kajian pengembangan perikanan bagan perahu di

advertisement
KAJIAN PENGEMBANGAN PERIKANAN BAGAN PERAHU
DI POLEWALI, KABUPATEN POLEWALI MANDAR,
SULAWESI BARAT
TAKRIL
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
KAJIAN PENGEMBANGAN PERIKANAN BAGAN PERAHU
DI POLEWALI, KABUPATEN POLEWALI MANDAR,
SULAWESI BARAT
TAKRIL
Tesis
Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian
Pengembangan Perikanan Bagan Perahu Di Polewali, Kabupaten Polewali
Mandar, Sulawesi Barat, adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari
penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2008
Takril
NRP. C451060021
RINGKASAN
TAKRIL. 2008. Kajian Pengembangan Perikanan Bagan Perahu di Polewali,
Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Dibimbing oleh BUDHI H.
ISKANDAR dan BUDY WIRYAWAN.
Kabupaten Polewali Mandar memiliki potensi ikan pelagis kecil yang
cukup besar namun tingkat pemanfaatannya belum optimal, hal ini disebabkan
karena masih rendahnya produktivitas usaha penangkapan yang dimiliki oleh
usaha perikanan bagan perahu. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Menganalisis
hubungan antara faktor-faktor fungsi produksi dengan hasil tangkapan bagan; 2)
Mengestimasi tingkat produksi lestari dalam pemanfaatan sumberdaya ikan
pelagis kecil; 3) Mengkaji tingkat kelayakan usaha perikanan bagan di Polewali,
Sulawesi Barat.
Penelitian ini menggunakan metode survai dan observasi langsung.
Analisis data menggunakan regresi linier berganda untuk melihat hubungan antara
faktor-faktor fungsi produksi dengan hasil tangkapan bagan. Model surplus
produksi digunakan dalam pendugaan stok sumberdaya ikan, model Gordon
Schaefer untuk menganalisis kondisi bio-ekonomi penangkapan dan analisis
finansial untuk menganalisis pendapatan dan kelayakan usaha.
Hasil analisis faktor-faktor teknis produksi bagan dalam usaha
penangkapan ikan pelagis kecil di Polewali, diperoleh faktor-faktor teknis
produksi yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan antara lain jumlah
lampu, bahan bakar dan ukuran kapal, sedangkan yang tidak berpengaruh nyata
yaitu jumlah tenaga kerja, panjang jaring, tinggi jaring dan jumlah hari
penangkapan. Hasil analisis aspek bio-ekonomi diperoleh nilai produksi MSY
sebesar 6.546.110,45 kg per tahun dan nilai effort MSY sebesar 99.590 trip per
tahun. Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan pengelolaan yang lain
seperti kondisi MEY dan open access namun untuk kondisi aktual lebih besar
dibanding kondisi MSY, tetapi secara umum dari tahun ke tahun kondisi MSY
lebih besar dari kondisi aktual.
Hal ini menandakan bahwa kondisi sumberdaya ikan pelagis kecil di
Kabupaten Polewali Mandar masih tergolong lestari (sustainable). Hasil analisis
kelayakan usaha penangkapan ikan pelagis kecil dengan bagan (lift net) diperoleh
nilai BEP produksi per tahun sebesar Rp 40.473.338,97 dengan volume produksi
per tahun sebesar 28.663,67 ton. Sedangkan nilai ROI diperoleh sebesar 51,20.
Hal ini berarti setiap investasi sebesar Rp 100 akan mendapatkan keuntungan
sebesar 51,20%. Nilai ROI sebesar 51,20 artinya tergolong dalam kriteria “ baik”.
Berdasarkan hasil analisis finansial dengan mempertimbangkan kriteria investasi,
maka usaha perikanan bagan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi
Barat layak dikembangkan.
Kata kunci : lift net, Kabupaten Polewali Mandar, pengembangan
ABSTRACT
TAKRIL. 2008. A Study on Development of Lift Net Fishery in Polewali,
Polewali Mandar Regency, West Sulawesi Province. Supervised by BUDHI H.
ISKANDAR and BUDY WIRYAWAN.
Polewali Mandar Regency has high potency of small pelagic fishes.
However, they have not utilized optimally yet due to low productivity of fishing
efforts applied by lift net fishery. The objectives of this study were: 1) to analyse
the relationship between factors of production functions and production of fishing
yields of lift net; 2) to estimate the level of sustainable yields in utilization of
small pelagic fish resources; 3) to analyse the economic feasibility of lift net
fishery in Polewali, West Sulawesi.
Survey method and field observation has see applied for using analysis of
multiple linier regression to determine relationship between production factors
and the lift net yields. Model of surplus production was used in assessing fish
stock resources, Gordon Schaefer model to analyse bio-economical condition of
fishing and financial analyses to estimate the income and effort feasibility.
Results of technical analysis factors in production of small pelagic fishes
lift net in Polewali revealed technical factors of production that significantly
affecting the fishing yields were number of lamps, fuels and size of the fishing
vessels, whereas, those that did not affect the yields were number of labours, net
length, net height and number of fishing days. Results of bio-economical aspect
analysis provided value of analysis MSY production of 6,546,110.45 kg per year
and value of MSY effort of 99,590 trip per year. This value is higher compared to
other management models such as MEY condition and open access, although the
actual condition is higher than MSY condition, however, in general MSY
condition is higher than the actual condition.
This fact indicates that the condition of small pelagic fish resources in
Polewali Mandar Regency is still categorised as sustainable. Results of feasibility
analysis of small pelagic fishery using lift net estimated from BEP value of
production per year as much as IDR 40,473,338.97 with production volume of
28,663.73 tonnes per year. While, ROI value was 51.20. This meant that every
IDR 100 of investment will benefit as much as 51.20%. Therefore, this ROI value
is classified as “good”. Based on financial analysis considering investment
criterion, it is concluded that lift net fishery business in Polewali, Polewali
Mandar Regency, West Sulawesi Province is suitable to be developed.
Keywords: lift net, Polewali Mandar Regency, development
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008
Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis
: Kajian Pengembangan Perikanan Bagan Perahu di Polewali,
Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat
Nama
: Takril
NRP
: C451060021
Program Studi
: Teknologi Kelautan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si
Ketua
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc
Anggota
Diketahui,
Program Studi Teknologi Kelautan
Ketua,
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 29 Mei 2008
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis tepat pada waktunya dengan
judul “Kajian Pengembangan Bagan Perahu Di Polewali, Kabupaten Polewali,
Sulawesi Barat”.
Selama penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc sebagai
ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan
dan arahan.
2. Dr. Mustaruddin STP selaku dosen penguji luar komisi yang berkenan
memberikan masukan demi perbaikan isi dan penulisan tesis serta Prof.
Dr. Ir. John Haluan, M.Sc selaku ketua Program Studi atas arahannya
selama penyelesaian studi.
3. Seluruh staf dosen dan staf administrasi Program Studi Teknologi
Kelautan atas bantuan kelancaran selama proses menyelesaikan studi.
4. Teman-teman Pascasarjana angkatan 2006 atas kebersamaannya selama
proses perkuliahan berlangsung.
5. Terkhusus ucapan hormatku kepada kedua orang tuaku tercinta serta
seluruh keluarga di Polewali, Sulawesi Barat atas doa dan kasih
sayangnya.
6. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu namanya. Terima
kasih.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak terdapat kesalahan baik
dari segi isi maupun dari segi penulisan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat
diharapkan dari semua pihak untuk perbaikan tesis ini.
Bogor, Juli 2008
Takril
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Polewali pada tanggal 10 Maret 1981 dari pasangan
H. Kahil dan Hj. Mariama. Penulis merupakan anak keempat dari delapan
bersaudara.
Tahun 2000 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Polewali, Sulawesi Barat dan
pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI). Penulis memilih program studi Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pada tahun 2006 penulis
mendapat kesempatan mengikuti program magister pada sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Teknologi Kelautan dengan biaya
sendiri.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif di pengurus Forum Komunikasi
Mahasiswa Teknologi Kelautan (FORMULA) IPB periode 2007-2008 dan
pengurus Forum Komunikasi Mahasiswa Pascasarjana IPB asal Sulawesi Selatan
(FKMP-IPB-SulSel) periode 2007-2008.
DAFTAR ISTILAH
:
Bagan (Lift net)
(Subani dan Barus,1989)
Sejenis alat tangkap yang digunakan nelayan untuk
menangkap ikan pelagis kecil yang cara
pengoperasiannya dilakukan dengan menurunkan dan
menaikkan jaring secara vertikal.
:
Hasil tangkapan sampingan; merupakan bagian dari
hasil tangkapan yang didapatkan pada saat operasi
penangkapan sebagai tambahan dari tujuan utama
penangkapan.
Break Even Point (BEP :
(Kadariah, 1978)
Suatu metode yang mempelajari hubungan antara
biaya, keuntungan dan volume penjualan.
Fishing ground (Subani :
dan Barus, 1989)
Suatu daerah perairan tempat ikan berkumpul dimana
penangkapan ikan dapat dilakukan.
By-catch (Subani dan
Barus, 1989)
Fishing base
:
Pangkalan pendaratan armada penangkapan.
Gross Tonage (GT)
(Nomura and
Yamazaki, 1977)
:
Ukuran besarnya kapal secara keseluruhan yang
merupakan jumlah isi semua ruang-ruang tertutup
(volume).
Keseimbangan
bio-ekonomi (Fauzi,
2004)
:
Kondisi dimana pada setiap effort dibawah EoA,
penerimaan total akan melebihi biaya total, sehingga
pelaku perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik
(entry) untuk melakukan penangkapan ikan.
Light fishing (Subani
dan Barus, 1989)
:
Kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan
cahaya sebagai pengumpul ikan.
Maximum Economic :
Yield (MEY) (Fauzi,
2004)
Keuntungan lestari diperoleh secara maksimum
(sustainable profit) pada tingkat upaya EMEY karena
memiliki jarak vertikal terbesar antara penerimaan
dan biaya (garis BC).
Nelayan (Subani dan
Barus, 1989)
:
Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam
operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya
atau tanaman air.
Open access (Fauzi,
2004)
:
Suatu kondisi dimana siapa saja dapat berpartisipasi
dalam melakukan penangkapan ikan tanpa harus
memiliki sumberdaya perikanan tersebut.
Penurunan jaring
(setting) (Subani dan
Barus, 1989)
:
Salah satu tahapan dalam metode pengoperasian
bagan yaitu proses penurunan jaring dengan
menggunakan roller.
:
Salah satu tahapan dalam metode pengoperasian
bagan yaitu lamanya jaring berada di dalam air.
:
Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada
sesuatu yang lebih baik; proses yang menuju pada
suatu kemajuan.
Perikanan (Subani
dan Barus, 1989)
:
Semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan
dan
pemanfaatan
SDI
dan
lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran, yang
dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Perikanan tangkap
(Subani dan Barus,
1989)
:
Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang
tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau
cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan
kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan,
mendinginkan,
menangani,
mengolah,
dan
mengawetkannya.
Platform
:
Pelataran atau balai-balai pada bagan yang umumnya
terbuat dari kayu.
Roller (Subani dan
Barus 1989)
:
Alat bantu penangkapan pada bagan yang berfungsi
untuk menurunkan dan menaikkan jaring.
Perendaman jaring
(soaking) (Subani dan
Barus, 1989)
Pengembangan
(Ihsan, 2000)
Return of Investment :
(ROI) (Rangkuti, 2001)
Kemampuan suatu
keuntungan netto.
usaha
untuk
menghasilkan
Sumberdaya
perikanan
(Subani dan Barus,
1989)
:
Terdiri dari sumberdaya ikan, sumberdaya
lingkungan serta sumberdaya buatan manusia, yang
digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan.
Unit penangkapan
ikan (Subani dan
Barus, 1989)
:
Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi
penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan,
alat tangkap, dan nelayan.
Upaya penangkapan
(fishing effort)
(Subani dan Barus,
1989)
:
Ukuran kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan
dalam periode waktu tertentu.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Mustaruddin, STP
DAFTAR ISI
Halaman
iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
vii
1 PENDAHULUAN ...................................................................................
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1.2 Perumusan Masalah ...........................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................
1.5 Kerangka Pemikiran ...........................................................................
1
1
2
3
3
4
2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
2.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu .....................................................
2.2 Metode Pengoperasian Bagan Perahu ..............................................
2.3 Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil ........................................................
2.4 Pengembangan Perikanan Bagan Perahu .........................................
2.5 Fungsi Produksi ................................................................................
2.6 Model Produksi Surplus dan Model Bio-ekonomi ..........................
2.7 Aspek Sosial .....................................................................................
2.8 Analisis Investasi ..............................................................................
6
6
8
10
16
17
18
24
25
3 METODOLOGI PENELITIAN .............................................................
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..........................................................
3.2 Alat dan Bahan ..................................................................................
3.3 Metode Penelitian ............................................................................
3.4 Batasan Penelitian .............................................................................
3.5 Metode Pengumpulan Data ..............................................................
3.5.1 Aspek biologi ..........................................................................
3.5.2 Aspek teknis ............................................................................
3.5.3 Aspek sosial ............................................................................
3.5.4 Aspek ekonomi .......................................................................
3.6 Metode Analisis Data .......................................................................
3.6.1 Analisis fungsi produksi...........................................................
3.6.2 Pendugaan parameter biologi ..................................................
3.6.3 Pendugaan parameter ekonomi ...............................................
3.6.4 Pendugaan parameter sosial ....................................................
3.6.5 Analisis kelayakan usaha .........................................................
27
27
27
28
28
29
31
31
32
33
34
34
37
38
39
39
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ....................................
4.1 Keadaan Geografis dan Topografi ...................................................
4.2 Karakteristik Oseanografi ................................................................
4.3 Kondisi Umum Perikanan Tangkap di Polewali, Kabupaten
Polewali Mandar ..............................................................................
4.4 Musim dan Daerah Penangkapan Ikan ..............................................
41
41
41
5 HASIL PENELITIAN.............................................................................
5.1 Sejarah Perikanan Bagan .................................................................
50
50
46
49
5.2 Unit Penangkapan Bagan Perahu ......................................................
5.2.1 Kapal .......................................................................................
5.2.2 Alat tangkap ............................................................................
5.2.3 Nelayan ...................................................................................
5.2.4 Alat bantu lainnya ...................................................................
5.3 Pengoperasian Bagan .......................................................................
5.4 Komposisi Hasil Tangkapan Bagan .................................................
5.5 Analisis Faktor Teknis Produksi ......................................................
5.6 Aspek Biologi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil pada
Bagan, Purse seine, Jaring insang hanyut dan Payang ....................
5.6.1 Produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit penangkapan .
5.6.2 Tingkat pemanfaatan dan pengupayaan sumberdaya ikan.......
5.6.3 Produktivitas unit penangkapan ...............................................
5.7 Aspek Sosial .....................................................................................
5.7.1 Penyerapan tenaga kerja ..........................................................
5.7.2 Latar belakang pendidikan ......................................................
5.7.3 Penerimaan nelayan terhadap unit penangkapan bagan perahu
5.7.4 Konflik sosial ..........................................................................
5.7.5 Kelembagaan perikanan bagan ...............................................
5.8 Aspek Ekonomi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil .............................
5.8.1 Biaya penangkapan .................................................................
5.8.2 Analisis harga ikan hasil tangkapan ........................................
5.9 Analisis Bio-ekonomi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil ...................
6.0 Analisis Kelayakan Usaha Penangkapan Bagan Perahu ...................
51
51
52
54
55
57
63
64
6 PEMBAHASAN ....................................................................................
6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu .....................................................
6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi ......................................................
6.3 Aspek Biologi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil ...........
6.4 Aspek Sosial .....................................................................................
6.5 Analisis Bio-ekonomi Sumberdaya ikan Pelagis Kecil ...................
6.6 Analisis Kelayakan Usaha Penangkapan Bagan Perahu ...................
93
93
93
96
97
98
100
7 KESIMPULAN ......................................................................................
7.1 Kesimpulan ......................................................................................
7.2 Saran .................................................................................................
103
103
103
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
104
LAMPIRAN ................................................................................................
109
67
67
69
72
79
79
80
80
81
81
83
83
84
85
89
DAFTAR TABEL
Halaman
30
1 Cara pengumpulan data di lapangan .......................................................
2 Pengukuran parameter biologi terhadap sumberdaya ikan ...................
31
3 Pengukuran parameter teknis kapal dan alat penangkapan ikan ............
32
4 Pengukuran parameter sosial pada nelayan yang menggunakan unit
penangkapan bagan ................................................................................
33
5 Pengukuran parameter ekonomi terhadap unit penangkapan bagan ......
33
6 Perkembangan jumlah kapal atau perahu di Kabupaten Polewali
Mandar periode 1994-2003 ....................................................................
47
7 Perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Polewali Mandar periode
1994-2003 ...............................................................................................
47
8 Jumlah bagan (lift net) di Kabupaten Polewali Mandar tahun 19942003 .......................................................................................................
48
9 Volume dan nilai produksi perikanan yang didaratkan di Kabupaten
Polewali Mandar tahun 1994-2003 ........................................................
48
10 Spesifikasi bagan perahu di Polewali, Sulawesi Barat ...........................
52
11 Spesifikasi bagian-bagian alat tangkap yang digunakan nelayan
Polewali, Sulawesi Barat ........................................................................
53
12 Komposisi hasil tangkapan utama bagan yang didaratkan di Polewali,
Sulawesi Barat ......................................................................................
64
13 Hasil analisis regresi linier berganda ......................................................
65
14 Perkembangan produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit
penangkapan ikan tahun 1994-2003 .....................................................
68
15 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali
Mandar tahun 1994-2003 .......................................................................
70
16 Tingkat pengupayaan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali
Mandar tahun 1994-2003 .......................................................................
71
17 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan
(effort) bagan tahun 1994-2003 ..............................................................
72
18 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan
(effort) purse seine tahun 1994-2003 .....................................................
74
19 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan
(effort) jaring insang hanyut tahun 1994-2003 ....................................
76
20 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan
(effort) payang tahun 1994-2003 ..........................................................
78
21 Struktur biaya penangkapan ikan pelagis kecil dengan bagan perahu
di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat tahun 2007
84
22 Harga ikan pada musim puncak dan musim biasa .................................
85
23 Optimalisasi bio-ekonomi dalam berbagai kondisi pengelolaan dan
kondisi aktual sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan perahu
(lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat ......
86
DAFTAR GAMBAR
1
Halaman
Kerangka pemikiran pengembangan usaha perikanan bagan perahu
berbasis sumberdaya ikan pelagis kecil di Polewali, Sulawesi Barat ....
5
2 Morfologi teri (Stolephorus spp) ............................................................
12
3 Morfologi kembung (Rastrelliger spp) ..................................................
14
4 Morfologi layang (Decapterus ruselli) ..................................................
15
5 Kurva pertumbuhan logistik ...................................................................
19
6 Keseimbangan bio-ekonomi Gordon-Schaefer ......................................
23
7 Lokasi daerah penelitian .........................................................................
27
8 Peta sebaran kecepatan arus permukaan laut di lokasi penelitian ..........
42
9 Rata-rata curah hujan di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi
Barat 10 tahun 1996-2006 ......................................................................
43
10 Peta penyebaran suhu di lokasi penelitian ..............................................
44
11 Peta sebaran salinitas permukaan laut di lokasi penelitian ....................
45
12 Bagan perahu yang digunakan nelayan di Polewali, Kabupaten
Polewali Mandar, Sulawesi Barat ..........................................................
52
13 Sistem bagi hasil usaha perikanan bagan perahu di Polewali,
Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat ........................................
55
14 Serok yang digunakan untuk menaikkan ikan ke atas dek kapal ...........
56
15 Basket yang digunakan untuk memasukkan ikan ke dalam palka .........
56
16 Lampu merkuri dan cara pemasangan ....................................................
57
17 Roller yang digunakan untuk menarik jaring .........................................
61
18 Ilustrasi tahapan pengoperasian bagan perahu ........................................
62
19 Hubungan antara jumlah lampu dengan hasil tangkapan (ton) ..............
66
20 Hubungan antara BBM dengan hasil tangkapan (ton) ...........................
66
21 Hubungan antara ukuran kapal (GT) dengan hasil tangkapan (ton) ......
67
22 Perkembangan produksi unit penangkapan ikan tahun 1994-2003 ........
68
23 Perkembangan upaya penangkapan (effort) unit penangkapan ikan
tahun 1994-2003 .....................................................................................
69
24 Perkembangan catch per unit effort (CPUE) unit penangkapan ikan
tahun 1994-2003 .....................................................................................
69
25 Perkembangan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten
Polewali Mandar tahun 1994-2003 ........................................................
70
26 Perkembangan tingkat pengupayaan sumberdaya ikan di Kabupaten
Polewali Mandar tahun 1994-2003 ........................................................
71
27 Status produksi dan upaya penangkapan hubungannya dengan hasil
tangkapan lestari dan upaya optimum ...................................................
72
28 Perkembangan produksi penangkapan pada bagan tahun 1994-2003 ...
73
29 Upaya penangkapan (effort) pada bagan tahun 1994-2003 ...................
73
30 Catch per unit effort (CPUE) pada bagan tahun 1994-2003 .................
74
31 Perkembangan produksi penangkapan pada purse seine tahun
1994-2003 ……………………..…………………………………..…..
75
32 Upaya penangkapan (effort) pada purse seine tahun 1994-2003 …...…
75
33 Catch per unit effort (CPUE) pada purse seine tahun 1994-2003 ….....
75
34 Perkembangan produksi penangkapan pada jaring insang hanyut
tahun 1994-2003 ……………………...................................……….…
76
35 Upaya penangkapan (effort) pada jaring insang hanyut tahun 19942003 .......................................................................................................
77
36 Perkembangan catch per unit effort (CPUE) pada jaring insang hanyut
tahun 1994-2003 ....................................................................................
77
37 Perkembangan produksi penangkapan pada payang tahun 1994-2003
78
38 Upaya penangkapan (effort) pada payang tahun 1994-2003 .................
78
39 Perkembangan catch per unit effort (CPUE) pada payang tahun 19942003 …………………………………………………......................….
79
40 Perbandingan hasil tangkapan ikan pelagis kecil dengan
menggunakan bagan (lift net) setiap kondisi periode 1994-2003 …......
86
41 Perbandingan tingkat upaya penangkapan ikan pelagis kecil dengan
menggunakan bagan (lift net) pada setiap kondisi periode 1994-2003..
87
42 Perbandingan rente ekonomi penangkapan ikan pelagis kecil dengan
menggunakan bagan (lift net) pada setiap kondisi periode 1994-2003
87
43 Keseimbangan Bio-ekonomi Gordon-Schaefer untuk pengelolaan
sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan (lift net) di Polewali,
Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat …....................................
89
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Foto dokumentasi hasil penelitian kajian pengembangan perikanan
bagan perahu berbasis sumberdaya ikan pelagis kecil di Polewali,
Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat ........................................
109
2 Data faktor-faktor oseanografi ...............................................................
115
3 Data faktor-faktor teknis produksi dan hasil tangkapan bagan perahu
(lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat ......
117
4 Hasil keluaran analisis model fungsi produksi dengan menggunakan
aplikasi program SPSS 12 ......................................................................
119
Langkah langkah perhitungan MSY dan f opt di Kabupaten Polewali
Mandar tahun 1994-2003 dengan menggunakan metode surplus
produksi...................................................................................................
123
6 Hasil analisis program MAPLE VIII terhadap fungsi produksi ikan
pelagis kecil dengan bagan (lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali
Mandar, Sulawesi Barat. .........................................................................
129
7 Nilai investasi dan penyusutan ...............................................................
134
8 Biaya operasional nelayan ......................................................................
135
9 Produksi dan pendapatan ........................................................................
136
10 Asumsi dan koefesien kelayakan pendapatan nelayan dan finansial
pemilik ...................................................................................................
137
11 Pendapatan nelayan ................................................................................
138
12 Analisis titik peluang modal ...................................................................
139
5
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemanfaatan sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut di masa
mendatang dihadapkan pada kenyataan bahwa hingga saat ini sebagian besar
sumberdaya perikanan dimanfaatkan oleh perikanan berskala kecil atau perikanan
rakyat. Keadaan usaha perikanan rakyat pada umumnya masih tradisional dan
memiliki jangkauan usaha penangkapan yang masih terbatas di perairan pantai,
dimana produktivitas yang dihasilkan masih rendah (Bahari, 1989). Menurut
Barus et al. (1991), produktivitas nelayan yang masih rendah pada umumnya
diakibatkan oleh rendahnya keterampilan dan pengetahuan serta penggunaan alat
penangkapan maupun perahu yang masih sederhana, sehingga efektifitas dan
efesiensi alat tangkap maupun perahu belum optimal. Keadaan ini berpengaruh
terhadap pendapatan yang diterima nelayan yang relatif rendah, keadaan ekonomi
dan kesejahteraan nelayan pada umumnya masih tertinggal bila dibandingkan
dengan masyarakat petani atau masyarakat lainnya.
Sulawesi Barat sebagai salah satu propinsi terbaru di wilayah Indonesia
Bagian Tengah memiliki letak geografis yang sangat strategis sebagai daerah
potensial perikanan khususnya ikan pelagis kecil yang cukup besar, namun diduga
tingkat pemanfaatannya masih belum optimal. Usaha perikanan yang berkembang
di Sulawesi Barat khususnya di Kabupaten Polewali Mandar masih tergolong
perikanan pantai dimana kegiatan penangkapan masih dilakukan oleh perikanan
rakyat dan alat tangkap yang umumnya digunakan nelayan untuk menangkap ikan
pelagis kecil di daerah ini adalah bagan perahu. Tingkat pemanfaatan yang belum
optimal ini diduga disebabkan karena masih rendahnya produktivitas usaha
penangkapan seperti keterbatasan modal, alat tangkap yang relatif sederhana,
armada penangkapan yang digunakan relatif kecil dan keterampilan nelayan yang
masih rendah.
Sehubungan dengan belum optimalnya usaha perikanan bagan perahu
dalam pemanfaatan sumberdaya
ikan pelagis kecil
di Polewali, Kabupaten
Polewali Mandar, Sulawesi Barat yang disebabkan oleh rendahnya produktivitas
usaha namun sampai saat ini belum ada kajian mengenai hal tersebut, maka
2
sangat perlu untuk dilakukan suatu kajian pengembangan bagan perahu yang
berbasis sumberdaya ikan melalui aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi
(bioteknososionomi).
Oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi suatu teknologi
penangkapan ikan yang akan dikembangkan, yaitu : (1) ditinjau dari biologi tidak
merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya, (2) secara teknis efektif
digunakan, (3) dari segi sosial dapat diterima masyarakat nelayan, (4) secara
ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan (Haluan dan Nurani ,1988).
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis terdorong untuk melakukan
penelitian secara langsung di lapangan mengenai kasus tersebut. Sehingga sangat
perlu dilakukan penelitian tentang “kajian pengembangan bagan perahu di
Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat”.
1.2 Perumusan Masalah
Perairan teluk Mandar tepatnya di Polewali diduga mempunyai potensi
sumberdaya ikan pelagis cukup besar, tetapi potensi tersebut belum dimanfaatkan
secara optimal. Tingkat pemanfaatan yang belum optimal ini diduga disebabkan
masih rendahnya produktivitas usaha penangkapan seperti: keterbatasan modal,
alat tangkap yang relatif sederhana, armada penangkapan yang digunakan relatif
kecil dan keterampilan nelayan yang masih rendah. Teknologi penangkapan yang
umum digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan pelagis kecil di Polewali,
Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat adalah Bagan perahu.
Bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat
telah dihadapkan pada potensi yang besar namun kurang produktif alat
tangkapnya. Demikian pula dengan sarana dan prasarana usaha perikanan tangkap
yang masih kurang dan tradisional. Kualitas sumberdaya manusia relatif masih
rendah, seperti dicirikan oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah,
kemampuan manajemen yang lemah. Kondisi lingkungan hidup yang kurang baik
juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendapatan. Implikasinya adalah kurang
lancarnya adopsi teknologi sampai ke level terbawah (nelayan) sehingga nelayan
tidak cepat memanfaatkan teknologi dan kurang dapat melakukan diversifikasi
usaha.
3
Berkaitan uraian-uraian di atas, maka masalah-masalah yang dihadapi pada
pengembangan usaha perikanan bagan perahu bagaimana cara mengembangkan
bagan perahu dengan memperhatikan sumberdaya ikan. Bagaimana menentukan
bagan perahu yang layak dikembangkan berdasarkan penilaian aspek biologi,
teknologi, sosial dan ekonomi (Bioteknososionomi) sehingga nantinya mampu
meningkatkan taraf hidup nelayan.
Salah satu alternatif yang harus dilakukan untuk pengembangan bagan
perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat adalah
melakukan pengkajian pengembangan bagan perahu yang berbasis sumberdaya
ikan khususnya ikan pelagis kecil, sehingga sumberdaya perikanan laut tersebut
dapat dimanfaatkan secara optimal. Dengan demikian, maka akan didapatkan alat
tangkap bagan yang layak dikembangkan, sehingga sumberdaya perikanan laut
yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
1.3 Tujuan Penelitian
1) Menganalisis hubungan antara faktor-faktor fungsi produksi dengan hasil
tangkapan bagan.
2) Mengestimasi tingkat produksi lestari dalam pemanfaatan sumberdaya ikan
pelagis kecil.
3) Mengkaji tingkat kelayakan usaha perikanan bagan di Polewali, Sulawesi
Barat.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Memberikan informasi sebagai masukan bagi pemerintah untuk kebijakan
pengembangan perikanan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali
Mandar, Sulawesi Barat.
2) Memberikan informasi bagi pengusaha dan nelayan perikanan bagan dari
berbagai
analisis
aspek
biologi,
teknis,
sosial
dan
ekonomi
(Bioteknososionomi) untuk pengembangan usaha perikanan bagan di
Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
4
1.5 Kerangka Pemikiran
Pengembangan merupakan usaha perubahan dari suatu kondisi yang kurang
kepada suatu yang dinilai lebih baik. Manurung et al. (1998), memberikan
pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa
peningkatan kemampuan penduduk dalam mengelolah lingkungan sosial yang
disertai
dengan
meningkatkan
taraf
hidup
mereka.
Dengan
demikian
pengembangan adalah suatu proses yang menuju kepada suatu kemajuan.
Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia
untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan
pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989).
Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup atau
pendapatan nelayan antara lain meningkatkan produksi hasil tangkapan secara
produktivitas dan efesiensi melalui kajian pengembangan bagan perahu yang
sesuai dengan kondisi wilayah setempat serta tidak merusak kelestarian
sumberdaya perikanan yang ada.
Usaha perikanan tangkap di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar
merupakan suatu kegiatan ekonomi untuk memanfaatkan secara optimal potensi
sumberdaya ikan yang ada di perairan sesuai daya dukungnya dengan
mengharapkan keuntungan yang layak bagi para pelakunya baik itu nelayan,
pemilik kapal, perusahaan, peminjaman modal ataupun pemerintah dengan
kepentingan dan pengorbanannya masing-masing. Namun pemanfaatan tersebut
diharapkan tetap memperhatikan kelestarian dari sumberdaya yang ada sehingga
dapat tercipta kesinambungan usaha dari sekarang hingga mendatang.
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang dihadapi dalam
usaha perikanan khususnya pemanfaatan ikan pelagis kecil dengan alat tangkap
bagan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat adalah sebagai
berikut : Mengetahui hubungan antara faktor-faktor produksi dengan produksi unit
penangkapan bagan perahu yang optimum untuk mencapai tingkat produksi dan
keuntungan ekonomi maksimum dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis
kecil serta menentukan tingkat kelayakan usaha perikanan bagan perahu di
Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Untuk menjawab
5
permasalahan dalam penelitian ini lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram alir
kerangka pemikiran (Gambar 1).
Untuk itu suatu studi yang mendasar dan mencakup aspek biologis, teknis,
sosial dan ekonomis dalam usaha perikanan bagan perahu di Polewali, Kabupaten
Polewali Mandar, Sulawesi Barat sangat diperlukan. Dengan demikian diharapkan
usaha perikanan bagan perahu dapat dilakukan seoptimal mungkin, sehingga
sumberdaya perikanan laut yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan
nelayan tanpa mengganggu keberlangsungan sumberdaya yang ada.
Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil
Ketersediaan
sumberdaya ikan
Produksi hasil
tangkapan
Sarana dan prasarana serta
fasilitas penunjang usaha
Tenaga kerja
(nelayan)
Belum optimal dan berkembang usaha pemanfaatan
sumberdaya ikan pelagis kecil
Input pengembangan berdasarkan analisis pendekatan aspek
biologi, teknologi, sosial, dan ekonomi
(Bioteknososionomi)
Aspek Biologi:
Estimasi status
potensi sumberdaya
Analisis
CPUE
MSY Model
Schaefer
Aspek Teknis :
Peningkatan produksi
berdasarkan faktor
teknis produksi
Aspek Sosial :
Potensi terjadinya
konflik
Analisis Regresi
Linier Berganda
Persepsi nelayan
dan potensi konflik
Model fungsi
produksi
Persepsi dan
peluang timbulnya
konflik
Aspek Ekonomi :
Ekonomi kelayakan
usaha
Analisis finansial: Return
on Investemen (ROI) dan
Break Even Point (BEP)
Kelayakan
usaha
Pengembangan usaha
perikanan bagan perahu
Gambar 1 Kerangka pemikiran pengembangan usaha perikanan bagan perahu
berbasis sumberdaya ikan pelagis kecil di Polewali, Sulawesi Barat.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu
2.1.1 Kapal penangkapan ikan
Bagan adalah sejenis alat tangkap yang digunakan nelayan untuk
menangkap ikan pelagis kecil. Alat tangkap ini pertama kali diperkenalkan oleh
nelayan Bugis Makassar pada tahun 1950-an. Beberapa tahun kemudian bagan ini
tersebar dan terkenal di seluruh perairan Indonesia. Dalam perkembangannya
bagan telah banyak mengalami perubahan baik bentuk maupun ukurannya yang
dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan daerah penangkapan.
Berdasarkan cara pengoperasian, bagan dikelompokkan kedalam jaring angkat
(lift net). Karena menggunakan cahaya untuk mengumpulkan ikan maka metode
penangkapan ikan dengan bagan disebut light fishing (Subani dan Barus, 1989).
Bagan termasuk kedalam light fishing yang menggunakan lampu sebagai alat
bantu untuk merangsang atau menarik perhatian ikan untuk berkumpul di bawah
cahaya lampu, kemudian dilakukan penangkapan dengan jaring yang telah
tersedia (Ayodhyoa, 1981). Selanjutnya dikatakan bahwa ikan tersebut
memberikan respon melalui rangsangan cahaya dan dimanfaatkan dalam
penangkapan atau pemanfaatan salah satu tingkah laku ikan untuk menangkap
ikan. Ada beberapa jenis ikan yang tertarik dengan cahaya dan berkumpul serta
ada juga jenis ikan yang menjahui cahaya dan menyebar.
Tipe kapal di Indonesia ada dua, pertama adalah bagan tancap yaitu bagan
yang ditancapkan secara tetap di dasar perairan dengan kedalaman 5-10 m. Tipe
kedua adalah bagan apung, yaitu bagan yang dapat berpindah dari satu daerah
penangkapan ke daerah penangkapan lainnya (Baskoro, 1999). Selanjutnya jenis
bagan apung ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi 4 jenis bagan, yaitu bagan
dengan satu perahu, bagan dengan dua perahu, bagan rakit, dan bagan dengan
menggunakan mesin.
Secara umum konstruksi unit penangkapan bagan perahu terdiri atas
kerangka kayu, waring/jaring serta perahu bermotor yang sekaligus sebagai alat
transportasi di laut. Jenis lampu yang digunakan oleh bagan sebagai atraktor untuk
memikat ikan, yaitu lampu petromaks, lampu neon, dan lampu merkuri. Cahaya
7
lampu pada bagan, berfungsi untuk menarik ikan agar berkumpul di sekitar perahu
kemudian dilakukan penangkapan dengan menggunakan jaring. Penggunaan
cahaya merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan
penangkapan ikan pada bagan perahu. Untuk itu maka nelayan di sekitar Polewali
menggunakan cahaya lampu dengan tenaga listrik yang menghasilkan iluminasi
yang tinggi.
Bagan perahu atau bagan bermotor adalah jenis alat tangkap yang
dioperasikan dengan cara menarik ke atas dari posisi vertikal yang dilengkapi
untuk menangkap ikan yang ada di atasnya dengan menyaring air. Bagan dalam
perkembangannya telah mengalami banyak perubahan bentuk maupun ukuran
sesuai dengan daerah penangkapannya (Subani dan Barus, 1989).
2.1.2 Alat tangkap
Di Indonesia bagan termasuk kategori alat tangkap yang produktif dan
banyak dioperasikan di perairan pantai. Para ahli mendefenisikan bagan
berdasarkan karakteristik alat tangkap bagan tersebut. Subani dan Barus (1989),
mengklasifikasikan
bagan
ke
dalam
jaring
angkat
(lift
net),
karena
pengoperasiannya dilakukan dengan menurunkan dan mengangkat jaring secara
vertikal. Sementara menurut Baskoro (1999), pengklasifikasian bagan ada 2 tipe
yaitu bagan tancap dan bagan apung.
Mata jaring bagan umumnya berukuran kecil, sekitar 0,5 cm (Sudirman,
2003). Ukuran mata jaring ini berkaitan erat dengan sasaran utama ikan yang
tertangkap yaitu teri yang juga berukuran kecil. Jika ukuran mata jaring terlalu
besar, maka ikan tersebut tidak tertangkap.
Adapun komponen alat tangkap bagan terdiri dari jaring bagan, rumah bagan
(anjang-anjang), lampu dan serok. Pada bagan terdapat alat penggulung atau
roller yang berfungsi untuk menurunkan atau mengangkat jaring (Subani dan
Barus, 1989). Ukuran alat tangkap bagan beragam mulai dari 13 × 2,5 × 1,2 m
hingga 29 × 29 × 17 m.
Mata jaring bagan umumnya berukuran kecil, sekitar 0,5 cm (Sudirman,
2003). Ukuran mata jaring ini berkaitan erat dengan sasaran utama ikan yang
tertangkap, yaitu teri yang juga berukuran kecil. Jika ukuran mata jaring terlalu
besar, maka ikan tersebut tidak tertangkap.
8
2.1.3 Nelayan
Nelayan pada perikanan bagan adalah orang yang ikut dalam operasi
penangkapan ikan secara langsung maupun tidak langsung. Nelayan merupakan
salah satu faktor yang sangat penting dalam usaha penangkapan ikan, karena
segala kegiatan operasi penangkapan tidak akan berjalan tanpa adanya tenaga
kerja. Dalam operasi penangkapan ikan, masing-masing nelayan memiliki tugas
tersendiri, sehingga operasi penangkapan ikan dapat berjalan dengan lancar.
Dalam pembagian tugas, kapten kapal memiliki tanggung jawab paling
besar terhadap kelancaran operasi penangkapan ikan. Berdasarkan tugasnya dalam
operasi penangkapan, nelayan dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu
kapten kapal yang bertugas sebagai nahkoda kapal, teknisi mesin yang bertugas
atas kelayakan dan kerusakan mesin kapal, juru masak yang bertugas menyiapkan
makanan untuk seluruh ABK, ABK lainnya yang bertugas melakukan seluruh
kegiatan operasi penangkapan ikan .
2.2 Metode Pengoperasian Bagan Perahu
Operasi penangkapan bagan umumnya dimulai pada saat matahari mulai
tenggelam. Metode pengoperasian bagan diawali dengan penurunan jaring sampai
kedalaman yang diinginkan. Selanjutnya lampu mulai dinyalakan untuk menarik
perhatian ikan agar berkumpul di bawah sinar lampu atau di sekitar bagan.
Pengangkatan jaring dilakukan apabila ikan yang terkumpul sudah cukup banyak
dan keadaan ikan-ikan tersebut cukup tenang. Jaring diangkat sampai berada di
atas permukaan air dan hasil tangkapan diambil dengan menggunakan serok
(Subani, 1972). Pengoperasian bagan tersebut menggunakan atraktor cahaya (light
fishing), sehingga alat ini tidaklah efesien apabila digunakan pada saat bulan
purnama. Dimana pada waktu bulan purnama ikan akan menyebar di kolom
perairan (Gunarso,1985), sehingga fungsi cahaya sebagai atraktor tidaklah efesien.
Pada bulan purnama, nelayan bagan tidak melakukan operasi penangkapan. Hal
senada juga diungkapkan oleh Subani dan Barus (1989), bahwa penangkapan ikan
menggunakan alat tangkap bagan hanya dilakukan pada malam hari, terutama
pada saat bulan gelap dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu
penangkapan. Menurut Iskandar et al. (2001), tahapan-tahapan metode
pengoperasian bagan adalah sebagai berikut :
9
1) Persiapan menuju fishing ground
Persiapan menuju fishing ground biasanya terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan dan persiapan terhadap segala sesuatu yang dibutuhkan dalam
pengoperasian bagan. Pemeriksaan dan perbaikan terutama dilakukan terhadap
lampu dan mesin kapal. Persiapan lain yang dianggap penting adalah kebutuhan
perbekalan operasi penangkapan seperti air tawar, solar, minyak tanah, garam, dan
bahan makanan.
2) Pengumpulan ikan
Ketika tiba di lokasi fishing ground dan hari menjelang malam, maka lampu
tersebut dinyalakan dan jaring biasanya tidak langsung diturunkan. Hingga tiba
saatnya ikan tersebut terlihat berkumpul di lokasi bagan atau ingin masuk kedalam
area cahaya lampu. Namun tidak menutup kemungkinan adapula sebagian nelayan
yang langsung menurunkan jaring.
3) Setting
Setelah menunggu beberapa jam dan ikan mulai terlihat berkumpul di lokasi
penangkapan, maka jaring tersebut diturunkan ke perairan. Jaring diturunkan
secara perlahan-lahan dengan memutar roller. Penurunan jaring beserta
tali
penggantung dilakukan hingga jaring mencapai kedalaman yang diinginkan.
Proses setting ini berlangsung tidak membutuhkan waktu yang begitu lama,
karena proses setting ini merupakan salah satu faktor tahapan penting dalam
penangkapan ikan, juga ditunjang dengan tenaga ABK yang sudah begitu ahli dan
profesional. Sehingga proses setting ini hanya membutuhkan waktu singkat.
Banyaknya setting tergantung pada keadaan cuaca dan situasi hasil tangkapan,
serta kondisi perairan pada saat operasi penangkapan.
4) Perendaman jaring (Soaking)
Selama jaring berada dalam air, nelayan melakukan pengamatan terhadap
keberadaan ikan di sekitar kapal untuk memperkirakan jaring akan diangkat.
Lama jaring berada di dalam perairan (perendaman jaring) bukan bersifat
ketetapan, karena nelayan tidak pernah menentukan dan menghitung lamanya
jaring di dalam perairan dan kapan jaring akan diangkat, namun hanya
10
berdasarkan penglihatan dan pengamatan adanya ikan yang berkumpul di bawah
cahaya lampu.
5) Pengangkatan jaring (Lifting)
Lifting dilakukan setelah kawanan ikan terlihat berkumpul di lokasi
penangkapan. Kegiatan lifting ini diawali dengan pemadaman lampu secara
bertahap, hal ini dimaksudkan agar ikan tersebut tidak terkejut dan tetap
terkonsentrasi pada bagian perahu di sekitar lampu yang masih menyala. Ketika
ikan sudah berkumpul di tengah-tengah jaring, jaring tersebut mulai ditarik ke
permukaan. Hingga akhirnya ikan tersebut akan tertangkap oleh jaring.
6) Brailing
Setelah bingkai jaring naik ke atas permukaan air, maka tali penggantung
pada ujung dan bagian tengah rangka dilepas dan dibawa ke satu sisi kapal, tali
kemudian dilewatkan pada bagian bawah kapal beserta jaringnya. Tali pemberat
ditarik ke atas agar mempermudah penarikan jaring dan lampu dihidupkan lagi.
Jaring kemudian ditarik sedikit demi sedikit dari salah satu sisi kapal ke atas
kapal. Hasil tangkapan yang telah terkumpul diangkat ke atas dek kapal dengan
menggunakan serok.
7) Penyortiran ikan
Setelah ikan diangkat di atas dek kapal, dilakukan penyortiran ikan.
Penyortiran ini dilakukan berdasarkan jenis ikan hasil tangkapan, berdasarkan
ukuran, dan lain-lain. Ikan yang telah disortir, langsung dimasukkan ke dalam peti
atau palka ikan untuk memudahkan pengangkutan.
2.3. Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil
Kawasan pelagis kecil terbagi secara horizontal dan vertikal. Secara
horizontal dibagi atas dua zona, yaitu zona neritik, mencakup massa air yang
terletak di atas paparan benua dan zona oseanik, yang meliputi seluruh perairan
terbuka lainnya. Secara vertikal terdiri atas zona epipelagik yang mempunyai
kedalaman 100-150 m atau lebih umum disebut zona tembus cahaya. Zona ini
merupakan kawasan terjadinya produktivitas primer yang penting bagi
kelangsungan kehidupan dalam laut. Kemudian, zona di sebelah bawah epipelagik
sampai pada kedalaman sekitar 700 m disebut zona mesopelagik. Pada kawasan
11
zona ini penetrasi cahaya kurang atau bahkan berada dalam keadaan gelap
(Nybakken 1988).
Organisme pelagis adalah organisme yang hidup di kolom air jernih jauh
dari dasar perairan. Organisme pelagis adalah organisme yang hidup di laut
terbuka lepas dari dasar laut dan menghuni seluruh dasar perairan lepas yang
dikenal dengan kawasan pelagis (Nybakken 1988). Direkorat Jenderal Perikanan
(1999) mengelompokkan ikan pelagis berdasarkan ukurannya menjadi dua jenis,
yaitu : (1) Jenis-jenis ikan pelagis besar yaitu jenis ikan pelagis yang mempunyai
ukuran panjang 100-250 cm (ukuran dewasa) antara lain tuna (Thunnus spp),
cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp), tongkol
(Euthynnus spp), setuhuk (Xiphias spp), dan lemadang (Coryphaena spp). Jenis
ikan pelagis besar kecuali tongkol biasanya berada di perairan dengan salinitas
yang lebih tinggi dan lebih dalam, (2) Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang
mempunyai ukuran panjang 5-50 cm (ukuran dewasa), terdiri dari 16 kelompok
dimana produksinya didominasi oleh 6 kelompok besar yang masing-masing
mencapai lebih dari 100.000 ton. Kelompok ikan tersebut adalah kembung
(Rastrelliger spp), layang (Decapterus spp), selar (Selaroides spp) dan lemuru
(Sardinella spp) dan teri (Stolephorus spp).
Hasil tangkapan bagan yang didaratkan di Polewali, Kabupaten Polewali
Mandar, Sulawesi Barat sangat beragam. Ikan pelagis kecil yang tertangkap oleh
bagan merupakan hasil tangkapan utama yaitu teri (Stolephorus spp), kembung
(Rastrelliger spp), dan layang (Decapterus spp).
2.3.1 Teri (Stolephorus spp)
Teri (Stolephorus spp) terdapat di seluruh peraian pantai Indonesia dengan
nama yang berbeda-beda seperti : teri (Jawa), bilis (Sumatera dan Kalimantan),
dan puri (Ambon). Sedikitnya ada sembilan jenis teri (Stolephorus spp) yang
terdapat di perairan Indonesia yaitu : Stolephorus heterolobus, Stolephorus devisi,
Stolephorus baganensis, Stolephorus dubiousus, Stolephorus indicus, Stolephorus
commersonii, Stolephorus insularis, dan Stolephorus buccaneezi. Ikan teri
berukuran 6-9 cm, misalnya Stolephorus heterolobus, Stolephorus insularis, dan
Stolephorus buccaneezi. Tetapi ada pula yang berukuran besar seperti Stolephorus
12
commeronii dan Stolephorus indicus yang dikenal sebagai teri kasar atau teri
gelagah yang ukuran tubuhnya dapat mencapai 17,5 cm (Nontji, 1993).
Ciri morfologi teri (Stolephorus spp) adalah bentuk badan bulat memanjang
(fusiform) hampir silinder, perut bulat dengan 3-4 sisik duri seperti jarum (sisik
abdominal), yang terdapat diantara sirip dada (pectoral), dan sirip perut (ventral).
Sirip ekor (caudal) bercagak dan tidak bergabung dengan sirip dubur (anal). Tapis
insang pada busur insang pertama bagian bawah berjumlah 21. Sisiknya kecil,
tipis dan sangat mudah terkelupas (Direktorat Jenderal Perikanan, 1990).
Klasifikasi teri menurut Saanin (1994) adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata;
Sub Phylum : Vertebrata;
Class : Pisces;
Sub Class : Teleostei;
Ordo : Malacopterygi;
Famili : Clupeidae;
Sub Famili : Engraulinae;
Genus : Stolephorus;
Species : Stolephorus spp
Sumber: Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992.
Gambar 2 Morfologi teri (Stolephorus spp).
Stolephorus spp termasuk ikan pelagis kecil yang menghuni pesisir dan
estuaria, tetapi beberapa jenis dapat hidup antara 10-15 ppt. Pada umumnya hidup
bergerombol sampai ratusan atau ribuan individu, terutama untuk jenis-jenis
ukuran kecil. Sebaliknya yang berukuran besar cenderung untuk hidup soliter,
hanya pada bulan-bulan tertentu ikan teri tersebut dapat tertangkap dalam
13
gerombolan kecil sekitar 100-200 ekor. Teri banyak memakan berbagai jenis
plankton, meskipun komposisinya tidak selalu sama untuk setiap spesies (Nontji,
1993). Pada ukuran 40 mm, ikan ini umumnya memanfaatkan fitoplankton dan
zooplankton berukuran kecil. Teri yang berukuran lebih dari 40 mm, banyak
memanfaatkan zooplankton ukuran besar.
Perairan barat Sumatera, Selat Malaka bagian selatan dan utara Sulawesi,
timur Sumatera merupakan daerah konsentrasi teri (Stolephorus spp). Wilayah
penyebarannya meliputi Bali (termasuk Selat Bali dan Nusa Tenggara Timur),
Maluku, Irian Jaya, serta selatan Jawa (Direktorat Jendral Perikanan 1990).
2.3.2 Kembung (Rastrelliger spp)
Secara umum ikan kembung (Rastrelliger spp) berbentuk cerutu, tubuh dan
pipinya ditutupi oleh sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih besar dari bagian
yang lain. Mata mempunyai kelopak yang berlemak. Tulang insang dan banyak
sekali terlihat seperti bulu jika mulut terbuka. Mempunyai dua buah sirip
punggung (dorsal), sirip punggung pertama terdiri dari atas jari-jari lemah dan
sama dengan sirip dubur (anal) tidak mempunyai jari-jari keras. Lima sampai
enam tambahan (finlet) terdapat dibelakang sirip dubur (anal) dan sirip punggung
(dorsal) kedua. Bentuk sirip ekor (caudal) bercagak dalam. Sirip dada (pectoral)
dengan dasar agak melebar dan sirip perut terdiri atas satu jari-jari keras dan jarijari lemah (Saanin, 1994). Klasifikasi ikan kembung sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata;
Class : Pisces;
Sub Class : Telestoei;
Ordo : Percomorphi;
Sub ordo : Scombridae;
Famili : Scomridae;
Genus : Rastrelliger;
Species : Rastrelliger brachysoma (Bleeker);
Rastrelliger neglatus (van Kampen);
Rastrelliger kanagurta (Cuvier);
Nama Indonesia : Kembung
14
Sumber: Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992.
Gambar 3 Morfologi kembung (Rastrelliger spp).
Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) biasanya ditemukan di
perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 32
ppt, sedangkan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dijumpai di
perairan dekat pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji, 1993). Ikan
kembung lelaki untuk pertama kali matang gonad berukuran rata-rata 20 cm
(Nurhakim, 1993). Ikan kembung perempuan untuk pertama kali matang gonad
berukuran 16 cm (Suhendrata dan Rusmadji, 1991).
Penyebaran utama ikan kembung (Rastrelliger spp) yaitu perairan barat,
timur dan selatan Kalimantan serta Malaka. Sedangkan daerah penyebarannya
mulai dari barat dan timur Sumatera, utara dan selatan Jawa, Nusa Tenggara, utara
dan selatan Sulawesi, Maluku dan Papua (Direktorat Jendral Perikanan, 1990).
2.3.3 Layang (Decapterus spp)
Diperairan Indonesia terdapat lima jenis layang yang umumnya ditemukan
yakni : Decapterus ruselli, Decapterus kurroides, Decapterus lajang, Decapterus
macrosoma, dan Decapterus maruadsi. Kelima spesies layang (Decapterus spp),
hanya Decapterus russelli yang mempunyai daerah penyebaran yang luas di
Indonesia mulai dari Kepualauan Seribu hingga Pulau Bawean dan Pulau
Masalembo. Decapterus lajang hidup di perairan yang dangkal seperti di laut
Jawa (termasuk Selat Sunda, Selat Madura, dan Selat Bali) Selat Makassar,
Ambon dan Ternate. Decapterus macrosoma banyak dijumpai di Selat Bali,
Labuhan dan Pelabuhan ratu. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran
besar, hidup di laut dalam seperti di laut Banda. Ikan ini dapat tertangkap pada
kedalaman 1000 meter atau lebih (Nontji, 1993).
15
Ikan ini memiliki bentuk seperti cerutu dan sisiknya sangat halus. Dengan
kondisi tubuh yang demikian, layang (Decapterus spp) mampu berenang di laut
dengan kecepatan tinggi. Decapterus ruselli mempunyai bentuk tubuh yang
memanjang dan agak pipih, sedangkan Decapterus macrosoma mempunyai
bentuk tubuh yang menyerupai cerutu. Keduanya memiliki bintik hitam pada
bagian tepi insangnya dan masing-masing terdapat sebuah sirip tambahan (finlet).
Pada bagian belakang garis sisik (lateral line) terdapat sisik yang berlingir (lateral
scute) (Saanin, 1994).
Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1994), adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata;
Sub Phylum : Vertebrata;
Class : Pisces;
Sub Class : Teleostei;
Ordo : Percomorphi;
Sub Ordo : Percoidea;
Divisi : Perciformes;
Sub Ordo : Carangi;
Genus : Decapterus;
Species : Decapterus ruselli, (Rupped);
Nama Indonesia : Layang
Sumber: Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992.
Gambar 4 Morfologi layang (Decapterus ruselli).
Decapterus ruselli memiliki sirip punggung pertama berjari-jari keras 8,
sirip punggung kedua berjai-jari keras 1 dan 30-32 jari lemah. Sirip dubur (anal)
16
terdiri atas dua jari-jari keras sedang satu jari-jari kers bergandengan dengan 2427 jari-jari lemah.
Decapterus spp hidup pada perairan dengan variasi salinitas yang sempit
(stenohaline) dengan salinitas berkisar 31-33 ppt. Makanan utamanya adalah
zooplankton, meskipun terkadang ikan kecil seperti teri (Stolephorus spp) dan
japuh (Dussumaria acuata) (Nontji, 1993).
2.4 Pengembangan Perikanan Bagan Perahu
Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan
dari suatu yang dinilai kurang kepada sesuatu yang dinilai lebih baik (Ihsan,
2000). Manurung et al. (1998), memberikan pengertian tentang pengembangan
sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk
(khususnya pedesaan) mengenai lingkungan sosial yang disertai dengan
meningkatnya taraf hidup mereka sebagai akibat penguasaan mereka. Dengan
demikian, pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan.
Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia
untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan
pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989).
Pengembangan produksi atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di masa
mendatang. Langkah-langkah yang harus dikaji dan kemudian diusahakan
pelaksanaanya adalah : (1) pengembangan, (2) pengembangan agroindustri,
pemasaran dan permodalan di bidang perikanan, (3) pengembangan kelembagaan
dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan dan (4) pengembangan sistem
informasi manajemen perikanan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002).
Menurut Monintja (2000), perlu adanya pertimbangan suatu teknologi yang
tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan perikanan. Pertimbanganpertimbangan
yang
akan
digunakan
dalam
pemilihan
teknologi
dapat
dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu teknologi penangkapan ikan ramah
lingkungan (TPIWL), teknologi penangkapan ikan yang secara teknis, ekonomis,
mutu dan pemasaran menguntungkan dan kegiatan penangkapan ikan yang
berkelanjutan.
Pembangunan perikanan juga tidak dapat dipacu terus tanpa melihat batas
kemampuan sumberdaya yang ada ataupun daya dukungnya. Pada perikanan yang
17
telah berkembang pesat upaya pengendalian sangat diperlukan dan upaya ini
bahkan lebih berharga dari perhitungan potensi itu sendiri. Kalau hal ini
dilaksanakan, maka berarti telah mencapai pembangunan perikanan yang
berkelanjutan, sehingga kelestarian sumberdaya dan kegiatan perikanan dapat
dijamin keberadaannya (Ihsan, 2000).
2.5 Fungsi Produksi
Menurut Teken dan Asnawi (1981), yang diacu dalam Rakam (1997),
bahwa hubungan teknis antara faktor produksi yang dihasilkan persatuan waktu
dengan jumlah faktor-faktor produksi yang digunakan, tanpa memperhatikan
harga-harga baik harga faktor-faktor produksi maupun produksi itu sendiri disebut
fungsi. Secara matematis fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai berikut :
Y= f(X1,X2,X3,…..,Xn) sedangkan (X1,X2,X3, ……Xn) merupakan faktor produksi
yang dipakai untuk menghasilkan produksi (Y). Fungsi di atas menerangkan
produksi yang dihasilkan tergantung dari faktor-faktor produksi, tapi belum
memberikan hubungan kuantitatif antara faktor-faktor produksi dengan produksi.
Hubungan tersebut harus dinyatakan dalam bentuk yang khas seperti fungsi CoobDouglass, fungsi linier atau fungsi kuadratik.
Menurut Supranto (1983), diantara fungsi-fungsi produksi yang umum
dipakai adalah fungsi linier dan analisis regresi, apabila dalam persamaan garis
regresi tercakup dua jenis variabel yaitu variabel tak bebas (dependent variable)
dan variabel bebas (independent variable). Oleh karenanya, regresi ini dinamakan
regresi linier berganda (multi linier regression). Variabel tak bebas (Y) dalam
regresi linier berganda tergantung pada dua atau lebih variabel bebas. Persamaan
garis tersebut dapat ditulis sebagai berikut :
Y = b0+ b1X1 + b2X2 + b3X3 + …..+ bnXn
Y dalam hal ini adalah variabel tak bebas sedangkan X adalah variabel bebas yang
nilainya diketahui, kemudian pengaruhnya terhadap Y dapat diperkirakan
sehingga nilai dapat diramalkan.
18
2.6 Model Produksi Surplus dan Model Bio-ekonomi
2.6.1 Model Produksi Surplus
Pendugaan biomassa ikan dipermudah menggunakan suatu model yang
dikenal dengan model surplus produksi. Model ini diperkenalkan oleh Graham
tahun 1935, tetapi lebih sering disebut sebagai model Schaefer (Sparre and
Venema 1999). Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk
menentukan tingkat upaya optimum (biasa disebut EMSY atau effort MSY), yaitu
suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari
tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut
hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield/MSY).
Model Schaefer lebih sederhana, karena hanya memerlukan data yang
sedikit, sehingga sering digunakan dalam estimasi biomassa ikan di perairan
tropis. Model Schaefer dapat diterapkan apabila tersedia data hasil tangkapan total
(berdasarkan spesies) dan catch per unit effort (CPUE) per spesies serta CPUE
berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre
and Venema 1999).
Pertambahan biomassa ikan dalam waktu tertentu di suatu wilayah
perairan, merupakan parameter populasi yang disebut produksi. Biomassa yang
diproduksi diharapkan dapat menggantikan biomassa yang hilang akibat
kematian, penangkapan maupun faktor alami. Apabila kuantitas biomassa yang
diambil sama dengan yang diproduksi, maka perikanan tersebut berada dalam
keadaan seimbang (equilibrium) (Azis 1989).
Menurut Schaefer (1957), diacu dalam Fauzi (2006), laju pertumbuhan
populasi merupakan fungsi dari pertumbuhan biomassa yang dipengaruhi oleh
ukuran kelimpahan stok (x), daya dukung alam (k) dan laju pertumbuhan
intrinsik (r). Laju pertumbuhan alami biomassa ikan yang tidak dieksploitasi
atau disebut sebagai fungsi pertumbuhan density dependent growth dapat
dinyatakan dalam persamaan berikut :
dx
= f (x )
dt
x⎞
⎛
= x.r ⎜1 − ⎟
⎝ k⎠
19
Keterangan :
dx/dt = Laju pertumbuhan biomassa
f(x)
= Fungsi pertumbuhan populasi biomassa
x
= Ukuran kelimpahan biomassa
r
= Laju pertumbuhan alami (intrinsik)
k
= Daya dukung alam (carrying capacity)
Persamaan
di
atas
dalam
literatur
perikanan
dikenal
dengan
pertumbuhan logistik (logistic growth model) yang pertama kali dikemukakan
oleh Verhulst tahun 1989. Persamaan tersebut dapat digambarkan pada
Gambar 5.
f (x)
MSY
0
½k
k
x
Gambar 5 Kurva pertumbuhan logistik (Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi
2006).
Gulland (1985), menguraikan bahwa maximum sustainable yield (MSY)
adalah hasil tangkap terbanyak berimbang yang dapat dipertahankan sepanjang
masa pada suatu intensitas penangkapan tertentu yang mengakibatkan biomas
sediaan ikan pada akhir suatu periode tertentu sama dengan sediaan biomas pada
permulaan periode tertentu tersebut. Maximum Sustainable Yield mencakup 3 hal
penting :
(1) Memaksimalkan kuantitas beberapa komponen perikanan
(2) Memastikan bahwa kuantitas tersebut dapat dipertahankan dari waktu ke
waktu
(3) Besarnya hasil penangkapan adalah alat ukur yang layak untuk menunjukkan
keadaan perikanan
20
Model surplus produksi yang digunakan untuk menentukan MSY dan
upaya penangkapan optimum ini menyangkut hubungan antara kelimpahan dari
sediaan ikan sebagai massa yang uniform dan tidak berhubungan dengan
komposisi dari sediaan seperti proporsi ikan tua atau besar. Kelebihan model
surplus produksi ini adalah tidak banyak memerlukan data, yaitu hanya data hasil
tangkapan dan upaya penangkapan atau hasil tangkapan per satuan upaya.
Persyaratan untuk analisis model surplus produksi adalah sebagai berikut (Sparre
& Venema 1999):
(1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap
relatif
(2) Distribusi ikan menyebar merata
(3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan
tangkap yang seragam
Asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi menurut Sparre
dan Venema (1999) adalah :
(1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium
Pada keadaan ekuilibrium, produksi biomassa per satuan waktu adalah
sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu)
ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam.
(2) Asumsi biologi
Alasan biologi yang mendukung model surplus produksi telah dirumuskan
dengan lengkap oleh Ricker 1975 sebagai berikut:
1) Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi berkurang, dan sering
terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang lebih kecil. Pada
kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan meningkatkan rekrutmen.
2) Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan menjadi
daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil. Setiap ikan
pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh makanan lebih sedikit,
dengan demikian dalam fraksi yang lebih besar makanan hanya digunakan
untuk mempertahankan hidup sedangkan dalam fraksi yang lebih kecil
digunakan untuk pertumbuhan.
21
3) Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan, terdapat
kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok
yang telah dieksploitasi.
(3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap
Pada model surplus produksi diasumsikan bahwa mortalitas penangkapan
proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini tidak selamanya benar,
sehingga kita harus memilih upaya penangkapan yang berhubungan langsung
dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran)
yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan.
2.6.2 Model bio-ekonomi
Gordon (1954) diacu dalam Fauzi (2004), menyatakan bahwa sumberdaya
ikan pada umumnya bersifat akses terbuka (open acces). Pada perikanan yang
tidak terkontrol akan terjadi economic over fishing, dimana faktor input dari
perikanan telah digunakan melebihi kapasitasnya untuk memanen stok ikan.
Menurut Schaefer (1975) diacu dalam Fauzi (2004), perubahan cadangan
sumberdaya ikan secara alami dipengaruhi oleh pertumbuhan logistik ikan, yang
secara matematis dapat dinyatakan dalam sebuah fungsi sebagai berikut :
dx/dt = f(x)
= x.r (1-x/k) ……………………………………………….........
(1)
Keterangan:
x
= Ukuran kelimpahan biomas ikan
k
= Daya dukung alam
r
= Laju pertumbuhan instrinsik
f(x)
= Fungsi pertumbuhan biomas ikan
dx/dt = Laju pertumbuhan biomas
Apabila sumberdaya tersebut dimanfaatkan melalui kegiatan penangkapan,
maka ukuran kelimpahan akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut
merupakan selisih antar laju pertumbuhan biomas dengan jumlah biomas yang
ditangkap, sehingga secara hubungan fungsional, dinyatakan sebagai berikut
(Schaefer, 1957 diacu dalam Fauzi, 2004):
dx/dt = f(x) – h …………………………………………………….…
Keterangan :
(2)
22
h = Hasil tangkapan
Hasil tangkapan, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
h = q.E.x ……………………………………………………...….….
(3)
Keterangan :
q
= Koefesien teknologi penangkapan
E
= Tingkat upaya penangkapan (effort)
Pada kondisi keseimbangan, perubahan kelimpahan sama dengan nol
(dx/dt = 0), dengan asumsi koefesien teknologi sama dengan satu (q=1) maka
diperoleh hubungan antara laju pertumbuhan biomas dengan hasil tangkapan.
