Studi keragaman fenotipik dan genetik beberapa sub populasi

advertisement
STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN GENETIK
BEBERAPA SUB POPULASI KAMBING LOKAL INDONESIA
DAN STRATEGI PEMANFAATANNYA SECARA
BERKELANJUTAN
ARON BATUBARA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Studi Keragaman
Fenotipik dan Genetik Beberapa Sub Populasi Kambing Lokal Indonesia dan
Strategi Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan” adalah karya saya dengan
arahan Komisi Pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Bogor, … …Juli 2011
Aron Batubara
NRP. D161070041
ABSTRACT
ARON BATUBARA. Study of Phenotypics and Genetics Diversity of Some
Indonesian Local Goat Sub Populations and Its Strategies for Sustainable Use.
Supervised by RONNY RACHMAN NOOR, ACHMAD FARAJALLAH and BESS
TIESNAMURTI.
The genetic resources of local goats are very important because it was well
adapted to the local environment with low input management systems. Local
goats are very potential for breeding stock program which suitable to the
Indonesia local conditions. The study was carried out in order to describe the
phenotypic and genetic of 6 sub-populations of Indonesian local goats based on
the analysis of the morphometrics, mitochondrial DNA, Y Chromosome and
GDF9 gene. The sampling was conducted in four of the Provinces in Indonesia,
namely North Sumatra Province (Samosir goat n=42 in the Samosir District,
Muara goat n=34 in the North Tapanuli district, Kacang goat n=217 in the Deli
Serdang District), Central Java Province (Jawarandu goat n=94 in the Blora
District); Province of South Sulawesi (Marica goat n=60 in the Maros District,
Makassar City, Jeneponto District) and Nusa Tenggara Timur Province (Bengala
goat n=96 in the Kupang area, Sikka District, Ende District). All of them were
measured for morphometric and was bleeding to collect blood as DNA sources.
The blood sample was preserve with absolute ethanol. DNA extracted was
analyzed by PCR-RFLP methods for D-loop region, SRY gene and GDF gene on
Indonesian local goat does. If there were polymorphism then the procedure
followed by the sequencing methods. The results showed that the morphometric
discriminant factor variables between local goat were canon circumference, tail
width and body length was 0,7 and than rump width, ear widths, wither height,
skull height, skull width, body weight, chest girth, chest width and chest depth
was 0,5. The colours and colour patterns of Benggala goat was dominant with
black colour, Samosir goat with white colour and then the Kacang, Muara,
Jawarandu and Marica goats were very high varieties of the combination almost
all colours were observed. There were found 50 polymorphic sites and 19 unique
haplotypes of the D-loop sequence. The average genetic diversity region of mt
DNA was very high (0.014±0.002) and was significantly different between each
sub-population with clustering indexs 63-99. The average distance of Y
chromosome was lower (0.004±0.002) and to be founded 6 polymorphic sites
with 4 unique haplotypes. The origin of local goats reveal to the maternal
ancestors was including haplogroups lineage B, but the paternal origin ancestor
was classified in to 4 groups; Kacang and Jawarandu one haplotype, Marica and
Samosir one haplotype, Muara one haplotype and Benggala goat one haplotype.
Based on the phenotypics, mitochondrion and Y chromosom analysis showed
that the sub populations of Indonesian local goat as adistinct breed. Identification
of the GDF9 gene promotor were polymorphic and have related with the prolific
traits on the twinning does of Kacang and PE goats, but the GDF9 gene promotor
were monomorphic on the Samosir and Muara goats.
Key Words: Indonesian local goat, morphometric and genetic characterization,
mitochondrion, Y chromosome, fecundity gene
RINGKASAN
ARON BATUBARA. Studi Keragaman Fenotipik dan Genetik Beberapa Sub
Populasi Kambing Lokal Indonesia dan Strategi Pemanfaatannya Secara
Berkelanjutan. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR, ACHMAD
FARAJALLAH, dan BESS TIESNAMURTI
Keragaman sumberdaya genetik ternak kambing merupakan modal dasar
untuk meningkatkan produktivitas dan mengembangkan ternak kambing.
Populasi kambing lokal bisa terancam habis antara lain disebabkan oleh program
persilangan atau penggantian dengan bibit unggul eksotis. Pelestarian dan
konservasi kambing lokal penting karena telah beradaptasi baik dengan
lingkungan setempat, umumnya lebih bertahan hidup pada kondisi pedesaan.
Kambing lokal berpotensi besar untuk dimanfaatkan menjadi sumber
pembentukan bibit unggul yang adaptif terhadap kondisi lokal di Indonesia. Data
dan informasi tentang karakterisasi fenotipik dan genetik ternak kambing lokal
Indonesia sampai saat ini masih sangat terbatas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi keragaman
karakteristik fenotip dan genetik 6 sub-populasi kambing lokal Indonesia yang
mencakup karakteristik morfometrik dan warna dominan; keragaman genetik
berdasarkan DNA mitokondria, koromosom Y dan keragaman gen GDF9.
Penelitian dirancang dengan metode survei dan analisis di laboratorium.
Metode survei menggunakan purposive sampling, yaitu dengan memilih lokasi
yang diduga masih terdapat populasi kambing lokal yang diamati. Penelitian
lapangan untuk koleksi data fenotipik dilakukan di empat Propinsi, yaitu Propinsi
Sumatera Utara (Kambing Samosir n=42 ekor di Kabupaten Samosir , Kambing
Muara n=34 di Kabupaten Tapanuli Utara, Kambing Kacang n=217 di Kabupaten
Deli Serdang); Propinsi Jawa Tengah (Kambing Jawarandu n=94 di Kabupaten
Blora); Propinsi Sulawesi Selatan (Kambing Marica n=60: Kabupaten Maros,
Kota Makassar, Kabupaten Jeneponto) dan Propinsi Nusa Tenggara Timur
(Kambing Benggala n=96 di Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Sikka,
Kabupaten Ende). Dilakukan pengambilan data warna tubuh dominan dan warna
belang kambing, penimbangan, pengukuran bagian-bagian tubuh dan
pengambilan sampel darah. Analisis morfologi dengan pendekatan tehnik
diskriminan dan kanonikal untuk menduga hubungan filogenik antar kambing
lokal. Analisis diskriminan dilakukan pada bobot badan, bagian-bagian tubuh
dan warna dominan. Kegiatan laboratorium terdiri dari ekstraksi DNA mengikuti
metode Sambrook yang dimodifikasi, menganalisis DNA mitokondria, kromosom
Y dan gen fekunditas (gen GDF9).
Hasil analisis varians menunjukkan bahwa bobot badan dan ukuran
bagian-bagian tubuh dari Kambing Muara berbeda nyata (P<0.05) lebih tinggi
dibandingkan dengan sub populasi kambing lokal lainnya. Berdasarkan analisis
morfometrik jarak genetik paling dekat adalah antara Kambing Marica dengan
Samosir (11.207) dan paling tinggi adalah antara Kambing Muara dengan
Benggala (255.110). Nilai kesamaan antar individu pada setiap sub populasi
paling tinggi ditemukan pada Kambing Kacang (99.28%) dan paling rendah pada
Kambing Samosir (82.50%). Nilai faktor pembeda variabel ukuran morfometrik
yang dominan adalah lingkar kanon, lebar ekor dan panjang badan (masingmasing 0.7), dan variabel lingkar pinggul, lebar telinga, tinggi pundak, tinggi
tengkorak, lebar tengkorak, bobot badan, lingkar dada dan dalam dada (masingmasing 0.5), yang dapat digunakan untuk karakteriasi fenotipik kambing lokal di
Indonesia. Hasil fenogram menunjukkan dari 6 sub populasi kambing yang
berbeda di Indonesia dikelompokkan kedalam kelompok-kelompok terpisah yaitu
(1) Kambing Muara (2) Kambing Jawarandu (3) Kambing Kacang (4) Kambing
Benggala (5) Kambing Samosir dan (6) Kambing Marica.
Dari 879 bp runutan ruas D-loop ditemukan 50 situs polimorfik dengan
nilai keragaman 0.014±0.002 dan terdapat 19 kelompok haplotip. Asal-usul
secara maternal keenam sub populasi kambing lokal Indonesia yang diteliti
termasuk dalam kelompok garis keturunan (lineage) B mengelompok dengan
kambing Asia Timur, Afrika Selatan dan Afrika Utara, Asia Selatan, Cina,
Mongolia, Malaysia, Pakistan dan India.
Sebanyak 13 sampel DNA kambing jantan dianalisis dan diperoleh
masing-masing situs nukleotida sepanjang 773 pb. Ditemukan 6 situs polimorfik
dengan nilai keragaman 0.004±0.002 dan terdapat 4 kelompok haplotip unik yaitu
Kambing Kacang dan Jawarandu, Marica dan Samosir, Muara serta Benggala.
Hasil identifikasi keragaman gen GDF9 ruas promotor pada induk
beranak kembar bersifat polimorfik dan diduga berhubungan dengan sifat prolifik
pada Kambing Kacang dan Peranakan Etawah (PE), akan tetapi bersifat
monomorfik pada Kambing Samosir dan Muara.
Berdasarkan persyaratan kualitatif, kuantitatif, pemetaan genetik yang
diperoleh dalam penelitian ini, maka hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan
sebagai salah satu bahan dalam penetapan dan standarisasi 6 rumpun/galur
kambing lokal Indonesia yang saling berbeda di tingkat lapangan atau peternak
dalam rangka pengembangan dan pelestarian sumberdaya genetik kambing lokal
Indonesia secara berkelanjutan.
Kata kunci : Kambing lokal, karakteristik morfometrik dan genetik, DNA
mitokondria, kromosom Y, gen fekunditas.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang
mengutip
sebagian
atau
seluruh
karya
tulis
ini
tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang
menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN GENETIK
BEBERAPA SUB POPULASI KAMBING LOKAL INDONESIA
DAN STRATEGI PEMANFAATANNYA SECARA
BERKELANJUTAN
ARON BATUBARA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji pada Ujian Tertutup :
Prof. (R) Dr. Ir. Ismeth Inounu, M.S.
Dr.Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA.
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr.Ir. Riwantoro, MM.
Dr.Ir. Simon Petrus Ginting, M.Sc.
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi
: Studi Keragaman Fenotipik dan Genetik Beberapa Sub
Populasi Kambing Lokal Indonesia dan Strategi
Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan
Nama
NRP
Program Studi
: Aron Batubara
: D161070041
: Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc.
Ketua
Dr.Ir. Achmad Farajallah, M.Si.
Anggota
Dr.Ir. Bess Tiesnamurti, M.Sc.
Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi/Mayor
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA.
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 25 Juli 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, karena berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penyusunan disertasi dengan judul “Studi Keragaman Fenotipik dan Genetik
Beberapa Sub Populasi Kambing Lokal Indonesia dan Strategi Pemanfaatannya
Secara Berkelanjutan”. Disertasi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini dilakukan atas dasar bahwa kambing lokal Indonesia
sebagai salah satu kekayaan plasma nuftah ternak di Indonesia perlu di
eksplorasi identitas, karakteristik dan potensi genetiknya sebelum terlanjur
hilang.
Informasi tentang karakteristik secara fenotipik dan genetik berguna
untuk menginventarisasi kekayaan sumberdaya genetik kambing Indonesia.
Dengan semakin meningkatnya kebijakan pencapaian produksi daging nasional
di berbagai daerah penggunaan bibit unggul eksotis terus meningkat, sehingga
pemanfaatan bibit ternak lokal semakin kurang mendapat perhatian. Oleh sebab
itu perlu dilakukan penelitian karakterisasi fenotipik dan keragaman genetik yang
merupakan tahap awal sebelum penelitian potensi produktivitas dan upaya
pembentukan bibit unggul yang berbasis lokal, serta upaya konservasi dan
pemanfaatan ternak secara berkelanjutan.
Program pendidikan S3 ini didanai oleh APBN melalui program
pembinaan dan pengembangan tenaga di Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian,
Kementerian
Pertanian.
Ketika mulai
merencanakan untuk
melanjutkan studi ke jenjang S3, berbagai pihak terlibat baik langsung maupun
tidak langsung. Masing-masing telah memberikan sumbangsihnya, baik berupa
semangat, arahan dan motivasi, sumbangan pemikiran dan materi kepada
penulis. Penelitian dan disertasi ini dapat diselesaikan tentunya atas bantuan
dan bimbingan dari Komisi Pembimbing.
Dalam kesempatan ini, penulis
menyampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada Prof.Dr.Ir. Ronny
Rachman Noor, M.Rur.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr.Ir. Achmad
Farallah, M.Si., dan Dr.Ir. Bess Tiesnamurti, M.Sc., masing-masing selaku
anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu mendampingi penulis
dengan penuh kesabaran, memberikan saran, koreksi, arahan, bimbingan dan
semangat selama penelitian hingga selesai penulisan disertasi ini.
Ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Sekretaris Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian selaku Ketua Komisi Pembinaan Tenaga, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program S3, Kepala
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dan Dr.Ir. Simon Petrus
Ginting, M.Sc. selaku Kepala Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih, yang
memberikan motivasi, dorongan dan restu kepada penulis untuk melanjutkan ke
jenjang Program S3 di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terimakasih yang sama penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Rarah
Ratih Adjie Maheswari, DEA, selaku Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan (IPTP), Prof.Dr.Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc selaku
Ketua
Departemen
Ilmu
Produksi
dan
Teknologi
Peternakan
Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor yang sekaligus sebagai penguji luar Komisi
pada Ujian Kualifikasi Doktor dan Prof.Dr.Ir. Muladno, MSA sebagai penguji luar
Komisi pada Ujian Kualifikasi Doktor, Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan
Sekolah Pasca Sarjana IPB, Dekan Fakultas Peternakan IPB Bogor.
Terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Kepala
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Utara, Kepala Dinas
Pertanian, Peternakan dan Perikanan Kabupaten Samosir, Kepala Dinas
Peternakan Kabupaten Blora Jawa Tengah, Dr. Ir. Jacob Nulik, M.Sc. sebagai
Kepala BPTP Nusa Tenggara Timur, Kepala BPTP Sulawesi Selatan, Ir. Matius
Sariubang MS, Ir. Daniel Pasambe, Ir Bonggas Pasaribu, Ir. Rosianna Tarigan,
Ir. Deborah Kana Hau, M.Si., Drh. Wasito M.Si., Imanianto, Wagimin yang telah
banyak membantu selama pengambilan data dan sampel di lapangan, Wildan
Muttaqin S.Si., M.Si dan Muhammad Rizal Hasan S.Si., M.Si yang telah banyak
membantu selama proses analisis molekuler di Laboratorium Fungsi Hayati dan
Perilaku Hewan Departemen Biologi IPB. Rekan-rekan seperjuangan Ir. Suryana
M.Si., Ir. Eko Handiwinawan M.Si, drh. Bambang Ngaji Utomo M.Sc., Ben
Juvarda, SPt., M.Si., yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada
penulis.
Ucapan terimakasih penulis
sampaikan kepada Tim
Pengelola
Beasiswa DIPA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian yang telah memberikan beasiswa selama studi. Ucapan terimakasih
juga penulis sampaikan atas sebagian bantuan dana penelitian dari kegiatan
Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T)
tahun 2010 dengan judul “Identifikasi Tiga Gen Fekunditas pada Empat Jenis
Kambing Lokal (Kacang, Peranakan Etawah, Samosir dan Muara)”.
Kepada istri saya tercinta Helena Lydia Tobing, S.Pt dan ketiga putri
saya tersayang Ruth Amelia Batubara, Desy Margaretta Batubara dan Joice
Deatri Batubara dan seluruh keluarga besar saya, terimakasih atas perhatian,
kesabaran, pengertian, dorongan, pengorbanan dan doa yang diberikan selama
ini kepada Penulis, serta kepada semua pihak yang telah membantu dan tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya
Penulis
berharap
semoga
disertasi
ini
memberikan
sumbangsih dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
pembangunan peternakan di Indonesia.
Bogor,……Juli 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Hutatonga, Kecamatan Sipirok (saat ini
Kecamatan Arse), Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara pada tanggal 22
Mei 1968 sebagai anak kedelapan dari sepuluh bersaudara dari pasangan Ali
Musa Batubara (alm) dan Mince Ritonga (alm). Pendidikan sarjana ditempuh
pada Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas HKBP
Nommensen Medan, lulus tahun 1992.
Kesempatan untuk melanjutkan ke
jenjang program magister pada Program Studi Produksi Ternak pada
Departemen of Animal Production and Health, Institute of Tropical Medicine,
Antwerp, Belgia tahun 1995 dan lulus tahun 1997. Pada tahun 2007 penulis
melanjutkan ke jenjang program Doktor pada Program Studi/Mayor Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan (IPTP) dengan minat Ilmu Pemuliaan dan Genetika
Ternak, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa dari
DIPA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Penulis memulai karir bekerja sebagai staf peneliti junior pada Proyek
Small Ruminant – Collaborative Research Support Programe (SR-CRSP)
Pengembangan usaha ternak Domba di daerah Perkebunan Karet di Sei Putih,
Medan, Sumatera Utara pada tahun 1993-1994. Pada tahun 1995 penulis
diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil pada Sub Balai Penelitian Ternak
Sei Putih. Pada tahun 1997-1998 penulis bekerja sebagai Staf Peneliti pada
BPTP Sumatera Utara, pada kelompok Peneliti Sumberdaya Pertanian. Pada
tahun 1999-2003 bekerja sebagai Staf Peneliti pada kelompok Peneliti Budidaya
Pertanian di BPTP Riau. Pada tahun 2004-2006 sebagai Staf Peneliti pada
kelompok Peneliti Pemuliaan dan Genetika Ternak Loka Penelitian Kambing
Potong Sei Putih. Pada tahun 2000-2003 penulis menjabat sebagai Pimpinan
Proyek Agricultural Research Management Project (ARMP-II) Riau. Pada tahun
2004-2007 penulis menjabat sebagai Koordinator Perencanaan dan Program
Penelitian pada Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian. Pada tahun 2007 sebagai tenaga Pemandu PRIMATANI
Badan Litbang Pertanian di Kabupaten Ogan Ilir, Propinsi Sumatera Selatan.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK………………………………………………………………………..
iii
RINGKASAN..…………………………………………………………………..
iv
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..
xvi
DAFTAR TABEL……………………………………….……….......................
xix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………….................
xx
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………….……………..
xxi
PENDAHULUAN
Latar Belakang…………………………………………….……………..
Tujuan Penelitian…………………………………………….…………..
Manfaat Penelitian……………………………………..……...... ……...
Kerangka Pemikiran…….……………………………….......................
1
3
3
4
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Budidaya Ternak Kambing…………………………………….
Keragaman Genetik Ternak……………………………………............
Pelestarian Sumberdaya Genetik Ternak……………………………..
Sumberdaya Genetik Kambing Indonesia………………..…………...
Sifat Kuantitatif dan Kualitatif……………………………………………
Penanda Genetik…………….…………………………………………..
DNA Mitokondria…………………………………………………………
DNA Kromosom Y………………………………………………………..
Gen yang Berhubungan dengan Sifat Prolifik…… …………………..
6
7
8
9
12
13
14
16
17
KARAKTERISTIK MORFOMETRIK DAN ANALISIS FILOGENI PADA
ENAM SUB POPULASI KAMBING LOKAL INDONESIA
Pendahuluan……………………………………………………………...
Bahan dan Metode……………………………………………………….
Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………….
Pengumpulan Sampel Kambing…………………………………….
Analisis Statistik……………………………………………………...
Analisis Morfometrik………………………………………………….
Hasil dan Pembahasan
Bobot Badan ………………………………………………………….
Parameter Ukuran Tubuh…………………………………………...
Plot Penyebaran Kambing menurut Ukuran Fenotipik…………...
Nilai Campuran Fenotipik antar Kelompok………………………..
Penentuan Jarak Genetik dan Pohon Fenogram………………...
Peubah Pembeda Rumpun Kambing……………………………...
Pola Warna Tubuh…………………………………………………...
Simpulan……………………………………………………………….….
KARAKTERISASI MOLEKULER ENAM SUB POPULASI KAMBING
LOKAL INDONESIA BERDASARKAN ANALISIS SEKUEN DAERAH
D-LOOP DNA MITOKONDRIA
Pendahuluan…………………………………….……………................
20
21
21
22
24
25
26
27
34
36
37
39
40
43
44
Bahan dan Metode
Sampel Darah Kambing Penelitian………………………………….
Ekstraksi DNA…………………………………………………………
Amplifikasi DNA..…………………………………………….............
Perunutan DNA……………………………………………………….
Analisis Data………………………………………………................
Hasil dan Pembahasan
Polimorfisme Segmen daerah D-loop DNA Mitokondria………....
Keragaman Runutan Nukleotida…………………………………....
Jarak Genetik Kambing Penelitian dengan Kambing Lainnya
Simpulan……………………………………………………………………
KARAKTERISASI MOLEKULER PADA ENAM SUB POPULASI KAMBING
LOKAL INDONESIA BERDASARKAN ANALISIS DNA KROMOSOM Y
Pendahuluan……………………………………………….………………
Bahan dan Metode
Sampel Darah Kambing Penelitian……………………………….…
Ekstraksi DNA…………………………………………………………
Amplifikasi DNA …………………………..…………………………..
Perunutan DNA………………………………………………….…….
Analisis Data……………………………………………………….….
Hasil dan Pembahasan
Polimorfisme DNA Kromosom Y Segmen gen SRY……………....
Frekuensi Nukleotida dan Jarak Genetik…………………………...
Simpulan…………………………………………………….……………...
45
45
45
46
46
47
50
50
57
58
58
58
58
59
59
60
62
65
IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GDF9 DAN HUBUNGANNYA
DENGAN SIFAT PROLIFIK PADA KAMBING LOKAL INDONESIA
Pendahuluan………………………………………………………………
Bahan dan Metode………………………………………………………..
Pengambilan Sampel Darah Kambing ……………………………..
Ekstraksi DNA………………………………………………………….
Amplifikasi Gen GDF9…....…………………………………………..
Genotiping PCR-RFLP dan sekuensing……………….……………
Analisis Data………………..………………………………………….
Hasil dan Pembahasan…………..……………………….………………
Simpulan……………………………….…………………….…………….
66
67
67
68
68
69
69
69
72
PEMBAHASAN UMUM…………………………………………………….…...
73
SIMPULAN UMUM DAN SARAN
Simpulan……………………………………………………………………
Saran………………………………………………………………………..
79
81
DAFTAR PUSTAKA……………………………………….……………………..
82
LAMPIRAN………………………………………………………………………..
94
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Rataan, simpangan baku dan kisaran bobot hidup dewasa 6 sub
populasi kambing lokal…………………………………………………… 26
2
Rataan dan simpangan baku ukuran tinggi pundak, panjang badan, 28
lebar dada, dalam dada, dan lingkar dada kambing jantan dan betina
6 sub populasi kambing lokal …………………………………………….
3
Rataan dan simpangan baku ukuran panjang tengkorak, lebar
tengkorak, dan tinggi tengkorak jantan dan betina dewasa 6 sub
populasi kambing lokal …………………….……………………………
30
4
Rataan dan simpangan baku panjang dan lebar ekor jantan dan
betina 6 sub populasi kambing lokal……………………………….…… 31
5
Rataan dan simpangan baku panjang telinga dan lebar telinga
jantan dan betina dewasa 6 sub populasi kambing lokal…………….
32
6
Rataan dan simpangan baku lingkar kanon jantan dan betina 6 sub
populasi kambing lokal ………………………..…………………………. 34
7
Persentase nilai kesamaan dan campuran 6 sub populasi kambing
lokal ………………………………………………………………………… 36
8
Jarak genetik berdasarkan ukuran tubuh antar 6 sub populasi
kambing ……..…………………………………………………………..… 37
9
Struktur kanonikal kelompok kambing dari 6 sub populasi kambing
lokal berdasarkan ukuran fenotipik……………………………………... 39
10
Persentase pola warna tubuh dominan dan warna belang pada 6
sub populasi kambing lokal …………. …..………………..…..............
40
11
Jumlah haplotip berdasarkan runutan nukleotida D-loop mtDNA
setiap sub populasi kambing lokal Indonesia ………………………….. 47
12
Mutasi nukleotida sebagai penciri kelompok kambing lokal Indonesia
dibandingkan dengan Capra hircus (GenBank no. akses
NC_005044) ………………………………………………………..…….. 49
13
Keragaman nukleotida D-loop mtDNA pada 6 kambing lokal
Indonesia ………………………………………………………………….. 50
14
Jarak genetik berdasarkan runutan nukleotida pada 6 sub populasi
kambing lokal Indonesia ………….………………………………….….. 52
15
Matrik keragaman nukleotida gen SRY kromosom Y pada kambing
lokal Indonesia..…………………………………..…………………….… 63
16
Distribusi kambing prolifik dan non prolifik…………………………….
67
17
Jenis-jenis mutan gen GDF9 pada ternak domba dan kambing…….
71
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Diagram alir kerangka pemikiran penelitian……………………………….
5
2
Skema genom daerah D-loop kambing…………………………………….
16
3
Skema genom gen SRY kromosom Y dan kromosom X.……………….
17
4
Peta lokasi pengambilan sampel dan data penelitian karakterisasi
enam sub populasi kambing lokal Indonesia……….……………………..
22
5
Titik pengukuran morfometrik kambing ..…………………………..……..
24
6
Plot penyebaran kelompok kambing berdasarkan ukuran-ukuran
fenotipik pada 6 sub populasi kambing lokal …..………………………….
35
Pohon fenogram penyebaran kelompok kambing lokal Indonesia
berdasarkan ukuran fenotipik…………………......................................
38
8
Pola warna dominan dan belang pada 6 sub populasi kambing lokal …
42
9
Struktur genom mitokondria yang diapit oleh primer AF23 dan AF22.
Nomor mengacu pada Capra hircus (GenBank no. akses AF 533441)..
7
47
10 Polimorfisme runutan nukleotida daerah D-loop DNA mitokondria pada
6 sub populasi kambing lokal mengacu pada Capra hircus (GenBank
no. akses AF 533441) (tiga baris pertama dibaca secara vertikal
merupakan posisi nukleotida)……………………………………………….
48
11 Dendogram 6 sub populasi kambing lokal Indonesia berdasarkan ruas
D-loop mtDNA ………….……………………………………………………..
54
12 Posisi 6 sub populasi kambing lokal Indonesia dalam dendogram
kambing-kambing di dunia berdasarkan ruas D-loop ………..…………...
55
13 Median joining network dari 19 haplotip nukleotida daerah D-loop DNA
mitokondria pada 6 sub populasi kambing lokal Indonesia……..............
57
14 Struktur ruas gen SRY yang diapit oleh AF126 dan AF127 pada 6 sub
populasi kambing lokal Indonesia……………………………………………
61
15 Polimorfisme nukleotida gen SRY pada 6 sub populasi kambing lokal
Indonesia…………………………………………………………………
62
16 Dendogram Neigbour Joining berdasarkan runutan nukleotida gen SRY
antara 6 sub populasi kambing lokal Indonesia…………………………...
64
17 Dendogram median-joining network dari 4 haplotip kromosom Y
segmen gen SRY dari 6 sub populasi kambing lokal Indonesia : Kacang
(K 1 ), Marica (M 1 ), Samosir (S 1 ), Jawarandu (J 1 ), Muara (R 1 ) dan
Benggala (B 1 )………………………………………………………...............
65
18 Mutasi nukleotida gen GDF9 ruas promotor pada kelompok induk
prolifik (mutan) dan induk non-prolifik (wild) pada Kambing Kacang dan
Peranakan Etawah …………………………………………………………..
70
19 Dendogram kambing lokal Indonesia berdasarkan runutan nukleotida
ruas promotor gen GDF9 metode NJ bootstrap 1000x…………………..
72
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Pola warna dominan dan warna belang 6 sub populasi kambing
lokal……………………………………………………………………….
94
2
Form daftar karakter morfologi yang diukur……………...…..………
3
Lokasi pengambilan data dan sampel darah kambing lokal
(Kambing Kacang, Samosir, Marica, Jawarandu, Muara dan
101
Benggala)………………………………………………………………..
4
Nama/bangsa kambing, nomor akses dan asal sampel yang
digunakan dari GenBank untuk membentuk pohon filogeni ……….
5
Pensejajaran berganda nukleotida ruas D-loop DNA mitokondria
pada kambing lokal…………………………….………………………..
6
Pensejajaran berganda nukleotida gen SRY pada kambing lokal …
7
Pensejajaran berganda nukleotida gen GDF 9 pada kambing lokal
Indonesia……………………….………………..……………………….
100
102
103
112
116
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumberdaya genetik ternak dihadapkan pada dua tantangan yang saling
bertolak belakang yaitu pemanfaatan ternak unggul eksotis untuk memenuhi
kebutuhan daging dan susu, sementara disisi lain sumberdaya genetik ternak
lokal terus berkurang.
Permintaan produksi asal ternak terus meningkat di
negara-negara sedang berkembang.
FAO memperkirakan kebutuhan daging
akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030 dibandingkan dengan kebutuhan
pada tahun 2000 dan kebutuhan susu meningkat menjadi lebih dari dua kali lipat.
Selain itu, ada kecenderungan penggunaan ternak unggul eksotis untuk
mencapai target produksi ternak secara maksimal sehingga perhatian terhadap
pengembangan ternak lokal termarjinalkan. Dampak negatif peningkatan ternak
unggul eksotis adalah penurunan populasi sumberdaya genetik ternak lokal
secara cepat terutama di negara-negara yang sedang berkembang (FAO 2000;
Cardellino & Boyazoglu 2009).
Sekitar 190 dari 7600 rumpun ternak di dunia yang telah tercatat akan
punah selama 15 tahun terakhir, dan 1500 rumpun diantaranya berada dalam
status beresiko mendekati kepunahan.
Sekitar 60 rumpun terdiri atas sapi,
kambing, babi, kuda dan unggas telah punah/hilang (lost) selama 5 tahun
terakhir. Tingkat kehilangan rumpun ternak lokal paling tinggi dijumpai di negaranegara sedang berkembang (FAO 2007). Konservasi dan pengembangan
rumpun ternak lokal sangat penting, sebab rumpun lokal dapat memanfaatkan
pakan berkualitas rendah, lebih tahan terhadap tekanan perubahan iklim dan
serangan penyakit, serta sebagai sumber gen-gen yang secara ekonomi
menguntungkan untuk peningkatan kesehatan dan performan sifat-sifat produksi
pada rumpun ternak unggul komersial (Cardellino 2006; FAO 2007; Ruane
2000).
Salah satu komoditas kekayaan plasma nutfah nasional di sub sektor
peternakan adalah ternak kambing.
Kambing menyebar di berbagai daerah
dengan iklim yang berbeda dan terpisah dalam jangka waktu yang lama. Faktor
lingkungan dan perlakuan seleksi yang sangat bervariasi mengakibatkan laju
perubahan genetik yang sangat beragam (Rout et al. 2008).
Di Asia Tenggara khususnya di Indonesia, ternak kambing memegang
peranan penting pada petani ternak kecil untuk meningkatkan pendapatan dan
2
juga sebagai sumber daging, pupuk, pengoptimalan tenaga kerja keluarga dan
status sosial serta dibutuhkan dalam aspek budaya (Subandriyo 2008). Hampir
99% ternak ruminansia kecil di Indonesia merupakan skala usaha ternak kecil
(Soedjana 2008). Kontribusi ternak ruminansia kecil dalam usahatani sangat
berperanan penting. Ternak kambing dapat mengkonversi hijauan berkualitas
rendah menjadi protein hewani, sebagai sumber pupuk kandang serta sebagai
tabungan. Usahatani ternak kambing merupakan bagian dari sistim usahatani
secara umum di Indonesia.
Sampai saat ini, tampilan morfologi masih umum digunakan secara
praktis untuk mengkarakterisasi dan menyeleksi ternak. Penampilan morfologi ini
banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan luar seperti ketersediaan pakan dan
iklim. Hal ini menjadikan seleksi ternak berdasarkan morfologi membutuhkan
waktu lebih lama (Mabrouk et al. 2008; Nsoso et al. 2004; Lanari et al. 2003).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi biologi molekuler akhir-akhir ini,
khususnya yang berhubungan dengan penggunaan penanda molekuler telah
mempercepat karakterisasi sifat-sifat yang bernilai ekonomi tinggi, daya tahan
terhadap penyakit, asal-usul dan kekerabatan suatu individu atau rumpun ternak
tertentu (Nijman et al. 2003).
Penanda molekuler yang populer saat ini, antara lain DNA-mitokondria
dan DNA mikrosatelit. Penanda DNA-mitokondria menggambarkan karakteristik
yang diturunkan melalui garis induk (maternal) (Fan-Bin 2007). Penanda DNA
mikrosatelit menggambarkan karakter rekombinasi (Wimmers et al. 2000; Tadelle
2003; Zhang et al. 2002).
Selain itu penanda molekuler DNA kromosom Y
menggambarkan karakteristik yang diwariskan melalui pejantan (paternal)
(Verkaar et al. 2003).
Sejalan dengan perkembangan yang pesat lalu lintas ternak antar
kawasan
maka
lama
kelamaan
terjadilah
proses
adaptasi
terhadap
agroekosistem yang spesifik sesuai dengan lingkungan dan manajemen
pemeliharaan yang ada ditempat tertentu. Dengan demikian terjadi evolusi yang
membuka kemungkinan munculnya rumpun/galur/ras kambing yang baru. Balai
Penelitian Ternak Ciawi sejak tahun 1995 sudah memulai mengkarakterisasi
Kambing Kacang, Peranakan Etawah, Kosta dan Gembrong pada tahun 1997
(Setiadi et al. 1995; 1997). Diperkirakan masih banyak lagi rumpun kambing lokal
Indonesia lainnya yang belum dikarakterisasi dan sebagian mungkin sudah
hampir langka atau jumlah populasinya sudah mendekati punah.
3
Perwujudan tujuan pelestarian plasma nutfah dan spesifikasi ternak
menurut bangsa dapat dimulai dengan sebutan khusus menurut wilayah,
misalnya Kambing Marica yang ada di Sulawesi Selatan, Kambing Benggala di
Nusa Tenggara, Kambing Lakor di Maluku, Kambing Samosir dan Kambing
Muara di Sumatera Utara, Kambing Jawarandu di Jawa Tengah dan jenis
kambing lainnya di daerah Indonesia. Penelitian tentang karakterisasi kambing
lokal Indonesia perlu dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi potensi
sumberdaya genetik kambing lokal Indonesia.
Tujuan Penelitian
1. Menginventarisasi karakteristik fenotip secara kualitatif dan kuantitatif ciri-ciri
morfologi pada kambing lokal Indonesia.
2. Mengkarakterisasi keragaman genetik daerah D-loop DNA Mitokondria pada
kambing lokal Indonesia untuk mengetahui asal usul menurut garis keturunan
maternal.
3. Mengkarakterisasi keragaman gen SRY ruas DNA kromosom Y pada
kambing lokal Indonesia untuk mengetahui asal usul menurut garis keturunan
paternal.
4. Mengidentifikasi keragaman gen GDF9 yang berhubungan dengan sifat
prolifik pada kambing lokal Indonesia.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang
bermanfaat untuk
1. Mengembangkan
kambing
lokal
Indonesia
dengan
memperhatikan
keragaman populasi yang ada.
2. Menyediakan informasi yang dapat digunakan Pemerintah Daerah khususnya
Dinas Peternakan sebagai pedoman dalam menyusun perencanaan
pembangunan
peternakan,
khususnya
pengembangan
kambing
lokal
Indonesia dalam rangka pelestarian plasma nutfah kambing lokal Indonesia
yang
bertujuan
berkelanjutan.
untuk
pengembangan
dan
pemanfaatannya
secara
4
3. Menyediakan informasi tentang pemanfaatan ciri-ciri fisik kambing lokal
Indonesia yang dapat digunakan sebagai sumber keragaman genetik untuk
pembentukan galur bibit kambing unggul.
Kerangka Pemikiran
Keragaman
sumberdaya
genetik
meningkatkan produktivitas kambing.
merupakan
modal
dasar
untuk
Data dan informasi tentang karakter
fenotipik dan genetik ternak kambing lokal Indonesia sampai saat ini masih
sangat terbatas. Penelitian ini perlu dilakukan untuk mendapatkan data fenotifik
dan genotip beberapa kambing lokal Indonesia.
Penelitian dirancang dengan metode survei dan laboratorium. Metode
survei menggunakan purposive sampling, yaitu dengan memilih lokasi yang
diduga masih bisa ditemukan populasi kambing lokal terutama daerah yang
paling padat populasinya.
Lokasi dipilih berdasarkan informasi dari instansi
terkait di Propinsi kemudian menuju Kabupaten dan selanjutnya menuju
Kecamatan dan Desa. Sampel kambing diusahakan diambil dari lokasi yang
berjauhan.
Pada
lokasi
terpilih
dilakukan
pengambilan
sampel
darah,
penimbangan, pengamatan warna dan pola warna kambing serta ukuran-ukuran
tubuh diukur dengan pita, jangka dan tongkat ukur. Kegiatan laboratorium terdiri
atas ekstraksi DNA dari darah mengikuti metode Sambrook yang dimodifikasi,
menganalisis DNA mitokondria, DNA kromosom Y dan gen GDF9.
