Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST) Maret 2017, pp. 279~289 279 SISTEM KAPITASI BPJS KESEHATAN DALAM TINJAUAN SYARIAH Irwin Ananta STIBA Nusa Mandiri [email protected] Abstrak Pola pembayaran dokter dan rumah sakit sebelumnya lazim melakukan pembebanan tarif secara langsung. Pada era jaminan kesehatan nasional ini dipilih instrumen sistem prospektif sebagai upaya untuk mengendalikan biaya kesehatan dan mendorong agar pelayanan kesehatan bisa berjalan secara optimal. Polemik syariah pada BPJS Kesehatan mulai mencuat sejak dikeluarkan keputusan MUI melalui ijtimak ulama komisi fatwa seIndonesia di ponpes Attauhidiyah, Cikura-Tegal Jawa tengah. Santer diberitakan bahwa regulasi denda keterlambatan pembayaran iuran yang diterapkan BPJS merupakan praktek riba. Jika dibedah lebih dalam polemik syariah dalam peraktek BPJS itu tidak sekedar denda iuran, ketidakkonsistenan akad dan modus transaksi semata sebagaimana yang selama ini lebih sering mencuat di ranah publik, penerapan cara kapitasi sebagai model pembayaran borongan yang dibayarkan oleh BPJS kesehatan selaku pengelola dana JKN kepada provider Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama atau FKTP pun bisa menimbulkan unsur gharar. Gharar merupakan salah satu muamalah yang terlarang dalam syariah Islam. Metode penelitian yang digunakan dalam membedah polemik syariah pada kasus ini dengan melakukan studi kritis terhadap penerapan sistem kapitasi pada BPJS Kesehatan. Melalui pola pendekatan interaktif yang menyesuaikan informasi pelaku atas fakta-fakta dilapangan dengan merujuk kepada literatur kajian fikih mu‟amalah islam, peraturan pemerintah, ketentuan dan modus transaksi yang dilakukan BPJS Kesehatan serta wawancara dan observasi langsung. Penerapan kapitasi di BPJS Kesehatan terindikasi mengandung unsur gharar dengan muatan besar yang bermasalah secara syariah, dengan pengungkapan fakta ini semoga bermanfaat menjadi bahan kajian mendalam bagi pemerintah selaku regulator dalam memperbaiki sistem yang telah berjalan dan masyarakat muslim merasakan ketenangan secara spritual dalam memanfaatkan layanan BPJS kesehatan ini. Keyboard: Kapitasi, BPJS Kesehatan, Jaminan Kesehatan Nasional 1. Pendahuluan Indonesia resmi telah memasuki era baru dalam dunia kesehatan, ditandai dengan mulai terlaksananya program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kesehatan sejak 1 januari 2014. Populasi penduduk Indonesia yang mencapai kurang lebih 250 juta jiwa, untuk saat ini "jumlah kepesertaan BPJS Kesehatan telah mencapai 175.229.402 jiwa (per 10 Maret 2017) atau hampir mencapai 70% dari total penduduk Indonesia"(BPJS, 2017), sebagiannya masih dibawah angka kemiskinan sedang biaya rumah sakit relatif masih cukup mahal jika dibandingkan rata-rata pendapatan perkapita orang Indonesia. Hal tersebut dapat menjadi indikator akan kompleksitasnya permasalahan yang dihadapi Indonesia khususnya seputar penanganan kesehatan penduduknya. Masalah kesehatan penduduk masih menjadi tantangan dan tuntutan bagi Indonesia sebagai negara berkembang. Keterbatasan anggaran, minimnya APBN di sektor kesehatan dalam membangun infrastruktur sarana prasarana kesehatan maupun upaya untuk menyelenggarakan program pelayanan jaminan kesehatan secara nasional. Pada masa sebelum era JKN, proses penyelesaian transaksi pengobatan dilakukan dengan membayar langsung biaya sesuai tarif yang ditetapkan sepihak oleh pihak medis atas layanan kesehatan yang diberikannya (fee for services). Dalam sistem pembayaran retrospektif selama ini proses transaksi jasa layanan medis umumnya dilakukan secara fee for services yang hanya melibatkan pihak pasien dan pihak provider pelayanan medis. Transaksi medis hanya dua arah pasien dan pihak medis tersebut cendrung Diterima 27 Januari 2017; Revisi 17 Februari 2017; Disetujui 15 Maret, 2017 ISBN: 978-602-61242-0-3 lebih menempatkan pihak provider pelayanan medis pada posisi yang kuat dan selalu menempatkan pihak pasien pada posisi yang lebih lemah. Kondisi bargaining position pasien lebih lemah karena keinginannya untuk sehat, sembuh dan terobati yang begitu besar sehingga menjadi suatu kebutuhan utama. Penyimpangan pada sebagian provider pelayanan kesehatan yang telah kehilangan idealisme dan misi sosialnya kerap terjadi. Komersialisasi jasa medis tidak bisa dipungkiri, pematokan harga tarif pengobatan tinggi dilakukan sepihak serta menjadikan setiap layanan kesehatan sebagai komoditi yang dikomersilkan. Dalam kondisi anggaran keuangan negara yang masih rentan mengalami defisit dalam satu dasawarsa ini program jaminan kesehatan nasional yang di selenggarakan oleh pemerintah ini pun harus tetap dituntut untuk dapat menjamin kelangsungan ketersediaan anggaran untuk pelayanan kesehatan yang diberikan juga mampu mendorong perencanaan yang baik dalam pelayanan kesehatan tersebut. Oleh sebab itu cara konvensional tidaklah tepat digunakan dalam era jaminan kesehatan nasional. model pembayaran yang tepat untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional adalah dengan mengacu dan mengikuti model pembayaran yang lazim digunakan oleh perusahaan jasa layanan asuransi maupun institusi pengelola jaminan kesehatan nasional diberbagai belahan dunia yaitu menggunakan model pembayaran prospektif. Model tersebut bisa selaras