ib 63 ok print

advertisement
W A R T A
DAERAH
FKUB TARAKAN DAN PANUTAN
TOKOH MASYARAKAT
FKUB penuh warna, bagai mozaik indah yang
dipandang mata,” ungkap seorang tokoh yang
tak mau disebut jatidirinya.
K
antornya tak terlalu besar, hanya ukuran
tiga kali delapan meter berlantai dua di
lingkungan pertokoan, namun perannya di
tengah masyarakat demikian besar.
Tanpa rekomendasi dari pengurus yang memiliki
aktivitas di kantor tersebut, tak bakal rumah ibadah
bakal berdiri. Bahkan, besar kemungkinan konflik
horizontal antaretnis bakal terjadi.
Itulah peran dari Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) Kota Tarakan, Kalimantan Timur
di bawah kepemimpinan KH Zainudin Dalila yang
juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) kota
setempat.
Setiap permasalahan umat, bahkan antaretnis,
dibahas di FKUB. Laporan masuk ditindaklanjuti.
Sehingga, ibarat api, tak sempat membesar karena
para pengurusnya dari perwakilan umat Katolik,
Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu dan Islam
cepat tanggap.
Cepat ditanggapi lantaran masalah di tengah
masyarat demikian “sensitif”, utamanya menyangkut
SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan), yang
jika tak cepat diselesaikan bisa merusak seluruh
tatanan dan keharmonisan di tengah masyarakat.
”Jangan lihat kantornya,” ungkap Zainudin,
tokoh yang juga panutan masyarakat Muslim asal
Gorontalo.
Kantor FKUB Tarakan terletak di jantung kota .
Pemda kota setempat membiayai sewa kantor
tersebut, termasuk mengucurkan dana operasionalnya. Meski tak memiliki kendaraan dinas seperti
layaknya orang kantoran, pengurusnya bekerja
gesit-gesit.
warga Tarakan terdiri atas berbagai etnis. Bugis,
Jawa, Cina, Manado , Dayak, Toraja dan beberapa
suku lainnya dari Sumatera.
Kemajemukan etnis ini jika tak dikelola dengan
baik, diyakini bakal menjadi potensi mengganggu
keharmonisan yang sudah terbentuk. Masyarakat
Tarakan sangat menyadari bahayanya konflik,
karena dapat mengganggu perekonomian dan laju
Penulis ketika memberikan kenang-kenangan kepada KH Zainudin Dalila yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) kota Tarakan.
58
Ikhlas
BERAMAL,
Nomor 63 Tahun XIII Juni 2010
W A R T A
DAERAH
pembangunan.
Para tokoh masyarakat pun menyadari hal ini.
Belajar dari konflik di daerah lain, maka FKUB tak
melulu mengurusi persoalan umat, agama dan
rumah ibadah, tetapi juga menyangkut etnis.
Untuk itulah, personil yang duduk di FKUB selain
mengenal dan dikenal umatnya, juga merupakan
personifikasi wakil-wakil dari setiap etnis yang ada
di Tarakan. Seperti Pendeta Kalep Ramat, selain
mewakili umat Kristen, yang bersangkutan juga
mewakili etnis Dayak.
Pendeta Wellam Mamuaya juga mewakili etnis
Manado. Demikian juga dari etnis lainnya.
”FKUB penuh warna, bagai mozaik indah yang
dipandang mata,” ungkap seorang tokoh yang tak
mau disebut jatidirinya.
Kekuatan ekonomi
Tarakan merupakan salah satu Kota di Provinsi
Kalimantan Timur, dengan luas wilayah 657,33 km2
dan terbagi menjadi empat kecamatan.
Secara geografis, kota ini berbatasan dengan
pesisir pantai Kecamatan Pulau Bunyu Kabupaten
Bulungan di sebelah Utara, dengan Pesisir Pantai
Tanjung Palas Kabupaten Bulungan di sebelah
Selatan, dengan Kecamatan Pulau Bunyu
Kabupaten Bulungan Laut Sulawesi di sebelah
T imur, dan dengan Pesisir Pantai Sesayap
Kabupaten Bulungan di sebelah Barat.