Diagram alir kerangka pemikiran penelitian Studi keragaman fenotipik dan
genetik
beberapa
sub
populasi
kambing
lokal
Indonesia
dan
pemanfaatannya secara berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 1.
strategi
5
KAMBING LOKAL INDONESIA
POTENSI
• Sebagai sumberdaya genetik ternak daerah/ nasional
• Kambing penghasil daging, susu, pupuk
• Berkontribusi signifikan terhadap pendapatan peternak dan status sosial
PERMASALAHAN
• Data dan informasi karakter morfometrik kambing lokal masih terbatas
• Data dan informasi pemetaan genetik tentang pengelompokan dan asal usul
secara maternal dan paternal masih terbatas
• Data dan informasi potensi keragaman gen fungsional yang berhubungan
dengan sifat prolifik pada kambing lokal masih terbatas.
ANALISIS
MORFOMETRIK
Data kualitatif
(warna dan pola
warna tubuh)
dan kuantitatif
(ukuran tubuh)
ANALISIS DNA
MITKONDRIA
Keragaman
genetik DNA
mitokondria
untuk mengiden
tifikasi
hubungan asal
usul kambing
lokal secara
maternal
ANALISIS DNA
KROMOSOM Y
Keragaman
genetik DNA
kromosom Y
untuk
mengiden
tifikasi
hubungan asalusul secara
paternal
ANALISIS
KERAGAMAN
GEN GDF9
Identifikasi
keragaman
gen GDF9
pada kambing
lokal
Status pemetaan keragaman fenotipik dan identitas genetik
enam sub populasi kambing lokal Indonesia
Data karakteristik sumberdaya genetik dapat digunakan sebagai salah satu
bahan pertimbangan dalam menetapkan dan menentukan arah strategi
pemanfaatan sumberdaya genetik kambing lokal secara berkelanjutan
Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Budidaya Ternak Kambing
Ternak kambing (Capra hircus) sering diartikan sebagai ternak yang
dapat membantu memecahkan masalah kemiskinan di kalangan peternak,
karena kemampuannya dalam memanfaatkan hijauan dalam jumlah terbatas
seperti pada lingkungan yang kritis dan kering/lahan marjinal (MacHugh &
Bradley 2001). Kambing merupakan hewan pertama yang didomestikasi, diduga
berasal dari Kambing liar Capra aegargus. Pada awalnya sekitar 10 000-11 000
tahun yang silam di daerah Kawasan Timur Tengah manusia zaman Neolithic
mulai memelihara kambing dalam jumlah kecil untuk mendapatkan susu, daging
dan kotorannya sebagai bahan bakar, juga sebagai bahan untuk pakaian dan
bangunan yang terbuat dari bulu, tulang, kulit dan urat daging (MacHugh et al.
2001; Zeder et al. 2000).
Saat ini lebih dari 300 rumpun ternak kambing yang hidup di berbagai
iklim dan ketinggian, mulai dari dataran tinggi sampai ke daerah dataran rendah.
Ahli arkeologi melaporkan dua tempat yang berbeda sebagai asal dari pertama
kali proses domestikasi kambing dilakukan, yaitu; Lembah Sungai Eupharate di
Nevali Cori, Turki (11 000 B.C.) dan di Pegunungan Zagros di Garj Dareh, Iran
(10 000 B.C.).
Kemungkinan situs yang lain adalah Indus Basin, di daerah
Mehgarh, Pakistan (9 000 B.C.) dan kemungkinan di Pusat Anatolia dan bagian
utara Levant.
Situs arkeologi yang lain yang penting menunjukkan adanya
proses domestikasi kambing di Cayonu, Turki (8 500 - 8 000 B.C.), Tell Abu
Hureyra, Syria (8 000 – 7 400 B.C.), Jerico, Israel (7 500 B.C.) dan Ain Ghazal,
Jordan (7 600 – 7 500 B.C.) (Hirst 2008).
Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus) berasal dari 3
kelompok kambing liar yang telah dijinakkan, yaitu Bezoar goat atau kambing liar
Eropa (Capra aegagrus), kambing liar India (Capra aegagrus blithy), dan Makhor
goat atau Kambing Makhor di pegunungan Himalaya (Capra falconeri).
Sebagian besar kambing yang diternakkan di Asia berasal dari keturunan
Bezoar, termasuk Kambing Gunung Sumatra (Caprinae sumatraensis) atau
disebut juga Kambing Gurun (Maddox & Cockett 2007).
Kambing biasanya dibedakan berdasarkan letak geografis, karakteristik
morfologi, dan performan produksi.
Kambing berdasarkan ukuran tubuh
(karakteristik morfologi) dibedakan atas tiga tipe yaitu; kambing tipe besar, tipe
7
sedang dan tipe kecil. Berdasarkan performan produksi kambing dibedakan atas
kambing tipe perah, tipe pedaging dan tipe dwi guna (dual purpose). Saat ini
usaha ternak kambing juga sangat berperan mendukung kebutuhan akan ternak
Qurban bagi yang beragama Islam yang merupakan agama mayoritas di
Indonesia dan juga pada aliran kepercayaan seperti agama Parmalim di Pulau
Samosir dan daerah sekitar Danau Toba. Saat ini, usaha ternak secara
komersial sudah berkembang di beberapa daerah di Indonesia untuk
memproduksi susu kambing, dimana kualitas susu kambing mempunyai
beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan jenis susu ternak lainnya.
Usaha ternak kambing perah berperan sekaligus menghasilkan ternak kambing
potong.
Keragaman Genetik Ternak
Keragaman genetik terjadi tidak hanya antar rumpun tetapi juga di dalam
satu rumpun yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi.
Pada
spesies ternak domestik suatu identifikasi tingkat keragaman, terutama pada
lokus-lokus yang mempunyai sifat bernilai penting mempunyai keterkaitan
dengan seleksi dalam program pemuliaan (Handiwirawan & Subandriyo 2004;
Abdullah 2008). Salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk mendeteksi
keragaman populasi adalah DNA mitokondria dan DNA mikro satelit (Muladno
2006; Yuwono 2006) dan DNA kromosom Y segmen gen SRY.
Keragaman genetik dalam populasi merupakan modal dasar aplikasi
teknologi pemuliaan dalam pemanfaatan hewan. Keragaman genetik populasi
yang digambarkan dalam keragaman penampilan hewan adalah refleksi
informasi genetik yang dimilikinya. Perbedaan penampilan disebabkan selama
proses domestikasi tipe atau rumpun-rumpun hewan terpisah secara genetik
karena adanya proses adaptasi dengan masing-masing lingkungan lokal dan
kebutuhan komunitas lokal sehingga dihasilkan rumpun yang berbeda (Muladno
2006).
Adanya kemampuan adaptasi hewan disebabkan hewan memiliki
kemampuan menghasilkan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status
fisiologi, dan atau tingkah laku sebagai reaksi terhadap lingkungan (Noor 2008).
Lebih dari 12 000 tahun yang lalu terdapat 12 spesies ternak telah
didomestikasikan dan berevolusi sehingga menjadi rumpun (breed) yang secara
genetik unik dan berbeda, beradaptasi terhadap lingkungan dan komunitas
setempat. Saat ini terdapat sekitar 6 000 – 7 000 rumpun ternak domestik dari
8
spesies yang telah terdomestikasi, bersama dengan lebih dari 80 spesies
kerabat liarnya yang merupakan sumberdaya genetik ternak di bumi ini yang
berperan penting untuk pangan dan produksi pertanian. Berbagai rumpun ternak
yang telah berkembang dalam berbagai sistem dan lingkungan yang ada saat ini
telah menghasilkan berbagai kombinasi gen yang unik. Gen-gen ini tidak hanya
menentukan kualitas sifat produksi dari masing-masing rumpun, tetapi juga
terhadap kemampuan adaptasinya pada perubahan kondisi lingkungan lokal
termasuk makanan, ketersediaan air, iklim dan hama penyakit (FAO 2001).
Berbagai macam kebutuhan manusia sehari-hari dipenuhi dari spesies
ternak, dalam bentuk pangan maupun kebutuhan lainnya.
Namun hanya
sebagian kecil dari total keragaman genetik ternak dan kerabat liarnya, yakni
sekitar 40 spesies yang memenuhi sebagian besar proporsi dari produksi ternak
global. Keragaman ternak di dalam genetik ternak dan beberapa kerabat lainnya
telah menjadi sumber keragaman dari rumpun dan populasi ternak. Keragaman
genetik ini penting dalam pembentukan ternak modern dan akan terus
berkelanjutan di masa mendatang (Subandriyo & Setiadi 2003). Sumberdaya
genetik ternak sedikitnya memiliki empat manfaat, yaitu (1) keberlanjutan dan
peningkatan produksi pangan; (2) memaksimumkan produktivitas lahan dan
sumberdaya
pertanian;
(3)
pencapaian
pertanian
berkelanjutan
untuk
memberikan keuntungan masa kini dan generasi rumpun ternak yang akan
datang; (4) pemenuhan keanekaragaman baik yang telah maupun yang belum
diketahui manfaatnya bagi kehidupan sosial masyarakat.
Ketersediaan
keanekaragaman genetik ternak, termasuk kambing akan mempengaruhi
keberhasilan strategi pemuliaan untuk masa yang akan datang (FAO 2007).
Pelestarian Sumberdaya Genetik Ternak
Keragaman genetik ini penting dalam pembentukan rumpun dan populasi
ternak modern dan akan terus berlanjut untuk masa mendatang.
Punahnya
keragaman plasma nutfah ternak tidak akan dapat diganti meskipun dengan
kemajuan bioteknologi, paling tidak sampai saat ini.
Negara-negara sedang
berkembang pada umumnya berada pada iklim dengan perubahan temperatur
yang ekstrim antara musim panas dan hujan.
Pada kondisi seperti ini akan
terbentuk rumpun ternak yang beradaptasi. Walaupun produktivitasnya rendah
apabila dibandingkan dengan dengan rumpun yang terdapat di daerah temperate
(eksotik), rumpun ternak ini memiliki daya tahan terhadap berbagai macam
9
penyakit; tahan terhadap fluktuasi ketersediaan dan mutu pakan dan air; tahan
terhadap perubahan temperatur, kelembaban dan pengaruh iklim ekstrim
lainnya.
Rumpun ternak ini juga beradaptasi terhadap pemeliharaan yang
kurang baik sehingga memiliki nilai yang sangat berharga untuk mengantisipasi
berbagai perubahan alam dan lingkungan diwaktu yang akan datang (FAO
2007).
Dengan demikian, pelestarian terhadap sumberdaya genetik ternak lokal
sebagai bagian dari komponen keanekaragaman hayati adalah penting untuk
memenuhi kebutuhan pangan, pertanian dan perkembangan sosial masyarakat
di masa yang akan datang. Ada beberapa alasan untuk ini, antara lain: (1) lebih
dari 60 persen dari rumpun-rumpun hewan ternak di dunia berada di negaranegara sedang berkembang, (2) konservasi rumpun ternak lokal tidak menarik
bagi petani, (3) secara umum tidak ada program monitoring yang sistematis dan
tidak tersedianya informasi deskriptif dasar sebagian besar sumberdaya genetik
hewan ternak, serta (4) sedikit sekali rumpun-rumpun hewan ternak asli yang
telah digunakan dan dikembangkan secara aktif (FAO 2001; 2007).
Pelestarian sumberdaya genetik ternak pada dasarnya dapat dilakukan
salah satu atau gabungan dari: (1) mempertahankan populasi ternak hidup baik
dalam bentuk in-situ maupun ex-situ pada satu tempat tertentu, (2) penyimpanan
beku (cryogenic), dan (3) penyimpanan dalam bentuk DNA. Dalam beberapa
hal,
mempertahankan populasi
merupakan metode
yang
lebih praktis.
Pelestarian pada ternak hidup mempunyai beberapa keuntungan antara lain;
rumpun-rumpun ternak yang dilestarikan secara bertahap dapat merespon
terhadap perubahan pengaruh eksternal dan memungkinkan dilakukan evaluasi
kinerjanya (FAO 2007).
Sumberdaya Genetik Kambing Indonesia
Sumberdaya ternak kambing di Indonesia saat ini terdiri dari tiga
kelompok, yakni: (1) ternak asli, (2) ternak impor, dan (3) ternak yang telah
beradaptasi dalam jangka waktu lama sehingga membentuk karakteristik
tersendiri (ternak lokal).
Pentingnya nilai konservasi pada kelompok hewan
ternak ini, beberapa rumpun ternak ini perlu dijadikan target konservasi sekaligus
pemanfaatannya (Utoyo 2002). Rumpun ternak kambing di Indonesia dan
rumpun kambing lainnya adalah merupakan hasil domestikasi sekitar 10000
tahun yang lampau. Kambing eksotis masuk ke Indonesia melalui daratan India
10
terus melalui Khyber Pass, kemudian menyebar melalui pulau Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, Jawa sampai Indonesia bagian Timur.
Kambing Kacang merupakan rumpun kambing asli Indonesia, bentuk
badannya kecil dengan tinggi pundak sekitar 50-60 cm serta prolifik. Introduksi
rumpun kambing impor Benggala dari India dimulai oleh orang-orang Arab dan
kambing-kambing tersebut didatangkan melalui pelabuhan pantai utara Pulau
Jawa. Mulai pada tahun 1911-1931 didatangkan rumpun-rumpun Kambing
Kashmir, Angora (Montgomey), Benggala dan Etawah untuk stasiun ternak
kambing atau stasiun peternakan di Keresidenan Kedu, Solo, Yogyakarta,
Banyumas, Pekalongan, Pangalengan, Padang Mangatas, Wlingi (Blitar),
Sumba, dan Sumbawa.
Disamping dari India pada tahun 1928 pernah pula
diimpor dari Negeri Belanda yaitu “Hollandse Edelgeiten” (Kambing Belanda
Murni).
Rumpun kambing dari India selanjutnya disilangkan dengan rumpun
kambing lokal Indonesia dengan cara digaduhkan atau menempatkan pejantan
Etawah murni atau persilangan dengan proporsi darah Etawah yang cukup tinggi
di desa-desa yang akan dikembangkan peternakan kambingnya.
Hasil
persilangan tersebut dikenal dengan nama Peranakan Etawah, yang proporsi
darah Etawahnya sangat beragam.
Selain itu juga terdapat rumpun kambing lain yang berkembang di daerah
tertentu yang merupakan kambing lokal tradisional diantaranya Kambing
Gembrong (di Bali), Kambing Kosta (di Banten), Kambing Bligon, Kambing
Jawarandu (di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta) dan beberapa
jenis kambing lokal lainnya yang belum diidentifikasi secara ilmiah.
Setelah
zaman kemerdekaan diimpor atau diintroduksikan beberapa rumpun kambing,
baik dalam bentuk hidup atau mani beku.
Rumpun kambing yang pernah
dintroduksikan antara lain Kambing Saanen dan Kambing Anglo Nubian. Bahkan
akhir-akhir ini telah diintroduksikan pula Kambing Boer dari Australia yang
dipersilangkan dengan Kambing Kacang atau Peranakan Etawah dalam bentuk
pejantan hidup atau mani beku (Subandriyo 2004).
Terjadinya persilangan antara kambing impor dengan kambing asli
Indonesia (Kacang) serta adanya aklitimasi dan isolasi selama puluhan bahkan
ratusan tahun di suatu lokasi tertentu dapat menyebabkan terbentuknya
kelompok kambing lokal atau sub populasi dengan komposisi genetik yang unik
pula. Terbentuknya galur/kelompok kambing bisa juga disebabkan terisolasinya
suatu lokasi, sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan genetik akibat
11
adanya penghanyutan genetik (random genetic drift) seperti dilaporkan Freeland
(2005).
Kambing Muara dijumpai di daerah Kecamatan Muara, Kabupaten
Tapanuli Utara. Berdasarkan pada penampilannya kambing ini nampak gagah,
tubuh kompak dan sebaran warna bervariasi antar warna bulu coklat kemerahan,
putih dan ada juga yang berwarna bulu hitam. Bobot Kambing Muara ini lebih
besar dari pada Kambing Kacang dan diduga mempunyai potensi sebagai ternak
prolifik. Kambing Benggala menurut cerita dari peternak diduga merupakan hasil
persilangan Kambing Black Bengal dengan kambing lokal yang diduga dibawa
pendatang/pedagang dari India, Bangladesh dan Arab ke daerah sekitar Pulau
Timor dan Pulau Flores di Propinsi Nusa Tenggara Timur sebelum zaman
penjajahan Hindia Belanda. Selang waktu yang sudah ratusan tahun persilangan
kambing tersebut mengalami proses adaptasi dengan lingkungan setempat
(Batubara et al. 2007).
Kambing Benggala secara umum lebih besar dari
Kambing Kacang, umumnya didominasi warna hitam dan sedikit berwarna
kecoklatan.
Menurut
FAO
(2000)
rumpun
adalah
bagian
kelompok
tertentu
(subspecific group) dari ternak domestik dengan karakteristik eksternal yang
dikenal dengan penilaian visual atau kelompok yang dipisahkan oleh geografi
dan budaya secara fenotipik. Rumpun berkembang menurut perbedaan geografi
dan budaya untuk memenuhi kebutuhan yang serupa dan telah diterima sebagai
identitas yang terpisah.
Berdasarkan adaptasi terhadap kondisi lokal rumpun dibedakan atas
rumpun lokal dan rumpun introduksi. Rumpun lokal dapat dibedakan lagi atas
rumpun asli (indigenous breed, native breed) adalah ternak yang berdasarkan
sejarah terbukti berasal dari negara tersebut dan rumpun tradisional (rumpun
lokal) adalah ternak yang sejarahnya tidak terbukti berasal dari negara tersebut
tetapi selama 30-50 tahun telah diternakkan di negara tersebut, terbukti
mempunyai catatan silsilah selama lima generasi. Rumpun introduksi (rumpun
asing, exotic, alocthonous) yang tidak berasal dari suatu negara atau tidak
secara kontinu diternakkan di suatu negara lebih dari 50 tahun (Sapi, kuda) dan
30 tahun untuk ternak lainnya (FAO 2007).
Penetapan dan pengakuan rumpun/galur ternak di Indonesia dilakukan
oleh Pemerintah melalui Kementerian Pertanian. Pemerintah menyusun tatacara
mengenai pengujian, penilaian, penetapan dan pengakuan, pemberian nama dan
12
pelepasan rumpun/galur ternak.
Istilah “penetapan” adalah sebagai bentuk
pengakuan dari negara terhadap rumpun ternak yang telah ada dan
dibudidayakan secara turun temurun oleh peternak dan menjadi milik masyarakat
(rumpun lokal atau rumpun asli).
Istilah “pengakuan” adalah suatu bentuk
pengakuan negara terhadap rumpun dan/atau galur ternak hasil pemuliaan/
introduksi/rekayasa genetik (Puslitbangnak 2007).
Sifat Kuantitatif dan Kualitatif
Penampilan individu yang nampak dari luar disebut sebagai fenotipik,
yang dapat dibedakan menjadi sifat kuantitatif dan kualitatif (Hardjosubroto
2001). Mabrouk et al. (2008) mengemukakan bahwa karakter kuantitatif adalah
ciri-ciri dari mahluk hidup yang dapat diukur, dihitung atau diskor, misalnya
ukuran-ukuran tubuh.
Karakter ini ditentukan oleh banyak pasang gen
(poligenik) dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Beberapa sifat kuantitatif pada ternak mempunyai hubungan satu sama
lain, hubungan ini secara statistik disebut dengan korelasi.
berkorelasi
menjadi
penting
karena
seleksi
terhadap
Sifat-sifat yang
satu
sifat
akan
menyebabkan kemajuan atau kemunduran bagi sifat lain yang berkorelasi
dengan sifat tersebut (Nsoso et al. 2004).
Berlawanan dengan karakter kuantitatif, karakter kualitatif adalah karakter
yang pada umumnya dijelaskan dengan kata-kata atau gambar. Sifat ini sedikit
sekali atau bahkan tidak ada hubungannya dengan kemampuan produksi,
namun sifat ini mungkin penting sebagai penciri bagi rumpun atau tipe ternak
tertentu, misalnya warna dan pola warna tubuh. Sifat ini diatur oleh satu atau
beberapa pasang gen saja, dan sedikit sekali dipengaruhi oleh lingkungan (Noor
2008).
Sponenberg (2004) mengemukakan bahwa tipe dasar tatawarna bulu
dapat dibedakan menurut: pertama, warna yang meliputi seluruh permukaan
tubuh sehingga membentuk warna seragam atau homogen atau warna tunggal;
dan kedua, heterogen atau campuran. Warna heterogen ini memiliki dua tipe
yang berbeda, yaitu: (a) komposit, apabila pada tubuh ditemukan bidang-bidang
warna yang berbeda (spotted); dan (b) campuran, apabila bulu-bulu dari warna
yang berbeda tampak secara bergantian satu dengan lainnya. Warna pada
kambing umumnya diklasifikasikan kedalam warna tunggal (unicoloured) dan
terpola (patterned).
13
Penanda Genetik
Penanda adalah karakter yang dapat diwariskan dan berasosiasi dengan
genotip tertentu dan digunakan untuk mengkarakterisasi genotip.
Potensi
penggunaan penanda sebagai alat untuk melakukan karakterisasi genetik telah
dikenal sejak puluhan tahun yang lalu. Penanda ini dikategorikan atas penanda
morfologi, sitologi, dan yang terbaru adalah penanda molekuler (Simianer 2006).
a. Penanda Morfologi
Penanda morfologi (fenotipik) merupakan penanda yang telah banyak
digunakan baik dalam program genetika dasar maupun dalam program praktis
pemuliaan, karena penanda ini paling mudah untuk diamati dan dibedakan.
Pengukuran parameter tubuh biasa digunakan untuk menduga asal usul
rumpun ternak. Ukuran-ukuran tubuh sangat berguna untuk menentukan asalusul dan hubungan filogenetik antar spesies, rumpun dan tipe ternak yang
berbeda. Beberapa penelitian telah dilakukan menggunakan ukuran-ukuran
tubuh untuk membedakan kelompok Kambing Tswana (Nsoso et al. 2004).
Mabrouk et al. (2008) juga telah melakukan penelitian menggunakan beberapa
ukuran tubuh (bobot badan, panjang badan, tinggi pundak, dalam dada, lingkar
dada, tinggi pinggul, lingkar pinggul, dalam pinggul, panjang ekor, lebar ekor dan
tebal ekor) sebagai peubah pembeda kelompok pada beberapa kelompok
kambing lokal di Tunisia.
Dossa et al. (2007) mengemukakan bahwa kesamaan fenotipik dapat
menunjukkan identitas genetik, walau terdapat beberapa batasan, antara lain:
fenotipik yang identik dapat disebabkan olel alel-alel yang berbeda atau oleh
gen-gen pada lokus yang berbeda.
Dalam hal tertentu, mungkin terdapat
perbedaan dalam daya ekspresi (derajat manifestasi pada satu individu) atau
oleh gen dominan (frekuensi satu sifat diekspresikan relatif terhadap sejumlah
pembawa gen tertentu yang diketahui dalam satu populasi). Kemiripan fenotipik
dapat juga disebabkan oleh fenokopi, yakni kemiripan satu fenotip yang
diakibatkan satu genotip tertentu oleh aksi lingkungan pada genotip lainnya.
Namun demikian, penanda ini memiliki kelemahan karena dipengaruhi oleh
lingkungan, memperlihatkan sifat menurun dominan/resesif dan banyak yang
hanya dapat diamati pada tingkat umur tertentu.
14
b. Penanda Molekuler
Menurut Cardellino dan Boyazoglu (2009) aplikasi penanda molekuler
yang paling penting adalah untuk pembuatan peta genetik, yang dapat
digunakan untuk memeriksa lokasi suatu gen yang bertanggung jawab terhadap
suatu sifat yang sederhana, misalnya resistensi terhadap penyakit atau sifat
kuantitatif yang komplek pada kromosom.
Penanda molekuler ini ada pada
tingkat DNA, maka penanda ini bebas dari pengaruh-pengaruh epistasis,
lingkungan dan fenotip sehingga dapat menyediakan informasi genetik yang
defenitif untuk digunakan dalam mempelajari keragaman genetik, mendeteksi
gen-gen major dan mempelajari sifat-sifat genetik yang komplek.
Tehnik ini sangat membantu pemulia dalam melakukan studi genetik
dengan ketepatan yang tinggi.
Untuk mendapatkan informasi genetik dapat
dilakukan dengan menggunakan penanda molekuler, seperti isozim, RFLP
(restriction fragment length polymorphism), RAPD (random amplified polimorphic
DNA), AFLP (amplified fragment length polymorphism) dan lain-lainnya.
Penanda molekuler terbaru yang relatif mudah diamati adalah DNA mikrosatelit.
DNA Mitokondria
Organisme eukariot termasuk ternak domestik, sumber DNA dapat
diperoleh oleh organel-organel sitoplasmik antara lain DNA mitokondria. DNA
mitokondria memiliki karakteristik sebagai molekul DNA yang diturunkan secara
utuh tanpa adanya rekombinasi, memiliki molekul dengan ukuran kecil/pendek
yang susunannya berbeda dengan DNA inti (Lewin 2000) dan memiliki variasi
basa nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan dengan DNA inti.
Tingginya
variasi basa nukleotida disebabkan DNA mitokondria memiliki laju perubahan 510 kali lebih tinggi dibandingkan DNA inti (Muladno 2006; Fan-Bin 2007). DNA
mitokondria terutama daerah D-loop, sangat baik digunakan untuk analisis
keragaman hewan, baik di dalam spesies maupun antar spesies (Muladno 2006).
Setiap sel mengandung satu hingga ratusan DNA mitokondria.
DNA
mitokondria merupakan DNA utas ganda yang berbentuk sirkuler (Freeland
2005), mengandung sejumlah gen penting untuk respirasi dan pembentukan
energi sel tubuh dan fungsi lainnya, sehingga relatif lebih mudah untuk
mengisolasi nukleotidanya dari genom (MacHugh & Bradley 2001).
Genom
mitokondria hewan berukuran relatif kecil dan terdapat dalam jumlah banyak,
maka eksplorasi rumpun dan penelaahannya lebih mudah.
15
DNA mitokondria (mtDNA) mempunyai beberapa kelebihan yang
menjadikannya banyak digunakan untuk mengidentifikasi keanekaragaman
genetik dan dinamika populasi. Beberapa kelebihan tersebut adalah (1) memiliki
ukuran yang kompak dan relatif kecil (16 000 – 20 000 pasang basa), tidak
sekomplek DNA inti sehingga dapat dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh;
(2) berevolusi lebih cepat dibandingkan dengan jelas perbedaan antara populasi
dan hubungan kekerabatannya; (3) hanya sel telur yang menyumbangkan
material mitokondria sehingga mitokondria DNA hanya diturunkan dari induk
betina; dan (4) bagian-bagian dari genom mitokondria berevolusi dengan laju
yang berbeda, sehingga dapat berguna untuk studi sistematika dan penelusuran
kesamaan asal-usul.
DNA mitokondria telah banyak digunakan sebagai
penanda molekul untuk studi genetika populasi, penelusuran asal-usul dan
pelacakan beberapa penyakit degeneratif, penuaan serta kanker (Wandia 2001).
DNA mitokondria telah dikarakterisasi dengan lebih baik pada sebagian besar
ternak dan telah digunakan untuk studi evolusi (Freeland 2005).
Tingkat evolusi dari suatu gen atau bagian DNA yang berbeda
merupakan faktor penting yang menentukan penggunaan penanda DNA dalam
studi sistematika dan biogeografi.
Umumnya, gen-gen yang terkonservasi
dengan baik (berevolusi lambat) dapat dijadikan dasar penelusuran asal-usul
atau filogeni.
Sebaliknya, gen-gen yang tidak terkonservasi dengan baik
(berevolusi cepat)
dapat
digunakan
untuk
perbandingan galur-galur baru
(Chen et al. 2005).
DNA mitokondria hewan secara umum memiliki jumlah dan jenis gen
yang sama yaitu 13 daerah yang mengkode protein (URF1, URF2, URF3, URF4,
URF5, URF6, URF6L, URF4L, Cytochrome Oxidase unit I, Cytochrome Oxidase
unit II, Cytochrome Oxidase unit III, Cytochrome –b dan ATPase 6); 2 gen
pengkode rRNA yaitu 12S rRNA dan 16S rRNA; 22 gen pengkode tRNA
(Freeland 2005). Perkembangan sekarang ini ke-8 URF adalah diidentifikasi
menjadi gen-gen 7 sub unit NADH-dehidrogenase (ND 1-6 dan ND 4L) dan sisa
ATPase 8 (Lewin 2000). Daerah bukan pengkode, hanya terdiri atas daerah
kontrol (control region) yang memegang peranan penting dalam proses
transkripsi dan replikasi genom mitokondria.
Pada mamalia, daerah bukan
pengkode meliputi daerah bukan pengkode utama yang merupakan tempat awal
replikasi H strand (OH). Daerah bukan penyandi utama terletak pada wilayah
dislacement–loop (D-loop region).
Bagian lainnya adalah daerah bukan
16
pengkode segmen minor yaitu tempat awal replikasi L strand (OL) yang terletak
pada gugus gen tRNA antara gen CO I dan ND 2.
Gambar 2 Skema genom daerah D-loop kambing (Sumber : Freeland 2005)
DNA Kromosom Y
Penentuan jenis kelamin laki-laki pada manusia tergantung dari aktivitas
yang disebut testis determining factor yang terdiri dari exon tunggal dan
dikodekan oleh gen SRY. Karakteristik dari daerah kotak SRY-HMG merupakan
target ideal untuk pengembangan dari uji penentuan jenis kelamin berdasarkan
DNA (Prashant et al. 2008). Mutasi pada gen SRY berperan menentukan XY
Gonadal Dysgenesis (XYGD). Fenotip XYGD yang telah dilaporkan antara lain
pada manusia (Cohen dan Shaw 1965), kuda (Power 1986), sapi (Kawakura et
al. 1996) dan kerbau rawa (Iannuzzi et al. 2001)
17
Sampai saat ini hanya sekitar 15-20% kasus yang ditemukan bermutasi
(McElreavey 1996) sementara sebagian besar lainnya masih belum diketahui
faktor apa yang mempengaruhinya (Veiteia et al. 2001). Gen SRY bersifat nonrekombinan pada bagian Y kromosom, sehingga sekuen gen ini dapat digunakan
untuk menganalisis dan menyelidiki proses evolusi dan asal usul dari individu
secara paternal atau menurut garis keturunan pejantan (Parma et al. 2004;
Prashant et al. 2009).
Gen SRY yang
terletak di komosom Y bertanggung jawab untuk
menentukan jenis kelamin pada mammalia (Sinclair et al. 1990) dan
mengkodekan protein sebanyak 204 asam amino. Gen SRY terpusat di daerah
High Mobility Groups (HMG) yang mempunyai variasi tinggi sehingga ideal
digunakan untuk menguji garis keturunan paternal berdasarkan DNA (Prashant
et al. 2008). Penelitian tentang Kromosom Y pada kambing telah dilakukan pada
Kambing Sardinian dan Maltese (Sechi et al. 2009), Kambing Sangamneri
(Prashant et al. 2009). Skema genom gen SRY kromosom Y dan kromosom X
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gen SRY
Sentromer
Gambar 3 Skema genom gen SRY kromosom Y dan kromosom X
(Sumber: Seli & Sakkas 2005).
Gen yang Berhubungan dengan Sifat Prolifik
Sifat prolifik pada ternak ruminansia bisa dibedakan menjadi 2 jenis yaitu:
Superovulasi yang bersifat multizigous, yaitu jumlah anak sekelahiran bisa lebih
18
dari 2 bahkan bisa sampai beranak lima ekor dalam satu periode kelahiran,
biasanya dijumpai pada ternak ruminansa kecil seperti domba dan kambing, dan
yang bersifat monozigous, yaitu pada ternak ini ada kemungkinan satu sel telur
berkembang dengan cara membelah menjadi dua, biasanya ini dijumpai pada
ternak ruminansia besar.
Folikel merupakan titik awal yang perlu disoroti
sebagai salah satu ”pabrik” penghasil sel telur dan penghasil hormon conseptus
(kebuntingan) maupun mammogenic (kelenjar susu), bahkan secara genetik
dapat digunakan sebagai alat seleksi untuk memperoleh ternak unggul
berdasarkan jumlah anak yang dilahirkan.
Selama ini dibidang fisiologi
reproduksi telah terjadi inefisiensi pemanfaatan folikel pada induk betina. Kedua
ovarium betina mengandung 40 000 – 300 000 folikel bahkan lebih tergantung
pada jenis ternak. Pada ruminasia (sapi,domba,kambing) berkisar 50 000 – 150
000 folikel (Hafez 1993), namun selama hidupnya ternyata hanya beberapa
folikel yang berovulasi, sehingga ratusan ribu sisanya tidak termanfaatkan.
Folikel baik sebelum maupun sesudah ovulasi menjadi corpus luteum merupakan
organ transitor yang memiliki peran regulator di dalam proses reproduksi,
terutama sebagai sumber penghasil sel telur maupun hormon conseptus
endogen (Gemmell 1995).
Kematian anak dari tipe kelahiran 3 atau lebih sangat tinggi (Inounu et al.
1993), sehingga potensi keuntungan dari betina dengan jumlah anak banyak ini
tidak terlihat. Betina-betina yang merawat anak banyak membutuhkan tingkat
nutrisi yang sangat baik pada fase sebelum dan sesudah kelahiran dan juga
memerlukan perawatan serta perhatian yang lebih banyak, jika persentase anak
yang hidup ingin dicapai.
Tehnik laparoskopi dapat dilakukan pada ternak
kambing betina untuk mengamati produksi sel telur (laju ovulasi) dengan cara
menghitung jumlah corpus luteum (CL) yang dihasilkan. Batas atas keragaan
reproduksi adalah jumlah sel telur yang dihasilkan oleh seekor induk per satu
siklus birahi, yang diamati dengan cara menghitung jumlah corpus luteum (badan
kuning) dari kedua indung telur pada hari ke 3-10 setelah birahi.
Faktor
lingkungan merupakan faktor pendukung apakah batas atas tersebut dapat
dicapai. Laju ovulasi adalah rataan jumlah sel telur yang dihasilkan oleh seekor
induk setiap siklus birahi.
Di dunia ini ada beberapa rumpun kambing yang
sangat prolifik, ditandai dengan laju ovulasi dan jumlah anak sekelahiran tinggi
yang bisa melahirkan anak 3-5 ekor anak per kelahiran. Karakterisasi genetik
terhadap sifat-sifat prolifik ini telah banyak dilaporkan pada ternak Domba Jawa
19
ekor tipis, Merino, Thoka, Lacaune, Cambridge (Davis et al. 2002); Awassi dan
Assap (Gootwine et al. 2008); Han ekor pendek (Chu et al. 2006); Rumpun
Aragonesa (Rovo 2008), sedangkan untuk jenis ternak kambing baru dilaporkan
pada Kambing Jining Grey (Chu et al. 2007). Meskipun demikian, kedua jenis
ternak tersebut seringkali ditemukan mempunyai jumlah anak per kelahiran yang
lebih dari satu (Odubute et al. 1992). Lan (2007) melaporkan bahwa laju ovulasi
dan litter size pada Domba Booroola dari Merino Australia disebabkan alel
FecBB dari major gene yang disebut FecB. Ditemukan pula bahwa gen utama
tersebut berada pada ovine chromosome 6 yang juga merupakan posisi dari gen
yang menyandikan salah satu anggota growth transforming factor-β, yaitu bone
morphogenetik protein receptor 1B (BMPR1B). Hanrahan et al. (2004) kemudian
menambahkan bahwa ada juga jenis gen lain yang berasosiasi dengan laju
ovulasi dan litter size, yaitu Oocyte- growth derived factors GDF9 dan bone
morphogenetik protein 15 pada Domba Cambridge dan Berclare. Dalam
perkembangan berikutnya, ternyata ketiga jenis gen tersebut diketahui beraksi
sebagai gen-gen utama yang mengatur tingkat laju ovulasi pada kisaran taksa
mamalia yang luas, mulai dari manusia, sapi, tikus, dan kucing (Davis 2004;
2005) yang kemudian diikuti dengan penamaan gen yang bersinonim.
Jadi
dalam keluarga transforming growth factor-β yang berasosiasi dengan sifat-sifat
prolifik adalah bone morphogenetik protein receptor type 1B (EU 581862
BMPR1B, activin-like kinase 6, atau FecB) pada ovine chromosome 6, growth
differentiation factor 9 (= GDF9, Oocyte-derived growth factors, atau FecG) pada
ovine chromosome 5, dan bone morphogenetik protein 15 (BMP15, atau FecX)
pada ovine chromosome X. Selain ketiga gen fekunditas yang populer pada
domba, gen prolactin receptor juga diduga berasosiasi dengan sifat prolifik pada
Kambing Jining Grey (Zhang et al. 2007) dan pada manusia dan sapi.
Berbagai analisis terhadap pola-pola mutasi dari gen-gen fekunditas dan
asosiasinya dengan laju ovulasi, litter size dan berbagai efisiensi reproduksi
lainnya banyak menarik perhatian para pemulia ternak (Davis 2005). Akibatnya
bisa dipastikan bahwa pola-pola mutasi nukleotida pada gen-gen fekunditas
diatas memunculkan berbagai penanda molekular yang diasosiasikan dengan
berbagai sifat prolifik.