dengan program jaminan kesehatan nasional karena dengan implementasi sistem pada model prospektif itu tidak lagi sekedar melibatkan dua pihak namun ada pihak ketiga yang dengan kehadirannya bisa menjadi sinegi sehingga sistem model pembayaran tersebut bisa mengakomodir bagi terlaksananya pengendalian biaya kesehatan dari tiap-tiap individu peserta, tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan, efesiensi biaya, dorongan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, efektif dan efesien guna memaksimalkan pendapatan bagi provider pelayanan kesehatan, peningkatan kepuasan masyarakat yang menjadi peserta jaminan kesehatan nasional terhadap ketersediaan pelayanan kesehatan. Model pembayaran prospektif yang melibatkan pihak ketiga jika digambarkan dalam simulasi sederhana dimulai dengan KNiST, 30 Maret 2017 keikutsertaan menjadi peserta jaminan kesehatan kemudian secara rutin berkala berkomitmen untuk membayar iuran sesuai tarif premi tertentu atas kepesertaannya untuk mendapatkan hak pertanggungan berupa jaminan kesehatan. Pihak pengelola jaminan kesehatan yang telah bekerjasama sebelumnya dengan pihak penyedia layanan medis akan membayarkan sejumlah biaya tertentu sesuai tarif yang telah disepakati dengan pihak medis atas layanan yang diberikan terhadap peserta jaminan kesehatan apabila menjadi pasien di tempat pelayanan kesehatan tersebut. Oleh sebab itu pasien yang melaksanakan pengobatan tidak diharuskan lagi membayar langsung biaya pengobatan kepada pihak penyedia layanan medis karena biaya sejumlah tarif tertentu pada waktu tertentu tersebut telah di bayarkan oleh pihak ketiga dalam hal ini pengelola institusi jaminan kesehatan tersebut. Dari sejumlah model pembayaran prospektif yang ada, umumnya BPJS kesehatan menggunakan sistem INA CBGs untuk pembayaran ke FKRTL (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut) dan menggunakan sistem kapitasi untuk pembayaran ke FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama). Polemik syariah mengenai BPJS Kesehatan pasca dikeluarkan keputusan MUI melalui ijtimak ulama komisi fatwa se-Indoensia di ponpes At Tauhidiyah tidak sekedar persoalan denda iuran sebagaimana yang selama ini mencuat. Ketidakkonsistenan antara akad dan modus transaksi pada BPJS pun dapat berimplikasi langsung terhadap timbulnya gharar yang besar karena ketidakseimbangan nominal uang premi yang dihimpun dan nominal penyaluran dalam bentuk manfaat polis (pertanggungan). Hal ini diungkapkan oleh Itang dalam jurnalnya yang mengatakan "...peserta bayar premi bulanan, namun tidak jelas berapa jumlah yang akan diterima. Bisa lebih besar,bisa kurang. Di situlah unsur gharâr (ketidak jelasan) dan untunguntungan. Ketika gharâr itu sangat kecil, mungkin tidak menjadi masalah. Karena hampir dalam setiap jual beli, ada unsur gharâr, meskipun sangat kecil. Dalam asuransi kesehatan BPJS, tingkatannya nasional. Artinya, perputaran uang di sana sangat besar. Bisa bayangkan ketika sebagian besar WNI menjadipeserta BPJS, dana ini bisa mencapai angka triliyun. Jika dibandingkan untuk biaya pemeliharaan kesehatan warga, akan sangat jauh 280 ISBN: 978-602-61242-0-3 selisihnya, disana terdapat unsur gharâr-nya sangat besar."(Itang, Juli 2015) Permasalahan pokok fokus pembahasan pada penulisan ini adalah seputar model pembayaran yang diterapkan oleh BPJS Kesehatan pada program jaminan kesehatan nasional khususnya pembayaran kepada provider FKTP yang menggunakan sistem kapitasi. Model pembayaran ini telah terlebih dahulu sebelumnya digunakan oleh perusahaan asuransi konvensional. Sistem kapitasi atau biasa disebut sistem pembayaran borongan ini menjadi polemik dalam tinjauan syariah karena mengandung gharar. Para ulama memfatwakan haramnya peraktik asuransi konvensional disebabkan adanya gharar, riba dan rusaknya akad. BPJS Kesehatan menerapkan sistem kapitasi pada model pembayarannya kepada FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) dan INA CBGs kepada FKRTL (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut) sebagai proses lanjutan tata kelola dana hasil pengumpulan premi para peserta BPJS Kesehatan. Dengan mendapatkan pembayaran tersebut maka FKTP dan FKRTL memberikan layanan kesehatan bagi peserta BPJS kesehatan. Mayoritas rakyat indonesia yang akan menjadi target peserta progam JKN BPJS kesehatan ini merupakan umat islam. Umat Islam dituntut untuk melakukan muamalah yang halal dan meninggalkan muamalah yang terlarang. Dalam konteks uraian ini penulis membatasi lingkup bahasan pada permasalahan syariah yang terjadi dalam modus transaksi pembayaran sistem kapitas oleh BPJS kesehatan terhadap FKTP dalam tinjauan syariah Islam. Penulis mencoba mengurai secara lugas mengenai sistem kapitasi dan prihal indikasi terdapatnya kandungan gharar yang membuatnya bisa bermasalah secara hukum syariah. Proses pembahasan dilakukan dengan mengacu pada literatur fikih muamlat islam, fakta temuan yang didapat dari penerapan model pembayaran kapitasi BPJS kesehatan, regulasi BPJS kesehatan dan referensi prihal sistem kapitasi. Tujuan penulisan ini, penulis berupaya menelaah mengenai sistem pembayaran kapitasi yang digunakan oleh BPJS kesehatan sebagai sistem pembayaran borongan. Dalam tinjauan syariah model pembayaran tersebut terindikasi mengandung gharar yang dipermasalahkan