asuhan keperawatan pasien stroke

advertisement
BUKU ACUAN
MODUL NEUROVASKULAR
KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA
(KNI)
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA
(PERDOSSI)
2009
1
BUKU ACUAN
MODUL NEUROVASKULAR
1. Stroke Iskemik (Trombosis, Emboli)
2. Stroke Perdarahan (Subarakhnoid, Intraserebral)
3. Trans Cranial Doppler (TCD) / Carotid Duplex Sonography (CDS)
PENYUSUN
Dr. Lyna Soertidewi Sp.S (K), M.Epid
PENYUSUN PEMBANTU
Prof. Dr. Yusuf Misbach Sp.S (K)
Dr. Salim Harris Sp.S (K)
Dr. Freddy Sitorus Sp.S (K)
Dr. Mursyid Bustami Sp.S (K)
Dr. Al Rasyid Sp.S
Dr. Silvia Lumempouw Sp.S (K)
DR. Jan Purba
Zr. Enny Mulyatsih
Modul ini telah dipresentasikan kepada seluruh Ketua Program Studi
Institusi Pendidikan Dokter Spesialis Saraf .
Para Ketua Program Studi tersebut adalah sebagai berikut :
Dr. Abdul Muis, Sp.S(K) - KPS Unhas Makassar
Dr. Ahmad Asmedi, Sp.S - KPS UGM Yogyakarta
Dr. Endang Koestiowati, Sp.S(K) - KPS Undip Semarang
Dr. Mohammad Saiful Islam, Sp.S(K) - KPS Unair Surabaya
Dr. Jofizal Jannis, Sp.S(K) - KPS UI Jakarta
Dr. Rusli Dhanu, Sp.S - KPS USU Medan
Dr. Alwi Shahab, Sp.S(K) - KPS Unsri Palembang
Dr. Thamrin Syamsudin, Sp.S(K),M.Kes - KPS Unpad Bandung
Dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S - KPS Unand Padang
Prof. DR. Dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) - KPS Unud Denpasar
2
TUJUAN UMUM
1. Melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu dalam bidang pendidikan,
penelitian dan pengabdian masyarakat
2. Mempersiapkan para kandidat dalam menangani masalah masalah penyakit
secara klinis sehingga mampu mengatasi berbagai masalah dibidang neurologi
terutama stroke yang akan dihadapi sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan tehnologi, serta kompetensi sebagai spesialis saraf
TUJUAN KHUSUS
1. Mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam mengenai penyakit terutama dari
aspek ilmu-ilmu dasar untuk melaksanakan kegiatan promosi, prevensi, kurasi,
rehabilitasi dan kegawatan.
2. Memiliki pengetahuan mendasar untuk melakukan analisis penyakit secara klinis.
komunitas maupun science, dan mempunyai ketrampilan mengobati penderita
sehingga menjadi lebih baik
3. Berpartisipasi aktif untuk mengembangkan pengetahuan dan mempunyai
ketrampilan dalam penerapan ilmu pada penderita yang memerlukan pertolongan
4. Dapat bekerja sama dengan profesi lain demi kepentingan pasien dan ilmu
pengetahuan
5. Mampu menerapkan prinsip-prinsip dan metode berfikir ilmiah dalam menerapkan
ilmu kedokteran, khususnya bidang neurologi
6. Mampu mengenal, merumuskan pendekatan penyelesaian dan menyusun prioritas
masalah neurologi dengan cara penalaran ilmiah, melalui perencanaan,
implementasi dan evaluasi terhadap upaya promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, dan kegawat daruratan neurologi khususnya stroke
7. Mampu menangani kasus kasus dengan kemampuan profesional yang tinggi
melalui pendekatan Evidance Base Medicine
8. Mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian dasar, klinis dan lapangan
serta mempunyai motivasi mengembangkan pengalaman belajar sehingga dapat
mencapai tingkat akademis lebih tinggi
9. Bersifat terbuka, tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu dan tehnologi
atau masalah yang dihadapi masyarakat
REFERENSI

Buku Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf,
Kolegium Neurologi Indonesia (KNI), PERDOSSI, 2006

Konsensus Nasional Stroke, PERDOSSI

Guidelines Nasional Stroke seri pertama, PERDOSSI, 2000

Guidelines Nasional Stroke seri kedua, PERDOSSI, 2001

Guidelines Nasional Stroke (revisi), PERDOSSI, 2004

Gudelines Nasional Stroke, PERDOSSI, 2007

Adams and Victors. Principles of Neurology. 8th ed, Mc Graw Hill, 2005

Warlow CP dkk. Stroke. A Practical Giude to Management.
2nd ed, Blackwell Science, 2001
3





Bennett HJM, Stein BM. Stroke. Pathophysiology, Diagnosis and
Management. 2nd ed, Churchill Livingstone, 1991
Fisher M, Bogousslausky J. Current Review of Cerebrovascular Disease.
3rd ed, Butterworth Heinemann, 1999.
Perkin GD. Mosby’s Color Atlas and Text of Neurology
2nd ed, Elsevier Limited 2004
McCartney RVT et al. Handbook of Transcranial Doppler, Spinger, 1997
Aaslid R. Transcranial Doppler Sonography. Spinger-Verlag, New York,
1986
KOMPETENSI
Setelah menyelesaikan modul neurovaskular ini diharapkan para peserta didik memiliki
kompetensi menyeluruh dan terpadu tentang stroke iskemik, stroke perdarahan
intraserebral (stroke PIS), stroke perdarahan subarakhnoid (stroke SAH), TCD (Trans
Cranial Doppler) / CDS (Carotid Duplex Sonography) yang mencakup pengetahuan dan
ketrampilan tentang epidemiologi, anatomi vaskular dan sirkulasi darah serebral,
patofisiologi, patogenesis, biomolekular, faktor risiko, karakteristik dan jenis stroke,
pemeriksaan klinik dan penunjang yang diperlukan serta manajemennya. Pencapaian
kompetensi ini diselaraskan dengan prinsip kompetensi (Bab II angka 1) dan ruang
lingkup kompetensi (Bab II angka 9) yang tercantum didalam Standar Kompetensi
Dokter Spesialis Saraf tahun 2006. Indikator hasil pembelajaran yang diharapkan setelah
menyelesaikan modul ini tercantum di dalam Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf,
halaman 37 (2.1) tentang neurovaskular, halaman 84 (4.6.1) tentang Carotid Dopler,
halaman 85 (4.6.2) tentang Transcranial Dopler, halaman 88 (4.9) tentang Trombolisis.
GAMBARAN UMUM
Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan praktik
ketrampilan dalam hal manajemen stroke secara komprehensif dengan memperhatikan
azas cost-effectiveness dan evidence based medicine, melalui pendekatan pembelajaran
berbasis kasus (case-based learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif
oleh peserta didik adalah sebagai berikut :
Stroke (iskemik dan perdarahan) dasar dan klinik
Evaluasi diagnostik (pemeriksaan fisik umum, neurologik, evaluasi stroke siriradj
skor, NIHSS, Bamford classification, pemeriksaan CDS /
TCD, Neurobehavior dan pemeriksaan penunjang lainnya
yang terkait dengan stroke seperti CT Scan, MRI, MRA,
TEE, TTE dan Laboratorium klinik)
Evaluasi faktor risiko major dan minor
Terapi farmakologik, indikasi terapi operasi serta terapi lainnya (termasuk
trombolisis, neurorestorasi-neurobehavior)
Preventif primer dan sekunder
Rencana pulang – KIE keluarga dan pasien tentang diet, neurorehabilitasi,
kontrol, medikamentosa, persiapan rumah
4
TUJUAN PEMBELAJARAN
o Menegakkan diagnosis stroke dan membedakannya dengan TIA dan
penyakit lainnya yang mirip dengan stroke dan mempergunakan Siriradj
Score serta skening otak (CT Scan) untuk membedakan stroke iskemik dan
stroke perdarahan serta analisa NIHSS untuk menilai beratnya stroke dan
klasifikasi Bamford untuk menilai luas dan lokasi lesi yang sekaligus untuk
penilaian tingkat emergensi.
o Mengidentifikasi faktor risiko stroke (modifiable-unmodifiable, mayorminor, faktor risiko baru dan masih dipelajari)
o Menguasai pemeriksaan penunjang dengan transcranial doppler (TCD) /
carotid duplex sonography (CDS)
o Menginterpretasi kembali sesuai dengan penilaian klinis hasil CT Scan,
MRI, MRA, echocardiography, angiography, TTE dan TEE untuk membuat
keputusan klinik
o Mengelola penderita stroke akut pada keadaan emergensi dan mahir untuk
pemasangan intubasi sesuai indikasi
o Memberikan terapi trombolisis intravena pada stroke iskemik, terapi
antikoagulan sesuai indikasi, nutrisi oral dan parenteral sesuai kebutuhan
pasien
o Mengobati komplikasi yang timbul seperti kejang, tekanan intrakranial
tinggi (TIK), infeksi paru, deep vein trombosis (DVT)
o Mempertimbangkan dan menganjurkan tindakan operasi dekompresi pada
stroke sesuai dengan indikasi
o Menilai impairment, aktivitas harian, dan handicap pasien stroke termasuk
Barthel Index, modified Rankin Scale, neurorestorasi dan neuro-rehabilitasi
o Melakukan tindakan pencegahan primer dan sekunder termasuk community
stroke care
RANGKUMAN
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan memperhatikan dan menilai hal hal
tersebut dibawah ini :
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik / neurologik
 Diagnosis kerja dan Diagnosis banding
 Diagnosis (klinik, topik, etiologik, patologi-anatomik)
 Pemeriksaan penunjang
 Konsultasi / Kerjasama antara departemental
 Manajemen Komprehensif
 (Preventif - primer&sekunder, Kuratif – medikamentosa & operatif, Rehabilitatif
– neuro restorasi dan neurobehavior serta tatalaksana neuroemergensi di UGD /
ruang rawat)
 Prognosis – ad vitam, ad finctionam – ad sanationam
 Rencana pulang termasuk KIE pada keluarga dan pasien
 Sistem rujukan
b. Penilaian kompetensi

Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan (dengan daftar tilik)
5
MATERI BAKU
EPIDEMIOLOGI STROKE
Epidemiologi adalah suatu studi di populasi manusia yang mempelajari tentang
frekuensi distibusi dan determinan penyakit .
Epidemiologi stroke sendiri adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang
distribusi stroke yang meliputi insiden penyakit, prevalensi dan hal hal yang menjadi
perhatian khusus, dan mempelajari juga tentang determinan stroke yang meliputi
kondisi predisposisi dan faktor faktor risiko. Oleh karena stroke mempunyai beberapa
macam proses patologi, maka distribusi dan determinan spesifik dari sub sub tipe stroke
sebaiknya harus dipelajari sendiri sendiri.
Di Amerika Serikat, stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit
jantung dan kanker. Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada. Tetapi
dari data sporadis di rumah sakit terlihat adanya tren kenaikan angka morbiditas stroke
yang seiring dengan makin panjangnya life expentancy dan gaya hidup yang berubah.
Karakteristik demografik yang umum dianalisa untuk stroke adalah usia dan gender.Dari
berbagai studi yang dilakukan di berbagai belahan dunia, terlihat hal yang sama, yaitu
adanya korelasi antara peningkatan kejadian stroke dengan pertambahan umur. Untuk
gender, kejadian stroke lebih sering pada pria dibandingkan wanita di usia kuang dari 60
tahun dan relatif menjadi hampir sama di usia lebih dari 60 tahun.
Stroke mempunyi multifaktor risiko. Faktor risiko tersebut ada yang major dan minor,
serta ada yang bersifat modifiable atau nonmodifiable. Faktor faktor risiko tersebut adalah
hipetensi, diabetes melitus, atrial fibrilasi dan penyakit katup jantung, hematokrit,
fibrinogen, polisitemia, hiperkolesterolemia, pil kontrasepsi, merokok, alkohol, obesitas
dan riwayat stroke atau transient ischemic attack (TIA) baik untuk pasien ataupun
keluarga
Data epidemiologi lain selain usia, faktor risiko, yang perlu untuk memperbaiki
tatalaksana adalah tipe stroke (iskemik atau hemoragik), lokasi lesi, gejala klinis, terapi
(obat dan operasi) yang dipakai / dilakukan serta hasil keluaran setelah perawatan di
rumah sakit (outcome dan output).
ANATOMI PEMBULUH DARAH OTAK
Sirkulasi darah ke otak ada sirkulasi anterior dan sirkulasi posterior. Sirkulasi anterior
adalah a.karotis komunis dengan cabang distalnya yaitu a.karotis internal, a. serebri
media dan a. serebri anterior. Sirkulasi posterior adalah a.vertebrobasilar yang berasal
dari a.vertebralis kanan dan kiri dan kemudian bersatu menjadi a.basilaris dan seluruh
percabangannya termasuk cabang akhirnya yaitu a.serebri posterior kanan dan kiri
Ada tiga sirkulasi yang membentuk sirkulus Willisi di otak. Ketiga sirkulasi tersebut
adalah : 1). sirkulasi anterior terdiri dari a.serebri media, a.serebri anterior dan
a.komunikans anterior yang menghubungkan kedua arteri serebri anterior, 2). sirkulasi
posterior yang terdiri dari a.serebri posterior dan 3). a.komunikans posterior yang
menghubungkan a. serebri media dengan a.serebri posterior. Kegunaan dari sirkulus
Willisi ini adalah untuk proteksi terjaminnya pasokan darah ke otak, apabila terjadi
sumbatan disalah satu cabang. Contohnya bila terjadi sumbatan parsial pada proksimal
6
dari a. serebri anterior kanan, maka a. serebri kanan ini akan menerima darah dari a.
karotis komunis lewat a.serebri anterior kiri dan a. komunikans anterior.
A.serebri anterior memperdarahi daerah medial hemisfer serebri, lobus frontal bagian
superior dan lobus parietal bagian superior. A. serebri media memperdarahi daerah
frontal inferior, parietal inferolateral dan lobus temporal bagian lateral. A.serebri
posterior memperdarahi lobus oksipital dan lobus temporal bagian medial. Batang otak
diperdarahi secara eksklusif dari sirkulasi posterior. Medula oblongata menerima darah
dari a.vertebralis melalui a.perforating medial dan lateral, sedangkan pons dan midbrain
(mesensefalon) menerima darah dari a.basilaris lewat cabangnya yaitu a.perforating
lateral dan medial. Serebelum mendapat darah dari tiga pembuluh darah serebelar, yaitu
1). a.serebelar posterior inferior (PICA) yang merupakan akhir dari cabang a. vertebralis,
2). a. serebelar anterior inferior (AICA) yang merupan cabang pertama dari a.basilaris,
dan 3). A.serebelar superior (SCA) yang merupakan cabang akhir dari a.basilaris. Basal
ganglia diperdarahi oleh a.lentikulostriata kecil percabangan dari a.serebri media, talamus
diperdarahi oleh a.perforating thalamogeniculata yang merupakan cabang dari a.serebri
posterior. Genu internal capsula diperdarahi oleh a.lenticulostriate anteromedial atau
disebut juga rekuren a.Heubneur.
Cabang intrakranial pertama dari arteri karotis internal adalah a.optalmika dan cabang
pertama dari a.basilar adalah a. serebelar anterior inferior (AICA).
Pada bagian medial antara a.serebral posterior dan a.serebelar superior keluar saraf
kranial III sedangkan dari bagian lateralnya keluar saraf kranial VI. Oleh karenya bila ada
aneurisma dari pembuluh darah tersebut, akan mengganggu saraf kranial III atau VI itu.
FISIOLOGI OTAK
Jumlah aliran darah ke otak (CBF) biasanya dinyatakan dalam cc/menit/100 gram otak.
Nilainya tergantung pada tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure / CPP) dan
resistensi serebrovaskuler (cerebrovascular resistance / CVR)
CBF =
CPP
CVR
=
MABP - ICP
CVR
Komponen CPP ditentukan oleh tekanan darah sistematik (mean arterial blood pressure /
MABP) dikurangi dengan tekanan intrakranial (TIK), sedangkan komponen CVR
ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Tonus pembuluh darah otak
2. Struktur dinding pembuluh darah
3. Viskositas darah yang melewati pembuluh darah otak
CBF dapat diukur dengan berbagai metode misalnya metode Kety Schmidt, atau metode
lain yang menggunakan inhalasi gas radioaktif yang kemudian diukur dengan gamma
7
counter. Dalam keadaan normal dan sehat, rata-rata aliran darah otak (hemispheric CBF)
adalah 50,9 cc/100 gram otak/ menit.
Aliran darah otak merupakan patokan utama dalam menilai vaskularisasi regional di otak.
Melalui pemeriksaan dengan menggunakan emisi sinar (Positron Emmision Tomography
/ PET) di ketahui bahwa aliran darah otak bersifat dinamis. Artinya, dalam keadaan
istirahat nilainya stabil, tetapi pada saat melakukan kegiatan fisik maupun psikis, aliran
darah regional pada daerah yang bersangkutan akan meningkat sesuai dengan
aktivitasnya.
Dari percobaan pada hewan maupun manusia, ternyata derajat ambang batas aliran darah
otak yang secara langsung berhubungan dengan fungsi otak, yaitu :
a. Ambang fungsional: adalah batas aliran darah otak (yaitu sekitar 50 – 60
cc/100 gram/menit), yang bila tidak terpenuhi akan menyebabkan terhentinya
fungsi neuronal, tetapi integritas sel-sel saraf masih utuh.
b. Ambang aktivitas listrik otak (threshold of brain electrical activity), adalah
batas aliran darah otak (sekitar 15 cc/100 gram/menit) yang bila tak tercapai,
akan menyebabkan aktivitas listrik neuronal terhenti. Ini berarti, sebagian
struktur intrasel telah berada dalam proses disintegrasi.
c. Ambang kematian sel (threshold of neuronal death), yaitu batas aliran darah
otak yang bila tak terpenuhi, akan menyebabkan kerusakan total sel-sel otak
(CBF kurang dari 15 cc/100/menit/gram).
CBF
50.9 CC/100
gram/ menit
Daya cadang
serebrovaskuler
35-40cc/100
gram/menit
Kehilangan fungsi
20 cc/100
Gram /menit
(15-18 cc)
Aktifitas listrik otak terhenti
Kematian sel saraf
8
ASPEK BIOLOGI MOLEKULER
Perubahan-perubahan pada stadium sangat awal dari stroke sangat penting untuk diketahui oleh
karena terjadi pada tingkat subseluler, yaitu pada integritas biomolekular sebagai penopang
kehidupan sel-sel neuron. Pengetahuan dasar ini sangat penting dalam meletakkan dasar-dasar
pengobatan intervensional, berdasarkan patofisiologi
Ada perbedaan mendasar pada kerusakan seluler pada stroke akibat perdarahan dan sumbatan
(iskemik). Pada perdarahan intraserebral, kerusakan sel neuron dan struktur otak disebabkan oleh
ekstravasasi darah ke massa otak, yang mengakibatkan nekrosis kimiawi oleh zat-zat proteolitik
di dalam darah. Sebaliknya pada stroke iskemik, nekrosis pada neuron terutama akibat
disintegrasi struktur sitoskeleton karena zat-zat neurotransmitter eksitotoksik yang bocor pada
proses hipoksia akut. Selain itu, pada stroke iskemik, kerusakan yang terjadi lebih lambat, akibat
berkurangnya energi yang berkepanjangan pada sel-sel otak menyebabkan apoptosis, yaitu
kematian sel secara perlahan karena kehabisan energi pendukungnya.
Otak membutuhkan energi yang cukup besar untuk mempertahankan keseimbangan ion-ion yang
berada di intra seluler seperti kalium (K+) dan ekstra seluler seperti natrium (Na+), kalsium (Ca++)
dan khlor (Cl). Keseimbangan ini dipertahankan melalui pompa ion aktif yang bergantung pada
energi tinggi, yaitu adenosine triphosphate (ATP) dan adenosine diphosphate (ADP).
Iskemik dengan gangguan keseimbangan ion
Pada iskemik dibedakan dua daerah, yakni core (infark) penumbra. Daerah yang infark dan
penumbra mempunyai karakteristik kematian sel yang berbeda yakni nekrosis dan apoptosis.
Proses kerusakan awal pada stroke iskemik dimulai oleh adanya deplesi energi setempat pada inti
daerah infark otak, akibat penurunan kadar oksigen dan glukosa secara drastis. Dalam keadaan
iskemik, pompa ion tidak akan bekerja karena pompa ini tergantung pada aktivitas metabolisme
sel, yakni energi dan oksigen. Akibatnya terjadi akumulasi intraseluler ion Na + dan Cl- disertai
oleh masuknya H2O..Hal ini akan menyebabkan edema sel, baik neuron maupun glia. Mekanisme
edema akibat iskemik bisa diklasifikasikan atas edema sitotoksik dan edema vasogenik. Keadaan
ini bisa tejadi dalam jangka waktu singkat, sekitar 5 menit setelah terjadinya iskemik. Jaringan
yang edema sitotoksik ini bisa ditolong melalui tindakan dini terhadap reperfusi dan terapi
sitoprotektif.
Metabolisme glukosa anaerob dapat muncul akibat dari iskemik. Akibat dari metabolisme ini
adalah asidosis laktat yang akan memperburuk kondisi sel yang masih hidup. Penelitian pada
hewan percobaan membuktikan bahwa kadar glukosa pre-iskemik akan mempengaruhi berat
ringannya asidosis laktat, dan bahwa dengan peningkatan kadar glukosa darah pada iskemik
justru akan mengakibatkan perburukan tanda-tanda klinik. Sementara reduksi energi tinggi akibat
iskemik akan mempengaruhi pompa ion. Fenomena yang menarik dari hewan percobaan ini
adalah bahwa kehabisan energi tidak berkorelasi secara langsung dengan kerusakan sel. Ini
membuktikan bahwa pada awalnya, pengaruh konsentrasi ion dan pompa ion sangat berperan
dalam menentukan ireversibilitas kerusakan sel.
9
Iskemia
Pompa NaK-ATPase gagal
Depolarisasi
Pelepasan glutamat
Reseptor
AMPA
Reseptor
metabotropik
Kanal Ca++
terbuka
Reseptor
NMDA
Pelepasan Ca++
intrasel
Influks Ca++
Peningkatan Ca++ intrasel
Kematian sel
Diagram kaskade eksitatorik iskemik
(Lynden P and Wahlgren NG, National Stroke Association, 2000)
Iskemik dan eksitatorik
Komunikasi interseluler secara normal bergantung pada keberadaan neurotransmiter serta energi
di sinaps. Neurotransmiter ini secara difus akan berinteraksi dengan reseptor di post-sinaptik dan
sebagai responnya, maka terjadi metabolisme sel. Neurotransmiter eksitatorik seperti glutamat
dan aspartat akan menstimulasi sel post-sinapsis, sementara gamma-aminobutiric-acid (GABA)
akan bekerja sebaliknya.
Keadaan defisit energi lokal seperti pada iskemik akan menyebabkan depolarisasi neuron dan glia
yang kemudian memicu aktivasi dari kanal Ca++ serta sekresi asam amino eksitatorik glutamat di
ekstrasel. Selain itu, sel yang iskemik tidak mempunyai kesanggupan untuk memetabolisme atau
memecah neurotransmiter eksitatorik tersebut akibat terganggunya enzim pemecah pada iskemik,
sehingga terjadi penumpukan glutamat di sinaps.
Glutamat yang berlebih akan berikatan dengan 3 reseptor glutamat, yaitu N-methyl-D-aspartate
(NMDA), α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid (AMPA), dan reseptor
metabotropik. Ikatan dengan reseptor NMDA menyebabkan masuknya ion Na+ dan Ca++ ke
dalam sel melalui kanal ion. Meningkatnya ion Na+ dan Ca++ juga berakibat pada masuknya
cairan H2O yang berlebihan karena dalam keadaan iskemik pompa ion juga tidak berfungsi.
Aktivasi reseptor AMPA yang berlebihan juga menyebabkan gangguan homeostasis, dengan
dibarengi masuknya cairan H2O ke dalam sel merupakan penyebab edema toksik,
serta.merupakan faktor penyebab sel lisis (nekrosis). Kejadian ini secara primer di temukan di
daerah infark, berbeda dengan di penumbra yang kematian selnya sering akibat terjadinya
apoptosis dan inflamasi.
Selanjutnya, reseptor metabotropik glutamat menjadi aktif dengan memblok induksi fosfolipase C
dan inositol trifosfat serta diiringi oleh mobilisasi Ca++ yang tersimpan di dalam sel. Kondisi lain
10
adalah masuknya Ca++ melalui kanal ion akibat ikatan neurotransmiter eksitatorik dengan reseptor
NMDA. Keadaan ini diperburuk oleh kejadian iskemik, yaitu Ca++ akan keluar dari mitokondria
dan retikulum endoplasmik sehingga secara substansial terjadi penumpukan kalsium di
intraseluler yang menyebabkan kerusakan neuron yang ireversibel (lihat gambar).
Kalsium dan kematian sel
Kalsium berperan mengaktivasi enzim perusak asam nukleus, protein, dan lipid dengan target
utama membran fosfolipid yang sangat sensitif. Seperti diketahui, konsentrasi Ca ++ di ekstra sel
ditemukan sekitar 10.000 kali lebih besar dibanding intrasel. Keseimbangan ini dipertahankan
melalui 4 mekanisme untuk menjaga tidak masuknya Ca++ ke intrasel, yaitu melalui pompa ATP
yang aktif; intaknya pertukaran Ca++ dan Na+ di membran oleh adanya pompa Na+-K+; pemisahan
Ca++ intraseluler di retikulum endoplasmik melalui proses penggunaan ATP yang aktif; serta
akumulasi dari Ca++ intraseluler melalui pemisahan Ca++ di mitokondria secara oksidatif.
Dalam keadaan iskemik tidak adanya bahan energi, akan terjadi kehilangan keseimbangan
gradien antara Na+ dan K+ yang secara beruntun mengakibatkan gangguan keseimbangan Ca++.
Hal ini akan menyebabkan masuknya Ca++ kedalam sel secara masif 17 yang selanjutnya
mengakibatkan beban mitokondria berlebihan. Kalsium akan mengaktifkan fosforilase membran
dan protein kinase. Akibatnya terbentuk asam lemak bebas (FFA) yang berpotensi menginduksi
prostaglandin dan asam arakidonat. Metabolisme asam arakidonat ini akan membentuk radikal
bebas seperti toxic oxygen intermediates, eikosanoid, dan leukotrin yang kesemuanya akan
memacu agregasi platelet dan vasokonstriksi vaskuler. Selain itu, keberadaan Ca++ yang
berlebihan dalam sel akan merusak beberapa jenis enzim termasuk protein kinase C, kalmodulinprotein kinase II, protease dan nitrik okside sintesase. Ca++ juga mengaktivasi enzim sitosolik dan
denukleasi yang mengakibatkan terjadinya apoptosis.
Dapat dikatakan bahwa kematian sel secara umum diakibatkan oleh tidak adanya energi berupa
glukosa dan oksigen yang menyebabkan gangguan homeostasis sehingga terjadi kematian sel
secara tidak langsung. Efek neurotransmiter eksitatorik yang berlebihan di daerah iskemik secara
biokimiawi akan menyebabkan kerusakan sel yang lebih berat dibanding dengan dengan efek
iskemik secara langsung. Oleh sebab itu prinsip penanggulangan melalui inhibisi ikatan
eksitatorik dengan reseptor NMDA juga merupakan bagian dari strategi dalam mencegah proses
biokimiawi sebagai perusak sel di daerah iskemik.
Mekanisme kematian sel dapat berupa nekrosis ataupun apoptosis, tergantung pada beratnya
iskemik dan cepatnya kerusakan yang terjadi. Pada nekrosis, struktur sel menjadi hancur secara
akut disertai dengan reaksi inflamasi, makrofag akan menyerbu dan menfagositasi sisa-sisa sel.
Sedangkan pada apoptosis tidak terjadi reaksi inflamasi, melainkan struktur sel akan menciut
(shrinkage). Selain proses kematian pada stroke akut, integrasi antara neuron-neuron dan matriks
sekitarnya terutama sel-sel glia dan endotel kapiler juga berperan penting. Berbagai penelitian
menunjukkan ada zat-zat aktif yang aktif berperan pada kematian beberapa jenis sel otak. Salah
satunya adalah the stress-activated protein kinase p38 yang tidak hanya menstimulasi kematian
neuronal, tetapi juga merangsang pembentukan enzim caspase 3 sebagai mediator kematian sel, di
endotel serebral pada keadaan hipoksia serebal iskemik. Enzim lain adalah lipoksigenase 12/15
yang berperan pada glutamate-induced oxidative cell death pada proses kematian neuron dan
oligodendrosit.
Iskemik dan angiogenesis
Pengaruh iskemik akut yang disebabkan oleh penurunan suplai sirkulasi ke otak (penurunan
glukosa dan oksigen) akan berakibat pada perobahan tatanan biokimiawi di otak. Hal inilah yang
merupakan penyebab kematian dari jaringan otak. Dalam pengamatan neovaskularisasi di daerah
infark dan peri-infark berkaitan dengan survival penderita stroke membuktikan bahwa
11
angiogenesis merupakan proses kompensasi atau proteksi yang sekaligus merupakan target terapi
stroke
Pada penelitian hewan model stroke ditemukan bahwa neovaskularisasi akan terbentuk dalam
kurun waktu yang singkat yakni satu sampai tiga hari setelah terjadinya penyumbatan. Kejadian
ini secara berbarengan akan meningkatkan ekspresi dari neuron, sel mikroglia, astrosit, dan
molekul angiogenik, vascular endothel growth factor (VEGF). VEGF merupakan faktor
angiogenesis yang berperan lewat reseptor VEGF tirosin kinase, VEGFR-1 dan 2, serta
neurophilin-1 dan 2 (NP-1 dan NP-2).
Iskemik dan radikal bebas
Konsekuensi iskemik dan reperfusi adalah terbentuknya radikal bebas seperti superoksida,
hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil. Keberadaan nitric oxide (NO) sendiri adalah melalui
aktivas inducible nitric oxide synthase (iNOS). Sumber lain akibat pemecahan produksi ADP
melalui oksidasi xantine dan reaksi iron-catalysed Haber-Weiss. Radikal bebas yang bermacammacam ini akan bereaksi dengan komponen seluler seperti karbohidrat, asam amino, DNA, dan
fosfolipid sebagai korbannya sendiri.
Iskemik dan inflamasi
Tingkat awal dari inflamasi dimulai beberapa jam sesudah onset iskemik dengan karakteristik
munculnya ekspresi adhesi molekul di endotel pembuluh darah dan adanya leukosit di sirkulasi.
Leukosit bergerak melewati endotel keluar dari sirkulasi dan berpenetrasi ke jaringan parenkim
otak yang mengakibatkan reaksi inflamasi. Bagian mayoritas dari inflamasi ditentukan oleh
populasi dari sel mikroglia yang disebut juga efektor imun dari susunan saraf pusat (SSP).
Mikroglia adalah fagosit aktif dan merupakan target utama yang sanggup menghasilkan sitokin
dan enzim pro-inflamasi. Oleh sebab itu, inhibisi terhadap aktivitas mikroglia juga merupakan
strategi protektif pada stroke eksperimental dan pemberian antagonis sitokin mengurangi volume
infark pada hewan percobaan.
Kelompok sitokin anti-inflamasi seperti tumor growth factor-1 beta (TGF-1 beta) dan IL-10 yang
bersifat sebagai neuroprotektif juga menjadi aktif terhadap stimulasi mikroglia. Secara klinis,
kelompok sitokin yang domainnya terdiri dari 2 kelompok protein adalah iNOS dan kelompok
cyclo-oxygenase 2 (Cox-2). Pemberian iNOS inhibitor pada hewan percobaan akan dapat
mengurangi volume infark sekitar 30%, walaupun pemberian dilakukan 24 jam setelah onset
iskemik. Cox-2 secara umum ditemukan di penumbra serta bekerja melalui produksi oksigen
radikal bebas dan prostanoid toksik Berdasar pada eksperimen Cox-2 dan iNOS akan memberi
harapan dalam terapi stroke, karena ternyata masih efektif sampai 24 jam onset iskemik.
Pengobatan Stroke Iakemik Dimasa Mendatang
Berbagai penelitian telah membuka peluang pengobatan stroke iskemik di masa datang dengan
kombinasi obat-obatan seperti trombolisis ditambah obat-obat neuroprotektif yang bekerja ganda
melindungi neuron dan sel-sel serebral seperti sel glia dan endotel. Telah diidentifikasi bahwa zat
eritropoetin (EPO) mempunyai sifat neuroprotektif tersebut. Selain itu, ditemukan juga zat
peptida melanokortin, kumpulan ACTH serta -melanocyte stimulating hormones (MSH), MSH< dan -MSH. Pada binatang percobaan, MSH menunjukkan efek neuroprotektif yang
multipel terhadap mekanisme patologik yang memicu apoptosis dengan mensupresi tumor
necrosis factor (TNF)- , interleukin-1, ICAM1, dan iNOS. Kemajuan di bidang penelitian
biologi molekuler adalah mencari alternatif baru dalam terapi stroke akut dengan zat-zat
neuroprotektif baru yang mempunyai efek supresi multipel terhadap proses nekrosis dan
apoptosis sel neuron, glia, dan endotel. Selain itu, diusahakan agar terapi baru ini dapat dimulai
pada masa terapeutik yang lebih lama, melebihi 3 jam seperti yang telah dicapai dengan terapi
trombolisis.
12
PATOFISIOLOGI STROKE
Penyakit serebrovaskuler (cerebrovascular disease / CVD) atau stroke adalah setiap
kelainan otak akibat proses patologi pada sistem pembuluh darah otak.
Proses patologi pada sistem pembuluh darah otak ini dapat berupa penyumbatan lumen
pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah,
perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun
kualitas darah sendiri. Perubahan dinding pembuluh darah serta komponen lainnya dapat
bersifat primer karena kelainan kongenital maupun degeneratif, atau sekunder akibat
proses lain, seperti peradangan arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus.
Proses primer yang terjadi mungkin tidak menimbulkan gejala (silent) dan akan muncul
secara klinis jika aliran darah ke otak (cerebral blood flow /CBF) turun sampai ke tingkat
melampaui batas toleransi jaringan otak, yang disebut ambang aktivitas fungsi otak
(threshold of brain functional activity).. Keadaan ini menyebabkan sindrom klinik yang
disebut stroke.
Gejala klinik stroke tergantung lokalisasi daerah yang mengalami iskemik ataupun
perdarahan.
Patogenesis infark otak
Iskemik otak dapat bersifat fokal atau global. Terdapat perbedaan etiologi keduanya.
Pada iskemik global, aliran otak secara keseluruhan menurun akibat tekanan perfusi
(syok ireversible karena henti jantung, perdarahan sistemik yang masif, fibrilasi atrial
berat dll). Sedangkan iskemik fokal terjadi akibat menurunnya tekanan perfusi otak
karena ada sumbatan atau pecahnya salah satu pembuluh darah otak yang berakibat
lumen pembuluh darah yang terkena akan tertutup sebagian atau seluruhnya.Tertutupnya
lumen pembuluh darah oleh karena iskemik fokal, disebabkan antara lain :

Perubahan patologi pada dinding arteri pembuluh darah otak meniimbulkan
trombusis. Adanya trombusis ini, diawali oleh proses arteriosklerosis di tempat
tersebut. Pada arteriole dapat terjadi vaskulitis atau lipohialinosis yang akan
menyebabkan stroke iskemik berupa infark lakunar.

Perubahan akibat proses hemodinamik dimana tekanan perfusi sangat menurun
karena sumbatan di bagian proksimal pembuluh arteri seperti sumbatan arteri
karotis atau vertebro-basilar.

Perubahan yang terjadi akibat dari perubahan sifat sel darah, misalnya: anemia
sickle-cell, leukemia akut, polisitemia, hemoglobinopati dan makroglobulinemia.