KARAKTERISASI MORFOMETRIK DAN ANALISIS
FILOGENI PADA ENAM SUB POPULASI KAMBING LOKAL
INDONESIA
Pendahuluan
Berdasarkan Statistik Tahun 2010 jumlah populasi ternak kambing di
Indonesia sebanyak 16 841 149 ekor, paling tinggi di provinsi Jawa Tengah
(3 491 073 ekor), Jawa Timur (2 822 534 ekor), Jawa Barat (1 825 748 ekor),
Lampung (1 206 000 ekor), Banten (854 522 ekor), NAD (886 468 ekor),
Sumatera Utara (621 492 ekor), NTT (556 190 ekor) dan Sulawesi Selatan
(442 297 ekor). Hampir 99% ternak ruminansia kecil di Indonesia merupakan
skala usaha ternak kecil (Soedjana 2008). Sekitar 95% penduduk Indonesia
adalah Muslim, ruminansia kecil mempunyai peranan penting pada kegiatan
keagamaan terutama perayaan Idul Adha. Ternak kambing dapat mengkonversi
hijauan berkualitas rendah menjadi protein hewani, sebagai sumber pupuk
kandang serta sebagai tabungan.
Parameter fenotipik merupakan metode yang paling mudah digunakan
untuk mengidentifikasi karakterisitik ternak ruminansia (Alade et al. 2008; Khan
et al. 2006; Dossa et al. 2007; Jimmy et al. 2010).
Perbedaan penampilan
disebabkan selama domestikasi tipe-tipe atau rumpun-rumpun hewan terpisah
fenotipik secara genetik karena adanya proses adaptasi (ekpresi gen) dengan
lingkungan lokal dan kebutuhan komunitas lokal sehingga dihasilkan rumpun
yang berbeda. Adanya kemampuan adaptasi hewan disebabkan hewan memiliki
kemampuan menghasilkan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status
fisiologi dan atau tingkah laku sebagai reaksi atau upaya adaptasi terhadap
perubahan lingkungan berupa pengaturan ekspresi gen dan perubahan bentuk
fenotip (Riva et al. 2004; Mansjoer et al . 2007; Noor 2008; Karna et al. 2001).
Mendukung upaya pelestarian dan pemanfaatan ternak kambing lokal
secara berkelanjutan maka perlu diketahui karakteristik fenotipik dan potensi
produksi ternak yang ada di Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendapatkan data dan informasi tentang karakteristik morfometrik dan jarak
genetik kambing lokal di Indonesia.
21
Bahan dan Metode
Penelitian ini menggunakan beberapa sub populasi kambing lokal
Indonesia yang disebut Kambing Samosir, Kambing Muara, Kambing Marica,
Kambing Jawarandu, Kambing Benggala dan Kambing Kacang.
Penentuan
sampel kambing dengan metode purposive sampling, yaitu pertama menentukan
Kabupaten daerah sentra produksi di setiap Propinsi, baru kemudian ditentukan
Kecamatan dan Kelompok Desa. Setiap sub populasi diambil sekitar 34 - 217
ekor kambing sebagai sampel sesuai dengan ketersediaan populasi ternak yang
bisa ditemui di lapangan dan diusahakan diambil dari desa yang jauh
kekerabatan/keturunan sampel kambing dengan sampel pada lokasi desa
pengambilan lainnya.
Peralatan penelitian yang digunakan yaitu tongkat ukur ketelitian 0.1 cm,
pita ukur ketelitian 0.1 cm, jangka sorong stainless steel buatan Jerman,
timbangan gantung (shelter) dengan ukuran kg dengan tingkat ketelitian 50
gram, kamera digital Nikon F-9. 8 mega pixel, dan tali rapiah pengikat kambing.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian lapangan untuk koleksi data fenotipik dilakukan pada bulan
Maret 2009 sampai Maret 2011 di empat Propinsi yaitu:
1. Propinsi Sumatera Utara : Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara,
Kabupaten Deli Serdang.
2. Propinsi Jawa Tengah; Kabupaten Blora.
3. Propinsi Sulawesi Selatan: Kabupaten Maros, Kota Makassar, Kabupaten
Jeneponto.
4. Propinsi Nusa Tenggara Timur : Kota Kupang, Kabupaten Kupang,
Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende.
22
•KACANG (n=217) Kab. Deli Serdang,
• MUARA (n=34) Kab. Tap.Utara,
•SAMOSIR (n=42) Kab. Samosir PROPINSI SUMATERA UTARA
JAWARANDU (n=94)
Kab. Blora
PROPINSI JAWA TENGAH
MARICA (n=60) Kab. Maros,
Kab. Jeneponto, Kota Makassar
PROPINSI SULAWESI SELATAN
BENGGALA (n=96)
Kab. Kupang, Kab. Sikka, Kab. Ende,
PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Gambar 4 Peta lokasi pengambilan sampel dan data penelitian karakterisasi
enam sub populasi kambing lokal Indonesia.
Pengumpulan Sampel Kambing
Teknik pengambilan sampel ternak kambing dilakukan secara acak pada
543 ekor kambing, yaitu 96 ekor Kambing Benggala (betina=89, jantan=7), 94
ekor Kambing Jawarandu (betina=72, jantan=22), 60 ekor Kambing Marica
(betina=48, jantan=12), 217 ekor Kambing Kacang (betina=193, jantan=24), 34
ekor Kambing Muara (betina=28, jantan=6) dan 42 ekor Kambing Samosir
(betina=36, jantan=6).
Pengumpulan data fenotipik dilakukan bersamaan dengan pengambilan
sampel darah. Koleksi data dimulai dengan pencatatan jenis kelamin dan umur
kambing serta nama pemiliknya.
Umur kambing penelitian ditentukan
berdasarkan minimal sudah terdapat 1 pasang gigi seri yang permanen.
Parameter fenotipik yang digunakan dalam analisis data meliputi :
1) lingkar dada (LIDA), diukur melingkar tepat di belakang scapula, dengan
menggunakan pita ukur dalam cm;
23
2) lebar dada (LEDA), diukur antara tuberitas humeri sinister dan dexter,
dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm;
3) dalam dada (DADA), diukur dari bagian tertinggi pundak sampai dasar dada,
dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm;
4) tinggi pundak (TIPU), diukur dari bagian tertinggi pundak melalui belakang
scapula tegak lurus ke tanah, dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm;
5) tinggi pinggul (TIPI), diukur dari bagian tertinggi pinggul secara tegak lurus
ke tanah, dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm;
6) lebar pinggul (LEPI), diukur dengan jarak lebar antara kedua sendi pinggul
dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm;
7) panjang badan (PABA), diukur dari tuber ischii sampai tuberitas humeri,
dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm;
8) lingkar kanon (LIKA), diukur tepat melingkar pada bagian tulang canon kaki
belakang sebelah kiri dengan menggunakan pita ukur dalam cm;
9) lebar kanon (LEKA) diukur jarak antar tulang kering lutut dengan tulang
kanon; dengan menggunakan pita ukur dalam cm
10) panjang ekor (PAEK), diukur pada pangkal sampai ujung ekor, dengan
menggunakan pita ukur dalam cm
11) lebar ekor (LEEK), diukur lebar ekor pada bagian paha ekor, dengan
menggunakan jangka sorong dalam cm;
12) tebal ekor (TEEK), diukur tebal pada bagian pangkal ekor, dengan
menggunakan jangka sorong dalam cm;
13) panjang telinga (PATEL), diukur pada pangkal telinga sampai ujung telinga;
dengan menggunakan pita ukur dalam cm
14) lebar telinga (LETEL) diukur lebar telinga pada bagian paling lebar, dengan
menggunakan jangka sorong dalam cm;
15) panjang tengkorak (PATEK), diukur pada posisi tengah kepala diantara dua
tanduk sampai ke bagian mulut menghitam, menggunakan pita ukur dalam
cm;
16) lebar tengkorak (LETEK), diukur dengan jarak kedua sisi tulang pipi, dengan
menggunakan pita ukur dalam cm;
17) tinggi tengkorak (TITEK), diukur mulai dari sudut rahang bawah sampai
bagian atas sisi paling atas tegak lurus, dengan menggunakan pita ukur
dalam cm;
24
18) panjang tanduk (PATA), diukur pada pangkal tanduk sampai ujung tanduk
mengikuti arah pertumbuhan tanduk dengan menggunakan pita ukur dalam
cm (Lanari et al. 2003 ; Abdullah 2008).
Penimbangan berat badan dilakukan sebelum pengukuran ukuran tubuh,
dengan menggunakan timbangan gantung (shelter) dengan ukuran kg (tingkat
ketelitian 50 gram), dilaksanakan pada pagi hari sebelum makan. Sifat-sifat
fenotip kualitatif yang diamati yaitu warna dominan, warna belang tubuh yang
dikelompokkan menurut lokasi dan jenis kelamin. Pengamatan bentuk tanduk
dengan cara mengamati arah pertumbuhannya berawal dari kepala sampai ujung
tanduk.
Setiap individu dicatat arah pertumbuhannya dan dibuat sketsa dari
pertumbuhan tanduk tersebut. Bagian-bagian permukaan tubuh kambing yang
diukur (cm) dapat dilihat pada Gambar 5.
Keterangan:
1. Lingkar dada
2. Lebar dada
3. Dalam dada
4. Tinggi pundak
5. Tinggi pinggul
6. Lebar pinggul
7. Panjang badan
8. Lingkar kanon
9. Panjang telinga
10.Panjang ekor
11.Lebar ekor
12.Tebal ekor
13.Panjang tengkorak
14.Lebar tengkorak
15.Tinggi tengkorak
16.Panjang tanduk
17.Lebar telinga
9
Gambar 5 Titik pengukuran morfometrik kambing
Analisis Statistik
Analisis ragam (ANOVA) digunakan untuk mempelajari pengaruh ukuranukuran tubuh antar lokasi dengan model matematis menurut Mattjik dan
Sumertajaya (2006) sebagai berikut:
Y ij = µ + τ i + Ɛ ij
25
Keterangan:
Y ij = respon peubah yang diamati
µ = pengaruh genotip ke-I (i=1, 2, 3,….)
τ i = pengaruh galat perlakuan ke-i ulangan ke-j
Ɛ ij = respon peubah yang diamati = rataan umum
Data dikoreksi untuk menghilangkan pengaruh jumlah lebih kecil sampel
kambing jantan tidak seimbang jumlahnya dibandingkan dengan jumlah sampel
betina. Analisis nilai rataan, simpangan baku dan analisis ragam (ANOVA)
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik Minitab V.21.
Jika
hasil analisis berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan.
Analisis Morfometrik
Fungsi diskriminan sederhana dilakukan untuk penentuan jarak genetik
(Traore et al. 2008). Fungsi diskriminan yang digunakan melalui pendekatan
jarak Mahalanobis seperti yang dijelaskan oleh Mailund et al. (2008), dimana
matriks ragam peragamam antara peubah dari masing-masing tipe kambing
yang diamati digabungkan (pooled) menjadi sebuah matriks.
Matriks pooled
dapat dijelaskan ke dalam bentuk berikut:
 c11

 c 21
C= 
c 31

 cp1
c12
c 22
c 32
cp 2
c1 p 

c2 p 
c3 p 

cpp 
....
....
....
....
Mendapatkan jarak kuadrat genetik minimum digunakan rumus sesuai
dengan petunjuk Everitt et al. (2001) dan Quinn et al. (2002) sebagai berikut:
D2 ( i, j ) = (
i
-
j
) C-1 (
i
-
j
)
Keterangan:
D2 ( i, j) = Nilai statistic Mahalanobis sebagai ukuran jarak kuadrat
genetik antara dua rumpun/genotip kambing (antara
genotip ke-i terhadap genotip ke-j).
C-1
i
= Kebalikan matrik gabungan ragam peragam antar peubah.
= Vektor nilai rataan pengamatan dari genotip kambing ke-i
pada masing-masing peubah kuantitatif.
j
= Vektor nilai rataan pengamatan dari genotip kambing ke-j
pada masing-masing peubah kuantitatif.
26
Analisis statistik Mahalanobis dengan menggunakan paket program SAS
versi 9.1 (SAS Inst. 2005) prosedur PROC CANDISC dan PROC DISCRIM. Dari
hasil perhitungan jarak kuadrat tersebut, kemudian dilakukan pengakaran
terhadap hasil kuadrat jarak, agar jarak genetik yang didapat bukan dalam
bentuk kuadrat. Hasil pengakaran dianalisis lebih lanjut dengan program MEGA
versi 4.0 seperti petunjuk Tamura et al. (2007) untuk mendapatkan pohon
fenogram. Analisis kanonikal (Crepaldi et al. 2001) dilakukan untuk penentuan
peta penyebaran kambing dan nilai kesamaan dan campuran di dalam dan di
antara kelompok kambing.
Hasil dan Pembahasan
Bobot Badan
Rataan bobot badan betina paling tinggi pada Kambing Muara
(37.46±5.42 kg) berbeda nyata (P<0.05) jika dibandingkan dengan 5 sub
populasi kambing lokal lainnya. Rataan bobot badan Kambing Samosir betina
adalah 25±5.24 kg hampir sama dengan Kambing Benggala dan Jawarandu, dan
berbeda nyata (P<0.05) lebih tinggi jika dibandingkan dengan Kambing Kacang
dan Marica. Rataan dan simpangan baku bobot hidup kambing pengamatan
diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Rataan, simpangan baku dan kisaran bobot hidup dewasa 6 sub
populasi kambing lokal.
Sub
Betina
Jantan
Gabungan
populasi n
n
n
kk (%)
± s (kg)
± s (kg)
± s (kg)
b
c
b
B
89 24.73 ± 8.69
7 16.00 ± 3.87
96 24.09 ± 8.72
36.20
bc
c
c
J
72 23.11 ± 7.87
22 16.36 ± 4.79
94 21.15 ± 7.79
36.19
c
b
bc
K
193 21.61 ± 5.86
24 24.67 ± 6.09
217 21.95 ± 5.95
27.12
c
bc
c
M
48 20.88 ± 6.61
12 19.17 ± 5.27
60 20.53 ± 6.36
30.98
a
a
a
R
28 37.46 ± 11.01
6 49.00 ± 26.87 34 38.23 ± 12.10 31.64
b
bc
b
S
36 25.00 ± 5.42
6 22.00 ± 8.10
42 24.57 ± 5.86
23.82
Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata
(P<0.05); K= Kacang; B= Benggala; S= Samosir; J= Jawa randu; M= Marica; R= Muara;
n= jumlah sampel; = rataan; s= simpangan baku; kk= koefisien keragaman
Rataan bobot badan jantan paling tinggi didapatkan juga pada Kambing
Muara (49±26.87 kg) berbeda nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan 5 sub
populasi kambing lainnya.
Rataan bobot badan Kambing Kacang jantan
24.67±6.09 kg hampir sama dengan Kambing Samosir dan Marica berbeda
nyata.
Rataan bobot badan jantan pada sub populasi Kambing Kacang dan
Muara lebih tinggi jika dibandingkan dengan bobot badan kambing betina. Pada
27
sub populasi Kambing Benggala, Jawarandu, Marica dan Samosir terdapat
sebaran data sampel bobot badan yang tidak normal karena rataan bobot badan
kambing jantan lebih rendah jika dibandingkan dengan bobot badan betina, hal
ini disebabkan pada keempat sub populasi kambing tersebut kambing jantan
biasanya sering dijual oleh peternak lebih cepat. Jumlah kambing jantan yang
dipelihara sangat terbatas dan umurnya relatif masih muda, sehingga data yang
diperoleh sangat terbatas jumlahnya. Berdasarkan kondisi data ini diduga para
peternak tradisional di daerah pedesaan masih kurang memperhatikan perlunya
bibit pejantan kambing yang baik untuk sistim perkawinan.
Rataan bobot badan betina dan jantan pada pada Kambing Kacang dan
Jawarandu pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil
penelitian Setiadi et al. (1997) di Kabupaten Purworejo yaitu 23.83 kg dan
26.88 kg untuk Kambing Kacang, 28.74 kg dan 30.91 kg untuk Kambing
Jawarandu. Rataan bobot badan Kambing Jawarandu sangat berbeda diduga
karena kualitas bibit dan cara pemeliharaan di Kabupaten Purworejo lebih baik
dibandingkan dengan di Kabupaten Blora yang pada umumnya kambing dilepas
atau diumbar pada siang hari dan pada malam hari dikandangkan, sistim
pemberian pakan pada umumnya hanya mengandalkan rumput alam saja.
Jika digabungkan rataan bobot badan betina dan jantan menunjukkan
bahwa bobot badan Kambing Muara (38.23 ± 12.10 kg) berbeda nyata (P<0.05)
paling tinggi jika dibandingkan dengan 5 sub populasi kambing lokal lainnya.
Rataan bobot badan Kambing Samosir (24.57 ± 5.86 kg) hampir sama dengan
Kambing Benggala (24.09 ± 8.72 kg) dan Kacang (21.95±5.95 kg), berbeda nyata
(P<0.05)
lebih
tinggi
jika
dibandingkan
dengan
Kambing
Jawarandu
(21.15 ± 7.79 kg) dan Marica (20.53 ± 6.36 kg). Tingkat keragaman bobot badan
keenam kambing lokal yang diamati sangat beragam, dapat dilihat berdasarkan
koefisien keragaman rataan bobot badan berkisar 23.82 %-36.20 %.
Parameter Ukuran Tubuh
Rataan dan simpangan baku ukuran tinggi pundak, panjang badan, lebar
dada, dalam dada dan lingkar dada jantan dan betina dewasa 6 sub populasi
kambing lokal disajikan pada Tabel 2. Hasil pengukuran menunjukkan rataan
parameter ukuran-ukuran tubuh kambing antar sub populasi kambing secara
umum berbeda nyata (P<0.05). Ukuran tinggi pundak Kambing Muara betina
(65.29 ± 3.82 cm) berbeda nyata (P<0.05) paling tinggi jika dibandingkan dengan
28
kelima sub populasi kambing lainnya, kemudian disusul Kambing Kacang,
Kambing Benggala dan Samosir.
Tabel 2 Rataan dan simpangan baku ukuran tinggi pundak, panjang badan,
lebar dada, dalam dada, dan lingkar dada kambing jantan dan betina
6 sub populasi kambing lokal
Ukuran
Tubuh
Tinggi
Pundak
Sub
Betina
Jantan
populasi
n kk (%)
n
kk (%)
± s (cm)
± s (cm)
b
c
B
55.30 ± 7.05
89 12.76
47.71 ± 4.89
7
10.25
cd
c
J
52.47 ± 7.69
72 14.65
48.91 ± 6.88
22
14.07
b
b
K
55.62 ± 4.22 193 7.58
56.33 ± 4.44
24
7.88
d
bc
M
51.42 ± 5.15
48 10.02
51.17 ± 5.86
12
11.45
a
a
R
65.29 ± 3.82
28 5.58
78.00 ± 11.31
6
14.50
bc
bc
S
54.50 ± 4.35
36 7.97
50.56 ± 5.09
6
10.04
bc
bc
Panjang
B
61.56 ± 9.12
89 14.81
51.41 ± 3.98
7
7.77
d
c
Badan
J
53.06 ± 11.29
72 21.29
46.36 ± 6.51
22
14.03
c
b
K
58.87 ± 5.58 193 9.47
58.00 ± 3.01
24
5.18
d
b
M
54.92 ± 5.09
48 9.26
58.67 ± 14.33
12
24.43
a
a
R
72.82 ± 6.99
28 9.60
76.50 ± 14.85
6
19.41
b
b
S
63.44 ± 5.07
36 8.00
59.33 ± 7.89
6
13.30
b
ab
Lebar
B
11.48 ± 4.83
89 42.03
17.71 ± 3.77
7
21.30
b
c
Dada
J
12.60 ± 3.64
72 28.87
10.36 ± 3.72
22
35.92
b
b
K
11.61 ± 2.14 193 18.40
15.00 ± 2.64
24
17.58
a
b
M
16.25 ± 3.19
48 19.60
15.83 ± 3.10
12
19.57
a
a
R
15.11 ± 3.37
28 27.54
21.00 ± 3.49
6
53.03
a
b
S
15.25 ± 2.29
36 14.98
14.50 ± 3.51
6
24.19
a
b
Dalam
B
20.56 ± 5.56
89 27.05
27.71 ± 3.77
7
13.62
b
b
Dada
J
27.33 ± 4.07
72 14.90
24.82 ± 4.20
22
16.94
c
b
K
25.61 ± 2.14 193 8.34
29.00 ± 2.64
24
9.09
b
b
M
27.25 ± 3.19
48 11.69
26.83 ± 3.10
12
11.15
a
a
R
30.25 ± 3.37
28 11.15
34.00 ± 8.49
6
24.96
bc
b
S
26.25
± 2.29
25.50 ± 3.51
13.75
36 8.70
6
b
bc
Lingkar
B
68.35 ± 7.81
89 11.43
57.86 ± 5.52
7
9.54
c
c
Dada
J
64.28 ± 9.62
72 14.97
54.73 ± 7.34
22
13.42
c
b
K
63.15 ± 7.03 193 11.13
66.67 ± 5.16
24
7.75
c
bc
M
63.71 ± 6.81
48 10.69
61.33 ± 7.35
12
11.99
a
a
R
79.93 ± 8.19
28 10.24
85.50 ± 17.68
6
20.68
bc
bc
S
66.00 ± 6.13
36 9.29
59.83 ± 12.77
6
21.34
c
b
Lebar
B
15.90 ± 2.88
89 18.09
16.86 ± 2.91
7
17.27
c
c
Pinggul
J
15.28 ± 2.08
72 13.60
13.82 ± 1.62
22
11.74
d
c
K
12.21 ± 2.28 193 18.69
13.67 ± 0.96
24
7.05
c
b
M
16.75 ± 2.11
48 12.59
16.33 ± 1.87
12
11.48
a
a
R
20.00 ± 2.51
28 12.55
19.50 ± 0.71
6
3.63
b
a
S
18.97 ± 2.34
36 12.31
19.83 ± 2.48
6
12.52
Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata
(P<0.05); K= Kacang; B= Benggala; S= Samosir; J= Jawa randu; M= Marica; R= Muara;
n= jumlah sampel; = rataan; s= simpangan baku; kk= koefisien keragaman
Tinggi pundak paling rendah dijumpai pada Kambing Jawarandu dan
Marica. Tinggi pundak jantan dewasa paling tinggi juga pada Kambing Muara
(78.00 ± 11.31 cm) berbeda nyata jika dibandingkan dengan kelima sub populasi
29
lainnya, kemudian disusul Kambing Kacang, Marica dan Samosir. Tinggi pundak
paling rendah pada Kambing Benggala dan Jawarandu.
Rataan panjang badan betina paling tinggi pada Kambing Muara (72.82 ±
6.99 cm) berbeda nyata (P<0.05) dengan kelima sub populasi kambing lainnya,
kemudian disusul Kambing Samosir, Benggala dan Kacang.
Panjang badan
betina paling rendah pada Kambing Jawarandu dan Marica.
Panjang badan
jantan paling tinggi pada Kambing Muara (76.50 ± 14.85 cm), disusul Kambing
Samosir, Marica, Kacang dan Benggala. Panjang badan jantan paling rendah
pada Kambing Jawarandu (46.36 ± 6.51 cm).
Lebar dada betina paling tinggi pada Kambing Marica (16.25 ± 3.19 cm),
disusul Kambing Samosir dan Kambing Muara, yang berbeda nyata (P<0.05)
dengan Kambing Jawarandu, Kacang dan Benggala. Lebar dada jantan dewasa
paling tinggi pada Kambing Muara dan Benggala, kemudian disusul Kambing
Marica, Kacang dan Samosir. Lebar dada jantan paling rendah pada Kambing
Jawarandu (10.36 ± 3.72 cm).
Dalam dada betina paling tinggi pada Kambing Muara dan Benggala
berbeda nyata (P<0.05) dengan keempat sub populasi kambing lainnya,
kemudian disusul Kambing Jawarandu, Marica dan Samosir. Dalam dada betina
paling rendah pada Kambing Kacang. Dalam dada jantan paling tinggi pada
Kambing Muara yang berbeda nyata (P<0.05) jika dibandingkan dengan kelima
sub populasi lainnya.
Dalam dada Kambing Samosir tidak berbeda nyata
(P>0.05) jika dibandingkan antara Kambing Marica, Kacang, Jawarandu dan
Kambing Benggala.
Lingkar dada betina paling tinggi pada Kambing Muara (79.93 ± 8.19 cm)
berbeda nyata (P<0.05) dengan kelima sub populasi kambing lainnya, kemudian
disusul Kambing Benggala dan Samosir.
Lingkar dada betina paling rendah
pada Kambing Kacang, Marica dan Jawarandu. Lingkar dada jantan paling tinggi
pada Kambing Muara (85.50 ± 17.68 cm) berbeda nyata (P<0.05) jika
dibandingkan dengan kelima sub populasi kambing lainnya, kemudian disusul
Kambing Kacang, Marica, Samosir dan Benggala. Lingkar dada jantan paling
rendah pada Kambing Jawarandu (54.73 ± 7.34 cm).
Panjang tengkorak betina paling tinggi pada Kambing Kacang (15.68 ±
1.38 cm) dan Kambing Benggala (15.30 ± 1.88 cm) berbeda nyata (P<0.05) jika
dibandingkan dengan keempat sub populasi kambing lainnya, kemudian disusul
Kambing Muara dan Kambing Jawarandu. Tabel 3 menunjukkan rataan dan
30
simpangan baku ukuran panjang tengkorak, lebar tengkorak, dan tinggi
tengkorak jantan dan betina dewasa 6 sub populasi kambing yang berbeda.
Panjang tengkorak betina paling rendah pada Kambing Marica dan Samosir.
Panjang tengkorak jantan dewasa paling tinggi pada Kambing Muara (16.00 ±
2.83 cm) dan Kacang (15.67 ± 1.40 cm) berbeda nyata jika dibandingkan dengan
keempat sub populasi kambing lainnya, akan tetapi Kambing Benggala, Marica,
Jawarandu dan Kambing Samosir tidak berbeda nyata (P>0.05).
Tabel 3 Rataan dan simpangan baku ukuran panjang tengkorak, lebar tengkorak,
dan tinggi tengkorak jantan dan betina dewasa 6 sub populasi kambing
lokal
Ukuran
tubuh
Sub
Betina
Jantan
popu
n
kk (%)
n
kk (%)
± s (cm)
± s (cm)
lasi
ab
b
Panjang
B
15.30 ± 1.88
89
12.28
12.86 ± 1.46
7
11.39
cd
b
tengkorak
J
14.08 ± 2.52
72
17.87
12.36 ± 1.81
22
14.67
a
a
K
15.68 ± 1.38
193
8.78
15.67 ± 1.40
24
8.96
d
b
M
13.73 ± 1.77
48
12.90
13.00 ± 1.35
12
10.37
bc
a
R
14.64 ± 1.54
28
10.55
16.00 ± 2.83
6
17.68
d
b
S
13.69 ± 1.86
36
13.61
13.33 ± 1.97
6
14.75
cd
d
Lebar
B
10.53 ± 1.30
89
12.33
8.71 ± 0.76
7
8.67
de
d
tengkorak
J
10.28 ± 2.09
72
20.35
9.18 ± 1.14
22
12.41
bc
b
K
10.97 ± 1.19
193
10.81
12.33 ± 0.48
24
3.90
e
d
M
9.79 ± 1.27
48
12.98
8.67 ± 0.49
12
5.68
a
a
R
13.79 ± 2.91
28
21.11
13.50 ± 2.12
6
15.71
b
c
S
11.56 ± 2.45
36
21.24
10.67 ± 0.82
6
7.65
c
cd
Tinggi
B
11.70 ± 1.39
89
11.84 11.29 ± 1.11
7
9.86
c
d
J
11.14 ± 1.78
72
15.97
10.45 ± 1.65
22
15.82
tengkorak
b
b
K
12.58 ± 1.73
193
13.78
15.00 ± 1.87
24
12.43
c
cd
M
11.58 ± 1.20
48
10.36 11.33 ± 1.15
12
10.19
a
a
R
14.36 ± 1.47
28
10.25
17.00 ± 2.83
6
16.64
b
c
S
12.94 ± 1.19
36
9.22
12.50 ± 1.05
6
8.39
Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata
(P<0.05); K= Kacang; B= Benggala; S= Samosir; J= Jawa randu; M= Marica; R= Muara;
n= jumlah sampel; = rataan; s= simpangan baku; kk= koefisien keragaman
Lebar tengkorak betina paling tinggi pada Kambing Muara (13.79 ± 2.91
cm), yang berbeda nyata (P<0.05) jika dibandingkan dengan kelima sub populasi
kambing lainnya, kemudian disusul Kambing Samosir, Kacang, Benggala dan
Jawarandu. Lebar tengkorak betina paling rendah pada Kambing Marica. Lebar
tengkorak jantan paling tinggi pada Kambing Muara (13.50 ± 2.12 cm) berbeda
nyata (P<0.05) jika dibandingkan dengan kelima sub populasi kambing lainnya,
kemudian disusul Kambing Kacang dan Samosir. Lebar tengkorak jantan tiga
urutan terendah Kambing Marica, Benggala dan Jawarandu.
Tinggi tengkorak betina paling tinggi pada Kambing Muara (14.36 ± 1.47
cm) berbeda nyata (P<0.05) jika dibandingkan dengan kelima sub populasi
31
kambing lainnya, kemudian disusul Kambing Samosir dan Kacang.
Tinggi
tengkorak betina tiga urutan terendah pada Kambing Jawarandu, Marica dan
Kambing Benggala. Tinggi tengkorak jantan paling tinggi pada Kambing Muara
(17.00 ± 2.83 cm) berbeda nyata (P<0.05) jika dibandingkan dengan kelima sub
populasi kambing lainnya, kemudian disusul Kambing Kacang (15.00 ± 1.87 cm),
Kambing Samosir (12.50 ± 1.05 cm), Kambing Marica (11.33 ± 1.15 cm) dan
Kambing Benggala (11.29 ± 1.11 cm). Ukuran tinggi tengkorak jantan dewasa
paling rendah pada Kambing Jawarandu (10.45 ± 1.65cm).
Parameter rataan ukuran dan simpangan baku panjang dan lebar ekor
jantan dan betina dewasa 6 sub populasi kambing pada sub populasi yang
berbeda ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Rataan dan Simpangan Baku panjang dan lebar ekor jantan dan betina
6 sub populasi kambing lokal
Ukuran
Sub
Betina
Jantan
tubuh
populasi
n
kk (%)
n
kk (%)
± s (cm)
± s (cm)
b
c
Panjang
B
10.22 ± 2.79
89
27.30
7.86 ± 4.41
7
56.17
b
bc
ekor
J
11.22 ± 1.79
72
15.98
10.27 ± 2.31
22
22.52
b
b
K
11.40 ± 6.47
193 56.72
11.50 ± 0.98
24
8.50
b
c
M
10.13 ± 1.18
48
11.64
9.17 b ± 0.72
12
7.83
a
a
R
13.96 ± 1.73
28
12.40
16.50 ± 3.54
6
21.43
b
bc
S
10.08 ± 1.99
36
19.75
9.50 ± 1.05
6
11.04
c
c
Lebar
B
3.92 ± 1.71
89
43.53
2.71 ± 0.49
7
17.98
e
c
ekor
J
1.90 ± 0.70
72
36.54
1.82 ± 0.39
22
21.71
b
b
K
4.73 ± 0.79
193
16.71
4.33 ± 1.13
24
26.06
d
c
M
2.35 ± 0.48
48
20.53
2.17 ± 0.72
12
33.13
a
a
R
5.29 ± 1.21
28
22.94
5.50 ± 0.71
6
12.86
c
b
S
4.11 ± 0.71
36
17.23
3.67 ± 0.82
6
22.27
Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata
(P<0.05); K= Kacang; B= Benggala; S= Samosir; J= Jawa randu; M= Marica; R= Muara;
n= jumlah sampel; = rataan; s= simpangan baku; kk= koefisien keragaman
Secara umum rataan ukuran panjang dan lebar ekor kambing antara 6
sub populasi kambing berbeda nyata (P<0.05) jika dibandingkan antara satu
sama lainnya. Rataan ukuran panjang ekor betina dewasa paling tinggi pada
Kambing Muara (13.96 ± 1.73 cm) berbeda nyata (P<0.05) jika dibandingkan
dengan kelima sub populasi kambing lainnya.
Ukuran rataan panjang ekor
betina dewasa pada Kambing Jawarandu, Marica, Samosir, Kacang dan
Kambing Benggala tidak berbeda nyata (P>0.05). Ukuran rataan panjang ekor
jantan dewasa paling tinggi dijumpai pada Kambing Muara (16.50 ± 3.54 cm)
berbeda nyata (P<0.05) jika dibandingkan dengan kelima sub populasi kambing
lainnya, kemudian disusul Kambing Kacang (15.00 ± 1.87 cm), Kambing
Jawarandu (10.27 ± 2.31 cm), kambing Samosir (9.50 ± 1.05 cm) dan Kambing
32
Marica (9.17 ± 0.72 cm). Ukuran panjang ekor jantan dewasa paling rendah
pada Kambing Benggala (7.86 ± 4.41 cm).
Rataan ukuran lebar ekor betina dewasa paling tinggi pada Kambing
Muara (5.29 ± 1.21 cm) berbeda nyata (P<0.05) jika dibandingkan dengan kelima
sub populasi kambing lainnya, kemudian disusul Kambing Kacang (4.73 ± 0.79),
Kambing Samosir (4.11 ± 0.71 cm),
Kambing Benggala (3.92 ± 1.71) dan
Kambing Marica (2.35 ± 0.48 cm). Ukuran rataan lebar ekor betina dewasa
paling rendah pada Kambing Jawarandu (1.90 ± 0.70 cm). Ukuran rataan lebar
ekor jantan dewasa paling tinggi dijumpai pada Kambing Muara (5.50 ± 0.71 cm)
berbeda nyata (P<0.05) jika dibandingkan dengan kelima sub populasi kambing
lainnya, kemudian disusul Kambing Kacang (4.33 ± 1.13 cm) dan kambing
Samosir (9.50 ± 1.05 cm). Ukuran lebar ekor jantan dewasa paling rendah pada
Kambing Jawarandu (1.82 ± 0.39 cm), Kambing Marica (2.17 ± 0.72 cm) dan
Kambing Benggala (2.71 ± 0.49 cm).
Tabel 5 Rataan dan simpangan baku panjang telinga dan lebar telinga jantan
dan betina dewasa 6 sub populasi kambing lokal
Betina
Jantan
Sub
populasi
n
kk (%)
kk (%)
± s (cm)
± s (cm) n
c
c
B
14.63 ± 2.94
89
20.12
11.86 ± 1.46 7
12.35
b
b
J
15.47 ± 1.75
72
11.32
14.64 ± 2.06 22
14.07
b
b
K
16.08 ± 1.96
193
12.16
14.00 ± 1.02 24
7.30
d
bc
M
13.38 ± 1.33
48
9.95
13.50 ± 1.98 12
14.65
a
a
R
19.14 ± 2.86
28
14.96
21.00 ± 1.41 6
6.73
cd
b
S
13.92 ± 1.87
36
13.46
13.83 ± 1.17 6
8.45
c
c
Lebar
B
15.51 ± 3.44
89
22.17
10.29 ± 3.99 7
38.77
c
b
telinga
J
15.28 ± 2.08
72
13.60
14.27 ± 1.75 22
12.27
d
b
K
12.10 ± 2.29
193
18.93
13.50 ± 1.93 24
14.32
b
b
M
16.83 ± 1.99
48
11.84
15.92 ± 1.73 12
10.87
a
a
R
20.00 ± 2.51
28
12.55
19.50 ± 0.71 6
3.63
a
a
S
19.19 ± 2.21
36
11.54
18.83 ± 3.13 6
16.59
Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata
(P<0.05); K= Kacang; B= Benggala; S= Samosir; J= Jawa randu; M= Marica; R= Muara;
n= jumlah sampel; = rataan; s= simpangan baku; kk= koefisien keragaman
Ukuran
tubuh
Panjang
telinga
Pada Tabel 5 ditampilkan parameter ukuran rataan dan simpangan baku
panjang telinga dan lebar telinga jantan dan betina dewasa 6 sub populasi
kambing yang berbeda. Secara umum hasil menunjukkan rataan ukuran telinga
kambing antar sub populasi berbeda nyata (P<0.05). Parameter ukuran tubuh
panjang telinga betina dewasa paling tinggi pada Kambing Muara (19.14 ± 2.86
cm) berbeda nyata (P<0.05) jika dibandingkan dengan kelima sub populasi
kambing lainnya, kemudian disusul Kambing Kacang (16.08 ± 1.96 cm), Kambing
Jawarandu (15.47 ± 1.75 cm), Kambing Benggala (14.63 ± 2.94 cm)
dan
33
Kambing Samosir (13.92 ± 1.87 cm). Ukuran panjang telinga betina dewasa
paling rendah pada Kambing Marica (13.38 ± 1.33 cm).