kehalalannya secara syariah. Simulasi sederhananya dari sistem tersebut diawali KNiST, 30 Maret 2017 oleh BPJS Kesehatan yang telah melakukan pembayaran kapitasi dengan dibayar dimuka sebelumnya kepada FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) sebagai proses lanjutan tata kelola dana hasil pengumpulan premi para peserta BPJS Kesehatan. Selanjutnya dengan dana yang ada FKTP harus mampu mengelolanya secara optimal baik untuk menjamin kelangsungan hidup operasional FKTP itu sendiri maupun guna memberikan pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS kesehatan yang menjadi pasien tanggungannya di wilayah di FKTP tersebut. Dengan tulisan ini akan disajikan ulasan dan rambu-rambu prinsip syariah terhadap sistem pembayaran kapitasi BPJS Kesehatan agar layak dan bisa diterapkan bagi masyarakat muslim Indonesia khususnya sehingga maslahatnya tidak saja bagi urusan dunia semata namun juga tidak bermudharat bagi setiap muslim untuk urusan akhiratnya. 2. Metode Penelitian Metode penelitian dalam tulisan ini dilakukan secara kualitatif dengan riset yang bersifat deskriptif dan analisis memakai pendekatan induktif. Dalam pemaparan secara kualitatif ini proses maupun makna lebih ditonjolkan. Pembahasan memanfaatkan landasan teori yang ada sebagai pemandu arah dengan disesuaikan pada pola pendekatan interaktif yang menyesuaikan informasi pelaku atas fakta-fakta dilapangan dengan merujuk kepada literatur kajian fikih mu‟amalah islam, regulasi/peraturan pemerintah, ketentuan dan modus transaksi yang dilakukan BPJS Kesehatan serta wawancara dan observasi langsung. 1. Metode literatur Studi literatur dilakukan dengan telaah literatur terhadap kajian fikih mu‟amalah islam, regulasi/peraturan pemerintah, ketentuan dan modus transaksi yang dilakukan BPJS Kesehatan. Melakukan penelusuran dan pengkajian sejumlah referensi materi dari sumber terpercaya yang berhubungan dengan wacana, ulasan dan informasi masukan dari berbagai pihak yang berkompeten. 2. Metode observasi Metode ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan melakukan wawancara dengan pihak terkait dan berkompeten yang mengetahui penerapan pembayaran kapitasi BPJS Kesehatan. 281 ISBN: 978-602-61242-0-3 3. Metode Komparatif Metode ini dilakukan dengan cara membandingkan fakta temuan penerapan pembayaran kapitasi BPJS Kesehatan melalui regulasi atau peraturan perundang-undangan yang melandasinya serta modus transaksi pada BPJS Kesehatan kemudian menyesuaikan dengan kajian fikih mu‟amalah islam. 3. Pembahasan 3.1 Memahami Dana Kapitasi JKN BPJS Berdasarkan ketentuan Kementerian Kesehatan pada Pasal 1 angka 3 Permenkes RI No 21 Tahun 2016, “dana kapitasi adalah besaran pembayaran perbulan yang dibayar dimuka kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan”(Kementerian Kesehatan, 2016). FKTP dimaksud tersebut sebagaimana telah diuraikan sebelumnya merupakan singkatan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Mengacu pada ketentuan Kementerian Kesehatan pada Pasal 4 Permenkes RI No 12 tahun 2016 diketahui bahwa besaran tarif kapitasi ditentukan berdasarkan seleksi dan kredensialyang dilakukan oleh BPJS Kesehatan, dinaskesehatan kabupaten/kota, dan/atau Asosiasi FasilitasKesehatan dengan mempertimbangkan kriteria pada sumber daya manusia,kelengkapan sarana dan prasarana, lingkuppelayanan, dan komitmenpelayanan.Kriteria yang digunakan sebagai penetapan atasbesaran tarif kapitasi berdasarkan pertimbangan seleksidan kredensial dilakukan secara bertahap, tahapan pertama kali dari pemilihan kriteria tersebut dilakukan terlebih dahulu dengan mempertimbangkan kuantitas dan kualitas pada sumber daya manusia yang tersedia pada FKTP tersebut seperti tenaga dokter umum, dokter gigi, bidan dan sebagainya (Kementerian Kesehatan, 2016). Dengan mengikuti pertimbangan penilaian pemenuhan kriteria sumber daya manusia pada FKTP sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Kementerian Kesehatan pasal 4 ayat 6 pada permenkes tersebut (Kementerian Kesehatan, 2016) dijelaskan sebagai berikut : 1. Bagi puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara maka ditentukan besaran tarif sebagai berikut: KNiST, 30 Maret 2017 a. Kapitasi sebesar Rp.3.000apabila tidak memiliki dokter dan tidak memiliki dokter gigi b. Kapitasi sebesar Rp.3.500 apabila memiliki dokter gigi dan tidak memiliki dokter; c. Kapitasisebesar Rp.4.500 apabila memiliki satu orang dokter, tetapi tidak memiliki dokter gigi; d. Kapitasi sebesarRp.5.000apabila memiliki 1(satu) orang dokter dan memiliki dokter gigi; e. Kapitasisebesar Rp.5.500 apabila memiliki paling sedikit 2(dua) orang dokter, tetapi tidak memiliki dokter gigi; f. Kapitasi sebesar Rp.6.000 apabila memiliki paling sedikit 2(dua) orang dokter, dan memiliki dokter gigi. 2. Bagi FKTP selain Puskesmas maka ditentukan besaran tarif sebagai berikut a. Bagi dokter praktik mandiri, kapitasi sebesar Rp.8.000 (delapan ribu rupiah) apabila memiliki 1(satu) orang dokter; b. Bagi klinik pratama atau fasilitas kesehatan yang setara 1) Kapitasi sebesar Rp.8.000 (delapan ribu rupiah) apabila memiliki 1(satu) orang dokter dan tidak memiliki dokter gigi; 2) Kapitasi sebesar Rp.9.000 (sembilan ribu rupiah) apabila memilikiminimal 2 (dua) orang dokter dan tidak memiliki dokter gigi; 3) Kapitasi sebesar Rp.10.000 (sepuluh ribu rupiah) apabila memiliki minimal 2 (dua) orang dokter dan memiliki dokter gigi. c. RS Kelas D pratama memperoleh kapitasi sebesar Rp.10.000 (sepuluh ribu rupiah) apabila memilikiminimal 2( dua) orang dokter dan memiliki dokter. 