KATA PENGANTAR Perikanan budidaya dengan segala potensi pengembangan dan sumber daya alam yang mendukung, memiliki peluang menjadi salah satu pilar dalam Ketahanan Pangan dan Gizi dan sebagai penggerak perekonomian nasional. Disamping itu, perikanan budidaya juga memiliki banyak peluang untuk menyediakan lapangan usaha dan menyerap tenaga kerja dan mampu diusahakan secara berkelanjutan. Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, segala kelebihan yang dimiliki oleh sector perikanan budidaya harus terus digali dan dikembangkan sehingga produk perikanan budidaya mampu bersaing dengan kualitas yang tinggi dan jumlah yang memenuhi kebutuhan pasar. Untuk mendukung hal tersebut, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menyelenggarakan kegiatan INDONESIAN AQUACULTURE (INDOAQUA) 2014 dengan tema “PERIKANAN BUDIDAYA UNTUK BISNIS DAN KETAHANAN PANGAN” yang telah dilaksanakan pada tanggal 26 – 29 Agustus 2014 di Hotel Atlet Century (Seminar) dan di Parkir Timur Senayan (Pameran) INDOAQUA 2014, merupakan ajang yang diharapkan mampu menjadi media komunikasi bagi pelaku perikanan budidaya melalui pengenalan hasil-hasil perekayasaan teknologi, pameran dan temu bisnis di bidang perikanan budidaya. Ada 6 (enam) kelompok seminar yang diselanggarakan selama INDOAQUA 2014, yaitu (1) Kelompok Udang, (2) Kelompok Rumput Laut, Kerapu, Baronang dan Bawal Bintang, (3) Kelompok Bandeng, Kakap, Nila dan Sidat, (4) Kelompok Ikan Hias, Mutiara dan Abalone, (5) Kelompok Catfish, Gurame, Mas dan Jelawat, (6) Kelompok Pendukung Akuakultur (Lingkungan, Pakan, Probiotik, Penyakit dan Monitoring Minapolitan). Prosiding ini berisi makalah lengkap materi seminar yang dilaksanakan selama penyelenggaraan INDOAQUA 2014. Semoga prosiding ini, dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pembudidaya dan seluruh pihak terkait dengan perikanan budidaya, sehingga mampu mendorong pengembangan perikanan budidaya yang berkelanjutan dan maju. Bogor, November 2014 Penyusun DAFTAR ISI NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 JUDUL PERFORMA PEMIJAHAN BAWAL BINTANG (Trachinotus blochii) DENGAN PERBEDAAN PERBANDINGAN JANTAN DAN BETINA PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) PADA CLEARING WATER SYSTEM MELALUI TEKNIK KOMBINASI PENGAYAAN PAKAN MENINGKATKAN PRODUKSI KERAPU DENGAN STIMULUS DOUBLE-VAKSIN AKLIMATISASI BIBIT RUMPUT LAUT KOTONI (Kappaphycusalvarezii) HASIL KULTUR JARINGAN DI PERAIRAN TELUK GERUPUK KABUPATEN LOMBOK TENGAH. APLIKASI LATOH (CAULERPA LENTILLIFERA) SEBAGAI BIOFILTER UNTUK PENGENDALIAN INFESTASI PARASIT PADA INDUK KERAPU EFEKTIVITAS CARA PEMBERIAN VAKSIN CAPRIVAC VIBRIN-L TERHADAP RESISTENSI IKAN BERONANG LADA (Siganus guttatus) TERHADAP PENYAKIT VIBRIOSIS MEMBANGKITKAN PRODUKTIVITAS TAMBAK TRADISIONAL PULAU KECIL DI SULAWESI SELATAN MELALUI DIVERSIFIKASI KOMODITAS PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN BERONANG (Siganus.sp) BUDIDAYA KERAPU (Epinephelus sp.) DI TAMBAK SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA SKALA KECIL MASYARAKAT PESISIR PANTAI PENINGKATAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii MELALUI PEMANFAATAN PUPUK PROVASOLI’S ENRICH SEAWATER (PES) PENGEMBANGAN BIBIT RUMPUT LAUT (Gracilaria sp.) YANG DIPELIHARA DI LAUT MELALUI PENEMPELAN SPORA PADA TALI POLYETHYLENE (PE) PENAMBAHAN EGG STIMULAT OR DALAM PAKAN UNTUK MEMACU PEMATANGAN GONAD INDUK F1 IKAN BERONANG LADA (Siganus guttatus) PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA IKAN 1 10 27 37 53 64 105 121 137 150 159 176 13 14 15 16 17 18 19 BAWAL BINTANG (Trachinotus blochii) DI KERAMBA JARING APUNG GUNA MENDUKUNG PROGRAM INDUSTRIALISASI PERIKANAN BUDIDAYA PENGGUNAAN NANNOCHLOROPSIS GEL DALAM PEMELIHARAAN LARVA IKAN BERONANG (Siganus guttatus) MENINGKATKAN KEUNTUNGAN USAHA BUDIDAYA LELE SUPERINTENSIF TEKNOLOGI BIOFLOC DENGAN PEMANFAATAN LIMBAHNYA UNTUK BUDIDAYA TUBIFEX DISEMINASI PENGGUNAAN VAKSIN:PENINGKATAN PRODUKTIVITAS BENIH LELE DI UNIT PEMBENIHAN SKALA RUMAH TANGGA MELALUI GERAKAN VAKSINASI IKAN (GERVIKAN) FORMULASI PAKAN MURAH BERKUALITAS UNTUK PEMBESARAN LELE SANGKURIANG INTENSIFIKASI BUDIDAYA PATIN (PANGASIANODON HYPOPTHALMUS) SKALA INDUSTRI DENGAN SISTEM KOLAM DALAM UPAYA MENINGKATKAN NILAI TAMBAH LAHAN UGADI DAN UGAMEDI MELALUI PENDEDERAN LELE SANGKURIANG DENGAN MEMANFAATKAN WAKTU PENYELANG POTENSI INDIGENOUS BACTERIA PENGHASIL ENZIM AMILASE PADA BUDIDAYA GURAME (Osphronemus gouramy) 189 205 214 224 230 238 244 PERFORMA PEMIJAHAN BAWAL BINTANG (Trachinotus blochii) DENGAN PERBEDAAN PERBANDINGAN JANTAN DAN BETINA Sarwono, Taufan Haryono, M. Imron Balai Perikanan Budidaya Laut Lombok JL. Jenderal Sudirman, No.21, P.O. Box 128, Praya, Lombok Tengah ABSTRACT Spawning of silver pompano (Trachinotus blochii)can be done by natural or hormonal stimulation through HCG hormone injection with the dose of 250 IU/kg. Egg produced in hormonal stimulation were varied both in quantity and quality. When broodstock mated, the quantity and quality of egg released were influenced by the ratio of male and female. Based on this condition, therefore it was required to investigate sex ratio in relation with spawning performance of silver pompano. The trials were conducted within several spawning cycles on February 2012-June 2014 at Lombok Marine Aquaculture Development Center, Sekotong, West Lombok. As soon as the broodstock injected 2 times, they were then gathered in spawning tank (capacity of 8 - 10 m3). Spawning process usually occured at the night (between 07.00-09.00 PM). The ratio of male and female involved in the were as follows : - male : female : 1 : 1 - male : female : 1,5 : 1 - male : female : 2 : 1 - male : female : 2,5 : 1 Spawning at different sex ratio showed the best result was at the composition of 2,5 male : 1 female with fertilization rate of 93,33%, following by 2 male : 1 female with fertilization rate of 85,71%, and 1,5 male : 1 female with fertilization rate of 47,17%. The lowest result was on ratio 1 male : 1 female with fertilization rate of 21,63%. During spawning period, fecundity of silver pompano’s broodstock was around 111.583-196.000 eggs/fish. Keywords: silver pompano, spawning, sex ratio of broodstock, fertilization rate, fecundity. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 1 PENDAHULUAN Bawal Bintang merupakan ikan introduksi dari Taiwan dan merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai prospek pemasaran yang cukup baik dengan harga pemasaraan yang cukup ekonomis dengan harga pasaran 60.000-70.000/kg (kondisi hidup) dan segar dengan kisaran harga 45.000-50.000/kg. Dengan meningkatnya permintaan pasar mendorong berkembangnya kegiatan budidaya di Karamba Jaring Apung sehingga ketersediaan benih siap tebar dalam jumlah yang cukup harus tetap tersedia dari kegiatan pembenihan. Didalam kegiatan pembenihan ketersediaan telur yang berkualitas sangat dibutuhkan dan harus kontinyu sehingga dapat mendukung ketersediaan benih untuk kegiatan pembesaran. Pemijahan bawal bintang dapat dilakukan secara alami dan dengan rangsangan hormonal (hormon HCG) yang diberikan dengan ijeksi dengan dosis 250 IU/kg. Dari Pemijahan yang telah dilakukan telur yang dihasilkan masih fluktuatif baik dari jumlah maupun kualitasnya setiap kali melakukan pemijahan. Upaya untuk memperbaiki kualitas telur yang dihasilkan perbaikan pakan yang diberikan dan pemberian multivitamin secara kontinyu. Pada waktu pemijahan jumlah induk, perbandingan antara jantan dan betina juga mempengaruhi kuantitas dan kualitas telur yang dihasilkan. Dengan melihat kendala – kendala yang ada, maka perlu adanya perekayasaan performa pemijahan bawal bintang (Trachinotusblochii) dengan perbedaan komposisi antara jantan dan betina. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbandingan antara jantan dan betina yang ideal pada pemijahan induk bawal bintang. Sasaran yang hendak dicapai diantaranya mendapatkan tingkat pembuahan > 50 % dari total telur bawal bintang yang dihasilkan. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 2 BAHAN DAN METODE Kegiatan perekayasaan dilakukan pada bulan Februari 2012 -Juni Tahun 2014 di Balai Budidaya Laut Lombok, Sekotong, Lombok Barat. Peralatan yang digunakan dalam kegiatan perekayasaan adalah sebagai berikut : - Bak beton dengan volume 10-15 m3 sebanyak 4 buah. - Karamba Jaring Apung HDPE dan Jaring untuk pemeliharaan induk dan pematangan gonad - Kolektor telur. - Selang kanulasi - Spuit - Peralatan kerja : ember, gayung, keranjang, scopnet,sikat dll Bahan yang digunakan untuk kegiatan perekayasaan, sebagai berikut : - Induk bawal bintang Ukuran 1,2-2,8 kg sebanyak 80 ekor. - Ikan segar dan Cumi-cumi - Multivitamin - Hormon HCG - Minyak cengkeh/ethyline glikol - Vitamin C - Kaporit - Bahan-bahan lainya. a. b. Proses penanganan induk dan pemijahan : Persiapan Bak Pemijahan Sebelum digunakan terlebih dahulu bak dan peralatan yang dipakai seperti selang aerasi, batu aerasi, timah pemberat dan peralatan lainnya direndam dengan kaporit kemudian dicuci sampai bersih. Hal ini dilakukan untuk mensterilkan semua peralatan supaya bebas dari penyakit seperti bakteri dan jamur. Seleksi Tingkat Kematangan Gonad Seleksi tingkat kematangan gonad dengan tujuan untuk memilih induk yang siap untuk dipijahkan, seleksi dilakukan dengan selang kanulasi. Sebelum induk diseleksi terlebih dahulu di bius dengan menggunakan minyak cengkeh dengan dosis 0,05 ml/literdiaduk sampai merata selama 2-3 menit. Setelah induk lemah/tidak agresif seleksi dilakukan dengan cara memasukan selang kanula kedalam lubang urogenetalnya 2-3 cm kemudian selang dihisap dan ditarik secara perlahan-lahan, apabila ada cairan putih kental berarti induk BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 3 tersebut jantan dan siap dipijahkan, sedangkan untuk induk betina yang matang gonad : berwarna bening/ kekuningan berbentuk butiran dan sudah terpisah. c. Penyuntikan hormon Setelah mendapatkan jumlah induk yang matang gonad sesuai yang diinginkan induk dilakukan penyuntikan pertama dengan menggunakan hormon HCG dengan dosis 250 IU/kg pada bagian punggung sebelah kanan, dan dilakukan penyuntikan yang kedua pada besok pagi ( 23-24 jam) pada punggung bagian kiri atau sebalikanya bergantian dengan penyuntikan pertama dengan dosis yang sama 250 IU/kg. Kemudian induk di masukan kedalam bak pemijahan. d. Pemijahan Setelah induk jantan dan betina disuntik dikumpulkan pada bak pemijahan (kapasitas 8 m3) dan dapat diisi 3-5 pasang induk dengan sex rasio 1 :1 pemijahan biasanya terjadi pada waktu malam hari (antara jam 18.00-24.00 WIB). Secara norma induk tersebut akan memijah setelah 12-41 jam dari penyuntikan terakhir (Ditjenkan Budidaya, 2008). e. Pengaturan komposisi jantan dan betina saat pemijahan. Pada perekayasan komposisi pemijahan ikan bawal bintang antara jantan dan betina sebagai berikut : Komposisi jantan dan betina : 1 banding 1 Komposisi jantan dan betina : 1,5 banding 1 Komposisi jantan dan betina : 2 banding 1 Komposisi jantan dan betina : 2,5 banding 1 - Pengumpulan data : a) Perhitungan telur Telur hasil pemijahan akan terkumpul pada kolektor telur di bak penampungan telur, telur dipanen pada pagi hari atau 10-11 jam setelah pemijahan dan dikumpulkan diakuarium dan dilakukan perhitungan jumlahnya : = Jumlahtelursampel 1000 ml X Xvolume bak/akuarium. Banyaknyasampel volsampel (ml ) BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 4 b) Derajat Fertilisasi telur Setelah dilakukan perhitungan telur kemudian telur diseleksi, telur yang bagus : terapung atau melayang berwarna transparan sedangkan telur yang jelek berwarna putih dan mengendap pada dasar, perhitungan telur yang bagus/fertil sebagai berikut : = Jumlahtelurbagus X100 % Jumlahtotaltelur HASIL DAN PEMBAHASAN Pemijahan Induk dan Kualitas Telur Dari hasil kegiatan pemijahan induk bawal bintang dengan perbandingan jantan dan betina yang berbeda dihasilkan data seperti tercantum pada Tabel 1. No 1 Tabel 1 : Data hasil pemijahan bawal bintang dengan perbandingan jantan dan betina yang berbeda. Perbandingan rata-rata Komposisi Jumlah tidak jantan betina bagus fekunditas Jantan dan telur bagus telur/ekor betina Fertilis asi telur (%) A (1 :1) 6 6 710.000 230.000 480.000 118.333 32,39 A (1 :1) 7 7 460.000 50.000 410.000 65.714 10,87 B (1,5 : 1) 9 6 485.000 60.000 425.000 80.833 12,37 B (1,5 : 1) 9 6 854.000 700.000 154.000 142.333 81,97 3 C (2 : 1) 10 5 980.000 840.000 140.000 196.000 85,71 4 D (2,5 : 1) 13 5 925.000 856.000 69.000 185.000 92,54 D (2,5 : 1) 13 5 630.000 572.000 58.000 126.000 90,79 D (2,5 : 1) 7 3 580.000 560.000 20.000 193.333 96,55 2 BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 5 Rata-rata 62,90 Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa setiap pemijahan ikan bawal bintang dengan perbandingan jantan dan betina yang berbeda menunjukkan perbandingan yang terbaik pada komposisi jantan dan betina 2,5 : 1 dengan hasilkan rata-rata telur 715.000 butir dengan derajat pembuahan 93,33 % dengan rata-rata fekunditas telur 168.111 butir/ekor . Pada perbandingan jantan banding betina 2 : 1 dihasilkan telur 980.000 butir dengan derajat pembuahan sebesar 85,71 % dengan rata-rata fekunditas telur 196.000 butir/ekor. Perbandingan antara jantan dan betina 1,5 : 1 menghasilkan telur 669.500 butir dengan rata-rata fekunditas telur 111.583 butir/ekor dengan rata-rata derajat pembuahan 47,17 %. Hasil terendah diperoleh pada perbandingan jantan dan betina 1 : 1 dengan jumlah rata-rata tekur 585.000 butir dengan rata-rata fekunditas telur 21,63 % dari dua kali pemijahan. Dari delapan kali pemijahan yang dilakukan, rata-rata derajat pembuahan induk bawal bintang 62,90 %. 1,200,000 1,000,000 800,000 jml 600,000 bagus 400,000 jelek 200,000 A (1 :1) A (1 :1) B (1,5 : 1)B (1,5 : 1) C (2 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1) Gambar 1 : Jumlah telur bawal bintang (Trachinotus blochii) pada pemijahan perbedaan komposisi jantan dan betina. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 6 Derajat pembuahan (%) 120.00 100.00 81.97 85.71 92.54 90.79 96.55 80.00 60.00 32.39 40.00 10.87 20.00 12.37 A (1 :1) A (1 :1) B (1,5 : 1) B (1,5 : 1) C (2 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1) Gambar 2 : Derajat pembuahan bawal bintang ( Trachinotus blochii) pada pemijahan perbedaan komposisi jantan dan betina. rata-rata fekunditas telur/ekor 250,000 196,000 200,000 150,000 142,333 118,333 100,000 65,714 193,333 185,000 126,000 80,833 50,000 A (1 :1) A (1 :1) B (1,5 : 1) B (1,5 : 1) C (2 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1) D (2,5 : 1) Gambar 3 : Rata-rata jumlah fekunditas telur/ekor bawal bintang (Trachinotus blochii) pada pemijahan perbedaan komposisi jantan dan betina Dari Gambar 1 dan 2 dapat dilihat perbandingan antara jantan dan betina 2,5 : 1 menunjukan yang terbaik dari jumlah telur yang dihasilkan, derajat pembuahan dan rata-rata fekunditas telur dari jumlah betina yang dipijahkan, diikuti dengan 2 banding 1 ; 1,5 banding 1 dan yang terakhir 1 banding 1. Dengan jumlah jantan dua setengah kali jumlah betina menyebabkan induk betina mendapatkan rangsangan/lawan pemijahan BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 7 lebih banyak dari lawan jenisnya sehingga jumlah sperma yang dikeluarkan oleh jantan lebih banyak, sehingga derajat pembuahan yang di hasilkan lebih baik, karena secara umum berat induk jantan lebih kecil dibandingkan induk betina, dengan kisaran berat induk jantang 1,2-1,6 kg/ekor dan induk betina 1,4-2,8 kg/ekor. Dari Gambar 3 dapat dilihat fekunditas telur yang dihasilkan setiap ekornya masih fluktuatif hal ini disebabkan dari musim pemijahan (Maret- Oktober) dan rangsangan induk jantan pada saat pemijahan sehingga dapat merangsang induk betina lebih banyak mengeluarkan telur pada saat pemijahan. Kualitas Air Media Pemijahan Induk Selama pemijahan, air terus mengalir/flowtrhough dengan menggunakan pipa goyang untuk mengatur ketinggian air pada bak pemijahan, dengan debet air ≥ 1,38 liter/detik. Dari pengukuran kualitas air, diperoleh hasil bahwa kualitas air masih bagus dan layak untuk kegiatan pemeliharaan ikan. Hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Parameter kualitas air selama pemijahan induk bawal bintang Parameter Suhu pH Salinitas Oksigen terlarut (DO) Kisaran 27-30,5 °C 7,9-8,1 33-35 ppt 5,1-6,0 mg/liter Sumber : Lab Keskanling, 2012 BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 8 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil percobaan induk bawal bintang dengan komposisi jantan dan betina berbeda dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. 2. 3. Perbandingan antara jantan dan betina yang terbaik pada pemijahan bawal bintang dengan perbandingan 2,5 banding 1 dengan derajat pembuahan/Fertilisasi telur 93,33 % dengan rata-rata fekunditas telur 168.111 butir/ekor. Dengan jumlah jantan lebih banyak dari betina dapat memberikan rangsangan kepada betina untuk memijah dan mengeluarkan telur lebih banyak pada waktu pemijahan. Tingkat pembuahan rata-rata yang dicapai 62,90 % dari target 50%. Saran Disarankan perbandingan jantan dan betina 2,5 : 1 bila berat (ukuran) induk jantan lebih kecil dari betina. DAFTAR PUSTAKA Aquaculture Asia Magazine, April-Juni 2008,Breeding and seed productionof silver pompano (Trachinotus blochii, Lacepede) at the Mariculture Development Center of Batam. page 47. Ditjenkan Budidaya, 2008 . Teknik Pembenihan Ikan Bawal Bintang, BBLBatam halaman 83 Hartanto, N; Tinggal Hermawan, Juniyanto NW dan Fernando 2009. Teknik Budidaya Ikan Bawal Bintang , BBL-Batam . BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 9 PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) PADA CLEARING WATER SYSTEM MELALUI TEKNIK KOMBINASI PENGAYAAN PAKAN YANG BERBEDA Hamsah Amiruddin dan Sunarto Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon Jl. Laksda Leowatimena Waeheru - Ambon MALUKU 97232 ABSTRACT This engineering was conducted on Mariculture Development Center Ambon from March to Mei 2013 to know growth and survival rate of Humpback Grouper larvae which maintained on clearing water system with difference enrichment diet.2 treatment was used, combined fitoplankton Nannochloropsis 5 x 106 sel/ml and multivitamin 2 g (treatment A) dan combined fitoplankton Nannochloropsis 5 x 106 sel/ml, multivitamin 2 g and fish oil 10 ml (treatment B). Humpback Grouper larvae were maintained in 2 concrete ponds (capacity of 8000 L) and were feed by diet (rotifers) enrichment from D-3 up to D-16 with frequency 2 time/day. 30 individual larvae were taken randomly every day since its hatched until day 16 (D-16). Measurement were done on the larvae, include ; growth with measure total length body (mm) and larvae which survive until at the age of 16 day (D-16). The data were processing and analyzed with Exell program. The result showed that absolutely growth rate of larval with diet enrichment were, D-0 to D-3 was 0,174 mm/day (treatment A) and 0,173 mm/day (treatment B); while from D-3 to D-7 was 0,069 mm/day (treatment A) and 0,091 (treatment B); and from D-7 to D-16 was 0,310 mm/day (treatment A) and 0,341 mm/day (treatment B). On the average the relative growth rate was 0,0757 mm/day (treatment A) and 0,0807 mm/day (treatment B). Instantaneously growth rate (G) for treatment A was 0,067 mm/day and 0,072 mm/day (treatment B). Survival rate (SR) of treatment B was High with valued 2,77 % (2.492 ind.), while treatment A wih value 0,25 % (226 ind.). By combination diet enrichment fitoplankton Nannochloropsis 5 x 106 sel/ml, multivitamin 2 BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 10 g and fish oil 10 ml (treatment B) showed the growth and survival rate of Humpback Grouper larvae more high than treatment A (fitoplankton Nannochloropsis 5 x 106 sel/ml and multivitamin 2 g). Key Words : Growth Rate, Survival Rate, Larval of Humpback Grouper, Clearing Water System, diet Enrichment PENDAHULUAN Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Tingginya harga jual jenis ikan kerapu ini di pasaran menyebabkan tingkat eksploitasinya di alam menjadi semakin tinggi pula. Agar dapat memenuhi kebutuhan pasar pada komoditas ikan Kerapu Bebek dari tahun ke tahun yang terus meningkat, maka langkah atisipatif yang perlu dilakukan adalah melalui usaha budidaya yang dikembangkan secara luas dan berkelanjutan. Guna mendukung usaha tersebut maka perlu dilakukan upaya pembenihan baik melalui Hatchery Skala Besar maupun Hatchery Skala Rumah Tangga. Usaha pembenihan ikan kerapu Bebek (C. altivelis) di Indonesia sudah berkembang cukup pesat, dan umumnya menggunakan sistem pemeliharaan dengan green water system. Standar operasional prosedur (SOP) pemeliharaan larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) pada green water system adalah melalui injeksi fitoplankton pada media pemeliharaan larva dengan volume yang cukup besar. Akan tetapi ketika stok fitoplankton terbatas, terutama ketika terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi sebagaimana yang terjadi di kota Ambon, maka kultur fitoplankton skala massal sering mengalami kematian. Hal ini sangat mempengaruhi suplai fitoplankton pada media-media pemeliharaan larva. Oleh karena itu maka dibutuhkan sistem pemeliharaan alternatif dengan clearing water system yaitu suatu sistem pemeliharaan tanpa suplai fitoplankton pada media pemeliharaan larva dan sistem pemeliharaan ini hanya mengandalkan cara kombinasi sumber/jenis pengaya pakan (rotifer) yang tepat. Namun perlu diketahui pengaruh sistem pemeliharaan larva ini terhadap BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 11 pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan Kerapu Bebek yang dipelihara. Oleh karena itu maka perekayasaan ini mengangkat judul tentang “Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) pada Clearing Water System Melalui Teknik Kombinasi Pengayaan Pakan Yang Berbeda”. Perekayasaan ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang dipelihara pada clearing water system dengan menerapkan teknik kombinasi pengayaan pakan (rotifera). Diharapkan perekayasaan ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat atau pelaku-pelaku usaha pembenihan ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) tentang alternatif sistem pemeliharaan larva pada kondisi stok fitoplankton yang terbatas. BAHAN DAN METODE Perekayasaan ini dilaksanakan Di Balai Budidaya Laut Waiheru-Ambon pada bulan Maret - Mei 2013 secara indoor untuk pemeliharaan dan pengamatan kelangsungan hidup larva serta laboratorium untuk pengamatan pertumbuhan larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis). Larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) dipelihara dalam bak beton kapasitas 8 m3 (8000 liter) tanpa melalui injeksi fitoplankton pada bak pemeliharaan tersebut. Larva umur 3 hari (D-3) diberi pakan alami berupa rotifer yang terlebih dahulu diperkaya kandungan nutrisinya selama 3 - 6 jam, dengan menggunakan kombinasi Fitoplankton Nannochloropsis 5 x 106 sel/ml dan multivitamin 2 gr (perlakuan A), sedang untuk perlakuan B menggunakan kombinasi fitoplankton Nannochloropsis sp. 5 x 106 sel/ml, multivitamin 2 gr dan minyak ikan 10 ml. Kepadatan awal larva yang di tebar pada bak pemeliharaan adalah sebesar 15 ind/liter (90.000 ind./6000 m3). Sampel larva diambil secara acak pada masing-masing bak sebanyak 30 individu setiap hari selama 16 hari (D-0 sampai dengan D-16). Parameter yang diamati meliputi panjang total larva (pertumbuhan) dari D-0 sampai dengan D-16 (Fuiman and Werner, 2002) dan jumlah larva yang mampu bertahan hidup (survival rate/SR) selama 16 hari masa pemeliharaan (Khouw, 2010). Data pertumbuhan larva BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 12 diperoleh dengan bantuan mikroskop Olympus perbesaran 100 kali yang dilakukan di laboratorium dan diolah serta dianalisis dengan program Exell. Pertumbuhan larva yang dianalisis adalah Laju Pertumbuhan Mutlak (Absolute Growth Rate), Laju Pertumbuhan Relatif (Relative Growth Rate) dan laju pertumbuhan seketika (Instantaneous Growth Rate) (Khouw, 2008). HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Pertumbuhan larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang dipelihara pada clearing water systembaik perlakuan A dan B dikategorikan masih cukup baik, dimana rata-rata panjang total larva setelah 16 hari pemeliharaan yaitu 5.264 ± 0.617 mm (perlakuan A) dan5.631 ± 0.665 mm (perlakuan B). Laju pertumbuhan mutlak larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) pada umur D-0 sampai D-3 dikedua perlakuan masih relatif lebih besar daripada umur D-4 sampai D-7 (tabel 1). Hal ini terjadi karena larva masih mempunyai cadangan makanan dari kuning telur yang dibawanya (endogenous feeding) dan cadangan makanan ini sesuai dengan nutrisi yang dibutuhkan oleh larva untuk bertumbuh. Menurut Slamet (1990), pada umur D-0 sampai D-3 pertumbuhan larva sangat tergantung pada cadangan makanan dari kuning telur yang dibawanya dan kemampuan larva untuk memangsa rotifera (pakan dari luar/ eksogenous feeding) untuk pertama kalinya. Pada umur D-3 sampai D-7 terlihat laju pertumbuhan mutlak pada kedua perlakuan terlihat lebih rendah jika dibandingkan dengan periode D-0 sampai D-3. Hal ini terjadi karena larva masih menyesuaikan diri dengan pakan yang berasal dari luar tubuh (eksogenous feeding). Akan tetapi dengan berjalannya waktu/masa pemeliharaan larva, setelah periode D-7 sampai dengan D-16 terlihat bahwa laju pertumbuhan mutlak larva di kedua perlakuan mulai mengalami peningkatan. Peningkatan laju pertumbuhan mutlak tersebut terjadi sebagai akibat larva sudah dapat menyesuaikan diri dengan pakan yang diberikan. Selain itu, kuantitas maupun kualitas pakan yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan larva untuk bertumbuh secara optimal. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 13 Tabel 1. Laju Pertumbuhan Mutlak Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Perlakuan A Perlakuan B (mm/hari) (mm/hari) 0 – 3 hari 0.174 0.173 3 – 7 hari 0.069 0.091 7 – 16 hari 0.310 0.341 Umur Larva Makanan sangat berperan dalam pertumbuhan yaitu untuk menyediakan bahan mentah untuk proses metabolisme guna menghasilkan sel-sel baru untuk jaringan, otot dan organ yang sedang tumbuh. Apabila makanan sudah cukup tersedia dari segi kuantitas maupun kualitas maka selanjutnya suhu akan berperan dalam mempercepat proses metabolisme makanan tersebut(Romihartanto dan Juwana, 2004). Slamet dkk. (1996) menyatakan bahwa devisit sumber nutrisi larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) terjadi ketika larva berumur 3 – 8 hari (D-3 sampai dengan D-8). Hal tersebut dapat terjadi jika pada waktu tersebut larva tidak dapat mengkonsumsi pakan dari luar atau pakan yang kandungan nutrisi yang tidak sesuai dengan kebutuhan larva. Rata-rata laju pertumbuhan relatif larva adalah sebesar 0,0757 mm/hari (perlakuan A) dan 0,0807 mm/hari (perlakuan B) (tabel 2). Tingginya rata-rata laju pertumbuhan relatif pada perlakuan B terjadi sebagai akibat perbedaan perlakuan pengayaan pakan (rotifera) karena pada perlakuan B selain kombinasi pengayaan dengan menggunakan fitoplankton Nannochloropsis dan multivitamin, juga ditambahkan minyak ikan dalam proses pengayaan pakan tersebut. Sedangkan pada perlakuan A hanya menggunakan kombinasi antara fitoplankton Nannochloropsis dan multivitamin saja. Penambahan minyak ikan BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 14 10 ml dalam proses pengkayaan pakan (rotifer) menyebabkan kandungan nutrisi pakan (rotifer) semakin tinggi dan tentu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang dipelihara. Menurut Watanabe (1988), pengayaan pakan (rotifera) dengan menggunakan minyak ikan dapat meningkatkan pertumbuhan larva ikan laut. Selain itu, tingginya laju pertumbuhan relatif pada perlakuan B, karena larva dapat memanfaatkan pakan secara optimal dan nilai nutrisi pakan tersebut sesuai dengan kebutuhan larva. Hal ini sejalan dengan pernyataan Effendie (1979) bahwa pertumbuhan individu akan terjadi apabila ada kelebihan energi dan asam amino yang berasal dari makanannya setelah digunakan untuk metabolisme dasar, pergerakan, perawatan bagian tubuh, dan mengganti sel yang rusak. Tabel 2. Laju Pertumbuhan Relatif Larva Kerapu Bebek (C. altivelis). Umur Perlakuan A Perlakuan B (hari) (mm/hari) (mm/hari) 1 0.2578 0.2560 2 0.0212 0.0215 3 0.0226 0.0214 4 0.0173 0.0252 5 0.0393 0.0622 6 0.0291 0.0142 7 0.0345 0.0558 8 0.0609 0.0946 9 0.0427 0.1207 10 0.1205 0.0240 BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 15 11 0.1390 0.1234 12 0.0510 0.0585 13 0.0982 0.2013 14 0.1182 0.0148 15 0.0629 0.0808 16 0.0967 0.1172 Rata-rata 0.0757 0.0807 Hasil perhitungan laju pertumbuhan seketika terlihat bahwa rata-rata laju pertumbuhan seketika larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) pada pada perlakuan A sebesar 0,0673 mm/hari, sedang pada perlakuan B sebesar 0,0713 mm/hari (tabel 3). Tabel 3. Laju Pertumbuhan Relatif Larva Kerapu Bebek (C. altivelis). Umur Larva Perlakuan A Perlakuan B (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) 1 0.229 0.228 2 0.021 0.021 3 0.022 0.021 4 0.017 0.025 5 0.039 0.060 BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 16 6 0.029 0.014 7 0.034 0.054 8 0.059 0.090 9 0.042 0.114 10 0.114 0.024 11 0.130 0.116 12 0.050 0.057 13 0.094 0.183 14 0.112 0.015 15 0.061 0.078 16 0.092 0.111 Rata-rata 0.0673 0.0713 Berdasarkan hasil perhitungan laju pertumbuhan seketika dapat diketahui bahwa pertumbuhan larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang dipelihara selama kegiatan perekayasaan berlangsung menunjukan model pertumbuhan yang yang eksponensial pada kedua perlakuan (Gambar 1 dan 2), dimana untuk Perlakuan A diperoleh panjang larva ketika baru menetas (L0) adalah 1,677 mm dan laju pertumbuhan seketika (G) sebesar 0,067 mm/hari sehingga pertumbuhannya membentuk persamaan Lt = 1,677 e 0,067(t), sedangkan pada perlakuan B, dimana panjang larva ketika baru menetas adalah 1,676 mm dan laju partumbuhannya (G) sebesar 0,072 mm/hari sehingga membentuk persamaan Lt = 1,676 e0,072(t). BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 17 6.000 y = 1.677e0.067x TL (mm) 5.000 4.000 3.000 Kontrol 2.000 Expon. (Lt) 1.000 0.000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 t (hari) Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Yang Dipelihara Pada Perlakuan A 6.000 TL (mm) 5.000 y = 1.676e0.072x 4.000 3.000 Perlakuan B 2.000 Expon. (Lt) 1.000 0.000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 t (hari) Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Larva Ikan Kerapu Bebek (C.altivelis) Yang Dipelihara Pada Perlakuan B BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 18 Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa laju pertumbuhan seketika (G) pada larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang dipelihara dengan penambahan minyak ikan 10 ml (perlakuan B) pada proses pengayaan pakan (rotifera) memiliki laju pertumbuhan seketika yang lebih tinggi daripada perlakuan A. Menurut Djajasewaka (1985), Fungsi utama pakan adalah untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Pakan yang dimakan oleh ikan pertamatama digunakan untuk kelangsungan hidup dan apabila ada kelebihan maka akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) membutuhkan pakan dengan kandungan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhannya. Nutrisi yang harus terkandung dalam pakan ikan adalah protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Dalam perekayasaan ini semua unsur nutrisi pakan yang dibutuhkan larva sudah terkandung dari hasil kombinasi jenis/bahan pengaya rotifera yang digunakan. Sehingga ketika proses pengayaan rotifer dilakukan maka semua unsur nutrisi tersebut telah terkandung dalam rotifera yang akan diberikan pada larva. No Jenis Nutrisi Nilai Nutrisi No Jenis Nutrisi Nilai Nutrisi 1 Protein 54,8 % 22 Biotin 0,5 mg 2 Lemak 13,2 % 23 Inositol 200 mg 3 Serat 0,5 % 24 Cholin 350 mg 4 CHO 24,3 % 25 Arginin 2,82 g 5 Abu 7,2 % 25 Lisin 2,82 g 6 Klorofil 2,6 mg 27 Histidin 1,05 g 7 Karotin 68 mg 28 Fenil Alanin 4,8 g BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 19 8 Xantrofil 92 mg 29 Tirosin 1,51 g 9 Kalsium 250 mg 30 Leusin 3,92 g 10 Magnesium 240 mg 31 Isoleusin 1,89 g 11 Besi 150 mg 32 Metionin 0,55 g 12 Potasium 1000 mg 33 Valin 2,87 g 13 Fosfor 1950 mg 34 Alanin 3,70 g 14 Vit B12 0,4 mg 35 Glisin 2,95 g 15 Vit B2 6,5 mg 36 Prolin 1,60 g 16 Vit B6 1,0 mg 37 Asam Glutamik 7,35 g 17 Vit C 51 mg 38 Serin 1,89 g 18 Miasin 20 mg 39 Threonin 2,06 g 19 Y-Tokopherol 19 mg 40 Asam Arpartik 4,37 g 20 Asam Pantothenik 2,5 mg 41 Triptofan 1,04 g 21 Asam Folik 0,04 mg 42 Kistin 0,51 g Tabel 4. Jenis dan Nilai Nutrisi Fitoplankton Nannochloropsis, Yang Digunakan Dalam Pengayaan Rotifera Sumber : Chlorella Industry Co., Ltd BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 20 Tabel 5. Jenis dan Kandungan Multivitamin Yang Digunakan Dalam Pengayaan Rotifera No Jenis Nutrisi Nilai Nutrisi 1 Vit. B1 1 gm 2 Vit. B2 3 gm 3 Vit. B6 0,7 gm 4 Vit. B12 2 mg 5 Vit. E 3 gm 6 Vit. K3 0,1 gm 7 β karotine 8 Cholecalciferol 0,5 gm 9 Nicotinic acid 10 gm 10 Folic acid 0,3 gm 11 Biotin 50 mg 12 Cal. Pantothenate 1 gm 13 Inositol 10 gm 14 PABA 7 gm 1 gm Sumber : Wallance Pharmaceutical Co., Ltd BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 21 Tabel 6. Jenis dan Nilai Nutrisi Minyak Ikan Yang Digunakan Dalam Pengayaan Rotifera No Jenis Nutrisi Nilai Nutrisi 1 Vit. A 3.000.000 IU/KG 2 Vit. D 300.000 IU/KG 3 Vit. E 15.000 mg/KG 4 Vit. K3 10.000 mg/KG 5 EPA/DHA 1,45 Sumber : Geunchem Biotechnology Co., Ltd Kandungan nutrisi rotifera dikayakan selama 3-6 jam dalam perekayasaan ini ternyata masih cukup baik karena mampu memberikan pertumbuhan tubuh larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang dipelihara. Setelah dipelihara selama 16 hari larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) mengalami pertumbuhan hingga mencapai ukuran panjang total tubuh tertinggi pada perlakuan B yaitu sebesar 5,631 ± 0,665 mm, sedang pada perlakuan A sebesar 5,264 ± 0,219 mm. Aprilia (2008) juga mengemukakan bahwa pertumbuhan larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) setelah dipelihara selama 16 hari adalah berukuran panjang total tubuh sebesar 5,5 ± 0,2 mm. Protein merupakan komponen utama pembentukan jaringan dan organorgan tubuh ikan. Djajasewaka (1985) menyatakan bahwa protein dengan kandungan asam aminonya diperlukan untuk pertumbuhan, pemeliharaan jaringan tubuh, pembentukan enzim dan hormon serta antibodi. Selain itu, protein juga berfungsi sebagai sumber energi. Protein pada perekayasaan ini diperoleh larva dari hasil bioenkapsulasi dalam proses pengayaan rotifera dengan menggunakan fitoplankton Nannochloropsis. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 22 Lemak berfungsi sebagai sumber energi. Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005), lemak berperan sebagai sumber energi terutama pada ikan karnivora. Selain itu, lemak berperan dalam pembentukan struktur sel dan membran subseluler dan merupakan sumber asam lemak esensial. Menurut Suwirya, dkk., (2002), ikan laut membutuhkan asam lemak dari golongan linolenat (n-3). Lemak pada perekayasaan ini diperoleh larva ikan Kerapu Bebek dari hasil bioenkapsulasi rotifera dengan menggunakan minyak ikan. Karbohidrat merupakan salah satu komponen sumber energi. Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005), ikan tidak mempunyai kebutuhan karbohidrat secara khusus, tetapi akan tumbuh lebih baik apabila pakan yang diberikan mengandung karbohidrat. Dalam perekayasaan ini, karbohidrat diperoleh larva dari hasil bioenkapsulasi rotifera dengan menggunakan fitoplankton Nannochloropsis dan ragi roti yang digunakan sebagai pakan pada kultur massal rotifera. Vitamin adalah senyawa organik yang esensial bagi ikan karena digunakan untuk perbaikan, pertumbuhan, reproduksi, kesehatan dan pemacu metabolisme didalam tubuh ikan. Menurut Khairuman dan Amri (2002), beberapa jenis vitamin yang dibutuhkan oleh ikan dan harus terdapat dalam pakan antara lain vitamin A, vitamin C, vitamin D3, vitamin E, vitamin K, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B12, Cholin dan inositol.Vitamin pada perekayasaan ini diperoleh larva dari hasil bioenkapsulasi rotifera dengan kombinasi bahan pengaya fitoplankton (Nannochloropsis), multivitamin dan minyak ikan. Mineral merupakan elemen anorganik yang dibutuhkan oleh ikan dalam pembentukan jaringan dan berbagai fungsi metabolisme dan osmoregulasi. Mineral juga diperlukan untuk menjaga kesehatan tulang, gigi, dan sisik. Khairuman dan Amri (2002) menyatakan bahwa jenis mineral yang sangat dibutuhkan oleh ikan adalah Posfor, Kalsium, Magnesium, Besi, Tembaga, Natrium, Kalium, Alumenium dan Seng. Dalam perekayasaan ini kebutuhan mineral oleh larva diperoleh dari hasil bioenkapsulasi rotifera dengan menggunakan fitoplankton (Nannochloropsis). Dari hasil kombinasi bahan pengaya yang dilakukan pada perekayasaan ini terlihat jelas bahwa pertumbuhan larva kerapu bebek (C. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 23 altivelis) yang dipelihara pada clearing water system masih cukup baik karena larva mampu bertumbuh hingga mencapai ukuran panjang total tubuh sebesar 5,264 ± 0,219 mm (perlakuan A) dan 5,631 ± 0,665 mm (perlakuan B). Kelangsungan Hidup (SR) Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Kelangsungan Hidup (SR) larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) setelah 16 hari masa pemeliharaan pada clearing water system masih cukup baik. Kelangsungan hidup (SR) larva tertinggi dijumpai pada perlakuan B yaitu sebesar 2,77 % (2.492 ind.), sedang perlakuan A yaitu sebesar 0,25 % (226 ind.). Tingginya kelangsungan hidup (SR) larva pada perlakuan B diduga sebagai akibat pengayaan pakan (rotifera) dengan penambahan minyak ikan yang sesuai dengan kebutuhan larva untuk bertahan hidup selama masa pemeliharaan larva berlangsung. Menurut Watanabe (1988), minyak ikan yang digunakan dalam proses pengayaan rotifera dapat meningkatkan vitalitas dan kelangsungan hidup larva ikan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan Kerapu Bebek (C.altivelis) yang dipelihara pada clearing water system lebih tinggi apabila diberi pakan (rotifera) yang diperkaya kandungan nutrisinya dengan menggunakan kombinasi pengayaan pakan Fitoplankton Nannochloropsis, multivitamin dan minyak ikan. Saran Perlu pengkajian lebih lanjut tentang alternatif sistem pemeliharaan larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) pada clearing water system khususnya menyangkut cara meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva yang dipelihara yaitu dengan lebih memaksimalkan kombinasi pengayaan pakan (rotifera) misalnya dengan menggunakan minyak ikan yang berasal dari bahan/sumber yang lain. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 24 DAFTAR PUSTAKA Afrianto, E. dan E. Liviawaty, 2005. Pakan Ikan. Kanisius, Yogyakarta. Anonim, 2013. Chlorella Nutrition. Pacific Trading Aquaculture. Chlorella Industry, Ireland. Anonim, 2013. PUFA emulsion. Supplement unsaturated Fatty Acids for Shrimp Artemia and Rotifer Enrichment. Genchem Biotechnology, Taiwan. Anonim, 2013. Eikoso. Special Vitamin Formula for Aquaculture. Wallance Pharmaceutical, Taiwan. Aprilia T, 2008. Aplikasi Pengkayaan Rotifera Dengan Asam Amino Bebas Untuk Larva Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis). Djajasewaka H., 1985. Pakan Ikan (Makanan Ikan). Cetakan-I. Penerbit Yasaguna. Jakarta Effendie, I. M., 2004. Pengantar Aquakultur. Penebar Swadaya, Bogor. Fuiman L. A. and Werner R.G., 2002. Fishery Science The Unique Contributions of Early life stages. Blackwell Science Ltd Oxford. Khairuman dan K. Amri, 2002. Membuat Pakan Ikan Konsumsi. P.T. AgroMedia Pustaka, Jakarta. Khouw, A.S., 2008. Ekologi Kuantitatif Sumberdaya Perairan, Ambon Romihartanto K. dan Juwana, 2004. Meroplankton Laut ; Larva Hewan Laut Yang Menjadi Plankton. Djambatan, Yogyakarta. Slamet B., A. Trijoko, T. Prijoyo, Setiadharma dan K.Sugama, 1996. Penyiapan Nutrisi Endogen. Tabiat Makan dan Perkembangan Morfologi Larva Kerapu Bebek. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Denpasar. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 25 Suwirya K. N.A. Giri dan M. Marzuqi, 2002. Pengaruh Asam Lemak Esensial Terhadap Sintasan dan Vitalitas Larva Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Watanabe T., 1988. Larval Diets. Fish Nutrition and Mariculture. JICA Textbook the General Aquaculture Course. Department of Aquatic Biosciences, Tokyo University of Fisheries, Tokyo. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 26 MENINGKATKANPRODUKSI KERAPU DENGAN STIMULUSDOUBLE-VAKSIN Evri Noerbaeti, I.G. Pattipeilohy, Wa Nuraini, Johanis Bakarbessy Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon Jl. Laksda Leowatimena Waeheru - Ambon MALUKU 97232 ABSTRACT The disease is one of the prohibitive factor in increasing fish production. The method of treatment is considered by far the most effective is vaccination, with the aim to stimulate the body's natural defenses against infection process. Although not directly affect the fish growth, other effects of vaccination reported to increase the fish growth. But until now there has been produced in the form of a cocktail vaccine that is in one ampoule of vaccine consists of several types of antigens that can increase immunity against some diseases that are more effective and efficient in its application. Application of doublevaccine efforts are alternative ways of unavailability of vaccine cocktail with the aim of increasing production by increasing the immune grouper to support growth. Vaccination double-vaccine applied to humpback grouper seed size of 8 cm. The vaccine used is IridoV (AquaVac) and Vibrio Caprivac-L (Caprifarmindo) were injected via ip (intra peritoneal) respectively at the base of the pectoral fin with a dose of 0.1 ml / tail and pelvic fin with a dose of 0.05 ml / tail. Seeds kept in KJA week after the boosters. Long time maintenance for 3 months with observation of the survival rate, specific growth rate, relative growth rates. The results showed that the application of the double-vaccine can be able to maintain the survival rate to 86% greater than non-vaccine is 76%, with a specific growth rate reaches 1.34% / day for double-vaccine group and 1.20% / day for fish that are not vaccinated. While average growth relative weight of fish that double-vaccine reaches 230%, and were not vaccinated only 190%. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 27 Vaccination is also able to increase the total biomass of humpback grouper 10000 g/m3 to 28644 g/m3 into the stocking density 500/m3 during 3 months. The conclusion that application of the double-vaccine in the vaccination humpback grouper can improve survival and prevent infection iridovirus and vibriosis, increasing the length and weight growth, and increase production / biomass grouper and more effective and efficient in terms of time and effort Keywords : double-vaccine, growth, survival rate PENDAHULUAN Perikanan budidaya saat ini dianggap merupakan sektor yang prospektif untuk dikembangkan karena potensinya yang besar. Sebagai ilustrasi, untuk memenuhi kebutuhan 9 miliar populasi manusia di tahun 2050 yang akan datang, produksi perikanan dunia perlu meningkat hingga 133 persen dari angka yang diproduksi saat ini, atau dengan kata lain kebutuhan produk akuakultur akan meningkat dari 67 juta ton pada tahun 2012 menjadi 140 juta ton pada 2050. Prospek yang sangat luar biasa ini diprediksi akan menjadi pemacu bagi pembangunan ekonomi negara-negara yang memiliki hasil maritim yang melimpah seperti di wilayah Asia Tenggara. Dalam beberapa dekade terakhir, di Asia Tenggara telah terjadi pertumbuhan produksi aquakultur yang cepat serta mampu meningkatkan pendapatan rata-rata negaranya. Terdapat peningkatan permintaan produk perikanan yang tinggi terhadap ikan-ikandari kelompok grouper, kakap merah snapper, kakap putih dan beronang dengan harga pasar yang lebih tinggi. Dampak ini menyebabkan budidaya ikan Karamba Jaring Apung (KJA) telah semakin meluas perkembangan ke negara-negara Asia Tenggara seperti Pilipina, Thailand ,Vietnam, Malaysia dan Indonesia. Dengan berkembangnya intensifikasi aquakultur di banyak negara ini telah mendorong kejadian penyebaran berbagai penyakit dengan relatif cepat danmerupakan salah satu dari faktor penghalang untuk dapat mendukung produksi perikanan, terutama selama tahap pemeliharaan larva dan benih dari komoditas yang dibudidaya (Yukio,2007). Menurut Lio-Po et all, 2001, munculnya suatu penyakit pada organisme disebabkan oleh adanya interaksi triple (tiga unsur) yang bekerja secara bersamaan, yaitu unsur lingkungan, patogen dan inang. Suatu penyakit akan muncul jika terjadi pola hubungan BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 28 yang tidak seimbangantara unsur patogen, inang dan lingkungan. Bila kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan kondisi yang mendukung kehidupan inang, misalnya adanya bahan pencemar sehingga kualitas air menjadi menurun maka hal ini akan memacu suatu keadaan tertekan (stres) bagi organisme inang. Kondisi stres ini akan memicu penurunan daya tahan tubuh ikan yang dibudidayakan, dandisaat bersamaan pathogen penyakit akan mudah menyerang. Dengan kata lain, kondisi lingkungan yang menurun, pathogen penyakit menjadi lebih ganas dan daya tahan tubuh inang menurun adalah kondisi yang sangat memungkinkan timbulnya penyakit pada kegiatan budidaya ikan. Belajar dari beberapa kasus serangan penyakit yang dapat menyebabkan kerugian akibat mortalitas yang sangat tinggi seperti penyakit viral maupun bakterial, perlu diantisipasi dengan tindakan pencegahan dan pengendalian. Tidak ada jenis antibiotik dan kemoterapi lain yang dapat digunakan untuk pengobatan penyakit viral, sementara pengendalian untuk penyakit bakterial berdampak buruk pada terciptanya bakteri resisten antibiotik. Pencegahan merupakan tindakan lebih efektif untuk pengendalian penyakit. Metode pencegahan sejauh ini yang dianggap paling efektif adalah vaksinasi, dengan tujuan untuk merangsang kekebalan alami tubuh terhadap proses infeksi. Kekebalan yang diperoleh biasanya berlangsung dalam jangka waktu yang lama artinya dengan sekali atau dua kali pemberian vaksin maka kekebalan yang diperoleh dapat bertahan untuk satu periode pemeliharaan. Beberapa jenis vaksin untuk ikan laut telah banyak diproduksi seperti vaksin VNN, polyvalen Vibrio, Caprivac vibrio-L, StrepSi, IridoV dan lain-lain. Hasil aplikasi vaksin yang pernah diujicobakan disamping peningkatan kekebalan tubuh, juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan meski hal tersebut merupakan pengaruh tidak langsung (Isnansetyo dkk., 2010). Pengaruh terhadap pertumbuhan pernah diamati dalam skala laboratorium pada aplikasi vaksin Polyvalen Vibrio terhadap ikan kerapu macan di Balai Budidaya Laut Ambon menunjukkan pertumbuhan ikan kerapu yang divaksin cenderung lebih tinggi dibanding dengan ikan yang tidak divaksin dengan Pertumbuhan Spesifik (Spesifik Growth Rate/SGR) dari benih kerapu macan BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 29 yang vaksin mencapai 3,35 %/hari jika dibandingkan dengan yang tidak divaksin yaitu 2,10 %/hari (BBL Ambon., 2010). Namun vaksin-vaksin terhadap ikan laut yang beredar dipasaran merupakan single-vaksin dengan target meningkatkan kekebalan hanya pada penyakit tertentu. Kekurangan dari aplikasi single-vaksin adalah harus dilakukan pada waktu yang berbeda dan tentunya memakan waktu, tenaga serta dapat menyebabkan stress pada ikan karena terlalu sering dihandling untuk aplikasi beberapa vaksin. Hingga saat ini belum diproduksi vaksin dalam bentuk cocktail yaitu dalam satu ampul vaksin terdiri dari beberapa jenis antigen yang dapat meningkatkan kekebalan terhadap beberapa penyakit. Sehingga untuk mengefisienkan waktu dan tenaga saat proses vaksinasi maka perlu dilakukan kaji terap aplikasi double-vaksin pada ikan dalam waktu yang bersamaan dengan tujuan meningkatkan kekebalan tubuh guna menunjang pertumbuhan ikan dengan harapan terjadi peningkatan produksi budidaya kerapu. BAHAN DAN METODE Vaksinasi double-vaksin dilakukan terhadap benih kerapu bebek ukuran 8 ±1 cm dan berat 20 ±2 g sebanyak 500 ekor dengan menggunakan 2 (dua) jenis vaksin yang diinjeksi secara bersamaan. Jenis vaksin yang digunakan adalah IridoV (AquaVac) untuk kekebalan terhadap iridovirus dan Caprivac Vibrio-L (Caprifarmindo) untuk kekebalan terhadap Vibrio sp. Injeksi dilakukan dengan menggunakan injector (spuit) steril kapasitas 10 ml. Aplikasi vaksin dilakukan secara injeksi melalui ip (intra peritoneal) pada pangkal sirip pelvicdan pangkal sirip pectoral dimana masing-masing diinjeksi dengan vaksin yang berbeda. Dosis vaksin yang diinjeksi sebanyak 0.05 ml/ekor vaksin IridoV dan 0.1 ml/ekor vaksin Caprivac vibrio-L, kemudian dilakukan booster/vaksin ulang satu minggu berikutnya. Benih dibesarkan di keramba jaring apung ukuran 3 x 3 x 3 m3 seminggu setelah divaksin ulang (booster). Pemberian pakan berupa rucah diberikan 2 kali sehari sebanyak 10% per hari. Sampling benih dilakukan secara acak sebulan sekali sebanyak 15%. Lama waktu pengamatan adalah 3 bulan pemeliharaan dengan parameter pengamatan terkait peningkatan produksi adalah sintasan dan pertumbuhan. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 30 a. Derajat Kelangsungan Hidup (Sintasan) Derajat kelangsungan hidup (SR) menurut Zonneveld et al., (1991), dihitung dengan rumus : SR = (Nt / No) x 100% Keterangan : SR = Derajat Kelangsungan Hidup (%) Nt = Jumlah ikan yang hidup diakhir pengamatan (ekor) No = jumlah ikan di awal pengamatan (ekor) b. Laju Pertumbuhan Relatif Laju pertumbuahan relatifmenurut rumus Huisman (1976) dalam Effendie (1979) dihitung dengan rumus : PR = ( Wt – Wo / Wo ) x 100% Keterangan : PR = Laju Pertumbuhan Relatif (%) Wo = Berat rata-rata ikan pada awal pengamatan (g) BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 31 Wt = Berat rata-rata ikan pada akhir pengamatan (g) c. Laju Pertumbuhan Spesifik (SGR) Laju pertumbuhan spesifik menurut Zonneveld et.al., (1991), dihitung dengan rumus : SGR =( LnWt –LnWo / t ) x 100% Keterangan : SGR = Laju Pertumbuhan Spesifik (%) Wo = Berat rata-rata ikan pada awal pengamatan (g) Wt = Berat rata-rata ikan pada akhir pengamatan (g) t = Jumlah waktu selama pengamatan (hari) HASIL DAN PEMBAHASAN Dari sisi efesiensi waktu dalam mengaplikasi vaksinasi double-vaksin diperoleh waktu yang lebih singkat dibandingkan kondisi yang sama pada aplikasi single-vaksin. Bila pada aplikasi double-vaksin, waktu yang diperlukan hingga benih siap ditebar di KJA hanya memerlukan waktu sekitar 2 minggu sementara pada aplikasi single-vaksin untuk vaksinasi 2 jenis vaksin saja maka dapat memakan waktu hingga 4 minggu. Efisiensi waktu didapat karena aplikasi 2 jenis vaksin yang berbeda dapat diaplikasikan dalam waktu yang bersamaan, sementara perolehan sintasan dan pertumbuhan pada aplikasi BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 32 double-vaksin tidak berbeda dengan hasil yang pernah diperoleh pada aplikasi single-vaksin. Hasil menunjukkan bahwa aplikasi double-vaksin dapat mampu mempertahankan sintasan benih hingga 86% lebih besar dibandingkan benih non vaksin yaitu sebesar 76% (Gambar 1). Hasil ini lebih tinggi dibandingkan ujicoba yang pernah dilakukan oleh Lestari dkk (2009) di Situbondo terhadap benih kerapu macan yang divaksin polivalen vibrio, dimana nilai SR nya mencapai 68,165 % dan tanpa vaksin 50 % pada pemeliharaan selama dua bulan di KJA. Mortalitas yang terjadi selama uji coba berlangsung bukan disebabkan oleh adanya infeksi iridovirus maupu vibriosis yang kerap menginfeksi ikan yang dipelihara di KJA. Mortalitas yang terjadi lebih disebabkan oleh infestasi ektoparasit Neobedenia sp. Frekuensi infestasi Neobedenia sp. kerap terjadi pada ikan-ikan yang dipelihara di KJA dibandingkan benih yang dipelihara di instalasi pendederan BPBL Ambon. Dilaporkan sejak bulan Maret hingga Mei 2014, infestasi jenis ini menyerang kerapu bebek ukuran benih hingga gelondongan yang dipelihara di KJA. Bloomingnya jenis ini di perairan terkait dengan memburuknya kualitas air disebabkan oleh kondisi musim pancaroba yang terjadi saat itu. Sintasan (%) 100 90 80 70 double-vaksin 60 non vaksin 50 1 2 3 Waktu (bulan) Gambar 1. Sintasan kerapu bebek yang didouble-vaksin dan non vaksin Disamping tidak hanya meningkatkan sintasan, vaksin dapat berpengaruh pada meningkatnya pertumbuhan ikan. Hal ini terlihat dari Laju BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 33 Pertumbuhan Spesifik (Spesifik Growth Rate/SGR) benih kerapu bebek yang diberi perlakuan double-vaksin mencapai 1.34 %/hari jika dibandingkan dengan yang tidak divaksin yaitu 1.20 %/hari. Rerata pertumbuhan berat relatif ikan yang didouble-vaksin mencapai 230%, sedangkan ikan yang tidak divaksin hanya 190%. Seiring dengan meningkatnya sintasan maka pertumbuhan berat kerapu yang divaksin juga meningkat (Gambar 2). Pertumbuhan Relatif (%) 250 200 150 100 50 0 double-vaksin non vaksin berat 230 190 panjang 92 90 Gambar 2. Pertumbuhan relatif ikan kerapu bebek yang didouble-vaksin dengan non vaksin Meningkatnya pertumbuhan berat maka total biomassa ikan juga mengalamipeningkatan. Rerata biomassa kerapu yang didouble-vaksin mencapai 28644 kg atau 29 kg, sedangkan ikan yang tidak divaksin hanya 22098 kg atau 22 kg. Hasil ini menunjukkan bahwa vaksinasi dapat meningkatkan produksi kerapu bebek hingga 38%. KESIMPULAN 1. 2. Vaksinasi double-vaksin lebih efektif dan efisien ditinjau dari segi waktu Aplikasi vaksinasi double-vaksin pada kerapu bebek dapat meningkatkan sintasan dan mencegah infeksi iridovirus dan vibriosis. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 34 3. Disamping meningkatkan sintasan, vaksinasi pada ikan kerapu dengan double-vaksin meningkatkan pertumbuhan berat, serta meningkatkan produksi/biomassa kerapu. DAFTAR PUSTAKA Balai Budidaya Laut Ambon, 2010. Laporan Tahunan 2010. Pengendalian Hama Penyakit Ikan dan Lingkungan. BBL Ambon 2010. Chi, S.C, 2006, Piscine Nodavirus Infection in Asia, Department of Life Science andInstitute of Zoology, National Taiwan University Dennis K. G, Dong J. L, Gun W. B, Hee J. Y, Nam S. S, Hwa Y. Y, Cheol Y. H, Jun H. P, Se C. P , 2006, Detection of betanodaviruses in apparently healthy aquarium fishes and invertebrates, Zoonotic Disease Priority Research Institute, and College of Veterinary Medicine, Seoul National University, Seoul 151-742, Korea Isnansetyo, A., Kamiso H.N., Murwantoko, Triyanto dan M. Murdjani. 2006. Efikasi vaksin vibrio polivalen untuk pengendalian vibriosis pada budidaya kerapu. Disampaikan pada Seminar Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Kerapu 2006, BPPT, Serpong,31 Agustus 2006. Jutono, Hartadi, S. Kabiru S. Susanto, Judoro, Suhadi (1975), Mikrobiologi Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta, Fakultas Pertanian UGM. 192 hal. Lestari, Y., B. Hanggono., G. Triastutik dan Fatmawati. 2009. Efektifitas Aplikasi Vaksin Polivalen Untuk Mencegah Vibriosis pada Budidaya Ikan Kerapu Macan di Karamba Jaring Apung (KJA). Materi Pelatihan Vaksinasi dan Hematologi Ikan Kerapu. BBAP Situbondo. Lio-Po, G. D, C. R. Lavilla, E. R. Cruz-Lacierda. 2001. Health Management in Aquaculture. Aquaculture Department Southeast Asian FisheriesDevelopment Centre. Tigbauan. Hoilo. Philipines. 187p. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 35 Sano, M., Minagawa, M., Sugiyama, A. and Nakajima, K. 2000. Susceptibility of fish cultured in subtropical area of Japan to red seabream iridovirus. Fish Pathol. 36: 38-39. Sano, M., Minagawa, M. and Nakajima, K. 2002. Multiplication of red seabream iridovirus (RSIV) in the experimentally infected grouper Epinephelus malabaricus. Fish Pathol. 37: 163-168. Zooneveld, N (1991), Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta. 235 hal. Yuasa, Kei, 2003. Panduan Diagnosa Penyakit Ikan. Balai Budidaya Air Tawar Jambi, Ditjen Perikanan Budidaya, DKP dan JICA Yukio M, Leobert d. De la peña and Erlinda R. Cruz-lacierda, 2007. Susceptibility of Fish Species Cultured in Mangrove, Southeast Asian Fisheries Development Center(SEAFDEC) (Tigbauan 5021, Iloilo, Philippines) BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 36 AKLIMATISASI BIBIT RUMPUT LAUT KOTONI (Kappaphycusalvarezii) HASIL KULTUR JARINGAN DI PERAIRAN TELUK GERUPUK KABUPATEN LOMBOK TENGAH. Rusman, Ujang Komarudin, dan Supriadi Balai Perikanan Budidaya Laut Lombok JL. Jenderal Sudirman, No.21, P.O. Box 128, Praya, Lombok Tengah ABSTRACT The declining of seaweed production recently was probably caused by genetically degenerated quality of seedling stocks and extreme fluctuations of water environment. Acknowledging these causes, providing seaweed seedlings with desirable properties including highly adaptability to water environments, high growth rate and resistance to diseases is key step to upsurge the seaweed production. One approach to produce such seedlings is by using tissue culture technique. Thus, this study was conducted to observe acclimatization process of seedling stocks produced by tissue culture technique. This study was conducted in Gerupuk bay, Sengkol, Pujut, Central Lombok, from April to December 2013. The result showed that the thallus grew quite fast, 0.5 to 1 gram or 2-3 cm. grown in acclimatization tank, the microalgae could grow up to 3-5 gr with 90% survival rates. After being grown in open sea, the seaweed grew to average weight 60 gram after 1 month. Keywords: Acclimatization, seaweed seedlings, tissue culture technique. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 37 PENDAHULUAN Produksi rumput laut kotoni (Kappaphycus alvarezii) akhir-akhir ini mengalami penurunan produksi di setiap kawasan budidaya. Penurunan produksi rumput laut ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi perairan yang sering mengalami perubahan. Perubahan ini diakibatkan kondisi musim juga tidak stabil, sehingga berpengaruh pada kondisi kestabilan perairan. Selain itu, kemungkinan juga disebabkan oleh terjadinya degradasi kualitas bibit rumput laut yang disebabkan oleh penggunaan bibit rumput laut yang berulang-ulang dengan cara stek. Selain itu, bibit yang diperoleh secara vegetatif seringkali menyebabkan penurunan variabilitas genetik yang dapat mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, menurunnya rendemen karaginan dan kekuatan gel serta menurunnya ketahanan terhadap penyakit. Beberapa upaya teleh dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam budidaya rumput laut tersebut. Antara lain melakukan pengamatan/pengukuran kondisi lingkungan perairanuntuk mengetahui tingkat perubahan yang terjadi. Melakukan upaya perbaikan kualitas bibit yang digunakan dengan mencari sumber bibit yang baru, baik dari alam maupun dari hasil perekayasaan. Salah satunya upaya melalui hasil perekayasaan adalah memproduksi bibit dari hasil kultur jaringan. Kultur jaringan rumput laut adalah salah satu upaya memperbaiki performa bibit rumput laut baik dari segi pertumbuhan dan fisiknya. Hasil kultur jaringan ini perlu dilakukan tahap adaptasi dengan kondisi lingkungan perairan laut yang sebenarnya setelah mendapatkan perlakukan khusus dalam laboratorium seperti nutrisi, suhu dan lainnya. Oleh karena itu, tahap aklimatisasi bibit rumput laut hasil kultur jaringan ini dianggap penting dalam menghasilkan bibit yang mempunyai kualitas yang lebih baik. Kegiatan ini bertujuan melakukan aklimatisasi bibit rumput laut kotoni hasil kultur jaringan hingga ke perairan laut. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 38 BAHAN DAN METODOLOGI Kegiatan perekayasaan ini dilaksanakan pada bulan April – Desember 2013 di Perairan Gerupuk Dusun Gerupuk Desa Sengkol Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah dan di Balai Budidaya Laut Lojuh generasi mbok Instalasi Gerupuk Sarana dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan perekayasaan adalah sebagai berikut: - Bak beton 2 buah dan keranjang gantung 1 buah. - Keranjang 2 buah dan rakit bambu apung 2 buah - Peralatan pengukur kualitas air dan timbangan digital Bahan yang digunakan adalah bibit rumput laut hasil kultur jaringan. Metode pemeliharaan dan adaptasi dilakukan dengan 2 tahap : A. Tahap adaptasi awal dan pembesaran dalam wadah kecil Dalam tahap ini dilakukan dengan dua cara yaitu : 1) Adaptasi dalam keranjang gantung di perairan laut Konstruksi keranjang dibuat agar dapat ditaruh dalam perairan laut dengan menggunakan tali gantungan dan ditutup dengan jaring agar rumput laut kuljar tidak keluar. Keranjang yang digunakan disesuaikan dengan banyaknya bibit yang akan diadaptasi awal. Ukuran size lubang keranjang maksimal 1 cm. Lubang keranjang yang besar sebaiknya dilapisi jaring tipis (waring). Keranjang dibersihkan setiap 2 hari sekali, jika terdapat kotoran dan lumut yang menempel pada keranjang gantung tersebut. Keranjang gantung ini ditempatkan pada perairan dengan arus yang tidak terlalu kuat yaitu antara 5 – 10 cm/det dengan gelombang 30 cm. Gelombang dan arus yang kuat dapat mengakibatkan terbaliknya keranjang, sehingga dapat mengganggu tahap adaptasi. 2) Adaptasi dalam bak di darat Bak yang digunakan dapat terbuat dari beton maupun fiber. Bak disi air laut dengan tinggi maksimal 60 cm. Dalam bak terdapat keranjang untuk menempatkan rumput laut hasil kultur jaringan. Bak yang telah dilengkapi dengan sistem sirkulasi air laut (inlet dan outlet) langsung. Air laut yang masuk langsung ke dalam keranjang. Aerasi disimpan ditaruh dalam keranjang, dimana aerasi berfungsi sebagai penyedia oksigen dan sebagai pembangkit arus dalam keranjang. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 39 Rumput laut hasil kultur jaringan yang berasal dari laboratorium (ukuran 3 – 5 cm dengan berat 0,5 – 1 gram) ditaruh dalam keranjang selama 2 – 4 minggu. Sedangkan di dalam bak dilakukan untuk mengetahui daya tahan hidupnya. Gambar 1. Aklimatisasi awal di bak. B. Tahap adaptasi di perairan laut Bibit yang telah diadaptasi awal, dilakukan adaptasi lanjutan di perairan terbuka. Dalam tahap adaptasi ini, sarana yang digunakan adalah rakit. bambu apung, dengan pertimbangan keamanan bibit. Bibit yang telah mencapai bobot 3 – 5 gram dan minimal 3 cabang thallus serta diameter thallus 0,5 cm dapat diikatkan pada tali ris bentang. Pengikatan bibit sebaiknya menggunakan tali raffia (telah dibelah 3 bagian) atau plastik es yang telah dipilin. Penanaman bibit dilakukan selama 1 bulan dengan pengontrolan setiap hari. Demikian pula dengan rumput laut kontrol dilakukan pembudidayaan hampir sama dengan rumput laut uji. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 40 Parameter uji a. Perhitungan pertumbuhan mutlak Bobotpertumbuhan akhir= Bobotakhir – Bobotawal b. Tingkat kelangsungan hidup Nt SR = ---------------- x 100 % No HASIL DAN PEMBAHASAN Adaptasi dalam keranjang gantung Proses adaptasi ini dilakukan di dalam keranjang yang digantung di dekat karamba jaring apung untuk budidaya ikan. Dari hasil adaptasi dalam keranjang yang ditaruh di laut yang dilakukan menunjukkan bobot akhir mencapai rata-rata 3,705 gram dalam 1 bulan dengan bobot awal antara 0,3 0,6 gram. Bobot terbesar diperoleh sebesar 5,2 gram dan bobot terkecil diperoleh sebesar 2,9 gram. Kenaikan pertumbuhan bibit rumput laut hasil kultur jaringan tersebut diperoleh rata-rata 10,01 kali dari bobot awal. Tingkat kehidupan (SR) yang diperoleh adalah 95%. Kematian bibit rumput laut kuljar yang terjadi disebabkan karena terjepitnya thallus rumput laut di sela-sela lubang keranjang. Bibit yang terjepit mengalami kehilangan pigmen, kemungkinan karena terputusnya aliran nutrine, selanjutnya menjadi putih dan putus. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 41 Rata-rata bobot (gram) Grafik pertumbuhan pada keranjang gantung 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1 2 3 4 5 Pengamatan (minggu) Gambar 2. Pertumbuhan bibit kultur jaringan dalam keranjang gantung di laut. Keunggulan dari metode ini adalah, tidak membutuhkan aerasi sebagai pembangkit arus dan pembawa nutrien. Sedangkan kelemahan yang didapatkan dengan metode ini adalah ketergantungan pada kondisi perairan laut yang terjadi sangat tinggi, sehingga jika kondisi perairan yang buruk akan berdampak pada proses adaptasi rumput laut hasil kultur jaringan, seperti naiknya suhu perairan, turunnya salinitas akibat hujan dan lainnya. Hambatan lainnya dalam proses aklimatisasi di perairan laut seperti gelombang tinggi, arus kuat dan lainnya, yang dapat mengganggu kestabilan keranjang dalam perairan. Hasil pemeriksaan kualitas air laut selama masa pemeliharaan dalam keranjang yang digantung dalam perairan laut, menunjukkan kondisi perairan yang sesuai dengan pertumbuhan rumput laut. Dimana suhu perairan laut ratarata 29 oC, salinitas perairan rata-rata 33 ppt, DO perairan rata-rata 5 ppm, dan pH rata-rata 8. Arus perairan yang terjadi selama masa pemeliharaan antara 5 – 15 cm/det dengan gelombang antara 0 – 20 cm. Kecerahan perairan diperoleh 100% selama pengukuran. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 42 Parameter kualitas air 40 35 30 Nilai 25 20 suhu 15 salinitas pH 10 DO 5 0 1 2 3 4 Pengukuran (minggu) Gambar 3. Kondisi kualitas perairan laut di lokasi keranjang gantung Pemeliharaan dalam bak Hasil pemeliharaan dalam bak diperoleh hasil yang hampir sama dengan pemeliharaan di dalam keranjang yang digantung dalam perairan laut. Pertumbuhan yang diperoleh dari bobot awal 0,3 – 0,5 gram diperoleh bobot akhir rata-rata 3,05 gram dalam masa pemeliharaan 1 bulan. Bobot tertinggi diperoleh sebesar 3,7 gram dan bobot terendah diperoleh sebesar 2,8 gram. Kenaikan pertumbuhan bibit rumput laut hasil kultur jaringan tersebut diperoleh rata-rata 9,94 kali dari bobot awal. Adapun tingkat SR rumput laut kuljar dalam bak juga diperoleh 95 %. Sama dengan keranjang gantung di laut, kematian bibit juga disebabkan terjepitnya thallus di keranjang. Tingkat pertumbuhan bibit kultur jaringan dapat dilihat pada grafik pertumbuhan di bawah ini : BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 43 Grafik pertumbuhan pada bak 3.5 Bobot (gram) 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1 2 3 4 5 Pengamatan (minggu) Gambar 4. Pertumbuhan bibit kultur jaringan dalam keranjang di bak. Kelebihan yang dapat diperoleh dari pemeliharaan bibit dalam bak ini adalah kondisi air laut dapat dimanupulasi, terutama suhu. Suhu perairan yang tinggi dapat dicegah dengan menutup air laut masuk ke dalam bak, sehingga suhu dapat dijaga. Umumnya sering terjadi pada siang dan sore hari, sehingga kematian bibit dapat dicegah akibat fluktuasi suhu. Pemeliharaan dalam bak sebagai wadah stocking di darat, jika kondisi perairan laut kurang baik bagi pertumbuhan rumput laut seperti adanya badai yang dapat menyebabkan kerontokan dan kematian bibit dilaut, yang dapat menimbulkan kelangkaan bibit, maka bibit rumput laut masih tersedia dalam bak. Selain itu, pemeliharaan bibit dalam bak dapat bertahan lama, sehingga ketersediaan bibit dapat dijaga jika terjadi kelangkaan bibit di laut seperti kerusakan bibit jika terjadi badai dan lainnya. Dari hasil ujicoba pemeliharaan dalam keranjang yang ditaruh dalam bak, diperoleh daya tahan bibit selama 4 bulan, dimana SR bibit yang dipelihara sebesar 100%. Bahkan bibit yang diperoleh dari hasil pemeliharaan dalam bak jumlahnya bertambah (Gambar 4). Hal ini disebabkan karena, cabang thallus yang terlepas dari individu utama, tumbuh dan berkembang menjadi individu baru. Pertambahan jumlah individu bibit kultur jaringan selama pemeliharaan 4 bulan terlihat pada Gambar 4 dibawah ini : BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 44 Jumlah individu 510 500 490 480 470 460 450 440 430 420 1 2 3 4 5 Bulan Gambar 5. Pertambahan jumlah individu bibit kultur jaringan Kepadatan awal bibit kultur jaringan dalam keranjang yang ditaruh dalam bak juga mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan bibit. Kepadatan maksmial bibit yang dapat ditampung dalam keranjang adalah 400 individu dengan ukuran keranjang 100 x 80 x 80 cm. Pemeliharaan pada bulan kedua, sebaiknya bibit kuljar di bagi menjadi 2 keranjang, agar ruang untuk berkembangbiak mencukupi dan memadai. Selain itu, cukupan nutrien dapat merata ke setiap individu. Kelemahan dari metode ini adalah ketergantungan pada jumlah aerasi dan besarannya serta suplai air laut yang masuk dalam keranjang/bak. Karena aerasi yang ada berfungsi sebagai pembangkit arus di dalam keranjang, sedangkan air laut yang masuk membawa nutrient yang baru ke dalam keranjang/bak. Kondisi bibit kultur jaringan selama pemeliharaan di bak dalam keranjang dalam kondisi sehat. Hal ini terlihat dari morfologi bibit seperti : - Warna cerah dan bau segar dan terdapat calon thallus yang runcing - Thallus yang besar sekitar 0,1 – 0,3 cm dan memanjang sekitar 3 – 5 cm - Bersih tidak terdapat lumut dan epifit serta lumpur yang melekat. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 45 Bulan ke-1 Kondisi awal Bulan ke-2 Bulan ke-4 Bulan ke-3 Gambar 6. Tahap pertumbuhan selama pemeliharaan 4 bulan di dalam bak Dari Gambar 5 diatas memperlihatkan proses perkembangan bibit rumput laut hasil kultur jaringan setiap bulannya sampai dengan pemeliharaan bulan ke-4, menunjukkan adanya proses pertumbuhan thallus baik bobot maupun panjang thallus dan jumlah cabang thallus. Dimulai dari bulan ke-1 sampai dengan bulan ke-4, bibit rumput laut mengalami pemisahan sebagian sebagian batang thallusnya untuk bertumbuh menjadi individu baru. Pada bulan ke-4 bibit rumput laut sudah mengalami tingkat kejenuhan pertumbuhan. Hal ini terlihat dari kondisi bibit yang mulai kehilangan pigmen atau pucat, pertumbuhan menjadi lambat dan lumut atau epifit mudah menempel. Hasil sementara yang diperoleh dari ujicoba di dalam bak diperoleh maksimal penyimpanan dalam bak sebagai stock bibit di darat selama 4 bulan. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 46 Hasil pengujian kualitas air laut selama masa pemeliharaan dalam bak, menunjukkan kondisi air yang sesuai dengan kehidupan rumput laut. Dimana suhu perairan laut rata-rata 28 oC, salinitas perairan rata-rata 32 ppt, DO perairan rata-rata 3 ppm, dan pH rata-rata 8. Parameter kualitas air 35 30 Nilai 25 20 suhu 15 salinitas 10 DO 5 pH 0 1 2 3 4 Pengukuran (minggu) Gambar 7. Kondisi kualitas air di dalam bak Adaptasi Tahap Kedua Adaptasi tahap kedua dilakukan di perairan laut dengan menggunakan rakit bambu apung dengan ukuran 4 x 4 m. Metode rakit bambu apung ini digunakan, karena untuk melindungi bibit rumput laut dari pengaruh gelombang secara langsung (Rusman, 2008). Tahap ini dilakukan agar bibit rumput laut menghadapi kondisi perairan yang sebenarnya. Bibit yang akan diaklimatisasi di laut yang mempunyai kriteria seperti cabang thallus minimal 3 buah, bobot minimal 3 gram, besar thallus minimal 0,1 cm. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 47 Gambar 8. Kriteria bibit yang siap di aklimatisasi di laut terbuka Hasil domestikasi bibit kultur jaringan di perairan terbuka selama satu bulan, diperoleh bobot akhir rata-rata 60,007 gram dari bobot awal rata-rata sebesar 3,42 gram. Bobot terbesar diperoleh 90,06 gram, sedangkan bobot terkecil adalah 37,9 gram. Kenaikan pertumbuhan bibit rumput laut hasil kultur jaringan tersebut diperoleh rata-rata 17,52 kali dari bobot awal. Adapun tingkat SR rumput laut kuljar di rakit bambu apung diperoleh 100 %. Dibandingkan dengan kondisi bibit rumput laut konvensional, kenaikan pertumbuhan bibit rumput laut hanya sekitar antara 4 – 8 kali dari bobot awal. Kelebihan bibit kultur jaringan yang diaklimatisasi adalah selain pertumbuhan yang cepat, juga mempunyai daya tahan terhadap serangan penempelan lumut dan epifit (Polisiphonia sp). Hal ini terlihat dari kawasan yang terserang lumut tetapi bibit kultur jaringan tidak terjadi penempelan. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 48 Grafik pertumbuhan di laut 70 Bobot (gram) 60 50 40 30 20 10 0 1 2 3 4 5 Pengamatan (minggu) Gambar 9. Grafik pertumbuhan bibit kultur jaringan di laut. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 49 Gambar 10. Bibit kultur jaringan hasil aklimatisasi di laut. Parameter air laut 40 35 30 Nilai 25 20 suhu 15 salinitas DO 10 pH 5 0 1 2 3 4 Pengukuran (minggu) Gambar 11. Kondisi kualitas air laut di lokasi aklimatisasi rakit bambu apung BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 50 Terlihat pada gambar 11 diatas menunjukkan bahwa kualitas air selama pengukuran tidak terjadi perubahan eksrim dan masih dalam batas kehidupan organisme perairan pada umumnya. Suhu perairan menunjukkan nilai antara rata-rata 29 oC dengan kondisi arus yang terjadi antara 10 – 20 cm/det. Dari hasil aklimatisasi bibit rumput laut, diperoleh bibit sebanyak kurang lebih 80 kg dari bobot awal sekitar 2 kg selama 3 kali siklus atau F3. Pertumbuhan yang terjadi pada siklus ketiga masih terlihat bagus, dimana ratarata kenaikan pertumbuhan bibit yang diperoleh antara 6 – 8 kali. Jika dibandingkan dengan bibit konvensional kenaikan pertumbuhannya berkisar 4 – 7 kali. Demikian pula dengan performa bibit hasil kultur jaringan terlihat baik yang ditandai dengan thallus yang sehat, bersih, banyak terdapat ujung thalli yang runcing dan warna yang cerah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan - - - - Aklimatisasi bibit hasil kultur jaringan dilakukan dengan menggunakan keranjang yang digantung di perairan laut maupun keranjang yang ditaruh dalam bak. Laju pertumbuhan bibit hampir sama, dengan rata-rata bobot akhir pada keranjang gantung di laut sebesar 3,705 gram dan pada keranjang dalam bak sebesar 3,07 gram. Laju pertumbuhan bibit kultur jaringan di laut mencapai 17,52 kali dari bobot awal atau rata-rata bobot akhir 60,007 gram (dari bobot awal 3,42 gram). Sementara laju pertumbuhan bibit rumput laut konvensional (kontrol) sebesar 4 – 8 kali dari bobot awal. Performa bibit pada F3 masih terlihat baik dari segi pertumbuhan dan morfologinya yang nampak sehat dengan hasil sebanyak 80 kg selama 3 siklus. Saran Diperlukan ujicoba multilokasi untuk mengetahui tingkat kehidupan di lokasi perairan lainnya. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 51 DAFTAR PUSTAKA George EF. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture Part 1. Technology. 2nd Edition. Exegenetic Limited. England. 754 p Gunawan LW. 1995. Teknik Kultur in vitro dalam Hortikultura. Jakarta. Penebar Swadaya. Hartman HT, Kester DE 1983. Plant Propagation. Principle and Practice. Edisi ke-4. New Jersey: Practice-Hall, Inc. Hurtado RegeneraAQ, Bitter AB, 2007. Plantlet Regeneration of Kappaphycus alvarezii var. Adik-adik by tissue Culture. J Appl Phycol 19:783:786 Rusman, 2008. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Mataram. NTB. Torres KC. 1989. Tissue Culture Techniques for Horticultural Crops. Chapman and Hall. New York. London.to Somatic Embryogenesis and Regeneration of Somatic Embryos from Pigmented Callus of Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty (Rhodopyta, Gigartinales). J. Phycol Wattimena GA. 1992. Bioteknologi Tanaman. Volume ke-1. Bogor: Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 52 APLIKASI LATOH (CAULERPA LENTILLIFERA) SEBAGAI BIOFILTER UNTUK PENGENDALIAN INFESTASI PARASIT PADA INDUK KERAPU 1 1 1 Ramelan , Ibnu Sahidhir ,Irvan Firmansyah Z.A. , Abidin Nur 1 1 Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee ABSTRACT Parasites infestation is a serious problem in indoor broodstock rearing. Parasiter diseases initiates secondary infestation by bacteria so that influence on productivity and even death. Bad water quality will increase parasitic diseases in fish. Caulerpa lentillifera culture was initiated in January. For the treatment water from Caulerpa sedimentation tank was flowed into broodstock tank. In the range time January-Mei, parasites was observed especially for Caligus sp. dan Hirudinea sp. Based on observation, there is significantly reduce parasites infestation. Keywords:Caulerpa lentillifera, parasites, grouper * [email protected] BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 53 PENDAHULUAN Infestasi parasit merupakan salah satu permasalahan serius dalam pemeliharaan induk sistem indoor.Kejadian ini dapat menginisiasi infeksi sekunder oleh bakteri sehingga mengakibatkan kematian atau gangguan produktifitas. Kondisi kualitas air yang tidak optimal menjadi factor predisposisi infestasi parasit pada ikan. Pada musim hujan atau air laut keruh, infestasi ektoparasit pada induk sangat banyak. Parasit belum bisa diatasi dengan efektif sekarang ini. Pengobatan Caligus rendam air tawar 2-3 menit. Menghilangkan Hirudinea dengan obatobatan dan air tawar tidak efektif. Hirudinea dapat menyerang organ dalam seperti hati dan empedu. Kebanyakan Caligus dapat menimbulkan kebutaan karena merusak mata. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek treatment C. lentillifera pada perkembangan ektoparasit induk. BAHAN DAN METODE Desain eksperimen Perlakuan dilakukan secara bertautan yakni pemeliharaan induk dengan air tanpa Latoh dilakukan terlebih dulu, kemudian perlakuan Latoh. Induk yang dipakai untuk kedua perlakuan adalah induk yang sama. Tiga ekor induk kerapu macan berukuran rata-rata 6-9 kg dipelihara dalam bak bulat bervolume 50m3. Pemberian perlakuan Bulan Januari-Februari dilakukan perlakuan air tanpa Latoh. Air dari laut masuk ke dalam tiga bak filter. Filter 1 yakni air melalui pipa berbungkus ijuk dan kain screen. Bak berisi batu kerikil. Pada filter 2 air disaring dgn pipa yang dibungkus ijuk yang diikat tali. Pada filter 3, air disaring dengan pipa yang dibungkus ijuk dan kain screen. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 54 Pada bulan Maret-Mei dilakukan perlakuan tandon Latoh. Pertama air laut masuk tandon Latoh terlebih dulu yang bervolume 10x10x5 m3 dengan volume air 250 m3. Tandon sebelumnya telah diisi C. lentillifera sebanyak5 kg selama 2 bulan. Air diendapkan selama 18 jam. Lalu, air dialirkan ke tiga bak filter yang dipakai dalam perlakuan pertama sebelum dialirkan ke bak induk untuk ganti air. Pergantian air menggunakan air Latoh dilakukan selama 6 jam. Tandon kemudian diisi air baru lagi. Prosedur pemeliharaan Induk diberi makan ikan rucah 10% dari total badan dua kali sehari. Ikan yang digunakan adalah dari jenis lemuru. Ikan disimpan dalam freezer untuk penyimpanan lama. Sebelum dipakai, ikan tersebut harus diunfreeze terlebih dulu. Pengamatan dan analisis data Kualitas air laut diamati secara visual sebelum digunakan. Ektoparasit dihitung pada bulan ke-1 dan 2 saat aplikasi tandon Caulerpa belum dilakukan. Perhitungan ektoparasit dilakukan setiap minggu pada bulan ke- 3-5 saat aplikasi tandon Caulerpatelah dilakukan. Sampel tiap perhitungan adalah 3 ekor induk ikan kerapu berukuran sama. Perhitungan pada waktu selanjutnya dilakukan pada ikan yang sama. Analisis deskriptif terhadap jumlah populasi ektoparasit pada perlakuan sebelum, saat aplikasi tandon Caulerpa . Analisis deskriptif terhadap perubahan populasi ektoparasit pada saat aplikasi tandon Caulerpa . Analisis inferensial terhadap perubahan tiap jenis parasit saat aplikasi tandon Caulerpa. Analisis deskriptif menggunakan MsExcel sedangkan analisis inferensial menggunakan SAS 9.0 BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 55 HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi parasit sebelum dan saat perlakuan Caulerpa Populasi parasit menurun secara drastic setelah diberi perlakuan Caulerpa bila dibandingkan dengan sebelum perlakuan. 700 Jumlah parasit per ekor induk kerapu 600 505 500 442 400 300 200 258 190 Caligus 100 30 30 29 29 29 28 28 27 16 14 13 13 12 10 10 7 31 26 25 14 13 2410 7 0 Waktu (minggu ke-) Bagan 1. Perubahan BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 populasi parasit 56 Caligus. Pada bulan Januari Caligus berpopulasi 442 ekor. Pada bulan Februari populasi naik menjadi 505 ekor. Setelah dilakukan perlakuan Latoh, populasi Caligus menurun pada bulan Maret-Mei menjadi sekitar 117 ekor, 113 ekor dan 99 ekor (Bagan 1.). Hirudinea. Populasi Hirudinea bertambah dari sekitar 190 ekor menjadi 258 pada bulan Januari dan Februari. Hirudinea mulai menurun setelah pemberian Latoh yakni menjadi sekitar 52 ekor pada bulan Maret dan 40 ekor pada bulan April dan Mei (Bagan 1.). Populasi parasit saat perlakuan Caulerpa Dalam percobaan Latoh penurunan terjadi tidak kentara. (Grafik 3 BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 57 40 35 30 Caligus 25 Populasi parasit pada 20 induk kerapu (ekor/induk) 15 Hirudinea Полиномиальная (Caligus) 10 Полиномиальная (Hirudinea) 5 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 Minggu ke- Pengujian dengan principal component menunjukkan bahwa Caligus menurun bila dibandingkan bulan Maret dan April. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 58 Pengujian dengan principal component menunjukkan bahwa Caligus menurun bila dibandingkan bulan Maret dan April. Penurunan Hirudinae terjadi pada bulan April, tetapi bulan berikutnya tetap stabil. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 59 Hipotesis penyebab penurunan Caulerpa mengandung zat aktif caulerpenyne, caulerpin, caulerpicin dan oxytocin. Perbandingan dengan jenis lain C. Lentillifera mengandung caulerpenyne dan oxytocin dalam dosis rendah (Baumgartner et al., 2009). Caulerpenyne mungkin menjadi alasan rendahnya pemakanan C. taxifolia oleh invertebrata (Bartoli and Boudouresque, 1997). Caulerpenyne berfungsi untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh alga lain (Raniello et al., 2007). Caulerpenyne berfungsi juga untuk menghambat perkembangan organism penempel atau konsumen dengan menghambat perkembangan sel, pembelahan sel dan bersifat neurotoksik (Brunelli et al., 2000; Felline et al., 2012; Pesando et al., 1998, 1996). Walaupun bukan racun akut tapi (Amade and Lemée, 1998; Brunelli et al., 2000; Pesando et al., 1998, 1996). Namun demikian peran racun tersebut sedikit untuk C. Lentillifera, caulerpenyne bersifat bioakumulatif dan bukan racun akut (Higa and Kuniyoshi, 2000). Dengan begitu beralasan bahwa racun ini membuat perkembangan parasit terganggu sepertinya tidak tepat. Dalam akuakultur C. Lentillifera dimanfaatkan sebagai biofilter untuk menurunkan limbah nutrient, menyerap logam berat dan bahan organic terlarut (Paul and de Nys, 2008). enyerap logam berat. Nutrisinya yang berkualitas terutama kandungan vitamin dan mineral dan fitokimianya bermanfaat sebagai makanan berkualitas untuk manusia (Cavas and Pohnert, 2010; Matanjun et al., 2009; Nguyen et al., 2011). Luas permukaan Caulerpa yang luas dan koloninya yang rimbun menjadi substrat yang tepat untuk organisme penempel, contohnya siput laut (sacoglossan) menyukai C. lentillifera(Baumgartner et al., 2009). Pada spesies lain (C. prolifera)terbukti alga penempel pada lebih sedikit karena dimakan invertebrata penempel. Jenis organisme penempel pada C. prolifera juga lebih banyak dibanding makroalga lain (Gibson, 2007). BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 60 Ektoparasit dewasa membutuhkan substrat untuk mencari makan. Hidup bebas dimulai saat menuju reproduksi dan perkembangan larva. Pengendapan air laut yang cukup lama (sekitar 18 jam) di dalam tandon berisi Caulerpa yang tumbuh lebat tidak memberikan kesempatan lain bagi parasit kecuali menempel untuk kenyamanan. Dengan demikian jumlah parasit yang menginfestasi induk kerapu menjadi berkurang drastis. Pengendapan air saat malam hari memungkinan matinya parasit akibat hypoxia. Daya tarik C. lentillifera bagi ektoparasit ada pada luasnya areal penempelan dan mungkin makanan yakni banyaknya mikroorganisme dan invertebrata lain yang menempel pada tubuhnya. KESIMPULAN DAN SARAN Pengendapan air laut yang cukup lama (sekitar 18 jam), di dalam tandon berisi Caulerpalentillifera yang tumbuh lebat, efektif mengurangi infestasi ektoparasit pada induk ikan kerapu. Pengamatan terhadap pengaruh musim terhadap fluktuasi infestasi ektoparasit perlu dilakukan. BUKU 1 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 61 DAFTAR PUSTAKA Amade, P., Lemée, R., 1998. Chemical defence of the mediterranean alga Caulerpa taxifolia: variations in caulerpenyne production. Aquat. Toxicol. 43, 287–300. Bartoli, P., Boudouresque, C.F., 1997. Transmission failure of parasites (Digenea) in sites colonized by the recently introduced invasive alga Caulerpa taxifolia. Mar. Ecol. Prog. Ser. 154, 253–260. Baumgartner, F.A., Motti, C.A., de Nys, R., Paul, N.A., others, 2009. Feeding preferences and host associations of specialist marine herbivores align with quantitative variation in seaweed secondary metabolites. Mar Ecol Prog Ser 396, 1–12. Brunelli, M., Garcia-Gil, M., Mozzachiodi, R., Scuri, M.R.R., Traina, G., Zaccardi, M.L., 2000. Neurotoxic effects of caulerpenyne. Prog. Neuropsychopharmacol. Biol. Psychiatry 24, 939–954. Cavas, L., Pohnert, G., 2010. The Potential of Caulerpa spp. for Biotechnological and Pharmacological Applications, in: Seckbach, J., Einav, R., Israel, A. (Eds.), Seaweeds and Their Role in Globally Changing Environments, Cellular Origin, Life in Extreme Habitats and Astrobiology. Springer Netherlands, pp. 385–397. Felline, S., Caricato, R., Cutignano, A., Gorbi, S., Lionetto, M.G., Mollo, E., Regoli, F., Terlizzi, A., 2012. Subtle Effects of Biological Invasions: Cellular and Physiological Responses of Fish Eating the Exotic Pest Caulerpa racemosa. PLoS ONE 7, e38763. Gibson, A.., 2007. Community Composition of Crustaceans and Gastropods on Caulerpa prolifera, H alodule wrightii and Thalassia testudinum (Master Thesis). University of South Florida, Florida. 62 Higa, T., Kuniyoshi, M., 2000. Toxins associated with medicinal and edible seaweeds. Toxin Rev. 19, 119–137. Matanjun, P., Mohamed, S., Mustapha, N.M., Muhammad, K., 2009. Nutrient content of tropical edible seaweeds, Eucheuma cottonii, Caulerpa lentillifera and Sargassum polycystum. J. Appl. Phycol. 21, 75–80. Nguyen, V.T., Ueng, J.-P., Tsai, G.-J., 2011. Proximate Composition, Total Phenolic Content, and Antioxidant Activity of Seagrape (Caulerpa lentillifera). J. Food Sci. 76, C950–C958. Paul, N.A., de Nys, R., 2008. Promise and pitfalls of locally abundant seaweeds as biofilters for integrated aquaculture. Aquaculture 281, 49–55. Pesando, D., Huitorel, P., Dolcini, V., Amade, P., Girard, J.-P., 1998. Caulerpenyne interferes with microtubuledependent events during the first mitotic cycle of sea urchin eggs. Eur. J. Cell Biol. 77, 19–26. Pesando, D., Lemée, R., Ferrua, C., Amade, P., Girard, J.-P., 1996. Effects of caulerpenyne, the major toxin from Caulerpa taxifolia on mechanisms related to sea urchin egg cleavage. Aquat. Toxicol. 35, 139–155. Raniello, R., Mollo, E., Lorenti, M., Gavagnin, M., Buia, M.C., 2007. Phytotoxic activity of caulerpenyne from the Mediterranean invasive variety of Caulerpa racemosa: a potential allelochemical. Biol. Invasions 9, 361–368. 63 EFEKTIVITAS CARA PEMBERIAN VAKSIN CAPRIVAC VIBRIN-L TERHADAP RESISTENSI IKAN BERONANG LADA (Siganus guttatus) TERHADAP PENYAKIT VIBRIOSIS Hamka, Fadli, Sitti Farida dan Khairil Jamal ABSTRAK Kegiatan ini bertujuan untuk melihat sejauh mana cara atau metode pemberian vaksin yang efektif untuk meningkatkan daya tahan tubuh ikan beronang baik pertahanan non spesifik (pertahanan seluler) maupun pertahanan spesifik (antibodi) yang berperan dalam menahan serangan patogen bakteri vibrio. Sedangkan sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai bahan informasi dalam kegiatan vaksinasi khususnya vaksinasi ikan. Kegiatan ini dilakukan dalam bak beton berukuran 2,18 x 1,56 x 1 m3 (volume efektif 3 ton) dengan pergantian air 100-150% setiap hari yang terletak dalam ruangan sebanyak 4 bak pemeliharaan (Bak A; Bak B; Bak C dan Bak D). Hewan uji yang digunakan adalah ikan baronang dengan berat ± 100 gram dengan padat tebar sebanyak 20 ekor/bak. Perlakuan dari kegiatan ini adalah: Bak A dengan metode vaksin sistem priming; Bak B dengan metode vaksin sistem booster 1 minggu;Bak C dengan metode vaksin sistem booster 2 minggu; dan Bak D tanpa vaksin (kontrol). Hasil akhir dari kegiatan ini menunjukkan bahwa SR tinggi didapat pada vaksin dengan sistem booster, sementara kajian RPS metode priming memperlihatkan hasil yang kurang memuaskan yang hanya bernilai <60. Sementara Pravelensi juga memperlihatkan hasil terbaik ada pada booster 2 minggu diikuti oleh booster 1 minggu dan terendah adalah kontrol. Hasil pengukuran pertumbuhan berat mutlak menunjukkan bahwa pertumbuhan tertinggi didapatkan pada perlakuan dengan sistem booster 2 minggu (Bak C). Hasil pemeriksaan beberapa parameter kualitas air masih berada pada kisaran yang layak untuk pemeliharaan ikan baronang. Kata kunci :Vaksinasi, SR, RPS, Prevalensi 64 PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan baronang merupakan salah satu spesies yang mulai dikembangkan pembudidayaanya dan saat ini menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Hal ini terjadi karena meningkatnya permintaan konsumen dalam negeri. Rumah-rumah makan yang merupakan konsumen utama lebih memilih ikan baronang hasil budidaya dibanding dengan tangkapan dari alam selain karena suplainya yang kontinyu ,juga bisa didapatkan dalam jumlah yang banyak, serta ukuran yang lebih seragam . Sebagaimana umumnya spesies yang baru dikembangkan seperti ikan baronang memiliki kendala baik dari segi teknis maupun sarana dan prasarananya, salah satu permasalahan adalah adanya serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian massal. Ikan baronang rentan terkena penyakit vibriosis yang disebabkan oleh bakteri patogen Vibrio. Bakteri vibrio ini merupakan patogen primer dan juga sekunder karena umumnya menyerang ikan yang sudah terjangkiti parasit lainnya, dan menjadi oportunis apabila kondisi kualitas air memburuk. Penularannya dapat melalui air atau kontak langsung antar ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan-ikan yang dipelihara dengan kepadatan tinggi. Vibriosis merupakan penyakit bakterial utama pada benih ikan-ikan laut dan sangat merugikan budidaya ikan laut di Asia Tenggara (Bondad-Reantaso et al.,2000). Bakteri vibrio yang pertama kali diisolasi dari ikan adalah Vibrio anguillarum yang diisolasi dari belut yang hidup diperairan mediterani (Canestrini 1883; Inglis et al., 2001) . Sementara itu, kasus vibriosis di Indonesia ditemukan pertama kali sekitar awal tahun 1980 dan menjangkiti budidaya udang dan Vibrio alginolyticus adalah spesies yang paling sering 65 diisolasi dari ikan budidaya yang sakit di Indonesia (Taslihan et al., 2000; Nitimulyo etal., 2005) dan termasuk bakteri patogen yang ganas pada ikan kerapu (Desrina et al., 2006). Menurut Shickney (2000)bahwa cara yang sering dilakukan untuk membasmi bakteri patogen ini ialah dengan menggunakan antibiotik, namun penggunaan antibiotik dalam jangka lama dan intensif dapat menimbulkan efek samping yaitu dapat menjadikan bakteri patogen menjadi resisten, Oleh karena itu perlu dilakukan pencarian metode lain, salah satu caranya dengan vaksinasi. Dewasa ini sudah mulai diteliti calon vaksin untuk mengendalikan vibriosis pada ikan baronang di Indonesia. Vaksin menjadi pilihan utama untuk pencegahan patogen karena relatif aman bagi manusia, ramah lingkungan dan lebih murah dibandingkan dengan antibiotik. Vaksin yang digunakan untuk mengendalikan vibriosis umumnya berupa vaksin polivalen. Vaksin polivalen adalah vaksin yang terdiri dari beberapa antigen yang memiliki beberapa epitope. Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka dukungan terhadap gerakan vaksinasi ikan budidaya yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, maka dilakukan kegiatan vaksinasi pada ikan beronang sebagi upaya untuk pencegahan dan pengendalian penyakit vibriosis. Tujuan dan Sasaran Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui cara atau metode pemberian vaksin yang efektif untuk meningkatkan daya tahan tubuh ikan baronang baik pertahanan non spesifik (pertahanan seluler) maupun pertahanan spesifik (antibodi) yang berperan dalam menahan serangan patogen bakteri vibrio. 66 Sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai sumber referensi dalam kegiatan vaksinasi ikan baronang dan diharapkan pula hasil dari kegiatan ini dapat ditindak lanjuti dengan penggunaan vaksin dan metode vaksinasi yang cocok dan dilakukan secara meluas bagi kalangan pembudidaya ikan. TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Ikan Baronang Menurut Sunyoto dan Mustahal ( 1997 ), Ikan Baronang memiliki klasifikasi sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub filum : Avertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Actinopterygii Infra kelas : Telestoi Divisi : Euteleostei Ordo : Percipformes Famili : Siganidae Genus : Siganus Spesies : Siganus guttatus 67 Taksonomi Bakteri Vibrio Menurut data Gen Bank dalam Hart et.al (2007 ), Bakteri vibrio memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Order : Vibrionales Family : Vibrionaceae Genus : Vibrio Species : Vibrio sp Morfologi Bakteri Vibrio spp Vibrio spp adalah termasuk dalam kelompok bakteri gram – negative yang bersifat fakultatif anaerob dan memiliki tangkai berbentuk bengkok dan memiliki ukuran 0.5 x 1.0-2.0 m, berbentuk batang bisa lurus maupun bentuk koma, bergerak dengan menggunakan polar flagella, fermentative dan cytochrom oksidase positif, sensitive terhadap vibriostat 0/129 (pteridine) (Richard and Robart, 1978, dalam Desrina 2011). Secara khas ditemukan di air laut dan tumbuh hampir disegala media umum yang mengandung NaCl 1-1.5%. Bakteri ini bersifat motil (dengan satu sampai tiga flagella). Habitat dari bakteri ini adalah species ikan laut sebagai pembawa, namun bakteri ini juga telah ditemukan pada invertebrata dan benthos (Hastein, 1975, Desrina 2011). 68 2a 2b Gambar 2a Morfologi bakteri vibrio sp (Sumber : Google.Image.Com ) 2b Koloni bakteri vibrio dimedia TCBSA (Sumber : Dokumentasi Arief Taslihan ) Bakteri vibrio yang patogen dapat hidup di bagian tubuh organisme lain baik di luar tubuh dengan jalan menempel, maupun pada organ tubuh bagian dalam seperti hati, usus dan sebagainya. Dampak langsung bakteri patogen dapat menimbulkan penyakit, parasit, pembusukan dan toksin yang dapat menyebabkan kematian biota yang menghuni perairan tersebut. Beberapa jenis vibrio yang bersifat patogen yaitu dengan mengeluarkan toksin ganas dan seringkali mengakibatkan kematian pada manusia dan hewan (Feliatra, 1999). Gejala Klinis Vibriosis Vibriosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari genus Vibrio sp. Bakteri ini merupakan patogen oportunistik, yaitu organisme yang dalam keadaan normal ada dalam lingkungan pemeliharaan lalu berkembang dari sifat yang saprofit menjadi patogenik karena kondisi lingkungan memungkinkan. Bakteri vibrio diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas dan berbahaya pada budidaya ikan laut karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan sekunder. Sebagai patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak 69 langsung, sedangkan sebagai patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain, misalnya oleh parasit (Post, 1987). Serangan vibriosis bisa menimbulkan kerugian yang besar pada budidaya ikan air laut maupun payau karena tingginya kematian yang bisa mencapai 90% dalam waktu singkat dan akan semakin diperparah bila ikan dalam kondisi ketahanan tubuh ikan yang stress dan lemah. Vibrio menyerang ikan dan organisme lainnya dimulai dari bagian lendir (mucus) yang diproduksi oleh tubuh, sebab lendir dapat menjadi media yang baik untuk perkembangan koloni bakteri. Hal ini karena di dalam lendir terdapat nutrisi yang dibutuhkan oleh vibrio. Tanda – tanda klinis infeksi vibrio adalah terjadi perubahan warna kulit (melanosis), mulut merah (red mouth ), pengelupasan (gripis ) pada ekor dan sirip punggung, hemorhagik dan edema (borok ) pada pangkal sirip, jaringan otot dan kulit. Limpa ikan yang terinfeksi akan mengalami pembengkakan dan berwarna merah. Secara histologis hati, ginjal, limpa dan mukosa usus mengalami nekrosis (Irianto,2005). Perubahan warna kulit terjadi diakibatkan ikan mengalami stress karena adanya infeksi bakteri. Munculnya haemoragik yang ditandai dengan luka kemerahan pada sekitar mulut dan sirip adalah karena aliran darah terganggu akibat infeksi Vibrio. Hal ini diakibatkan adanya toksin protein “haemolysin” yang dikeluarkan oleh bakteri yang akan merusak eritrosit. Proses inilah yang menyebabkan eritrosit pecah dan keluar dari pembuluh dan menyusup pada jaringan tubuh dan tampak sebagai warna kemerahan pada sekitar mulut dan sirip ikan kerapu. Sedangkan terjadinya edema diakibatkan oleh akumulasi cairan secara tidak normal pada rongga tubuh, ruang antara pada jaringan dan organ yang menyebabkan terjadinya pembengkakan. Cairan tersebut media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri, sehingga dampak yang lebih jauh mengakibatkan kematian. Selain itu, edema menandakan adanya ketidakseimbangan tekanan hydrostatic, tekanan osmotic darah, 70 peningkatan permeabilitas kapiler, penghalangan lymphatic atau gangguang fungsi ginjal (Yanuhar 2008). Vaksinasi a.Prinsip kerja vaksin Vaksin adalah bahan atau antigen yang dibuat dengan sengaja kedalam tubuh ikan dengan metode tertentu untuk memperoleh dan meningkatkan kekebalan spesifik. Vaksin atau antigen berfungsi untuk memacu sel-sel limfosit dalam meproduksi antibodi (Klesius dkk,2001). Menurut Ellis(1998) bahwa , vaksin merupakan cara imunisasi aktif dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh ikan. Vaksinasi dapat dilakukan dengan metode rendaman,oral maupun suntikan. Vaksinansi didasarkan pada prinsip ketika mikroorganisme patogen (misalnya bakteri atau virus ) menginfeksi inang, maka sistem kekebalan tubuh inang akan bereaksi untuk mengusirnya. Bila ikan terpapar kembali dengan mikroorganisme yang sama, maka sistem kekebalan inang akan melakukan respon imun yang lebih baik karena sudah mengenal antigen tersebut. Hal ini yang disebut sebagai respon memori atau kekebalan adaptif. Vaksinasi meniru mekanisme infeksi patogen dan merangsang sistem kekebalan ikan dalam melawan patogen tersebut, tetapi vaksin tidak menyebabkan penyakit. Vaksin harus mampu menginduksi respon imun dalam level yang cukup untuk melindungi ikan dari serangan patogen tertentu. Kemampuan vaksin dalam menginduksi kekebalan sangat tergantung dari proses pembuatan antigennya. Terkadang patogen penyakit tidak dapat dikendalikan 71 dengan vaksin konvensional dapat dilakukan dengan menambahkan adjuvant kedalam vaksin untuk meningkatkan tingkat perlindungan (level of protection) dan lamanya kekebalan ( duration of immunity ). Adjuvan bekerja dengan cara melakukan pelepasan antigen secara perlahan-lahan dan dalam waktu yang lama sehingga dapat meningkatkan respon imun ikan dan menimbulkan respon inflamasi (peradangan ) sehingga menarik leukosit kelokasi peradangan. Selanjutnya leukosit akan mengambil antigen dan membawanya ke jaringan limfoid dimana antigen –presenting cell akan menyajikan antigen ini ke sel limfosit.( Thompson, 2004 ). Ada beberapa kondisi dimana penggunaan vaksin mungkin kurang efektif, misalnya pada benih umur sebelum satu minggu atau ikan yang mengalami stress karena transportasi atau padat tebar yang tinggi ( immunosupreseed ).hal seperti ini dapat diatasi dengan penggunaan immunostimulan. Immunistimulan bekerja dengan cara mengaktifkan sistem kekebalan alami (innate immune system ) baik komponen kekebalan seluler maupun humoral. Komponen kekebalan seluler meliputi sel fagosit (makrofag dan sel granulosit ), sel sitosik dan sel pembunuh alami (naturall killer cell ). Sedangkan komponen kekebalan humoral meliputi opsonin, sistem litik, antiprotease, peptide antibakteri, metal binding protein dan interferon. Zat aktif immuostimulan yang dipakai diakuakultur terutama mengandung glukan, peptidoglycan, lipopolisarida, chitin, laktoferin, levamisole, mikronutrisi seperti vitamin B dan C dan proklatin (Sunarto et al 200). 72 b. Jenis-jenis vaksin Menurut Agus, (2012 ) Berdasarkan proses pembuatannya vaksin dapat digolongkan menjadi : a ) Vaksin in-aktif yaitu vaksin yang dibuat dari mikroorganisme yang telah dimatikan (in-aktif). Vaksin jenis ini diinaktivasi dengan menggunakan formalin atau pemanasan. Jenis vaksin ini sangat efektif menginduksi respon antibodi humoral tetapi kurang efektif merangsang kekebalan selular maupun respon mucosal. Beberapa contoh vaksin jenis ini adalah vaksin V.anguilarrum, V.salmonicida, V. ordalii b )Vaksin hidup yang dilemahkan (live-attenuated vaccine ) yaitu vaksin yang dibuat dari mikroorganisme hidup yang dilemahkan. Jadi vaksin ini seperti infeksi oleh patogen tetapi menimbulkan penyakit. Degan vaksin ini, sistem kekebalan inang terpapar dengan antigen dalam waktu yang lama sehingga efektif dalam merangsang sistem kekebalan selular dan menginduksi respon memori. Namun kelemahan vaksin jenis ini adalah adanya kemungkinan mikroorganisme menjadi ganas kembali. Hal inilah yang menyebabkan vaksin hidup sulit mendapatkan ijin untuk digunakan secara komersil. Namun demikian, dengan kemajuan dalam bidang rekayasa genetic, maka gen penyebab virulensi dapat dihilangkan sehingga kecil kemungkinan mikroorganisme dapat menjadi ganas kembali. c) Vaksin sub-unit yaitu vaksin yang dibuat dari bagian/komponen mikroorganisme misalnya molekul makro kapsul polisakarida, exotoksin, atau protein rekombinan hasil rekayasa genetik. Vaksin rekombonian 73 diperoleh dengan cara mengkloning gen dari suatu patogen kedalam bakteri/jamur. Bakteri dan jamur inilah yang akan menjadi pabrik untuk memproduksi protein imunogenik. Teknologi vaksin rekombinian sangat cocok dipakai untuk membuat vaksin dari patogen yang sulit dikultur massal seperti virus. Vaksin ini cukup aman karena hanya mengambil sebagian komponen mikroorganisme untuk digunakan sebagai vaksin, maka kekhawatiran mikroorganisme menjadi ganas kembali seperti pada vaksin hidup dapat dihindari. d ) Vaksin DNA, yaitu vaksin yang dibuat dari DNA (gen ) yang mengkode protein imunogenik dari patogen target. Gen imunogenik dari suatu patogen dikloning kedalam plasmid dan pasmid ini kemudian disuntikkan ke ikan. Gen akan terekspresi secara extrachromosal (diluar kromoson ikan ) untuk memproduksi protein imunogenik yang merangsang sistem kekebalan ikan spesifik ikan. Berdasarkan jumlah/ jenis antigen yang digunakan, vaksin dibagi menjadi vaksin monovalen (satu jenis antigen ), bivalen (dua jenis antigen ), multivalent / polyvalent (beberapa jenis antigen ). c. Persyaratan vaksinasi pada ikan Proses induksi kekebalan umumnya mulai dapat terdeteksi setelah 13 minggu dari saat pemberian vaksin. Idealnya, vaksinasi dilakukan lebih dari satu kali. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa antibodi yang diperoleh pada vaksinansi pertama (priming) relatif rendah,karena pada tahap tersebut lebih banyak sebagai tahap pengenalan atau lebih umum dikenal sebagai tahap memorizing terhadap antigen. untuk menghindari terjadinya peluruhan 74 antibodi maka dilakukan booster (vaksinanasi ulang ) untuk mempertahankan level antibodi hingga mencapai level protektif. Keberhasilan program vaksinasi tidak hanya ditentukan oleh keampuhan dari vaksin yang digunakan, tetapi juga sangat ditentukan oleh bagaimana dan kapan sebaiknya vaksin itu diberikan. Oleh karena itu, ada beberapa persyaratan yang sebaiknya diperhatikan sebelum melakukan vaksinasi terhadap ikan, sebagai berikut ; a) Sebaiknya ikan telah berumur 3 minggu atau lebih, karena pada umur kurang dari 3 minggu, organ-organ yang berperan dalam sistem pembentukan antibodi belum berkembang sempurna. Organ-organ yang terlibat dalam sistem kekebalan ikan meliputi reticula endothelial, limfosit, plasmoit dan fraksi serum protein tertentu. b) Status kesehatan ikan harus dalam kondisi optimal, ikan yang sedang sakit misalnya karena terinfeksi patogen parasitik sebaiknya jangan divaksinasi terlebih dahulu sebelum parasit tersebut diberantas. c) Suhu air relatif hangat (> 26o C). Vaksinasi ikan pada suhu air >26 o C, respon antibodi yang terbentuk akan lebih cepat dibandingkan dengan suhu air yang lebih rendah. d) Air yang digunakan untuk melakukan vaksinasi dan pemeliharaan ikan harus bebas dari unsur polutan. Air yang mengandung unsur polutan akan menghambat proses pembentukan antibodi (immunosupressif) dalam tubuh ikan. Kualitas Air Kualitas air media pemeliharaan sangat berperan dalam menunjang keberhasilan produksi benih kerapu macan. Kualitas air yang berperan terhadap kelangsungan hidup pada pertumbuhan ikan kerapu macan meliputi suhu air, oksigen terlarut, kadar garam, pH air, ammonia dan nitrit. 75 Kelarutan oksigen merupakan faktor lingkungan yang terpenting bagi pertumbuhan ikan. Kandungan oksigen yang rendah dapat menyebabkan ikan kehilangan nafsu makan sehingga mudah terserang penyakit, pertumbuhannya terhambat bahkan menyebabkan kematian. Biota air membutuhkan oksigen sebagai penunjang kebutuhan lingkungan bagi species tertentu dan kebutuhan konsumtif yang dipengaruhi oleh kebutuhan metabolisme. BAHAN DAN METODE Kegiatan ini dilakukan pada tahun anggaran 2013 (Agustus Desember) bertempat di Unit Pembenihan Kerapu dan Beronang Balai Budidaya Air Payau Takalar, Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: No. Nama Alat Kegunaan 1. Bak beton volume 3 ton Wadah pemeliharaan 2. Peralatan aerasi Suplai oksigen 3. Filter bag Menyaring air media 4. Seser Menangkap ikan 5. Timbangan elektrik Menimbang ikan & media TCBS 6. Mistar Mengukur panjang ikan sampel 7. Peralatan tulis Mencatat hasil sampling 8. Cawan petri Tempat media kultur bakteri Api Bunsen 76 9. Thermolyne Sterilisasi jarum ose 10. Pisaubedah Memanaskan larutan TCBSA 11. Jarum ose Membedah organ dalam ikan 12. Erlenmeyer Mengambil bakteri dari badan ikan 13. Tabung reaksi 14. Micropipet Tempat bakteri mencampur media Tempat bakteri menyimpan larutan Inkubator shake 17. Autoklaf Mikrobact24 E Mengambil larutan bakteri 18. Jarum suntik Memisahkan bakteri 19. Hemacitometer 20. Mikrosop 15. 16. Sentrifuge supernatant Tempat menginkubasi biakan bakteri 21. Tempat mensterilkan media 22. Wadah mengidentifikasi bakteri vibrio Menyuntik ikan dengan vaksin Menghitung sebaran dan jumlah bakteri Pengamatan jumlah & morfologi bakteri 77 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: No. Nama Bahan Kegunaan 1. Air laut Media pemeliharaan 2. Ikan baronang Hewan uji 3. Isolat murni bakteri vibrio Obyek penelitian / uji tantang 4. Vaksin polivalen Bahan vaksin 5. Media identifikasi bakteri umum 6. Triptic Soy Agar (TSA) TCBSA Nutrient Agar (NA) 7. KRA 3 Suplemen untuk bakteri vibrio 8. Aquades Pewarnaan Gram Ryu Pakan ikan baronang 9. 10. 11. Reagen Microbact Media identifikasi bakteri spesifik Campuran media TSA dan TCBSA Pewarnaan morfologi bakteri Minyak emersi Pereaksi untuk identifikasi spesies vibrio 12. Mengikat obyek dalam preparat Prosedur Kerja Perekayasaan ini dilakukan dengan menggunakan bak beton 3 berukuran 2,18 x 1,56 x 1 m (volume efektif 3 ton) dalam ruangan semi 78 outdoor sebanyak 3 buah bak (Bak A; Bak B dan Bak C) dengan perlakuan sebagai berikut : - Perlakuan A: Ikan uji akan disuntik dengan metode vaksin priming (satu kali suntik ) dengan dosis 0,2 ml/ikan dan diuji tantang dengan bakteri vibrio berdasarkan dosis lethal concentration. - Perlakuan B : Ikan uji akan disuntik dengan metode vaksin booster (dua kali suntik ) dengan dosis 0,1 ml/ikan setiap penyuntikan dengan rentang waktu 7 hari dan diuji tantang dengan bakteri vibrio berdasarkan dosis letal konsentrasi. - Perlakuan C: Ikan uji akan disuntik dengan metode vaksin booster (dua kali suntik ) dengan dosis 0,1 ml/ikan setiap penyuntikan dengan rentang waktu 14 hari dan diuji tantang dengan bakteri vibrio berdasarkan dosis letal konsentrasi. - Perlakuan D: (Kontrol) Ikan uji hanya disuntik dengan larutan PBS tanpa disuntik bakteri. Prosedur yang dilakukan dalam kegiatan perekayasaan ini adalah adalah sebagai beikut : 1) Persiapan wadah & media Wadah yang digunakan dalam kegiatan ini berupa bak beton dengan volume efektif 3 ton. Hewan uji yang digunakan adalah ikan baronang dengan berat rata-rata 100 gram ( ± 1 gram). Jumlah hewan uji pada setiap unit kegiatan adalah 20 ekor/bak. Sebelum pelaksanaan kegiatan, hewan uji diadaptasi dalam wadah pemeliharaan selama 7 hari. 2) Penyediaan Vaksin 79 Vaksin yang digunakan adalah CAPRIVAC VIBRIN- L produksi PT Caprifarmindo Laboratories, Bandung – Indonesia. Seperti yang diketahui bahwa vaksin adalah imunogen yang mampu menginduksi sistem pertahanan spesifik (antibody spesifik) ikan dan hanya melakukan perlawanan sesuai dengan jenis antigen yang pernah menyerang sebelumnya. Vaksin yang akan digunakan dalam kegiatan ini adalah vaksin vibrio polivalen yang memiliki empat antigen dan mampu menangkal serangan bakteri penyebab penyakit vibriosis. Kandungan bakteri atau antigennya sebagai berikut; Vibrio Camplelli 2J2 ( 2,5 x 106 CFU ), Vibrio Algylinoticus 24 SK ( 2,5 x 10 6 CFU), Vibrio fluvialis 16G ( 2,5 x 106 CFU) dan Vibrio sp 2SA ( 2,5 x 106 CFU). Isolasi bakteri dari ikan a. Kultur & isolasi bakteri Sebelum melakukan isolasi bakteri, ikan donor dilakukan infeksi dengan sediaan antigen dari laboratorium dengan cara disuntik, metode ini dikenal dengan sistem pengganasan, karena walau bagaimanapun bakteri yang telah lama tersimpan akan menurun virulensinya. Isolasi bakteri dilakukan dilaboratorium atau tempat tidak ada hembusan angin, hal ini dilakukan secepat mungkin untuk mencegah kontaminasi (Yuasa,2003). Pengambilan bakteri dilakukan pada organ dalam ikan dengan pertimbangan bahwa organ dalam akan lebih cepat terinfeksi apabila pengganasan bakteri dilakukan dengan cara penyuntikan. Metode inokulasi bakteri dari organ dalam sebagai berikut ; - Membersihkan permukaan tubuh ikan dengan kapas beretanol 70%. 80 - Membedah ikan dan buka rongga perut dengan peralatan bedah yang steril dan diusahakan tidak melukai usus. - Menggunting permukaan tiap organ dalam dengan pisau bedah steril. - Masukkan jarum ose yang telah dibakar untuk mengambil sampel jaringan dan sebar ke agar (Media TCBSA ). - Bakteri umumnya diisolasi dari limpa, ginjal dan hati. - Biakan bakteri diinkubasi pada suhu 28-37 °C selama 24-48 jam. b. Identifikasi Bakteri Koloni bakteri yang diisolasi dari ikan,biasanya mengandung bakteri lingkungan. Bakteri ini harus dipisah atau dibuang dengan menggunakan media kultur spesifik misal media TCBSA yang hanya bisa ditumbuhi dengan baik oleh bakteri vibrio sehingga keberadaan koloni bakteri lain dapat dihilangkan. Pathogen pada luka ikan yang terinfeksi biasanya tumbuh dominan sehingga koloni yang jumlahnya dominan pada kultur media dianggap sebagai pathogen utama (Yuasa, et,al 2003). Identifikasi bakteri yang dilakukan melalui berbagai tahap yakni identifikasi morfologi koloni dengan media biakan TCBSA dan TSA, identifikasi umum morfologi bakteri dengan pewarnaan gram, katalase dan oksidasi. Identifikasi pewarnaan gram dilakukan dengan bantuan mikroskop. Identifikasi secara morfologi/meliputi bentuk koloni, warna, sifat tembus cahaya, bentuk pinggiran dan permukaan koloni. Sementara untuk identifikasi morfologi bakteri dilakukan dengan menggunakan pewarnaan gram dibawah mikroskop (1000x ). Dengan pewarnaan Gram, dapat dibedakan antara Gram positif dan Gram negative. Gram positif berwarna biru dan Gram negative berwarna merah. Bakteri Vibrio sp 81 sendiri teriidentifikasi sebagai gram negative dengan batang berbentuk koma dan ukuran 1,02 x 0,5-0,8 µm.: Uji patogenitas Uji patogenitas dilakukan untuk mengkonfirmasi apakah bakteri patogen yang berhasil diisolasi dari ikan baronang yang sakit mampu menginfeksi kembali ikan baronang yang sehat dengan gejala yang sama. Uji patogenitas ini juga untuk menentukan nilai lethal konsentrasi (penyebab kematian) yang nantinya digunakan sebagai dosis dalam perlakuan uji tantang dengan vaksin vibrio. a. Menghitung jumlah bakteri dalam larutan yang digunakan untuk infeksi Sebelum dilakukan uji patogenitas atau uji virulensi dilakukan penghitungan jumlah bakteri terlebih dahulu. Jumlah bakteri dapat diduga dengan menghitung jumlah koloni pada agar atau melakukan penghitungan dengan bantuan haemasitometer dimikroskop, dan untuk menghitung jumlah bakteri pada agar yang tersedia dalam bentuk larutan, langkah kerjanya sebagai berikut : - Hitung jumlah bakteri yang diambil dengan mikro pipet sebanyak 0,1 ml dengan menggunakan haemasitometer - Encerkan larutan bakteri dengan larutan Nacl 0,9% pada tabung reaksi dengan pengenceran kelipatan 10 sampai 10-6 - Inokulasi larutan bakteri dengan pengenceran 10 5 pada tempat yang terpisah sebanyak 0,1 ml - Inkubasi pada suhu kamar selama 1-2 hari 82 - Bakteri siap digunakan b. Uji pathogen dengan metode suntik Langkah-langhak kerja untuk uji pathogen dengan metode suntik intraperitoneal adalah sebagai berikut : - Bakteri yang sudah dihitung diinokulasi pada larutan agar dan diinkubasi pada suhu 28-37 °C selama 24-48 jam. - Ambil larutan bakteri dengan spoit dengan dosis 10 2 sel/ml, 103 sel/ml, 104 sel/ml, 105 sel/ml dan 106 sel/ml - Suntikkan 0,2 ml larutan bakteri setiap dosis ke ikan sehat secara intraperitoneal - Ikan yang telah disuntik kemudian dipelihara dalam media terkontrol dan kualitas lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan ikan. - Catat gejala klinis ikan dan waktu terjadinya kematian atau mortalitas pada ikan. Vaksinasi Vaksinasi dilakukan dengan cara menyuntikkan ikan baronang uji secara intraperitonial. Perlakuan pertama adalah menyuntikkan ikan dengan dosis 0,2 ml / ikan dengan satu kali suntikan (priming), sementara perlakuan kedua dilakukan dengan menyuntikkan ikan dengan vaksin 0,1 ml / ikan untuk penyuntikan pertama dan dilakukan penyuntikan susulan (booster ) juga dengan dosis yang sama yakni 0,1 ml / ikan setelah 7 hari dari penyuntikan awal. Perlakuan ketiga juga dilakukan booster dengan dosis yang sama namun 83 interval waktu penyuntikan susulan lebih lama yakni 14 hari. Sementara perlakuan yang keempat adalah kontrol yakni ikan dilakukan penyuntikan dengan larutan PBS (Purifer buffer saline) tanpa vaksin. Ikan kemudian dipelihara pada kondisi lingkungan yang memenuhi syarat. Uji Tantang Kultur murni bakteri Vibrio alginolyticus yang virulen (hasil pasase) pada media TSA akan dipanen dan disuntikkan kepada ikan baronang uji baik vaksin priming, vaksin booster maupun kontrol secara intraperitonial sebanyak 0,1 ml dengan dosis berdasarkan hasil uji patogenitas dalam penentuan Letal konsentrasi. Penyuntikan bakteri dilakukan secara bersamaan untuk semua perlakuan. Penyuntikan dilakukan setelah satu minggu dari booster terakhir. Ikan akan dipelihara selama 2 minggu setelah diuji tantang dan dihitung RPS ( Relatif Percentage Survival ). Tahap Pemeliharaan Ikan yang telah divaksin dan diuji tantang akan dipelihara dengan waktu minimal 1 bulan. Selama pemeliharaan ikan akan diberi pakan KRA 3 dengan dosis 3 % dari Berat badan dan diberi 3 kali perhari yakni pukul 08. 00, 12.00, dan 16.00. Untuk penanganan kualitas air media dilakukan penyiponan dan pemeliharaan ikan sistem sirkulasi. Pengukuran Peubah Peubah yang diamati dalam kegiatan ini adalah Tingkat Kelangsungan Hidup (SR), Relative Percent Survival (RPS), Prevalensi, dan Pertumbuhan Mutlak. a. Pengukuran Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) SR = (Nt/No) x 100% 84 Dimana : SR = Tingkat kelangsungan hidup (%) Nt = Jumlah hewan uji pada akhir pengujian (ekor) No = Jumlah hewan uji pada awal pengujian (ekor) b. Pertumbuhan Berat Mutlak Pengukuran pertumbuhan bobot biomas mutlak larva di hitung berdasarkan rumus Effendie (1979) sebagai berikut : W = Wt - Wo Dimana : W = Pertumbuhan mutlak individu (gram). Wt = Bobot biomassa hewan uji pada akhir penelitian (gram) Wo = Bobot biomassa hewan uji pada awal penelitian (gram) c. Pengukuran RPS (Relative Percentage Survival) RPS ( Relative percentage survival ) adalah tingkat persentase ikan yang sembuh dari serangan bakteri. RPS > 60 % membuktikan bahwa vaksin tersebut telah bekerja efektif dan apabila hasil RPS < 60% maka vaksin tersebut tidak berjalan secara efektif atau tidak layak digunakan (Hambali 2013 ). Adapun rumusnya adalh sebagai berikut: 85 RPS = 1- ( MrV/ MrC ) x 100 % Dimana RPS = Relative percentage Survival MrV = Mortalitas ikan vaksin MrC = Mortalitas ikan kontrol d. Prevalensi Prevalensi adalah persentase jumlah ikan yang sakit yang menggambarkan kondisi tertentu dalam periode waktu tertentu (Period Prevalence). (Desrina 2007). Prev = ( Jk / Jp ) x 100 % Dimana:Prev Jk Jp = Prevalensi = Jumlah kasus ikan sakit = Jumlah populasi ikan HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) 86 Tingkat kelangsungan hidup hewan uji uji atau survival rate (SR) adalah merupakan persentase dari jumlah hewan uji yang hidup pada akhir penelitian dengan jumlah hewan uji pada awal penelitian yang dipelihara dalam suatu unit penelitian (Effendie 1985 ). Hasil perhitungan SR ikan beronang yang disuntik vaksin dan diuji tantang dengan bakteri vibrio adalah sebagai berikut. Tabel 1. Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Beronang Setelah Uji Tantang. Survival Rate (SR) RATA-RATA PERLAKUAN Siklus I Siklus II Siklus III Bak A 60% 60% 40% 53,33% Bak B 80% 60% 80% 73,33% Bak C 100% 80% 80% 86,67% Bak D 0% 20% 0% 6,67% Berdasarkan Tabel 1 maka terlihat bahwa SR atau tingkat kelulusan hidup ikan baronang tertinggi didapatkan pada Bak C (booster vaksin 2 minggu) dengan persentase rata-rata mencapai 86,67%, kemudian diikuti Bak B (booster vaksin 1 minggu) dengan persentase rata-rata mencapai 73,33%, selanjutnya Bak A (priming/penyuntikan satu kali) dengan persentase rata-rata 87 mencapai 53,33%, dan yang terendah adalah pada Bak D (kontrol/tanpa vaksin) dengan persentase rata-rata mencapai 6,67%. Hasil yang didapatkan ini ini senada dengan pernyataan Jhonny (2004 ) bahwa ikan yang divaksin booster dapat menstimulan antibodi sampai dengan level protektif sehingga peluang ikan untuk menjadi sakit lebih kecil dan akan memperkecil peluang ikan untuk mati sehingga nilai SR nya tinggi. Tingginya tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada perlakuan yang menggunakan vaksin dibandingkan dengan kontrol, menunjukkan bahwa dengan pemberian vaksin dapat meningkatkan kelangsungan hidup secara signifikan dibandingkan dengan tanpa menggunakan vaksin. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1. 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Bak A Bak B Bak C Bak D Gambar 4. Survival Rate Rata-Rata Ikan Uji selama Kegiatan Berlangsung 88 Pada Gambar 2. terlihat bahwa pada perlakuan vaksin dengan sistem booster (Bak B dan Bak C) menunjukkan nilai kelangsungan hidup yang cukup tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dengan aflikasi vaksin yang diberikan secara booster mampu meningkatkan level antibodi dan daya memorizing terhadap antigen spesifik yang masuk. Meskipun hasil antara Booster 2 minggu (Bak C) dan booster 1 minggu (Bak B) menunjukkan hasil yang tidak berbeda secara signifikan tetapi lebih disarankan untuk menggunakan metode vaksin booster 2 minggu karena terbukti lebih tinggi tingkat sintasan ikan yang diuji tantang dengan bakteri vibrio. Sementara itu tingkat kelulusan hidup ikan yang divaksin dengan metode priming yang hanya sedikit diatas 50% (Bak A), hal ini diduga disebabkan proses pengenalan vaksin dengan jumlah dosis yang terlalu banyak juga tidak mampu memberikan efek stimulan antibodi. Kuat dugaan terjadi peluruhan antibodi dalam rentang waktu sampai ikan disuntik uji tantang dengan bakteri pathogen vibrio sehingga antibodi yang terbentuk tidak maksimal dan tidak mencapai konsentrasi protektif. Antibodi yang tidak berkembang secara penuh ini bisa diakibatkan adanya kondisi lingkungan yang berubah - ubah terutama suhu dan salinitas yang berubah karena pengaruh hujan sehingga ikan mengalami kondisi stressor. Hal lain yang sering membuat ikan stress adalah penanganan disaat sampling atau kondisi air yang mengandung banyak polutan. Selain itu pergantian air juga ditenggarai memiliki andil yang besar bagi meningkatnya stress ikan uji. Untuk menghindari cepatnya menurun jumlah antibodi maka disarankan memberikan adjuvant dimana adjuvant ini berfungsi sebagai depot 89 penampungan vaksin dan akan mengeluarkan vaksin sedikit demi sedikit dan dalam jangka waktu yang lama. Selain penggunaan adjuvant dapat juga dilakukan pemberian imunostimulan. RPS (Relative Percentage Survive ) Relative Percentage Survival ( RPS ) adalah tingkat persentase ikan yang bertahan hidup dari serangan bakteri. RPS ini didasarkan atas kematian ikan yang terjadi setelah uji tantang. Kematian diamati setiap hari selama 15 hari. RPS ini ditentukan berdasarkan formula, RPS = 1 – (v/k) x 100%, dengan v adalah mortalitas ikan yang divaksin (%) dan k adalah mortalitas ikan kontol (%). RPS > 60 % membuktikan bahwa vaksin tersebut telah bekerja efektif dan apabila hasil RPS menunjukkan nilai < 60% maka vaksin tersebut tidak berjalan secara efektif atau tidak layak digunakan (Hambali 2013 ). Hasil RPS dari ikan yang divaksin dapat dilihat pada Tabel 2.. Tabel 2. Hasil Perhitungan Relative Percentage Survival (RPS) pada Setiap Bak Pemeliharaan. MORTALITAS KODE BAK SIKLUS I SIKLUS II SIKLUS III RATARATA RPS 90 Bak A (Prming) 8 8 12 9,33 50% Bak B (Bo1M) 4 8 4 5,33 72% Bak C (Bo2M) 0 4 4 2,67 86% Bak D (Kontrol) 20 16 20 18,67 0% Dari hasil yang tertera diatas terlihat bahwa metode vaksin dengan cara booster 2 minggu mencapai nilai RPS tertinggi yakni 86 %. Nilai RPS yang tinggi menunjukkan adanya perlawanan antibodi yang terbentuk hasil stimulan vaksin terhadap bakteri patogen vibrio. Dalam penelitian uji tantang, memperlihatkan bahwa daya kerja bakteri pathogen terlihat pada hari kedua uji tantang, namun ikan pada perlakuan vaksin booster mampu bertahan dan menjadi sehat kembali. Kemampuan ikan bertahan dari serangan bakteri pathogen vibrio ini menunjukkan bahwa antibodi melalui stimulan vaksin caprivac vibrin L dapat terbentuk dengan sangat cepat dan mencapai level protektif tidak sampai dua hari setelah uji tantang. Vaksin yang masuk pertama kali akan direspon oleh limfosit darah ikan dengan cara membentuk sel B dan sel B inilah yang membentuk antibodi spesifik dan melakukan proses memorizing (pengenalan reseptor ) sehingga ketika vaksin atau antigen spesifik masuk untuk yang kedua kalinya sistem imun atau limfosit akan menghasilkan antibodi dalam jumlah yang cukup untuk protektif karena telah terjadi pengenalan antigen tersebut sebelumnya. 91 Hal yang juga berpengaruh terhadap meningkatnya antibodi ikan 0 adalah suhu. Suhu yang berkisar 26 C mampu menstimulan antibodi dengan sangat cepat (Desrina 2007), selain itu kondisi ikan juga sangat berpengaruh bagi efektifitas kerja vaksin. Ikan yang dalam kondisi stress mengalami kondisi imunopressur dan membuat ikan tidak bisa menghasilkan antibodinya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 2. 100 80 60 40 20 0 Priming Bo1M Bo2M Kontrol Gambar 2. Histogram RPS (Relative Percentace Survival ) Rata-Rata Ikan Uji pada setiap Bak Pemeliharaan. Pada Gambar 2 terlihat bahwa pada perlakuan dengan menggunakan vaksin menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Nilai RPS rata-rata antara booster 1 minggu (Bak B) dan booster 2 minggu (Bak C) tidak berbeda secara signifikan tetapi berbeda secara signifikan dengan metode priming (Bak A).Nilai RPS rata-rata priming yang hanya 50% memperlihatkan bahwa metode priming tidak cocok untuk diterapkan dalam pencegahan penyakit vibrio. Seperti dikemukan dalam pembahasan SR sebelumnya bahwa pada metode 92 priming, terjadi peluruhan hampir semua antibodi sebelum dilakukan uji tantang sehingga tidak mampu memberikan efek perlindungan dari serangan bakteri vibrio. Dalam rangkuman penelitian yang dilakukan Desriana 2007 , hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Rahman dan Kawai (1999) pada ikan mas koki, Collado et al., (2000) pada ikan sidat, Rahman et al. (2002) pada ikan mas, Qian et al.,(2008b) pada ikan large yellow croacker dan Cai et al. (2010) pada ikan Lutjanus erythroptherus dimana nilai RPS ikan vaksin dengan cara booster yang didapatkan pasca uji tantang berkisar antara 70-80. Perlu disampaikan bahwa semua peneliti di atas menggunakan dosis yang lebih tinggi dari yang digunakan dalam kegiatan perekayasaan ini dan menggunakan vaksin sub unit. Prevalensi Prevalensi adalah persentase jumlah ikan yang sakit yang menggambarkan kondisi tertentu dalam periode waktu tertentu (Period Prevalence) (Desrina 2007). Pengamatan ikan sakit dilakukan segera setelah selesai uji tantang. Pengamatan dilakukan dengan memperhatikan gejala klinis ikan perlakuan dan mencatatnya. Gejala klinis yang terlihat dari ikan yang terkena serangan bakteri vibrio yakni terjadinya pelepasan mucus (lendir), perubahan warna (melanosis), red mouth (bibir merah), haemoragik (borok), edema (Irianto 2005) dan dalam tingkat yang sangat parah terjadinya pengelupasan sirip (gripis) dan pop eye (mata bengkak) (Murdjiman 2004 ). Nilai prevalensi ikan yang didapatkan selama kegiatan berlangsung dapat dilihat pada Tabel 3. 93 Tabel 3. Nilai Prevalensi Rata-Rata Ikan Beronang yang Didapatkan selama Kegiatan Berlangsung. WAKTU PENGAMATAN KODE BAK PREVALENSI TOTAL SIKLUS I SIKLUS II SIKLUS III Bak A (Priming) 8 8 12 28 46,67% Bak B (Bo1M) 4 8 8 20 33,33% Bak C (Bo2M) 0 4 8 12 20,00% Bak D (Kontrol) 20 20 20 60 100% RATA-RATA Hasil pengamatan prevalensi pada Tabel 3. memperlihatkan bahwa semakin lama selang waktu booster, daya tahan tubuh ikan meningkat. Hasil yang didapatkan pada Bak C memperlihatkan bahwa dengan sistem booster dengan selang waktu 2 minggu sangat efektif dalam mengurangi nilai prevalensi ikan yang telah diuji tantang. Hal ini disebabkan karena proses induksi kekebalan spesifik terbentuk setelah 2 minggu dan proses 94 peluruhannya berlangsung dalam jangka yang cukup lama yakni sekitar lebih dari 2 bulan. (Agus, 2013). Selain itu booster 2 minggu ini mampu merangsang limfosit untuk tetap menghasilkan sell B yang memiliki sifat memorizing sehingga apabila ikan terpapar dengan antigen yang sama maka akan dengan cepat direspon dengan membentuk antibodi dalam jumlah yang cukup. Meski pada tahap awal uji tantang, ikan yang divaksin memperlihatkan gejala klinis berupa terjadinya pelepasan mucus atau lendir, namun hal ini adalah kondisi normal dimana pertahanan non spesifik terutama pelindung fisik (barrier physic ) mulai melakukan perlawanan (Hambali 2013 ). Apabila pertahanan non spesifik ini mulai tertembus maka, pertahanan non spesifik berupa antibodi akan mulai bekerja untuk melakukan perlindungan. Hasil pengamatan dari perlakuan ini memperlihatkan bahwa daya kerja pertahanan non spesifik ikan hanya bekerja maksimal dalam rentang waktu dua hari, hal itu terbukti bahwa ikan yang tidak terlindungi dengan vaksin mulai memperlihatkan gejala sakit yang akut bahkan mulai mati sebelum hari ke 5 uji tantang. Hal ini membuktikan bahwa perlindungan ikan dari serangan bakteri tidak hanya bisa dilakukan dengan pertahanan non spesifik. Grafik nilai prevalensi rata-rata yang didapatkan pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3.. 95 100.00% 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% Bak A Bak B Bak C Bak D Gambar 3. Histogram Prevalensi Ikan Rata-Rata pada Setiap Perlakuan. Pada Gambar 3.terlihat nilai prevalensi rata-rata yang terendah didapatkan pada perlakuan dengan sistem booster 2 minggu (Bak C), kemudian diikuti Bak B (sistem booster 1 minggu), selanjutnya Bak A (sistem priming), dan yang paling tinggi adalah Bak D (kontrol). Dua perlakuan booster pada perlakuan ini menempati urutan terendah dalam prevalensi karena ikan yang disuntik dengan metode ini berhasil sembuh. Selain karena efektifitas vaksin, metode vaksinnya yang berupa metode booster sangat berpengaruh dalam menginduksi kekebalan spesifik ikan baronang sehingga ikan mampu bertahan dari serangan bakteri. Hal lain yang juga turut mempengaruhi nilai prevalensi ikan adalah faktor eksternal, seperti pemeliharaan ikan pada kondisi lingkungan yang optimun juga berpengaruh pada membaiknya tingkat kesehatan ikan sehingga 96 nilai prevalensinya rendah. Selain itu hal yang juga dapat dilakukan untuk menurunkan nilai prevalensi ikan yaitu menambahkan immunostimulan pada pakan ikan. Immunistimulan yang digunakan berupa vitamin C, asam amino dan vitaliquid. Pertumbuhan Berat Mutlak Pertumbuhan mutlak Ikan baronang diukur pada akhir kegiatan, yaitu dengan menimbang langsung hewan uji yang berhasil bertahan hidup sampai akhir kegiatan berlangsung. Hasil pengukuranpertumbuhan berat mutlak ratarata pada setiap perlakuandapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Pengukuran Pertumbuhan Berat Mutlak Rata-Rata pada Setiap Perlakuan. Kode Bak Berat Awal Rata-rata (wo) (gr) Berat Akhir Rata-rata (wt) (gr) Pertumbuhan Berat Mutlak Rata-rata (gr) Bak A 108 124,00 16,00 Bak B 108 127,33 19,33 Bak C 108 128,66 20,66 Bak D 108 117,00 9,00 Nilai pertumbuhan berat mutlak ikan seperti yang terlihat pada Tabel 4. memperlihatkan bahwa hasil pertumbuhan terbaik didapatkan pada 97 perlakuan booster 2 minggu dengan nilai 20.66 gr,hal ini berbanding lurus dengan hasil tingkat kelangsungan hidupnya yang cukup tinggi. Tingginya nilai pertumbuhan yang didapatkan pada perlakuan ini dikarenakan ikan tidak terlalu mengalami kondisi sakit sehingga laju metabolisme dalam tubuhnya tidak terganggu dan pada akhirnya pertumbuhannnya juga ikut baik. Selain itu karena ikan tidak terlalu mengalami kondisi sakit sehingga energi yang didapatkan dari asupan pakan sebagian besar digunakan untuk bertumbuh. Adapun grafik pertumbuhan ikan beronang yang didapatkan selama kegiatan berlangsung dapat dilihat pada Gambar 4. 25 20 15 10 5 0 Bak A Bak B Bak C Bak D Gambar 4. Grafik Pertumbuhan Berat Mutlak Ikan Beronang yang Didapatkan Selama Kegiatan Berlangsung. 98 Pengukuran Kualitas Air Selama kegiatan berlangsung dilakukan pengukuran parameter fisikakimia air media pemeliharaan pada setiap bak pemeliharaan yang meliputi:suhu, pH, oksigen terlarut dan amoniak. Nilai kisaran parameter kualitas air yang didapatkan dapat dilihat Tabel 5. Tabel 5. Hasil Pengukuran Beberapa Parameter Kualitas Air Media Pemeliharaan Ikan Beronangpada Setiap Perlakuan. Parameter Kualitas Air Oksigen Terlarut (ppm) PERLAKUAN BAK B BAK C 4,53 – 5,80 4,57 – 5,80 BAK A 4,45 – 5,81 BAK D 4,55 – 5,85 29- 30 29- 30 29- 30 29 - 30 32 – 33 32 – 33 32 – 33 32 - 33 7,55 – 7,73 7,48 – 7,65 7,43 – 7,71 7,50 – 7,65 0,002 – 0,036 0,003 – 0,030 0,002 – 0,028 0,005 - 0,036 Suhu (oC) Salinitas (ppt) PH NH3 Suhu air media pemeliharaan ikan baronang selama kegiatan berlangsung antara 29 - 30ºC. Kisaran tersebut masih layak untuk kelangsungan hidup ikan beronang. Suhu yang optimal untuk kehidupan ikan berkisar antara 25 – 33 oC, namun suhu ideal adalah 27 – 32 oC dengan perubahan yang tidak ekstrim (Kordi, 2005). Suhu dapat menyebabkan beberapa variabel kualitas air berada di bawah batas toleransi organisme. Meningkatnya tingkat metabolisme dapat diakibatkan oleh peningkatan suhu 99 air dan pada akhirnya meningkatkan kebutuhan oksigen, dilain pihak kelarutan oksigen menurun sejalan dengan peningkatan suhu. pH air media pemeliharaan ikan beronang untuk semua perlakuan selama kegiatan berlangsung berkisar antara 7,43 - 7,73. Kisaran ini masih dalam batas yang layak untuk kehidupan ikan beronang. Ikan beronang tumbuh optimal pada pH 7,2 – 8,5. Bahkan pada pH 6,5 pun ikan beronang masih hidup dengan baik, tetapi pertumbuhannya lambat (Sunyoto dan Mustahal, 1997). Kandungan Oksigen terlarut (O2 ) selama kegiatan berlangsung berkisar antara 4,45- 5,85 ppm. Nilai kisaran tersebut masih layak untuk mempertahankan sintasan ikan beronang. Kandungan oksigen terlarut 4 ppm merupakan standar yang tidak boleh kurang untuk kelayakan kehidupan organisme dalam perairan ( Boyd, 1990). Kandungan amoniak yang terukur selama kegiatan berlangsung yaitu berkisar antara 0,002 - 0,036 ppm. Nilai kisaran ini masih layak untuk mempertahankan kelangsungan hidup ikan beronang. Untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan kadar amonia dalam media pemeliharaan ikan beronang hendaknya tidak melebihi 0,1 ppm (Boyd, 1990). Amonia dapat berasal dari buangan bahan organik yang mengandung senyawa nitrogen seperti protein maupun sebagai hasil ekskresi. Amonia juga dihasilkan melalui amonifikasi bahan organik seperti pakan yang tidak terkonsumsi dan feses (Effendie, 2003). 