BUKU AJAR MATA KULIAH WAJIB UMUM PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia 2016 i Tim Penyusun: Paristiyanti Nurwardani Dr. Daniel Nuhamara Dr. Daniel Stefanus Drs. Swarsono MM Edi Mulyono Evawany Fajar Priyautama Ary Festanto Catatan Penggunaan: Tidak ada bagian dari buku ini yang dapat direproduksi atau disimpan dalam bentuk apapun misalnya dengan cara fotokopi, pemindaian (scanning), maupun cara-cara lain, kecuali dengan izin tertulis dari Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Agama Kristen Hak Cipta pada Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Dilindungi Undang-Undang Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi ii Disklaimer: Buku ini merupakan Buku Bahan Ajar Mata Kuliah Wajib Umum yang dipersiapkan pemerintah untuk menjadi salah satu sumber nilai dan bahan dalam penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai bangsa Indonesia seutuhnya. Buku bahan ajar ini disusun dan ditelaah oleh berbagai pihak di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Buku Bahan Ajar Bahasa Indonesia ini merupakan “bahan ajar yang dinamis” yang senantiasa diperbaiki, diperbaharui, dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan dan perubahan zaman, terakhir diperkaya dengan muatan kesadaran pajak. Masukan dari berbagai kalangan diharapkan dapat meningkatkan kualitas buku ini. Cetakan ke-1: 2016 Disusun dengan huruf HP Simplified Light, 12 pt iii SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL PEMBELAJARAN DAN KEMAHASISWAAN Amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 35 ayat 3 tentang kurikulum menyatakan bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia yang merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Sejalan dengan agenda revolusi karakter bangsa dalam Nawacita, Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) di perguruan tinggi menjadi sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat. Pada kesempatan ini saya menghimbau kepada semua Perguruan Tinggi agar segera menggunakan Buku Ajar MKWU ini sebagai salah satu sumber bahan ajar dalam upaya pembentukan karakter kuat dan keIndonesiaan, yang akan menjadi masyarakat yang siap menghadapi tantangan dan peluang kehidupan yang semakin kompleks di abad ke-21, berkepribadian dan siap bersaing dan eksis dalam masyarakat global. Saya mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyusun buku bahan ajar ini, terima kasih atas kerja kerasnya. Saya memberikan apresiasi kepada Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu yang telah berkontribusi dalam memperkaya materi buku MKWU ini dengan penguatan kesadaran pajak. Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukan yang berharga dan dedikasinya. Akhir kata semoga buku ajar ini bermanfaat bagi perguruan tinggi dan dapat digunakan sebagai bahan kuliah di pendidikan tinggi yang dapat membentuk sikap insan Indonesia yang beradab, berilmu, profesional dan berkepribadian Indonesia yang kokoh di era MEA dan global, serta berkontribusi terhadap kesejahteraan kehidupan bangsa. Jakarta, Juni 2016 Direktur Jenderal, Intan Ahmad iv KATA PENGANTAR DIREKTUR PEMBELAJARAN Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) Pendidikan Agama Kristen pada Perguruan Tinggi memiliki posisi strategis dalam melakukan transmisi pengetahuan dan transformasi sikap dan perilaku mahasiswa Indonesia melalui proses pembelajaran mata kuliah Pendidikan Agama Kristen. Dalam upaya meningkatkan mutu dan pembentukan karakter bangsa perlu dilakukan peningkatan dan perbaikan materi yang dinamis mengikuti perkembangan yang senantiasa dilakukan perbaikan terus menerus, diperbaharui, dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan dan perubahan zaman, dan semangat belanegara dan terakhir diperkaya dengan muatan kesadaran pajak. Salah satu upaya meningkatkan kualitas pembelajaran Pendidikan Agama Kristen adalah dengan mengembangkan kurikulum baru Pendidikan Agama Kristen yang berorientasi pada pengembangan sikap beragama yang moderat dan berwawasan keindonesiaan dan berwawasan global. Di samping itu, kurikulum baru tersebut diarahkan untuk mentransendenkan ajaran Kristen menjadi nilai-nilai universal yang dapat diimplementasikan dalam konteks dunia modern. Kurikulum baru tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penulisan buku yang dapat dijadikan sumber aktivitas pembelajaran bagi mahasiswa. Sesuai dengan Standar Nasonal Pendidikan Tinggi dan mengacu kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Pokok-pokok bahasan di dalam buku ini sengaja disajikan dengan pendekatan aktivitas pembelajaran, pembelajaran yang diselenggarakan merupakan proses yang mendidik, yang di dalamnya terjadi pembahasan kritis, analitis, induktif. deduktif, dan reflektif melalui dialog kreatif partisipatori untuk mencapai pemahaman tentang kebenaran substansi dasar kajian, . berkarya nyata. dan menumbuhkan motivasi belajar sepanjang hayat. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada tim penulis, atas dedikasi dan kerja kerasnya . Akhirnya, semoga Buku ini bermanfaat dalam upaya mewujudkan cita cita revolusi karakter bangsa. Buku ini masih banyak kekurangan dan kealpaan, untuk itu, kami mengharapkan masukan dan kritik dari para pembaca untuk perbaikan buku ini. Jakarta, Juni 2016 Direktur Pembelajaran, Paristiyanti Nurwardani v DAFTAR ISI SAMBUTAN ....................................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ............................................................................................................ v DAFTAR ISI ....................................................................................................................... vi BAB I AGAMA DAN FUNGSINYA DALAM KEHIDUPAN MANUSIA ....................................... 