3. Bagi FKTP pada daerah terpencil dan kepulauan ditetapkan berdasarkan Tarif Kapitasi khusus., a. FKTP yang memiliki dokter ditetapkan sebesar Rpl0.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per peserta per bulan. b. FKTP yang hanya memilikibidan / perawat ditetapkansebesar Rp8.000,00 (delapan riburupiah) per peserta per bulan. 282 ISBN: 978-602-61242-0-3 Praktisi kedokteran Husen Prabowo menjelaskan cara menghitung besaran dana kapitasi (Prabowo, 2015) sesuai data tarif tersebut diatas yang akan diterima oleh FKTP atas pembayaran oleh BPJS Kesehatan. Dapat di ilustrasikan sebagai berikut misalkan jika pada suatu puskesmas terdaftar peserta JKN BPJS Kesehatan sebanyak 4.000 orang peserta, dan tarif kapitasi di puskesmas tersebut ditetapkan sebesar Rp5.000,00/peserta, maka dana kapitasi yang dibayar oleh BPJS Kesehatan setiap bulannya adalah Rp20.000.000,00 (4.000 peserta x Rp 5.000,00), nominal uang sejumlah itu dibayarkan tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan puskesmas tersebut kepada peserta JKN BPJS Kesehatan pada bulan bersangkutan. Data peserta terdaftar dimaksud adalah data peserta yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan di FKTP puskesmas tersebut. Dengan budget tersebut FKTP dituntut untuk mampu mengelola dana secara optimal agar mencukupi kebutuhan yang ada baik untuk keperluan menjaga kelangsungan hidup operasional FKTP maupun guna memberikan pelayanan kepada pasien dari peserta JKN BPJS Kesehatan tersebut. 3.2.Konsep Gharar Dalam Muamalah Islam Gharar merupakan salah satu dari faktor yang menyebabkan suatu muamalat terjatuh pada hal-hal yang diharamkan dalam Islam. Para ulama menjelaskan secara umum mengenai faktor penyebab muamalatbisa memasuki kategori yang diharamkan diantaranya terdapat tiga hal(Subaily, 2009): 1. Kezaliman. 2. Gharar (tipuan). 3. Riba. Dalam ketentuan syariah pada umumnya gharar bisa termasuk pada salah satu penyebab dari rusaknya kehalalan muamalat, Oleh sebab itu perlu untuk dipahami terlebih dahulu hal ihwal mengenai apa itu yang dimaksud dengan gharar itu sendiri baik arti secara bahasa maupun arti secara istilah syariah. Berikut pemaparan para pakar/ahli syariah yang menerangkan pemahaman mengenai gharar. Subaily menjelaskan pengertian “Gharar menurut bahasa berarti: resiko, tipuan dan menjatuhkan diri atau harta ke jurang kebinasaan” sedangkan pengertian “menurut istilah, gharar berarti: jual beli yang tidak jelas kesudahannya. Jadi, asas gharar adalah ketidakjelasan. Ketidakjelasan itu bisa terjadi pada barang atau harga” KNiST, 30 Maret 2017 (Subaily, 2009). Menurut Ahmad Zain An Najah melalui ulasannya mengatakan bahwa “Gharar atau al-gharar secara bahasa berarti al-mukhatharah(pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan).Secara istilah jual beli gharar adalah jual beli atau akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kejelasan suatu barang baik dari sisi harga, kwalitas, kwantitas, maupun keberadaannya.Dari sejumlah dalil diantaranya Sabda Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam: “ Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallammelarang jual beli al-hashah ( dengan melempar batu ) dan jual beli gharar.” (HR Muslim) (An-Najah, 2013). Dengan menukil pendapat Al Khattabi dalam Ma‟alim asSunan (3/672) sebagaimana telah dijelaskan oleh Ahmad Zain An Najah bahwa “Asal gharar adalah segala sesuatu yang anda tidak mengetahuinya, dan tersembunyi rahasianya… , maka setiap jual beli yang tujuannya masih samar-samar dan belum diketahui serta tidak bisa diserahterimakan barangnya maka termasuk jual beli gharar “ Larangan jual beli gharar memiiki hikmah untuk menjaga harta orang lain serta menghindari timbulnya perselisihan yang muncul akibat adanya penipuan dan pertaruhan sebagai dampak adanya ketidakjelasan dalam teransaksi gharar tersebut (An-Najah, 2013). Ketidakjelasan jual beli gharar dimaksud tersebut diantaranya adalah : 1. Ketidakjelasan pada barang disebabkan beberapa hal: a. Fisik barang tidak jelas. Misalnya: Penjual berkata," Barang yang ada didalam kotak ini aku jual kepadamu dengan harga Rp. 500.000,-." Dengn kondisi pembeli tersebuttidak mengetahui fisik barang yang terisi di dalam kotak. b. Sifat barang tidak jelas. Misalnya: Penjual berkata," aku jual sebuah mobil kepadamu denganharga 50 juta rupiah". Dan pembeli belum pernah melihatmobil tersebut dan tidak tahu sifatnya. c. Ukurannya tidak jelas. Misalnya: Penjual berkata," aku jual kepadamu sebagian tanah inidengan harga 10 juta rupiah". d. Barang bukanmilik penjual, seperti menjual rumah yang bukan miliknya. e. Barang tidak dapat diserah terimakan,seperti menjual jam tangan yang hilang. 