KAJIAN PENGEMBANGAN PERIKANAN BAGAN PERAHU DI POLEWALI, KABUPATEN POLEWALI MANDAR, SULAWESI BARAT TAKRIL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 KAJIAN PENGEMBANGAN PERIKANAN BAGAN PERAHU DI POLEWALI, KABUPATEN POLEWALI MANDAR, SULAWESI BARAT TAKRIL Tesis Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Pengembangan Perikanan Bagan Perahu Di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2008 Takril NRP. C451060021 RINGKASAN TAKRIL. 2008. Kajian Pengembangan Perikanan Bagan Perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Dibimbing oleh BUDHI H. ISKANDAR dan BUDY WIRYAWAN. Kabupaten Polewali Mandar memiliki potensi ikan pelagis kecil yang cukup besar namun tingkat pemanfaatannya belum optimal, hal ini disebabkan karena masih rendahnya produktivitas usaha penangkapan yang dimiliki oleh usaha perikanan bagan perahu. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Menganalisis hubungan antara faktor-faktor fungsi produksi dengan hasil tangkapan bagan; 2) Mengestimasi tingkat produksi lestari dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil; 3) Mengkaji tingkat kelayakan usaha perikanan bagan di Polewali, Sulawesi Barat. Penelitian ini menggunakan metode survai dan observasi langsung. Analisis data menggunakan regresi linier berganda untuk melihat hubungan antara faktor-faktor fungsi produksi dengan hasil tangkapan bagan. Model surplus produksi digunakan dalam pendugaan stok sumberdaya ikan, model Gordon Schaefer untuk menganalisis kondisi bio-ekonomi penangkapan dan analisis finansial untuk menganalisis pendapatan dan kelayakan usaha. Hasil analisis faktor-faktor teknis produksi bagan dalam usaha penangkapan ikan pelagis kecil di Polewali, diperoleh faktor-faktor teknis produksi yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan antara lain jumlah lampu, bahan bakar dan ukuran kapal, sedangkan yang tidak berpengaruh nyata yaitu jumlah tenaga kerja, panjang jaring, tinggi jaring dan jumlah hari penangkapan. Hasil analisis aspek bio-ekonomi diperoleh nilai produksi MSY sebesar 6.546.110,45 kg per tahun dan nilai effort MSY sebesar 99.590 trip per tahun. Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan pengelolaan yang lain seperti kondisi MEY dan open access namun untuk kondisi aktual lebih besar dibanding kondisi MSY, tetapi secara umum dari tahun ke tahun kondisi MSY lebih besar dari kondisi aktual. Hal ini menandakan bahwa kondisi sumberdaya ikan pelagis kecil di Kabupaten Polewali Mandar masih tergolong lestari (sustainable). Hasil analisis kelayakan usaha penangkapan ikan pelagis kecil dengan bagan (lift net) diperoleh nilai BEP produksi per tahun sebesar Rp 40.473.338,97 dengan volume produksi per tahun sebesar 28.663,67 ton. Sedangkan nilai ROI diperoleh sebesar 51,20. Hal ini berarti setiap investasi sebesar Rp 100 akan mendapatkan keuntungan sebesar 51,20%. Nilai ROI sebesar 51,20 artinya tergolong dalam kriteria “ baik”. Berdasarkan hasil analisis finansial dengan mempertimbangkan kriteria investasi, maka usaha perikanan bagan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat layak dikembangkan. Kata kunci : lift net, Kabupaten Polewali Mandar, pengembangan ABSTRACT TAKRIL. 2008. A Study on Development of Lift Net Fishery in Polewali, Polewali Mandar Regency, West Sulawesi Province. Supervised by BUDHI H. ISKANDAR and BUDY WIRYAWAN. Polewali Mandar Regency has high potency of small pelagic fishes. However, they have not utilized optimally yet due to low productivity of fishing efforts applied by lift net fishery. The objectives of this study were: 1) to analyse the relationship between factors of production functions and production of fishing yields of lift net; 2) to estimate the level of sustainable yields in utilization of small pelagic fish resources; 3) to analyse the economic feasibility of lift net fishery in Polewali, West Sulawesi. Survey method and field observation has see applied for using analysis of multiple linier regression to determine relationship between production factors and the lift net yields. Model of surplus production was used in assessing fish stock resources, Gordon Schaefer model to analyse bio-economical condition of fishing and financial analyses to estimate the income and effort feasibility. Results of technical analysis factors in production of small pelagic fishes lift net in Polewali revealed technical factors of production that significantly affecting the fishing yields were number of lamps, fuels and size of the fishing vessels, whereas, those that did not affect the yields were number of labours, net length, net height and number of fishing days. Results of bio-economical aspect analysis provided value of analysis MSY production of 6,546,110.45 kg per year and value of MSY effort of 99,590 trip per year. This value is higher compared to other management models such as MEY condition and open access, although the actual condition is higher than MSY condition, however, in general MSY condition is higher than the actual condition. This fact indicates that the condition of small pelagic fish resources in Polewali Mandar Regency is still categorised as sustainable. Results of feasibility analysis of small pelagic fishery using lift net estimated from BEP value of production per year as much as IDR 40,473,338.97 with production volume of 28,663.73 tonnes per year. While, ROI value was 51.20. This meant that every IDR 100 of investment will benefit as much as 51.20%. Therefore, this ROI value is classified as “good”. Based on financial analysis considering investment criterion, it is concluded that lift net fishery business in Polewali, Polewali Mandar Regency, West Sulawesi Province is suitable to be developed. Keywords: lift net, Polewali Mandar Regency, development © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis : Kajian Pengembangan Perikanan Bagan Perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat Nama : Takril NRP : C451060021 Program Studi : Teknologi Kelautan Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si Ketua Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Anggota Diketahui, Program Studi Teknologi Kelautan Ketua, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 29 Mei 2008 Tanggal Lulus : PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis tepat pada waktunya dengan judul “Kajian Pengembangan Bagan Perahu Di Polewali, Kabupaten Polewali, Sulawesi Barat”. Selama penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan. 2. Dr. Mustaruddin STP selaku dosen penguji luar komisi yang berkenan memberikan masukan demi perbaikan isi dan penulisan tesis serta Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc selaku ketua Program Studi atas arahannya selama penyelesaian studi. 3. Seluruh staf dosen dan staf administrasi Program Studi Teknologi Kelautan atas bantuan kelancaran selama proses menyelesaikan studi. 4. Teman-teman Pascasarjana angkatan 2006 atas kebersamaannya selama proses perkuliahan berlangsung. 5. Terkhusus ucapan hormatku kepada kedua orang tuaku tercinta serta seluruh keluarga di Polewali, Sulawesi Barat atas doa dan kasih sayangnya. 6. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu namanya. Terima kasih. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak terdapat kesalahan baik dari segi isi maupun dari segi penulisan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan dari semua pihak untuk perbaikan tesis ini. Bogor, Juli 2008 Takril RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Polewali pada tanggal 10 Maret 1981 dari pasangan H. Kahil dan Hj. Mariama. Penulis merupakan anak keempat dari delapan bersaudara. Tahun 2000 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Polewali, Sulawesi Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih program studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan mengikuti program magister pada sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Teknologi Kelautan dengan biaya sendiri. Selama masa perkuliahan, penulis aktif di pengurus Forum Komunikasi Mahasiswa Teknologi Kelautan (FORMULA) IPB periode 2007-2008 dan pengurus Forum Komunikasi Mahasiswa Pascasarjana IPB asal Sulawesi Selatan (FKMP-IPB-SulSel) periode 2007-2008. DAFTAR ISTILAH : Bagan (Lift net) (Subani dan Barus,1989) Sejenis alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan pelagis kecil yang cara pengoperasiannya dilakukan dengan menurunkan dan menaikkan jaring secara vertikal. : Hasil tangkapan sampingan; merupakan bagian dari hasil tangkapan yang didapatkan pada saat operasi penangkapan sebagai tambahan dari tujuan utama penangkapan. Break Even Point (BEP : (Kadariah, 1978) Suatu metode yang mempelajari hubungan antara biaya, keuntungan dan volume penjualan. Fishing ground (Subani : dan Barus, 1989) Suatu daerah perairan tempat ikan berkumpul dimana penangkapan ikan dapat dilakukan. By-catch (Subani dan Barus, 1989) Fishing base : Pangkalan pendaratan armada penangkapan. Gross Tonage (GT) (Nomura and Yamazaki, 1977) : Ukuran besarnya kapal secara keseluruhan yang merupakan jumlah isi semua ruang-ruang tertutup (volume). Keseimbangan bio-ekonomi (Fauzi, 2004) : Kondisi dimana pada setiap effort dibawah EoA, penerimaan total akan melebihi biaya total, sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik (entry) untuk melakukan penangkapan ikan. Light fishing (Subani dan Barus, 1989) : Kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan cahaya sebagai pengumpul ikan. Maximum Economic : Yield (MEY) (Fauzi, 2004) Keuntungan lestari diperoleh secara maksimum (sustainable profit) pada tingkat upaya EMEY karena memiliki jarak vertikal terbesar antara penerimaan dan biaya (garis BC). Nelayan (Subani dan Barus, 1989) : Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Open access (Fauzi, 2004) : Suatu kondisi dimana siapa saja dapat berpartisipasi dalam melakukan penangkapan ikan tanpa harus memiliki sumberdaya perikanan tersebut. Penurunan jaring (setting) (Subani dan Barus, 1989) : Salah satu tahapan dalam metode pengoperasian bagan yaitu proses penurunan jaring dengan menggunakan roller. : Salah satu tahapan dalam metode pengoperasian bagan yaitu lamanya jaring berada di dalam air. : Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada sesuatu yang lebih baik; proses yang menuju pada suatu kemajuan. Perikanan (Subani dan Barus, 1989) : Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDI dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Perikanan tangkap (Subani dan Barus, 1989) : Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan mengawetkannya. Platform : Pelataran atau balai-balai pada bagan yang umumnya terbuat dari kayu. Roller (Subani dan Barus 1989) : Alat bantu penangkapan pada bagan yang berfungsi untuk menurunkan dan menaikkan jaring. Perendaman jaring (soaking) (Subani dan Barus, 1989) Pengembangan (Ihsan, 2000) Return of Investment : (ROI) (Rangkuti, 2001) Kemampuan suatu keuntungan netto. usaha untuk menghasilkan Sumberdaya perikanan (Subani dan Barus, 1989) : Terdiri dari sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan serta sumberdaya buatan manusia, yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Unit penangkapan ikan (Subani dan Barus, 1989) : Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap, dan nelayan. Upaya penangkapan (fishing effort) (Subani dan Barus, 1989) : Ukuran kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan dalam periode waktu tertentu. Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Mustaruddin, STP DAFTAR ISI Halaman iii DAFTAR TABEL ....................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... vii 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 1.5 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 1 1 2 3 3 4 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 2.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu ..................................................... 2.2 Metode Pengoperasian Bagan Perahu .............................................. 2.3 Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil ........................................................ 2.4 Pengembangan Perikanan Bagan Perahu ......................................... 2.5 Fungsi Produksi ................................................................................ 2.6 Model Produksi Surplus dan Model Bio-ekonomi .......................... 2.7 Aspek Sosial ..................................................................................... 2.8 Analisis Investasi .............................................................................. 6 6 8 10 16 17 18 24 25 3 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................... 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................. 3.3 Metode Penelitian ............................................................................ 3.4 Batasan Penelitian ............................................................................. 3.5 Metode Pengumpulan Data .............................................................. 3.5.1 Aspek biologi .......................................................................... 3.5.2 Aspek teknis ............................................................................ 3.5.3 Aspek sosial ............................................................................ 3.5.4 Aspek ekonomi ....................................................................... 3.6 Metode Analisis Data ....................................................................... 3.6.1 Analisis fungsi produksi........................................................... 3.6.2 Pendugaan parameter biologi .................................................. 3.6.3 Pendugaan parameter ekonomi ............................................... 3.6.4 Pendugaan parameter sosial .................................................... 3.6.5 Analisis kelayakan usaha ......................................................... 27 27 27 28 28 29 31 31 32 33 34 34 37 38 39 39 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN .................................... 4.1 Keadaan Geografis dan Topografi ................................................... 4.2 Karakteristik Oseanografi ................................................................ 4.3 Kondisi Umum Perikanan Tangkap di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar .............................................................................. 4.4 Musim dan Daerah Penangkapan Ikan .............................................. 41 41 41 5 HASIL PENELITIAN............................................................................. 5.1 Sejarah Perikanan Bagan ................................................................. 50 50 46 49 5.2 Unit Penangkapan Bagan Perahu ...................................................... 5.2.1 Kapal ....................................................................................... 5.2.2 Alat tangkap ............................................................................ 5.2.3 Nelayan ................................................................................... 5.2.4 Alat bantu lainnya ................................................................... 5.3 Pengoperasian Bagan ....................................................................... 5.4 Komposisi Hasil Tangkapan Bagan ................................................. 5.5 Analisis Faktor Teknis Produksi ...................................................... 5.6 Aspek Biologi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil pada Bagan, Purse seine, Jaring insang hanyut dan Payang .................... 5.6.1 Produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit penangkapan . 5.6.2 Tingkat pemanfaatan dan pengupayaan sumberdaya ikan....... 5.6.3 Produktivitas unit penangkapan ............................................... 5.7 Aspek Sosial ..................................................................................... 5.7.1 Penyerapan tenaga kerja .......................................................... 5.7.2 Latar belakang pendidikan ...................................................... 5.7.3 Penerimaan nelayan terhadap unit penangkapan bagan perahu 5.7.4 Konflik sosial .......................................................................... 5.7.5 Kelembagaan perikanan bagan ............................................... 5.8 Aspek Ekonomi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil ............................. 5.8.1 Biaya penangkapan ................................................................. 5.8.2 Analisis harga ikan hasil tangkapan ........................................ 5.9 Analisis Bio-ekonomi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil ................... 6.0 Analisis Kelayakan Usaha Penangkapan Bagan Perahu ................... 51 51 52 54 55 57 63 64 6 PEMBAHASAN .................................................................................... 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu ..................................................... 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi ...................................................... 6.3 Aspek Biologi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil ........... 6.4 Aspek Sosial ..................................................................................... 6.5 Analisis Bio-ekonomi Sumberdaya ikan Pelagis Kecil ................... 6.6 Analisis Kelayakan Usaha Penangkapan Bagan Perahu ................... 93 93 93 96 97 98 100 7 KESIMPULAN ...................................................................................... 7.1 Kesimpulan ...................................................................................... 7.2 Saran ................................................................................................. 103 103 103 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 104 LAMPIRAN ................................................................................................ 109 67 67 69 72 79 79 80 80 81 81 83 83 84 85 89 DAFTAR TABEL Halaman 30 1 Cara pengumpulan data di lapangan ....................................................... 2 Pengukuran parameter biologi terhadap sumberdaya ikan ................... 31 3 Pengukuran parameter teknis kapal dan alat penangkapan ikan ............ 32 4 Pengukuran parameter sosial pada nelayan yang menggunakan unit penangkapan bagan ................................................................................ 33 5 Pengukuran parameter ekonomi terhadap unit penangkapan bagan ...... 33 6 Perkembangan jumlah kapal atau perahu di Kabupaten Polewali Mandar periode 1994-2003 .................................................................... 47 7 Perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Polewali Mandar periode 1994-2003 ............................................................................................... 47 8 Jumlah bagan (lift net) di Kabupaten Polewali Mandar tahun 19942003 ....................................................................................................... 48 9 Volume dan nilai produksi perikanan yang didaratkan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 ........................................................ 48 10 Spesifikasi bagan perahu di Polewali, Sulawesi Barat ........................... 52 11 Spesifikasi bagian-bagian alat tangkap yang digunakan nelayan Polewali, Sulawesi Barat ........................................................................ 53 12 Komposisi hasil tangkapan utama bagan yang didaratkan di Polewali, Sulawesi Barat ...................................................................................... 64 13 Hasil analisis regresi linier berganda ...................................................... 65 14 Perkembangan produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit penangkapan ikan tahun 1994-2003 ..................................................... 68 15 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 ....................................................................... 70 16 Tingkat pengupayaan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 ....................................................................... 71 17 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan (effort) bagan tahun 1994-2003 .............................................................. 72 18 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan (effort) purse seine tahun 1994-2003 ..................................................... 74 19 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan (effort) jaring insang hanyut tahun 1994-2003 .................................... 76 20 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan (effort) payang tahun 1994-2003 .......................................................... 78 21 Struktur biaya penangkapan ikan pelagis kecil dengan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat tahun 2007 84 22 Harga ikan pada musim puncak dan musim biasa ................................. 85 23 Optimalisasi bio-ekonomi dalam berbagai kondisi pengelolaan dan kondisi aktual sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan perahu (lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat ...... 86 DAFTAR GAMBAR 1 Halaman Kerangka pemikiran pengembangan usaha perikanan bagan perahu berbasis sumberdaya ikan pelagis kecil di Polewali, Sulawesi Barat .... 5 2 Morfologi teri (Stolephorus spp) ............................................................ 12 3 Morfologi kembung (Rastrelliger spp) .................................................. 14 4 Morfologi layang (Decapterus ruselli) .................................................. 15 5 Kurva pertumbuhan logistik ................................................................... 19 6 Keseimbangan bio-ekonomi Gordon-Schaefer ...................................... 23 7 Lokasi daerah penelitian ......................................................................... 27 8 Peta sebaran kecepatan arus permukaan laut di lokasi penelitian .......... 42 9 Rata-rata curah hujan di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat 10 tahun 1996-2006 ...................................................................... 43 10 Peta penyebaran suhu di lokasi penelitian .............................................. 44 11 Peta sebaran salinitas permukaan laut di lokasi penelitian .................... 45 12 Bagan perahu yang digunakan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat .......................................................... 52 13 Sistem bagi hasil usaha perikanan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat ........................................ 55 14 Serok yang digunakan untuk menaikkan ikan ke atas dek kapal ........... 56 15 Basket yang digunakan untuk memasukkan ikan ke dalam palka ......... 56 16 Lampu merkuri dan cara pemasangan .................................................... 57 17 Roller yang digunakan untuk menarik jaring ......................................... 61 18 Ilustrasi tahapan pengoperasian bagan perahu ........................................ 62 19 Hubungan antara jumlah lampu dengan hasil tangkapan (ton) .............. 66 20 Hubungan antara BBM dengan hasil tangkapan (ton) ........................... 66 21 Hubungan antara ukuran kapal (GT) dengan hasil tangkapan (ton) ...... 67 22 Perkembangan produksi unit penangkapan ikan tahun 1994-2003 ........ 68 23 Perkembangan upaya penangkapan (effort) unit penangkapan ikan tahun 1994-2003 ..................................................................................... 69 24 Perkembangan catch per unit effort (CPUE) unit penangkapan ikan tahun 1994-2003 ..................................................................................... 69 25 Perkembangan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 ........................................................ 70 26 Perkembangan tingkat pengupayaan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 ........................................................ 71 27 Status produksi dan upaya penangkapan hubungannya dengan hasil tangkapan lestari dan upaya optimum ................................................... 72 28 Perkembangan produksi penangkapan pada bagan tahun 1994-2003 ... 73 29 Upaya penangkapan (effort) pada bagan tahun 1994-2003 ................... 73 30 Catch per unit effort (CPUE) pada bagan tahun 1994-2003 ................. 74 31 Perkembangan produksi penangkapan pada purse seine tahun 1994-2003 ……………………..…………………………………..….. 75 32 Upaya penangkapan (effort) pada purse seine tahun 1994-2003 …...… 75 33 Catch per unit effort (CPUE) pada purse seine tahun 1994-2003 …..... 75 34 Perkembangan produksi penangkapan pada jaring insang hanyut tahun 1994-2003 ……………………...................................……….… 76 35 Upaya penangkapan (effort) pada jaring insang hanyut tahun 19942003 ....................................................................................................... 77 36 Perkembangan catch per unit effort (CPUE) pada jaring insang hanyut tahun 1994-2003 .................................................................................... 77 37 Perkembangan produksi penangkapan pada payang tahun 1994-2003 78 38 Upaya penangkapan (effort) pada payang tahun 1994-2003 ................. 78 39 Perkembangan catch per unit effort (CPUE) pada payang tahun 19942003 …………………………………………………......................…. 79 40 Perbandingan hasil tangkapan ikan pelagis kecil dengan menggunakan bagan (lift net) setiap kondisi periode 1994-2003 …...... 86 41 Perbandingan tingkat upaya penangkapan ikan pelagis kecil dengan menggunakan bagan (lift net) pada setiap kondisi periode 1994-2003.. 87 42 Perbandingan rente ekonomi penangkapan ikan pelagis kecil dengan menggunakan bagan (lift net) pada setiap kondisi periode 1994-2003 87 43 Keseimbangan Bio-ekonomi Gordon-Schaefer untuk pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan (lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat ….................................... 89 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Foto dokumentasi hasil penelitian kajian pengembangan perikanan bagan perahu berbasis sumberdaya ikan pelagis kecil di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat ........................................ 109 2 Data faktor-faktor oseanografi ............................................................... 115 3 Data faktor-faktor teknis produksi dan hasil tangkapan bagan perahu (lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat ...... 117 4 Hasil keluaran analisis model fungsi produksi dengan menggunakan aplikasi program SPSS 12 ...................................................................... 119 Langkah langkah perhitungan MSY dan f opt di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 dengan menggunakan metode surplus produksi................................................................................................... 123 6 Hasil analisis program MAPLE VIII terhadap fungsi produksi ikan pelagis kecil dengan bagan (lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. ......................................................................... 129 7 Nilai investasi dan penyusutan ............................................................... 134 8 Biaya operasional nelayan ...................................................................... 135 9 Produksi dan pendapatan ........................................................................ 136 10 Asumsi dan koefesien kelayakan pendapatan nelayan dan finansial pemilik ................................................................................................... 137 11 Pendapatan nelayan ................................................................................ 138 12 Analisis titik peluang modal ................................................................... 