Sebuah Kajian Pustaka

advertisement
Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST)
Maret 2017, pp. 279~289
279
SISTEM KAPITASI BPJS KESEHATAN
DALAM TINJAUAN SYARIAH
Irwin Ananta
STIBA Nusa Mandiri
[email protected]
Abstrak
Pola pembayaran dokter dan rumah sakit sebelumnya lazim melakukan pembebanan
tarif secara langsung. Pada era jaminan kesehatan nasional ini dipilih instrumen sistem
prospektif sebagai upaya untuk mengendalikan biaya kesehatan dan mendorong agar
pelayanan kesehatan bisa berjalan secara optimal. Polemik syariah pada BPJS Kesehatan
mulai mencuat sejak dikeluarkan keputusan MUI melalui ijtimak ulama komisi fatwa seIndonesia
di ponpes Attauhidiyah, Cikura-Tegal Jawa tengah. Santer diberitakan bahwa regulasi denda
keterlambatan pembayaran iuran yang diterapkan BPJS merupakan praktek riba. Jika dibedah
lebih dalam polemik syariah dalam peraktek BPJS itu tidak sekedar denda iuran,
ketidakkonsistenan akad dan modus transaksi semata sebagaimana yang selama ini lebih
sering mencuat di ranah publik, penerapan cara kapitasi sebagai model pembayaran borongan
yang dibayarkan oleh BPJS kesehatan selaku pengelola dana JKN kepada provider Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama atau FKTP pun bisa menimbulkan unsur gharar. Gharar
merupakan salah satu muamalah yang terlarang dalam syariah Islam. Metode penelitian yang
digunakan dalam membedah polemik syariah pada kasus ini dengan melakukan studi kritis
terhadap penerapan sistem kapitasi pada BPJS Kesehatan. Melalui pola pendekatan interaktif
yang menyesuaikan informasi pelaku atas fakta-fakta dilapangan dengan merujuk kepada
literatur kajian fikih mu‟amalah islam, peraturan pemerintah, ketentuan dan modus transaksi
yang dilakukan BPJS Kesehatan serta wawancara dan observasi langsung. Penerapan kapitasi
di BPJS Kesehatan terindikasi mengandung unsur gharar dengan muatan besar yang
bermasalah secara syariah, dengan pengungkapan fakta ini semoga bermanfaat menjadi bahan
kajian mendalam bagi pemerintah selaku regulator dalam memperbaiki sistem yang telah
berjalan dan masyarakat muslim merasakan ketenangan secara spritual dalam memanfaatkan
layanan BPJS kesehatan ini.
Keyboard: Kapitasi, BPJS Kesehatan, Jaminan Kesehatan Nasional
1. Pendahuluan
Indonesia resmi telah memasuki era baru
dalam dunia kesehatan, ditandai dengan
mulai terlaksananya program JKN (Jaminan
Kesehatan
Nasional)
BPJS
(Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial) kesehatan
sejak 1 januari 2014. Populasi penduduk
Indonesia yang mencapai kurang lebih 250
juta jiwa, untuk saat ini "jumlah kepesertaan
BPJS
Kesehatan
telah
mencapai
175.229.402 jiwa (per 10 Maret 2017) atau
hampir mencapai 70% dari total penduduk
Indonesia"(BPJS, 2017), sebagiannya masih
dibawah angka kemiskinan sedang biaya
rumah sakit relatif masih cukup mahal jika
dibandingkan rata-rata pendapatan perkapita
orang Indonesia. Hal tersebut dapat menjadi
indikator
akan
kompleksitasnya
permasalahan yang dihadapi Indonesia
khususnya seputar penanganan kesehatan
penduduknya.
Masalah
kesehatan
penduduk
masih
menjadi tantangan dan tuntutan bagi
Indonesia sebagai negara berkembang.
Keterbatasan anggaran, minimnya APBN di
sektor kesehatan dalam membangun
infrastruktur sarana prasarana kesehatan
maupun upaya untuk menyelenggarakan
program pelayanan jaminan kesehatan
secara nasional. Pada masa sebelum era
JKN,
proses
penyelesaian
transaksi
pengobatan dilakukan dengan membayar
langsung biaya sesuai tarif yang ditetapkan
sepihak oleh pihak medis atas layanan
kesehatan yang diberikannya (fee for
services). Dalam sistem pembayaran
retrospektif selama ini proses transaksi jasa
layanan medis umumnya dilakukan secara
fee for services yang hanya melibatkan
pihak pasien dan pihak provider pelayanan
medis. Transaksi medis hanya dua arah
pasien dan pihak medis tersebut cendrung
Diterima 27 Januari 2017; Revisi 17 Februari 2017; Disetujui 15 Maret, 2017
ISBN: 978-602-61242-0-3
lebih
menempatkan
pihak
provider
pelayanan medis pada posisi yang kuat dan
selalu menempatkan pihak pasien pada
posisi yang lebih lemah. Kondisi bargaining
position pasien lebih lemah karena
keinginannya untuk sehat, sembuh dan
terobati yang begitu besar sehingga menjadi
suatu kebutuhan utama. Penyimpangan
pada
sebagian
provider
pelayanan
kesehatan yang telah kehilangan idealisme
dan
misi
sosialnya
kerap
terjadi.
Komersialisasi jasa medis tidak bisa
dipungkiri,
pematokan
harga
tarif
pengobatan tinggi dilakukan sepihak serta
menjadikan setiap layanan kesehatan
sebagai komoditi yang dikomersilkan.
Dalam kondisi anggaran keuangan negara
yang masih rentan mengalami defisit dalam
satu dasawarsa ini program jaminan
kesehatan nasional yang di selenggarakan
oleh pemerintah ini pun harus tetap dituntut
untuk
dapat menjamin kelangsungan
ketersediaan anggaran untuk pelayanan
kesehatan yang diberikan juga mampu
mendorong perencanaan yang baik dalam
pelayanan kesehatan tersebut. Oleh sebab
itu cara konvensional tidaklah tepat
digunakan dalam era jaminan kesehatan
nasional. model pembayaran yang tepat
untuk
mendukung
program
jaminan
kesehatan nasional adalah dengan mengacu
dan mengikuti model pembayaran yang
lazim digunakan oleh perusahaan jasa
layanan asuransi maupun institusi pengelola
jaminan kesehatan nasional diberbagai
belahan dunia yaitu menggunakan model
pembayaran prospektif. Model tersebut bisa
selaras dengan program jaminan kesehatan
nasional karena dengan implementasi
sistem pada model prospektif itu tidak lagi
sekedar melibatkan dua pihak namun ada
pihak ketiga yang dengan kehadirannya bisa
menjadi sinegi sehingga sistem model
pembayaran tersebut bisa mengakomodir
bagi terlaksananya pengendalian biaya
kesehatan dari tiap-tiap individu peserta,
tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan,
efesiensi
biaya,
dorongan
untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan,
efektif dan efesien guna memaksimalkan
pendapatan
bagi
provider
pelayanan
kesehatan,
peningkatan
kepuasan
masyarakat yang menjadi peserta jaminan
kesehatan nasional terhadap ketersediaan
pelayanan kesehatan.
