teori interaksi simmel dalam novel para priyayi

advertisement
TEORI INTERAKSI SIMMEL DALAM NOVEL PARA
PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM DAN IMPLIKASINYA
PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Agnis Afriani
NIM. 109013000099
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
ABSTRAK
Agnis Afriani NIM. 109013000099. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Skripsi, “Teori Interaksi Simmel dalam Novel Para Priyayi karya
Umar Kayam dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah.” Pembimbing:
Novi Diah Haryanti, M.Hum.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan teori interaksi dalam novel Para
Priyayi karya Umar Kayam dan implikasinya pada pembelajaran sastra di sekolah. Hasil
penelitian mendeskripsikan nilai-nilai sosial melalui interaksi sosial antara individu,
keluarga, masyarakat, dan Negara. Nilai-nilai sosial, seperti nilai kepedulian, nilai
kerukunan, nilai pengayoman, nilai ketuhanan, nilai keikhlasan, nilai kasih sayang, nilai
kesopanan, nilai kebersamaan, nilai keakraban, nilai kebiasaan, dan nilai pengabdian
terdapat pada kalimat-kalimat dalam dialog atau cerita para tokoh melalui interaksi sosial
antara individu, keluarga, dan masyarakat dalam relasi-relasi yang terbagi menjadi enam
kategori, yaitu 1) relasi individu dengan dirinya, 2) relasi individu dengan keluarga, 3)
relasi individu dengan lembaga, 4) relasi individu dengan komunitas, 5) relasi individu
dengan masyarakat, dan 6) relasi individu dengan nasion.
Pembahasan dan analisis penelitian novel Para Priyayi dapat diimplikasikan pada
pembelajaran sastra di sekolah untuk materi menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik
novel Indonesia agar peserta didik dapat membangun karakter kritis, kreatif, baik secara
kognitif, afektif, maupun psikomotorik, melalui pemahaman tentang tokoh dan
penokohan serta latar sosial. Peserta didik juga dapat belajar mengenai bagaimana harus
bersikap, memilih jalan hidup, dan semangat mencapai cita-cita. Semuanya terdapat
dalam kehidupan melalui interaksi sosial dengan menjalin relasi melalui sosialisasi antara
individu dengan individu, keluarga, lembaga, komunitas, masyarakat, dan Negara.
Kata Kunci: Nilai-nilai, Novel Para Priyayi, Relasi, Interaksi.
i
ABSTRACT
Agnis Afriani NIM. 109013000099. Department of Language and Literature
Education of Indonesia. Faculty of Tarbiyah and Teaching. State Islamic University
Syarif Hidayatullah, Jakarta. Thesis title, “Simmel’s Theory of Interaction in the Novel
Para Priyayi by Umar Kayam and Implications on Literature Learning in Schools.” The
advisor: Diah Novi Haryanti, M.Hum.
This study aimed to describe the social values in the novel Para Priyayi by Umar
Kayam and implications on teaching literature in Schools. The results of the study
describes the social values through social interaction between individuals, families,
communities, and country. Social values, such asconcern value, the value of harmony, the
value of security, the value of the deity, the value of sincerity, the value of compassion,
modesty value, the value of togetherness, closeness values, customs value, and the value
of devotion found in the sentences in the dialogue or story figures through social
interaction between individuals, families, and communities in relationships that are
divided into six categories, namely 1) the relation of individual with himself, 2) the
relation of individual with family, 3) the relation of individuals with institutions, 4) the
relation of individuals with the community, 5) the relation of individuals with the
community, and 6) the relation of individuals with the nation.
Discussion and research analysis can be implied novel Para Priyayi literature on
learning in school to analyze the material elements of intrinsic and extrinsic Indonesian
novel so that learners can build a critical character, creative, whether cognitive, affective,
and psychomotor, through an understanding of the character and characterization as well
as the background social. Learners can also learn about how to behave, choose a way of
life, and the spirit of achieving goals. Everything is there in life through social interaction
by building relationships through socialization among individuals with individuals,
families, institutions, communities, society, and country.
Keywords: Values, Novel Para Priyayi, Relation, Interaction.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan rahmat-Nya kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Teori Interaksi Simmel
dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan Implikasinya pada Pembelajaran
Sastra di Sekolah”. Rasa syukur kepada Allah dan Nabi Muhammad yang tak terhingga.
Penulis bersyukur karena akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Sungguh
sebuah kerja keras yang luar biasa ditengah berbagai macam kendala yang penulis
hadapi. Akan tetapi, berkat rahmat Allah dan dukungan dari berbagai pihak akhirnya
karya ilmiah yang merupakan syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan ini dapat
diselesaikan. Maka sudah seharusnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia sekaligus Penasihat Akademik Kelas C yang baik hati, bersahaja,
dan selalu ringan tangan terhadap mahasiswa.
3. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang sangat
mengayomi, sabar, dan tulus meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk
memberikan bimbingan serta pengarahan kepada saya dalam menyelesaikan skripsi
ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tidak
dapat saya sebutkan satu per satu, namun tidak mengurangi rasa hormat saya kepada
Bapak dan Ibu Dosen yang luar biasa baiknya.
5. Keluarga tercinta (Bapak Achmad Yani, Mama Yuyun, Adik-adikku, Ilmiah Hilwani,
Sulton Rizky Muzayyin, dan Abdul Ghani Muhammad) dan seluruh keluarga besar
saya yang selalu mendukung dan mendoakan yang terbaik untuk saya.
6. Ferry Abdullah yang selalu memberi semangat dan doa terbaik untuk penulis.
7. M. Sahrul Munir, S.S., yang baik hati telah meminjamkan beberapa buku referensi
dan memberi semangat kepada penulis.
iii
8. Siti Hasanah, S.Pd yang selalu menyemangati dan mendoakan saya.
9. Sahabat-sahabat terbaik yang selalu ada; Nada, Nuriel, Kiky, Fuah, dan Khozanah.
10. Dayat, Cecep, Agung, dan Dia, teman-teman 5 CM yang selalu mendukung penulis.
Semoga selalu kompak, kawan.
11. Lenjee; Reny, Suci, Sasya, dan Dinda yang selalu memberikan semangat dan
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita dapat berkumpul
berlima lagi.
12. TKost Annisa (Ibu Arab); Intan, Nia, Anita, Yeyen, Elsa, Dian, Wardah, Nisa, Trisni,
dan Kiky.
13. Yonita, Wahyu, dan adik-adik Bimbel; Rini, Nabila, Opin, Dita, Ilham, Mayla,
Deska, Nasya, Fajar, Sri, Refi, dan Rifqi. Terima kasih, Semestaku atas doa kalian.
14. Teman-teman PBSI angkatan 2009, khususnya kelas C yang memberikan semangat,
suka duka, canda tawa, persahabatan dan kenangan indah selama ini.
15. Teman-teman PPKT SMP Fatahillah, Pondok Pinang.
16. Uda Is, Bang Tyo, Riski, dan Uda Ade yang setia melayani foto kopi dan juga
memberikan motivasi kepada penulis. Maju Jaya!
17. Rekan-rekan kerja di PT Christalenta Pratama dan PT Citra Gemilang Apik yang
selalu memberi dukungan kepada penulis.
Akhirnya penulis hanya dapat mengharapkan semoga Allah membalas kebaikan
semua pihak dengan balasan yang berlipat ganda. Semoga penelitian ini dapat menambah
wawasan dan bermanfaat untuk yang memerlukannya.
Jakarta, 5 Juli 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH
LEMBAR UJIAN MUNAQASAH
ABSTRAK …………………………………………………………………..
i
ABSTRACT ………………………………………………………………...
ii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………...
iii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................
1
B. Identifikasi Masalah .........................................................................
6
C. Batasan Masalah ...............................................................................
7
D. Rumusan Masalah ............................................................................
7
E. Tujuan Penelitian...............................................................................
7
F. Manfaat Penelitian ............................................................................
8
G. Metodologi Penelitian ......................................................................
8
BAB II KAJIAN TEORI
A. Sosiologi Sastra ..............................................................................
11
1. Pengertian Sosiologi Sastra .......................................................
11
B. Novel ...............................................................................................
14
1. Pengertian Novel .......................................................................
14
2. Unsur Novel ...............................................................................
16
C. Nilai Sosial .......................................................................................
v
21
1. Pengertian Nilai Sosial …………………………………………
22
D. Teori Interaksi Simmel ………………………................................
23
E. Pembelajaran Sastra .........................................................................
28
F. Penelitian yang Relevan ...................................................................
31
BAB III TINJAUAN NOVEL DAN BIOGRAFI PENGARANG
A. Tinjauan Internal ..............................................................................
33
1. Sinopsis Novel Para Priyayi........................................................
33
2. Gambaran Umum Novel Para Pyiyayi..........................................
36
B. Tinjauan Eksternal ............................................................................
38
1. Biografi Umar Kayam .................................................................
38
2. Karya-karya Umar Kayam ..........................................................
42
3. Pandangan Hidup Umar Kayam ...................................................
44
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS NILAI SOSIAL
A. Unsur-unsur Intrinsik dalam Novel Para Priyayi............................
49
B. Analisis Nilai Sosial dalam Novel Para Priyayi..............................
113
C. Implikasi pada Pembelajaran Sastra di Sekolah ..............................
129
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .........................................................................................
138
B. Saran ...............................................................................................
138
DAFTAR PUSTAKA
LEMBAR UJI REFERENSI
BIOGRAFI PENULIS
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Segala sesuatu yang diciptakan di muka bumi ini pasti memiliki nilai.
Nilai merupakan hal yang penting bagi kehidupan, terutama dalam kehidupan
bermasyarakat. Nilai tidak pernah lepas dari kehidupan dan aktivitas manusia,
terutama nilai-nilai kehidupan yang menjadi dasar kita dalam berinteraksi
dengan sesama manusia, baik itu nilai sosial, moral, agama, maupun
pendidikan. Nilai-nilai tersebut penting untuk generasi penerus bangsa dalam
membentuk kepribadian yang cerdas, dan peka terhadap lingkungan
sekitarnya.
Arus modernisasi telah banyak memberi perubahan dalam kehidupan
bermasyarakat. Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya
mengarah pada krisis moral. Krisis moral tersebut umumnya terjadi karena
masalah pendidikan. Pendidikan seharusnya mampu membentuk generasi
penerus bangsa yang dapat melanjutkan tonggak perjuangan di masa yang
akan datang dan mampu mengubah suatu masyarakat menjadi lebih baik,
sehingga pendidikan menjadi sangat penting dalam membentuk kepribadian
seseorang.
Dunia pendidikan bukan satu-satunya yang patut dihakimi. Namun,
mau tidak mau melalui pendidikanlah peradaban suatu masyarakat dapat
terbentuk, bahkan disebut-sebut sebagai agent of change. Lembaga
pendidikan diharapkan dapat membentuk manusia-manusia yang berjiwa
luhur, berperikemanusiaan, tidak merampas hak orang lain, jujur, dan mandiri.
Lembaga pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan jiwa-jiwa kebaikan
pada setiap manusia. Oleh karena itu, lembaga pendidikan yang berkualitas
1
2
mampu menghasilkan perubahan kepribadian dan peradaban setiap manusia
bahkan bangsa yang lebih baik.
Guru adalah pengajar dan pendidik. Oleh karena itu, peran apa pun
yang diberikan masyarakat kepada guru selalu memiliki kaitan dengan posisi
pengajaran dan pendidikan dalam masyarakat itu. Kurangnya peran guru
dapat menjadi salah satu penyebab perubahan nilai yang mengarah pada krisis
moral. Guru seharusnya memberikan perhatian lebih kepada siswa dalam
menggali nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat melalui pelajaran
yang diajarkan, khususnya pada pembelajaran sastra Indonesia. Selain itu,
guru dapat mengarahkan siswa pada hal-hal positif agar nantinya mereka
menjadi anggota masyarakat dan warga negara yang baik dan berguna bagi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Beberapa hal dapat dilakukan untuk mencegah, bahkan mengatasi
perubahan nilai yang mengarah pada krisis moral, yaitu dengan mengenalkan
sastra, pendidikan sastra usia dini, dan memperbanyak porsi pengajaran sastra.
Sastra yang diperkenalkan tentunya yang disesuaikan dengan perkembangan
anak. Mengenalkan sastra kepada anak berarti mendekatkan nilai-nilai yang
berguna untuk memahami kehidupan. Harus diakui tradisi mendongeng orang
tua kepada anak yang sudah turun-temurun dimiliki negeri ini, kini sudah
semakin terkikis. Selain itu, sedikitnya pendidikan usia dini yang berbasis
sastra membuat semakin kurangnya pengetahuan anak mengenai sastra,
bahkan sampai saat ini, porsi pengajaran sastra hanya mendapat bagian kecil
dari pengajaran bahasa. Ketersediaan guru sastra yang kompeten di sekolahsekolah juga sangat terbatas. Demikian pula dengan pemanfaatan bahan ajar
sastra yang belum optimal.
Sastra sebagai hasil pekerjaan seni kreasi manusia tidak akan pernah
lepas dari bahasa yang merupakan media utama dalam karya sastra. Sastra dan
manusia erat kaitannya karena pada dasarnya keberadaan sastra sering
bermula dari persoalan dan permasalahan yang ada pada manusia dan
3
lingkungannya. Kemudian dengan adanya imajinasi yang tinggi seorang
pengarang menuangkan masalah-masalah yang ada disekitarnya menjadi
sebuah karya sastra. Oleh karena itu, sastra merupakan suatu bentuk seni dan
budaya yang hadir di tengah-tengah masyarakat dengan rangkaian bahasa
yang indah serta mengandung nilai-nilai yang penting bagi kehidupan
bermasyarakat.
Karya sastra adalah hasil pemikiran mengenai kehidupan. Karya sastra
adalah sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang pengarang dalam
menceritakan berbagai permasalahan dalam kehidupan manusia. Karya sastra
bersifat imajinatif dan fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang berasal dari daya
khayal seorang pengarang. Pengarang menyampaikan apa yang ia lihat,
dengar, dan rasakan. Kemudian ia kemukan melalui karyanya. Cerita yang
ditampilkan pengarang mengandung permasalahan yang sesuai dengan
permasalahan masyarakat pada masa atau peristiwa tertentu. Maka, pengarang
menyampaikan bagaimana keadaan atau situasi di mana ia berada melalui
cerita pada karyanya.
Salah satu hasil karya sastra adalah novel. Novel merupakan salah satu
karya sastra yang berjenis prosa. Novel juga merupakan bagian dari karya
fiksi yang memuat khayalan dan kenyataan yang dialami oleh seorang
pengarang. Dapat dikatakan bahwa novel adalah suatu gambaran dari
kehidupan dan diwujudkan melalui bahasa yang indah. Sebagai karya fiksi
hasil kreativitas seorang pengarang, novel mempunyai beberapa unsur
pembangun di dalamnya, yaitu tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut
pandang, amanat, dan gaya bahasa.
Novel menjadi cerminan dari persoalan sosial yang terjadi dalam suatu
masyarakat. Dengan kata lain, novel juga dapat berupa rekaman dari peristiwa
sejarah yang telah dialami dan dirasakan oleh seorang pengarang. Melalui
karya sastra, seperti novel, pengarang berusaha mengungkapkan peristiwa
yang berisi persoalan sosial, baik suka maupun duka di dalam kehidupan
4
masyarakat. Pada umumnya, novel menceritakan tentang kehidupan manusia
dan lingkungannya dengan berbagai macam konflik yang ada di dalamnya.
Horatius menyatakan bahwa fungsi sastra hendaknya memuat dulce
(indah) dan utile (berguna). Ungkapan ini menunjukkan fungsi karya sastra
tidak hanya sekedar untuk menghibur, tetapi juga mengajarkan sesuatu atau
hal yang berguna. Karya sastra yang baik adalah karya yang dapat bermanfaat
bagi pembaca, dengan kata lain pembaca mampu mengambil pelajaran dan
mampu memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya.
Fungsi karya sastra (fiksi) merupakan sebuah cerita, dan karenanya
terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca
disamping adanya tujuan estetik. Membaca sebuah karya fiksi berarti
menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Daya
tarik cerita inilah yang pertama-tama akan memotivasi orang-orang yang
membacanya. Hal itu dikarenakan pada dasarnya setiap orang senang cerita,
apalagi yang sensasional, baik yang diperoleh dengan cara melihat maupun
mendengarkan. Melalui cerita itulah pembaca secara tak langsung dapat
belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang
sengaja ditawarkan pengarang. Hal itu disebabkan, cerita fiksi tersebut akan
mendorong pembaca untuk ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan.
Oleh karena itu, cerita fiksi atau kesastraan pada umumnya sering dianggap
dapat membuat manusia lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai
“memanusiakan manusia”.1
Novel merupakan sebuah cerminan dari peristiwa-peristiwa yang
terjadi di dalam suatu masyarakat. Novel Para Priyayi merupakan novel yang
mengandung nilai-nilai sosial yang berhasil menggambarkan keadaan sosial
pada masa itu. Novel ini menceritakan perkembangan tiga generasi (tiga
zaman). Berawal dari seorang petani kecil yang tinggal di Wanagalih bernama
1
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2000), h. 3-4.
5
Soedarsono yang pada akhirnya berhasil menjadi seorang priyayi. Kemudian
permasalah-permasalahan sosial muncul pada generasi-generasi penerusnya
(keluarga Soedarsono), yaitu Hardojo dan Harimurti. Peristiwa yang
dikisahkan
dalam
novel
ini
adalah
masa
prakemerdekaan
sampai
pascakemerdekaan yang di dalamnya terdapat masalah-masalah sosial dalam
masyarakat.
Novel Para Priyayi yang ditulis oleh Umar Kayam di New Haven
pada tahun 1991. Melalui novel ini Umar Kayam sebagai penulis ingin
menyampaikan idealismenya mengenai kepriyayian, karena selama ini
stereotip priyayi selalu erat dengan orang-orang birokrat yang menggunakan
statusnya untuk menguasai orang lain, berjiwa anti-sosial dan arogan.
Kemampuan Umar Kayam dalam mendeskripsikan kehidupan priyayi di
dalam novel tersebut memang tampaknya tidak lepas dari pengalaman yang
didapatnya semasa kecil sebagai anak priyayi. Dalam novel ini, Umar Kayam
menggambarkan perjuangan seorang petani kecil yang ingin menaikkan status
sosialnya menjadi seorang priyayi melalui pendidikan. Hampir seluruh cerita
dikisahkan menjadi citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir
setiap bagian dalam novel mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan
bermasyarakat.
Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.2 Melalui sastra, terutama
novel kita dapat mengerti lebih banyak mengenai kehidupan manusia. Suatu
karya sastra dapat memperkaya wawasan pembaca dengan berbagai sudut
pandang, seperti psikologi, sejarah, sosial, politik, dan antropologi. Ketika
membaca novel Para Priyayi karya Umar Kayam, pembaca akan merasakan
bahwa novel ini sarat dengan unsur-unsur sosiologi karena latar sosial
masyarakat Jawa yang sangat ditonjolkan. Selain itu, Para Priyayi sangat
mendidik dan bagus untuk dijadikan bahan pembelajaran bagi siswa, karena
2
Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan Terjemahan dari Theory of Literature
oleh Melani Budianta, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 110.
6
dapat dijadikan sebagai sarana pendukung untuk memperkaya bacaan para
siswa.
Pembelajaran sastra di sekolah dapat memberikan keseimbangan pada
pengembangan kepribadian dan kecerdasan peserta didik. Pembelajaran sastra
akan memberikan keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika,
estetika, dan kinestetika. Oleh karena itu, pembelajaran sastra tidak hanya
berkaitan dengan estetika dan etika. Pembelajaran sastra sangat strategis
digunakan untuk mengembangkan kompetensi atau kecerdasan spiritual,
emosional; bahasa, atau untuk mengembangkan intelektual, dan kinestetika.
Sehubungan dengan pernyataan di atas, peneliti tertarik mengkaji
“Nilai Sosial dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan
Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Suatu hal yang menarik
untuk mampu memahami peranan priyayi dalam kehidupan masyarakat Jawa
yang dijabarkan dalam novel Para Priyayi. Menarik untuk diteliti karena di
dalamnya
menceritakan
realita
kehidupan
tokoh-tokohnya
mengenai
kehidupan keluarga besar priyayi Jawa dan masalah-masalah yang ada di
dalamnya. Perjuangan hidup untuk membangun satu generasi priyayi yang
berasal dari seorang petani kecil di Wanagalih. Tentunya perjuangan hidup
yang sangat baik untuk diteladani. Hal ini akan dicapai melalui analisis
sosiologi karya sastra. Kemudian dari isi cerita novel akan dicari dan
dianalasis makna nilai sosial yang terkandung di dalamnya yang nantinya
dapat dijadikan materi pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah, yaitu sebagai berikut.
1. Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya mengarah
pada krisis moral. Krisis moral tersebut umumnya terjadi karena masalah
pendidikan.
7
2. Kurangnya peran orang tua dan guru sebagai agen perubahan dalam
menggali nilai-nilai kehidupan, terutama guru dalam menggali nilai sosial
dalam pembelajaran sastra di sekolah.
3. Kurangnya porsi pengajaran sastra dan terbatasnya ketersediaan guru-guru
sastra yang memiliki kompetensi, serta pemanfaatan bahan ajar sastra
yang belum optimal di sekolah.
C.
Batasan Masalah
Untuk membatasi terlalu luasnya pembahasan, maka permasalahan
pada penelitian ini akan difokuskan pada teori interaksi Simmel untuk
menganalisis nilai-nilai sosial yang terdapat dalam novel Para Priyayi karya
Umar Kayam melalui tinjauan sosiologi sastra dan implikasinya pada
pembelajaran sastra di sekolah.
D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana teori interaksi Simmel dalam menganalisis nilai sosial yang
terkandung dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam?
2. Bagaimana implikasi nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar
Kayam pada pembelajaran sastra di sekolah?
E.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan teori interaksi Simmel untuk menganalisis nilai sosial
yang terkandung dalam novel Para Priyayi karya Umar kayam.
2. Mendeskripsikan implikasi nilai sosial dalam novel Para Priyayi pada
pembelajaran sastra di sekolah.
8
F.
Manfaat Penelitian
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai studi sastra
Indonesia, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini
juga diharapkan mampu memberi sumbangan dalam kajian sosiologi sastra
dalam mengungkap novel Para Priyayi karya Umar Kayam, sedangkan secara
praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih
memahami isi cerita dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam, terutama
menguraikan cara pandang pengarang yang direpresentasikan dalam karyanya
dengan pemanfaatan lintas disiplin ilmu yaitu sosiologi dan sastra.
G.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif
memberikan perhatian terhadap data ilmiah. Data berhubungan dengan
konteks keberadaan melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan.3
Lebih tepatnya menggunakan penelitian kualitatif deskriptif dengan metode
content analysis atau analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan teks yang
telah dicari berupa masalah atau temuan, kemudian dianalisis dan ditafsirkan.
Strategi yang digunakan adalah analisis isi, yaitu dengan mengkaji isi
berdasarkan data yang didapatkan. Metode content analysis atau analisis isi
dari suatu novel. Penelitian kualitatif deskriptif merupakan penelitian yang
menyajikan temuannya dalam bentuk deskripsi kalimat yang rinci, lengkap,
dan mendalam mengenai proses mengapa dan bagaimana sesuatu terjadi.
Pengkajian deskriptif menyarankan pada pengkajian yang dilakukan sematamata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang secara empiris hidup
pada penuturnya (sastrawan). Artinya, yang dicatat dan dianalisis adalah
3
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), h. 47.
9
unsur-unsur dalam karya sastra seperti apa adanya. Maka, jenis penelitian
pada penelitian ini adalah penelitian dasar yang memfokuskan pada deskripsi
mengenai nilai sosial yang terdapat dalam novel. Dengan demikian, penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif.
Sesuai dengan tujuan penelitian, yang menjadi objek dalam penelitian
ini adalah teori interaksi Simmel untuk menganalisis nilai sosial yang terdapat
dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan bagaimana implikasinya
pada pembelajaran sastra di sekolah.
Data dalam penelitian ini berupa kata-kata, kalimat serta ungkapan
yang ada dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam, sedangkan sumber
data penelitian ini adalah novel Para Priyayi (data primer), dan buku literatur,
serta artikel yang berkaitan dengan penelitian dan karya-karya Umar Kayam
(data sekunder).
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang
membahas tentang hubungan antarindividu, individu dengan keluarga,
masyarakat, komunitas, lembaga, dan negara, karena dalam penelitian ini
peneliti mencoba menguraikan berbagai nilai sosial yang terkandung dalam
novel.
Adapun langkah-langkah pengumpulan data yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Membaca secara cermat novel Para Priyayi karya Umar Kayam;
2. Mencatat kalimat yang berkaitan dengan struktur novel, dan kalimat yang
menggambarkan nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar
Kayam;
3. Hasil mencatat kalimat dijadikan sebagai data untuk menganalisis nilai
sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam;
4. Setelah melalui analisis yang mendalam, hasilnya digunakan sebagai data
untuk mengimplikasikan nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya
Umar Kayam pada pembelajaran sastra di sekolah.
10
Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data
adalah:
1. Menganalisis
novel
Para
Priyayi
karya
Umar
Kayam
dengan
menggunakan analisis struktural. Analisis struktural dilakukan dengan
membaca dan memahami kembali data yang sudah diperoleh. Selanjutnya,
mengelompokkan kutipan-kutipan yang terdapat dalam novel Para
Priyayi karya Umar Kayam yang mengandung unsur tema, tokoh dan
penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat;
2. Analisis dengan tinjauan sosiologi sastra dilakukan dengan membaca dan
memahami kembali data yang diperoleh. Selanjutnya, mengelompokkan
kutipan-kutipan yang diperoleh sesuai teori interaksi Simmel mengenai
nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam;
3. Mengimplikasikan nilai sosial yang terdapat dalam novel Para Priyayi
pada pembelajaran sastra di sekolah. Hal ini dilakukan dengan cara
menghubungkan materi pelajaran sastra di sekolah.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Sosiologi Sastra
1.
Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Penelitian ini melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Asumsi
dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak lahir dalam
kekosongan sosial. Kehidupan sosial menjadi pemicu lahirnya karya sastra.
Karya sastra yang berhasil atau sukses, yaitu yang mampu merefleksikan
zamannya.
Ilmu sosiologi berkembang menjadi ilmu yang benar-benar otonom,
meninggalkan kesusastraan yang dianggap sebagai bidang rumit dengan
definisi yang sangat tidak pasti, dan yang dilindungi oleh semacam rasa
hormat manusiawi.1
Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature,
Swingewood (1972) dalam Faruk (1994) mendefinisikan sosiologi sebagai
studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi
mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha
menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan,
bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup,2
sedangkan sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar
kemasyarakatannya.3
1
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra Penerjemah Ida Sundari Husen, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 8-9.
2
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 1.
3
Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi, (Yogyakarta: CAPS, 2013), h. 78.
11
12
Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dan
masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk
mengubah masyarakat itu. Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra
berbagi masalah yang sama.4
Perbedaan antara keduanya adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah
yang objektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan kehidupan
sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan
perasaannya.5
Dengan demikian, Objek studi sastra adalah ekspresi kehidupan
manusia yang tidak terlepas dari akar masyarakat di sekitarnya, sedangkan
objek studi sosiologi adalah manusia.
Penelitian sosiologi sastra banyak membahas tentang kaitan pengarang
dengan kehidupan sosialnya. Keduanya dapat saling melengkapi dalam kaitan
cabang ilmu sosiologi sastra. Meskipun sosiologi dan sastra adalah dua
cabang ilmu yang mempunyai perbedaan tertentu dan dianggap rumit, namun
sosiologi dan sastra memperjuangkan masalah yang sama. Keduanya
berurusan dengan masalah manusia dan masyarakat dalam proses-proses
sosialnya dalam kehidupan.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra
memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti
dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai berikut.
a.
Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita,
disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota
masyarakat.
4
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), h. 10.
5
Ibid., h. 11.
13
b.
Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek
kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga
difungsikan oleh masyarakat.
c.
Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui
kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung
masalah-masalah kemasyarakatan.
d.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, dan tradisi
yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga
logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap tiga aspek
tersebut.
e.
Sama
dengan
masyarakat,
karya
sastra
adalah
hakikat
intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu
karya.6
Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama,
genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam
menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan di
antaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita paling lengkap, memiliki
media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang
juga paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari,
bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itu,
dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif,
karena sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris.7
Dengan demikian, dipilihlah novel Para Priyayi karya Umar Kayam
sebagai objek penelitian. Novel Para Priyayi dipilih karena mampu mewakili
perjuangan hidup manusia dalam mobilitas sosial sebuah keluarga di
lingkungan masyarakat pada waktu itu. Selain itu, Para Priyayi memiliki
6
Nyoman Kuta Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), h. 332-333.
7
Ibid., h. 335-336.
14
unsur-unsur
cerita
yang
lengkap,
menyajikan
masalah-masalah
kemasyarakatan yang luas dengan bahasa sehari-hari yang sederhana dan yang
paling umum digunakan dalam masyarakat Jawa. Gaya penulisannya
sederhana, bernarasi Jawa yang akrab, mudah dicerna dengan kritik-kritik
yang segera mengajak pembaca membuat perenungan yang sebenarnya
memiliki kandungan makna dan filosofi kehidupan. Selain budaya
pewayangan yang banyak diekspos dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam
juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan sosial para tokoh yang sangat
mencerminkan masyarakat sosial pada umumnya.
B.
Novel
1.
Pengertian Novel
Karya sastra merupakan sarana pendidikan yang memiliki bermacam-
macam bentuk, seperti puisi, cerpen, novel, dan lain-lain. Dalam hal ini,
penulis memfokuskan pada salah satu karya sastra, yaitu novel.
Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari
kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena bila dibandingkan
dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain.8
Kata “novel” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti
karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak
dan sifat setiap pelaku.9
Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas
problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh.10
8
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar sastra, (Bandung: Angkasa, 2001), h. 167.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 969.
10
E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), Cet. I,
h. 60.
9
15
Novel merupakan suatu karya fiksi, yaitu karya dalam bentuk kisah
atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan.
Sebuah novel bisa saja memuat tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa nyata,
tetapi pemuatan tersebut biasanya hanya berfungsi sebagai bumbu belaka dan
mereka dimasukkan dalam rangkaian cerita yang bersifat rekaan atau dengan
detail rekaan. Walaupun peristiwa dan tokoh-tokohnya bersifat rekaan,
mereka memiliki
kemiripan dengan kehidupan sebenarnya. Mereka
merupakan “cerminan kehidupan nyata”.11
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa novel merupakan karya
fiksi yang berbentuk karangan prosa, tetapi tidak terlalu panjang yang
mengisahkan atau menceritakan para tokoh dengan masing-masing watak dan
masalah atau peristiwa yang merupakan cerminan nyata dalam kehidupan.
Menurut Sumarjo, novel adalah produk masyarakat. Novel berada di
masyarakat karena novel dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan
desakan-desakan emosional dan rasional dalam masyarakat. Menurut Faruk,
novel adalah cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai
yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero problematik dalam suatu dunia
yang juga terdegradasi. Jadi, jelas bahwa kesusastraan dapat dipelajari dari
disiplin ilmu sosial juga.12
Menurut Selden, novel menurut pandangannya adalah cerminan
realitas, tidak hanya melukiskan wajah wajah yang tampak pada permukaan,
tetapi memberikan kepada kita “sebuah pencerminan realitas yang lebih
benar, lebih lengkap, lebih hidup, lebih dinamik”. Sebuah novel mungkin
membawa pembaca “ke arah suatu pandangan yang lebih konkret kepada
realitas.13
11
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), Cet. I, h. 2.
12
Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi prosa, (Surakarta: Yuma
Pustaka, 2010), h. 47.
13
Nani Tuloli, Kajian Sastra, (Gorontalo: BMT “Nurul jannah”, 2000), h. 62.
16
Maka dapat disimpulkan pula bahwa novel adalah cerita rekaan yang
menyajikan aspek kehidupan itu sendiri yang sebagian besar merupakan
kenyataan sosial dan ada yang meniru atau subjektivitas manusia.
2.
Unsur Novel
Pada umumnya, para ahli membagi unsur novel menjadi unsur
ekstrinsik dan unsur intrinsik. Pembagian tersebut dimaksudkan untuk
mengkaji novel atau karya sastra pada umumnya.
a.
Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik yaitu unsur pembangun di luar karya sastra.
Unsur ini mempengaruhi cara penyusunan cerita dalam sebuah karya
satra. Selain itu, juga membantu dalam penafsiran suatu karya,
sehingga mendapatkan hasil yang akurat.
Unsur ekstrinsik terdiri dari unsur-unsur di luar karya. Unsur
yang dimaksud antara lain biografi pengarang, buah pemikiran
pengarang, serta latar sosial-budaya yang menunjang kehadiran teks
sastra. Pemahaman unsur-unsur tersebut menunjukkan bahwa karya
sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Misalnya, faktor sosioekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata
nilai yang dianut masyarakat.
Unsur ekstrinsik tidak dibahas dalam penelitian ini. Akan
tetapi, dapat dilihat pada BAB III.
b.
Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra
hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan
dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah
novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta dalam
17
membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang
membuat sebuah novel terwujud.14
Unsur pembangun dari dalam karya ini terdiri dari beberapa
unsur. Unsur yang dimaksud adalah tema, tokoh dan penokohan, alur,
sudut pandang, latar, gaya bahasa, dan amanat. Unsur ini akan
dianalisis dalam novel saat kita membacanya.
Berikut adalah unsur-unsur intrinsik yang akan dianalisis lebih
mendalam dalam novel Para Priyayi. Pembahasan dan analisis
tersebut terdapat pada BAB IV.
1)
Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita.15 Tema sebuah
cerita bersifat individual sekaligus universal. Tema memberi kekuatan
dan
menegaskan
kebersatuan
kejadian-kejadian
yang
sedang
diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang
paling umum. Apa pun nilai yang terkandung di dalamnya, keberadaan
tema menjadi salah satu bagian penting yang tidak terpisahkan dengan
kenyataan
cerita.16
Menurut
Hartoko
dan
Rahmanto
dalam
Nurgiyantoro, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang
sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai
struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau
perbedaan-perbedaan.17 Dengan demikian, tema merupakan elemen
yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita. Dalam
menentukan sebuah tema harus membaca secara mendalam dan
menelusuri seluruh isi cerita, sehingga menghasilkan “benang merah”
yang menjadi gagasan terbangunnya sebuah cerita.
14
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2000), h. 23.
15
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 161.
16
Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. I, h. 7.
17
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2000), h. 68.
18
2)
Tokoh dan Penokohan
Menurut Sukada dan Aminuddin dalam Siswanto, tokoh adalah
pelaku yang mengemban peristiwa dalam prosa rekaan, sehingga
peristiwa tersebut menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan
menampilkan tokoh disebut penokohan.18 Tokoh dan penokohan
merupakan dua hal yang paling berkaitan dalam unsur intrinsik pada
sebuah prosa rekaan. Keduanya menjadi saling terikat dan tidak dapat
dipisahkan dalam sebuah pembahasan.
Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh
dapat dibedakan atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh
bawahan), dan tokoh komplementer (tambahan).19 Dari tiga jenis
tokoh tersebut menunjukkan bahwa dalam sebuah cerita tidak hanya
ada satu jenis tokoh. Ada berbagai macam tokoh yang sastrawan
tampilkan dalam sebuah novel.
3)
Alur
Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam
sebuah cerita.20 Menurut Abrams dalam Siswanto, alur adalah
rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa,
sehingga menjalin sebuah cerita yang yang dihadirkan oleh pelaku
dalam suatu cerita.21 Tahap-tahap tersebut mengandung unsur urutan
waktu, baik secara tersirat maupun tersurat. Tahap awal cerita pun
tidak hanya dimulai dari waktu yang paling awal, sehingga dalam
sebuah cerita urutan waktu bisa diatur sesuai keinginan sastrawan.
Dengan demikian, alur merupakan elemen yang penting karena sebuah
cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya
18
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 142.
Ibid., h. 143.
20
Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. I, h. 26.
21
Siswanto, Op. Cit., h. 159.
19
19
pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang memiliki pengaruh
terhadap jalan cerita.
4)
Latar
“The overall setting of a narrative or dramatic work is general
locale, historical time, and social circumstance in which its action
occurs; the setting of a single episode or scene within such a work is
the particular physical location in which it takes place.”22 Abrams
mengemukakan bahwa latar cerita adalah tempat umum, waktu
kesejarahan, dan kebiasaan masyaratkat dalam setiap episode atau
bagian-bagian tempat. Menurutnya, latar atau setting disebut juga
sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan.23 Akan tetapi, tidak semua novel menonjolkan ketiga
latar tempat, waktu, maupun sosial. Mungkin dalam sebuah cerita
yang paling menonjol adalah latar waktu maupun tempat dan ada
kalanya yang menonjol adalah latar sosial.
5)
Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan strategi, teknik, atau siasat yang
secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan
ceritanya.24 Dari sinilah pengarang menampilkan tokoh dalam cerita
yang dipaparkannya. Dengan
demikian, segala sesuatu yang
dikemukakan oleh pengarang disalurkan melalui sudut pandang tokoh.
Ada banyak jenis sudut pandang, tetapi semuanya tergantung
dari mana sudut pandang tersebut dilakukan. Jenis sudut pandang yang
peneliti gunakan berdasarkan pemaparan Nurgiyantoro. Berikut ini
adalah jenis-jenis sudut pandang.
22
M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (Boston: Heinle & Heinle, 1999), h. 284.
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2000), h. 216.
24
Ibid., h. 248.
23
20
a)
Sudut pandang persona ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini
terletak pada seorang narator yang berada di luar cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau
kata ganti orang. Dalam sudut pandang persona ketiga “Dia”
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Dia” mahatahu
(narator mengetahui segalanya dan serba tahu) dan “Dia”
terbatas atau hanya sebagai pengamat (narator mengetahui
segalanya, namun terbatas hanya pada seorang tokoh).
b)
Sudut pandang persona pertama: “Aku”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini
terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita.
Dalam sudut pandang persona pertama “Aku” dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu “Aku” (tokoh utama) dan “Aku”
(tokoh tambahan).
c)
Sudut pandang campuran
Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik.
Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik
yang lain. Semua itu tergantung pada kemauan pengarang
untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karyanya.
6)
Gaya Bahasa
“Figurative language is a conspicuous departure from what
the users of a language apprehend as the standard meaning of words,
or else the standard order of words, in order to achive some special
meaning or effect.”25 Abrams mengemukakan bahwa gaya bahasa
adalah cara pengarang menggunakan bahasa agar kata-kata yang
standar dapat mencapai makna khusus. Gaya bahasa pada suatu karya
25
Abrams, Op. Cit., h. 96.
21
sastra biasanya menggunakan pilihan kata yang mengandung makna
padat, relektif, asosiatif, bersifat konotatif, dan dipadu dengan kiasan
dan majas, sehingga terwujudlah kalimat yang menunjukkan adanya
variasi dan harmoni.
7)
Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan
yang ingin disampaikan kepada pembaca atau pendengar.26 Amanat
merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan
pengarang
kepada
pembaca
melalui
karyanya
itu.27
Amanat
merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya dan tertuang
secara tersirat dalam cerita. Melalui amanat dalam cerita, biasanya
pengarang menuangkan pandangan hidupnya.
C.
Nilai Sosial
1.
Pengertian Nilai Sosial
Kehidupan bersama manusia baik sebagai makhluk pribadi maupun
makhluk sosial selalu dilandasi aturan-aturan tertentu. Oleh karena itu,
manusia tidak bisa berbuat dan bertindak semaunya. Aturan-aturan ini
diciptakan dan disepakati bersama untuk mencapai ketentraman dan
kenyamanan hidup bersama dengan orang lain. Aturan-aturan itu dipakai
sebagai ukuran, patokan, anggapan, serta keyakinan tentang sesuatu itu baik,
buruk, pantas, janggal, asing, dan seterusnya. Aturan-aturan ini yang biasa
kita sebut dengan istilah nilai.
Nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita
cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan,
singkatnya, sesuatu yang baik. Menurut perkataan bagus filsuf JermanAmerika, Hans Jonas, nilai adalah the address of a yes, “sesuatu yang
26
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 162.
E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h. 71.
27
22
ditujukan dengan „ya‟ „kita”. Memang, nilai adalah sesuatu yang kita iyakan
atau aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu
yang kita jauhi, sesuatu yang membuat kita melarikan diri—seperti
penderitaan, penyakit, atau kematian—adalah lawan dari nilai, adalah “nonnilai” atau disvalue, sebagaimana dikatakan orang Inggris. Ada juga beberapa
filsuf yang menggunakan di sini istilah “nilai negatif”, sedangkan nilai dalam
arti tadi mereka sebut “nilai positif”.28
Kluckhohn, seorang antropolog yang banyak membahas mengenai
nilai-nilai, menyatakan bahwa suatu nilai merupakan (C. Kluckhohn 1951:
395) “A conception, explicit or implicit, distinctive of individual or
characteristic of a group, of the desirable, which influences the section from
available modes, means and ens action.”29
Kata “nilai” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti
sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Nilai adalah
sesuatu
yang
menyempurnakan
manusia
sesuai
dengan
hakikatnya;
berhubungan erat dengan etika. Kata “nilai” diartikan sebagai harga, kadar,
mutu atau kualitas.30 Maka, sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting
dan bermutu atau berguna bagi kemanusiaan dan menyempurnakan manusia
sesuai dengan hakikatnya.
Kata “sosial” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti
berkenaan dengan masyarakat.31 Maka, segala hal yang berhubungan dengan
masyarakat, seperti suka memperhatikan kepentingan umum, suka menolong,
dan menderma dapat disebut sebagai sosial.
28
K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 1993), h. 149.
Soerjono Soekanto, Pribadi dan Masyarakat (Suatu Tinjauan Sosiologis), (Bandung:
Alumni, 1983), h. 160.
30
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 963.
29
31
Ibid., h. 1331.
23
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai
apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Untuk
menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas
harus melalui proses menimbang. Dengan ukuran itu, suatu masyarakat akan
tahu mana yang baik atau buruk, benar atau salah, dan boleh atau dilarang.
Nilai sosial yang terbukti langgeng dan tahan zaman akan membaku menjadi
sistem nilai budaya. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang
dianut masyarakat. Oleh karena itu, terdapat perbedaan tata nilai antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai sosial merupakan
hal-hal yang bersifat penting dan berguna bagi kemanusiaan yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat. Setiap masyarakat sebagai sebuah kehidupan
bersama tentulah memiliki berbagai aturan atau kesepakatan yang luhur untuk
mengatur berlangsungnya kehidupan bersama. Kehidupan bersama tentu juga
memiliki sesuatu yang dijunjung tinggi, dihormati, serta ditaati oleh seluruh
anggota masyarakatnya. Di sisi lain ada juga sesuatu yang dilarang untuk
dilakukan dan harus dijauhi oleh anggota masyarakat. Sesuatu tersebut secara
umum disebut sebagai nilai sosial.
D.
Teori Interaksi Simmel
Manusia tercipta sebagai makhluk pribadi sekaligus juga makhluk sosial.
Sebagai makhluk pribadi, manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhannya agar
dapat bertahan hidup. Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut manusia tidak dapat
hidup sendiri. Manusia memerlukan orang lain untuk mencapai tujuannya. Itulah
sebabnya manusia berinteraksi dengan manusia lainnya sebagai makhluk sosial.
Para ahli, seperti Maclver, J.L. Gillin, dan J.P.Gillin sepakat bahwa adanya
saling bergaul dan interaksi karena mempunyai nilai, norma, cara-cara, dan prosedur
yang merupakan kebutuhan bersama sehingga masyarakat merupakan kesatuan hidup
24
manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat
kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.32
Teori Interaksi Simmel adalah teori yang mengkaji masalah hubungan
antarpribadi (interpersonal). Penjelasan Simmel tentang interaksi adalah sebagai
berikut: (1) Masyarakat terbentuk dari jaringan relasi-relasi antarorang, sehingga
mereka merupakan satu kesatuan. Dalam jaringan relasi tersebut terjadi aksi dan
reaksi yang tak terbilang banyaknya, sehingga masyarakat merupakan proses dinamis
yang ditentukan oleh perilaku anggotanya, (2) Jaringan relasi-relasi itu tidak sama
sifatnya. Artinya dari jaringan relasi tersebut, dapat terbentuk komunitas asosiasi,
bahkan ada tendensi, ada pergeseran dari pola relasi afektif dan personal menjadi
fungsional dan rasional, (3) Dalam jaringan relasi tidak selamanya terbentuk integrasi
dan harmonis, tetapi dapat pula terjadi kritik, oposisi, konflik, dan lain-lain. Bagi
strukturasi sosial yang sehat, maka kritik, oposisi, persaingan sama-sama diperlukan,
sebagaimana halnya kesesuaian paham, persahabatan, dan partisipasi. Keduanya, baik
hal negatif maupun positif menurut pandangan sepintas sebenarnya mempunyai efek
positif dalam proses interaksi. Tindakan yang dianggap negatif menurut individuindividu, sebenarnya mempunyai akibat positif bagi keseluruhan relasi yang ada
dalam masyarakat atau organisasi, (4) Frekuensi interaksi dan kadar interaksi
bervariasi ada yang tinggi dan ada yang rendah. Semakin penting hal yang
mempertemukan orang dalam relasi timbal balik, semakin cepat relasi-relasi itu
dilembagakan.
Pada intinya Simmel memandang masyarakat sebagai produk dari proses
interaksi individu-individu. Terjadinya interaksi akibat dorongan-dorongan dan
tujuan-tujuan tertentu. Sehingga akibatnya ada kesatuan sosial yang sifatnya dapat
lama atau sementara. Tujuan dan dorongan itu sendiri bukan sosial tetapi sebagai isi
32
M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: PT
Refika Aditama, 2001), Cet. IV, h. 122.
25
sosialisasi. Proses sosialisasi itu sendiri terdapat dalam bentuk-bentuk yang berupa
interaksi.33
Individu barulah individu apabila pola perilakunya yang khas di dirinya itu
diproyeksikan pada suatu lingkungan sosial yang disebut masyarakat. Kekhasan atau
penyimpangan dari pola perilaku kolektif menjadikannya individu, menurut relasi
dengan lingkungan sosialnya yang bersifat majemuk serta simultan. Dari individu
dituntut kemampuan untuk membawa dirinya secara konsisten, tanpa kehilangan
identitas nilai etisnya. Relevan dengan relasi-relasi sesaat antara dirinya dengan
berbagai perubahan lingkungan sosialnya. Satuan-satuan lingkungan sosial yang
melingkari individu terdiri dari keluarga, lembaga, komunitas, masyarakat, dan
nasion. Individu mempunyai “karakteristik” yang setiap kali berbeda fungsinya,
struktur, peranan, dan proses-proses yang berlangsung di dalam dirinya. Posisi,
peranan, dan tingkah lakunya diharapkan sesuai dengan tuntutan setiap satuan
lingkungan sosial dalam situasi tertentu. Relasinya bersifat kompleks dan menjadi
sasaran berbagai disiplin ilmu, tetapi diperoleh gambaran mengenai relasi individu
dengan lingkungan sosialnya sebagai berikut.
1.
Relasi Individu dengan Dirinya
Merupakan masalah khas psikologi. Di sini muncul istilah-istilah Ego,
Id, dan Superego serta dipersonalisasikan (apabila relasi individu dengan
dirinya adalah seperti dengan orang asing saja), dan sebagainya. Dalam diri
seseorang terdapat tiga sistem kepribadian yang disebut Id atau “es” (jiwa
ibarat gunung es di tengah laut), Ego atau “aku”, dan Superego atau uber ich.
Id adalah wadah dalam jiwa seseorang, berisi dorongan primitif dengan sifat
temporer yang selalu menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan
demi kepuasan. Contohnya, seksual dan libido. Ego bertugas melaksanakan
dorongan-dorongan Id, tidak bertentangan dengan kenyataan dan tuntutan dari
Superego. Ego dalam tugasnya berprinsip pada kenyataan relative principle.
33
Ibid., h. 56.
26
Superego berisi kata hati atau conscience, berhubungan dengan
lingkungan sosial, dan punya nilai-nilai moral sehingga merupakan control
terhadap dorongan yang datang dari Id. Karena itu ada semacam pertentangan
antara Id dan Superego. Bila Ego gagal menjaga keseimbangan antara
dorongan dari Id dan larangan dari Superego, maka individu akan mengalami
konflik batin yang terus menerus. Untuk itu perlu kanalisasi melalui
mekanisme pertahanan. Demikian psikoanalisa sebagai teori kepribadian yang
dikemukakan oleh Sigmund Freud (1856-1939), sarjana berkebangsaan
Jerman.
2.
Relasi Individu dengan Keluarga
Individu memiliki relasi mutlak dengan keluarga. Ia dilahirkan dari
keluarga tumbuh, dan berkembang untuk kemudian membentuk sendiri
keluarga batinnya. Terjadi hubungan dengan ibu, ayah, dan kakak-adik.
Dengan orang tua, dengan saudara-saudara sekandung, terjalin relasi biologis
yang disusul oleh relasi psikologis dan sosial pada umumnya.
Peranan-peranan dari setiap anggota keluarga merupakan resultan dari
relasi biologis, psikologis, dan sosial. Relasi khusus oleh kebudayaan
lingkungan keluarga dinyatakan melalui bahasa (adat-istiadat, kebiasaan,
norma-norma, bahkan nilai-nilai agama sekalipun).
3.
Relasi Individu dengan Lembaga
Lembaga diartikan sebagai norma-norma yang berintegrasi di sekitar
suatu fungsi masyarakat yang penting. Oleh karena itu, ada segi kultural
berupa norma-norma dan nilai-nilai, dan ada segi strukturalnya berupa
berbagai peranan sosial. Berfungsi dalam integrasi dan stabilitas karena
lembaga sosial merupakan keutuhan tatanan perilaku manusia dalam
kebersamaan hidup.
Tumbuhnya individu ke dalam lembaga-lembaga sosial berlangsung
melalui proses sosialisasi karena lembaga disadari dan mempunyai arti
sebagai realitas-realitas objektif. Posisi dan peranan individu dalam lembaga
27
sosial sudah dibakukan berdasarkan moral, adat, atau hokum yang berlaku.
Individualitasnya ditanggung didalam struktur, yaitu hubungan kelembagaan.
Individu bertingkah laku spesifik, berbeda dengan yang lainnya.
Individu merupakan ketua, direktur, pemimpin, tokoh, dan lainlainnya. Terjadi kompleksitas interaksi sosial, merupakan struktur baku dalam
pola relasi yang terungkap dalam pranata sosial.
4.
Relasi Individu dengan Komunitas
Dalam sosiologi, komunitas diartikan sebagai satuan kebersamanaan
hidup sejumlah orang banyak yang memiliki ciri-ciri: (1) teritorialitas yang
terbatas, (2) keorganisasian tata kehidupan bersama, dan (3) berlakunya nilainilai dan orientasi nilai yang kolektif (Poplin, 1960). Ketentuan batas wilayah
bersifat objektif dan subjektif, sehingga batas-batas administratif dan batas
kultural tidak tumpang tindih dalam kehidupan komunitas. Komunitas
mencakup individu-individu, keluarga-keluarga, dan juga lembaga yang saling
berhubungan
secara
interdependen.
Bersifat
kompleks,
dari
makna
kehidupannya ditentukan oleh orientasi nilai yang berlaku, artinya oleh
kebudayaannya,
yang
menumbuhkan
pranata-pranata
sosial
struktur
kekerabatan keluarga dan perilaku individu maupun kolektif. Posisi dan
peranan individu didalam komunitas tidak lagi bersifat langsung, sebab
perilakunya sudah tertampung atau direndam oleh keluarga dan kebudayaan
yang mencakup dirinya. Sebaliknya pengaruh komunitas terhadap individu
tersalur melalui keluarganya dengan melalui lembaga yang ada.
5.
Relasi Individu dengan Masyarakat
Masyarakat merupakan suatu lingkungan sosial yang bersifat makro.
Aspek teritorium kurang ditekankan, namun aspek keteraturan sosial dan
wawasan hidup kolektif memperoleh bobot yang lebih besar. Kedua aspek itu
menunjuk kepada derajat integrasi masyarakat karena keteraturan esensial dan
hidup kolektif ditentukan oleh kemantapan unsur-unsur masyarakat yang
terdiri dari pranata, status, dan peranan individu. Variable-variabel tersebut
28
dipakai dalam mengkaji dan menjelaskan fenomena masyarakat menurut
persepsi makro.
Sifat makro diperoleh dari kenyataan, bahwa masyarakat pada
hakikatnya terdiri dari sekian banyak komunikasi yang berbeda, sekaligus
mencakup berbagai macam keluarga, lembaga, dan individu-individu.
6.
Relasi Individu dengan Nasion
Menurut Ernest Renan (1823-1892), nasion adalah suatu jiwa, suatu
asas spiritual, suatu solidaritas yang besar yang terbentuk oleh perasaan yang
timbul sebagai akibat pengorbanan-pengorbanan yang telah dibuat dan yang
dalam masa depan bersedia dibuat lagi. Persetujuan keinginan dinyatakan
dengan jelas untuk melanjutkan kehidupan bersama.
Relasi individu dengan nasionnya dinyatakan pula dengan posisi serta
peranan-peranan yang ada pada dirinya. Semuanya tertampung oleh atau
tersalurkan melalui unit-unit lingkungan sosial yang lebih makro. Hubungan
langsung individu dengan nasion diekspresikan melalui posisinya sebagai
warga Negara.34
E.
Pembelajaran Sastra
Istilah pengajaran yang mempunyai makna proses, cara, perbuatan mengajar
atau mengajarkan; perihal mengajar; sedangkan pembelajaran biasa diucapkan
sejalan dengan semangat dan perubahan yang terjadi. Pembelajaran lebih dipilih dan
dipergunakan secara formal, karena didalam kata ini aktivitas yang terjadi adalah
seimbang antara pihak guru dan anak didiknya; mereka sama-sama aktif dan
diharapkan juga sama-sama kreatif.35
Istilah sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tulisan atau
karangan. Sastra biasanya diartikan sebagai karangan dengan bahasa yang indah dan
34
Ibid., h. 123-127.
Rohinah M. Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Solusi Pendidikan Moral yang
Efektif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2011), h. 137.
35
29
isi yang baik. Bahasa yang indah artinya dapat menimbulkan kesan dan menghibur
pemabacanya. Isi yang baik artinya berguna dan mengandung nilai pendidikan. Indah
dan baik yang ini menjadi fungsi sastra yang terkenal dengan istilah dulce et utile.
Bentuk fisik dari sastra disebut karya sastra. Penulis karya sastra disebut sastrawan.36
Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan
kepribadian. Sastra dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara
berpikir orang mengenai hidup, baik dan buruk, benar dan salah serta cara hidup.
Oleh karena itu, selain memberikan kenikmatan dan keindahan, pembelajaran sastra
juga mampu memberikan nilai-nilai sosial yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara.
Pembelajaran sastra di sekolah merupakan sesuatu yang penting dan patut
diajarkan sesuai dengan tingkatannya. Dari usia dini, yaitu tingkat Sekolah Dasar
hingga Perguruan Tinggi. Jika sastra diajarkan dengan cara yang tepat, maka
pengajaran sastra dapat membantu bidang pendidikan.
Ketepatan dalam pengajaran sastra tersebut dapat membantu pendidikan
secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu
keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta
dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.37 Manfaat tersebut juga berguna untuk
menafsirkan dan memahami masalah-masalah dunia nyata, walaupun sastra sendiri
merupakan karya fiktif. Oleh karena itu, pengajaran sastra dapat dijadikan sebagai
pembelajaran yang penting dan patut menempati tempat yang selayaknya.
Mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah Kelompok Mata Pelajaran Wajib.
Kelompok Mata Pelajaran Wajib merupakan bagian dari kurikulum pendidikan
menengah dalam kurikulum 2013 yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan
tentang bangsa, bahasa, sikap sebagai bangsa, dan kemampuan penting untuk
mengembangkan logika dan kehidupan pribadi peserta didik, masyarakat dan bangsa,
pengenalan lingkungan fisik dan alam, kebugaran jasmani serta seni budaya daerah
36
Ibid., h. 17.
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, ( Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16.
37
30
dan nasional, sedangkan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia termasuk dalam
Kelompok Mata Pelajaran Peminatan. Kelompok Mata Pelajaran Peminatan bertujuan
(1) untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan minatnya
dalam sekelompok mata pelajaran sesuai dengan minat keilmuannya di perguruan
tinggi, dan (2) untuk mengembangkan minat terhadap suatu disiplin ilmu atau
keterampilan tertentu.
Dalam struktur kurikulum SMA/MA terdapat penambahan jam belajar per
minggu sebanyak 4-6 jam sehingga untuk kelas X bertambah dari 38 jam menjadi 42
jam belajar dan untuk kelas XI dan XII bertambah dari 38 jam menjadi 44 jam
belajar, sedangkan lama belajar untuk setiap jam belajar adalah 45 menit. Dengan
adanya tambahan jam belajar ini dan pengurangan jumlah Kompetensi Dasar, guru
memiliki keleluasaan waktu untuk mengembangkan proses pembelajaran yang
berorientasi siswa aktif belajar. Proses pembelajaran siswa aktif memerlukan waktu
yang lebih panjang dari proses pembelajaran penyampaian informasi karena peserta
didik perlu latihan untuk mengamati, bertanya, mengasosiasi, dan berkomunikasi.
Proses pembelajaran yang dikembangkan guru menghendaki kesabaran dan
menunggu respons peserta didik karena mereka belum terbiasa. Selain itu,
bertambahnya jam belajar memungkinkan guru melakukan penilaian proses dan hasil
belajar.
Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu
siswa berlatih keterampilan membaca, keterampilan menyimak, keterampilan
berbicara, dan keterampilan menulis yang masing-masing erat kaitannya. Dalam
pengajaran
sastra,
siswa
dapat
melatih
keterampilan
menyimak
dengan
mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman atau lewat pita rekaman.
Siswa dapat melatih keterampilan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama.
Siswa dapat pula meningkatkan keterampilan membaca dengan membacakan puisi
atau prosa cerita. Mengapresiasi sastra itu menarik, siswa dapat mendiskusikannya
dan kemudian menuliskan hasil diskusinya sebagai latihan keterampilan menulis.
31
Pembelajaran sastra dapat ditingkatkan lagi dengan pendidikan melalui sastra.
Melalui sastra, kita dapat mengembangkan peserta didik dalam hal keseimbangan
antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika; pengembangan
kecakapan hidup; belajar sepanjang hayat; serta pendidikan keseluruhan dan
kemitraan. Selain itu, dengan pendidikan sastra, peserta didik tidak hanya diajak
untuk memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada dalam karya
sastra dan kenyataan yang ada di luar karya sastra, tetapi juga diajak untuk
megembangkan sikap positif terhadap karya sastra. Pendidikan semacam ini akan
mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan kemampuan peserta didik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sastra bertujuan
untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, menyeimbangkan pengembangan
kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan kinestetika peserta didik.
F.
Penelitian yang Relevan
Pada penelitian ini penulis menggunakan novel Para Priyayi sebagai objek
penelitian. Peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra dalam mengkaji objek
penelitian. Sebelumnya ada beberapa penelitian lain yang dapat dijadikan
perbandingan dan penelitian yang relevan. Penelitian yang relevan dengan penelitian
ini adalah sebagai berikut.
Skripsi Atik Hendriyati (2009) dengan judul penelitian “Kajian Intertekstual
dan Nilai Pendidikan dalam Novel Canting Karya Arswendo Atwomiloto dengan
Para Priyayi Karya Umar Kayam”. Berdasarkan analisis Atik Hendriyati, hubungan
intertekstual antara Canting dan Para Priyayi merupakan karya hipogram, yaitu karya
yang melatarbelakangi penciptaan karya selanjutnya, sedangkan Para Priyayi disebut
karya transformasi karena mentransformasikan teks-teks yang menjadi hipogramnya.
Persamaan kedua novel ini terdapat dalam beberapa aspek, yaitu tema, alur,
penokohan dan perwatakan, dan latar, baik tempat, waktu maupun sosial.
Perbedaannya terdapat pada nilai yang dianalisis. Penelitian ini meneliti mengenai
nilai pendidikan, yaitu nilai pendidikan dalam sikap atau tindakan, yaitu nilai-nilai
32
yang diperoleh dan dapat dicontoh dari sikap atau tindakan para tokoh dalam cerita.
Selain itu, nilai pendidikan disampaikan melalui ungkapan atau pepatah dari para
tokohnya yang mengandung ajaran moral yang tinggi. 38
Kedua, skripsi Permadi Hendra Lesmana (2013) “Perubahan Ideologi
Kepriyayian Jawa: dari Tradisi ke Modern dalam Novel Para Priyayi dan Jalan
Menikung Karya Umar Kayam serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di
SMA”. Berdasarkan hasil analisis Permadi Hendra Lesmana, perubahan ideologi
yang terdapat dalam Para Priyayi dan Jalan Menikung Karya Umar Kayam
dikelompokkan menjadi enam, yaitu 1) Perubahan Ideologi Kayam terkait
pernikahan, 2) Perubahan ideologi Kayam terkait sudut pandang agama lain dalam
menilai Islam, 3) Perubahan ideologi Kayam terkait sikap kepada penguasa, 4)
Perubahan ideologi terkait sikap orang tua ditunjukan oleh tokoh utama yang
sebelumnya tidak memberikan restu pernikahan beda agama menjadi sebaliknya, 5)
Perubahan ideologi terkait menyikapi kebudayaan Jawa,
sebelumnya Kayam
menjadikan budaya Jawa sebagai panduan kehidupan dan kemudian hanya menjadi
seni hiburan saja, 6) Perubahan ideologi terkait konsep perselingkuhan, sebelumnya
perselingkuhan hanya dianggap sebagai hiburan dan perselingkuhan itu sendiri tidak
pernah terjadi pada tokoh utama tetapi kemudian menjadi sebaliknya, perselingkuhan
menjadi kebutuhan dan benar-benar terjadi.39
Persamaan penelitian ini dengan kedua penelitian relevan di atas adalah samasama meneliti mengenai beberapa aspek, yaitu tema, alur, penokohan dan
perwatakan, dan latar, baik tempat, waktu, maupun sosial. Perbedaannya adalah
penelitian ini menganalisis nilai sosial, sedangkan kedua penelitian relevan di atas
meneliti mengenai nilai pendidikan dan perubahan ideologi.
38
Atik Hendriyati, “Kajian Intertekstual dan Nilai Pendidikan Novel Canting Karya Arswendo
Atmowiloto dengan Para Priyayi Karya Umar Kayam”, Skripsi pada Strata 1 Universitas Sebelas
Maret, Purwakarta, Purwakarta, 2009, tidak dipublikasikan.
39
Permadi Hendra Lesmana, “Perubahan Ideologi Kepriyayian Jawa: dari Tradisi ke Modern
dalam Novel Para Priyayi dan Jalan Menikung Karya Umar Kayam serta Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di SMA”, Skripsi pada Strata 1 Universitas Islam Negeri, Jakarta, Jakarta, 2013,
tidak dipublikasikan.
BAB III
TINJAUAN NOVEL DAN BIOGRAFI PENGARANG
A.
Tinjauan Internal
1.
Sinopsis Novel Para Priyayi
Lantip, nama aslinya adalah Wage karena lahir pada hari Sabtu Wage.
Nama Lantip itu adalah sebuah nama pemberian dari keluarga Sastrodarsono
saat Lantip tinggal di keluarga itu, yaitu di jalan Satenan di kota Wanagalih.
Sebelumnya Lantip tinggal bersama Emboknya Desa Wanalawas yang hanya
beberapa kilometer dari kota Wanagalih. Hubungan Embok Lantip dengan
keluarga Sastrodarsono itu dimulai dari penjualan tempe. Rupanya tempe
buatan Embok Lantip itu berkenan di hati keluarga Sastrodarsono. Buktinya
kemudian tempe Embok itu jadi langganan keluarga tersebut.
Lantip selalu ikut membantu menyiapkan dagangan tempe, dan ikut
menjajakan nya berjalan di samping atau di belakang Mboknya menyelusuri
jalan dan lorong kota. Lantip ingat bahwa dalam perjalan itu sengatan terik
matahari Wanagalih. Wanagalih memang terkenal sangat panas dan rasa haus
yang benar-benar mengeringkan tenggorokan. Sekali waktu Lantip pernah
merengek kepada Emboknya untuk dibelikan jajanan. Dengan ketus
Emboknya menjawab dengan ―Hesy! Ora usah‖, dan Lantip pun terdiam.
Lantip tahu Emboknya, meskipun murah hati juga sangat hemat dan tegas.
Dia akan lebih senang bila kami melepas haus di sumur pojok alun-alun atau
bila beruntung dapat sekedar air teh di rumah langganan Emboknya. Salah
satu langganan Emboknya yang murah hati itu adalah keluarga Sastrodarsono.
Mereka dipanggil oleh keluarga Sastrodarsono. Mereka menyebutnya dengan
―Ndoro Guru‖ dan ―Ndoro Guru Putri‖. Waktu mereka melihat Embok datang
33
34
membawa Lantip, Ndoro Guru menanyakan dengan nada suara sangatlah
ulem-nya dan penuh wibawa.
Sejak itu rumah keluarga Sastrodarsono menjadi tempat persinggahan
mereka, hubungan mereka dengan keluarga itu menjadi akrab, bahkan lamalama rumah itu menjadi semacam rumah kedua bagi mereka. Tetapi sangatlah
tidak pantas rumah gebyok itu terlalu besar dan bagus untuk dikatakan rumah
kedua mereka bila disejajarkan dengan rumah mereka yang terbuat dari gedek
atau anyaman bambu di desa Wanalawas. Juga bila diingat bahwa rumah itu
adalah rumah milik seorang priyayi, seorang mantri guru sekolah desa, yang