Hubungan tersebut secara matematis dinyatakan dengan menggabungkan
persamaan (1) dengan persamaan (3), sehingga diperoleh persamaan baru sebagai
berikut (Schaefer, 1957 diacu dalam Fauzi, 2004):
dx/dt = f(x) – h = 0
h = f(x)
q.E.x = r.x (1-x/k) ................................................................................
(4)
sehingga hubungan antara ukuran kelimpahan (stok) dengan tingkat upaya dapat
dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:
x = k-k/r.E ...........................................................................................
(5)
Menurut Schaefer (1957) diacu dalam Fauzi (2004), dengan mensubsitusikan
persamaan (4) ke dalam persamaan (5), maka diperoleh fungsi produksi lestari
perikanan tangkap yang menggambarkan hubungan antar tingkat upaya (effort)
dengan hasil tangkapan (produksi) lestarinya, sehingga secara matematis
persamaannya menjadi:
h = k.E – (k/r) E2 .................................................................................
(6)
Analisis fungsi produksi lestari perikanan tangkap yang dikembangkan
oleh Schaefer (model Schaefer), hanya dapat menentukan tingkat pemanfaatan
maksimum secara lestari berdasarkan aspek biologi, tetapi belum mampu
menetapkan tingkat pemanfaatan maksimum yang lestari secara ekonomi. Untuk
itu Gordon mengembangkan model Schaefer memasukkan faktor harga per satuan
hasil tangkap dan biaya per satuan upaya penangkapan, maka persamaan
keuntungan dari usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan menjadi :
π = TR – TC ……………………………………………………………...
(7)
23
= p.h – c.E
Keterangan :
π = Keuntungan pemanfaatan sumberdaya
TR = Penerimaan total
c
= Biaya penangkapan ikan per satuan upaya
p = Harga rata-rata hasil tangkapan
Dalam kondisi open access, tingkat keseimbangan akan tercapai pada saat
penerimaaan total (TR) sama dengan biaya total (TC), dengan tingkat upaya =EOA
(Gambar 6). Menurut Gordon kondisi tersebut disebut juga sebagai “bioeconomic
equiblirium of open access fishery”. Pada tingkat upaya di bawah EOA,
penerimaan total lebih besar dari biaya totalnya, sehingga pelaku perikanan akan
lebih banyak tertarik untuk meningkatkan upaya penangkapan ikannya. Pada
tingkat upaya di atas EOA, biaya total lebih besar dari penerimaan total, sehingga
mendorong pelaku perikanan untuk mengurangi upaya, dengan demikian hanya
pada tingkat upaya EOA keseimbangan akan tercapai.
Revenue/ cost
MSY
MEY
TC
B
A
TR = p.Y (E)
C
EMEY
0
EMSY
E0A
Effort
Revenue/ cost
AR
MR
0
EMEY
c = MC = AC
E0A
Sumber: Fauzi, 2004.
Gambar 6 Keseimbangan bio-ekonomi Gordon-Schaefer.
Effort
24
Gambar 6 menunjukkan bahwa keuntungan maksimum akan dicapai pada
tingkat upaya Emey, dimana jarak vertikal antara penerimaan total dan biaya total
mencapai tingkat yang paling tinggi. Tingkat EMEY disebut sebagai maximum
economic sustainable yield (MEY). Apabila tingkat upaya pada keseimbangan
open acces (EOA) dibandingkan dengan tingkat upaya pada saat MEY (EMEY),
ternyata tingkat upaya yang dibutuhkan pada keseimbangan open access, jauh
lebih banyak dari pada tingkat upaya pada saat MEY, ini berarti bahwa pada
keseimbngan open access telah terjadi penggunaan sumberdaya yang berlebihan,
yang menurut Gordon disebut sebagai economic over fishing.
2.7 Aspek Sosial
Ihsan (2000), menyatakan bahwa analisis aspek sosial perikanan tangkap
meliputi penyerapan tenaga kerja per unit penangkapan atau jumlah tenaga kerja
per unit penangkapan, penerimaan per unit penangkapan atau penerimaan nelayan
yang diperoleh dari hasil per unit yaitu hasil bagi antara sistem bagi hasil dengan
jumlah nelayan personil penangkapan, dan kemungkinan kepemilikan unit
tangkap ikan untuk nelayan yang diperoleh dari penerimaan nelayan per tahun
dibagi investasi dari setiap unit penangkapan. Monintja et al. (1986),
mengemukakan bahwa aspek sosial yang penting diperhatikan dalam pemilihan
teknologi penangkapan ikan adalah penerimaan oleh nelayan (pengoperasian alat
tangkap tidak menimbulkan friksi atau keresahan nelayan yang telah ada),
ketersedian tenaga kerja (pendidikan dan pengalaman) serta memberikan
pendapatan yang sesuai.
Permasalahan utama usaha perikanan adalah sifat common property
sumberdaya ikan, sehingga upaya seorang nelayan menimbulkan suatu biaya yang
tidak diperhitungkan terhadap seluruh nelayan. Hal ini berpotensi menimbulkan
friksi sosial antara nelayan dalam pemilihan teknologi penangkapan ikan. Oleh
karena itu evaluasi terhadap perikanan tangkap yang akan dikembangkan
hendaknya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Tingkat
partisipasi angkatan kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor demografi, sosial, dan
ekonomi. Faktor ini antara lain adalah umur, status perkawinan, tingkat
pendidikan, daerah tempat tinggal (desa/kota), dan jumlah pendapatan.
25
2.8 Analisis Investasi
Investasi adalah usaha menanamkan faktor-faktor produksi langka dalam
proyek tertentu, baik yang bersifat baru sama sekali atau perluasan proyek. Tujuan
utamanya yaitu memperoleh manfaat keuntungan dan atau non keuangan yang
layak di kemudian hari. Investasi dapat dilakukan oleh perorangan, perusahaan
swasta maupun badan-badan pemerintah (Sutojo, 2000).
Analisis investasi dapat dilakukan dengan pendekatan, tergantung pihak
yang berkepentingan langsung dalam proyek yaitu :
(1) Analisis finansial, dilakukan apabila yang berkepentingan langsung dalam
proyek adalah individu atau kelompok individu yang bertindak sebagai investor
proyek. Dalam hal ini, maka kelayakan proyek dilihat dari besarnya manfaat
bersih tambahan yang diterima investor tersebut (Kadariah, 1978).
(2) Analisis ekonomi, dilakukan apabila yang berkepentingan langsung dalam
proyek adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini,
maka kelayakan proyek dilihat dari besarnya manfaat bersih tambahan yang
diterima oleh masyarakat (Kadariah, 1988).
Analisis finansial penting artinya dalam memperhitungkan intensif bagi
orang-orang yang turut dalam menyukseskan proyek, sebab tidak ada gunanya
untuk melaksanakan proyek perikanan misalnya, yang menguntungkan dari sudut
perekonomian secara keseluruhan, jika para nelayan yang menjalankan aktifitas
produksi tidak bertambah baik keadaannya (Edris, 1983).
Analisis ekonomi yang diperhatikan adalah hasil total atau produktivitas
atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam proyek
untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa melihat pihak
mana yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan pihak mana dalam
masyarakat yang menerima hasil dari proyek tersebut (Kadariah, 1978).
Untuk mencari suatu ukuran menyeluruh tentang baik tidaknya sesuatu
proyek telah dikembangkan berbagai indeks. Indeks-indeks tersebut disebut
investment criteria (Kadariah, 1978). Hakekat dari semua kriteria tersebut adalah
mengukur hubungan antara manfaat dan biaya dari proyek. Setiap kriteria
mempunyai kelemahan dan kelebihan, sehingga dalam menilai kelayakan usaha
proyek, sering digunakan lebih dari satu kriteria. Dari beberapa kriteria yang ada,
26
diantaranya adalah Return Of Investment (ROI), dan Break Even Point (BEP).
Kedua kriteria digunakan untuk menentukan diterima tidaknya suatu usulan
proyek dengan keuntungan masing-masing.
1) Return Of Investment (ROI)
Peluang pengembangan usaha tidak terlepas dari pertimbangan ekonomi,
diantaranya besar keuntungan dan lama waktu pengambilan investasi. Return of
investment adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan keuntungan.
Perhitungan terhadap ROI dilakukan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang
diperoleh dibandingkan dengan besarnya investasi yang ditanamkan (Rangkuti
2001).
2) Break Even Point (BEP)
Analisis break event point atau titik pulang pokok (impas) adalah suatu
metode yang mempelajari hubungan antara biaya, keuntungan dan volume
penjualan yang dikenal juga dengan analisis CPV (cost-profit-volume). Analisis
ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kegiatan minimal yang harus dicapai
dimana pada tingkat tersebut usaha tidak mengalami keuntungan ataupun
kerugian. Analisis ini dilakukan dengan dua cara yaitu : (1) untuk nilai produksi
dan (2) nilai jual ikan (harga dalam rupiah).
Dalam penentuan kelayakan usaha yang dilakukan dengan BEP (TR = TC)
maka keuntungan usaha dapat dicapai jika produksi dan nilai jual ikan berada di
atas nilai BEP dan akan mengalami kerugian jika berada di bawah nilai BEP
(Ibrahim, 2003).
27
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Pengumpulan data dilaksanakan bulan Juli-September 2007 yaitu di
Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Pemilihan lokasi
penelitian tersebut didasarkan pada pertimbangan ketersediaan data maupun
eksesibilitas yang baik dalam mendukung pelaksanaan penelitian (Gambar 7).
119 00’
119 30’
3 30’
N
W
E
S
1: 250.000
Legenda
: Lokasi penelitian
: Fishing ground
4 00’
: Garis batymetri
: Fishing base
Gambar 7 Lokasi daerah penelitian.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku identifikasi ikan,
kuisioner, kamera dan alat tulis menulis. Software yang digunakan adalah
Microsoft Word, Excel, Maple VIII, dan SPSS 12. Buku identifikasi digunakan
untuk melakukan identifikasi setiap spesies yang tertangkap oleh bagan selama
penelitian berlangsung. Kuisioner dengan nelayan dan pedagang pengumpul
serta juragan kapal mencakup hasil tangkapan, alat tangkap, wilayah
penangkapan, pemasaran dan lain-lain. Untuk melakukan pengolahan data
digunakan satu unit Personal Computer (PC). Peralatan lain seperti current meter
untuk mengukur suhu dan kecepatan arus, hand refractormeter untuk mengukur
salinitas, kamera digital sebagai alat dokumentasi, timbangan untuk mengukur
berat ikan dan data pendukung lainnya. Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah jenis ikan yang tertangkap oleh bagan.
28
3.3 Metode Penelitian
Berdasarkan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian, maka metode
yang digunakan adalah metode survai yaitu pengamatan secara langsung di
lapangan, serta dilakukan wawancara langsung dengan nelayan setempat dengan
menggunakan kuesioner. Penggunaan metode survai dalam penelitian ini sangat
tepat karena kajian tentang teknologi penangkapan dan pengembangan usaha
perikanan membutuhkan tinjauan langsung atau pengamatan langsung mengenai
keadaan aktual di lapangan dari berbagai pelaku (stakeholder) yang terlibat dalam
sistem bisnis perikanan.
3.4 Batasan Penelitian
3.4.1 Lingkup penelitian
Objek penelitian adalah unit penangkapan bagan yang memiliki ukuran
yang hampir seragam yaitu secara umum berukuran P × L × T adalah 21 × 2,1 ×
1,8 m. Adapun ukuran alat tangkap (waring) yaitu 21 × 21 × 11 m.
Batasan untuk lokasi fishing base yaitu daerah Ujun dan perkampungan
nelayan yaitu Tonyaman. Kedua tempat ini merupakan tempat bersandar dan
berlabuhnya bagan perahu dan merupakan salah satu basis perkampungan bagi
nelayan bagan dan juga tempat pelelangan ikan pada saat ikan didaratkan atau
dijual.
3.4.2 Sumberdaya ikan
Batasan untuk sumberdaya ikan yaitu perikanan bagan perahu berbasis
sumberdaya ikan pelagis kecil. Adapun jenis ikan hasil tangkapan utama bagan
antara lain teri (Stolephorus spp), kembung (Rastrelliger spp), layang (Decapterus
ruselli). Sedangkan hasil tangkapan sampingan seperti selar bentong (Selaroides
spp), tembang (Sardinella spp), layur (Trichiurus savala), kerong-kerong
(Therapon theraps), rejum (Sillago sihama), peperek (Leiognathus spp), japuh
(Dussumeria acuta), rambeng (Dipterygonosus spp).
3.4.3 Aspek sosial
Batasan parameter sosial meliputi penyerapan tenaga kerja, latar belakang
pendidikan, penerimaan nelayan terhadap unit penangkapan bagan dan
kelembagaan perikanan bagan.
29
1) Penyerapan tenaga kerja
ƒ
Jumlah nelayan yang bekerja dalam operasi penangkapan ikan pada bagan
yaitu berkisar antara 9-10 orang per kapal.
ƒ
Tenaga kerja yang diserap diluar dari operasi penangkapan bagan misalnya
kuli angkut, pengumpul ikan, pedagang dan lain-lain.
2) Latar belakang pendidikan
ƒ
Tingkat pendidikan nelayan secara formal maupun non formal serta
penyuluhan-penyuluhan dari dinas setempat.
3) Penerimaan nelayan lain terhadap bagan
ƒ
Terjadinya konflik atau tidak antar nelayan bagan dengan alat tangkap lain.
4) Kelembagaan perikanan bagan
Lembaga yang terkait dalam perikanan bagan yaitu kelembagaan
pemerintah, bank, koperasi dan kelompok nelayan.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan tujuan penelitian yang akan dicapai dan metode penelitian
yang digunakan yaitu dengan cara pengukuran dan observasi langsung di
lapangan maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis
adalah sebagai berikut :
1) Data primer : yaitu data yang dikumpulkan dari juragan kapal (pemilik
modal), kapten kapal, nelayan bagan perahu (ABK) serta orang-orang yang terkait
yaitu dengan cara pengamatan langsung dan wawancara dengan menggunakan
kuesioner yang telah disusun sesuai dengan keperluan analisis dan tujuan
penelitian. Data yang dikumpulkan menyangkut kegiatan usaha penangkapan ikan
yaitu (1) Aspek biologi meliputi : komposisi jenis hasil tangkapan, tingkat
pemanfaatan, produksi hasil tangkapan dan musim penangkapan; (2) Aspek teknis
meliputi: metode operasional kapal, ukuran kapal, tenaga penggerak yang
digunakan, ukuran alat penangkapan dan lain-lain yang berkaitan dengan aspek
teknis dari bagan perahu; (3) Aspek sosial meliputi : jumlah nelayan yang terserap
serta mengetahui konflik dari alat tangkap yang lain; (4) Aspek ekonomi meliputi
: biaya investasi, biaya operasional, biaya perawatan dan nilai produksi.
2) Data sekunder : yaitu data penunjang yang dikumpulkan dari pemerintah
daerah, dinas perikanan, kantor statistik Kabupaten Polewali Mandar, kantor
30
Propinsi Sulawesi Barat serta instansi lain yang berkaitan dengan objek penelitian,
dan literatur pendukung lainnya (studi pustaka). Data yang dikumpulkan
mencakup keadaan geografis daerah penelitian, keadaan umum perikanan tangkap
di Kabupaten Polewali Mandar, perkembangan jumlah kapal atau perahu di
Kabupaten
Polewali Mandar, perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten
Polewali Mandar, perkembangan jumlah unit penangkapan menurut jenis alat
tangkap di Kabupaten Polewali Mandar, produksi perikanan yang didaratkan di
Kabupaten Polewali serta musim penangkapan ikan (Tabel 1).
Tabel 1 Cara pengumpulan data di lapangan
No
Jenis Data
Pengamatan
langsung
Sumber
Data
sekunder
Teknik
pengumpulan
Output
1.
Aspek
biologi
Komposisi jenis Referensi
hasil tangkapan, jenis hasil
tangkapan.
tingkat
pemanfaatannya,
produksi hasil
tangkapan, dan
lain-lain.
Wawancara
nelayan dan
kuesioner.
Hasil
tangkapan
2.
Aspek
teknis
Aspek-aspek
teknis terhadap
produksi hasil
tangkapan.
Wawancara
nelayan dan
kuesioner.
Teknis
operasi
3.
Aspek
sosial
Jumlah nelayan,
terjadinya
konflik atau
tidak, diterima
atau tidaknya
dimasyarakat.
Wawancara
nelayan dan
kuesioner.
Potensi
konflik
4.
Aspek
ekonomi
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
aspek ekonomi.
Wawancara
nelayan dan
kuesioner.
Kelayakan
usaha
5.
Keadaan
geografis
penelitian
Keadaan
geografis dan
topografinya.
6.
7.
Wawancara
Dinas
perikanan dan dengan dinas
perikanan.
referensi.
Keadaan
geografis
Keadaan umum
perikanan tangkap
Wawancara
Dinas
perikanan dan dengan dinas
perikanan
referensi.
Keadaan
perikanan
tangkap
Perkembangan jumlah
Jumlah unit
Wawancara
31
unit penangkapan
penangkapan. dengan dinas
perikanan.
8.
Produksi perikanan
yang didaratkan
Wawancara
Dinas
perikanan dan dengan dinas
perikanan.
referensi.
Produksi
perikanan
9.
Musim dan
daerah penangkapan
Wawancara
Dinas
perikanan dan dengan dinas
perikanan.
referensi.
Musim dan
daerah
penangkapan
Data yang dikumpulkan untuk masing-masing aspek kajian (aspek biologi,
teknis, sosial dan ekonomi) adalah sebagai berikut:
3.5.1 Aspek biologi
Pengukuran parameter biologi pada penelitian ini dilakukan terhadap
sumberdaya ikan sebagai salah satu sampel penelitian. Beberapa parameter
biologi yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini dapat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Pengukuran parameter biologi terhadap sumberdaya ikan
No
Parameter Biologi
Uraian
1.
Komposisi jenis hasil Jenis-jenis hasil tangkapan ikan, berupa jenis
ikan yang menjadi target spesies dan jenis hasil
tangkapan
tangkapan sampingan (by - catch).
2.
Tingkat pemanfaatan
Status pemanfaatan sumberdaya ikan yang
diperoleh dengan membandingkan potensi lestari
dan produksi lestari.
3.
Produksi hasil
tangkapan
Produksi hasil tangkapan (per trip, per bulan,
dan per tahun).
4.
Musim penangkapan
Musim penangkapan meliputi musim puncak,
musim biasa dan musim paceklik.
3.5.2 Aspek teknis
Pengukuran parameter teknis dilakukan pada kapal/perahu dan alat
penangkapan ikan. Beberapa parameter teknis yang akan dikumpulkan pada
penelitian ini dapat disajikan pada Tabel 3.
32
Tabel 3 Pengukuran parameter teknis kapal dan alat penangkapan ikan
No
Parameter Teknis
Uraian
1.
Ukuran kapal/perahu
Pengukuran dilakukan untuk mengetahui
panjang, lebar dan tinggi kapal/perahu yang
digunakan oleh nelayan yang tentunya
berkaitan dengan GT, jangkauan daerah
penangkapan serta kapasitas produksi.
2.
Tenaga penggerak
Tenaga penggerak yang digunakan meliputi
mesin utama dan mesin tambahan untuk
mengetahui ukuran tonase, merek mesin, dan
kecepatan maksimum dari tenaga penggerak.
3.
Operasional kapal
Operasional kapal untuk mengetahui jumlah
hari operasi (per trip, per bulan, dan per
tahun), penyebab tidak beroperasi; metode
pengoperasian;
Bahan
bakar
yang
digunakan, dan lain-lain.
4.
Ukuran alat penangkapan
ikan
Pengukuran alat penangkapan ikan seperti
dimensi (panjang dan lebar) dan pengukuran
mata jaring (mesh size); bahan jaring; nama
umum alat tangkap dan daerahnya.
5.
Jumlah lampu
Pengukuran dilakukan untuk mengetahui
jumlah lampu yang digunakan dalam operasi
penangkapan ikan dan keterkaitan lampu
terhadap hasil tangkapan.
3.5.3 Aspek sosial
Pengukuran parameter sosial dalam penelitian ini diarahkan kepada nelayan
sebagai pelaku utama dalam kegiatan penangkapan ikan. Beberapa parameter
sosial yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat disajikan pada Tabel 4.
33
Tabel 4 Pengukuran parameter sosial pada nelayan yang menggunakan unit
penangkapan bagan
No
Parameter Sosial
Uraian
1.
Penyerapan tenaga
kerja pada unit
penangkapan bagan
Banyaknya nelayan yang bekerja dalam setiap
kegiatan operasi penangkapan ikan pada
perikanan bagan.
2.
Latar belakang
pendidikan
Tingkat pendidikan nelayan bagan.
3.
Persepsi nelayan
terhadap bagan
Penerimaan nelayan terhadap unit penangkapan
ikan antar nelayan bagan, alat tangkap lain dan
masyarakat setempat.
4.
Konflik sosial
Konflik yang terjadi antar nelayan bagan dengan
alat
tangkap
lain,
manajemen
bagan,
kelembagaan/ instansi, stakeholder yang terkait
dalam perikanan bagan serta solusi dalam
menyelesaikan konflik sosial dalam perikanan
bagan.
5.
Kelembagaan
perikanan bagan
Lembaga yang terkait dalam perikanan bagan
meliputi : kelembagaan pemerintah, bank,
koperasi dan kelompok nelayan.
6.
Sistem bagi hasil
Sistem bagi hasil pelaku perikanan bagan.
3.5.4 Aspek ekonomi
Beberapa parameter ekonomi yang dikumpulkan dalam penelitian ini
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Pengukuran parameter ekonomi terhadap unit penangkapan bagan
No
Parameter Ekonomi
Uraian
1.
Biaya investasi
Biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan
kapal/perahu, alat penangkapan ikan, mesin dan
perlengkapan lainnya.
2.
Biaya operasional
Biaya yang dikeluarkan saat kegiatan operasional
penangkapan dilaksanakan seperti Bahan Bakar
Minyak (BBM), perbekalan dan es.
3.
Biaya perawatan
Biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan
kapal/perahu, alat penangkapan ikan, mesin dan
perlengkapan lainnya.
4.
Nilai produksi
Berat produksi dikali harga persatuan berat pada
tingkat harga produsen, dinyatakan dalam rupiah.
34
3.6 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini digunakan beberapa analisis yaitu: (1) Analisis fungsi
produksi; (2) Pendugaan parameter biologi; (3) Pendugaan parameter ekonomi;
(4) Kelayakan usaha.
3.6.1 Analisis fungsi produksi
Analisis fungsi produksi yang sering dilakukan oleh para peneliti untuk
memperoleh informasi hubungan antara faktor produksi dapat digunakan dengan
fungsi Cobb Douglas, fungsi linear atau fungsi kuadratik. Umumnya yang sering
dipakai adalah fungsi linear dengan analisis regresi (Steel and Torrie 1981).
Peubah Y disebut sebagai peubah tidak bebas, sedangkan peubah X disebut
peubah bebas. Apabila lebih dari satu peubah maka disebut dengan garis regresi
linear berganda. Hubungan antara faktor-faktor produksi dengan produksi unit
penangkapan bagan perahu dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan
persamaan regresi linear berganda (Steel and Torrie 1981) dan menggunakan
program SPSS 12. Adapun persamaan sebagai berikut:
Y = bo+b1X1+b2X2+b3X3+…….bnXn+e
dimana :
Y = Nilai dugaan produksi atau nilai variabel tak bebas
bo = Peubah pengganggu (intersep)
bi = Koefisien regresi
Xi = Koefisien produksi yang digunakan
n = Jumlah variabel
e = Kesalahan
Variabel yang ditentukan dan diukur di lapangan adalah:
1. Variabel tak bebas : hasil tangkapan (Y)
Hasil tangkapan yang dimaksud adalah jumlah hasil tangkapan yang
diperoleh dalam satu tahun. Satuan ukuran yang digunakan dalam hasil tangkapan
adalah ton/tahun.
2. Variabel bebas (X)
Variabel bebas yang digunakan sebagai faktor-faktor teknis produksi dalam
penangkapan bagan perahu adalah jumlah tenaga karja (ABK), jumlah bahan
35
bakar, panjang jaring, tinggi jaring, jumlah hari tangkapan dan ukuran kapal.
(1) Jumlah tenaga karja (X1)
Tenaga kerja yang dimaksud adalah jumlah jumlah nelayan yang ikut
dalam kegiatan penangkapan. Tenaga kerja merupakan satu unsur utama dalam
operasi penangkapan, sehingga dimasukkan dalam faktor teknis produksi.
(2) Jumlah bahan bakar (X2)
Bahan bakar merupakan salah satu faktor pada kegiatan penangkapan ikan
yang dipakai dalam motorisasi. Bahan bakar yang dihitung adalah jumlah rata-rata
bahan bakar yang digunakan tiap trip dalam satu tahun. Satuan yang digunakan
adalah liter/tahun.
(3) Panjang jaring (bagan) (X3)
Panjang jaring (bagan) yang dimaksud adalah panjang ukuran jaring
sebelum digunakan di dalam air. Panjang jaring diduga mempunyai hubungan
yang nyata terhadap hasil tangkapan. Pengukuran panjang jaring (bagan) dengan
satuan meter.
(4) Tinggi jaring (bagan) (X4)
Tinggi jaring (bagan) yang dimaksud adalah ukuran tinggi jaring bukan di
dalam air. Tinggi jaring diduga mempunyai hubungan yang nyata terhadap hasil
tangkapan. Pengukuran tinggi jaring dengan satuan meter.
(5) Jumlah hari tangkapan (X5)
Jumlah hari tangkapan yang dimaksud adalah jumlah trip operasi
penangkapan pukat cincin (mini purse seine) yang menggunakan satuan hari.
(6) Ukuran kapal (X6)
Ukuran kapal merupakan bobot kapal yang dinyatakan dalam gross tonage
(GT). Menurut Nomura and Yamazaki (1977), pengukuran gross tonage kapal
menggunakan rumus:
GT = L × B × D × C × 0,353
Keterangan :
L = Panjang kapal (meter)
B = Lebar kapal (meter)
D = Dalam kapal (meter)
C = Konstanta bahan kapal (kayu = 0,55)
36
(7) Jumlah lampu (X7)
Jumlah lampu merupakan banyaknya lampu yang digunakan dalam operasi
penangkapan ikan.
Penggunaan hubungan antara faktor-faktor fungsi produksi dengan hasil
tangkapan, diuji dengan pengujian hipotesis yang menggunakan uji statistik.
Pengujian yang dilakukan terhadap pengaruh faktor produksi sebagai berikut:
pengujian pengaruh bersama-sama faktor teknis produksi yang digunakan
terhadap produksi (Y) di lakukan dengan uji F yaitu :
H0 : bi= 0 (untuk i=1,2,3,......,n). Ini berarti antara hasil tangkapan (Y) dengan
faktor teknis produksi (Xi) tidak ada hubungan yang nyata.
H1 : minimum salah satu bi≠ 0 (untuk i= 1,2,3,.....,n). Ini berarti bahwa hasil
tangkapan (Y) tergantung terhadap faktor teknis produksi (Xi) secara bersamasama.
Jika : F hitung > Ftabel
H0 ditolak
F hitung < Ftabel
H0 diterima
Pengujian pengaruh masing-masing faktor teknis produksi dilakukan
dengan uji t- student yaitu :
H0 : bi = 0 (untuk i = 1,2,3,.....,n)
Ini berarti antara hasil tangkapan (Y) dengan faktor teknis produksi (Xi) tidak ada
hubungan yang nyata.
H1= bi ≠ 0 (untuk i = 1,2,3,.....,n)
Ini berarti bahwa hasil tangkapan (Y) memiliki hubungan yang nyata terhadap
faktor teknis produksi (Xi).
Jika t hit > t tab
t hit < ttab
H0 ditolak
H0 diterima
Hal ini berarti bahwa jika H0 ditolak pada selang kepercayaan tertentu,
maka faktor teknis produksi (Xi) yang bersangkutan berpengaruh nyata terhadap
perubahan produksi (Y). Sebaliknya, jika H0 diterima pada selang kepercayan
tertentu, maka faktor teknis produksi (Xi) yang bersangkutan tidak berpengaruh
nyata terhadap perubahan produksi (Y).
37
Uji- F digunakan untuk mengetahui pengaruh seluruh faktor produksi (Xi)
secara bersama-sama terhadap produksi (Y), sedangkan untuk pengujian hipotesis
mengenai koefisien regresi parsial digunakan uji t-student.
3.6.2 Pendugaan parameter biologi
Metode surplus produksi merupakan salah satu metode untuk menentukan
tingkat upaya penangkapan optimum, yaitu kegiatan penangkapan yang
menghasilkan tangkapan maksimum tanpa mempengaruhi produktivitas populasi
ikan dalam waktu panjang. Hubungan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan
dilihat dengan menggunakan metode surplus produksi Schaefer (Sparre and
Venema 1999).
Hubungan fungsi tersebut adalah :
Y = α + βx + e
dimana : Y = Peubah tak bebas (CPUE) dalam kg/unit
x = Peubah bebas (effort) dalam unit kapal
e = Simpangan
α,β = Parameter regresi penduga nilai a dan b.
Kemudian diduga dengan fungsi dugaan, yaitu : Y= a + bx
Nilai a dan b dapat ditentukan menggunakan rumus :
a=
∑ y − b∑ x
n
b=
n∑ xy − ∑ x∑ y
n∑ x2 − (∑ x)2
Selanjutnya dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
1) Hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan (f),
CPUE = a − bf
2) Hubungan antara hasil tangkapan (C) dengan upaya penangkapan (f),
C = af − bf
3) Upaya penangkapan optimum (fopt) diperoleh dengan cara menyamakan
turunan pertama hasil tangkapan terhadap upaya penangkapan sama dengan
nol, adalah sebagai berikut :
C = af − bf
C ' = a − 2bf = 0
f opt = a / 2b
38
4) Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan cara mensubtitusikan
nilai upaya penangkapan optimum ke dalam persamaan (2)
Cmax = a ( a / 2b) − b( a 2 / 4b 2 )
MSY = a 2 / 4b
5) CPUE optimum diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama hasil
tangkapan terhadap CPUE sama dengan nol
CPUE opt = a / 2 atau CPUE opt = MSY / f opt
3.6.3 Pendugaan parameter ekonomi
Model bio-ekonomi penangkapan dalam penelitian ini diduga dengan
menggunakan model Gordon Schaefer, dengan berdasarkan pada model biologi
Schaefer (1975) dan model ekonomi Gordon (1954). Model bio-ekonomi yang
digunakan adalah model bio-ekonomi statik dengan harga tetap. Model ini disusun
dari model parameter biologi , biaya penangkapan dan harga ikan.
Berdasarkan asumsi bahwa harga ikan per kg (p) dan biaya penangkapan
per unit upaya tangkap adalah konstan, maka total penerimaan nelayan dari usaha
penangkapan (TR) adalah :
TR = P × C
dimana :
TR = Total revenue (penerimaan total)
P
= Harga rata-rata ikan hasil survey per kg (Rp)
C
= Jumlah produksi ikan (kg)
Total biaya penangkapan (TC) dihitung dengan persamaan :
TC = c × E
dimana :
TC = Total cost (biaya penangkapan total)
c
= Total pengeluaran rata-rata unit penangkapan ikan (Rp)
E
= Jumlah upaya penangkapan untuk menangkap sumberdaya ikan (unit) maka
keuntungan bersih usaha penangkapan ikan (π) adalah :
π = TR − TC
π = p.Y − c.E
π = p(aE − bE 2 ) − cE
39
3.6.4 Pendugaan parameter sosial
Dalam melakukan pendugaan parameter sosial, maka dilakukan penentuan
responden yaitu berdasarkan teknik purposive sampling dengan pertimbangan
bahwa responden dapat mampu berkomunikasi dengan baik dalam mengisi
kuesioner. Pengambilan sampel dilakukan terhadap nelayan yang dianggap
mewakili sifat dari keseluruhan nelayan bagan di Polewali. Jumlah responden
yaitu 50 orang meliputi pengusaha bagan, kapten kapal, nelayan (ABK),
pedagang/ penjual ikan, dinas perikanan Kabupaten Polewali Mandar dan
stakeholder lainnya.
Adapun parameter sosial yang diamati meliputi penyerapan tenaga kerja,
latar belakang pendidikan, penerimaan nelayan terhadap unit penangkapan bagan
dan kelembagaan perikanan bagan.
3.6.5 Analisis kelayakan usaha
Ada dua macam dalam mengevaluasi kelayakan usaha, yaitu analisis
finansial dan ekonomi (Kadariah 1978). Analisis finansial yang diperhatikan
adalah hasil untuk modal yang ditanam untuk kepentingan badan atau orang yang
langsung berkepentingan dengan proyek usaha tersebut. Analisis ekonomi yang
diperhatikan adalah hasil total atau keuntungan yang diperoleh dari semua
sumberdaya yang digunakan dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian
secara keseluruhan.