Tersumbatnya pembuluh akibat emboli daerah proksimal misalnya: trombosis
arteri– arteri, emboli jantung, dan lain-lain.
Sebagai akibat dari penutupan aliran darah ke bagian otak tertentu, maka terjadi
serangkaian proses patologik pada daerah iskemi. Perubahan ini dimulai di tingkat
seluler, berupa perubahan fungsi dan struktural sel yang diikuti kerusakan pada fungsi
utama serta integritas fisik dari susunan sel, selanjutnya akan berakhir dengan kematian
neuron.
13
Disamping itu terjadi pula perubahan-perubahan dalam milliu ekstra seluler, karena
peningkatan pH jaringan serta kadar gas darah, keluarnya zat neurotransmiter (glutamat)
serta metabolisme sel-sel yang iskemik, disertai kerusakan sawar darah otak. Seluruh
proses ini merupakan perubahan yang terjadi pada stroke iskemik.
Perubahan fisiologi pada aliran darah otak
Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan atau sebab lain, akan
menyebabkan iskemia di suatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di daerah sekitarnya
disertai mekanisme kompensasi fokal berupa vasodilatasi, memungkinkan terjadinya
beberapa keadaan berikut ini:
1. Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat
dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara klinis
gejala yang timbul adalah transient ischemic attack (TIA) yang timbul dapat
berupa hemiparesis sepintas atau amnesia umum sepintas, yaitu selama <24 jam.
2. Bila sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF regional
lebih besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih mampu memulihkan
fungsi neurologik dalam waktu beberapa hari sampai dengan 2 minggu. Mungkin
pada pemeriksaan klinik ada sedikit gangguan. Keadaan ini secara klinis disebut
RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit).
3. Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas sehingga
mekanisme kolateral dan kompensasi tak dapat mengatasinya. Dalam keadaan ini
timbul defisit neurologis yang berlanjut.
Pada iskemia otak yang luas, tampak daerah yang tidak homogen akibat perbedaan
tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area) yang berbeda:
1. Lapisan inti yang sangat iskemik (ischemic-core) terlihat sangat pucat karena
CBF-nya paling rendah. Tampak degenerasi neuron, pelebaran pembuluh darah
tanpa adanya aliran darah. Kadar asam laktat di daerah ini tinggi dengan PO2 yang
rendah. Daerah ini akan mengalami nekrosis.
2. Daerah di sekitar ischemic-core yang CBF-nya juga rendah, tetapi masih lebih
tinggi daripada CBF di ischemic core . Walaupun sel-sel neuron tidak sampai
mati, fungsi sel terhenti, dan menjadi functional paralysis. Pada daerah ini PO2
rendah, PCO2 tinggi dan asam laktat meningkat. Tentu saja terdapat kerusakan
neuron dalam berbagai tingkat, edema jaringan akibat bendungan dengan dilatasi
pembuluh darah dan jaringan berwarna pucat. Astrup menyebutnya sebagai
ischemic penumbra. Daerah ini masih mungkin diselamatkan dengan resusitasi
dan manajemen yang tepat.
3. Daerah di sekeliling penumbra tampak berwarna kemerahan dan edema.
Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, PCO2 dan PO2 tinggi dan kolateral
maksimal. Pada daerah ini CBF sangat meninggi sehingga disebut sebagai daerah
dengan perfusi berlebihan (luxury perfusion).
Konsep “penumbra iskemia” merupakan sandaran dasar pada pengobatan stroke,
karena merupakan manifestasi terdapatnya struktur selular neuron yang masih hidup dan
mungkin masih reversible apabila dilakukan pengobatan yang cepat.
14
Usaha pemulihan daerah penumbra dilakukan dengan reperfusi yang harus tepat
waktunya supaya aliran darah kembali ke daerah iskemia tidak terlambat, sehingga
neuron penumbra tidak mengalami nekrosis.
Komponen waktu ini disebut sebagai jendela terapeutik (therapeutic window) yaitu
jendela waktu reversibilitas sel-sel neuron penumbra terjadi dengan melakukan tindakan
resusitasi sehingga neuron ini dapat diselamatkan. Perlu diingat di daerah penumbra ini
sel-sel neuron masih hidup akan tetapi metabolisme oksidatif sangat berkurang, pompapompa ion sangat minimal mengalami proses depolarisasi neuronal.
Perubahan lain yang terjadi adalah kegagalan autoregulasi di daerah iskemia, sehingga
respons arteriole terhadap perubahan tekanan darah dan oksigen atau karbondioksida
menghilang.
Mekanisme patologi lain yang terjadi pada aliran darah otak adalah, berkurangnya aliran
darah seluruh hemisfer di sisi yang sama dan juga di sisi hemisfer yang berlawanan
(diaskisis) dalam tingkat yang lebih ringan. Disamping itu, di daerah cermin (mirror
area) pada sisi kontra lateral hemisfer mengalami proses diaskisis yang relatif paling
terkena dibanding sisi lainnya, dan juga pada sisi kontralateral hemisfer serebral (remote
area)
Perubahan aliran darah otak bersifat umum/global akibat stroke ini disebut diaskisis
(Meyer et al.), yang merupakan reaksi global terhadap aliran darah otak, dimana seluruh
aliran darah otak berkurang/menurun. Kerusakan hemisfer terutama lebih besar pada sisi
yang tersumbat (ipsilateral dari sumbatan).
Proses ini diduga karena pusat di batang otak (yang mengatur tonus pembuluh darah di
oatak) mengalami stimulasi sebagai reaksi terjadinya sumbatan atau pecahnya salah satu
pembuluh darah sistem serebrovaskuler, didasari oleh mekanisme neurotransmiter
dopamin atau serotonin yang mengalami perubahan keseimbangan mendadak sejak saat
stroke.
Proses diaskisis berlangsung beberapa waktu (hari sampai minggu) tergantung luasnya
infark. Mekanisme proses ini diduga karena perubahan global dan pengaturan
neurotransmiter. Perubahan-perubahan ini tampak secara eksperimental maupun dengan
15
pemeriksaan PET scan, akan tetapi tidak ada manifestasi klinik sebagai akibat dari
diasksis maupun iskemia pada daerah hemisfer kontralateral.
Perubahan pada tingkat seluler / mikro-sirkulasi
Perubahan yang kompleks terjadi pada tingkat seluler/mikro-sirkulasi yang saling
berkaitan. Secara eksperimental perubahan ini telah banyak diketahui, akan tetapi pada
keadaan sebenarnya pada manusia (in vivo) ketetapan ekstrapolasi sulit dipastikan.
Astrup dkk (1981) menunjukkan bahwa pengaruh iskemia terhadap integritas dan struktur
otak pada daerah penumbra terletak antara batas kegagalan elektrik otak (electrical
failure) dengan batas bawah kegagalan ionik (ion-pump failure). Selanjutnya dikatakan
bahwa aliran darah otak di bawah 17 cc/ 100 g otak / menit, menyebabkan aktifitas otak
listrik berhenti walaupun kegiatan pompa ion masih berlangsung.
Sedangkan Hakim (1998) menetapkan bahwa neuron penumbra masih hidup jika CBF
berkurang di bawah 20 cc/ 100 gram otak/ menit dan kematian neuron akan terjadi
apabila CBF di bawah 10 cc/ 100 gram otak/ menit.
CBF
50
40
30
fungsi normal
gangguan fungsi
Time mal EEG
-EEG silence
-Evoked Potensials
Membran dan kerusakan K+ reflux irreversible
Time
Na+ influx
Ca 2+ influx
Hachinsky (1989)
Daerah penumbra pada misery perfusion ini, jika aliran darahnya dicukupi kembali
sebelum jendela terapeutik, dapat kembali normal dalam waktu singkat. Sedangkan
sebagian lesi tetap akan mengalami kematian setelah beberapa jam atau hari setelah
iskemik otak temporer.
Dengan kata lain, di daerah ischemic core kematian sudah terjadi sehingga mengalami
nekrosis akibat kegagalan energi (energy failure) yang secara dahsyat merusak dinding
sel beserta isinya sehingga mengalami lisis (sitolisis). Sementara pada daerah penumbra
jika terjadi iskemia berkepanjangan sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya
sehingga akan terjadi kematian sel, yang secara akut timbul melalui proses apoptosis,
yaitu disintegrasi elemen-elemen seluler secara bertahap dengan kerusakan dinding sel
yang disebut juga programmed cell death.
Kumpulan sel-sel ini disebut sebagai selectively vulnerable neuron, seperti pertama kali
dilaporkan Kirino (1982) & Pulsmelli (1982), dan diuraikan oleh Kogure & Kato (1992)
pada percobaan dengan binatang. Pada neuron-neuron tersebut terdapat hirarki sensitifitas
terhadap iskemia diawali pada daerah hipokampus CA1 dan sebagian kolikulus inferior,
kemudian jika iskemia lebih dari 5 menit (10-15 menit) akan diikuti oleh lapis 3 dan 5
16
neokortex striatum septum, hipokampus sektor CA 3, thalamus, korpus genikulatum
medial, dan substania nigra.
Meskipun ditemukan pada binatang, kenyataan ini menunjukkan bahwa di daerah sistem
limbik dan ganglia basal terdapat sel-sel yang sensitif terhadap iskemia. Keadaan ini
penting dalam hubungannya dengan stroke yang disertai dengan demensia. Hal yang juga
menarik adalah bahwa sel-sel yang sensitif terhadap iskemia terutama merupakan bagian
dari serabut yang terisi glutamat. Iskemia menyebabkan aktifitas intra seluler Ca2+
meningkat hingga peningkatan ini akan menyebabkan juga aktifitas Ca2+ di celah sinaps
bertambah sehingga terjadi sekresi neutransmitter yang berlebihan, yaitu glutamat,
aspartat dan kainat yang bersifat eksitotoksin.
Disamping itu Abe dkk (1987) yang diulas oleh Kogure (1992), membuktikan bahwa,
akibat lamanya stimulasi reseptor metabolik oleh zat-zat yang dikeluarkan oleh sel,
menyebabkan juga aktifitas reseptor neurotropik yang merangsang pembukaan kanal
Ca2+ yang tidak tergantung pada kondisi tegangan potensial membran seluler (receptoroperated gate opening), disamping terbukanya kanal Ca2+ akibat aktivitas NMDA
reseptor “voltage operated gate opening” yang telah terjadi sebelumnya.
Kedua proses tersebut mengakibatkan masuknya Ca2+ ion ekstraseluler ke dalam ruang
intraseluler. Jika proses berlanjut, pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan
membrane sel dan rangka sel (sitoskeleton) melalui terganggunya proses fosforilase dari
regulator sekunder sintesa protein, proses proteolisis dan lipolisis yang akan
menyebabkan ruptur atau nekrosis.
Disamping neuron-neuron yang sensitif terhadap iskemia, kematian sel dapat langsung
terjadi pada iskemia berat dengan hilangnya energi secara total dari sel karena
berhentinya aliran darah. Disamping itu,desintegrasi sitoplasma dan disrupsi membran sel
juga menghasilkan ion-ion radikal bebas yang dapat lebih memperburuk keadaan
lingkungan seluler.
Edema serebral dan infark otak
Pada infark serebri yang cukup luas, edema serebri timbul akibat kegagalan energi dari
sel-sel otak dengan akibat perpindahan elektrolit (Na+, K+) dan perubahan permeabilitas
membran serta gradasi osmotik. Akibatnya terjadinya pembengkakan sel (cytotoxic
edema). Keadaan ini terjadi pada iskemia berat dan akut seperti hipoksia dan henti
jantung. Selain itu edema serebri dapat juga timbul akibat kerusakan sawar otak yang
mengakibatkan permeabilitas kapiler rusak, sehingga cairan dan protein bertambah
mudah memasuki ruangan ekstraseluler sehingga menyebabkan edema vasogenik
(vasogenic edema). (Klatzao 1967, diulas Bougainas dkk 1995).
Efek edema jelas menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan akan memperburuk
iskemia otak. Selanjutnya terjadi efek masa yang berbahaya dengan akibat herniasi otak.
17
Dampak lain stroke iskemik akut
1. Bocornya radikal bebas.
Jenis radikal bebas ini dalam tubuh kita terdiri atas :

Radikal bebas oksigen

Radikal bebas oksida nitrit
Radikal bebas dalam keadaan normal, diproduksi tubuh dalam jumlah yang sangat
sedikit sebagai bagian produk dari metabolisme oksidatif terutama dalam
mitokondria.Pada keadaan iskemia fokal, peranan peroksidase-lipid sangat penting
karena merupakan bagian dari patofisiologi iskemia fokal maupun global. Superoksida,
radikal bebas oksigen telah ditemukan pada iskemia terutama pada periode referfusi
jaringan, yang berasal dari proses alamiah maupun sebagai tindakan pengobatan. Radikal
bebas oksigen dihasilkan dari proses lipolisis kaskade arakhidonat dalam sel-sel di daerah
penumbra. Sumber lain dari superoksida ialah aktivitas enzimatik (monoaminoksidase)
dalam otooksidase dari biologiamin (efinefrin, serotonin dan sebagainya).
Pada iskemia fokal, peroksidase lipid ini meningkat aktifitasnya karena:
1) Timbulnya edema otak vasogenik/seluler, telah diketahui bahwa endothelium
memproduksi aksida nitrit (NO) dan pada keadaan patologi menghasilkan
radikal bebas yang akan memperburuk timbulnya edema.
2) Pada proses disintegrasi pompa kalsium dan natrium kalium akibat kerusakan
membrane sel yang berkaitan dengan pompa ion. Gangguan ini mempercepat
masuknya kalsium dan natrium ke dalam sel.
3) Peroksida lipid juga terlihat pada mekanisme eksitatorik neurotransmitter
glutamat. Meningkatnya aktifitas superoksida mempercepat dan memperbesar
pengeluaran neurotransmitter eksitatorik glutamat dan aspartat. Usaha
pengobatan dilakukan untuk menghambat akibat dari ekses superoksida dengan
pemberian anti oksidan seperti glutation,vitamin E, dan L arginin. Meskipun
secara eksperimental telah dibuktikan manfaat dari antioksidan dalam
memperkecil daerah iskemik, tetapi dalam praktek sehari-hari evaluasi hasil
terapi anti oksidan pada penderita stroke masih terus diteliti.
2.Eksitatorik neurotransmitter
Neurontransmitter glutamat banyak diimplikasikan dalam patofisiologi iskemik. Dalam
keadaan normal, neurotransmitter glutamate terkonsentrasi dalam terminal saraf dan di
dalam proses transisi neuronal yang bersifat eksitatorik. Glutamat diekspresikan di dalam
ruangan ekstra seluler dengan cepat akan di ambil kembali (reuptake) ke dalam oleh sel.
Pada keadaan patologis, dapat terjadi gangguan akibat disfungsi sel berupa ekses dari
glutamat ini baik karena ambilan kembali, atau kerusakan karena sel neuron yang berisi
glutamat juga mengalami gangguan. Selain itu dapat terjadi kebocoran glutamat akibat
kerusakan dinding sel (sitolisis) dan nekrosis, serta apoptosis yang menimbulkan
18
masuknya ion kalsium ke dalam sel. Penumpukan neurotransmiter di dalam ruangan
ekstraseluler menyebabkan proses eksitotoksisitas glutamat.
Seluruh keadaan ini mempengaruhi sel-sel neuron SSP yang berbeda sensitifitasnya.
Sebetulnya yang terkena secara mudah adalah neuron hipokampus CA 3 sel-sel piramida.
Selanjutnya akibat dari eksitotoksisitas terhadap neuron adalah timbilnya edema selular,
degenerasi organel intraseluler serta degenerasi piknotik inti sel yang diikuti kematian
sel. Usaha terapi pengobatan akibat stroke adalah menghambat stimulasi glutamate
terhadap reseptor NMDA (N-Metil D Aspartate), AMPA (d amino 3-hidroksi-5-metil-4isokasolopropionik acid) dan kainat yang berperan penting dalam pengaturan masuknya
ion kalsium. Obat-obat tersebut mempunyai peranan untuk mencegah proses disintegrasi
sel-sel.
Keberhasilan pengobatan NMDA reseptor antagonis saat ini sedang diteliti pada
penderita stroke misalnya: serestat (abtiganel) yang hasilnya sampai saat ini belum
meyakinkan.
Reperfusi
Meskipun aliran darah otak merupakan faktor penentu utama pada infark otak,
pengalaman klinis serta penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa pada
infark otak, pulihnya aliran darah otak ke taraf normal tidak selalu memberikan manfaat
yang diharapkan, yaitu hilangnya gejala klinis secara total. Selain faktor lamanya
iskemia, ada hal-hal mendasar lain yang harus diperhitungkan dalam proses pengobatan
infark otak.
Dari percobaan pada hewan terbukti bahwa resusitasi atau reperfusi pada penutupan
/penghentian aliran darah ke otak mencetuskan beberapa reaksi kompleks di tingkat
mikrosirkulasi, iskemia berupa edema jaringan,vasospasme kapiler/arteriol,
penggumpalan sel-sel darah merah, asidosis jaringan, aliran kalsium masuk ke dalam sel,
dan dilepaskannya radikal bebas. Perubahan ini dapat demikian hebat sehingga disebut
sebagai reperfusion injury yang berakibat munculnya gejala neurologik yang relatif
menetap.
Pada dasarnya terjadi 2 perubahan sekunder pada periode reperfusi jaringan iskemia otak,
yaitu:
a. Hiperemia pasca iskemik atau heperemia reaktif yang disebabkan oleh
melebarnya pembuluh darah di daerah iskemia. Keadaan ini terjadi pada +20
menit pertama setelah penyumbatan pembuluh darah otak terutama pada iskemia
global otak.
b. Hipoperfusi pasca-iskemik yang berlangsung antara 6-24 jam berikutnya.
Keadaan ini ditandai dengan vasokonstriksi (akibat asidosis jaringan), naiknya
produksi tromboksan A2 dan edema jaringan. Diduga proses ini yang akhirnya
menghasilkan nekrosis dan kerusakan sel yang diikuti oleh munculnya gejala
neurologik.
Ternyata secara eksperimental kerusakan sel-sel saraf dan jaringan otak tidak sesederhana
yang dibayangkan, karena terdapat beberapa rantai proses yang memang hasil akhirnya
adalah kematian sel.
19
Jadi, pada infark otak terjadi proses sekunder yang jauh lebih kompleks, bukan hanya
terhentinya aliran darah otak. Sebagai konsekuensinya, pengetahuan mutakhir mengenai
perubahan patologik mempunyai dampak pencegahan gejala sisa dan lanjutan
pengobatan.
Patofisiologi Emboli Kardiak
Penelitian stroke yang berdasarkan populasi (population-based study) belum ada di
Indonesia. Penelitian stroke di negara – negara ASEAN, yaitu ASNA Stroke
Epidemiological Study 1996, yang merupakan penelitian prospektif berbasis rumah sakit
menunjukkan bahwa pada 3.723 kasus yang diteliti, pemeriksaan CT scan dilakukan pada
2.801 kasus (74%), stroke iskemik ditemukan pada 51% kasus, sedangkan perdarahan
26%, sisanya 8% didapat gambaran CT Scan normal
Dari seluruh penderita yang diteliti, faktor risiko untuk stroke terbanyak adalah hipertensi
pada 71%, riwayat stroke terdahulu/TIA. pada 25% kasus, merokok 19%, dan diabetes
mellitus pada 22% kasus. Sedangkan penyakit jantung sebagai risiko adalah atrial
fibrilasi pada 6% kasus; penyakit jantung iskemik 19% kasus; penyakit jantung katup
mitral 3%, katup aorta 0,6% keduanya (mitral aorta) pada 0,2%, sedang penyakit jantung
kongestif terjadi pada 4% kasus. Secara keseluruhan total kelainan jantung yang
ditemukan pada penelitian ASNA ini adalah 32,8% atau hampir sepertiga dari total
penelitian.
Angka – angka Indonesia merupakan bagian dari penelitian ASNA, penyakit jantung
keseluruhan ditemukan pada 550 kasus dari total 2.065 pasien yang diteliti (27,5%).
Temuan dari 20% penyakit jantung iskemik, didapat 4,5% penyakit katup jantung dan 4%
penyakit jantung kongestif. Stroke iskemik ditemukan pada 42,5% kasus berdasarkan
pemeriksaan CT scan otak. Untuk menentukan secara pasti apakah suatu stroke iskemik
disebabkan akibat emboli kardiak diperlukan pemeriksaan khusus yang lebih mendalam,
yaitu memastikan ada sumber emboli di jantung dan emboli tersebut menjalar ke otak
secara sistemik.
Caplan (1993) meneliti susunan dari trombus yang terdapat pada otopsi jantung penderita
stroke. Ditemukan bahwa susunannya bervariasi, terdiri dari red-fibrin dependent
thrombi, white platelet fibrin particles, combined red and white plateled-fibrin particles,
combined red and white thrombi, fragmen dari non-infected valve vegetation, elemen
kalsifikasi dari calcified valves serta kalsifikasi annulus mitral, material fibromyzoma
dari degenerasi mitral dengan prolaps dan sel-sel tumor dari tumor kardiak seperti
myzoma.
Penyebab stroke embolik terbanyak adalah fibrilasi atrial. Yang dapat disebabkan oleh
penyakit reumatik. Mural trombus pada dinding jantung kiri sering ditemukan pada
otopsi penderita MCI (20 – 60%) dengan 3 – 10% diantaranya terjadi emboli sistemik
(Castillo dan Bougousslausky,1997).
Protesis mekanik katup jantung merupakan penyebab tersering dari stroke embolik pasca
operatif. Sedangkan prolaps mitrai jarang menyebabkan stroke emboli serebral, tetapi
frekuensinya masih belum jelas (kontroversial) terutama pada katup yang redunden dan
20
menebal. Pada endokarditis bakterial, 3% terjadi emboli serebral disebabkan karena
lepasnya elemen vegetasi septic katup jantung (Castillo dan Bougousslausky,1997).
Penyebab lain dari emboli serebral adalah adanya trombosis arteri ke arteri, yaitu terjadi
pelepasan elemen embolik dari pembuluh-pembuluh ekstra/intra kranial aterosklerotik
yang lepas ke distal menutupi pembuluh distal yang lebih kecil. Lepasnya elemen yang
berbentuk mural thrombus dari dinding pembuluh darah arterio-sklerotik di arteri karotis
interna, bifurkasio karotis dan percabangan-percabangan arteri intrakranial.
Ulcerated plaque arteriosclerotic merupakan sumber emboli dan isinya juga bervariasi,
yaitu red fibrin-dependent thrombi, white plateled-fibrin particles, kombinasi trombus
merah dan putih, debris kristal kolesterol, plak atheroma, partikel kalsifikasi dari dinding
arteri yang terkalsifikasi, dan zat-zat lain sperti lemak, udara dan tumor. Selama itu yang
dapat menjadi sumber emboli adalah arkus aorta, yaitu atheroma yang menonjol dan
bergerak (mobile) karena aliran darah yang cepat. Frekuensinya mulai sering ditemukan
dan frekuensi ini meningkat dengan usia dan beratnya jantung (heart-weight).
Patogenesis Perdarahan Otak
Pendarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah infark otak, yaitu
20 – 30 % dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di Asia Tenggara (ASEAN),
pada penelitian stroke oleh Misbach,1997 menunjukkan stroke perdarahan 26 %, terdiri
dari lobus 10 %, ganglionik 9 %, serebellar 1 %, batang otak 2 % dan perdarahan sub
arakhnoid 4 %.
Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas perdarahan
intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Sedangkan berdasarkan penyebab,
perdarahan intraserebral dibagi atas perdarahan intra serebral primer dan sekunder.
Perdarahan intraserebral primer (perdarahan intraserebral hipertensif) disebabkan oleh
hipertensif kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya
pembuluh darah otak. Sedangkan perdarahan sekunder (bukan hipertensif) terjadi antara
lain akibat anomali vaskuler kongenital, koagulopati, tumor otak, vaskulopati non
hipertensif (amiloid serebral), vaskulitis, moya-moya, post stroke iskemik, obat anti
koagulan (fibrinolitik atau simpatomimetik). Diperkirakan hampir 50 % penyebab
perdarahan intraserebral adalah hipertensif kronik, 25 % karena anomali kongenital dan
sisanya penyebab lain (Kaufman,1991).
Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di dalam otak atau pada
massa otak, sedangkan pada perdarahan subarakhnoid, pembuluh yang pecah terdapat di
ruang subarakhnoid, di sekitar sirkulus arteriosus willisi. Pecahnya pembuluh darah
disebabkan oleh kerusakan dindingnya (arteriosklerosis), atau karena kelainan kongenital
misalnya malformasi arteri-vena, infeksi (sifilis), dan trauma.
Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry
aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal,
serebelum, pons dan batang otak. Perdarahan di daerah korteks lebih sering disebabkan
oleh sebab lain misalnya tumor otak yang berdarah, malformasi pembuluh darah otak
yang pecah, atau penyakit pada dinding pembuluh darah otak primer misalnya
21
Congophilic angiopathy, tetapi dapat juga akibat hipertensi maligna dengan frekuensi
lebih kecil dari pada perdarahan subkortikal.
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer
mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa
hipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Arteriolarteriol dari cabang-cabang lentikulostriata, cabang tembus arteriotalamus (thalamo
perforate arteries) dan cabang-cabang paramedian arteria vertebro-basilar mengalami
perubahan-perubahan degeneratif yang sama. Kenaikan tekanan darah yang mendadak
(abrupt) atau kenaikan dalam jumlah yang sangat mencolok dapat menginduksi pecahnya
pembuluh darah terutama pada pagi hari dan sore hari (early afternoon). (Batytr, 1992
dikutip Falker & Kaufman,1997).
Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut sampai dengan 6
jam (Broderick et al,1990) dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak
dan menimbulkan gejala klinik.
Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya dapat merasuk
dan menyela di antara selaput akson massa putih “dissecan spilitting” tanpa merusaknya.
Pada keadaan ini absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi.
Sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian tekanan
intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan hermiasi otak pada falks serebri
atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan karena kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan
batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke
ventrikel otak terjadi pada 1/3 kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, thalamus dan
pons. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak
akan mengakibatkan peninggian tekanan intrakranial yang menyebabkan menurunnya
tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya
tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan
sekitarnya lebih tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila
volume darah lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam
dan 71 % pada perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebellar dengan
volume antara 30 – 60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75 %, tetapi
volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal (Fayad dan Awad, 1998).
Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan
nekrosis. Akhir-akhir ini para ahli bedah otak di Jepang berpendapat bahwa pada fase
awal perdarahan otak ekstravasasi tidak langsung menyebabkan nekrosis. Pada saat-saat
pertama, mungkin darah hanya akan mendesak jaringan otak tanpa merusaknya, karena
saat itu difusi darah ke jaringan belum terjadi. Pada keadaan ini harus dipertimbangkan
tindakan pembedahan untuk mengeluarkan darah agar dapat dicegah gejala sisa yang
lebih parah. Absorpsi darah terjadi dalam waktu 3-4 minggu. Gejala klinik perdarahan di
korteks mirip dengan gejala infark otak, tetapi mungkin lebih gawat apabila perdarahan
sangat luas.
22
Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid (SAH) relatif kecil jumlahnya (< 0,01 % dari populasi di USA)
sedangkan di ASEAN 4 % (hospital based) dan di Indonesia 4,2 % (hospital based,
Misbach 1996). Meskipun demikian angka mortalitas dan disabilitas sangat tinggi, yaitu
hingga 80 % (USA).
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena pecahnya aneurisme sakuler pada 80 % kasus
non traumatik. Aneurisma sakuler ini merupakan proses degenerasi vaskuler yang
didapat (acquired) akibat proses hemodinamika pada bifurkasio pembuluh arteri otak.
Terutama di daerah sirkulus Willisi (Meir B. 1987 ; Ratcheson and Wirth, 1994. Lokasi
aneurisma intraserebral tersering adalah: di a.komunikans anterior (30%), di pertemuan
antara a.komunikans posterior dengan a.karotis interna (25%), di bifurkasio dari a.karotis
interna dan a.serebri media (20-25%). Anerisma ini adalah multipel pada sekitar 25% dari
pasien. Sekitar 3% aneurisma berhubungan dengan adanya polikistik ginjal.
Penyebab lain adalah aneurisma fusiforra/aterosklerosis pembuluh arteri basilaris,
aneurisme mikotik dan traumatik selain AVM. Perdarahan ini dapat juga disebabkan oleh
trauma (tanpa aneurisma), arteritis, neoplasma dan penggunaan kokain / amfetamin
berlebihan, hipertensi, perokok dan peminum alkohol.
Gejala yang karakteristik dari perdarahan subarakhnoid ini, adalah tiba-tiba sakit kepala
hebat dan muntah muntah yang biasanya digambarkan sebagai ’sakit kepala terburuk
yang pernah saya alami sepanjang hidup saya’. Dengan atau tanpa defisit neurologi dan
sering disertai dengan perubahan mental status. Perdarahan subarakhnoid aneurisma,
kadang ditandai dengan sakit kepala sedang berat bila disebabkan oleh ’sentinel bleed’ .
Perburukan klinis dapat disebabkan karena perdarahan ulang akibat dari tidak terdiagnosa
dini dan terlambat diterapi.
Dari CT Scan non kontras, terlihat gambaran adanya darah di cistern, fisura Sylvii atau
sulci yang meliputi konveksitas. Terkadang terlihat juga darah di intraparenkimal. Bila
secara klinis kuat duagaan kearah perdarahan subarakhnoid tetapi pada CT Scan tidak
terlihat adanya darah, maka pemeriksaan selanjutnya adalah melakukan Lumbal Punksi.
Darah yang masuk ke ruang subarakhnoid dapat menyebabkan komplikasi hidrosefalus
karena gangguan absorpsi cairan otak di granulation Pacchioni. Komplikasi lain yang
bisa terjadi adalah intraparenchymal extention yang menyebabkan edema otak, seizure,
vasospasme.
Perdarahan subarakhnoid sering bersifat residif selama 24-72 jam pertama, dan dapat
menimbulkan vasospasme serebral hebat disertai infark otak.
Pasien dengan perdarahan subarakhnoid dapat diklasifikasi dengan skala klinis I-IV
berdasarkan tingkat kesadaran dan gejala fokal defisit neurologi yang berguna untuk
menentukan prognosisnya.
Skala klinis tersebut adalah :
Grade I
Sadar, tanpa gejala atau dengan sakit kepala ringan dan/atau ada
kaku kuduk
Grade II
Sadar, dengan sakit kepala sedang sampai berat dan ada kaku
Kuduk
23
Grade III
Mengantuk atau Bingung, dengan atau tanpa defisit fokal neurologi
Grade IV
Stupor dengan hemiparesis sedang sampai berat dan ada tanda
dari peningkatan tekanan intra kranial
Grade V
Koma dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial berat
Klasifikasi dengan skala klinis ini menunjukkan bahwa bila pasien berada di Grade I atau
II, maka pasien mempunyai prognosis baik dan dapat segera dilakukan angiografi serta
tindakan intervensi sesuai dengan indikasinya. Bila pasien berada di grade IV dan V,
maka pasien mempunyai prognosis buruk dan memerlukan terapi medikamentosa dulu
sampai kondisi stabil dan baik, baru direncanakan dilakukan angiografi untuk
menentukan tindakan terapi lanjutan sesuai kebutuhan pasien
DIAGNOSIS STROKE
Proses gangguan pembuluh darah otak mempunyai beberapa sifat klinik yang spesifik :
a. Timbulnya mendadak
b. Menunjukkan gejala-gejala neurologis kontralateral terhadap pembuluh yang
tersumbat. Tampak sangat jelas pada penyakit pembuluh darah otak sistem karotis
dan perlu lebih teliti pada observasi sistem vertebro-basilar, meskipun prinsipnya
sama. Untuk sistem vertebro-basilar, gejala klinis paresis dikenal sebagai
‘alternans’, yaitu kelumpuhan nervi kranialis se sisi lesi dan kelumpuhan motorik
kontralateral lesi.
c. Kesadaran dapat menurun sampai koma terutama pada perdarahan otak. Sedang
pada stroke iskemik lebih jarang terjadi penurunan kesadaran.
Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke, berdasarkan atas gambaran klinik, patologi
anatomi, sistem pembuluh darah, dan stadiumnya.
Dasar klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara
pengobatan, preventif dan prognosis yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa. Di
klinik kami, digunakan klasifikasi modifikasi Marshall, yaitu:
a. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
1) Stroke Iskemik
a. Serangan iskemik sepintas (Transient Ischemic Attack/TIA)
b. Trombosis serebri
c. Emboli serebri
2) Stroke Hemoragik
a.
Perdarahan intra serebral
b.
Perdarahan subarakhnoid
24
b. Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu
1) TIA
2) Stroke-in-evolution
3) Completed stroke
c. Berdasarkan sistem pembuluh darah
1) Sistem karotis
2) Sistem vertebro-basilar
Stroke mempunyai tanda klinik spesifik, tergantung daerah otak yang mengalami iskemia
atau infark. Serangan pada beberapa arteri akan memberikan kombinasi gejala yang lebih
banyak pula.
Bamford (1992), mengajukan klasifikasi klinis saja yang dapat dijadikan pegangan,
yaitu:
a. Total Anterior Circulation Infarct (TACI)
Gambaran klinik :

Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi)

Hemianopia (kontralateral sisi lesi)

Gangguan fungsi luhur : missal, disfasia, gangguan visuo spasial,
hemineglect, agnosia, apraxia.
Infark tipe TACI ini penyebabnya adalah emboli kardiak atau trombus arteri ke
arteri, maka dengan segera pada penderita ini dilakukan pemeriksaan fungsi kardiak
(anamnesia penyakit jantung, EKG,foto thorax) dan jika pemeriksan kearah emboli
arteri ke arteri mendapatkan hasil normal (dengan bruit leher negatif, dupleks
karotis normal), maka dipertimbangkan untuk pemeriksaan ekhokardiografi.
b. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)
Gejala lebih terbatas pada daerah yang lebih kecil dari sirkulasi serebral pada sistem
karotis, yaitu:

Defisit motorik/sensirik dan hemianopia.

Defisit motorik/ sensorik disertai gejala fungsi luhur

Gejala fungsi luhur dan hemianopia

Defisit motorik/sensorik murni yang kurang extensif dibanding infark
lakunar (hanya monoparesis- monosensorik),

Gangguan fungsi luhur saja.
Gambaran klinis PACI terbatas secara anatomik pada daerah tertentu dan
percabangan arteri serebri media bagian kortikal, atau pada percabangan arteri
25
serebri media pada penderita dengan kolateral kompensasi yang baik atau pada
arteri serebri anterior. Pada keadaan ini kemungkinan embolisasi sistematik dari
jantung menjadi penyebab stroke terbesar dan pemeriksaan tambahan dilakukan
seperti pada TACI.
c. Lacunar Infarct (LACI)
Disebabkan oleh infark pada arteri kecil dalam otak (small deep infarct) yang lebih
sensitif dilihat dengan MRI dari pada CT scan otak.
Tanda-tanda klinis :
1) Tidak ada defisit visual
2) Tidak ada gangguan fungsi luhur
3) Tidak ada gangguan fungsi batang otak
4) Defisit maksimum pada satu cabang arteri kecil
5) Gejala :

Pure motor stroke (PMS)

Pure sensory stroke (PSS)

Ataksik hemiparesis (termasuk ataksia dan paresis unilateral, dysarthriahand syndrome)
Jenis infark ini bukan disebabkan karena proses emboli karena biasanya
pemeriksaan jantung dan arteri besar normal, sehingga tidak diperlukan
pemeriksaan khusus untuk mencari emboli kardiak.
d. Posterior Circulation Infarct (POCI)
Terjadi oklusi pada batang otak dan atau lobus oksipitalis. Penyebabnya sangat
heterogen dibanding dengan 3 tipe terdahulu.
Gejala klinis:

Disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral dan gangguan
motorik/sensorik kontralateral.

Gangguan motorik/ sensorik bilateral.

Gangguan gerakan konjugat mata (horizontal atau vertikal)

Disfungsi serebelar tanpa gangguan long-tract ipsilateral.