283 ISBN: 978-602-61242-0-3 2. Ketidakjelasan pada harga disebabkan beberapa hal: a. Penjual tidak menentukan harga. Misalnya: Penjual berkata," Mobil ini aku jual kepadamu dengan harga sesukamu". Mereka lalu berpisah dengan kondisi harga belum ditetapkan oleh kedua belah pihak. b. Penjual memberikan 2pilihan danpembeli tidak menentukan salah satunya. Misalnya: Penjual berkata,"Mobil ini saya jual kepadamu bila tunai dengan harga 80 juta rupiah dan bila tidak tunai dengan harga 90 juta rupiah". Lalu berpisah mereka dengan pembeli membawa mobil tanpa menentukan harga mana yang disetujuinya. c. Jangka waktu pembayaran yang tidak Jelas Misalnya: Penjual berkata," Motor ini saya jual dengan harga 6 jutarupiah diba-yar saat kapan anda mampu". Dari pengamatan mengenai ketidakjelasan transaksi tersebut diatas maka jelaslah bahwa seluruh akadnya mengandung unsur untung-rugi (spekulasi). Bila salah satu pihak mendapat keuntungan pihaklain mengalami kerugian, inilah hakikat gharar (Subaily, 2009). Ahmad Zain An najah menukil pendapat ulama besar abad pertengahan syaikhul islam Ibnu Taimiyah di dalam kitabnyaal-Fatawa alKubra (4/18) yang menjelaskan bahwa terdapat tiga macam jual beli gharar yang dilarang: a. Gharar karena barangnya belum ada (al ma'dum) contoh seperti menjual anak dari anak yang berada dalam perut unta b. Gharar karena barangnya tidak bisa diserahterimakan ( al-ma‟juz „an taslimihi )seperti menjual budak yang kabur, burung di udara, ikan di laut, mobil yang dicuri, barang yang masih dalam pengiriman. c. Gharar karena ketidakjelasan (aljahalah) pada barang, harga dan akad jual belinya. Contoh jual beli al-hashah (dengan melempar batu) adalah ketika seseorang ingin membeli tanah, maka penjual mengatakan: “Lemparlah kerikil ini, sejauh engkau melempar, maka itu adalah tanah milikmu dengan harga sekian.” Berbeda dengan riba yang semuanya adalah haram baik itu banyak atau sedikit kadarnya, sedang pada gharar itu KNiST, 30 Maret 2017 terdapat prihal jual beli gharar yang diperbolehkan : a. Jika barang tersebut sebagai pelengkap, b. Jika ghararnya sedikit, c. Masyarakat memaklumi hal tersebut karena dianggap sesuatu yang remeh, d. Mereka memang membutuhkan transaksi tersebut. Prihal tersebut sesuai dengan penjelasan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5/144) yang dinukil oleh Ahmad Zain An Najah dalam ulasannya mengenai Gharar dengan argumentasi sebagai berikut: “Kadang sebagian gharar diperbolehkan dalam transaksi jual beli, karena hal itu memang dibutuhkan (masyarakat), seperti seseorang tidak mengetahui tentang kwalitas pondasi rumah (yang dibelinya), begitu juga tidak mengetahui kadar air susu pada kambing yang hamil. Hal – hal seperti ini dibolehkan di dalam jual beli, karena pondasi (yang tidak tampak) diikutkan (hitungannya) pada kondisi bangunan rumah yang tampak, dan memang harus begitu, karena pondasi tersebut memang tidak bisa dilihat. Begitu juga yang terdapat dalam kandungan kambing dan susunya“. Beberapa transaksi mengandung gharar yang masih sering terjadi dalam era kontemporer saat ini namun merupakan gharar yang diperbolehkan: a. Menyewakan rumahnya selama sebulan. Ini dibolehkan walaupun satu bulan kadang 28,29, 30 bahkan 31 hari. b. Membeli hewan yang sedang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina, kalau lahir sempurna atau cacat. c. Masuk toilet dengan membayar Rp.2000, padahal tidak diketahui jumlah air yang digunakan. d. Naik kendaran angkutan umum atau busway dengan membayar sejumlah uang yang sama, padahal masingmasing penumpang tujuannya berbedabeda.(An-Najah, 2013) Agar bisa mengetahui batasan sejauh mana gharar itu bisa merusak akad antara yang dibolehkan dengan yang terlarang maka Al Subaily mengemukakan kriteria Gharar Yang Diharamkan yakni Gharar dihukumi haram bilamana terdapat salah satu kriteria berikut: 1. Jumlahnya besar. Jika gharar yang sedikit tidak mempengaruhi keabsahan akad, seperti: pembeli mobil yang tidak mengetahui bagian dalam mesin atau pembeli saham yang tidak mengetahui 284 ISBN: 978-602-61242-0-3 a. b. c. 2. 3. rincian aset perusahaan. Al Subaily mengemukakan bahwa Ibnu Qayyim dalam kitabnya zaadul maad jilid.V hal. 820 telah menyatakan," gharar dalam jumlah sedikit atau tidakmungkin dihindari niscaya tidak mempengaruhi keabsahan akad, berbeda dengan gharar besar atau gharar yang mungkin dihindari". Al Subaily juga mengemukakan bahwa Al Qarafi dalam kitabnya furuuq jilid.III hal. 265 telah menyatakan," gharar dalam bai' ada 3 macam: Gharar besar membatalkan akad, seperti menjual burung di angkasa. Gharar yang sedikit tidak membatalkan akad dan hukumnya mubah, seperti ketidakjelasan pondasi rumah atauketidakjelasan jenis benang qamis yang dibeli. Gharar sedang, hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Apakah boleh atau tidak.". Hal ini sejalan dengan penjelasan Al Subaily dengan menukil dari Al Baji dalam kitabnya Muntaqa jilid. 5 hal. 41 yang mengemukakan," gharar besar yaitu rasionya dalam akad terlalu besar sehingga orang mengatakan bai' ini gharar". Keberadaannya dalam akad mendasar. Jika gharar dalam akad hanya sebagai pengikut tidak merusak keabsahan akad. Dengan demikian menjual binatang ternak yang bunting, menjual binatang ternak yang menyusui dan menjual sebagian buah yang belum matang dalam satu pohon dibolehkan.Walaupun janin, susu dan sebagian buah tersebut tidak jelas, karena keberadaanya hanya sebagai pengikut. Akad yang mengandung gharar bukan termasuk akad yang dibutuhkan orang banyak. Jika suatu akad mengandung gharar dan akad tersebut dibutuhkan oleh orang banyak hukumnya sah dan dibolehkan. Argumentasi ini dikemukakan Al Subaily dengan menukil hujahnya Ibnu Taimiyah dalam kitab Qawaid nuraniyah hal.140 menyatakan," mudharat gharar di bawah riba, oleh karena itu diberi rukhsah (keringanan) jika dibutuhkan oleh orang banyak, karena jika diharamkan mudharatnya lebih besar daripada dibolehkan". Dengan demikian dibolehkan menjual barang yang tertimbun dalam tanah, seperti: wortel, bawang, umbi-umbian KNiST, 30 Maret 2017 dan menjual barang yang dimakan bagian dalamnya, seperti: semangka telur dan lain-lain sekalipun terdapat gharar. Karena kebutuhan orang banyak untuk menjual dengan cara demikian tanpa dibuka terlebih dahulu bagian dalamnya atau dicabut dari tanah. 