UNIDO (1978) mengemukakan bahwa diantara bermacam-macam kriteria
maka analisis biaya manfaat (Cost- Benefit Analysis) sangat sering digunakan.
Kriteria yang digunakan dalam studi biaya-manfaat baik secara finansial maupun
ekonomi. Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut :
1) Return Of Investment (ROI)
Peluang pengembangan usaha tidak terlepas dari pertimbangan ekonomi,
diantaranya besar keuntungan dan lama waktu pengambilan investasi. Return of
investment adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan keuntungan.
Perhitungan terhadap ROI dilakukan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang
diperoleh dibandingkan dengan besarnya investasi yang ditanamkan (Rangkuti
2001). Rumus yang digunakan dalam menghitung pendapatan usaha adalah :
40
ROI =
Keuntungan
x100%
Investasi
Nilai rasio yang diperoleh akan tergolong ”baik” jika bernilai >25%,
”cukup baik” jika bernilai >15 – 25%, ”cukup buruk” jika bernilai 5 – 15 % dan
”buruk” jika bernilai <5% (Rangkuti, 2001).
2) Break Even Point (BEP)
Break Even Point dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu atas dasar
produksi dan atas dasar nilai jual dalam rupiah (Riyanto 1991).
(1) Analisis Break Even Point atas dasar produksi (banyaknya hasil
tangkapan) dapat dilakukan dengan rumus :
BEP(ton) =
Biaya tetap × Produksi
Hasil penjualan − Biaya variabel
(2) Analisis Break Even Point atas dasar harga jual dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
BEP (Rp) =
Biaya tetap
Biaya variabel
1Hasil penjualan
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Keadaan Geografis dan Topografi
Secara geografis Kabupaten Polewali Mandar terletak pada posisi antara
2º40’00’’-3º32’00’’ LS dan 118º40’27’’-119º32’27’’ BT dengan luas wilayah
41
darat Kabupaten Polewali Mandar adalah 2.022,30 km² dengan ketinggian antara
1,5-510 meter di atas permukaan laut (2006). Secara administrasi Kabupaten
Polewali Mandar terdiri dari 15 Kecamatan Difinitif yang terdiri dari 132
Desa/kelurahan. Batas-batas wilayahnya sebagai berikut :
- Sebelah utara berbatasan dengan
: Kabupaten Mamasa
- Sebelah timur berbatasan dengan
: Kabupaten Pinrang
- Sebelah selatan berbatasan dengan
: Selat Makassar
- Sebelah barat berbatasan dengan
: Kabupaten Majene
Wilayah darat Kabupaten ini terdiri atas dataran rendah dan daerah pantai.
Daerah pantai merupakan dataran rendah berteluk. Dasar perairan teluk ini
berpasir dan berlumpur. Pada beberapa tempat dasar perairannya terdiri dari pasir
bercampur lumpur serta sedikit berombak. Keadaan perairan yang tenang
memungkinkan nelayan dapat beroperasi dengan aman. Perairan laut di
Kabupaten Polewali Mandar merupakan perairan yang berhubungan langsung
dengan perairan selat Makassar. Keadaan ini menjadikan kondisi perairan di
Kabupaten Polewali Mandar sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan di Selat
Makassar (Dinas Perikanan Kabupaten Polewali Mandar, 2006).
4.2 Karakteristik Oseanografi
Perairan
Kabupaten
Polewali
Mandar
merupakan
perairan
yang
berhubungan langsung dengan perairan selat Makassar. Keadaan ini menjadikan
kondisi perairan di Kabupaten Polewali Mandar sangat dipengaruhi oleh kondisi
perairan di Selat Makassar, sehingga bila terjadi satu perubahan di Selat Makassar
apakah itu berupa suhu, salinitas, arus, dan sirkulasi air maka akan berpengaruh di
perairan Kabupaten Polewali Mandar.
4.2.1 Kedalaman
Profil pantai umumnya landai hingga curam pada jarak antara 200-300
meter ke arah laut. Ombak yang terjadi di sekitar perairan pantai lebih banyak
dipengaruhi oleh angin musim yang berhembus pada musim barat dan musim
timur. Kedalaman laut perairan Kabupaten Polewali Mandar semakin ke tengah
42
laut dari garis pantai maka semakin meningkat kedalamannya kearah laut.
Basuki (2002) hasil pemetaan peta kedalaman di Kabupaten Polewali Mandar dari
koordinat 03o00’00”-04 o10’00” LS dan 119 o00’00”- 119 o30’00” BT mempunyai
kedalaman diatas 250 meter.
4.2.2 Arus
Arus di sekitar wilayah perairan pantai sangat dipengaruhi oleh gerakan
pasang surut dan ombak pecah. Pola pasang surut di perairan Kabupaten Polewali
Mandar dikategorikan tipe semi diurnal, yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali
surut selama sehari. Dijelaskan rata-rata kecepatan arus yang diperoleh dengan
menggunakan current meter dalam penelitian ini berkisar antara 0,15-0,36
m/detik. Hasil pengukuran kecepatan arus tertinggi berada pada posisi 03°27′39.
7″S dan 119°19′26. 8″ T serta hasil pengukuran kecepatan arus terendah berada
pada posisi 03°28′14. 3″ S dan 119°19′23. 6″ T. Untuk melihat peta penyebaran
kecepatan arus dapat dilihat pada Gambar 8.
TAKRIL
C451060021
4.2.3
Suhu8 Peta sebaran kecepatan arus permukaan laut di lokasi penelitian .
Gambar
Berdasarkan data dari Dinas Perikanan Kabupaten Polewali Mandar
bahwa curah hujan di Polewali (ibukota Kabupaten Polewali Mandar) sepanjang
tahun 2006 tercatat 2081,8 mm (dirinci dalam mm) atau sebanyak 107 hari
(dirinci dalam hari) (Gambar 9).
43
Gambar 9 Rata-rata curah hujan di Kabupaten Polewali Mandar 10 tahun 19962006.
Gambar 7 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah curah hujan di Kabupaten
Polewali Mandar selama sepuluh tahun terakhir, maksimum terjadi pada bulan
Desember dengan angka 275.61 mm, sedangkan minimum terjadi pada bulan
Agustus dengan angka 14.50 mm. Berdasarkan klasifikasi Schmidt-Fergusson
Kabupaten Polewali Mandar dikategorikan sebagai iklim bertipe ”D” tipe sedang.
Suhu udara maksimum rata-rata pada siang hari berkisar 32 0C dan suhu udara
minimum rata-rata pada malam hari berkisar 22 0C (Dinas perikanan Kabupaten
Polewali Mandar, 2006). Peta penyebaran suhu selama penelitian disajikan pada
Gambar 10.
44
TAKRIL
C451060021
Gambar 10 Peta penyebaran suhu di lokasi penelitian.
Pada Gambar 10, hasil pengukuran suhu selama penelitian berada pada
kisaran suhu antara 28-30 ºC. Hasil pengukuran suhu tertinggi berada pada posisi
03°30′20. 4″ S dan 119°28′20.1″ T serta hasil pengukuran suhu terendah pada
posisi 03°33′48. 9″ S dan 119°29′17. 9″ T.
4.2.4 Salinitas
Salinitas bersama-sama dengan suhu merupakan komponen yang berperan
penting dalam mengontrol densitas air laut. Salinitas juga mempengaruhi
kehidupan biota laut. Ikan cenderung untuk memilih medium dengan kadar
salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya. Peta penyebaran
salinitas selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 11.
45
TAKRIL
C451060021
Gambar 11 Peta sebaran salinitas permukaan laut di lokasi penelitian.
Berdasarkan Gambar 11 di atas, hasil pengukuran salinitas dengan
menggunakan hand refractometer diperoleh kisaran nilai salinitas selama
penelitan yaitu 28-33 o/oo. Hasil pengukuran salinitas tertinggi berada pada posisi
03°33′22. 7″ S dan 119°28′47. 3″ T serta hasil pengukuran salinitas terendah
berada pada posisi 03°28′ 14. 3″ S dan 119°19′23. 6″ T. Tingginya nilai salinitas
ini karena di daerah tersebut merupakan perairan yang langsung berhubungan
dengan selat Makassar dan sekitar perairannya tidak memiliki sungai atau
muara sungai yang dapat menyebabkan terjadinya pencampuran air tawar dan
air laut, kecuali air yang berasal dari air hujan (Lampiran 2).
4.2.5 Hubungan hasil tangkapan dengan faktor oseanografi
Hasil pengukuran faktor oseanografi yang meliputi parameter kedalaman,
arus, suhu dan salinitas memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan.
Berdasarkan hasil pengukuran suhu selama penelitian berada pada kisaran suhu
antara 28-30 ºC. Kaitannya terhadap hasil tangkapan diperoleh bahwa suhu yang
disenangai oleh ikan hasil tangkapan bagan yaitu pada suhu 29 oC dengan hasil
tangkapan sebesar 1220 kg, sedangkan hasil tangkapan terendah pada bagan
sebesar 141,5 kg yaitu pada suhu 28 oC.
Berdasarkan hasil pengukuran salinitas dengan menggunakan hand
refractometer diperoleh kisaran nilai salinitas selama penelitan yaitu 28-33o/oo.
Kaitannya terhadap hasil tangkapan bagan diperoleh bahwa salinitas yang
46
disenangi oleh ikan hasil tangkapan bagan yaitu 29,7o/oo dengan hasil tangkapan
sebesar 1.220 kg sedangkan hasil tangkapan terendah pada bagan sebesar 141,5 kg
yaitu pada salinitas 30,7o/oo.
Berdasarkan hasil pengukuran kecepatan arus dengan menggunakan
current meter dalam penelitian ini berkisar antara 0,15-0,36 m/detik. Kaitannya
terhadap hasil tangkapan bagan diperoleh bahwa kecepatan arus yang disenangi
oleh ikan hasil tangkapan bagan yaitu 0,22 m/detik dengan hasil tangkapan
sebesar 1220 kg sedangkan hasil tangkapan terendah pada bagan sebesar 141,5 kg
yaitu dengan kecepatan arus sebesar 0,20 m/detik (Lampiran 2).
4.3 Kondisi Umum Perikanan Tangkap di Kabupaten Polewali Mandar
Polewali merupakan salah satu basis penangkapan ikan untuk armada
perikanan yang ada di Selat Makassar. Aktivitas penangkapan di Kabupaten
Polewali Mandar cukup tinggi, berbagai unit penangkapan ikan dioperasikan. Unit
penangkapan ikan merupakan kesatuan teknis dari operasi penangkapan ikan yang
terdiri dari kapal/perahu, nelayan, dan alat tangkap.
Kapal atau perahu yang ada di Kabupaten Polewali Mandar dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu perahu tanpa motor, motor tempel (out
board motor), dan kapal motor (in board motor). Jumlah kapal motor di
Kabupaten Polewali Mandar mengalami peningkatan dari 33 unit pada tahun 1994
menjadi 453 unit pada tahun 2003, sementara itu, jumlah perahu motor cenderung
menurun (Tabel 6). Motor tempel mengalami fluktuasi, pada tahun 1994-1998
mengalami peningkatan dan kembali menurun pada tahun 1998-2003.
Tabel 6 Perkembangan jumlah kapal atau perahu di Kabupaten Polewali Mandar
periode 1994-2003
Tahun
1994
1995
1996
1997
1998
Jenis kapal/perahu perikanan (unit)
Perahu tanpa
Motor
Kapal
motor
tempel
motor
2.055
553
33
1.546
935
138
1.793
1.022
138
1.765
1.005
162
1.792
1.035
172
Jumlah
2.641
2.619
2.953
2.932
2.999
47
1999
1.828
990
189
3.007
2000
793
703
326
1.822
2001
793
738
332
1.863
2002
713
775
373
1.861
2003
532
516
453
1.501
2004
536
522
455
1.513
2005
684
781
657
2.122
2006
832
909
684
2.425
Sumber: Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Polewali Mandar, 2006.
Berdasarkan statistik perikanan Kabupaten Polewali Mandar sepuluh
tahun terakhir, jumlah nelayan di Kabupaten Polewali Mandar secara konsisten
cenderung mengalami peningkatan (Tabel 7). Jumlah nelayan pada setiap tahun
2003 yaitu adalah 7.573 jiwa, sedangkan kondisi paling minimum adalah pada
tahun 1994 yaitu sebanyak 5.221 jiwa. Perubahan jumlah nelayan yang mencolok
terjadi di tahun 1998, dimana pada tahun sebelumnya jumlah nelayan berjumlah
5.817 jiwa bertambah menjadi 6.230 jiwa tahun 1998.
Tabel 7 Perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Polewali Mandar periode
1994-2003
Tahun
Nelayan (Orang)
1994
5.221
1995
5.325
1996
5.484
1997
5.817
1998
6.230
1999
6.541
2000
6.933
2001
7.140
2002
7.282
2003
7.573
Sumber : Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Polewali Mandar, 2003.
Jumlah alat tangkap yang beroperasi di Kabupaten Polewali Mandar 10
tahun secara umum berfluktuasi (Tabel 8). Pada tahun 2001 bagan perahu
mengalami peningkatan yaitu sebanyak 89 unit sedangkan pada tahun 1997 bagan
perahu mengalami penurunan sebanyak 31 unit (Tabel 8).
Tabel 8 Jumlah bagan (lift net) di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003
No
Tahun
Jumlah Alat Tangkap
1
2
1994
1995
35
38
48
3
1996
4
1997
5
1998
6
1999
7
2000
8
2001
9
2002
10
2003
Sumber: Dnas perikanan Kabupaten Polewali Mandar, 2003.
83
31
34
37
37
89
75
69
Produksi ikan selama sepuluh tahun terakhir; produksi ikan laut tertinggi
terdapat pada tahun 1994 sebesar 2.905 ton dengan nilai produksi Rp 6,97 milyar
sedangkan nilai produksi terbesar terdapat pada tahun 1998 sebesar Rp 8,21
milyar dengan jumlah produksi 1.866 ton (Tabel 9). Produksi ikan yang terendah
terjadi pada tahun 2001 dengan jumlah produksi sebesar 1.349 ton dengan nilai
Rp 4,93 milyar. Meningkatnya produksi ikan tersebut hal ini disebabkan karena
pada tahun 1997-1998 kapal-kapal yang beroperasi pada tahun tersebut sedikit
mengalami peningkatan sehingga produksi ikan pada tahun yang sama mengalami
peningkatan.
Tabel 9 Volume dan nilai produksi perikanan yang didaratkan di Kabupaten
Polewali Mandar tahun 1994-2003
Tahun
Produksi Ikan
(Kg)
Nilai Produks iIkan
(Rp)
1994
2.905.990
6.974.376.000
1995
2.320.890
4.641.780.000
1996
2.170.605
7.597.117.500
1997
1.577.830
6.311.320.000
1998
1.866.975
8.214.690.000
1999
1.766.960
7.793.420.000
2000
1.740.880
7.768.472.500
2001
1.349.550
4.937.115.000
2002
1.609.630
6.427.375.000
2003
1.616.750
7.254.725.000
Sumber : Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Polewali Mandar, 2003.
4.4 Musim dan Daerah Penangkapan Ikan
Ada dua musim yang sangat mempengaruhi operasi penangkapan ikan di
Kabupaten Polewali Mandar, yaitu musim barat dan musim timur (Laporan
Statistik Perikanan Kabupaten Polewali Mandar, 2006). Musim barat terjadi pada
bulan Desember-Maret, ditandai dengan adanya hujan dan angin yang sangat
kencang serta disertai dengan ombak yang sangat besar. Dalam musim barat ini
menyebabkan banyak nelayan yang tidak melaut, sehingga pada musim ini disebut
49
sebagai musim paceklik atau musim jarang ikan. Musim timur terjadi pada bulan
April-September, dimana jarang terjadi hujan dan keadaan laut biasanya tenang
dan ikan tersedia banyak di perairan. Pada musim timur inilah biasanya
merupakan musim puncak ikan. Selain kedua musim tersebut, dikenal juga musim
peralihan. Musim peralihan ini terjadi pada bulan Oktober - November.
Penentuan daerah operasi penangkapan ikan biasanya tergantung dari jenis
alat tangkap yang digunakan, ukuran kapal, keadaan cuaca serta kebiasaan
(pengalaman). Pada umumnya operasi penangkapan dilakukan di sekitar teluk
atau bahkan sedikit keluar dari teluk. Daerah penangkapan ikan meliputi perairan
Pajalele, Karang mencena dan Pinrang. Hal ini disebabkan karena melihat kondisi
ukuran kapal yang relatif sedang dengan konstruksi yang sederhana sehingga
tidak memungkinkan beroperasi lebih jauh. Adapun kedalaman daerah
penangkapan pada bagan berkisar antara 200-300 meter.
5 HASIL PENELITIAN
5.1 Sejarah Perikanan Bagan
Bagan merupakan salah satu jaring angkat yang dioperasikan di perairan
pantai pada malam hari dengan menggunakan cahaya lampu sebagai faktor
penarik ikan. Menurut Subani (1972), di Indonesia bagan ini diperkenalkan pada
awal tahun 1950 dan sekarang telah banyak mengalami perubahan. Pertama kali
50
bagan digunakan oleh nelayan Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan, kemudian
nelayan daerah tersebut membawanya ke mana-mana dan akhirnya hampir dikenal
di seluruh Indonesia. Hal ini diperkuat oleh Mallawa et al, 1992 bahwa alat
tangkap bagan pertama kali diperkenalkan di perairan Luwu Teluk Bone di
Sulawesi Selatan pada tahun 1987. Dua tahun kemudian (1989) alat tangkap ini
telah berkembang di perairan Barru Selat Makassar.
Dari wawancara dengan beberapa nelayan di Polewali diperoleh informasi
bahwa alat tangkap bagan sudah mulai beroperasi di perairan Barru termasuk di
wilayah Polewali sejak tahun 1987. Bagan pernah mengalami perubahan dari
ukuran 22 m × 21 m kemudian dirubah menjadi ukuran 33 m × 31 m yang disebut
sebagai bagan rambo. Hasil wawancara menyatakan, bahwa pemberian nama
bagan rambo terungkap bahwa kata rambo berarti besar yang berkaitan dengan
ukuran bagan yang lebih besar. Namun seiring perjalanan usaha perikanan, hasil
tangkapan bagan rambo tidak jauh berbeda dengan hasil tangkapan bagan yang
berukuran 22 m × 21 m namun disisi lain biaya operasi bagan rambo dua kali lipat
dari bagan kecil. Sehingga para pengusaha bagan kembali merubah ukuran
bagannya dengan ukuran kecil (22 m × 21 m) sampai sekarang. Sampai dengan
tahun 2003 jumlah bagan yang beroperasi di Kabupaten Polewali Mandar
sebanyak 69 unit (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Polewali Mandar,
2003). Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan bagan di Polewali
menyatakan bahwa seiring sejarah perjalanan bagan sampai sekarang belum
pernah terjadi konflik dengan alat tangkap lain hal ini mungkin disebabkan karena
pengaturan dari fishing ground saat operasi penangkapan.
5.2 Unit Penangkapan Bagan Perahu
Unit penangkapan bagan perahu merupakan satu kesatuan teknis dalam
operasi penangkapan ikan. Sebuah unit terdiri dari wahana apung (kapal/ perahu),
alat tangkap, tenaga kerja/ ABK serta alat bantu lainnya. Keempat komponen
tersebut menentukan berhasil tidaknya suatu operasi penangkapan, sehingga
kelemahan dari satu elemen unit dapat mempengaruhi kelancaran proses operasi
penangkapan ikan.
51
5.2.1 Kapal
Bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar terdiri atas perahu
yang dilengkapi dengan rumah bagan, bingkai jaring, lampu, roller, pembangkit
listrik, dan alat bantu lainnya misalnya serok, peti, basket dan lain-lain. Adapun
ukuran perahu yaitu panjang, lebar dan dalam masing-masing 21 m × 2,1 m × 1,8
m dan 7 unit bagan perahu tersebut ukurannya seragam (Gambar 12). Spesifikasi
bagan perahu yang dioperasikan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar dapat
dilihat pada Tabel 10. Bagan perahu juga dilengkapi ruang kemudi yang di
dalamnya terdapat generator (dinamo), mesin penggerak, dan saklar untuk
mematikan dan menyalakan lampu. Perahu ini menggunakan mesin yaitu KMD
315, Yanmar 300, Candom 300, Mitsubishi dan mesin mobil tipe PS 12, kekuatan
mesin penggerak tersebut mulai dari 25 PK sampai 31,5 PK.
Di pelataran bagan terdapat alat penggulung (roller) yang berfungsi untuk
menaikkan dan menurunkan jaring pada saat dioperasikan. Penangkapan dengan
bagan hanya dilakukan pada saat malam hari, dan menggunakan lampu sebagai
alat bantu penangkapan.
Rangka bagan
Rangka bagan
Katir
52
Gambar 12 Bagan perahu yang digunakan nelayan di Polewali, Kabupaten
Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Keterangan :
1. Panjang (L)
= 21 m
8. Rumah bagan
2. Lebar ( B)
= 2,1 m
9. Roller
3. Tinggi (D)
= 1,8 m
10. Jaring
4. Tinggi tiang perahu
= 2m
11. Tali penarik jaring
5. Panjang rangka bagan = 21 m
12. Tali tiang dari kawat baja
6. Lebar rangka bagan
= 21 m
13. Lampu
7. Tinggi rangka bagan
= 0,5 m
14. Lampu pengkonsentrasi ikan
Tabel 10 Spesifikasi bagan perahu di Polewali, Sulawesi Barat
N0
1.
2.
3.
Spesifikasi kapal
Dimensi utama kapal
a. Panjang (L)
b. Lebar (B)
c. Dalam (D)
Tonase (GT)
Mesin
4.
Mesin lampu
5.
Letak mesin
6.
Tipe pengoperasian
7.
Bahan
Sumber: Data primer (September 2007).
Keterangan
21 m
2,1 m
1,8 m
15 GT
Kubota, Yanmar, Candom, Mitsubishi
kekuatan mesin (25 PK – 31,5 PK)
Kubota
Inboard
One boat system
Kayu
5.2.2 Alat tangkap
Alat tangkap yang digunakan disebut waring atau jaring. Jaring ini
berbentuk seperti kelambu terbalik, terbuat dari waring yang berwarna hitam
dengan ukuran mata 0,5 cm hasil produksi pabrik. Pada bagian tepi jaring
dipasang tali ris sebagai penguat pinggiran jaring. Panjang dan lebar jaring
masing-masing 21 m × 21 m, dengan dalam 11 m, sehingga berbentuk bujur
sangkar (Tabel 11)
Tabel 11 Spesifikasi bagian-bagian alat tangkap yang digunakan oleh nelayan
di Polewali, Sulawesi Barat
No.
1.
Data bagian-bagian alat tangkap
Jaring
a. Ukuran jaring
b. Bahan
Keterangan
21 m × 21 m × 11 m
Waring
53
c. Mesh size
d. Warna jaring
2.
Bingkai jaring
a. Ukuran (P × L)
b. Bahan
c. ∑ pemberat yang dipakai
d. θ bingkai jaring (cm)
3.
Pemberat
a. Bahan/material
b. Berat
c. Jumlah
d. Bentuk
e. Diameter (cm)
4.
Putaran jaring/roller
a. Panjang
b. Jumlah
c. Posisi/letak roller
d. Pegangan roller :
- Panjang/diameter (cm)
- Jumlah
e. Diameter roller (cm)
5.
Tali ris
a. Bahan
b. Diameter tali ris
Sumber: Data primer (September 2007).
0,5 cm
Hitam
20 m × 20 m
Kayu
4 buah
15 cm
Batu
20 kg-25 kg
4 buah
Bulat tak beratur
35 cm-40 cm
5m
1 buah
Di bagian lambung kiri kapal.
120 cm/4,5 cm
4 buah
40 cm
PE (Multifilament)
1 cm
Selain tali ris, jaring juga dilengkapi tali untuk mengikatnya pada bingkai,
sedangkan bagian bawah jaring dipasang pemberat. Pemberat tersebut berjumlah
empat buah yang dipasang atau diikatkan pada masing-masing sudut jaring. Setiap
batu memiliki berat 20-25 kg. Fungsi pemberat adalah untuk mempercepat
turunnya jaring ke dalam air dan memberi bentuk pada jaring ketika berada dalam
air serta tidak mudah hanyut terbawa oleh arus. Sisi bagian atasnya diberi bingkai
yang terbuat dari kayu. Pada bingkai tersebut dipasang tali penggantung yang
dihubungkan ke roller. Daya tahan maksimum jaring menurut wawancara nelayan
adalah 4 tahun dan dilakukan penambalan jika terdapat kerusakan-kerusakan kecil
yang dapat diperbaiki sendiri. Dalam satu unit bagan, luas jaring yang digunakan
sekitar 400 m2.
5.2.3 Nelayan
Tenaga kerja/ sumberdaya manusia pada perikanan bagan adalah unsur
yang paling menentukan karena segala kegiatan operasi penangkapan tidak akan
berjalan tanpa adanya tenaga kerja atau nelayan. Nelayan bagan di Polewali
Kabupaten Polewali Mandar memiliki tingkat pendidikan dari tingkat Sekolah
Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA). Mereka berusia
54
antara 15-50 tahun, sehingga nampak bahwa nelayan pada umumnya berada pada
kondisi usia produktif. Kondisi tersebut sangat menunjang kelancaran kegiatan
usaha penangkapan. Berdasarkan tugasnya dalam operasi penangkapan ikan,
nelayan Polewali dapat dibedakan menjadi : punggawa (kapten kapal) yang
berfungsi sebagai nahkoda kapal sekaligus merangkap sebagai juru mudi atau
orang yang menjalankan kapal. Juru masak, teknik mesin, dan hal yang berkaitan
dengan operasi penangkapan, dimana masing-masing memiliki tugas tersendiri
didalam melakukan operasi penangkapan.
Jumlah tenaga kerja di dalam satu unit bagan berkisar antara 9-10 orang,
termasuk seorang kapten kapal. Kapten kapal atau punggawa memiliki tugas dan
tanggung jawab yang lebih besar terhadap kelancaran operasi penangkapan.
Secara garis besar nelayan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali
Mandar, Sulawesi Barat dibedakan atas pemilik modal dan nelayan penggarap.
Nelayan penggarap ini terdiri atas juru mudi sekaligus sebagai fishing master, juru
mesin dan anak buah kapal (ABK). Adapun pembagian tugasnya sebagai berikut :
Juru mudi (fishing master)
: 1 orang
Juru mesin
: 1 orang
Penarik jangkar
: 2 orang
Penarik jaring
: 4 orang
Koki/ bagian masak
: 1 orang
Kapten kapal
: 1 orang
Sistem pembagian hasil yang berlaku dalam pola perikanan bagan di
Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, dimana setelah di peroleh
hasil penjualan (laba kotor) dan setelah dikurangi dengan biaya operasional
(pendapatan bersih) kemudian 30% hasil penjualan (laba bersih) menjadi hak
pemilik modal (pemilik usaha), sedangkan 20% untuk kapten kapal dan 50%
sisanya untuk anak buah kapal sebanyak 8-9 orang. (Gambar 13).
Produksi
Pendapatan kotor
Biaya operasional
55
Pendapatan bersih
Pemilik modal (30%)
Pemilik modal (30%)
Nelayan (70%)
Kapten kapal (20%)
ABK (50%)
Keterangan :
Pendapatan bersih : Nilai jual hasil lelang – biaya operasional – biaya retribusi
Gambar 13 Sistem bagi hasil usaha perikanan bagan perahu di Polewali,
Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Contoh perhitungan yaitu hasil pendapatan sebulan untuk bagan sebesar
Rp 26.282.400 dan pengeluaran perbulan sebesar Rp 10.282.400 meliputi biaya
kebutuhan melaut dan biaya retribusi. Pendapatan bersih yaitu selisih antara hasil
pendapatan dengan pengeluaran diperoleh sebesar Rp 16.000.000. Pemilik modal
memperoleh bagian 30% dari Rp 16.000.000 sebesar Rp 4.800.000, sedangkan
nelayan 40% sebesar Rp 11.200.000. Kapten kapal memperoleh bagian 20% dari
Rp 11.200.000 sebesar Rp 2.240.000 sedangkan sisanya Rp 8.960.000 kemudian
dibagi untuk 9 orang ABK, sehingga ABK memperoleh bagian per orang sebesar
Rp 1.000.000 selama sebulan.
5.2.4 Alat bantu lainnya
Alat bantu dalam pengoperasian bagan perahu yaitu serok, basket, lampu
dan lain-lain. Serok dikenal dengan sebutan ”pa’sero” bagi nelayan bagan di
sekitar Polewali (Gambar 14) Serok tersebut digunakan untuk mengambil hasil
tangkapan yang telah terkumpul pada jaring. Serok terbuat dari bahan jaring, besi,
dan kayu (bambu). Kayu atau bambu yang digunakan sebagai pegangan serok
memiliki panjang 2 m - 2,5 m, besi kerangka mulut serok diameternya 30-40 cm
dan panjang kantong serok dari bahan jaring yaitu 60 cm -75 cm.
56
2 – 2,5 m
30-40 cm
60-75 cm
Gambar 14 Serok yang digunakan untuk menaikkan ikan ke atas dek kapal.
Basket biasanya digunakan untuk mengangkut atau memasukkan ikan
kedalam palka. Adapun ukuran basket yang digunakan (P × L × T) yaitu 50 cm ×
50 cm × 30 cm (Gambar 15). Basket tersebut terbuat dari bahan plastik. Dalam
satu bagan biasanya jumlah basket yang digunakan untuk kegiatan operasi
penangkapan ikan yaitu sebanyak lima buah basket.
70 cm
50 cm
35 cm
Gambar 15 Basket yang digunakan untuk memasukkan ikan ke dalam palka.
Lampu sangat menentukan didalam keberhasilan penangkapan ikan, baik
dari jumlah lampu, jenis lampu, daya/kekuatan lampu, sistem pembangkit
listriknya maupun jenis kap/ wadah yang dipakai oleh lampu. Jenis lampu yang
digunakan adalah lampu merkuri (Gambar 16). Jumlah lampu yang digunakan
adalah 52 buah termasuk 2 buah lampu sorot. Adapun daya/ kekuatan untuk satu
lampu yaitu sebesar 250 watt. Lampu tersebut dipasang di sepanjang rangka
bagan.
57
Sumber: Nadir, 2000.
Gambar 16 Lampu merkuri dan cara pemasangan.
Untuk memudahkan proses penyalaan dan mematikan lampu, maka lampu
dilengkapi dengan saklar yang tersusun rapi pada suatu panel dalam ruang
kemudi. Berdasarkan fungsinya lampu yang terdapat pada bagan dibedakan atas
dua yaitu lampu utama untuk menarik ikan yang dipasang di sepanjang katir pada
bagan dan lampu sorot yang berfungsi untuk memusatkan ikan pada satu titik
lampu, lampu ini digunakan ketika jaring akan ditarik ke permukaan. Jumlah
lampu sorot dua buah masing-masing di pasang pada lambung kanan dan kiri
bagan.
5.3 Pengoperasian Bagan
Pengoperasian bagan terdiri dari 7 tahap, yaitu (1) tahap persiapan; (2)
persiapan setting; (3) penurunan jaring; (4) pengamatan keberadaan ikan dalam
air; (5) pengangkatan jaring; (6) pengambilan hasil tangkapan dan (7) kembali ke
fishing base (Gambar 16).
Sebelum melakukan kegiatan melaut biasanya nelayan melakukan
persiapan keberangkatan (tahap pertama) seperti pemeriksaan pada semua elemen
unit bagan (kapal, alat tangkap, lampu, mesin) dan menyiapkan kebutuhan
perbekalan misalnya bahan bakar, air tawar, bahan makanan, serta persiapan lain
yang dianggap penting agar dalam operasi penangkapan ikan dapat berjalan
dengan lancar. Pemeriksaan seluruh elemen unit bagan perahu adalah dengan
memeriksa kelayakan dari elemen-elemen tersebut. Perbekalan untuk kegiatan
operasional, ada yang dibawa setiap hari dan ada pula yang telah disiapkan untuk
beberapa hari. Adapun perbekalan yang dibawa setiap hari adalah air tawar, solar,
58
es balok, bahan makanan seperti gula, kopi, dan rokok. Perbekalan yang disiapkan
untuk beberapa hari misalnya oli, garam, beras, serta perbekalan lainnya.
