akademika
dari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam keberadaan pemenuhan hak-hak
dasar tersebut. Meskipun Locke tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa
kesehatan adalah salah satu hak dasar, namun kesehatan adalah salah satu unsur
yang menunjang manusia dalam menjalani dan mempertahankan hidupnya.
Harus disadari bahwa hidup dan kebebasan manusia akan menjadi tanpa
makna jika kesehatannya tidak terurus. Masalah kesehatan merupakan sebuah
issue yang sangat krusial yang harus dihadapi setiap negara karena akan
berkorelasi langsung dengan pengembangan integritas pribadi setiap individu
supaya dapat hidup bermartabat. Pelayanan kesehatan merupakan hak dasar rakyat
yang harus dijamin oleh negara, seperti yang dinyatakan oleh Pasal 28 H ayat 1
UUD 1945 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkitngan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan demikian hak atas pelayanan
kesehatan (the rights of healty care) adalah bagian dari hak asasi manusia yang
patut dilindungi oleh negara. Dalam implementasinya, pelaksanaan hak ini tidak
akan semudah membalikkan telapak tangan. Banyak kendala yang menghadang
pelaksanaan pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan tersebut. Salah satunya
adalah yang terkait pada masalah kesadaran dan pemahaman hukum di bidang
kesehatan yang berdampak pada munculnya sengketa medis terutama yang terkait
pada masalah perlindungan hak pasien maupun hak tenaga kesehatan, dalam hal
ini dokter.
Kesenjangan persepsi dan kepentingan antara masyarakat dan pihak
kedokteran sering berujung pada tuntutan dan gugatan hukum. Pada umumnya
semua gugatan dan tuntutan hukum tersebut berawal dari fakta atau keadaan
kesehatan yang dialami pasien yang bersangkutan pasca menjalani pengobatan
dan sbagian besar disebabkan karena buruknya komunikasi yang tercipta antara
health provider terhadap health receiver. Hingga tak jarang ketidakpuasan
tersebut kemudian berujung pada tuntutan dan/atau gugatan hukum dari health
receiver.
30
Majalah Hukum Forum Akademika
Dalam praktek kedokteran yang selama ini terjadi maka apabila terjadi
sengketa antara dokter dan pasien maka penyelesaian sengketa medis tersebut
akan diselesaikan melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Perdamaian sengketa; yang dalam istilah kedokteran digunakan
istilah penyelesaian dengan tali kasih, yang dilakukan oleh pihak rumah
sakit sebagai institusi dimana dokter bekerja dengan pasien dan
keluarganya;
2. Mengadukan permasalahan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia MKDKI , sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran;
3. Melalui pengadilan dengan prosedur beracara sesuai Hukum Acara
Perdata maupun tuntutan pidana melalui pihak kepolisian dan hukum
acara pidana.
Meskipun cara kedua yakni melakukan pengaduan ke MKDKI telah banyak
dilakukan oleh pihak pasien dan/atau keluarga atas dugaan pelanggaran disiplin
kedokteran, namun masih belum sepenuhnya efektif karena kurangnya sosialisasi
lembaga ini sekaligus keberadaannya yang hanya ada di Jakarta, sehingga
menyulitkn pasien yang berada di daerah. Sehingga cara ketiga dianggap sebagai
jalan keluar pasien sebagai upaya menyelesaikan sengketa medisnya dengan pihak
dokter dan/atau rumah sakit. Namur cara litigasi ini pun memiliki kendala yang
tidak ringan, yakni terletak pada unsur beban pembuktian, panjangnya waktu yang
harus ditempuh, serta biaya yang tidak sedikit. Ditambah dengan berbagai resiko
lain seperti kemungkinan adanya gugatan balik atas pencemaran nama baik dan
sebagainya. Dengan demikian sebenarnya cara pertama merupakan upaya yang
paling efektif untuk menyelesaikan suatu sengketa medis dengan resiko yang
paling ringan bagi kedua belah pihak. Dalam konsep hukum, cara ini lebih dikenal
dengan istilah negosiasi yang kemudian berkembang menjadi bagian dari upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution).