Model
pembayaran
prospektif
yang
melibatkan pihak ketiga jika digambarkan
dalam simulasi sederhana dimulai dengan
KNiST, 30 Maret 2017
keikutsertaan menjadi peserta jaminan
kesehatan kemudian secara rutin berkala
berkomitmen untuk membayar iuran sesuai
tarif premi tertentu atas kepesertaannya
untuk mendapatkan hak pertanggungan
berupa jaminan kesehatan. Pihak pengelola
jaminan kesehatan yang telah bekerjasama
sebelumnya dengan pihak penyedia layanan
medis akan membayarkan sejumlah biaya
tertentu sesuai tarif yang telah disepakati
dengan pihak medis atas layanan yang
diberikan
terhadap
peserta
jaminan
kesehatan apabila menjadi pasien di tempat
pelayanan kesehatan tersebut. Oleh sebab
itu pasien yang melaksanakan pengobatan
tidak diharuskan lagi membayar langsung
biaya pengobatan kepada pihak penyedia
layanan medis karena biaya sejumlah tarif
tertentu pada waktu tertentu tersebut telah di
bayarkan oleh pihak ketiga dalam hal ini
pengelola institusi jaminan kesehatan
tersebut. Dari sejumlah model pembayaran
prospektif yang ada, umumnya BPJS
kesehatan menggunakan sistem INA CBGs
untuk pembayaran ke FKRTL (Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut) dan
menggunakan
sistem
kapitasi
untuk
pembayaran ke FKTP (Fasilitas Kesehatan
Tingkat
Pertama).
Polemik
syariah
mengenai
BPJS
Kesehatan
pasca
dikeluarkan keputusan MUI melalui ijtimak
ulama komisi fatwa se-Indoensia di ponpes
At Tauhidiyah tidak sekedar persoalan
denda iuran sebagaimana yang selama ini
mencuat. Ketidakkonsistenan antara akad
dan modus transaksi pada BPJS pun dapat
berimplikasi langsung terhadap timbulnya
gharar
yang
besar
karena
ketidakseimbangan nominal uang premi
yang dihimpun dan nominal penyaluran
dalam
bentuk
manfaat
polis
(pertanggungan). Hal ini diungkapkan oleh
Itang dalam jurnalnya yang mengatakan
"...peserta bayar premi bulanan, namun tidak
jelas berapa jumlah yang akan diterima. Bisa
lebih besar,bisa kurang. Di situlah unsur
gharâr (ketidak jelasan) dan untunguntungan. Ketika gharâr itu sangat kecil,
mungkin tidak menjadi masalah. Karena
hampir dalam setiap jual beli, ada unsur
gharâr, meskipun sangat kecil. Dalam
asuransi kesehatan BPJS, tingkatannya
nasional. Artinya, perputaran uang di sana
sangat besar. Bisa bayangkan ketika
sebagian besar WNI menjadipeserta BPJS,
dana ini bisa mencapai angka triliyun. Jika
dibandingkan untuk biaya pemeliharaan
kesehatan warga, akan sangat jauh
280
ISBN: 978-602-61242-0-3
selisihnya, disana terdapat unsur gharâr-nya
sangat besar."(Itang, Juli 2015)
Permasalahan pokok fokus pembahasan
pada penulisan ini adalah seputar model
pembayaran yang diterapkan oleh BPJS
Kesehatan pada program jaminan kesehatan
nasional khususnya pembayaran kepada
provider FKTP yang menggunakan sistem
kapitasi. Model pembayaran ini telah terlebih
dahulu
sebelumnya
digunakan
oleh
perusahaan asuransi konvensional. Sistem
kapitasi
atau
biasa
disebut
sistem
pembayaran borongan ini menjadi polemik
dalam tinjauan syariah karena mengandung
gharar. Para ulama memfatwakan haramnya
peraktik asuransi konvensional disebabkan
adanya gharar, riba dan rusaknya akad.
BPJS Kesehatan menerapkan sistem
kapitasi pada model pembayarannya kepada
FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama)
dan INA CBGs kepada FKRTL (Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut) sebagai
proses lanjutan tata kelola dana hasil
pengumpulan premi para peserta BPJS
Kesehatan.
Dengan
mendapatkan
pembayaran tersebut maka FKTP dan
FKRTL memberikan layanan kesehatan bagi
peserta BPJS kesehatan. Mayoritas rakyat
indonesia yang akan menjadi target peserta
progam JKN BPJS kesehatan ini merupakan
umat islam.
Umat Islam dituntut untuk
melakukan muamalah yang halal dan
meninggalkan muamalah yang terlarang.
Dalam konteks uraian ini penulis membatasi
lingkup bahasan pada permasalahan syariah
yang terjadi dalam modus transaksi
pembayaran sistem kapitas oleh BPJS
kesehatan terhadap FKTP dalam tinjauan
syariah Islam. Penulis mencoba mengurai
secara lugas mengenai sistem kapitasi dan
prihal indikasi terdapatnya kandungan
gharar yang membuatnya bisa bermasalah
secara hukum syariah. Proses pembahasan
dilakukan dengan mengacu pada literatur
fikih muamlat islam, fakta temuan yang
didapat dari penerapan model pembayaran
kapitasi BPJS kesehatan, regulasi BPJS
kesehatan dan referensi prihal sistem
kapitasi.
Tujuan penulisan ini, penulis berupaya
menelaah mengenai sistem pembayaran
kapitasi yang digunakan oleh BPJS
kesehatan sebagai sistem pembayaran
borongan. Dalam tinjauan syariah model
pembayaran
tersebut
terindikasi
mengandung gharar yang dipermasalahkan
kehalalannya secara syariah. Simulasi
sederhananya dari sistem tersebut diawali
KNiST, 30 Maret 2017
oleh BPJS Kesehatan yang telah melakukan
pembayaran kapitasi dengan dibayar dimuka
sebelumnya
kepada
FKTP
(Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama) sebagai proses
lanjutan tata kelola dana hasil pengumpulan
premi para peserta BPJS Kesehatan.