Kota Tarakan ini mempunyai potensi cukup besar
sektor perkebunan dengan komoditi unggulan
berupa kelapa (380 ton), kopi robusta (2 ton), dan
lada (1 ton) dalam tiap tahunnya . Sebagai pulau
kecil yang dikelilingi laut, Tarakan punya potensi
kelautan yang cukup besar. Sumber daya ini telah
dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat
dalam mencari nafkah sebagai nelayan dan
petambak udang.
Hasil laut yang melimpah ini selain dikonsumsi
masyarakat setempat, sebagian besar (terutama
udang) dijadikan komoditi ekspor. Daerah ini
memiliki hasil tambang berupa minyak bumi, gas
alam, batu bara, dan bahan galian berupa pasir,
kerikil, dan tanah urug.
Menurut cerita rakyat yang turun-temurun,
daerah ini berasal dari Bahasa Tidung yakni Tarak
berarti ”bertemu” dan Ngakan berarti ”makan”.
Dengan demikian, Tarakan berarti tempat
nelayan untuk istirahat makan dan bertemu
melakukan barter hasil tangkapan dengan nelayan
lain. Daerah ini merupakan pertemuan arus muara
Sungai Kayan, Sesayap dan Malinau. Dulu pernah
berdiri kerajaan Tarakan, pusat pemerintahan di
Binalatung, kemudian pindah ke daerah Pamusian.
Lantas apa yang menarik dengan struktur
ekonomi di Tarakan? Berdasarkan data PDRB Kota
Tarakan tahun 2006 menurut harga konstan (2000)
Rp 1.513 miliar. Berdasarkan PDRB tersebut,
penyumbang terbesar dari sektor perdagangan 41,84
persen, industri pengolahan 11,63 persen, pertanian
10,88 persen, keuangan dan Jasa-jasa masingmasing 9,79 persen dan 9,81 persen.
Dengan demikian perekonomian daerah ini
didominasi sektor tersier dengan kontribusi 68
persen, sektor primer 22 persen, dan sekunder 10
persen.
Keteladanan
Ibarat gula, semut dari mana pun asalnya, akan
tertarik untuk datang. Demikian Tarakan dewasa ini.
Kerap kedatangan pendatang dari berbagai penjuru
tanah air untuk mengadu nasib di kawasan itu.
Karena itu, rasa aman dan kerukunan antarumat
memegang peran penting. Karena itu, pemerintahan
bernuansa agamamis sangat ditekankan.
“Itulah sebabnya, Walikota Tarakan, H. Udin
Hanggio, sangat menekankan pentingnya agama
bagi umat,” Kata Kepala Kantor Kementerian Agama
Tarakan, Abd. Hamid.
Untuk menunjang percepatan pemahaman akan
pentingnya kerukunan beragama, walikota
memfasilitasi sewa kantor Rp80 juta per tahun.
Belum termasuk ketika berlangsung rapat-rapat dan
studi banding ke daerah lain, kata Hamid.
Realitas kerukunan agama di kawasan ini,
memang patut dijadikan contoh bagi daerah lain.
Pasalnya, setiap usulan pembangunan rumah
ibadah dari kementerian agama setempat harus
mendapat persetujuan pengurus FKUB.
”Jadi, FKUB punya peran menentukan jadi
tidaknya rumah ibadah itu dibangun. Kita punya
gigi,” kata Ketua MUI, Zainuddin.
Termasuk dalam menyelesaikan persoalan aliran
sempalan. Meski pada awalnya diselesaikan secara
internal oleh agama bersangkutan, pengurus FKUB
lainnya juga ikut memberikan solusi.
Misal dijumpai pembangunan rumah ibadah
mendapat penolakan dari masyarakat, pengurus
FKUB berupaya mencarikan lahan yang sesuai
peruntukan. Dengan demikian, FKUB tak sekedar
mengatasi persoalan tapi juga memberi solusi.
Jika ada pertikaian antaretnis, pengurus FKUB
membawa persoalannya ke dalam rapat. Para tokoh
dikumpulkan. Yang bertikai didinginkan. Dicari akar
persoalannya, kemudian diberikan alternatif sebagai
solusi.
”Kawasan Tarakan memang panas. Tapi, jika ada
ketegasan dan kesejukan bagi umat, para tokoh
umat akan menjadi panutan,” kata Arifin, tokoh
masyarakat Bugis yang juga pengusaha di kota
tersebut.(es)
Ikhlas
BERAMAL,
Nomor 63 Tahun XIII Juni 2010
59
Download