Di
dalam
hukum
positif ketentuan
tentang penggunaan
lembaga
penyelesaian sengketa alternatif (ADR) ini telah diatur melalui Undang-Undang
31
Majalah Hukum Forum Akademika
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyesaian Sengketa. Di
dalam UU AAPS ini disebutkan bahwa lembaga penyelesaian sengketa yang
termasuk di dalam APS antara lain konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli. Dengan demikian, keberadaan lembaga mediasi yang dinyatakan di
dalam UU Kesehatan pun seyogyanyalah merujuk pada lembaga mediasi yang
diatur di dalam UU AAPS tersebut. Namun minimnya penjelasan dan sosialisasi
keberadaan lembaga ini di dalam upaya penyeleseaian sengketa medis ternyata
telah melahirkan banyak permasalahan seperti bagaimana proses mediasi yang
harus dilakukan, siapakah yang berwenang menjadi mediator dan bagaimana
kekuatan hukum keputusan lembaga tersebut dan sebagainya dan sebagainya.
Kondisi ini pun diperparah dengan rendahnya/minimnya kesadaran masyarakat
dalam memahami fungsi, peranan dan proses beracara melalui lembaga mediasi
ini. Karena sebagai bagian dari sistem hukum yang lebih besar, keberadaan
lembaga mediasi ini pun seharusnya mampu berfungsi sebagai pengayom dan
pelindung masyarakat dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara yang
berkeadilan, sehingga dapat tercapai tujuan akhir pembangunan kesehatan itu
sendiri yakni terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
sebagai bagiand ari investasi pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang
produktif secara sosial dan ekonomis.
Dari latar belakang tersebut penulis mencoba membatasi permasalahan
yang berhubungan dengan eksistensi lembaga mediasi di bidang sengketa
medis ini dengan merumuskannya dalam beberapa pertanyaan yakni:
1. Bagaimanakah kedudukan lembaga mediasi di dalam sengketa medis?
2. Apakah ruang lingkup sengketa medis yang dapat diselesaikan melalui
lembaga mediasi ?
3. Bagaimanakah kekuatan hukum keputusan lembaga mediasi terhadap
penyelesaian sengketa medis?
32
Majalah Hukum Forum Akademika
B. Pembahasan.
1. Dasar Hukum dan Kedudukan Lembaga Mediasi Di Dalam Penyelesaian
Sengketa Medis.
Menurut John W. Head3 mediasi adalah suatu prosedur penengahan di
mana seseorang bertindak sebagai "kendaraan" untuk berkomunikasi antara para
pihak, sehingga pandanga nmereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat
dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya
suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. Sementara Prof.
Takdir Rahmadi memberikan definisi mediasi sebagai suatu proses penyelesaian
sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat
dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus, yang
disebut dengan mediator.4
Dengan demikian dari definisi tersebut dapatlah diidentifikasikan beberapa
unsur mediasi yakni:
1. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan
berdasarkan pendekatan mufakat atau consensus para pihak;
2. Para pihak meminta bantuan mediator sebagai pihak ketiga, yang harus
netral dan tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa;
3. Kewenangan mediator bukan pada memutus sengketa namun hanya
terbatas pada membantu para pihak mencari upaya penyelesaian yang
dapat diterima kedua belah pihak.
Untuk selanjutnya keberadaan lembaga mediasi sebagai salah satu bentuk
penyelesaian sengketa medis dapat dilihat di dalam UU Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan khususnya Pasal 29 dan Penjelasannnya yang menyebutkan
bahwa “ dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu
melalui mediasi.” Sementara di dalam Penjelasan menyebutkan alasan dan tujuan
dilakukannya mediasi yakni bahwa mediasi dilakukan bila timbul sengketa antara
3
Gatot Soemartono; 2005; Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia; PT Gramedia Pustaka
Utama; Jakarta, hal. 119.
4
Takdir Rahmadi; 2010; Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat;
Rawali pers; Jakarta, hal. 12.
33
Majalah Hukum Forum Akademika
tenaga kesehatan dengan pasien, dimana mediasi tersebut dilakukan dengan tujuan
untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh mediator
yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa.