4. Gharar terjadi pada akad jual-beli. Jika gharar terdapat pada akad hibah hukumnya dibolehkan. Misalnya: Seseorang bersedakah dengan uang yang ada dalam dompetnya padahal dia tidak tahu berapa jumlahnya. Atau seseorang yang menghadiahkan bingkisan kepada orang lain, orang yang menerima tidak tahu isi dalam bingkisan tersebut, maka akadnya sah walaupun mengandung gharar. 3.3. Gharar dalam Dana Kapitasi Pemerintah meluncurkan program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) BPJS Kesehatan merupakan suatu tuntutan kebutuhan masyarakat dalam upaya untuk mengentaskan berbagai permasalahan kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu alangkah baiknya jika tata kelola program JKN ini di optimalkan tidak sekedar memandang pada landasan materil namun juga pada landasan spritualnya sehingga manfaat lahir terpenuhi dan manfaat batin juga menimbulkan ketenangan jiwa. Jika menilik kembali proses awal pembentukan program JKN BPJS Kesehatan ini dengan regulasi yang mendasarinya sebagai akad atau komitmen yang mencerminkan adanya kebersamaan, tolong menolong dan gotong royong sebetulnya tujuan pembentukan program JKN ini memiliki tujuan yang baik dan mulia. Sebagaimana tertuang pada pasal 4 UU BPJS Nomor 24/2011 sebenarnya pun telah sejalan dengan prinsip-prinsip syariah yang di dalamnya mengadung adanya unsur kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, dana amanat, dan pernyataan hasil pengelolaan dana jaminan sosial digunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta (Humas BPJS Kesehatan, 2011). Regulasi undang- undang BPJS Kesehatan di tataran konsep awal telah mencermikan akad hibah yang secara prinsip sudah sesuai dengan ketentuan syariah sebagaimana termaktub dalam dalil Al Quran, yang terjemahannya : “Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong- 285 ISBN: 978-602-61242-0-3 menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (Al Maidah : 2). Konsep akad hibah pada regulasi tersebut menutup pintu celah munculnya gharar (ketidakjelasan), riba fadhl (kelebihan antara yang diterima dan dibayarkan) dan maysir (judi) pada hubungan ketidakseimbangan setoran premi peserta dengan nilai manfaat yang akan diterimanya dari suatu polis (pertanggungan). Ilustrasi mudahnya digambarkan sebagai berikut: Pak Ali peserta yang baru bergabung di program JKN BPJS Kesehatan yang baru membayar premi satu bulan sebesar Rp 80.000 kemudian jatuh sakit dan memanfaatkan layanan BPJS dengan rawat inap yang menghabiskan biaya sebesar Rp 5.000.000 di tanggung BPJS, dilain kasus Pak Budi sudah bergabung jadi peserta BPJS telah 10 bulan dan keluar premi Rp 800.000 namun belum pernah mengklaim pengobatan karena badannya sealu sehat. Pada kasus tersebut nampak ketidakseimbangan antara nilai premi Pak Ali Rp 80.000, nilai nominal polis yang dikeluarkan BPJS Rp 5000.000, dan perbandingan nilai manfaat yang diterima antara Pak Ali dan Pak Budi sebagai peserta BPJS yang mana Pak Ali telah menerima manfaat Rp 5.000.000 sedangkan Pak Budi sama sekali belum menerima manfaat polis atas kepesertaannya dalam JKN BPJS. Dengan akad hibah (sosial) maka seharusnya bisa menyelamatkan sistem tersebut dari unsur gharar, riba dan maysir sekaligus. Karena ketiga unsur terlarang syariah tersebut bisa muncul dan akan bermasalah pada akad muamalah jual beli (komersil). Meski secara tataran konsep awal sudah sesuai syariah namun dalam implementasi teknis di lapangan masih ditemukan penerapan aturan yang seolah menunjukan adanya inkonsistensi dengan regulasi akadnya. Dalam realitanya kondisi BPJS dalam prakteknya pada saat ini masih ditemukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat karena masih terjadinya inkosistensi antara akad sosial yang tertuang dalam undangundangnya dengan modus transaksi turunannya yang cenderung komersial, prihal yang sempat mencuat diantaranya yakni seputar denda keterlambatan pembayaran angsuran sebesar 2% per bulan bagi yang terlambat membayar premi sesuai ketentuan waktu yang telah ditetapkan, hal ini jelas melanggar ketentuan syariah dan tentu menyelisihi akad hibah yang telah di deklarasikan dalam KNiST, 30 Maret 2017 undang-undang sebelumnya. Prihal lain yang nampak sepele namun tidak sesuai syariah ialah pengumpulan dana BPJS masih menggunakan bank custodian konvensional yang jelas berkontribusi dalam mendukung sistem riba. Spirit yang bias dan tidak sejalan dengan syariah pun bisa dirasakan langsung oleh masyarakat pengguna layanan BPJS Kesehatan dengan masih seringnya menemui kesulitan dan kendala dalam memanfaatkan layanan BPJS dalam proses pengobatan di beberapa klinik maupun rumah sakit(Tarmizi, 2015). Cara sistem kapitasi yang digunakan oleh