Selanjutnya dengan dana yang ada FKTP
harus mampu mengelolanya secara optimal
baik untuk menjamin kelangsungan hidup
operasional FKTP itu sendiri maupun guna
memberikan pelayanan kesehatan bagi
peserta BPJS kesehatan yang menjadi
pasien tanggungannya di wilayah di FKTP
tersebut. Dengan tulisan ini akan disajikan
ulasan dan rambu-rambu prinsip syariah
terhadap sistem pembayaran kapitasi BPJS
Kesehatan agar layak dan bisa diterapkan
bagi
masyarakat
muslim
Indonesia
khususnya sehingga maslahatnya tidak saja
bagi urusan dunia semata namun juga tidak
bermudharat bagi setiap muslim untuk
urusan akhiratnya.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam tulisan ini dilakukan
secara kualitatif dengan riset yang bersifat
deskriptif dan analisis memakai pendekatan
induktif. Dalam pemaparan secara kualitatif
ini proses maupun makna lebih ditonjolkan.
Pembahasan memanfaatkan landasan teori
yang ada sebagai pemandu arah dengan
disesuaikan pada pola pendekatan interaktif
yang menyesuaikan informasi pelaku atas
fakta-fakta dilapangan dengan merujuk
kepada literatur kajian fikih mu‟amalah islam,
regulasi/peraturan pemerintah, ketentuan
dan modus transaksi yang dilakukan BPJS
Kesehatan serta wawancara dan observasi
langsung.
1. Metode literatur
Studi literatur dilakukan dengan telaah
literatur terhadap kajian fikih mu‟amalah
islam, regulasi/peraturan pemerintah,
ketentuan dan modus transaksi yang
dilakukan BPJS Kesehatan. Melakukan
penelusuran dan pengkajian sejumlah
referensi materi dari sumber terpercaya
yang berhubungan dengan wacana,
ulasan dan informasi masukan dari
berbagai pihak yang berkompeten.
2. Metode observasi
Metode ini dilakukan dengan cara
pengamatan langsung dan melakukan
wawancara dengan pihak terkait dan
berkompeten
yang
mengetahui
penerapan pembayaran kapitasi BPJS
Kesehatan.
281
ISBN: 978-602-61242-0-3
3. Metode Komparatif
Metode ini dilakukan dengan cara
membandingkan
fakta
temuan
penerapan pembayaran kapitasi BPJS
Kesehatan
melalui
regulasi
atau
peraturan perundang-undangan yang
melandasinya serta modus transaksi
pada BPJS Kesehatan
kemudian
menyesuaikan dengan kajian fikih
mu‟amalah islam.
3. Pembahasan
3.1 Memahami Dana Kapitasi JKN BPJS
Berdasarkan
ketentuan
Kementerian
Kesehatan pada Pasal 1 angka 3
Permenkes RI No 21 Tahun 2016, “dana
kapitasi adalah besaran pembayaran perbulan yang dibayar dimuka kepada FKTP
berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar
tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah
pelayanan
kesehatan
yang
diberikan”(Kementerian Kesehatan, 2016).
FKTP dimaksud tersebut sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya merupakan singkatan
dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
Mengacu pada ketentuan Kementerian
Kesehatan pada Pasal 4 Permenkes RI
No 12 tahun 2016 diketahui bahwa
besaran
tarif
kapitasi
ditentukan
berdasarkan seleksi dan kredensialyang
dilakukan
oleh
BPJS
Kesehatan,
dinaskesehatan
kabupaten/kota,
dan/atau Asosiasi FasilitasKesehatan
dengan mempertimbangkan kriteria pada
sumber
daya
manusia,kelengkapan
sarana dan prasarana, lingkuppelayanan,
dan komitmenpelayanan.Kriteria yang
digunakan
sebagai
penetapan
atasbesaran tarif kapitasi berdasarkan
pertimbangan
seleksidan
kredensial
dilakukan secara bertahap, tahapan
pertama kali dari pemilihan kriteria
tersebut dilakukan terlebih dahulu dengan
mempertimbangkan kuantitas dan kualitas
pada sumber daya manusia yang tersedia
pada FKTP tersebut seperti tenaga
dokter umum, dokter gigi, bidan dan
sebagainya (Kementerian Kesehatan,
2016). Dengan mengikuti pertimbangan
penilaian pemenuhan kriteria sumber daya
manusia
pada
FKTP
sebagaimana
dijelaskan dalam ketentuan Kementerian
Kesehatan pasal 4 ayat 6 pada permenkes
tersebut (Kementerian Kesehatan, 2016)
dijelaskan sebagai berikut :
1. Bagi
puskesmas
atau
fasilitas
kesehatan
yang
setara
maka
ditentukan besaran
tarif sebagai
berikut:
KNiST, 30 Maret 2017
a. Kapitasi sebesar Rp.3.000apabila
tidak memiliki dokter dan tidak
memiliki dokter gigi
b. Kapitasi sebesar Rp.3.500 apabila
memiliki dokter
gigi dan tidak
memiliki dokter;
c. Kapitasisebesar Rp.4.500 apabila
memiliki satu orang dokter, tetapi
tidak memiliki dokter gigi;
d. Kapitasi sebesarRp.5.000apabila
memiliki 1(satu) orang dokter dan
memiliki dokter gigi;
e. Kapitasisebesar Rp.5.500 apabila
memiliki paling sedikit 2(dua) orang
dokter, tetapi tidak memiliki dokter
gigi;
f. Kapitasi sebesar Rp.6.000 apabila
memiliki paling sedikit 2(dua) orang
dokter, dan memiliki dokter gigi.
2. Bagi FKTP selain Puskesmas maka
ditentukan besaran tarif sebagai
berikut
a. Bagi dokter
praktik mandiri,
kapitasi
sebesar
Rp.8.000
(delapan ribu
rupiah) apabila
memiliki 1(satu) orang dokter;
b. Bagi klinik pratama atau fasilitas
kesehatan yang setara
1) Kapitasi
sebesar
Rp.8.000
(delapan ribu rupiah) apabila
memiliki 1(satu) orang dokter dan
tidak memiliki dokter gigi;
2) Kapitasi
sebesar
Rp.9.000
(sembilan ribu rupiah) apabila
memilikiminimal 2 (dua) orang
dokter dan tidak memiliki dokter
gigi;
3) Kapitasi
sebesar
Rp.10.000
(sepuluh ribu rupiah) apabila
memiliki minimal 2 (dua) orang
dokter dan memiliki dokter gigi.
c. RS Kelas D pratama memperoleh
kapitasi
sebesar
Rp.10.000
(sepuluh ribu rupiah) apabila
memilikiminimal 2( dua) orang
dokter dan memiliki dokter.