Ukuran panjang telinga jantan dewasa paling tinggi pada Kambing Muara
(21.00 ± 1.41 cm) berbeda nyata (P<0.05) jika dibandingkan dengan kelima sub
populasi kambing lainnya, kemudian disusul Kambing Jawarandu (14.64 ±
2.06cm), Kambing Kacang (14.00 ± 1.02 cm), Kambing Samosir (13.83 ± 1.17
cm) dan Kambing Marica (13.50 ± 1.98 cm). Ukuran panjang telinga jantan
dewasa paling rendah pada Kambing Benggala (11.86 ± 1.46 cm). Parameter
ukuran lebar telinga betina dewasa paling tinggi pada Kambing Muara (20.00 ±
2.51 cm) dan Kambing Samosir (19.19 ± 2.21 cm) berbeda nyata (P<0.05) jika
dibandingkan dengan kelima sub populasi kambing lainnya, kemudian disusul
Kambing Marica (16.83 ± 1.99 cm), Kambing Benggala (15.51 ± 3.44 cm), dan
Kambing Jawarandu (15.28 ± 2.08 cm). Ukuran lebar telinga betina dewasa
paling rendah pada Kambing Kacang (12.10 ± 2.29 cm). Ukuran lebar telinga
jantan dewasa paling tinggi pada Kambing Muara (21.00 ± 1.41 19.50 ± 0.71 cm)
dan Kambing Samosir (18.83 ± 3.13 cm) berbeda nyata (P<0.05) jika
dibandingkan dengan keempat sub populasi kambing lainnya, kemudian disusul
Kambing Marica (15.92 ± 1.73 cm), Kambing Jawarandu (14.27 ± 1.75 cm) dan
Kambing Kacang (13.50 ± 1.93 cm). Ukuran lebar telinga jantan dewasa paling
rendah pada Kambing Benggala (10.29 ± 3.99 cm). Parameter ukuran Rataan
dan simpangan baku lingkar kanon jantan dan betina dewasa 6 sub populasi
kambing disajikan pada Tabel 6. Secara umum ukuran lingkar kanon antar sub
populasi berbeda nyata (P<0.05). Parameter ukuran tubuh lingkar kanon betina
dewasa paling tinggi pada Kambing Muara (16.71 ± 1.46 cm) berbeda nyata
(P<0.05) jika dibandingkan dengan kelima sub populasi kambing lainnya,
kemudian disusul Kambing Benggala (14.64 ± 1.65 cm),
Kambing Samosir
(14.11 ± 1.26 cm), Kambing Jawarandu (13.83 ± 1.67 cm) dan Kambing Marica
(13.29 ± 1.07 cm).
Ukuran lingkar kanon betina dewasa paling rendah pada Kambing
Kacang (7.73 ± 0.69 cm). Ukuran lingkar kanon jantan dewasa paling tinggi
pada Kambing Muara (19.50 ± 4.95
cm) berbeda nyata (P<0.05) jika
dibandingkan dengan keempat sub populasi kambing lainnya, kemudian disusul
Kambing Samosir (14.67 ± 0.82cm), Kambing Marica (13.83 ± 0.94 cm),
Kambing Benggala (13.43 ± 0.53 cm) dan Kambing Jawarandu (13.27 ± 1.58
34
cm). Ukuran lingkar kanon jantan dewasa paling rendah pada Kambing Kacang
(9.17 ± 0.38 cm).
Tabel 6. Rataan dan simpangan baku lingkar kanon jantan dan betina 6 sub
populasi kambing lokal
Ukuran
tubuh
Lingkar
kanon
Sub
Betina
Jantan
Populasi
n
kk (%)
n
kk (%)
± s (cm)
± s (cm)
b
b
B
14.64 ± 1.65 89
11.24
13.43 ± 0.53
7
3.98
c
b
J
13.83 ± 1.67 72
12.07
13.27 ± 1.58 22 11.90
e
c
K
7.73 ± 0.69 193
8.98
9.17 ± 0.8
24 4.15
d
b
M
13.29 ± 1.07 48
8.06
13.83 ± 0.94 12 6.78
a
a
R
16.71 ± 1.46 28
8.75
19.50 ± 4.95
6 25.38
c
b
S
14.11 ± 1.26 36
8.93
14.67 ± 0.82
6
5.57
Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata
(P<0,05); K=Kacang; B=Benggala; S=Samosir; J=Jawarandu; M= Marica; R=Muara; n=
jumlah sampel; = rataan; s= simpangan baku; kk= koefisien keragaman
Perbedaan ukuran-ukuran tubuh ini disebabkan laju pertumbuhan ukuranukuran tubuh ternak kambing yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan. Suparyanto et al. (1999) menyatakan bahwa karakteristik ukuranukuran tubuh dapat menggambarkan ciri khas dari suatu bangsa. Selain
perbedaan secara genetik dan lingkungan yang dapat berupa adanya perbedaan
iklim, hal lainnya yang dapat mempengaruhi karakteristik ukuran-ukuran tubuh
tersebut adalah manajemen pemeliharaan di setiap lokasi yang berbeda-beda.
Plot Penyebaran Kambing menurut Ukuran Fenotipik
Hasil analisis morfologi menunjukkan bahwa pada keenam sub populasi
kambing penelitian memperlihatkan adanya keragaman yang tinggi. Keragaman
sifat morfologi dapat terjadi karena adanya proses seleksi (alam dan buatan),
perkawinan silang atau bencana alam yang dapat berakibat hilang atau
hanyutnya gen tertentu (Anderson 2001).
Gambar 6 menunjukkan bahwa
kambing dari keenam sub populasi kambing penelitian dibagi menjadi 6
kelompok, yaitu kelompok Kambing Muara (R) ada di kuadran II, kelompok
Kambing Jawarandu (J) ada sebagian besar di kuadran II dan kuadran III,
kelompok Kambing Kacang ada di kuadran I dan IV, kelompok Kambing
Benggala sebagian besar ada di kuadran III dan sebagian kecil ada di kuadran II,
kelompok Kambing Marica ada di kuadran II dan kuadran III, dan kelompok
Kambing Samosir ada di kuadran III. Sub populasi Kambing Kacang merupakan
kelompok yang jauh terpisah bergeser ke kiri di kuadran I dan IV jika
dibandingkan dengan sub populasi lainnya. Kambing Kacang diduga mempunyai
35
ukuran-ukuran tubuh relatip lebih kecil, seperti lingkar kanon, lebar pinggul dan
lebar dada. Karakteristik ukuran tubuh Kambing Marica di Propinsi Sulawesi
Selatan, Kambing Samosir di Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera
Utara berdekatan, relatip sama. Hal ini diduga karena adanya proses adaptasi
terhadap kondisi fisik lingkungan juga kondisi ketersediaan pakannya. Faktor
lingkungan sebagai pembatas bagi ternak di daerah ini adalah ketersediaan
pasokan pakan yang tersedia bagi ternak, dimana di Propinsi Sulawesi Selatan
mempunyai bulan kering antara 6 - 9 bulan dalam 1 tahun dan kondisi tanah
yang relatip tipis tanah humusnya. Sedangkan di Kabupaten Samosir walaupun
curah hujan relatip tinggi, tetapi kondisi tanah hampir sama dengan kondisi di
Sulawesi Selatan yaitu ketebalan tanah humus relatip tipis dan berbatu-batu.
I
II
K. Muara
K. Kacang
K. Jawarandu
K. Marica
K. Samosir
K. Benggala
IV
Gambar 6
III
Plot penyebaran kelompok kambing berdasarkan ukuran-ukuran
fenotipik pada 6 sub populasi kambing lokal.
36
Nilai Campuran Fenotipik antar Kelompok
Tabel 7 menyajikan persentase nilai kesamaan dan campuran kelompok
sub populasi kambing.
Kemungkinan besar proporsi nilai campuran yang
mempengaruhi kesamaan suatu rumpun lain didasarkan atas kesamaan ukuran
fenotipik (Sumantri et al. 2007).
Tabel 7 Persentase nilai kesamaan dan campuran 6 sub populasi kambing lokal
Sub
populasi
Benggala
Jawarandu
Kacang
Marica
Muara
Samosir
Benggala
88.57
2.17
0.00
0.00
0.00
5.00
Jawa Kacang
randu
0.00
0.00
91.30
0.00
0.00
99.28
10.00
0.00
0.00
0.00
2.50
0.00
Marica
Muara
Samosir
Total
5.71
6.52
0.73
83.33
0.00
2.50
0.00
0.00
0.00
0.00
93.33
7.50
5.71
0.00
0.00
6.67
6.67
82.50
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Hasil analisis nilai kesamaan dan campuran kelompok Kambing Samosir
mempunyai nilai kesamaan paling rendah 82.50% karena dipengaruhi nilai
campuran dengan Kambing Muara 7.5%, Kambing Benggala 5.71%, Jawarandu
2.5% dan Kambing Marica 2.5%. Kelompok Kambing Marica mempunyai nilai
kesamaan 83.33%, karena dipengaruhi nilai campuran Kambing Jawarandu 10%
dan Kambing Samosir 6.67%. Kelompok Kambing Benggala mempunyai nilai
kesamaan 88.57%, karena dipengaruhi oleh nilai campuran Kambing Marica dan
Kambing Samosir dengan nilai masing-masing sub populasi kambing sebesar
5.71%.
Kelompok Kambing Jawarandu mempunyai nilai kesamaan 91.30%
karena dipengaruhi oleh nilai campuran Kambing Marica 6.52% dan Kambing
Benggala 2.17%. Kelompok Kambing Muara mempunyai nilai kesamaan paling
tinggi 93.33%, karena hanya dipengaruhi oleh nilai campuran Kambing Samosir
6.67%. Faktor genetik dan lingkungan mempunyai hubungan yang erat, dan
untuk mengekpresikan kapasitas genetik individu secara sempurna diperlukan
kondisi lingkungan yang ideal.
37
Penentuan Jarak Genetik dan Pohon Fenogram
Nilai matrik jarak genetik antar kelompok 6 sub populasi kambing pada
sub populasi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 8, digunakan untuk
membuat konstruksi pohon fenogram (Gambar 7).
Pohon fenogram tersebut
menggambarkan jarak genetik keseluruhan kelompok.
Hasi analisis pada
Tabel 8 memperlihatkan bahwa nilai terkecil didapat pada jarak antara sub
populasi Kambing Samosir dengan Kambing Marica yaitu sebesar 11.207. Nilai
terbesar diperoleh dari Kambing Muara - Benggala (255.110), kemudian disusul
oleh Kambing Muara - Marica (187.865), serta Kambing Kacang - Benggala
(139.942) dan Kambing Muara - Kacang (133.471). Nilai matrik jarak genetik
yang relatip besar didapatkan dari jarak genetik antara Kambing Muara - semua
kelompok, dan jarak genetik Kambing Kacang - Benggala.
Tabel 8 Jarak genetik berdasarkan ukuran tubuh antar 6 sub populasi kambing
Sub populasi
Benggala
Jawa randu
Kacang
Marica
Muara
Samosir
Benggala
0
97.977
139.942
15.339
255.110
22.888
Jawa randu
Kacang
Marica
Muara
Samosir
0
66.599
51.890
64.170
57.964
0
98.214
133.471
93.086
0
187.865
11.207
0
162.586
0
Jarak genetik adalah tingkat perbedaan gen antar populasi atau spesies
yang diukur oleh beberapa kuantitas numerik (Nei 1987). Metode yang lebih
murah dan sederhana yang dapat dilakukan dengan penentuan pola perbedaan
sifat fenotipik yang dapat ditemui dalam setiap individu ternak (Hartl 1988).
Penggunaan ukuran-ukuran tubuh sebagai penduga terhadap jarak genetik dan
peubah pembeda dari 5 kelompok Kambing Andalusia dengan menggunakan
analisis diskriminan telah dilaporkan Herera et al. (1996) dan Traore et al. (2008)
pada kambing lokal di Burkina Faso serta Suparyanto et al. (1999) dan Sumantri
et al. (2007) pada domba di Indonesia.
Secara umum hasil analisis matrik jarak berdasarkan data ukuran-ukuran
tubuh dengan program MEGA menunjukkan bahwa setiap sub populasi masingmasing menunjukkan indek jarak > 60 % antara satu sub populasi terhadap sub
populasi kambing lainnya.
Ini menunjukkan bahwa jarak karakteristik
morfometrik antara setiap sub populasi berbeda nyata terhadap sub populasi
kambing lokal lainnya.
Pohon fenogram dari 6 sub populasi kambing lokal
menurut ukuran fenotipik dapat dilihat pada Gambar 7.
38
1.6738
0.5013
M
1.6738
3.2989
S
2.1752
B
4.9284
K
4.0053
0.5456
4.0053
0.9232
5
J
4
3
R
2
1
0
K=Kacang; B=Benggala; S=Samosir; J=Jawa randu; M=Marica; R=Muara.
Gambar 7
Pohon fenogram dari 6 sub populasi kambing lokal berdasarkan
ukuran fenotipik.
Matrik jarak menunjukkan bahwa sub populasi Kambing Samosir - Marica
dan Kambing Marica - Benggala memiliki ukuran jarak yang relatip dekat yaitu
berturut-turut 11.207 dan 15.339, jika dibandingkan dengan jarak berdasarkan
ukuran fenotipik antara sub populasi Kambing Samosir - Benggala (22.888) dan
Kambing Marica - Jawarandu (51.890).
Sub populasi Kambing Muara di
Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara berdasarkan analisis
fenogram terpisah dari kelompok Kambing Benggala, Kacang, Marica dan
Kambing Samosir. Jarak sub populasi Kambing Muara menunjukkan cabang
kaitan tidak langsung antara Kambing Marica, Samosir, Benggala dan Kambing
Kacang.
Hasil
pohon
fenogram
sesuai
dengan
peta
penyebaran
yang
menunjukkan adanya enam kelompok sub populasi terpisah, yaitu; (1) Kambing
Muara, (2) Kambing Jawarandu, (3) Kambing Kacang, (4) Kambing Benggala, (5)
Kambing Marica dan (6) Kambing Samosir. Hasil peta penyebaran berdasarkan
ukuran tubuh dan pohon fenogram memberikan gambaran kelompok ternak
kambing sebaiknya kita silangkan.
Bourdon (2000) menjelaskan persilangan
antar individu yang mempunyai jarak lebih jauh akan memberikan performa yang
lebih baik dari rataan para tetuanya, karena adanya peningkatan heterosigositas
dan kombinasi gen.
39
Peubah Pembeda Rumpun Kambing
Hasil analisis struktur kanonikal disajikan pada Tabel 9 menunjukkan
bahwa ukuran fenotipik kambing yang memberikan pengaruh kuat terhadap
peubah pembeda kelompok sub populasi kambing adalah lingkar kanon (0.7Kan1), lebar telinga (0.5-Kan2), lebar pinggul (0.5-Kan2), lebar ekor (0.7-Kan3),
panjang badan (0.7-Kan3), tinggi tengkorak (0.5 Kan-3), lebar tengkorak (0.5Kan3), tinggi pundak (0.5-Kan3), bobot badan (0.5-Kan3), lingkar dada (0.5Kan3), lebar dada (0.5-Kan4) dan dalam dada (0.5-Kan4).
Dari 19 variabel
pengukuran yang diamati terdapat 11 variabel ukuran tubuh yang mempunyai
nilai kanonikal ≥ 0.5 (data dalam tabel dibulatkan menjadi satu desimal) sehingga
lingkar kanon, panjang badan, lebar tengkorak, tinggi tengkorak, lebar ekor dapat
digunakan sebagai peubah pembeda kelompok kambing.
Tabel 9 Struktur kanonikal kelompok kambing dari 6 sub populasi berdasarkan
ukuran fenotipik
Variabel
Bobot badan
Panjang badan
Lingkar dada
Lebar dada
Tinggi Pundak
Dalam dada
Lingkar pinggul
Lebar pinggul
Tinggi Pinggul
Dalam pinggul
Lingkar kanon
Panjang tanduk
Panjang telinga
Lebar telinga
Panjang tengkorak
Lebar tengkorak
Tinggi tengkorak
Panjang ekor
Lebar ekor
Kan-1
0.04
0.02
-0.03
-0.18
0.22
0.33
0.00
-0.45
0.30
0.33
0.67
-0.09
0.40
-0.31
0.24
0.28
0.29
0.17
0.37
Kan-2
0.26
0.03
0.21
0.03
0.11
0.30
0.18
0.46
0.25
0.00
0.67
0.24
0.18
0.46
-0.32
0.11
-0.06
0.04
-0.35
Kan-3
0.48
0.67
0.46
0.07
0.50
0.05
0.37
0.44
0.34
0.07
0.20
0.24
0.26
0.37
0.18
0.52
0.53
0.09
0.71
Kan-4
-0.21
-0.17
-0.28
0.52
-0.29
0.46
-0.23
0.24
-0.05
0.09
-0.11
-0.09
-0.37
0.36
-0.39
-0.14
0.01
-0.07
-0.31
Menurut Traore et al. (2008) analisis variasi kanonikal digunakan untuk
mendapatkan kombinasi karakter yang membedakan secara keseluruhan dan
dapat digunakan untuk menggambarkan plot skor guna membandingkan di
dalam dan diantara variabilitas populasi (kelompok kambing) pada dimensi yang
kecil. Semakin rendah angka yang diperoleh dari hasil analisis struktur kanonik,
semakin tidak dapat digunakan sebagai peubah pembeda kelompok kambing
40
Pola Warna Tubuh
Pola warna dibedakan atas dua kelompok yaitu kelompok warna
dominan dan kelompok warna belang. Warna dominan adalah kelompok warna
yang paling banyak persentase warna tubuh atau paling tidak diperkirakan diatas
atau sama dengan 60%, sedangkan yang dimaksud dengan warna belang
adalah warna tubuh yang selain warna dominan. Persentase pola warna tubuh
dominan dan warna belang tubuh pada 6 sub populasi kambing lokal Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Persentase pola warna tubuh dominan dan warna belang pada 6 sub
populasi kambing lokal
Pola Warna tubuh
Warna dominan
Putih
Coklat muda
Coklat kemerahan
Coklat
Coklat tua
Abu-abu
Hitam
Kacang
n=217
Variasi
28
15
5
6
16
2
28
Samosir
n=42
Putih
86
2
0
7
7
0
5
Benggala
n=96
Hitam
10
10
10
18
0
0
60
Muara
n=34
Variasi
53
0
37
0
0
3
7
Marica Jawarandu
n=60
n=94
Variasi
Variasi
17
6
30
4
10
0
37
57
0
13
0
2
7
17
Warna belang
Putih
Coklat muda
Coklat kemerahan
Coklat
Coklat tua
Abu-abu
Hitam
Variasi
43
19
22
8
4
0
4
Variasi
12
2
0
26
10
2
48
Variasi
18
20
15
0
0
0
47
Variasi
37
3
0
37
0
0
23
Hitam
27
3
0
3
0
0
67
Variasi
34
0
2
17
2
2
43
Warna tubuh kambing yang diamati antara lain warna putih, coklat
muda, coklat kemerahan (merah bata), coklat, coklat tua kehitaman, abu-abu,
dan warna hitam. Warna tubuh dan pola warna kambing sangat bervariasi, ada
yang mempunyai pola warna yang dominan tunggal dan ada juga yang sangat
beragam (pola warna belang dan totol-totol). Kambing Benggala dan Samosir
mempunyai warna tubuh tunggal dominan yang khas yaitu Kambing Benggala
didominasi warna tunggal hitam dan Kambing Samosir didominasi warna putih.
Kambing Muara walaupun kebanyakan warna putih tetapi dikombinasi
belang atau totol-totol berwarna hitam, coklat kemerahan (merah bata) dan
warna abu-abu.
Kambing Marica bervariasi antara lain warna coklat, coklat
41
muda dan warna putih dengan kombinasi warna belang hitam, putih dan warna
coklat muda. Sedangkan Kambing Kacang dan Jawarandu menunjukkan pola
warna tubuhnya yang sangat bervariasi, sehingga hampir semua warna yang
diamati terdapat pada kedua sub populasi kambing tersebut.
Pola warna tubuh Kambing Kacang secara umum sangat bervariasi
antara lain warna putih, hitam, coklat dan warna abu-abu keputihan. Dari hasil
pengamatan warna tubuh dominan putih dan hitam (masing-masing 28%) yang
paling tinggi, kemudian diikuti oleh warna coklat tua (16%), coklat muda (15%),
coklat (7%), coklat kemerahan (merah bata) (5%) dan abu-abu (2%). Pola warna
belang tubuh juga yang paling tinggi adalah warna putih (43%), kemudian coklat
kemerahan (22%) dan warna coklat muda (19%). Kemudian diikuti warna coklat
(8%), coklat tua (4%) dan belang warna hitam (4%). Contoh warna dan pola
warna dominan 6 sub populasi kambing lokal Indonesia dapat dilihat pada
Gambar 8.
Warna yang dominan Kambing Samosir adalah warna putih (86%),
kemudian warna coklat dan coklat tua, hitam dan coklat muda. Pola warna
belang Kambing Samosir paling tinggi adalah warna hitam (48%) dan coklat
(26%), kemudian diikuti oleh warna putih (12%), coklat tua (10%), hitam (2,4%)
dan coklat muda (2%).
Kambing Benggala mempunyai pola warna dominan
hitam (60%), kemudian warna coklat (18%), coklat kemerahan, coklat muda dan
warna putih (masing-masing 10%). Pola warna belang Kambing Benggala antara
lain warna hitam (47%), diikuti warna coklat muda (20%), putih (18%) dan warna
coklat kemerahan(15%).
Kambing Muara mempunyai warna tubuh dominan
bervariasi kebanyakan warna putih yang paling tinggi (53%) dan coklat (37%),
kemudian warna hitam (7%) dan abu-abu (3%). Pola warna belang Kambing
Muara antara lain putih dan coklat (masing-masing 37%), kemudian hitam (23%)
dan coklat muda (3%). Pada Kambing Muara dijumpai pola warna dominan putih
dengan warna totol-totol (spotted) warna hitam. Kambing Marica mempunyai
warna tubuh dominan bervariasi, mulai warna coklat yang paling tinggi (37%) dan
coklat muda (30%), kemudian diikuti warna putih (17%), coklat kemerahan
(merah bata) (10%) dan warna hitam (7%). Pola warna belang Kambing Marica
antara lain hitam (67%) dan putih (27%). Kemudian diikuti warna coklat dan
coklat kemerahan (masing-masing 3%).
42
Kambing Kacang
Kambing Benggala
Kambing Samosir
Kambing Marica
Kambing Jawarandu
Kambing Muara
Gambar 8 Pola warna dominan dan belang pada 6 sub populasi kambing lokal
Kambing Jawarandu mempunyai warna dominan sangat bervariasi,
kebanayakan warna coklat (57%), kemudian diikuti oleh warna hitam (17%),
coklat tua (13%), putih (6%), coklat muda (4%)dan abu-abu (2%). Pola warna
belang Kambing Jawarandu antara lain hitam (43%), putih (34%), kemudian
diikuti oleh warna coklat (17%), coklat kemerahan, coklat tua dan abu-abu
43
(masing-masing 2 %). Dengan beragamnya warna dominan dan warna belang
tubuh kambing yang diamati semakin terbuka peluang untuk melakukan seleksi
pembentukan warna-warna tertentu yang khas jika dibutuhkan.
Simpulan
Keenam sub populasi kambing yang diamati menunjukkan bahwa setiap
sub populasi berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, sehingga
dapat dibedakan menjadi 6 kelompok kambing yaitu Kambing Muara, Kambing
Kacang, Kambing Jawarandu, Kambing Marica, Kambing Samosir dan Kambing
Benggala.
Kambing Muara memiliki bobot badan dan ukuran tubuh lebih besar jika
dibandingkan dengan Kambing Jawarandu, Benggala, Kacang, Samosir dan
Kambing Marica. Variabel pembeda untuk karakterisasi dan seleksi berdasarkan
morfometrik pada kambing lokal adalah parameter bobot badan hidup, panjang
badan, tinggi pundak, lebar dada, dalam dada, lingkar dada, lebar tengkorak,
tinggi tengkorak, lebar ekor, panjang ekor, lebar telinga, panjang telinga dan
lingkar kanon.
Terdapat warna dominan yang khas yaitu warna hitam pada Kambing
Benggala dan warna putih pada Kambing Samosir, sedangkan Kambing Kacang,
Jawarandu, Muara dan Marica menunjukkan pola warna dominan sangat
bervariasi.
KARAKTERISASI MOLEKULER ENAM SUB POPULASI
KAMBING LOKAL INDONESIA BERDASARKAN ANALISIS
SEKUEN DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA
Pendahuluan
Analisis DNA mitokondria (mtDNA) merupakan salah satu metode yang
banyak digunakan untuk mempelajari asal-usul ternak domestikasi (MacHugh &
Bradley 2001). Pada mamalia DNA mitokondria hanya diturunkan lewat jalur
induk (maternal) tanpa rekombinasi. Sekuen nukleotida genom mitokondria telah
digunakan untuk mempelajari asal-usul sapi (Troy et al. 2001), babi (Giuffra et al.
2000), domba (Hiendleder et al. 2002), kuda (Villa et al. 2001), anjing
(Savolainen et al. 2002), keledai (Beja-Pereira et al. 2004) dan kambing (Joshi et
al. 2004; Luikart et al. 2001; Mannen et al. 2001; Sultana et al. 2003; Chen et al.
2005; Naderi et al. 2007; Royo et al. 2009; Zhao et al. 2011).
Kambing domestik dapat dikelompokkan menjadi 4 garis kelompok
keturunan utama atau Lineage (Joshi et al. 2004).
Lineage A merupakan
kelompok kambing domestikasi yang paling beragam dan luas penyebarannya di
dunia. Lineage B menyebar di daerah Asia Timur dan Asia Selatan termasuk
Cina, Mongolia, Afrika Selatan, Afrika Utara, Laos, Malaysia, Pakistan dan India.
Lineage C menyebar di sekitar Mongolia, Swiss, Slovenia, Pakistan dan India.
Lineage D di daerah Pakistan dan kambing lokal di India. Selain itu Naderi et al.
(2007)
mengelompokkan
kambing
menjadi
enam
haplogroup
yaitu
menambahkan haplogroup F dan G dengan 4 haplogroup yang dilaporkan oleh
Joshi et al. (2004). Lineage F menyebar di daerah Sicilia dan lineage G
menyebar di daerah Timur Tengah dan Afrika Utara. Kombinasi pengelompokan
molekuler dengan temuan arkeologi menunjukkan bahwa kambing domestikasi
mempunyai asal usul beberapa garis keturunan ibu (maternal origins) (Zeeder &
Hesse 2000). Dengan penambahan sampel terutama di daerah yang mungkin
merupakan asal garis keturunan, maka analisis mtDNA akan mendukung
pemahaman pengelompokan kambing lokal di berbagai wilayah (MacHugh &
Bradley 2001; Chen et al. 2005).
45
Bahan dan Metode
Sampel Darah Kambing Penelitian
Pengambilan sampel darah sekitar 2 ml dari setiap ekor kambing
penelitian dilakukan pada bagian vena jugularis dengan menggunakan jarum
venoject yang disambungkan ke tabung vakum dengan EDTA 5 ml. Semua
sampel darah selama di lapangan dengan etanol absolut 2x volume darah
dikocok hingga homogen.
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA dilakukan dengan memodifikasi metode Sambrook et al.
(1989) menggunakan bufer lisis sel 350 µl 1xSTE, dan 40 µl 10% SDS, 20 µl
5 mg/ml proteinase-K. DNA dimurnikan dengan metode fenol-kloroform, yaitu
dengan menambahkan 40 µl 5 M NaCl dan 400 µl fenol dan kloroform: iso amil
alkohol (24:1). DNA diendapkan dengan menambahkan 40 µl 5 M NaCl dan 800
µl etanol absolute. Endapan dicuci dengan menambahkan 400 µl etanol 70%,
Selanjutnya sisa etanol dibuang dan diuapkan dengan menggunakan pompa
vakum. DNA kemudian disuspensikan dengan 80 µl 80% bufer TE.
Amplifikasi DNA
Sebanyak 543 sampel DNA yang telah diekstraksi dipilih sebanyak 60
sampel yang masing-masing 10 sampel DNA per sub populasi. Amplifikasi ruas
D-loop
genom
5’GCGTACGCAAT
mitokondria
menggunakan
CTTACGATCA-3’
5’ATGCAGTTAAGTCCAGCTAC-3’.
primer
dan
AF23
AF22
(forward)
(reverse)
Primer AF23 menempel pada basa ke
14979-14999 dan AF22 menempel pada basa ke 16379-16398 dari mtDNA
Capra hircus (GenBank no akses AF 533441). Pasangan primer AF23 dan AF22
mengapit ruas tengah hingga akhir Cyt b, tRNA Pro, tRNA Thr dan juga bagian
awal hingga tengah daerah D-loop dengan panjang 1420 pb (Gambar 9).
Komposisi reaksi PCR dalam volume 25µl adalah sampel DNA 2µl (10100ng), RBC Bioscience taq polymerasi 1.25 unit beserta sistim bufernya, dNTP
mix 0.4 nmol, MgCl 2 0.2 mM, primer AF22 dan AF23 masing-masing 1 nmol.
Kondisi PCR yang digunakan untuk proses amplifikasi adalah tahap denaturasi
awal pada suhu 94oC selama 3 menit, tahap denaturasi pada suhu 94oC selama
46
45 detik, tahap penempelan primer (annealing) pada suhu 58oC selama 50 menit,
dan tahap polimerasi (extension) pada suhu 72oC selama 1 menit yang diulang
selama 30 siklus, kemudian reaksi PCR diakhiri dengan polimerasi akhir pada
suhu 72oC selama 5 menit. Visualisasi produk PCR dilakukan menggunakan
teknik elektroforesis gel poliakrilamid (PAGE) 6% dalam buffer 1xTBE (Tris-HCl
10 Mm, asam borat 1 M, EDTA 0.1 mM). Elektroforesis dijalankan pada kondisi
200 mV selama 50 menit. Proses dilanjutkan dengan pewarnaan sensitif perak
(Tegelstrom 1986) yang dimodifikasi.
Perunutan DNA
Produk amplifikasi yang menunjukkan pita tunggal (sekitar 1400 pb)
dimurnikan dan dijadikan cetakan dalam reaksi PCR untuk perunutan nukleotida.
Masing-masing kelompok kambing dipilih 5 sampel yang saling berjauhan
lokalitasnya. Primer yang digunakan dalam proses penentuan runutan nukleotida
sama dengan primer yang digunakan untuk amplifikasi. Reaksi PCR tersebut
dilakukan dengan menggunakan metode dideoxi terminator dengan dNTP
berlabel (big dye terminator). Perunutan nukleotida menggunakan mesin ABI
Prism 3700-Avant Genetic Analyzer di PT Charoen Pockphan dan PT Genetika
Sains Indonesia Jakarta.
Analisis Data
Runutan nukleotida yang diperoleh kemudian diedit secara manual
dengan bantuan program Bio Edit versi 6.0.7. Urutan DNA yang telah diedit
disejajarkan dengan beberapa runutan DNA dari kelompok Capra hircus yang
dipublikasikan dalam GenBank (http://ncbi.nlm.nih.gov).
Proses pensejajaran
menggunakan ClustalW versi 8.1 yang ada dalam program MEGA 4 (Tamura et
al. 2007) yang kemudian diedit lagi secara manual terutama untuk ruas-ruas
DNA berulang (Lampiran 4).
Analisis yang dilakukan meliputi penghitungan komposisi nukleotida, laju
subsitusi, jarak genetik menggunakan program MEGA versi 4.0 (Tamura et al.
2007). Perhitungan nilai jarak genetik dilakukan berdasarkan model subsitusi
Kimura 2 parameter (K2P). Rekonstruksi pohon filogeni dilakukan berdasarkan
semua nukleotida yang bersifat parsimoni menggunakan metode Neigbour
47
Joining (NJ) dengan uji bootstrap 1000 kali dengan program NETWORK versi 4.6
(Fluxus Technology Ltd. 2010).
Hasil dan Pembahasan
Polimorfisme Segmen daerah D-loop DNA Mitokondria
Panjang ruas D-loop yang saling sejajar antar sampel adalah 879 pb.
Dari situs-situs ruas D-loop tersebut ditemukan 50 situs polimorfik yang terdiri
dari 21 mutasi insersi dan 29 transversi (Gambar 10). Berdasarkan 50 situs
nukleotida yang bersifat polimorfik ke-6 sub populasi kambing lokal bisa dibagi
menjadi 19 haplotip.
Dari 19 jumlah haplotip, masing-masing sub populasi
kambing lokal mempunyai jumlah haplotip khas yang bervariasi antara 2-4
haplotip. Variasi haplotip yang khas tersebut dapat digunakan sebagai penciri
genetik pada setiap sub populasi kambing lokal Indonesia (Tabel 11).
Tabel 11 Jumlah haplotip berdasarkan runutan nukleotida D-loop mtDNA setiap
sub populasi kambing lokal Indonesia
Kambing lokal
n sample
n haplotipe
Haplotipe
Marica (M)
5
3
1, 2, 3
Kacang (K)
5
4
4, 5, 6, 7
Samosir (S)
5
2
8, 9
Benggala (B)
5
3
10, 11, 12
Jawarandu (J)
5
4
13, 14, 15, 16
Muara (R)
5
3
17, 18, 19
Panjang D-loop
(1.212pb)
t-RNA
CYTB
Thr
Pro
14.153
14.981 15.292 15.296 15.431 15.365
1
AF23
15.431
16.309
541 D-loop Kambing lokal 1.420 16.643 pb
(879 pb)
AF22
Nukleotida DNA mt kambing lokal
(1.420 pb)
Gambar 9 Struktur genom mitokondria yang diapit oleh primer AF23 dan AF22.
Nomor mengacu pada Capra hircus (GenBank no. akses AF 533441)
48
2333344444
3556800014
5346058977
C.hircus_NC_005044 T---CAA-AA
Marica1
.---...-.G
Marica2
.---...-.G
Marica3
.---...-.G
Marica4
.---...-.G
Marica5
.---...-.G
Kacang1
.---T.G-GG
Kacang2
.---T.G-GG
Kacang3
.---T.G-GG
Kacang4
.---T.G-GG
Kacang5
.---T.G-GG
Samosir1
.---...-.G
Samosir2
.---...-.G
Samosir3
.---...-.G
Samosir4
.---...-.G
Samosir5
.---...-.G
Benggala1
.---.C.-..
Benggala2
.---.C.A..
Benggala3
.---...-..
Benggala4
.---.C.A..
Benggala5
.---.C.-..
Jawarandu1
.---...-..
Jawarandu2
.--T...-..
Jawarandu3
.---...-..
Jawarandu4
.---...-..
Jawarandu5
.---...-..
Muara1
.AC-...-..
Muara2
.AC-...-..
Muara3
.AC-...-..
Muara4
CAC-...-..
Muara5
CAC-...-..
4445555555
6890223444
7744459389
TAACCCCCTC
.G..T-..CT
.G..T-..CT
.G..T-..CT
.G..T-..CT
.G..T-..CT
CGGTT.TT..
CGGTT.TT..
CGGTT.TT..
CGGTT.TT..
CGGTT.TT..
.G..T-....
.G..T-....
.G..T-....
.G..T-....
.G..T-....
..........
..........
..........
..........
..........
..........
.G........
.G........
.G........
.G........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
5556788888
0166204589
CTAGTTCCTA
TCGA..TT..
TCGA..TT..
TCGA..TT..
TCGA..TT..
TCGA..TT..
..GA..T...
..GA..T.CC
..GA..T...
..GA..T...
..GA..T...
....GCT...
......T...
......T...
......T...
......T...
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
566666666
901144456
311403977
AATCCGGCG
..CT.....
..CT.....
..CT.....
..CT.....
..CT.....
GG..T..T.
.........
G......T.
G......T.
GG.....T.
.........
.........
.........
.........
.........
G........
G........
G........
G........
G........
...T.A...
.........
.....A...
.....A...
.....AA.C
.........
.........
.........
.........
.........
6777777788
8014466700
8891817936
TGATCCCCCT
.........C
.........C
.........C
...C.....C
.........C
..........
..........
..........
..........
..........
A...TAGG..
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
.CG.......
..........
........G.
..........
..........
..........
888888
224566
390656
TTCCCT
......
......
...A..
....TC
......
......
......
......
......
......
.CA...
......
......
......
......
......
......
......
......
......
......
......
......
......
......
C.....
C.....
C.....
C.....
C.....
Gambar 10 Polimorfisme runutan nukleotida daerah D-loop DNA mitokondria
pada 6 sub populasi kambing lokal mengacu pada Capra hircus
(GenBank no. akses AF 533441) (tiga baris pertama dibaca
secara vertikal merupakan posisi nukleotida)
Setiap kelompok kambing juga ditemukan perbedaan antara satu
kelompok sub populasi kambing lokal dengan kelompok yang lain, sehingga
runutan nukleotida yang khas dapat digunakan sebagai penciri dari setiap sub
populasi kambing lokal tersebut (Tabel 12).
Perubahan (mutasi) susunan
nukleotida berupa subtitusi ditemukan pada situs nukleotida Kambing Kacang,
Marica, dan Kambing Muara, sedangkan pada Kambing Benggala, Jawarandu
dan Kambing Muara dijumpai mutasi berupa subtitusi dan insersi. Mutasi insersi
nukleotida yang ditemukan pada 3 sub populasi yaitu insersi nukleotida AC pada
49
situs ke 353, 354 pada Kambing Muara, insersi nukleotida T pada situs ke 366
pada Kambing Jawarandu dan insersi A pada situs ke 409 pada Kambing
Benggala, sedangkan mutasi nukleotida pada 3 sub polpulasi lainnya merupakan
mutasi substitusi.