Isolated hemianopia atau buta kortikal.
Heterogenitas penyebab POCI menyebabkan pemeriksaan kasus harus lebih teliti dan
lebih mendalam. Salah satu jenis POCI yang sering disebabkan emboli kardiak adalah
gangguan batang otak yang timbulnya serentak dengan hemianopia homonym (Warlow
et. al 1995).
Setiap penderita segera harus dirawat, karena umumnya pada masa akut akan terjadi
perburukan akibat infark yang meluas atau terdapatnya edema serebri atau komplikasi-
26
komplikasi lainnya. Diagnosis tegak berdasarkan anamnesis, pemeriksaan neurologik,
dan penunjang.
DASAR DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah badan, mulut
mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Keadaan ini
timbul sangat mendadak, dapat sewaktu bangun tidur, mau sholat, selesai sholat, sedang
bekerja atau sewaktu beristirahat.
Selain itu perlu ditanyakan pula faktor-faktor risiko yang menyertai stroke misalnya
penyakit kencing manis, darah tinggi dan penyakit jantung, serta obat-obat yang sedang
dipakai. Selanjutnya ditanyakan pula riwayat keluarga dan penyakit lainnya.
Pada kasus-kasus berat, yaitu dengan penurunan kesadaran sampai koma, dilakukan
pencatatan perkembangan kesadaran sejak serangan terjadi.
2. Pemeriksaan fisik
Setelah penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital seperti tekanan
darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga tingkat kesadaran penderita. Jika
kesadaran menurun, tentukan skor dengan skala koma Glasgow agar pemantauan
selanjutnya lebih mudah. Namun jika penderitanya sadar, tentukan berat kerusakan
neurologis yang terjadi, disertai pemeriksaan saraf-saraf otak dan motorik apakah fungsi
komunikasi baik atau adakah disfasia.
Penilaian klinis lainnya yang dilakukan untuk menilai beratnya stroke, dipergunakan
National Institute Health Stroke Scale (NIHSS). Penilaian ini dilakukan dua kali, yaitu
saat masuk dan saat pulang. Beda nilai saat masuk dan saat keluar dapat menjadi salah
satu penilaian kinerja keberhasilan terapi. Tetapi untuk stroke pada sistem vertebro
basilar, akurasi penilaian NIHSS kurang baik.
Stroke Siriradj Score, dilakukan bersama sama pemeriksaan fisik untuk membedakan
antara stroke iskemik dan stroke perdarahan. Penilaian ini, dapat membantu bagi rumah
sakit atau pusat pelayanan kesehatan yang tidak mempunyai alat bantu diagnosis CT Scan
otak.
Skor Stroke Siriraj = (2,5 x S) + (2 x M) + (2 x N) + (0,1D) – (3 x A) – 12
Penilaiannya adalah sebagai berikut :
Skor > 1
: perdarahan supratentorial
Skor < -1
: infark serebri
Skor -1 s/d 1 : meragukan
Jika kesadaran menurun dan nilai skala koma Glasgow telah ditentukan, lakukan
pemeriksaan refleks-refkles batang otak yaitu:

reaksi pupil terhadap cahaya

refleks kornea

refleks okulo sefalik
27

Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernapasan Cheyne Stokes,
hiperventilasi neurogen, kluster, apneustik dan ataksik. Setelah itu tentukan
kelumpuhan yang terjadi pada saraf-saraf otak dan anggota gerak. Kegawatan
kehidupan sangat erat hubungannya dengan kesadaran menurun, karena makin
dalam penurunan kesadaran, makin kurang baik prognosis neurologis maupun
kehidupan. Kemungkinan perdarahan intra serebral dapat luas sekali jika
terjadi perdarahan-perdarahan retina atau preretinal pada pemeriksaan
funduskopi.
3. Gejala klinik
Manifestasi klinik stroke sangat tergantung kepada daerah otak yang terganggu aliran
darahnya dan fungsi daerah otak yang menderita iskemia tersebut. Karena itu
pengetahuan dasar dari anatomi dan fisiologi aliran darah otak sangat penting untuk
mengenal gejala-gejala klinik pada stroke.
Berdasarkan vaskularisasi otak, maka gejala klinik stroke dapat dibagi atas 2 golongan
besar yaitu:
1. Stroke pada sistem karotis atau stroke hemisferik
2. Stroke pada sistem vertebro-basilar atau stroke fossa posterior
Salah satu ciri stroke adalah timbulnya gejala sangat mendadak dan jarang didahului oleh
gejala pendahuluan (warning signs) seperti sakit kepala, mual, muntah, dan sebagainya.
Gejala pendahuluan yang jelas berhubungan dengan stroke adalah serangan iskemia
sepintas (TIA) dan ini diketahui melalui anamnesis yang baik pada stroke akut. Selain
gejala-gejala yang timbul mendadak dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam
dari mulai serangan sampai mencapai maksimal. Tidak pernah terjadi dalam beberapa
hari atau apalagi dalam 1-2 minggu. Kalau terjadi demikian, bukan disebabkan stroke
tetapi oleh sindroma stroke (stroke-syndromes) karena tumor, primer maupun metastatik,
trauma, peradangan dan lain-lain.
Gejala klinik pada stroke hemisferik
Seperti kita ketahui, daerah otak yang mendapat darah dari a. karotis interna terutama
lobus frontalis, parietalis, basal ganglia, dan lobus temporalis. Gejala-gejalanya timbul
sangat mendadak berupa hemiparesis, hemihipestesi, bicara pelo, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan umum:

Kesadaran: penderita dengan stroke hemisferik jarang mengalami gangguan atau
penurunan kesadaran, kecuali pada stroke yang luas. Hal ini disebabkan karena
struktur-struktur anatomi yang menjadi substrat kesadaran yaitu formasio retikuralis
di garis tengah dan sebagian besar terletak dalam fossa posterior. Karena itu
kesadaran biasanya kompos mentis, kecuali pada stroke yang luas.

Tekanan darah: biasanya tinggi, hipertensi merupakan faktor resiko timbulnya
stroke pada lebih kurang 70% penderita.

Fungsi vital lain umumnya baik jantung, harus diperiksa teliti untuk mengetahui
kelainan yang dapat menyebabkan emboli.
28

Pemeriksaan neurovaskuler adalah langkah pemeriksaan yang khusus ditujukan
pada keadaan pembuluh darah ekstrakranial yang mempunyai hubungan dengan
aliran darah otak yaitu: pemeriksaan tekanan darah pada lengan kiri dan kanan,
palspasi nadi karotis pada leher kiri dan kanan, arteri temporalis kiri dan kanan dan
auskultasi nadi pada bifurkatio karotis komunis dan karotis interna di leher,
dilakukan juga auskultasi nadi karotis interna pada orbita, dalam rangka mencari
kemungkinan kelainan pembuluh ekstrakranial.
Pemeriksaan neurologis
a. Pemeriksaan saraf otak: pada stroke hemisferik saraf otak yang sering terkena
adalah:

Gangguan n. fasialis dan n. hipoglosus. Tampak paresis n. fasialis tipe sentral
(mulut mencong) dan paresis n. hipoglosus tipe sentral (bicara pelo) disertai
deviasi lidah bila dikeluarkan dari mulut.

Gangguan konjugat pergerakan bola mata antara lain deviasi konjugae, gaze
paresis ke kiri atau ke kanan, dan hemianopia. Kadang-kadang ditemukan
sindroma horner pada penyakit pembuluh karotis. Gangguan lapangan pandang:
tergantung kepada letak lesi dalam jarak perjalanan visual, hemianopia
kongruen atau tidak. Terdapatnya hemianopia merupakan salah satu faktor
prognostik yang kurang baik pada penderita stroke.
b. Pemeriksaan motorik:
Hampir selalu terjadi kelumpuhan sebelah anggota badan (hemiparesis). Dapat
dipakai sebagai patokan bahwa jika ada perbedaan kelumpuhan yang nyata antara
lengan dan tungkai hampir dipastikan bahwa kelainan aliran darah otak berasal dari
daerah hemisferik (kortikal), sedangkan jika kelumpuhan sama berat gangguan
aliran darah dapat terjadi di subkortikal atau pada daerah vertebro-basilar.
c. Pemeriksaan sensorik dapat terjadi hemisensorik tubuh. Karena bangunan anatomik
yang terpisah, gangguan motorik berat dapat disertai gangguan sensorik ringan atau
gangguan sensorik berat disertai dengan gangguan motorik ringan.
d. Kelainan fungsi luhur: manifestasi gangguan fungsi luhur pada stroke hemisferik
berupa: disfungsi parietal baik sisi dominan maupun nondominan. Kelainan yang
paling sering tampak adalah disfasia campuran dimana penderita tak mampu
berbicara atau mengeluarkan kata-kata dengan baik dan tidak mengerti apa yang
dibicarakan orang kepadanya. Selain itu dapat juga terjadi agnosia, apraxia dan
sebagainya.
Gejala-klinik stroke vertebro-basilar
Gangguan vaskularisasi pada pembuluh darah vertebro-basilar, tergantung kepada
cabang-cabang sistem vertebro-basilar yang terkena, secara anatomik, percabangan arteri
basilaris di golongkan menjadi 3 bagian:
a. Cabang-cabang panjang: misalnya a. serebeli inferior posterior yang jika tersumbat
akan memberikan gejala – gejala sindroma Wallenberg, yaitu infark di bagian
dorso-lateral tegmentum medula oblongata.
29
b. Cabang-cabang paramedian: sumbatan cabang-cabang yang lebih pendek
memberikan gejala klinik berupa sindroma Weber hemiparesis alternans dari
berbagai saraf kranial dari mesensefalon atau pons.
c. Cabang-cabang tembus (Perforating branches) memberi gejala-gejala sangat fokal
seperti internuclear ophtalmoplegia (INO).
Diagnostik kelainan sistem vertebro-basilar adalah:
1. Penurunan kesadaran yang cukup berat (dengan diagnosis banding infark
supratentorial yang luas, dalam hal ini yang terkena adalah formasio retikularis).
2. Kombinasi berbagai saraf otak yang terganggu disertai vertigo diplopia dan
gangguan bulbar
3. Kombinasi beberapa gangguan saraf otak dan gangguan long-tract sign: vertigo
disertai paresis keempat anggota gerak (ujung-ujung distal). Jika ditemukan longtract sign pada kedua sisi maka penyakit vertebro-basilar hampir dapat dipastikan.
4. Gangguan bulbar juga hampir pasti disebabkan karena stroke vertebro-basilar.
Beberapa ciri khusus lain adalah: parestesia perioral, hemianopia altitudinal dan
skew deviation.
Gejala - tanda klinik emboli serebral
Costillo dan Bougousslausky (1997) mengajukan enam ciri stroke embolik, yaitu :
a. Timbul secara mendadak pada penderita yang sadar, tanpa defisit neurologi yang
berfluktuasi atau yang progresif.
b. Defisit neurologi pada pembuluh superfisial atau berupa infark yang luas.
c. Tidak ada riwayat TIA pada daerah vaskular yang sama.
d. Riwayat stroke sebelumnya di daerah teritorial lain, diantaranya adalah emboli
sistemik.
e. Jantung yang abnormal pada pemeriksaan fisik/tambahan.
f. Tidak ada sebab emboli arterial lain atau sebab stroke yang lain.
Tanda-tanda tambahan pada pemeriksaan neuro-imajing adalah :
a. Adanya infark hemoragik pada CT, atau MRI otak pada distribusi arteri kortikal.
b. Oklusi cabang teritorial arteri otak, tanpa ditemukan kelainan arteri-arteri
proksimal atau carotis ekstrakranial pada pemeriksaan transcranial doppler
(TCD), pada pemeriksaan duplex ultrasound sistem karotis, pada Magnetic
Resonance Arteriography (MRA) atau pada arteriografi kontras jika dilakukan.
c. Ditemukan adanya sumber emboli atau sangat mungkin ada sumber emboli pada
pemeriksaan kardiologi.
Emboli kardiak lebih sering menyebabkan kombinasi infark kortikal dan subkortikal
hingga daerah infark lebih luas tampak pada kardiogenik dibanding dengan emboli arteri
ke arteri. Caplan (1993) menyebutkan bahwa emboli kardiak mempunyai tempat prediksi,
misalnya daerah posterior dari arteri serebri media.
30
Khusus mengenai atrial fibrilasi, terutama pada non reumatik, dan merupakan panyebab
terbesar emboli kardiak, tidak selalu emboli sistemik menjadi penyebab stroke. Dalam
jumlah yang sedikit, AF dapat disebabkan karena stroke yang berat. Warlow dkk. (1995)
merujuk penelitian Daniel (1993) menemukan bahwa hanya 13% dari penderita AF
ditemukan trombus pada arteri dengan transesophageal echocardiography (TEF).
Peningkatan risiko emboli sistemik pada AF dikaitkan dengan kombinasi beberapa faktor
seperti umur, riwayat emboli sebelumnya, hipertensi, diabetes, disfungsi ventrikel kiri
dan pembesaran atrium kiri (SPAF 1992, AFI 1994). Adanya emboli kardiak sistemik
dapat juga dipastikan dengan adanya spontaneus echo contrast pada atrium kiri yamg
dideteksi sengan TCD.
4. Pemeriksaan Penunjang
a.Laboratorium
1) Pemeriksaan darah rutin
2) Pemeriksaan kimia darah lengkap:

Gula darah sewaktu: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia reaktif.
gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsurangsur kembali turun.

Ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati (SGOT/SGPT/CPK), dan profil
lipid (kolesterol total, trigliserida, LDL, HDL)
3) Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap) :

Waktu protrombin

APTT

Kadar fibrinogen

D-dimer

INR

Viskositas plasma
4) Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi :

Protein S

Protein C

ACA

Homosistein
b.Pemeriksaan Kardiologi
Pada sebagian kecil penderita stroke, terdapat juga perubahan elekrokardiografi (EKG).
Perubahan ini dapat berarti kemungkinan mendapat serangan infark jantung, atau pada
stroke dapat terjadi perubahan-perubahan EKG sebagai akibat perdarahan otak yang
menyerupai suatu infark miokard. Dalam hal ini pemeriksaan khusus atas indikasi,
misalnya pemeriksaan CK-MB lanjutan akan memastikan diagnosis. Pada pemeriksaan
EKG dan pemeriksaan fisik, mengarah kepada kemungkinan adanya sumber emboli
31
(potential source of cardiac emboli/PSCE) maka pemeriksaan ekhokardiografi terutama
Transesofageal echocardiography (TEE) dapat diminta untuk visualisasi emboli kardial.
c. Pemeriksaan pada Emboli Serebral
Dugaan akan emboli serebral ditentukan setelah diagnosis stroke secara klinis telah
dipastikan. Langkah selanjutnya adalah memastikan emboli kardiak sebagai
penyebabnya. Pemastian ini tidak selalu mudah dan ada dua hal yang harus diteliti, yaitu :
a. Pemastian ada sumber emboli di jantung
b. Pemastian bahwa tipe stroke iskemik yang terjadi merupakan stroke yang sering
menyertai/disebabkan karena emboli kardiak berdasarkan pertimbangan klinis dan
penelitian epidemiologi.
Jika telah dicurigai emboli kardiak sebagai penyebab emboli serebral, maka kadangkadang diperlukan pemeriksaan khusus untuk mevisualisasi sumber/ emboli kardiak
terutama jika tak ada faktor risiko stroke diluar kardiak. Di Departemen Neurologi ,
penderita dengan stroke rutin dilakukan foto thorak dan EKG. Jika ditemukan infark
teritorial pada CT scan, maka dilakukan konsultasi untuk pemeriksaan echokardiografi,
khususnya Trans Esophageal Echokardografi (TEE) jika diperlukan.
Selama 2 tahun (1996-1998) telah kami lakukan konsultasi TEE bersama dengan
subbagian kardiologi FKUI/RSUPNCM, 37 kasus stroke dan 18 diantaranya ditemukan
adanya trombus pada atrium (48,6%). Trombus pada atrium kiri ditemukan pada 14 kasus
(77,7%) dan sisanya di ventrikel kiri (23,3%).
d.Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang paling penting adalah:

CT scan Otak: segera memperlihatkan perdarahan intra serebral. Pemeriksaan
ini sangat penting karena perbedaan manajemen perdarahan otak dan infark
otak. Pada infark otak, pemeriksaan CT scan otak mungkin tidak
memperlihatkan gambaran jelas jika dikerjakan pada hari-hari pertama,
biasanya tampak setelah 72 jam serangan. Jika ukuran infark cukup besar dan
hemisferik. Perdarahan/infark di batang otak sangat sulit diidentifikasi,oleh
karena itu perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk memastikan proses
patologik di batang otak.

Pemeriksaan foto thoraks: dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah
terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi
kronis pada penderita stroke dan adakah kelainan lain pada jantung. Selain itu
dapat mengidentifikasi kelainan paru yang potensial mempengaruhi proses
manajemen dan memperburuk prognosis.
5. Serangan Iskemik Sepintas (TIA)
Meskipun transient ischemic attack (TIA) merupakan suatu golongan penyakit tersendiri,
diagnosis penyakit ini tidak selalu mudah ditegakkan. Hal ini karena penderita biasanya
datang ke dokter pada saat serangan sudah berlalu, dan gejala telah menghilang. sehingga
anamnesis menjadi sangat penting.
32
Disamping gejala utama yang dikeluhkan, dokter dengan tekun dan teliti harus mengenal
secara baik rentetan gejala yang berhubungan erat dengan proses penyakit. Mungkin
gejala tersebut dilupakan penderita tetapi merupakan hal penting dalam anamnesis untuk
mengarahkan kepada diagnosis TIA. Jika gejala yang diceritakan penderita jelas
menunjukkan lesi patologik fokal, maka harus dicari terus apakah terdapat gejala
tambahan yang lebih mempertegas gangguan pada salah satu sistem vaskular otak.
Misalnya, jika diketahui ada hemiparesis, maka pada penderita harus dicari apakah
terdapat juga disfasia atau gangguan visus unilateral. Karena itu anamnesis yang teliti dan
terpimpin tetap merupakan kunci utama diagnostik TIA. Mengingat hal tersebut diatas,
maka pemeriksaan tambahan merupakan pegangan penting yang kedua dalam
menegakkan diagnostik TIA, dan pemeriksaan ini akan mengungkapkan secara lebih
lengkap mengenai patofisiologi proses TIA yang dialami penderita. Terlebih lagi oleh
karena kemajuan bidang bedah vaskuler, pemeriksaan ini menjadi lebih penting.TIA
merupakan awal suatu infark serebral dan untuk eksplorasi lebih lanjut, penderita harus
dirawat di rumah sakit.
Pemeriksaan Penunjang pada TIA
Secara umum sama dengan pemeriksaan pada stroke, yang khusus adalah:
a. Pemeriksaan kardiologik merupakan pemeriksaan penting karena gangguan
irama sering menjadi penyebab TIA. Sering dilupakan bahwa hipotensi ortostatik
dapat juga menjadi penyebab TIA oleh karena itu pemeriksaan tekanan darah
pada waktu tidur,duduk dan berdiri harus selalu dikerjakan.
b. Pemeriksaan foto kepala dan servikal juga merupakan pemeriksaan yang
dikerjakan pada penderita TIA. Foto vertebra servikalis, lateral dan oblique kanan
dan kiri bermanfaat untuk melihat foramina vertebralis, apakah ada osteofit yang
akan menganggu atau menekan arteri vertebralis, dan pada gerakan leher dapat
menyebabkan TIA.
c. Pemeriksaan neurovaskuler non invasif
1) Pemeriksaan bising nadi dan denyut nadi leher
Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada setiap penderita TIA untuk menilai
keadaan perubahan besar dan perbedaan antara denyut nadi karotis kiri dan
kanan, perbedaan atau perbandingan antara denyut nadi arteri temporalis
superfisialis kiri dan kanan. Setelah itu dengan stetoskop didengar ada
kemungkinan adanya bising nadi (arterial bruits); sungkup stetoskop
diletakkan di daerah orbita, di bagian lateral bifurkasio karotis di leher dan
retroaurikular.
Terdapatnya bising nadi atau berkurangnya denyut nadi pada salah satu sisi
menunjukkan kemungkinan kelainan morfologik pada pembuluh darah,
sehingga lebih lanjut harus ditentukan dengan pemeriksaan penunjang yang
lain. Jadi adanya bruit intrakranial pada seseorang dengan TIA menunjukkan
adanya kemungkinan besar gangguan pada pembuluh nadi utama yang ke
otak.
33
2) Pemeriksaan oftalmodimamometri
Pemeriksaan ini bertujuan mengukur tekanan darah pada pangkal arteri
oftalmika, baik diastolik maupun sistolik dengan cara memberikan tekanan
dari luar terhadap arteri karotis retina/bola mata, yang kemudian tekanan ini
dikurangi secara bertahap, kemudian denyutan arteri sentralis retina dideteksi
dengan oftalmoskop. Tekanan dari luar yang diaplikasikan kepada bola mata
diukur melalui alat oftalmodimamometer yang telah ditera secara empirik.
Sebenarnya secara prinsipil, pengukuran tekanan darah ini tidak berbeda
dengan pengukuran tekanan darah pada arteri brakialis di lengan atas. Metode
ini sudah dikembangkan sejak tahun 1963 dan mudah dilakukan. Aplikasi
tekanan pada bola mata ditera dalam gram dan dikonversikan kedalam mmHg.
Jika terjadi penurunan tekanan pada salah satu sisi terutama tekanan diastolik
lebih daripada 25%, maka perbedaan ini dianggap bermakna. Atau penurunan
tekanan sistolik dan diastolik > 20%, berarti bahwa pada sisi yang tekanannya
menurun telah terjadi penurunan pressure-gradient yang terjadi akibat
gangguan aliran darah atau sumbatan pada bagian proksimal arteri karotis
interna atau arteri oftalmika.
Pada umumnya kelainan tersebut paling sering disebabkan karena proses
aterosklerosis pada bifurkasio karotis, pada pangkal arteri karotis interna atau
pada arteri karotis komunis. Dalam frekuensi yang lebih kecil sumbatan
terjadi pada pembuluh nadi yang lebih proksimal atau pada pangkal arteri
karotis komunis.
Dengan uraian diatas, jelaslah bahwa pemeriksaan oftalmodinamometri sangat
berguna bagi penderita TIA yang mengenai sistem karotis dengan derajat
akurasi 70 – 75 %. Pengukuran dilakukan pada posisi setengah duduk supaya
faktor gravitasi dapat memperjelas ketajaman pengukuran.
Pada klinik neurooftalmologi Departemen Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah dilakukan pengukuran dan hasil-hasilnya telah
pula dipublikasikan. Namun pada keadaan-keadaan di bawah ini, hasil
pengukuran menjadi sulit diinterprestasikan, yaitu pada :

Aritmia jantung

Glaukoma yang berat

Penderita yang gelisah atau nonkooperatif

Penderita dengan kelainan dan asimetri pada arteri sentralis retina serta
cabang-cabangnya.
Pengukuran harus dilakukan beberapa kali dan selalu harus diukur tekanan
sistematik sebagai pembanding.
34
3) Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop merupakan pemeriksaan bedside
yang sangat bermanfaat pada penderita TIA, terutama TIA sistem karotis.
Pada kasus-kasus TIA akibat proses tromboembolik pada sistem karotis
seringkali terjadi gangguan visus homolateral yang menyertai gejala
neurologis fokal kontralateral.
Gejala-gejala neurooftalmologik ini adalah berupa:

Transient monocular blindness yang berlangsung 2-3 menit, jarang
melebihi 5 menit, kemudian berangsur-angsur terang kembali. Timbulnya
secara mendadak dan dapat diikuti oleh gejala serebral fokal secara
bersamaan pada sisi kontaralateral.

Kadang-kadang serangan tidak berupa kebutaan total, tetapi berupa
dimness of vision atau hilangnya penglihatan pada bagian atas atau bagian
bawah saja dengan batas horizontal yang tegas.

Serangan yang lebih jarang adalah transient homonymous hemianopia,
yaitu serangan yang mengenai kedua medan penglihatan mata. Hal ini
terjadi apabila arteri serebri posterior mengalami iskemi sepintas akibat
insufisiensi system vertebrobasilar.

Altitudinal hemianopic scotoma: gangguan penglihatan berupa hilangnya
medan penglihatan dimulai dari bagian atas yang berangsur-angsur
berjalan kearah bawah.
Beberapa penemuan pemeriksaan oftalmoskopi yang penting adalah:

Terdapat emboli pada pembuluh retina ipsilateral. Adanya white plaque
pada arteri diretina sewaktu serangan TIA dengan stenosis karotis yang
jelas, pernah dilaporkan pertama kali di luar negeri pada tahun 1959. Plak
ini perlahan-lahan bergerak ke distal, berhenti pada percabangan arteriol
dan kemudian menghilang karena proses lisis. Hal ini berlangsung dalam
beberapa menit. Emboli ini terdiri atas materi fibrin dan trombosit. Jenis
kedua emboli regional pernah dilaporkan yaitu dengan adanya yellow
plaques yang bergerak lebih lambat ke arah perifer serta dapat tinggal
lebih lama didalam lumen tanpa mengganggu aliran retina secara berarti.
Penemuan adanya plak ini membantu diagnostik TIA ke arah ateroma
pembuluh karotis.

Retinopati hipertensif asimetrik (asymmetric hypertensive retinopathy).
Pada penderita hipertensi sering ditemukan berbagai perubahan yang khas
berupa arteriosklerosis retina. Jika ada asimetri yang jelas, maka sisi retina
yang lebih baik terjadi akibat adanya “perlindungan” terhadap proses
ateroma karotis, sehingga pengaruh hipertensi atau perfusion pressure
yang tinggi tidak mencapai sisi retina tersebut.
35

Terdapat atrofi n. optik primer yang tidak jelas sebabnya pada satu sisi.
Keadaan ini dapat disebabkan karena flow yang sangat bekurang pada sisi
karotis yang tersumbat karena ateroma sehingga terjadi iskemia retina
sesisi yang berakibat atrofi n. optik primer.