Sementara di dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit tidak
menyebutkan secara eksplisit tentang lembaga mediasi sebagai lembaga
penyelesaian sengketa medis, namun di dalam Pasal 60 yang mengatur tentang
tugas Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi disebutkan adanya kewenangan
BPRS Provinsi ini untuk melakukan upaya penyelesaian sengketa melalui jalan
mediasi. Hal ini berarti bahwa sengekta medis yang terjadi di rumah sakit pun
diupayakan untuk ditempuh melalui jalan mediasi. Hal ini didasari pemikiran
bahwa sebagian besar sengketa medis terjadi di sebuah rumah sakit, sebagai
institusi penyelenggara pelayanan kesehatan/kedokteran yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan termasuk dokter/dokter gigi.
Keberadaan lembaga mediasi sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar
pengadilan diakui di dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 di dalam Pasal 1 ayat 10
yang menyebutkan bahwa APS adalah lembaga penyelesaia sengketa atau beda
pendapat melalu prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian
ahli. Apabila lembaga arbitrase merupakan lembaga yang ditetapkan sebagai
lembaga penyelesaiaan sengketa khusus di bidang perdagangan dan mengenai hak
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasasi sepenuhnya
oleh pihak yang bersengketa (Pasal 5 UU APS), maka lembaga mediasi
mempunyai ruang lingkup yang lebih luas yakni seluruh sengketa atau beda
pendapat di bidang hukum keperdataan, yang akan diselesaikan dengan
didasarkan pada itikad baik para pihak dalam upaya penyelesaianya (Pasal 6 ayat
(1) UU AAPS).
Adapun Peraturan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut dengan PERMA)
nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Melalui PERMA
RI ini maka pengadilan tidak saja bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga berkewajiban
mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Namun melihat
34
Majalah Hukum Forum Akademika
dari rumusan PERMA itu sendiri terlihat adanya perbedaan terhadap penerapan
mediasi yang dikehendaki oleh UU Kesehatan dengan mediasi yang diatur oleh
PERMA. Lembaga mediasi yang diatur di dalam PERMA no. 01/2008 di atas
merupakan mediasi sebagai bagian dari upaya perdamaian suatu kasus hukum
keperdataan yang telah memasuki upaya litigasi. Dalam arti bahwa mediasi yang
diatur diatur oleh PERMA adalah mediasi sebagai bagian dari penyelesaian
hukum keperdataan di pengadilan sebelum memasuki perkara pokok. Sementara
mediasi yang dikehendaki oleh UU Kesehatan dan UU Rumah Sakit adalah
mediasi sebagai upaya penyelesaian sengketa (medis) di luar pengadilan, dalam
arti para pihak belum mengajukan gugatan hukum melalui pengadilan perdata.
Dengan demikian hukum beracara yang ditetapkan oleh PERMA No.01/2008 pun
tidak sepenuhnya dapat diterapkan kepada mediasi medis. Untuk itu kiranya
diperlukan pemikiran akan perlunya peraturan perundang-undangan khusus yang
mengatur kedudukan, fungsi dan prosedur mediasi medis agar diperoleh suatu
proses penyelesaian sengketa medis yang berujung pada win-win solution tanpa
mengabaikan berbagai asas umum di dalam hukum positif seperti asas keadilan,
asas perikemanusiaan dan asas iktikad baik.
2. Kriteria/Bentuk Sengketa Medis
yang Dapat Diselesaikan Melalui
Lembaga Mediasi
Di atas telah penulis sebutkan bahwa landasan yuridis keberadaan lembaga
mediasi dalam sengketa medis hanya pada ketentuan Pasal 29 UU Kesehatan dan
Pasal 60 UU Rumah Sakit, karena prinsip mediasi yang dikehendaki adalah
sebagai sebuah alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan belum
kepada pengajuan pokok perkara melalui pengadilan. Namun karena belum
adanya aturan khusus tentang eksistensi lembaga mediasi medis ini maka apa
yang diatur di dalam UU AAPS dan PERMA RI No. 1 Tahun 2008 masih
dainggap relevan sebagai landasan yuridis untuk menentukan criteria sengketa
medis yang dapat diselesaikan melalui mediasi.