100 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil kegiatan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Dalam pengamatan parameter peubah yakni SR, RPS dan Prevalensi perlakuan yang memperlihatkan hasil terbaik adalah boster 2 minggu dan diikuti oleh booster 1 minggu. Namun diantara kedua perlakuan ini tidak menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, tetapi menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dengan perlakuan metode priming maupun kontrol. Laju pertumbuhan mutlak juga didapatkan hasil terbaik dari perlakuan booster 2 minggu,beturut-turut diikuti booster 1 minggu, dan vaksin dengan cara priming. Metode vaksin dengan cara booster 2 minggu menghasilkan level antibodi yang paling protektif diantara perlakuan yang lain. Saran Perlu dilakukan kajian lebih lanjut yang meliputi jumlah penggunaan dosis yang tepat, analisa parameter darah ikan setelah dan sebelum uji tantang. Selain itu juga kajian tentang penerapan immunistimulan untuk mencari perpaduan antara metode pertahanan tubuh ikan baik secara spesifik maupun non spesifik. 101 DAFTAR PUSTAKA Agus S. 2013 Vaksin dan Imunostimulan. Pelatihan Vaksinator Ikan BBAP Jepara September 2012. Laboratorium Penelitian Kesehatan Ikan. Balitbang KKP. Jakarta. Bondad-Reantaso, M.G., S.Kanchanakhan & S.Chinabut. 2000. Review of Grouper Diseases and Health Management Strategies for Grouper and other Marine Finfish Diseases. RegionalWorkshop on Sustainable Seafarming and Grouper Aquaculture. Collaborate APEC Grouper Research and Development Network. FWG 01/99. 17-20 April 2000. Medan, Indonesia. Boyd, C.E. 1982.Water Quality Management For Pond Fish Culture. Developments in Aquaculture and Fisheries Science vol,9 , Elsevier, New York. Desrina, A. Taslihan, Ambariyanto, E.Yudiati, Y.D. Casessar, R.B.S. Sumanta, Triyanto, H.J.Situmeang & L. Sembiring. 2007. Isolasi, purifikasi dan immunogenitas protein outer membrane Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). J. Perikanan, IX (1):816. Desrina, A.Taslihan, Ambariyanto, B.K. Djati 2011.Pengaruh Dosis Terhadap Efektifitas Vaksin POM Vibrio alginolitycus 74 kDa pada Ikan Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. Ellis ,A.E 1988. General principle of Fish vaccination, Academic Press, London. Feliatra. 1999. Identifikasi Bakteri Patogen (Vibrio sp) Di Perairan Nongsa Batam Provinsi Riau. Jurnal Natur Indonesia 1I (1). Gasperz, V., 1991. Metode Perancangan Percobaan untuk Ilmu-Ilmu Pertanian Teknik dan Biologi. CV Armico. Bandung. 102 Hambali S. 2013 Vaksinasi Pada Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Jakarta. Hamka, S. Faridah, Mutmainnah dan Faidar, 2008. Penggunaan Pakan Buatan Dan Pakan Alami (Gracillaria Sp) Pada Pendederan Benih Ikan Beronang Lada (Siganus Guttatus). Laporan Tahunan. Balai Budidaya Air Payau Takalar. Departemen Kelautan Dan PerikananDirektorat Jenderal Perikanan Budidaya. Harth, E., J. Romero, R. Torres, and R. Espejo. 2007. Intragenomic Heterogenity and Intergenomic Recombination among Vibrio parahaemolitycus 16S rDNA. Microbiology, 153: 2640-2647immunology , 10: 379-382. Inglis S.W, Canestrini ,1998; Bacterial Diases of Fish, Department Aquaculture, Newcastle University. Brisbane, Australia. Klesius 2001 Outer membrane fraction of Flavobacterium psychrophilum induces protective immunity inrainbow trout and ayu. Fish and shellfish mmunology, 12: 169-179. Kordi, G. 2003. Penanggulanggan Hama dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta dan Bina Adiaksa. Jakarta. 194 hal Murdjani, 2002. Identifikasi dan Patologi Bakteri Vibrio alginolyticus pada Ikan Kerapu Tikus. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya. Nagasawa, K & E. R. Cruz-Lacierda (editors). Diseases of Cultured Groupers. Southeast Asian Fisheries Development Center, Aquaculture Department, Iloilo, Philippines. 81 pp. Nitimulyo, K.H., A. Isnanstyo, Triyanto, M. Murdjani & L. Solichah. 2005b. Effektifitas vaksin polivalen untuk pengendalian vibriosis pada kerapu tikus (Cromoliptes altivelis). J. Perikanan, 2: 95–100 103 Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Post, G. 1987. Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications Inc. USA. 288 pp. proteins of Aeromonas hydrophila induce protective immunity in goldfish. Fish and shellfish. Rahmaningsih S.2011. Identifikasi Patogenitas selular bakteri Vibrio alginolyticus yang menginfeksi benih ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). 104 MEMBANGKITKAN PRODUKTIVITAS TAMBAK TRADISIONAL PULAU KECIL DI SULAWESI SELATAN MELALUI DIVERSIFIKASI KOMODITAS PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN BERONANG (Siganus.sp) Dasep Hasbullah a), Sugeng Raharjo a), Jumriadi a),Imran Lapong b), Harnita Agusanty a), Mike Rimmer b,c). Email addrees: [email protected] ABSTRACT Indonesia as archipelagos country has many potential small island that spread out along Nusantara. Characteristic of the community who lives in the cloistered islands mostly as fishermen with promising results. However, this condition usually made them have less attention of the potency of fishponds surround their area that unutilized optimal (idle). Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar collaboration with Australian Centre for International Agriculture Research (ACIAR) had developing fishpond intensification by commodity diversification to reutilize idle ponds as an effort to help fishermen that only rely from fishing results but they can have additional income from aquaculture activities beside seaweed culture. The activities were very useful to improve island community income, to comply daily needs especially when fishing activities blocked by bad weather. This activity also had intention to build awareness from communities to support Blue Economy movement and as implementation of aquaculture activities with environmental friendly and sustainable. One of the commodities that had been chose is Rabbit fish (Siganus sp) Key Words: Idle pond, Small Island, diversification and Rabbit fish a. b. c. Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar, Sulawesi Selatan, Indonesia Australian Centre for International Agricultural Research Field Support Office, Jl. Urip Sumohardjo No.20, Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia Fakultas Ilmu Kedokteran Hewan, Universitas Sydney, 425 Werombi Road, Camden, NSW 2570, Australia 105 PENDAHULUAN Ikan beronang (rabbitfish) merupakan salah satu dari jenis ikan herbivira dengan famili kecil dan terdistribusi secara luas pada Perairan IndoBarat Pasifik (Woodland, 1983). Dan dari segi nilai ekonomi, ikan beronang tergolong ikan ekonomis penting dan relatif mudah untuk dipelihara sehingga menjadi salah satu bahan pertimbangan untuk dibudidayakan (Juario et. al., 1985; Hara et. al., 1986). Rasa ikan beronang yang enak dan gurih serta disukai banyak orang sehingga pemasaran ikan ini cukup baik. Untuk memenuhi kebutuhan konsumen selama ini, masih tergantung dari hasil penangkapan. Sedangkan usaha pembesaran ikan beronang, baik di tambak maupun di keramba masih tergantung pada benih alam. Usaha pembesaran dengan mengandalkan benih alam memiliki beberapa kelemahan. Benih alam sangat tergantung pada musim dan ketersediaannya terbatas. Sedangkan bila penangkapan benih di alam terus-menerus dilakukan tanpa pertimbangan kelestariannya akan berdampak negatif terhadap populasi beronang di alam. Di pantai Utara Jawa, ikan beronang telah mengalami species extinction (kepunahan spesies) karena penangkapan yang terus-menerus tanpa mempertimbangkan kelestariannya dan hal ini tidak tertutup kemungkinan juga akan terjadi pada daerah-daerah lain di Indonesia (Kordi, 2005). Secara sistematika ikan beronang lada tergolong kedalam: Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Kelas Osteichthyes, Sub kelas Actinopterygii, Infra kelas Teleostei, Divisi Euteleostei,Super ordo Acanthoptrygii, Ordo Percipformes, Sub ordo Acanthuroidei, Family , Genus Siganus, Species Siganus guttatus (Lin., 1766). Penyebaran Siganus guttatusmeliputi Sumatera (Bengkulu, dan Padang Deli); Jawa (P. Seribu, Cirebon, Balay, dan Surabaya); Kalimantan (Balik Papan); Sulawesi (Makassar, Bajo, Manado, dan Selayar); Maluku (Seram, P. Obo, Ternate, dan Ambon). Kegiatan budidaya ikan beronang di tambak sebagai upaya peningkatan kinerja tambak dan pelestarian sumber daya biota aquatic dari kepunahan dapat dikembangkan di masyarakat dengan memperhatikan kaidah penerapan teknologi yang baik, dintaranya sebagai berikut : 1. Benih ikan beronang yang digunakan adalah hasil tangkapan di alam atau hasil peangkaran/pembenihan yang memiliki ukuran seragam, sehat dan tidak terserang penyakit 106 2. Tambak yang digunakan adalah tambak lanyyah yang ada di pesisir pantai baik di kawasan selat, teluk, tanjung maupun pulau-pulau kecil 3. Sebelum digunakan dilakukan sortir kualitas lawi-lawi dan pemberokkan dalam bak pemeliharaan yang menggunakan air laut steril 4. Selama kegiatan budidaya berlangsung dilakukan sampling secara terjadwal dan pengamatan terhadap kesehatan ikan dan kondisi lingkungan tambak yang digunakan. 5. Tidak menggunakan bahan kimia yang berbahaya, baik pada saat penampungan benih, maupun selama kegiatan budidaya berlangsung. 6. Pemanenan ikan beronang dilakukan pada saat suhu rendah (pagi, sore hari atau malam hari) Teknologi ini dikembangkan sebagai upaya meningkatkan nilai tambah hasil ikan beronang dari hasil penangkapan dan kegiatan pembenihan melalui kegiatan budidaya di tambak dan meningkatkan pendapatan masyarakat/pembudidaya tambak. Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengembangkan teknologi budidaya ikan beronang (siganus.sp) prospektif/menguntungkan efisien dan ramah lingkungan, dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan peningkatanan ketahanan pangan bagi masyarakat nelayan dan pembudidaya. Sasaran Melakukan intensifikasi pada tambak tradisional pulau kecil di sulawesi selatan Melalui diversifikasi komoditas Pengembangan budidaya ikan beronang (siganus.sp). BAHAN DAN METODOLOGI Uji coba ini dilakukan di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar mulai Bulan Oktober 2013 – April 2014 di Desa Tompotana Pulau Tanakeke Kecamatan Mappakasungu Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. Alat yang digunakan dalam kegiatan uji coba budidaya nila meliputi : a. Alat penangkap benih beronang (Paroppo) b. Pompa alkon 4 inchi c. Cangkul d. Parang 107 e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. DO meter pH meter Hand Repractometer Timbangan digital Penggaris Jala Ember Gergaji Golok Waring penampungan (pemberokan) Bahan yang digunakan dalam kegiatan budidaya meliputi : a. Benih ikan beronang (size 8 – 11,5 cm) b. Rumput laut c. Pakan komersil d. Pupuk organik e. Saponin f. Bambu Prosedur Kerja Pengumpulan dan Seleksi benih beronang Pada saat pengumpulan benih ikan beronang, baik dari hasil tangkapan maupun dari kegiatan budidaya (pembenihan) dilakukan penyortiran/pemilihan kualitas dan keseragaman ukuran benih sebelum ditebar di tambak pemeliharaan. Gambar 1 dan 2. Alat tangkap dan grading ukuran benih beronang 108 Pemberokkan/Penampungan sementara Benih beronang selanjutnya dilakukan pemberokkan/penampungan dalam wadah (waring/hava) yang dipasang di dalam tambak pemeliharaan sebelum dilakukan penebaran/dilepas langsung di tambak. Penebaran Benih Penebaran benih beronang dilakukan setelah 2-3 hari diaklimatisasi dalam waring/hava penampungan sementara. Pada tahapan ini benih beronang yang ditebar sudah dipastikan dalam kondisi siap dibesarkan dan dalam kondisi sehat (layak dibudidayakan). Penebaran benih dilakukan pada saat suhu air rendah yaitu pada pagi atau sore hari dengan memperhatikan kondisi lingkuaan kualitas air tambak pemeliharaan baik secara fisik, kimia maupun biologisnya sebagai prasarana yang akan digunakan sebagai media pembesaran beronang. Benih beronang yang ideal untuk ditebar pada tambak pembesaran memiliki bobot rataan 15 g/ekor dengan panjang standard dan panjang total benih berkisar antara 8 – 11,5 cm. Pemeliharaan dan Pemberian Pakan tambahan Sebagai starter untuk merangsang pertumbuhan dan mengamati respons benih terhadap ketersediaan pakan dalam tambak pemeliharaan, setelah satu minggu dari penebaran diberikan pakan tambahan berupa pellet atau rumput laut. Pemberian pakan tambahan ini diberikan selama satu minggu dengan interval pemberian 2-3 kali perhari dengan dosis 2% dari total biomass untuk pakan berupa pellet dan 4% dari total biomass untuk pakan alami rumput laut cottoni, sedangkan untuk tahap selanjutnya sampai akhir masa pemeliharaan cukup diberikan pakan tambahan rumput laut. Disamping itu pada tambak yang memiliki kesuburan lingkungan perairannya ketersediaan pakan alami yang ada di areal tambak (beberapa golongan mikroalga dan plankton dan beberapa species lecane) sudah cukup menjadi sumber pakan untuk ikan beronang. Sampling 109 Untuk mengetahui bobot terkini baik rataan perindividu maupun bobot total ikan yang dibudidayan dilakukan sampling setiap 20 hari sekali. Sampling juga dimaksudkan untuk mengetahui laju pertumbuhan, nilai konversi pakan yang diberikan (FCR), Sintasan/kelulus hidupan (SR) dan Efisiensi Penggunaan pakan serta dapat menghitung kebutuhan pakan lanjutan. Agar tidak terjadi dampak negatif dan stress terhadap ikan yang dibudidayakan sampling dilakukan pada pagi atau sore hari ketika suhu air rendah. Parameter yang diamati selama kegiatan, adalah : SR (Kelangsungan Hidup) Nt SR = X 100% No dimana : SR = kelangsungan hidup (%). Nt = populasi ikan pada akhir masa pemeliharaan (ekor). No = populasi ikan pada awal masa pemeliharaan (ekor). Menurut Effendie (1972). Pertumbuhan Pertumbuhan berat mutlak atau total : h = Wt-Wo Dimana : h = berat mutlak atau total tubuh ikan selama percobaan (kg). Wt = berat total tubuh ikan selama percobaan (kg). Wo = berat total ikan awal percobaan (kg). Menurut Weatherley (1972). Produksi P = (B1- B2) + Bd dimana : P = produksi. (B1 – B2) = pertambahan berat biomass selama percobaan. Bd = berat total ikan yang mati selama percobaan. Makanan dan Konversi Pakan (FCR) Jumlah makanan yang diberikan dihitung selama 4 bulan atau 120 hari (selama percobaan), setiap dua puluh hari dilakukan pengambilan sample ikan untuk ditimbang berat rataannya, dihitung mortalitasnya dan diestimasi berat 110 totalnya. Hal ini digunakan untuk menetukan pemberiaan pakan lanjutan setiaap hari 2% dari berat total tubuh ikan nila hibrid yang diujicobakan. F FCR = ____________________ (Wt + D) - Wo dimana : FCR = tingkat konversi pakan F = jumlah pakan yang diberikan selamapercobaan (gram) Wt = bobot total ikan pada akhir percobaan (gram) Wo = bobot totalikan pada awal percobaan (gram) D = bobot total ikan yang mati selama percobaan (gram) (Djajasewaka,1985). Monitoring Kualitas air dan kesehatan ikan Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung proses pemeliharaan agar pertumbuhan ikan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Kegiatan ini dilakukan untuk proses kontrol dan melakukan pemantauan terhadap proses pertumbuhan ikan budidaya, perubahan lingkungan dan kondisi kesehatan ikan. Hasil monitoring bisa menjadi dasar untuk tindakan penangan bila dubutuhkan. Panen dan Pengelolaan Data pendukung kegiatan Panen dilakukan setelah 4-5 bulan masa pemeliharaan dilaksanakan pada pagi atau sore hari (saat suhu air dan suhu lingkungan rendah). Pemanenan beronang bisa dilakukan dua cara yaitu panen sebagian dan panen total. Hasil budidaya diukur dengan rumus produksi sebagai berikut : P = (B1B2) + Bd Dimana : P = produks (kg). (B1 – B2) =pertambahan berat biomass selama percobaan(kg). Bd =berat total ikan yang mati selama percobaan (kg) 111 Data yang dikumpulkan selama kegiatan budidaya meliputi pertumbuhan ikan (panjang standar, panjang total, bobot rataan perindividu dan bobot biomass), penggunaan pakan, kondisi lingkungan (kualitas air), cuaca, dan kematian ikan, biaya, dan hasil panen. Pengolahan data yang dilakukan meliputi tingkat pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, feed conversion ratio (FCR), efisiensi pakan (EP), dan analisis usaha. HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi yang ideal untuk pengembangan Budidaya ikan beronang adalah kawasan/daerah yang memiliki kelayakan teknis sebagai habitat yang cocok untuk budidaya beronang. Budidaya beronang lebih tepat jika dilakukan di sekitar wilayah/zona tangkapan benihnya sehingga dapat meminimalisir tingkat kerugian akibat faktor kematian ikan pada saat penanganan dan memperkecil dampak yang ditimbulkan dari perubahan lingkungan kualitas air tempat budidaya dan selama pemeliharaan berlangsung. Lokasi ujicoba pengembangan teknologi budidaya ikan beronang (siganus.sp) yang dilakukan Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar. Teknologi ini merupakan pengembangan teknologi Diversifikasi tambak yang dilakukan bekerja sama dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Wilayah percontohan yang direkomendasikan untuk pengembangan teknologi ini adalah pulau yang memiliki potensi lingkungan perairan sebagai sumber penangkapan benih beronang di alam, salah satu contoh pulau yang memilki potensi pengembangan tersebut adalah pulau Tanakeke di Kabupaten Takalar. Gambar 3 dan 4. Proses Pemberokkan, pengecekan fisik dan kualitas benih beronang sebelum dilepas ke tambak pembesaran 112 Pulau Tanakeke sebagai pulau yang kaya dengan aneka ragam ikan tangkapan dalam keadaan hidup salah satunya beronang ditunjang dengan daya dukung prasarana tambak yang cukup luas dan letak pulau yang strategis, didukung animo masyarakat yang antusias dalam keinginan melalkukan usaha budidaya sangat memungkinkan untuk dijadikan wilayah pengembangan budidaya ikan beronang yang mempunyai prospektif untuk peningkatan pendapatan pembudidaya dan peningkatan taraf hidup masyarakat sekitarnya. Tabel 1. Jumlah anggota kelompok pembudidaya ikan beronang yang terlibat dalam kegiatan pembesaran ikan beronang di tambak. NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 NAMA ANGGOTA Indar Dg Razak/Kepala Desa (Ketua) Haris Kahar Dg Mele Baso Dg Sija Baso Dg Sua (Bendahara) A Dg Tika T Dg Ngunjung J Dg Nai H Dg Tinri M Dg Nai' R Dg Sila M Dg Sewang Baso Dg Sarro Baso Dg Nai Nawir (Sekretaris) Sila Dg Ngerang HB. Dg Ngalle TO TAL Luas Area (Ha) KETERANGAN 2.20 2.00 1.00 0.30 0.40 Tergabung dalam 2.00 kelompok Nelayan 0.75 pembudidaya " SARRO 0.30 MA'NAI " Desa Tompo 0.45 tana Kecamatan 0.40 Mappaka sungu 2.00 Kepulauan Tanakeke 0.70 Kabupaten Takalar 0.60 0.60 0.50 0.80 0.60 15.60 113 Gambar 5 dan 6. Pengukuran kualitas air, dan penebaran benih beronang dari waring/hava penampungan ke tambak pembesaran Sampling Laju Pertumbuhan ikan yang diujicobakan Dari hasil kegiatan di lapangan juga diperoleh data yang menggambarkan laju pertumbuhan bobot rataan perindividu dimana hasilnya menunjukkan bahwa kenaikan bobot rataan individu ikan beronang yang dibudidayakan terus meningkat (lihat Grafik 1). Demikian juga dengan performa laju pertumbuhan panjang rataan ikan diujicobakan menunjukkan kenaikan panjang rataan yang normal (lihat Grafik 2). Gambar 7 dan 8. Pengukuran panjang rataan dan bobot rataan ikan beronang pada saat dilakukan sampling 114 Grafik 1. Laju penambahan bobot rataan perindividu (g/ekor) 250.00 Bobot (g/ekor) 200.00 150.00 100.00 50.00 0 (50.00) I II III Sampling Ke....... Grafik 2. Laju penambahan panjang rataan perindividu (cm/ekor) 30.00 Panjang (cm) 25.00 20.00 15.00 Pajang Standard 10.00 Panjang Total 5.00 0 I II III IV Sampling Ke... 115 Sebagai kegiatan pendukung pada ujicoba ini dilakukan pengamatan morfhologi ikan beronang yang diujicobakan untuk mengetahui performa ikan yang dibudidayakan, karakteristik biologis dan perbandingan komposisi jantan dan betina dari hasil budidaya sebagai informasi tambahan yang sewaktu-waktu diperlukan untuk pengembangan budidaya beronang di tambak. Pengamatan Kualitas Air Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung proses pemeliharaan agar pertumbuhan ikan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Kegiatan ini dilakukan untuk proses kontrol dan melakukan pemantauan terhadap proses pertumbuhan ikan budidaya, perubahan lingkungan dan kondisi kesehatan ikan. Hasil monitoring bisa menjadi dasar untuk tindakan penangan bila dubutuhkan. Monitoring kesehatan lebih ditekankan pada adanya indikasi kasus serangan penyakit. Hasil Monitoring kuaitas air selama pelaksanaan kegiatan uji coba dilukiskan pada grafik di bawah ini (Gambar 5 dan Gambar 8) 116 Grafik Perkembangan Kualitas Air rata-rata di Lokasi ujicoba 90.00 80.00 70.00 8.00 8.50 7.50 6.72 7.85 34.00 33.00 8.23 60.00 32.00 7.65 8.23 8.40 7.25 7.50 7.80 7.00 5.86 8.33 6.00 6.24 3.55 6.00 6.00 4.22 33.00 6.82 5.86 33.00 32.00 31.50 30.50 32.50 32.0030.00 32.00 32.50 32.00 7.74 7.43 7.50 8.30 7.86 50.00 40.00 30.00 35.00 35.00 33.00 37.00 28.00 32.00 33.00 34.00 37.00 36.00 36.00 37.0036.00 34.00 20.00 10.00 0.00 Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu Minggu II Minggu IV IV IV IV IV IV IV Okt Nov Salinitas Des Jan Suhu/Temperatur Peb DO Mar Apr pH Kelulushidupan dan Produktivitas Angka Kelulushidupan (kelangsungan hidup) ikan beronang pada kegiatan pembesaran ini berada pada kisaran 72%. Cukup baiknya angka kelulushidupan ikan beronang ini membuktikan bahwa adanya harapan baru sebagai teknologi budidaya di tambak yang dapat dikembangkan dengan baik di kemudian hari. Dari pengalaman pada ujicoba ini walaupun menggunakan benih alam hasil tangkapan dengan alat tangkap sederhana, alat penampungan dan mobilisasi benih yang belum memadai tapi kualitas benih ikan yang dibudidayakan cukup bagus. Dari penebaran benih sebanyak 10.000 ekor/Ha, hasil panen yang diperoleh pada kegiatan budidaya beronang di tambak ini sebanyak 6.840 ekor (1,595.9 kg) ukuran konsumsi terdiri dari 4.104 ekor (857,2 kg) dengan bobot rataan 180-226 g/ekor dan sebanyak 2.736 ekor (738,7 kg) dengan size rataan 240-300 g/ekor dengan harga jual yang cukup baik dimana untuk size 180-226 g harga jual minimum Rp. 7.000/ekor, sedangkan untuk size 240-300 g harga jual terendah pada angka Rp. 9.500/ekor. Harga tersebut jika dijual langsung di lokasi tambak. Bila 117 penjualan dilakukan di pasar pelelangan maka harga jual ikan beronang hasil budidaya tersebut akan semakin baik lagi. Potensi ekonomi dan analisa usaha budidaya Kegiatan budidaya ikan beronang di tambak inimemberikan harapan baru bagi pembudidaya/petambak dan keluarganya dalam membuka peluang usaha baru dan pemberdayaan masyarakat pesisir/pembudidaya/nelayan tambak dalam peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Pada sisi lain kegiatan ini juga diharapkan dapat membantu peningkatan pembangunan sektor perikanan melalui peningkatan ketahan pangan dan gizi masyarakat yang berkesinambungan dengan produtivitas budidaya perikanan. Analisis singkat kegiatan usaha pembesaran beronang di tambak selengkapnya terinci pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Analisa usaha Pembesaran ikan beronang dalam luasan 1 Ha Analisa Usaha Pembesaran ikan beronang dalam luasan 1 Ha tambak pemeliharaan tambak pemeliharaan selamaSelama 5-6 bulan pemeliharaan. 3-3,5 Bulan Pemeliharaan NO Volume Bahan/Alat Satuan Harga Jumlah harga (Rp) Satuan (Rp) A. Modal Usaha 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Bibit Beronang size 8-11.5 cm Pupuk Organik Pakan buatan (pellet) Pakan alami (rumput laut) Waring Penampungan dan alat tangkap Timbangan, alat sampling Sewa mesin pompa dan bahan bakar Pemelliharaan tambak dan pematang Upah Tenaga kerja JUMLAH 10,000 570 200 720 1 1 1 1 4 ekor kg kg kg paket unit siklus siklus bulan 700 3,600 8,000 3,500 700,000 600,000 850,000 2,500,000 2,000,000 7,000,000 2,052,000 1,600,000 2,520,000 700,000 600,000 850,000 2,500,000 8,000,000 15,322,000 B. Produksi (SR 68-72%) 1 Ukuran konsumsi size 180-226 g/ekor 2 Ukuran konsumsi size 240-300 g/ekor JUMLAH C. Hasil Usaha persiklus (B-A) 4,104 ekor 2,736 ekor 5,000 9,000 20,520,000 24,624,000 45,144,000 29,822,000 118 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kegiatan ini memberikan dampak sosial yang tinggi terhadap masyarakat baik secara teknis, ekologis maupun secara ekonomis, Manfaat lainnya antara lain sebagai berikut : Meningkatkan nilai tambah produktivitas tambak, terutama tambak idle yang berada di pesisir dan kawasan pulau terpencil Menambah peningkatan ekonomi masyarakat, khususnya nelayan pengumpul benih ikan beronang Mendukung upaya pelestarian sumber daya alam (biota aquatic) dengan mengubah pola pikir penangkapan besar-besaran dengan kegiatan budidaya yang ramah lingkungan Saran Mengingat begitu pentingnya produktivitas tambak bagi Peningkatan taraf hidup nelauyan, pembudidaya dan masyarakat pulau, maka upaya pengembangan teknologi budidaya beronang di tambak yang berada di pulaupulau kecil ini perlu terus dilakukan untuk mewujudkan pembangunan perikanan budidaya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Basyari, A., 1989. Biologi dan Budidaya Ikan Beronang Siganus spp. Wicara/Seminar Pemanfaatan Sumberdaya Pantai/Laut. Sub Balai Penelitian Budidaya Pantai Bojonegara, Serang Bojonegara, 12 – 13 April 1988. pp 1-20. Bryan, P.G. and B.B. Madraisau, 1977. Larval Rearing and Development of Siganus lineatus (Piscea : Siganidae) from Hatching Through Metamorphosis Aquaculture 10 : 243 – 252. Effendie, M.L. 1979. Biologi Perikanan. Nusantara, Jakarta. Hal. 92 – 100. Yayasan Pustaka Gundemann, N., D.M. Popper and Lichtowich, 1983. Biology and life cycle of Siganus vermiculatus (Siganidae, Pisces). Pacifik Science, 37 (2) : 165. 119 Ismail, W., I.S. Wahyuni and T. Pangabean, 1986. Studi Pendahuluan Pemberian Komposisi Pakan yang Berbeda pada Ikan Beronang Siganus canaliculatus (Preliminary study on the combination of feed for siganids). Jurnal Penelitian Perrikanan Laut 10 (36) : 1 – 5. Koesharyani I., Zafran, E. Stiadi, K. Yuasa and S. Kawahara. 1999. Control of benedenian infection in humpback grouper Cromileptis altivelis with hydrogen peroxide, OP 60. In: “Aquatic Animal Health for Sustainability”, Book of Abstracts, OP 40, Fourth Symposium on Diseases in Asian Aquaculture, November 22-26, 1999, Cebu, Philippines. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Sachwan, 1999. Pakan Ikan dan Udang. Penebar Swadaya, Jakarta Soletchnik, P., 1984. Aspect of nutrition and reproduction in Siganus guttatus with emphasis on applications in aquaculture. SEAFDEC Aquaculture Department, Iloilo, Philippines (Terminal Report). Sunyoto, P. and Munstahal, 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis penting. Penebar Swadaya, Jakarta. Tanaka, H., Waspada and K. Sugama, 1989. An experimental cage culture of golden rabbitsfish Siganus guttatus (Bloch) from juveniles through to adults (Draft; Personal commun). Waspada, 1984. Pemijahan dan Pemeliharaan Larva Ikan Kea-Kea Siganus virgitus. Laporan Penelitian Perikanan Laut No. 30 : 35 – 42. 120 BUDIDAYA KERAPU (Epinephelus sp.) DI TAMBAK SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA SKALA KECIL MASYARAKAT PESISIR PANTAI Marjoko, Budi Kurnia ABSTRAK Kegiatan budidaya kerapu di tambak merupakan kegiatan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dapat diaplikasikan dengan baik pada msyarakat pesisir pantai. Kegiatan budidaya kerapu di tambak relative lebih ekonomsi dibandingkan dengan budidaya kerapu di karamba jarring apung di laut. Hal ini berkaitan dengan rendahnya biaya investasi serta biaya produksi yang digunakan serta nilai resiko usaha yang dihadapi. Kegiatan budidaya kerapu di tambak dapat dilaksanakan dalam 10-12 bulan persiklus dengan biaya investasi dibawah 50 juta serta biaya produksi antara 150-175 juta persiklus. Metode pemeliharaan budidaya kerapu di tambak dilakukan dengan menggunakan karamba tancap jarring apung untuk phase pendederan dan metode tebar lepas untuk phase pembesaran. Satu modul kegiatan terdiri dari dua petak tambak ( phase pendederan dan phase pembesaran), 15000 ekor benih kerapu berukuran 3 cm/ekor serta pakan buatan 1200 kg dan pakan ikan rucah 15000 kg. Volume ikan yang dihasilkan adalah 3 ton/siklus/modul. Selama 10-12 bulan pemeliharaan diperoleh nilai ikan yang dihasilkan sebesar Rp. 255.000.000,dengan biaya produksi Rp.55.000,- - Rp.65.000,-/kg, nilai B/C ratio 1,55 dan ROI 55%. Berdasarkan nilai tersebut diatas kegiatan budidaya kerapu ditambak merupakan salah satu alternative pengembangan usaha skala kecil masyarakat pesisir. Kata kunci: Budiaya kerapu, tambak, skala kecil, masyarakat pesisir. PENDAHULUAN 121 Latar Belakang Semakin meningkatnya kebutuhan konsumsi ikan segar dipasaran local maupun luar terutama ikan kerapu hidup berdasarkan data permitaan Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang sepanjang tahun 2011-2014 untuk pasaran Jakarta mencapai tidak kurang dari 1 ton/ hari. Dengan demikian peluang usaha budidaya kerapu cukup menjanjikan untuk dikembangkan sebagai usaha masyarakat pesisir pantai ditengah-tengah semakin menurun hasil tangkap akibat iklim yang tidak menentu. Tambak merupakan media yang sangat potensial sebagai model pengembangan usaha budidaya kerapu. Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang merupakan institusi Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang memiliki lahan berupa tambak yang dapat digunakan untuk pengembangan produksi kerapu. Sebagai insitusi yang langsung berkaitan dengan aplikasi budidaya yang memperhitungkan skala usahayang lebih aplikatif menghasilkan suatu kegiatan yang berdaya guna dan berdaya saing tinggi yang dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha sekaligus dapat menggerakkan roda perekenomian daerah tersebut.Berbagai metode terutama yang aplikatif telah mulai dicobakan untuk mendukung target pencapaian produksi dari sektor budidaya laut dikembangkan di lahan terbatas ini. Berdasarkan hasil kajian dan analisa usaha didapat bahwa budidaya kerapu di tambak relative lebih ekonomsi dibandingkan dengan budidaya kerapu di karamba jarring apung di laut. Hal ini berkaitan dengan rendahnya biaya investasi serta biaya produksi yang digunakan serta nilai resiko usaha yang dihadapi. Metode pemeliharaan budidaya kerapu di tambak dilakukan dengan menggunakan karamba tancap jaring apung untuk phase pendederan dan metode tebar lepas untuk phase pembesaran. Satu modul kegiatan terdiri dari dua petak tambak ( phase pendederan dan phase pembesaran), 15000 ekor benih kerapu berukuran 3 cm/ekor serta pakan buatan 1200 kg dan pakan ikan rucah 15000 kg. Volume ikan yang dihasilkan adalah 3 ton/siklus/modul. Selama 10-12 bulan pemeliharaan diperoleh nilai ikan yang dihasilkan sebesar Rp. 255.000.000,- dengan biaya produksi Rp.55.000,- - Rp.65.000,-/kg, nilai B/C ratio 1,55 dan ROI 55%. Total anggaran yang dibutuhkan persiklus kurang dari 200 juta rupiah. Berdasarkan nilai tersebut diatas kegiatan budidaya kerapu ditambak merupakan salah satu alternative pengembangan usaha skala kecil masyarakat pesisir. Tujuan 122 Tujuan dari kegiatan budiaya kerapu di tambak sebagai alternatif pengembangan usaha skala kecil masyarakat pesisir adalah : Meningkatkan nilai tambah margin keuntungan bagi pembudiaya kerapu khisusnya bagi masyarakat pesisir dengan memperhatikan nilai parameter ekonomis (biaya investasi dan biaya produksi). Sasaran Sasaran kegiatan yaitu tercapainya produksi ikan kerapu ukuran konsumsi (400 gram up) guna memenuhi permintaan pasar yang semakin meningkat. BAHAN DAN METHODE Waktu kegiatan dilakukan antara bulan November 2012 sampai dengan Oktober 2013. Lokasi yang digunakan adalah sama yaitu lahan tambak E3-5 untuk pendederan dan Lahan tambak E3-9 untuk pembesaran. a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. Bahan dan peralatan yang digunakan pada kegiatan ini adalah : Ikan kerapu dan kerapu hybrid yang berasal dari Situbondo dengan ukuran 3-4 cm/ekor dan jumlah masing-masing 15.000 ekor. Pakan yang digunakan pada pendederan adalah pakan buatan total sedangkan pada pembesaran menggunakan pakan ikan rucah dan pakan buatan (komposisi 80% : 20%). Panggunaan vitamin C dilakukan minimal seminggu sekali dengan dosisi 3 gram/kg pakan buatan. 2 unit lahan tambak berkuran kotor 5.000 m2 yang memiliki inlet dan outlet yang baik serta menggunakan kincir air (max. 2 unit). Karamba tancap bambu yang dipasang di lahan tambak dengan jumlah antara 2 unit/tambak. Waring hitam ukuran 1 x 1,5 x 1,2 dan jaring poly ethylenen ukuran 2 x 2 x 1,5 dengan pemberatnya. Ukuran mata jaring antara 0,75-1,5 inchi. Anco tempat pakan, satu petak tambak dipasang 8-10 buah Alat tulis dan penunjangnya seperti kalkulator, laptop dan lain-lain. Peralatan lapangan seperti ember, serok, golok dan gunting. Bahan lain seperti air sirih untuk tratemen ikan, pupuk urea, kapur dan kaporit untuk persiiapan lahan dll. Methode Pemeliharaan 123 Metode pelaksanaan kegiatan pembesaran kerapu dengan model pemeliharaan di karambah tancap (Gambar 1.) Gambar 1. Karamba Jaring Tancap A. Persiapan Lahan Tambak Lahan yang diperlukan dalam menunjang kegiatan pembesaran kerapu meliputi petakan tambak pemeliharaan dengan luasan 5000 m dan petakan tambak pengelolaan kualitas air tandon (Gambar. 2). a). Petakan Tambak Pemeliharaan (b). Petakan Tandon Gambar 2. Lahan Budidaya 124 Persiapan tambak meliputi pengeringan kolam, pengolahan tanah dasar dan pembuatan caren (saluran tengah kolam), pengapuran, pemupukan dan pengisian air. Pupuk yang digunakan adalah pupuk urea dengan dosis 2 gram/m2, NPK dengan dosis 4 gram/m2. Kapur yang digunakan adalah hidup (CaO) dengan dosis 50-100 gram/m2.pengeringan, perbaikan pematang, saluran, dan dasar kolam serta pengapuran, pemupukan, dan pembasmian hama dan predator. Untuk tanah yang masam pH < 6,8 dilakukan pengapuran dengan dosis 0,5- 1 ton per Ha. Pembasmian hama dan predator menggunakan saponen dengan dosis 20-30 gr per m2 (a). Pengeringan (b). Pengapuran Pematang Gambar 3. Proses Persiapan Lahan (c) Perbaikan B. Persiapan Sarana Produksi Persiapan sarana produksi dalam kegiatan pembesaran kerapu meliputi pembuatan karambah tancap, persiapan waring dan jarring, pembuatan pemberat jarring dan pemasangan bioscurity. Kontruksi per unit karambah tancap terbuat dari bambu dengan ukuran lebar 3 meter panjang 30 meter dilengkapi dengan peneduh dari setding net. Waring hitam dari plastik (aquatec) berukuran 1 x 1,5 x 1,2 meter dan Jaring pemeliharaan terbuat dari bahan sintetik (PE) dengan ukuran 2.5 x 2.5 x1,5m. Pemberat jarring digunakan paralon berdiameter 1” yang disesuaikan dengan ukuran jarring serta bioscurity dipasang pada sekeliling areal tambak. C. 1. Teknik Pemeliharaan Phase Pendederan Teknis pemeliharaan budidaya kerapu diawali dari sekmen pendederan, kegiatan ini bertujuan membesarkan benih kerapu dari ukuran 3 cm menjadi ukuran benih 9-12 cm dipelihara dalam waktu 3 bulan. Pemilihan Benih 125 Kreteria benih berasal dari hasil pembenihan intensif yang telah menerapkan SNI Pembenihan. Ukuran benih berkisar antara 3-4 cm/ekor, tidak cacat, warna kecoklatan cerah, bebas penyakit, gerakan lincah, berenang normal, bergerombol dan responsive terhadap pakan. Penebaran Benih. Langkah-langkah dalam penebaran benih yang harus dilakukan meliputi aklimatisasi yang bertujuan untuk mpenyesuaian terhadap suhu dan salinitas benih, penghitungan benih bertujuan untuk mengetahui dan kroscek benih yang dikirim dengan data pengiriman, dan penentuan padat tebar Adapun padat tebar yang digunakan pada pendederan Kerapu disajikan pada Tabel 1 berikut : Tabel 1.Padat Penebaran Pembesaran Ikan Kerapu Masa pemeliharaan Ukuran jarring (meter) Bulan 0 Bulan I Bulan II-III 1 X 1,5 X 1,2 Ukuran Benih (Cm) Kepadatan (per /jaring) 2,5 1200 3–8 1000 – 500 8 – 12 500 – 300 Pemberian Pakan. Jenis pakan yang digunakan pada phase pendederan menggunakan pakan buatan secara keseluruhan. Dosis pemberian pakan berkisar antara 3-7% dari total biomas dengan frekuensi pemberian pakan untuk pendederan 3-6 kali/hari sedangakan pembesaran diberikan 3 kali sehari secara adlibitum. Tabel 2. Ukuran, bentuk, feeding rate,dan frekuensi pemberian pakan 126 Ukuran Pakan Bentuk Ukuran ikan Feeding Rate No. 1 No. 1,3 No. 1,6 No. 3 No. 5 No. 7 No. 10 Crumble Crumble Crumble Pelet Pelet Pelet Pelet 0,3 – 0,5 gr 0,5 – 1 0 gr 1 – 3 gr 3 – 10 gr 10 – 50 gr 50 – 100 gr > 100 gr 6-5% 5-4% 4-3% 3-2% 2-1,5% 15 – 1,2% 1,2 – 1% Frekuensi pemberian pakan 6 kali / hari 6 kali / hari 6 kali / hari 4 kali / hari 4 kali / hari 3 kali / hari 3 kali / hari Grading Grading atau pemilahan ukuran dilakukan secara periodic terutama pada phase awal kedatangan ikan (ukuran 3 cm/ekor). Tujuan grading ini untuk mengurangi kanibal, karena pertumbuhan benih dalam satu jarring selalu terjadi, biasanya dalam satu jaring terdapat 3 ukuran yang berbeda. Penggantian waring/jaring Pergantian jarring dilakukan setiap 3-5 hari sekali, hal ini bertujuan untuk menjaga kebersihan media pemeliharaan agar benih yang dipelihara tidak mudah terserang penyakit dan mecegah kematian akibat kekurangan okasigen terlarut yang disebabkan oleh rapatnya lubang jaring. Penggantian media pemeliharaan juga bertujuan untuk memindahkan ikan ditempat yang baru yang lebih bersih. Methode Pengambilan Data (Sampling) Sampling bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan ikan, adapun aspek yang diukur yaitu panjang dan berat sehingga dapat digunakan sebagai dasar penentuan jumlah pakan yang harus diberikan. Sampling phase pendederaan dilakukan setiap 4-10 hari sekali dengan ikan sample 5-10% populasi. Tabel, 3. Siklus kegiatan grading, sampling, pergantian jarring dan treatmen 127 Ukuran Grading Sampling Pergantian jaring Treatmen Pergantian Air 3 - 6 cm 4 hari 4 hari 4 - 5 hari 4 - 5 hari 20 % 6 – 9 cm 7 hari 7 hari 7 hari 7 hari 20 % 9–12 cm 10 hari 10 hari 5 hari 10 Hari 20 2. Phase Pembesaran Yaitu merupakan kegiatan lanjutan dari phase pendederan untuk pembesarkan benih kerapu ukuran 9-12 cm menjadi ikan konsumsi ukuran 450-500 gram. Tenis pemeliharaan dengan metode Tebar Lepas yaitu teknis pemeliharaaan ikan dengan pemeliaharaan tebar langsung pada petakan tambak Pemilihan Benih Kreteria benih berasal dari hasil kegiatan pendederan intensif yang telah mencapai ukuran benih berkisar antara 9-12 cm/ekor, tidak cacat, warna kecoklatan cerah, bebas penyakit, gerakan lincah, berenang normal, bergerombol dan responsive terhadap pakan. Penebaran Benih. Penebaran benih dilakukan setelah lahan dan semua sarana dan prasarana selesai dan benar-benar siap,dan benih dalam kondisi sehat. dan benih tersebut telah terbiasa dengan pakan pellet dan ikan rucah. Padat tebar disesuaikan atau dihitung berdasarkan luasan petakan tambak yaitu 2 ekor/m 3 Pakan Dan Pemberian Pakan Pakan yang digunakan pada sekmen pendederan adalah total pakan buatan dan ikan rucah dengan kualitas baik. Teknis pemberian pakan yaitu pakan ditempatkan pada anco yang telah dipersiapkan Tabel 4. Ukuran Ikan, Jenis Pakan, feeding rate,dan frekuensi pemberian pakan 128 Ukuran Ikan (gr) 50 - 100 200 250 300 350 - 400 450 - 500 Jenis Pakan Ukuran (disesuaiakan dg bukaan mulut) Pelet Pelet Pelet Pelet Ikan Rucah Ikan Rucah Ikan Rucah Ikan Rucah Ikan Rucah Ikan Rucah Feeding Rate Pelet Ikan Rucah 1% 1% 0,5 % 0,5 % 2% 2% 3% 3% 3% 3% Frekuensi pemberian pakan 3 kali / hari 3 kali / hari 3 kali / hari 2 kali / hari 2 kali / hari 2 kali / hari Adapun padat tebar yang digunakan pada pendederan Kerapu disajikan pada Tabel 1 berikut : 1. Wadah Pemeliharaan yaitu petakan tambak yang dilengkapi system inlet dan outlet sehingga memungkinkan air mengalir secara terus menerus dengan pergantian air mencapai 20 - 50 %/hari, serta telah dilengkapi dengan selter dan anco sebagai tempat pemberian pakan. 2. Bahan dan Alat Benih ukuran 9-12 cm hasil dari sekmen pendederan. Pakan ikan rucah Vitamin dan obat-obatan Kapur Pompa air Timbangan Pompa semprot jarring Jaring Panen (jarring badut) Anco pakan Selter ( ban bekas, paralon dan daun kelapa dll) Senter 129 3. Jas hujan Sepatu boat Serokan Keranjang panen Penebaran Penebaran benih dilakukan setelah lahan dan semua sarana dan prasarana selesai dan benar-benar siap, Adapun benih yang digunakan berasal dari kegiatan pendederan ukuran 9-12 cm dan benih dalam kondisi sehat. dan benih tersebut telah terbiasa dengan pakan pellet dan ikan rucah. Padat tebar disesuaikan atau dihitung berdasarkan luasan petakan tambak yaitu 2 ekor/m3 . 4. Pakan Dan Pemberian Pakan Pakan yang digunakan pada sekmen pendederan adalah total pakan buatan dan ikan rucah dengan kualitas baik. Teknis pemberian pakan yaitu pakan ditempatkan pada anco yang telah dipersiapkan Tabel 5. Ukuran Ikan, Jenis Pakan, feeding rate,dan frekuensi pemberian pakan Ukuran Ikan (gr) 50 - 100 200 250 300 350 - 400 450 - 500 Jenis Pakan Ukuran (disesuaiakan dg bukaan mulut) Pelet Pelet Pelet Pelet Ikan Rucah Ikan Rucah Ikan Rucah Ikan Rucah Ikan Rucah Ikan Rucah Feeding Rate Pelet Ikan Rucah 1% 1% 0,5 % 0,5 % 2% 2% 3% 3% 3% 3% Frekuensi pemberian pakan 3 kali / hari 3 kali / hari 3 kali / hari 2 kali / hari 2 kali / hari 2 kali / hari 130 5. Pengelolaan Kesehatan Ikan Yaitu upaya menjaga kondisi fisik ikan pemeliharaan tetap sehat sehingga ketahanan kesehatan tetap terpelihara. Adapun upaya yang dilakukan yaitu: sampling, dan penggantian air. Tabel, 6. Siklus Kegiatan Sampling, pergantian Air Ukuran Ikan (gr) Sampling Pergantian Air 50 - 100 10 hari 20 % 100 - 200 12 hari 20 % 250 - 350 12 hari 30 % 350 -500 12 hari 30 % Methode Pengelolaan Kualitas Air/Media Monitoring kualitas air merupakan kegiatan penunjang dan dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari dan sore hari. Parameter yang harus dikontrol dan diamati yaitu : suhu air, DO, pH air, salinitas, Alkalinitas, metabolit toxic, kecerahan dan warna plankton, kualitas plankton. Monitoring kualitas air ini bertujuan untuk mengetahui kondisi perairan tempat pemeliharaan kerapu, agar bila mana terjadi kondisi yang ekstrim dapat langsung diambil tindakan. Methode Pengelolaan Kesehatan Pengendalihan hama dama penyakit dilakukan dengan cara pencagahan dan penanganan (pengobatan). Adapun pencegahan dilakukan dengan cara pemberian pakan yang baik dan penambahan vitamin melalui pakan serta perendaman dengan air tawar secara periodic. Pengobatan dilakukan berdasarkan jenis dan karasteristik penyerangan hama dan penyakit. Jenis hama dan penyakit yang sering menyerangan benih yaitu Perasiit, jamur, bakteri, dan virus. 131 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Phase Pendederan Kegiatan budidaya ikan kerapu di tambak dibagi atas dua bagian yaitu pendederan dan pembesaran. Phase pendederan dilakukan selama 90 hari menunjukan hasil yang cukup baik, bila dibandingkan dengan hasil produksi kegiatan pndederan dan penggelondongan di karamba jaring apung di laut. Hasil data pengukuran ikan selama 90 hari phase pendederan ikan kerapu di tambak disajikan pada Tabel 7, Tabel 7. Data Pendederan ikan kerapu di tambak I Parameter Bobot (gr) Sampling I Sampling X panjang (cm) Bobot (gr) 92 13 III panjang (cm) 3.5 Waktu Jumlah Awal (ekor) Jumlah Akhir (ekor) GRADE II bobot (gr) panjang (cm 3 67 11 2.5 64 10 90 hari 2343 15000 6496.5 Total Jumlah (ekor) 10650 Total biomass (kg) 791.7 SR (%) Jumlah pakan buatan (kg) 71% 1810.5 1150 kg Berdasarkan hasil kegiatan pendederan kerapu macan dan kerapu hybrid di tambak menunjukkan bahwa selama pemeliharaan terdapat tiga grade dengan sebaran masing-masing grade mencapai panjang 13 cm 22 %, 11 cm 61 % dan 10 cm 17 %. Nilai sintasan pada phase pendederan yang diperoleh menunjukkan (71,12%) dengan total biomas 791.7 kg, kosumsi pakan buatan sebanyak 1150 kg sehingga nilai FCR 1.5, tinggi kematian diduga akibat kanibalisme ikan kerapu pada saat ukuran 4-5 cm. Selain itu, daya tahan ikan kerapu diketahui 132 sedikit lebih baik dibandingkan kerapu macan. Hal ini terlihat dari minimnya serangan bakteri pada ikan ini dibandingkan kerapuy macan. Phase Pembesaran Hasil data pengukuran kegiatan bididaya pembesaran kerapu di tambak dapat disajikan pada Tabel 8 Tabel 8, Data Pembesaran Ikan Kerapu Di Tambak GRADE I Parameter II III Jumlah (ek) Berat (gr) Jumlah (ek) Berat (gr) Jumlah (ek) Berat (gr) Tebar awal 2343 92 6496 67 1811 64 Hasil akhir 2556 500 4686 480 1278 420 Rata-rata SGR Total biomas awal (kg) Total biomas akhir (kg) 1,69 4064 SR ( %) 80% 767 Pakan rucah 24384 Pakan pellet 2032 Berdasarkan data kegiatan kegiatan phase pembesaran ikan kerapu di tambak BLUPPB Karawang selama 9 bulan lebih menunjukkan hasil bahwa ikan kerapu memiliki pertumbuhan harian spesifik rata-rata baik, bila dibandingkan hasil budidaya keraapu di karamba jaring apung di laut, tingat pertumbuhan cukup baik mencapai rata-rata SGR 1.69. FCR pakan ikan rucah 1:8. Kematian yang terjadi pada ikan phase ini biasanya akibat serangan bakteri vibrio namun dalam jumlah dan intensitas yang relatif kecil. Secara keseluruhan selama 9 bulan masa pemeliharaan diperoleh nilai sintasan budidaya kerapu hybrid di tambak (80%) dengan total biomas 4064 kg. 133 Rekapitulasi Kegiatan Pembesaran Kerapu di Tambak Hasil rekapitulasi kegiatan budidaya kerapu di tambak disajikan pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10. Rekapitulasi Budidaya kerapu hybrid dan Kerapu Macan di Tambak Parameter Bobot Awal Rerata (gr/ek) Panjang Awal Rerata (cm/ek) Bobot Akhir Rerata (gr/er) Panjang Akhir rerata (cm/ek) SGR Pendederan (% BT/h) SGR Pembesaran (% BT/h) Jumlah awal (ekor) Jumlah akhir (ekor) Sintasan total (%) Jumlah pakan buatan (kg) Jumlah pakan rucah (kg) Total Biomas akhir (kg) Biaya benih Total biaya pakan Nilai penjualan (s/d bulan ke-5) B/C Ratio Hasil 1,85 3,1 450 27,1 5,37 1,69 15.000 8.520 57 3,180 24,384 4064 Rp. 45.000.000 Rp. 154,776.000 Rp. 386,080,000 1,31 Secara keseluruhan dari perbandingan ekonomis budidaya kerapu hybrid dan kerapu macan di tambak selama lima bulan pemeliharaan diperoleh nilai parameter biologis (pertumbuhan dan sintasan) dan ekonomis (B/C ratio) kerapu hybrid relatif lebih baik dengan kerapu macan. Hal ini berkaitan dengan pertumbuhan dan sintasan yang secara langsung akan berpengaruh pada lamanya masa panen ikan tersebut. 134 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkani Hasil Kegiatan yang telah dilakukan selama 12 Bulan pemeliharaan dengan metode pemeliharaan yang dilakukan di Tambak dapat Disimpulkan bahwa : Dibandingkan dengan Kerapu memiliki pertumbuhan yang cepat. Hal ini dilihat dari hasil akhir selama 12 bulan pemeliharaan (Bobot Total Biomass) yang didapat yaitu bobot yang didapat 4064 Kg. Sintasan / Survival Rate (SR) yang didapat selama 12 bulan pemeliharaan dari kegiatan pedederan 71% sedangkan pada kegiatan pembesaran 80 %, sehingga nilai sintasan selama masa pemeliharaan didapat 57 % Bila dilihat secara analisa finansial, keuntungan yang didapat yaitu Rp. 91.512,333 dengan B/C ratio 1,33 Kerapu lebih ekonomis dan efisien untuk dibudidayakan dan dikembangkan di Tambak, karena dengan modal kerja untuk biaya investasi < 50 juta dan biaya produksi Rp.216.526.000,- dapat menghasilkan 4064 kg ikan kerapu konsumsi. Saran Perlu dilakukan perbandingan ekonomis secara keseluruhan pada budidaya ikan kerapu hybrid dan kerapu macan di tambak sebagai hasil akhir kegiatan di atas. Perlu inovasi teknologi yang lebih baik untuk meningkatkan nilai sintasan sehingga memiliki nilai ekonomis yang lebih baik. Perlu uji multilokasi dengan mengambil lahan pembudidayaan yang memiliki karakteristik berbeda dengan pantai utara seperti pantai selatan atau daerah lain sehingga aplikasi teknologi dapat diterapkan secara menyeluruh. DAFTAR PUSTAKA 135 Anonymous. 1988. Training on Marine Finfish Netcage Culture in Singapore. Primary Product Department, Republic of Singapore. Budi Rahardjo, B. 1992. Teknik Budidaya Ikan di Laut. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Laut. Lampung. Chang, S.L. 1996. Marine Fish Culture. Tungkang marine Fish Laboratory. Taiwan Fisheries Research Institute Cho, C.Y., Cowey and Watanabe. 1983. Finfish Nutrition in Asia, Methodological Approaches to Research and Development. Ottawa, Ont. IDRC. 154 pp. Kurnia, B. , Arief Prihaningrum dan Yuwana Puja. 2004.Kajian Abnormalitas Ikan Ukuran Konsumsi Dalam Satu Siklus Budidaya Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus). Disampaikan pada Lintas UPT, Mataram 2004. Williams,K.C. and Michael A. Rimmer. The Future of Feed and Feeding of Marine Finfish in Asia Region : The need to Develop Alternative Aquaculture Feeds. Presented at Regional wokshop on low value fish and trahfish in the Pacific Asia Region. Vietnam, 7-9 June 2005. Pusat Riset Perikanan Budidaya. 2003. Aplikasi Teknologi Pakan dan Peranannya Bagi Perkembangan Usaha Perikanan Budidaya. Prosiding Semi-Loka. 136 PENINGKATAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii MELALUI PEMANFAATAN PUPUK PROVASOLI’S ENRICH SEAWATER (PES)5 Lideman1,*, Andi Elman1, Akmal1, Ilham2, Suaib2, Harnita Agusanty3, dan Sugeng Raharjo4 Indonesian seaweeds production is highest in the world since 2008, and, South Sulawesi as a place of Brackishwater Aquaculture Development Center (BADC) has a seaweeds production aproximately 1 milion ton a year, these conditions have infact to BADC to develope and suport the seaweeds culture especially in utilization of Provasoli’s Enrich Seawater (PES) in order to increase production of Kappaphycus alvarezii. Objective of this experiment is to know efect of dosage, dipping duration and dipping interval on the growth of K. alvarezii. Experiment was conducted in three part, they were dosage trial, dipping periode trial and dipping interval trial. Dosage trial were 0% (control); 0,5%; 1%; 2%; 4% and 6%, dipping duration were 0 (control); 12; 24; 36 and 48 hours, and dipping interval were every 0 (control); 6; 12; 18; 24 and 30 days. Weight and lenght of K. alvarezii was measured every 7 daysalong culturing periode of 42 days and at the end of culturing, their relative growth rate (RGR) were counted by equation of RGR = [(ln W1-ln Wo) / ( t1-to)] x 100%. Findings of this experiment showed that optimum dosage, dipping duration and dipping interval were 0.5%, 24 hours and every 24 days, respectively. Based on the results, the utilization PES fertilization more than the optimum dosage, dipping duration and dipping interval could be not utilized by K. alvarezii and could cused eutrofication of their cultured medium. Kata Kunci: Fertilizer, Kappaphycus alvarezii, Provasoli’s enrich seawater (PES), Seaweed, Aquaculture ____________________ 1 Perekayasa pada Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar Author for Correspondence: e-mail [email protected] 2 Pengawas Perikanan Pada BPBAP Takalar 3 Kepala Seksi Sandarisasi dan Informasi BPBAP Takalar 4 Kepala BPBAP Takalar 5 Presented on Indonesian Aquaculture (Aindoaqua) Seminar on 26-29 August 2014 in Jakarta. * 137 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumput laut Kappaphycus alvarezii (“cottonii”) merupakan salah satu komoditas unggulan, hal ini terutama disebabkan karena kandungan keraginannya yang banyak dimanfaatkan untuk berbagai macam industri seperti industri makanan, kosmetik, textil dan farmasi yaitu sebagai pengental dan pengemulsi. Kegiatan budidayanya sendiri telah berkembang dengan pesat, sehingga sejak tahun 2008 Indonesia sudah menjadi penghasil bahan mentah rumput laut “K.alvarezii” utama dunia dan pada tahun 2009 produksi rumput laut “K.alvarezii”Indonesia mencapai 85.000 ton kering (Bixler and Porse, 2011). Program pemerintah dalam meningkatkan hasil produksi perikanan budidaya dari tahun 2010-2014 menempatkan rumput laut pada posisi pertama sebagai produk unggulan perikanan budidaya. Proyeksi produksi rumput laut pada tahun 2014 yang ditargetkan pemerintah adalah sebesar 10 juta ton atau naik sebesar 389% dari produksi tahun 2009 yang produksinya hanya sebesar 2,547 juta ton (Ditjen Perikanan Budidaya, 2010). Untuk memenuhi target produksi pemerintah ini maka perlu dilakukan beberapa usaha dalam meningkatkan produksi rumput laut, diantaranyamelalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pemeliharaan. Bibit rumput laut K. alvarezii yang ada pada petani umumnya didapatkan dari hasil pemeliharaan yaitu dengan cara melakukan stek dari rumput laut yang sudah ada. Penggunaan bibit yang terus menerus tanpa dilakukan seleksi akan menyebabkan terjadinya penurunan mutu bibit. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam memperbaiki mutu bibit adalah dengan cara melakukan perendaman bibit dalam pupuk yang mengandung nutrisi penting. Hal ini dapat dimungkinakn karena adanya sifat dari makro-algae yang menyerap sebanyak mungkin nutrient terlebih dahulu kemudian baru dimanfaatkan untuk proses pertumbuhannya (luxuary nutrient uptake). Berbeda dengan tumbuhan di darat, rumput laut tidak mempunyai akar untuk menyerap nutrien, sehingga ketersediaan/dosis nurtien yang ada disekitar callus mereka akan sangat mempengaruhi pertumbuhannya. Nitrogen adalah unsur utama yang sering sebagai faktor pembatas pertumbuhan, selain itu phosphor juga kadang-kadang sebagai faktor pembatas dalam pertumbuhannya (Lobban and Horison, 1997). Kekurangan nutrient biasanya akan menyebabkan rumput laut yang dipelihara menjadi kerdil, sehingga upaya-upaya untuk melakukan penambahan nutrient melalui pemupukan perlu dilakukan. Pupuk yang sudah umum untuk makroalgae adalah Provasoli’s Erich Seawater (PES). Karena budidaya rumput laut dilakukan di laut dan pemupukan di laut sangat sulit dilakukan, maka salah satu cara yang mungkin dilakukan adalah melalui 138 perendaman rumput laut sebelum pemeliharaan. Untuk itulah perlu dilakukan experiment tentang berapa dosis pupuk yang baik, berapa lama waktu perendaman yang baik dan seberapa sering perlu dilakukan perendaman yang untuk pertumbuhan yang optimum bagiK. alvarezii. Tujuan Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui dosis pupuk PES yang optimum untuk pemeliharaan Kappaphycus alvarezii dan juga untuk mengetahui lama perendaman dan interval perendaman K. alvarezii dalam pupuk PES yang optimum untuk pertumbuhannya. BAHAN DAN METODE Koleksi Sampel Sampel rumput laut yang digunakan untuk experimen ini adalah Kappaphycusalvarezii, Family Solieriaceae (Rhodophyta) yang dibudidayakan di Desa Punaga, Kab. Takalar, Sulawesi Selatan (5˚34’56.62”N, 119˚27’42.56”E). Rumput laut yang diperoleh kemudian di tampung pada wadah stereofoam yang mengandung air laut dan lalu dibawa ke laboratorium dengan suhu yang dipertahankan kurang lebih 25 oC. Di Laboratorium rumput laut, Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar,sampel-sampel K. alvarezii kemudian dipelihara sebagai tahap aklimatisasi di akuarium (60 × 40 × 40cm3) yang mengandung air laut dengan salinitas 30 ppt, pH 8.0, cahaya 90 µ mol photons m-2 s-1, suhu 25°C dan siklus cahaya 14 jam terang:10 jamgelap. Suhu air di akuarium yang digunakan didasarkan pada suhu alami air laut di tempat K. alvarezii diambil. Persiapan Wadahdan Peralatan Wadah yang digunakan untuk pemeliharaan eksplan adalah multiwel chamber yangtelah disucihamakan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit dengan tekanan 1 atm. Peralatan lainnya seperti pipet, pinset dan lain-lain aerasi dicuci bersih dengan menggunakansabun kemudian dibilas dengan air tawar mengalir sampai bersih kemudian dibilas kembali dengan aquadest dan keringkan, setelah kering dibungkus dengan aluminium foil dan disterilkan seperti pada wadah pemeliharaan. Sterilisasi Air Laut Air laut yang akan digunkanan adalah air laut yang telah disaring dengan menggunakan saringan kapas dan saringan whatmen ukuran 0,45 µm. Air laut tersebut kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit dengan tekanan 20 psi. 139 Seleksi dan Sterilisasi Eksplan Rumput laut yang akan dijadikan eksplan adalah rumput laut yang segar, bersih, warna cerah dan tidak ada kotoran yang menempel pada rumput laut tersebut. Sample rumput laut tersebut langsung dibilas dan dibersihkan dengan menggunakan air laut sampai bersih. Setelah itu, dilakukan pemotonganbagian ujung tunas rumput laut dengan panjang 1.0-1.2 cm . Eksplan yang telah dipotong-potong tersebut kemudian dimasukkan ke dalam wadah erlenmeyer yang berisi air laut steril dengan salinitas 32 ‰. Setelah pemotongan selesai, eksplan dibilas dengan betadin 1% dengan cara menggojok – gojok selama ± 3menit, dan dilanjutkan dengan pembilasanmenggunakan air laut sterilsecara berulang-ulang (Lideman et al., 2011). Pembuatan Pupuk PES Pembuatan pupuk PES dilakukan berdasarkan Andarsen (2005). Untuk membuat “enrich stock solution (ES)”, masukkan aquadest (dH2O) sebanyak 900 ml, tambahkan bahan-bahan “enrich stock solution” seperti yang tertulis pada (vitamin ditambahkan terakhir, sesudah pencampuran bahanbahan lainnya), tambahkan air destilasi (dH2O) sehingga volume menjadi 1000 ml, dan disterilkan melalui proses pasteurisasi. PES medium diperoleh dengan cara menambahkan 20 ml “enrich stock solution (ES)” ke 980 ml air laut steril, lalu di pasteurisasi. “iron EDTA solution” dibuat dengan cara menambahkan EDTA diikuti penambahan iron sulfate ke dalam dH2Osebanyak 900 ml, lalu tambahkan dH2O hingga mencapai volume 1000 ml, lalu larutkan bahan-bahan lainnya, selanjutnya di pasteurisasi dan di simpan di refrigerator. Pembuatan “trance metal solution” dilakukan pertama-tama dengan melarutkan EDTA kedalam 900 ml dH2O, lalu larutkan bahan lainnya. Tambahkan dH2O sehingga volume mencapai 1000 ml dan simpan di refrigerator. Prosedur Percobaan a. Percobaan Beberapa Dosis Pupuk PES Pemeliharaan eksplan pada percobaan ini dilakukan dengan cara memodifikasi prosedur pada Lideman et al (2011) dan Nishihara et al (2004). Pemeliharaan eksplan dilakukan dengan menggunakan 6 perlakuan yaitu menggunakan pupuk PES dengan dosis 0,5 % ES, dosis 1% ES, dosis 2% ES, dosis 4% ES, dosis 6% ES dan air laut steril (0% ES) sebagai kontrol. Eksplan yang digunakan adalah eksplan yang telah disterilisasi. Selanjutnya eksplan dimasukkan ke dalam media kultur yang telah berisi larutan pupuk PES dengan cara satu eksplan untuk satu media kultur. Sebelum eksplan dimasukkan ke dalam media kultur eksplan terlebih dahulu ditimbang dan di ukur panjangnya. 140 Setelah ditimbang eksplan kemudian dimasukkan ke dalam media kultur dan selanjutnya media kultur ditutup. Pemeliharaan eksplan dilakukan selama 42 hari. b. Percobaan Lama Perendaman Eksplan-eksplan yang sudah sucihamakan, di timbang sebagai berat awalnya dan kemudian dimasukkan ke wadah perendaman. Perendaman pada media PES dilakukan selama 0 (kontrol), 12, 24, 36 dan 48 jam. Setelah perendaman selama 12, 24, 36 dan 48 jam tiap-tiap eksplan dimasukkan ke cawan petri volume 10 ml yang berisi air laut steril dan sudah disaring dengan kertas saringan 0,45 µm. Setelah perendaman, setiap 7 hari sekali dilakukan penimbangan dan pengukuran panjang eksplan dan juga pergantian media pemeliharaan. Pengukuran pertambahan bobot, dilakukan dengan cara menimbang dengan menggunakan timbangan elektrik Toledo dan pengukuran panjang dilakukan dengan menggunakan jangka sorong.Seperti pada percobaan dosis pupuk, pemeliharaan eksplan dilakukan selama 42 hari. c. Percobaan Interval Perendaman Eksplan yang telah disucihamakan direndam didalam pupuk PES 0,5% selama 12 jam. Selanjutnya eksplan di pelihara dalam air laut steril selma 48 hari dan selama pemeliharaan eksplan direndam dalam pupuk PES dengan interval 0 (kontrol), 6, 12, 18, 24, dan 30 hari sekali. Penimbangan bobot eksplan dilakukan setiap 6 hari sekali dan juga dilakukan pergantian media pemeliharaan. Analisis Data Data hasil pengukuran berat dan panjang selama pemeliharaan dicatat, lalu dihitung nilai Laju Pertumbuhan Relatif Harian (RGR, Relative Growth Rate) (untuk mengetahui perbedaan laju pertumbuhan masing-masing perlakuan. Adapun rumus penghitungan Laju Pertumbuhan Relatif (RGR) yang digunakan dalam percobaan ini adalah : 141 RGR = [ (ln W1-ln Wo) / ( t1-to) ] x 100% Ket: Wo : berat awal W1 : berat akhir t1 : umur penimbangan terakhir to : umur awal penimbangan Data laju pertumbuhan yang diperoleh dari hasil percobaan ini kemudian dilakukan analisis sidik ragam (ANOVA). Dari hasil ujiANOVA, jika terdapat perbedaan maka dilakukan uji lanjutan yaitu uji Tukey/BNT dan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS 17.0. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Percobaan Dosis Pupuk PES Hasil percobaan pengaruh dosis pupuk PES terhadap pertambahan bobot K. alvarezii, yang ditimbang setiap 7 hari sekali selama 42 hari dapat dilihat pada Gambar 1. Dan Hasil penghitungan Laju Pertumbuhan Relatifnya dapat dilihat pada Gambar 2 Perkembangan Bobot K. alvarezii Berat Eksplan (mg) 30 0,5% 25 1% 20 2% 4% 15 6% 10 0 7 14 21 27 35 Lama Pemeliharaan (hari) 42 0% (Kontrol) 142 Gambar 1. Grafik PerkembanganBobot Eksplan Selama 42 hari Grafik Laju Pertumbuhan Relatif K. alvarezii 0.50 0.43 0.36 0.40 0.30 0.29 0.30 0.24 0.26 0.20 0.10 0.00 0,5 % 1% 2% 4% 6% kontrol Dosis Pupuk PES (% ES) Gambar 2 . Laju Pertumbuhan Relatife (RGR) pada Beberapa Dosis Pupuk PES Berdasarkan gambar 2, persentase laju pertumbuhan bobot harian tertinggi rumput laut K. alvarezii diperoleh pada perlakuan A (0,5%) dengan bobot relative harian 0.43% diikuti dengan perlakuan B (1%) dengan bobot relative harian 0,36 % dan perlakuan E (6%) dengan bobot relatif harian 0,30 %, sedangkan persentase Pertumbuhan bobot harian terendah eksplan diperoleh pada perlakuan D (4%) dengan bobot relative harian 0,24 % di ikuti dengan perlakuan F( Kontrol ) dengan bobot relative harian 0,26 % dan perlakuan C (2%) dengan bobot relative harian 0,29 %. Analisis ragam perlakuan dosis pupuk PES memberikan perbedaan nyata (p< 0,05) terhadap laju pertumbuhan bobot mutlak K. alvarezzi sehingga dilakukan uji lanjutan yakni uji tukey. Hasil uji tukey menujukkan bahwa perlakuan A (0.5%) berpengaruh nyata (p< 0,05 ) terhadap semua perlakuan lainnya. Adanya perbedaan pertumbuhan rumput laut ini dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Kamla (2006) menyatakan bahwa faktor internal yang berpengaruh antara lain: jenis rumput laut, bagian tubuh (thallus) dan umur rumput laut, sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain: keadaan fisika dan kimia perairan. Bird et al. (1997) dalam Ilknur and Cirik (2004) menyatakan bahwa faktor fisika dan kimia perairan yang 143 berpengaruh antara lain gerakan air, suhu, salinitas, nutrien dan cahaya. Sementara itu Aslan (1998) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan rumput laut membutuhkan kualitas cahaya serta nutrien yang cukup seperti nitrat dan fosfat. Selain itu eksplan bisa tumbuh dengan baik jika semua elemen yang dibutuhkan cukup tersedia dan dapat diserap oleh tanaman. Pertumbuhan rumput laut maksimal merupakan wujud dari laju fotosintesis (Lideman et al, 2012; Lideman et al, 2013), dimana melalui proses inilah maka sel – sel rumput laut dapat menyerap unsur hara dan mengubahnya ,menjadi bermacam – macam senyawa polisakarida. b. Percobaan Lama Perendaman Hasil percobaan pengaruh lama perendaman pupuk PES terhadap perkembangan bobot in vitro K. alvarezii, yang ditimbang setiap 7 hari sekali selama 7 minggu dapat dilihat pada Gambar 3, dan hasil penghitungan terhadap Laju Pertumbuhan Relatif (RGR) selama pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 3. Perkembangan Bobot K. alvarezii 34 12 jam Bobot (mg) 32 24 jam 30 28 36 jam 26 24 48 jam 22 20 0 7 14 21 28 35 42 0 jam (kontrol) Lama Pemeliharaan (Hari) Gambar 3. Perkembangan pertambahan bobot eksplan selama 42 hari 144 Grafik Laju Pertumbuhan Relatif K. alvarezii 0.57 RGR (% per hari) 0.6 0.44 0.53 0.56 0.4 0.21 0.2 0.0 0 12 24 36 48 Lama Perendaman (Jam) Gambar 4. Laju Pertumbuhan Relatif (% per hari) pada Beberapa Tingkat Lama Perendaman Laju pertumbuhan relatif (RGR) K. alvareziitertinggi diperoleh pada perlakuan B (24 jam) dengan laju pertambahan bobot 0,57% per hari, perlakuan D (48 jam) sebesar 0,56%/hari, dan perlakuan C (36 jam) mengalami tingkat laju pertambahan bobot 0,53% per hari, sedangkan perlakuan A (12 jam) hanya diperoleh laju pertumbuhan 0,44% per hari. Adapun pada kontrol(0 jam) mengalami laju pertumbuhan terendah yaitu 0,21% per hari. Hasil analisis sidik ragam terhadap data laju pertumbuhan relatif (RGR) K. alvarezii (% per hari) menunjukkan adanya perbedaan antara perlakuan satu dengan yang lainnya. Lama perendaman yang berbeda memberikan respon nilai RGR yang berbeda. Berdasarkan hasil uji BNT, diperoleh bahwa perlakuan K (0 jam atau kontrol) berbeda nyata (p<0,05) dengan perlakuan A (12 jam), B (24 jam), C (36 jam), dan D (48 jam). Sementara itu perlakuan A tidak berbeda nyata (p<0,05) dengan perlakuan B, C, dan D. Oleh karena itu perendaman selama 12 jam sudah cukup bagi K. alvarezii untuk proses pertumbuhan yang baik. Besarnya laju pertambahan bobot dan panjang thallus yang dihasilkan pada perendaman selama 24 jam, diduga karena pengaruh lama perendaman pada batas tertentu sangat optimal sehingga larutan PES dapat diserap dengan 145 baik tanpa mempengaruhi kualitas air media. Hal ini didukung olehAslan (1998) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut adalah nutrien yang dapat diperoleh dari pupuk. Sebagai perbandingan, konsentrasi awal NO3-N sebanyak 200 µmol/liter akan habis diserap oleh Laurencia brongniatii selama 5 jam (Nishihara et al, 2005). Selain itu, peran hormon tumbuh seperti auxin, gibberelin, dan cytokinin akan mempercepat proses pertumbuhan dan perkembangan bibit rumput laut. c. Percobaan Interval Perendaman Hasil percobaanpengaruh interval perendaman K. alvarezii dalam pupuk Provasoli’s Enrich Seawater (PES) terhadap pertumbuhan secara “in vitro” yang ditimbang setiap 6 hari sekali selama 48 hari pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 5. Dan juga penghitungan laju pertumbuhan relatif dapa dilihat pada Gambar 6. Laju pertumbuhan relatif harian eksplan tertinggi diperoleh pada perlakuan D(24 hari sekali perendaman) sebesar 0,35 % per hari, disusul perlakuan E(30 hari sekali perendaman) sebesar 0,28 % per hari, perlakuan C(18 hari sekali perendaman), B(12 hari sekali perendaman) sebesar 0,22 % per hari dan perlakuan A(6 hari sekali perendaman) sebesar 0,20 % per hari. Sedangkan laju pertumbuhan relatif terendah terjadi pada kontrol (tidak direndam sama sekali). Analisis sidik ragam terhadap data laju pertumbuhan relatifK. alvarezii menunjukkan bahwa interval pemberian pupuk PES mampu memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap laju pertumbuhan relatif.Dari hasil uji tukey menujukkan bahwa perlakuan D(24 hari sekali perendaman)berbeda nyata (p>0,05) dengan perlakuan Grafik Perkembangan Bobot K. alvarezii 65.0 Bobot (mg) 60.0 A(6Hari) 55.0 B(12 Hari) 50.0 C(18 Hari) 45.0 D(24 Hari) 40.0 E(30 Hari) 35.0 Kontrol 30.0 0 6 12 18 24 30 36 42 48 Lama Pemeliharaan (Hari) 146 Gambar 5. Perkembangan Bobot Eksplan K. alvarezii Selama Pemeliharaan Grafik Laju Pertumbuhan Relatif K. alvarezii 0.35 RGR (% per hari) 0.40 0.30 0.28 0.20 0.22 0.22 B(12) C(18) 0.18 0.20 0.10 0.00 A(6) D(24) E(30) Kontrol Interval Perendaman Pupuk PES (hari) Gambar 6. Laju Pertumbuhan Relatif (RGR)Eksplan K. alvarezii pada beberapaTingkat Interval Perendaman Pupuk PES A(6 hari sekali perendaman), B(12 hari sekali perendaman), C(18 hari sekali perendaman) dan kontrol (0 hari perendaman), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan E(30 hari sekali perendaman). Hal ini menunjukan bahwa interval waktu 24 dan 30 hari sekali tidak memberikan pertumbuhan yang berbeda dan dengan trend laju pertumbuhan yang sama antara umur pemeliharan 40 hari pada umur pemelihraan 30 hari, maka perendaman pupuk ini cukup dilakukan pada bibit di awal pemeliharaan. Pupuk ini mengandung unsur N, unsur P dan unsur K. Nitrogen merupakan komponen penting bagi pertumbuhan rumput laut. (Pantjara dan Sahib, 2008), yang menyatakan bahwa nitrogen berfungsi membantu proses pembentukan klorofil dan fotosyntesis, sedangkan fosfat yang terkandung dalam pupuk berfungsi merangsang pertumbuhan thallus. KESIMPULAN DAN SARAN 147 Kesimpulan Penggunaan pupuk PES dapat menigkatkan laju pertumbuhan K. alvarezii. Dosis pupuk PES yang bisa digunakan untuk pemeliharaan K. alvarezii secara invitro adalah 0,5% ES. Dalam pemanfaatan pupuk PES perendaman K. alvarezii selama 12 jam dengan hanya melakukan perendaman di awal pemeliharaan saja. Saran Pengunaan pupuk PES di media (perairan) budidaya dengan dosis yang lebih tinggi dari 0,5% ES justru tidak dapat dimanfaatakan oleh K. alvarezi, sehingga penggunaan dosis yang berlebihan di media pemeliharaan dapat menyebabkan eutrofikasi. Oleh karena itu penggunaan pupuk ini untuk kegiatan budidaya di laut akan lebih aman jika dilakukan hanya melalui perendaman pada bibit diawal pemeliharaan. DAFTAR PUSTAKA Andersen, R. 2005. Algae culturing Technicues. Elsevier Academic Press. Burlington, USA. 596 pp. Aslan. L. 1998. Seri Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Bixler H.J, Porse H.2011. A decade of change in seaweed hydrocolloids industry. Journal of Applied Phycology. 23: 321-335. Ditjen Perikanan Budidaya, 2010. Program Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya Tahun 2010-2014. Disampaikan pada Acara “Forum Akselerasi Pembangunan Perikanan Budidaya 2010” di Batam 25-28 Januari 2010. Ilknur, A and S. Cirik. 2004. Distribution of Gracilaria verucosa (Hudson)Papenfuss (Rhodophyta) in Izmir Bay (Eastern Aegean Sea). Pakistan Journal of Bological Sciences. 7 (11) : 2022-2023 Kamla, Y. 2006. Pengembangan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.http://www.damandiri.go.id. Lideman, Gregory N. Nhisihara, Noro T, Terada R. 2011. In Vitro Growth and Photosynthesis of Three Edible Seaweeds, Betaphycus gelatinus, Eucheuma serra and Meristotheca papulosa (Solieriaceae, Rhodophyta). Aquaculture Sci. 59 (4): 563-571. 148 Lideman, Gregory N. Nishihara, Tadahide Noro and Ryuta Terada. 2012. Effect of Temperature and Light on the Photosynthetic Performance of Two Edible Seaweeds: Meristotheca coacta Okamura and Meristotheca papulosa J. Agard (Solieraceae, Rodhophyta). Aquakultur Sci. 60 (3) : 377-388. Lideman, Gregory N. Nhisihara, Tadahide Noro and Ryuta Terada. 2013. Effect of Temperature and Light on the Photosynthesis as measured by cholorophyll fluorescence of Eucheuma denticulatum and Kappaphycus sp. (Sumba Strain) from Indonesia.Journal of Applied Phycology, 25 (2): 399-406. DOI: 10,1007/Z 10811-012-9874-5. Lobban, C. S. and P. J. Harrison. 1997. Seaweeds Ecology and Physiology. Cambridge University Press. Cambridge, UK, 384 pp. Nishihara, G. N., R. Terada and T. Noro. 2004. Photosynthesis and growth rates of Laurencia brongiartii J. Agardh (Rodhophyta, Ceramiales) in preparation for cultivation. J. Appl Phycol., 16, 303-308. Nishihara, G. N., R. Terada and T. Noro. 2005. Effect of temperature and irradiance on the uptake of ammoniumand nitrate by Laurencia brongniartii (Rhodophyta, Ceramiales). J. Appl Phycol., 17, 371-377. Pantjara, B. dan M. Sahib. 2008. Aplikasi pupuk berimbang terhadap pertumbuhan rumput laut, Gracilaria verrusa di tambak tanah sulfat masam. Jurnal Riset Akuakultur. Vol. (2): 225-232. PENGEMBANGAN BIBIT RUMPUT LAUT (Gracilaria sp.) YANG DIPELIHARA DI LAUT MELALUI PENEMPELAN SPORA PADA TALI POLYETHYLENE (PE)5 149 Lideman1, Andi Elman1, Sitti Farida1, Endah Soetanti1, Sugeng Raharjo3 dan Symon Dworjanin4 This activity was conducted to support industrialization and production increment of aquaculture spesifically increase of seaweed Gracillaria production through improvement of both its quality and quantity. Since July 2013, BADC Takalar has been initiating an effort to produce seed from spores settled on rope. This spores-settled rope is ready to be lined in the sea. This work was based on the development of Gracillaria cultivated in the sea by using rope, similar method to Kappaphycus alvarezii culture. Nowdays, production of one area in Takalar Regency has reached up to 60 ton dry basis per month. To operate this activity, BADC Takalar collaborated with Australian Center for International Agricultural (ACIAR), PT. Agarindo Bogatama andInstitute for Brackishwater Aquaculture Research and Development, Maros. Technique of seed production applied in this work is as follow; fertiled thallus of Gracilaria sp. containing carpospore was cleaned up and stocked in 60 L of aquarium container filled with steril seawater about 7-8 cm. Before stocking the fertiled thallus, subsrate of polyethylenerope (PE) , common rope used by farmer, was set in the bottom of the container. PE was then checked under microscope to make sure if spores have been settled or not. PE rope with settling spores was moved and maintained in PES media. Exchange of media was carried out at least once a week. The results showed that spores successful settled and developed into young Gracilaria sp both in plastic and PE rope. These ropes with young Gracilaria sp. settled on can be used by the farmer as seed. Kata Kunci: Seed, Gracilaria sp., Spore, Polyethynene Rope dan Mariculture ____________________ 1 Perekayasa pada Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar Author for correspondence: e-mail [email protected] 2 Pengawas Perikanan Pada BPBAP Takalar 3 Kepala BPBAP Takalar 4 Australian Center for Agricultural Reseach 5 Presented on Indonesian Aquaculture (Aindoaqua) Seminar on 26-29 August 2014 in Jakarta. * 150 PENDAHULUAN Latar Belakang Perekayasaan ini dilakukan dalam rangka mendukung program industrialisasi dan peningkatan produksi perikanan budidaya hususnya dalam peningkatan produksi rumput laut Gracilaria melalui peningkatan kualitas dan kuantitas bibitnya. Kegiatan ini didasari pada perkembangan pembesaran Gracilaria sp. di laut yang sangat pesat dengan menggunakan tali seperti budidaya Kappaphycus alvarezii di laut dan hingga saat ini Produksi untuk di satu kawasan di Kabupaten Takalar mencapai 60 Ton kering per bulan. Tidak seperti Gracilaria verucossa, Gracilaria sp. yang dipelihara di perairan laut mempunyai thalus yang relatif lebih besar sehingga memungkinkan untuk diikat ditali polyethylene (PE). Namun demikian, dalam pelaksanaanya thalus yang diikat sering terlepas karena talus yang diikat relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan ikatan untuk K. alvarezii yang hanya mengikat 1-2 thalus. Pemanfaatan spora untuk sumber bibit merupakan salah satu cara yang memugkinakn dalam rangka peningkatan produksi dan perbaikan teknik budidayanya. Spora tipe carpospore lebih mudah digunakan sebagai sumber bibit karena kantong sporanya (cytocrap) dapat dilihat dengan mata telanjang. Pemanfaatan spora sebagai sumber bibit sudah berhasil dilakukan di beberapa negara, diantanya di Jepang dan Korea yaitu dalam memproduksi bibit Porphyra. Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar (BPBAP Takalar) sejak Juli 2013 telah memulai usaha untuk menghasilkan bibit yang berasal dari spora yang ditempelkan di tali, dan tali yang sudah ada bibit tersebut langsung bisa digunakan untuk dibentangkan di laut. Dan, dalam melakukan kegiatan ini, BBAP Takalar bekerjasama dengan pihak Australian Center for International Agricultural (ACIAR), PT. Agarindo Bogatama dan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros (BPPBAP Maros). Tujuan Perekayasaan ini bertujuan untuk menghasilkan bibit Gracilaria sp. yang berasal dari spora yang menempel pada tali polyethylene (PE). 151 BAHAN DAN METODE Koleksi dan Aklimatisasi Gracilaria sp. Fertil Sampel rumput laut fertil yang digunakan untuk eksperimen ini adalah Gracilaria sp, Family Solieriaceae (Rhodophyta) yang sudah mengandung spora (fertil) tipe carpospore (Carposporophyte) yang dibudidayakan di Desa Laguruda, Kab. Takalar, Sulawesi Selatan.Rumput laut fertil yang diperoleh kemudian diseleksi dan di tampung pada wadah stereofoam yang mengandung air laut dan lalu dibawa ke laboratorium basah Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar dengan suhu yang dipertahankan kurang lebih 25 oC. Di Laboratorium rumput laut, BPBAP Takalar,sampel-sampel Gracilaria sp. kemudian dipelihara sebagai tahap aklimatisasi di akuarium (60 × 40 × 40cm3) yang mengandung air laut dengan salinitas 30 ppt, pH 8.0. Carposporophyte dari Gracilaria sp. yang akan digunakan dapat dilihat pada Gb 1. Gb 1. Thallus Gracilaria sp. yang mengandung Carpospore (Carposporophyte) Sterilisasi Air Laut Air laut yang digunkanan untuk pelepasan dan pemeliharaan spora adalah air laut yang telah disaring dengan menggunakan saringan kapas dan saringan whatmen ukuran 0,45 µm. Air laut tersebut kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit dengan tekanan 1atm. 152 Pelepasan, Pemeliharaan Spora dan Pemeliharan Gracilaria sp. Muda Carposporophyte dari Gracilaria sp. yang akan digunakan adalah dengan ciri-ciri: thallus-nya bersih dari kotoran, warna agak kekuningan dan kantong sporanya (cytocarp) berwarna coklat cerah dengan diameter yang relatif lebih besar. Carposporophyte yang sudah diseleksi tadi kemudian dipotong dengan panjang 1-1,5 cm yang mengandung 3-4 cytocarp. Setelah dipotong, kemudian dimasukan ke wadah yang mengandung air laut steril dan dipelihara hingga spora lepas dari cytocarp-nya. Untuk mengetahui salinitas yang optimum dalam pelepasan spora maka dilakukan pengujian pelepasan spora pada beberapa tingkat salinitas yaitu 10, 15, 20, 25, 30, 35, dan 37 ppt. Pemeliharaan spora dilakukan dengan cara menempelkan spora secara langsung di dasar cawan petri setelah pelepasan spora dan juga dilakukan dengan cara memindahkan spora yang sudah lepas ke media pemeliharaan pada cawan petri lainya. Pengujian Tali Polyethylene (PE) Sebagai Tempat Menempel Spora dan Berkembangannya Bibit Setelah berhasil dalam proses pelepasan dan pemeliharaan spora dan juga spora bisa berkembang menjadi thallus muda pada wadah-wadah kecil seperti cawan petri, maka dilakukan pengujian untuk penggunaan tali polyethylene (PE) sebagai substrat penempelan spora dan perkembangan bibit yang dapat digunakan oleh petani untuk kegiatan budidaya di laut. Ujicoba dilakukan pada husus pada tali rafia dan tali PE. Wadah yang digunakan adalah beaker glas volume 1 liter lalu diisi dengan air laut steril dengan ketinggian 910 cm dan didasarnya diletakan tali sebagai substrat tempat menempel spora. Potongan-potongan carposporophyte digantung dalam media air laut steril dengan kedalaman 2-3 cm dari atas permukaan, lalu dipelihara sampai sporanya menempel dan berkembang di tali tersebut dan dicek dibawah mikroskop untuk memastikan apakah sporannya bisa menempel atau tidak. Selanjutnya dilakukan ujicoba tali PE pada wadah yang lebih besar yaitu akuarium volume 60 liter yang diisi air dengan ketinggian 7-8 cm dan didasar wadah diletakan gulungan tali PE dengan panjang kurang lebih 30 m, lalu potongan-potongan carposporophyte diletakan dalam air media (2-3 cm dari atas permukaan). Seperti ujicoba pada wadah beaker glas, pemeliharaan dilakukan sampai sporanya menempel dan berkembang di tali tersebut dan dilakukan pengecekan dibawah mikroskop untuk memastikan apakah sporannya bisa menempel atau tidak. 153 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada tahap awal percobaan pelepapasan dengan menggunakan wadah beaker glas diperoleh hasil bahwa spora bisa lepas dari cytocarp-nya setelah kurang lebih 12 jam, selanjutnya spora bisa lepas hingga hari ke-12, namun seelah 7 hari pelepasan spora, selanjutanya jumlahnya relatif lebih sedikit. Proses penempelan spora berlansung setelah antara 2-5 hari. Hasil pengujian terhadap salainitas yang digunakan menunjukan bahwa salinitas yang baik adalah antara 30-35 ppt. Spora yang sudah menempel selajutnya dapat berkembang menjadi Gracilaria sp. muda. Proses perkebangan spora menjadi Gracilaria muda dapat dilihat pada gambar berikut: Gb 2. Pelepasan spora (carpospore) Gracilaria sp. di cawan petri Gb 3. Spora (carpospore) yang melekat di cawan petri (umur 1 minggu). d = 20-35 µ 154 Gb 4. Bibit Gracilariasp. (gracilaria muda) yang berasal dari spora (Carpospore) yang dihasilkan di BBAP Takalar (Umur 1,5 bln) Gb 5. Bibit Gracilaria yang berkembng di wadah beaker glas dan di cawan petri yang berasal dari spora (Umur 2 bln) Pada tahap pengujian penggunaan tali PE dan tali rafia diperoleh hasil bahwa spora bisa menempel dan berkembang di tali PE dan tali rapia sehingga bisa digunakan sebagai sumber bibit. Proses perkebangan spora menjadi Gracilaria muda dapat dilihat pada gambar berikut: 155 Gb 6. Wadah dan tali yang digunakan untuk penempelan dan perkembangan spora Gb 7. Spora yang menempel pada tali rapia (umur 1 minggu) Gb 8. Spora yang menempel pada tali polyethilene (umur 1 minggu) Gb 9. Spora yang berkembang di tali rapia (umur 2 bln) Gb 10. Spora yang berkembang menjadi di tali PE (umur 1 bln) 156 Pengujian penggunaan tali polyethylene (PE) pada wadah yang lebih besar (akuarium 60 L) juga telah diperoleh bibit Gracilaria sp. yang berasal dari spora (Gb. 11). Gb 11. Produksi bibit Gracilaria sp. skala massal pada wadah akuarium volume 60 L, panjang tali tempat menempel adalah 30 m. Dalam pengembangan produksi bibit yang berasal dari spora Gracilaria sp. maka perlu diperhatikan beberpa faktor yang mendukung keberhasilan penempelan spora hingga tumbuh menjadi thalus (Alberto &Robledo 1999), faktor-faktor tersebut antara lain adalah pH, salinitas, temperatur,intensitas cahaya, aktif atau tidaknya spora, viskositasdari perairan, lapisan microfilm yang ada pada subtrat,kekasaran subtrat, kemampuan polasisari spora terhadapsubtrat, dan kemampuan adhesi spora terhadapsubtrat (Lobban danHarrison, 1997). 157 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Setelah melalui beberapa tahap percobaan, maka telah berhasil diperoleh bibit Gracilaria sp. yang menempel di tali polyethylene (PE) yang berasal dari spora. Saran Tahap selanjutnya, perlu dilakukan percobaan untuk bibit yang sudah berkembang di tali PE di areal budidaya Gracilaria sp. DAFTAR PUSTAKA Lobban, C. S. and P. J. Harrison. 1997. Seaweeds Ecology and Physiology. Cambridge University Press. Cambridge, UK, 384 pp. Alberto Guzm´an-Uri´ostegui & D. Robledo. 1999. Factors affecting sporulation of Gracilaria cornea (Gracilariales,Rhodophyta) carposporophytes from Yucatan, Mexico. Hydrobiologia 398/399: 285– 290. 158 PENAMBAHAN EGG STIMULATOR DALAM PAKAN UNTUK MEMACU PEMATANGAN GONAD INDUK F1 IKAN BERONANG LADA (Siganus guttatus) * Hamka , Syaichudin, Syamsul Bahri dan Jumriadi ABSTRAK Kegiatan ini bertujuan untuk melihat sejauh mana tingkat efektifitas penambahan egg stimulator pada pakan buatan dalam memacu pematangan gonad induk F1 ikan beronang. Sedangkan sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai bahan informasi untuk pematangan gonad induk ikan 3 beronang.Kegiatan ini dilakukan dalam bak beton berukuran 2,18 x 1,56 x 1 m (volume efektif 3 ton) dengan pergantian air 100-150% setiap hari yang terletak dalam ruangan semi outdoor sebanyak 3 bak pemeliharaan (Bak A; Bak B dan Bak C). Bak A dengan pemberian pakan buatan (Kontrol); Bak B dengan pemberian pakan buatan + egg stimulator 2% dan Bak C dengan pemberian pakan buatan + egg stimulator 3%. Induk beronang yang digunakan adalah induk F1 yang telah dipelihara dalam bak-bak terkontrol. Setiap baknya diisi dengan induk beronang sebanyak 20 ekor/bak. Hasil akhir dari kegiatan ini menunjukkan perkembangan gonad induk ikan beronang yang cukup berkembang yaitu pada bak A sebanyak 3 ekor (2 ekor jantan dan 1 ekor betina); pada bak B sebanyak 9 ekor (5 ekor jantan dan 4 ekor betina) dan pada bak C sebanyak 10 ekor (6 ekor jantan dan 4 ekor betina). Adapun jumlah telur yang dihasilkan pada akhir kegiatan pada Bak A (420.000 butir dengan HR 20%); Bak B (1.570.000 butir dengan HR 76%)dan Bak C (1.580.000 butir dengan HR 78%). Tingkat kelangsungan hidup induk beronang sampai akhir kegiatan untuk semua perlakuan adalah 100%. Kata kunci :Egg stimulator, IndukF1 ikan beronang, Pematangan gonad PENDAHULUAN 159 Latar Belakang Ikan beronang merupakan salah satu jenis ikan laut yang ekonomis dan merupakan komoditas budidaya. Di daerah Indonesia dikenal sekitar 12 jenis ikan beronang. Ikan beronang (Siganus) mempunyai tubuh yang lebar dan pipih. Mulutnya kecil karena beronang memang bukan ikan pemangsa melainkan ikan pemakan tumbuhan (herbivora). Oleh sebab itu ia sering ditemukan di lingkungan perairan yang banyak ditumbuhi lamun (sea grass) dan alga yang lebat. Sebagai ikan untuk konsumsi, beronang makin banyak penggemarnya. Ada tiga jenis yang dagingnya tebal yakni : Siganus guttatus, Siganus javus dan Siganus canaliculatus (Nontji, 1987). Akhir-akhir ini telah dicoba usaha untuk membudidayakannya. Namun, sayangnya pemasokan benih ikan budidaya siap tebar dari usaha panti benih belum ada sama sekali (khususnya untuk wilayah Indonesia Timur). Benih ikan beronang yang digunakan masih mengandalkan dari usaha penangkapan di alam. Usaha pembesaran dengan mengandalkan benih alam memiliki beberapa kelemahan. Benih alam sangat tergantung pada musim dan ketersediaannya terbatas. Bila penangkapan benih di alam terus-menerus dilakukan tanpa pertimbangan kelestariannya akan berdampak negatif terhadap populasi beronang di alam. Di pantai Utara Jawa, ikan beronang telah mengalami species extinction (kepunahan spesies) karena penangkapan yang terus-menerus tanpa mempertimbangkan kelestariannya dan hal ini tidak tertutup kemungkinan juga akan terjadi pada daerah-daerah lain di Indonesia. Kegiatan pembenihan ikan beronang sudah mulai dilakukan pada tahun 1980-an. Ikan beronang (Siganus guttatus) yang dipelihara dalam bakbak atau tempat terkontrol memiliki potensi reproduksi cukup tinggi (Tridjoko et al., 1985). Di Filiphina ikan beronang berhasil dipijahkan, kemudian dipelihara di jaring apung (Bentuvia, 1971). 160 Pada umumnya kegiatan pembenihan sangat ditunjang dengan ketersedian induk baik dari segi jumlah maupun segi ukuran. Ketersediaan induk beronang (Siganus guttatus) hasil tangkapan alam pada beberapa wilayah sudah cukup sulit ditemukan dalam keadaan hidup baik dari segi jumlah maupun dari segi ukuran. Pada saat ini BBAP Takalar sudah mempunyai calon induk F1 hasil dari kegiatan perekayasaan sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan kegiatan pematangan gonad terhadap induk F1 dengan pemberian egg stimulator melalui pakan sehingga nantinya didapatkan telur dari hasil pemijahan untuk dapat digunakan dalam kegiatan pembenihan. Tujuan dan Sasaran Tujuan kegiatan ini adalah untuk melihat sejauh mana perkembangan gonad dari induk F1 ikan beronang melalui penambahan egg stimulantor pada pakan buatan. Sasaran dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan induk F1 ikan beronang yang sudah matang gonad dan mampu menghasilkan telur untuk kegiatan pembenihan. BAHAN DAN METODE Kegiatan ini dilakukan pada tahun anggaran 2013 (Januari - Mei) bertempat di Unit Pembenihan Kerapu dan Beronang Balai Budidaya Air Payau Takalar, Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. Alat dan Bahan 161 Alat 1. Bak pemeliharaan 2. Peralatan lapangan 3. Sistem distribusi air 4. Sistem aerasi Bahan 1. Induk Ikan Beronang (Siganus spp.) 2. Pakan buatan 3. Egg stimulant 4. Minyak cumi 5. Kaporit 60% 6. Obat-obatan Prosedur Kerja - Perekayasaan ini dilakukan dengan menggunakan bak beton berukuran 3 2,18 x 1,56 x 1 m (volume efektif 3 ton) dalam ruangan semi outdoor sebanyak 3 buah bak (Bak A; Bak B dan Bak C) dengan perlakuan sebagai berikut : a. Bak A: Pematangan gonad dengan pemberian pakan buatan(Kontrol). b. Bak B : Pematangan gonad dengan pemberian pakan buatan + egg stimulator 2%. c. Bak C : Pematangan gonad dengan pemberian pakan buatan + egg stimulator 3%. 162 - Menyiapkan bak pemeliharaan. Bak dicuci dengan air tawar dan detergen yang mana sebelumnya bak telah didesinfektan dengan kaporit 100 ppm. - Menyiapan sistem aerasi pada bak pemeliharaan. - Mengisi bak pemeliharaan dengan air laut yang langsung dipompa dari laut yang sebelumnya telah melalui sistem filter fisik. - Memasukkan induk kedalam bak pemeliharaan sebanyak 20 ekor. - Pemberian pakan buatan yang telah ditambahkan egg stimulator dilakukan sesuai dengan perlakuan. - Setiap menjelang bulan gelap kedalam bak pemeliharaan dimasukkan kolektor-kolektor telur sebagai media untuk melekatkan telur induk ikan beronang. - Pengamatan perkembangan gonad dilakukan sekali sebulan pada saat bulan gelap. Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran kualitas air pada setiap perlakuan. Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH dan amoniak. Pengukuran Peubah 163 Pengukuran peubah dilakukan dengan mengamati pertumbuhan mutlak, jumlah induk matang gonad, fekunditasdan daya tetas telur. a. Pertumbuhan Mutlak Pengukuran pertumbuhan bobot biomas mutlak larva di hitung berdasarkan rumus Effendie (1979) sebagai berikut : W = Wt - Wo Dimana : W = Pertumbuhan mutlak individu (gram). Wt =Bobot biomassa hewan uji pada akhir kegiatan (gram). Wo = Bobot biomassa hewan uji pada awal kegiatan (gram). b. Pengukuran Jumlah Induk Matang Gonad Pengukuran ini dilakukan dengan melakukan pengamatan kematangan gonad pada setiap bak pemeliharaan untuk setiap bulannya. Untuk induk jantan tingkat kematangan gonadnya pemeriksaannya dilakukan dengan metode stripping, sedangkan untuk pemeriksaan kematangan gonad induk betina dilakukan dengan metode kanulasi. c. Fekunditas 164 Penentuan jumlah total telur (fekunditas) dilakukan dengan metode sampling. Sebanyak 5 buah waring persegi empat diletakkan pada setiap sisi bagian bak. Jumlah total telur dihitung dengan mengkonversi jumlah telur yang menempel pada waring terhadap total luas bak. d. Pengukuran Daya Tetas Telur Pengukuran daya tetas telur dilakukan dengan metode sampling dengan cara mengambil secara acak masing-masing 500 ml, pada lima titik yang berbeda (pada setiap sudut bak dan pada bagian pertengahan bak) pada bak pemijahan. Penentuan daya tetas telur yaitu jumlah total larva yang diperoleh dibagi jumlah total telur dikali 100%. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Gonad Induk-induk F1 ikan beronang dipelihara dalam bak terkontrol dengan kepadatan 20 ekor/bak. Untuk perlakuan pada bak A hanya diberi pakan buatan; bak B diberi pakan buatan + egg stimulator 2%,dan bak C diberi pakan buatan + egg stimulator 3%. Pemberian pakan buatan dengan dosis 3% BB/hari dengan frekwensi pemberian 5X/hari. Untuk menambah nilai nutrisi pakan buatan yang diberikan maka pakan tersebut ditambahkan egg stimulator sesuai perlakuan yang sebelumnya telah ditambahkan minyak cumi 165 sebagai perekat, kemudian diaduk rata dan dikeringanginkan. Setelah itu disimpan dalam wadah tertutup dan dimasukkan dalam freezer. Berdasarkan hasil yang telah dilakukan terhadap perkembangan gonad induk ikan beronang yang dipelihara dalam bak terkontrol maka didapatkan hasil seperti pada tabel dibawah ini : Tabel 1.Perkembangan Gonad Induk F1 Ikan Beronang yang Dipeliharadalam Bak Terkontrol. Perkembangan Gonad Kode Bak A B C SIKLUS I SIKLUS II SIKLUS III SIKLUS IV ♂ - - 2 2 ♀ - - - 1 K 20 20 18 17 ♂ - 1 5 5 ♀ - 2 3 4 K 20 17 15 11 ♂ - 2 3 6 ♀ - 2 2 4 K 20 16 15 10 166 Pada tabel di atas terlihat bahwa pada pengamatan bulan pertama induk belum ada yang berkembang gonadnya baik jantan maupun betina. Induk baru mulai berkembang gonadnya pada bulan ke dua pemeliharaan yaitu untuk pada bak Bsebanyak 3 ekor (1 ekor jantan dan 2 ekor betina)dan 17 ekor masih kosong; pada bak C yang berkembang gonadnya 4 ekor (2 ekor jantan dan 2 ekor betina) dan 16 ekor kosong, sedangkan pada Bak A sampai bulan ke-dua belum ada yang berkembang gonadnya. Pada pemeriksaan bulan ke tiga jumlah induk yang berkembang gonadnya lebih banyak lagi yaitu untuk bak A sebanyak 2 ekor (2 ekor jantan); pada bak B sebanyak 8 ekor (5 ekor jantan dan 3 ekor betina) dan pada bak C sebanyak 5 ekor (3 ekor jantan dan 2 ekor betina). Kemudian memasuki pengamatan bulan ke empat induk yang berkembang gonadnya semakin bertambah yaitu pada bak A sebanyak 3 ekor (2 ekor jantan dan 1 ekor betina); pada bak B sebanyak 9 ekor (5 ekor jantan dan 4 ekor betina) dan pada bak C sebanyak 10 ekor (6 ekor jantan dan 4 ekor betina). Pada akhir pengamatan jumlah induk yang matang gonad pada bak pemeliharaan dengan penambahan egg stimulator (Bak B = 9 ek dan Bak C = 10 ek) lebih banyak dibandingkan dengan tanpa penambahan egg stimulator (Bak A = 3 ek). Untuk lebih jelasnya perkembangan gonad induk ikan beronang secara keseluruhan pada setiap waktu pengamatan dapat dilihat pada grafik di bawah ini : 167 12 10 8 6 4 2 0 SIKLUS I SIKLUS II A SIKLUS III B SIKLUS IV C Gambar 1. Grafik Perkembangan Gonad Induk Ikan Beronang. Pada Gambar 1. terlihat bahwa perkembangan gonad pada bak Cdengan Bak B tidak berbeda secara signifikan, tetapi berbeda secara signifikan dengan Bak A, hal ini menunjukkan bahwa penambahanegg stimulator pada pakan dapat memacu perkembangan gonad induk F1 ikan beronang secara signifikan. Adapun nilai nutrisi yang terkandung dalam pakan buatan yang diberikan berdasarkan hasil analisa proksimat di laboratorium pakan buatan BBAP Takalar adalah sebagai berikut : Pada kegiatan ini induk mulai memijah pada pengamatan bulan ke dua yaitu pada BakB dan Bak C. Sedangkan pada bak A belum ada induk yang mengeluarkan telurnya. Selanjutnya pada pengamatan bulan ke empat induk pada semua bak perlakuan bertelur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3. 168 Tabel 3. Data Pemijahan Induk F1 Ikan Beronang pada Bak Bahan Vit A Vit D3 Kandungan 6000000 IU 1000000 IU Bahan Bacitracin MD Vit B6 Kandungan 55000 mg 1000 mg Vit E Vit K3 Vit B1 Vit B2 folic acic 2000 IU 1000 mg 2000 mg 5000 mg 250 mg Pemeliharaan. Vit B12 Vit C Ca-D pantothenate nacotinic acid 2 mg 20000 mg 4800 mg 15000 mg Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV Kode ∑ Telur HR ∑ Telur HR ∑ Telur HR ∑ Telur HR (butir) (%) (butir) (%) (butir) (%) (butir) (%) A - - - - 380.000 - 420.000 20 B - - 248.000 32 915.000 75 1.570.000 76 C - - 266.000 35 930.000 74 1.580.000 78 Bak 169 Berdasarkan pada Tabel 3, terlihat bahwa pada bulan pertama dan ke dua belum ada induk yang memijah. Pada bulan ke dua sudah ada induk memijah yaitu pada BakB dan Bak C sedangkan pada Bak A belum ada induk yang memijah. Adapun jumlah telur yang dihasilkan pada Bak B (248.000 butir dengan HR 32%) dan pada bak C (266.000 butir dengan HR 35%). Kemudian pada pengamatan bulan ke tiga induk pada semua bak pemeliharaan sudah mengeluarkan telur. Adapun jumlah telur yang dihasilkan pada Bak A (380.000 butirdengan HR 0,00%), Bak (915.000 butir dengan HR 75%), dan pada Bak C (930.000 butir dengan HR 74%). Selanjutnya pada pengamatan bulan ke empat jumlah telur yang dihasilkan pada semua bak pemeliharaan semakin meningkat. Adapun jumlah telur yang dihasilkan pada pengamatan bulan keempat adalah Bak A (420.000 butir dengan HR 20%); Bak B (1.570.000 butir dengan HR 76%); dan Bak C (1.580.000 butir dengan HR 78%). Jumlah telur yang dihasilkan antara Bak B dengan Bak C pada setiap waktu pengamatan tidak terlalu berbeda secara signifikan, namun demikian berbeda secara signifikan dengan jumlah telur yang dihasilkan pada Bak A.Tingginya jumlah telur yang dihasilkan pada Bak B dan Bak C dibandingkan dengan Bak A disebabkan karena jumlah induk yang matang gonad pada Bak B dan Bak C jauh lebih banyak dibandingkan dari Bak A, selain itu juga diduga sebagai efek adanya pemberian egg stimulator pada kedua pemeliharaan tersebut. Secara grafik jumlah telur yang dihasilkan setiap bak pemeliharaan pada waktu pengamatan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2. 170 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 SIKLUS I SIKLUS II A SIKLUS III B SIKLUS IV C Gambar 2. Grafik Peneluran Induk Beronang Selama Pengamatan Tingkat Kelangsungan Hidup Induk-induk ikan beronang yang dipelihara dalam kegiatan ini sampai pada akhir kegiatan untuk semua bak pemeliharaan tidak ada satupun yang mati (SR 100%). Hal ini disebabkan karena selain penanganan yang cukup ketat juga disebabkan karena kondisi kualitas air pemeliharaan yang sangat menunjang kelangsungan hidup induk-induk ikan beronang tersebut. Adapun hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 4. 171 Tabel 4. Hasil Pengamatan Tingkat Kelangsungan Hidup Induk F1 Ikan Beronang Lada Selama Perlakuan. Jumlah (ekor) 100 Perlakuan Bak A Kelangsungan Hidup (SR) 100% Bak B 100 100% Bak C 100 100% Berdasarkan hasil pada Tabel 4. terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada semua perlakuan sampai akhir kegiatan adalah sama yaitu 100%. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya kandungan protein yang terkadung dalam pakan yang digunakan dalam kegiatan ini sangat mendukung untuk kelangsungan hidup induk F1 ikan beronang. Selain itu tingkat konsumsi pakan yang cukup tinggi oleh setiap ikan uji mengakibatkan ketersediaan energi dalam tubuh ikan juga tinggi sehingga mendukung proses fisiologi kelangsungan hidupnya. untuk tumbuh dan mempertahankan Menurut Effendi, (1979) menyatakan bahwa ketersediaan makanan akan mempengaruhi sintasan ikan dan protein mempunyai fungsi bagi tubuh yaitu sebagai zat pembangun yang membentuk berbagai jaringan baru untuk pertumbuhan, zat pengatur dan zat pembakar (Murtidjo, 2001). Kualitas Air Selama kegiatan berlangsung dilakukan pengukuran parameter fisikakimia air media pemeliharaan benih ikan beronang, meliputi : Suhu, salinitas, 172 pH, oksigen terlarut dan amoniak. Nilai kisaran parameter kualitas air dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 2. Hasil Pengukuran Beberapa Parameter Kualitas Air Selama Kegiatan Berlangsung. Parameter Kualitas Air Oksigen Terlarut (ppm) Suhu (oC) Salinitas (ppt) PH NO2 NH3 Bak A 5,25 – 6,12 Perlakuan Bak B 5,27 – 6,14 Bak C 5,32 – 6,22 28 – 30 29 – 31 7,5 – 7,9 0,06 – 0,1 0,004 – 0,029 28 – 30 29 – 31 7,5 – 7,9 0,06 – 0,1 0,004 – 0,018 28 – 30 29 – 31 7,5 – 7,9 0,06 – 0,1 0,004 – 0,025 Suhu air media pemeliharaan selama penelitian berkisar antara 28 30 ºC. Kisaran tersebut masih layak untuk pertumbuhan dan kehidupan ikan beronang. Suhu yang optimal untuk kehidupan ikan berkisar antara 25 – 33 o o C, namun suhu ideal adalah 27 – 32 C dengan perubahan yang tidak ekstrim (Kordi, 2005). Salinitas air media pemeliharaan selama penelitian berkisar antara 29 -31 ppt. Nilai ini masih dalam batas yang layak untuk kehidupan ikan beronang. Kisaran salinitas sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotic sel tubuh. Oleh karena itu, diperlukan air yang memadai atau memenuhi persyaratan hidup ikan beronang. Ikan beronang umumnya menyukai salinitas 15-33 ppt dalam kelangsungan hidupnya (Kordi, 2005). Kisaran pH air untuk semua perlakuan selama penelitian berkisar antara 7,5 - 7,9. Nilai ini masih dalam batas yang yang layak untuk kehidupan. 173 Ikan beronang tumbuh optimal pada pH 7,2 – 8,5. Bahkan pada pH 6,5 pun ikan beronang masih hidup dengan baik, tetapi pertumbuhannya lambat (Sunyoto dan Munstahal, 1997). Lebih lanjut dikatakan Idris (2008) bahwa pH yang optimal 7,85 – 8,52 pada bak pemeliharaan ikan beronang. Kandungan Oksigen terlarut (O2) selama penelitian berkisar antara 5,25 -6,22 ppm. beronang. Nilai kisaran tersebut menunjang pertumbuhan ikan Menurut Kasry (1996) kandungan oksigen terlarut 4 ppm merupakan standar yang tidak boleh kurang untuk kelayakan kehidupan organisme dalam perairan. Ikan beronang mampu mentelorir oksigen hingga 2 ppm, dan kelarutan oksigen 3 - 4 ppm sangat baik untuk ikan beronang. Sebaliknya kelarutan oksigen yang sangat tinggi (lebih dari 8 ppm) juga tidak baik bagi ikan karena dapat menyebabkan penyakit gelembung gas (Kordi, 2005). Nilai kisaran amoniak yang diperoleh selama penelitian 0,004 - 0,029 ppm. Nilai kisaran ini masih layak untuk menunjang pertumbuhan dan mempertahankan kelangsungan hidup benih beronang. Amoniak merupakan hasil ekskresi atau pengeluaran kotoran ikan yang berbentuk gas. Selain itu, amoniak bisa berasal dari pakan yang tidak termakan oleh biota sehingga larut dalam air. Kadar amoniak yang terkandung dalam perairan merupakan hasil proses penguraian bahan organik. Kandungan amoniak dipengaruhi oleh pH dan temperatur. Menurut Sutika (1989), amoniak akan berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap ikan yang dipelihara. 174 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil yang didapatkan pada kegiatan pematangan induk F1 ikan beronang ini maka dapat disimpulkan bahwa pemberian egg stimulator yang ditambahkan ke dalam pakan dengan 2-3% ternyata cukup efektif untuk memacu perkembangan gonad dari induk F1 ikan beronang yang dipelihara. Saran Adanya keberhasilan yang cukup signifikan dalam kegiatan ini, maka kami menyarankan supaya tidak perlu menggunakan hormon dalam proses pematangan gonad induk ikan beronang karena tentunya akan menambah biaya produksi cukup dengan penambahan egg stimulator. DAFTAR PUSTAKA Basyari, A., 1989. Biologi dan Budidaya Ikan Beronang Siganus spp. Wicara/Seminar Pemanfaatan Sumberdaya Pantai/Laut. Sub Balai Penelitian Budidaya Pantai Bojonegara, Serang Bojonegara, 12 – 13 April 1988. pp 1-20. Bryan, P.G. and B.B. Madraisau, 1977. Larval Rearing and Development of Siganus lineatus (Piscea : Siganidae) from Hatching Through Metamorphosis Aquaculture 10 : 243 – 252. Gundemann, N., D.M. Popper and Lichtowich, 1983. Biology and life cycle of Siganus vermiculatus (Siganidae, Pisces). Pacifik Science, 37 (2) : 165. 175 Effendie, M.L. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Jakarta. Hal. 92 – 100. Ismail, W., I.S. Wahyuni and T. Pangabean, 1986. Studi Pendahuluan Pemberian Komposisi Pakan yang Berbeda pada Ikan Beronang Siganus canaliculatus (Preliminary study on the combination of feed for siganids). Jurnal Penelitian Perrikanan Laut 10 (36) : 1 – 5. Koesharyani I., Zafran, E. Stiadi, K. Yuasa and S. Kawahara. 1999. Control of benedenian infection in humpback grouper Cromileptis altivelis with hydrogen peroxide, OP 60. In: “Aquatic Animal Health for Sustainability”, Book of Abstracts, OP 40, Fourth Symposium on Diseases in Asian Aquaculture, November 22-26, 1999, Cebu, Philippines. Soletchnik, P., 1984. Aspect of nutrition and reproduction in Siganus guttatus with emphasis on applications in aquaculture. SEAFDEC Aquaculture Department, Iloilo, Philippines (Terminal Report). Sunyoto, P. and Munstahal, 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis penting. Penebar Swadaya, Jakarta. Tanaka, H., Waspada and K. Sugama, 1989. An experimental cage culture of golden rabbitsfish Siganus guttatus (Bloch) from juveniles through to adults (Draft; Personal commun). Waspada, 1984. Pemijahan dan Pemeliharaan Larva Ikan Kea-Kea Siganus virgitus. Laporan Penelitian Perikanan Laut No. 30 : 35 – 42 176 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA IKAN BAWAL BINTANG (Trachinotus blochii) DI KERAMBA JARING APUNG GUNA MENDUKUNG PROGRAM INDUSTRIALISASI PERIKANAN BUDIDAYA Saipul Bahri, Nur Muflich Yunianto, M. Kadari, Faizal Andre ABSTRAK Ikan Bawal Bintang (Trachinotus blochii) saat ini telah banyak mendapat tempat dan menjadi primadona baru di hati masyarakat. Karateristik ikan Bawal Bintang yang memiliki pertumbuhan cepat, daya adaptasi tinggi, dan mudah dibudidayakan menjadikan ikan ini memiliki potensi dan peluang besar untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan pasar domestic dan internasional. Seiring keberhasilan Balai Perikanan Budidaya laut Batam dalam membudidayakan ikan Bawal Bintang diharapkan pada akhirnya dapat dikembangkan diseluruh wilayah perairan laut Indonesia guna mendukung program industrialisasi perikanan budidaya. Tujuan yang diharapkan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan penguasaan teknologi produksi ikan Bawal Bintang secara missal oleh masyarakat. Beberapa hal yang harus menjadi perhatian dalam proses budidaya ikan Bawal Bintang di KJA adalah meliputi wadah pemeliharaan, penebaran benih, pemberian pakan, pemilahan ukuran, pengamatan pertumbuhan dan kelulushidupan, pengendalian hama dan penyakit ikan serta pemanenan. Wadah pemeliharaan pada tahap pendedran mengunakan waring ukuran 3X1X1,5 m3, kemudian tahap penggelondongan mengunakan jarring ¾ inch dengan ukuran 3X3X3m3, sedangkan tahap pembesaran dilakukan dengan mengunakan jarring 1,5 inch dengan ukuran 3X3X3m3. Penebaran dilakukan pada benih berukuran 5 cm dengan padat tebar 40-50 ekor/m3. Pemberian pakan dilakukan menggunakan pellet dengan kandungan protein 37% disertai pemberian tambahan suplemen protein rekombinan pada pakan dengan dosis 5 mg/kg pakan. Adapun pemberian pakan pellet dilakukan dengan memperhatikan 2 tahapan yaitu untuk ikan dengan ukuran < 100 gram diberikan pakan dengan dosis 7 % dari berat total ikan sedangkan ikan dengan ukuran > 100 gram diberikan pakan dengan dosis 4-3% dari berat total ikan. Pemilahan ukuran 177 ikan < 50 gram dilakukan setiap 2 minggu sekali dan ketika telah mencapai ukuran > 50 gram dilakukan setiap sebulan sekali. Pengambilan data untuk pemantauan terhadap pertumbuhan dan tingkat kelulushidupan dilakukan setiap sebulan sekali. Pengendalian kesehatan dan lingkungan dilakukan dengan pemantauan kondisi kualitas air secara priodik serta melakukan pengantian dan pencucian jaring secara berkala setiap sebulan sekali diikuti dengan proses perendaman ikan kedalam air tawar. Selama pemeliharaan dengan penambahan protein rekombinan 5.5- 6 bulan diperoleh hasil pertumbuhan dari berat awal 10,20 gr menjadi 459,48 gr, dengan FCR 1,86 dan tingkat kelulus hidupan yang dihasilkan sebesar 93,84 %. Dari hasil analisa usaha pembesaran ikan Bawal Bintang di Keramba jaring Apung HDPE (4x4m)sebanyak 4 petak (satu unit), dengan lama pemeliharaan 6-7 bulan dapat diperoleh keuntungan Rp. 57.000.000 dengan asumsi sebagai berikut : Ukuran benih tebar 7-8 cm, padat tebar 2500 ekor/petak (10.000 ekor/unit) , SR 80%(produksi sebanyak 8000 ekor) ukuran jual 500 gram , FCR 1:2 ,harga jual Rp. 60.000. Dari hasil analisa usaha ini BEP (Biaya operasional akan tercapai pada produksi minimal 3.050 kg. Pada akhirnya keberhasilan budidaya ikan Bawal Bintang melalui penguasaan teknologi diharapkan dapat menjadi bukti dukungan terhadap proses industrialisasi sector perikanan khusunya perikanan budidaya serta mendukung ketahanan pangan nasional. Kata Kunci : Budidaya, Bawal Bintang, Keramaba jarring Apung, Industrialisasi 178 PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan bawal bintang (Trachinotus blochii, Lacepede) telah menjadi salah satu komoditas budidaya laut yang diminati khususnya di wilayah Kepulauan Riau, bahkan menjadi ikon daerah ini. Ikan ini merupakan salah satu spesies yang sangat populer dibudidayakan, karena selain dagingnya lezat, pertumbuhannya cepat dan mudah untuk dibudidayakan sehingga menyebabkan industri pembenihan dan budidaya berkembang pesat (Anonimus, 2007). Teknologi pembesaran ikan-ikan laut semakin berkembang dengan adanya komoditas baru, baik melalui hybrid maupun introduksi dari Negara lain. Salah satu komoditas baru adalah Ikan Bawal Bintang (Trachinotus blochii. Lacepede)atau yang dikenal dengan merek dagang Silver Pompano mulai mendapat tempat di hati masyarakat. Bawal Bintang merupakan ikan introduksi dari Taiwan yang sudah dikuasai teknologinya baik pembenihan maupun pembesarannya di Balai Budidaya Laut Batam, dan merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai prospek pemasaran yang cukup bagus. Penguasaan teknologi produksi benih secara massal dan teknologi pembesarannya yang relatif mudah merupakan salah satu tahap menuju budidaya ikan sebagai suatu usaha industri yang mendatangkan devisa negara dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Mengingat spesies ini masih baru, maka diperlukan langkah-langkah pengembangan usaha budidayanya di masyarakat. Adapun kelebihan dan keunggulan dari komoditas ikan bawal bintang antara lain : Teknologi budidaya sudah tersedia, masa pemeliharaan di karamba jaring apung cepat, ukuran tebar benih 5 cm – 7 cm dibutuhkan waktu 5 – 6 bulan untuk mencapai ukuran konsumsi 400 gram – 500 gram, adaptif terhadapa berbagai jenis pakan, tahan terhadap penyakit dan tidak bersifat kanibalisme, mampu hidup dalam kondisi yang padat di keramba jaring apung, benih tersedia, dan pasar terbuka luas. Salah satu faktor untuk meningkatkan pertumbuhan dalam budidaya ikan bawal bintang adalah dengan penambahan suplemen berupa protein rekombinan dimana dengan penambahan ini selain dapat meningkatkan pertumbuhan juga dapat meningkatkan SR dan menekan FCR serta dapat memperpendek waktu panen. 179 Tujuan Adapun tujuan yang diharapkan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan penguasaan teknologi produksi ikan Bawal Bintang secara missal oleh masyarakat dan dapat menjadi salah satu solusi meningkatkan pertumbuhan ikan budidaya dalam upaya peningkatan efisiensi produksi. TEKNOLOGI PEMBESARAN IKAN BAWAL BINTANG Pemilihan Lokasi Sebelum kegiatan budidaya dilakukan terlebih dahulu diadakan pemilihan lolkasi. Pemilihan lokasi yang tepat akan menentukan keberhasilan usaha budidaya ikan bawal bintang. Secara umum lokasi yang baik untuk kegiatan usaha budidya ikan di laut adalah daerah perairan teluk, lagoon dan perairan pantai yang terletak diantara dua buah pulau (selat). Beberapa persyaratan teknis yang harus di penuhi untuk lokasi budidaya ikan Bawal Bintang di laut meliputi : Perairan pantai/ laut yang terlindung dari angin dan gelombang, Kedalaman air yang baik untuk pertumbuhan ikan kakap putih berkisar antara 5 ~ 15 meter, pergerakan air yang cukup baik dengan kecepatan arus 20-40 cm/detik, Kadar garam 29 ~ 32 ppt, suhu air 28 ~ 32 0 C dan oksigen terlarut 5,0 ~ 7,0 ppm, benih mudah diperoleh, bebas dari pencemaran dan mudah dijangkau,Dekat Sarana Dan Prasarana Transportasi, dan keamanan Teknik Pembesaran di keramba jaring apung Pembesaran benih merupakan proses pemeliharaan benih ikan bawal bintang dari ukuran panjang total (TL) 5-7 cm hingga mencapai ukuran komsumsi ( 400-500 gram per ekor). Diagram prosedur pemeliharaan yang dilakukan di Keramba jaring Apung (KJA). 180 Persiapan KJA dan jaring Penebaran benih Aklimatisasi Padat tebar Pemeliharaan ikan Pakan Sampling & Grading Pengendalian kesehatan & Lingkungan vaksin Pergantian Jaring Panen Sumber benih Benih ikan bawal bintang berasal dari hasil pembenihan (Hatchery) BPBL Batam. Benih yang yang digunakan harus yang bermutu/berkualitas yang berasal dari panti benih yang bersertifikat atau memiliki surat keterangan bebas penyakit. Kualitas benih sangat dipengaruhi oleh keberhasilan dalam suatu budidaya. Oleh karena itu gunakan benih yang berkualitas dengan kreteia 181 sebagai berikut : Ukuran tebar 5-7 cm, warna cerah putih keperakan, sehat dan tidak terserang penyakit, mempunyai respon yang baik terhadap pakan, gerakan aktif, lincah dan bergerombol. Wadah Pemeliharaan Dalam mempersiapkan wadah (jaring atau waring), ada hal-hal yang perlu dilakukan yaitu pencucian jaring, pemasangan jaring dan pemasangan pemberat. Pencucian jaring dilakukan dengan menggunakan mesin semprot jaring. Adapun tujuan dari pencucian jaring yaitu untuk membersihkan jaring dari kotoran lumut atau lumpur yang menempel di jaring sehingga sirkulasi air maupun oksigen terhambat. Pemasangan jaring dilakukan di bingkai karamba kemudian keempat sudutnya diikatkan pada tiang keramba dengan tali kencang agar tidak mudah lepas dan terbawa arus. Sesudah jaring terpasang, pada setiap sudut jaring juga dipasang pemberat dari batu pemberat. Tujuan dari pemasangan pemberat yaitu untuk menghindari jaring mudah terbawa arus air dan posisi jaring lebih kencang. Tabel 1. Hubungan Antara Ukuran Benih Dengan Mata Waring/Jaring No. Ukuran Benih (cm) Ukuran Mata Jaring satuan 1 2-3 4 mm 2 3-5 0,5 inchi 3 5-7 0,75 inchi 4 7-9 1 inchi 5 ≥15 1,25 inchi Penebaran Benih Benih Bawal Bintang berasal dari hasil pembenihan (Hatchrey) BBL Batam. Ukuran benih Bawal Bintang yang di tebar di KJA adalah 5-7 cm. Benih yang baru turun dari hatchery di lakukan aklimatisasi dan diadaptasikan dulu dengan kondisi lingkungan yang baru,terutama pengadaptasian terhadap perbedaan suhu dan salinitas antara di hatchrey dengan kondisi air di tempat pemeliharaan yaitu di KJA. Proses aklimatisasi yang dilakukan dengan cara meletakan plastik ke dalam air dan dibiarkan selama 10 – 15 menit, kemudian plastik packing dibuka dan perlahan-lahan air dari laut dimasukan kedalam plastik, dan dibiarkan benih keluar dengan sendirinya. 182 Tabel 2. Padat penebaran Ikan bawal Bintang FASE PEMELIHARAAN Penggelondongan Pembesaran UKURAN TEBAR UKURAN TEBAR ( GRAM) ( CM ) PADAT TEBAR ( EKOR/M3) 20 - 40 5-7 50-60 50 - 100 8 - 10 45-55 >100 - 40-50 Pakan dan Pemberian Pakan Pemilihan jenis pakan untuk ikan bawal bintang harus didasarkan pada kemauan ikan untuk memangasa pakan yang diberikan, kualitas, nutrisi dan nilai ekonomisnya. Pakan yang diberikan dalam pemeliharaan ikan bawal bintang adalah jenis pakan pellet yang memiliki kandungan protein 37%. Dalam pemberian pakan ini sertai penambahan suplemen protein rekombinan pada pakan dengan dosis 5 mg/kg pakan. Frekwensi dan waktu pemberian pakan pellet dilakukan dengan memperhatikan 2 tahapan yaitu untuk ikan dengan ukuran < 100 gram diberikan pakan dengan dosis 7 % dari berat total ikan sedangkan ikan dengan ukuran > 100 gram diberikan pakan dengan dosis 4-3% dari berat total ikan. Penambahan multivitamin dan Vitamin C dapat ditambahkan untuk melengkapi multivitamin. Vitamin C adalah tergolong vitamin yang larut dalam air dan mudah rusak sehingga disarankan pemberian vitamin C pada pakan dilakukan sesaat sebelum pemberian pakan. Dosis pemberian Vitamin C adalah 2 gram/kg berat pakan dan diberikan 2 kali seminggu. 183 Tabel. 3 Ukuran dan Dosis Pakan No 1 2 3 4 5 6 7 Dosis (% berat biomass / hari) 1 0,8 4 10 3 1 4 8 10 2 4 7 50 4 2 6 100 5 2 4 200 6 2 3 300 7-10 2 3 * Pemberian pakan : pemberian pakan sesuai dengan prosentasi berat Ukuran ikan (gr) Ukuran butiran (mm) Frekuensi (kali) ikan. Pengendalian kesehatan dan Lingkungan Penyakit sangat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan bawal bintang , karena dapat menimbulkan gangguan suatu fungsi atau struktur dari organ tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga dapat mengakibatkan kerugian ekonomis atau hilangnya produksi. Penyakit terjadi antara adanya hubungan tiga faktor yaitu ikan, lingkungan dan biota. Penyakit ikan bisa disebabkan oleh bakteri, parasit dan virus.Oleh karena itu tindakan preventif sebaiknya dilakukan lebih awal. Adapun tindakan pencegahan yang dilakukan yaitu dengan cara : Pergantian jaring, pemberian Vitamin dan multivitamin, perendaman dengan air tawar, dan vaksinasi. Tindakan pengobatan adalah langkah terakhir jika tindakan pencegahan tidak berhasil dan tidak efektif dilakukan. 184 Tabel. 4 Tindakan pencegahan dan pengobatan penyakit pada ikan bawal bintang No Jenis bahan Dosis Cara penggunaan 1 Air tawar 2 Vitamin c Multivitamin 3 Vaksin & - Perendaman 10-15 menit 1g/kg-2g/kg pakan Pencampuran dalam pakan Sesuai anjuran Dilakukan penyuntikan Pemantauan Populasi dan Pertumbuhan Pemantauan populasi menghasilkan informasi kelangsungan hidup ikan sedangkan pemantauan bobot rata-rata akan menghasilkan informasi laju pertumbuhan dan kondisi kesehatan ikan. Pemantauan ikan dilakukan dengan cara sampling.Sampling adalah pengambilan sejumlah contoh ikan kemudian diukur panjang dan bobotnya. Berdasarkan sampling akan diketahui bobot biomassa ikan, laju pertumbuhan ikan dan FCR. Grading dilakukan setiap 2 minggu-3 minggu sekali pada ukuran ikan dibawah 50 gram, satu bulan sekali untuk ukuran ikan > 50 gram. Berdasarkan data pengamatan dipreoleh data sebagai berikut : Data Pertumbuhan kegiatan aplikasi protein rekombinan Ikan Bawal Bintang Ikan Bawal Bintang Parameter Pengamatan Uji Kontrol Berat awal (gram/ekor) 10,20 10,20 Berat Akhir (gram/ekor) 459,48 350,26 Pertambahan berat ( 449,28 340,06 FCR (Feed Convertion Rate) 1 : 1,857 1:2 SR/Survival Rate (%) 93,84 82,73 185 FCR 500 400 300 rgh 200 kontrol 100 2.300 2.200 2.100 2.000 1.900 1.800 1.700 1.600 FCR 0 Δw sr Pemanenan Rangkaian akhir dari kegiatan budidaya ikan yang berorientasi pasar adalah panen dan pengangkutan. Kegiatan panen dan pengangkutan ini tidak kalah pentingnya dengan kegiatan lainnya, karena kesalahan dan keteledoran dalam pemanenan dan pengangkutan bisa berakibat fatal dan akhirnya target produksi tidak tercapai. Mengingat ikan yang akan angkut dalam keadaan hidup sehingga penanganannya pun harus tepat, baik waktu, cara maupun bahan yang diperlukan. Ukuran panen untuk ikan Bawal Bintang di KJA adalah 400 - 500 gram. Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari karena pada saat tersebut suhu relatif rendah. Dengan suhu rendah maka diharapkan dapat mengurangi stress selama pemanenan. Penggunaan alat panen yang benar sangat menentukan mutu ikan yang dipanen. Alat panen yang digunakan sebaiknya berupa serok terbuat dari bahan jaring yang halus. Serok yang kasar dapat menimbulkan luka pada ikan sehingga dapat menyebabkan ikan stress dan mudah terserang penyakit. Untuk pemanenan ikan Bawal Bintang sebaiknya tidak diberi pakan atau dipuasakan terlebih dahulu selama 12 - 48 jam sebelum dipanen. Adapun langkah langkah dalam pemanenan yaitu : 1) Melepaskan (membuka) Pemberat disetiap sudut jaring, 2). Tarik jaring perlahan-lahan dengan mengunakan kayu sebagai pembatas sehingga ikan 186 terkumpul pada sudut/bagian, 3). Perlahan-lahan ikan diserok dengan mengunakan serokan dan kemudian ditimbang bobotnya. KESIMPULAN 1. 2. Kegiatan proses budidaya ikan Bawal Bintang di KJA adalah meliputi wadah pemeliharaan, penebaran benih, pemberian pakan, pemilahan ukuran, pengamatan pertumbuhan dan kelulushidupan, pengendalian hama dan penyakit ikan serta pemanenan Selama pemeliharaan dengan penambahan protein rekombinan 5.5- 6 bulan diperoleh hasil pertumbuhan dari berat awal 10,20 gr menjadi 459,48 gr, dengan FCR 1,86 dan tingkat kelulus hidupan yang dihasilkan sebesar 93,84 % DAFTAR PUSTAKA APEC / SEAFDEC . 2001. Pembudidayaan dan Management Kesehatan Ikan Bawal bintang. APEC, Singapore dan SEAFDEC, Iloilo, Philiphines Darmono, A. M, Kadari. 2007. Pembesaran Bawal Bintang (Trachinotus blochii, Lacepede) di Keramba Jaring Apung dengan Pemberian pakan Buatan (Pellet) yang Mempunyai Kadar Protein Berbeda. Balai Budidaya Laut Batam. 9 hal. Dikrurahman. 2003. Pertumbuhan Populasi Rotifera (Brachionus sp.) Dengan Pemberian Pakan Alami Mikroalgae Monospesies Dan Multispesies. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Skripsi]. Direktorat Jendral Perikanan 1982 - Petunjuk teknis budidaya laut DIT- JEN PERIKANAN, Jakarta : 24 hal. Environmental Protection Agensy 1973 - Water Quality Criteria ; a report of the Committee on Water Quality Criteria. EPA, Washington D.C. Hartanto, N. 2007. Suivi des techniques d’elevage du bar (Dicentrarchus labrax) et de la daurade (Sparus aurata). Rapport de stage du de Bioressources Aquatiques en Environnement Méditerranéen et Tropical. Université Montpellier II. 28 p. 187 Hermawan, T.; Syamsul, A.; M. Hanafi; M. Kadari. 2005. Preliminary study on seed production of silver pompano (Trachinotus blochii, Lacepede) in Regional Center for Mariculture Development Batam. Paper on World Aquaculture Summit. Bali, July 9-13 2005 188 PENGGUNAAN NANNOCHLOROPSIS GEL DALAM PEMELIHARAAN LARVA IKAN BERONANG(Siganus guttatus) Hamka, Endah Soetanti, Dasep Hasbullah dan Suhardi Atmoko ABSTRAK Kegiatan ini bertujuan untuk melihat efektifitas penggunaan nanno gel pada pemeliharaan larva ikan beronang sebagai subsitusi Nannochloropsis sp. hasil kultur skala massal terhadap tingkat kelangsungan hidup larva.Sedangkan sasarannya adalah sebagai bahan informasi dalam pengembangan kegiatan pembenihan ikan beronang untuk meningkatkan produksi benihdalam mendukung kegiatan pembudidayaan. Kegiatan ini dilakukan dengan bak beton berukuran2,18 x 1,56 x 1 m3 (volume efektif 3 ton) dalam ruangan indoor sebanyak 4 buah (Bak A; Bak B; Bak C dan Bak D). Adapun perlakuan yang dilakukan adalah sebagai berikut Bak A (penggunaan nanno gel 5 ppm); Bak B (penggunanaan nanno gel 10 ppm); Bak C (penggunanaan nanno gel 15 ppm); dan Bak D dengan penggunaan Nannochloropsis sp.(Kontrol). Padat penebaran larva 10 ekor/ltr. Pengukuran tingkat kelangsungan hidup (SR) dihitung pada saat larva berumur 5 hari (D5); 15 hari (D15); dan 30 hari (D30). Pengukuran kualitas air dilakukan setiap 5 hari. Tingkat kelangsungan hidup (SR) rata-rata yang didapatkan pada saat larva berumur D5 adalah pada perlakuan A (5%); perlakuan B (45%); perlakuan C (42,5%); dan perlakuan D (45%).Untuk tingkat kelangsungan hidup (SR) rata-rata yang didapatkan pada saat D15 adalah pada perlakuan A (0%); pada perlakuan B (22,25%); perlakuan C (23,25%); dan perlakuan D (22,75%). Sedangkan tingkat kelangsungan hidup (SR) yang didapatkan pada saat D30 adalah pada perlakuan A (0%); perlakuan B(1%); perlakuan C (1,25%); dan perlakuan D (1,25%). Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan kisaran yang normal untuk mendukung kegiatan pemeliharaan larva ikan beronang. Kata kunci : Nannochloropsis gel, Trocopor tiram, Brachionus sp, Larva beronang 189 PENDAHULUAN Latar Belakang Beberapa jenis ikan laut yang ekonomis dan merupakan komoditas budidaya umumnya ada tiga golongan yaitu kerapu, kakap dan beronang. Selain kerapu dan kakap, ikan beronang juga memiliki banyak jenis. Di daerah Indonesia dikenal sekitar 12 jenis ikan beronang. Ikan beronang (Siganus) mempunyai tubuh yang lebar dan pipih. Mulutnya kecil karena beronang memang bukan ikan pemangsa melainkan ikan pemakan tumbuhan (herbivora). Oleh sebab itu ia sering ditemukan di lingkungan perairan yang banyak ditumbuhi lamun (sea grass) dan alga yang lebat. Sebagai ikan untuk konsumsi, beronang makin banyak penggemarnya. Ada tiga jenis yang dagingnya tebal yakni : Siganus guttatus, Siganus javus dan Siganus canaliculatus (Nontji, 1987). Di makassar ikan beronang baker sangat terkenal. Akhir-akhir ini telah dicoba usaha untuk membudidayakannya. Namun, sayangnya pemasokan benih ikan budidaya siap tebar dari usaha panti benih belum ada sama sekali (khususnya untuk wilayah Indonesia Timur). Benih ikan beronang yang digunakan masih mengandalkan dari usaha penangkapan di alam. Dengan demikian, ada kemungkinan akan terjadi eksploitasi penangkapan ikan di alam secara berlebihan. Hal ini tentu saja akan merusak keseimbangan ekosistem di masa mendatang. Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan upaya untuk melakukan kegiatan pembenihannya. Namun dalam kegiatan pembenihan ikan beronang tingkat kelangsungan hidupnya masih rendah bahkan masih sering didapakan kematian secara massal utamanya pada fase endogenous ke fase eksogenous yaitu fase dimana larva untuk pertamakalinya mencari makan dari luar. Tingginya tingkat mortalitas pada fase ini yaitu dimana larva tidak dapat memanfaatkan pakan yang ada. Salah satu penyebab larva tidak mampu memanfaatkan pakan yang ada karena ukuran pakan tersebut tidak sesuai dengan bukaan mulut larva. Selain itu ketersediaan fitoplankton (Nanno chloropsis) dalam kegiatan pemeliharaan larva juga merupakan kendala utama, dimana fitoplankton pada musim-musim tertentu sering mengalami trouble dan pada kegiatan kultur skala massal kepadatan dari fitoplankton tersebut cukup rendah. Fitoplankton dengan kepadatan sel rendah sangat tidak layak untuk digunakan dalam pemeliharaan larva, karena jumlah fitoplankton yang dimasukkan kedalam bak pemeliharaan larva harus dalam jumlah besar untuk mencapai kepadatan sel yang diinginkan. Banyaknya fitoplankton yang dimasukkan mengakibatkan kandungan amoniak dalam bak pemeliharaan larva meningkat secara signifikan yang mengakibatkan larva mengalami keracunan amoniak 190 sehingga terjadi kematian secara massal. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan kajian untuk menggunakan fitoplankton instant (nanno gel) dalam kegiatan pemeliharaan larva. Tujuan dan Sasaran Tujuan dari kegiatan ini adalah mengetahui tingkat efektifitas penggunaan nanno gel pada pemeliharaan larva ikan beronang sebagai subsitusi Nannochloropsis sp. hasil kultur skala massal terhadap tingkat kelangsungan hidup larva. Sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai bahan informasi dalam pengembangan kegiatan pembenihan ikan beronang dalam meningkatkan produksi dalam mendukung kegiatan pembudidayaan. TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Klasifikasi & Morfologi Klasifikasi menurut Nelson (1976) adalah sebagai berikt : Kelas : Osteichthyes Sub kelas : Actinopterygii Infra kelas : Teleostei Divisi : Euteleostei Super ordo : Acanthoptrygii Ordo : Percipformes Sub ordo : Acanthuroidei Family : Siganidae Genus : Siganus Species : Siganus guttatus (Lin., 1766). Jenis ikan ini mempunyai tubuh berwarna abu-abu kebiruan dan bagian bawahnya berwarna keperakan dengan beberapa bintik sebsar bola mata. Dibawah sirip punggung terdapat bercak besar berwarna kuning. Bentuk badannya oval menyamping dengan lebar badan antara 1,8 – 2,3 kali panjang standar. Jenis ini mempunyai 17 jari-jari keras dan 10 jari-jari pada sirip punggung, 7 jari-jari keras, dan 9 jari-jari lunak sirip dubur. Sirip ekornya berbentuk persegi atau sabit pada ikan-ikan dewasa. Di antara jenis beronang, beronang lada dapat mencapai ukuran yang lebih besar, yaitu lebih dari 1 kg dan beronang ini paling cepat pertumbuhannya disbanding jenis lain (Kordi, 2005). Ikan beronang, biawas dan samadar itu tergolong pada marga Siganus bila dilihat kacamata seorang ahli sistematik dan mecakup beberapa jenis ikan 191 (Martosewojo et al., 1981). Masyarakat sekitar Kepulauan Spermonde menyebut ikan beronang S. guttatus sebagai beronang ”rante-rante”. Ada tiga jenis ikan beronang yang sering ditemukan dan mempunyai prospek untuk dibudidayakan yaitu Siganus javus (beronang tulis), Siganus guttatus (beronang lada) dan Siganus canaliculatus (beronang lingkis). Ketiga jenis ikan itu dapat dibedakan berdasarkan warnanya. Berikut ini perbedaanperbedaan yang dapat dikenali : - Tubuh bagian atas S. gutatus berwarna abu-abu kebiruan, sedangkan bagian bawah berwarna perak dengan bintik-bintik yang lebih besar berwarna kuning keemasan. Pada sisi badan, tepatnya bagian bawah sirip punggung belakang, terdapat sebuah bintik besar. Di antara jenis beronang, beronang lada dapat mencapai ukuran yang lebih besar, yaitu lebih dari 1 kg dan beronang ini paling cepat pertumbuhannya disbanding jenis lain. - Tubuh bagian atas S. javus berbintik putih, tetapi pada bagian bawahnya bintik-bintik itu merapat dan membentuk garis-garis horizontal. Ukuran ikan beronang ini dapat mencapai panjang 35 cm. - Tubuh bagian atas S. canaliculatus berwarna hijau abu-abu dengan bagian bawah berwarna perak yang diliputi oleh bintikbintik berwarna pucat. Ukuran panjang ikan ini lebih kecil jika dibandingkan dua jenis ikan beronang sebelumnya. Makanan dan Habitatnya Sesuai dengan morfologi dari gigi dan saluran pencernaannya yaitu mulutnya kecil, mempunyai gigi seri pada masing-masing rahang, gigi geraham berkembang sempurna, dinding lambung agak tebal, usus halusnya panjang dan mempunyai permukaan yang luas, ikan beronang termasuk pemakan tumbuhtumbuhan, tetapi kalau dibudidayakan ikan beronang mampu memakan makanan apa saja yang diberikan seperti pakan buatan Ikan beronang bukan ikan pemangsa melainkan ikan pemakan tumbuhan (herbivor). Oleh sebab itu sering ditemukan dilingkungan perairan yang banyak tumbuhan lautnya, misalnya diterumbu karang yang ditumbuhi lamun (sea grass) dan alga yang lebat (Nontji, 1987). Ikan ini pada ukuran benih biasanya hidup bergerombol di daerah pantai yang berpadang lamun (banyak ditumbuhi pohon Enhallus sp.) sehingga mudah ditangkap dengan jaring pantai pada musimnya (Sunyoto dan Munstahal, 1997). 192 Perkembangan Larva Larva yang baru menetas bersifat pasif karena mulut dan matanya belum terbuka, sehingga pergerakan tergantung pada arus air. Larva membawa cadangan makanan berupa kuning telur dan gelembung minyak. Ukuran cadangan kuning telur tergantung pada jenis ikan, pada ikan kerapu cenderung berada lebih jauh dari bagian kepala atau lebih dekat kearah bagian belakang. Larva yang baru menetas terlihat transparan, melayang-layang dan gerakannya tidak aktif serta tampak kuning telurnya (Sunyoto dan Mustahal, 2000). Bagi usaha pembenihan, perkembangan larva terutama saat kapan mulut terbuka, mulai makan penyerapan kuning telur, ukuran bukaan mulut, mulai perkembangan morfologis dan perkembangan saluran pencernaan sangat penting untuk diketahui data tersebut berkaitan dengan pengelolaan pembenihan pakan dalam rangka mempertahankan sintasan larva (Jayadi, 2004). Setiap pemberian pakan kepada larva harus memperhatikan perkembangan larva. Hal ini sangat penting untuk mengetahui tingkah laku dan respon larva terhadap makanan yang diberikan (Kordi, 2005). Kualitas Air Kualitas air media pemeliharaan sangat berperan dalam menunjang keberhasilan produksi benih larva beronang. Kualitas air yang berperan terhadap kelangsungan hidup pada pertumbuhan ikan kerapu macan meliputi suhu air, oksigen terlarut, kadar garam, pH air, ammonia dan nitrit. Kelarutan oksigen merupakan faktor lingkungan yang terpenting bagi pertumbuhan ikan. Kandungan oksigen yang rendah dapat menyebabkan ikan kehilangan nafsu makan sehingga mudah terserang penyakit, pertumbuhannya terhambat bahkan menyebabkan kematian. Biota air membutuhkan oksigen sebagai penunjang kebutuhan lingkungan bagi species tertentu dan kebutuhan konsumtif yang dipengaruhi oleh kebutuhan metabolisme. 193 BAHAN DAN METODOLOGI Waktu dan Tempat Kegiatan ini dilakukan pada tahun anggaran 2013 (Mei - September) bertempat di Unit Pembenihan Kerapu dan Beronang Balai Budidaya Air Payau Takalar, Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. Prosedur Kerja Perekayasaan ini dilakukan dengan menggunakan bak beton volume 3 ton sebanyak 4 buah yang terletak dalam unit hachery (indoor) dengan perlakuan sebagai berikut : - Bak A (Penggunanaan nanno gel. 5 ppm) Bak B (Penggunanaan nanno gel. 10 ppm) Bak C (Penggunanaan nanno gel. 15 ppm) Bak D (Kontrol) Adapun kegiatan dalam pelaksanaan perekayasaan ini adalah sebabagai berikut Menyiapkan 4 buah bak beton. Bak dicuci dengan air tawar dan detergen yang mana sebelumnya bak telah didesinfektan dengan kaporit 100 ppm - Menyiapkan sistem aerasi pada masing-masing bak pemeliharaan. - Mengisi bak pemeliharaan dengan air laut yang telah melalui sand filter - Memasukkan larva ikan beronang dengan kepadatan 10 ekor/ltr - Pemberian pakan berupa trocopor tiram dan brachionus pada masingmasing bak pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan. - Kegiatan ini dilakukan selama empat siklus. Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran kualitas air pada setiap perlakuan. Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH dan amoniak. - Pengukuran Peubah 194 Peubah yang diamati dalam kegiatan ini adalah tingkat kelangsungan hidup (SR) pada saat larva berumur 5 hari (D5); berumur 15 hari (D15) dan pada saat berumur 30 hari (D30). a. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Status D5 Tingkat kelangsungan hidup dalam kegiatan ini dilihat berdasarkan kepadatan larva yang ada dalam bak pemeliharaan larva pada saat D5. Adapun kriteria dari kepadatan larva tersebut adalah sebagai berikut : - Jumlah larva banyak sekali (++++ / 70% –90%) - Jumlah larva banyak (+++ / 50% ≤ x < 70%) - Jumlah larva sedang (++ / 30% ≤ x < 50%) - Jumlah larva sedikit (+ / < 30%) - Tidak ada larva (-) b. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Status D15 Tingkat kelangsungan hidup dalam kegiatan ini dilihat berdasarkan kepadatan larva yang ada dalam bak pemeliharaan larva pada saat D15. Adapun kriteria dari kepadatan larva tersebut adalah sebagai berikut : - Jumlah larva banyak sekali (++++ / 70% –90%) Jumlah larva banyak (+++ / 50% ≤ x < 70%) Jumlah larva sedang (++ / 30% ≤ x < 50%) Jumlah larva sedikit (+ / < 30%) Tidak ada larva (-) c. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Status D30 Tingkat kelangsungan hidup dalam kegiatan ini dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1979), yaitu : SR = (Nt/No) x 100% Dimana : SR = Tingkat kelangsungan hidup (%) 195 Nt = Jumlah hewan uji pada akhir pengujian (ekor) No = Jumlah hewan uji pada awal pengujian (ekor) HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Status D5 Berdasarkan hasil pengamatan pada kegiatan perekayasaan tentang penggunaan nanno gel sebagai subsitusi Nannochloropsis massal pada pemeliharaan larva ikan beronang, diperoleh data hasil seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Siklus I II III IV Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Beronang pada Saat Larva Berumur 5 hari (D5) Selama Empat Siklus. Kode Bak A + + B ++ +++ +++ ++ C ++ ++ +++ +++ D +++ ++ ++ +++ Berdasarkan pada Tabel 1, terlihat bahwa pada pemeliharaan siklus I jumlah larva yang hidup untuk mencapai hari keempatpada Bak A sudah tidak ada lagi, sedangkan pada bak lainnya masih ada yaitu pada Bak B (jumlah larva dalam kategori sedang), Bak C (jumlah larva dalam kategori sedang)dan Bak D (jumlah larva dalam kategori banyak). Pada pengamatan siklus II jumlah larva yang hidup pada Bak A juga sudah tidak ada, sedangkan pada bak lainnya masih ada yaitu pada Bak B (jumlah larva dalam kategori banyak), Bak C (jumlah larva dalam kategori sedang)dan Bak D (jumlah larva dalam kategori sedang). Tingginya mortalitas pada pemeliharaan Bak A baik pada siklus I maupun pada siklus II diduga sebagai akibat rendahnya kepadatan Nannochloropsis dalam bak pemeliharaan larva sehingga cahaya yang masuk intensitas cukup tinggi yang dapat mengganggu aktifitas pemangsaan pakan oleh larva. Selain itu juga diduga karena rotifer yang ada dalam bak pemeliharaan larva kandungan nutrisinya rendah karena kurangnya kepadatan Nannochloropsis dalam air media pemeliharaan, sehingga kebutuhan rotifer akan Nannochloropsis yang tersisa dalam bak pemeliharaan tidak terpenuhi. 196 Pada pemeliharaan siklus III jumlah larva yang hidup untuk mencapai hari keempatpada masing-masing bak pemeliharaan adalah untuk Bak A (jumlah larva dalam kategori sedikit); pada Bak B (jumlah larva dalam kategori banyak), Bak C (jumlah larva dalam kategori banyak)dan Bak D (jumlah larva dalam kategori sedang). Pada pengamatan siklus IV jumlah larva yang hidup pada Bak A (jumlah larva dalam kategori sedikit); pada Bak B (jumlah larva dalam kategori sedang), pada Bak C (jumlah larva dalam kategori banyak)pada dan Bak D (jumlah larva dalam kategori banyak). Dengan masih banyaknya larva yang bertahan sampai hari keempat pada Bak B (10 ppm nanno gel) dan Bak C (15 ppm nanno gel) menunjukkan bahwa pemberian nanno gel dengan kepadatan 10 – 15 ppm ke dalam air media pemeliharaan sebagai subsitusi Nannochloropsis kultur massal dapat mempertahankan kelangsungan hidup dalam kategori jumlah larva sedang (++) sampai jumlah larva banyak (+++). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1. 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% SIKLUS I SIKLUS II A SIKLUS III SIKLUS IV B Gambar 1. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Beronang pada Masing-Masing Perlakuan Status D5 197 Pada Gambar 1 terlihat bahwa pada perlakuan A jumlah larva yang mampu bertahan hidup untuk mencapai D5 cukup rendah yaitu hanya dalam jumlah kategori sedikit (0% - 15%), tingginya mortalitas yang didapatkan pada Bak A untuk setiap siklus menunjukkan bahwa pemberian nanno gel dengan kepadatan 5 ppm dalam bak pemeliharaan sangat kurang sehingga tidak mampu mensubsitusi Nannochloropsis kultur skala massal. Dari hasil pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan bahwa larva yang berhasil bertahan hidup pada perlakuan A isi lambungnya kosong. Indikasi ini mulai terlihat pada saat larva berumur D5 dimana kondisi larva lemah dan tidak ada makanan yang ada dalam isi lambung larva. Hal ini menunjukkan bahwa larva tidak mampu mengkonsumsi rotifer yang diberikan pada saat larva berumur4 hari. Adanya ketidak berhasilan larva untuk memangsa rotifer yang ada dalam bak pemeliharaan diduga disebabkan karena ukuran rotifer masih lebih besar dari bukaan mulut larva. Ketidak berhasilan larva dalam memangsa pakan yang ada pada saat larva berumur 4 hari maka akan menyebabkan adanya kematian massal pada saat larva tersebut berumur 5 hari, hal ini disebabkan karena gelembung minyak yang merupakan energi untuk larva pada saat D5 telah habis sehingga tidak ada lagi sumber energi dalam tubuh larva yang dapat digunakan untuk bertahan hidup. Hal ini sesuai pernyataan Prastowo, B.W. (1999) bahwa adanya kegagalan dalam kegiatan pembenihan beronang disebabkan masih rendahnya tingkat kelangsungan hidup pada masa transisi dari fase endogenous ke fase eksogenous feeding, dimana pada saat itu larva tidak dapat memanfaatkan pakan yang tersedia dalam media pemeliharaannya sehingga terjadi kematian massal. Tingkat kelangsungan Hidup Larva Status D15 Berdasarkan hasil pengamatan pada kegiatan perekayasaan tentang penggunaan nanno gel sebagai subsitusi Nannochloropsis massal pada pemeliharaan larva ikan beronang, diperoleh data hasil seperti yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Siklus I II III IV Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Beronang pada Saat Larva Berumur 15 hari (D15) Selama Empat Siklus. Kode Bak A - B + ++ ++ + C + + ++ ++ D ++ + + ++ 198 Berdasarkan pada Tabel 1, terlihat bahwa pada pemeliharaan siklus I sampai pada hari kesepuluhpada Bak A dan Bak C tidak ada lagi dijumpai larva (mati total), sedangkan pada bak lainnya yaitu pada pada Bak B dan Bak D masih ada dijumpai dalam kategori sedikit. Pada pengamatan siklus II jumlah larva yang hidup pada Bak A juga sudah tidak ada, begitupulah pada Bak C dan Bak D. Sedangkan pada bak B masih ditemukan adanya larva yang bertahan hidup yaitu dalam kategori sedang. Pada pengamatan siklus ketiga status D15 masih diketemukan adanya larva yang bertahan hidup pada tiga bak pemeliharaan yaitu Bak B (jumlah larva yang hidup dalam kategori sedang); Bak C (jumlah larva yang hidup dalam kategori sedang); dan pada Bak D (jumlah larva yang hidup dalam kategori sedikit). Secara umum tingkat mortalitas pada semua bak pemeliharaan pada saat larva memasuki umur 15 hari adalah cukup tinggi, dimana pada bak A dari siklus I sampai siklus IV tidak dijumpai lagi larva yang mampu bertahan hidup. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. 40.0% 35.0% 30.0% 25.0% 20.0% 15.0% 10.0% 5.0% 0.0% SIKLUS I A SIKLUS II SIKLUS III SIKLUS IV B Gambar 2. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Larva pada Saat Mencapai Umur 105Hari (D15) 199 Dari Gambar 2 terlihat bahwa pada semua siklus pemeliharaan tidak ada lagi dijumpai larva pada Bak A pada saat memasuki umur 15 hari. Sementara pada bak-bak perlakuan yang lain masih dijumpai larva yang mampu bertahan hidup dalam kategori jumlah larva yang bervariasi.Berdasarkan hasil pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan bahwa larva yang berhasil bertahan hidup terindentifikasi dimana lambung dari larva tersebut dalam kondisi berisi makanan.Hal ini menunjukkan bahwa larva ada mampu memanfaatkan pakan yang diberikan yang ada dalam air media pemeliharaan. Adanya keberhasilan larva memanfaatkan pakan yang diberikan mengakibatkan larva mempunyai cukup energi untuk bertumbuh dan mempertahankan kelangsungan hidupya. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Status D30 Pada saat larva berumur 30 hari sebagian besar larva telah berubah menjadi benih yang menyerupai ikan dewasa. Benih beronang yang dihasilkan pada setiap bak pemeliharaan ukurannya tidak seragam (belantik) seperti halnya pada pembenihan ikan kerapu bebek maupun kerapu macan, namun demikian tidak kanibal seperti halnya kerapu macan. Tetapi benih yang berukurang lebih besar cenderung mengejar benih yang berukurang jauh lebih kecil dan dipatuk-patuk. Meskipun tidak sampai dimakan tetapi hal ini dapat menyebabkan kematian pada benih-benih tersebut. Adapun tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada kegiatan ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Siklus I II III IV Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Beronang pada Saat Larva Berumur 30 hari (D30) Selama 4 Siklus. A - Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) B C 1% 1% 1% 1% 1% 2% 2% D 1% 1,5% 1,5% 1% Secara umu tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada akhir kegiatan untuk semua perlakuan adalah sangat rendah. Hal ini menunjukkan 200 masih banyaknya yang perlu dikaji dan dikembangkan dalam pemeliharaan larva ikan beronang lada.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3. 2.0% 1.5% 1.0% 0.5% 0.0% SIKLUS I A SIKLUS II SIKLUS III SIKLUS IV B Gambar 3. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Larva pada Saat Mencapai Ukuran Benih (D30). Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa tingkat mortalitas pada semua perlakuan adalah cukup rendah dimana nilai kelangsungan hidup tertinggi yang didapatkan hanya berkisar 2%. Sangat rendahnya tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada akhir kegiatantentunya hal ini erat kaitannya dengan tinginya tingkat mortalitas larva yang didapatkan pada fase endogenous ke fase eksogenous (D5), dimana semakin tinggi tingkat kelulushidupan larva untuk mencapai D5 maka peluang larva untuk mencapai ukuran benih (D30) juga lebih tinggi. Begitu pulah sebaliknya semakin rendah kelulushidupan larva untuk status D5 maka peluang larva untuk mencapai ukuran benih (D30) juga semakin rendah, bahkan tidak jarang terjadi kematian secara massal pada saat sebelum larva mencapai umur 15 hari. Adanya larva yang mampu bertahan hidup sampai akhir kegiatan yang selanjutnya menjadi benih meskipun dalam prosentase rata-ratanya masih sangat rendah pada perlakuan B (1%); perlakuan C (1,25%) dan perlakuan D (1,25%) menunjukkan bahwa dengan penggunaan nanno gel dengan dosis 201 penggunaan 10 – 15 ppm mampu mensubsitusi Nannocholoropsis hasil kultur massal. Hal ini disebabkan karena tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan dengan menggunakan Nannochloropsis hasil kultur massal tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan penggunaan nanno gel. Kualitas Air Kualitas air merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan pemeliharaan larva ikan beronang , karena kualitas air dapat berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan. Nilai kisaran parameter kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kisaran Parameter Kualitas Air yang Didapatkan Selama Kegiatan Berlangsung. Parameter Suhu (oC) O2 Terlarut (ppm) Salinitas (ppt) pH Amoniak (ppm) Kisaran Kualitas Air A B C 28 – 29 28 – 29,5 28 – 29,5 5,35 – 6 5,30 – 6,2 5,35 – 6,2 29 – 30 29 – 30 29 – 30 7,0 – 7,56 7,0 – 7,32 7,2 – 7,6 0,001 – 0,035 0,001 – 0,027 0,001 – 0,030 Dari nilai kisaran beberapa parameter kualitas air pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa secara umum nilai tersebut masih berada pada kondisi yang layak untuk suatu kegiatan pemeliharaan larva ikan beronang. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil yang didapatkan pada kegiatan perekayasaan ini maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan nanno gel dalam pemeliharaan larva ikan beronang dapat berperan untuk mensubsitusi Nannocloropsis kultu massal. Saran Untuk mendapatkan tingkat kelangsungan hidup larva yang lebih tinggi pada fase endogenous ke fase eksogenous maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap beberapa jenis pakan alami dari zooplankton yang sesuai 202 dengan bukaan mulut larva pada saat larva pertama kali membutuhkan asupan pakan dari luar. DAFTAR PUSTAKA Bryan, P.G. and B.B. Madraisau, 1977. Larval Rearing and Development of Siganus lineatus (Piscea : Siganidae) from Hatching Through Metamorphosis Aquaculture 10 : 243 – 252. Duray, M.N., 1998. Biology and Culture of Siganids. SEAFDEC Aquaculture Deaprtement Tingbauan, Iloilo. Philipphines. Effendie, M.L. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Jakarta. Hal. 92 – 100. Gundemann, N., D.M. Popper and Lichtowich, 1983. Biology and life cycle of Siganus vermiculatus (Siganidae, Pisces). Pacifik Science, 37 (2) : 165. Kordi, K.M.G.H. 1992. Budidaya Ikan Beronang. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Prastowo, B.W. 1999. Pengembangan Teknologi Pengelolaan Induk/Benih Ikan Beronang (Siganus spp.). Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Air Payau Jepara. Soletchnik, P., 1984. Aspect of nutrition and reproduction in Siganus guttatus with emphasis on applications in aquaculture. SEAFDEC Aquaculture Department, Iloilo, Philippines (Terminal Report). Sunyoto, P. and Munstahal, 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis penting. Penebar Swadaya, Jakarta. Taslihan, A., M. Murdjani, C. Purbomartono & E.Kusnendar. 2000. Bakteri patogen penyebab penyakit mulut merah pada ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). J. Perikanan, II(2): 57-62. 203 Taslihan, A., M. Murdjani, C. Purbomartono & E.Kusnendar. 2000. Bakteri patogen penyebab penyakit mulut merah pada ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). J. Perikanan, II(2): 5762. Todar, K., 2002. The Mechanism of Bacterial Pathogenecity. Todar’s Online Textbook of Bacteriology. University of Wisconsin-Madison Department of Bacteriology. P 1-18. 204 MENINGKATKAN KEUNTUNGAN USAHA BUDIDAYA LELE SUPERINTENSIF TEKNOLOGI BIOFLOC DENGAN PEMANFAATAN LIMBAHNYA UNTUK BUDIDAYA TUBIFEX Tri Wahyuni, Sarifin, Sofi Hanif, Herry, Edi Pramono, Setyorini Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Direktorat Perikanan Budidaya, ABSTRAK Budidaya lele superintensif memerlukan penanganan air yang ketat karena tingginya beban limbah yang dihasilkan dari banyaknya pakan yang digunakan dan ekskresi yang dihasilkan oleh ikan. Untuk itu, air akan cepat menjadi bau menyengat dan ikan akan cepat mabuk karena rendahnya kualitas air. Penerapan teknologi biofloc memiliki keunggulan untuk mengurangi bau karena adanya bakteri pengurai dan makroagregat air yang dapat menjaga keseimbangan dan kestabilan kualitas air karena kerja yang komprehensif dari bakteri heterotroph dan mikroagregat air untuk memanfaatkan beban limbah organic (ammonia dan karbon) menjadi bagian yang lebih bermanfaat, yaitu protein microbial, sehingga ikan diharapkan dapat tumbuh lebih baik. Namun demikian, pada penerapan system biofloc, diperlukan pembuangan endapan secara berkala untuk menjaga keseimbangan kualitas air. Supaya tidak terbuang percuma, endapan tsb dapat digunakan untuk budidaya tubifex. Endapan yang terbentuk dari system biofloc memiliki tekstur yang sangat lembut dan mengandung bahan organic tinggi yang sangat sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan untuk media cacing tubifex. Pada makalah ini kegiatan budidaya lele superintensif dilakukan pada bak bulat dengan konstruksi central drain ukuran 1m3, ukuran benih 812cm, padat tebar 1500 ekor/m3, lama tanam 4 bulan dan menggunakan teknologi biofloc. Rancang bangun kegiatan ini adalah 5 bak untuk perlakuan biofloc dan 5 bak untuk control. Sedangkan kegiatan budidaya tubifex dilakukan pada saluran air yang ada dengan penanaman benih cacing tubifex hanya sekali pada awal pemeliharaan. Hasil yang diperoleh dari budiaya lele biofloc superintensif menghasilkan fcr 0,7 (dibandungkan control fcr=0,8) dan SR 90% (dibandingkan 205 control SR 75%). Berdasarkan hasil analisa usaha diperoleh keuntungan lele biofloc Rp 506.625/siklus dibandingkan control Rp 324.250/siklus. Apabila diperhitungkan antara keduanya, budidaya biofloc dapat memberikan keuntungan 56% lebih tinggi dibandingkan kontrol. Dengan pemanfaatan limbah biofloc untuk budidaya tubifex, akan menambah keuntungan sebesar Rp 100.000,- per minggu dari produksi cacing tubifex sebanyak 10 L/minggu (harga tubifex Rp 10.000,-/liter). KATA KUNCI : lele, biofloc, tubifex . PENDAHULUAN Budidaya lele superintensif memerlukan penanganan air yang ketat karena tingginya beban limbah yang dihasilkan. Kondisi ini membawa dampak kurang baik terhadap kelestarian dan kesehatan lingkungan. Limbah organik tersebut umumnya didominasi oleh senyawa nitrogen anorganik yang beracun. Menurut Asaduzzaman et al. (2008) dan De Schryver et al.(2008), tingginya penggunaan pakan buatan pada budidaya intensif menyebabkan pencemaran lingkungan dan peningkatan kasus penyakit. De Schryver et al. (2008) dan Crab et al. (2007) menyatakan bahwa ikan hanya menyerap sekitar 25% pakan yang diberikan, sedangkan 75% sisanya menetap sebagai limbah didalam air. Limbah dari pakan tersebut akan dimineralisasi oleh bakteri menjadi ammonia. Akumulasi ammonia dapat mencemari media budidaya bahkan dapat menyebabkan kematian (Avnimelech, 1999; Avnimelech, 2009). TIngginya kandungan ammonia dapat menyebabkan air menjadi cepat berbau menyengat dan kemudian ikan menjadi cepat mabuk. Penerapan teknologi biofloc memiliki keunggulan untuk mengurangi bau karena adanya bakteri pengurai dan makroagregat air yang dapat menjaga keseimbangan dan kestabilan kualitas air. Bakteri pengurai yang paling berperan adalah bakteri heterotroph yang mempunyai kemampuan untuk mengkonversi ammonia menjadi biomassa bakteri heterotroph yang dapat tumbuh maksimal melalui peningkatan rasio C/N dengan penambahan sumber karbon organik. Dengan demikian teknologi bioflok menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah limbah budidaya yang paling menguntungkan karena selain dapat menurunkan limbah nitrogen anorganik, teknologi ini juga 206 dapat menyediakan pakan tambahan berprotein untuk kultivan sehingga dapat menaikan pertumbuhan dan efisiensi pakan. Namun demikian, pada penerapan system biofloc, diperlukan pembuangan endapan secara berkala untuk menjaga keseimbangan kualitas air. Supaya tidak terbuang percuma, endapan tsb dapat digunakan untuk budidaya tubifex. Endapan yang terbentuk dari system biofloc memiliki tekstur yang sangat lembut dan mengandung bahan organic tinggi yang sangat sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan untuk media cacing tubifex. Cacing tubifex disebut juga cacing lumpur (sludge worm), cacing limbah(sewage worm), ular kapur (lime snake), karena dapat hidup dengan baik pada perairan yang banyak mengandung limbah dan endapan/sedimen lumpur organik bahkan dapat hidup pada perairan yang sangat tercemar bahan organik yang hampir tidak ada spesies lainnya dapat bertahan. Pembentukan kista pelindung dan penurunan aktifitas metabolime merupakan strategi hidup cacing tubifex untuk dapat bertahan dalam kondisi kekeringan dan kekurangan makanan. Kebiasaan makan cacing tubifex adalah dengan cara mencerna sedimen dan memperoleh nutrisi dengan mencerna bakteri secara selektif dan menyerap molekul melalui dinding tubuh (Gilbert dan Granath 2003). Cacing tubifex ini banyak digunakan sebagai makanan untuk larva dan benih ikan, baik dalam bentuk hidup, beku kering, atau dalam bentuk pellet. Namun kebanyakan sumbernya bukan hasil budidaya tetapi berasal dari hasil penangkapan dari alam. Dengan demikian, terbuka peluang usaha budidaya cacing tubifex untuk memenuhi kebutuhan pakan larva dan benih ikan. Pemanfaatan endapan limbah budidaya ikan biofloc untuk media pemeliharaan cacing tubifex dapat meningkatkan keuntungan dan juga meminimalisasi keluaran limbah dari kegiatan budidaya ikan lele superintensif ke lingkungan. BAHAN DAN METODE Kegiatan budidaya lele superintensif dilakukan pada bak bulat dengan konstruksi central drain ukuran 1m3, ukuran benih 8-12 cm, padat tebar 1500 ekor/m3, lama tanam 4 bulan dan menggunakan teknologi biofloc. Rancang bangun kegiatan ini adalah 5 bak untuk perlakuan biofloc dan 5 bak untuk control. Perlakuan biofloc dilakukan dengan melalui beberapa tahap, yaitu 1) Persiapan wadah Meliputi a) pemasangan instalasi aerasi, b) membersihkan wadah dari sisa kotoran dari kegiatan sebelumnya, keringkan dan isi 207 kembali, c) sterilisasi air dengan 15 ppm kaporit dan netralkan dengan 15 ppm natrium tiosulfat 2) Persiapan benih Meliputi aklimatisasi ikan sebelum perlakuan biofloc 3) Perlakuan Biofloc Meliputi a) memasukkan probiotik Pro BBPBAT sebanyak 100 mL/m3 ke dalam media pemeliharaan, b) memasukkan kapur 30 ppm, c) memberikan molase setiap hari sebanyak 25% dari jumlah pakan yang diberikan 4) Monitoring lingkungan. Meliputi pengecekkan suhu dan pH setiap hari dan ammonia seminggu sekali. Kegiatan budidaya tubifex dilakukan pada saluran air yang ada dengan penanaman benih cacing tubifex hanya sekali pada awal pemeliharaan sebanyak 10 L. 208 HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Lele dengan Teknologi Biofloc Hasil budidaya lele dengan system biofloc dapat dilihat pada Gambar 2 berikut; Pertumbuhan Ikan pada Pakan Komersil + Biofloc Bobot ikan (g) 200 166.67 150 Biofloc (g) 106.25 100 Kontrol (g) 66.67 61.25 50 0 39.29 29.74 34.33 3.73 7.80 11.6 17.83 11.33 3.73 7.13 6.24 0 0.4 1.0 1.7 2.7 3.2 47.5 3.7 4.7 Bulan keGambar 2. Pertumbuhan Ikan pada Budidaya Lele Sistem Biofloc Pada Gambar 2 di atas, dapat dilihat system biofloc dapat meningkatkan pertumbuhan ikan lebih cepat dibandingkan dengan control. Efisiensi system biofloc dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini: 209 FCR Evaluasi Nilai FCR 2.00 1.030.77 0.790.590.710.640.85 0.77 Kontrol 0.00 1 2 3 4 Biofloc Bulan keGambar 3. Evaluasi Nilai FCR selama Pemeliharaan Ikan Sistem Biofloc Pada Gambar 3 di atas, dapat dilihat system biofloc dapat meningkatkan produksi dengan meningkatkan efisiensi pakan dengan nilai FCR lebih rendah dibandingkan dengan control, yaitu berkisar FCR 0,59 – 0,77 (rataan 0,69) untuk system biofloc dan FCR 0,71 – 1,03 (rataan 0,84) untuk kontrol. Pengaruh system biofloc terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini; Evaluasi SR (%) 90.20 95.00 90.00 SR (%) 85.00 75.40 80.00 Ряд1 75.00 70.00 65.00 Kontrol Biofloc 210 Gambar 4. Hasil Evaluasi Tingkat Kelangsungan Hidup Pada Gambar 4 dapat dilihat, perlakuan biofloc dapat memberi pengaruh signifikan terhadap keberlangsungan hidup ikan, yaitu dengan rataan dari kelima ulangan adalah SR 90% dibandingkan control SR berkisar 75%. Perbaikan kualitas lingkungan juga tampak terjadi, dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini; Penurunan TAN (Amonia) 1 Penurunan Amonia (%) 0 -10 -20 -30 -40 -50 -60 -70 -80 -90 -100 2 3 4 5 -11 -29 -37 -62 -95 Pakan Komersil Gambar 5. Perbaikan Kualitas Air pada media Pemeliharaan Lele Biofloc Pada Gambar 5 diatas, menunjukkan adanya perbaikan kualitas air pada media pemeliharaan, yaitu yang ditunjukkan dengan adanya penurunan konsentrasi ammonia pada media air biofloc dibandingkan dengan control. 211 Hasil Budidaya Cacing Tubifex pada Media Endapan Biofloc Hasil pemeliharaan cacing tubifex dengan penanaman benih cacing sebanyak 5 L dapat memberikan panen rutin sebesar 10 L/minggu. Dengan demikian dapat diperoleh pemasukkan sebesar Rp 100.000,-/minggu atau Rp 400.000,-/bulan. Dibandingkan dengan keuntungan dari kegiatan budidaya lele, hasil cacing tubifex relative lebih besar, yaitu budidaya lele biofloc Rp 84.438,/bulan dan budidaya lele control Rp 54.042,-/bulan. KESIMPULAN Usaha budidaya ikan lele biofloc dapat menjadi alternative pemecahan masalah lingkungan dan bau pada budidaya lele intensif. Selain itu, budidaya biofloc dapat mningkatkan produksi ikan dengan nilai FCR berkisar 0,7 (dibandingkan control 0,8) dan nilai SR biofloc 90% (dibandingkan control 75%). Hasil pengamatan kualitas air juga menunjukkan adanya perbaikan dengan adanya penurunan nilai TAN pada media pemeliharaan biofloc. Hasil analisa usaha menunjukkan budidaya lele biofloc dapat meningkatkan keuntungan 56 % (dibandingkan control). Pemanfaatan endapan biofloc untuk budidaya cacing tubifex dapat memberikan keuntungan lebih tinggi dibandingkan hasil usaha budidaya ikan lele itu sendiri. Hal ini cukup menarik karena selain pemanfaatan endapan dapat mengurangi limbah ke lingkungan, juga dapat memberikan keuntungan dengan hasil yang lumayan. 212 DAFTAR PUSTAKA Asaduzzaman, M., M.A. Wahab, M.C.J. Verdegem, S. Huque, M.A. Salam, and M.E. Azim. 2008. C/N Ratio Control and Substrate Addition for Periphyton Development Jointly Enhance Freshwater Prawn Macrobrachium rosenbergii Production in Ponds. Aquaculture, 280: 117–123. Avnimelech, Y. 1999. C/N Ratio As a Control Element in Aquaculture Systems. Aquaculture, 176: 227-235. Crab, R., B. Chielens, M. Wille, P. Bossier, and W. Verstraete. 2010. The Effect of Different Carbon Sources on The Nutritional Value of Bioflocs, A Feed for Macrobrachium rosenbergii Postlarvae. Aquaculture Research, 41: 559-567. Crab, R., Y. Avnimelech, T. Defoirdt, P. Bossier, and W. Verstraete. 2007. Nitrogen Removal Techniques in Aquaculture for Sustainable Production. Aquaculture, 270: 1-14. De Schryver, P., R. Crab, T. Defoirdt, N. Boon, and W. Verstraete. 2008. The Basics of Bio-Flocs Technology: The Added Value for Aquaculture. Aquaculture, 277: 125–137. Gilbert, M. A. & Granath, W.O. Jr. (2003). Whirling disease and salmonid fish: life cycle, biology, and disease. Journal of Parasitology, 89(4), pp. 658– 667. 213 DISEMINASI PENGGUNAAN VAKSIN: PENINGKATAN PRODUKTIVITAS BENIH LELE DI UNIT PEMBENIHAN SKALA RUMAH TANGGA MELALUI GERAKAN VAKSINASI IKAN (GERVIKAN) Ayi Santika, Ciptoroso, Mira , Asep S. ABSTRAK Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat populer di masyarakat. Permintaan ikan lele konsumsi yang tinggi mendorong berkembangnya kegiatan budidaya lele di masyarakat. Serangan penyakit bakteri Aeromonas hydrophila merupakan salah satu kendala yang masih sering dihadapi pada usaha pembenihan lele sehingga produkasi benih menurun. Serangan bakteri Aeromonas hydrophila bisa mengakibatkan kematian ikan 90-100% (Gilda et al, 2001). Penggunaan antibiotik dalam penanggulangan penyakit bakterial pada budidaya ikan menimbulkan berbagai efek negatif antara lain timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotik, terakumalasinya residu antibiotik pada organisme budidaya dan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan budidaya. Untuk menanggulangi dampak negatif penggunaan antibotik tersebut, maka diperlukan alernatif yang aman. Salah satunya adalah dengan vaksinasi. Vaksin tidak menimbulkan dampak negatif berupa timbulnya jenis patogen yang resisten dan tidak menyebabkan akumulasi dalam tubuh (Ellis, 1988; Pasaribu,1993). Vaksin yang digunakan dalam diseminasi ini adalah vaksin hydrovac (anti Aeromnonas hydrophila) produksi Balitkanwar Bogor. Diseminasi dilakukan di Unit Pembenihan Rakyat (UPR) Iwan Tirta Mina Kencana di Sukabumi. UPR ini sudah secara rutin menerapkan pogram vaksinasi benih sejak tahun 2013 - 2014. Fasilitas UPR ini berupa bak terpal ukuran 3x5 m sebanyak 12 buah dan ukuran 4x8 m sebanyak 2 buah. Kegiatan pembenihan yang dilakukan mulai dari pendederan pertama (P1) hinga pendederan ketiga (P3). Secara umum sintasan benih lele yang divaksin berkisar 80-90%, lebih tinggi daripada benih vaksin yang 214 tidak divaksin yang berkisar 60-71%. Produksi benih yang divaksin dalam 1 tahun mencapai sekitar 1.273.467 ekor benih (ukuran 4-6 cm, 5-7 cm). Sedangkan pada benih yang tidak divaksin, hasil produksi benih dalam 1 tahun sekitar 713.653ekor (ukuran 4-6 cm, 5-7 cm). Hasil analisa ekonomi menunjukkan bahwa penggunaan vaksin hydrovac pada pembenihan lele mampu meningkatkan keuntungan. Kata Kunci : Lele, Aeromonas, Vaksin hydrovac PENDAHULUAN Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat populer di masyarakat. Meningkatnya permintaaan lele ukuran konsumsi untuk pasar lokal semakin mendorong minat masyarakat untuk membudidayakan lele. Meningkatnya kegiatan budidaya ikan lele di masyarakat, selain karena permintaan yang tinggi juga didukung oleh beberapa faktor antara lain ikan lele dapat dibudidayakan pada lahan dan sumber air terbatas, teknologi budidaya sederhana, modal usaha relatif kecil dan pemasaran yang mudah. Segmentasi usaha pada budidaya lele (usaha pembenihan, pendederan maupun pembesaran) juga telah berjalan dengan baik dan mempunyai pasar sendiri sehingga memudahkan masyarakat untuk memilh segmen usaha yang diinginkan dengan mempertimbangkan modal, lahan dan lamanya waktu usaha. Pada usaha pembenihan lele masih terdapat kendala salah satunya adalah serangan penyakit bakteri Aeromonas hydrophila. Menurut Gilda et al (2001), serangan bakteri A. hydrophila bisa mengakibatkan kematian ikan 90100%. Serangan bakteri ini menyebabkan banyak kematian benih bahkan pada tingkatan yang lebih parah terjadi kegagalan panen sehingga jumlah produksi menurun. Dalam mengatasi serangan bakteri A. Hydrophila, para pembudaiaya umumnya menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik dalam penanggulangan penyakit bakterial pada budidaya ikan menimbulkan berbagai efek negatif antara lain timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotik, terakumalasinya residu antibiotik pada organisme budidaya dan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan budidaya. Untuk menanggulangi dampak negatif penggunaan antibotik tersebut, maka diperlukan alernatif yang aman. Salah satunya adalah dengan vaksinasi. Vaksin tidak menimbulkan dampak negatif berupa timbulnya jenis patogen yang 215 resisten dan tidak menyebabkan akumulasi dalam tubuh (Ellis, 1988; Pasaribu,1993). Pada usaha pembenihan lele yang ada di masyarakat umumnya belum menerapkan program vaksinasi benih, sehingga produksi benih yang dihasilkan kulitasnya rendah. Penggunaan vaksin A.hydrophila diaplikasikan pada pembesaran lele di BBPBAT Sukabumi mulai tahun 2010. Penggunaan vaksin A. Hidrophila terbukti mampu meningkatkan produksi, dimana sintasan lele yang divaksin A. Hydrophila sebesar 86,67%, sedangkan pada ikan lele yang tidak divaksin sebesar 52.53%. Sehubungan hal tersebut, maka perlu dilakukan diseminasi penggunaan vaksin A. hydrophila pada masyarakat. Tujuan diseminasi penggunaan vaksin Aeromonas hydrophila adalah untuk meningkatkan produksi pada usaha pembenihan lele. BAHAN DAN METODE Kegiatan diseminasi ini dilakukan dari bulan Januari-Desember 2013 di Unit Pembenihan Rakyat (UPR) Skala Rumah Tangga di Sukabumi.Bahan yang digunakan pada kegiatan ini meliputi: vaksin Aeromonas, benih lele, pakan alami (tubifex), pakan buatan (pakan benih). Sedangkan alat yang digunakan meliputi: alat perikanan (scoopnet, ember, jolang), pipet ukur, spuit.Wadah yang digunakan berupa bak terpal ukuran 3x5 m2 (12 buah) dan ukuran 4x8 m2 (2 buah). Persiapan wadah meliputi pengeringan, pengapuran dan pengisian air pada bak. Setelah media pemeliharaan siap (warna kehijauan), maka dilakukan penebaran larva (umur 4 hari setelah menetas).Vaksinasi ikan dilakukan dengan cara merendam benih selama 30 menit. Metode ini sesuai dengan cara penggunaan vaksin yang terdapat pada kemasan vaksin dari produsen.Pemeliharaan benih ikan dibagi menjadi 3 periode pendederan yaitu P1, P2, dan P3. Pemberian pakan selama pemeliharaan meliputi pakan alami (Tubifex sp) dan pakan buatan (pakan benih). Kepadatan larva yang digunakan pada pendederan pertama (P1) sebanyak 150.000 ekor larva (umur 4 hari setelah menetas) /terpal (ukuran 3x5 m2). Data parameter yang diamati meliputi sintasan, titer antibodi, kualitas air dan analisa ekonomi. 216 HASIL DAN PEMBAHASAN Usaha Pembenihan Lele Skala Rumah tangga ini berdiri sejak tahun 2008. UPR ini merupakan binaan BBPBAT Sukabumi. Penebaran pada pendederan sebanyak 150.000 ekor larva (umur 4-5 hari setelah menetas) pada bak terpal 3x5m2. Setiap kali penebaran sebanyak 6 bak terpal sehingga total penebaran dalam 1 siklus berkisar 900.000 ekor larva. Hasil pendederan berupa benih berukuran 1-2 cm; Benih ini merupakan benih yang digunakan untuk kegiatan vaksinasi. Penggunaan benih hasil pendederan untuk kegiatan vaksinasi dikarenakan benih sudah berumur lebih dari 3 minggu sehingga organ tubuh ikan sudah siap untuk merespon kekebelan tubuh. Menurut Kordi (2004), keberhasilan vaksinasi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi umur dan bobot ikan. Umur dan bobot ikan harus diperhatikan karena organ tubuh ikan yang berfungsi merespon kekebalan adalah setelah umur 2 minggu. Ikan yang berumur kurang dari 2 minggu dan bobot tubuh kurang dari 1 gram belum mampu merespon vaksin secara efektif dan efisien. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi keberhasilan vaksinasi adalah suhu, dimana suhu lingkungan yang rendah menyebabkan produksi antibodi lambat. Setelah dipanen, benih hasil pendederan ditampung dalam hapa. Benih hasil pendederan, relatif masih seragam, berukuran 1-2 cm. Jumlah benih yang dihasilkan berkisar 49.000-50.000ekor (penebaran 150.000; 3 x 5 m2); Sintasan pemeliharan pendederan , umumnya berkisar 25%-38%. Benih hasil pendederan disajikan pada Gambar di bawah ini: 217 Gambar Benih Hasil Pendederan Sebelum proses vaksinasi, disiapkan wadah-wadah berisi air dan sudah ditentukan (dihitung) volumenya (untuk kegiatan vaksinasi di pembudidaya biasanya digunakan bervolume 10 l. Wadah tersebut selanjutnya diberi vaksin dengan dosis yang sesuai (1 ml/10 L air media). Metoda vaksinasi dilakukan dengan cara merendam benih ikan dalam suspensi vaksin, selama 30 menit. Tabel 1. Sintasan benih yang divaksin pada P2 (%) Panen (ekor) SR (%) 253.368 82.8 245.016 83 189.000 84 283.500 90 265.680 82 237.600 80 1.474.164 Rata-rata 83.6% Tabel 1 menunjukkan bahwa sintasan pendederan 2 pada benih yang divaksinberkisar 80-90% (ukuran 2-3 cm) dengan rataan sekitar 83.6%. Siklus 1 Siklus 2 Siklus 3 Siklus 4 Siklus 5 Siklus 6 Total Penebaran (ekor) 306.000 295.200 225.000 315.000 324.000 297.000 1.762.200 218 Tabel 2. Sintasan benih yang tidak divaksin pada P2 (%) Penebaran (ekor) Panen (ekor) SR (%) Siklus 1 243.000 145.800 60 Siklus 2 297.000 201.760 67.9 Siklus 3 324.000 226.700 69.9 Siklus 4 342.000 242.820 71 Siklus 5 315.000 217.200 68.9 Total 1.521.000 1.034.280 Rata-rata 67.5% Tabel 2 menunjukkan bahwa sintasan pendederan 2 pada benih yang tidak divaksinberkisar 60-71% (ukuran 2-3 cm) dengan rataan sebesar 67.5%. Tabel 3. Sintasan benih yang divaksin pada P3(%) Penebaran (ekor) Panen (ekor) Siklus 1 189.000 160.650 SR (%) 85 Siklus 2 245.016 213.163 87 Siklus 3 262.470 224.438 85.5 Siklus 4 274.050 234.425 85.5 Siklus 5 265.680 236.455 88,9 Siklus 6 237.600 204.366 86 1.473.816 1.273.467 Total Rata-rata 86,3 Tabel 3 menunjukkan bahwa sintasan benih yang divaksin pada pendederan tiga (P3) berkisar antara 85-88.9% dengan rataan sebesar 86,3%. 219 Tabel 4. Sintasan benih yang tidak divaksin pada P3 (%) Penebaran (ekor) Panen (ekor) SR (%) Siklus 1 145.800 96.957 66.5 Siklus 2 201.960 138.343 68.5 Siklus 3 226.800 158.760 70 Siklus 4 242.820 165.118 68 Siklus 5 217.350 154.319 71 Total 1.034.730 713.653 Rata-rata 68,8 Tabel 4 menunjukkan bahwa sintasan benih yang tidak divaksin pada pendederan tiga (P3) berkisar antara 66.5-71% dengan rataan sebesar 68,8% Berdasarkan tabel 1,2,3 dan 4 terlihat bahwa perlakuan vaksinasi menghasilkan sintasan yang lebih tinggi dibandingkan pada saat UPR ini belum melakukan program vaksinasi. Sebelum melakukan program vaksinasi (benih tidak divaksin), sintasan pada pendederan 2 (P2) berkisar antara 60-71 %;sintasan rataan 67,5%. Sedangkan setelah melakukan program vaksinasi , sintasan pada pendederan 2 (P2) berkisar antara 80-90%; sintasan rataan 83.6%, hal ini menunjukkan bahwa program vaksinasi yang dilakukan mampu meningkatan produktivitas sekitar 20-30%. Pada pendederan 3, sintasan benih yang tidak divaksin berkisar 66,5%-71%; rataan 68,8%, sedangkan pada benih yang divaksin sintasan berkisar 85-88,9%;rataan 86,3%. Berdasarkan hasil diatas, terlihat bahwa penggunaan vaksin mampu meningkatkan produktivitas pada usaha pembenihan.Hal ini sesuai fungsi vaksinasi yaitu meningkatkan daya tahan. Menurut Alifudin (2002) , vaksin memiliki beberapa manfaat yaitu peningkatan daya tahan ikan, pencegahan efek samping kemoterapeutika, proteksi terhadap serangan penyakit, keamanan lingkungan budidaya dari pencemaran bahan kemoterapeutik, dan keamanan konsumen dari residu antibiotik. .Tabel 5. Titer Antibodi Benih Lele Perlakuan Awal Vaksin Non Vaksin Keterangan: - Tidak diukur (ukuran terlalu kecil) Akhir 128 16 220 Tabel 6. Pelaksanaan Diseminasi Vaksinasi tahun 2013 No Daerah 1 Kab. Sukabumi 2 Kab. Purwakarta 3 Kab. Banjarnegara 4 BBI Wanayasa 5 Realisasi Keterangan 19 Maret Di Dinas Perikanan. 11 orang 21 Maret Di Dinas Perikanan. ± 10 orang 18 Maret Di Dinas Perikanan. ± 10 orang 21 Maret Di Dinas Perikanan. ± 10 orang Kab. Cirebon 27 Maret Di Dinas Perikanan. 10 orang 6 Kab. Indramayu 27 Maret Di Dinas Perikanan. 19 orang 7 PBIAT Janti, Jawa Tengah 23 April 8 Propinsi Bangka 16 Mei Di BBI Propinsi. 36 orang 9 Propinsi Lampung 7 Mei Di BBI Propinsi. 30 orang 10 Propinsi Bengkulu 28 Mei Di BBI Propinsi. 30 orang 11 Kab. Bandung 30 Mei Di Dinas Perikanan. ± 20 orang 12 Kota Bogor 11 Juni Di BBPBAT. 2 orang 13 Kab. Belitung 19 Juni Di Belitung. 40 orang 14 Kota Sukabumi dan Cianjur 30 Agustus Di Dinas Perikanan. 10 orang Di BBPBAT. 40 orang 221 15 Propinsi Papua Barat 1 Oktober Di BBI Propinsi. ± 20 orang 16 Kab. Kebumen 22 Oktober Di Dinas Perikanan. 10 orang 17 Kota Tangerang Selatan 31 Oktober Di Dinas Perikanan. ± 21 orang 18 Propinsi Papua 7 Nopember Di BBI Propinsi. 20 orang Total ± 349 orang Tabel 7. Data Kisaran kualitas air selama pemeliharaan Perlak. Parameter Suhu ( pH °C) Vaksinasi 24.5-27 6.80-7.2 DO NH3-N (mg/l) (mg/l) 1.95-2,85 0,20-0,33 NO2 0.030.190 Non 23.6- Vaksin 27,2 6,81-7.8 1,89-2.95 0,18-0,30 0.020.115 KESIMPULAN Program vaksinasi yang dilakukan di UPR mampu meningkatkan produkstivitas sekitar 20-30%. Program vaksinasi mampu meningkatkan keuntungan. 222 DAFTAR PUSTAKA Alifudin, M. 2002. Imunostimulasi Akuakultur Indonesia. 1(2): 87-92 Pada Hewan Akuatik. Jurnal Baratawidajaja, K.G.2006. Imunologi Dasar. Edisi keTujuh. Bali Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 572 hal. Ellis, A.E. 1988. Fish Vaccination. Academic Press Limited, London. 255 pp Gilda, Lio Po, Lavilla C.R., Erlinda R, Lacierda C. 2001. Health Management In Aquaculture. Southeast Asian Fisherie Development Center Iloilo, Philipines. Kordi, K.M. G.2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan . Rineka Cipta dan Bina Adiaksara, Jakarta. 194 hal Pasaribu FH. 1993. Pelet bervaksin terhadap Aeromonas hydrophilla. Prosiding Perikanan Indonesia I .25-27 Agustus 1993. Jakarta Tizard I. 1988. An Introduction to Veterinary Immunology. Second Ed. WB. Saunders Company. Philadelphia.363 ps 223 FORMULASI PAKAN MURAH BERKUALITAS UNTUK PEMBESARANLELE SANGKURIANG Herry, Sofi Hanif, Iis, Evi, Ece Ridwan, Khojiah, Ardi Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Direktorat Perikanan Budidaya, ABSTRAK Salah satu alternatif pemecahannya masalah mahalnya harga pakan dalam budidaya ikan air tawar adalah melakukan inovasi produk pakan secara mandiri dengan memanfaatkan limbah organik dan bahan baku lokal. Hal terpenting adalah bagaimana cara membuat pakan murah yang berkualitas. Ada tiga formula pakan yang akan dibuat pada pembudidayaan ikan lele pembesaran, seperti pada Tabel berikut: Dari hasil pengujian selama 75 hari, pakan formula 2 menghasilkan nilainya yang paling baik diantara formulasi pakan, dimana pakan tersebut menghasilkan rataan SR sebesar 95,02%, FCR 1,27, SGR 2,61 dan %W 436%. Sedangkan pakan formula 3 memberikan performa paling rendah yaitu dengan rataan SR sebesar 94,44%, FCR 1,81 dan %W 284%. Ikan Lele yang diberi pakan formula 2 yang menggunakan 10 % tepung limbah organik dan 5% tepung ikan sebagai sumber protein utama relatif lebih baik dibandingkan ikan lele yang diberi pakan 5% dan 15% tepung limbah organik. Hal positif dari perekayasaan ini ialah ada indikasi bahwa pengurangan sumber protein tepung ikan sebesar 10% dengan menggantinya menggunakan tepung limbah organik 10% bisa digunakan untuk pakan pembesaran ikan lele. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan pertumbuhan 436% dan memberikan FCR sebesar 1,27. Kandungan protein pakan formulasi adalah sebagai berikut pakan formula 1, pakan formula 2 dan pakan formula 3: 30,74; 30,15; dan 30,02. Dari kandungan protein ini terlihat bahwa pakan formula 2 224 memiliki kandungan tertinggi sebesar 30,15, sehingga memberikan pertumbuhan dan FCR lebih baik dibandingkan dengan pakan formula 1 dan 3 pada pembesaran ikan lele. Hal tersebut menunjukkan bahwa pakan formula 2 dapat disukai ikan sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kecernaan pakan yang berubah menjadi daging. Kandungan protein pakan formula 3 adalah yang terendah sehingga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ikan lele yang paling rendah dan FCR yang paling tinggi Kata Kunci: Single Cell protein PENDAHULUAN Kandungan nutrisi dan pemberian pakan memegang peranan penting untuk kelangsungan usaha budidaya ikan air tawar. Penggunaan pakan yang efisien dalam suatu usaha budidaya sangat penting karena pakan merupakan faktor produksi yang paling mahal. Permasalahan yang dihadapi para pembudidaya adalah mahalnya harga pakan terus meningkat. Peningkatan harga ini dipicu oleh rendahnya suplai bahan baku pakan terutama tepung ikan, tepung kedelai dan minyak ikan yang diimpor dari luar. Negara eksportir utama mengalami penurunan produksi tepung, tepung kedelai dan minyak ikan dikarenakan berbagai faktor yang menghambat produksi, seperti iklim (el nino) dan bencana alam. Salah satu alternatif pemecahannya masalah mahalnya harga pakan dalam budidaya ikan air tawar adalah melakukan inovasi produk pakan secara mandiri dengan memanfaatkan limbah organik dan bahan baku lokal. Hal terpenting adalah bagaimana cara membuat pakan murah yang berkualitas. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan pada kegiatan ini meliputi : Bahan baku limbah organik dan bahan baku lokal, tepung ikan, vitamin miks, mineral mix, minyak ikan, minyak sayur, bahan analisa pakan dan bahan aditif.Sedangkan alat yang digunakan meliputi: mesin pellet, disc mill, mesin penyaring, alat pelindung kerja, dan peralatan pengemas pakan.Bahan baku limbah organik yang dimaksud adalah bahan baku yang berasal dari produk samping pengolahan 225 material organik seperti ampas tahu, singel cell protein, bungkil kelapa yang dikeringkan kemudian ditepungkan dengan alat penepung. Sedangkan bahan baku lokal yang dimaksud adalah bahan baku yang berasal dari produksi lokal (tidak dari impor), seperti tepung singkong, tepung jagung, dan sebagainya.Dibuat pakan formulasi dengan basis dasar pemakaian tepung limbah organik dan tepung bahan baku lokal sebagai faktor dominan dari total pakan formulasi. Pakan yang akan dibuat diusahakan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: kandungan protein yang dimilikinya diatas rata-rata SNI untuk pakan induk lele, harga pakan yang murah, dan mempunyai rasio kecernaan yang baik. HASIL DAN PEMBAHASAN Ada tiga formula pakan yang akan dibuat pada pembudidayaan ikan lele pembesaran, seperti pada Tabel 1 berikut: Formulasi Pakan (%) No . 1 2 3 4 Nama Bahan Baku Tepung ikan Tepung Limbah Organik (SCP + ampas kelapa+ampas tahu (8:1:1)) Tepung tapioka FORMU LA 1 FORMU LA 2 FORMU LA 3 10 5 0 5 10 15 21,5 21,5 21,5 Tepung kedelai Poultry Meat Meal (PMM) 3 3 3 5 15 15 15 6 Dedak Halus 40 40 40 7 Vitamin mix 0,5 0,5 0,5 8 Mineral mix 0,5 0,5 0,5 9 Feed suplemen 0,5 0,5 0,5 10 Minyak ikan 2 2 11 Minyak nabati 2 2 2 2 226 Hasil analisa kandungan nutrisi terhadap pakan yang akan dibuat ditampilkan pada Tabel 2 dibawah ini: No Formula Protein Lemak serat Abu Air BETN (%) (%) (%) (%) (%) (%) 1 Pakan Formula 1 30,74 9,45 7,31 15,58 7,01 2 Pakan formula 2 30,15 8,16 6,81 14,19 6,55 3 Pakan formula 3 30,02 7,86 7,34 14,25 6,55 29,91 34,14 33,98 Hasil uji pakan formulasi terhadap ikan lele pembesaran yang dipelihara selama 75 hari Tabel 3 dibawah ini: Wadah SR Ulangan (%) FCR SGR (%) 1. Kolam (formula 1) 1 95,33 1,35 2,37 2 95,20 1,53 2,18 3 94,00 1,46 2,16 Rataan 94,84 1,45 2,24 1 95,73 1,3 2,63 2 95,33 1,1 2,75 3 94,00 1,4 2,46 Rataan 95,02 1,27 2,61 1 94,67 1,69 1,95 2 93,33 1,89 1,83 3 95,33 1,85 1,68 2. Kolam (formula 2) 3. Kolam (formula 3) 227 Rataan 94,44 1,81 1,82 PEMBAHASAN Dari hasil pengujian selama 75 hari, pakan formula 2 menghasilkan nilainya yang paling baik diantara formulasi pakan, dimana pakan tersebut menghasilkan rataan SR sebesar 95,02%, FCR 1,27, SGR 2,61 dan %W 436%. Sedangkan pakan formula 3 memberikan performa paling rendah yaitu dengan rataan SR sebesar 94,44%, FCR 1,81 dan %W 284%. Ikan Lele yang diberi pakan formula 2 yang menggunakan 10 % tepung limbah organik dan 5% tepung ikan sebagai sumber protein utama relatif lebih baik dibandingkan ikan lele yang diberi pakan 5% dan 15% tepung limbah organik. Hal positif dari perekayasaan ini ialah ada indikasi bahwa pengurangan sumber protein tepung ikan sebesar 10% dengan menggantinya menggunakan tepung limbah organik 10% bisa digunakan untuk pakan pembesaran ikan lele. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan pertumbuhan 436% dan memberikan FCR sebesar 1,27. Kandungan protein pakan formulasi adalah sebagai berikut pakan formula 1, pakan formula 2 dan pakan formula 3: 30,74; 30,15; dan 30,02. Dari kandungan protein ini terlihat bahwa pakan formula 2 memiliki kandungan sebesar 30,15% lebih rendah dari formulasi 1 (30,74%), tetapi memberikan pertumbuhan dan FCR lebih baik dibandingkan dengan pakan formula 1 dan 3 pada pembesaran ikan lele. Hal tersebut menunjukkan bahwa pakan formula 2 lebih disukai ikan sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kecernaan pakan yang berubah menjadi daging. KESIMPULAN Pakan formula 1,2 dan 3 dengan dengan kandungan protein 30,74%, 30,15% dan 30,02 digunakan untuk pembesaran ikan lele dengan nilai FCR 1,45; 1,27; dan 1,81. %SGR sebesar 2,24; 2,61 dan 1,82. %W sebesar 293; 436; dan 284.Pakan formula 2 memberikan pertumbuhan dan FCR yang paling baik dibandingkan dengan pakan formula 1 dan pakan formula 3. 228 DAFTAR PUSTAKA Lim, C., 1994. Future considerations in fish nutrition research. In: Feed for small-scale aquaculture (Santiago et al., eds.). SEAFDEC-aQD, Iloilo, Philippines. Steffens, W. 1989. Principles Of Fish Nutrition. English Ed. England: Ellish Horwood. Ltd. Utomo. N.B. 2010. Teknologi Peningkatan Mutu Nutrisi Bahan Baku Lokal dalam Formulasi Pakan Induk Ikan Air Tawar. Makalah dalam pertemuan brodstock center ikan mas, nila dan lele di BBPBAT Sukabumi. 229 INTENSIFIKASI BUDIDAYA PATIN (PANGASIANODON HYPOPTHALMUS) SKALA INDUSTRI DENGAN SISTEM KOLAM DALAM Wisnu Adianto, Boyun Handoyo, Warih Hardanu,Supriyadi ABSTRAK Patin Siam (Pangasianodon hypopthalmus) menjadi pilihan spesies budidaya pada kegiatan ini karena lebih adaptif dalam pembudidayaan seperti dapat dipelihara pada salinitas 7 ppt dengan pH 6,5 – 7,5. Pemeliharaan patin di kolam dalam, telah dilakukan di BLUPPB Karawang dengan berbasis Industrialisasi. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan informasi serta teknologi intensif pada budidaya ikan patin di kolam dalam berbasis industrialisasi. Sasaran dari kegiatan ini adalah produksi Fillet dari patin ukuran lebih dari 700 gr/ekor sebagai suatu usaha yang menguntungkan. Lahan yang digunakan pada kegiatan ini adalah tambak yang dahulu digunakan untuk budidaya udang windu dengan dimensi luas 3.000 M 2 dan kedalaman air 350 – 400 CM. Benih yang ditebar dimulai dari ukuran panjang 5 – 6 inci sebanyak 100.000 ekor atau padat tebar 33 ekor/M2.Pakan yang digunakan adalah pelet apung komersial dengan kandungan protein (25 – 28)%. Frekuensi pemberian pakan adalah 2 kali sehari yaitu pada pukul 07.30 dan 16.00 WIBB. Lama pemeliharaan yang dibutuhkan adalah 6 bulan untuk menghasilkan patin ukuran berat rata – rata 700 - 800 gr/ekor. Aerator berjenis kincir (paddle wheel) sebanyak 2 buah digunakan untuk mendukung kelarutan oksigen yang beroperasi 15 jam/hari (pukul 17.00 – 08.00 WIBB). Hasil kegiatan adalah sintasan 87,2%, berat rata – rata lebih dari 700 gr sebanyak 35,5 Ton dan berat rata – rata kurang dari 700 gr sebanyak 18,2 Ton atau biomassa total 53,7 Ton dan FCR 1: 1,44. Sedangkan salinitas selama pemeliharaan berkisar 0 – 4 ppt. Produksi patin 53,7 Ton selanjutnya diolah di Unit Pengolahan Ikan BLUPPB Karawang sehingga menghasilkan Fillet sebanyak 11,4 Ton atau dengan rendemen 32%. Selanjutnya Fillet dipasarkan di Lotte Mart dan Hypermarket Jabodetabek dengan merk dagang Fillet Dory atas kerjasama dengan PT. Adib Global Food Supply Jakarta. Analisa usaha sampai ukuran fillet 230 ternyata menghasilkan total pendapatan Rp.638.328.500,- dan pengeluaran Rp.557.502.960,- dengan laba Rp.80.825.540,- sehingga nilai B/C ratio sebesar 1,15. Kata kunci : Pangasianodon hypopthalmus, intensifikasi, kolam dalam, fillet, industrialisasi. PENDAHULUAN Budidaya perikanan saat ini menunjukkan perkembangan kegiatan usaha yang pesat. Perkembangan tersebut berbanding antara bertambahnya permintaan akan hasil budidaya perikanan khususnya budidaya ikan air tawar. Diantara beberapa jenis ikan air tawar yang telah banyak dibudidayakan oleh para pembudidaya adalah ikan patin. Jenis patin yang dibudidayakan adalah Patin Siam (Pangasianodon hypopthalmus) spesies ini memiliki kemampuan mentolerir kondisi perairan yang ekstrem dan dapat hidup dengan salinitas sampai 1-7 ppt. Dengan kemampuan toleransi tersebut maka dapat dimanfaatkan untuk memproduksi ikan patin pada perairan bersalinitas payau. Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya Karawang dahulu merupakan kawasan budidaya udang windu, setelah banyak terjadi serangan penyakit yang mengakibatkan kegiatan budidaya udang windu tidak dapat dilakukan secara intensif. Sehingga banyak tambak – tambak budidaya udang windu yang tidak digunakan, oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengaktifkan kembali tambak – tambak tersebut. Salah satu kajian yang dilakukan adalah melakukan usaha pembesaran ikan patin. Dengan tujuan utama meningkatkan produksi perikanan budidaya dan pemenuhan gizi masyarakat. Tujuan kegiatan ini adalah mendapatkan data informasi dan teknologi pembesaran ikan patin di kolam dalam pada perairan bersalinitas.Tersedianya ikan patin ukuran fillet dan konsumsi hasil pembesaran patin di kolam dalam pada perairan bersalinitas. 231 BAHAN DAN METODE Kegiatan ini dilaksanakan mulai bulan April – September 2013 bertempat di Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya Karawang. Dalam kegiatan ini benih yang digunakan adalah benih ikan patin siam ukuran 5 - 6 inci dengan berat rata – rata 20 gram sebanyak 100.000 ekor dengan padat tebar 33 ekor/m2.Wadah percobaan yang digunakan adalah tambak eks budidaya udang dengan ukuran 3.000m2 dengan kedalaman air 350 – 400 cm. Pakan uji yang digunakan dalam kegiatan ini adalah pakan komersial jenis apung dengan kandungan protein 25 – 28% diameter 3 mm, 4 mm dan 5 mm. Kegiatan ini dilakukan selama 5 – 6 bulan pemeliharaan atau hingga ikan telah masuk ukuran fillet 700 gram. Pakan diberikan sebanyak 4% berat biomass/hari pada bulan pertama, 3,5% berat biomass/hari pada bulan kedua, 3% berat biomass/hari pada bulan ketiga, 2,5% berat biomass/hari pada bulan keempat, 2% berat biomass/hari pada bulan kelima dan 1,5% berat biomass/hari sampai panen. Pemberian pakan dilakukan dengan frekuensi 2 kali sehari pada pukul 08.00 dan 15.00 WIB. Sampling dilakukan untuk mengetahui bobot tubuh ikan. Sampling pertama dilakukan pada awal percobaan dan selanjutnya setiap dua minggu sampai ikan mencapai ukuran fillet 700 gram.Parameter kualitas air yang diukur meliputi: suhu, pH dan oksigen terlarut dilakukan setiap 2 minggu pada pukul 09.00, sedangkan amoniak dilakukan setiap bulan pada pukul 09.00. Parameter yang diamati selama penelitian meliputi pertumbuhan, efisiensi pakan, serta kelangsungan hidup, sebagai berikut: Untuk mengetahui laju pertumbuhan bobot harian ikan selama pemeliharaan dapat dihitung dengan persamaan (Halver, 2002): SGR LnWt LnWo t Keterangan: SGR = Wt = Wo = ∆t = Laju pertumbuhan bobot harian (%) Bobot ikan pada akhir pemeliharaan (gram) Bobot ikan pada awal pemeliharaan (gram) Lama waktu pemeliharaan (hari) 232 Untuk menghitung efisiensi pemberian pakan dapat dihitung dengan menggunakan rumus NRC (1977) sebagai berikut: FCR F x 100 % (Wt D) Wo Keterangan : FCR = Konversi pakan (%) Wt = Bobot ikan total pada akhir pemeliharaan (gram) Wo = Bobot ikan total pada awal pemeliharaan (gram) D = Total bobot ikan yang mati selama pemeliharaan (gram) Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup ikan selama pemeliharaan dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1997) sebagai berikut: SR Nt x 100 % No Keterangan: SR = Kelangsungan hidup (%) Nt = Jumlah ikan pada akhir penelitian (ekor) No = Jumlah ikan pada awal penelitian (ekor) 233 HASIL DAN PEMBAHASAN Secara keseluruhan kegiatan budidaya patin yang dilakukan berjalan dengan lancar dan sesuai jadwal kegiatan. Dari hasil kegiatan diperoleh grafik pertumbuhan patin siam sebagai berikut : Data Pertambahan Berat Ikan (gr) 800 700 600 500 400 300 200 100 0 1 2 3 4 Air Payau 5 6 7 8 Air Tawar Diagram 1. Pertumbuhan rerata bobot pada ikan patin selama pemeliharaan. Dari diagram diatas menunjukkan bahwa pertambahan berat ikan patin di kolam dalam perairan payau menunjukkan tidak berbeda nyata dengan budidaya patin di air tawar pada pemeliharaan 6 bulan. Pertambahan berat patin di kolam dalam pada perairan bersalinitas menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dibandingkan dengan pertambahan berat patin yang dibudidayakan pada air tawar. 234 Data Pertambahan Panjang Ikan (cm) 50 40 30 20 10 0 1 2 3 4 Air Payau 5 6 7 Air Tawar Diagram 2. Pertumbuhan panjang ikan patin siam selama pemeliharaan Dari diagram diatas menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang ikan patin di kolam dalam pada perairan bersalinitas / payau menunjukkan tidak berbeda nyata dengan budidaya patin di air tawar pada pemeliharaan 6 bulan. Tabel 1. Data kualitas air selama pemeliharaan. Tanggal 01 April 01 Mei 01 Juni 01 Juli 01 Agustus 01 September Suhu (0C) Hasil 28 30 29 31 30 29 SNI 25 30 DO Hasi l SNI 2,5 1,8 2,2 >4 1,9 1,8 1,9 PH Hasil 6,5 7,1 7,5 7,2 7,1 7,2 SNI 5.5 – 8.5 Salinitas Hasi l SNI 2 3 4 0 5 3 3 235 Secara umum data kualitas air selama pemeliharaan dapat dipertahankan pada kriteria standar budidaya hanya kadar salinitas air relatif fluktuatif karena suplai air tawar terpengaruh pasang air laut. Salah satu solusi adalah penentuan waktu ganti air dengan mempertimbangkan waktu surut terendah dari air laut. Kedalaman air konstan pada kisaran 350 – 400 cm. Tabel 2. Tabel FCR (Feed Convertion Rate) perbulan selama pemeliharaan. Tambak April Mei Juni Juli Agustus September D4-5 0,8 1.05 1.12 1.21 1.36 1.44 Dari table diatas dapat dilihat bahwa ikan patin siam di kolam dalam pada perairan bersalinitas masih mampu untuk penyesuaian tekanan osmoregulasi melalui penambahan energy, sehingga meningkatkan laju konfersi pakan (FCR), Ikan juga dapat menyerap garam dibandingkan bahan pencemar seperti amoniak dan nitrit, sehingga ikan dapat tumbuh normal. Secara keseluruhan kelangsungan hidup ikan patin yang dipelihara di kolam dalam perairan payau sesuai target yang diharapkan (±85%) yaitu sebesar 87,2% karena berasal dari benih kualitas baik dan kemampuan toleransi patin siam yang baik terhadap salinitas. 236 KESIMPULAN Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa intensifikasi patin melalui budidaya di kolam dalam adalah sebagai berikut: 1. Ikan patin dapat dibudidayakan pada kolam dalam dengan salinitas 1-5 ppt 2. Kelangsungan hidup patin (SR) 87,20% 3. Konversi pakan (FCR) 1,44 DAFTAR PUSTAKA Hamid, M., A dkk 2010. Manual Pembenihan Patin Siam (Pangasianodon hypopthalmus). Balai Budidaya Air Tawar Jambi. Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor, Badan Litbang Pertanian. 25 Hlm. Widiyati, A., H. Djajasewaka dan E. Tarupay 1992. Pengaruh padat tebar induk ikan patin (Pangasius pangasius) yang dipelihara di karamba jaring apung. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar. Balitkanwar Bogor. Hal. 201 – 204. 237 UPAYA MENINGKATKAN NILAI TAMBAH LAHAN UGADI DAN UGAMEDI MELALUI PENDEDERAN LELE SANGKURIANG DENGAN MEMANFAATKAN WAKTU PENYELANG K. T. Wibowo, Sarifin, A. Kurnia, S. Hastuti, A. Ayuningtias. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi ABSTRAK Seiring meningkatnya permintaan lele konsumsi, secara otomatis permintaan bibit ikut mengalami peningkatan. Saat ini, pembudidaya cenderung menghendaki benih yang berukuran 7-8 cm karena lebih adaptif pada lingkungan kolam pembesaran. Sementara itu pendederan di kolam terpal dan tembok sering bermasalah dengan banyaknya kematian pada ukuran dibawah 7 cm. Kelangkaan bibit lele pada ukuran 7-8 cm akan berakibat ketidakstabilan harga lele konsumsi nasional, hal ini sangat merugikan masyarakat pembudidaya lele dan pelaku usaha lainnya. Inovasi ini adalah melakukan pendederan di lahan sawah dengan memanfaatkan waktu penyelang yaitu waktu pasca panen padi sampai penanaman kembali.Dengan kisaran waktu 30-40 hari.Pendederan yang dilakukan dengan menggunakan bibit ukuran 1-2 cm (larva naik turun) dengan padat penebaran 250-500/m2, persentase kelangsungan hidupnya 40-60%.Untuk menunjang kesetabilan perairan pemberian probiotik dilakukan secara berkala. Hasilpemeliharaanlele di sawahselama 40 hari, menghabiskan pakan rata-rata 50-100 kg. Hasil pendapatan yang didapatkan dalam 1000 m2 berkisar antara 7-25jt/periode atau 28100jt/tahun. Kata kunci: pendederan, waktu penyelang, lahan sawah 238 PENDAHULUAN UGADI dan UGAMEDI merupakan inovasi di bidang agribisnis, kolaborasi antara bidang pertanian dengan perikanan yang memanfaatkan areal sawah. Budidaya minapadi yakni budidaya ikan dan tanaman padi yang dikerjakan dalam lahan yang sama, kini menjadi salah satu alternatif usaha yang dapat memberikan nilai tambah pendapatan bagi petani, UGADI dan UGAMEDI ini inovasi baru dilakukan, belum berkembang di petani, ini merupakan terobosan barudalam rangka peningkatan pendapatan petani.UGADI/UGAMEDI adalahbudidayaterpadu yang dapatmeningkatkanproduktivitaslahansawah, yaituselaintidakmengurangihasilpadi, jugadapatmenghasilkanudang galah dan benih gurame. Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di pulau Jawa.Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan 1) dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, 2) teknologi budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, 3) pemasarannya relatif mudah dan 4) modal usaha yang dibutuhkan relatif rendah (pembenihan dan pendederan). Pendederan merupakan kegiatan pemeliharaan benih yang dilakukan untuk menghasilkan benih ukuran tertentu yang siap dibesarkan dikolam pembesaran. Pendederan lele sangkuriang dilakukan dalam tiga tahap pendederan, yaitu pendederan pertama (PI) selama 14-20 hari, pendederan ke dua (PII) selama 20-28 hari, dan pendederan ke tiga (PIII) selama 14-20 hari. Tujuan dilakukan pendederan secara bertahap adalah untuk menghasilkan benih-benih yang mempunyai keunggulan dari segi keseragaman umur dan ukuran, jumlah benih yang dihasilkan, serta rendahnya tingkat mortalitas pada setiap fase pertumbuhan.Selain itu pendederan ini dilakukan untuk mengantisipasi kelangkaan bibit akibat kegagalan para pembudidaaya lele dikolam. Tingginya resiko kegagalan pada segmen pendederan P1-P3 akan berimbas pada segmen pembesaran, mengakibatnya kestabilan harga dan kontinuitas produk terganggu, maka dari itu dibutuhkan inovasi tehnologi untuk mendapatkan alternatif tehnologi budidaya yang menguntungkan dan minim resiko. Tujuan dari kegiatan ini adalah Sebagai upaya optimalisasi lahan sawah untuk memperoleh keuntungan yang optimal serta penyediaan benih lele ukuran 7-8 cm yang kontinyu dalam rangka mendukung budidaya lele berkelanjutan. 239 BAHAN DAN METODE Bahan-bahan yaitu benih lele ukuran 1-2cm, pakan benih lele, probiotik, imunostimulan alami, pupuk organic, kapur tohor. Sedangkan alat-alatnya yaitu serok, waring, jala dan lain-lain. Desain dan kontruksi lahan sawah berupa system caren (parit keliling) dengan bagian tengah (plataran) digunakan untuk menanam padi.Caren tersebut berfungsi sebagai media hidup udang galah dan leleserta untuk mempermudah pada saat panen. Lebar caren keliling 1,5 -2 mater dengan kedalaman 50 – 60 cm dari plataran padi. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan pendederan lele pada lahan UGADI/UGAMEDI merupakan sebuah rangkaian kegiatan pembesaran udang galah di lahan sawah bersama padi, dimana kegiatan pendederan lele ini memanfaatkan waktu luang pasca udang galah sudah di panen. Adapun hasil perhitungan sederhana dari kegiatan ini dapat di lihat pada table 1 dan table 2. Tabel 1.hasil kegiatan pendederan dengan padat tebar 500 ekor/m2 Awal Wadah Panen ∑ SR Pakan (%) 1170 100 200.000 900 75 210.000 75.0 223.3 FCR SGR(%) %W 52.00 0.09 9.81 1460.00 90 40.00 0.11 8.87 1100.00 945 96 42.00 0.11 9.05 1160.00 1005.0 95.3 44.67 0.10 9.25 1240.00 6.43 0.01 0.50 192.87 Jumlah Bobot Jumlah Bobot (ek) (kg) (ek) (kg) sawah 1 500.000 75 260.000 sawah2 500.000 75 sawah3 500.000 RATAAN 500.0 Standar Deviasi (SD) 240 Pada table 1 pemeliharaan dilakukan 30-40 hari pada lahan sawah 1000m2 dengan padat tebar 500ekor/m2. Laju pertumbuhan harian (SGR) dari lelerataan sebesar 9.25% dengan SR (Survival Rate) sebesar 44.67%.dan FCR (Feed Convertion Ratio) sebesar 0.10%. Tabel 2.hasil kegiatan pendederan dengan padat tebar 250 ekor/m2 Awal Panen ∑ SR Wadah FCR SGR(%) %W Jumlah Bobot Jumlah Bobot Pakan (%) (ek) (kg) (ek) (kg) sawah 1 250.000 37.5 150.000 675 70 60.00 0.11 10.32 1700.00 sawah2 250.000 37.5 139.000 625.5 50 55.60 0.09 10.05 1568.00 sawah3 250.000 37.5 148.000 666 80 59.20 0.13 10.27 1676.00 RATAAN 250.0 37.5 145.7 655.5 66.7 58.27 0.11 10.22 1648.00 2.34 0.02 0.15 70.31 Standar Deviasi (SD) Pada table 2 pemeliharaan dilakukan 30-40 hari pada lahan sawah 1000m2 dengan padat tebar 250ekor/m2. Laju pertumbuhan harian (SGR) dari lelerataan sebesar 10.22% dengan SR (Survival Rate) sebesar 58.27%.dan FCR (Feed Convertion Ratio) sebesar 0.11%. Hasil dari kegiatan diatas menunjukkan adanya peningkatan SR (Survival Rate) sebesar 58.27% pada padat penebaran 250ekor/m2.walaupun FCR (Feed Convertion Ratio) sebesar 0.11%.Pola peningkatan kelangsungan hidup diduga disebabkan karena perbedaan padat penebaran dan waktu pemeliharaan yang berbeda, adanya perbedaan kondisi alam yang berbeda tentunya berpengaruh terhadap lingkungan budidaya, disamping itu dengan penebaran yang tinggi maka ketersediaan pakan dan oksigen akan semakin berkurang sementara bahan buangan sisa metabolisme akan semakin tinggi. Faktor-factor yang mempengaruhi dalam padat tebar tinggi yaitu kualitas dan kuantitas pakan, ukuran ikan dan jenis wadah yang digunakan, adapun yang mempengaruhi laju pertumbuhan spesifik pada pakan antara lain kemampuan ikan dalam mencerna dan memanfaatkan pakan untuk pertambahan bobot tubuh, serta formulasi pakan yang belum mengandung sumber nutrien yang tepat dan lengkap bagi ikan sehingga tidak dapat memacu pertumbuhan pada 241 tingkat optimal. Hal ini sesuai menurut Wiadnya, et.al (2000), lambatnya pertumbuhan diduga disebabkan dua faktor utama, yaitu : (1) Kondisi internal ikan sehubungan dengan kemampuan ikan dalam mencerna dan memanfaatkan pakan untuk pertambahan bobot tubuh. (2) Kondisi eksternal pakan, yang formulasinya belum mengandung sumber nutrien yang tepat dan lengkap bagi ikan itu, sesuai dengan pernyataan Junianto (2003) bahwa kandungan keseimbangan nutrisi (protein, lemak, dan serat) pada pakan ikan akan memacu pertumbuhan ikan yang cepat tumbuh besar. Faktor kegagalan dalam kegiatan pendederan ini sebagian besar akibat dari kesalahan SDM yaitu: 1. 2. 3. Kelalaian mengontrol ketinggian air, akan berakibat naiknya permukaan air dan menggenangi pelataran padi, sehingga lele akan masuk ke pelataran dan bersembunyi di lubang-lubang bekas kaki saat proses penanaman padi. Potensi kegagalan akibat kelalaian ini sekitar 90% karena ketika air surut lele yang bersembunyi akan mati akibat terik matahari. Kelalaian dalam pensortiran benih awal, keseragaman ukuran merupakan harga mati didalam kegiatan pendederan ini, akibat dari kelalaian ini mengakibatkan kegagalan sekitar 80% setelah 10-15 hari pasca penebaran bibit. kemungkinan adanya kanibalisme pada ikan peliharaan kita sehingga lompatan pertumbuhan sangat signifikan akan tetapi kelulus hidupannya kurang dari 10% Kelalaian mengontrol pemasukan air, penambahan air yang terlampau besar dan berlangsung lama akan berakibat lele mudah terserang penyakit, potensi kegagalan aklibat kelalaian ini sekitar 40%, asalkan penanganannya berlangsung cepat. KESIMPULAN Kegiatan pendederan ini sangat layak dan menguntungkan untuk dikembangkan.Dengan kisaran waktu 30-40 hari.Pendederan yang dilakukan dengan menggunakan bibit ukuran 1-2 cm (larva naik turun) dengan padat 242 penebaran 250-500/m2, persentase kelangsungan hidupnya 40-60%.Hasilselama pemeliharaan, menghabiskan pakan rata-rata 50-100 kg atau rataan FCR 0.100.11.Hasil pendapatan yang didapatkan dalam 1000 m2 berkisar antara 7-25jt periode atau 28-100jt pertahun. DAFTAR PUSTAKA Khairuman SP, 2008. Toguan Sihombing, Khairul Amri, S.Pi,M.Si. Budidaya Lele Dumbo di Kolam Terpal. Agromedia Pustaka. K.T.Wibowo, 2012. Mendongkrak Produksi Lele Dengan Sistem Padat Tebar Tinggi. Agromedia Pustaka Rachmatun.S, Dra dan Suyanto. 2007. Budidaya Ikan Lele (Edisi Revisi). Penebar Swadaya. Jakarta. Wiadnya, D.G.R, Hartati, Y. Suryanti, Subagyo, dan A.M. Hariati. 2000. Periode Pemberian Pakan yang Mengandung Kitin untuk Memacu Pertumbuhan dan Produksi Ikan Gurame (Osphronemtus goramy Lac.).Jurnal Peneltian Perikanan Indonesia. Yi Y, Lin CK, Diana S. 2003. Hybrid catfish (Clarias macrocephalus x C. gariepinus) and Nile tilapia (Oreochromis niloticus) in an integrated pen-cum pond system: growth performance and nutrient budgets. Aquaculture 217: 395-408. 243 POTENSI INDIGENOUS BACTERIA PENGHASIL ENZIM AMILASEPADA BUDIDAYA GURAME (Osphronemus gouramy) Gusnita Alfin, Esti Harpeni, Mahrus Ali, Berta Putri Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No. 1 Gedung Meneng, Bandar Lampung 35145 ABSTRAK Gurame adalah salah satu ikan air tawar ekonomis penting. Sebagai salah satu ikan herbivora, gurame membutuhkan porsi karbohidrat yang cukup besar. Karbohidrat sebagai sumber energi diperlukan untuk pertumbuhan dan penghematan penggunaan protein. Fungsi ini menjadikan penggunaan pakan gurame kaya karbohidrat sebagai upaya efisiensi penggunaan pakan berprotein tinggi. Energi yang dimiliki oleh gurame sebagian besar digunakan untuk menghidrolisis karbohidrat. Akibatnya pertumbuhan gurame menjadi lambat. Pemecahan karbohidrat dapat dilakukan dengan lebih cepat menggunakan enzim amilase. Sumber enzim amilase yang paling baik adalah dari bakteri yang berasal dari habitat asli (indigenous bacteria), dalam hal ini berasal dari usus gurame. Penelitian ini mengisolasi bakteri penghasil enzim amilase dari usus gurame untuk mempercepat proses pemecahan karbohidrat. Sebanyak 102 isolat berhasil diisolasi dari usus gurame dan terdapat satu isolat (Burkholderia cepacia) yang mampu menghasilkan enzim amilase serta memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam usaha budidaya gurame. Kata Kunci : gurame, karbohidrat, enzim amilase, indigenous bacteria PENDAHULUAN Gurame (Osphronemus gouramy) termasuk ikan yang diunggulkan dalam budidaya perikanan, terbukti dari kenaikan produksinya tahun 2012 244 sebesar 20.320 ton dari tahun 2011 (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2013). Harga gurame yang relatif lebih mahal dari ikan lainnya dan pembudidayaannya yang mudah, membuat banyak petani ikan di Lampung memilih gurame sebagai komoditas utama budidaya. Budidaya gurame membutuhkan waktu cukup lama karena perubahan kebiasaan makan sepanjang hidupnya. Gurame dewasa cenderung bersifat herbivora (Aslamyah dkk, 2009) yang mampu memanfaatkan pakan dengan kandungan karbohidrat relatif tinggi bahkan lebih tinggi dari ikan mas (Mokoginta dkk, 2004). Penggunaan pakan dengan porsi karbohidrat yang cukup besar memungkinkan gurame mendapatkan sumber energi untuk pertumbuhan sekaligus penghematan penggunaan protein (Hemre et al., 2002). Namun, hidrolisis (pemecahan) karbohidrat membutuhkan energi besar dan waktu lama sehingga pertumbuhan gurame menjadi lambat. Hidrolisis karbohidrat dapat dipercepat dengan menggunakan enzim pencernaan seperti amilase. Enzim ini banyak ditemukan di saluran pencernaan banyak ikan (Krogdahl et al., 2005) yang diproduksi oleh bakteri asli (indigenous bacteria) saluran pencernaan (Suhita et al., 1997; Bairagi et al., 2004). Walaupun enzim amilase juga dapat dihasilkan dari sumber lain seperti oleh bakteri termofil dari sumber air panas (Natsir dkk, 2014), namun penggunaan indigenous bacteria memiliki keuntungan lebih mudah diaplikasikan pada pencernaan gurame. Penelitian ini mengkaji potensi indigenous bacteria dari usus gurame sebagai kandidatpenghasil enzim amilase untuk meningkatkan kinerja saluran pencernaan gurame menghidrolisis sumber karbohidrat pada pakan. MATERI DAN METODE PENELITIAN Materi yang digunakan antara lain cawan petri, bunsen, jarum ose, spreader, vortex, autoklaf, timbangan digital, parafilm, tabung reaksi, inkubator, mikropipet, hot plate stirrer, tabung erlenmeyer, botol sempel, pipet tetes, tube 5 ml, gurame berukuran sekitar 250 g/ekor, larutan fisiologis (NaCl 0,9%), TSA (Trypticase Soy Agar) Oxoid™, TSB (Trypticase Soy Broth) Oxoid™, alkohol 70%, akuades, tepung kanji, dan tepung terigu. Sampel diambil dari usus 15 ekor ikan dari 5 lokasi yang berbeda yaitu Langkapura, Labuhan Ratu, Natar, Kemiling, dan Way Halim, Provinsi Lampung. Isi usus diambil, digerus lalu ditimbang sebanyak 1 g. Isi usus dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah ditambahkan 9 ml larutan fisiologis (NaCl 0,9%). Seri pengenceran dilakukan untuk mendapatkan hasil koloni yang menyebar dan tidak begitu rapat. Sebanyak 50 µl sampel disebar pada media TSA. Kultur ini kemudian diinkubasi pada suhu ruang 27-280C selama 24-48 jam. Koloni bakteri yang telah tumbuh dimurnikan berdasarkan perbedaan morfologi koloninya. Setiap 245 isolat yang memiliki karakter berbeda selanjutnya disimpan dalam media TSA miring. Bakteri hasil isolasi diuji kemampuannya dalam menghidrolisis karbohidrat dengan mengkultur bakteri tersebut dalam media TSA yang telah ditambahkan sumber karbohidrat yaitu tepung terigu dan tepung kanji yang masing-masing sebanyak 10%. Media kultur pada setiap cawan petri dibagi menjadi 5 bagian. Isolat yang akan diuji ke dalam media TSA diinokulasi dengan cara menempatkan 1 ose biakan di bagian yang telah disediakan, kemudian inkubasi selama 24 jam. Setelah 24 jam, jika terjadi proses hidrolisis pati akan terlihat daerah atau zona terang di sekeliling koloni mikroba. Diameter zona terang yang terbentuk kemudian diukur (Aslamyah dkk, 2009). Isolat yang menghasilkan zona bening, kemudian diidentifikasi secara konvensional melalui serangkaian uji morfologi dan biokimianya secara bertahap berdasarkan Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology(Holt, 1994). HASIL DAN PEMBAHASAN Isolat kandidat bakteri penghasil enzim amilase yang didapat dari penelitian ini sebanyak 102 isolat yang berasal dari 15 sampel usus gurame (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah isolat bakteri yang tumbuh pada media TSA Lokasi Urutan Ikan Kode Ikan Jumlah isolat Langkapura 1 (L1G1) A 9 2 (L1G2) B 10 3 (L1G3) C 5 1 (L2G1) D 6 2 (L2G2) E 4 3 (L2G3) F 4 1 (L3G1) G 10 2 (L3G2) H 8 3 (L3G3) I 7 Labuhan Ratu Natar 246 Kemiling Way Halim JUMLAH 1 (L4G1) J 4 2 (L4G2) K 6 3 (L4G3) L 9 1 (L5G2) M 10 2 (L5G2) N 5 3 (L5G3) O 5 102 Dari 102 isolat hanya didapat 1 isolat bakteri yang mampu menghasilkan zona terang atau yang mampu menghidrolisis karbohidrat. Isolat bakteri yang dimaksud yaitu isolat yang ditumbuhkan di permukaan media agar yang telah ditambahkan 10% tepung terigu dengan kode D2 (lokasi 2 ikan ke1). Besarnya diameter zona terang yang dihasilkan yaitu sebesar 0,4 cm (Gambar 1a). Koloni bakteri tersebut memiliki karakteristik bulat kecil, tebal, dan berwarna kuning pekat atau oranye. Warna koloni bakteri merupakan hasil pigmentasi sel dan merupakan penanda bagi bakteri (Lewaru dkk, 2012). Pigmen yang mencolok pada bakteri dapat pula mengindikasikan potensi tertentu seperti penghasil senyawa bioaktif (Radjasa et al., 1999). Gambar 1. Hasil uji aktivitas enzim amilase (a). terbentuk zona terang, (b). tidak terbentuk zona terang. 247 Hanya satu isolat yang ditemukan menghasilkan zona terang pada penelitian ini mengindikasikan hanya sedikit bakteri yang mempunyai potensi mampu menghidrolisis karbohidrat. Namun demikian, ada kemungkinan isolat-isolat bakteri dari saluran pencernaan gurame tersebut memiliki potensi-potensi yang lain, seperti sebagai bakteri probiotik (Suwarsih, 2011; Yulvizar, 2013). Isolat D2 yang ditemukan juga hanya mampu menghidrolisis substrat karbohidrat berupa tepung terigu bukan tepung kanji. Beberapa penelitian membuktikan bahwa penggunaan tepung kanji pada pakan justru menghambat aktivitas enzim amilase untuk menghidrolisis tepung kanji (Spannhof and Plantikow, 1983; Mokoginta et al., 2004). Jenis substrat karbohidrat yang dipilih isolat ini akan mempengaruhi kecernaan pakan (Mokoginta dkk, 2003), sehingga dapat mempengaruhi efektifitas penggunaan pakan gurame. Isolat bakteri ini berbentuk bulat dan tergolong Gram negatif (Tabel 2). Umumnya bakteri yang potensial menghasilkan enzim penghidrolisis karbohidrat tergolong bakteri Gram negatif (Suhita et al., 1997). Uji katalase positif menunjukkan bahwa bakteri tersebut memiliki enzim katalase sebagai katalisator dalam mengurai hidrogen peroksida (H2O2) untuk menghasilkan oksigen dan air. Bakteri ini juga menghasilkan enzim oksidase dan dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit tetapi tidak menghasilkan gas (Nursyirwani dan Amolle, 2007). Hasil positif pada uji TSIA menunjukkan bahwa bakteri ini dapat memfermentasikan tiga jenis gula, yaitu glukosa, laktosa, dan sukrosa. Uji sitrat (Tabel 2) yang menunjukkan hasil positif berarti bakteri tersebut menggunakan sitrat sebagai sumber karbonnya. Tabel 2. Hasil uji morfologi dan biokimiawi bakteri penghasil enzim amilase No. Jenis Uji Hasil Uji 1. Morfologi Bakteri : Bentuk Bulat Gram Negatif Warna Oranye 2. Katalase + 3. Oksidase + 248 4. Oksidatif/Fermentatif Oksidatif 5. TSIA + 6. TIO Anaerob 7. LIA + 8. SIMON CITRAT + 9. MIO : Motility + Indol + Ornithin - Identifikasi terhadap isolat bakteri D2 menunjukkan bahwa isolat bakteri tersebut merupakan Burkholderia cepacia. Bakteri genus Burkholderia (dulu Pseudomonas)merupakan bakteri hidrokarbonoklastik yaitu mampu mendegradasi beberapa jenis hidrokarbon (Nursyirwani dan Amolle, 2007). Bakteri ini motil, mampu bergerak menggunakan satu atau lebih flagela (Tomich et al., 2002). Burkholderia cepacia diketahui mampu menghasilkan beberapa senyawa antimikroba seperti pyrrolnitrin (Kadir et al., 2008; Sultan et al., 2008)dan phenazine (Devi et al., 2012). KESIMPULAN Isolat yang didapat dari penelitian ini sebanyak 102 isolat dan terdapat satu isolat potensial (D2) yang diidentifikasi sebagai Burkholderia cepacia yang mampu menghasilkan enzim amilase dengan substrat tepung terigu. 249 DAFTAR PUSTAKA Aslamyah, S., Azis, H.Y., Sriwulan dan Wiryawan, K.G. 2009. Mikroflora saluran pencernaan ikan gurame (Osphronemus gouramy Lacepede). Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan), 19(1): 66-73. Bairagi, A., Sarkar Gosh, K., Sen, S.K. and Ray, A.K. 2004. Evaluation of the nutritive value of Leucaena leucocephala leaf meal, inoculated with fish intestinal bacteria Bacillus subtilis and Bacillus circulans in formulated diets for rohu, Labeo rohita (Hamilton) fingerlings. Aquaculture Research, 35: 436-446. Devi, S.I., Somkuwar, B., Potshangbam, M. and Talukdar, N.C. 2012. Genetic characterization of Burkholderia cepacia strain from Northeast India: A potential bio-control agent. Advances in Bioscience and Biotechnology, 3: 1179-1188 Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2013. Statistik Produksi Perikanan Budidaya Tahun 2012. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hemre, G.-I., Mommsen, T.P. and Krogdahl, A. 2002. Carbohydrates in fish nutrition: effects on growth, glucose metabolism and hepatic enzymes. Aquaculture Nutrition, 8: 175-194. Holt, J.G. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology Ninth Edition. Wiliams and Wilkins. Baltimore. Kadir, J., Rahman, M.A., Mahmud, T.M.M., Rahman, R.A. and Begum, M.M. 2008. Extraction of antifungal substances from Burkholderia cepacia with antibiotic activity against Colletotrichum gloeosporioides on papaya (Carica papaya L.). Int. J. Agri. Biol, 10: 15-20. Krogdahl, A., Hemre, G.-I. and Mommsen, T.P. 2005. Carbohydrates in fish nutrition: digestion and absorption in postlarval stages. Aquaculture Nutrition, 11: 103-122. Lewaru, S., Riyantini, I. dan Mulyani, Y. 2012. Identifikasi bakteri indigenous pereduksi logam berat Cr (VI) dengan metode molekuler di Sungai Cikijing Rancaekek, Jawa Barat. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 3(4): 81-92. Mokoginta, I., Utomo, N.P., Akbar, A.D. dan Setiawati, M. 2003. Penggunaan tepung singkong sebagai substitusi tepung terigu pada pakan ikan mas, Cyprinus Carpio L. Jurnal Akuakultur Indonesia, 2(2): 79-83. 250 Mokoginta, I., Takeuchi, T., Hadadi, A. and Dedi, J. 2004. Different capabilities in utilizing dietary carbohydrate by fingerling and subadult giant gouramy Osphronemus gouramy. Fisheries Science, 70: 9961002. Natsir, N.A.N., Natsir, H. dan Dali, S. 2014. Eksplorasi dan karakterisasi bakteri termofil penghasil enzim amilase dari sumber air panas Panggo, Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Biokimia UIN Hidayatullah Jakarta, 22 Mei 2014. Nursyirwani dan Amolle, K.C. 2007. Isolasi dan karakteristik bakteri hidrokarbonoklastik dari Perairan Dumai dengan sekuen 16S rDNA. Jurnal Ilmu Kelautan, 12(1): 12-17. Radjasa, O.K., Sabdono, A. and Suharsono. 1999. The growth inhibition of marine biofilm-forming bacteria by the crude extract of soft coral Sinularia sp. Journal of Coastal Development, 2: 329-334. Spannhof, L. and Plantikow, H. 1983. Studies on carbohydrate digestion in rainbow trout. Aquaculture, 30: 95-108. Suhita, H., Kawasaki, J. and Deguchi, Y. 1997. Production of amylase by the intestinal microflora in cultured freshwater fish. Letters in Applied Microbiology, 24: 105-108. Sultan, M.Z., Park, K., Lee, S.Y., Park, J.K. and Varughese, T. 2008. Novel oxidized derivatives of antifungal pyrrolnitrin from the bacterium Burkholderia cepacia K87. J. Antibiot. 61(7): 420–425 Suwarsih. 2011. Isolasi dan identifikasi bakteri probiotik dari ikan kerapu macan (Ephinephelus fuscogatus) dalam upaya efisiensi pakan ikan. Prospektus, 1: 48-55. Tomich, M., Herfst, C.A., Golden, J.W. and Mohr, C.D. 2002. Role of flagella in host cell invasion by Burkholderia cepacia. Infection and Immunity, 70(4): 1799-1806. Yulvizar, C. 2013. Isolasi dan identifikasi bakteri probiotik pada Rastrelliger sp. isolation and identification of probiotic bacteria in Rastrelliger sp. Biospecies, 6(2): 1-7. 251 252 KATA PENGANTAR Perikanan budidaya dengan segala potensi pengembangan dan sumber daya alam yang mendukung, memiliki peluang menjadi salah satu pilar dalam Ketahanan Pangan dan Gizi dan sebagai penggerak perekonomian nasional. Disamping itu, perikanan budidaya juga memiliki banyak peluang untuk menyediakan lapangan usaha dan menyerap tenaga kerja dan mampu diusahakan secara berkelanjutan. Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, segala kelebihan yang dimiliki oleh sector perikanan budidaya harus terus digali dan dikembangkan sehingga produk perikanan budidaya mampu bersaing dengan kualitas yang tinggi dan jumlah yang memenuhi kebutuhan pasar. Untuk mendukung hal tersebut, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menyelenggarakan kegiatan INDONESIAN AQUACULTURE (INDOAQUA) 2014 dengan tema “PERIKANAN BUDIDAYA UNTUK BISNIS DAN KETAHANAN PANGAN” yang telah dilaksanakan pada tanggal 26 – 29 Agustus 2014 di Hotel Atlet Century (Seminar) dan di Parkir Timur Senayan (Pameran) INDOAQUA 2014, merupakan ajang yang diharapkan mampu menjadi media komunikasi bagi pelaku perikanan budidaya melalui pengenalan hasil-hasil perekayasaan teknologi, pameran dan temu bisnis di bidang perikanan budidaya. Ada 6 (enam) kelompok seminar yang diselanggarakan selama INDOAQUA 2014, yaitu (1) Kelompok Udang, (2) Kelompok Rumput Laut, Kerapu, Baronang dan Bawal Bintang, (3) Kelompok Bandeng, Kakap, Nila dan Sidat, (4) Kelompok Ikan Hias, Mutiara dan Abalone, (5) Kelompok Catfish, Gurame, Mas dan Jelawat, (6) Kelompok Pendukung Akuakultur (Lingkungan, Pakan, Probiotik, Penyakit dan Monitoring Minapolitan). Prosiding ini berisi makalah lengkap materi seminar yang dilaksanakan selama penyelenggaraan INDOAQUA 2014. Semoga prosiding ini, dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pembudidaya dan seluruh pihak terkait dengan perikanan budidaya, sehingga mampu mendorong pengembangan perikanan budidaya yang berkelanjutan dan maju. Bogor, November 2014 Penyusun DAFTAR ISI 1. ADDITIF FERMENTATIF PAKAN MEMICU OVULASI DAN DAYA TETAS TELUR TINGGI PADA INDUK IKAN BANDENG (Chanos chanos, Forskall) 1 2. APLIKASI MINAGROW (SUPLEMEN PEMACU PERTUMBUHAN) DAN PROBIOTIK PADA PEMBESARAN IKAN NILA BIOCHAR MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA IKAN BANDENG (Chanos-chanos) 50% DIBANDING KONTROL DISEMINASI TEKNOLOGI BUDIDAYA NILA SALIN, SEBUAH PENDEKATAN KEMANDIRIAN USAHA YANG BERKELANJUTAN RANCANG BANGUN PEMANAS AIR SEDERHANA PADA PEMBESARAN IKAN SIDAT (Anguilla marmorata) DI BBAT TATELU OPTIMALISASI PRODUKTIVITAS TAMBAK AIR PAYAU DENGAN KARAKTER SALINITAS TINGGI DAN RENDAH OKSIGEN MELALUI BUDIDAYA IKAN NILA SALIN (Oreochromis. sp) PERBAIKAN TEKNOLOGI PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN KAKAP PUTIH (LATES CALCARIFER, BLOCH 1790) UNTUK MENDUKUNG INDUSTRIALISASI BUDIDAYA LAUT PENINGKATAN PRODUKSI PEMBESARAN IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer, Bloch) DI KERAMBA JARING APUNG MELALUI PERBAIKAN PAKAN INOVASI PRODUKSI PAKAN ALAMI CACING TUBIFEX 9 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 18 26 43 49 60 72 79 10. PROSPEK PRODUKSI BENIH HIBRID INTERSPESIFIK ABALON Haliotis asinina DAN Haliotis squamata 84 11. PENGARUH HORMON rGH PADA PEMBESARAN IKAN BUBARA (Caranx Sp) DI KERAMBA JARING APUNG 96 12. OPTIMALISASI PEMANFAATAN PAKAN RUCAH (ZERO WASTE) PADA PEMBESARAN IKAN BUBARA 103 (Caranx sexfasciatus) DI SPOT AREA BUDIDAYA DUSUN WAEL KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT 13. DETEKSI DAN PENGOBATAN MILKY DISEASE PADA LOBSTER Panulirus spp. 114 14. PERLAKUAN GNOTOBIOTIK KULTUR ARTEMIA DENGAN β-GLUKAN: KAJIAN POTENSI β-GLUKAN UNTUK MEMPERKUAT RESISTENSI TERHADAP VIBRIOSIS 127 15. PEMANFAATAN EKSTRAKSI DAUN JAMBU BIJI METODE MASERASI TERHADAP PENGENDALIAN BAKTERI Aeromonas hydrophila SECARA IN VITRO 138 16. APLIKASI TEKNIS PRODUKSI STADIA BENIH IKAN GRASS CARP (Ctenopharingodon idella) 146 17. PEMBENIHAN IKAN TERBANG (Hirundichtys Oxycephalus) BIOTA AQUATIK BERNILAI EKONOMIS TINGGI SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN PLASMA NUTFAH DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN 157 18 PENINGKATAN NILAI TAMBAH HASIL PERIKANAN KOMODITAS LAWI-LAWI (Caulerpa, sp) SUMBER NUTRISI DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN RADIASI ULTRA VIOLET SEBAGAI STIMULATING GROWTH FACTOR (SGF) KULTUR MASSAL PHYTOPLANKTON (CHLORELLA SP) OPTIMALISASI LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN SERTA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS BUDIDAYA DI KAWASAN LAHAN GAMBUT KABUPATEN PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PENGARUH MEDIA BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN CACING SUTRA (Tubifex sp) POTENSI DAN PROSPEK BUDIDAYA IKAN GABUS (Channa Striata Bloch 1793) SEBAGAI ALTERNATIF USAHA DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DAN PRODUKSI PERIKANAN BUDIDAYA DI WILAYAH KALIMANTAN 166 19 20 21 22 172 182 202 215 23 24 25 DAYA HAMBAT HABBATUSSAUDA (Nigella sativa) DAN PROPOLIS TERHADAP AQUABACTERIA PROSPEK MARIKULTUR IKAN RAMBEU ACEH (Charanx sp.) STUDI KOMPARASI DAN DAMPAK HASIL KEPUTUSAN GUGATAN PERDATA PENCEMARAN LINGKUNGAN BUDIDAYA IKAN LAUT DI PULAU BINTAN 229 237 242 ADDITIF FERMENTATIF PAKAN MEMICU OVULASI DAN DAYA TETAS TELUR TINGGI PADA INDUK IKAN BANDENG(Chanos chanos, Forskall) Widya Puspitasari, Ibnu Sahidhir dan Nasfuddin Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee Jl. Krueng Raya Km. 46 Banda Aceh Nangroe Aceh Darussalam PO BOX 46 ABSTRACT Many young fertile milkfish broodstocks in BADC of Ujung Batee needs special nutrition treatment. Our experiences showed that it needs longer time for broodstocks to ripe and ovulate with ordinary treatment. Giving fermentative additive into feed showed induction of ovulation and high egg hatching rate. There are two treatments, one is a control and the other is feed fermentative additive. A tank contained of 4 males and 4 females of milkfish broodstocks. Feed fermentative additive is a mix of fermented pineapple (10 ml) and a duck egg that spread into a kg of feed. Feeding wasconducted twice in a day, 3% of total weight. The experiment was performed for 2 months. Feed fermentative additive could induce and accelerate ovulation in 1 month, but the control was not ovulated. The broodstocks was spawned 5 times i.e. 50,000, 75,000, 150,000, 250,000 and 270,000 eggs. Hatching rate of eggs washigh i.e. 80%-94%. Feed fermentative additive was suspected to increase nutrition bioavailability of minerals that support reproduction: P, Cu, K, Mn, Zn and Mg, improve digestibility, absorption and immunomodulatory. KEYWORD : Feed fermentative additive, ovulation, egg hatching rate, milkfish broodstock PENDAHULUAN Produktivitas induk bandeng di Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee, masih rendah. Sebagian ditunjukkan secara jelas oleh daya tetas telur yang rendah yakni 40-50%. Faktor utama yang menentukan daya tetas telur yang rendah adalah tidak meratanya deposisi nutrient pada telur yang dihasilkan. Deposisi nutrisi semakin baik jika kualitas nutrisi, daya cerna, daya serap, dan daya guna pakan ditingkatkan. Kualitas nutrisi pakan ditentukan oleh bahan baku utamanya, terlihat dari profil asam amino, asam lemak esensial, BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 1 vitamin dan mineral (Heinsbroek et al., 2013; Izquierdo et al., 2001). Ketiga faktor (daya cerna, daya serap dan daya guna) dapat ditingkatkan dengan berbagai cara. Daya cerna dapat ditingkatkan dengan pemberian enzim pracerna, sebagai contoh protease sebelum pakan diberikan. Daya serap dapat diperbaiki dengan merangsang proliferasi dan kesehatan sel kolon. Daya guna semakin meningkat jika ko-enzim dan ko-faktor pada pakan mencukupi. Nanas mengandung enzim bromelain yang bersifat proteolitik pada asam amino sistein (Tochi et al., 2008). Pemberian nanas pada pakan akan meningkatkan daya cerna protein terutama protein struktural yang sulit dicerna. Penggunaan enzim pracerna bromelain akan memperingan kerja organ pencernaan. Bromelain juga bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan ikan (Pavan et al., 2012). Nanas juga mengandung bakteri Acetobacter yang merupakan penghuni asli tanaman nanas (Tapia-Hernández et al., 2000). Acetobacter dapat membantu pencernaan karbohidrat. Sedangkan, vitamin C dan juga vitamin lain dalam nanas yang tinggi dapat meningkatkan kualitas telur. Telur adalah makanan yang dijadikan standar nilai biologis makanan berprotein lain. Kandungan protein dan lemak berkualitas tinggi dengan daya serap mendekati 100%. Karena sifat telur unggas masih mentah maka dapat diasumsikan banyak zat pendukung ovogenesis yang masih aktif di dalamnya. Namun demikian telur mentah tidak bisa langsung diberikan sebagai pakan karena mengandung protease inhibitor yang akan mengurangi daya cerna proteinnya (Hertrampf and Piedad-Pascual, 2000). Telur terfermentasi akan dapat menghilangkan zat anti nutrisi ini. Selainitu, telur terfermentasi juga banyak mengandung peptide rantai pendek yang bermanfaat sebagai imunostimulan (Yoshida et al., 1993). Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh telur dan nanas terfermentasi terhadap kematangan gonad dan fekunditas telur ikan bandeng. BAHAN DAN METODE Fermentasi nanas dan telur untuk pakan induk bandeng Perlakuan dimulai dengan proses pembuatan fermentasi yaitu nanas yang sudah matang dibersihkan dengan cara dicuci kemudian di potong-potong kecil lalu dimasukan ke dalam termos es (kedap udara). Gula merah diiris kemudian dicampur dengan nanas yang sudah dipotong tadi. Bahan tersebut diaduk supaya tercampur sempurna kemudian ditutup. Termos es dimasukan ke dalam wadah plastik dan ditutup rapat untuk memastikan bahwa reaksi akan berjalan secara anaerob. Setelah 1 minggu, telah dihasilkan ekstrak nanas hasil fermentasi yang akan digunakan sebagai campuran telur bebek dan pakan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 2 komersil. Ekstrak nanas hasil fermentasi sebanyak 10 ml dicampur dengan 1 butir telur bebek/kg pakan komersil. Pakan yang sudah dicampur dan dikering anginkan selama 24 jam sudah bisa diberikan pada induk. Pemeliharaan induk bandeng Langkah selanjutnya yaitu melakukan persiapan tempat pemeliharaan induk. Bak yang akan digunakan harus dalam keadaan bersih. Aerasi dipasang sebanyak 5 titik dengan sistem airliftdan 3 titik sistem gantung. Induk yang digunakan berasal dari pembesaran di tambak selama 4 tahun pemeliharaan. Pengukuran kualitas air dilakukan sebelum penebaran induk untuk mengetahui kualitas air awal pemeliharaan dan standar kualitas air untuk pemeliharaan induk. Masing-masing bak ditebar 4 pasang induk dengan kriteria bobot tubuh lebih dari 4 Kg/ekor induk, sehat dan tidak cacat. Bak pertama diberi perlakuan dengan pemberian additif fermentatif, sedangkan bak kedua merupakan kontrol. Pakan diberikan sebanyak 3%/hari dengan frekuensi pemberian 2 kali/hari. Sebelum dilakukan penebaran, induk ditimbang terlebih dahulu. Data berat induk masing-masing bak dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel1. Data berat induk pada masing-masing bak No Bak 1 (additif fermentatif) (kg) Bak 2 (kontrol) (kg) 1 4 4 2 6 5 3 6 4 4 5 6 5 4 4 6 5 4 7 5 4 8 4 4 Total 39 35 Rerata 4,875 4,375 Pergantian air dilakukan setiap pagi sebanyak 200 – 300%, selain untuk menjaga kualits air tetap optimal, hal ini dilakukan untuk merangsang proses pemijahan pada induk. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 3 Pengamatan Pasca perlakuan, pengecekan telur pada bak dilakukan setiap pagi sebelum pergantian air. Induk yang telah berhasil bertelur kemudian di panen dan ditampung dalam wadah akuarium untuk dihitung fekunditasnya. Sebelum penebaran, dilakukan pengamatan telur dibawah mikroskop. Pengamatan ini dilakukan selain untuk mengukur diameter telur, juga untuk melihat bagus tidaknya kondisi telur yang dihasilkan. Telur yang telah dihitung, kemudian ditebar pada bak larva. Setelah 24 jam penebaran, telur akan menetas menjadi larva. Jumlah larva yang menetas kemudian dihitung, sehingga akan diperoleh data derajat penetasan (hatching rate %). HASIL DAN PEMBAHASAN Derajat pemijahan Hasil pengamatan menunjukan bahwa induk yang diberi addititif fermentatif lebih cepat memijah dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Setelah 1 bulan pemeliharaan, induk yang diberi pakan additif fermentatif sudah mulai bertelur. Induk-induk tersebut terus bertelur sampai 5 kali peneluran selama satu bulan. Berbeda dengan induk yang diberi pakan komersil (kontrol), sampai akhir pemeliharaan 2 bulan belum berhasil memijah walaupun sudah dilakukan penyuntikan hormon. Tabel 2. Perbandingan produktivitas induk dengan additif permentatif pakan dan pakan komersil (kontrol) Variabel Additif fermentatif pakan Pakan komersil Mulai bertelur Minggu ke-5 pemberian pakan - Jumlah peneluran 5 kali - Jumlah telur (butir) 795.000 - Derajat penetasan (%) 80 – 94% - BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 4 Ovulasi terjadi setelah satu bulan dan terjadi selama 5 hari. Ovulasi meningkat terus-menerus selama lima hari. Telur terbanyak keluar pada hari ke-5 ovulasi yakni sebanyak 270 ribu butir. Derajat ovulasi (ribu butir/hari) 250 270 150 75 50 1 2 3 4 5 Bagan 1. Ovulasi pada treatment additive fermentative Derajat penetasan Derajat penetasan meningkat menjadi 80-94% dibandingkan dengan induk lama yang hanya sekitar 40-50 % (Ramelan, personal komunikasi). BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 5 300,000 250,000 100% Derajat penetasan Jumlah telur (butir) 95% 200,000 90% 150,000 85% 100,000 80% Derajat ovulasi 50,000 Daya tetas 0 75% 70% 1 2 3 4 5 Hari ovulasi Bagan 2. Hubungan fekunditas dan daya tetas telur bandeng Peningkatan daya tetas menunjukkan kualitas bahwa kualitas nutrisi pakan menjadi lebih baik. Pemberian sebutir telur (sekitar 50 gr) ke dalam 1 kg pakan berarti 5% dari berat pakan, mampu meningkatkan kualitas pakan. Lemak telur cukup seimbang dengan asam lemak esensial 12% dari total lemak. Induk membutuhkan asam lemak esensial yang cukup untuk pembentukan lemak telur, juga vitamin dan mineral (Bransden et al., 2007; Brooks et al., 1997; Emata and Borlongan, 2003; Hoa et al., 2009). Gambar 1. Mikroba yang terdapat additive fermentative berupa Lactobacillus spp, yeast dan Acetobacter spp. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 6 Telur bebek yang mengandung gizi tinggi, bagus untuk melengkapi kekurangan kadar protein pakan komersil. Namun, dengan kandungan protease inhibitor pada telur menjadi kendala dalam penggunaannya. Fermentasi, merupakan cara sederhana yang mudah dilakukan untuk mengantisipasi hal itu. Hasil fermentasi dari buah nanas, dihasilkan bromelain dan mikroba (Gambar 1). Bromelain merupakan enzim proteolitik yang memiliki kemampuan menguraikan struktur kompleks protein sehingga lebih mudah diserap tubuh. Selain itu, mikrobia hasil fermentasi dalam kondisi asam yaitu Lactobacillus sp., Acetobacter sp. dan yeast sangat berperan dalam meningkatkan bioavailabilitas mineral yang mendukung reproduksi seperti P, Cu, K, Mn, Zn and Mg, memperbaiki daya cerna, daya serap dan immunostimulasi(Gambar 1). Kualitas air Pengamatan parameter kualitas air selama pemeliharaan masih dalam kondisi optimal yaitu berkisar DO 5-7 ppm dan suhu air 28 – 30 C. KESIMPULAN Produktivitas induk ikan bandeng yang diberi additif fermentatif memberikan hasil lebih baik dimana 1 bulan setelah pemberian pakan, induk berovulasisedangkan induk yang diberi pakan komersil belum berovulasi. Selain itu, daya tetas telur (hatching rate) tinggi dengan range 80 – 94%. DAFTAR PUSTAKA Bransden, M.P., Battaglene, S.C., Goldsmid, R.M., Dunstan, G.A., Nichols, P.D., 2007. Broodstock condition, egg morphology and lipid content and composition during the spawning season of captive striped trumpeter, Latris lineata. Aquaculture 268, 2–12. Brooks, S., Tyler, C.R., Sumpter, J.P., 1997. Egg quality in fish: what makes a good egg? Rev. Fish Biol. Fish. 7, 387–416. Emata, A.C., Borlongan, I.G., 2003. A practical broodstock diet for the mangrove red snapper, Lutjanus argentimaculatus. Aquaculture, Proceedings Of The 10th International Symposium On Nutrition And Feeding In Fish (Feeding For Quality). 225, 83–88. Heinsbroek, L. t. n., Støttrup, J. g., Jacobsen, C., Corraze, G., Kraiem, M. m., Holst, L. k., Tomkiewicz, J., Kaushik, S. j., 2013. A review on broodstock nutrition of marine pelagic spawners: the curious case of the freshwater eels (Anguilla spp.). Aquac. Nutr. 19, 1–24. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 7 Hertrampf, J.W., Piedad-Pascual, F., 2000. Egg Powder, in: Handbook on Ingredients for Aquaculture Feeds. Springer Netherlands, pp. 125– 130. Hoa, N.D., Wouters, R., Wille, M., Thanh, V., Dong, T.K., Van Hao, N., Sorgeloos, P., 2009. A fresh-food maturation diet with an adequate HUFA composition for broodstock nutrition studies in black tiger shrimp Penaeus monodon (Fabricius, 1798). Aquaculture 297, 116– 121. Izquierdo, M.S., Fernández-Palacios, H., Tacon, A.G.J., 2001. Effect of broodstock nutrition on reproductive performance of fish. Aquaculture, Reproductive Biotechnology in Finfish Aquaculture 197, 25–42. Pavan, R., Jain, S., Shraddha, Kumar, A., 2012. Properties and Therapeutic Application of Bromelain: A Review. Biotechnol. Res. Int. 2012, e976203. Tapia-Hernández, A., Bustillos-Cristales, M.R., Jiménez-Salgado, T., Caballero-Mellado, J., Fuentes-Ramírez, L.E., 2000. Natural Endophytic Occurrence of Acetobacter diazotrophicus in Pineapple Plants. Microb. Ecol. 39, 49–55. Tochi, B.N., Wang, Z., Xu, S.-Y., Zhang, W., 2008. Therapeutic application of pineapple protease (bromelain): A review. Pak. J. Nutr. 7, 513–520. Yoshida, T., Sakai, M., Kitao, T., Khlil, S.M., Araki, S., Saitoh, R., Ineno, T., Inglis, V., 1993. Immunomodulatory effects of the fermented products of chicken egg, EF203, on rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. Aquaculture 109, 207–214. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 8 APLIKASI MINAGROW (SUPLEMEN PEMACU PERTUMBUHAN) DAN PROBIOTIK PADA PEMBESARAN IKAN NILA Dwi Hany Yanti*, Dian Hardiantho*, Murtiati*, Alimuddin**, Arief Eko Prasetiyo* *Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi **Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB ABSTRACT Aquaculture productivity can be improved efficient and significantly through combinations of two or more technologies. One is the application of technology products produced by BBPBAT Sukabumi is MinaGrow and probiotics. MinaGrow is a supplement that works as stimulator agent for somatic growth of the fish, so as to shorten the time of maintenance and improve aquaculture production. Meanwhile, probiotics play an important role in the control of water quality because of its medium containing the bacteria Lactobacillus sp. and Bacillus sp. Tilapia fish with a mean body weight of 2.92 g maintained in two separate semi-permanent ponds at a density of 20 ind/m2. First pond treated with MinaGrow and probiotics. MinaGrow given through feed at a dose of 2 mg / kg of feed, 3 times a week every 3 days interval and probiotics given directly into the maintenance medium at a dose of 15 ml/m3 every week. As a control, second pond untreated with MinaGrow and probiotics. Measurement of body weight sampling is done once every 2 weeks. The result show combination use of MinaGrow and probiotics can increase the biomass weight of 130.31% higher than the control tilapia. The survival of fish fed the probiotic also MinaGrow 22.62% higher than the control tilapia. This indicates that the application MinaGrow combined with probiotics effective in promoting growth and productivity of tilapia enlargement. KEYWORD :recombinant growth hormone, probiotics, enlargement, tilapia BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 9 PENDAHULUAN Budidaya ikan nila telah berkembang semakin pesat, mulai dari sistem berskala konvensional hingga intensif. Hal ini, menuntut adanya dukungan teknologi untuk meningkatkan produktivitas budidaya ikan nila. Peningkatan produktivitas dicapai melalui peningkatan biomassa panen atau pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup dan persentase keuntungan yang tinggi. Produktivitas perikanan budidaya dapat ditingkatkan secara efisien dan signifikan melalui penerapan kombinasi dua atau lebih teknologi. Salah satunya adalah penerapan produk teknologi yang dihasilkan BBPBAT Sukabumi yaitu MinaGrow dan probiotik. MinaGrow merupakan suplemen pemacu pertumbuhan yang bekerja sebagai stimulator agent bagi pertumbuhan somatik ikan, sehingga dapat mempersingkat waktu pemeliharaan dan meningkatkan produksi budidaya ikan. Sementara itu, probiotik sangat berperan dalam pengendalian kualitas air media. Probiotik merupakan mikroorganisme hidup (seperti bakteri Lactobacillus sp. dan Bacillus sp.) yang sengaja diberikan dengan harapan dapat memberikan efek yang menguntungkan bagi ikan/udang (FAO/WHO., 2001 dalam ISAPP., 2004). Perpaduan antara MinaGrow dan probiotik diharapkan mampu meningkatkan produktivitas budidaya ikan nila. BAHAN DAN METODE Produksi Perbanyakan Protein MinaGrow Produksi protein MinaGrow dilakukan dengan memperbanyak bakteri Escherichia coli BL21 yang membawa vektor ekspresi protein MinaGrow (Alimuddin et al., 2011). Isolat bakteri diinkubasi dalam media subkultur 2xYT pada suhu 37oC, dan kecepatan 250 rpm selama 16 – 18 jam. Sebanyak 1% bakteri hasil subkultur diinokulasikan kembali dalam media kultur 2xYT pada suhu 37oC, dan kecepatan 250 rpm selama 2 jam. Kejutan suhu dilakukan pada suhu 15oC, dan kecepatan 250 rpm selama 30 menit. Penambahan 1 mM isopropyl-b-D-thiogalac-topyranoside (IPTG) ke dalam media kultur bakteri dilakukan untuk menginduksi sintesis protein. Kultur dilanjutkan pada suhu 15oC, dan kecepatan 250 rpm selama 24 jam. Total protein bakteri dalam bentuk badan inklusi (inclusion body) diendapkan menggunakan sentrifugasi pada suhu 4oC, dan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit, dan selanjutnya protein dilarutkan dalam bufer fosfat salin (PBS). Dinding sel bakteri dilisis dengan menggunakan sonikator selama 5 menit dengan selang waktu 1 menit ON dan 1 menit OFF. Kemudian, dibilas dengan larutan buffer fosfat salin (PBS), disentrifugasi pada suhu 4oC, dan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Pellet yang terbentuk dikeringbekukan dengan menggunakan freeze BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 10 dryer pada suhu -87oC selama over night. Selanjutnya, pellet kering yang sudah terbentuk dapat disimpan dalam suhu ruang. Pencampuran pada Pakan Protein MinaGrow sebanyak 2 mg (berat kering) dilarutkan dalam 15 mL PBS, dan dicampur dengan 2 mg kuning telur ayam yang berfungsi sebagai bahan pengikat (binder) pada pakan buatan. Setelah dihomogenasi menggunakan vorteks, campuran kuning telur dan MinaGrow disemprotkan secara merata pada 1 kg pakan komersial, kemudian dibiarkan kering udara sebelum diberikan pada ikan nila. Produksi dan Aplikasi Probiotik Produksi probiotik dilakukan dalam air media dan peralatan yang steril. Media produksi probiotik memerlukan bahan berupa limbah ikan, dedak halus, molase, cuka aren, dan garam tanpa iodium. Air media direbus pada suhu 80oC selama 30 menit. Semua bahan dimasukkan ke dalam air media, air ditambahkan hingga mencapai volume 50 liter dan diaduk hingga rata. Kemudian, difermentasikan selama + 15 hari. Bibit bakteri diinokulasikan ke dalam air media setelah suhu air mencapai + 25oC dan diaerasi minimal selama 24 jam. Aplikasi probiotik diberikan dengan dosis 15 ml/m3 dicampur dalam air kolam pemeliharaan dalam wadah terpisah dan diaduk rata. Kemudian, ditebar ke media budidaya secara merata. Pemberian probiotik dilakukan setiap minggu sekali. Analisis Mikroba Probiotik Isolasi dan identifikasi bakteri menggunakan media spesifik yaitu API 50 CH dan API 50 CHL untuk bakteri Lactobacillus spp., dan media API 50 CHB untuk bakteri Bacillus spp.. Isolat murni hasil isolasi diamati morfologi koloninya, meliputi : bentuk, warna, morfologi sel, mortalitas, dan tidak menyebabkan penyakit. Parameter uji meliputi identifikasi bakteri dan uji kelimpahan bakteri. Analisis Statistik Efektivitas pemberian MinaGrow dan probiotik pada pembesaran ikan nila ditentukan berdasarkan parameter bobot tubuh ikan pada akhir penelitian, biomassa, dan tingkat kelangsungan hidup. Data dianalisis menggunakan statistika deskriptif. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemberian MinaGrow dan probiotik dapat meningkatkan bobot tubuh ikan nila (Tabel 1). Bobot tubuh ikan yang diberi MinaGrow dan probiotik lebih tinggi 60,58+ 6,15 g (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol (23,10 + 5,29 g). Selain itu, peningkatan laju pertumbuhan baik bobot dan panjang tubuh pada ikan yang diberi MinaGrow dan probiotik semakin tinggi dibandingkan pada perlakuan kontrol (Gambar 1 dan 2). Kelangsungan hidup ikan yang diberi MinaGrow dan Probiotik memberikan nilai yang berbeda nyata (p<0,05) (74,91 + 3,00 %) dengan kontrol (61,09 + 5,56 %) (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian MinaGrow dan probiotik tidak menyebabkan kematian pada ikan. Pemberian MinaGrow dan probiotik juga dapat meningkatkan biomassa benih ikan nila (Tabel 1). Perubahan biomassa ikan yang diberi MinaGrow dan probiotik sebesar 447.955,00 + 0,52 g (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (135.617,90 + 0,63 g). Pemberian MinaGrow dan probiotik dapat meningkatkan biomassa sebesar 130,31% dari kontrol. Berdasarkan hasil uji kelimpahan bakteri probiotik, probiotik yang dibuat mengandung bakteri dengan kepadatan pada kisaran 10 6 cfu/ml (Tabel 2). Namun demikian, jenis bakteri yang terbanyak adalah bakteri Nitrossomonas sp. (2,00 x 106 cfu/ml), lalu diikuti oleh bakteri Lactobacillus sp. (0,85 x 106 cfu/ml), dan Bacillus sp. (0,41 x 106 cfu/ml). Berdasarkan hasil uji kelimpahan phytoplankton, kolam probiotik memiliki keragaman phytoplankton yang tinggi (Gambar 3). Jumlah phytoplankton yang paling banyak adalah Protococcus sp., kemudian diikuti oleh Closterium sp., dan Nitzchia sp. Berdasarkan pengukuran parameter kualitas air, diperoleh bahwa kisaran tiap parameter tidak berbeda nyata (p>0,05) baik pada kolam yang sudah diberi MinaGrow dan probiotik maupun kolam kontrol (Tabel 3). Penerapan kombinasi dua atau lebih teknologi mampu meningkatkan pertumbuhan pembesaran ikan nila (Gambar 1 dan 2). Berdasarkan hasil kegiatan, penerapan MinaGrow dan probiotik dapat meningkatkan kelangsungan hidup, bobot tubuh, dan biomassa ikan nila (Tabel 1). Penerapan MinaGrow atau teknologi rekombinan hormon pertumbuhan (recombinant Growth Hormone/rGH) untuk mempercepat pertumbuhan ikan sudah banyak dilakukan dengan berbagai metode. Menurut Jeh et al., (1998) dengan pemberian rGH ikan flounder pada benih ikan flounder selama 1 kali seminggu selama 4 minggu pada dosis 40 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 12 μg/g dapat meningkatkan bobot tubuh sebesar 24%. Begitu pula dengan Moriyama et al., (1993) yang melaporkan bahwa dengan pemberian rGH ikan salmon dapat meningkatkan secara signifikan bobot dan panjang tubuh ikan rainbow trout. Pemberian0,5%rGHdalampakanyangdiberikanselama12minggu padajuvenilikanseabreamhitammenunjukkanperbedaanbobotsebesar41,67% dari ikan kontrol setelah pemeliharaan selama 18 minggu (Tsai et al. 1997). Tabel 1. Kelangsungan hidup, bobot tubuh, dan perubahan biomassa yang diberikan baik MinaGrow dan probiotik maupun kontrol Perlakuan Kelangsungan Hidup (%) Bobot Tubuh (g) Perubahan Biomassa (g) MinaGrow dan Probiotik 74,91 + 3,00 a 60,58 + 6,15 a 447.955,00 + 0,52 a Kontrol 61,09 + 5,56 b 23,10 + 5,29 b 135.617,90 + 0,63 b Nilai dinyatakan dalam rataan ± simpangan baku. Huruf superskrip yang sama di belakang nilai simpangan baku pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p<0,05). Pemberian MinaGrow dan probiotik juga dapat meningkatkan biomassa. Perbedaan biomassa pada ikan nila yang diberi MinaGrow dan probiotik sebesar 130,31% dibandingkan dengan kontrol. Dengan adanya perpaduan dua teknologi tersebut, dapat meningkatkan produksi budidaya ikan nila. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 13 Gambar 1. Pertumbuhan bobot tubuh ikan nila yang telah diberi MinaGrow dan Probiotik (garis biru) serta kontrol (garis merah) Gambar 2. Pertumbuhan panjang tubuh ikan nila yang telah diberi MinaGrow dan Probiotik (garis biru) serta kontrol (garis merah) Probiotik sangat berperan dalam pengendalian kualitas air media seperti menguraikan bahan organik, menurunkan/menghilangkan senyawa beracun, menekan populasi bakteri yang merugikan, menghasilkan enzim yang dapat membantu sistem pencernaan, menghasilkan nutrisi yang bermanfaat (pembentukan phytoplankton yang bermanfaat bagi ikan nila), dan meningkatkan kekebalan ikan nila sehingga dapat tumbuh dengan baik dan tidak mudah stress (Poernomo, 2004). Seperti yang telah diungkapkan oleh Poernomo (2004), pemberian probiotik dapat menekan populasi bakteri yang merugikan, sehingga hanya bakteri yang bermanfaat saja yang akan terbentuk (Tabel 2). Jumlah phytoplankton yang terbentuk bermanfaat sebagai pakan tambahan bagi ikan nila, sesuai dengan sifat makan ikan nila yang merupakan plankton feeder (Gambar 3). Pemberian langsung ke dalam air media merupakan aplikasi yang paling efektif karena bebas kontaminasi dari bakteri lain. Cara lain yang dapat dilakukan adalah secara oral (melalui pakan). Tabel 2. Hasil uji kelimpahan bakteri probiotik BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 14 Asal probiotik Jenis Bakteri Jumlah (cfu/ml) Metode Uji Limbah ikan nila Lactobacillus sp. 0,85 x 106 SNI-01-2339:1991 Bacillus sp. 0,41 x 106 SNI-01-2339:1991 Nitrosomonas sp. 2,00 x 106 SNI-01-2339:1991 Gambar 3. Kondisi jumlah phytoplankton yang terbentuk setelah pemberian probiotik pada kolam pembesaran ikan nila Kondisi kualitas air pada kolam pembesaran ikan nila untuk parameter suhu, pH, dan DO relatif rendah. Sedangkan, kandungan fosfat relatif tinggi, dan lainnya masih dalam kisaran baku mutu (Tabel 3). Tabel 3. Kondisi kualitas air pada kolam pembesaran ikan nila baik dengan pemberian MinaGrow dan probiotik maupun kontrol. No. Parameter Nilai Baku Mutu 1. Suhu (oC) 23,40 – 26,10 25 – 30 2. pH 4,72 – 7,20 6,50 – 8,50 3. DO (mg/L) 2,05 – 4,83 >4 4. CO2 (mg/L) 3,57 – 15,18 <12 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 15 5. 6. 7. 8. Alkalinitas (mg/L) NH3 (mg/L) NO2 (mg/L) PO4 (mg/L) 48,00 – 75,11 0,09 – 0,51 0,008 – 0,039 0,65 – 2,12 50 – 300 <1 <0,06 0,006 – 10 Analisis Usaha Faktor penting dalam kegiatan produksi budidaya selain untuk meningkatkan produksi perikanan, juga untuk meningkatkan keuntungan. Penerapan MinaGrow dan probiotik dapat meningkatkan keuntungan pembesaran ikan nila sebesar 527,8 % (Tabel 4). Tabel 4. Analisis usaha kegiatan Aplikasi MinaGrow (Suplemen Pemacu Pertumbuhan) dan Probiotik pada Pembesaran Ikan Nila. Keterangan Hasil Produksi (Panen) (kg) Biaya Produksi (Rp) Biaya Mina Grow (Rp) Biaya probiotik (Rp) Harga Pokok Produksi (Rp) Pendapatan (Rp) Keuntungan (Rp) Perbedaan Selisih Keuntungan (Rp) Persentase Peningkatan Keuntungan (%) KESIMPULAN Kontrol 135.6 1,375,000,0 10,140,1 1,762,800.0 387,800,0 Mina Grow + Probiotik 447.9 2,200,000.0 500,000.0 300,000.0 6,697,9 5,822,700,0 2,822,700,0 2,434,900,0 527,8 Penerapan MinaGrow hasil dari teknologi hormon pertumbuhan rekombinan dapat dipadukan dengan teknologi probiotik. Aplikasi MinaGrow dan probiotik terbukti efektif dalam meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan pembesaran ikan nila sebesar 527,8%. DAFTAR PUSTAKA Alimuddin, LesmanaI., SudrajatA.O., CarmanO., Faizal I., 2011. Production and bioactivity potential of three recombinant growth hormones of farmed fish. Indonesian Aquaculture Journal 5, 11-17. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 16 Jeh, H.S., Kim, C.H., Lee, H.K., Han, K., 1998. Recombinant flounder growth hormone from Escherichia coli: over expression, efficient recovery, and growth-promoting effect on juvenile flounder by oral administration. Journal Biotechnology 60, 183–193. Moriyama, S., Yamamoto, H., Sugimoto, S., Abe, T., Hirano, T., Kawauchi, H., 1993. Oral administration of recombinant salmon growth hormone to rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. Aquaculture 112, 99–106. Poernomo, A. 2004. Sejarah perkembangan dan pilihan teknologi budidaya udang di tambak. Makalah seminar disampaikan dalam Simposium MAI tgl 27 – 29 Januari 2004 di Semarang. TsaiHJ,HsihMH,KuoJC.1997.Escherichiacoliproducedfishgrowthhormone as a feed additive to enhance the growth of juvenile black seabream (Acanthopagrus schlegeli). Journal Applied Ichthyology13: 78-82. BIOCHAR MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA IKAN BANDENG (Chanos-chanos) 50% DIBANDING KONTROL Ibnu Sahidhir, Widya Puspitasari, Baharuddin Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee Jl. Krueng Raya Km. 46 Banda Aceh Nangroe Aceh Darussalam PO BOX 46 ABSTRACT Low of survival rate of milkfish larvae in BPBAP Ujung Batee’s hatchery still become a main concern. The The suspicion was directed to feed and water quality. Biochar, carbonized charcoal, was proven to be effective to improve water and soil quality especially in agriculture. The experiment used biochar in BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 17 water to culture milkfish larvae and compared to control tank without biochar. The eggs was stocked each 100.000 eggs for two tanks (biochar and control) each 16 m2 (10 m3 as effective volume). Larva was reared until 25 days. Four kg of biochar was placed at day 10th after first stocking eggs, divided into 4 points. Larva was fed with rotifer, formulated feed and Nannochloropsis sp. Dissolved oxygen and temperature were measured everyday; whereas total ammonia nitrogen (TAN), nitrite, Fe, alkalinity, total organic matter, total bacterial count dan total vibrio count were measured once in 5 days. Survival rate was calculated and analyzed with water quality condition. Result showed that survival rate of biochar treatment had more survivors 47% than control. However, the majority of water quality variables are the same in both treatments. Higher density of biochar treatment larva produce more waste but biochar can make it equal to low density larva. Green vibrio and alkalinity in biochar are better than control. It implicitly means that biochar improve denitrification and reduce pathogen. KEYWORD: biochar, milkfish larvae, survival rate PENDAHULUAN Konsentrasi nutrient organik yang masuk ke dalam air pemeliharaan mengakibatkan berkembangbiaknya mikroba dengan cepat. Perkembangan mikroba, sebagai contoh bakteri, yang tak terkontrol mengakibatkan kemungkinan munculnya mikroba pathogen menjadi besar. Pengendalian mikroba telah dilakukan dengan berbagai cara seperti disinfeksi, antibiosis, alternatif non-obat dan mengganti air pemeliharaan (Defoirdt et al., 2007; FAO, 2003). Selain cara diatas, pengaturan komunitas mikroba non-oportunistik dapat dilakukan secara fisik dengan memahami konsep strategi r/K (Atlas and Bartha, 1998). Penerapan dimulai pada persiapan air. Konsentrasi bahan organic di air dikurangi terlebih dulu dikurangi sehingga mikroba dengan kecepatan tumbuh tinggi (strategi r) akan berkurang. Air kemudian ditreatment berulang-ulang dalam biofilter yang telah berisi komunitas stabil mikroba nonoportunis dengan kecepatan tumbuh yang lambat (strategi K) sebelum digunakan untuk pemeliharaan. Konsep ini telah berhasil dicobakan untuk memelihara larva ikan halibut atlantik (Skjermo et al., 1997). Pengurangan bahan organic selama pemeliharaan juga merupakan aplikasi dari strategi K. Ada persamaan dengan konsep diatas, menguatkan strategi K, yaitu menggunakan biochar. Biochar atau arang terkarbonisasi adalah arang yang diperoleh dengan pemanasan suhu rendah tanpa oksigen dan tanpa perlakuan oksidator kimiawi (seperti ZnCl2, H3PO4 dan KOH) (Hirunpraditkoon et al., BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 18 2011). Tujuan dari penambahan arang adalah untuk mengurangi bahan organic terlarut/dissolved organic matter (DOM) di air (Miura et al., 2007), sehingga pembusukan berlangsung lebih lambat. Dengan demikian ammonia dalam air akan terbentuk lebih lambat. Kemampuan adsorbsi arang yang tinggi dikarenakan banyaknya mikropori dalam arang yang saling terhubung dan membentuk labirin (Marsh and Rodríguez-Reinoso, 2006a; Smernik, 2008). Molekul yang berukuran besar termasuk enzim dan bahkan bakteri dapat terperangkap di dalamnya (Marsh and Rodríguez-Reinoso, 2006b). Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh biochar terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan dan kualitas air pada pemeliharaan larva bandeng. BAHAN DAN METODE Desain eksperimen Eksperimen menggunakan dua perlakuan yakni pemberian biochar dan non-biochar. Dua siklus pemeliharaan nener bandeng dijadikan sebagai ulangan. Unit ulangan adalah bak semen berluas 4 x 4 m2 dengan volume 10 m3. Perlakuan biochar berisi 4 kg arang batok kelapa yang dibagi dalam 4 strimin. Pemberian arang dilakukan setelah benih berumur 10 hari. Setiap bungkus biochar digantung di sudut bak. Sedangkan perlakuan non-biochar dibiarkan tanpa pemberian arang. Pemeliharaan bandeng Telur ikan bandeng sebanyak 100.000 butir ditebar dalam tiap bak bandeng. Hari ketiga ketika benih telah membuka mulut, Nannochloropsis dan rotifer diberikan ke bak dengan kepadatan sekitar 100.000 sel/ml dan 10 ekor/ml untuk masing-masing bak. Pada hari ke-10 pakan serbuk diberikan sebanyak 1 gram dua kali sehari. Hari berikutnya perlakuan biochar dimulai. Penyiponan dilakukan setiap 5 hari sekali. Pengamatan Pada akhir penelitian dilakukan pencacahan untuk menghitung kelangsungan hidup. Sepuluh sampel diambil dari tiap perlakuan untuk pengukuran panjang badan. Setiap 5 hari sekali dilakukan pengukuran terhadap TAN (total ammonia nitrogen), nitrit, besi, alkalinitas, bahan organic total, total bacterial count dan total vibrio count (yellow dan green). Data dianalisis secara deskriptif dengan MsExcel dan secara inferensial dengan SAS 9. HASIL DAN PEMBAHASAN BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 19 Kelangsungan hidup Dua siklus pemeliharaan nener bandeng menunjukkan bahwa perlakuan biochar menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih baik. Secara relative terhadap control siklus pertama perlakuan biochar (SR 31%) lebih baik 32% dibanding non-biochar (21%). Sedangkan pada siklus kedua perlakuan biochar lebih tinggi 56% dibanding tanpa biochar. Dengan demikian kedua siklus itu menunjukkan bahwa perlakuan biochar lebih baik dibanding tanpa biochar dengan kenaikan 44%. 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% SR (%) 31% Biochar Non-biochar 21% 16.80% 10.80% 1 Siklus 2 Bagan 1. Pengaruh biochar terhadap kelangsungan hidup larva bandeng. Perlakuan biochar menghasilkan SR yang lebih tinggi. Perbaikan kelangsungan hidup terjadi juga pada praktek sebelumnya pada percobaan pendahuluan pemeliharaan ikan nila (Ibnu Sahidhir, tidak dipubikasikan). Percobaan pendahuluan biochar batok kelapa telah dilakukan untuk pemeliharaan benih ikan nila hitam tanpa ganti air selama 24 hari. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa DO pada treatment arang sebesar 3,1 ppm, sedangkan tanpa arang 2,6 ppm. Pada akhir percobaan diperoleh SR 94% untuk treatment biochar dibandingkan dengan 74% pada perlakuan tanpa biochar (percobaan tanpa ulangan). Keberhasilan ini didukung oleh berhasilnya biochar untuk memperbaiki kualitas air. Kepadatan nener yang lebih tinggi pada perlakuan biochar tidak membuat kualitas air pada biochar lebih buruk dibanding non-biochar. Pada variable tertentu seperti alkalinitas dan total koloni vibrio hijau bahkan kondisinya lebih baik. Pada bidang pertanian biochar terbukti memperbaiki BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 20 kualitas tanah dan nutriennya sehingga meningkatkan produksi dan kesehatan tanaman (Blackwell et al., 2008; Chan and Xu, 2008). Kualitas Air Bila dilihat dari pengukuran kualitas air, secara umum perlakuan biochar belum dapat menunjukkan perbedaan secara statistik karena inkonsistensi hasil, yang ditunjukkan dengan besarnya standar deviasi pada masing-masing variabel. Namun demikian perbedaan ditunjukkan oleh nilai alkalinitas dan total bakteri vibrio koloni green. Alkalinitas lebih tinggi pada biochar (76.4+14.9 ppm) dibandingkan non-biochar (76+16 ppm). Sedangkan jumlah koloni vibrio green pada perlakuan biochar (4+8.9 ppm) lebih rendah dari perlakuan non biochar (8+8.37ppm). Tabel 1. Kualitas air pada perlakuan biochar dan non-biochar NonVariabel biochar Komparasi Biochar Signifikansi NH3-TAN (ppm) NO2 (ppm) 1.186+0.995 0.275+0.22 < > 1.225+1.02 0.236+0.2 Tak berbeda nyata Tak berbeda nyata Fe (ppm) 0.158+0.13 > 0.112+0.12 Alkalinitas (ppm) 76+16 > 76.4+14.9 Tak berbeda nyata Biochar lebih tinggi < 54.9+34.1 Tak berbeda nyata < 13,144+20,751 Tak berbeda nyata Bahan Organik Total (ppm) 52.5+33 TBU (Total Bakteri Umum) (cfu/ml) 6,820+5,551 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 21 TBV (Total Bacterial Vibrio)-Yellow (cfu/ml) 1,252+2,047 TBV (Total Bacterial Vibrio)-Green (cfu/ml) 8+8.37 > 806+1,454 > 4+8.9 Tak berbeda nyata Biochar lebih rendah Semakin padat ikan maka limbah kotoran dan pakan semakin banyak. Kepadatan nener yang lebih tinggi pada perlakuan biochar tidak membuat kualitas air pada biochar lebih buruk dibanding non-biochar. Ini berarti biochar mampu menyerap limbah yang timbul lebih banyak dari jumlah biomassa nener bandeng yang lebih banyak. Selain menyerap bahan organic biochar bagian luar yang terkondisikan secara aerobic, gelap dan terlindung dari cahaya dapat menjadi tempat bagi berlangsungnya nitrifikasi. Sedangkan, kondisi anaerobic di bagian dalam biochar akan merangsang terjadinya denitrifikasi (Thies and Rillig, 2008). Terjadinya denitrifikasi secara tersirat ditunjukkan oleh tingginya alkalinitas. Denitrifikasi mengembalikan karbonat yang hilang dari proses nitrifikasi sehingga meningkatkan kembali nilai alkalinitas (Crab et al., 2007). Biochar menyerap racun yang dikeluarkan bakteri pathogen (Thies and Rillig, 2008). Penurunan vibrio koloni hijau menunjukkan kemampuan biochar untuk menekan bakteri pathogen, walaupun konsentrasi vibrio berkoloni hijau belum berpotensi pathogen. Vibrio koloni hijau terkenal sebagai bakteri yang sering menjangkiti hewan air (Lavilla-Pitogo et al., 1998). Pertumbuhan Perbedaan pertumbuhan antara biochar dan non biochar tidak berbeda nyata, walaupun rata-rata cenderung meninggikan perlakuan non-biochar. 2.5 Pertumbuhan panjang (cm) 2 1.5 1 0.5 1.85 1.55 Non-biochar Biochar 0 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 22 Ikan dapat memakan flok yang berisi limbah organic dan mikroba menjadi nutrisi tambahan (Azim et al., 2008). Ukuran mulut larva yang kecil menjadikan flok cocok untuknya. Banyaknya mikropori dalam biochar menyebabkannya dapat menyerap banyak bahan organic terlarut (Smernik, 2008). Lebih banyaknya bahan organic total yang diserap oleh biochar menurunkan jumlah flok detritus yang bisa dikonsumsi oleh larva. Dengan demikian perlakuan memperoleh asupan pakan daur ulang yang lebih sedikit per individu ikan. KESIMPULAN Pemberian biochar dapat meningkatkan kelangsungan hidup mendekati 505 relatif terhadap control. Dari hasil percobaan menunjukkan bahwa sebagian besar variable kualitas air tidak berbeda nyata. Kelangsungan hidup yang lebih tinggi menyebabkan limbah lebih banyak, tapi dengan biochar limbah dapat ditekan dan disejajarkan dengan perlakuan dengan kepadatan rendah . Ada dua variable kualitas air yang lebih baik dibanding kontrol yakni alkalinitas dan total vibrio green. Ini menyiratkan bahwa biochar dapat menekan bakteri pathogen dan meningkatkan denitrifikasi. DAFTAR PUSTAKA Atlas, R.M., Bartha, R., 1998. Microbial Ecology: Fundamentals and Applications, 4th ed. Benjamin/Cummings Science Publishing, California, USA. Azim, M.E., Little, D.C., Bron, J.E., 2008. Microbial protein production in activated suspension tanks manipulating C:N ratio in feed and the implications for fish culture. Bioresour. Technol. 99, 3590–3599. Blackwell, P., Joseph, S., Riethmuller, G., Collins, M., 2008. Biochar Application to Soil, in: Lehmann, J. (Ed.), Biochar for Environmental Management: Science and Technology. Earthscan, London, UK, pp. 289–300. Chan, K.Y., Xu, Z., 2008. Biochar: Nutrient Properties and Their Enhancement, in: Lehmann, J., Joseph, S. (Eds.), Biochar for Environmental Management: Science and Technology. Earthscan, London, UK, pp. 67– 84. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 23 Crab, R., Avnimelech, Y., Defoirdt, T., Bossier, P., Verstraete, W., 2007. Nitrogen removal techniques in aquaculture for a sustainable production. Aquaculture 270, 1–14. Defoirdt, T., Boon, N., Sorgeloos, P., Verstraete, W., Bossier, P., 2007. Alternatives to antibiotics to control bacterial infections: luminescent vibriosis in aquaculture as an example. Trends Biotechnol. 25, 472–479. FAO, 2003. Health management and biosecurity maintenance in white shrimp (Penaeus vannamei) hatcheries in Latin America (No. 450), FAO Fisheries Technical Paper. FAO, Rome, Italy. Hirunpraditkoon, S., Tunthong, N., Ruangchai, A., Nuithitikul, K., 2011. Adsorption Capacities of Activated Carbons Prepared from Bamboo by KOH Activation. World Acad. Sci. Eng. Technol. 54, 711–715. Lavilla-Pitogo, C.., Leaño, E.., Paner, M.., 1998. Mortalities of pond-cultured juvenile shrimp, Penaeus monodon, associated with dominance of luminescent vibrios in the rearing environment. Aquaculture 164, 337– 349. Marsh, H., Rodríguez-Reinoso, F., 2006a. Chapter 4 - Characterization of Activated Carbon, in: Marsh, H., Rodríguez-Reinoso, F. (Eds.), Activated Carbon. Elsevier Science Ltd, Oxford, pp. 143–242. Marsh, H., Rodríguez-Reinoso, F., 2006b. Chapter 2 - Activated Carbon (Origins), in: Marsh, H., Rodríguez-Reinoso, F. (Eds.), Activated Carbon. Elsevier Science Ltd, Oxford, pp. 13–86. Miura, A., Shiratani, E., Yoshinaga, I., Hitomi, T., Hamada, K., Takaki, K., 2007. Characteristics of the Adsorption of Dissolved Organic Matter by Charcoals Carbonized at Different Temperatures. JARQ 41, 211– 217. Skjermo, J., Saivesen, I., Oie, G., Olsen, Y., Vadstein, O., 1997. Microbially matured water: a technique for selection of a non-opportunistic bacterial flora in water that may improve performance of marine larvae. Aquac. Int. 5, 13–28. Smernik, R.., 2008. Biochar and Sorption of Organic Compounds, in: Lehmann, J., Joseph, S. (Eds.), Biochar for Environmental Management: Science and Technology. Earthscan, London, UK, pp. 289–300. Thies, J.E., Rillig, M.C., 2008. Characteristics of Biochar: Biological Properties, in: Lehmann, J., Joseph, S. (Eds.), Biochar for Environmental Management: Science and Technology. Earthscan, London, UK, pp. 85–106. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 24 DISEMINASI TEKNOLOGI BUDIDAYA NILA SALIN, SEBUAH PENDEKATAN KEMANDIRIAN USAHA YANG BERKELANJUTAN Hasanuddin, Muslim, Michael A. Rimmer, Ibnu Sahidhir Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee Jl. Krueng Raya Km. 46 Banda Aceh Nangroe Aceh Darussalam PO BOX 46 ABSTRACT BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 25 The low production of shrimp from farms in Aceh is caused by disease in black tiger shrimp farming. In addition, the cultivation of milkfish is limited to certain areas. Because of these limitations, coastal pond farmers need to turn to other livelihoods. Through ACIAR project FIS/2007/124 Diversification of smallholder coastal aquaculture in Indonesia, Centre for Brackishwater Aquaculture Development Ujung Batee has been introducing brackishwater tilapia aquaculture production to ponds in Samalanga district and Lhokseumawe city. The project originally used a pilot pond dissemination approach, but technology adoption by farmers with this method was low. The project then changed to a dempond approach and with the support of production inputs to farmers. It appears that this method to enhances the adoption of brackishwater tilapia culture by farmers in the area. This approach was further modified to initiate seed production at farmers level through the establishment of saline tilapia nurseries. Tilapia nurseries have been established at four locations with number of male broodstock 470 pcs and female broodstock 840 pcs. These nurseries have produced a total of 1.918.900 pcs of tilapia seedstock, which have been sold to farmers wishing to adopt brackishwater tilapia culture. As many as 79 farmers are now growing out brackishwater tilapia across 14 locations in seven districts / towns in Aceh. Through this approach the dissemination is more effective, efficient and sustainable. These business are now running independently, due to good selling prices for brackishwater tilapia combined with relatively cheap production costs. KEYWORD :dissemination, brackishwater tilapia, Aceh PENDAHULUAN Permasalahan rendahnya produksi tambak di Aceh yang diakibatkan oleh produksi udang menurun akibat penyakit dan produksi ikan bandeng yang terbatas pada daerah tertentu, Sehingga intensitas pembudidaya semakin rendah di tambak, produksi ikan semakin menurun, dan masyarakat yang hidupnya di BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 26 pesisir pantai ketergantungan ekonominya pada produksi tambak juga mengalami penurunan dan telah beralih ke mata pencaharian lainnya. Melalui proyek ACIAR project FIS/2007/124 Diversification of smallholder coastal aquaculture in Indonesia, Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee, mencoba mengintroduksikan kegiatan produksi budidaya nila salin di tambak di Kecamatan Samalanga desa Arongan dan Kota Lhok-seumawe Desa Bayu, pada tahun 2008-2009 dengan metode pendekatan diseminasi tambak percontohan, dimana pada tahun 2008 Proyek ACIAR mencoba mengenalkan Nila Merah (Oreochromis niloticus), respons pembudidaya sangat rendah, akibat pasar lokal belum menyukai ikan nila merah, khususnya pasar lokal Aceh, kemudian pada tahun 2009, mencoba mengintroduksikan ikan nila hitam, yang sumber benihnya dari lokal Aceh, respons pasar mulai diminati, walaupun secara umum masyarakat aceh lebih menyukai ikan mujair (Oreochromis mossambicus), yang hidupnya di air payau. Pada tahun 2010 – 2011, pendekatan kegiatan diseminasi melalui denpond dan memberikan dukungan input kepada beberapa pembudidaya, dengan benih ikan bersumber dari BBPBAT Suka Bumi, hasil yang diperoleh, masyarakat semakin responsif terhadap kegiatan budidaya nila salin, karena ikan nila dapat hidup ditambak pada kisaran salinitas sampai dengan 20 permill, cepat besar, dan sangat efisien pakan (Romana-Eguia and Eguia, 1999; Stickney, 1986). Ikan Nila dapat memakan berbagai jenis tanaman air, khususnya hidrilla, lumut, dan rumput di dalam tambak, dan permintaan pasar mulai meningkat, respon pembudaya ikan nila salin di tambak semakin meningkat. Sehingga menimbulkan permasalahan baru, yaitu kekwatiran terhadap proses cross breeding ikan nila gesit dengan spesies lokal ikan mujair, dan keterbatas ketersedian benih ikan nila gesit salin, karena bila mengandalkan benih ikan nila gesit yang bersumber dari sukubumi menghadapi permasalahan tingkat mortalitas akibat transportasi dan perawatan/adaptasi benih sangat tinggi dan biaya operasional semakin tinggi juga, sehingga BBAP Ujung Batee Melalui Proyek ACIAR No. FIS/ 124/2007 ini menginisiasi kembali untuk menghadapi permasalahan tersebut dengan mencoba memperkenalkan Nursery Farm Nila Gesit sebagai Metode Pendekatan Peningkatan Produksi Ikan Nila Di Aceh di beberapa titik/lokasi untuk mengantisipasi permasalahan tersebut di atas mulai tahun 2012. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mempersingkat akses ketersedian benih ikan nila salin pada kawasan budidaya yang berpotensi terhadap produksi BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 27 ikan nila salin di tambak, meningkatkan kwanlitas dan kwalitas produksi benih ikan nila di Aceh, dan meningkatkan produksi ikan nila di tambak. Manfaat dari kegiatan ini adalah budidaya ikan nila salin dapat menjadi spesies alternative yang produktif, efektif, effisien, menguntungkan dan ramah lingkungan di tambak. BAHAN DAN METODE Identifikasi Lokasi dan Pelaku Nursery Farm Sebelum menetapkan lokasi dan pelaku nursery, perlunya ditetapkan kriteria calon lokasi dan pelaku nursery farm sebagai berikut: 1. Lokasi /areal kolam air tawar yang dekat/mudah akses dengan tambak air payau atau dalam kawasan tambak air payau. 2. Sebelumnya telah/pernah melakukan kegiatan produksi benih. 3. Mempunyai keinginan yang kuat untuk berusaha produksi benih nila 4. Mempunyai beberapa kolam budidaya (kolam induk minimal 2 kolam, dan kolam pendederan minimal 2 kolam). 5. Status lahan milik sendiri untuk kegiatan perorangan dan atau sewa minimal 3 tahun, untuk kegiatan yang berkelompok. 6. Lokasi nursery farm tidak saling berdekatan satu lokasi dengan lokasi lainnya. Distribusi Induk Setelah dilakukan penentuan lokasi dan calon pelaku kegiatan nursery farm, dilakukan pengadaan calon induk ikan nila gesit dan sultan yang akan dibagikan ke beberapa lokasi dengan jumlah induk dan perbandingan induk jantan dan betina (tabel 1), walaupun berdasarkan refensi perbandingan induk jantan dan betina 1:3. Tabel 2. Lokasi Distribusi Calon Induk Lokasi Kabupaten, Kecamatan Desa Bireun, Samalanga Kota Langsa Bireun, Jangka Aceh Tamiang Arongan P. Naleung Matang Seuping Jumlah Distribusi Induk Gesit Sultana (Ekor) (Ekor) 180 240 120 180 70 170 100 250 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 Sex Ratio 1 : 1,33 1 : 1,50 1 : 2,43 1 : 1,25 28 Untuk lebih jelas jangkauan jarak wilayah ditribusi induk di beberapa lokasi dapat digambar dalam gambar 1 berikut ini. Gambar 1. Peta Distribusi induk ikan nila salin Peningkatan Kapasitas Untuk mencapai keberhasil produksi benih ikan nila salin di tiap lokasi nursery farm, dalam upaya meningkatkan kapasitas pelaku nursery farm, BBAP Ujung Batee menyediakan pelatihan teknis lapangan dengan tenaga ahli dari BBBAP Sukabumi dan secara regular bantuan teknis didampingi oleh staff BBAP Ujung batee yang berkompeten dibidangnya. Dengan beberapa topik penting yang harus disampaikan dalam pelaksanaan kegiatan Diseminasi teknologi pendekatan nursery farm tilapia salin yakni seleksi induk, pemeliharaan induk, sistem perkawinan, metode panen larva, metode perawatan larva, penggelondongan dan panen. Secara regular BBAP Ujung Batee mendampingi secara teknis setiap 2 minggu sekali, melalui kunjungan lapangan tim teknis untuk meningkatkan kapasitas pelaku (operator) nursery farm tilapia salin, bersamaan dengan monitoring kemajuan dan evaluasi kegiatan untuk mengiventarisasi dan solusi permasalahan yang dihadapi oleh pelaku nursery farm. Pengumpulan data dan Distribusi Benih BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 29 Pengumpulan data distribusi benih dilakukan dengan cara membuat format buku yang disediakan di tiap-tiap lokasi nursery farm yang harus di isi oleh operator nursery farm setiap transaksi penjualan benih, yang berisi, jumlah benih yang dijual, harga satuan, lokasi budidaya (desa, kecamatan, kabupaten) serta nomor kontak. Hal ini diperlukan untuk memudahkan mendapatkan informasi jumlah produksi benih yang terjual dan informasi sebaran lokasi pembudidaya. Untuk mengetahui peta sebaran benih dan effektifitas serta efesiensi kegiatan nursery farm benih nila salin terhadap tujuan diseminasi teknologi, dilakukan survey dampak kegiatan diseminasi teknologi melalui observasi lapangan dengan pembagian quisioner dan pengambilan titik koordinat posisi lokasi budidaya untuk setiap pembeli benih dari nursery farm. Analisis Data Data yang diperoleh berdasarkan buku distribusi benih dari operator nursery farm di rekapitulasi berdasar kabupaten dan kecamatan dengan menggunakan komputer program excel dan dilakukan pengolahan peta distribusi benih dengan menggunakan program GIS. Selanjutnya dilakukan survey dampak kegiatan diseminasi teknologi melalui pendistribusian quisioner, data yang diperoleh berdasarkan quisioner, dikompilasi dan direkapitulasi dengan komputer program excel dan pengolahan data dengan program SPSS versi 16. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Benih Lokasi nursery farm Arongan Samalanga Selama periode agustus sampai dengan Desember 2012, jumlah produksi benih nila terjual sebanyak 242.000,- ekor benih, sedangkan periode tahun 2013 sebanyak 165.800 ekor, dan memasuki Desember 2013 sampai Februari 2014 (Bagan 1.), jumlah permintaan benih meningkat drastis, yang BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 30 dapat disebabkan oleh musim hujan dan meningkatnya sosialisasi budidaya nila di tambak. Harga benih adalah Rp. 120-150 (tergantung ukuran). 300 250 200 Jumlah ribu (ribu ekor) 150 100 50 0 Bagan 3. Jumlah Produksi Benih di Nursery Farm Arongan Samalanga, Periode Agustus 2012 sampai dengan Februari 2014. Lokasi nursery farm Pulo Naleng Dilokasi Pulo Naleng, jumlah permintaan bibit lebih stabil setiap bulan selama periode tahun 2013 (Bagan 2.), hal ini didukung bahwa lokasi Pulo Naleng merupakan lokasi existing pendederan ikan nila dan mujair sebelumnya, sehingga dengan masuknya dukungan teknis dan induk dari BBAP Ujung batee, dapat menambah kepercayaan masyarakat terhadap kulaitas benih yang dihasilkan melalui pembuktian oleh mereka sendiri diperoleh hasil bahwa ikan nila gesit yang didistribusikan oleh BBAP Ujung Batee ukuran lebih seragam dan lebih cepat tumbuh, dibandingkan benih ikan nila yang mereka budidayakan sebelumnya. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 31 250 200 150 Jumlah (ribu ekor) 100 50 0 Bagan 4Jumlah Produksi Benih Nila Lokasi nursery farm Puloe Naleung, Jangka, Lokasi Nursery farm Kota Langsa Produksi benih dilokasi nursery farm di Kota Langsa, pada umumnya terdistribusi ke wilayah Aceh Tamieng, walaupun dalam proses pemeliharaannya memerlukan proses adaptasi terhadap salinitas yang lebih sesuai dengan kondisi dilapangan di Matang Sepieng, distribusi benih bulanan sepanjang tahun 2013 terlihat lebih stabil (Bagan 3.). Harga benih adalah Rp. 120 – 150 (Tergantung ukuran). BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 32 80 70 60 50 Jumlah (ribu ekor) 40 30 20 10 0 Bagan 5. Jumlah produksi benih nila lokasi nursery farm Kota Langsa, Periode November 2012 sampai dengan Desember 2014. Lokasi nursery farm Aceh Tamieng Lokasi nursery farm Aceh Tamieng, dimulai kegiatan pada bulan November tahun 2013, selama selama 5 bulan menghasilkan benih 337.000 ekor, dengan puncak permintaan paling tinggi pada bulan maret 2014, yang masih mengalami hujan, sehingga permintaan benih nila sangat tergantung pada musim hujan, rincianjumlah penjualan benih selama periode November 2013 sampai dengan bulan Maret 2014 dapat dilihat pada Bagan 4. dibawah ini. Harga benih adalah Rp.200-250 tergantung ukuran. 200 150 Jumlah (ribu ekor) 100 50 0 Nov 2013 Jan 2014 Febuari 2014 Maret 2014 Bagan 6. Jumlah produksi benih nila lokasi nursery farm Matang Seuping Aceh Tamieng Periode November 2013 sampai dengan Maret 2014 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 33 Distribusi Benih dan Adopsi Budidaya Nila Salin. Dari empat lokasi nursery farm, dalam pelasanaan kegiatan diseminasi teknologi, telah terdistribusi informasi budidaya ikan nila salin ke 15 lokasi budidaya dengan rincian wialayah distribusi sebagaimana dalam Tabel 2 berikut ini. Dari tabel tersebut terlihat proses perluasan penyebaran informasi teknologi yang sangat luas, bila dibandingkan dengan pendekatan diseminasi teknologi model tambak percontohan dan pembagian input budidaya, sehingga pendekatan nursery farm terlihat lebih efektif dan efisien dalam upaya peyebaran informasi teknologi yang mandiri dan berkelanjutan, sehingga dapat meningkatkan produksi perikanan budidaya, untuk lebis jelas gambaran jangkaun ditribusi benih dan adopsi budidaya ikan nila salin dari masing masing lokasi nursery farm, dapat dilihat pada peta sebaran distribusi benih dan adopsi budidaya ikan nila pada gambar 2,3, 4 beriku ini. Tabel 3. Wilayah Distribusi Benih Lokasi Nursery Farm Arongan Samalanga Wilayah Distribusi Benih 1. Matang Seping, Aceh Tamieng 2. Peuntuet Aceh Utara 3. Pasi Lhok Pidie 4. Lueng Putu Pidie Jaya 5. Jangka, dan Sekitar Samalanga Bireun 6.Banda Aceh,Aceh Besar Puloe Naleng, Jangka 1. Sampoinet Aceh Utara 2. Km 41, Bener Meriah 3. Krueng Juli, Monklayu, Bugak, Beurawang, Kareung dan Tanoh Anoe,sekitar Bireuen. 4.Banda Aceh 5.Aceh Besar 6.Julok,Aceh timur 7. Aceh Barat 8.Sigli 1. Matang Seping, Tamieng Jl. Alue Jreng Gampung Batee Puteh, 2. Kota Langsa Sekitarnya Kec. Langsa Lama, Kota Langsa. Aceh Tamiang, Matang Seuping Kawasan Matang Seuping dan Sekitarnya. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 34 Gambar 2. Peta citra satelit sebaran wilayah distribusi benih ikan nila di wilayah samalanga Gambar 3. Peta distribusi benih dan adopsi budidaya nila salin dari Pulo Naleung BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 35 Gambar 4. Peta citra satelit wilayah distribusi benih ikan nila di wilayah Matang Seuping Aceh Tamieng Estimasi Penjualan Hasil Produksi Ikan Berdasarkan perhitungan secara garis besar terhadap tingkat produktifitas ikan nila dan putaran incame dilingkungan masyarakat, selama periode kegiatan diseminasi teknologi budidaya ikan nila agustus tahun 2012 – april 2014, diperoleh hasil benih 1.918.900 ekor, terditribusi ke pembudidaya ikan sehingga menghasilkan estimasi total produksi sekitar 239.863 kg ikan nila dengan estimasi SR 75 dan ukuran ikan jual size 6 ekor/ kg ikan, sehingga dengan prediksi harga hasil survey rata rata Rp. 17.000,- /kg ikan, maka dapat di hitung putaran incame di masyarakat dari kegiatan budidaya ikan nila lebih kurang Rp. 4.077.662.500,- (Tabel 3.). Hal ini menunjukan hasil yang sangat mendukung meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 36 Tabel 4. Estimasi tingkat produktifitas ikan nila dan putaran income kepada masyarakat Jumlah produksi benih perlokasi nursery farm Jumlah Produksi benih (ekor) Lokasi Arongan Samalanga (agustus 2012 s/d februari 2014) 717.300 Lokasi Pulo Naleng Jangka (Januari 2013 s/d April 2014) 581.600 Lokasi Kota Langsa (November 2012 s/d Desember 2013) 283.000 Lokasi Matang Seuping (November 2013 s/d Maret 2014) 337.000 Jumlah total produksi ke 4 lokasi nursery farm (ekor) 1.918.900 Tingkat Survival Rate Rata-rataKegiatan budidaya 75% 1.439.175 Biomass dengan Size Produksi Rata-rata 6 ekor/kg Penjualan (Harga Satuan Jual Rata-rata Rp. 17.000) 239.863 4.077.671.000 Dampak diseminasi teknologi nursery farm Berdasarkan sebaran distribusi benih yang teridentifikasi secara jelas lokasi budidaya, dilakukan survey lanjutan dampak dari kegiatan nursery farm tilapia salin ke empat lokasi yang telah dilakukan pendekatan diseminasi teknologi, melalui interview dengan quisioner 26 pembudiaya dari 76 pembudidaya dari 6 kabupaten wilayah distribusi diperoleh hasil gambaran pembudidaya sebagai berikut : Kondisi umum pembudidaya ikan nila Pelaku pembudidaya ikan nila pada umumnya berumur berkisar antara 31 – 40 tahun, dimana level umur tersebut termasuk kedalam katogori pembudidaya produktif dan masih mudah menerima informasi baru, dengan tingkat pendidikan rata-rata SMP dan SMA, berdasarkan dari hasil survey tersebut menunjukan bahwa pekerjaan utama pelaku budidaya nila salin sebagai sumber pendapatannya adalah 54 % sebagai pembudidaya ikan, dan 11 % persen sebagai pedangang ikan, artinya adopsi teknologi budidaya nila salin BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 37 melalui pendekatan nursery farm tercapai target kepada mayoritas pembuddiaya perikanan untuk lebih jelas gambaran umum kondisi pekerjaan utama pelaku budidaya ikan nila salin yang mengadopsi teknologi adalah sebagai berikut Bagan 5.). Pekerja perikanan 8% Guru 4% Mekanik Listrik 4% Pegawai lainnya 8% Pembudidaya perikanan 54% Tukang Bangunan 11% Pedagang ikan 11% Bagan 7 Persentase pekerjaan utama pembudidaya ikan nila salin yang mengadopsi teknologi Sumber benih dan pasar ikan nila Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa keberadaan nursery farm dilapangan sangatlah membantu dalam mempermudah akses transportasi yang lebih dekat sehingga dapat mempengaruhi kualitas benih yang lebih baik, serta tingkat ketersediannya lebih pasti, hal ini terlihat dari jumlah persentase sumber benih ikan nila yang digunakan ole pembudidaya perikanan adalah menyebar merata dari keempat lokasi pengembangan nursery farm benih ikan nila (Bagan6.) Karena lokasi nursery farm berlokasi disekitar kawasan budidaya berdampak terhadap tingkat adopsi teknologi yang lebih tinggi karena akses transportasi dan kualitas benih lebih terjamin dan kepercayaan terhadap kualitas benih lebih tinggi karena ada pendampingan teknis oleh instansi teknis BBAP Ujung Batee. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 38 Benih masyarakat tanpa binaan 6% BBAP Ujung Batee 21% Langsa 21% Pulo Naleung 32% Samalanga 20% Bagan 8. Persentase sumber ketersedian benih nila salin. Produksi ikan nila salin yang dihasilkan oleh pembudidaya, pemasaran hasilnya sangat besar persentasenya diserap oleh pengumpul ikan lokal sekitar 65 %, (Bagan 7. ) sehingga hasil produksi sangat terjamin pemasarannya, yang dapat menyebabkan harga jual ikan lebih stabil, berdasarkan hasil survey harga penjualan ikan stabil pada harga Rp. 17.000,-/kg (Bagan 8.). Pasar ikan tradisional 23% Konsumsi lokal 12% Pengumpul ikan lokal 65% Bagan 9. Pemasaran ikan Nila BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 39 14 12 Harga tinggi 10 8 6 4 2 0 Prices Bagan 10. Frekuensi harga jual ikan Keuntungan dan kendala pemeliharaan ikan nila Bagan 9. berikut ini menunjukkan persepsi pembudidaya ikan terhadap adopsi teknologi budidaya ikan nila, terlihat secara berurutan paling banyak komentarnya adalah bahwa budidaya ikan nila dapat menguntungkan, biaya murah, budidaya mudah, masa budidaya lebih cepat, harga lebih tinggi dari bandeng, meningkatkan produktifitas, pasar bagus, penyakit kurang. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 40 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 profitable low cost easy to culture fast growing higher price increasing productivity good market less diseases no comment Bagan 11. Persepsi pembudidaya terhadap keuntungan budidaya ikan Nila. Sedangkan kendala-kendala dalam pemeliharaan ikan nila dapat digambarkan pada Bagan 10., yang menunjukkan bahwa kendala terhadap budidaya ikan nila yang disebabkan oleh faktor teknis yang dapat dan sangat mudah di antisipasi dan dikendalikan, sehingga perlunya perlunya sharing informasi antara pembudidaya sangat diperlukan untuk menghindari permasalahan seperti pertumbuhan kelekap, pertumbuhan lambat, suhu rendah, salinitas tinggi, banjir, pemangsa, penyakit serta pencurian. 0 1 2 3 4 5 6 7 lab-lab overgrowth slow growth low temperature high salinity flood predator diseases stealing no problem no comment BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 41 Bagan 12. Kendala budidaya ikan Nila KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Diseminasi teknologi melalui nursery farm dapat menjadi sebuah pendekatan yang efektif dan efisien melalui penyediaan benih yang berkualitas yang dapat meningkatkan garansi keberhasilan budidaya kepada pembudidaya sehingga meningkatkan produksi perikanan yang mandiri dan berkelanjutan. 2. Poin kunci diseminasi adalah : Bantuan teknis, fasilitasi yang cukup, garansi kualitas benih, pembudidaya melakukan sendiri, and supervisi serta recording. 3. Sebagai Opsi budidaya tambak selain udang dan bandeng. 4. Melalui nursery farm dapat memfasilitasi adopsi teknologi antar pembudidaya dan pembelajaran oleh meraka sendiri sehingga lebih mandiri dan berkelanjutan. Saran 1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut dampak budidaya ikan nila terhadap kualitas lingkungan. 2. Perlunya dilakukan adopsi pengembagan yang jumlahnya lokasinya dan intesitas pendampingan yang lebih banyak terhadap pembudidaya ikan, untuk mempercepat peningkatan produksi perikanan budidaya. DAFTAR PUSTAKA Romana-Eguia, M.R.R., Eguia, R.V., 1999. Growth of five Asian red tilapia strains in saline environments. Aquaculture 173, 161–170. Stickney, R.R., 1986. Tilapia Tolerance of Saline Waters: A Review. Progress. Fish-Cult. 48, 161–167. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 42 RANCANG BANGUN PEMANAS AIR SEDERHANA PADAPEMBESARAN IKAN SIDAT (Anguilla marmorata) DI BBAT TATELU Iman Sudrajat, Dede Sutende, Suradi Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Tatelu ABSTRACT Water temperature affects the speed of a chemical reaction media both outside and inside the body fluids of fish which are cold-blooded animals that metabolism in the body depends on the temperature of its environment. large fluctuations in water temperature will affect the metabolic system. Eel can adapt to the temperature of 12-31 ° C but the eel (Anguilla marmorata) requires an optimal temperature in aquaculture in order to support the growth tends to be slow. One assumption of the slow growth of eel is a low water temperature that can affect appetite and the potential emergence of disease. This activity aims to increase the value of the temperature of the water in the tub eel enlargement treatment. The water heater is needed on the location of the source water is abundant but low temperature. Range of water temperatures in BBAT Tatelu is 22-25 ° C. Stages ofdesignbeginswithmakingthe systemblock diagramworkingwater heaterwitheasy operationanddetailingbudgetin order to geta low costcompared tosimilarproductionequipmentmanufacturer. The results of the application of a fairly good impact in supporting the breeding of eel. During the maintenance period, the seed eel is not susceptible to disease and stable appetite. The resulting temperature can be adjusted with the desire by the addition of a tool that serves to break the current microcontroller when the temperature reaches the desired limits so as to save energy and prevent overheating in the media . The resulting temperature range that is: For 1 ton of water with initial temperature of 25 ° C takes about 2 hours to produce a water temperature of 28 ° C. As for the range of costs necessary to make the prototype water heater is about IDR 3 million and could be reduced if mass production. Specifications tools: 450 watts of power, discharge: 25 liters / min. KEYWORDS : eel, water heater BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 43 PENDAHULUAN Banyak faktor yang bisa mempengaruhi organisme dalam melakukan aktivitasnya semisal pengaruh dari luar seperti lingkungan, dan pengaruh dari dalam yang berasal dari organisme itu sendiri. Salah satu faktor lain yang mempengaruhi aktivitas organisme adalah suhu dimana suhu mempunyai rentang yang dapat ditolelir oleh setiap jenis organisme. Suhu air mempengaruhi kecepatan reaksi kimia lingkungan maupun cairan dalam tubuh ikan sehingga metabolisme dalam tubuhnya tergantung pada suhu lingkungannya. suhu perairan yang berfluktuasi besar akan berpengaruh pada sistem metabolisme. Ikan sidat dapat beradaptasi pada suhu 12 - 31°C namun ikan sidat (Anguilla marmorata) membutuhkan suhu optimal dalam budidaya agar mendukung pertumbuhannya yang cenderung lambat. Salah satu faktor pertumbuhan ikan sidat adalah jika suhu air rendah dapat mempengaruhi nafsu makan dan potensi munculnya penyakit. Pemanas air dibutuhkan pada lokasi yang sumber airnya melimpah tetapi bersuhu rendah dimana kisaran suhu air di BPBAT Tatelu adalah 22 – 25°C. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan nilai suhu air pada bak treatment pembesaran benih ikan sidat. BAHAN DAN METODE Bahan yang diperlukan adalah pipa paralon, knee, tee, dop, over sock, lem silikon, lem pipa, cable ties, cutter, kabel, isolasi, tubular bobbin element, pompa celup, selang pompa, klem pipa. Alat yang digunakan adalah bor lisrik, tang, obeng, gunting, cutter, gergaji, alat tulis, microcontroller. Kegiatan telah dilaksanakan di Balai Budidaya Air Tawar Tatelu. Pelaksanaan kegiatan selama tiga bulan dimulai dari bulan Januari dan berakhir pada bulan April tahun 2014. Perancangan dimulai dengan membuat lay out dan diagram blok sistem kerja pemanas air dengan operasional yang mudah dan merinci anggaran agar didapatkan biaya yang murah dibandingkan peralatan sejenis produksi pabrikan. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 44 Gambar 1. Lay out heater sederhana dan cara kerjanya Gambar 2. Diagram Blok Mikrokontroller HASIL DAN PEMBAHASAN Kisaran suhu yang dihasilkan untuk 1 ton air dengan suhu awal 25°C membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menghasilkan suhu air 28°C. Sedangkan untuk kisaran biaya yang diperlukan untuk membuat prototipe pemanas air ini berkisar 3 juta rupiah dan dapat ditekan jika sudah dilakukan penyederhanaan dan penyempurnaan. Spesifikasi alat : daya 450 watt, debit : 25 liter /menit. Dimensi unit : Panjang 133 cm, Lebar 40 cm, Tinggi 43 cm. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 45 Gambar 3. Unit pemanas air sederhana Gambar 4. Suhu yang dihasilkan setelah 2 jam Gambar 4. Suhu yang dihasilkan setelah 2 jam Hasil penerapan memberi dampak yang cukup baik dalam menunjang pemeliharaan ikan sidat. Selama masa pemeliharaan, benih sidat tidak mudah terserang penyakit dan nafsu makan stabil sehingga SR mencapai 80%. Sebagai pembanding yakni pada pemeliharaan sebelumnya tanpa penggunaan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 46 heater benih memiliki nafsu makan yang rendah sehingga pertumbuhan cenderung lambat serta tingkat kematian sangat tinggi. Suhu yang dihasilkan oleh pemanas air ini dapat disesuaikan dengan keinginan dengan adanya penambahan alat mikrokontroller yang berfungsi memutus arus jika suhu mencapai batas yang diinginkan sehingga dapat menghemat energi dan mencegah terjadinya panas berlebih pada media pemeliharaan. Selain itu, pemanasan air secara massal tentunya sangat efisien dibanding pemanasan air menggunakan heater celup pada tiap bak. Gambar 5. Unit Mikrokontroller Gambar 5. Unit Mikrokontroller KESIMPULAN Dengan aplikasi pemanas air sederhana pada bak treatment dapat meningkatkan nilai suhu air pada bak treatment. SARAN Masih perlu dilakukan penyempurnaan dan penyederhanaan baik dari segi bentuk dan ukuran alat maupun penggunaan elemen heater yang lebih sederhana. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 47 DAFTAR PUSTAKA Affandi R, 2010. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Sidat (Anguilla spp) di Indonesia. Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anonim a, 2012. http://carabudidaya.com/cara-budidaya-ikan-sidat/. Download tanggal 18 Mei 2012. Anonim b, 2014. http://www.heatpumpwaterheater.info/pemanasairlistrik.htm. Download tanggal 11 Juni 2014. Anonim c, 2014. http://rezpect-iwak.blogspot.com/2011/07/kualitas-air-ikansidat.html. Download tanggal 11 Juni 2014. Anonim d, 2014. http://sidatkita.blogspot.com/2011/08/suhu-dan-ph-idealuntuk-sidat.html. Download tanggal 11 Juni 2014. Anonim e, 2014. http://www.bibitikan.net/pengaruh-suhu-pada-budidayaikan/.Download tgl 14 Agustus 2014. Bernabe, G., 1990. Aquaculture. Ellvis Hardword Limited., England. 898p. Creutzberg, F., 1961. On the Orientation of Migrating Elvers (Anguilla vulgaris Turt). In a Tidal Area. Netherland J. Sea. Res.,l. 257-338pp. Liviawaty, E. dan E. Afrianto, 1998. Pemeliharaan Sidat. Penerbit Kanasius. Yogyakarta. 134 halaman. Matsui, I., 1972. Eel Biologi – Biological Study. Koseisha-Koseikaku, Tokyo. 527p. Usui, A., 1991. Eel Culture. Second Edition Fishing News Book. A Deviasion of Blackwell Scientific. Oxford. 148p. Yuliani, dan Rahardjo. 2012. Panduan Praktikum Ekofisiologi. Unipress, Universitas Negeri Surabaya: Surabaya. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 48 OPTIMALISASI PRODUKTIVITAS TAMBAK AIR PAYAU DENGAN KARAKTER SALINITAS TINGGI DAN RENDAH OKSIGENMELALUI BUDIDAYA IKAN NILA SALIN (Oreochromis. sp) Dasep Hasbullah a), Sugeng Raharjo a), Jumriadi a),Imran Lapong b), Irwan a) Harnita Agusanty a), Mike Rimmer b,c). a. Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar, Sulawesi Selatan, Indonesia b. Australian Centre for International Agricultural Research Field Support Office, Jl. Urip Sumohardjo No.20, Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia c. Fakultas Ilmu Kedokteran Hewan, Universitas Sydney, 425 Werombi Road, Camden, NSW 2570, Australia ABSTRACT Nile tilpia culture in the ponds as additional commodities beside shrimp and milkfish are proved to give big contribution to comply aquaculture needs when shrimp price decreased that caused by scarcity of seed in the field and disease outbreak in the grow out phase. Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar with Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) in diversification program since 2011 had introducing Nile tilapia seed from some development centre in West Java to distribute to farmers in assisting area. In 2010-2011, three cycles in Pangkep and Maros Districts shows excellent result that can help farmers to increasing their ponds productivity. Constraints were appears in the field such as high salinity (>20 ppt) that minimize their result of nile tilapia cultured by generating high mortality. This condition encourages Balai Budidaya Air Payau Takalar to improve the quality of Nile tilapia who can survive in brackish water as well as in high salinity (nile tilapia saline). In 2010 Balai Budidaya Air Payau Takalar was developing technology of superior nile tilapia by conducting hybridizations of superior nile tilapia that pass testing challenge (Gift and Gesit) with local Nile Tilapia of South Sulawesi (Jabir) who have high tolerant in high salinity and low oxygen. In 2013, the result of saline tilapia hybridizations has been trialed in assisting area. The results was showing that it can survival in high salinity ((> 20 ppt), survival rate (SR) 82%-90% and in semi-intensive pattern FCR value reach to 0,8. KEYWORD : optimizing, brackish water pond, productivity and saline nile tilapia BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 49 PENDAHULUAN Secara umum pemeliharaan/budidaya ikan nila di tambak tidak rumit, ikan nila mampu hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik pada berbagai kondisi dan karakter tambak baik tambak idle, tambak tadah hujan, maupun tambak pasang surut (tambak lanyah), dapat dibudidayakan secara monokultur maupun secara polikultur dengan komoditas bandeng, udang atau komoditas lainnya. Tahun 2011 Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar dan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) telah melakukan ujicoba budidaya nila ni Desa Salenrang Kabupaten Maros untuk menguji Performa empat strain nila yakni Merah, Gesit, Gift dan Nirwana. Sehingga direkomendasikan untuk wilayah Sulawesi Selatan direkomendasikan menjadi strain yang bisa dikembangkan di tambak, walaupun sebenarnya pertumbuhan terbaik ada pada strain nila merah, namun karena nila merah kurang disukai maka strain gesit adalah pilihan terbaik. Karakter yang sering dipilih untuk memperbaiki mutu genetik ikan adalah kecepatan tumbuh, tingkat toleransi terhadap lingkungan dan derajat kelangsungan hidup. Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui selective breeding dan crossbreeding (Moav & Wohlfarth, 1976). Penggunaan satu dan atau kedua cara tersebut tergantung pada beberapa keadaan, yakni biaya, waktu dan ketersediaan sarana dan prasarana. Program selective breeding sering digunakan untuk menghasilkan populasi induk Penjenis (Great Grand Parent Stock). Crossbreeding atau istilah lain dari hibridisasi, digunakan untuk menemukan kombinasi strain induk yang dapat digunakan untuk menghasilkan ikan hibrida yang lebih unggul dibandingkan dengan kedua induknya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkatkan produktivitas tambak air payau melalui budidaya ikan nila salin untuk menudukung ketahanan pangan dan peningkatan produksi perikanan budidaya pada khususnya dan pemenuhan kebutuhan masyarakat luas pada umumnya. SasaranMenghasilkan teknologi pengelolaan tambak, khususnya pada tambak idle yang memiliki karakteristik lingkungan payau dengan ketersediaan oksigen terlarut rendahmelalui kegiatan budidaya nila salin. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 50 BAHAN DAN METODE Pengeringan dan Persiapan Tambak Pengeringan dasar tambak dimaksudkanuntuk mempercepat proses pembusukan bahan organik, pembersihan gulma perairan yang bisa menjadi kompetitor dalam penggunaan oksigen, Pemberantasan hama dengan menggunakan saponin (40-50 g/m2 ) dan pengapuran dasar tambak menggunakan CaO (25-30 g/m2 ) atau dengan kapur CaCO3 dengan dosis (6070 g/m2 ). Kegiatan persiapan tanah tambak meliputi kegiatan reklamasi lahan tambak, saponin, pemupukan, pengisian air, dan penumbuhan pakan. Reklamasi lahan dilakukan meliputi perbaiki/merapihkan pematang, pembuatan caren, menutup bocoran atau rembesan, dan mengangkat lumpur. Pada tambak yang susah dikeringkan dengan keterbatasan saluran pengeluaran, maka di bagian tertentu diberikan saponin secukupnya sehingga mampu mematikan benih-benih hama dan ikan ikan kompetitor yang masih hidup. Setelah pemberian saponin mampu menyingkirkan ikan-ikan lain yang tidak diharapkan, kemudian dilakukan pengisian air yang berasal dari sumur bor dengan menggunakan pompa hingga pelataran tambak terisi air. Dua hari air menggenang dilanjutkan dengan pemberian pupuk organik sebanyak 400 kg kg/ha, dengan cara disebar secara merata di seluruh bagian permukaan tanah dasar tambak. Pada ketinggian air dipertahankan 10 cm di pelataran tambak selama 5 hari untuk menumbuhkan plankton dan alga lainnya. Pengisian air dilanjutkan hingga ketinggian air mencapai 30 cm di areal tambak selama 2 hari. Pada ketinggian air ini diharapkan bisa meningkatkan pertumbuhan pakan alami yang cukup. Pengisian air ditambahkan hingga 80 cm agar tambak siap ditebari ditebari benih ikan nila. Penebaran Benih Penebaran benih setelah tambak dipersiapkan 7 hari sebelumnya.Benih ikan nila yang digunakan berukuran panjang 3-5 cm yang merupakan anakan dari hasil kegiatan hibridisasi nila salin di Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar. Sebagai kontrol dilakukan juga penebaran benih nila air tawar (sultana) di lokasi sekitar tambak ujicoba. Pada saat penebaran dilakukan proses aklimatisasi untuk menghindari stress pada ikan yang dibudidayakan. Pemeliharaan dan Pemberian Pakan tambahan Kegiatan pemeliharaan yang dimaksudkan adalah proses pemeliharaan periode pertumbuhan dari komoditas ikan yang dipelihara hingga saatnya ikan dipanen. Selama pemeliharaan ikan yang diuji cobakan secara semi intensif diberikan makanan tambahan berupa pellet untuk mengukur tingkat respon nafsu makan ikan serta pengukuran pengaruh pertumbuhan ikan uji terhadap BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 51 efisiensi penggunaan pakan dan rasio penambahan bobot rataan perindividunya bila dibandingkan dengan pakan yang dikonsumsi selama uji coba berlangsung. Pakan yang diberikan adalah pakan pellet komersial yang memiliki kandungan protein 24-26 % dengan dosis yang diberikan sebanyak 2% dari biomassa ikan/hari. Pemberian pakan yang sudah disesuaikan dosisnya tersebut diberikan sebanyak 3 kali/hari (pagi, siang dan sore hari). Sampling Untuk mengetahui bobot terkini baik rataan perindividu maupun bobot total ikan yang dibudidayan dilakukan sampling setiap 20 hari sekali. Sampling juga dimaksudkan untuk mengetahui laju pertumbuhan, nilai konversi pakan yang diberikan (FCR), Sintasan/kelulus hidupan (SR) dan Efisiensi Penggunaan pakan serta dapat menghitung kebutuhan pakan lanjutan. Agar tidak terjadi dampak negatif dan stress terhadap ikan yang dibudidayakan sampling dilakukan pada pagi atau sore hari ketika suhu air rendah. Monitoring Kualitas air dan kesehatan ikan Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung proses pemeliharaan agar pertumbuhan ikan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Kegiatan ini dilakukan untuk proses kontrol dan melakukan pemantauan terhadap proses pertumbuhan ikan budidaya, perubahan lingkungan dan kondisi kesehatan ikan. Hasil monitoring bisa menjadi dasar untuk tindakan penangan bila dubutuhkan. Pengelolaan Data pendukung kegiatan Data yang dikumpulkan dalam kegiatan budidaya meliputi pertumbuhan ikan (panjang standar, panjang total, bobot rataan perindividu dan bobot biomass), penggunaan pakan, kondisi lingkungan (kualitas air), cuaca, dan kematian ikan, biaya, dan hasil panen. Pengolahan data yang dilakukan meliputi tingkat pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, feed conversion ratio (FCR), efisiensi pakan (EP), dan analisis usaha. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji coba budidaya nila salin di tambak yang dilakukan di Kabupaten Pangkep dan Maros ditunjukkan pada beberapa tabel di bawah ini, sedangkan mengenai perkembangan laju pertumbuhan dan gambaran kualitas air di beberapa lokasi uji coba digambarkan pada beberapa grafik di bawah ini. Dalam kegiatan uji coba ini terdapat 16 petambak/pembudidaya, terdiri dari 3 orang anggota di Gentung kabupaten Pangkep, dan 4 orang pembudidaya di Dusun lempangan, 9 orang anggota di Dusun Ujung Bulu Desa BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 52 Botolempangan Kabupaten Maros, yang terlibat dengan waktu budidaya 4 bulan. Data tersebut memperlihatkan bahwa dalam budidaya nila di tambak memberikan prospek yang baik, terutama untuk petambak kecil (small holder). Sistem budidaya tradisional memberikan peluang besar bisa dikembangkan untuk kelompok petambak kecil. Dengan sistem budidaya tradisional memperlihatkan hasil yang baik dengan kisaran kelangsungan hidup di atas 71%, padahal benih yang digunakan pada saat penebaran adalah ukuran 3-5 cm. Kondisi ini akan semakin bagus kelangsungan hidupnya bila bibit awal tebarnya lebih besar, seperti yang sering dilakukan di air tawar dan keramba jaring apung dengan ukuran 8-12 cm, dimana kelangsungan hidupnya bisa mencapai lebih dari 90%.Sedangkan kegagalan hasil atau rendahnya kelangsungan hidup pada empat uji coba disebabkan oleh masalah kondisi lingkungan tambak, yakni terjadinya penurunan volume air di tambak akibat intensitas panas cahaya matahari yang tinggi, salinitas air yang tinggi, dan tingkat keseriusan pembudidaya dalam mengelola tambaknya, serta tingkat adopsi pembudidaya terhadap pengetahuan teknis yang diberikan selama kegiatan berlangsung. Laju Pertumbuhan ikan yang diujicobakan Dari hasil kegiatan di lapangan juga diperoleh data yang menggambarkan laju pertumbuhan bobot rataan perindividu kedua strain nila tersebut dimana hasilnya menunjukkan bahwa kenaikan bobot rataan individu ikan nila salin jauh lebih baik daripada nila air tawar terutama pada saat salinitas air tambak pemeliharaan mulai mengalami peningkatan (lihat Gambar 1). Demikian juga dengan performa laju pertumbuhan panjang rataan kedua strain yang diujicobakan nila salin menunjukkan kenaikan panjang rataan yang normal mengikuti perkembangan salinitas tambak sedangkan nila air tawar mengalami penurunan kemampuan penambahan panjang pada saat salinitas tambak mengalami peningkatan (lihat Gambar 2). BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 53 Gambar 1. Grafik laju Pertumbuhan ikan nila Salin dengan nila air tawar yang diujicobakan pada tambak air payau Bobot (g) 300.0 200.0 190.0 236 219 241 226 146.0 100.0 - 5.0 5.0 0 20.0 20.0 50.4 46.0 Minggu ke 4 110.3 Nila Air Tawar 75.0 Nila Salin Minggu ke 8 Minggu ke 12 Gambar 2. Grafik Rataan panjang total (cm) ikan nila salin dan nila air tawar yang diujicobakan di tambak air payau Panjang Rataan (cm) 25.0 20.0 20.5 20.5 17.5 17.5 22.8 20.5 21.4 19.4 15.0 12.3 12.0 10.0 5.0 10.0 10.0 3.5 3.5 Nila Air Tawar Nila Salin - BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 54 Pengamatan Kualitas Air Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung proses pemeliharaan agar pertumbuhan ikan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Kegiatan ini dilakukan untuk proses kontrol dan melakukan pemantauan terhadap proses pertumbuhan ikan budidaya, perubahan lingkungan dan kondisi kesehatan ikan. Hasil monitoring bisa menjadi dasar untuk tindakan penangan bila dubutuhkan. Monitoring kesehatan lebih ditekankan pada adanya indikasi kasus serangan penyakit. Hasil Monitoring kuaitas air selama pelaksanaan kegiatan uji coba dilukiskan pada grafik di bawah ini (Gambar 5 dan Gambar 8) Gambar 5. Grafik Perkembangan Kualitas Air Rata-rata di Lokasi Percobaan Kabupaten Pangkep 60.00 50.00 40.00 30.00 7.82 7.50 8.00 8.45 0.00 7.80 7.50 7.80 7.00 7.50 9.00 7.62 8.20 7.84 8.11 7.50 0.00 0.00 0.00 2.00 2.00 4.00 7.60 7.52 7.66 8.93 7.46 6.88 32.5032.00 31.00 32.50 32.00 32.00 31.42 31.50 32.00 31.40 29.35 14.20 20.00 10.00 0.00 0.00 6.00 5.00 6.00 MingguMingguMingguMingguMingguMingguMingguMingguMingguMingguMinggu IV II IV II IV II IV II IV II IV Pebruari Maret Salinitas (ppt) April Mei Suhu DO (Oksigen terlarut) BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 Juni Juli pH 55 Gambar 8. Grafik Perkembangan Kualitas Air Rata-rata di Lokasi Percobaan di Kabupaten Maros 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 8.20 8.14 7.65 8.20 7.50 7.23 6.74 6.70 6.23 7.20 12.40 28.40 8.21 3.89 8.20 8.40 9.40 31.00 29.70 6.74 34.00 33.00 32.00 32.00 31.50 32.00 32.00 29.50 7.80 7.50 9.20 8.40 7.50 20.00 16.00 10.00 0.00 10.00 9.00 4.00 5.00 4.00 3.00 4.00 2.00 1.00 3.00 Minggu I Minggu IV Minggu IV Minggu IV Mei Juni Juli Salinitas Suhu/Temperatur Minggu III Minggu II Agustus September DO pH Kelulushidupan, FCR, Efesiensi pakan dan Produktivitas Tingginya angka kelulushidupan nila salin yang lebih baik dari nila air tawar yang dibudidayakan pada tambak air payau membuktikan bahwa adanya pengaruh positif pada nila salin yang dikembangkan dengan metode hibridisasi, dimana teknologi ini mengahasilkan ikan nila salin yang selain memiliki ketahanan tinggi terhadap perubahan salinitas tambak, juga memilki toleransi positif terhadap seluruh peubah lingkungan tambak (Parameter fisika, kimia dan biologi). Nila salin yang dibudidayakan sudah menunjukkan adanya adaftasi yang kuat antara adaftasi lingkungan, adaptasi morfhologi maupun adaptasi biologis ikan nila yang spesifik cocok dengan kondisi lingkungan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 56 tambak di Sulawesi Selatan. Performa kelulushidupan masing-masing ikan nila yang diujicobakan terlukiskan pada Diagram di bawah ini (gambar 9). Gambar 9. Populasi awal tebar dan Kelulushidupan (SR) ikan nila yang diujicobakan sampai akhir kegiatan 3,000 2,627 3,000 3,000 2,000 1,000 - 1,709 87.57 56.98 Populasi awal (ekor) Populasi akhir uji coba (ekor) Nila Air Tawar SR Nila salin Tingkat konversi pakan (FCR) ikan nila salin yang dibudidayakanmenunjukan nilai lebih baik dari ikan air tawar, begitu juga dengan episiensi pakan dan produktivitas pada akhir kegiatan. FCR nila salin dari kegiatan ini adalah 0.8 dengan episiensi penggunaan pakan sebesar sebaliknya efesiensi pakan mencapai 235,6 %. Dari nilai FCR yang diperoleh dari kegiatan budiadaya ini menunjukkan nilai yang sangat baik dan ini tentu berdampak pada nilai marginal keuntungan yang dihasilkan dari budiaya ini. Nilai FCR yang umumnya di kegiatan budidaya nila ada pada kisaran 1.0-1.2. atau efesiensi pakan antara 80-100%. Kemampuan beradaftasi nila salin hibrid yang toleran terhadap lingkungan dan perubahannya diduga karena kedua individu indukan hibrid ini sudah memiliki toleransi yang sangat baik terhadap lingkungan tambak di Sulawesi selatan. Dimana ikan yang digunakan sebagai indukan dari hibrida ini adalah hasil pembesaran uji tantang pada kegiatan ACIAR BBAPT Tahun 2010-2011, sedangkan nila jabir sebagai indukan jantan yang berperan sebagai Gen donor sudah sangat teruji memiliki kemampuan adaftasi yang sangat baik BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 57 terhadap perubahan lingkungan termasuk perubahan salinitas dan lingkungan ekstrim. Rendahnya Produktivitas yang ditunjukan oleh kultivan Sultana (seleksi unggul nila selabintana), diduga karena strain nila baru hasil seleksi family dan pengembangan BBPBAT Sukabumi ini baru dirilis dan baru diintroduksi ke Sulawesi Selatan oleh BBAP Takalar Tahun 2012. Nila Sultana yang merupakan nila air tawar dan belum terbiasa dipelihara dalam lingkungan tambak dengan kondisi salin (payau) di Sulawesi Selatan. KESIMPULAN DAN SARAN Dari kegiatan ujicoba ini dapat disimpulkan bahwa budidaya ikan nila salin di tambak memberikan peluang yang besar dalam upaya diversifikasi komoditas untuk meningkatkan produktivitas tambak dan pasokan ikan nila hasil produksi tambak dalam memenuhi permintaan pasar/masyarakat yang membutuhkan.Mengingat begitu pentingnya produktivitas tambak bagi Peningkatan taraf hidup pembudidaya dan keluarganya, maka upaya pengembangan teknologi budidaya ikan nila salin di tambak payau ini perlu terus dilakukan untuk mewujudkan pembangunan perikanan budidaya yang berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Abbas Siregar Djarijah 1995. Pembenihan dan Pembesaran. Penerbit Kanisius, Jakarta Nila, Jakarta. Adi Sucipto dan R Eko Priharta, 2005. Pembesaran Nila Merah Bangkok. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. Bambang Cahyono, 2000. Budi Daya Ikan Air Tawar.Penerbit Kanisius, Yogyakarta. BPPS, 2009. Sumatera Utara Dalam Angka 2009, Medan. Cornelis Rintuh, 1994. Metodologi Penelitian Ekonomi. Liberty, Yogyakarta. Hernanto.F, 1991. Ilmu Usaha Tani. Penerbit Penebar swadaya, Jakarta. Khairuman, 2002. Budi Daya Ikan di Sawah. Penebar swadaya, Jakarta. Macinthosh, D.J and Sampson, D.R.T, 1985. Tilapia Culture : Hatchery methods for Oreochromis mossambicus and O. niloticus. Institute of Aquaculture, University of Stirling. Scotland. 154 pp Maskur, S. Hanif, A. Sucipto, D. I. Handayani dan T. Yuniarti. 2004. Standar Prosedur Operasional Pemuliaan (genetic improvement) ikan nila. Pusat Pengembangan Induk Ikan Nila Nasional. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan. Sukabumi. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 58 Sucipto, A. 2002. Budidaya ikan nila (Oreochromis sp.). Makalah disampaikan pada Workshop Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Himpunan Mahasiswa Akuakultur IPB, di Bogor tanggal 20, 21 dan 28 April 2002. Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi. 9 hal PERBAIKAN TEKNOLOGI PRODUKSI MASSAL BENIH BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 59 IKAN KAKAP PUTIH (LATES CALCARIFER, BLOCH 1790) UNTUK MENDUKUNG INDUSTRIALISASI BUDIDAYA LAUT Dikrurahman, Tinggal Hermawan, Salsal Purba, Ade Harwono Abstrak Salah satu faktor yang selama ini menghambat perkembangan usaha budidaya ikan kakap putih di Indonesia adalah masih sulitnya pengadaan benih secara kontinyu dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Tingkat kematian yang tinggi pada fase larva dan benih dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, diantaranya kanibalisme, degradasi lingkungan media pemeliharaan, dan serangan penyakit. Tujuan kegiatanini adalah untuk memperbaiki teknologi pembenihan ikan kakap putih dalam upaya peningkatan produksi benih secara kontinyu dan berkualitas. Metode yang dilakukan adalah serangkaian perbaikan teknologi pembenihan, mulai dari seleksi dan pemijahan induk hingga pemeliharaan larva dan benih, termasuk didalamnya adalah pengelolaan pakan dan pengelolaan kualitas air media pemeliharaan. Selain itu, beberapa teknologi mutakhir hasil perekayasaan Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Batam juga diterapkan dalam produksi benih ini, diantaranya adalah melalui perbaikan kualitas air media pemeliharaan seperti penerapan sistem resirkulasi, sterilisasi air dengan teknik klorinasi, serta shocking temperature. Produksi benih melalui kegiatan pemeliharaan di BPBL Batam dengan perbaikan teknologi ini menunjukkan hasil yang signifikan, yaitu pertumbuhan yang lebih cepat (panjang rata-rata 5 cm dalam waktu 40-45 hari), tingkat kelangsungan hidup sampai dengan ukuran 5 yang lebih tinggi (SR 15%-20%), kenaikan SR pada produksi benih siap tebar (10 cm) hingga 30% (sebelumnya SR 40% menjadi 75%) dan tingkat abnormalitas benih yang lebih rendah (kurang dari 5%). Dengan potensi pasar benih untuk kegiatan pembesaran yang terbuka luas, segmentasi usaha pembenihan ikan kakap putih memiliki prospek yang baik. Sebagai contoh, perhitungan analisa usaha untuk kegiatan pendederan (produksi benih) ikan kakap putih pada hatcheri skala kecil dalam satu tahun, sebagai berikut: biaya investasi Rp 50.000.000,-; biaya operasional dan nonoperasional Rp 80.000.000,-; menghasilkan pendapatan Rp 140.000.000,- dan keuntungan Rp 60.000.000,-. Periode Pembayaran Kembali (Payback Period), dapat sepenuhnya kembali dalam 10 bulan. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 60 Kata Kunci: Kakap Putih, Klorinisasi, Kualitas Air, Pembenihan, Resirkulasi, Shocking Temperature PENDAHULUAN Salah satu komoditas budidaya laut yang mempunyai prospek bagus adalah ikan Kakap Putih (Lates calcarifer, Bloch 1790). Ikan ini memiliki beberapa keunggulan seperti warna daging putih, pemeliharaan larvanya relatif lebih mudah dengan waktu pemeliharaan singkat, tingkat kelangsungan hidup yang tinggi, pertumbuhan yang cepat, pakan yang digunakan dapat menggunakan pelet, dan dapat dibudidayakan baik di air laut (sea water) maupun air payau (brakishwater) (Fermin et.al., 1996; Rimmer, 2003). Beberapa keunggulan tersebut menyebabkan permintaannya cenderung meningkat setiap tahunnya baik di pasar lokal maupun ekspor. Meskipun demikian masih terdapat permasalahan dalam proses industrialisasinya, salah satu kendala adalah produksi benih masih rendah baik secara kualitas, kuantitas, maupun kontinuitas. Tingkat kematian yang tinggi pada fase larva dan benih dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, diantaranya kanibalisme, degradasi lingkungan media pemeliharaan, dan serangan penyakit. Demi meningkatkan produksi budidaya ikan Kakap Putih yang berdaya saing dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan perbaikan pada teknologi produksi pembenihannya. Tujuan kegiatanini adalah untuk meningkatkan produksi massal benih ikan kakap putih secara kontinyu dan berkualitas melalui perbaikan teknologi pembenihan. BAHAN DAN METODE Perbaikan teknologi produksi massal benih ikan kakap putih ini merupakan suatu rangkaian kegiatan berupa ulasan-ulasan dari hasil kegiatan perekayasaan mengenai pemeliharaan larva dan benih yang telah dilakukan. Kegiatan produksi benih ikan kakap putih dimulai dari seleksi dan pemijahan induk hingga pemeliharaan larva dan benih, termasuk didalamnya adalah pengelolaan pakan dan pengelolaan kualitas air media pemeliharaan. Selain itu, beberapa teknologi mutakhir hasil perekayasaan Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Batam juga diterapkan dalam produksi benih ini, diantaranya adalah melalui perbaikan kualitas air media pemeliharaan seperti penerapan sistem resirkulasi, sterilisasi air dengan teknik klorinasi, serta shocking temperature, yang secara konsisten diterapkan sejak tahun 2013. Datadata yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil kegiatan produksi massal benih. Hasil data primer yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Sedangkan data sekunder BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 61 diperoleh dari berbagai literatur yang terkait dengan pokok bahasan. Supranto (2003) menyatakan bahwa data primer (Primary data) yaitu data yang dikumpulkan sendiri oleh perorangan atau suatu organisasi langsung melalui objeknya. Sedangkan menurut Sitorus (2003), data primer ialah data yang diperoleh dari sumber-sumber asli atau sumber pertama. Data sekunder (secondary data) adalah data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi berupa publikasi atau sudah dikumpulkan orang atau instansi lain (Supranto, 2003). HASIL DAN PEMBAHASAN Teknologi Produksi Massal Benih Ikan Kakap Putih Dan Upaya-Upaya Perbaikannya Seleksi dan Pemijahan Induk Ikan Kakap Putih Induk jantan yang siap dipijahkan bentuk dan ukurannya lebih kecil dari pada induk betina dengan ukuran 3-4 kg, sedangkan untuk induk betina umumnya lebih besar dengan berat lebih dari 5 kg. Seleksi induk dilakukan langsung di tempat pemeliharaan induk dengan menyerok ikan menggunakan serokan dan dimasukan kedalam bak kecil yang sudah diberi anestetik yaitu Ethylineglicol monophenilether (dosis 5 ppm) yang bertujuan untuk memingsankan ikan agar tidak stress dan memudahkan proses seleksi. Seleksi induk dilakukan dengan cara pengecekan terhadap kelamin induk, untuk induk jantan dengan cara di stripping sedangkan induk betina dengan kanulasi. Induk jantan akan mengeluarkan cairan putih dan induk betina akan menghasilkan telur berbentuk bulat, berwarna bening dan akan terurai apabila induk telah matang gonad. Induk yang telah matang gonad kemudian dipindahkan kedalam bak pemijahan yang terbuat dari fiber dengan volume 250 m3 dan sebelumnya telah diisi air laut. Perbandingan induk jantan dan induk betina adalah berdasarkan bobot yaitu 1:1. Pemijahan secara alami melalui manipulasi lingkungan dilakukan dengan menaikkan dan menurunkan air yang bertujuan untuk merekayasa suhu agar merangsang ikan cepat memijah. Pengurangan air sebanyak 80% dilakukan pada pukul 07.00 WIB selama kurang lebih 6 jam. Pada pukul 13.00 WIB, air dinaikan kembali seperti biasa. Pemijahan terjadi pada pukul 19.0023.00 WIB pada suhu air 29-31°C. Berdasarkan hasil pengamatan, sejak awal 2013, induk ikan kakap putih di BPBL Batam memijah secara alami setiap bulannya, bahkan pada beberapa bulan tertentu dapat memijah alami sebanyak 2 kali dalam satu bulan (bulan terang dan bulan gelap). Pengumpulan telur dilakukan menggunakan egg collector, sedangkan pemanenannya dilakukan pada pagi hari pukul 07.00-08.00 WIB. Telur yang sudah terkumpul didalam egg kolektor, selanjutnya dipindahkan ke baskom BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 62 kecil untuk dihitung jumlahnya. Kemudian telur diseleksi dengan membuang telur yang tidak dibuahi. Telur yang dibuahi akan terapung dan berada pada permukaan air dengan warna transparan, berbentuk bulat, dan kuning telur berada ditengah, sedangkan telur yang tidak dibuahi akan mengendap didasar permukaan dan berwarna putih susu. Diameter telur yang dihasilkan berukuran 750-850 µm dengan tingkat pembuahan 80-90%. Penetasan telur dilakukan di bak inkubasi telur dengan volume 500 liter, yang dilengkapi dengan aerasi (kekuatan sedang) dan saringan outlet, dan sistem air mengalir. Waktu penetasan telur berkisar antara 20 – 24 jam setelah pembuahan dengan suhu 2931°C. Tingkat penetasan telur yang dicapai berkisar antara 85-90%. Dari hasil pengamatan terhadap diameter telur, tingkat pembuahan dan penetasan telur, nilai-nilai yang diperoleh tergolong baik dan memenuhi standard, dimana berdasarkan Rancangan Standar Nasional Indonesia 3 (hasil konsensus) tahun 2013 tentang Ikan kakap putih (Lates calcarifer, Bloch 1790) bagian 2: benih, kriteria kuantitatif telur ikan kakap putih adalah diameter minimal 750 µm, tingkat pembuahan minimal 70%, dan tingkat penetasan minimal 80%. Pemeliharaan Larva Ikan Kakap Putih Sebelum dilakukan pemeliharaan larva, terlenih dahulu dilakukan sterilisasi untuk alat dan bahan yang akan digunakan. Hal yang baru dan secara konsisten diterapkan di BPBL Batam adalah menyiapkan air laut untuk media pemeliharaan larva (dan juga benih) dengan klorinasi. Air laut yang akan digunakan terlebih dahulu di beri klorin dengan dosis 25 ppm selama 12 jam untuk menghasilkan air laut yang steril dan bebas kontaminan. Guna menetralkan kandungan klorin dalam air, dilakukan dengan penambahan larutan tiosulfat dengan dosis yang sama, yaitu 25 ppm. Selanjutnya sebelum digunakan, air media pemeliharaan larva tersebut dicek untuk memastikan telah bebas klorin (free chlor). Sedangkan untuk peralatan lainnya, sterilisasi dilakukan dengan perendaman peralatan pada air yang telah diberi larutan klorin dengan dosis 50 ppm selama 6 jam, kemudian dibilas hingga bersih. Proses selanjutnya adalah memindahkan larva yang terdapat didalam bak inkubasi ke bak pemeliharaan dengan volume 10 m3 secara manual dengan cara mengambil langsung larva dengan menggunakan ember dan dituang secara perlahan. Bak pemeliharaan larva ditutup dengan menggunakan plastik, hal ini dimaksudkan agar tidak ada kotoran yang masuk ke dalam bak, selain itu untuk menjaga suhu agar tetap stabil. Larva ditebar dengan kepadatan 10-20 ekor per liter, dengan volume awal air media pemeliharaan adalah 8 m3. Selama pemeliharaan, larva diberikan pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang digunakan adalah fitoplankton jenis Nannochloropsisoculata, zooplankton jenis Brachionus plicatilis / rotifera, dan naupli artemia. Morizane BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 63 (1991) menyatakan bahwa kualitas pakan dapat mempengaruhi secara langsung terhadap ketahanan dan perkembangan larva ikan. Larva ikan laut umumnya bersifat "vision feeding" yakni dalam aktivitas pencarian pakan sangat mengandalkan daya lihat (Hunter, 1980 dalam Waspada et al., 1993). Chen dan Long (1991) melaporkan bahwa dalam pembenihan larva ikan, pakan alami lebih disukai untuk digunakan karena pakan alami memiliki beberapa keuntungan diantaranya tidak menimbulkan kontaminasi pada air media kultur, mudah dicerna dan diasimilasi, dapat meningkatkan laju pertumbuhan, dan mempunyai kandungan nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pakan buatan. Menurut Lubzens, Tandler dan Minkoff (1989) dalam Purba et al. (1993), larva yang masih muda, hingga 85 jam setelah menetas, lebih suka Brachionus plicatilis ukuran kecil (40-80 µm) dan menghindari makan Brachionus plicatilis ukuran besar (90-230 µm). Nannochloropsisoculata mulai diberikan pada larva berumur D2-D15, dengan kepadatan 3-5 x 105 sel/ml. Nannochloropsis berfungsi sebagai penahan cahaya agar cahaya tidak terlalu banyak menembus keperairan, pakan Rotifera , penghasil oksigen, dan sebagai buffer (penyangga) kualitas air. Rotifera diberikan pada larva umur D3-D20. Jumlah awal Rotifera yang diberikan sebanyak 5-10 indvidu/ml dengan jumlah yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur larva. Pemberian Artemia dapat diberikan pada larva mulai umur D15. Jumlah awal Artemia yang diberikan sebanyak 1 indvidu/ml dengan jumlah yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur larva. Dosis pakan alami diberikan secara ad libitum (selalu tersedia). Pellet Alga 0 5 Naupli Artemia Rotife ra 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 Hari Gambar 3.1. Skema Manajemen Pakan Larva Ikan Kakap Putih Pakan buatan berupa pelet mulai diberikan pada larva umur D14. Ukuran pakan pelet untuk larva ikan bervariasi mulai dari 200-800 µm disesuaikan dengan bukaan mulut ikan. Pakan pelet dapat diberikan secara manual yaitu dengan menebarkannya sedikit demi sedikit dan secara langsung BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 64 pada media pemeliharaan atau juga dapat dilakukan dengan menggunakan automatic feeder. Dosis pakan pelet yang diberikan adalah at satiation (sampai kenyang). Kualitas air sangat berperan penting dalam pemeliharaan larva ikan kakap putih. Kualitas air yang kurang baik akan menyebabkan kondisi stress dan menimbulkan penyakit pada larva yang dipelihara. Pengelolaan kualitas air pada pemeliharaan larva dilakukan dengan pergantian air, penyiponan, dan pengukuran parameter kualitas air. Pergantian air dimulai saat larva umur D8 – D15 sebanyak 5 – 10%. Pergantian air semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur ikan, hingga pada saat pakan ikan sudah sepenuhnya pelet, maka air media pemeliharaan dapat diganti secara terus menerus (pergantian air minimal 100%). Penyiponan dilakukan untuk membuang sisa hasil metabolisme, pakan buatan yang tidak temakan dan kotoran lain yang mengendap didasar bak pemeliharaan. Penyiponan awal dilakukan pada saat larva berumur D 10, dan selanjutnya dilakukan setiap 2 hari sekali. Saat larva sudah sepenuhnya mengkonsumsi pelet, penyiponan dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari. Penyiponan harus dilakukan dengan hati-hati agar kotoran yang ada didasar bak tidak teraduk dan naik keatas. Selanjutnya pengelolaan kualitas air juga dilakukan dengan melakukan pengamatan beberapa parameter kualitas perairan, seperti suhu, salinitas, pH, dan Oksigen Terlarut. Pengukuran kualitas air ini dilakukan secara rutin setiap hari pada pagi dan sore hari. Untuk beberapa parameter lainnya, seperti Ammonia, Nitrat, dan Nitrit, pengukuran dilakukan secara periodik 5-6 hari sekali. Suhu optimal untuk pemeliharaan larva ikan kakap putih di BPBL Batam adalah 30-32 0C, salinitas 30-32 ppt, pH 6,5-8,5, dan Oksigen terlarut minimal 4 mg/L. Salah satu hal yang mutakhir yang konsisten diterapkan pada pemeliharaan larva (dan benih) ikan kakap putih adalah shocking temperature dengan penggunaan water heater guna menjaga suhu media pemeliharaan agar berada pada kondisi optimal. Berdasarkan hasil pengamatan, larva dan benih ikan kakap putih akan mengalami gangguan pertumbuhan bila suhu media air berada di bawah 30 0C selama 3 hari berturut-turut. Penggunaan water heater ini juga dilakukan bila ditemukan indikasi kondisi stress dan serangan penyakit pada ikan (black body) serta terjadi kematian yang meningkat dalam 2-3 hari berturut-turut. Untuk larva, penggunaan water heater dilakukan dengan menaikkan suhu hingga 35 0C. Setelah melalui proses pemanasan, akan diperoleh kondisi ikan yang tidak sehat akan mati, sedangkan ikan yang sehat akan tetap hidup. Selanjutnya ikan yang mati disingkirkan dari bak pemeliharaan. Proses ini juga menjadi upaya pencegahan sekaligus penanggulangan serangan penyakit yang menyerang pada fase larva. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 65 Tabel 3.1. Rata-rata Panjang Larva Ikan Kakap Putih Umur Ikan (Hari ke-) Panjang Rata-rata (cm) 3 0,2 6 0,3 9 0,4 12 0,5 15 0,7 18 0,9 21 1,2 24 1,6 27 2,1 30 2,7 Panjang (cm) 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 Hari Ke- Gambar 3.3. Grafik Rata-rata Panjang Larva Ikan Kakap Putih BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 66 Lama pemeliharaan pada fase pemeliharaan larva berkisar antara 25-30 hari dengan ukuran panjang akhir rata-rata adalah 2,5-3,0 cm dan tingkat kelangsungan hidup 50-60% dihitung dari tebar awal (D1). Kegiatan pemeliharaan larva melalui perbaikan teknologi ini menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan sebelumnya, dimana waktu yang diperlukan untuk mencapai panjang 2,5-3,0 cm adalah 30-45 hari dan tingkat kelangsungan hidup dibawah 50%. Selanjutnya pada umur 25 hari, dilakukan pemilahan ukuran (gradding) untuk menjaga agar pertumbuhan tetap optimal. Untuk ukuran ikan minimal 2,5-3,0 cm, pemeliharaan selanjutnya masuk pada tahap pendederan (pemeliharaan benih). Pemeliharaan Benih Ikan Kakap Putih Kegiatan pemeliharaan benih merupakan tahap akhir dalam kegiatan pembenihan dalam produksi benih ikan kakap putih. Produk akhir benih yang dihasilkan disesuaikan dengan permintaan pasar, biasanya dimulai dari ukuran 5 cm hingga ukuran siap tebar di keramba laut dengan ukuran 7-10 cm. Tahap pemelihraan benih diawali dengan persiapan dan sterilisasi alat dan bahan, seperti pada tahap pemeliharaan larva. Selanjutnya dilakukan penebaran ikan berukuran panjang 2,5-3,0 cm dengan kepadatan 2-3 ekor per liter. Volume bak pemeliharaan benih yang digunakan di BPBL Batam adalah 10 m3. Kepadatan ikan yang dipelihara dalam bak semakin berkurang seiring dengan bertambahnya ukuran panjang dan bobot ikan. Pakan yang diberikan adalah pakan buatan (pelet) yang ukurannya bervariasi mulai dari 1,0-4,0 mm disesuaikan dengan bukaan mulut ikan dan bertambahnya umur ikan. Dosis pakan pelet yang diberikan sebanyak 7-10% dari total biomass. Pakan dapat diberikan secara manual atau dapat menggunakan automatic feeder. Pengelolaan air pada teknik pemeliharaan benih ikan kakap putih sebelumnya adalah dengan pergantian air laut langsung dari tandon yang setiap hari diganti (flowthrough). Pergantian air ini mempunyai efek yang kurang baik, terutama pada saat musim hujan yang menyebabkan perubahan dan fluktuatsi pada beberapa parameter kualitas air (suhu, salinitas, pH, DO, turbidity, kandungan bakteri, dan lain-lain). Upaya perbaikan teknologi telah diterapkan pada tahap pemeliharaan benih ini, yaitu dengan menerapkan sistem resirkulasi air. Air laut yang sudah diklorinasi digunakan sebagai air media pemeliharaan, dan selanjutnya diresirkulasi selama 24 jam. Pada tahap pendederan ini juga dapat dilakukan shocking temperature dengan penggunaan water heater, bila ditemukan kondisi-kondisi seperti pada pembahasan sebelumnya di fase pemeliharaan larva. Perbedaannya adalah pada tahap pendederan ini, pemanasan dilakukan hingga suhu air 37-39 0C. Tidak ada pemberian pakan selama proses pemanasan ini berlangsung. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 67 Pemilahan ukuran dilakukan 5-6 hari sekali untuk menjaga agar pertumbuhan tetap optimal. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan alat gradding yang disesuaikan dengan ukuran ikan, sehingga prosesnya dapat berlangsung lebih cepat dan mengurangi kondisi stress pada ikan. Sedangkan panen dilakukan bila benih akan didistribusikan, baik untuk kegiatan pembesaran di keramba BPBL Batam maupun untuk penjualan. Panen benih dapat dilakukan mulai ukuran ikan 5 cm sampai dengan 10 cm yang disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan. Berdasarkan hasil pengamatan, produksi benih dengan upaya perbaikan teknologi di BPBL Batam menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan teknik pemeliharaan sebelumnya, yaitu pertumbuhan yang lebih cepat (panjang rata-rata 5 cm dalam waktu 40-45 hari dari umur D1) dibandingkan sebelumnya (panjang rata-rata 5 cm dalam waktu 50-60 hari dari umur D1), tingkat kelangsungan hidup sampai dengan ukuran 5 cm yang lebih tinggi (SR 15%20% dihitung dari umur D1) dibandingkan sebelumnya (SR kurang dari 10% dihitung dari umur D1), kenaikan SR pada produksi benih siap tebar (10 cm) hingga 30% dihitung dari ukuran ikan 5 cm (sebelumnya SR 40% menjadi 75%), dan tingkat abnormalitas benih yang lebih rendah (kurang dari 5%) dibandingkan sebelumnya (10%-20%). Tabel 3.2. Rata-rata Panjang Benih Ikan Kakap Putih Umur Ikan (Hari ke-) 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 Panjang Rata-rata (cm) 2,5 3,2 4,1 5,1 6,1 7,0 7,8 8,5 9,0 9,5 10,0 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 68 Panjang (cm) 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 Hari ke- Gambar 3.4. Grafik Rata-rata Panjang Benih Ikan Kakap Putih KESIMPULAN Produksi benih melalui kegiatan pemeliharaan di BPBL Batam dengan upaya perbaikan teknologi pemeliharaan menunjukkan hasil yang signifikan, yaitu pertumbuhan yang lebih cepat (panjang rata-rata 5 cm dalam waktu 40-45 hari), tingkat kelangsungan hidup sampai dengan ukuran 5 yang lebih tinggi (SR 15%-20%), kenaikan SR pada produksi benih siap tebar (10 cm) hingga 30% (sebelumnya SR 40% menjadi 75%) dan tingkat abnormalitas benih yang lebih rendah (kurang dari 5%). Dengan potensi pasar benih untuk kegiatan pembesaran yang terbuka luas, segmentasi usaha pembenihan ikan kakap putih memiliki prospek yang baik. Sebagai contoh, perhitungan analisa usaha untuk kegiatan pendederan (produksi benih) ikan kakap putih pada hatcheri skala kecil dalam satu tahun, sebagai berikut: biaya investasi Rp 50.000.000,-; biaya operasional dan nonoperasional Rp 80.000.000,-; menghasilkan pendapatan Rp 140.000.000,- dan keuntungan Rp 60.000.000,-. Periode Pembayaran Kembali (Payback Period), dapat sepenuhnya kembali dalam 10 bulan. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 69 DAFTAR PUSTAKA APEC / SEAFDEC . 2001. Pembudidayaan dan Manajemant Kesehatan Ikan Kerapu. APEC, Singapore dan SEAFDEC, Iloilo, Philiphines Chen, X. Q. dan L. J. Long. 1991. Research and production of live feeds in china. Rotifers and microalgae culture system. Proceedings of a U. S.- Asia Workshop. Edited by Wendy Fulks and Kevan L. Main. The Ocean Institute. Hawaii. Cheong, L. (1989). Status of knowledge on farming of Sea Bass (Lates calcarifer) in South East Asia. Ifremer. Actes De Colloque. Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hal. FAO (2008). FAO Fisheries Yearbook Statistics. FAO Fisheries Departement. Fermin, A.C, Ma. Edna C., Bolivar dan Gaitan A. (1996). Nursery rearing of the Assian Sea Bass, Lates calcarifer, fry in illuminated flating net cages with different feeding regims and stcking densities. Aquatic Living Tesources. Franco-Nava, M.A, Blancheton, J.P, Deviller, G. Charrier, A. Le-Gall, J.Y. (2004). Effect of fish size and hidarulic regime on particular organic matter dynamics in a recirculating aquaculture system. Aquaculture 239. Hariati, Anik Martinah. 1989.Makanan Ikan. Diktat Kuliah – NUFFIC/UINIBRAW/LUW/FISH Fisheries Project. Universitas Brawijaya. Malang. Huet, M. 1971. Textbook of Fish Culture. Fishing News Book Ltd.,London Kungvankij, P. B.J. Pudadera J.R., L.B. Tir J.R., dan Potates I.O. (1986). Biology and culture of Seabass (Lates calcarifer). Training Manual Selected Publication. NACA. Bangkok. Lio Po Gilda, Celia R Lavilla and Erlinda R Cruz Lacierda.2001. Health Management in Aquaculture. South East Asian Fisheries Development Center.Aquaculture Department.Iloilo. Philiphines.181p. Maen, Y., De La Pefia, L.D dan Cruz-Lacierda, E.R. (2004). Mass mortalities assosiated with VNN in Hatchery-reared Seabass (Lates calcarifer) in te Philippines. JARQ 38. Morizane, T. 1991. A Review of automatization and mechanization used in production of Rotifers in Japan. ProceedingsofaU.S. – AsiaWorkshop. Edited by Wendy Fulks and Kevin L. Main. The Ocean Institute. Hawaii. Nirmala. K. 2001. Manajemen Kualitas Media Budidaya. Laboratorium Lingkungan Budidaya Jurusan Budidaya Perairan FakultasIlmu Kelautan Dan Perikanan. IPB. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 70 Purba, Waspada, Mustahal dan Susanti Diani. 1993.Kelangsunganhidup dan pertumbuhan larva kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus,umur sampai 35 hari dengan padat tebar berbeda. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai.Vol. 9. No.5:12-20 Rimmer, M.A. (2003). Barramundi. In : J.S. Lucas & P.C Southgate (eds). Aquaculture : Farming Aquatic Animal and Plant 364-381 Romimohtarto, K. dan Sri Juwana. 2009. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta. Roza D, F Johnny dan Zafran. Penyakit infeksi pada Ikan Laut Budidaya dan upaya Pengendaliannya. Dipresentasikan sebagai bahan Diseminasi Budidaya laut Berkelanjutan I. 10 – 30 April. BBRBL Gondol Bali. 10 hal. Sigit, S. 1990. Analisa Break Even. Rancangan Linear Secara Ringkas dan Praktis. BPFE Yogyakarta. Hal 1-29 Sitorus, M. 2003. Berkenalan Dengan Sosiologi 2. Erlangga. Jakarta. Supranto, J. 2003. Metode Riset:Aplikasinya Dalam Pembesaran. Edisi Revisi Ke-7. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Slamet, B., Suko Ismi dan Titiek Aslianti. 2002.Produksi Benih Ikan Kerapu Hasil Pembenihan Di Bali. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol. Zafran, Des Roza, Isti Koesharyani, Fris Johni, Ketut Mahardika and Kei Yuasa. 1998. Manual for Fish Diseases Diagnosis .Marine and Crustacean Diseases in Indonesia.Gongol Research Station and JICA. 44p Waspada, Resmiyati Purba, Susanti Diani.1993. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Pada Pemberian Intensitas Cahaya yang Berbeda Selama Malam Hari. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. Vol. 9. No. 5 : 1-11. PENINGKATAN PRODUKSIPEMBESARAN IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer, Bloch) DI KERAMBA JARING APUNGMELALUI PERBAIKAN PAKAN Sahidan Muhlis, Muhammad Sanuri, Mohamad Aola HM dan Meiyer Siregar ABSTRAK BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 71 Pemeliharaan benih ikan kakap putih 15 cm (±20 gram) di dalam KJA berukuran 4 m x 4 m , dengan padat tebar 2.000 ekor per jaring. Sebelum benih ikan ditebar terlebih dahulu dilakukan vaksinasi vibro polyvallen. Frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari dengan dosis 3 % 10 % dari biomassa, persentase pakan disesuaikan berdasarkan ukuran ikan. Untuk memacu pertumbuhan dan daya tahan tubuh diberikan penambahan terhadap pakan berupa vitamin C dan probiotik dengan dosis 2 gram per kg pakan, yang diberikan sebanyak 2 kali per minggu. Grading (pemilahan ukuran) dan sampling dilakukan setiap 2 minggu sekali pada saat ukuran di bawah 100 gram, dan ukuran di atas 100 gram dilakukan 1 kali dalam sebulan. Sedangkan untuk pencegahan terhadap serangan parasit dilakukan perendaman dengan menggunakan air tawar setiap satu minggu sekali. Masa pemeliharan 5 bulan sudah dilakukan panen selektif dengan ukuran rata-rata 500 gram, sedangkan selesai panen dilakukan pada bulan ke 7 dengan total panen 3200 kg dan angka kelulushidupan sebesar 80 %. Rasio perbandingan pakan sebesar 1: 2. Analisa usaha pembesaran ikan kakap putih di kja adalah sebagai berikut; dimana biaya investasi adalah sebesar Rp153.000.000., meliputi kja HDPE 4 lubang beserta rumah jaga dan peralatan kerja lainnya. Sedangkan biaya operasional sebesar Rp183.200.000,. meliputi pembelian benih dan pakan, obat-obatan serta biaya tak terduga lainnya. Pendapatan dari penjualan ikan adalah 3.200 kg x Rp75.00., = Rp 240.000.000., sehingga laba yang didapat adalah sebesar Rp56.800.000., dengan BEP 2,443 maksudnya titik impas produksi akan tercapai bila produksi minimal 2.443 kg. Kalau dibandingkan dengan pemeliharaan sebelumnya yang dilakukan di KJA angka kelulushidupan jarang mencapai angka 50 % dan waktu panen yang dibutuhkan biasanya berkisar 6-8 bulan. Dengan demikian capaian tingkat kelulushidupan 80 % dan waktu pemeliharaan yang bisa dipersingkat menjadi 7 bulan sudah merupakan suatu efisiensi dalam suatu produksi pembesaran ikan kakap putih di KJA, sehingga peningkatan produksi tersebut juga akan berdampak terhadap penghasilan pembudidaya. Kata kunci : ikan kakap putih, kja, perbaikan pakan, pertumbuhan dan kelulushidupan PENDAHULUAN BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 72 Permasalahan yang sering muncul dalam pembesaran ikan kakap putih di KJA adalah seringnya ikan kakap putih terserang penyakit terutama sekali adalah jenis parasit. Pada musim-musim tertentu kualitas air di perairan Batam dan sekitarnya sangat jelek, terutama pada saat hujan turun tingkat kekeruhan tinggi akibat dari air permukaan tanah yang terbawa ke laut. Untuk mengatasi hal tersebut maka teknisi di KJA mengambil tindakan dengan perendaman air tawar terhadap ikan kakap putih. Permasalahan lain dalam pembesaran ikan kakap putih di KJA adalah kematian benih ikan kakap putih pada awal tebar. Ukuran tebar benih ikan di KJA sangat mempengaruhi tingkat kelulushidupan, semakin besar ukuran tebar maka tingkat kelulushidupannya juga akan semakin tinggi. Selain itu aplikasi vaksin sebelum tebar untuk pembesaran ikan kakap putih mutlak dilakukan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah nilai gizi dari pakan yang diberikan kepada ikan kakap putih yang dipelihara dalam KJA harus seimbang dan mempunyai nilai gizi yang. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dan tingkat kelulushidupan selama pemeliharaan di KJA. BAHAN DAN METODE Persiapan Benih Sebelum dilakukan penebaran benih ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Asal benih ikan kakap putih yang ditebar di keramba jaring apung idealnya berasal dari panti benih (hatchery). Pemilihan benih merupakan faktor penting dalam memulai usaha budidaya ikan secara umum. Benih yang digunakan pada fase pendederan dan penggelondongan dapat disiapkan terlebih dahulu sebelum ditebar dalam KJA. Ukuran tebar sebaiknya lebih besar dari 10 cm (10-15 gram). Benih yang berasal dari panti benih mempunyai beberapa keunggulan yaitu ukurannya seragam serta kualitas dan kuantitas dapat terjaga. Benih hasil tangkapan alam mempunyai banyak kelemahan yaitu ukuran sering tidak seragam, jumlah dan waktunya tidak dapat ditentukan, sering terdapat luka akibat penangkapan dan transportasi. Vaksinasi terhadap benih ikan kakap putih mutlak dilakukan, hal tersebut untuk mencegah serangan bakteri pathogen. Aplikasi vaksin dapat diberikan dengan cara penyuntikan terhadap benih ikan kakap putih yang sudah berukuran ≥10 cm. Biasanya bakteri yang sering menyerang ikan kakap putih adalah bakteri streptococcus dan bakteri vibrio. Tebar Benih Setelah persiapan wadah dan persiapan benih, tahap selanjutnya adalah penebaran benih. Hal yang penting dalam penebaran benih adalah aklimatisasi. Aklimatisasi adalah proses pengadaptasian/penyesuaian ikan terhadap BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 73 lingkungan barunya. Aklimatisasi perlu dilakukan karena adanya perbedaan, terutama perbedaan terhadap suhu dan salinitas antara daerah asal benih atau media transportasi dengan kondisi air tempat pemeliharaan. Apabila sistem transportasi menggunakan kantong plastik, maka aklimatisasi dilakukan dengan cara mengapungkan plastik tersebut hingga suhu dalam plastik dengan media pemeliharaan hampir sama. Tahap selanjutnya membuka kantong plastik dan memasukan air media pemeliharaan kedalam kantong sedikit demi sedikit. Setelah kurang lebih 10 menit, biasanya ikan akan aktif dan kantong plastik dapat dimiringkan sehingga ikan dapat keluar dengan sendirinya. Padat Tebar Padat tebar benih merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan usaha pembesaran ikan. Padat tebar berkaitan erat dengan pertumbuhan dan angka kelulushidupan. Apabila kepadatan terlalu tinggi pertumbuhannya lambat akibat adanya persaingan ruang, oksigen dan pakan. Seiring dengan bertambahnya ukuran dan berat ikan, maka padat tebar harus dikurangi secara bertahap. Adapun standar padat tebar ikan kakap putih adalah: Tabel 2. Kepadatan Tebar ikan Kakap Putih di KJA Fase Pemeliharaan Ukuran Tebar Padat Tebar Gram Cm (ekor/m3) Pendederan 10-15 10-12 60-75 Penggelondongan 40-50 14-15 50-60 Pembesaran 75-100 17-20 40-50 150-200 20-25 25-30 ≥ 200 >25 10-20 Pemantauan Populasi dan Pertumbuhan Pemantauan populasi menghasilkan informasi kelangsungan hidup ikan sedangkan pemantauan bobot rata-rata akan menghasilkan informasi laju pertumbuhan dan kondisi kesehatan ikan. Pemantauan ikan dilakukan dengan cara sampling. Sampling adalah pengambilan sejumlah contoh ikan kemudian diukur panjang dan bobotnya.. Sampling ikan dilakukan minimal sebulan sekali dengan mengambil ikan secara acak sebanyak 10% dari jumlah ikan yang ada. Pada saat sampling dilakukan perhitungan, pengukuran panjang dan beratnya. Hasil sampling dapat menentukan padat tebar, jumlah pakan, ukuran wadah dan ukuran mata jaring.Sampling ikan dilaksanakan secara teratur untuk mengetahui berat rataBUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 74 rata ikan dalam satu kantong jaring apung. Dengan adanya sampling akan diketahui pertumbuhan, berat biomassa total, penentuan jumlah pakan harian dan waktu gradding. Pelaksanaan sampling dilakukan setiap 2 minggu sekali pada ukuran ikan dibawah 50 gram dan sebulan sekali untuk ukuran ikan diatas 50 gram. Pakan dan Pemberian Pakan Pemilihan jenis pakan untuk ikan kakap putih harus didasarkan pada kemauan ikan untuk memangsa pakan yang diberikan, kualitas, nutrisi dan nilai ekonomisnya. Pakan yang paling disenangi ikan kakap putih adalah berupa pakan rucah segar. Akan tetapi pada daerah tertentu untuk mendapatkan ikan rucah segar tidak tersedia setiap saat dan tergantung musim, sehingga harganya melonjak serta bersaing dengan ikan untuk dikonsumsi manusia. Sedangkan penggunaan pakan buatan (pellet) lebih mudah dan gampang serta ketersediaannya bisa diatur. Frekuensi dan waktu pemberian pakan yang tepat perlu diperhatikan agar mengahasilkan pertumbuhan dan angka kelulusan hidup yang baik serta penggunaan pakan yang efisien. Hal ini berhubungan dengan kecepatan pencernaan dan pemakaian energi. Pada tahap awal pemeliharaan pemberian pakan dilakukan sesering mungkin minimal 4 kali sehari atau sampai ikan kenyang. Apabila ikan sudah tumbuh lebih besar pemberian pakan dapat dilakukan 2-3 kali sehari. Pemberian pakan jangan sampai meninggalkan sisa di dasar wadah pemeliharaan karena sisa pakan yang tersisa akan menjadi incaran ikan-ikan di luar terutama ikan buntal yang berbahaya dan dapat merobek jaring, selain itu juga sisa pakan yang menumpuk di dasar akan menyebabkan sumber penyakit. Penambahan vitamin C dan multivitamin pada ikan laut dapat menambah kekebalan tubuh ikan, mempercepat pertumbuhan, mencegah terjadinya pembengkokan badan, dan memepertinggi angka kelulushidupan. Selain daripada itu pemberian vitamin C dan multivitamin juga dapat meningkatkan kesehatan ikan sehingga warna tubuh lebih cerah dan gerakan lebih agresif. Vitamin C adalah tergolong vitamin yang larut dalam air dan mudah rusak sehingga disarankan pemberian vitamin C pada ikan dilakukan bersamaan dengan pemberian pakan dengan cara mencampurkannya atau dibuat dalam bentuk pellet basah (moist pellet). Dosis pemberian Vitamin C adalah 2 gram/kg berat pakan dan diberikan 2 kali seminggu. Selain pemberian vitamin dan multivitamin pemberian probiotik juga perlu ditambahkan untuk menjaga kesehatan pencernaan ikan kakap putih yang dipelihara. Dosis probiotik yang dicampurkan melalui pakan adalah 2 gram per kilogram pakan dan diberikan dua kali dalam seminggu. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 75 Penentuan jumlah pakan harian harus diperhatikan karena berhubungan dengan pertumbuhan, biaya produksi dan lingkungan. Penghitungannya berdasarkan berat biomassa ikan dikali dengan dosis pemberian pakan. Jumlah pakan sangat erat kaitannya dengan suhu perairan. Pada suhu yang rendah ikan kurang bernafsu makan. Jumlah pakan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur dan menurun sesuai dengan peningkatan ukuran ikan. Penggantian dan Pembersihan Jaring Penggantian dan pembersihan waring/jaring selama masa pemeliharaan mutlak harus dilakukan. Jaring yang kotor akibat penempelan lumpur atau biota penempel seperti: berbagi jenis kerang, teritip dan tumbuh-tumbuhan, dapat menghambat sirkulasi air, pertukaran air dan oksigen. Kalau dibiarkan hal ini dapat menghambat pertumbuhan kerapu dan menimbulkan penyakit. Penggantian jaring dilakukan apabila sudah terlihat kotor. Kadar kekotoran jaring tergantung pada kondisi perairan setempat dan ukuran jaring. Jaring yang mempunyai mata jaring yang lebih kecil akan lebih cepat kotor, biasanya setelah 2 minggu perlu adanya pergantian jaring. Jaring yang kotor sebaiknya dijemur kemudian disemprot atau dibersihkan agar dapat dipergunakan lagi. Sebelum digunakan kembali jaring perlu diperiksa sehingga apabila ada kerusakan atau putusnya tali jaring dapat diperbaiki. Ikan Baronang yang bersifat pemakan tumbuhan dapat membantu membersihkan jaring dari biota penempel khususnya dari jenis tanaman. Untuk jaring berukuran 3x3x3 m dapat dimasukkan 15-20 ekor ikan Baronang. Pengelolaan Kesehatan Ikan Salah satu bagian tidak terpisahkan dari budidaya adalah masalah kesehatan ikan. Bagaimana bagusnya lokasi, lengkapnya prasarana dan benih yang bagus namun kalau penanganan masalah kesehatan tidak maksimal semua itu akan berakibat sia-sia. Langkah-langkah antisipatif yang efektif dan efesien merupakan suatu kebutuhan untuk tercapainya keberhasilan usaha ini Salah satu kegiatan yang perlu dilakukan adalah monitoring kondisi kesehatan ikan. Untuk pencegahan penyakit dengan tepat dan penyakit dapat ditanggulangi secara dini. Pengawasan atau monitoring itu dapat dilakukan dengan cara : 1. Secara reguler memonitor kondisi ikan menyangkut pakan dan lingkungannya. 2. Mencatat dengan baik tentang tingkah laku ikan secara periodik, baik kondisi fisik, terjadinya serangan penyakit, model kematian dan perlakuan yang diberikan. 3. Mengawasi kondisi lingkungan budidaya, misalkan segera membuang ikan yang telah mati agar tidak menular dan mengkarantina ikan sakit. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 76 Panen Teknik panen ikan yang dibudidayakan dalam KJA relatif mudah, namun demikian ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar ikan yang akan dipanen tetap hidup dan tidak luka pada saat pemanenan. Pelaksanaan panen sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari pada saat cuaca teduh, hal tersebut untuk menghindari ikan stress dan kematian. Sebelum panen ikan harus dipuasakan. Lama pemuasaan tergantung jarak tempuh dan ukuran ikan. Biasanya lama pemuasaan 24-72 jam. Hal tersebut untuk menghindari ikan muntah atau ikan kembung (masuk angin) dan berakibat kematian pada saat packing atau pengangkutan. Alat panen yang digunakan sebaiknya berupa serok terbuat dari bahan jaring yang halus. Serok yang kasar dapat menimbulkan luka pada ikan sehingga dapat menyebabkan ikan stress dan mudah terserang penyakit. Selain itu ikan juga perlu disampling dan digrading untuk mengetahui biomass dan memisahkan ikan yang sudah siap jual dengan yang belum masuk ukuran jual atau ikan yang cacat. Adapun langkah langkah dalam pemanenan yaitu : Melepaskan (membuka) Pemberat disetiap sudut jaring Tarik jaring perlahan-lahan dengan mengunakan kayu sebagai pembatas sehingga ikan terkumpul pada sudut/bagian. Perlahan-lahan ikan diserok dengan mengunakan serokan dan kemudian ditimbang bobotnya. KESIMPULAN Budidaya pembesaran ikan kakap putih di KJA pada kondisi daerah tertentu banyak timbul permasalahan. Rendahnya tingkat kelulushidupan, besarnya rasio konversi pakan dan lambatnya pertumbuhan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut ada beberapa hal yang harus diterapkan, antara lain : - Memperbesar ukuran tebar dari yang biasanya 5-7 cm menjadi ≥10 cm - Aplikasi vaksin sebelum di tebar ke KJA - Penjarangan kepadatan tebar - Penambahan vitamin C, multivitamin dan probiotik terhadap ransum pakan - Melakukan tindakan preventif terhadap serangan parasit dengan perendaman air tawar secara periodik - Pendeteksian dini terhadap gejala penyakit Dengan adanya penambahan vitamin C, multivitamin dan probiotik pada ransum pakan yang diberikan kepada ikan kakap putih memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan, tingkat kelulushidupan dan angka rasio konversi pakan ikan kakap putih. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 77 DAFTAR PUSTAKA Akbar, S. 2000. Meramu Pakan Ikan Kakap Putih : Bebek, lumpur, Macan dan Malabar. Penebar Swadaya. Jakarta. Hardjono, 1987. Biologi dan Budidaya Kakap Putih (Lates calcarifer) INFISH Manual seri No. 47. Ditjen Perikanan-International Development ResearchCentre. Jakarta Julinasari dkk , 2002. Pengelolaan Kesehatan Ikan Budidaya Laut. Balai Budidaya Laut Lampung. Seri Budidaya laut No 10. Johni F, Roza. D dan Zafran. 2005. Infeksi Bakterial pada Ikan Laut Budidaya dan Upaya Pengendaliannya. Dipresentasikan sebagai bahan Diseminasi Budidaya Laut Berkelanjutan 10 – 13 April. BBRBL Gondol Bali. 11 hal. Mokoginta. Ing, Dr. 1997. Formulasi Pakan Buatan untuk Ikan Laut. Pertemuan Koordinasi dan Pemantapan Perekayasaan Teknologi Lintas UPT. Direktorat Jenderal Perikanan. Slamet,B.: A. Ismail; Wedjatmiko; dan A. Basyarie. 1995. Teknik Budidaya Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer). Prosiding Seminar Sehari Hasil Penelitian Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Bojonegoro– Serang. Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Bojonegoro. Serang. p. 11-21 Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johny and K. Yuasa.2001. Marine Finfish and Crustacean Diseases in Indonesia. Gondol research Institute for mariculture and JICA. INOVASI PRODUKSI PAKAN ALAMI CACING TUBIFEX Herry*, Sofi Hanif*, Iis*, Evi, Ece Ridwan**, Khojiah**,dan Ardi** Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Direktorat Perikanan Budidaya, Abstrak BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 78 Cacing tubifex adalah salah satu alternatif pakan alami ikan terutama pada fase larva dan benih ikan. Tubifex memiliki kandungan nutrisi yang baik dan cenderung seimbang dan sangat baik untuk pertumbuhan ikan. Didalam tubuh cacing tubifex terkandung kira-kira 57% protein dan 13% lemak (S. Alex, 2011). Cacing tubifex disebut juga cacing lumpur (sludge worm), cacing limbah(sewage worm), ular kapur (lime snake), karena dapat hidup dengan baik pada perairan yang banyak mengandung limbah dan endapan/sedimen lumpur organik bahkan dapat hidup pada perairan yang sangat tercemar bahan organik yang hampir tidak ada spesies lainnya dapat bertahan. Pembentukan kista pelindung dan penurunan aktifitas metabolime merupakan strategi hidup cacing tubifex untuk dapat bertahan dalam kondisi kekeringan dan kekurangan makanan. Cacing tubifex ini banyak digunakan sebagai makanan untuk larva dan benih ikan, baik dalam bentuk hidup, beku kering, atau dalam bentuk pellet. Namun kebanyakan sumbernya bukan hasil budidaya tetapi berasal dari hasil penangkapan dari alam. Perawatan harus dilakukan ketika cacing tubifex digunakan sebagai pakan ikan pada akuarium. Kajian budidaya dengan pendekatan teknik produksi skala usaha masih terbatas. Dari hasil perekayasaan ini di dapatkan data jumlah tubifek sebanyak 257 kg dari bulan mei hingga november 2013 yang berasal dari tiga blok kolam ukuran 2x2 m2 dengan menggunakan bahan pakannya dari ampas tahu, molase dedak halus dengan jumlah tebar awal bibit sebanyak 30 kg. Kata Kunci : Cacing tubifex PENDAHULUAN Latar belakang Cacing tubifex adalah salah satu alternatif pakan alami ikan terutama pada fase larva dan benih ikan. Tubifex memiliki kandungan nutrisi yang baik dan cenderung seimbang dan sangat baik untuk pertumbuhan ikan. Didalam tubuh cacing tubifex terkandung kira-kira 57% protein dan 13% lemak (S. Alex, 2011). Cacing tubifex disebut juga cacing lumpur (sludge worm), cacing limbah(sewage worm), ular kapur (lime snake), karena dapat hidup dengan baik pada perairan yang banyak mengandung limbah dan endapan/sedimen lumpur organik bahkan dapat hidup pada perairan yang sangat tercemar bahan organik BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 79 yang hampir tidak ada spesies lainnya dapat bertahan. Pembentukan kista pelindung dan penurunan aktifitas metabolime merupakan strategi hidup cacing tubifex untuk dapat bertahan dalam kondisi kekeringan dan kekurangan makanan. Kebiasaan makan cacing tubifex adalah dengan cara mencerna sedimen dan memperoleh nutrisi dengan mencerna bakteri secara selektif dan menyerap molekul melalui dinding tubuh (Gilbert dan Granath 2003). Cacing tubifex ini banyak digunakan sebagai makanan untuk larva dan benih ikan, baik dalam bentuk hidup, beku kering, atau dalam bentuk pellet. Namun kebanyakan sumbernya bukan hasil budidaya tetapi berasal dari hasil penangkapan dari alam. Perlu diperhatikan bahwa cacing tubifex biasanya sangat mudah mengkontaminasi wadah air dan dapat menjadi inang Myxobolus cerebralis, yang menyebabkan penyakit pada populasi ikan. Perawatan harus dilakukan ketika cacing tubifex digunakan sebagai pakan ikan pada akuarium. Kajian budidaya dengan pendekatan teknik produksi skala usaha masih terbatas. Tujuan Menghasilkan cacing tubifex sebagai pakan alami bagi larva dan benih ikan. METODE a. Pembuatan wadah kultur Wadah kultur cacing tubifek terdiri dari 3 blok kolam yang terdiri dari kolamkolam tembok persegi empat yang berukuran 2x2 m2 (lampiran 1). Setiap blok terdiri dari 12 s.d. 18 kolam persegi empat. Kolam diberi pelindung dari terpal dan paranet untuk melindunginya dari hujan. Air dialirkan secara grafitasi melalui pipa dari sumber air ke dalam wadah kultur yang berisi media kultur b. Pembuatan Media kultur Media kultur dibuat dari media campuran lumpur dan dedak, dan pupuk organik atau bahan-bahan limbah organik. Cara pembuatan media kultur cacing tubifek dapat dilihat pada lampiran 2. Media campuran tersebut di masukan kedalam wadah kultur dan dihamparkan secara merata dengan ketebalan 5-10 cm. Tambahkan air ke media dan dibiarkan selama 6-7 hari sampai tidak berbau. c. Penanaman cacing Tubifex BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 80 Setelah media dalam wadah kultur direndam selama 6-7 hari, bibit cacing ditebar kedalam lubang-lubang kecil dalam media kultur dengan jarak antara lubang sekitar 10-15 cm d. Pemeliharaan dan pemanenan cacing Tubifex Selama pemeliharaan, kedalam media dialirkan air secara terus menerus dengan debit air yang cukup untuk menjamin ketersediaan oksigen dalam media. Pemanenan dapat dilakukan setelah masa pemeliharaan 8-10 hari. Pemeliharaan cacing dilakukan selama 1-2 bulan per periode. Selama pemeliharaan cacing diberi pakan sebanyak 100% dari bobot biomassa dengan frekuensi 3 hari sekali. Bahan pakan yang diberikan berupa ampas tahu. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeliharaan cacing tubifex Pemeliharaan cacing tubifex dilakukan pada 3 blok yaitu Blok A (16 bak), Blok B (12 bak) dan Blok C (12 bak). Pemeliharaan cacing tubifex dilakukan dengan cara diberi pakan bahan limbah yaitu ampas tahu. Kegiatan harian selama pemeliharaan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Mempertahankan kontinuitas air untuk menjaga ketersediaan oksigen untuk cacing tubifex Memberi pakan dengan ampas tahu setiap 1 hari sekali untuk pemenuhan kebutuhan gizi cacing tubifex. Memastikan bibit cacing harus terjaga dari hama (keong), yang biasanya menjadi pemangsanya dengan cara membuang keong dari media. Pemupukan tambahan menggunakan pupuk kandang, dilakukan setiap 2 minggu sekali. Pemanenan cacing tubifex Sistem pemanenan cacing tubifex dilakukan secara parsial, artinya tidak semua cacing dipanen, namun ada beberapa yang disisakan untuk berkembangbiak. Pemanenan dilakukan beberapa kali dalam setahun, dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang maksimal agar tubifex diharapkan dapat berkembang dengan baik. Pemanenan dilakukan sebanyak 7 kali pemanenan, tercantum pada tabel 2 sebagai berikut : BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 81 Tabel 2. Hasil Panen Pakan Alami Cacing Tubifexdari mei - november 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 Bulan Hasil (kg) Mei 38 kg 190 gelas Juni 40 kg 200 gelas Juli 37 kg 185 gelas Agustus 38 kg 190 gelas September 36 kg 180 gelas Oktober 35 kg 175 gelas November 33 kg 165 gelas Total 257 kg 1285 gelas Keterangan : hasil sampling rata rata per 1 kg cacing sutera setara dengan 5 gelas Panen dan Penanganan Pasca Panen Langkah atau tahapan panen cacing tubifex adalah 1. Cacing tubifex yang sudah banyak di bak dipanen secara parsial dengan menggunakan skupnet dan hasil panen disimpan pada ember besar. 2. Ember besar tersebut yang berisis hasil panen dialiri air, untuk memudahkan pemisahan media dan cacing. Proses ini membutuhkan waktu ± 30-60 menit. 3. Cacing yang bersih diambil, ditimbang 1 kg dan dipacking pada plastik khusus.Penanganan pasca panen cacing tubifex fleksibel, artinya apabila ada permintaan cacing hidup maka diberikan dalam kondisi hidup, apabila sudah jadwal panen dan belum ada permintaan maka hasil panen disimpan dalam freezer dalam kondisi segar. KESIMPULAN Berdasarkan hasil kegiatan budidaya tubifex didapatkan informasi mengenai sistem pemeliharaan, pemanenan dan data produksi tubifek selama proses percobaan. Jumlah tubifek yang didapat sebanyak 257 kg dari bulan mei hingga november 2013. DAFTAR PUSTAKA Conder, Jason M. 2003. Tubifex tubifex culturing Standard Operating Procedure. University of North Texas. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 82 Gilbert, M. A. & Granath, W.O. Jr. (2003). Whirling disease and salmonid fish: life cycle, biology, and disease. Journal of Parasitology, 89(4), pp. 658– 667. Mollah, M.F.A. and M.T. Ahamed. 1993. Sustainable Yield of Tubificids in the outdoor culvert system. Asian Fisheries Science. 6, 229 – 233pp. Rasmussen, C., Billie L. Kerans, James R. Winton, and. Alison E.L. Colwell. 2003. Final Report: Characterization of the Response of Genetically Distinct Tubifex tubifex Populations to M. cerebralis Infection in Laboratory and Natural Systems. PROSPEK PRODUKSI BENIH HIBRID INTERSPESIFIK ABALON Haliotis asinina DAN Haliotis squamata Hery Setyabudi *) ,M.Imannudin**),Ade Yana***) ABSTRACT Abalone culture is relative new developed at Indonesia and focus on two spesies tropical abalone who have high economical value which is Haliotis asinina and Haliotis squamata . Several constraints on developmental abalone BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 83 culture besides continuously of seed availability, the duration of abalone culture, make low interest of the society/fisherman/stake holder to develop abalone culture. The duration on abalone culture until reach to market size, might be caused by seed quality decreasing, slow growth rate, and disease resistance decreasing. One of effort to solve the problem above is with genetic improvement program as selection and hybrid by breeding among similar individu/species from different location (intraspesific) or among different (variably) individual/species (interspesific) that expected to result abalon hybrid that have better character from their broodstock. Spawning method are by nature method and mass method, by collecting 50 male broodstock of abalone Haliotis asinina and 150 female broodstock of abalone Haliotis squamata into spawning tank, fiber glass volume 1,5 ton that provided with egg collector. Controlling to egg collector every morning , if found eggs in collector, screened and washed off imediately then store eggs in plastic jar/container volume 10 liters for sampling and hatching. Trochopore are disperse in larva rearing tank, fiber glass volume 1,5 ton that provided with rearing plate and already wooded by benthic diatome. Larva rearing is conducted for 3 months until seed measure > 0,5 cm and ready to grow out and to be observed its growth. On abalone hybrid rearing and grow out activities, show that abalone hybrid grow faster than H. asinina and H. squamata, with performance of hybrid seed is more active, more attractive with combination of shell color is greenness red and typical meat taste. Key word: Hybridization interspesific, Haliotis asinina, Haliotis squamata, growth, hybrid seed PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Abalon (genusHaliotis) adalah moluska laut bercangkangtunggal dan mempunyai otot besar "kaki" yang digunakan untuk melekatkan diri pada terumbu karang dan substrat.Bagian kaki ini lah yang dapat dimakan dan dianggap lezat serta diminati oleh beberapa Negara di Asia dan Eropa. Permintaanglobal untukabalontetap tinggi, khususnya diChina danAsiaTenggara, dan berkembangdi beberapa bagian negara barat. Permintaaninidipenuhimelalui peningkatanpasokandari produk budidaya BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 84 daribanyak negara, termasuk China, Korea Selatan, Afrika Selatan dan Australia. Budidaya abalon di Indonesia relatif baru dikembangkan dan berfokus pada dua spesies abalone tropis bernilai ekonomis yang ditemukan di beberapa wilayah perairan pantai( seperti Lombok,Bali,Banten,Kendari dan daerah lainnya) yaitu jenis Haliotis asinina (Mimigai) dan Haliotis squamata (Tokobushi) dimana kedua spesies ini masing masing memiliki karakteristik individuyang membuat mereka diterima di pasar ekspor dan domestik yang berbeda. Namun demikian beberapa masalah yang muncul dalam usaha budidaya abalon yaitu seperti ketersediaan benih secara kontinyu dikarenakan rendahnya tingkat kelangsungan hidup dari penebaran larva sampai menjadi benih siap dibesarkan (berkisar 0,5 - 1%). Disamping itu lamanya waktu budidaya yang menyebabkan masyarakat kurang tertarik untuk mengembangkan abalon. Lamanya waktu budidaya abalon sampai mencapai ukuran permintaan pasar kemungkinan disebabkan karena penurunan kualitas benih,laju pertumbuhan yang lambat, dan penurunan ketahanan terhadap penyakit. Kendala ini mungkin bisa disebabkan oleh inbreeding, lingkungan yang buruk, dan metode budidaya yang tidak tepat. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan diatas yaitu dengan program perbaikan genetik seperti seleksi dan hibridisasi yaitu melalui rekayasa pemijahan perkawinan antar individu sejenis dari lokasi yang berbeda (intraspesifik) maupun antar individu yang berbeda (interspesifik). Metode interspesifik hibridisasi diantara genera dan atau family secara umum sudah bisa diterapkan dan sudah sukses untuk beberapa ikan dan kekerangan (seperti ikan mas,lele,salmon,tiram,dan udang) sebagai upaya perbaikan sifat seperti laju pertumbuhan,kelangsungan hidup, serta ketahanan penyakit (Bartley dkk.2001; Hulata 2001 dalam Fabiola Lafarga dan Cristian Gallardo. 2011). Dengan cara yang sama, abalon hibrid juga mempunyai potensi memperoleh keuntungan produksi melalui pertumbuhan yang lebih cepat, adaptasi terhadap kondisi lingkungan budidaya dan kualitas permintaan pasar yang diinginkan,seperti tekstur,warna dan rasa (Elliott 2000;Hamilton dkk.2009a dalam Fabiola Lafarga dan Cristian Gallardo. 2011). Dari hasil kegiatan perekayasaan dan pengalaman dalam kegiatan budidaya abalon yang dilaksanakan di Balai Budidaya Laut Lombok sejak tahun 2008 – 2011, diketahui bahwa karakteristik Haliotis asinina antara lain memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat, komposisi daging yang tebal, namun memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah pada saat BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 85 pembesaran (mudah terserang penyakit karat) dibandingkan dengan Haliotis squamata yang memiliki laju pertumbuhan yang lebih lambat, tetapi memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi dan memiliki cita rasa daging yang khas. Berdasarkan perbedaan keunggulan karakter fenotip kedua spesies tersebut diharapkan hibridisasi antara induk abalone Haliotis asinina dengan Haliotis squamata dapat menghasilkan benih hibrid (varietas baru) yang mempunyai sifat unggul. 1.2. Tujuan Untuk mendapatkan varietas baru abalon melalui interspesifik abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata hibridisasi METODOLOGI Pematangan Gonad a. Induk - induk yang berasal dari alam diperiksa secara morfologi tentang status kesehatan sebelum dimasukkan ke dalam bak aklimatisasi b. Induk jantan dan betina dipelihara pada bak terpisah dan ditempatkan pada keranjang plastik industri serta pemberian pakan dilakukan secara ad libithum/selalu tersedia c. Pengelolaan air dilakukan dengan sistem sirkulasi (flow through) dengan debit kencang dan dilakukan penyiphonan terhadap kotoran setiap hari. d. Cek kematangan gonad setiap mendekati bulan gelap/purnama dengan cara melihat TKG secara morfologi,induk yang matang gonad dipindahkan ke wadah pemijahan,sedangkan induk yang belum matang gonad dikembalikan ke wadah pemeliharaan biasa. Persiapan wadah pemijahan a. Sebelum wadah digunakan untuk pemijahan, dicuci/direndam dengan kaporit selama 1-2 jam kemudian dibilas dengan air tawar dan dikeringkan. Selain sebagai desinfektan, pemberian kaporit juga bertujuan untuk merangsang abalon untuk memijah. b. Sirkulasi air menggunakan sistem air mengalir (flow through) yang sumber airnya dari sistem filtrasi. In let air melalui pipa PVC berdiameter 1 inch yang dapat diatur debit airnya. Untuk saluran outlet, dimodifikasi untuk dapat membuang air pada bagian permukaan dan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 86 pada bagian out let dirangkai dengan bok plastik yang telah dipasang plankton net sebagai egg colector. Bak dilengkapi juga dengan sistem aerasisebagai tambahan suplai oksigen. Persiapan/seleksi induk matang gonad a. Seleksi dilakukan untuk mendapatkan induk abalone matang gonad yang siap dipijahkan (TKG 3, dimana gonad menutupi lebih dari 50 % organ hepatopankreas) b. Tingkat kematangan gonad dapat dilihat dengan cara menguak antara otot abalon dan cangkang pada sisi yang berlawanan dari letak lubanglubang di bagian cangkang menggunakan spatula b. Gonad induk jantan berwarna putih susu/oranye dan gonad betina berwarna hijau sampai keabuan Pemijahan dan pemanenan telur a. Pemijahan dilakukan secara alami, dimana induk abalon hasil seleksi yang menunjukkan TKG 3 (gonad menutupi lebih dari 50% organ hepatopankreas) dipilih dan dimasukkan ke dalam keranjang plastik dan diletakkan pada bak pemijahan. b. Sex ratio antara induk jantan dan betina dalam tiap box plastic pemijahan adalah 1 : 3 (50 ekor induk jantan H. asinina : 150 ekor induk betina H.squamata) c. Pada sore hari siphon bak pemijahan dan debit air yang masuk dibuat pelan/kecil d. Amati pada pagi harinya pada bak pemijahan dan kolektor penampung telur, jika terdapat pemijahan akan terdapat telur di dasar wadah dan air media berwarna putih keruh serta berbau amis. e. Jika terdapat telur atau trocophore maka segera ambil dengan cara disipon dengan menggunakan selang siphon ¾ inch, dan air dialirkan kemudian disaring menggunakan plankton net yang disusun secara bertingkat dengan ukuran 60 dan 200 mikron untuk memisahkan antara telur dan kotoran/sisa pakan f. Telur dicuci bersih kemudian ditempatkan dalam stoples plastik volume 20 liter dan diberi aerasi cukup untuk mengaduk telur agar tidak mengendap di dasar BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 87 g. Jumlah telur, derajat pembuahan (Fertilisasi Rate), derajat penetasan (Hatching Rate), dan jumlah larva dilakukan pencatatan. Pemeliharaan larva a. Bak pemeliharaan larva dilengkapi dengan rearing plate diisi dengan air laut yang telah melewati sistem filtrasi dengan volume 1,5 ton dan dilakukan penumbuhan benthic diatom 1-2 minggu sebelum dilakukan penebaran larva. b. Benthic diatom terlebih dahulu di kultur dalam skala Lab (volume 25 liter), setelah 5 - 7 hari dilakukan pemanenan dan dimasukkan ke dalam bak pemeliharaan larva sebagai starter/inokulan tumbuhnya benthic diatom c. Setelah diatom tumbuh pada rearing plate dilakukan pergantian air total sebelum dilakukan penebaran larva d. Penebaran larva dilakukan pada sore hari dengan kepadatan 100.000 200.000 trochopore e. Setelah umur 7 hari dilakukan sistem air mengalir(flow through) dengan debit air 100 % / hari sampai 90 hari f. Panen dilakukan pada saat benih berumur 90 hari dan sudah mengkonsumsi makro algae (Gracillaria sp) dengan ukuran 1,0 -1,5 cm dan siap didederkan Pendederan benih abalon hibrid a. Pendederan dilakukan pada bak beton volume 10 ton b. Benih dimasukkan ke dalam keranjang dengan kepadatan 500 ekor c. Benih abalon diberi pakan berupa rumput laut segar terutama dari jenis Ulva sp dan Gracilaria sp secara ad libithum atau pakan selalu tersedia dengan dosis berkisar antara 30 – 40 % dari berat biomass per hari. Pemberian pakan dilakukan minimal 2 kali dalam satu minggu. Pakan sebelum diberikan harus dicuci bersih untuk menghindari masuknya hama/predator ke dalam bak pendederan melalui pakan yang diberikan. d. Penyiponan dasar bak terhadap sisa pakan dan kotoran dilakukan setiap pagi hari disertai dengan penggantian air sebanyak 50 % Parameter Pengamatan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 88 Parameter yang diamati dalam kegiatan produksi benih abalone hibrid ini meliputi derajat pembuahan (FR),derajat penetasan (HR),pertumbuhan,performa abalone hybrid, serta analisa genetik. HASIL DAN PEMBAHASAN Rata-rata tingkat pembuahan telur pada pemijahan hibridisasi interspesifik (beda spesies) lebih rendah dibandingkan dengan kedua pemijahan truebreed. Pengertian true-breed adalah dua individu dari ras/spesies sama yang dikawinkan akan menghasilkan keturunan subur (fertil) dengan ciri-ciri yang sama seperti kedua induknya. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak sinkronnya waktu pemijahan (pelepasan gamet) antara masing-masing spesies, dimana Haliotis asinina kebiasaan memijah pada malam sampai dengan dini hari sedangkan Haliotis squamata biasanya pelepasan gamet terjadi pada dini hari sampai pagi hari, oleh karena itu ketepatan waktu pelepasan gamet antara kedua spesies tersebut dalam kegiatan hibridisasi secara alami kemungkinan merupakan salah faktor penentu keberhasilan tingkat pembuahan (fertilization rate) dan penetasan (hatching rate) sampai menjadi larva trochopore. Uji cross breeding di laboratorium antara H. discus dan H. gigantea menunjukkan hibrid bisa dihasilkan dengan derajat fertilisasi rendah (Ahmed et al., 2008 dalam Xuan Luo et al., 2010). Dari hasil uji tersebut diketahui bahwa dalam perkawinan satu spesies (H.gigantea dan H.gigantea ataupun H.discus discus dan H.discus discus, derajat pembuahan lebih dari 90 % untuk umur telur kurang dari 2 jam setelah pemijahan, tetapi menurun dengan bertambahnya umur telur. Sedangkan dalam perkawinan beda spesies, fertilization rate dan hatching rate menurun tajam jika telur dibuahi setelah 20-40 menit setelah pemijahan. Dalam perkawinan antara H.discus discus dan H.gigantea, fertilization rate tertinggi adalah 57,5 % saat telur dibuahi H. gigantea 10 menit setelah memijah. Sedangkan, fertilization rate dalam perkawinan antara H.discusdiscus dan H.gigantea turun sampai kurang dari 30 % ketika telur dibuahi setelah 40 – 50 menit setelah memijah dan hatching rate juga berkurang dengan bertambahnya umur telur. Hasil dari eksperimen mengenai umur gamet menunjukkan bahwa sperma akan kehilangan potensinya dalam 12 jam pada uji kawin silang beda spesies, dan dengan meningkatnya umur telur juga menyebabkan turunnya derajat pembuahan meskipun telur dibuahi menggunakan sperma segar pada konsentrasi sperma yang optimal. Menurut Fallu (1991) bahwa dalam hibridisasi kesempatan untuk suksesnya fertilisasi berkurang banyak jika kondisi telur dan sperma sangat tidak segar. Untuk hasil paling bagus,pencampuran sperma dan telur harus dalam 15 menit setelah pelepasan gamet oleh induk abalon. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 89 panjang cangkang (cm) Pada pemijahan hibrid (jantan H. asinina dan betina H. squamata) menunjukkan derajat pembuahan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan resiproknya (jantan H. squamata dan betina H. asinina). Keberhasilan pembuahan dipengaruhi kualitas sperma yang baik yaitu memiliki energi yang cukup pada proses pembuahan dan pergerakan yang aktif. Pada proses pembuahan telur, spermatozoa memiliki peranan penting yakni penetrasi ke dalam telur, kemudian melebur dengan membran telur, dan melakukan reaksi akrosomal (Gwo et al., 2002 dalam Kusumawardhani, 2012). Pada hibridisasi dengan jantan Haliotis squamata memiliki tingkat pembuahan terendah (35,58%). Dalam kegiatan ini, kondisi telur sudah mati sebelum dibuahi karena perbedaan waktu pemijahan yang cukup lama. Menurut Ebert dan Hamilton (1983); Encena et al. (1998) dalam Kusumawardhani (2012), telur Haliotis asinina masih bisa dibuahi 2 jam setelah dipijahkan dengan menggunakan konsentrasi sperma 1 x 10 5 sperma ml -1 ,namun tingkat fertilisasi dan perkembangan zygot akan menurun sejalan dengan waktu. 3.9 3.6 3.3 3 2.7 2.4 2.1 1.8 1.5 1.2 0.9 0.6 0.3 H.asinina H.squamata Hibrid 2 3 4 5 6 7 8 umur abalon(bulan) Gambar 8. Grafik Pertumbuhan rata-rata panjang cangkang abalon hibrid dibandingkan Haliotis Squamata dan Haliotis asinina. berat tubuh (gram) 6.6 6.3 6 5.7 5.4 5.1 4.8 4.5 4.2 3.9 3.6 BUKU 3.3 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 3 2.7 2.4 2.1 1.8 1.5 H.asinina 90 H.squamata Hibrid Gambar 9. Grafik Pertumbuhan rata-rata berat tubuh abalon hibrid dibandingkan Haliotis Squamata dan Haliotis asinine Gambar 8 dan 9 diatas,nampak pertumbuhan (panjang cangkang dan berat) benih abalon hibrid lebih cepat dibandingkan dengan Haliotis asinina maupun juga dengan Haliotis squamata (panjang cangkang 5 – 10 %lebih cepat dan berat tubuh 10 – 20 % lebih cepat). Tingginya laju pertumbuhan abalon hibrid ini kemungkinan karena adanya efek heterosis positif terkait dengan pertumbuhan. Menurut Huet (1971) dalam Gilangsari (2000) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan meliputi faktor eksternal dan internal. Faktor internal merupakan faktor yang berhubungan dengan ikan itu sendiri yang meliputi umur dan sifat genetik (keturunan dan kemampuan mengkonversi pakan). Koike et al.(1988) dalam Fabiola Lafarga dan Cristian Gallardo (2011) membandingkan pertumbuhan dan laju pemberian pakan (feeding rate) pada 3 spesies abalon (H.madaka, H.gigantea, dan H.discus) dan 4 jenis abalone hibrid (H. madaka ♀ dan H. gigantea ♂, H. gigantea ♀ dan H. madaka ♂, H.gigantea ♀ dan H. discus ♂ dan H. madaka ♀dan H. discus ♂). Hasil penelitian menunjukkan laju pertumbuhan semua abalon hibrid lebih tinggi daripada masing-masing induk jantannya sedangkan efisiensi konfersi pakan dari hibrid lebih tinggi daripada masing-masing induk betinanya. Selain itu kemungkinan laju pertumbuhan abalon hibrid lebih tinggi karena diduga kondisi abalon hibrid yang steril. Menurut Chevassus (1983) dalam Gilangsari (2000) bahwa terhambatnya pertumbuhan akibat kematangan seksual merupakan fenomena klasik yang biasa terjadi pada ikan. Dengan adanya sifat steril pada hibrid, fenomena tersebut dapat dihindari sehingga hibrid akan memiliki laju pertumbuhan yang tidak terhambat oleh proses gametogenesis BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 91 dan pemijahan. Selain itu, sifat steril pada hibrid juga dapat memperbaiki indeks karkas (berat karkas/ berat tubuh total) dan kualitas daging ikan. Hasil studi oleh Ibarra et al. (2005) dalam Fabiola Lafarga dan Cristian Gallardo (2011) bahwa hibrid antara H.rufescens betina dan H. fulgens jantan di hatchery abalon Mexico menunjukkan bahwa ovagenesis terjadi normal pada abalon hibrid betina, sedangkan abalon hibrid jantan menunjukkan spermatogenesis abnormal dan sebagian steril. Penampilan morfologi abalon hibrid Tabel 4. Performa fenotip abalon hibrid hasil hibridisasi interspesifik Haliotis asinina jantan dengan Haliotis squamata betina No. 1. Parameter Bentuk cangkang Tekstur cangkang Warna cangkang Warna otot kaki/daging Proporsi otot kaki/daging H.asinina Oval memanjang halus 6. Perilaku 7. Warna tentakel Rasa otot kaki/daging 2. 3. 4. 5. 8. Spesies H.squamata Oval bulat Kasar Kehijauan Kemerahan Abu-abu Aktif,cenderung bergerombol Hitam kekuningan Sedang, terlihat sama dengan ukuran cangkang pada saat bergerak Pasif,cenderung menyebar/soliter Coklat Hitam Lunak,hambar Kenyal,manis Besar,terlihat melebihi ukuran cangkang pada saat bergerak Hibrid Oval memanjang dan agak melebar Kasar Merah dengan corak kehijauan Dominan hitam Cukup besar,terlihat melebihi ukuran cangkang pada saat bergerak Lebih aktif/cenderung menyebar(soliter) Hitam Lunak,ada rasa manis Analisa Genetik abalon hibrid BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 92 Hasil sekuensing dari Haliotis squamata dan abalon hibrid belum pernah dilaporkan sebelumnya di dalam Genebank. Hasil dari morfologi termasuk laju pertumbuhan, tekstur daging, panjang cangkang dan berat tubuh abalon hibrid, Haliotis asinina dan Haliotis squamata menunjukkan bahwa abalon hibrid lebih dekat hubungannya dengan Haliotis asinina dibandingkan dengan Haliotis squamata yang juga didukung hasil uji molekular (Kurniasih, 2013). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam kegiatan produksi benih abalon hibrid ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemijahan hibridisasi interspesifik induk abalone Haliotis asinina jantan dan Haliotis squamata betina dapat dilakukan secara alami dan dapat menghasilkan strain/varietas baru benih abalon 2. Abalon hibrid yang dihasilkan menunjukkan performa yang lebih baik dari tetuanya terutama dari segi pertumbuhan,tampilan morfologi yang lebih menarik, dan cita rasa dagingnya yang lebih khas (lembut dan manis) Saran 1. Perlu adanya kajian lanjutan untuk mengetahui ketepatan waktu pembuahan (umur gamet) dalam upaya peningkatan keberhasilan tingkat pembuahan dan penetasan larva. 2. Perlu adanya kajian lanjutan untuk teknik pemijahan dengan rangsangan atau dengan kryopreservasi (pengawetan gamet) dalam upaya peningkatan keberhasilan tingkat pembuahan dan penetasan larva 3. Perlu adanya kegiatan uji multi lokasi untuk mengetahui (uji tantang) terhadap kelangsungan hidup,ketahanan terhadap penyakit dan kondisi lingkungan untuk benih abalone hybrid yang sudah dihasilkan DAFTAR PUSTAKA Elliot,N.G. 2000. Genetic Improvement Programmes in Abalone : What is the Future. Aquaculture Research., 31, pp. 51 – 59 Fallu, R. 1991. Abalone Farming. Fishing New Books. Inggris BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 93 Fabiola Lafarga, Cristian Gallardo. 2011. Intraspesies and interspesies hybrids in Haliotis : natural and experimental evidence and its impact on abalone aquaculture. Reviews in Aquaculture.,3, pp. 74 – 99 Firdaus,Iman. 2012. Pengaruh Padat Tebar Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Abalon Hibrid Selama Dua Bulan di Rakit Apung.Skripsi : Fakultas Pertanian,Universitas Mataram Fermin, A. C., Dela Pena, M R., Gapasin, R.S.J., Teruel, M. B.,Ursua,S.M.B., Encena,V.C., Bayona,N.C. 2008. Abalone Hatchery. Aquaculture Department Southeast Asian Fisheries Development Center. Aquaculture Extension Manual No.39 Freeman, K. 2001. Aquaculture and related biological attributes of abalone species in Australia – a review. Fisheries Research Report Western Australia 128. Gilangsari,E.R. 2000. Karakter Kuantitatif Ikan Patin Hibrida antara Pangasius hypopthalmus Betina dengan Pangasius nasutus Jantan pada Fase Pembesaran.Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.. Setyabudi,H, Gagan Garnawansyah, Arif Supriyanto, Ade Yana. 2012. Rekayasa Kawin Silang Abalon Haliotis asinina dengan Haliotis squamata untuk Menghasilkan Benih abalone Hibrid. Makalah ; dipresentasikan pada Indonesian Aquaculture-FITA,Makassar,8-12 Juni 2012 Kusumawardhani,Aldilla. 2012. Fenotip Benih Hasil Hibridisasi Interspesifik Abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata.Skripsi: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor Kurniasih S.T.,Hery Setyabudi. 2013. Genetic Analysis of Abalon hybrid from Haliotis asinina and Haliotis squamata in Lombok Marine Aquaculture Development Center. WWAVP 2013 : 24 th International Conference of the World Association for the Advancement of Veterinary Parasitology. Perth,25-29 Agustus 2013 Kuncoro,aziz. 2013. Pengaruh Pemberian Pakan Buatan dengan Sumber Protein yang Berbeda Terhadap Efisiensi Pakan,Laju Pertumbuhan dan Kelulushidupan Benih Abalone Hybrid. Skripsi : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro,Semarang. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 94 Rusdi,I.,Susanto,B.,Rahmawati,R.,Giri,N.A. 2011. Petunjuk Teknis Perbenihan Abalon, Haliotis squamata. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut,Gondol,Bali. SEAFDEC/AQD. 2007. Training Course on Abalone Hatchery and Grow-out. Aquaculture Departement, SEAFDEC, Tigbauan, Iloilo, Philippines Singhagraiwan T. and Doi M. 1993. Seed Production and Culture of a Tropical abalone, Haliotis asinina Linne. The research Project of fishery resource dev. In The kingdom of Thailand. EMDEC& JICA. 32pp Sofyan,Y 2006. Rekayasa teknologi Pemijahan Abalone Tokobushi (Haliotis diversicolor supertexta) di Balai Budidaya laut Lombok. Makalah disampaikan dalam Forum Perekayasa Budidaya laut di Hotel Lombok Raya, mataram 3-5 Juli 2006 Sudarmawan,R.A. 2012. Pengaruh Seks Rasio Terhadap Tingkat Keberhasilan Pemijahan pada Kawin Silang Haliotis asinina Dengan Haliotis squamata.Skripsi : Fakultas Pertanian,Universitas Mataram. Xuan Luo., Caihuan Ke., Weiwei You., Dexiang Wang. 2010. Factors affecting the fertilization success in laboratory hybridization between Haliotis discus hannai and haliotis gigantean. Journal of Shellfisheries Research PENGARUH HORMON rGH PADA PEMBESARAN IKAN BUBARA (Caranx Sp) DI KERAMBA JARING APUNG Adi Hardiyanto dan Rajab Mahu Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon ABSTRACT Pompano / jackfish / trevally (Caranx sp) is a fish that is easy and can be found in almost all waters in the Moluccas and have high economic value because it is one of the favorite fish Maluku community. However, the BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 95 maintenance of fish requires a lot of amount of feed that is quite high operational costs. This activity aims to determine the effect of hormones on fish rearing bubara RGH given orally through feed trash. Through this application is expected to suppress the hormone as well as shorten the FCR jackfish pisciculture. In the event there are two treatments ie A = feeding trash, trash B = feeding hormone-treated RGH. The dose of hormones used as much as 3 mg / kg of feed given over three times in one week. Initial weight of 17.4 grams of both treatments. In each treatment, fish reared in KJA size 3x3x3 m with a density of 250 individuals per plot. Feeding as many as 10% of the total body weight of the fish and kept for three and a half months. For three and a half months of maintenance that results obtained in the treatment A average fish weight of 284 g, 94% SR and FCR of 6.6 while on treatment B was 312 g, with a magnitude of 95% and FCR of 5.9. Keywords: Hormones RGH, Enlargement Jackfish PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan usaha budidaya perikanan. Pertumbuhan yang lambat akan menyebabkan lamanya waktu pemeliharaan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, lamanya waktu pemeliharaan juga akan meningkatkan resiko-resiko dalam pemeliharaan, seperti terserang penyakit, kematian massal, dan sebagainya. Berbagai upaya penelitian telah dilakukan untuk meningkatan laju pertumbuhan ikan budidaya, khususnya ikan-ikan yang pertumbuhannya lambat, seperti rekayasa lingkungan budidaya dan rekayasa pemberian pakan atau dengan meningkatkan kandungan protein pakan. Namun kandungan protein pakan yang tinggi dapat meningkatkan kadar amoniak dalam perairan, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan budidaya Ikan kuwe/bubara/trevally (caranx sp) merupakan salah satu jenis ikan permukaan (pelagis). Ikan ini hidup pada perairan pantai dangkal, karang, dan batu karang. Ikan kuwe/bubara/trevally (caranx sp) merupakan ikan yang mudah di dapat dan ditemukan hampir di seluruh perairan di Maluku serta mempunyai nilai ekonomi tinggi karena merupakan salah satu ikan favorit masyarakat Maluku. Hingga saat ini benih ikan bubara masih mengandalkan tangkapan alam dam bersifat musiman. Dengan harga benih yang terjangkau yaitu Rp 2.000 per BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 96 ekor (6-8 cm) ikan ini mulai banyak dipelihara oleh pembudidaya di Maluku karena mempunyai beberapa keunggulan komparatif antara lain mampu hidup dalam kondisi kepadatan yang tinggi (150 ekor/m2), mempunyai laju pertumbuhan tinggi dan tahan terhadap serangan penyakit yang pada umumnya terjadi di sekitar area budidaya serta mempunyai nilai jualnya cukup tinggi hingga mencapai Rp 50.000/kg dengan masa peme;liharaan selama 3,5 – 4 bulan. Namun dalam pemeliharaannya, ikan ini membutuhkan jumlah pakan yang banyak sehingga biaya operasionalnya cukup tinggi dimana FCR antara 6 – 8 (Irianto dkk, 2002) . Untuk menekan biaya operasional pakan yang tinggi tersebut maka dilakukan uji coba pemberian hormon rGH secara oral melalui pakan rucah. Menurut Alimuddin et al 2011, ia memilih metode recombinant growth hormone (rGH) karena mampu memberikan perbaikan genetik sebesar 200 persen. Dijelaskannya, pada ikan kakap hitam pertumbuhannya meningkat 60 persen, ikan flounder meningkat 24 persen, ikan mas koki meningkat 43 persen, ikan nila meningkat 171 persen, dan udang vaname meningkat 42,2 persen. Ia mengatakan, aplikasi hormon pertumbuhan pada ikan terbagi dalam tiga cara. Pertama larva ikan direndam dalam air mengandung rGH dengan dosis 0,03-30 mg/L selama 1-2 jam, dan kedua rGH bisa ditambahkan pada pakan dengan dosis 0,5-30 mg/kg dengan tiga atau empat kali pemberian. Atau dengan menggabungkan kedua cara di atas dengan merendam larva dan menambahkan rGH pada pakannya. Pada percobaan ini dosis yang digunakan yaitu sebesar 3 mg/kg pakan mengacu pada dosis yang disarankan oleh produsen yaitu Lab. Genetika IKan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian hormon rGH pada pembesaran ikan bubara yang diberikan secara oral melalui pakan rucah. Melalui aplikasi ini diharapkan pemberian hormon dapat menekan FCR serta mempersingkat masa pemeliharaan ikan bubara. METODE Pada percobaan ini, pemberian hormon rGH pada ikan bubara diaplikasikan secara oral melalui pakan rucah karena lebih praktis dan mengurangi resiko timbulnya stress pada ikan. Pemberian melalui pakan rucah BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 97 dilakukan karena pada uji pendahuluan selama sebulan, benih tidak mau makan pellet dan banyak benih yang mati. Pembuatan larutan hormone rGH adalah sbb: Setelah ditimbang, hormon dilarutkan dalam larutan PBS sebanyak 100 ml/kg pakan dan dicampur dengan kuning telur sebanyak 20 mg/kg pakan,lalu ketiganya dicampur hingga homogen. Larutan disemprotkan secara merata pada pakan ikan rucah,lalu dianginkan selama 30 menit. Pakan dapat langsung diberikan pada ikan Pada kegiatan ini ada dua perlakuan yaitu A = pemberian pakan rucah (kontrol) ,B = pemberian pakan rucah yang diberi hormon rGH . Dosis hormon yang digunakan sebanyak 3 mg/kg pakan yang diberikan selama tiga kali dalam seminggu, masing – masing dengan interval tiga hari. Berat awal kedua perlakuan yaitu 17,4 gr. Pada tiap perlakuan, ikan dipelihara dalam KJA ukuran 3x3x3 m dengan kepadatan 250 ekor per petak. Pemberian pakan dua kali sehari pada awal bulan pertama, selanjutnya satu hari sekali sebanyak 10 % dari total berat tubuh ikan dan dipelihara selama empat setengah bulan. Pengamatan pertumbuhan dilakukan sebulan sekali,sedangkan kelulushidupan dilakukan pada akhir percobaan. Data yang diambil dalam kegiatan ini berupa tingkat kelulusan hidup (SR) dan pertumbuhan dan dilakukan pengambilan sampel sebanyak satu kali dalam sebulan. Data yang telah diperoleh dikumpulkan untuk kemudian diolah menjadi : - Tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate) : - SR = Nt X 100% No - Keterangan : - SR = Tingkat kelangsungan hidup (%) - Nt = Jumlah ikan yang hidup pada akhir percobaan (ekor) - No = Jumlah ikan yang hidup pada awal percobaan (ekor) - - Laju Pertumbuhan spesifik dihitung dengan rumus: SGR = lnWt-lnW0 X 100% T Keterangan SGR = laju pertumbuhan spesifik Wt = Berat ikan pada akhir kegiatan (kg) W0 = Berat ikan pada awal kegiatan (kg) T = Waktu (hari) BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 98 FFCR =Pa/( Wt-Wo+Wm) Keterangan : FCR = konversi pakan Pa = Jumlah pakan yang diberikan (kg) Wt = Biomasa akhir (kg) Wo = Biomasa awal (kg) Wm = Biomasa yang mati (kg) HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan/pertambahan panjang benih mandarinfish Pemberian rGH melalui pakan rucah dapat meningkatkan bobot tubuh ikan bubara. Bobot tubuh ikan perlakuan B (dosis 3 mg/kg pakan) lebih tinggi 9% dibanding perlakuan A (control). Biomassa merupakan bobot total ikan yang hidup hingga akhir penelitian. Selisih biomassa pada kedua perlakuan lebih besar pada perlakuan hormone yaitu sebesar 7,52 kg. Rata-rata bobot tubuh ikan pada kedua perlakuan berbeda tipis dimana pada kontrol sebesar 284 gram sedangkan pada perlakuan hormon sebesar 312 gram, rata-rata hanya selisih 28 gram per ekor. Data pertambuhan berat ikan bubara selama empat setengah bulan masa pemeliharaan dapat dilihat pada table 1. di bawah ini: Tabel 1. Konsumsi pakan, kelangsungan hidup, bobot tubuh akhir,biomassa serta rasio pakan ikan bubara yang diberi pakan mengandung hormon pertumbuhan Perlakuan konsumsi pakan (kg) Survival Rate A B 413,49 413,68 94% 95% Bobot tubuh akhir (kg) 0,284 0,312 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 Biomassa (kg) Rasio Pakan (FCR) 66,74 74,26 6,6 5,9 99 Ket : A = perlakuan kontrol B = perlakuan homon kontrol hormon Grafik 1. Pola pertambahan berat ikan bubara Kelulushidupan ikan yang diberi perlakuan hormon lebih tinggi 1% daripada kontrol. Tingginya nilai kelulushidupan pada kedua perlakuan karena secara umum ikan bubara memiliki SR yang tinggi dimana menurut Sulaiman (2011) ikan bubara memiki SR antara 70 – 95%. Serta tergantung pada penanganan benih pada awal pemeliharaan,grading dan pascapanen.Karena secara umum ikan bubara jarang sekali sakit kecuali adanya kesalahan dalam penanganan seperti grading dan pergantian jaring yang salah,sehingga mengakibatkan luka akibat gesekan dan timbulnya infeksi sekunder. Total konsumsi pakan kedua perlakuan cenderung sama yaitu sebesar 413 kg karena selama masa pemeliharaan jumlah pakan yang diberikan pada kedua perlakuan cenderung sama besarnya. Yang membedakan disini adalah tingkat kelulushidupan dan total biomassa pada akhir perlakuan. Nilai konversi pakan pada perlakuan hormon sebesar 5,9 lebih rendah daripada kontrol yaitu sebesar 6,6. Sehingga dengan selisih yang tipis tersebut biaya produksinya tidak terlalu berbeda jauh. Rendahnya selisih FCR dan biomassa diduga karena dosis yang digunakan terlalu rendah sehingga jumlah hormon yang dibutuhkan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 100 oleh tubuh ikan belum maksimal serta pengguanaan pakan rucah dalam aplikasi ini belum diketahui efektifitasnya. Pemberian hormon pertumbuhan ( rGH) untuk memepercepat pertumbuhan sudah banyak dilakukan dengan berbagai metode. Menurut Alimudin et al ( 2011) hormon rGH dapat meningkatkan efisiensi pakan hingga lima kali lipat dan menurunkan biaya produksi ikan. Setelah diberi rGH terjadi pertumbuhan sebesar 75 persen pada ikan gurame dan ikan sidat 2,5 kali lebih tinggi dari ikan sidat yang tidak diberi rGH. Pemberian rGH sebesar 0,5 g/g bobot tubuh dengan frekuensi selama satu minggu sekali selama 4 minggu pada ikan beronang dapat meningkatkan bobot sebesar 20% dibanding kontrol (Funkenstein et al,2005) . Menurut Sumantadinata dkk (2012), Pemberian rGH sebesar 20-30 mg/kg pakan pada benih ikan nila lebih tinggi 32 – 35% dibandingkan kontrol. Menurut Wawan dkk,(2013) Ikan gurame yang diberikan pakan mengandung rGH dengan dosis 20 mg/kg pakan memiliki bobot rataan 42,27% lebih baik dibandingkan dengan bobot rataan ikan gurame yang tidak diberi pakan rGH. Sehingga pemberian rGH pada pembesaran ikan bubara perlu diteliti lebih lanjut dengan dosis yang lebih tinggi dan variatif untuk memperoleh metode yang terbaik dalam aplikasinya terutama melalui pakan rucah. Serta efektifitas penggunaan pakan rucah dibanding pakan buatan dalam aplikasi hormon ini. Kesimpulan Dan Saran Kesimpulan Pemberian hormon rGH melalui pakan rucah dapat meningkatkan pertumbuhan berat dan menurunkan konversi pakan Saran Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai dosis yang tepat terutama di kisaran 10 – 30 mg/kg pakan. DAFTAR PUSTAKA Alimuddin, Lesmana I, Sudrajat AO,, Carman O, Faizal I. 2011. Production and bioactivity potential of three recombinant growth hormone of farmed fish. Indonesian Aquaculture Journal 5: 11-17 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 101 Funkenstein B, Dyman A, Lapidot Z, de Jesus – Ayson EG, Ayson FG,, 2005. Expression and Purification of a Biologically Active Recombinant Rabbitfish Siganus guttatus Hormone. Aquaculture 250 : 504-515. Irianto B, Zubaidi T, Hasan N, Harwanti S, Suwarda R. 2002 Potensi Pengembangan Budidaya Ikan Kuwe, Caranx spp. Dengan Sistem Keramba Jaring Apung. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros. 49 hal. Kertapati, Inu P, Basuki, F, Yuniarti, tristiana. 2014. Pengaruh Pemberian Rekombinan Hormon Pertumbuhan (rGH) Melalui Metode Oral Dengan Interval Waktu Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Dan Kelulushidupan Benih Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus Burchell, 1822).Journal of Aquaculture Management and Technology.Vol 3. No 2 (2014): Li Y, Bai J, Jian Q, Ye X, Lao H, Li X, Luo J, Liang X. 2003. Expression of Common Carp Growth Hormone in the Yeast Pichia pastoris and The Growth Stimulation of Juvenile Tilapia Oreochromin nilloticus. Agquaculture 216 : 329-341. Wawan, R.M, Indra M, Kusuma A. 2013. Pengaruh Pemberian Pemacu Pertumbuhan (rgh) Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Gurame (Osphronemus gourami) Institusi balitbang kp tahun Terbit 2013 Kode Panggil 639.3/BAL/p Sumber prosiding pertemuan teknis teknisi litkayasa 2013 Desc Fisik xix, 605p .: ilus ,; 28 cm halaman : 401-404 Sulaiman. 