139 5 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut di masa mendatang dihadapkan pada kenyataan bahwa hingga saat ini sebagian besar sumberdaya perikanan dimanfaatkan oleh perikanan berskala kecil atau perikanan rakyat. Keadaan usaha perikanan rakyat pada umumnya masih tradisional dan memiliki jangkauan usaha penangkapan yang masih terbatas di perairan pantai, dimana produktivitas yang dihasilkan masih rendah (Bahari, 1989). Menurut Barus et al. (1991), produktivitas nelayan yang masih rendah pada umumnya diakibatkan oleh rendahnya keterampilan dan pengetahuan serta penggunaan alat penangkapan maupun perahu yang masih sederhana, sehingga efektifitas dan efesiensi alat tangkap maupun perahu belum optimal. Keadaan ini berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima nelayan yang relatif rendah, keadaan ekonomi dan kesejahteraan nelayan pada umumnya masih tertinggal bila dibandingkan dengan masyarakat petani atau masyarakat lainnya. Sulawesi Barat sebagai salah satu propinsi terbaru di wilayah Indonesia Bagian Tengah memiliki letak geografis yang sangat strategis sebagai daerah potensial perikanan khususnya ikan pelagis kecil yang cukup besar, namun diduga tingkat pemanfaatannya masih belum optimal. Usaha perikanan yang berkembang di Sulawesi Barat khususnya di Kabupaten Polewali Mandar masih tergolong perikanan pantai dimana kegiatan penangkapan masih dilakukan oleh perikanan rakyat dan alat tangkap yang umumnya digunakan nelayan untuk menangkap ikan pelagis kecil di daerah ini adalah bagan perahu. Tingkat pemanfaatan yang belum optimal ini diduga disebabkan karena masih rendahnya produktivitas usaha penangkapan seperti keterbatasan modal, alat tangkap yang relatif sederhana, armada penangkapan yang digunakan relatif kecil dan keterampilan nelayan yang masih rendah. Sehubungan dengan belum optimalnya usaha perikanan bagan perahu dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat yang disebabkan oleh rendahnya produktivitas usaha namun sampai saat ini belum ada kajian mengenai hal tersebut, maka 2 sangat perlu untuk dilakukan suatu kajian pengembangan bagan perahu yang berbasis sumberdaya ikan melalui aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi (bioteknososionomi). Oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi suatu teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan, yaitu : (1) ditinjau dari biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya, (2) secara teknis efektif digunakan, (3) dari segi sosial dapat diterima masyarakat nelayan, (4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan (Haluan dan Nurani ,1988). Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis terdorong untuk melakukan penelitian secara langsung di lapangan mengenai kasus tersebut. Sehingga sangat perlu dilakukan penelitian tentang “kajian pengembangan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat”. 1.2 Perumusan Masalah Perairan teluk Mandar tepatnya di Polewali diduga mempunyai potensi sumberdaya ikan pelagis cukup besar, tetapi potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Tingkat pemanfaatan yang belum optimal ini diduga disebabkan masih rendahnya produktivitas usaha penangkapan seperti: keterbatasan modal, alat tangkap yang relatif sederhana, armada penangkapan yang digunakan relatif kecil dan keterampilan nelayan yang masih rendah. Teknologi penangkapan yang umum digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan pelagis kecil di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat adalah Bagan perahu. Bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat telah dihadapkan pada potensi yang besar namun kurang produktif alat tangkapnya. Demikian pula dengan sarana dan prasarana usaha perikanan tangkap yang masih kurang dan tradisional. Kualitas sumberdaya manusia relatif masih rendah, seperti dicirikan oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, kemampuan manajemen yang lemah. Kondisi lingkungan hidup yang kurang baik juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendapatan. Implikasinya adalah kurang lancarnya adopsi teknologi sampai ke level terbawah (nelayan) sehingga nelayan tidak cepat memanfaatkan teknologi dan kurang dapat melakukan diversifikasi usaha. 3 Berkaitan uraian-uraian di atas, maka masalah-masalah yang dihadapi pada pengembangan usaha perikanan bagan perahu bagaimana cara mengembangkan bagan perahu dengan memperhatikan sumberdaya ikan. Bagaimana menentukan bagan perahu yang layak dikembangkan berdasarkan penilaian aspek biologi, teknologi, sosial dan ekonomi (Bioteknososionomi) sehingga nantinya mampu meningkatkan taraf hidup nelayan. Salah satu alternatif yang harus dilakukan untuk pengembangan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat adalah melakukan pengkajian pengembangan bagan perahu yang berbasis sumberdaya ikan khususnya ikan pelagis kecil, sehingga sumberdaya perikanan laut tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Dengan demikian, maka akan didapatkan alat tangkap bagan yang layak dikembangkan, sehingga sumberdaya perikanan laut yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. 1.3 Tujuan Penelitian 1) Menganalisis hubungan antara faktor-faktor fungsi produksi dengan hasil tangkapan bagan. 2) Mengestimasi tingkat produksi lestari dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil. 3) Mengkaji tingkat kelayakan usaha perikanan bagan di Polewali, Sulawesi Barat. 1.4 Manfaat Penelitian 1) Memberikan informasi sebagai masukan bagi pemerintah untuk kebijakan pengembangan perikanan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. 2) Memberikan informasi bagi pengusaha dan nelayan perikanan bagan dari berbagai analisis aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi (Bioteknososionomi) untuk pengembangan usaha perikanan bagan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. 4 1.5 Kerangka Pemikiran Pengembangan merupakan usaha perubahan dari suatu kondisi yang kurang kepada suatu yang dinilai lebih baik. Manurung et al. (1998), memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk dalam mengelolah lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatkan taraf hidup mereka. Dengan demikian pengembangan adalah suatu proses yang menuju kepada suatu kemajuan. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989). Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup atau pendapatan nelayan antara lain meningkatkan produksi hasil tangkapan secara produktivitas dan efesiensi melalui kajian pengembangan bagan perahu yang sesuai dengan kondisi wilayah setempat serta tidak merusak kelestarian sumberdaya perikanan yang ada. Usaha perikanan tangkap di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar merupakan suatu kegiatan ekonomi untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumberdaya ikan yang ada di perairan sesuai daya dukungnya dengan mengharapkan keuntungan yang layak bagi para pelakunya baik itu nelayan, pemilik kapal, perusahaan, peminjaman modal ataupun pemerintah dengan kepentingan dan pengorbanannya masing-masing. Namun pemanfaatan tersebut diharapkan tetap memperhatikan kelestarian dari sumberdaya yang ada sehingga dapat tercipta kesinambungan usaha dari sekarang hingga mendatang. Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang dihadapi dalam usaha perikanan khususnya pemanfaatan ikan pelagis kecil dengan alat tangkap bagan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat adalah sebagai berikut : Mengetahui hubungan antara faktor-faktor produksi dengan produksi unit penangkapan bagan perahu yang optimum untuk mencapai tingkat produksi dan keuntungan ekonomi maksimum dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil serta menentukan tingkat kelayakan usaha perikanan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Untuk menjawab 5 permasalahan dalam penelitian ini lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram alir kerangka pemikiran (Gambar 1). Untuk itu suatu studi yang mendasar dan mencakup aspek biologis, teknis, sosial dan ekonomis dalam usaha perikanan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat sangat diperlukan. Dengan demikian diharapkan usaha perikanan bagan perahu dapat dilakukan seoptimal mungkin, sehingga sumberdaya perikanan laut yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan nelayan tanpa mengganggu keberlangsungan sumberdaya yang ada. Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil Ketersediaan sumberdaya ikan Produksi hasil tangkapan Sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang usaha Tenaga kerja (nelayan) Belum optimal dan berkembang usaha pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil Input pengembangan berdasarkan analisis pendekatan aspek biologi, teknologi, sosial, dan ekonomi (Bioteknososionomi) Aspek Biologi: Estimasi status potensi sumberdaya Analisis CPUE MSY Model Schaefer Aspek Teknis : Peningkatan produksi berdasarkan faktor teknis produksi Aspek Sosial : Potensi terjadinya konflik Analisis Regresi Linier Berganda Persepsi nelayan dan potensi konflik Model fungsi produksi Persepsi dan peluang timbulnya konflik Aspek Ekonomi : Ekonomi kelayakan usaha Analisis finansial: Return on Investemen (ROI) dan Break Even Point (BEP) Kelayakan usaha Pengembangan usaha perikanan bagan perahu Gambar 1 Kerangka pemikiran pengembangan usaha perikanan bagan perahu berbasis sumberdaya ikan pelagis kecil di Polewali, Sulawesi Barat. 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 2.1.1 Kapal penangkapan ikan Bagan adalah sejenis alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan pelagis kecil. Alat tangkap ini pertama kali diperkenalkan oleh nelayan Bugis Makassar pada tahun 1950-an. Beberapa tahun kemudian bagan ini tersebar dan terkenal di seluruh perairan Indonesia. Dalam perkembangannya bagan telah banyak mengalami perubahan baik bentuk maupun ukurannya yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan daerah penangkapan. Berdasarkan cara pengoperasian, bagan dikelompokkan kedalam jaring angkat (lift net). Karena menggunakan cahaya untuk mengumpulkan ikan maka metode penangkapan ikan dengan bagan disebut light fishing (Subani dan Barus, 1989). Bagan termasuk kedalam light fishing yang menggunakan lampu sebagai alat bantu untuk merangsang atau menarik perhatian ikan untuk berkumpul di bawah cahaya lampu, kemudian dilakukan penangkapan dengan jaring yang telah tersedia (Ayodhyoa, 1981). Selanjutnya dikatakan bahwa ikan tersebut memberikan respon melalui rangsangan cahaya dan dimanfaatkan dalam penangkapan atau pemanfaatan salah satu tingkah laku ikan untuk menangkap ikan. Ada beberapa jenis ikan yang tertarik dengan cahaya dan berkumpul serta ada juga jenis ikan yang menjahui cahaya dan menyebar. Tipe kapal di Indonesia ada dua, pertama adalah bagan tancap yaitu bagan yang ditancapkan secara tetap di dasar perairan dengan kedalaman 5-10 m. Tipe kedua adalah bagan apung, yaitu bagan yang dapat berpindah dari satu daerah penangkapan ke daerah penangkapan lainnya (Baskoro, 1999). Selanjutnya jenis bagan apung ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi 4 jenis bagan, yaitu bagan dengan satu perahu, bagan dengan dua perahu, bagan rakit, dan bagan dengan menggunakan mesin. Secara umum konstruksi unit penangkapan bagan perahu terdiri atas kerangka kayu, waring/jaring serta perahu bermotor yang sekaligus sebagai alat transportasi di laut. Jenis lampu yang digunakan oleh bagan sebagai atraktor untuk memikat ikan, yaitu lampu petromaks, lampu neon, dan lampu merkuri. Cahaya 7 lampu pada bagan, berfungsi untuk menarik ikan agar berkumpul di sekitar perahu kemudian dilakukan penangkapan dengan menggunakan jaring. Penggunaan cahaya merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan penangkapan ikan pada bagan perahu. Untuk itu maka nelayan di sekitar Polewali menggunakan cahaya lampu dengan tenaga listrik yang menghasilkan iluminasi yang tinggi. Bagan perahu atau bagan bermotor adalah jenis alat tangkap yang dioperasikan dengan cara menarik ke atas dari posisi vertikal yang dilengkapi untuk menangkap ikan yang ada di atasnya dengan menyaring air. Bagan dalam perkembangannya telah mengalami banyak perubahan bentuk maupun ukuran sesuai dengan daerah penangkapannya (Subani dan Barus, 1989). 2.1.2 Alat tangkap Di Indonesia bagan termasuk kategori alat tangkap yang produktif dan banyak dioperasikan di perairan pantai. Para ahli mendefenisikan bagan berdasarkan karakteristik alat tangkap bagan tersebut. Subani dan Barus (1989), mengklasifikasikan bagan ke dalam jaring angkat (lift net), karena pengoperasiannya dilakukan dengan menurunkan dan mengangkat jaring secara vertikal. Sementara menurut Baskoro (1999), pengklasifikasian bagan ada 2 tipe yaitu bagan tancap dan bagan apung. Mata jaring bagan umumnya berukuran kecil, sekitar 0,5 cm (Sudirman, 2003). Ukuran mata jaring ini berkaitan erat dengan sasaran utama ikan yang tertangkap yaitu teri yang juga berukuran kecil. Jika ukuran mata jaring terlalu besar, maka ikan tersebut tidak tertangkap. Adapun komponen alat tangkap bagan terdiri dari jaring bagan, rumah bagan (anjang-anjang), lampu dan serok. Pada bagan terdapat alat penggulung atau roller yang berfungsi untuk menurunkan atau mengangkat jaring (Subani dan Barus, 1989). Ukuran alat tangkap bagan beragam mulai dari 13 × 2,5 × 1,2 m hingga 29 × 29 × 17 m. Mata jaring bagan umumnya berukuran kecil, sekitar 0,5 cm (Sudirman, 2003). Ukuran mata jaring ini berkaitan erat dengan sasaran utama ikan yang tertangkap, yaitu teri yang juga berukuran kecil. Jika ukuran mata jaring terlalu besar, maka ikan tersebut tidak tertangkap. 8 2.1.3 Nelayan Nelayan pada perikanan bagan adalah orang yang ikut dalam operasi penangkapan ikan secara langsung maupun tidak langsung. Nelayan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam usaha penangkapan ikan, karena segala kegiatan operasi penangkapan tidak akan berjalan tanpa adanya tenaga kerja. Dalam operasi penangkapan ikan, masing-masing nelayan memiliki tugas tersendiri, sehingga operasi penangkapan ikan dapat berjalan dengan lancar. Dalam pembagian tugas, kapten kapal memiliki tanggung jawab paling besar terhadap kelancaran operasi penangkapan ikan. Berdasarkan tugasnya dalam operasi penangkapan, nelayan dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu kapten kapal yang bertugas sebagai nahkoda kapal, teknisi mesin yang bertugas atas kelayakan dan kerusakan mesin kapal, juru masak yang bertugas menyiapkan makanan untuk seluruh ABK, ABK lainnya yang bertugas melakukan seluruh kegiatan operasi penangkapan ikan . 2.2 Metode Pengoperasian Bagan Perahu Operasi penangkapan bagan umumnya dimulai pada saat matahari mulai tenggelam. Metode pengoperasian bagan diawali dengan penurunan jaring sampai kedalaman yang diinginkan. Selanjutnya lampu mulai dinyalakan untuk menarik perhatian ikan agar berkumpul di bawah sinar lampu atau di sekitar bagan. Pengangkatan jaring dilakukan apabila ikan yang terkumpul sudah cukup banyak dan keadaan ikan-ikan tersebut cukup tenang. Jaring diangkat sampai berada di atas permukaan air dan hasil tangkapan diambil dengan menggunakan serok (Subani, 1972). Pengoperasian bagan tersebut menggunakan atraktor cahaya (light fishing), sehingga alat ini tidaklah efesien apabila digunakan pada saat bulan purnama. Dimana pada waktu bulan purnama ikan akan menyebar di kolom perairan (Gunarso,1985), sehingga fungsi cahaya sebagai atraktor tidaklah efesien. Pada bulan purnama, nelayan bagan tidak melakukan operasi penangkapan. Hal senada juga diungkapkan oleh Subani dan Barus (1989), bahwa penangkapan ikan menggunakan alat tangkap bagan hanya dilakukan pada malam hari, terutama pada saat bulan gelap dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan. Menurut Iskandar et al. (2001), tahapan-tahapan metode pengoperasian bagan adalah sebagai berikut : 9 1) Persiapan menuju fishing ground Persiapan menuju fishing ground biasanya terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan persiapan terhadap segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pengoperasian bagan. Pemeriksaan dan perbaikan terutama dilakukan terhadap lampu dan mesin kapal. Persiapan lain yang dianggap penting adalah kebutuhan perbekalan operasi penangkapan seperti air tawar, solar, minyak tanah, garam, dan bahan makanan. 2) Pengumpulan ikan Ketika tiba di lokasi fishing ground dan hari menjelang malam, maka lampu tersebut dinyalakan dan jaring biasanya tidak langsung diturunkan. Hingga tiba saatnya ikan tersebut terlihat berkumpul di lokasi bagan atau ingin masuk kedalam area cahaya lampu. Namun tidak menutup kemungkinan adapula sebagian nelayan yang langsung menurunkan jaring. 3) Setting Setelah menunggu beberapa jam dan ikan mulai terlihat berkumpul di lokasi penangkapan, maka jaring tersebut diturunkan ke perairan. Jaring diturunkan secara perlahan-lahan dengan memutar roller. Penurunan jaring beserta tali penggantung dilakukan hingga jaring mencapai kedalaman yang diinginkan. Proses setting ini berlangsung tidak membutuhkan waktu yang begitu lama, karena proses setting ini merupakan salah satu faktor tahapan penting dalam penangkapan ikan, juga ditunjang dengan tenaga ABK yang sudah begitu ahli dan profesional. Sehingga proses setting ini hanya membutuhkan waktu singkat. Banyaknya setting tergantung pada keadaan cuaca dan situasi hasil tangkapan, serta kondisi perairan pada saat operasi penangkapan. 4) Perendaman jaring (Soaking) Selama jaring berada dalam air, nelayan melakukan pengamatan terhadap keberadaan ikan di sekitar kapal untuk memperkirakan jaring akan diangkat. Lama jaring berada di dalam perairan (perendaman jaring) bukan bersifat ketetapan, karena nelayan tidak pernah menentukan dan menghitung lamanya jaring di dalam perairan dan kapan jaring akan diangkat, namun hanya 10 berdasarkan penglihatan dan pengamatan adanya ikan yang berkumpul di bawah cahaya lampu. 5) Pengangkatan jaring (Lifting) Lifting dilakukan setelah kawanan ikan terlihat berkumpul di lokasi penangkapan. Kegiatan lifting ini diawali dengan pemadaman lampu secara bertahap, hal ini dimaksudkan agar ikan tersebut tidak terkejut dan tetap terkonsentrasi pada bagian perahu di sekitar lampu yang masih menyala. Ketika ikan sudah berkumpul di tengah-tengah jaring, jaring tersebut mulai ditarik ke permukaan. Hingga akhirnya ikan tersebut akan tertangkap oleh jaring. 6) Brailing Setelah bingkai jaring naik ke atas permukaan air, maka tali penggantung pada ujung dan bagian tengah rangka dilepas dan dibawa ke satu sisi kapal, tali kemudian dilewatkan pada bagian bawah kapal beserta jaringnya. Tali pemberat ditarik ke atas agar mempermudah penarikan jaring dan lampu dihidupkan lagi. Jaring kemudian ditarik sedikit demi sedikit dari salah satu sisi kapal ke atas kapal. Hasil tangkapan yang telah terkumpul diangkat ke atas dek kapal dengan menggunakan serok. 7) Penyortiran ikan Setelah ikan diangkat di atas dek kapal, dilakukan penyortiran ikan. Penyortiran ini dilakukan berdasarkan jenis ikan hasil tangkapan, berdasarkan ukuran, dan lain-lain. Ikan yang telah disortir, langsung dimasukkan ke dalam peti atau palka ikan untuk memudahkan pengangkutan. 2.3. Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Kawasan pelagis kecil terbagi secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dibagi atas dua zona, yaitu zona neritik, mencakup massa air yang terletak di atas paparan benua dan zona oseanik, yang meliputi seluruh perairan terbuka lainnya. Secara vertikal terdiri atas zona epipelagik yang mempunyai kedalaman 100-150 m atau lebih umum disebut zona tembus cahaya. Zona ini merupakan kawasan terjadinya produktivitas primer yang penting bagi kelangsungan kehidupan dalam laut. Kemudian, zona di sebelah bawah epipelagik sampai pada kedalaman sekitar 700 m disebut zona mesopelagik. Pada kawasan 11 zona ini penetrasi cahaya kurang atau bahkan berada dalam keadaan gelap (Nybakken 1988). Organisme pelagis adalah organisme yang hidup di kolom air jernih jauh dari dasar perairan. Organisme pelagis adalah organisme yang hidup di laut terbuka lepas dari dasar laut dan menghuni seluruh dasar perairan lepas yang dikenal dengan kawasan pelagis (Nybakken 1988). Direkorat Jenderal Perikanan (1999) mengelompokkan ikan pelagis berdasarkan ukurannya menjadi dua jenis, yaitu : (1) Jenis-jenis ikan pelagis besar yaitu jenis ikan pelagis yang mempunyai ukuran panjang 100-250 cm (ukuran dewasa) antara lain tuna (Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp), tongkol (Euthynnus spp), setuhuk (Xiphias spp), dan lemadang (Coryphaena spp). Jenis ikan pelagis besar kecuali tongkol biasanya berada di perairan dengan salinitas yang lebih tinggi dan lebih dalam, (2) Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang mempunyai ukuran panjang 5-50 cm (ukuran dewasa), terdiri dari 16 kelompok dimana produksinya didominasi oleh 6 kelompok besar yang masing-masing mencapai lebih dari 100.000 ton. Kelompok ikan tersebut adalah kembung (Rastrelliger spp), layang (Decapterus spp), selar (Selaroides spp) dan lemuru (Sardinella spp) dan teri (Stolephorus spp). Hasil tangkapan bagan yang didaratkan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat sangat beragam. Ikan pelagis kecil yang tertangkap oleh bagan merupakan hasil tangkapan utama yaitu teri (Stolephorus spp), kembung (Rastrelliger spp), dan layang (Decapterus spp). 2.3.1 Teri (Stolephorus spp) Teri (Stolephorus spp) terdapat di seluruh peraian pantai Indonesia dengan nama yang berbeda-beda seperti : teri (Jawa), bilis (Sumatera dan Kalimantan), dan puri (Ambon). Sedikitnya ada sembilan jenis teri (Stolephorus spp) yang terdapat di perairan Indonesia yaitu : Stolephorus heterolobus, Stolephorus devisi, Stolephorus baganensis, Stolephorus dubiousus, Stolephorus indicus, Stolephorus commersonii, Stolephorus insularis, dan Stolephorus buccaneezi. Ikan teri berukuran 6-9 cm, misalnya Stolephorus heterolobus, Stolephorus insularis, dan Stolephorus buccaneezi. Tetapi ada pula yang berukuran besar seperti Stolephorus 12 commeronii dan Stolephorus indicus yang dikenal sebagai teri kasar atau teri gelagah yang ukuran tubuhnya dapat mencapai 17,5 cm (Nontji, 1993). Ciri morfologi teri (Stolephorus spp) adalah bentuk badan bulat memanjang (fusiform) hampir silinder, perut bulat dengan 3-4 sisik duri seperti jarum (sisik abdominal), yang terdapat diantara sirip dada (pectoral), dan sirip perut (ventral). Sirip ekor (caudal) bercagak dan tidak bergabung dengan sirip dubur (anal). Tapis insang pada busur insang pertama bagian bawah berjumlah 21. Sisiknya kecil, tipis dan sangat mudah terkelupas (Direktorat Jenderal Perikanan, 1990). Klasifikasi teri menurut Saanin (1994) adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata; Sub Phylum : Vertebrata; Class : Pisces; Sub Class : Teleostei; Ordo : Malacopterygi; Famili : Clupeidae; Sub Famili : Engraulinae; Genus : Stolephorus; Species : Stolephorus spp Sumber: Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992. Gambar 2 Morfologi teri (Stolephorus spp). Stolephorus spp termasuk ikan pelagis kecil yang menghuni pesisir dan estuaria, tetapi beberapa jenis dapat hidup antara 10-15 ppt. Pada umumnya hidup bergerombol sampai ratusan atau ribuan individu, terutama untuk jenis-jenis ukuran kecil. Sebaliknya yang berukuran besar cenderung untuk hidup soliter, hanya pada bulan-bulan tertentu ikan teri tersebut dapat tertangkap dalam 13 gerombolan kecil sekitar 100-200 ekor. Teri banyak memakan berbagai jenis plankton, meskipun komposisinya tidak selalu sama untuk setiap spesies (Nontji, 1993). Pada ukuran 40 mm, ikan ini umumnya memanfaatkan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil. Teri yang berukuran lebih dari 40 mm, banyak memanfaatkan zooplankton ukuran besar. Perairan barat Sumatera, Selat Malaka bagian selatan dan utara Sulawesi, timur Sumatera merupakan daerah konsentrasi teri (Stolephorus spp). Wilayah penyebarannya meliputi Bali (termasuk Selat Bali dan Nusa Tenggara Timur), Maluku, Irian Jaya, serta selatan Jawa (Direktorat Jendral Perikanan 1990). 2.3.2 Kembung (Rastrelliger spp) Secara umum ikan kembung (Rastrelliger spp) berbentuk cerutu, tubuh dan pipinya ditutupi oleh sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih besar dari bagian yang lain. Mata mempunyai kelopak yang berlemak. Tulang insang dan banyak sekali terlihat seperti bulu jika mulut terbuka. Mempunyai dua buah sirip punggung (dorsal), sirip punggung pertama terdiri dari atas jari-jari lemah dan sama dengan sirip dubur (anal) tidak mempunyai jari-jari keras. Lima sampai enam tambahan (finlet) terdapat dibelakang sirip dubur (anal) dan sirip punggung (dorsal) kedua. Bentuk sirip ekor (caudal) bercagak dalam. Sirip dada (pectoral) dengan dasar agak melebar dan sirip perut terdiri atas satu jari-jari keras dan jarijari lemah (Saanin, 1994). Klasifikasi ikan kembung sebagai berikut : Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata; Class : Pisces; Sub Class : Telestoei; Ordo : Percomorphi; Sub ordo : Scombridae; Famili : Scomridae; Genus : Rastrelliger; Species : Rastrelliger brachysoma (Bleeker); Rastrelliger neglatus (van Kampen); Rastrelliger kanagurta (Cuvier); Nama Indonesia : Kembung 14 Sumber: Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992. Gambar 3 Morfologi kembung (Rastrelliger spp). Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) biasanya ditemukan di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 32 ppt, sedangkan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dijumpai di perairan dekat pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji, 1993). Ikan kembung lelaki untuk pertama kali matang gonad berukuran rata-rata 20 cm (Nurhakim, 1993). Ikan kembung perempuan untuk pertama kali matang gonad berukuran 16 cm (Suhendrata dan Rusmadji, 1991). Penyebaran utama ikan kembung (Rastrelliger spp) yaitu perairan barat, timur dan selatan Kalimantan serta Malaka. Sedangkan daerah penyebarannya mulai dari barat dan timur Sumatera, utara dan selatan Jawa, Nusa Tenggara, utara dan selatan Sulawesi, Maluku dan Papua (Direktorat Jendral Perikanan, 1990). 2.3.3 Layang (Decapterus spp) Diperairan Indonesia terdapat lima jenis layang yang umumnya ditemukan yakni : Decapterus ruselli, Decapterus kurroides, Decapterus lajang, Decapterus macrosoma, dan Decapterus maruadsi. Kelima spesies layang (Decapterus spp), hanya Decapterus russelli yang mempunyai daerah penyebaran yang luas di Indonesia mulai dari Kepualauan Seribu hingga Pulau Bawean dan Pulau Masalembo. Decapterus lajang hidup di perairan yang dangkal seperti di laut Jawa (termasuk Selat Sunda, Selat Madura, dan Selat Bali) Selat Makassar, Ambon dan Ternate. Decapterus macrosoma banyak dijumpai di Selat Bali, Labuhan dan Pelabuhan ratu. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar, hidup di laut dalam seperti di laut Banda. Ikan ini dapat tertangkap pada kedalaman 1000 meter atau lebih (Nontji, 1993). 15 Ikan ini memiliki bentuk seperti cerutu dan sisiknya sangat halus. Dengan kondisi tubuh yang demikian, layang (Decapterus spp) mampu berenang di laut dengan kecepatan tinggi. Decapterus ruselli mempunyai bentuk tubuh yang memanjang dan agak pipih, sedangkan Decapterus macrosoma mempunyai bentuk tubuh yang menyerupai cerutu. Keduanya memiliki bintik hitam pada bagian tepi insangnya dan masing-masing terdapat sebuah sirip tambahan (finlet). Pada bagian belakang garis sisik (lateral line) terdapat sisik yang berlingir (lateral scute) (Saanin, 1994). Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1994), adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata; Sub Phylum : Vertebrata; Class : Pisces; Sub Class : Teleostei; Ordo : Percomorphi; Sub Ordo : Percoidea; Divisi : Perciformes; Sub Ordo : Carangi; Genus : Decapterus; Species : Decapterus ruselli, (Rupped); Nama Indonesia : Layang Sumber: Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992. Gambar 4 Morfologi layang (Decapterus ruselli). Decapterus ruselli memiliki sirip punggung pertama berjari-jari keras 8, sirip punggung kedua berjai-jari keras 1 dan 30-32 jari lemah. Sirip dubur (anal) 16 terdiri atas dua jari-jari keras sedang satu jari-jari kers bergandengan dengan 2427 jari-jari lemah. Decapterus spp hidup pada perairan dengan variasi salinitas yang sempit (stenohaline) dengan salinitas berkisar 31-33 ppt. Makanan utamanya adalah zooplankton, meskipun terkadang ikan kecil seperti teri (Stolephorus spp) dan japuh (Dussumaria acuata) (Nontji, 1993). 2.4 Pengembangan Perikanan Bagan Perahu Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari suatu yang dinilai kurang kepada sesuatu yang dinilai lebih baik (Ihsan, 2000). Manurung et al. (1998), memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk (khususnya pedesaan) mengenai lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatnya taraf hidup mereka sebagai akibat penguasaan mereka. Dengan demikian, pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989). Pengembangan produksi atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di masa mendatang. Langkah-langkah yang harus dikaji dan kemudian diusahakan pelaksanaanya adalah : (1) pengembangan, (2) pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan di bidang perikanan, (3) pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan dan (4) pengembangan sistem informasi manajemen perikanan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Menurut Monintja (2000), perlu adanya pertimbangan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan perikanan. Pertimbanganpertimbangan yang akan digunakan dalam pemilihan teknologi dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan (TPIWL), teknologi penangkapan ikan yang secara teknis, ekonomis, mutu dan pemasaran menguntungkan dan kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan. Pembangunan perikanan juga tidak dapat dipacu terus tanpa melihat batas kemampuan sumberdaya yang ada ataupun daya dukungnya. Pada perikanan yang 17 telah berkembang pesat upaya pengendalian sangat diperlukan dan upaya ini bahkan lebih berharga dari perhitungan potensi itu sendiri. Kalau hal ini dilaksanakan, maka berarti telah mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan, sehingga kelestarian sumberdaya dan kegiatan perikanan dapat dijamin keberadaannya (Ihsan, 2000). 