Di dalam UU AAPS khususnya pada Pasal 6 ayat (1) ditegaskan bahwa
yang dapat diselesaikan melalui alternative penyelesaian sengketa (termasuk di
35
Majalah Hukum Forum Akademika
dalamnya adalah mediasi) oleh para pihak yang didasarkan pada iktikad baik
dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri adalah
sengketa atau beda pendapat perdata. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) ini dapatlah
dianggap sebagai landasan yuridis utama di dalam menentukan criteria sengketa
medis yang dapat diselesaikan melalui mediasi, yakni yang tidak termasuk bidang
hukum pidana. Dengan demikian haruslah ditafsirkan terlebih dahulu konsep
wilayah hukum perdata dalam sengketa medis sesuai ketentuan Pasal 29 UU
Kesehatan.
Pasal 29 UU Kesehatan memberikan rumusan bahwa “dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,…” .
Dengan merujuk pada Pasal 6 ayat (1) UU AAPS di atas, maka makna kelalaian
dalam Pasal 29 UU Kesehatan tersebut haruslah dipandang dari aspek kelalaian
secara hukum perdata, yakni yang bersandarkan pada ketentuan Pasal 1365 dan
1366 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Dengan demikian untuk menentukan ada tidaknya unsur kelalaian dokter tersebut
haruslah dapat dibuktikan unsur-unsur:
1. Adanya perbuatan, dalam hal ini adanya hubungan terapeutik antara
dokter-pasien yang dibuktikan dengan dokumen rekam medis dan
informed consent;
2. Dimana perbuatan tersebut melawan hukum, dalam arti adanya
pelanggaran terhadap kewajiban yang tertuang di dalam hubungan
terapeutik tersebut;
3. Adanya kesalahan berupa kelalaian atau kekurang hatian-hatian yang
pada umumnya berawal dari tindakan dokter;
4. Adanya kerugian bagi pihak pasien; dan
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan (dokter) dengan kerugian
yang diterima pasien.
Dan apabila pihak rumah sakit terlibat sebagai sebuah institusi yang
mewadahi bekerjanya dokter di dalam melakukan praktik kedokteran maka akan
diberlakukan Pasal 1367 sebagai landasan diberlakukannya Pasal 46 UU Rumah
36
Majalah Hukum Forum Akademika
Sakit tentang pertanggung jawaban rumah sakit atas kesalahan yang dilakukan
tenaga kesehatan di rumah sakit yang bersangkutan.
Sementara itu, untuk menentukan apakah ada atau tidaknya kesalahan
yang berupa kelalaian atau kekurang hatian-hatian dari pihak dokter, maka
biasanya agak sulit bagi pihak pasien untuk membuktikan hal tersebu karena
terkait dengan standard prosedur operasional tindakan, standar profesi medis,
standar pelayanan kesehatan rumah sakit, serta disiplin ilmu kedokteran. Oleh
karena itu,menurut penulis diperlukan peran MKDKI sebagai lembaga terdepan
dalam menentukan ada tidaknya kesalahan tersebut. Karena sesuai fungsi dan
wewenang MKDKI yang ditetapkan oleh UU Praktik Kedokteran, lembaga ini
merupakan lembaga yang berwenang untuk menegakkan disiplin dokter dan
dokter gigi dan bukan mengadili pelanggaran etika.
Dalam UU Praktik Kedokteran disebutkan bahwa setiap orang yang
dirugikan kepentingannya dapat mengajukan pengaduan kepada MKDKI apabila
menyangkut masalah pelanggaran penegakan disiplin dokter dan dokter gigi.
Yang dimaksud dengan penegakan disiplin adalah penegakan aturan-aturan
dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus
diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Dan menurut MKDKI5 yang termasuk sebagai
pelanggaran disiplin apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.
Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2.
Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang
memiliki kompetensi sesuai.
3.
Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang
tidak memiliki kompetensiuntuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
4.
Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak
memiliki kompetensidan kewenangan yang sesuai, atau tidak
melakukan pemberitahuan perihal penggantiantersebut.
5
Buku
Himpunan
Peraturan
MKDKI
tahun
2008,
diunduh
http://id.scribd.com/doc/69309535/Majelis-Kehormatan-Disiplin-Kedokteran-Indonesia
37
dari
Majalah Hukum Forum Akademika
5.
Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan
fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan
dapat membahayakan pasien.
6.
Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak
dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai
dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau
pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.
7.
Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan pasien.
8.
Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai kepada
pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.
9.
Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari
pasien atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya.