3. Bagi FKTP pada daerah terpencil dan
kepulauan ditetapkan berdasarkan
Tarif Kapitasi khusus.,
a. FKTP yang
memiliki dokter
ditetapkan sebesar Rpl0.000,00
(sepuluh ribu rupiah) per peserta
per bulan.
b. FKTP yang hanya memilikibidan
/
perawat
ditetapkansebesar
Rp8.000,00 (delapan riburupiah)
per peserta per bulan.
282
ISBN: 978-602-61242-0-3
Praktisi
kedokteran
Husen
Prabowo
menjelaskan cara menghitung besaran dana
kapitasi (Prabowo, 2015) sesuai data tarif
tersebut diatas yang akan diterima oleh
FKTP atas pembayaran oleh BPJS
Kesehatan. Dapat di ilustrasikan sebagai
berikut misalkan jika pada suatu puskesmas
terdaftar peserta JKN BPJS Kesehatan
sebanyak 4.000 orang peserta, dan tarif
kapitasi di puskesmas tersebut ditetapkan
sebesar Rp5.000,00/peserta, maka dana
kapitasi yang dibayar oleh BPJS Kesehatan
setiap bulannya adalah Rp20.000.000,00
(4.000 peserta x Rp 5.000,00), nominal uang
sejumlah
itu
dibayarkan
tanpa
memperhitungkan
jenis
dan
jumlah
pelayanan
kesehatan
yang
diberikan
puskesmas tersebut kepada peserta JKN
BPJS Kesehatan pada bulan bersangkutan.
Data peserta terdaftar dimaksud adalah data
peserta yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan
di FKTP puskesmas tersebut. Dengan
budget tersebut FKTP dituntut untuk mampu
mengelola dana secara optimal agar
mencukupi kebutuhan yang ada baik untuk
keperluan menjaga kelangsungan hidup
operasional
FKTP
maupun
guna
memberikan pelayanan kepada pasien dari
peserta JKN BPJS Kesehatan tersebut.
3.2.Konsep Gharar Dalam Muamalah Islam
Gharar merupakan salah satu dari faktor
yang menyebabkan suatu muamalat terjatuh
pada hal-hal yang diharamkan dalam Islam.
Para ulama menjelaskan secara umum
mengenai faktor penyebab muamalatbisa
memasuki kategori yang diharamkan
diantaranya terdapat tiga hal(Subaily, 2009):
1. Kezaliman.
2. Gharar (tipuan).
3. Riba.
Dalam ketentuan syariah pada umumnya
gharar bisa termasuk pada salah satu
penyebab
dari
rusaknya
kehalalan
muamalat, Oleh sebab itu perlu untuk
dipahami terlebih dahulu hal ihwal mengenai
apa itu yang dimaksud dengan gharar itu
sendiri baik arti secara bahasa maupun arti
secara istilah syariah. Berikut pemaparan
para pakar/ahli syariah yang menerangkan
pemahaman mengenai gharar. Subaily
menjelaskan pengertian “Gharar menurut
bahasa
berarti:
resiko,
tipuan
dan
menjatuhkan diri atau harta ke jurang
kebinasaan” sedangkan pengertian “menurut
istilah, gharar berarti: jual beli yang tidak
jelas kesudahannya. Jadi, asas gharar
adalah ketidakjelasan. Ketidakjelasan itu
bisa terjadi pada barang atau harga”
KNiST, 30 Maret 2017
(Subaily, 2009). Menurut Ahmad Zain An
Najah melalui ulasannya mengatakan bahwa
“Gharar atau al-gharar secara bahasa berarti
al-mukhatharah(pertaruhan) dan al-jahalah
(ketidak jelasan).Secara istilah jual beli
gharar adalah jual beli atau akad yang
mengandung unsur penipuan karena tidak
adanya kejelasan suatu barang baik dari sisi
harga,
kwalitas,
kwantitas,
maupun
keberadaannya.Dari
sejumlah
dalil
diantaranya Sabda Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallam: “ Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallammelarang jual beli al-hashah
( dengan melempar batu ) dan jual beli
gharar.” (HR Muslim) (An-Najah, 2013).
Dengan menukil
pendapat Al Khattabi
dalam
Ma‟alim
asSunan
(3/672)
sebagaimana telah dijelaskan oleh Ahmad
Zain An Najah bahwa “Asal gharar adalah
segala
sesuatu
yang
anda
tidak
mengetahuinya,
dan
tersembunyi
rahasianya… , maka setiap jual beli yang
tujuannya masih samar-samar dan belum
diketahui serta tidak bisa diserahterimakan
barangnya maka termasuk jual beli gharar “
Larangan jual beli gharar memiiki hikmah
untuk menjaga harta orang lain serta
menghindari timbulnya perselisihan yang
muncul akibat adanya penipuan dan
pertaruhan
sebagai
dampak
adanya
ketidakjelasan dalam teransaksi gharar
tersebut (An-Najah, 2013). Ketidakjelasan
jual
beli
gharar
dimaksud
tersebut
diantaranya adalah :
1. Ketidakjelasan pada barang disebabkan
beberapa hal:
a. Fisik barang tidak jelas. Misalnya:
Penjual berkata," Barang yang ada
didalam kotak ini aku jual kepadamu
dengan harga Rp. 500.000,-." Dengn
kondisi
pembeli
tersebuttidak
mengetahui fisik barang yang terisi di
dalam kotak.
b. Sifat barang tidak jelas. Misalnya:
Penjual berkata," aku jual sebuah mobil
kepadamu denganharga 50 juta rupiah".
Dan pembeli belum pernah melihatmobil
tersebut dan tidak tahu sifatnya.
c. Ukurannya
tidak
jelas.
Misalnya:
Penjual berkata," aku jual kepadamu
sebagian tanah inidengan harga 10 juta
rupiah".
d. Barang bukanmilik penjual, seperti
menjual rumah yang bukan miliknya.
e. Barang
tidak
dapat
diserah
terimakan,seperti menjual jam tangan
yang hilang.
283
ISBN: 978-602-61242-0-3
2. Ketidakjelasan pada harga disebabkan
beberapa hal:
a. Penjual tidak menentukan harga.
Misalnya: Penjual berkata," Mobil ini aku
jual
kepadamu
dengan
harga
sesukamu".
Mereka lalu berpisah
dengan kondisi harga belum ditetapkan
oleh kedua belah pihak.
b. Penjual
memberikan
2pilihan
danpembeli tidak menentukan salah
satunya.
Misalnya:
Penjual
berkata,"Mobil ini saya jual kepadamu
bila tunai dengan harga 80 juta rupiah
dan bila tidak tunai dengan harga 90 juta
rupiah". Lalu berpisah mereka dengan
pembeli
membawa
mobil
tanpa
menentukan
harga
mana
yang
disetujuinya.
c. Jangka waktu pembayaran yang tidak
Jelas Misalnya: Penjual berkata," Motor
ini saya jual dengan harga 6 jutarupiah
diba-yar saat kapan anda mampu".