pada zaman itu mempunyai kedudukan cukup tinggi di mata masyarakat
seperti Wanagalih. Mantri guru sudah jelas didudukan masyarakat dan
pemerintah sebagai priyayi, ia punya jabatan dan juga punya gaji.
Suatu ketika Soedarsono yang telah berganti nama menjadi
Sastrodarsono,
mengutus
Soenandar
untuk
mengurus
sekolah
yang
didirikannya di Wanalawas, diharapkan agar Soenandar lebih mandiri dan
dapat bertanggung jawab, tapi Soenandar justru menghamili anak penjual
tempe dan kabur. Lahirlah Wage yang kemudian diboyong ke wanagalih,
dirawat dan disekolahkan, kemudian diganti namanya menjadi Lantip.
Wanagalih adalah sebuah ibukota kabupaten. Kota itu lahir sejak pertengahan
abad ke-19. Di kota itu Lantip sering teringat akan Mbah guru Sastrodarsono
yang selalu memberikan nasihat pada seisi rumah setiap kali ia pulang dari
pertemuan pagi.
Semenjak Lantip mengetahui perihal ayahnya, ia merasa kecewa dan
malu karena ia hanya anak jadah dan haram meskipun jelas bapaknya tetapi
tidak mau menikah dengan Emboknya. Ternyata bapaknya
adalah
gerombolan perampok. Selain itu juga sekarang Lantip mengerti mengapa
keluarga Sastrodarsono sangat memperhatikan kehidupannya dan Ngadiyem
Emboknya, karena Soenandar, yang ayahnya Lantip itu, adalah masih
tergolong keluarga dari Sastrodarsono.
35
Keluarga Sastrodarsono perlahan berhasil membangun keluarga
priyayi mereka sendiri. Kelahiran tiga anak mereka, yaitu Noegroho, Hardojo
dan Soemini menambah lengkap keluarga priyayi mereka. Semua anak
mereka pun sukses mengikuti jejak Sastrodarsono menjadi seorang priyayi.
Noegroho yang menjadi Guru HIS kemudian banting setir ikut PETA pada
zaman pendudukan Jepang, dan kemudian pindah menjadi perwira TNI pada
zaman kemerdekaan. Hardojo, menjadi seorang abdi Mangkunegaran dan
menantunya Harjono (suami Soemini) seorang Asisten Wedana.
Sastrodarsono, adalah anak tunggal Mas Atmokasan seorang anak
petani desa Kedung Simo. Sebelumya ia hanya bekerja sebagai guru bantu di
Ploso. Dengan jabatan guru bantu itu, berarti Sastrodarsono adalah orang
pertama dalam keluarganya yang berhasil menjadi priyayi. Sastrodarsono
dijodohkan dengan Ngaisah yang nama aslinya Aisah putri tunggalnya
seorang mantri candu di Jogorogo. Dik Ngaisah, begitu ia memanggil istrinya,
ia seorang istri yang mumpunyai lengkap akan kecakapan dan keprigelannya
bukan hanya pandai mamasak ia juga memimpin para pembantu di dapur,
karena memang sejak lahir ia sudah menjadi anak priyayi dibandingkan
dengan Sastrodarsono yang baru akan menjadi priyayi.
Sepeninggalannya Mbah putrid, kesehatan Eyang kakung semakin
memburuk yang sampai akhirnya ia meninggal dunia. Dalam upacara
sambutan selamat tinggal untuk Sastrodarsono, semua anggota keluarga
Sastrodarsono tidak ada yang berani memberikan pidato kata-kata terakhir.
Akhirnya Lantip yang dijadikan wakil dari keluarga besar Sastrodarsono yang
menyampaikan pidato selamat jalan itu. Lantip, meskipunia adalah anak
haram hasil hubungan Soenandar dan ibu kandungnya, Ngadiyem, tetapi
sesungguhnya dialah yang telah berhasil menjadi seorang priyayi yang
sebenarnya. Terlihat dari ketulusan dan kesediaannya membantu para anggota
keluarga Sastrodarsono. Namun, ia tak bangga dengan semua itu. Cerita pun
36
ditutup dengan peristiwa Lantip mengajak calon istrinya yang bernama
Halimah ke makam Embok dan Embahnya dengan perasaan yang bahagia.
2.
Gambaran Umum Novel Para Priyayi
Novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan 308 halaman yang
diterbitkan pada tahun 1992 ini menggambarkan warna-warni kehidupan
tokoh-tokohnya yang berlatar kehidupan Jawa. Novel ini menceritakan realita
kehidupan tokoh-tokohnya mengenai kehidupan keluarga besar priyayi Jawa
dan masalah-masalah yang ada didalamnya. Keluarga ini adalah keluarga
Sastrodarsono.
Sastrodarsono adalah seorang anak petani desa yang berjuang hidup
untuk membangun keluarga besar priyayi. Berkat kesetiaan ayahnya
menggarap sawah Ndoro Seten, seorang priyayi Kedungsimo, ia disekolahkan
dan berhasil mengantongi beslit guru bantu. Melalui dunia pendidikan itulah
ia masuk golongan para priyayi. Pandangan hidup yang dimulai dari hal yang
sangat sederhana, yaitu sebagai guru bantu ternyata membuahkan hasil yang
tak terduga. Mimpinya membangun keluarga priyayi, disertai dengan
keuletan, taat pada orang tua dengan sikap orang jawa yang ikut, nurut, dan
manut ternyata dapat terwujud. Ia merupakan gambaran pria jawa yang selalu
patuh, mulai dari perjodohannya dengan seorang gadis sampai pada kesabaran
dan ketelatenannya menjalani karir dan juga berumah tangga.
Perjuangan menaiki tangga priyayi yang dibangun oleh Satrodarsono
tidak selamanya berjalan sesuai keinginannya. Perjuangannya mulai luntur
pada generasi anak cucunya. Mereka sudah mulai tergilas arus modernisasi.
Akan tetapi, di sisi yang lain, keluarga Sastrodarsono berhasil menemukan
priyayi yang sesungguhnya, yaitu Lantip. Ia adalah seorang lelaki yang tidak
berdarah priyayi, namun memiliki jiwa priyayi yang sebenarnya.
Dalam konteks kebudayaan Jawa, kata priyayi digunakan untuk
menyebut orang-orang yang terhormat atau disegani dalam masyarakat.
Dalam konteks ini, semua guru, pejabat atau pemerintah bisa juga disebut
37
priyayi. Namun, novel Para Priyayi menyajikan ceritayang berbeda mengenai
priyayi yang sebenarnya, bahwa priyayi itu bukan dari darah birunya, bukan
dari posisi dan jabatannya, melainkan dari sikap kesungguhannya untuk
melayani dan mengayomi rakyat. Hal ini disampaikan pada bagian terakhir
saat tokoh Lantip ketika ia berpidato di pemakaman Eyangnya. Lantip
memaparkan dengan jelas tentang keberadaan Eyangnya selama masih hidup
dalam mengayomi rakyat banyak terutama di bidang pendidikan.
Novel ini menggambarkan kebudayaan lokal dengan penciptaan
suasana, tempat, budaya, gaya bahasa, alur dan banyak hal lainnya dengan
sangat mendetail. Budaya Jawa menjadi salah satu tolok ukur dan juga
masalah yang diangkat dalam novel ini. Adanya kelas dalam masyarakat
Jawa, membuat Sastrodarsono ingin membangun keluarga priyayi yang
priyayi agung. Perjalanan Sastrodarsono diwarnai dengan berbagai tradisi
lokal tentang perjodohan, gaya hidup priyayi yang meliputi cara hidupnya,
berpakaian, makan, dan bagaimana posisi seorang istri priyayi harus bersikap
intelek, baik secara pemikiran atau sikap.
Para tokoh dalam novel ini pun dilahirkan dari latar tempat, sosial, dan
waktu yang memang benar-benar menggambarkan kebudayaan Jawa pada
saat itu. Terlihat jelas karena novel ini diwarnai dengan beberapa penggal
tembang kinanti yang merupakan perwujudan kesenian Jawa di bagian tengah
dan akhir novel. Tokoh-tokoh dalam novel terlahir dari latar budaya Jawa
yang sangat kental, terutama dari dialog dan cara mengatasi berbagai konflik.
Dalam novel ini terdapat kesenjangan sosial atau perbedaan kelas
antara golongan priyayi dan masyarakat biasa, dimana seolah priyayi adalah
cerminan tokoh putih dalam suatu cerita yang sangat dihormati dan dipercayai
secara berlebihan. Status priyayi merupakan status yang banyak terlahir dalam
suasana kehidupan orang Jawa. Priyayi sangat konsekuen dalam menjaga
berlakunya sistem nilai dan rakyat kecil mengacu serta menganggap sistem
nilai tersebut sempurna dan yang terbaik untuk dihormati bahkan diikuti.
38
Bahasa Jawa yang disajikan dalam novel ada tiga bahasa; Kromo
Inggil (sangat halus), Kromo (halus), dan Ngoko (kasar). Misalnya, pada saat
Lantip berbicara pada Sastrodarsono, Lantip menggunakan bahasa yang
terkesan begitu halus dan berbeda pada saat Lantip berbicara dengan orang
yang statusnya sama atau sebaya dengannya. Biasanya bahasa seperti Kromo
Inggil tersebut dipakai oleh orang yang muda kepada orang yang tua apapun
strata sosialnya, sedangkan kalau orang yang muda berbicara kepada orang
yang muda juga atau yang setara umurnya, biasanya memakai yang halus
(Kromo) atau bahasa yang kasar (Ngoko). Selain itu, disisipi pula istilah atau
ungkapan Jawa disertai artinya.
Bahasa yang digunakan mampu menghidupkan suasana, sehingga
mampu membawa pembaca serasa larut dalam cerita. Terutama bahasa Jawa
(logat Jawa) yang digunakan tokoh untuk berdialog. Selain itu, terdapat
bahasa lain seperti bahasa Belanda dan Bahasa Jepang untuk menunjukkan
masa pemerintahan pada saat itu.
Melalui novel Para Priyayi, pembaca Indonesia yang berlatar
belakang bukan Jawa akan dapat mengenal dan memahami sebagian
kehidupan sosial budaya Jawa. Tingkah laku tokoh-tokoh dalam novel
tersebut sarat akan nilai sosial. Mereka mengikatkan diri dengan penuh
kesadaran terhadap aturan kelembagaan masyarakat Jawa.
B.
Tinjauan Eksternal
1.
Biografi Umar Kayam
Umar Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada tanggal 30 April
1932.Ia memperoleh gelar Ph. D di Cornell University dengan tesis mengenai
problem koordinasi pembangunan masyarakat Indonesia. Sejak menjadi
mahasiswa di Universitas Gajah Mada ia telah aktif dalam berbagai kegiatan
kesenian. Namun baru mulai menulis karya-karya sastra pada tahun 1960‘an
ketika berada di New York. Pada tahun 1968, cerita pendeknya ―Seribu
39
Kunang-kunang di Manhattan‖ dinilai sebagai cerpen terbaik yang dimuat
dalam majalah Horison.1
Dalam dialog santai dengan A.S. Laksana dkk, dua bulan sebelum
meninggal, Umar Kayam sempat mengisahkan masa kecilnya, kegemaran
membaca yang terkondisi sejak kecilnya, dan awal kepengarangannya.
Umar Kayam berasal dari keluarga guru. Ayahnya seorang guru
Hollands Inlands School (HIS; sekolah dasar untuk anak-anak priyayi yang
menyiapkan priyayi-priyayi gubernemen pada saat pemerintahan kolonial
Belanda) di Mangkunegoro, Surakarta. Di sekolah dasar itu, ia sekelas dengan
Wiratmo Soekito—Budayawan yang kelak terkenal sebagai konseptor
Manifes Kebudayaan—yang dipanggilnya sebagai Kliwir. Keragaman
membaca buku secara dini diperolehnya dari ayahnya yang mempunyai
perpustakaan pribadi. Waktu di MULO (sekarang SMP), secara sembunyisembunyi karenatakut dimarahi ibunya – ia telah banyak membaca romanroman yang seharusnya baru boleh dibaca setelah ia dewasa, seperti novel
Margaret Mitchel Gone with the Wind yang sudah ada terjemahannya dalam
bahasa Belanda pada saat itu. Ia bisa menikmati novel yang mengisahkan
perang saudara di Amerika Serikat itu. walaupun secara jujur ia mengatakan
bahwa banyak yang tidak dipahaminya ketika itu.2
Kayam memulai dunia kesenian sejak SMP dengan giat di bidang
drama, sastra, dan koran dinding. Saat ia di sekolah dasar ada keharusan untuk
membaca dongeng-dongeng, dan ada pelajaran bercerita di depan kelas dalam
bahasa Belanda. Diakuinya pendidikan Belanda itu memang baik, teratur, dan
disiplin. Di kelas lima HIS, ia sudah menguasai bahasa Belanda. Sehariharinya, bersama orang tuanya ia berbicara dalam bahasa Jawa halus (kromo)
campur Belanda. Bahasa Melayu dalam waktu itu bukan bahasa sehari-hari.Ia
1
DBB,Umar Kayam Memenangkan SEA Write Award 1987, HarianBerita Buana, Jakarta, 14
Juli1987, h. 4.
2
B. Rahmanto, Umar Kayam: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), h. 1-2.
40
les bahasa Melayu sore hari. Baru pada masa pendudukan tentara Jepanglah
bahasa Indonesia diwajibkan secara intensif sebagai bahasa pengantar.
Ia mulai belajar mengarang saat duduk di SMA bagian A (Bahasa) di
Yogyakarta. Awalnya, karena memenuhi tugas pelajaran dengan tema-tema
yang diberikan oleh gurunya. Bersama teman-teman sekelasnya, seperti
Nugroho Notosusanto dan Daoed Joesoef (dua-duanya pernah menjadi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI), Umar Kayam mendapat tugas
mengelola majalah dinding sekolah. Di majalah dinding itulah Umar Kayan
dan tema-temannya mengekspresikan tulisannya dalam bentuk puisi (katanya
yang paling banyak), cerpen, esai, dan pembicaraan karya-karya pengarang,
seperti Tagore, S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Chairil Anwar.3
Umar Kayam
Universitas
Gadjah
melanjutkan pendidikan di
Mada,
Yogyakarta.
Ia
Fakultas
ruang
Pedagogi
kemahasiswaan
―Universitaria‖ di RRI Nusantara II Yogyakarta yang berisi berita dan
kegiatan mahasiswa dan mendirikan majalah mingguan bertajuk Minggu.
Minatnya terhadap dunia pers ini kelak akan tersalurkan lewat kolom rutinnya
di halaman depan yang diterbitkan di harian Kedaulatan Rakyat setiap hari
Selasa sejak 12 Mei 1987 sampai dengan pertengahan tahun 2000. Kolom
Kedaulatan Rakyatmenarik minat banyak pembaca kerena dituturkan dengan
singkat, penuh humor cerdas, canda, tidak ngotot, kadang secara tidak
langsung menyampaikan sendirian, protes, usul, nasihat, dan sebagainya.
Kolom ini akhirnya dikumpulkan dan diterbitkan kembali menjadi 4 buah
buku.
Tahun 1955 Umar Kayam menyelesaikan sarjana muda-nya, lalu
bekerja di Jakarta beberapa tahun. Ia kemudian melanjutkan kuliah di
Amerika Serikat, memperoleh gelar Master of Educationdari Newyork
University School of Education (1963), dan akhirnya memperoleh gelar
3
Ibid., h. 2-3.
41
Doctor of Philosophydi Cornell University dengan disertasi berjudul ―Aspect
of Interdepartmental Coordination Problems in Indonesian Community
Development‖ (1965).
Sepulangnya dari Amerika Serikat, oleh Presiden Soeharto ia ditunjuk
menjadi Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan
RI (1966-1969); kemudian ia terpilih untuk menggantikan Trisno Sumardjo
(1969-1972) sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan selama itu pula ia
merangkap sebagai Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ;
sekarang Institut Kesenian Jakarta, IKJ) di Jakarta, di samping sebagai
anggota Board of Trustee International Broadcast Institute yang berpusat di
Roma, Italia selama dua tahun. Jabatan lainnya yang pernah diemban adalah
Direktur
Pusat
Latihan
Ilmu-Ilmu
Sosial
Universitas
Hasanuddin,
Ujungpandang (1975-1976), Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan di UGM
(1977-1997), dosen pascasarjana UGM, dan dosen kontrak di Jurusan Sastra
Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (19982001).
Ia dikukuhkan menjadi Guru Besar Fakultas Sastra UGM dengan
pidato bertajuk ―Transformasi Budaya Kita‖ yang diucapkannya di depan
rapat senat terbuka Universitas Gadjah Mada, 19 Mei 1989, dan pamit
pensiun dalam seminar untuk Umar Kayam sehubungan dengan purnabakti
sebagai guru besar Fakultas Sastra UGM, 11-12 Juli 1997.4
Umar Kayam juga pernah bermain film dan sinetron, antara lain dalam
film Karmilayang disutradarai oleh Ami Priyono, memerankan Bung Karno
dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI dengan sutradara arifin C. Noer, dan
berperan sabagai Pak Bei dalam sinetron yang diangkat dari novel Arswendo
Atmowiloto yang berjudul Canting.
4
Ibid., h. 4-5
42
Umar Kayam, disamping seorang sastrawan, adalah seorang
budayawan. Sebagai sastrawan ia telah menulis beberapa karya sastra, antara
lain, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (Kumpulan Cerpen), Sri Sumarah
dan Bawuk, (dua novel pendek dalam satu buku), Parta Krama (Kumpulan
Cerpen), Para Priyayi, dan Jalan Menikung. Sementara itu, sebagai seorang
budayawan ia telah menghasilkan beberapa kumpulan tulisan mengenai seni
dan budaya yang antara lain terkumpul dalam Mangan Ora Mangan Kumpul,
Sugih Tanpa Banda, Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih,
Perubahan Nilai dalam Islam, dan Seni dan Tradisi dalam Masyarakat.5
Umar Kayam menikah dengan Roosliana Hanum, 1 Maret 1959,
dikaruniai dua orang putri, yang sulung bernama Sita Aripurnami dan si
Bungsu Wulan Anggraeni. Ia meninggal dunia di Jakarta menjelang usianya
yang genap 70 tahun, Sabtu, 16 Maret 2002, dan dimakamkan di Tempat
Pemakaman Umum Karet, Jakarta.
2. Karya-karya Umar Kayam
Dalam karya-karyanya yang berlatar Amerika, Umar Kayam bertutur
sebagai pengamat. Umar Kayam mulai menulis cerpen dengan agak teratur
ketika ia tugas belajar di Amerika Serikat. Begitu tugas belajar selesai dan
pulang ke tanah air, muncullah cerpen pertamanya di majalah Horison, No. 4
Tahun I, 1966 berjudul ―Seribu Kunang-kunang di Manhattan‖. Cerpen ini
terpilih sebagai cerpen terbaik majalah Horison1966/1967. Cerpen ini sangat
populer sehingga oleh Yayasan Obor Indonesia (1999) diterbitkan dalam
terjemahan 13 bahasa daerah yang masih hidup di Indonesia dalam rangka
Program Pemetaan Bahasa Nusantara 1999.
Setelah kumpulan cerpennya ―Seribu Kunang-kunang di Manhattan‖,
Umar Kayam menerbitkan kumpulan cerita panjang ―Bawuk dan Sri
Sumarah‖. Cerpen-cerpennya ini menceritakan tentang kejiwaan dan
5
Acep Iwan Saidi, Matinya Dunia Sastra Biografi Pemikiran & Tatapan Terberai Karya
Sastra Indonesia, (Jakarta: Pilar Media, 2006), h. 112.
43
pergolakan batin wanita-wanita Jawa, dan telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris oleh Harry Aveling. Dua cerpennya yang terakhir ini
diterbitkan kembali pada tahun 1986, dengan ditambah beberapa cerpen
lainnya yang terbaru seperti ―Kimono Biru untuk Istriku‖, bukunya yang
terakhir inilah yang mengantarkan Umar Kayam menjadi pemenang SEA
Write Award 1987.6
Umar Kayam pernah menulis buku kanak-kanak Totok dan Toni
(1975).Dua noveletnya yang berjudul ―Sri Sumarah‖ dan ―Bawuk‖ pernah
diterbitkan menjadi satu buku dengan judul Sri Sumarah dan Bawuk(1975).
Akan tetapi, akhirnya disatukan dengan kumpulan cerpennya Seribu Kunangkunang di Manhattan (1972) ke dalam judul Sri Sumarah dan Cerita Pendek
lainnya
(1986).
Tiga
cerpennya,
yaitu
―Seribu
Kunang-kunang
di
Manhattan‖.―Bawuk‖, ―Musim Gugur Kembali di Connecticut‖, telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dimuat dalam antologi Harry
Aveling (ed.) From Surabaya to Armagedon (1976). Cerpen-cerpennya yang
lain juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling
dan diterbitkan di Singapura dengan judul Sri Sumarah and other stories
(1976).
Kumpulan cerpennya yang lain adalah Parta Krama (1997) yang
diterbitkan dalam rangka ulang tahunnya yang ke-65, dan Lebaran di Karet,
di Karet ... (2002) yang diterbitkan setelah Umar Kayam meninggal. Ia juga
menulis dua buah novel yang berjudul Para Priyayi (1992), dan Jalan
Menikung Para Priyayi 2 (1999). Para Priyayi sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Jerman. Sebagai sastrawan, tahun 1987 ia memperoleh Hadiah Sastra
ASEAN.7
6
DBB, Umar Kayam Memenangkan SEA Write Award 1987, Harian Berita Buana, Jakarta,
14 Juli 198, h. 4.
7
B. Rahmanto, Umar Kayam: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), h. 5-6.
44
Umar kayam dalam peta kesusastraan Indonesia mencuat namanya
karena cerpen panjangnya ―Sri Sumarah‖ dan ―Bawuk‖ serta beberapa cerpen
lainnya yang dimuat di majalah Horison. Melalui cerpen-cerpennya ia berhasil
mengangkat kultur Jawa dengan sangat meyakinkan. Begitu pula dengan
novelnya, yaitu Para Priyayi. Novel Para Priyayi menghadirkan kebudayaan
Jawa melalui tokoh-tokohnya yang sangat kental dengan citra priyayinya.
Karya Umar Kayam yang berbentuk buku nonfiksi, antara lain Seni,
Tradisi, Masyarakat (1981) dan The Soul of Indonesian, A Culture Journey
yang
diterbitkan
oleh
Louisiana
University
Press
yang
kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Semangat Indonesia: Suatu
Perjalanan Budaya (1985). Selain menjadi kolumnis di beberapa surat kabar
dan majalah, kolom-kolomnya yang sangat digemari pembaca di harian
Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Kolom-kolomnya yang secara rutin hadir
setiap hari Selasa, akhirnya diterbitkan secara berseri dengan judul Mangan
Ora Mangan Kumpul (1990), Sugih Tanpa Banda (1994), Madhep Ngalor
sugih, Madhep Ngidul Sugih (1998), dan Satrio Piningit ing Kampung Pingit
(2000). Sebelum wafatnya, Umar Kayam masih sempat menerbitkan hasil
penelitiannya pada tahun 1993-1995 tentang wayang kulit dan dibukukan
dengan2 judul Kelir Tanpa Batas (2001).8
3. Pandangan Hidup Umar Kayam
Umar Kayam, disamping seorang sastrawan, adalah seorang
budayawan. Dua predikat yang disandang Kayam tersebut tidak bertolak
belakang, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan.
Melalui karya sastra, ia menuangkan pemikiran-pemikirannya mengenai
kebudayaan dan sebaliknya, gagasan-gagasan besarnya mengenai kebudayaan
dapat dilihat dalam nilai-nilai yang terdapat dalam tulisannya.
8
Ibid., h. 6.
45
Ia berpandangan terhadap para penulis bahwa seorang penulis
mempunyai tugas sosialnya sendiri. tugas ini bukan memimpin, bukan
mewejang
karena
dia
bukan
seorang
pendeta
atau
kyai,
bukan
‗menyelamatkan dunia‘ karena dia bukan seorang nabi. Menurutnya, tugas
seorang penulis adalah sederhana: bercerita dengan jujur, pada tempatnya dan
indah‖.
Ia tidak alergi terhadap kebudayaan asing. Kebudayaan Indonesia
adalah ―… kemajemukan budaya dan kreativitas kita ‗memainkan‘
kemajemukan kita itu. Ini berarti bahwa kita mesti bersedia memiliki ‗bidang
bahu yang selebar-lebarnya‘ dalam menyediakan ruang gerak yang bebas
untuk mengembangkan ‗kepribadian bangsa‘ yang akan muncul bersama
kultur kita yang majemuk dinamis itu‖.9
Kayam dengan semangat sosialnya selalu mengikhtiarkan seni tradisi
yang kini baur dengan timbulnya seni kontemporer yang elitis hingga
kesenian rakyat makin terpencil dan kesenian klasik ―kraton‖ menjadi
kesenian salon, maka ia menghimbau: ―Sudah waktunya kreativitas dipahami
dalam konteks perkembangan masyarakat. ―Sudah waktunya ‗strategi
pengembangan kesenian‘ mengacu kepada kaitan kreativitas seni dengan
perkembangan masyarakat‖.
Salah satu pandangannya mengenai kebudayaan adalah masalah
transformasi.
Kayam
berpandangan
bahwa
nilai-nilai
budaya
yang
berkembang di masyarakat terbentuk melalui proses transformasi. Melalui
tulisannya, Transformasi Budaya Kita, Kayam mengandaikan transformasi
sebagai suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk baru yang akan
mapan. Transformasi dapat pula dibayangkan sebagai suatu proses yang lama
9
Diro Aritonang, Doktor Umar Kayam Budayawan yang Tangguh, Harian Pikiran Rakyat,
Bandung, 30 Oktober 1982, h. 7.
46
bertahap-tahap, tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang
cepat, bahkan abrupt.10
Masyarakat Jawa adalah salah satu komunitas budaya yang mengalami
proses transformasi. Gambaran budaya Jawa tersebut, selain dapat dilihat dari
perilaku, adat istiadat, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat, juga tercermin
dalam berbagai karya sastra. Transfrormasi nilai budaya Jawa dalam novel
Para Priyayi tercermin melalui peristiwa-peristiwa yang dialami keluarga
Sastrodarsono (sebagai generasi pertama) dan keluarga Hardojo dan Harimurti
(generasi kedua dan ketiga).
Umar Kayam terkenal dengan teorinya mengenai manusia Indonesia
sebagai ―Pejalan Budaya‖ (Cultural Commuter), yaitu sebagai orang-orang
yang bergerak secara bolak-balik dari budaya tradisional ke budaya modern,
dari desa ke kota, dan sebagainya. Berbagai ilustrasi mengenai sudut pandang
serta teori perubahan dan transformasi menunjukkan bahwa masyarakat
Negara dibayangkan, pada suatu masa, berubah, bahkan menghendaki
perubahan yang terakhir (sementara) dengan status transformasi. Kenyataan
tersebut menunjukkan bahwa cepat atau lambat serat-serat suatu budaya yang
menyangga, anyaman teguh suatu kebudayaan masyarakat, pada suatu saat
akan meruyak dan membusuk untuk kemudian tidak berfungsi lagi sebagai
pengikat suatu kebudayaan.
Dalam konteks kebudayaan Jawa secara khusus dan Indonesia pada
umumnya, Kayam menguraikan secara historis terjadinya transformasi
tersebut. Menurutnya, transformasi itu mulai terjadi ketika agama Hindu dan
Budha dianut masyarakat. Ketika itu terjadi transformasi budaya India ke
dalam kebudayaan Indonesia. Berikutnya transformasi budaya terjadi lagi
ketika pada abad ke-13 Islam datang. Terjadilah pertemuan antara HinduBudha dan Islam yang kemudian di Jawa dikenal juga dengan Islam-Jawa.
10
Acep Iwan Saidi, Matinya Dunia Sastra Biografi Pemikiran & Tatapan Terberai Karya
Sastra Indonesia, (Jakarta: Pilar Media, 2006), h.114.
47
Selanjutnya bangsa Barat, antara lain Inggris, Portugis, dan Belanda pun
menyusul berdatangan ke Indonesia. Maka sekali lagi transformasi budaya
terjadi, yakni menyebarnya budaya Barat yang secara otomatis dibawa oleh
bangsa-bangsa tersebut.
Kayam menawarkan beberapa kriteria perilaku, yakni terbuka
(kompromis dan dialogis), luwes, dan kreatif. Kayam mengatakan bahwa
sikap ini adalah ―perintah historis‖. Ia telah lama dimiliki oleh nenek moyang
kita. Ketika Hindu dan Budha datang dengan budaya Indiannya, yang terjadi
bukan Indianisasi, melainkan Indonesianisasi atau Jawanisasi dalam konteks
kebudayaan Jawa. Yang menarik dari transformasi itu, menurut Kayam,
adalah nampaknya bahasa ―perintah historis‖ yang agaknya selalu
mengingatkan
pada
nenek
moyang
kita
untuk
pandai-pandai
memperhitungkan serta memanfaatkan kondisi geografis, geoekonomis, serta
geopolitik dari kepulauan kita. Bahasa tersebut mengisyaratkan idiom luwes,
lentur, adaptable, dan kreatif dalam menghadapi berbagai budaya luar. Dari
sikap tersebut terciptalah suatu hasil yang mengagumkan sebagaimana
ungkapan berikut ini.
Kebudayaan yang terbentuk di Sriwijaya, Mataram I, Singasari,
Majapahit, Aceh, Makasar, Bone, Kemudian Mataram II, dan
sebelumnya Demak dan Pajang adalah contoh-contoh dari hasil dialog
budaya dengan agama-agama Budha, Hindu, dan Islam. Dialog
budaya tersebut manghasilkan, baik arsitektur ―dalam‖ seperti seni
memerintah, pertunjukan, tari, kesusastraan, dan berbagai macam seni
ritual yang kaya dan canggih.
Karena sikap terbuka, luwes, dan kreatif tersebut, konflik-konflik
budaya dapat dihindarkan meskipun budaya yang datang mengikis habis
hegemoni politik dan kekuasaan pada saat transformasi terjadi di Demak.
Untuk hal ini Kayam memberi contoh transformasi Islam yang terjadi di
Demak. Menurutnya, meskipun Demak muncul untuk menggantikan
hegemoni Majapahit dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya, ia
48
memberikan satu indikator adanya transformasi yang tidak menimbulkan
konflik-konflik sosial, transformasi itu berjalan melalui penyebaran gagasan
dan ide.11
Cara pandang tersebut ternyata bukan sebatas retorika, melainkan juga
melekat dalam perilakunya. Ia adalah seorang Islam abangan, Islam yang
unsur Jawanya sangat kental, Islam yang merupakan hasil dialog terbuka
dengan budaya Jawa. Dengan perkataan lain, Islam abangan adalah Islam
hasil transformasi budaya yang kompromis. Jika sebuah cara pandang
terhadap sesuatu telah menjadi jalan hidup, sebagai seorang sastrawan,
terbuka peluang besar bagi kawan untuk mengemukakan gagasan-gagasannya
tersebut melalui karya-karyanya.12
Demikianlah inti dari gagasan Kayam mengenai transformasi
budaya.Dari gagasannya tersebut dapat ditemukan bagaimana sikap Kayam
dalam ―memandang dunia‖. Cara pandangnya yang terbuka dalam arti
kompromis dan dialogis dengan diimbangi oleh kreativitas adalah sikap
mendasar Kayam dalam menyikapi transformasi budaya yang terjadi di
masyarakat, dalam hal ini terutama budaya Jawa tempat ia dilahirkan, hidup,
dan bergaul secara intens, baik melalui media literer maupun interaksi
langsung sebagai manusia Jawa.
11
Ibid., h. 115.
Ibid., h. 117.
12
BAB IV
PEMBAHASAN DAN ANALISIS NILAI SOSIAL
A.
Unsur-unsur Intrinsik dalam Novel Para Priyayi
1.
Tema
Setiap novel mengandung gagasan pokok atau sering disebut dengan
tema. Tema merupakan gagasan pokok dalam sebuah cerita. Sebuah karya
sastra, seperti novel tentulah tidak terlepas dengan adanya tema. Selain karena
tema adalah sebuah topik dalam cerita, tema juga merupakan gagasan dasar
yang menunjang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks,
sehingga tema sering menjadi kiblat untuk menentukan konflik dalam
rangkaian peristiwa.
Tema yang diangkat dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam
mengenai perubahan status sosial. Bagaimana perjuangan hidup untuk
mengubah status sosial demi membangun satu generasi priyayi yang berusaha
diwujudkan oleh seorang anak petani yang sebagai pemula telah berhasil
menjadi priyayi. Tema ini menonjol pada kutipan di bawah ini.
“Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani Desa
Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit
guru bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti sayalah orang pertama
dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi, meskipun
priyayi yang paling rendah tingkatnya. Itu tidak mengapa. Yang
penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi.”1
Sastrodarsono, nama aslinya Soedarsono adalah anak Atmokasan
seorang petani desa Kedungsimo yang berhasil menempuh pendidikan dengan
baik sehingga diangkat menjadi guru bantu di Ploso. Itulah awal
kepriyayiannya, meski priyayi yang paling rendah tingkatannya. Dia
1
Umar Kayam, Para Priyayi Sebuah Novel, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2011), Cet. XIII,
h. 32.
49
50
mengawali karir priyayinya dengan menjadi guru bantu hingga akhirnya naik
pangkat dan menjadi priyayi sungguhan. Ia membangun keluarga besar
priyayi.
Para Priyayi karya Umar Kayam menampilkan kehidupan sosok
priyayi dari berbagai perspektif kepriyayian. Priyayi merupakan sebuah
takdir, karena terlahir dari rahim perempuan priyayi. Akan tetapi, priyayi juga
dapat diperoleh dari sebuah proses pendidikan dan pemerolehan jabatan
pemerintahan. Novel Para Priyayi menunjukkan hal ini. Status kepriyayian
diungkapnya. Seperti apa sebenarnya kehidupan priyayi, bagaimana seorang
priyayi seharusnya berperilaku di masyarakat, dan bagaimana jika priyayi
tidak memiliki etika idealnya seorang priyayi. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut, “… Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia kepada
gupermen, saya akan menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih
memantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen. Dan
kalau saya sudah menjadi mantri guru, wah, itu sudah boleh dikatakan
menjadi priyayi yang terpandang.”2
Masalah pendidikan pun ikut menentukan status sosial dan
mengangkat martabat seseorang dalam masyarakat. Pendidikan ikut
menentukan kepriyayian seseorang, dan kesanggupannya mengejawantahkan
status kepriyayian itu dalam kehidupan ini, terutama pertanggungjawabannya
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut, “... semangat kerukunan dan persaudaraan itu yang terpenting
...semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik. ... perjalanan
mengabdi pada masyarakat banyak, terutama wong cilik, tidak akan ada
habisnya.”3
Priyayi adalah sebuah status sosial yang dianggap terhormat di
masyarakat, yang tidak semua orang dapat menyandang status tersebut.
2
Ibid.,
Ibid., h. 333-335.
3
51
Keluarga priyayi harus bisa menjaga harkat dan martabatnya sebagai seorang
priyayi agar keturunannya tidak keluar dari konsep “kepriyayian”, namun
faktanya banyak keluarga priyayi yang tidak mampu menjaga harkat dan
martabatnya sebagai seorang priyayi. Justru orang yang berasal dari keturunan
wong cilik, dengan usahanya dapat mencapai status priyayi dan mampu
menjaga sikap dan perilakunya layaknya seorang priyayi.
Perjuangan priyayi sejati demi mengayomi keluarga dan rakyat kecil
ini ditunjukkan oleh Lantip. Lantip yang merupakan anak hasil hubungan di
luar nikah antara Ngadiyem dan Soenandar, keponakan Sastrodarsono, tampil
sebagai pahlawan. Lantip mampu menyelesaikan permasalahan anak-cucu
Sastrodarsono dan menjadi priyayi yang sebenarnya. Bukan sekedar priyayi
yang terhormat, tetapi bagaimana sesungguhnya menjadi seorang priyayi yang
mriyayeni atau mengayomi rakyat kecil.
Dengan demikian, dalam novel Para Priyayi digambarkan bahwa
status priyayi tidak mutlak milik darah biru saja, melainkan lebih merupakan
sebuah proses pencapaian. Lantip dan Sastrodarsono merupakan tokoh yang
mengemban proses menjadi priyayi. Keduanya bukan berasal dari keluarga
priyayi, melainkan hanya wong cilik yang hidup di desa. Hanya saja dengan
usaha, ketrampilan, kecakapan, dan keberuntungan keduanya mencapai
tingkatan priyayi.
Setelah menganalisis tema yang merupakan unsur yang paling penting
dan dominan dalam unsur intrinsik, selanjutnya peneliti akan menganalisis
tokoh dan penokohan.
2.
Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang paling berkaitan dalam
unsur intrinsik pada sebuah cerita rekaan. Keduanya menjadi saling terikat
dan tidak dapat dipisahkan dalam sebuah pembahasan. Tokoh adalah pelaku
yang memegang peran sebuah peristiwa dalam cerita rekaan sehingga terjalin
52
suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan citra tokoh dalam cerita
disebut penokohan.
Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat
dibedakan atas tokoh primer, tokoh sekunder (bawahan), dan tokoh
komplementer (tambahan).
a.
Lantip
Lantip, nama aslinya adalah Wage karena lahir pada hari Sabtu
Wage. Nama Lantip itu adalah sebuah nama pemberian dari keluarga
Sastrodarsono saat Lantip tinggal di keluarga itu, yaitu di jalan
Satenan di Wanagalih. Dalam bahasa Jawa, nama ini punya makna
yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut,
“Nama anakmu akan kami ganti. Nama Wage rasanya kok kurang
pantes buat anak sekolah. Saya usul namanya diganti Lantip. Lantip
artinya cerdas, tajam otaknya. Bagaimana?”4
“Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah pemberian
nama. Setiap sebutan adalah sejenis cara memberi kepribadian,
menghidupkan.”5
Dalam
novel
Para
Priyayi,
Umar
Kayam
menciptakan tokoh dengan nama yang indah sesuai dengan
karakternya. Seperti “Lantip”, maka ia betul-betul seperti itu dalam
ceritanya. Benar-benar tajam otaknya, cerdas. Dia selalu menjadi juru
selamat tatkala anak-anak dan cucu-cucu Sastrodarsono terkena
musibah. Karena kepintarannya juga, dia dengan mudah lulus dari
UGM, dan menjadi dosen. Dia juga dengan luwes dan berhasil
menyesuaikan diri dalam etika kepriyayian. Lantip direpresentasikan
sebagai priyayi ideal. Dalam ceritanya pun, Lantip nyaris tidak
mengalami konflik.
4
Ibid., h. 20.
Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan Terjemahan dari Theory of Literature
oleh Melani Budianta, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 287.
5
53
Sebelumnya Lantip tinggal bersama Emboknya di desa
Wanalawas yang hanya beberapa kilometer dari kota Wanagalih.
Hubungan Embok Lantip dengan keluarga Sastrodarsono itu dimulai
dari penjualan tempe keliling. Rupanya tempe buatan Embok Lantip
itu berkenan di hati keluarga Sastrodarsono. Hingga akhirnya keluarga
Sastrodarsono menjadi pelanggan tetap tempe Emboknya Lantip.
Selain itu, Lantip diminta tinggal di Setenan dan disekolahkan oleh
Sastrodarsono dan Ngaisah. Lantip sangat bersyukur atas kesempatan
yang ia peroleh. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Saya tidak
membayangkan apa-apa. Saya sudah merasa bersyukur mendapat