10. Dengan sengaja tidak membuat atau menyimpan Rekam Medik
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan atau etika
profesi.
11. Melakukan
perbuatan
yang
bertujuan
untuk
menghentikan
kehamilan yang tidak sesuai
Menyikapi kriteria tersebut, seperti juga yang diungkapkan oleh Dr. Drg
Hargianti Dini M.Kes, mantan sekretaris MKDKI,
bahwa MKDKI bukanlah
lembaga mediasi dalam arti bahwa persidangan MKDKI akan terlepas dari
masalah kesepakatan dan sebagainya karena yang diputuskan adalah ada tidaknya
pelanggaran disiplin dari dokter/dokter gigi yang diadukan. Apabila terbukti
adanya pelanggaran disiplin, maka adalah kewenangan MKDKI untuk
memberikan sanksi disiplin yakni berupa pemberian peringatan tertulis,
rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi (STR) atau surat ijin praktik (SIP),
dan atau printah untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan lebih lanjut. Hasil
putusan sidang MKDKI inilah yang seharusnya menjadi panduan/landasan
dilakukannya mediasi dalam suatu sengketa medis. Namun seperti telah penulis
singgung di atas, bahwa keberadaan MKDKI yang hanya ada di Jakarta
38
Majalah Hukum Forum Akademika
menyulitkan pasien dan/atau keluarganya untuk mengajukan pengaduan atas
adanya dugaan pelanggaran disiplin tersebut.
Criteria lain yang dapat dipergunakan adalah apabila tidak terdapat
unsur-unsur tindak pidana seperti yang diatur di dalam KUHP maupun UU
Kesehatan dan UU Praktik kedokteran itu sendiri. Dalam kondisi ini kembali
pasien dihadapkan pada mekanisme yang kompleks karena untuk membuktikan
ada tidaknya unsur-unsur tindak pidana adalah kewenangan yang dimiliki pihak
penyelidik dan penyidik dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan. Beberapa
ketentuan dalam KUHP yang berindikasi pada suatu tindakan medis antara lain
ketentuan Pasal 333 tentang prampasan kemerdekaan seseorang, dalam hal terjadi
tindakan “penyanderaan” bayi oleh pihak rumah sakit apabila orang tua bayi
belum/tidak mampu membayar biaya persalinan, Pasal 304 tentang penelantaran
terhadap orang yang harus ditolong sementara tidak ada orang lain yang
berkompeten untuk melakukan perbuatan tersebut selain dirinya, Pasal 344 dan
Pasal 345 tentang kemungkinan perbuatan yang menyebabkan orang lain mati,
atas bantuannya, yang dalam istilah kedokteran sering disebut dengan euthanasia
(aktif), Pasal 346 dan Pasal 347 jo Pasal 194 UU Kesehatan tentang aborsi yang
tidak atas indikasi medis dan lain-lain.
Dengan melihat ketentuan perundang-undangan di atas, maka penulis
berpendapat bahwa sengketa medis yang dapat diselesaikan melalui lembaga
mediasi adalah sengketa yang termasuk di dalam hukum keperdataan dan bukan
hukum public dimana diperlukan suatu persyaratan utama berupa adanya
hubungan hukum keperdataan antara para pihak, dalam hal ini dokter dan pasien
berupa hubungan terapeutik, serta tidak adanya indikasi tindak pidana di dalam
perbuatan tersebut.
Unsur lain yang harus diperhatikan para pihak adalah adanya kemungkinan
overmacht dalam suatu tindakan medis berupa resiko medis yang melekat dalam
tindakan tersebut seperti shock anafilaktik, maupun kecelakaan medis yang sulit
dihindari meskipun telah dilakukan tindakan secara hati-hati seperti terjadinya
emboli pada kasus-kasus pasca melahirkan melalui bedah Caesar. Kondisi
overmacht tersebut hendaknya disikapi dengan keterbukaan informasi dari pihak
39
Majalah Hukum Forum Akademika
dokter dan rumah sakit hingga tidak menimbulkan salah prasangka dari pasien
yang akan berujung pada sengketa medis itu sendiri.