2.5 Fungsi Produksi Menurut Teken dan Asnawi (1981), yang diacu dalam Rakam (1997), bahwa hubungan teknis antara faktor produksi yang dihasilkan persatuan waktu dengan jumlah faktor-faktor produksi yang digunakan, tanpa memperhatikan harga-harga baik harga faktor-faktor produksi maupun produksi itu sendiri disebut fungsi. Secara matematis fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai berikut : Y= f(X1,X2,X3,…..,Xn) sedangkan (X1,X2,X3, ……Xn) merupakan faktor produksi yang dipakai untuk menghasilkan produksi (Y). Fungsi di atas menerangkan produksi yang dihasilkan tergantung dari faktor-faktor produksi, tapi belum memberikan hubungan kuantitatif antara faktor-faktor produksi dengan produksi. Hubungan tersebut harus dinyatakan dalam bentuk yang khas seperti fungsi CoobDouglass, fungsi linier atau fungsi kuadratik. Menurut Supranto (1983), diantara fungsi-fungsi produksi yang umum dipakai adalah fungsi linier dan analisis regresi, apabila dalam persamaan garis regresi tercakup dua jenis variabel yaitu variabel tak bebas (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). Oleh karenanya, regresi ini dinamakan regresi linier berganda (multi linier regression). Variabel tak bebas (Y) dalam regresi linier berganda tergantung pada dua atau lebih variabel bebas. Persamaan garis tersebut dapat ditulis sebagai berikut : Y = b0+ b1X1 + b2X2 + b3X3 + …..+ bnXn Y dalam hal ini adalah variabel tak bebas sedangkan X adalah variabel bebas yang nilainya diketahui, kemudian pengaruhnya terhadap Y dapat diperkirakan sehingga nilai dapat diramalkan. 18 2.6 Model Produksi Surplus dan Model Bio-ekonomi 2.6.1 Model Produksi Surplus Pendugaan biomassa ikan dipermudah menggunakan suatu model yang dikenal dengan model surplus produksi. Model ini diperkenalkan oleh Graham tahun 1935, tetapi lebih sering disebut sebagai model Schaefer (Sparre and Venema 1999). Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum (biasa disebut EMSY atau effort MSY), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield/MSY). Model Schaefer lebih sederhana, karena hanya memerlukan data yang sedikit, sehingga sering digunakan dalam estimasi biomassa ikan di perairan tropis. Model Schaefer dapat diterapkan apabila tersedia data hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan catch per unit effort (CPUE) per spesies serta CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre and Venema 1999). Pertambahan biomassa ikan dalam waktu tertentu di suatu wilayah perairan, merupakan parameter populasi yang disebut produksi. Biomassa yang diproduksi diharapkan dapat menggantikan biomassa yang hilang akibat kematian, penangkapan maupun faktor alami. Apabila kuantitas biomassa yang diambil sama dengan yang diproduksi, maka perikanan tersebut berada dalam keadaan seimbang (equilibrium) (Azis 1989). Menurut Schaefer (1957), diacu dalam Fauzi (2006), laju pertumbuhan populasi merupakan fungsi dari pertumbuhan biomassa yang dipengaruhi oleh ukuran kelimpahan stok (x), daya dukung alam (k) dan laju pertumbuhan intrinsik (r). Laju pertumbuhan alami biomassa ikan yang tidak dieksploitasi atau disebut sebagai fungsi pertumbuhan density dependent growth dapat dinyatakan dalam persamaan berikut : dx = f (x ) dt x⎞ ⎛ = x.r ⎜1 − ⎟ ⎝ k⎠ 19 Keterangan : dx/dt = Laju pertumbuhan biomassa f(x) = Fungsi pertumbuhan populasi biomassa x = Ukuran kelimpahan biomassa r = Laju pertumbuhan alami (intrinsik) k = Daya dukung alam (carrying capacity) Persamaan di atas dalam literatur perikanan dikenal dengan pertumbuhan logistik (logistic growth model) yang pertama kali dikemukakan oleh Verhulst tahun 1989. Persamaan tersebut dapat digambarkan pada Gambar 5. f (x) MSY 0 ½k k x Gambar 5 Kurva pertumbuhan logistik (Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi 2006). Gulland (1985), menguraikan bahwa maximum sustainable yield (MSY) adalah hasil tangkap terbanyak berimbang yang dapat dipertahankan sepanjang masa pada suatu intensitas penangkapan tertentu yang mengakibatkan biomas sediaan ikan pada akhir suatu periode tertentu sama dengan sediaan biomas pada permulaan periode tertentu tersebut. Maximum Sustainable Yield mencakup 3 hal penting : (1) Memaksimalkan kuantitas beberapa komponen perikanan (2) Memastikan bahwa kuantitas tersebut dapat dipertahankan dari waktu ke waktu (3) Besarnya hasil penangkapan adalah alat ukur yang layak untuk menunjukkan keadaan perikanan 20 Model surplus produksi yang digunakan untuk menentukan MSY dan upaya penangkapan optimum ini menyangkut hubungan antara kelimpahan dari sediaan ikan sebagai massa yang uniform dan tidak berhubungan dengan komposisi dari sediaan seperti proporsi ikan tua atau besar. Kelebihan model surplus produksi ini adalah tidak banyak memerlukan data, yaitu hanya data hasil tangkapan dan upaya penangkapan atau hasil tangkapan per satuan upaya. Persyaratan untuk analisis model surplus produksi adalah sebagai berikut (Sparre & Venema 1999): (1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif (2) Distribusi ikan menyebar merata (3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam Asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi menurut Sparre dan Venema (1999) adalah : (1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium Pada keadaan ekuilibrium, produksi biomassa per satuan waktu adalah sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu) ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam. (2) Asumsi biologi Alasan biologi yang mendukung model surplus produksi telah dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker 1975 sebagai berikut: 1) Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi berkurang, dan sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang lebih kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan meningkatkan rekrutmen. 2) Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil. Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh makanan lebih sedikit, dengan demikian dalam fraksi yang lebih besar makanan hanya digunakan untuk mempertahankan hidup sedangkan dalam fraksi yang lebih kecil digunakan untuk pertumbuhan. 21 3) Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan, terdapat kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi. (3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap Pada model surplus produksi diasumsikan bahwa mortalitas penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini tidak selamanya benar, sehingga kita harus memilih upaya penangkapan yang berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan. 2.6.2 Model bio-ekonomi Gordon (1954) diacu dalam Fauzi (2004), menyatakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat akses terbuka (open acces). Pada perikanan yang tidak terkontrol akan terjadi economic over fishing, dimana faktor input dari perikanan telah digunakan melebihi kapasitasnya untuk memanen stok ikan. Menurut Schaefer (1975) diacu dalam Fauzi (2004), perubahan cadangan sumberdaya ikan secara alami dipengaruhi oleh pertumbuhan logistik ikan, yang secara matematis dapat dinyatakan dalam sebuah fungsi sebagai berikut : dx/dt = f(x) = x.r (1-x/k) ………………………………………………......... (1) Keterangan: x = Ukuran kelimpahan biomas ikan k = Daya dukung alam r = Laju pertumbuhan instrinsik f(x) = Fungsi pertumbuhan biomas ikan dx/dt = Laju pertumbuhan biomas Apabila sumberdaya tersebut dimanfaatkan melalui kegiatan penangkapan, maka ukuran kelimpahan akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut merupakan selisih antar laju pertumbuhan biomas dengan jumlah biomas yang ditangkap, sehingga secara hubungan fungsional, dinyatakan sebagai berikut (Schaefer, 1957 diacu dalam Fauzi, 2004): dx/dt = f(x) – h …………………………………………………….… Keterangan : (2) 22 h = Hasil tangkapan Hasil tangkapan, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: h = q.E.x ……………………………………………………...….…. (3) Keterangan : q = Koefesien teknologi penangkapan E = Tingkat upaya penangkapan (effort) Pada kondisi keseimbangan, perubahan kelimpahan sama dengan nol (dx/dt = 0), dengan asumsi koefesien teknologi sama dengan satu (q=1) maka diperoleh hubungan antara laju pertumbuhan biomas dengan hasil tangkapan. Hubungan tersebut secara matematis dinyatakan dengan menggabungkan persamaan (1) dengan persamaan (3), sehingga diperoleh persamaan baru sebagai berikut (Schaefer, 1957 diacu dalam Fauzi, 2004): dx/dt = f(x) – h = 0 h = f(x) q.E.x = r.x (1-x/k) ................................................................................ (4) sehingga hubungan antara ukuran kelimpahan (stok) dengan tingkat upaya dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut: x = k-k/r.E ........................................................................................... (5) Menurut Schaefer (1957) diacu dalam Fauzi (2004), dengan mensubsitusikan persamaan (4) ke dalam persamaan (5), maka diperoleh fungsi produksi lestari perikanan tangkap yang menggambarkan hubungan antar tingkat upaya (effort) dengan hasil tangkapan (produksi) lestarinya, sehingga secara matematis persamaannya menjadi: h = k.E – (k/r) E2 ................................................................................. (6) Analisis fungsi produksi lestari perikanan tangkap yang dikembangkan oleh Schaefer (model Schaefer), hanya dapat menentukan tingkat pemanfaatan maksimum secara lestari berdasarkan aspek biologi, tetapi belum mampu menetapkan tingkat pemanfaatan maksimum yang lestari secara ekonomi. Untuk itu Gordon mengembangkan model Schaefer memasukkan faktor harga per satuan hasil tangkap dan biaya per satuan upaya penangkapan, maka persamaan keuntungan dari usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan menjadi : π = TR – TC ……………………………………………………………... (7) 23 = p.h – c.E Keterangan : π = Keuntungan pemanfaatan sumberdaya TR = Penerimaan total c = Biaya penangkapan ikan per satuan upaya p = Harga rata-rata hasil tangkapan Dalam kondisi open access, tingkat keseimbangan akan tercapai pada saat penerimaaan total (TR) sama dengan biaya total (TC), dengan tingkat upaya =EOA (Gambar 6). Menurut Gordon kondisi tersebut disebut juga sebagai “bioeconomic equiblirium of open access fishery”. Pada tingkat upaya di bawah EOA, penerimaan total lebih besar dari biaya totalnya, sehingga pelaku perikanan akan lebih banyak tertarik untuk meningkatkan upaya penangkapan ikannya. Pada tingkat upaya di atas EOA, biaya total lebih besar dari penerimaan total, sehingga mendorong pelaku perikanan untuk mengurangi upaya, dengan demikian hanya pada tingkat upaya EOA keseimbangan akan tercapai. Revenue/ cost MSY MEY TC B A TR = p.Y (E) C EMEY 0 EMSY E0A Effort Revenue/ cost AR MR 0 EMEY c = MC = AC E0A Sumber: Fauzi, 2004. Gambar 6 Keseimbangan bio-ekonomi Gordon-Schaefer. Effort 24 Gambar 6 menunjukkan bahwa keuntungan maksimum akan dicapai pada tingkat upaya Emey, dimana jarak vertikal antara penerimaan total dan biaya total mencapai tingkat yang paling tinggi. Tingkat EMEY disebut sebagai maximum economic sustainable yield (MEY). Apabila tingkat upaya pada keseimbangan open acces (EOA) dibandingkan dengan tingkat upaya pada saat MEY (EMEY), ternyata tingkat upaya yang dibutuhkan pada keseimbangan open access, jauh lebih banyak dari pada tingkat upaya pada saat MEY, ini berarti bahwa pada keseimbngan open access telah terjadi penggunaan sumberdaya yang berlebihan, yang menurut Gordon disebut sebagai economic over fishing. 2.7 Aspek Sosial Ihsan (2000), menyatakan bahwa analisis aspek sosial perikanan tangkap meliputi penyerapan tenaga kerja per unit penangkapan atau jumlah tenaga kerja per unit penangkapan, penerimaan per unit penangkapan atau penerimaan nelayan yang diperoleh dari hasil per unit yaitu hasil bagi antara sistem bagi hasil dengan jumlah nelayan personil penangkapan, dan kemungkinan kepemilikan unit tangkap ikan untuk nelayan yang diperoleh dari penerimaan nelayan per tahun dibagi investasi dari setiap unit penangkapan. Monintja et al. (1986), mengemukakan bahwa aspek sosial yang penting diperhatikan dalam pemilihan teknologi penangkapan ikan adalah penerimaan oleh nelayan (pengoperasian alat tangkap tidak menimbulkan friksi atau keresahan nelayan yang telah ada), ketersedian tenaga kerja (pendidikan dan pengalaman) serta memberikan pendapatan yang sesuai. Permasalahan utama usaha perikanan adalah sifat common property sumberdaya ikan, sehingga upaya seorang nelayan menimbulkan suatu biaya yang tidak diperhitungkan terhadap seluruh nelayan. Hal ini berpotensi menimbulkan friksi sosial antara nelayan dalam pemilihan teknologi penangkapan ikan. Oleh karena itu evaluasi terhadap perikanan tangkap yang akan dikembangkan hendaknya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Tingkat partisipasi angkatan kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor demografi, sosial, dan ekonomi. Faktor ini antara lain adalah umur, status perkawinan, tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal (desa/kota), dan jumlah pendapatan. 25 2.8 Analisis Investasi Investasi adalah usaha menanamkan faktor-faktor produksi langka dalam proyek tertentu, baik yang bersifat baru sama sekali atau perluasan proyek. Tujuan utamanya yaitu memperoleh manfaat keuntungan dan atau non keuangan yang layak di kemudian hari. Investasi dapat dilakukan oleh perorangan, perusahaan swasta maupun badan-badan pemerintah (Sutojo, 2000). Analisis investasi dapat dilakukan dengan pendekatan, tergantung pihak yang berkepentingan langsung dalam proyek yaitu : (1) Analisis finansial, dilakukan apabila yang berkepentingan langsung dalam proyek adalah individu atau kelompok individu yang bertindak sebagai investor proyek. Dalam hal ini, maka kelayakan proyek dilihat dari besarnya manfaat bersih tambahan yang diterima investor tersebut (Kadariah, 1978). (2) Analisis ekonomi, dilakukan apabila yang berkepentingan langsung dalam proyek adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini, maka kelayakan proyek dilihat dari besarnya manfaat bersih tambahan yang diterima oleh masyarakat (Kadariah, 1988). Analisis finansial penting artinya dalam memperhitungkan intensif bagi orang-orang yang turut dalam menyukseskan proyek, sebab tidak ada gunanya untuk melaksanakan proyek perikanan misalnya, yang menguntungkan dari sudut perekonomian secara keseluruhan, jika para nelayan yang menjalankan aktifitas produksi tidak bertambah baik keadaannya (Edris, 1983). Analisis ekonomi yang diperhatikan adalah hasil total atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa melihat pihak mana yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan pihak mana dalam masyarakat yang menerima hasil dari proyek tersebut (Kadariah, 1978). Untuk mencari suatu ukuran menyeluruh tentang baik tidaknya sesuatu proyek telah dikembangkan berbagai indeks. Indeks-indeks tersebut disebut investment criteria (Kadariah, 1978). Hakekat dari semua kriteria tersebut adalah mengukur hubungan antara manfaat dan biaya dari proyek. Setiap kriteria mempunyai kelemahan dan kelebihan, sehingga dalam menilai kelayakan usaha proyek, sering digunakan lebih dari satu kriteria. Dari beberapa kriteria yang ada, 26 diantaranya adalah Return Of Investment (ROI), dan Break Even Point (BEP). Kedua kriteria digunakan untuk menentukan diterima tidaknya suatu usulan proyek dengan keuntungan masing-masing. 1) Return Of Investment (ROI) Peluang pengembangan usaha tidak terlepas dari pertimbangan ekonomi, diantaranya besar keuntungan dan lama waktu pengambilan investasi. Return of investment adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan keuntungan. Perhitungan terhadap ROI dilakukan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dibandingkan dengan besarnya investasi yang ditanamkan (Rangkuti 2001). 2) Break Even Point (BEP) Analisis break event point atau titik pulang pokok (impas) adalah suatu metode yang mempelajari hubungan antara biaya, keuntungan dan volume penjualan yang dikenal juga dengan analisis CPV (cost-profit-volume). Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kegiatan minimal yang harus dicapai dimana pada tingkat tersebut usaha tidak mengalami keuntungan ataupun kerugian. Analisis ini dilakukan dengan dua cara yaitu : (1) untuk nilai produksi dan (2) nilai jual ikan (harga dalam rupiah). Dalam penentuan kelayakan usaha yang dilakukan dengan BEP (TR = TC) maka keuntungan usaha dapat dicapai jika produksi dan nilai jual ikan berada di atas nilai BEP dan akan mengalami kerugian jika berada di bawah nilai BEP (Ibrahim, 2003). 27 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan data dilaksanakan bulan Juli-September 2007 yaitu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Pemilihan lokasi penelitian tersebut didasarkan pada pertimbangan ketersediaan data maupun eksesibilitas yang baik dalam mendukung pelaksanaan penelitian (Gambar 7). 119 00’ 119 30’ 3 30’ N W E S 1: 250.000 Legenda : Lokasi penelitian : Fishing ground 4 00’ : Garis batymetri : Fishing base Gambar 7 Lokasi daerah penelitian. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku identifikasi ikan, kuisioner, kamera dan alat tulis menulis. Software yang digunakan adalah Microsoft Word, Excel, Maple VIII, dan SPSS 12. Buku identifikasi digunakan untuk melakukan identifikasi setiap spesies yang tertangkap oleh bagan selama penelitian berlangsung. Kuisioner dengan nelayan dan pedagang pengumpul serta juragan kapal mencakup hasil tangkapan, alat tangkap, wilayah penangkapan, pemasaran dan lain-lain. Untuk melakukan pengolahan data digunakan satu unit Personal Computer (PC). Peralatan lain seperti current meter untuk mengukur suhu dan kecepatan arus, hand refractormeter untuk mengukur salinitas, kamera digital sebagai alat dokumentasi, timbangan untuk mengukur berat ikan dan data pendukung lainnya. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis ikan yang tertangkap oleh bagan. 28 3.3 Metode Penelitian Berdasarkan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian, maka metode yang digunakan adalah metode survai yaitu pengamatan secara langsung di lapangan, serta dilakukan wawancara langsung dengan nelayan setempat dengan menggunakan kuesioner. Penggunaan metode survai dalam penelitian ini sangat tepat karena kajian tentang teknologi penangkapan dan pengembangan usaha perikanan membutuhkan tinjauan langsung atau pengamatan langsung mengenai keadaan aktual di lapangan dari berbagai pelaku (stakeholder) yang terlibat dalam sistem bisnis perikanan. 3.4 Batasan Penelitian 3.4.1 Lingkup penelitian Objek penelitian adalah unit penangkapan bagan yang memiliki ukuran yang hampir seragam yaitu secara umum berukuran P × L × T adalah 21 × 2,1 × 1,8 m. Adapun ukuran alat tangkap (waring) yaitu 21 × 21 × 11 m. Batasan untuk lokasi fishing base yaitu daerah Ujun dan perkampungan nelayan yaitu Tonyaman. Kedua tempat ini merupakan tempat bersandar dan berlabuhnya bagan perahu dan merupakan salah satu basis perkampungan bagi nelayan bagan dan juga tempat pelelangan ikan pada saat ikan didaratkan atau dijual. 3.4.2 Sumberdaya ikan Batasan untuk sumberdaya ikan yaitu perikanan bagan perahu berbasis sumberdaya ikan pelagis kecil. Adapun jenis ikan hasil tangkapan utama bagan antara lain teri (Stolephorus spp), kembung (Rastrelliger spp), layang (Decapterus ruselli). Sedangkan hasil tangkapan sampingan seperti selar bentong (Selaroides spp), tembang (Sardinella spp), layur (Trichiurus savala), kerong-kerong (Therapon theraps), rejum (Sillago sihama), peperek (Leiognathus spp), japuh (Dussumeria acuta), rambeng (Dipterygonosus spp). 3.4.3 Aspek sosial Batasan parameter sosial meliputi penyerapan tenaga kerja, latar belakang pendidikan, penerimaan nelayan terhadap unit penangkapan bagan dan kelembagaan perikanan bagan. 29 1) Penyerapan tenaga kerja Jumlah nelayan yang bekerja dalam operasi penangkapan ikan pada bagan yaitu berkisar antara 9-10 orang per kapal. Tenaga kerja yang diserap diluar dari operasi penangkapan bagan misalnya kuli angkut, pengumpul ikan, pedagang dan lain-lain. 2) Latar belakang pendidikan Tingkat pendidikan nelayan secara formal maupun non formal serta penyuluhan-penyuluhan dari dinas setempat. 3) Penerimaan nelayan lain terhadap bagan Terjadinya konflik atau tidak antar nelayan bagan dengan alat tangkap lain. 4) Kelembagaan perikanan bagan Lembaga yang terkait dalam perikanan bagan yaitu kelembagaan pemerintah, bank, koperasi dan kelompok nelayan. 3.5 Metode Pengumpulan Data Berdasarkan tujuan penelitian yang akan dicapai dan metode penelitian yang digunakan yaitu dengan cara pengukuran dan observasi langsung di lapangan maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis adalah sebagai berikut : 1) Data primer : yaitu data yang dikumpulkan dari juragan kapal (pemilik modal), kapten kapal, nelayan bagan perahu (ABK) serta orang-orang yang terkait yaitu dengan cara pengamatan langsung dan wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun sesuai dengan keperluan analisis dan tujuan penelitian. Data yang dikumpulkan menyangkut kegiatan usaha penangkapan ikan yaitu (1) Aspek biologi meliputi : komposisi jenis hasil tangkapan, tingkat pemanfaatan, produksi hasil tangkapan dan musim penangkapan; (2) Aspek teknis meliputi: metode operasional kapal, ukuran kapal, tenaga penggerak yang digunakan, ukuran alat penangkapan dan lain-lain yang berkaitan dengan aspek teknis dari bagan perahu; (3) Aspek sosial meliputi : jumlah nelayan yang terserap serta mengetahui konflik dari alat tangkap yang lain; (4) Aspek ekonomi meliputi : biaya investasi, biaya operasional, biaya perawatan dan nilai produksi. 2) Data sekunder : yaitu data penunjang yang dikumpulkan dari pemerintah daerah, dinas perikanan, kantor statistik Kabupaten Polewali Mandar, kantor 30 Propinsi Sulawesi Barat serta instansi lain yang berkaitan dengan objek penelitian, dan literatur pendukung lainnya (studi pustaka). Data yang dikumpulkan mencakup keadaan geografis daerah penelitian, keadaan umum perikanan tangkap di Kabupaten Polewali Mandar, perkembangan jumlah kapal atau perahu di Kabupaten Polewali Mandar, perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Polewali Mandar, perkembangan jumlah unit penangkapan menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Polewali Mandar, produksi perikanan yang didaratkan di Kabupaten Polewali serta musim penangkapan ikan (Tabel 1). Tabel 1 Cara pengumpulan data di lapangan No Jenis Data Pengamatan langsung Sumber Data sekunder Teknik pengumpulan Output 1. Aspek biologi Komposisi jenis Referensi hasil tangkapan, jenis hasil tangkapan. tingkat pemanfaatannya, produksi hasil tangkapan, dan lain-lain. Wawancara nelayan dan kuesioner. Hasil tangkapan 2. Aspek teknis Aspek-aspek teknis terhadap produksi hasil tangkapan. Wawancara nelayan dan kuesioner. Teknis operasi 3. Aspek sosial Jumlah nelayan, terjadinya konflik atau tidak, diterima atau tidaknya dimasyarakat. Wawancara nelayan dan kuesioner. Potensi konflik 4. Aspek ekonomi Faktor-faktor yang mempengaruhi aspek ekonomi. Wawancara nelayan dan kuesioner. Kelayakan usaha 5. Keadaan geografis penelitian Keadaan geografis dan topografinya. 6. 7. Wawancara Dinas perikanan dan dengan dinas perikanan. referensi. Keadaan geografis Keadaan umum perikanan tangkap Wawancara Dinas perikanan dan dengan dinas perikanan referensi. Keadaan perikanan tangkap Perkembangan jumlah Jumlah unit Wawancara 31 unit penangkapan penangkapan. dengan dinas perikanan. 8. Produksi perikanan yang didaratkan Wawancara Dinas perikanan dan dengan dinas perikanan. referensi. Produksi perikanan 9. Musim dan daerah penangkapan Wawancara Dinas perikanan dan dengan dinas perikanan. referensi. Musim dan daerah penangkapan Data yang dikumpulkan untuk masing-masing aspek kajian (aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi) adalah sebagai berikut: 3.5.1 Aspek biologi Pengukuran parameter biologi pada penelitian ini dilakukan terhadap sumberdaya ikan sebagai salah satu sampel penelitian. Beberapa parameter biologi yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini dapat disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Pengukuran parameter biologi terhadap sumberdaya ikan No Parameter Biologi Uraian 1. Komposisi jenis hasil Jenis-jenis hasil tangkapan ikan, berupa jenis ikan yang menjadi target spesies dan jenis hasil tangkapan tangkapan sampingan (by - catch). 2. Tingkat pemanfaatan Status pemanfaatan sumberdaya ikan yang diperoleh dengan membandingkan potensi lestari dan produksi lestari. 3. Produksi hasil tangkapan Produksi hasil tangkapan (per trip, per bulan, dan per tahun). 4. Musim penangkapan Musim penangkapan meliputi musim puncak, musim biasa dan musim paceklik. 3.5.2 Aspek teknis Pengukuran parameter teknis dilakukan pada kapal/perahu dan alat penangkapan ikan. Beberapa parameter teknis yang akan dikumpulkan pada penelitian ini dapat disajikan pada Tabel 3. 32 Tabel 3 Pengukuran parameter teknis kapal dan alat penangkapan ikan No Parameter Teknis Uraian 1. Ukuran kapal/perahu Pengukuran dilakukan untuk mengetahui panjang, lebar dan tinggi kapal/perahu yang digunakan oleh nelayan yang tentunya berkaitan dengan GT, jangkauan daerah penangkapan serta kapasitas produksi. 2. Tenaga penggerak Tenaga penggerak yang digunakan meliputi mesin utama dan mesin tambahan untuk mengetahui ukuran tonase, merek mesin, dan kecepatan maksimum dari tenaga penggerak. 3. Operasional kapal Operasional kapal untuk mengetahui jumlah hari operasi (per trip, per bulan, dan per tahun), penyebab tidak beroperasi; metode pengoperasian; Bahan bakar yang digunakan, dan lain-lain. 4. Ukuran alat penangkapan ikan Pengukuran alat penangkapan ikan seperti dimensi (panjang dan lebar) dan pengukuran mata jaring (mesh size); bahan jaring; nama umum alat tangkap dan daerahnya. 5. Jumlah lampu Pengukuran dilakukan untuk mengetahui jumlah lampu yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan dan keterkaitan lampu terhadap hasil tangkapan. 3.5.3 Aspek sosial Pengukuran parameter sosial dalam penelitian ini diarahkan kepada nelayan sebagai pelaku utama dalam kegiatan penangkapan ikan. Beberapa parameter sosial yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat disajikan pada Tabel 4. 33 Tabel 4 Pengukuran parameter sosial pada nelayan yang menggunakan unit penangkapan bagan No Parameter Sosial Uraian 1. Penyerapan tenaga kerja pada unit penangkapan bagan Banyaknya nelayan yang bekerja dalam setiap kegiatan operasi penangkapan ikan pada perikanan bagan. 2. Latar belakang pendidikan Tingkat pendidikan nelayan bagan. 3. Persepsi nelayan terhadap bagan Penerimaan nelayan terhadap unit penangkapan ikan antar nelayan bagan, alat tangkap lain dan masyarakat setempat. 4. Konflik sosial Konflik yang terjadi antar nelayan bagan dengan alat tangkap lain, manajemen bagan, kelembagaan/ instansi, stakeholder yang terkait dalam perikanan bagan serta solusi dalam menyelesaikan konflik sosial dalam perikanan bagan. 5. Kelembagaan perikanan bagan Lembaga yang terkait dalam perikanan bagan meliputi : kelembagaan pemerintah, bank, koperasi dan kelompok nelayan. 6. Sistem bagi hasil Sistem bagi hasil pelaku perikanan bagan. 3.5.4 Aspek ekonomi Beberapa parameter ekonomi yang dikumpulkan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Pengukuran parameter ekonomi terhadap unit penangkapan bagan No Parameter Ekonomi Uraian 1. Biaya investasi Biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan kapal/perahu, alat penangkapan ikan, mesin dan perlengkapan lainnya. 2. Biaya operasional Biaya yang dikeluarkan saat kegiatan operasional penangkapan dilaksanakan seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), perbekalan dan es. 3. Biaya perawatan Biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan kapal/perahu, alat penangkapan ikan, mesin dan perlengkapan lainnya. 4. Nilai produksi Berat produksi dikali harga persatuan berat pada tingkat harga produsen, dinyatakan dalam rupiah. 34 3.6 Metode Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan beberapa analisis yaitu: (1) Analisis fungsi produksi; (2) Pendugaan parameter biologi; (3) Pendugaan parameter ekonomi; (4) Kelayakan usaha. 