2011. Teknin Budidaya Ikan Kuwe (Gnathanodon spesiosus). Skripsi.Sekolah Tinggi Perikanan OPTIMALISASI PEMANFAATAN PAKAN RUCAH (ZERO WASTE) PADA PEMBESARAN IKAN BUBARA (Caranx sexfasciatus) DI SPOT AREA BUDIDAYA DUSUN WAEL KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT Hariyano dan Engko ABSTRACT BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 102 In the year 2013, the aquaculture industrialization policies directed at the utilization of fishery resources based blue economy through the development of innovation -oriented resource conservation to benefit economically , socially , and environmentally sustainable manner . The development of the blue economy is expected to create higher competitiveness through continuous innovation and efficiency , doing development without harming the environment , creating a variety of new industries , and create jobs The application of this concept is actually blue economy indirectly been adopted by the farmers in KJA jackfish rearing in Wael Seram the Western District since 2010 , where the feed utilization of trash in this activity in the absence of residual waste ( zero waste). There are two advantages of feed utilization of trash in the activities of this enlargement , first reduce the operating costs of 70 % to around 40-50 % and the absence of waste so that the waste does not pollute the environment cultivation . This activity lasts for 6 months from May - November 2013 . Feed used are given feed trash without residual waste with 10 % of the administered dose of body weight. Observed data include the growth , feed requirements and business analysis . Daily growth rate obtained was 1.63 % , Feed Conversion Efficiency of feed = 5.6 and = 13.87 % and survival ranged from 90-95 % . And based on the results of the feasibility analysis of the activities of this trash optimize feed utilization can reduce operating costs as much as 20-25 % . Keywords : optimization , zero waste , trash feed PENDAHULUAN Latar Belakang Industrilaisasi perikanan budidaya merupakan suatu proses perubahan dimana arah kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan budidaya, pembangunan infrastruktur, pengembangan sistem investasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan sumberdaya manusia diselenggarakan secara terintegrasi, berbasis industri untuk meningkatkan nilai tambah, efesiensi dan skala produksi yang berdaya saing tinggi. Kedepan, kebijakan industrialisasi perikanan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 103 budidaya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan akan berbasis pada konsep blue economy melalui pengembangan berbagai inovasi yang berorientasi pada pelestarian sumberdaya untuk memberikan manfaat secara ekonomi, sosial, dan lingkungan secara berkelanjutan. Pengembangan blue economy tersebut diharapkan dapat menciptakan daya saing yang lebih tinggi melalui inovasi dan efisiensi yang berkelanjutan, melakukan pembangunan tanpa merusak lingkungan, menciptakan berbagai industri baru, serta menciptakan lapangan kerja. Melalui industrialisasi yang berbasis pada blue economy, para pelaku usaha perikanan, khususnya pembudidaya ikan, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing, sekaligus membangun sistem produksi yang modern dan terintegrasi dari hulu sampai ke hilir dengan memperhatikan asas berkelanjutan. Dengan demikian industrialisasi perikanan budidaya yang berbasis blue ekonomi diharapkan mampu mengokohkan struktur usaha perikanan nasional, yang membawa multiplier effect sebagai prime mover perekonomian nasional. Dalam kegiatan budidaya perikanan, pakan merupakan faktor penting yang perludiperhatikan.Kandungan zat gizi pakan sangat mempengaruhi hasil panen yang merupakantujuan akhir dari proses budidaya.Oleh karena itu, aspek nutrisi dalam pakan ikan mendapatperhatian yang cukup besar oleh para ahli dan juga usahawan.Selain itu, pakan jugamerupakan komponen biaya operasional yang cukup besar dalam kegiatan budidaya, sehinggaperlu diperhitungkan efisiensinya. Efektivitas pemberian pakan dalam kegiatan budidaya merupakan hal yang penting, karena menyangkut efisiensi penggunaan waktu pemeliharaan, jumlah pakan dan jenis makanan optimal yang dikonsumsi oleh setiap individu ikan. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian yang intensif tentang jenis pakan yang lebih baik terhadap pertumbuhan, antara pakan rucah segar yang harganya relatif mahal dengan ikan rucah yang lebih murah, sehingga dapat dijadikan acuan bagi pembudidaya ikan untuk mengefisienkan biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan pakan. Ikan Bubara (C. sexfasciatus) di Maluku umumnya dibudidayakan dengan sistem budidaya Keramba Jaring Apung (KJA). Ikan bubara memiliki beberapa keunggulan antara lain: tidak memerlukan perawatan yang terlalu intensif sebagaimana ikan kerapu (Epinephelus), tahan terhadap penyakit, mampu beradaptasi pada perubahan kualitas perairan yang ekstrim, merupakan ikan yang nafsu makannya besar sehingga pertumbuhannya relatif cepat (Hariyano dkk., 2008).Keunggulan lain dari jenis ikan bubara dalam lingkungan budidaya selain memiliki pertumbuhan yang cepat juga efisien dalam memanfaatkan pakan serta mampu hidup dalam kondisi yang cukup padat. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 104 Dusun Wael merupakan salah satu spot area budidaya yang ada di Kawasan Minapolitan Kabupaten Seram Bagian Barat. Daerah ini merupakan pusat budidaya ikan di keramba jaring apung. Penerapan konsep blue economy ini sebenarnya secara tidak langsung telah diadopsi oleh para pembudidaya pembesaran ikan bubara di KJA di Dusun Wael Kab. SBB sejak tahun 2010, dimana pemanfaatan pakan rucah dalam kegiatan ini tanpa adanya sisa limbah (zero waste). Ada dua keuntungan dari pemanfaatan pakan rucah dalam kegiatan pembesaran ini, pertama menekan biaya operasional dari 70% menjadi sekitar 40-50% dan tidak adanya limbah yang terbuang sehingga tidak mencemari lingkungan budidaya. Oleh karena pertumbuhan ikan sangat dipengaruhi oleh faktor makanan dan biaya untuk pakanmerupakan komponen terbesar dalam operasional budidaya, maka perlu dilakukan suatu kajian tentang pemanfaatan pakan secara optimal sehingga dapat diperoleh hasil panen yang optimum dengan biaya yang relatiflebih murah.Selanjutnya, dengan mengetahui laju pertumbuhan ikan yang dibudidayakan danbeberapa faktor budidaya lainnya (FCR dan SR) akan sangat bermanfaat untuk perhitunganinvestasi (biaya operasional) serta perkiraan hasil panen yang lebih optimum. METODE Seleksi Benih Seleksi benih dilakukan dengan memilih benih yang sehat, tidak cacat pada sirip maupun ekor, ukuran seragam, gerakan lincah, warna cerah, responsive terhadap makanan serta bebas penyakit. Benih yang digunakan yaitu : ikan bubara mata besar (Caranx sexfasciatus). Pemeliharaan Benih Pada awal penebaran benih dipelihara dalam keramba jaring apung dengan kepadatan 500 ekor per jaring (3 x 3 x 3 m) dan selanjutnya ukuran mesh size dan kepadatan ikan disesuaikan dengan ukuran ikan. Keramba jaring apung dibersihkan satu bulan sekali. Disamping itu benih juga dibesarkan pada jaring yang berbentuk lingkaran. Ini dilakukan untuk melihat pengaruh pertumbuhan dengan bentuk jaring yang berbeda. Pemberian Pakan Selama pemeliharaan benih dilakukan pemberian pakan berupa ikan segar seperti ikan lemuru, ikan layang, kembung, teri dan sebagainya. Dosis pemberian pakan 5-10% dari berat total ikan dan diberikan 2 kali per hari (pagi hari jam 07:00) dan sore hari jam 16.30 WIT). Analisa Data BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 105 Pertumbuhan Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan dimensi suatu organisme yang dapat berupa berat atau panjang dalam waktu tertentu. Pengukuran pertumbuhan ikan uji dengan menghitung pertambahan berat biomassa dalam satu wadah, yaitu : W = Wt-Wo Keterangan: W = Pertumbuhan biomassa mutlak ikan uji (g) Wt = Biomassa ikan uji pada akhir penelitian (g) W0 = Biomassa ikan uji pada awal penelitian (g) Logaritma dari persamaan tersebut di atas merupakan regresi linier dimana "g" merupakan koefisien arahnya. Jadi laju pertumbuhan "instantaneous growth (g)" didapat dari regresi linier persamaan berikut: Ln Wt = Ln Wo+gt Keterangan: Wt = Biomassa ikan uji pada akhir penelitian (g) Wo = Biomassa ikan uji pada awal penelitian (g) g = Koefisien laju pertumbuhan t = Lama penelitian (minggu). Efisiensi Pakan Untuk menghitung efisiensi pakan, maka diperlukan informasi berat total ikan saat awal (BT0), berat ikan setelah masa pemeliharaan tertentu (BT1) dan jumlah pakan yang habis setelah masa pemeliharaan tertentu (P) (Safrudin, 2003) dengan formula sebagai berikut: BT1 x BT0 Effisiensi Pakan: x 100% P Konversi Pakan Konversi pakan atau FCR (Feed Convertion Ratio) adalah jumlah (berat) pakan yang dapat membentuk suatu unit berat ikan. Adapun rumus untuk menghitung FCR adalah: Makanan yang dimakan (g) FCR = Pertambahan berat tubuh (g) Kelangsungan Hidup (SR) BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 106 Selama proses penelitian dilakukan pengamatan jumlah ikan Bubara Caranx sexfasciatus yang mati dan jumlah ikan Bubara C. sexfasciatus yang masih hidup, sehingga dapat dihitung prosentase kematian dan kelangsungan hidup ikan Bubara C. sexfasciatus (menurut Chapman, 1968 dalam Martuti, 1989) menggunakan rumus: S = (1 – Z)x100 Keterangan: S = Kelangsungan hidup (%) Z = Koefisien laju kematian, dihitung dengan rumus Z = ln No – ln Nt/t No = Jumlah ikan Bubara Caranx sexfasciatus yang hidup pada awal kegiatan Nt = Jumlah ikan Bubara Caranx sexfasciatus selama periode kegiatan t = Waktu (minggu) HASIL Pola Pertumbuhan Pola pertumbuhan ikan Bubara berdasarkan ukuran berat disajikan pada Gambar 1. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa pola pertumbuhan (berat tubuh) ikan bubaramengikuti pola sigmoid dimana pertumbuhan masih akan terus berkembang sampai dititik pembelokan pertumbuhan mulai melambat. Berat Pola Pertumbuhan Berat 1 2 Pengukuran KeLaju Pertumbuhan Hasil analisa laju pertumbuhan ikan bubaramenunjukkan bahwa laju pertumbuhan pertambahan berat ikan bubarayang diberikan pakan dengan memanfaatkan semua limbah pakan yang adalah 1,73%. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 107 Konversi Pakan (KP) dan Efisiensi Pakan (EP) dan Kelangsungan Hidup (SR) Disamping data pertumbuhan salah satu perhitungan yang menghubungkan pertumbuhan dan jumlah pakan adalah konversi pakan. Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan diperoleh KPadalah 2,97. Untuk mengetahui pemanfaatan pakan oleh ikan serta untuk mencari tahu kualitas pakan tersebut maka dilakukan penghitungan efisiensi penggunaan pakan. EPyang diberikan pada ikan bubara dengan menggunakan pakan ini adalah 33,3%. Berdasarkan hasil kegiatan, diperoleh hasil perhitungan tingkat kelangsungan hidup ikan bubara berkisar antara 90-95%. Analisa Usaha Analisa usaha secara umum ditetapkan dengan tujuan untuk menilai manfaat investasi terhadap suatu usaha yang dilakukan, membandingkan tingkat manfaat investasi terhadap suatu usaha dengan usaha lainnya, dapat digunakan sebagai kendali terhadap investasi usaha yang dijalankan. Dan berdasarkan hasil analisa kelayakan usaha kegiatan optimalisasi pemanfaatan pakan rucah ini dapat menekan biaya operasional sebanyak 20 - 25%. PEMBAHASAN Pertumbuhan merupakan rangkaian perubahan ukuran suatu organisme yang dapat berupa berat atau panjang dalam satuan waktu tertentu. Pada Gambar 1 tentang pola pertumbuhan terhadap pertambahan berat terlihat bahwa pada pengukuran sampling ikan bubara pertama sampai keempat pertumbuhan menunjukan hasil yang agak lambat dan kemudian pertumbuhannya terus naik pada pengukuran minggu kelima. Lambatnya pertumbuhan yang terjadi pada pengukuran sampling pertama sampai ketiga diduga merupakan tahap adaptasi ikan bubara terhadap lingkungannya yang baru setelah ikan diangkut dari tempat penampungan atau penangkapan oleh para nelayan ke tempat budidaya karena pada saat pengangkutan kemungkinan ikan mengalami luka sehingga memerlukan waktu yang agak lama untuk dapat berkembang. Hariyano, dkk., (2009; 2010) menyatakan kematian ikan bubara terbanyak terjadi di awal-awal pemeliharaan karena ikan bubara mengalami luka akibat dari transportasi ikan dari nelayan tangkap ke tempat budidaya dan memerlukan waktu satu sampai dua bulan untuk tahap adaptasinya. Untuk itu dalam kegiatan ini sebelum ikan bubara di tebar di lakukan penyortiran terlebih dahulu dengan memilih ikan yang sehat. Pattipeilohy, dkk., (2009) menyatakan bahwa ikan-ikan hasil tangkapan dari alam memerlukan tahap adaptasi atau domestikasi terlebih dahulu selama beberapa bulan baru bisa makan dengan baik. Selanjutnya Ely dkk., (2009) menyatakan bahwa benih ikan bubara yang diperoleh dari alam yang merupakan hasil tangkapan nelayan, biasanya mengalami luka-luka akibat BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 108 penangkapan dan penanganan yang kurang baik. Oleh karena itu perlu dilakukan domestikasi sehingga dihasilkan ikan yang sehat, mampu beradaptasi dengan lingkungan budidaya. Laju pertumbuhan ikan bubarayang diperolehmenunjukkan bahwa laju pertumbuhan pertambahan berat ikan bubarayang diberikan pakan dengan memanfaatkan semua limbah pakan yang adalah 1,73%. Hasil ini mungkin diduga disebabkan oleh padat tebar yang dilakukan sesuai dengan luas wadah dan kebutuhan ikan untuk dapat tumbuh dengan baik. Hariyano, dkk., (2008) memperoleh hasil laju pertumbuhan ikan bubara hanya berkisar antrara 1,11 1,13%. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Minjoyo, dkk., (2007) yang dalam penelitiannya memperoleh laju pertumbuhan ikan Bawal Bintang (Trachinotus blochii) berkisar antara 0,78 % – 1,40 %. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh oleh Hariyano, dkk., (2008) dan Minjoyo, dkk., (2007) masih lebih baik. Hal ini diduga disebabkan oleh padat penebaran yang berbeda antara yang perlakuan yang dilakukan oleh Hariyano, dkk., (2008) dan Minjoyo, dkk., (2007), dimana Hariyano, dkk., (2008) dalam perlakuannya menebar dengan kepadatan 100 ekor/m3 jaring dan Minjoyo, dkk., (2007) kepadataannya 70 ekor/m3 jaring, sedangkan pada kegiatan ini kepadatannya 64 ekor/m3 jaring. Berkaitan dengan tingkat kepadatan (Kune, 2006) menyatakan bahwa tingkat kepadatan penebaran ikan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ikan. Makin padat tebar yang dilakukan makin lambat pertumbuhannya karena terjadinya persaingan ruang dan pemanfaatan pakan. Demikian halnya yang dikemukakan Supriyatna, dkk., (2008) bahwa ikan yang dipelihara dengan kepadatan yang rendah mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dari pada kepadatan yang tinggi. Lebih lanjut Alit (2009) menyatakan bahwa padat penebaran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan. Kondisi tentang padat penebaran ini bila dikaji lebih lanjut diduga disebabkan oleh adanya kompetisi antar individu untuk mendapatkan makanan dan ruang gerak. Makin padat penebaran yang dilakukan maka kompetisi akan semakin ketat dan kondisi sebaliknya terjadi bila padat penebaran makin kecil maka kemungkinan untuk mendapatkan makanan dan ruang gerak makin besar. Konversi Pakan yang diperoleh dalam kegiatan ini adalah 2,97.Hasil ini bila dibandingkan dengan konversi pakan yang diperoleh Minjoyo, dkk., (2007) pada pembesaran ikan Bubara famili Carangidae jenis ikan Bawal Bintang (T. blochii) ternyata lebih besar (1,985). Perbedaan ini disebabkan perbedaan pakan yang digunakan pada saat pemeliharaan, dimana pada penelitian ini menggunakan pakan ikan momar putih dan pakan ikan belosoh sedangkan Minjoyo, dkk., (2007) menggunakan pellet komersial yang kandungan proteinnya cukup tinggi dengan nilai protein minimal 30% sebanyak 3% dari total biomassa. Namun hasil konversi pakan ini masih layak BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 109 bagi suatu usaha budidaya ikan Bubara. Menurut Ghufron (2004) menyatakan bahwa konversi pakan ikan Bubara adalah 3 – 9. Berdasarkan konversi pakan ikan bubara maka ikan bubara dapat dianjurkan untuk dilakukan usaha pembesaran karena masih dapat menguntungkan. Untuk mengetahui pemanfaatan pakan oleh ikan serta untuk mencari tahu kualitas pakan tersebut maka dilakukan penghitungan efisiensi penggunaan pakan. EPyang diberikan pada ikan bubara dengan menggunakan pakan ini adalah 33,3%.Menurut Buwono (2000) dalam Sukoso (2002) efisiensi penggunaan makanan oleh ikan menunjukan nilai persentase makanan yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh ikan. Jumlah dan kualitas makanan yang diberikan kepada ikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan.Dimanajumlah dan kualitas pakan merupakan faktor penting. Bila pakannya terlalu sedikit, ikan akan sukar tumbuh. Sebaliknya bila terlalu banyak, kondisi air menjadi jelek (Assoniwora, 2009). Kelangsungan hidup (SR) yaitu persentase jumlah benih ikan yang masih hidup setelah perlakuan (Zonneveld dkk., 1991). Kelangsungan hidup berfungsi untuk menghitung persentase ikan yang hidup pada akhir kegiatan. Pada kegiatan ini kelangsungan hidup ikan bubara untuk semua perlakuan adalah 90-95%. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh manajemen pemberian pakan yang teratur serta pengontrolan yang dilakukan tiap hari serta padat tebar yang tidak terlalu tinggi sehingga ada ruang dan pergerakan yang leluasa dari ikan tersebut.Menurut Fajar (1988) dalam Sukoso (2002) tingkat kelangsungan hidup ikan dipengaruhi oleh manejemen budidaya yang baik antara lain padat tebar, kualitas pakan, kualitas air, parasit atau penyakit. Selain itu menurut Mudjiman (2000) pakan yang mempunyai nutrisi yang baik sangat berperan dalam mempertahankan kelangsungan hidup dan mempercepat pertumbuhan ikan. Analisa usaha secara umum ditetapkan dengan tujuan untuk menilai manfaat investasi terhadap suatu usaha yang dilakukan, membandingkan tingkat manfaat investasi terhadap suatu usaha dengan usaha lainnya, dapat digunakan sebagai kendali terhadap investasi usaha yang dijalankan. Dan berdasarkan hasil analisa kelayakan usaha kegiatan optimalisasi pemanfaatan pakan rucah ini dapat menekan biaya operasional sebanyak 20 - 25%. Return of investasi (ROI) 120% dan benefit cost ratio (B/C) ratio 2,56. ROI adalah nilai keuntungan yang diperoleh pengusaha dari setiap jumlah uang yang diinvestasikan dalam periode waktu tertentu. dengan analisis ROI dapat mengukur sampai seberapa besar kemampuan dalam mengembalikan modal yang telah ditanamkan. Dengan ROI 114% artinya dari modal Rp 100,- yang diinvestasikan akan menghasilkan keuntungan sebesar 114 %. Dengan benefit cost ratio dapat dilihat kelayakan suatu usaha. Bila nilainya satu berarti usaha tersebut belum mendapatkan keuntungan. semakin kecil nilai ratio ini, makin BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 110 besar kemungkinan perusahaan menderita kerugian. Dan B/C ratio 2,14 berarti dengan biaya produksi Rp. 100,- diperoleh hasil penjualan 2,14 kali. 1. 2. 3. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: Laju pertumbuhan ikan bubaramenunjukkan bahwa laju pertumbuhan pertambahan berat ikan bubarayang diberikan pakan dengan memanfaatkan semua limbah pakan yang adalah 1,73%. Konversi pakanadalah 2,97 dann efisiensi penggunaan pakan adalah 33,3%. Tingkat kelangsungan hidup ikan bubara untuk semua perlakuan adalah 9095%. Hasil analisa usaha ROI adalah 114% dan B/C adalah 2,14 kali. Saran Memperhatikan hasil yang diperoleh dalam kegiatan ini, maka dapat disarankan: “ Pembesaran ikan bubara di KJA di spot budidaya Dusun Wael selama ini hanya mengandalkan benih dari alam untuk itu kedepan perlu usaha pembenihan yang dilakukan sehingga usaha pembesaran yang terjadi di spot ini dapat terus berlangsung”. DAFTAR PUSTAKA Alit, A. A., 2008. Analisis Finansial Produksi Benih Ikan Kuwe Gnathanodon speciosus Forsskal Dengan Padat Penebaran Berbeda Dalam Hatchery Skala Rumah Tangga di Kecamatan Gerokgak Buleleng Bali. BBRPBLGondol Bali. Alit, A. A. K., Setiadharma T. Dan Katimin, 2008. Pendederan Yuwana Ikan Kuwe Gnathanodon speciousus Forsskal Dengan Jenis Pakan Yang Berbeda di Bak Terkontrol. BBRPBL-Gondol. Alit, I. G. K., 2009. Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Pertambahan Berat dan Panjang Badan Belut Sawah (Monopterus albus). Jurnal Biologi XIII (1), 25-28. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana-Bali. Chrys, 2006. Ikan Kwee (Carangoides). http://www.stp.dkp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=5 27:ikan-kwee-carangoides-chrysophrys&catid=97:ikanlaut&Itemid=130.2006. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 111 Ely, N. Dan Darto, 2009. Domestikasi Calon Induk Ikan Bubara (C. Sexfasciatus) di Bak Terkontrol. Prosiding Laporan Tahunan Balai Budidaya Laut Ambon. Ghufran.M dan Kordi K. 2007. Meramu Pakan Untuk Ikan Karnivor. Baung, Belut, Betutu, Gabus, Jambal Siam, Kakap, Kerapu, Kuwe, Lele, Patin, Sidat, dan Toman. Penerbit: CV.Aneka Ilmu, Anggota IKAPI No.002/JTE. Semarang. Hariyano. E.A. Basir, dan W. Nuraini. 2008. Makalah : Potensi Pengembangan Pembesaran Ikan Famili Carangidae Di Keramba Jaring Apung Teluk Ambon Bagian Dalam. Departemen Kelautan Dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Budidaya Laut Ambon. Hariyano, N. Hendarto, R. Mahu, dan R. Dewi. 2010. Pembesaran Bubara (Caranx sp.) Di Keramba Jaring Apung. Petunjuk Teknis Budidaya Laut. Kementrian Kelautan Dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Budidaya Laut Ambon. Hendarto, N., 2007. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan Rucah Terhadap Pertumbuhan Benih Kerapu Macan Ephinephelus fuscoguttatus Di Keramba Jaring Apung. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Darussalam-Ambon. Kune, S. 2006. Pengaruh Tingkat Kepadatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Beronang Siganus Javus Dalam Keramba Jaring Apung. J.Sains dan Teknologi Vol.6 No. I. 27-34. Universitas Muhammadiyah Makassar. Lestari A. S dan Kadari M., 2009. Penggelondongan Ikan Bawal Bintang (Trachinotus blochii, Lacepede) Dengan Frekuensi Pemberian Pakan yang Berbeda di Keramba Jaring Apung. Jurnal Perekayasaan Budidaya Laut Vol 3. Balai Budidaya Laut Batam. Martuti, Nana KT. 1989. Penggunaan Berbagai Materi “Attractant” Dalam Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Udang Windu (Paneus monodon Fabricius). Skripsi. Semarang : Fakultas Peternakan UNDIP. http://www.google.co.id/search?hl=id&noj=1&q=Penggunaan+ berbagai+materi+Atractant+oleh+Martuti+1989&oq.119331.0.126223.1 8.18.0.0.0.0.3104.16952.0j6j3j6-5j9-4.18.0...0.0.tSDR-yEiQFk. Minjoyo, H., Prihaningrum A dan istikomah, 2007. Pembesaran Bawal Bintang Trachinotus blochii, Lacepede dengan Padat Tebar Berbeda di Keramba Jaring Apung. BBPBL lampung. Mudjiman, A. 2000. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. Pattipeilohy, I. G., Handayani S. Dan Rahmazani, 2009. Domestikasi Calon Induk Napoleon (Cheilinus undulatus) di Bak Terkontrol. Prosiding Laporan Tahunan Balai Budidaya Laut Ambon. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 112 Perucha. Y. 2009. Teknik Pemeliharaan Larva Ikan Kuwe (G. speciosus).http://dc387.4shared.com/doc/n3x4ocJz/preview.html. akses: Jumat, 7-10-2011. Riyanto. S, 2009. kebiasaan makan ikan kuwe (Carangidae) di Selat Makasar dan Teluk Ambon. Vol 2 No 3. Hal 12-17. http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=8203&i dc=33. Akses: Minggu, 23-1-2011. Rufiati. I. 2008. Laporan Praktikum Manajemen Akuakultur Tawar. Laboratorium Akuakultur. Budidaya Perikanan. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. http://my.opera.com/sampah.bermanfaat/blog/index.dml/tag/Laporan%2 0Praktikum%20%20%Manajemen_%20Akuakultur%20Tawar. Akses: Jumat, 10 Juni 2011 Safrudin.D. 2003. Pembesaran IkanKarper Di KerambaJaring Apung. Modul Pengelolaan Pemberian Pakan. http://belajar.internetsehat.org/pustaka//pen didikan/materi-kejuruan.pertanian/budi-daya-ikan-air-tawar/pembesaran/_ ikan_karper.pengelolaan_pemberian_pakan.pd.Akses: Minggu, 12 Juni 2011. Sukoso. 2002. Pemanfaatan Mikroalga dalam Industri Pakan Ikan. Agritek YPN. Jakarta. Supriyatna, A., Romdlianto M dan Gede S. A., 2008. Pengamatan Pertumbuhan dan Sintasan Benih Kerapu Lumpur Ephinephelus coioides yang Dipelihara Dengan Kepadatan Berbeda. BBRPL-Gondol. Zaeni.A, dan Fatchudin.F. 2009. Produksi Benih Bawal Bintang (Trachinotus blochii) Dengan Padat Penebaran Yang Berbeda. Makalah. Departemen Kelautan Dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Budidaya Laut Batam. DETEKSI DAN PENGOBATAN MILKY DISEASE PADA LOBSTER Panulirus spp. Joko Santosa*, Luluk Widayanti**, M. Budianto*** dan Ujang Komarudin**** ABSTRACT BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 113 Milky disease causes huge financial loss on marine lobster -culture. The mortality rate of lobster caused by this disease was between 80-100% out of total population. The infection of bacterial agents is a major problem in marine culture systems. Diseases which occur in East and Central Lombok cause high mortality rate, loss of weight, loss of appetite, change of the colour of carapas to reddish-brown, production of milky-white mucus in ventral abdomen and general weaknesses. Using microbiological tests, the growth of colony was not found in universal media. Molecular test using PCR to detect riketsia-like bakteria with the primer 137F: 5‟-AAC-GAT-CTC-TTC-GGA-GAG-AGT-G-3‟, 137R: 5‟GCC-CAT-TCA-ATG--GCG-ATA-3‟ and 254F: 5‟-CGA-GGA-CCA-GAGATG-GAC-CTT-3‟, 254R: 5‟-GCT-CAT-TGT-CAC-CGC-CAT-TGT-3‟ gave a positive result, while the detection of parasites gave a negative result. Therefore, the disease was diagnosed as septichaemia by rickettsia-like bacteria or Milky Disease. Thus, for treatments 10 mg/kg BW anti-bacterial drug, vitamins, premix and immunostimulants were given. These treatments were successful to keep the survival rate of 67,1 – 73,2%. Key words : Panulirus sp, Septichaemia, Rickettsia-like bacteria, anti-bacterial drug *PHPI Pertama, Molecular Analyst at MADC Lombok Diagnostic Laboratory **PHPI Muda, Tehnical Manager and Bacteriology Analyst at MADC Lombok Diagnostic Laboratory ***PHPI Pelaksana, Parasitology Analyst at MADC Lombok Diagnostic Laboratory ****Top Manager at MADC Lombok Diagnostic Laboratory PENDAHULUAN Latar belakang Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi yang memiliki budidaya lobster. Di Lombok kegitan budidaya berada di pesisir selatan, terpusat di teluk Telong-elong, teluk Ekas, teluk Batunampar, teluk Awang, teluk Bumbang, teluk Gerupuk dan daerah Sekotong. Di pulau Sumbawa juga terdapat beberapa BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 114 lokasi pembesaran lobster karang/Panulirus sp, meskipun tidak sebanyak di pulau Lombok. Lobster dibudidayakan di laut dengan teknologi sederhana menggunakan keramba jaring apung yang terbuat dari bambu atau kayu, namun ada pula yang sudah menggunakan karamba Polietylen. Spesies lobster yang dibudidayakan 90% merupakan jenis lobster pasir (Panulirus homarus) sedangkan sisanya adalah lobster bambu, lobster mutiara, lobster batu dan beberapa jenis lain. Pemberian pakan dilakukan dengan ikan rucah dari hasil tangkapan menggunakan bagan atau jaring. Saat ini sudah mulai dikembangkan pula pemberian pakan buatan pellet untuk lobster. Budidaya lobster di Lombok melibatkan sekitar 500 KK dengan jumlah karamba mencapai 1200 buah. Kegiatan ini menjadi penting bagi kehidupan warga pesisir Lombok karena nilai komoditas yang tinggi dan banyak yang 100% penghidupannya bergantung pada hasil laut dan budidaya. Saat ini benih yang ditangkap memiliki harga 8000-15000 rupiah tiap ekor sedangkan lobster siap jual berharga 300 ribu – 600 ribu perkilogram pada ukuran 150 gram keatas. Serangan penyakit menjadi kendala utama proses budidaya dan dilaporkan megalami peningkatan seiring berkembangnya kegiatan ini. Kasus yang meningkat selalu dihubungkan dengan kondisi lingkungan, stressor, system pemeliharaan, tingkat kepadatan populasi dan kualitas lingkungan yang memburuk. Diantara penyakit lobster, Milky disease adalah penyakit yang diketahui menyebabkan kematian masal dan kerugian besar. Penyakit ini pernah dilaporkan mewabah pada industry budidaya lobster di Vietnam yang mengakibatkan turunnya produksi dan kerugian yang tidak sedikit. Rickettsialike bakteria (RLB) diketahui sebagai penyebab dari infeksi sistemik/septichaemia pada lobster. Morphology dari bakteri ini adalah berbentuk batang, gram negative dengan ukuran 0.45µm x 1.5 µm, melakukan replikasi di sitoplasma dan bersifat parasite obligat intaraseluler. Bakteri ini memiliki target serangan pada jaringan ikat, organ lymphoid, sel epithel cuticula, sel darah dan sel haematopoetic. Sebagaimana penyakit lain yang disebabkan oleh bakteri maka agen therapeutic yang efektif untuk mengatasi infeksi RLB adalah anti biotik. Ada beberapa antibakteri yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah ini. Flouroquinolone, oksitetrasiklin, tetrasiklin, doxysiklin, thiamphenicol, rifampin. (Dung, 2012) Di Lombok, mulai tahun 2010 kasus kematian lobster akibat penyakit mulai sering dijumpai sehinga cara deteksi cepat,diagnosa yang benar diharapkan bisa diambil untuk memberikan treatmen yang tepat sehingga mengurangi kerugian. Tujuan a) Identifikasi dan deteksi penyebab penyakit Milky Disease pada lobster BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 115 b) Mencari cara pengobatan penyakit Milky Disease. KASUS KEJADIAN PENYAKIT Anamnesa Menurut pembudidaya lobster, kasus penyakit mulai timbul sekitar tahun 2010, menyerang lobster pasir dan lobster mutiara. Lobster dengan ukuran 50gr – 150gr mulai terkena penyakit pada karamba budidaya dengan kematian tinggi di teluk Telong-elong yang kemudian diikuti terjadi pula di teluk Awang, Teluk Gerupuk dan Teluk Ekas pada beberapa waktu berikutnya. Kejadian penyakit semakin parah kematian dan tingkat sebaran penyakitnya hingga akhir 2012. Banyak pembudidaya yang menghentikan sementara budidaya lobster dan mencoba komoditas lain seperti ikan kerapu, kakap dan bawal putih. Lobster yang terkena penyakit dipelihara di jaring pada karamba bambu di perairan teluk dengan kepadatan 200-300/ jaring. Berdekatan dengan pembudidaya lain dengan jarak 20-50 meter antar karamba. Tingkat kepemilikan jumlah karamba lobster bervariasi diantara pembudidaya, berkisar antara 8 lubang hingga 200 lubang. Tingkat dating dan keluarnya lobster dari karamba terjadi ketika penebaran benih dan penjualan lobster dewasa, namun pada beberapa karamba berfungsi juga sebagai penampungan sementara dalam jual beli benih dan lobster untuk dikirim ke tempat lain atau di ekspor. Gejala Klinis Gejala yang bisa diamati dari kejadian penyakit adalah serangan penyakit dengan mortalitas dan morbiditas tinggi. kasus penyakit menimpa hampir semua populasi lobster dengan gejala lobster mengalami kelemahan umum, aktivitas hanya pada dasar jaring karamba, hilang nafsu makan, kematian yang bertahap hingga mencapai 90%. Perubahan warna karapas kemerahan kadang ditemukan, namun kadangkala juga tidak terjadi, pada bagian otot perut ditemukan cairan dari semula jernih keputihan hingga putih kecoklatan. Penyakit ini menular secara cepat diantara lobster dalam satu jaring dan kemudian dalam satu karamba. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 116 Gambar.1 Lobster dengan gejala sakit MATERI DAN METODE PEMERIKSAAN PENYAKIT Pengambilan sampel Pengambilan sampel dilakukan pada lobster yang menunjukkan gejala sakit,. Sampel diambil dari beberapa tempat, karamba lobster punya Bp. Hweri dan Samsudin di Telong-elong, Kecamatan Jerowaru Kab Lombok Timur. Pembudidaya ini memiliki sekitar 30 lubang karamba jaring apung yang berisi lobster dan beberapa jenis ikan lain. Lobster berjumlah 6 ekor berumur 4 bulan dari ketika ditebar, berat ± 60gram. Sampel juga diperoleh dari Bp Pamit, dari teluk Awang, Lombok Tengah, pemilik sekitar 50 lubang karamba. Lobster berumur 5 bulan dengan berat ± 80gram, sebagian besar merupakan jenis lobster pasir. Selain pembudidaya lobster pak Pamit juga melakukan pengumpulan benih lobster dari alam pada karambanya dan melakukan jual beli benih untuk dikirimkan ke pengepul. Sampel juga diambil dari karamba milik BPBL Lombok di teluk Gerupuk dan Karamba di Sekotong. Kejadian kematian sudah terjadi lebih dari satu minggu. Tindakan yang yang telah dilakukan pengelola adalah pemberian beberapa jenis tanaman herbal bersamaan dengan pemberian pakan yang diharapkan bisa mengurangi penyakit. Kultur Bakteri BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 117 Lobster diletakkan pada sisi punggung berada di atas. Bagian punggung diulas diantara karapas dan badan/ekor dengan kapas yang telah dibasahi alkohol 70%.Haemolimph diambil dengan jarum 20G sebanyak sekitar 1ml. Haemolimp diinokulasi pada TSA dan TCBS dengan beberapa tetes haemolimp. Lalu diulas pada media untuk mendapatkan koloni yang terpisah untuk dilakukan identifikasi bakteri. Pengecatan Gram Slide direndam dalam alcohol 95 % lalu dibersihkan, Slide dilewatkan api 3x. Jarum ose dipanaskan, ambil aquadest steril dengan ose tersebut. Dimbil haemolimp dengan jarum dan diletakkan pada slide beberapa tetes, diratakan hingga terbentuk film yg tipis. Dikering anginkan selama 5 menit. Tuangkan crystal violet (Gram A) pada slide biarkan selama 1 menit, Cuci dengan air mengalir/ ledeng, kemudian dikering anginkan. Tuangkan gram,s iodine pada slide, diamklan selama 1 menit. Cuci dengan air mengalir dan kering anginkan. Cuci dengan alcohol 95%, Cuci dengan air mengalir dan kering anginkan. Lakukan counter stain dengan safranin 1% selama 20 detik. Cuci dengan air mengalir dan kering anginkan, Amati dibawah mikroskop meliputi warna dan bentuk sel bakteri Uji Polimerase Chain Reaction Selain dilakukan pemeriksaan secara mikrobiologi, dilakukan pemeriksaan secara molekuler terhadap rickettsia-like bakteria. Sampel organ diambil dari bagian abdomen atau jaringan ikat yang terserang. Ekstraksi sampel dilakukan menggunakan Genereach extraction kit-lisosim, mastermix menggunakan Taqman Universal Mastermix serta menggunakan primer 137F: 5‟-AAC-GAT-CTC-TTC-GGA-GAG-AGT-G-3‟, 137R: 5‟-GCC-CAT-TCAATG--GCG-ATA-3‟ dan 254F: 5‟-CGA-GGA-CCA-GAG-ATG-GAC-CTT3‟, 254R: 5‟-GCT-CAT-TGT-CAC-CGC-CAT-TGT-3‟ (oie, 2010). Profil amplifikasi PCR tertera pada table 1 & 2. Tabel 1. Profil amplifikasi mengunakan primer 137 F/R = 137 bp Proses Hot start Amplifikasi Final 1. Suhu 95 o C 61 o C 72 o C 95 o C 61 o C 72 o C Waktu 5 menit 30 detik 30 detik 30 detik 1 menit 2 menit BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 Siklus 1 30 1 118 Tabel 2. Profil amplifikasi mengunakan primer 254 F/R = 254 bp Proses Hot start Amplifikasi Final 2. Suhu 95 o C 65 o C 72 o C 95 o C 65 o C 72 o C Waktu 5 menit 30 detik 30 detik 30 detik 1 menit 2 Menit Siklus 1 30 1 (* Dung, 2012) Uji Parasitologi Dilakukan ulas basah dan pengamatan menggunakan mikroskop binokuler terhadap keberadaan parasit HASIL DAN PEMBAHASAN Kultur Bakteri Dari sampel yang diambil di 4 tempat yang berbeda, tidak terjadi pertumbuhan pada tiga sampel pada media TSA dan TCBS sedangkan satu sampel dari karamba BPBL Lombok di Sekotong terdeteksi tumbuh koloni pada media TCBS. Ketika dilakukan uji lanjutan diperoleh hasil Vibrio alginolitycus. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 119 Gambar.2. Hasil kultur pada media TCBS dan TSA, tidak tumbuh koloni Tabel 1. Hasil pertumbuhan koloni pada media TSA dan TCBS Asal Lokasi Sampel TSA TCBS Hasil Identifikasi Telong-elong - - - T. Awang - - - T. Gerupuk - - - Sekotong - Ada V.alginolitycus BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 120 Pengecatan Gram Hasil pengecatan gram menunjukkan hasil bahwa bakteri tersebut merupakan gram negative yang berbentuk batang lengkung, dengan ukuran 0,6 x 1,4 hingga 2,0 µm. Gambar 3. Hasil pengecatan gram, bakteri berbentuk batang, lengkung. termasuk gram negative. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 121 Uji Polimerase Chain Reaction Hasil amplifikasi menggunakan sybr green dan elektroforesis amplicon dengan metode konvensional menunjukkan hasil positif terhadap RLB. Uji Parasitology Pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya parasit pada sampel lobster. Gambar 5. Pemeriksaan parasit pada insang, ujung sirip ekor dan ulas haemolimp lobster,tidak ditemukan parasit Dengan hasil pemeriksaan kultur bakteri negative pada sebagian besar sampel, kecuali pada satu sampel. Pengecatan gram negative, hasil PCR positif terhadap RLB, hasil pemeriksaan parasit negative maka diambil kesimpulan diagnosa dari kejadian kasus ini adalah septichaemia akibat infeksi Rickettsialike bakteria/ milky disease. Differensial diagnosa dari penyakit milky disease adalah Vibriosis. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 122 Pengobatan Penyakit Berdasarkan diagnosa dan differensial diagnosa penyakit lobster diatas maka terapi yang diambil adalah pemberian oksitetrasiklin dengan dosis 10mg/kg BB, suplementasi pakan dengan vitamin dan premix. Penggunaan oksitetrasiklin pada hewan aquatic menurut Carpenter, 2001 secara intramuscular pada dosia 10 mg/kgBB q24h. secara IP/IM pada 25100mg/kgBB. Dung, 2013 menganjurkan penggunaan a.b oksitetrasiklin untuk pengobatan MHD pada dosis 10 mg/kgBB. Komposisis multivitamin yang disarankan adalah vitamin A,D, E, C, B1, B2, B6, Choline Chloride, Ca-dpantothenate, Nicotinic acid dan Folic acid. Jadwal pemberian treatmen, Hari pertama : suntikan oksitetrasiklin intra muskuler. Pengobatan dilakukan menggunakan Oxytetracylin Long Acting injection yang diencerkan 10 kali dengan larutan pengencer atau aquabides menggunakan spuit baru. Campuran obat dikocok hingga teremulsi sempurna dan homogen. Campuran disuntikkan dengan dosis 0,1 ml/100 gr BB lobster secara intra muscular pada ruas pertama otot abdominal lobster. Pengobatan hanya dilakukan pada lobster dengan berat diatas 50 gram. Hari ke 2 - 6 : pemberian pakan yang diperkaya dengan vitamin. Hari ke 7 : pemeriksaan kondisi lobster yang dilakukan pengobatan, jika masih ada yang menunjukkan gejala sakit, dilakukan injeksi lagi. Hari ke 8 : pemberian pakan yang diperkaya dengan vitamin, premik dan mineral. Karamba Jumlah lobster yang dilakukan treatmen Survival Rate Kasus berulang/tidak Bp. Hweri, telong-elong 4200 ekor 1800 ekor 3000 ekor 2830/67,3% Berulang 1271/70,6% Tidak berulang Berulang Samsudin, telong-elong Bp. Pamit, Awang 2013/67,1% BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 123 BPBL-L St.Gerupuk BPBL-L St.Sekotong Tanpa Treatmen 3500 ekor 900 ekor 2563/73,2% 643/71.4% 200 ekor Tidak Berulang Tidak Berulang 58/29% Aplikasi pengobatan lobster dilakukan secara injeksi mengingat sifat obat yang mudah terdegradasi oleh cahaya dan sulitnya pemberian pakan secara peroral pada lobster. Pemberian obat dengan perendaman sudah dicobakan, namun tidak memberikan efek yang bagus. Medikasi dilakukan di beberapa tempat. Di teluk Telong-elong pada Karamba Bp Hweri, populasi yang terkena penyakit sekitar 10.000 ekor. Aplikasi pengobatan dilakukan terhadap 4200 ekor lobster ukuran 100gram/ekor. Injeksi dilakukan dua kali dengan interval 1 minggu. Suplementasi vitamin dan premix dilakukan pada periode antara dua tindakan tadi. Pengecekan kematian yang masih terjadi dilakukan tiap hari, lobster yang mati dipisahkan dan dimusnahkan. 1 bulan dari pengobatan terakhir dilakukan pengecekan jumlah terhadap lobster yang bertahan hidup. Kegiatan yang sama juga dilakukan pada karaamba milik Syamsudin, dengan populasi yang terkena penyakit sebanyak 1800 ekor. Pada karamba Bp Pamit di teluk Awang dengan populasi yang terkena penyakit sebanyak 3000 ekor. Pada karamba milik Balai di teluk Gerupuk dengan populasi 3500 ekor. Pada karamba BPBL Lombok yang ada di sekotong sebanyak 900 ekor Survival rate dari populasi terkena penyakit yang dlakukan treatmen pada karamba Bp Hweri sebesar 67,3%, pada karamba Syamsudin 70,6 %, karamba Bp Pamit 67,1% dan karamba punya Balai 73,2% dan 71,4%. Variasi survival rate ini diakibatkan perbedaan tingkat keparahan, tingkat kepadatan lobster pada jaring, serta keluar masuknya populasi lobster pada karamba tersebut. Karamba Bp Hweri memiliki tingkat keparahan serangan paling buruk karena populasi yang banyak, tingkat kepadatan tinggi dan selain melakukan pembesaran juga melakukan pembelian dari masyarakat / pengumpul. Bp Pamit juga berprofesi sebagai pengumpul lobster tangkapan dari alam. Sehingga Survival rate lebih rendah dari kepunyaan Syamsudin dan KJA milik Balai. Terjadinya lalu-lintas lobster dan benih dari luar ini bisa jadi merupakan indikasi berulangnya infeksi penyakit pasca pengobatan. Pembahasan Rickettsia-like bakteria belum terklasifikasikan dalam susunan taksonomi, bakteri ini merupakan gram negative, berbentuk batang atau koma, berukuran 0,6 x 1,4 hingga 2,0 µm. bakteri ini juga belum berhasil untuk BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 124 dikultur secara invitro. Penularan penyakit ini terjadi secara horizontal dari lobster yang berada satu jaring atau secara langsung melalui air pada lobster yang berbeda jaring. Infeksi alami ditemukan ada lobster Panulirus sp terutama P.ornatus, P.humarus, P.stimpsoni. penyakit ini menyerang pada benih hingga dewasa. Masuknya bakteri dan terjadinya serangan penyakit sangat cepat. Lobster yang terkena menjadi tidak aktif dan hilang nafsu makan. Dalam 3 - 5 hari setelah infeksi timbul cairan haemolimph yang berwarna keputihan pada bagian bawah pleura eksoskeleton yang akan kelihatan bada bagian abdominal/perut. Haemolimph jika diambil menggunakan jarum suntik akan berwarna putih berkabut hingga putih susu dan tidak akan menjendal. Differensial diagnosadari kasus inii adalah vibriosis, vibriosis adalah penyakit yang diakibatkan oleh Vibrio spp. Hal ini dikuatkan oleh salah satu hasil kultur bakteri yang mengarah pada Vibrio algynolitycis, meskipun vibrio adalah nomal ditemukan pada organisme yang hidup di laut. Vibrio alginolyticus merupakan bakteri gram negative yang berbentuk batang bengkok atau koma, berukuran 0,5 - 0,8 x 1,4 - 2,6 µm. koloni tumbuh menyebar dalam media padat dan memiliki diameter 2 – 3 mm. Bakteri ini tumbuh bagus pada media TCBS dengan warna kuning dan koloni besar. Vibrio alginolyticus sering ditemukan pada perairan payau dan laut. Beberapa gejala lobster yang terinfeksi Vibrio alginolyticus adalah perubahan warna merah kecoklatan, kelemahan umum, nafsu makan hilang, pasif pada dasar jaring karamba, penularan hampir pada semua lobster pada satu populasi, kematian tinggi (Dung, 2013) kadang disebut pula red body disease. Berdasarkan diagnosa diatas, terapi yang memungkinkan untuk treatmen adalah flouruquinolon, oksitetrasiklin, doxysiklin, triamphenicol dan rifampin. Namun terapi yang disarankan untuk dilakukan adalah injeksi oksitetrasiklin 10 mg/kg BB karena jenis obat ini mudah didapatkan dan untuk keamanan pangan, withdrawl time obat dalam produk ikan relative tidak terlalu lama. Pada pengujian residu OTC menggunakan ELISA, dalam 1 bulan setelah treatmen, kandungan obat sudah tidak ditemukan pada otot. Selain itu juga dilakukan pemberian pakan yang disuplementasi dengan vitamin, premix dan immunostimulan. Pengobatan menggunakan oksitetrasiklin pada lobster yang menunjukkan gejala awal penyakit atau lobter yang beresiko akan tertular penyakit menunjukkan hasil yang siknifikan, dengan tingkat survival mencapai 67,1 – 73,2%. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 125 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan a) Penyebab menyakit Milky disease adalah Rickettsia-like Bakteria b) Tidak ada infeksi parasit yang terlibat dalam kasus Milky disease c) Pengobatan menggunakan antibacterial dengan injeksi OTC dengan dosis 10mg/kgBB mempertahankan SR hingga 73%. Saran Agar kasus Milky disease tidak berulang pada tempat yang sama, suplementasi premik dan vitamin padaa pakan disarankan selama treatmen selain menghindari lalu-lintas masuknya lobster baru pada karamba. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Milky Haemolimph Disease of Spiny Lobster (Panulirus spp). OIE, France. Anonim.2010. University of Arizona‟s Pathology Short Course, Arizona, US. Carpentter, James. W. 2001. Exotic Animal Formulary. W.B Sounders Company. Philadelphia, Pensylvania. USA. Dung, Nguyen Huu. 2013. Disease of Spiny lobster Cultured in Vietnam. Nha Trang University. Vietnam. Post,George. 1983. Textbook of Fish Health. TFH Publication. Sindermann, Karl. J. 1990. Principal Disease of Marine Fish and Shellfish. Academic Press, San Diego. California. USA. Murdjani, M.. 2002. Identifikasi dan Patologi Bakteri Vibrio algynolyticus pada ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). Program Pascasarjana Universiitas Brawijaya. Malang. Thoesen,John C. 1994. BlueBook : Sugested Procedures for the Detection and Identification of Certain Finfish and Shellfish Pathogens. American Fisheries Society. Maryland. Whitman, Kimberley A. 2004. Finfish and Shellfish Bacteriology Manual Techniques and Procedures. Iowa State Press. Iowa. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 126 PERLAKUAN GNOTOBIOTIK KULTUR ARTEMIA DENGAN β-GLUKAN: KAJIAN POTENSI β-GLUKAN UNTUK MEMPERKUAT RESISTENSI TERHADAP VIBRIOSIS Romi Novriadi, Muh Kadari, R. Pramuanggit, Wibowo Hartanto ABSTRACT Alternativestrategiestoreduceandprevent thelethaleffectsfromdiseases infectiononaquaculture activitiesare needed, especiallyafter it was revealedthat theuse ofantibioticsproved to be ineffectiveandhas led to the resistance inseveralstrainsof bacteria. Onealternativestrategyisthe use ofβ-glucan thathas beenknownin generalplays an important rolein enhancing the innate and adaptiveimmunesystem. In this study, the protective effect of β-glucans produced from a specially-selected strain of the yeast Saccharomyces cerevisiae (MacroGard), was tested on nauplii of the brine shrimp Artemia at various concentrations under gnotobiotic conditions. Challenge tests were performed with two pathogenic bacteria: Vibrio harveyi BB120 and a novel strain of Vibrio HABRA6 (H6), at a concentration of 10 5 cells ml-1. An autoclaved LVS3 was provided as a food source at a density of 107 cells ml-1 to the Artemia during observation period. Various challenge tests showed that three different concentration of β-glucan to enhance the immune system based on size distribution analysis, 39 µg/L, 100 µg/L dan 200 µg/L was able to provide a protection effect to the gnotobiotic culture of Artemia from bacterial infections.This resultconfirms the potentialuse ofβ-glucan as analternativeprophylactic approachfromthe use ofantibiotics, especiallyfor the diseaseprevention. Kata kunci: β-glucan, Artemia, gnotobiotic, Vibrio spp PENDAHULUAN Industri perikanan budidaya ikan dan udang merupakan sektor yang sangat diharapkan dapat berkontribusi dalam peningkatan ekonomi masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu kegiatan industri perikanan adalah penyediaan benih ikan dan udang yang berkualitas agar menjamin keberlanjutan dan peningkatan produksi budidaya. Program penyediaan benih berkualitas sangat bergantung kepada penentuan strategi pemberian pakan yang tepat, sejak masa transisi dari ketergantungan pada kuning telur hingga konsumsi pakan alami dari lingkungan (Hjort, 1914). Diantara pakan alami, BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 127 Artemia banyak digunakan di berbagai panti benih ikan dan udang dikarenakan kualitas nutrisi yang tinggi untuk mendukung pertumbuhan larva dan sistem penyediaan yang mudah (Sorgeloos et al., 1986). Artemia sebagai pakan alami mengandung asam lemak 20:5 (Ω-3) eicosapentaenoic acid atau EPA (Leger et al., 1986) yang sangat dibutuhkan oleh sistem pencernaan larva. Namun, ada kekhawatiran bahwa Artemia dapat menjadi vektor dalam perkembangan penyakit, khususnya penyakit yang disebabkan oleh kelompok bakteri patogen Vibrio penyebab vibriosis yang dapat menyebabkan tingkat mortalitas yang tinggi (Gomezgil et al., 1994; Muroga et al., 1994; Verdonck et al., 1994). Pada budidaya Artemia, beberapa bakteri patogen yang termasuk kedalam genus Vibrio spp dilaporkan telah menjadi mimpi buruk dan menjadi salah satu faktor penghambat dalam keberlanjutan produksi, diantaranya adalah: Vibrio hispanicus (Gomez-Gil et al., 2004); Vibrio alginolyticus (Gunther dan Catena, 1980; Rico-Mora dan Voltolina, 1995); Vibrio parahaemolyticus (Gunther dan Catena, 1980; Puente et al., 1992; Rico-Mora dan Voltolina, 1995; OrozcoMedina et al., 2002). Fusarium solani (Criado-Fornelio et al., 1989); Vibrio proteolyticus (Verschuere et al., 1999, 2000b); Vibrio harveyi atau Vibrio campbelli (Roque and Gomez-Gill, 2003; Soto-Rodriguez et al., 2003a,b); dan Vibrio vulnificus (Soto-Rodriguez et al., 2003a). Disamping bakteri dari kelompok genus Vibrio spp, beberapa kelompok genus, seperti: Bacillus sp., Micrococcus sp., Staphylococcus sp., dan Erwinia sp juga menyebabkan kematian pada Artemia (Austin dan Allen, 1982). Upaya mengatasi penyakit yang disebabkan oleh bakteri umumnya masih bertumpu kepada penggunaan antibiotika. Namun penggunaan yang berlebihan dalam industri akuakultur telah menyebabkan bakteri resisten terhadap beberapa antibiotika. Kajian dari Karunasagar et al. (1994) menyebutkan bahwa kematian massal udang windu (Penaeus monodon) disebabkan oleh bakteri Vibrio yang resisten terhadap Cotrimoxazole, Chloramphenicol, Erythromycin dan Streptomycin. Selain hal tersebut, penggunaan antibiotik juga menimbulkan ancaman terhadap kesehatan manusia berupa alergi dan keracunan melalui akumulasi antibiotik pada produk olahan ikan dan udang (Alderman dan Hastings, 1998; Cabello, 2006). Saat ini, upaya untuk melindungi organisme akuatik dari infeksi Vibrio tanpa penggunaan antibiotika sedang terus dikembangkan, salah satunya adalah melalui tindakan pencegahan penyakit melalui penguatan sistem imun. Dalam konteks Artemia, penguatan sistem imun alamiah pada inang melalui penggunaan β-glukan dapat menjadi salah satu upaya pengendalian penyakit yang cukup efektif. Tujuan dari kajian ini adalah untuk menginvestigasi apakah penggunaan β-glukan dapat melindungi dan meningkatkan kelulushidupan (%) Artemia dari infeksi 2 strain bakteri patogen: Vibrio harveyi BB120 dan strain baru Vibrio H6 yang sebelumnya telah terbukti menyebabkan tingkat kematian yang tinggi BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 128 pada Artemia (Vanmaele et al., 2012). Sebagai tambahan, aplikasi beberapa konsentrasi β-glukan juga dilakukan untuk memverifikasi konsentrasi optimal yang dapat meningkatkan resistensi Artemia terhadap infeksi patogen Vibrio spp. MATERI DAN METODE Strain bakteri Dua strain bakteri digunakan sebagai patogen, yakni: Vibrio harveyi BB120 dan sebuah strain baru Vibrio H6. Kultur murni dari kedua bakteri diperoleh dari Laboratory of Aquaculture dan Artemia Reference Centre (ARC), Universitas Ghent, Belgia. Strain H6 merupakan jenis bakteri baru yang termasuk ke dalam kelompok/grup Vibrio harveyi dan dipilih karena memiliki aktivitas haemolytic dan lipolytic yang kuat (Vanmaele et al., 2012). Sementara Vibrio harveyi BB120 telah dikarakterisasi sebelumnya sebagai bakteri patogen pada kultur Artemia (Soltanian, 2007; Ruwandeepika et al., 2010). Selama periode kultur dan uji tantang, strain bakteri Aeromonas hydrophila LVS3 digunakan sebagai pakan untuk Artemia. Strain bakteri ini telah diuji sebelumnya tidak memiliki pengaruh untuk meningkatkan sistem imun pada Artemia dan tidak berinteraksi baik dengan β-glukan maupun dengan patogen yang akan digunakan selama uji tantang (Defoirdt et al., 2005). Penetasan Artemia secara axenic Seluruh percobaan yang dilakukan menggunakan kista Artemia fransiscana, yang berasal dari danau Great Salt, Utah, Amerika Serikat. Artemia yang bersifat axenic dihasilkan melalui proses hidrasi dan dekapsulasi yang distandarisasi. Seluruh peralatan yang digunakan sebelumnya harus telah disterilisasi dan diautoklaf pada suhu 1210C selama 20 menit. Seluruh perlakuan dilakukan di dalam lemari laminar untuk mempertahankan kondisi axenic. Untuk uji tantang, sekitar 100 mg kista Artemia dihidrasi dalam tabung gelas yang telah diisi 90 mL air steril selama 1 jam dengan aerasi kuat. Kemudian 3,3 mL NaOH dan 50 mL larutan klorin dingin dimasukkan dan setelah 1,5 menit 60 mL Na2S2O3.5H2O dimasukkan untuk menetralisir klorin dalam media kultur. Kista yang telah didekapsulasi kemudian dicuci beberapa kali dengan menggunakan air laut yang sudah disterilisasi. Tabung yang berisi kista kemudian ditempatkan di dalam rotor dengan siklus putar 4 kali dalam satu menit dan secara konstan diletakkan dibawah sinar lampu fluoresen pada suhu 280 C selama 18 – 22 jam. Naupli Artemia yang telah masuk fase Instar II yang siap untuk mengkonsumsi pakan diambil dan dihitung didalam lemari laminar. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 129 Kultur Gnotobiotik pada Artemia Setelah penetasan secara axenic, sebanyak 20 naupli yang masuk tahapan Instar II diambil dan ditransfer ke dalam tabung falkon yang telah berisikan 10 mL air laut steril bersama dengan bakteri patogen yang digunakan untuk uji tantang dan strain bakteri yang digunakan sebagai pakan. Setiap perlakuan memiliki empat pengulangan dan setiap tabung falkon ditempatkan dibawah sinar lampu fluoresen pada suhu 280 C. Kultur Bakteri Isolat murni Vibrio harveyi BB120 dan strain baru H6 yang sebelumnya telah disimpan dalam larutan 30% gliserol pada suhu -800 C, diinokulasi secara aseptik didalam 30 mL media marine broth dan diinkubasi selama satu malam pada suhu 250-280 C dengan pengadukan yang konstan. Sebanyak 150 µL selanjutnya ditransfer dan dikembangkan hingga fase stationery dalam 30 mL media marine broth selama 6 jam sebelum digunakan untuk uji tantang. Kepadatan bakteri ditentukan secara spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Kepadatan bakteri kemudian dihitung dengan menggunakan perhitungan: Konsentrasi bakteri = [1200*106*OD] Berdasarkan perhitungan baku McFarland (BioMerieux, Marcy L'Etoile, France), diasumsikan bahwa OD550=1.000 sebanding dengan 1,2×109 sel/mL bakteri. Verifikasi kondisi axenic kultur Artemia dan media β-glukan Kondisi axenic pada kultur Artemia dan larutan β-glukan dianalisa dengan menggunakan metoda cawan petri yang mengandung media Difco™Marine Agar 2216. Ketidakhadiran bakteri dianalisa dengan mentransfer 100 µL media kultur dan larutan β-glukan ke dalam cawan petri dan disimpan di dalam inkubator selama 5 hari pada suhu 250 C. Setiap perlakuan memiliki empat ulangan. Media yang terkontaminasi tidak dapat digunakan untuk analisa berikutnya dan perlakuan harus kembali diulang. Penentuan ukuran partikel dan konsentrasi β-glukan Distribusi ukuran partikel β-glukan (MacroGard) ditentukan dengan menggunakan Malvern Mastersizer S (Malvern Instruments, Spring Lane South, UK) yang dilengkapi dengan unit pelarutan skala kecil dan lensa 300 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 130 RF. Ketika partikel yang berukuran 50 µm di kalkulasi, yang merupakan ukuran maksimal partikel yang dapat dicerna oleh Instar II Artemia (FAO, 1996), jumlah β-glukan untuk setiap tabung dapat ditentukan berdasarkan kajian yang dilakukan sebelumnya oleh Marques et al. (2006) dan Soltanian (2007). Dalam eksperimen ini, selain menggunakan konsentrasi minimum berdasarkan jumlah partikel β-glukan (MacroGard) yang memiliki ukuran < 50 µm, juga digunakan konsentrasi β-glukan yang lebih besar untuk menentukan perlindungan yang lebih baik bagi kultur Artemia. Penentuan persentase tingkat kelulushidupan Persentase kelulushidupan (%) Artemia ditentukan berdasarkan kepada perhitungan yang dilakukan oleh Marques et al. (2004). Untuk ini, jumlah Artemia dihitung terlebih dahulu di dalam lemari laminar untuk mempertahankan kondisi gnotobiotik dan pada akhir percobaan, jumlah naupli yang masih hidup dihitung dan persentase kelulushidupan (%) ditentukan. Analisa statistik Data untuk persentase tingkat kelulushidupan (%) Artemia disajikan sebagai nilai rata-rata yang diikuti oleh perhitungan penyimpangan baku. Data kelulushidupan (%) di ubah ke dalam bentuk arcsine untuk memenuhi persyaratan distribusi normal dan keseragaman data. Data kelulushidupan (%) kemudian dianalisa menggunakan one way ANOVA yang diikuti dengan analisa Tukey‟s multiple comparison range menggunakan piranti lunak SPSS. Seluruh level signifikan ditentukan pada p<0.05. HASIL DAN ANALISA Hasil Percobaan Distribusi partikel β-glukan Distribusi partikel β-glukan (MacroGard) yang digunakan pada percobaan ini disajikan pada Gambar 1. Sebanyak 67,27% partikel memiliki ukuran dibawah 50 µm, yang diyakini sebagai ukuran partikel yang dapat dikonsumsi oleh Artemia pada fase Instar II. Berdasarkan kepada perhitungan yang dilakukan oleh Marques et al.(2006) dan (Soltanian, 2007). Jumlah βglukan yang dapat diberikan kedalam kultur Artemia adalah 3,9 µg/tabung. Namun pada percobaan ini, sebanyak 10 hingga 20 µg β-glukan/tabung juga digunakan. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 131 Gambar 1. Persentase distribusi ukuran partikel β-glukan (MacroGard (kiri) dan gambar mikroskopis dari partikel β-glukan (MacroGard) (kanan) yang digunakan pada percobaan ini. Efek menguntungkan dari penggunaan β-glukan Pada kajian ini, pengaruh dari penggunaan 3,9 µg/tabung dan juga penggunaan 10 µg/tabung dan 20 µg/tabung diamati. Kultur Artemia ditantang dengan menggunakan strain H6 dan Vibrio harveyi BB120 pada kepadatan 105 sel/mL dan kelulushidupan (%) dihitung setelah 48 jam. Pada gambar 2, terlihat bahwa pada perlakuan tanpa adanya penambahan bakteri patogen, pemberian βglukan sebanyak 3,9 µg/tabung dapat meningkatkan kelulushidupan (%) nauplii (p<0,05)bila dibandingkan dengan kontrol dan naupli yang hanya menerima bakteri LVS3 yang telah dimatikan sebagai sumber pakan. Namun, dengan penambahan bakteri patogen H6, tingkat kelulushidupan (%) yang ditunjukkan oleh nauplii dengan atau tanpa pemberian 3,9 µg β-glukan/tabung tidak memiliki perbedaan yang nyata (p<0,05). BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 132 Sementara pada hasilmenunjukkan bahwa pemberian 20 µg/tabung memberikan tingkat kelulushidupan (%) yang lebih baik jika dibandingkan dengan pemberian 10 µg/tabung dan 3,9 µg/tabung. Hal ini utamanya terlihat pada saat kultur Artemia diuji tantang dengan menggunakan strain baru Vibrio H6. Dimana pemberian β-glukan sebanyak 20 µg/tabung dapat memberikan tingkat kelulushidupan yang lebih baik jika dibandingkan dengan konsentrasi 10 µg/tabung (p<0,05). Secara umum, kombinasi pemberian 20 µg/tabung dengan pakan D-LVS3 memberikan hasil yang lebih baik dengan tingkat kelulushidupan yang lebih baik pada saat diuji tantang menggunakan strain H6 dan Vibrio harveyi BB120 (p<0,05) Analisa Strategi penting dalam kegiatan budidaya adalah mempertahankan keseimbangan antara inang, lingkungan dan patogen (Snieszko, 1973). Namun, pada kondisi budidaya (super) intensif, kehadiran mikroorganisme tidak dapat dihindari dan beberapa diantaranya bahkan dapat menyebabkan wabah penyakit serius yang berdampak pada kerugian ekonomi. Pada dua dekade terakhir, antibiotika telah digunakan secara luas, tidak hanya untuk mengendalikan penyakit, tetapi bahkan juga digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ikan (Cabello, 2006). Penggunaan antibiotika yang tidak wajar ini telah menstimulasi resistensi bakteri dan menantang para peneliti untuk mencari alternative untuk pengobatan terbaik (De Schryver et al., 2009). Oleh karena itu, pada kajian ini, dampak dari penggunaan β-glukan sebagai strategi penting untuk memperkuat resistensi Artemia terhadap Vibrio spp diamati. Artemia seperti halnya hewan avertebrata lainnya, mengandalkan sistem imun alami sebagai mekanisme pertahanan utama yang terdiri atas respon selular dan respon humoral. Ketidakhadiran sistem imun adaptif pada Artemia juga menyebabkan tidak adanya immunological memory yang memungkinkan terbentuknya perlindungan seumur hidup terhadap infeksi patogen yang sama (Hultmark, 1993; Meister et al., 2000). Meskipun demikian, sistem imun di avertebrata mampu untuk mengenal dan menghancurkan invasi mikroorganisme patogen (Kurtz and Franz, 2003). Kajian terbaru menyatakan bahwa pengalaman masa lalu terhadap patogen tertentu memungkinkan avertebrata untuk juga menyedikan sistem imun hingga generasi berikutnya (Baruah et al., 2011). Walaupun masih diperlukan kajian yang lebih menyeluruh dan lengkap, hal ini memberikan bukti baru bahwa memory mungkin ada di avertebrata (Kurtz, 2005). BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 133 Pada kajian ini, tiga konsentrasi yang berbeda dari β-glukan menunjukkan bahwa dengan atau tanpa pemberian pakan D-LVS3, β-glukan mampu memperkuat resistensi Artemia terhadap infeksi patogen dan meningkatkan tingkat kelulushidupan (%) jika dibandingkan dengan kontrol dan naupli yang hanya menerima D-LVS3 sebagai pakan. Lebih lanjut, pemberian bakteri LVS3 yang telah dilemahkan dengan autoklaf (D-LVS3) itu sendiri tidak memberikan dampak menguntungkan sedikitpun untuk meningkatktan kelulushidupan (%) Artemia melawan infeksi BB120 dan H6. Beberapa kajian telah mendokumentasikan bahwa β-glukan telah terbukti mampu memperkuat sistem imun dan resistensi terhadap penyakit pada Artemia (Soltanian, 2007; Marques et al., 2005). Namun, perlindungan tersebut sangat tergantung pada dosis dan jenis dari β-glukan itu sendiri (Ai et al., 2007; Soltanian, 2007). Pada kajian ini, kelulushidupan (%) Artemia secara bertahap meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi β-glukan yang diberikan. Berdasarkan hasil ini, resistensi Artemia terhadap infeksi Vibrio spp sebagai bakteri patogen juga tergantung dari berapa banyak konsentrasi β-glukan yang diberikan. Namun satu hal yang sangat penting untuk diingat bahwa dosis memainkan peranan penting terhadap efektifitas pemberian β-glukan. Kesalahan dalam pemberian dosis dapat berakibat buruk terhadap inang. Kajian sebelumnya menunjukkan bahwa tingginya konsentrasi β-glukan yang diberikan pada udang putih India F. indicus dapat menyebabkan immunosuppression dan degradasi yang berlebihan sehingga mengakibatkan sistem imun menjadi jenuh (Sajeevan et al., 2009). KESIMPULAN 1. Aplikasi β-glukan (MacroGard) dapat meningkatkan resistensi Artemia terhadap infeksi patogen: Vibrio harveyi BB120 dan strain baru Vibrio H6. 2. Pemberian β-glukan sebanyak 20 µg/mL pada kultur Artemia memberikan tingkat kelulushidupan (%) yang lebih baik dibandingkan dengan konsentrasi minimal 3,9 µg/mL. DAFTAR PUSTAKA Aldeman, D.J. and Hastings, T.S. 1998. Antibiotic use in aquaculture: development of antibiotic resistance-potential for consumer health risks. Int. J. Food Sci. Technology (33): 139-155. Austin, B. and D. Allen. 1982. Microbiology of laboratory-hatched brine shrimp (Artemia). Aquaculture (26): 369-383. Baruah, K., Ranjan, J., Sorgeloos, P., MacRae, T.H and Bossier, P. 2011. Priming the prophenoloxidase system of Artemia fransiscana by heat BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 134 shock proteins protect agains Vibrio campbelli challenge. Fish and Shellfish Immunology 31: 134-141. Bassler, B.L., Greenberg, E.P. and Stevens, A.M. 1997. Cross-species induction of luminescence in the quorum-sensing bacterium Vibrio harveyi. J Bacteriol(179): 4043-4045. Cabello, F.C. 2006. Heavy use of prophylactic antibiotics in aquaculture: a growing problem for human and animal health and for the environment. Environ Microbiol(8): 1137-1144. Cabello, F.C. 2003. Antibiotics and aquaculture. An analysis of their potential impact upon the environment, human and animal health in Chile. Fundacion Terram. Analisis de Politicas Publicas No. 17, pp. 1–16. Criado-Fornelio, A., E. Mialhe., E. Constantin. and H. Grizel. 1989. Experimental infection of Artemia sp. By Fusarium solani. Bull. Eur. Assoc. Fish Pathol. (9): 35-37. De Schryver, P., Sinha, A., Kunwar, P., Baruah, K., Verstraete, W., Boon, N., De Boeck, G., Bossier, P. 2009. Poly-β-hydroxybutirate (PHB) increases growth performance and intestinal bacterial range-weighted richness in juvenile European sea bass (Dicentrarchus labrax). Applied Microbiology and Biotechnology (86): 1535-1541. Defoirdt, T., Bossier, P., Sorgeloos, P. & Verstraete, W. 2005. The impact of mutations in the quorum sensing systems of Aeromonas hydrophila, Vibrio anguillarum and Vibrioharveyi on their virulence towards gnotobiotically cultured Artemia franciscana. Environmental Microbiology 7(8): 1239–1247. FAO. 1996. Manual on the production and use of live food for aquaculture. FAO Fisheries and Technical Paper. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome Gomez-Gil, B., Thompson, FL., Thompson, CC., Garcia-Gasca, A., Roque, A., Swings, J. 2004. Vibrio hispanicus sp. nov., isolated from Artemia sp. and sea water in Spain.Int J Syst Evol Microbiol. 54(Pt 1):261-265. Gomez-Gil, B., F.A.A. Grobois, J.R. Jarero and M.D.H. Vega. 1994. Chemical disinfection of Artemia nauplii. J. World Aquaculture Society (25): 574583. Gunther, D. and Catena, A. 1980. The interaction of Vibrio with Artemia nauplii. In : G. Persoone, P. Sorgeloos, O. Roels, E. Jaspers (Eds.). The brine shrimp Artemia- Ecology, culturing and use in aquaculture. Vol. 1, Universa Press, Wetteren, Belgium. Hjort. J. 1914. Fluctuations in the great fisheries of northern Europe. Rapp Pv Reun Cons int Explor Mer (20): 1-22. Hultmark, D. 1993. Immune reactions in Drosophila and other insects: a model for innate immunity. Trends Genet. (9): 178–183. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 135 Kurtz J. 2005. Specific memory within innate immune systems. Trends Immunol. (26): 186-192. Kurtz, J. and Franz, K. 2003. Evidence for memory in invertebrate immunity. Nature(425): 37–38. Léger, P.H., D.A. Bengtson., K.L. Simpson. and P. Sorgeloos. 1986. The use and nutritional value of Artemia as a food source. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev.(24): 521-623. Marques, A., Dhont, J., Sorgeloos, P. and Bossier, P. 2006. Immunostimulatory nature of β-glucans and baker‟s yeast in gnotobiotik Artemia challenge tests. Fish and Shellfish immunology (20): 682-692. Marques, A., Dhont, J., Sorgeloos, P. and Bossier, P. 2004b. Evalution of different yeast cell wall mutants and microalgae strains as feed for gnotobiotically-grown brine shrimp Artemia fransiscana. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. (312): 115-136 Marques, A., Francois, J., Dhont, J., Bossier, P. and Sorgeloos, P. 2004a. Influence of yeast quality on performance of gnotobiotically-grown Artemia. J.Exp. Mar. Biol. Ecol. (310): 247-264. Meister. M., Hetru, C., Hoffmann, J.A. 2000. The antimicrobial host defence of Drosophila. Curr. Top. Microbiol. Immunol. (248): 17–36. Muroga, K., K. Suzuki, K. Ishimaru. and K. Nogami. 1994. Vibriosis of swimming crab Portunus trituberculatus in larviculture. J. World Aquaculture Society (25): 50-54. Orozco-Medina, C., A. Maeda-Martinez. and A. Lopez-Cortes. 2002. Effect of aerobic Gram positive heterotrophic bacteria associated with Artemia fransiscana cysts on the survival and development of it‟s larvae. Aquaculture (213): 15-29. Puente, M.E., Vega-Villasante, F., Holguin, G. and Bashan, Y.1992. Susceptibility of the brine shrimp Artemia and its pathogen Vibrio parahaemolyticus to chlorine dioxide in contaminated sea water. J. Appl.. Bacteriol (73): 465-471 Rico-Mora, R. and D. Voltolina. 1995. Effects of bacterial isolates from Skeletonema costatum cultures on the survival of Artemia fransiscana nauplii. J. Invertebr. Pathol. (66): 203-204. Roque, A. and B. Gomez-Gill. 2003. Therapeutic effects of enrofloxacin in an experimental infection with a luminescent Vibrio harveyi in Artemiafransiscana Kellog 1906. Aquaculture (220): 37-42. Snieszko, S.F. 1973. Diseases of fish and their control in the US. The Two Lakes Fifth Fishery Management Training Course Report. Jansen. London. pp. 55-66. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 136 Soltanian, S. 2007. Protection of gnotobiotik Artemia against Vibrio campbelli using baker‟s yeast strains and extracts. PhD thesis. Ghent University. Belgium. Soltanian, S., Francois, JM., Dhont, J., Arnouts, S., Sorgeloos, P. and Bossier, P. 2007. Enhanced disease resistance in Artemia by application of commercial beta-glucans sources and chitin in a gnotobiotic Artemia challenge test. Fish and Shellfish Immunology 23(6): 1304-1314 . Sorgeloos, P., Lavens, P., Leger, P., Tackaert, W. and Versichele, D. 1986. Manual for the culture and use of Brine shrimp Artemia in aquaculture. FAO, Ghent, Belgium. Soto-Rodriguez, S.A., Simoes, N., Jones, D.A., Roque, A. and Gomez-Gil, B. 2003b. Assessment of fluorescent-labeled bacteria for evaluation of in vivo uptake of bacteria (Vibrio spp.) by crustacean larvae. J Microbil Methods(52): 101-114. Soto-Rodriguez, S.A., Roque, A., Lizarraga-Partida, M.L., Guerra-Flores, A.L. and Gomez-Gil, B. 2003a. Virulence of luminous vibrios to Artemia franciscana nauplii. Dis Aquat Org(53): 231-240. Vanmaele, S. Defoirdt, T., Bossier, P. 2012. Immunostimulation through the eyes of gnotobiotic Artemia fransiscana. World Aquaculture Society 2012- Meeting Abstract no : 330. Verdonck, L., J. Swings, K. Kersters, M. Dehasque, P. Sorgeloss. and P. Leger. 1994. Variability of the microbial environment of rotifer Brachionus plicatilis and Artemia production systems. J. World Aquaculture Society (25): 55-59. Verschuere, L., G. Rombaut., P. Sorgeloos. And W. Verstarete. 2000a. Probiotic bacteria as biological control agents in aquaculture. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 64 (4): 655-671. Verschuere, L., Heang, H., Criel, G., Sorgeloos, P. and Verstraete, W. 2000. Selected Bacterial Strains Protect Artemia spp. from the Pathogenic Effects of Vibrio proteolyticus CW8T2. Applied and Environmental Microbiology (66): 1139–1146. Verschuere, L., G. Rombaut., G. Huys., J. Dhont., P. Sorgeloos. and W. Verstraete. 1999. Microbial control of the culture of Artemia juveniles through preemptive colonization by selected bacterial strains. Appl. Environ. Microbiol. (65): 655-671. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 137 PEMANFAATAN EKSTRAKSI DAUN JAMBU BIJI METODE MASERASI TERHADAP PENGENDALIAN BAKTERI Aeromonas hydrophilaSECARA IN VITRO Manja Meyky Bond*, Betutu Senggagau dan Tanjung Penataseputro Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan Serang Jl. Raya Carita, Ds. Umbul Tanjung, Kec. Cinangka, Kab. Serang PO. Box 123 Anyer Lor ABSTRACT Bacterial disease control of Aeromonas hydrophila in vitro by using guava leaf extract is one alternative way to produce fishery products safe, easy and inexpensive. The purpose of this activity was to determine the effectiveness of guava leaf extract by maceration method with different types of solvent inhibition zone against A. hydrophila bacteria. A total of 1 ml each of concentrated extract of guava leaves from maceration method using 95% ethanol solvent and distilled water were used for disk method A. hydrophila bacteria. After 24 hours of incubation, the diameter of inhibition zone of A. hydrophila bacteria measured and the data were analyzed using ANOVA. Type of solvent in the extraction of guava leaf maceration method was very significant (p <0.01) in the bacterial inhibition zone diameter of A. hydrophila. Distilled solvent effect of A. hydrophila bacteria inhibition zone better than the solvent ethanol 95%, with a mean diameter of 10.8 mm and 3.7 mm, respectively. Guava leaf extract can be used for bacterial disease control of A. hydrophila. keywords: Guava leaf, maceration extraction, antibacterial, Aeromonas hydrophila PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit ikan yang disebabkan oleh bakteri akan sangat mengganggu bahkan dapat merugikan pembudidaya ikan apabila serangan tersebut mematikan seluruh ikan budidaya yang dipelihara. Salah satu jenis penyakit bakteri yang sering dijumpai pada budidaya ikan air tawar adalah Aeromonas hydrophila. Bakteri jenis ini yang menimbulkan penyakit bercak merah, borok dan ekor keropos pada beberapa jenis ikan seperti ikan lele, patin, mas dan gurame. Beberapa faktor penyebab timbulnya penyakit ini diantaranya yaitu kualitas air yang sudah menurun serta perubahan iklim yang tidak menentu. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 138 Berbagai upaya telah banyak ditempuh oleh sebagian besar pembudidaya ikan untuk menanggulangi penyakit bakteri jenis ini. Salah satunya adalah penggunaan obat seperti antibiotik. Penggunaan obat ini dilakukan secara terus menerus tanpa memperhatikan dosis dan cara pemakaian yang seharusnya sehingga dapat menimbulkan dampak lainnya yang akan merugikan pembudidaya ikan itu sendiri, misalnya penyakit atau patogen akan lebih resisten dengan jenis obat tertentu, lingkungan budidaya tercemar obat dan bahkan terakumulasinya bahan antibiotik di dalam jaringan tubuh ikan. Oleh karena itu, maka diperlukan upaya untuk mengurangi pemakaian obatobatan atau bahan kimia dalam penanggulangan penyakit ikan. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan potensi tanaman obat yang ada di sekitar kita. Pemanfaatan obat herbal yang berasal dari tanaman obat masih sangat jarang dijumpai untuk mengatasi penyakit ikan budidaya. Berbagai jenis tanaman obat telah terindikasi mampu mengatasi atau mengendalikan jenis bakteri tertentu. Jenis tanaman tersebut di antaranya yaitu daun sirih, daun papaya, daun jambu biji, meniran, dan lain sebagainya. Jambu Biji (Psidium guajava Linn) telah lama dimanfaatkan sebagai tanaman obat yang dapat menyembuhkan diare, keputihan, diabetes, sariawan, dan luka berdarah (Alisyahbana, 1993 dalam Darsono dkk., 2003). Bagian tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional adalah daun yang mengandung minyak atsiri, lemak, dammar, garam-garam mineral, triterpenoid disamping itu juga tannin dan flavonoid yang diduga berkhasiat sebagai antidiare. Pemakaiannya dengan cara direbus atau diremas-remas halus dengan air dan garam kemudian disaring, air remasan tersebut langsung diminum tanpa direbus (Hembing 1992 dalam Darsono & Artemesia, 2003) Efek farmakologis yang dimiliki daun jambu biji disebabkan oleh berbagai kandungan kimia dalam daun jambu biji seperti senyawa fenolat, flavonoid, karotenoi, terpenoid dan triterpen (Gutierrez et al., 2008 dan Kamath et al., 2008 dalam Rivai dkk., 2008). Ekstrak kental daun jambu biji mengandung kuersitrin, minyak atsiri, tannin, β-sitisterol dan asam guatakolat (Badan POM, 2004 dalam Rivai dkk., 2008). Selain itu berbagai kajian fitokimia telah menemukan kandungan kimia daun jambu biji yang lebih rinci antara lain senyawa fenolat total 575,3 mg/g daun kering (Nihorimbere, 2004 dalam Rivai dkk., 2008), kuersetin 0,181-0,393% (El Sohafy et al., 2006 dalam Rivai, dkk., 2008), morin, morin-3-O-likosida, morin-3-O-arabinosa, kuersetin dan kuersetin-3-O-arabinosa (Arima & Danno, 2002; Rattanachaikunsopon & Phumkhachom, 2007 dalam Rivai, dkk., 2008), guajavaria (Arima & Danno, 2002 dalam Rivai, dkk., 2008), guajadial (Yang et. Al., 2007 dalam Rivai, dkk., 2008) asam ferulat (Chen & Yen, 2007 dalam Rivai, dkk., 2008). Menurut Sudarsono, dkk. (2002) dalam Daud, dkk (2011) daun jambu biji mengandung flavonoid, tannin (17,4%), fenolat (575,3 mg/g) dan minyak BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 139 atsiri. Efek farmakologis dari daun jambu biji yaitu antiinflamasi, antidiare, analgesic, antibakteri, antidiabete, antihipertensi dan penambah trombosit. Adapun salah satu senyawa dari flavonoid yang terkandung dalam daun jambu biji adalah kuersetin, yang memiliki titik lebur 310 oC, sehingga kuersetin tahan terhadap pemanasan. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (Anonim, 2000). Rosidah & Afizia (2012) membuktikan bahwa ekstrak daun jambu biji yang diperoleh dengan cara maserasi pada konsentrasi 250 ppm- 3250 ppm berpotensi sebagai antibakteri terhadap bakteri Aeromonas hydrophila dengan diameter zona hambat berkisar 6,5 -11,5 ml. Potensi ekstrak daun jaumbu biji dikategorikan berspektrum luas dan aman digunakan untuk pengobatan benih ikan gurame yang terserang bakteri Aeromonas hydrophila pada konsentrasi dibawah 600 yaitu 580 ppm. Tujuan Kegiatan ini mempunyai tujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun jambu biji dengan metode maserasi dengan jenis pelarut yang berbeda terhadap zona hambat bakteri Aeromonas hydrophila METODOLOGI Pembuatan ekstrak daun jambu biji dengan metode maserasi Kegiatan ekstraksi dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1. Simplisia daun jambu biji yang akan digunakan adalah sebanyak 100 gr untuk satu jenis pelarut dan dimasukan kedalam wadah maserasi. 2. Ethanol 95% dan akuades yang digunakan sebagai solvent sebanyak 500 ml dimasukan ke dalam wadah maserasi. 3. Masing-masing wadah maserasi yang berisi simplisia daun jambu biji dan jenis pelarut yang berbeda diaduk selama 1 jam pada suhu 60 0C untuk pelarut ethanol 95% dan suhu 800C untuk pelarut akuades. 4. Setelah pengadukan selesai, hasil pengadukan disaring dengan kertas whatman. 5. Hasil penyaringan didiamkan selama 1 x 24 jam dalam wadah tertutup pada suhu ruang. 6. Setelah didiamkan selama 1 x 24 jam, hasil ekstraksi kemudian dievaporasi menggunakan vacuum rotary evaporator. 7. Pengaturan suhu yang digunakan yaitu suhu 600C untuk evaporasi pelarut ethanol 95% dan suhu 800C untuk pelarut akuades. 8. Masing-masing diputar dengan kecepatan 120 rpm selama 30 menit 9. Hasil evaporasi disimpan dalam wadah tertutup. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 140 Metode pembuatan media TSA Menurut Buller (2004), pembuatan media TSA dilakukan dengan cara berikut: 1. Tryptone soya agar yang digunakan berbanding dengan akuades yaitu 1:25 2. Larutan diautoclave pada 1210C selama 15 menit 3. Sebelum dituang ke cawan petri tunggu larutan lebih dingin sekitar 50 0C Metode kultur bakteri Menurut Benson (2001), kultur bakteri dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Siapkan isolate bakteri dan 10 ml media TSB. 2. Proses kultur dilakukan secara aseptis (didepan Bunsen) 3. Ambil 1 ose bakteri dari isolat murni dan campur dan larutkan kedalam media TSB. 4. Pastikan wadah media TSB tertutup rapat dengan parafilm agar tidak terjadi kontaminasi. 5. Inkubasi selama 24 jam pada suhu 29-300C pada waterbath sheker. Metode Cakram Disk Menurut Ruangpan & Tendencia (2004), prosedur dalam melakukan tes kemampuan antimikroba dapat dilakukan dengan menggunakan kertas disk atau cakram disk, dengan tahapan sebagai berikut : 1. Gunakan pinset steril untuk untuk mengambil kertas cakram (disk) yang mengandung antimikroba. 2. Tempatkan keras cakram (disk) pada media yang telah ditanami bakteri (inokulasi bakteri). 3. Tekan kertas cakram (disk) dengan hati-hati sampai yakin bahwa kertas cakram (disk) telah menempel pada permukaan media yang telah diinokulasi bakteri. 4. Jangan gerakan kertas cakram (disk) sampai benar-benar mengering dan menempel pada media. 5. Inkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. 6. Zona bening yang timbul merupakan kemampuan dari kertas cakram (disk) yang mengandung zat antimikroba dalam menghambat atau membunuh bakteri yang dinokulasi pada media. Metode penghitungan jumlah bakteri Menurut Benson (2001), penghitungan bakteri dilakukan dengan membuat inokulasi pada media padat dengan cara tebar pada pengenceran yang diinginkan. Prosedurnya ialah sebagai berikut: 1. Siapkan 9 tube 1,5 ml yang berisikan 0,9 ml larutan fisiologis. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 141 2. Sebanyak 0,1 ml atau 100µl dari media TSB dicampur ke dalam tube pertama. 3. Sebanyak 100µl dari tube pertama dicampur ke dalam tube kedua. 4. Sebanyak 100µl dari tube kedua dicampur ke dalam tube ketiga. 5. Diteruskan sampai tube kesembilan. 6. Sebanyak 100µl dari tube ke 6, 7, 8, dan 9 diinokulasikan pada masingmasing media TSA . 7. Inkubasi pada suhu 300C selama 24 jam. 8. Plate yang digunakan adalah plate yang memiliki 25-250 koloni. 9. Jumlah bakteri dihitung dengan rumus : 1 1 Jumlah bakteri = Jumlah koloni x x Konsentrasi pengenceran 10 Analisa Data Data hasil uji cakram disk dalam bentuk ukuran diameter zona hambat dianalisa keseragamannya terlebih dulu sebelum diolah menggunakan one-way ANOVA pada program SPSS 15. Nilai keseragaman data dapat dilihat dari uji homogenitas. Apabila nilai sig > 0.05 maka data bersifat seragam atau homogen, namun jika sebaliknya sig < 0.05 berarti data tidak homogen dan data tidak dapat dilanjutkan analisa dengan ANOVA. Hasil analisa data menggunakan ANOVA memiliki interpretasi data sebagai berikut: Nilai sig < 0.05, maka perlakuan memiliki pengaruh atau berbeda nyata. Sedangkan nilai sig > 0.05 maka tidak terdapat perbedaan antar perlakuan yang diberikan terhadap ukuran diameter zona hambat bakteri A. hydrophila. HASIL DAN PEMBAHASAN Diameter Zona Hambat Bakteri A. hydrophila Tabel 1. Diameter zona hambat bakteri A. hydrophila hasil test cakram disk Ulangan 1. Cakram Disk Test ekstrak dengan pelarut ethanol 95% 4 mm Cakram Disk Test ekstrak dengan pelarut akuades 10 mm 2. 2 mm 10 mm 3. 2 mm 10 mm BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 Total Bakteri yang digunakan 3,1 x 109 cfu/ml 142 4. 2 mm 10 mm Rerata 2.5 mm 10 mm 1. 4 mm 10 mm 2. 4 mm 20 mm 3. 6 mm 8 mm 4. 4 mm 14 mm Rerata 4.5 mm 13 mm 1. 4 mm 10 mm 2. 6 mm 10 mm 3. 4 mm 8 mm 4. 2 mm 10 mm Rerata Rerata total 4 mm 9.5 mm 3.7 mm 10.8 mm 2,7 x 109 cfu/ml 3,7 x 109 cfu/ml Analisis Ragam Diameter Zona Hambat Bakteri A. hydrophila Tabel 2. ANOVA Diameter zona hambat bakteri A. hydrophila Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between 308.167 1 308.167 49.010 .000 Groups Within Groups 138.333 22 6.288 Total 446.500 23 Nilai Sig 0.000 < 0.05 menunjukkan perlakuan berbeda sangat nyata Darsono & Artemesia (2003), membuktikan bahwa ekstrak daun jambu biji dari berbagai kultivar memiliki aktivitas antimikroba Staphylococcus aureus ATCC25923. Selain itu Rosidah & Afizia (2012), juga membuktikan bahwa ekstrak daun jambu biji memiliki potensi antibakteri terhadap bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan Gurame. Hal ini sesuai dengan hasil pengujian yang terlihat pada tabel 1 di atas bahwa ekstrak daun jambu biji BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 143 dengan pelarut akuades mampu menghasilkan zona bening rata-rata 10,8 mm sedangkan ekstrak dengan pelarut ethanol 95% rata-rata 3,7 mm. Berdasarkan hasil analisis ragam menggunakan One-way ANOVA bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan pelarut aquades dengan pelarut etanol terhadap diameter zona hambat bakteri A. hydrophila. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pelarut akuades dalam proses ekstraksi dengan metode maserasi lebih baik daripada pelarut ethanol 95%. Menurut Indriani (2006), senyawa-senyawa dari daun jambu biji yang larut dalam air lebih banyak daripada yang dapat larut dalam ethanol. Hasil pengujian penapisan fitokimia oleh Daud et al. (2011), terhadap ekstrak daun jambu biji dengan metode maserasi menunjukan bahwa kandungan senyawa yang didapat dengan metode maserasi memiliki keragaman senyawa yang lebih banyak, senyawa itu antara lain flavonoid, tannin, saponin, polifenol, monoterpen-sequiterpen steroid, dan kuinon. Jenis pelarut yang terbaik dalam menghasilkan senyawa antibakteri adalah akuades karena harga lebih ekonomis dan mudah untuk didapatkan. Selain itu tingkat polaritas akuades yang lebih luas dari ethanol. KESIMPULAN 1. Ekstraksi daun jambu biji dengan metode maserasi mampu memberikan efek hambat pertumbuhan bakteri A. hydrophila secara in vitro. 2. Pelarut aquades menghasilkan diameter zona hambat yang lebih baik dari pelarut ethanol dalam ekstraksi daun jambu biji secara maserasi. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Benson. 2001. Microbiological Applications Laboratory Manual in General Microbiology. 8th ed. McGraw Hill Companies. Cahpter 8. Pg 93. Darsono, F. L. dan S.D. Artemesia. 2003. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Jambu Biji dari Beberapa Kultivar terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dengan “ Hole-Plate Diffusion Method”. Berkas Penelitian Hayati : 9 (49-51). Daud, M. F, E.R. Sadiyah, dan E. Rismawati. 2011. Pengaruh Perbedaan Metode Ekstraksi terhadap aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji (Psidium Guajava L.) berdaging buah putih. Prosiding SNaPP2011 Sains, Teknologi, dan kesehatan. ISSN:2089-3582. Indriani, S. 2006.Aktivitas antioksidan ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L). Jurnal II. Pert. Indon. Vol 11(1). BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 144 Rivai, H., H. Nurdin, H.Suyani, dan A. Bakhtiar. 2008. Pengaruh Perbandingan Etanol-Air Sebagai Pelarut Ekstraksi Terhadap Perolehan Ekstaktif, Kadar Senyawa Fenolat dan Aktivitas Antioksidan Dari Daun Jambu Biji (Psidium Guajava Linn). Jurnal Sains dan Teknologi FArmasi Vol.13. No 2. Hal. 79-85. Rosidah dan W.M. Afizia. 2012. Potensi Ekstrak Daun Jambu Biji sSebagai Antibakterial Untuk Menanggulangi Serangan Bakteri Aeromonas hydrophila Pada Ikan Gurame (OsphronemusGouramy lacepede). Jurnal Akuatika Vol. III No.1/ Maret 2012 (19-27). ISSN:0853-2523. Ruangpan, R. and E.A. Tendencia. 2004. Laboratory Manual of Standardize Methods for Antimicrobial Sensitivity Tests for Bacteria Isolated from Aquatic Animals and Environment. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture Department. Philippines. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 145 APLIKASI TEKNIS PRODUKSI STADIA BENIH IKAN GRASS CARP (Ctenopharingodon idella) Y. Sukmajaya. Syambas. B, tatang. S, dani. J. Dan e. Saefudin ABSTRAK Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi sebagai Unit Pelaksana Teknis Perikanan Budidaya Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (Nomor 6/PERMEN-KP/2014) melaksanakan salah satu fungsinya yaitu pengelolaan produksi induk unggul, benih bernutu dan sarana produksi ikan air tawar. Ikan Grass carp atau ikan koan (Ctenopharingodon idella) adalah merupakan salah satu spesies ikan air tawar yang memiliki kemampuan untuk pemanfaatan sumber protein nabati dari berbagai jenis rumputan atau tanaman hingga menjadi bahan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani bagi manusia yang mengkonsumsinya. Permasalahan yang dihadapi pada tahun 2013 adalah kerekayasaan aplikasi teknik dan teknologi terapan.dalam produksi stadia benih. Tujuan dari makalah ini adalah memberikan data dan informasi tipe wadah terbaik yang digunakan dalam penetasan telur, Metode yang digunakan mencakup pengendalian terpadu antara aplikasi hormonal, oksigenisasi dan pengaturan pergerakan arus air dalam wadah yang digunakan dari mulai ovulasi telur dan sperma, fertilisasi, penetasan telur apung, pemeliharaan benih awal hingga berumur 5 hari dan pendederan intensif mono-kultur stadia benih dalam kolam semipermanen. Hasil-pelaksanaan kegiatan pengendalian karakter biologi dalam upaya peningkatan stadia benih dalam satu kali periode dengan jumlah sebanyak 1 ekor induk betina Grass carp matang gonad berukuran bobot badan 6.2 kg dan 4 ekor induk jantan matang gonad dengan ukuran bobot badan berkisar 3,3-3,8 kg ditambah dengan aplikasi perangsangan hormonal dengan dosis 0,6 cc Ovaprim /kg bobot badan induk betina dan 0,2 cc Ovaprim/ kg induk jantan serta menggunakan 1 buah bak permanen berukuran 3x2x1 m yang dilengkapi 1 buah hapa halus berukuran 2.8x1.8 m, 1 buah high blower 60 watt, 4 buah fiber glass berdiameter 1 m dengan ketinggian 1,2 m dan 1 buah kolam semi permanen berukuran 350 m2 dapat diperoleh data dan informasi bahwa ovulasi telur secara alamiah tercapai pada suhu air 22-24 oC dan Oksigen terlarut 5-6 ppm dengan jumlah telur sebanyak BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 146 +510 000 butir, keberhasilan fertilisasi spermatozoa dengan ovaria tercapai 92% dengan jumlah telur transparan sebanyak sebanyak + 470 000 butir telur, pengendalian penetasan telur (Hatching rate) tercapai sebesar 74% dengan jumlar larva hingga berumur 5 hari sebanyak + 377 000. Hasil pendederan mono-kultur intensif Grass carp 30 hari dalam bak semi permanen dengan kepadatan tebar 250 ekor/m2 benih berukuran panjang total contoh (1.2 + 0,22) cm adalah sebesar 82% dengan ukuran panjang total benih ikan contoh (2.4 + 1.44) cm. PENDAHULUAN Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi sebagai Unit Pelaksana Teknis Perikanan Budidaya Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (Nomor 6/PERMEN-KP/2014) melaksanakan salah satu fungsinya yaitu pengelolaan produksi induk unggul dengan tujuan memiliki kemampuan untuk menyediakan benih calon induk bernutu Sejak lama BBPBAT Sukabumi melaksanakan produksi benih ikan hingga induk Grass carp atau ikan koan (Ctenopharingodon idella) karena ikan Grass carp tersebut merupakan salah satu spesies ikan air tawar yang memiliki kemampuan untuk pemanfaatan sumber protein nabati dari berbagai jenis rumputan atau tanaman hingga menjadi bahan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani bagi manusia yang mengkonsumsinya. Berbagai teknik pematangan gonad induk betina hingga diperoleh induk yang siap pijah secara semi alami (Induced spawning) maupun pemijahan buatan (Induced Breeding) telah dilaksanakan dan demikian pula pengembangan teknis fertilisasi telur hingga penetasanya pun telah diupayakan. Karakteristik telur yang dihasilkan oleh induk ikan Grass carp adalah (1) satu ekor induk matang gonad yang memiliki bobot badan 5 kg mampu menghasilkan jumlah telur berkisar 400 000-500 000 butir telur dengan ukuran diameter telur yang telah mencapai pengembangan maksimal berkisar 3.7-5.3 mm (Woynarovich dan Horvath, 1980), (2) telur yang dihasilkan oleh induk ikan Grass carp adalah tidak memiliki bahan perekat terhadap media (Non Sticky). (3) memiliki bobot basah telur melebihi dari bobot masa air jernih (Shireman dan Smith, 1982) sehingga jika tidak terdapa penggerak terhadap air maka telur akan bertumpuk yang mengakibatkan peluang kerusakan fisik telur menjadi tinggi dan pemenuhan kebutuhan oksigen menjadi rendah. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah dibutuhkan wadah penetasan telur dengan luasan yang relatif yang tinggi. Data dan informasi yang dimiliki menunjukkan bahwa (1) penetasan telur ikan Grass carp dengan menggunakan aquarium 50x30x30 cm dibutuhkan jumlah sebanyak 40 buah dan (2) penetasan telur dalam hapa corong dengan diameter 50 cm dan tinggi BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 147 40 cm memerlukan bak yang luas sehingga mampu terpasang hapa corong sebanyak 50. Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan data dan informasi aplikasi sistem dan teknis yang digunakan dalam dalam mendukung produksi stadia benih ikan Grass carp a. b. c. Berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi dalam produksi benih ikan Grass carp, pendekatan teknis yang dilakukan adalah : Siststim dan Teknis (Sistek) menggunakan wadah fiber glass yang memiliki volume air yang tinggi untuk menghadapi masalah bahwa satu ekor induk matang gonad yang memiliki bobot badan 5 kg mampu menghasilkan jumlah telur berkisar 400 000-500 000 butir telur dengan ukuran diameter telur yang telah mencapai pengembangan maksimal berkisar 3.7-5.3 mm Sistek dengan menerapkan sistim pemasukan dan pengeluaran air yang dilengkapi dengan sumber oksigen alam yang berasal dari High Blower sehingga telur yang dihasilkan oleh induk ikan Grass carp tidak menumpuk didasar wadah penetasan telur Sistek dengan melakukan pengaturan arus air dan tekanan udara yang berasal dari bawah sehingga kerusakan fisik telur menjadi rendah dan pemenuhan kebutuhan oksigen menjadi tinggi. Pelaksanaan kegiatan kerekayasaan ini telah dilaksanakan di Bangsal benih kelompok kerja ikan Grass carp dan Silver carp (Hyphophthamicthys molitrix) BBPBAT Sukabumi pada tahun 2013. Metodologi Metodologiyang digunakan mencakup Standar Operasional Pelaksanaan (SOP) persiapan induk jantan dan betina siap pijah, periapan wadah pemijahan semi alami, persiapan wadah penetasan telur, pengendalian terpadu antara aplikasi hormonal, oksigenisasi dan pengaturan pergerakan arus air dalam wadah yang digunakan dari mulai ovulasi telur dan sperma, fertilisasi, penetasan telur apung, pemeliharaan benih awal hingga berumur 5 hari dan pendederan intensif mono-kultur stadia benih dalam kolam semipermanen. Persiapan dan pemilihan Induk Induk jantan dan induk betina ikan Grass carp dipelihara dalam kolam semi permanen atau permanen dengan kedalaman air stabil pada ketingian + 1.0-1.5 m dan memiliki sumber air yang stabil mengalir sepanjang tahun. Upaya memacu pertumbuhan dan pematangan gonad induk dilaksanakan melalui pemberian perlakuan berupa pakan buatan ditambah dengan tanaman BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 148 atau rumputan yang disukai untuk dikonsumsi seperti daun bambu, rumput gajah, daun sirih dll.. pemberian pakan untuk induk jantan dan betina Grass carp adalah pelet tenggelam maupun pelet apung komersial dengan kandungan protein kasar sebesar 25 %. Dosis yang diberikan sebesar 2-3 % /biomasa/ dengan frekuensi dilakukan 3 kali/hari. pengaturan air harus dilaksanakan setiap hari sementara itu, pengggantian air perlu dilaksanakan secara periodik minimal 2 minggu. Secara umum, induk jantan dan induk betina ikan Grass carp banyak mengalami matang gonad pada musim penghujan. Sementara itu, pada lingkungan pembudidaya ikan grass carp, tahap awal dari pemilihan induk matang gonad ikan Grass carp dilaksanakan melalui pengamatan dan perabaan visual dengan standar operasional pelaksanaan pemeriksaan ditandai oleh (1) Terdapat pengembangan perut pada bagian alat kelamin dan jika dilakukan pemberokan selama 1 hari tidak terdapat penurunan ukuran bobot badan, (2) Jika diraba bagian perut tersebut akan terasa empuk. (3) Alat kelamin nampak menonjol dan memiliki warna merah jambu. Semetara itu, pemeriksaan visual induk jantan dilaksakan melalui pengamatan penonjolan alat kelamin dan pengurutan alat kelamin (Hand-presser). Tampilan induk betina dan induk jantan Grass carp siap pijah yang digunakan dalam pelaksanaan. Persiapan wadah Wadah-wadah yang digunakan terdiri dari (1) 1 unit bak permanen 3x2x1,5 m yang dilengkapi 1 buah hapa halus berukuran 2.8x0,9x1.0 m, 1 buah jaring penutup bak berukuran 4x2x1 m, 1 buah High blower 80 watt dan instalasi pemasukan dan pengeluaran air yang berasal dari pompa air 1,5 pK, (2) wadah penetasan telur yang terdiri dari 20 buah akuarium berukuran 40x30x25 cm, 5 wadah fiber glass Tipe I bulat dengan ukuan diameter atas sebesar 100 cm dan diameter bawah sebesar 80 cm dan ketinggian air 100 cm, 4 buah wadah fiber glass bulat Tipe II dengan ukuan diameter atas sebesar 120 cm dan diameter bawah sebesar 100 cm dan ketinggian wadah 100 cm, 1 buah high blower 120 watt dan 1 buah pompa air 1,5 pk, (3) instalasi penyaring larva -benih berdiameter 30 cm dan (4) alat perikanan berupa ember plastik 50 lt, Skop net halus 40 cm. Tampilan tipe fiberr glass yang digunakan sebagai wadah pentesan telur ikan Grass carp, disajikan pada Gambar 3 A dan 3 B. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 149 (A) (B) Gambar 3. (A) Tampilan tipe fiberr glass I dan (B) Tipe fiber glass II yang digunakan sebagai wadah pentesan telur ikan Grass carp Standar Operasional pelaksanaan pemijahan Pemijahan ikan Grass carp dewasa ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan metode pemijahan buatan (Induced breeding atau pemijahan semi alami (Induced spawning). Dalam penerapan metode pemijahan buatan maupun semi alami . Nama hormon beserta dosis dan kosentrasi yang dapat digunakan dalam merangsang ovulasi telur maupun sperma yaitu Ovaprim dengan dosis 6-7 cc/kg bobot induk betina dan 0.2 cc/kg induk jantan ikan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 150 Grass carp. Semetara itu. dosis hormon yang digunakan adalah 30% pada penyuntikan pertama dan 70% pada penyuntikan kedua dengan interval 6 jam. Untuk memudahkan dalam penyuntikan hormon kedalam tubuh induk ikan, dilaksanakan dengan metode intra-muskular dengan lokasi penyuntikan hormon terletak dibagian pangkal sirip punggung (Dorsal) . Metode pemijahan induk ikan Grass carp yang dilaksanakan adalah pemijahan semi alami (Induced spawning). Prosedur kerja yang dilakukan dalam pemijahan semi alami ikan Grass carp adalah sebagai berikut : a. Pemilihan minimal 1 ekor induk betina matang gonad dan minimal 2 ekor induk jantan matang gonad b. Penampungan dan pemberokan induk jantan dan betina selama 24-26 jam dalam wadah yang telah diisi air jernih mengalir dan dilengkapi sumber oksigen alam dengan menggunakan High Blower c. Penyuntikan hormon perangsang ovulasi telur atau sperma d. Penyatuan induk jantan dan betina kedalam satu bak pemijahan selama 6-7 jam e. Pembiaran induk jantan dan induk betina untuk memijah secara alamiah f. pemanenan telur dilaksanakan setelah pemijahan alami berakhir dan telur telah mengembang secara maksimal Standar Operasional penetasan telur a. pemasangan instalasi sumber udara dan sumber air b. Penampungan telur hasil pijahan semi alami c. Penebaran telur kedalam wadah yang digunakan berupa Akuarium, Fiber glass tipe I dan II d. Pengaturan air Masuk dan keluar dengan debit air 0,3 lt/dt e. Pengaturan tekanan oksigen yang bersal dari High Blower dengan standar tidak terdapatnya penumpukan telur didasar wadah dan melakukan minimalisasi benturan antara telur f. Pembersihan filteryang terdapat di permukaan dinding pengeluaran air saat telur mulai menetasa g. Hasil penetasan telur adalah larva berumur 1 hari dan pada waktu 5 hari yang dihasilkan adalah benih berumur 5 hari h. Pemeliharaan larva hingga benih berumur 5 hari tetap dilaksanakan dalam wadah penetasan telur i. Pemanenan benih dengan menggunakan penangkapan dengan menggunakan skop net halus dan dikombinasikan dengan metode sifonisasi. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 151 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pelaksanaan Hasil-pelaksanaan kegiatan pemijahan semi alami dalam upaya mendukung produksi stadia benih ikan Grass carp dalam satu kali periode penetasan telur, disajikan pada Tabel 1. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Parameter Kuantitatif Jumlah induk betina siap pijah (ekor) Bobot induk betina awal (kg) Bobot induk setelah dipijahkan (kg) Jumlah induk jantan siap pijah (ekor) Bobot induk jantan (kg) Jumlah telur yang dihasilkan (butir) Jumlah total telur trasparan Jumlah rataan benih berumur 5 hari yang diperoleh Diameter telur (mm) Diameter membran berkembang (mm) Suhu air ( oC) pH air Oksigen terlarut (ppm) Karbondioksida (ppm) Data 1 6.2 5,7 4 3,3-3,8 + 510 000 + 470 000 + 377 000 0.7-1.3 2.1-2.8 22-24 7.2-7.6 5-6 28-31 Tabel 1.Data hasil penghitungan dan pengukuran parameter kuantitatif dalam pelaksanaan kegiatan pemijahan semi alami ikan Grass carp (Ctenopharingodon idella). Hasil pengamatan terhadap jenis telur transparan dan perkembangan telur selama 48 jam, disajikan pada Gambar 3. A B Gambar 3. Tampilan contoh telur trasparan (A) dan (B) Tampilan contoh benih berusia 5 hari ikan Grass carp (Ctenopharingodon idella) BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 152 Tabel 1, menunjukkan bahwa jumlah telur yang diperoleh hasil pemijahan semi alami sebanyak + 560 000 butir telur dan hasil perhitungan jumlah total trasparan yang diperoleh sebanyak + 510 000 butir telur. Sementara itu, jumlah benih berumur 5 hari yang diperoleh sebanyak + 337 000 ekor. Diperolehnya data jumlah telur hingga benih berumur 5 hari menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan aplikasi perangsangan ovulasi telur dan sperma, fertilisasi, derajat penetasan telur hingga sintasan benih siap tebar dikolam telah tercapai. Hasil-pelaksanaan kegiatan penetasan telur yang dilakukan dengan menggunakan Akuarium, Fiber glass tipe I dan Fiber glass tipe II , disajikan pada Tabel 2 . Tipe wadah Spesifikasi Akuarium Kaca Persegi 40x30x30 m Volume air 30 lt Ketinggian air 25 cm Air tetap Wadah Tipe I Wadah Tipe II Fiber glass Selinder Atas 100 cm Dasar 80 cm Ketinggian wadah 120 cm Ketinggian air 100 cm Volume air 1000 lt Air mengalir Fiber glass Selinder Atas 150 cm Dasar 120 cm Jumlah wadah (buah) Tebar telur total (+ butir) Tebar telurper volume (Butir/lt) Jumlah benih berusia 5 hari (+ ekor) 20 20 000 33 12 490 41.6 4 240 000 60 186 910 77.9 4 250 000 52 177 600 74.0 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 HR (%) 153 Ketinggian wadah 60 cm Ketinggian air 40 cm Volume ait tetap 1200 lt Air mengalir 510 000 377 000 Tabel 1.Data hasil penghitungan jumlah telur contoh dan derajat tetas (Hatching Rate) benih berumur 5 hari ikan Grass carp yang ditebarkan untuk ditetaskan dalam akuarium, fiber glass tipe I dan Fiber Glass tipe II Tabel 2, menunjukkan bahwa jumlah benih yang dihasilkan dari pelaksanaan kegiatan sebanyak 337 000 ekor yang terdiri dari hasil penetasan telur dalam 20 buah akuarium, 186 910 hasil penetasan telur dengan menggunakan fiber tipe I serta sebanyak 177 ekor benih merupakan hasil penetasan telur dala fiber glass tipe II. Tabel 2, menunjukkan bahwa pentasan telur dalam wadah berupa fiber glass bulat dengan diameter atas sebesar 100 cm, diamter dasar sebesar 80 cm dan ketinggian air wadah sebesar 120 cm, ketinggian air 100 cm dan diikuti oleh pengaliran air serta pengangkatan telur melalui tekanan udara dalam air merupakan hasil yang terbaik dari penggunaan akuarium maupun tipe II. Data hasil penghitungan jumlah telur yang ditebar dalam 3 jenis wadah penetasan telur per liter menunjukkan bahwa kepadatan telur 33 butir/lt yang ditetaskan dalam akuarium menghasilkan nilai derajat tetas sebesar 41,6% Sementara itu, hasil penetasan 60 butir telur/lt dengan menggunakan wadah fiber glass tipe I air mengalir menghasilkan derajat tetas sebesar 77.9% dan hasil penghitungan derjat penetsan telur yang bersal dari penggunaan wadah penetasan telur fiber glass tipe II dengan kepadatan 52 butir/ lt adalah sebesar 74.0%. PEMBAHASAN Tingkat keberhasilan dalam perolehan kuantitatif maupun kuantitatif produksi benih yang dihasilkan sangat tergantung kepada kemapuan personil dalam ilmu pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang didukung oleh ketersediaan induk, bahan dan ketersedian fasilitas atau sarana pendukung produksi. Woynarovich dan Hovarth (1980) menyatakan bahwa keberhasilan produksi benih ikan sangat ditentukan oleh (1) ketersediaan induk yang siap untuk dipijahkan, (2) ketersediaan adah dan peralatan yang dapat digunakan dari mulai pemijahan hingga pemeliharan benih dan (3) ketersediaan bahan yang dibutuhkan dalam perangsangan ovulasi, fertilisasi dan pengendalian BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 154 lingkungan dan (4) ketersedianya sarana dan prasarana pendukung dalam produksi. Sementara itu, Boyd (1990) menyatakan bahwa parameter kualitas air yang sangat memberikan pengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan stadia benih adalah kandungan oksigen terlarut, pH, fluktuasi suhu air dan kandungan Amonia terlarut (NH3). Hasil-pelaksanaan kegiatan pengendalian karakter biologi dalam upaya peningkatan stadia benih dalam satu kali periode dengan jumlah sebanyak 1 ekor induk betina Grass carp matang gonad berukuran bobot badan 6.2 kg dan 4 ekor induk jantan matang gonad dengan ukuran bobot badan berkisar 3,3-3,8 kg ditambah dengan aplikasi perangsangan hormonal dengan dosis 0,6 cc Ovaprim /kg bobot badan induk betina dan 0,2 cc Ovaprim/ kg induk jantan serta menggunakan 1 buah bak permanen berukuran 3x2x1 m yang dilengkapi 1 buah hapa halus berukuran 2.8x1.8 m, 1 buah high blower 60 watt, 4 buah fiber glass berdiameter 1 m dengan ketinggian 1,2 m dan 1 buah kolam semi permanen berukuran 350 m2 dapat diperoleh data dan informasi bahwa ovulasi telur secara alamiah tercapai dengan baik pada pH air 7.2-7.6, suhu air 22-24 oC, Oksigen terlarut 5-6 ppm dengan jumlah telur sebanyak + 510 000 butir telur dan 377 ekor benih berusia 5 hari Permasalahan yang dihadapi dalam produksi benih ikan Grass carp adalah dibutuhkan wadah penetasan telur dengan luasan yang relatif yang tinggi karena rata-rata telur yang diperoleh dari induk betina matang ganad berumur 4 tahun dan bobot badan telah berkisar 5-6 kg dapat menghasilkan telur 100-120 butir telur/kg bobot badan (Woynarovich dan Hovarth (1980) oleh sebab itu, berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi dalam produksi benih ikan Grass carp, pendekatan teknis yang dilakukan adalah aplikasi Siststim dan Teknis (Sistek) dengan dasar pertimbangan wadah penetasan telur yang memiliki luasan tinggi dan dilengkapi oleh sumber air mengalir dan sumber udara yang memiliki tekanan sebagai penggerak air. Hasil pelaksanaan penetasan telur ikan Grass carp menunjukkan bahwa penggunaan wadah fiber glass tipe I lebih baik dibandingkan dengan menggunakan akuarium atau fiber tipe II yang memiliki diameter permukaan 150 cm namun kedalam air sebesar 50 cm. meneluri pada aliran air yang digunakan pada wadah fiber glass Tipe I dan tipe II menunjukan bahwa hasil-hasil penetesan telur dan pemelihaan larva hingga benih berumur 5 hari relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penetasan telur hingga pemeliharaan benih dengan menggunakan akuarium persegi. Rendahnya nilai derajat penetasan telur sangat berkaitan erat dengan (1) bentuk akuarium segi empat memiliki daerah pojok yang dikenal dengan nama daerah mati (Dead area) sehingga mengakibatkan banyaknya telur yang terkumpul dan benturan antara telur banyak terjadi dan (2) tingginya kandungan amonia (NH3) sebagai akibat dari banyak cangkang telur ikan yang tidak segera dibuang dan dilakukan penambahan air baru. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 155 KESIMPULAN 1. Satu ekor induk betina Grass carp matang gonad berukuran bobot badan 6.2 kg dan 4 ekor induk jantan matang gonad dengan ukuran bobot badan berkisar 3,3-3,8 kg menghasilkan jumlah telur sebanyak + 510 000 butir, 2. Keberhasilan fertilisasi spermatozoa dengan ovaria tercapai 92% dengan jumlah telur transparan sebanyak sebanyak + 470 000 butir telur 3. Pengendalian penetasan telur (Hatching rate) tercapai sebesar 74% dengan jumlar larva hingga berumur 5 hari sebanyak + 377 000. 4. Penggunaan fiber glass selinder dengan standar ukuran diameter atas Atas 100 cm diameter dasar 80 cm ketinggian wadah 120 cm ketinggian air 100 cm dan diikuti oleh pengaturan air mengalir 1,3 lt/dt dan tekanan penggerak yang berasal dari High Blower memiliki kemampuan peningkatan produksi satadia ikan Grass carp sebesar 40% dibandingkan dengan menggunakan akuarium atau fiber glass tipe II. DAFTAR PUSTAKA Boyd, C.E, 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station Auburn University .USA.482 pp. Shireman, J.V. and C.R. Smith. 1983. Synopsis of biological data on the grass carp, Ctenopharyngodon idella (Cuvier and Valenciennes, 1844). Food and Aquaculture Organization Synopsis. 135: 86pp. Froese, Rainer, and Daniel Pauly, eds. (2007). "Ctenopharyngodon idella" in Fish Base. May 2007 version Woynarovich. E and L. Horvarth, 1980. THE ARTIFICIAL PROPAGATION OF WARM-WATER FINFISHERIES.-AN MANUAL FOR EXTENSION. FOOD AND AGRICULTURE ORGANITATION. P.183 Purdom , C.E. 1993. Genetics and Fish breeding.Chapman- Hall Fish and Fisheries Series 8 277p Tave, D., 1993. Genetics for fish hatchery managers, Second edition, An AVI Book. Published by Van Noststrand Reinhold. New York. 415 p. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 156 PEMBENIHAN IKAN TERBANG (Hirundichtys Oxycephalus) BIOTA AQUATIK BERNILAI EKONOMIS TINGGI SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN PLASMA NUTFAH DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Dasep Hasbullah 1), Sugeng Raharjo 2), Sadat 3),Harnita Agusanty 4), Muhammad Amri Tiro 5). ABSTRACT Flying fish (Hirundichtys Oxycephalus) is fishing commodity that had high economic value that marketed as fresh, dried fish and smoked fish. Some species are popular in south Sulawesi known as torani, caruda and benggulung. Beside in processed form, flying fish more popular with its eggs who have high economic value. Flying fish eggs are „primadona‟ for export product and one of national income. Otherwise, flying fish are high exploited (overfishing) in some area in South Sulawesi such as Takalar, Pinrang, Barru, Jeneponto, Bantaeng and Bulukumba. This situation was generating decreasing of population in the nature. Effort to preserve this organism extremely need from all stakeholders to avoid the extinction of flying fish. Balai Budidaya Air Payau Takalar in fiscal year 1997/1998 was developing flying fish hatchery as moral movement by following an effort for environment preservation. Moreover, in 2011, 2012 and 2013 with local Dinas of Marine and Fishery of Takalar district, South Sulawesi were conducting hatchery engineering activities more intensively and controlled to improve larvae survival in hatching stage and also to produce seed that ready for restocking. Additionally, activities not only to preserve aquatic organism but also for improving the welfare of fishermen. Key Words: flying fish, high economic value, extinction and preservation 1) Young Engineers at BPBAP Takalar 2) Head BPBAP Takalar 3) Head of Technical Services BPBAP Takalar 4) Head of Standardization and Information BPBAP Takalar 5) Technician litkayasa on BPBAP Takalar BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 157 PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan terbang (Hirundichtys Oxycephalus) merupakan ikan pelagis kecil, hidup dipermukaan laut, termasuk perenang cepat, menyukai cahaya pada malam hari dan mampu meluncur keluar dari permukaan air dan melayang di udara (Parin 1999 in Carpenter & Niem 1999 dalam Nurmawati 2007). Ikan terbang merupakan salah satu komponen ikan pelagis yang ditemukan di perairan tropis dan sub tropis dengan kondisi perairan tidak keruh dan berlumpur (Hutomo et al 1985 dalam Harahap). Di Provinsi Sulawesi Selatan komoditas ikan terbang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dipasarkan dalam bentuk segar, ikan asinan maupun ikan asap, beberapa jenis ikan terbang yang dikenal di daerah ini antara lain : torani, caruda dan banggulung. Selain dalam bentuk olahan yang sudah jadi ikan terbang juga dijual telurnya. Telur ikan terbang ini mempunyai nilai gizi tinggi dan lebih popular di masyarakat yang menjadikan nilai jual produk dalam bentuk telur ikan terbang lebih mahal sehingga produk telur ikan terbang dapat dijadikan primadona untuk produk ekspor dan juga merupakan sumber devisa negara dari sektor perikanan tangkap. Produksi telur ikan tebang di Sulawesi selatan dari tahun ke tahun terus menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun akibat kegiatan eksploitasi telur ikan terbang oleh nelayan di laut semakin intensif untuk melayani permintaan pasar baik domestik maupun ekspor yang semakin meningkat dengan harga pasaran yang cukup tinggi. Menurut Ghofur 2003 dalam Nurmawati 2007, ikan terbang telah dieksploitasi di Indonesia bagian timur terutama di selat Makasar dan Laut Flores. Eksploitasi telah dilakukan oleh nelayan di Kabupaten Takalar, Pinang Baru, Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba. Mengingat peranan penting ikan terbang dalam penerimaan devisa negara, maka upaya pelestarian flasma nutfah komoditas ikan terbang sangat perlu mendapat perhatian berbagai pihak agar populasinya di alam tidak mengalami kepunahan akibat overfishing. Tabel 1. Produksi ikan terbang di beberapa perairan Indonesia No 1 2 3 4 5 Daerah Produksi Ton/Tahun) Sumatera Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Utara Maluku Bali, dan NTT 299 5.331 1.028 978 525 (Sumber: Statistik Perikanan tahun 1978 dalam Hutomo 1985). BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 158 Berdasarakan data Statistik perikanan Indonesia tahun 2005 diperoleh bahwa total produksi telur Ikan Terbang 279,8 ton/ tahun pada wilayah Sulawesi Selatan bahkan belum lama Indonesia mengekspor telur ikan terbang ke Rusia sebesar 20 ton seharga Rp. 5 miliar. Telur ikan terbang bermanfaat untuk obat-obatan, telur ikan terbang mengandung karagenan yang juga banyak di terkandung rumput laut, Telur yang lebih halus lebih diminati pasar di luar negeri. Di Jepang orang mengkonsumsinya sebagai bahan obat seperti yang dituturkan oleh Dr Musri Musman, seorang dosen Kelautan pada Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Doktor alumni University of the Ryukyus pada bidang marine and natural products, menurutnya lagi ada kesimpulan umum bahwa dengan memakan telur ikan terbang ini akibatnya dapat memperlancar peredaran darah yang dan secara tidak langusng dapat meningkatkan libido seperti yang dituturkannya pada Citizen Reporter (komarudin 2007 Telur Tuing Tuing Galesong, Omzet Milyaran Menembus Rusia) Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar (BPBAPT) pada tahun tahun anggaran 1997/1998 waktu itu bernama Loka Budidaya Air Payau Takalar, telah melakukan pembenihan ikan terbang sebagai gerakan moral yang mengacu pada upaya pelestarian komoditas jenis ini dalam rangka upaya pelestarian lingkungan dengan melakukan perbaikan teknologi rekayasa pembenihan ikan terbang melalui teknik penetasan, pemberian pakan dan pengelolaan kualiatas air. Selanjutnya Tahun 2011 BBAPT bekerja sama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan kembali melakukan kegiatan pembenihan ikan terbang dengan teknologi yang lebih intensif dan terkontrol untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva dalam penetasan dan menghasilkan produksi benih siap tebar yang berkualitas sehingga populasi ikan terbang di alam khususnya di perairan selat makassar dan sekitarnya tidak mengalami kepunahan, bahkan ditargetkan produksi ikan terbang pada beberapa tahun ke depan akan melimpah tanpa mengganggu keseimbangan alam. Tujuan Kegiatan - Untuk mendapatkan suatu teknologi penetasan dan perawatan larva ikan terbang yang tepat sehingga kualitas dan kelulushidupan (survival rate) larva dapat ditingkatkan untuk kesuksesan restocking. - Mempertahankan kesimbangan dan pengkayaan keragaan biota aquatik khususnya populasi komoditas ikan terbang (Hirundichtys Oxycephalus). BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 159 METODOLOGI Prosedur Kerja Kegiatan Pembenihan ikan terbang yang dilakukan di BPBAP Takalar telah mengalami perkembangan dari metode konvensional yang dilakukan oleh para pembenih pada umumnya beralih ke metode yang lebih baik dengan menggunakan kerekayasaan sederhana yang tepat guna, efektif, efisien dan ramah lingkungan mengacu pada cara pembenihan ikan yang baiik (CPIB). Sehingga bukan saja meningkatkan produksi larva ikan terbang dengan menaikkan kelulushidupan (survival ratio) tetapi juga diharapkan dapat terus menciptakan inovasi dan kreasi terbaru dalam teknologi pembenihan ikan terbang yang lebih maju. Pengambilan telur Telur ikan terbang diperoleh dari para nelayan pencari, penangkap dan pengepul di wilayah perairan sekitar lokasi pembenihan. Biasanya para Nelayan baru mendapatkan hasil buruan telur ikan terbang setelah mengarungi peraian selama dua sampai empat hari. Disamping menangkap telur yang sudah terurai dalam rerumputan yang mengapung di lautan (sargosum), mereka juga menciptakan alat penangkap telur sendiri yang terbuat dari belahan bambu dan kerangka rotan yang dibentuk kerucut sebagai perangkap ikan terbang yang bertelur (dalam bahasa makassar disebut Pakajja). Untuk menciptakan rumpon lain bagi telur ikan terbang para nelayan membuatnya dari daun kelapa yang disebar di perairan dimana kumpulan populasi ikan terbang diketemukan. Pengangkutan telur Pengangkutan telur ikan terbang dari laut/perairan menggunakan wadah/ember/drum plastik/bak fiber volume isi 30 s/d 50 liter, selanjutnya diisi air laut sebanyak 2/3 bagiannya kemudian telur yang menempel pada substrat atau yang terjebak dalam pakajja dimasukan ke dalam wadah dengan memperhatikan tingkat kepadatan dan lama waktu tempuh perjalan. Pemantauan kualitas air dan penggunaan aerator selama dalam pengangkutan senantiasa harus dilakukan secara serius termasuk kegiatan penggantian air dalam wadah setiap interval 1-1,5 jam selama dalam perjalanan terlebih pada saat kondisi kualitas air rusak agar kualitas telur tetap terjaga dengan baik. Seleksi telur Seleksi telur-telur ikan terbang sebelum ditetaskan dimaksudkan untuk mendapatkan telur yang sehat, berkualitas baik dan siap tetas, dapat dilakukan secara visual dan manual maupun secara laboratorium. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 160 Telur yang sehat dan memenuhi syarat untuk ditetaskan memiliki tandatanda sebagai berikut : Telur berwarna bening mengkilat dengan bulatan telur membentuk lingkaran utuh Untaian telur saling melekat Tidak ada bau menyengat yang diakibatkan oleh telur yang rusak atau substrat yang membusuk lebih dulu Bersih dari kotoran (organik maupun anorganik) Disinfektan telur Telur ikan terbang yang telah terseleksi dengan baik selanjutnya disucihamakan dengan KMNO4 3 ppm, Malachytgreen oxalat 0,02 ppm dengan tujuan agar kualitas telur yang hendak ditetaskan terhindar dari serangan hama yang ikut pada media pembawa atau media yang digunakan sebagai substrat tempat melekatnya telur. Inkubasi dan penetasan telur Inkubasi dan penetasan telur dilakukan dalam bak pengeraman dan penetasan yang terkontrol berukuran 1 x 2m2 dengan ketinggian air 40-50 cm dilengkapi dengan ram pelampung terbuat pipa PVC berdiameter ¾ - 1 inch yang dibentuk persegi panjang sesuai ukuran bagian dalam bak dan telah diberi tali jaring polyteline yang terpola rapi dengan tiap bagiannya membentuk persegi empat. Air yang digunakan dalam bak penetasan ini harus air laut yang sudah disterilkan dan ditreatment menggunakan albazine 1 ppm. Telur ikan terbang yang melekat pada substrat (rumput sargosum) dan telah disucihamakan selanjutnya diurai rapi mengikuti tali jaring dalam bingkai plampung agar sebaran oksigen terlarut dan suhu dalam bak penetasan merata dan homogen. Telur ikan terbang menetas pada malam hari dengan interval 24 sd 36 jam setelah perlakuan. Pemanenan larva dapat dilakukan pada malam dan pagi hari secara berturut-turut sampai hari ketiga dan keempat sesuai dengan produktivitas telur ikan yang ditetaskan. Telur yang tidak menetas warnanya memudar dan akan cepat membusuk, maka pada saat panen larva telur yang membusuk dan cangkang telur sebaiknya dikeluarkan dari bak pemeliharaan agar kualitas air dan kualitas telur yang belum menetas tetap terjaga dengan baik BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 161 HASIL KEGIATAN Pendederan dan pemeliharaan larva dilakukan dalam bak beton berukuran 2,5 x 2,5 x 1m3 yang terlindung dari hujan/di dalam hatchery dengan padat tebar ideal 15.000 s/d 20.000 ekor/m3 (1500 s/d 2000 ekor/liter). Kualitas air merupakan hal yang sangat penting untuk senantiasa diperhatikan baik dari segi fisika, kimia maupun biologi agar larva hasil pembenihan tetap dalam kondisi baik dengan nilai kelulushidupan (Survival Ratio) dapat dioptimalkan. Nilai SR larva ikan terbang yang baik berkisar antara 83-90 %. Larva dipelihara dalam bak pendederan selama 12-14 hari ditandai dengan terbuka sayap secara sempurna. Pada kondisi ini benih telah siap untuk siap ditebar di laut lepas. Tabel 4. Ktriteria kualitas air yang layak untuk pendederan larva ikan terbang Parameter Suhu Salinitas Oxygen terlarut pH Nitrit (NO2) Nitrat (NO3) Kisaran nilai yang cocok 28 – 32 oC 30 – 34 ppt 4 – 10 mg/l 6,5 – 8,5 0 – 6 mg NO2 -N/l 0 – 200 mg NO3 -N/l Kisaran optimum 30 oC 30 ppt 8 – 10 mg/l 7–8 0 – 0,5 mg NO2 -N/l 0 – 50 mg NO3 -N/l Pemberian pakan Pakan alami yang digunakan adalah phytoplankton jenis Tetracelmis dan Rotifera diberikan pada stadia larva satu hari dengan kepadatan Tetracelmis antara 5000 – 10.000 cel/cc dengan frekuensi pemberian 2 kali/hari. Untuk larva berumur 3 hari sampai hari ke 12 dan menjelang panen diberikan pakan berupa naupli Artemia dan pakan komersil berupa pellet halus (powder dan cramble) sebanyak 5% dari berat total biomasa larva ikan terbang dengan frekuensi pemberian pakan 5 kali perhari yaitu pada waktu pagi, siang, sore dan malam hari (jam 07.00, 10.00, 13.00, 16.00, dan 19.00). Penanggulangan Penyakit pada larva Pengawasan terhadap kesehatan larva dari serangan penyakit dilakukan dengan cara memperhatikan perilakunya antara lain sebagai berikut : Pengamatan terhadap perubahan warna tubuh, nafsu makan dan pertumbuhan larva. Memisahkan larva yang sakit / diisolasi kemudian diobati sesuai hasil diagnosa Isolasi alat yang dipakai dengan menggunakan disinfektan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 162 Panen, Packing dan Distribusi Panen benih siap tebar dilakukan setelah benih berumur 12 hari dengan cara menyurutkan air kolam secara berangsur-angsur untuk mengurangi volume air hingga benih dapat ditangkap dengan mudah. Proses pemanenan sebaiknya dilaksanakan pada saat suhu air rendah (pagi, sore atau malam hari), agar ikan tidak stress lakukan panen dan pengepakan dengan sangat hati-hati. Pembenihan bukan hanya ditentukan oleh tingginya produksi benih dan kualitas benih yang baik belaka, namun kesigapan dan kesempurnaan dalam teknik dan pengelolaan benih saat pemanenan juga mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkat keberhasilan usaha pembenihan. Tabel 5. Ciri benih ikan terbang yang telah siap ditebar di perairan dan laut lepas No 1. 2. 3. Yang perlu diamati Umur benih Panjang total Organ tubuh 4. 5. 6. Pola berenang Pola makan Tingkat kematian 7. Kanibalisme Keterangan umum >12 hari setelah menetas 0,8 s/d 1,2 cm Lengkap dan sempurna, terutama bagian sayap (pada malam hari terlihat mengembang sempurna) Cepat dan sesekali melompat Mulai Rakus terutama pada malam hari Mulai meningkat, ditandai banyaknya bangkai benih ikan terbang yang menempel pada dinding bak pemeliharaan akibat loncatan dan terbangnya benih Mulai muncul Tabel 6. Benih ikan terbang hasil pembenihan BPBAP Takalar untuk restocking 2011-2013 TAHUN JUMLAH BENIH (ekor) WILAYAH PELEPASAN (ZONA RESTOCKING) BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 163 2011 7.000.000 2012 14.300.000 2013 21.000.000 Perairan pulau satangah selat Makassar Perairan pulau satangah dan tanakeke selat Makassar Perairan pulau Tanakeke, satangah dan dayang dayang selat Makassar KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kegiatan pembenihan ikan terbang sangat mendukung terhadap pelestarian alam. Melalui program restocking ini terlihat ada peningkatan populasi ikan terbang di alam dalam berbagai ukuran dan berdampak positif terhadap jumlah hasil tangkapan para nelayan yang semakin meningkat, begitu pula terhadap produktivitas telur ikan terbang di beberapa produsen olahan telur ikan terbang yang mengalami peningkatan setiap harinya. Saran Melihat manfaat dan dukungan berbagai pihak khususnya dari para belayan penangkap ikan terbang yang banyak merasakan dampaknya secara langsung, maka kegiatan pembenihan ikan terbang untuk pelestarian alam perlu terus dilakukan secara keberlanjutan DAFTAR PUSTAKA Ali, S.A. (1981). Kebiasaan makan, pemijahan,hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan terbang (Cypselurus Oxycephalus) di laut plores Sulawesi Selatan. Tesis Fakultas Perikanan UNHAS Makassar Andi Tamsil (1992), Pertumbuhan dan Kelangsungan hidup larva ikan terbang (Cypselurus Oxycephalus) pada berbagai jenis pakan. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Ujung Pandang. I Made Suitha, Anton Mardiyanta (1997). Laporan Pembenihan ikan terbang (Cypselurus Oxycephalus) sebagai upaya Pelestarian Lingkungan. Loka Budidaya Air Payau Takalar. I Made Suitha, Anton Mardiyanta,(1999) Uji Coba Jentik nyamuk sebagai pakan substitusi pada larva iikan terbang. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perikanan Loka Budidaya Air Payau Takalar. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 164 Nessa, M.N.H Sugondo, I Andarias, A. Rantetondok (1997). Studi Pendahuluan terhadap perikanan ikan terbang di Selat Makassar. Majalah UNHAS Tahun VIII/XVIII 13,643-649. Pola Ilmiah Pokok UNHAS Makassar. PENINGKATAN NILAI TAMBAH HASIL PERIKANAN KOMODITAS LAWI-LAWI (Caulerpa, sp) SUMBER NUTRISI DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN Endah Soetanti 1), Dasep Hasbullah 2), Sugeng Raharjo 3), Jumriadi 4), Harnita Agusanty 5). BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 165 ABSTRACT Development of lawi-lawi (Caulerpa.sp) culture as new commodity from seaweed group was developing together between Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar with Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). This activity is part of commodities diversification to improve productivity of idle ponds in South Sulawesi recently become one primadona commodity that had been chose by farmers to improve their income as well as improving the welfare of aquaculture farmers. Lawi-Lawi productivity in nowadays is sustain increase, this condition parallel with number of adopted farmer increase gradually. Simultaneously, pushing up value added of lawilawi productivity in the ponds is generates the abundance in the market site. To compensate the high production, socialization of this edible seaweed was conducting and also need to figure out processing technology for profitable food resources as an effort to nutrient improvement and vegetable protein in interesting package. Processing technology developed by Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar including: processing of lawi-lawi as fresh comestible meal such as Pallu kacci, Pallu cekla, lawi-lawi soup, urab and gado-gado also developing lawi-lawi cake such as jelly, pudding, bolu lawilawi and lapis lawi-lawi. Furthermore as snack like chips, candies and healthy fresh drink such as lawi-lawi juice and herbal. Key words: Production, lawi-lawi (Caulerpa sp) and processing technology 1) Associate Engineer at BPBAP Takalar 2) Young Engineers at BPBAP Takalar 3) Head BPBAP Takalar 4) First Engineer at BPBAP Takalar 5) Head of Standardization and Information BPBAP Takalar PENDAHULUAN Lawi-lawi (Caulerpa.sp) sebagai komoditas baru dari golongan rumput laut yang dikembangkan oleh Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar hingga saat ini telah menunjukkan hasil yng significant. Lawi-lawi yang dulu dianggap sebagai gulma dan panganan biasa oleh masyarakat, melalui teknologi budidaya yang dikembangkan BPBAP Takalar dalam program diversifikasi komoditas untuk meningkatkan produktivitas tambak idle BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 166 di Sulawesi Selatan kini sudah menjadi salah satu komoditas primadona yang dipilih oleh para petambak untuk meningkatkan penghasilan mereka, meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan pembudidaya. Kini permintaan lawi-lawi dari beberapa pasar lokal di Sulawesi Selatan semakin menunjukan peningkatan bahkan sudah mulai merambah pasar ekspor ke beberapa negara seperti Cina, Korea, Jepang dan Philipina. Produksi lawi-lawi (Caulerpa.sp) saat ini terus mengalami peningkatan, hal ini sejalan dengan bertambahnya jumlah pembudidaya yang mengadopsi teknologi budidanya, kondisi tersebut secara simultan akan mendongkrak peningkatan nilai produksi lawi-lawi di tambak sehingga keberadaan lawi-lawi di pasar akan melimpah ruah. Untuk mengimbangi produksi yang tinggi tersebut selain terus mensosialisasikan lawi-lawi sebagai bahan pangan lalaban dalam kondisi segar, juga dibutuhkan teknologi pengolahan lawi-lawi menjadi sumber pangan yang bermanfaat bagi masyarakat dalam upaya peningkatan gizi dan sumber protein nabati dengan kemasan/olahan yang disukai masyakat. Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar melalui kegiatan rekayasa teknologi lawi-lawi merintis pengembangan teknologi pengolahan lawi-lawi sebagai bahan pangan dalam bentuk aneka olahan higienis yang diharapkan dapat meningkatkan tren konsumsi lawi-lawi pada masyarakat luas sebagai upaya peningkatan produksi perikanan budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Beberapa teknologi pengolahan lawi-lawi yang dikembangkan oleh BPBAP Takalar antara lain : Pengolahan lawi-lawi sebagai panganan segar dalam menu lauk pauk (palu kace, palu cela, sop lawi-lawi ,urab dan gado-gado lawi-lawi) juga dikembangkan teknologi pengolahan lawilawi sebagai panganan hidangan dalam bentuk kue (agar lawi-lawi, puding lawi-lawi, bolu lawi-lawi dan lapis lawi-lawi), sebagai camilan makanan ringan lawi-lawi juga diolah menjadi asinan lawi-lawi, kerupuk lawi-lawi dan permen lawi-lawi. Selain itu juga lawi-lawi diolah menjadi minuman segar yang menyehatkan (jus lawi-lawi dan minuman herbal lawi-lawi). Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan nilai tambah produk lawi-lawi yang dihasilkan dari kegiatan budidaya dan tersedianya aneka panganan dengan bahan baku lawi-lawi (Caulerpa. sp) disamping sebagai bahan panganan/makanan segar/lalapan. METODOLOGI Waktu dan tempat BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 167 Uji coba pemanfaatan lawi-lawi menjadi produk olahan aneka panganan ini dilakukan di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar, Tahun Anggaran 2013. Alat dan Bahan Bahan dan alat yang digunakan dalam kegiatan ujicoba ini adalah sebagai berikut : No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. - Nama Alat Ember Waskom Timbangan Blander/mixer Open Loyang Baki vires Kompor Wajan Palstik Packing Nama Bahan Lawi-lawi hasil budidaya Ikan segar Kelapa Telor ayam Tepung terigu Glukosa Gula putih Gula merah Garam Bumbu dapur Kegunaan Wadah penampungan Wadah penampungan Untuk menimbang bahan Pengekstrak/pengocok bahan Pemanas kue Cetakan kue Piring saji Alat memasak Alat memasak Untuk Pengemasan Kegunaan Bahan baku untuk olahan Bahan baku untuk olahan Bahan campuran untuk olahan Bahan campuran untuk olahan Bahan campuran untuk olahan Bahan campuran untuk olahan Untuk citra rasa Untuk citra rasa Untuk citra rasa Untuk citra rasa Prosedur Kerja Menyiapkan bahan baku utama (lawi-lawi hasil produksi di tambak) Seleksi kualitas bahan baku lawi-lawi Pencucian lawi-lawi Menyiapkan bahan baku pendukung (ikan, campuran bahan baku dan bumbu) Membuat olahan utama Pembuatan aneka menu hidangan dengan bahan baku lawi-lawi Pengemasan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 168 - 1. 2. 3. 4. 5. Penyajian/hidangan HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum pengolahan lawi-lawi menjadi beberapa makanan olahan tidak rumit, walaupun lawi-lawi pada umumnya lawi-lawi dikonsumsi dalam bentuk segar sebagai lalaban pelengkap lauk pauk pada saat makan, namun juga dapat dijadikan sebagai bahan baku aneka panganan yang bergizi dan banyak manfaat bagi kesehatan dan daya tahan tubuh. Pengolahan lawilawi menjadi bahan panganan yang bermanfaat dan aman bagi tubuh yang mengkonsumsinya diproduksi dengan mempertimbangkan hal-hal berikut ini : Lawi-lawi yang digunakan sebagai bahan baku adalah hasil produksi di tambak dengan penerapan CBIB Sebelum digunakan dilakukan sortir kualitas lawi-lawi dan pemberokkan dalam bak pemeliharaan yang menggunakan air laut steril Selama pemberokkan dilakukan penggantian air dan reserkulasi untuk memperoleh bahan baku lawi-lawi yang bersih, sehat dan berkualitas Tidak menggunakan bahan pengawet/bahan kimia yang berbahaya, baik pada saat pemberokkan lawi-lawi maupun pada saat pengolahan lawi-lawi menjadi panganan yang diinginkan Dilakukan pencucian dengan air tawar yang bersih sebelum pengolahan lawilawi menjadi aneka produk olahan bahan panganan. Tahap Seleksi hasil panen Pada saat pengumpulan hasil panen dilakukan penyortiran/pemilihan kualitas lawi-lawi yang berkualitas dan memenuhi kriterian yang memenuhi syarat sebagai bahan baku yang akan diolah menjadi aneka produk olahan. Pemberokkan/Penampungan sementara Lawi-lawi hasil seleksi selanjutnya dilakukan pemberokkan/penampungan dalam bak dengan media air laut yang steriil, diberi aerasi yang cukup dan reserkulasi yang cukup untk proses pencucian (leaching) secara alami agar semua kotoran dan lumpur dari tambak pemeliharaan yang melekat terlepas dari akar, tallus dan anggur lawi-lawi yang akan diolah. Pencucian Setelah dilakukan pemberokkan selam 3 hari, lawi-lawi dari bak penampungan selanjutnya ditiriskan selama 10-15 menit, kemudian dilakukan pencucian dengan menggunakan air tawar yang bersihsebelum dilakukan pengolahan lebih lanjut BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 169 Pengolahan Lawi-lawi yang sudah dicuci bersih dengan air tawar telah siap diolah dalam berbagai bentuk produk olahan yang diinginkan sesuai kebutuhan.baik menjadi olahan pelengkap lauk pauk, olahan makanan camilan maupun olahan minuman yang segar dan menyehatkan tubuh. Hasil dari kegiatan penerapan teknologi sebagaimana terlampir pada tabel dan dan grafik di bawah ini. NO SPESIFIKASI OLAHAN 1. Lawi-lawi sebagai Lauk Pauk 2. Lawi-lawi sebagai kue 3. Lawi-lawi sebagai makanan ringan (camilan) 4. Lawi-lawi sebagai minuman segar yang menyehatkan PRODUK OLAHAN YANG DIHASILKAN Palu kace Palu ce‟la Sop lawi-lawi Urab lawi-lawi, dan Gado-gado lawi-lawi Agar lawi-lawi Puding lawi-lawi Lapis lawi-lawi Asinan lawi-lawi Manisan lawi-lawi Kerupuk lawi-lawi Permen lawi-lawi Jus lawi-lawi Herbal lawi-lawi KESIMPULAN DAN SARAN Kegiatan pengolahan lawi-lawi menjadi aneka produk olahan memberikan harapan baru bagi pembudidaya/petambak dan keluarganya dalam membuaka peluang usaha baru dan pemberdayaan masyarakat pesisir/pembudidaya tambak dalam peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Pada sisi lain kegiatan ini juga diharapkan dapat membantu peningkatan pembangunan sector perikanan melalui peningkatan ketahan pangan dan gizi masyarakat yang berkesinambungan dengan produtivitas budidaya perikanan.Dalam rangka lebih mengoptimalkan pemanfaatan sebagai bahan baku untuk aneka panganan dan produk olahan dapat dikembangkan lebih baik lagi ke arah industri kreatif untuk mendukung program industrialisasi perikanan. DAFTAR PUSTAKA BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 170 Azizah. Ria. 2006. Percobaan berbagai macam metoda budidaya Latoh (Caulerpa racemosa) Sebagai Upaya Penunjang kontinuitas produksi.Ilmu Kelautan Juni 2006. Vol.II (2):101-105. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. 2010. Evaluasi dan Pemetaan Kelayakan Sumberdaya Lahan Budidaya Tambak dan Laut di Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Timur. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros Sulawesi Selatan. http://www.globinmed.com/index.php?option=com_content&view=article&id= 79160:caulerpa-lentillifera-j-agardh&catid=367:c (28 April 2012). Batucan, M.L.C and Tanduyan, S.N. 2006. Growth rate of Caulerpa lentillifera Ag. (Chlorophyta) in different substrates in the marine waters of San Francisco, Cebu, Philippines. APCAB, College, Laguna (Philippines). Pariyawathee, Santi, Nakhon Si Thammarat. 2003. Optimum condition of environmental factors for growth of sea grape (Caulerpa lentillifera: J. Agardh). Thai Fisheries Gazette. Pong-Masak, P.R, Abdul Mansyur, dan Rachmansyah. 2007. Rumput Laut Jenis Caulerpa dan Peluang budidayanya di Sulawesi Selatan. Media Akuakultur Volume 2. Trono, G.C.R, Jr. 1987. Studies on the pond culture of Caulerpa. Philippine Journal of Science 0031-7683 (no. 17) p. 83-98. http://www.onlyfoods.net/caulerpa-lentillifera.html (28 April 2012) http://www.fao.org/docrep/006/y4765e/y4765e0b.htm. 8.8 Sea grapes or green caviar (Caulerpa lentillifera) (28 April 2012) McHugh, Dannis J. 2003. A guide to the Seaweed Industry. FAO FISHERIES TECHNICAL PAPER 441. Rome Italia. Novaczek, Irene. 2001. A Guide to the commom edible and Medicinal Sea Plants of the Pacific Islands. Community Fisheries Trainning Pacific Series 3A. Li, Demao; Guance Wang, Limei Chen, Fang Lu, Zonggen Shen. 2008. Effect of Irradiance and Temperature on the photosynthesis and Vegetative Propagation of Caulerpa serrulata. RADIASI ULTRA VIOLET SEBAGAI STIMULATING GROWTH FACTOR (SGF) KULTUR MASSAL PHYTOPLANKTON (CHLORELLA SP)1 Moh. Syaichudin2, Abdul Gafur3, Sitti Faridah2, Hamka2 BPBAP Takalar d/a. Ds. Mappakalompo, Kec.Galesong, Kab.Takalar, Prov.Sul-Sel 1 Makalah disampaikan pada „Indonesian Aquaculture 2014‟ di Jakarta Perekayasa Muda Balai Budidaya Air Payau Takalar 3 Perekayasa Pertama Balai Budidaya Air Payau Takalar BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 2 171 . ABSTRACT Problems in the production of high quality chorella are low density, short exponential growth charts, as well as contamination. Intensity of ultraviolet radiation in the sub-optimal in the target organism, tend to inactivate temporally. Therefore, the engineering activity aims to examine the role of ultraviolet radiation as a Growth Stimulant Factor (GFS) and the reducing agent pathogens in mass culture chlorella to produce high quality output. The test method conducted in combination with mass culture tank volume of 20 m 3 with 4 m3 chlorella as seed with initial density is 5.4 x 10 6 cell/ml, where the first seed treatment combination is passed to the ultraviolet filter KM-UV Type I, while in the control tank cultures without UV filter. Culture period is done to achieve exponential growth charts. Based on the observations: the combination test (UV irradiated seeds) obtained the highest density of exponential growth in the D9 which is 36 x 106 cells/ml, whereas in the control tanks on D7 is 31.5 x 106 cells / ml. The decline in growth in the control tanks to D10 recorded 5.0 x 106 cells / ml, whereas in test basins still can last up to 23.0 x 10 6 cells/ml. This is very different from the culture using seeds that have been carried out UV radiation, the culture can survive up to a maximum fixed maintenance period day 9. While the results of microbiological observations (total bacteria and total Vibrio sp), the D1 total bacteria and total Vibrio sp in test basins lower than controls. The phenomenon can be explained with assuming that some pests dead or weakened by UV radiation activity so as not to interfere with the optimization of culture, as well as sub-optimal UV radiation on seed chlorella even make it as stimulating growth factor (SGF), which in the form of thymine dimers was lets get back to normal. This result is expected from the application of UV filters can become SOP in the mass culture of chlorella for high quality output and suppress pathogens for use in culturing zooplankton (rotifers) to support the seed business in aquculture. Key Words : Stimulating Growth Factor (SGF), eksponential, mass culture PENDAHULUAN Input biomass yang berkualitas dan berdensitas tinggi pada produksi massal plankton dewasa ini, merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi akhir kegiatan aquakultur (final production)(Navarro and Yufera, 1998). Permasalahan yang sering muncul pada klutur chorella yaitu rendahnya tingkat kepadatan hasil panen, grafik pertumbuhan eksponensial dalam rentang periode kultur yang pendek, serta munculnya kontaminasi dari berbagai jenis protozoa, plankton lain dan bakteri patogen. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 172 Chlorella mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap tekanan lingkungan, chlorella juga memiliki peranan penting dalam oksigenasi air serta sangat efisien dalam mengubah zat anorganik menjadi organik. Chlorella merupakan algae bersel tunggal yang bentuknya bulat dan mempunyai chloroplast seperti cawan, dengan dinding sel yang keras dan padat dengan garis tengah sekitar 2-8 μm. Secara ekologis pertumbuhan chlorella sangat dipengaruhi oleh beberapa parameter, seperti : tingkat kualitas maupun kuantitas kesuburan (nutrien), pH, salinitas, intensitas cahaya dan suhu (Lavens P dan Sorgeloos P., 1996). Seperti halnya sifat tumbuhan air, chlorella sebagai phytoplankton juga memerlukan cahaya matahari yang cukup untuk menunjang proses fotosintesa. Kebutuhan intensitas cahaya ini tergantung pada kondisi tempat kulturdankepadatan chlorella. Pada kultur skala laboratorium, seperti dalam gelas erlenmeyer hanya dibutuhkan intensitas cahaya 1000 lux, sedangkan untuk skala massal dibutuhkan 5.000 – 10.000 lux. Sumber cahaya selain dari matahari langsung dapat pula dilakukan manipulasi lingkungan dengan menggunakan cahaya lampu neon, dengan durasi penyinaran minimum 18 jam light per hari (Lavens dan Sorgeloos., 1996 dan Anonymus, 1991). Bakteri phatogen menjadi momok yang menghantui petani penyedia benih, karena berdampak tingginya mortalitas benih.Patogen adalah agen biologi yang dapat menyebabkan penyakit dan infeksinya (Pillay, 1990). Patogen bisa meliputi virus, protozoa, bakteri, jamur, atau parasit. Secara umum lingkungan perairan selalu memiliki potensi patogen, apalagi kondisi lingkungan perairan yang mendukung munculnya patogen. Seperti bakteri yang dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang buruk dalam bentuk flagela atau kapsul dan akan aktif kembali ketika kondisi lingkungan mendukung. Bakteri yang umum dikenal menjadi patogen bagi hewan air budidaya adalah Vibrio sp, flexybacter sp, dan Pseudomonas sp. Filter ultra violet dikenal sebagai desinfektor pada media air sertadapat menginaktifasi mikroorganisma seperti bakteri, virus dan protozoa (Lechevallier dan Kwok-Keung, 2004), bahkan dengan intensitas yang lebih tinggi dapat membunuh beberapa jenis phytoplankton. Namun dengan mengatur tingkat intensitas cahaya yang diberikan, beberapa organisme yang dikehendaki bertahan untuk tetap hidup atau eksis (seperti Chlorella) dapat terjaga bahkan dapat menjadi Faktor Perangsang Tumbuh atau Stimulating Growth Faktor (SGF). Sinar ultraviolet (UV) adalah sinar yang berada pada range panjang gelombang antara 40 – 400 nm. Sinar UV ini dibedakan menjadi UV-A, UV-B, UV-C atau UV vakum. Sinar UV yang effektif menginaktifasi mikroorganisma adalah sinar UV-B dan UV-C dengan panjang gelombang antara 200-310 nm dengan sinar UV effektif ada pada panjang gelombang 265 nm (Lechevallier dan Kwok-Keung Au, 2004). Rata-rata eksposure UV yang BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 173 diperlukan untuk meradiasi bakteri secara umum yaitu 15.000 µWs/cm2, sementara itu untuk algae sekitar 22.000 µWs/cm2. Sejak intensitas cahaya digunakan sebagai batasan dalam membunuh mikroorganisme, kita harus tahu seberapa banyak energi cahaya yang digunakan dan seberapa banyak mencapai target. Seperti sunglasses yang dapat mereduksi intensitas sinar UV, maka warna air, turbidity, beberapa garam terlarut (ex. Sodium thiosulfat) juga dapat mereduksi intensitas sinar UV. Sedangkan suhu 110 0 F memberikan output UV maksimum. Thymine yang ada di dalam DNA dan RNA sangat reaktive terhadap sinar ultraviolet dan dalam bentuk dimer (thyamine-thyamine double bond) proses transkripsi dan duplikasinya terganggu dan menjadi kacau, sehingga mikroorganisma menjadi steril (Lechevallier dan Kwok-Keung Au, 2004). Akan tetapi, thymine dalam bentuk dimer masih memungkinkan kembali normal seperti semula, sehinga perlu dosis yang tinggi untuk menginaktifkan secara permanen. Sebagaimana diketahui bahwa pengembangan usaha aquakultur sangat bergantung terhadap ketersediaan suplai dan stok phytoplankton yang berkualitas secara simultan dan kontinyu. Sehingga kesinambungan pengembangan aquakultur dan industri aquakultur dapat terjaga dan aman dari kendala kebutuhan akan phytoplankton maupun zooplankton sebagai natural food. Tujuan : Tujuan Kegiatan : Mengkaji peran ultra violetsebagai faktor perangsang tumbuh (SGF) pada kultur massal chlorella. Melihat tingkat performa pertumbuhan eksponensial chlorella yang telah diaktivasi dengan filter UV. METODOLOGI Persiapan media kultur Air media kultur dari laut disaring dengan filter bag dan saringan kapas dan ditampung pada bak beton yang berukuran 20 m3. Selanjutnya dilakukan sterilisasi dengan kaporit 10 ppm. Air laut yang telah diklorin apabila akan digunakan terlebih dahulu dicek dengan menggunakan chlorin test (ambil 5 ml air laut dan teteskan 2 tetes klorin test, apabila warna air laut berubah menjadi kuning tua berarti bahan aktif klorin masih kuat), selanjutkan dilakukan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 174 penetralan dengan menggunakan natrium thiosulfat (1/3 dari jumlah chlorin) dan diaerasi hingga netral. Selanjutnya dilakukan pengecekan kembali kandungan klorin, ambil 5 ml air laut dan teteskan 2 tetes chlorin test, apabila warna air berubah menjadi terang/bening berarti air laut telah netral dan siap digunakan. Kemudian dilakukan pemupukan dengan komposisi pupuk antara lain : ZA 60 ppm, Urea 40 ppm, TSP 30 ppm, NPK 10 ppm, EDTA 5 ppm dan Daxon 2 ppm (formula dari BBAP Takalar) dan aerasi dijalankan secara perlahan. Selanjutnya media kultur siap dipakai. Stimuli Bibit Chlorella Dengan Radiasi UV Perlakuan yang diujicobakan pada kegiatan kerekayasaan ini yaitu bibit chlorella yang akan digunakan untuk kultur massal dilakukan stimulasi dengan filter UV (KM-UV 01) dengan menyalakan seluruh lampu (3 buah), sedangkan flow rate mengikut pada kekuatan hisab pompa 1 inchi.Selanjutnya bibit siap untuk digunakan, sedangkan untuk kultur massal kontrol menggunakan bibit chlorella tanpadistimuli dengan radiasi UV. Pelaksanaan Kultur Skala Massal Air media kultur chlorella yang telah disterilisasi ditransfer ke bak-bak beton yang berukuran 4 x 5 m (volume 20 m3) sejumlah 16 m3 (80% volume). Selanjutnya bibit chlorella yang sudah distimuasi denganradiasi UV dimasukkan pada bak-bak yang telah berisi media kultur sejumlah 4 m2 (20%). Sedangkan pada kontrol yang menggunakan bibit chlorella tanpa stimulasi radiasi juga ditransfer ke bak kultur yang berisi media kultur. Pemberian aerasi jangan telalu kuat, karena sering menjadi pemicu munculnya buih yang berlebihan sehingga mengganggu pertumbuhan, bahkan bisa menyebabkan kematian. Densitas chlorella dilakukan penghitungan dengan menggunakan alat haemocytometer dengan bantuan hand counter. Pengamatan dan Pengumpulan data Pengamatan pertumbuhan chlorella dilakukan setiap hari terhadap performa kepadatan chlorella, sedangkan analisa mikrobiologi pada hari pertama terhadap media dan bibit yang distimuli radiasi UV maupun yang tidak diradiasi UV. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 175 HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan selama 10 hari hingga diperoleh grafik eksponensial, maka terlihat bahwa kultur massal yang menggunakan bibit yang telah distimuli dengan radiasi UV dapat tumbuh dengan baik, bahkan densitas teringgi diperoleh pada periode pemeliharaan hari ke-9 yaitu 36x 106 cell/ml, sedangkan pada bak kontrol diperoleh pertumbuhan tertinggi pada periode pemeliharaan hari ke-7 yang hanya sejumlah 31.5 x 106 cell/ml dan selanjutnya mengalami penurunan pertumbuhan hingga periode pemeliharaan hari ke-10. Hal ini sangat berbeda dengan kultur yang menggunakan bibit yang telah dilakukan telah distimuli deengan radiasi UV, kultur bisa bertahan tetap maksimal hingga periode pemeliharaan hari ke-9. Berdasarkan hasil pengujian tingkat kandungan total bakteridan total bakteri Vibrio sp, memang pada hari pertama, saat bibit chlorella dimasukkan ke media kultur, nampak bahwa bibit chlorella yang diradiasi UV jumlah total bakteri dan total Vibrio splebih rendah dibandingkan yang tidak diradiasi UV (lampiran), akan tetapi pada hari-hari selanjutnya jumlah total bakteri dan total Vibrio sp cenderung sama. Keberadaan bakteri patogen pada kultur massal chlorella dapat menjadi masalah untuk kultur pakan alami rotifer. Pengaruh keberadaan bakteri terhadap kultur rotifer di tangki, setelah diekplorasi melalui dua jalan, yaitu : (pertama) keberhasilan dan kegagalan kultur rotifer akibat dari hadirnya spesies bakteri spesifik, dan (kedua) spesies bakteri tersebut berpengaruh positif atau negatif terhadap budidaya larva ikan, ketika tangki larva ikan tersebut dimasuki oleh rotifer (Stottrup and McEvoy, 2003). Selama kultur mikroalga, buangan bahan organik yang tinggi akan terakumulasi secara cepat, yang mana menjadi subtrat untuk perkembangbiakan bakteri. Sel bakteri dapat menyerang terhadap sel mikroalga atau dapat berkembangbiak di dalam air. Dalam kultur di bak, tingkat bakteri yang lebih rendah selama fase eksponensial dan mencapai maksimum selama fase stasioner (Conceicao et.al, 2010). BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 176 Gambar 1. Grafik pertumbuhan chlorella Asumsi yang dapat dikemukakan pada fenomena yang terjadi bahwa performa pertumbuhan pada kultur massal chlorella yang menggunakan bibit yang telah distimuli dengan radiasi UV yaitu : (pertama) beberapa jenis bakteri atau organisme pengganggu akan mati atau melemah oleh aktivitas radiasi UV sehingga tidak mengganggu optimalisasi pertumbuhan kultur chlorella; (kedua)radiasi UV yang mengenai sel chlorella masih pada ambang batas yang masih memungkinkan chlorella untuk tumbuh, bahkan menyebabkan sel chlorella tereksitasi sehingga pertumbuhannya lebih baik dan bisa bertahan lebih lama untuk mencapai fase penurunan, dengan perbandingan 7: 9. Energi fotosintesis akan disampaikan dalam bentuk cahaya. Cahaya merupakan radiasi elektromagnetik dan berjalan dengan kecepatan 3 x 108 ms1 . Panjang gelombang cahaya tampak sangat berhubungan dengan radiasi aktif fotosintesis (Photosynthetically Active Radiation / PAR). Kisaran spektrum cahaya tampak dari violet sekitar 380 nm hingga merah 750 nm, dimana 1 nm ekivalen dengan 10-9m. Menurut teori kuantum, energi cahaya yang disampaikan dalam bentuk paket terpisah yang disebut photon. Energi cahaya kuantum tunggal atau photon cahaya biru (sekitar 400 nm) lebih energetik dibandingkan cahaya merah (sekitar 700 nm). Pigmen fotosintesis menyerap energi photon dan mengirim ke pusat reaksi, dimana energi photon ini digunakan untuk proses photochemistry. Photon harus memiliki energi yang mencukupi untuk membangkitkan elektron tunggal dari satu molekul pigmen dan memulai pemisahan muatan. Menurut Hukum Einstein, satu mole bahan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 177 harus menyerap energi N photon (N = 6.023 x 10 23, Nomer Avogadro) untuk memulai reaksi, unit ini disebut Einstein (E=.6.023 x 10 23 kuanta). Semua organisme fotosintetik mengandung pigmen organik untuk mengambil energi cahaya. Klorofil (pigmen hijau) dan karotenoid (pigmen kuning atau oranye) adalah lipophilic dan dihubungkan dengan Chl-protein komplek, sedangkan phycobilin adalah hydrophilic (Richmond, 2004). Gambar 2. Grafik tingkat alkalinitas media kultur Pengamatan tingkat alkalinitas media kultur chlorella dapat dilihat pada grafik diatas, nampak bahwa semakin meningkat densitas chlorella secara umum terjadi penurunan tingkat alkalinitas, hal ini dimungkinkan karena proses photosintesis, dimana kandungan karbondioksida air pada dasarnya merupakan fungsi dari aktivitas biologi. Dimanapun proses respirasi lebih cepat daripada proses photosintesis dalam akumulasi karbondioksida. Air pada tambak di awal pagi biasanya karbondioksida berada dalam kondisi jenuh. Bikarbonat hasil dari dissosiasi asam karbonat, lebih lanjut terdissosiasi menjadi karbonat. Selama hari terang (daylight), tumbuhan air akan memindahkan karbondioksida di air untuk proses photosintesis. Tumbuhan dan hewan samasama mengeluarkan karbondiosida ke air dalam proses respirasi. Bagaimanapun selama hari terang tumbuhan air lebih cepat menggunakan karbondioksida daripada saat mengeluarkan dalam respirasi. Pengaruh photosintesis dapat terlihat dengan jelas pada persamaan, apabila karbondioksida diambil maka karbonat akan terakumulasi dan terhidrolisis dan menaikkan pH. Tumbuhan dapat melanjutkan untuk menggunakan karbondioksida yang tersedia dalam jumlah kecil pada pH diatas 8.3 dan bikarbonat dapat diserap oleh tumbuhan dan karbon dari bikarbonat digunakan untuk photosintesis. Di tambak pH dapat BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 178 naik lebih dari 8.3. Dimana konsentrasi bikarbonat rendah, air menjadi miskin buffer dan nilai pH 9-10 umum selama periode photosintesis. Pada malam hari karbondioksida terakumulasi dan pH menurun (Boyd, 1990). Pada beberapa perairan ion kalsium berhubungan dengan ion bikarbonat dan karbonat, sehingga ketika karbonat meningkat pada konsentrasi yang dapat berasosiasi, kalsium karbonat akan mengendap karena komponen ini relatif sukar larut (KspCaCO3 = 10-8.30). Endapan kalsium karbonat cenderung pada pH sedang, tetapi pada pH 9 atau lebih dapat terjadi selama photosintesis pada air yang mengandung konsentrasi kalsium tinggi. Pada perairan yang lain, sodium dan potasium berasosiasi dengan bikarbonat dan karbonat. pH air ini dapat naik dapat tingkat tinggi, samapi 10-12 selama periode photosintesis dengan cepat. Hasil fenomena ini karena sodium karbonat dan potasium karbonat lebih mudah larut daripada kalsium, mengakibatkan besarnya akumulasi ion karbonat yang selanjutnya terhidrolisis yang menghasilkan ion hidroksida (Boyd, 1990). Gambar 3. Grafik tingkat turbiditi media kultur Tingkat pertumbuhan chlorella sangat berhubungan dengan tingkat kekeruhan atau turbiditi dari air kultur chlorella, nampak bahwa semakin padat tingkat pertumbuhan chlorella maka tingkat turbiditi atau kekeruhan juga semakin naik. Radiasi UV sangat ideal untuk proses desinfeksi air, karena tanpa menambahkan zat apapun ke dalam air yang mungkin juga dapat bersifat toksik BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 179 pada organisme kultur. Kelemahan dari radiasi UV adalah adanya kekeruhan/turbiditi, partikel padatan di air, atau warna yang secara signifikan mengurangi efektifitas radiasi. Hal ini dapat terjadi karena mikroorganisme terlindung dibalik partikel tersuspensi atau penurunan dosis radiasi karena absorbsi atau rendaman oleh air. Oleh sebab itu sebaiknya diperlukan treatmen filtrasi 10 µm sebelum dilakukan radiasi UV (Huguenin and Colt, 2002). Dari hasil akhir perekayasaan dapat dikemukanan bahwa aplikasi filter UV berpengaruh terhadap tingkat kemampuan tumbuh, dan juga mereduksi bakteri patogen pada bibit kultur massal chlorella. Untuk kegiatan ini sebaiknya dilakukan uji lanjut terhadap berbagai tingkat flow rate filter UV dan implikasinya dalam mereduksi beberapa bakteri patogen. Untuk lebih meyakinkan implementasi sterilisasiairmenggunakan UV, langkah pertama yaitu dengan air jernih, kemudian menentukan flow rate yang disesuaikan dengan lampu UV yang dimiliki untuk mendapatkan nilai irradiasi yang benar untuk organisme target (lihat tabel eksposure). Apabila cahaya UV dengan flow rate untuk 15.000 µWs/cm2 dan anda menginginkan 30.000 µWs/cm2, maka dapat dilakukan dengan menggandakan jumlah lampu (double lamp) atau mengurangi flow rate menjadi setengah (50 %), dan selanjutnya seperti itu untuk mendapatkan dosis yang lebih tinggi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil akhir perekayasaan ini dapat disimpulkan bahwa aplikasi filter UV sangat berpengaruh dalam menstimulasi tingkat performa kemampuan tumbuh chlorella skala massal, hal ini terlihat bahwa pada perlakuan bibit yang distimuli dengan radiasi UV memiliki tingkat pertumbuhan dan fase ekspoensial yang lebih baik, selain itu dengan aplikasi filter UV pada bibit chlorella terbukti dapat mereduksi bakteri patogen (Vibrio sp) pada kultur massal chlorella, sehingga pada akhirnya akan diperoleh produksi massal chlorella yang berkualitas. Saran Untuk memperoleh hasil yang lebih optimal guna mereduksi patogen sebaiknya pada setiap pemanenan chlorella perlu dilakukan stimulasi dengan radiasi ultra violet, baik untuk dikultur kembali maupun untuk pakan rotifer. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 180 DAFTAR PUSTAKA Andersen R.A., 2005. Algal Culturing Techniques. ELSEVIER Academic Press. Boyd.C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station Birmingham Publishing. Conceicao L.E.C, Yufera M, Makridis P, Morais S and Teresa M,. 2010. Review Article Live Feeds For Early Stages of Fish Rearing. Aquaculture Research 41, 2010. 613-640 Huguenin J.E, and Colt J. 2002. Design and Operating Guide For Aquaculture Seawater Systems (Second Edition). Development in Aquaculture and Fisheries Science -33. Pp. 328. Isnansetyo, A dan Kurniastuty, 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Penerbit Kanisius. Jager, JH (1967). Introduction to research in UV Photobiology. Englewood Cliffs, NJ, Prentice Hall, Inc. Lavens P dan Sorgeloos P., 1996. Manual on the production and use of live food for aquaculture. Technical Paper. Belgium.Published by Food and Agriculture Organization of the United Nations. LeChevallier Mark K and Kwok-Keung Au. 2004. Water Treatmen and Pathogen Control : Process Efficiency in Achieving Safe Drinking Water. World Health Organization‟ and IWA Publishing. London Pillay T, 1988. Aquaculture Principles and Practices.Roma Richmond A. 2004. Handbook of Microalgal Culture (Biotechnology and Applied Phycology). Blackwell Science Ltd. pp. 566-23 Stottrup J G and McEvoy L A . 2003. Live Feeds in Marine Aquaculture. Blackwell Science Ltd. pp.318. Suthers I.M and Rissik D., 2009. Plankton (A Guide to Their Ecology And Monitoring For Water Quality). CSIRO Publishing. Collingwood VIC 3066. Australia. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 181 OPTIMALISASI LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN SERTA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS BUDIDAYA DI KAWASAN LAHAN GAMBUT KABUPATEN PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Puji Widodoa*, Akmala, Tulusa, Syafrudina Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Mandiangin, Kalimantan Selatan ABSTRACT Fisheries aquaculture was developed at peat land area. A variety way was done to increase fishery production effectively and efficiently at peat land area. One of its way has done by optimizes aquaculture land that did by utilizes space and depth of the pond as culture place of three typical fish commodity. This way is more effective and efficient because in one place and one cycle can produce three typical fish commodity that have same advantages. It means only one action can get double result. Three typical fish that suitably and well adapted by environmental condition and peat area characteristic with condition of pH that more acid are Catfish (Pangasionodon hypopthalmus), Climbing Perch (Anabas testudineus), and Tilapia (Oreochromis sp). Grow out of catfish and climbing perch in pond for a period of 6 month and grow out of tilapia at net that set in the pond for a period of 3 month were done in Peat Land Aquaculture Station of Pulang Pisau. The objective of this activity was to know the culture productivity of catfish, climbing perch, and tilapia in one peat land pond. The results showed that production of catfish per pond/cycle as much as 3,2 – 3,4 ton with averages weight ranging among 589 – 626 g/individual and survival rate averages was 90,3%, the production of climbing perch per pond/cycle as much as 0,33 – 0,36 ton with averages weight ranging among 70,3 – 75,8 g/individual and survival rate averages was 84,3%, and the production of tilapia per pond/cycle as much as 0,20 – 0,23 ton with averages weight ranging among 187 – 204,5 g/individual and survival rate averages was 82,4%. By the result of business analysis for catfish, climbing perch, and tilapia culture in one pond using commercial feed which is benefit value as much as Rp. 12.165.000,- per pond/cycle and R/C ratio value is 1,25 so the culture effort of catfish, climbing perch, and tilapia at peat land pond is reasonable to be done. Key word: pond productivity, peat land BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 182 PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan rawa merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai fungsi hidrologi dan fungsi ekologi lain yang penting bagi kehidupan seluruh makhluk hidup. Gambut terbentuk dari hasil dekomposisi bahan-bahan organik seperti daun, ranting, semak belukar yang berlangsung dengan kecepatan lambat dan dalam suasana anaerob. Sekitar 1,8 juta ha atau sekitar 50% dari lahan rawa di Kalimantan Tengah digunakan untuk usaha perikanan (Kartamihardja, 2002). Dengan demikian, dilihat dari tipe dan tata guna lahan tersebut, sektor perikanan khususnya perikanan air tawar dapat dijadikan sebagai penunjang utama ekonomi daerah melalui pemanfaatan potensi lahan yang tersedia. Lokasi lahan gambut yang saat ini dikembangkan oleh BPBAT Mandiangin terletak di Provinsi Kalimantan Tengah tepatnya di Desa Garung Kecamatan Jabiren Raya Kabupaten Pulang Pisau merupakan daerah yang cukup strategis dan terjangkau transportasi darat karena dilintasi oleh jalan raya trans Kalimantan (Kalsel-Kalteng), kawasan ini terletak 71 km kearah Barat dari kota Palangkaraya dan ke arah Timur sekitar 22 km dari ibukota kabupaten Pulang Pisau dari posisinya areal perkolaman di bagian sebelah barat merupakan kawasan lahan gambut yang cukup luas, sedangkan sungai Kahayan terletak dibagian Timur berada sekitar 1 km sehingga pengaruh pasang surut sungai bisa dikatakan tidak berpengaruh terhadap kolam. Sumber air untuk kolam adalah rembesan air dalam tanah yang keluar dari bawah maupun dinding kolam. Secara umum hasil pengukuran kualitas air menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan pH air yang lebih tinggi pada kolam/air tergenang dibandingkan dengan saluran air/sungai. Kondisi ini menjadi sangat penting untuk kemungkinan pengembangan budidaya ikan patin, nila, dan papuyu di lahan marjinal tersebut. Budidaya ikan yang terus berkembang di kawasan lahan gambut menuntut adanya peningkatan produksi budidaya secara efektif dan efisien sehingga kegiatan budidaya perikanan tetap menguntungkan. Berbagai cara telah dilakukan untuk meningkatkan produksi budidaya perikanan secara efektif dan efisien di lahan gambut. Salah satunya dengan mengoptimalkan lahan budidaya yang dilakukan dengan cara memanfaatkan kolam sebagai wadah pembesaran tiga jenis komoditas ikan. Cara ini lebih efektif dan efisien karena dalam satu wadah dan satu siklus dapat menghasilkan tiga jenis komoditas ikan yang sama-sama menguntungkan. Keuntungan yang lain adalah lebih menghemat biaya persiapan kolam, termasuk didalamnya pemupukan dan pengapuran. Selain itu perputaran uang dan pendapatan pembudidaya lebih cepat dan bertambah karena waktu pemeliharaan ikan nila hingga saat panen BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 183 memerlukan waktu 3 bulan, sedangkan waktu pemeliharaan ikan patin dan papuyu sampai 6 bulan. Jenis ikan yang sesuai dan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan karakteristik lahan gambut dengan pH yang lebih asam adalah ikan patin, papuyu, dan nila. Ikan patin siam (Pangasionodon hypopthalmus) merupakan salah satu spesies ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan potensial untuk dikembangkan serta menjadi ikan yang disukai masyarakat Kalimantan. Harga ikan patin di pasar tradisional wilayah Kalimantan mencapai kisaran Rp. 14.000,- – Rp. 19.000,- per kilogram. Selain itu kelebihan ikan patin yang cenderung lebih tahan terhadap kondisi oksigen terlarut yang rendah dan pH yang asam. Ikan papuyu (Anabas testudineus Bloch) sangat disukai masyarakat Kalimantan karena rasanya gurih, permintaan pasar tinggi, dan harga meningkat drastis disaat musim hujan di Banjarmasin dan sekitarnya. Harga ikan papuyu di pasar untuk wilayah Kalimantan Selatan mencapai kisaran Rp. 30.000,- – Rp . 80.000,- per kilogram bahkan lebih untuk wilayah Kalimantan Tengah. Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah salah satu komoditas unggulan di Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam meningkatkan produksi sebesar 353% pada tahun 2014. Ikan tersebut berpotensi untuk dikembangkan karena termasuk jenis ikan yang mampu bertahan terhadap lingkungan yang buruk dan sistem pemeliharaan yang berbeda (Huwoyon et al., 2009). Selain itu ikan nila memiliki nilai ekonomis tinggi dengan harga ikan nila di pasar tradisional wilayah Kalimantan mencapai kisaran Rp. 23.000,- – Rp. 28.000,- per kilogram. Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan akan konsumsi ikan serta menciptakan peluang usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pembudidaya maka kegiatan ini perlu dilakukan. Kegiatan budidaya ikan di kolam lahan gambut yang efektif dan efisien akan menguntungkan, sehingga diharapkan dapat menarik minat masyarakat serta dapat menciptakan peluang usaha bagi masyarakat sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas budidaya ikan patin, papuyu, dan nila yang dipelihara dalam satu kolam lahan gambut, sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah diperoleh informasi produksi budidaya ikan patin, papuyu, dan nila dalam satu kolam lahan gambut. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 184 METODE Persiapan Kolam Tahap persiapan kolam terlebih dahulu dilakukan pembersihan kolam mulai dari pematang sampai dengan bagian dalam sekeliling kolam termasuk saluran karena merupakan bekas hutan gambut maka kotoran yang ada merupakan bahan-bahan organik seperti sisa-sisa tumbuhan (potongan kayu dan akar-akar tanaman), selain itu rumput liar yang mengganggu sebaiknya dibersihkan dengan menggunakan mesin pemotong rumput atau parang untuk menghindari bersarangnya hama seperti ular,katak dan lain sebagainya yang dapat mengganggu organisme yang dipelihara serta memudahkan dalam pengolahan kolam selanjutnya. Kolam lahan gambut tidak memiliki pintu pemasukan maupun pintu pengeluaran air karena sumber air kolam berasal dari rembesan air dari dalam tanah sehingga untuk mengeringkan kolam diperlukan penyedotan air dengan carapemompaan. Secara umum dalam pengolahan kolam terlebih dahulu dilakukan pengeringan dan pengolahan tanah, namun pada kolam di lahan gambut terlebih dahulu dilakukan penyedotan air dan lumpur di kolam menggunakan pompa dumping Penyedotan dilakukan dengan membuang seluruh air dan lumpur yang ada sampai kelihatan dasar kolam. Pengapuran Jika air kolam telah dibuang, selanjutnya dilakukan pengapuran menggunakan kapur tohor, dengan tujuan membasmi hama/penyakit, memperbaiki struktur tanah dan menaikkan pH. Kapur disebarkan secara merata di permukaan dasar kolam dan dinding kolam. Dosis kapur yang diberikan antara ≤ 300 g/m2. Pemupukan Kegiatan pemupukan dilakukan sekitar 3-5 hari setelah pengapuran untuk memberikan waktu agar kapur yang ditebar dapat bereaksi dengan tanah maupun air kolam. Pupuk kandang diberikan dengan dosis 300-500 g/m2 dengan menebarkannya pada kolam atau dapat pula dengan membenamkan pupuk kandang yang dikemas dalam karung plastik ke dalam kolam, dengan tujuan untuk menambah unsur hara sehingga plankton dapat tumbuh dan diharapkan terjadi kenaikan pH air. Sehari setelah pemberian pupuk kandang selanjutnya ditambahkan pupuk UREA dan TSP masing-masing dengan dosis 20-50 g/m2 dan 10-25 g/m2 yang juga ditebarkan secara merata dipermukaan air, dengan tujuan untuk menambah kesuburan kolam. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 185 Kolam didiamkan tanpa ada perlakuan sampai beberapa hari (paling lama 15 hari). Setelah pengapuran dan pemupukan kontrol pH terus dilakukan setiap 2 (dua) hari sekali. Apabila pH masih < 5 maka dilakukan pengapuran kembali menggunakan kapur dolomite/tohor (300 g/m2), bila pH air telah mencapai 5 dapat dilakukan penebaran benih ikan. Pada awal pengolahan kolam biasanya pH air sebesar 3-4 namun setiap tahun kondisi tanah dan pH air kolam mengalami perubahan sehingga tiap kolam memiliki kecepatan waktu dan kemampuan yang berbeda dalam menaikkan pH air. Penebaran Benih Ikan Sebelum dilakukan penebaran benih terlebih dahulu dilakukan pengukuran kualitas air terutama pH air. Bila pH minimal telah mencapai 5 baru kemudian dilakukan penebaran benih ikan. Terlebih dahulu dipasang Jaring untuk pembesaran ikan nila sebanyak 4 unit per kolam yang dipasang di pinggir kolam berjajar, kemudian disiapkan jaring ukuran 4 x 2 x 2 m untuk tempat penampungan sementara benih ikan patin dan papuyu dengan tujuan untuk penyesuaian pada lingkungan baru, melihat kondisi ikan, cara dan kemampuan makan, dan ukuran ikan. Lama adaptasi/penyesuaian ini berkisar antara 1-2 minggu. Setelah itu benih ikan siap dilepaskan ke kolam. Padat tebar benih ikan patin sebesar 10 ekor/m2, padat tebar ikan papuyu 10 ekor/m2,dan padat tebar ikan nila dalam Jaring sebesar 20 ekor/m2. Penebaran dilakukan pada pagi atau sore hari. Pemeliharaan Ikan Secara berkala dilakukan pengukuran pH air, jika pH rendah (< 5) maka dilakukan pengapuran kembali menggunakan kapur dolomit/tohor sebanyak 300 g/m2. Pakan yang diberikan berupa pellet dengan dosis 5-3 % dari berat total perhari, dengan frekuensi pemberian 2 kali sehari (pagi, dan sore hari). Pemberian pakan dengan cara sedikit demi sedikit agar jangan sampai ada pakan yang tidak termakan. Pemberian pakan dihentikan apabila ikan yang dipelihara terlihat sudah mulai berhenti makan atau tidak mau makan lagi walaupun pakan yang diberikan masih belum sampai 5%. Pada awal pemeliharaan ikan patin antara 1 – 2 bulan diberikan pakan pelet apung protein 30 – 32% untuk memacu pertumbuhan benih ikan, kemudian diberikan pakan pelet tenggelam protein 25% sampai panen. Pada awal pemeliharaan ikan papuyu sampai umur 1 bulan diberikan pakan pelet apung protein 30 – 32% dan pakan pelet tenggelam protein 25% sampai umur 2 bulan untuk meningkatkan pertumbuhan benih ikan, selanjutnya ikan papuyu tidak diberikan pakan sampai panen dengan tujuan agar memanfaatkan sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan patin sehingga pemberian pakan lebih efisien. Sedangkan pada BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 186 pemeliharaan awal ikan nila diberikan pakan pelet apung protein 30 – 32% selama 1 bulan selanjutnya diberikan pelet tenggelam protein 25% sampai panen. Untuk mengetahui pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan serta jumlah pakan yang diberikan maka dilakukan sampling panjang dan berat ikan setiap 1 bulan sekali. Untuk menghindari ikan menjadi stress maka sampling dilakukan dengan hati-hati dan cukup diambil beberapa ekor sampel ikan atau 1-2 % dari jumlah padat tebar per Jaring atau kolam. Kualitas Air Selama pemeliharaan secara periodik dilakukan pemantauan kualitas air (suhu, DO, pH dan amoniak) dan kesehatan ikan setiap satu bulan sekali sampai menjelang panen. Pemeliharaan kualitas air dilakukan dengan memeriksa secara langsung kondisi kualitas air di areal perkolaman dan mengambil sampel air untuk diAnalisis di laboratorium. Pemeriksaan kesehatan ikan dilakukan dengan mengambil sampel ikan pada saat sampling dan diamati kondisi tubuhnya apakah terlihat gejala terserang penyakit atau tidak. Parameter yang Diamati a. Pertumbuhan Mutlak Individu, yang dinyatakan dalam pertambahan berat rerata (g) dan pertambahan panjang baku rerata (cm). b. Kelangsungan Hidup (SR) Nt SR = SR Nt : No : x 100% : Sintasan (%) Jumlah ikan pada akhir penelitianNo (ekor) Jumlah ikan pada awal penelitian (ekor) c. Rasio Konversi Pakan (FCR) Konversi makanan merupakan nilai ubah dari jumlah makanan yang diberikan selama pengamatan dihitung menurut Effendi (1978), yaitu : F FCR = FCR F : Wt : Wo x 100% : Rasio konversi pakan Wt – Wo Jumlah pakan yang diberikan (gram) Bobot ikan pada akhir penelitian (gram) : Bobot ikan pada awal penelitian (gram) BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 187 d. Kualitas Air Kualitas air yang diamati dalam kegiatan ini meliputi suhu, DO, amonia dilakukan setiap bulan sekali dan pH dilakukan setiap 2 hari sekali atau setelah turun hujan. e. Analisis Usaha Suatu Analisis untuk mengetahui untung dan rugi serta layak tidaknya suatu usaha pembesaran ikan patin di kolam lahan gambut dilakukan. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil kegiatan pembesaranikan patin dan papuyu di kolamlahan gambut dan ikan nila dalam Jaring yang dipasang pada kolam yang sama diperoleh data pertumbuhan mutlak individu yang meliputi pertambahan panjang dan berat rerata, kelangsungan hidup (SR), konversi pakan (FCR), dan kualitas air sebagai data pendukung serta data penunjang yaitu perhitungan Analisis usaha. Pembesaran Ikan Patin Pertumbuhan Mutlak Individu Dari hasil kegiatan diperoleh data pertambahan panjang dan berat rerata ikan Patin (Pangasionodon hypopthalmus) yang dipelihara di kolam lahan gambut selama 6 bulan. Secara lengkap data pertambahan panjang dan berat ikan patin dapat dilihat pada Tabel 3. dan Tabel 4. di bawah ini. Pertumbuhan Panjang Mutlak Individu Tabel 3. Pertambahan panjang rerata ikan patin (Pangasionodon hypopthalmus) selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut Panjang Panjang Pertambahan Kolam Ulangan Awal (cm) Akhir (cm) Panjang (cm) P1 1 6,8 ± 0,43 35,8 ± 4,13 29 ± 3,65 P2 2 6,8 ± 0,43 36,8 ± 5,47 30 ± 4,72 P3 3 6,8 ± 0,43 36,7 ± 4,45 29,9 ± 4,38 Rerata X 6,8 ± 0,43 36,4 ± 4,68 29,6 ± 4,25 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 188 Pertumbuhan Berat Mutlak Individu Tabel 4. Pertambahan berat rerata ikan patin (Pangasionodon hypopthalmus) selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut Pertambahan Berat Awal Berat Akhir Kolam Ulangan Berat (g) (g) (g) P1 1 4,7 ± 0,33 589 ± 46,50 584,3 ± 42,35 617,3 ± P2 2 4,7 ± 0,33 54,39 612,6 ± 48,19 P3 3 4,7 ± 0,33 626 ± 52,37 621,3 ± 44,52 610,77 ± Rerata X 4,7 ± 0,33 51,09 606,07 ± 45,02 Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa pertambahan berat rerata ikan patin selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut sebesar 606,07 ± 45,02 g/ekor masih lebih lambat apabila dibandingkan pertumbuhan ikan patin yang dipelihara di kolam pada kondisi air tawar. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya mengenai pertumbuhan berat ikan patin yang dipelihara pada kolam air tawar selama 8 bulan mencapai rerata 1 kg/ekor. Sedangkan menurut SNI dinyatakan bahwa pertumbuhan ikan patin yang dipelihara di kolam air tawar selama 6 – 7 bulan mencapai ukuran berat antara 400 – 600 g/ekor. Pertumbuhan berat ikan patin di kolam lahan gambut lebih lambat diduga disebabkan adanya proses adaptasi ikan patin terhadap kondisi lingkungan media pemeliharaan di lahan gambut dimana fluktuasi pH lebih sering terjadi sehingga apabila pH air turun dibawah 4,5 maka ikan patin mulai kehilangan nafsu makan sehingga hal ini berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan. Kelangsungan Hidup (SR) Dari hasil kegiatan diperoleh data kelangsungan hidup benih ikan Patin selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut. Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5. berikut ini. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 189 Tabel 5. Kelangsungan hidup (SR) rerata ikan patin (Pangasionodon hypopthalmus) selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut Jumlah Jumlah Kelangsungan Total Kolam Ulangan Awal Akhir hidup (%) Produksi (ekor) (ekor) (ton) P1 1 6000 5604 93,4 3,2 P2 2 6000 5448 90,8 3,4 P3 3 6000 5196 86,6 3,2 Rerata X 6000 5416 90,3 3,2 Dari hasil diatas diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup rerata ikan patin selama masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 90,3%. Hal ini diduga karena ikan patin termasuk jenis ikan yang kuat dan mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan kolam lahan gambut sehingga ikan dapat bertahan hidup selama masa pemeliharaan. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya mengenai kelangsungan hidup ikan patin yang dipelihara pada kolam air tawar selama 8 bulan mencapai diatas 90%. Sedangkan menurut SNI dinyatakan bahwa pertumbuhan ikan patin yang dipelihara di kolam air tawar selama 6 – 7 bulan mencapai kisaran SR 80 – 95%. Konversi Pakan (FCR) Dari hasil kegiatan diperoleh data konversi pakan (FCR) yang meliputi jumlah pakan pelet yang digunakan serta jumlah berat ikan yang dihasilkan saat panen. Secara lengkap konversi pakan (FCR) dapat dilihat pada Tabel 6. dibawah ini. Tabel 6. Konversi pakan (FCR) ikan patin (Pangasionodon hypopthalmus) selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut Jumlah Total Total Berat Konversi Kolam Ulangan Pakan Yang Ikan Akhir Pakan Digunakan (kg) (kg) (FCR) P1 1 4880 3235 1,51 P2 2 5445 3490 1,56 P3 3 4900 3225 1,52 Rerata X 5075 3317 1,53 Dari hasil diatas diketahui bahwa konversi pakan rerata ikan patin selama masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 1,53. Hal ini diduga karena pakan yang diberikan pada ikan lebih banyak yang dimakan daripada BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 190 yang terbuang. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya mengenai konversi pakan ikan patin yang dipelihara pada kolam air tawar selama 8 bulan sebesar 1,3 – 1,7. Pembesaran Ikan Papuyu Pertumbuhan Mutlak Individu Dari hasil kegiatan diperoleh data pertambahan panjang dan berat rerata ikan papuyu (Anabas testudineus) yang dipelihara di kolam lahan gambut selama 6 bulan. Secara lengkap data pertambahan panjang dan berat ikan papuyu dapat dilihat pada Tabel 7. dan Tabel 8. di bawah ini. Pertumbuhan Panjang Mutlak Individu Tabel 7. Pertambahan panjang rerata ikan papuyu (Anabas testudineus) selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut Panjang Panjang Pertambahan Kolam Ulangan Awal (cm) Akhir (cm) Panjang (cm) P1 1 5,3 ± 0,35 12,8 ± 2,13 7,5 ± 2,45 P2 2 5,3 ± 0,35 12,5 ± 2,35 7,2 ± 2,12 P3 3 5,3 ± 0,35 12,3 ± 2,24 7,0 ± 1,48 Rerata X 5,3 ± 0,35 12,5 ± 2,24 7,2 ± 2,02 Pertumbuhan Berat Mutlak Individu Tabel 8. Pertambahan berat rerata ikan papuyu (Anabas testudineus) selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut Pertambahan Berat Awal Berat Akhir Kolam Ulangan Berat (g) (g) (g) P1 1 2,7 ± 0,42 75,8 ± 9,55 73,1 ± 7,54 P2 2 2,7 ± 0,42 72,6 ± 8,49 69,9 ± 8,59 P3 3 2,7 ± 0,42 70,3 ± 8,52 67,6 ± 7,52 Rerata X 2,7 ± 0,42 72,9 ± 8,85 70,2 ± 7,88 Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa pertambahan berat rerata ikan papuyu selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut sebesar 70,2 ± 7,88 g/ekor relatif sama apabila dibandingkan pertumbuhan ikan papuyu yang dipelihara di kolam pada kondisi air tawar. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya mengenai pertumbuhan berat ikan papuyu yang dipelihara pada kolam air tawar selama 8 bulan mencapai rerata 80 g/ekor. Pertumbuhan berat ikan patin papuyu di kolam lahan gambut yang relatif sama diduga disebabkan proses adaptasi ikan papuyu terhadap kondisi BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 191 lingkungan media pemeliharaan di lahan gambut berjalan dengan baik dimana sering terjadinya fluktuasi pH tidak banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan papuyu. Kelangsungan Hidup (SR) Dari hasil kegiatan diperoleh data kelangsungan hidup benih ikan papuyu selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut. Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 9. berikut ini. Tabel 9. Kelangsungan hidup (SR) rerata ikan papuyu (Anabas testudineus) selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut Jumlah Jumlah Kelangsungan Total Kolam Ulangan Awal Akhir hidup (%) Produksi (ekor) (ekor) (ton) P1 1 6000 4970 82,8 0,362 P2 2 6000 5088 84,7 0,373 P3 3 6000 5119 85,3 0,396 Rerata X 6000 5056 84,3 0,377 Dari hasil diatas diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup rerata ikan papuyu selama masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 84,3%. Hal ini diduga karena ikan papuyu termasuk jenis ikan spesifik lokal sehingga kuat dan mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan kolam lahan gambut. Menurut data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya bahwa kelangsungan hidup ikan papuyu yang dipelihara pada kolam air tawar selama 8 bulan mencapai diatas 80%. Konversi Pakan (FCR) Dari hasil kegiatan diperoleh data konversi pakan (FCR) yang meliputi jumlah pakan pelet yang digunakan serta jumlah berat ikan yang dihasilkan saat panen. Secara lengkap konversi pakan (FCR) dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Konversi pakan (FCR) ikan papuyu (Anabas testudineus) selama pemeliharaan 6 bulan di kolam lahan gambut Jumlah Total Total Berat Konversi Kolam Ulangan Pakan Yang Ikan Akhir Pakan Digunakan (kg) (kg) (FCR) P1 1 200 396 0,51 P2 2 200 373 0,54 P3 3 200 362 0,55 Rerata X 200 377 0,53 Dari hasil diatas diketahui bahwa konversi pakan rerata ikan papuyu selama masa pemeliharaan tergolong sangat baik yaitu sebesar 0,53. Hal ini BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 192 diduga karena pakan yang diberikan pada ikan papuyu jumlahnya sengaja dibatasi agar ikan papuyu dapat memanfaatkan sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan patin sehingga tidak ada pakan yang terbuang dan pemberian pakan menjadi lebih efisien. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya mengenai konversi pakan ikan papuyu yang dipelihara pada kolam air tawar selama 8 bulan sebesar 1,8 – 2,2. Pembesaran Ikan Nila Pertumbuhan Mutlak Individu Dari hasil kegiatan diperoleh data pertambahan panjang dan berat rerata ikan Nila (Oreochomis sp), yang dipelihara di Jaring yang dipasang dalam kolam lahan gambut selama 3bulan. Secara lengkap data pertumbuhan ikan nila dapat dilihat pada Tabel 11. dan Tabel 12. di bawah ini. Tabel 11. Pertambahan panjang rerata ikan nila selama masa pemeliharaan 3 bulan di Jaring dalam kolam lahan gambut Panjang Panjang Pertambahan Kolam Ulangan Awal (cm) Akhir (cm) Panjang (cm) P1 1 6,25 ± 0,60 20,43 ± 2,23 14,18 ± 2,51 P2 2 6,25 ± 0,60 19,45 ± 2,55 13,20 ± 2,38 P3 3 6,25 ± 0,60 21,32 ± 2,27 15,07 ± 2,13 Rerata x 6,25 ± 0,60 20,40 ± 2,35 14,15 ± 2,34 Tabel 12. Pertambahan berat rerata ikan nila selama masa pemeliharaan 3 bulan di Jaring dalam kolam lahan gambut Berat Awal Berat Akhir Pertambahan Kolam Ulangan (g) (g) Berat (g) 194,5 ± P1 1 3,46 ± 0,81 18,27 191,0 ± 14,04 198,2 ± P2 2 3,46 ± 0,81 20,42 194,7 ± 14,95 203,8 ± P3 3 3,46 ± 0,81 15,25 200,3 ± 17,09 198,8 ± Rerata x 3,46 ± 0,81 17,98 195,4 ± 15,36 Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa pertambahan berat rerata ikan nila selama pemeliharaan 3 bulan di Jaring dalam kolam lahan gambut sebesar 195,4 ± 15,36 g/ekor masih lebih lambat apabila dibandingkan pertumbuhan ikan nila yang dipelihara di kolam pada kondisi air tawar. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya mengenai pertumbuhan berat ikan nila yang dipelihara pada kolam air tawar selama 3 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 193 bulan mencapai rerata 300 g/ekor. Sedangkan menurut SNI dinyatakan bahwa pertumbuhan ikan nila yang dipelihara di Jaring maupun kolam air tawar selama 5 bulan mencapai ukuran berat antara 400 – 500 g/ekor. Pertumbuhan berat ikan nila di kolam lahan gambut lebih lambat diduga disebabkan adanya proses adaptasi ikan patin terhadap kondisi lingkungan media pemeliharaan di lahan gambut dimana fluktuasi pH lebih sering terjadi sehingga apabila pH air turun dibawah 4,5 maka ikan nila mulai kehilangan nafsu makan sehingga hal ini berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan. Selain itu diduga energi yang berasal dari pakan lebih banyak digunakan untuk proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan dibanding untuk pertumbuhan ikan nila. Kelangsungan hidup Kelangsungan hidup ikan adalah persentase jumlah ikan yang hidup mulai saat ditebar sampai panen. Tabel 13. Kelangsungan hidup ikan nila selama masa pemeliharaan 3 bulan di Jaring dalam kolam lahan gambut Jumlah Jumlah Kelangsungan Total Kolam Ulangan Awal Akhir hidup (%) Produksi (ekor) (ekor) (ton) P1 1 1500 1242 82,80 0,21 P2 2 1500 1210 80,66 0,20 P3 3 1500 1268 84,53 0,23 Rerata x 1500 1240 82,66 0,22 Dari hasil diatas diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup rerata ikan nila selama masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 82,7%. Hal ini diduga karena ikan nila mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan kolam lahan gambut sehingga ikan dapat bertahan hidup selama masa pemeliharaan. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya mengenai kelangsungan hidup ikan nila yang dipelihara pada kolam air tawar selama 5 bulan mencapai diatas 80%. Sedangkan menurut SNI dinyatakan bahwa pertumbuhan ikan nila yang dipelihara di kolam air tawar selama 5 bulan mencapai SR 80%. Konversi Pakan Konversi makanan dihitung untuk mengetahui kualitas makanan yang diberikan, baik tidaknya bagi pertumbuhan ikan, Jumlah makanan setiap harinya yang diberikan akan mengalami perubahan periode-periode tertentu berdasarkan pertumbuhan atau pertambahan berat ikan yang dipelihara Djajasewaka (1985). Besar kecilnya konversi makanan merupakan gambaran tentang efesiensi makanan yang dicapai. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 194 Tabel 14. Konversi pakan ikan nila selama masa pemeliharaan 3 bulan di Jaring dalam kolam lahan gambut Total Pakan Yang Total Berat Konversi Kolam Ulangan Digunakan (kg) Ikan Akhir Pakan (FCR) (kg) P1 1 327 212 1,54 P2 2 310 203 1,53 P3 3 365 234 1,56 Rerata x 334 224 1,54 Dari hasil diatas diketahui bahwa konversi pakan rerata ikan nila selama masa pemeliharaan tergolong baik yaitu sebesar 1,54. Hal ini diduga karena energi dari pakan yang diberikan pada ikan lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan ikan. Dari data lapangan yang berasal dari BPBAT Mandiangin maupun pembudidaya mengenai konversi pakan ikan nila yang dipelihara pada kolam air tawar selama 3 bulan sebesar 1,4 – 1,5. Kualitas Air Dari hasil pengamatan parameter kualitas air di media pemeliharaan diperoleh data kualitas air yang meliputi suhu, pH, oksigen terlarut, amonia dan ketinggian air yang diukur pada pagi dan siang hari selama kegiatan pemeliharaan ikan dalam kolam di lahan gambut. Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 15. di bawah ini. Tabel 15. Parameter kualitas air media pemeliharaan ikan di kolam lahan gambut Kisaran kualitas air Kisaran Yang Kolam Parameter media Layak (Pustaka) pemeliharaan Suhu (oC) 26 – 32 25 – 32 (Kordi, pH 4–6 2004) Oksigen terlarut 3,2 – 4,6 4 – 8 (Asmawi, (mg/L) 1,8 – 2,7 1984) P1, P2,P3 Ketinggian air (m) 0 - 0,03 > 3 (Kordi, 2004) Amonia < 0,1 (Kordi, 2004) Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa kisaran parameter kualitas air pada media pemeliharaan ikan di kolam lahan gambut masih tergolong layak dan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 195 mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan yang dipelihara di kolam lahan gambut. Analisis Usaha Analisis usaha kegiatan pembesaran ikan patin, papuyu, dan nila di kolam lahan gambut bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha yang dilakukan berdasarkan perhitungan ekonomi serta untuk memperbaiki dan meningkatkan keuntungan dalam melakukan usaha budidaya. Untuk memperoleh keuntungan yang besar dapat dilakukan dengan cara menekan biaya produksi atau menaikkan harga jual. Biaya produksi merupakan modal yang harus dikeluarkan untuk melakukan proses produksi usaha budidaya mulai persiapan awal sampai akhir pemeliharaan (panen). Biaya produksi ini terdiri dari 2 macam yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang digunakan tidak habis dalam satu periode/siklus produksi, biasanya meliputi biaya penyusutan investasi dan bunga investasi. Biaya variabel adalah biaya yang digunakan dalam satu periode/siklus produksi, biasanya meliputi biaya pakan, benih dan upah pekerja. Untuk perhitungan Analisis biaya yang dilakukan meliputi Break Event Point (BEP), Return of Investment (ROI) dan Revenue Cost Ratio (R/C Ratio). Perhitungan Analisis usaha pembesaran ikan patin, papuyu, dan nila dalam kolam lahan gambut selama 6 bulan dengan estimasi menggunakan pakan buatan komersial secara lengkap dapat dilihat sebagai berikut : A. Biaya Investasi - Pembuatan kolam 1 unit ukuran 30 x 20 x 3 m Rp. 5.000.000,- Pembuatan Jaring 1 unit ukuran 15 x 5 x 2 m Rp. 2.000.000,Jumlah Investasi Rp. 7.000.000,B. Biaya Operasional 1. Biaya Tetap Bunga Investasi 20 % Rp 1.400.000,Penyusutan Investasi per tahun 10 % Rp. 700.000,Jumlah Rp. 2.100.000,2. Biaya Variabel Benih patin ukuran 3” (5-8 cm)6.000 ekor @ Rp. 400,Rp. 2.400.000,Pakan patin 5.075 kg (FCR 1,53; protein 25%) @ Rp. 7.000,Rp. 35.525.000,Benih nila ukuran 2” (5-8 cm) 1.500 ekor @ Rp. 200,Rp. 300.000,Pakan nila 350 kg (FCR 1,54; protein 25%) @ Rp. 7.000,Rp. 2.450.000,Benih papuyu ukuran 2” (5-8 cm) 6.000 ekor @ Rp. 200,BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 196 Rp. 1.200.000,Pakan papuyu 200 kg (FCR 0,65; protein 25%) @ Rp. 7.000,Rp. 1.400.000,Kapur 500 kg @ Rp. 1.000,Rp. 500.000,Pupuk 300 kg @ Rp. 1.000,Rp. 300.000,Upah pekerja 1 orang selama 6 bulan @ Rp. 300.000,Rp. 1.800.000,Biaya Panen Rp. 1.000.000,Jumlah Rp. 46.875.000,Total biaya operasional (a + b) Rp. 48.975.000,C. Pendapatan Benih patin 6.000 ekor SR 90 % ukuran 600 g/ekor Harga jual Rp. 14.000,- / kg Pendapatan persiklus (6 bulan) = 90 % x 6.000 x 600 g x Rp. 14.000,= Rp. 45.360.000,Benih nila 1.500 ekor SR 80 % ukuran 190 g/ekor Harga jual Rp. 25.000,- / kg Pendapatan persiklus (3 bulan) = 80 % x 1.500 x 190 g x Rp. 25.000,= Rp. 5.700.000,Benih papuyu 6.000 ekor SR 80 % ukuran 80 g/ekor Harga jual Rp. 30.000,- / kg Pendapatan persiklus (6 bulan) = 80 % x 6.000 x 70 g x Rp. 30.000,= Rp. 10.080.000,Total pendapatan : = Rp. 45.360.000,- + Rp. 5.700.000,- + Rp. 10.080.000 = Rp. 61.140.000,D. Keuntungan Bersih Pendapatan – Total Biaya Operasional = Rp. 61.140.000,- – Rp. 48.975.000,= Rp. 12.165.000,-/siklus/kolam pendapatan bersih perbulan Rp. 2.027.500,- per kolam. E. Cash Flow Laba bersih + Penyusutan Investasi = Rp. 12.165.000,- + Rp. 700.000,= Rp. 12.865.000,F. Konversi Pakan (FCR) Berat pakan yang digunakan (kg) : Berat ikan yang dipanen (kg) Patin - BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 197 = 5075 : 3300 = 1,54 Nila = 350 : 226 = 1,55 Papuyu = 200 : 340 = 0,59 G. Biaya Produksi per kg daging ikan Biaya Operasional Jumlah Ikan x Berat Ikan = Rp. 48.975.000,(5400+1200+4800) x (600+190+70) g = Rp. 48.975.000,9.804.000 = Rp. 4.995,H. Break Event Point (BEP) Biaya Investasi 1 – Biaya Operasional Pendapatan = Rp. 7.000.000,1 – Rp. 48.975.000,Rp. 61.140.000,= Rp. 35.181.257,Artinya titik impas akan tercapai dengan hasil pendapatan Rp. 35.181.257,dimana pembudidaya tidak mendapat untung namun modal telah kembali. I. Return of Investment (ROI) Keuntungan x 100 % Biaya Operasional = Rp. 12.165.000,- x 100 % Rp. 48.975.000,= 0,25 atau 25 % Artinya dengan modal Rp. 100,- akan menghasilkan keuntungan Rp. 25,J. Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) Pendapatan Biaya Operasional = Rp. 61.140.000,Rp. 48.975.000,= 1,25 > 1 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 198 Artinya nilai rasio R/C lebih dari 1 berarti Rp. 1,- yang dikeluarkan dapat menghasikan Rp. 1,25,- sehingga usaha ini layak untuk dilakukan, jadi semakin besar nilai rasio R/C maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar. K. Payback periode Biaya Operasional Keuntungan = Rp. 48.975.000,Rp. 12.165.000,= 4,0 Artinya masa pengembalian modal akan tercapai setelah 4,0 kali siklus produksi atau sekitar 24 bulan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil kegiatan pembesaran ikan Patin (Pangasionodon hypopthalmus), Papuyu (Anabas testudineus), dan Nila (Oreochromis. sp) dalam kolam di lahan gambut dapat disimpulkan : 1. Optimalisasi kolam dengan sistem polikultur pada budidaya ikan di lahan gambut dapat meningkatkan produktivitas budidaya, hasil panen, dan pendapatan. 2. Produktivitas budidaya ikan patin di kolam lahan gambut per kolam (600 m2) per siklus (6 bulan) sebesar 3,2 – 3,4 ton, produktivitas budidaya ikan papuyu di kolam lahan gambut per kolam (600 m2) per siklus (6 bulan) sebesar 0,33 – 0,36 ton, dan produktivitas budidaya ikan nila di Jaring dalam kolam lahan gambut per Jaring (75 m2) per siklus (3 bulan) sebesar 0,20 – 0,23 ton. 3. Dari analisis usaha diperoleh keuntungan sebesar Rp. 12.165.000,/kolam/siklus dan nilai rasio R/C sebesar 1,25 sehingga usaha budidaya ikan di kolam lahan gambut layak dilakukan. Saran 1. Perlu dilakukan pemeliharaan menggunakan pakan (pelet) buatan sendiri untuk mengurangi biaya produksi mengingat usaha pembesaran ikan memerlukan biaya pakan yang cukup besar. 2. Penebaran ikan nila, papuyu, dan patin dilakukan dalam rentang waktu yang sama atau tidak terlalu lama dan waktu pemeliharaan ikan nila di lahan gambut sebaiknya dilakukan tidak lama maksimal selama 3-4 bulan untuk menjaga kualitas air di kolam terutama oksigen terlarut dan amonia dalam kondisi yang sesuai bagi kehidupan ikan nila. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 199 DAFTAR PUSTAKA Ahmad Mudjiman, 1985. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. 190 Halaman. Arifin, O Z., G H. Huwoyon dan R. Gustiano. 2009. Keragaan Pertumbuhan Ikan Nila Hitam (Best) Dan Nila Merah (NIFI) (Oreochromis Niloticus) Dalam Pemeliharaan Terpisah Di Kolam. Prosiding Seminar Nasional Perikanan UGM 2009 Yogjakarta. 8 hal. Asmawi, S. 1984. Pemeliharaan Ikan dalam Karamba. Gramedia. Jakarta. 82 Halaman. Ath-thar, M.H. Fariduddin, Dadang Ariyanto, Veranita Tri Andri A, R. Gustiano. 2009 Toleransi Benih Ikan Nila BEST pada Berbagai Salinitas Berbeda. Prosiding Seminar Nasional Perikanan UGM 2009 Yogjakarta. Effendi, M.I, 1978. Biologi Perikanan. Study Natural Hisory Bagian I. Fakultas Perikanan IPB, Bogor. 105 halaman. Gustiano, R. 2009a. Naskah Rilis Ikan Nila BEST. Unpublished. BRPBAT Bogor Gustiano, R. 2009b. Nila BEST Sumbang 2 Kali Lipat. Majalah TRUBUS Edisi 480 November 2009. Hal 142-143 Gustiano, R. 2009c. Nila BEST Unggulan Baru, Harapan Mutu. Majalah TROBOS Edisi Oktober 2009. Hal 116-117 Huet, M. 1975. Tex Books Of Fish Culture. Breeding and Cultivation of Fish. Fishing New. London. 463 halaman. Huwoyon, G.H dan R. Gustiano. 2008. Uji Keragaan Ikan Nila Merah dan Hitam (Oreochromis niloticus) dalam Pemeliharaan Bersama di Kolam. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2008. Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta. Hal: 225-228. Huwoyon, G.H., O.Z. Arifin dan R. Gustiano. 2009 Uji Ketahanan Lingkungan Populasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Di Karamba Jaring Apung Di Danau Lido. Prosiding Seminar Nasional Perikanan UGM 2009 Yogjakarta. 6 hal Huwoyon, G.H dan I.I. Kusmini. 2010. Pertumbuhan Ikan Tengadak Albino dan Hitam (Barbonymus schwanenfeldii) dalam Kolam. Seminar Nasional Ikan VI dan Kongres Masyarakat Iktiologi Indonesia III. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Cibinong. 12 hal. Jangkaru dan Djajadireja, R., 1976. Pemeliharaan ikan (mas) Secara Intensif Dalam Kolam Air Deras. Pemberitaan LPPD, Bogor. 24 halaman. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 200 Kartamihardja, E.S. 2002. Pembukaan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah : Mega Proyek Pemusnahan Sumber Daya Perikanan?. Makalah Falsafah Sains (Pps 702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor. Kordi, K.M.G., 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Cetakan Pertama. Rineka Cipta dan Bina Adiaksara. Jakarta. 194 halaman. Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. Saanin, 1986. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Cetakan ke 2. Bina Cipta. Bogor. 503 Halaman SNI 01-6483.5-2002. Standar Produksi Ikan Patin Siam (Pangasionodon hypophthalmus) Kelas Pembesaran di Kolam. Badan Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta. SNI 01-6139-1999. Standar Produksi induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock). Badan Standarisasi Nasional (BSN). Jakarta. Siregar. 1994. Nila Merah Pembenihan dan Pembesaran Secara Intensif. Kanasius. Jogyakarta. 87 Halaman. Suhaili Asmawi, 1983. Pemeliharaan Ikan dalam Karamba. Gramedia, Jakarta. 82 Halaman. Supriani, Kosim, Sri Wartini, Subhan, Tohari. 2007. Laporan Kegiatan Perekayasaan Ikan Nila . Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin. 2007 Tave. D., 1995. Selective Breeding Programmes for Medium – Sized Fish Farms. FAO Fisheries Techical paper. No. 352 Rome. 122 p. Usni Arie, 1999. Pembenihan dan Pembesaran Ikan Nila GIFT.Penebar Swadaya.Jakarta. Widiyati, A., R. Gustiano, dan O.Z. Arifin. 2006. Uji Pertumbuhan 24 Famili Generasi Pertama (F1) Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Karamba Jaring Apung. Sainteks 13: 210-216. Widodo, P., Wahyutomo, Tulus, Akmal dan Syafrudin. 2010. Pembesaran Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypopthalmus) di Kolam Lahan Gambut Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah. Laporan Hasil Perekayasaan Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan. PENGARUH MEDIA BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN CACING SUTRA (Tubifex sp) BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 201 Jhonly Solang *) , Henneke Pangkey **) dan Dede Sutende ***) ABSTRAK Cacing sutra merupakan salah satu dari jenis pakan alami. Cacing sutra sampai saat ini masih tergantung dari alam dimana ketersediaannya tidak menentu. Cacing sutra di alam hidup di saluran air yang jernih dan sedikit mengalir dengan dasar perairan mengandung banyak bahan organik. Untuk mengantisipasi akan kurangnya ketersediaan cacing sutra, maka dilakukan kegiatan penggunaan media yang berbeda. Tujuan kegiatan ini adalah menemukan media yang tepat sebagai media kultur cacing sutra. Media kultur cacing sutra yang digunakan dalam kegiatan ini terdiri dari 4 media yakni ampas tahu + lumpur, kotoran ayam + lumpur, kotoran babi + lumpur dan lumpur itu sendiri sebagai kontrol. Wadah pemeliharaan menggunakan stereofoam sebanyak 12 buah berukuran 75x40x30 cm3. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan A dengan menggunakan ampas tahu+ lumpur hasil panen total cacing sutra A= 142.53 gr diikuti perlakuan C= 116.31, perlakuan B= 111.21 gr, sedangkan kontrol 96.6 gr. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa penggunaan media ampas tahu+lumpur memberikan pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kata Kunci : Media berbeda, cacing sutra *) Perekayasa di Balai Budidaya Air Tawar Tatelu **)Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi ***) Kepaladi Balai Budidaya Air Tawar Tatelu PENDAHULUAN Latar Belakang Sejalan dengan pesatnya usaha perikanan di Indonesia, sehingga pakan bagi usaha budidaya ikan sangat berperan, khususnya pada usaha pembenihan. Hal ini dapat dipahami karena di awal hidupnya ikan tidak menemukan pakan yang ukurannya sesuai dengan bukaan mulutnya maka kondisinya akan lemah dan lama kelamaan akan mati. Sebaliknya jika pada awal kehidupannya ikan dapat menemukan pakan yang sesuai dengan bukaan mulutnya (dalam hal ini pakan alami) maka ikan tersebut dapat meneruskan hidupnya. Untuk itulah, ketersediaan pakan alami berkualitas baik dengan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 202 ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut ikan sangat diperlukan agar angka mortalitas benih dapat ditekan serendah mungkin. Berbagai jenis pakan alami secara umum cocok untuk makanan larva karena memiliki semua unsur zat gizi yang dibutuhkan larva serta sifat dari pakan alami yang bergerak tetapi tidak begitu aktif memungkinkan dan mempermudah larva/benih ikan untuk memangsanya. Kegiatan pembenihan ikan dititikberatkan pada kelangsungan hidup dan kualitas benih, tentunya ini harus ditunjang oleh kualitas induk dan ketersediaan pakan alami yang cukup untuk kebutuhan benih ikan. Berbagai jenis pakan alami secara umum cocok untuk makanan larva karena memiliki semua unsur zat gizi yang dibutuhkan larva serta sifat dari pakan alami yang bergerak tetapi tidak begitu aktif memungkinkan dan mempermudah larva/benih ikan untuk memangsanya. Pakan alami ialah makanan hidup bagi larva dan benih ikan yang mencakup antara lain fitoplankton, zooplankton dan bentos. Fitoplankton, zooplankton dan bentos berperan sebagai sumber karbohidrat, lemak, protein dengan susunan asam amino yang lengkap serta mineral bagi larva atau benih ikan, disamping mengandung gizi yang lengkap dan mudah dicerna, juga tidak mencemari lingkungan perairan dan media pemeliharaan. Pakan alami selain gizinya lengkap juga ekonomis dalam hal pengelolaannya. Dewasa ini yang sudah berhasil dibudidayakan antara lain infusoria, chlorella, daphnia, moina, rotifera, artemia, cacing sutra. Menurut Bulew,1953 dalam Khairuman,dkk(2008), nilai gizi cacing sutra (Tubifex sp) meliputi; kadar air 87,19 %, Protein 57 %, lemak 13,30 % karbohidrat 2,04 % dan kadar abu 3,60 %. Cacing sutra merupakan pakan alami yang belum tergantikan keberadaanya. Sejauh ini usaha budidaya cacing sutra belum banyak dilakukan, dan hanya mengandalkan pasokan dari alam. Namun keberadaan cacing sutra di alam tidak menentu, sehingga keberadaan cacing sutra sangat berfluktuasi. Pada saat tertentu bisa jadi banyak dijumpai di alam dan dilain waktu jumlahnya sangat sedikit, apalagi saat musim hujan, di alam akan mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan populasi cacing sutra di alam juga bisa terjadi mengingat lingkungan tempat hidupnya seperti selokan dan comberan sering dijadikan tempat pembuangan limbah. Limbah yang pembuangannya tidak terkontrol, seperti limbah pabrik merupakan limbah berbahaya yang mematikan organisme di perairan, termasuk cacing sutra. Habitat dan penyebaran cacing sutra umumnya berada di daerah tropis. Biasanya berada di saluran air atau kubangan dangkal berlumpur yang airnya mengalir perlahan dan mempunyai bahan organik yang tinggi, seperti selokan atau sungai tempat limbah dari pemukiman penduduk atau saluran pembuangan limbah peternakan (Khairuman dkk., 2008). BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 203 Selama ini, cacing sutra diperoleh di alam. Pengadaan cacing sutra yang bergantung dari penangkapan alam tentunya sangat riskan. Selain kualitas dan ketersediaannya tidak terjamin(Priyambodo dan Wahyuningsih, 2002). Melihat akan masalah ketersediaan cacing sutra yang tidak kontinyu dan keterbatasan jumlah maka perlu dilakukan kegiatan mengenai kultur atau budidaya cacing sutra dengan menggunakan media kultur yang tepat dan mudah ditemukan disekitar lokasi budidaya. Tujuan Kegiatan Tujuan dari kegiatan ini adalah dapat menentukan jenis media yang sesuai untuk pertumbuhan cacing sutra. METODE KEGIATAN Persiapan media a. Menyiapkan lumpur sebagai media kultur Lumpur diambil di pinggiran selokan sekitar lokasi pelaksanaan kegiatan. Lumpur dibersihkan dari kotoran baik daun, akar, plastik dan bahan organik lainnya. Setelah dibersihkan lumpur disaring dengan menggunakan seser/saringan. Lumpur hasil saringan ditampung kemudian dijemur di bawah panas matahari selama 3 hari. Setelah kering disimpan dalam wadah untuk digunakan sebagai media kultur. Penggunaan lumpur sebagai media kultur ± 8 kg / wadah b. Menyiapkan Ampas Tahu. Ampas tahu diperoleh dari pengusaha ampas tahu Ampas tahu dalam keadaan basa ditiriskan ± 4 jam. Setelah 4 jam ditiriskan kemudian dijemur sampai kering kemudian ditimbang 2 kg/wadah ampas tahu untuk digunakan dalam kegiatan. c. Menyiapkan Kotoran Ayam Kotoran ayam yang digunakan diperoleh dari pengusaha ayam petelur Kotoran ayam masih dalam keadaan tercampur dengan sekam dan tanah dengan kondisi basah Setelah diambil dilakukan penjemuran hingga kering di bawah matahari. Setelah itu ditumbuk/dihancurkan kemudian diayak menggunakan ukuran 1mm. Hasil ayakan ditimbang sesuai dosis yang digunakan dalam kegiatan yakni 2 kg/wadah . BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 204 d. Menyiapkan Kotoran babi Kotoran babi diperoleh dari pengusaha ternak babi Kotoran babi dikumpulkan dalam karung Setelah dikumpulkan dijemur sampai kering di bawah sinar matahari Selanjutnya setelah kering ditimbang sesuai dosis (2 kg/wadah) dan siap digunakan. Persiapan Kultur Tahapan kultur langkah-langkahnya seperti di bawah ini : Lumpur yang telah kering yang telah dipersiapkan di masukkan dalam wadah steroform dengan ketebalan ±5 cm. Selanjutnya masing-masing pupuk ditimbang dan dimasukkan dalam wadah Selanjutnya masing-masing pupuk dicampur dengan lumpur sampai merata Setelah merata media segera dimasukkan air secara perlahan-lahan sampai semua terendam air. Kemudian media dibiarkan selama 6 hari untuk proses dekomposisi Penebaran cacing sutra Setelah terjadi dekomposisi media dialiri air sebelum dilakukan penebaran cacing Cacing sutra yang akan ditebar ditimbang dan diukur panjang awal dan berat awal terlebih dahulu. Penebaran cacing sutra dilakukan secara merata dalam wadah. Pemeliharaan Pemeliharaan cacing selama kegiatan dengan memasukkan air secara terus menerus secara perlahan-lahan. Waktu pemeliharaan dalam wadah dilakukan selama 21 hari Selama pemeliharaan dilakukan kontrol terhadap inlet pemasukkan air jangan sampai tersumbat dan air tidak mengalir. Selama kegiatan berlangsung tidak dilakukan penambahan pupuk. Pemanenan. Pemanenan dilakukan diawali dengan cara mematikan aliran air yang masuk ke dalam wadah Kemudian menutup wadah dengan kain gelap selama ± 2 jam Setelah 2 jam cacing sutra telah naik kepermukaan dan diangkat dalam baki Sisa cacing yang belum terangkat dilakukan membongkar media dan dimasukkan dalam seser kumudian dibilas pada air berjalan. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 205 Hasil panen cacing setelah bersih dari lumpur kemudian ditimbang dan diukur panjang dan berat. Pengambilan Data Pertumbuhan Cacing Sutra Pengumpulan data mengenai perumbuhan cacing sutra dilakukan dengan mengukur pertambahan panjang dan pertambahan berat tubuhnya. A. Pertumbuhan Berat Cacing sutra Pertumbuhan mutlak cacing sutra dihitung menurut formula (Weatherley danGill, 1989): PM = Wt – Wo Dimana: PM = Pertumbuhan mutlak (gram) Wt = Berat rata-rata akhir cacing sutra (gram) Wo = Berat rata-rata awal cacing sutra (gram) B. Pertumbuhan Panjang Cacing Sutra Pertumbuhan panjang adalah panjang cacing sutra pada awal penebaran hingga saat pemanenan. Dihitung dengan menggunakan rumus menurut( Effendi,2003) berikut : P = Pt - Po Dimana : P = Pertumbuhan panjang mutlak cacing sutra (mm) Pt = Panjang rata-rata cacing sutra pada akhir percobaan (mm) Po = Panjang rata-rata cacing sutra pada akhir percobaan (mm). Kualitas Air Selama kegiatan dilakukan mengukuran kualitas air. Adapun parameter kualitas air yang akan diukur adalah DO, PH, dan Suhu, Amonia,Nitrit,Nitrat. HASIL DAN PEMBAHASAN Media Budidaya Cacing Sutra Media tumbuh cacing sutra yang digunakan dalam kegiatan ini adalah lumpur yang telah dibersihkan dari sampah baik daun-daun, plastik-plastik dan jenis moluska dan cacing lainnya. Pembersihan lumpur dengan cara disaring dengan saringan mesh 1 mm.Kemudian lumpur dikeringkan di bawah terik matahari selama 3 hari. Setelah lumpur dikeringkan kemudian disimpan dalam wadah, sambil menunggu bahan tambahan (kotoran ayam,kotoron babi,ampas tahu) menjadi kering. Media budidaya cacing sutra dalam kegiatan ini menggunakan lumpur dan kotoran ayam, lumpur dan kotoran babi, lumpur dan ampas tahu serta lumpur itu sendiri atau tanpa dilakukan pencampuran yang dikategorikan sebagai kontrol dalam kegiatan ini. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 206 Pemeliharaan Cacing Sutra Cacing sutra sebelum dipelihara dalam wadah terlebih dahulu di timbang dan diukur panjang individu untuk mendapatkan data awal, dari hasil pengukuran berat cacing sutra ditimbang untuk masing-masing wadah 30 gram dan panjang individu rata-rata 17 mm. Media tempat penebaran sebelum digunakan dilakukan pencampuran ketiga bahan tadi dengan lumpur kemudian demasukkan air sedikit sampai lumpur terendam semua kemudian dilakukan proses dekomposisi selama 7 hari, proses ini dilakukan agar supaya cacing mendapat makanan selama pemeliharaan. Pemeliharaan cacing sutra dilakukan secara homogen dengan cara mengalirkan air secara terus menerus (sistem resirkulasi) dengan menggunakan pompa air, setiap hari dilakukan pengecekan kran air yang masuk ke masing-masing wadah. Lama pemeliharaan cacing sutra dilakukan selama 21 hari. Setelah akhir masa pemeliharaan dilakukan pemanenan dengan cara menghentikan pompa air untuk menghentikan air yang masuk dalam wadah, air dalam wadah dikurangi sampai permukaan lumpur kelihatan, kemudian wadah ditutup dengan kain gelap selama 1 jam lalu dilakukan pemanenan cacing sutra yang naik ke permukaan , cacing yang tersisa dipanen dengan cara dimasukkan dalam seser dan dibersihkan dalam air berjalan untuk mengeluarkan lumpur yang tercampur dengan cacing sutra. Hasil panen ditiriskan selama ± 25 menit kemudian ditimbang dan diukur panjang cacing sutra. Laju Pertumbuhan Cacing Sutra Pengamatan terhadap pertumbuhan cacing sutra selama kegiatandiperoleh data pertumbuhan meliputi pertambahan panjang rata-rata individu, pertambahan berat rata-rata individu dan berat total cacing sutra pada masing-masing perlakuan. Pertumbuhan Panjang Individu Cacing Sutra Data hasil pengamatan terhadap pertumbuhan panjang rata-rata individu cacing sutra terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Data Pertambahan Panjang Rata-rata Individu Cacing Sutra (mm) Perlakuan Ulangan Total A B C K BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 207 1 2 3 Jumlah Rata-rata 65.3 61 40.7 167 55.66 47 41.7 49.7 138.4 46.13 52 55.9 52.7 160.6 53.53 43.6 39.2 36.4 119.2 39.73 585.2 Dari tabel terlihat bahwa rata-rata pertambahan panjang individu cacing sutra selama kegiatan (21 hari) berturut-turut dari yang tertinggi adalah perlakuan A (55.66 mm), C (53.53 mm), B (46.13 mm), K (39.73 mm). Histogram data pertambahan panjang rata-rata individu cacing sutra selama kegiatantersaji pada Gambar 3. Ряд1, B, 46. 13 Ряд1, C, 53. 53 PANJANG (mm) Ряд1, A, 55. 66 Ряд1, K, 39. 53 PERLAKUAN Gambar 3. Histogram Pertambahan Panjang Rata-rata Individu Cacing Sutra Pertumbuhan Berat Rata-rata Individu Cacing Sutra Data mengenai pertambahan berat rata-rata individu cacing sutra pada setiap perlakuan dapat dilihat pada tabel 3. Berdasarkan data pada tabel menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan berat cacing sutra yang tertinggi adalah perlakuan C (0.0643 gr),perlakuan A(0.0640 gr),perlakuan B (0.052 gr) dan terendah perlakuan perlakuan K (0.05 gr). Tabel 3 . Data Pertambahan Berat Rata-rata individu Cacing Sutra (gr). Ulangan Total Perlakuan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 208 A 0.076 0.067 0.049 0.192 0.064 1 2 3 Jumlah Rata-rata B 0.053 0.047 0.057 0.157 0.052 C 0.069 0.065 0.059 0.193 0.0643 K 0.05 0.051 0.049 0.15 0.05 0.692 BERAT INDIVIDU (gr) Berdasarkan data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan berat individu cacing sutra yang tertinggi adalah perlakuan C (0.0643 gr), kemudian disusul oleh perlakuan A(0.0640 gr), perlakuan B (0.052 gr) dan terendah perlakuan K (0.05 gr). Histogram data pertambahan berat rata-rata individu cacing sutra selama kegiatan tersaji pada Gambar 4 . Ряд1, C, 0.064 3 Ряд1, A, 0.064 Ряд1, B, 0.052 Ряд1, K, 0.05 PERLAKUAN Gambar 4.Histogram Pertambahan Berat Rata-Rata Individu Cacing Sutra Pertumbuhan Berat Total Cacing Sutra Berdasarkan data hasil menunjukkan bahwa berat total cacing sutra yang tertinggi adalah perlakuan A (142.53 gr), kemudian disusul oleh perlakuan C(116.31 gr), perlakuan B (111.21 gr) dan terendah perlakuan K (96.6 gr). Histogram data pertambahan berat total cacing sutra selama kegiatan tersaji pada Gambar 5. Ряд1, A, 142. 53 HASIL PANEN TOTAL CACING SUTERA T TOTAL (gr) Ряд1, B, 111. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 212014 Ряд1, C, 116. 31 209 Ряд1, K, 96.6 Gambar 5.Histogram Pertambahan Berat Rata-Rata Panen Total Cacing Sutra Kualitas Air Media Kultur Kualitas air merupakan suatu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup suatu organisme. Kegiatan ini menggunakan air media yang bersumber dari air sumur di sekitar hatchery. Kualitas air yang diukur selama kegiatanini adalah parameter fisika dan kimia yang meliputi suhu air, derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (O 2), amonia (NH3), Nitrat (NO2), Nitrit (NO3). Suhu Pengamatan suhu air dilakukan pada pagi hari sekitar jam 08.00-09.00 WITA, yang dilakukan sebanyak 8 kali atau setiap 3 hari selama waktu kegiatan(21 hari). Pengukuran suhu dilakukan terhadap air dan lumpur. Hasil pengukuran suhu dari masing-masing perlakuan untuk perlakuan A (lumpur 25.23o C – 26.2 oC dan air 25.16 oC -26.3o C), perlakuan B (lumpur 25.20 o C – 26.2 oC dan air 25.1 oC -26.36o C), perlakuan C (lumpur 25.20 o C – 26.2 oC dan air 25 oC -26.1o C), perlakuan K (lumpur 25.20o C – 26.2 oC dan air 25.3 o C -26.2o C).. Selama kegiatan dalam wadah, cacing sutra tidak mengalami goncangan fisiologis akibat perubahan suhu yang terjadi. Effendi (2003) mengemukakan bahwa peningkatan suhu akan mengakibatkan kecepatan metabolisme dan respirasi metabolisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan suhu. Fluktuasi suhu yang terjadi pada saat kegiatan tidak begitu signifikan karena air yang digunakan mengalir BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 210 secara terus menerus dengan sistem resirkulasi. Penempatan wadah dalam kegiatan kegiatanini dalam hatchery. Kisaran suhu yang terjadi selama kegiatancukup stabil baik suhu pada lumpur maupun suhu air yaitu antara 25 – 26.3OC. Menurut Effendi 2003, peningkatan suhu 1 OC akan meningkatkan oksigen sebesar 10 %. pH (Derajat Keasaman) Hasil pengukuran pH air dan pH lumpur pada media kegiatancacing sutra tidak terjadi perbedaan yang menyolok yakni berkisar antara pH 6-7, 68. Pada kondisi pH tersebut cacing sutra dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Effendi (2003) menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Toksisitas logam akan mengalami peningkatan pada pH rendah. Boyd (2001) mengungkapkan bahwa titik mati asam dan basa pada ikan masing-masing kira-kira pH 4 dan pH 11. Namun demikian jika perairan lebih asam dari pH 6,5 atau lebih basa dari pada pH 9 – 9,5 untuk kurun waktu yang lama, maka reproduksi dan pertumbuhan akan menurun. Hasil pengukuran selama kegiatan dapat di lihat dalam gambar 8 dan 9 di bawah ini. DO (Dissolved Oxygen) Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu parameter penting dalam analisis kualitas air. Nilai DO yang biasanya diukur dalam bentuk konsentrasi ini menunjukkan jumlah oksigen yang tersedia dalam suatu badan air. Dalam kegiatan ini sumber oksigen terlarut berasal dari aliran air dalam media pemeliharaan, masing-masing diatur melalui kran yang diatur sedemikian rupa untuk dapat menghasilkan debit air yang hampir merata. Apabila terjadi ketidak normalan kerja kran tersebut maka akan berpengaruh terhadap aliran air yang menjadi kecil sehingga oksigen terlarut dalam media kan rendah. Oleh karena itu pengontrolan harus dilakukan setiap saat untuk menghindari tersumbatnya aliran air pada media kegiatan. Hasil pengukuran oksigen terlarut pada media kultur selama kegiatan adalah 4-5 ppm. Ini masih baik untuk perkembangbiakan cacing sutra seperti yang disampaikan Marian dan Pandian (1984) dalam Utami (1986) yang mengatakan bahwa kebutuhan oksigen bagi pertumbuhan embrio secara normal berkisar antara 2,5 – 7,0 ppm, sedangkan kondisi oksigen 3 ppm atau lebih dapat meningkatkan kepadatan populasi juga menjamin tingginya jumlah telur yang dikandung (fekunditas) dari cacing tubificidae. Namun keadaan oksigen yang rendah atau kurang dari 2 ppm akan menghambat aktifitas makan dan reproduksi. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 211 NH4(Amonia) Hasil pengukuran kandungan amonia yang tinggi selama kegiatanterjadi pada perlakuan B (Lumpur + kotoran ayam) pada minggu kedua masa pemeliharaan nilainya 0.78 ppm. Hal ini dikarenakan amonia bersifat racun. Di alam amonia berasal dari pupuk, kotoran ikan dan dari pelapukan mikrobial dari senyawa nitrogen (Boyd, 2001). Hasil pengukuran amonia pada perlakuan (B)lumpur +kotoran ayam, perlakuan (A)lumpur + ampas tahu,(K) kontrol dan kemudian terendah perlakuan (C) dengan menggunakan lumpur+kotoran babi. NO2 Kandungan nitrit pada media kultur selama kegiatan tertinggi pada perlakuan K pada masa pemeliharaan minggu kedua yakni berkisar 0,37 ppm. Pernyataan Boyd (2001) mengatakan bahwa kandungan nitrit yang tinggi di dalam perairan sangat berbahaya bagi ikan dan biota air lainnya, karena nitrit dalam darah mengoksidasi haemoglobin menjadi meta-haemoglobin yang tidak mampu mengedarkan oksigen, kandungan nitrit sebaiknya lebih kecil dari 0,3 ppm. Lebih lanjut dijelaskan bahwa akumulasi nitrit dapat timbul akibat ketidakseimbangan dalam reaksi nitrifikasi. NO3 (Nitrat) Hasil pengukuran nitrat dalam penelitian ini bukan hanya dari air melainkan dari lumpur atau media yang digunakan sebagai perlakuan. Untuk lebih jelanya hasil pengukuran dapat dilihat pada gambar 13 di bawah ini. Hasil pengukuran kandungan nitrat dalam air sungai sebagai habitat alami cacing sutra adalah < 10 ppm. Ini menandahkan bahwa kondisi perairan sungai tersebut sangat miskin dalam hal unsur hara yang menjadi sumber nutrisi dalam perairan tersebut. (Suharyadi, 2012). Nitrat dalam media kultur selama masa penelitian adalah 50 - 63 ppm. Kisaran ini merupakan kisaran yang tinggi, karena diperairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0.1 mg/l apa bila kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran yang berasal dari kegiatan manusia dan tinja hewan (Bond dkk, 2010). KESIMPULAN DAN SARAN KE SIMPULAN BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 212 Media dengan menggunakan ampas tahu dan lumpur memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan berat cacing sutra atau perlakuan A (142.53gr), kemudian disusul media kotoran babi dan lumpur atau perlakuan C(116.31 gr), media kotoran ayam dan lumpur perlakuan B (111.21 gr) dan terendah media hanya menggunakan lumpur itu sendiri atau perlakuan K (96.6 gr). SARAN Dari hasil kegiatan saat ini disarankan untuk menggunakan media ampas tahu dengan berbagai komposisi dan kemudian dicampurkan dengan lumpur. DAFTAR PUSTAKA Arkhipova, N.R. 1996. Morphology of Pectinate Setae in Tubificids (tubificidae, oligochaeta). Zoologicheskii Zhurnal . 178-187 p. Barnes, R.D. 1974. Invertebrate Zoology. 3rd Edition. W.B. Sounders Comp. Philadelphia.London, Toronto. 870p. Bond,M.M, Juniyanto,N.M, Senggagau,B dan Muhlis, S. 2010. Pengelolaan Air pada Pembenihan Ikan Laut. BBL. Batam. 65 hal. Boyd. C., E. 2001. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perikanan. Ahli Bahasa Oleh: A.Syafei Sidiq. Samarinda; Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Mulawarman Daelami, D. 2001. Usaha Pembenihan Ikan Hias Air tawar. Penebar Swadaya.Jakarta.166 hal. Djarijah, A.S. 1996. Pakan Ikan Alami. Kanisius.Yokyakarta.87 hal. Effendi. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. Fadholi, M.R, Mulyanto dan Zakiyah, U. 2001. Kajian Ekologis Cacing Rambut (Tubifex sp) Dalam Upaya Mengorbitkanya Sebagai Indikator Biologis Pencemaran Bahan Organik di Perairan. Jurnal ilmu-ilmu hayati. Vol 13 No. 1 juni 2001. Fauziah. 2009. Upaya Pengelolaan Lingkungan Usaha Peternakan. Diambil 2 Agustus 2013 pukul 14.00 wita dari situs World Wide Web http://www.mustang89.com/literatur/74literatur-ayam/355-upayapengelolaan- lingkungan -usaha - peternakan-ayam. Gilbert A.M and Granath Jr. 2003. Persistent Infection of Miyobolus Cerebralis the Chausative Agent of Salmonid Whirling Disease in Tubifex Tubifex. Journal of Parasitology. Johan, Y. 2008. Bioteknologi:Produksi Tubifex sp Sebagai Pakan Alami.Diambil 2 Agustus 2013 pukul 10.00 wita dari situs World Wide Web http://yarjohan.blogspot.com/2008/06/produksi-tubifex-sp-sebagaipakan-alami.html BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 213 Khairuman dan K.Amri . 2002. Membuat Pakan Ikan Konsumsi. Agromedia Pustaka. Jakarta.81 hal. Khairuman.,K.Amri dan T.Sihombing. 2008. Peluang Usaha Budidaya Cacing Sutra. Agromedia Pustaka. Jakarta.74 hal. Mueller, 1774. Taxonomic and Nomenclature. ITTS Standar Report: Tubifex . Diambil 2 Oktober 2013 pukul 11.00 wita dari http://en.wikipedia.org/wiki /Tubifex tubifex. Mushafi,I.2012. Upaya Pengelolaan Lingkungan. Diambil 12 Juli 2013 pukul 11.30 wita dari situs World Wide Web (world-iviroment issu/2012/04/ pengolahan limbah peternakan babi.hmtl). Pennak, R.W. 1978. Freshwater Invertebrates of United States.2nd.A Willey Interscience Pbl John Willey and Sons.New York. Priyambo,K dan T. Wahyuningsih.2002. Budidaya Pakan Alami Untuk Ikan.Penebar Swadaya. Jakarta 64 hal. Suharyadi, 2012. Studi Penumbuhan dan Produksi Cacing Sutra (Tubifex sp) dengan Pupuk yang Berbeda Dalam Sistim Resirkulasi. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Terbuka Jakarta.100 hal. Supeni,T.,S.T Mintje dan Y.P.Talumewo .1994 .Biologi . Erlangga. Jakarta .178 hal. Utami, D, S, R., 1986. Pengaruh Kecepatan Aliran Air Terhadap Pertumbuhan Populasi Tubifex sp dengan Dosis Pupuk 50 % Kotoran Ayam dan 50 % Lumpur Halus. Skripsi Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor Weatherley, A.N and H.S Gill.1989. The Biology of Fish Growth. Academic Press. P. 678-679. POTENSI DAN PROSPEK BUDIDAYA IKAN GABUS (Channa Striata Bloch 1793) SEBAGAI ALTERNATIF USAHA DALAM BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 214 MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DAN PRODUKSI PERIKANAN BUDIDAYA DI WILAYAH KALIMANTAN Puji Widodoa*, Endang Mudjiutamia, Firdausia, Tulusa Balai perikanan budidaya air tawar mandiangin, kalimantan selatan ABSTRACT Snakehead is one of Indonesia original fish in freshwater aquatic that usually being found at common waters region of Java, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, and Papua. Snakehead comprises potential local fish type that a lot of excess which is well worth economic, perceive delicate flesh, and tall protein content that benefit to human health. People need of snakehead makes snakehead fishing at nature happening continually which is alarmed will bother its continuity in the future. Culture of snakehead at territorial of Kalimantan has become effort alternative that don't succumb with culture of introduction fish and also another local fish. A local fish type such as snakehead has potency and prospect of aquaculture to meet the people need, and gives effort opportunity to increase income for people in the future. This activity intent is to know the potency and prospect of snakehead culture through application technology of breeding and grow out of snakehead in pond. Breeding of snakehead has done by natural spawning and hormone excitement, meanwhile grow out of snakehead has done in pond with artificial feed application. The results showed that natural spawning and hormone excitement breeding have successful to be done by the result of natural spawning with hatching rate (HR) average 83,13% and survival rate (SR) average of 2 month seed 74,75%, meanwhile the result of hormone excitement breeding of hatching rate (HR) 82,03% and survival rate (SR) average of 2 month seed 73,15%. Grow out activity of snakehead at pond for a period of 7 month with averages weight growth of fish on density 25 individual/m2 of 273,07 ± 5,12 g/individual and survival rate of 77,5% is better than grow out of snakehead on density 30 individual/m 2 with averages weight growth of 250,79 ± 7,01 g/individual and survival rate of 73%. By the result of business analysis for breeding effort with benefit value as much as Rp. 3.150.000,- per pond/cycle and R/C ratio value is 2,29 and business analysis for grow out effort with benefit value as much as Rp. 5.000.000,- per pond/cycle and R/C ratio value is 1,56 so the culture effort of snake head is reasonable to be done. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 215 Keywords : aquaculture prospect, snakehead fish PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan gabus (Channa striata Bloch 1793) adalah ikan asli Indonesia yang habitatnya di rawa-rawa, sawah, genangan dan daerah aliran sungai arus tenang yang membawa emulsi lumpur, dan bisa juga di perairan payau.Ikan gabus tersebar diseluruh Indonesia, terutama di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan (Courtenay et al., 2004). Ikan gabus dikenal dengan berbagai nama daerah, di antaranya: ikan kutuk (Jawa), ikan gabus (Betawi dan Sunda), ikan haruan (Kalimantan Selatan), ikan behau (Kalimantan Tengah), ikan deleg (Sumatra), bale salo (Sulawesi), dan ikan gastor (Papua). Untuk selanjutnya penyebutan dan penamaan ikan gabus dalam makalah ini digunakan nama “gabus”. Di dunia sebaran ikan gabus meliputi India, Myanmar, Banglades, Laos, Vietnam, Thailand, Kamboja, dan Malaysia. Ikan gabus pascaintroduksi terdapat di Madagaskar, Philipina, Indonesia bagian timur, Caledonia baru, dan Fuji. Ikan gabus sangat disukai masyarakat Kalimantan karena rasanya gurih, permintaan pasar tinggi dan kontinu, bernilai ekonomis tinggi dan harganya meningkat drastis pada saat musim tertentu. Harga ikan gabus di pasar Kalimantan Selatan mencapai kisaran Rp. 30.000,- sampai Rp. 60.000,per kilogram, sedangkan di Kalimantan Tengah dapat mencapai harga lebih dari Rp. 60.000,- per kilogram. Selain itu, tingginya kandungan albumin dalam daging ikan gabus bermanfaat untuk mempercepat proses penyembuhan luka pasien pascaoperasi membuat ikan gabus semakin dicari. Menurut data statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011, jumlah produksi perikanan budidaya kolam di wilayah Kalimantan Selatan untuk ikan gabus sebesar 25 ton dan budidaya karamba sebesar 309 ton. Selain rasanya enak ikan gabus juga memiliki manfaat yang sangat besar untuk kesehatan karena mengandung protein albumin yang sangat tinggi. Albumin diperlukan tubuh manusia setiap hari, terutama dalam proses penyembuhan luka pasien pascaoperasi. Albumin berfungsi mengatur keseimbangan air dalam sel, memberi gizi pada sel, dan mengeluarkan produk buangan. Selain itu, albumin juga berfungsi mempertahankan pengaturan cairan dalam tubuh Bila kadar albumin rendah, maka protein yang dikonsumsi akan pecah. Protein yang seharusnya dikirim untuk pertumbuhan sel, menjadi tidak maksimal Pemberian daging ikan gabus atau ekstrak dalam bentuk kapsul telah diujicobakan untuk meningkatkan kadar albumin dalam darah dan membantu penyembuhan beberapa penyakit dari kekurangan gizi hingga HIV-AIDS. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 216 Ikan gabus hidup di perairan sekitar kita, di rawa, di waduk dan di sungai-sungai yang airnya tenang. Ikan ini merupakan ikan buas (karnivor yang bersifat pemangsa). Di alam, ikan gabus tidak hanya memangsa benih ikan tetapi juga ikan dewasa dan serangga air lainnya termasuk kodok. Namun sayang populasi ikan gabus di alam sudah mulai berkurang karena mengandalkan penangkapan di alam sehingga budidaya ikan ini perlu dikembangkan khususnya pembenihan. Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Mandiangin sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Instalasi Budidaya Ikan Lahan Gambut di Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah berupaya melakukan usaha pembenihan ikan gabus secara alami dan semi buatan di bak terpal serta pembesaran ikan gabus di kolam sebagai upaya meningkatkan produktivitas lahan gambut. Dengan adanya teknologi budidaya ikan gabus baik pembenihan maupun pembesarannya diharapkan akan memberikan peluang usaha baru bagi masyarakat sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di masa depan. Tujuan 1. Mengetahui potensi dan prospek budidaya ikan gabus melalui penerapan teknologi pembenihan dan pembesaran ikan gabus yang dipelihara di kolam. 2. Menerapkan teknik pembenihan ikan gabus (Channa striata Bloch 1793) secara alami dan semi buatan serta pembesaran ikan gabus di kolam. METODE Teknologi Pembenihan 1. Pematangan gonad induk Induk ikan gabus dipelihara di jaring tempat pematangan gonad. Induk di pisah antara jantan dan betina. Tiap hari diberi pakan apung komersil untuk induk protein 30 – 32%. Dua minggu sekali di cek kematangan gonadnya. Induk yang dipelihara berjumlah 30 ekor jantan dan 30 ekor betina. 2. Persiapan bak terpal Sebelum ikan ditebar di bak terpal sebelumnya telah dilakukan persiapan bak selama 1 minggu meliputi pengisian air,pemupukkan bak terpal serta penambahan substrat sebagai pelindung dan wadah ikan gabus meletakkan telurnya mengingat telur ikan gabus bersifat melayang di permukaan air.. Pemberian pupuk di lakukan untuk menumbuhkan pakan alami jika ikan gabus memijah dengan pupuk dosis 100 gram/m2. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 217 - Pemeriksaan kualitas air bak terpal dilakukan meliputi pH air dan DO. Apabila pH air sudah mencapai 5 dan plankton sudah tumbuh maka induk ikan gabus dapat ditebar. 3. Perlakuan pada proses pemijahan Pemijahan Alami Induk yang telah diseleksi dan matang gonad dicampurkan di bak terpal dengan perbandingan 1 betina : 1 jantan. Pengamatan proses pemijahan dilakukan setiap hari, dimana bila telah terjadi pemijahan maka telur akan kelihatan mengapung di permukaan air. Pemijahan alami menggunakan 3 buah bak terpal. Pemijahan semi buatan Induk yang telah diseleksi dan matang gonad sebelum ditebar dilakukan penimbangan berat untuk menentukan dosis penyuntikkan. Dosis penyuntikkan adalah 0,5 cc/kg berat induk. Penyuntikkan di lakukan intra muscular satu kali bersamaan antara induk jantan dan betina. Induk yang telah di suntik dicampurkan di bak terpal dengan perbandingan 1 betina : 1 jantan. Pengamatan proses pemijahan dilakukan setiap hari, dimana bila telah terjadi pemijahan maka telur akan kelihatan mengapung di permukaan air. Pemijahan semi buatan menggunakan 3 buah bak terpal 4. Penetasan, pemeliharaan larva dan pendederan Telur ikan gabus yang telah di buahi akan berwarna bening sedangkan yang tidak dibuahi berwarna putih, telur mengapung di permukaan air. Telur akan menetas 24 – 38 jam setelah di keluarkan. Pemeliharaan larva di lakukan di bak pemijahan bersama dengan induknya selama 1 bulan. Induk ikan gabus memiliki sifat sebagai pengasuh anaknya sehingga induk tidak perlu dipindah ke wadah pemeliharaan induk. Pemberian pakan buatan berupa pakan pelet tepung protein 40% di lakukan setelah umur benih seminggu dengan dosis adlibitum. Pemeliharaan larva di bak terpal di lakukan selama ± 1 bulan sampai benih berukuran 3 – 5 cm/ekor. Pendederan benih dilakukan dalam hapa yang dipasang di kolam selama 2 bulan sampai benih berukuran 8 – 12 cm/ekor. Teknologi Pembesaran 1. Persiapan Kolam Sebelum ikan ditebar di kolam sebelumnya telah dilakukan persiapan kolam selama 1 minggu meliputi penyedotan air dan penyedotan lumpur serta pembersihan kolam. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 218 2. - 3. - - - - Setelah 1–2 hari maka dilakukan persiapan kolam diberi kapur dosis 300 g/m2 dan pupuk dengan dosis 350 kg/m2. Pasang hapa/jaring tancap dengan penutup diatasnya untuk menghindari lolosnya ikan gabus yang dipelihara. Setelah 1 minggu dilakukan pemeriksaan pH air, apabila pH air sudah mencapai 5 dan plankton sudah tumbuh maka benih ikan siap ditebar. Penebaran di Kolam Benih ikan gabus yang dipergunakan berukuran berat rata-rata 5,5 – 8,3 g/ekor dan panjang rata-rata 5–8 cm/ekor dengan perlakuan padat tebar 25 ekor/m2 dan 30 ekor/m2, sebelum ditebar terlebih dahulu didisenfektan dengan larutan PK 1 %. Penebaran kedalam kolam dilakukan pada pagi hari. Pemeliharaan di Kolam Benih ikan gabus yang dibesarkan di kolam diberi pakan pellet sebanyak 5% dari berat tubuh ikan dengan frekuensi 3 kali sehari (pagi, siang dan sore hari). Pellet komersil yang digunakan dengan protein 30-40%. Untuk bulan pertama dan kedua pemeliharaan menggunakan pellet udang (tepung) dengan protein 40%, bulan selanjutnya menggunakan pakan pellet apung dengan protein 30%. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ikan gabus yang dipelihara dalam kolam dan parameter lainnya maka setiap 1 bulan sekali dilakukan sampling. Sampling dilakukan sebanyak 10% dari populasi ikan per hapa yang dilakukan secara acak. Kontrol kualitas air dilakukan untuk melihat fluktuasi kualitas air media pemeliharaan. Koleksi data pertumbuhan dilakukan untuk mendeteksi pertumbuhan, panjang, berat, serta Kelangsungan hidup masing-masing populasi ikan. Parameter Yang Diamati a. Pertumbuhan Mutlak Individu Dinyatakan dalam pertambahan berat rata-rata (gram) dan pertambahan panjang baku rata-rata (cm). b. Laju pertumbuhan spesifik (Specific Growth Rate) Untuk menentukan laju pertumbuhan spesifik sesuai dengan Steffens (1989): SGR = lnWt – lnWo x 100 % t1 – t0 Dimana : SGR = Laju pertumbuhan berat spesifik (% perhari) Wt = Bobot biomassa pada akhir penelitian (gram) Wo = Bobot biomassa pada awal penelitian (gram) t1 = Waktu akhir penelitian (hari) BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 219 t0 = Waktu awal penelitian (hari) c. Kelangsungan hidup Prosentase dari jumlah ikan yang hidup dari populasi ikan selama masa pemeliharaan. Kelangsungan hidup ikan uji diperoleh dengan mengikuti rumus Effendie (1979) : Kelangsungan hidup (SR) = Nt x 100 % No Dimana : SR = (%) Nt = Jumlah ikan hidupi pada akhir pemeliharaan No = Jumlah ikan hidup pada awal pemeliharaan d. Konversi pakan Yaitu nilai ubah dari jumlah makanan yang diberikan selama kegiatan yang dihitung berdasarkan rumus : K = F_____ x 100 % (Wt + D) – Wo Keterangan : K = Konversi makanan F = Jumlah makanan yang diberikan selama masa pemeliharaan (gram) Wt = Berat akhir interval (gram) Wo = Berat awal interval (gram) D = Berat ikan uji yang mati (gram) e. Kualitas Air Kualitas air yan diamati dalam kegiatan ini meliputi pH, suhu, oksigen terlarut (DO) dan amoniak (NH3). Pengamatan kualitas air dilakukan setiap minggu sekali selama kegiatan pemeliharaan ikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembenihan a. Pemijahan alami Pemijahan alami meliputi kegiatan pemilihan induk matang gonad, pencampuran induk, proses pemijahan, dan penetasan telur. Pemilihan induk dilakukan dengan melihat ciri-ciri visual induk jantan dan betina yang telah matang gonad, kemudian induk yang matang gonad dikumpulkan dalam baskom. Pencampuran induk dilakukan dengan memasukkan induk pada tiap bak pemijahan sebanyak satu pasang induk jantan dan betina. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 220 Proses pemijahan alami biasanya akan terjadi selama 1-2 minggu. Setiap hari dilakukan pemeriksaan di bak pemijahan, apabila induk telah memijah akan terdapat telur di permukaan air. Selanjutnya telur ikan gabus dibiarkan sampai menetas di bak pemijahan selama 24-38 jam. b. Pemijahan Semi Buatan Pemijahan semi buatan meliputi kegiatan pemilihan induk matang gonad, penyuntikan hormon, pencampuran induk, proses pemijahan, dan penetasan telur. Pemilihan induk dilakukan dengan melihat ciri-ciri visual induk jantan dan betina yang telah matang gonad, kemudian induk yang matang gonad dikumpulkan dalam baskom. Penyuntikan ovaprim dilakukan secara intramuskular terhadap induk jantan dan betina sebanyak 1 kali penyuntikan dengan dosis 0,5 ml/kg. Selanjutnya dilakukan pencampuran induk dengan memasukkan induk jantan dan betina hasil seleksi pada tiap bak pemijahan sebanyak satu pasang induk jantan dan betina. Proses pemijahan biasanya akan terjadi selama 1-2 minggu. Setiap hari dilakukan pemeriksaan di bak pemijahan apabila induk telah memijah akan terdapat telur dipermukaan air. Selanjutnya telur ikan gabus yang telah keluar dibiarkan sampai menetas di bak pemijahan selama 24-38 jam. Dari hasil diatas diketahui bahwa pemijahan alami dan semi buatan telah berhasil dilakukan dengan nilai HR diatas 80%, sedangkan pemeliharaan larva ikan gabus selama 1 bulan diperoleh SR benih berkisar antara 5,8% – 20,6%. Rendahnya nilai SR benih diduga disebabkan karena pakan alami yang tersedia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup larva, mengingat larva hanya diberikan pakan buatan berupa pelet berbentuk tepung. Penyesuaian larva terhadap pakan buatan yang diberikan bisa juga menyebabkan rendahnya kelangsungan hidup larva. Selain itu, sifat kanibalisme yang ada pada benih ikan gabus dan perubahan kondisi kualitas air dan lingkungan pada media pemeliharaan diduga dapat juga menyebabkan kematian pada larva maupun benih ikan gabus. Pendederan dalam hapa di kolam Larva ikan gabus dipelihara sampai menjadi benih sampai berukuran 3-5 cm di bak terpal bersama dengan induknya yang bersifat mengasuh anaknya selama 1 bulan dengan diberi pakan pelet tepung dengan kandungan protein 40%. Setelah itu dilakukan pendederan dengan menggunakan wadah hapa ukuran 2 x 1 x 0,8 m3 yang dipasang di kolam. Padat tebar benih 400ekor/hapadan 600ekor/hapa dengan ukuran awal 3-5 cm. Setiap seminggu dilakukan penjarangan (grading) dengan cara menyeleksi benih yang berukuran besar dan kecil, kemudian dipisahkan dalam hapa yang berbeda. Pertumbuhan ikan gabus relatif lambat; memerlukan waktu selama BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 221 1 bulan dari ukuran 3-5 cm sampai mencapai ukuran panjang 5-8 cm dan selama 2 bulan mulai dari ukuran 3-5 cm sampai mencapai ukuran panjang 8-12 cm. Pada penebaran 600 ekor/hapa kelangsungan hidup benih ikan gabus selama pendederan kelangsungan hidup sebesar 43,42 ± 3,62%, sedangkan pada penebaran benih 400 ekor/hapa kelangsungan hidup rata-rata 73± 3,15%. Perbedaan kelangsungan hidup (SR) ini, diduga akibat perbedaan padat tebar yang mengakibatkan pertumbuhan yang tidak seragam (perbedaan ukuran tubuh), sehingga memungkinkan terjadinya kanibalisme. Karenanya, perlu dilakukan penyortiran dan penjarangan padat tebar pada umur 1 sampai 2 bulan pemeliharaan untuk menghindari kanibalisme pada ikan gabus karena ukuran yang berbeda. Pembesaran Pertumbuhan berat rerata ikan gabus selama pemeliharaan 7 bulan pada padat tebar 25 eko//mr 2 sebesar 276 ± 22,31 g/ekor lebih tinggi dibanding padat tebar 30 eko/m2 sebesar 259 ± 26,52 g/ekor walaupun selisihnya tidak jauh berbeda. Hasil pertumbuhan ikan gabus ini cenderung lambat karena ikan gabus sepenuhnya diberikan pakan pellet apung dengan kandungan protein 30-32% Pemberian pakan buatan (pellet) diduga belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan energy pada ikan gabus agar dapat tumbuh dengan optimal. Namun demikian hasil pertumbuhan ini dapat menjadi dasar acuan dimana ikan gabus dapat tumbuh dengan pemberian pakan pellet komersil tanpa pakan rucah/segar. Menurut Kottelat, et al. (1993) bahwa kecepatan pertumbuhan ikan yang ideal sangat tergantung pada padat tebar, pakan yang cukup dan diminati ikan tersebut serta kualitas air yang baik. Sedangkan menurut Suhaili Asnawi, 1986kecepatan pertumbuhan sangat tergantung kepada jumlah makanan yang diberikan, ruang, suhu, kedalaman air, kandungan oksigen dalam air dan parameter kualitas air lainnya. Makanan yang didapat oleh ikan terutama dimanfaatkan untuk pergerakan, memulihkan organ tubuh yang rusak, setelah itu kelebihan makanan yang didapat digunakan untuk pertumbuhan Ikan dalam komposisi zat gizinya juga membutuhkan mineral dalam campuran pakannya agar ikan dapat tumbuh dengan baik. Mineral merupakan unsur anorganik yang dibutuhkan oleh organisme perairan (ikan) untuk proses hidupnya secara normal. Ikan sebagai organisme air mempunyai kemampuan untuk menyerap beberapa unsur anorganik ini, tidak hanya dari makanannya saja tetapi juga dari lingkungan. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 222 Laju Pertumbuhan Spesifik (%bb/hari) Laju pertumbuhan spesifik ikan gabus dengan padat tebar 25 ekor/m2 sebesar 5,62 ± 0,22 %/harilebih tinggi dari laju pertumbuhan spesifik ikan gabus dengan padat tebar 30 ekor/m2 sebesar 5,55 ± 0,26 %/hari. Namun selisih perbedaan laju pertumbuhan spesifik pada kedua perlakuan tidak jauh berbeda. Kelangsungan hidup Tingkat kelangsungan hidup rerata ikan gabus selama masa pemeliharaan pada kedua perlakuan tergolong baik yaitu sebesar 77,5% dan 73%. Kematian ikan gabus diduga disebabkan sifat kanibal pada ikan gabus pada masa awal pemeliharaan bulan ke-1 sampai bulan ke-2 cenderung lebih kuat. Selain itu juga karena tidak dilakukan penyortiran/grading ikan gabus ukuran besar denganukuran yang lebih kecil, sehingga yang lebih kecil dimangsa oleh ikan gabus yang lebih besar. Dari data lapangan yang berasal dari pembudidaya mengenai kelangsungan hidup ikan gabus yang dipelihara di kolam selama 10 bulan dengan pemberian pakan buatan mencapai 70%. Konversi Makanan Konversi pakan rerataikan gabus dengan padat tebar 25 ekor/m2 sebesar 2,11 sedangkan konversi pakanrerata ikan gabus dengan padat tebar 30 ekor/m2 berkisar antara 2,03. Menurut Mudjiman (1983), nilai konversi makanan untuk ikan berkisar dari 1,5 – 8,5. Jika dibandingkan dengan nilai konversi makanan hasil kegiatan selama masa pemeliharaan, maka nilai konversi makanan dapat dikatakan baik hal ini dikarenakan ikan tersebut optimal dalam memanfaatkan makanan yang diberikan. Pakan yang digunakan adalah pakan pellet apung komersial dengan protein30–32 %. Pengamatan Kualitas Air Data parameter kualitas air kimia dan fisika pada media pemeliharaan ikan gabus disajikan pada Tabel 8. berikut : Tabel 8. Parameter sifat kimia dan fisika air media pemeliharaan ikan gabus Parameter Nilai Suhu 25-32 ˚C Kecerahan 25-30 cm Oksigen terlarut >3 mg/L (ppm) pH air 4–5 Amonia 0,0 – 0,02 mg/Lmax (ppm) NO2 <1 mg/L (ppm) BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 223 Kisaran kualitas air diatas masih berada dalam kisaran yang layak untuk mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan gabus. Namun perubahan kualitas air terutama pH di lahan gambut khususnya saat musim hujan yang terjadi secara mendadak dapat menyebabkanhilangnya nafsu makan pada ikan sehingga dapat menyebabkan stres dan kematian pada ikan. Hal ini perlu diantisipasi dengan cara pengukuran kualitas air terutama pH secara rutin dan melakukan pengapuran kolam dengan kapur tohor untuk menjaga kestabilan pH air kolam. Pengamatan Terhadap Penyakit (Parasit, Jamur, dan Bakteri) Pengamatan terhadap penyakit (parasit, jamur, dan bakteri) dilakukan pada saat benih ikan gabus yang dibesarkan di hapa hijau dan jaring di kolam lahan gambut. Pengamatan ini dimaksudkan untuk mengetahui jenis parasit, jamur, dan bakteri yang menyerang dan untuk mengambil tindakan pencegahan maupun pengobatannya. Pengamatan tersebut dilakukan secara mikroskopis pada permukaan dan organ tubuh. Secara lengkap hasil pemeriksaan penyakit pada ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 9. berikut ini. Tabel 9. Hasil pemeriksaan penyakit pada ikan gabus (Channa striata) Ukuran ikan Benih Induk Jenis penyakit yang ditemukan Keterangan Parasit Jamur Bakteri Ichthyoptir ius multifilis /White spot, Trichodina sp. - Oodinium sp., Achlya sp. Aeromonas hydrophila Musim hujan dan panas - A. hydrophila; Enterobacter sp. Musim hujan dan panas Analisis Usaha Analisis usaha kegiatan pembenihan dan pembesaran ikan gabus di kolam bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha yang dilakukan berdasarkan perhitungan ekonomi serta untuk memperbaiki dan meningkatkan keuntungan dalam melakukan usaha budidaya. Untuk memperoleh keuntungan yang besar dapat dilakukan dengan cara menekan biaya produksi atau menaikkan harga jual. Biaya produksi merupakan modal yang harus BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 224 dikeluarkan untuk melakukan proses produksi usaha budidaya mulai persiapan awal sampai akhir pemeliharaan (panen). Biaya produksi ini terdiri dari 2 macam yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang digunakan tidak habis dalam satu periode/siklus produksi, biasanya meliputi biaya penyusutan investasi dan bunga investasi. Biaya variabel adalah biaya yang digunakan dalam satu periode/siklus produksi, biasanya meliputi biaya pakan, benih dan upah pekerja. Untuk perhitungan Analisis biaya yang dilakukan meliputi Break Event Point (BEP), Return of Investment (ROI) dan Revenue Cost Ratio (R/C Ratio). Perhitungan Analisis usaha pembenihan dan pembesaran ikan gabus dalam kolam selama 7 bulan dengan estimasi menggunakan pakan buatan komersial secara lengkap dapat dilihat sebagai berikut : Analisa usaha pembenihan ikan gabus Pembenihan ikan gabus di bak terpal sebanyak 1 unit per siklus (2 bulan). A. Biaya Investasi - Pembuatan bak terpal 1 unit 4x2x1,5 m Rp. 1.500.000,- Jumlah Investasi Rp. 1.500.000,B. Biaya Operasional 1. Biaya Tetap - Bunga Investasi 20 % Rp. 300.000,- Penyusutan per tahun 10 % Rp. 150.000,Jumlah Rp 450.000,2. Biaya Variabel - Induk 2 pasang (300 g) 4 ekor @ Rp. 25.000,Rp. 100.000,- Pakan induk pelet apung @ Rp. 300.000,Rp. 300.000,- Pakan benih pelet apung @ Rp. 150.000,Rp. 150.000,- Hormon ovaprim 1 botol + peralatan suntik Rp. 250.000 - Hapa hijau 2 x 1 x 1 m 2 unit @ 250.000 Rp. 500.000,- Pupuk/Probiotik Rp. 100.000,- Tenaga kerja Rp. 600.000,Jumlah Rp. 2.000.000,Total biaya operasional (a + b) Rp. 2.450.000,C. Pendapatan - Jumlah benih ikan 5.000 ekor/induk dengan SR 70 % dan ukuran 5 – 8 cm/ekor; - Harga jual benih ikan Rp. 800,- /ekor; - Pendapatan persiklus (2 bulan) = 70 % x 5.000 x 2 induk x Rp. 800,= Rp. 5.600.000,BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 225 D. Keuntungan Bersih - Pendapatan – Total Biaya Operasional = Rp. 5.600.000,- - Rp. 2.450.000,= Rp. 3.150.000,E. Biaya Produksi per ekor ikan - Biaya Operasional Jumlah Ikan = Rp. 2.450.000,7.000 = Rp. 350,F. Revenue Cost (R/C) Ratio - Pendapatan Biaya Operasional = Rp. 5.600.000,Rp. 2.450.000,= 2,29 > 1 (Layak untuk dilakukan) G. Payback Period - Biaya Investasi Keuntungan Bersih = Rp. 1.500.000,3.150.000 = 0,47 tahun Jadi rata-rata pendapatan bersih perbulan sekitar Rp. 1.575.000,- /bak. Analisa usaha pembesaran ikan gabus Analisa usaha pembesaran ikan gabus di kolam dengan 1 unit kolam per siklus (7 bulan). 1. Biaya Investasi - Pembuatan kolam 1 unit 10x8x1,5 m Rp. 2.000.000,- Jumlah Investasi Rp. 2.000.000,2. Biaya Operasional a. Biaya Tetap - Bunga Investasi 20 % Rp. 400.000,- Penyusutan per tahun 10 % Rp. 200.000,Jumlah Rp 600.000,b. Biaya Variabel - Benih (5-8 cm) 2.000 ekor @ Rp. 800,Rp. 1.600.000,- Pakan 712,5 kg (FCR 2,0) @ Rp. 8.000,Rp. 5.700.000,- Kapur 25 kg @ Rp. 1.000,Rp. 25.000,- Pupuk 25 kg @ Rp. 1.000,Rp. 25.000,- Tenaga kerja @ Rp. 150.000,Rp. 1.050.000,BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 226 Jumlah Rp. 8.400.000,Total biaya operasional (a + b) Rp. 9.000.000,3. Pendapatan - Jumlah ikan 2.000 ekor dengan SR 70 % dan ukuran 250 g/ekor; - Harga jual ikan Rp. 40.000,- /kg; - Pendapatan persiklus (7 bulan) = 70 % x 2.000 x 250 g x Rp. 40.000,= Rp. 14.000.000,4. Keuntungan Bersih - Pendapatan – Total Biaya Operasional = Rp.14.000.000,- - Rp. 9.000.000,= Rp. 5.000.000,5. Biaya Produksi per kg daging ikan - Biaya Operasional Jumlah Ikan x Berat Ikan = Rp. 9.000.000,1400 x 250 g = Rp. 25.700,6. Revenue Cost Ratio (rasio R/C) - Pendapatan Biaya Operasional = Rp. 14.000.000,Rp. 9.000.000,= 1,56 > 1 (Layak untuk dilakukan) 7. Payback Period - Biaya Investasi Keuntungan Bersih = Rp. 2.000.000,Rp. 5.000.000,= 0,4 siklus (3 bulan) Jadi rata-rata pendapatan bersih perbulan sekitar Rp. 700.000,- /kolam. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Potensi dan prospek budidaya ikan gabus sangat terbuka dengan keberhasilan penerapan teknologi pembenihan dan pembesaran ikan gabus. 2. Pembenihan ikan gabus dapat dilakukan secara alami dan semi-buatan dan pembesaran ikan gabus dapat dilakukan di kolam dengan pemberian pakan buatan (pellet komersial). BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 227 3. Dari analisis usaha pembenihan ikan gabus diperoleh keuntungan sebesar Rp. 3.150.000,-/kolam/siklus dan nilai rasio R/C sebesar 2,29 sehingga usaha budidaya ikan di kolam lahan gambut layak dilakukan. 4. Dari analisis usaha pembesaran ikan gabus dikolam diperoleh keuntungan sebesar Rp. 5.000.000,-/kolam/siklus dan nilai rasio R/C sebesar 1,56 sehingga usaha budidaya ikan di kolam lahan gambut layak dilakukan. Saran 1. Perlu dilakukan penyortiran dan pengurangan padat tebar (grading) terutama pada saat awal pemeliharaan umur 1 sampai 2 bulan untuk menghindari kanibal pada ikan gabus karena ukuran yang berbeda. 2. Perlu dilakukan pembuatan pakan ikan gabus dengan pengayaan protein untuk memacu pertumbuhan ikan gabus. DAFTAR PUSTAKA Ahmad Mudjiman, 1985. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. 190 Halaman Effendi, M.I, 1978. Biologi Perikanan. Study Natural Hisory Bagian I. Fakultas Perikanan IPB, Bogor. 105 halaman. Huet, M. 1975. Tex Books Of Fish Culture. Breeding and Cultivation of Fish. Fishing New. London. 463 halaman. Kartamihardja, E.S. 2002. Pembukaan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah : Mega Proyek Pemusnahan Sumber Daya Perikanan?. Makalah Falsafah Sains (Pps 702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor. Kordi, K.M.G., 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Cetakan Pertama. Rineka Cipta dan Bina Adiaksara. Jakarta. 194 halaman. Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. Saanin, 1986. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Cetakan ke 2. Bina Cipta. Bogor. 503 Halaman Suhaili Asmawi, 1983. Pemeliharaan Ikan dalam Karamba. Gramedia, Jakarta. 82 Halaman. Tabloid KONTAN, 2012. Bisnis Gabus Terbilang Bagus. Edisi 2 – 8 Januari 2012. 40 Halaman. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 228 DAYA HAMBAT HABBATUSSAUDA (Nigella sativa) DAN PROPOLIS TERHADAP AQUABACTERIA Chairin Sofia, Sukarni, Rice Novrizah ABSTRAK Habatasauda atau jintan hitam dikenal sebagai penawar dari segala macam penyakit sejak dulu.. Selain nutrisi, habatasauda juga mengandung minyak-minyak esensial/ atsiri atau volatil yang berfungsi sebagai antibakteri, fungisida. Fitosterol, alkoloid seperti nigelleine dan nigellamin), arginin, karotin, dan zat gizi yang penting untuk meningkatkan kekebalan tubuh, bioregulator, antihistamin, dan penetral racun. Sedangkan kandungan bioflavonoid pada propolis mampu menghancurkan banyak bakteri yang resisten terhadap anti biotik sintesis. Kandungan-kandungan inilah yang menjadi menjadi dasar uji coba habbatussauda dan propolis sebagai penghambat bakteri-bakteri akuakultur (aquabacteria). Bakteri- bakteri akuakultur yang diujicobakan antara lain : V.harveyi, V.parahaemolyticus, E.coli, Salmonella, Pseudomonas dan Aeromonas yang merupakan koleksi isolat Laboratorium Mikrobiologi BPBAP Ujung Batee. Metode uji yang digunakan adalah : antibiogram Kirby Bauer dan ALT. Pada uji antibiogram, masing- masing suspensi bakteri uji dengan kepadatan sama yaitu 3 x 108 CFU/mL dioleskan secara merata pada lempengan media Mueller Hinton Agar, kemudian ditanamkan cakram habbatussauda (sediaan kapsul minyak dan ekstrak serbuk), propolis dan antibiotik sintetis ((Ampicillin 10 µg, Novobiocin 30 µg, Polymixin B 300 units). Sedangkan pada metode ALT, masing- masing isolat bakteri dibuat suspensi dengan kepadatan 3 x 107 CFU/mL, kemudian dikultur pada test tube berisi Nutrient Broth dan diberi perlakuan pemberian propolis 1%, habbatussauda 1% serta kontrol. Hasil uji antibiogram Kirby Bauer menunjukkan : seluruh isolat aquabakteria memiliki zona hambat kurang dari 10 mm atau resisten terhadap antibiotik sintetis. Sedangkan daya hambat habbatussauda sangat besar terhadap isolat Salmonella (84 mm dan 21 mm) dan Vibrio harveyi (60 mm), terhadap Vibrio parahaemolyticus termasuk kelompok sedang/ intermediate (15 mm). Daya hambat propolis sangat kecil untuk seluruh isolat yaitu antara 0 hingga 6 mm. Hasil uji metode ALT menunjukkan bahwa Total Bakteri Umum pada perlakuan propolis dan habbatassauda menurun secara nyata dibanding kontrol.Dari kedua metode diatas dapat disimpulkan bahwa habatasauda efektif menghambat Salmonella dan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 229 Vibrio harveyi , sedangkan bersama-sama propolis secara nyata dapat menurunkan kelimpahan aquabakteria patogen. Kata kunci : habbatussauda, Nigella sativa, propolis, V.harveyi, V.parahaemolyticus, E.coli, Salmonella, Pseudomonas, Aeromonas, antibiogram Kirby Bauer, ALT PENDAHULUAN Beberapa jenis bakteri patogen yang sering menginfeksi komoditas budidaya air payau antara lain : Aeromonas hydrophila ( penyebab penyakit merah atau Motil Aeromonas Septicemia, umumnya pada ikan air tawar), Pseudomonas ( penyebab penyakit Pseudomoniasis (Bacterial fin rot/ tail rot pada ikan tawar,payau dan laut), Vibrio harveyi dan Vibrio parahaemolyticus (penyebab Vibriosis pada udang ). Sedangkan Salmonella dan E.coli merupakan kelompok Enterobacter yang sering menjadi indikator lingkungan dengan sanitasi buruk. Kemunculan bakteri ini pada air media budidaya udang dan ikan mengindikasikan cara budidaya yang kurang baik sehingga memicu munculnya penyakit pada udang. Habatasauda atau jintan hitam dikenal sebagai penawar dari segala macam penyakit sejak dulu.. Selain nutrisi, habatasauda juga mengandung minyak-minyak esensial/ atsiri atau volatil yang berfungsi sebagai antibakteri, fungisida. Fitosterol, alkoloid seperti nigelleine dan nigellamin), arginin, karotin, dan zat gizi yang penting untuk meningkatkan kekebalan tubuh, bioregulator, antihistamin, dan penetral racun. Sedangkan kandungan bioflavonoid pada propolis mampu menghancurkan banyak bakteri yang resisten terhadap anti biotik sintesis Kandungan-kandungan inilah yang menjadi menjadi dasar uji coba habbatussauda dan propolis sebagai penghambat bakteri-bakteri patogen pada akuakultur (aquabacteria) Studi ini bertujuan untuk melihat daya hambat habbatussauda dan propolis terhadap terhadap beberapa bakteri patogen akuakultur seperti: Vibrio harveyi, V.parahaemolyticus, E.coli, Salmonella, Pseudomonas dan Aeromonas. Studi ini dilaksanakan pada bulan Januari - Juli Tahun 2014 di Lab Mikrobiologi BPBAP Ujung Batee. METODOLOGI Isolat Aquabacteria BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 230 Isolat bakteri Vibrio harveyi, V.parahaemolyticus, E.coli, Salmonella, Pseudomonas, Aeromonas yang digunakan dalam studi ini berasal dari koleksi isolat Laboratorium Ujung Batee. Isolat dimudakan pada media Nutrient Agar dengan pelarut NaCl fisiologis dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 28 °C. Tabel 1. Jenis- jenis aquabakteria yang digunakan No 1 Jenis Bakteri Vibrio harveyi Asal isolat Udang Pisang 2 Vibrio parahaemolyticus Udang windu 3 Aeromonas Udang Pisang 4 Pseudomonas Udang Pisang 5 E.coli Udang Pisang 6 Salmonella Udang Pisang Sifat Gram negatif, batang, pendek, berpendar, koloni kuning (Y) pada media TCBS, oksidase positif, tidak dapat tumbuh pada NaCl 0 %, reaksi VP negatif, ONPG negatif, penyebab Vibriosis pada udang Gram negatif, batang, pendek, koloni kuning (G) pada media TCBS, tidak dapat tumbuh pada NaCl 0 %, reaksi VP negatif, ONPG negatif, penyebab Vibriosis pada udang Gram negatif, batang, pendek, koloni kuning (Y) media GSP, penyebab penyakit merah atau Motil Aeromonas Septicemia, umumnya pada ikan air tawar Gram negatif, batang, pendek, koloni ungu (P) media GSP, penyebab penyakit Pseudomoniasis (Bacterial fin rot/ tail rot pada ikan tawar,payau dan laut) Gram negatif, batang, pendek, koloni hitam (B) media EMBA, Enterobacter Gram negatif, batang, pendek, tdk mfermentasikan sukrosa, menghasilkan gas H2S, Enterobacter Sebelum digunakan, masing-masing isolat dibuat suspensi dengan kepadatan 3 x 108 CFU/mL menggunakan McFarland Turbidity Standard no 1. Kirby Bauer Antibiogram BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 231 Masing- masing suspensi bakteri uji dengan kepadatan yang sama yaitu 3 x 108 CFU/mL dioleskan secara merata pada lempengan media Mueller Hinton Agar, selanjutnya pada bagian permukaan diletakkan kertas cakram / disc antibiotik yang akan diujikan, antara lain (Tabel 2) : Tabel 2. Cakram / disc yang digunakan pada uji Antibiogram Kirby Bauer No Cakram / disc Dosis Keterangan 1 Habbatussauda (kapsul minyak) 2 Habbatussauda (ekstrak serbuk) 3 Propolis 4 Ampicillin 10 g Oxoid 5 Novobiocin 30 g Unipath Limited, 6 Polymixin B 300 Besingstoke, units Hampshire, UK Kemudian diinkubasikan pada suhu 29 0C selama 24 jam. Tingkat sensitivitas ditentukan melalui pengukuran zona penghambatan yang diakibatkan oleh masing-masing antibiotik. Angka Lempeng Total Selain metode uji sensitivitas dengan Antibiogram Kirby Bauer, juga dilakukan perhitungan jumlah bakteri patogen yang dikultur tanpa perlakuan (habbatussauda/ propolis) dan dengan perlakuan. Hal ini berguna untuk melihat dampak pemberian propolis/ habbatussauda terhadap pertumbuhan atau kelimpahan bakteri patogen. Masing- masing isolat bakteri dibuat suspensi dengan kepadatan 3 x 10 7 CFU/mL, kemudian dikultur pada test tube berisi Nutrient Broth. Tube Kemudian diinkubasikan pada suhu 29 0C selama 24 jam. Dengan metode ALT, hitung masing- masing jumlah kepadatan bakteri pada setiap tube perlakuan (Tabel 3). Tabel 3. Perlakuan Isolat Aquabakteria Pada Metode ALT BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 232 No Isolat bakteri 1 2 3 Aeromonas E.coli Vibrio parahaemolyticus Pseudomonas Salmonella Vibrio harveyi 4 5 6 Jumlah Awal (CFU/mL) 3 x 107 3 x 107 3 x 107 3 x 107 3 x 107 6,66 x 109 Perlakuan Kontrol Propolis Habbatussauda - 1% 1% 1% 1% 1% 1% - 1% 1% - 1% 1% 1% HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sensitivitas Antibiogram Kirby Bauer Berikut hasil pengukuran zona hambat yang dihasilkan oleh tiap- tiap isolat terhadap 5 jenis cakram uji (Tabel 4). Tabel 4. Hasil Pengamatan Zona Hambat Aquabacteria dengan kepadatan 3 x 108 CFU/mL terhadap cakram uji Aquabacteria (mm) N Perlakua V. Aerom E.c V.parahaemo Pseudom Salmo o n harv onas oli lyticus onas nella eyi 1 Ampicilli 0 0 0 0 0 2 n 10 µg 2 Novobioc 4 3 0 9 0 3 in 30 µg 3 Polymixi n B 300 7 10 8 4 3 15 units 4 Propolis 1 1 2 0 6 5 Habbatus sauda 12 1 15 5 60 84 (kapsul minyak) 6 Habbatus sauda 14 2 15 6 21 (ekstrak serbuk) Keterangan : 1 – 11 mm = Resisten BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 233 12 – 17 mm = Intermediate > 18 mm = Sensisitive Dari Tabel 4, diketahui bahwa seluruh isolat aquabakteria memiliki zona hambat kurang dari 10 mm atau resisten terhadap antibiotik sintetis (Ampicillin 10 µg, Novobiocin 30 µg, Polymixin B 300 units). Isolat E.coli dan Pseudomonas telah resisten terhadap antibiotik sintetis, habbatussauda maupun propolis. Daya hambat propolis juga sangat kecil untuk seluruh isolat yaitu antara 0 hingga 6 mm. Sedangkan daya hambat habbatussauda sangat besar (84 mm dan 21 mm) terhadap isolat Salmonella dan Vibrio harveyi (60 mm). Daya hambat habbatussauda termasuk kelompok sedang terhadap Vibrio parahaemolyticus ( 15 mm). Gambar 2. Daya hambat habbatussauda terhadap Salmonella (kiri), antibiotik sintetis (tengah) dan propolis (kanan) Angka Lempeng Total Berikut hasil perhitungan kepadatan masing-masing isolat bakteri dengan metode ALT konvensional setelah 24 jam diberi perlakuan. Tabel 5. Hasil Pengamatan Angka Lempeng Total Yang Diberi Perlakuan Setelah 24 Jam Jumlah Jumlah Bakteri Setelah 24 jam awal (0 (CFU/mL) No Aquabacteria jam) Perlakuan dalam Kontrol Propolis Habbatussauda CFU/mL 7 1 Aeromonas 3 x 10 3 x 109 7 x 106 8,9 x 105 2 E.coli 3,17 x 2,02 x 2,38 x 109 9 9 10 10 3 Vibrio 3 x 109 6,1 x 106 3,4 x 105 parahaemolyticus 4 Pseudomonas 2,7 x 109 8 x 106 7,8 x 105 9 6 5 Salmonella 2,4 x 10 5,2 x 10 4,2 x 104 8 3 x 10 6,66 x 1,2 x 106 6 Vibrio harveyi 9 10 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 234 1,33 x 107 6 x 108 3 x 108 - Berbeda dengan hasil pada metode antibiogram Kirby Bauer, pada metode ALT konvensional, lima isolat yang diberi perlakuan pemberian propolis dan habbatussauda sebanyak 1 % mengalami jumlah penurunan kelimpahan bakteri setelah 24 jam, kecuali pada isolat E.coli yang cenderung tidak mengalami perbedaan hasil. Analisa Data Hasil perhitungan angka lempeng total diatas dibuat dalam nilai logaritma untuk memudahkan analisa statisitik (Tabel 6) Tabel 6. Logaritma Hasil Pengamatan Angka Lempeng Total Setelah 24 Jam No Aquabacteria Logaritma Logaritma setelah perlakuan 24 jam awal Kontrol Propolis Habbatussauda 1 Aeromonas 7,477 9,477 6,845 5,949 2 E.coli 7,477 9,501 9,305 9,376 3 Vibrio 7,477 9,477 6,785 5,531 parahaemolyticus 4 Pseudomonas 7,477 9,431 6,903 5,892 5 Salmonella 7,477 9,380 6,716 4,623 6 Vibrio harveyi 8, 477 9,823 6,079 Vibrio harveyi 7, 123 8,778 8,477 Dengan menggunakan analisa statistik Anova Faktor Tunggal, diketahui bahwa daya hambat propolis dan habbatussauda untuk menurunkan jumlah kelimpahan bakteri berbeda nyata dibanding kontrol (Tabel 7) Tabel 7. Analisa Statistik Anova Faktor Tunggal Analisa Kontrol Propolis Habbatussauda deskriptif (a) (b) (b) Rata-rata 9,477 6,845 5,949 9,501 9,305 9,376 9,477 6,785 5,531 9,431 6,903 5,892 9,38 6,716 4,623 9,4532 7,3108 6,2742 BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 235 SD CV - 0,048137 1% 1,116955 15% 1,813270719 29% Kesimpulan Kesimpulan dari studi daya hambat habbatussauda dan propolis terhadap aqua bakteria , yaitu : daya hambat habbatussauda sangat besar terhadap isolat Salmonella dan Vibrio harveyi, dan sedang/intermediate terhadap Vibrio parahaemolyticus Isolat E.coli dan Pseudomonas telah resisten terhadap antibiotik sintetis, habbatussauda maupun propolis seluruh isolat aquabakteria resisten terhadap antibiotik sintetis (Ampicillin 10 µg, Novobiocin 30 µg, Polymixin B 300 units) pengaruh propolis dan habbatussauda untuk menurunkan kelimpahan aquabakteria patogen berbeda secara signifikan dibanding kontrol DAFTAR PUSTAKA Aritonang, Anna H,MP. Apresiasi Diagnosis HPIK Bakteri SKI Kelas I Tabing Padang, Makalah.2005 Chong ,YC and Chao,TM. Common Diseases of Marine Foodfish. Fisheries Handbook no.2, 1986, Ministry Of National Development, Republic of Singapore Cowan, Steel‟s.1993. Manual For The Identification of Medical Bacteria. 3ed.Cambridge University Press Frerichs, G.Nicolas and Millar, Stuart D. Manual For The Isolation and Identification of Fish Bacterial Pathogens, Piscess Press,Stirling. Holt, John G. The Shorter Bergey’s Manual Of Determinative Bacteriology, 8th ed, The William and Wilkin Company, Baltimore Kelly MS, Florene C ; Hite, K.Eileen. Microbiology. 2nd ed, New York Lay, Bibiana W. Analisis Mikroba Di Laboratorium, 1994, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Lightner, Donald V,Ph.D. A Handbook of Pathology and Diagnostic Procedur For Diseases of Penaeid Shrimp. Departement of Veterinary Science, University of Arizona, Arizona,USA Sarono,Adi dkk, Deskripsi Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan Bakteri, Buku 2,1993, Pusat Karantina Pertanian,Jakarta Vandepitte,J and Verhaegen,J, et al. Basic Laboratory Prosedures In Clinical Bacteriology. 2nd ed. 2003. World Health Organization, Geneva. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 236 PROSPEK MARIKULTUR IKAN RAMBEU ACEH (Charanx sp.) Satria*1,Hamdani*, Ibnu Sahidhir*, Abidin Nur* *Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee ABSTRACT Aceh Rambeu fish (Charanx sp) is well-known as fishing sport fish. The fish often migrates to brackishwater ponds in schooling. Local fish farmers recognize the fish as fast growing, voracious and bustle eating fish. The natures make the fish appropriate for aquaculture commodities. The research was conducted to 200 aceh rambeu fish caught from brackishwater aquaculture pond in Aceh Besar. The wild fry had weight average 13,8 gr and length 9,6 cm cultured in the tank volume 200 m2. The fish was cultured for 203 days. Trash fish was fed at satiation to the fish twice time a day. Water exchange was 100% in a day. Underwater camera recording was conducted for several times to reveal fish behavior in captivated area. In the last day, fish was measured by weight and length; weight-length relationship and growth rate were analyzed. The result reveals that length growth of the fish is longer at younger age, showed by higher constant order. Accuracy of weight-length relationship is higher when the two data is united i.e. y = 0.008x3.263 with level of significance 0,998. The formula shows that length growth impacts to cubical weight growth. Average weight and length at the end of research are 704,8 gr (range 600-900 gr) and 32,1 cm; average growth rate 25% per day or 102 gr per month (30 day). Refer to fish farmer experience, in equal time, fish able to grow for more than 1 kg. Feeding with fresh trash fish could improve the fish growth. With this reference of excellence growth the fish has the potency for brackishwater aquaculture species. Keywords: Aceh rambeu fish (Charanx sp), growth, weight-length, PENDAHULUAN Ikan merupakan komoditas yang sangat disukai dan digemari oleh masyarakat. bila dilihat dari sisi pasar ikan, selain mengandung gizi yang tinggi ikan juga memiliki banyak pilihan rasa karena banyak jenisnya, dan tingginya variasi segmen harga pasar terhadap ikan mulai dari ikan tuna hingga ikan teri, wisata kuliner seafood, kolam pemancingan, restoran dan ikan asin sekalipun sangat digemari. Hal ini menyebabkan konsumsi ikan sangat tinggi di BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 237 masyarakat. Namun kondisi pasar ikan hingga saat ini hasil perikanan dari budidaya masih sangat sedikit, prosentase tertinggi masih sangat tergantung dan didominasi dari hasil perikanan tangkap (nelayan). Padahal usaha penangkapan sangat tergantung oleh musim dan hasil semakin menurun. Bila dilihat dari sisi budidaya perikanan air payau banyak area lahan tambak yang terbengkalai (idle), selain itu sebagian kondisi tambak dikelola bukan oleh pemilik asli tambak karena pada komoditas tertentu nilai bagi hasil usaha tambak rendah, padahal padat tebar tambak lebih luas dibanding kolam air tawar. Di pasaran harga pakan terus meningkat, namun harga komoditas ratarata stagnan kecuali hari dan bulan tertentu seperti maulid, imlek, dll. Sehingga disebagian masyarakat, tambak hanya menjadi penghasilan sampingan bukan utama. Oleh karena itu diperlukan komoditas alternatif yang memiliki nilai jual tidak murah dan tidak mahal tetapi terjangkau oleh daya beli masyarakat, teknologi mudah diadopsi, cepat panen, mudah dipelihara oleh pembudidaya, perputaran uang cepat, tahan terhadap penyakit dan sangat menguntungkan bila dijadikan sebuah usaha pertambakan. Ikan Rambeu Aceh (Charanx sp) merupakan ikan olahraga pancing yang terkenal dikalangan para hobiis pancing. Migrasi ikan ini dari benih hingga ukuran empat jari tangan mulai dari muara hingga ke tambak-tambak payau sering terjadi secara schooling. Petambak lokal mengenal ikan ini sebagai ikan yang tumbuh cepat, rakus, dan pemakan hiruk pikuk dalam gerombolan, mirip seperti piranha. Sifat-sifat tersebut memungkinkan bagi spesies ini untuk menjadi alternatif komoditas perikanan budidaya air payau. METODOLOGI Prosedur Pemeliharaan Pada kegiatan ini dilakukan pembesaran terhadap 200 benih ikan rambeu alam yang diambil dari tambak air payau di Aceh Besar dengan kondisi benih tidak boleh luka dan cacat. Benih diadaptasikan pada lingkungan setempatsebelumditebardanpenebarandilakukanpadapagi, sore atau malam hari. Benih ikan rambeu terlebih dahulu dilakukan pemeliharaan awal selama tujuh hari baru dilakukan penebaran benih sesuai dengan jumlah benih yang sehat (hidup). Benih yang berukuran lebih kecil dipelihara dalam jaring penampungan untuk dipacu pertumbuhan agar seragam dan kemudian dipelihara dalam bak bulat bervolume 200 m2. Pakan yangdiberikan berupa cincanganikanrucahdan diberikan dengan metode at satiation (sampai kenyang), frekuensi pemberian pakan dua kalisehari (pagi dan sore). Pemeliharaan dilakukan selama 203 hari. Pada saat kondisi air pemeliharaan mulai mengeluarkan gelembung busa yang tidak mudah pecah dipermukaan air, maka dilakukan pergantian air sebanyak 100% dari volume air di dalam bak. Selama beberapa kali dilakukan BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 238 perekaman bawah air untuk memahami tingkah laku ikan rambeu di dalam kondisi budidaya. Pada akhir kegiatan pemeliharaan ikan diukur panjang dan beratnya lalu dianalisis hubungan panjang berat dan growth rate. untuk mengetahui laju pertumbuhan dan produktifitas ikan yang dipelihara. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada awal pemeliharaan benih ikan rambeu memiliki berat awal ratarata 13,8 gr dan panjang 9,6 cm. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang ikan rambeu lebih tinggi saat muda, ditunjukkan pada nilai konstanta pangkat yang lebih besar. Akurasi hubungan panjang berat menjadi tinggi jika kedua nilai digabung yakni y = 0.008x3.263 dengan tingkat kepercayaan kurva 0,998. Formula ini menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang menyebabkan perubahan berat secara kubikal. Berat dan panjang akhir rata-rata ikan rambeu adalah 704,8 gr (kisaran 600-900 gr) dan 32,1 cm dengan tingkat pertumbuhan rata-rata adalah 25% per hari atau sekitar 102 gr per bulan (30 hari). Berdasarkan pengalaman petambak dalam waktu ini pertumbuhan bahkan dapat mencapai lebih dari 1 kg. Penggunaan ikan rucah yang lebih segar dapat memperbaiki pertumbuhannya. Gambar 1. Berat rata-rata benih tebar BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 239 Gambar 2. Pengukuran panjang ikan rambeu Gambar 3. Laju pertumbuhan ikan rambeu BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 240 KESIMPULAN Selama masa pemeliharaan tidak ditemukan penyakit pada ikan rambeu. Dilihat dari data yang diperoleh pertumbuhan mampu melebihi satu kilogram/ekor bila dipelihara selama enam bulan dengan protein pakan yang teratur. Dapat dilakukan pemanenan dengan umur pemeliharaan 3,5 bulan pada unit usaha sehingga perputaran uang lebih cepat. Dengan kecepatan pertumbuhan seperti ini, ikan rambeu sangat berpotensi dijadikan sebagai komoditas alternatif komoditas akuakultur air payau. DAFTAR PUSTAKA Afonso P, Fontes J, Morato T, Holland K.N and Santos R.S, 2008. Reproduction and Spawning of white trevally,Pseudocaranx dentex, University of the Azores, PT 9901-862 Horta, Portugal. Email: [email protected], Hawai‟i Institute of Marine Biology, University of Hawai‟i at Manoa, 46-007, Lilipuna Road,Kane‟ohe, HI 96744, USA. Scientia Marina 72(2) June 2008, 373-381, Barcelona (Spain) ISSN: 0214-8358 Amanda C. H, Jeffrey M. L, Domine L. C, I-Shiung C, Kwang T. S, 2010. Behavioral ontogeny in larvae and early juveniles of the giant trevally (Caranx ignobilis) (Pisces: Carangidae) : Sydney, New South Wales 2010, Australia. Bambang I, Zubaidi T, Hasan N, Harwanti S dan Rosniyati SPotensi Pengembangan Budidaya Ikan Kuwe, Caranx spp., Dengan Sistem Keramba Jaring Apung Radway S, 2012 Giant Trevally (Caranx ignobillis) Tagging Reveals fish Behavior Breeding Pilgrimages, life fish, project of the Hawaii Fisheries Local Action Strategy, Division of Aquatic Resources and funded by the Federal Aid in Sport Fish Restoration Program. Zakimin, Y., Juniyanto, N. M., Apprianing, S., dan Hermawan, T. 2007. Pembenihan Ikan Simba Kuning / Golden Trevally (Gnathanodon speciocus). Balai budidaya laut Batam. Direktorat Jenderal Perikan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Batam. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 241 STUDI KOMPARASI DAN DAMPAK HASIL KEPUTUSAN GUGATAN PERDATA PENCEMARAN LINGKUNGAN BUDIDAYA IKAN LAUT DI PULAU BINTAN Romi Novriadi *), Sri Agustatik, Endang Widiastuti, Hendrianto, Wibowo Hartanto ABSTRACT To support the sustainability of aquaculture production, other than control of pest and fish diseases, environmental quality is also one of the important factors that must be managed properly. Currently, the decreasing trend of marine fish environment quality is not only caused by farming activities itselves, but also can be affected by various activities, such as: industrial, mining to household activities. In this study, the object is more focused on the decision ofSupreme Courtagainsttwo communities class actiondue to irresponsible bauxite miningactivitiesinBintan Island. The purpose of this study was to investigate the factors supporting the success of a civil lawsuit in mariculture environmental pollution caused by bauxite mining activities. Data were analyzed bydirectobservationanddocuments analysisby comparingthe results oftwoclass action decisionsconducted byfish farmercommunitiesinBintan Island. The results showedthat theanalysis factor ofseawaterparametersinaccreditedlaboratoriesand complete administrative requirements during the cultivation period hasa verysignificantinfluenceon the successful of civilclass actionlawsuit. The results alsoshowthe impact ofa decrease inproductionandincrease in unemploymentdue to the declining of productionactivityatthe two sitesaffected bywatercontamination. However, theseconditionsprovidea positiveunderstandingamong the fish farmersaboutthe environmentalauditactivities that should be donebased on the referencestandardsandquality index which has the power of law in front of the court Keywords : Class action lawsuit, Environmental pollution, Bauxite, Economic losses, Aquaculture, Tiger grouper. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 242 PENDAHULUAN Industri budidaya perikanan yang terdiri atas sistem budidaya di air tawar, air payau maupun di lingkungan air laut telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Menurut data statistik dari FAO (2011), dalam kurun waktu 1970-2008, terus mengalami peningkatan hingga mencapai pertumbuhan ratarata 8,3% per tahun. Sementara kegiatan perikanan tangkap cenderung stabil bahkan mengalami penurunan akibat pola dan frekuensi tangkap yang berlebihan dan tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu, untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan ikan secara global yang terus meningkat, produksi perikanan budidaya dunia diharapkan dapat mencapai 80 Juta ton di tahun 2050 (FAO, 2011). Posisi Pulau Bintan yang strategis baik jika ditinjau dari aspek geografis maupun ekonomi serta potensi wilayah untuk kegiatan budidaya ikan yang cukup besar menjadikan wilayah ini sebagai salah satu daerah yang ditetapkan sebagai sentra produksi budidaya ikan laut di Indonesia. Namun, seiring dengan perkembangan industri budidaya, pembangunan sektor lain, seperti: sektor pertambangan yang tidak dilengkapi dengan kinerja pengelolaan lingkungan yang baik dapat menjadi faktor penghambat bagi keberlanjutan produksi perikanan budidaya. Kondisi ini dapat menjadi potensi konflik kepentingan terlebih apabila komponen kegiatan produksi sektor pertambangan tidak mampu menanggulangi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan (Fandelli, dkk., 2006). Potensi konflik juga muncul akibat lemahnya kerangka hukum yang mengatur tata ruang wilayah untuk kegiatan perikanan budidaya serta tidak konsistennya penerapan audit lingkungan sesuai dokumen AMDAL yang dapat dijadikan sebagai early warning system bagi kondisi kualitas lingkungan. Konsekuensinya, pihak pembudidaya yang sangat bergantung terhadap kesehatan dan kualitas lingkungan akan menjadi pihak yang terus dirugikan akibat cemaran limbah cair yang telah melebihi baku mutu untuk kegiatan produksi ikan budidaya. Bahkan tidak jarang cemaran limbah cair ini dapat menyebabkan tingkat kerugian ekonomi dan kematian ikan yang cukup besar bagi para pembudidaya. Sehingga langkah-langkah gugatan perdata perlu dilakukan untuk mencari penyelesaian masalah bagi beberapa komponen kegiatan pertambangan yang belum berhasil menanggulangi kerusakan lingkungan. Tujuan dari kajian ini adalah untuk melakukan analisis terhadap komponen instrumen audit yang dapat mendukung keberhasilan gugatan class action dan dampak kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan serta melakukan evaluasi terhadap metoda audit lingkungan yang dilakukan oleh para pembudidaya ikan. Fokus kajian dilakukan pada Keputusan Mahkamah BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 243 Agung No. 705 K/Pdt/2011 dan No. 1808 K/Pdt/2009. Dimana dua direktori putusan ini memberikan hasil gugatan class action yang berbeda untuk kasus kematian ikan yang sama, kerapu macan (Epinephelus fuscogutatus) oleh pencemaran limbah pertambangan yang sama, pertambangan bauksit. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam menyusun komponen audit lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan pembudidaya ikan dalam mengajukan gugatan Class action akibat cemaran limbah cair pertambangan. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan selama dua tahun, 2008 sampai dengan 2011, di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau dengan pertimbangan bahwa daerah ini memiliki potensi pencemaran lingkungan kegiatan budidaya ikan laut akibat limbah cair hasil kegiatan pertambangan bauksit. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode pengamatan dan studi dokumen. Penentuan metode ini merujuk pada penjelasan Arikunto (2010) dengan tujuan untuk mendapatkan data perbandingan yang memiliki kepercayaan tinggi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan diskusi sejarah usaha budidaya ikan di pulau Bintan. Sebagai data primer, selain teknik live in untuk mendapatkan data faktual, peneliti juga memanfaatkan data sekunder berupa dokumen ijin usaha budidaya ikan, dokumen produksi budidaya, dokumen analisa lingkungan pembudidaya dan dua direktori putusan Mahkamah Agung terhadap gugatan class action yang dilakukan oleh masyarakat pembudidaya ikan di Batu Licin dan Senggarang Pulau Bintan akibat pencemaran limbah cair bauksit. Dokumen-dokumen ini penting sebagai indikator subjektif kerugian usaha budidaya akibat cemaran limbah cair. Analisis data dilakukan berdasarkan tahapan pelaksanaan audit lingkungan yang dikemukakan oleh Fandelli, dkk., (2006) yang meliputi tiga tahap, yaitu pre audit, site audit, dan post audit. Pre audit merupakan tahapan pengumpulan data yang diperoleh melalui informasi dan bahan yang disampaikan oleh para pembudidaya ikan. Hasil pre audit kemudian diverifikasi dengan melakukan kunjungan lapangan (site audit). Pada tahapan site audit ini sangat bergantung kepada hasil wawancara dengan pembudidaya ikan yang mencakup metodologi, topik prioritas, jadwal waktu, tempat analisa dan bentuk laporan. Pada tahapan ini metodologi penelitian yang baik sangat menentukan tingkat objektivitas bukti/temuan audit yang akan tercantum dalam laporan. Seluruh hasil audit lingkungan yang berupa bukti-bukti objektif disampaikan kepada pembudidaya ikan sebagai komponen utama dalam post audit. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 244 HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan Pembangunan di Pesisir Bintan Kegiatan pembangunan di pesisir Bintan yang memanfaatkan sumberdaya alam, selain akan mempengaruhi komponen fisik tanah dan udara, juga mempengaruhi komponen air. Perubahan kualitas air sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan produksi perikanan budidaya. Oleh sebab itu, untuk menjaga kualitas lingkungan perairan, sangat penting dilakukan proses audit lingkungan dan manajemen pengelolaan lingkungan yang baik bagi setiap industri yang memiliki cemaran limbah cair yang dapat berkontribusi pada perubahan fisik komponen air (Pluta dan Trembaczowski, 2001). Sebuah kegiatan usaha yang mengeluarkan cemaran limbah cair harus selalu diamati. Hal ini sesuai dengan prinsip “Polusi tidak mengenal batas wilayah dan negara”, sehingga harus tetap waspada jika ada indikasi pencemaran di sekitar perairan. Terkait dengan hal tersebut, sektor pertambangan merupakan sektor yang wajib melaksanakan audit lingkungan sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 30 tahun 2001. Oleh karena itu, situasi yang terjadi di Pulau Bintan dapat berpotensi konflik apabila audit lingkungan tidak dilakukan secara rutin dan cemaran limbah cair berdampak negatif terhadap kesehatan lingkungan produksi budidaya perikanan di lokasi yang memiliki ruang aktivitas ekonomi yang sama (Kurniasari, dkk., 2012). Berdasarkan pengamatan pada site audit diketahui bahwa terdapat konflik pengelolaan wilayah pesisir antara pemerintah, komunitas penambang bauksit dan komunitas pembudidaya ikan kerapu. Sementara kewenangan dalam mengatur dan mengelola sumberdaya laut dan pesisir hanya dimiliki oleh Pemerintah. Konflik umumnya terjadi apabila kegiatan pengelolaan tidak diikuti oleh penegakan konsekuensi atas pelanggaran pengelolaan yang dilakukan sehingga mengakibatkan kerugian di pihak pemanfaat yang lain (Kurniasari, dkk., 2012). Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat diketahui bahwa kegiatan budidaya perikanan telah dilakukan selama dua sampai tiga generasi sementara aktivitas pertambangan beroperasi dalam waktu yang terbatas. Sehingga dapat dikatakan bahwa kasus pencemaran lingkungan yang mengakibatkan kerugian ekonomi hingga miliaran rupiah merupakan wujud kongkrit dari pemaknaan tata ruang dan wilayah yang masih bersifat abstrak. Hasil audit lingkungan Dalam kegiatan audit lingkungan, komponen atau parameter yang dianalisa dilakukan secara keseluruhan dengan mempertimbangkan parameter yang sesuai dengan cemaran limbah cair hasil kegiatan penambangan bauksit. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 245 Tabel 1. Hasil audit lingkungan di dua lokasi budidaya yang terkena dampak kegiatan pertambangan Bauksit. S atuan m g/l 1) 2) Hasil analisa Lokasi 1 (Batu Licin)1 Lokasi 2 (Senggarang)2 N Plu Al N Plu Al ikel mbum umina ikel mbum umina (Ni) (Pb) (Al) (Ni) (Pb) (Al) 0 0,7 4, 0 0.2 6, ,79 9 - 0,86 36 – 8.17 ,318 596 11 – 8.12 0,86 Jumlah sampel Batu licin = 3 sampel Jumlah sampel Senggarang = 3 sampel Berdasarkan hasil audit lingkungan dan direktori Keputusan Mahkamah Agung No. 705 K/Pdt/2011 dan No. 808 K/Pdt/2009, parameter yang menjadi conflict of interest, diketahui telah berada di atas baku mutu lingkungan yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Di lokasi Batu Licin, konsentrasi Alumina (Al) dengan kisaran 4,36 – 8,17 sudah berada diatas lethal concentration, terlebih bila berada di dalam air laut yang bertransformasi dalam bentuk ion dari bentuk padatan dan akan menyerang syaraf ikan. Tingkat infeksi saraf ini akan semakin diperparah oleh kondisi derajat keasaman (pH) yang rendah akibat limbah cair pencucian bauksit yang mengandung larutan asam. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh parameter logam Nikel (Ni) dan Plumbum (Pb) yang keduanya, 0,79 -0,86 mg/l, telah melewati baku mutu lingkungan yang mempersyaratkan konsentrasi < 0,1 mg/l untuk menjamin keberlanjutan produksi ikan budidaya. Peningkatan konsentrasi kedua logam berat terlarut dalam air tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada insang dan sistem saraf ikan (Jarup, 2003). Situasi yang sama juga ditunjukkan oleh kondisi kualitas lingkungan di lokasi dua, yakni di lokasi perairan senggarang. Konsentrasi Alumina (Al) berada pada kisaran 6.11 – 8.12 mg/l, sementara Plumbum (Pb) memiliki konsentrasi 0.2596 mg/l dan Nikel (Ni) memiliki konsentrasi 0,318 mg/l. Kondisi ini kembali menegaskan bahwa kesehatan lingkungan di kedua lokasi budidaya tidak layak untuk kegiatan produksi. Namun, kedua hasil analisa tersebut memiliki pandangan yang berbeda pada hasil direktori putusan Mahkamah Agung. Berdasarkan direktori Keputusan Mahkamah Agung No. 705 K/Pdt/2011 dan No. 808 K/Pdt/2009, diketahui bahwa hasil analisa di lokasi BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 246 perairan Senggarang lebih kuat dimata hukum dibandingkan hasil analisa di lokasi batu licin. Hal ini utamanya disebabkan oleh penilaian kualitas lingkungan yang dilakukan untuk sampel air di Senggarang di lakukan di laboratorium penguji yang telah terakreditasi KAN 17025:2005. Sementara analisa sampel yang dilakukan untuk wilayah Batu Licin dianggap dilakukan di Laboratorium yang belum terakreditasi, walaupun seluruh tahapan audit lingkungan seperti pengambilan sampel dan proses preparasi sampel telah memenuhi Standar Nasional Indonesia. Nasional Indonesia. Sistem akreditasi merupakan perangkat instrumen yang ditetapkan berdasarkan sistem birokrasi dalam negeri yang menerapkan prinsip-prinsip sistem manajemen mutu dan dapat dianggap sesuai dengan syarat hukum dan berbagai peraturan Internasional lainnya (Menteri Perdagangan RI, 1994; Suardi, 2003). Namun, saat ini di Indonesia, masih terdapat laboratorium penguji yang belum mendapatkan sertifikat akreditasi. Sehingga para pembudidaya ikan perlu mendapatkan sosialisasi yang efektif terhadap kekuatan hukum sebuah hasil analisa yang dihasilkan oleh laboratorium terakreditasi. Menurut Sukirno (1985), pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita kelompok masyarakat meningkat dalam jangka waktu yang panjang. Pembangunan yang dilakukan terkadang tidak mencerminkan rasa keadilan khususnya bagi para pembudidaya ikan yang jarang mendapatkan pendidikan tinggi. Permasalahan ekologi ini menjadi permasalahan yang cukup rumit untuk diselesaikan oleh para pelaku budidaya ikan di kawasan pesisir yang berdekatan dengan lokasi pertambangan. Penyelesaian yang dilakukan untuk mengatasi dosa-dosa ekologi ini tak jarang membutuhkan koordinasi lintas kementerian/lembaga dan lintas sektoral dan bahkan membutuhkan waktu yang cukup lama. Dalam pengajuan gugatan perdata, para pembudidaya diharapkan memiliki catatan administrasi yang lengkap, dimulai dari kepemilikan Surat Ijin Usaha Perikanan, catatan pembelian benih, pakan, sarana dan prasarana kegiatan budidaya hingga kepada catatan penggajian karyawan secara lengkap. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memperkirakan jumlah kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran limbah pertambangan. Berdasarkan direktori Keputusan Mahkamah Agung No. 705 K/Pdt/2011 dan No. 808 K/Pdt/2009, kedua lokasi budidaya yang terkena dampak cemaran limbah cair telah memiliki catatan kegiatan produksi yang cukup baik. Hal ini mendapatkan apresiasi yang sangat baik dari pihak pengadilan dan mempermudah pihak pengadilan dalam memperhitungkan tingkat kerugian yang dialami oleh para pembudidaya. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 247 Aspek Sosial Ekonomi Berdasarkan kajian pre site di lokasi budidaya ikan, dampak kegiatan penambangan bauksit pada bidang ekonomi masyarakat Batu licin dan Senggarang sangat besar. Pada umumnya masyarakat kehilangan sumber pendapatan karena lingkungan budidaya sudah tidak layak untuk mendukung keberlanjutan produksi. Jumlah kerugian materi masyarakat masyarakat Batu Licin dan Senggarang hampir mencapai 4 Milyar Rupiah. Masyarakat Batu licin memperkirakan kerugian sebesar: 1. Kerugian karena kematian ikan Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) sebanyak 27.673 ekor =22.138,4 Kg x Rp.80.000,- per ekor = Rp.1.771.072.000,2. Kerugian atas pembelian makanan ikan, perawatan dan pemeliharaan ikan yang telah dikeluarkan pembudidaya sebesar Rp.281.621.000,Sementara kerugian yang dialami oleh masyarakat Senggarang adalah sebesar: 1. Kerugian karena kematian ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) 6.300 kg x Rp. 7500 = Rp. 945.000.000 2. Kerugian atas pembelian makanan ikan, perawatan dan pemeliharaan ikan yang telah dikeluarkan pembudidaya sebesar Rp. 420.000.000,Di wilayah Batu licin dan Senggarang, jumlah pembudidaya ikan dan nelayan hampir mencapai 70%. Sebelum adanya pertambangan, kegiatan budidaya dan menangkap ikan adalah sumber utama pendapatan mereka. Saat ini, akibat buangan limbah cair, pola distribusi ikan berubah dan ikan yang berada dalam pemeliharaan memiliki investasi logam berlebihan di insang. Potensi konflik masyarakat pembudidaya dan masyarakat pertambangan akan terus berulang apabila aturan formal tentang konsep tata ruang wilayah tidak diterapkan secara maksimal (Kurniasari, dkk., 2012). Potensi konflik tersebut bahkan tidak jarang mendorong para pembudidaya melakukan gugatan class action apabila tingkat kerugian dan kematian ikan telah melebihi 70-80% dari total produksi yang mereka lakukan. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam secara bijaksana dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati harus terus diupayakan. Berdasarkan kajian post site setelah hasil putusan gugatan perdata class action dibacakan, para pembudidaya ikan baik yang berhasil ataupun tidak berhasil, tetap dituntut untuk mencari lokasi baru dengan kualitas lingkungan yang lebih baik. Bahkan tidak jarang beberapa pembudidaya meninggalkan usaha produksi ikan dikarenakan modal dan penentuan lokasi yang cukup sulit dan mahal. Kerusakan lingkungan juga berakibat kepada penurunan jumlah BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 248 produksi ikan kerapu macan dan peningkatan angka pengangguran akibat menurunnya aktivitas kegiatan produksi budidaya, khususnya di wilayah batu licin dan senggarang. Solusi lingkungan yang dapat dilakukan adalah dengan selalu melakukan evaluasi AMDAL secara rutin untuk mengetahui pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Strategi pengelolaan zona khusus untuk kegiatan perikanan budidaya juga mendesak untuk ditetapkan, khususnya di Pulau Bintan. Dengan data-data yang dihasilkan oleh kegiatan monitoring AMDAL tersebut, kebijakan yang tepat, efisien dan efektif dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut. Sangat diharapkan partisipasi dari berbagai pihak agar pengelolaan lingkungan yang membutuhkan anggaran cukup besar dapat dilakukan dengan baik. KESIMPULAN Hasil kajian ini menegaskan bahwa dalam melakukan audit lingkungan, masyarakat pembudidaya harus selalu berpatokan kepada aturan dan standar yang memiliki ketetapan hukum di muka pengadilan. Oleh karena itu, harus terus diupayakan peningkatan pemahaman dan kualitas hasil analisa audit lingkungan melalui kerjasama yang kuat antara masyarakat pembudidaya, pemerintah dan organisasi pemerhati lingkungan. Selain itu, dalam skala makro, pengelolaan sumber daya alam hendaknya dilakukan berdasarkan prinsip konservasi dan memperhatikan kondisi lingkungan serta mengacu kepada aturan tata ruang wilayah yang telah ditetapkan, sehingga keberlanjutan produksi dan angka tenaga kerja di sektor budidaya perikanan dapat terus ditingkatkan. DAFTAR PUSTAKA Anonim, Putusan No. 705 K/Pdt/2011, Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jakarta Anonim, Putusan No. 1808 K/Pdt/2009, Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jakarta Fandelli, S., Utami, R.N. dan Nurmansyah, S. (2006). Audit Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta FAO. (2011). The state of world fisheries and aquaculture 2010. FAO Fisheries and Aquaculture Department. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Jarup, L. (2003). Hazards of heavy metal contamination. British Medical Bulletin 68: 167-182. BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 249 Kurniasari, N., Satria, A. dan Rusli, S. (2012). Konflik dan Potensi Konflik Dalam Pengelolaan Sumberdaya Kerang Hijau Di kalibaru Jakarta Utara. J. Sosek KP Vol. 7 No. 2 Menteri Perdagangan. (1994). Kumpulan Tulisan Tentang International Standards Organization. Penerbit PSLH UGM, Yogyakarta Pluta, I dan Trembaczowski, A. (2001). Changes of the chemical composition of discharged coal mine water in the Rontok Pond, Upper Silesia, Poland. Environmental ecology (40): 454-457 Sukirno, S. (1985). Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta BUKU 2 - Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 250 KATA PENGANTAR Perikanan budidaya dengan segala potensi pengembangan dan sumber daya alam yang mendukung, memiliki peluang menjadi salah satu pilar dalam Ketahanan Pangan dan Gizi dan sebagai penggerak perekonomian nasional. Disamping itu, perikanan budidaya juga memiliki banyak peluang untuk menyediakan lapangan usaha dan menyerap tenaga kerja dan mampu diusahakan secara berkelanjutan. Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, segala kelebihan yang dimiliki oleh sector perikanan budidaya harus terus digali dan dikembangkan sehingga produk perikanan budidaya mampu bersaing dengan kualitas yang tinggi dan jumlah yang memenuhi kebutuhan pasar. Untuk mendukung hal tersebut, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menyelenggarakan kegiatan INDONESIAN AQUACULTURE (INDOAQUA) 2014 dengan tema “PERIKANAN BUDIDAYA UNTUK BISNIS DAN KETAHANAN PANGAN” yang telah dilaksanakan pada tanggal 26 – 29 Agustus 2014 di Hotel Atlet Century (Seminar) dan di Parkir Timur Senayan (Pameran) INDOAQUA 2014, merupakan ajang yang diharapkan mampu menjadi media komunikasi bagi pelaku perikanan budidaya melalui pengenalan hasil-hasil perekayasaan teknologi, pameran dan temu bisnis di bidang perikanan budidaya. Ada 6 (enam) kelompok seminar yang diselanggarakan selama INDOAQUA 2014, yaitu (1) Kelompok Udang, (2) Kelompok Rumput Laut, Kerapu, Baronang dan Bawal Bintang, (3) Kelompok Bandeng, Kakap, Nila dan Sidat, (4) Kelompok Ikan Hias, Mutiara dan Abalone, (5) Kelompok Catfish, Gurame, Mas dan Jelawat, (6) Kelompok Pendukung Akuakultur (Lingkungan, Pakan, Probiotik, Penyakit dan Monitoring Minapolitan). Prosiding ini berisi makalah lengkap materi seminar yang dilaksanakan selama penyelenggaraan INDOAQUA 2014. Semoga prosiding ini, dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pembudidaya dan seluruh pihak terkait dengan perikanan budidaya, sehingga mampu mendorong pengembangan perikanan budidaya yang berkelanjutan dan maju. Bogor, November 2014 Penyusun DAFTAR ISI 1. APLIKASI PENANGKAPAN BENIH DENGAN MENGGUNAKAN LAMPU LOBSTER 1 2. USAHA PEMBESARAN LOBSTER MENGGUNAKAN PAKAN ALTERNATIF DENGAN 13 3. APLIKASI EKSTRAK BIJI MANGROVE JENIS NYIRIH (Xylocarpus granatum) UNTUK MENINGKATKAN STATUS KESEHATAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) 19 4. PERFORMA REPRODUKSI INDUK UDANG GALAH (MACROBRACHIUM ROSENBERGII) DENGAN PEMBERIAN CACING TANAH (LUMBRICUS RUBELLUS) 36 5. APPLICATION OF Terminalia catappa AT THE MEDIUM OF GIANT FRESH WATER PRAWN (Macrobrachium rosenbergii De Man) LARVAE REARING FOR INCREASING SEED PRODUCTION 44 6. THE BROODSTOCK IMPROVEMENT OF GIANT FRESHWATER PRAWN FOR INCREASING OF SEED PRODUCTION 61 7. SUBSTITUTE APPLICATION OF JABIR AS ARTIFICIAL FEED MATERIAL FOR TIGER SHRIMP (Penaeus monodon.Fabr) NURSERY 81 8. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TAMBAK TRADISIONAL BERBASIS INDUSTRIALISASI PERIKANAN 96 10. AKSELERASI PRODUKSI VANNAMEI DENGAN SISTEM PANEN CEPAT MEMANFAATKAN HSRT IDLE SEBAGAI SEGMENTASI PRODUKSI 110 11. REVITALISASI TAMBAK UDANG WINDU (PENAEUS MONODON) DI ACEH MELALUI DISEMINASI PENTOKOLAN MULTI PONDS DAN SINGLE POND 122 12. PERFORMA REPRODUKSI UDANG PISANG (Penaeus sp) 132 13. KAJIAN AWAL PRODUKTIVITAS BUDIDAYA UDANG PISANG (Penaeus sp) SISTEM INTENSIF 145 14. KELANGSUNGAN HIDUP POST LARVA UDANG PISANG NAIK HAMPIR DUA KALI LIPAT DIBANDING KONTROL DENGAN PROBIOTIK FERMENTATIF 153 15. DISEMINASI SISTEM PENTOKOLAN TERPADU DALAM MENGOPTIMALKAN BUDIDAYA UDANG VANNAME PADA TAMBAK DI KABUPATEN MAROS PROPINSI SULAWESI SELATAN 163 16. KELANGSUNGAN HIDUP POST LARVA UDANG PISANG MENINGKAT STABIL MENGIKUTI NAIKNYA DOSIS VITAMIN C LEVEL RENDAH 174 17. APLIKASI BIOFILTER CAULERPA SP PRODUKSI UDANG WINDU DI TAMBAK PADA 186 18. SEX RATIO EFFECT OF MANDARIN (Synchiropus splendidus ) QUALITY OF EGGS FISH 193 19. PENERAPAN VAKSIN DNA GLIKOPROTEIN-KOI HERPES VIRUS (Gp-KHV) PADA BENIH CALON INDUK DAN BENIH SEBAR KOI 203 20. TEKNIK INKUBASI LARVA IKAN HIAS RWANAHIJAU (Scleropages macrocephalus) FASE KUNING TELUR SECARA IN VITRODENGAN SISTEM HEMAT AIR 219 21 PENGELOLAAN CALON INDUK IKAN HIAS BOTIA(Chromobotia macracanthus, Bleeker, 1852) DI KOLAM TERKONTROL 226 22. APLIKASI PAKAN BUATAN PADA USAHA PENDEDERAN ABALONE (Haliotis squamata) 237 23. PEMANFAATAN TELUR IKAN KERAPU INFERTIL PADA PEMBESARAN IKAN HIAS LAUT 247 24. KELAYAKAN USAHA PEMBESARAN ABALONE Haliotis squamata DI KARAMBA JARING APUNG 256 25. NEMO FISH PRODUCTION OF HYBRID VARIETY OF BLACK PHOTON HOUSEHOLD SCALE 263 26. USAHA BUDIDAYA ABALON (Haliotis squamata) SISTEM KERANJANG DASAR DI AREAL PASANG SURUT 270 27. USE OF RABBIT SEAS (Dolabella auricularia) ENLARGEMENT OF FISH NEMO (Amphyprion sp) IN FLOATING NET CAGES 279 28. REPRODUCTION PERFORMANCE OF WILD AND CULTIVATED BROODSTOCK OF PEARL OYSTER (Pinctada maxima) 285 29. PRODUKSI BENIH IKAN HIAS BANGGAI CARDINALFISH (Pterapogon kauderni) DI KERAMBA JARING APUNG (KJA) 294 30. SEGMENTASI USAHA PENDEDERAN TIRAM MUTIARA (Pinctada maxima) DI LOMBOK, NTB. 301 31 POLIKULTUR ABALONE (Haliotis sp) DAN IKAN HIAS CLOWNFISH (Amphiprion sp.) SECARA TERKONTROL DALAM MENINGKATKAN EFISIENSI WADAH BUDIDAYA 307 32. PEMBIAKAN ANEMON SECARA VEGETATIF DENGAN METODE FRAGMENTASI SEBAGAI ALTERNATIF USAHA IKAN HIAS 313 33.. ANCAMAN PENYAKIT PARASITIK PADA IKAN HIAS CAPUNGAN BANGGAI (Pterapogon kauderni) DI BANGGAI KEPULAUAN 318 34. POTENSI PENGEMBANGAN BUDIDAYA KUDA LAUT (Hyppocampus kuda) DI KEPULAUAN RIAU 327 35. UPAYA MEMACU KOMSUMSI PAKAN PADA BENIH ABALONE (HALIOTIS ASININA) DENGAN PEMBERIAN EKSTRAK TUMBUHAN 333 APLIKASI PENANGKAPAN BENIH LOBSTER DENGAN MENGGUNAKAN LAMPU Samsul Bahrawi, Ujang Komarudin AK, Andre Arfiyanto Balai Perikanan Budidaya Laut Lombok Jl. Jend. Sudirman No.21 Po.Box 128 Praya, Lombok Tengah NTB ABSTRAK Penangkapan benih lobster dengan menggunakan lampu sudah lama dilakukan oleh para penangkap benih lobster di Vietnam. Berdasarkan data sensus di Vietnam selama 6 musim. Pada tahun 2005-2011, total benih lobster yang tertangkap berjumlah 11.329.724 untuk jenis lobster mutiara dan 4.609.612 untuk jenis lobster pasir. Jumlah tangkapan tersebut sangatlah berbeda jauh dengan hasil tangkapan benih lobster di Indonesia, khususnya di pulau Lombok yang berjumlah 696.545 ekor per tahun. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui efek penggunaan lampu terhadap jumlah hasil tangkapan benih lobster di perairan Teluk Awang, Lombok Tengah. Kegiatan perekayasaan ini dirancang dengan menggunakan 4 buah lampu (@ 42 watt) untuk 1 unit KJA, dimana sumber energinya menggunakan generator kapasitas 1.500 watt. Jumlah responden yang menggunakan lampu 33 orang dan yang tidak menggunakan lampu 33 orang. Percobaan berlangsung pada bulan Juni – September 2013, di perairan Teluk Awang, Lombok Tengah. Hasil percobaan menunjukkan adanya peningkatan jumlah hasil tangkapan sebesar 31% dengan menggunakan lampu. Total jumlah tangkapan benih dengan menggunakan lampu adalah 257.661 ekor dan yang tidak menggunakan lampu berjumlah 177.438 ekor. KATA KUNCI : lobster, benih alam, penangkapan, lampu BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 1 PENDAHULUAN Kegiatan budidaya lobster di Indonesia khususnya di Propinsi Nusa Tenggara Barat telah berkembang seiring ditemukannya benih lobster pada tahun 2000. Awalnya benih lobster ini ditemukan secara tidak sengaja pada long line rumput laut oleh para pembudidaya rumput laut. Sejak mulai diketahui bahwa benih lobster yang tertangkap memiliki pasar dan bisa dibudidayakan sampai mecapai ukuran konsumsi, maka semakin bertambah masyarakat pesisir yang menjadi penangkap benih lobster. Sampai saat ini, dilaporkan bahwa sumber benih lobster alam terbanyak hanya ditemukan di beberapa teluk di Pulau Lombok, diantaranya Teluk Awang, Teluk Bumbang dan Teluk Gerupuk. Benih-benih lobster yang ditangkap umumnya berukuran 2-3 cm, terdiri dari lobster pasir (Panulirus homarus) dan lobster mutiara (Panulirus ornatus). Pada umumnya para pengumpul benih menggunakan teknik pasif dalam menangkap benih lobster, yaitu dengan menggantungkan sebanyak mungkin shelter/ perangkap dibawah Keramba Jaring Apung (KJA) sampai dengan kedalaman tertentu. Tiap daerah penangkapan benih menggunakan material shelter yang berbeda, misalnya di Teluk Awang menggunakan kertas semen dan di Teluk Bumbang dan Teluk Gerupuk menggunakan potongan karung beras. Berdasarkan hasil sensus benih lobster yang dilakukan ACIAR di beberapa lokasi seperti Dusun Awang, Kelongkong, Bumbang I, Bumbang II dan Gerupuk selama tahun 2012, total benih lobster yang tertangkap berjumlah 696.545 ekor. Untuk memenuhi permintaan benih lobster yang terus meningkat tiap tahunnya, maka dipandang perlu untuk melakukan perbaikan metode penangkapan, salah satunya adalah dengan menggunakan lampu. Penangkapan benih lobster dengan menggunakan lampu sudah dilakukan oleh para penangkap benih lobster di Vietnam. Berdasarkan data sensus di Vietnam selama, 6 musim penangkapan yang berlangsung pada 20052011, total benih lobster yang tertangkap berjumlah 11.329.724 ekor lobster mutiara dan 4.609.612 ekor lobster pasir. Dengan perbedaan jumlah tangkapan tersebut, maka sangat perlu dilakukan percobaan untuk mengkaji pengaruh penggunaan lampu terhadap hasil tangkapan benih lobster alam di perairan Pulau Lombok. Mengkaji efektivitas penggunaan lampu terhadap peningkatan jumlah hasil tangkapan benih lobster alam di perairan Teluk Awang. Diperoleh satu informasi teknologi penangkapan benih lobster alam yang dapat diadopsi oleh masyarakat. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 2 BAHAN DAN METODE Kegiatan perekayasaan ini dilakukan pada bulan Juni – September 2013 di perairan Teluk Awang.Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut:Keramba Jaring Apung (KJA) sederhana sebanyak 66 unit, Perangkap yang terbuat dari kertas semen, Perahu untuk mengecek jumlah tangkapan benih lobster setiap pagi hari, Lampu 42 watt sebanyak 4 buah untuk tiap KJA, Generator kapasitas 1.500 watt, Kabel, Fitting lampu, Isolasi. Pemasangan Lampu pada KJA penangkap benih lobster Pemasangan lampu dilakukan pada 33 unit KJA milik masyarakat dengan langkah-langkah sebagai berikut:Pemasangan tiang-tiang pada tiap sudut KJA sebanyak 4 buah, Pemasangan instalasi lampu sebanyak 4 buah pada tiap KJA, Menghubungkan semua lampu dengan sumber tenaga yaitu generator, Menyalakan generator Pengumpulan data Pengumpulan datadilakukan dengan mencatat hasil tangkapan 33 orang pengumpul benih yang menggunakan lampu dan 33 orang pengumpul benih yang tidak menggunakan lampu. Pengumpulan data dilakukan satu kali seminggu untuk mengetahui jumlah tangkapan selama periode 1 minggu. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan pada bulan Juni – September 2013 terhadap 66 responden (33 orang menggunakan lampu dan 33 orang tidak menggunakan lampu) diperoleh informasi sebagaimana tercantum pada tabel 1. Tabel 1. Hasil tangkapan benih lobster alam dengan menggunakan lampu pada periode Juni – September 2013 di Teluk Awang, Lombok Tengah. Bulan Responde Total Juni Juli Agustu Septembe n s r 1 5.331 3.347 866 1.098 10.642 2 4.354 2.902 745 1.144 9.145 3 4.111 2.979 808 1.051 8.949 4 4.564 2.539 709 923 8.735 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 3 5 4.571 2.880 697 917 9.065 6 4.145 2.616 735 894 8.390 7 4.476 2.723 710 1.025 8,934 8 1.944 1.616 443 953 4.956 9 2.931 3.113 550 1.062 7.656 10 3.125 3.051 482 927 7.585 11 3.095 3.337 845 754 8.031 12 13 3.184 3.068 3.105 3.272 742 661 787 696 7.818 7.697 14 3.117 3.292 1.558 968 8.935 15 2.927 2.843 733 815 7.318 3.581 3.681 3.386 2.997 3.010 2.348 2.815 2.801 2.517 2.466 6.227 2.479 2.095 2.718 2.709 2.503 2.285 1.766 107.327 3.188 2.858 2.985 3.092 2.964 2.946 2.910 2.835 2.299 4.469 5.447 3.188 2.208 2.953 2.633 2.612 2.460 2.120 97.782 805 661 818 693 695 759 696 497 583 749 912 741 883 668 697 546 558 527 23.772 940 896 851 944 857 713 940 694 830 1.012 908 748 632 705 1.049 833 657 557 28.780 8.514 8.096 8.040 7.726 7.526 6.766 7.361 6.827 6.229 8.696 13.494 7.156 5.818 7.044 7.088 6.494 5.960 4.970 257.661 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 Total Berdasarkan Tabel 1, selama periode bulan Juni – September 2013 jumlah benih yang tertangkap dengan menggunakan lampu adalah 257.661 ekor benih. Dimana, terlihat bahwa terdapat perbedaan jumlah tangkapan untuk tiap bulannya dimana berdasakan data yang dikumpulkan dari 33 responden musim puncak tangkapan terjadi pada bulan Juni 2013 dengan total tangkapan BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 4 benih 107.327 ekor, selanjutnya bulan Juli dengan total tangkapan benih 97.782 ekor, bulan September 2013 dengan total tangkapan benih 28.780 ekor dan jumlah tangkapan terkecil terjadi pada bulan Agustus 2013 dengan total tangkapan benih 23.772 ekor, seperti tertera pada Jumlah Tangkapan 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 Juni 2,000 1,000 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 Pengumpul Benih Gambar 1, 2, 3 dan 4. Gambar 1.Grafik jumlah tangkapan benih lobster dengan menggunakan lampu selama bulan Juni 2013 Jumlah Tangkapan 6,000 5,000 4,000 3,000 Juli 2,000 1,000 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 Pengumpul Benih Gambar 2. Grafik jumlah tangkapan benih lobster dengan BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 5 menggunakan lampu selama bulan Juli 2013 Jumlah Tangkapan 2,000 1,500 1,000 Agustus 500 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 Pengumpul Benih Jumlah Tangkapan Gambar 3. Grafik jumlah tangkapan benih lobster dengan menggunakan lampu selama bulan Agustus 2013 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 - September 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 Pengumpul Benih Gambar 4. Grafik jumlah tangkapan benih lobster dengan menggunakan lampu selama bulanSeptember 2013 Perbedaan jumlah hasil tangkapan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya musim dan lokasi penempatan alat. Menurut Kulmiye dan Mavuti, 2004, Lobster pasir sangat mirip dengan cray-fish. Hidup di batuan dasar laut, biasanya ditemukan bersama organisme pasir lainnya yang juga hidup pada batuan dasar laut. Habitat alami lobster pasir adalah kawasan terumbu karang di BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 6 perairan yang dangkal hingga 100 m di bawah permukaan laut. Habitat yang paling disukai adalah perairan dengan dasar pasir berkarang yang ditumbuhi rumput laut. Habitat ini disukai lobster pasir yang masih muda pada perairan karang dengan kedalaman berkisar antara 0,3-0,5 m (Kanna, 2006). Hasil dari 33 responden lainnya yang menangkap benih tanpa menggunakan lampu tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil tangkapan benih lobster alam dengan tidak menggunakan lampu pada periode Juni – September 2013 di Teluk Awang, Lombok Tengah. Bulan Responden Total Juni Juli Agustus September 34 1.918 2.229 455 566 5.168 35 1.717 2.277 618 618 5.230 36 1.857 1.810 535 465 4.667 37 1.867 1.597 422 527 4.413 38 2.987 2.504 512 720 6.723 39 2.873 2.292 514 530 6.209 40 1.892 2.201 525 449 5.067 41 1.660 2.163 517 525 4.865 42 2.360 2.388 515 499 5.762 43 1.710 2.501 499 450 5.160 44 2.106 2.746 536 1.855 7.243 45 1.859 2.090 492 427 4.868 46 1.981 2.339 511 442 5.273 47 1.841 1.938 498 668 4.945 48 2.772 1.817 518 517 5.624 49 2.603 2.088 525 542 5.758 50 2.331 2.336 441 547 5.655 51 1.933 1.850 452 439 4.674 52 2.069 2.028 439 430 4.966 53 2.188 2.068 532 435 5.223 54 2.354 1.825 462 511 5.152 55 1.891 2.049 490 562 4.992 56 1.937 2.001 550 622 5.110 57 2.472 2.255 543 519 5.789 58 2.116 2.003 441 456 5.016 59 2.368 2.023 529 534 5.454 60 3.032 2.819 701 477 7.029 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 7 61 62 63 64 65 66 Total 1.775 1.937 2.107 3.221 1.584 1.736 71.054 2.020 1.900 2.250 1.999 2.507 2.234 71.147 441 466 424 656 404 540 16.703 508 570 583 533 528 480 18.534 4.744 4.873 5.364 6.409 5.023 4.990 177.438 Dari Tabel 2. diatas dapat dilihat bahwa total jumlah tangkapan benih lobster dari 33 responden yang tidak menggunakan lampu selama bulan Juni – September adalah 177.438 ekor. Fluktuasi tangkapan benih lobster dari 33 responden yang tidak menggunakan lampu berbeda dengan yang menggunakan lampu dimana musim puncak tangkapan pengumpul benih yang tidak menggunakan lampu terjadi pada bulan Juli 2013 dengan total tangkapan benih 71.147 ekor, selanjutnya bulan Juni dengan total tangkapan benih 71.054 ekor, bulan Agustus 2013 dengan total tangkapan benih 16.703 ekor dan jumlah tangkapan terkecil terjadi pada bulan September 2013 dengan total tangkapan benih 18.534 ekor (Gambar 5, 6, 7 dan 8). Jumlah Tangkapan 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 Juni 1,000 500 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66 Pengumpul Benih Gambar 5.Grafik tangkapan benih lobster dari 33 orang koresponden yang tidak menggunakan lampu selama bulan Juni 2013 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 8 Jumlah Tangkapan 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 - Juli 3436384042444648505254565860626466 Pengumpul Benih Jumlah Tangkapan Gambar 6. Grafik tangkapan benih lobster dari33 orang koresponden yang tidak menggunakan lampu selama bulan Juli 2013 800 700 600 500 400 300 200 100 - Agustus 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66 Pengumpul Benih Gambar 7. Grafik tangkapan benih lobster dari 33 orang koresponden yang tidak menggunakan lampu selama bulan Agustus 2013 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 9 Jumlah Tangkapan 2,000 1,500 1,000 September 500 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 Pengumpul Benih Gambar 8. Grafik tangkapan benih lobster dari 33 orang koresponden yang tidak menggunakan lampu selama bulan Agustus 2013 Dari Tabel 1 dan Tabel 2 diatas terlihat jelas bahwa terdapat perbedaan jumlah tangkapan benih lobster antara menggunakan lampu dan yang tidak menggunakan lampu. Selama kegiatan percobaan berlangsung dari bulan Juni– September 2013 jumlah benih tertangkap dengan menggunakan lampu adalah 257.661 ekor, sedangkan jumlah tangkapan yang tidak menggunakan lampu 177.438 ekor. Hal ini berarti jumlah tangkapan benih lobster meningkat sekitar 31% dengan menggunakan lampu. Hal ini tentunya dapat meningkatkan pendapatan para pengumpul benih dimana benih lobster dapat dijual dengan kisaran harga Rp.6000 – Rp. 12.000. Terdapat 2 spesies lobster yang umumnya ditangkap oleh para pengumpul benih yaitu lobster pasir (Panulirus homarus) dan lobster mutiara (Panulirus ornatus) dengan kisaran panjang umumnya 2-3 cm dan juga stadia yang berbeda mulai dari puerulus sampai dengan post puerulus seperti pada gambar dibawah ini. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 10 Gambar 9. Post Puerulus lobster mutiara (kiri) dan lobster pasir (kanan) Gambar 10. Puerulus lobster pasir BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 11 KESIMPULAN Penggunaan lampu pada penangkapan benih lobster akan memberikan hasil terbaik dimana terjadi peningkatan jumlah tangkapan sebesar 31% jika dibandingkan dengan tidak menggunakan lampu, di Teluk Awang selama bulan Juni – September jumlah tangkapan benih lobster dengan menggunakan lampu sebesar 257.661 ekor, sementara yang tidak menggunakan lampu 177.438 ekor, Terdapat 2 jenis lobster yang tertangkap yaitu dominan dari jenis lobster pasir (Panulirus homarus) dan lobster mutiara (Panulirus ornatus). Sebaiknya digunakan lampu 42 watt pada malam hari untuk meningkatkan hasil tangkapan benih lobster; Perlu kajian lanjutan mengenai efek penggunaan lampu pada penangkapan benih lobster di daerah sumber benih lainnya, sehingga tingkat kefektifitasan penggunaan lampu akan lebih teruji; DAFTAR PUSTAKA Kanna, I., 2006. Lobster Penangkapan, Pembenihan, Pembesaran Seri Budidaya. Kanisius. Jogjakarta. Kulmiye, A., J., dan K., M., Mavuti. 2004. Growth and Moulting of Captive Panulirus homarus in Kenya, Western Indian Korean. Internasional Converence and Workshop on Lobster Biology and Management. Hobart, Australia. Leaflet Balai Budidaya Laut Lombok, 2012. Budidaya Lobster. Petunjuk Teknis Balai Budidaya Laut Lombok, 2012. Budidaya Lobster (Panulirus sp.) BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 12 USAHA PEMBESARAN LOBSTER DENGANMENGGUNAKAN PAKAN ALTERNATIF Dony Prastowo, Aprisanto DL, M. Imron. Balai Perikanan Budidaya Laut Lombok Jl. Jend. Sudirman No.21 Po.Box 128 Praya, Lombok Tengah NTB ABSTRACT Although lobster's seed collecting is a new activity at Lombok, but the market demand for this commodity is so high, even for domestic or foreign market. Besides, lobster's seed collecting that progressively extends will open opportunity for grow out activity. Constraint on this industry is limited or unstable on fresh fish/trash fish availability. And snail has a good nutrition content that can be used as feed. The objective of this activity is to find growth rate and survival rate on lobster (Panulirus homarus) culture use alternatively feed which is snail. On this activity use 9 baskets as culture container where the density on every basket is 10 lobsters, with feed composition are trash fish, snail, and combination trash fish with snail. Result of this activity is as follows, the best relative growth rate is fed by trash fish mixed with snail (89,573%), trash fish (86,287%), and snail (84,016%). The best daily growth rate is fed by trash fish mixed with snail (0,276% / days), trash fish (0,255% / days) and snail (0,245% / days). Meanwhile the survival rate on trash fish with snail (63,33%), trash fish (66,67%) and snail (73,33%). Keywords : Lobster, grow out, alternative feed, golden snail. PENDAHULUAN Permintaan pasar komoditas lobster mengalami peningkatan setiap tahun baik untuk ekspor ataupun konsumsi dalam negeri sendiri dengan nilai jual cukup tinggi. Tingginya nilai jual berakibat pada peningkatan usaha penangkapan di alam tanpa memperhatikan kelestariannya. Oleh karena itu diperlukan adanya upaya mempertahankannya serta memenuhi kebutuhan pasar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui kegiatan budidaya. Kendala dalam usaha budidaya lobster adalah pertumbuhannya yang lambat, dan tingkat kanibalisme yang tinggi pada saat pergantian kulit (Aslianti et al., 2004). BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 13 Kebutuhan pakan diperlukan mulai dari usia pembibitan sampai siap jual tak lepas dari masalah makanan, jadi diperlukan adanya solusi adanya pakan alternatif yang bisa menekan biaya pakan untuk meningkatkan hasil dari panen. Salah satu alternatif pakan yang melimpah adalah keong mas, dikarenakan keong mas (Pomacea canaliculata) menjadi hama persawahan yang merusak kawasan pertanian setiap tahun dan cukup sulit dibasmi karena tingkat survivalnya tinggi hewan ini bisa menjadi alternatif pakan tambahan untuk budidaya lobster karena memiliki sifat kelimpahanya yang tinggi dan murah namun memiliki kandungan protein dan nutrisi yang baik (Lingga dan Kurniawan, 2013). Hal inilah yang mendasari untuk dilakukannya kegiatan perekayasaan pembesaran lobster menggunakan pakan alternatif yaitu keong mas. Perekayasaan ini bertujuan untuk mengetahui prospek pengunaan keong mas sebagai pakan alternatif pada pembesaran lobster di karamba jaring apung. BAHAN DAN METODE Benih lobster yang digunakan berasal dari hasil tangkapan alam dari perairan teluk Gerupuk. Benih-benih lobster yang akan disampling terlebih dahulu ditampung kemudian dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat lobster yang akan ditebar pada wadah yang telah disiapkan. Benih yang sebelumnya telah ditimbang selanjutnya ditebar pada tiap wadah keranjang bulat yang telah disiapkan. Pada kegiatan ini wadah yang digunakan berjumlah 9 keranjang dimana pada tiap keranjang jumlah benih yang ditebar berjumlah 10 ekor dengan berat ± 20 gram. Kegiatan perekayasaan ini dilakukan dari Bulan Maret – Juni 2014 di Balai Budidaya Laut Lombok. Hewan uji yang digunakan adalah Lobster pasir (Panulirus Homarus). Pada kegiatan ini menggunakan 3 perlakuan dengan 3 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah perlakuan A menggunakan pakan ikan rucah, perlakuan B menggunakan pakan keong, dan perlakuan C menggunakan pakan campuran ikan rucah dengan keong. Pemberian pakan dilakukan pada pagi dan sore hari dengan dosis 12 % dari biomass. Kegiatan sampling dilakukan untuk mengetahui penambahan berat lobster dan juga tingkat kelangsungan hidup lobster. Sampling secara rutin setiap 14 hari sekali. Lobster-lobster pada tiap wadah ditimbang satu per satu dan dilakukan penghitungan jumlah lobster. HASIL DAN PEMBAHASAN Kelulushidupan BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 14 Nilai kelulushidupan lobster pasir (P. homarus) selama kegiatan dapat dilihat pada Gambar 1. 76.00 74.00 72.00 70.00 68.00 66.00 64.00 62.00 60.00 58.00 A B C Gambar 1. Histogram Kelulushidupan Losbter Pasir (P.homarus) Gambar 1 merupakan histogram kelulushidupan lobster pasir pada perlakuan A (pakan rucah), B (pakan keong), dan C (pakan rucah + keong). Nilai kelulushidupan pada perlakuan A, B, dan C secara berturut-turut adalah perlakuan A sebesar 66,67%, perlakuan B sebesar 73,33%, dan perlakuan C sebesar 63,33%. Kematian terbesar benih lobster disebabkan adanya kanibalisme saat moulting dan gagal ganti kulit. Umumnya kanibalisme terjadi pada malam hari, kebanyakan mortalitas terjadi dikarenakan lobster yang sedang mengalami moulting cenderung rentan dan lemahnya perlindungan diri sehingga mudah untuk dimangsa oleh lobster lain yang tidak mengalami moulting. Lobster yang mengalami moulting memiliki kecenderungan untuk memisahkan diri dari lobster lainnya dengan cara bersembunyi pada tempat persembunyian atau shelter. Menurut Mujiman dan Suyanto (1989), udang memiliki sifat kanibalisme, yaitu sifat suka memangsa jenisnya sendiri. Sifat ini sering timbul pada udang sehat dan tidak sedang ganti kulit (moulting). Sasarannya adalah lobster-lobster yang sedang ganti kulit atau pada saat moulting. Menurut Chittleborough (1974), Shelter melindungi dari predasi, terutama selama moulting saat lobster dalam keadaan yang lemah. Lobster paling rentan akan kanibalisme ketika proses moulting, yang biasanya terjadi setiap 1 atau 2 minggu sekali. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa shelter memiliki manfaat positif terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan lobster. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 15 Laju Pertumbuhan Harian Nilai laju pertumbuhan harian lobster pasir (P. homarus) selama kegiatan dapat dilihat pada Gambar 2. 0.280 0.270 0.260 0.250 0.240 0.230 0.220 A B C Gambar 2. Histogram Laju Pertumbuhan Harian Losbter Pasir (P. homarus) Gambar 2 merupakan histogram laju pertumbuhan harian pada lobster perlakuan A (pakan rucah), B (pakan keong), dan C (pakan rucah + keong). Nilai laju pertumbuhan harian pada perlakuan A, B, dan C secara berturut-turut adalah perlakuan A sebesar 0,255%/hari, perlakuan B sebesar 0,245%/hari, dan perlakuan C sebesar 0,276%/hari. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 16 Pertumbuhan Relatif Nilai pertumbuhan relative lobster pasir (P. homarus) selama kegiatan dapat dilihat pada Gambar 3. 90 88 86 84 82 80 A B C Gambar 3. Histogram Pertumbuhan Relatif Losbter Pasir (P. homarus) Gambar 3 merupakan histogram pertumbuhan relatif lobster pada lobster perlakuan A (pakan rucah), B (pakan keong), dan C (pakan rucah + keong). Nilai laju pertumbuhan harian pada perlakuan A, B, dan C secara berturut-turut adalah perlakuan A sebesar 86,287%, perlakuan B sebesar 84,016%, dan perlakuan C sebesar 89,573%. Hasil kerekayasaan didapatkan bahwa pertumbuhan relatif dan laju pertumbuhan harian tertinggi adalah pada perlakuan C (pakan rucah + keong) yaitu laju pertumbuhan harian sebesar 0,276%/hari, dan pertumbuhan relatif 89,573%. Hasil terendah pada perlakuan B (pakan keong) dengan laju pertumbuhan harian sebesar 0,245%/hari, dan pertumbuhan relatif 84,016%. Dari hasil diatas dimungkinkan perlakuan C (pakan rucah + keong) memiliki variasi kandungan nutrisi yang lebih baik dari pada perlakuan lainnya. Pakan yang baik adalah pakan dengan kandungan zat-zat gizi yang dibutuhkan lobster, seperti protein, lemak, mineral, dan vitamin. Pakan memegang peranan penting untuk pertumbuhan dan perkembangan lobster. Pemberian pakan dengan jenis, jumlah, dan frekuensi yang tepat diharapkan lobster akan tumbuh cepat dalam kondisi sehat, kuat dan terbebas dari serangan penyakit (Wiyanto dan Hartono, 2003). Pemberian pakan berupa ikan rucah saat ini belum ideal dan kemungkinan terjadi kekurangn nutrisi,seperti dibuktikan oleh pigmentasi pigmentasi pucat pada lobster dewasa. Mungkin perlu ada penambahan spesies moluska dan krustacea sebagai pelengkap ikan rucah yang saat ini digunakan (Suastika, 2008). BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 17 Daftar Pustaka Aslianti, T., B. Slamet, 2004. Budidaya Lobster (Panulirus sp) di Teluk Ekas dengan Sistem Budidaya Berbeda. Prosiding Seminar Hasil Pertanian, Perikanan, dan Kelautan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta Chittleborough R.G. 1974. Review of prospects for rearing rock lobster. Australian Fisheries 33, 4–8. Lingga, N, dan kurniawan, N. 2013. Pengaruh Pemberian Variasi Makanan Terhadap Pertumbuhan Ikan Lele. (Clarias gariepinus).Fakultas MIPA. Universitas Brawijaya Mujiman, A dan Suyanto, R. R. 1989. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya. Jakarta. 93 hal. Nainggolan, D. A. 2010. Teknik Budidaya dan Analisa Finansial Pembesaran Lobster (Panulirus sp) pada Keramba Jaring Apung di Balai Budidaya laut Lombok Stasiun Sekotong, Nusa Tenggara Barat. Sekolah tinggi Perikanan press. Jakarta. 86 hal. Wiyanto H, dan Hartono R. 2003. Lobster Air Tawar : Pembenihan dan Pembesaran. Penebar Swadaya. 78 hal. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 18 APLIKASI EKSTRAK BIJI MANGROVE JENIS NYIRIH (Xylocarpus granatum)UNTUK MENINGKATKAN STATUS KESEHATAN UDANG VANNAMEI(Litopenaeus vannamei) Subhan Riza1, Tb Haeru Rahayu2, Niken Dharmayanti3 ABSTRACT The modulation on nonspesific immune response, growth and diseaseresistance of Litopenaeus vannamei againstwhite spot syndrom virus(WSSV) was aimed on this study. The efficacy of seed extract Xylocarpus granatum in enhancing nonspecific immune response, disease resistance and growth of L.vannamei was investigated. Shrimp juveniles (mean weight 5.0±0.5 g) were feed commercial pellet previously supplemented with seed extract X. granatum with five different doses (A:0, B:0,5, C:1,0, D:1,5, E:2,0 g kg -1 feed for 4 weeks rearing), each with three replication. Both of stages had positive and negative control, and done in complete randomized design where the performance based on dynamic of immunity and shrimp growth were measured during rearing, while survival rate, clinical signs and histophatology were observed after challenged. Shrimps were feed three times a day for four consecutive weeks at a feeding rate of 2% of body weight day-1. Challenge test was performed by mean feeding the shrimp with WSSV via submersion. The juveniles of the vannamei shrimps per container were previously immersed in a 10-5 diluted WSSV stock medium for three hours to acces the efficacy of seed extract X.granatum, and then observed for 14 days. The results showed that shrimp which administered with seed extract X. granatum at rate of 1 g kg-1 feed had best performance than other aplications. The shrimp’s hemocyte count, phagocytic activity, and specific growth ratewere 9,16 10,18 x 106 cell ml-1; 18,50-25,60%; and 2% respectively. After challenged, the survival rate was 59,37 ± 4,4%. They were confirmed by visual gross sign and histopathology that appeared as well as PCR test. Then, it was concluded that, the administration of seed extract X.granatum at rate 1 g kg-1 and present in 12days interval had better immunostimulatory effect to enhance nonspesific immune response and elevate disease resistance of whiteleg shrimp juveniles against WSSV. Keywords: Xylocarpus granatum, Litopenaeus vannamei,health status, WSSV 1.Staff Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 19 Perikanan Kelas I Pekan Baru 2.Dosen Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta 3.Dosen Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta PENDAHULUAN WSSV merupakan patogen yang paling serius menyerang udang windu dan telah menghancurkan industri udang windu di berbagai negara (YiG et al., 2004). Virus ini sangat ganas dan sangat sulit dihentikan (Chang et al., 1996). Sistem budidaya yang intensif dengan menggunakan kepadatan tinggi, kurangnya sanitasi, serta meningkatnya distribusi udang ke berbagai negara akibat meningkatnya perdagangan udang dunia maka WSSV dapat menyebar dengan cepat dan mengakibatkan kerugian yang besar secara ekonomi bagi industri-industri udang budidaya. Salah satu alternatif pengendalian penyakit WSSV yang dapat dikembangkanadalah penggunaan ekstrak bijinyirih.Diketahui ekstrak biji nyirih mengandung senyawa aktif yaitu : tanin, flavonoid, saponin dan steroid. Flavonoid ini digunakan sebagai antivirus, mencegah kepanasan (freshener) dan memiliki aktivitas sebagai sitotoksik (Markham, 1988). Pemberian ekstrak biji mangrove, melalui pakan diharapkan mampu meningkatkan respons imun udang vannamei dan dengan pemberian dosis dan frekuensi yang tepat diharapkan dapat meningkatan pertumbuhan dan resistensi udang terhadap serangan WSSV. Respons imun pada udang tergambar dari meningkatnya parameter imun dan resistensi udang tergambar dari kelangsungan hidup udang yang terinfeksi. Parameter imun yang mengekspresikan respons imun pada udang, berupa total hemosit, aktifitas fagositik, aktifitas phenoloxidase, diferensiasi hemosit yang terdiri dari sel hialin, sel granular dan semi granular (Yeh and Chen 2008). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan rendemen dan menentukan keberadaan flavonoid di dalam biji mangrove, menguji pengaruh pemberian ekstrak biji nyirih melalui pakan dalam meningkatkan respons imun udang vannamei dan mengevaluasi resistensi udang vannamei dari serangan WSSV yang telah diberi ekstrak biji nyirih dengan dosis yang berbeda. Hasil penelitian ini di harapkan memberikan kontribusi terhadap masyarakat pembudidaya udang sebagai alternatif pengunaan zat-zat kimia dan antibiotik dalam peningkatan produksi udang vannamei, sehingga produknya lebih aman untuk dikonsumsi. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 20 BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan selama 9 (sembilan) bulan yaitu dari Agustus 2013 sampai April 2014, di Laboratorium Kimia Pengolahan Hasil Perikanan, Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Analisis PCR (polymerase chain reaction), Histologi dan pemeriksaan kesehatan udang dilaksanakan di Balai Uji Standar Karantina Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Udang vannameii yang digunakan adalah benih SPF (specific pathogen free) yang berasal dari Kampus BAPPL STP Serang yang berukuran 5,0±0,1 g/ekor. Udang dipelihara dalam kondisi terkontrol dan diberi pakan empat kali sehari dengan FR (feeding rate) sebesar 2% dari bobot biomassa/hari. Sebagai langkah biosecurity maka air, wadah dan peralatan pemeliharaan didesinfeksi. Informasi biji nyirih terdiri dari tempat tumbuh, kondisi habitat dan faktor lingkungannya, hal ini akan menunjukkan habitat tanaman, dan perubahan fluktuasi dari kualitas air di sekitar vegetasi. Mangrove yang digunakan merupakan hasil ekstraksi biji nyirihyang berasal dari Desa Bokor Kecamatan Tebinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti. hasil ekstraksi biji nyirih yang dicampurkan ke pakan komersial udang dengan cara di coating. Infeksi WSSV pada udang vannamei diberikan secara perendaman. Menentukan dosis LC50 sesuai dengan Hamsah (2004) yaitu dengan cara perendaman dalam air yang telah di tambahakan larutan stock WSSV sesuai dengan pengenceran selama 3 jam. Penelitian tahap pertama adalah menentukan dosis pemberian ekstraksi bijinyirihterbaik yang terdiri dari empat perlakuan dan kontrol (kontrol positif dan kontrol negatif). Udang yang digunakan berukuran 5,0±0.1 g. Pemberian perlakuan berlangsung selama empat minggu dan dilanjutkan dengan menginfeksikan WSSV pada udang uji. Perlakuan yang diberikan berupa dosis pemberian ekstraksi bijinyirihsebesar K: 0, A: 0,5, B: 1,0 C: 1,5 dan D : 2,0 g/kg pakan udang. Pengamatan yang dilakukan meliputi respons imun, pertumbuhan relatif dan resistensi udang vannamei setelah diinfeksi dengan WSSV. Respons imun dan pertumbuhan relatif diamati setiap minggu saat pemberian perlakuan, sebelum udang vannamei diinfeksi dengan WSSV. Respons imun yang diamati dalam penelitian ini, meliputi total hemosit, diferensiasi hemosit, aktifitas fagositik. Resistensi udang vannamei diamati setelah diinfeksi dengan WSSV yang meliputi kelangsungan hidup, pemeriksaan gejala klinis, histologi dan konfirmasi keberadaan WSSV dengan PCR. Rancangan yang digunakan yaitu analisis ragam (analysis of variance/ANOVA) pada selang kepercayaan 95% (α=0,05) dengan 3 ulangan pada masing-masing perlakuan. Perbedaan setiap perlakuan pada parameter imun, kelangsungan hidup dan pertumbuhan relatif harian udang vannamei di analisis keragamannya menggunakan ANOVA. Bila terdapat perbedaan antar BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 21 perlakuan, maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji Duncan. Data pengamatan gejala klinis, histologi dan konfirmasi PCR di analisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen ekstrak biji nyirih Ekstraksi terhadap bahan tanaman bertujuan untuk memisahkan senyawa bioaktif tanaman (biasanya dari senyawa tunggal atau kelompok senyawa). Sebelum dilakukan proses ekstraksi sampel dikecilkan ukurannya untuk memudahkan kontak dengan pelarut sehingga diharapkan semakin banyak senyawa bioaktif yang dapat terekstrak. Dimana hasil pengamatan ekstrak metanol dari biji nyirih warna filtratnya merah tua pekat dengan bentuk fisiknya bubuk dengan nilai rendeman sebesar 16,25%, ini lebih tinggi dari hasil penelitian Sari (2008) sebesar 15,60 %. Perbedaan hasil ekstraksi di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah bahan, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel serta kondisi dan lama penyimpanan sampel. Berat ekstrak kering yang diperoleh menunjukkan bahwa pelarut metanol mampu melarutkan bahan alami terseleksi dari padatannya. Rendeman yang di hasilkan dari biji nyirihyang di maserasi memiliki nilai rendemen yang bervariasi pada habitat dan lokasi yang berbeda. Perbedaan ini diduga disebabkan karena tiap jenis mangrove ini mempunyai pola adaptasi fisiologi yang berbeda terhadap lingkungannya, sesuai dengan penyataan Murniasih (2005) bahwa senyawa bioaktif yang di hasilkan oleh organisme laut di pengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya salinitas, intensitas cahaya matahari, arus dan kompetisi sehingga mendorong organisme laut menghasilkan metabolit sekunder. Perbedaan rendemen yang dihasilkanjuga diduga karena pada saat penyaringan (filtrasi) sampel hasil maserasi tedapat bagian yang menguap, karena pelarut yang di gunakan bersifat volatile sehingga volume filtrat yang di hasilkan berbeda. Saat proses pemekatan dengan vakum rotary evaporator juga di peroleh volume ekstrak yang berbeda. Sesuai dengan penyataan Smart dalam Ismet (2007), menyatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi , suhu dan jenis pelarut yang di gunakan. Uji flavonoid ekstrak biji nyirih Pengujian fitokimia merupakan uji kualitatif awal terhadap ekstrak kasar untuk mengetahui jenis senyawa metabolit sekunder/golongan senyawa yang terkandung pada ekstrak. Golongan senyawa dalam ekstrak dapat ditentukan dengan mengamati perubahan warna dan terbentuknya endapan BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 22 setelah ditambahkan pereaksi yang spesifik untuk setiap uji kualitatif. Hasil pengujian flavonoid ekstrak biji nyirih menunjukkan bahwa bagian tersebut memiliki kandungan flavonoid, hal itu ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah pekat pada lapisan amil alkohol yang telah di uji. Flavonoid merupakan senyawa aktif yang potensial dan sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan (Astawan dan Kasih 2008), dan hal ini pun terbukti dari hasil penelitian Sari (2008) yang menunjukkan Ekstrak kasar metanol dari biji nyirihmengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin dan saponin. Flavonoid ini digunakan sebagai antivirus, mencegah kepanasan (freshener) dan memiliki aktivitas sebagai sitotoksik (Markham 1988). Pemberian ekstrak biji nyirih secara oral berpengaruh terhadap patogenitas WSSV. Diduga senyawa dalam biji yang berpengaruh terhadap patogenitas WSSV adalah flavonoid. Flavonoid merupakan glikosid dengan satu atau lebih kumpulan hidroksil fenolik yang terikat gula. Flavonoid digunakan sebagai antivirus, mencegah kepanasan (Freshner) dan memiliki aktivitas sebagai sitotoksik, aktivitas antivirus oleh flavonoid adalah menghambat ATP dan enzim phospolipase yaitu enzim yang membantu asam nukleat dalam proses replikasi sehingga virus menjadi lemah (Jesekera, 1991dalam Supriatna, 2004). Dengan adanya zat aktif flavonoid ini replikasi virus dalam tubuh inang akan terhambat sehingga tidak dapat memperbanyak diri yang dapat meningkatkan tingkat infeksi, melemahnya virus sangat diharapakan dapat menimbulkan rangsangan pembentukan antibodi, dengan mengunakan ekstrak biji nyirih diharapkan senyawa aktif flavonoid yang terkandung didalamnya sebagai virus bisa melemahkan WSSV sehingga dihasilkan suatu vaksin yang berguna untuk meningkatkan kekebalan tubuh udang uji. Penentuan LC50 Berdasarkan, hasil uji penentuan pengenceranlarutan stok WSSV menunjukkan bahwa letal concentration 50% (LC50) diperoleh pada pengenceran larutan stok WSSV 10-5, yang diindikasikan terlihatnya pita pada visualisasi gel agarose pada pasang basa 941, sedangkan pada pengenceran lebih rendah yaitu 10-7, 10-8 dan 10-9menunjukkan hasil negatif WSSV pada visualisasi gel elektroforesis, yang ditunjukkan dengan tidak terlihat pada pita pada visualisasi gel elektroforesis. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 23 (Gambar 1). Gambar 1. Hasil elektroforesis produk PCR sampel udang hari ke 14, berdasarkan pengenceran berseri stok WSSV (Keterangan: M. Marker DNA K+: Kontol positif WSSV K-: Kontorl negatif WSSV KP: Kontrol Perlakuan, 10-3: Pengenceran 10-3,10-4 Pengenceran 10-4 , 10-5 Pengenceran 10-5 , 10-6. Pengenceran 10-6, 10-7 Pengenceran 10-7, 10-8 Pengenceran 10-8, 10-9. Pengenceran 10-9). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa gejala klinis serangan WSSV mulai terlihat pada hari keempat pengenceran larutan stok WSSV 10 -3.Udang mulai mengalami penurunan nafsu makan, warna tubuh pucat, lemah, berenang tidak terarah dan usus kosong, namun belum menimbulkan kematian. Gejala yang sama terjadi setelah hari kelima untuk pengenceran 10 -4, dan hari ke enam 10-5. Kematian 50% dijumpai hari ke sembilan pada pengenceran 10-5, sedangkan pada pengenceran 10-3 dan 10-4 mencapai 100% dan 80% secara berturut-turut pada periode yang sama. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Lightner (1996) dan Witteveld (2004) yang menyatakan bahwa serangan virus WSSV sangat ganas dan dapat menimbulkan kematian masal hingga mencapai 100% setelah 3 – 10 hari udang terinfeksi. Hasil deteksi dengan mengunakan metode PCR terlihat bahwa negatif WSSV terlihat pada pengenceran 10-7,10-8 dan 10-9. Hal ini diduga karena konsenterasi larutan stok WSSV yang terlalu rendah sebagai akibat pengenceran bertingkat yang dilakukan. Virus WSSV kemungkinan tidak dapat melakukan penentrasi ke dalam jaringan sel pada udang (Lewis dan Leong 2004). BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 24 Parameter Imun Udang Vannamei diberi Dosis ekstrak Biji Nyirih Berbeda Total Haemocyte Count (THC) Total hemosit udang vannamei yang diberi ekstrak biji nyirih mengalami peningkatan mulai minggu ke-1 hingga minggu ke-3 pengamatan, kemudian mengalami penurunan pada minggu ke-4 pengamatan. (Tabel. 1) Tabel 1. Perlakuan A B C D E Total hemosit udang vannamei diberi ekstrak biji nyirih 0(A), 0,5(B),1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (C) g/kg pakan selama empat minggu pengamatan. Minggu 0 4,05 ±0,54 a 4,52 ±0,25 a 4,61 ±0,69 a 4,80 ±0,41 a 4,90 ±0,07 a Total Hemosit (106 sel/ml) Minggu 1 Minggu 2 5,41 ±0,43 a 5,50 ±0,19 a 7,25 ±0,24 b 8,40 ±0,35 b b 7,76 ±0,68 8,85 ±0,09 bc b 7,90 ±0,63 9,97 ±0,21 c b 8,11 ±0,38 9,61 ±0,34d Minggu 3 6,78 ±0,52 a 8,80 ±0,43 b 10,18 ±0,30 c 8,93±0,75 b 8,58 ±0,33 b Minggu 4 6,52 ±0,26 a 7,48 ±0,20 b 9,16 ±0,24 c 8,59 ±0,66 c 8,42 ±0,45 c * huruf superscript yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan (P> 0,05). Hemosit merupakan bagian terpenting dalam sistem imun Crustaceae. Selain diketahui berperan penting dalam fagositosis, encapsulasi, degranulasi dan proses penggumpalan terhadap partikel asing ataupun patogen (Soderhall dan Cerenius 1992), hemosit juga sebagai tempat produksi dan pelepasan ProPO Sirkulasi hemosit tidak hanya penting dalam proses penyerapan dan pembunuhan langsung terhadap agen infeksi tetapi juga dalam sintesis dan eksositosis molekul bioaktif. Pada dasarnya hemosit mengeksekusi jenis-jenis reaksi inflamasi, seperti fagositosis, aglutinasi, produksi metabolit reaktif oksigen dan pelepasan protein mikrobisidal (Smith et al. 2003). Dalam penelitian ini, pemberian ekstrak biji nyirih melalui pakan pada udang vannamei memberikan pengaruh yang baik dalam meningkatkan aktifitas fagositosis udang vannamei. Hal tersebut sejalan dengan meningkatnya jumlah total hemosit yang terjadi selama pengamatan. Peningkatan aktifitas fagositik pada setiap minggu selama empat minggu pengamatan mengindikasikan bahwa pemberian ekstrak biji nyirih melalui pakan pada udang vannamei mampu meningkatkan aktifitas fagositik sel-sel fagosit dalam haemolymph. Sel yang berperan besar dalam proses fagosit pada udang vannamei adalah sel hialin. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 25 Persentase sel hialin dalam penelitian ini pun mengalami peningkatan pada setiap minggu pengamatannya. Differential Haemocyte Count (DHC) Persentase sel hialin udang vannamei yang diberi pakan dengan ekstrak biji nyirih sebesar 0,5 (B), 1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (E) g/kg pakan, serta perlakuan kontrol memperlihatkan kenaikan nilai setiap minggunya, mulai dari minggu ke-0 hingga minggu ke-4. Selama empat minggu pengamatan persentase sel hialin berkisar antara (42.0-54.6)%. persentase sel hialin berbeda nyata (P<0.05) terjadi mulai minggu ke-3 hingga minggu ke-4 pengamatan. Pada minggu ke-3, terlihat perbedaan secara nyata pada taraf 0.05 antara masing-masing perlakuan A, B, D dan E. Nilai persentase sel hialin tertinggi terlihat pada minggu ke-3 pemberian ekstrak biji nyirih 1,0 g/kg pakan (C), yaitu sebesar 54,6±1,52%. (Tabel 2). Diferensiasi sel hemosit yang terdiri dari sel hialin, semi-granular dan granular pada udang vannamei dalam penelitian ini menunjukan adanya perbedaan pengaruh yang bervariasi. Sel hialin digambarkan oleh tidak adanya granul (agranular) yang berfungsi sebagai sel yang melakukan fagositosis (Smith et al. 2003). Persentase sel hialin dalam penelitian ini mencapai (49,6– 53,0)% dari total hemosit. Sel hialin pada udang vannamei yang diberi ekstrak biji nyirih dalam penelitian ini mengalami peningkatan setiap minggunya dibandingkan dengan udang vannamei yang tidak diberi ekstrak biji nyirih. Meningkatnya sel hialin dapat meningkatkan aktifitas fagositosis terhadap masuknya patogen (Le Moullac et al.1998; Smith et al. 2003). Tabel 2. Persentase diferensiasi hemosit udang vannamei diberi ekstrak biji nyirih 0 (A), 0,5(B),1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (E) g/kg pakan selama empat minggu pengamatan. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 26 Perlakuan Hialin A B C D E Semi Granular A B C D E Granular A B C D E Minggu 0 Persentase Difensiasi Hemosit (%) Minggu 2 Minggu 3 Minggu 1 44,0 42,0 43,6 44,6 43,3 ±1,00 ±2,00 ±1,15 ±1,15 ±3,05 a 37,3 38,0 36,3 37,0 37,3 ±2,08 ±4,00 ±0,57 ±2,00 ±5,50 a 18,6 20,0 20,0 18,3 19,3 ±1,52 ±2,00 ±1,00 ±1,15 ±2,51 a a a a a a a a a a a a a 48,6 48,6 49,3 49,0 49,6 ±1,52 ±1,52 ±2,08 ±1,00 ±2,51 a 33,0 33,0 33,0 33,3 32,3 ±2,00 ±2,00 ±2,64 ±1,15 ±3,51 a 18,3 18,3 17,6 17,6 18,0 ±0,57 ±0,57 ±0,57 ±0,57 ±1,00 a a a a a a a a a a a a a 50,0 50,3 53,0 51,3 52,0 ±1,73 ±2,08 ±2,64 ±2,08 ±3,60 a 31,3 32,6 28,6 32,0 30,6 ±2,08 ±3,05 ±3,21 ±1,73 ±5,50 a 18,6 17,0 18,3 16,6 17,3 ±0,57 ±1,00 ±0,57 ±1,52 ±2,08 a a a a a a a a a a a a a 51,6 ±2,08 ab 51,3 ±0,57 a 54,6 ±1,52 b 53,3 ±0,57 ab 52,3 ±2,51 ab 32,3 33,0 29,3 32,3 32,6 ±3,05 ±1,00 ±2,51 ±1,15 ±5,03 a 16,0 15,6 16,0 14,3 15,6 ±1,00 ±0,57 ±1,00 ±0,57 ±1,52 a a a a a a a a a Minggu 4 49,6 ±0,57 a 49,6 ±0,57 a 53,0 ±2,64 b 51,0 ±1,00 ab 50,6 ±2,08 ab 34,6 34,3 31,0 35,0 34,0 ±0,57 ±0,57 ±2,64 ±1,73 ±1,00 b b a b b 15,6 ±0,57 ab 16,0 ±1,00 b 16,0 ±0,00 b 14,0 ±1,00 a 15,3 ±1,52 ab * a huruf superscript yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan (P> 0,05) Sel semi-granular digambarkan sebagai sel yang memiliki sejumlah granul kecil, berfungsi dalam mengenali dan merespon molekul asing atau patogen yang masuk ke dalam tubuh krustasea (Soderhall dan Cerenius 1992). Sedangkan sel granular digambarkan sebagai sel yang memiliki sejumlah besar granul, yang berfungsi dalam menyimpan dan melepaskan sistem proPO dan juga sebagai cytoxicity bersama-sama dengan sel semi-granular (Smith et al. 2003). Walaupun terjadi penurunan persentase sel granular dan semigranular dalam penelitian ini, namun sel-sel tersebut mampu meningkatkan aktifitas phenoloxidase yang berperan dalam proses melanisasi. Phenoloxidase dihasilkan melalui sistem proPO. Aktifitas phenoloxidase ini dapat diaktifkan oleh adanya imunostimulan (Yudiana 2009). Masuknya patogen dalam tubuh udang akan dikenali oleh plasma dan diikat. Selanjutnya terjadi respon pada sel granular dan semi granular dengan melepaskan sistem proPO yang diaktifkan, meliputi cell-adhesive, opsonic protein dan peroxinectin. Selanjutnya dapat menstimulasi fagositosis oleh sel hialin atau enkapsulasi oleh sel semi-granular (Soderhall dan Cerenius 1992; Johansson et al. 1989). Aktifitas fagositik Aktifitas fagositik disajikan vannamei yang diberi ekstrak biji empat minggu masa pengamatan, 26,00)%, sedangkan kontrol hanya pada Tabel 3. Aktifitas fagositik udang nyirih menunjukkan peningkatan selama dengan kisaran nilai sebesar (19,00 – memiliki kisaran nilai sebesar (18,33 – BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 27 23,33)%. Berdasarkan analisis ragam dan uji lanjut Duncan, nilai aktifitas fagositik pada minggu minggu ke-3 dan minggu ke-4 menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05) antara perlakuan kontrol dan perlakuan pemberian ekstrak biji nyirih 1,0 (C) g/kg pakan dibandingkan dengan perlakuan pemberian ekstrak biji nyirih mangrove 0 (A), 0,5 (B), 1,5 (D), dan 2,0 (E) g/kg pakan Tabel 3. Aktifitas fagositik udang vannamei diberi Ekstrak biji nyirih 0(A), 0,5(B),1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (C) g/kg pakan selama empat minggu pengamatan. Perlakuan A B C D E Minggu 0 16,8 ±1,17 a 18,1 ±0,10 a 18,5 ±1,33 a 17,8 ±0,76 a 17,7 ±1,92 a Minggu 1 19,5 ±0,92 a 19,7 ±0,50 a 19,5 ±2,13 a 19,4 ±1,59 a 19,6 ±2,25 a Aktifitas Fagositik (%) Minggu 2 Minggu 3 20,3 ±0,53 a 21,5 ±1,40 a 22,5 ±0,35 ab 24,2 ±0,22 ab ab 22,4 ±1,51 25,6 ±1,50 b b 24,1 ±1,39 24,7 ±0,52 b b 23,2 ±2,31 24,1 ±2,66 ab Minggu 4 22,5 ± 1,00 a 24,2 ±1,46 ab 25,6 ±0,82 b 22,6 ±1,77 a 22,2 ±1,77 a * huruf superscript yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan (P> 0,05) Efektifitas ekstrak biji nyirih dalam menetralisir antigennya sangat berhubungan dengan metabolism pencernaan udang. Proses pencernaan udang diawali dengan masuknya makanan melewati mulut (ingestion) untuk dicerna (digestion) di hepatopankreas dan kemudian diserap (absorption) tubuh melalui haemolymph yang bersirkulasi dalam tubuhnya. Sel-sel haemolymph bebas (tunggal) yang disebut haemocyte inilah yang berperan penting dalam sistem imun terhadap infeksi patogen (Mayes 1995). Waktu yang dibutuhkan udang untuk mencerna makanan dalam proses pencernaan dan mendistribusikannya memiliki kaitan erat dengan aplikasi ekstrak biji nyirih sebagai pengebalan pasif. Udang yang memiliki struktur tubuh yang sederhana juga memiliki sistem pencernaan yang sederhana pula. Protein sebagai komponen dasar pakan udang dapat dicerna dengan baik setelah 3 jam (Hentschel and Feller 1990) atau 4 jam (Hoyt et al. 2000) menggunakan immunoassay. Kandungan senyawa aktif di dalam ekstrak biji nyirihbereaksi dengan enzim pencernaan di hepatopankreas. Flavonoid yang terkandung didalam pakan langsung didistribusikan oleh haemolymph ke seluruh tubuhnya. Kinerja senyawa aktif didalam tubuh udang dipengaruhi oleh jumlah kandungan ekstrak biji nyirihyang terdapat di dalam haemolymph. Waktu yang dibutuhkan udang untuk meningkatkan immunostimulan secara BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 28 optimal dipengaruhi oleh konsentrasi ekstrak biji nyirih yang terkandung didalam pakan. Pada penelitian ini, Keempat dosis ekstrak biji nyirih 0,5(B),1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (E) g/kg pakan menunjukkan kinerja optimal. Imunisasi pasif yang diberikan secara peroral dengan konsentrasi 0,5(B) g/kg pakan meningkatkan kelansungan hidup 65%, sedangkan dengan konsentrasi 1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (E) g/kg pakan dapat meningkatkan kelansungan hidup 58% hingga 69%, setelah hari ke 30 perlakuan. Kelangsungan Hidup (%) Resistensi Udang Vannamei diberi ekstrak biji nyirih dengan dosis Berbeda Terhadap Serangan WSSV Pengamatan resistensi udang vannamei meliputi kelangsungan hidup, histologi dan konfirmasi keberadaan WSSV pada udang vannamei setelah diinfeksi WSSV. Kelangsungan hidup udang vannamei pada 12 dpi (days post infection) menunjukkan hasil yang lebih baik pada udang vannamei yang telah diberi ekstrak biji nyirih (21,8 – 59,4)% dibandingkan dengan udang vannamei yang diberi pakan tanpa ekstrak biji nyirih (9,4±4,41)%. Berdasarkan analisis ragam dan uji lanjut Duncan kelangsungan hidup udang vannamei pada 12 dpi berbeda nyata (P<0.05) antar perlakuan dan kontrol (Gambar 2). Kelangsungan hidup udang vannamei kontrol negatif (K-) yang tidak diberi ekstrak biji nyirih dan juga tidak diinfeksi WSSV bernilai 100%, namun berbeda nyata dengan kelima perlakuan lainnya (perlakuan B,C,D, E dan K+). Kelangsungan hidup udang vannamei yang diberi 0,5 g/kg pakan (B) sebesar 21,8±4,4% berbeda nyata dibandingkan dengan kelangsungan hidup udang vannamei yang diberi ekstrak biji nyirih 1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (E) g/kg pakan dan juga perlakuan K - (yang tidak diberi ekstrak biji nyirih namun diinfeksi WSSV), yang masing-masing hanya bernilai (34,4 – 59,4)%. 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 K- K+ B C D 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 Hari setelah infeksi (dpi) E 29 Gambar 2. Kelangsungan hidup udang vannamei yang diberi Ekstrak biji nyirih 0 (A), 0,5(B),1,0 (C), 1,5 (D) dan 2,0 (C) g/kg pakan setelah diinfeksi dengan WSSV. Peningkatan sistem imun yang ditandai salah satunya dengan meningkatnya jumlah total hemosit pada krustasea sangat penting dalam menjaga resistensi terhadap patogen. Pada penelitian ini. Walaupun tidak dilakukan pengujian parameter imun setelah di uji tantang dengan WSSV, patut diduga udang vannamei yang telah diberi ekstrak biji nyirih pada pakannya dengan dosis yang berbeda selama empat minggu, memiliki resistensi yang lebih baik terhadap infeksi WSSV dibandingkan dengan udang vannamei yang diberi pakan tanpa ekstrak biji nyirih, secara umum yaitu bernilai lebih tinggi (21,8- 59,4%) dibandingkan dengan udang vannamei yang diberi pakan tanpa ekstrak biji nyirih (9,37±4,4%). Kelangsungan hidup tertinggi terjadi pada udang vannamei yang diberi ekstrak biji nyirihpada perlakuan (C), 1 g/kg pakan yaitu sebesar 59,37±4,41%. Sedangkan menurut Lightner (1996) tingkat kematian yang ditimbulkan penyakit WSSV akan mengalami tingkat kematian mencapai 100% selama 3 hingga 10 hari setelah terinfeksi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemberian ekstrak biji nyirih selama empat minggu, telah mampu meningkatkan resistensi udang vannamei terhadap infeksi WSSV. Pengamatan histologi pada jaringan insang, hepatopankreas, jaringan otot dan subkutikula dilakukan pada 12 dpi (Tabel 4) menunjukan abnormalitas pada semua perlakuan yang diinfeksi WSSV, sedangkan pada perlakuan kontrol yang tidak diinfeksi WSSV (K-) menunjukan bentuk jaringan yang masih normal. Tabel 4. Pengamatan kelangsungan hidup (SR), histologi jaringan insang, hepatopankreas, jaringan otot dan subkutikula serta PCR udang vannamei diberi dosis Ekstrak biji nyirih berbeda setelah diinfeksi WSSV. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 30 Perlakuan KK+ B C D E Insang n ab ab ab ab ab Histologi Hepatopankreas n ab n n n ab Subkutikula n ab ab n ab ab SR (%) 100,0 9,4 21,8 59,4 40,6 34,4 PCR + + + + Keterangan : n (normal); ab(abnormalitasi); + (positif WSSV); (negative WSSV); SR (survival rate) Berdasarkan pengamatan histologi pada jaringan insang, hepatopankreas dan subkutikula yang diinfeksi dengan WSSV, menunjukkan terjadinya abnormalitas jaringan insang, hepatopankreas dan subkutikula. Kondisi tersebut sesuai dengan pendapat Lightner (1996) yang menyatakan bahwa serangan WSSV dapat mengakibatkan kerusakan jaringan sel pada udang termasuk organ insang dan hepatopankreas, kerusakan tersebut dapat berupa atrophy yaitu menurunnya jumlah cytoplasma dari sel, degenerasi (penurunan fungsi sel) hingga nekrosis (kematian masal). Chou et al. (1995) melaporkan bahwa pada udang panaeus japonicus yang di infeksi dengan WSSV menunjukkan adanya degenerasi pada hepatopankreas. Perubahan secaara histologi tersebut terjadi setelah udang dipapar pada inokulum WSSV selama 1 jam, dan pengamatan histologi di lakukan pada udang yang sekarat (moribund). Berdasarkan pengamatan histologi pada jaringan insang, hepatopankreas dan subkutikula yang diinfeksi dengan WSSV, menunjukkan terjadinya abnormalitas jaringan insang, hepatopankreas dan subkutikula. Kondisi tersebut sesuai dengan pendapat Lightner (1996) yang menyatakan bahwa serangan WSSV dapat mengakibatkan kerusakan jaringan sel pada udang termasuk organ insang dan hepatopankreas, kerusakan tersebut dapat berupa atrophy yaitu menurunnya jumlah cytoplasma dari sel, degenerasi (penurunan fungsi sel) hingga nekrosis (kematian masal) Visualisasi histologi udang juga berkaitan erat terhadap deteksi infeksi virus mengungakan metode PCR, sampel yang di tambahkan ekstrak biji nyirih1,0 (C), g/kg pakan menunjukkan negatif terinfeksi WSSV, di tunjukkan dengan tidak pita visualisasi gel agarose pada 941 pasang basa. Proses pemulihan ini juga diikuti dengan masih hidupnya udang tersebut hingga akhir percobaan. Hal ini patut diduga adanya kemampuan ekstrak biji nyirih1,0 (C), g/kg pakan yang terkandung didalam pakan dapat menurunkan virulensi WSSVdalam tubuh udang. (Gambar 3). BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 31 Gambar 3 . Hasil elektroforesis produk PCR sampel udang yang di infeksi WSSV (Keterangan: M. Marker DNA, K+: Kontol positif WSSV K- : Kontorl negatif WSSV kp+ : Kontrol (+) Perlakuan, kp - : Kontrol (-) Perlakuan B: Perlakuan (B) ekstrak biji nyirih 0,5 g/kg pakan C. Perlakuan (C) ekstrak biji nyirih 1,0 g/kg pakan D. Perlakuan (D) ekstrak biji nyirih 1,5 g/kg pakan E. Perlakuan (E) ekstrak biji nyirih 2,0 g/kg pakan. Ekstrak biji nyirih mampu menekan perkembangan dari patogen WSSV melalui aktifitas fagositas udang, sehingga patogen tertahan untuk dapat masuk/penetrasi ke dalam tubuh udang . Lewis & leong (2004) dan Ka Yin (2004) menyatakan bahwa tahapan multivikasi dari DNA virus di awali dengan perlekatan partikel virus (attachment) pada permukaan sel yang peka, sebelum melanjutkan ke tahapan penentrasi, pelepasan selubung virus (uncoating), perekaman (trancription) hingga tahapan akhir perakitan (assembly) virus baru dan pelepasan virus yang telah matang (released by budding). Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa ekstrak biji nyirih dimungkinkan untuk digunakan sebagai imunostimulan untuk menanggulangi serangan WSSV pada udang vannamei. KESIMPULAN Hasil pengamatan ekstrak metanol dari biji nyirihwarna filtratnya merah tua pekat dengan bentuk fisiknya bubuk dengan nilai rendeman sebesar 16,25% dan ekstrak kasar ini juga mengandung senyawa flavonoid. Pemberian ekstrak biji mangrove, melalui pakan diduga mampu meningkatkan respons imun, BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 32 pertumbuhan dan resistensi udang vannamei terhadap pengendalian penyakit WSSV.Pemberian ekstrak biji nyirih dosis 1 g/kg pakan menghasilkan respons imun tertinggi (total hemosit 9,16-10,18x106 sel/ml), aktifitas fagositik (18,5025,60%), pertumbuhan bobot relatif 2%, dan kelangsungan hidup 59,37±4,4%, visualisasi histologi organ hepatopankreas, dan subkutikula normal serta deteksi PCR negatif di bandingkan dengan perlakuan yang lain setelah diinfeksi dengan WSSV. Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah hendaknya dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui frekuensi pemberian ekstrak biji nyirih yang efektif pada udang vannamei terhadap serangan WSSVyang tepat, sehingga hasilnya mampu melengkapi penelitian yang telah dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta: PT Gramedia. Chang PS, Lo CF, Wang YC. and Kou GH.1996. Identification of White Spot Syndrome Associated Baculovirus (WSBV) Target Organs in the Shrimp Penaeus monodon by In Situ Hybridization. Dis. Aquat. Org. 27, 131-139 Chou, H.Y,C. Yi Huang, C. H. Wang, H.C Chiang & C.F Lo. 1995. Pathogenicity of a baculovirus infection causing white spot syndrome in cultured penaeid in Taiwan. Dis aquat org. 23 : 165173 Hamsah. 2004 Peran pakan alami dalam penularan White spot syndrome virus (WSSV) pada benur udang windu, Penaeus monodon. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor Hentschel BT and Feller RJ. 1990. Quantitative Immunoassay of the Pro Ventrikular Contents of White Shrimp Penaeus setiferus Linnaeus: a Laboratory Study.Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, vol 139; 85 – 99 Hoyt M, Fleeger JW, Siebeling R, Feller RJ. 2000. Serological Estimation of Prey-Protein Gut-Residence time and Quantification of Meal Size for Grass Shrimp Consuming Meiofaunal Copepods. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, vol 248; 105 – 119 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 33 Ismet MS. 2007. Penapisan Senyawa Bioaktif spons Aatops dan Petrosia sp dari lokasi yang berbeda (tesis) Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Johansson MW, Keyser P, Sritunyalucksana K, Soderhall K. 2000. Crustacean hemocytesand haemotopoiesis. Aquac 191: 45-52 Ka. Yin L. 2004. Current trends in the study of bacterial and viral fish and shrimp disease. World scientific singapore. 421 hal. Le Moullac G, Soyez C, Saulnier D, Ansquer D, Avarre JC and Levy P. 1998. Effect of hypoxic stress on the immune response and the resistance to vibriosis of the shrimp Penaeus stylirostris. Fish & Shellfish Immunol. 8:621-629. Lewis , T .D & J.A.C. Leong . 2004 . Virus of the fish in: Ka Yin, Leung (ed) 2004. Current trends in the study of bacteria and viral fish and shrimps disease. World Scientific. Singapore 421 hlm. Lightner, D.V.1996. A Handbook of Shrimp patalogy and diagnostic prosedure for discase of culture penaeid shrimp in asia. Wold Aquaculture Society. Baton Rounge.LA. USA. 350p Markham, K.R.1988 Cara mengindentifikasi Flavonoid.Penerbit ITB Bandung Mayes, PA. 1995. Karbohidrat dengan Makna Fisiologis yang Penting. Dalam Hartono A (Alih Bahasa): Biokimia Harper. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta Murniasih T. 2005. Potensi Mikroorganisme sebagai sumber bahan obat-obatan dari laut yang dapat dibudidayakan, Oseana 29: 1-7 Sari, DK 2008. penapisan antibakteri dan inhibitor topoisomerase I dari Xylocarpus granatum [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Smith VJ, Janet HB, Hauton C. 2003. Immunostimulation in crustaceans : does it really protect against infection. Fish & Shellfish Immunology. 15:71-90. Soderhall K, Cerenius L. 1992. Crustacean Immunity. Annual Review of Fish Disease. 2:3-23. Supriatna, A. 2004 Pengaruh perendaman White spot syndrom virus (WSSV) dalam ekstrak biji Mangrove terhadap patogentitas pada udang windu (Penaeus monodon ) [skripsi]. IPB, Bogor. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 34 Witteveldt J, Vlak JM, van Hulten MCW. 2004. Protection of Penaeus monodon against white spot syndrome virus using a WSSV subunit vaccine. Fish Shellfish Immunol Yeh ST, Chen JC. 2008. Immunomodulation by carrageenans in the white shrimp Litopenaeus vannamei and its resistance against Vibrio alginolyticus. Aquaculture. 276:22-28. YiG et al, 2004. VP 28 of Shrimp White spot syndrome virus is involved in the attachment and penetration into shrimp cell, J Biohem Mol Biol 37: 726-734 Yudiana J.2009. Penggunaan ekstrak Gracilaria verrucosa untuk meningkatkansistem ketahanan udang vaname Litopenaeus vannamei. [Thesis]. Bogor :Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 35 PERFORMA REPRODUKSI INDUK UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) DENGAN PEMBERIAN CACING TANAH (Lumbricus rubellus) Anton Mardiyanta, Adi Susanto dan Suhartono Balai Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Pemandian Kartini PO BOX No.1 Jepara JAWA TENGAH ABSTRACT Larvae production programmes in giant fresh water prawn, Macrobrachium rosenbergii focused usually on gonad maturation process, number eggs production and hatching rate. An effort to improve larvae production was done throught substitution of feed using earth worm (Lumbricus rubellus). The tests was conducted in fiberglass tank 2 m x 2 m with 40 cm water depht and placed in indoor room. 36 - 54 g body weight of M. rosenbergii was used as animal tested. Earth worm as substitution feed was given 25% from total feed daily that comprised of fresh potato and squid. As comparison, standart feed comprised of fresh potato, squid and shrimp pellet with 40 % protein content was apllied. Result indicated that application of earth worm increse the number of larvae reached to 14.772 in 36 – 38 g body weight. M. rosenbergii with 40 – 42 g and 50 – 54 g body weight produce 21.445 larvae and 39.305 larvae respectively. Maturation using standart feed produce 9.500, 12.950, and 14.300 larvae in each body weight of 36 – 38 g, 40 – 42 g and 50 – 54 g. respectively. Higher percentage of ripe broodstock were observed in apllication of earth worm, that was 85%, compared to 30 % without earth worm. Subsequent eggs formation were found 10 days after spawning in earth worm substitution and 21 days without substitution. Keywords : Udang galah, cacing tanah, Lumbricus PENDAHULUAN Udang galah merupakan salah satu spesies udang air tawar yang dapat tumbuh cepat dalam waktu pemeliharaan yang cukup singkat. Meski pangsa pasar belum sebesar spesies udang laut, namun potensi ekspornya cukup tinggi serta mempunyai beberapa segmen pasar baik berupa produk olahan maupun bahan mentah. Pada kegiatan budidaya, udang galah dapat dipelihara secara polikultur dengan spesies lain ataupun sebagai spesies pilihan yang tepat selain tipalia dan udang laut. Benih bermutu merupakan tuntutan untuk meningkatkan BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 36 produksi budidaya dimana performa mutu benih mesti diuji melalaui beberapa tolok ukur. Salah satu upaya untuk mendapatkan benih yang baik adalah dengan menggunakan indukan yang baik.Beberapa upaya peningkatan kualitas induk telah dilakukan mulai dari program pemuliaan induk, penggunaan pakan berkualitas hingga produksi induk yang dapat menghasilkan benih monosex. Pakan yang diberikan selama proses maturasi diyakini akan berpengaruh terhadap performa reproduksi baik jumlah dan kualitas telur dan larva yang dihasilkan. Karakterisasi dan aktivitas dari enzym pencernaan mengindikasikan bahwa udang galah bersifat omnivora, yang terlihat adanya variasi jenis pakan yang terdapat pada saluran pencernaan baik berupa bahan tumbuhan maupun hewan. Kebutuhan nutrisi bervariasi pada setiap stadia, namun hampir kesemuanya memerlukan kandungan protein yang cukup tinggi untuk kecukupan asam amino, kebutuhan akan Triglycerida, cholesterol dan phospolipid serta kebutuhan akan mineral dan vitamin (D‘ Abramo dan B New, 2000). Pada kegiatan maturasi pakan yang umum diberikan adalah cumicumi segar dan kentang sebagai sumber karbohidrat. Karaktersistik pakan induk udang galah mengikuti kebutuhan nutrien yakni kandungan protein, lemak dan energi yang tinggi (D‘Abramo dan B New, 2000). Cacing tanah (Lumbricus rubellus) dicobakan sebagi salah satu alternatif pakan maturasi induk udang galah setelah beberapa uji yang dilakukan terhadap udang windu didapat hasil yang cukup signifikan. Cacing, baik cacing laut maupun lumbricus memiliki kelebihan dari tekstur tubuhnya dibanding jenis pakan lain, ukuran tubuhnya yang relatif kecil serta lunak dengan selaput kulit tipis menjadikannya mudah dimakan oleh udang tanpa meninggalkan sisa. Cacing lumbricus mulai dilirik penggunaannya karena fungsinya yang makin beragam. Cacing ini dapat digunakan sebagai pakan ternak, pakan ikan, bahan baku obat, kosmetika, penghasil pupuk, pelenyap sampah serta makanan manusia. Cacing lumbricus merupakan pemakan organik yang cukup rakus, sehingga penambahan bahan-bahan pengkaya untuk meningkatkan nilai gizi cukup mudah dilakukan. Selain memiliki kandungan protein cukup tinggi, nutrisi cacing tanah yang diperkaya diharapkan akan sesuai dengan kebutuhan nutrisi organisme yang dipelihara. Penggunaan pakan dengan nutrisi tinggi dan bukan merupakan pembawa virus merupakan pilihan jenis pakan pada pengelolaan induk udang galah di masa mendatang. Ditemukannya jenis virus seperti MrNV cukup menjadi ganguan pada peningkatan program produksi. Virus – virus tersebut dapat ditularkan secara vertikal maupun horizontal yang salah satunya lewat pakan yang terinfeksi. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 37 BAHAN DAN METODE Pengujian penggunaan cacing tanah sebagai salah satu pakan pada kegiatan pematangan gonad induk udang galah dilakukan pada bak fiberglass ukuran 2 x 2 m yang diisi air tawar steril dengan kedalaman 40 cm. Wadah pemeliharan ditempatkan pada ruangan (indoor) dengan kondisi cahaya mengikuti pola penyinaran secara alami. Calon induk yang digunakan merupakan hasil seleksi dari pemeliharaan yang dipilih berdasarkan beberapa kriteria. Ukuran induk yang digunakan memiliki kisaran berat antara 40 dan 50 gram untuk masing – masing induk betina dan jantan. Sebelum digunakan induk diperiksa status kesehatannya dan dipastikan bersih dari beberapa organisme yang bersifat parasit serta bebas virus. Induk dipelihara pada bak fiber glass yang telah dipersiapkan dengan kepadatan 4 – 5 ekor /m2 dengan ratio jantan dan betina 1 : 3 Cacing tanah sebagai pakan uji diperoleh dari unit budidaya cacing, Lab Pakan Alami BBPBAP Jepara. Sebelum digunakan cacing dipanen dan diseleksi untuk mendapatkan ukuran dewasa, kemudian dicuci hingga bersih dari media budidayanya. Cacing yang sudah dibersihkan ditimbang dan siap diberikan kepada induk udang galah. Jenis pakan lain yang digunakan adalah cumi-cumi segar dan pelet udang. Sebagai pembanding, digunakan juga komposisi pakan yang terdiri dari kentang, cumi-cumi dan pelet udang. Secara keseluruhan pakan diberikan sebanyak 35 % dari berat biomas induk yang terbagi atas tiga kali pemberian, pada pagi, siang dan sore hari. Cacing tanah diberikan sebanyak 25 % dari berat total pakan yang diberikan pada pagi hari. Pengelolaan media dilakukan dengan melakukan pergantian air sebanyak 25 – 50 % setiap hari Pengamatan dilakukan terhadap respon terhadap pemberian cacing, kecepatan pembentukan telur, prosentase induk bertelur, berat telur serta jumlah larva yang dihasilkan pada setiap kisaran berat. Berat telur diamati pada setiap inividu dengan menimbang berat induk bertelur yang kemudian dikonversi dengan berat induk yang sama setelah telurnya terlepas. Jumlah larva setiap kisaran berat induk diamati dengan menetaskan telur pada aquarium volume 40 liter yang diisi secara individual dengan air media penetasan 4 – 5 ppt. Waktu pembentukan telur kembali dihitung berdasar jumlah hari yang diperlukan untuk menghasilkan telur setelah telur dilepaskan. Parameter kualitias diamati secara periodik guna memastikan bahwa kisaran – kisaran nilai berada pada level aman. Pengujian dilakukan selama 3 bulan. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 38 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap status kesehatan induk yang digunakan menunjukkan bahwa induk tidak terindikasi adanya infeksi virus dan sehat secara fisik. Respon terhadap cacing terlihat positif, dimana sejumlah cacing yaang diberikan setiap hari hampir tidak pernah tersisa. Produktifitas induk pada pengujian pemberian cacing dan tanpa pemberian cacing terlihat berbeda, dimana baik berat telur dan jumlah larva lebih baik pada induk yang diberikan pakan cacing Tabel 1. Berat telur dan jumlah larva yang dihasilkan dengan penambahan cacing Kisaran berat Induk (Gram) Rata – rata panjang induk (Cm) 36 - 38 40 - 42 50 - 54 13.9 14.25 16.35 Rata-rata berat telur/ekor induk (Gram) 3 4 5 Rata-rata jumlah larva/ekor induk (ekor) 14.772 21.445 39.305 Tabel 2. Berat telur dan jumlah larva yang dihasilkan tanpa penambahan cacing Kisaran berat Induk Rata – rata panjang Rata-rata berat Rata-rata jumlah (Gram) induk (Cm) telur/ekor induk larva/ekor induk (Gram ( ekor) 36 - 38 13,6 3 9.500 40 - 42 14,15 4 12.950 50 - 54 15.00 4 14.300 Pada pengamatan kecepatan pembentukan telur teramati bahwa pada perlakuan penambahan cacing telur terbentuk lebih cepat yakni 10 – 15 hari dibandingkan dengan 21 hari pada perlakuan tanpa penambahan cacing. Prosentase induk bertelur juga terlihat lebih banyak mencapai 85 % dibanding dengan 30 % pada perlakuan tanpa penambahan cacing. Kualitas air selama BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 39 masa pemeliharaan berada pada kisaran yang dapat ditolerir pada kedua perlakuan uji. Tabel 3. Kisaran fluktuasi parameter kualitas air selama masa Pemeliharaan Jenis Pakan Suhu (oC) Penambahan 29.5-30.5 cacing Tanpa 27,6 – 28,1 penambahan cacing pH DO (ppm) 7,8 – 8,1 4.3 – 4.7 7.9 – 8.0 4.0 – 5.3 Salinitas (ppt) 6 5 NH3 (ppm) NO2 (ppm) 0.0120.024 0.0060.017 0.0090.335 0.0160.052 Pemeriksaan status kesehatan pada calon induk sebelum digunakan pada kegiatan pematangan gonad merupakan tahapan yang cukup penting. Status kesehatan calon induk akan menentukan kualitas benih yang nantinya dihasilkan karena beberapa jenis virus dapat diturunkan secara vertikal dari induk ke anakannya (Sudhakaran et al, 2007). Status bebas MrNV pada calon induk yang digunakan pada pengujian ini akan memberi kepastian tidak adanya deviasi pada produktifitas yang disebabkan oleh infeksi virus. Penggunaan cacing tanah sebagai pakan substitusi ternyata dapat meningkatkan berat telur dan jumlah larva yang dihasilkan. Induk udang galah yang diberi pakan cacing menghasilkan berat telur lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pemberian cacing, demikian juga jumlah larva yang dihasilkan. Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan perbedaan berat dan jumlah telur pada setiap kelas berat pada masing – masing individu. Dari pengamatan preferensi terhadap pakan juga terlihat bahwa cacing yang diberikan selalu habis termakan oleh calon induk. Preferensi induk udang galah yang tinggi terhadap jenis cacing juga terlihat pada habitatnya di alam Bilamana pakan yang diberikan kurang, maka populasi makro invertebrata di substrat akan berkurang setidaknya 70%. Proporsi terbesar dari jenis yang berkurang adalah oligochaeta dan diikuti oelh insekta gastropoda, chironomid, pepelypoda dan nematoda (Tidwell et al, 1995). Cacing secara umum masuk dalam Phylum Annelida dimana di dalamnya terdiri atas cacing dengan tubuh bersegmen termasuk cacing tanah, cacing laut maupun cacing tawar. Phylum Annelida terdiri atas 3 (tiga) kelas yakni Polychaeta, Oligochaeta serta Hirudinea (Barnes, 1974). Setiap kelas mempunyai karakter berbeda yang tergantung dari masing – masing kelengkapan anggota tubuh dan behaviour. Nereis adalah salah satu jenis dari klas Polychaeta, sementara Lumbricus merupakan jenis BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 40 yang banyak dijumpai pada klas Oligochaeta. Polychaeta termasuk hewan pemakan bangkai, omnivora, herbivora, browser serta organik sementara Oligochaeta hampir semuanya pemakan bangkai dan bahan organik yang berasal dari pembusukan tumbuhan (Barnes, 1974). Hal tersebut menyebabkan secara umum kandungan nutrisi dari Polychaeta lebih tinggi dan beragam dibanding Oligochaeta. Namun beberapa kelebihan dari jenis Oligochaeta juga terlihat dimana salah satunya adalah kemudahan dalam pembudidayaan (Palungkun, 2010). Berat telur dan jumlah larva yang dihasilkan kemungkinan juga dipengaruhi oleh kandungan nutrisi cacing tanah yang cukup tinggi. Cacing tanah mengandung protein 61%, lebih tinggi dari daging (51%) dan ikan (60%). Komposisi asam amino didominasi oleh Arginin, Lisin dan Leusin, sementara jenis yang lain dijumpai pada konsentrasi lebih rendah. Kandungan nutrisi tersebut diduga merupakan komponen penting dalam proses formasi telur. Pengaruh nutrisi terhadap kualitas larva juga dikemukakan oleh Wybanet al(1997) dimana induk vaname yang pada pakannya ditambahkan paprika sebagai sumber beta carrotene menghasilkan jumlah dan kualitas nauplius yang lebih baik. Penambahan asam linoleat (18:2n-6) dan n-3 HUFA dapat meningkatkan fekunditas induk udang galah namun dengan ukuran telur yang lebih kecil (Cavalii et al, 1999). Penambahan vitamin C pada pakan juga berpengaruh terhadap kualitas larva udang galah terutama terhadap pengaruh stress, meskipun tidak terlihat pengaruh yang signifikan terhadap fekunditas dan jumlah larva yang dihasilkan (Cavalii et al, 2003). Penggunaan cacing sebagai pakan pada proses maturasi ternyata dapat mempercepat proses pembentukan telur. Pada calon induk yang diberi cacing, telur kembali terbentuk 10 hari setelah spawning, drbandingkan dengan 21 hari tanpa pemberian cacing. Jumlah induk bertelur juga lebih banyak pada induk yang diberi cacing. Kejadian frekuensi bertelur yang lebih dari sekali atau yang dikenal dengan multiple spawning merupakan fenomena unik pada udang. Selain hal tersebut sering juga dijumpai sejumlah induk yang tidak dapat menghasilkan telur selama masa pematangan gonad. Kejadian multiple spawning cukup menguntungkan pada kegiatan produksi larva karena dalam satu induk akan dihasilkan lebih banyak larva. Pada udang vaname tidak terlihat adanya perbedaan kualitas telur pada kejadian multiple spawing baik pada kandungan protein, lemak, karbohidrat maupun beta carroten (Ibara et al, 2007). Peningkatan jumlah spawning juga dapat dicapai dengan memberikan pakan optimal, dimana pada uji penggunaan pakan dengan kandungan nutrisi optimal dapat meningkatkan kejadian spawning menjadi 6 kali dibandingkan 4 kali pada pakan kontrol (Marsden et al, 1997). Penggunan artemia yang diperkaya dengan beberapa asam lemak essensial menghasilkan induk udang dengan performa reproduksi lebih baik dibanding dengan artemia yang tidak BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 41 diperkaya maupun cumi-cumi. Induk – induk tersebut meningkat proporsi memijahnya menjadi lebih dari satu kali serta tercapainya jumlah maksimum pemijahan ( Wouters et al, 2001). Sebaliknya, dijumpainya induk-induk yang tidak memijah merupakan suatu ketidak beruntungan sebab mereka tetap menempati ruangan yang sama, menghabiskan pakan yang diberikan namun tidak memberi kontribusi terhadap produksi larva. Pada kondisi kurang optimal seperti ukuran terlalu kecil, prosentase induk yang tidak produktif dapat mencapai 90% (Cavalii et al, 1997). Demikian pula, pada ukuran optimal sejumah betina yang tidak produktif juga sering dijumpai. KESIMPULAN DAN SARAN Penambahan cacing tanah (Lumbricus rubellus) sebagai pakan pada pematnag gonad induk udang galah dapat meningkatkan berat telur serta jumlah larva yang dihasilkan. Peningkatan juga terjadi pada proporsi induk yang bertelur dan lebih singkatnya waktu yang diperlukan untuk pembentukan telur berikutnya. DAFTAR PUSTAKA Barnes, R.D., 1974. Invertebrate Zoology. W.B. Sounders CompanyCavalii, R.O., M.P. Scardua dan W, Wasiliesky, 1997. Reproductive performance of different size wild and pond-reared Penaeus paulensis female. J Worid Aquac Soc 28 : 260 – 267 Cavalii, R.O., P. Lavens dan P. Sorgeloos, 1999. Performance ofMacrobrachium rosenbergii fed diets with different fatty acid composition. Aquaculture 179 (1-4): 387 – 402 Cavalii, R.O., F.M.M. Batista, P. Lavens, P. Sorgrloos, H.J. Nelis dan A.P Deleendeer, 2003. Effect of dietary supplementation of vitamin C and E on maternal performance and larval quality of the prwan Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture 227:131 – 146 D‖Abramo, L.R. dan M.B. New, 2000. Nutrition, Feeds and Feeding. New, M.B, dan W.C. Valenti (Ed). Freshwarwe prawn culture.The farming of Macrobrachiumrosenbergii. Blacwell science Ltd BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 42 Ibara, A.M., I.S. Racotta, F.G. Acros dan E, Palacios, 2007, Progress on genetics of reproductive performance in penaeid shrimp. Aquaculture 268: 23 – 43 Marsden, G., J. McGuren, E.W. Handsford dan M.J. Burke, 1997. A moistartificial diet for prwn broodstock : its effect on veriable reproductive performance of wild caugh Penaeus monodon. Aquaculture 149 : 145 – 156 Palungkun, R., 2010. Usaha ternak cacing tanah. Penebar SwadayaSudhakaran.R., Ishaq, A.V.P., Haribabu P., Mukherjee, SC., Sri Widada, J., Bonami, J.R., dan Sahul, H.A.S., 2007. Experimental vertical transmission of Macrobrachium rosenbergii nodavirus (MrNV) and extra small virus (XSV) from brooders to progeny in Macrobrachium rosenbergii and artemia. J Fish Dis 30(1): 27 -35 Wouters, R., P, Lavens, J. Nieto dan P. Sorgeloos, 2001. Penaeid shrimp broodstock nutrition : an update review on research and development. Aquaculture 202 : 1 – 21 Wyban, J., G. Martinez dan J. Sweeny, 1997. Adding paprika to Penaeusvanamei maturation diet improves nauplii quality. World Aquaculture, June 2007 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 43 APPLICATION OF Terminalia catappa AT THE MEDIUM OF GIANT FRESH WATER PRAWN (Macrobrachium rosenbergii De Man) LARVAE REARINGFOR INCREASING SEED PRODUCTION Susi Rosellia, Dasu Rohmana, Yuani Mundayana, Murtiati, Kesit Tisnawibowo, Sri Hastuti, Bunga, Nendih, Ade Kurnia Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Jl. Salabintana No.17 Sukabumi, Jawa Barat ABSTRACT Catappa leaves have been used in many sectors of fisheries, mainly for fish transfortation. Terminalia catappa contains important matters as alkaloid, flavanoid, tanin, and saponin. The fuction of alkaloid and flavanoid as antibiotic, tanin as antioxidant, and saponin as supported for moulting the skin. In this study, Terminalia catappa leaves that were used that tree shed its leaves. And then the leaves were dried. In the experimental, there were three doses of treatments. The treatment without leaves of Termianlia catappa as control, dose at 100 g/m 3 (30 leaves), and the other dose at 200 g/m3 (60 leaves). The result of this study showed that the treatment with Terminalia catappa accoured increasing in the survival rate. The survival rate in each dose was 58.2±6.8 %, (control), 64.3±5.0 % (100 g/m 3), and 66.0±11.1% (200 g/m3). Another that, duration of larvae rearing was different in each treatment, 30-36 days (control), 24-30 days to the dose given at 100 g/m3 and 200 g/m3. The decreased of duration can be used to increase productivity, because its can be efficiency for feed and waters used. Keyword : Terminalia catappa, giant fresh water prawn (Macrobrachium rosenbergii De Man), larvae rearing. PENDAHULUAN Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) adalah salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis. Seiring berkembangnya pariwisata dan beragam kuliner udang galah di Indonesia, pasar domestik semakin prosfektif. Minat masyarakat untuk mengkonsumsi udang galah semakin meningkat. Peluang ekspor juga terbuka karena udang galah diminati oleh pasar mancanegara. Selain pangsa pasarnya yang masih terbuka luas, udang galah BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 44 relatif mudah untuk dibudidayakan dan dapat dibesarkan secara polikultur dengan ikan air tawar lainnya, atau dengan sistem ugadi. Berkembangnya budidaya udang galah di masyarakat akan meningkatkan permintaan benih udang galah. Ketersediaan benih yang cukup dan berkualitas tentu diperlukan untuk mendorong kegiatan pengembangan budidaya. Ketersediaan benih udang galah akan sangat bergantung pada tingkat produktivitas di hatchery/panti benih. Saat ini pengembangan udang galah terkendala dengan ketidakberhasilan produksi benih di hatchery akibat infeksi penyakit yang beragam serta kerentanan benih terhadap perubahan lingkungan/kualitas air. Infeksi penyakit dapat terjadi melaui media pemeliharaan. Kerugian ekonomis akibat kasus penyakit cukup tinggi, karena akan menurunkan tingkat produktivitas dengan menurunnya tingkat kelangsungan hidup benih. Salah satu upaya meningkatkan kelangsungan hidup adalah mencegah terjadinya infeksi penyakit. Beberapa bahan antibiotik telah banyak digunakan untuk mencegah dan mengobati terjadinya infeksi penyakit pada udang. Salah satu bahan herbal yang ada dan digunakan dalam pengobatan tradisional adalah daun ketapang. Pemberian daun ketapang pada media pemeliharaan larva diharapkan mampu meningkatkan kelangsungan hidup sehingga terjadi peningkatan produksi benih. Pohon ketapang tersebar di daerah tropis dan sub tropis terutama di Benua Afrika. Di Indonesia, pohon ini tumbuh liar di dataran rendah dan sering dijumpai di daerah pesisir pantai (Heyne, 1987 dalam Elin, 2006). Berdasarkan hasil pengujian kualitatif diketahui bahwa daun ketapang mengandung beberapa zat penting seperti alkaloid, flavanoid, steroid, kuinon, tanin dan saponin (WHO, 1998 dalam Elin, 2006). Begitu pula hasil pengujian yang dilakukan oleh LP2IL Serang bahwa dalam daun ketapang terkandung zat alkaloid, flavanoid, tanin dan saponin (LP2IL, 2014). Penggunaan daun ketapang yang gugur berdasarkan hasil kajian Hardiko, 2004 yang menyebutkan bahwa aktifitas anti bakteri dan anti jamur pada daun ketapang yang gugur lebih besar dibandingkan dengan daun ketapang yang masih pada pohonnya. Oleh karena itu aplikasi pada media pemeliharaan larva udang galah digunakan daun ketapang yang gugur. Tujuan Meningkatkan produksi benih udang galah. Sasaran Tersedianya benih yang cukup untuk kegiatan budidaya udang galah di masyarakat. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 45 BAHAN DAN METODE Kegiatan dilaksanakan pada Bulan Januari sampai dengan Juni 2014, bertempat di Instalasi Pembenihan Udang Galah Palabuhan Ratu Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Bahan yang digunakan adalah induk udang galah, pakan induk, pakan larva, pakan benih, Artemia, vitamin C, daun ketapang kering (Terminalia catappa), bahan kimia (iodine, kaporit dan thiosulfat). Sedangkan alat yang digunakan adalah kolam pemeliharaan dan pemijahan induk, bak penetasan telur, bak pemeliharaan larva, bak tandon air tawar, bak tandon air laut, instalasi air tawar, instalasi air laut, perlengkapan sifon, perlengkapan aerasi, perlengkapan ganti air, bak penetasan artemia, ember, baskom, scoopnet, perlengkapan pembuatan pakan egg custard. Persiapan sarana dan prasarana pembenihan (Standar Prosedur Operasional Pembenihan Udang Galah BBPBAT Sukabumi 2009) a. Persiapan sarana dan prasarana pembenihan - Bangunan hatchery dibersihkan,lantainya didesinfeksi dengan kalsium hipoklorit 10% - Mencuci kotoran yang menempel pada permukaan bak dengan memakai detergen selanjutnya diseka dengan kalsium hipoklorit 10% - Pipa saluran air didesinfeksi dengan cara memasukkan larutan kalium permanganat dengan dosis 100 g/ton ke dalamnya dan ditahan selama minimal 24 jam - Perlengkapan aerasi dan perlengkapan lapang lainnya dicuci dengan detergen selanjutnya direndam pada larutan iodin dengan dosis 100 ml/ton selama minimal 24 jam, lalu dibilas dan dikeringkan (dijemur) di tempat yang bersih - Bangunan dan bak pemeliharaan dibiarkan terjemur selama minimal 1 minggu selanjutnya dicuci ulang dengan menggunakan natrium thiosulfat 5% sampai residu kaporit hilang - Pemasangan perlengkapan aerasi dan pipa outlet/dop di setiap wadah pemeliharaan b. Pengelolaan air sumber. - Air tawar berasal dari sumur dalam/sungai, dipompa dan diendapkan di bak reservoir air tawar BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 46 - Air laut diambil pada saat kondisi jernih di hamparan karang dengan menggunakan pompa dan diendapkan di bak reservoir air laut - Air tawar dialirkan melalui send filter dan air laut disaring dengan filter bag ke dalam bak pencampuran - Pada kegiatan pembenihan dibutuhkan air bersalinitas 5 promil untuk penetasan telur dan 12 promil untuk pemeliharaan larva, dan untuk membuat air dengan salinitas tersebut digunakan perhitungan dengan rumus: StVt + SlVl = ScVc dimana St = salinitas air tawar, Vt = volume air tawar, Sl = salinitas air laut, Vl = volume air laut, Sc = salinitas air campuran dan Vc = volume air campuran - Desinfeksi air dilakukan dengan cara berikut: Mengisi air pada bak pencampuran dengan salinitas yang dikehendaki Menimbang kalsium hipoklorit sebanyak 30 g/m3, ditempatkan di ember 10 liter, lalu diencerkan dengan air, diaduk dan disebar merata pada air yang didesinfeksi Pengaerasian dilakukan selama 1 jam Air dibiarkan selama minimal 24 jam lalu dinetralkan dengan natrium thiosulfat 15 g/m3 dengan cara seperti memberikan kalsium hipoklorit Pengaerasian dilakukan terus menerus minimal 12 jam hingga air siap pakai Prosedur pemijahan dan penetasan induk (Standar Prosedur Operasional Pembenihan Udang Galah BBPBAT Sukabumi 2009) a. Pemijahan induk - Melakukan pengelolaan induk dengan memasangkan induk betina dan jantan. Pemeliharaan induk dilakukan di kolam dengan kepadatan 5 ekor/m2, selama pemeliharaan induk diberi pakan pellet 3% dengan frekuensi 3 kali sehari - Pemijahan dilakukan di bak pemijahan berukuran 15 m2 secara masal dengan kepadatan 2-3 ekor/m2 serta perbandingan jantan dan betina adalah 1:3. b. Penetasan telur - Wadah penetasan berupa bak volume 2 m3 diisi dengan air bersalinitas 5 ppt - Induk yang bertelur dikelompokkan berdasarkan tingkat kematangan telur BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 47 - Selama pengeraman induk diberi pakan pellet sebanyak 3 %/BB dengan frekuensi 2 kali - Telur akan menetas setelah kira-kira 21 hari sejak diovulasikan Prosedur pengujian daun ketapang pada media pemeliharaan larva a. Menyiapkan daun ketapang - Kumpulkan daun ketapang yang telah jatuh dari pohonnya (gugur) - Ambil daun ketapang gugur yang daunnya masih segar dan lebar - Kemudian bersihkan daun ketapang dari pasir atau kotoran lainnya - Jemur daun ketapang dibawah sinar matahari - Timbang daun ketapang sebanyak 100 gram dan 200 gram b. Pemeliharaan larva - Menyiapkan wadah pemeliharaan larva berupa bak fiber glass volume 1,5 m3 sebanyak 9 buah (untuk 3 perlakuan dengan 3 ulangan) - Wadah diisi dengan air bersalinitas 12 ppt sebanyak 1 m3 - Air media selanjutnya diberi daun ketapang. Perlakuan A (tanpa daun ketapang), perlakuan B dengan dosis daun ketapang 100 g/m3 (± 30 lembar), dan perlakuan C dengan dosis 200 g/m3 (± 60 lembar). Biarkan selama 12-24 jam - Lakukan penebaran larva pada pagi hari dengan kepadatan tebar 50 ekor/liter - Pada umur hari kedua diberi pakan artemia, sedangkan pakan buatan diberikan mulai hari ke-6. Ketika terjadi perubahan stadia dari larva ke juvenil pakan yang diberikan adalah pakan benih berbentuk cramble sebanyak 2 g/m3 dan pakan egg custard mulai dikurangi. Manajemen pemberian pakan larva disajikan pada Tabel 1 - Lakukan pergantian air sebanyak 20% setiap tiga hari bertepatan dengan waktu penyifonan kotoran - Daun ketapang diganti yang baru setiap seminggu sekali dengan dosis yang sama pada masing-masing perlakuan hingga akhir pengujian - Monitoring kesehatan dan lingkungan dilakukan secara rutin - Penurunan salinitas dimulai pada saat perubahan stadia larva menjadi juvenil/post larva (PL) sudah mencapai 60%. Penurunan dilakukan secara gradual dan mencapai salinitas 0 promil pada saat stadia post larva 5 (PL5) BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 48 - Lakukan pemanenan post larva 5. Hitung kelngsungan hidup benih dan catat durasi pemeliharaan larva pada masing-masing perlakuan Tabel 1 Manajemen pemberian pakan larva udang galah Umur D1 D2-5 D6-10 D11-15 D16-20 D21-25 D26-30 D31-35 D36-40 07.00 Artemia (ekor/ml) 1 1 1-2 1-2 2 2 2 2 09.00 Egg custard 3 (g/m ) 2 4 6 8 6 4 2 11.00 Artemia (ekor/ml) 1 1 1.2 1-2 2 2 2 2 13.00 Egg custard 3 (g/m ) 2 4 6 8 6 4 2 15.00 Artemia (ekor/ml) 1 1 1-2 1-2 2 2 2 2 17.00 Egg custard 3 (g/m ) 2 4 6 8 6 4 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran jumlah pakan dan volume ganti air Berdasarkan hasil kegiatan aplikasi daun ketapang pada media pemeliharaan larva udang galah, memperlihatkan terjadinya perbedaan durasi pemeliharaan pada setiap perlakuan (Tabel 5). Durasi pemeliharaan pada perlakuan A (Kontrol) adalah antara 30-36 hari, perlakuan B (dosis 100 g/m3) 24-29 hari, dan perlakuan C (dosis 200 g/m3) 24-30 hari. Kandungan saponin pada daun ketapang dapat mempercepat dan mendorong terjadinya moulting/pergantian kulit pada larva udang galah, sehingga durasi pemeliharaan menjadi lebih cepat. Dengan lebih singkatnya durasi pemeliharaan maka jumlah pakan baik artemia maupun pakan buatan (egg custard) akan lebih sedikit. Hal ini terlihat pada Tabel 2-5, sesuai dengan jadwal pada management pemberian pakan larva, jumlah pakan artemia yang diberikan pada perlakuan A adalah 165 ekor/ml, perlakuan dengan daun ketapang adalah 129 dan 123 ekor/ml. Begitu pula pemberian pakan buatan (egg custard), pada perlakuan tanpa daun ketapang jauh lebih banyak yakni 426 g/m3, sedangkan pada perlakuan daun ketapang masing masing 336 g/m3 dan 318 g/m3. Jumlah pakan yang berbeda menyebabkan nilai FCR yang berbeda pula. Perbedaannya sangat significan. Media tanpa daun ketapang menyebabkan nilai FCR sebesar 2.85, sedangkan pada media dengan daun ketapang masingmasing 2.06 dan 1.86. FCR yang lebih rendah akan menyebabkan biaya BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 49 produksi mejadi lebih murah. Dalam hal ini telah terjadi efisiensi penggunaan pakan larva. Selain itu penggunaan air payau untuk media pemeliharaan larva dalam proses ganti air sebanyak 20% juga lebih sedikit pada perlakuan dengan daun ketapang yakni berbeda 400 liter dalam setiap bak pemeliharaan volume 1 m3. Penggunaan air payau yang lebih sedikit juga akan mengurangi biaya produksi, sehingga terjadi efisiensi. Tabel 2. Jumlah artemia, egg custard, volume ganti air dan nilai FCR pada setiap perlakuan No Perlakuan Jumlah artemia (ekor/ml) Jumlah pakan egg custard (g/m3) Jumlah volume ganti air payau (liter) FCR 1 A 165 426 1.400 2.85 2 B 129 336 1.000 2.06 3 C 123 318 1.000 1.86 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 50 Tabel 3. Jumlah pakan dan volume ganti air pada perlakuan tanpa daun ketapang Umur D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9 D10 D11 D12 D13 D14 D15 D16 D17 D18 D19 D20 D21 D22 D23 D24 D25 D26 D27 D28 D29 D30 D31 D32 D33 Jumlah 07.00 Artemia (ekor/ml) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 55 09.00 Egg custard 3 (g/m ) 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 6 6 6 6 6 8 8 8 8 8 6 6 6 6 6 4 4 4 142 11.00 Artemia (ekor/ml) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 55 13.00 Egg custard 3 (g/m ) 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 6 6 6 6 6 8 8 8 8 8 6 6 6 6 6 4 4 4 142 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 15.00 Artemia (ekor/ml) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 55 17.00 Egg custard 3 (g/m ) 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 6 6 6 6 6 8 8 8 8 8 6 6 6 6 6 4 4 4 142 Ganti air Payau 20% Payau 20% Payau 20% Payau 20% Payau 20% Payau 20% Payau 20% Tawar 30% Tawar 30% Tawar 50% Tawar 50% Tawar 50% 1.400 liter 51 Tabel 4. Jumlah pakan dan volume ganti air pada perlakuan daun ketapang dosis 100 g/m3 Umur D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9 D10 D11 D12 D13 D14 D15 D16 D17 D18 D19 D20 D21 D22 D23 D24 D25 D26 D27 Jumlah 07.00 09.00 Artemia Egg custard 3 (ekor/ml) (g/m ) 1 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 6 2 6 2 6 2 6 2 6 2 8 2 8 2 8 2 8 2 8 2 6 2 6 43 112 11.00 Artemia (ekor/ml) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 43 13.00 Egg custard 3 (g/m ) 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 6 6 6 6 6 8 8 8 8 8 6 6 112 15.00 Artemia (ekor/ml) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 43 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 17.00 Egg custard 3 (g/m ) 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 6 6 6 6 6 8 8 8 8 8 6 6 112 Ganti air Payau 20% Payau 20% Payau 20% Payau 20% Payau 20% Tawar 30% Tawar 30% Tawar 50% Tawar 50% Tawar 50% 1.000 liter Daun ketapang 30 lembar ganti ganti ganti ganti 150 lmbr 52 Tabel 5. Jumlah pakan dan volume ganti air pada perlakuan daun ketapang dosis 200 g/m3 Umur D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9 D10 D11 D12 D13 D14 D15 D16 D17 D18 D19 D20 D21 D22 D23 D24 D25 D26 Jumlah 07.00 Artemia (ekor/ml) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 41 09.00 Egg custard 3 (g/m ) 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 6 6 6 6 6 8 8 8 8 8 6 106 11.00 Artemia (ekor/ml) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 41 13.00 Egg custard 3 (g/m ) 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 6 6 6 6 6 8 8 8 8 8 6 106 15.00 Artemia (ekor/ml) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 41 17.00 Egg custard 3 (g/m ) 2 2 2 2 2 4 4 4 4 4 6 6 6 6 6 8 8 8 8 8 6 106 Ganti air Payau 20% Payau 20% Payau 20% Payau 20% Payau 20% Tawar 30% Tawar 30% Tawar 50% Tawar 50% Tawar 50% Tawar 50% 1.000 liter Daun ketapang 60 lembar ganti ganti ganti ganti 300 lmbr Kelangsungan Hidup Jumlah tebar larva, juvenile (PL5), durasi pemeliharaan larva, dan kelangsungan hidup pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 1. Jumlah larva yang ditebar pada setaip perlakuan adalah sama yaitu 50.000 ekor/m3. Kelangsungan hidup pada perlakuan A (kontrol) sebesar 58.2±6.8%, perlakuan B (dosis 100 g/m3) adalah 64.3±5.0% dan perlakuan C (dosis 200 g/m3) adalah 66.0±11.0%. Persentase kelangsungan hidup pada media dengan daun ketapang lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan Kontrol. Kelangsungan hidup yang tinggi dapat terjadi salah satunya sebagai akibat tidak terinfeksi penyakit. Media pemeliharaan larva yang diberi perlakuan daun ketapang menunjukkan warna air yang coklat menguning dan bahan organik terendapkan. Warna media coklat menguning tersebut berasal dari tannin yang terdapat pada daun ketapang. Daun ketapang mengandung BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 53 tannin (LP2IL Serang, 2014). Menurut Mustafa, daun ketapang (Terminalia catappa) mengandung tannin sebasar 21%. Tanin berfungsi sebagai antioksidan yang mampu mencegah terjadinya peroksidasi lemak. Aktifitas antioksidan pada daun berwarna merah lebih besar dari daun berwarna hijau yaitu 5.129.98% > 2.36-6.08%, menurut Chyau, et al, 2002. Asam tannin, lignin dan fulvic adalah sub kelas dari asam humic. Zat tersebut semua mewarnai air sehingga menguning. Asam humic dan tannin bermanfaat untuk menghambat berbagai jenis bakteri yang membahayakan kesehatan ikan peliharaan. Asam humic dan tannin juga dapat menyerap dan menetralkan racun dari bahan kimia logam berat seperti seng, almunium dan tembaga. Menurut D.S. Mohale, et. al, 2009 daun ketapang kering yang dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 0.5 mg/ml mampu menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophyla. Selain itu mampu mengurangi infeksi jamur pada telur ikan tilapia, dan pada dosis 800 ppm mampu mengeradikasi ektoparasit Trichodina. Tabel 6. Jumlah tebar larva , jumlah juvenil (PL5) dan kelangsungan hidup pada setiap perlakuan Ul Jumlah larva (ekor) Jumlah juvenil PL5 (ekor) (A) Kontrol 1 2 3 50.000 50.000 50.000 25.650 32.400 29.200 (B) Dosis 100 3 g/m 1 2 3 50.000 50.000 50.000 30.300 31.150 35.000 1 2 50.000 50.000 26.850 37.800 3 50.000 34.300 Perlakuan (C) Dosis 200 3 g/m BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 Durasi pemeliharaan (Hari) 36 30 34 33.3±3.1 51.3 64.8 58.4 58.2±6.8 29 29 24 27.3±2.9 30 25 60.6 62.3 70.0 64.3±5.0 53.7 75.6 24 26.3±3.2 68.6 66.0±11.0 SR (%) 54 70 66 64.3 65 60 58.2 55 50 A B C Gambar 1. Tingkat kelangsungan hidup larva (%) Laju Pertumbuhan Harian laju pertumbuhan harian (%) Tingkat laju pertumbuhan harian larva umur D1 hingga menjadi PL5 (post larva 5) pada masing-masing perlakuan adalah 7.19±0.71% (perlakuan A), 8.87±1.04% (perlakuan B) dan 9.23±1.11% (perlakuan C). Gambar 2 memperlihatkan laju pertumbuhan harian pada setiap ulangan dari masingmasing perlakaun. 12 10 8 6 10.07 9.65 8.27 7.98 8.27 7.98 6.6 7 A B 4 C 2 0 1 2 3 Gambar 2. Laju pertumbuhan harian larva (%) Laju pertumbuhan harian berkaitan dengan kegiatan moulting/pergantian kulit dan perubahan stadia pada larva. Pertumbuhan pada udang ditandai BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 55 dengan seringnya moulting. Saponin adalah salah satu zat yang dapat membantu dan mendorong terjadinya moulting pada udang. Zat saponin ini terkandung dalam daun ketapang kering. Sehingga laju pertumbuhan udang pada media dengan daun ketapang lebih tinggi dibanding pada media tanpa daun ketapang (kontrol). Hasil Pengujian kualitas Air Berikut adalah hasil pengujian kualitas air (Lab.UJI BBPBAT Sukabumi) pada setiap media pemeliharaan. Tabel 7. Hasil pengujian kualitas air* No Perlakuan 1 A 2 B 3 C Parameter Satuan/Unit Hasil Metode pH Kekeruhan pH Kekeruhan pH Kekeruhan NTU NTU NTU 7.86 35 7.83 51 7.70 2 SNI-06-6989.11-2004 APHA 2113 Ed 21:2005 SNI-06-6989.11-2004 APHA 2113 Ed 21:2005 SNI-06-6989.11-2004 APHA 2113 Ed 21:2005 *Hasil Lab.Uji BBPBAT Sukabumi Parameter kualitas air yang berkaitan dengan pemberian daun ketapang adalah pH. pH air yang diberi daun ketapang lebih rendah dibanding dengan tanpa daun ketapang. Untuk media pemeliharaan larva udang keadaan pH air harus sesuai dengan baku mutu yang dipersyaratkan. Dari ketiga perlakuan pH air yang terukur adalah 7.70, 7,.83 dan 7.86. Hasil Uji Kualitatif Daun Ketapang Hasil uji kualititatif terhadap kandungan daun ketapang hijau dan daun ketapang kering (yang sudah gugur) dilakukan oleh LP2IL Serang dalam kegiatan monitoring dan surveillance penyakit Macrobrachium rosenbergii Noda Virus (MrNV) pada udang galah di Instalasi Pembenihan Udang Galah Pelabuhan Ratu - BBPBAT Sukabumi pada Bulan April 2014. Hasil pengujian tersaji dalam Tabel 7. Tabel 7. Hasil pengujian kualitatif zat aktif yang terdapat pada daun ketapang* BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 56 No 1 2 Kode Sampel Daun ketapang segar Daun ketapang kering (gugur) Hasil Uji Parameter Spesifikasi Metode Hasil Alkaloid (Wagner) Positif Alkaloid (Mayer) Negatif Tanin Positif Saponin Positif Flavanoid Positif Alkaloid (Wagner) Positif Alkaloid (Mayer) Negatif Tanin Positif Saponin Positif Flavanoid Positif Wilstater (Journal of Microbiology and Antimicrobial Vol.3 (1), pp1-7 Januari 2011; ISSN 2141-23 08 @2011 Academic Journal) Wilstater (Journal of Microbiology and Antimicrobial Vol.3 (1), pp1-7 Januari 2011; ISSN 2141-23 08 @2011 Academic Journal) *(Hasil uji LP2IL Serang, 2014) Hasil analisis daun ketapang juga dilkemukakan dalam beberapa literatur lainnya. WHO (1998) dalam Elin, 2006 menyebutkan bahwa hasil uji kualitatif daun ketapang positif mengandung zat alkaloid, flavanoid, tannin, saponin, steroid dan kuinon. Selain itu juga Elin (2006) melakukan ekstrak daun ketapang, dari 1 kg simplisia diperoleh 52 gram ekstraknya. Analisa Usaha Dengan berkurangnya durasi larva, kelangsungan hidup meningkat, nilai FCR lebih rendah dan terjadi efisiensi 21-25% dalam pemanfaatan pakan serta 28% penggunaan air, maka biaya pemeliharaan larva untuk memproduksi juvenile udang galah dapat ditekan. Berikut adalah hasil analisa usaha selama satu periode pemeliharaan larva dengan target produksi juvenil sebanyak 1.000.000 ekor. Dalam periode waktu 2 bulan (1 siklus produksi) diperoleh keuntungan Rp 11.879.000,00. Jika dalam setahun mampu melakukan 6 kali siklus produksi maka keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp 71.274.000,00 Tabel 8. Analisa usaha pemeliharaan larva udang galah per siklus produksi dengan aplikasi daun ketapang BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 57 Komponen A. Biaya variabel 1. Artemia 2. Pakan larva (egg custard) 3. Pakan benih 4. Pakan induk 5. Obat-obatan - Kaporit - Thiosulfat - Daun ketapang 6. Peralatan packing/panen - Isi gas oksigen - Karet - plastik Total Biaya Variabel B. Biaya Tetap 1. Tenaga kerja 2. Listrik 3. Operasional genset 4. Penyusutan alat 5. Pajak bangunan 6. Induk jantan 7. Induk betina Total C. Total biaya operasional D. Penerimaan/pendapatan E. Keuntungan per siklus F. Keuntungan per tahun Jumlah Harga satuan (Rp) 20 kaleng 10 kg Harga total (Rp) 500.000 35.000 10.000.000 350.000 20.000 15.000 400.000 750.000 20 kg 50 kg 1 paket 5 3 33 kg 1 paket 2 tabung 4 kg 134 kg 40.000 20.000 2.000 200.000 60.000 66.000 100.000 25.000 30.000 200.000 100.000 420.000 12.546.000 Per siklus Per siklus Per siklus Persiklus Per siklus Per siklus Per siklus 5.000.000 3.000.000 500.000 500.000 100.000 625.000 850.000 10.000.000 3.000.000 500.000 500.000 100.000 625.000 850.000 15.575.000 28.121.000 40.000.000 11.879.000 71.274.000 1 juta 6 siklus 40 KESIMPULAN Kegiatan aplikasi daun ketapang (Terminalia catappa) pada media pemeliharaan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) telah memberikan kelangsungan hidup sebesar 64.3±5.0% (dosis 100 g/m3) dan 66.0±11.1% (dosis 200 g/m3) dengan tingkat laju pertumbuhan harian sebesar 8.87±1.04% dan 9.23±1.11%. Selain itu telah terjadi efisiensi dalam penggunaan pakan 21-25% dan air payau sebesar 28%. Efisiensi terjadi karena durasi pemeliharaan larva dapat BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 58 dipersingkat 6-10 hari, yakni durasi pemeliharaan menjadi 24-30 hari. Durasi yang singkat dan terjadi efisiensi penggunaan pakan menyebabkan nilai FCR lebih rendah. Nilai FCR maing-masing perlakuan adalah 2.85, 2.06 dan 1.86. Hal ini akan menyebabkan biaya produksi lebih rendah. DAFTAR PUSTAKA Apri, A. 2007. Efektifitas Ekstrak Steroid Teripang Untuk Memanipulasi Kelamin Udang Galah. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. [BBPBATS] Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi.2009. Standar Prosedur Operasional (SPO) Pembenihan Udang Galah. Sukabumi: BBPBATS, DJPB-DKP. Elin, Y.S et.al, 2006. Uji Aktifitas Anti Jamur Salep dan Krim Daun ketapang (Terminalia catappa, L) pada Kulit Kelinci. Sekolah Farmasi, ITB. Dalam Majalah Farmasi Indonesia 17 (3) . Chyau, et.al. (2002). Antioxidant Properties of Solvent extract From Teminalia catappa Leaves, Food Chemistry, 78 (4) 483-488. Dharma, F. 2005. Studi Kematangan Gonad Dan Perkembangan Telur Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii De Man, 1879). Skripsi. FIKP. Universitas Hasanudin D.S. Mohale et. al. 2009. Brief Review On Medicinal Potential Of Terminalia catappa. P.W. Collage of Pharmacy, Damangaon road, Yavatmal, India. Journal of Herbal Medicine and Toxicology 3(1) 7-11 (2009). ISSN:0973-4643. Hardiko, R.S. 2004. Aktifitas Antimikroba Ekstrak Etanol, Ekstrak Air Daun yang Dipetik dan Daun Gugur Pohon Ketapang (Terminalia catappa, Linn), Acta Pharm, Indonesia, 22(4) 129-133. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid 3. Terjemahan Bahan Litbang Kehutanan Jakarta, 1502. Mustapha, M.B. 2001. Potentials of Nigerian Terminalia catappa as Tanning agent. Pige Kexue Yu Gongcheng. 11(3) 37-41. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 59 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 60 THE BROODSTOCK IMPROVEMENT OF GIANT FRESHWATER PRAWN FOR INCREASING OF SEED PRODUCTION Dasu Rohmana, YuaniMundayana, Susi Rosellia, KesitTisnawibowo, Bunga, Nendih, Sri Hastuti, Ade Kurnia Balai Perikanan Budidaya Sukabumi Jl. Selabintana No.37 Sukabumi ABSTRACT The goal of broodstock improvement is to increase production of seed production at hatchery and consumsion prawn at prawn pond by development of synthethic founder broodstock. Materials for synthethic founder broodstock are broodstock F4 from Mahakam River, Cenranae River and Citanduy River with diallel crossing from all population combination. Every step of regeneration are made by individual selected method. The adult age of GFW prawn is sixt month, average of standard length is 8,8±0,4 cm and average of total weight is 31,8±5,1 g. The reproductive age of GFW prawn is eight month with spawning successfully are 26% every spawning period. The Number of relative fecundity are 742 eggs/g of broodstock female and hatching rate are 81,7%. At hatchery, the survival rate of larvae are 57,4±12,7%; larvae to juvenile duration are 24-30 days and total length of day-5 juvenile are 9,0±0,8 mm. The increasing of the survival rate of larvae to juvenile is very high. That will be increase hatchery productivity and always ready stock for farmer. KEYWORD : GFW Prawn; Individual Selected Method; Sintetic Population PENDAHULUAN Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) merupakan komoditas ikan air tawarpenting khususnya di Asia Tenggara, baik untuk konsumsi lokal maupun sebagai produk ekspor yang bernilai tinggi. Selain pangsa pasarnya yang masih terbuka luas, udang galah relatif mudah dibudidayakan karena makanannya tidak tergantung pada pakan buatan dan dapat dibesarkan secara polikultur dengan ikan tawar lain. Di alam udang galah memiliki kebiasaan makan yang bersifat omnivor, makan dengan frekuensi sering dan rakus terhadap cacing air, serangga air, larva serangga, moluska kecil, krustase (udang jenis lain), daging dan organ dalam ikan dan binatang lain, padi-padian, biji-bijian, kacang-kacangan, buah-buahan, alga, serta daun dan batang lunak BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 61 tanaman air. Bahkan dapat memanfaatkan bakteri heterotrof dalam bentuk biofloc. Pengembangan udang galah terkendala dengan ketidakberhasilan produksi benih di hatchery akibat infeksi penyakit yang beragam serta kerentanan benih terhadap perubahan lingkungan/kualitas air dan pertumbuhan udang yang lambat pada masa pembesaran di kolam. Kerentanan larva terhadap penyakit dan lingkungan diduga sebagai dampak dari manajemen induk yang salah yang menyebabkan terjadinya inbreeding. Pada umumnya hatchery menggunakan induk dari hasil pembesaran sendiri tanpa memperhatikan kaidah pemuliaan induk yang seharusnya. Indonesia memiliki sumber keragaman genetik udang galah yang sangat besar. Hampir di seluruh wilayah kepulauan terdapat udang galah mulai dari Aceh sampai Papua. Hal ini merupakan potensi untuk pembentukan varietas baru yang memiliki keunggulan spesifik seperti karakter pertumbuhan cepat, kepala kecil, resisten terhadap penyakit atau toleran terhadap lingkungan. Karakter pertumbuhan cepat pada udang galah sudah diperlihatkan mulai perkembangan larva di hatchery, masa pendederan serta pembesaran di kolam. Waktu yang dibutuhkan oleh larva udang galah untuk bermetamorfosis menjadi juvenil serta keseragaman waktu menjadi juvenil sangat menentukan kelangsungan hidup bagi ikan yang bersifat kanibal termasuk udang galah. Program pemuliaan udang galah yang dilakukan ditujukan untuk menghasilkan udang galah yang memiliki pertumbuhan cepat. Namun demikian karakter-karakter lain pun diamati untuk menambah keunggulan udang varietas baru ini. Salah satu permasalahan dari biologi udang galah adalah kepalanya yang cukup besar dengan prosentae bagian daging yang lebih sedikit dibanding udang-udang laut. Sehingga karakter persentase bobot kepala serta bobot edible menjadi karakter yang cukup penting untuk diamati. Tujuan Tujuan Program pemuliaan udang galah adalah untuk mendapatkan udang galah unggul yang memiliki kelangsungan hidup tinggi dan pertumbuhan cepat baik pada masa pemeliharaan di hatchery maupun pembesaran di kolam. BAHAN DAN METODE Kegiatan pemuliaan dilakukan di Instalasi Pembenihan Udang Galah (IPUG) - Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar di Pelabuhanratu. Uji multi lokasi dilakukan di kolam pembesaran IPUG Pelabuhanratu, Kolam pembesaran BBPBAT di Sukabumi dan BBUG Pamarican-Ciamis. Pemuliaan udang galah untuk mendapatkan strain baru dilakukan secara bertahap mulai dari pengadaan induk alam dan meregenerasinya sampai BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 62 mendapatkan generasi yang stabil. Larva udang galah hasil pemijahan induk alam (F0) sangat sulit diproduksi menjadi juvenil dan pada generasi keempat capaian kelangsungan hidup sudah cukup baik. Koleksi dan domestikasi dilakukan dari tahun 2007-2010, pembentukan populasi dasar sintetis tahun 2011, pembentukan F1 tahun 2012, pembentukan F2 tahun 2013 dan pembentukan F3 pada tahun 2014. Pada tahun 2014 dilakukan beberapa pengujian baik terhadap induk maupun benih, dengan jadwal pelaksanaan sebagai berikut: Tabel 2.1 Jadwal kegiatan seleksi individu udang galah di BBPBAT Sukabumi Tahun No Uraian Kegiatan 2007-2010 2011 2012 2013 2014 Semester keI 2 Koleksi, Domestikasi, dan Karakterisasi Pembentukan F0 3 Pembentukan F1 4 Pembentukan F2 5 Pembentukan F3 6 Karakterisasi benih sebar dan induk F3 1 II I II I II I II I II Material Awal Udang Galah strain BBPBAT Sukabumi dibentuk oleh tiga strain udang galah yang secara geografis berasal dari tempat yang berbeda, yaitu Sungai Mahakam (Kalimantan Timur), Sungai Cenranae-Bone (Sulawesi Selatan) dan Sungai Citanduy (Jawa Barat). Induk alam ketiga strain tersebut didatangkan pada tahun 2007. Setiap tahun ketiga strain tersebut diregenerasi sampai pada tahun 2011 telah mencapai generasi yang keempat (F4) dan secara bersamasama membentuk populasi gabungan melalui pembentukan populasi dasar sintetis (F0). Metode Seleksi Metode Seleksi Pemuliaan Acuan protokol Metode seleksi yang dilakukan untuk memperoleh karakter pertumbuhan cepat di BBPBAT Sukabumi adalah program seleksi individu pada karakter pertumbuhan. Secara garis besar, kegiatan dimulai dengan BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 63 pengadaan induk alam, pembentukan populasi dasar sintetis (F0), serta pembentukan populasi-populasi generasi berikutnya. Pedoman yang dipakai adalah protocol #1 : Seleksi Individu untuk Karakter Pertumbuhan Udang Galah (LRPTBPAT, 2010). Pembentukan Populasi Dasar Sintetis (Populasi F0) Populasi dasar sintetis (F0) BBPBAT Sukabumi dibentuk dari 3 (tiga) strain induk Mahakam (M), Bone (B), dan Citanduy (C) generasi ke-4 (F4). Keberadaan induk dari ke-3 strain tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 2.3 Jumlah induk udang galah F4 dari ke-3 strain hasil koleksi dan domestikasi di BBPBAT Sukabumi Strain Jml Jantan (ekor) Jml betina (ekor) Total (ekor) Mahakam 95 739 834 Bone 108 1090 1198 Citanduy 77 244 321 Pemijahan dilakukan secara dialel crossing dari tetua jantan dan betina dari masing-masing strain. Hasil pemijahan dan penetasan tersebut diperlihatkan pada tabel 2.4. Hasil pemeliharaan larva diperoleh juvenil, untuk kemudian didederkan sebanyak 202.500 ekor juvenil ukuran 0.0029 g dari 9 kombinasi dialel crossing (masing-masing 22.500 ekor). Tokolan udang galah hasil pendederan 9 kombinasi tersebut dipilih 50% terbaik kemudian dipelihara secara komunal untuk membentuk populasi dasar sintetis (F0). BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 64 Tabel 2.4 Jumlah induk betina dan jantan F4, betina matang telur (MT) dan jumlah larva pada kegiatan pemijahan secara dialel crossing Dialel crossing Jml Betina (ekor) Jml Jantan (ekor) Jml Betina MT (ekor) Jml Betina Tdk Bertelur (ekor) CC CM CB MC MM MB BC BM BB 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 24 22 15 21 11 19 17 21 16 4 5 12 6 14 7 6 8 12 Jumlah Larva (ekor) 144.500 158.500 63.000 80.000 80.000 100.000 128.700 102.500 85.000 Berikut adalah diagram pembentukan populasi dasar sintetis yang telah dilaksanakan pada tahun 2011 di BBPBAT Sukabumi. DIAGRAM PEMBENTUKAN POPULASI DASAR SINTETIS Koleksi populasi/strain udang galah Mahakam [M] Bone [B] Citanduy [C] Lakukan persilangan secara diallel crossing dari seluruh kombinasi populasi Skema diallel crossing Tetua Jantan M B C M MM MB MC Tetua Betina B BM BB BC C CM CB CC Dapatkan populasi turunan (juvenil) dari setiap kombinasi dengan umur yang seragam @22.500 ekor (Total 202.500 ekor) Tebar/pelihara juvenil di pendederan untuk masing-masing kombinasi, seleksi top 50% @5000 ekor (Total 45.000 ekor) Populasi Tebar tokolan di pembesaran secara komunal dasar sintetik Gambar 2.1 Diagram pembentukan F0 (populasi dasar sintetis) udang galah di BBPBAT BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 65 Pembentukan Populasi F1 Pada tahun 2012 populasi F1 Sintetik dibentuk dari pemijahan induk populasi dasar sintetik (F0) terseleksi dan pemijahan induk populasi kontrol dari populasi induk dasar sintetik. Populasi anakan (F1) yang dihasilkan selanjutnya dipelihara dalam beberapa tahapan. Pemeliharaan larva selama 30 45 hari, tahap pendederan 1 dan 2 masing-masing 45 hari, dan terakhir tahap pembesaran selama 3 bulan pemeliharaan. Pada akhir tahap pembesaran keragaan pertumbuhan populasi F1 dibandingkan dengan populasi kontrol untuk mengetahui besarnya nilai respon seleksi yang telah dilakukan. Selain itu pada akhir tahap pembesaran juga dilakukan seleksi individu berdasarkan ukuran panjang standar. Hasil pengukuran digunakan untuk mendapatkan data respon seleksi, diferensial seleksi dan nilai heritabilitas populasi F1. Individuindividu terbaik hasil seleksi merupakan populasi calon induk yang akan digunakan untuk membentuk populasi F2 sintetik. Dalam waktu yang bersamaan juga dibentuk populasi kontrol. Pembentukan Populasi F2 Populasi F2 dibentuk dengan memijahkan udang galah populasi F1 terseleksi. Pada waktu yang sama juga dibentuk populasi kontrol. Populasi anakan (F2) dipelihara mulai dari pemeliharaan larva hingga tahap pembesaran dengan teknik pemeliharaan yang sama pada pembentukan populasi F1. Untuk mengetahui besarnya respon seleksi, keragaan pertumbuhan populasi F2 dibandingkan dengan populasi kontrol. Seleksi individu juga dilakukan pada akhir tahap pembesaran. Seleksi individu dilakukan dengan memilih individu-individu terbaik berdasarkan ukuran panjang standar. Teknik seleksi individu tersebut sama dengan seleksi individu yang dilakukan pada pembentukan populasi F1. Pembentukan Populasi F3 Populasi F3 dibentuk melalui pemijahan F2 Sintetis terseleksi. Pada saat yang bersamaan juga dipijahkan udang galah populasi kontrol. Selanjutnya populasi anakan (F3) dan anakan populasi kontrol di pelihara mulai dari tahap pemeliharaan larva hingga tahap pembesaran. Pada akhir tahap pembesaran, keragaan pertumbuhan populasi F3 dibandingkan dengan populasi control untuk mengetahui nilai respon seleksi. Metode Analisis Karakter Meristik dan Morfometrik Pada populasi F2 dan populasi F3 dilakukan serangkaian pengukuran dan pengujian untuk mendapatkan beberapa karakterisasi udang galah hasil seleksi. Beberapa karakterisasi dan pengujian yang dilakukan adalah : BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 66 Karakterisasi Morfologis (Morfometrik dan Meristik) Karakterisasi morfologis dilakukan pada karakter morfometrik udang galah populasi F2 dan populasi F3. Karakter morfometrik yang diukur berdasarkan Imron dan Suprapto (2009), yang meliputi : 1) panjang rostrum (RST), 2) panjang karapas (PK), 3) lebar karapas (LK), 4) panjang antennascale (ANS), 5) panjang ruas pertama (PRP), 6) panjang ruas kedua (PRD), 7) panjang ruas ketiga (PRT), 8) panjang ruas keempat (PRE), 9) panjang ruas kelima (PRL), 10) panjang ruas keenam (PRN), 11) tinggi ruas keenam (TRN), 12) panjang abdomen (PAB), 13) lebar abdomen (LAB), 14) lingkar abdomen (LGAB), 15) panjang telson (PST), 16) panjang kaki jalan pertama (FST), 17) panjang propudus pada kaki jalan pertama (PROP). Hasil pengukuran kemudian dipresentasikan terhadap panjang standar udang galah. Karakterisasi Reproduksi Induk Karakterisasi reproduksi induk meliputi kegiatan menghitung umur udang galah menjadi dewasa (mengalami perkembangan gonad), umur produktif yaitu pada saat udang galah dewasa produktif melakukan perkawinan, mengukur karakter bobot dan panjang udang galah dimasa reproduksi, menghitung keberhasilan melakukan pemijahan, menghitung jumlah telur yang dihasilkan setiap induk, menghitung jumlah larva yang dihasilkan per gram induk matang telur. Metode Uji Multilokasi Salah satu metode untuk mengetahui karakterisasi benih hasil seleksi pada tahap pembesaran adalah dengan melakukan pengujian di beberapa tempat/lokasi berdasarkan ketinggian wilayah di atas permukaan laut (Uji multilokasi). Lokasi pengujian di bagi ke dalam 3 (tiga) kelompok wilayah dengan ketinggian berbeda: 1) Lokasi di wilayah dengan ketinggian > 600 m di atas permukaan laut (dpl), 2) Lokasi di wilayah dengan ketinggian 200 - 600 m di atas permukaan laut , 3) Lokasi di wilayah dengan ketinggian 0 – 200 m di atas permukaan laut. Lokasi yang dirancang untuk pengujian ini adalah 1) BBPBAT Sukabumi 2) BBUG Pamarican (Ciamis), 3) Instalasi Pembenihan Udang Galah (IPUG) BBPBAT Pelabuhanratu. Uji multilokasi dilakukan selama periode pemeliharaan 90 hari. Benih yang digunakan adalah benih sebar F3 sintetik hasil seleksi, dengan ukuran 3-5 gram. Kepadatan yang digunakan 10 ekor/m2. Pakan yang diberikan adalah pakan komersial dengan kandungan protein 30%. Diberikan sebanyak 5-3% biomassa/hari, dengan frekuensi pemberian pakan 2-3 kali/hari. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 67 Metode Uji Kualitas Benih Uji kualitas larva terhadap terhadap penyakit vibriosis Uji toleransi benih terhadap lingkungan Uji toleransi (tingkat ketahanan) udang galah dilakukan pada stadia Post Larva 5 (PL5) populasi F3 sintetik. Parameter pengujian meliputi uji toleransi terhadap penurunan salinitas 12 ppt menjadi 0 ppt, peningkatan salinitas 0 ppt menjadi 20 ppt, perubahan suhu 180C – 250C, uji toleransi terhadap pemaparan formalin 500 ppm, perubahan tingkat keasaman (pH 4). Pengujian ini mengacu pada SNI Nomor: 01-6486.2 – 2000 tentang benih udang galah (Macrobrachium rosenbergii De man) kelas benih sebar, dimana tingkat ketahanan benih yang sehat memiliki nilai > 80%. Pengujian dilakukan menggunakan wadah volume 2 liter, dilengkapi dengan aerasi dan diisi air media pengujian (sesuai parameter pengujian) sebanyak 1 liter. Benih ditebar dengan kepadatan 100 ekor/liter. Metode pengujian ketahanan benih terhadap perubahan suhu dilakukan dengan cara memindahkan benih PL 5 dari media dengan suhu 28-30 0C ke dalam media dengan suhu 18-25 0C secara mendadak. Waktu toleransi yang diberikan adalah selama 60 menit. Setelah 60 menit dilakukan pengamatan terhadap tingkat ketahanan benih. Benih dengan tingkat ketahanan > 80% dinyatakan toleran. Metode pengujian terhadap pemaparan formalin 500 ppm adalah dilakukan dengan memasukkan benih PL 5 ke dalam media yang telah dipapar formalin 500 ppm secara mendadak. Waktu toleransi selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap ketahanan benih. Benih dengan tingkat ketahanan > 80% dinyatakan toleran. Pengujian ketahanan terhadap pH dilakukan dengan memasukkan benih PL 5 ke dalam media dengan pH 4. Untuk mendapatkan pH 4, dilakukan dengan cara menambahkan asam cuka ke air media sebelum benih dimasukkan. Waktu toleransi dilakukan selama 15 menit. Benih dengan tingkat ketahanan > 80% dinyatakan toleran. Pengujian terhadap salinitas dilakukan dalam dua perubahan, yaitu pada penurunan dan peningkatan salinitas. Pada uji penurunan salinitas, benih yang digunakan adalah benih yang masih dipelihara pada salinitas 12 ppt, Selanjutnya benih dipindahkan ke dalam media dengan salinitas 0 ppt (tawar). Sedangkan uji peningkatan salinitas dilakukan menggunakan benih yang sudah dipelihara pada salinitas 0 ppt, kemudian benih dimasukkan ke dalam media dengan salinitas 20 ppt. Masing-masing waktu toleransi 15 menit. Benih dengan tingkat ketahanan > 80% dinyatakan toleran. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 68 Metode Uji Kualitas Daging Karakterisasi bobot (kualitas daging/bagian edible) Bagian edibles pada udang galah ditentukan berdasarkan proporsi bagian abdomen dengan karapas maupun tanpa karapas. Setiap individu ditimbang bobot total, kemudian dipisahkan bagian kepala dan abdomen, serta bagian abdomen tanpa cangkang untuk ditimbang dan dihitung prosentasenya terhadap bobot total udang galah. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pemuliaan Induk Unggul Pembentukan populasi dasar sintetis (F0) berasal dari proses penggabungan populasi generasi ke-4 (F4) Mahakam, Bone dan Citanduy melalui perkawinan dua arah (diallel crossing). Selanjutnya hasil pembentukan populasi dasar tersebut digunakan sebagai pembentuk populasi F1 sintetis. Melalui kegiatan seleksi individu pada populasi F1 sintetis dibentuk populasi F2 sintetis dan pada tahun 2014 telah dihasilkan populasi F3 sintetis. Pada setiap kegiatan pembentukan populasi sintetis hingga generasi ke-3 telah dilakukan beberapa pengukuran terhadap karakter panjang dan bobot untuk melihat tingkat keberhasilan seleksi dan tingkat pertumbuhan dari setiap generasi. Tingkat keberhasilan seleksi dapat dilihat dari nilai respon seleksi, diferensial seleksi dan nilai heritabilitasnya. Selama tiga generasi (F1 sampai F3) diperoleh respon seleksi berdasarkan karakter panjang standar sebesar 0,21 cm atau setara dengan 8,22%, seperti tersaji pada Tabel 3.1 dan Lampiran Tabel 3.1. Respon seleksi (RS) pada karakter panjang standar udang galah hasil seleksi RS (cm) RS (%) Betina Jantan Rataan RS (cm) Betina Jantan Rataan RS (%) F1 0,19 0,12 0,16 1,56 0,92 1,24 F2 0,46 0,16 0,31 7,02 2,14 4,58 F3 0,19 0,13 0,16 2,81 1,99 2,40 Populasi Total Respon Seleksi 0,63 8,22 Total respon seleksi berdasarkan karakter bobot total dari populasi F1 sampai F3 adalah sebesar 6,29 g atau setara dengan 33,68%, seperti tersaji pada Tabel 3.2. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 69 Tabel 3.2. Respon seleksi (RS) pada karakter bobot total udang galah hasil seleksi RS (g) RS (%) Betina Jantan Betina Jantan Rataan RS (g) F1 1,62 2,30 1,96 7,16 8,39 7,78 F2 2,74 2,56 2,65 19,00 11,91 15,46 F3 1,52 1,83 1,68 9,34 11,54 10,44 Populasi Total Respon Seleksi 6,29 Rataan RS (%) 33,68 Nilai heritabilitas dari populasi F1 sampai F3 pada karakter pertumbuhan panjang standar sebesar 0,27±0,24, seperti terlihat pada Tabel 3.3. Adapun nilai heritabilitas pada karakter bobot adalah 0,34±0,30, seperti terlihat pada Tabel 3.4. Tabel 3.3. Heritabilitas (h2) pada karakter panjang standar udang galah Populasi DS (cm) Betina Jantan RS (cm) Betina Jantan h2 Betina Jantan Rataan h2 F1 2,61 1,11 0,19 0,12 0,07 0,11 0,09 F2 0,94 0,16 0,46 0,16 0,94 0,16 0,55 F3 0,66 1,90 0,19 0,13 0,29 0,07 0,18 Rataan Heritabilitas BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 0,27±0,24 70 Tabel 3.4. Heritabilitas (h2) pada karakter bobot total udang galah Populasi DS (g) Betina Jantan RS (g ) Betina Jantan h2 Betina Jantan Rataan h2 F1 21,00 16,16 1,62 2,30 0,08 0,14 0,11 F2 2,54 9,04 2,74 2,56 1,08 0,28 0,68 F3 4,20 14,04 1,83 1,52 0,36 0,13 0,24 Rataan Heritabilitas 0,34±0,30 Ket: DS : Diferensial seleksi RS : Respon seeleksi Karakteristik Induk Terdapat 19 karakter morfometrik yang diamati dan 8 karakter bobot yang diamati. Hasil pengamatan karakter morfometrik dan morfometrik induk sintetis F2 tersaji pada Tabel 3.5. Karakter reproduksi meliputi umur dewasa, umur reproduktif, bobot dan panjang standar udang dewasa, keberhasilan pemijahan, fekunditas telur dan jumlah larva relatif disajikan pada Tabel 3.6. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 71 Tabel 3.5. Karakter morfometrik dan meristik induk hasil seleksi Satuan Betina Jantan 1 Panjang Rostrum (RST) cm 3,97 ± 0,27 4,50 ± 0,53 2 Panjang Karapas (PK) cm 3,58 ± 0,20 4,36 ± 0,22 3 Lebar Karapas (LK) cm 2,33 ± 0,18 2,80 ± 0,25 4 Panjang Antenascale (ANS) cm 1,72 ± 0,10 2,04 ± 0,17 5 Panjang Ruas Pertama (PRP) cm 0,64 ± 0,06 0,71 ± 0,05 6 Panjang Ruas Kedua (PRD) cm 1,07 ± 0,07 1,10 ± 0,14 7 Panjang Ruas Ketiga (PRT) cm 1,00 ± 0,09 1,06 ± 0,10 8 Panjang Ruas Keempat (PRE) cm 0,84 ± 0,11 0,96 ± 0,08 9 Panjang Ruas Kelima (PRL) cm 0,63 ± 0,08 0,75 ± 0,12 10 Panjang Ruas Keenam (PRN) cm 1,04 ± 0,06 1,05 ± 0,16 11 Tinggi Ruas Keenam (TRN) cm 1,03 ± 0,36 1,11 ± 0,07 12 Panjang Abdomen (PAB) cm 5,18 ± 0,32 5,66 ± 0,30 13 Lebar Abdomen (LAB) cm 2,04 ± 0,13 2,18 ± 0,17 14 Lingkar Abdomen (LGAB) cm 7,39 ± 0,41 7,61 ± 0,34 15 Panjang Telson (PST) cm 1,66 ± 0,16 2,03 ± 1,11 16 Panjang Kaki Jalan Pertama (FST) cm 2,63 ± 0,22 3,88 ± 0,31 17 Pj. Propudus Kaki Jalan ke-1 (PROP) cm 0,60 ± 0,00 0,72 ± 0,17 18 Panjang Total (PT) cm 13,41 ± 0,56 15,28 ± 0,62 19 Panjang Baku (PB) 10,03 ± 0,14 No Karakter morfometrik cm 8,85 ± 0,42 Satuan Betina Jantan Bobot Total g 31,78 ± 5,14 53,29 ±8,57 21 Bobot Abdomen (Skin on) g 14,88 ± 2,21 20,69 ± 2,51 22 Bobot Kepala g 16,14 ± 3,11 31,13 ± 7,33 23 Bobot edibel abdomen (Karkas) g 11,41 ± 2,74 16,23 ± 2,27 24 Bobot edibel kepala g 8,26 ± 1,16 14,33 ± 2,06 25 Bobot Gonad g 2,25 ± 0,73 2,79 ± 0,95 26 Bobot tanpa telur g 30,30 ± 4,50 - 27 Bobot telur g 3,60 ± 0,70 - No 20 Karakter Bobot BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 72 Tabel 3.6. Karakter reproduksi induk hasil seleksi Karakter reproduksi induk Nilai Umur dewasa (bulan) 6 Umur produktif (bulan) 8 Bobot dewasa (g) 31.78±5.14 Panjang standar dewasa (cm) 8.85±0.42 Keberhasilan pemijahan (%) 25.95 Fekunditas (butir/gram induk) 742.51 Jumlah larva relatif (ekor/g induk) 607 Derajat Penetasan (%) 81.75 Karakteristik Benih sebar Benih sebar udang galah hasil seleksi memiliki karakteristik seperti tersaji pada Tabel 3.7. Tabel 3.7. Karakter benih sebar udang galah hasil seleksi No Karakteristik 1. Diameter telur 2. Tingkat keseragaman larva 3. Durasi pemeliharaan larva – PL5 4. Kelangsungan hidup larva (SR) 5. 6. Satuan Nilai mm 0.511±0.029 % 90 hari 24-30 % 47.77 – 63.91 Ukuran PL 5 Tingkat keseragaman ukuran PL5 mm % 9.02±0.81 99.19 7. Tingkat keseragaman warna PL5 % 90 8. SR pada pendederan 1 (45 hari) % 72.72±11.52 9. SR pada pendederan 2 (45 hari) 10. Ukuran tokolan 1 % cm 77.09±22.47 3.75±0.09 cm 6.78±0.65 % BB/hari 9.94±2.89 11. Ukuran tokolan 2 12. Laju Pertumbuhan Harian pendederan 1 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 73 Karakteristik pembesaran Karakteristik pembesaran udang galah hasil seleksi dan populasi Mahakam sebagai pembanding disajikan pada Tabel 3.8 dan Lampiran Tabel 3.8. Performa pembesaran udang galah hasil seleksi selama 90 hari pemeliharaan Parameter Seleksi Mahakam Rataan bobot awal (g) Biomassa awal (g) Rataan bobot akhir (g) Biomassa akhir (g) Sintasan (%) Laju pertumbuhan harian (%) Rasio konversi pakan 0,55±0,00 82,50±0,00 18,50±0,06 2350,00±70,71 84,67±2,83 3,98±0,01 0,57±0,01 85,10±2,12 16,97±0,82 1979,10±180,17 77,67±3,30 3,84±0,08 1,56±0,08 2,65±0,30 Adapun pertambahan bobot udang hasil seleksi dan kontrol Mahakam pada fase pembesaran disajikan pada Gambar 3.2 20 Bobot (g) 15 10 Seleksi 5 Mahakam 0 1 15 30 45 60 75 90 Hari keGambar 3.2 Pertambahan bobot udang galah pada fase pembesaran Hasil Uji Multilokasi Performa pertumbuhan udang galah di beberapa lokasi tersaji pada Tabel 3.9. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 74 Tabel 3.9 Performa pertumbuhan udang galah hasil kegiatan uji multilokasi Parameter Tipe kolam Ukuran kolam (m2) Sukabumi (850 m dpl) Terpal Pamarican (21m dpl) Tanah Palabuhanratu (3 m dpl) beton 200 200 90 Padat tebar (ekor/m2) 10 10 10 Ukuran benih tebar 5,0 9,0 0,55 Waktu pemeliharaan (hari) 75 50 90 Biomassa awal (g) 12.000 18.000 495 Biomassa akhir (g) 35.000 41.000 11.400 Laju pertumbuhan harian (%) 2,11 2,06 3,8 Sintasan (%) 72,8 81,9 80,7 Rasio konversi pakan 1,7 1,2 1,8 1.750 2.050 1.267 Produksi (kg/ha) Hasil pengukuran kualitas air baik sumber untuk kegiatan fase pembenihan, fase pendederan maupun pada fase pembesaran di Instalasi Pembenihan Udang Galah Pelabuhan Ratu tersaji pada Tabel 3.10 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 75 Tabel 3.10 Hasil pengukuran kualitas air No Identifikasi Sampel 1 Air Laut 2 Air Tawar 3 Media pemeliharaan larva udang galah di IPUG 4 Media pembesaran udang galah di IPUG 5 Media pembesaran udang galah di BBPBAT Sukabumi (Selabintana) Parameter Satuan/unit Hasil/Result Pb Cd Hg Pb Cd Hg mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l Ttd Ttd 0.008 Ttd Ttd 0.007 Salinitas Kekeruhan Suhu Alkalinitas Ammoniak DO DO Suhu pH Conductivity Turbidity Suhu Oksigen terlarut Karbondioksida pH Alkalinitas Amonia NO2 ppt NTU o C mg/l mg/l mg/l mg/l o C - 12 35 28-29 84.10 0.04 4.14-5.78 3.8 26-27 6.98-7 0.01-0.02 77 24,46o – 26,45 2,89 – 4,33 9,85 – 19,22 5,71 – 7,12 51,11 – 54,15 0,14 – 1.04 0,034 - 0,243 o C mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l Hasil Uji Toleransi dan Kualitas Benih Uji kualitas larva udang galah terhadap Vibrio harveyi menunjukkan bahwa larva hasil seleksi dan kontrol Mahakam memiliki daya tahan yang hampir sama yaitu masing-masing 80,0% dan 81,0%. Data tersebut menunjukkan bahwa larva udang galah hasil seleksi memiliki ketahanan yang baik terhadap penyakit vibriosis. Uji toleransi benih udang galah meliputi perendaman benih pada formalin 500 ppm selama 15 menit, penurunan suhu dari suhu normal (25 oC) ke suhu ekstrim (18 oC) selama 60 menit, penurunan derajat keasaman dari 7 ke 4 selama 15 menit, dan penurunan salinitas dari 12 ppt ke 0 ppt selama 15 menit, terlihat pada Tabel 3.11 Tabel 3.11. Toleransi benih udang galah terhadap lingkungan BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 76 No Toleransi Waktu Toleransi 15 menit Ulangan 1 Formalin 500 ppm 1 2 3 2 Perubahan Suhu 180C250C 60 menit 1 2 3 3 Tingkat keasaman (pH 4) 15 menit 1 2 3 4 Perubahan salinitas (12 ppt ke- 0 ppt) 15 menit 1 2 3 Tingkat toleransi (%) 100 100 100 100 100 99 98 99 100 100 100 100 100 100 100 100 Pengamatan virus MrNV pada induk, benih dan tokolan Virus MrNV merupakan virus utama pada udang galah yang menyebabkan kelumpuhan pada industri udang galah dunia. Sehingga monitoring terhadap keberadaan virus ini harus dilakukan secara terus menerus, dan Loka Penyidik Kesehatan Ikan Serang telah dimandatkan untuk melalukan monitoring keberadaan virus ini baik pada induk, benih maupun kegiatan pembesaran di kolam-kolam pembudidaya. Sedangkan jadwal monitoring yang akan dilakukan Loka tersebut di wilayah Jawa barat termasuk Sukabumi adalah pada Bulan April 2014. Sehingga untuk inventarisasi MrNV pada kegiatan di Instalasi Pembenihan Udang Galah BBPBAT akan bekerjasama dengan Loka Penyidik Kesehatan Ikan Serang disamping monitoring rutin dari Laboratorium Kesehatan Ikan BBPBAT Sukabumi. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 77 Tabel 3.12 Hasil pengamatan virus MrNV pada induk, larva, juvenile dan tokolan No 1 2 3 4 5 Stadia Induk Larva Juvenil H-5 Juvenil H-30 Tokolan Jumlah Bak atau Kolam 2 11 8 4 8 Jumlah Sampel per Bak atau Kolam 10 1000 500 30 10 Hasil Pengujian MrNV Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Kualitas/bagian edibles Persentase karakter bobot tanpa atau dengan karapas udang galah hasil seleksi tersaji pada tabel 3.13. Tabel 3.13 Persentase karakter bobot jantan dan betina udang galah hasil seleksi No Karakter Bobot Jantan (%) 1 Bobot Abdomen (Skin on) 38.83 2 3 4 Bobot Kepala Bobot edible abdomen (Karkas) Bobot edible kepala 58.42 30.46 26.89 Betina (%) 46.80 50.79 35.89 25.98 Ketersedian Induk Ketersediaan induk udang galah kelas GGPS sebanyak 2000 ekor dengan rataan bobot jantan 53,29±8,57 g dan bobot betina 31,78±5,14 g, dengan karakteristik seperti tersaji pada Tabel 3.14 Tabel 3.14 Karakteristik dan ketersediaan induk GGPS Induk GGPS Umur Bobot Panjang Total Panjang Standar Ketersediaan Satuan Betina Jantan Bulan Gram Cm Cm ekor 8 31,78±5,14 13,41±0,56 8,85±0,42 1.000 8 53,29±8,57 15,28±0,62 10,03±0,45 1.000 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 78 Dalam rangka penyediaan induk untuk kebutuhan di hatchery-hatchery (terutama di BBUG) dan untuk memproduksi benih sebar, telah dipersiapkan calon induk GPS. Calon induk tersebut telah memasuki tahap pembesaran selama tiga bulan dan telah dilakukan pemilihan top 50%, dengan rerata bobot pada populasi jantan 18,96±5,79 g dan bobot pada populasi betina 14,39±2,40 g. Sebanyak 1000 ekor calon induk telah didistribusikan ke Balai Benih Udang Galah Pamarican Kabupaten Ciamis pada Tanggal 4 Agustus 2014. Tabel 3.15 Karakteristik dan ketersediaan calon induk GPS Umur Pemeliharaan (Bulan) 3 1 Karakter Calin GPS Bobot (g) Panjang Total (cm) Panjang Standar (cm) Ketersediaan Bobot (g) Panjang Total (cm) Panjang Standar (cm) Ketersediaan Betina Jantan Keterangan 14.39±2.40 10.55±0.62 6.62±0.38 18.96±5.79 11.67±1.38 7.19±0.61 Sudah Diseleksi 5.990 3.610 6.67±1.85 8.51±0.61 5.29±0.46 Belum Diseleksi 20.000 KESIMPULAN Program pemuliaan udang galah melalui seleksi individu yang telah dilakukan di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi telah menghasilkan strain udang galah yang memiliki karakter pertumbuhan lebih cepat baik pada masa pemeliharaan di hatchery maupun pembesaran di kolam budidaya. Di hatchery, Udang galah hasil seleksi memiliki nilai rerata kelangsungan hidup sebesar 47.77 – 63.91% dengan durasi larva selama 24-30 hari. Udang galah hasil seleksi memiliki nilai rerata heritabilitas pada karakter panjang sebesar 0.27±0.24, nilai rerata heritabilitas pada karakter bobot sebesar 0.34±0.30. Keunggulan lainnya adalah pertumbuhan cepat (33.68%), bebas virus MrNV, durasi dan perkembangan larva lebih cepat, tahan terhadap bakteri vibriosis, sintasan tinggi pada fase pembesaran ≥ 80%, toleransi lingkungan (pH, suhu, salinitas) tinggi (≥95%), persentase bobot edible tanpa cangkang sebesar 30,46% (jantan) dan 35,89% (betina). BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 79 DAFTAR PUSTAKA Soewardi, K. 2007. Pengelolaan Keragaman Genetik Sumberdaya Perikanan Dan Kelautan. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 153 p. BBPBATS] Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. 2007. Standar Prosedur Operasional (SPO) Pembesaran Udang Galah di Kolam. Sukabumi: BBPBATS, DJPB-DKP. [BBPBATS] Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi.2009. Standar Prosedur Operasional (SPO) Pembenihan Udang Galah. Sukabumi: BBPBATS, DJPB-DKP. New MB. 2002. Farming Freshwater Prawns: A Manual for Cultureof The Gaint River Prawn (Macrobrachium rosenbergii). Roma: Food and Agriculture Organization of The United Nations. [LRPTBPAT] Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Sukamandi.2010. Protokol Pemuliaan Udang Galah. Sukamandi: LRPTBPAT, PRPB-BRKP. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 80 SUBSTITUTE APPLICATION OF JABIR AS ARTIFICIAL FEED MATERIALFOR TIGER SHRIMP (Penaeus monodon.Fabr) NURSERY Syamsul Bahri, Sugeng Raharjo, Dasep Hasbullah, Lideman, Marwan Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar Ds. Bontole, Kec. Galesong Selatan, Kab. Taklar, Sulawesi Selatan Abstract To improve productivity and tiger shrimp seed quality, it is need to develop engineering technology that combine comprehensive shrimp brood stock management, larvae and seed nursery fish health and feed management as nutrition resources from seed phase, nursery until grow out phase. Various alternative of technology development that been trial were aims to increase survival ratio of cultivar, enhancing grow rate and improving food conversion rate (FCR) and finally as economic motive of aquaculture intent to increase productivity with low management cost without decreasing product quality. Jabir is specific local fish from Oreochromismozambicus family in South Sulawesi, their population grow in the wild and has high abundance surround fishpond area. Existence of Jabir considered as competitor and pest in shrimp cultured and difficult to eliminate totally. Balai Perikanan Air Payau Takalar in technology engineering activities were developing alternative raw material for artificial feed. From proximate testing result, Jabir contain quite high protein reach to 67,77%, water content; 5,38% and fat; 7,38%. Other testing for artificial feed in tiger shrimp nursery was showing positive correlation, able to give better influence on biomass weight rate of tiger shrimp with survival rate close to commercial feed utilization (>80%). Low FCR also showing that economically utilization of artificial feed with Jabir (trash fish) material is profitable. Key words: Artificial feed, jabir, nursery, tiger shrimp and production BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 81 PENDAHULUAN Kegiatan usaha perbenihan merupakan bagian integral dari kegiatan usaha budidaya perikanan, oleh karena itu pembangunan dan pengembangan sistem perbenihan disusun dengan berpedoman kepada Program Utama Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya beserta target dan sasarannya seperti dalam Perencanaan Strategik (Renstra) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan. Salah satu program kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi Direktorat Perbenihan adalah peningkatan produksi benih. Benih komuditas perikanan payau yang sudah memiliki teknologi produksi benih yang mapan dan berkembang di masyarakat dan kalangan pengusaha adalah udang windu (P. monodon). Keberhasilan peningkatan secara kuantitatif produksi benih udang windu belum sepenuhnya diikiuti dengan peningkatan secara kualitatif benih yang dihasilkan. Kulaitas benih yang kurang bermutu disinyalir sebagai penyebab kegagalan budidaya udang di tambak. Sulawesi Selatan dan beberapa daerah lain di Indonesia Timur merupakan daerah yang sangat potensial dalam pengembangan usaha budidaya udang khususnya udang windu. Percepatan perkembangan dari budidaya udang tergantung pada pemahaman yang baik dalam proses produksinya baik yang berkaitan dengan asfek genetik, nutrisi, pengelolaan lingkungan maupun penerapan bioscurity. Dalam proses pembenihannya diharapkan dapat dihasilkan efisiensi produksi (sarana prasarana, pakan) dan tingkat kelangsungan hidup benih yang tinggi serta kualitas benih yang sehat dan bermutu. Berdasarkan permasalahan dan kendala yang dihadapi di lapangan maka perlu diambil langkah-langkah yang strategis menjawab berbagai persoalan yang timbul, diantaranya adalah dengan melakukan upaya perbaikan mutu benih melalui teknik pembenihan dengan mengacu pada kaidah-kaidah Cara Pembenihan Ikan Yang Baik (CPIB) dan kaidah-kaidah Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Sebagai tindak lanjut guna mengantisipasi permasalahan di atas, maka Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya pada Tahun Anggaran 2013melakukan kegiatan ujicoba substitusi pakan buatan dengan bahan baku yang murah dan ramah lingkungan serta secara ekonomis memberikan keuntungan usaha yang cukup baik untuk diterapkan pada kegiatan usaha pembenihan udang windu di masyarakat. Tujuan Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi mengenai efektivitas substitusi ikan rucah (jabir) sebagai pakan buatan terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih udang windu di penggelondongan. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 82 Sasaran Sasaran dari kegiatan ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dalam pengembangan teknik penggelondongan udang windu sehingga mendapatkan hasil yang lebih baik dan secara ekonomis menguntungkan untuk dilakukan. BAHAN DAN METODE Secara ilmiah udang windu menyandang nama Penaeus monodon. Udang windu ini termasuk golongan Crustacea (udang-udangan), dan dikelomokkan sebagai udang laut atau udang Penaide bersama dengan jenisjenis udang lainnya, seperti udang putih atau udang jrebung (Penaeus monodon), udang werus atau udang dogol (Metapenaeuss spp), udang jari (Penaeus indicus), udang kembang (Penaeus semisulcatus), dan Penaeus japanicus. Udang penaeid termasuk bintang Crustacea atau biasa disebut bintang beruas-ruas, karena pada tiap ruasnya terdapat sepasang anggota badan. Tubuh udang secara morfologi dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu Cephalothorax atau bagian kepala dan abdomen atau dada serta perut. Bagian Cephalothorax disebut carapace (Sutaman, 1993). Secara anatomis baik cephalothorax maupun abdomen terdiri dari segmen-segmen atau ruas-ruas, jumlah ruas udang penaeid ada 20 buah termasuk bagian badan dimana terletak mata bertangkai Antenna I atau Antennules mempunyai dua buah flagella pendek yang berfungsi sebgai alat peraba dan pencium. Antenna II atau antennae mempunyai dua cabang yaitu cabang pertama (Exopodite) berupa cambuk panjang berfungsi sebagai alat peraba (Cholik, dan Poernomo 1989). Pada bagian dada terdiri dari 8 ruas, masing-masing ruas mempunyai sepasang aggota badan disebut thoracopoda. Thoracopoda pertama sampai ketiga dinamakan maxilliped yang berfungsi sebagai pelengkap mulut dalam memegang makanan.Thoracopoda ke 5-8 berfungsi sebagai kaki jalan yang disebut pereiopoda. bagian perut atau abdomen terdiri dari 6 ruas yang pertama sampai ruas ke lima masing-masing memiliki sepasang anggota badan yang dinamakan pleopoda. Pelopoda berfungsi sebagai alat berenang bentuknya pendek dan kedua ujungnya pipih dan berbulu. Pada ruas keenam pleopoda berubah bentuk menjadi pipih dan melebar dinamakan urupoda dan berfungsi sebagai kemudi (Suyanto,1995). Habitat dan daur hidup Habitat udang windu berbeda-beda tergantung dari jenis dan tingkatan dalam daur hidupnya. Daur hidup udang windu mengalami tingkatan perubahan BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 83 yaitu telur , Nauplius, Larva, Post Larva, Juvenie, udang muda dan dewasa. Udang yang bersifat bentik yaitu hidup pada permukaan dasar laut. Habitat disukai adalah dasar laut yang biasanya terdiri dari campuran lumpur dan pasir (Tricahyo, 1995). Udang windu termasuk hewan yang heteroseksual. Udang jantan dicirikan dengan alat reproduksi bagian luar berupa paetasma dan sepasang apendix Masculina, sedangkan yang betina alat reproduksi bagian luar disebut thelicum. Petasma terletak diantara sepasang kaki renang ke-2. Alat reproduksi betina atau thelicum terletak diantara pangkal kaki jalan ke-4 dan ke-5, sepasang lubang alat pengeluaran sperma. Pada yang jantan terletak pada kaki jalan ke-5 dan baginya yang betina untuk pengeluaran telur teletak pada pangkal jalan ke-3, udang betina umumnya mempunyai ukuran relatif lebih besar daripada yang jantan (Sudarmin dan Sulistiyono, 1988). Makanan dan Kebiasaan makan Udang windu biasanya makan berbagai jenis crustacea besar, benda-benda nabati, polychaeta, Mollusca, ikan-ikan kecil dan crustacea kecil, dalam jumlah yang terbatas, sedngkan udang yang dipelihara dihatchery pada umunya pakan diberikan berupa cumi-cumi, hati sapi, cacing, ikan rucah, dan tiram. Namun pakan yang diberikan pada pemeliharaan udang windu di Balai Budidaya Air Payau yaitu keong sawah, cumi-cumi, dan kepiting. Walaupun udang penaeid ini merupakan pemakan segala (omnovora), akan tetapi pada umunya udang merupakan predator bagi invertebrata yang pergerakannya lambat. Dalam usaha pemeliharaan udang, makanannya yang diberikan selain harus berkualitas yang baik juga jumlahnya harus cukup Pakan Buatan Pakan buatan adalah makanan khusus yang diramu dari berbagai macan bahan yang kemudian dibentuk sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Ketersediaan pakan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan bernilai gizi baik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kegiatan usaha budidaya. Penyediaan pakan yang tidak sesuai dengan jumlah ikan yang dipelihara menyebabkan laju pertumbuhannya lambat, akibatnya produksi yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan (Sachwan, 1999). Protein, karbohidrat dan lemak merupakan zat gizi dalam makanan yang berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh. Protein bersama dengan mineral dan vitamin berfungsi dalam pengaturan suhu tubuh, pengaturan keseimbangan asam basa, pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh serta pengaturan proses metabolisme dalam tubuh (Afrianto dan Liviawaty, 2004). BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 84 Tingkat kelangsungan Hidup (SR) Tingkat kelangsungan hidup (sintasan) adalah jumlah organisme yang hidup dalam ukuran waktu tertentu. Effendi (1979) menyatakan bahwa ketersediaan makanan akan mempengaruhi sintasan ikan. Sintasan yang dicapai suatu populasi merupakan gambaran hasil interaksi dengan daya dukung lingkungan dengan respon populasi terhadap lingkungan. Kondisi perairan yang tidak cocok dapat menyebabkan kematian pada ikan. Menurut Krebs (1972) dalam Kasim (1996) bahwa sintasan yang dicapai suatu populasi merupakan gambaran hal interaksi dari daya dukung lingkungan dengan respon populasi yang ada. Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi sintasan yang utama adalah kepadatan dan jumlah pakan. Kualitas Air Kualitas air media pemeliharaan sangat berperan dalam menunjang keberhasilan produksi benih kerapu macan. Kualitas air yang berperan terhadap kelangsungan hidup pada pertumbuhan benih udang windu meliputi suhu air, oksigen terlarut, kadar garam (salinitas), dan pH air. Menurut (Jannah, 2009) bahwa suhu yang terbaik untuk pemeliharaan post larva yaitu 29-31°C, aman bagi udang karena biasanya larva tumbuh dan melakukan moulting dengan cepat pada suhu tersebut. Sedangkan menurut (Amri, 2006) menyatakan bahwa untuk perkembangan larva yang normal yaitu kisaran sekitar 28-31°C, apabila suhu turun menjadi 24-27°C, maka proses metamorfosa menjadi terhambat. Kondisi ini akan diimbangi dengan meningkatnya laju komsumsi pakan. Apabila suhu semakin meningkat maka udang windu akan mengalami stress dan mengeluarkan lendir berlebihan sebaliknya bila suhu terlalu rendah, udang mengalami kurang aktif makan dan bergerak, sehingga pertumbuhan akan melambat (Sumerudan Anna, 1992). pH merupakan singkatan dari potensial hidrogen atau derajat keasaman di dalam perairan,pH mempengaruhi daya racun amoniak. Dimana amoniak akan meningkat apabila pH meningkat dan akan menurun apabila pH menurun. Kisaran pH yang efektif/ normal untuk pertumbuhan udang windu yakni kisaran 7,5 – 8,5. Apabila pH mencapai angka terendah (6) dan tertinggi (9) maka mengakibatkan pertumbuhan udang akan melambat bahkan akan mengalami kematian BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 85 Kisaran salinitas berkisar antara 30-34 ppt. Jika salinitas terlalu rendah dan tinggi nafsu makan masih ada tetapi konversi pakan menjadi tinggi karena energi tubuh banyak terbuang. Alat yang digunakan untuk mengukur salinitas adalah Handrefaktometer. Kelarutan oksigen merupakan faktor lingkungan yang terpenting bagi pertumbuhan ikan. Kandungan oksigen yang rendah dapat menyebabkan benih kehilangan nafsu makan sehingga mudah terserang penyakit, pertumbuhannya terhambat bahkan menyebabkan kematian. Biota air membutuhkan oksigen sebagai penunjang kebutuhan lingkungan bagi species tertentu dan kebutuhan konsumtif yang dipengaruhi oleh kebutuhan metabolisme. Kandungan oksigen yang cukup didalam air akan terlihat pada aktivitas pada udang itu sendiri yang dimana akan terlihat beristirahat dan sekali-kali bergerak mencari makan, begitu pula sebaliknya apabila kandungan oksigen dalam air rendah maka udang akan terlihat tampak aktif bergerak /berenang bebas karena akibat stress. Akan tetapi apabila kadar oksigen terlalu berlebihan didalam air dapat menyebabkan gelembung gas biasa disebut dengan (gas bubble disease). Kisaran oksigen yang baik bagi pertumbuhan adalah sekitar 85% -125% jenuh atau 4-6 ppm. Menurut (Amri, 2003) menyatakan bahwa ketersedian oksigen didalam air sangat menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang windu, Kandungan oksigen yang baik adalah kisaran 4-8 ppm. Jabir Ikan jabir merupakan merupakan ikan spesifik lokal dari family Oreochromismozambicusyang populasinya cukup besar diareal pertambakan masyarakat khususnya di Sulawesi Selatan. Ikan ini selalu menjadi bumerang bagi pembudidaya karena menjadi hama pada kegiatan budidaya yang sulit dibasmi secara tuntas. Melihat ketersediaan yang cukup melimpah danketersediaanya setiap waktu serta nilai yang tidak ekonomis, maka untuk pemanfaatan biota inidilakukan analisis proksimat untuk pemanfaatan sebagai bahan baku pakan buatan alternatif. Dari hasil uji proksimat menunjukkan bahwa ikan jabir mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi yaitu mencapai 67,77 %,(hasil analisa lab.pakan buatan BBAP Takalar). Dengan melihat kandungan protein yang cukup tinggi dan ketersediaan yang melimpah tersebut, ikan jabir mempunyai potensi untuk dapat dijadikan sumber bahan baku pakan buatan. Dalam perbaikan pemeliharaan benih udang windu, dilakukan upaya meningkatkan SR dan pertumbuhan benih, serta upaya penggelondongan dengan pemanfaatan ikan jabir sebagai bahan subtitusi pakan buatan diharapkan BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 86 dapat menigkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih gelondongan yang tinggi, sehat dan berkualitas untuk budidaya di tambak. Tabel 1. Data Hasil Analisa Proksimat Ikan Jabir KODE SAMPEL Tepung Ikan JENIS BAHAN BAKU Ikan Jabir/mujair PARAMETER UJI ANALISIS PROKSIMAT Kadar Protein Lemak Air (%) (%) (%) 5.10 67.77 7.38 Sumber ; Lab.uji BPBAP Takalar 2013 Berdasarkan hasil analisis uji coba penggunaan ikan jabir tersebut maka dilakukan ujicoba penggunaan ikan jabir sebagai bahan pakan buatan dalam kegiatan penggelondongan udang windu.Dalam perbaikan pemeliharaan benih udang windu, dilakukan upaya meningkatkan SR dan pertumbuhan benih, serta upaya penggelondongan dengan pemanfaatan ikan jabir sebagai bahan subtitusi pakan Diharapkan dapat menigkatkan kelangsungan hidup benih gelondongan yang tinggi, sehat dan berkualitas untuk budidaya di tambak BAHAN DAN METODE Uji coba penggunaan jabir sebagai substitusi pakan buatan pada penggelondongan udang windu ini dilakukan pada bulan Januari - Desember 2013 di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 87 Alat dan Bahan Bahan dan alat yang digunakan dalam kegiatan ujicoba ini adalah sebagai berikut : No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. No 1. 2. 3. Nama Alat Fibreglass Ember Jangka sorong Instalasi Aerasi Thermometer Timbangan elektrik DO meter pH Meter Hand Refraktometer Kegunaan Wadah perekayasaan Wadah pakan Mengukur panjang sampel Suplay oksigen Mengukur suhu Menimbang sample Mengukur Oksigen Terlarut Mengukur pH air media Mengukur salinitas Nama Bahan Benih udang windu PL 12 Pakan Komersil Pakan uji (berbahan baku jabir) Kegunaan Hewan uji Pakan pembanding Pakan benih Prosedur Kerja - Menyiapkan wadah ujicoba berupa fiberglass volume 500 liter sebanya 9 buah. - Menyiapkan pakan uji dan pakan komersil - Pakan uji dengan bahan baku ikan jabir (hasil produksi divisi pakan formula BPBAP Takalar) - Menyiapkan air media pemeliharaan - Kegiatan ini dilakukan dengan 2 perlakuan yaitu A (pakan komersil), B (Pakan dengan bahan Jabir) dan tiga ulangan. - Mengukur panjang berat awal benih udang windu PL 12 - Melakukan penebaran benih sebanya 2.000 ekor/wadah - Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari yaitu jam 06.00, jam 14.00, dan jam 22.00 WITA - Pergantian air dilakukan secara berkala setiap dua hari sekali - Pengukuran pertumbuhan dilakukan setiap empat hari. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 88 - Pengukuran kualitas air dilakukan setiap 4 hari (suhu, salinitas, pH dan DO) Pengukuran Peubah Peubah yang diamati dalam kegiatan ini adalah tingkat laju pertumbuhan berat mutlak, laju pertumbuhan harian, konversi pakan (FCR) dan tingkat kelangsungan hidup (SR). a. Pertumbuhan Berat Mutlak, dengan rumus: W = Wt - W o Dimana : W = Pertumbuhan mutlak individu (g). Wt = Bobot biomassa hewan uji pada akhir penelitian(g) Wo = Bobot biomassa hewan uji pada awal penelitian (g) b. Laju Pertumbuhan Harian (LPH), dengan rumus: Wt - Wo LPH = t x 100% Dimana : LPH = Laju pertumbuhan bobot individu harian hewan uji (% hari) Wt = Bobot rata-rata hewan uji pada akhir penelitian (g) Wo = Bobot rata-rata hewan uji pada awal penelitian (g) t = Periode waktu pemeliharaan (hari) c. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR), dengan rumus: Tingkat kelangsungan hidup dalam kegiatan ini dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1979), yaitu : SR = (Nt/No) x 100% Dimana : SR = Tingkat kelangsungan hidup (%) Nt = Jumlah hewan uji pada akhir pengujian (ekor) No = Jumlah hewan uji pada awal pengujian (ekor) BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 89 HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan dari data hasil pengukuran terhadap pertumbuhan benih udang windu yang telah digelondongkan selama 32 hari dengan menggunakan pakan yang berbahan dasar ikan jabir, dapat dilihat pada grafik (gambar 1) di bawah ini, dimana terlihat jelas bahwa penggunaan pakan dengan bahan baku ikan jabir mampu memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap laju pertambahan bobot rataan per individu benih udang windu yang diujikan. Rerata berat (mg/ekor) Gambar 1. Grafik Pertambahan bobot rataan individu larva selama uji coba 30.0 20.0 10.0 9.7 7.4 7.0 5.2 5.3 5.0 4.9 19.2 14.8 18.1 13.5 15.7 10.1 21.9 16.3 25.5 20.1 0 I II III IV V VI VII VIII Sampling ke A = Pakan Komersial B = Pakan buatan bahan baku jabir Uji coba pemberian pakan buatan dengan substitusi bahan baku ikan rucah/jabir ini juga memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap laju penambahan panjang rataan per individu benih udang windu yang diujicobakan (dapat dlihat pada gambar 2 di bawah ini). Secara detail Gambar 2 melukiskan grafik kenaikan ukuran panjang rataan benih pada masing-masing perlakuan, dimana pemberian pakan buatan dengan substitusi ikan jabir sebagai bahan bakunya telah mampu mengimbangi pemberian pakan komersial. Hal ini menunjukan pengaruh positif yang cukup baik dari uji coba pakan buatan dengan bahan baku jabir yang diberikan pada benih udang windu di penggelondongan. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 90 Panjang tubuh (mm) Gambar 2. Grafik petambahan panjang larva selama uji coba 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 - 21.00 16.47 15.37 17.33 12.40 14.37 13.67 14.83 12.80 12.20 11.80 10.70 10.87 11.13 11.73 0 I II III IV V VI VII VIII Sampling Ke A = Pakan Komersial B = Pakan buatan bahan baku jabir Selanjutnya pengamatan terhadap kegiatan kerekayasaan pada uji coba ini juga dilakukan pengujian dan pengukuran korelasi masing-masing perlakuan terhadap pertumbuhan biomass benih yang diuji cobakan, tingkat efisiensi penggunaan pakan dan korelasinya dengan pertumbuhan total biomass pada akhir percobaan dilakukan pengkuran feed convertion ratio (FCR). Hasil dari pengamatan dari parameter tersebut dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini. Pada gambar tersebut terlihat bahwa penggunaan pakan dengan bahan baku ikan jabir mampu memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap laju pertambahan bobot biomass benih udang windu yang diujikan. Nilai FCR yang rendah juga menunjukkan bahwa secara ekonomi penggunaan pakan buatan dengan bahan baku ikan rucah/jabir masih menguntungkan dapat dijadikan solusi alternative sebagai pakan tambahan pada kegiatan penggelondongan benih udang windu. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 91 Gambar 3. Diagram korelasi masing masing perlakuan terhadap pertumbuhan biomass dan FCR 435.82 239.98 337.98 337.82 320.00 313.60 98.00 1.33 98.00 0.93 A B Pada gambar 4 di bawah ini juga dilukiskan bahwa penggunaan pakan dengan bahan baku ikan jabir juga mampu memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap nilai kelulushidupan/ survival ratio (SR) benih udang windu yang diujikan. Dimana jumlah populasi akhir dan prosentase jumlah benih udang windu yang masih hidup sampai akhir kegiatan pada masing masing perlakuan baik yang menggunakan pakan komersial maupun yang menggunakan pakan buatan dengan substitusi ikan rucah/berbahan baku ikan jabir masih pada kisaran normal (> 80%). Hal ini menunjukkan adanya korelasi positif dari penggunaan pakan pada masing-masing perlakuan terhadap benih udang windu yang diujicobakan. Dengan demikian penggunaan pakan buatan dengan BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 92 substitusi bahan baku ikan rucah/jabir mampu menyamai kemampuan pakan komersial yang biasa digunakan dalam kegiatan penggelondongan benih udang windu. Harga bahan baku yang sangat murah dapat direkomendasikan untuk digunakan sebagai bahan baku alternative yang murah, ramah lingkungan dan aflikatif. Diagram selengkapnya mengenai korelasi penggunaan pakan pada masing-masing perlakuan terhadap angka kelulushidupan benih yang diujicobakan dapat dilihat pada gambar 4 di bawah ini. Gambar 4. Diagram Populasi dan Kelulushidupan selama uji coba 2,000 2,000 1,681 1,709 2,000 1,500 1,000 500 - 84.03 85.47 Populasi awal (ekor) Populasi akhir uji coba (ekor) A = Pakan Komersial SR B = Pakan buatan bahan baku jabir Hal yang tidak kalah pentingnya dalam kegiatan budidaya, khususnya pada pembenihan dan penggelondongan benih udang windu selain pengamatan terhadap laju pertumbuhan dan bobot rataan individu, angka kelukushidupan dan efektivitas pengggunaan pakan terhadap pertumbuhan benih adalah pengamatan terhadap kondisi harian lingkungan/wadah pemeliharaan. Pengamatan terhadap lingkungan/wadah pemeliharaan sangat penting dilakukan untuk mengetahui perkembangan kondisi harian lingkungan dengan kualitas airnya dan pengaruhnya terhadap tingkah laku dan kesehatan hewan uji yang diujicobakan. Parameter yang kualitas air yang diamati secara berkala Antara lain suhu, salinitas, jumlah oksigen terlarut dan pH air media pada wadah yang digunakan. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 93 Hasil pengamatan parameter kualitas air yang dilakukan selama ujicoba berlangsung masih pada taraf normal dan tidak ditemukan indikasi kualitas air dan lingkungan yang membahayakan bagi hewan uji baik pada kesehatan benih yang diujicobakan maupun pada kemungkinan timbulnya penyakit akibat memburuknya lingkungan kualitas air pada wadah budidaya. Selama uji coba seluruh benih yang diujicobakan dalam kondisi sehat dan dapat melakukan aktivitas metabolisme dengan sempurna. Kondisi kualitas air yang baik juga memberikan korelasi positif terhadap nilai kelulushidupan benih yang diujicobakan (SR > 80%).Grafik pengamatan parameter kualitas air (suhu, salinitas, jumlah oksigen terlarut dan pH air) pada wadah yang digunakan untuk kegiatan uji coba ini selengkapnya dapat dilihat dengan jelas pada gambar 5 di bawah ini. Gambar 5. Grafik Kualitas Air Selama 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 A B 0 A B SuhuI ('C) A B II A B A B Salinitas III (ppt)IV A B A DO (mg/l)VI V B A B pH VII A B VII KESIMPULAN Meskipun belum pengaruhnya belum menyamai pakan komersil yang biasa digunakan tapi penggunaan pakan buatan dengan substitusi ikan rucah/berbahan baku ikan jabir dapat direkomendasikan sebagai pakan alternative pada pemeliharaan bennih udang windu di penggelondongan.Dalam rangka lebih mengoptimalkan pemanfaatan ikan jabir sebagai pakan buatan dan mendukung kegiatan penggelondonggan udang windu, maka kami BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 94 menyarankan untukdilakukan pembuatan pellet dalam berbagai ukuran dan bentuk, agar aplikasi pakan buatan dengan bahan baku ikan jabir dapat dilakukan dalam berbagai segmentasi budidaya udang windu baik di penggelondongan maupun di pembesaran. DAFTAR PUSTAKA Arsana, I. N. 2002. Pemberian pakan berupa cacing laut, cumi-cumi dan tiram dengan persentase perbandingan yang berbeda pada produksi massal induk udang windu matang gonad. Balai Budidaya Air Payau Takalar, 4 hal. Basyarie dan D.N. Putra. 1991. Pengaruh Perbedaan Sumber Protein Utama dalam Makanan Buatan Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Kerapu Lumpur. Jurnal Penel. Budidaya pantai. Vol 7(2). Hal 102-109. Boyd, C. E. 1982. Water Quality Management For Pound Fish Culture. Development in Aquaculture and Fisheries Science Vol. 9 Elsevier Science Publishing Company, Netherland. Hariati, A.M., 1989. Ilmu Makanan Ikan. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. 153 Hal. Haryati, E. Saade dan Zainuddin. 2006. Peningkatan Kualitas Induk Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) Lokal dengan Pemberian Berbagai Jenis Pakan Segar. Balitbangda Prop. Dati I Sulawesi Selatan dan Lembaga Penelitian UNHAS. Hutagalung S.P., 2009. Udang Primadona Ekspor Perikanan. Tempo Interaktif Jakarta. Irwan, I. 2008. Pengaruh Kombinasi Pakan Segar yang Terbaik Diberikan pada Induk Udang Windu ( Penaeus monodon Fabr) Terhadap Ukuran Telur dan Nauplii. Skripsi. UNHAS. 30 hal. Likur, R. 2008. Pengaruh Berbagai Pakan Segar Terhadap Laju Kematangan Gonad dan Frekwensi Bertelur Induk Udang Windu ( Penaeus monodon) . Skripsi. UNHAS. 35 hal Ratnasari. 2002. Pengaruh pemberian cacing laut (Nereis Sp) sebagai kombinasi pakan terhadap tingkat kematangan gonad dan kualitas telur induk udang windu (Penaeus monodon Fabr). Tesis Intitut Pertanian Bogor. Sachwan, 1999. Pakan Ikan dan Udang. Penebar Swadaya, Jakarta. Soleh, M. dan Hamid N., 1994. Pengamatan kematangan telur induk udang windu yang berasal dari berbagai perairan . Laporan tahunan Balai Budidaya Air payau Jepara, 1993 – 1994 BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 95 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TAMBAK TRADISIONAL BERBASIS INDUSTRIALISASI PERIKANAN Eddy Nurcahyono dan Sugeng Raharjo Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar Dusun Kawari Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan ABSTRACT The purposedevelopmentof blueswimmingcrabaquaculturetechnology intraditional pondsaresupporting theindustrializationof fisheriesthrough neweconomically valuablecommoditydevelopmentof. The activityis a collaboration between BAFD TakalarandPT. KBTMakassar company of blueswimmingcrabprocessing. The activitiescarried outfrom September2013 till March 2014inMaros andLuwuRegency in South Sulawesi. Blueswimmingcrab nursery at pondswithan area of0.5ha. Stocking density4tail/m2withwaterheight40-80cm. Seedsthatarestockedcrabletweighing0.03g-0.14g. The feedisdriedsmallshrimpandtrash fishat a dose of100-15% ofbody weight. Maintenanceof watersalinityranges from15ppt–48ppt. Substitutionof waterby40–60% every5–7days. The results ofthe blueswimmingcrabaquacultureintraditional pondsfor threemonthsshowedweightmaintenancereached67.70 to 102.30grams, salinitytolerance 15ppt–48ppt, averagesurvival rate-average25 40%.The resultsshowedthat theweight 85gramsofpostharvestblueswimmingcrabmeatjumboproduce4grams, meat-like texturecolorblueswimmingcrabfishing, taste of meatcrab from aquaculture at ponds more sweetandsavory. Analysisaquaculturequiteprofitablewith theBC ratio of1.96withannual incomereached Rp. 28.340.000and theaveragemonthlyincomeaverageRp.2.361.667. The development ofblueswimmingcrabaquaculture technologyintraditional pondscansupport theindustrialization offisheriesandprovide farmers alternativeincreas average through the newcommodities development. Keywords: blueswimmingcrab, Aquaculture, Pond BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 96 PENDAHULUAN Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu komoditas ekspor perikanan terbesar di Indonesia.Hingga saat ini ekspor rajungan ada di peringkat ketiga sampai keempat dari total nilai ekspor produk perikanan Indonesia setelah udang (46%), tuna (14%) dan rumput laut.Berdasarkan data yang ada untuk semester I tahun 2013, ekspor rajungan dan produk olahannya mencapai 19.786 ton. Volume ekspor ini meningkat 25,76 % dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 15.733 ton. Adapun nilai ekspor rajungan tahun 2012 US$ 183,7 juta pada semester I atau setara Rp. 2,09 triliun, menjadi US$ 198,0 juta (Rp. 2,25 Triliun) naik 7,82 % pada tahun 2013. Amerika serikat menjadi pasar ekspor rajungan terbesar dengan volume ekspor 5.711 ton senilai US$ 104, 7 juta atau Rp. 1,193 triliun. Pemenuhan bahan baku rajungan hingga saat ini masih tergantung pada hasil tangkapan, sehingga masih tergantung pada musim dan kondisi cuaca sehingga hasilnya tidak bisa terukur dan produksi tidak dapat berlangsung secara berkelanjutan. Salah satu alternatif pemenuhan bahan baku rajungan secara berkelanjutan adalah dengan meningkatkan produksi budidaya perikanan. Dengan berkembangnya budidaya rajungan di tambak kebutuhan bahan baku dapat terukur dan terpenuhi secara berkelanjutan sehingga proses produksi di industri pengolahan rajungan dapat terus berkelanjutan. Pengembangan budidaya rajungan di tambak telah dilakukan oleh Balai Budidaya Air Payau Takalar sejak tahun 2007 dan menunjukkan perkembangan yang signifikan. Pengembangan teknologi budidaya rajungan tersebut telah menarik perhatian industri pengolahan untuk mengembangkan budidaya rajungan guna memenuhi kapasitas bahan baku produksi. Salah satu pengembangan budidaya kepiting telah dilakukan oleh BPBAP Takalar bekerjasama dengan industri pengolahan rajungan PT. Kemilau Bintang Timur Makassar.Hasil produksi tambak yang cukup signifikan dan menjanjikan menarik beberapa pembudidaya tambak untuk mengembangkan budidaya rajungan di tambak.Dengan kegiatan budidaya rajungan yang dikembangkan BPBAP Takalar diharapkan dapat menyukseskan program industrialisai perikanan budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan sehingga dapat meningkatkan produksi perikanan budidaya serta produksi perikanan nasional. Tujuan kegiatan pengembangan budidaya rajungan di tambak tradisional adalah sebagai berikut : 1. Memperbaiki teknologi budidaya rajungan di tambak yang sudah berkembang sehingga menjadi standar teknologi anjuran yang dapat dikembangkan oleh para pembudidaya. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 97 2. Mengembangkan komoditas alternatif yang bernilai ekonomis sehingga meningkatan pendapatan pembudidaya tambak. 3. Mengetahui analisa usaha budidaya rajungan di tambak. Sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan budidaya rajungan di tambak adalah terciptanya kawasan budidaya dengan komoditas baru yang bernilai ekonomis sehingga dapat mendorong peningkatan pendapatan pembudidaya secara finansial serta peningkatan produksi perikanan nasional dalam mendukung program industrialisai perikanan budidaya berbasis blue economy. BAHAN DAN METODE Kegiatan budidaya rajungan di tambak tradisional dilaksanakan mulai bulan Juli 2013 sampai Februari 2014 di tambak Dusun Kuri Ca‘di Desa Nisombalia Kecamatan Marusu Kabupaten Maros dan tambak milik PT. Kemilau Bintang Timur (KBT) Makassar Dusun Pengkasalu Desa Wara Kecamatan Kamanre Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Bahan dan alat yang digunakan selama kegiatan budidaya rajungan di tambak seperti tersaji pada tabel 1 berikut : Tabel 1. Bahan dan Alat untuk Kegiatan Budidaya Rajungan di Tambak Tradisional NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. NAMA BAHAN/ALAT Crablet Pakan (udang rebon/ikan rucah) Obat – obatan/probiotik Es Balok Mesin pompa alkon 4 ― Rakang/Bubu Jala / jarring Timbangan Jangka Sorong Thermometer Baskom Ember Streofoam Basket Freezer FUNGSI/MANFAAT Benih rajungan Pakan Pencegahan/pengobatan Pendingin hasil panen Memompa air Alat sampling/panen Alat sampling/panen Alat sampling/panen Alat sampling/panen Pengukur suhu air media Alat menampung rajungan sampling Alat penampung rajungansampling Penampung hasil panen Pengangkut hasil panen Penyimpan pakan segar Kegiatan budidaya rajungan di tambak tradisional dilaksanakan di dua lokasi budidaya yaitu di tambak dusun Kuri Ca‘di Desa Nisombalia Kecamatan Marusu Kabupaten Maros ( Petak A1 dan petak A2) dan tambak di Dusun Pengkasalu Desa Wara Kecamatan Kamanre Kabupaten Luwu Sulawesi BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 98 Selatan (Petak B1 dan Petak B2). Metode pelaksanaan kegiatan budidaya dibagi dalam beberapa tahapan antara lain : 1. Persiapan Tambak Kegiatan persiapan dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. Tambak dikeringkan selama 2 minggu b. Sebelum dan sesudah pengeringan dilakukan pengukuran pH tanah. c. Pengapuran tambak disesuaikan dengan tingkat pH tanah dasar tambak. d. Pencucian tambak dilaksanakan dengan membuka pintu saluran air pada saat air pasang dan membuang air pada saat air surut. e. Pengisian air dilaksanakan pada saat air pasang. Ketinggian air tambak pada masing – masing lokasi adalah petak 1 (ketinggian air minimal 30 cm, maksimal 40 cm) dan petak 2 (ketinggian air minimal 60 cm, maksimal 100 cm). f. Pemupukan dengan pupuk organik dan anorganik untuk menumbuhkan planton. 2. Penebaran Benih Penebaran benih di tambak dilakuakan bila plankton yang ada di tambak sudah tumbuh.Kepadatan tebar benih untuk masing – masing petakan tambak adalah 4 ekor/m2. Ukuran benih yang ditebar adalah bobot rata – rata 0,03 – 0,14 gram gram. 3. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan di tambak meliputi kegiatan pemberian pakan, pergantian air dan sampling untuk mengetahui pertumbuhan rajungan yang dipelihara.Kegiatan sampling dilakukan dengan mengampil sampel secara acak untuk mengetahui bobot rajungan setiap minggunya. 4. Panen dan Penanganan Pasca Panen Panen dilaksanakan bila rajungan telah berumur 90 hari pemeliharaan.Panen dilaksanakan dengan membuang air tambak dan memasang jaring di tambak.Untuk mempertahankan kualitas hasil panen maka penanganan pascapanen dan pengujian daging rajungan hasil budidaya di tambak dilakukan oleh PT KBT dan Buyer dari USA. Parameter pengamatan selama kegiatan budidaya rajungan ditambak meliputi sintasan, pertumbuhan meliputi pengukuran berat /bobot rajungan selama pemeliharaan yang dilakukan setiap seminggu sekali, serta analisa usaha kelayakan budidaya rajungan di tambak. Pengamatan kualitas air selama pemeliharaan meliputi suhu, salinitas, pH, Ammoniak, Oksigen Terlarut, Total vibrio, dan Total Bakteri. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 99 HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil kegiatan budidaya rajungan di tambak tradisional di Kabupaten Maros dan Kabupaten Luwu di setiap tahapan kegiatan budidaya diperoleh hasil sebagai berikut : A. Persiapan Kegiatan persiapan yang dilaksanakan selama kegiatan budidaya meliputi kegiatan pengeringan, pengapuran, pencucian tambak, perbaikan pematang dan pintu air, pengisian air, pemupukan serta penumbuhan plankton sebagai pakan alami pada awal pemeliharaan di tambak. Adapun hasil kegiatan persiapan tambak seperti tersji pada tabel2 berikut : Tabel 2. Hasil kegiatan persiapan tambak budidaya rajungan di tambak di Kabupaten Maros dan Kabupaten Luwu No. 1. 2. 3. 4. Parameter Pengamatan Luas lahan Tanah - pH - Redokspotensial Pemupukan (Dosis) - Pupuk kandang - Urea - Za - TSP Kualitas air - Salinitas - Kecerahan - Ketinggian air - pH - Ammoniak - Oksigen Terlarut - Total bakteri - Total Vibrio Satuan Kabupaten Maros Kabupaten Luwu Standar Kualitas Tambak 1 Tambak 2 Tambak 1 Tambak 2 Ha 0,5 0,5 0,5 0,5 mv 7,85 60,2 7,64 50,2 7,86 60,4 7,84 58,9 6,5-7 >50 kg ppm ppm ppm 15 1 1 1 15 1 1 1 15 1 1 1 15 1 1 1 10-30kg/ha 1-2 ppm/ha 1-2 ppm/ha 1-2 ppm/ha ppt cm cm ppm ppm cfu/ml cfu/ml 38 30 40 8,4 <0,001 5,6 <102 38 40 80 8,6 <0,001 5,2 <102 18 40 60 7,8 <0,001 4,9 <102 18 40 40 8,1 <0,001 5,6 <102 4,2 X104 4,5 X103 4,2 X104 4,2 X104 15-35 >25 40-80 7-9 <> >4 - - Dari tabel pengamatan selama kegiatan persiapan tersebut secara umum hasil pengukuran parameter masih dalam kondisi yang standar dan optimal untuk kegiatan budidaya rajungan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukan oleh Raharjo,dkk.(2012) bahwa kegiatan persipan tambak budidaya rajungan meliputi kegiatan pengeringan tanah tambak, pengapuran, pemupukan dan pengisian air tambak. Pada kegiatan budidaya yang berlangsung di Kabupaten Maros dan Kabupaten Luwu tidak dilakukan pengapuran pada tanah dasar tambak karena dari hasil pengukuran parameter tanah yang dilaksanakan menunjukkan hasil yang optimal untuk kegiatan budidaya dengan nilai pH pada kisaran 7,64 – 7,85. Pemupukan yang dilakukan bertujuan untuk menumbuhkan plankton sehingga digunakan pupuk organik yaitu pupuk kandang dan pupuk BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 100 anorganik.Hal tersebut sudah sesuai dengan tujuan pemupukan yaitu meningkatkan kesuburan tanah dasar tambak. Menurut Raharjo dan Nurcahyono (2013) Pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk anorganik dan organik. Pemberian pupuk anorganik untuk menumbuhkan fitoplankton sedangkan pemberian pupuk organik berguna untuk menumbuhkan fitoplankton dan zooplanton yang sangat diperlukan sebagai sumber makanan benih/ crablet rajungan yang masih kecil. Standar kualitas air selama pemeliharaan masih dalam kondisi yang optimal untuk kegiatan awal budidaya rajungan di tambak. Pada tambak Kabupaten Maros kondisi parameter air terutama salinitas diatas kondisi yang optimal yaitu mencapai 38 ppt,hal tersebut dikarenakan pada saat tersebut adalah puncaknya musim kemarau di daerah tersebut sehingga terjadi peningkatan nilai salinitas perairan di tambak. Kondisi yang optimal nilai salinitas untuk kegiatan budidaya rajungan menurut Sugeng,dkk. (2003) salinitas air tambak untuk budidaya rajungan adalah 20 – 34 ppt, sedang Raharjo dan Nurcahyono (2013) menyebutkan salinitas air pemeliharaan rajungan ditambak pada kisaran 15 – 35 ppt. Perbedaan parameter air terutama salinitas tidak menjadi masalah karena lokasi budidaya yang dekat dengan muara sungai sehingga memudahkan untuk melakukan pergantian air apabila terjadi kenaikan salinitas air tambak yang ekstrim. B. Penebaran Benih Benih yang digunakan untuk kegiatan budidaya rajungan di tambak adalah benih hasil pembenihan dari hatchery rajungan BPBAP Takalar. Benih yang ditebar mempunyai bobot antara 0,03 gram – 0,14 gram dengan lebar karapas 0,5 cm – 1,5 cm. Kepadatan tebar adalah 4 ekor/m2, sehingga masing – masing petakan dengan luas lahan 0,5 Ha dipelihara 20.000 ekor crablet rajungan. Padat tebar benih yang dipelihara adalah lebih rendah dibanding yang telah dilakukan Effendy dan Komaruddin (2005); Raharjo,dkk. (2012) dimana padat tebar yang telah dilaksanakan adalah 5 ekor/m2.Kepadatan tebar yang lebih rendah ini diharapkan dapat meningkatkan hasil produksi yang diperoleh pada budidaya rajungan di tambak tradisional. Kegiatan penebaran benih diawali dengan proses aklimatisasi suhu dan salinitas. Proses aklimatisasi biasanya berlangsung selama 15 – 30 menit. Adapun metode penebaran dan aklimatisasi crablet rajungan ditambak adalah sebagai berikut : 1. Crablet yang telah tiba dilokasi budidaya dibuka dari kantong kemasan. 2. Kantong packing benih/ crablet dimasukkan kedalam tambak dan dibiarkan selama 15 menit atau sampai kantong terlihat mengembun. Hal ini mengindikasikan bahwa suhu dalam kantong dan media pemeliharaan air tambak telah sama. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 101 3. Kemudian kantong packing crablet dibuka dan dimasukkan air tambak kedalam kantong sedikit demi sedikit sampai penuh dan dibiarkan selama 5 – 10 menit. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan penyesuaian salinitas air dalam kantong packing dengan salinitas air tambak. 4. Crablet rajungan dilepas ke tambak secara perlahan – perlahan. Crablet yang sehat akan berenang dengan lincah mencari tempat perlindungan / shelter. C. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan rajungan ditambak bertujuan untuk memberikan kondisi yang optimal sehingga dapat tumbuh secara optimal dengan hasil yang maksimal. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan selama kegiatan budidaya rajungan di tambak tradisional Kabupaten Maros dan Kabupaten Luwu meliputi kegiatan pemberian pakan, pergantian air, monitoring pertumbuhan, kualitas air serta hama dan penyakit yang mungkin menyerang rajungan yang dipelihara di tambak. Kegiatan pemeliharaan yang dilaksanakan pada kedua lokasi tersebut adalah kegiatan pembesaran. Hal ini berbeda dengan yang dilaksanakan oleh Sugeng,dkk. (2003); Effendy dan Komaruddin (2005); Raharjo,dkk. (2012) dimana kegiatan pemeliharaan dibagi dalam dua tahap yaitu kegiatan pendederan/ penggelondongan dan kegiatan pembesaran.Perbedaan metode kegiatan pemeliharaanini bertujuan untuk mengurangi tingkat kanibalisme selama pemeliharaan pada tahap pendederan/penggelondongan serta untuk memaksimalkan tambak yang digunakan untuk kegiatan budidaya rajungan. Pemberian pakan dilaksanakan dengan frekuensi dua sampai tiga kali sehari yaitu pagi jam 06.00 WITA ; jam 17.00 WITA dan jam 23.00 WITA dengan dosis disesuaikan pada bobot tubuh rajungan selama pemeliharaan. Pakan yang diberikan adalah ebi kering pada awal pemeliharaan dan dilanjutkan dengan ikan rucah segar. Pergantian air dilaksanakan setiap 5 -7 hari sekali dengan memanfaatkan pasang surut air laut sebanyak 40 – 60 % dari total volume air tambak .Adapun frekuensi,dosis dan jenis pakan yang diberikan selama pemelihraan seperti pada tabel 3 berikut : BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 102 Tabel 3.Data Hasil Pengamatan Frekuensi, Dosis ,Jenis Pakan Rajungan dan Prosentase Pergantian Air Selama Pemeliharaan di Tambak. UMUR (HARI) BOBOT (GRAM) 1–7 8- 15 16 – 21 22 – 28 29 – 35 36 – 42 42 – 49 50 – 56 57 – 63 64 – 70 71 – 77 78 – 84 85 – 90 0,003 – 0,14 0,14 -0, 3 0,3 – 0,6 0,6 – 1,2 1,2- 3 3-8 8 - 14 14 - 22 22 - 34 34 - 42 42 - 56 56 - 80 80 - 150 DOSIS PAKAN (%) 100 100 100 100 100 80 80-60 60 60-50 50 50-30 30 30 – 15 JENIS PAKAN FREKUESI PEMBERIAN Ebi kering Ebi kering Ebi kering Ebi kering Ebi kering Ebi kering/ikan rucah segar Ikan rucah segar Ikan rucah segar Ikan rucah segar Ikan rucah segar Ikan rucah segar Ikan rucah segar Ikan rucah segar 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 Dari data hasil pengamatan diatas diperoleh pertumbuhan rata – rata bobot rajungan tiap minggu setiap petaknya seperti pada gambar 1 grafik pertumbuhan berikut : DATA PERTUMBUHAN BOBOT RAJUNGAN SELAMA PEMELIHARAAN 120 B 110 O 100 B 90 O 80 T 70 60 50 G 40 R 30 A 20 M 10 0 Maros A1 ( Maros A2 ) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 MINGGU KE- 9 10 11 12 13 Gambar 1.Grafik Pertumbuhan Bobot Rajungan di Tambak BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 103 Parameter kualitas air sebagai bagian terpenting dari proses budidaya rajungan di tambak tradisional dalam memantau kondisi lingkungan yang optimal maka dilaksanakan pengamatan secara rutin dan berkala. Pengamatan rutin harian selama kegiatan budidaya rajungan di tambak tradisional meliputi suhu , pH, salinitas dan Oksigen terlarut,sedang pengamatan berkala meliputi pengamatan Total vibrio, total bakteri dan bobot / pertambahan berat rajungan selama pemeliharaan yang dilaksanakan setiap seminggu sekali. Tabel 4. Parameter Kualitas Air Selama Pemeliharaan Rajungan di Tambak NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. PARAMETER PENGAMATAN Suhu Salinitas pH Ammoniak Oksigen terlarut Total vibrio Total Bakteri SATUAN 0 C ppt mg/l mg/l cfu/ml cfu/ml TAMBAK MAROS MAROS LUWU A1 A2 B1 32-36 32-36 30-32 28-48 26-60 15-28 8,2-8,6 8,0-8,7 7,8-8,6 0,005 0,001 0,002 4-6 4-6 3-5 < 103 < 103 < 103 4 5 4 6 10 -10 10 -10 <104 LUWU B2 30-33 15-28 7,4-8,4 0.012 3-5 < 103 104-105 Hasil pengamatan selama pemeliharaan rajungan di tambak tradisional Kabupaten Maros dan kabupaten Luwu menunjukkan perbedaan yang signifikan dimana pada tambak maros berdasarkan data grafik diatas terlihat pertumbuhan rajungan setiap minggunya cenderung naik dan terlihat stagnan pada minggu 10 – 11 dimana minggu ke – 10 pada petak A1 bobot rajungan rata – rata hasil sampling adalah 47,60 gram dan minggu ke- 11 49,20. Petak A2 minggu ke 10 berat mencapai 50,70gram dan minggu ke -11 beratnya 52 gram. Hasil lain ditunjukkan pada budidaya di Kabupaten Luwu pertumbuhan rajungan dari awal penebaran cenderung naik dan stagnan pada minggu ke- 7 – 8, dimana pada minggu ke 7 petak B1 berat rata – rata menncapai 51 gram; B2 beratnya 54,30 gram. Sedang pada minggu ke – 8 berat rata – rata B1 54,30 gram dan B2 beratnya 55,60 gram. Dari kedua data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemeliharaan rajungan pada berat rata – rata kisaran 50 gram pertumbuhannya akan sedikit melambat dan akan meningkat lagi laju pertumbuhannya. Hasil akhir dari pemeliharaan selama 3 bulan pemeliharaan terlihat hasil yang berbeda dimana pada tambak Maros A1 berat akhir rata – rata panen adalah 67,70 gram dan A2 mencapai 80, 80 gram. Sedang tambak Luwu B1 berat akhir saat panen rata – rata mencapai 97,90 gram dan B2 berat rata – ratanya mencapai 102,30 gram. Perbedaan ukuran hasil panen akhir tersebut diperkirakan adalah adanya perbedaan kondisi parameter kualitas air terutama BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 104 salinitas air pemeliharaan dimana pada tambak Maros kondisi awal tebar salinitasnya mencapai 38 ppt dan selama pemeliharaan naik menjadi 48 ppt dan pada minggu terakhir panen salinitasnya tinggal 28 ppt. fluktuasi salinitas yang beragam dikarenakan pada awal penebaran adalah musim kemarau dan pada akhir pemeliharaan adlah musim awal hujan. Sedangkan untuk tambak Luwu salinitas cenderung stabil pada kisaaaran 15 - 28 ppt selama periode pemeliharaan berlangsung. Dari hasil pengamatan parameter selama pemeliharaan pada kedua lokasi tambak tersebut dapat direkomendasikan bahwa kondisi optimum untuk pemeliharaan rajungan di tambak adalah pada kisaran salinitas 15 – 30 ppt. hal tersebut sesuai dengan yang dikemukan oleh Sugeng,dkk. (2003); Effendy dan Komaruddin (2005); Raharjo,dkk. (2012), dimana salinitas pemeliharan rajungan di tambak pada kisran 15 – 34 ppt. D. Panen dan Penanganan Pascapanen Panen dilakukan bila umur pemeliharaan telah mencapai 90 hari atau ukuran berat rtajungan rata – rata 80 gram. Panen dilakukan secara total dengan membuang air seluruh petakan dan memasang jaring keliling tambak dan mengamnbil rajungan secara manual di tambak ataupun secara parsial dengan menggunakan alat berupa rakang/bubu yang dipasang pada sore hari dan diambil pada malam dan pagi hari. Rajungan hasil panen langsung direbus dilokasi tambak untuk mendapatkan kualitas daging maksimal. Berikut rata – rata hasil panen budidaya rajungan di tambak tradisional Kabupaten Maros dan Luwu. Tabel 5. Hasil Panen Rajungan di Tambak Tradisional Kabupaten Maros dan Luwu NO TAMBAK 1 2 3 4 Maros A1 Maros A2 Luwu A1 Luwu A2 HASIL PANEN (KG) 560 465 640 402 RATA – RATA BOBOT PANEN/EKOR (GRAM) 100 97 80 67 Hasil uji performa daging yang dilakukan oleh PT. Kemilau Bintang Timur dengan buyer dan customer dari USA dapat diketahui bahwa : 1. Warna dan Tekstur daging daging putih mirip daging rajungan hasil tangkapan alam 2. Ukuran berat 80 gram dapat menghasilkan daging jumbo 4 gram. 3. Rasa daging lebih manisdan gurih dibanding rajungan tangkapan, pengujian dilakukan oleh buyer dan customer dari USA, kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh rajungan tambak lebih fresh karena waktu dimasak/dikukus masih hidup. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 105 Gambar 2. Daging Rajungan Budidaya Tambak Analisa Usaha Budidaya di Tambak Penebaran awal crablet sebanyak 20.000 ekor (kepadatan 4 ekor/m2 dan luas tambak 0,5 Ha) ; panen berat 80 gram dengan tingkat kelangsungan hidup 40%. I Investasi Sewa Tambak (1 hektar/tahun) Pompa 4" 1 unit lengkap Peralatan lapangan (jala, ember, dll.) Perbaikan konstruksi tambak Jumlah 1 hektar 1 unit 1 paket 1 hektar Nilai (Rp) 2,000,000 4,000,000 1,000,000 1,500,000 Total 8,500,000 II A Biaya Operasional per Siklus (3 bulan) Biaya Tetap Sewa Tambak (1 hektar/tahun) Penyusutan pompa (10% / siklus) Penyusutan peralatan lapangan (25% / siklus) Penyusutan konstruksi tambak (25% / siklus) 2,000,000 400,000 250,000 500,000 3,150,000 B Biaya Variabel (tidak tetap) Biaya persiapan lahan Benih (crab-10) @ Rp. 300,Pakan (ikan segar) @ Rp. 2000,-/kg Kapur @ Rp. 500,-/kg BBM ( pompa, dll) @ Rp. 500,000/bln Tenaga kerja 1 orang @ Rp. 600,000/bulan Biaya panen 2 petak 20,000 ekor 600 kg 100 kg 3 bulan 3 OB 1,000,000 6,000,000 1,200,000 50,000 1,500,000 1,800,000 1,000,000 12,550,000 C III Total Biaya Operasional (A + B) per siklus (3 bulan) per tahun (2 siklus) Produksi Kelangsungan hidup 40%; ukuran panen 80 gram/ekor; harga jual Rp. 48,000,- per kg; produksi 2 kali/tahun. Pendapatan dari produksi : 40% x 20.000 ekor x80 gram per siklus (3 bulan) IV V 15,700,000 per tahun (2 siklus) Suku bunga investasi per tahun 31,400,000 640 kg 30,720,000 1280 kg 20% 61,440,000 1,700,000 Keuntungan bersih sebelum pajak per hektar per tahun per hektar per bulan VI VII VIII Rentabilitas ekonomi B/C ratio Pay back period BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 28,340,000 2,361,667 71% 1.96 1.27 106 KESIMPULAN Dari hasil kegaitan produksi rajungan di tambak tradisional dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kegiatan budidaya rajungan di tambak meliputi kegiatan persiapan antara lain pengeringan tanah dasar tambak, pengapuran bila diperlukan, pemupukan serta perbaikan – perbaikan konstruksi tambak ; penebaran benih yaitu benih yang di tebar adalah benih rajungan hasil pembenihan di hatchery ; pemeliharaan di tambak yang meliputi kegiatan pemberian pakan, pergantian air dan monitoring pertumbuhan serta kualitas air pemeliharaan ; panen dan pascapanen dimana panen dapat dilakukan bila umurpemeliharaan di tambak sudah mencapai 90 hari atau berat rata – rata rajungan mencapai minimal 80 gram. 2. Pengembangan budidaya rajungan di tambak dengan melibatkan perusahaan pengolahan rajungan dapat menjadikan komoditas ini sebagai model pengembangan komoditas berbasis industrialisasi perikanan. 3. Dari hasil analisa usaha pengembangan budidaya rajungan untuk skala tambak tradisional cukup menguntungkan dengan B/C 1,96, dimana dengan modal Rp. 31.400.000 per tahun pendapatan yang diperoleh pertahun mencapai Rp. 28.340.000. Diperlukan sosialisasi yang lebih intensif bagi pembudidaya tambaktentangteknologi budidaya rajungan di tambak serta dukungan penuh dari stake holder sehingga rajungan dapat dikembangkan menjadi teknologi budidaya berbasis industrialisasi perikanan dalam mendukung program peningkatan produksi perikanan nasional. DAFTAR PUSTAKA Effendy, S., dan U. Komaruddin.2005. Pengembangan Budidaya Rajungan Portunuspelagicus Pada Tambak Rakyat Di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada Pertemuan Teknis Lintas UPT Pusat tanggal 14 – 19 September 2005 di Surabaya. Komarudin, U., Sugeng, Sapto, Prayitno, H., 2005. Rajungan: Komoditas alternatif budidaya tambak. Makalah disampaikan pada Pertemuan Teknis Lintas UPT Pusat Budidaya Air Payau dan Laut, 19 – 21 Juli 2005 di Imperial Aryaduta Makassar. Raharjo,S., E. Nurcahyono, dan I. Usman. 2012. Panduan Teknis Budidaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Tambak.BBAP Takalar.Sulawesi Selatan. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 107 Raharjo,S., dan E. Nurcahyono.2013. Potensi, Prospek dan Upaya Pengembangan Budidaya Rajungan di Tambak. International on Maritime and Agribusiness SeminarMedia Center - Tadulako University, Palu, Central Sulawesi – Indonesia13th – 14th December 2013. Sugeng, SP. Raharjo, Subiyanto, dan H. Prayitno. 2003. Budidaya rajungan (Portunus pelagicus) di tambak. Laporan Tahunan BBPBAP Jepara. Hal. : 136 – 145. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 108 AKSELERASI PRODUKSI VANNAMEI DENGAN SISTEM PANEN CEPAT MEMANFAATKAN HSRT IDLE SEBAGAI SEGMENTASI PRODUKSI Guno Gumelar, Sugeng Raharjo, Ashar, Aswar Ds. Bontelo- Kec.Galesong Selatan Kab. Takalar - Ujung Pandang ABSTRAK Peningkatan produktifitas vannamei di seluruh dunia saat ini ditingkatkan melalui intensifikasi budidaya. Berbagai metode budidaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan produksi pada umumnya hanya berkutat pada peningkatan padat tebar dan manajemen kualitas air yang baik. Tetapi lamanya waktu panen yang dapat meningkatkan resiko usaha budidaya belum dapat diturunkan secara signifikan. Sistem panen cepat udang vannamei adalah system budidaya dengan waktu pemeliharaan hanya dua bulan dengan kepadatan tebar yang sangat tinggi. Dua hal utama yang mendukung keberhasilan system ini adalah system pemeliharaan yang tepat dan peran serta HSRT (Hatchrery Skala Rumah Tangga) Idle untuk menunjang system ini. Peran penting HSRT ini adalah menyediakan benih SPF yang telah didederkan sehingga mencapai ukuran 2-3 gr/ekor dengan kepadatan 3000 ekor/m3 dan kelulushidupan 85% serta FCR 1. HSRT digunakan sebagai segmentasi produksi di Sulawesi Selatan sebab secara lokasi, social, ekonomi serta kemampuan SDM lebih mudah dilakukan transfer teknologi. Pembesaran lanjutan dilakukan di bak pemeliharaan dengan penebaran sangat tinggi telah dilakukan pada bak bulat seluas 78,5 m2 dengan padat tebar 1270 ekor/m2. Hasil panen yang diperoleh selama dua bulan pemeliharaan adalah 1100 kg dengan kelulushidupan 85% dan FCR 1.3 dengan panen parsial. Akselerasi produksi vannamei dengan cepat dapat terwujud jika pembesaran diarahkan pada segmentasi produksi yang tepat sehingga proses budidaya dapat berjalan dengan efektif dan efisien serta menguntungkan. Segmentasi pertama yang merupakan pembesaran di HSRT, sangat tepat untuk menghasilkan udang tebar yang homogen dengan ukuran besar. Sedangkan segmentasi pembesaran kedua adalah pembesaran sampai ukuran konsumsi dimana waktu produksi akan menjadi jauh lebih pendek, sehingga total produksi tahunan akan jauh meningkat karena singkatnya waktu produksi tiap siklusnya. KATA KUNCI : produksi; vannamei; panen cepat; HSRT BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 109 PENDAHULUAN Produksi vannamei saat ini menjadi ujung tombak perudangan nasional pasca runtuhnya kejayaan udang windu beberapa decade silam. Keunggulan udang vannamei yang diintroduksi ke Indonesia adalah pertumbuhan yang cepat, dapat ditebar dalam kepadatan tinggi, tingginya toleransi salinitas dan suhu, kebutuhan minimum protein pakan yang relative rendah , ketahanan terhadap penyakit serta mudah untuk didomestikasi menjadi alasan kuat perubahan komoditas budidaya dari udang windu ke udang vannamei. Peningkatan produksi udang nasional saat ini mengandalkan udang vannamei sebagai pilar utama peningkatan produksi udang nasional. Peningkatan produktifitas vannamei di seluruh dunia saat ini ditingkatkan melalui intensifikasi budidaya. Berbagai metode budidaya telah dilakukan untuk meningkatkan produksi baik dengan meningkatkan padat penebaran, peningkatan pengelolaan air sampai dengan penyempurnaan system budidaya terus dilakukan untuk mendapatkan hasil panen yang tinggi dengan masa pemeliharaan yang singkat. Salah satu optimalisasi produksi udang vannamei yang telah dilakukan oleh Moss (2005) adalah menebar benih diatas 1gr agar dapat mencapai ukuran besar dengan waktu yang cepat menggunakan system panen parsial. Keberadaan HSRT Idle yang ada di Sulawesi Selatan merupakan peningkatan produksi dalam tambak pembesaran juga dapat ditingkatkan dengan penebaran sampai 1300ekor/m2 dengan system raceway yang telah dilakukan di BBAP Takalar. Sistem super intensif raceway merupakan salah satu system yang cukup berhasil dilakukan untuk mendapatkan produktifitas udang yang tinggi. Dr Lawrence yang telah mematenkan system budidayanya mengandalkan raceway untuk mendapatkan density tertinggi untuk udang vannamei.Samocha (2006), Avnimelech (2002) juga menggunakan raceways yang dikombinasikan dengan bioflok untuk mendapatkan hasil panen yang tinggi. Dengan kombinasi pembesaran HSRT yang dilanjutkan Pembesaran Super Intensif Raceway maka diharapkan akan terjadi peningkatan produksi udang yang signifikan disebabkan banyaknya siklus pembesaran dalam setahun dan tingginya produktifitas permeter persegi wadah pembesaran BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 110 Tujuan Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui hasil teknologi panen cepat dengan memanfaatkan HSRT sebagai segmentasi produksi dapat berjalan secara efektif dan efiien dengan kelayakan usaha yang baik. Waktu dan Tempat Kegiatan ini dilakukan di Balai Perikanan Budididaya Air Payau Takalar dan HSRT sekitar, tahun 2013-2014.Kegiatan ini sudah berlangsung selama 3 siklus. BAHAN DAN METODE SKEMA PRODUKSI CEPAT VANNAMEI Benih SPF Vannamei PL 8-9 Hatchery CPIB H S R T Pembesaran sampai 2-3 gr/ePadat tebar 3000 e/m2 Per unit HSRT min 150.000 ekor Pakan Protein min 40% 40 hari P E M B E S A R A N Tradisional/Semi Super Intensif Supra intensif Padat Tebar 10-80 e/m2 Padat Tebar Padat Tebar 6001300 e/m2 Protein pakan min 26% Protein pakan min 31% Protein pakan min 37% Semi Closed System Semi Closed System, Biofloc Raceway System, Semi closed system intensif 40-60 hari H A R V E Partial/Total Harvest 200-400 e/m2 40-65 hari Partial/Total Harvest 45-75 hari Partial Harvest S T BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 111 Dari gambar diatas memperlihatkan skema produksi cepat vannamei menjelaskan pembesaran HSRT selama 40 hari dilanjutkan dengan pembesaran di lokasi tambak pembesaran selama 40-60 hari maupun pembesaran Supra Intensif selama 40-75 hari dapat meningkatkan produksi vannamei secara signifikan. Prosedur Teknik Pembesaran Udang di HSRT Pembesaran di HSRT bertujuan untuk menyiapkan udang vannamei ukuran 2-3 gr untuk ditebar pada tambak pembesaran untuk pembesaran sampai ukuran konsumsi. 1. Sarana Wadah pemeliharaan udang di HSRT menggunakan bak beton ukuran 10m3. Pada umumnya dalam satu unit HSRT memiliki minimal 8 bak dengan ukuran yang sama. Bak yang berada di HSRT biasanya memiliki konstruksi yang cukup kuat sehingga untuk mencegah kebocoran hanya dilakukan pengecatan bak untuk menutup dinding bak agar tidak terjadi kebocoran. Suplai air laut pada HSRT menggunakan pipa ke laut yang diisap dengan menggunakan mesin kecil (alcon).Sedangkan untuk suplai air tawar menggunakan sumur dangkal dengan salinitas 0-5ppt. Suplai air laut dan tawar biasanya masih pada kondisi yang dapat digunakan, sehingga untuk mengaktifkannya hanya dibutuhkan pembersihan pipa dari kotoran dan lumpur yang ada. Suplai oksigen dalam air menggunakan blower dengan kapasitas 100-200 watt/buah.Pada umumnya setiap HSRT masih memiliki blower buatan jepang dan untuk produksi hanya dibutuhkan perbaikan minor seperti pergantian klep udara dan servis ringan.Dalam kasus rusaknya blower yang ada sehingga tidak dapat digunakan, pengadaan blower buatan cina kapasitas 100watt dapat dijadikan solusi.Selain harga cukup terjangkau (sekitar 1 juta rupiah), masa pakai blower ini dapat digunakan lebih dari satu tahun. Kebutuhan blower untuk produksi di HSRT adalah 4 buah atau dapat disetarakan dengan daya max 700 watt. 2. Persiapan Tebar Kelebihan dari persiapan pembesaran HSRT adalah singkatnya masa persiapan sehingga produksi dalam setahun akan tinggi karena cepatnya waktu siklus produksi. Persiapan dapat dilakukan dengan cepat dalam waktu sekitar 4 hari. Jeda waktu antar siklus akan singkat sebab persiapan yang dilakukan cenderung sederhana dan efektif. Persiapan awal usaha pembesaran adalah persiapan wadah, Pengaturan aerasi dan pemasukan air. Persiapan wadah budidaya dilakukan dengan cara pencucian biasa yang dilanjutkan dengan pembilasan. Pengaturan aerasi BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 112 dilakukan dengan menggunakan pipa ukuran setengan inchi sebanyak 1 buah/bak yang diletakkan melintang dibawah tengah bak.Pipa tersebut dilubangi dengan jarak sekitar 20 cm tiap lubangnya.Setiap blower min 120 watt dapat mencukupi kebutuhan oksigen 2 bak dengan ukuran 10m3.Pemasukan air dilakukan dengan menyedot air laut langsung dengan system filtrasi fisik berupa lilitan dakron ataupun filrasi bertingkat. 3. Benih Benih yang digunakan harus berasal dari hatchery yang bersertifikat CPIB. Dengan sumber benih yang bersertifikat maka keamanan pangan dan ketelusuran produk yang dihasilkan akan terjamin dan dapat meningkatkan nilai tawar udang hasil pembesaran HSRT. Pada umumnya benih F1 lepas hatchery saat ini adalah PL8-9 dengan berat kurang dari 0,01gr.Penebaran benih yang cukup aman untuk skala HSRT ini adalah 2000-2500 ekor/m2 untuk target panen 2-3 gr/ekor. Sehingga dalam satu unit HSRT yang memiliki bak minimal 8 buah dengan ukuran 10m2 tiap baknya dapat menebar sekitar 150.000 - 200.000 ekor/siklus. 4. Pemberian Pakan Pakan yang digunakan dalam pembesaran HSRT ini adalah pakan dengan kandungan protein minimal 40%. Pakan yang diberikan sebagai pakan awal adalah bubuk kasar dengan carablind feedingdengan frekuensi pemberian pakan 4 kali perhari. Setelah benih tumbuh sampai min 0,1gr/ekor makan dapat diberikan pakan crumble dengan feeding program yang telah dibuat oleh BBAP Takalar. Pemberian pakan 4 kali perhari ini dibagi menurut kuantitasnya yaitu 40% untuk dua kali pemberian pagi dan siang serta 60% untuk dua kali pemberiansore dan malam. Penambahan vitamin C dalam pakan dilakukan dengan dosis 1000mg/kg pakan dan seminggu sebelum panen dinaikkan menjadi 2000mg/kg pakan. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 113 5. Manajemen Kualitas Air Kualitas air memegang peran yang sangat penting dalam pembesaran HSRT. Setiap minggu sekali media pemeliharaan ditebar probiotik padat dan cair untuk menjaga kualitas air tetap terjaga.Pergantian air pertama dilakukan setelah beih memasuki usia 30 hari dan kemudian setiap minggu berikutnya dilakukan pergatian air kembali.Pergantian air dilakukan sebesar maksimal 50% dari total media pemeliharaan. Total jumlah pergantian air dalam satu siklus pemeliharaan adalah tiga kali. Dengan perhitungan ini dapat dihitung kebutuhan air dalam satu siklus untuk unit HSRT dengan bak min 8 buah adalah 200m3 persiklus 6. Panen Panen dilakukan pada saat udang mencapai 2-3gr dengan usia sekitar 45 hari. Panen dilakukan dengan hati-hati menggunakan jarring bak panen dan penyerokan langsung. Proses pemanenan dilakukan dengan metoda yang disesuikan dengan metoda pengangkutan yang akan dilakukan. Dalam hal perhitungan udang dilakukan dengan metode kering. 7. Pengangkutan Proses pengangkutan merupakan proses yang sangat penting agar udang dapat ditebar dalam tambak pembesaran dalam kondisi yang sehat . Pengangkutan udang ukuran 2-3 gr/ekor sebaiknya menggunakan fiber atau bak terpal dalam mobil pickup/truk.Ketersediaan blower dan tabung oksigen merupakan hal yang mutlak dalam pengangkutan. Lama pengangkutan udang hasil panen ini adalah 3 jam pertabung oksigen. Setiap pengangkuatan menggunakan truk diperkirakan dapat mengangkut sekitar 150.000-200.000 ekor benih untuk waktu pengangkutan 5 jam dengan menggunakan es untuk menurunkan suhu air. Teknik Pembesaran Udang Supra Intensif Pembesaran Supra Intensif adalah teknologi intensifikasi lahan dengan tujuan produksi udang dengan penebaran 600-1300 ekor/m2 1. Sarana Wadah pemeliharaan udang untuk teknologi ini adalah bak beton dengan ukuran bulat dengan luas 78,5m2.Ketinggian bak ini minimal 2.6 m dengan diameter 10m.Wadah ini dilengkapi dengan central drain dengan ukuran minimal 8 inchi. Suplai air berasal dari air laut langsung yang diisap menggunakan pompa 4 inchi.Air laut yang digunakan sebaiknya telah difilter dengan filiterisasi minimal adalah penyaringan di pipa isap di laut menggunakan ijuk dan arang.Pengaturan pipa isap dilaut harus secara cermat dilakukan sehingga air laut dapat dengan mudah diisap walapun kondisi pasang surut yang BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 114 tinggi sekalipun. Motor penggerak pompa isap dapat menggunakan mesin diesel maupun dynamo listrik. Motor penggerak pompa sebaiknya 5 HP dengan putaran 1400 rpm. Suplai oksigen dalam bak menggunakan blower. Blower yang digunakan setiap bak sebaiknya 1,5 inchi. Penggunaan blower 2-2,5 inchi lebih efektif dilakukan sebab dapat mencukupi kebutuhan oksigen 2 unit bak. Motor penggerak blower ini dapat digunakan mesin diesel maupun dynamo listrik. 2. Persiapan Tebar Kelebihan dari persiapan pembesaran di bak beton adalahs ingkatnya masa persiapan sehingga dalam satu tahun siklus produksi akan semakin tinggi. Persiapan dalam bak dapat dilakukan dengan cepat dengan waktu maksimal 7 hari. Persiapan awal usaha pembesaran adalah persiapan wadah, Pengaturan aerasi dan pemasukan air. Persiapan wadah budidaya dilakukan dengan cara pencucian biasa yang dilanjutkan dengan pembilasan. Pada budidaya system supra intensif ini pencucian bak sangat mudah dilakukan karena kerang maupun teritip yang menempel di dinding bak sangat jarang ditemui sebab kepadatan udang yang tinggi menyebabkan teritip atau kerang tidak dapat tumbuh di dinding bak. Pengaturan aerasi dilakukan dengan menggunakan pipa ukuran satu inchi dengancentral drain. Diharapkan dengan pengaturan aersasi demikian maka limbah padat pembesaran akan mudah terbuang dan kualitas air media pemeliharaan tetap terjaga. Pemasukan air laut dengan pompa 4 inch membutuhkan waktu sekitar 6-7 jam agar bak dapat terisi penuh. 3. Benih Benih yang digunakan berasal HSRT dengan ukuran minimal 2gr/ekor. Dengan benih sebesar ini maka diharapkan dapat mempercepat waktu pembesaran dan meningkatkan kelulus hidupan udang dan tingkat homogenitas yang baik.Kepadatan benih yang ditebar adlah 1300 ekor/m2.Sehingga setiap bak pemeliharaan dapat diisi minimal 100.000 ekor. 4. Pemberian Pakan Pakan yang digunakan dalam pembesaran supra intensif adalah pakan dengan kandungan protein minimal 37%.Ukuran pakan yang diberikan diseuaikan dengan ukuran udang yang dipelihara.Feeding frekuensi dan dosis pakan mengikuti feeding program yang telah dibuat oleh BBAP Takalar. Pemberian pakan 8 kali perhari ini dibagi menurut kuantitasnya BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 115 yaitu 40% untuk empat kali pemberian pagi dan siang serta 60% untuk empat kali pemberian sore dan malam. Penambahan vitamin C dalam pakan dilakukan dengan dosis 1000mg/kg. 5. Manajemen Kualitas Air Kualitas air pada system supra intensif ini dapat dijaga kestabilannya karena system raceway yang diterapkan. Pemasukan air menggunakan metode milkfish circulation dimana air yang masuk dapat memutar hampir seluruh ketinggian media pemeliharaan.Setelah udang berukuran 5 gr/ekor sebaiknya pemasukan air dilakukan terus sehingga pergantian air sekitar 200% perhari. Dengan tingginya pergantian air ini diharapkan dapat meningkatkan kandungan oksigen dalam air untuk mencukupi kebutuhan oksigen udang yang tinggi. Dengan pergantian air ini, plankton akan sulit blooming, sebab dengan sirkulasi, air pemeliharaan tidak akan pernah berwarna hijau maupun coklat sehingga pada malam hari diharapkan persaingan oksigen mayoritas hanya terjadi sesama komoditas yang dibudidayakan. Prinsip raceway inilah yang diterapkan oleh Dr. Lawrence dalam patent US0100294202 walaupun dalam skala berbeda.Jumlah persen sirkulasi air perhari ini masih dalam tahap perbaikan untuk mengejar kepadatan udang yang lebih tinggi lagi dan menghasilkan udang dengan ukuran yang lebih besar. 6. Manajemen Kesehatan Udang Pengetahuan tentang kesahatan udang berkala sangat penting dilakukan sebagai dasar setiap perlakuan yang akan diberikan. Pemeriksaan kesehatan udang dilakukan setiap tiga hari dengan melihat pertumbuhan dan ciri fisik udang. Berdasarkan kondisi udang yang dipelihara maka setiap perlakuan yang akan diberikan mengacu pada data yang ada sehingga analisa kejadian dan perencanaan akan mudah dilakukan. 7. Panen Panen udang system supra intensif dilakukan secara partial. Penentuan panen dilakukan dengan mengukur kandungan oksigen pada waktu subuh. Jika oksigen kurang dari 4 ppm maka panen sebaiknya dilakukan. Pada umumnya panen pertama dilakukan pada ukuran udang 11-12 gr/ekor, panen kedua saat udang 15-16 gr/ekor dan panen terakhir saat udah berukuran 17-20gr. Dengan system panen ini diharapkan usaha pembesaran ini memperoleh keuntungan maksimal. Sistem panen ini juga diterapkan oleh Moss (2005) untuk menghasilkan panen ukuran besar BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 116 HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pemeliharaan vannamei dengan memanfaatkan HSRT sebagai segmentasi produksi dengan dilanjutkan dengan pembesaran supra intensif diperoleh hasil dengan pembesaran supra intensif diperoleh hasil Pembesaran Tambak Pembesaran HSRT 16 14 12 B e 10 r a 8 t 6 4 2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Minggu Grafik 1. Pemeliharaan Udang Grafik diatas menunjukkan pemeliharaan selama 15 minggu dengan berat akhir 16,7 gr. Area berwarna biru menunjukkan pembesaran HSRT dan area merah muda menunjukkan pembesaran di bak supra intensif. Tabel 1.Pembesaran HSRT No Uraian Hasil 1 Growth 2,65 gr ±0,21 2 Survival Rate 85% 3 FCR 0,99 4 SGR 18% Tabel 1 diatas menunjukkan pertumbuhan udang pada pembesaran di HSRT. Dari hasil diatas dapat dilihat pertumbuhan udang yang cukup baik 2,65 gr ±0,21, kelulushidupan 85% FCR 0,99 dan pertumbuhan harian 18% perhari. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 117 Tabel 2. Pembesaran di Bak Supra Intensif No Uraian Hasil 1 Growth 16,7 gr ± 1,2 2 Survival Rate 85% 3 FCR 1,3 4 SGR 9,08% Panen Parsial I (ukuran 9,8 gr) 350 kg Parsial II (ukuran 13,5 gr) 350 kg Panen akhir (ukuran 16,7 gr) 400 kg Total Panen 1100 kg Tabel 2 diatas menunjukkan pertumbuhan udang pada pembesaran di bak supra intensif. Dari hasil diatas dapat dilihat pertumbuhan udang yang sangat baik 16,7 gr ± 1,2 kelulushidupan 85% FCR 1,3 dan pertumbuhan harian 9,08 % perhari. Panen dilkukan sebanyak 3 kali dengan total panen 1100 kg Pendekatan dalam akselerasi produksi vannamei dengan pemanfaatan HSRT Idle sebagai segmentasi pembesaran tahap I merupakan solusi yang tepat dalam meningkatkan produksi udang vannamei. Dengan aktifnya kembali HSRT maka secara langsung dapat mempercepat masa panen dan sebagai solusi dalam mengaktifkan kembali HSRT yang cukup lama tidak berpropduksi sejak runtuhnya kejayaan udang windu. Beberapa aspek yang sangat menunjang dalam system ini adalah : 1. Masa Panen Cepat Masa panen udang vannamei saat ini berada dalam kisaran minimal 90 hari setelah tebar.Dengan system ini maka panen dapat dipercpat lebih dari satu bulan masa panen normal. Dengan pembesaran sampai ukuran 2-3 gr di HSRT maka diharapkan masa panen di tambak pembesaran akan jauh lebih cepat, yaitu dalam kisaran 45 hari. Hal ini juga dapat meningkatkan kelulushidupan udang yang dipelihara sebab dalam ukuran tebar 2-3 gr maka kemampuan adaptasi udang akan semakin tinggi sehingga berdampak pada skelulushidupan yang tinggi pula. Kendala yang sering dihadapi pada tambak tradisional dan semi intensif adalah benih udang vannamei yang beredar saat ini sangat kecil. Ukuran benih lepas dari hatchery saat ini pada umumnya hanya PL8. Kecilnya ukuran benih ini berdampak pada menurunnya kemampuan adaptasi benih terhadap lingkungan serta bila dikaitkan dengan pemangsa maka benih yang kecil ini sangat rawan terhadap pemangsa yang ada ditambak. Selain itu juga, ukuran yang dihasilkan dengan menebar benih yang kecil ini akan sangat bervariasi karena luasnya wadah pembesaran menyebabkan pemberian pakan akan BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 118 2. 3. 4. 5. kurang optimal sehingga udang yang kalah akan cenderung menjadi ―kuntet‖. Pembesaran di HSRT untuk mencapai 2-3 gr diperlukan waktu 43 hari. Dengan penanganan yang baik dalam bak terkontrol sesuai dengan percontohan yang dilakukan BBAP Takalar, maka diharapkan hasil benih pembesaran HSRT akan memiliki kualitas yang baik dengan ukuran yang seragam sehingga saat dipindah ke tambak pembesaran akan lebih cepat pertumbuhannya sehingga masa panen akan singkat dengan ukuran yang seragam. Dengan mempersingkat masa panen udang ini maka akan sangat berdampak pada peningkatan produksi hampir dua kali lipat produksi saat ini. Lokasi Lokasi HSRT cukup merata di sepanjang pantai barat Sulawesi Selatan dengan jumlah yang banyak. Lokasi ini dianggap penting sebab dengan aktifnya kembali HSRT maka penyaluran udang hasil pembesaran HSRT ke tambak pembesaran akan mudah sebab lokasi pengangkutan yang relative dekat. Kemampuan SDM Para pemilik HSRT Idle sekarang ini adalah pembudidaya yang telah terbiasa membenihkan udang windu dalam HSRT. Dengan pengalaman yang tinggi dalam memelihara udang windu yang umumnya berawal dari stadia naupli maka pergeseran ke pembesaran udang vannamei akan mudah sebab teknologi yang digunakan dalam pembesran vannamei skala HSRT lebih mudah dari pembenihan udang windu. Sosial Sosial masyarakat HSRT telah terbentuk sejak lama sebelum keruntuhan udang windu sehingga akan mudah dalam pendekatan maupun pendampingan HSRT secara berkelompok. Pendekatan social masyarakat ini cukup penting sebab dengan kelompok HSRT yang dapat dibentuk maka akan dapat menstimulir HSRT lain disekitarnya. Dengan adanya kelompok HSRT juga dapat berdampak pada semangat pembudidaya dalam berproduksi dan penyelesaian masalah teknis akan dapat diseselaikan bersama. Ekonomi Dampak ekonomi yang akan timbul dari system ini adalah meningkatkan pendapatan pembudidaya sebab siklus akan menjadi jauh lebih pendek dan produksi tahunan dapat meningkat dengan signifikan. Untuk pembudidaya skala tambak, produksi akan lebih cepat sehingga hasil yang diperoleh dalam satu tahun akan jauh lebih banyak. Sedangkan untuk HSRT, akan sangat menguntungkan dengan panen setiap 30-45 hari, sehingga pembudidaya HSRT akan mendapatkan keuntungan dari setiap siklus BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 119 produksi yang pendek. Hal ini akan berdampak langsung terhadap nilai produksi udang khususnya di Sulawesi Selatan. KESIMPULAN Dengan semua uraian diatas maka peningkatan produksi vannamei dengan cepat dapat terwujud jika pembesaran diarahkan pada segmentasi produksi yang tepat sehingga proses budidaya dapat berjalan dengan efektif dan efisien serta menguntungkan. Segmentasi pertama yang merupakan Pembesaran di HSRT sangat tepat untuk menghasilkan udang tebar yang homogeny dengan ukuran besar. Sedangkan segmentasi pembesaran kedua adalah pembesaran sampai ukuran konsumsi dimana waktu produksi akan menjadi jauh lebih pendek, sehingga total produksi tahunan akan jauh meningkat karena singkatnya waktu produksi tiap siklusnya. DAFTAR PUSTAKA Moss.Et al, 2005.Optimizing Strategis for Growing Larger L. vannamei. Global Aquaculture Advokat, 68-69. Avnimelech Y., 2007. Biofloc technology. World Aquaculture Society, 75-90 Lawrence A.L., 2011.New Aquaculture Technology Super Intensive Raceway. Texas Agrilife Research Lawrence A.L., 2011.Patent US0100294202. Systems and Methods BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 120 REVITALISASI TAMBAK UDANG WINDU (Penaeus monodon) DI ACEH MELALUI DISEMINASI PENTOKOLAN MULTI PONDS DAN SINGLE POND Muhammad, M. Fadhly Nauri, Hendro Wahyudi, dan T. Ridwan Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee Jl. Krueng Raya Km. 46 Banda Aceh NANGROE ACEH DARUSSALAM ABSTRAK Metode pentokolan meningkatkan keberhasilan budidaya udang windu (Penaeus monodon). Selama tahun 2013 BPBAP (Balai Perikanan Budidaya Air Payau) Ujung Batee telah membina sejumlah unit pentokolan di seluruh Aceh. Metode produksi tokolan secara in-situ di kawasan tambak memudahkan aklimasi dan transportasi benih ke tambak masyarakat. Kegiatan diseminasi teknologi ini dilakukan dengan metode eksperimental-diseminatif, yakni melibatkan petambak di kawasan pembinaan. Lokasi pembinaan dibagi menjadi dua kelompok yakni pantai timur Aceh (multi ponds) 13 lokasi dan di pantai barat (single pond) 3 lokasi. Unit pentokolan multi ponds dibuat di tambak dengan luas 5000 m² yang memuat petak 10-20 petak tokolan dengan ukuran 5x15 m², 4x10 m² dan 5x10 m². Padat tebar benur 400 ekor/m², dipelihara selama 15-21 hari dengan Survival Rate (SR) mencapai 79.1%, panjang total 2,6-3 cm/ekor dan bobot 0.28-0.31 gram/ekor. Sedangkan, unit pentokolan single pond dibuat dalam petakan besar berukuran 0,5-1 ha yang dikelilingi tambak-tambak pembudidaya pengguna tokolan dengan kepadatan benur 30-50 ekor/m². Pemeliharaan dilakukan selama 35-45 hari dengan SR mencapai 60-75%, panjang total 4-5,5 cm/ekor dan bobot 3 -5 gram/ekor. Tokolan hasil multi ponds dan single pond digunakan untuk pembesaran udang sistem sederhana plus. Tokolan multi ponds ditebar di tambak pembesaran dengan kepadatan 35 ekor/m², produksi 600-900 kg/ha/siklus selama 3 bulan, SR 75%, dan Feed Conversion Ratio (FCR) 1,2. Tokolan hasil single pond ditebar di tambak pembesaran dengan kepadatan 2-3 ekor/m², produksi mencapai 500-800 kg/ha/siklus selama 2,5 bulan, SR 80% dan FCR 1. Keberhasilan ini memicu sebagian pembudidaya untuk melakukan budidaya semi intensif dan terbukti berhasil (total panen 5280 kg/ha). KATA KUNCI: revitalisasi, udang windu, pentokolan, single pond dan multi ponds BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 121 PENDAHULUAN Diseminasi pentokolan secara in-situ adalah salah satu solusi dalam menanggulangi gagal panen akhir akhir ini. Salah satu cara mengatasinya adalah menggunakan tokolan berukuran lebih besar dari hasil pendederan. Petak tokolan dikelilingi dengan pagar biosecurity dan pengecekan virus dengan PCR (Polimerase Chain Reaction) sebelum tokolan disebarkan ke petak pembesaran. Pentokolan secara in-situ adalah usaha pemeliharaan benur dari ukuran PL 12-15 menjadi ukuran PL 33-35 dengan menggunakan petakan kecil dengan ukuran yang bervariasi. Orientasi pentokolan dimaksud sebagai tempat untuk proses beradaptasi dengan lingkungan bebas dan sedikit mengurangi tahapan kebutuhan fisiologis larva, sehingga kondisi lingkungan tambak akan lebih terakomodasi saat proses pentokolan, sehingga saat ditebar kedalam tambak tidak akan stress sebab kondisi salinitas, suhu, pH cenderung lebih sama (Persyn and Aungst, 2006). Akses petani dalam memperoleh benur yang berkualiats juga dapat terjamin baik kualitas maupun kuantitas, karena dilakukan secara langsung dikawasan tambak atau yang lebih dikenal dengan in situ. Kegiatan pentokolan secara in situ di lakukan didalam sebuah kawasan tambak yang terdiri dari beberapa klaster budidaya, akses dalam mendapatkan benur dapat diperoleh dengan mudah baik kualitas maupun kuantitas, sehingga penerapan system budidaya secara klaster dapat diterapkan secara maksimal. Pengertian klaster itu sendiri adalah hamparan tambak dengan hamparan tambak lain terpisah secara hidrologis baik oleh saluran, sungai dan jalan. Kelebihan menganut konsep klaster adalah dapat mengeliminasi siklus penyebaran penyakit sehingga dalam klaster penebaran sampai panen dapat dikontrol karena asal benur dari satu tempat atau satu lokasi pentokolan. Pentokolan udang windu merupakan salah segmen usaha dan berfungsi sebagai satu mata rantai dalam budidaya udang windu system tradisional atau pola sederhana. Diseminasi budidaya berorientasi pengembangan kawasan budidaya sistem kluster terintegrasi dengan sistem pentokolan sehingga disebut secara in situ Kabupaten Aceh Timur adalah salah satu wilayah di Provinsi Aceh yang memiliki potensi budidaya perikanan yang cukup besar. Wilayah Kecamatan julok memiliki lahan potensial bekas tambak idle seluas ± 181 Ha. Lahan-lahan tersebut cukup layak untuk dihidupkan kembali terutama pada budidaya udang. Dengan berkembangnya kawasan tersebut diharapkan dapat berperan meningkatkan produksi perikanan budidaya di Provinsi Aceh sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 122 Pada tahun 2012 dan 2013 mengalami peningkatan produksi tokolan disebabkan adanya peningkatan kebutuhan tokolan dan bertambahnya petani binaan dengan sistem kelompok klaster. Sistem klaster budidaya adalah pengelompokan pembudidaya dalam satu kawasan yang memiliki kesamaan seperti komoditas, salinitas, konstruksi dan kualitas tanah. Tiap-tiap klaster dipisahkan oleh satu saluran. Cara ini bertujuan untuk meminimalisir penyebaran penyakit pada tiap klaster. Tujuan dari diseminasi ini adalah meningkatkan kemudahan akses terhadap tokolan udang berkualitas secara kuantitatif. BAHAN DAN METODE Identifikasi klaster Identifikasi wilayah klaster mulai dilakukan pada bulan Mei 2011 dengan mendata kecocokan wilayah yang mempunyai kesamaan ekologis, dan dipisahkan oleh saluran. Kegiatan tersebut bertujuan untuk meninjau berapa kelompok klaster yang dapat dibentuk di lokasi rencana kegiatan diseminasi (Figure 1). Kegiatan teknis pentokolan udang bebas virus Benih disebarkan ke wilayah pesisir Timur Aceh sebanyak 13 lokasi (13.863.000 ekor) dan Pantai Barat Aceh sebanyak 3 lokasi (2.260.000 ekor). Pelaksanaan kegiatan pentokolan meliputi penyediaan benur PL 12 yang dibeli dari hatchery BBAP Ujung Batee, penebaran, pemberian pakan 2 kali sehari, pemberian minyak cumi dan vitamin C yang dicampur dengan pakan untuk meningkatkan nafsu makan dan meningkatkan kekebalan benih, kontrol kualitas air, panen dan pasca panen. Pendampingan teknis budidaya Kegiatan pendampingan teknis petani dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu temu lapang, pengawasan dan evaluasi. Temu lapang dilakukan beberapa kali apabila dibutuhkan. Pengawasan dilakukan sejalan dengan kegiatan teknis lapangan. Pengawasan bertujuan untuk mengetahui sampai di mana tingkat pencapaian dan tingkat penyelesaian dari kegiatan tersebut dalam rangka mencapai tujuan yang ditentukan. Tindak lanjut dari kegiatan pengawasan adalah evaluasi. Kegiatan evaluasi dilakukan di tiap akhir bulan. Kegiatan ini merupakan lanjutan dari kegiatan temu lapang, kegiatan teknis dan pengawasan. Dalam evaluasi juga dilakukan analisis serangkaian data yang di dapat dari kegiatan temu lapang, teknis dan pengawasan di lapangan. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 123 Evaluasi diseminasi pentokolan Untuk mengukur keberhasilan diseminasi dilakukan terlebih dulu pengklasifikasian standar keberhasilan (Tabel 1). Tabel 1. Kriteria keberhasilan kegiatan Kriteria Tidak berhasil Kurang berhasil Berhasil Sangat berhasil Keterangan Klasifikasi buruk >70% Klasifikasi buruk 50-70% Klasifikasi buruk 30-50% Klasifikasi buruk <30% Keberhasilan pentokolan ditentukan dari daya serap tokolan oleh pembudidaya udang. Klasifikasi daya serap ini adalah sebagai berikut. Tabel 2. Klasifikasi penyerapan tokolan Klasifikasi Buruk Cukup baik Baik Sangat baik Penyerapan tokolan per petani <10,000 10,000-20000 20,000-60,000 >60,000 Untuk memperjelas efek kegiatan di lapangan, maka sampel diseminasi pentokolan dilakukan di Julok dengan membandingkan dengan produksi tokolan pada tahun sebelumnya (2011-2012). Perbandingan bioteknis Kemudian multi ponds dan single ponds dibandingkan dengan variabel waktu pemeliharaan kelangsungan hidup, berat, panjang, dan FCR. Efek pentokolan pada keberhasilan pembesaran Sebelumnya dilakukan survey untuk menentukan standar keberhasilan penen udang menurut petani. Petani yang memperoleh benih tokolan dievaluasi antara jumlah pembelian dan hasil panen. Kemudian hasil dari panen ini dibandingkan standar kesuksesan yang petani buat sendiri. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 124 HASIL DAN PEMBAHASAN Pentokolan Multi Ponds Dari hasil survey awal didapat bahwa data kualitas lahan di Gampong Baro, Julok, Aceh Timur adalah pH tanah 5-6, pH air 7-8, dan Salinitas 22-28 ppt. Dengan demikian tanah menunjukkan keadaan asam. Keadaan ini menyebabkan petani menambahkan dolomite lebih banyak untuk menetralkan kondisi tanah dasar. Kualitas pH tanah perlu mendapat perhatian lebih dalam hal ini, agar produksi udang maksimal No Lokasi Diseminasi 1 Desa Pasi Ie Leubeu Kec. Kembang Tanjong Kab. Pidie 2 Desa Meuraksa Kec. Meureudu Kab. Pidie Jaya 3 Desa Meurah Dua, Kec. Meureudu Kab. Pidie Jaya Desa Lhong Reng Kec. Trienggadeng Kab. Pidie Jaya Desa Seuneubok Seumawe Kec. Peulimbang Kab. Bireun 4 5 6 7 Desa Engking Barat Kec. Samalanga Kab. Bireun Desa Puuk Kec. Samudera Kab. Aceh Utara Produksi tokolan/lokasi Pembeli Penyerapan tokolan/ pembudidaya/tahun Klasifikasi penyerapan 375,000 34 11,029 cukup baik 1,495,000 26 57,500 Baik - buruk - buruk 12 23,333 Baik - buruk 1,200,000 18 66,667 sangat baik 752,000 14 53,714 Baik - buruk - 280,000 - 8 Desa Jambo Mesjid Kab. Blang Mangat Kab. Aceh Utara 9 Desa Glumpang Umpung Unoe Kec. Tanah Jambo Aye Kab. Aceh Utara 10 Desa Teupin Mamplam Kec. Simpang Ulim Kab. Aceh Timur 1,500,000 13 115,385 sangat baik 11 Desa Gampong Baro Kec. Julok Aceh Timur 2,670,000 14 190,714 sangat baik 12 Desa Cot Keh Kec. Peureulak Kota Kab. Ceh Timur Desa sungai Pauh Kec. Langsa Barat Kota Langsa - buruk 13 Total - 2,680,000 12 223,333 sangat baik 10,952,000 143 92,709 sangat baik Di lokasi pesisir Timur, hanya 4 lokasi pentokolan yang tidak memperoleh benih karena ketidakcukupan jumlah benih yang disediakan Balai. Sedangkan 9 lokasi lainnya dapat melakukan pentokolan dengan serapan udang tokolan per petani rata-rata 11.000-223.000. Dengan kemampuan petani membeli 20.000 benih per siklus maka bisa dipastikan seorang petani memperoleh tokolan sepanjang tahun. Dengan demikian 62% lokasi pentokolan BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 125 telah mampu memperbaiki ketersediaan benih. Dari hasil ini kegiatan diseminasi tokolan dapat dikategorikan sebagai berhasil. Figure 1. Tambak pentokolan single pond berpagar untuk biosekuriti Pentokolan single Ponds Pentokolan single ponds diterapkan pada petani bertambak luas dan memiliki modal besar untuk sekaligus membeli benih PL muda dalam jumlah besar. Petakan tokolan single pond dilengkapi dengan pagar jaring sebagai penghalang agar hewan berukuran besar tidak masuk seperti hewan ternak. Pada pentokolan single ponds juga tergolong berhasil yakni seluruh petani dapat memperoleh benih. Daerah Subang dapat memperoleh benih sepanjang tahun karena pasokan benih PL yang cukup banyak. No Lokasi Diseminasi 1 2 3 Subang, Kuala Unga, Aceh Jaya Lhok Bubon, Samatiga, Aceh Barat Sejahter, Manggeng, Aceh Barat Daya Produksi tokolan/petani Pembeli 1,400,000 70,000 112,500 1,582,500 20 5 7 32 Tokolan/petani/tahun Klasifikasi 70,000 14,000 16,071 33,357 sangat baik cukup baik cukup baik Perbandingan bioteknis antara multi ponds dan single ponds Apabila dibandingkan petak single pond dengan padat tebar lebih rendah pemeliharaan lebih lama dan pakan alami yang lebih melimpah menghasilkan benih tokolan yang lebih besar, lebih dari 10 kali lipat tokolan multiponds. Namun demikian karena jangka waktunya lebih lama (lebih dari 2 kali lipat BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 126 multi ponds) maka kelangsungan hidup tokolan menjadi lebih rendah (Tabel 6). Keberhasilan pentokolan diatas tidak terlepas dari antusiasme masyarakat dalam menerima informasi dan bantuan teknis dari teknisi di lapangan. Tabel 3. Perbedaan hasil dalam pentokolan multi ponds dan single pond Variabel Multi ponds Single ponds 79.10% 67.50% 2.6-3 4-5.5 0.28-0.31 3-5 Lama pemeliharaan (hari) 15-21 35-45 Kepadatan 400 30-50 SR Panjang (cm) Berat (gr) Keberhasilan pentokolan Julok, Aceh Timur Kegiatan Diseminasi pendederan benih udang windu di Aceh Timur telah berjalan 8 siklus mulai tahun 2011 (200 ribu) dan mengalami kenaikan lebih dari 10 kali lipat saat 2013 (2,67 juta) (figure 2.). 86% 85% 84% 83% 82% SR 81% 80% 79% 78% 77% 3,000 2,670 85% 2,500 2,000 1,600 1,500 80% Jumlah tokolan (ribu) 1,000 80% 500 200 Tokolan SR 0 2011 2012 2013 Figure 2. Kenaikan hasil dan kelangsungan hidup tokolan udang Keberhasilan pentokolan udang windu terlihat jelas. Selain dari segi kuantitas yang meningkat juga dari kelangsungan hidup selama pentokolan. SR selama tahun 2011-2012 tetap dan meningkat setelah 2013 yakni dari 80% ke 85%. Ini menunjukkan terjadi perbaikan system manajemen budidaya. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 127 Keberhasilan budidaya konsep kluster menjadi semakin baik ketika ditunjang dengan bioscreening yang diterapkan. Pengaplikasian ikan nila pada sekeliling saluran masuk dan buang air tambak mungkin menjadi penyebab hal ini. Ikan nila mengurangi masuknya kurstasea dan ikan liar masuk kesaluran (Al-Harbi and Uddin, 2005). Keuntungan dalam system pentokolan single pond adalah kemudahan mengelola waktu panen. Panen benih dapat dilakukan secara bertahap. Dengan demikian kebutuhan pasar dapat terpenuhi secara simultan. Kerja petambak juga tidak melelahkan karena beban pekerjaan menjadi terbagi-bagi Pentokolan meningkatkan produksi udang Hasil survey menunjukkan bahwa keberhasilan budidaya udang windu dapat dilihat dari jumlah benih yang ditebar dan produksi udang yang dihasilkan. Sebagian besar pembudidaya memberi standar 20.000 ekor untuk menghasilkan 100 kg atau dibutuhkan 200 ekor per kg udang yang dihasilkan. Tabel 4. Klasifikasi keberhasilan budidaya udang berdasarkan kebutuhan tokolan per kg udang Klasifikasi Buruk Kebutuhan tokolan per kg hasil udang >200 Cukup baik 100-200 Baik 50-100 Sangat baik <100 Dalam prakteknya. Pentokolan yang dilakukan di Aceh Timur (Julok), panen sering dilakukan serentak saat permintaan tinggi. Namun demikian hasil produksi udang tetap berlanjut. Klaster lokasi telah membantu memperingan kegagalan budidaya. Kisaran panen udang oleh petani adalah 75-440 kg udang per siklus (Tabel 1). Hampir setengahnya panen sekitar dua bulan. Ini menunjukkan bahwa pentokolan memperpendek masa budidaya sehingga risiko kegagalan menurun (Juan et al., 1988). Berdasarkan testimony petani, pelaksanaan diseminasi system kluster memberikan keuntungan. Petani menjadi lebih mudah mengakses benih bebas virus dan memperoleh bantuan teknis langsung. Selain BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 128 itu mereka juga mendapatkan usaha tambahan yakni pentokolan udang (Tabel 2). Bagi Balai, keuntungan yang nyata adalah dapat berperan untuk menumbuhkan usaha budidaya baru dan tercapainya sertifikasi Cara Budidaya Ikan yang Baik. Pola produksi semakin jelas, yakni selama bulan-bulan kemarauproduksi meningkat (50-80%) sedangkan pada bulan penghujan produksi menurun. Pengaruh ini karena fluktuasi lingkungan membesar saat musim penghujan Tabel 5. Produksi udang windu di tambak dari benih hasil pentokolan No. Jumlah tokolan (ekor) Umur pemeliharaan (hari) Panen (kg) Kebutuhan tokolan per kg produksi 1 25,000 60 150 167 2 10,000 75 130 77 3 15,500 80 150 103 4 25,000 60 280 89 Baik 5 20,000 92 350 57 Baik 6 20,000 118 440 45 sangat baik 7 29,000 60 125 232 buruk 8 10,500 77 90 117 cukup baik 9 25,000 62 120 208 buruk 10 10,000 65 80 125 cukup baik 11 10,000 60 75 133 cukup baik Klasifikasi cukup baik Baik cukup baik KESIMPULAN Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Pentokolan udang windu dapat disimpulkan berhasil dan dapat diterima masyarakat. 2. Keberhasilan pentokolan tercermin dari meningkatnya keinginan masyarakat untuk memproduksi tokolan tiap tahun. Produksi udang di sekitar lokasi pentokolan meningkat. 3. Keberhasilan teknis ditunjukkan oleh kelangsungan hidup benih yang tinggi dan pertumbuhannya yang baik. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 129 DAFTAR PUSTAKA Al-Harbi, A.H., Uddin, N., 2005. Bacterial diversity of tilapia (Oreochromis niloticus) cultured in brackish water in Saudi Arabia. Aquaculture 250, 566–572. doi:10.1016/j.aquaculture.2005.01.026 Juan, Y.-S., Griffin, W.L., Lawrence, A.L., 1988. Production Costs of Juvenile Penaeid Shrimp in an Intensive Greenhouse Raceway Nursery System. J. World Aquac. Soc. 19, 149–160. doi:10.1111/j.17497345.1988.tb00943.x Persyn, H., Aungst, R., 2006. Nursery, in: Operating Procedures for Shrimp Farming: Global Shrimp OP Survey Results and Recommendations. Global Aquaculture Alliance, Missouri, USA, pp. 41–51. BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 130 PERFORMA REPRODUKSI UDANG PISANG (Penaeus sp) Sarifuddin , Syafrizal , Abidin Nur Balai Perikanan Budidaya Air Payau ujung Batee Jl. Krueng Raya KM 46 Banda Aceh Nanggroe Aceh Darussalam ABSTRAK Pembenihan udang pisang (Penaeus sp) di fokuskan untuk tujuan domestikasi sebagai udang kekayaan lokal Aceh. Species ini diharapkan sebagai komoditas andalan karena terbukti belum pernah di temukan di perairan daerah lain. Penamaan lokal disebut ― udeung pisang‖ artinya udang pisang begitu masyarakat nelayan dan petani tambak menyebutnya. Udang jenis ini banyak tersebar disepanjang perairan wilayah barat Aceh dari Lamno hingga sampai ke pantai Aceh Selatan. Keunikan dari jenis udang ini adalah ukurannya yang menyerupai induk udang windu, bahkan dari beberapa kajian pemeliharaan sebelumnya post larvanya mirip udang windu sampai umur satu setengah bulan di tambak. Bentuk morfologinya, karakteristik/behaviornya menyerupai udang windu, sehingga sering disebut kerabat dekat dari udang windu. Akan tetapi berdasarkan hasil analisa DNA finger printing dengan Primer AAM, disimpulkan bahwa Species ini berbeda dengan udang windu (penaeus monodon). Produktivitas Induk dapat menghasilkan telur sebanyak 276.000 butir/ekor dengan berat individu 89.7 gram (3000 butir/gram induk), berdasarkan hasil sampling populasi stadia nauplius mencapai 247.000 ekor, sementara Post larva hingga mencapai hari ke-13 (panen) mencapai 183.000 ekor. Asumsi survival rate (%) dari stadia naulplii hingga PL-13, mencapai 74.0 %. Dengan volume bak 10 m3 Keynote : Pembenihan, udang pisang dan SR. PENDAHULUAN Secara umum, Aceh mempunyai beberapa keunggulan geografis, salah satunya adalah bentangan pegunungan yang hijau dan subur disepanjang perairan pantai barat telah memberikan konstribusi kelimpahan nutrien yang masuk kedalam laut sehingga rantai ekosistem cukup lengkap, hasilnya adalah BUKU 3 – Prosiding Indonesian Aquaculture 2014 131 keanekaragaman sumberdaya hayati perairan sangat tinggi terbukti banyak spesies yang tidak ditemukan di daerah lain. Diantaranya adalah udang pisang dengan nama lokal Aceh udeung pisang, sejeniscrustacea yang secara morfologis termasuk famili Penaidae.Secara umum udang pisang mempunyai kemiripan dengan udang windu dari sisi morfologi dan tingkah laku. Udang ini muncul secara musiman di pesisir barat Aceh dari Lamno hingga Aceh Selatan. Spesiesini diharapkan menjadi komoditas andalan akuakultur berdasarkan aspek cita rasa, nilai ekonomis serta keunggulan biologis. Salah satu kunci keberlanjutan akuakultur adalah diversifikasi komoditas. Pembenihan udang pisangtelah berhasil memproduksi benih untuk mensuplai benih ke pembudidaya kebutuhan domestikasi sebagai udang kekayaan lokal Aceh. Dengan demikian keberadaan udang putih lokal seperti ―udang pisang‖ dapat diperhitungkan dan berkontribusi terhadap industri udang di Indonesia. Sebagai negara yang kaya dengan plasma nutfah, Indonesia memiliki peluang diversifikasi komoditas udang dengan program pemanfaatan jenis udang lokal yang potensial. Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee pernah menyebutnya dengan nama dagang flower king dan hingga saat ini menjadi komoditas andalan Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Ujung Batee Provinsi Aceh.Pembenihan udang pisang di BPBAP Ujung Batee masih mengandalkan tangkapan induk dari alam yang di seleksi untuk diablasi. Ketersediaan benih akan sangat menunjang usaha budidaya udang secara sustain. Benih yang berkualitas hanya dapat diproduksi dengan menggunakan induk yang berkualitas dan penerapan teknik produksi yang benar sesuai standar. Tujuan dari kegiatan pembenihan udang Pisang adalah menghasilkan benih berkualitas untuk dapat dimanfaatkan