Tabel 12 Mutasi nukleotida sebagai penciri kelompok kambing lokal Indonesia
dibandingkan dengan Capra hircus (GenBank no. akses AF 533441)
Sub populasi
Subtitusi
n
Situs ke-
Insersi
n
Situs ke-
T-C
5
-
-
-
T-C
1
548, 551,
611, 806
741
C-T
5
C-A
1
549, 585,
614
856
CT-TC
1
865-866
C-T
5
-
-
-
A-G
5
380, 539,
543, 640
408, 601
T-C
5
467, 588
A-C
1
589
G-T
4
667
T-G
1
572
-
-
-
Marica
Kacang
Samosir
Benggala
Jawarandu
Muara
T-A
1
688, 840
C-T
1
748
C-A
1
761
C-G
1
767, 779
C-G
1
857
T-C
1
580, 829
C-A
1
918
A-C
4
405
A
2
409
C-T
4
721
T
1
366
G-C
1
667, 708
G-A
1
643
A-G
1
719
C-G
1
803
AC
5
353-354
T-C
5
235, 823
Keterangan: n=jumlah situs sekuen
50
Keragaman Runutan Nukleotida
Urutan frekuensi nukleotida paling tinggi terdapat pada nukleotida
A(33.7), kemudian T (27.2%), C (26.4) dan G (12.6) secara berurutan.
Perbandingan rataan frekuensi A dan T (60.9%) lebih tinggi dibandingkan C dan
G (39.8%). Perbedaan susunan basa nukleotida paling rendah ditemukan antara
Kambing Kacang dengan C. hircus AF 533441 (0.5%), dan tertinggi dijumpai
antara Kambing Kacang dengan Muara (10.30%). Rataan keragaman susunan
nukleotida secara keseluruhan adalah 0.014±0.002.
Keragaman susunan
nukleotida antar individu dalam kelompok kambing penelitian yaitu; Marica
(0.001), Kacang (0.005), Samosir (0.008), Jawarandu (0.004), Muara (0.001) dan
Kambing Benggala tidak terdapat perbedaan antar individu dalam kelompok
(0.000).
Perbedaan keragaman susunan nukleotida antar kelompok kambing
lokal berkisar antara 0.004 – 0.103. Keragaman susunan nukleotida paling tinggi
adalah antara Kambing Kacang dengan Muara (0.1030) dan paling rendah
dijumpai antara Kambing Samosir dengan Marica (0.004) dan nilai yang sama
dijumpai antara Kambing Jawarandu dan Kambing Muara (Tabel 13).
Tabel 13 Keragaman nukleotida D-loop mtDNA pada 6 kambing lokal Indonesia
C. hircus
Genotip
Capra hircus*
Marica
Kacang Samosir
Benggala
J.randu
Muara
0
Marica (M)
0.022
0
Kacang (K)
0.005
0.041
0
Samosir (S)
0.025
0.004
0.043
0
Benggala (B)
0.049
0.008
0.072
0.013
0
Jawarandu (J)
0.061
0.011
0.089
0.016
0.005
0
Muara (R)
0.073
0.016
*GenBank no. akses AF 533441
0.103
0.021
0.004
0.004
0
Jarak Genetik Kambing Penelitian dengan Kambing Lainnya
Jarak genetik digunakan untuk melihat kedekatan hubungan genetik
ternak yang dipelihara di daerah yang berbeda. Selanjutnya informasi jarak
genetik dapat digunakan sebagai petunjuk awal dari stuktur populasi dan
diferensiasi suatu rumpun di dalam membuat keputusan program konservasi
(Ponzoni 1997).
Jarak genetik antar individu dalam kelompok kambing penelitian antara
lain; nilai jarak genetik Kambing Samosir 0.004, Kacang dan Jawarandu 0.003,
51
Marica 0.002, Muara 0.001 dan Kambing Benggala tidak ada perbedaan (0.000).
Nilai jarak genetik antar individu dan sub populasi ini menunjukkan sampel
Kambing Benggala relatif homogen walaupun diambil dari tempat berbeda
kabupaten.
Nilai jarak genetik antar kelompok kambing lokal berkisar 0.004-0.044
dan rataan jarak genetik keseluruhan adalah 0.014.
Jarak genetik tertinggi
antara kambing lokal dengan pembanding Capra hircus (AF 533441) ditemukan
pada Kambing Muara (0.044) dan terendah dengan Kambing Kacang (0.028).
Nilai jarak genetik antar kelompok kambing lokal terkecil antara Kambing
Muara dan Benggala (0.004), sedangkan tertinggi merupakan jarak genetik
antara Kambing Kacang dan Marica (0.004) (Tabel 16). Jarak genetik Kambing
Marica paling dekat dengan Kambing Samosir (0.015) dan paling jauh dengan
Kambing Kacang (0.023).
Jarak genetik Kambing Kacang paling dekat
hubungannya dengan Kambing Samosir (0.017) dan paling jauh hubungannya
dengan Kambing Jawarandu dan Muara (0.021).
Jarak genetik Kambing
Samosir paling dekat hubungannya dengan Kambing Jawarandu (0.008) dan
paling jauh hubungannya dengan Kambing Muara dan Benggala (0.009). Jarak
genetik Kambing Benggala lebih dekat hubungannya dengan Kambing Muara
(0.004) dibandingkan dengan Kambing Jawarandu (0.005).
Jarak Kambing
Jawarandu dengan Kambing Muara adalah 0.005 (Tabel 14).
Hal ini
menunjukkan bahwa Kambing Jawarandu masih dekat hubungan kekerabatan
dengan Kambing Muara.
Pohon filogeni yang dibentuk berdasarkan metode 2 parameter Kimura
dalam uji bootstrap 1000 kali pengulangan, diperoleh enam klaster kambing yaitu
masing-masing sub populasi membentuk klaster tersendiri yaitu klaster Kacang,
Marica, Samosir, Jawarandu, Muara dan Benggala.
Kambing Kacang
merupakan klaster yang relatif dekat dengan Capra hircus dengan nilai uji
bootstrap (65%). Kambing Kacang dikenal sebagai kambing asli Indonesia yang
tersebar secara luas hampir di seluruh kepulauan yang ada penduduknya.
Kambing Jawarandu, Muara dan Benggala menunjukkan terjadi mutasi
perubahan susunan basa nukleotida dalam bentuk subtitusi dan insersi
(Tabel 14). Perubahan susunan nukleotida dalam bentuk insersi pada ketiga
kambing ini diduga karena merupakan hasil persilangan pejantan kambing dari
luar (outgroup) dengan induk Kambing Kacang (hibridisasi) yang telah
52
beradaptasi (berevolusi) dengan kondisi agro-ekosistim lokal dimana kambing
tersebut berada.
Tabel 14 Jarak genetik berdasarkan runutan nukleotida pada 6 sub populasi
kambing lokal Indonesia
Sub populasi
Capra hircus*
C. hircus
Marica
Kacang
Samosir
Benggala
J.randu
Muara
0
Marica (M)
0.03
0
Kacang (K)
0.028
0.023
0
Samosir (S)
0.041
0.015
0.017
0
Benggala (B)
0.041
0.019
0.02
0.009
0
Jawarandu (J)
0.042
0.018
0.021
0.008
0.005
0
Muara (R)
0.044
0.019
*GenBank no. akses AF 533441
0.021
0.009
0.004
0.005
0
Mutasi subtitusi ditemukan pada Kambing Kacang, Marica dan Samosir
diduga merupakan tanda adanya proses adaptasi dari Kambing Kacang (sebagai
kambing asli) dengan kondisi lokasi baru yang berbeda dengan kondisi di
Sumatera, Jawa dan Bali, dimana perubahan susunan basa nukleotida terjadi
dalam bentuk substitusi sebagai akibat proses adaptasi terhadap kondisi
lingkungan yang sumber pakannya terbatas dan diduga akibat adanya seleksi
yang berhubungan dengan tujuan produksi yang diinginkan oleh peternak.
Seperti Kambing Samosir, tujuan utama pemeliharaan kambing ditujukan
untuk menghasilkan kambing yang berwarna putih, karena nilai ekonomi (harga
jual) yang tinggi. Pengguna atau konsumen menggunakan kambing berwarna
putih untuk keperluan acara ritual bagi penganut agama/aliran kepercayaan
Parmalim di daerah Gunung Pusuk Buhit dan sekitar Kabupaten Samosir.
Perubahan mutasi nukleotida pada Kambing Marica diduga disebabkan
proses adaptasi dengan kondisi iklim yang berbeda dan ketersediaan bahan
pakan terutama pada saat musim kemarau yang rata-rata diatas 6-9 bulan per
tahun membuat ketersediaan rumput sangat terbatas. Pada musim pertengahan
dan akhir musim kemarau umumnya rumput sudah layu dan kering diakibatkan
musim kering yang berkepanjangan seperti pada umumnya di daerah kepulauan
Indonesia Bagian Timur, sehingga ketersediaan rumput sangat terbatas.
Kemungkinan dalam jangka waktu yang lama Kambing Marica mengalami
proses adaptasi dengan kondisi setempat, maka terjadilah proses mutasi
53
subtitusi nukleotida yang secara fenotip Kambing Marica mempunyai performans
tubuh yang lebih kecil jika dibandingkan dengan Kambing Kacang.
Jika digabungkan dengan sekuen nukleotida daerah D-loop DNA
mitokondria kambing dari luar negeri yang terdapat pada GenBank, kelompok
kambing lokal yang diamati mempunyai jarak genetik yang jauh dari Capra hircus
(AF 533441) karena sampel kambing tersebut berasal dari Eropa (Italia) (Parma
et al. 2003) dengan nilai uji bootstrap sangat tinggi (99%) (Gambar 11).
Sekuen DNA daerah D-loop kambing lokal yang diteliti, jika disejajarkan
dan dibandingkan dengan 26 sekuen DNA yang berasosiasi dari GenBank yang
mewakili 6 kelompok utama (haplogroup) kambing di dunia berdasarkan asalusulnya secara maternal (Naderi et al. 2007; Joshi et al. 2004) menunjukkan
bahwa keenam sub populasi kambing lokal Indonesia termasuk kedalam
kelompok haplotip Lineage B (Gambar 12).
Kambing yang termasuk dalam
haplogroup B adalah kambing yang berdasarkan garis keturunan ibu (maternal)
dan telah dilaporkan menyebar di daerah Asia Timur dan Asia Selatan termasuk
Cina, Mongolia, Afrika Selatan, Afrika Utara, Laos, Malaysia, Pakistan dan India.
Dari Gambar 12 terdapat nilai uji bootstrap dengan pengulangan 1000
kali pada Kambing Boer sangat rendah (30%) pada Kambing Boer dan (38-65%)
Kambing Jawarandu menunjukkan bahwa kedua jenis kambing tersebut masih
dekat kekerabatannya, karena Kambing Boer adalah merupakan persilangan
Kambing Jamnapari dengan kambing lokal di Afrika Selatan.
Nilai uji bootstrap Kambing Kacang dan Marica merupakan paling tinggi
(99%) kemudian disusul oleh Kambing Jawarandu (92%), Muara (78%), Samosir
(66%) dan Benggala (64-65%).
Hasil uji bootstrap 1000 kali ulangan pada
analisis Neighbour Joining dengan metode 2 parameter Kimura menunjukkan
bahwa keenam sub populasi kambing lokal yang diteliti terbagi kedalam 6
kelompok atau bisa dikelompokkan menjadi 6 rumpun yang berbeda yaitu
rumpun kambing pertama Kambing Kacang, kedua Kambing Marica, ketiga
Kambing Samosir, keempat Kambing Jawarandu, kelima Kambing Muara dan
keenam Kambing Benggala (Gambar 11) dengan nilai uji bootstrap di atas 60 %
antara satu kelompok sub populasi kambing lokal yang satu dengan yang
lainnya.
Hampir sama dengan nilai uji bootstrap Kambing Muara juga rendah
(46%), hal ini juga memperkuat dugaan bahwa Kambing Muara juga merupakan
hasil persilangan kambing lokal dengan Peranakan Etawah (PE) di Indonesia,
54
saat ini Kambing Muara sudah mempunyai karakteristik morfologi tersendiri dan
susunan basa nukleotida mempunyai kekhasan tersendiri.
68
65 Muara4
Muara5
78 Muara2
Muara
Muara3
Muara1
Benggala3
Benggala5
64 Benggala2 Benggala
93
67 Benggala1
Benggala4
Jawarandu1
Jawarandu3
Jawarandu
99
Jawarandu4
63
Jawarandu5
Jawarandu2
Samosir2
Samosir3
Samosir
Samosir4
67
Samosir1
Samosir5
Marica1
Marica2
Marica
Marica5
99
Marica3
Marica4
Kacang2
71 Kacang1
Kacang
63
Kacang5
72 Kacang3
49 Kacang4
C.hircus NC_0050441
AF 533441
0.015
0.010
0.005
0.000
Gambar 11 Dendogram 6 sub populasi kambing lokal Indonesia berdasarkan
ruas D-loop mtDNA (bootstrap 1000x)
Kambing Muara bentuk ukuran tubuh hampir sama dengan PE, tetapi
lebar dada relatif lebih panjang dan panjang telinga lebih pendek dan pola warna
lebih bervariasi. Kambing Jawarandu bentuk tubuh lebih kecil, telinga pendek
55
dan warna bulu tubuh relatip lebih bervariasi jika dibandingkan dengan Kambing
Etawah dan Kambing Peranakan Etawah.
33
11
10
34
1465
21
52
65
30
20
23
85
32
70
97
59
99
68
54
99
96
85
42
74
55
96
80
97
17
19
51
74
41
27
62
26
29
43
93
99
76
99
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
Muara2
Muara4
Muara5
BOER-AFRIKA SELATAN-(GQ141235)
Muara3
Muara1
Jawarandu2
Jawarandu3
Jawarandu4
Jawarandu1
Benggala3
Benggala5
Benggala4
Benggala1
Benggala2
LAOS-NATIVE-(AB044303)
Samosir5
Samosir3
Samosir2
Samosir4
AZERI-AZERBAIJAN-(EF617706)
Jawarandu5
MONGOLIAN-GOAT-(AJ317833)
MATOU-CHINA-(DQ121578)
Samosir1
Marica4
Marica1
Marica5
Marica2
Marica3
Kacang2
Kacang1
Kacang5
Kacang3
Kacang4
TAIHANG-CHINA-(DQ188893)
PASHMINA-INDIA-(AY155952)
PINQAU-AUSTRIA-(EF617701)
GURCU-TURKEY-(EF618535)
BALADI-EGYPT-(EF617727)
NUBIAN-ITALY-(FJ571542)
ALPINE-FRANCE-(EF617779)
BANJIAO-CHINA-(DQ121491)
PUNJAB-GOAT-PAKISTAN-(AB162215)
BLACK_BENGAL-INDIA-(AY155721)
IRANIAN-GOAT-(EF617945)
JAMNAPARI
Capra hircus -Vietnam (AF533441)
ANGORA-CHINA-(GQ141232)
Capra_hircus_(AF533441)
MALTESE-ITALY-(FJ571532)_
BARBARI_INDIA-_(AY155708)
SWITZERLAND-GOAT-(AJ317838)
SPANISH-GOAT-(EF618413)
GIRGENTARA)-SICILY-(DQ241349
GIRGENTARA-SICILY-(DQ241351)
B
D
G
A
C
F
0.00
Gambar 12 Posisi 6 sub populasi kambing lokal Indonesia dalam dendogram
kambing-kambing di dunia berdasarkan ruas D-loop mtDNA
56
Kambing Benggala mempunyai nilai bootstrap cukup jauh (65%) dari
Kambing Kacang. Berdasarkan performans karakteristik tubuh dan warna bulu
Kambing Benggala diduga merupakan persilangan Kambing Black Bengal
dengan kambing lokal yang telah beradaptasi dengan kondisi agro-ekosistim di
Pulau Timor dan Pulau Flores (Propinsi Nusa Tenggara Timur).
Kambing
Jawarandu, Muara dan Benggala merupakan persilangan kambing dari luar
dengan kambing lokal, yang kemudian terjadi proses adaptasi dengan kondisi
agro-ekosistim lokal sehingga penampilan produksi dan karakteristik kambing
yang diteliti telah berubah jika dibandingkan dengan karakteristik rumpun asal
kambing itu sendiri.
Seperti Kambing Benggala jika dibandingkan dengan
Kambing Black Bengal tubuh Kambing Benggala relatip lebih kecil, tetapi bentuk
telinga dan warna bulu sama-sama warna hitam dan coklat tua pada umumnya.
Berdasarkan analisis Median joining network dari 30 sekuen nukleotida
daerah D-loop kambing yang diamati terdapat 50 situs yang bersifat polimorfik,
terdapat sebanyak 19 haplotipe runutan DNA yang unik. Aliran gen berasal dari
Kambing Kacang sebagai kambing asli di Indonesia, yang kemudian mengalami
adaptasi sesuai dengan kondisi agro-ekosistem dan perlakuan manajemen dan
terjadi perubahan susunan nukleotida dan perubahan fenotipik yang dikenal
dengan Kambing Marica di daerah Sulawesi Selatan dan Kambing Samosir di
daerah Kabupaten Samosir. Mutasi susunan nukleotida paling banyak di jumpai
antara Kambing Kacang dengan Kambing Marica dan Samosir (Gambar 13).
Perubahan mutasi ini terjadi diduga akibat adanya proses adaptasi dari
Kambing Kacang sebagai kambing asli Indonesia dengan kondisi lingkungan
yang sangat berbeda seperti lamanya musim kering yang tinggi di daerah
Sulawesi Selatan yang mengakibatkan pakan hijauan layu dan mengering
sehingga sangat terbatas jumlahnya di ujung musim kemarau.
Hal ini bisa dilihat dari perubahan (mutasi) susunan nukleotida dalam
bentuk subtitusi pada situs–situs tertentu (Tabel 14). Pada Kambing Jawarandu,
Benggala dan Muara ditemukan mutasi subtitusi dan insersi nukleotida diduga
akibat proses adaptasi lingkungan dan merupakan hasil persilangan (proses
hibridisasi) dengan rumpun kambing di luar kambing lokal yang terdapat di
daerah setempat.
57
K=Kacang, M=Marica, S=Samosir, J=Jawarandu, R=Muara, B=Benggala
Gambar 13 Median joining network dari 19 haplotip nukleotida daerah D-loop
DNA mitokondria pada 6 sub populasi kambing lokal Indonesia
Simpulan
Keragaman genetik 6 kambing lokal Indonesia yang diamati adalah
0.014±0.002 dan ditemukan 50 situs susunan nukleotida yang polimorfik dan
terdiri dari 19 haplotip yang unik. Keenam sub populasi kambing lokal Indonesia
menunjukkan keragaman susunan nukleotida yang berbeda antara setiap
kelompok dengan kelompok sub populasi kambing lainnya. Perbedaan susunan
nukleotida yang khas pada setiap rumpun kambing dapat dipakai sebagai penciri
DNA antar rumpun kambing.
Berdasarkan analisis keragaman genetik pada
sekuen kambing penelitian dan sekuen nukleotida dari GenBank diduga asal usul
tetua secara maternal kambing lokal yang diamati termasuk kedalam kelompok
utama (haplogroup) lineage B.
KARAKTERISASI MOLEKULER PADA ENAM SUB
POPULASI KAMBING LOKAL INDONESIA BERDASARKAN
ANALISIS DNA KROMOSOM Y
Pendahuluan
Variasi genetik dari rumpun ternak lokal sangat penting untuk
mempertahankan sumberdaya genetik yang tidak tergantikan dan juga
bermanfaat untuk membentuk bibit ternak yang baru. Gen SRY terletak pada
kromosom Y yang terdiri dari ekson tunggal. Gen ini bertanggungjawab pada
penentuan jenis kelamin pada ternak mamalia (Sinclair et al. 1990, Prashant et
al. 2008).
Sampai saat ini hasil penelitian tentang keragaman genetik kromosom Y
pada kambing lokal Indonesia masih sangat terbatas.
Tujuan penelitian ini
adalah untuk mempelajari keragaman genetik Kromosom Y bagian gen SRY dan
hubungan genetik antar sub populasi menurut garis keturunan secara paternal
pada 6 sub-populasi kambing lokal Indonesia.
Bahan dan Metode
Sampel Darah Kambing Penelitian
Sebanyak 18 sampel dipilih dari 77 sampel darah kambing jantan yang
dikoleksi yang terdiri masing-masing 3 sampel per kelompok 6 sub populasi
kambing.
Ekstraksi DNA
Perlakuan sama seperti yang dilakukan pada Ekstraksi DNA untuk
analisis mitokondria.
Amplifikasi DNA
Amplifikasi genom mitokondria menggunakan primer AF126 (forward)
5’CCAGATCGATGTAGAGACAT-3’
dan
AF127
(reverse)
5’TGCAATTTA
CAAAGAGGTGGAA-3’. Primer AF126 menempel pada basa ke 3 925 - 3 947 nt
dan AF127 menempel pada basa ke 4 675 - 4 696 nt dari runutan DNA
kromosom Y pada sekuen lengkap Capra hircus dengan no akses GenBank EU
59
581862. Komposisi reaksi PCR dalam volume 25µl adalah sampel DNA 2µl (10100ng), RBC Bioscience taq polymerase 1.25 unit beserta sistim bufernya, dNTP
0.4 nmol, MgCl2 0.2 mM, primer AF22 dan AF23 masing-masing 1 nmol.
Kondisi PCR yang digunakan untuk proses amplifikasi adalah tahap
denaturasi awal pada suhu 94oC selama 3 menit, tahap denaturasi pada suhu
94oC selama 45 detik, tahap penempelan primer (annealing) pada suhu 62oC
selama 50 menit, dan tahap polimerasi (extension) pada suhu 72oC selama 1
menit yang diulang selama 30 siklus, kemudian reaksi PCR diakhiri dengan
polimerasi akhir pada suhu 72oC selama 5 menit.
dilakukan menggunakan
Visualisasi produk PCR
tehnik elektroforesis gel poliakrilamid (PAGE) 6%
dalam bufer 1xTBE (Tris-HCl 10 Mm, asam borat 1 M, EDTA 0.1 mM).
Elektroforesis dijalankan pada kondisi 200 mV selama 50 menit, kemudian
proses dilanjutkan dengan pewarnaan sensitive perak (Tegelstrom 1986) yang di
modifikasi.
Perunutan DNA
Produk amplifikasi yang menunjukkan pita tunggal kemudian dimurnikan
dan dijadikan cetakan dalam reaksi PCR. Primer yang digunakan dalam proses
PCR untuk perunutan nukleotida sama dengan primer yang digunakan untuk
amplifikasi.
Reaksi PCR dilakukan dengan menggunakan metode dideoxi
terminator dengan dNTP berlabel (big dye terminator).
Perunutan nukleotida
menggunakan mesin ABI Prism 3700-Avant Genetic Analyzer.
Analisis Data
Runutan
nukleotida
yang
diperoleh
menggunakan program Bio Edit versi 6.0.7.
kemudian
diedit
dengan
Urutan DNA yang telah diedit
disejajarkan dengan beberapa runutan DNA dari kelompok Capra hircus yang
dipublikasikan dalam GenBank (http://ncbi.nlm.nih.gov).
Data yang diambil
sebagai pembanding adalah gen SRY kromosom Y Capra hircus dengan
no.akses EU 581862. Proses pensejajaran menggunakan ClustalW versi 8.1
yang tertanam dalam program MEGA 4 (Tamura et al. 2007) yang kemudian
diedit lagi secara manual. Pengeditan hasil pensejajaran dilakukan dengan unitunit ruas DNA berulang.
60
Analisis yang dilakukan meliputi penghitungan komposisi nukleotida, laju
subsitusi, jarak genetik berdasarkan ruas DNA kromosom Y pada segmen SRY.
Proses analisis dilakukan dengan menggunakan program MEGA versi 4 (Tamura
et al. 2007).
Perhitungan nilai jarak genetik dilakukan berdasarkan model
subsitusi Kimura 2 parameter (K2P).
Rekonstruksi pohon filogeni dilakukan
berdasarkan ruas daerah gen SRY untuk semua nukleotida yang bersifat
parsimoni.
Rekonstruksi pohon filogeni keduanya dilakukan menggunakan
metode Neigbour Joining (NJ) dengan bootstrap 1000 kali. Untuk mengetahui
jumlah haplotip dan penyebaran mutasi nukleotida digunakan analisis MedianJoining Network versi 4.6 (Fluxus Technology Ltd., 2005).
Hasil dan Pembahasan
Polimorfisme DNA Kromosom Y
Amplifikasi gen SRY pada daerah Kromosom Y menggunakan pasangan
primer AF126 dan AF127 yang didesain sendiri berdasarkan sekuen komplit gen
SRY pada Capra hircus dari GenBank dengan nomor akses EU 581862. Dari
hasil analisis sekuensing setelah diedit secara manual menggunakan program
Bio Edit dan kemudian digabungkan antara hasil sekuen forward dengan hasil
sekuen reverse maka diperoleh hasil keseluruhan sekuen nukleotida sepanjang
773 pb dengan letak posisi sekuen diperkirakan antara situs ke 3 925 – 4 697 pb
(Gambar 14).
Setelah saling disejajarkan antara hasil sekuen nukleotida dari keenam
sub populasi kambing lokal yang diamati maka ditemukan 6 situs polimorfik
(variable site) yang terdiri atas 1 singleton variable site yang ditandai dengan
adanya insersi nukleotida T pada sub populasi Kambing Benggala, dan 5
parsimony informative sites yang ditandai dengan adanya mutasi substitusi pada
setiap sub populasi kambing lokal lainnya.
61
Gambar 14 Struktur ruas gen SRY yang diapit oleh primer AF126 dan AF127
pada 6 sub populasi kambing lokal Indonesia
Jika dibandingkan dengan sekuen nukleotida gen SRY pada Capra hircus
(EU 581862) dari GenBank disini dapat dilihat terdapat mutasi yang sama pada
keenam sub populasi kambing lokal Indonesia yaitu perubahan mutasi nukleotida
dari G berubah menjadi A pada situs ke 398 pada penelitian ini. Runutan sekuen
nukleotida yang bersifat polimorfisme pada Kromosom Y keenam sub populasi
kambing lokal dibandingkan dengan Capra hircus (EU 581862) dapat dilihat pada
Gambar 15.
Terdapat 4 haplotipe berdasarkan 6 situs nukleotida yang bersifat
polimorfik, dimana situs polimorfisme Kambing Kacang sama dengan Kambing
Jawarandu, situs polimorfisme Kambing Marica sama dengan Kambing Samosir,
sedangkan Kambing Muara dan Benggala berbeda satu sama lain. Runutan
basa-basa nukleotida yang polimorfik terletak pada situs ke 330 - 754 berupa
subtitusi dan insersi.
Berdasarkan runutan nukleotida yang disejajarkan ditemukan substitusi
nukleotida khas yang bisa digunakan sebagai penciri 6 kambing lokal jika
dibandingkan dengan Capra hircus (EU 581862), akan tetapi Kambing Shiba dari
Jepang sama dengan situs nukleotida C. hircus. Perubahan susunan (mutasi)
nukleotida berupa subtitusi ditemukan pada situs nukleotida Kambing Kacang
dan Jawarandu di situs ke 398 (G-A), Marica dan Samosir di situs ke 330 (A-T),
398 (G-A), 701 (T-C), Muara di situs 330 (A-T), 398(G-A), 701 (T-C), 718 (A-G),
754 (C-T) dan Benggala di situs 330 (A-T), 1398(G-A), 701(T-C), 718 (A-G), 754
(C-T).
Mutasi insersi nukleotida T hanya ditemukan di situs ke 369 pada
Kambing Benggala.
62
3333333333 3333333333 3333333334 7777777777 7777777777 7777777777
2222222223 6666666667 9999999990 0000000001 1111111112 5555555556
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
C.hircus_EU581862 TAATTTTAAA AGAATTTG-G CTCTGTTGAT TTCTAAAGCA CTTTCTGATA TTTCCACCTC
Benggala1
.........T ........T. .......A.. C......... .......... ...T......
Benggala
.........T ........T. .......A.. C......... .......... ...T......
Benggala3
.........T ........T. .......A.. C......... .......... ...T......
Jawarandu1
.......... ........-. .......A.. .......... .......... ..........
Jawarandu2
.......... ........-. .......A.. .......... .......... ..........
Jawarandu3
.......... ........-. .......A.. .......... .......... ..........
Kacang1
.......... ........-. .......A.. .......... .......... ..........
Kacang2
.......... ........-. .......A.. .......... .......... ..........
Marica1
.........T ........-. .......A.. C......... .......... ..........
Marica2
.........T ........-. .......A.. C......... .......... ..........
Muara1
.........T ........-. .......A.. C......... .......G.. ...T......
Muara2
.........T ........-. .......A.. C......... .......G.. ...T......
Samosir
.........T ........-. .......A.. C......... .......... ..........
Shiba_goat_D82963 .......... ........-. .......... .......... .......... ..........
Gambar 15 Polimorfisme nukleotida gen SRY pada 6 sub populasi kambing lokal
Indonesia (tiga baris pertama dibaca secara vertikal merupakan
posisi nukleotida yang mengacu pada C. hircus GenBank no. akses
EU581862 dan Shiba Goat no. akses D82963
Frekuensi Nukleotida dan Jarak Genetik
Berdasarkan hasil sekuen DNA gen SRY analisis jarak genetik antara 6
sub populasi kambing lokal yang diamati dibandingkan dengan sekuen
nukleotida pada Capra hircus (EU 581862) dari GenBank, maka jarak genetik
paling tinggi adalah pada Kambing Muara (0.001), kemudian diikuti Kambing
Benggala (0.008), Kambing Marica sama dengan Kambing Samosir (0.006), dan
paling rendah terdapat pada Kambing Kacang sama dengan Kambing
Jawarandu (0.002).
Perbandingan jarak genetik antar sub populasi kambing lokal ditemukan
bahwa tidak ada jarak perbedaan antara Kambing Kacang dengan Kambing
Jawarandu (0.000), demikian juga antara Kambing Marica sama dengan
Kambing Samosir (0.000). Jarak genetik paling tinggi dijumpai perbedaan antara
Kambing Muara terhadap Kambing Kacang dan Jawarandu (0.008), kemudian
dikuti jarak perbedaan antara Kambing Benggala terhadap Kambing Kacang dan
Jawarandu (0.006).
Perbedaan jarak genetik Kambing Marica dan Samosir
terhadap semua sub populasi kambing lainnya sama (0.004), kecuali terhadap
63
Kambing Benggala (0.002). Jarak genetik berdasarkan susunan nukleotida DNA
Kromosom Y Kambing Kacang, Benggala, Jawarandu, Muara, Samosir, Marica
dan Capra hircus (EU 581862) dari GenBank dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 15 Matrik keragaman nukleotida gen SRY kromosom Y pada kambing
lokal Indonesia
C.hircus Kacang
Sub populasi
Capra hircus*
Kacang
0.002
Samosir
0.006
0.004
Marica
0.006
0.004
Jawarandu
0.002
0.000
Muara
0.010
0.008
Benggala
0.008
0.006
*GenBank no. akses EU 581862
Samosir
Marica
Jawarandu
0.000
0.004
0.004
0.002
0.004
0.004
0.002
0.008
0.006
Muara Benggala
0.002
Keragaman genetik antar individu dalam kelompok sub populasi kambing
penelitian yaitu sub populasi Kambing Samosir 0.004, Kambing Kacang dan
Kambing Jawarandu 0.003, Kambing Marica 0.002, Kambing Muara 0.001 dan
Kambing Benggala tidak ada perbedaan (0.000).
Berdasarkan hasil analisis philogenik runutan nukleotida DNA kromoson
Y kambing lokal Indonesia dengan nilai bootstrap 89% menunjukkan bahwa
Kambing Kacang masih satu kelompok dengan Kambing Jawarandu dan
Kambing Marica masih satu kelompok dengan Samosir (21%), sedangkan
Kambing Benggala (65%) dan Muara (69%) membentuk kelompok terpisah satu
sama lain (Gambar 16).
Berdasarkan hasil analisis metode Neighbour Joining pada keenam sub
populasi kambing yang diamati dapat dikelompokkan berdasarkan keragaman
genetik secara paternal menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok Kambing Kacang
dan Jawarandu, kelompok Kambing Marica dan Samosir, kelompok Kambing
Benggala dan kelompok Kambing Muara.
64
68 Muara1
21
19
64
23
22
Muara2
Benggala1
Benggala3
Benggala2
Marica1
Marica2
Samosir
Jawarandu3
Jawarandu2
Kacang1
87
Kacang2
Jawarandu1
C.hircus EU581862
66 Shiba goat D82963
0.0005
Gambar 16 Dendogram Neighbour Joining berdasarkan runutan nukleotida gen
SRY antara 6 sub populasi kambing lokal Indonesia
Jika digabungkan dengan rumpun kambing out group dari beberapa situs
nukleotida gen SRY di GenBank ditemukan bahwa keenam sub populasi
kambing lokal Indonesia membentuk kelompok tersendiri terpisah dari kelompok
kambing lainnya.
Situs nukleotida Capra hircus (EU 581862) satu kelompok
dengan Kambing Shiba dari Jepang dengan jarak genetik dengan kelompok
kambing lokal Indonesia 63%, sedangkan jarak kambing lokal dengan Kambing
Sangamneri dan Capra hircus (D0845) sangat jauh yaitu 100 % berbeda dengan
kambing lokal Indonesia (diduga karenan hasil sekuen kromosom Y yang didapat
lebih pendek). Sampai saat ini hasil penelitian gen SRY pada ternak kambing
yang dilaporkan dan bisa diakses di GenBank masih sangat terbatas, sehingga
belum bisa leluasa membandingkan dengan jenis rumpun kambing lainnya.
Berdasarkan analisis Median-joining network terdapat 6 situs yang
bersifat polimorfik, dan terdapat sebanyak 4 haplotip runutan DNA yang unik
(Gambar 17) yaitu Kambing Marica dan Samosir (1 haplotip), Kambing Kacang
dan Jawarandu (1 haplotip), Kambing Muara (1 haplotip) dan Kambing Benggala
(1 haplotip).
65
M1
J1
Gambar 17 Median-joining network dari 4 haplotip gen SRY dari 6 sub populasi
kambing lokal Indonesia: Kacang (K 1 ), Marica (M 1 ), Samosir (S 1 ),
Jawarandu (J 1 ), Muara (R 1 ) dan Benggala (B 1 )
Diduga Kambing Marica dan Kambing Samosir berasal dari pejantan
Kambing Kacang yang telah mengalami proses adaptasi terhadap lingkungan
dan campur tangan perlakuan peternak yang diarahkan untuk tujuan produksi
tertentu. Hal ini bisa dilihat dari perubahan (mutasi) susunan nukleotida dalam
bentuk substitusi pada situs tertentu (Tabel 15).
Sedangkan pada Kambing
Jawarandu, Benggala dan Muara ditemukan mutasi subtitusi dan insersi
nukleotida diduga akibat proses adaptasi lingkungan dan merupakan hasil
persilangan (proses hibridisasi) dengan rumpun kambing diluar kambing lokal
yang terdapat di daerah setempat.
Simpulan
Keragaman genetik 6 kambing lokal Indonesia yang diamati adalah 0.004
± 0.002 dan ditemukan 6 situs susunan nukleotida yang polimorfik dan terdiri dari
4 haplotip yang unik, yaitu pada Kambing Kacang dan Jawarandu (1 haplotip),
Marica dan Samosir (1 haplotip), Muara (1 haplotip) dan Benggala (1 haplotip).
Keenam sub populasi kambing yang diamati dikelompokkan menjadi 4 haplotip
kambing yang berbeda, dimana terdapat perbedaan susunan nukleotida yang
khas sebagai penciri DNA antara satu genotip dengan genotip yang lainnya.
Asal usul tetua secara paternal Kambing Jawarandu, Marica, Samosir diduga
berasal dari Kambing Kacang.
IDENTIFIKASI GEN GDF9 DAN HUBUNGANNYA DENGAN
SIFAT PROLIFIK PADA KAMBING LOKAL INDONESIA
Pendahuluan
Sifat prolifik adalah kemampuan untuk melahirkan dua atau lebih anak
sekaligus per periode kelahiran pada induk ternak. Sifat prolifik dikendalikan
oleh gen-gen yang dikenal sebagai keluarga gen kesuburan (fecundity genes),
yaitu bone morphogenetic protein receptor type 1B (BMPR1B) yang disebut juga
dengan nama Fecundity Boorola (FecB) (Souza et al. 2001; Davis 2005, Davis et
al. 2006); growth differentiation factor 9 (GDF9), disebut FecG (Hanrahan et al.
2004); bone morphogenetic protein 15 (BMP15) disebut dengan FecX (Hanrahan
et al. 2004; Galloway et al. 2000). Tiga gen fekunditas diatas dikelompokkan
sebagai TGF-β super family yang telah diidentifikasi pada mamalia.