Setelah persiapan, nelayan pun berangkat menuju fishing ground dengan
menggunakan bagan perahu. Nelayan mulai berangkat sekitar pukul 16.00-16.30
WITA, tergantung jarak yang akan ditempuh untuk mencapai daerah
penangkapan. Kecepatan kapal untuk tiba di daerah fishing ground berbeda-beda
tergantung jenis mesin yang digunakan. Daerah penangkapan ikan yang akan
ditempuh biasanya sudah ditentukan oleh kapten kapal sebelum berangkat dan
sudah disepakati oleh anak buah kapal. Daerah penangkapan ikan juga ditentukan
berdasarkan banyaknya hasil tangkapan perahu lain. Jarak antara kapal satu
dengan yang lainnya relatif tidak begitu jauh.
Setelah tiba di fishing ground sekitar jam 17.00 WITA, jarak tempuh yang
dibutuhkan waktu ± 1 jam-2 jam. Setelah tiba di fishing ground atau di sekitar
rumpon, kemudian tali kapal utama diikatkan dengan tali rumpon sehingga kapal
tersebut tidak mudah terbawa oleh arus maupun ombak. Kemudian dilakukan
persiapan setting.
Persiapan setting adalah semua kegiatan nelayan sebelum melakukan
penurunan jaring. Sesampainya kapal di fishing ground, nelayan segera
memeriksa kedalaman perairan dan keadaan arus dengan menurunkan pancing.
Kedalaman perairan diperiksa untuk menentukan seberapa jauh alat tangkap akan
diturunkan ke dalam perairan. Kecepatan arus juga perlu diperhatikan untuk
menentukan apakah setting dapat dilakukan atau tidak. Menurut Subani dan Barus
(1989) kecepatan 0,5 m/detik telah termasuk arus kuat dan apabila hal itu telah
ditemui di lapangan maka nelayan hanya dapat melakukan kegiatan memancing
sambil menunggu arus lemah.
Setelah matahari mulai terbenam yaitu sekitar pukul 18.00 WITA, lampulampu bagan segera dinyalakan. Penyalaan lampu pun dilakukan secara bertahap
yaitu dari lampu bagian paling pinggir sampai bagian paling dalam. Tujuannya
adalah agar ikan lebih mudah untuk masuk ke dalam jaring. Selang beberapa jam
sekitar pukul 21.00-24.00 WITA dilakukan penurunan jaring. Kisaran waktu pada
saat lampu dinyalakan dengan penurunan jaring, para nelayan melakukan
persiapan khusus atau kegiatan yang lain seperti makan, tidur, memancing, main
59
catur, perbaikan pancing, minum kopi atau kegiatan lain sambil menunggu jaring
tersebut diturunkan. Tetapi pada umumnya mereka melakukan kegiatan
memancing.
Penurunan jaring (setting) dilakukan apabila cahaya bulan sudah tidak
nampak karena ada tidaknya bulan sangat mempengaruhi hasil tangkapan pada
bagan. Setelah itu barulah nelayan melakukan pengamatan dengan melihat adanya
tanda-tanda keberadaan ikan di sekitar bagan. Tanda-tanda tersebut dapat
ditunjukkan dengan adanya gelembung udara yang muncul ke permukaan atau
pun dari hasil pancingan yang cukup banyak.
Setting dimulai pada bagian kanan lambung kapal. Beberapa anak buah
kapal menarik ujung jaring bagian depan dan belakang yang dilengkapi dengan
tali. Kemudian setiap ujung jaring yang berjumlah empat (bentuk persegi) tersebut
diikatkan pada bingkai/ rangka jaring bagian depan dan belakang kapal, sementara
nelayan yang lain menurunkan jaring secara perlahan-lahan dari tempat atau di
bawah dek kapal.
Setelah keempat ujung jaring terikat pada bingkai, tali yang terdapat di
sekeliling jaring bagian atas kemudian diikatkan pada sekeliling bingkai sehingga
jaring terpasang lebih kuat dan tidak mudah lepas. Pada saat jaring terpasang
sempurna pada bingkai barulah jaring diturunkan ke dalam air dengan memutar
roller sampai pada kedalaman yang diinginkan termasuk pemberat yang terbuat
dari batu.
Selama jaring berada dalam air, nelayan melakukan pengamatan terhadap
keberadaan ikan di sekitar bagan untuk memperkirakan jaring tersebut akan
diangkat. Untuk mengetahui banyak tidaknya ikan yang berkumpul di bawah
lampu, nelayan biasanya kembali melakukan kegiatan memancing. Jika hasil yang
didapatkan lebih banyak maka hal tersebut bisa menjadi salah satu tanda bahwa
ikan yang berkumpul di bawah cahaya lampu cukup banyak. Hal lain yang dapat
dilakukan adalah melihat langsung ke perairan. Selain itu terdapat gelembung
udara yang muncul ke permukaan
dalam jumlah yang cukup besar ataupun
terlihat ikan-ikan predator yang berada di sekitar bagan dengan gerakan berputarputar mengelilingi kapal untuk memangsa ikan kecil.
60
Namun tanda-tanda keberadaan ikan tidak selalu muncul bersamaan.
Apabila telah ditemukan satu tanda-tanda keberadaan ikan maka nelayan sudah
cukup untuk memutuskan melakukan pengangkatan jaring. Lama jaring di dalam
perairan tergantung adanya ikan yang berkumpul di bawah cahaya. Lamanya
jaring berada di bawah air berkisar antara 3-4 jam. Namun hal tersebut bukan
bersifat ketetapan, karena nelayan tidak pernah menentukan dan menghitung
lamanya jaring dalam air dan kapan jaring akan diangkat. Namun hanya
berdasarkan penglihatan dan pengamatan pada banyaknya ikan yang telah
berkumpul di bawah lampu.
Pengangkatan jaring; sebelum jaring diangkat terlebih dahulu dilakukan
pemadaman seluruh lampu yang dilakukan secara bertahap kecuali dua buah
lampu sorot. Pemadaman lampu dilakukan secara bertahap satu persatu tujuannya
untuk menghindari ikan-ikan yang telah berkumpul di bawah cahaya agar tidak
terkejut dan keluar meninggalkan area kapal. Ikan-ikan tersebut tetap berada di
dalam jaring dan mendekati cahaya pada kedua lampu sorot tersebut sehingga
memperkecil lolosnya ikan-ikan saat penarikan jaring ke atas kapal.
Tahap selanjutnya adalah memutar roller untuk menarik/mengangkat
jaring kepermukaan. Roller diputar secara perlahan agar jaring yang terangkat
tidak terlalu menimbulkan bunyi yang keras karena bergesekan dengan air yang
akan menyebabkan gerakan air lebih cepat dan bergelombang sehingga hal
tersebut akan mengejutkan ikan. Namun gerakan roller akan diputar secepat
mungkin saat jaring semakin dekat kepermukaan air, sehingga ikan tidak sempat
meloloskan diri saat melihat keberadaan jaring. Roller terus diputar sampai
bingkai jaring menyentuh penyekat, kemudian bingkai jaring kembali diikatkan
pada penyekat/ cadiak (Gambar 17). Saat itu pula kedua lampu sorot diangkat
serta seluruh lampu mulai dinyalakan kembali. Ikan hasil tangkapan pun
dikumpulkan/ digiring dekat lambung kanan kapal, setelah ikan tersebut
terkumpul lalu diambil dengan menggunakan serok.
61
Pemutar
Tali
40 cm
Penahan
roller
5,5 m
Gambar 17 Roller yang digunakan untuk menarik jaring.
Hasil tangkapan yang sudah dinaikkan di atas kapal kemudian disortir
berdasarkan jenis ikan. Hasil penyortiran dimasukkan kedalam basket ikan yang
terbuat dari bahan plastik kemudian dimasukkan ke dalam peti/ palka ikan. Ikan
yang dimasukkan ke dalam palka dilakukan penanganan khusus yaitu pemberian
es balok dan campuran air laut. Tujuannya agar ikan tersebut tidak mudah
mengalami pembusukan dan tetap segar sehingga nilai jualnya tetap tinggi.
62
1
2
Lampu
Tali
Jaring
1.Persiapan setting:
1. Menyalakan lampu.
2. Mengetahui keadaan arus.
3. Mengetahui kedalaman air.
2. Setting :
1. Mengikatkan jaring pada bingkai.
2. Menurunkan jaring ke dalam
perairan.
3. Menurunkan pemberat.
3
4
3. Mengamati keberadaan ikan
1. Dengan cara memancing.
2. Adanya gelembung udara.
3. Terlihat nyata.
4. Hauling :
1. Lampu bagan dimatikan bertahap.
2. Menaikkan jaring dengan bantuan
roller hingga menyentuh cadiak.
5
1. Melepaskan salah satu ikatan jaring
pada bingkai.
2. Pengambilan hasil tangkapan.
Gambar 18 Ilustrasi tahapan pengoperasian bagan perahu.
63
5.4 Komposisi Hasil Tangkapan Bagan
Komposisi hasil tangkapan bagan selama penelitian pada umumnya ikan
pelagis kecil. Adapun jenis ikan yang tertangkap oleh bagan perahu antara lain teri
(Stolephorus spp), kembung (Rastrelliger spp), layang (Decapterus spp), selar
bentong (Selaroides crumenopthalmus), selar tetengkek (Megalaspis cordyla),
selar kuning (Selaroides leptolepis), tembang (Sardinella spp), layur (Trichiurus
savala), cakalang (Katsuwonus pelamis), kerong-kerong (Therapon theraps),
rejum (Sillago sihama), peperek bendolang (Gazza minuta), peperek cina
(Leiognathus spelenden), japuh (Dussumeria acuta), rambeng (Dipterygonosus
spp), lencam matahari (Lethrinus lentjan), lolosi biru (Caesio coerulaureus),
beloso laut (Saurida tumbil), cendro (Tylosurus crocodiles), cipa-cipa (Atropusatropus), kepe-kepe (Chaetedon spp), pedang-pedang (Aeoliscus strigatus), buntal
(Canthigaster spp), cumi-cumi (Loligo spp).
Ikan hasil tangkapan utama untuk bagan perahu yaitu teri (Stolephorus
spp), kembung (Rastrelliger spp) dan layang (Decapterus russelli) sehingga
spesies lainnya tergolong hasil tangkapan sampingan (by- catch).
Menurut Dinas Perikanan dan kelautan Provinsi Sulawesi Barat, bahwa
hasil tangkapan bagan adalah ikan pelagis kecil. Menurut wawancara dengan
nelayan di Polewali, jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh bagan di Polewali
Kabupaten Polewali Mandar
untuk ikan hasil tangkapan utama meliputi teri
(Stolephorus spp), kembung (Rastrelliger spp) dan layang (Decapterus spp)
(Tabel 12). Teri yang didaratkan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2004
sebesar 8.414,2 ton/ tahun atau sebesar 27%, kembung sebesar 8.378,8 ton/ tahun
atau sebesar 27% dan layang sebesar 14.701 ton/tahun atau sebesar 46%.
64
Tabel 12 Komposisi hasil tangkapan utama bagan yang didaratkan di Polewali,
Sulawesi Barat
Tahun
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Jumlah
(Ton)
Teri
(Stolephorus spp)
870,7
896,9
930,2
942,8
983,3
993
548,2
556,6
685,3
594,8
412,4
Jenis Ikan
Kembung
(Rastrelliger spp)
796,9
824,9
790
803,4
928,4
929,9
761,8
786,1
832,5
785,8
139,1
8.414,2
8.378,8
Jumlah
Layang
(Decapterus spp)
1.164,9
1.204,1
1.276,8
1.302,2
1.035,8
1.054,3
1.002
1.026,3
1.077,6
1.131,7
3.425,3
2.832,5
13.762,8
2.997
3.048,4
2.947,5
2.977,2
2.312
2.369
2.595,4
2.512,3
3.976,8
14.701
31.494
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, 2004.
5.5 Analisis Faktor Teknis Produksi
Aspek teknis merupakan aspek yang bertujuan untuk mengetahui input
(faktor teknis produksi) penangkapan ikan dengan menggunakan bagan perahu
yang berpengaruh terhadap output (hasil tangkapan bagan dalam satuan
ton/tahun). Menganalisis aspek teknis bagan perahu di Kabupaten Polewali
Mandar, Sulawesi Barat dapat dipersentasikan dengan persamaan Y= b0 + b1X1 +
b2X2 + .... + bnXn. Faktor teknis produksi yang digunakan meliputi : jumlah
tenaga kerja (X1) dengan satuan orang, jumlah bahan bakar (X2) dengan satuan
liter/ tahun, panjang jaring (X3) dengan satuan meter, tinggi jaring (X4) dengan
satuan meter, jumlah hari penangkapan/ jumlah trip penangkapan (X5) dengan
satuan hari/tahun ukuran kapal (X6) dengan satuan GT dan jumlah lampu (X7),
serta jumlah hasil tangkapan ikan (Y) yang dinyatakan dalam (ton/tahun)
(Lampiran 3).
Hasil analisis regresi linier berganda pada Lampiran 4, didapatkan
hubungan antara faktor-faktor produksi dengan hasil tangkapan bagan perahu
dengan persamaan sebagai berikut :
Y= -1703,522 – 14,124 X1 + 0,014 X2 + 1,145 X3 – 4,934 X4 – 0,512 X5 +
97,096 X6 + 9,297 X7
65
Hasil analisis menggunakan uji statistik dengan uji F diperoleh F hitung > F
tabel
(12,583 > 2,224) hal ini berarti bahwa secara keseluruhan faktor teknis
produksi berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan pada tingkat kepercayaan
95% (Tabel 13 dan Lampiran 4). Berdasarkan hasil uji F menunjukkan bahwa
faktor-faktor teknis tersebut dapat digunakan sebagai parameter untuk
menjelaskan persamaan regresi tersebut. Keterkaitan hubungan ini dapat dilihat
dari besarnya nilai koefesien determinasi (R2) yaitu 67% yang berarti model
penduga yang diperoleh dapat menjelaskan model sesungguhnya sebesar 0,67.
Tabel 13 Hasil analisis regresi linier berganda
Sumber
Regresi
Galat
Sisa
DF
SS
MS
F hitung
F tabel (0,05)
7
42
49
34.943,95
16.661,99
51.605,94
4.991,99
396,71
12,58
2,22
Untuk menguji pengaruh masing-masing faktor terhadap produksi jumlah
hasil tangkapan maka dilakukan dengan uji t- student. Berdasarkan hasil analisis
korelasi antar variabel bebas menunjukkan bahwa jumlah lampu (X7), bahan
bakar (X2), dan ukuran kapal (X6) berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan.
Sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut: :
Y = -1.514,83 + 8,47 X7 + 0,12 X2 + 80,14 X6
Nilai intersep sebesar 1514,826 pada persamaan regresi linier berganda
menunjukkan nilai konstanta yaitu nilai produksi pada saat faktor-faktor teknis
yang digunakan sama dengan nol. Tanda negatif pada intersep menunjukkan
bahwa titik potong tersebut terletak pada sumbu Y yang negatif.
Berdasarkan uji t dan menggunakan program SPSS 12 diperoleh bahwa
faktor teknis yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan (Y) adalah jumlah
lampu (X7), bahan bakar (X2), dan ukuran kapal (X6) pada tingkat kepercayaan
95 %, sedangkan jumlah anak buah kapal (X1), panjang jaring (X3), tinggi jaring
(X4), jumlah hari penangkapan/ jumlah trip penangkapan (X5) tidak berpengaruh
nyata terhadap hasil tangkapan, dapat dilihat pada Gambar 16-18.
Koefesien regresi faktor teknis jumlah lampu (X7) sebesar 8,47 yang
berarti searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, bahwa setiap
penambahan jumlah lampu akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar 8,47
ton/tahun dalam keadaaan cateris peribus. (Gambar 19).
66
Hasil tangkapan (Ton/
250
200
150
100
y = 14,611x - 603,99
R2 = 0,3909
50
0
47
48
49
50
51
52
53
54
55
Jumlah lampu
Gambar 19 Hubungan antara jumlah lampu dengan hasil tangkapan (ton).
Koefesien regresi faktor teknis bahan bakar sebesar 0,12 yang berarti
searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, bahwa setiap penambahan
bahan bakar (liter/tahun) akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar 0,12
ton/tahun dalam keadaan cateris peribus. Berdasarkan perhitungan dengan uji t,
faktor teknis bahan bakar berbeda nyata terhadap hasil tangkapan. Hal ini
disebabkan karena dengan bertambahnya bahan bakar yang digunakan maka
operasi penangkapan semakin jauh dan semakin luas sehingga kemungkinan
banyaknya hasil tangkapan yang diperoleh pun semakin meningkat (Gambar 20).
Hasil tangkapan (Ton/
250
200
150
y = 0,0237x - 177,84
R2 = 0,2539
100
50
0
12500
13000
13500
14000
14500
15000
15500
16000
BBM (Liter /thn)
Gambar 20 Hubungan antara BBM dengan hasil tangkapan (ton).
Faktor teknis ukuran kapal (X6) sebesar 80,14 yang berarti searah dengan
peningkatan jumlah hasil tangkapan, bahwa setiap penambahan ukuran kapal
penangkapan akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar 80,14 ton/tahun dalam
keadaan cateris peribus. Ukuran kapal memberikan pengaruh terhadap produksi
hasil tangkapan, ini disebabkan karena kapal yang berukuran besar umumnya
dilengkapi dengan mesin penggerak yang bertenaga besar, mampu membawa
ABK yang lebih banyak dan jaring yang berukuran besar, serta kemampuan kapal
dalam menampung hasil tangkapan yang lebih besar. Keterkaitan seluruh faktor
67
input tersebut pada saat pengoperasian alat tangkap akan lebih memudahkan
proses tersebut sehingga secara tidak langsung mampu meningkatkan hasil
tangkapan (Gambar 21).
Hasil tangkapan (Ton/
250
200
150
100
y = 186x - 2723,6
R2 = 0,2817
50
0
15,2
15,25
15,3
15,35
15,4
15,45
15,5
Ukuran kapal (GT)
Gambar 21 Hubungan antara ukuran kapal (GT) dengan hasil tangkapan (ton).
Persamaan produksi yang diperoleh menunjukkan pengaruh antar faktor
teknis produksi terhadap hasil tangkapan. Semua koefesien regresi dalam
persamaan tersebut tidak semuanya bernilai positif. Sehingga peningkatan setiap
faktor produksi tidak selalu berdampak pada peningkatan produksi. Hal ini
mengingat ada pembatas untuk setiap faktor teknis produksi. Misalnya panjang
jaring (X3), tinggi jaring (X4) dan hari penangkapan (X5). Panjang jaring dan
tinggi jaring dibatasi oleh kapasitas atau ruang yang tersedia pada kapal.
Kapasitas atau ruang akan berhubungan dengan ukuran kapal yang digunakan.
Daerah penangkapan ikan juga menjadi pembatas. Jauh dekat daerah penangkapan
ikan juga ditentukan dari ukuran jaring yang digunakan pada saat operasi
penangkapan, baik untuk panjang maupun tinggi jaring.
5.6 Aspek Biologi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil pada Bagan,
Purse seine, Jaring insang hanyut dan Payang
5.6.1 Produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit penangkapan
Hasil tangkapan unit penangkapan di Kabupaten Polewali Mandar dalam
sepuluh tahun terakhir (1994-2003) mengalami peningkatan secara fluktuatif
(Gambar 22). Fluktuasi hasil tangkapan tersebut dapat diakibatkan oleh beberapa
hal, diantaranya jumlah dan efesiensi unit penangkapan ikan yang digunakan oleh
nelayan, lamanya operasi nelayan, kelimpahan ikan yang akan ditangkap serta
keadaan lingkungan seperti suhu, salinitas, arus dan curah hujan.
68
Tabel 14 Perkembangan produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit
penangkapan ikan tahun 1994-2003
Tahun
Catch (Kg)
CPUE
Effort
1994
5.038.200
117.530
42,87
1995
5.030.200
117.247
42,90
1996
5.014.000
115.063
43,58
1997
4.841.809
97.614
49,60
1998
4.802.268
93.945
51,12
1999
4.762.192
90.960
52,35
2000
4.353.800
75.655
57,55
2001
4.675.400
67.832
68,93
2002
5.395.000
84.099
64,15
2003
6.650.100
82.517
80,59
Sumber: Dinas Perikanan dan kelautan, Kabupaten Polewali Mandar, 2003.
Produksi hasil tangkapan unit penangkapan di Kabupaten Polewali
Mandar tahun 1994-2003 secara umum mengalami peningkatan secara fluktuasi
(Gambar 22). Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2003 sebesar 6.650.100 kg,
sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar 4.353.400 kg.
7000000
y = 84022x - 2E+08
R2 = 0,1667
Catch (kg/tahu
6000000
5000000
4000000
3000000
2000000
1000000
0
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 22 Perkembangan produksi unit penangkapan ikan tahun 1994-2003.
Upaya penangkapan (effort) unit penangkapan di Kabupaten Polewali
Mandar secara umum cenderung mengalami penurunan (Gambar 23). Upaya
penangkapan tertinggi pada tahun 1994 yaitu sebesar 117.530 trip, sedangkan
effort terendah pada tahun 2001 yaitu sebesar 67.832 trip.
Upaya penangkapan (trip per t
69
140000
y = -5164,7x + 1E+07
R2 = 0,783
120000
100000
80000
60000
40000
20000
0
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 23 Perkembangan upaya penangkapan (effort) unit penangkapan ikan
tahun 1994-2003.
Catch per unit effort (CPUE) unit penangkapan di Kabupaten Polewali
Mandar secara umum cenderung mengalami peningkatan. CPUE tertinggi pada
tahun 2003 yaitu sebesar 80,59 kg per unit, sedangkan CPUE terendah pada tahun
1994 yaitu sebesar 42,87 kg per unit (Gambar 24).
y = 3,8792x - 7697,3
R2 = 0,8786
90,00
80,00
CPUE (kg/tr
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 24 Perkembangan catch per unit effort (CPUE) unit penangkapan ikan
tahun 1994-2003.
5.6.2. Tingkat pemanfaatan dan pengupayaan sumberdaya ikan
Berdasarkan nilai maksimum lestari (MSY) di Kabupaten Polewali
Mandar, maka tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan periode tahun 1994-2003
dapat diketahui. Nilai MSY yang diperoleh sebesar 6.546.110 kg per tahun,
diketahui bahwa rata-rata tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten
Polewali Mandar sebesar 77,24 per tahun, dengan tingkat pemanfaatan paling
tinggi pada tahun 2003 sebesar 101,59% dan paling rendah pada tahun 2000
sebesar 66,51%. Selengkapnya tentang tingkat dan perkembangan pemanfaatan
sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar disajikan pada Tabel 15 dan
Gambar 25.
70
Tabel 15 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar
tahun 1994-2003
Tingkat pemanfaatan
(%)
1994
5.038.200
76,96
1995
5.030.200
76,84
1996
5.014.000
76,60
1997
4.841.809
73,96
1998
4.802.268
73,36
1999
4.762.192
72,75
2000
4.353.800
66,51
2001
4.675.400
71,42
2002
5.395.000
82,42
2003
6.650.100
101,59
Sumber: Dinas Perikanan dan kelautan, Kabupaten Polewali Mandar, 2003.
Tahun
Catch total (Kg)
Tingkat pemanfaatan
120,00
y = 1,2835x - 2487,9
R2 = 0,1667
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 25 Perkembangan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten
Polewali Mandar tahun 1994-2003.
Berdasarkan nilai effort maksimum lestari (Emsy) di Kabupaten Polewali
Mandar, maka tingkat pengupayaan sumberdaya ikan periode tahun 1994-2003
dapat diketahui. Nilai Emsy yang diperoleh sebesar 99.590,91 kg per tahun,
diketahui bahwa rata-rata tingkat pengupayaan sumberdaya ikan di Kabupaten
Polewali Mandar sebesar 94,63%, dengan tingkat pengupayaan paling tinggi pada
tahun 1994 sebesar 118,01% dan paling rendah pada tahun 2001 sebesar 68,11%.
Selengkapnya tentang tingkat dan perkembangan pengupayaan sumberdaya ikan
di Kabupaten Polewali Mandar disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 26.
71
Tabel 16 Tingkat pengupayaan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar
tahun 1994-2003
Effort total
Tingkat pengupayaan
(Trip)
(%)
1994
117.530
118,01
1995
117.247
117,73
1996
115.063
115,54
1997
97.614
98,01
1998
93.945
94,33
1999
90.960
91,33
2000
75.655
75,97
2001
67.832
68,11
2002
84.099
84,44
2003
82.517
82,86
Sumber: Dinas Perikanan dan kelautan, Kabupaten Polewali Mandar, 2003.
Tahun
Tingkat pengupayaan
140,00
y = -5,1859x + 10459
R2 = 0,783
120,00
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 26 Perkembangan tingkat pengupayaan sumberdaya ikan di Kabupaten
Polewali Mandar tahun 1994-2003.
Kurva hubungan antara produksi (catch), upaya penangkapan (effort),
tingkat pemanfaatan dan pengupayaan unit penangkapan ikan di Kabupaten
Polewali Mandar (Gambar 27). Hasil analisis produksi ikan menggunakan model
Schaefer, menunjukkan upaya penangkapan optimum (Emsy) sebesar 99.590 trip
per tahun, sedangkan hasil tangkapan optimum (Cmsy) sebesar 6.546.110 kg per
tahun.
Hubungan antara upaya penangkapan bagan dan hasil tangkapan
berbentuk parabola (fungsi kuadratik), artinya setiap penambahan tingkat upaya
penangkapan (E) maka akan meningkatkan hasil tangkapan (h) sampai mencapai
titik maksimum, kemudian akan terjadi penurunan hasil tangkapan untuk setiap
pengusahaan sumberdaya.
72
hmsy =6.546.110,45 kg per tahun
2003
2002 1996 1995
1997
1994
1998
1999
2001
2000
Emsy = 99.590 trip per tahun
Gambar 27 Status produksi dan upaya penangkapan hubungannya dengan hasil
tangkapan lestari dan upaya optimum.
5.6.3 Produktivitas unit penangkapan
1) Bagan perahu
Perkembangan produksi hasil tangkapan, upaya penangkapan (effort) dan
CPUE pada bagan tahun 1994-2004 disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan (effort)
bagan tahun 1994-2003
Total Produksi
CPUE
Effort
(Kg)
(Trip/ tahun)
(kg/trip)
1994
825.000
8.351
98,79
1995
847.300
8.208
103,23
1996
872.000
8.206
106,26
1997
766.651
8.723
87,89
1998
766.771
8.724
87,89
1999
766.530
8.722
87,88
2000
605.400
8.057
75,14
2001
611.400
8.481
72,09
2002
670.200
8.616
77,79
2003
611.800
7.488
81,70
Sumber: Dinas Perikanan dan kelautan, Kabupaten Polewali Mandar, 2003.
Tahun
73
Produksi hasil tangkapan bagan dari tahun 1994-2004 secara umum
mengalami peningkatan secara fluktuatif (Gambar 28). Produksi tertinggi terjadi
pada tahun 2004 sebesar 1.341.100 kg, sedangkan produksi terendah terjadi pada
tahun 2000 yaitu sebesar 605.400 kg.
Hasil tangkapan (kg/ta
1600000
1400000
y = 5102,1x - 9E+06
R2 = 0,0067
1200000
1000000
800000
600000
400000
200000
0
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 28 Perkembangan produksi penangkapan pada bagan tahun 1994-2003.
Upaya
penangkapan
bagan
secara
umum
cenderung
mengalami
peningkatan (Gambar 29). Upaya penangkapan tertinggi pada tahun 2004 yaitu
sebesar 14.630 trip, sedangkan effort terendah pada tahun 2003 yaitu sebesar
7.488 trip.
16000
y = 259,95x - 510703
R2 = 0,2001
Effort (trip/tah
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 29 Upaya penangkapan (effort) pada bagan tahun 1994-2003.
Catch per unit effort (CPUE) pada bagan secara umum cenderung
mengalami penurunan (Gambar 30). Catch per unit effort (CPUE) tertinggi pada
tahun 1996 yaitu sebesar 106,26 kg per unit, sedangkan CPUE terendah pada
tahun 2001 yaitu sebesar 72,09 kg per unit.
74
120,00
CPUE (kg/tr
100,00
80,00
60,00
y = -2,2863x + 4658,6
R2 = 0,4573
40,00
20,00
0,00
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 30 Catch per unit effort (CPUE) pada bagan tahun 1994-2003.
2) Purse seine
Perkembangan produksi hasil tangkapan, upaya penangkapan (trip) dan
CPUE purse seine tahun 1994-2003 disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan (effort)
purse seine tahun 1994-2003
Tahun
Catch (Kg)
Effort
CPUE
1994
75.400
923
81,69
1995
78.300
920
85,11
1996
78.500
1.012
77,57
1997
92.100
964
95,54
1998
92.600
966
95,86
1999
93.700
970
96,60
2000
96.200
972
98,97
2001
113.200
974
116,22
2002
118.400
970
122,06
2003
225.000
1.482
151,82
Sumber: Dinas Perikanan dan kelautan, Kabupaten Polewali Mandar, 2003.
Produksi hasil tangkapan purse seine dari tahun 1994-2003 secara umum
mengalami peningkatan (Gambar 31). Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2003
sebesar 225.000 kg, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 1994 yaitu
sebesar 75.400 kg.
75
Catch (kg/tahu
250000
y = 10994x - 2E+07
R2 = 0,5716
200000
150000
100000
50000
0
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 31 Perkembangan produksi penangkapan pada purse seine tahun
1994-2003.
Upaya penangkapan secara umum cenderung mengalami peningkatan
(Gambar 32). Pada tahun 1995 upaya penangkapan (effort) terendah yaitu sebesar
920 trip, sedangkan upaya penangkapan tertinggi (effort) pada tahun
2003
sebesar 1.482 trip.
1600
y = 31,63x - 62198
R2 = 0,3326
1400
Upaya (tri
1200
1000
800
600
400
200
0
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 32 Upaya penangkapan (effort) pada purse seine tahun 1994-2003.
Cacth per unit effort (CPUE) secara umum cenderung mengalami
peningkatan (Gambar 33). Pada tahun 1996 CPUE terendah yaitu sebesar 77,57
kg per unit, sedangkan CPUE tertinggi pada tahun 2003 sebesar 151,82 trip per
unit.
160,00
y = 6,6312x - 13150
R2 = 0,8063
CPUE (catch/eff
140,00
120,00
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 33 Catch per unit effort (CPUE) pada purse seine tahun 1994-2003.
76
3) Jaring insang hanyut
Perkembangan produksi hasil tangkapan, upaya penangkapan (effort) dan
CPUE jaring insang hanyut tahun 1994-2003 disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan (effort)
jaring insang hanyut tahun 1994-2003
Tahun
Catch (Kg)
CPUE
Effort
1994
1.543.200
82.757
18,65
1995
1.514.800
82.749
18,31
1996
1.484.600
80.414
18,46
1997
1.416.100
64.200
22,06
1998
1.386.000
61.194
22,65
1999
1.379.300
60.473
22,81
2000
1.116.600
47.355
23,58
2001
1.450.300
37.718
38,45
2002
1.256.300
53.374
23,54
2003
987.600
14.140
69,84
Sumber: Dinas Perikanan dan kelautan, Kabupaten Polewali Mandar, 2003.
Produksi hasil tangkapan tahun 1994-2003 secara umum mengalami
penurunan (Gambar 34). Produksi tertinggi terjadi pada tahun 1996 sebesar
1.484.600 kg, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar
1.116.600 kg.
1800000
1600000
1400000
Cacth
1200000
1000000
800000
y = -47798x + 1E+08
R2 = 0,6418
600000
400000
200000
0
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 34 Perkembangan produksi penangkapan pada jaring insang hanyut tahun
1994-2003.
Upaya penangkapan secara umum cenderung mengalami penurunan
(Gambar 35). Pada tahun 2001 upaya penangkapan (effort) terendah yaitu sebesar
37.718 trip, sedangkan upaya penangkapan tertinggi (effort) pada tahun 1994
sebesar 82.757 trip.
Effor
77
100000
90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
1993
y = -6593,4x + 1E+07
R2 = 0,8438
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 35 Upaya penangkapan (effort) pada jaring insang hanyut tahun
1994-2003.
Cacth per unit effort (CPUE) secara umum cenderung mengalami
peningkatan (Gambar 36). Pada tahun 2003 catch per unit effort (CPUE) tertinggi
sebesar 69,84 kg per unit sedangkan CPUE terendah pada tahun 1995 sebesar
18,31 kg per unit.
80,000
y = 3,6489x - 7264,5
R2 = 0,4855
70,000
CPUE
60,000
50,000
40,000
30,000
20,000
10,000
0,000
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 36 Perkembangan catch per unit effort (CPUE) pada jaring insang hanyut
tahun 1994-2003.
4) Payang
Perkembangan produksi hasil tangkapan, upaya penangkapan (effort) dan
CPUE payang tahun 1994-2003 disajikan pada Tabel 20. Produksi hasil tangkapan
tahun 1994-2003 secara umum mengalami peningkatan (Gambar 37). Produksi
tertinggi terjadi pada tahun 2003 sebesar 4.825.700 kg, sedangkan produksi
terendah terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 2.500.500 kg.