Oklusi arteri karotis retina sesisi atau neuropati optik iskemik (ischemic
optic neuropathy) yang akut. Pada keadaan ini perlu dipikirkan
kemungkinan terjadinya emboli pada sistem karotis.
4) Pemeriksaan termografi fasial
Prinsip pemeriksaan ini adalah sebagai berikut: telah diketahui bahwa pada
penderita dengan oklusi karotis atau insufisiensi karotis, maka peredaran
darah yang ke wajah muka ipsilateral juga akan bekurang termasuk sirkulasi
ke kulit, terutama di daerah orbita. Keadaan ini mengakibatkan berkurangnya
derajat penguapan panas (heat emission), yang dengan jelas dapat dideteksi
dengan infrared thermogram.
Pemeriksaan ini sangat mudah dan aman dilakukan, namun beberapa keadaan
selain kelainan insufisiensi karotis dapat pula berpengaruh sehingga
menimbulkan false positif. Keadaan tersebut terjadi pada migrain atau proses
inflamasi di daerah orofasial. Oleh karena varibelnya banyak, maka
interpretasi hasil harus lebih berhati-hati.
5) Pemeriksaan ultrasonografi (ultrasonic imaging) – Transcranial Carotid
Doppler (TCD) dan Carotid Duplex Sonography (CDS)
Dengan alat ini, maka gambaran sistem karotis pada daerah leher atau
bifurkasio dapat diproyeksikan pada satu layar. Demikian pula bila ada suatu
stenosis atau oklusi dapat dideteksi dengan alat ini. Teknik ini sangat
bermanfaat dan dengan cepat serta aman berbagai kelainan pembuluh darah
bifurkasio karotis dapat dilihat. Hal ini mempermudah para ahli bedah
vaskular dalam menilai kondisi morfologik pembuluh darah didaerah leher,
sebab pada sisi yang sehat pun belum tentu pembuluh karotis paten pula
lumennya.
Pemeriksaan ultrasonografi transkranial karotis Doppler (TCD) dapat menilai
secara tidak langsung keadaan hemodinamik pembuluh darah otak utama.
Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui besarnya aliran darah (flow) di
masing-masing pembuluh darah otak dan dapat diperkirakan aliran otak
melebihi normal (misalnya pada arterio venosa malformasi) atau
berkurangnya aliran karena oklusi arteri karotis interna. Perubahan aliran
darah otak pada aneurisma dapat juga diperkirakan dengan pemeriksaan TCD
ini.
Pemeriksaan yang bersifat non invasif ini selain dapat dipakai sebagai
penilaian hemodinamik pada stroke juga pada pre dan pasca tindakan
pemasangan balon/sten (ballooning/stenting) pada kelainan struktural
36
pembuluh darah otak. Pada salah satu kongres angiologi di London (1990)
ahli bedah vaskuler telah melakukan endarterektomi karotis hanya dengan
melihat hasil penentuan carotid imaging dengan duplex carotid tanpa
angiografi dengan hasil yang memuaskan. Tindakan seperti ini belum
dianggap sebagai tindakan standar.
Pemeriksaan pembuluh dasar otak dengan menggunakan tehnik noninvasive
Transcranial Doppler adalah cara yang cepat tepat dan akurat. Penggunaan
probe 2 MHz untuk arteri basalakranial dan probe 4,8 MHz untuk daerah yang
lebih superficial. Dasar pemeriksaan adalah menangkap benda yang bergerak
didalam pembuluh dalam hal ini adalah eritrosit
Hasil yang didapat dalam perekaman ini tertera dalam monitor dalam bentuk
spectrum yang dapat dengan mudah dianalisa, tetapi dapat pula secara
langsung menghasilkan suara pembuluh darah setempat yang secara tidak
langsung dapat memberikan masukan mengenai kondisi pembuluh yang yang
bersangkutan. Dari spektrum akan menggambarkan kecepatan aliran( flow
velocity), arah aliran, ada tidaknya aliran ganda tambahan, sedangkan dari
suara yang dihasilkan dapat terekam suara pembuluh yang normal, suara aliran
berputar yang merupakan manifestasi lekukan pembuluh atau penyempitan
pembuluh dan emboli, sedang pada sumbatan pembuluh darah yang berat
dapat ditemukan suara yang “high pitch”. Kepekaan alat ini dalam melakukan
perekaman tidak saja ditentukan oleh kemampuan alat itu sendiri tetapi juga
ditentukan oleh pengalaman pemeriksa.
Berdasarkan pengalaman parapakar TCD antara lain Ringerstein,1990
mengatakan secara umum sensitifitas dan spesifisitas adalah TCD 87,5%.
Petty,1990 dan Lindergaard,1996 mengatakan sensitifitas pemeriksaan
MCA dan Siphon stenosis dengan menggunakan TCD adalah 73% – 94%.
Indikasi Transcranial Doppler :
Dalam praktek lapangan kegunaan transcranial Doppler sangat bervariasi, hal ini
dikarenakan transcranial Doppler termasuk salah satu alat diagnostik yang non invasive
dan mudah digunakan serta tidak meninbulkan dampak negatif bagi penderita walaupun
diulang berkali-kali.
Satu hal yang perlu diingat, ultra sound bean masih diduga dapat memimbulkan
percepatan katarak pada power yang tinggi.
37
Kegunaan TCD diklinik antara lain dapat dimasukan dalam kategori:.
1. Mempelajari aliran dan kelainan pembuluh darah.
2. Monitoring cerebral microemboli.
3. Evaluasi pengobatan.
Mempelajari aliran dan kelainan pembuluh darah :
Beberapa kelainan aliran dan pembuluh yang umumnya diindikasikan penggunaan
transcranial Doppler antara lain :
1. Sistim kollateral.
2. Penyumbatan. ( Local stenosis )
3. Spasme.( Vasospasm )
4. Feeder arteri.
5. Mati otak. ( Brain Death )
6. Vasomotor reactivity.
7. Dsb.
Sistim Kollateral.
Kollateral adalah suatu anastomosis pembuluh darah dapat berasal dari intarakranial
maupun ekstrakranial.
Ekstrakranial yang utama dipelajari adalah anastomosis pembuluh darah karotis interna
dengan pembuluh darah karotis externa yang menghubungkan arteri temporali superficial
dan arteri fasialis dengan arteri opthalmika melalui arteri supratrochlearis dan arteri
supraorbita.
Intrakranial anastomosis meliputi sirkulus wilissi melalui arteri communican anterior dan
communican posterior.
Pengetahuan mengenai anatomi anastomosis ini sangat penting dalam menindak lanjuti
kelainan sumbatan seperti :
1. Oklusi ektrakranial karotis interna.
2. Oklusi arteri karotis intra cranial dibawah arteri opthalmika.
3. Oklusi arteri karotis intra cranial diatas arteri opthalmika
4. Oklusi arteri subclavia sebelum percabangan arteri vertebralis
(subclavian steal).
38
Pada sumbatan arteri karotis interna ekstrakranial akan memberikan tanda yang sama
dengan stenosis berat atau sumbatan arteri karotis intrakranial sebelum arteri opthalmika
berupa perubahan arah aliran pada arteri opthalmika atau pada arteri supratrochlearis,
dan supra orbita.
Sumbatan pada arteri karotis interna sesudah arteri opthalmika , arah aliran arteri
opthalmika tidak berubah. Sedangkan arteri karotis interna ekstrakranial kontralateral dan
arteri vertebrobasilar terutama arteri cerebri posterior ipsilateral akan menunjukan feeder
like.
Sumbatan arteri vertebralis ektrakranial maupun sumbatan arteri subklavia proksimal
arteri vertebralis akan memberikan gambaran perubahan aliran arteri vertebralis yang
semula menjauhi probe menjadi menuju probe hal inilah yang dikenal sebagai subklavian
steal.
Local Vessel Stenosis.
Dalam mempelajari stenosis arteri basal kranial , harus dipastikan terlebih dahulu
keadaan arteri karotis ekstra cranial.
Mohr mengatakan deteksi TCD terhadap stenosis arteri basal cranial berarti stenosis
tersebut telah mencapai ukuran  65%.
Stenosis yang ditandai dengan peningkatan flow velocity ini , akan mengalami hal
sebaliknya jika stenosis tersebut telah  80%, dimana pada stenosis seberat ini terjadi
kehilangan daya dorong dari erithrosit sehingga flow velocity menjadi menurun hal ini
dikenal sebagai “critical stenosis” (Framingam).
Pencarian arteri basal cranial stenosis terutama dilakukan pada penderita stroke ,
walaupun flow velocity tidak dapat menilai cerebral blood flow secara langsung tetapi
setidaknya keadaan flow velocity itu akan menggambarkan keadaan sirkulasi darah
diotak.
Dan jika dilihat apa yang direkomendasikan oleh europian stroke initiative bahwa
penggunaan antikoagulan dibenarkan jika ditemukan adanya stenosis berat, maka TCD
tidak saja merupakan bagian dari factor penunjang diaknosa tetapi sudah menjadi
penunjang pengobatan klinik..
Yi-Min chen et al 1999, mengunakan TCD sebagai alat penilai prognosa pada penderita
stroke. Pada penelitiannya terhadap 41 orang penderita infark otak yang dilihat dengan
39
CT Scanning sebagai infark territorial MCA. Sebelas orang menderita oklusi / kritikal
stenosis arteri karotis interna ektrakranial, dua orang menderita stenosis moderat arteri
karotis ekstrakranial, tiga orang menderita keduanya dan 25 orang menderita murni
sumbatan MCA.
Terbukti MCA territorial infark dapat ditimbulkan baik oleh sumbatan MCA sendiri
maupun sumbatan diluar MCA tetapi, yang mengalami sumbatan MCA mempunyai
prognosa lebih buruk dibandingkan dengan gambaran MCA territorial infark dengan
stenosis arteri karotis ekatrakranial.
Penderita hypertensi maligman tidak jarang ditemukan multiple basal cranial stenosis hal
ini disebabkan karena kebutuhan CBF yang konstan sehingga diperlukan tekanan darah
yang relatif lebih tinggi utuk mencukupinya.
Cerebral Vasospasm
TCD dikembangkan pertama kali adalah untuk mempelajari hemodinami pembuluh darah
otak pada penderita perdarahan subarachnoid sehinggga diketahui adanya vasospasme
pada perdarahan subarachnoid terjadi dari hari ke 4 dan akan terus meningkat untuk
mencapai puncaknya pada hari ke10 selanjutnya turun kembali sampai hari ke 17 .
Vasospasm yang terjadi dengan pengindraan TCD diketahui tidak sama pada seluruh
arteri basal kranial dimana disatu sisi spasme terjadi lebih berat dari yang lain.
Konfirmasi studi dengan CT scanning diketahui spasme terjadi pada daerah yang lebih
banyak mengandung bekuan darah dirongga subarakhnoid..
Sensitifitas pemeriksaan TCD dalam memeriksa adanya vasospasme berkisar antara
59%-94%, sedangkan spesifitasnya berkisar antara 85%-100%.
Zainal et al 1991 melakukan serial TCD pada penderita traumatik perdarahan
subarakhnoid dan ditemukan adanya spasme yang terjadi dari proksimal kedistal
pembuluh darah serta dimilai dari hari ke 4 sampai hari ke 18. Sedangkan Harris S , 1994
dalam studi kasus evaluasi vasospasme arteri serebri media perdarahan subarakhnoid,
penyembuhan vasospasme yang terjadi tak ada perbedaan bagian distal maupun
proksimal.
Dapat pula dievaluasi efek obat-obat vasoaktif seperti pavaverin, nimodipin
dan
sejenisnya terhadap reaksi vasospame tersebut
40
Feeder Vessels.
Merupakan gambaran spektrum yang ditandai dengan
peningkatan “ peak systolic
velocity” yang diikuti peningkatan “end diastolic velocity” dimana peningkatan end
diastolic velocity lebih menonjol sehingga pulsatility index menjadi menurun.
Keadaan ini mengambarkan seolah-olah pembuluh darah arteri sebagai pembuluh darah
vena yang berpulsasi.
Adanya suatu AVM memberikan gambaran feeder pada pembuluh yang mensuplai darah
kesana , hal serupa dapat dijumpai pada keadaan hiperemia. Kedua keadaan tersebut
dengan mudah dapat dibedakan berdasarkan reaktifitas pembuluh terhadap stimulasi
vasoaktif pembuluh dimana reaksi vasoaktif ditemukan lebih baik pada hiperemia.
Penderita dengan riwayat sakit kepala kronis dapat ditemukan adanya feeder vessel bila
reaktifitas baik merupakan manifestasi dari vaskular headache (feeder like) dan
sebaliknya jika vasoaktif minimal kecurigaan perlu diarahkan pada kemungkinan suatu
arterio-venous malformasi (AVM)..
Brain Death.
Dasar penilaian adanya brain death pada pemeriksaan TCD adalah tekanan intrakranial
(ICP) akan lebih besar dari pada tekanan perfusi cerebral (CPP).
Pada pemeriksaaan akan dijumpai gambaran yang bervariasi antara lain :
1. End diatolic velocity menghilang.
2. End diastolic velocity terbalik
3. Sharp systolic flow.
4. Small spike.
5. Pulsatility index yang tinggi..
Menurut Petty 1990, sensitipitas TCD dalam menegakkan diagnosa brain death adalah
91.3%, sedangkan spesifisitasnya 100%.
Vasomotor Reactivity.
Didefinisikan sebagai test yang melihat perubahan cerebral blood flow atau cerebral
blood velocity sebelum dan sesudah distimulasi dengan pemberian vasodilator.
Hal ini bertujuan untuk memdapatkan informasi mengenai kemampuan pembuluh darah
yang bersangkutan untuk melakukan autoregulasi.
41
Beberapa test yang dapat dilakukan antara lain apneu test, CO2 inhalasi test, diamox test.
Test ini dilakukan terutama dengan meningkatnya tindakan endarterectomi pada
penderita stenosis maupun oklusi arteri karotis interna ektrakranial.
Sebelum dilakukan tindakan pembukaan kembali arteri karotids harus dipastikan bahwa
sistim karotis distal stenosis atau penyumbatan masih mampu melakukan reaksi vasoaktif
yang baik karena keadaaan hypoperfusi akan berubah menjadi hyperperfusi setelah
operasi dilakukan. Pada keadaan dimana vasomotor reactivity tidak baik risiko
perdarahan intracerebral sangat besar pada tindakan endarterectomi..
Dengan kemampuan ini TCD selalu dilakukan dalam kontek tindakan endarterektomi
baik sebelum sewaktu maupun sesudah tindakan.
Monitoring emboli
Sebagaimana diketahui pemerikasaan anatomi non invasive arteri karotis dengan
menggunakan B mode carotid duplex banyak dimukan adanya plaque Karotis pada
penderita stroke. Plaque mempunyai risiko menyumbat maupun ruptur. Pada plaque yang
ruptur akan disisipi oleh trombosit yang beraggregasi bertujuan untuk menutup ruptur
tersebut untuk selanjutnya terjadilah proses hemostasis yang menghasilkan thrombus.
Thrombus yang ada akan bertambah besar dan kuat karena selubung fibrin. Trombus
yang terbentuk ini menggantung pada pembuluh darah serta melayang dalam aliran ;
keadaan thrombus ini berisiko untuk lepas dan meninbulkan emboli dilain pihak plaque
yang mengandung thrombus memberikan ruang gerak yang lebih sempit dalam pembuluh
darah sehingga terjadi stenosis pembuluh darah Karotis. Perkembangan technologi
operasi pengangkatan plaque carotis sendiri mempunyai risiko terjadinya pelepasan
emboli sehingga dalam pelaksaaannya selalu dilakukan pengamatan terus menerus
terhadap aliran arteri cerebri media sesisi dengan menggunakan transcranial Doppler
pada saat berlangsungnya operasi untuk menilai adanya emboli.
Evaluasi pengobatan
Transcranial Doppler dapat digunakan bukan saja untuk menentukan obat –obatan yang
akan digunakan tetapi juga dapat digunakan untuk melihat efektivitas suatu pengobatan.
Indikasi penggunaan obat antispasm pada subarachnoid hemorrhage dan dapat dievaluasi
hasil yang diberikan oleh obat-obat tersebut.
42
Penggunaan obat golongan antikoagulan pada prevensi stroke sekunder dapat dilakukan
dengan ditemukannya basal cranial arteri stenosis.
Penggunaan obat trombolisis dapat diamati dengan mengunakan TCD. Bernd
mengatakan pemamfaatan TCD dalam pengobatan
trombolisis
pada sistim
vertebrobasilar mempunyai kemampuan yang sama dengan angiography.
d.Pemeriksaan Neurovaskular Invasif
Tidak dapat disangkal lagi bahwa visualisasi sistem pembuluh darah otak merupakan
syarat utama dalam menilai keadan penderita TIA. Meskipun etiologi penyakit ini
banyak, akan tetapi sebagian besar disebabkan oleh proses tromboembolik dan ateroma
pembuluh darah ekstrakranial atau dari jantung. Barnett menyebutkan bahwa dari
penderita TIA yang dianggap menderita gangguan hemodinamik, maka
87 %
menunjukkan adanya lesi vaskular yang sesuai dengan gejala klinisnya.
Disebutkan pula bahwa pada kasus-kasus yang dikumpulkannya, lesi vaskular ini
ditemukan pada 90 % kelompok karotis dan 78 % pada kelompok vertebrobasilar.
Terhadap penderita ini telah dilakukan tindakan bedah pada pembuluh darah
ekstrakranial serta anastomosis arteri serebri media temporalis. Pemeriksaan angiografi
ini tidak dapat diganti dengan pemeriksaan apapun.
Pada setiap penderita TIA dimana gangguan hemodinamik merupakan penyebabnya,
maka setidaknya harus dikerjakan empat versi angiogram. Hal ini perlu untuk melihat
keutuhan pembuluh darah ekstrakranial dengan tidak memandang apakah TIA karotis
atau TIA vertebro-basilar. Sering ditemukan, bahwa pada TIA vertebro-basilar
pembuluh-pembuluh karotis telah mengalami stenosis atau oklusi, dan sebaliknya. Selain
melihat derajat penutupan atau stenosis pembuluh darah ekstrakranial, jenis-jenis
sumbatan dapat pula divisualisasi, misalnya apakah suatu plak dengan iregularitas pada
permukaannya atau steonosis itu bersifat smooth dan multiple (plak labil atau stabil).
Pada kasus-kasus tertentu, misalnya subclavian steal atau pulseless disease, aortogram
mungkin harus juga dikerjakan. Informasi lain, yang juga dapat diperoleh dengan
pemeriksaan arteriografi adalah keadaan kolateral ekstrakranial melalui arteri karotis
eksterna dan kolateral karotis kiri-kanan serta arteri vertebralis. Keadan ini tampak jika
dilakukan angiografi selektif pada karotis kiri atau kanan saja atau pada vertebrobasilar
saja.
Informasi ini dinilai sangat penting dalam pertimbangan endarterektomi dan by-pass,
serta anastomosis. Tindakan arteriografi lebih diprioritaskan pada penderita calon
tindakan pembedahan.
Meskipun arteriografi mempunyai banyak keunggulan dan sampai saat ini merupakan
pemeriksaan penunjang terpenting, namun kelemahannya adalah bahwa sangat sedikit
informasi diperoleh mengenai proses hemodinamikanya sendiri. Sebagai contoh, tidak
jarang ditemukan penderita dengan oklusi karotis bilateral yang hampir total tetapi
asimtomatik.
43
e.Pemeriksaan imajing otak
Pemeriksaan computed axial tomography scanning (CAT Scan) dapat juga membantu
melihat kemungkinan adanya infark pada penderita TIA, terutama silent infarct; jika
positif, maka kemungkinan tromboembolik serebral lebih diperkuat. Perlu diperhatikan
bahwa biaya pemeriksaannya sangat mahal, sehingga bila harus dikerjakan beberapa kali
akan menjadi beban finansial yang amat berat bagi si penderita.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih ialah pemeriksaan SPECT (Simple Photon Emission
Computed Tomography) dan PET Scan (Position Emission Tomography Scan), yang
menggunakan radioisotop dan dapat memperlihatkan secara dinamik perubahanperubahan aliran darah otak pada kegiatan-kegiatan mental maupun fisik (terutama PET).
Pada pemeriksaan SPECT, aliran darah otak diproyeksikan secara global dan dapat pula
menilai perfisi radioisotop ke dalam darah di otak secara kualitatif. Sedangkan pada PET
aliran darah otak secara lebih detail (regional) dapat memperlihatkan adanya
pengurangan aliran darah secara kuantitatif. Dengan PET juga dapat dilihat aliran
metabolisme oksigen glukosa dan lain-lain di daerah sehat maupun sakit.
Keadaan ini merupakan revolusi besar dalam pemeriksaan otak. Karena pemeriksaan
dapat dilakukan bukan saja dalam keadan sakit atau sehat dengan melakukan demonstrasi
perubahan fisiologi aliran darah dan metabolisme otak dalam berbagai kegiatan fisik
maupun mental.
MANAJEMEN STROKE (Guidelines Nasional Stroke 2007)
Manajemen Stroke untuk Indonesia, sesuai dengan kesepakatan nasional perhimpunan
dokter spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI), mengacu pada guidelines nasional stroke,
2007.
Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan morbiditas dan menurun
kan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan. Salah satu upaya yang berperan penting
untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengenalan gejala-gejala stroke dan penanganan stroke
secara dini .
Manajemen stroke dibagi dalam manajemen pra rumah sakit, di rumah sakit dan setelah keluar
dari rumah sakit yang ditujukan untuk prevensi sekunder dan perbaikan kualitas hidup.
Selama perawatan di rumah sakit, selain pemeriksaan fisik neurologi, juga dipergunakan skoring
analisis untuk lokasi lesi dengan klasifikasi Bamford dan beratnya stroke dengan NIHSS
(National Institute Health of Stroke Scales). Untuk membedakan stroke iskemik dan stroke
perdarahan dipakai Siriradj Score.
Pengobatan farmakologik pada stroke dimaksudkan untuk mencegah kematian sel neuron
berkelanjutan pada saat akut dan mencegah stroke berulang.
Tatalaksana intervensi-neurologik untuk stroke iskemik dengan tehnik trombolisi plus stenting
dan perdarahan subarakhnoid dengan tehnik coiling, saat ini telah dikembangkan.
Dari hasil penelitian epidemiologi stroke, sekitar 20% penderita stroke akan mendapat serangan
ulang (recurrent stroke).Untuk pencegahan stroke, prevensi primer dan sekunder merupakan hal
yang terbaik.
44
Dipandang dari sudut patofisiologi perubahan metabolisme baik di tingkat seluler maupun di
tingkat regional berbeda antara stroke iskemik dan stroke hemoragik, sehingga dengan demikian
pendekatan terapeutiknya juga akan berbeda.
Penderita stroke sejak mulai sakit pertama kali dirawat sampai proses rawat jalan di luar RS,
memerlukan perawatan dan pengobatan terus menerus sampai optimal dan mencapai keadaan
fisik maksimal.
Jadi, strategi manajemen mempunyai tujuan utama untuk:
a. Memperbaiki keadaan penderita sehingga kesempatan hidup maksimum. Merupakan usaha
terapeutik/medik terutama dalam fase akut hingga optimal. Pada penderita diukur bukan
status neurologi, tetapi kemampuan fungsional yang dapat tercapai.
b. Memperkecil pengaruh stroke terhadap penderita dan keluarga.
Menurut WHO, konsekuensi stroke dilihat 4 aspek :
a. Aspek patologi: membicarakan tentang anatomi, etiologi dan patofisiologi stroke secara
klinis dan intervensi medik (pembedahan) dilakukan berdasarkan proses patologi ini.
b. Impairment: menggambarkan hilangnya fungsi fisiologi, psikologis dan anatomis yang
disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi, fisioterapi, terapi okupational, EMG/evoked
potential ditujukan untuk menetapkan kelainan ini.
c. Disability: setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang
seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat seperti : tidak bisa jalan, menelan, atau
melihat akibat pengaruh stroke.
d. Handicap: halangan atau gangguan pada seorang penderita stroke akibat impairment atau
disability tersebut.
Manajemen stroke terdiri dari beberapa fase yang saling berkaitan dan berurutan, yaitu:
a. Manajemen Umum pada fase akut
b. Manajemen Spesifik pada fase akut; pembedahan maupun medik
c. Manajemen Rehabilitasi pada fase perawatan lanjutan.
I. Manajemen stroke pra-rumah sakit meliputi:
1. Deteksi dini stroke
Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain
hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia,
vertigo, afasia, disfagia, disatria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang kesemuanya
terjadi secara mendadak, harus dikenali oleh masyarakat.
2. Pengiriman pasien / transportasi - ambulans
Ambulan gawat darurat sangat berperan penting dalam pengiriman pasien ke fasilitas
yang tepat untuk penanganan stroke. Semua tindakan dalam ambulansi pasien hendaknya
berpedoman kepada protokol dan petugas ambulan mempunyai kompetensi dalam
penanganan stroke. Fasilitas ideal yang harus ada ada dalam ambulans sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
Personil yang terlatih.
Mesin EKG.
Peralatan dan obat-obatan resusitasi dan emergensi
Obat-obatan neuroprotektan.
Telemedisin
45
3. Menyiapkan jaringan yaitu unit gawat darurat, stroke unit atau ICU sebagai tempat tujuan
penanganan definitif pasien stroke.
II. Manajemen Kegawat Daruratan Stroke di Unit Gawat Darurat
A. Manajemen stroke iskemik fase akut
Penanganan stroke akut, harus disamakan dengan keadaan darurat pada jantung, karena
baik pada kedaruratan kardiologik maupun neurologik, faktor waktu adalah sangat
penting (time is brain). Otak dan sel-sel neuron harus diselamatkan secara cepat, karena
sel-sel otak tidak dapat melakukan glikolisis anaerob sehingga masa bertahannya hanya
beberapa menit pada iskemia otak fokal dan lebih lama (mendekati 60 menit) pada
iskemia global (misalnya karena infark miokard akut).
Manajemen stroke iskemik fase akut, dilakukan ABC sesuai dengan prinsip
kegawatdaruratan :
a. Airway and Breathing:
Pembebasan jalan napas bagian atas merupakan prioritas yang pertama supaya bersih dan
bebas hambatan, setelah itu dilakukan penilaian tingkat kesadaran, kemampuan bicara,
dan kontrol pernapasan dengan cepat hanya dengan menanyakan “nama dan alamat”
penderita. Pemeriksaan orofaring dan mulut dilakukan untuk melihat sisa makanan, gigi
palsu yang lepas atau benda asing dimulut. Kesulitan untuk memperoleh udara dan
saluran napas bagian atas umumnya karena kesadaran menurun, mungkin diperlukan
gudel atau jalan nafas hidung (nasal trumpet).
Perlu diperhatikan bahwa pemasangan gudel dapat merangsang gag-reflex yang agak
sulit ditoleransi penderita, kecuali bila kesadaran sudah sangat menurun. Jika penderita
dengan kesadaran sangat menurun dan tidak mampu mengendalikan sekret oral,
pertimbangkan untuk intubasi dan ventilasi mekanik. Setelah potensi jalan nafas
terkendali, observasi terus menerus terhadap irama dan frekwensi pernapasan harus
dilakukan. Tujuannya ialah untuk mendeteksi tanda-tanda awal gagal nafas misalnya
pernafasan paradoksial dimana terjadi pengembangan rongga dada pada inspirasi
sedangkan abdomen berkontraksi. Keadaan ini menunjukkan bahwa diafragma tidak
berfungsi lagi dan tertarik ke atas. Intubasi ETT (Endo Trachel Tube) atau LMA (Laryngeal
Mask Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (pO2 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg),
atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
b. Sirkulasi (Circulation)
Stabilisasi sirkulasi penting untuk perfusi organ-organ tubuh yang adekuat. Termasuk
komponen sirkulasi adalah denyut nadi, frekuensi detak jantung dan tekanan darah. Bruit
di leher dan arteri oftalmika. Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan pada kedua sisi,
jika terjadi perbedaan nyata maka kemungkinan terdapat diseksi aorta atau karotis.
Keadaan ini seterusnya bermanifestasi terhadap kedaruratan neurologi. Setelah itu
dilakukan pemeriksaan denyut nadi pada keempat ekstremitas secara simetris. Jika
mungkin, monitor kardiak dan tekanan darah, pemasangan pulse-oksimetri, dan
dilakukan deteksi EKG. Perubahan EKG dapat terjadi misalnya berupa inverse
gelombang T pada 15 – 70 % kasus stroke akut.
46
Disritmia jantung terjadi jika terjadi pelepasan katekolamin otak yang bukan saja
mempengaruhi hantaran listrik jantung tetapi juga menimbulkan dekompensasi kordis
(gagal jantung kongestif) atau infark miokard akut.
Berikan cairan kristaloid atau kolloid intravena (hindari pemberian cairan hipotonik seperti
glukosa karena hiperglikemia menyebabkan perburukan fungsi neurologis dan keluaran).
Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan disamping dapat
memantau kecukupan cairan, juga dapat sebagai sarana untuk memasukkan cairan dan
nutrisi.
Optimalisasi tekanan darah. Jika sirkulasi telah stabil maka penilaian setiap 15 menit
diperlukan untuk menilai kondisi di atas. Selain itu, pada penderita stroke akut harus
segera dipasang IVFD (intravenous fluid drip).
Setelah itu perlu tindak lanjut karena beberapa penyakit dapat menyerupai serangan
stroke akut misalnya hipo dan hiperglikemi, hiponatremi, paralisis Todd pasca kejang,
migrain komplikata dan keadaan infeksi akut (meningitis/ensefalitis).
Pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnostik tersebut dilakukan setelah tindakan
ABC selesai dengan baik.
B.Manajemen pada Stroke Hemoragik Akut
Pertolongan awal harus bersifat khusus, serupa dengan jenis lain dari stroke (Airway,
Breathing, Circulation, cegah infeksi, dan sebagainya). Jika kepastian lokasi dan
ukuran perdarahan intraserebral telah jelas pada CT scan/MRI, penentuan penyebab
perdarahan perlu diketahui karena sangat mempengaruhi prognosis, apalagi jika tindakan
pembedahan direncanakan akan dilakukan. Hal ini penting misalnya apakah ada
kelainan-kelainan lain (gangguan koagulasi, gangguan fungsi hepar, kemungkinan
amyloid vasculopathy).
Faktor-faktor penentu prognosis yang telah diketahui :

Derajat kesadaran menurun, usia, volume darah (50 cc pada perdarahan
subratentorial, prognosisnya jelek, dan ekstensi perdarahan ke ruang
intraventikural > 20 cc prognosisnya buruk).

Pada perdarahan infratentorial, hilangnya refleks-refleks batang otak disertai
respon motorik yang hilang terhadap nyeri jika berlangsung beberapa jam
menunjukan prognosis yang buruk.
CT scan otak ulang mungkin diperlukan jika klinis memburuk dan dapat ditemukan
adanya perdarahan ulang ditempat yang sama atau tempat lain, hydrocephalus atau jika
status generalis menunjukkan adanya gangguan sistemik lain. Peninggian tekanan
intrakranial bukan saja disebabkan oleh karena adanya hematom, tapi dapat disebabkan
oleh faktor lain, seperti demam, hipoksia, kejang dan peninggian tekanan intrakranial
yang harus segera diatasi.
Penggunaan obat-obat untuk menurunkan tekanan intrakranial agak sulit dilakukan pada
perdarahan intraserebral primer. Hal ini disebabkan karena pemakaian obat-obat ostemik
seperti gliserol, manitol akan mengurangi edema di daerah tersebut, dalam waktu agak
lama dapat memberi kesempatan pada hematom untuk menjadi lebih ekspansif karena
edema perihematom berkurang. Karena penggunaan obat-obatan ini secara uji klinis acak
belum ada untuk memberikan kepastian akan manfaat dibandingkan dengan kerugiannya.
47
Larutan manitol 20-25 % merupakan zat yang paling banyak dipakai: 0,75-1mg/kg BB
bolus diikuti 0,25-0,5 mg/kg BB setiap 3-5 jam tergantung pada respon klinis.
Komplikasi penggunaan ostemik adalah hipotensi, hipokalemi, gangguan fungsi ginjal
karena hiperosmolaritas gangguan jantung kongestif dan hemolisis. Beberapa senter
menggunakan kortikosteroid, akan tetapi dibandingkan dengan obat osmolar maka
bahaya komplikasi pengobatan lebih sering terjadi.
Manajemen Stroke di Ruang Rawat
PENATALAKSANAAN UMUM DI RUANG RAWAT.
Penatalaksanaan komprehensif secara garis besar di ruang rawat stroke, terdiri dari hal-hal
tersebut dibawah ini :
1. Ulangi pemeriksaan neurologi lengkap termasuk NIHSS dan Bamford serta follow
up kondisi klinis dengan urutan SOAP (S=subyektif (keluhan), O=obyektif (hasil
pemeriksaan fisik dan neurologic), A=asesmen (diagnosis) dan P=planning
(pemeriksaan penunjang tambahan, konsultasi bagian lain, obat, fisioterapi, nutrisi)
2. Cairan
3. Nutrisi
4. Pencegahan dan mengatasi komplikasi
5. Penatalaksanaan medik yang lain
a. Hyperglikemia pada stroke akut harus diobati.
b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor tranquilizer
seperti benzodiazepin short acting atau propofol bisa di gunakan.
c. Analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
d. Berikan H2 antagonist, apabila ada indikasi (perdarahan lambung)
e. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil
f. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemeriksaan laboratorium, MRI, Dupleks
Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain-lain sesuai dengan
indikasi
g. Rehabilitasi.
h. Komunikasi, Infoemasi dan Edukasi pada pasien dan keluarga.
i. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien setelah keluar dari rumah sakit)
Perawatan umum pada penderita stroke akut
Prinsip perawatan dan pengobatan umum pada stroke akut adalah mempertahankan
kondisi agar dapat menjaga tekanan perfusi dan oksigenasi serta makanan yang cukup
agar metabolisme sistemik otak terjamin. Secara klinis, ini dilakukan :
a. Stabilisasi fungsi kardiologis melalui ABC.
b. Mencegah infeksi sekunder terutama pada traktus respiratorius dan urinarius.
c. Menjamin nutrisi, cairan dan elektrolit yang stabil dan optimal.
d. Mencegah dekubitus dengan trombosis vena dalam.
e. Mencegah timbulnya stress ulcer dengan pemberian obat antasida/pump
inhibitor.
48
f. Menilai kemampuan menelan penderita, untuk menentukan apakah dapat
diberikan makanan per oral atau dengan NGT (nasogastric tube). Penentuan ini
tidak sulit jika penderita sadar, tetapi menjadi sukar bila kesadaran penderita
menurun, karena melakukan tes aspirasi mempunyai risiko terjadinya pneumonia
aspirasi. Menurut Warlow (1995) pemeriksaan video fluoroskopi akan
memperlihatkan proses visualisasi refleks menelan. Apabila alat ini tidak ada,
maka gag reflex dapat dijadikan indikator fungsi menelan, walaupun sulit
dipercaya.
Kemungkinan gangguan menelan harus diperhitungkan pada keadaan – keadaan :

Stroke berat :
o kesadaran menurun
o kelumpuhan berat dan ataksia trunkal
o disfasia hemineglek dan hemianopia

Usia tua

Kegelisahan

Paresis diafragma

Kontrol batuk yang jelas terganggu

Suara serak, bicara berat

Adanya infeksi paru

Sensasi faring yang berkurang
Terapi medik stroke iskemik akut
Terapi medik stroke merupakan intervensi medik dengan tujuan mencegah meluasnya
proses sekunder dengan penyelamatan neuron-neuron di daerah penumbra serta
merestorasikan fungsi neurologik yang hilang.
Pengobatan medik yang spesifik dilakukan dengan dua prinsip dasar yaitu:
a. Pengobatan medik untuk memulihkan sirkulasi otak di daerah yang terkena stroke,
kalau mungkin sampai keadaan sebelum sakit. Tindakan pemulihan sirkulasi dan
perfusi jaringan otak disebut sebagai terapi reperfusi.
b. Untuk tujuan khusus ini digunakan obat-obat yang dapat menghancurkan emboli
atau trombus pada pembuluh darah.
Agar kedua prinsip dasar terapi dapat dicapai, dilakukan terapi :
1. Terapi Trombolisis
Satu-satunya obat yang diakui FDA sebagai standar ini adalah pemakaian r-TPA
(recombinant-Tissue Plasminogen Activator) yang diberikan pada penderita stroke akut
dengan syarat-syarat tertentu baik intravena maupun intra arterial dalam waktu kurang
dari 3 jam setelah onset stroke. Diharapkan dengan pengobatan ini, terapi penghancuran
trombus dan reperfusi jaringan otakterjadi sebelum ada perubahan ireversible pada otak
yang terkena, terutama daerah penumbra.
49
2. Terapi Medik lainnya:
a. Terapi reperfusi adalah pemberian antikoagulan pada stroke iskemik akut. Obatobatan yang diberikan adalah heparin atau heparinoid (fraxiparine). Obat ini
diharapkan akan memperkecil trombus yang terjadi dan mencegah pembentukan
trombus baru. Efek antikoagulan heparin adalah inhibisi terhadap faktor koagulasi
dan mencegah/memperkecil pembentukan fibrin dan propagasi trombus. Ikatan
heparin dengan AT III menginaktivasi enzim-enzim, sehingga koagulasi meningkat,
yang bekerja terhadap trombin (IIa), faktor Xa dan faktor IXa. Pada saat ini para
ahli belum merekomendasikan terapi antikoagulan pada stroke dan sepakat
memberikan untuk mengobati trombus vena dalam yang merupakan
komplikasi/penyulit stroke akut.
b. Pengobatan anti platelet pada stroke akut.
Pengobatan dengan obat antiplatelet pada fase akut stroke, baru-baru ini sangat
dianjurkan. Uji klinis aspirin pada IST (International Stroke Trial) dan CAST
(Chinese Aspirin Stroke Trial) memberitakan bahwa pemberian aspirin pada fase
akut menurunkan frekuensi stroke berulang dan menurunkan mortalitas penderita
stroke akut.
c. Obat-obat defibrinasi
Obat-obat ini berasal dari racun ular Ancord (purified fraction) yang mempunyai
efek terhadap defibrinasi cepat, mengurangi viskositas darah dan efek antikoagulasi
(Hoesman, 1982 disebut oleh Warlow et.al.1995).Obat ini pernah dicoba pada
sejumlah kecil penderita tetapi hasilnya tidak signifikan. Efek samping berupa
perdarahan otak merupakan hal-hal yang menghalangi penggunaan obat ini, tetapi
sampai sekarang masih diteliti.
d. Terapi Neuroproteksi
Pengobatan spesifik iskemik stroke akut yang kedua adalah dengan obat-obat
neuroprotektor, yaitu obat yang mencegah dan memblok proses yang menyebabkan
kematian sel-sel terutama di daerah penumbra. Obat-obat ini berperan dalam
menginhibisi dan mengubah reversibilitas neuronal yang terganggu akibat kaskade
iskemik. Termasuk dalam kaskade ini adalah kegagalan homeostasis kalsium,
produksi berlebih radikal bebas, disfungsi neurotransmitter, edema serebral, reaksi
inflamasi oleh leukosit, dan obstruksi mikrosirkulasi. Proses delayed neuronal
injury ini berkembang penuh setelah 24-72 jam dan dapat berlangsung sampai 10
hari.
Banyak obat-obat yang dianggap mempunyai efek neuroprotektor, antara lain:

Penghambat kanal kalsium: nimodipin, manfaat pada stroke iskemik kurang
meyakinkan.

Obat-obat antagonis pre sinaptik dari Excitatory Amino Acid (EAA) seperti
fenitoin, lubeluzole dan propentofilin yang kesemuanya ternyata juga kurang
ekeftif pada uji klinik. Sedangkan obat antagonis asca sinaps terhadap EAA
seperti cerestat, dizocilpime, dextorphan, dextrometorfan, selfotel dan
50
eliprodril telah ditinggalkan karena kurang efektif dan mempunyai potensi
efek samping yang serius.

Obat-obat yang mensupresi pelepasan asam arakhidonat dan membran sel
seperti prostasiklin ternyata tidak bermanfaat sebagai vasodilator (efek
hipotensif) maupun sebagai antiplatelet, pada stroke iskemik akut.

Obat-obat anti radikal bebas seperti lazaroid, tyrilazad mesylat dan
propentofillin, keduanya tidak dapat digunakan karena tidak efektif.
Secara umum dapat dikatakan, saat ini belum ada obat-obat neuroprotektif yang dapat
dipakai pada iskemik stroke akut meskipun pada binatang percobaan jelas mempengaruhi
dan memperbaiki sel-sel penumbra.
Disamping obat-obatan di atas, telah pula dilaporkan usaha pengobatan dengan tujuan
memperbaiki aliran darah otak serta metabolisme regional didaerah iskemia otak. Obatobat ini misalnya: citicholine, pentoksifilin, pirasetam. Penggunan obat-obat ini melalui
beberapa percobaan klinik dianggap bermanfaat, dalam skala kecil.
Seperti halnya dengan obat-obat lain pada stroke akut, variasi penderita dan sulitnya
memperoleh sampel yang identik dan kecilnya jumlah penderita yang diselidiki
menyebabkan hasil-hasil terapi yang kontroversial. Di masa yang akan datang diperlukan
metode penelitian yang lebih seksama dan percobaan dalam skala besar/multi sentra,
akan dapat membantu menentukan efek obat-obat ini secara lebih teliti.
3.Terapi Neuro-Intervensi
Tatalaksana khusus pada saat ini juga dilakukan untuk kasus perdarahan sunarakhnoid yang
disebabkan oleh anuerisma. Ada dua pilihan terapi, yaitu konservatif dan terapi intervensineurologik dengan pemasangan coiling oleh para ahli intervensionalis atau clipping oleh spesialis
bedah saraf. Cara terapi konvensional adalah dengan pemberian nimodipin, terapi 3H,
menghindari rangsang sinar, menghindari stres dan istirahat total.
Untuk stroke iskemik juga telah dikembangkan tatalaksana neuro-intervensi yaitu dengan
cara revascularisasi komprehensif. Caranya adalah dengan metoda trombosis pada fase akut
stroke iskemik dan dilanjutkan dengan melakukan stenting pada pembuluh darah karotis dan
pembuluh darah didalam otak.
Terapi stroke hemoragik
Penanganan stroke hemoragik dapat bersifat medik atau bedah tergantung keadaan dan
syarat yang diperlukan untuk masing-masing jenis terapi.
Penanganan medik fase akut dilakukan pada penderita stroke hemoragik dengan
menurunkan tekanan darah sistemik yang tinggi dengan obat-obat anti hipertensi yang
biasanya kerja cepat untuk mencapai tekanan darah pre morbid atau diturunkan kira-kira
20 % dari tekanan darah waktu masuk rumah sakit. Jika keadaan penderita cukup berat
karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) disertai dengan deteriorasi fungsi
neurologik progresif, intubasi, hyperventilation terkontrol dan pemantauan diuresis dapat
dilakukan dalam setting ICU.
51
Tindakan bedah pada perdarahan intraserebal sampai sekarang masih kontroversial
terutama pada perdarahan daerah ganglia, prognosis biasanya buruk secara fungsional.
Meskipun ada beberapa indikasi untuk tindakan bedah, misalnya volume darah > 55 cc
dan peregeseran garis tengah > 5 mm. Pada kasus perdarahan intraserebral, pasien dapat
bertahan hidup, tetapi level fungsionalnya kurang baik Tindakan bedah pada stroke
hemoragik.
Perdarahan intraserebral dibedakan atas perdarahan supratentorial dan infratetorial
dengan gejala klinis yang khas pada masing-masing lokasi. Tindakan pembedahan pada
perdarahan intra-serebral primer tergantung tujuan tingkat keparahan klinis dan indikasi
bedahnya.
Tindakan bedah yang dilakukan adalah: aspirasi sederhana, kraniotomi dan bedah terbuka
(open surgery), evakuasi endoskopik dan aspirasi stereotaksik.
Aspirasi sederhana jarang dilakukan karena biasanya darah hanya sedikit yang dapat di
sedot dan disamping itu dapat menimbulkan “blind in rebleeding”. sedangkan open
surgery telah dibuktikan kurang bermanfaat karena pada uji klinis menyebabkan
kematian dan cacat berat meningkat 13 % (prasal 1993, disebut oleh Warlow at al 1996).
Evakuasi endoskopik yang dilakukan uji klinis oleh Auer et al 1989 (disebut Warlow at al
1996) menyebutkan bahwa prosedur ini berguna untuk perdarahan subkortikal dengan
syarat penderita < 60 tahun dan kesadaran baik atau turun sedikit/somnolen.
Metode ini tidak dapat dipakai pada perdarahan putamen dan talamus. Akan tetapi reevaluasi penelitian menunjukkan bahwa metode ini belum dapat direkomendasikan
karena diperlukan uji klinis yang lebih besar.
Aspirasi stereotaksik tanpa endoskopi telah banyak dilakukan terutama di Jepang pada
perdarahan supratentorial baik intraparenkim maupun inteventrikular. Diperlukan uji
kilnis yang mapan untuk memastikan bahwa metode ini cukup berhasil.
Pembedahan perdarahan serebelum lebih pasti dalam indikasinya dibandingkan
perdarahan supratentorial dan jika dilakukan sesuai indikasi akan menolong hidup
penderita.indikasi yang jelas yaitu : adanya penurunan kesadaran yang disertai dengan
kompresi batang otak yang prokresif atau diameter hematoma > 3 cm. jika penderita
menurun kesadarannya dengan disertai hidrosefalus dan diameter hematoma < 3 cm,
maka tindakan ventrikulostomi (Ventriculo-Peritoneal shunt) dapat dilakukan sebagai
tindakan awal dan kemudian observasi pendertia akan menentukan apakah trepanasi
sereberal perlu untuk tindakan.
Terapi Perdarahan Subarakhnoid
Dasar-dasar penatalaksanaan perdarahan subaraknoid adalah menegakkan diagnosa
klinis, menetapkan lokasi aneurisme yang bocor dan mengatasi perdarahan dengan
pemasangan klipping pada aneurisma. Akan tetapi mortalitas yang tinggi pada
perdarahan subaraknoid bersumber dari komplikasi yang sering ditemukan selama
perawatan pasiennya, yaitu perdarahan ulang (rebleeding), delayed cerebral iskemia,
hidrosefalus dan komplikasi sistemik lain.
52
Seperti jenis stroke lainnya, pengobatan pada perdarahan subaraknoid juga dilakukan :
a. Manajemen Umum
Perhatian khusus ditujukan pada keadaan yang mempunyai potensi memperburuk
kondisi dari penderita. Ini meliputi :
1. ABC pada resusitasi kardiopulmoner
2. Pengelolaan hipertensi
Pengelolaan hipertensi harus hati-hati karena pengobatan yang agresif dapat
menyebabkan hipotensi yang menyebabkan bertambahnya iskemia. Sebaiknya
pengobatan hipertensi: hanya dilakukan bila ada kerusakan organ target dengan
menggunakan anti hipertensi kerja cepat.
3. Keseimbangan cairan elektrolit.
Pemberian cairan dan elektrolit yang cukup dan tidak boleh terjadi hipo
atau hipervolemia.
4. Nyeri kepala pada penderita perdarahan subaraknoid yang sadar atau penurunan
sedikit kesadaran dapat sangat hebat. Terapi medik dapat diberikan bertahap
mulai dari ringan (parasetamol) sampai kodein, atau jika berat injeksi morfin
secara intravena diberikan dalam beberapa dosis sehari.
b. Pencegahan Perdarahan Berulang
Risiko perdarahan aneurisma ulang pada perdarahan subarakhnoid diperkirakaan 35 – 40
% pada 4 minggu pertama dari mereka yang hidup pada hari pertama. Mereka yang
dirawat pada hari pertama, risiko perdarahan ulang pada hari tersebut sulit dihindari,
karena perdarahan ulang dapat terjadi pada 6 jam pertama setelah serangan dan mungkin
pada mereka yang belum sempat dirawat dan meninggal. Karena itu secara kasar risiko
perdarahan ulang kurang lebih 20 % pada hari pertama (Walow 1995).
Penggunaan terapi anti fibrinolik adalah untuk mencegah perdarahan ulang. Di Indonesia
sering dipakai adalah EACA (Epsilon Amino Caproic Acid) dengan dosis 3 – 4,5 gram
setiap 3 jam secara IV.atau per oral. Manfaatnya adalah untuk mencegah lisis dari bekuan
darah yang menutup dinding aneurisma bila belum pecah oleh bekuan fibrin (thrombosed
aneurism). Struktur molekul EACA ini mirip dengan lysine dan memblok plasminogen
untuk bergabung dengan fibrin yang memulai proses fibrinolisis. Disamping itu, obat
TEA (Tranexamid Acid) banyak dipakai dengan dosis (1 gram i.v. atau 1,5 gram oral 4
sampai 6 kali sehari). Efek obat ini adalah sama dengan EACA, dalam mencegah proses
fibrinolisis pada thrombosed aneurysm.
Sayangnya akhir-akhir ini manfaat kedua obat tersebut dipertanyakan karena pada
metaanalisis RCT (Randomized Clinical Trial) yang dilakukan ternyata pengobatan anti
fibrinolisis tidak berbeda dengan placebo (Warlow et.al. 1995). Pada saat ini sedang
dicoba uji klinis kombinasi antara antagonis kalsium dengan anti fibrinolitik dan hasilnya
belum diumumkan.
53
c. Pencegahan Iskemia serebral
Pada perdarahan subaraknoid dapat terjadi iskemia serebri, yang dipengaruhi oleh:

Jumlah darah yang terlihat pada CT scan awal. Makin besar jumlahnya maka
makin besar kemungkinan akan iskemia serebral timbul.

Menurunnya kesadaran yang jelas setelah serangan. Perburukan kesadaran dapat
menjadi indikator iskemia otak.

Terdapatnya hipovolemia/hiponatremia. Telah diketahui bahwa salah satu akibat
perdarahan subaraknoid, yaitu hiponatremia timbul yang diakibatkan oleh cerebral
salt wasting effect.

Pengobatan anti hipertensi yang berlebihan menyebabkan hipoperfusi dan
mencetuskan iskemia serebral.