Beberapa mutasi pada gen GDF9 dilaporkan berhubungan dengan
peningkatan laju tingkat ovulasi dan litter size pada ternak ruminansia kecil
(Gilchrist et al. 2005)
Gen GDF9 ini diekspresikan pada oosit dan sel-sel
granulosa ovarium sejak tahap folikel primer sampai oosit diovulasikan. Gen
GDF9 yang terdapat pada kromosom 5 pada domba, kambing dan sapi telah
berhasil dipetakan yang terdiri atas dua ekson dan satu intron. Selain itu, gen
GDF9 ini diketahui menyandikan prepropeptida sepanjang 453 residu asam
amino. Polipeptida aktif adalah sepanjang 135 residu asam amino (Bodensteiner
et al. 1999; Hanrahan et al. 2004). Pengaturan ekpresi GDF9 dan proses
pematangan prepropeptida menjadi polipeptida aktif melibatkan ruas-ruas
pengaturan ekspresi gen yang terdapat dalam promotor dan intron (Gilchrist et
al. 2005).
Secara alami ternak ruminansia kecil cenderung bersifat prolifik,
termasuk kambing dan domba lokal Indonesia. Kambing Kacang mempunyai
rata-rata anak sekelahiran (litter size) antara 1.56 – 1.98 ekor (Sodiq et al. 2003;
Hoda 2008), kambing PE sekitar 1.3-1.7 anak per kelahiran (Sodiq et al. 2003),
sedangkan Kambing Samosir dan Kambing Muara belum ada laporan yang
menyebutkan kemampuan prolifikasinya. Beberapa program pemuliaan saat ini
aktif untuk mengembangkan kambing yang mengarah pada peningkatan
produksi daging, peningkatan pertumbuhan, daya adaptasi terhadap kondisi
lingkungan yang sulit dan peningkatan sifat prolifik.
67
Hasil penelitian identifikasi keragaman gen BMPR1B dan BMP15 di
ruas ekson 1, ekson 2 dan intron pada induk Kambing Kacang, PE, Muara dan
Samosir dengan sampel yang sama dengan penelitian menunjukkan bahwa
sekuen antara kelompok induk beranak kembar hampir sama dengan kelompok
induk beranak tunggal atau bersifat monomorfik (Hasan et al. 2011). Pada saat
ini informasi yang berhubungan dengan keragaman gen GDF9 pada ruas
promotor masih belum ada laporan penelitian.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keragaman gen GDF9
pada dua kelompok induk, yaitu induk yang rata-rata beranak tunggal (nonprolifik) dan kelompok induk yang rata-rata beranak kembar (prolifik) pada
Kambing Kacang, PE, Samosir dan Muara.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2010 sampai dengan Maret
2011 di Laboratorium Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Pengambilan Sampel Darah Kambing
Pengambilan sampel darah Kambing Kacang dan Kambing Peranakan
Etawah (PE) dilakukan di Kandang Percobaan Loka Penelitian Kambing Potong
Sei Putih, Sumatera Utara. Sedangkan sampel darah Kambing Samosir diambil
dari peternakan rakyat di Kabupaten Samosir dan Kambing Muara di peternakan
rakyat di Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara. Sampel darah
kambing yang diperoleh dari lapangan adalah 149 sampel antara DNA kelompok
induk yang rata-rata beranak tunggal (wild type atau normal) disebut dengan
kelompok non-prolifik dan dengan kelompok induk yang beranak kembar (mutant
type atau mutan) yang disebut dengan kelompok induk prolifik (Tabel 17).
Tabel 16 Distribusi kambing prolifik dan non prolifik
No.
Rumpun kambing
Prolifik
Non-prolifik
1
Kacang
14
11
2
Peranakan Etawah (PE)
14
15
3
Muara
9
26
4
Samosir
24
36
Total
61
88
Jumlah
25
29
35
60
149
68
Sampel darah diambil dari vena jugularis sekitar 2 ml menggunakan
jarum venoject yang dihubungkan dengan tabung vakum. Darah yang diperoleh
di lapangan langsung diawetkan dalam alkohol absolut 2x volume darah,
kemudian darah dikocok dengan kuat hingga larut dalam alkohol.
Ekstraksi DNA
Ekstraksi genom DNA dilakukan menggunakan Genomic DNA Mini Kit for
Fresh Blood (GeneAid) yang dimodifikasi. Modifikasi yang dilakukan bertujuan
untuk menghilangkan alkohol sebelum dilakukan proses ekstraksi DNA. Sampel
darah dalam alkohol sebanyak 1mL disentrifugasi 5 000 rpm selama 5 menit.
Endapan sel dicuci dengan menambahkan aquades hingga volume total 1,5 mL
dan didiamkan selama 20 menit. Pencucian dilakukan sebanyak dua kali. Sel-sel
darah yang telah dicuci disuspensikan dengan bufer pelisis (GT bufer) 100µL,
kemudian dilisis lebih lanjut dengan enzim Proteinase K 0.01-0.5 µg/mL dan
diinkubasi pada suhu 600C selama 30 menit.
Langkah selanjutnya yaitu,
pemisahan bahan organik non-DNA dan pemurnian molekul DNA dilakukan
sesuai dengan prosedur dari perusahaan.
Amplifikasi Gen GDF9
Amplifikasi gen GDF9 pada ruas promotor (5’flanking region) dilakukan
dengan mesin TaKaRa Thermal Cycler menggunakan primer AF 211 forward
CCTCAGTCTTCTCCTCGGTTCC
dan
AF
212
reverse
CTGGAAGTGG
GAGAAGTGG yang mengacu pada Dong et al. (2005). Amplifikasi gen GDF9
menghasilkan ruas DNA dengan panjang 1972 pb berdasarkan penempelan
primer pada sekuen DNA Capra hircus dengan kode accession number
EF446168.
Reaksi PCR dilakukan dalam volume 12 µl, yang terdiri atas sampel DNA
sekitar 10 ng, primer forward dan reverse masing-masing 1 ng, dan KAPA Taq
Ready Mix DNA polymerase (KAPATaq DNA polymerase 1 unit, bufer
polimerase dengan Mg2+.25 mM dan setiap dNTP masing-masing 0,4 mM).
Kondisi PCR, yaitu predenaturasi 940C selama 5 menit, (denaturasi 940C selama
60 detik, penempelan primer 58 0C selama 90 detik, pemanjangan 720C 90
detik) sebanyak 30 siklus, pemanjangan akhir pada suhu 720 C selama 10 menit,
dan penyimpanan dilakukan pada suhu 40C. Amplikon dideteksi dengan
69
elektroforesis gel poliakrilamida 6% yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak
(Byun et al. 2009).
Perunutan DNA
Untuk mengetahui posisi dan jenis nukleotida yang mengalami mutasi
maka dilakukan perunutan DNA (sekuensing). Beberapa amplikon gen GDF9
pada setiap sub populasi dicampur menjadi satu berdasarkan sifat prolifikasi
induk kambing.
Campuran amplikon selanjutnya disekuensing menggunakan
primer yang sama dengan amplifikasi awal. Teknik ini dilakukan untuk memindai
adanya mutasi dengan lebih cepat. Hal ini dilakukan atas dasar laju mutasinya
sangat rendah.
Analisis Data
Runutan nukleotida yang diperoleh kemudian diedit secara manual
dengan bantuan program Bio Edit versi 6.0.7. Urutan DNA yang telah diedit
disejajarkan dengan beberapa runutan DNA dari kelompok Capra hircus yang
dipublikasikan dalam GenBank (http://ncbi.nlm.nih.gov).
Proses pensejajaran
menggunakan Clustal W versi 8.1 yang ada dalam program MEGA 4 (Tamura et
al. 2007) yang kemudian diedit lagi secara manual.
Analisis yang dilakukan
meliputi penghitungan komposisi nukleotida, laju mutasi delesi dan substitusi.
Proses menentukan struktur gen yang diperoleh untuk mencari situs yang
homolog dengan program BLASTN versi 2.2.25 dan dianalisis dengan
menggunakan program MEGA versi 4.
Hasil dan Pembahasan
Amplifikasi gen GDF9 menggunakan primer AF 211 dan AF 212
menghasilkan fragmen DNA dengan panjang 1296 pb. Mutasi pada gen GDF9
dapat meningkatkan laju tingkat ovulasi dan litter size. Ruminansia kecil dengan
genotip heterozigot carier akan meningkatkan laju ovulasinya rata-rata 1.5
dengan rata-rata litter size 1.0. Sedangkan genotip homozigot carrier akan
meningkatkan laju ovulasi rata-rata 3.0 dengan rataan litter size 1.5 (Davis 2005).
Jika hasil amplikon gen GDF9 sudah dipotong dengan enzim masih meragukan,
dapat diverifikasi dengan metode sekuensing.
70
Hasil sekuensing pada gen GDF9 menunjukkan adanya polimorfisme
satu pasang basa nukleotida berupa mutasi substitusi G – A pada posisi basa
nukleotida ke 836 pada Kambing Kacang dan PE, serta mutasi substitusi G – C
pada Kambing Kacang di situs ke 1019 (Gambar 18).
8888888888
6666666667
1234567890
KACANG-tunggal(08-K1) CAGAGGCAAG
KACANG-kembar(07-K2)
..A.......
PE-tunggal(04-PE1)
..........
PE-kembar(15-PE3)
..A.......
MUARA-tunggal(06-R1)
..........
MUARA-kembar(05-R2)
..........
SAMOSIR-tunggal(14-S1) ..........
SAMOSIR-kembar(12-S2) ..........
Nt 863 (G-A)
1111111111
0000000000
1111111112
1234567890
ATGAATGAGC
........C.
..........
..........
..........
..........
..........
..........
Nt 1019 (G-C)
Exon 1
5’UTR
Exon 2
Intron
3’UTR
Promotor
1nt
1260nt
23nt
wild
mutan
2170 nt
3294 nt
4258 nt
5515 nt
wild
mutan
Gambar 18 Mutasi nukleotida gen GDF9 ruas promotor pada kelompok induk
prolifik (mutan) dan induk non-prolifik (wild) pada Kambing Kacang
dan Peranakan Etawah (Tiga baris pertama dibaca secara vertikal
merupakan posisi nukleotida).
71
Keragaman gen GDF9 dengan sifat prolifik pada kambing bervariasi dan
dipengaruhi oleh rumpun ternak dan posisi ruas DNA yang diidentifikasi. GDF9
ruas ekson 1 dan ekson 2 pada Kambing Black Bengal yang dikenal prolifik
adalah monomorfik, tetapi pada Kambing Jining Grey dilaporkan polimorfik (Feng
et al. 2010).
Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Polley et al. (2009).
Adanya alel-alel mutasi nukleotida gen GDF9 di ruas promotor pada Kambing
Kacang dan PE dapat menambah temuan identifikasi keragaman gen GDF9
untuk keperluan seleksi calon induk yang prolifik pada ternak domba dan
kambing, seperti yang tertera pada Tabel 18.
Tabel 17 Jenis-jenis mutan gen GDF9 pada ternak domba dan kambing
Mutasi Ekson Mutasi asam amino
DNA
G 260 A
2
Arginin-Histidin
G 471 T
Tidak ada mutasi
G 477 A
Tidak ada mutasi
G 721 A
Glutamin-Lys
G 978 G
Tidak ada mutasi
G 994 A
Val - Ile
G 1111 A
Val - Met
G 1184 T
Ser - Phe
A 562 C
2
Glutamin-Prolin
G 26 A
G 792 A
A 183 C
C 336 T
1
2
1
2
Tidak ada mutasi
Valine - Isoleusine
Tidak ada mutasi
Valine - Isoleusine
Runutan
nukleotida
gen
Jenis ternak
Referensi
Domba
Domba
Domba
Domba
Domba
Domba
Domba
Domba
Kambing Qianbei
pockmarked
Kambing Jining Grey
Kambing Jining Grey
Kambing Jining Grey
Kambing Jining Grey
Kambing Jining Grey
GDF9
bersifat
Hanrahan et al. 2004
Hanrahan et al. 2004
Hanrahan et al. 2004
Hanrahan et al. 2004
Hanrahan et al. 2004
Hanrahan et al. 2004
Hanrahan et al. 2004
Hanrahan et al. 2004
Ren et al. 2010
Wu et al. 2010
Wu et al. 2010
Chu et al. 2011
Chu et al. 2011
Feng et al. 2011
polimorfik
dan diduga
berhubungan dengan pengaturan sifat prolifikasi pada Kambing White goat (Xuqin et al. 2009), Jining Grey (Feng et al. 2010), sementara gen ini juga bersifat
monomorfik pada Kambing Black Bengal (Polley et al. 2009), Boer dan
Huanghuai Goats (He 2010). Fenomena tersebut juga dijumpai pada penelitian
ini, yaitu fenomena keragaman mutasi gen GDF9 di ruas promotor pada keempat
sub populasi kambing lokal yang diamati bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ada atau tidaknya polimorfisme
nukleotida gen-gen fekunditas pada kambing masih sangat bervariasi antar
rumpun-rumpun kambing dan hubungan gen tersebut dengan pengaturan tingkat
prolifikasi pada induk kambing. Temuan alel-alel mutasi gen ini diduga dapat
72
digunakan sebagai salah satu parameter atau metode dalam upaya seleksi calon
induk bibit kambing yang prolifik untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi
pemeliharaan ternak kambing.
Berdasarkan
kejadian
mutasi
yang
bersifat
parsimony
runutan
nukleotida gen GDF9 ruas promotor (Lampiran 7) menunjukkan bahwa kambing
lokal Indonesia berada dalam satu klaster dan lebih dekat dengan Kambing
Jining grey dari Cina (Gambar 19).
91 KACANG-tunggal
62
KACANG-kembar
60
26
29
C.hircus
PE-kembar
MUARA-tunggal
MUARA-kembar
PE-tunggal
SAMOSIR-tunggal
100 SAMOSIR-kembar
0.01
Gambar 19
Dendogram kambing lokal Indonesia berdasarkan runutan
nukleotida ruas promotor gen GDF9 metode NJ bootstrap 1000x
Simpulan
Mutasi gen GDF9 ruas promotor bersifat polimorfik yang mengekpresikan
adanya hubungan mutasi gen GDF9 dengan sifat prolifik pada Kambing Kacang
dan PE. Keragaman gen GDF9 pada induk Kambing Muara dan Samosir bersifat
monomorfik.
PEMBAHASAN UMUM
Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengidentifikasi karakteristik
morphometrik dan genetik pada 6 sub populasi kambing lokal Indonesia dan
strategi pemanfaatannya secara berkelanjutan, kambing lokal pada 6 sub
populasi yang diamati memiliki karakteristik fenotipik (ukuran-ukuran tubuh, bobot
badan dan warna tubuh) yang beragam. Rataan ukuran-ukuran tubuh dan bobot
badan berbeda antara satu sub populasi dengan sub populasi kambing lokal
lainnya. Karakter panjang badan, tinggi pundak, tinggi pinggul, lebar dada,
lingkar dada, lingkar kanon, lebar tengkorak, tinggi tengkorak pada kambing lokal
yang diamati menunjukkan nilai koefisien keragaman tinggi.
Seleksi juga dapat dilakukan pada warna dan pola warna tubuh
kambing lokal yang beragam apabila diinginkan untuk meningkatkan pola warna
tertentu. Menurut
Astuti (2004) seleksi ternak lokal dengan memanfaatkan
keragaman karakteristik sifat produksi dan reproduksi akan meningkatkan
produktifitas, disamping memiliki dampak penting terhadap pelestarian sumber
daya genetik ternak. Dari keenam sub populasi kambing yang diamati terdapat
tiga sub populasi yang sudah menunjukkan pola warna yang spesifik yaitu
Kambing Benggala cenderung berwarna hitam, Kambing Samosir sebagian
besar berwarna putih, sedangkan Kambing Muara sebagian besar berwarna
putih dengan belang hitam ataupun coklat kemerahan (merah bata). Pada
Kambing Kacang, Marica dan Jawarandu pola warna masih sangat beragam,
sehingga peluang untuk mengarah ke pola warna tertentu untuk membentuk pola
warna yang dinginkan masih sangat terbuka.
Adanya perbedaan susunan dan komposisi basa-basa nukleotida
antara kambing-kambing lokal Indonesia (Kacang, Jawarandu, Marica, Muara,
Samosir dan Benggala) berdasarkan analisis D-loop parsial (957 bp) DNA
mitokondria, menunjukkan ada perbedaan materi genetik antara kambingkambing tersebut. Demikian juga apabila dibandingkan keenam sub populasi
kambing lokal Indonesia yang diamati dengan kambing-kambing Eropa, Afrika,
Cina dan kambing dari data GenBank, maka jelas terdapat perbedaan materi
genetik Kambing Kacang, Jawarandu, Marica, Muara, Samosir dan Benggala
dengan kambing dari kelompok tersebut. Menurut Naderi et al. (2007)
berdasarkan keragaman genetik DNA mitokondria pendugaan asal-usul ternak
kambing dapat dkelompokkan menjadi enam kelompok utama (haplogroup
74
lineage). Berdasarkan hasil analisis sekuen yang diperoleh keenam sub populasi
kambing lokal yang diamati termasuk kedalam lineage B yaitu kelompok kambing
yang menyebar di Asia Timur dan Asia Selatan, Cina, Mongolia, Afrika Selatan,
Afrika Utara, Laos, Malaysia, Pakistan dan India. Selain 6 sub populasi kambing
lokal Indonesia yang diamati dalam penelitian ini, di Indonesia juga dijumpai jenis
rumpun kambing lainnya yang termasuk dalam kelompok utama (haplogroup
lineage) A yang berupa rumpun-rumpun kambing yang daerah penyebarannya
dari Eropa seperti Kambing Saanen, Kambing Nubian dan Jamnapari (Etawah).
Susunan nukleotida yang khas (unik) ini dapat dipakai sebagai salah
satu penciri untuk mengidentifikasi kambing lokal Indonesia. Penciri khas
kambing lokal Indonesia dapat diperoleh setelah dibandingkan dengan nukleotida
Capra hircus (AF533441) dari GenBank yaitu perubahan nukleotida pada situs ke
201, 386, 625 (A-G); 113, 633, 697 (C-T); 298 (G-A); 537 (G-C); 597 (T-C) dan
812 (C-A). Sedangkan setiap sub populasi susunan basa DNA yang unik yang
dapat dipakai sebagai penciri khas pada Kambing Kacang, Marica, Jawarandu,
Muara, Samosir dan Kambing Benggala.
Berbeda dengan keragaman susunan genetik yang tinggi pada metode
analisis DNA mitokondria, pada analisis DNA kromosom Y pada segmen gen
SRY tingkat keragaman susunan genetik relatif lebih rendah. Berdasarkan primer
yang didesain sendiri diperoleh hasil analisis sekuen susunan basa nukleotida
sepanjang 499 bp dan terdiri dari 6 situs yang bersifat polimorfik dan ditemukan 4
haplotip susunan nukleotida yang khas yang dapat dipakai sebagai salah satu
acuan untuk mengetahui asal-usul berdasarkan keturunan secara paternal
(menurut garis keturunan ayah, tetua jantan).
Berdasarkan haplotip tersebut
ditemukan bahwa Kambing Kacang satu kelompok dengan Kambing Jawarandu,
disini memperkuat dugaan Kambing Jawarandu merupakan keturunan dari
persilangan pejantan Kambing Kacang dengan induk Kambing Peranakan Etawa
(PE) atau Etawah, hal ini juga bisa dilihat dari penampilan ciri-ciri fenotipik yang
berbeda dengan Kambing PE yang antara lain panjang dan lebar telinga lebih
pendek, tinggi pundak lebih rendah sehingga performan Kambing Jawarandu
lebih mengarah ke Kambing Kacang dari pada
ke arah Kambing Etawah
(Jamnapari).
Kambing Marica dan Kambing Samosir satu kelompok tetapi keragaman
genetiknya tidak berbeda nyata dengan kelompok Kambing Kacang dan
Kambing Jawarandu. Diduga Kambing ini berasal dari Kambing Kacang yang
75
telah mengalami adaptasi dengan lingkungan setempat dalam jangka waktu yang
lama. Kambing Marica diduga mengalami adaptasi dengan kondisi lingkungan di
Sulawesi Selatan dengan masa musim kemarau yang panjang (6-9 bulan per
tahun), sehingga mulai dari pertengahan sampai akhir musim kering rumput
sudah mengering dan jumlahnya relatif terbatas sehingga kambing beradaptasi,
secara fenotip dapat dilihat ukuran tubuh mengecil dan bulu relatif coklat
kemerahan dan mengkilat.
Pada Kambing Samosir terjadi karena seleksi campur tangan manusia,
dimana peternak ingin memelihara kambing yang berwarna putih untuk
keperluan ritual keagamaan, sehingga kambing yang berwarna putih dapat dijual
dengan harga yang lebih tinggi. Tetapi di beberapa tempat karakteristik ukuran
tubuh dan pola warna Kambing Samosir ada yang agak mirip dengan Kambing
Saanen, diduga Kambing Samosir mungkin juga merupakan hasil persilangan
Kambing lokal dengan Kambing Saanen, tetapi performan tubuh dan bobot tubuh
relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan Kambing Saanen. Jika ditinjau dari
runutan nukleotida daerah D-loop DNA mitokondria
dan DNA kromosom Y
segmen gen SRY lebih dekat dengan Kambing Kacang dan Kambing Marica.
Kambing Muara diduga merupakan kambing persilangan Kambing
Peranakan Etawah dengan kambing lokal di daerah Kabupaten Tapanuli Utara
yang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Dengan topografi
lingkungan dataran tinggi yang berbukit-bukit, ketersediaan pakan relatif cukup
membentuk postur tubuh Kambing Muara relatif besar dan kompak, sangat cocok
untuk ternak kambing penghasil daging.
Juga berdasarkan pengamatan dari
jumlah anak perkelahiran, beberapa induk beranak empat dapat hidup sampai
lepas sapih di tingkat petani. Hal ini diduga disamping suplay makanan cukup
juga di dukung produksi susu yang relatif baik untuk mendukung pertumbuhan
anak kambing sejak lahir.
Kambing Benggala umumnya berwarna hitam dan ada coklat tua, telinga
separuh di ujung jatuh, tinggi pundak relatif pendek . Kambing ini terpisah jauh
dari Kambing Kacang (0.006). Diduga kambing ini merupakan hasil persilangan
Kambing Black Bengal dengan kambing lokal di daerah Nusa Tenggara Timur.
Diduga ternak tersebut masuk ke daerah NTT melalui para pedagang dari India,
Pakistan atau Sri Lanka yang di bawa serta untuk menghasilkan susu dan
daging.
Masyarakat menyebutnya Kambing Benggala (mungkin berasal dari
76
India dari kata Benggali) atau karena warna kambing tersebut berwarna hitam
pada umumnya.
Berdasarkan jarak genetik pada ukuran-ukuran tubuh, penampilan, pola
warna dominan, keragaman genetik berdasarkan D-loop DNA mitokondria dan
kromosom Y segmen gen SRY, diduga setiap populasi kambing lokal Indonesia
yang diamati telah membentuk karakteristik morfologi dan karakteristik genetik
tersendiri yang khas sehingga bisa dikelompokkan menjadi 6 rumpun atau galur
kambing yaitu Kambing Kacang, Kambing Jawarandu, Kambing Marica, Kambing
Muara, Kambing Samosir dan Kambing Benggala. Berdasarkan hasil penelitian
ini kambing lokal Indonesia dapat dipetakan keragaman genetiknya untuk tujuan
konservasi sumberdaya genetik ternak lokal dan pengembangan ternak lokal
guna mendukung ketahanan pangan dan peningkatan pendapatan masyarakat
peternak kambing.
Dengan diperolehnya status dan karakteristik morfologi
kambing lokal ini, perlu dilanjutkan karakterisasi produksi, reproduksi dan daya
tahannya terhadap penyakit dan perubahan lingkungan di daerah tropis.
Sampai saat ini laporan hasil penelitian pendahuluan tentang hubungan
ketiga gen fekunditas tersebut masih sangat bervariasi, sebagian dilaporkan ada
polimorfisme dan sebagian lagi melaporkan tidak terdapat polimorfisme.
Beberapa hasil penelitian juga melaporkan bahwa keragaman Gen GDF9 bersifat
monomorfik pada Kambing Boer, Haimen, Huanghuai, Nubi, dan Kambing Matou
(Guo-Hua et al. 2008). Hasil penelitian menunjukkan tingkat keragaman gen
GDF9 pada kelompok induk yang rata-rata beranak kembar dan kelompok induk
yang rata-rata beranak tunggal pada Kambing Kacang, PE, Samosir dan Muara
bersifat monomorfik.
Alternatif lain yang mungkin dilakukan adalah dengan
mengidentifikasi gen-gen lain yang diduga berhubungan dengan sifat fekunditas
pada induk kambing yang beranak kembar, seperti beberapa jenis gen yang
diduga berhubungan dengan sifat beranak kembar pada kambing antara lain ;
gen FSHB
yang berhubungan dengan superovulasi pada Kambing Matou
(Zhang et al. 2011), gen KiSS-1 diduga berhubungan dengan sifat prolifik pada
Kambing Guanzhong dan Xinong Saanen (Huo et al. 2011), gen INHA masih
diduga mengontrol sifat prolifik pada Kambing Matou dan Kambing Haimen (GuoHuo et al. 2007). Fenogram berdasarkan data karakter morfometrik, dendogram
berdasarkan mitokondria menunjukkan bahwa masing-masing sub populasi
berbeda, sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 rumpun kambing lokal.
Sedangkan dendogram berdasarkan nukleotida kromosom Y dan gen GDF9 ruas
77
promotor menunjukkan bahwa secara paternal Kambing Kacang dan Jawarandu
termasuk satu kelompok, serta Kambing Muara dengan PE satu kelompok. Ini
memperkuat dugaan bahwa Kambing PE merupakan tetua jantan dari Kambing
Muara.
Hasil penelitian ini memperoleh data dan informasi pendahuluan tentang
pemetaan keragaman sumberdaya genetik kambing lokal Indonesia khususnya
untuk rumpun atau galur Kambing Kacang, Marica, Muara, Jawarandu, Samosir
dan Kambing Benggala.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
35/Permentan/OT.140/8/2006, tentang Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan
Sumberdaya Genetik, upaya pelestarian dan pengembangan kambing lokal
Indonesia penting dilakukan untuk mengantisipasi kehilangan sumberdaya
genetik plasma nuftah kambing akibat adanya persilangan dan pemotongan
ternak yang tidak seimbang dengan produksinya.
Untuk menghindari kehilangan sumberdaya genetik kambing lokal
Indonesia perlu dilanjutkan karakterisasi produktivitas dan keunggulan potensi
genetiknya dan penelitian pengembangan, kemudian disertai dengan sosialisasi
pengenalan ternak kambing lokal tersebut terutama di wilayah dimana populasi
aslinya berada (in-situ), sehingga timbul minat untuk memelihara dan
mengembangkannya.
Sampai saat ini pada umumnya sistim pemeliharaan
ternak kambing lokal masih diserahkan kepada kebaikan alam, dengan
pemeliharaan secara tradisional (kearifan lokal).
Disadari atau tidak ternak
kambing lokal tersebut berperan menambah pendapatan keluarga petani di
daerah pedesaan dengan sistim pemeliharaan dengan biaya relatip rendah (low
input system), sesuai dengan kondisi agro-ekosistem setempat dan ternak dapat
hidup dan berproduksi.
Jika berhasil ditetapkan secara ilmiah rumpun-rumpun atau galur kambing
lokal berdasarkan hasil-hasil penelitian dan sudah dapat ditetapkan, diharapkan
kemudian akan dilanjutkan dengan penetapan wilayah pengembangan rumpun
atau galur kambing lokal tertentu. Dengan begitu sumberdaya genetik kambing
lokal tersebut dapat dipertahankan dan dikembangkan secara berkelanjutkan
untuk meningkatkan pendapatan petani dan ikut mendukung ketahanan pangan
di daerah-daerah pedesaan. Hal ini mengacu kepada Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 tahun 2009, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
yang telah mengakomodir kekuatiran pemerintah akan terjadinya penggerusan
materi genetik ternak lokal dengan melaksanakan program pewilayahan yang
78
dibagi atas: a) wilayah sumber bibit, yang bersifat mengembangkan secara
murni, dengan mempertimbangkan jenis ternak dan rumpun, agroklimat,
kepadatan penduduk, sosial ekonomi, budaya serta ilmu pengetahuan dan
teknologi, b) wilayah produksi, pengembangbiakan dengan tujuan komersil yang
memungkinkan
menggunakan
teknik-teknik
perkawinan
silang
dan
penggemukan, dan c) wilayah konservasi, dengan melakukan penangkaran
hewan/ternak asli yang masih ada atau mengembangbiakkan hasil dari suatu
wilayah sumber bibit (Departemen Pertanian 2006). Di Indonesia umumnya
kambing lokal mempunyai potensi reproduksi yang sangat baik, maka introduksi
melalui persilangan merupakan salah satu cara untuk menggabungkan sifat
adaptabilitas dengan keunggulan genetik pertumbuhan rumpun kambing yang
diintroduksi.
Alternatif lain adalah dengan melakukan program seleksi untuk
pengembangan ternak kambing lokal yang dianggap cukup potensial untuk
menjadi bibit unggul yang berbasis rumpun kambing lokal, seperti galur Kambing
PE Kaligesing yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Berdasarkan jumlah sampel selama pengamatan di lapangan jumlah data
pejantan sangat terbatas dan sulit dijumpai di daerah pedesaan. Diduga hal ini
terjadi karena peternak lebih sering menjual kambing jantan karena harga jual
yang lebih tinggi dan kurang memperhatikan kualitas pejantan yang akan
digunakan.
Hal tersebut akan menyebabkan erosi genetik dan penurunan
kualitas genetik ternak. Pada umumnya pengetahuan tentang jenis rumpun dan
tingkat kesadaran menjaga kelestarian ternak kambing lokal masih sangat
terbatas, sehingga perlu dilakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang perlunya
mengenal dan mempertahankan sumberdaya genetik kambing lokal Indonesia.
SIMPULAN UMUM DAN SARAN
Simpulan
1.
Analisis morfometrik dan fenotipik keenam sub populasi kambing lokal yang
diamati antara setiap sub populasi berbeda nyata terhadap sub populasi
kambing lokal lainnya.
2.
Faktor peubah pembeda antara kambing lokal Indonesia yang diamati
berdasarkan ukuran morfometrik antara lain: lingkar kanon, lebar pinggul,
lebar telinga, lebar ekor, panjang badan, tinggi pundak, tinggi tengkorak,
lebar tengkorak, bobot badan, lingkar dada, lebar dada dan dalam dada.
3.
Warna dan pola warna tubuh Kambing Benggala dominan tunggal warna
hitam, Kambing Samosir dominan tunggal warna putih. Kambing Muara,
Kambing Marica, Kambing Kacang dan Kambing Jawarandu sangat
bervariasi.
4.
Rataan jarak genetik berdasarkan nukleotida daerah D-loop DNA
mitokondria antara 6 sub populasi kambing yang diamati adalah
0.014±0.002, hal ini menunjukkan keragaman yang sangat tinggi dan
berbeda nyata antara setiap sub populasi terhadap sub populasi kambing
lokal lainnya.
5.
Ditemukan 50 situs nukleotida D-loop DNA mitokondria yang polimorfik dan
19 haplotip unik yang bisa digunakan sebagai penciri khusus keragaman
genetik pada kambing lokal Indonesia.
6.
Analisis jarak genetik sekuen nukleotida D-loop DNA mitokondria dengan
sekuen dari GenBank menunjukkan bahwa diduga asal usul secara
maternal dari 6 kambing lokal yang diamati termasuk dalam kelompok
utama (haplogroup) lineage B.
7.
Rataan jarak genetik berdasarkan nukleotida kromosom Y segmen gen
SRY antar 6 sub populasi kambing lokal adalah 0.004±0.002 hal ini
menunjukkan tingkat keragaman lebih rendah dibandingkan dengan
nukleotida D-loop DNA mitokondria.
Dimana terdapat 6 situs gen SRY
yang bersifat polimorfik dan 4 haplotip unik, sehingga berdasarkan hasil
analisis ini diduga asal-usul secara paternal dari 6 sub populasi kambing
lokal yang diamati dapat digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu: Kambing
Kacang dan Jawarandu (1 haplotip), Kambing Marica dan Samosir (1
80
haplotip), sedangkan Kambing Muara dan Benggala membentuk haplotip
sendiri-sendiri.
8.
Analisis fenotipik dan analisis genetik berdasarkan nukleotida daerah Dloop DNA mitokondria serta DNA kromosom Y segmen gen SRY
menunjukkan bahwa 6 sub populasi kambing lokal yang diamati dapat
digolongkan menjadi 6 rumpun kambing yaitu: Kambing Kacang, Kambing
Jawarandu, Kambing Marica, Kambing Samosir, Kambing Muara dan
Kambing Benggala.
9.
Identifikasi keragaman gen GDF9 ruas promotor pada kelompok induk yang
beranak
kembar
dan
beranak
tunggal
bersifat
polimorfik
yang
mengekpresikan adanya hubungan mutasi gen GDF9 dengan sifat prolifik
pada Kambing Kacang dan PE.
Gen GDF dapat dijadikan sebagai
alternatif untuk mengidentifikasi calon induk yang prolifik pada Kambing
Kacang dan PE dalam program pemuliaan pada perusahaan pembibitan
kambing. Tetapi keragaman gen GDF9 pada induk Kambing Muara dan
Samosir bersifat monomorfik.
10.
Hasil karakteristik kualitatif, kuantitatif, pemetaan genetik berdasarkan
daerah D-loop DNA mitokondria, DNA kromosom Y segmen gen SRY yang
diperoleh dalam penelitian ini dapat dipertimbangkan sebagai salah satu
bahan dalam perencanaan penelitian program pengembangan ternak lokal
lebih lanjut serta dalam rangka penyusunan standarisasi 6 kambing lokal
Indonesia di tingkat lapangan atau peternak.
11.
Alternatif
strategi
pemanfaatan
kambing
lokal
Indonesia
secara
berkelanjutan dapat dilakukan dengan upaya antara lain: 1) penerapan di
lapangan oleh para stake holder sesuai dengan UU No. 18 tahun 2009
dengan melaksanakan pewilayahan pengembangan ternak menjadi 3
wilayah yaitu wilayah sumber bibit, wilayah produksi dan wilayah
konservasi, 2) peningkatan mutu genetik rumpun kambing lokal melalui
kegiatan pemuliaan atau seleksi atau penyediaan semen beku untuk
perkawinan dengan inseminasi buatan, 3) penyediaan pejantan unggul
rumpun kambing lokal bagi petani di pedesaan, 4) sosialisasi pengenalan
rumpun kambing lokal kepada peternak, penyuluh lapangan dan para
pengambil kebijakan di daerah habitat asli rumpun kambing lokal, 5) perlu
program pengembangan kawasan pusat pembibitan ternak (Village
81
breeding centre) atau kampung ternak berbasis rumpun kambing lokal
terutama di daerah habitat aslinya.
Saran
1. Tujuan penetapan kambing lokal Indonesia perlu dilanjutkan melalui
penelitian karakterisasi produksi sesuai dengan kondisi peternak di
pedesaan dan usaha ternak secara intensip pada Kambing Marica,
Muara, Benggala dan Samosir.
2. Perintisan data base sumberdaya genetik plasma nuftah kambing lokal
Indonesia perlu dilanjutkan melalui karakterisasi kambing-kambing lokal
lainnya.
3. Berdasarkan pengamatan di lapangan kondisi dan kualitas pejantan
relatip rendah di pedesaan, karena kurang mengetahui dan
kurang
mendapatkan perhatian dari peternak di pedesaan. Hal ini bisa menjadi
salah satu penyebab erosi genetik kambing lokal, sehingga perlu upaya
untuk menyediakan pejantan unggul kambing lokal atau penyediaan
semen beku.
4. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi keragaman gen
fekunditas jenis lain yang berhubungan dengan sifat prolifik pada kambing
lokal Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah MNA. 2008. Karakterisasi Genetik Sapi Aceh Menggunakan Analisis
Keragaman Fenotipik daerah D-loop DNA Mitokondria dan DNA
Mikrosatelit (disertasi). Bogor: Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Anderson L. 2001. Genetic dissection of phenotypic diversity in farm animals.
Nature Rev 2:130-1138.
Barker JSF, Tan SG, Moore SS, Mukherjee TK, Matheson JL, Selvaraj OS. 2001.
Genetic variation within among populations of Asian goats (Capra hircus).
J Anim Breed Genet 118:213-233.
Batubara A, Doloksaribu M, Tiesnamurti B. 2007.
Potensi keragaman
sumberdaya genetik kambing lokal Indonesia.
Prosiding Lokakarya
Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumberdaya Genetik di
Indonesia. Bogor, 20 Desember 2006. Jakarta: Direktorat Kerjasama
Multilateral Departemen Perdagangan, Kementerian Lingkungan Hidup,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Departemen Pertanian,
Direktorat Kerjasama dan Pengembangan Departemen Hukum dan HAM
dan Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI).ISBN 978-9798308-66-6.halaman 245-265.
Batubara A, Pamungkas FA, Doloksaribu M, Sihite E. 2007. Potensi beberapa
plasma nutfah kambing lokal Indonesia. Loka Penelitian Kambing Potong.
Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Beja-pereira A, England PR, Ferrand N, Jordan S, Bkhiet AO, Abdalla MA,
Makhour M, Jordana J, Teberlet P, Luikart G. 2004. African origin of the
domestic donkey. Science 304:1781.
Bodensteiner KJ, Clay CM, Moeller CL, Sawyer HR. 1999. Molecular cloning of
the ovine GDF-9 and expression of GDF-9 in ovine and bovine ovaries.
Biol Reprod 60:381-386.
Bodin L, Pasquale ED,Fabre S, Bontoux M, Monget P, Persani L, Mulsant P.
2007. A novel mutation in the bone morphogenetic protein 15 gene
causing defective protein secretion is associated with both increased
ovuation rate and sterility in Laucane sheep. Endocrinol 148:393-400.
Bourdon, RM. 2000. Understanding Animal Breeding. 2nd Ed. New Jersey:
Prentice-Hall, USA.
Bruford MW, Bradley DG, Luikart G. 2003. DNA markers reveal the complexity of
livestock domestication. Natl Revol Genet 4:900-910.
Budiharjo, K, Setiadi A. 2003. Analisis Usaha Ternak Kambing pada dua skala
pemeliharaan ternak di Kota Semarang. Fakultas Peternakan, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Canon J. 2006. Geographical partitioning of goat diversity in Europe and the
Middle East. Anim Genet 37:327-334.
Cardellino RA. 2006. Status of the worlds livestock genetic resources :
preparation of the first report on state of the world animal genetic
resources, In: (Ed: Ruane J & Sounino A) The Role of Biotechnology in
Exploring and Protecting Agriculture Genetic Resources. Rome: FAO
(Food and Agricultural Organization) of the United Nations. p. 3-9
83
Cardellino RA, Boyazoglu J. 2009. Research opportunities in the field of animal
genetic resources. Livest Sci 120:166-173.
[CBD] Convention of Biological Diversity. 2008. Conference of the Parties 9,
Bonn, Germany. (http://www.cbd.int/cop9).
Chen SY, Su YH, Wu SF, Sha T, Zhang YP. 2005. Mitochondrial diversity and
phylogeographic structure of Chinese dosmestic goats. Mol Phylogen Evol
37:804-814.
Christensen K. 2009. Population genetics. Division of Animal Genetics,
Departement of Animal Science and Health. Copenhagen: The Royal
Veterinary & Agriculture University, Denmark.
Chu MX, Liu ZH, Jiao CL, He YQ, Fang L, Ye SC, Chen GH, Wang JY. 2006.
Mutation in BMPR1B and BMP15 genes are associated with litter size in
Small Tailed Han sheep (Ovis aries). J Anim Sci 85:598-603.
Chu MX, Jiao CL, He YQ, Wang JY, Liu ZH, Chen GH. 2007. Association
between PCR-SSCP of bone morphogenetic protein 15 genes and
prolificacy in Jining Grey goats. Anim Biotechnol 18:263-74.
Chu MX, Wu ZH, Feng T, Cao GL, Fang L, Di R, Huang DW, Li XW, Li N. 2011.
Polymorphism of GDF9 gene and its association with litter size in goats.
Vet Res Commun doi 10.1007/s11259-011-9476-8.
Cohen MM, Shaw MW. 1965. Two sibling with gonadal dysgenesis and a female
phenotype. New Engl J Med 272:1083-1088.
Crepaldi P, Negrini R, Milanesi E, Gorni C, Cicogna M, Ajmone, Marsan P. 2001.
Diversity in five goat populations of the Lambardy Alps: Comparison of
estimates obtained from morphometric traits and molecular markers. J
Anim Breed Genet 118:173-180.
Davis GH, Galloway SM, Ross IK, Gregan SM, Ward J, Nimbkar BV, Ghalsasi
PM, Nimbkar C, Gray GD, Subandriyo, Inounu I, Tiesnamurti B, Martyniuk
E, Eythorsdottir E, Mulsant P, Lecerf F, Hanrahan JP, Bradford GE, Wilson
T. 2002. DNA tests in prolific sheep from eight countries provide new
evidence on origin of the Booroola (FecB) mutation. Biol Reprod 66:1869–
1874.
Davis GH. 2004. Fecundity in sheep. Anim Reprod Sci 83:247-253.
Davis GH. 2005. Major gene affecting ovulation rate in sheep. Genet Select Evol
37:11-23.
Davis GH, Balakrishnan L, Ross IK, Wilson T, Galloway SM, Lumsden BM,
Hanrahan JP,Mullen M, Mao XZ, Wang GL, Zhao ZS, Zeng YQ,Robinson
JJ, Mavrogenis P, PapachiristoforouC, Peter C, Baumung R, Cardyn P,
Boujenane I, Cockett NE, Eythorsdottir E, Arranz JJ, Notter DR. 2006.
Investigation of the Booroola (FecB) and Inverdale (FecX(I)) mutations in
21 prolific breeds and strains of sheep sampled in 13 countries. Anim
Reprod Sci 92: 87–96.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
35/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Pedoman Pelestarian dan
Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Ternak. Jakarta: Deptan.
84
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Departemen Pertanian. Jakarta: Deptan.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2010. Surat Keputusan Menteri Pertanian RI
Nomor 2591/Kpts/PD.400/7/2010 tanggal 19 Juli 2010 tentang Penetapan
Galur Kambing Kaligesing. Departemen Pertanian. Jakarta: Deptan
[DITJENNAK] Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Peraturan Direktur Jenderal
Peternakan Nomor 07/PD.410/F/01/2008 tahun 2008 tentang Petunjuk
Teknis Penjaringan Bibit Ternak. Direktorat Jenderal Peternakan.
Departemen Pertanian. Jakarta: Deptan.
[DITJENNAK] Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Statistik Peternakan.
Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta: Deptan.
Dodds KG, Mc Ewan JC, Davis GH. 2007. Integration of molecular and
quantitative information in sheep and goat industry breeding program.
Small Rum Res 70:32-41.
Dong CH, Du LX, Li ZZ. 2007. Analysis of fecundity on Jining Grey goat. National
centre for molecular genetic and breeding of animal. Institute of animal
science (abstract).
Dossa LH, Wollny C, Gauly M, 2007. Spatial variation in goat population from
Benin as revealed by multivariate analysis of morphological traits. Small
Rum Res 73:150-159.
Du ZY, Lin JB, Qin C, Wang JF, Ran XQ. 2008. Polimorfism of exon of growth
differentiation factor 9 gene in Guizhou White goats. Xumu Yu Shouyi
40:46-48.
Duffy DL, Montgomery GW, Hall J, Mayne C, Healey SC, Brown J, Boomsma DI,
Martin MG. 2001. Human twinning is not linked to the region of
chromosome 4 syntetic with the sheep twinning gene FecB. Am J Med
Genet 1100:182-186.
Dwiyanto K. 2002. Kebijakan Perbibitan Nasional. Pemanfaatan Bioteknologi
dalam Pengelolaan Plasma Nuftah Hewan/Ternak.
Makalah pada
Seminar Nasional Pemanfaatan dan Pelestarian Plasma Nuftah, Tanggal
3-4 September 2002. Bogor: Kerjasama Pusat Penelitian Bioteknologi IPB
dan Komisi Nasional Plasma Nutfah, Departemen Pertanian.
Everitt B, Dunn G. 2001. Applied Multivariate Data Analysis. 2nd Ed. Oxford:
University Press.pp.342.
Excoffier L, Laval G, Schneider S. 2006. Computational and molecular
population genetics lab (CMPG). Institute of Zoology, University of Berne,
Switzerland. ( http://cmpg.unibe.ch/software/arlequin3), 26 June 2011.
Fan-Bin. 2007. Phylogenetic relationships among Chinese indigenous goat
breeds inferred from mitochondrial control region sequence. Small Rum
Res 73:262-266.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2000. World Watch List for Domestic
Animal Diversity 3rd Ed. Food and Agriculture Organization of the United
Nations (FAO). Rome, Italy.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. Sustainable Use of Animal
Genetic Resources. IDAD-APHD FA. Rome, Italy.
85
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2007a. The state of the World’s
animal genetic resources for food and agriculture. In: Rischkowsky, B.,
Pilling, D. (Eds) Food and Agriculture Organization of the United Nations
(FAO). Rome : Food and Agriculture Organization of the United Nations
(FAO).
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2007b. The global plan of Action for
animal genetic resources and Interlaken Declaration on Animal Genetic
Resources. International Technical Conference on Animal Genetic
Resources for Food and Agriculture, Interlaken, 3-7 September 2007.
Switzerland. Rome: Food and Agriculture Organization of the United
Nations (FAO).
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2008. High-Level Conference on
World Food Security: the Challenges of Climate Change and Bioenergy,
Rome, Italy. (http://www.fao.org/foodclimate/hlc-home/en/).
Felsenstein J. 2007. Phylip (Phylogeny Inference Package) version 3.67.
Washington: University of Washington.
Feng T, Geng CX, Lang XZ, Chu MX, Cao GL, Di R, Fang L, Chen HQ, Liu XL, Li
N. 2010. Polymorphisms of caprine GDF9 gene and their association with
litter size in Jining Grey goats. Mol Biol Rep doi 10.1007/s11033-0100669-y. Princeton Univ Press
Freeland JR. 2005. Molecular Ecology. London: John Wiley & Sons, Ltd. pp.388.
Galloway SM, McNatty KP, Cambridge LM, Laitinen MPE, Juengel JL, Jokiranta
TS, McLaren RJ, Luiro K, Dodds KG, Montgomery GW, Beattie AE, Davis
GH, Ritvos O. 2000. Mutations in an oocyte derived growth factor gene
(BMP15) cause increased ovulation rate and infertility in a dosagesensitive manner. Genetics 25:279–283.
Garcia D, Corral N, Canon J. 2005. Combining inter- and intrapopulation
information with the Weitzman approach to diversity conservation. J Hered
96:704-712.
Gemmell RT, 1995. A Comparative study of the corpus luteum. Reprod Fertiliz
Dev 7:303-12
Gilchrist RB, Ritter RJ, Armstrong DT. 2005. Oocyte-somatic cell interaction
during follicle development in mammals. Anim Reprod Sci 82:341-377.
Giuffra E, Kijas JMH, Amarger V, Carlborg O, Jeon JT, Anderson L. 2000. The
origin of the domestic pig: independent domestication and subsequent
introgression. Genetics 154:1785-1791.
Glowatzki-Mullis ML, Muntwyler J, Baumle E, Gaillard C. 2008. Genetic diversity
measures of Swiss goat breeds as decision-making support for
conservation policy. Small Rum Res 74:202-211.
Gootwine E, Reicher S, Rozov A. 2008. Prolificacy and lamb survival at birth in
Awassi and Assaf sheep carrying the FecB (Booroola) mutation. Anim
Reprod Sci 108:402–411.
Guo-Hua H, Shi-Lin C, Hong-Wei Y, Wei Sheng W, Zhong S, Qi-Kang C, Lin C,
Qung-Ling, Li-Guo. 2007. HaeII RFLP of INHA and its relationship to goat
litter size. Heredity 29:972-976.
86
Guo-Hua H, Chen SL, Ai JT, Yang LG. 2008. None of polymorphism of ovine
fecundity major genes FecB and FecX was tested in goat. Anim Reprod
Sci 108:279-286..
Hafez ESE. 1993. Reproduction in Farm Animals, 6th Ed, Filadelphia: Lea and
Febiger.
Handiwirawan E, Subandriyo. 2004. Potensi keragaman sumberdaya genetik
Sapi Bali. Wartazoa 14(3):107-115.
Hanrahan JP et al. 2004. Mutation in the genes for oocyte-derived growth factors
GDF9 and BMP15 are associated with both Increased ovulation rate and
sterility in Cambridge and Belclare sheep (Ovis aries). Biol Reprod 70:900909.
Hardjosubroto W. 2001. Genetika Hewan. Jogjakarta: Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada.
Hartl, DL.1988. A Primer of Population Genetics. 2nd Ed. Massachusetts : Sinauer
Associates, Sunderland, Inc. Publisher.
Hasan MSR, Perwitasari RRD, Tiesnamurti B, Farajallah A. 2011. Fecundities
genes (BMPR 1B and BMP15) on three Indonesia local goats. Hayati (In
publications process).
He YQ, Chu MX, Wang JY, Fang L, Ye SC. 2006. Polymorphism on BMPR15 as
candidate gen for prolificacy in six goat breeds. J Anhui Agric Univ 33:6164.
He YQ. 2010. Candidate genes polymorphism and its association to prolificacy in
Chinese goats. J Agric Sci 2:1.
Herera M, Rodero E, Gutierrez MJ, Pena F, Rodero JM. 1996. Application of
multifactorial discriminant analysis in the morphostructural differentiation of
Andalusian caprine breeds. Small Rum Res 22:39-47
Hiendleder S, Kaupe B, Wassmuth R, Janke A. 2002. Molecular analysis of wild
and domestic sheep questions current nomenclature and provides
evidence for domestication from two different subspecies. Proc Rur Soc
Lond Bull 269:893-904.
Hoda A. 2008. Studi karakterisasi, produktivitas dan dinamika populasi Kambing
Kacang (Capra hircus) untuk program pemuliaan ternak kambing di
Maluku Utara. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Hua GH, Chen SL, Ai JT, Yang LG. 2008. None of polymorphism of ovine
fecundity major genes FecB and FecX was tested in goat. Small Rum Res
108:279-286.
Hua GH, Yang LG. 2009. A review of research progress of FecB gene in Chinese
breeds of sheep. Anim Reprod Sci 116:1–9.
Huo JX, An XP, Wang JG, Song YX, Cui YH, Wang YF, Chen QJ, Cao BY. 2011.
New genetic polymorphisms of KiSS-1 gene and their association with
litter size in goats. Small Rum Res 96:106-110.
Iannuzzi L, Di Meo GP, Perucatti A, Di Palo R, Zicarelli L. 2001. 50 XY gonadal
dysgenesis (Swyer’s syndrome) in female river buffalo (Bubalus bubalis).
Vet Rec 148:634-635.
87
Inounu I, Iniguez L, Bradford GE, Subandryo, Tiesnamurti B. 1993. Production
performance of prolifik Javanese ewes. Small Rum Res 12:243-257.
Joshi MB, Rout PK, Mandal AK, Tyler-Smith C, Singh L, Thangaraj K. 2004.
Phylogeography and origin of Indian domestic goats. Mol Biol Evol
21:454-462.
Kawakura K et al. 1996. Deletion of SRY region on the Y chromosome detected
in bovine gonadal hypoplasia XY (female) by PCR. Cyto Cell Genet
72:183-184.
Karna DK, Kuul GL, Bisht. 2001.Pashmina yield and its association with
morphometric traits in Indian Chenghu goats. Small Rum Res 41:271-275.
Kimura M. 1980. A simple method for estimating evolutionary rate of base
substitution through comparative studies of nucleotida sequences. J Mol
Evol 16:111-120.
Kumar D. 2005. Population structure, genetic variation and management of
Marwari goats. Small Rum Res 59:41-48.
Kumar S, Kolte AP, Mishra AK, Arora AL, Singh VK. 2006. Identification of the
FecB mutation in Garole x Malpura sheep and its effect on litter size.
Small Rum Res 64:305–310.
Lan XY. 2007. The novels SNPs of the IGFBP3 gene and their association with
litter size and weight traits in goats. Arch Tierz Dummerst 50:223-224.
Lanari MR, Taddeo H, Domingo E, Centeno MP, Gallo L. 2003. Phenotypic
differentiation of exterior traits in local Criollo goat population in Patagonia
(Argentina). Arch Tierz Dummerst 46:347-356.
Lewin B. 2000. Genes VII. Oxford: Oxford University Press.
Luikart G, Gielly L, Excoffier L, Vigne JD, Bouvet J, Teberlet P. 2001. Multiple
maternal origins and weak phylogeographic structure in domestic goats.
Proc Natl Acad Sci 98:5927-5932.
Mabrouk O, Sghair N, Amor G, Mohamed BA, Amel BAE. 2008. Morphostructural
growth according to the sex and birth mode and relationship between
body size and body weight of the local kids at the first five months of age
in Tunisian arid area. Res J Biol Sci 3:120-127.
MacHugh DE, Bradley DG. 2001. Livestock genetic origins: goat buck the trend.
Proc Natl Acad Sci 98:5382-5384.
Maddox JF, Cockett NE. 2007. An Update on sheep and goat linkage maps and
other genomic resources. Small Rum Res 70:4-20.
Mahmilia F, Ginting SP, Batubara A, Sianipar J, Tarigan A. 2004. Karakteristik
Morfologi dan Performans Kambing Gembrong dan Kambing Kosta.
Laporan Hasil Penelitian TA. 2004. Sei Putih: Loka Penelitian Kambing
Potong Sungei Putih, Sumatera Utara.
Mahmilia F, Tarigan A. 2004. Karakteristik morfologi dan performans Kambing
Kacang, Kambing Boer dan persilangannya. Prosiding Lokakarya
Nasional Kambing Potong: Kebutuhan Inovasi mendukung Agribisnis
yang berdayasaing Bogor, 6 Agustus 2004. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
88
Mailund T, Brodal GS, Fagerberg R, Pederson CNS, Phillips D. 2008. Recraffting
the neighbour-joining method. MBC Bioinform7:29-36.
Mannen H, Nagata Y, Tsuji S. 2001. Mitochondrial DNA reveal that domestic
goat (Capra hircus) are genetically affected by two subspecies of bezoar
(Capra aegagrus). Biochem Genet 39:145-154.
Mansjoer SS, Kertanugraha T, Sumantri C. 2007. Estimasi jarak genetik antar
domba garut tipe tangkas dengan tipe pedaging. Med Pet 30:129-138.
Martinez-Royo A, Jurado JJ, Smulder JP, Marti JI, Alabart JL, Roche A, Fantova
E, Bodin L, Mulsant P, Serrano M, Folch J, Calvo JH. 2008. A deletion in
the bone morphogenetic protein 15 gene causes sterility and increased
prolificacy in Agaronesa sheep. Anim Genet 39:294-301.
Mattjik AA, Sumertajaya M. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan MINITAB. Institut Pertanian Bogor, Bogor:IPB.
Mburu D, Hanotte O. 2005. A practical approach to microsatellite genotyping
with special reference to livestock population genetics. Nairobi:
International Livestock Research Institute, Nairobi, Kenya.
McElreavey K. 1996. Mechanism of sex determination in mammals. Adv Gen
Bio 4:304-354.
McNatty KP, Smith P, Moore LG, Reader K, Lun S, Hanrahan JP, Groome NP,
Laitinen M, Ritvos C, Juengel JL. 2005. Oocyte expressed genes
affecting ovulation rate. Mol Cell Endocr 234:57–66.
Merkens J, Sjarif A. 1932. Bijdrage tot de kennis van de geitenfokkerij in
Nederlandsch Oost Indie. Nederland Bladen voor Diergenekuun 44:36466. (Terjemahan Bahasa Indonesia: Sumbangan pengetahuan tentang
peternakan kambing di Indonesia.
Dalam: Domba dan Kambing.
Terjemahan Karangan mengenai Domba dan Kambing di Indonesia,
September 1979, SDE-67).
Moioli B, Napolitano F, Orru L, Catillo G. 2006. Analysis of the genetic diversity
between Gentile di Puglia, Saprarissana and Sarda sheep breed using
microsatellite markers. Ital J Anim Sci 5:73-78.
Montaldo HH. 2006. Genetic engineering applications in animal breeding. E J
Biotechnol 9:159-170.
Moore RK, Otsuka F, Shimasaki S. 2003.
Molecular basic of bone
morphogenetic protein-15 signaling in granulosa cells. J Biol Chem
278:304-310.
Muladno 2006. Aplikasi Teknologi Molekuler dalam Upaya Peningkatan
Produktivitas Hewan. Pelatihan Teknik Diagnostik Molekuler untuk
Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan di Kawasan Timur
Indonesia. Bogor: Kerjasama Pusat Studi Ilmu Hayati, Lembaga
Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor dan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Mulsant P, Lecerf F, Fabre S, Schibler L, Monget P, Lanneluc I, Pisselet C,
Riquet J, Monniaux D, Callebaut I, Cribiu E, Thimonier J, Teyssier J,
Bodin L, Cognie Y, Chitour N, Elsen JM. 2001. Mutation in bone
morphogenetic protein receptor-1B is associated with increased ovulation
rate in Booroola Merino ewes. Proc Nat Acad Sci USA 98:5104–5109.
89
Naderi S, Rezaei HR, Taberlet P, Zundel S, Rafat SA, Nagasha HR, El-Barody
MAA, Ertugrul O, Pompanon F. 2007. Large-scale mitochondrial DNA
analysis of domestic goat reveal six haplogroup with high diversity. PloS
ONE 2, e1012. Doi: 10. 1371/journal.pone.0001012.
Nei M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. New York: Columbia University
Press.
Nijman IJ. 2003. Hybridization of Banteng (Bos javanicus) and Zebu (Bos
indicus) revealed by mitochondria DNA, satellite DNA, AFLP and
microsatellites. Heredity 90:10-16.
Noor RR.2002. Gen Kelenturan Fenotipik Ubah Strategi Peternakan. URL
Source(http://www.kompas.co.id/kompascetak/0312/15/inspirasi/743375.
htm), 25 Mei 2011.
Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Ed ke-4. Jakarta: Penebar Swadaya, pp.200.
Nsoso SJ, Podisi B, Otsogile E, Mokhutshwane BS, Ahmadu B. 2004.
Phenotypic characterization of indigenous Tswana goats and sheep
breeds in Botswana: Continuous traits. Trop Anim Health Prod 36:789800.
Odubute IK, Akinokun JO, Ademosum AA. 1992. Production characteristic of
West African Dwarf goats under improved management system in the
humid tropics of Nigeria. Proc International Workshop, Ile-Ile, Nigeria:
ILRI pp.202-207.
Parma P, Feligini M, Greppi G, Enne G. 2003. The complete nucletide sequence
of goat (Capra hircus) mitochondrial genome. DNA Seq 14:199-203.
Parma P, Feligini M, Greppi G, Enne G. 2004. The complet coding region of
river buffalo (Bubalus bubalis) SRY gene. DNA Seq 15:77-80.
Pereira B. 2008. A multiplex primer extension assay for the rapid identification of
paternal lineages in domestic goat (Capra hircus): Laying the foundations
for a detailed caprine Y chromosome phylogeny. Mol Phylogenet Evol
49:663-668.
Polley S, Dea S, Batabyalb S, Kaushika R, Yadava P, Aroraa JS,
Chattopadhyaayb S, Panc S, Brahmad B, Dattaa TK, Goswami SL. 2009.
Polymorphism of fecundity genes (BMPR 1B, BMP15 and GDF9) in the
Indian prolific Black Bengal goat. Small Rum Res 85:122-129
Ponzoni RW. 1997. Genetic Resources and Conservation. New York: CAB
International.
Power MM. 1986. XY sex reversal in mare. Equine Vet J 18:233-236.
Prashant, Gour DS, Dubey PP, Jain A, Gupta SC, Joshi BK, Kumar D. 2008. Sex
determination in 6 Bovid species by duplex PCR. J Appl Genet 49:379381.
Prashant, Gour DS, Dubey PP, Jain A, Nanda DK, Joshi BK, Kumar D. 2009.
Complete nucleotide sequencing, SNP identification and characterization
of SRY gene in Indian Sangamneri goat. Afric J Biotechnol 8:2939-2942.
[PUSLITBANGNAK] Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 2007.
Penetapan dan pengakuan rumpun dan galur ternak mendukung sistem
perbibitan ternak nasional yang berdaya saing dan berkelanjutan. Pusat
90
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Bogor: Puslitbangnak.
Quinn GP, Keough MJ. 2002. Experimental Design and Data Analysis for
Biogist. Cambridge: Cambridge University Press, pp.537.
Ren ZZ, Cai HF, Luo WX, Liu RY. 2010. GDF9 and BMP15 genes analysis of
genetic variation on Qianbei-pockmarked goats. China Anim Husband Vet
Med 7: 2010-2017
Riva J, Rizzi R, Marelli S, Cavalchini LG. 2004. Body measurements in
Bergamasca sheep. Small Rum Ress 55:221-227.
Rout PK, Joshi MB, Mandal A, Laloe D, Singh L, Tangaraj K. 2008. Microsatellit
based phylogeni of Indonesian domestic goats. Bio Medic Cent Genet
9:1-11.
Royo LJ, Traore A, Tamboura HH, Alvarez I, Kabore A, Fernandez I, Sanou GO,
Toguyeni A, Sawadogo L, Goyache F. 2009. Analysis of mitochondrial
DNA diversity in Burkina Faso populations confirms the maternal genetic
homogenity of the West African Goat. Anim Genet 40:344-347.
Ruane J. 2000. A framework for prioritizing domestic animal breeds for
conservation purpose at the national level: a Norwegian case study.
Conservat Biol 14:1385-1393.
Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning, A Laboratory
Manual 3rd Ed. NY: Cold Spring Harbor Laboratory Press.
Sambrook, J. and D.W. Russell. 2001. Molecular Cloning, A Laboratory Manual.
2nd Ed. NY: Cold Spring Harbor Laboratory Press.
SAS Institute. 2005. SAS/STAT Guide for Personal Computer. Version 9.1 Ed.
NC: SAS Institute Cary. USA.
Savolainen P, Zhang YP, Luo J, Lunderberg J, Leitner T. 2002. Genetic evidence
for an East Asian origin of domestic dogs. Science 298:1610-1613.
Sechi T, Miari S, Pirumpun D, Crumpunta L, Mulas G, Carta A. 2009. Genetic
variation of goat Y chromosome in the Sardinian population. Ital J Anim
Sci 8:159-161.
Seli E, Sakkas D. 2005. Spermatozoa nuclear determinants of reproductive
outcome: implication for ART. Hum Reprod Update 11:337-349.
Setiadi B, Subandriyo, Iniguez LC. 1995. Reproductive performance of small
ruminants in an outreach pilot project in West Java. JITV 1:73-80.
Setiadi B, Prianto D, Martawidjaja. 1997. Komparatif Morpologi Kambing.
Laporan Hasil Penelitian APBN 1996/1997. Bogor: Balai Penelitian
Ternak Ciawi-Bogor.
Setiadi B, Mathius IW, Sutama KI. 1998. Karakteristik Sumberdaya Kambing
Gembrong dan Alternatif Pola Konservasinya. Prosiding : Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor, Oktober; 1998. Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Setiadi B, Priyanto D, Subandriyo. 1999.
Karakteristik Morfologi dan
Produktivitas Induk kambing Peranakan Etawah di Daerah Sumber Bibit
Kabupaten Purworejo. Prosiding Seminar Nasional Kiat Usaha
91
Peternakan, Purwokerto, Agustus 1999. Jember: Universitas Jenderal
Sudirman.
Setiadi B, Tiessnamurti B, Subandriyo, Sartika T, Adiati U, Yulistiani D, Sendow
I. 2002.
Koleksi dan Evaluasi Karakteristik Kambing Kosta dan
Gembrong Secara Ex-situ. Laporan Hasil Penelitian APBN 2001/2002.
Bogor: Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor.
Shrestha JNB, Fahmy MH. 2007. Breeding goats for meat production. 3.
Selection and breeding strategies. Small Rum Res 67:113-125.
Simianer H. 2006. Use of Molecular marker and other information for sampling
germ plasm to create an animal gene bank. In: Ruane J, Sonnino A.
(Edit) The Role of Biotechnology in Exploring and Protecting Agricultural
Genetic Resources. Rome: Food and Agriculture Organization of the
United Nations (FAO).
Sinclair AH, Berta P, Palmer MS, Hawkins JR, Griffiths BL, Smith MJ,Foster
JW,Frischauf AM, Lovell-Badgeand RP, Goodfellow N. 1990. A gene from
the human sex-determining region encodes a protein with homology to a
conserved DNA-binding motif. Nature 346:240-244
Sodiq A, Taufik ES. 2003. The role and breeds, management system,
productivity and development strategies of goats in Indonesia: A Review.
J Agric Rur Dev Trop 104:71-89.
Soedjana TD. 2008. Goat Development in Indonesia. In: International Seminar
on Dairy and Meat goat production, Bogor August 5-6, 2008. Bogor:
Indonesian Research Institute for Animal Production. pp:154-157.
Solis A, Jugo BM, Meriaux JC, Iriondo M, Mazoke LI, Aquirre AI, Vicario A,
Estomba A.2005. Genetic diversity within and among four South
European native horse breed based on microsatellite DNA analysis:
implication for conservation. J Hered 96:670-678.
Souza CJH, MacDougall C, Campbell BK, McNeilly AS, Baird DT. 2001. The
Booroola (FecB) phenotype is associated with a mutation in the bone
morphogenetic receptor type 1B (BMPR1B) gene. J Endocr 169:1–6.
Sponenberg P. 2004. Genetics of goat color. Blacksburg: Virginia-Maryland
Regional College of Veterinary Medicine, Virginia Polytechnic Institute
and State University, Blacksburg, VA 24061 USA. (http:www.cagba.org/
genetics goat clr 20041.pdf)
Steel RGD, Torrie JH. 1985. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan
Biometrik. (Terjemahan: Sumantri B).
Edisi kedua. Jakarta : PT.
Gramedia.
Subandriyo, Setiadi B. 2003. Pengelolaan Plasma Nutfah Hewani sebagai Aset
dalam Pemenuhan Kebutuhan Manusia. Makalah disampaikan dalam
Lokakarya Pemantapan Pengelolaan Database dan Pengenalan Jejaring
Kerja Plasma Nutfah Pertanian. Bogor, 21-28 Juli 2003. Bogor: Komisi
Nasional Plasma Nutfah.
Subandriyo. 2004. Strategi Pemanfaatan Plasma Nutfah Kambing Lokal dan
Peningkatan Mutu Genetik Kambing di Indonesia. Lokakarya Nasional
Kambing Potong, Bogor 6 Agustus 2004. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
92
Subandriyo. 2008. Goat breeding and genetic resources in Indonesia. In
Proceedings: International Seminar on Dairy and Meat goat production,
Bogor August 5-6, 2008. Bogor: Indonesian Research Institute for Animal
Production. p:29-37.
Sultana S, Mannen H, Tsuji S. 2003. Mitochondrial DNA diversity of Pakistani
goats. Anim Genet 34:417-421.
Sumantri C, Einstiana A, Salamena JF, Inounu I. 2007. Keragaman dan
hubungan phylogenik antar domba lokal di Indonesia melalui pendekatan
analisis morfologi. JITV 12:42-54.
Suparyanto A, Purwadaria T, Subandriyo. 1999. Pendugaan jarak genetik dan
faktor peubah pembeda bangsa dan kelompok domba di Indonesia
melalui pendekatan analisis morfologi. JITV 4:80-87
Swedlow JR, Matteri RL, Parkoff H. 1996. Deglycosylation of gonadothropine
with an endoglycosidase. Proc Soc Exp Biol Med 18: 432-437.
Tadelle DA. 2003. Phenotypic and genetic characterization of local chicken
ecotypesin Ethiopia. PhD thesis. Berlin: University of Humboldt – Berlin,
Germany.
Takebayashi K, Takakura K, Wang HQ, Kimura F, Fasahara K, Noda Y. 2000.
Mutation analysis of the growth differentiation factor 9 and 9B genes in
patients with premature ovarian failure and polycustics ovary syndrome.
Fertil Steril 74:976-979.
Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S. 2007. Molecular evolutionary genetic
analysis (MEGA) software version 4. Mol Biol Evol 24:1596-1599.
Tegelstrom H. 1986. Mitochondrial DNA in natural population : An inproved
routine for the screening of genetic variation based on sensitive silver
staining. Electrophoresis 7:226-229.
Tozaki T, Kakoi H, Mashima S, Hirota K, Hasegawa T, Ishida N, Miura N, ChoiMiura NH, Tomita M. 2001. Population study and validation of paternity
testing for thoroughbreed horses by 15 microsatellite loci. J Vet Med
63:1191-1197.
Traore A et al. 2008. Multivariates analysis on morphological traits of goats in
Burkina Faso. Arch Tierz Dummerst 6:588-600.
Troy CS, MacHugh DE, Bailey JF, Magee DA, Loftus RT, Cuningham P,
Chamberlain AT,Sykes BC, Bradley DG. 2001. Genetic evidence for
near-eastern origins of European Cattle. Nature 410:1088-1091.
Utoyo DP. 2002. Management of the farm domestic animal genetic resources in
Indonesia. In : Animal Genetic Resources. Directorate General of
Livestock Service. Jakarta: Ministry of Agriculture Indonesia.
Veiteia RA, Salas-Cortex L, Ottolenghi C, Pailhoux E, Cotinot C, Fellous M.
2001. Testis determination in mammals: more questions than answers.
Mol Cell Endocr 179:3-16.
Verkaar ELC, Vervaecke H, Roden C, Mendoza RL, Barwegen MW, Susilawati
T, Nijman IJ, Lenstra JA. 2003. Paternally inherited markers in bovine
hybrid populations. Hered 91: 565-569.
93
Vila C, Leonard JA, Gotherstrom A, Marklund S, Sandberg K, Liden K, Wayne
RK, Ellergen H. 2001. Widespread origin of domestic horse lineages.
Science 291:474-477.
Visser C, Hefer CA, Van Marle-Koster E, Kotze A. 2004. Genetic variation of
three commercial and three indigenous goat populations in Souh Africa.
South Afric J Anim Sci 34: 24-27,Supp 1.
Wandia IN. 2001. Genom Mitokondria. J Vet. 2(4) :131-137.
Wilson T, Wu XY, Juengel JL, Ross IK, Lumsden JM, Lord EA, Dodds KG,
Walling GA, McEwan JC, O’Connell AR, McNatty KP, Montgomery GW
2001. Highly prolific Booroola sheep have a mutation in the intracellular
kinase domain of bone morphogenetik protein 1B receptor (ALK-6) that is
expressed in both oocytes and granulose cells. Biol Reprod 64:1225–
1235.
Wimmers K, Ponsuksili S, Hardge T, Valle-Zarate A, Marthur PK, Horst P. 2000.
Genetic distinctnes of African, Asian and South American local chickens.
Anim Genet 31: 159-165.
Womack JE. 2005. Advance in livestock genomics: Opening the barn door. Gen
Res 15:1699-1705.
Wu ZH, Chu MX, Li XW, Fang L, Ye SC, Liu ZH, Chen GH. 2010. PCR-SSCP
analysis on exon 2 of GDF9 gene in goats. Shincuan: College of animal
science and technology, Sichuan Agricultural University.
Xu-qin R, Jian-bin L, Zhi-yong D, Cheng Q, Jia-fu W. 2009. Diversity of BMP15
and GDF9 genes in white goat of Guizhou Province and evolution of the
encoded proteins. CN 53-1040/Q. Beijing: The National Science
Foundation of China.
Yan C, Wang P, DeMayo J, DeMayo FJ, Elvin J, Carino C, Prumpunad SV,
Skinner SS, Dunbar BS, Dube JL, Celeste AJ, Matzuk MM. 2001.
Synergistic role of bone mophogenetic protein 15 and growth
differentiation factor 9 in ovarian function. Mol Endocr 15:854-866.
Zeder MA, Hesse B. 2000. The initial domestication of goats (Capra hircus) in the
Zagros Mountain 10,000 years ago. Science 287:2254-2257.
Zhang CY, Wu CJ, Zeng WB, Huang KK, Li X, Feng JH, Wang D, Hua GH, Xu
DQ, Wen QY, Yang LG. 2011. Polymorphism in exon 3 of follicle
stimuating hormon beta (FSHB) sub unit gene and its association with
litter traits and superovulation in the goat. Small Rum Res 96:53-57.
Zhang GX, Chu MX, Wang JY, Fang L, Ye SC. 2007. Polymorphism of exon 10
of prolactin receptor gene and its relationship with prolificacy of Jining
Grey Goats. Yi Chuan 29:329-36. Abstr (Article in Chinese)
Zhang X, Leung FC, Chan DK, Chen Y, Wu C. 2002. Comparative analysis of
allozyme, random amplified polymorphic DNA, and microsatellite
polymorphism on Chinese native chickens. Poult Sci 81: 1093–1098.
Zhao Y, Zhang J, Zhao E, Zhang X, Liu X, Zhang N. 2011. Mitochondrial DNA
diversity and origins of domestic goats in Southwest China (excluding
Tibet). Small Rum Res 95:40-47.
94
Lampiran 1 Pola warna dominan dan warna belang 6 sub populasi kambing lokal
a. Kambing Jawarandu
95
b. Kambing Kacang
96
c. Kambing Samosir
97
d. Kambing Marica
98
e. Kambing Benggala
99
f.
Kambing Muara
100
Lampiran 2 Form daftar karakter morfologi yang diukur
DAFTAR KARAKTERISTIK MORFOLOGIK KAMBING ...................
DI PROPINSI ....................................
No:....................................
No.
URAIAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Panjang badan (cm)
Lingkar dada (cm)
Lingkar pinggul (cm)
Lingkar canon (cm)
Tinggi canon (cm)
Panjang tanduk (cm)
Orientasi tanduk
Panjang telinga/Tipe telinga
Skor rahang
Panjang tengkorak (cm)
Lebar tengkorak (cm)
Tinggi tengkorak (cm)
Gigi/umur (pasang)
Jenis kelamin
Paritas (untuk betina)
Tipe lahir/ Tipe sapih
No induk/ no bapak
Status fisiologik
Tinggi pundak (cm)
Dalam dada (cm)
Tinggi pinggul (cm)
Dalam pinggul (cm)
Lebar tungging (cm)
Panjang ekor (cm)
Tebal/ lebar ekor (cm)
Warna tubuh dominan/ warna
belang/ warna kepala dominan.