BPJS Kesehatan dalam membayar sejumlah nominal tertentu di awal periode sesuai tarif terpatok yang telah ditetapkan kepada pihak provider FKTP sangat rentan membuka celah terbukanya unsur gharar yang besar. Pakar muamalat kontemporer Erwandi Tarmizi mengatakan “Sistem pembayaran dari BPJS kepada rumah sakit, klinik dan praktek dokter dengan cara kapitasi yang mengandung unsur gharar tingkat tinggi. Dimana BPJS mematok nominal tertentu untuk rumah sakit Baik pasien berobat ke rumah sakit yang ditunjuk banyak jumlahnya ataupun sedikit. Andai pemegang BPJS yang berobat ke rumah sakit tersebut berjumlah banyak dapat dipastikan rumah sakit tersebut akan mengalami kerugian dan sebaliknya”. Dengan terdapatnya terdapatnya kandungan gharar yang mungkin terjadi dalam sistem kapitasi maka jika cara ini masih tetap akan dipertahankan sebagai solusi pembayaran di FKTP hendaknya pemerintah sebagai regulator mau menampung aspirasi umat islam dan ketentuan syariahnya dengan berupaya memperkecil dengan sekecil mungkin unsur gharar yang mungkin timbul pada sistem kapitasi tersebut. Sejumlah hal harus menjadi perhatian untuk memperkecil gharar yang mungkin timbul sebagaimana penjelasan sebelumnya gharar yang kecil itu tak bisa dihindari dalam setiap transaksi maka itupun dibolehkan. Poin pertama yang bisa di cermati sebagaimana mengacu pada ketentuan Kementerian Kesehatan pada Pasal 4 Permenkes RI No 12 tahun 2016 diketahui penentuan nilai besaran tarif kapitasi ditentukan berdasarkan seleksi dan kredensial. Nilai terukur menjadi penting sebagai penentu obyektifitas sasaran karena biasnya sasaran dalam konteks ini bisa berpengaruh dengan besarnya nilai gharar yang terjadi. Ukuran nilai 286 ISBN: 978-602-61242-0-3 dilakukan dengan menggunakan kriteria teknis yang dilakukan secara bertahap, meliputi (1) sumber daya manusia, (2) kelengkapan sarana dan prasarana, (3) lingkup pelayanan, dan (4) komitmen pelayanan(Kementerian Kesehatan, 2016). BPJS Kesehatan melakukan penetapan kriteria tersebut sebagai intrumen untuk mengukur jenis dan luasnya pelayanan, besaran angka kapitasi yang tepat dan jumlah peserta yang bisa dilayani di wilayah itu agar tepat sasaran dan sesuai antara dana yang diberikan dengan komplektifitas masalahnya. Semakin terukur maka akan semakin menjamin obyektifitas terhadap pengenaan tarif dan menjadi upaya dalam memperkecil timbulnya gharar, namun realita dilapangan implementasi dalam kriteria tersebut masih belum optimal. Poin kedua, Pemerintah harus mengupayakan pihak ketiga yang adil dan independen untuk menjembatani sisi keadilan dan obyektifitas di lapangan terhadap penentuan besaran nilai kapitasi. Hal ini menjadi salah satu solusi yang dikemukakan oleh Erwandi tarmizi selaku pakar Muamalat kontemporer yang menyatakan dalam ulasannya sebagai berikut “Untuk menentukan keadilan kapitasi yang menjadikan kedua belah pihak (BPJS dan penyelenggara kesahatan) tidak terdzolimi hendaklah ditentukan oleh pihak ke-3 yang indenpenden dan adil. Wallahu a‟lam, jika hal tersebut dilakukan maka gharar yang terdapat pada pembayaran BPJS atas pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada peserta BPJS dengan sistem kapitasi menjadi kecil, dan gharar yang nisbahnya kecil dibolehkan sebagaimana yang telah dijelaskan”.(Tarmizi, 2015). Secara faktualnya upaya penentuan besaran nilai kapitasi dengan melibatkan pihak lain yang dianggap berkompeten dan representatif sebetulnya telah dilakukan oleh BPJS Kesehatan. Hal ini mengacu pada ketentuan Kementerian Kesehatan pada Pasal 4 Permenkes RI No 12 tahun 2016 diketahui bahwa besaran tarif kapitasi ditentukan berdasarkan seleksi dan kredensialyang dilakukan oleh BPJS Kesehatan, dinas kesehatan kabupaten/kota, dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan dengan mempertimbangkan kriteria pada sumber daya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan KNiST, 30 Maret 2017 komitmen pelayanan(Kementerian Kesehatan, 2016). Namun sangat disayangkan jika pada regulasi tersebut seolah tidak nampak jelas ada ketegasan posisi pihak lain yang menjadi pihak ketiga tersebut apakah sejajar atau lebih tinggi dalam memutuskan suatu ketentuan dengan pihak yang berkepentingan dalam hal ini institusi BPJS sebagaimana pelaksana JKN. Hal ini menjadi faktor kunci memperkecil gharar sebab menyangkut sisi keadilan, netralitas, independensi, bebas dari konflik kepentingan, intervensi atas keputusan yang dibuat diantara pihak-pihak yang saling dan mungkin menimbulkan konflik kepentingan pada konteks nilai kapitasi ini baiki institusi BPJS maupun penyelenggara faskes. Penentuan sepihak nilai kapitasi dapat merugikan salah satu pihak. Poin ketiga yang tidak kalah penting adalah adanya sinkronisasi kehalalan dalam sudut pandang syariah antara regulasi pada tataran konsep dengan regulasi yang lebih detail semisal dalam pelaksanaan teknis dilapangan. Pada akad BPJS Kesehatan sesuai regulasi tersebut diatas menggambarkan akad yang dilakukan dalam pengumpulan dana dan penyalurannya dalam bentuk manfaat menggunakan akad sosial yang selaras dengan konsep takaful dalam syariah islam. Namun dalam regulasi turunannya kebawah banyak didapati ketidakkonsistenan misal dengan aturan denda keterlambatan dan lainnya yang tidak selaras dengan ketentuan syariah. Gharar dalam kandungan