kesempatan bersekolah, diongkosi, mendapat tempat berteduh lagi di
Setenan.”6
Lantip merupakan tokoh primer. Tokoh primer merupakan
tokoh utama dalam sebuah cerita. Ia menjadi tokoh penting, karena
semua cerita terfokus dan tertuju kepadanya (sentral). Dalam novel
Para Priyayi, Lantip menjadi tokoh yang cukup banyak mengambil
bagian dalam cerita. Ia juga berfungsi sebagai pengantar cerita dari
tokoh satu kepada tokoh yang lain.
Dalam novel diceritakan bahwa Lantip menjadi tokoh yang
paling dominan, karena tahapan kehidupan Lantip diceritakan secara
tuntas dari awal cerita hingga akhir cerita. Selain karena tahapan
kehidupan Lantip yang diceritakan secara tuntas, ia juga menjadi
sentral dari penyampaian tema cerita yang tergambar dalam setiap
tahapan yang dilaluinya. Tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat pada
kutipan-kutipan di bawah sebagai berikut.
Tahap pertama kehidupan Lantip digambarkan telah menjadi
priyayi agung Jakarta. Kemudian, diceritakan keadaan Lantip pada
6
Kayam, Op. Cit., h. 28.
54
masa kanak-kanak dengan ibunya yang berjualan tempe. Lantip
diceritakan belum mengetahui ayah kandungnya. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan berikut, “Ayah saya... wah, saya tidak pernah
mengenalnya. Embok selalu mengatakan ayah saya pergi jauh untuk
mencari duit.”7
Setelah ibunya meninggal, Lantip diberi tahu oleh Pak Soeto,
Dukuh Wanalawas, mengenai ayah kandungnya. Lantip akhirnya tahu
bahwa ia adalah anak jadah (haram) antara ngadiyem dan Soenandar,
yang tidak lain adalah keponakan Sastrodarsono. Mulai saat itu ia tahu
bahwa ibunya mengenal keluarga Sastrodarsono bukan suatu
kebetulan, karena jiwa besar dan baktinya kepada keluarga
Sastrodarsono yang ternyata adalah Embah Kakungnya, ia pun telah
mengerti dan berjanji tidak akan sakit hati ketika Sastrodarsono marah,
kemudian memaki Lantip dengan sebutan anak gento ataupun anak
maling. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Dan Embah Guru
yang penuh humor itu akan seketika berubah menjadi makhluk yang
lain sekali. Menakutkan. “Guoblok! Disuruh minta uang saja tidak
bisa. Dasar anak gento, anak maling cecrekan….” Begitulah umpat
serapah itu.”8
“Dan panjenengan Ndoro Guru Kakung miwah putri. Apa yang
dapat saya katakan selain rasa terima kasih saya yang tulus dan
utang budi yang tidak akan mungkin lunas hingga akhir hayat
saya. Saya akan kembali ke Wanagalih, ke dalem Setenan, ke
bawah perlindunganmu, berbakti kepada seluruh keluargamu.
Umpatanmu yang sekali-sekali kau lontarkan, “anak maling,
perampok, gerombolan kecu”, tidak akan mungkin menyakiti
saya lagi. Bahkan sebaliknya akan memperkokoh semangat
saya untuk menjunjung keluarga Sastrodarsono.”9
7
Ibid., h. 11.
Ibid.,
9
Ibid., h. 134.
8
55
Tokoh Lantip digambarkan sebagai tokoh yang sabar, rajin,
taat, dan ulet. Selain itu, ia juga cekatan dalam mengerjakan tugastugas dalam rumah tangga priyayi. Ketika itu, Lantip masih kecil dan
baru saja ikut keluarga Sastrodarsono, tetapi Lantip sudah dapat
mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut, “Wah, wong anak desa sekecil kamu, kok ya cepet
belajar mengatur rumah priyayi, lho,” kata Lik Paerah.10
Lantip digambarkan sebagai tokoh yang sabar. Ketika masuk
sekolah pertama kali, Lantip diganggu teman-temannya. Temantemannya berusaha membuat Lantip marah, tetapi ia selalu ingat pesan
emboknya bahwa jangan mudah tersinggung dengan omongan bahkan
ejekan teman. Pesan emboknya itu begitu kuat sehingga menjadi rem
yang sangat manjur dalam tubuh Lantip. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut, “Berapa kali sudah saya kena coba kawan-kawan
yang seperti biasanya selalu ingin menjajaki kekuatan anak-anak baru.
Tidak pernah saya ladeni.”11
….
“Anak ini selalu dapat kami diandalkan. Dalam usianya yang
mendekati tiga puluh tahun itu belum juga sempat berumah
tangga. Padahal dia sudah menjadi sarjana Gadjah Mada, sudah
menjadi dosen, dan kabarnya ada kemungkinan akan ditarik ke
Jakarta untuk satu jabatan yang lebih penting. Meski sudah
sarjana dan pangkat sudah tinggi, dia masih saja tinggal
bersama Hardojo dan menjadi anak yang setia di rumah itu.
Semua tugas, mulai dari membantu mengurus rumah tangga
hingga menjadi pendamping Hari, dilaksanakan dengan rasa
enteng, gembira, dan beres.”12
Lantip adalah tokoh yang dapat diandalkan oleh seluruh
keluarga besar Sastrodarsono dan suka menolong. Sikap Lantip ini
10
Ibid., h. 21.
Ibid., h. 24.
12
Ibid., h. 253-254.
11
56
digambarkan secara dramatik. Ngaisah memberikan pandangannya
mengenai Lantip yang selalu dapat diandalkan keluarganya. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan berikut, “Setiap kali saya ingat anak ini
tidak habisnya saya mengucap syukur. Gusti Allah Maha Adil. Anak
jadah ini tumbuh sebagai anak yang sungguh baik dan amat berbakti
kepada semua keluarga kami.”13
Lantip kuliah bersama dengan Harimurti. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan berikut, “Gus Hari, seperti telah saya katakan, adalah
anak yang cerdas. Kuliah-kuliah di fakultas tidak ada yang Nampak
sulit baginya. Saya mengambil jurusan fakultas yang sama, yaitu ilmu
sosial dan ilmu politik, membutuhkan waktu sedikitnya dua kali lipat
lebih lama daripada waktu Gus Hari untuk belajar.”14
Ketika Harimurti berpacaran dengan Retno Dumilah, seorang
penyair yang juga merupakan teman organisasinya di Lekra, Lantip
masih belum menemukan pasangan. Akan tetapi, ia tertarik pada
seorang perempuan bernama Halimah. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut, “…. Akan saya sendiri, yang usianya sudah merayap
mendekati tiga puluh satu tahun, masih juga belum bertemu dengan
pacar yang pas. Tetapi, Halimah, rekan asisten asal Pariaman, Sumatra
Barat, itu semakin tampil menarik saja. Mungkinkah ….”15
Ternyata
Lantip
dan
Halimah
berjodoh.
Akhirnya
ia
bertunangan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Kang Lantip
bertunangan dengan Halimah akhirnya. Saya ikut senang. Kakak saya
itu sudah terlalu terlambat untuk bertunangan pada usia setua itu.”16
Setelah Ngaisah meninggal dunia, tidak lama setelah itu
Sastrodarsono pun mengalami kemunduran pada kesehatannya, hingga
13
Ibid., h. 255.
Ibid., h. 281.
15
Ibid., h. 284.
16
Ibid., h. 300.
14
57
akhirnya ia meninggal dunia. Pada saat jenazah Sastrodarsono dibawa
menuju makam, keluarga bermusyawarah mengenai siapa yang akan
berpidato selamat jalan sebagai perwakilan dari keluarga. Pada
akhirnya, Lantiplah yang dipilih karena ia dianggap paling berjasa
besar. Lantiplah priyayi sesungguhnya. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut, “…. Calon yang lebih pantas dan paling besar jasanya
buat keluarga besar kita. Dialah orang yag paling ikhlas, tulus, dan
tanpa pamrih berbakti kepada kita semua. Dialah priyayi yang
sesungguhnya lebih daripada kita semua. Dia adalah Kakang
Lantip.”17
Tahapan terakhir tokoh Lantip adalah ketika ia ikhlas
menerima keputusan keluarga besar Sastrodarsono sebagai perwakilan
keluarga dalam menyampaikan pidato selamat jalan. Kemudian ia
sedikit merenung mengenai siapa dirinya. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut, “…. Saya menundukkan kepala. Saya anak pungut,
anak haram jadah dari seorang bajingan, perusak nama baik keluarga,
penghancur remuk nasib Embah Wedok dan embok saya, diusulkan
untuk mewakili keluarga besar Satrodarsono.”18
Pada akhirnya, Lantip menyampaikan pidato selamat jalan
kepada Sastrodarsono sebagai baktinya kepada keluarga yang sangat
dicintainya itu. Jika merujuk pada pendapatnya P.J. Suwarno, dapat
disimpulkan bahwa Lantip ialah “misioner” Umar Kayam, sebagai
bentuk kritiknya terhadap penelitian Geertz.19 Di samping karena
menikah di usia tua, ada usaha Umar Kayam untuk membuktikan
“ucapannya”. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “... Kata itu
17
Ibid., h. 332.
Ibid.,
19
P.J. Suwarno, Novel Multidimensional, Majalah Basis, Yogyakarta, No.10/XL1/Oktober
1992, h. 386-389.
18
58
(priyayi maksudnya) tidak terlalu penting lagi bagi saya.”20 Lantip
adalah orang yang ikhlas, sabar, tulus, dan tanpa pamrih. Dia adalah
sosok priyayi yang sebenarnya.
b.
Sastrodarsono
Sastodarsono adalah anak tunggal seorang petani yang
bernama Atmokasan, petani Desa Kedungsimo. Sebelumya ia hanya
bekerja sebagai guru bantu di Ploso. Dengan jabatan guru bantu itu,
berarti Sastrodarsono adalah orang pertama dalam keluarganya yang
berhasil menjadi priyayi. Ia berhasil menjadi guru bantu pertama
dalam keluarga besarnya. Hal itu menandakan bahwa dialah orang
pertama yang menjadi priyayi dikeluarga besarnya yang semuanya
adalah petani desa.
Dalam novel Para Priyayi, Sastrodarsono merupakan tokoh
sekunder. Setelah tokoh primer, tokoh sekunder juga dianggap penting
dalam sebuah cerita. Ia juga berfungsi sebagai pengantar dari cerita.
Hal ini jelas digambarkan pada bagian ia pulang ke kampungnya
setelah mendapat pangkat guru bantu.
Sastrodarsono digambarkan sebagai tokoh yang patuh atau
menurut saran dari orang tua. Sifat ini dapat dilihat ketika ia diberi
nama tua. Selain itu, ketika orang tua Sastrodarsono memilihkan jodoh
untuknya, ia pun menerimanya dengan kepatuhan.
“Karena itu sudah sepantasnya kamu menyandang nama tua,
Le. Nama Soedarsono, meskipun bagus, nama anak-anak.
Kurang pantas untuk nama tua. Namamu sekarang
Sastrodarsono. Itu nama yang kami anggap pantas buat seorang
guru karena guru akan banyak menulis di samping mengajar.
Sastro rak artinya tulis to, Le?”
Saya mengangguk, menerima dan menyetujui, karena pada saat
seperti itu hanya itulah yang dapat saya lakukan.
“Inggih, Pak.”21
20
Kayam, Op. Cit., h. 307.
59
Nama Sastrodarsono diambil dari kata Sastro yang artinya
tulis. Sastro, jika dikaitkan dengan “sastra”, bermakna bahasa yang
tinggi, punya makna, dan berharga. Bahasa sastra mengacu pada
bahasa kitab suci. Nama Satrodarsono dianggap pantas untuknya
karena ia seorang guru yang pasti menulis ketika sedang mengajar. Hal
ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“… Namamu sekarang Sastrodarsono. Itu nama yang kami
anggap pantas buat seorang guru karena guru akan banyak
menulis di samping mengajar. Sastro rak artinya tulis to,
Le?”22
Awalnya nama Soedarsono (nama awal Sastrodarsono),
diberikan oleh priyayi yang bernama Ndoro Seten, sedangkan kedua
orangtua Soedarsono, jelas petani. Hal ini dapat dilihat pada kutipan
berikut, “....Dan karena hubungan itu pula saya mendapat nama
Soedarsono, nama yang menurut bayangan kami hanya pantas dimiliki
anak-anak priyayi saja. Dan Ndoro Seten, menurut Bapak, begitu saja
menghadiahi nama kepada Embok saya waktu diketahuinya Embok
hamil tua. ...”23 Dari peristiwa itu jelas sekali bahwa anak yang
dikandung oleh istri Atmokasan, kelak akan menjadi priyayi. Ternyata
benar, dia menjadi priyayi pertama dalam keluarganya.
Dalam masyarakat Jawa terdapat tradisi mendapat nama tua
ketika seseorang akan membangun rumah tangga. Inilah yang terjadi
kepada
Soedarsono
yang
kemudian
berubah
nama
menjadi
Sastrodarsono. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai
berikut.
21
Ibid., h. 39.
Ibid.,
23
Ibid., h. 31.
22
60
“Saya duduk termangu, tidak mengira kalau saya akan
mendapat nama tua pada hari itu. Tentu saya berharap juga
pada suatu ketika mendapat nama tua itu karena memang
sudah menjadi kebiasaan orang Jawa untuk mengubah nama
anaknya menjadi nama tua pada waktu anak itu sudah mulai
siap untuk membangun keluarga…”24
Sastrodarsono, sesuai dengan namanya, pintar membaca dan
menulis, sampai akhirnya sekolah dan setamatnya langsung menjadi
guru bantu, kemudian menjadi mantri guru atau kepala sekolah. Ini
jelas suatu prestasi, bahkan diakui juga bahwa kedudukannya sebagai
priyayi menjadi mapan.
....
“Le, begini yo, Le. Bapak dan embokmu sudah mendapatkan
jodoh buat kamu. Ini juga sudah kami rundingkan dengan
pakde dan paman-pamanmu. Sudah kami pertimbangkan
masak-masak. Sudah kami perhitungkan pula kedudukanmu
sebagai priyayi. Sudah, to, calonmu ini akan cocok betuk
dengan kamu.”25
Kutipan di atas menjelaskan bahwa setelah memasuki jenjang
priyayi, Sastrodarsono mendapatkan beberapa kehormatan dari
keluarganya. Sastrodarsono diberi nama tua dan dijodohkan oleh
orang tuanya. Selain itu, kelihatan bagaimana Umar Kayam berusaha
memformulasikan karakter seorang ayah di kalangan priyayi dan bagaimana
peran seorang ayah dalam sebuah keluarga priyayi ketika menangani sebuah
perjodohan anaknya. Di situ tercermin adanya karakter khas kehidupan
priyayi Jawa yang bersifat patriarki tanpa harus didefinisikan dengan
kalimat-kalimat kaku dan mati.
Sastrodarsono dijodohkan dengan Ngaisah yang nama aslinya
Aisah putri tunggalnya seorang mantri candu di Jogorogo. Dik
Ngaisah, begitu ia memanggil istrinya, ia seorang istri yang
24
Ibid., h. 40.
Ibid.,
25
61
mumpunyai lengkap akan kecakapan dan keprigelannya bukan hanya
pandai mamasak ia juga memimpin para pembantu di dapur, karena
memang sejak lahir ia sudah menjadi anak priyayi dibandingkan
dengan Sastrodarsono yang baru akan menjadi priyayi.
“Dalam waktu yang tidak terlalu lama saya tidak merasa terlalu
kikuk menjadi kepala rumah tangga seperti yang dibentuk oleh
istri saya itu. Dan ploso, desa yang lebih kecil dari
Kedungsimo, jelas tidak susah menerima rumah tangga kami
sebagai rumah tangga priyayi. Kami, karena penampilan Dik
Ngaisah, dipandang oleh para guru di sekolah Desa Ploso
sebagai lebih priyayi dari mereka.”26
Sastrodarsono menikah dengan Ngaisah. Ia tinggal di Ploso
dan membangun rumah tangga priyayi bersama Ngaisah yang berasal
dari keluarga priyayi. Maka akhirnya menjadi tidak sulit bagi
keduanya untuk menciptakan rumah tangga priyayi. Akan tetapi,
mereka hanya setahun tinggal di Ploso. Berkat usul atasannya, Ndoro
Seten, Sastrodarsono dinaikkan pangkatnya menjadi guru di
Karangdompol. Kemudian ia pindah dari Ploso ke Wanagalih. Itu pun
atas usul Ndoro Seten dan mertuanya, Romo Mukaram. Alasannya
karena jika tinggal di Karangdompol, rumah tangga Sastrodarsono
tidak akan berkembang menjadi rumah tangga priyayi seperti yang
diharapkan Sastrodarsono.
Soedarsono memiliki tiga orang anak, Noegroho (Opsir Peta),
Hardojo (Guru), dan Soemini (istri Asisten Wedana). Anak-anak
mereka lahir dalam jarak dua tahun antara seorang dengan yang lain.
Noegroho anak yang paling tua, kemudian menyusul kelahiran adikadik Noegroho, Hardojo dan Soemini. Anak-anaknya mereka masukan
ke sekolah HIS, sekolah dasar untuk anak-anak priyayi, kemudian
meneruskan pelajaran ke sekolah menengah atas priyayi, seperti
26
Ibid., h. 50.
62
MULO, AMS atau sekolah-sekolah guru menengah, seperti Sekolah
Normal, Kweek Sekul dan sebagainya.
Sastrodarsono hidup berkecukupan. Oleh karena itu, ia merasa
wajib membantu sanak saudaranya yang tidak mampu, dibawalah tiga
keponakannya (Sri, Soedarmin, dan Soenandar) untuk ikut tinggal dan
di sekolahkan di Wanagalih. Salah satu keponakannya Soenandar
memiliki perangai yang berbeda dari yang lain, jahil, nakal, dan selalu
gagal dalam belajar. Suatu ketika Soedarsono yang telah berganti
nama menjadi Sastrodarsono, mengutus Soenandar untuk mengurus
sekolah yang didirikannya di Wanalawas, diharapkan agar Soenandar
lebih mandiri dan dapat bertanggung jawab, tetapi Soenandar justru
menghamili anak penjual tempe dan kabur. Lahirlah Wage yang
kemudian diboyong ke wanagalih, dirawat dan disekolahkan,
kemudian diganti namanya menjadi Lantip.
Sastrodarsono memiliki sifat yang mudah menaruh belas kasih
kepada orang lain. Hal ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono melihat
Ngadiyem membawa Lantip, yang masih kecil, berjalan berkilo-kilo
meter untuk menjual tempe. Begitu melihat Lantip, Sastrodarsono
meresa kasihan dan langsung bertanya kepada Ngadiyem yang
membawa anaknya berjualan.
Waktu mereka melihat Embok datang membawa saya, Ndoro
Guru langsung menanyakan dengan nada suara, setidaknya
bagi saya waktu itu, sangatlah ulem-nya dan sangat penuh
wibawa. Percakapan itu kira-kira berbunyi seperti ini.
“Lho, Yu, anakmu kok kamu bawa?”
“Inggih, Ndoro. Di rumah tidak ada orang ynag
menjaga, tole.”
“Lha, kasian begitu. Anak sekecil itu kamu eteng-eteng
ke mana-mana.”27
27
Ibid., h. 15.
63
Sastrodarsono juga memiliki sifat yang mudah terharu akan
perilaku orang lain. Sifat ini dapat terlihat ketika Sastrodarsono
melepas kepergian Martoadmodjo yang dipindahtugaskan. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan berikut, “Pada satu sore menjelang pesta
selamatan perpisahan dengan Mas Martoadmodjo di sekolah, beliau
dengan anak dan istri mampir ke rumah. Kami nerima mereka dengan
penuh keakraban dan keharuan.”28
Sastrosardono, meskipun orangnya baik dan adil, juga keras
dan bila marah suka membentak sembari misuh, mengumpat. Hal ini ia
lakukan pada Lantip. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “ Nah,
pada waktu kadang-kadang saya mendapat hadiah umpatan itulah saya
diberitahu secara tidak langsung siapa ayah saya itu. Umpatan itu
berbunyi “bedes, monyet, goblok anak kecu, gerombolan anak
maling……” umpatan itu biasanya keluar bila saya sudah dianggap
keterlaluan bodoh dalam menjalankan tugas.”29
Sastrodarsono sangat mencintai istrinya, Ngaisah. Ketika
Ngaisah meninggal ia begitu terpukul. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan di bawah sebagai berikut.
“….Mungkin pada saat Embah Kakung menyadari bahwa istri
yang sangat dikasihinya itu pergi untuk selama-lamanya, beliau
juga semakin menyadari akan arti kehadiran istrinya, Dik
Ngaisah itu di sampingnya. Istri yang sudah membagi susah
dan senang selama ini bersama Embah Kakung. Hal itu
nampak benar pada waktu Embah Kakung menabur bunga di
atas pusara Embah Putri. Ditaburkannya berkali-kali dengan
irama gerak tangan yang sangat pelan dari arah utara, tempat
kepala Embah Putri diletakkan, kea rah selatan, tempat kaki
Embah Putri diletakkan.”30
28
Ibid., h. 71.
Ibid., h.11.
30
Ibid., h. 267.
29
64
Setelah Ngaisah meninggal dunia, Sastrodarsono semakin
mundur kesehatan dan pikirannya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di
bawah sebagai berikut.
“Tiba-tiba kami mendapat surat kilat khusus dari Pakde
Ngadiman bahwa Embah Kakung semakin mundur
kesehatannya. Juga semakin pikun dan mulai sering
menceracau juga. Bapak dan Ibu segera memerintahkan saya
dan Gus Hari untuk pergi ke Wanagalih membantu Pakde
Ngadiman dan anak-anaknya menjaga dan merawat Embah
Kakung. Tahun 1967 ini Embah Kakung sudah berumur kirakira delapan puluh tiga tahun. Untuk orang Jawa itu sudah
merupakan usia yang sangat lanjut. Kami seluruh keluarga
besar mulai mengkhawatirkan bahkan sesungguhnya juga
sudah bersiap untuk menghadapi keadaan yang paling buruk
dengan kesehatan Embah Kakung.”31
Benar saja pada akhirnya Sastrodarsono meninggal dunia
setelah ia begitu bersemangat ketika pemotongan pohon nangka yang
ia anggap sebagai perlambangan keluarga besarnya, ia terjatuh tak
sadarkan diri. Ia meninggal ketika seluruh keluarga besarnya
berkumpul. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kutipan di bawah
sebagai berikut.
“Kami semua para cucu pada ikut tertawa dan merasa gembira
melihat Embah Kakung kembali bersemangat. Pada waktu
kemudian pemotongan kayu itu selesai dan orang-orang pada
kembali ke rumah mereka masing-masing dengan bagian
mereka, Embah Kakung memberi isyarat untuk digandeng
masuk ke ruang dalam. Saya dan Gus Hari segera
menggandeng beliau masuk. Jalannya pelan sekali. Srek, srek,
srek, srek. Tiba-tiba Embah Kakung menggelantungkan
tubuhnya. Masya Allah Embah Kakung pingsan ….”
“Kelurga demi keluarga pada berdatangan pada hari-hari
berikutnya. Bahkan Halimah ikut datang bersama Bapak dan
Ibu. Tepat pada waktu keluarga terakhir datang, yaitu Mbak
31
Ibid., h. 329.
65
Marie dan Mas Maridjan, Embah Kakung meninggal, seda ….
”32
Sastrodarsono sangat sadar akan status sosialnya. Sebagai
seorang priyayi yang hidup berkecukupan, ia mengajak keponakankeponakannya yang tidak mampu untuk tinggal dan disekolahkan. Ia
adalah orang yang pennuh belas kasihan dan mudah terharu. Ia
orangnya baik dan adil, juga keras dan bila marah suka membentak
sembari misuh, mengumpat. Akan tetapi, ia begitu mencintai istrinya,
Ngaisah.
c.
Siti Aisah/Dik Ngaisah
Dalam novel Para Priyayi, Siti Aisah atau Ngaisah merupakan
tokoh
komplementer.
Tokoh
komplementer
merupakan
tokoh
tambahan sebagai pelengkap cerita. Namun, tokoh komplementer juga
dapat menjadi penjelas dari tema yang dibahas dalam sebuah cerita.
Pada hakikatnya tokoh komplementer merupakan tokoh selain tokoh
primer dan sekunder.
Siti Aisah atau Ngaisah adalah istri Sastrodarsono. Mereka
menikah karena dijodohkan. Perjodohan yang direncanakan karena
keduanya adalah seorang priyayi. Ngaisah merupakan anak perempuan
dari paman jauhnya, Mukaram, mantri penjual candu. Seperti dalam
kutipan berikut, “Calonmu itu, Le, masih sanak jauh. Itu lho, Ngaisah,
putrinya pamanmu jauh, Mukaram, mantri penjual candu di Jogorogo.
Masih ingat kamu, Le?”33
Ternyata perjodohan dan pernikahan berjalan lancar sesuai
harapan. Ngaisah adalah sosok istri yang diharapkan Sastrodarsono. Ia
perempuan yang mumpuni dalam mengurus rumah tangga dan
32
Ibid., h. 330-331.
Ibid., h. 41.
33
66
berwibawa. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai
berikut.
“Dik Ngaisah, alhamdulillah adalah istri seperti yang saya
harapkan semula. Ia adalah perempuan yang agaknya, memang
sudah disiapkan orang tuanya untuk menjadi istri priyayi yang
mumpuni, lengkap akan kecakapan dan keperigelannya. Di
dapur ia tidak hanya tahu memasak, tetapi juga memimpin para
pembantu di dapur. Wibawa kepemimpinannya dalam
pekerjaan mengatur rumah tangga langsung terasa. Dalam
mengatur meja makan serta kamar tidur dan mengatur kursi
dan meja di ruang depan dan ruang dalam jelas Dik Ngaisah
lebih berpengalaman dari saya. Segera saja terlihat bagaimana
bekas tangan rumah tangga priyayi melekat pada semua yang
disentuhnya.”34
Sebagai putri dan juga istri seorang priyayi, Ngaisah dapat
dikatakan telah berhasil menciptakan suasana rumah tangga priyayi.
Selain itu, ia juga perempuan yang halus dalam bersikap dan
berbicara, murah senyum serta mampu mengendalikan perasaan.
Seperti dalam kutipan berikut, “Dik Ngaisah jelas hasil dari halus yang
sudah berakar lebih lama dari saya. Sikap dan bahasanya halus.
Meskipun ia perempuan yang sumeh, murah senyum, ia adalah
perempuan yang tahu mengendalikan perasaan.”35
Meskipun demikian, Ngaisah tetaplah seorang perempuan dan
istri yang memiliki rasa takut dan rasa khawatir yang berlebihan,
karena dia sangat tahu bagaimana watak suaminya, Sastrodarsono. Hal
ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“Dik Ngaisah ternyata gugup dan takut sesudah saya ceritakan
tentang percakapan saya dengan Opziener dan Mas
Martoatmodjo. Apalagi sesudah melihat-lihat surat kabar
Medan Priyayi.
34
Ibid., h. 49.
Ibid., h. 50.
35
67
“Wah, mbok Kamas jangan ikut-ikutan Mas Marto. Kok terus
mau cari molo, cari sakit saja lho, Kamas ini. Kalau ada apaapa bagaimana dengan saya dan anak-anak.”36
....
“Belum. Saya gelisah dan takut memikirkan hari depan kita
sesudah Kamas bercerita tentang percakapanmu dengan Romo
Opziener dan Mas Martoatmodjo.”
....
“Lha, bagaimana bisa memikirkan membesarkan anak, kalau
hari depan kita jadi menakutkan begitu?”
....
“Soalnya Kamas kalau sudah punya kehendak ....”
....
“Dengan itu percakapan larut malam saya tutup. Saya lihat dari
sudut mata saya Dik Ngaisah kelihatan tegang dan matanya
mulai mengeluarkan airmata. Perempuan.”37
Akan tetapi, sekali lagi Ngaisah memang perempuan sekaligus
istri yang kuat. Selain cerdas, ia juga menjadi tumpuan keluarganya
ketika berbagai macam masalah menimpa keluarganya. Bahkan ketika
ayahnya tersandung masalah yang cukup berat hingga akhirnya
meninggal. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai
berikut.
“Saya tertawa. Dik Ngaisah, (ah, sudah berapa lama nama itu
tidak pernah saya sebut lagi) memang istri yang cerdas. Dia
selalu bekerja keras, jarang sekali mengeluh, dan selalu
menjadi tumpuan kami serumah setiap kali kami tertumbuk
pada macam-macam persoalan. Dan selalu saja dia bisa
mengatasi dengan baik. Bahkan waktu ayahnya, Romo
Mukaram, kena musibah diberhentikan oleh gupermen karena
dituduh kong-kalikong dengan cina-cina penyelundup candu,
istri saya menerima itu dengan tabah. Begitu juga pada waktu
tidak terlalu lama kemudian mertua saya itu jatuh sakit,
mengenas, dan malu karena pemberhentian itu, dan akhirnya
meninggal, istri saya, sekali lagi menghadapi itu dengan hati
yang tabah.”38
36
Ibid., h. 63.
Ibid., h. 65-66.
38
Ibid., h. 91-92.
37
68
Ngaisah adalah istri yang selalu setia kepada suaminya.
Ngaisah sering digoda anak dan menantunya tentang kebaktiannya
yang dianggap terlalu berlebihan kepada suami. Akan tetapi, ia tidak
pernah mengubah sikap terhadap suaminya. Hal ini terdapat pada
kutipan berikut, “Orang jawa mengatakan istri adalah garwa, sigarane
nyawa, yang berarti belahan jiwa. Maka sebagai belahan jiwa
bukankah saya mesti tidak boleh berpisah dari belahan yang satu
lagi?”39
Ngaisah adalah pribadi yang riang dan ikhlas. Lantip begitu
mengagumi Embah Putrinya ini dengan mengatakan bahwa beliau
adalah wanita cantik, meskipun usianya sudah tujuh puluh tahun.
Menurut dia, cantiknya bukan hanya karena kebiasaan minum jamu
Jawa, tetapi karena sikapnya yang gembira dan ikhlas dalam menjalani
hidup. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“Saya selalu heran dengan bagaimana seorang ibu rumah
tangga yang bekerja begitu keras, mendampingi seorang suami
seperti Embah Kakung Sastrodarsono yang begitu aktif di
masyarakat serta mengelola tegalan dan sawah ladah hujan dan
mengurus begitu banyak orang di rumah, bisa menjaga tubuh
yang sehat serta wajah yang tetap segar dan cantik pada usia
yang tujuh puluh tahun. Pastilah itu hanya bukan karena beliau
teratur minum jamu Jawa saja. Pastilah kegembiraan serta
kelenturan dan keikhlasan sikap beliau dalam menjalankan
semua pekerjaan itu yang membuat Embah Putri awet muda.”40
Akan tetapi, setelah beberapa masalah yang dihadapi oleh
anak-mantunya selesai, rupanya itu cukup menguras pikiran hingga
memengaruhi kesehatannya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di
bawah sebagai berikut.
39
Ibid., h. 227.
Ibid., h. 256.
40
69
“Dalam kunjungan teraturnya yang terakhir, Dokter Waluyo
menasihatkan kepada saya agar saya lebih berhati-hati menjaga
badan. Dari pemeriksaannya terlihat bahwa tekanan darah saya
tinggi. Dia menganjurkan agar saya banyak istirahat dan
mengurangi garam. Rupanya kunjungan Soemini dan Sus
dalam dua bulan terakhir ini berpengaruh juga bagi tubuh
saya.”
“…. Saya selalu pasrah terhadap kemauan tubuh saya. Saya
sadar bahwa tujuh puluh tahun adalah umur yang cukup
panjang yang dianugerahkan Gusti Allah kepada saya. Saya
hanya bisa bersyukur dibolehkan mengeyamhidup hingga
sejauh ini.41
Terlebih
lagi
ternyata
ia
mengidap
penyakit
yang
dirahasiakannya dari Sastrodarsono. Hingga pada akhirnya ia
meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kutipan di bawah
sebagai berikut.
“…. Tetapi, Allah Maha Besar. Bel pintu berdering keras
sekali. Seorang pembawa telegram menyerahkan telegram.
Embah Putri Sastrodarsono meninggal di Wanagalih.”42
“Embah Putri, menurut Gus Hari yang mendengar itu dari
Bapak ternyata telah lama mengidap penyakit lever. Dokter
Waluyo bahkan wanti-wanti pesan kepada Bapak dan Pakde
Noeg dan lainnya agar tidak membocorkan kepada Embah
Kakung.”43
Dapat disimpulkan bahwa Ngaisah adalah seorang perempuan
yang cakap dan prigel dalam mengurus keluarga priyayinya. Ia paham
betul bagaimana menjadi seorang istri, ibu, dan nenek. Ia begitu lihai
dalam segala pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, memimpin
pembantu di dapur, mengatur meja makan, merapikan rumah. Selain
itu, ia adalah perempuan yang berpendidikan halus. Sikap dan
41
Ibid., h. 254.
Ibid., h. 265.
43
Ibid., h. 266.
42
70
bahasanya halus, sumeh, murah senyum, dan pandai mengendalikan
perasaan.
d.
Noegroho
Kedekatan kaum priyayi dengan wong cilik
mengalami
kelunturan pada masa generasi anak-anak dan cucu Sastrodarsono.
Tidak ada hubungan erat antar tokoh yang berbeda status seperti
Ngadiyem dan Sastrodarsono, bahkan dapat dikatakan anak-anak
Sastrodarsono cenderung bersikap acuh tak acuh pada wong cilik.
Misalnya, Noegroho, hidup dalam kemewahan ala Belanda. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan berikut, “di meja makan kami biefstuk
daging has yang lengkap dengan segala kentang dan jus dan slada
hussar adalah hidangan yang tidak asing.”44 Mereka enggan
„mencicipi‟ kesederhanaan yang tercermin melalui penganan tempe.
Kutipan di atas menunjukkan bagaimana priyayi menjauhkan
diri dari wong cilik, berlawanan dengan sifat Sastrodarsono yang
masih merasakan kedekatan dengan wong cilik. Tidak tampak lagi
relasi antara kaum wong cilik dan priyayi pada masa generasi anakanak dan cucu Sastrodarsono. Kesan yang terjadi justru berkebalikan,
para priyayi semakin menjauhkan diri dari wong cilik.
Dalam novel Para Priyayi, Noegroho merupakan tokoh
komplementer. Tokoh komplementer merupakan tokoh tambahan
sebagai pelengkap cerita. Namun, tokoh komplementer juga bisa
menjadi penjelas dari tema yang dibahas dalam sebuah cerita. Pada
hakikatnya tokoh komplementer merupakan tokoh selain tokoh primer
dan sekunder.
Noegroho merupakan anak pertama Sastrodarsono dan
Ngaisah. Akan tetapi, Noegroho sangat berbeda dengan ayahnya.
44
Ibid., h. 179.
71
Salah satu perbedaannya adalah sifat pemberani yang tidak dimiliki
oleh Noegroho. Misalnya, disaat Sastrodarsono berani membangkang
terhadap perintah Jepang, Noegroho malah sebaliknya. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut, “Saya ternyata tidak seberani Bapak yang
menolak untuk menjalani upacara saikere kita ni muke, membungkuk
dalam-dalam ke arah utara….”45
Noegroho terpilih menjadi tentara Peta (Pembela Tanah Air).
Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Kemudian, tanpa saya duga
sama sekali, datanglah panggilan itu. Saya terpilih atau terpanggil
untuk ikut tentara Peta atau Pembela Tanah Air ….”46
Noegroho memiliki sikap pasrah, tabah, dan ikhlas. Sikap ini
ditunjukkan ketika anaknya yang pertama meninggal dunia karena
tertembak tentara Belanda yang sedang patroli. Selain itu, sikap pasrah
Noegroho ditunjukkan pula ketika ia mengetahui bahwa Lantip
diangkat anak oleh Hardojo. Hal ini dapat dilihat pada beberapa
kutipan berikut, “Iya, iya, Bu. Sing sabar ya, Bu. Ikhlas, Bu, kita
ikhlaskan anak kita pergi ya, Bu. Kalian juga ya, Marie dan Tommi,
ikhlaskan kamas-mu pergi.”47, dan “Sudah, sudah, Bu. Ingat. Sing
tawakal, Bu. Kita manusia hanya dititipi Gusti Allah anak-anak kita.
Kalau Dia mau mengambil kembali, Dia akan mengambil kembali.
Dan pasti itu untuk alasan yang baik. Pasti itu untuk kebaikan Toni
juga.“, serta “… kemudian begitu saja keluar dari mulut saya: Bapak
ikhlas, Le.”48
Meskipun terlihat mengikhlaskan kematian Toni, Noegroho
ternyata berubah. Ia menjadi lemah, tidak segagah dulu. Karena
setelah peristiwa itu, ia memanjakan anak-anaknya yang pada akhirnya
45
Ibid., h. 194.
Ibid., h. 196.
47
Ibid., h. 223.
48
Ibid., h. 224.
46
72
malah mencoreng nama besar keluarga Sastrodarsono. Menurut
Sastrodarsono, Noegroho telah dilenakan oleh kekayaan dan
kedudukan. Begitu yang ia katakan kepada Ngaisah. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut, “Yang saya sesalkan itu, Noegroho yang
dulugagah begitu, kok sekarang lemah, mlempem, tidak menguasai
rumah
tangganya.
Apa
kekayaan
dan
kedudukan
dia
yang
membuatnya dia begitu ya, Bune.”49
Noegroho adalah anak pertama Sastrodarsono yang menjadi
tentara. Gaya hidupnya tinggi. Ia memiliki sikap pasrah, tabah, dan
ikhlas. Sikap ini ditunjukkan ketika anaknya yang pertama meninggal
dunia. Akan tetapi, ia berubah menjadi lemah. Ia terlena dengan
kekayaan dan kedudukan sehingga tidak dapat menjaga keluarganya
dengan baik.
e.
Hardojo
Hardojo adalah anak kedua dalam keluarga Sastrodarsono.
Hardojo adalah orang yang cerdas. Keberhasilannya dalam meniti
karier tidak terlepas dari modal kualitas tokoh tersebut. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“HARDOJO, anak saya yang kedua, mungkin adalah anak saya
yang paling cerdas dan mungkin yang paling disenangi orang.
Soemini sangat sayang kepadanya. Noegroho, yang cenderung
paling serius dari semua anak-anak saya, juga sangat dekat
dengan adiknya itu, dan kami orang tuanya selalu bisa dibikin
menuruti kemauannya”.50
Selain Noegroho, Hardojo pun menjauhkan diri dari wong
cilik. Tidak tampak lagi relasi antara kaum wong cilik dan priyayi pada
masa generasi anak-anak dan cucu Sastrodarsono. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan berikut, “Anak-anak kampung itu lain betul dengan Hari,
49
Ibid., h. 252.
Ibid., h. 102.
50
73
lho, Sum. Mereka suka omong jorok dan suka misuh. Kita ini orang
Mangkunegaran, lho, Sum.”51 Dari kutipan tersebut kita dapat
mengerti bahwa seiring dengan meningkatnya status priyayi pada diri
Hardojo ia semakin mengambil jarak dengan wong cilik. Tanpa
disadarinya ia telah menggunjing kaum wong cilik dan ayahnya
sendiri, karena Sastrodarsono dahulunya adalah anak petani desa.
Priyayi adalah keluarga terhormat sehingga harus menghimpun
keluarga terhormat dengan mencari besan dari kalangan terhormat
pula. Dengan demikian pada keluarga priyayi muncul tradisi
mencarikan jodoh bagi anak. Orang tua memiliki hak khusus dalam
memilihkan jodoh dari keluarga tertentu yang cocok dengan kriteria
keluarga mereka. Si anak yang akan dengan senang hati menerima
pilihan orang tuanya karena pilihan priyayi adalah priyayi dengan
berbagai kriteria pula. Ngaisah adalah pilihan Ndoro Seten untuk
Sastrodarsono. Begitu pula Noegroho dan Soemini mendapat pasangan
hidup hasil pilihan orang tuanya. Lain halnya dengan Hardojo yang
memiliki pilihan sendiri. Ia memilih perempuan priyayi kristen yang
tidak sesuai dengan dengan agama keluarganya. Maka tidak
diterimalah
kehendak
Hardojo
oleh
keluarganya.
Ia
harus
merelakannya.
Dalam novel Para Priyayi, Hardojo merupakan tokoh
komplementer. Tokoh komplementer merupakan tokoh tambahan
sebagai pelengkap cerita. Hardojo adalah anak yang cerdas. Ia berhasil
menjadi priyayi dengan menjadi orang Mangkunegaran. Ia menikah
dengan Sumarti dan dikaruniai seorang anak bernama Harimurti.
f.
51
Ibid., h. 167.
Soemini
74
Soemini adalah anak bungsu Sastrodarsono dan Ngaisah. Ia
digambarkan memiliki sifat bandel, keras kepala, dan selalu ingin