Dari
pengamatan
mengenai
ketidakjelasan transaksi tersebut diatas
maka jelaslah bahwa seluruh akadnya
mengandung
unsur
untung-rugi
(spekulasi). Bila salah satu pihak
mendapat
keuntungan
pihaklain
mengalami kerugian, inilah hakikat
gharar (Subaily, 2009). Ahmad Zain An
najah menukil pendapat ulama besar
abad pertengahan syaikhul islam Ibnu
Taimiyah di dalam kitabnyaal-Fatawa alKubra (4/18) yang menjelaskan bahwa
terdapat tiga macam jual beli gharar
yang dilarang:
a. Gharar karena barangnya belum ada (al
ma'dum) contoh seperti menjual anak
dari anak yang
berada dalam perut
unta
b. Gharar karena barangnya tidak bisa
diserahterimakan ( al-ma‟juz „an taslimihi
)seperti menjual
budak yang kabur,
burung di udara, ikan di laut, mobil yang
dicuri, barang yang masih dalam
pengiriman.
c. Gharar karena ketidakjelasan (aljahalah) pada barang, harga dan akad
jual belinya. Contoh jual beli al-hashah
(dengan melempar batu) adalah ketika
seseorang ingin membeli tanah, maka
penjual mengatakan: “Lemparlah kerikil
ini, sejauh engkau melempar, maka itu
adalah tanah milikmu dengan harga
sekian.”
Berbeda dengan riba yang semuanya
adalah haram baik itu banyak atau
sedikit kadarnya, sedang pada gharar itu
KNiST, 30 Maret 2017
terdapat prihal jual beli gharar yang
diperbolehkan :
a. Jika barang tersebut sebagai pelengkap,
b. Jika ghararnya sedikit,
c. Masyarakat memaklumi hal tersebut
karena dianggap sesuatu yang remeh,
d. Mereka
memang
membutuhkan
transaksi tersebut.
Prihal tersebut sesuai dengan penjelasan
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
(5/144) yang dinukil oleh Ahmad Zain An
Najah dalam ulasannya mengenai Gharar
dengan argumentasi sebagai berikut:
“Kadang
sebagian gharar diperbolehkan
dalam transaksi jual beli, karena hal itu
memang dibutuhkan (masyarakat), seperti
seseorang
tidak
mengetahui
tentang
kwalitas pondasi rumah (yang dibelinya),
begitu juga tidak mengetahui kadar air susu
pada kambing yang hamil. Hal – hal seperti
ini dibolehkan di dalam jual beli, karena
pondasi (yang tidak tampak) diikutkan
(hitungannya) pada kondisi bangunan rumah
yang tampak, dan memang harus begitu,
karena pondasi tersebut memang tidak bisa
dilihat. Begitu juga yang terdapat dalam
kandungan
kambing
dan
susunya“.
Beberapa transaksi mengandung gharar
yang masih sering terjadi dalam era
kontemporer saat ini namun merupakan
gharar yang diperbolehkan:
a. Menyewakan rumahnya selama sebulan.
Ini dibolehkan walaupun satu bulan
kadang 28,29, 30 bahkan 31 hari.
b. Membeli
hewan
yang
sedang
mengandung
dengan
adanya
kemungkinan yang dikandung hanya
seekor atau lebih, jantan atau betina,
kalau lahir sempurna atau cacat.
c. Masuk
toilet
dengan
membayar
Rp.2000, padahal tidak diketahui jumlah
air yang digunakan.
d. Naik kendaran angkutan umum atau
busway dengan membayar sejumlah
uang yang sama, padahal masingmasing penumpang tujuannya berbedabeda.(An-Najah, 2013)
Agar bisa mengetahui batasan sejauh mana
gharar itu bisa merusak akad antara yang
dibolehkan dengan yang terlarang maka Al
Subaily mengemukakan kriteria Gharar Yang
Diharamkan yakni Gharar dihukumi haram
bilamana terdapat salah satu kriteria berikut:
1. Jumlahnya besar. Jika gharar yang
sedikit tidak mempengaruhi keabsahan
akad, seperti: pembeli mobil yang tidak
mengetahui bagian dalam mesin atau
pembeli saham yang tidak mengetahui
284
ISBN: 978-602-61242-0-3
a.
b.
c.
2.
3.
rincian aset perusahaan. Al Subaily
mengemukakan bahwa Ibnu Qayyim
dalam kitabnya zaadul maad jilid.V hal.
820 telah menyatakan," gharar dalam
jumlah
sedikit
atau
tidakmungkin
dihindari niscaya tidak mempengaruhi
keabsahan akad, berbeda dengan
gharar besar atau gharar yang mungkin
dihindari".
Al
Subaily
juga
mengemukakan bahwa Al Qarafi dalam
kitabnya furuuq jilid.III hal. 265 telah
menyatakan," gharar dalam bai' ada 3
macam:
Gharar besar membatalkan akad, seperti
menjual burung di angkasa.
Gharar yang sedikit tidak membatalkan
akad dan hukumnya mubah, seperti
ketidakjelasan
pondasi
rumah
atauketidakjelasan jenis benang qamis
yang dibeli.
Gharar
sedang,
hukumnya
diperselisihkan oleh para ulama. Apakah
boleh atau tidak.".
Hal ini sejalan
dengan penjelasan Al Subaily dengan
menukil dari Al Baji dalam kitabnya
Muntaqa jilid. 5 hal. 41 yang
mengemukakan," gharar besar yaitu
rasionya dalam akad terlalu besar
sehingga orang mengatakan bai' ini
gharar".
Keberadaannya dalam akad mendasar.
Jika gharar dalam akad hanya sebagai
pengikut tidak merusak keabsahan akad.
Dengan demikian menjual binatang
ternak yang bunting, menjual binatang
ternak yang menyusui dan menjual
sebagian buah yang belum matang
dalam satu pohon dibolehkan.Walaupun
janin, susu dan sebagian buah tersebut
tidak jelas, karena keberadaanya hanya
sebagai pengikut.
Akad yang mengandung gharar bukan
termasuk akad yang dibutuhkan orang
banyak. Jika suatu akad mengandung
gharar dan akad tersebut dibutuhkan
oleh orang banyak hukumnya sah dan
dibolehkan.
Argumentasi
ini
dikemukakan Al Subaily dengan menukil
hujahnya Ibnu Taimiyah dalam kitab
Qawaid nuraniyah hal.140 menyatakan,"
mudharat gharar di bawah riba, oleh
karena itu diberi rukhsah (keringanan)
jika dibutuhkan oleh orang banyak,
karena jika diharamkan mudharatnya
lebih besar daripada dibolehkan".