Terdapatnya bukti-bukti meta-analisis yang menduga bahwa obat-obat anti
trombolitik dapat menjadi pemicu iskemia serebral.
Pencegahan yang efektif terhadap iskemia serebral, adalah dengan pengobatan antagonis
kalsium Nimodipin, Warlow et.al. (1995) mengutip penelitian Pickard et.al. (1989) yang
menunjukkan manfaat pemberian nimodipin oral setiap 4 jam selama 21 hari dibanding
placebo. Hasilnya adanya penurunan signifikan dari keluaran dari 33 % menjadi 20 %.
Sedangkan komplikasi serebral iskemia diturunkan secara signifikan sampai 34 %.
Sampai sekarang nimodipin dianggap sebagai obat yang mencegah dengan efektif
kemungkinan timbulnya delayed cerebral iskemia post aneurisma pada perdarahan
subaraknoid. Obat-obat lain yang pernah dipakai sebagai prevensi adalah
Tenadrocortisone acetate yang hasilnya tidak jelas bermanfaat sedangkan aspirin
tampaknya mempunyai efek positif terhadap pencegahan iskemia serebral. meski dalam
studi retrospektif perlu klarifikasi lebih lanjut.
Jika terjadi perdarahan ulang pada perdarahan subaraknoid, yaitu pecahnya aneurisma
lain, maka prognosis biasanya buruk. Gejala yang paling sering adalah perburukan klinis
disertai penurunan kesadaran yang drastis. Perlu diperhatikan bahwa kejang, fibrilasi
ventrikuler dan iskemia serebral merupakan hal-hal lain yang juga memperburuk kondisi
klinis. Meski demikian, resusitasi kardio-pulmoner-serebral masih dapat dilakukan dan
sebagian penderita masih dapat bertahan dan sadar kembali setelah mengalami henti
nafas. Dalam hal ini, satu-satunya pertolongan dalam pengobatan hanya klipping
emergensi dengan segala resikonya.
Manajemen Gangguan metabolik pada stroke
Gangguan metabolik yang timbul pada fase akut stroke terutama stroke berat. Keadaan
ini harus segera diatasi karena mempengaruhi prognosis dan kembalinya fungsi
neurologik.
Gangguan metabolik ini antara lain:
a.
Dehidrasi: dapat dikenal dengan pemeriksaan bedside dan pemeriksaan tambahan
lain.
b.
Hiponatremia: sering terjadi pada stroke hemoragik dan perdarahan subaraknoid.
Salah satu penyebabnya adalah kehilangan garam yang berlebih oleh karena
54
penggunaan diuretika, atau karena faktor dilusi seperti SIADH (sindrome of
inappropriate diuretic hormone). Keadaan hiponatremia memperburuk kondisi
neurologis penderita stroke. Pengobatan, selain tambahan NaCI baik oral/parental
(NaCI 3%) diberikan pelan – pelan untuk mencegah komplikasi central pontine
myelinolysis (Machiava Bignami Disease) (Haris et al 1993, seperti dikutip oleh
Warlow 1995).
c.
Hiperglikemia dan hipoglikemi: Kenaikan kadar glukosa darah ditemukan pada
43% penderita stroke akut, dan 25% diantaranya adalah penderita DM dan dalam
jumlah yang sama (25%) ditemukan kenaikan HbA1c pada serum. Setengahnya
lagi (50%) yaitu penderita non DM dengan respons hiperglikemia akibat stroke.
Mungkin sekali kenaikan ini akibat dari pelepasan katekolamin atau karena
steroid yang dieskresi berlebihan sebagai akibat stres (stress response).
Implikasi klinik dari hiperglikemia pada stroke kurang baik karena ini
mencerminkan respons terhadap stress berat (stroke yang parah) dan bahwa
keadaan hiperglikemia menghambat restorasi neuro penumbra. Sedangkan
keadaan hipoglikemia jelas memperburuk stroke. Biasanya akibat intake yang
kurang atau pengobatan terhadap hiperglikemia yang terlalu rendah. Keadaan
hipoglikemia segera diatasi dengan pemberian glukosa 40% atau memberikan
gula peroral.
Terapi stroke emboli
Infark serebral, merupakan jenis terbanyak dari stroke (70-80%, Thomson et al, 1996). Di
antara jumlah ini, 80% akibat kelainan patologi pembuluh darah serebro vaskuler baik
perubahan arteriotrombotik pada pembuluh besar, maupun karena penyakit pada
pembuluh kecil (small vessel disease) dengan manifestasi infark lakunar. Diantaranya
15% dari infark serebral terjadi karena emboli kardiak, akibat atrial fibrilasi atau penyakit
jantung iskemik. Sisanya diperkirakan akibat aorta dissecans, hiperkoagulasi dan
vaskulitis serebral (5%), sedangkan 20% tidak jelas (Sacco et.al. 1989).
Thomson dan Furlan juga mengutip pernyataan Terant 1993, bahwa dari penderita stroke
yang terjadi setiap tahun, 75% serangan pertama, 20% merupakan stroke ulang dan 5%
adalah penderita stroke multipel. Gangguan fungsi jantung akan meningkatkan risiko
stroke, seperti penyakit jantung koroner, penyakit jantung kongestif, penyakit katup,
trombus intra kardiak, dan atrial fibrilasi kronik merupakan faktor risiko terendah yaitu
3% setahun dan akan meningkat jika terjadi peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler.
Pengobatan stroke akut, baik karena apapun sebabnya, terdiri atas :
a. Pengobatan umum meliputi :
1) Tindakan ABC dan resusitasi kardiopulmoner.
2) Pencegahan makanan, cairan dan elekrolit
3) Pencegahan infark sekunder.
4) Mencegah edema serebral
5) Mencegah hipertermi dan kejang-kejang
6) Menilai fungsi menelan
55
7) Mencegah DVT, emboli pulmonal dan dekubitas akibat immobilisasi
b. Pengobatan spesifik
Pengobatan spesifik pada emboli serebri pada prinsipnya sama seperti stroke
lainnya, yaitu:
1) Reperfusi: memperbaiki aliran darah otak dengan menghancurkan bekuan
(trombolitik) dengan syarat-syarat dan waktu yang khusus yaitu kurang dari 3
jam dengan Recombinant Tissue Plasminogen Activator (rTPA). Obat-obat lain
yang tidak jelas dibuktikan manfaatnya seperti heparin (antikoagulan). Akan
tetapi dalam hal stroke kardio-embolik ada beberapa hal yang perlu ditonjolkan
yang akan diuraikan secara umum.
2) Obat-obat neuroprotektif: obat-obat ini dipakai berdasarkan pemakaian
eksperimental yang membutikan bahwa proses perubahan patologik dan
metabolik pada sel neuron yang mengalami iskemia dipengaruhi oleh banyak
faktor. Terutama yang menonjol adalah influks ion Ca intraselular serta
perubahan permeabilitas
membran sel terhadap ion K/Na (Na/K pump) serta
bertambahnya radikal bebas di daerah iskemi. Dengan menggunakan obat-obat
yang memblokade perubahan patologik dan metabolisme ini diharapkan
kematian sel-sel neuron dapat dicegah. Obat-obat yang pernah dicoba seperti
nimodipin (penghambat kanal kalsium), aminosteroid, dan antagonis reseptor
NMDA. Sayangnya, sampai sekarang obat-obat tersebut hasilnya masih
kontroversial.
3) Obat-obat lain seperti Ancord (bisa ular) pernah dicoba sebagai anti koagulan
tetapi hasilnya pada manusia tak bermanfaat.
Terapi anti koagulan pada stroke emboli
Pada fase akut stroke, heparin merupakan antikoagulan yang paling sering dipakai.
Alasan memakainya adalah (Sherman dan Lalonde, 1997):

Heparin mengurangi frekuensi DVT dan emboli pulmonal (di USA frekuensi
DVT pada stroke 75, dan emboli pulmonal 5%)