3.6.1 Analisis fungsi produksi Analisis fungsi produksi yang sering dilakukan oleh para peneliti untuk memperoleh informasi hubungan antara faktor produksi dapat digunakan dengan fungsi Cobb Douglas, fungsi linear atau fungsi kuadratik. Umumnya yang sering dipakai adalah fungsi linear dengan analisis regresi (Steel and Torrie 1981). Peubah Y disebut sebagai peubah tidak bebas, sedangkan peubah X disebut peubah bebas. Apabila lebih dari satu peubah maka disebut dengan garis regresi linear berganda. Hubungan antara faktor-faktor produksi dengan produksi unit penangkapan bagan perahu dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan persamaan regresi linear berganda (Steel and Torrie 1981) dan menggunakan program SPSS 12. Adapun persamaan sebagai berikut: Y = bo+b1X1+b2X2+b3X3+…….bnXn+e dimana : Y = Nilai dugaan produksi atau nilai variabel tak bebas bo = Peubah pengganggu (intersep) bi = Koefisien regresi Xi = Koefisien produksi yang digunakan n = Jumlah variabel e = Kesalahan Variabel yang ditentukan dan diukur di lapangan adalah: 1. Variabel tak bebas : hasil tangkapan (Y) Hasil tangkapan yang dimaksud adalah jumlah hasil tangkapan yang diperoleh dalam satu tahun. Satuan ukuran yang digunakan dalam hasil tangkapan adalah ton/tahun. 2. Variabel bebas (X) Variabel bebas yang digunakan sebagai faktor-faktor teknis produksi dalam penangkapan bagan perahu adalah jumlah tenaga karja (ABK), jumlah bahan 35 bakar, panjang jaring, tinggi jaring, jumlah hari tangkapan dan ukuran kapal. (1) Jumlah tenaga karja (X1) Tenaga kerja yang dimaksud adalah jumlah jumlah nelayan yang ikut dalam kegiatan penangkapan. Tenaga kerja merupakan satu unsur utama dalam operasi penangkapan, sehingga dimasukkan dalam faktor teknis produksi. (2) Jumlah bahan bakar (X2) Bahan bakar merupakan salah satu faktor pada kegiatan penangkapan ikan yang dipakai dalam motorisasi. Bahan bakar yang dihitung adalah jumlah rata-rata bahan bakar yang digunakan tiap trip dalam satu tahun. Satuan yang digunakan adalah liter/tahun. (3) Panjang jaring (bagan) (X3) Panjang jaring (bagan) yang dimaksud adalah panjang ukuran jaring sebelum digunakan di dalam air. Panjang jaring diduga mempunyai hubungan yang nyata terhadap hasil tangkapan. Pengukuran panjang jaring (bagan) dengan satuan meter. (4) Tinggi jaring (bagan) (X4) Tinggi jaring (bagan) yang dimaksud adalah ukuran tinggi jaring bukan di dalam air. Tinggi jaring diduga mempunyai hubungan yang nyata terhadap hasil tangkapan. Pengukuran tinggi jaring dengan satuan meter. (5) Jumlah hari tangkapan (X5) Jumlah hari tangkapan yang dimaksud adalah jumlah trip operasi penangkapan pukat cincin (mini purse seine) yang menggunakan satuan hari. (6) Ukuran kapal (X6) Ukuran kapal merupakan bobot kapal yang dinyatakan dalam gross tonage (GT). Menurut Nomura and Yamazaki (1977), pengukuran gross tonage kapal menggunakan rumus: GT = L × B × D × C × 0,353 Keterangan : L = Panjang kapal (meter) B = Lebar kapal (meter) D = Dalam kapal (meter) C = Konstanta bahan kapal (kayu = 0,55) 36 (7) Jumlah lampu (X7) Jumlah lampu merupakan banyaknya lampu yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan. Penggunaan hubungan antara faktor-faktor fungsi produksi dengan hasil tangkapan, diuji dengan pengujian hipotesis yang menggunakan uji statistik. Pengujian yang dilakukan terhadap pengaruh faktor produksi sebagai berikut: pengujian pengaruh bersama-sama faktor teknis produksi yang digunakan terhadap produksi (Y) di lakukan dengan uji F yaitu : H0 : bi= 0 (untuk i=1,2,3,......,n). Ini berarti antara hasil tangkapan (Y) dengan faktor teknis produksi (Xi) tidak ada hubungan yang nyata. H1 : minimum salah satu bi≠ 0 (untuk i= 1,2,3,.....,n). Ini berarti bahwa hasil tangkapan (Y) tergantung terhadap faktor teknis produksi (Xi) secara bersamasama. Jika : F hitung > Ftabel H0 ditolak F hitung < Ftabel H0 diterima Pengujian pengaruh masing-masing faktor teknis produksi dilakukan dengan uji t- student yaitu : H0 : bi = 0 (untuk i = 1,2,3,.....,n) Ini berarti antara hasil tangkapan (Y) dengan faktor teknis produksi (Xi) tidak ada hubungan yang nyata. H1= bi ≠ 0 (untuk i = 1,2,3,.....,n) Ini berarti bahwa hasil tangkapan (Y) memiliki hubungan yang nyata terhadap faktor teknis produksi (Xi). Jika t hit > t tab t hit < ttab H0 ditolak H0 diterima Hal ini berarti bahwa jika H0 ditolak pada selang kepercayaan tertentu, maka faktor teknis produksi (Xi) yang bersangkutan berpengaruh nyata terhadap perubahan produksi (Y). Sebaliknya, jika H0 diterima pada selang kepercayan tertentu, maka faktor teknis produksi (Xi) yang bersangkutan tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan produksi (Y). 37 Uji- F digunakan untuk mengetahui pengaruh seluruh faktor produksi (Xi) secara bersama-sama terhadap produksi (Y), sedangkan untuk pengujian hipotesis mengenai koefisien regresi parsial digunakan uji t-student. 3.6.2 Pendugaan parameter biologi Metode surplus produksi merupakan salah satu metode untuk menentukan tingkat upaya penangkapan optimum, yaitu kegiatan penangkapan yang menghasilkan tangkapan maksimum tanpa mempengaruhi produktivitas populasi ikan dalam waktu panjang. Hubungan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan dilihat dengan menggunakan metode surplus produksi Schaefer (Sparre and Venema 1999). Hubungan fungsi tersebut adalah : Y = α + βx + e dimana : Y = Peubah tak bebas (CPUE) dalam kg/unit x = Peubah bebas (effort) dalam unit kapal e = Simpangan α,β = Parameter regresi penduga nilai a dan b. Kemudian diduga dengan fungsi dugaan, yaitu : Y= a + bx Nilai a dan b dapat ditentukan menggunakan rumus : a= ∑ y − b∑ x n b= n∑ xy − ∑ x∑ y n∑ x2 − (∑ x)2 Selanjutnya dapat ditentukan dengan persamaan berikut : 1) Hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan (f), CPUE = a − bf 2) Hubungan antara hasil tangkapan (C) dengan upaya penangkapan (f), C = af − bf 3) Upaya penangkapan optimum (fopt) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama hasil tangkapan terhadap upaya penangkapan sama dengan nol, adalah sebagai berikut : C = af − bf C ' = a − 2bf = 0 f opt = a / 2b 38 4) Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan cara mensubtitusikan nilai upaya penangkapan optimum ke dalam persamaan (2) Cmax = a ( a / 2b) − b( a 2 / 4b 2 ) MSY = a 2 / 4b 5) CPUE optimum diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama hasil tangkapan terhadap CPUE sama dengan nol CPUE opt = a / 2 atau CPUE opt = MSY / f opt 3.6.3 Pendugaan parameter ekonomi Model bio-ekonomi penangkapan dalam penelitian ini diduga dengan menggunakan model Gordon Schaefer, dengan berdasarkan pada model biologi Schaefer (1975) dan model ekonomi Gordon (1954). Model bio-ekonomi yang digunakan adalah model bio-ekonomi statik dengan harga tetap. Model ini disusun dari model parameter biologi , biaya penangkapan dan harga ikan. Berdasarkan asumsi bahwa harga ikan per kg (p) dan biaya penangkapan per unit upaya tangkap adalah konstan, maka total penerimaan nelayan dari usaha penangkapan (TR) adalah : TR = P × C dimana : TR = Total revenue (penerimaan total) P = Harga rata-rata ikan hasil survey per kg (Rp) C = Jumlah produksi ikan (kg) Total biaya penangkapan (TC) dihitung dengan persamaan : TC = c × E dimana : TC = Total cost (biaya penangkapan total) c = Total pengeluaran rata-rata unit penangkapan ikan (Rp) E = Jumlah upaya penangkapan untuk menangkap sumberdaya ikan (unit) maka keuntungan bersih usaha penangkapan ikan (π) adalah : π = TR − TC π = p.Y − c.E π = p(aE − bE 2 ) − cE 39 3.6.4 Pendugaan parameter sosial Dalam melakukan pendugaan parameter sosial, maka dilakukan penentuan responden yaitu berdasarkan teknik purposive sampling dengan pertimbangan bahwa responden dapat mampu berkomunikasi dengan baik dalam mengisi kuesioner. Pengambilan sampel dilakukan terhadap nelayan yang dianggap mewakili sifat dari keseluruhan nelayan bagan di Polewali. Jumlah responden yaitu 50 orang meliputi pengusaha bagan, kapten kapal, nelayan (ABK), pedagang/ penjual ikan, dinas perikanan Kabupaten Polewali Mandar dan stakeholder lainnya. Adapun parameter sosial yang diamati meliputi penyerapan tenaga kerja, latar belakang pendidikan, penerimaan nelayan terhadap unit penangkapan bagan dan kelembagaan perikanan bagan. 3.6.5 Analisis kelayakan usaha Ada dua macam dalam mengevaluasi kelayakan usaha, yaitu analisis finansial dan ekonomi (Kadariah 1978). Analisis finansial yang diperhatikan adalah hasil untuk modal yang ditanam untuk kepentingan badan atau orang yang langsung berkepentingan dengan proyek usaha tersebut. Analisis ekonomi yang diperhatikan adalah hasil total atau keuntungan yang diperoleh dari semua sumberdaya yang digunakan dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan. UNIDO (1978) mengemukakan bahwa diantara bermacam-macam kriteria maka analisis biaya manfaat (Cost- Benefit Analysis) sangat sering digunakan. Kriteria yang digunakan dalam studi biaya-manfaat baik secara finansial maupun ekonomi. Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut : 1) Return Of Investment (ROI) Peluang pengembangan usaha tidak terlepas dari pertimbangan ekonomi, diantaranya besar keuntungan dan lama waktu pengambilan investasi. Return of investment adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan keuntungan. Perhitungan terhadap ROI dilakukan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dibandingkan dengan besarnya investasi yang ditanamkan (Rangkuti 2001). Rumus yang digunakan dalam menghitung pendapatan usaha adalah : 40 ROI = Keuntungan x100% Investasi Nilai rasio yang diperoleh akan tergolong ”baik” jika bernilai >25%, ”cukup baik” jika bernilai >15 – 25%, ”cukup buruk” jika bernilai 5 – 15 % dan ”buruk” jika bernilai <5% (Rangkuti, 2001). 2) Break Even Point (BEP) Break Even Point dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu atas dasar produksi dan atas dasar nilai jual dalam rupiah (Riyanto 1991). (1) Analisis Break Even Point atas dasar produksi (banyaknya hasil tangkapan) dapat dilakukan dengan rumus : BEP(ton) = Biaya tetap × Produksi Hasil penjualan − Biaya variabel (2) Analisis Break Even Point atas dasar harga jual dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: BEP (Rp) = Biaya tetap Biaya variabel 1Hasil penjualan 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis dan Topografi Secara geografis Kabupaten Polewali Mandar terletak pada posisi antara 2º40’00’’-3º32’00’’ LS dan 118º40’27’’-119º32’27’’ BT dengan luas wilayah 41 darat Kabupaten Polewali Mandar adalah 2.022,30 km² dengan ketinggian antara 1,5-510 meter di atas permukaan laut (2006). Secara administrasi Kabupaten Polewali Mandar terdiri dari 15 Kecamatan Difinitif yang terdiri dari 132 Desa/kelurahan. Batas-batas wilayahnya sebagai berikut : - Sebelah utara berbatasan dengan : Kabupaten Mamasa - Sebelah timur berbatasan dengan : Kabupaten Pinrang - Sebelah selatan berbatasan dengan : Selat Makassar - Sebelah barat berbatasan dengan : Kabupaten Majene Wilayah darat Kabupaten ini terdiri atas dataran rendah dan daerah pantai. Daerah pantai merupakan dataran rendah berteluk. Dasar perairan teluk ini berpasir dan berlumpur. Pada beberapa tempat dasar perairannya terdiri dari pasir bercampur lumpur serta sedikit berombak. Keadaan perairan yang tenang memungkinkan nelayan dapat beroperasi dengan aman. Perairan laut di Kabupaten Polewali Mandar merupakan perairan yang berhubungan langsung dengan perairan selat Makassar. Keadaan ini menjadikan kondisi perairan di Kabupaten Polewali Mandar sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan di Selat Makassar (Dinas Perikanan Kabupaten Polewali Mandar, 2006). 4.2 Karakteristik Oseanografi Perairan Kabupaten Polewali Mandar merupakan perairan yang berhubungan langsung dengan perairan selat Makassar. Keadaan ini menjadikan kondisi perairan di Kabupaten Polewali Mandar sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan di Selat Makassar, sehingga bila terjadi satu perubahan di Selat Makassar apakah itu berupa suhu, salinitas, arus, dan sirkulasi air maka akan berpengaruh di perairan Kabupaten Polewali Mandar. 4.2.1 Kedalaman Profil pantai umumnya landai hingga curam pada jarak antara 200-300 meter ke arah laut. Ombak yang terjadi di sekitar perairan pantai lebih banyak dipengaruhi oleh angin musim yang berhembus pada musim barat dan musim timur. Kedalaman laut perairan Kabupaten Polewali Mandar semakin ke tengah 42 laut dari garis pantai maka semakin meningkat kedalamannya kearah laut. Basuki (2002) hasil pemetaan peta kedalaman di Kabupaten Polewali Mandar dari koordinat 03o00’00”-04 o10’00” LS dan 119 o00’00”- 119 o30’00” BT mempunyai kedalaman diatas 250 meter. 4.2.2 Arus Arus di sekitar wilayah perairan pantai sangat dipengaruhi oleh gerakan pasang surut dan ombak pecah. Pola pasang surut di perairan Kabupaten Polewali Mandar dikategorikan tipe semi diurnal, yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut selama sehari. Dijelaskan rata-rata kecepatan arus yang diperoleh dengan menggunakan current meter dalam penelitian ini berkisar antara 0,15-0,36 m/detik. Hasil pengukuran kecepatan arus tertinggi berada pada posisi 03°27′39. 7″S dan 119°19′26. 8″ T serta hasil pengukuran kecepatan arus terendah berada pada posisi 03°28′14. 3″ S dan 119°19′23. 6″ T. Untuk melihat peta penyebaran kecepatan arus dapat dilihat pada Gambar 8. TAKRIL C451060021 4.2.3 Suhu8 Peta sebaran kecepatan arus permukaan laut di lokasi penelitian . Gambar Berdasarkan data dari Dinas Perikanan Kabupaten Polewali Mandar bahwa curah hujan di Polewali (ibukota Kabupaten Polewali Mandar) sepanjang tahun 2006 tercatat 2081,8 mm (dirinci dalam mm) atau sebanyak 107 hari (dirinci dalam hari) (Gambar 9). 43 Gambar 9 Rata-rata curah hujan di Kabupaten Polewali Mandar 10 tahun 19962006. Gambar 7 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah curah hujan di Kabupaten Polewali Mandar selama sepuluh tahun terakhir, maksimum terjadi pada bulan Desember dengan angka 275.61 mm, sedangkan minimum terjadi pada bulan Agustus dengan angka 14.50 mm. Berdasarkan klasifikasi Schmidt-Fergusson Kabupaten Polewali Mandar dikategorikan sebagai iklim bertipe ”D” tipe sedang. Suhu udara maksimum rata-rata pada siang hari berkisar 32 0C dan suhu udara minimum rata-rata pada malam hari berkisar 22 0C (Dinas perikanan Kabupaten Polewali Mandar, 2006). Peta penyebaran suhu selama penelitian disajikan pada Gambar 10. 44 TAKRIL C451060021 Gambar 10 Peta penyebaran suhu di lokasi penelitian. Pada Gambar 10, hasil pengukuran suhu selama penelitian berada pada kisaran suhu antara 28-30 ºC. Hasil pengukuran suhu tertinggi berada pada posisi 03°30′20. 4″ S dan 119°28′20.1″ T serta hasil pengukuran suhu terendah pada posisi 03°33′48. 9″ S dan 119°29′17. 9″ T. 4.2.4 Salinitas Salinitas bersama-sama dengan suhu merupakan komponen yang berperan penting dalam mengontrol densitas air laut. Salinitas juga mempengaruhi kehidupan biota laut. Ikan cenderung untuk memilih medium dengan kadar salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya. Peta penyebaran salinitas selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 11. 45 TAKRIL C451060021 Gambar 11 Peta sebaran salinitas permukaan laut di lokasi penelitian. Berdasarkan Gambar 11 di atas, hasil pengukuran salinitas dengan menggunakan hand refractometer diperoleh kisaran nilai salinitas selama penelitan yaitu 28-33 o/oo. Hasil pengukuran salinitas tertinggi berada pada posisi 03°33′22. 7″ S dan 119°28′47. 3″ T serta hasil pengukuran salinitas terendah berada pada posisi 03°28′ 14. 3″ S dan 119°19′23. 6″ T. Tingginya nilai salinitas ini karena di daerah tersebut merupakan perairan yang langsung berhubungan dengan selat Makassar dan sekitar perairannya tidak memiliki sungai atau muara sungai yang dapat menyebabkan terjadinya pencampuran air tawar dan air laut, kecuali air yang berasal dari air hujan (Lampiran 2). 4.2.5 Hubungan hasil tangkapan dengan faktor oseanografi Hasil pengukuran faktor oseanografi yang meliputi parameter kedalaman, arus, suhu dan salinitas memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan. Berdasarkan hasil pengukuran suhu selama penelitian berada pada kisaran suhu antara 28-30 ºC. Kaitannya terhadap hasil tangkapan diperoleh bahwa suhu yang disenangai oleh ikan hasil tangkapan bagan yaitu pada suhu 29 oC dengan hasil tangkapan sebesar 1220 kg, sedangkan hasil tangkapan terendah pada bagan sebesar 141,5 kg yaitu pada suhu 28 oC. Berdasarkan hasil pengukuran salinitas dengan menggunakan hand refractometer diperoleh kisaran nilai salinitas selama penelitan yaitu 28-33o/oo. Kaitannya terhadap hasil tangkapan bagan diperoleh bahwa salinitas yang 46 disenangi oleh ikan hasil tangkapan bagan yaitu 29,7o/oo dengan hasil tangkapan sebesar 1.220 kg sedangkan hasil tangkapan terendah pada bagan sebesar 141,5 kg yaitu pada salinitas 30,7o/oo. Berdasarkan hasil pengukuran kecepatan arus dengan menggunakan current meter dalam penelitian ini berkisar antara 0,15-0,36 m/detik. Kaitannya terhadap hasil tangkapan bagan diperoleh bahwa kecepatan arus yang disenangi oleh ikan hasil tangkapan bagan yaitu 0,22 m/detik dengan hasil tangkapan sebesar 1220 kg sedangkan hasil tangkapan terendah pada bagan sebesar 141,5 kg yaitu dengan kecepatan arus sebesar 0,20 m/detik (Lampiran 2). 4.3 Kondisi Umum Perikanan Tangkap di Kabupaten Polewali Mandar Polewali merupakan salah satu basis penangkapan ikan untuk armada perikanan yang ada di Selat Makassar. Aktivitas penangkapan di Kabupaten Polewali Mandar cukup tinggi, berbagai unit penangkapan ikan dioperasikan. Unit penangkapan ikan merupakan kesatuan teknis dari operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal/perahu, nelayan, dan alat tangkap. Kapal atau perahu yang ada di Kabupaten Polewali Mandar dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu perahu tanpa motor, motor tempel (out board motor), dan kapal motor (in board motor). Jumlah kapal motor di Kabupaten Polewali Mandar mengalami peningkatan dari 33 unit pada tahun 1994 menjadi 453 unit pada tahun 2003, sementara itu, jumlah perahu motor cenderung menurun (Tabel 6). Motor tempel mengalami fluktuasi, pada tahun 1994-1998 mengalami peningkatan dan kembali menurun pada tahun 1998-2003. Tabel 6 Perkembangan jumlah kapal atau perahu di Kabupaten Polewali Mandar periode 1994-2003 Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 Jenis kapal/perahu perikanan (unit) Perahu tanpa Motor Kapal motor tempel motor 2.055 553 33 1.546 935 138 1.793 1.022 138 1.765 1.005 162 1.792 1.035 172 Jumlah 2.641 2.619 2.953 2.932 2.999 47 1999 1.828 990 189 3.007 2000 793 703 326 1.822 2001 793 738 332 1.863 2002 713 775 373 1.861 2003 532 516 453 1.501 2004 536 522 455 1.513 2005 684 781 657 2.122 2006 832 909 684 2.425 Sumber: Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Polewali Mandar, 2006. Berdasarkan statistik perikanan Kabupaten Polewali Mandar sepuluh tahun terakhir, jumlah nelayan di Kabupaten Polewali Mandar secara konsisten cenderung mengalami peningkatan (Tabel 7). Jumlah nelayan pada setiap tahun 2003 yaitu adalah 7.573 jiwa, sedangkan kondisi paling minimum adalah pada tahun 1994 yaitu sebanyak 5.221 jiwa. Perubahan jumlah nelayan yang mencolok terjadi di tahun 1998, dimana pada tahun sebelumnya jumlah nelayan berjumlah 5.817 jiwa bertambah menjadi 6.230 jiwa tahun 1998. Tabel 7 Perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Polewali Mandar periode 1994-2003 Tahun Nelayan (Orang) 1994 5.221 1995 5.325 1996 5.484 1997 5.817 1998 6.230 1999 6.541 2000 6.933 2001 7.140 2002 7.282 2003 7.573 Sumber : Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Polewali Mandar, 2003. Jumlah alat tangkap yang beroperasi di Kabupaten Polewali Mandar 10 tahun secara umum berfluktuasi (Tabel 8). Pada tahun 2001 bagan perahu mengalami peningkatan yaitu sebanyak 89 unit sedangkan pada tahun 1997 bagan perahu mengalami penurunan sebanyak 31 unit (Tabel 8). Tabel 8 Jumlah bagan (lift net) di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 No Tahun Jumlah Alat Tangkap 1 2 1994 1995 35 38 48 3 1996 4 1997 5 1998 6 1999 7 2000 8 2001 9 2002 10 2003 Sumber: Dnas perikanan Kabupaten Polewali Mandar, 2003. 83 31 34 37 37 89 75 69 Produksi ikan selama sepuluh tahun terakhir; produksi ikan laut tertinggi terdapat pada tahun 1994 sebesar 2.905 ton dengan nilai produksi Rp 6,97 milyar sedangkan nilai produksi terbesar terdapat pada tahun 1998 sebesar Rp 8,21 milyar dengan jumlah produksi 1.866 ton (Tabel 9). Produksi ikan yang terendah terjadi pada tahun 2001 dengan jumlah produksi sebesar 1.349 ton dengan nilai Rp 4,93 milyar. Meningkatnya produksi ikan tersebut hal ini disebabkan karena pada tahun 1997-1998 kapal-kapal yang beroperasi pada tahun tersebut sedikit mengalami peningkatan sehingga produksi ikan pada tahun yang sama mengalami peningkatan. Tabel 9 Volume dan nilai produksi perikanan yang didaratkan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 Tahun Produksi Ikan (Kg) Nilai Produks iIkan (Rp) 1994 2.905.990 6.974.376.000 1995 2.320.890 4.641.780.000 1996 2.170.605 7.597.117.500 1997 1.577.830 6.311.320.000 1998 1.866.975 8.214.690.000 1999 1.766.960 7.793.420.000 2000 1.740.880 7.768.472.500 2001 1.349.550 4.937.115.000 2002 1.609.630 6.427.375.000 2003 1.616.750 7.254.725.000 Sumber : Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Polewali Mandar, 2003. 4.4 Musim dan Daerah Penangkapan Ikan Ada dua musim yang sangat mempengaruhi operasi penangkapan ikan di Kabupaten Polewali Mandar, yaitu musim barat dan musim timur (Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Polewali Mandar, 2006). Musim barat terjadi pada bulan Desember-Maret, ditandai dengan adanya hujan dan angin yang sangat kencang serta disertai dengan ombak yang sangat besar. Dalam musim barat ini menyebabkan banyak nelayan yang tidak melaut, sehingga pada musim ini disebut 49 sebagai musim paceklik atau musim jarang ikan. Musim timur terjadi pada bulan April-September, dimana jarang terjadi hujan dan keadaan laut biasanya tenang dan ikan tersedia banyak di perairan. Pada musim timur inilah biasanya merupakan musim puncak ikan. Selain kedua musim tersebut, dikenal juga musim peralihan. Musim peralihan ini terjadi pada bulan Oktober - November. Penentuan daerah operasi penangkapan ikan biasanya tergantung dari jenis alat tangkap yang digunakan, ukuran kapal, keadaan cuaca serta kebiasaan (pengalaman). Pada umumnya operasi penangkapan dilakukan di sekitar teluk atau bahkan sedikit keluar dari teluk. Daerah penangkapan ikan meliputi perairan Pajalele, Karang mencena dan Pinrang. Hal ini disebabkan karena melihat kondisi ukuran kapal yang relatif sedang dengan konstruksi yang sederhana sehingga tidak memungkinkan beroperasi lebih jauh. Adapun kedalaman daerah penangkapan pada bagan berkisar antara 200-300 meter. 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Sejarah Perikanan Bagan Bagan merupakan salah satu jaring angkat yang dioperasikan di perairan pantai pada malam hari dengan menggunakan cahaya lampu sebagai faktor penarik ikan. Menurut Subani (1972), di Indonesia bagan ini diperkenalkan pada awal tahun 1950 dan sekarang telah banyak mengalami perubahan. Pertama kali 50 bagan digunakan oleh nelayan Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan, kemudian nelayan daerah tersebut membawanya ke mana-mana dan akhirnya hampir dikenal di seluruh Indonesia. Hal ini diperkuat oleh Mallawa et al, 1992 bahwa alat tangkap bagan pertama kali diperkenalkan di perairan Luwu Teluk Bone di Sulawesi Selatan pada tahun 1987. Dua tahun kemudian (1989) alat tangkap ini telah berkembang di perairan Barru Selat Makassar. Dari wawancara dengan beberapa nelayan di Polewali diperoleh informasi bahwa alat tangkap bagan sudah mulai beroperasi di perairan Barru termasuk di wilayah Polewali sejak tahun 1987. Bagan pernah mengalami perubahan dari ukuran 22 m × 21 m kemudian dirubah menjadi ukuran 33 m × 31 m yang disebut sebagai bagan rambo. Hasil wawancara menyatakan, bahwa pemberian nama bagan rambo terungkap bahwa kata rambo berarti besar yang berkaitan dengan ukuran bagan yang lebih besar. Namun seiring perjalanan usaha perikanan, hasil tangkapan bagan rambo tidak jauh berbeda dengan hasil tangkapan bagan yang berukuran 22 m × 21 m namun disisi lain biaya operasi bagan rambo dua kali lipat dari bagan kecil. Sehingga para pengusaha bagan kembali merubah ukuran bagannya dengan ukuran kecil (22 m × 21 m) sampai sekarang. Sampai dengan tahun 2003 jumlah bagan yang beroperasi di Kabupaten Polewali Mandar sebanyak 69 unit (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Polewali Mandar, 2003). Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan bagan di Polewali menyatakan bahwa seiring sejarah perjalanan bagan sampai sekarang belum pernah terjadi konflik dengan alat tangkap lain hal ini mungkin disebabkan karena pengaturan dari fishing ground saat operasi penangkapan. 5.2 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan perahu merupakan satu kesatuan teknis dalam operasi penangkapan ikan. Sebuah unit terdiri dari wahana apung (kapal/ perahu), alat tangkap, tenaga kerja/ ABK serta alat bantu lainnya. Keempat komponen tersebut menentukan berhasil tidaknya suatu operasi penangkapan, sehingga kelemahan dari satu elemen unit dapat mempengaruhi kelancaran proses operasi penangkapan ikan. 51 5.2.1 Kapal Bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar terdiri atas perahu yang dilengkapi dengan rumah bagan, bingkai jaring, lampu, roller, pembangkit listrik, dan alat bantu lainnya misalnya serok, peti, basket dan lain-lain. Adapun ukuran perahu yaitu panjang, lebar dan dalam masing-masing 21 m × 2,1 m × 1,8 m dan 7 unit bagan perahu tersebut ukurannya seragam (Gambar 12). Spesifikasi bagan perahu yang dioperasikan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar dapat dilihat pada Tabel 10. Bagan perahu juga dilengkapi ruang kemudi yang di dalamnya terdapat generator (dinamo), mesin penggerak, dan saklar untuk mematikan dan menyalakan lampu. Perahu ini menggunakan mesin yaitu KMD 315, Yanmar 300, Candom 300, Mitsubishi dan mesin mobil tipe PS 12, kekuatan mesin penggerak tersebut mulai dari 25 PK sampai 31,5 PK. Di pelataran bagan terdapat alat penggulung (roller) yang berfungsi untuk menaikkan dan menurunkan jaring pada saat dioperasikan. Penangkapan dengan bagan hanya dilakukan pada saat malam hari, dan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan. Rangka bagan Rangka bagan Katir 52 Gambar 12 Bagan perahu yang digunakan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Keterangan : 1. Panjang (L) = 21 m 8. Rumah bagan 2. Lebar ( B) = 2,1 m 9. Roller 3. Tinggi (D) = 1,8 m 10. Jaring 4. Tinggi tiang perahu = 2m 11. Tali penarik jaring 5. Panjang rangka bagan = 21 m 12. Tali tiang dari kawat baja 6. Lebar rangka bagan = 21 m 13. Lampu 7. Tinggi rangka bagan = 0,5 m 14. Lampu pengkonsentrasi ikan Tabel 10 Spesifikasi bagan perahu di Polewali, Sulawesi Barat N0 1. 2. 3. Spesifikasi kapal Dimensi utama kapal a. Panjang (L) b. Lebar (B) c. Dalam (D) Tonase (GT) Mesin 4. Mesin lampu 5. Letak mesin 6. Tipe pengoperasian 7. Bahan Sumber: Data primer (September 2007). Keterangan 21 m 2,1 m 1,8 m 15 GT Kubota, Yanmar, Candom, Mitsubishi kekuatan mesin (25 PK – 31,5 PK) Kubota Inboard One boat system Kayu 5.2.2 Alat tangkap Alat tangkap yang digunakan disebut waring atau jaring. Jaring ini berbentuk seperti kelambu terbalik, terbuat dari waring yang berwarna hitam dengan ukuran mata 0,5 cm hasil produksi pabrik. Pada bagian tepi jaring dipasang tali ris sebagai penguat pinggiran jaring. Panjang dan lebar jaring masing-masing 21 m × 21 m, dengan dalam 11 m, sehingga berbentuk bujur sangkar (Tabel 11) Tabel 11 Spesifikasi bagian-bagian alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Polewali, Sulawesi Barat No. 1. Data bagian-bagian alat tangkap Jaring a. Ukuran jaring b. Bahan Keterangan 21 m × 21 m × 11 m Waring 53 c. Mesh size d. Warna jaring 2. Bingkai jaring a. Ukuran (P × L) b. Bahan c. ∑ pemberat yang dipakai d. θ bingkai jaring (cm) 3. Pemberat a. Bahan/material b. Berat c. Jumlah d. Bentuk e. Diameter (cm) 4. Putaran jaring/roller a. Panjang b. Jumlah c. Posisi/letak roller d. Pegangan roller : - Panjang/diameter (cm) - Jumlah e. Diameter roller (cm) 5. Tali ris a. Bahan b. Diameter tali ris Sumber: Data primer (September 2007). 0,5 cm Hitam 20 m × 20 m Kayu 4 buah 15 cm Batu 20 kg-25 kg 4 buah Bulat tak beratur 35 cm-40 cm 5m 1 buah Di bagian lambung kiri kapal. 120 cm/4,5 cm 4 buah 40 cm PE (Multifilament) 1 cm Selain tali ris, jaring juga dilengkapi tali untuk mengikatnya pada bingkai, sedangkan bagian bawah jaring dipasang pemberat. Pemberat tersebut berjumlah empat buah yang dipasang atau diikatkan pada masing-masing sudut jaring. Setiap batu memiliki berat 20-25 kg. Fungsi pemberat adalah untuk mempercepat turunnya jaring ke dalam air dan memberi bentuk pada jaring ketika berada dalam air serta tidak mudah hanyut terbawa oleh arus. Sisi bagian atasnya diberi bingkai yang terbuat dari kayu. Pada bingkai tersebut dipasang tali penggantung yang dihubungkan ke roller. Daya tahan maksimum jaring menurut wawancara nelayan adalah 4 tahun dan dilakukan penambalan jika terdapat kerusakan-kerusakan kecil yang dapat diperbaiki sendiri. Dalam satu unit bagan, luas jaring yang digunakan sekitar 400 m2. 