dituruti kemauannya. Akan tetapi, ketika dewasa ia menjadi
perempuan yang penurut dan sangat mementingkan pendidikan.
Emansipasi wanita ditunjukkan dengan perlawanan wanita
untuk keluar dari kekangan patriarkal. Seorang wanita biasanya
dijodohkan sejak masih muda, seperti yang dialami tokoh Ngaisah.
Soemini di lain pihak, mengikuti pemikiran R.A. Kartini menolak
untuk menikah pada usia dini dan memilih untuk melanjutkan sekolah
di Van Deventer School. Hal ini terdapat pada kutipan di bawah
sebagai berikut.
“Bukankah kita termasuk keluarga priyayi maju pengikut
pikiran Raden Ajeng Kartini yang tidak setuju perempuan
kawin terlalu muda.”52
“Saya mau sekolah dulu di Van Deventer School. Selesai itu
baru saya bersedia jadi istri Kamas Harjono.”53
Seorang
priyayi
harus
memiliki
pribadi
khas
karena
terpelajarnya. Sehingga tindaknya harus sesuai dengan norma yang
mulia. Sastrodarsono dan ketiga anaknya berusaha mencontohkan
perilaku priyayi ini, namun keturunan mereka yang mendapat status
priyayi karena pemberian, justru menunjukkan perilaku bukan priyayi.
Perilaku mereka jelek, tidak dapat menjaga diri dan perilakunya.
Soemini menikah dengan Harjono dan dikaruniai beberapa orang anak.
Masalah pun datang dalam rumah tangganya. Ia mengetahui suaminya
selingkuh dengan perempuan lain. Soemini aktif dalam organisasi. Hal
ini dapat dilihat pada beberapa kutipan di bawah sebagai berikut.
52
Ibid., h. 79.
Ibid., h. 86.
53
75
“…. Mas Harjono ternyata punya selir gelap yang disimpan di
Rawamangun. Hal itu saya ketahui secara kebetulan dari rekan
di organisasi.”54
“…. Saya memang kurang waspada karena karena saya sendiri
juga banyak terlibat dengan organisasi.”55
Soemini adalah aktivis wanita. Ia merupakan pengurus anggota
Perwari. Organisasi ini anti madu. Hal ini dapat dilihat pada kutipan
berikut, “…. Dan bagaimana malu kami kepada tantemu Mini yang
anggota pengurus Perwari itu kalau mendengar ini. Juga tantemu mini
sendiri akan malu juga. Pengurus Perwari yang anti madu kok
membiarkan kemenakan sendiri dimadu orang.”56
Soemini
merupakan
tokoh
komplementer.
Tokoh
komplementer merupakan tokoh tambahan sebagai pelengkap cerita.
Soemini adalah perempuan yang sangat mengutamakan pendidikan. Ia
memiliki sifat bandel, keras kepala, dan selalu ingin dituruti
kemauannya. Soemini adalah contoh perempuan modern yang sangat
aktif.
g.
Sus
Sus merupakan tokoh komplementer. Ia adalah istri Noegroho.
Menurut Ngaisah, sus adalah perempuan yang cantik dan lemah. Hal
ini terdapat pada kutipan berikut, “Ah, saya kira tidak, Pakne. Sus lain
dengan Soemini. Sus cantik dan lemah. Tidak seperti anakmu, atos,
keras. Tapi justru karena gabungan cantik dan lemah itu membuat
Noegroho akan terus lengket dengan istrinya.?”57
Akan tetapi, sikap memanjakan anak-anaknya menjadi
bumerang baginya. Hal itu ia lakukan karena trauma akan peristiwa
54
Ibid., h. 233.
Ibid., h. 234.
56
Ibid., h. 277.
57
Ibid., h. 244.
55
76
meninggalnya Toni. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah
sebagai berikut.
“Saya masih belum bisa melupakan keterkejutan serta
kepedihan saya waktu ditinggal mati Toni. Sungguh sangat
sedih dan kosong rasanya sehabis Toni pergi itu. Maka saya
bertekad tidak mau kehilangan anak-anak saya lagi. mereka
kami jaga baik-baik. Kami turuti semua kemauan mereka asal
mereka senang dan berbahagia.”58
Sus merasa bersalah kerena sikapnya itu pada akhirnya
menimbulkan masalah yang besar bagi kehormatan keluarga
Sastrodarsono.
“Bapak, Ibu, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya tidak
dapat menjaga cucu Bapak dan Ibu. Saya yang salah, kurang
waspada dan terlalu jauh memanjakan dia. Bagaimana nanti
kalau Mas Noeg mendengar ini. Pasti saya akan kena marah
habis-habisan.”59
Kutipan di atas menjelaskan betapa Sus merasa bersalah. Ia
merasa gagal mendidik anak-anaknya, karena Marie hamil di luar
nikah dan Tommi menjadi anak yang tidak peduli, tidak dapat
diandalkan.
Sus merupakan tokoh komplementer. Tokoh komplementer
merupakan tokoh tambahan sebagai pelengkap cerita. Sebagai istri
Noegroho dan ibu dari Marie dan Tommi, Sus merasa gagal dalam
menjaga rumah tangganya. Ia cantik, tetapi lemah. Ia begitu manjakan
anak-anaknya yang lain semenjak ia kehilangan anaknya yang
meninggal karena tertembak.
h.
Marie
Marie adalah anak perempuan Noegroho dan Sus. Ia anak
tertua dan memiliki dua saudara laki-laki, yaitu Tommi dan Toni.
58
Ibid., h. 245.
Ibid., h. 251
59
77
Setelah Toni meninggal dunia, Sus, ibu Marie memanjakan Marie dan
Tommi karena takut kehilangan anaknya lagi. Akan tetapi, karena
sikap itulah Marie tumbuh menjadi anak yang sangat bebas dalam
pergaulan, bahkan kuliahnya berhenti di tengah jalan. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.
….
“Setiap kami menduga ada seorang laki-laki agak akrab
dengandia adalah calon suaminya, segera pula kami dibuatnya
kecele. Kuliah Marie, seperti Bapak dan Ibu tahu, berhenti di
tengah jalan. Alasan bosan. Dan kami tidak kuasa
membujuknya apalagi memaksanya agar dia mau terus kuliah.
Memang harus kami akui bahwa kami cenderung lemah,
bahkan agak kami manjakan anak-anak kami. Sejak Toni
gugur dulu, kami, terutama saya, selalu diliputi perasaan takut
satu ketika akan kehilangan anak lagi.”60
Marie bekerja di kantor ayahnya. Ia bekerja semau hatinya. Hal
itu tentu membuat ibunya khawatir. Akan tetapi, ada hal lain yang
lebih mengkhawatirkan Sus dibandingkan dengan sikap semena-mena
Marie, yaitu hubungannya dengan Maridjan. Benar saja kekhawatiran
ibunya itu. Marie memberi pengakuan kepada Sus. Marie hamil di luar
nikah. Lelaki itu adalah Maridjan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan
percakapan di bawah sebagai berikut.
“Ma!”
“Huh!”
Untuk beberapa saat diam lagi. Marie tidak meneruskan
kalimatnya.
“Ma, saya mau bilang.”
“Ngomonglah.”
Marie kemudian membalikan tubuhnya, mukanya menghadap
muka saya yang menatap langit-langit. Saya terkejut. Muka
Marie kelihatan kusut, bawah matanya kelihatan hitam
kelelahan. Kemudian airmatanya mulai menitik. Marie yang
badung menangis?
“Ma, saya sedang susah, nih.”
60
Ibid., h. 245.
78
Saya diam memperhatikan muka anak saya itu.
“Ma, saya … mungkin hamil.”
“Hah?”61
Marie memiliki sifat manja dan acuh tak acuh. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut, “…. Sedang Marie, anak manja dan
sering bersikap acuh tak acuh, hari itu Nampak agak gugup.”Marie
merupakan tokoh komplementer. Sebagai pelengkap cerita, ia
merupakan salah satu tokoh yang membuat konflik dalam keluarga
besar Sastrodarsono.
Marie merupakan tokoh komplementer. Ia adalah anak
perempuan satu-satunya Noegroho dan Sus. Marie memiliki sifat
manja dan tak acuh. Gaya hidupnya tinggi dan bebas.
i.
Harimurti
Harimurti merupakan anak tunggal Hardojo dan Sumarti.
Harimurti merupakan tokoh komplementer. Tokoh komplementer
merupakan tokoh tambahan sebagai pelengkap cerita. Keberadaannya
mendukung tokoh utaadan sekunder dalam cerita.
Harimurti atau Hari adalah tokoh yang namanya memiliki
makna yang indah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai
berikut.
“... Anak kami, laki-laki, Harimurti, tahu-tahu juga sudah lima
tahun umurnya. Kami namakan dia Harimurti karena waktu
baru lahir merah sekali warna kulitnya. Kata orang bayi yang
kulitnya merah mangar-mangar akan menjadi hitam bila sudah
tumbuh dewasa. Maka kami namakan dia Harimurti, dengan
harapan ia akan sehitam Batara Kresna, titisan Wisnu itu.
Tentulah kami tahu benar bahwa dia bukan titisan Wisnu.
Tetapi, setidaknya kami berharap semoga anak itu akan
menjadi orang yang bijaksana seperti Prabu Kresna dari
61
Ibid., h. 250.
79
Dwarawati itu. Juga orang yang peka serta tajam perasaannya,
sanggup membaca perubahan zaman. ...”62
Hari tumbuh menjadi pribadi yang memiliki sikap peduli dan
solidaritas yang tinggi, apalagi terhadap keluarganya ketika Embah
putrinya, Ngaisah meninggal dunia. Ia bersedia menemani Embah
Kakung Sastrodarsono di Wanagalih bersama dengan anggota
keluarga lainnya. Hal ini terlihat pada kutipan di bawah sebagai
berikut.
“Kesediaan Gus Hari untuk ikut tinggal bersama ibu dan
buliknya mengharukan pakde dan paklik-nya dan sudah tentu
juga bulik, bude, dan ibunya. Saya sendiri sesungguhnya tidak
terkejut. Dan mestinya juga Bapak dan Ibu. Kami tahu betul
sifat Gus Hari, momongan saya itu. Orangnya penuh belas dan
gampang merasa trenyuhkepada penderitaan orang lain, apalagi
ini adalah Embah Putrinya yang disayanginya. Rasa
solidaritasnya juga kuat betul dengan mereka yang
menderita.”63
Harimurti memang pemuda yang peka, mudah trenyuh, cerdas,
dan sangat menyukai kesenian. Hal ini dapat dilihat pada kutipan
berikut, “Gus Hari seperti selalu saya amati dan duga sejak kecil,
tumbuh sebagai seorang pemuda yang peka, gampang menaruh belas
kepada penderitaan orang. Dia juga anak yang sangat cerdas dan
menaruh perhatian yang besar pada kesenian.”64
Hari yang cerdas itu ikut bergabung dalam organisasi Lekra
dan CGMI. Hal ini ia akui dan tanyakan pada Lantip. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut, “Tip, saya beri tahu, ya? Aku sekarang
bergabung dengan Lekra dan CGMI. bagaimana kau setuju, „kan?”65
62
Ibid., h. 161.
Ibid., h. 269.
64
Ibid., h. 280.
65
Ibid., h. 282.
63
80
Sejak mengenal dan bersahabat dengan Sunaryo yang
berpandangan Marxis, pandangan Harimurti pada kesenian yang
sebelumnya ia nikmati sebagai keindahan sekarang bergeser menjadi
menjadi alat politik. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “….
Kesenian bagi Gus Hari bergeser menjadi bagian dari politik dan
berubah menjadi alat politik. Saya baru mulai sadar bahwa Sunaryo
adalah seorang yang berpandangan Marxis berkat pergaulannya dan
pendidikannya dengan kawan-kawannya Marxis, baik yang ada di
Lekra, CGMI maupun kemudian yang di HIS.”66
Hari semakin bergairah dengan Lekra. Ia semakin meyukai
seni. Akan tetapi, kesenian yang ia tekuni sekarang adalah seni
pinggiran. Baginya seni adalah alat perjuangan kelas. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“Perkembangan kemudian adalah perkembangan Gus Hari
yang semakin bergairah dengan Lekra. Wayang orang, wayang
kulit serta klenengan gamelan tidak lagi diminati karena,
katanya, itu semua adalah klenengan adiluhung, indah tinggi,
dari kaum feodal. Yang dia tekuni adalah ketoprak dan ludruk
serta gamelan pinggiran. Itulah, katanya, seni oleh rakyat dan
untuk rakyat. Seni sebagai alat perjuangan kelas wong
cilikmelawan kelas feodal, katanya lagi.”67
Harimurti sangat sayang kepada kedua orang tuanya walaupun
kadang berbeda pandangan, ia tetap menghormati kedua orang tuanya.
Ia juga memiliki sifat yang jujur dan tulus. Baginya kejujuran dan
ketulusan lebih penting daripada gaya penampilan. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“Saya diam tidak berusaha meneruskan perdebatan dengan
orang tua saya. Jelas kami sudah berbeda pandangan. Dan
perbedaan itu memang menandakan perbedaan pandangan
antara angkatan yang lain. Bagi mereka mungkin yang
66
Ibid.,
Ibid., h. 284.
67
81
terpenting adalah gaya penampilan karena itu dipandang
sebagai pancaran jiwa dalam. Bagi saya tidak. Bagi saya
kejujuran dan ketulusan lebih penting. Gaya penampilan dapat
dikembangkan sambil berjalan.”68
Hari memiliki kekasih yang ternyata juga satu organisasi
dengannya. Namanya Retno Dumilah. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut, “Saya juga mengamati Gus Hari mulai pacaran. Ah,
itu perkembangan yang menyenangkan. Pacarnya adalah seorang
penyair, Lekra tentu, bernama Retno Dumilah, tetapi lebih suka
dipanggil dengan nama samaran sebagai penyair, Gadis Pari.”69
Ketika terjadi penangkapan besar-besaran terhadap organisasiorganisasi yang diduga pemberontak atau anggota PKI, Hari dan Gadis
berpisah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“…. Sesudah pawai, kami diberi tahu bahwa Angkatan
Bersenjata telah mengambil alih semuanya dan mulai
mengadakan pembersihan terhadap semua anggota PKI dan
ormas—ormasnya. Kami dianjurkan bersembunyi dan
menunggu keadaan. Saya pulang dan Gadis pulang ke
Wates.”70
Hari dipenjara karena aktif di Lekra yang dicurigai sebagai
sayap organisasi PKI. Keturunan priyayi justru rusak moralnya. Seolah
kepriyayiannya hilang tanpa bekas. Hari begitu liberal dan tidak dapat
menjaga diri. Ia berperilaku amoral. Tidak mengindahkan nilai. Hari
meminta maaf kepada orang tuanya karena ada hal lain yang telah
terjadi dalam hubungan dengan Gadis waktu Lantip memberi kabar
bahwa Gadis di tahan dalam keadaan hamil tujuh bulan. Hal ini dapat
dilihat pada beberapa kutipan di bawah sebagai berikut.
….
68
Ibid., h. 293.
Ibid., h. 284.
70
Ibid., h. 306.
69
82
“Menurut informan saya, tahanan Gerwani bernama Retno
Dumilah sekarang ini sedang hamil tujuh bulan. Bagaimana itu
mungkin?”
….
“Perempuan itu hampir bisa saya pastikan Gadis.”
“Bagaimana kamu bisa pasti, Le.”
“Bapak, Ibu, dan kang Lantip. Saya minta maaf. Saya akan
menceritakan bagian lain dari hubungan saya dengan Gadis
yang belum sempat saya laporkan kepada Bapak, Ibu, dan
Kang Lantip. Hubungan saya dengan Gadis sesungguhnya
sudah amat jauh dan mendalam. Menjelang kemelut itu, Gadis
sudah bercerita kepada saya bahwa dia sudah satu bulan tidak
mendapat haid. Kalau kata Kang Lantip, Gerwani itu hamil
tujuh bulan, dan namanya Retno Dumilah, pastilah dia itu
Gadis. Yang ada dalam kandungannya adalah anak saya.”71
Harimurti sangat sedih ketika ia tahu ternyata Gadis meninggal
dunia karena melahirkan anaknya terlalu cepat. Karena begitu sedih, ia
sampai tidak bisa menangis dan diam membatu. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“Oh, Allah, Lee. Sudah nasibmu, Nggeer. Istrimu, Naak,
istrimu sudah tidak ada …..”
Saya jadi berdiri membatu. Tidak bisa menangis lagi, tidak
bisa apa-apa.
“Saya hanya mendengar cerita ibu dan bapak saya. Gadis
meninggal beberapa hari lalu sebelum mereka datang. Gadis
meninggal melahirkan terlalu cepat sepasang anak kembar laki
dan perempuan.”72
Harimurti memang pemuda yang peka, mudah trenyuh, cerdas,
dan sangat menyukai kesenian. Harimurti ikut dalam pemberontakan
dengan masuk ke dalam Lekra, sebuah organisasi kesenian beraliran
komunis. Setelah berkenalan dan berhubungan dengan Gadis pengaruh
komunis semakin meresap, namun sebenarnya dalam dirinya ia
mempertanyakan esensi dari gerakan itu. Sampai pada akhirnya ia dan
71
Ibid., h. 319.
Ibid., h. 326.
72
83
Gadis dipenjarakan. Hari merasa bersalah kepada Gadis dan anaknya
yang lahir terlalu cepat itu. akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Ia
tidak dapat lagi menjalani hidup bersama Gadis.
j.
Retno Dumilah (Gadis Pari)
Retno Dumilah adalah kekasih Harimurti. ia adalah seorang
penyair. Ia juga ikut dalam organisasi Lekra dan tidak menyukai
feodalisme, hingga ia lebih suka dipanggil Gadis Pari.
Ketika terjadi penangkapan besar-besaran terhadap organisasiorganisasi yang diduga pemberontak atau anggota PKI, Hari dan Gadis
berpisah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“…. Sesudah pawai, kami diberi tahu bahwa Angkatan
Bersenjata telah mengambil alih semuanya dan mulai
mengadakan pembersihan terhadap semua anggota PKI dan
ormas—ormasnya. Kami dianjurkan bersembunyi dan
menunggu keadaan. Saya pulang dan Gadis pulang ke
Wates.”73
Di mata Hari, Gadis adalah perempuan yang beda dengan yang
lain. Hal itu yang membuat Hari langsung tertarik kepada Gadis.
Hubungan Hari dan Gadis melebihi seorang kekasih, hingga akhirnya
Gadis hamil. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai
berikut.
“Dan Gadis? Bagaimana saya bisa terpikat dan akhirnya saya
tetapkan dialah calon istri saya? Gadis adalah potret
keterombang-ambingan juga seperti saya. Makanya saya
langsung saja jatuh cinta kepadanya. Beda Gadis dengan saya
adalah Gadis anak Priyayi yang lebih merasakan kepahitan
hidup, sedang saya, seperti dikatakan oleh Gadis, adalah anak
priyayi yang mujur. Ah, kekasihku. Gadisku, di mana kau
sekarang? Betulkah kau mengandung bibitku, anak kita ….?”74
73
Ibid., h. 306.
Ibid., h. 310.
74
84
Gadis memang anak priyayi. Akan tetapi, nasibnya pahit.
Kebalikan dari Harimurti. Gadis adalah anak dari seorang pensiunan.
Ia mempunyai saudara laki-laki yang cacat bernama Kentus. Kentus
cacat otak sejak lahir. Gadis menganggap Kentus sebagai anak yang
cacat karena penindasan kapitalisme dan bukan karena bawaan lahir.
Gadis dan keluarganya perna mengalami secara langsung penderitaan
kelas yang tertindas. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah
sebagai berikut.
“Ah, kau priyayi yang selalu beruntung dan sukses. Orang tua
saya, meski juga priyayi, priyayi kecil yang hanya hidup dari
gaji. Kentus itu anak sepupu ibu saya yang priyayi lebih kecil
lagi dan mengalami nasib yang sial. Suaminya guru desa yang
pernah punya sebidang sawah yang kecil. Sawah yang kecil itu
digadaikan kepada seorang haji tuan tanah untuk mengongkosi
pengobatan Kentus ke sejumlah dukun, dan akhirnya juga
dokter. Sampai habis uang gadai itu, Kentus ya tetap begitu
saja keadaannya. Uang gadai tidak dapat dikembalikan dan
tentu saja swah yang kecil itu kemudian jatuh ke tangan haji
tuan tanah itu. Akhirnya mereka merana, sakit tbc dan seorang
demi seorang meninggal. Jadilah Kentus kami ambil menjadi
adik saya. Kalau bukan kelas yang tertindas, apalagi nama
keluarga saya itu?”75
Gadis sendiri walaupun mengakui statusnya sebagai priyayi
kecil tetap menganggap dirinya seperjuangan dengan rakyat tertindas.
Menurutnya, komunisme telah menguras pemikiran mereka untuk
mengabdi pada wong cilik dengan cara yang bersih, dengan “sistem
yang tidak percaya lagi pada pendapat bahwa untuk mengangkat nasib
rakyat harus dibunuhi beratus atau beribu orang.”76
Kutipan di atas menjelaskan bahwa gadis begitu membenci
priyayi yang kaya raya dan feodalisme. Beberapa nilai buruk dari
feodalisme di antaranya adalah mentalitas berorientasi kepada atasan,
75
Ibid., h. 299.
Ibid., h. 291.
76
85
hanya menunggu perintah atasan, patuh dan loyal secara berlebihan
sampai merendahan diri, dan mengutamakan kesenangan atasan.
Feodalistik, artinya setia pada atasan, bertindak dengan maksud
memelihara hubungan baik dengan atasan, menerima segalanya dari
atasan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Tole semua.
Dengarkan baik-baik perintahku ini... Begitulah perintah dari sesepuh
keluarga Sastrodarsono dijatuhkan. Kami semua tidak bisa lain
daripada manaatinya dan melaksanakannya.”77
Orang jawa cenderung fatalistik, yaitu menganggap baik
buruknya nasib sudah diatur oleh takdir. Namun, dalam menanggung
semuanya ini ada juga sikap menggerutu diam-diam, atau hanya
berkata “Ya” di bibir, tetapi “tidak” di hati, bahkan jika mencoba
mencermati maka akan nampak bahwa feodalistik ini tidak hanya erat
hubunganya dengan wong cilik, tetapi ternyata golongan priyayi juga
sangat feodalistik.
Feodalistik digambarkan Umar kayam dalam novelnya saat
masuk penjajahan Jepang segalanya harus berbau dan mengikuti pola
yang dipergunakan Jepang termasuk juga sekolah. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“Setiap pagi kami, baik guru, mesti membungkukkan badan
dalam-dalam memberi hormat kepada Tenno Heika, yaitu
kaisar Jepang yang katanya adalah keturunan dewa. Habis itu
kami semua diwajibkan taiso, yaitu olahraga, baru kemudian
mulai dengan pelajaran. Setiap hari mesti ada pelajaran bahasa
Nippong buat guru-guru yang terpilih. Ndoro putri diam
mendengar gerutu Ndoro Kakung yang panjang itu.”78
Seluruh gaya hidup di lingkungan priyayi dipolakan menurut
ethos (feodalistik), baik yang privat maupun publik, baik yang formal
77
Ibid., h. 302.
Ibid., h. 138.
78
86
maupun yang informal, seluruh hubungan sosial, sikap pribadi, baik
pada tingkat etis maupun pada tingkat estetis ataupun etiket, semuanya
dijiwai oleh prinsip feodalistik.
Gadis ditahan di Plantungan. Ia dituduh termasuk dalam
Gerwani
yang
galak.
Lantip
berusaha
menemuinya
dan
menguatkannya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai
berikut.
“Retno Dumilah, Gerwani yang ditahan di Plantungan itu,
memang ternyata Gadis. Waktu kang Lantip dipertemukan
Gadis di kantor kepala tahanan, keduanya saling memandang
dengan terheran-heran. Gadis sama sekali tidak menyangka
kalau akan kedatangan tamu Kang Lantip. Sedang Kang
Lantip, meski sudah tahu, terheran-heran juga waktu melihat
Gadis tampil dengan perut yang sudah besar karena hamil tua.”
….
“Sabarlah, Gadis. Kami sekeluarga sedang mencari upaya
untuk mengeluarkan kau.”
“Huh, bagaimana bisa, Kang. Aku di sini sudah dinilai sebagai
Gerwani galak. Padahal anggota Gerwanisaja tidak lho, saya.
Saya memang penyair Lekra, anggota Lestra. Tetapi apa mau
dikata. Buat mereka kami ini semuanya Gerwani. Dan memang
dalam Tanya-jawab, interogasi. Saya sering dianggap galak
karena saya suka mengundang polemik dengan mereka.” 79
Ketika keluarga Harimurti hendak menjemput Gadis di
Plantungan, ternyata Gadis sudah meninggal dunia beberapa hari yang
lalu karena melahirkan terlalu cepat. Hal ini dapat dilihat pada kutipan
berikut, “Saya hanya mendengar cerita ibu dan bapak saya. Gadis
meninggal beberapa hari lalu sebelum mereka datang. Gadis
meninggal melahirkan terlalu cepat sepasang anak kembar laki dan
perempuan.”80
79
Ibid., h. 321-322.
Ibid., h. 326.
80
87
Dapat disimpulkan bahwa tokoh Gadis adalah perempuan yang
tertindas, tetapi berjiwa kuat. Gadis tidak menyukai feodalistik
manusia Jawa.
k.
Ngadiyem
Ngadiyem adalah ibu kandung Lantip, anak Embah Wedok
seorang penjual tempe yang tinggal di desa Wanawalas, tempat
sekolah bantu yang didirikan oleh Sastrodarsono.
Ngadiyem digambarkan sebagai tokoh yang, murah hati,
hemat, dan tegas. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Dengan
ketus Embok menjawab dengan “Hesy! Ora usah”, dan saya pun jadi
terdiam. Saya tahu Embok, meskipun murah hati, juga sangat hemat
dan tegas.”81
Semasa hidupnya, Ngadiyem selalu menderita. Ngadiyem anak
Mbok Soemo warga Dukuh Wanalawas. Adanya Lantip dimulai
dengan berdirinya sekolah di Wanalawas dengan guru Den Bagus
Soenandar yang tinggal di rumah Mbok Soemo. Soenandar menjadi
seorang guru karena turut membantu Sastrodarsono. Ia akrab dengan
Ngadiyem anak Mbok Soemo. Seiring kedekatan itu membuahkan
Lantip di rahim Ngadiyem. Kebahagiaan Mbok Soemo anaknya
kecipratan bibit priyayi kandas ketika menemui Den Bagus Soenandar
minggat dan membawa seluruh tabungan keluarga itu.
Ia
bekerja
keras
berjualan
membantu
ibunya
dan
membahagiakan Lantip, anaknya. Ngadiyem adalah perempuan hebat
yang selalu tabah menjalani takdir hidupnya. Lantip, anaknya memuji
kehebatan Ngadiyem sebagai perempuan. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan di bawah sebagai berikut.
“Dan di tengah himpitan kesedihan itu, dia selalu tersenyum
bahkan tertawa berderai setiap kali dia reriungan bersama saya.
81
Ibid., h. 14.
88
Perempuan yang istimewa. Perempuan yang hebat. Dan begitu
saya menyimpulkan sosok embok saya, saya jadi ikhlas
melepasnya ke dunia sana. Bahkan saya mengucap syukur
kepada jamur yang membunuhnya dengan cepat. Sebab
alangkah sudah besar dan banyak penderitaannya.”82
Ngadiyem adalah sosok perempuan yang hebat. Meskipun
begitu banyak hal yang berat dalam hidupnya yang harus ia lalui. Ia
tetap kuat dan ikhlas. Ia juga pekerja keras.
l.
Soenandar
Soenandar
adalah
keponakan
Sastrodarsono
dan
juga
merupakan ayah kandung Lantip. Soenandar diserahkan orang tuanya
agar dididik oleh keluarga Sastrodarsono. Akan tetapi, Soenandar
malah membuat malu keluarga Satrodarsono karena ulahnya yang
selalu membuat onar. Hal ini dapat dilihat dari kutipan di bawah
sebagai berikut.
“Belum lagi keponakan saya seperti Soenandar yang nakalnya
bukan main, yang kerjanya selain membikin onar di rumah
tidak ada lagi. Bila Sri sedang bersembahyang Isya pada
malam hari, Soenandar kadang-kadang dengan berkerudung
sarung akan menggodanya dari balik jendela yang menghadap
ke kebun. Bila Sri menjerit-jerit karena kaget dan ketakutan,
Soenandar akan tertawa terkekeh-kekeh. Dan di waktu yang
lain saya dapati Sri dan Darmin menangis karena kena
dibohongi Soenandar untuk makan saren, darah ayam goreng.
Enak enggak makan saren haram, enak enggak, ganggu
Soenandar.”83
Soenandar merupakan tokoh komplementer. Ia digambarkan
sebagai tokoh yang nakal, cerdas, licik, pemalas dan kurang jujur. Hal
ini dapat dilihat dari kutipan di bawah sebagai berikut.
“Saya tidak habis mengerti bagaimana keponakan yang satu ini
bisa begitu jahat kepada sepupu-sepupunya yang lain. Seakan82
Ibid., h. 134.
Ibid., h. 78.
83
89
akan mengganggu sepupu-sepupu, atau mungkin orang mana
saja, merupakan suatu kenikmatan yang luar biasa baginya.
Dari guru-gurunya di sekolah kami sering mendapat laporan
akan kenakalan Soenandar. Sesungguhnya Soenandar adalah
anak yang cukup cerdas, kata gurunya. Hanya saja dia malas,
sering tidak menyelesaikan pekerjaan rumahnya, jelas gurunya
lebih lanjut. Kesenangannya mengganggu anak-anak
perempuan dan mengajak berkelahi anak-anak laki-laki.”84
Hal lain yang membuat keluarga Sastrodarsono malu bukan
main adalah saat guru Soenandar, Menir Soerojo, mengantar pulang
Soenandar karena ia kedapatan mencuri di sekolah. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“Ini, Kamasdan Mbakyu. Wah, nuwun sewu betul, lho, Kamas
dan Mbakyu. Kali ini kenakalan Soenandar agak terlalu jauh.
Dia kedapatan mencuri sangu, uang jajan temannya sekelas dan
kami mendapat laporan dari embok kebon sekolah yang
membuka warung di sekolah kalau Soenandar suka jajan tapi
tidak mau bayar.”85
Dalam mendidik keponakan-keponakannya, Sastrodarsono
merasa ia telah gagal. Terutama mendidik Soenandar. Ulahnya makin
menjadi-jadi.
Bahkan
Paerah,
pembantu
di
rumah
keluarga
Sastrodarsono pun dikerjai olehnya sampai seperti orang kesurupan.
Selain gagalnya Soenandar menamatkan sekolahnya, ia juga tidak
dapat bertanggung jawab atas apa yang telah di percayakan padanya.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan dibawah sebagai berikut.
“Yang repot adalah Soenandar. Saya tidak tahu setan apa yang
masuk dalam kepalanya. Sifatnya jahat, jahil, suka menipu, dan
rupanya juga suka perempuan. Paerah yang tempo hari
digodanya hingga jadi seperti kesetanan rupanya mengalami
beberapa kali godaannya sehingga hampir saja Paerah mau
minta pulang ke desanya.”86
84
Ibid., h. 79-80.
Ibid., h. 80.
86
Ibid., h. 109.
85
90
“Setelah kegagalannya menamatkan pelajaran di HIS tempo
hari, dia kami beri tanggung jawab untuk menjadi mandor yang
mengawasi buruh-buruh yang pada mengerjakan tegalan dan
sawah kami di belakan rumah. Gagal juga. Hubungan dengan
para buruh tidak baik, suka membentak-bentak dan uang hasil
penjualan palawija dan kelebihan padi sering tidak beres
pertanggungjawabannya.”87
Hal lain yang menjadi puncak dari kenakalan Soenandar adalah
perbuatannya
terhadap
Ngadiyem.
Soenandar
menjalin
kasih
dengannya hingga akhirnya ia hamil di luar nikah. Akan tetapi, setelah
mengetahui kehamilan Ngadiyem, Soenandar malah meninggalkannya
dengan membawa tabungan Mbok Soemo dan Ngadiyem. Hal ini
dapat dilihat pada beberapa kutipan di bawah sebagai berikut.
“Rupanya Soenandar, sesudah beberapa waktu tinggal di
rumah Mbok Soemo, dapat merebut hati Ngadiyem ....”88
....
“Sampai pada suatu ketika Ngadiyem merasa haidnya sudah
mulai tidak teratur lagi datangnya ....”
....
“Tetapi, waktu hal ini diceritakan kepada Soenandar,
Soenandar diam saja.”
....
“.... Kemudian pada suatu malam Soenandar minggat. Mbok
Soemo dan Ngadiyem baru tahu keesokan harinya, waktu
ditemuinya kamarnya kosong, pakaian yang bergantungan di
kamar tidak ada dan, lebih celaka dari itu, semua uang
tabungan keluarga yang ditabung dalam celengan ayamayaman dari tanah, yang ditaruh di atas rak bambu di ruang
tengah, juga hilang ....”
Akhirnya keluarga Sastrodarsono mencarinya dang ternyata dia
menjadi anggota perampok. Malang nasibnya ketika ditangkap polisi
87
Ibid., h. 109-110.
Ibid., h. 121.
88
91
dan ia hangus terbakar di dalam rumah rumah kosong yang sengaja
dibakar. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan di berikut,
....
“.... kemudian saya melihat Soenandar diantara gerombolan itu.
Masya Allah, Soenandar keponakan saya, anak sepupu saya
yang dititipkan kepada saya untuk menjadi priyayi, ikut
gerombolan kelompok Samin Genjik?”
....
Nuwun sewu, Dimas. Gambar ini diambil beberapa minggu
yang lalu, waktu mereka tertangkap sehabis merampok di
daerah Gorang-gareng. Sehabis digambar waktu mereka mau
dibawa ke Madiun, di jalan mereka entah bagaimana, bisa
lepas dan melawan polisi. Mereka lari masuk ke sebuah rumah
kosong di sebuah kampung. Mereka dikepung. Kemudian atas
nasihat dukun yang mengetahui kesaktian Samin Genjik,
rumah itu mesti dibakar. Dan rumah itu dibakar habis oleh
polisi dan orang-orang kampung.89
Tokoh Soenandar merupakan simbol keretakan relasi yang
terjadi dalam keluarga besar Sastrodarsono. Meskipun Soenandar
hanya keponakan Sastrodarsono. Ia tetap telah mencoreng nama baik
keluarga dengan menghamili Ngadiyem kemudian lari membawa harta
Ngadiyem dan ibunya. Soenandar memiliki sifat yang buruk. Ia
digambarkan sebagai tokoh yang nakal, cerdas, licik, pemalas dan
kurang jujur.
m.
Martoatmodjo
Ia adalah senior Sastrodarsono sekaligus kepala sekolah di
Karangdompol. Ia senangi dan dihormati, kerena sifatnya yang baik
dan mau mengayomi juniornya, seperti Sastrodarsono. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut, “Saya selalu senang dan hormat kepada
kepala sekolah saya. Dia adalah seorang atasan yang baik, penuh
89
Ibid., h. 122.
92
pengertian, cerdas, dan selalu mau membimbing rekan-rekannya yang
masih muda dan kurang berpengalaman seperti saya.”90
Martoatmodjo diduga melakukan pergerakan dan mempunyai
gundik seorang penari tayub oleh School Opziener. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut, “Ada dua perkara. Pertama, hubungannya
dengan pergerakan. Kedua, hubungannya dengan penari tayub di Desa
Karangjambu.”91
“Dimas Sastro tertarik dengan Medan Priyayi? Bawalah kalau
tertarik untuk membacanya. Tetapi, mingguan ini sudah tidak
boleh terbit lagi. Pemimpinnya sudah dihukum dan dibuang.”
“Lantas apa salah Mas Marto dengan menyimpan mingguanmingguan yang sudah berhenti terbit ini?”
“Ya, karena menyimpan dan membaca mingguan-mingguan
ini.”
“Cuma itu?”
“Nyaris cuma itu. Tetapi koran ini dianggap koran pergerakan,
Dimas. Mingguan ini yang dianggap oleh gupermen menghasut
masyarakat. Dan juga orang-orang Serikat Dagang di Lawean
Solo itu hampir semua membaca mingguan-mingguan ini.”92
Kutipan di atas menjelaskan bahwa membaca dan menyimpan
koran Medan Priyayi itu dianggap sebagai kegiatan pergerakan
melawan gupermen pada waktu Pemerintah Hindia menguasai negeri
kita.
Medan
Priyayi,
mingguan
yang
memuat
artikel-artikel
perlawanan terhadap kolonialisme, seperti Multatuli, dan kritikan bagi
pejabat yang korup. Banyak priyayi yang tidak berani mengikuti jejak
Martoatmodjo karena takut kehilangan status dan kemapanan. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan berikut, “Mereka takut dengan bacaan
seperti ini. Mereka takut kehilangan pekerjaan mereka.”93
90
Ibid., h. 59.
Ibid.,
92
Ibid., h. 62.
93
Ibid., h. 57.
91
93
Kemunculan pemikiran ini adalah suatu bentuk reformasi
idealisme priyayi yang terkesan pasif dan individualitis menjadi
dinamis.
Oleh karena
itu,
Martoatmodjo
dituduh menghasut
masyarakat. Pergerakan yang dilakukan Martoatmodjo dikhawatirkan
oleh Opziener dapat mengancam keberadaan gupermen dan pada
akhirnya barisan priyayi maju.
Martoadmodjo adalah tokoh yang memiliki sifat berani. Selain
itu, ia juga seorang atasan yang baik, penuh pengertian, cerdas, dan
selalu mau membimbing rekan-rekannya yang masih muda dan kurang
berpengalaman, seperti Sastrodarsono. Akan tetapi, pemerintah
Belanda
tidak
menyingkirkannya
karena
dianggap
sebagai
pemberontak yang dapat mengancam pemerintahan Belanda.
Setelah menganalisis tokoh dan penokohan, peneliti akan
menganalisis alur Para Priyayi.
3.
Alur
Novel Para Priyayi terdiri atas beberapa episode, di antaranya yaitu,
Wanagalih, Lantip, Sastrodarsono, Lantip, Hardojo, Noegroho, Para Istri,
Lantip, Harimurti, dan Lantip. Masing-masing episode ini membentuk alurnya
sendiri-sendiri. Akan tetapi, antara episode yang satu dengan yang lain
mempunyai hubungan yang erat. Hubungan ini ditandai dengan episode
Lantip. Lantip merupakan penghubung antara episode yang satu dengan yang
lain. Dengan adanya pembagian episode ini, para tokoh diberi kesempatan
untuk menuturkan dirinya sendiri bahkan menilai tokoh lain.
Secara umum, alur novel Para Priyayi adalah alur campuran,
menggunakan alur maju yang dicampur dengan alur mundur. Oleh karena itu,
setiap episode membentuk alurnya sendiri-sendiri, tahapan alur tidak dapat
digambarkan secara jelas. Berikut ini adalah tahapan alur novel Para Priyayi
secara keseluruhan dilihat dari sisi tokoh utama.
a.
Tahap Awal (Perkenalan)
94
Tahap ini melukiskan latar tempat yang menjadi pusat cerita
dalam novel ini, yaitu Wanagalih. Pada bagian yang berjudul
“Wanagalih” (hlm. 1—8). Tahap perkenalan ini diceritakan oleh tokoh
Lantip. Ketika itu, Lantip digambarkan telah menjadi priagung
Jakarta.Bagian berikutnya, “Lantip” (9—28), yang bercerita masih
tokoh Lantip mengenai keadaan Lantip pada masa kanak-kanak
dengan ibunya
Sastrodarsono.
yang berjualan
Lantip
tempe
diceritakan
hingga
belum
ikut
keluarga
mengetahui
ayah
kandungnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Ayah saya....
wah, saya tidak pernah mengenalnya. Embok selalu mengatakan ayah
saya pergi jauh untuk mencari duit.”94Baru setelah ibunya meninggal,
Lantip diberi tahu oleh Pak Dukuh Wanalawas mengenai ayah
kandungnya. Lantip tahu bahwa ia adalah anak jadah dari Ngadiyem
dan Soenandar, yang tidak lain adalah keponakan Sastrodarsono.
Mulai saat itu ia tahu bahwa ibunya mengenal keluarga Sastrodarsono
bukan suatu kebetulan. Ia pun telah mengerti dan tidak akan sakit hati
ketika Sastrodarsono marah, kemudian memaki Lantip dengan sebutan
anak gento ataupun anak maling.“Dan Embah Guru yang penuh humor
itu akan seketika berubah menjadi makhluk yang lain sekali.
Menakutkan. “Guoblok! Disuruh minta uang saja tidak bisa. Dasar
anak gento, anak maling cecrekan….” Begitulah umpat serapah itu.”95
b.
Tahap Pemunculan Konflik
Pemunculan konflik ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono
mengalami konflik intern tentang penentuan sikap kepriyayiannya.
Ketika ia bersimpati pada tokoh Martoatmodjo, seorang tokoh
pergerakan.
Ia
harus
melakukan
sesuatu.
Atas
nasihat
Martoatmodjolah, ia mendirikan sekolah di Wanalawas yang pada