Mencegah dan memperkecil pembentukan trombosis intraarterial pada penderita
stroke dengan demikian mencegah perburukan stroke (karena propagasi
trombus). Dalam hal ini sampai sekarang, heparin belum terbukti memperbaiki
keluaran stroke iskemik (embolik) dan masih kontroversial.
Pemberian heparin pada stroke kardio-embolik masih tetap diberikan di beberapa senter
di Amerika dan dilakukan seperti yang direkomendasikan oleh Cerebral Embolism Study
Group (1983). Perlu diingatkan bahwa bahaya perdarahan intraserebral yang cepat pada
pemberian heparin terutama pada orang tua, hipertensi berat dan infark yang luas.
Penggunaan heparin subkutan lebih disukai dari pada intravena (Warlow et. al 1995) dan
pemberian heparin dilakukan hanya untuk beberapa hari sambil menunggu efek oral
antikoagulan yang lebih efisien tapi efektifitasnya penuh setelah beberapa hari
pemberian. Akhir-akhir ini dilaporkan Kay (1995) manfaat yang lebih baik dari
Fraxiparine, derivat heparin yang lebih stabil dengan efek samping yang lebih ringan.
56
Pengobatan diberikan dengan pemberian subkutan dan meskipun belum dipakai secara
luas, tetapi telah dicoba pada stroke embolik mendahului pemberian oral antikoagulan.
Pemberian heparin diberikan secara intravena dimulai dengan bolus 5.000 unit dan
selanjutnya diberikan 10.000-15.000 unit per hari dengan mempertahankan APTT 1,5 –
2,5 kali normal selama 2-3 hari dan kemudian diberikan oral antikoagulan (warfarin)
dengan target INR 2-3. Biasanya dalam 2-3 hari setelah optimalisasi dosis warfarin,
pemberian heparin dihentikan dan pengobatan diteruskan dengan antikoagulan oral.
MANAJEMEN KEDARURATAN MEDIK STROKE PADA KONDISI
KHUSUS
A. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI atau HIPOTENSI PADA STROKE
1. Penatalaksanaan pada tekanan darah yang tinggi
 Pada penderita dengan tekanan darah diastolik > 140 mmHg (atau >110 mmHg bila
akan dilakukan terapi trombolisis) diperlakukan sebagai penderita hipertensi
emergensi berupa drip kontinyu nikardipin, diltiazem, nimodipin dan lain-lain.
 Jika tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan /atau tekanan darah diastolik >120
mmHg, berikan labetalol i.v. selama 1 – 2 menit. Dosis labetalol dapat diulang atau
digandakan setiap 10 – 20 menit sampai penurunan tekanan darah yang memuaskan
dapat dicapai atau sampai dosis kumulatif 300 mg yang diberikan melalui teknik
bolus mini. Setelah dosis awal, labetalol dapat diberikan setiap 6 – 8 jam bila
diperlukan. Masih ada pilihan obat lain sesuai dengan guidelines.
 Jika tekanan darah sistolik < 220 mmHg dan/ atau tekanan darah
diastolik <
120 mmHg, terapi darurat harus ditunda kecuali adanya bukti perdarahan
intraserebral, gagal ventrikel jantung kiri, infark miokard akut, gagal ginjal akut,
edema paru, diseksi aorta, ensefalopati hipertensi dan sebagainya. Jika peninggian
tekanan darah tersebut menetap pada dua kali pengukuran selang waktu 60 menit,
maka diberikan 200-300 mg labetalol 2-3 kali sehari sesuai kebutuhan. Pengobatan
alternatif yang memuaskan selain labetalol adalah nifedipin oral 10 mg setiap 6 jam
atau 6,25 – 25 mg kaptopril setiap 8 jam. Jika monoterapi oral tidak berhasil atau
jika obat tidak dapat diberikan per oral, maka diberikan labetalol i.v. seperti cara
diatas atau obat pilihan lainnya (urgensi).
 Batas penurunan tekanan darah sebanyak banyaknya sampai 20% - 25% dari tekanan
darah arterial rerata pada jam pertama, dan tindakan selanjutnya ditentukan kasus per
kasus.
2. Penatalaksanaan pada tekanan darah yang rendah
 Pastikan tekanan darah penderita rendah yaitu dibawah 120 sistolik (pada
pengukuran tekanan darah brakhial kanan dan kiri yang digunakan sebagai
pedoman adalah tekanan darah yang tinggi).
 Penggunaan obat obat vasoaktif dapat diberikan dalam bentuk infuse dan
disesuaikan dengan effek samping yang akan ditimbulkan seperti tahikardia
 Pemberian dopamine drip diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan pada
tekanan darah optimal yaitu berkisar 140 sistolik pada kondisi akut stroke.
57
B. MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
Pedoman penatalaksanaan
 Hilangkan faktor faktor yang berisiko meningkatkan tekanan darah seperti retensi
urine, nyeri, febris, peningkatan tekanan intrakranial, emosional stress dan
sebagainya
 Bila tekanan darah tinggi berikan dosis dan cara pemberian sesuai dengan tabel
jenis-jenis obat untuk terapi emergensi
 Pada fase akut tekanan darah tak boleh diturunkan lebih dari 20% - 25% dari tekanan
darah arteri rerata dalam 1 jam pertama
 Bila tekanan darah rendah, harus diberikan obat menaikkan tekanan darah
(vasopresor).
Perhatian :
1. Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh stress akibat stroke, kandung
kencing yang penuh, nyeri, respon fisiologi dari hipoksia atau peningkatan tekanan
intra-kranial.
2. Dengan memperhatikan dan melakukan penanganan pada keadaan tersebut di atas
akan banyak berpengaruh pada tekanan darah sistemik pada fase menunggu 5 - 20
menit pengukuran berikutnya.
3. Untuk perdarahan subarakhnoid diberikan Nimodipine dengan dosis 60 mg tiap 4 jam
sampai 3 minggu.
PENATALAKSANAAN KHUSUS STROKE AKUT (Guidelines Nasional
Stroke, 2007)
PENATALAKSANAAN STROKE ISKEMIK
1. Pengobatan terhadap hipertensi arteri pada stroke akut
Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak direkomendasikan diberikan pada
kebanyakan pasien stroke iskemik (Tingkat Evidensi A)
2. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia
3. Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah reologik darah secara
karakteristik dengan meningkatkan tekanan perfusi tidak direkomendasi.(Tingkat Evidensi A)
4. Pemberian antikoagulan :
a. Pemberian antikoagulan (heparin,LMWH atau heparinoid) secara parenteral
meningkatkan komplikasi perdarahan yang serius (Kelas III, Tingkat Evidensi A)
Data menunjukkan bahwa pemberian dini antikoagulan tidak menurun resiko stroke
ulang dini, termasuk stroke emboli (Kelas I) dan tidak mengurangi resiko memburuknya
keadaan neurologik. Pada keadaan tertentu dapat diberikan, namun waspadai
kemungkinan komplikasi perdarahan. (Kelas I)
b. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut dengan tujuan untuk
memperbaiki outcome neurologik atau sebagai pencegahan dini terjadinya stroke ulang
tidak direkomendasi. (Kelas III Tingkat Evidensi A)
c. Pengobatan antikoagulan dalam 24 jam terhadap pasien yang mendapat rt-Pa intravena
tidak direkomendasi Kelas III, Tingkat Evidensi B)
d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah stroke iskemik tidak
direkomendasi. (Kelas I)
e. Pada beberapa penelitian menunjukkan dosis tertentu unfractioned heparin subkutan
menurunkan stroke iskemik ulang secara dini, tetapi dapat meningkatkan terjadinya
perdarahan. Karena itu penggunaan unfractioned heparin subkutan tidak
direkomendasikan untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas atau pencegahan dini
stroke ulang.(Tingkat Evidensi A)
Dosis tinggi LMWH / heparinoids tidak bermanfaat menurunkan morbiditas, mortalitas
atau stroke ulang dini pada pasien stroke akut. (Tingkat Evidensi A)
58
f.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan imaging
memastikan tidak ada perdarahan intrakranial primer. Terhadap penderita yang mendapat
pengobatan antikoagulan perlu dilakukan monitor kadar antikoagulan.
g. Tidak ditemukan manfaat pemberian heparin pada pasien stroke akut dengan atrial
fibrilasi, walaupun masih dapat diberikan pada pasien yang selektif. Aspirin dan
dilanjutkan dengan pemberian walfarin untuk prevensi jangka panjang dapat diberikan.
Warfarin merupakan pengobatan lini pertama pada kebanyakan kasus stroke kardioemboli. Penggunaan warfarin harus hati-hati, karena dapat meningkatkan resiko
perdarahan. Oleh karena itu perlu monitor INR paling sedikit 1 bulan sekali.
Warfarin dapat mencegah terjadinya stroke emboli kardiogenik dan mencegah emboli
ulang pada keadaan major risk.
h. Pemberian antikoagulan sesuai dengan pedoman antikoagulan pada stroke iskemik.
Pemberian antiplatelet aggregasi :
a. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24-48 jam setelah onset stroke
dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut (Kelas I, Tingkat Evidensi A)
b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut pada stroke
(seperti pemberian rtPA intravena) (Kelas III, Tingkat Evidensi B)
c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, Aspirin jangan diberikan.
d. Penggunaan Aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah pemberian obat
trombolitik tidak direkomendasi (Kelas III, Tingkat Evidensi A).
e. Pemberian klopidogrel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada stroke iskemik akut,
tidak dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi C).
f. Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor glikoprotein Iib/IIIa tidak
dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi B).
g. Pemberian antiplatelet/Aspirin dan antikoagulan ditujukan untuk mencegah dan
menurunkan resiko stroke kardio-emboli.
h. Terapi gabungan antiplatelet Aspirin dengan Clopidogrel pada pasien yang terdeteksi
mikroemboli lebih baik dalam menurunkan kejadian mikroemboli berulang dibanding
Aspirin saja (CARESS STUDY).
Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak dianjurkan dalam terapi
stroke iskemik akut (Kelas III, Tingkat Evidensi A)
Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut
(Kelas III, Tingkat Evidensi A)
Dalam keadaan tertentu terkadang digunakan vasopresor untuk memperbaiki aliran darah ke
otak (cerebral blood flow). Pada keadaan tersebut harus dilakukan pantauan kondisi
neurologik dan jantung secara ketat (Kelas III, Tingkat Evidensi B)
Tindakan endarterektomi karotid pada stroke iskemik akut dapat mengakibatkan risiko serius
dan luaran yang tidak menyenangkan. Tindakan endovaskular belum menunjukkan hasil yang
bermanfaat, sehingga tidak dianjurkan (Kelas Iib, Tingkat Evidensi C).
Pemakaian obat-obatan neuroprotektan belum menunjukkan hasil yang efektif, sehingga
sampai saat ini belum dianjurkan (Kelas III, Tingkat Evidensi A)
Konsultasi Dokter Spesialis Jantung untuk mencari kemungkinan sumber emboli dari jantung
serta menanggulangi gangguan jantung terutama gangguan irama jantung (fibrilasi atrial)
TTE (trans thoracal echocardiography) dan TEE (trans esophageal echocardiography).
Osmoterapi dan hiperventilasi direkomendasikan untuk pasien yang mengalami kemunduran
akibat tekanan tinggi intrakranial, termasuk sindroma herniasi. (Tingkat Evidensi B)
Tindakan bedah termasuk drainase cairan serebro spinal dapat dilakukan untuk mengatasi
tekanan tinggi intrakranial akibat hidrosefalus. (Tingkat Evidensi C).
Dekompresi bedah dan evakuasi infark besar pada serebellum yang menimbulkan penekanan
batang otak dan hidrosefalus (Tingkat Evidensi C)
59
Dekompresi bedah dan evakuasi infark besar pada hemisfer cerebri dapat dilakukan sebagai
tindakan life-saving, tetapi dengan resiko gejala sisa gangguan neurologik yang berat
(Tingkat EvidensiC)
TERAPI SPESIFIK STROKE AKUT
PEDOMAN TROMBOLISIS rt-PA INTRAVENA PADA STROKE ISKEMIK
A. Kriteria inklusi
 Stroke iskemik akut yang onsetnya diketahui jelas dan tidak melebihi 3 jam.
 Usia > 18 tahun ; < 75 tahun
 Diagnosis stroke iskemik dibuat oleh ahli stroke dan sken tomografik otak dibaca
oleh ahli yang paham dengan penafsiran hasil pemeriksaan imajing. Sebaiknya
digunakan sken tomografik generasi 3 atau 4, dengan tebal irisan 5-10 mm tanpa
kontras. Waktu sken 3 detik untuk fossa posterior dan 2 detik untuk daerah
supratentorial. 1
 Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau keluarganya setelah diterangkan
risiko bahaya perdarahan dan keuntungan pengobatan rt-PA
 Memenuhi kriteria eksklusi.
B. Kriteria eksklusi
 Penggunaan obat antikoagulansi oral atau waktu protrombin lebih dari 15 detik (INR
lebih dari 1,7)
 Penggunaan heparin dalam 48 jam sebelumnya dan masa tromboplastin parsial
memanjang.
 Trombosit kurang dari 100.000/mm
 Stroke sebelumnya atau trauma kapitis hebat dalam waktu 3 bulan sebelumnya.
 Operasi besar dalam waktu 14 hari
 Tekanan darah sistolik sebelum pengobatan lebih dari 185 mmHg atau tekanan
diastolik lebih dari 110 mmHg. Bila tekanan darah sistolik dan diastolik melebihi
tersebut diatas dapat dilihat pada penatalaksanaan penyulit tekanan darah. 2
 Tanda – tanda neurologis yang cepat membaik.
 Defisit neurologis ringan dan tunggal, seperti ataksia atau gangguan sensorik saja,
disartria saja, atau kelemahan minimal.
 Riwayat perdarahan intrakranial sebelumnya atau perkiraan perdarahan
subarakhnoid.
 Glukosa darah kurang dari 50 mg/dl atau lebih dari 400 mg/dl.
 Kejang pada permulaan stroke.
 Perdarahan gastro intestinal atau urin dalam waktu 21 hari.
 Infark miokard baru.
 Hati – hati pemberian rt-PA pada penderita stroke berat (NIHSS > 22).
 Permulaan stroke tidak dapat dipastikan, misalnya stroke setelah bangun tidur.
C. Protokol
 Lakukan CT scan otak dan buat ekspertise segera.
 Pasang jalur intravena perifer (pada dua lokasi terpisah).
 Periksa hitung darah lengkap, panel kimia darah, masa protrombin & masa
tromboplastin parsial, dan urinalisis.
 Pastikan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
 Timbang berat badan pasien
 Berikan rt-PA sebagai berikut :
60
Rt-PA intravena 0,9 mg/kg berat badan (maksimum 90 mg), 10% dari dosis diberikan
sebagi bolus pada menit pertama, dan sisanya 90% diberikan sebagai infus terus
menerus selama 60 menit.
 Monitor adanya perdarahan dan perburukan neurologis
 Observasi di ICU selama 24 jam
 Monitor tekanan darah, monitoring yang teliti dari tekanan darah arterial selama 24
jam pertama pemberian rt-PA (lihat bab VI).
 Jangan lakukan pungsi arteri, prosedur invasif, atau suntikan IM selama 24 jam
pertama
 Pengukuran vena sentralis dan pungsi arterial dibatasi selama 24 jam pertama
 Pemasangan kateter dauer harus dihindari bila mungkin selama 24 jam pertama
setelah pengobatan
 Lakukan sken tomografik otak 24 jam pasca-infus sebelum pemberian antikoagulan
untuk mencegah rekanalisasi atau dilakukan lebih awal jika terjadi perburukan
neurologis
 Penatalaksanaan penyulit perdarahan bila ada.
D. Tatalaksana Penyulit
i. Penatalaksaan hipertensi pada pasien yang mendapat terapi trombolisis rt-PA
intravena
 Pantau tekanan darah selama 24 jam pertama setelah mulai pemberian rt-PA.
o Tiap 15 menit selama 2 jam setelah mulai infus, lalu
o Tiap 30 menit selama 6 jam, lalu
o Tiap 60 menit selama 24 jam.
 Bila tekanan sistolik 180-230 mm Hg, atau bila tekanan diastolik 105-120 mm
Hg pada 2 atau lebih pembacaan selang 5-10 menit:
o Berikan labetalol 10 mg intravena selama 1-2 menit. Dosis dapat diulang
atau digandakan tiap 10-20 menit sampai dosis total 150 mg atau berikan
bolus pertama diikuti labetalol drip 2-8 mg/menit.
o Pantau tekanan darah tiap 15 menit waktu pengobatan labetalol dan
perhatikan timbulnya hipotensi
 Bila tekanan sistolik lebih dari 230 mm Hg atau bila tekanan diastolik antara
121-140 mm Hg pada 2 atau lebih pembacaan selang 5-10 menit:
o Berikan labetalol 10 mg intravena selama 1-2 menit. Dosis dapat diulang
atau digandakan tiap 10 menit sampai dosis total 150 mg, atau berikan bolus
pertama diikuti oleh labetalol drip 2-8 mg/menit.
o Pantau tekanan darah tiap 15 menit waktu pengobatan labetalol dan
perhatikan timbulnya hipotensi.
o Teruskan pantau tekanan darah secara kontinyu
 Bila tekanan diastolik lebih dari 140 mm Hg pada 2 atau lebih pembacaan 5-10
menit:
o Infus natrium nitroprusid (0.5-10 µg/kg per menit).
o Pantau tekanan darah tiap 15 menit selama infus natrium nitroprusid dan
awasi timbulnya hipotensi.
Catatan : Bila labetalol tidak tersedia, alternatif lain adalah:
1. Nikardipin infus kontinyu.
2. Diltiazem infus kontinyu
3. Nimodipin infus kontinyu.
(lihat bab VI guidelines nasional stroke,2007)
61
ii. Terapi penyulit pendarahan pasca trombolisis
 Penyulit pendarahan dapat:
o Langsung mengenai susunan saraf pusat, atau
o Mengenai lain-lain organ.
 Prosedur :
o Hentikan infus obat trombolitik,
o Ambil contoh darah untuk pemeriksaan : hemoglobin, hematokrit,
fibrinogen, masa protrombin/ INR, masa tromboplastin parsial dan trombosit.
o Siapkan transfusi darah (PRC), FFP (fresh frozen plasma), kriopresipitat atau
trombosit atau darah segar bila perlu.
o Berikan FFP 2 unit setiap 6 jam selama 24 jam
o Berikan kriopresipitat 5 unit. Jika fibrinogen < 200 mg% diulangi pemberian
kriopresipitat
o Berikan trombosit 4 unit
o Sken tomografik otak segera
o Konsul ahli bedah bila diperlukan dekompresi
Neurobehavior pada Stroke
Manifestasi gangguan neurobehavior
Manifestasi gangguan neurobehavior pada stroke secara primer bergantung lokasi lesi di
otak. Area otak yang rusak bergantung juga variasi vaskularisasi secara individu dan juga
tipe dari stroke yang terjadi. Stroke iskemik menyebabkan pola lesi yang lebih stabil
sesuai aliran pembuluh darah yang tersumbat. Stroke perdarahan menyebabkan lesi yang
sesuai teritori cabang pembuluh darah otak. Distribusi perdarahan spontan yang terjadi
terutama pada struktur otak terdalam (ganglia basalis, talamus) atau perdarahan pada
lobus di hemisfer kiri/kanan. Dapat juga terjadi robeknya aneurisma pembuluh darah
daerah basal otak yang menghasilkan sindrom spesifik dan perluasan lesi yang terjadi
akibat reaksi vasokonstriksi pembuluh darah yang menyebabkan iskemik jaringan otak
sekitarnya.
Infark serebral kira-kira terjadi 80 % dari angka kejadian stroke, perdarahan
intraserebral primer l0 %, perdarahan subarachnoid (SAH= subarachnoid haemorrhage)
5% dan dari stroke penyebab lainnya sekitar 5%. Sekitar 40 % dari infark serebral
mengalami transformasi hemoragik dalam 2 minggu setelah infark. Sebagian besar terjadi
ketika infark meluas atau karena penggunaan anti koagulan atau obat trombolitik.
Tabel .Sindrom Neurobehavior akibat infark fokal otak di hemisfer dan batang otak.
Aliran sirkulasi sistim Karotis
Pembuluh darah
Struktur otak
Arteri serebri anterior
Corpus callosum ant,
tambahan,cortex cingulata
anterior
Arteri serebri media(L),
divisi superior
Inferolateral frontal kortex
Sindrom
Afasia transkortikal,
apraxia callosal hand ,
tactile anomia,Transient
akinetic mutism.
Afasia Broca
62
Arteri serebri media(L),
divisi inferior dan superior
Lateral serebral hemisphere Afasia Global
(anterior dan posterior)
Arteri serebri media(L),
cabang posterior
Arteri serebri media(L),
cabang posterior
Fasikulus arkuatus
Afasia konduksi
Gyrus angularis
Afasia transkortikal
sensorik,alexia dengan
agrafia,sindr.gyrus angularis,
anomia
Arteri serebri media(L),
divisi inferior
Lobus temporal posterior superior
Afasia Wernick’s
Arteri serebri post(L),prox
Arteri serebri post.
Arteri serebri post.
Hipocampus
kortex oksipital
kortex`kalkarina
Amnesia Verbal
Hemianopsia
Hemianopsia ,
Akromatopsia
Arteri serebri anterior (R)
korpus kalosum,area mo
torik tambahan,regio
cingulata anterior
Apraxia kalosal
Arteri serebri media (R)
divisi superior
Arteri cerebri media ( R)
divisi inferior
Arteri serebri media( R)
cabang posterior
Arteri serebri post(R )
Proksimal
Arteri serebri post (R )
Lobus frontal inferolateral
Aprosodia eksekutif
Lobus temporal post sup
Aprosodia reseptif
Parietal posterior
Neglect unilateral
Anosognosia
Amnesia Nonverbal
Arteri serebri post( R)
Arteri serebri post(R)
Arteri serebri ant(bilat)
Arteri serebri media(bilat)
Arteri serebri media(bilat)
Arteri serebri post(bilat)
Arteri serebri post(bilat)
Arteri serebri post
Hipocampus
Fasikulus longitudinal inf.
Prosopagnosia,
Agnosia environment.
Kortex kalkarina,splenium, Alexia tanpa agrafia,
Korpus Kalosum
anomia warna
Kortex oksipital
Hemianoposia,halusinasi
Kortex singulata ant(bilat)
Mutism akinetik
lob.temporal bilateral
Agnosia auditorik
Regio parietal bilateral
Sindroma Balint’s
Cortex oksipital
Agnosia visual,prosopagnosia,agnosia environtment
Hippocampus
Amnesia
Pedunkulus serebri
Halusinosis pedunkular
63
Aliran sirkulasi Sistim Vertebrobasiler
Pembuluh darah
Struktur otak
Arteri basilar
Midbrain
Arteri basilar (Cab.Penetrasi)
Basal Pons
Thalamik ant
Nucleus dorsomed
Geniculatum lateral
Nukl.dorsal lateral
Nukl,kaudatus dorsal
Nukl kaudatus ventral
Nukleus Akumbens
Globus pallidus
Nukl.subtalamikus
Sindrom
Top of basilar syndrome,ha
Lusinasi visual,oneroid state
Locked in syndrome
Abn.memori,perseverasi,de
fisit eksekutif,apathy,gang
guan memori kronik
Apathy,amnesia,deficit ekse
kutif
Thalamic dazzle
Dejerine-Roussy syndrome
Disfungsi eksekutif
Disinhibisi
Apathy
Disfungsi eksekutif,apatis
Mania
Afasia
Afasia merupakan suatu gangguan bahasa yang diakibatkan oleh disfungsi otak. Afasia
merupakan sindrom yang didapat dan terbanyak akibat stroke. Afasia harus dibedakan
dari mutisme, gangguan volume dan artikulasi bicara (disartria), gangguan irama dan
infleksi bicara (disprosodi), dan gangguan pikiran dengan keluaran verbal
yang tidak normal. Beberapa pola afasia yang berbeda telah dikenal dan berhubungan
dengan lesi-lesi pada daerah anatomi yang spesifik. Afasia secara individual memiliki
komplikasi, prognosis, terapi yang berbeda.
Pada penderita kinan, afasia mempunyai korelasi 99% dengan lesi di hemisfer kiri.
Diperkirakan 60% orang kidal memiliki pola dominasi yang serupa dengan orang yang
kinan dengan dominasi fungsi bahasa pada hemisfer kiri.
Afasia Broca
Afasia Broca adalah suatu sindrom afasia tidak lancar yang ditandai oleh keluaran
verbal yang terganggu dari yang sama sekali tidak mampu mengeluarkan kata sampai
kesulitan menemukan kata dan memerlukan upaya untuk dapat mengucapkan kata, terjadi
parafasia semantik, parafasia literal (fonemik), dan agramatikal. Fungsi pengertian bahasa
yang sudah dikuasai normal. Repetisi, penamaan, membaca dengan suara keras, dan
menulis juga terganggu.
Lesi yang berhubungan dengan sindrom afasia Broca adalah mencakup girus frontal
inferior dan daerah di dekat operkulum serta insula pada daerah yang mendapat sirkulasi
dari arteri serebri media. Luasnya lesi menentukan ringan/beratnya gambaran sindrom
afasia. Kerusakan pada operkulum frontal menghasilkan kesulitan untuk mengawali
64
percakapan; cedera pada kortex motorik mengakibatkan disartria; kerusakan yang
menyebar lebih ke posterior sehingga meliputi koneksi temporoparietal menyebabkan
parafasia semantik serupa dengan gejala pada sindrom afasia konduksi. Afasia Broca
klasik yang mengkombinasikan semua gambaran tersebut dengan pengucapan yang
agramatikal, terlihat jika daerah diatas ventrikel serta substansia alba yang berdekatan (
jaras periventrikuler limbik-frontal) tercakup dalam lesi. Jika lesi frontal meliputi area
premotor dan operkulum frontal maka terjadi hemiparesis kanan yang mengenai wajah,
dan tungkai atas yang lebih lemah daripada tungkai bawah yang menyertai afasia, serta
adanya apraksia simpatetik terjadi bila lesi sampai mengenai korpus kalosum yang
mengganggu fungsi praksis bukolingual dan tungkai sebelah kiri.
Afasia Motor Transkortikal
Afasia motor transkortikal ditandai oleh adanya keluaran verbal tidak lancar, pengertian
auditorik yang normal, tetap memiliki kemampuan repetisi disamping ucapan spontan
yang tidak lancar, kemampuan membaca yang bervariasi, dan kemampuan penamaan dan
menulis yang buruk. Ekolalia dapat terjadi dan mungkin terdapat parafasia fonemik
dalam percakapan penderita. Mutisme sering ditemukan pada fase awal gangguan ini.
Sindrom ini menyerupai afasia Broca kecuali dalam hal repetisi dimana repetisi
dipertahankan dan kemampuan membaca dengan suara keras sedikit terganggu.
Lesi yang biasanya menyertai afasia motor transkortikal meliputi infark pada area motor
tambahan dan girus singuli yang berdekatan pada distribusi arteri serebri media di lobus
frontalis kiri tetapi pernah dilaporkan (kasus yang jarang terjadi) yaitu lesi pada
konveksitas frontal diluar daerah Broca, pada putamen kiri atau talamus. Lesi kritis dapat
berupa pemutusan traktus pada substansia alba antara daerah operkular frontal yang
berhubungan dengan bahasa dan area motor tambahan yang berfungsi pada pengawalan
ucapan. Pada kebanyakan kasus mengalami hemiparesis kanan dimana lebih
mempengaruhi tungkai bawah daripada tungkai atas dan wajah.
Afasia Global
Penderita afasia global mengalami gangguan secara jelas pada seluruh aspek fungsi
bahasa mencakup keluaran verbal spontan, pengertian, repetisi, penamaan, membaca
dengan suara keras, pengertian dalam membaca, dan menulis. Seringkali verbalisasi
spontan hanya berupa produksi yang tidak bermakna dan stereotip seperti “ya,ya,ya,”
meskipun beberapa pasien dapat mengucapkan pengulangan kecil dari frase yang telah
dipelajari (“rumah,” “tidak”, dll) yang dapat digumamkan dengan fasih, dan banyak
penderita afasia global yang dapat mengutuk dengan mudah saat marah. Ucapan otomatis
(menghitung, menyebutkan nama hari dalam minggu atau bulan dalam tahun), dan
menggumamkan nada-nada lagu yang telah dipelajari (“Indonesia Raya,” “Bintang
kecil”) dapat terjadi meskipun terdapat defek yang berat dalam bahasa ekspresif
proporsional. Pengertian bahasa yang buruk membedakan afasi global dari afasia Broca,
dan repetisi yang buruk membedakannya dengan afasia transkortikal campuran (afasia
isolasi). Banyak penderita afasia global akan mengikuti keseluruhan perintah utuh
(“bangun”, “duduk”), dapat membedakan bahasa asing dan percakapan omong-kosong,
dapat menilai infleksi secara memadai untuk membedakan pertanyaan dan perintah, dapat
mengenali nama orang dan peristiwa penting yang relevan secara personal, baik yang
disebut maupun yang ditulis, dan akan menolak bahasa tertulis yang ditampilkan terbalik,
meskipun pengertiannya sangat parah terganggu.
65
Secara patologik, lesi yang umumnya menyebabkan afasia global adalah infark berukuran
besar yang terletak di sebelah kiri yang meliputi keseluruhan daerah arteri serebri media
(Terdapat hemiparesis, defisit hemisensoris, dan homonimus hemianopsia). Multipel
emboli pada daerah yang memediasi bahasa di anterior dan posterior jarang
menyebabkan afasia global tanpa defisit motorik mayor.
Afasia Transkortikal Campuran (Isolasi)
Afasia transkortikal campuran atau afasia isolasi merupakan sindrom afasia yang jarang,
dimana ditemukan kombinasi antara afasi motor transkortikal dan afasia sensoris
transkortikal, hanya meninggalkan kemampuan paradoks untuk mengulangi. Pada
beberapa kasus, pengulangan apa saja yang pemeriksa katakan merupakan keluaran
verbal ynag terlihat sementara pada kasus yang lain verbalisasi tidak lancar dan bahkan
kemampuan penamaan normal. Terdapat tiga tipe lesi yang telah dihubungkan dengan
afasia transkortikal campuran. Pada beberapa penderita terdapat kerusakan pada daerah
yang berbentuk bulan sabit yang meliputi aspek lateral hemisfer tetapi menyisakan kortex
perisylvian. Tipe lesi kedua dengan infark di daerah arteri serebri anterior, mengenai
daerah kortikal yang luas dan menyisakan kortex perisylivian. Tipe lesi ketiga secara
simultan mempengaruhi daerah linguistik posterior dan lobus frontalis atau sirkuit
frontal-subkortikal. Keterkaitan lobus frontalis dapat menghasilkan ketergantungan
lingkungan dan loncatan stimulus yang berperan terhadap reduksi paradoks dari
kemampuan bercakap spontan dari penderita (dihasilkan secara internal) disertai dengan
dipertahankannya repetisi dan ekolalia (diawali secara eksternal).
Afasia Wernicke
Afasia Wernicke, keluaran verbal parafasik, lancar dan dengan pengertian, repetisi, serta
penamaan yang buruk. Keberagaman penderita, seringkali logore dan berbicara membual,
seringkali dikombinasikan dengan ketidaksadaran atau penyangkalan terhadap adanya
defisit, menyebabkan sindrom ini yang paling menakjubkan pada neurologi klinis. Pasien
memperlihatkan penekanan pada ucapan disertai keluaran yang diakselerasi dan
seringkali gaya percakapan sangat mendesak, intrusif bahkan mempertahankan
kebenaran. Percakapan spontan berisi parafasia semantik primer dan neologisme,
parafasia literal akan mendominasi jawaban pada tes penamaan. Terdapat gangguan
membaca dan menulis.
Produksi percakapan yang logoreik parafasik dengan subsitusi multipel dan berturut turut
disebut jargon afasia, yakni suatu gangguan keluaran verbal yang dapat terjadi juga pada
afasia konduksi dan afasia sensoris transkortikal. Pengertian secara relatif tetap baik
pada afasia konduksi dan repetisi yang normal pada afasia sensorik transkortikal
membedakan kedua gangguan ini dengan afasia Wernicke.
Meskipun gambaran utama afasia Wernicke (yakni curah verbal normal, pengertian yang
buruk, repetisi yang buruk) menggambarkan sebuah sindrom dasar namun terdapat
banyak variasi dalam presentasi klinik. Pengertian mungkin terganggu ringan dengan
kemampuan untuk menginterpretasikan kalimat yang cukup kompleks terganggu, atau
pengertian terganggu berat sehingga menyisakan hanya perintah sederhana (“tutup
matamu,” “buka mulutmu,” “berdiri,” “duduk”). Pengertian terhadap bahan yang
ditampilkan oral secara relatif disisakan meskipun informasi yang tertulis secara parah
terganggu, atau sebaliknya dapat terjadi. Pengertian auditorik yang terpengaruh lebih
besar berhubungan dengan terkaitnya struktur lobus temporalis secara ekstensif,
mencakup kortex auditorik primer, dan bila lebih besar terjadi gangguan pengertian
66
membaca merefleksikan perluasan lesi kearah superior ke daerah inferior lobus parietal
dan girus angularis.
Dalam keadaan patologik, lesi yang berhubungan dengan afasia Wernicke meliputi
bagian sepertiga posterior dari girus temporalis superior kiri tetapi jarang terbatas pada
daerah ini dan seringkali mengenai area parietal inferior dan temporal yang berdekatan.
Penderita afasia Wernicke mengalami infark serebral akibat oklusi vaskuler dan yang
terbanyak diakibatkan oleh emboli yang berasal dari jantung.
Kuadrantanopsia superior dan hilangnya sensoris kortikal pada wajah dan tungkai atas
merupakan gangguan yang umum didapatkan pada penderita afasia Wernicke dan jika
lesi menyebar kearah limbus posterior dari kapsula interna akan terjadi hemiparesis.
Afasia Sensorik Transkortikal
Afasia sensorik transkortikal serupa dengan afasia Wernicke tetapi dibedakan dengan
dipertahankannya kemampuan untuk mengulangi/repetisi.
Kemampuan penderita
mengulangi kalimat dan frase yang panjang tetapi tidak dapat memahaminya untuk
dicatat. Percakapan spontan tidak berisi, berputar-putar, parafasik, dan terdapat
kecenderungan ringan untuk mengulangi secara spontan (echo) apapun yang diucapkan
pemeriksa. Penderita mampu membaca dengan suara keras namun membaca dengan
pengertian auditorik terganggu.
Afasia sensorik transkortikal diakibatkan oleh lesi-lesi fokal yang mengenai girus
angularis dominan, girus temporalis midposterior, dan jaras substansia alba
periventrikuler dari istmus temporalis yang mendasari area kortikal ini. Jika afasia terjadi
akibat keterkaitan girus angularis maka seringkali disertai sindrom Gerstmann, gangguan
konstruksional, dan gejala lain dari sindrom girus angularis.
Afasia Konduksi
Afasia konduksi merupakan sindrom afasia fasih yang unik dimana pengertian secara
relatif masih normal dan repetisi secara disproporsional terganggu. Percakapan spontan
ditandai oleh istirahat pencarian kata dan dominant terjadi parafasia fonemik/literal dari
pada parafasia semantik. Seringkali penderita menyadari telah membuat kesalahan dan
membuat perkiraan yang mendekati kata yang dimaksud. Membaca dengan suara keras
terganggu tetapi pengertian dalam membaca masih normal. Penamaan dan menulis
keduanya tidak normal dan mengandung subsitusi parafasia fonemik. Meskipun
pengertian secara relatif dipertahankan pada afasia konduksi namun beberapa pasien
mengalami gangguan sintaktik yang serupa dengan yang digambarkan pada afasia Broca.
Lesi yang bertanggung jawab untuk afasia konduksi secara tipikal mengenai fasikulus
arkuatus pada operkulum parietal kiri.
Afasia Anomik
Anomia merupakan suatu indikator nonspesifik pada disfungsi otak dan tidak memiliki
makna lokalisasi. Tiga tipe primer anomia terjadi pada sindrom afasik yakni anomia
produksi kata, anomia seleksi kata, dan anomia semantik. Anomia produksi kata ditandai
dengan ketidakmampuan untuk mengekspresikan kata yang dimaksudkan. Problem
primernya adalah gangguan dalam mengawali kata dan pasien siap bereaksi terhadap
petunjuk2 fonemik (suku kata pertama atau bunyi pertama dari sebuah kata). Produksi
kata pada penderita Anomia merupakan karakteristik dari afasia tidak lancar seperti
afasia Broca dan afasia motor transkortikal. Produksi kata pada Anomia juga merupakan
tipe utama defisit penamaan pada penderita dengan demensia subkortikal.
67
Penderita dengan anomia semantik mengalami gangguan pada kemampuan terhadap
nama, tidak bereaksi terhadap petunjuk, dan tidak mengenali kata jika kata itu disebutkan
oleh pemeriksa. Bunyi dari kata kehilangan makna. Anomia semantik terjadi pada afasia
Wernicke dan afasia sensoris transkortikal.
Anomia seleksi kata menggambarkan anomia, yaitu kegagalan untuk bereaksi terhadap
petunjuk-petunjuk fonemik tetapi memiliki kemampuan utuh untuk mengenali kata jika
diberikan. Anomia seleksi kata merupakan gambaran utama dari afasia anomik.
Ucapan spontan tidak memiliki isi dan berputar-putar dengan istirahat untuk pencarian
kata yang sering terjadi, menggunakan banyak kata dengan bentuk referensi indefinit, dan
sedikit parafasia. Pengertian relatif dipertahankan, dan repetisi, membaca dengan suara
keras serta pengertian membaca normal. Anomia akan tampak pada tes penamaan
konfrontasi dan pada menulis spontan. Pasien biasanya dapat mengenali kata yang benar
jika ditampilkan oleh pemeriksa. Afasia anomik biasanya mengindikasikan sebuah lesi
pada girus angularis kiri atau area yang berdekatan dengan girus temporalis posterior.
Beberapa penderita dengan afasia anomik memiliki lesi pada daerah temporal anterior
kiri atau daerah polar temporal. Afasia anomik seringkali merupakan defisit residual
setelah penyembuhan dari sindrom afasia yang lebih luas (afasia Wernicke, afasia
konduksi).
Afasia dengan Lesi pada Talamus dan Ganglia Basalis
Afasia dianggap secara tradisional sebagai sebuah tanda dari disfungsi kortikal. Namun
demikian dengan adanya alat CT scan dan MRI semakin banyak laporan kasus dan studi
yang melaporkan bahwa lesi subkortikal pada hemisfer kiri juga berhubungan dengan
sindrom afasia. Sindrom afasia yang bersamaan dengan perdarahan pada talamus
dominan merupakan afasia subkortikal yang telah banyak dilaporkan dan terdiri dari
keluaran verbal lancar, parafasik, gangguan pengertian yang bervariasi (kebanyakan
ringan), repetisi yang baik, kemampuan penamaan yang buruk, gangguan membaca
dengan suara keras dan menulis, dan pengertian membaca yang dipertahankan secara
relatif. Mungkin terdapat fluktuasi cepat dalam derajat afasia dan kelelahan yang jelas
pada keluaran verbal. Sindrom ini hampir menyerupai afasia sensorik transkortikal tetapi
sering terdapat periode membisu pada awal saat terjadinya dan defisit artikulasi serta
mungkin menetap sepanjang perjalanan penyakit. Afasia seringkali sementara dan
biasanya bersamaan dengan defisit perhatian, pengabaian sisi kanan, hilangnya perhatian
yang memadai, perseverasi, dan hemiparesis kanan.
Sindrom yang serupa telah diamati pada infark talamus dominan meskipun pada banyak
kasus tidak terdapat gangguan bahasa yang menyertai. Afasia setelah adanya lesi dari
talamus biasanya bersifat sementara dan penelitian terhadap aliran darah otak atau
metabolisme glukosa kortikal menunjukkan bahwa terjadi penurunan perfusi kortikal atau
metabolisme kortikal jika sebuah lesi subkortikal terjadi bersamaan dengan suatu sindrom
afasia. Pengamatan ini menjelaskan bahwa talamus memiliki peran penting dalam
produksi kata dan aktivasi kortikal tetapi disfungsi talamus tidak cukup untuk
menghasilkan suatu afasia yang spesifik kecuali bila terdapat disfungsi kortikal yang
menyertai.
Infark pada struktur ganglia basalis yang terletak di sebelah kiri juga dapat menghasilkan
suatu sindrom berkurangnya bahasa yang dihasilkan dengan disartria dan hipofonia yang
menonjol. Sindrom-sindrom yang berhubungan dengan perdarahan dapat terjadi lebih
berat. Lesi-lesi nonhemoragik dapat menyebabkan sindrom afasia dengan menganggu
68
jaras-jaras pada substansia alba subkortikal atau melalui perluasan meliputi daerah
kortikal yang berdekatan. Karakteristik utama dari sindrom bahasa yang berhubungan
dengan disfungsi ganglia basalis kiri adalah defisit pencarian kata (anomia seleksi,
leksikal), kadang-kadang substitusi semantik, serta pengertian yang terganggu pada
materi sintaktik kompleks. Gangguan fungsi bahasa yang terjadi adalah produksi daftar
kata yang berkurang, meningkatnya latensi dan perseverasi, produksi kalimat yang buruk,
dan ekolalia. Penemuan-penemuan ini tidak spesifik dan sesuai dengan hilangnya
kemampuan memfasilitasi atau mengaktifkan pengaruh-pengaruh dari struktur
subkortikal ke aktivitas kortikal.
Prognosis pemulihan bahasa bervariasi, afasia vaskuler membaik dalam 3 – 6 bulan
pertama namun derajat penyembuhan akan berlanjut selama 5 tahun atau lebih. Afasia
global memiliki prognosis paling buruk untuk perbaikan ketrampilan bahasa; afasia
Broca dan afasia Wernicke memiliki keseluruhan prognosis untuk penyembuhan dengan
ukuran yang bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya; afasia anomik, afasia
konduksi, dan afasia transkortikal memiliki prognosis yang relatif baik, dengan beberapa
penderita sembuh sempurna. Penelitian pencitraan otak memberikan informasi prognostik
yang berguna. Lesi-lesi yang secara langsung meliputi daerah temporal superoposterior
pada hemisfer kiri memberikan penyembuhan yang terbatas pada pengertian auditorik,
dan lesi-lesi yang luas mengenai daerah rolandik berhubungan dengan pemulihan yang
buruk dari verbalisasi. Pada kasus-kasus yang dilaporkan, penderita dengan defisit
linguistik yang lebih luas biasanya berkembang ke dalam tahap afasia anomik residual.
Penderita afasia usia lebih muda cenderung untuk mengalami perbaikan ketrampilan
bahasa yang lebih baik daripada penderita yang lebih tua, dan penderita yang kidal
memiliki prognosis yang lebih baik daripada penderita yang kinan. Secara umum
pengertian bahasa lebih membaik daripada kefasihan keluaran ekspresif.
Terapi afasia dapat memfasilitasi penyembuhan kemampuan berbahasa dan harus
diberikan pada semua penderita yang berminat. Selain tehnik re-edukasi tradisional,
usaha-usaha terbaru telah dikembangkan yaitu tehnik individual untuk tipe spesifik
afasia, seperti pemanfaatan terapi intonasi melodik pada penderita afasia Broca,
pemakaian simbol komunikasi visual pada penderita sindrom afasia global, atau terapi
untuk aspek khusus dari sindrom afasia seperti perseverasi.
Sindrom yang berhubungan dengan Afasia
Aleksia
Aleksia merujuk kepada ketidakmampuan untuk membaca yang didapat yang disebabkan
oleh kerusakan otak dan harus dibedakan dari disleksia yaitu suatu abnormalitas
perkembangan dimana seseorang tidak mampu untuk belajar membaca, dan adanya
butahuruf yang mencerminkan latar belakang pendidikan yang buruk. Kebanyakan
penderita afasia juga mengalami aleksia, tetapi aleksia dapat terjadi tanpa adanya afasia
dan terkadang tampak sebagai satu-satunya ketidakmampuan akibat lesi otak yang
khusus. Kemampuan untuk membaca dengan suara lantang dan pengertian membaca
mungkin mengalami disosiasi oleh beberapa lesi dan harus dinilai secara bebas.
Aleksia tanpa Agrafia. Aleksia tanpa agrafia merupakan sindrom diskoneksi klasik
dimana gangguan yang disebabkan oleh lesi infark meliputi kortex oksipital kiri dan
aspek posterior dari korpus kalosum. Lesi oksipital menyebabkan hemianopsia homonim
kanan, sehingga terganggu penglihatan daerah lapangan pandang sebelah kanan. Lesi
kalosal membuatnya tidak mampu untuk mentransfer informasi visual dari lapangan
69
pandang kiri (ditangkap oleh daerah oksipital kanan yang utuh) melewati korpus kalosum
ke daerah hemisfer posterior kiri dimana terjadi ‘decoding’ grafik.
Aleksia tanpa agrafia pada kasus yang jarang, dilaporkan adanya lesi-lesi kecil pada
substansia alba dibawah girus angularis atau pada lesi-lesi di genikulatum lateral kiri dan
splenium dari korpus kalosum. Pada kedua kasus tersebut, terjadi diskoneksi yang serupa
dengan yang terjadi pada lesi klasik. Pada sindrom aleksia tanpa agrafia membaca huruf
lebih baik daripada membaca kata. Penderita mempertahankan kemampuan untuk
mengeja dan untuk mengenal kata-kata yang diucapkan dengan lantang, terdapat
kesulitan besar dalam menirukan kata-kata daripada saat menulis dengan spontan, dan
seringkali tampak suatu anomia warna. Pada beberapa kasus disertai dengan hemiparesis
kanan, hemihipestesi kanan, dan gangguan penamaan ringan.
Aleksia yang disertai Agrafia. Aleksia yang disertai agrafia dapat terjadi tanpa disertai
afasia yang bermakna, baik afasia lancar maupun afasia tidak lancar. Aleksia yang
disertai agrafia tanpa adanya afasia terjadi pada lesi di daerah girus angularis dan
seringkali bersama-sama dengan elemen dari sindrom Gerstmann. Terjadi gangguan
membaca huruf maupun membaca kata, dan penderita tidak dapat mengeja dengan suara
lantang atau mengenali kata-kata yang diejakan. Sindrom ini sama dengan suatu
butahuruf yang didapat. Meniru kata lebih baik daripada menulis spontan. Sindrom ini
biasanya diakibatkan adanya oklusi cabang anguler dari arteri serebri media namun dapat
terjadi sebagai bagian dari sindrom zona perbatasan yang mengikuti oklusi karotis.
Aleksia yang disertai agrafia dan afasia lancar terjadi pada afasia Wernicke atau afasia
sensorik transkortikal; pada afasia ini membaca dengan suara keras dan pengertian
bahasa terganggu. Aleksia yang disertai agrafia dan afasia tidak lancar ditemukan pada
beberapa pasien afasia Broca. Tidak semua afasia Broca mengalami aleksia tetapi jika
muncul aleksia maka gangguan membaca memiliki karakteristik yang berbeda. Membaca
kata lebih baik daripada membaca huruf, dan kata-kata yang dikenali hampir seluruhnya
kata benda dan kata kerja dasar. Ketidakmampuan membaca dapat dibandingkan dengan
aspek lain dari afasia Broca : produksi spontan dari kata-kata dengan fungsi gramatikal
terganggu dan pengertian substantif dipertahankan. Menulis spontan dan meniru materi
verbal juga tidak normal.
Akalkulia Ada tiga tipe utama dari akalkulia : (1) akalkulia yagn bersamaan dengan
gangguan bahasa, meliputi parafasia angka, agrafia angka, atau aleksia angka; (2)
akalkulia sekunder akibat disfungsi visuospasial dengan ketidak urutan angka dan kolom;
dan (3) suatu anaritmetria primer yang mengganggu proses komputasi. Tipe keempat dari
akalkulia yakni agnosia symbol dimana penderita kehilangan kemampuan untuk
memahami simbol2 operasional yang menentukan proses matematis yang akan dilakukan
(+, ÷, ×, −), pada beberapa kesempatan telah diamati tetapi belum dipelajari dengan baik
dan jarang ditemukan.
Gangguan kalkulasi yang berhubungan dengan afasia mencakup kesalahan-kesalahan
parafasik dimana penderita membuat suatu kesalahan parafasik verbal, mengganti satu
angka untuk yang lain. Aleksia angka dan agrafia angka juga dapat terjadi dan pada
beberapa kasus secara tidak proporsional lebih besar daripada gangguan membaca huruf
dan menulis. Akalkulia terjadi pada hampir seluruh afasia tetapi akalkulia lebih berat
pada penderita dengan lesi pada aspek posterior dari hemisfer kiri yang mengenai korteks
parietal.
70
Akalkulia visuospasial dapat terjadi pada lesi hemisfer manapun namun paling umum
pada disfungsi parietal kanan. Jeda angka multidigit, ‘placeholding values’, dan urutan
kolom terganggu.
Anaritmetria primer terjadi utamanya dalam konteks sindrom Gerstmann dengan lesi
pada daerah girus angularis dominant, tetapi kelaianan itu terkadang ditemukan sebagai
suatu abnormalitas tersendiri dengan gangguan pada daerah yang sama. Pada kasus ini
tidak terdapat afasia yang bermakna atau gangguan visuospasial, tetapi terjadi kesalahan2
dalam proses komputasi.
Sindrom Gertsmann dan Sindrom Girus Angularis Pada tahun 1924 Josef Gerstmann
menggambarkan sebuah sindrom yang terjadi pada lesi girus angularis kiri yang diskret
dan terdiri atas empat gambaran klinis meliputi disgrafia, agnosia jari, ketidakmampuan
membedakan kiri dan kanan, dan akalkulia. Pada tahun 1940 Gerstmann kemudian
mengulasi kepustakaan yang telah ada sehubungan dengan sindrom tersebut dan
menyimpulkan bahwa penemuan itu memiliki validitas klinis dan nilai lokalisasi.
Komponen mana yang menonjol bervariasi pada masing-masing kasus, dan pengujian
khusus harus dilakukan untuk menimbulkan defisit yang halus. Jika satu atau lebih dari
elemen sindrom ini tidak ditemukan maka implikasi lokalisasi dari elemen yang lain
meragukan sifatnya.
Pada banyak kasus, sebuah lesi pada girus angularis yang dominan menyebabkan defisit
tambahan terhadap sindrom Gerstmann .
Beberapa derajat afasia sering tampak, dapat terjadi aleksia disertai agrafia, dan
gangguan konstruksional sering menyertai elemen sindrom Gerstmann. Kombinasi deficit
ini hampir menyerupai penemuan klinis penyakit Alzheimer.
Apraksia
Apraksia merupakan gangguan pada gerakan yang dipelajari yang tidak dapat
diakibatkan oleh kelemahan, hilangnya sensoris, inatensi, atau kegagalan untuk
memahami gerakan yang diminta. Dua tipe apraksia yang utama dan telah dikenali adalah
: (1) apraksia ideasional, dimana penderita gagal untuk secara benar memperagakan
urutan kegiatan multikomponen seperti melipat sebuah surat, menyisipkannya ke dalam
sebuah amplop, dan merekatkan amplop itu, dan (2) apraksia ideomotor, dimana
penderita gagal melaksanakan gerakan yagn diperintahkan yang dapat dilakukan secara
spontan serperti melambaikan tangan, memalu, minta tumpangan, menjahit, menyedot
dari sebatang sedotan, atau bersiul.
Apraksia ideasional terjadi pada demensia dan pada keadaan konfusional akut. Apraksia
ideomotor terjadi pada lesi hemisfer kiri spesifik.
Dilaporkan tiga tipe utama apraksia ideomotor dan penemuan klinis yang menyertai.
Apraksia parietal merujuk pada terjadinya gerakan apraksik pada penderita dengan lesi
yang mengenai lobulus parietalis inferior dan fasikulus arkuatus yang berdekatan. Lesi
talamik (kiri) terkadang menghasilkan sindrom ini. Pasien mengalami afasia lancar
(biasanya afasi konduksi), mungkin mengalami hemiparesis kanan yang ringan dan defek
hemisensorik, dan seringkali gagal untuk mengenali bahwa gerakan-gerakan apraksik
dilakukan dengan salah.
Apraksia Simpatetik adalah apraksia pada tungkai kiri dan struktur bukolingual yang
terlihat pada penderita dengan lesi frontal kiri. Tungkai yang apraksik berada pada
keadaan “in sympathy” dengan hemiparesis kanan akibat lesi frontal. Penderita juga
71
memperlihatkan afasia tipe Broca tidak lancar, memiliki keterkaitan yang lebih menonjol
pada gerakan bukolingual daripada gerakan tungkai.
Apraksia Kallosal terjadi bila arah verbal yang diperantarai oleh hemisfer kiri tidak dapat
melalui korpus kalosum untuk dilaksanakannya perintah pada tungkai sebelah kiri yagn
dimediasi oleh hemisfer kanan. Apraksia hanya mengenai lengan dan kaki kiri, dan pada
banyak kasus tidak disertai afasia atau hemiparesis. Gangguan komunikasi interhemisfer
dimanifestasikan dalam berbagai bentuk gangguan selain apraksi tungkai kiri, meliputi
anomia taktil tangan kiri, agrafia afasik tangan kiri, gangguan konstruksional tangan
kanan, dan beragam gangguan somestatik seperti kegagalan untuk penyesuaian taktil
intermanual dan penyesuaian intermanual dari posisi tangan. Cedera korpus kalosum
dapat terjadi akibat oklusi arteri serebri anterior.
Agnosia Visual.
Agnosia visual adalah sindrom otak yang didapat yaitu penderita tak mampu mengenal
obyek atau gambar yang diperlihatkan. Ketajaman penglihatan baik, sadar dan waspada
serta tidak afasia.
Dua kategori mayor dari agnosia visual adalah:
Tipe I adalah persepsi visual aktual dari obyek berubah sehingga tak mampu mengenal
benda. Penderita ini tak dapat menyebut atau menjelaskan kegunaan benda yang dilihat
tetapi segera dapat mengenal benda tersebut bila diletakan ditangan dan mengetahui
penggunaannya (bantuan pengenalan taktil/kinestetik).
Contoh: Diperlihatkan benda ’pinsil’ tidak dapat menyebutnya atau menguraikan
fungsinya, tetapi setelah dipegang langsung mampu menggunakannya dan menjelaskan
nama benda tersebut.
Dipostulasikan bahwa defek kerusakan otak pada kortex asosiasi visual bilateral (area 18
dan 19).Studi terbaru dengan positron emission tomography (PET) ditemukan lesi di
kortex temporo-oksipital bilateral. Tipe agnosia visual ini disebut juga agnosia visual
aperseptif (tipe I). Tipe II adalah agnosia visual asosiatif. Penderita dengan tipe ini
mempunyai kemampuan yang baik untuk persepsi visual tetapi kortex visual tidak saling
berhubungan dengan area bahasa atau area penyimpanan memori visual. Pasien dapat
mengenal benda dan mendemonstrasikan penggunaannya namun tidak mampu menyebut
namanya dan menguraikan secara verbal fungsi alat tersebut. Diduga lesi secara bilateral
daerah temporo-oksipital inferior sampai mengenai substansia alba, atau adanya lesi di
lobus oksipital kiri dan korpus kalosum posterior. Lesi ini sama dengan penyebab
terjadinya aleksia tanpa agrafia dan pada faktanya hampir semua penderita dengan
agnosia visual asosiatif juga menderita aleksia. Tipe lain dari agnosia visual adalah
Prosopagnosia. Prosopagnosia disebut juga agnosia fasial yaitu tidak mampu mengenal
muka orang yang sudah dikenal sebelumnya, termasuk muka dari penderita sendiri bila
melihat di cermin atau melihat foto pribadi. Penderita dapat mengenal orang tersebut dari
informasi karakteristik muka orang, misal ada tanda lahir tertentu, potongan rambutnya,
atau mendengar suara orang tersebut. Menurut Damasio, agnosia fasial dapat
membedakan muka manusia dari binatang dan dapat mengenal ekspresi muka secara
normal. Studi postmortem pada agnosia fasial yaitu ditemukannya kerusakan bilateral
dibawah fisura kalkarina pada daerah hubungan oksipitotemporal.
Agnosia warna adalah tak mampu mengenal warna sekunder karena lesi kortikal yang
didapat. Ada dua tipe gangguan yaitu pertama gangguan spesifik penamaan warna karena
diskoneksi masukan informasi visual ke area bahasa. Bentuk ini tidak ada kerusakan pada
72
area bahasa secara primer dan tidak ada afasia. Gangguan kedua adalah gangguan yang
paling umum dari pengenalan warna yaitu lesinya di temporo-oksipital inferior bilateral.
Area lesi ini sama dengan penyebab prosopagnosia dan hampir semua penderita dengan
tipe agnosia warna ini juga dengan gangguan prosopagnosia.
Alexia adalah gangguan kemampuan membaca, dapat merupakan gejala bersama dengan
agnosia fasial , terbanyak akibat kerusakan otak daerah area lingual dan fusiform.
Agnosia visuospatial merupakan variasi dari gangguan persepsi spatial dengan
orientasi. Bentuk yang paling sering terganggu adalah disorientasi topografi yaitu tak
mampu mengenal kembali arah jalan yang lama sudah dikenal, area kritis yang
mengalami kerusakan adalah parietal inferior atau temporal superior pada bagian tengah
hemisfer kanan. Gangguan spesifik lainnya ’hemineglect’ yaitu tidak waspada terhadap
adanya stimuli dari sisi kiri atau sisi kontralesi. Gangguan ini dapat terjadi pada lesi
hemisfer kiri tapi lebih sering dan berat pada lesi hemisfer kanan.
Simultan agnosia adalah gangguan persepsi penglihatan terhadap benda lebih dari
satu atau benda-benda dalam gambar pemandangan secara kesatuan yang saling
berhubungan pada waktu yang sama, merupakan salah satu gejala dari sindrom Balint
disamping gejala lainnya ataksia optik dan apraksia optik. Kasus ini jarang dan
disebabkan lesi bilateral lobus parietal.
AGNOSIA AUDITORIK DAN AMUSIA
Terminologi agnosia auditorik merujuk pada gangguan mengenal suara dengan
kemampuan pendengaran yang baik sesuai standart pemeriksaan audiometri. Gangguan
pengenalan suara percakapan dan bukan percakapan (suara binatang) timbul dalam
berbagai tingkatan tergantung lokalisasi lesi, lateralisasi linguistik otak premorbid,
kemampuan nonlinguistik.
Terminologi umum yang netral secara teori adalah gangguan auditorik kortikal. Perlu
dibedakan dengan tuli kortikal, tuli kata murni (gangguan spesifik pengenalan suara
percakapan) , agnosia suara auditorik (gangguan pengenalan spesifik suara bukan
percakapan), agnosia paralinguistik (gangguan pengenalan prosodik bahasa percakapan),
juga dibahas amusia reseptif (amusia sensorik) yaitu gangguan kemampuan apresiasi
berbagai variasi suara musik.
Tuli kortikal lebih sering ditemukan pada penyakit serebrovaskuler bilateral. Defisit
awal adanya kerusakan otak unilateral (biasanya sering awalnya afasia dan hemiparesis)
kemudian diikuti kerusakan otak kontralateral dengan gejala tiba-tiba tuli total secara
sementara. Kejadian bifasik ini merupakan tipikal gangguan auditorik kortikal.
Pada tuli kortikal, destruksi bilateral dari radiatio auditorik atau kortex auditorik primer
(girus Heschl’s) ditemukan menetap. Dasar gangguan auditorik kortikal lebih bervariasi,
lesi-lesi dapat terjadi lebih luas sampai girus temporal superior, juga koneksitas eferen
dari girus Heschl’s sering terlibat.
Tuli kata murni (agnosia auditorik untuk percakapan, agnosia verbal auditorik)
Penderita dengan tuli kata murni tidak sanggup mengerti bahasa percakapan meskipun ia
dapat membaca, menulis dan bercakap-cakap secara relatif normal. Kemampuan menulis
dengan didikte terganggu namun meniru materi tulisan tidak terganggu. Lesinya bilateral,
lesi kortiko-subkortikal bagian anterior dari girus temporalis superior dan tidak
mengenai girus Heschl’s terutama pada sisi kiri.
73
Secara umum disetujui profil lesi pada diskoneksi bilateral dari area Wernicke’s dengan
‘input’ auditorik.
Tuli dapat diatasi dengan ‘treshold pure tone’ auditorik normal , pada kondisi ini
penderita mengalami halusinasi atau memperlihatkan euphoria atau paranoid sementara.
Membedakan tuli kata dengan afasia sensorik transkortikal adalah gangguan kemampuan
melakukan pengulangan percakapan
Tak adanya gejala parafasia, gangguan membaca dan menulis membedakan gejala ini
dengan afasia Wernicke’s. Dapat juga kedua-duanya muncul (afasia dan agnosia) dengan
tingkatan lesi lebih luas. Auerbach dkk. menyokong bahwa gangguan ini dalam 2 bentuk:
1. kerusakan prefonik temporal auditorik, yang berasosiasi dengan lesi temporal
bilateral .
2. Gangguan diskriminasi fonemik dilengkapi lesi temporal kiri dan secara dekat
dengan afasia Wernicke’s.
Agnosia Paralinguistik ( agnosia afektif auditorik) & phonagnosia
Percakapan yang terdengar merupakan kumpulan sinyal yang tidak hanya mencakup
peran bahasa, tapi juga termasuk variasi-variasi lainnya yaitu :
volume, timbre, tinggi nada suara, ritme (alunan suara) yang merupakan
kesatuan informasi status emosi pembicara.
Heilman dkk. menjelaskan bahwa penderita dengan hemispatial neglect yaitu lesi di
temporo-parietal kanan akan mengalami gangguan pengenalan afektif nada percakapan ,
namun penderita normal dalam pengenalan bahasa percakapan.
Penderita dengan lesi temporoparietal kiri dengan fluent afasia memperlihatkan
pengenalan yang normal untuk aspek prosodi dan afektif dari percakapan.
Berdasarkan fakta dari CT scan otak, menyokong bahwa kerusakan parietal kanan
menyebabkan gangguan pengenalan suara sedangkan kerusakan lobus temporal
menyebabkan defisit diskriminasi suara.
Amusia sensorik (reseptif).
Gangguan ini adalah ketidak mampuan mengapresiasikan variasi-variasi karakteristik
dari musik yang terdengar.
Agnosia taktil
Tipe yang utama untuk pengenalan objek secara taktil terpenting adalah pengenalan
ruang atau persepsi bentuk.
Taktil agnosia adalah gangguan selektif dari pengenalan objek secara taktil dimana tidak
terdapat gangguan fungsi somatosensorik primer.
Gangguan ini harus dibedakan dengan gangguan penamaan benda dari modalitas fungsi
bahasa (anomia), dan objek yang belum pernah dikenal oleh subjek.
Gangguan ini unilateral (terganggu pada tangan kanan atau kiri) yang berasal dari lesi
unilateral. Strategi eksplorasi secara taktil normal, episodic memori normal.
Mishkin mengajukan teorinya berdasarkan penelitian pada kera, posterior insula berperan
pada proses belajar secara taktil dan rekognisi objek dan berhubungan dengan area
sensorik sekunder dan struktur limbik mesial temporal. Dari perspektif ini, taktil agnosia
adalah gangguan aliran informasi antara somatosensorik dengan sistim memori.
Agnosia taktil merupakan gangguan akibat lesi di korteks parietal inferior, kemungkinan
termasuk area Brodmann 40 dan 39.
74
Astereognosis adalah gangguan persepsi spatial taktual disebabkan kerusakan otak pada
banyak level dari sistim somatosensorik termasuk serabut saraf perifer, medulla spinalis,
batang otak dan thalamus (ventral posterior lateral).
Proses informasi somestetik terbagi dua :
 Aliran ventral dgn gangguan sbb.: rekognisi objek, belajar secara tactual, dan
memory.
 Aliran dorsal : intergrasi sensori motorik dan fungsi spatiotemporal somestetika.
Sindrom Apraksia-astereognosis
Tipe astereognosis yang tidak umum sebagai hasil dari kerusakan korteks somatosensorik
asosiatif dorsomedial
Fungsi memori
Gangguan pencarian kembali informasi baru yang telah dipelajari dan disimpan (defisit
memori ‘retrieval’) sering terjadi pada stroke. Gangguan memori retrieval terjadi karena
terganggunya sirkuit kortikal dan subkortikal, sirkuit ini meliputi kortex prefrontal
dorsolateral, singulata anterior dengan subkortikal (nukleus kaudatus, globus palidus
serta talamus media), dan gangguan tipe ini tidak mengganggu pengenalan kembali
informasi yang baru dipelajari (‘recognition’). Lobus frontal dan sirkuit resiprokal
dengan subkortikal sangat berperan pada memori retrieval.
Informasi fonologik (pendengaran) yang dipelajari melibatkan aktivitas otak hemisfer kiri
khususnya temporal medial kiri, sedangkan informasi visual dan spatial mengatifkan
temporal medial kanan.
Amnesia murni (gangguan mempelajari informasi baru) tanpa gangguan rana kognitif
lainnya jarang terjadi. Amnesia berat yang menetap pernah dilaporkan pada lesi bilateral
temporal medial meliputi hipokampus dan kortex girus parahipokampus. Lesi unilateral
menimbulkan gangguan yang tidak berat dengan spesifik modalitas (contoh : lesi
dihemisfer kiri menyebabkan gangguan mengingat nama, tetapi dapat mengenal muka).
Lesi yang mengenai nukleus mediodorsal talamus, traktus mamilotalamik dilaporkan
pada lesi bilateral menyebabkan amnesia berat. Amnesia dapat terjadi bila adanya lesi
pada rangkaian sirkuit Papez yang terdiri dari hipokampus, forniks, badan mamilaris dari
hipotalamus, traktus mamilotalamikus serta nukleus talamus medial. Lesi di hemisfer kiri
menyebabkan amnesia verbal (auditorik) dan lesi di hemisfer kanan menyebabkan
amnesia nonverbal (visual).
Pada amnesia juga terjadi gangguan pengenalan kembali informasi yang baru dipelajari
(‘recognition’).
Penderita dengan lesi pada orbitofrontal anteriormedial menimbulkan gejala konfabulasi
spontan dan secara cepat mengalami penyembuhan dibandingkan penderita dengan lesi
pada orbitofrontal posterior dan ‘basal forebrain’, lesi ini mempunyai gejala konfabulasi
spontan, konfusi terhadap realitas yang berlangsung sampai 3 bulan dan ada yang sampai
1 tahun, kemudian setelah mengalami perbaikan gejala sisanya amnesia berat.
Fungsi eksekutif.
Fungsi eksekutif adalah fungsi kortex prefrontal khususnya area dorsolateral yang
merupakan kortex asosiasi multimodal yang berperan untuk kemampuan
mengorganisasikan penampilan kognitif antara lain meliputi kesadaran akan keberadaan
suatu
masalah,
memantau
masalah,
mengevaluasi,
menganalisa
serta
memecahkan/mencari jalan keluar dari suatu persoalan, menyusun strategi dan
merencanakan tindakan sesuai ketrampilan yang dikuasai. Fungsi eksekutif
75
dikelompokan pada empat katagori yaitu: ‘Drive’, ‘programming’, ‘response control’,
‘synthesis’.
Fungsi eksekutif dimediasi oleh korteks prefrontal dorsolateral dan struktur kortikal
sertasubkortikal yang berhubungan dengan daerah tersebut. Kerusakan pada korteks
prefrontal dorsolateral dapat menimbulkan sindroma neurobehavioral dengan gejalagejala seperti
berkurangnya aktivitas motorik kompleks, proses berpikir yang tidak
konkrit, gagal mengenal konsep-konsep, kurang fleksibilitas, serta terjadi perseverasi dan
perilaku motorik yang stereotipik. Gejala yang hampir sama juga dapat ditemui pada lesi
di parietal temporal dan area asosiasi oksipital dan nukleus kaudatus dorsalis. Hal ini
dapat terjadi karena kortex prefrontal dorsolateral mempunyai hubungan resiprokal
dengan daerah kortikal dan subkortikal,. Kortex prefrontal dorsolateral menerima
informasi dari kortex orbitofrontal, kortex asosiasi parietal, kortex asosiasi auditorik,
girus singulata, kortex retrosplenial, girus parahipokampus dan presubiculum melalui
fasikulus longitudinalis superior, fasikulus longitudinalis inferior dan jaras oksipitofrontal
inferior. Kortex dorsofrontal juga mengatur aktivitas dari struktur-struktur tersebut dan
membentuk hubungan yang akan menyalurkan informasi dari beberapa area kortex ke
dorsalis kaudatus. Setelah masukan-masukan informasi ini diproses di dorsalis kaudatus,
masukan tersebut diproyeksikan kembali ke kortex prefrontal dorsolateral, sehingga
terbentuklah suatu sirkuit prefrontal dorsolateral-subkortikal.
Kortex dorsolateral prefrontal berhubungan erat resiprokal dengan kortex frontal medial
dan orbitofrontal.
Selain lesi pada prefrontal dorsolateral dapat juga lesi terjadi pada frontal medial
terutama menyebabkan gangguan motivasi dari sederhana sampai berat yaitu dari
kurangnya minat sampai mutisme akinetik. Sindrom ini dapat terjadi pada lesi girus
singulata anterior, striatum ventral, thalamus mediodorsal atau pada traktus yang
menghubungkan struktur-struktur tersebut. Lesi dapat terjadi akibat oklusi arteri serebri
anterior, atau reaksi spasme pembuluh darah sesudah terjadinya ruptura aneurisma
pembuluh darah arteri komunikan anterior.
Lesi pada orbitofrontal (aspek inferior lobus frontal) yang sangat erat berhubungan
dengan sistim limbik, dapat menimbulkan sindrom dengan gejala-gejala perubahan
kepribadian. Disinhibisi dan agresi merupakan gejala yang umum, suasana hati
iritabilitas, afek labil, impulsif dengan lelucon kekanak-kanakan, kurang berempati. Lesi
76
dapat disebabkan ruptura aneurisma pembuluh darah arteri komunikan anterior. Kasus ini
jarang terjadi.
Fungsi non kognitif (emosi).
Manifestasi gejala neurobehavior non kognitif pasca stroke dapat terjadi yaitu: depresi,
ansietas, mania, labilitas, atau psikosis. Depresi mayor terjadi kira-kira l0-25 % dari
pasien dan depresi minor sekitar l0-40%. Ansietas yg terjadi bersama-sama depresi 20%
dari pasien pasca stroke yg depresi, dan tanpa depresi 7-l0%. Apatis terjadi pada 20%
pasien (l0% dengan depresi, l0 % tanpa depresi). Anosognosia dengan denial of illness
muncul 25%-45% dari pasien, terutama sekali dengan lesi posterior kanan. Reaksi
katastropik kira-kira 20% dan emosi yg labil kira-kira 20%. Mania dan psikosis bisa
dibedakan dengan baik pada kondisi pasca stroke tetapi hal ini relatif tidak lazim.
Depresi paska stroke berkaitan denga lokasi, tatalaksana, ukuran lesi dan gambaran klinis
yang timbul. Pada periode post stroke ’immediate’ (7-10 hari) terdapat peningkatan
frekwensi terjadinya depresi pada lesi di hemisfer kiri. Pada gangguan depresi yang
disertai ansietas, letak lesi terdapat di kortikal yaitu frontal kiri, pada lesi subkortikal
depresi terjadi jika nukleus caudatus kiri terlibat. Beberapa penelitian menyatakan
hubungan antara ukuran lesi dan keparahan gangguan depresinya. Pada pasien depresi
dan lesi stroke pada hemisfer kiri kejadian gangguan fungsi kognitif lebih besar.
Depresi pasca stroke sering terjadi pada pasien dengan pembesaran ventrikel, diduga
adanya atrofi merupakan predisposisi terjadinya perubahan mood pasca stroke. Wanita
lebih sering mengalami depresi pasca stroke. Gambaran gejala klinis depresi identik pada
depresi pasca stroke dan depresi late onset idiopatik. Meskipun retardasi psikomotor
lebih banyak terjadi pada gangguan pasca stroke.
Depresi berkaitan dengan gangguan aktifitas harian secara akut dan
pada pantauan
jangka panjang. Depresi pasca stroke dipengaruhi oleh mekanisme serotonergik dengan
menurunnya avibilitas serotonin dan gangguan regulasi kembali reseptor serotonin pada
temporal kiri. Depresi vaskular terjadi pada beberapa kasus depresi ’late onset’ yang
berkaitan dengan stroke sebelumnya, ’silent’ infark pada iskemik substansia alba, ’Onset’
setelah usia 65 tahun atau adanya perubahan penyebab gangguan depresi dini. Secara
klinis atau imaging adanya gangguan vaskular dan faktor resiko (terutama hipertensi)
biasanya timbul disfungsi kognitif, terutama gangguan fungsi eksekutif. Untuk
77
tatalaksana
depresi
vaskular
cukup
responsif
dengan
farmakoterapi
atau
’electroconvulsive therapy’ (ECT).
Mania adalah gangguan jiwa (suasana hati) yang digambarkan sebagai suatu peningkatan
atau meluapnya suasana hati (mood), peningkatan aktivitas fisik, pikiran dan bicara yang
cepat dan perubahan neurovegetatif
Penyakit serebrovaskular juga sering menyebabkan mania sekunder. Lokasi yang sering
menyebabkan mania sekunder adalah daerah peritalamik kanan. Hemibalismus,
hemidistonia, tremor postural atau chorea sisi kiri sering disertai lesi talamik dan
subtalamik. Infark pontin dan malformasi arteriovenosus berhubungan denga mania
sekunder. Demensia vaskuler jarang menyebabkan mania sekunder.
Demensia
Demensia vaskuler (DV) merupakan sindroma demensia terbanyak (di negara Barat
setelah demensia Alzheimer) sedangkan Cina dan Jepang (Ueda,1992) demensia
vaskuler > 50 % dari semua demensia.
Sindroma demensia ini secara klinik terdiri dari gangguan intelektual (penurunan fungsi
kognitif lebih dari dua rana kognitif) yang didapat dan gangguan fungsional (aktifitas
hidup sehari-hari dan pekerjaan), disebabkan oleh iskemia pada jaringan otak, perdarahan
atau hipoksik otak. Diagnosa demensia ditegakan setelah 3 bulan pasca stroke dengan
gangguan kognitif menetap sesuai kriteria demensia. Demensia ini dapat bercampur
dengan demensia Alzheimer dan disebut demensia tipe campuran.
Karakteristik demensia vaskuler terdiri dari gejala-gejala neurologi fokal, defisit
neurobehavior (kognitif dan nonkognitif) dengan batasan yang luas sebagai refleksi
heterogenitas dari lesi otak yang berperan.
Gejala neurobehavior untuk kognitif meliputi atensi, konsentrasi, fungsi memori, fungsi
bahasa, fungsi visuospatial, gnosis, praksis, fungsi eksekutif, dan gejala non
kognitif/fungsi emosi meliputi depresi, mania, anxietas, labilitas, agitatif dan psikosis.
Faktor risiko potensial untuk terjadinya demensia vaskuler adalah: Hipertensi; ‘Coronary
Arteriosclerosis Diseases’, diabetes mellitus, penyakit jantung, hiperlipidemia, merokok,
faktor –faktor risiko ini memperberat arteriosklerosis yang sudah terbentuk sejak usia
muda.
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN STROKE
Perawat, sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan, diharapkan mampu memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien stroke secara komprehensif dan terorganisir sejak fase hiperakut
hingga fase pemulihan
PERAN PERAWAT PADA PENATALAKSANAAN PASIEN STROKE AKUT
Perawatan Pra-Rumah Sakit (Ambulance)
Menurut Carrozella & Jauch (2002), kunci keberhasilan penatalaksanaan pasien stroke fase
hiperakut dipengaruhi oleh efektifitas fungsi dari semua yang terlibat dalam rantai keselamatan &
pemulihan stroke (stroke ”chain of survival and recovery”), yang meliputi:
78
 Detection: pengenalan tentang tanda & gejala stroke oleh pasien atau
orang di
sekelilingnya.
 Dispatch: segera aktivasi petugas medik ambulans
 Door: triage cepat di ruang gawat darurat
 Data: pemeriksaan fisik terhadap status neurologi, pemeriksaan radiografi, dan
pemeriksaan laboratorium
 Decision: pemilihan terapi
 Drug: pemberian obat yang tepat dosis dan waktunya.
Di perjalanan menuju rumah sakit, perawat yang bertugas di mobil ambulans dapat mulai mencari
informasi mengenai waktu timbulnya gejala atau terakhir kali pasien terlihat normal. Perawat
juga harus mencatat adanya riwayat kejang, jatuh, serta riwayat kesehatan pasien dan obat yang
dikonsumsi sebelumnya. Penatalaksanaan dimulai dengan airway, breathing, & circulation
(ABCs), yang dilanjutkan dengan pengkajian status neurologik, tanda vital, saturasi oksigen, dan
kadar gula darah. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan selama di mobil ambulance
adalah pemberian oksigen melalui kanal nasal sesuai indikasi, pemberian cairan melalui intra
vena, pemeriksaan kadar gula darah, dan koreksi terhadap adanya hipoglikemi atau hiperglikemi
sesuai indikasi medik.
Pada fase hiperakut, waktu adalah hal yang paling penting, terutama bila pasien akan diberikan
obat trombolitik (recombinant Tissue Plasminogen Activator/ r-TPA). Peran perawat pada fase ini
adalah sebagai fasilitator dari semua anggota tim kesehatan yang terlibat, baik dalam koordinasi,
implementasi, maupun evaluasi terhadap perawatan pasien. Semua intervensi harus dilakukan
secara cepat, tepat, dan efisien. Monitoring terhadap kadar saturasi oksigen dan kadar gula darah
tetap harus dilakukan. Hipoglikemi dan hiperglikemi harus diidentifikasi dan diobati segera.
Oleh karena sebagian besar pasien stroke iskemi mengalami dehidrasi (Carrozella & Jauchi,
2002), maka mempertahankan volume cairan dengan pemberian cairan garam fisiologis melalui
intra vena (hindari pemberian cairan hipotonik), untuk mengoptimalkan perfusi otak. Posisi
kepala tempat tidur ditinggikan 30 derajat, hindari pemberian makanan atau cairan per oral dalam
beberapa jam pertama, sampai dipastikan bahwa pasien tidak mengalami gangguan menelan
(disfagia).
Perawatan di Rumah Sakit
Fase akut stroke terhitung sejak pasien masuk rumah sakit sampai keadaan pasien stabil,
biasanya dalam 48 – 72 jam pertama. Tetapi, pada beberapa kasus khusus waktunya
dapat lebih panjang. Selama fase ini, tindakan keperawatan ditujukan untuk
mempertahankan fungsi vital pasien dan memfasilitasi perbaikan neuron. Kualitas
layanan yang diberikan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dalam mencegah
terjadinya komplikasi dan kecacatan.
Asuhan keperawatan pada pasien stroke fase akut dimulai dengan pengkajian, penetapan
diagnosa keperawatan, menyusun rencana tindakan keperawatan, implementasi, dan
evaluasi.
PENGKAJIAN
Riwayat perjalanan penyakit, untuk mengetahui kapan gejala awitan mulai timbul atau onset.
Riwayat penyakit atau status kesehatan yang sebelum sakit: apakah pasien memiliki riwayat
penyakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, TIA (Transient Ischemic Attack),
dislipidemia, hiperagregasi trombosit, obesitas, atau penyakit lain sebagai faktor risiko stroke.
Pola/kebiasaan/gaya hidup sebelum sakit: merokok, minum alkohol, stress, kurang aktifitas,
kepribadian tipe A.
79
Pemeriksaan fisik:











Tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, respirasi, dan temperatur.
Tingkat kesadaran (Glasgow Coma Scale / GCS)
Pupil: ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya.
Fungsi serebral umum: orientasi, atensi, konsentrasi, memori, retensi, kalkulasi,
similaritas, keputusan, dan berpikir abstrak.
Fungsi serebral khusus: kemampuan bicara dan berbahasa, kemampuan
mengenal obyek secara visual, audio, dan perabaan, serta kemampuan
melakukan suatu ide secara benar dan tepat.
Fungsi saraf kranial I – XII
Fungsi serebellum: tes keseimbangan dan koordinasi otot
Fungsi motorik: ukuran otot, tonus otot, kekuatan otot, gerakan involunter, dan
gait.
Fungsi sensorik
Faktor psikososial: respon terhadap penyakit, tersedianya sistem pendukung
atau support system, kebiasaan menyelesaikan masalah atau coping mechanism,
pekerjaan, peran dan tanggung jawab dalam keluarga dan masyarakat, serta
pengambil keputusan dalam keluarga.
Pemeriksaan penunjang: CT Scan kepala, MRI kepala, Thorax photo, EKG,
laboratorium: gula darah, sistem hemostase, lipid analisa, ureum/ creatinin,
elektrolit, analisa gas darah, protein C, protein S, AT III, dan pemeriksaan
penunjang lain bila perlu sesuai kondisi pasien, misalnya: TCD (Trans Cranial
Doppler),
DSA (Digital Substruction Angiography), EEG (Electro
Encephalography), dan echo jantung.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kemungkinan diagnosa keperawatan yang ada pada pasien stroke adalah:










Risiko/aktual: tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan penumpukan slym
sekunder terhadap penurunan tingkat kesadaran, gangguan menelan atau disfagia.
Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan iskemik, edema, peningkatan
tekanan intra kranial.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan intake
cairan sekunder terhadap penurunan tingkat kesadaran, disfagia.
Perubahan pemasukan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan tingkat kesadaran, disfagia.
Perubahan eliminasi urin: inkontinensia urin berhubungan dengan penurunan tingkat
kesadaran, gangguan fungsi kognisi, immobilisasi.
Perubahan eliminasi bowel: konstipasi berhubungan dengan immobilisasi.
Perubahan sensori persepsi: audio, visual, sentuhan berhubungan dengan adanya
penurunan fungsi serebral sekunder terhadap kerusakan struktur serebri.
Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran,
hemiparese.
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran,
afasia.
Kurang mampu merawat diri/ ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, hemiparese, afasia,
gangguan sensori persepsi.
80



Respon emosi psikologis secara umum terhadap stroke, termasuk: takut, koping
tidak efektif, cemas, isolasi sosial, perubahan konsep diri, dan ketidakberdayaan
berhubungan dengan defisit neurologis.
Risiko injuri berhubungan dengan trauma jatuh, kejang.
Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi
PERENCANAAN
Beberapa contoh rencana tindakan keperawatan:
1.Diagnosa keperawatan: tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan
penumpukan lendir, lidah jatuh ke belakang sekunder
terhadap penurunan tingkat kesadaran, disfagia.
Rasional:: Pasien dengan penurunan tingkat kesadaran yang disebabkan
oleh peningkatan TIK baik karena edema maupun hidrosefalus
dapat mengakibatkan hilangnya refleks batuk sehingga
menyebabkan penumpukan lendir dan kemungkinan lidah jatuh
ke belakang. Disfagia adalah gangguan dalam menelan makanan
dan atau cairan sehingga juga dapat menyebabkan penumpukan
lendir yang dapat menyebakan jalan nafas tidak lancar.
Tujuan:
jalan nafas pasien dapat dipertahankan tetap lancar atau paten.
Rencana tindakan keperawatan:
 Kaji dan monitor tanda-tanda vital dan status pernafasan
 Kaji dan monitor tingkat kesadaran
 Rubah posisi miring kiri dan kanan setiap 2 jam
 Lakukan fisioterapi dada
 Lakukan suction (jangan lebih dari 15 detik setiap kali suction)
 Berikan cairan minimal 2000 ml/24 jam bila tidak ada kontra indikasi
 Mobilisasi sedini mungkin bila kondisi pasien stabil
 Kolaborasi dengan medis:
- berikan Oksigen sesuai kebutuhan
- berikan terapi inhalasi
- berikan obat mukolitik
- lakukan pemeriksaan analisa gas darah
 Kolaborasi dengan fisioterapis mengenai mobilisasi dini dan fisioterapi dada
2
Diagnosa keperawatan: Gangguan perfusi serebral berhubungan dengan
iskemik, edema, peningkatan tekanan intra
kranial.
Rasional: Penurunan aliran darah ke otak dapat menyebabkan jaringan
serebral mengalami iskemik, sehingga mengakibatkan edema atau
81
juga dapat menyebabkan hidrocephalus yang pada akhirnya dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial, yang
berpengaruh pada tekanan perfusi serebral.
Tujuan: Perfusi jaringan serebral dapat dipertahankan atau ditingkatkan
Rencana tindakan keperawatan:








Kaji dan monitor tanda-tanda vital
Kaji dan monitor tingkat kesadaran
Kaji dan monitor pupil dan kekuatan otot
Kaji dan monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
Anjurkan pasien bed rest selama 24-72 jam pertama
Tinggikan posisi kepala tempat tidur 15-30 derajat
Atur posisi kepala netral, hindari leher tertekuk
Kolaborasi dengan medis:
- berikan Oksigen sesuai kebutuhan
- berikan terapi anti edema sesuai indikiasi
- berikan terapi neuroprotektan
- pertahankan tekanan darah dalam batas normal
- pertahankan gula darah dalam batas normal
- pertahankan suhu tubuh normal
INTERVENSI KEPERAWATAN LAIN PADA STROKE FASE AKUT
 Pertahankan jalan nafas, sirkulasi, tekanan darah, dan tekanan perfusi serebral.
 Berikan oksigen, dan atur posisi kepala pasien neutral
 Bersihkan lendir dari jalan nafas, lakukan suction bila perlu.
 Monitor fungsi nafas, cek analisa gas darah, observasi gerakan dada
 Kaji tanda vital secara periodic sesuai kondisi pasien
 Kaji status neurologik secara periodic: GCS, pupil, fungsi motorik dan sensorik, fungsi
saraf kranial, dan reflek.
 Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
 Pertahankan nutrisi yang adekwat untuk mempertahankan fungsi tubuh.
 Pertahankan suhu tubuh normal.
 Pertahankan pola eliminasi adekuat.
 Pertahankan kadar gula darah kurang dari 150 mg/dl.
 Lakukan pencegahan kejang jika perlu
 Kaji kemampuan menelan pasien
Perawatan di Unit Stroke
Unit Stroke merupakan suatu area/unit perawatan khusus untuk pasien stroke fase akut hingga
fase pemulihan, yang dilakukan oleh tim multidisiplin secara komprehensif dan terpadu. Tim
multidisipiner ini atau yang lebih dikenal dengan tim stroke terdiri dari dokter, perawat trampil
stroke, terapis fisik, terapis okupasi, terapis wicara, ahli gizi, dan pekerja sosial medis. Seluruh
anggota tim stroke harus melakukan pengkajian pada setiap pasien baru dan mengadakan
pertemuan tim secara rutin minimal seminggu sekali. Dalam setiap pertemuan tim, seluruh
anggota tim memberikan hasil pengkajian dari masing-masing disiplin ilmu. Selain itu, tim juga
membahas masalah yang dihadapi pasien akibat stroke, perkembangan kondisi pasien, tujuan, dan
menyusun rencana tindakan selanjutnya termasuk menyusun perencanaan pulang.
82
Perawat mempunyai peran sentral dalam tim stroke, sehingga perawat yang bertugas di unit
stroke harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan merawat pasien stroke, yang diperoleh
melalui pendidikan khusus yang terprogram dan terstruktur, yang dibuktikan dengan sertifikat.
Peran perawat dalam tim stroke mencakup peran sebagai pemberi layanan asuhan keperawatan,
pendidik, penasihat bagi pasien dan keluarga, fasilitator, dan peran sebagai peneliti. Peran
perawat sebagai peneliti sangat diperlukan untuk peningkatan mutu asuhan keperawatan, karena
semua rencana tindakan keperawatan atau intervensi keperawatan seharusnya didasarkan pada
hasil penelitian secara ilmiah atau based evidence practice.
Perawatan yang dilakukan di Unit Stroke / Sudut Stroke
Pada fase akut:
a.
b.
c.
Stimulasi dini, mobilisasi dini, dan transfer dini.
Penatalaksanaan pasien stroke dengan gangguan fungsi kandung kemih.
Penatalaksanaan pasien stroke dengan gangguan menelan
Pada fase sub akut:
a. Program edukasi keluarga.
b. Rehabilitasi pasien stroke pada fase sub akut.
c. Perencanaan pulang
d. Program perawatan pasien di rumah
Peran Perawat pada Fase Akut
A.
Stimulasi, mobilisasi, dan transfer dini
Stimulasi dini
Stimulasi dini terhadap pasien stroke dapat dilakukan baik melalui visual, audio, maupun
melalui sentuhan. Stimulasi melalui visual dapat berupa tersedianya televisi di kamar
pasien, membawakan album foto keluarga, maupun dengan buku-buku bacaan. Dengan
memberikan stimulasi melalui visual diharapkan juga dapat melatih kemampuan memori
atau daya ingat pasien.
Stimulasi melalui audio dengan cara menganjurkan keluarga untuk membawakan pasien
walkman, CD player, atau alat audio lain. Kepada seluruh anggota tim stroke diharapkan
untuk selalu memberikan informasi secara lisan apabila akan melakukan suatu intervensi,
termasuk kepada pasien afasia dan pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran.
Melakukan latihan gerak sendi ataupun berbicara sambil menyentuh bagian lengan pasien
yang lemah adalah salah satu contoh memberikan stimulasi melalui sentuhan. Terutama
bagi pasien stroke yang mengalami hemineglect (biasanya lesi pada hemisfer kanan),
dianjurkan untuk selalu menghampiri dari sisi kiri yang lemah atau sisi kiri.
Mobilisasi dini
Biasanya pasien istirahat di tempat tidur dalam 48-72 jam pertama. Kepala tempat tidur
ditinggikan 30 derajat. Posisi pasien dirubah miring kiri dan miring kanan setiap 2-3 jam.
Untuk mencegah terjadinya nyeri bahu dan kecacatan, lengan dan kaki yang mengalami
kelemahan diatur posisinya dan diganjal dengan bantal. Posisi lengan supinasi, jari lebih
tinggi dari siku dan siku lebih tinggi dari bahu. Kaki endorotasi, lutut agak ditekuk.
Untuk mencegah terjadinya kekakuan sendi, dilakukan latihan pergerakan sendi (Range
Of Motion) secara teratur 2 kali sehari, yang dimulai sejak awal perawatan pasien.
Ketinggian kepala tempat tidur dinaikkan secara bertahap 45o, 60o, dan selanjutnya duduk
83
bersandar 90o pada hari ketiga bila kondisi pasien stabil dan tidak terjadi komplikasi.
Pada hari berikutnya pasien dilatih duduk berjuntai di tempat tidur, tanpa bersandar.
Perawat harus memonitor tanda-tanda vital pasien sebelum, selama, maupun setelah
latihan mobilisasi, terutama denyut nadi dan tekanan darah.
Transfer dini
Apabila pasien telah mampu duduk berjuntai selama minimal 30 menit tanpa keluhan
berarti, keesokan harinya pasien dapat dilatih duduk di kursi bersandar tegak atau kursi
roda. Pertama kalai pasien latihan duduk di kursi biasanya dilakukan oleh fisioterapis
bersama perawat. Posisi duduk pasien harus diatur dengan benar. Punggung harus tegak,
letakkan bantal di bawah lengan yang lemah, pastikan bahwa telapak kaki menapak di
lantai atau sandaran kaki kursi roda.
Sama seperti waktu melatih pasien duduk berjuntai, perawat juga harus memonitor tandatanda vital terutama denyut nadi dan tekanan darah sebelum, selama, dan setelah latihan
duduk. Selain mengukur frekuensi denyut nadi per menit, perawat juga harus
memperhatikan apakah irama jantung teratur atau tidak. Perawat juga harus
memperhatikan penampilan klinis & keluhan pasien. Penampilan klinis mencakup
ekspresi wajah, keringat dingin, kemampuan menopang kepala, ataupun kesimbangan
duduk. Keluhan pasien yang harus diperhatikan oleh perawat adalah adanya keluhan
pusing, sakit kepala, sesak nafas, atau nyeri dada. Latihan duduk ini dapat meningkatkan
rasa nyaman pasien, meningkatkan rasa percaya diri, mencegah injuri, dan meningkatkan
fungsi respirasi.
B.
Penatalaksanaan gangguan fungsi kandung kemih
Gangguan fungsi kandung kemih pada pasien pasca stroke tidak banyak
dipublikasikan, meskipun hasil survei menunjukkan bahwa 60 – 80 % atau dua
pertiga pasien stroke mengalami inkontinensia (Warlow, 2001). Bagi pasien
stroke, keluarga, atau pengasuhnya, gangguan fungsi kandung kemih dapat
menyebabkan stres dan beberapa implikasi dalam masalah kesehatan. Beberapa
komplikasi seperti infeksi saluran kemih, luka lecet, urosepsis dapat
mempengaruhi keberhasilan dalam pemulihan dan rehabilitasi. Selain berdampak
terhadap segi kesehatan, gangguan fungsi kandung kemih juga dapat berimplikasi
pada segi psikososial. Pasien dapat mengalami rendah diri dan kurang percara diri
karena sering mengalami inkontinensia. Sebagai akibat lebih lanjut, pasien akan
merasa malas dan enggan untuk beraktifitas di luar rumah.
Gangguan fungsi kandung kemih yang diakibatkan oleh stroke biasanya berupa
“Inhibited Neurogenic Bladder Disfunction”. Hal ini dicirikan oleh gangguan
dalam reflek miksi, sensasi kemampuan untuk memprakarsai miksi dan
penghambatan. Bila orang normal kandung kemih terisi 300-400 ml akan terasa
sensasi, pada pasien stroke otot detrusor kontraksi pada volume kandung kemih
200 ml. Neurogenic bladder disfunction hanya salah satu aspek dari masalah yang
dialami pasien stroke. Masalah lain adalah; interpretasi yang salah dari pasien
untuk mengosongkan, pengertian implikasi dari pesan, serta tahap-tahap yang
sesuai dengan kondisi sosial. Akibat stroke juga dapat menyebabkan gangguan
proses pikir seperti atensi, konsentrasi, penilaian, pengambilan dan keputusan
yang dapat mempengaruhi proses pengosongan kandung kemih.
84
Intervensi keperawatan pada pasien stroke dengan gangguan fungsi kandung kemih
terutama ditujukan pada:






Pasien tidak terpasang dhower catheter/indwelling catheter.
Mengaktifasi aktifitas pengosongan kandung kemih.
Memastikan kandung kemih kosong.
Mengembalikan pola buang air kecil seperti sebelum sakit.
Mencegah komplikasi.
Edukasi pasien dan keluarga.
Melepaskan dhower catheter atau indwelling catheter merupakan topik yang utama
dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi kandung kemih. Yang sering
diperdebatkan adalah apakah perlu untuk dilakukan klem sebelum kateter dilepas. Survey
yang dilakukan oleh Gross (1990) menunjukkan, dari 28 pasien yang diobservasi, tidak
ada perbedaan antara yang dilakukan klem maupun yang tidak dilakukan klem. Sepertiga
responden mengalami retensi urin dalam 8 jam setelah kateter dilepas, sisanya tidak
mengalami retensi.
Salah satu upaya dalam mengembalikan fungsi kandung kemih adalah menjamin intake
cairan 1500 – 2000 ml per hari. Perhatikan terutama ditujukan pada pasien yang
mengalami gangguan komunikasi, gangguan pergerakan, dan gangguan persepsi. Pasien
dianjurkan minum air putih 200 ml setiap dua jam pada siang hari.
Pada waktu pasien buang air kecil, sebaiknya di tempat yang seharusnya, yaitu di kamar
mandi. Jika masalahnya adalah gangguan pergerakan, dianjurkan penggunaan commode
di samping tempat tidur. Penggunaan commode dan posisi yang normal (berdiri atau
duduk) sangat penting untuk mengembalikan persepsi pasien yang mengalami gangguan
kognisi. Penggunaan commode lebih baik daripada penggunaan diapers. Dari segi
psikologis, duduk untuk perempuan dan berdiri untuk laki-laki akan memfasilitasi
perineum relaksasi dan memberikan efek gravitasi untuk mempermudah pengosongan
kandung kemih.
Pengosongan kandung kemih yang sempurna harus dievaluasi secara terus-menerus pada
pasien stroke. Sisa urin dianggap normal bila kurang dari 50 ml selama tiga kali secara
konsekutif. Bila sisa urin lebih dari 50 ml, dilakukan pemeriksaan sisa urin di kandung
kemih menggunakan alat bladder scanner dua kali sehari, dan bila perlu dilakukan
kateterisasi intermiten.
Tehnik lain untuk mengosongkan kandung kemih adalah tehnik relaksasi perineum
dengan duduk di commode. Bila dengan tehnik relaksasi belum berhasil, dapat dicoba
tehnik “Double voiding” atau ”Triple Voiding”. Kedua tehnik ini sangat efektif untuk
pasien yang mengalami partial retensi urine.
“Kegel Exercise” sangat membantu pasien stroke dengan inkontinensia. Latihan
ditujukan untuk memperkuat otot-otot pelvik. Latihan berkerut dan relaksasi dilakukan
tiga kali sehari masing-masing 15 kali. Sekali berkerut 10 detik, melemaskan 10 detik.
Latihan sebaiknya dilakukan dalam berbagai posisi: duduk, berbaring dan berdiri.
Kelemahan teknik ini adalah tidak dapat diterapkan pada pasien pasca stroke yang
mengalami penurunan tingkat kesadaran atau mengalami gangguan fungsi kognisi.
C.
Penatalaksanaan gangguan menelan
Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan dan atau makanan yang disebabkan
karena adanya gangguan pada proses menelan (Braddom, 1996). Survei menunjukkan,
85
bahwa sekitar 45% pasien stroke fase akut mengalami aspirasi ketika dilakukan tes
minum air beberapa ml. (Gordon et al dalam Warlow, 2000). Disfagia dapat
mengakibatkan pasien stroke mengalami aspirasi. Bila gangguan menelan ini tidak diatasi
dengan segera, pasien dapat mengalami pneumonia, dehidrasi, malnutrisi, bahkan dapat
mengakibatkan kematian. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, diperlukan
pemeriksaan yang akurat sejak pasien masuk rumah sakit.
Tujuan utama penatalaksanaan pasien stroke dengan gangguan menelan adalah mencegah
terjadinya aspirasi dan memastikan pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat melalui cara
yang aman.
Penatalaksanaan umum
Semua pasien stroke baru tidak boleh diberikan makan atau minum sebelum dipastikan
bahwa pasien tidak mengalami gangguan menelan. Bila pasien kesadaran baik, tidak ada
slim atau ronkhi, tidak ada riwayat tersedak atau tanda dan gejala gangguan menelan
yang lain, lakukan penilaian dengan memberikan minum air putih sekitar 50-100 ml. Bila
pasien mampu minum air tersebut tanpa mengalami batuk atau tersedak, diet atau menu
pasien dapat diberikan per oral sesuai order medik. Bila terjadi batuk atau tersedak,
pasang selang lambung (NGT) nomer 14 dan semua makanan melalui NGT, hingga
dilakukan tes menelan oleh terapis wicara atau perawat yang terlatih.
Tes menelan (materi terlampir), dilakukan sedini mungkin untuk menentukan pengaturan
diet selanjutnya. Hasil dari tes menelan adalah apakah pasien mengalami gangguan
menelan, pada fase yang mana adanya gangguan menelan dan metode apa yang tepat
untuk masuknya cairan dan nutrisi bagi pasien. Selain modifikasi diet atau pengaturan
menu, digunakan juga teknik kompensasi dan latihan otot-otot mengunyah dan menelan.
Pengaturan menu atau modifikasi diet sesuai hasil tes menelan:


Makanan bentuk cair, semua melalui selang lambung atau NGT,
Makanan bentuk cair, semua melalui selang lambung atau NGT, bubur saring 1
mangkuk kecil 3 kali sehari hanya untuk latihan per oral.
 Seperempat porsi makanan lunak per oral, tigaperempat porsi makanan bentuk cair
melalui NGT
 Setengah porsi makanan lunak per oral, setengah porsi makanan cair melalui NGT
 Tiga per empat porsi makanan lunak peroral, seperempat porsi makanan cair melalui
NGT
 Seluruh porsi makanan lunak per oral, hanya air yang melalui NGT
 Makanan dan cairan per oral.
Tehnik kompensatori
Teknik kompensatori berupa perubahan posisi kepala atau badan dapat membantu
pergerakan bolus dan mencegah terjadinya aspirasi.
Beberapa teknik kompensatori adalah sebagai berikut:



Posisi duduk tegak, kepala simetris ke depan, kepala agak ditekuk
Pada waktu menelan, anjurkan pasien untuk menoleh ke sisi yang lemah
“Effortful swallow and double swallow”, dengan cara ambil nafas dalam dan tahan,
ambil atau suap makanan, telan, batuk cepat setelah makan, dan kembali nafas biasa.
86
Latihan otot-otot mengunyah dan menelan
Latihan dilakukan sesuai dengan pemeriksaan dan observasi klinis pasien.
1. Klinis: menurunnya pergerakan, kekuatan, dan koordinasi bibir
Observasi klinis: mengiler, “facial drop”
Latihan bibir:
 Buka mulut, lebarkan, rileks, ulang
 Senyum, menyeringai, senyum, menyeringai
 Ucapkan pa pa pa, ba ba ba
 Bertiup, bersiul
2. Klinis: menurunnya pergerakan, kekuatan dan koordinasi lidah
Observasi klinis: lidah tidak mampu memindahkan makanan dari depan ke
belakang mulut
Latihan:
 julurkan lidah
 sentuh bibir atas dan bawah dengan lidah
 dorong lidah ke arah pipi kanan dan kiri
 dorong lidah melawan sudip lidah
 ucapkan la la la la la
3. Klinis: menurunnya pergerakan, kekuatan dan koordinasi rahang bawah
Observasi klinis: tidak mampu mengunyah makanan
Latihan:
 buka mulut lebar, istirahat, ulangi
 gerakkan dagu dari kanan ke kiri dan sebaliknya
4. Klinis: lemahnya reflek menelan dan batuk
Observasi klinis: tidak mampu batuk, suara serak, batuk sewaktu atau
sesudah menelan.
Latihan:




tarik nafas dalam dan hembuskan secara perlahan
tarik nafas panjang, ucapkan berulang ah ah ah
latihan tiup sedotan
menyanyikan lagu
Prosedur aman pada waktu memberikan makan
Bila memungkinkan pasien harus duduk di kursi pada saat makan. Bila harus makan di
tempat tidur, pasien sebaiknya duduk tegak 90 derajat. Pada saat menelan pasien
dianjurkan agak menunduk (posisi leher agak ditekuk) untuk mempermudah menutupnya
jalan nafas.
Beberapa hal lain yang harus diperhatikan oleh perawat adalah:
 Pada saat memberikan suapan perawat harus berhadapan langsung dengan pasien.
 Gunakan sendok kecil dan letakkan makanan pada sisi mulut yang sehat.
 Anjurkan pasien menoleh ke sisi yang lemah pada saat menelan makanan.
87
 Anjurkan pasien untuk menelan 2 – 3 kali untuk memastikan makanan telah tertelan
semua.
 Pastikan makanan telah tertelan semua sebelum memberikan suapan berikutnya.
 Anjurkan pasien untuk batuk setelah menelan.
 Pertahankan posisi duduk tegak 20 – 30 menit setelah makan.
 Perhatikan kebersihan mulut pasien setelah makan, perhatikan apakah ada makanan
yang belum tertelan.
 Jika pasien terbatuk-batuk secara konstan sebelum, selama, atau setelah makan,
hentikan memberikan makan.
 Bila pasien mengalami kelelahan, hentikan memberikan makan.
Peran Perawat pada penatalaksanaan stroke fase sub akut
Bila kondisi pasien telah stabil, penatalaksanaan perawatan ditujukan untuk
mempertahankan fungsi tubuh dan mencegah komplikasi. Rehabilitasi pasien harus
dilakukan sedini mungkin. Pada fase ini perawat harus mengkaji dan memonitor
kemungkinan timbulnya peningkatan tekanan intra cranial yang disebabkan oleh edema,
hematoma, atau hidrosefalus.
Dari segi neurologik, tindakan medis dan upaya pemulihan yang dilakukan berdasarkan
pada usaha untuk mencegah kerusakan sel otak yang lebih luas, kemungkinan terbentuknya
sirkuit-sirkuit atau lintasan-lintasan penghubung yang baru, dan fungsi yang lebih efektif
dari sel-sel otak yang semula pasif. Dengan perkataan lain berusaha memanfaatkan
semaksimal mungkin keberadaan sel-sel otak yang masih sehat.
Untuk tercapainya harapan ini, diperlukan latihan-latihan yang pada hakekatnya
merupakan proses belajar kembali. Sambil menunggu terjadinya lintasan penghubung yang
baru, dan memacu perbaikan-perbaikan fungsional otak, latihan-latihan ini juga bertujuan
mencegah terjadinya kekuatan otot dan sendi, sehingga tercapai keselarasan antara
perbaikan di tingkat pusat dan terpeliharanya kondisi otot penggerak.
Perhatian harus juga diberikan pada keluarga pasien karena anggota keluarga akan sangat
mempengaruhi respon pasien terhadap penyakit yang dideritanya. Mereka ikut berperan
terhadap keberhasilan dan kegagalan upaya pemulihan. Masalah yang timbul akibat dari
stroke biasanya bervariasi. Masalah tergantung bagian otak yang terkena. Pada awal setelah
terjadinya stroke, pasien merasa binggung dan mengalami ketergantungan yang sangat
besar terhadap orang lain, untuk itu diperlukan seorang pengasuh (carer) yang dapat
membantu pasien saat pasien membutuhkan pertolongan dan membantu melatih pasien
secara bertahap untuk mencapai kemandirian.
Pengasuh adalah seorang yang ditunjuk oleh keluarga sebaiknya dengan persetujuan
pasien, untuk menjadi pendamping pasien umumnya minimal 6 bulan. Pengasuh ini dapat
salah satu anggota keluarga pasien atau bisa juga orang lain yang telah diberi penyuluhan
secara khusus untuk menjadi pengasuh stroke.
Praktek keperawatan pasien stroke fase sub akut:







Lakukan perawatan kebersihan badan secara rutin
Monitor tanda vital, status neurologis, dan fungsi kognisi secara teratur
Libatkan pasien dalam perawatan diri sesuai kemampuan pasien
Lakukan ROM pasif tiga sampai empat kali sehari
Lakukan perawatan kulit setiap empat jam, perhatikan adanya kemerahan atau iritasi
Ubah posisi setiap dua jam, ganjal bantal pada lengan dan tungkai yang lemah
Tinggikan bagian kepala tempat tidur 30 derajat
88
















Perhatikan bersihan jalan nafas, bila pasien sadar anjurkan untuk latihan batuk efektif
Lakukan fisioterapi dada
Kenakan elastic stocking bila perlu
Monitor fungsi bowel
Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
Lepaskan dhower catheter sedini mungkin
Lakukan bladder training
Kaji kemampuan menelan pasien
Kaji fungsi bicara dan berbahasa
Sesuaikan tehnik berkomunikasi dengan kemampuan pasien: bicara pelan dengan
suara normal, jadilah pendengar yang baik, jelaskan setiap prosedur yang akan
dilakukan.
Reorientasikan pasien menggunakan kalender, radio, foto keluarga.
Evaluasi visus dan lapang pandang
Berikan perawatan mata jika perlu
Lakukan pencegahan kejang jika perlu
Observasi adanya komplikasi, misalnya: pneumonia, emboli paru, infark miokard
Monitor dan identifikasi penyakit penyerta, misalnya: DM, obesitas, hipertensi.
PERAWATAN DI POJOK STROKE (STROKE CORNER )
Istilah pojok stroke dipergunakan untuk penatalaksanaan pasien stroke di ruang rawat biasa,
bukan di unit stroke. Biasanya pasien stroke dikelompokkan dalan suatu area di ruang rawat.
Tujuannya adalah memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien stroke, dengan melibatkan
keluarga sebagai pendamping pasien (care giver).
Pada 48 – 72 jam pertama awal perawatan pasien stroke atau fase akut, keluarga pendamping
hanya ikut memonitor kondisi pasien secara umum. Hal yang harus diperhatikan adalah apakah
pasien mengalami gelisah, nyeri kepala, kejang, sesak nafas atau kenaikan suhu badan. Bila
terjadi salah satu dari hal tersebut, diharapkan pendamping segera melaporkan ke perawat jaga.
Segera setelah kondisi pasien stabil, keluarga pendamping diberikan edukasi mengenai hal-hal
yang dapat dilakukan dalam merawat pasien stroke. Materi edukasi yang diberikan kepada
keluarga atau pendamping pasien stroke akan dibahas tersendiri pada bab selanjutnya.
Contoh kegiatan yang dapat dilakukan keluarga pendamping selama perawatan di pojok stroke
adalah:




Menjaga kebersihan badan secara rutin, seperti; memandikan pasien di tempat tidur,
menjaga kebersihan gigi & mulut, serta kebersihan genitalia.
Menggerakkan persendian tangan & kaki secara rutin 2 kali sehari, sesuai program
fisioterapis.
Merubah posisi pasien miring kiri dan miring kanan setiap 2 – 3 jam.
Memberikan nutrisi per oral atau per NGT dengan teknik yang benar.
Sama halnya dengan penatalaksanaan pasien stroke di unit stroke, sebelum pulang ke rumah
pasien dan keluarga pemdamping diberikan edukasi. Bagian dari materi edukasi meliputi tentang
cara merawat pasien stroke di rumah dan cara mengontrol faktor risiko untuk mencegah
terulangnya stroke.
89
KEBUTUHAN PSIKOLOGIS
Meskipun aspek psikososial merupakan bagian integral dari perencanaan keperawatan,
pengetahuan tentang defisit emosi dan perilaku pasien pasca stroke akan sangat membantu upaya
pemulihan pasien pasca stroke. Kebutuhan dan perubahan psikologis pasien stroke berbeda satu
dengan yang lain, tergantung area otak yang terkena. Defisit psikologis pasien pasca stroke
meliputi: emosi yang labil, hilangnya kontrol diri, dan menurunnya toleransi terhadap stress.
Emosi yang tidak stabil menyebabkan respon yang tidak sesuai, misalnya karena hal kecil pasien
dapat menangis atau tertawa yang tidak dapat dikontrol oleh pasien itu sendiri.
Peran perawat dalam memberikan dukungan emosi dan psikologis:








Tenangkan dan jelaskan pada pasien dan keluarga bahwa perilaku pasien disebabkan oleh
injuri serebri, sifatnya tidak akan menetap, dan akan pulih sesuai perjalanan waktu.
Kontrol lingkungan, mengurangi stimulus yang menyebabkan pasien sedih
Antisipasi kebutuhan pasien untuk menurunkan rasa frustasi pasien.
Berikan umpan balik positif terhadap kemajuan pasien
Fasilitasi pasien untuk belajar ketrampilan secara bertahap.
Orientasikan kembali pasien pada tempat, waktu, dan orang.
Jelaskan defisit emosional pasien pada keluarga, berikan dukungan
Lakukan pengulangan jika perlu, karena pasien mempunyai hambatan dalam mempelajari
kembali hal yang pernah dilakukan.
FASE PEMULIHAN ATAU REHABILITASI DI RUMAH SAKIT
Tanggung jawab perawat dalam program rehabilitasi pasien pasca stroke:











Beri kesempatan pasien untuk melakukan perawatan diri semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan pasien.
Ajarkan aktifitas untuk perawatan diri dengan berbagai cara untuk melakukan kompensasi
terhadap ketidakmampuan pasien.
Ajarkan pasien teknik transfer.
Berikan perawatan khusus terhadap kulit.
Beri kesempatan pasien untuk mengenakan pakaiannya sendiri.
Perhatikan privasi pasien pada saat pasien sedang belajar ketrampilan baru.
Berikan dukungan emosi dan psikologis.
Beri kesempatan pasien untuk mengekspresikan perasaannya.
Bersikaplah empati terhadap perasaan pasien.
Pastikan perawat dan pasien mengetahui apa yang dilakukan fisioterapis bagi pasien.
Libatkan keluarga dalam program rehabilitasi.
PROGRAM EDUKASI KELUARGA
Edukasi kepada pasien dan keluarga merupakan bagian dari progran rencana kepulangan pasien.
Peran perawat yang paling penting dalam perencanaan pulang ini adalah memberikan edukasi
pada pasien dan keluarga. Materi yang diberikan meliputi pengertian, faktor risiko, tanda gejala,
dan cara merawat pasien stroke di rumah.
Materi mengenai cara merawat pasioen stroke di rumah disesuaikan dengan kondisi pasien dan
masalah kesehatan yang dialami pasien pasca stroke, yang meliputi: peran keluarga dalam
merawat pasien stroke di rumah, pengobatan, nutrisi, dan apa yang harus dilakukan pasien dan
keluarga untuk mencegah terulangnya stroke. Edukasi kepada pasien dan keluarga dapat
90
dilakukan secara kelompok atau perorangan. Bila keadaan pasien memungkinkan, pasien dapat
dilibatkan dalam pemberian edukasi ini.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat memberikan edukasi kepada pasien adalah:










Ruangan harus tenang, jangan berisik
Batasi distraksi lingkungan
Pastikan pasien dapat mendengar dengan baik. Bila sebelum sakit pasien menggunakan alat
bantu dengar, anjurkan pasien untuk mengenakannya.
Kaca mata harus dipakai dan dalam keadaan bersih.
Gunakan huruf atau gambar berukuran besar
Gunakan warna untuk tanda permulaan dan akhir dari sesi pembelajaran.
Atur pemberian informasi dalam waktu yang singkat.
Bersikap tenang, lakukan pendekatan.
Beri tekanan dan ulangi pada kalimat yang penting.
Sediakan waktu pada pasien untuk berespon.
PERENCANAAN PULANG
Perencanaan pulang adalah suatu proses yang terkoordinasi dari pembuatan keputusan dan
aktifitas lain yang melibatkan pasien, keluarga, kerabat, dan tim stroke yang bekerja sama untuk
melakukan adaptasi atau transisi mulus ke suatu lingkungan yang baru. Setelah fase akut teratasi,
pasien sebaiknya dikelola di rumah sakit sub akut (step down care hospital), pusat rehabilitasi,
atau nursing home. Di Indonesia, hal ini belum dapat dilakukan. Setelah memasuki fase sub akut,
hampir seluruh pasien stroke pulang ke rumah.
Beberapa hari menjelang kepulangan pasien, perawat membantu keluarga untuk memutuskan
pengasuh atau carer bagi pasien. Tim juga harus mengkaji apakah pasien membutuhkan bantuan
tenaga perawat professional di rumah. Dalam perencanaan pulang semua hal harus
dipertimbangkan termasuk aspek medis, ekonomi, sosial, dan budaya. Dari aspek medis yang
harus dipertimbangkan adalah gangguan yang terjadi, ketidakmampuan, dan ketunaan yang
dialami pasien.
PROGRAM PERAWATAN PASIEN DI RUMAH ( Home care program )
Program perawatan pasien stroke di rumah telah dirintis Unit Stroke RSCM sejak tahun 1995.
Dimulai dengan merawat seorang pasien dengan “lock-in syndrome”. Semakin hari permintaan
tenaga dari tim stroke untuk visit ke rumah semakin meningkat. Biasanya jumlah tenaga ataupun
frekuensi kunjungan disesuaikan dengan kondisi pasien dan tingkat ketergantungan pasien dalam
melakukan aktifitas kegiatan sehari-hari. Tim stroke yang aktif terlibat pada perawatan pasien
stroke di rumah ini terdiri dari dokter ahli saraf, perawat trampil stroke, fisioterapis, dan terapis
wicara, serta terdapat juga permintaan tenaga non medik seperti pengasuh, yang membantu
keluarga sebagai pendamping (carer) pasien stroke.
PENCEGAHAN STROKE
Pencegahan stroke pada dasarnya dibagi dua yaitu, pencegahan primer dan pencegahan sekunder.
Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan mengatasi berbagai
faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun kelompok risiko tinggi yang belum
pernah terserang stroke.
Yang termasuk dalam cara pencegahan primer yaitu dengan memoerhatikan pola hidup
sehat yang terdiri dari : mengatur pola makan yang sehat, melakukan olah raga teratur,
menghentikan rokok, menghindari minum alkohol dan penyalah gunaan obat,
memelihara berat badan layak, konsultasi bila ingin memakai kontrasepsi oral,
91
menghindari stress dan istirahat cukup serta pemakaina antiplatelet (aspirin) pada wanita
dengan risiko tinggi.
Pencegahan sekunder dilakukan untuk terulangnya stroke, dengan cara pengendalian
faktor risiko ang dibagi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan
pengendalian faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi adalah faktor risiko yang tidak dapat diubah dan umumnya dapat dipakai
sebagai petanda (marker) stroke pada seseorang. Faktor ini termasuk usia, gender dan
riwayat TIA atau stroke di keluarga. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain
adalah hipetensi, kelainan jantung, diabetes melitus, riwayat pernah kena serangan TIA
atau stroke, dislipidemia serta faktor risiko lainnya yaitu : diseksi arteri, patent foramen ovale,
hiperhomosistein, kondisi hiperkoagulasi, inherited trombophilia, antiphospholipid antibodi sindrom, sickle
cell disease, serebral venous sinus trombosis, stenosis karotis, kehamilan.
PEMANTAUAN DENGAN SKALA STROKE (NIHSS, BARTHEL INDEX,
MODIFIED RANKIN SCALE)
Tatalaksana pasien stroke yang dilakukan di unit stroke atau sudut stroke adalah sistem
perawatan spesialistik stroke secara komprehensif. Pantauan ketat untuk perubahan fisiologis,
defisit neurologis dan pemulihan fungsi otak agar kualitas hidup seseorang pasca stroke tetap baik
merupakan tujuan akhir dari tatalaksana stroke ini.Untuk kemudahan dan keseragaman
pengukuran kemajauan dari fungsi otak ini, ada beberapa penilaian berdasarkan skoring yang
telah digunakan secara luas di dunia.
Skoring atau skala yang telah dipakai di unit stroke dan sudut stroke Rumah Sakit Cipto
Mangunkukusumo adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale) untuk melihat
kemajuan hasil perawatan fase akut. Untuk pengukuran keterbatasan (disability) dipergunakan
Indeks Barthel dan untuk pengukuran keterbatasan stroke yang lebih global, dipergunakan Skala
Rankin yang dimodifikasi. Semua skala ini telah umum dipakai di seluruh dunia. Sedangkan
dalam buku Guidelines Stroke yang diterbitkan oleh PERDOSSI, NIHSS tetah ditetapkan
sebagai salah satu cara pantauan saat perawatan stroke di Indonesia
IMPAIRMENT, DISABILITY dan HANDICAP
Tahun 1980, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) membuat definisi
impairment, disability dan handicap Konsep dasar yang dipakai adalah suatu kenyataan bahwa
perjalanan semua penyakit terdiri dari empat tingkatan, yaitu: 1) patologi, 2) impairment
(gangguan), 3) disability (keterbatasan), dan 4) handicap (ketunaan). Dalam prakteknya, seluruh
tingkatan ini merupakan suatu kontinum dengan banyak daerah yang bersinggungan
(overlapping) antara satu dengan lainnya.
Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas fungsi atau struktur psikologis, fisiologis dan
anatomi. Pada stroke, gangguan ini dapat diukur dengan mempergunakan NIHSS. Disability
adalah hambatan atau ketidakmampuan akibat impairment untuk melakukan suatu aktivitas dalam
rentang waktu tertentu yang biasanya waktu itu sudah cukup bagi orang normal untuk melakukan
aktivitas tersebut. Pengukuran ketidak- mampuan ini mempergunakan alat ukur Indeks Barthel.
Dan untuk pengukuran yang lebih global dapat dipergunakan Skala Rankin yang dimodifikasi.
Handicap adalah kerugian (disadvantage) pada seseorang yang timbul akibat impairment atau
disability sehingga seseorang tersebut menjadi terbatas dalam melakukan suatu peran normal dan
hal ini tergantung usia, jenis kelamin, faktor sosial dan budaya.
92
NIHSS (NATIONAL INSTITUTE OF HEALTH STROKE SCALE)
NIHSS adalah suatu skala penilaian yang dilakukan pada pasien stroke untuk melihat kemajuan
hasil perawatan fase akut (akibat impairment) . Penilaian ini dilakukan dua kali, yaitu saat masuk
(hari pertama perawatan) dan saat keluar dari perawatan. Perbedaan nilai saat masuk dan keluar,
dapat dijadikan salah satu patokan keberhasilan perawatan
NIHSS ini dikembangkan oleh para peneliti (Brott et al, 1989 dan Goldstein et al, 1989) dari
University of Cincinnati Stroke Center dan telah dipakai secara luas pada berbagai variasi terapi
stroke. Tahun 1994 dilakukan revisi oleh Lyden et al. Validasi telah dilakukan oleh beberapa
peneliti (Goldstein 1989; Brott 1989, 1992; Haley 1993, 1994) dan dikatakan mempunyai
reliabilitas tinggi dari beberapa kalangan antara lain dari para neurolog, dokter emergensi dan
perawat mahir stroke.
NIHSS ini sendiri telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dimasukkan dalam
Guidelines Stroke yang dibuat dan direkomendasikan untuk dijadikan pedoman tatalaksana oleh
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Nilai NIHSS adalah antara 0 – 42. Terdiri dari dari 11 komponen, bila motorik lengan serta kaki
kanan dan kiri dituliskan dalam satu nomer dan dipisahkannya dengan penambahan nomer a dan
b, tetapi akan menjadi 13 komponen apabila masing masing motorik lengan dan tungkai kanan
dan kiri diberi nomer terpisah. Komponen komponen tersebut adalah sebagai berikut :
1a. Derajat kesadaran
0 = sadar penuh
1 = somnolen
2 = stupor
3 = koma
1b. Menjawab pertanyaan
0 = dapat menjawab dua pertanyaan dengan benar (misal: bulan apa sekarang
dan usia pasien)
1 = hanya dapat menjawab satu pertanyaan dengan benar / tidak dapat
berbicara karena terpasang pipa endotrakea atau disartria
2 = tidak dapat menjawab kedua pertanyaan dengan benar / afasia / stupor
1c. Mengikuti perintah
0 = dapat melakukan dua perintah dengan benar (misal: buka dan tutup mata, kepal
dan buka tangan pada sisi yang sehat)
1 = hanya dapat melakukan satu perintah dengan benar
2 = tidak dapat melakukan kedua perintah dengan benar
2. Gerakan mata konyugat horizontal
0 = normal
1 = gerakan abnormal hanya pada satu mata
2 = deviasi konyugat yang kuat atau paresis konyugat total pada kedua mata
93
3. Lapang pandang pada tes konfrontasi
0 = tidak ada gangguan
1 = kuandranopia
2 = hemianopia total
3 = hemianopia bilateral / buta kortikal
4. Paresis wajah
0 = normal
1 = paresis ringan
2 = paresis parsial
3 = paresis total
5. Motorik lengan kanan
0 = tidak ada simpangan bila pasien disuruh mengangkat kedua lengannya selama
10 detik
1 = lengan menyimpang ke bawah sebelum 10 detik
2 = lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh
3 = tidak dapat melawan gravitasi
4 = tidak ada gerakan
X = tidak dapat diperiksa
6. Motorik lengan kiri (idem 5)
7. Motorik tungkai kanan (idem 5, lengan diganti tungkai, dan diangkat bergantian)
8. Motorik tungkai kiri (idem 7)
9. Ataksia anggota badan
0 = tidak ada
1 = pada satu ekstremitas
2 = pada dua atau lebih ekstremitas
X = tidak dapat diperiksa
10. Sensorik
0 = normal
1 = defisit parsial yaitu merasa tetapi berkurang
2 = defisit berat yaitu jika pasien tidak merasa atau terdapat gangguan bilateral
11. Bahasa terbaik
0 = tidak ada afasia
1 = afasia ringan – sedang
2 = afasia berat
3 = tidak dapat bicara (bisu) / global afasia / koma
94
12. Disartria
0 = artikulasi normal
1 = disartria ringan – sedang
2 = disartria berat
X = tidak dapat diperiksa
13. Neglect / Tidak Ada Atensi
0 = tidak ada
1 = parsial
2 = total
Nilai NIHSS berkisar antara 0 – 42
Penilaiannya adalah sebagai berikut :

Nilai < 4

Nilai antara 4 – 15

Nilai > 15
: Stroke Ringan
: Sedang
: Berat
Seperti lazimnya semua skoring yang mempunyai keunggulan dan kelemahan, maka NIHSS juga
mempunyai keunggulan dan kelemahan.
Keunggulannya mempunyai contoh pembelajaran audiovisual yang berisi 6 contoh pasien, dapat
dilakukan dengan cepat, kurang lebih 15 menit, telah banyak dipergunakan dan telah divalidasi,
berguna untuk kondisi stroke akut, mudah dipelajarinya dan skor yang dipakai sederhana, tingkat
reliabilitinya tinggi diantara para pengguna skor.
Kelemahannya kurang baik untuk stroke karena gangguan sirkulasi posterior, oleh karena
didalam skoring terdapat penilaian kemampuan berbahasa dan untuk gangguan di batang otak,
nilai yang diperoleh tidak sesuai antara luasnya kerusakan patologis dengan beratnya gejala dan
tanda defisit neurologis yang ditimbulkannya..
Berdasarkan penelitian, terdapat korelasi antara nilai NIHSS masuk dengan kondisi saat keluar,
yaitu :
NIHSS saat (hari)
Keluaran
0–8
Pulang dengan berobat jalan (p=0,001)
9 – 17
Perawatan rehabilitasi (p=0,004)
18+
Perawatan di fasilitas rehabilitasi, perawatan khusus di rumah,
perawatan
subakut
atau
perawatan
khusus
di
suatu rumah rehabilitasi (p = 0,01)
INDEKS BARTHEL
Indeks Barthel diperkenalkan oleh Mahoney dan Barthel tahun 1965 untuk memeriksa status
fungsional dan kemampuan pergerakan otot/ekstremitas pada pasien penderita penyakit kronik di
rumah sakit Maryland. Wade tahun 1992, mempergunakan indeks barthel ini untuk mengevaluasi
95
keterbatasan/ketidakmampuan melakukan aktivitas tertentu saat pasien akan keluar dari rumah
sakit. Indeks ini direkomendasikan sebagai salah satu instrumen yang sering dipakai untuk
menilai keterbatasan kegiatan keseharian kehidupan.
Keunggulan indeks barthel ini mempunyai reliabilitas dan validitas yang tinggi, mudah dan
cukup sensitif untuk mengukur perubahan fungsi serta keberhasilan rehabilitasi. Kelemahannya,
indeks ini tidak merupakan skala ordinat dan tiap penilaiannya tidak menunjukkan berat atau
ringannya fungsi kehidupan keseharariannya.
Ada dua versi, yaitu versi Wade dan Collin (!(1988) memuat 10 penilaian dengan total nilai
antara 0 (total ketergantungan) sampai 100 (normal) dan versi Granger, 1982 memuat 15
penilaian dengan nilai antara 0 – 100. Yang banyak dipakai karena cukup sederhana adalah versi
Wade dan Collin.
Penilaian Barthel meliputi hal hal aktivitas dasar perorangan dalam kehidupan sehari-hari,
yaitu:
1.
Buang Air Besar (bowel control)
10
2.
3.
4.
5
kadang kala bermasalah (occasional accidents) atau selalu membutuhkan obat pencahar
0
penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
Buang Air Kecil (bladder control)
10
tidak bermasalah (no accidents). Dapat membersihkan alat bantu bila diperlukan secara
mandiri.
5
kadang bermasalah (occasional accidents) atau membutuhkan bantuan orang lain untuk
membersihkan alat bantu
0
penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
Kebersihan Diri (personal toilet/grooming)
5
membasuh muka, menyisir, menyikat gigi, mencukur secara mandiri
0
penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
Penggunaan Kamar Kecil (toilet use)
10
5.
mandiri untuk melakukan semua aktivitas di kamar kecil
5
membutuhkan bantuan untuk menyeimbangkan badan, membuka/memakai pakaian dan saat
membersihkan diri
0
penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
Makan (feeding)
10
6
tidak bermasalah (no accidents). Bila perlu memakai obat pencahar
dapat melayani segala kebutuhan makan (mengambil peralatan, ambil lauk pauk, dan
sebagainya) secara mandiri
5
membutuhkan bantuan orang lain, misalnya memotong daging, mengoles mentega
0
penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
Pindah dari tempat duduk ke tempat tidur dan sebaliknya (chair/bed transfer)
15
mandiri termasuk mengunci kursi roda dan mengangkat pijakan kaki
10
bantuan minimal, umumnya untuk pendamping
96
7.
8.
5
mampu duduk sendiri tapi butuh bantuan saat akan pindah tempat (misal:
tempat duduk ke tempat tidur)
0
penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
Berjalan (ambulation)
15
berjalan sendiri dengan jarak sekitar 50 yards. Kadang butuh bantuan kecuali
untuk berjalan dengan bertumpu pada roda untuk berjalan (rolling walker)
10
butuh bantuan untuk berjalan sejauh 50 yards
5
mempergunakan kursi roda untuk jarak 50 yards, kecuali tidak bisa berjalan
0
penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
Berpakaian (dressing)
10
9.
10.
dari
mandiri. Seperti mengikat tali sepatu, mengancingkan baju
5
butuh bantuan, tetapi tidak semuanya, dan dikerjakan dengan pelan pelan
0
penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
Naik tangga (stair climbing)
10
mandiri. Kadang perlu bantuan alat (misalnya tongkat)
5
perlu bantuan atau pengawasan (ada yang menemani)
0
penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
Mandi (bathing)
5
mandiri tanpa bantuan
0
penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain (inferior performance)
Total nilai 0 - 100
SKALA RANKIN YANG DIMODIFIKASI
Skala Rankin merupakan suatu alat pengukuran keterbatasan fungsional pasca stroke. Alat ukur
ini lebih global dibandingkan dengan indeks Barthel dan mempunyai reliabilitas dan validitas
yang cukup baik.
Hasil penilaiannya adalah secara umum, terdiri dari 5 angka, yaitu: keterbatasan berat,
keterbatasan berat sedang, keterbatasan sedang, keterbatasan ringan dan keterbatasan tak
bermakna.
Penilaiannya meliputi aspek kehidupan pribadi sehari hari yaitu eating, toilet, daily hygiene,
walking, prepare meal, household expenses, local travel, local shopping dan kehidupan sosial
yaitu bekerja, tanggung jawab keluarga, aktivitas sosial, hiburan.
97
Deskripsi Skor Skala Rankin yang dimodifikasi
Grade 0
Tidak ada gangguan neurologik sama sekali (No symptoms at all)
Grade 1
Tidak ada disabilitas yang signifikan, pasien dapat membawa semua
kebutuhannya untuk aktivitas hariannya tanpa bantuan orang lain (No
significant disability; able to carry out all usual duties and activities of
daily living (without assistance)
Catatan:
Masih ada kemungkinan pasien ada gangguan kelumpuhan, rasa atau
pun berbahasa, tetapi gangguan tersebut sangat ringan dan tidak mengganggu
kegiatan keseharian dan pasien dapat kembali bekerja ditempat kerjanya semula
seperti saat sebelum sakit..
Grade 2
Disabiliti ringan, tidak dapat membawa beberapa benda untuk kebutuhan
aktivitas hariannya, tetapi mampu menolong diri sendiri tanpa banyak dibantu
(Slight disability; unable to carry out some previous activities, but able to look
after own affairs without much asisstance)
Catatan:
Tidak mampu untuk kembali bekerja ditempat kerja semula, tidak mampu
melakukan pekerjaan rumah tangga, tetapi masih mampu melakukan aktivitas
untuk dirinya sendiri tanpa bantuan atau pengawasan orang lain.
Grade 3
Disabiliti sedang, membutuhkan bantuan orang lain untuk semua aktivitasnya
tetapi masih mampu berjalan tanpa pendamping (Moderate disability; requiring
some help, but able to walk without assistance).
Catatan:
Butuh teman waktu melakukan aktivitas harian, butuh bantuan untuk hal yang
detail saat berpakaian atau membersihkan diri, tidak mampu untuk membaca
atau berkomunikasi dengan jelas.
Grade 4
Disabiliti sedang berat, tidak mampu berjalan dan tidak mampu melakukan
aktivitas harian untuk kebutuhan dasar kehidupannya tanpa bantuan orang lain
(Moderately-Severe disability; unable to walk without assistance and unable to
attend to own bodily needs without assistance)
Catatan:
Butuh teman 24 jam dan butuh bantuan orang lain (tingkat sedang sampai
maksimal) untuk menunjang aktivitas dasar kehidupan hariannya, tetapi masih
mampu melakukan aktivitas untuk dirinya sendiri secara terbatas atau dengan
dibantu oleh orang lain tetapi minimal.
Grade 5
Disabiliti berat, tidak ada aktivitas, hanya ditempat tidur, mengompol, dan
membutuhkan perhatian dan perawatan teratur (Severe disability;
bedridden, incontinent and requiring constant nursing care and attention)
Cara penilaiannya adalah merupakan penilaian keterbatasan fungsional pasca strokenya terdapat
di tingkat (grade) berapa..Penilaian awal (data dasar) dilakukan saat pasien pulang dari rumah
sakit, dan penilaian selanjutannya dapat dilakukan ulangan setelah 6 bulan atau 1 tahun untuk
melihat sejauh mana perbaikan dari keterbatasan fungsional seseorang pasca stroke tersebut.
98
ALGORITMA
Lihat GUIDELINES STROKE NASIONAL 2007
KEPUSTAKAAN
Gudelines Nasional Stroke, PERDOSSI, 2007
Adams and Victors. Principles of Neurology. 8th ed, Mc Graw Hill, 2005
Bennett HJM, Stein BM. Stroke. Pathophysiology, Diagnosis and Management. 2nd ed,
Churchill Livingstone, 1991
Fisher M, Bogousslausky J. Current Review of Cerebrovascular Disease.3rd ed,
Butterworth Heinemann, 1999.
Perkin GD. Mosby’s Color Atlas and Text of Neurology 2nd ed, Elsevier Limited 2004
McCartney RVT et al. Handbook of Transcranial Doppler, Spinger, 1997
Aaslid R. Transcranial Doppler Sonography. Spinger-Verlag, New York, 1986
Broderick JP, Brott T. Tomsick T, Huster G, Miller R: The Risk of Subarachnoid and
Intracerebral Hemorahages in Blacks as Compared With Whites. NEJM 26: 733736,1992.
Catching TT, Prough DS, Kelly DL et al. Symptoms of Clinically silent intracranial mass
lesions trecipitated by Treatment with nifedipiny. Surg Neurol 1985 ; 24 : 151-152.
Cook AW, Plaut M, Brawder J. Spontaneous Intracerebral Hemmorrhage : faktors related
to surgical result Arch Neurol 1965 ; 13 : 25-29.
Cuatico W, Adib S, Gaston P. Spontaneous Intracerebral Hematomas : a surgical
appraisal. J Neurosurg 1965 ; 22 : 569-575.
Cumings JL, Trimble MR. Neuropsychiatry and Behavioral Neurology. American
Pshychiatric press, Inc , 1995.
Foulkes MA, Wolf PA, Price TR, et al. The Stroke Data Bank : design, methods and
aseline characteristics. Stroke 1988 : 547-554.
Juvela S, Heiskanen O, Poranen A, et al. The Treatment of spontaneous intracerebral
hemorrhage : a prospective randomized trial of surgical and conservative treatment. J
Neurosurg 1989 : 70 : 755-758.
Kase C.S : Management of Intra Cerebral Hemmorrhage : American Academy of
Neurology Course 343 : 21-28, 1995.
99
Kase C.S : Non-Hypertensive Mechanisms of Parenchymatous Hemmorrhage. American
Academy of Neurology Course 202 : 39-47.
Kse C.S, Williams JP, Wytt DA, et al. Lobar intracerebral hematomas : clinical an CT
analysis of 22 cases. Neurologi 1982 : 32 : 1146-1150.
Letkowitzt. D : Intra Cerebral hemorrhage in Young Adults : American Academy of
Neurology Course 420 : 47-65, 1995.
Mckissock W, Richardson A, Taylor J. Primary Intracerebral Hemmorrhage : a controlled
trial of surgical and ceonservative treatment in 180 unselected cases. Lancent 1961 : 2 :
221-226.
Mohr JP, Caplan LR, Melski JW, et al. The Harvard Cooperative Stroke Registry : a
prospective registry. Neurologi 1978 : 28 :7540762.
Paillas JE, Alliez B. Surgical Treatment of Spontaneous intracerebral hemorrhage :
immediate and longterm result in 250 cases. J Neurosurg 1973 : 39 : 145-151.
Poungvarin N, Bhoopat W, Viriyavejakul A, et al. Effects of Dexamethasone in primary
supratentorial intracerebral hemorrhage. N Engl J Med 1987 : 316 : 1229-1233.
Ropper A H : EMERGENCY Management of Intra Cerebral Hemmorrhage
(ICH)American academy of Neurology Course 209 : 79-93 : 1988.
Setyonegoro RK dkk. Quick Reference for Diagnosis in Psyshiatry. The Darmawangsa
Mental Health Foundation, Jakarta dan The Roche Asian Foundation Hongkong, 1989.
Toffol GJ, Biller J. Adams HP: Non-Traumatic intracerebral hemorrhage young Adults.
Arch neurol 44 : 483-485, 1987.
Volpin L, Cervelline P, Colombo F, et al. Spontaneous intracerebral hematomas : a new
proposal about the usefulness and limits of surgical treatment, Nurosurgery 1984. 15 :
663-666.
Waga S,Yamamoto Y. Hypertensive putaminal hemorrhage : treatment and results : is
surgical treatment superior to conservative one? Stroke 1983 : 14 : 480-485.
Warlow CP et al. Stroke Apractical guide to management. Blackwell Science Ltd, 1996.
Neurology 51 (Supp.-3, Supp, 69-1998).
Misbach, ASNA Cooperatif Stroke Epidemiologik Study, 1998.
Kaufman et al, 1991 : Enprinsiples of Neurosurgery (RG Grossmann ed.) pp. 66, New
York Rowan.
Broderick Yp, Brott TG, Tomsich T, Barsant W, N. Spilker Y (1990) Ultra Early
Evaluation of Intraserebral Hemoragik Y Neurosurgery 1972, 1995-1999.
Fayad BF, N Awad IA : Surgery for Intraserebral Hemorragik Neurology 1951 (Sup. 3 s.
69, 1998).
Thompson D.W. and Furlan A.J. : Clinical Epidemiology of Stroke. In Neural. Clin. (ed.
Riggs J.E) Vol.14, No.2 W.B. Saunders Company, 309-316,1996.
100
Sacco R.L., Ellamberg JA, Mohr J.P. et al : Infarction of indetermined cause. The
NINCDS Stroke Date Bank. Ann. Neurol.25 : 382-390,1989.
Misbach J. : Pattern of Hospitalized Stroke Patients in ASEAN Countries: An Asna
Stroke Epidemiological Study (In Press).
Misbach J., Ali W: Stroke in Indonesia : A first large prospective hospital-based study of
acute stroke in 28 hospital in Indonesia (In Press).
Caplan, LR: Brain Embolisis-Revisited. Neurology 43, 1281-1287, 1993.
Castillo, V and Bougausslausky YJ: Brain Embolism in picture on cerebrovascular
diseases (ed) Welch, KMA, Caplan L.R., REIS D.J., SIESJO B.K., WEIR, B ) Academic
press 286-288 (1997).
Atrial Fibrilation Invertigation. Risk faktors for stroke and efficacy of antithrombotic
therapy in atrial fibrillation Arch. Intern. Med 104: 1449 – 1457 (1994).
Stroke prevention in atrial fibrilliation investigators: Predictors of thromboembolism in
atrial fibrilliation: II Echocardiographi features of patients at risk. Ann. In Press Med.
126: 6 – 12 (1992).
Bamford J. Clinical examination in diagnosis and sub classification of Stroke. Lancent
339 : 400 – 2 (1992).
Misbach J. Pemeriksaan Trans Esophageal Echocardigrafi pada penderita Stroke iskemik
(In Press).
Warlow C.P, Dennis M.S, Van Gijn Hankey G.J, Sandercock P.A.G, Banford J.M,
Warlow J. Stroke : A practical guide to management Blackwell Science, 1996.
Sherman D.G and Lalonde D. Anticoagulants in stroke treatment. In Primer on
Cerebrovasculer Disease. (ed. Welch KMA, Caplan L.R, Reis D.J, Sjieso B.K, Weir B.J.)
Academy Press, 716- 728 (1997).
101
102
Download