5.2.3 Nelayan Tenaga kerja/ sumberdaya manusia pada perikanan bagan adalah unsur yang paling menentukan karena segala kegiatan operasi penangkapan tidak akan berjalan tanpa adanya tenaga kerja atau nelayan. Nelayan bagan di Polewali Kabupaten Polewali Mandar memiliki tingkat pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA). Mereka berusia 54 antara 15-50 tahun, sehingga nampak bahwa nelayan pada umumnya berada pada kondisi usia produktif. Kondisi tersebut sangat menunjang kelancaran kegiatan usaha penangkapan. Berdasarkan tugasnya dalam operasi penangkapan ikan, nelayan Polewali dapat dibedakan menjadi : punggawa (kapten kapal) yang berfungsi sebagai nahkoda kapal sekaligus merangkap sebagai juru mudi atau orang yang menjalankan kapal. Juru masak, teknik mesin, dan hal yang berkaitan dengan operasi penangkapan, dimana masing-masing memiliki tugas tersendiri didalam melakukan operasi penangkapan. Jumlah tenaga kerja di dalam satu unit bagan berkisar antara 9-10 orang, termasuk seorang kapten kapal. Kapten kapal atau punggawa memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih besar terhadap kelancaran operasi penangkapan. Secara garis besar nelayan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat dibedakan atas pemilik modal dan nelayan penggarap. Nelayan penggarap ini terdiri atas juru mudi sekaligus sebagai fishing master, juru mesin dan anak buah kapal (ABK). Adapun pembagian tugasnya sebagai berikut : Juru mudi (fishing master) : 1 orang Juru mesin : 1 orang Penarik jangkar : 2 orang Penarik jaring : 4 orang Koki/ bagian masak : 1 orang Kapten kapal : 1 orang Sistem pembagian hasil yang berlaku dalam pola perikanan bagan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, dimana setelah di peroleh hasil penjualan (laba kotor) dan setelah dikurangi dengan biaya operasional (pendapatan bersih) kemudian 30% hasil penjualan (laba bersih) menjadi hak pemilik modal (pemilik usaha), sedangkan 20% untuk kapten kapal dan 50% sisanya untuk anak buah kapal sebanyak 8-9 orang. (Gambar 13). Produksi Pendapatan kotor Biaya operasional 55 Pendapatan bersih Pemilik modal (30%) Pemilik modal (30%) Nelayan (70%) Kapten kapal (20%) ABK (50%) Keterangan : Pendapatan bersih : Nilai jual hasil lelang – biaya operasional – biaya retribusi Gambar 13 Sistem bagi hasil usaha perikanan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Contoh perhitungan yaitu hasil pendapatan sebulan untuk bagan sebesar Rp 26.282.400 dan pengeluaran perbulan sebesar Rp 10.282.400 meliputi biaya kebutuhan melaut dan biaya retribusi. Pendapatan bersih yaitu selisih antara hasil pendapatan dengan pengeluaran diperoleh sebesar Rp 16.000.000. Pemilik modal memperoleh bagian 30% dari Rp 16.000.000 sebesar Rp 4.800.000, sedangkan nelayan 40% sebesar Rp 11.200.000. Kapten kapal memperoleh bagian 20% dari Rp 11.200.000 sebesar Rp 2.240.000 sedangkan sisanya Rp 8.960.000 kemudian dibagi untuk 9 orang ABK, sehingga ABK memperoleh bagian per orang sebesar Rp 1.000.000 selama sebulan. 5.2.4 Alat bantu lainnya Alat bantu dalam pengoperasian bagan perahu yaitu serok, basket, lampu dan lain-lain. Serok dikenal dengan sebutan ”pa’sero” bagi nelayan bagan di sekitar Polewali (Gambar 14) Serok tersebut digunakan untuk mengambil hasil tangkapan yang telah terkumpul pada jaring. Serok terbuat dari bahan jaring, besi, dan kayu (bambu). Kayu atau bambu yang digunakan sebagai pegangan serok memiliki panjang 2 m - 2,5 m, besi kerangka mulut serok diameternya 30-40 cm dan panjang kantong serok dari bahan jaring yaitu 60 cm -75 cm. 56 2 – 2,5 m 30-40 cm 60-75 cm Gambar 14 Serok yang digunakan untuk menaikkan ikan ke atas dek kapal. Basket biasanya digunakan untuk mengangkut atau memasukkan ikan kedalam palka. Adapun ukuran basket yang digunakan (P × L × T) yaitu 50 cm × 50 cm × 30 cm (Gambar 15). Basket tersebut terbuat dari bahan plastik. Dalam satu bagan biasanya jumlah basket yang digunakan untuk kegiatan operasi penangkapan ikan yaitu sebanyak lima buah basket. 70 cm 50 cm 35 cm Gambar 15 Basket yang digunakan untuk memasukkan ikan ke dalam palka. Lampu sangat menentukan didalam keberhasilan penangkapan ikan, baik dari jumlah lampu, jenis lampu, daya/kekuatan lampu, sistem pembangkit listriknya maupun jenis kap/ wadah yang dipakai oleh lampu. Jenis lampu yang digunakan adalah lampu merkuri (Gambar 16). Jumlah lampu yang digunakan adalah 52 buah termasuk 2 buah lampu sorot. Adapun daya/ kekuatan untuk satu lampu yaitu sebesar 250 watt. Lampu tersebut dipasang di sepanjang rangka bagan. 57 Sumber: Nadir, 2000. Gambar 16 Lampu merkuri dan cara pemasangan. Untuk memudahkan proses penyalaan dan mematikan lampu, maka lampu dilengkapi dengan saklar yang tersusun rapi pada suatu panel dalam ruang kemudi. Berdasarkan fungsinya lampu yang terdapat pada bagan dibedakan atas dua yaitu lampu utama untuk menarik ikan yang dipasang di sepanjang katir pada bagan dan lampu sorot yang berfungsi untuk memusatkan ikan pada satu titik lampu, lampu ini digunakan ketika jaring akan ditarik ke permukaan. Jumlah lampu sorot dua buah masing-masing di pasang pada lambung kanan dan kiri bagan. 5.3 Pengoperasian Bagan Pengoperasian bagan terdiri dari 7 tahap, yaitu (1) tahap persiapan; (2) persiapan setting; (3) penurunan jaring; (4) pengamatan keberadaan ikan dalam air; (5) pengangkatan jaring; (6) pengambilan hasil tangkapan dan (7) kembali ke fishing base (Gambar 16). Sebelum melakukan kegiatan melaut biasanya nelayan melakukan persiapan keberangkatan (tahap pertama) seperti pemeriksaan pada semua elemen unit bagan (kapal, alat tangkap, lampu, mesin) dan menyiapkan kebutuhan perbekalan misalnya bahan bakar, air tawar, bahan makanan, serta persiapan lain yang dianggap penting agar dalam operasi penangkapan ikan dapat berjalan dengan lancar. Pemeriksaan seluruh elemen unit bagan perahu adalah dengan memeriksa kelayakan dari elemen-elemen tersebut. Perbekalan untuk kegiatan operasional, ada yang dibawa setiap hari dan ada pula yang telah disiapkan untuk beberapa hari. Adapun perbekalan yang dibawa setiap hari adalah air tawar, solar, 58 es balok, bahan makanan seperti gula, kopi, dan rokok. Perbekalan yang disiapkan untuk beberapa hari misalnya oli, garam, beras, serta perbekalan lainnya. Setelah persiapan, nelayan pun berangkat menuju fishing ground dengan menggunakan bagan perahu. Nelayan mulai berangkat sekitar pukul 16.00-16.30 WITA, tergantung jarak yang akan ditempuh untuk mencapai daerah penangkapan. Kecepatan kapal untuk tiba di daerah fishing ground berbeda-beda tergantung jenis mesin yang digunakan. Daerah penangkapan ikan yang akan ditempuh biasanya sudah ditentukan oleh kapten kapal sebelum berangkat dan sudah disepakati oleh anak buah kapal. Daerah penangkapan ikan juga ditentukan berdasarkan banyaknya hasil tangkapan perahu lain. Jarak antara kapal satu dengan yang lainnya relatif tidak begitu jauh. Setelah tiba di fishing ground sekitar jam 17.00 WITA, jarak tempuh yang dibutuhkan waktu ± 1 jam-2 jam. Setelah tiba di fishing ground atau di sekitar rumpon, kemudian tali kapal utama diikatkan dengan tali rumpon sehingga kapal tersebut tidak mudah terbawa oleh arus maupun ombak. Kemudian dilakukan persiapan setting. Persiapan setting adalah semua kegiatan nelayan sebelum melakukan penurunan jaring. Sesampainya kapal di fishing ground, nelayan segera memeriksa kedalaman perairan dan keadaan arus dengan menurunkan pancing. Kedalaman perairan diperiksa untuk menentukan seberapa jauh alat tangkap akan diturunkan ke dalam perairan. Kecepatan arus juga perlu diperhatikan untuk menentukan apakah setting dapat dilakukan atau tidak. Menurut Subani dan Barus (1989) kecepatan 0,5 m/detik telah termasuk arus kuat dan apabila hal itu telah ditemui di lapangan maka nelayan hanya dapat melakukan kegiatan memancing sambil menunggu arus lemah. Setelah matahari mulai terbenam yaitu sekitar pukul 18.00 WITA, lampulampu bagan segera dinyalakan. Penyalaan lampu pun dilakukan secara bertahap yaitu dari lampu bagian paling pinggir sampai bagian paling dalam. Tujuannya adalah agar ikan lebih mudah untuk masuk ke dalam jaring. Selang beberapa jam sekitar pukul 21.00-24.00 WITA dilakukan penurunan jaring. Kisaran waktu pada saat lampu dinyalakan dengan penurunan jaring, para nelayan melakukan persiapan khusus atau kegiatan yang lain seperti makan, tidur, memancing, main 59 catur, perbaikan pancing, minum kopi atau kegiatan lain sambil menunggu jaring tersebut diturunkan. Tetapi pada umumnya mereka melakukan kegiatan memancing. Penurunan jaring (setting) dilakukan apabila cahaya bulan sudah tidak nampak karena ada tidaknya bulan sangat mempengaruhi hasil tangkapan pada bagan. Setelah itu barulah nelayan melakukan pengamatan dengan melihat adanya tanda-tanda keberadaan ikan di sekitar bagan. Tanda-tanda tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya gelembung udara yang muncul ke permukaan atau pun dari hasil pancingan yang cukup banyak. Setting dimulai pada bagian kanan lambung kapal. Beberapa anak buah kapal menarik ujung jaring bagian depan dan belakang yang dilengkapi dengan tali. Kemudian setiap ujung jaring yang berjumlah empat (bentuk persegi) tersebut diikatkan pada bingkai/ rangka jaring bagian depan dan belakang kapal, sementara nelayan yang lain menurunkan jaring secara perlahan-lahan dari tempat atau di bawah dek kapal. Setelah keempat ujung jaring terikat pada bingkai, tali yang terdapat di sekeliling jaring bagian atas kemudian diikatkan pada sekeliling bingkai sehingga jaring terpasang lebih kuat dan tidak mudah lepas. Pada saat jaring terpasang sempurna pada bingkai barulah jaring diturunkan ke dalam air dengan memutar roller sampai pada kedalaman yang diinginkan termasuk pemberat yang terbuat dari batu. Selama jaring berada dalam air, nelayan melakukan pengamatan terhadap keberadaan ikan di sekitar bagan untuk memperkirakan jaring tersebut akan diangkat. Untuk mengetahui banyak tidaknya ikan yang berkumpul di bawah lampu, nelayan biasanya kembali melakukan kegiatan memancing. Jika hasil yang didapatkan lebih banyak maka hal tersebut bisa menjadi salah satu tanda bahwa ikan yang berkumpul di bawah cahaya lampu cukup banyak. Hal lain yang dapat dilakukan adalah melihat langsung ke perairan. Selain itu terdapat gelembung udara yang muncul ke permukaan dalam jumlah yang cukup besar ataupun terlihat ikan-ikan predator yang berada di sekitar bagan dengan gerakan berputarputar mengelilingi kapal untuk memangsa ikan kecil. 60 Namun tanda-tanda keberadaan ikan tidak selalu muncul bersamaan. Apabila telah ditemukan satu tanda-tanda keberadaan ikan maka nelayan sudah cukup untuk memutuskan melakukan pengangkatan jaring. Lama jaring di dalam perairan tergantung adanya ikan yang berkumpul di bawah cahaya. Lamanya jaring berada di bawah air berkisar antara 3-4 jam. Namun hal tersebut bukan bersifat ketetapan, karena nelayan tidak pernah menentukan dan menghitung lamanya jaring dalam air dan kapan jaring akan diangkat. Namun hanya berdasarkan penglihatan dan pengamatan pada banyaknya ikan yang telah berkumpul di bawah lampu. Pengangkatan jaring; sebelum jaring diangkat terlebih dahulu dilakukan pemadaman seluruh lampu yang dilakukan secara bertahap kecuali dua buah lampu sorot. Pemadaman lampu dilakukan secara bertahap satu persatu tujuannya untuk menghindari ikan-ikan yang telah berkumpul di bawah cahaya agar tidak terkejut dan keluar meninggalkan area kapal. Ikan-ikan tersebut tetap berada di dalam jaring dan mendekati cahaya pada kedua lampu sorot tersebut sehingga memperkecil lolosnya ikan-ikan saat penarikan jaring ke atas kapal. Tahap selanjutnya adalah memutar roller untuk menarik/mengangkat jaring kepermukaan. Roller diputar secara perlahan agar jaring yang terangkat tidak terlalu menimbulkan bunyi yang keras karena bergesekan dengan air yang akan menyebabkan gerakan air lebih cepat dan bergelombang sehingga hal tersebut akan mengejutkan ikan. Namun gerakan roller akan diputar secepat mungkin saat jaring semakin dekat kepermukaan air, sehingga ikan tidak sempat meloloskan diri saat melihat keberadaan jaring. Roller terus diputar sampai bingkai jaring menyentuh penyekat, kemudian bingkai jaring kembali diikatkan pada penyekat/ cadiak (Gambar 17). Saat itu pula kedua lampu sorot diangkat serta seluruh lampu mulai dinyalakan kembali. Ikan hasil tangkapan pun dikumpulkan/ digiring dekat lambung kanan kapal, setelah ikan tersebut terkumpul lalu diambil dengan menggunakan serok. 61 Pemutar Tali 40 cm Penahan roller 5,5 m Gambar 17 Roller yang digunakan untuk menarik jaring. Hasil tangkapan yang sudah dinaikkan di atas kapal kemudian disortir berdasarkan jenis ikan. Hasil penyortiran dimasukkan kedalam basket ikan yang terbuat dari bahan plastik kemudian dimasukkan ke dalam peti/ palka ikan. Ikan yang dimasukkan ke dalam palka dilakukan penanganan khusus yaitu pemberian es balok dan campuran air laut. Tujuannya agar ikan tersebut tidak mudah mengalami pembusukan dan tetap segar sehingga nilai jualnya tetap tinggi. 62 1 2 Lampu Tali Jaring 1.Persiapan setting: 1. Menyalakan lampu. 2. Mengetahui keadaan arus. 3. Mengetahui kedalaman air. 2. Setting : 1. Mengikatkan jaring pada bingkai. 2. Menurunkan jaring ke dalam perairan. 3. Menurunkan pemberat. 3 4 3. Mengamati keberadaan ikan 1. Dengan cara memancing. 2. Adanya gelembung udara. 3. Terlihat nyata. 4. Hauling : 1. Lampu bagan dimatikan bertahap. 2. Menaikkan jaring dengan bantuan roller hingga menyentuh cadiak. 5 1. Melepaskan salah satu ikatan jaring pada bingkai. 2. Pengambilan hasil tangkapan. Gambar 18 Ilustrasi tahapan pengoperasian bagan perahu. 63 5.4 Komposisi Hasil Tangkapan Bagan Komposisi hasil tangkapan bagan selama penelitian pada umumnya ikan pelagis kecil. Adapun jenis ikan yang tertangkap oleh bagan perahu antara lain teri (Stolephorus spp), kembung (Rastrelliger spp), layang (Decapterus spp), selar bentong (Selaroides crumenopthalmus), selar tetengkek (Megalaspis cordyla), selar kuning (Selaroides leptolepis), tembang (Sardinella spp), layur (Trichiurus savala), cakalang (Katsuwonus pelamis), kerong-kerong (Therapon theraps), rejum (Sillago sihama), peperek bendolang (Gazza minuta), peperek cina (Leiognathus spelenden), japuh (Dussumeria acuta), rambeng (Dipterygonosus spp), lencam matahari (Lethrinus lentjan), lolosi biru (Caesio coerulaureus), beloso laut (Saurida tumbil), cendro (Tylosurus crocodiles), cipa-cipa (Atropusatropus), kepe-kepe (Chaetedon spp), pedang-pedang (Aeoliscus strigatus), buntal (Canthigaster spp), cumi-cumi (Loligo spp). Ikan hasil tangkapan utama untuk bagan perahu yaitu teri (Stolephorus spp), kembung (Rastrelliger spp) dan layang (Decapterus russelli) sehingga spesies lainnya tergolong hasil tangkapan sampingan (by- catch). Menurut Dinas Perikanan dan kelautan Provinsi Sulawesi Barat, bahwa hasil tangkapan bagan adalah ikan pelagis kecil. Menurut wawancara dengan nelayan di Polewali, jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh bagan di Polewali Kabupaten Polewali Mandar untuk ikan hasil tangkapan utama meliputi teri (Stolephorus spp), kembung (Rastrelliger spp) dan layang (Decapterus spp) (Tabel 12). Teri yang didaratkan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2004 sebesar 8.414,2 ton/ tahun atau sebesar 27%, kembung sebesar 8.378,8 ton/ tahun atau sebesar 27% dan layang sebesar 14.701 ton/tahun atau sebesar 46%. 64 Tabel 12 Komposisi hasil tangkapan utama bagan yang didaratkan di Polewali, Sulawesi Barat Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Jumlah (Ton) Teri (Stolephorus spp) 870,7 896,9 930,2 942,8 983,3 993 548,2 556,6 685,3 594,8 412,4 Jenis Ikan Kembung (Rastrelliger spp) 796,9 824,9 790 803,4 928,4 929,9 761,8 786,1 832,5 785,8 139,1 8.414,2 8.378,8 Jumlah Layang (Decapterus spp) 1.164,9 1.204,1 1.276,8 1.302,2 1.035,8 1.054,3 1.002 1.026,3 1.077,6 1.131,7 3.425,3 2.832,5 13.762,8 2.997 3.048,4 2.947,5 2.977,2 2.312 2.369 2.595,4 2.512,3 3.976,8 14.701 31.494 Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, 2004. 5.5 Analisis Faktor Teknis Produksi Aspek teknis merupakan aspek yang bertujuan untuk mengetahui input (faktor teknis produksi) penangkapan ikan dengan menggunakan bagan perahu yang berpengaruh terhadap output (hasil tangkapan bagan dalam satuan ton/tahun). Menganalisis aspek teknis bagan perahu di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat dapat dipersentasikan dengan persamaan Y= b0 + b1X1 + b2X2 + .... + bnXn. Faktor teknis produksi yang digunakan meliputi : jumlah tenaga kerja (X1) dengan satuan orang, jumlah bahan bakar (X2) dengan satuan liter/ tahun, panjang jaring (X3) dengan satuan meter, tinggi jaring (X4) dengan satuan meter, jumlah hari penangkapan/ jumlah trip penangkapan (X5) dengan satuan hari/tahun ukuran kapal (X6) dengan satuan GT dan jumlah lampu (X7), serta jumlah hasil tangkapan ikan (Y) yang dinyatakan dalam (ton/tahun) (Lampiran 3). Hasil analisis regresi linier berganda pada Lampiran 4, didapatkan hubungan antara faktor-faktor produksi dengan hasil tangkapan bagan perahu dengan persamaan sebagai berikut : Y= -1703,522 – 14,124 X1 + 0,014 X2 + 1,145 X3 – 4,934 X4 – 0,512 X5 + 97,096 X6 + 9,297 X7 65 Hasil analisis menggunakan uji statistik dengan uji F diperoleh F hitung > F tabel (12,583 > 2,224) hal ini berarti bahwa secara keseluruhan faktor teknis produksi berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan pada tingkat kepercayaan 95% (Tabel 13 dan Lampiran 4). Berdasarkan hasil uji F menunjukkan bahwa faktor-faktor teknis tersebut dapat digunakan sebagai parameter untuk menjelaskan persamaan regresi tersebut. Keterkaitan hubungan ini dapat dilihat dari besarnya nilai koefesien determinasi (R2) yaitu 67% yang berarti model penduga yang diperoleh dapat menjelaskan model sesungguhnya sebesar 0,67. Tabel 13 Hasil analisis regresi linier berganda Sumber Regresi Galat Sisa DF SS MS F hitung F tabel (0,05) 7 42 49 34.943,95 16.661,99 51.605,94 4.991,99 396,71 12,58 2,22 Untuk menguji pengaruh masing-masing faktor terhadap produksi jumlah hasil tangkapan maka dilakukan dengan uji t- student. Berdasarkan hasil analisis korelasi antar variabel bebas menunjukkan bahwa jumlah lampu (X7), bahan bakar (X2), dan ukuran kapal (X6) berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan. Sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut: : Y = -1.514,83 + 8,47 X7 + 0,12 X2 + 80,14 X6 Nilai intersep sebesar 1514,826 pada persamaan regresi linier berganda menunjukkan nilai konstanta yaitu nilai produksi pada saat faktor-faktor teknis yang digunakan sama dengan nol. Tanda negatif pada intersep menunjukkan bahwa titik potong tersebut terletak pada sumbu Y yang negatif. Berdasarkan uji t dan menggunakan program SPSS 12 diperoleh bahwa faktor teknis yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan (Y) adalah jumlah lampu (X7), bahan bakar (X2), dan ukuran kapal (X6) pada tingkat kepercayaan 95 %, sedangkan jumlah anak buah kapal (X1), panjang jaring (X3), tinggi jaring (X4), jumlah hari penangkapan/ jumlah trip penangkapan (X5) tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan, dapat dilihat pada Gambar 16-18. Koefesien regresi faktor teknis jumlah lampu (X7) sebesar 8,47 yang berarti searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, bahwa setiap penambahan jumlah lampu akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar 8,47 ton/tahun dalam keadaaan cateris peribus. (Gambar 19). 66 Hasil tangkapan (Ton/ 250 200 150 100 y = 14,611x - 603,99 R2 = 0,3909 50 0 47 48 49 50 51 52 53 54 55 Jumlah lampu Gambar 19 Hubungan antara jumlah lampu dengan hasil tangkapan (ton). Koefesien regresi faktor teknis bahan bakar sebesar 0,12 yang berarti searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, bahwa setiap penambahan bahan bakar (liter/tahun) akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar 0,12 ton/tahun dalam keadaan cateris peribus. Berdasarkan perhitungan dengan uji t, faktor teknis bahan bakar berbeda nyata terhadap hasil tangkapan. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya bahan bakar yang digunakan maka operasi penangkapan semakin jauh dan semakin luas sehingga kemungkinan banyaknya hasil tangkapan yang diperoleh pun semakin meningkat (Gambar 20). Hasil tangkapan (Ton/ 250 200 150 y = 0,0237x - 177,84 R2 = 0,2539 100 50 0 12500 13000 13500 14000 14500 15000 15500 16000 BBM (Liter /thn) Gambar 20 Hubungan antara BBM dengan hasil tangkapan (ton). Faktor teknis ukuran kapal (X6) sebesar 80,14 yang berarti searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, bahwa setiap penambahan ukuran kapal penangkapan akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar 80,14 ton/tahun dalam keadaan cateris peribus. Ukuran kapal memberikan pengaruh terhadap produksi hasil tangkapan, ini disebabkan karena kapal yang berukuran besar umumnya dilengkapi dengan mesin penggerak yang bertenaga besar, mampu membawa ABK yang lebih banyak dan jaring yang berukuran besar, serta kemampuan kapal dalam menampung hasil tangkapan yang lebih besar. Keterkaitan seluruh faktor 67 input tersebut pada saat pengoperasian alat tangkap akan lebih memudahkan proses tersebut sehingga secara tidak langsung mampu meningkatkan hasil tangkapan (Gambar 21). Hasil tangkapan (Ton/ 250 200 150 100 y = 186x - 2723,6 R2 = 0,2817 50 0 15,2 15,25 15,3 15,35 15,4 15,45 15,5 Ukuran kapal (GT) Gambar 21 Hubungan antara ukuran kapal (GT) dengan hasil tangkapan (ton). Persamaan produksi yang diperoleh menunjukkan pengaruh antar faktor teknis produksi terhadap hasil tangkapan. Semua koefesien regresi dalam persamaan tersebut tidak semuanya bernilai positif. Sehingga peningkatan setiap faktor produksi tidak selalu berdampak pada peningkatan produksi. Hal ini mengingat ada pembatas untuk setiap faktor teknis produksi. Misalnya panjang jaring (X3), tinggi jaring (X4) dan hari penangkapan (X5). Panjang jaring dan tinggi jaring dibatasi oleh kapasitas atau ruang yang tersedia pada kapal. Kapasitas atau ruang akan berhubungan dengan ukuran kapal yang digunakan. Daerah penangkapan ikan juga menjadi pembatas. Jauh dekat daerah penangkapan ikan juga ditentukan dari ukuran jaring yang digunakan pada saat operasi penangkapan, baik untuk panjang maupun tinggi jaring. 5.6 Aspek Biologi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil pada Bagan, Purse seine, Jaring insang hanyut dan Payang 5.6.1 Produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit penangkapan Hasil tangkapan unit penangkapan di Kabupaten Polewali Mandar dalam sepuluh tahun terakhir (1994-2003) mengalami peningkatan secara fluktuatif (Gambar 22). Fluktuasi hasil tangkapan tersebut dapat diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya jumlah dan efesiensi unit penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan, lamanya operasi nelayan, kelimpahan ikan yang akan ditangkap serta keadaan lingkungan seperti suhu, salinitas, arus dan curah hujan. 68 Tabel 14 Perkembangan produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit penangkapan ikan tahun 1994-2003 Tahun Catch (Kg) CPUE Effort 1994 5.038.200 117.530 42,87 1995 5.030.200 117.247 42,90 1996 5.014.000 115.063 43,58 1997 4.841.809 97.614 49,60 1998 4.802.268 93.945 51,12 1999 4.762.192 90.960 52,35 2000 4.353.800 75.655 57,55 2001 4.675.400 67.832 68,93 2002 5.395.000 84.099 64,15 2003 6.650.100 82.517 80,59 Sumber: Dinas Perikanan dan kelautan, Kabupaten Polewali Mandar, 2003. Produksi hasil tangkapan unit penangkapan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 secara umum mengalami peningkatan secara fluktuasi (Gambar 22). Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2003 sebesar 6.650.100 kg, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar 4.353.400 kg. 7000000 y = 84022x - 2E+08 R2 = 0,1667 Catch (kg/tahu 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Gambar 22 Perkembangan produksi unit penangkapan ikan tahun 1994-2003. Upaya penangkapan (effort) unit penangkapan di Kabupaten Polewali Mandar secara umum cenderung mengalami penurunan (Gambar 23). Upaya penangkapan tertinggi pada tahun 1994 yaitu sebesar 117.530 trip, sedangkan effort terendah pada tahun 2001 yaitu sebesar 67.832 trip. Upaya penangkapan (trip per t 69 140000 y = -5164,7x + 1E+07 R2 = 0,783 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Gambar 23 Perkembangan upaya penangkapan (effort) unit penangkapan ikan tahun 1994-2003. Catch per unit effort (CPUE) unit penangkapan di Kabupaten Polewali Mandar secara umum cenderung mengalami peningkatan. CPUE tertinggi pada tahun 2003 yaitu sebesar 80,59 kg per unit, sedangkan CPUE terendah pada tahun 1994 yaitu sebesar 42,87 kg per unit (Gambar 24). y = 3,8792x - 7697,3 R2 = 0,8786 90,00 80,00 CPUE (kg/tr 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Gambar 24 Perkembangan catch per unit effort (CPUE) unit penangkapan ikan tahun 1994-2003. 5.6.2. Tingkat pemanfaatan dan pengupayaan sumberdaya ikan Berdasarkan nilai maksimum lestari (MSY) di Kabupaten Polewali Mandar, maka tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan periode tahun 1994-2003 dapat diketahui. Nilai MSY yang diperoleh sebesar 6.546.110 kg per tahun, diketahui bahwa rata-rata tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar sebesar 77,24 per tahun, dengan tingkat pemanfaatan paling tinggi pada tahun 2003 sebesar 101,59% dan paling rendah pada tahun 2000 sebesar 66,51%. Selengkapnya tentang tingkat dan perkembangan pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar disajikan pada Tabel 15 dan Gambar 25. 70 Tabel 15 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 Tingkat pemanfaatan (%) 1994 5.038.200 76,96 1995 5.030.200 76,84 1996 5.014.000 76,60 1997 4.841.809 73,96 1998 4.802.268 73,36 1999 4.762.192 72,75 2000 4.353.800 66,51 2001 4.675.400 71,42 2002 5.395.000 82,42 2003 6.650.100 101,59 Sumber: Dinas Perikanan dan kelautan, Kabupaten Polewali Mandar, 2003. Tahun Catch total (Kg) Tingkat pemanfaatan 120,00 y = 1,2835x - 2487,9 R2 = 0,1667 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Gambar 25 Perkembangan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003. Berdasarkan nilai effort maksimum lestari (Emsy) di Kabupaten Polewali Mandar, maka tingkat pengupayaan sumberdaya ikan periode tahun 1994-2003 dapat diketahui. Nilai Emsy yang diperoleh sebesar 99.590,91 kg per tahun, diketahui bahwa rata-rata tingkat pengupayaan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar sebesar 94,63%, dengan tingkat pengupayaan paling tinggi pada tahun 1994 sebesar 118,01% dan paling rendah pada tahun 2001 sebesar 68,11%. Selengkapnya tentang tingkat dan perkembangan pengupayaan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 26. 71 Tabel 16 Tingkat pengupayaan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 Effort total Tingkat pengupayaan (Trip) (%) 1994 117.530 118,01 1995 117.247 117,73 1996 115.063 115,54 1997 97.614 98,01 1998 93.945 94,33 1999 90.960 91,33 2000 75.655 75,97 2001 67.832 68,11 2002 84.099 84,44 2003 82.517 82,86 Sumber: Dinas Perikanan dan kelautan, Kabupaten Polewali Mandar, 2003. Tahun Tingkat pengupayaan 140,00 y = -5,1859x + 10459 R2 = 0,783 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Gambar 26 Perkembangan tingkat pengupayaan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003. Kurva hubungan antara produksi (catch), upaya penangkapan (effort), tingkat pemanfaatan dan pengupayaan unit penangkapan ikan di Kabupaten Polewali Mandar (Gambar 27). Hasil analisis produksi ikan menggunakan model Schaefer, menunjukkan upaya penangkapan optimum (Emsy) sebesar 99.590 trip per tahun, sedangkan hasil tangkapan optimum (Cmsy) sebesar 6.546.110 kg per tahun. Hubungan antara upaya penangkapan bagan dan hasil tangkapan berbentuk parabola (fungsi kuadratik), artinya setiap penambahan tingkat upaya penangkapan (E) maka akan meningkatkan hasil tangkapan (h) sampai mencapai titik maksimum, kemudian akan terjadi penurunan hasil tangkapan untuk setiap pengusahaan sumberdaya. 72 hmsy =6.546.110,45 kg per tahun 2003 2002 1996 1995 1997 1994 1998 1999 2001 2000 Emsy = 99.590 trip per tahun Gambar 27 Status produksi dan upaya penangkapan hubungannya dengan hasil tangkapan lestari dan upaya optimum. 