78
Tabel 20 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan (effort)
payang tahun 1994-2003
Tahun
Catch (kg)
CPUE
Effort
1994
2.594.600
25.499
101,75
1995
2.589.800
25.370
102,08
1996
2.578.900
25.430
101,41
1997
2.566.959
23.727
108,19
1998
2.556.897
23.061
110,88
1999
2..522.662
20.795
121,31
2000
2.535.600
19.271
131,58
2001
2.500.500
20.659
121,04
2002
3.350.100
21.139
158,48
2003
4.825.700
59.407
81,23
Sumber: Dinas Perikanan dan kelautan, Kabupaten Polewali Mandar, 2003.
y = 150798x - 3E+08
R2 = 0,3866
6000000
Catch (kg/tahu
5000000
4000000
3000000
2000000
1000000
0
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 37 Perkembangan produksi penangkapan pada payang tahun 1994-2003.
Upaya penangkapan secara umum cenderung mengalami peningkatan
(Gambar 38). Pada tahun 2000 upaya penangkapan (effort) terendah yaitu sebesar
19.271 trip, sedangkan upaya penangkapan tertinggi (effort) pada tahun 2003
sebesar 59.407 trip.
70000
Effort (trip/tah
60000
y = 1430,7x - 3E+06
R2 = 0,1347
50000
40000
30000
20000
10000
0
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 38 Upaya penangkapan (effort) pada payang tahun 1994-2003.
79
Cacth per unit effort (CPUE) secara umum cenderung mengalami
peningkatan (Gambar 39). Pada tahun 2003 catch per unit effort (CPUE) terendah
yaitu sebesar 81,23 kg per unit sedangkan CPUE tertinggi tahun 2002 sebesar
158,48 kg per unit.
y = 2,3565x - 4595,6
R2 = 0,1158
180,00
CPUE (kg/effo
160,00
140,00
120,00
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 39 Perkembangan catch per unit effort (CPUE) pada payang tahun 19942003.
5.7 Aspek Sosial
Fenomena mengenai pengkajian aspek sosial nelayan bagan di Polewali
merupakan hal yang sangat menarik untuk diamati. Aspek sosial yang dikaji
adalah melihat kondisi masyarakat perikanan bagan dan stakeholder lainnya yang
menjadi salah satu tujuan untuk pengembangan kegiatan perikanan bagan di
Polewali, Kabupaten Polewali Mandar. Analisis aspek sosial meliputi penyerapan
tenaga kerja per unit penangkapan, latar belakang pendidikan, penerimaan nelayan
terhadap unit penangkapan bagan, konflik sosial, dan kelembagaan sosial.
5.7.1 Penyerapan tenaga kerja
Penyerapan tenaga kerja dilihat dari jumlah tenaga kerja yang ikut dalam
pengoperasian unit penangkapan bagan. Hasil wawancara nelayan menyatakan
bahwa jumlah tenaga kerja dalam satu unit penangkapan bagan berkisar antara 910 orang termasuk di dalamnya kapten kapal. Tetapi diluar dari pengoperasian
unit penangkapan bagan maka lebih banyak tenaga kerja yang diserap oleh bagan
misalnya kuli angkut hasil tangkapan, penjual ikan, pedagang, dan tenaga kerja
yang lain.
80
5.7.2 Latar belakang pendidikan
Tingkat pendidikan nelayan bagan di Polewali masih tergolong relatif
rendah. Pada umumnya tingkat pendidikan secara formal nelayan di Polewali
mayoritas SLTP dan SD dan hanya sebagian tamat SLTA. Rendahnya tingkat
pendidikan dapat dilihat dengan masih tingginya tingkat pendidikan SD bagi
sebagian besar masyarakat nelayan. Hal ini menjadi kendala utama dalam
memberdayakan
masyarakat
nelayan.
Tingkat
pendidikan
yang
rendah,
memungkinkan kurang bijaksana dalam pemanfaatan sumberdaya hayati laut dan
kurang wawasan dalam pengelolaan perikanan.
5.7.3 Penerimaan nelayan terhadap unit penangkapan bagan perahu
Keberadaan unit penangkapan bagan di Polewali memberikan respon yang
positif bagi nelayan khususnya masyarakat pesisir begitu pun dengan nelayan alat
tangkap lain. Bagi masyarakat pesisir memberikan nilai plus tersendiri karena
dengan adanya bagan di Polewali maka banyak masyarakat pesisir yang mencari
pekerjaan lewat alat tangkap tersebut misalnya masyarakat pesisir yang putus
sekolah profesinya menjadi nelayan bagan (ABK), penjual ikan (tengkulak), kuli
angkut sebagai pengangkut hasil tangkapan dari atas kapal ke pelelangan ikan,
pedagang dan aktivitas lain. Sehingga dengan keberadaan bagan di Polewali maka
banyak menyerap tenaga kerja dan secara tidak langsung memperluas lapangan
pekerjaan khususnya masyarakat pesisir setempat.
Persepsi nelayan untuk alat tangkap lain juga memberikan respon yang
posistif, artinya keberadaan bagan selama ini tidak memberikan konflik sosial
terhadap alat tangkap lain. Namun saling membantu dalam hal penangkapan ikan.
Salah satu contoh yaitu nelayan pancing ulur merasa senang karena dapat
memancing di sekitar bagan sehingga dapat memberikan keuntungan tersendiri
bagi nelayan pancing ulur. Selain itu, bila nelayan bagan memperoleh hasil
tangkapan maka dengan suka rela memberikan hasil tangkapannya sedikit untuk
keperluan makan bagi nelayan lain. Sehingga persepsi nelayan alat tangkap lain
secara langsung menerima keberadaan bagan di Polewali.
81
5.7.4 Konflik sosial
Status konflik perlu menjadi perhatian dalam pembangunan perikanan
berkelanjutan khususnya pada perikanan bagan. Status konflik sangat erat
kaitannya dengan penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Berdasarkan wawancara dengan nelayan, konflik sosial belum pernah
terjadi baik antar nelayan bagan maupun dengan alat tangkap yang lain. Namun
bukan berarti kebijakan sektor perikanan dalam hal zona penangkapan dan
kebijakan hal-hal yang tidak perlu lagi diberlakukan. Tetapi sangat perlu
diberlakukan demi menghidari terjadinya konflik sosial kedepannya.
5.7.5 Kelembagaan perikanan bagan
Adapun lembaga yang terkait dalam perikanan bagan di Polewali antara
lain kelembagaan pemerintah, dan kelembagaan permodalan.
5.7.5.1 Kelembagaan pemerintah
Pemerintah sangat dominan perannya dalam pengembangan perikanan
karena berfungsi sebagai fasilitator bagi berjalannya kelembagaan dunia
perikanan. Dari hasil wawancara dengan pegawai Dinas Perikanan dan Kalautan
menyatakan bahwa program kerja yang utama untuk nelayan ditiitkberatkan pada
pembinaan SDM nelayan, perkuatan modal serta peningkatan sarana dan
prasarana yang mendukung bagi nelayan.
5.7.5.2 Kelembagaan permodalan
1) Bank
Kelembagaan permodalan memegang peranan yang sangat penting dalam
pengembangan usaha perikanan bagan, terutama dalam penyediaan modal
investasi dan modal kerja. Nelayan di Polewali dapat mengakses lembaga
permodalan melalui bank. Berdasarkan hasil wawancara, bank yang menyediakan
kredit yang dapat diakses oleh nelayan dan investor perikanan adalah Bank
Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Negara Indonesia (BNI).
Berdasarkan hal tersebut, terlihat adanya peluang nelayan maupun
pengusaha perikanan bagan di Polewali untuk memanfatkan kredit dalam konteks
pengembangan usaha. Hanya saja realitas menunjukkan bahwa jumlah nelayan
maupun pengusaha yang memanfaatkan fasilitas kredit perbankan masih relatif
82
minim. Hal ini disebabkan karena pemahaman tentang kredit bank bagi nelayan
masih begitu awam, serta kehawatiran yang tinggi tidak sanggup membayar bunga
dari bank sehingga mereka masih cenderung untuk meminjam kepada keluarga
terdekat sebagai modal dalam berusaha.
2) Koperasi
Koperasi termasuk lembaga yang memiliki peranan yang penting dalam
penyediaan modal karena penyaluran kredit baik yang bersumber dari perbankan
maupun bantuan pemerintah disalurkan melalui lembaga ini. Dijadikannya
koperasi sebagai lembaga terdepan dalam penyaluran kredit didasarkan pada
pertimbangan pemahaman yang baik terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
serta pertimbangan prosedural yang lebih fleksibel. Namun kondisi di lapangan
menyatakan bahwa koperasi tidak berjalan dengan baik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus koperasi nelayan diketahui
bahwa realisasi jumlah nelayan yang memanfaatkan kredit untuk pengembangan
usaha masih sangat kurang. Dalam hal permodalan usaha, nelayan lebih memilih
menggunakan dana pibadi atau sumber-sumber pendanaan informal lainnya. Ada
beberapa hal yang mempengaruhi keengganan nelayan memanfaatkan kredit dari
koperasi yaitu (1) Sifat peminjaman koperasi masih memberatkan nelayan; (2)
Jangka waktu pinjaman yang terlalu singkat; (3) Nelayan lebih senang meminjam
modal pada keluarga.
Gambaran yang dikemukakan di atas menjelaskan, bahwa kinerja koperasi
masih belum optimal dalam mendukung perkembangan perikanan bagan di
Polewali. Dengan pengelolaan koperasi yang lebih profesional serta sistem
manajemen resiko yang baik diharapkan kinerja koperasi dapat terus ditingkatkan
dimasa akan datang.
3) Kelompok nelayan
Masyarakat
nelayan
di
Polewali
mempunyai
kelembagaan
yang
berpolakan kelompok nelayan dalam suatu wadah organisasi kemasyarakatan
nelayan (ormas). Hasil dari inspirasi hubungan juragan kapal, nelayan dan kapten
kapal. Sejak turun temurun, terdapat hubungan antara nelayan dengan para
juragan kapal sebagai pemilik modal atau yang memiliki unit penangkapan dan
nelayan yang bekerja menangkap/ mengumpulkan sumberdaya perikanan di laut.
83
Hasil tangkapan tersebut dikumpul oleh masing-masing juragan untuk kemudian
dijual ke tengkulak (pedagang pengumpul ikan) kemudian tengkulak menjual
langsung ke pasar.
5.8 Aspek Ekonomi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil
5.8.1 Biaya penangkapan
Usaha pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan
memerlukan biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost). Dalam
penelitian ini, yang dimaksud biaya tetap adalah biaya yang sifatnya tidak habis
digunakan dalam satu kali operasional penangkapan. Biaya tetap terdiri atas
penyusutan kapal, penyusutan alat tangkap, penyusutun mesin dan perlengkapan
lainnya. Biaya tidak tetap adalah biaya yang sifatnya habis pakai pada setiap
operasi penangkapan. Biaya tidak tetap meliputi: biaya bahan bakar, es, ransum
dan retribusi.
Menurut Fauzi (2004), Model Statik Gordon-Schaefer menganut beberapa
asumsi yang meliputi:
1)
Harga per satuan output, (Rp per kg) diasumsikan konstan atau kurva
permintaan diasumsikan elastis sempurna.
2)
Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan.
3)
Struktur pasar bersifat kompetitif.
4)
Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan.
Biaya penangkapan dalam kajian bio-ekonomi Model Statik Gordon-
Schaefer, didasarkan atas asumsi: hanya memperhitungkan faktor penangkapan
dan dianggap konstan, sehingga biaya penangkapan yang dibutuhkan dalam
kegiatan penangkapan yaitu bahan bakar, es, ransum dan biaya retribusi. Hasil
penelitian yang dilakukan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi
Barat menunjukkan bahwa biaya penangkapan terhadap usaha penangkapan bagan
perahu sebesar Rp 416.600 per trip penangkapan (Tabel 14).
84
Tabel 21 Struktur biaya penangkapan ikan pelagis kecil dengan bagan perahu di
Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat tahun 2007
No
Kebutuhan Melaut
1
Solar
2
Oli
3
Minyak tanah
4
Ransum
5
Es
6
Retribusi
Total Biaya penangkapan per trip
Sumber : Data primer diolah 2007.
Keterangan:
Nilai (Rp)*
243.000
8.500
2.600
50.000
100.000
12.500
416.600
* Dihitung pada tingkat harga BBM solar
Persentasi
(%)
58,33
2,04
0,62
12,00
24,00
3,00
100,00
Rp 4.500
5.8.2 Analisis harga ikan hasil tangkapan
Harga ikan yang bersifat konstan termasuk dalam asumsi yang dianut
model Gordon-Schaefer. Harga ikan dalam penelitian ini merupakan harga ratarata penjualan ikan dari dua musim penangkapan yang berbeda, yaitu musim
puncak dan musim biasa. Harga ini dipengaruhi oleh jumlah produksi pada musim
tertentu, jenis ikan dan selera konsumen. Pada saat musim puncak, ikan hasil
tangkapan lebih banyak dibanding pada saat musim biasa sehingga penawaran
menjadi lebih rendah, sedangkan pada saat musim biasa permintaan dan
penawaran terhadap hasil tangkapan tinggi tetapi produksinya lebih sedikit.
Hasil tangkapan utama bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali
Mandar, Sulawesi Barat yaitu teri (Stolephorus spp), kembung (Rastrelliger spp)
dan layang (Decapterus spp) (Saanin, 1984). Harga jual ikan teri untuk musim
puncak yaitu Rp 4.000/kg, kembung Rp 6000/kg dan layang Rp 5000/kg.
Sedangkan pada musim biasa/ musim jarang ikan nilai jual ikan pelagis kecil lebih
mahal. Adapun nilai jual untuk teri pada musim biasa sebesar Rp 5.000, kembung
Rp 8.000/ kg dan layang Rp 7.000/ kg (Tabel 15). Musim puncak ikan terjadi pada
bulan April-September sedangkan musim biasa atau musim jarang ikan terjadi
pada bulan Desember-Maret.
85
Tabel 22 Harga ikan pada musim puncak dan musim biasa
No
1
Uraian
Harga ikan musim puncak
Teri
Kembung
Layang
Harga Ikan musim biasa
2
Teri
Kembung
Layang
Sumber: Data primer diolah 2007.
Satuan
Volume
Harga
Jumlah
kg/trip
kg/trip
kg/trip
450
200
200
4.000
6.000
5.000
1.800.000
1.200.000
1.000.000
kg/trip
kg/trip
kg/trip
450
200
200
5.000
8.000
7.000
2.250.000
1.600.000
1.400.000
5.9 Analisis Bio-ekonomi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil
Analisis bio-ekonomi dengan pendekatan secara biologi dan ekonomi
merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang dapat diterapkan demi upaya
optimalisasi pengusahaan sumberdaya secara berkelanjutan. Optimalisasi Bioekonomi yang dilakukan dalam penelitian ini mengikuti Model Gordon-Schaefer.
Hasil tangkapan menunjukan produksi pelagis kecil yang dihasilkan pada
tingkat upaya tertentu. Pada saat penangkapan masih rendah, peningkatan tingkat
upaya akan diikuti oleh peningkatan penerimaan usaha hingga mencapai
keseimbangan secara ekonomi. Disisi lain, biaya penangkapan akan meningkat
seiring dengan meningkatnya tingkat upaya penangkapan. Total penerimaan
diperoleh dari mengalikan harga nominal dengan hasil tangkapan, sedangkan total
biaya penangkapan per trip diperoleh dari biaya penangkapan per trip. Rente
ekonomi pelagis kecil merupakan selisih antara total penerimaan dengan total
biaya untuk melakukan trip penangkapan sebesar tingkat upaya penangkapan
masing-masing kondisi. Perbandingan hasil tangkapan pada kondisi aktual,
maximum sustainable yield (MSY), maximum economic yield (MEY) dan pada
kondisi open access (Oa) dapat dilihat pada Tabel 16.
86
Tabel 23 Optimalisasi bio-ekonomi dalam berbagai kondisi pengelolaan dan
kondisi aktual sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan perahu (lift
net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat
Hasil
tangkapan
(kg)
Aktual
82.517
6.650.100
MSY
99.590,91 6.546.110,45
MEY
54.504,33 5.204.462,65
Open acces
109.008,66 6.487.572,42
Sumber: Data primer diolah 2007.
Kondisi
pengelolaan
Effort
(trip)
Total
penerimaan
Total biaya
trip/thn (Rp)
Rente
ekonomi
46.550.700.000
45.822.773.180
36.431.238.540
45.413.006.920
34.376.582.200
41.489.572.730
32.724.140.400
45.413.006.920
12.174.117.800
4.333.200.450
3.707.091.400
0
Pada optimalisasi bio-ekonomi dalam Tabel 14 dapat diplot menjadi grafik
yang menunjukkan perbandingan hasil tangkapan effort dan rente ekonomi yang
dilakukan untuk masing-masing kondisi. Untuk grafik perbandingan hasil
tangkapan (produksi hasil tangkapan) pada kondisi aktual, maximum sustainable
yield, maximum economi yield dan open access pada periode 1994-2003 dapat
dilihat pada Gambar 40.
6650100
6546110,45
Hasil tangkapan (Kg/ta
7000000
6487572,42
5204462,65
6000000
5000000
4000000
3000000
2000000
1000000
0
Aktual
MSY
MEY
Open acces
Gambar 40 Perbandingan hasil tangkapan ikan pelagis kecil dengan menggunakan
bagan (lift net) setiap kondisi periode 1994-2003.
Gambar 24 memperlihatkan bahwa hasil tangkapan yang didapat pada
kondisi pengusahaan sumberdaya MSY di Kabupaten Polewali Mandar tahun
1994-2003 sebesar 6.546.110,45 kg. Hasil tangkapan tersebut lebih besar jika
dibandingkan dengan hasil tangkapan yang didapat pada pengusahaan
sumberdaya MEY yaitu sebesar 5.204.462,65 kg, namun kondisi aktualnya
melebihi hasil tankapan MSY yaitu sebesar 6.650.100 kg, namun secara umum
dari tahun ke tahun belum melampaui kondisi MSY. Sedangkan hasil tangkapan
ikan pelagis kecil pada kondisi open access mencapai 6.487.572,42 kg. Hasil
tangkapan ikan pelagis kecil pada kondisi MSY adalah kondisi hasil tangkapan
yang maksimum lestari dimana jika hasil tangkapan sudah melebihi kondisi hasil
87
tangkapan ini maka mengakibatkan sumberdaya ikan kecil tersebut menjadi tidak
sustainable.
Perbandingan upaya penangkapan (effort) pada kondisi aktual, maximum
sustainable yield, maximum economic yield dan open acces dalam periode 19942003 dapat dilihat pada Gambar 41. Gambar 41 memperlihatkan rata-rata upaya
penangkapan yang dapat dilakukan armada bagan perahu (lift net) pada tingkat
MSY sebesar 99.590,91 trip. Upaya penangkapan tersebut lebih besar jika
dibandingkan dengan upaya penangkapan yang dilakukan pada tingkat produksi
MEY yaitu 54.504,33 trip dan pada tingkat produksi aktual yaitu 82.517 trip
sedangkan pada tingkat produksi open access yaitu sebesar 109.008,66 trip.
109008,66
120000
99590,91
82517
Effort (Trip/tah
100000
80000
54504,33
60000
40000
20000
0
Aktual
MSY
MEY
Open acces
Gambar 41 Perbandingan tingkat upaya penangkapan ikan pelagis kecil dengan
menggunakan bagan (lift net) pada setiap kondisi periode 1994-2003.
Perbandingan rente ekonomi upaya pengelolaan sumberdaya ikan pelagis
kecil dengan bagan perahu (lift net) pada kondisi aktual, maximum sustainable
yield (MSY), maximum economic yield (MEY) dan pada kondisi open access (Oa)
dalam periode 1994-2003 dapat dilihat pada Gambar 42.
14.000.000.000,00
12.174.117.800,00
Rente ekono
12.000.000.000,00
10.000.000.000,00
8.000.000.000,00
4.333.200.450,00
6.000.000.000,00
3.707.091.400,00
4.000.000.000,00
0,00
2.000.000.000,00
0,00
Aktual
MSY
MEY
Open acces
Gambar 42 Perbandingan rente ekonomi penangkapan ikan pelagis kecil dengan
menggunakan bagan (lift net) pada setiap kondisi periode 1994-2003.
88
Rente ekonomi tertinggi yang diperoleh nelayan bagan adalah pada tingkat
produksi MSY sebesar Rp 4.333.200.450 per tahun. Berkurangnya nilai rente
ekonomi akan terus berlangsung hingga dicapai keuntungan normal yaitu pada
saat tingkat upaya penangkapan yang dilakukan mencapai keseimbangan open
access ( π = 0 ). Jika terjadi peningkatan upaya penangkapan melebihi kondisi ini
maka akan mengakibatkan kerugian bagi nelayan.
Dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan (lift net),
TRmsy tercapai pada saat Emsy sebesar 99.590,91 hari operasi per tahun dengan hmsy
sebesar 6.546.110,45 kg per tahun. Berdasarkan nilai tersebut, maka TRmsy
diperoleh sebesar Rp 45.822.773.180 per tahun dengan TCmsy sebesar
41.489.572.730 per tahun, sehingga rente ekonominya (selisih antara TR dengan
TC) diperoleh sebesar 4.333.200.450 per tahun (Lampiran 6). Apabila effort terus
dinaikkan, sehingga melampaui Emsy maka total penerimaannya justru akan
mengalami penurunan, sementara total biaya penangkapan semakin meningkat.
Pada pengelolaan open access, meskipun total penerimaan semakin
menurun, selagi total penerimaan masih lebih besar dari total biaya penangkapan
(rente ekonomi positif), maka kondisi ini akan tetap dijalankan oleh nelayan untuk
bertahan dalam usaha penangkapan, dimana nelayan akan meningkatkan effort.
Jika tingkat effort sudah berlebihan, sehingga total penerimaan lebih kecil dari
total biaya penangkapan, maka sebagian pelaku perikanan akan keluar dari
kegiatan penangkapan tersebut, yang berarti menurunkan effort. Dengan demikian
titik keseimbangan open access akan terjadi pada saat total penerimaan sama
dengan total biaya penangkapan atau rente ekonomi sama dengan nol. Pada hasil
penelitian untuk rente ekonomi open access sama dengan nol. Pada usaha
pengelolaan ikan pelagis kecil dengan menggunakan bagan, bio-economic
equilibrium of open access fishery terjadi pada saat effort (Eoa) mencapai
109.008,66 trip per tahun dan tingkat hasil produksi (hoa) sebesar 6.487.572,42 kg
per tahun. Dengan demikian penerimaan total (TRoa) diperoleh sebesar
45.413.006.920 per tahun dan biaya penangkapan total (TCoa) sebesar Rp
45.413.006.920 per tahun.
Untuk keuntungan optimum lestari upaya pengelolaan sumberdaya ikan
pelagis kecil dengan bagan (lift net), tercapai pada tingkat effort (Emsy) sebesar
89
99.590,91 hari operasi per tahun dengan hasil produksi (hmsy) sebesar
6.546.110,45 kg per tahun, dengan penerimaan total (TRmey) yang diperoleh
sebesar 36.431.238.540 per tahun dan biaya penangkapan total (TCmey) sebesar Rp
32.724.140.400 per tahun. Berdasarkan nilai tersebut, maka rente ekonomi akan
diperoleh sebesar Rp 3.707.091.400.
Gambar 28 memperlihatkan grafik Bio-ekonomi hubungan total
penerimaan dan biaya penangkapan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan
pelagis kecil dengan bagan (lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar,
Sulawesi barat. Dengan adanya keuntungan dalam pengelolaan sumberdaya
menjadi pendorong bagi nelayan untuk mengembangkan armada penangkapan
maupun upaya penangkapan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan
sebanyak-banyaknya.
Rente Ekonomi (Rp)
TC
MSY
TR
MEY
B
Emey
Emsy Eoa
Gambar 43 Keseimbangan Bio-ekonomi Gordon-Schaefer untuk pengelolaan
sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan (lift net) di Polewali,
Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
6.0 Analisis Kelayakan Usaha Penangkapan Bagan Perahu
Analisis usaha merupakan suatu analisis dilakukan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan dari suatu kegiatan usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya. Analisis usaha penangkapan bagan perahu
90
yang dianalisis meliputi analisis finansial dan analisis investasi. Perhitungan
analisis usaha penangkapan bagan perahu adalah hanya untuk kegiatan
penangkapan ikan, sehingga jumlah trip yang dihitung hanya pada saat
menangkap ikan.
Investasi merupakan biaya awal yang dikeluarkan untuk melakukan usaha.
Biaya investasi yang dikeluarkan oleh nelayan pemilik untuk melakukan usaha
penangkapan dalam satu tahun adalah sebesar Rp 135.000.000 yang terdiri atas
biaya perahu/kapal, alat tangkap, mesin, rumpon, biaya perlengkapan dan lainlain (Lampiran 7).
Biaya usaha merupakan pengeluaran dari kegiatan usaha penangkapan
yang harus dikeluarkan. Biaya terdiri atas biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak
tetap (variable cost). Biaya tetap (fixed cost) merupakan biaya yang tetap harus
dikeluarkan meskipun tidak melakukan kegiatan penangkapan. Biaya tetap (fixed
cost) yang dikeluarkan oleh nelayan pemilik setiap tahunnya meliputi: biaya
perawatan dan biaya penyusutan unit penangkapan bagan perahu. Biaya tetap
yang dikeluarkan untuk setiap tahunnya sebesar Rp 33.250.000 (Lampiran 7 ).
Biaya tidak tetap (variable cost) adalah biaya yang hanya dikeluarkan
pada saat melakukan kegiatan penangkapan ikan. Biaya tidak tetap (variable cost)
yang dikeluarkan pada saat kegiatan operasi berlangsung meliputi biaya bahan
bakar (minyak tanah, bensin, oli), ransum dan retribusi. Rata-rata biaya tidak tetap
yang dikeluarkan dalam satu trip sebesar Rp. 404.100 dengan jumlah trip dalam
satu tahun sebanyak 288 trip, sehingga biaya tidak tetap yang harus dikeluarkan
dalam satu tahun sebesar Rp. 123.380.800 (Lampiran 8).
Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui keuntungan usaha yang
diterima nelayan, mengetahui hasil penjualan minimal atau hasil tangkapan
minimal dari sebuah unit penangkapan bagan perahu. Selain itu juga untuk
mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh selama umur ekonomis usaha,
besarnya penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur ekonomis
usaha dalam jangka waktu tertentu yang membuat nilai NPV dari usaha sama
dengan nol.
91
1) Analisis usaha
Analisis usaha dilakukan untuk mengetahui keuntungan usaha yang di
terima nelayan, hasil penjualan minimum atau hasil tangkapan minimal (BEP)
dari sebuah unit penangkapan bagan perahu selama satu tahun usaha.
BEP (Break Event Point) merupakan jumlah dan nilai minimal yang harus
diperoleh agar dapat menutupi total biaya. Berdasarkan hasil perhitungan BEP
diperoleh nilai produksi per tahun sebesar Rp 40.473.338,97 dengan volume
produksi per tahun sebesar 28.663,67 ton (Lampiran 12).
2) Analisis kriteria investasi
Analisis kriteria investasi dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha
penangkapan bagan perahu. Kriteria investasi yang digunakan adalah ROI. Usaha
perikanan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat khususnya
alat tangkap bagan merupakan salah satu usaha ekonomi yang berpotensi untuk
dapat
dikembangkan.
Berdasarkan
hasil
analisis
finansial
dengan
mempertimbangkan kriteria investasi, maka usaha perikanan bagan perahu di
Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat layak untuk di
kembangkan. Hal ini jelas terlihat dari nilai kelayakan usaha serta adanya peluang
pengembangan usaha perikanan bagan perahu.
Hasil perhitungan kelayakan usaha
menunjukkan, bahwa semua hal
yang terkait dengan usaha penangkapan mendapat keterangan layak untuk
diusahakan. Seperti untuk hasil analisis pendapatan untuk pemilik kapal, yang
dengan hasilnya itu dapat menutupi angsuran peminjaman serta upah yang
diterima oleh para karyawan kapal, mulai dari juragan kapal, dan ABK lainnya
yang diatas standar upah minimum yang ditetapkan oleh daerah semakin
memperjelas bahwa usaha perikanan bagan perahu layak untuk dikembangkan.
Usaha perikanan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat
khususnya alat tangkap bagan perahu merupakan salah satu usaha ekonomi yang
berpotensi untuk dapat dikembangkan. Berdasarkan hasil analisis finansial dengan
mempertimbangkan kriteria investasi, maka usaha perikanan bagan perahu di
Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat layak untuk di
kembangkan. Hal ini jelas terlihat dari nilai kelayakan usaha serta adanya peluang
pengembangan usaha perikanan bagan perahu.
92
Hasil perhitungan kelayakan usaha menunjukkan bahwa semua hal yang
terkait dengan usaha penangkapan mendapat keterangan layak untuk diusahakan.
Hasil analisis pendapatan untuk pemilik kapal, hasilnya itu dapat menutupi
angsuran peminjaman serta upah yang diterima oleh para karyawan kapal, mulai
dari juragan kapal, dan ABK lainnya yang diatas standar upah minimum yang
ditetapkan oleh daerah semakin memperjelas bahwa usaha perikanan bagan
perahu layak untuk dikembangkan.
93
6 PEMBAHASAN
6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu
Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali,
Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang × lebar × tinggi adalah 21 × 2,10
× 1,8 m, jika dibandingkan ukuran kapal di daerah lain yaitu bagan perahu di
perairan Barru, selat Makassar berukuran 29 × 2,53 × 2,43 m (Sudirman, 2003),
bagan perahu di perairan Sumatera Barat berukuran 20 × 3,5 × 2,2 m (Zebri,
2003).
Ukuran alat tangkap yang digunakan pada umumnya sama di setiap
daerah, demikian juga dengan ukuran mesh size 0,5 cm. Hal ini disebabkan karena
hasil tangkapan sebagai target tangkap adalah sama yaitu jenis ikan pelagis kecil
yang fototaksis positif. Sehingga spesies yang menjadi target tangkap operasi
penangkapan ikan yang dilakukan antara nelayan di sekitar Polewali dengan
nelayan di wilayah perairan Indonesia lainnya relatif sama.
Pengoperasian bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar
pada umumnya sama dengan bagan di daerah lain yaitu secara garis besar adalah
persiapan menuju fishing ground, setting, hauling dan penanganan hasil
tangkapan. Namun lamanya waktu operasi penangkapan ikan yang dilakukan
oleh nelayan bagan di Polewali berbeda dengan lamanya waktu yang dibutuhkan
oleh pengoperasian bagan di daerah lain. Waktu operasi penangkapan yang
dibutuhkan oleh nelayan bagan di Polewali sekitar ± 4-5 jam, namun hal ini tidak
dapat dijadikan sebagai patokan dasar karena lamanya jaring di bawah air,
tergantung dari banyaknya ikan yang terlihat di bawah air atau di sekitar bagan.
6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi
Aspek teknis merupakan aspek yang bertujuan untuk mengetahui input
(faktor teknis produksi) penangkapan ikan dengan menggunakan bagan perahu
yang berpengaruh terhadap output (hasil tangkapan bagan dalam satuan
ton/tahun).
Faktor teknis produksi yang digunakan meliputi : jumlah tenaga kerja (X1)
dengan satuan orang, jumlah bahan bakar (X2) dengan satuan liter/ tahun, panjang
94
jaring (X3) dengan satuan meter, tinggi jaring (X4) dengan satuan meter, jumlah
hari penangkapan/ jumlah trip penangkapan (X5) dengan satuan hari/tahun,
ukuran kapal (X6) dengan satuan GT dan jumlah lampu (X7), serta jumlah hasil
tangkapan ikan (Y) yang dinyatakan dalam (ton/tahun).
Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda dan hasil program SPSS
12, faktor yang memberikan pengaruh secara langsung terhadap jumlah hasil
tangkapan (Y) secara berturut-turut yaitu jumlah lampu (X7), bahan bakar (X2),
dan ukuran kapal (X6) pada tingkat kepercayaan 95%, sedangkan jumlah anak
buah kapal (X1), panjang jaring (X3), tinggi jaring (X4), jumlah hari
penangkapan/ jumlah trip penangkapan (X5) tidak berpengaruh nyata terhadap
hasil tangkapan.
Hasil perhitungan dengan uji t, faktor teknis jumlah lampu berpengaruh
nyata terhadap hasil tangkapan. Koefesien regresi faktor teknis jumlah lampu (X7)
sebesar 8,466 yang berarti searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan. Hal
ini disebabkan karena dengan bertambahnya penggunaan lampu dalam
pengoperasian bagan perahu, maka hasil tangkapan akan semakin meningkat.