Dengan demikian dibolehkan menjual
barang yang tertimbun dalam tanah,
seperti: wortel, bawang, umbi-umbian
KNiST, 30 Maret 2017
dan menjual barang yang dimakan
bagian dalamnya, seperti: semangka
telur dan lain-lain sekalipun terdapat
gharar. Karena kebutuhan orang banyak
untuk menjual dengan cara demikian
tanpa dibuka terlebih dahulu bagian
dalamnya atau dicabut dari tanah.
4. Gharar terjadi pada akad jual-beli. Jika
gharar terdapat pada akad hibah
hukumnya
dibolehkan.
Misalnya:
Seseorang bersedakah dengan uang
yang ada dalam dompetnya padahal dia
tidak tahu berapa jumlahnya. Atau
seseorang
yang
menghadiahkan
bingkisan kepada orang lain, orang yang
menerima tidak tahu isi dalam bingkisan
tersebut, maka akadnya sah walaupun
mengandung gharar.
3.3. Gharar dalam Dana Kapitasi
Pemerintah meluncurkan program JKN
(Jaminan Kesehatan Nasional) BPJS
Kesehatan merupakan suatu tuntutan
kebutuhan masyarakat dalam upaya untuk
mengentaskan
berbagai
permasalahan
kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Oleh
sebab itu alangkah baiknya jika tata kelola
program JKN ini di optimalkan tidak sekedar
memandang pada landasan materil namun
juga pada landasan spritualnya sehingga
manfaat lahir terpenuhi dan manfaat batin
juga menimbulkan ketenangan jiwa. Jika
menilik kembali proses awal pembentukan
program JKN BPJS Kesehatan ini dengan
regulasi yang mendasarinya sebagai akad
atau komitmen yang mencerminkan adanya
kebersamaan, tolong menolong dan gotong
royong sebetulnya tujuan pembentukan
program JKN ini memiliki tujuan yang baik
dan mulia. Sebagaimana tertuang pada
pasal 4 UU BPJS Nomor 24/2011
sebenarnya pun telah sejalan dengan
prinsip-prinsip syariah yang di dalamnya
mengadung
adanya
unsur
kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan,
kehati-hatian,
akuntabilitas,
portabilitas,
dana amanat, dan pernyataan hasil
pengelolaan dana jaminan sosial digunakan
seluruhnya untuk pengembangan program
dan untuk sebesar-besar kepentingan
peserta (Humas BPJS Kesehatan, 2011).
Regulasi undang- undang BPJS Kesehatan
di tataran konsep awal telah mencermikan
akad hibah yang secara prinsip sudah
sesuai
dengan
ketentuan
syariah
sebagaimana termaktub dalam dalil Al
Quran, yang terjemahannya : “Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
285
ISBN: 978-602-61242-0-3
menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran (Al Maidah : 2). Konsep akad
hibah pada regulasi tersebut menutup pintu
celah munculnya gharar (ketidakjelasan),
riba fadhl (kelebihan antara yang diterima
dan dibayarkan) dan maysir (judi) pada
hubungan ketidakseimbangan setoran premi
peserta dengan nilai manfaat yang akan
diterimanya
dari
suatu
polis
(pertanggungan).
Ilustrasi
mudahnya
digambarkan sebagai berikut: Pak Ali
peserta yang baru bergabung di program
JKN BPJS Kesehatan yang baru membayar
premi satu bulan sebesar Rp 80.000
kemudian jatuh sakit dan memanfaatkan
layanan BPJS dengan rawat inap yang
menghabiskan biaya sebesar Rp 5.000.000
di tanggung BPJS, dilain kasus Pak Budi
sudah bergabung jadi peserta BPJS telah 10
bulan dan keluar premi Rp 800.000 namun
belum pernah mengklaim pengobatan
karena badannya sealu sehat. Pada kasus
tersebut nampak ketidakseimbangan antara
nilai premi Pak Ali Rp 80.000, nilai nominal
polis yang dikeluarkan BPJS Rp 5000.000,
dan perbandingan nilai manfaat yang
diterima antara Pak Ali dan Pak Budi
sebagai peserta BPJS yang mana Pak Ali
telah menerima manfaat Rp 5.000.000
sedangkan Pak Budi sama sekali belum
menerima
manfaat
polis
atas
kepesertaannya dalam JKN BPJS. Dengan
akad hibah (sosial) maka seharusnya bisa
menyelamatkan sistem tersebut dari unsur
gharar, riba dan maysir sekaligus. Karena
ketiga unsur terlarang syariah tersebut bisa
muncul dan akan bermasalah pada akad
muamalah jual beli (komersil). Meski secara
tataran konsep awal sudah sesuai syariah
namun dalam implementasi teknis di
lapangan masih ditemukan penerapan
aturan yang seolah menunjukan adanya
inkonsistensi dengan regulasi akadnya.
Dalam realitanya kondisi BPJS dalam
prakteknya pada saat ini masih ditemukan
hal-hal yang bertentangan dengan syariat
karena masih terjadinya inkosistensi antara
akad sosial yang tertuang dalam undangundangnya
dengan
modus
transaksi
turunannya yang cenderung komersial,
prihal yang sempat mencuat diantaranya
yakni
seputar
denda
keterlambatan
pembayaran angsuran sebesar 2% per
bulan bagi yang terlambat membayar premi
sesuai ketentuan waktu yang telah
ditetapkan,
hal ini jelas melanggar
ketentuan syariah dan tentu menyelisihi
akad hibah yang telah di deklarasikan dalam
KNiST, 30 Maret 2017
undang-undang sebelumnya. Prihal lain
yang nampak sepele namun tidak sesuai
syariah ialah pengumpulan dana BPJS
masih
menggunakan
bank
custodian
konvensional yang jelas berkontribusi dalam
mendukung sistem riba. Spirit yang bias dan
tidak sejalan dengan syariah pun bisa
dirasakan
langsung
oleh
masyarakat
pengguna layanan BPJS Kesehatan dengan
masih seringnya menemui kesulitan dan
kendala dalam memanfaatkan layanan BPJS
dalam proses pengobatan di beberapa klinik
maupun rumah sakit(Tarmizi, 2015).
Cara sistem kapitasi yang digunakan oleh
BPJS Kesehatan dalam membayar sejumlah
nominal tertentu di awal periode sesuai tarif
terpatok yang telah ditetapkan kepada pihak
provider FKTP sangat rentan membuka
celah terbukanya unsur gharar yang besar.