3. Kekuatan Hukum Keputusan Lembaga Mediasi Terhadap Penyelesaian
Sengketa Medis
Hasil penyelesaian sengketa medis melalui lembaga mediasi mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan berbagai hasil mediasi lainnya seperti diatur
di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 tahun 2003 jo PERMA RI
Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan maupun UU
No.30 Tahun 1999 tentang AAPS.
Di dalam PERMA disebutkan bahwa apabila mendiasi menghasilkan
kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara
tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. Untuk
selanjutnya para pihak menghadap kembali pada hakim pada hari sidang yang
telah
ditentukan
untuk
memberitahukan
telah
tercapainya
kesepakatan
perdamaian. Dan hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta
perdamaian dalam sebuah putusan hakim.
Akta perdamaian yang telah ditandatangani kedua belah pihak yang
bersengketa dan telah dikukuhkan oleh hakim pengadilan negeri setempat
mempunyai kekuatan hukum mengikat kedua belah pihak dan bersifat final,
dalam arti tidak membuka peluang untuk dilakukannya upaya hukum melalui jalur
litigasi/pengadilan.
Namun apabila penyelesaian sengketa dilakukan secara mediasi/ non
litigasi maka hasil kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak dituangkan dalam
sebuah bentuk akta tertulis yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai sebuah
perjanjian bagi para pihak. Apabila ternyata salah satu pihak tidak melakukan
kewajiban sesuai yang tercantum di dalam akta perdamaian mediasi tersebut,
maka pihak lain yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur litigasi dengan
menggugat pihak yang melanggar isi perjanjian dengan gugatan wanprestasi
berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata. Sementara akta perdamaian yang dibuat dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak sebelumnya dapat diajukan sebagai alat
40
Majalah Hukum Forum Akademika
bukti ke pengadilan. Tetapi hasil mediasi itu sendiri tidak dapat dilakukan upaya
banding seperti yang tertuang di dalam UU No. 30 Tahun 1999.
Pasal 6 ayat (7) UU No. 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa
kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final
dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib
didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak penandatanganan.
Di dalam Pasal 23 PERMA RI No. 01 Tahun 2008 diatur tentang
kesepakatan di luar pengadilan. Disebutkan di dalam pasal tersebut bahawa para
pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan
sengketa di luar pendailan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan
perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta
perdamaian denga cara mengajukan gugatan.
Pengajuan gugatan harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan
perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum
para pihak dengan objek sengketa. Hakim di hadapan para pihak hanya akan
menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila
kesepakatan perdamaian tersebut memneuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Sesuai kehendak para pihak
b. Tidak bertentangan dengan hukum
c. Tidak merugikan pihak ketiga
d. Dapat dieksekusi
e. Dengan iktikad baik.
Perlu diperhatikan ketentuan tentang dokumen yang membuktikan ada
sebuah hubungan hukum antara para pihak yang melakukan perdamaian sesuai
ketentuan PERMA di atas. Di dalam sebuah hubungan terapeutik, dokumen
penting yang terkait adalah dokumen informed consent maupun rekam medis
yang melatarbelakangi terjadinya hubungan hukum yang disebut sebagai
hubungan terapeutik. Oleh karena itu penting bagi dokter dan/atau dokter gigi
untuk selalu mengedepankan kedua dokumen tersebut di dalam penyelenggaraan
pelayanan kedokteran yang diberikan karena kedua dokumen tersebut akan
41
Majalah Hukum Forum Akademika
menjadi alat bukti yang kuat terhadap suatu tindakan medis tertentu yang
diberikan pada pasien.
C. Kesimpulan
Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan dan
penyelenggaraan kedokteran serta di bidang upaya penyelesaian sengketa
alternatif tidak ada yang memuat secara eksplisit kedudukan, serta kriteria dan
bentuk sengketa medis yang dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi. Dan
dengan demikian yang dapat dilakukan adalah memberikan berbagai penafsiran
terhadap ketentuan-ketentuan tersebut dengan menyimpulkan bahwa
bahwa
sengketa-sengketa medis yang dapat diselesaikan melalui upaya penyelesaian
sengketa alternatif khususnya melalui mediasi adalah sengketa medis yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Sengketa medis yang terkait pada pelayanan kesehatan yang diterima atau
berhubungan langsung dengan pasien. Dalam arti ada hubungan hukum
antara pasien dan dokter.