94
Ibid., h. 11.
Ibid.,
95
95
akhirnya ditutup setelah mendapat teguran School Opziener karena
dianggap menghidupkan sistem ”sekolah liar”. Padahal mendirikan
sekolah itu ia sebut sebagai ideologi keluarga. Tetapi yang lebih
memalukan adalah karena ulah Soenandar, Kemenakannya yang ia
beri tanggung jawab. Soenandar menghamili Ngadiyem, seorang anak
gadis Desa Wanalawas—tempat didirikanya “sekolah liar”. Selain
mencoreng nama keluarga besarnya, hal ini juga menghancurkan
seluruh reputasi kepriyayian Sastrodarsono.
“Pada suatu siang, waktu itu saya baru pulang dari mengatur
koordinasi dengan para lurah desa untuk pengaturan makan
dan perlengkapan lain bagi pasukan, datang berita itu. Seorang
kurir datang dari kota membawa berita itu. Toni meninggal
ditembak Belanda waktu sedang mencoba pulang untuk
menengok ibu dan adik-adiknya. Masya Allah! Inna lillahi wa
inna illaihi rojiun.... Anakku sulung, anakku lanang mati! Dan
alangkah mudanya dia! Tanpa bisa saya bendung air mata saya
berlelehan.”96
Peristiwa tersebut membuat Noegroho dan Sus terlalu
memanjakan anak mereka yang lain. Mereka berdua takut apabila
sesuatu terjadi pada Marie dan Tommi seperti yang dialami Toni.
Akan tetapi, sikap mereka yang memanjakan anak mengakibatkan
anak-anaknya menjadi salah pergaulan dan menimbulkan banyak
permasalahan.
c.
Tahap Klimaks (Penanjakan Konflik)
Sastrodarsono
pemerintahan
ditempeleng
daerah.
Tuan
keputusannya
Sato
pensiun
dan
dari
tidak
kantor
mau
membungkukkan badan menghadap ke utara setiap pagi untuk
menyembah
menghormati
96
Ibid., h. 222.
dewa
matahari,
Jepang.
Padahal
Sastrodarsono
bukan
itu
dianggap
tidak
permasalahannya,
96
Sastrodarsono merasa tidak sanggup membungkuk karena usianya
yang telah senja.
Dengan susah payah dan kaku Ndoro Guru Kakung mencoba
membungkukkan badannya. Tuan Sato kelihatan tidak puas dengan
bungkuk Ndoro Guru Kakung. Tiba-tiba, dengan secepat kilat, tanpa
kita nyana, tangan Tuan Sato melayang menempeleng kepala Ndoro
Kakung. Plak! Plak! Ndoro Kakung geloyoran tubuhnya. Dengan
cepat saya tangkap bersama Menir Soetardjo terus kami dudukkan di
kursi goyang. ”Darusono, jerek, busuk. Genjimin bogero!” Sehabis
mengumpat begitu Tuan Sato pergi dengan diiringi yang lain-lainnya.
Sesudah sepi ruang depan itu barulah ketegangan itu terasa
mereda. Tetapi, justru waktu itu saya lihat muka Ndoro Guru Kakung
pucat pasi, nglokro, lesu. Air matanya berlelehan keluar. Beliau
menangis.
Selain itu, penanjakan konflik dapat dilihat ketika diketahui
bahwa Marie hamil di luar nikah dengan Maridjan. Kejadian ini sangat
mengagetkan kedua orang tuanya dan Sastrodarsono. Terlebih lagi,
ternyata Maridjan telah menikah, mempunyai istri dan anak. Kejadian
ini semakin membuat seluruh keluarga Noegroho terkejut, terutama
Marie yang juga belum mengetahui permasalahan ini.
“Heeh?! Maridjan sudah punya istri dan anak? Asu, bajingan
tengik Maridjan!” Bude Sus hampir pingsan mendengar
laporan saya. Pakde Noegroho merah padam mukanya. Sedang
Marie mukanya jadi pucat pasi, tegang, matanya memandang
entah ke mana. Tommi, yang biasa acuh tak acuh, kali itu ikut
gelisah tidak menentu.”
Konflik semakin meningkat ketika Ngaisah meninggal dunia.
Kepergian Ngaisah begitu mendadak bagi Sastrodarsono. Sebelum
meninggal, Ngaisah masih sempat menasihati putrinya, Soemini,
dalam membina rumah tangga dan menasihati menantunya, Sus, dalam
97
mendidik anak-anaknya. Sebenarnya Ngaisah telah lama mengidap
penyakit liver, namun Sastrodarsono tidak mengetahuinya. Kepergian
Ngaisah begitu berat dirasakan oleh Sastrodarsono.
d.
Tahap Peleraian
Setelah peristiwa penempelengan itu, Ngaisah mengirimkan
surat kepada ketiga anaknya untuk pulang ke Wanagalih. Kedatangan
mereka adalah obat yang mujarab bagi Sastrodarsono. Ia merasa lebih
baik.Ketika usia Sastrodarsono delapan puluh tahun, Ngaisah
meninggal dunia. Sastrodarsono pun sakit karena usianya sudah lanjut
yakni 83tahun.
Harimurti menunggu dengan harap-harap cemas keluarganya
menjemput Gadis, calon istrinya yang sedang hamil tua, dari penjara.
Ternyata Gadis meninggal dunia karena terlalu cepat melahirkan.
Kabar tersebut sangat mengejutkan Hari bagaikan petir di siang
bolong. Gadis melahirkan terlalu cepat sepasang anak kembar laki dan
perempuan.
e.
Tahap Penyelesaian
Sastrodarsono mengalami kemunduran pada kesehatannya.
Ketika ia ikut menyaksikan pohon nangka yang merupakan saksi
perjalanan hidup keluarga besarnya, ia pingsan hingga akhirnya
meninggal dunia setelah semua keluarganya berkumpul.
“Tiba-tiba kami mendapat surat kilat khusus dari Pakde
Ngadiman bahwa Embah Kakung semakin mundur
kesehatannya. Juga semakin pikun dan mulai sering
menceracau juga. Bapak dan Ibu segera memerintahkan saya
dan Gus Hari untuk pergi ke Wanagalih membantu Pakde
Ngadiman dan anak-anaknya menjaga dan merawat Embah
Kakung.”97
97
Ibid., h. 329.
98
Di akhir cerita, Lantip berpidato sebagai perwakilan dari
keluarga besar Sastrodarsono.
Berdasarkan kepadatan cerita, novel Para Priyayi beralur
longgar. Tergolong alur longgar disebabkan peristiwa-peristiwa dalam
cerita seolah-olah berdiri sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan
terdirinya sepuluh episode dalam cerita ini. Selain itu, hubungan
antara tokoh yang satu dan yang lain longgar karena cerita ini
memiliki banyak tokoh.
Dalam Para Priyayi dikisahkan seorang anak petani desa,
Sastrodarsono, yang berjuang untuk meningkatkan golongannya dan
berhasil masuk jenjang priyayi. Cerita tersebut memiliki kemungkinan
terjadi di masyarakat dan masuk akal. Akan tetapi, mungkin hanya
orang sedikit yang melakukan usaha seperti Sastrodarsono yang
membangun keluarganya dari golongan petani desa menjadi keluarga
priyayi yang mumpuni. Tegangan (suspense) dalam novel ini terjadi
ketika Harimurti menunggu dengan harap-harap cemas keluarganya
menjemput Gadis dari penjara. Sementara itu, kejutan (surprise) dalam
novel ini, yaitu ternyata Gadis meninggal dunia karena terlalu cepat
melahirkan. Kabar tersebut sangat mengejutkan Harimurti dan seluruh
keluarganya. Sementara itu, akhir cerita novel Para Priyayi ini dapat
dikatakan berakhir bahagia. Hal ini disebabkan setiap tokohnya telah
mendapatkan kebahagiaan, Marie telah hidup bahagia dengan
Maridjan dan Harimurti telah mendapat kebebasannya.
Setelah menganalisi alur, peneliti akan menganalisis latar Para
Priyayi.
4.
Latar
a.
Latar tempat
Latar tempat merupakan lokasi kejadian dalam novel. Melalui
latar tempat, pembaca dapat membayangkan kondisi suasana tempat
99
yang sedang terjadi, sedangkan suasana yang dimaksud di atas terkait
dengan alur cerita yang sudah dipaparkan di atas.
Latar tempat dalam novel Para Priyayi berada di beberapa
tempat berikut ini.
1)
Wanagalih
Wanagalih adalah sebuah ibukota Kabupaten di Jawa. Kota itu
lahir sejak pertengahan abad ke-19. Wanagalih merupakan tempat
tinggal Sastrodarsono dan Ngaisah. Tempat ini merupakan pusat
berkumpulnya seluruh anggota keluarga Sastrodarsono. Hal ini dapat
dilihat pada beberapa kutipan di bawah sebagai berikut.
“Keputusan kami untuk bertempat tinggal di Wanagalih dan
tidak di desa saya bekerja, yaitu di Karangdompol, adalah juga
atas nasihat Ndoro eh, Romo Seten Kedungsimo yang
didukung oleh mertua saya Romo Mukaram.”98
“Seperti biasa, bila kami semua berkumpul di Wanagalih, kami
akan mereguk semua kenikmatan yang ditawarkan oleh rumah
induk keluarga kami di Jalan Setenan, ….”99
2)
Wanalawas
Wanalawas merupakan tempat Sastrodarsono mendirikan
sekolah bantu untuk warga Wanalawas agar mereka dapat membaca
dan menulis.Hal ini dapat dilihat pada kutipan,“Akhirnya semua
persiapan untuk sekolah itu selesai juga. Semua perlengkapan, meski
sangat sederhana, tersedia. Bangku dan meja secara gotong royong
dibuat oleh orang-orang Wanalawas dengan alat-alat sederhana dan
dari kayu-kayu yang didapat di sekitar Wanagalih.”
3)
Karangdompol
Desa Karangdompol merupakan tempat di mana Sastrodarsono
mendirikan sekolah bantu atas usulan dari seniornya, Martidiatmojo.
98
Ibid., h. 52.
Ibid., h. 198-199.
99
100
Inilah salah satu kutipannya, “Desa Karangdompol, tempat sekolah
saya berada itu, ada di seberang Kali Madiun.”100
4)
Wonogiri
Wonogiri sendiri merupakan tempat mengajar Hardojo.
Hardojo berada di Wonogiri selama dua tahun. Beliau
juga
mendapatkan istri yang berasal dari daerah Wonogiri. Inilah salah satu
kutipannya, “Tempat saya mengajar di HIS Wonogiri, yang berjarak
lebih kurang tiga puluh kilometer dari kota solo….”101
5)
Solo
Solo merupakan tempat bekerja Hardojo setelah mendapat
tawaran menjadi abdi dalem Mangkunegaran. Hardojo mengurusi
bidang pendidikan orang dewasa dan gerakan pemuda. Oleh karena
itu, seluruh daerah yang berada di bawah kerajaan Mangkunegaran ia
datangi. Berikut kutipannya. “… untuk akhirnya waktu menjelang
masuk stasiun Sangkrah di Solo hanya wajah Sumantri saja yang
terbayang.”102
6)
Yogyakarta
Yogyakarta merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho
sebelum pindah ke Jakarta. Pada masa penjajahan Belanda, ia bekerja
sebagai guru HIS di Jetis Yogyakarta. Selain itu, Hardojo juga tinggal
di Yogyakarta setelah ia kecewa dengan sikap Mangkunegaran yang
memihak Belanda.Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.“Kami
pun lantas untuk sementara pindah lagi ke Yogya ke rumah ibu Sus,
yang menetap di Yogya sejak pensiunnya di Semarang. Rumah itu
100
Ibid., h. 23.
Ibid., h. 151.
102
Ibid., h. 171.
101
101
tidak berapa besar, di bilangan Jetis, tidak jauh dari bekas sekolah
dasar, tempat saya mengajar dulu.”103
7)
Jakarta
Jakarta merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho. Ketika
keluarga Noegroho terkena musibah, Marie hamil di luar nikah, Lantip
ditugasi oleh Sastrodarsono dan Ngaisah untuk ikut Sus ke Jakarta dan
membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. Selain itu, keluarga
Soemini, anak Sastrodarsono yang ketiga, juga tinggal di Jakarta. Hal
ini dapat dilihat pada kutipan berikut,“Di Jakarta, di rumah Pakde
Noegroho, saya langsung bertemu dengan Marie dan Tommi. Saya
langsung pula berhadapan dengan sepupu-sepupu yang angkuh dan
manja.”104 dan “Bagi mereka berdua yang terpenting akad nikah itu
akhirnya sudah berlalu dengan selamat dan direstui oleh hadirnya
semua anggota keluarga besar yang pada datang berkumpul di
Jakarta.”105
b.
Latar Waktu
Latar waktu novel ini diawali pada masa penjajahan Belanda
kemudian
pendudukan
Jepang,
awal
kemerdekaan
hingga
pemberontakan PKI.
Tahun
1910
cerita
ini
dimulai,
Sastrodarsono
mulai
menapakkan kakinya ke jenjang priyayi. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut, “…. Waktu itu, sekitar tahun 1910 Masehi, daerah di
sekitar desa-desa tersebut boleh dikata masih lebat hutannya....”106
Pada masa penjajahan Belanda, priyayi tidak hanya mengacu
pada keluarga keraton dan sejenisnya. Kebutuhan akan pegawai
pribumi yang berpendidikan telah membuka pintu bagi seluruh lapisan
103
Ibid., h. 207.
Ibid., h. 257.
105
Ibid., h. 278.
106
Ibid., h. 36.
104
102
masyarakat untuk maju menjadi priyayi. Pendidikan menjadi modal
awal bagi kaum wong cilik untuk mendobrak keterbatasan statusnya.
Bagi priyayi yang telah berhasil adalah suatu kewajiban untuk
membantu wong cilik untuk mencapai status priyayi, hal ini dilakukan
dengan jalan pendidikan. Selain itu perubahan juga dapat terlihat pada
perkembangan seni budaya, emansipasi wanita, dan idealisme
pengabdian.
Pentingnya intelektualitas semakin disadari oleh kaum wong
cilik karena dengannya mereka mendapat kesempatan untuk menjadi
priyayi, dengan bantuan kaum priyayi. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut, “Jangan hanya puas jadi petani, Le. Kalian harus
menjadi priyayi.”107 Status priyayi berarti kehormatan, pangkat dan
kemapanan hidup secara ekonomi. Menjadi priyayi adalah impian
hidup keluarga Atmokasan, namun untuk mencapai tujuan itu
pendidikan menjadi modal dasar, seperti kutipan berikut, “Kalian
harus sekolah.”108 Dengan memiliki pendidikan mereka akan
diperhatikan oleh pemerintah dan dapat menduduki suatu jabatan.
Ndoro Seten berperan dalam proses ini sebagai pembuka jalan,
Sastrodarsono. Hal ini terdapat pada kutipan berikut. “… dicarikan
jalan lewat Ndoro Wedono dan para Priyagung di Madiun untuk dapat
diterima magang menjadi guru bantu.”109 Sastrodarsono melakukan
proses yang sama dengan mengangkat Lantip untuk menjadi priyayi.
Tiga puluh tahun kemudian adalah masa pendudukan Jepang
dan revolusi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Seperti di
tempat-tempat lain di Jawa, tentara Jepang masuk dan menguasai
107
Ibid., h. 30.
Ibid.,
109
Ibid., h. 31.
108
103
Wanagalih dengan mudah.”110 Tokoh yang muncul pada waktu itu
adalah anak-anak Sastrodarsono. Noegroho menjadi anggota tentara,
Hardojo menjadi abdi dalem di Mangkunegaran, dan Soemini menjadi
istri asisten wedana. Cita-cita Sastrodarsono untuk membangun
keluarga priyayi dapat dikatakan berhasil.
Zaman Jepang, yang walaupun sebentar, menjadi masa paling
memprihatinkan bagi Sastrodarsono. Pada masa ini, berdasarkan fakta
sejarah, terjadi tahun 1942-1945. Tidak secara eksplisit disebutkan
angka tahun ini dalam novel Para Priyayi, tetapi peristiwa-peristiwa
yang menampilkan keberadaan Jepang di Indonesia sangat kentara.
Misalnya, saat Sastrodarsono disuruh saikere ke arah utara, hal ini
terdapat pada kutipan berikut, “Bayangkan, Bune, orang setua saya
disuruh membungkuk-bungkuk menghadap ke utara setiap pagi untuk
menyembah dewa. ...”111.
Awal kemerdekaan, ditandai dengan kalahnya Jepang pada
1945. Angka ini tidak muncul secara nyata dalam novel, tetapi
digambarkan pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“Tahu-tahu Jepang kalah perang dan kami, Peta, dibubarkan
dan dilucuti senjata kami. Begitu saja. Kami pun lantas untuk
sementara pindah lagi ke Yogya ke rumah ibu Sus, yang
menetap di Yogya sejak pensiunnya di Semarang….”
….
“…. Untunglah juga segera sesudah kita memproklamasikan
kemerdekaan, kita mulai memikirkan akan pembentukan
Badan Keamanan Rakyat. Saya segera bergabung dengan
kawan-kawan bekas Peta, Heiho dan Polisi dan para pemuda
untuk menyusun Badan Keamanan Rakyat di Yogya.
Kemudian kami harus memperlengkapi diri dengan senjata
yang harus kami rebut dari Jepang.”112
110
Ibid., h. 135.
Ibid., h. 126.
112
Ibid., h. 207.
111
104
Tak lama setelah itu, zaman revolusi masuk. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“Zaman revolusi ternyata adalah kepanjangan penderitaan
zaman Jepang. Bedanya tentu zaman Jepang adalah
penderitaan orang yang dijajah dengan sangat kejam oleh
negeri yang sedang perang, sedang penderitaan zaman revolusi
adalah penderitaan yang memang diniati oleh bangsa yang
ingin punya negara merdeka.”113
Secara spesifik tahun 1947 tidak ada, akan tetapi peristiwa
yang mewakili tahun itu terlihat jelas dalam Para Priyayi. Hal ini
terdapat pada kutipan berikut, “Akhirnya Belanda menyerbu
Yogyakarta juga. ...”, Dalam sejarah Indonesia, tahun ini merujuk pada
Agresi Militer Belanda I, dan salah satu kota sasaran Belanda ialah
Yogyakarta. Dalam agresi ini, anak Noegroho (Toni) meninggal
ditembak tentara Belanda.114
Pada masa-masa ini, terjadi pemberontakan PKI di Madiun
pada tahun 1948 dan karena itu pasukan Siliwangi ditugaskan untuk
menggempur kekuatan PKI di daerah Madiun, Solo, dan Pati, tetapi
kemudian usaha ini tidak cukup berhasil, karena revolusi tidak
dipimpin dan dilaksanakan oleh rakyat. Situasi makin tidak terkendali
tatkala Muso datang dari Rusia dan mengambil alih kepemimpinan
PKI.
PKI
melakukan
pemberontakan
dan
beberapa
teman
Sastrodarsono seperti Pak Haji Mansur, ikut menjadi korban
pembantaian PKI. Sampai pada gilirannya, pasukan Siliwangi datang
dan mengambil alih keadaan sehingga orang PKI dan antek-anteknya,
termasuk Pak Martokebo, digiring ke alun-alun yang kemudian
mereka meregang nyawa di ujung regu penembak Siliwangi.
113
Ibid., h. 209.
Ibid., h. 202.
114
105
Penyerahan kedaulatan terjadi pada tahun 1950. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“Pada waktu sebagian besar pegawai republik ikut pindah ke
Jakarta sesudah penyerahan kedaulatan pada tahun 1950.
Bapak memilih pindah ke Yogya dan bekerja pada
pemerintahan DIY. Rupanya Bapak yang pernah dikecewakan
oleh Mangkunegaraan yang tidak tegas memilih republik dan
kemudian malah membantu Belanda, tetap senang bekerja
dalam lingkungan kerajaan. Pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta dipandangnya sesuai benar baginya. Dia merasa
sekaligus dipuaskan keinginannya untuk mengabdi kepada
republik dan suatu lingkungan budaya tradisi Jawa yang
dipimpin oleh seorang sultan yang berjiwa modern dan
republiken.”115
Pada 8 Mei 1964, Soekarno mengumumkan pelarangan
Manifes Kebudayaan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah
sebagai berikut.
“Gadis mau mentraktir saya malam itu. Hari itu, saya ingat
benar, adalah tanggal 8 Mei 1964, hari Pemimpin Besar
revolusi mengumumkan pelarangan Manifes Kebudayaan.
Gadis ingin merayakan kekalahan Manikebu, kekalahankekalahan penulis-penulis lawan Lekra, bersama saya. Saya
ingin merayakan kemenangan ini hanya dengan kamu,
katanya.”116
Setahun setelah itu, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
mengambil alih semuanya (termasuk Dewan Revolusi) dan mulai
mengadakan pembersihan terhadap semua anggota PKI dan ormasormasnya. Pada peristiwa ini, Gadis masuk penjara sementara
Harimurti, atas saran Lantip, menyerahkan diri. Cerita dalam novel
berakhir padaperiode awal Orde Baru. Hal ini dapat dilihat pada
115
Ibid., h. 281.
Ibid., h. 285.
116
106
kutipan berikut, “Tahun 1967 ini Embah Kakung sudah berumur kirakira delapan puluh tiga tahun.”117
Dengan waktu cerita yang begitu panjang itu, Para Priyayi
seolah-olah menjadi semacam sintesis dari waktu cerita yang pernah
digunakan dalam sejumlah novel Indonesia modern yang mengangkat
latar sejarah sejak zaman awal pergerakan hingga masa Orde Baru.
c.
Latar Sosial
Latar sosial yang menonjol dalam Para Priyayi adalah latar
status sosial tokoh Sastrodarsono yang turut menentukan kelas
sosialnya dalam masyarakat Jawa. Kenaikan status sosialnya dalam
masyarakat begitu mengagumkan bagi keluarga besarnya. Ia mendapat
beslit guru bantu dan berhasil menjadi seorang priyayi, meskipun
hanya menjadi priyayi tingkat rendah. Akan tetapi, di mata masyarakat
kedudukan priyayi sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan
berikut, “Pada zaman itu kedudukan seorang mantri guru sekolah desa
adalah kedudukan yang cukup tinggi di mata masyarakat, seperti
masyarakat Wanagalih. Mantri guru jelas didudukan masyarakat dan
pemerintah sebagai priyayi. Ia punya jabatan, ia punya gaji tetap.”118
Pengertian kelas adalah kesetaraan kemampuan ekonomi
orang-orang dalam suatu kelompok untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan statusnya. Semakin tinggi kemampuan ekonomi suatu kelas untuk
memiliki jasa, benda dan lain-lain berarti semakin tinggi kelasnya
dalam masyarakat. Kelas menengah ke bawah memiliki kemampuan
ekonomi yang terbatas untuk mendapatkan kemewahan selayaknya
kelas atas. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat terbagi dalam
tingkatan-tingkatan sosial.
117
Ibid., h. 301.
Ibid., h. 16.
118
107
Menurut Geertz pembagian kelas dalam masyarakat Jawa
tidak terpaku pada hierarki kemampuan ekonomi tiap orang, namun
lebih kearah jenis pekerjaan, pendidikan, dan spiritual. Kaum priyayi
dianggap sebagai kaum tingkat menengah ke atas karena mereka
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, memiliki pekerjaaan dalam
pemerintahan dan memimpin upacara adat.
Kelompok sosial yang terpisah satu sama lain nampaknya
tidak memungkinkan untuk menjalin hubungan yang erat antar status.
Para priyayi di satu sisi selalu dianggap sebagai penguasa, sedangkan
abangan/wong cilik hanya menjadi pekerja kasar. Hal tersebut
memperlebar jarak dan juga memberikan batas antara kedua kaum
tersebut. Akan tetapi, Umar Kayam dalam novel Para Priyayi justru
memutarbalikkan situasi tersebut menjadi suatu hubungan timbal balik
antara kaum priyayi dan wong cilik dan mendobrak pembatas antar
mereka. Priyayi tidak lagi digambarkan sebagai kaum yang
individualistis tetapi bersimpati pada wong cilik. Hubungan sosial
antar kaum terjalin lewat peranan priyayi dalam menjembatani kaum
abangan/wong cilik yang ingin menjadi priyayi. Sebagai contoh,
budaya ngenger membuka peluang bagi semua kaum untuk menjadi
priyayi. Sehingga dengan kata lain orang dengan kelas yang lebih
rendah dapat berelasi dengan kaum priyayi.
Anak yang dingegerkan oleh kerabatnya atau masyarakat dari
pedesaan, Anak-anak tersebut secara ekonomis merupakan beban
rumah tangga priyayi. Akan tetapi, dengan adanya anak pungut dan
anak ngengeran itu terjalin hubungan antara keluarga priyayi dengan
kerabat si anak di pedesaaan atau kerabat priyayi yang lebih rendah.
Paling tidak kerabat dari anak pungut atau anak ngengeran akan
menjunjung nama baik keluarga priyayi bersangkutan di daerahnya.
Anak pungut dan anak ngenger ini dapat pula memperkuat kedudukan
108
orang tua angkatnya (keluarga priyayi) dan nantinya anak pungut dan
anak ngenger akan menjadi priyayi pada derajat yang lebih rendah.
Hal inilah yang melatarbelakangi Sastrodarsono mengangkat Wage
menjadi anak asuhnya dan mengganti namanya dengan Lantip.
Ada dua alasan menurut asumsi penulis, mengenai “Lantip”
ini. Pertama, Umar Kayam setuju terhadap pendapat Geertz yang
menyatakan bahwa unsur “bangsawan” ini sekarang kurang penting.119
Kedua, sebagai bentuk kompromi (negosiasi) terhadap karya Geertz.
Kita tahu bahwa Geertz menyatakan, priyayi itu sebagai sesuatu yang
fix, bahwa ia merupakan sesuatu yang diperoleh secara keturunan,
terutama dari Raja-raja Jawa klasik; bahwa priyayi akarnya ialah
Hindu-Jawa. Terhadap kedua pandangan tersebut, Umar Kayam
berlaku resistens, buktinya ialah ketika menceritakan Hardojo, putera
kedua Sastrodarsono. Priyayi baru itu jatuh cinta kepada Nunuk, gadis
Katolik dari Solo. Ketika Hardojo meminta ayahnya melamar,
ayahnya menolak karena alasan agama. Dengan demikian priyayi
abangan menurut Umar Kayam sebenarnya masih berakar pada Islam
juga, bagaimanapun bentuknya. Begitu juga mengenai asal usulnya
Sastrodarsono, atau Lantip, keduanya bukan keturunan raja. Yang satu
petani desa, yang satu lagi hasil dari hubungan gelap: anak jadah.
Akan tetapi untuk satu masalah yang lain, yaitu perihal kepriyayian
sekarang tidak penting lagi, Umar Kayam bersepakat dengan Geertz.
Setelah mengalisis latar, peneliti akan menganalisis sudut
pandang Para Priyayi.
5.
Sudut Pandang
Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang
pertama. Sudut pandang orang pertama ini terlihat pada setiap episode cerita.
119
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemahan Aswab
Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. 308.
109
Pengarang bertindak sebagai orang pertama yang sedang menuturkan
pengalamannya. Sudut pandang ini menempatkan pengarang sebagai “saya”
atau “aku” dalam cerita. Pada bagian Lantip, pengarang menjadi Lantip, pada
bagian
Sastrodarsono,
pengarang
menjadi
Sastrodarsono,
begitupula
seterusnya. Ini suatu cara bercerita yang menarik karena pengarang menjadi
beberapa tokoh sekaligus dalam satu rangkaian cerita. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa kutipan sebagai berikut.
“Saya ingat bagaimana kemudian suami-istri sastrodarsono
memandang kami lama-lama. Tentulah saya hanya dapat melihat
sekilas dari sudut mata saya karena saya hanya berani menundukkan
kepala selama percakapan itu berlangsung. Untuk seorang anak desa
yang baru berumur enam tahun, anak bakul tempe lagi, keberanian apa
yang bisa saya kerahkan untuk mendongak melihat ke atas menatap
muka priyayi-priyayi itu. Tidak mungkin ada keberanian itu. Mungkin
terpikirkan pun tidak. Mungkin wajar saja, begitu saja, saya
menundukkan kepala di hadapan seorang priyayi.”120 (Lantip)
Tokoh-tokoh dalam Para Priyayi yang bertindak sebagai pencerita,
terus
berlanjut
ganti-berganti
secara
konsisten.
Oleh
karena
yang
digunakannya bentuk pencerita akuan (saya), maka secara efektif terasa lebih
dekat pada model catatan biografis—atau autobiografis—dari masing-masing
tokohnya. Umar Kayam menceritakan setiap tokoh melalui sudut pandang
orang pertama sehingga pembaca lebih merasakan peran tokoh dibandingkan
peran penulis dalam cerita.
Setelah menganalisis sudut pandang, peneliti akan menganalisis gaya
bahasa Para Priyayi.
6.
Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan khas pengarang dalam
karya. Hal ini dapat di lihat dari cara pengarang menyampaikan idenya
dengan kalimat-kalimat yang indah.
120
Ibid., h. 15.
110
Gaya bahasa mengandung pengertian tiga hal yang terkait gaya
bahasa; pertama, berupa media, berupa kata, dan kalimat. Kedua, berupa
hubungan gaya dengan makna dan keindahannya. Ketiga, berupa ekspresi
pengarang yang akan berhubungan erat dengan masalah individual
kepengarangan dan latar belakang masyarakat sekitar pengarang. Gaya
penceritaan adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa yang
menjadikan sastra hadir. Pada dasarnya karya sastra merupakan salah satu
kegiatan pengarang yang membahas atau menuturkan sesuatu kepada orang
lain.
Gaya bahasa yang digunakan Umar Kayam dalam novel Para Priyayi
antara lain menggunakan majas hiperbola.
Majas hiperbola yang digunakan Umar Kayam dalam novel Para
Priyayi terdapat pada kutipan berikut, “Tanah Wanagalih yang ganas itu akan
segera menghancurkannya.”121
Gaya penulisan Umar
Kayam
memiliki
ciri
khasnya. Cara
penyampaian yang apa adanya dan sederhana membuat pembaca akan dengan
mudah mengerti apa yang ingin disampaikannya. Ia menulis dengan rinci dan
jelas. Sebagai seorang sejarawan tulisan-tulisan yang dia buat menyangkut
kehidupan yang nyata.
Bahasa yang digunakan Kayam dalam menyampaikan cerita sehingga
mampu menuansakan makna, menyentuh daya intelektual, dan mampu
menggugah emosi pembaca. Oleh karena itu, ia mampu menarik pembaca
untuk masuk ke dalam cerita sehingga pembaca pun seolah-olah mengetahui
secara pasti situasi dan kondisi dari cerita yang dibacanya. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan cara pengarang
menggunakan diksi yang cocok ketika memadukan cerita dengan unsur
intrinsik yang membuat cerita tersebut menjadi lebih hidup. Karakteristik
121
Ibid., h. 2.
111
sebuah karya dan pengarangnya pun dapat terlihat melalui gaya bahasa yang
digunakan. Kecerdasan Umar Kayam dalam bercerita seolah-olah seperti
kenyataan, juga turut mempengaruhi pembaca untuk masuk ke dalam cerita.
Setelah menganalisis gaya bahasa, peneliti akan menganalisis amanat
Para Priyayi.
Amanat
7.
Amanat yang dapat kita petik dalam novel Para Priyayi ini adalah
sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang priyayi yang mempunyai
kedudukan dan pendidikan terhadap keluarganya yang lain. Tidak boleh
menikmati rezeki dan pangkatnya untuk dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“Rezeki dan pangkat itu jangan dimakan dan dikangkangi sendiri,
begitulah saya dengar Ndoro Guru berkali-kali menasihati anakanaknya dan siapa saja. Tidak pantas, saru, bila ada seseorang anggota
keluarga besar priyayi yang kleleran, terbengkalai, jadi gelandangan
tidak ada yang mengurus, tidak menikmati pendidikan, begitu
nasihatnya yang lain. Priyayi yang tidak urus begitu adalah priyayi
yang jelek bahkan bukan priyayi, tekan Ndoro Guru lebih jauh.”122
Pesan yang dapat diteladani pula adalah kita tidak boleh lupa asal usul
kita, dan berterima kasih serta bersyukur dengan pencapaian yang kita dapat.
Selain itu, menjaga nama baik sebagai orang yang terpandang karena
berpendidikan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Le, kamu, meski
sudah jadi priyayi, jangan lupa aka asal usulmu. Kacang masa akan lupa
dengan lanjaran-nya. Rumah tanggamu, meski rumah tangga priyayi, tidak
boleh tergantung dari gajimu, Le. Jadi priyayi itu jadi orang terpandang di
masyarakat, bukan jadi orang kaya. Priyayi itu terpandang kedudukannya,
karena kepinterannya….”123
122
Ibid., h. 17.
Ibid., h. 53.
123
112
Selain itu, bagaimana sebenarnya seorang yang dikatakan "priyayi"
yaitu seorang yang dapat mengayomi keluarga dan rakyat miskin, memiliki
pendirian yang kokoh, dan berjuang keras tanpa pamrih. Selalu menjaga nama
baik keluarga, "Mikul duwur mendhem jero, menjunjung tinggi-tinggi
keharuman nama keluarga, menanam dalam-dalam aib keluarga ....”124
Cerita dalam novel ini memberikan pelajaran hidup kepada kita bahwa
hidup ini adalah perjuangan yang keras. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan
di bawah sebagai berikut.
“Embah Kakung ingin melihat keluarga besar ini tumbuh kukuh, kuat,
dan berisi galih, bagian kayu yang paling keras. Adapun galih, bagian
kayu yang paling keras yang ingin beliau kembangkan dan tumbuhkan
itu adalah semangat, nilai mengabdi dari priyayi kepada orang banyak,
kepada masyarakat luas. Sebagai keturunan petani desa, beliau ingin
memulai usaha untuk ikut mengisi dan memberi bentuk sosok
semangat priyayi itu suatu kerja raksasa yang selama ini hanya boleh
dikerjakan oleh mereka yang dianggap darah biru.”125
Berdasarkan kutipan di atas, terlihat pernyataan bahwa priyayi adalah
tentang kerja keras dan semangat mengabdi kepada masyarakat luas. Hal ini
tampak dari kehidupan Sastrodarsono yang memulai kepriyayiannya dari
bawah. Sastrodarsono merupakan pemula dari keseluruhan priyayi dalam
cerita. Ia adalah asal mula pendiri kepriyayian di keluarganya. Orang tuanya
hanya seorang petani yang mengabdi dengan tekun dan jujur kepada
majikannya. Pengabdian itu pula yang membawa Lantip menjadi sosok
priyayi yang sesungguhnya.
Umar Kayam ingin menyampaikan pesan bahwa priyayi yang
sesungguhnya tidak memandang asal mula ia berada. Seperti yang
digambarkan
dalam
dua
sosok,
yakni
Sastrodarsono
dan
Lantip.
Sastrodarsono anak seorang petani bahkan Lantip justru anak haram yang
124
Ibid., h. 132-133.
Ibid., h. 305.
125
113
lahir dari dari Soenandar yang diketahui menjadi perampok. Akan tetapi,
kedua orang inilah yang mampu menggambarkan sosok priyayi ideal.
Setelah menganalisis unsur-unsur intrinsik, selanjutnya peneliti akan
menganalisis nilai sosial dalam novel Para Priyayi.
B.
Analisis Nilai Sosial dalam Novel Para Priyayi
Novel Para Priyayi karya Umar Kayam terbit pada tahun 1992 dengan
ketebalan 337 halaman ini mengandung nilai sosial yang sangat beragam. Nilai-nilai
sosial tersebut nampak dari penggambaran kesepakatan masyarakat dan pandangan
hidup para tokoh dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Hal
ini terlihat dalan percakapan atau narasi yang disampaikan oleh para tokoh dalam
novel yang telah penulis teliti. Setelah melakukan penelitian, peneliti mendapatkan
nilai-nilai sosial tersebut melalui interaksi sosial antara individu, keluarga, dan
masyarakat dalam relasi-relasi yang terbagi menjadi enam kategori Simmel sebagai
berikut.
1.
Relasi Individu dengan Dirinya,
2.
Relasi Individu dengan Keluarga,
3.
Relasi Individu dengan Lembaga,
4.
Relasi Individu dengan Komunitas,
5.
Relasi Individu dengan Masyarakat, dan
6.
Relasi Individu dengan Nasion.
Adanya
aspek
sosial—kebersamaan
yang
melekat
pada
individu
menyebabkan kodratnya hidup bersama individu lain. Individu yang mewujudkan
pola perilakunya yang khas pada suatu lingkungan sosial disebut bagian dari
masyarakat. Satuan-satuan lingkungan sosial yang melingkari individu terdiri dari
keluarga, lembaga, komunitas, masyarakat, dan nasion. Berikut nilai sosial dalam
enam kategori relasi sosial yang terdapat dalam novel Para Priyayi karya Umar
Kayam.
114
1.
Relasi Individu dengan Dirinya.
Hubungan ini berkaitan erat dengan masalah kejiwaan seseorang.
Masalah ini dialami oleh Sastrodarsono ketika ia harus mengalami konflik
intern tentang penentuan sikap kepriyayiannya. Ia bersimpati pada tokoh
Martoatmodjo, seorang tokoh pergerakan yang merupakan seniornya di
Sekolah. Akan tetapi, ia juga memikirkan nasib keluarga kecilnya yang baru
mulai menapaki kehidupan rumah tangga priyayi. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan dalam Novel Para Priyayi di bawah sebagai berikut.
“Waktu tiba di Wanagalih sesudah berlibur demikian lama di
Jogorogo dan Kedungsimo, saya mendapat surat beslit itu. saya
diangkat menjadi kepala sekolah menggantikan Mas Martoadmodjo
yang dipindah ke sekolah desa Gesing. Gesing! Itu adalah satu daerah
yang cengkar, tandus, tanahnya keras, pecah-pecah, berbongkahbongkah, terpencil di kaki Pegunungan Kendeng. Kasihan Mas
Martoadmodjo disingkirkan ke neraka yang begitu mengenaskan.”126
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, nilai sosial digambarkan melalui
nilai
kepedulian
Sastrodarsono
yang
merasa
iba
terhadap
nasib
Martoadmodjo. Martoadmodjo adalah senior sekaligus kepala sekolah tempat
ia mengajar. Hal ini menunjukan bahwa ia seorang ia orang yang mudah
menaruh belas kasihan dan mudah terharu terhadap perilaku orang lain.
Martoadmodjo dituduh melakukan pergerakan karena membaca harian
Medan Priyayi. Pada waktu itu membaca harian tersebut dianggap melakukan
pergerakan dan perlawanan terhadap pemerintahan Belanda. Sastrodarsono
datang menemui Martoatmodjo setelah diberitahu oleh Nippon mengenai
tuduhan pergerakan yang dilakukan Martoatmodjo. Ia ingin memastikan
kebenarannya.
Medan Priyayi, mingguan yang memuat artikel-artikel perlawanan
terhadap kolonialisme, seperti Multatuli, dan kritikan bagi pejabat yang korup.
Banyak priyayi yang tidak berani mengikuti jejak Martoatmodjo karena takut
126
Ibid., h. 71.
115
kehilangan status dan kemapanan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut,
“Mereka takut dengan bacaan seperti ini. Mereka takut kehilangan pekerjaan
mereka.”127
Sastrodarsono mengalami konflik batin yang cukup hebat, karena ia
sangat menghormati Martoatmodjo sebagai senior sekaligus kepala sekolah di
Karangdompol. Selain itu, sebagai kepala rumah tangga, ia pun gelisah
dengan istri dan anak-anaknya. Jika ia membantu Martoadmodjo, maka ia
akan bernasib sama dengannya, yaitu disingkirkan dari Karangdompol bahkan
diasingkan, sedangkan ia baru saja mendapatkan status priyayi. Pada akhirnya
dengan berat hati ia menuruti nasihat keluarga dan saran Martoatmodjo untuk
tidak mengikuti jejak Martoadmodjo. Meskipun hatinya tidak sejalan.
Kemunculan pemikiran ini adalah suatu bentuk reformasi idealisme
priyayi yang terkesan pasif dan individualitis menjadi dinamis. Oleh karena
itu, Martoatmodjo dituduh menghasut masyarakat. Pergerakan yang dilakukan