Lampu yang dipakai untuk bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar
berkisar antara 48-54 buah. Lampu tersebut dipergunakan sebagai alat bantu untuk
menarik dan mengumpulkan gerombolan ikan sehingga memudahkan operasi
penangkapan. Penggunaan lampu ini memanfaatkan sifat ikan pelagis kecil yang
fototaksis positif terhadap cahaya, artinya jika terdapat sumber cahaya, maka ikan
akan mendekati sumber cahaya tersebut. Sehingga dengan jumlah lampu yang
semakin banyak, maka daerah yang dipengaruhi oleh cahaya akan semakin luas,
sehingga ikan yang datang mendekati catchable area juga semakin besar. Dengan
demikian, maka ikan tersebut lebih mudah untuk tertangkap. Ayodhyoa (1981)
menyatakan bahwa mekanisme tertariknya ikan terhadap cahaya belum diketahui
dengan jelas, namun diduga berkumpulnya ikan-ikan tersebut disebabkan oleh
keinginan mencari intensitas cahaya yang sesuai. Sehingga faktor utama yang
berperan penting dalam penangkapan bagan perahu untuk mendapatkan
banyaknya hasil tangkapan adalah banyaknya lampu yang digunakan dalam
penangkapan.
95
Koefesien regresi faktor teknis bahan bakar sebesar 0,12 yang berarti
searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, bahwa setiap penambahan
satu satuan bahan bakar akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar 0,12 dalam
keadaan cateris peribus. Berdasarkan perhitungan dengan uji t, faktor teknis
bahan bakar berbeda nyata terhadap hasil tangkapan. Hal ini disebabkan karena
dengan bertambahnya bahan bakar yang digunakan maka operasi penangkapan
semakin jauh dan semakin luas sehingga kemungkinan banyaknya hasil tangkapan
yang diperoleh pun semakin meningkat. Penggunaan bahan bakar pada operasi
penangkapan bagan yaitu untuk kebutuhan penyalaan lampu dan untuk kebutuhan
tenaga penggerak kapal. Jumlah kebutuhan BBM yang digunakan hampir sama
sehingga dalam perhitungan statistik, penggunaan BBM digabung menjadi satu.
Faktor teknis ukuran kapal (X6) sebesar 80,14 yang berarti berbanding
lurus dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, bahwa setiap penambahan satu
satuan ukuran kapal penangkapan akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar
satu satuan 80,144 dalam keadaan cateris peribus. Berdasarkan perhitungan
dengan uji t, faktor teknis ukuran kapal (GT) berbeda nyata terhadap hasil
tangkapan. Hal ini disebabkan karena semakin besarnya ukuran kapal yang
digunakan
dalam
operasi
penangkapan
maka
semakin
besar
peluang
penampungan untuk ikan hasil tangkapan sehingga menyebabkan jumlah hasil
tangkapan semakin meningkat.
Persamaan produksi yang diperoleh menunjukkan pengaruh antar faktor
teknis produksi terhadap hasil tangkapan. Semua koefesien regresi dalam
persamaan tersebut tidak semuanya bernilai positif. Sehingga peningkatan setiap
faktor produksi tidak selalu berdampak pada peningkatan produksi. Hal ini
mengingat ada batas untuk setiap faktor teknis produksi. Misalnya panjang jaring
(X3), tinggi jaring (X4) dan hari penangkapan (X5). Panjang jaring dan tinggi
jaring dibatasi oleh kapasitas atau ruang tersedia kapal. Kapasitas atau ruang akan
berhubungan dengan ukuran kapal yang digunakan. Daerah penangkapan ikan
juga menjadi pembatas. Jauh dekat daerah penangkapan ikan juga ditentukan dari
ukuran jaring yang digunakan pada saat operasi penangkapan, baik untuk panjang
maupun tinggi jaring.
96
6.3 Aspek Biologi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil
6.3.1 Status produksi ikan di Kabupaten Polewali Mandar
Informasi tentang status potensi sumberdaya yang tersedia sangat perlu
diketahui untuk pengelolaan sumberdaya secara optimal tanpa mengganggu
kelestarian sumberdaya yang ada. Nikijuluw (2002) menyatakan, bahwa
pemanfaatan sumberdaya ikan perlu kehati-hatian agar tidak sampai pada kondisi
kelebihan penangkapan (over fishing).
Hasil analisis produksi ikan dengan menggunakan model surplus produksi
menunjukkan bahwa nilai Maximum Sustainable Yield (MSY) sebesar
6.546.110,45 kg per tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar
99.590,91 trip per tahun. Hasil tangkapan pada tahun 2003 sebesar 6.650.100 kg
per tahun dan upaya penangkapan sebesar 82.517 trip per tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten
Polewali Mandar pada tahun 2003 mencapai 101,59% .
Pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar dalam
kurung waktu sepuluh tahun terakhir (1994-2003) belum mencapai titik Maximum
Sustainable Yield (MSY) (Gambar 25), namun tahun 2003 sedikit melewati batas
maksimum MSY. Kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut memberikan
dugaan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan masih memungkinkan untuk
dieksploitasi mengingat belum mencapai batas potensi lestari, sehingga
memberikan peluang untuk meningkatkan produksi. Pauly (1979) dan Panayotou
(1982) diacu dalam Atmaja dan Haluan (2003), menggunakan MSY sebagai titik
sasaran acuan pengelolaan perikanan, terutama ketidakpastian sehubungan dengan
kekurangan data pada laju penangkapan ikan. Maximum Sustainable Yield (MSY)
menurut Cunningham (1981) diacu dalam Atmaja dan Haluan (2003) hanya
digunakan sebagai titik sasaran acuan pengelolaan sumberdaya ikan dalam jangka
waktu pendek.
Upaya penangkapan optimum (Eopt) dari unit penangkapan ikan setelah
dianalisis diperoleh nilai sebesar 99.590,91 trip per tahun, sementara upaya
penangkapan pada tahun 2003 sebesar 82.517 trip per tahun, hal ini berarti belum
melampaui upaya optimum atau tingkat pengupayaan pada tahun 2003 sebesar
82,86%.
97
Kondisi hasil tangkapan dan upaya penangkapan di Kabupaten Polewali
Mandar yang belum melewati batas Maximum Sustainable Yield (MSY) yang
memberikan dugaan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan masih memungkinkan
untuk dieksploitasi mengingat batas potensi lestari belum tercapai, sehingga
memberikan peluang untuk meningkatkan produksi.
Cara yang dapat ditempuh dengan kondisi peluang peningkatan eksploitasi
yang masih cukup tinggi dan tingkat pengupayaan ikan yang produktif. Maka
untuk mencapai produksi yang direkomendasikan maka perlu dilakukan
penambahan alat tangkap. Penambahan unit penangkapan juga perlu dilakukan
kehati-hatian agar produksi tidak melewati titik kritis MSY dan upaya
penangkapan tidak melampaui upaya penangkapan optimum. Untuk mencapai
kondisi produksi dan upaya penangkapan tersebut ada dua hal yang dapat
dilakukan, yaitu penambahan unit penangkapan dan perbaikan teknologi.
Perubahan teknologi lebih diarahkan untuk mewujudkan unit penangkapan ikan
yang lebih unggul dan produktif.
Adapun kekurangan penelitian ini, kaitannya dengan pengkajian
pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil yaitu penelitian dilakukan pada
kondisi perikanan yang multispesies padahal salah satu kelemahan pendekatan
MSY yaitu sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri ragam
jenis (multispesies) (Fauzi, 2004). Selain itu kondisi aktual yang dipakai yaitu
kondisi aktual tahun 2003 yang seharusnya kondisi aktual tahun 2006, hal ini
disebabkan adanya pemekaran Kabupaten yaitu Kabupaten Polewali Mandar.
6.4 Aspek Sosial
Penyerapan tenaga kerja untuk satu unit bagan berkisar antara 9-10 orang
termasuk kapten kapal. Setiap nelayan memiliki tugas dan tanggung jawab
masing-masing dalam operasi penangkapan ikan. Namun diluar dari kegiatan
operasi penangkapan bagan, maka banyak tenaga kerja yang diserap oleh bagan
misalnya kuli angkut, penjual ikan, pedagang makan dan tenaga kerja yang lain.
Tingkat pendidikan nelayan bagan di Polewali masih relatif rendah yaitu
mayoritas SD dan SLTP dan hanya sebagian tamat SLTA. Hal ini disebabkan
karena nelayan berasal dari keluarga sederhana bahkan ada dari keluarga yang
tidak mampu. Sehingga nelayan tidak dapat bersekolah kejenjang yang lebih
98
tinggi. Rendahnya pendidikan yang dimiliki menggambarkan tingkat kemampuan
dalam melakukan penangkapan ikan juga relatif rendah. Pendidikan merupakan
salah satu indikator untuk melihat mutu sumberdaya nelayan. Secara teoritis,
makin tinggi pendidikan formal seseorang, maka semakin mudah untuk
memahami informasi yang diterima dan semakin rasional pula ia dalam berfikir
serta mempunyai wawasan yang luas.
Keberadaan unit penangkapan bagan di Polewali memberikan respon yang
positif bagi nelayan khususnya masyarakat setempat begitu pun dengan nelayan
alat tangkap lain. Masyarakat setempat banyak yang bergantung hidupnya sebagai
nelayan yaitu penjual ikan, kuli angkut, pedagang, dan profesi yang lain. Sehingga
banyak menyerap tenaga kerja dan secara tidak langsung membuka lapangan kerja
bagi masyarakat setempat. Persepsi nelayan lain tentang keberadaan bagan yaitu
memberikan respon yang posistif artinya tidak pernah terjadi konflik antara
nelayan lain.
Kelembagaan perikanan bagan meliputi lembaga pemerintah dan lembaga
permodalan. Lembaga dapat diartikan sebagai suatu oganisasi yang bertujuan
mengelola suatu kegiatan. Dalam sistem bisnis perikanan, keberadaan lembaga
pendukung sangat penting dalam rangka menciptakan integrasi diantara subsistem
untuk tujuan pengembangan, khususnya pengembangan bagan perahu. Lembaga
pemerintah sangat dominan peranannya karena berfungsi sebagai fasilitator dalam
perikanan bagan. Adapun program kerja pemerintah untuk perikanan termasuk
perikanan bagan di Polewali yaitu dititik beratkan pada pembinaan SDM nelayan,
perkuatan modal serta peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung bagi
nelayan. Sedangkan untuk kelembagaan permodalan meliputi bank, koperasi dan
kelompok nelayan. Adapun bank yang sering digunakan untuk peminjaman modal
yaitu BNI dan BRI. Namun untuk koperasi di Polewali tidak berjalan dengan baik
hal ini disebabkan karena sifat peminjaman koperasi yang masih memberatkan
nelayan, jangka waktu pinjaman yang terlalu singkat dan nelayan lebih senang
meminjam modal pada keluarga terdekat sebagai modal dalam berusaha.
6.5 Analisis Bio-ekonomi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil
Jumlah upaya penangkapan ikan dengan bagan pada tingkat MEY adalah
sebanyak 54.504,33 trip per tahun dengan jumlah produksi sebanyak 5.204.462,65
99
kg per tahun. Untuk memanfaatkan sumberdaya ikan pada kondisi ini dibutuhkan
total biaya sebesar Rp 32.742.140.400 Jumlah penerimaan yang diperoleh sebesar
Rp 36.431.238.540, sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp 3.707.091.400.
Jumlah keuntungan pada kondisi ini lebih besar daripada yang diperoleh pada
kondisi aktual dan open access. Jumlah keuntungan yang diperoleh pada kondisi
aktual yaitu sebesar Rp 12.174.117.800 dan pada kondisi open access tidak lagi
diperoleh keuntungan, tetapi hanya mencapai titik balik modal.
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 17 menunjukkan bahwa produksi
hasil tangkapan yang didapat pada kondisi MSY sebesar 6.546.110,45 kg per
tahun. Hasil tangkapan tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan hasil
tangkapan yang didapat pada kondisi pengelolaan open access sebesar
6.487.572,42 kg per tahun dan pada kondisi MEY sebesar 5.204.462,65 kg per
tahun. Hasil ini berarti kondisi sumberdaya ikan pelagis di Kabupaten Polewali
Mandar masih lestari (sustainable) karena hasil tangkapan ikan pelagis kecil
tersebut belum melewati batas pada kondisi MSY.
Jumlah effort alat tangkap bagan pada kondisi aktual adalah sebesar
82.517 trip per tahun dengan jumlah produksi sebesar 6.650.100 kg per tahun.
Nilai ini sedikit melewati jumlah effort pada kondisi MSY yaitu sebesar 99.590,91
trip per tahun dengan total produksi 6.546.110,45 kg per tahun. Ketika hasil
tangkapan melampaui MSY, maka pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil
akan mengarah terjadinya biological over fishing. Namun berdasarkan analisis
bahwa total produksi secara umum dari tahun ke tahun belum melampaui produksi
MSY sehingga masih dikategorikan lestari (sustainable). Oleh karena itu kontrol
terhadap effort sangat diperlukan. Jumlah effort tidak boleh melebihi effort pada
kondisi pengusahaan MSY (99.590,91 trip per tahun) agar rente ekonomi yang
diterima optimum yaitu sebesar Rp 4.333.200.450. Jadi untuk mencapai
pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil di Kabupaten Polewali Mandar
pengurangan effort yang harus dilakukan sebanyak 140 trip pada tahun 2003
supaya efesiensi secara ekonomi dan kelestarian sumberdaya ikan pelagis kecil di
Kabupaten Polewali Mandar tetap terjaga.
Untuk memanfaatkan sumberdaya ikan pelagis kecil agar tetap lestari
harus diperhatikan jumlah kemampuan alat tangkap serta upaya yang optimum
100
agar dapat menghasilkan jumlah keuntungan yang maksimum pula. Walaupun
sumberdaya ikan memiliki kemampuan rekrutmen, namun apabila dilakukan
penambahan jumlah effort yang meningkat tajam setiap tahunnya, hingga pada
kondisi open access maka akan berdampak pada jumlah stok dan hasil tangkapan
yang menurun sehingga pendapatan para nelayan akan berkurang pula. Pada
kondisi open access tidak ada batasan bagi nelayan untuk memanfaatkan
sumberdaya ikan yang ada di laut. Jika ditinjau dari segi ekonomi pengusahaan
sumberdaya pada kondisi open access tidak lagi menguntungkan karena
keuntungan komparatif sumberdaya akan terus habis. Oleh karena sifat dari
pemanfaatan sumberdaya ikan yang open access maka nelayan akan cenderung
mengembangkan jumlah armada penangkapannya maupun tingkat upaya untuk
mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya. Secara ekonomi hal ini tidak
efesien karena keuntungan yang diperoleh akan berkurang atau bahkan tidak
memperoleh keuntungan sama sekali. Agar kegiatan usaha penangkapan ikan
tidak mengalami open access sebaiknya pemerintah memberlakukan suatu
kebijakan tentang batasan jumlah alat tangkap yang diizinkan beroperasi di
kabupaten Polewali Mandar.
6.6 Analisis Kelayakan Usaha
Analisis usaha merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan suatu usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan
yang sebesar-besarnya. Analisis usaha penangkapan bagan yang dianalisis
meliputi analisis finansial dan analisis investasi. Perhitungan analisis usaha
penangkapan bagan yaitu hanya kegiatan penangkapan ikan, sehingga jumlah trip
yang dihitung pada saat menangkap ikan.
Investasi merupakan biaya awal yang dikeluarkan untuk melakukan usaha.
Biaya investasi yang dikeluarkan oleh nelayan pemilik untuk melakukan usaha
penangkapan dalam satu tahun sebesar Rp 135.000.000 yang terdiri atas biaya
perahu, alat tangkap, serta biaya perlengkapan (Lampiran 7).
Biaya usaha merupakan pengeluaran dari kegiatan usaha penangkapan
yang harus dikeluarkan. Biaya usaha terdiri atas biaya tetap (fixed cost) dan biaya
tidak tetap (variabel cost). Biaya tetap (fixed cost) merupakan biaya tetap yang
harus dikeluarkan meskipun tidak melakukan kegiatan penangkapan. Biaya tetap
101
(fixed cost) yang dikeluarkan oleh nelayan pemilik setiap tahunnya meliputi biaya
perawatan dan biaya penyusutan unit penangkapan bagan perahu. Biaya tetap
yang dikeluarkan untuk setiap tahunnya sebesar Rp 33.250.000 (Lampiran 7).
Biaya tidak tetap (variabel cost) adalah biaya yang hanya dikeluarkan
pada saat melakukan kegiatan penangkapan ikan. Biaya tidak tetap (variabel cost)
yang dikeluarkan pada saat kegiatan operasi berlangsung meliputi: biaya bahan
bakar (minyak tanah, bensin, oli), ransum dan retribusi. Rata-rata biaya tidak tetap
yang dikeluarkan dalam satu trip sebesar Rp 416.600, dengan jumlah trip dalam
satu tahun sebanyak 288 trip, sehingga biaya tidak tetap yang dikeluarkan dalam
satu tahun sebesar Rp 123.380.800, termasuk biaya retribusi.
Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui keuntungan usaha yang
diterima nelayan, mengetahui hasil penjualan minimal atau hasil tangkapan
minimal dari sebuah unit penangkapan bagan. Selain itu juga untuk mengetahui
tingkat keuntungan yang diperoleh selama umur ekonomis usaha, besarnya
penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur ekonomis usaha
dalam jangka waktu tertentu yang membuat nilai NPV dari usaha sama dengan
nol.
Analisis usaha dilakukan untuk mengetahui keuntungan usaha yang
diterima nelayan, hasil penjualan minimum atau hasil tangkapan minimal (BEP)
dari sebuah unit penangkapan bagan selama satu tahun usaha. Analisis usaha yang
digunakan yaitu nilai BEP dan ROI.
BEP (Break Event Point) merupakan jumlah dan nilai minimal yang harus
diperoleh agar dapat menutup total biaya. Berdasarkan hasil perhitungan BEP
diperoleh nilai produksi per tahun sebesar Rp 40.473.338,97 dengan volume
produksi per tahun sebesar 28.663,67 ton.
Hasil perhitungan terhadap ROI adalah 51,20%. Hal ini berarti setiap
investasi sebesar Rp 100 akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 51,20. Nilai
ini juga menjelaskan tingkat keuntungan atas investasi sebesar 51,20%. Tentunya
angka tersebut relatif memberikan gambaran terhadap bagusnya prospek investasi
terhadap sektor perikanan khususnya perikanan bagan perahu. Nilai ROI sebesar
51,20 artinya nilai ROI tersebut tergolong kategori “baik” yaitu jika nilai ROI >
25%.
102
Usaha perikanan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat
khususnya dengan alat tangkap bagan merupakan salah satu usaha ekonomi yang
berpotensi untuk dapat dikembangkan. Berdasarkan hasil analisis finansial dengan
mempertimbangkan kriteria investasi, maka usaha perikanan bagan di Polewali,
Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat layak dikembangkan. Hal ini jelas
terlihat dari nilai kelayakan usaha serta adanya peluang pengembangan usaha
perikanan bagan.
Hasil perhitungan kelayakan usaha menunjukkan bahwa semua hal yang
terkait dengan usaha penangkapan mendapat keterangan layak untuk diusahakan.
Hasil analisis pendapatan produksi bagan, hasilnya dapat menutupi biaya operasi
serta upah yang diterima oleh para karyawan kapal, mulai dari juragan kapal
sampai ABK lainnya diatas standar upah minimum yang ditetapkan oleh daerah
semakin memperjelas bahwa usaha perikanan bagan layak untuk dikembangkan.
103
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1) Faktor-faktor fungsi produksi yang berpengaruh terhadaphasil tangkapan
adalah jumlah lampu, bahan bakar, ukuran kapal, sedangkan faktor produksi
yang tidak berpengaruh nyata adalah jumlah anak buah kapal, panjang jaring,
tinggi jaring dan jumlah hari penangkapan.
2) Hasil analisisi aspek sosial menyatakan bahwa jumlah unit tenaga kerja (ABK)
antara 9-10 orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang masih rendah.
Sedangkan persepsi masyarakat terhadap bagan diterima baik oleh masyarakat
termasuk nelayan alat tangkap lain hal ini ditandai dengan tidak terjadinya
konflik sosial dimasyarakat.
3) Nilai produksi MSY sebesar 21.355.271,29 kg per tahun dan nilai effort sebesar
612.627,39 trip per tahun. Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan
pengelolaan yang lain seperti kondisi MEY dan open access, namun untuk
kondisi aktual (tahun 2003) masih lebih besar dibanding kondisi MSY, tetapi
secara umum dari tahun ke tahun kondisi MSY masih lebih tinggi . Hal ini
menandakan bahwa kondisi sumberdaya ikan pelagis kecil di Kabupaten
Polewali Mandar masih tergolong lestari (sustainable).
4) Usaha penangkapan ikan pelagis kecil dengan bagan (lift net) di Polewali,
Kabupaten Polewali Mandar adalah layak dengan nilai BEP produksi per tahun
sebesar Rp 40.473.338,97 dengan volume produksi per tahun sebesar 28.663,67
ton. Nilai ROI diperoleh sebesar 51,20 ini berarti setiap investasi sebesar Rp
100 akan mendapatkan keuntungan sebesar 51,20%. Berdasarkan hasil analisis
finansial dengan mempertimbangkan kriteria investasi, maka usaha perikanan
bagan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat layak
dikembangkan.
7.2 Saran
Perlu suatu kajian alokasi jumlah unit penangkapan bagan perahu yang
optimum untuk mencapai tingkat produksi lestari dalam pemanfaatan sumberdaya
ikan pelagis kecil.
104
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja SB Dan Haluan J. 2003. Perubahan Hasil Tangkapan Lestari Ikan Pelagis
di Laut Jawa dan Sekitarnya. Buletin PSP. Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.
Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 81
hal.
Azis KA. 1989. Panduan Stok Populasi Ikan Tropis. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Pusat Antar Universitas llmu Hayat. IPB. Bogor. 89 hal.
Bahari R. 1989. Peran Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan
Rakyat. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Rakyat, Jakarta 18-19
Desember 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Hlm165 – 180.
Balai Penelitian Perikanan Laut. 1992. Ikan-ikan Laut Ekonomis Penting
Indonesia. Pusat penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik
Indonesia. Jakarta. 170 hal.
Barus HR, Badrudin, Naamin. 1991. Proseding Forum II Perikanan. Sukabumi.
18-21 Juni 1991. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. Jakarta. Hlm 165-180.
Baskoro MS. 1999. Capture Process of The Floated Bamboo-Platform Lif net
With Ligth Attraction (Bagan) Graduate School of Fisheries Tokyo
University of Fisheries. Doctoral Cause of Marine Sciences and
Technology. P 149.
Basuki. W. 2002. Analisis Hubungan Faktor Oseanografi dengan Produksi
Kwartal dan Pola Pencarian Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Kecil Di
Tujuh Kabupaten-Sulawesi Selatan. Tesis (tidak dipublikasikan). Program
Pascasarjana. IPB. Bogor. 68 hal.
Cunningham S. 1981. The Evaluation of the Objective of Fisheries Management
During 1970s. Ocean Management 6: 251-278.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Rencana Strategis Pembangunan
Kelautan dan Perikanan 2001-2004. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan. 2003. Laporan Tahunan Dinas Kelautan Perikanan
Kabupaten Polewali Mandar. Sulawesi Barat. Hlm 30.
105
Dinas Kelautan dan Perikanan. 2004. Laporan Tahunan Dinas Kelautan Perikanan
Kabupaten Polewali Mandar. Sulawesi Barat. Hlm 164.
Dinas Kelautan dan Perikanan. 2006. Laporan Tahunan Dinas Kelautan Perikanan
Kabupaten Polewali Mandar. Sulawesi Barat. Hlm 164.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1990. Buku Pedoman Pengenalan Sumberdaya
Perikanan Laut. Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting. Departemen
Pertanian. Jakarta. 164 hal.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Program Peningkatan Ekspor Hasil
Perikanan (Protekan) 2003. Dirjenkan. Jakarta.
Edris M. 1983. Penuntun Menyusun Kelayakan Proyek. Bandung. Sinar Baru: 127
hal.
Fauzi A. 2001. An Economic Analysis of the Surplus Production Function. An
Aplication for Indonesian Small Pelgic Fishery. Paper Presented at the
Nasional Seminar Organized by Persada (Japanese Alumni Association).
Bogor 20 January 2001: 135 p.
Fauzi A. 2004. Teori dan Aplikasi Ekonomi Sumberdaya Alam PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 259 hal.
Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama. 259 hal.
Gordon HS. 1954. The Economic Theory of a Common Property Resources: the
Fishery. Journal of Political Economy 62:124 -142.
Graham M. 1935. Modern Theory of Exploiting a Fishery and Application to the
North Sea Trawling. J. Cons. Int. Explor. Mer 10: 264-274.
Gulland JA. 1985. Fish Stock Assessment. A Manual of Basic Methods. New
York. John Wiley and Sons. Hlm 223.
Gunarso W. 1985. Tingkah Laku Ikan. Faperikan. IPB. Bogor. 149 hal.
Haluan J, Nurani TW. 1988. Penerangan Metode Skoring dalam Pemilihan
Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai dengan dikembangkan di Suatu
Wilayah Perairan. Buletin Jurusan PSP. Volume II. Fakultas Perikanan.
IPB. Bogor. Hlm 3-16.
Ibrahim Y. 2003. Studi Kelayakan Bisnis (edisi revisi). Penerbit Reneka Cipta.
Jakarta. Hlm 141-161.
Ihsan. 2000. Kajian Model Pengembangan Perikanan Tangkap dalam Rangka
Pengelolaan Laut Secara Optimal di Daerah Kabupaten Pinrang Sulawesi
106
Selatan. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. IPB. Bogor.
319 hal.
Iskandar MD, Ayodhyoa HAU, Monintja DR & Jaya. I. 2001. Analisis Hasil
Tangkapan Bagan Bermotor pada Tingkat Pencahayaan yang Berbeda Di
Perairan Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus. IPB. Bogor. Maritek
Vol 1 No 2. Hlm 79-89.
Kadariah. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Jakarta. 104 hal.
Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek. Analisis Ekonomi, Edisi Kedua. Jakarta.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia. 181 hal.
Mallawa A, Sudirman M, Palo dan Musbir. 1991. Studi Mengenai Perikanan
Bagan rambo di Perairan Barru Selat Makassar. Laporan Proyek
Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
40 Hal.
Manurung VT, Pranadji T, Mintoro A, Kirom MN, Isetiajie, Murtiningsih A
Sugiarto. 1998. Laporan Hasil Penelitian Pengembangan Ekonomi Desa
Pantai. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Monintja DR, Pasaribu, BP dan Jaya I. 1986. Manajemen Penangkapan Ikan.
SISDIKSAT BKS INTIM-IPB-AUSAID/AED. Bogor
Monintja DR. 2000. Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Perikanan
Tangkap. Proseding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 97 hal.
Nadir M. 2000. Teknologi Light Fishing Di Perairan Barru Selat Makassar. Tesis
(tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. IPB. Bogor. 99 hal.
Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pustaka
Cidesindo. Jakarta.
Nomura M, Yamazaki T. 1977. Fishing Techniques I. Tokyo. Japan. International
Cooperation Agency P. 125-183.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 386 hal.
Nurhakim S. 1993. Beberapa Aspek Reproduksi Ikan Banyar (Rastrelliger
kanagurta) di perairan Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 8:8-20.
Nybakken JW. 1988. Biologi laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.
488 hal.
107
Panayotou. 1982. Management Concepts for Small Scale Fisheries: Economic and
Social Aspects. Food and Agriculture Organization of the United Nations
Rome. 53 p.
Pauly. 1979. Fish Population Dynamic in Tropical Waters: a Manual for use with
Programmable calculators. ICLARM studi. Rev. (8) : 325 pp.
Rakam MW. 1997. Analisis Optimasi Teknis dan Kelayakan Finansial Unit
Penangkapan Bagan Apung (Lift net) di Kabupaten Serang. Jawa Barat.
Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.
Bogor .75 hal.
Rangkuti 2001. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 88 hal.
Ricker WE. 1975. Computation and Interpretation of Biological Statistics of Fish
Population. Fisheries Research Board of Canada Bulletin. 191 p.
Riyanto B. 1991. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi ketiga, cetakan
keempat belas. Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada Yogyakarta. 317
hal.
Saanin H. 1994. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Penerbit
Bina Cipta. Bandung. 85 hal.
Schaefer MB. 1954. Some Aspects of the Population Important to the
Management of Commercial Marine Fisheries. Bulletin of the Inter
American Tropical Tuna Commission: 25-56.
Schaefer MB. 1957. Some Consideration of Population Dynamics and Economics
in Relation to the Management of The Commercial Marine Fisheries. J.
Fish. Res. Board Can.
Schaefer MB. 1975. Some Consideration of Population Dynamic and Economic in
Relation to the Manegement of the Commercial Marine Fisheries. Journal
of Marine Research Board of Canada. 275 p.
Sparre, Venema SC. 1999. Introduction Pengkajian Stok Ikan Tropis
(Terjemahan) FAO-Puslitbangkan-Balitbangkan. Jakarta.
Steel RGD and Torrie JH. 1981. Principles and Procedures of Statistic. McGraw-Hill.
Tokyo: 748 p.
Subani. 1972. Alat dan Cara Penangkapan Ikan Di Indonesia. Balai Penelitian
Perikanan Laut. Jakarta: Hlm 45-49.
108
Subani W dan HR. Barus. 1989. Alat Penangkap Ikan Dan Udang Laut Di
Indonesia (Fishing Gears for marine Fish and Shrimp in Indonesia). No.50
Tahun 1988/1989. Edisi Khusus. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai
Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian. Jakarta. 248 hal.
Sudirman. 2003. Analisis Tingkah Laku Ikan untuk Mewujudkan Teknologi
Ramah Lingkungan dalam Proses Penangkapan pada Bagan Rambo.
Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Hlm
270-272.
Suhendrata B, Rusmadji. 1991. Pendugaan Ukuran Pertama Kali Matang Gonad
dan Perbandingan Kelamin Ikan Kembung Perempuan (Rastrelliger
brachysoma) di perairan sebelah Utara Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan
Laut. 64:59-63.
Supranto. 1983. Linier Programming. Edisi Kedua. Lembaga Penelitian Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta: 87 hal.
Sutojo S. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Teori dan Praktek Manajemen. Pustaka
Binaman Pressindo. Jakarta: 112 hal.
Teken IB dan Asnawi. 1981. Teori Mikro. Bogor: Departemen Ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 293 hal.
UNIDO. 1978. Guide to Practical Project Appraisal: Social Benefit Cost Analysis
in Developing Countries. Project Formulation and Evaluation Series No 3.
New York: United Nation: 231 p.
Zebri. 2003. Evaluasi Terhadap Perikanan Bagan Dalam Pemanfaatan
Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil di Perairan Sumatera Barat. Tesis (tidak
dipublikasikan) Program Pascasarjana. IPB. Bogor. 110 hal.
109
Lampiran 1 Foto dokumentasi hasil penelitian kajian pengembangan perikanan
bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi
Barat.