5.6.3 Produktivitas unit penangkapan 1) Bagan perahu Perkembangan produksi hasil tangkapan, upaya penangkapan (effort) dan CPUE pada bagan tahun 1994-2004 disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan (effort) bagan tahun 1994-2003 Total Produksi CPUE Effort (Kg) (Trip/ tahun) (kg/trip) 1994 825.000 8.351 98,79 1995 847.300 8.208 103,23 1996 872.000 8.206 106,26 1997 766.651 8.723 87,89 1998 766.771 8.724 87,89 1999 766.530 8.722 87,88 2000 605.400 8.057 75,14 2001 611.400 8.481 72,09 2002 670.200 8.616 77,79 2003 611.800 7.488 81,70 Sumber: Dinas Perikanan dan kelautan, Kabupaten Polewali Mandar, 2003. Tahun 73 Produksi hasil tangkapan bagan dari tahun 1994-2004 secara umum mengalami peningkatan secara fluktuatif (Gambar 28). Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar 1.341.100 kg, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar 605.400 kg. Hasil tangkapan (kg/ta 1600000 1400000 y = 5102,1x - 9E+06 R2 = 0,0067 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Gambar 28 Perkembangan produksi penangkapan pada bagan tahun 1994-2003. Upaya penangkapan bagan secara umum cenderung mengalami peningkatan (Gambar 29). Upaya penangkapan tertinggi pada tahun 2004 yaitu sebesar 14.630 trip, sedangkan effort terendah pada tahun 2003 yaitu sebesar 7.488 trip. 16000 y = 259,95x - 510703 R2 = 0,2001 Effort (trip/tah 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Gambar 29 Upaya penangkapan (effort) pada bagan tahun 1994-2003. Catch per unit effort (CPUE) pada bagan secara umum cenderung mengalami penurunan (Gambar 30). Catch per unit effort (CPUE) tertinggi pada tahun 1996 yaitu sebesar 106,26 kg per unit, sedangkan CPUE terendah pada tahun 2001 yaitu sebesar 72,09 kg per unit. 74 120,00 CPUE (kg/tr 100,00 80,00 60,00 y = -2,2863x + 4658,6 R2 = 0,4573 40,00 20,00 0,00 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Gambar 30 Catch per unit effort (CPUE) pada bagan tahun 1994-2003. 2) Purse seine Perkembangan produksi hasil tangkapan, upaya penangkapan (trip) dan CPUE purse seine tahun 1994-2003 disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan (effort) purse seine tahun 1994-2003 Tahun Catch (Kg) Effort CPUE 1994 75.400 923 81,69 1995 78.300 920 85,11 1996 78.500 1.012 77,57 1997 92.100 964 95,54 1998 92.600 966 95,86 1999 93.700 970 96,60 2000 96.200 972 98,97 2001 113.200 974 116,22 2002 118.400 970 122,06 2003 225.000 1.482 151,82 Sumber: Dinas Perikanan dan kelautan, Kabupaten Polewali Mandar, 2003. Produksi hasil tangkapan purse seine dari tahun 1994-2003 secara umum mengalami peningkatan (Gambar 31). Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2003 sebesar 225.000 kg, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 1994 yaitu sebesar 75.400 kg. 75 Catch (kg/tahu 250000 y = 10994x - 2E+07 R2 = 0,5716 200000 150000 100000 50000 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Gambar 31 Perkembangan produksi penangkapan pada purse seine tahun 1994-2003. Upaya penangkapan secara umum cenderung mengalami peningkatan (Gambar 32). Pada tahun 1995 upaya penangkapan (effort) terendah yaitu sebesar 920 trip, sedangkan upaya penangkapan tertinggi (effort) pada tahun 2003 sebesar 1.482 trip. 1600 y = 31,63x - 62198 R2 = 0,3326 1400 Upaya (tri 1200 1000 800 600 400 200 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Gambar 32 Upaya penangkapan (effort) pada purse seine tahun 1994-2003. Cacth per unit effort (CPUE) secara umum cenderung mengalami peningkatan (Gambar 33). Pada tahun 1996 CPUE terendah yaitu sebesar 77,57 kg per unit, sedangkan CPUE tertinggi pada tahun 2003 sebesar 151,82 trip per unit. 160,00 y = 6,6312x - 13150 R2 = 0,8063 CPUE (catch/eff 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Gambar 33 Catch per unit effort (CPUE) pada purse seine tahun 1994-2003. 76 3) Jaring insang hanyut Perkembangan produksi hasil tangkapan, upaya penangkapan (effort) dan CPUE jaring insang hanyut tahun 1994-2003 disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan (effort) jaring insang hanyut tahun 1994-2003 Tahun Catch (Kg) CPUE Effort 1994 1.543.200 82.757 18,65 1995 1.514.800 82.749 18,31 1996 1.484.600 80.414 18,46 1997 1.416.100 64.200 22,06 1998 1.386.000 61.194 22,65 1999 1.379.300 60.473 22,81 2000 1.116.600 47.355 23,58 2001 1.450.300 37.718 38,45 2002 1.256.300 53.374 23,54 2003 987.600 14.140 69,84 Sumber: Dinas Perikanan dan kelautan, Kabupaten Polewali Mandar, 2003. Produksi hasil tangkapan tahun 1994-2003 secara umum mengalami penurunan (Gambar 34). Produksi tertinggi terjadi pada tahun 1996 sebesar 1.484.600 kg, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar 1.116.600 kg. 1800000 1600000 1400000 Cacth 1200000 1000000 800000 y = -47798x + 1E+08 R2 = 0,6418 600000 400000 200000 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Gambar 34 Perkembangan produksi penangkapan pada jaring insang hanyut tahun 1994-2003. Upaya penangkapan secara umum cenderung mengalami penurunan (Gambar 35). Pada tahun 2001 upaya penangkapan (effort) terendah yaitu sebesar 37.718 trip, sedangkan upaya penangkapan tertinggi (effort) pada tahun 1994 sebesar 82.757 trip. Effor 77 100000 90000 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 1993 y = -6593,4x + 1E+07 R2 = 0,8438 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Gambar 35 Upaya penangkapan (effort) pada jaring insang hanyut tahun 1994-2003. Cacth per unit effort (CPUE) secara umum cenderung mengalami peningkatan (Gambar 36). Pada tahun 2003 catch per unit effort (CPUE) tertinggi sebesar 69,84 kg per unit sedangkan CPUE terendah pada tahun 1995 sebesar 18,31 kg per unit. 80,000 y = 3,6489x - 7264,5 R2 = 0,4855 70,000 CPUE 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Gambar 36 Perkembangan catch per unit effort (CPUE) pada jaring insang hanyut tahun 1994-2003. 4) Payang Perkembangan produksi hasil tangkapan, upaya penangkapan (effort) dan CPUE payang tahun 1994-2003 disajikan pada Tabel 20. Produksi hasil tangkapan tahun 1994-2003 secara umum mengalami peningkatan (Gambar 37). Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2003 sebesar 4.825.700 kg, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 2.500.500 kg. 78 Tabel 20 Perkembangan produksi hasil tangkapan dan upaya penangkapan (effort) payang tahun 1994-2003 Tahun Catch (kg) CPUE Effort 1994 2.594.600 25.499 101,75 1995 2.589.800 25.370 102,08 1996 2.578.900 25.430 101,41 1997 2.566.959 23.727 108,19 1998 2.556.897 23.061 110,88 1999 2..522.662 20.795 121,31 2000 2.535.600 19.271 131,58 2001 2.500.500 20.659 121,04 2002 3.350.100 21.139 158,48 2003 4.825.700 59.407 81,23 Sumber: Dinas Perikanan dan kelautan, Kabupaten Polewali Mandar, 2003. y = 150798x - 3E+08 R2 = 0,3866 6000000 Catch (kg/tahu 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Gambar 37 Perkembangan produksi penangkapan pada payang tahun 1994-2003. Upaya penangkapan secara umum cenderung mengalami peningkatan (Gambar 38). Pada tahun 2000 upaya penangkapan (effort) terendah yaitu sebesar 19.271 trip, sedangkan upaya penangkapan tertinggi (effort) pada tahun 2003 sebesar 59.407 trip. 70000 Effort (trip/tah 60000 y = 1430,7x - 3E+06 R2 = 0,1347 50000 40000 30000 20000 10000 0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Gambar 38 Upaya penangkapan (effort) pada payang tahun 1994-2003. 79 Cacth per unit effort (CPUE) secara umum cenderung mengalami peningkatan (Gambar 39). Pada tahun 2003 catch per unit effort (CPUE) terendah yaitu sebesar 81,23 kg per unit sedangkan CPUE tertinggi tahun 2002 sebesar 158,48 kg per unit. y = 2,3565x - 4595,6 R2 = 0,1158 180,00 CPUE (kg/effo 160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Gambar 39 Perkembangan catch per unit effort (CPUE) pada payang tahun 19942003. 5.7 Aspek Sosial Fenomena mengenai pengkajian aspek sosial nelayan bagan di Polewali merupakan hal yang sangat menarik untuk diamati. Aspek sosial yang dikaji adalah melihat kondisi masyarakat perikanan bagan dan stakeholder lainnya yang menjadi salah satu tujuan untuk pengembangan kegiatan perikanan bagan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar. Analisis aspek sosial meliputi penyerapan tenaga kerja per unit penangkapan, latar belakang pendidikan, penerimaan nelayan terhadap unit penangkapan bagan, konflik sosial, dan kelembagaan sosial. 5.7.1 Penyerapan tenaga kerja Penyerapan tenaga kerja dilihat dari jumlah tenaga kerja yang ikut dalam pengoperasian unit penangkapan bagan. Hasil wawancara nelayan menyatakan bahwa jumlah tenaga kerja dalam satu unit penangkapan bagan berkisar antara 910 orang termasuk di dalamnya kapten kapal. Tetapi diluar dari pengoperasian unit penangkapan bagan maka lebih banyak tenaga kerja yang diserap oleh bagan misalnya kuli angkut hasil tangkapan, penjual ikan, pedagang, dan tenaga kerja yang lain. 80 5.7.2 Latar belakang pendidikan Tingkat pendidikan nelayan bagan di Polewali masih tergolong relatif rendah. Pada umumnya tingkat pendidikan secara formal nelayan di Polewali mayoritas SLTP dan SD dan hanya sebagian tamat SLTA. Rendahnya tingkat pendidikan dapat dilihat dengan masih tingginya tingkat pendidikan SD bagi sebagian besar masyarakat nelayan. Hal ini menjadi kendala utama dalam memberdayakan masyarakat nelayan. Tingkat pendidikan yang rendah, memungkinkan kurang bijaksana dalam pemanfaatan sumberdaya hayati laut dan kurang wawasan dalam pengelolaan perikanan. 5.7.3 Penerimaan nelayan terhadap unit penangkapan bagan perahu Keberadaan unit penangkapan bagan di Polewali memberikan respon yang positif bagi nelayan khususnya masyarakat pesisir begitu pun dengan nelayan alat tangkap lain. Bagi masyarakat pesisir memberikan nilai plus tersendiri karena dengan adanya bagan di Polewali maka banyak masyarakat pesisir yang mencari pekerjaan lewat alat tangkap tersebut misalnya masyarakat pesisir yang putus sekolah profesinya menjadi nelayan bagan (ABK), penjual ikan (tengkulak), kuli angkut sebagai pengangkut hasil tangkapan dari atas kapal ke pelelangan ikan, pedagang dan aktivitas lain. Sehingga dengan keberadaan bagan di Polewali maka banyak menyerap tenaga kerja dan secara tidak langsung memperluas lapangan pekerjaan khususnya masyarakat pesisir setempat. Persepsi nelayan untuk alat tangkap lain juga memberikan respon yang posistif, artinya keberadaan bagan selama ini tidak memberikan konflik sosial terhadap alat tangkap lain. Namun saling membantu dalam hal penangkapan ikan. Salah satu contoh yaitu nelayan pancing ulur merasa senang karena dapat memancing di sekitar bagan sehingga dapat memberikan keuntungan tersendiri bagi nelayan pancing ulur. Selain itu, bila nelayan bagan memperoleh hasil tangkapan maka dengan suka rela memberikan hasil tangkapannya sedikit untuk keperluan makan bagi nelayan lain. Sehingga persepsi nelayan alat tangkap lain secara langsung menerima keberadaan bagan di Polewali. 81 5.7.4 Konflik sosial Status konflik perlu menjadi perhatian dalam pembangunan perikanan berkelanjutan khususnya pada perikanan bagan. Status konflik sangat erat kaitannya dengan penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan wawancara dengan nelayan, konflik sosial belum pernah terjadi baik antar nelayan bagan maupun dengan alat tangkap yang lain. Namun bukan berarti kebijakan sektor perikanan dalam hal zona penangkapan dan kebijakan hal-hal yang tidak perlu lagi diberlakukan. Tetapi sangat perlu diberlakukan demi menghidari terjadinya konflik sosial kedepannya. 5.7.5 Kelembagaan perikanan bagan Adapun lembaga yang terkait dalam perikanan bagan di Polewali antara lain kelembagaan pemerintah, dan kelembagaan permodalan. 5.7.5.1 Kelembagaan pemerintah Pemerintah sangat dominan perannya dalam pengembangan perikanan karena berfungsi sebagai fasilitator bagi berjalannya kelembagaan dunia perikanan. Dari hasil wawancara dengan pegawai Dinas Perikanan dan Kalautan menyatakan bahwa program kerja yang utama untuk nelayan ditiitkberatkan pada pembinaan SDM nelayan, perkuatan modal serta peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung bagi nelayan. 5.7.5.2 Kelembagaan permodalan 1) Bank Kelembagaan permodalan memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan usaha perikanan bagan, terutama dalam penyediaan modal investasi dan modal kerja. Nelayan di Polewali dapat mengakses lembaga permodalan melalui bank. Berdasarkan hasil wawancara, bank yang menyediakan kredit yang dapat diakses oleh nelayan dan investor perikanan adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Negara Indonesia (BNI). Berdasarkan hal tersebut, terlihat adanya peluang nelayan maupun pengusaha perikanan bagan di Polewali untuk memanfatkan kredit dalam konteks pengembangan usaha. Hanya saja realitas menunjukkan bahwa jumlah nelayan maupun pengusaha yang memanfaatkan fasilitas kredit perbankan masih relatif 82 minim. Hal ini disebabkan karena pemahaman tentang kredit bank bagi nelayan masih begitu awam, serta kehawatiran yang tinggi tidak sanggup membayar bunga dari bank sehingga mereka masih cenderung untuk meminjam kepada keluarga terdekat sebagai modal dalam berusaha. 2) Koperasi Koperasi termasuk lembaga yang memiliki peranan yang penting dalam penyediaan modal karena penyaluran kredit baik yang bersumber dari perbankan maupun bantuan pemerintah disalurkan melalui lembaga ini. Dijadikannya koperasi sebagai lembaga terdepan dalam penyaluran kredit didasarkan pada pertimbangan pemahaman yang baik terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat serta pertimbangan prosedural yang lebih fleksibel. Namun kondisi di lapangan menyatakan bahwa koperasi tidak berjalan dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus koperasi nelayan diketahui bahwa realisasi jumlah nelayan yang memanfaatkan kredit untuk pengembangan usaha masih sangat kurang. Dalam hal permodalan usaha, nelayan lebih memilih menggunakan dana pibadi atau sumber-sumber pendanaan informal lainnya. Ada beberapa hal yang mempengaruhi keengganan nelayan memanfaatkan kredit dari koperasi yaitu (1) Sifat peminjaman koperasi masih memberatkan nelayan; (2) Jangka waktu pinjaman yang terlalu singkat; (3) Nelayan lebih senang meminjam modal pada keluarga. Gambaran yang dikemukakan di atas menjelaskan, bahwa kinerja koperasi masih belum optimal dalam mendukung perkembangan perikanan bagan di Polewali. Dengan pengelolaan koperasi yang lebih profesional serta sistem manajemen resiko yang baik diharapkan kinerja koperasi dapat terus ditingkatkan dimasa akan datang. 3) Kelompok nelayan Masyarakat nelayan di Polewali mempunyai kelembagaan yang berpolakan kelompok nelayan dalam suatu wadah organisasi kemasyarakatan nelayan (ormas). Hasil dari inspirasi hubungan juragan kapal, nelayan dan kapten kapal. Sejak turun temurun, terdapat hubungan antara nelayan dengan para juragan kapal sebagai pemilik modal atau yang memiliki unit penangkapan dan nelayan yang bekerja menangkap/ mengumpulkan sumberdaya perikanan di laut. 83 Hasil tangkapan tersebut dikumpul oleh masing-masing juragan untuk kemudian dijual ke tengkulak (pedagang pengumpul ikan) kemudian tengkulak menjual langsung ke pasar. 5.8 Aspek Ekonomi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil 5.8.1 Biaya penangkapan Usaha pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan memerlukan biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost). Dalam penelitian ini, yang dimaksud biaya tetap adalah biaya yang sifatnya tidak habis digunakan dalam satu kali operasional penangkapan. Biaya tetap terdiri atas penyusutan kapal, penyusutan alat tangkap, penyusutun mesin dan perlengkapan lainnya. Biaya tidak tetap adalah biaya yang sifatnya habis pakai pada setiap operasi penangkapan. Biaya tidak tetap meliputi: biaya bahan bakar, es, ransum dan retribusi. Menurut Fauzi (2004), Model Statik Gordon-Schaefer menganut beberapa asumsi yang meliputi: 1) Harga per satuan output, (Rp per kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna. 2) Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan. 3) Struktur pasar bersifat kompetitif. 4) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan. Biaya penangkapan dalam kajian bio-ekonomi Model Statik Gordon- Schaefer, didasarkan atas asumsi: hanya memperhitungkan faktor penangkapan dan dianggap konstan, sehingga biaya penangkapan yang dibutuhkan dalam kegiatan penangkapan yaitu bahan bakar, es, ransum dan biaya retribusi. Hasil penelitian yang dilakukan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat menunjukkan bahwa biaya penangkapan terhadap usaha penangkapan bagan perahu sebesar Rp 416.600 per trip penangkapan (Tabel 14). 84 Tabel 21 Struktur biaya penangkapan ikan pelagis kecil dengan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat tahun 2007 No Kebutuhan Melaut 1 Solar 2 Oli 3 Minyak tanah 4 Ransum 5 Es 6 Retribusi Total Biaya penangkapan per trip Sumber : Data primer diolah 2007. Keterangan: Nilai (Rp)* 243.000 8.500 2.600 50.000 100.000 12.500 416.600 * Dihitung pada tingkat harga BBM solar Persentasi (%) 58,33 2,04 0,62 12,00 24,00 3,00 100,00 Rp 4.500 5.8.2 Analisis harga ikan hasil tangkapan Harga ikan yang bersifat konstan termasuk dalam asumsi yang dianut model Gordon-Schaefer. Harga ikan dalam penelitian ini merupakan harga ratarata penjualan ikan dari dua musim penangkapan yang berbeda, yaitu musim puncak dan musim biasa. Harga ini dipengaruhi oleh jumlah produksi pada musim tertentu, jenis ikan dan selera konsumen. Pada saat musim puncak, ikan hasil tangkapan lebih banyak dibanding pada saat musim biasa sehingga penawaran menjadi lebih rendah, sedangkan pada saat musim biasa permintaan dan penawaran terhadap hasil tangkapan tinggi tetapi produksinya lebih sedikit. Hasil tangkapan utama bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat yaitu teri (Stolephorus spp), kembung (Rastrelliger spp) dan layang (Decapterus spp) (Saanin, 1984). Harga jual ikan teri untuk musim puncak yaitu Rp 4.000/kg, kembung Rp 6000/kg dan layang Rp 5000/kg. Sedangkan pada musim biasa/ musim jarang ikan nilai jual ikan pelagis kecil lebih mahal. Adapun nilai jual untuk teri pada musim biasa sebesar Rp 5.000, kembung Rp 8.000/ kg dan layang Rp 7.000/ kg (Tabel 15). Musim puncak ikan terjadi pada bulan April-September sedangkan musim biasa atau musim jarang ikan terjadi pada bulan Desember-Maret. 85 Tabel 22 Harga ikan pada musim puncak dan musim biasa No 1 Uraian Harga ikan musim puncak Teri Kembung Layang Harga Ikan musim biasa 2 Teri Kembung Layang Sumber: Data primer diolah 2007. Satuan Volume Harga Jumlah kg/trip kg/trip kg/trip 450 200 200 4.000 6.000 5.000 1.800.000 1.200.000 1.000.000 kg/trip kg/trip kg/trip 450 200 200 5.000 8.000 7.000 2.250.000 1.600.000 1.400.000 5.9 Analisis Bio-ekonomi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Analisis bio-ekonomi dengan pendekatan secara biologi dan ekonomi merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang dapat diterapkan demi upaya optimalisasi pengusahaan sumberdaya secara berkelanjutan. Optimalisasi Bioekonomi yang dilakukan dalam penelitian ini mengikuti Model Gordon-Schaefer. Hasil tangkapan menunjukan produksi pelagis kecil yang dihasilkan pada tingkat upaya tertentu. Pada saat penangkapan masih rendah, peningkatan tingkat upaya akan diikuti oleh peningkatan penerimaan usaha hingga mencapai keseimbangan secara ekonomi. Disisi lain, biaya penangkapan akan meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat upaya penangkapan. Total penerimaan diperoleh dari mengalikan harga nominal dengan hasil tangkapan, sedangkan total biaya penangkapan per trip diperoleh dari biaya penangkapan per trip. Rente ekonomi pelagis kecil merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya untuk melakukan trip penangkapan sebesar tingkat upaya penangkapan masing-masing kondisi. Perbandingan hasil tangkapan pada kondisi aktual, maximum sustainable yield (MSY), maximum economic yield (MEY) dan pada kondisi open access (Oa) dapat dilihat pada Tabel 16. 86 Tabel 23 Optimalisasi bio-ekonomi dalam berbagai kondisi pengelolaan dan kondisi aktual sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan perahu (lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat Hasil tangkapan (kg) Aktual 82.517 6.650.100 MSY 99.590,91 6.546.110,45 MEY 54.504,33 5.204.462,65 Open acces 109.008,66 6.487.572,42 Sumber: Data primer diolah 2007. Kondisi pengelolaan Effort (trip) Total penerimaan Total biaya trip/thn (Rp) Rente ekonomi 46.550.700.000 45.822.773.180 36.431.238.540 45.413.006.920 34.376.582.200 41.489.572.730 32.724.140.400 45.413.006.920 12.174.117.800 4.333.200.450 3.707.091.400 0 Pada optimalisasi bio-ekonomi dalam Tabel 14 dapat diplot menjadi grafik yang menunjukkan perbandingan hasil tangkapan effort dan rente ekonomi yang dilakukan untuk masing-masing kondisi. Untuk grafik perbandingan hasil tangkapan (produksi hasil tangkapan) pada kondisi aktual, maximum sustainable yield, maximum economi yield dan open access pada periode 1994-2003 dapat dilihat pada Gambar 40. 6650100 6546110,45 Hasil tangkapan (Kg/ta 7000000 6487572,42 5204462,65 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 Aktual MSY MEY Open acces Gambar 40 Perbandingan hasil tangkapan ikan pelagis kecil dengan menggunakan bagan (lift net) setiap kondisi periode 1994-2003. Gambar 24 memperlihatkan bahwa hasil tangkapan yang didapat pada kondisi pengusahaan sumberdaya MSY di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 sebesar 6.546.110,45 kg. Hasil tangkapan tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan hasil tangkapan yang didapat pada pengusahaan sumberdaya MEY yaitu sebesar 5.204.462,65 kg, namun kondisi aktualnya melebihi hasil tankapan MSY yaitu sebesar 6.650.100 kg, namun secara umum dari tahun ke tahun belum melampaui kondisi MSY. Sedangkan hasil tangkapan ikan pelagis kecil pada kondisi open access mencapai 6.487.572,42 kg. Hasil tangkapan ikan pelagis kecil pada kondisi MSY adalah kondisi hasil tangkapan yang maksimum lestari dimana jika hasil tangkapan sudah melebihi kondisi hasil 87 tangkapan ini maka mengakibatkan sumberdaya ikan kecil tersebut menjadi tidak sustainable. Perbandingan upaya penangkapan (effort) pada kondisi aktual, maximum sustainable yield, maximum economic yield dan open acces dalam periode 19942003 dapat dilihat pada Gambar 41. Gambar 41 memperlihatkan rata-rata upaya penangkapan yang dapat dilakukan armada bagan perahu (lift net) pada tingkat MSY sebesar 99.590,91 trip. Upaya penangkapan tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan upaya penangkapan yang dilakukan pada tingkat produksi MEY yaitu 54.504,33 trip dan pada tingkat produksi aktual yaitu 82.517 trip sedangkan pada tingkat produksi open access yaitu sebesar 109.008,66 trip. 109008,66 120000 99590,91 82517 Effort (Trip/tah 100000 80000 54504,33 60000 40000 20000 0 Aktual MSY MEY Open acces Gambar 41 Perbandingan tingkat upaya penangkapan ikan pelagis kecil dengan menggunakan bagan (lift net) pada setiap kondisi periode 1994-2003. Perbandingan rente ekonomi upaya pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan perahu (lift net) pada kondisi aktual, maximum sustainable yield (MSY), maximum economic yield (MEY) dan pada kondisi open access (Oa) dalam periode 1994-2003 dapat dilihat pada Gambar 42. 14.000.000.000,00 12.174.117.800,00 Rente ekono 12.000.000.000,00 10.000.000.000,00 8.000.000.000,00 4.333.200.450,00 6.000.000.000,00 3.707.091.400,00 4.000.000.000,00 0,00 2.000.000.000,00 0,00 Aktual MSY MEY Open acces Gambar 42 Perbandingan rente ekonomi penangkapan ikan pelagis kecil dengan menggunakan bagan (lift net) pada setiap kondisi periode 1994-2003. 88 Rente ekonomi tertinggi yang diperoleh nelayan bagan adalah pada tingkat produksi MSY sebesar Rp 4.333.200.450 per tahun. Berkurangnya nilai rente ekonomi akan terus berlangsung hingga dicapai keuntungan normal yaitu pada saat tingkat upaya penangkapan yang dilakukan mencapai keseimbangan open access ( π = 0 ). Jika terjadi peningkatan upaya penangkapan melebihi kondisi ini maka akan mengakibatkan kerugian bagi nelayan. Dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan (lift net), TRmsy tercapai pada saat Emsy sebesar 99.590,91 hari operasi per tahun dengan hmsy sebesar 6.546.110,45 kg per tahun. Berdasarkan nilai tersebut, maka TRmsy diperoleh sebesar Rp 45.822.773.180 per tahun dengan TCmsy sebesar 41.489.572.730 per tahun, sehingga rente ekonominya (selisih antara TR dengan TC) diperoleh sebesar 4.333.200.450 per tahun (Lampiran 6). Apabila effort terus dinaikkan, sehingga melampaui Emsy maka total penerimaannya justru akan mengalami penurunan, sementara total biaya penangkapan semakin meningkat. Pada pengelolaan open access, meskipun total penerimaan semakin menurun, selagi total penerimaan masih lebih besar dari total biaya penangkapan (rente ekonomi positif), maka kondisi ini akan tetap dijalankan oleh nelayan untuk bertahan dalam usaha penangkapan, dimana nelayan akan meningkatkan effort. Jika tingkat effort sudah berlebihan, sehingga total penerimaan lebih kecil dari total biaya penangkapan, maka sebagian pelaku perikanan akan keluar dari kegiatan penangkapan tersebut, yang berarti menurunkan effort. Dengan demikian titik keseimbangan open access akan terjadi pada saat total penerimaan sama dengan total biaya penangkapan atau rente ekonomi sama dengan nol. Pada hasil penelitian untuk rente ekonomi open access sama dengan nol. Pada usaha pengelolaan ikan pelagis kecil dengan menggunakan bagan, bio-economic equilibrium of open access fishery terjadi pada saat effort (Eoa) mencapai 109.008,66 trip per tahun dan tingkat hasil produksi (hoa) sebesar 6.487.572,42 kg per tahun. Dengan demikian penerimaan total (TRoa) diperoleh sebesar 45.413.006.920 per tahun dan biaya penangkapan total (TCoa) sebesar Rp 45.413.006.920 per tahun. Untuk keuntungan optimum lestari upaya pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan (lift net), tercapai pada tingkat effort (Emsy) sebesar 89 99.590,91 hari operasi per tahun dengan hasil produksi (hmsy) sebesar 6.546.110,45 kg per tahun, dengan penerimaan total (TRmey) yang diperoleh sebesar 36.431.238.540 per tahun dan biaya penangkapan total (TCmey) sebesar Rp 32.724.140.400 per tahun. Berdasarkan nilai tersebut, maka rente ekonomi akan diperoleh sebesar Rp 3.707.091.400. Gambar 28 memperlihatkan grafik Bio-ekonomi hubungan total penerimaan dan biaya penangkapan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan (lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi barat. Dengan adanya keuntungan dalam pengelolaan sumberdaya menjadi pendorong bagi nelayan untuk mengembangkan armada penangkapan maupun upaya penangkapan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Rente Ekonomi (Rp) TC MSY TR MEY B Emey Emsy Eoa Gambar 43 Keseimbangan Bio-ekonomi Gordon-Schaefer untuk pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil dengan bagan (lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. 6.0 Analisis Kelayakan Usaha Penangkapan Bagan Perahu Analisis usaha merupakan suatu analisis dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari suatu kegiatan usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Analisis usaha penangkapan bagan perahu 90 yang dianalisis meliputi analisis finansial dan analisis investasi. Perhitungan analisis usaha penangkapan bagan perahu adalah hanya untuk kegiatan penangkapan ikan, sehingga jumlah trip yang dihitung hanya pada saat menangkap ikan. Investasi merupakan biaya awal yang dikeluarkan untuk melakukan usaha. Biaya investasi yang dikeluarkan oleh nelayan pemilik untuk melakukan usaha penangkapan dalam satu tahun adalah sebesar Rp 135.000.000 yang terdiri atas biaya perahu/kapal, alat tangkap, mesin, rumpon, biaya perlengkapan dan lainlain (Lampiran 7). Biaya usaha merupakan pengeluaran dari kegiatan usaha penangkapan yang harus dikeluarkan. Biaya terdiri atas biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap (fixed cost) merupakan biaya yang tetap harus dikeluarkan meskipun tidak melakukan kegiatan penangkapan. Biaya tetap (fixed cost) yang dikeluarkan oleh nelayan pemilik setiap tahunnya meliputi: biaya perawatan dan biaya penyusutan unit penangkapan bagan perahu. Biaya tetap yang dikeluarkan untuk setiap tahunnya sebesar Rp 33.250.000 (Lampiran 7 ). Biaya tidak tetap (variable cost) adalah biaya yang hanya dikeluarkan pada saat melakukan kegiatan penangkapan ikan. Biaya tidak tetap (variable cost) yang dikeluarkan pada saat kegiatan operasi berlangsung meliputi biaya bahan bakar (minyak tanah, bensin, oli), ransum dan retribusi. Rata-rata biaya tidak tetap yang dikeluarkan dalam satu trip sebesar Rp. 404.100 dengan jumlah trip dalam satu tahun sebanyak 288 trip, sehingga biaya tidak tetap yang harus dikeluarkan dalam satu tahun sebesar Rp. 123.380.800 (Lampiran 8). Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui keuntungan usaha yang diterima nelayan, mengetahui hasil penjualan minimal atau hasil tangkapan minimal dari sebuah unit penangkapan bagan perahu. Selain itu juga untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh selama umur ekonomis usaha, besarnya penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur ekonomis usaha dalam jangka waktu tertentu yang membuat nilai NPV dari usaha sama dengan nol. 91 1) Analisis usaha Analisis usaha dilakukan untuk mengetahui keuntungan usaha yang di terima nelayan, hasil penjualan minimum atau hasil tangkapan minimal (BEP) dari sebuah unit penangkapan bagan perahu selama satu tahun usaha. BEP (Break Event Point) merupakan jumlah dan nilai minimal yang harus diperoleh agar dapat menutupi total biaya. Berdasarkan hasil perhitungan BEP diperoleh nilai produksi per tahun sebesar Rp 40.473.338,97 dengan volume produksi per tahun sebesar 28.663,67 ton (Lampiran 12). 2) Analisis kriteria investasi Analisis kriteria investasi dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha penangkapan bagan perahu. Kriteria investasi yang digunakan adalah ROI. Usaha perikanan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat khususnya alat tangkap bagan merupakan salah satu usaha ekonomi yang berpotensi untuk dapat dikembangkan. Berdasarkan hasil analisis finansial dengan mempertimbangkan kriteria investasi, maka usaha perikanan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat layak untuk di kembangkan. Hal ini jelas terlihat dari nilai kelayakan usaha serta adanya peluang pengembangan usaha perikanan bagan perahu. Hasil perhitungan kelayakan usaha menunjukkan, bahwa semua hal yang terkait dengan usaha penangkapan mendapat keterangan layak untuk diusahakan. Seperti untuk hasil analisis pendapatan untuk pemilik kapal, yang dengan hasilnya itu dapat menutupi angsuran peminjaman serta upah yang diterima oleh para karyawan kapal, mulai dari juragan kapal, dan ABK lainnya yang diatas standar upah minimum yang ditetapkan oleh daerah semakin memperjelas bahwa usaha perikanan bagan perahu layak untuk dikembangkan. Usaha perikanan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat khususnya alat tangkap bagan perahu merupakan salah satu usaha ekonomi yang berpotensi untuk dapat dikembangkan. Berdasarkan hasil analisis finansial dengan mempertimbangkan kriteria investasi, maka usaha perikanan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat layak untuk di kembangkan. Hal ini jelas terlihat dari nilai kelayakan usaha serta adanya peluang pengembangan usaha perikanan bagan perahu. 92 Hasil perhitungan kelayakan usaha menunjukkan bahwa semua hal yang terkait dengan usaha penangkapan mendapat keterangan layak untuk diusahakan. Hasil analisis pendapatan untuk pemilik kapal, hasilnya itu dapat menutupi angsuran peminjaman serta upah yang diterima oleh para karyawan kapal, mulai dari juragan kapal, dan ABK lainnya yang diatas standar upah minimum yang ditetapkan oleh daerah semakin memperjelas bahwa usaha perikanan bagan perahu layak untuk dikembangkan. 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang × lebar × tinggi adalah 21 × 2,10 × 1,8 m, jika dibandingkan ukuran kapal di daerah lain yaitu bagan perahu di perairan Barru, selat Makassar berukuran 29 × 2,53 × 2,43 m (Sudirman, 2003), bagan perahu di perairan Sumatera Barat berukuran 20 × 3,5 × 2,2 m (Zebri, 2003). Ukuran alat tangkap yang digunakan pada umumnya sama di setiap daerah, demikian juga dengan ukuran mesh size 0,5 cm. Hal ini disebabkan karena hasil tangkapan sebagai target tangkap adalah sama yaitu jenis ikan pelagis kecil yang fototaksis positif. Sehingga spesies yang menjadi target tangkap operasi penangkapan ikan yang dilakukan antara nelayan di sekitar Polewali dengan nelayan di wilayah perairan Indonesia lainnya relatif sama. Pengoperasian bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar pada umumnya sama dengan bagan di daerah lain yaitu secara garis besar adalah persiapan menuju fishing ground, setting, hauling dan penanganan hasil tangkapan. Namun lamanya waktu operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan bagan di Polewali berbeda dengan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh pengoperasian bagan di daerah lain. Waktu operasi penangkapan yang dibutuhkan oleh nelayan bagan di Polewali sekitar ± 4-5 jam, namun hal ini tidak dapat dijadikan sebagai patokan dasar karena lamanya jaring di bawah air, tergantung dari banyaknya ikan yang terlihat di bawah air atau di sekitar bagan. 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi Aspek teknis merupakan aspek yang bertujuan untuk mengetahui input (faktor teknis produksi) penangkapan ikan dengan menggunakan bagan perahu yang berpengaruh terhadap output (hasil tangkapan bagan dalam satuan ton/tahun). Faktor teknis produksi yang digunakan meliputi : jumlah tenaga kerja (X1) dengan satuan orang, jumlah bahan bakar (X2) dengan satuan liter/ tahun, panjang 94 jaring (X3) dengan satuan meter, tinggi jaring (X4) dengan satuan meter, jumlah hari penangkapan/ jumlah trip penangkapan (X5) dengan satuan hari/tahun, ukuran kapal (X6) dengan satuan GT dan jumlah lampu (X7), serta jumlah hasil tangkapan ikan (Y) yang dinyatakan dalam (ton/tahun). Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda dan hasil program SPSS 12, faktor yang memberikan pengaruh secara langsung terhadap jumlah hasil tangkapan (Y) secara berturut-turut yaitu jumlah lampu (X7), bahan bakar (X2), dan ukuran kapal (X6) pada tingkat kepercayaan 95%, sedangkan jumlah anak buah kapal (X1), panjang jaring (X3), tinggi jaring (X4), jumlah hari penangkapan/ jumlah trip penangkapan (X5) tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Hasil perhitungan dengan uji t, faktor teknis jumlah lampu berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Koefesien regresi faktor teknis jumlah lampu (X7) sebesar 8,466 yang berarti searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya penggunaan lampu dalam pengoperasian bagan perahu, maka hasil tangkapan akan semakin meningkat. Lampu yang dipakai untuk bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berkisar antara 48-54 buah. Lampu tersebut dipergunakan sebagai alat bantu untuk menarik dan mengumpulkan gerombolan ikan sehingga memudahkan operasi penangkapan. Penggunaan lampu ini memanfaatkan sifat ikan pelagis kecil yang fototaksis positif terhadap cahaya, artinya jika terdapat sumber cahaya, maka ikan akan mendekati sumber cahaya tersebut. Sehingga dengan jumlah lampu yang semakin banyak, maka daerah yang dipengaruhi oleh cahaya akan semakin luas, sehingga ikan yang datang mendekati catchable area juga semakin besar. Dengan demikian, maka ikan tersebut lebih mudah untuk tertangkap. Ayodhyoa (1981) menyatakan bahwa mekanisme tertariknya ikan terhadap cahaya belum diketahui dengan jelas, namun diduga berkumpulnya ikan-ikan tersebut disebabkan oleh keinginan mencari intensitas cahaya yang sesuai. Sehingga faktor utama yang berperan penting dalam penangkapan bagan perahu untuk mendapatkan banyaknya hasil tangkapan adalah banyaknya lampu yang digunakan dalam penangkapan. 95 Koefesien regresi faktor teknis bahan bakar sebesar 0,12 yang berarti searah dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, bahwa setiap penambahan satu satuan bahan bakar akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar 0,12 dalam keadaan cateris peribus. Berdasarkan perhitungan dengan uji t, faktor teknis bahan bakar berbeda nyata terhadap hasil tangkapan. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya bahan bakar yang digunakan maka operasi penangkapan semakin jauh dan semakin luas sehingga kemungkinan banyaknya hasil tangkapan yang diperoleh pun semakin meningkat. Penggunaan bahan bakar pada operasi penangkapan bagan yaitu untuk kebutuhan penyalaan lampu dan untuk kebutuhan tenaga penggerak kapal. Jumlah kebutuhan BBM yang digunakan hampir sama sehingga dalam perhitungan statistik, penggunaan BBM digabung menjadi satu. Faktor teknis ukuran kapal (X6) sebesar 80,14 yang berarti berbanding lurus dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan, bahwa setiap penambahan satu satuan ukuran kapal penangkapan akan meningkatkan hasil tangkapan sebesar satu satuan 80,144 dalam keadaan cateris peribus. Berdasarkan perhitungan dengan uji t, faktor teknis ukuran kapal (GT) berbeda nyata terhadap hasil tangkapan. Hal ini disebabkan karena semakin besarnya ukuran kapal yang digunakan dalam operasi penangkapan maka semakin besar peluang penampungan untuk ikan hasil tangkapan sehingga menyebabkan jumlah hasil tangkapan semakin meningkat. Persamaan produksi yang diperoleh menunjukkan pengaruh antar faktor teknis produksi terhadap hasil tangkapan. Semua koefesien regresi dalam persamaan tersebut tidak semuanya bernilai positif. Sehingga peningkatan setiap faktor produksi tidak selalu berdampak pada peningkatan produksi. Hal ini mengingat ada batas untuk setiap faktor teknis produksi. Misalnya panjang jaring (X3), tinggi jaring (X4) dan hari penangkapan (X5). Panjang jaring dan tinggi jaring dibatasi oleh kapasitas atau ruang tersedia kapal. Kapasitas atau ruang akan berhubungan dengan ukuran kapal yang digunakan. Daerah penangkapan ikan juga menjadi pembatas. Jauh dekat daerah penangkapan ikan juga ditentukan dari ukuran jaring yang digunakan pada saat operasi penangkapan, baik untuk panjang maupun tinggi jaring. 96 6.3 Aspek Biologi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil 6.3.1 Status produksi ikan di Kabupaten Polewali Mandar Informasi tentang status potensi sumberdaya yang tersedia sangat perlu diketahui untuk pengelolaan sumberdaya secara optimal tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya yang ada. Nikijuluw (2002) menyatakan, bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan perlu kehati-hatian agar tidak sampai pada kondisi kelebihan penangkapan (over fishing). Hasil analisis produksi ikan dengan menggunakan model surplus produksi menunjukkan bahwa nilai Maximum Sustainable Yield (MSY) sebesar 6.546.110,45 kg per tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar 99.590,91 trip per tahun. Hasil tangkapan pada tahun 2003 sebesar 6.650.100 kg per tahun dan upaya penangkapan sebesar 82.517 trip per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar pada tahun 2003 mencapai 101,59% . Pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar dalam kurung waktu sepuluh tahun terakhir (1994-2003) belum mencapai titik Maximum Sustainable Yield (MSY) (Gambar 25), namun tahun 2003 sedikit melewati batas maksimum MSY. Kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut memberikan dugaan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan masih memungkinkan untuk dieksploitasi mengingat belum mencapai batas potensi lestari, sehingga memberikan peluang untuk meningkatkan produksi. Pauly (1979) dan Panayotou (1982) diacu dalam Atmaja dan Haluan (2003), menggunakan MSY sebagai titik sasaran acuan pengelolaan perikanan, terutama ketidakpastian sehubungan dengan kekurangan data pada laju penangkapan ikan. Maximum Sustainable Yield (MSY) menurut Cunningham (1981) diacu dalam Atmaja dan Haluan (2003) hanya digunakan sebagai titik sasaran acuan pengelolaan sumberdaya ikan dalam jangka waktu pendek. Upaya penangkapan optimum (Eopt) dari unit penangkapan ikan setelah dianalisis diperoleh nilai sebesar 99.590,91 trip per tahun, sementara upaya penangkapan pada tahun 2003 sebesar 82.517 trip per tahun, hal ini berarti belum melampaui upaya optimum atau tingkat pengupayaan pada tahun 2003 sebesar 82,86%. 97 Kondisi hasil tangkapan dan upaya penangkapan di Kabupaten Polewali Mandar yang belum melewati batas Maximum Sustainable Yield (MSY) yang memberikan dugaan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan masih memungkinkan untuk dieksploitasi mengingat batas potensi lestari belum tercapai, sehingga memberikan peluang untuk meningkatkan produksi. Cara yang dapat ditempuh dengan kondisi peluang peningkatan eksploitasi yang masih cukup tinggi dan tingkat pengupayaan ikan yang produktif. Maka untuk mencapai produksi yang direkomendasikan maka perlu dilakukan penambahan alat tangkap. Penambahan unit penangkapan juga perlu dilakukan kehati-hatian agar produksi tidak melewati titik kritis MSY dan upaya penangkapan tidak melampaui upaya penangkapan optimum. Untuk mencapai kondisi produksi dan upaya penangkapan tersebut ada dua hal yang dapat dilakukan, yaitu penambahan unit penangkapan dan perbaikan teknologi. Perubahan teknologi lebih diarahkan untuk mewujudkan unit penangkapan ikan yang lebih unggul dan produktif. Adapun kekurangan penelitian ini, kaitannya dengan pengkajian pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil yaitu penelitian dilakukan pada kondisi perikanan yang multispesies padahal salah satu kelemahan pendekatan MSY yaitu sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri ragam jenis (multispesies) (Fauzi, 2004). Selain itu kondisi aktual yang dipakai yaitu kondisi aktual tahun 2003 yang seharusnya kondisi aktual tahun 2006, hal ini disebabkan adanya pemekaran Kabupaten yaitu Kabupaten Polewali Mandar. 6.4 Aspek Sosial Penyerapan tenaga kerja untuk satu unit bagan berkisar antara 9-10 orang termasuk kapten kapal. Setiap nelayan memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam operasi penangkapan ikan. Namun diluar dari kegiatan operasi penangkapan bagan, maka banyak tenaga kerja yang diserap oleh bagan misalnya kuli angkut, penjual ikan, pedagang makan dan tenaga kerja yang lain. Tingkat pendidikan nelayan bagan di Polewali masih relatif rendah yaitu mayoritas SD dan SLTP dan hanya sebagian tamat SLTA. Hal ini disebabkan karena nelayan berasal dari keluarga sederhana bahkan ada dari keluarga yang tidak mampu. Sehingga nelayan tidak dapat bersekolah kejenjang yang lebih 98 tinggi. Rendahnya pendidikan yang dimiliki menggambarkan tingkat kemampuan dalam melakukan penangkapan ikan juga relatif rendah. Pendidikan merupakan salah satu indikator untuk melihat mutu sumberdaya nelayan. Secara teoritis, makin tinggi pendidikan formal seseorang, maka semakin mudah untuk memahami informasi yang diterima dan semakin rasional pula ia dalam berfikir serta mempunyai wawasan yang luas. Keberadaan unit penangkapan bagan di Polewali memberikan respon yang positif bagi nelayan khususnya masyarakat setempat begitu pun dengan nelayan alat tangkap lain. Masyarakat setempat banyak yang bergantung hidupnya sebagai nelayan yaitu penjual ikan, kuli angkut, pedagang, dan profesi yang lain. Sehingga banyak menyerap tenaga kerja dan secara tidak langsung membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Persepsi nelayan lain tentang keberadaan bagan yaitu memberikan respon yang posistif artinya tidak pernah terjadi konflik antara nelayan lain. Kelembagaan perikanan bagan meliputi lembaga pemerintah dan lembaga permodalan. Lembaga dapat diartikan sebagai suatu oganisasi yang bertujuan mengelola suatu kegiatan. Dalam sistem bisnis perikanan, keberadaan lembaga pendukung sangat penting dalam rangka menciptakan integrasi diantara subsistem untuk tujuan pengembangan, khususnya pengembangan bagan perahu. Lembaga pemerintah sangat dominan peranannya karena berfungsi sebagai fasilitator dalam perikanan bagan. Adapun program kerja pemerintah untuk perikanan termasuk perikanan bagan di Polewali yaitu dititik beratkan pada pembinaan SDM nelayan, perkuatan modal serta peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung bagi nelayan. Sedangkan untuk kelembagaan permodalan meliputi bank, koperasi dan kelompok nelayan. Adapun bank yang sering digunakan untuk peminjaman modal yaitu BNI dan BRI. Namun untuk koperasi di Polewali tidak berjalan dengan baik hal ini disebabkan karena sifat peminjaman koperasi yang masih memberatkan nelayan, jangka waktu pinjaman yang terlalu singkat dan nelayan lebih senang meminjam modal pada keluarga terdekat sebagai modal dalam berusaha. 6.5 Analisis Bio-ekonomi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Jumlah upaya penangkapan ikan dengan bagan pada tingkat MEY adalah sebanyak 54.504,33 trip per tahun dengan jumlah produksi sebanyak 5.204.462,65 99 kg per tahun. Untuk memanfaatkan sumberdaya ikan pada kondisi ini dibutuhkan total biaya sebesar Rp 32.742.140.400 Jumlah penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 36.431.238.540, sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp 3.707.091.400. Jumlah keuntungan pada kondisi ini lebih besar daripada yang diperoleh pada kondisi aktual dan open access. Jumlah keuntungan yang diperoleh pada kondisi aktual yaitu sebesar Rp 12.174.117.800 dan pada kondisi open access tidak lagi diperoleh keuntungan, tetapi hanya mencapai titik balik modal. Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 17 menunjukkan bahwa produksi hasil tangkapan yang didapat pada kondisi MSY sebesar 6.546.110,45 kg per tahun. Hasil tangkapan tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan hasil tangkapan yang didapat pada kondisi pengelolaan open access sebesar 6.487.572,42 kg per tahun dan pada kondisi MEY sebesar 5.204.462,65 kg per tahun. Hasil ini berarti kondisi sumberdaya ikan pelagis di Kabupaten Polewali Mandar masih lestari (sustainable) karena hasil tangkapan ikan pelagis kecil tersebut belum melewati batas pada kondisi MSY. Jumlah effort alat tangkap bagan pada kondisi aktual adalah sebesar 82.517 trip per tahun dengan jumlah produksi sebesar 6.650.100 kg per tahun. Nilai ini sedikit melewati jumlah effort pada kondisi MSY yaitu sebesar 99.590,91 trip per tahun dengan total produksi 6.546.110,45 kg per tahun. Ketika hasil tangkapan melampaui MSY, maka pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil akan mengarah terjadinya biological over fishing. Namun berdasarkan analisis bahwa total produksi secara umum dari tahun ke tahun belum melampaui produksi MSY sehingga masih dikategorikan lestari (sustainable). Oleh karena itu kontrol terhadap effort sangat diperlukan. Jumlah effort tidak boleh melebihi effort pada kondisi pengusahaan MSY (99.590,91 trip per tahun) agar rente ekonomi yang diterima optimum yaitu sebesar Rp 4.333.200.450. Jadi untuk mencapai pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil di Kabupaten Polewali Mandar pengurangan effort yang harus dilakukan sebanyak 140 trip pada tahun 2003 supaya efesiensi secara ekonomi dan kelestarian sumberdaya ikan pelagis kecil di Kabupaten Polewali Mandar tetap terjaga. Untuk memanfaatkan sumberdaya ikan pelagis kecil agar tetap lestari harus diperhatikan jumlah kemampuan alat tangkap serta upaya yang optimum 100 agar dapat menghasilkan jumlah keuntungan yang maksimum pula. Walaupun sumberdaya ikan memiliki kemampuan rekrutmen, namun apabila dilakukan penambahan jumlah effort yang meningkat tajam setiap tahunnya, hingga pada kondisi open access maka akan berdampak pada jumlah stok dan hasil tangkapan yang menurun sehingga pendapatan para nelayan akan berkurang pula. Pada kondisi open access tidak ada batasan bagi nelayan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di laut. Jika ditinjau dari segi ekonomi pengusahaan sumberdaya pada kondisi open access tidak lagi menguntungkan karena keuntungan komparatif sumberdaya akan terus habis. Oleh karena sifat dari pemanfaatan sumberdaya ikan yang open access maka nelayan akan cenderung mengembangkan jumlah armada penangkapannya maupun tingkat upaya untuk mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya. Secara ekonomi hal ini tidak efesien karena keuntungan yang diperoleh akan berkurang atau bahkan tidak memperoleh keuntungan sama sekali. Agar kegiatan usaha penangkapan ikan tidak mengalami open access sebaiknya pemerintah memberlakukan suatu kebijakan tentang batasan jumlah alat tangkap yang diizinkan beroperasi di kabupaten Polewali Mandar. 6.6 Analisis Kelayakan Usaha Analisis usaha merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Analisis usaha penangkapan bagan yang dianalisis meliputi analisis finansial dan analisis investasi. Perhitungan analisis usaha penangkapan bagan yaitu hanya kegiatan penangkapan ikan, sehingga jumlah trip yang dihitung pada saat menangkap ikan. Investasi merupakan biaya awal yang dikeluarkan untuk melakukan usaha. Biaya investasi yang dikeluarkan oleh nelayan pemilik untuk melakukan usaha penangkapan dalam satu tahun sebesar Rp 135.000.000 yang terdiri atas biaya perahu, alat tangkap, serta biaya perlengkapan (Lampiran 7). Biaya usaha merupakan pengeluaran dari kegiatan usaha penangkapan yang harus dikeluarkan. Biaya usaha terdiri atas biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variabel cost). Biaya tetap (fixed cost) merupakan biaya tetap yang harus dikeluarkan meskipun tidak melakukan kegiatan penangkapan. Biaya tetap 101 (fixed cost) yang dikeluarkan oleh nelayan pemilik setiap tahunnya meliputi biaya perawatan dan biaya penyusutan unit penangkapan bagan perahu. Biaya tetap yang dikeluarkan untuk setiap tahunnya sebesar Rp 33.250.000 (Lampiran 7). Biaya tidak tetap (variabel cost) adalah biaya yang hanya dikeluarkan pada saat melakukan kegiatan penangkapan ikan. Biaya tidak tetap (variabel cost) yang dikeluarkan pada saat kegiatan operasi berlangsung meliputi: biaya bahan bakar (minyak tanah, bensin, oli), ransum dan retribusi. Rata-rata biaya tidak tetap yang dikeluarkan dalam satu trip sebesar Rp 416.600, dengan jumlah trip dalam satu tahun sebanyak 288 trip, sehingga biaya tidak tetap yang dikeluarkan dalam satu tahun sebesar Rp 123.380.800, termasuk biaya retribusi. Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui keuntungan usaha yang diterima nelayan, mengetahui hasil penjualan minimal atau hasil tangkapan minimal dari sebuah unit penangkapan bagan. Selain itu juga untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh selama umur ekonomis usaha, besarnya penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur ekonomis usaha dalam jangka waktu tertentu yang membuat nilai NPV dari usaha sama dengan nol. Analisis usaha dilakukan untuk mengetahui keuntungan usaha yang diterima nelayan, hasil penjualan minimum atau hasil tangkapan minimal (BEP) dari sebuah unit penangkapan bagan selama satu tahun usaha. Analisis usaha yang digunakan yaitu nilai BEP dan ROI. BEP (Break Event Point) merupakan jumlah dan nilai minimal yang harus diperoleh agar dapat menutup total biaya. Berdasarkan hasil perhitungan BEP diperoleh nilai produksi per tahun sebesar Rp 40.473.338,97 dengan volume produksi per tahun sebesar 28.663,67 ton. Hasil perhitungan terhadap ROI adalah 51,20%. Hal ini berarti setiap investasi sebesar Rp 100 akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 51,20. Nilai ini juga menjelaskan tingkat keuntungan atas investasi sebesar 51,20%. Tentunya angka tersebut relatif memberikan gambaran terhadap bagusnya prospek investasi terhadap sektor perikanan khususnya perikanan bagan perahu. Nilai ROI sebesar 51,20 artinya nilai ROI tersebut tergolong kategori “baik” yaitu jika nilai ROI > 25%. 102 Usaha perikanan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat khususnya dengan alat tangkap bagan merupakan salah satu usaha ekonomi yang berpotensi untuk dapat dikembangkan. Berdasarkan hasil analisis finansial dengan mempertimbangkan kriteria investasi, maka usaha perikanan bagan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat layak dikembangkan. Hal ini jelas terlihat dari nilai kelayakan usaha serta adanya peluang pengembangan usaha perikanan bagan. Hasil perhitungan kelayakan usaha menunjukkan bahwa semua hal yang terkait dengan usaha penangkapan mendapat keterangan layak untuk diusahakan. Hasil analisis pendapatan produksi bagan, hasilnya dapat menutupi biaya operasi serta upah yang diterima oleh para karyawan kapal, mulai dari juragan kapal sampai ABK lainnya diatas standar upah minimum yang ditetapkan oleh daerah semakin memperjelas bahwa usaha perikanan bagan layak untuk dikembangkan. 103 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1) Faktor-faktor fungsi produksi yang berpengaruh terhadaphasil tangkapan adalah jumlah lampu, bahan bakar, ukuran kapal, sedangkan faktor produksi yang tidak berpengaruh nyata adalah jumlah anak buah kapal, panjang jaring, tinggi jaring dan jumlah hari penangkapan. 2) Hasil analisisi aspek sosial menyatakan bahwa jumlah unit tenaga kerja (ABK) antara 9-10 orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang masih rendah. Sedangkan persepsi masyarakat terhadap bagan diterima baik oleh masyarakat termasuk nelayan alat tangkap lain hal ini ditandai dengan tidak terjadinya konflik sosial dimasyarakat. 3) Nilai produksi MSY sebesar 21.355.271,29 kg per tahun dan nilai effort sebesar 612.627,39 trip per tahun. Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan pengelolaan yang lain seperti kondisi MEY dan open access, namun untuk kondisi aktual (tahun 2003) masih lebih besar dibanding kondisi MSY, tetapi secara umum dari tahun ke tahun kondisi MSY masih lebih tinggi . Hal ini menandakan bahwa kondisi sumberdaya ikan pelagis kecil di Kabupaten Polewali Mandar masih tergolong lestari (sustainable). 4) Usaha penangkapan ikan pelagis kecil dengan bagan (lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar adalah layak dengan nilai BEP produksi per tahun sebesar Rp 40.473.338,97 dengan volume produksi per tahun sebesar 28.663,67 ton. Nilai ROI diperoleh sebesar 51,20 ini berarti setiap investasi sebesar Rp 100 akan mendapatkan keuntungan sebesar 51,20%. Berdasarkan hasil analisis finansial dengan mempertimbangkan kriteria investasi, maka usaha perikanan bagan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat layak dikembangkan. 7.2 Saran Perlu suatu kajian alokasi jumlah unit penangkapan bagan perahu yang optimum untuk mencapai tingkat produksi lestari dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil. 104 DAFTAR PUSTAKA Atmaja SB Dan Haluan J. 2003. Perubahan Hasil Tangkapan Lestari Ikan Pelagis di Laut Jawa dan Sekitarnya. Buletin PSP. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 81 hal. Azis KA. 1989. Panduan Stok Populasi Ikan Tropis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Antar Universitas llmu Hayat. IPB. Bogor. 89 hal. Bahari R. 1989. Peran Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Rakyat. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Rakyat, Jakarta 18-19 Desember 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Hlm165 – 180. Balai Penelitian Perikanan Laut. 1992. Ikan-ikan Laut Ekonomis Penting Indonesia. Pusat penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. 170 hal. Barus HR, Badrudin, Naamin. 1991. Proseding Forum II Perikanan. Sukabumi. 18-21 Juni 1991. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Hlm 165-180. Baskoro MS. 1999. Capture Process of The Floated Bamboo-Platform Lif net With Ligth Attraction (Bagan) Graduate School of Fisheries Tokyo University of Fisheries. Doctoral Cause of Marine Sciences and Technology. P 149. Basuki. W. 2002. Analisis Hubungan Faktor Oseanografi dengan Produksi Kwartal dan Pola Pencarian Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Kecil Di Tujuh Kabupaten-Sulawesi Selatan. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. IPB. Bogor. 68 hal. Cunningham S. 1981. The Evaluation of the Objective of Fisheries Management During 1970s. Ocean Management 6: 251-278. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan 2001-2004. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan. 2003. Laporan Tahunan Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Polewali Mandar. Sulawesi Barat. Hlm 30. 105 Dinas Kelautan dan Perikanan. 2004. Laporan Tahunan Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Polewali Mandar. Sulawesi Barat. Hlm 164. Dinas Kelautan dan Perikanan. 2006. Laporan Tahunan Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Polewali Mandar. Sulawesi Barat. Hlm 164. Direktorat Jenderal Perikanan. 1990. Buku Pedoman Pengenalan Sumberdaya Perikanan Laut. Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting. Departemen Pertanian. Jakarta. 164 hal. Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan (Protekan) 2003. Dirjenkan. Jakarta. Edris M. 1983. Penuntun Menyusun Kelayakan Proyek. Bandung. Sinar Baru: 127 hal. Fauzi A. 2001. An Economic Analysis of the Surplus Production Function. An Aplication for Indonesian Small Pelgic Fishery. Paper Presented at the Nasional Seminar Organized by Persada (Japanese Alumni Association). Bogor 20 January 2001: 135 p. Fauzi A. 2004. Teori dan Aplikasi Ekonomi Sumberdaya Alam PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 259 hal. Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 259 hal. Gordon HS. 1954. The Economic Theory of a Common Property Resources: the Fishery. Journal of Political Economy 62:124 -142. Graham M. 1935. Modern Theory of Exploiting a Fishery and Application to the North Sea Trawling. J. Cons. Int. Explor. Mer 10: 264-274. Gulland JA. 1985. Fish Stock Assessment. A Manual of Basic Methods. New York. John Wiley and Sons. Hlm 223. Gunarso W. 1985. Tingkah Laku Ikan. Faperikan. IPB. Bogor. 