Pakar muamalat kontemporer Erwandi
Tarmizi mengatakan “Sistem pembayaran
dari BPJS kepada rumah sakit, klinik dan
praktek dokter dengan cara kapitasi yang
mengandung unsur gharar tingkat tinggi.
Dimana BPJS mematok nominal tertentu
untuk rumah sakit Baik pasien berobat ke
rumah sakit yang ditunjuk banyak jumlahnya
ataupun sedikit. Andai pemegang BPJS
yang berobat ke rumah sakit tersebut
berjumlah banyak dapat dipastikan rumah
sakit tersebut akan mengalami kerugian dan
sebaliknya”.
Dengan
terdapatnya
terdapatnya
kandungan
gharar
yang
mungkin terjadi dalam sistem kapitasi maka
jika cara ini masih tetap akan dipertahankan
sebagai solusi pembayaran di FKTP
hendaknya pemerintah sebagai regulator
mau menampung aspirasi umat islam dan
ketentuan syariahnya dengan berupaya
memperkecil dengan sekecil mungkin unsur
gharar yang mungkin timbul pada sistem
kapitasi tersebut. Sejumlah hal harus
menjadi perhatian untuk memperkecil gharar
yang
mungkin
timbul
sebagaimana
penjelasan sebelumnya gharar yang kecil itu
tak bisa dihindari dalam setiap transaksi
maka itupun dibolehkan. Poin pertama
yang bisa di cermati sebagaimana
mengacu pada ketentuan Kementerian
Kesehatan pada Pasal 4 Permenkes RI
No 12 tahun 2016 diketahui penentuan
nilai besaran tarif kapitasi ditentukan
berdasarkan seleksi dan kredensial. Nilai
terukur menjadi penting sebagai penentu
obyektifitas sasaran karena biasnya
sasaran
dalam
konteks
ini
bisa
berpengaruh dengan besarnya nilai
gharar yang terjadi. Ukuran nilai
286
ISBN: 978-602-61242-0-3
dilakukan dengan menggunakan kriteria
teknis yang dilakukan secara bertahap,
meliputi (1) sumber daya manusia, (2)
kelengkapan sarana dan prasarana, (3)
lingkup pelayanan, dan (4) komitmen
pelayanan(Kementerian
Kesehatan,
2016). BPJS Kesehatan melakukan
penetapan kriteria tersebut sebagai
intrumen untuk mengukur jenis dan
luasnya pelayanan, besaran angka
kapitasi yang tepat dan jumlah peserta
yang bisa dilayani di wilayah itu agar
tepat sasaran dan sesuai antara dana
yang diberikan dengan komplektifitas
masalahnya. Semakin terukur maka
akan semakin menjamin obyektifitas
terhadap pengenaan tarif dan menjadi
upaya dalam memperkecil timbulnya
gharar,
namun
realita
dilapangan
implementasi dalam kriteria tersebut
masih belum optimal. Poin kedua,
Pemerintah harus mengupayakan pihak
ketiga yang adil dan independen untuk
menjembatani
sisi
keadilan
dan
obyektifitas
di
lapangan
terhadap
penentuan besaran nilai kapitasi. Hal ini
menjadi
salah
satu
solusi
yang
dikemukakan oleh Erwandi tarmizi
selaku pakar Muamalat kontemporer
yang menyatakan dalam ulasannya sebagai
berikut “Untuk menentukan keadilan kapitasi
yang menjadikan kedua belah pihak (BPJS
dan
penyelenggara
kesahatan)
tidak
terdzolimi hendaklah ditentukan oleh pihak
ke-3 yang indenpenden dan adil. Wallahu
a‟lam, jika hal tersebut dilakukan maka
gharar yang terdapat pada pembayaran
BPJS atas pelayanan yang diberikan rumah
sakit kepada peserta BPJS dengan sistem
kapitasi menjadi kecil, dan gharar yang
nisbahnya kecil dibolehkan sebagaimana
yang telah dijelaskan”.(Tarmizi, 2015).
Secara faktualnya upaya penentuan besaran
nilai kapitasi dengan melibatkan pihak lain
yang
dianggap
berkompeten
dan
representatif sebetulnya telah dilakukan oleh
BPJS Kesehatan. Hal ini mengacu pada
ketentuan Kementerian Kesehatan pada
Pasal 4 Permenkes RI No 12 tahun
2016 diketahui bahwa besaran tarif
kapitasi ditentukan berdasarkan seleksi
dan kredensialyang dilakukan oleh BPJS
Kesehatan,
dinas
kesehatan
kabupaten/kota,
dan/atau
Asosiasi
Fasilitas
Kesehatan
dengan
mempertimbangkan kriteria pada sumber
daya manusia, kelengkapan sarana dan
prasarana, lingkup pelayanan, dan
KNiST, 30 Maret 2017
komitmen
pelayanan(Kementerian
Kesehatan, 2016).
Namun
sangat
disayangkan jika pada regulasi tersebut
seolah
tidak
nampak
jelas
ada
ketegasan posisi pihak lain yang
menjadi pihak ketiga tersebut apakah
sejajar
atau
lebih
tinggi
dalam
memutuskan suatu ketentuan dengan
pihak yang berkepentingan dalam hal ini
institusi BPJS sebagaimana pelaksana
JKN. Hal ini menjadi faktor kunci
memperkecil gharar sebab menyangkut
sisi keadilan, netralitas, independensi,
bebas
dari
konflik
kepentingan,
intervensi atas keputusan yang dibuat
diantara pihak-pihak yang saling dan
mungkin
menimbulkan
konflik
kepentingan pada konteks nilai kapitasi
ini
baiki
institusi
BPJS
maupun
penyelenggara
faskes.
Penentuan
sepihak nilai kapitasi dapat merugikan
salah satu pihak. Poin ketiga yang tidak
kalah
penting
adalah
adanya
sinkronisasi kehalalan dalam sudut
pandang syariah antara regulasi pada
tataran konsep dengan regulasi yang
lebih detail semisal dalam pelaksanaan
teknis dilapangan. Pada akad BPJS
Kesehatan sesuai regulasi tersebut
diatas menggambarkan akad yang
dilakukan dalam pengumpulan dana dan
penyalurannya dalam bentuk manfaat
menggunakan akad sosial yang selaras
dengan konsep takaful dalam syariah
islam.
Namun
dalam
regulasi
turunannya kebawah banyak didapati
ketidakkonsistenan misal dengan aturan
denda keterlambatan dan lainnya yang
tidak selaras dengan ketentuan syariah.