Martoatmodjo dikhawatirkan oleh Opziener dapat mengancam keberadaan
gupermen dan pada akhirnya barisan priyayi maju.
Selain Sastrodarsono, Harimurti juga mengalami konflik dengan
dirinya sendiri. Ia merasa menjadi pribadi yang terombang-ambing dalam
ketidakjelasannya untuk menentukan sikap sebagai keturunan priyayi. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“Saya adalah orang yang terombang-ambing antara berbagai perasaan
simpati dan solider. Simpati dan solider kepada wong cilik yang tidak
kunjung beruntung nasibnya menjadi bulan-bulanan mereka yang
berkuasa. Simpati dan solider kepada para priyayi yang muncul dari
lumpur-lumpur sawah dan ingin menyeret seluruh kerabatnya ke
permukaan untuk ikut mengecap dan menikmati dan akhirnya ikut
menentukan sosok budaya besar, apapun itu artinya. Dan
keterombang-ambingan saya ini aneh sekali saya lihat hanya dapat
ditampung oleh Lekra.”128
127
128
Ibid., h. 57.
Ibid., h. 310.
116
Harimurti ikut dalam pemberontakan dengan masuk ke dalam Lekra,
sebuah organisasi kesenian beraliran komunis. Setelah berkenalan dan
berhubungan dengan Gadis pengaruh komunis semakin meresap, namun
sebenarnya dalam dirinya ia mempertanyakan esensi dari gerakan itu. Ia
terombang ambing antara perasaan simpati dan solider. Hal ini menunjukkan
ia adalah orang memiliki sifat simpati sekaligus solider terhadap orang lain.
Seni yang dipelihara oleh priyayi sebagai bentuk estetika justru
dieksploitasi sebagai alat politik. Hal ini terjadi ketika Hari bergabung dalam
Lekra, sebuah kelompok pencinta seni yang diprakarsai oleh kaum komunis.
Seni tradisional dihubungkan dengan feodalisme yang ditujukan untuk
kekuasaan, dengan kata lain cerita rakyat Jawa adalah “… cerita
kekuasaan.”129 Beberapa tokoh seperti Bung Naryo beranggapan bahwa “cinta
memang bisa indah, tetapi dalam kisah cinta itu embel-embel dari strategi
kekuasaan yang sangat kejam.”130 Dari sini tampak bahwa kaum priyayi
mencemari seni dengan idealisme sosialis demi kepentingan politis. Hal inilah
yang awalnya menjerumuskan Hari ke dalam Lekra.
2.
Relasi Individu dengan Keluarga
Hubungan ini merupakan relasi yang mutlak. Relasi ini membentuk
kedekatan biologis, psikologis, dan sosial. Dalam kekerabatan, nilai
kerukunan sangat diperlukan dalam membangun relasi yang harmonis antara
priyayi dan wong cilik. Relasi yang awalnya antar status antara priyayi dan
wong
cilik
bertransformasi
menjadi
hubungan
yang
lebih
bersifat
kekeluargaan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Dan karena
hubungan itu pula saya mendapat nama saya yang Soedarsono, …. nama yang
menurut bayangan kami hanya pantas dimiliki anak-anak priyayi saja.”131
Soedarsono adalah nama asli Sastrodarsono.
129
Ibid., h. 270.
Ibid.,
131
Ibid., h. 31.
130
117
Dari situlah kedekatan yang sudah seperti keluarga sendiri terjalin,
bahkan Ndoro Seten sampai memberikan nama priyayi untuk anak yang
sedang dikandung oleh istri Atmokasan. Dalam kehidupan bermasyarakat,
hubungan ini terjadi melalui sosialisasi karena interaksi yang sering antara
keduanya.
Pada masa Sastrodarsono masih tinggal di Kedungsimo, Atmokasan
menjaga hubungannya dengan Ndoro Seten sehingga kerukunan tercipta.
Hubungan kemudian bersifat timbal balik, Atmokasan mengerjakan
kewajibannya sebagai petani dengan selalu jujur dalam bekerja. Di lain pihak
Ndoro Seten menghargai kerja kerasnya dengan membantu Sastrodarsono
menjadi seorang priyayi. Ia menghormati Ndoro Seten dengan berbuat jujur
dan tidak mengecewakannya. Kerukunan pun terjaga dengan baik karena
kedua pihak saling mengerti. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah
sebagai berikut.
“Bukan main besar, sesungguhnya, utang budi orang tua saya kepada
Ndoro Seten. Waktu orang tua saya menyatakan hal itu kepada Ndoro
Seten, dengan tersenyum mereka mengatakan bahwa itu adalah hadiah
mereka buat kejujuran dan ketulusan orang tua kami menggarap sawah
Ndoro Seten. Orang tua kami dinyatakan oleh Ndoro Seten sebagai
petani yang tahu menepati kewajiban, menyetor hasil panen kepada
mereka tak pernah mencoba mengurangi atau mencuri bawonan atau
ikatan panenan padi waktu habis menuai.”132
Relasi kekeluargaan terlihat ketika Ndoro Seten telah menganggap
Atmokasan sebagai saudara tua dengan memanggil „kamas‟, sedangkan
Sastrodarsono kini memanggilnya dengan „romo‟. Tradisi kekerabatan
diturunkan pada Sastrodarsono. Ia mengangkat sepupunya Soenandar untuk
masuk dalam keluarganya supaya mendapat pendidikan yang memadai dan
mampu menjadi priyayi seperti dirinya. Sastrodarsono juga banyak
berhubungan dengan warga desa Wanalawas dan membantu dengan
132
Ibid., h. 35.
118
mendirikan sekolah bagi wong cilik, yang diserahkan pada Soenandar. Hal ini
menunjukkan sifat kepriyayian Sastrodarsono yang bak hati dan suka
membantu. Hal ini juga merupakan keharusan sebagai seorang priyayi.
Keluarga besar Sastrodarsono merupakan relasi yang terjalin dengan
kuat antara individu yang satu dengan yang lainnya. Saling membantu dan
menjaga kerukunan adalah pembagian kerja dalam keluarga menjadi hal yang
biasa dilakukan oleh setiap individu dalam keluarga besar Sastrodarsono. Hal
ini terbukti ketika masalah demi masalah menimpa keluarga besarnya, semua
anggota keluarga ikut merasakan dan membantu menyelesaikan. Hal ini dapat
dilihat pada beberapa kutipan di bawah sebagai berikut.
“Saya memenuhi janji saya untuk sowan ke Wanagalih sesudah
menjalani latihan di Bogor. Saya datang dengan seluruh keluarga saya.
Demikian juga dengan adik-adik saya yang juga datang bersama
keluarga mereka. Alangkah rukun dan guyub keluarga besar kami
sesungguhnya. Pada saat-saat yang kami anggap penting, apalagi yang
kami nilai peka, kami selalu berkumpul di Wanagalih.”133
Berdasarkan kutipan di atas, nilai sosial yang yang terdapat di
dalamnya adalah nilai kerukunan. Keluarga Sastrodarsono selalu berkumpul
di Wanagalih dalam setiap keadaan yang penting. Hal itu sudah menjadi
kebiasaan.
Nilai sosial yang berupa nilai kerukunan antarindividu dalam keluarga
juga diwujudkan melalui pembagian kerja seorang istri dan suami agar
seimbang dan selalu tercipta kerukunan dalam keluarga. Ngaisah meyakini hal
ini dalam kehidupan rumah tangganya. Ngaisah adalah istri yang sangat setia
dan berbakti kepada suaminya. Meskipun anak-mantunya suka menggodanya.
Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“Anak-anak mantu saya sering mengganggu saya dengan mengatakan
bahwa saya terlalu memanjakan dan terlalu berbakti kepada bapak
mereka. Saya heran dengan jalan pikiran anak sekarang. Masa begitu
dikatakan memanjakan dan terlalu berbakti. Bukankah itu pembagian
133
Ibid., h. 198.
119
kerja saja antara saya dan bapak mereka? Bapak sudah membanting
tulang mencari nafkah, saya yang ada di garis belakang mengurus
semuanya agar dalam keadaan beres. Kalau sampai tidak beres,
bapake tole bingung dan marah-marah, bisa kacau dia bekerja.”134
Nilai kerukunan juga ditunjukkan oleh seluruh keluarga yang hadir
dalam acara pertunangan Lantip dan Halimah. Harimurti terharu dengan
ikatan keluarga besar Sastrodarsono yang masih kuat. Meskipun Ngaisah
sudah tidak ada dan Sastrodarsono tidak dapat hadir, ternyata kerukunan
keluarganya masih dapat dibanggakan.Hal ini terdapat pada kutipan berikut,
“…. Kemudian saya terharu karena melihat ikatan keluarga besar
Sastrodarsono yang ternyata masih kukuh. Kerukunan keluarga kami ternyata
masih dapat dibanggakan dan diandalkan.”135
Selain nilai kerukunan antarindividu dalam keluarga, hubungan
individu dengan keluarga juga terdapat nilai pengayoman yang biasanya
dilakukan oleh anggota keluarga yang lebih tua, seperti orang tua ke anakanaknya. Hal inilah yang dilakukan Ngaisah dan Sastrodarsono dalam
membantu menyelesaikan masalah rumah tangga anak dan menantunya.
“Begini saja, Pak. Saya coba dulu ngobrol dengan dia, ya? Nanti
pelan-pelan kita luruskan hatinya. Kalau Bapak yang bicara sekarang,
saya khawatir anakmu malah jadi mau manja.”
“Yo, wis. Terserah kamu, Bune. Cuma hati-hati-hati, lho, Bune. Kita
usahakan agar ikan bisa kita tangkap tanpa harus membuat airnya
keruh. Kecekel iwake, ojo nganti butek banyune, Bune.”
“Begitulah kami putuskan. Saya mendapat tugas untuk melumerkan
hati Soemini yang keras itu.”136
Dari beberapa kutipan di atas, nilai sosial yang terdapat di dalamnya
adalah nilai pengayoman. Masih melalui pembagian kerja, nilai pengayoman
ditunjukan oleh Ngaisah dan Sastrodarsono sebagai orang tua untuk
menyelesaikan konflik yang sedang dialami anak perempuannya, Soemini.
134
Ibid., h. 230.
Ibid., h. 301.
136
Ibid., h. 238.
135
120
Soemini terkenal dengan sifat keras kepalanya. Oleh karena itu, Ngaisah dan
berusaha dengan hati-hati bicara dan menasihati untuk meluluhkan hatinya
agar masalah dengan suaminya cepat selesai.
“Asal kau sabar dan pintar. Kau jangan terus larut dalam kemarahan.
Saya perhitungkan suamimu hari-hari ini mungkin akan datang
menyusulmu. Setidaknya akan berkirim surat. Kalau surat atau
suamimu itu datang, jangan kau menghadapi dia dengan hati yang
keras atau angkuh. Kau terima dia dengan baik.”
“Lho, ini buat lekernya semua to, Nduk. Nah, kalau sudah sampai di
Jakarta, kau kurangi dulu pergi ke luar rumah buat organisasi. Kau
urusi suami dan anak-anakmu dengan baik, meskipun tidak diurusi pun
mereka juga tidak apa-apa sesungguhnya. Tapi tunjukkan kalau kau
bisa memegang mereka semua. Nah, nanti pelan-pelan kau bisa desak
suamimu supaya mundur dari sangres itu. Mungkin tanpa kau desak
pun dia akan mundur sendiri. Wis to, percayalah sama ibumu.”137
Setelah berbicara dengan hati-hati terhadap anak perempuannya itu, ia
mulai memberi nasihat. Nilai pengayoman ditunjukkan oleh Ngaisah melalui
nasihat-nasihatnya. Sebagai orang tua terhadap anak dalam sebuah keluarga.
Setelah masalah Soemini selasai, giliran Noegroho dan keluarga yang
mengalami musibah. Anak perempuannya, Marie hamil diluar nikah. Sebagai
ibu, Sus sangat frustasi hingga ia pergi ke Wanagalih, mencurahkan isi
hatinya kepada Sastrodarsono dan Ngaisah. Awalnya mereka pun kaget dan
menyesalkan apa yang menimpa cucunya. Akan tetapi, pada akhirnya mereka
menerima dan memberikan nasihat kepada Sus agar pulang saja ke Jakarta
dengan Lantip karena Noegroho masih bertugas di luar. Lantip diberi amanat
untuk menyelesaikan masalah Marie dengan Maridjan. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan di bawah sebagai berikut.
“Hari berikutnya kami melanjutkan perbincangan kami dengan Sus.
Kami menganjurkan agar Sus pulang kembali ke Jakarta dengan
diantar Lantip. Maksudnya di samping Lantip dapat ikut menjaga Sus
sementara suaminya belum datang, juga untuk segera menghubungi
137
Ibid., h. 241.
121
Maridjan dan mengatur segala sesuatunya. Sus menurut dan kami
segera memanggil Lantip dari Yogya.”138
Sastrodarsono mengangkat Lantip, anak Ngadiyem, sebagai bagian
dari keluarganya dan memberikan pendidikan yang layak untuk merekatkan
kembali relasi tersebut. Di lain pihak, Lantip merasa berterima kasih atas
kebaikan Sastrodarsono yang telah mengangkatnya sebagai bagian dari
keluarga priyayi. Lantip bersumpah pada dirinya sendiri untuk mengabdi pada
keluarga Sastrodarsono. Pengabdiannya pada keluarga Sastrodarsono
dibuktikan dengan sikap „kepahlawanan‟ dalam membantu menyelesaikan
konflik dalam keluarga.
Nilai sosial yang ditunjukkan oleh Noegroho adalah nilai religiositas.
Bagaimana ia tidak berkeberatan melakukan saikere waktu pendudukan
Jepang. Baginya itu soal keyakinan dalam hati. Karena ia sekeluarga tetap
sholat dan Tuhan yang ia yakini dalam hati adalah Allah, bukan matahari. Hal
ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Dan soal keberatan harus
membungkuk kepada dewa matahari, bukankah kalau itu tidak kita masukkan
dalam hati kita tidak berarti apa-apa? Dan kami serumah tetap sholat seperti
biasa. Buat kami Tuhan itu tetap Allah dan Muhammad tetap Rasulullah. Jadi,
membungkuk ya membungkuk, salat ya salat.”139
Setelah satu per satu masalah anak mantunya selesai, kesehatan
Ngaisah mengalami kemunduran. Akan tetapi, ia bersyukur masih diberi
kesempatan di usianya yang sudah tidak muda lagi. Hal ini terdapat pada
kutipan di bawah sebagai berikut.
“Saya sadar bahwa umur tujuh puluh tahun adalah umur yang cukup
panjang yang dianugerahkan Gusti Allah kepada saya. Saya hanya bisa
bersyukur dibolehkan mengenyam hingga sejauh ini. Juga lebih-lebih
ikut bersyukur melihat kesehatan dan kegesitan tubuh bapake tole.”
138
Ibid., h. 253.
Ibid., h. 195.
139
122
“Saya harus lebih rendah hati. Peringatan dokter untuk orang yang
setua saya, saya artikan bahwa hari sungguhlah amat senja. Saya
ikhlas. Saya malah merasa bersyukur masih mendapat kesempatan
untuk ikut memecahkan persoalan berat anak-anak saya.”140
Nilai sosial yang terdapat dalam kutipan di atas adalah nilai
keikhlasan. Sebagai orang tua sekaligus nenek, Ngaisah sangat ikhlas dengan
kemunduran kesehatan yang ia alami karena masalah-masalah dalam
keluarganya. Ia malah bersyukur masih diberi kesempatan membantu
keluarganya di usianya yang sudah tua. Hal ini menunjukkan bahwa Ngaisah
adalah perempuan yang ikhlas dan pandai bersyukur.
Nilai keikhlasan pun ditunjukkan oleh tokoh Lantip. Ia begitu rendah
hati dengan tidak memikirkan perlakuan kedua sepupunya (Marie dan
Tommi). Ia menerima kenyataan sejak keluarga Hardojo mengambilnya
sebagai anak. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “…. Bagi mereka
mungkin masih saja sulit untuk menerima saya sebagai sepupu mereka. Saya
tidak terlalu memikirkan itu dalam-dalam. Saya terima itu sebagai suatu
kenyataan yang sejak semula saya diambil oleh Bapak Hardojo.”141
Sekali lagi Lantip menunjukkan nilai keikhlasannya dalam membantu
dan menjalankan amanah Embah yang sangat ia kasihi. Itulah nilai sosial
berwujud nilai keikhlasan dalam hubungan individu dengan keluarga. Hal ini
terdapat pada kutipan berikut, “Saya mengangguk. Tetapi, di dalam hati
kecewa juga melihat sikap Pakde itu. Kok hanya sampai begitu jauh rasa
sembodo yang dimilikinya. Tetapi, saya ikhlas melaksanakan tugas ke
Wonosari itu. Demi amanah Embah Putri dan Embah Kakung.”142
“Saya bertekad untuk kembali lagi ke Wanagalih begitu tugas saya
untuk membantu membereskan urusan Marie dan Maridjan selesai.
Saya ingin dekat-dekat beliau dan ikut menjaga beliau. Sokur-sokur
140
Ibid., h. 255.
Ibid., h. 257.
142
Ibid., h. 272.
141
123
kalau kehadiran saya itu dapat mengembalikan kegembiraan dan
kegairahan beliau.”143
Nilai sosial yang terdapat pada kutipan di atas adalah nilai kasih
sayang. Lantip yang sangat sayang kepada Embah Putrinya, Ngaisah, merasa
ada yang berbeda dengan Embah Putrinya setelah menyelesaikan masalah
yang menimpa anak mantunya. Ngaisah terlihat mengalami kemunduran
dalamkesehatannya. Ia tidak terlihat gembira seperti biasanya. Maka dari itu,
Lantip yang diutus Embah Putri dan Embah Kakung untuk membantu
keluarga Paklik Noegroho berniat akan menjaga Ngaisah setelah urusannya
selesai. Hal itu adalah wujud kasih sayang seorang cucu kepada neneknya
sebagai bagian dari keluarga.
Selain Lantip, Harimurti juga merupakan cucu yang sangat sayang
kepada kedua Embahnya. Hal ini terlihat pada kutipan di atas. Terdapat nilai
sosial yang ditunjukkan oleh Hari sebagai seorang cucu, yaitu nilai kasih
sayang. Ketika Ngaisah meninggal dunia, ia dengan kesediaannya mau tetap
tinggal di Wanagalih menemani Sastrodarsono yang begitu terpukul atas
kematian istri yang sangat dicintainya itu. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di
bawah sebagai berikut.
“Kesediaan Gus Hari untuk ikut tinggal bersama ibu dan buliknya
mengharukan pakde dan paklik-nya dan sudah tentu juga bulik, bude,
dan ibunya. Saya sendiri sesungguhnya tidak terkejut. Dan mestinya
juga Bapak dan Ibu. Kami tahu betul sifat Gus Hari, momongan saya
itu. Orangnya penuh belas dan gampang merasa trenyuh kepada
penderitaan orang lain, apalagi ini adalah Embah Putrinya yang
disayanginya.”144
3.
Relasi Individu dengan Lembaga
Hubungan ini menjadi sangat penting bagi keutuhan tatanan perilaku
manusia dalam kebersamaan hidup. Interaksi sosial antara individu dengan
143
Ibid., h. 257.
Ibid., h. 269.
144
124
lembaga
sosial
terjadi
melalui
proses
sosialisasi.
Lembaga
dapat
mengintegrasikan norma-norma dan nilai-nilai yang menjadi patokan hidup
dalam bermasyarakat.
“Saya sungguh tidak mengerti lagi cara berpikir priyayi muda zaman
sekarang. Mereka begitu pasti dan berani dengan pikiran-pikiran
mereka. Apakah lagi-lagi ini pengaruh sekolah Belanda? Untunglah
anak-anak saya itu, meskipun mulai seenaknya mengemukakan pikiran
mereka kepada orang tua, masih terpelihara tata kramanya. Mereka
tidak kurang ajar kepada kami, masih sopan, dan bahasa Jawanya
masih lengkap, itu membesarkan hati saya….”145
Nilai sosial yang ditunjukkan pada kutipan di atas adalah nilai
kesopanan. Bagaimana seorang priyayi muda seperti Noegroho, Hardojo, dan
Soemini yang berpendidikan tinggi, mengeyam pendidikan di sekolah
Belanda masih tetap menjaga nilai-nilai kesopanan terhadap orang tua.
Bahkan mereka masih menjaga bahasa yang menjadi ciri khas dalam hidup
masyarakatnya, yaitu bahasa Jawa.
Jawa adalah sebuah pulau yang berada di wilayah Indonesia. Secara
umum pulau jawa dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat. Tetapi dalam masyarakat berkembang perspektif
bahwa yang dinamakan “Jawa” adalah wilayah Jawa Tengah (Yogyakarta)
dan Jawa Timur, sedangkan Jawa Barat lebih idendik dengan sebutan sunda.
Perspektif demikan tidak serta merta muncul begitu saja dalam masyarakat
tanpa ada hal-hal yang melatarbelakangi. Bahasa tentu menjadi salah satu
faktor utama karena sebagai sarana komunikasi, tetapi lebih jauh lagi bahasa
juga merupakan faktor utama pendukung kebudayaan. Setiap daerah pasti
mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Kebudayaan merupakan cirri
khas dari daerah tersebut. Salah satunya adalah kebudayaan Jawa.
Budaya Jawa dikenal sebagai budaya yang menjunjung tinggi tata
krama dan unggah-ungguh. Jawa kaya akan simbol-simbol yang filosofis
145
Ibid., h. 88-89.
125
sebagai ajaran hidup bermasyarakat. Tata bersosial di masyarakat diatur
secara rinci melalui tindak laku manusianya. Begitu pula dalam konsep
priyayi, unggah-ungguh sangat kental bahkan tidak boleh tidak ada kehidupan
priyayi. Priyayi lahir dan batin menjadi ukuran kualitas seseorang disebut
sebagai priyayi.
Perubahan kemudian mencangkup masyarakat yang lebih luas.
Pembangunan sekolah desa di Wanalawas yang ditujukan untuk mengajari
pengetahuan dasar membaca dan menulis bagi warga desa tersebut. Tokoh
Mangkunegaran VII diangkat ke dalam novel karena kekaguman penulis akan
sikapnya yang modern untuk memajukan masyarakat, “Beliau masih prihatin
dengan pendidikan orang dewasa di pedesaan …”146. Dia menghapus
keterbelakangan dengan membangun sekolah bagi orang-orang yang buta
huruf. Pemikiran untuk membangun kaum wong cilik dalam diri
Sastrodarsono didasari oleh tokoh Mas Martoatmodjo yang beranggapan
bahwa priyayi seharusnya memajukan masyarakat, “bukan priyayi yang di
kemudian hari kepingin jadi raja kecil yang sewenang-wenang terhadap wong
cilik.”147
Nilai sosial pada kutipan di atas menunjukkan sifat Sastrodarsono
yang sangat peduli terhadap warga desa Wanawalas. Meskipun pada awalnya
hal ini merupakan pemikiran Martoadmodjo.
4.
Relasi Individu dengan Komunitas
Hubungan ini dilatarbelakangi oleh visi dan misi hidup yang sama
antarindividu. Komunitas mencakup individu dengan individu, keluarga
dengan keluarga, dan juga lembaga yang saling berhubungan secara
interdependen.
“…. Gus Hari langsung terpikat oleh Sunaryo. Orang yang juga
secerdas Gus Hari dan memiliki perhatian yang sama tentang
146
147
Ibid., h. 158.
Ibid., h. 63.
126
kesenian, terutama seni tari, teater, dan gamelan. Dalam waktu dekat
mereka sudah menjadi sahabat. Mereka semakin sering kelihatan aktif
dalam acara-acara kesenian universitas. Waktu itu kami sudah berada
pada tahap-tahap terakhir kuliah kami dan dalam waktu yang tidak
lama lagi akan menjadi sarjana ilmu sosial dan politik.”148
Nilai sosial yang terdapat pada kutipan di atas adalah nilai
kebersamaan. Harimurti yang cerdas dan suka dengan seni bertemu dengan
Sunaryo, seorang kakak kelas di Universitasnya yang juga sama cerdas dan
suka kesenian. Mereka memiliki pandangan yang sama mengenai seni.
Mereka bersahabat dan sering menghabiskan waktu bersama dalam berseni.
5.
Relasi Individu dengan Masyarakat
Hubungan ini sangat bersifat sosial. Karena individu melakukan
interaksi sosial melalui proses sosialisasi dengan suatu lingkungan sosial yang
bersifat makro. Aspek keteraturan sosial dan wawasan hidup kolektif
mempunyai bobot yang besar. Dalam keluarga dan masyarakat, misalnya,
orang Jawa harus menjaga kehormatan dan kerukunan dengan berbahasa yang
pantas untuk menghindari perselisihan. Rasa rikuh dipertahankan dalam
hubungan sosial masyarakat Jawa untuk menjaga sikap dan kelakuan. Selain
itu dalam hal etika dan budaya perkawinan, baik sebelum dan sesudah
pernikahan mengalami berbagai perubahan, namun inti dari perkawinan yaitu
kesetiaan dan penjagaan diri tidak berubah.
“…. Karena mendapat kesempatan mengerjakan sawah Ndoro Seten
itu pula, maka hubungan NdoroSeten dengan bapak saya jadi akrab.
Tentu saja akrabnya hubungan seorang Ndoro Seten yang priyayi
dengan Atmokasan yang petani desa. Dan karena hubungan itu pula
saya mendapat nama yang Soedarsono ini. Bila tidak karena hubungan
itu bagaimana kita orang desa bisa membayangkan mendapat nama
Soedarsono, nama yang menurut bayangan kami hanya pantas dimiliki
anak-anak priyayi saja. Dan Ndoro Seten, menurut Bapak, begitu saja
menghadiahi nama kepada embok saya waktu diketahuinya Embok
hamil tua. “Nanti kalau anakmu itu laki-laki, Mbok, namakan
Soedarsono,” kata Ndoro Seten. Embok saya terkejut mendengar nama
148
Ibid., h. 282.
127
itu. Menurut Embok sesungguhnya ia ingin memberi nama Islam
(meskipun kami tidak sembahyang) seperti Ngali atau Ngusman.149
Berdasarkan kutipan di atas, nilai sosial ditunjukkan melalui nilai
keakraban yang terjalin antara Atmokasan dengan Ndoro Seten yang dapat
dikatakan sebagai majikan. Atmokasan adalah seorang petani desa yang
menggarap sawah milik Ndoro Seten. Atmokasan sebagai seorang petani
berstatus wong cilik bekerja di sawah milik Ndoro Seten menjalin hubungan
yang bersifat vertikal, antara priyayi dan petani desa. Namun, hubungan
tersebut berubah menjadi hubungan akrab, Ndoro Seten menyerahkan separuh
sawahnya untuk diurus oleh Atmokasan.
Dalam masyarakat Jawa terdapat tradisi mendapat nama tua ketika
seseorang akan membangun rumah tangga. Inilah yang terjadi kepada
Soedarsono yang kemudian berubah nama menjadi Sastrodarsono. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan berikut, “Saya duduk termangu, tidak mengira
kalau saya akan mendapat nama tua pada hari itu. Tentu saya berharap juga
pada suatu ketika mendapat nama tua itu karena memang sudah menjadi
kebiasaan orang Jawa untuk mengubah nama anaknya menjadi nama tua pada
waktu anak itu sudah mulai siap untuk membangun keluarga…”150
Nilai sosial yang terdapat dalam kutipan di atas adalah nilai kebiasaan
atau tradisi yang dijalankan oleh setiap anak dalam masyarakat Jawa, yaitu
mengubah nama sebelumnya menjadi nama tua bagi mereka yang akan
memasuki kehidupan baru, yaitu berkeluarga. Hal ini jelas menunjukkan relasi
antara individu dengan kebiasaan yang sudah mendarah daging dalam
kehidupan bermasyarakat.
Ketika Sastrodarsono meninggal, Noegroho sebagai anak tertua
menggantikan ayahnya memimpin keluarga Sastrodarsono. Namun pada
rembukan malam itu ia menginginkan seorang cucu dari keluarga
149
Ibid., h. 34.
Ibid., h. 40.
150
128
Sastrodarsonolah yang sebaiknya memimpin yang menunjukkan bahwa
keluarga ini terus mampu menumbuhkan diri. Dalam hal ini Harimurti sebagai
cucu menjadi satu-satunya pilihan, namun ia menolak karena merasa tidak
pantas, dirinya terlalu banyak menimbulkan masalah dalam keluarga besar
Sastrodarsono, namun ia mengajukan sebuah nama. Dia adalah orang yang
ikhlas, tulus, dan tanpa pamrih. Dialah Lantip.
6.
Relasi Individu dengan Nasion
Hubungan ini berkaitan erat dengan posisi dan peranan-peranan yang
ada dalam diri setiap individu sebagai warga Negara. Harimurti menceritakan
bagaimana ayahnya, Hardojo, setia mengabdi kepada Negara meskipun
pernah dikecewakan. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kutipan di bawah
sebagai berikut.
“Noegroho terpilih menjadi tentara dan mengikuti latihan di Bogor.
Setelah terpilih, ia memutuskan untuk membela negerinya. Sebagai
warga Negara dalam peranannya membela Negara. Nilai sosial yang
ditunjukkan oleh Noegroho adalah nilai pengabdian. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut, “Jadi, saya akan berperang untuk
negeriku sendiri, putusku. Begitulah saya memasuki latihan di Bogor
….”151
“Pada waktu sebagian besar pegawai republik ikut pindah ke Jakarta
sesudah penyerahan kedaulatan pada tahun 1950. Bapak memilih
pindah ke Yogya dan bekerja pada pemerintahan DIY. Rupanya Bapak
yang pernah dikecewakan oleh Mangkunegaraan yang tidak tegas
memilih republik dan kemudian malah membantu Belanda, tetap
senang bekerja dalam lingkungan kerajaan. Pemerintahan Daerah
Istimewa Yogyakarta dipandangnya sesuai benar baginya. Dia merasa
sekaligus dipuaskan keinginannya untuk mengabdi kepada republik
dan suatu lingkungan budaya tradisi Jawa yang dipimpin oleh seorang
sultan yang berjiwa modern dan republiken.”152
Kutipan di atas menjelaskan bahwa nilai sosial yang ditunjukkan oleh
tokoh Hardojo adalah nilai pengabdian. Sebagai warga Negara yang baik dan
151
Ibid., h. 197.
Ibid., h. 281.
152
129
berbakti pada Negara. Hal ini juga disampaikan oleh Harjono yang dapat
dilihat pada kutipan berikut, “Saya setuju dengan Mas Noeg. Kita yang ada di
sini adalah semua alat Negara. Cuma ada yang tentara, ada yang sipil. Tapi
semuanya alat Negara. Jadi, kalau Negara berperang kita juga harus ikut
perang. Ini semua adalah kewajiban.”153
Hal di atas menunjukkan nilai pengabdian sebagai warga Negara, baik
secara langsung yang dilakukan oleh Noegroho sebagai tentara, maupun
Harjono sebagai rakyat sipil. Menurutnya, kita semua wajib membela Negara.
C.
Implikasi pada Pembelajaran Sastra di Sekolah
Pembelajaran sastra adalah pembelajaran yang mengembangkan kompetensi
apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Dengan pembelajaran
semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami,
menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung.154
Tujuan pembelajaran sastra terlihat bahwa peserta didik harus mampu
menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian dan
memperluas wawasan. Tujuan ini juga berhubungan dengan pembentukan dan
pengembangan karakter peserta didik yang sejalan dengan sistem pendidikan
nasional. Oleh karena itu, sebagai upaya pembentukan karakter peserta didik
diperlukan adanya campur tangan dari berbagai pihak, khususnya pendidik. Pendidik
diharapkan mampu membimbing, memberikan teladan, dan mendukung peserta didik
agar memiliki kepribadian yang luhur.
Pembentukan
kepribadian
ini
dapat
dilakukan
dengan
memberikan
pembelajaran kepada peserta didik. Pembelajaran tersebut cakupannya sangat luas,
pendidik dapat memberikan pembelajaran melalui contoh, kisah nyata, aturanaturan,dan sikap. Selain yang telah disebutkan, pembelajaran untuk membentuk
karakter peserta didik juga dapat dilakukan melalui pengenalan sastra, baik dongeng,
153
Ibid., h. 205.
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra ( Jakarta: Grasindo, 2008), h. 167.
154
130
cerpen maupun novel. Hal ini dikarenakan dalam karya sastra tertanam nilai-nilai
yang sangat baik dan dapat dijadikan teladan oleh peserta didik. Akan tetapi, pendidik
harus mampu menimbang, memilih, dan menetapkan karya sastra yang baik dan
sesuai dengan perkembangan peserta didik. Karena pemilihan karya sangat
berpengaruh terhadap kualitas bacaan peserta didik. Dengan demikian, pendidik harus
pandai memilih bacaan yang tepat dan mengandung nilai-nilai yang baik untuk
dijadikan sumber belajar bagi peserta didik.
Jika dikaitkan dengan novel Para Priyayi, peserta didik dapat mengambil
nilai-nilai sosial yang sangat kentara dalam cerita melalui peristiwa dan pandangan
para tokoh. Guru dapat mengajarkan kepada peserta didik bagaimana berinteraksi
dengan masyarakat dengan menjunjung sikap saling tolong-menolong antarsesama
manusia. Dengan begitu, kepekaan yang dimiliki oleh peserta didik terhadap
lingkungan sekitar dapat menimbulkan sikap saling toleransi dan terhadap perbedaan
yang terjadi. Selain itu, peserta didik dapat mengimplikasikan nilai-nilai sosial yang
positif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Berdasarkan kajian terhadap novel Para Priyayi karya Umar Kayam,
kompetensi dasar yang dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra adalah
menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel. Kompetensi tersebut dapat
dikembangkan melalui novel Para Priyayi sebagai bahan ajar novel Indonesia.
Pembelajaran unsur intrinsik dalam novel Para Priyayi dapat meningkatkan
kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra untuk mempertajam perasaan,
meningkatkan penalaran, daya imajinasi, serta kepekaan terhadap masyarakat dan
lingkungan sekitar.
Pengajaran sastra mencakup tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan
ranah psikomotorik. Ranah kognitif terkait respons yang diberikan peserta didik
dalam bentuk penafsiran setelah membaca sebuah karya sastra. Selanjutnya guru
dapat menilai pemahaman siswa dengan cara mengetahui pengetahuan yang diperoleh
setelah membaca. Karena terkait dengan pemahaman dari hasil membaca, ranah ini
menjadi ranah yang paling awal dalam proses kegiatan belajar-mengajar. Ranah
131
afektif terkait respons yang diberikan peserta didik terhadap karya sastra yang telah
dibacanya, apakah peserta didik tersebut antusias dan merasa terlibat di dalamnya
atau tidak sama sekali, sehingga guru dapat mengetahui perubahan yang dialami
peserta didik setelah membaca karya sastra, sedangkan ranah psikomotorik terkait
respons yang diberikan peserta didik terhadap penerapan nilai-nilai yang terdapat
dalam karya sastra dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, guru dituntut agar dapat memposisikan dirinya sebagai
guru bahasa Indonesia dalam pengajaran sastra. Guru harus memiliki kompetensi
sastra yang memadai. Guru dapat menggunakan kiat khusus dalam menyampaikan
materi pelajaran kepada peserta didik. Dari kiat tersebut, guru dapat membangkitkan
minat belajar para peserta didik agar dapat mengikuti pelajaran dengan baik, sehingga
peserta didik dapat menikmati pelajaran sastra dan nilai-nilai yang terkandung dalam
novel, khususnya nilai sosial dalam bermasyarakat dan bernegara sehingga dapat
menumbuhkan perilaku-perilaku yang positif bagi setiap individu. Selain itu, sekolah
juga dituntut agar menambah koleksi perpustakaan dengan bukusastra yang variatif,
sehingga dapat digunakan sebagai penunjang pembelajaran peserta didik.
Pada hakikatnya, pembelajaran sastra melalui pembacaan novel ini diharapkan
dapat membantu siswa dalam membentuk kepribadian menjadi manusia yang
berkatakter. Oleh karena itu, setelah pembelajaran diharapkan peserta didik mampu
menerapkan sikap-sikap positif tersebut dalam kehidupan sehari-hari sehingga pada
akhirnya turut berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian dan watak dari peserta
didik tersebut.
Pembelajaran nilai-nilai sosial yang telah didapatkan oleh peserta didik
tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal dan pegangan dalam perjalanan
hidup peserta didik, sehingga peserta didik lebih bijaksana dalam menghadapi
kehidupan yang kompleks dan multidimensi seperti sekarang ini. Dengan kata lain,
pembelajaran karya sastra, dalam hal ini novel pun turut membantu dalam
pembentukan karakter bangsa.
132
Dari pernyataan di atas dapat ditunjukkan bahwa sastra mempunyai relevansi
dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra harus dipandang
sebagai sesuatu yang penting yang patut menduduki tempat yang selayaknya. Jika
pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat
memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata di
lingkungan masyarakat.
Dalam pembelajaran sastra di sekolah, novel Para Priyayi dapat diterapkan di
tingkat SMA kelas XI (sebelas) semester satu pada pertemuan yang membahas
tentang memahami pembacaan novel melalui kegiatan mendengarkan pembacaan
penggalan novel, seperti yang terlampir pada silabus berikut.
SILABUS PEMBELAJARAN
Sekolah
: SMA/MA
Mata Pelajaran
: Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas
: XI
Semester
: 1
Standar Kompetensi : Membaca
Memahami berbagai novel Indonesia
Kompetensi
Materi
Kegiatan
Indikator
Dasar
Pembelajaran
Pembelajaran
Pencapaian
Penilaian
Alokasi Sumber/
Waktu
Kompetensi
Menganalisis
unsur-unsur
intrinsik
dan
Novel Indonesia  Membaca
 unsur-unsur
intrinsik (alur,
 Menganalisis
Alat
Jenis
45
Novel
Tagihan:
Menit
Indonesia
novel
unsur-unsur
Indonesia
ekstrinsik dan  Tugas
 Menganalisis
ekstrinsik
tema,
novel
penokohan,
unsur-unsur
(alur,
Indonesia
sudut pandang,
ekstrinsik
penokohan,
intrinsik
Bahan/
individu
tema,  Tugas
kelompok
133
latar,
dan
 Ulangan
dan
sudut
intrinsik
pandang,
(alur, tema,
latar,
dalam
penokohan,
amanat)
Instrumen:
novelIndonesia
sudut
novel
 Uraianbeb
(nilai
budaya,
pandang,
Indonesia
sosial,
moral,
amanat)
 unsur ektrinsik
latar,
dan
amanat)
dll)
novel
Indonesia
dan Bentuk
as
 Pilihangan
da
 Jawaban
singkat
Berikut ini merupakan rencana pembelajaran yang dapat diaplikasikan
berdasarkan pembahasan dan silabus di atas.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Satuan Pendidikan : SMA
Mata Pelajaran
: Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas/Semester
: XI/1 (Satu)
Standar Kompetensi : Memahami berbagai hikayat dan novel Indonesia
Kompetensi Dasar
: Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
Indonesia
Alokasi Waktu
: 3 X 45 menit
Indikator
: 1. Mampu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel Indonesia
1.
Mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik (alur,
tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) dan
unsur ekstrinsik (nilai sosial, budaya, dll) novel Indonesia
A. Tujuan Pembelajaran
134
Siswa mampu menjelaskanunsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dari pembacaan
penggalan novel.
B. Materi Pokok
o Novel Indonesia
o Unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
C. Nilai Budaya dan Karakter Bangsa