Foto 1 Bagan perahu sebagai objek peneliti
Foto 2 Bagian -bagian kapal
(a) Haluan kapal
(c) Haluan kanan kapal
(b) Buritan kapal
(d) Haluan kiri kapal
110
(e) Tiang utama kapal
(f) Tempat istirahat ABK
Foto 3 Alat-alat dalam ruang mesin
(a) Saklar lampu
(c) Genset sebagai pembangkit listrik
(e) Solar sebagai bahan bakar
(b) Mesin lampu
(d) Mesin kapal
(f) Lampu penerang
111
Foto 4 Alat bantu penangkapan
(a) Lampu
(c)
Serok
Foto 5 Alat tangkap
(b) Basket
(d) Roller
112
Foto 6 Metode operasi penangkapan
(a) Penurunan jaring (setting)
(c) Penanganan hasil tangkapan (es)
(b) Penarikan jaring (Hauling)
(d) Penanganan (pemisahan ikan)
113
Foto 7 Jenis ikan hasil tangkapan bagan
Teri (Stolephorus spp)
Kembung laki-laki (Rastrelliger kanagurta)
Rejum (Sillago sihama)
Tembang (Sardinella spp)
Kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)
Layang (Decapterus spp)
Layur (Trichiurus savala)
Tembang (Sardinella fimriata)
114
Cendro (Tylosurus crocodiles)
Peperek bendolang ( Gazza minuta)
Cumi-cumi (Loligo spp)
Japuh (Dussumeria acuta)
Peperek cina ( Leiognathus spelenden)
Selar kuning (Selaroides leptolepis)
Buntal (Lagocephalus inermis)
Kerong kerong (Therapon theraps)
115
Lampiran 2 Data faktor-faktor oseanografi
Posisi
Tanggal
5 juni 2007
6 Juni 2007
7 Juni 2007
8 Juni 2007
9 juni 2007
10 Juni 2007
11 Juni 2007
12 juni 2007
13 juni 2007
14 Juni 2007
15 Juni 2007
16 juni 2007
17 juni 2007
18 juni 2007
19 juni 2007
S
E
Suhu
( °C)
03°33′ 48. 9″
03°33′ 09. 8″
03°32′ 36. 7″
03°28′ 14. 3″
03°28′ 18. 6″
03°27′ 56. 7″
03°33′ 31.4″
03°32′ 27. 7″
03°32′ 30. 8″
03°27′ 39. 7″
03°27′ 51. 7″
03°27′ 29. 1″
03°33′ 21. 2″
03°33′ 37. 2″
03°33′ 20. 2″
03°33′ 03. 6″
03°33′ 20. 7″
03°32′ 46. 5″
03°32′ 54. 6″
03°32′ 31. 3″
03°32′ 47. 2″
03°27′ 27. 9″
03°28′ 47. 7″
03°28′ 15. 9″
03°33′ 22. 7″
03°33′ 30. 1″
03°33′ 39. 5″
03°32′ 56. 4″
03°33′ 14. 9″
03°32′ 31. 9″
03°31′ 32. 9″
03°31′ 22. 6″
03°32′ 41. 3″
03°28′ 08. 6″
03°28′ 15. 5″
03°28′ 01. 3″
03°32′ 24. 0″
03°31′ 35. 3″
03°31′ 15. 6″
03°27′ 45. 8″
03°27′ 36. 7″
03°27′ 32. 4″
03°30′ 20. 4″
03°31′ 15. 8″
119 °29′ 17.9″
119 °29′ 40.0″
119 °29′ 26.7″
119 °19′ 23.6″
119 °19′ 21.5″
119 °19′ 22.6″
119 °28′ 38.8″
119 °28′ 27.9″
119 °28′ 18.6″
119 °19′ 26.8″
119 °19′ 34.1″
119 °19′ 42.7″
119 °28′ 48.4″
119 °28′ 47.9″
119 °28′ 43.6″
119 °29′ 27.5″
119 °29′ 27.7″
119 °29′ 09.5″
119 °29′ 02.0″
119 °29′ 17.9″
119 °29′ 07.0″
119 °19′ 26.9″
119 °19′ 30.5″
119 °19′ 30.6″
119 °28′ 47.3″
119 °28′ 34.1″
119 °28′ 49.2″
119 °29′ 02.2″
119 °28′ 37.9″
119 °29′ 19.8″
119 °26′ 31.7″
119 °25′ 11.0″
119 °24′ 18.8″
119 °19′ 36.9″
119 °19′ 21.4″
119 °19′ 23.8″
119 °28′ 52.1″
119 °27′ 57.9″
119 °27′ 46.5″
119 °19′ 25.3″
119 °19′ 28.3″
119 °19′ 29.9″
119 °28′ 20.1″
119 °28′ 57.9″
28
28
28
28
29
29
29
28
28
28
29
29
28
28
28
29
29
29
29
28
28
28
28
28
29
28
29
28
28
28
28
28
28
29
28
28
28
28
28
28
28
28
29
29
Salinitas
(ppt)
30
31
31
28
29
29
30
29
29
32
32
32
29
30
30
33
33
33
30
31
31
28
29
31
33
31
32
29
33
32
29
31
30
33
28
28
30
30
30
30
31
31
31
31
Kec.
Arus
(m/det)
0,21
0,21
0,21
0,15
0,21
0,21
0,31
0,26
0,26
0,36
0,26
0,21
0,15
0,21
0,21
0,26
0,31
0,26
0,26
0,21
0,21
0,31
0,26
0,26
0,15
0,15
0,15
0,15
0,31
0,21
0,31
0,31
0,21
0,31
0,31
0,31
0,26
0,21
0,21
0,26
0,21
0,21
0,31
0,31
116
Lanjutan (Lampiran 2)
20 juni 2007
21 juni 2007
22 Juni 2007
23 juni 2007
24 juni 2007
2 Juli 2007
3 juli 2007
4 juli 2007
5 juli 2007
6 juli 2007
7 juli 2007
8 juli 2007
9 juli 2007
10 juli 2007
11 juli 2007
03°31′ 47. 6″
03°28′ 09. 0″
03°27′ 52. 0″
03°28′ 14. 7″
03°33′ 27. 7″
03°32′ 35. 3″
03°32′ 18. 6″
03°33′ 11. 3″
03°33′ 10. 8″
03°31′ 30. 8″
03°31′ 16. 1″
03°32′ 21. 7″
03°32′ 55. 9″
03°27′ 33. 9″
03°27′ 52. 3″
03°28′ 09. 8″
03°31′ 32. 9″
03°31′ 22. 6″
03°32′ 41. 3″
03°28′ 08. 6″
03°28′ 15. 5″
03°28′ 01. 3″
03°32′ 24. 0″
03°31′ 35. 3″
03°31′ 15. 6″
03°27′ 45. 8″
03°27′ 36. 7″
03°27′ 32. 4″
03°30′ 20. 4″
03°31′ 15. 8″
03°31′ 47. 6″
03°28′ 09. 0″
03°27′ 52. 0″
03°28′ 14. 7″
03°33′ 27. 7″
03°32′ 35. 3″
03°32′ 18. 6″
03°33′ 11. 3″
03°33′ 10. 8″
03°31′ 30. 8″
03°31′ 16. 1″
03°32′ 21. 7″
03°32′ 55. 9″
03°27′ 33. 9″
03°27′ 52. 3″
03°28′ 09. 8″
119 °27′ 16.7″
119 °19′ 38.5″
119 °19′ 21.9″
119 °19′ 23.8″
119 °25′ 42.1″
119 °23′ 50.9″
119 °24′ 50.5″
119 °28′ 28.9″
119 °28′ 10.9″
119 °27′ 37.6″
119 °27′ 43.9″
119 °28′ 53.8″
119 °28′ 55.9″
119 °19′ 26.1″
119 °19′ 25.4″
119 °19′ 24.7″
119 °26′ 31.7″
119 °25′ 11.0″
119 °24′ 18.8″
119 °19′ 36.9″
119 °19′ 21.4″
119 °19′ 23.8″
119 °28′ 52.1″
119 °27′ 57.9″
119 °27′ 46.5″
119 °19′ 25.3″
119 °19′ 28.3″
119 °19′ 29.9″
119 °28′ 20.1″
119 °28′ 57.9″
119 °27′ 16.7″
119 °19′ 38.5″
119 °19′ 21.9″
119 °19′ 23.8″
119 °25′ 42.1″
119 °23′ 50.9″
119 °24′ 50.5″
119 °28′ 28.9″
119 °28′ 10.9″
119 °27′ 37.6″
119 °27′ 43.9″
119 °28′ 53.8″
119 °28′ 55.9″
119 °19′ 26.1″
119 °19′ 25.4″
119 °19′ 24.7″
28
28
28
28
29
28
28
29
29
28
28
28
29
28
28
28
28
28
28
28
28
28
29
29
29
28
28
28
30
29
29
28
28
28
29
29
29
29
29
29
30
30
29
29
29
29
31
30
30
30
32
31
31
31
30
31
30
29
30
31
32
32
28
29
29
30
29
29
32
32
32
29
27
27
30
31
31
31
30
31
30
29
30
31
32
31
31
28
29
31
33
31
0,31
0,26
0,21
0,21
0,31
0,31
0,26
0,21
0,26
0,26
0,21
0,21
0,21
0,31
0,31
0,21
0,31
0,31
0,31
0,26
0,21
0,21
0,21
0,21
0,21
0,15
0,15
0,15
0,31
0,31
0,21
0,26
0,21
0,21
0,26
0,21
0,21
0,26
0,26
0,26
0,31
0,31
0,31
0,26
0,21
0,21
117
Lampiran 3 Data faktor-faktor teknis produksi dan hasil tangkapan bagan perahu
(lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat
No
Nelayan
1
Lahasa
2
Pua La'la
3
Anci
4
Sakura
5
Attana Ija
6
Kele
7
Pua Pa'ma
8
Ali
9
Bohari
10 Rudi
11 Emon
12 Sahril
13 Sappe
14 Sapri
15 Dadan
16 Mayor
17 Faizal
18 Awi
19 Ami
20 Pu'din
21 Yanmar
22 Madia
23 Yugi
24 Pinda
25 Capua
26 Pua kamba
27 Junain
28 Dentayan
29 Ismail
30 Mansur
31 Nasir
32 Yunus
33 Asis
34 Yusuf
35 Laha
36 Mukti
37 Rusdi
38 A. Gani
39 Yasin
40 Safril
41 Saleh
42 Amir
43 Razak
HT
(Y)
ABK
(X1)
BBM
(X2)
PJ
(X3)
TJ
(X4)
HP
(X5)
GT
(X6)
JL
(X7)
235,3
145,1
220,5
110,2
235,5
145,1
145,3
110,2
140,2
230
140,9
110,2
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
9
9
9
10
8
10
8
8
9
9
9
9
10
9
9
9
10
9
10
9
10
9
10
9
10
9
10
9
10
9
10
9
10
9
10
9
10
9
10
9
10
9
10
15.480
12.900
14.190
12.900
12.900
14.190
12.900
12.900
14.190
14.190
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
15.480
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
15.480
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
22
21
22
22
21
22
21
19
21
20
20
22
20
21
21
22
21
22
20
21
20
21
19
21
21
22
21
22
21
21
21
19
21
22
21
19
20
22
21
19
20
21
21
12
12
12
12
11
12
11
11
11
11
11
12
11
11
11
12
11
12
11
11
11
11
11
11
11
12
11
12
11
11
11
12
11
12
11
12
11
12
12
11
11
11
11
300
288
290
280
260
288
260
260
288
280
280
280
260
280
288
300
288
300
288
288
280
288
288
288
288
288
280
288
288
280
288
300
288
288
288
288
300
288
288
280
288
288
288
15,45
15,45
15,45
15,25
15,45
15,45
15,35
15,35
15,35
15,45
15,25
15,25
15,25
15,45
15,25
15,35
15,25
15,35
15,25
15,35
15,25
15,35
15,45
15,45
15,25
15,45
15,25
15,45
15,25
15,45
15,45
15,45
15,45
15,45
15,25
15,45
15,45
15,45
15,25
15,45
15,25
15,45
15,25
54
52
54
50
54
50
50
48
50
50
50
48
50
50
50
54
50
54
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
52
50
50
50
50
50
52
50
52
50
118
Lanjutan (Lampiran 3)
44
45
46
47
48
49
50
Ismail
Hayat
Safril
Husen
Nasir
Basri
Ilham
140,9
110,2
110,2
140,9
110,2
140,9
110,2
9
10
10
9
9
9
9
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
12.900
Keterangan :
HT
: Hasil tangkapan (ton/tahun)
ABK : Anak buah kapal
BBM : Bahan bakar minyak (liter/ tahun)
PJ
: Panjang jaring (meter)
TJ
: Tinggi jaring (meter)
22
19
20
21
21
22
19
12
11
11
11
11
12
11
280
280
288
288
280
288
280
15,45
15,45
15,25
15,45
15,25
15,45
15,25
HP : Hari penangkapan
GT : Gross tonage
JL : Jumlah lampu
52
50
50
50
50
50
50
119
Lampiran 4 Hasil keluaran analisis model fungsi produksi dengan menggunakan
aplikasi program SPSS 12
Regression
Descriptive Statistics
Mean
134,1740
Y
Std. Deviation
32,45277
N
50
X1
9,3200
,58693
50
X2
13158,0000
689,53400
50
X3
20,8200
,98333
50
X4
11,3400
,47852
50
X5
284,9200
9,27767
50
X6
15,3640
,09260
50
X7
50,5200
1,38858
50
Correlations
Y
Pearson
Correlation
Sig. (1-tailed)
N
X1
X2
Y
1,000
-,545
X1
-,545
X2
,504
X3
X3
X4
X5
X6
X7
,504
,254
,269
-,011
,531
,625
1,000
-,143
-,110
-,177
,320
-,384
-,258
-,143
1,000
,342
,367
,300
,231
,407
,238
,095
,339
,254
-,110
,342
1,000
,523
X4
,269
-,177
,367
,523
1,000
,360
,305
,343
X5
-,011
,320
,300
,238
,360
1,000
,160
,254
X6
,531
-,384
,231
,095
,305
,160
1,000
,323
X7
,625
-,258
,407
,339
,343
,254
,323
1,000
Y
.
,000
,000
,038
,029
,470
,000
,000
X1
,000
.
,161
,223
,109
,012
,003
,035
X2
,000
,161
.
,008
,004
,017
,053
,002
X3
,038
,223
,008
.
,000
,048
,255
,008
X4
,029
,109
,004
,000
.
,005
,016
,007
X5
,470
,012
,017
,048
,005
.
,133
,038
X6
,000
,003
,053
,255
,016
,133
.
,011
X7
,000
,035
,002
,008
,007
,038
,011
.
Y
50
50
50
50
50
50
50
50
X1
50
50
50
50
50
50
50
50
X2
50
50
50
50
50
50
50
50
X3
50
50
50
50
50
50
50
50
X4
50
50
50
50
50
50
50
50
X5
50
50
50
50
50
50
50
50
X6
50
50
50
50
50
50
50
50
X7
50
50
50
50
50
50
50
50
120
Lanjutan (Lampiran 4)
Variables Entered/Removed(a)
Model
Variables
Entered
1
X7
.
Stepwise (Criteria: Probability-ofF-to-enter <= ,050, Probability-ofF-to-remove >= ,100).
2
X1
.
Stepwise (Criteria: Probability-ofF-to-enter <= ,050, Probability-ofF-to-remove >= ,100).
3
X2
.
Stepwise (Criteria: Probability-ofF-to-enter <= ,050, Probability-ofF-to-remove >= ,100).
4
X6
.
Stepwise (Criteria: Probability-ofF-to-enter <= ,050, Probability-ofF-to-remove >= ,100).
a Dependent Variable: Y
Variables
Removed
Method
121
Lanjutan (Lampiran 4)
Model Summary(b)
Model
a
b
c
d
e
R
R
Square
Adjusted
R Square
Std. Error
of the
Estimate
Change Statistics
1
,625(a)
,391
,378
25,59109
R
Square
Change
,391
F
Change
df1
df2
30,799
1
48
Sig. F
Chang
e
,000
2
,741(b)
,549
,530
22,25862
,158
16,449
1
47
,000
3
,784(c)
,614
,589
20,79843
,066
7,831
1
46
,007
4
,810(d)
,656
,625
19,87151
,041
5,391
1
45
,025
Predictors: (Constant), X7
Predictors: (Constant), X7, X1
Predictors: (Constant), X7, X1, X2
Predictors: (Constant), X7, X1, X2, X6
Dependent Variable: Y
ANOVA (c)
Sum of
Squares
Model
1
2
3
4
a
b
c
d
e
df
Mean Square
Regression
20170,554
1
20170,554
Residual
31435,382
48
654,904
Total
51605,936
49
Regression
28319,959
2
14159,980
Residual
23285,977
47
495,446
Total
51605,936
49
Regression
31707,507
3
10569,169
Residual
19898,430
46
432,575
Total
51605,936
49
Regression
33836,478
4
8459,120
Residual
17769,458
45
394,877
Total
51605,936
49
Predictors: (Constant), X7
Predictors: (Constant), X7, X1
Predictors: (Constant), X7, X1, X2
Predictors: (Constant), X7, X1, X2, X6
Dependent Variable: Y
F
Sig.
30,799
,000(a)
28,580
,000(b)
24,433
,000(c)
21,422
,000(d)
DurbinWatson
1,846
122
Lanjutan (Lampiran 4)
Coefficients (d)
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
Std.
B
Beta
Error
-603,989 133,059
-4,539
,000
14,611
-266,494
12,127
-22,745
-314,828
2,633
142,543
2,370
5,608
134,308
5,550
-1,870
5,116
-4,056
-2,344
,000
,068
,000
,000
,023
X7
9,526
2,402
,408
3,966
,000
,625
X1
-22,114
,013
-1514,862
8,466
5,245
,005
532,512
2,340
-,400
,281
,000
,007
,007
,001
-,545
,504
,362
-4,216
2,798
-2,845
3,618
,625
-18,091
5,302
-,327
-3,412
,001
-,545
,012
,005
,257
2,664
,011
,504
80,114
34,503
X6
a Dependent Variable: Y
,229
2,322
,025
,531
Model
(Constant)
X7
(Constant)
X7
X1
(Constant)
X2
(Constant)
X7
X1
X2
,625
,519
-,411
t
Sig.
Correlations
Collinearity
Statistics
Tolera
VIF
nce
Zeroorder
Partial
Part
,625
,625
,625
1,000
1,000
,625
-,545
,598
-,509
,501
-,397
,933
,933
1,072
1,072
,505
,363
,793
1,260
-,528
,381
-,386
,256
,931
,833
1,074
1,201
,475
,316
,763
1,310
-,453
-,298
,832
1,202
,369
,233
,823
1,215
,327
,203
,789
1,267
123
Lampiran 5 Langkah langkah perhitungan MSY dan f opt di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 dengan menggunakan
metode surplus produksi
1 Hasil tangkapan (catch), upaya penangkapan (effort) dan CPUE
Bagan
Tahun
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Catch
(Kg)
825.000
847.300
872.000
766.651
766.771
766.530
605.400
611.400
670.200
611.800
Effort
(Trip/
tahun)
8.351
8.208
8.206
8.723
8.724
8.722
8.057
8.481
8.616
7.488
Purse seine
CPUE
(kg/ Trip)
Catch
(Kg)
98,79
103,23
106,26
87,89
87,89
87,88
75,14
72,09
77,79
81,70
75.400
78.300
78.500
92.100
92.600
93.700
96.200
113.200
118.400
225.000
Effort
(Trip/
tahun)
923
920
1012
964
966
970
972
974
970
1482
Keterangan :
Catch
: Hasil tangkapan
Effort
: Upaya penangkapan
CPUE
: Hasil tangkapan per upaya tangkapan
Contoh perhitungan :
CPUE bagan 2003 : Catch bagan = 611.800 = 81,70
Effort bagan
7.488
Jaring insang hanyut
CPUE
(kg/ Trip)
Catch
(Kg)
81,69
85,11
77,57
95,54
95,86
96,60
98,97
116,22
122,06
151,82
1.543.200
1.514.800
1.484.600
1.416.100
1.386.000
1.379.300
1.116.600
1.450.300
1.256.300
987.600
Effort
(Trip/
tahun)
82.757
82.749
80.415
64.200
61.194
60.473
47.355
37.718
53.374
14.140
Payang
CPUE
(kg/ Trip)
Catch
(Kg)
18,65
18,31
18,46
22,06
22,65
22,81
23,58
38,45
23,54
69,84
2.594.600
2.589.800
2.578.900
2.566.959
2.556.897
2.522.662
2.535.600
2.500.500
3.350.100
4.825.700
Effort
(Trip/
tahun)
25.499
25.370
25.430
23.727
23.061
20.795
19.271
20.659
21.139
59.407
CPUE
(kg/
Trip)
101,75
102,08
101,41
108,19
110,88
121,31
131,58
121,04
158,48
81,23
124
2 Metode standarisasi alat tangkap
Dalam hal ini payang dijadikan alat tangkap standar, dikarenakan nilai CPUE tertinggi dibandingkan dengan alat tangkap lain. Jadi
CPUE standar yang digunakan adalah CPUE payang.
Nilai Fishing Power Indeks masing-masing alat tangkap :
Tahun
CPUE
Bagan
FPI
Bagan
CPUE
Purse seine
FPI
Purse seine
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
98,79
103,23
106,26
87,89
87,89
87,88
75,14
72,09
77,79
81,70
1,22
1,27
1,31
1,08
1,08
1,08
0,93
0,89
0,96
1,01
81,69
85,11
77,57
95,54
95,86
96,60
98,97
116,22
122,06
151,82
1,01
1,05
0,95
1,18
1,18
1,19
1,22
1,43
1,50
1,87
Contoh perhitungan :
FPI Bagan 2003 = CPUE Bagan 2003
CPUE payang 2003
= 81,70
81,23
= 1,01
CPUE
Jaring insang
hanyut
18,65
18,31
18,46
22,06
22,65
22,81
23,58
38,45
23,54
69,84
FPI
Jaring insang
hanyut
0,23
0,23
0,23
0,27
0,28
0,28
0,29
0,47
0,29
0,86
CPUE
Payang
FPI
Payang
101,75
102,08
101,41
108,19
110,88
121,31
131,58
121,04
158,48
81,23
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
125
3 Nilai Effort standar masing-masing alat tangkap yang telah distandarisasi
Tahun
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
FPI
1,22
1,27
1,31
1,08
1,08
1,08
0,93
0,89
0,96
1,01
Bagan
Effort
f std
8.351
10.156,20
8.208
10.430,73
8.206
10.734,80
8.723
9.437,89
8.724
9.439,37
8.722
9.436,40
8.057
7.452,80
8.481
7.526,67
8.616
8.250,53
7.488
7.531,59
Contoh perhitungan :
fstd bagan 2003 = FPI bagan * Effort bagan
= 1,01 * 7.488 = 7.531,59
FPI
1,01
1,05
0,95
1,18
1,18
1,19
1,22
1,43
1,50
1,87
Purse seine
Effort
f std
923
928,22
920
963,92
1012
966,38
964
1.133,80
966
1.139,96
970
1.153,50
972
1.184,27
974
1.393,55
970
1.457,57
1482
2.769,87
Jaring insang hanyut
FPI
Effort
f std
0,23 82.757 18.997,63
0,23 82.749 18.648,01
0,23 80.415 18.276,24
0,27 64.200 17.432,96
0,28 61.194 17.062,42
0,28 60.473 16.979,94
0,29 47.355 13.745,96
0,47 37.718 17.853,98
0,29 53.374 15.465,74
0,86 14.140 12.157,89
FPI
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Payang
Effort
25.499
25.370
25.430
23.727
23.061
20.795
19.271
20.659
21.139
59.407
f std
25.499
25.370
25.430
23.727
23.061
20.795
19.271
20.659
21.139
59.407
126
4 Pendugaan parameter intercept (a) dan slope (b)
Catch
(Kg)
5.038.200
5.030.200
5.014.000
4.841.809
4.802.268
4.762.192
4.353.800
4.675.400
5.395.000
6.650.100
Tahun
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Total fstd
CPUEstd
55.581,05
55.412,66
55.407,41
51.731,65
50.702,74
48.364,84
41.654,03
47.433,21
46.312,83
81.866,36
90,65
90,78
90,49
93,59
94,71
98,46
104,52
98,57
116,49
81,23
Langkah selanjutnya dengan memplotkan nilai standar dengan nilai CPUE untuk
menduga parameter intercept (a) dan slope (b).
Contoh perhitungan penentuan CPUE standar
CPUE standar 2003 = Catch 2003
Total fstd 2003
= 6.650.100
81.866,36
= 81,23 kg/tahun
Diketahui :
n = 10
Σ X2 = 285.654.740.355,85
Σ X = 534.466,78
Σ Y = 50.562.969
b=
n ∑ XY − ∑ X ∑ Y
n ∑ X 2 − (∑ X ) 2
= 10 (50.562.969) – (534.466,78) * (959,50)
10 (29.647.833.018,47) – (285.654.740.355,85)
= -0,00066
−
−
a= Y-bX
= 131,46
127
5 Pendugaan nilai potensi maksimum lestari (MSY) dan nilai upaya penangkapan
optimum (fopt) dengan menggunakan rumus Schaefer :
(1) model persamaan
CPUE = a + b (f)
CPUE = 131,46 – 0,00066
(2) MSY =
(131,46) 2
a2
=
= 6.546.110 kg per tahun
− (4) * (−0,00066)
4b
(3) F opt = −
131,46
a
= −
= 99.590,91 trip per tahun
2b
2 * (−0,0006)
5b Perhitungan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali
Mandar tahun 1994-2003
Tahun
Catch total (Kg)
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
5.038.200
5.030.200
5.014.000
4.841.809
4.802.268
4.762.192
4.353.800
4.675.400
5.395.000
6.650.100
Tingkat
pemanfaatan
(%)
76,96
76,84
76,60
73,96
73,36
72,75
66,51
71,42
82,42
101,59
Contoh perhitungan :
Tingkat pemanfaatan 2003 = Catch 2003/ Cmsy (100%)
= 6.650.100/ 6.546.110 (100%)
= 101,59 %
128
5c Perhitungan tingkat pengupayaan ikan di Kabupaten Polewali Mandar tahun
1994-2003
Tahun
Effort total
(Trip)
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
117.530
117.247
115.063
97.614
93.945
90.960
75.655
67.832
84.099
82.517
Tingkat
pengupayaan
(%)
118,01
117,73
115,54
98,01
94,33
91,33
75,97
68,11
84,44
82,86
Tingkat pengupayaan 2003 = Effort 2003/ Fmsy (100%)
= 82517/ 99.590,91* (100%)
= 82,85 %
129
Lampiran 6 Hasil analisis program MAPLE VIII terhadap fungsi produksi ikan
pelagis kecil dengan bagan (Lift net) di Polewali, Kabupaten
Polewali Mandar, Sulawesi Barat
> a:=131.46;
a := 131.46
> b:=-0.00066;
b := -0.00066
> c:=416600;
c := 416600
> p:=7000;
p := 7000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 99590.90910
> h:=a*E+b*E^2;
h := 131.46 E − 0.00066 E 2
> TR:=p*h;
TR := 920220.00 E − 4.62000 E 2
> plot(TR,E=0..199000);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 0.6546110454 10 7
130
> TRmsy:=p*hmsy;
> TCmsy:=c*Emsy;
TRmsy := 0.4582277318 10 11
TCmsy := 0.4148957273 10 11
> phimsy:=TRmsy-TCmsy;
phimsy := 0.433320045 10 10
> h:a*E+b*E^2;
131.46 E − 0.00066 E 2
> plot(h,E=0..199000);
> TR:=p*h;
TR := 920220.00 E − 4.62000 E 2
131
> plot(TR,E=0..199000);
> TC:=c*E;
> plot(TC,E=0..199000);
TC := 416600 E
132
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..199000,color=[red,blue]);
> fsolve(TR=TC,E);
0. , 109008.6580
> phi:=p*h-c*E;
φ := 503620.00 E − 4.62000 E 2
> fsolve(phi,E);
> y:=diff(phi,E);
> fsolve(y=0,E);
> Emey:=54504.32900;
0., 109008.6580
y := 503620.00 − 9.24000 E
54504.32900
Emey := 54504.32900
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 0.5204462649 10 7
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.3643123854 10 11
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.3272414040 10 11
133
> phimey:=TRmey-TCmey;
> Eoa:=109008.6580;
phimey := 0.370709814 10 10
Eoa := 109008.6580
> hoa:=a*Eoa+b*Eoa^2;
hoa := 0.6487572417 10 7
> TRoa:=p*hoa;
TRoa := 0.4541300692 10 11
> TCoa:=c*Eoa;
TCoa := 0.4541300692 10 11
> phioa:=TRoa-TCoa;
phioa:=0.
134
Lampiran 7 Nilai investasi dan penyusutan
No
1
2
Uraian
Satuan
Nilai
Umur
Ekonomis
Nilai
Sisa
Perubahan
Nilai Akhir
Penyusutan
7
4.500.000
33.250.000
6.500.000
Investasi
Perahu
Rp
Rp
50.000.000
0
135.000.000
50.000.000
Alat tangkap
Rp
15.000.000
0
15.000.000
4
2.000.000
3.250.000
Mesin
Rumpon
Perlengkapan
Lain-lain
Biaya modal kerja
Total Investasi
Rp
Rp
Rp
Rp
58.000.000
3.000.000
8.000.000
1.000.000
0
0
0
0
0
0
58.000.000
3.000.000
8.000.000
1.000.000
0
135.000.000
3
2
2
1
7.000.000
17.000.000
1.500.000
4.000.000
1.000.000
Keterangan :
Nilai sisa : sisa dari nilai barang setelah umur ekonomis
Penyusustan : nilai beli (nilai akhir) dikurangi nilai sisa dibagi dengan umur ekonomis
Nilai akhir : jumlah dari nilai suatu investasi
135
Lampiran 8 Biaya operasional nelayan
No
1
Kebutuhan Melaut
Uraian
Satuan
Nilai (Rp)
Solar
54 liter
Rp/Trip
243.000
Oli
1 Liter
Rp/Trip
8.500
Minyak tanah
2 Liter
Rp/Trip
2.600
Ransum
Rp/Trip
50.000
Es
Rp/Trip
100.000
Biaya operasional harian
Jumlah Total
404.100
2
Biaya operasional bulanan
Bulan
Rp/ Bulan
9.698.400
3
Biaya operasional tahunan
Tahun
Rp/Tahun
116.380.800
4
Biaya retribusi tahunan
Tahun
Rp/Tahun
7.000.000
Total keseluruhan
123.380.800
136
Lampiran 9 Produksi dan pendapatan
No
Uraian
Satuan
Volume
Harga
Jumlah
Pendapatan Musim
1
2
Puncak
Rp/trip
Teri
kg/trip
450
4.000
1.800.000
Kembung
kg/trip
200
6.000
1.200.000
Layang
kg/trip
200
5.000
1.000.000
Pendapatan per trip
Rp/trip
Jumlah trip musiman
Hari/trip
Pendapatan tahunan
Rp/musim
Pendapatan musim biasa
Rp/trip
Teri
kg/trip
450
5.000
2.250.000
Kembung
kg/trip
200
8.000
1.600.000
Layang
kg/trip
200
7.000
1.400.000
Pendapatan per trip
Rp/trip
Jumlah trip musiman
Hari/trip
Pendapatan tahunan
Rp/musim
210.000.000
Total Pendapatan tahunan
Rp/tahun
786.000.000
4.000.000
144
576.000.000
5.250.000
40
Keterangan :
Musim timur terjadi pada bulan April-September (musim ikan) (6 bulan)
Musim peralihan terjadi pada bulan Oktober-November (musim biasa) (2 bulan)
Musim barat terjadi pada bulan Desember-Maret (musim paceklik) (4 bulan)
137
Lampiran 10 Asumsi dan koefesien kelayakan pendapatan nelayan dan finansial
pemilik
No
1
2
3
4
5
Uraian
Produktivitas
Jumlah trip
Musim puncak
Jumlah trip
Musim biasa
Pendanaan
Modal sendiri
Bunga pinjaman
Jangka waktu
pengambilan
Tenggang pengambilan
Sistem bagi hasil
1. Pemilik alat tangkap
2. Kapten kapal
3. ABK lain (8-9 Orang)
Lain-lain
Pajak
Retribusi
Upah minimum regional
Biaya perawatan
Distribusi
Jumlah crew
Kapten kapal
ABK lainnya (8-9 orang)
Total crew
Satuan
Nilai
Perubahan
Nilai akhir
Trip/musim
144
0
144
Trip/musim
40
0
40
%
% per tahun
70
10
0
0
70
10
Tahun
Tahun
6
1
0
0
6
1
%
%
%
30
20
50
0
0
0
30
20
50
%
%
Rp/tahun
Rp/tahun
0
1,5
10.000.000
15.000.000
0
1,5
0
1,5
Orang
Orang
Orang
1
9
10
138
Lampiran 11 Pendapatan nelayan
No
1
2
Uraian
Pendapatan
Pendapatan musim puncak
Pendapatan musim biasa
Total Pendapatan tahunan
Biaya operasional harian
Solar
Oli
Minyak tanah
Ransum
Es
Lain-lain
Sub total
Biaya retribusi
Total pengeluaran
Pendapatan setelah retribusi
Sistem bagi hasil
Pemilik modal
Kapten kapal
ABK Lainnya (8-9 orang)
Satuan
Volume
Harga
Jumlah
Rp/musim
Rp/musim
Rp/tahun
1
1
576.000.000
210.000.000
576.000.000
210.000.000
786.000.000
Rp/trip
Rp/trip
Rp/trip
Rp/trip
Rp/trip
Rp/trip
Rp/tahun
Rp/tahun
Rp/tahun
Rp/tahun
288
288
288
288
243.000
8.500
2.600
50.000
0
0
69.984.000
2.448.000
748.800
14.400.000
100.000
0
87.680.800
7.000.000
94.680.800
691.319.200
Rp/orang
Rp/orang
Rp/orang
30%
20%
50%
207.395.760
138.263.840
345.659.600
139
Lampiran 12 Analisis titik peluang modal
1. Perhitungan nilai BEP :
BEP(Rp) =
=
Biaya tetap
Biaya variabel
1−
Hasil penjualan
33.250.000
1- (123.380.800 : 691.319.200)
= Rp 40.473.338,97
BEP(ton) =
Biaya tetap × Produksi
Hasil penjualan − Biaya variabel
= 33.250.000 x 489.600
691.319.200 – 123.380.800
= 28.663,67 ton
2. Perhitungan nilai ROI
ROI =
Keuntungan
×1 00 %
Nilai investasi
ROI = 691.319.200 x 100%
135.000.000
= 51,20 %
Download