kecil yang masih mungkin timbul sekiranya itu terjadi dan dapat ditolerir jika akad BPJS benar-benar berakad hibah kegotongroyongan (sosial), akan tetapi jika akad BPJS kesehatan menyerupai asuransi konvensional maka yang terjadi adalah gharar yang besar termasuk akan menimpa pada regulasi turunannya seperti pada sistem kapitasi ini.Penerapan kapitasi di BPJS Kesehatan pun masih terindikasi mengandung unsur gharar dengan muatan besar yang bisa menjadi polemik dalam tinjauan syariah islam, dengan pengungkapan fakta ini semoga bermanfaat menjadi bahan kajian mendalam bagi pemerintah selaku regulator dalam memperbaiki sistem yang telah berjalan dan masyarakat muslim merasakan 287 ISBN: 978-602-61242-0-3 ketenangan memanfaatkan layanan BPJS kesehatan ini tanpa dihantui rasa berdosa.Berharap kedepannya terdapat langkah nyata pemerintah duduk bersama bersama para ulama dalam membenahi kompleksitas permasalahan seputar BPJS Kesehatan ini dan merumuskannya kembali berdasarkan ketentuan syariah.. 4. Simpulan Pada pemaparan dari penulis tersaji tersebut diatas mengenai ulasan sistem kapitasi BPJS Kesehatan ini maka dapat penulis simpulkan bahwa polemik syariah dalam peraktek BPJS itu tidak sekedar denda iuran, ketidakkonsistenan antara akad dan modus transaksi semata sebagaimana yang selama ini lebih sering mencuat di ranah publik dan telah diketahui banyak orang namun juga berimplikasi pada hal lain seperti penerapan sistem kapitasinya. Regulasi tertuang pada pasal 4 UU BPJS Nomor 24/2011 secara tersurat menunjukan bahwa akad terbentuknya JKN BPJS Kesehatan ini telah sejalan dengan prinsipprinsip syariah yang di dalamnya mengadung adanya unsur ”kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, dana amanat, dan pernyataan hasil pengelolaan dana jaminan sosial digunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta”. Regulasi yang bagus tersebut belum terimplementasi dalam komersialisasi yang masih terjadi padamodus transaksi turunannya. Pada sisi lain penerapan sistem kapitasi yang digunakan sebagai model pembayaran borongan oleh BPJS kesehatan selaku pengelola dana JKN kepada provider Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama atau FKTP masih terindikai mengandung muatan unsur gharar yang besar. Gharar yang besar merupakan salah satu muamalah yang terlarang dalam syariah Islam. Dengan kajian tulisan ini diharapkan akan membuka wawasan masyarakat luas kedepannya kemudian secara bersama-sama berkontribusi memberikan dorongan publik yang lebih luas untuk perubahan kepada pihak pemerintah dalam memperhatikan aspirasi kemaslahatan masyoritas masyarakat muslim. Penyempurnaan penerapan sistem kapitasi hendaknya berupaya untuk memperkecil gharar yang ada. Gharar yang kecil merupakan hal yang masih dibolehkan dalam syariat. Pemerintah KNiST, 30 Maret 2017 hendaknya melakukan evaluasi secara berkala terhadap nilai ukuran seleksi dan kredensial penetuan nilai kapitasi yang telah di jalankan tersebut maupun proses pelaksanaan nyatanya dilapangan.Pemerintah hendaknya juga harus mengupayakan pihak ketiga yang adil dan independen untuk menjembatani sisi keadilan dan obyektifitas di lapangan terhadap penentuan besaran nilai kapitasi yang bebas dari intervensi maupun konflik kepentingan. Sistem kapitasi akan senantiasa menimbulkan gharar yang besar selama terdapat ketidaksinkronan antara akad sosial yang telah terdeklarasi dalam regulasi di tataran konsep awal terbentuknya jaminan kesehatan sosial (JKN) dengan regulasi turunannya yang bermuatan komersialisasi pada modus transaksinya. Referensi An-Najah, A. Z. (2013, November 14). Jual Beli Gharar. Retrieved Februari 24, 2017, from http://www.ahmadzain.com/read/kar ya-tulis/448/jual-beli-gharar/ BPJS, H. (2017, Maret 15). Siaran Pers. Retrieved Maret 16, 2017, from http://bpjskesehatan.go.id/bpjs/index.php/arsip /categories/Mjg/siaran-pers Humas BPJS Kesehatan. (2011, Oktober 20). Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS. Retrieved Maret 14, 2017, from http://bpjskesehatan.go.id/bpjs/index.php/arsip /view/1 Itang. (Juli 2015). BPJS Kesehatan Dalam Perspektif Ekonomi Syariah. Ahkam Vol XV, No 2 , 153-162. Kesehatan. (2016, Maret 17). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2016. Retrieved Januari 29, 2017, from http://hukor.kemkes.go.id/uploads/pr oduk_hukum/PMK_No._12_ttg_Tarif _Pelayanan_Kesehatan_Dalam_Pro gram_Jaminan_Kesehatan_.pdf Kementerian Kesehatan. (2016, April 20). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2016. Retrieved Januari 29, 2017, 288 ISBN: 978-602-61242-0-3 from http://dinkes.kedirikab.go.id/konten/u u/55569Permenkes%20212016%20Penggunaan%20Dana%20 Kapitasi%20JKN%20untuk%20FKT P%20milik%20PEMDA.pdf Prabowo, H. (2015, September 27). Apa Itu Sistem Pembayaran Kapitasi: Sistem Pembayaran Pada FKTP BPJS. Retrieved Desember 14, 2016, from http://www.pasiensehat.com/2015/0 9/apa-itu-sistem-kapitasipembayaran-bpjs-kesehatan.html Subaily, Y. A. (2009, Juni 30). Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat Dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Modern. Retrieved Januari 31, 2017, from http://fai.umsida.ac.id/tinymcpuk/ga mbar/file/fiqh-muamalahkontemporer.pdf Tarmizi, E. (2015). Harta Haram Muamalat Kontemporer. Jakarta: Berkat Mulia Insani Publishing. KNiST, 30 Maret 2017 289