Bersahabat/komunikatif

Kreatif

Gemar Membaca
D. Nilai Kewirausahaan/Ekonomi Kreatif
 Kedisiplinan
 Kepemimpinan
E. Metode dan Skenario Pembelajaran
 Presentasi
 Diskusi Kelompok
 Tanya Jawab
 Penugasan
F. Kegiatan Belajar Mengajar
1. Kegiatan Awal
a) Guru mengucap salam, kemudian mengajak berdoa bersama
b) Guru mengabsen untuk mengecek peserta didik yang tidak hadir dan
berkoordinasi dengan siswa agar siap untuk belajar
c) Guru menyampaikan standar kompetensi dan kompetensi dasar
d) Guru memberikan apersepsi dengan cara memberi pertanyaan kepada
peserta didik tentang materi yang akan dibahas
135
2. Kegiatan Inti
a. Eksplorasi

Guru meminta peserta didik mencari novel di perpustakaan

Guru meminta peserta didik dengan demokratis menentukan bersama
salah satu novel yang ingin dicari unsur intrinsik dan ekstrinsik

Guru meminta kepada peserta didik untuk membaca dan memahami
novel yang dipilih.
b. Elaborasi

Guru meminta kepada peserta didik untuk membentuk kelompok
diskusi yang terdiri atas 3-4 orang peserta didik.

Guru menjelaskn unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik yang terdapat
dalam novel.

Peserta didik berdiskusi untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dan ekstrinsik novel Indonesia.

Peserta didik berdiskusi untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik
(alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) dan
ekstrinsik (nilai sosial, budaya, dll) novel Indonsia.

Peserta didik berdiskusi untuk membandingkan unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel Indonesia.

Salah
satu
peserta
didik
mempresentasikan
hasil
diskusi
kelompoknya.

Peserta didik yang lain menanggapi presentasi hasil diskusikelompok
yang presentasi.
c. Konfirmasi
 Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menanyakan
tentang hal-hal yang belum diketahui.
136
 Guru menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.
2. Kegiatan Akhir

Guru dan peserta didik bersama-sama membuat kesimpulan terhadap
materi pembelajaran yang telah dilakukan.

Guru memberikan tugas di rumah kepada peserta didik agar mencari
novel lain untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik.

Guru menutup kegiatan dan mengucap salam.
G. Sumber Belajar

NovelPara Priyayi karya Umar Kayam

Biografi Umar Kayam

Cara menganalisis unsur-unsur intrinssik dan ekstrinsik novel Indonesia

Buku Bahasa Indonesia (Pelajaran Bahasa Indonesia: Untuk SMA/MA
Kelas XI), Tateng Gunadi, Arya Duta, 2007.
H. Penilaian
1. Teknik

Tes (PG, isian, dan uraian)

Penugasan menjelaskan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
2. Instrumen soal
a. Apa pengertian dari unsur intrinsik dan ekstrinsik?
b. Sebutkan dan jelaskan unsur-unsur intrinsik novel Para Priyayi?
c. Sebutkan dan jelaskan unsur ekstrinsik dalam novel Para Priyayi
137
Rubrik Penilaian Analisis Unsur Intrinsik Dan Ekstrinsik
Novel Indonesia
Kompetensi Dasar :Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
Indonesia
Nama Siswa
:
Kelas/No. Absen
:
Tanggal Penilaian :
SKOR
1 2 3
UNSUR YANG DINILAI
1.
2.
3.
4.
Analisis
Unsur
Intrinsik
Analisis
Unsur
Ekstrinsik
1.
2.
3.
4.
5.
4
Ketajaman analisis
Kelengkapan unsur yang dianalisis
Keruntutan penyajian hasil analisis
Manfaat yang bisa diambil dari unsur intrinsik
dalam novel
Ketajaman analisis
Kelengkapan unsur yang dianalisis
Keruntutan penyajian hasil analisis
Manfaat yang bisa diambil dari unsur ekstrinsik
dalam novel
Kesimpulan hasil analisis
Perolehan Nilai = Total skor x 2
Jakarta,………….. 2014
Mengetahui,
Kepala Sekolah
Guru Mata Pelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia
(Dwi Astuti)
(Agnis Afriani)
5
BAB V
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terkait dengan novel Para
Priyayi Karya Umar Kayam, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1.
Hasil penelitian ini mendeskripsikan nilai-nilai sosial melalui interaksi
sosial antara individu, keluarga, dan masyarakat dalam relasi-relasi
yang terbagi menjadi enam kategori. Relasi-relasi terdapat dalam teori
interaksi Simmel. Dalam novel Para Priyayi ini terdapat nilai-nilai
sosial,
yaitu
nilai
kepedulian
yang
ditunjukkan
oleh
tokoh
Sastrodarsono, nilai kerukunan oleh keluarga besar Sastrodarsono,
nilai pengayoman orang tua (Sastrodarsono dan Ngaisah), nilai
ketuhanan, nilai keikhlasan, nilai kasih sayang, nilai kesopanan, nilai
kebersamaan, nilai keakraban, nilai kebiasaan, dan nilai pengabdian
oleh Noegroho dalam membela Negaranya.
2.
Implikasi novel Para Priyayi karya Umar Kayam pada pembelajaran
sastra di sekolah adalah peserta didik dapat mengambil nilai-nilai
sosial yang sangat jelas digambarkan dalam cerita, baik secara
kognitif, afektif, maupun psikomotorik, melalui pemahaman tentang
tokoh dan penokohan serta latar sosial. Peserta didik juga dapat belajar
mengenai bagaimana harus bersikap, memilih jalan hidup, dan
semangat mencapai cita-cita seperti yang telah digambarkan oleh
tokoh Lantip, Sastrodarsono, dan yang lainnya.
B.
Saran
Berdasarkan hasil dan implikasi penelitian, maka penulis menyarankan
beberapa hal berikut ini.
138
139
1.
Orang tua atau guru harus memberitahu kepada anak mengenai tata
cara hidup bermasyarakat. Anak diajarkan bagaimana seharusnya
dalam bersikap agar tidak melanggar norma dan nilai yang berlaku
ketika hidup bersama dalam masyarakat. Guru dan orang tua harus
memberi contoh yang baik agar anak mempunyai panutan dalam
berperilaku.
2.
Guru harus meningkatkan kreativitasnya dalam kegiatan proses belajar
mengajar agar peserta didik dapat antusias dan memahami pelajaran
sastra.
3.
Guru
sebaiknya
mengajarkan
kepada
peserta
didik
agar
mengaplikasikan nilai-nilai sosial yang baik yang terkandung di dalam
karya sastra dalam kehidupan sehari-hari.
4.
Orang
tua
harus
memberi
dukungan
kepada
anak
untuk
mengembangkan minatnya terhadap sastra, dengan cara memfasilitasi
anak dengan menyediakan buku-buku terkait dengan sastra di rumah
(minat baca) dan menyemangati anak agar mau belajar membaca
bahkan menulis sejak dini.
DAFTAR PUSTAKA
Abram, M. H. A Glossary of Literary Terms. Boston: Heinle & Heinle, 1999.
Hendriyati, Atik. Kajian Intertekstual dan Nilai Pendidikan Novel Canting Karya
Arswendo Atmowiloto dengan Para Priyayi Karya Umar Kayam.
Purwakarta: Universitas Sebelas Maret, 2009.
Aritonang, Diro. Doktor Umar Kayam Budayawan yang Tangguh. Harian Pikiran
Rakyat, 1982.
Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010.
Bertens, K. ETIKA. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 1993.
DBB, Umar Kayam Memenangkan SEA Write Award 1987. Harian Berita Buana,
1987.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1979.
Endaswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta: CAPS, 2013.
Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra Penerjemah Ida Sundari Husen. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005.
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar sastra. Bandung: Angkasa, 2001.
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa terjemahan
Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Santosa, Wijaya Heru dan Sri Wahyuningtyas. Pengantar Apresiasi prosa. Surakarta:
Yuma Pustaka, 2010.
Saidi, Acep Iwan. Matinya Dunia Sastra Biografi Pemikiran & Tatapan Terberai
Karya Sastra Indonesia. Jakarta: Pilar Media, 2006.
Kayam, Umar. Para Priyayi Sebuah Novel. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2011.
Cet. XIII.
Kosasih, E. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya, 2012.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.
Noor, Rohinah M. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Solusi Pendidikan Moral
yang Efektif. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2011.
Soelaeman, M. Munandar. Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial.
Bandung: PT Refika Aditama, 2001.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajan Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2000.
Lesmana, Permadi Hendra. Perubahan Ideologi Kepriyayian Jawa: dari Tradisi ke
Modern dalam Novel Para Priyayi dan Jalan Menikung Karya Umar
Kayam serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA. Jakarta:
Universitas Islam Negeri, 2013.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
__________ . Umar Kayam: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo, 2004.
Semi, Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya, 1988
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.
Soekanto, Soerjono. Pribadi dan Masyarakat (Suatu Tinjauan Sosiologis). Bandung:
Alumni, 1983.
Sumarno, Jakob. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni, 1984.
Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Suwarno, P. J. Novel Multidimensional, Majalah Basis, No.10/XL1/Oktober 1992.
Tuloli, Nani. Kajian Sastra. Gorontalo: BMT “Nurul jannah”, 2000.
Wellek, Rene & Austin Warren, Teori Kesusastraan Terjemahan dari Theory of
Literature oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia, 1989.
BIOGRAFI PENULIS
Agnis Afriani, lahir di Bekasi, 6 Agustus 1990.
Menuntaskan pendidikan dasar di MI Attaqwa 16 Wates.
Kemudian Ia menuntut ilmu di MTs Al- Falak Kota Bogor.
Setelah itu, Ia melanjutkan kejenjang sekolah menengah di MAN
1 Kota Bekasi. Setelah lulus dari MAN 1 Kota Bekasi, Ia
meneruskan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta, mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia.
Anak dari Achmad Yani dan Yuyun ini bercita-cita ingin menjadi seorang guru sejak
duduk di bangku sekolah menengah atas. Baginya, menjadi seorang guru bukan hanya profesi
yang ideal bagi perempuan. Akan tetapi, merupakan kegiatan sosial dan pembelajaran sepanjang
masa bagi seorang manusia untuk sesama manusia lainnya. Perempuan yang berzodiak Leo ini
juga memiliki hobi membaca karya sastra. Ia sangat menyukai puisi dan novel.
Download