Pola warna tubuh
Penyebaran belang (%)
Garis muka/ Garis punggung
Ambing/ puting
Bobot ternak (kg)
LOKASI :........................................
NOMER TERNAK (SAMPEL)
1
2
3
4
5
101
Lampiran 3 Lokasi pengambilan data dan sampel darah kambing lokal (Kambing
Kacang, Samosir, Marica, Jawarandu, Muara dan Benggala)
No.
Sub populasi/
Kecamatan
Desa
Provinsi/Kabupaten
1.
Kambing Benggala, Provinsi Nusa Tenggara Timur
a. Kab. Kupang
Kupang Timur
Oelatimo, Tuapukan, Naibonat
Kupang Barat
Sumlili, Tablolong
Aesesa
Mbay, Ngolonio
b. Kab. Ende
Kelimutu
Kuru
Lio Timur
Habatua, Detupera
c. Sikka
Alok
Kota Uneng, Nanglimang
2.
3.
4.
5.
Kambing Marica, Provinsi Sulawesi Selatan
a. Maros
Tanralili
Bantimurung
b. Jeneponto
Arungkeke
Kelara
Bangkala
Kambing Jawarandu, Provinsi Jawa Tengah
a. Blora
Kec. Kradenan
Kec. Sambong
Kec. Kedung Tuban
Kec. Randu Blatung
Mendenrejo, Sumber
Sambongrejo
Ngelandeyan, Tanjung, Bajo
Pilang, Randu Blatung
Kambing Muara, Provinsi Sumatera Utara
a. Kabupaten Tapanuli Kec. Muara
Utara
Batu Binumbun, Simatupang,
Dolok Martumbur, Huta Lontung
Kambing Samosir, Provinsi Sumatera Utara
a. Kabupaten Samosir Kec. Pangururan
Kec. Harian
Kec. Simanindo
Kec. Onan Runggu
Kec. Sianjur Mulamula
6.
Borong, Toddo Pulia, Damai
Leang-leang, Mattoangin
Arung keke, Kampala
Bontolebang, Tolo
Tombo-tombolo
Kalimporo
Kambing Kacang, Provinsi Sumatera Utara
a. Kabupaten Deli
Kec. Galang
Serdang
Kec. Bangun Purba
Kec. Dolok Masihul
Lumban Suhisuhi, Pardugul,
Saitni huta
Turpuk Limbong, Partungko
Naginjang, Siparmahan
Simarmata, Ambarita
Sitamiang, Sitinjak
Sianjur Mulamula, Hutaginjang
Kotangan, Tanjung Gusti, Paya
Sampir, dan Kandang
Percobaan Loka Penelitian
Kambing Sei Putih
Bandar Kuala
Bangun Purba
Dolok Masihul, Paya Buaya
102
Lampiran 4 Nama/bangsa kambing, nomor akses dan asal sampel yang
digunakan dari GenBank untuk membentuk pohon filogeni
No.
Ruas DNA
Rumpun/galur
Nomor
Lokalitas
kambing di GenBank
Akses
GenBank
1
D-LOOP
Capra hircus
AF533441
Vietnam
Jamnapari
AY155816
India
Black bengal
AY155721
India
Alpine
EF617779
Prancis
Iranian Goat
EF617945
Iran
Laos native
AB044303
Laos
Azeri
EF617706
Azerbaijan
Mongolian Goat
AJ317833
Cina
Matou
DQ121578
Cina
Barbari
AY155708
India
Switzerland Goat
AJ317838
Swiss
Spanish Goat
EF618413
Spanyol
Taihang
DQ188893
Cina
Pashmina
AY155952
India
Pinqau
EF617701
Austria
Girgentara
DQ241349
Sicilia
Girgentara
DQ241351
Sicilia
Nubian
FJ571542
Italia
Gurcu
EF618535
Turki
Baladi
EF617727
Egyp
Boer
GQ141235
Afrika Selatan
Banjiao
DQ121491
Cina
Angora
GQ141232
Cina
Saanen
FJ571552
Italia
Maltese
FJ571532
Italia
Punjab Goat
AB162215
Pakistan
2
Gen SRY
Capra hircus
Shiba Goat
EU581862
D82963
Australia
Jepang
3
Gen GDF9
Capra hircus
Shiba Goat
EF446168
D82963
Cina
Jepang
Lampiran 5 Pensejajaran berganda nukleotida ruas D-loop DNA mitokondria pada kambing lokal
[
[
[
#C.hircus
#Marica-1
#Marica-2
#Marica-3
#Marica-4
#Marica-5
#Kacang-1
#Kacang-2
#Kacang-3
#Kacang-4
#Kacang-5
#Samosir-1
#Samosir-2
#Samosir-3
#Samosir-4
#Samosir-5
#Benggala-1
#Benggala-2
#Benggala-3
#Benggala-4
#Benggala-5
#Jawarandu-1
#Jawarandu-2
#Jawarandu-3
#Jawarandu-4
#Jawarandu-5
#Muara-1
#Muara-2
#Muara-3
#Muara-4
#Muara-5
1
1234567890
AACCACTATT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111112
1234567890
AACCACATCT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222223
1234567890
ATTAATATAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333334
1234567890
CCCCAAAAAT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444445
1234567890
ATTAAGAGCC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555556
1234567890
TCCCCAGTAT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666667
1234567890
TAAATTTACT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777778
1234567890
AAAAATTTCA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
8888888889
1234567890
AATATACAAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
ACAAACTTCC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
103
104
[
[
[
#C.hircus
#Marica-1
#Marica-2
#Marica-3
#Marica-4
#Marica-5
#Kacang-1
#Kacang-2
#Kacang-3
#Kacang-4
#Kacang-5
#Samosir-1
#Samosir-2
#Samosir-3
#Samosir-4
#Samosir-5
#Benggala-1
#Benggala-2
#Benggala-3
#Benggala-4
#Benggala-5
#Jawarandu-1
#Jawarandu-2
#Jawarandu-3
#Jawarandu-4
#Jawarandu-5
#Muara-1
#Muara-2
#Muara-3
#Muara-4
#Muara-5
1111111111
0000000001
1234567890
CACTCCACAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
1111111112
1234567890
GCTTACAGAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
2222222223
1234567890
ATGCCAACAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
3333333334
1234567890
CCCACACGTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
4444444445
1234567890
TAAAAACATC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
5555555556
1234567890
CCAATCCTAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
6666666667
1234567890
CCCAACTTAG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
7777777778
1234567890
ATACCCACAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
8888888889
1234567890
AAACGCCAAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111112 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
ACCACACAAT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#C.hircus
#Marica-1
#Marica-2
#Marica-3
#Marica-4
#Marica-5
#Kacang-1
#Kacang-2
#Kacang-3
#Kacang-4
#Kacang-5
#Samosir-1
#Samosir-2
#Samosir-3
#Samosir-4
#Samosir-5
#Benggala-1
#Benggala-2
#Benggala-3
#Benggala-4
#Benggala-5
#Jawarandu-1
#Jawarandu-2
#Jawarandu-3
#Jawarandu-4
#Jawarandu-5
#Muara-1
#Muara-2
#Muara-3
#Muara-4
#Muara-5
2222222222
0000000001
1234567890
GTTACGCGTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
1111111112
1234567890
TGCAAGTACA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
2222222223
1234567890
TTACACCGCT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
3333333334
1234567890
CGCCTACACA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
....C.....
....C.....
2222222222
4444444445
1234567890
CAAATACATT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
5555555556
1234567890
TACTAACATC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
6666666667
1234567890
CATATAACGC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
7777777778
1234567890
GGACATACAG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
8888888889
1234567890
CCTTCATATA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222223 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
GTTTACTATA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
105
106
[
[
[
#C.hircus
#Marica-1
#Marica-2
#Marica-3
#Marica-4
#Marica-5
#Kacang-1
#Kacang-2
#Kacang-3
#Kacang-4
#Kacang-5
#Samosir-1
#Samosir-2
#Samosir-3
#Samosir-4
#Samosir-5
#Benggala-1
#Benggala-2
#Benggala-3
#Benggala-4
#Benggala-5
#Jawarandu-1
#Jawarandu-2
#Jawarandu-3
#Jawarandu-4
#Jawarandu-5
#Muara-1
#Muara-2
#Muara-3
#Muara-4
#Muara-5
3333333333
0000000001
1234567890
TATCTACCCT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
1111111112
1234567890
ACACATGTGC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
2222222223
1234567890
AGTACTAATC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
3333333334
1234567890
CAGCATAAAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
4444444445
1234567890
GTAATGTATG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
5555555556
1234567890
TA--CATTAC
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..--......
..AC......
..AC......
..AC......
..AC......
..AC......
3333333333
6666666667
1234567890
ATTTT-ATGA
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....T....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
.....-....
3333333333
7777777778
1234567890
TCTACTTCAC
..........
..........
..........
..........
..........
.........T
.........T
.........T
.........T
.........T
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
8888888889
1234567890
GTGTACGTAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333334 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
ATAATATTAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#C.hircus
#Marica-1
#Marica-2
#Marica-3
#Marica-4
#Marica-5
#Kacang-1
#Kacang-2
#Kacang-3
#Kacang-4
#Kacang-5
#Samosir-1
#Samosir-2
#Samosir-3
#Samosir-4
#Samosir-5
#Benggala-1
#Benggala-2
#Benggala-3
#Benggala-4
#Benggala-5
#Jawarandu-1
#Jawarandu-2
#Jawarandu-3
#Jawarandu-4
#Jawarandu-5
#Muara-1
#Muara-2
#Muara-3
#Muara-4
#Muara-5
4444444444
0000000001
1234567890
TGTAACAA-G
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
.......G-.
.......G-.
.......G-.
.......G-.
.......G-.
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
....C...-.
....C...A.
........-.
....C...A.
....C...-.
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
4444444444
1111111112
1234567890
GACATAATAT
..........
..........
..........
..........
..........
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
2222222223
1234567890
GTATATAGTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
3333333334
1234567890
CATTAAACGA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
4444444445
1234567890
TTTTCCACAT
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
5555555556
1234567890
GCATATTAAG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
6666666667
1234567890
CACGTATATC
..........
..........
..........
..........
..........
......C...
......C...
......C...
......C...
......C...
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
7777777778
1234567890
AGTATTAATG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
8888888889
1234567890
TAATAAAGAC
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
......G...
..........
..........
..........
..........
..........
..........
......G...
......G...
......G...
......G...
..........
..........
..........
..........
..........
4444444445 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
ATAATATGTA
..........
..........
..........
..........
..........
...G......
...G......
...G......
...G......
...G......
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
107
108
[
[
[
#C.hircus
#Marica-1
#Marica-2
#Marica-3
#Marica-4
#Marica-5
#Kacang-1
#Kacang-2
#Kacang-3
#Kacang-4
#Kacang-5
#Samosir-1
#Samosir-2
#Samosir-3
#Samosir-4
#Samosir-5
#Benggala-1
#Benggala-2
#Benggala-3
#Benggala-4
#Benggala-5
#Jawarandu-1
#Jawarandu-2
#Jawarandu-3
#Jawarandu-4
#Jawarandu-5
#Muara-1
#Muara-2
#Muara-3
#Muara-4
#Muara-5
5555555555
0000000001
1234567890
TATCGTACAT
..........
..........
..........
..........
..........
...T......
...T......
...T......
...T......
...T......
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
1111111112
1234567890
TAAACGATCT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
2222222223
1234567890
CCCCCATGCA
...T-.....
...T-.....
...T-.....
...T-.....
...T-.....
...T......
...T......
...T......
...T......
...T......
...T-.....
...T-.....
...T-.....
...T-.....
...T-.....
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
3333333334
1234567890
TATAAGCACG
..........
..........
..........
..........
..........
........T.
........T.
........T.
........T.
........T.
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
4444444445
1234567890
TACAATGTCC
.......CTT
.......CTT
.......CTT
.......CTT
.......CTT
..T.......
..T.......
..T.......
..T.......
..T.......
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
5555555556
1234567890
TTATTAGCAG
C....G....
C....G....
C....G....
C....G....
C....G....
.....G....
.....G....
.....G....
.....G....
.....G....
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
6666666667
1234567890
TACATGGTAC
.....A....
.....A....
.....A....
.....A....
.....A....
.....A....
.....A....
.....A....
.....A....
.....A....
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
7777777778
1234567890
ATTTTACTGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
.G.......C
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
8888888889
1234567890
ATACCCGTAC
...TT.....
...TT.....
...TT.....
...TT.....
...TT.....
...T......
...T...CC.
...T......
...T......
...T......
...T......
...T......
...T......
...T......
...T......
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555556 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
ATAGCACATA
..........
..........
..........
..........
..........
..G.......
..........
..G.......
..G.......
..G.......
..........
..........
..........
..........
..........
..G.......
..G.......
..G.......
..G.......
..G.......
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#C.hircus
#Marica-1
#Marica-2
#Marica-3
#Marica-4
#Marica-5
#Kacang-1
#Kacang-2
#Kacang-3
#Kacang-4
#Kacang-5
#Samosir-1
#Samosir-2
#Samosir-3
#Samosir-4
#Samosir-5
#Benggala-1
#Benggala-2
#Benggala-3
#Benggala-4
#Benggala-5
#Jawarandu-1
#Jawarandu-2
#Jawarandu-3
#Jawarandu-4
#Jawarandu-5
#Muara-1
#Muara-2
#Muara-3
#Muara-4
#Muara-5
6666666666
0000000001
1234567890
AAGTCAAATC
..........
..........
..........
..........
..........
G.........
..........
..........
..........
G.........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
1111111112
1234567890
TATCCTTGTC
C..T......
C..T......
C..T......
C..T......
C..T......
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
...T......
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
2222222223
1234567890
AACATGCGTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
3333333334
1234567890
TCCCGTCCAC
..........
..........
..........
..........
..........
.........T
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
4444444445
1234567890
TAGATCACGA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..A.......
..........
..A.......
..A.......
..A.....A.
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
5555555556
1234567890
GCTTGTCGAC
..........
..........
..........
..........
..........
......T...
..........
......T...
......T...
......T...
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
6666666667
1234567890
CATGCCGCGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
......C...
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
7777777778
1234567890
GAAACCAGCA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
8888888889
1234567890
ACCCGCTTGG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
.......A..
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666667 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
CAGGGATCCC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
109
110
[
[
[
#C.hircus
#Marica-1
#Marica-2
#Marica-3
#Marica-4
#Marica-5
#Kacang-1
#Kacang-2
#Kacang-3
#Kacang-4
#Kacang-5
#Samosir-1
#Samosir-2
#Samosir-3
#Samosir-4
#Samosir-5
#Benggala-1
#Benggala-2
#Benggala-3
#Benggala-4
#Benggala-5
#Jawarandu-1
#Jawarandu-2
#Jawarandu-3
#Jawarandu-4
#Jawarandu-5
#Muara-1
#Muara-2
#Muara-3
#Muara-4
#Muara-5
7777777777
0000000001
1234567890
TCTTCTCGCT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
.......C..
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
1111111112
1234567890
CCGGGCCCAT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
........G.
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
2222222223
1234567890
TAACCGTGGG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
3333333334
1234567890
GGTAGCTATT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
4444444445
1234567890
TAATGAACTT
..........
..........
..........
C.........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
.......T..
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
5555555556
1234567890
TATCAGACAT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
6666666667
1234567890
CTGGTTCTTT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
A.....G...
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
7777777778
1234567890
CTTCAGGGCC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
........G.
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
8888888889
1234567890
ATCTCACCTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777778 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
AAATCGCCCA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#C.hircus
#Marica-1
#Marica-2
#Marica-3
#Marica-4
#Marica-5
#Kacang-1
#Kacang-2
#Kacang-3
#Kacang-4
#Kacang-5
#Samosir-1
#Samosir-2
#Samosir-3
#Samosir-4
#Samosir-5
#Benggala-1
#Benggala-2
#Benggala-3
#Benggala-4
#Benggala-5
#Jawarandu-1
#Jawarandu-2
#Jawarandu-3
#Jawarandu-4
#Jawarandu-5
#Muara-1
#Muara-2
#Muara-3
#Muara-4
#Muara-5
8888888888
0000000001
1234567890
CTCTTTCCTC
.....C....
.....C....
.....C....
.....C....
.....C....
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..G.......
..........
..........
..........
8888888888
1111111112
1234567890
TTAAATAAGA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
8888888888
2222222223
1234567890
CATCTCGATG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
........C.
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..C.......
..C.......
..C.......
..C.......
..C.......
8888888888
3333333334
1234567890
GACTAATGAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
.........A
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
8888888888
4444444445
1234567890
TAATCAGCCC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
8888888888
5555555556
1234567890
ATGCTCACAC
..........
..........
.....A....
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
8888888888
6666666667
1234567890
ATAACTGTGC
..........
..........
..........
....TC....
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
888888888]
777777777]
123456789]
TGTCATACA
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
.........
111
112
Lampiran 6 Pensejajaran berganda nukleotida gen SRY pada kambing lokal
[
[
[
#C.hircus_EU581862
#Benggala1
#Benggala
#Benggala3
#Jwrandu1
#Jwrandu2
#Jwrandu
#Kacang1
#Kacang2
#Marica1
#Marica2
#Muara1
#Muara2
#Samosir
#Shiba_goat_D82963
1
1234567890
CCAGATGGAT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111112
1234567890
GTAGAGACAT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222223
1234567890
TGCACCCCTT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333334
1234567890
CACATACAGG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444445
1234567890
GACGATTGTG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555556
1234567890
CCAAGACCAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666667
1234567890
ACACTCACAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777778
1234567890
ATGGAAAGCC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
8888888889
1234567890
AATTATGCCG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
CTCACAGTCC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#C.hircus_EU581862
#Benggala1
#Benggala
#Benggala3
#Jwrandu1
#Jwrandu2
#Jwrandu
#Kacang1
#Kacang2
#Marica1
#Marica2
#Muara1
#Muara2
#Samosir
#Shiba_goat_D82963
1111111111
0000000001
1234567890
CTGATTCTAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
1111111112
1234567890
CCAATTCACT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
2222222223
1234567890
TCTGCAAAAG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
3333333334
1234567890
GAGCATCACA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
4444444445
1234567890
GCAGCTGGAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
5555555556
1234567890
AAACCTGGGC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
6666666667
1234567890
CACGATAGGG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
7777777778
1234567890
TAACATTGGA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
8888888889
1234567890
TACACGGATT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111112 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
TCCGCGGACT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#C.hircus_EU581862
#Benggala1
#Benggala
#Benggala3
#Jwrandu1
#Jwrandu2
#Jwrandu
#Kacang1
#Kacang2
#Marica1
#Marica2
#Muara1
#Muara2
#Samosir
#Shiba_goat_D82963
2222222222
0000000001
1234567890
TTCCCTTTTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
1111111112
1234567890
CCAAAGCTTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
2222222223
1234567890
GAGCCTGGGC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
3333333334
1234567890
TTTCTTGCGC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
4444444445
1234567890
TTATGTTCAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
5555555556
1234567890
TACTGACTTC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
6666666667
1234567890
CTTACTCTCG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
7777777778
1234567890
CTAACAAAGG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
8888888889
1234567890
CACGCTTTAT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222223 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
CTCAATTTTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#C.hircus_EU581862
#Benggala1
#Benggala
#Benggala3
#Jwrandu1
#Jwrandu2
#Jwrandu
#Kacang1
#Kacang2
#Marica1
#Marica2
#Muara1
#Muara2
#Samosir
#Shiba_goat_D82963
3333333333
0000000001
1234567890
CTACAATTTC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
1111111112
1234567890
ACCTCCGACT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
2222222223
1234567890
TAATTTTAAA
.........T
.........T
.........T
..........
..........
..........
..........
..........
.........T
.........T
.........T
.........T
.........T
..........
3333333333
3333333334
1234567890
CTAAGGCAAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
4444444445
1234567890
TAAGTACATT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
5555555556
1234567890
TAACAAGTAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
6666666667
1234567890
AGAATTTG-G
........T.
........T.
........T.
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
........-.
3333333333
7777777778
1234567890
ACTTTCCAAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
8888888889
1234567890
ATAATTGCTC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333334 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
CTCTGTTGAT
.......A..
.......A..
.......A..
.......A..
.......A..
.......A..
.......A..
.......A..
.......A..
.......A..
.......A..
.......A..
.......A..
..........
113
114
[
[
[
#C.hircus_EU581862
#Benggala1
#Benggala
#Benggala3
#Jwrandu1
#Jwrandu2
#Jwrandu
#Kacang1
#Kacang2
#Marica1
#Marica2
#Muara1
#Muara2
#Samosir
#Shiba_goat_D82963
4444444444
0000000001
1234567890
CAGTTCTTTC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
1111111112
1234567890
TGTAAGAGTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
2222222223
1234567890
TTTTTTGTAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
3333333334
1234567890
GAAATTATCT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
4444444445
1234567890
TAACAGCACC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
5555555556
1234567890
AAAACTGCTT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
6666666667
1234567890
GAGTTAGATC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
7777777778
1234567890
ATCTGTTTTT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444444
8888888889
1234567890
CCTAGTAATG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444445 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
ACACAATTTT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#C.hircus_EU581862
#Benggala1
#Benggala
#Benggala3
#Jwrandu1
#Jwrandu2
#Jwrandu
#Kacang1
#Kacang2
#Marica1
#Marica2
#Muara1
#Muara2
#Samosir
#Shiba_goat_D82963
5555555555
0000000001
1234567890
TATATTTCTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
1111111112
1234567890
ATTTTAATTG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
2222222223
1234567890
TTCCAGAGAT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
3333333334
1234567890
TGGCCATTAG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
4444444445
1234567890
TTAGATGGTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
5555555556
1234567890
GCATATATTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
6666666667
1234567890
ATAATCTGGA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
7777777778
1234567890
AATAGCCACT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
8888888889
1234567890
ATAGACAATA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555556 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
TAACTTTTTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#C.hircus_EU581862
#Benggala1
#Benggala
#Benggala3
#Jwrandu1
#Jwrandu2
#Jwrandu
#Kacang1
#Kacang2
#Marica1
#Marica2
#Muara1
#Muara2
#Samosir
#Shiba_goat_D82963
6666666666
0000000001
1234567890
TTTTAAATGC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
1111111112
1234567890
TGTAACTCCA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
2222222223
1234567890
AACTATAGTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
3333333334
1234567890
CTTTCAGAAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
4444444445
1234567890
CACTCACAAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
5555555556
1234567890
TTCATGGTAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
6666666667
1234567890
AGAGGAAAAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
7777777778
1234567890
ACCTCGTACT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#C.hircus_EU581862
#Benggala1
#Benggala
#Benggala3
#Jwrandu1
#Jwrandu2
#Jwrandu
#Kacang1
#Kacang2
#Marica1
#Marica2
#Muara1
#Muara2
#Samosir
#Shiba_goat_D82963
7777777777
0000000001
1234567890
TTCTAAAGCA
C.........
C.........
C.........
..........
..........
..........
..........
..........
C.........
C.........
C.........
C.........
C.........
..........
7777777777
1111111112
1234567890
CTTTCTGATA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
.......G..
.......G..
..........
..........
7777777777
2222222223
1234567890
CAAGCTCTGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
3333333334
1234567890
TCTTTGGTCT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
4444444445
1234567890
TTCTAGCTAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
5555555556
1234567890
TTTCCACCTC
...T......
...T......
...T......
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
...T......
...T......
..........
..........
7777777777
6666666667
1234567890
TTTGTAAATT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
777]
777]
123]
GCA
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
6666666666
8888888889
1234567890
TGGATGGAAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666667 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
GCTCCCTACC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
115
116
Lampiran 7 Pensejajaran berganda nukleotida gen GDF9 pada kambing lokal
[
[
[
#KACANG-tunggal(08-K1)
#KACANG-kembar(07-K2)
#PE-tunggal(04-PE1)
#PE-kembar(15-PE3)
#MUARA-tunggal(06-R1)
#MUARA-kembar(05-R2)
#SAMOSIR-tunggal(14-S1)
#SAMOSIR-kembar(12-S2)
1
1234567890
TCGGAGCCTC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111112
1234567890
AGGAAGCGGC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222223
1234567890
CGAAATCGGA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333334
1234567890
CGGACTGAGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
4444444445
1234567890
AGAAGAGCGA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555556
1234567890
GGGGCCTGTC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666667
1234567890
AACCTCCAGA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777778
1234567890
GCTGCCCTAG
..........
..........
..........
..........
..........
..C.......
..C.......
8888888889
1234567890
GGTCGGGTGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
CCTGGCGCGG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#KACANG-tunggal(08-K1)
#KACANG-kembar(07-K2)
#PE-tunggal(04-PE1)
#PE-kembar(15-PE3)
#MUARA-tunggal(06-R1)
#MUARA-kembar(05-R2)
#SAMOSIR-tunggal(14-S1)
#SAMOSIR-kembar(12-S2)
1111111111
0000000001
1234567890
TGGAAAGCGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
1111111112
1234567890
CTTTGAGGCC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
2222222223
1234567890
GCCGCCTGGC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
3333333334
1234567890
AGTCAACGCG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
4444444445
1234567890
AGGTTTTGTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
5555555556
1234567890
CTGTCATGTC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
6666666667
1234567890
CAGTAAGCTG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
7777777778
1234567890
GCAAACCGGA
..........
C.........
C.........
C.........
C.........
C.........
C.........
1111111111
8888888889
1234567890
ATCGGCTATG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111112 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
GTCAGGCCCT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#KACANG-tunggal(08-K1)
#KACANG-kembar(07-K2)
#PE-tunggal(04-PE1)
#PE-kembar(15-PE3)
#MUARA-tunggal(06-R1)
#MUARA-kembar(05-R2)
#SAMOSIR-tunggal(14-S1)
#SAMOSIR-kembar(12-S2)
2222222222
0000000001
1234567890
CAGCGACCGC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
1111111112
1234567890
AAGACCGGAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
2222222223
1234567890
TCAGGGACAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
3333333334
1234567890
GGATCTGAGA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
4444444445
1234567890
CTTCTCTTGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
5555555556
1234567890
CAGCCACCAG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
6666666667
1234567890
ATTAGAATCC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
7777777778
1234567890
ACTGGCAGGG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222222
8888888889
1234567890
TGTAGATTTT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
2222222223 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
CCCAAGAGAT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#KACANG-tunggal(08-K1)
#KACANG-kembar(07-K2)
#PE-tunggal(04-PE1)
#PE-kembar(15-PE3)
#MUARA-tunggal(06-R1)
#MUARA-kembar(05-R2)
#SAMOSIR-tunggal(14-S1)
#SAMOSIR-kembar(12-S2)
3333333333
0000000001
1234567890
AATAAAAATG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
1111111112
1234567890
TTTCCATTTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
2222222223
1234567890
GCCACAAGAG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
3333333334
1234567890
TCCTTAGGTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
4444444445
1234567890
ATAGTACAGC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
5555555556
1234567890
AAGTGATGAG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
3333333333
6666666667
1234567890
CAGCTGTTAG
..........
..........
..........
..........
..........
.........T
.........T
3333333333
7777777778
1234567890
TGATTGTAGG
..........
..........
..........
..........
..........
CCT..T..-CCT..T..--
3333333333
8888888889
1234567890
AGGGAAGAGG
..........
..........
..........
..........
..........
.A.C.TATT.
.A.C.TATT.
3333333334 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
CAACCTCCGT
..........
..........
..........
..........
..........
..GTA.T.CA
..GTA.T.CA
[
[
[
#KACANG-tunggal(08-K1)
#KACANG-kembar(07-K2)
#PE-tunggal(04-PE1)
#PE-kembar(15-PE3)
#MUARA-tunggal(06-R1)
#MUARA-kembar(05-R2)
#SAMOSIR-tunggal(14-S1)
#SAMOSIR-kembar(12-S2)
4444444444
0000000001
1234567890
CGCAGCCGGC
..........
..........
..........
..........
..........
A.T.-----.
A.T.-----.
4444444444
1111111112
1234567890
TTCTCCCTCA
..........
..........
..........
..........
..........
A.A...T.A.
A.A...T.A.
4444444444
2222222223
1234567890
CAGAGTTCT.............................................A..GC.GAGA
A..GC.GAGA
4444444444
3333333334
1234567890
GCCTGGGGCC
..........
..........
..........
..........
..........
.AACTA...A
.AACTA...A
4444444444
4444444445
1234567890
GAATGTCATG
..........
..........
..........
..........
..........
A...AG..-.
A...AG..-.
4444444444
5555555556
1234567890
TTGCCCACTG
..........
..........
..........
..........
..........
..CT.TG..C
..CT.TG..C
4444444444
6666666667
1234567890
TTCACTGCCC
..........
..........
..........
..........
..........
.CTGGAAT.T
.CTGGAAT.T
4444444444
7777777778
1234567890
AGGAGGAAGG
..........
..........
..........
..........
..........
CAATTTC..T
CAATTTC..T
4444444444
8888888889
1234567890
CAGGAACGTC
..........
..........
..........
..........
..........
TGT...TT..
TGT...TT..
4444444445 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
GCGTGTGAGG
..........
..........
..........
..........
..........
T.TCACCCTC
T.TCACCCTC
[
[
[
#KACANG-tunggal(08-K1)
#KACANG-kembar(07-K2)
#PE-tunggal(04-PE1)
#PE-kembar(15-PE3)
#MUARA-tunggal(06-R1)
#MUARA-kembar(05-R2)
#SAMOSIR-tunggal(14-S1)
#SAMOSIR-kembar(12-S2)
5555555555
0000000001
1234567890
CGATTCCATT
..........
..........
..........
..........
..........
.A.A..A.CA
.A.A..A.CA
5555555555
1111111112
1234567890
TTCGGAAAGT
..........
..........
..........
..........
..........
.G.A.T..A.
.G.A.T..A.
5555555555
2222222223
1234567890
GCTTTCTACT
..........
..........
..........
..........
..........
AAA.......
AAA.......
5555555555
3333333334
1234567890
TAAGGATACT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
4444444445
1234567890
GCTGTCCCGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
5555555556
1234567890
ACAGCTGACT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
6666666667
1234567890
GACTTTTCCA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
7777777778
1234567890
CTTGATGCAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555555
8888888889
1234567890
CGTGTCTGTA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
5555555556 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
AATGTTTTTT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
117
118
[
[
[
#KACANG-tunggal(08-K1)
#KACANG-kembar(07-K2)
#PE-tunggal(04-PE1)
#PE-kembar(15-PE3)
#MUARA-tunggal(06-R1)
#MUARA-kembar(05-R2)
#SAMOSIR-tunggal(14-S1)
#SAMOSIR-kembar(12-S2)
6666666666
0000000001
1234567890
TCATGGAATT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
1111111112
1234567890
GCTGGCCATG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
2222222223
1234567890
TGTAATCTAG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
3333333334
1234567890
GACTAAGTTC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
4444444445
1234567890
TCATTCAGCA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
5555555556
1234567890
GTTTGGGTGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
6666666667
1234567890
GTTTTATAAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
7777777778
1234567890
CCTCCTTGGC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
6666666666
8888888889
1234567890
AGATCCGAGC
........A.
........A.
........A.
........A.
........A.
........A.
........A.
6666666667 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
CAGGGAGGTT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#KACANG-tunggal(08-K1)
#KACANG-kembar(07-K2)
#PE-tunggal(04-PE1)
#PE-kembar(15-PE3)
#MUARA-tunggal(06-R1)
#MUARA-kembar(05-R2)
#SAMOSIR-tunggal(14-S1)
#SAMOSIR-kembar(12-S2)
7777777777
0000000001
1234567890
TGGCAGACAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
1111111112
1234567890
TGAACTTAAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
2222222223
1234567890
ATTTACCAGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
3333333334
1234567890
ATACCTCGGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
4444444445
1234567890
TTTATCAGCC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
5555555556
1234567890
TGGGTACTGC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
6666666667
1234567890
ACAGACTGGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
7777777778
1234567890
TCTGTATCTT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777777
8888888889
1234567890
ACACGGTAAG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
7777777778 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
TATATTCAGC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
#KACANG-tunggal(08-K1)
#KACANG-kembar(07-K2)
#PE-tunggal(04-PE1)
#PE-kembar(15-PE3)
#MUARA-tunggal(06-R1)
#MUARA-kembar(05-R2)
#SAMOSIR-tunggal(14-S1)
#SAMOSIR-kembar(12-S2)
8888888888
0000000001
1234567890
TCTTCTTAGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
8888888888
1111111112
1234567890
GTACCCATGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
8888888888
2222222223
1234567890
CTCATTTATC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
8888888888
3333333334
1234567890
TGAAACATAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
8888888888
4444444445
1234567890
TCTTTAACCT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
8888888888
5555555556
1234567890
GATCTTAGCT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
8888888888
6666666667
1234567890
CAGAGGCAAG
..A.......
..........
..A.......
..........
..........
..........
..........
8888888888
7777777778
1234567890
AACATAAATA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
8888888888
8888888889
1234567890
CTTATACAGG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
8888888889 ]
9999999990 ]
1234567890 ]
TAAGAACAAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
[
[
[
[
#KACANG-tunggal(08-K1)
#KACANG-kembar(07-K2)
#PE-tunggal(04-PE1)
#PE-kembar(15-PE3)
#MUARA-tunggal(06-R1)
#MUARA-kembar(05-R2)
#SAMOSIR-tunggal(14-S1)
#SAMOSIR-kembar(12-S2)
9999999999
0000000001
1234567890
AATACCTAGC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
9999999999
1111111112
1234567890
AAATTCTCCC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
9999999999
2222222223
1234567890
ACCATTTGAG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
9999999999
3333333334
1234567890
TGATTAATAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
9999999999
4444444445
1234567890
AAAGCAAACC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
9999999999
5555555556
1234567890
TTTCATTTAT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
9999999999
6666666667
1234567890
TTTCTAGCAC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
9999999999
7777777778
1234567890
CTGAAAACGT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
9999999999
8888888889
1234567890
CTTTAAACCT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1
9999999990
9999999990
1234567890
TTCAATTAAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
]
]
]
]
[
[
[
[
#KACANG-tunggal(08-K1)
#KACANG-kembar(07-K2)
#PE-tunggal(04-PE1)
#PE-kembar(15-PE3)
#MUARA-tunggal(06-R1)
#MUARA-kembar(05-R2)
#SAMOSIR-tunggal(14-S1)
#SAMOSIR-kembar(12-S2)
1111111111
0000000000
0000000001
1234567890
GTATGCATAG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
0000000000
1111111112
1234567890
ATGAATGAGC
........C.
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
0000000000
2222222223
1234567890
AGACCCAAAT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
0000000000
3333333334
1234567890
AAAGGCCCCA
..........
......A...
......A...
......A...
......A...
......A...
......A...
1111111111
0000000000
4444444445
1234567890
AGAAATTATA
..........
...T......
...T......
...T......
...T......
...T......
...T......
1111111111
0000000000
5555555556
1234567890
CTTTAAAGTG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
0000000000
6666666667
1234567890
AGTCAAGATT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
0000000000
7777777778
1234567890
AAATGTGATG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
0000000000
8888888889
1234567890
TCCTCCTTTT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
0000000001
9999999990
1234567890
TAAAGCATAT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
]
]
]
]
[
[
[
[
#KACANG-tunggal(08-K1)
#KACANG-kembar(07-K2)
#PE-tunggal(04-PE1)
#PE-kembar(15-PE3)
#MUARA-tunggal(06-R1)
#MUARA-kembar(05-R2)
#SAMOSIR-tunggal(14-S1)
#SAMOSIR-kembar(12-S2)
1111111111
1111111111
0000000001
1234567890
TGCAGTATTC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
1111111111
1111111112
1234567890
CAAGTACATA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
1111111111
2222222223
1234567890
TCCTTAAAAG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
1111111111
3333333334
1234567890
GCTGCGAGAA
..........
....A.....
....A.....
....A.....
....A.....
....A.....
....A.....
1111111111
1111111111
4444444445
1234567890
CTAGGCAAAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
1111111111
5555555556
1234567890
TAGCAGTTCT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
1111111111
6666666667
1234567890
CTGCTCTCTG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
1111111111
7777777778
1234567890
GAATCTCAAT
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
1111111111
8888888889
1234567890
TTCAGTTGTG
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
1111111112
9999999990
1234567890
AATTTCTCTC
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
]
]
]
]
119
120
[
[
[
[
#KACANG-tunggal(08-K1)
#KACANG-kembar(07-K2)
#PE-tunggal(04-PE1)
#PE-kembar(15-PE3)
#MUARA-tunggal(06-R1)
#MUARA-kembar(05-R2)
#SAMOSIR-tunggal(14-S1)
#SAMOSIR-kembar(12-S2)
1111111111
2222222222
0000000001
1234567890
ACCCTCCAAA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
1111111111
2222222222
1111111112
1234567890
TCAACATGCA
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
111111]
222222]
222222]
123456]
GTAAAT
......
......
......
......
......
......
......
Download