Gharar dalam kandungan kecil yang
masih mungkin timbul sekiranya itu
terjadi dan dapat ditolerir jika akad BPJS
benar-benar berakad hibah kegotongroyongan (sosial), akan tetapi jika akad
BPJS kesehatan menyerupai asuransi
konvensional maka yang terjadi adalah
gharar yang besar termasuk akan
menimpa pada regulasi turunannya
seperti
pada
sistem
kapitasi
ini.Penerapan kapitasi di BPJS Kesehatan
pun masih terindikasi mengandung unsur
gharar dengan muatan besar yang bisa
menjadi polemik dalam tinjauan syariah
islam, dengan pengungkapan fakta ini
semoga bermanfaat menjadi bahan kajian
mendalam bagi pemerintah selaku regulator
dalam memperbaiki sistem yang telah
berjalan dan masyarakat muslim merasakan
287
ISBN: 978-602-61242-0-3
ketenangan memanfaatkan layanan BPJS
kesehatan
ini
tanpa
dihantui
rasa
berdosa.Berharap kedepannya terdapat
langkah
nyata
pemerintah
duduk
bersama bersama para ulama dalam
membenahi kompleksitas permasalahan
seputar BPJS Kesehatan ini dan
merumuskannya kembali berdasarkan
ketentuan syariah..
4. Simpulan
Pada pemaparan dari penulis tersaji tersebut
diatas mengenai ulasan sistem kapitasi
BPJS Kesehatan ini maka dapat penulis
simpulkan bahwa polemik syariah dalam
peraktek BPJS itu tidak sekedar denda
iuran, ketidakkonsistenan antara akad dan
modus transaksi semata sebagaimana yang
selama ini lebih sering mencuat di ranah
publik dan telah diketahui banyak orang
namun juga berimplikasi pada hal lain
seperti penerapan sistem kapitasinya.
Regulasi tertuang pada pasal 4 UU BPJS
Nomor 24/2011 secara tersurat menunjukan
bahwa akad terbentuknya JKN BPJS
Kesehatan ini telah sejalan dengan prinsipprinsip
syariah
yang
di
dalamnya
mengadung
adanya
unsur
”kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan,
kehati-hatian,
akuntabilitas,
portabilitas,
dana amanat, dan pernyataan hasil
pengelolaan dana jaminan sosial digunakan
seluruhnya untuk pengembangan program
dan untuk sebesar-besar kepentingan
peserta”. Regulasi yang bagus tersebut
belum terimplementasi dalam komersialisasi
yang masih terjadi padamodus transaksi
turunannya. Pada sisi lain penerapan sistem
kapitasi yang digunakan sebagai model
pembayaran borongan oleh BPJS kesehatan
selaku pengelola dana JKN kepada provider
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama atau
FKTP masih terindikai mengandung muatan
unsur gharar yang besar. Gharar yang besar
merupakan salah satu muamalah yang
terlarang dalam syariah Islam. Dengan
kajian tulisan ini diharapkan akan membuka
wawasan masyarakat luas kedepannya
kemudian
secara
bersama-sama
berkontribusi memberikan dorongan publik
yang lebih luas untuk perubahan kepada
pihak pemerintah dalam memperhatikan
aspirasi
kemaslahatan
masyoritas
masyarakat
muslim.
Penyempurnaan
penerapan sistem kapitasi hendaknya
berupaya untuk memperkecil gharar yang
ada. Gharar yang kecil merupakan hal yang
masih dibolehkan dalam syariat. Pemerintah
KNiST, 30 Maret 2017
hendaknya melakukan evaluasi secara
berkala terhadap nilai ukuran seleksi dan
kredensial penetuan nilai kapitasi yang telah
di jalankan tersebut maupun proses
pelaksanaan
nyatanya
dilapangan.Pemerintah hendaknya juga
harus mengupayakan pihak ketiga yang adil
dan independen untuk menjembatani sisi
keadilan dan obyektifitas di lapangan
terhadap penentuan besaran nilai kapitasi
yang bebas dari intervensi maupun konflik
kepentingan.
Sistem
kapitasi
akan
senantiasa menimbulkan gharar yang besar
selama terdapat ketidaksinkronan antara
akad sosial yang telah terdeklarasi dalam
regulasi di tataran konsep awal terbentuknya
jaminan kesehatan sosial (JKN) dengan
regulasi
turunannya
yang
bermuatan
komersialisasi pada modus transaksinya.
Referensi
An-Najah, A. Z. (2013, November 14). Jual
Beli Gharar. Retrieved Februari 24,
2017,
from
http://www.ahmadzain.com/read/kar
ya-tulis/448/jual-beli-gharar/
BPJS, H. (2017, Maret 15). Siaran Pers.
Retrieved Maret 16, 2017, from
http://bpjskesehatan.go.id/bpjs/index.php/arsip
/categories/Mjg/siaran-pers
Humas BPJS Kesehatan. (2011, Oktober
20). Undang-Undang RI Nomor 24
Tahun
2011
Tentang
BPJS.
Retrieved Maret 14, 2017, from
http://bpjskesehatan.go.id/bpjs/index.php/arsip
/view/1
Itang. (Juli 2015). BPJS Kesehatan Dalam
Perspektif Ekonomi Syariah. Ahkam
Vol XV, No 2 , 153-162.
Kesehatan. (2016, Maret 17). Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia Nomor 12 tahun 2016.
Retrieved Januari 29, 2017, from
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/pr
oduk_hukum/PMK_No._12_ttg_Tarif
_Pelayanan_Kesehatan_Dalam_Pro
gram_Jaminan_Kesehatan_.pdf
Kementerian Kesehatan. (2016, April 20).
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 21 tahun
2016. Retrieved Januari 29, 2017,
288
ISBN: 978-602-61242-0-3
from
http://dinkes.kedirikab.go.id/konten/u
u/55569Permenkes%20212016%20Penggunaan%20Dana%20
Kapitasi%20JKN%20untuk%20FKT
P%20milik%20PEMDA.pdf
Prabowo, H. (2015, September 27). Apa Itu
Sistem
Pembayaran
Kapitasi:
Sistem Pembayaran Pada FKTP
BPJS. Retrieved Desember 14,
2016,
from
http://www.pasiensehat.com/2015/0
9/apa-itu-sistem-kapitasipembayaran-bpjs-kesehatan.html
Subaily,
Y. A. (2009, Juni 30). Fiqh
Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh
Muamalat Dan Aplikasinya Dalam
Ekonomi Modern. Retrieved Januari
31,
2017,
from
http://fai.umsida.ac.id/tinymcpuk/ga
mbar/file/fiqh-muamalahkontemporer.pdf
Tarmizi, E. (2015). Harta Haram Muamalat
Kontemporer. Jakarta: Berkat Mulia
Insani Publishing.
KNiST, 30 Maret 2017
289
Download