149 hal. Haluan J, Nurani TW. 1988. Penerangan Metode Skoring dalam Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai dengan dikembangkan di Suatu Wilayah Perairan. Buletin Jurusan PSP. Volume II. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. Hlm 3-16. Ibrahim Y. 2003. Studi Kelayakan Bisnis (edisi revisi). Penerbit Reneka Cipta. Jakarta. Hlm 141-161. Ihsan. 2000. Kajian Model Pengembangan Perikanan Tangkap dalam Rangka Pengelolaan Laut Secara Optimal di Daerah Kabupaten Pinrang Sulawesi 106 Selatan. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. IPB. Bogor. 319 hal. Iskandar MD, Ayodhyoa HAU, Monintja DR & Jaya. I. 2001. Analisis Hasil Tangkapan Bagan Bermotor pada Tingkat Pencahayaan yang Berbeda Di Perairan Teluk Semangka Kabupaten Tanggamus. IPB. Bogor. Maritek Vol 1 No 2. Hlm 79-89. Kadariah. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. 104 hal. Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek. Analisis Ekonomi, Edisi Kedua. Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia. 181 hal. Mallawa A, Sudirman M, Palo dan Musbir. 1991. Studi Mengenai Perikanan Bagan rambo di Perairan Barru Selat Makassar. Laporan Proyek Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. 40 Hal. Manurung VT, Pranadji T, Mintoro A, Kirom MN, Isetiajie, Murtiningsih A Sugiarto. 1998. Laporan Hasil Penelitian Pengembangan Ekonomi Desa Pantai. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Monintja DR, Pasaribu, BP dan Jaya I. 1986. Manajemen Penangkapan Ikan. SISDIKSAT BKS INTIM-IPB-AUSAID/AED. Bogor Monintja DR. 2000. Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Perikanan Tangkap. Proseding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 97 hal. Nadir M. 2000. Teknologi Light Fishing Di Perairan Barru Selat Makassar. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. IPB. Bogor. 99 hal. Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pustaka Cidesindo. Jakarta. Nomura M, Yamazaki T. 1977. Fishing Techniques I. Tokyo. Japan. International Cooperation Agency P. 125-183. Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 386 hal. Nurhakim S. 1993. Beberapa Aspek Reproduksi Ikan Banyar (Rastrelliger kanagurta) di perairan Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 8:8-20. Nybakken JW. 1988. Biologi laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta. 488 hal. 107 Panayotou. 1982. Management Concepts for Small Scale Fisheries: Economic and Social Aspects. Food and Agriculture Organization of the United Nations Rome. 53 p. Pauly. 1979. Fish Population Dynamic in Tropical Waters: a Manual for use with Programmable calculators. ICLARM studi. Rev. (8) : 325 pp. Rakam MW. 1997. Analisis Optimasi Teknis dan Kelayakan Finansial Unit Penangkapan Bagan Apung (Lift net) di Kabupaten Serang. Jawa Barat. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor .75 hal. Rangkuti 2001. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 88 hal. Ricker WE. 1975. Computation and Interpretation of Biological Statistics of Fish Population. Fisheries Research Board of Canada Bulletin. 191 p. Riyanto B. 1991. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi ketiga, cetakan keempat belas. Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada Yogyakarta. 317 hal. Saanin H. 1994. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Penerbit Bina Cipta. Bandung. 85 hal. Schaefer MB. 1954. Some Aspects of the Population Important to the Management of Commercial Marine Fisheries. Bulletin of the Inter American Tropical Tuna Commission: 25-56. Schaefer MB. 1957. Some Consideration of Population Dynamics and Economics in Relation to the Management of The Commercial Marine Fisheries. J. Fish. Res. Board Can. Schaefer MB. 1975. Some Consideration of Population Dynamic and Economic in Relation to the Manegement of the Commercial Marine Fisheries. Journal of Marine Research Board of Canada. 275 p. Sparre, Venema SC. 1999. Introduction Pengkajian Stok Ikan Tropis (Terjemahan) FAO-Puslitbangkan-Balitbangkan. Jakarta. Steel RGD and Torrie JH. 1981. Principles and Procedures of Statistic. McGraw-Hill. Tokyo: 748 p. Subani. 1972. Alat dan Cara Penangkapan Ikan Di Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta: Hlm 45-49. 108 Subani W dan HR. Barus. 1989. Alat Penangkap Ikan Dan Udang Laut Di Indonesia (Fishing Gears for marine Fish and Shrimp in Indonesia). No.50 Tahun 1988/1989. Edisi Khusus. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta. 248 hal. Sudirman. 2003. Analisis Tingkah Laku Ikan untuk Mewujudkan Teknologi Ramah Lingkungan dalam Proses Penangkapan pada Bagan Rambo. Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Hlm 270-272. Suhendrata B, Rusmadji. 1991. Pendugaan Ukuran Pertama Kali Matang Gonad dan Perbandingan Kelamin Ikan Kembung Perempuan (Rastrelliger brachysoma) di perairan sebelah Utara Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 64:59-63. Supranto. 1983. Linier Programming. Edisi Kedua. Lembaga Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta: 87 hal. Sutojo S. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Teori dan Praktek Manajemen. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta: 112 hal. Teken IB dan Asnawi. 1981. Teori Mikro. Bogor: Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 293 hal. UNIDO. 1978. Guide to Practical Project Appraisal: Social Benefit Cost Analysis in Developing Countries. Project Formulation and Evaluation Series No 3. New York: United Nation: 231 p. Zebri. 2003. Evaluasi Terhadap Perikanan Bagan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil di Perairan Sumatera Barat. Tesis (tidak dipublikasikan) Program Pascasarjana. IPB. Bogor. 110 hal. 109 Lampiran 1 Foto dokumentasi hasil penelitian kajian pengembangan perikanan bagan perahu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Foto 1 Bagan perahu sebagai objek peneliti Foto 2 Bagian -bagian kapal (a) Haluan kapal (c) Haluan kanan kapal (b) Buritan kapal (d) Haluan kiri kapal 110 (e) Tiang utama kapal (f) Tempat istirahat ABK Foto 3 Alat-alat dalam ruang mesin (a) Saklar lampu (c) Genset sebagai pembangkit listrik (e) Solar sebagai bahan bakar (b) Mesin lampu (d) Mesin kapal (f) Lampu penerang 111 Foto 4 Alat bantu penangkapan (a) Lampu (c) Serok Foto 5 Alat tangkap (b) Basket (d) Roller 112 Foto 6 Metode operasi penangkapan (a) Penurunan jaring (setting) (c) Penanganan hasil tangkapan (es) (b) Penarikan jaring (Hauling) (d) Penanganan (pemisahan ikan) 113 Foto 7 Jenis ikan hasil tangkapan bagan Teri (Stolephorus spp) Kembung laki-laki (Rastrelliger kanagurta) Rejum (Sillago sihama) Tembang (Sardinella spp) Kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) Layang (Decapterus spp) Layur (Trichiurus savala) Tembang (Sardinella fimriata) 114 Cendro (Tylosurus crocodiles) Peperek bendolang ( Gazza minuta) Cumi-cumi (Loligo spp) Japuh (Dussumeria acuta) Peperek cina ( Leiognathus spelenden) Selar kuning (Selaroides leptolepis) Buntal (Lagocephalus inermis) Kerong kerong (Therapon theraps) 115 Lampiran 2 Data faktor-faktor oseanografi Posisi Tanggal 5 juni 2007 6 Juni 2007 7 Juni 2007 8 Juni 2007 9 juni 2007 10 Juni 2007 11 Juni 2007 12 juni 2007 13 juni 2007 14 Juni 2007 15 Juni 2007 16 juni 2007 17 juni 2007 18 juni 2007 19 juni 2007 S E Suhu ( °C) 03°33′ 48. 9″ 03°33′ 09. 8″ 03°32′ 36. 7″ 03°28′ 14. 3″ 03°28′ 18. 6″ 03°27′ 56. 7″ 03°33′ 31.4″ 03°32′ 27. 7″ 03°32′ 30. 8″ 03°27′ 39. 7″ 03°27′ 51. 7″ 03°27′ 29. 1″ 03°33′ 21. 2″ 03°33′ 37. 2″ 03°33′ 20. 2″ 03°33′ 03. 6″ 03°33′ 20. 7″ 03°32′ 46. 5″ 03°32′ 54. 6″ 03°32′ 31. 3″ 03°32′ 47. 2″ 03°27′ 27. 9″ 03°28′ 47. 7″ 03°28′ 15. 9″ 03°33′ 22. 7″ 03°33′ 30. 1″ 03°33′ 39. 5″ 03°32′ 56. 4″ 03°33′ 14. 9″ 03°32′ 31. 9″ 03°31′ 32. 9″ 03°31′ 22. 6″ 03°32′ 41. 3″ 03°28′ 08. 6″ 03°28′ 15. 5″ 03°28′ 01. 3″ 03°32′ 24. 0″ 03°31′ 35. 3″ 03°31′ 15. 6″ 03°27′ 45. 8″ 03°27′ 36. 7″ 03°27′ 32. 4″ 03°30′ 20. 4″ 03°31′ 15. 8″ 119 °29′ 17.9″ 119 °29′ 40.0″ 119 °29′ 26.7″ 119 °19′ 23.6″ 119 °19′ 21.5″ 119 °19′ 22.6″ 119 °28′ 38.8″ 119 °28′ 27.9″ 119 °28′ 18.6″ 119 °19′ 26.8″ 119 °19′ 34.1″ 119 °19′ 42.7″ 119 °28′ 48.4″ 119 °28′ 47.9″ 119 °28′ 43.6″ 119 °29′ 27.5″ 119 °29′ 27.7″ 119 °29′ 09.5″ 119 °29′ 02.0″ 119 °29′ 17.9″ 119 °29′ 07.0″ 119 °19′ 26.9″ 119 °19′ 30.5″ 119 °19′ 30.6″ 119 °28′ 47.3″ 119 °28′ 34.1″ 119 °28′ 49.2″ 119 °29′ 02.2″ 119 °28′ 37.9″ 119 °29′ 19.8″ 119 °26′ 31.7″ 119 °25′ 11.0″ 119 °24′ 18.8″ 119 °19′ 36.9″ 119 °19′ 21.4″ 119 °19′ 23.8″ 119 °28′ 52.1″ 119 °27′ 57.9″ 119 °27′ 46.5″ 119 °19′ 25.3″ 119 °19′ 28.3″ 119 °19′ 29.9″ 119 °28′ 20.1″ 119 °28′ 57.9″ 28 28 28 28 29 29 29 28 28 28 29 29 28 28 28 29 29 29 29 28 28 28 28 28 29 28 29 28 28 28 28 28 28 29 28 28 28 28 28 28 28 28 29 29 Salinitas (ppt) 30 31 31 28 29 29 30 29 29 32 32 32 29 30 30 33 33 33 30 31 31 28 29 31 33 31 32 29 33 32 29 31 30 33 28 28 30 30 30 30 31 31 31 31 Kec. Arus (m/det) 0,21 0,21 0,21 0,15 0,21 0,21 0,31 0,26 0,26 0,36 0,26 0,21 0,15 0,21 0,21 0,26 0,31 0,26 0,26 0,21 0,21 0,31 0,26 0,26 0,15 0,15 0,15 0,15 0,31 0,21 0,31 0,31 0,21 0,31 0,31 0,31 0,26 0,21 0,21 0,26 0,21 0,21 0,31 0,31 116 Lanjutan (Lampiran 2) 20 juni 2007 21 juni 2007 22 Juni 2007 23 juni 2007 24 juni 2007 2 Juli 2007 3 juli 2007 4 juli 2007 5 juli 2007 6 juli 2007 7 juli 2007 8 juli 2007 9 juli 2007 10 juli 2007 11 juli 2007 03°31′ 47. 6″ 03°28′ 09. 0″ 03°27′ 52. 0″ 03°28′ 14. 7″ 03°33′ 27. 7″ 03°32′ 35. 3″ 03°32′ 18. 6″ 03°33′ 11. 3″ 03°33′ 10. 8″ 03°31′ 30. 8″ 03°31′ 16. 1″ 03°32′ 21. 7″ 03°32′ 55. 9″ 03°27′ 33. 9″ 03°27′ 52. 3″ 03°28′ 09. 8″ 03°31′ 32. 9″ 03°31′ 22. 6″ 03°32′ 41. 3″ 03°28′ 08. 6″ 03°28′ 15. 5″ 03°28′ 01. 3″ 03°32′ 24. 0″ 03°31′ 35. 3″ 03°31′ 15. 6″ 03°27′ 45. 8″ 03°27′ 36. 7″ 03°27′ 32. 4″ 03°30′ 20. 4″ 03°31′ 15. 8″ 03°31′ 47. 6″ 03°28′ 09. 0″ 03°27′ 52. 0″ 03°28′ 14. 7″ 03°33′ 27. 7″ 03°32′ 35. 3″ 03°32′ 18. 6″ 03°33′ 11. 3″ 03°33′ 10. 8″ 03°31′ 30. 8″ 03°31′ 16. 1″ 03°32′ 21. 7″ 03°32′ 55. 9″ 03°27′ 33. 9″ 03°27′ 52. 3″ 03°28′ 09. 8″ 119 °27′ 16.7″ 119 °19′ 38.5″ 119 °19′ 21.9″ 119 °19′ 23.8″ 119 °25′ 42.1″ 119 °23′ 50.9″ 119 °24′ 50.5″ 119 °28′ 28.9″ 119 °28′ 10.9″ 119 °27′ 37.6″ 119 °27′ 43.9″ 119 °28′ 53.8″ 119 °28′ 55.9″ 119 °19′ 26.1″ 119 °19′ 25.4″ 119 °19′ 24.7″ 119 °26′ 31.7″ 119 °25′ 11.0″ 119 °24′ 18.8″ 119 °19′ 36.9″ 119 °19′ 21.4″ 119 °19′ 23.8″ 119 °28′ 52.1″ 119 °27′ 57.9″ 119 °27′ 46.5″ 119 °19′ 25.3″ 119 °19′ 28.3″ 119 °19′ 29.9″ 119 °28′ 20.1″ 119 °28′ 57.9″ 119 °27′ 16.7″ 119 °19′ 38.5″ 119 °19′ 21.9″ 119 °19′ 23.8″ 119 °25′ 42.1″ 119 °23′ 50.9″ 119 °24′ 50.5″ 119 °28′ 28.9″ 119 °28′ 10.9″ 119 °27′ 37.6″ 119 °27′ 43.9″ 119 °28′ 53.8″ 119 °28′ 55.9″ 119 °19′ 26.1″ 119 °19′ 25.4″ 119 °19′ 24.7″ 28 28 28 28 29 28 28 29 29 28 28 28 29 28 28 28 28 28 28 28 28 28 29 29 29 28 28 28 30 29 29 28 28 28 29 29 29 29 29 29 30 30 29 29 29 29 31 30 30 30 32 31 31 31 30 31 30 29 30 31 32 32 28 29 29 30 29 29 32 32 32 29 27 27 30 31 31 31 30 31 30 29 30 31 32 31 31 28 29 31 33 31 0,31 0,26 0,21 0,21 0,31 0,31 0,26 0,21 0,26 0,26 0,21 0,21 0,21 0,31 0,31 0,21 0,31 0,31 0,31 0,26 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,15 0,15 0,15 0,31 0,31 0,21 0,26 0,21 0,21 0,26 0,21 0,21 0,26 0,26 0,26 0,31 0,31 0,31 0,26 0,21 0,21 117 Lampiran 3 Data faktor-faktor teknis produksi dan hasil tangkapan bagan perahu (lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat No Nelayan 1 Lahasa 2 Pua La'la 3 Anci 4 Sakura 5 Attana Ija 6 Kele 7 Pua Pa'ma 8 Ali 9 Bohari 10 Rudi 11 Emon 12 Sahril 13 Sappe 14 Sapri 15 Dadan 16 Mayor 17 Faizal 18 Awi 19 Ami 20 Pu'din 21 Yanmar 22 Madia 23 Yugi 24 Pinda 25 Capua 26 Pua kamba 27 Junain 28 Dentayan 29 Ismail 30 Mansur 31 Nasir 32 Yunus 33 Asis 34 Yusuf 35 Laha 36 Mukti 37 Rusdi 38 A. Gani 39 Yasin 40 Safril 41 Saleh 42 Amir 43 Razak HT (Y) ABK (X1) BBM (X2) PJ (X3) TJ (X4) HP (X5) GT (X6) JL (X7) 235,3 145,1 220,5 110,2 235,5 145,1 145,3 110,2 140,2 230 140,9 110,2 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 9 9 9 10 8 10 8 8 9 9 9 9 10 9 9 9 10 9 10 9 10 9 10 9 10 9 10 9 10 9 10 9 10 9 10 9 10 9 10 9 10 9 10 15.480 12.900 14.190 12.900 12.900 14.190 12.900 12.900 14.190 14.190 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 15.480 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 15.480 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 22 21 22 22 21 22 21 19 21 20 20 22 20 21 21 22 21 22 20 21 20 21 19 21 21 22 21 22 21 21 21 19 21 22 21 19 20 22 21 19 20 21 21 12 12 12 12 11 12 11 11 11 11 11 12 11 11 11 12 11 12 11 11 11 11 11 11 11 12 11 12 11 11 11 12 11 12 11 12 11 12 12 11 11 11 11 300 288 290 280 260 288 260 260 288 280 280 280 260 280 288 300 288 300 288 288 280 288 288 288 288 288 280 288 288 280 288 300 288 288 288 288 300 288 288 280 288 288 288 15,45 15,45 15,45 15,25 15,45 15,45 15,35 15,35 15,35 15,45 15,25 15,25 15,25 15,45 15,25 15,35 15,25 15,35 15,25 15,35 15,25 15,35 15,45 15,45 15,25 15,45 15,25 15,45 15,25 15,45 15,45 15,45 15,45 15,45 15,25 15,45 15,45 15,45 15,25 15,45 15,25 15,45 15,25 54 52 54 50 54 50 50 48 50 50 50 48 50 50 50 54 50 54 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 52 50 50 50 50 50 52 50 52 50 118 Lanjutan (Lampiran 3) 44 45 46 47 48 49 50 Ismail Hayat Safril Husen Nasir Basri Ilham 140,9 110,2 110,2 140,9 110,2 140,9 110,2 9 10 10 9 9 9 9 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 12.900 Keterangan : HT : Hasil tangkapan (ton/tahun) ABK : Anak buah kapal BBM : Bahan bakar minyak (liter/ tahun) PJ : Panjang jaring (meter) TJ : Tinggi jaring (meter) 22 19 20 21 21 22 19 12 11 11 11 11 12 11 280 280 288 288 280 288 280 15,45 15,45 15,25 15,45 15,25 15,45 15,25 HP : Hari penangkapan GT : Gross tonage JL : Jumlah lampu 52 50 50 50 50 50 50 119 Lampiran 4 Hasil keluaran analisis model fungsi produksi dengan menggunakan aplikasi program SPSS 12 Regression Descriptive Statistics Mean 134,1740 Y Std. Deviation 32,45277 N 50 X1 9,3200 ,58693 50 X2 13158,0000 689,53400 50 X3 20,8200 ,98333 50 X4 11,3400 ,47852 50 X5 284,9200 9,27767 50 X6 15,3640 ,09260 50 X7 50,5200 1,38858 50 Correlations Y Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N X1 X2 Y 1,000 -,545 X1 -,545 X2 ,504 X3 X3 X4 X5 X6 X7 ,504 ,254 ,269 -,011 ,531 ,625 1,000 -,143 -,110 -,177 ,320 -,384 -,258 -,143 1,000 ,342 ,367 ,300 ,231 ,407 ,238 ,095 ,339 ,254 -,110 ,342 1,000 ,523 X4 ,269 -,177 ,367 ,523 1,000 ,360 ,305 ,343 X5 -,011 ,320 ,300 ,238 ,360 1,000 ,160 ,254 X6 ,531 -,384 ,231 ,095 ,305 ,160 1,000 ,323 X7 ,625 -,258 ,407 ,339 ,343 ,254 ,323 1,000 Y . ,000 ,000 ,038 ,029 ,470 ,000 ,000 X1 ,000 . ,161 ,223 ,109 ,012 ,003 ,035 X2 ,000 ,161 . ,008 ,004 ,017 ,053 ,002 X3 ,038 ,223 ,008 . ,000 ,048 ,255 ,008 X4 ,029 ,109 ,004 ,000 . ,005 ,016 ,007 X5 ,470 ,012 ,017 ,048 ,005 . ,133 ,038 X6 ,000 ,003 ,053 ,255 ,016 ,133 . ,011 X7 ,000 ,035 ,002 ,008 ,007 ,038 ,011 . Y 50 50 50 50 50 50 50 50 X1 50 50 50 50 50 50 50 50 X2 50 50 50 50 50 50 50 50 X3 50 50 50 50 50 50 50 50 X4 50 50 50 50 50 50 50 50 X5 50 50 50 50 50 50 50 50 X6 50 50 50 50 50 50 50 50 X7 50 50 50 50 50 50 50 50 120 Lanjutan (Lampiran 4) Variables Entered/Removed(a) Model Variables Entered 1 X7 . Stepwise (Criteria: Probability-ofF-to-enter <= ,050, Probability-ofF-to-remove >= ,100). 2 X1 . Stepwise (Criteria: Probability-ofF-to-enter <= ,050, Probability-ofF-to-remove >= ,100). 3 X2 . Stepwise (Criteria: Probability-ofF-to-enter <= ,050, Probability-ofF-to-remove >= ,100). 4 X6 . Stepwise (Criteria: Probability-ofF-to-enter <= ,050, Probability-ofF-to-remove >= ,100). a Dependent Variable: Y Variables Removed Method 121 Lanjutan (Lampiran 4) Model Summary(b) Model a b c d e R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Change Statistics 1 ,625(a) ,391 ,378 25,59109 R Square Change ,391 F Change df1 df2 30,799 1 48 Sig. F Chang e ,000 2 ,741(b) ,549 ,530 22,25862 ,158 16,449 1 47 ,000 3 ,784(c) ,614 ,589 20,79843 ,066 7,831 1 46 ,007 4 ,810(d) ,656 ,625 19,87151 ,041 5,391 1 45 ,025 Predictors: (Constant), X7 Predictors: (Constant), X7, X1 Predictors: (Constant), X7, X1, X2 Predictors: (Constant), X7, X1, X2, X6 Dependent Variable: Y ANOVA (c) Sum of Squares Model 1 2 3 4 a b c d e df Mean Square Regression 20170,554 1 20170,554 Residual 31435,382 48 654,904 Total 51605,936 49 Regression 28319,959 2 14159,980 Residual 23285,977 47 495,446 Total 51605,936 49 Regression 31707,507 3 10569,169 Residual 19898,430 46 432,575 Total 51605,936 49 Regression 33836,478 4 8459,120 Residual 17769,458 45 394,877 Total 51605,936 49 Predictors: (Constant), X7 Predictors: (Constant), X7, X1 Predictors: (Constant), X7, X1, X2 Predictors: (Constant), X7, X1, X2, X6 Dependent Variable: Y F Sig. 30,799 ,000(a) 28,580 ,000(b) 24,433 ,000(c) 21,422 ,000(d) DurbinWatson 1,846 122 Lanjutan (Lampiran 4) Coefficients (d) Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Std. B Beta Error -603,989 133,059 -4,539 ,000 14,611 -266,494 12,127 -22,745 -314,828 2,633 142,543 2,370 5,608 134,308 5,550 -1,870 5,116 -4,056 -2,344 ,000 ,068 ,000 ,000 ,023 X7 9,526 2,402 ,408 3,966 ,000 ,625 X1 -22,114 ,013 -1514,862 8,466 5,245 ,005 532,512 2,340 -,400 ,281 ,000 ,007 ,007 ,001 -,545 ,504 ,362 -4,216 2,798 -2,845 3,618 ,625 -18,091 5,302 -,327 -3,412 ,001 -,545 ,012 ,005 ,257 2,664 ,011 ,504 80,114 34,503 X6 a Dependent Variable: Y ,229 2,322 ,025 ,531 Model (Constant) X7 (Constant) X7 X1 (Constant) X2 (Constant) X7 X1 X2 ,625 ,519 -,411 t Sig. Correlations Collinearity Statistics Tolera VIF nce Zeroorder Partial Part ,625 ,625 ,625 1,000 1,000 ,625 -,545 ,598 -,509 ,501 -,397 ,933 ,933 1,072 1,072 ,505 ,363 ,793 1,260 -,528 ,381 -,386 ,256 ,931 ,833 1,074 1,201 ,475 ,316 ,763 1,310 -,453 -,298 ,832 1,202 ,369 ,233 ,823 1,215 ,327 ,203 ,789 1,267 123 Lampiran 5 Langkah langkah perhitungan MSY dan f opt di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 dengan menggunakan metode surplus produksi 1 Hasil tangkapan (catch), upaya penangkapan (effort) dan CPUE Bagan Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Catch (Kg) 825.000 847.300 872.000 766.651 766.771 766.530 605.400 611.400 670.200 611.800 Effort (Trip/ tahun) 8.351 8.208 8.206 8.723 8.724 8.722 8.057 8.481 8.616 7.488 Purse seine CPUE (kg/ Trip) Catch (Kg) 98,79 103,23 106,26 87,89 87,89 87,88 75,14 72,09 77,79 81,70 75.400 78.300 78.500 92.100 92.600 93.700 96.200 113.200 118.400 225.000 Effort (Trip/ tahun) 923 920 1012 964 966 970 972 974 970 1482 Keterangan : Catch : Hasil tangkapan Effort : Upaya penangkapan CPUE : Hasil tangkapan per upaya tangkapan Contoh perhitungan : CPUE bagan 2003 : Catch bagan = 611.800 = 81,70 Effort bagan 7.488 Jaring insang hanyut CPUE (kg/ Trip) Catch (Kg) 81,69 85,11 77,57 95,54 95,86 96,60 98,97 116,22 122,06 151,82 1.543.200 1.514.800 1.484.600 1.416.100 1.386.000 1.379.300 1.116.600 1.450.300 1.256.300 987.600 Effort (Trip/ tahun) 82.757 82.749 80.415 64.200 61.194 60.473 47.355 37.718 53.374 14.140 Payang CPUE (kg/ Trip) Catch (Kg) 18,65 18,31 18,46 22,06 22,65 22,81 23,58 38,45 23,54 69,84 2.594.600 2.589.800 2.578.900 2.566.959 2.556.897 2.522.662 2.535.600 2.500.500 3.350.100 4.825.700 Effort (Trip/ tahun) 25.499 25.370 25.430 23.727 23.061 20.795 19.271 20.659 21.139 59.407 CPUE (kg/ Trip) 101,75 102,08 101,41 108,19 110,88 121,31 131,58 121,04 158,48 81,23 124 2 Metode standarisasi alat tangkap Dalam hal ini payang dijadikan alat tangkap standar, dikarenakan nilai CPUE tertinggi dibandingkan dengan alat tangkap lain. Jadi CPUE standar yang digunakan adalah CPUE payang. Nilai Fishing Power Indeks masing-masing alat tangkap : Tahun CPUE Bagan FPI Bagan CPUE Purse seine FPI Purse seine 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 98,79 103,23 106,26 87,89 87,89 87,88 75,14 72,09 77,79 81,70 1,22 1,27 1,31 1,08 1,08 1,08 0,93 0,89 0,96 1,01 81,69 85,11 77,57 95,54 95,86 96,60 98,97 116,22 122,06 151,82 1,01 1,05 0,95 1,18 1,18 1,19 1,22 1,43 1,50 1,87 Contoh perhitungan : FPI Bagan 2003 = CPUE Bagan 2003 CPUE payang 2003 = 81,70 81,23 = 1,01 CPUE Jaring insang hanyut 18,65 18,31 18,46 22,06 22,65 22,81 23,58 38,45 23,54 69,84 FPI Jaring insang hanyut 0,23 0,23 0,23 0,27 0,28 0,28 0,29 0,47 0,29 0,86 CPUE Payang FPI Payang 101,75 102,08 101,41 108,19 110,88 121,31 131,58 121,04 158,48 81,23 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 125 3 Nilai Effort standar masing-masing alat tangkap yang telah distandarisasi Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 FPI 1,22 1,27 1,31 1,08 1,08 1,08 0,93 0,89 0,96 1,01 Bagan Effort f std 8.351 10.156,20 8.208 10.430,73 8.206 10.734,80 8.723 9.437,89 8.724 9.439,37 8.722 9.436,40 8.057 7.452,80 8.481 7.526,67 8.616 8.250,53 7.488 7.531,59 Contoh perhitungan : fstd bagan 2003 = FPI bagan * Effort bagan = 1,01 * 7.488 = 7.531,59 FPI 1,01 1,05 0,95 1,18 1,18 1,19 1,22 1,43 1,50 1,87 Purse seine Effort f std 923 928,22 920 963,92 1012 966,38 964 1.133,80 966 1.139,96 970 1.153,50 972 1.184,27 974 1.393,55 970 1.457,57 1482 2.769,87 Jaring insang hanyut FPI Effort f std 0,23 82.757 18.997,63 0,23 82.749 18.648,01 0,23 80.415 18.276,24 0,27 64.200 17.432,96 0,28 61.194 17.062,42 0,28 60.473 16.979,94 0,29 47.355 13.745,96 0,47 37.718 17.853,98 0,29 53.374 15.465,74 0,86 14.140 12.157,89 FPI 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Payang Effort 25.499 25.370 25.430 23.727 23.061 20.795 19.271 20.659 21.139 59.407 f std 25.499 25.370 25.430 23.727 23.061 20.795 19.271 20.659 21.139 59.407 126 4 Pendugaan parameter intercept (a) dan slope (b) Catch (Kg) 5.038.200 5.030.200 5.014.000 4.841.809 4.802.268 4.762.192 4.353.800 4.675.400 5.395.000 6.650.100 Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Total fstd CPUEstd 55.581,05 55.412,66 55.407,41 51.731,65 50.702,74 48.364,84 41.654,03 47.433,21 46.312,83 81.866,36 90,65 90,78 90,49 93,59 94,71 98,46 104,52 98,57 116,49 81,23 Langkah selanjutnya dengan memplotkan nilai standar dengan nilai CPUE untuk menduga parameter intercept (a) dan slope (b). Contoh perhitungan penentuan CPUE standar CPUE standar 2003 = Catch 2003 Total fstd 2003 = 6.650.100 81.866,36 = 81,23 kg/tahun Diketahui : n = 10 Σ X2 = 285.654.740.355,85 Σ X = 534.466,78 Σ Y = 50.562.969 b= n ∑ XY − ∑ X ∑ Y n ∑ X 2 − (∑ X ) 2 = 10 (50.562.969) – (534.466,78) * (959,50) 10 (29.647.833.018,47) – (285.654.740.355,85) = -0,00066 − − a= Y-bX = 131,46 127 5 Pendugaan nilai potensi maksimum lestari (MSY) dan nilai upaya penangkapan optimum (fopt) dengan menggunakan rumus Schaefer : (1) model persamaan CPUE = a + b (f) CPUE = 131,46 – 0,00066 (2) MSY = (131,46) 2 a2 = = 6.546.110 kg per tahun − (4) * (−0,00066) 4b (3) F opt = − 131,46 a = − = 99.590,91 trip per tahun 2b 2 * (−0,0006) 5b Perhitungan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 Tahun Catch total (Kg) 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 5.038.200 5.030.200 5.014.000 4.841.809 4.802.268 4.762.192 4.353.800 4.675.400 5.395.000 6.650.100 Tingkat pemanfaatan (%) 76,96 76,84 76,60 73,96 73,36 72,75 66,51 71,42 82,42 101,59 Contoh perhitungan : Tingkat pemanfaatan 2003 = Catch 2003/ Cmsy (100%) = 6.650.100/ 6.546.110 (100%) = 101,59 % 128 5c Perhitungan tingkat pengupayaan ikan di Kabupaten Polewali Mandar tahun 1994-2003 Tahun Effort total (Trip) 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 117.530 117.247 115.063 97.614 93.945 90.960 75.655 67.832 84.099 82.517 Tingkat pengupayaan (%) 118,01 117,73 115,54 98,01 94,33 91,33 75,97 68,11 84,44 82,86 Tingkat pengupayaan 2003 = Effort 2003/ Fmsy (100%) = 82517/ 99.590,91* (100%) = 82,85 % 129 Lampiran 6 Hasil analisis program MAPLE VIII terhadap fungsi produksi ikan pelagis kecil dengan bagan (Lift net) di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat > a:=131.46; a := 131.46 > b:=-0.00066; b := -0.00066 > c:=416600; c := 416600 > p:=7000; p := 7000 > Emsy:=-a/(2*b); Emsy := 99590.90910 > h:=a*E+b*E^2; h := 131.46 E − 0.00066 E 2 > TR:=p*h; TR := 920220.00 E − 4.62000 E 2 > plot(TR,E=0..199000); > hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2; hmsy := 0.6546110454 10 7 130 > TRmsy:=p*hmsy; > TCmsy:=c*Emsy; TRmsy := 0.4582277318 10 11 TCmsy := 0.4148957273 10 11 > phimsy:=TRmsy-TCmsy; phimsy := 0.433320045 10 10 > h:a*E+b*E^2; 131.46 E − 0.00066 E 2 > plot(h,E=0..199000); > TR:=p*h; TR := 920220.00 E − 4.62000 E 2 131 > plot(TR,E=0..199000); > TC:=c*E; > plot(TC,E=0..199000); TC := 416600 E 132 > plot({TR,(E),TC(E)},E=0..199000,color=[red,blue]); > fsolve(TR=TC,E); 0. , 109008.6580 > phi:=p*h-c*E; φ := 503620.00 E − 4.62000 E 2 > fsolve(phi,E); > y:=diff(phi,E); > fsolve(y=0,E); > Emey:=54504.32900; 0., 109008.6580 y := 503620.00 − 9.24000 E 54504.32900 Emey := 54504.32900 > hmey:=a*Emey+b*Emey^2; hmey := 0.5204462649 10 7 > TRmey:=p*hmey; TRmey := 0.3643123854 10 11 > TCmey:=c*Emey; TCmey := 0.3272414040 10 11 133 > phimey:=TRmey-TCmey; > Eoa:=109008.6580; phimey := 0.370709814 10 10 Eoa := 109008.6580 > hoa:=a*Eoa+b*Eoa^2; hoa := 0.6487572417 10 7 > TRoa:=p*hoa; TRoa := 0.4541300692 10 11 > TCoa:=c*Eoa; TCoa := 0.4541300692 10 11 > phioa:=TRoa-TCoa; phioa:=0. 134 Lampiran 7 Nilai investasi dan penyusutan No 1 2 Uraian Satuan Nilai Umur Ekonomis Nilai Sisa Perubahan Nilai Akhir Penyusutan 7 4.500.000 33.250.000 6.500.000 Investasi Perahu Rp Rp 50.000.000 0 135.000.000 50.000.000 Alat tangkap Rp 15.000.000 0 15.000.000 4 2.000.000 3.250.000 Mesin Rumpon Perlengkapan Lain-lain Biaya modal kerja Total Investasi Rp Rp Rp Rp 58.000.000 3.000.000 8.000.000 1.000.000 0 0 0 0 0 0 58.000.000 3.000.000 8.000.000 1.000.000 0 135.000.000 3 2 2 1 7.000.000 17.000.000 1.500.000 4.000.000 1.000.000 Keterangan : Nilai sisa : sisa dari nilai barang setelah umur ekonomis Penyusustan : nilai beli (nilai akhir) dikurangi nilai sisa dibagi dengan umur ekonomis Nilai akhir : jumlah dari nilai suatu investasi 135 Lampiran 8 Biaya operasional nelayan No 1 Kebutuhan Melaut Uraian Satuan Nilai (Rp) Solar 54 liter Rp/Trip 243.000 Oli 1 Liter Rp/Trip 8.500 Minyak tanah 2 Liter Rp/Trip 2.600 Ransum Rp/Trip 50.000 Es Rp/Trip 100.000 Biaya operasional harian Jumlah Total 404.100 2 Biaya operasional bulanan Bulan Rp/ Bulan 9.698.400 3 Biaya operasional tahunan Tahun Rp/Tahun 116.380.800 4 Biaya retribusi tahunan Tahun Rp/Tahun 7.000.000 Total keseluruhan 123.380.800 136 Lampiran 9 Produksi dan pendapatan No Uraian Satuan Volume Harga Jumlah Pendapatan Musim 1 2 Puncak Rp/trip Teri kg/trip 450 4.000 1.800.000 Kembung kg/trip 200 6.000 1.200.000 Layang kg/trip 200 5.000 1.000.000 Pendapatan per trip Rp/trip Jumlah trip musiman Hari/trip Pendapatan tahunan Rp/musim Pendapatan musim biasa Rp/trip Teri kg/trip 450 5.000 2.250.000 Kembung kg/trip 200 8.000 1.600.000 Layang kg/trip 200 7.000 1.400.000 Pendapatan per trip Rp/trip Jumlah trip musiman Hari/trip Pendapatan tahunan Rp/musim 210.000.000 Total Pendapatan tahunan Rp/tahun 786.000.000 4.000.000 144 576.000.000 5.250.000 40 Keterangan : Musim timur terjadi pada bulan April-September (musim ikan) (6 bulan) Musim peralihan terjadi pada bulan Oktober-November (musim biasa) (2 bulan) Musim barat terjadi pada bulan Desember-Maret (musim paceklik) (4 bulan) 137 Lampiran 10 Asumsi dan koefesien kelayakan pendapatan nelayan dan finansial pemilik No 1 2 3 4 5 Uraian Produktivitas Jumlah trip Musim puncak Jumlah trip Musim biasa Pendanaan Modal sendiri Bunga pinjaman Jangka waktu pengambilan Tenggang pengambilan Sistem bagi hasil 1. Pemilik alat tangkap 2. Kapten kapal 3. ABK lain (8-9 Orang) Lain-lain Pajak Retribusi Upah minimum regional Biaya perawatan Distribusi Jumlah crew Kapten kapal ABK lainnya (8-9 orang) Total crew Satuan Nilai Perubahan Nilai akhir Trip/musim 144 0 144 Trip/musim 40 0 40 % % per tahun 70 10 0 0 70 10 Tahun Tahun 6 1 0 0 6 1 % % % 30 20 50 0 0 0 30 20 50 % % Rp/tahun Rp/tahun 0 1,5 10.000.000 15.000.000 0 1,5 0 1,5 Orang Orang Orang 1 9 10 138 Lampiran 11 Pendapatan nelayan No 1 2 Uraian Pendapatan Pendapatan musim puncak Pendapatan musim biasa Total Pendapatan tahunan Biaya operasional harian Solar Oli Minyak tanah Ransum Es Lain-lain Sub total Biaya retribusi Total pengeluaran Pendapatan setelah retribusi Sistem bagi hasil Pemilik modal Kapten kapal ABK Lainnya (8-9 orang) Satuan Volume Harga Jumlah Rp/musim Rp/musim Rp/tahun 1 1 576.000.000 210.000.000 576.000.000 210.000.000 786.000.000 Rp/trip Rp/trip Rp/trip Rp/trip Rp/trip Rp/trip Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun 288 288 288 288 243.000 8.500 2.600 50.000 0 0 69.984.000 2.448.000 748.800 14.400.000 100.000 0 87.680.800 7.000.000 94.680.800 691.319.200 Rp/orang Rp/orang Rp/orang 30% 20% 50% 207.395.760 138.263.840 345.659.600 139 Lampiran 12 Analisis titik peluang modal 1. Perhitungan nilai BEP : BEP(Rp) = = Biaya tetap Biaya variabel 1− Hasil penjualan 33.250.000 1- (123.380.800 : 691.319.200) = Rp 40.473.338,97 BEP(ton) = Biaya tetap × Produksi Hasil penjualan − Biaya variabel = 33.250.000 x 489.600 691.319.200 – 123.380.800 = 28.663,67 ton 2. Perhitungan nilai ROI ROI = Keuntungan ×1 00 % Nilai investasi ROI = 691.319.200 x 100% 135.000.000 = 51,20 %