2. Sengketa medis yang termasuk dalam katagori pelanggaran disiplin
kedokteran
3. Bukan termasuk sebagai sebuah tindak pidana yang secara tegas
disebutkan dalam UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran
dan
KUHPidana
4. Berdasarkan kehendak para pihak untuk memilih lembaga mediasi sebagai
upaya penyelesaian sengketa dan dilakukan dengan iktikad baik.
Oleh karena masalah mediasi sengketa medis belum mendapat
pengaturan secara khusus maka mekanisme tersebut dapat diselengarakan melalui
ketentuan yang terdapat di dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Proses Mediasi di Pengadilan dan UU
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Berdasarkan PERMA RI No. 1 Tahun 2008 dan UU No. 30 Tahun 1999
maka ditetapkan bahwa kesepakatan perdamaian yang dilakukan sebagai bagian
dari upaya perdamaian melalui jalur pengadilan (Litigasi) yang
42
berhasil
Majalah Hukum Forum Akademika
dilakukan oleh para pihak melalui bantuan mediator harus dituangkan dalam
sebuah akta perdamaian tertulis yang kemudian diajukan ke pangadilan negeri
setempat untuk dikukuhkan sebagai sebuah putusan hakim. Hasil mediasi ini
bersifat final dan tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi maupun
peninjauan kembali.
Namun apabila penyelesaian sengketa dilakukan secara mediasi/ non
litigasi/ penyelesaian di luar pengadilan maka hasil kesepakatan mediasi yang
dilakukan oleh para pihak dituangkan dalam sebuah bentuk akta tertulis yang
mempunyai kekuatan mengikat sebagai sebuah perjanjian bagi para pihak.
Apabila ternyata salah satu pihak tidak melakukan kewajiban sesuai yang
tercantum di dalam akta perdamaian mediasi tersebut, maka pihak lain yang
merasa dirugikan dapat menempuh jalur litigasi dengan menggugat pihak yang
melanggar isi perjanjian dengan gugatan wanprestasi berdasarkan Pasal 1234
KUHPerdata.
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang dituangkan
dalam akta tertulis tersebut adalah final dan mengikat para pihak untuk
dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri
dengan mengajukan gugatan untuk dikukuhkan dalam akta perdamaian oleh
hakim Pengadilan Negeri setempat.
Adapun saran yang dapat penulis ajukan adalah adanya pembentukan
Komite Mediasi di setiap rumah sakit yang berfungsi sebagai lembaga mediasi
bagi penyelesaian sengketa medis dengan pengawasan dan pembinaan dari Badan
Pengawas Rumah Sakit Provinsi sebagai lembaga yang bertugas dan berwenang
untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan UU nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit; serta segera dibentuk lembaga MKDKI Provinsi yang professional
dan tidak memihak sehingga diperoleh kepastian dan perlindungan hukum bagi
kedua belah pihak dalam hal terjadinya sengketa medis tersebut.
43
Majalah Hukum Forum Akademika
Daftar Pustaka
Chandra Irawan; 2010; Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Di
Luar Pengadilan (Alternative Disputes Resolution) di Indonesia; Mandar
Maju; Bandung
Desriza Ratman; 2012; Mediasi Nonlitigasi Trhadap Sengketa Medik Dengan
Konsep Win-Win Solution; Elex media komputindo; Jakarta.
Gatot Soemartono; 2005; Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia; PT Gramedia
Pustaka Utama; Jakarta
Gunawan Widjaya; 2005; Alternatif Penyelesaian Sengketa; PT Raja Grafindo
Persada; Jakarta
Sudikno Mertokusumo; 1999; Mengenal Hukum; Liberty; Yogyakarta
Syahrizal Abbas; 2009; Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat
dan Hukum Nasional; Kencana; Jakarta
Takdir Rahmadi; 2010; Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan
Mufakat; Rawali pers; Jakarta.
Tince P. Soemoele; 2012; Alternative Penyelesaian Sengketa medic Di Rumah
Sakit; PT Hidup Sehat Bermakna; Jakarta.
Titon Slamet Kurnia; 2007; Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM
di Indonesia; Alumni; Bandung
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Undang-Undang N0. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Proses Mediasi di
Pengadilan
44
Download