1 Pendahuluan ......................................................................................................................1 A. Menelusuri Pengertian Agama dari Berbagai Sudut Pandang ............................2 B. Fenomena Agama dalam Sejarah Umat Manusia .................................................6 C. Fungsi Agama dalam Kehidupan Manusia .............................................................8 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. D. Agama memberikan kedamaian mental (mental peace). .......................... 10 Agama menanamkan kebajikan-kebajikan sosial. ..................................... 10 Agama meningkatkan solidaritas sosial. ..................................................... 10 Agama adalah agen sosialisasi dan kontrol sosial. .................................... 10 Agama meningkatkan kesejahteraan........................................................... 11 Agama memberikan rekreasi kepada manusia........................................... 12 Agama berfungsi memperkuat rasa percaya diri. ....................................... 12 Agama juga mempunyai pengaruh kepada ekonomi serta sistem politik. ........................................................................................................................... 12 Membangun Argumen tentang Pengertian Agama dan Fungsi Positifnya dalam Kehidupan Manusia .................................................................................. 13 E. Mendeskripsikan Pengertian Agama dan Fungsinya agar Selalu Positif ........ 15 F. Rangkuman ............................................................................................................ 15 G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian .................................................................... 16 BAB II ALLAH DALAM KEPERCAYAAN KRISTEN ............................................................. 17 Pendahuluan ................................................................................................................... 17 A. B. Menelusuri Kesaksian Alkitab tentang Allah yang Dipercayai oleh Umat Kristen ......................................................................................................... 18 1. Allah Sang Pencipta ........................................................................................ 20 2. Allah Penyelamat ............................................................................................ 23 3. Allah Pembaharu Ciptaan-Nya ...................................................................... 31 Implikasi Kepercayaan kepada Allah sebagai Pencipta, Penyelamat, dan Pembaharu Ciptaan-Nya ..................................................................................... 36 1. Implikasi Kepercayaan kepada Tuhan sebagai Pencipta ........................... 37 vi C. 2. Implikasi Kepercayaan kepada Allah sebagai Penyelamat bagi Kehidupan Praktis............................................................................................................... 38 3. Implikasi Kepercayaan bahwa Allah adalah Pembaharu dalam Roh Kudus ........................................................................................................................... 40 Menggali Teologi Kristen: Isu Krusial yang Diperdebatkan tentang Hakikat Allah........................................................................................................................ 41 D. 1. Agustinus ......................................................................................................... 42 2. Karl Barth ......................................................................................................... 43 Ibadah: Sikap dan Tanggung Jawab Moral Kita.................................................. 45 E. Kepercayaan kepada Allah dalam Pengalaman Keberagamaan!.................... 46 F. Rangkuman ............................................................................................................ 46 G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian .................................................................... 47 BAB III MANUSIA MENURUT AJARAN KRISTEN .............................................................. 48 Pendahuluan ................................................................................................................... 48 A. Menelusuri Pemikiran-Pemikiran Modern tentang Manusia ............................ 50 B. 1. Manusia Komunis ............................................................................................ 50 2. Manusia Humanis ............................................................................................ 51 Pandangan Kristen tentang Hakikat Manusia .................................................... 52 C. 1. Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah (lih Kej. 1 dan Kej. 2) .................... 52 2. Manusia diciptakan menurut Gambar Allah (Imago Dei) ............................ 53 3. Manusia sebagai Makhluk Sosial ................................................................... 55 4. Manusia sebagai Makhluk Rasional dan Berbudaya ................................... 58 5. Manusia sebagai Makhluk Etis ....................................................................... 59 Paradoks dalam Kehidupan Manusia dan Masyarakat ..................................... 61 D. Membaharui Hubungan dengan Allah, Sesama, dan Alam Ciptaan ................ 64 E. Pandangan-Pandangan Teologi Kontemporer tentang Manusia dan Masa Depannya............................................................................................................... 65 F. Rangkuman ............................................................................................................ 66 G. Tugas Belajar Lanjutan dan Penyajian ................................................................ 67 BAB IV ETIKA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER KRISTIANI ............................................ 68 Pendahuluan ................................................................................................................... 68 A. Menelusuri Pengertian Etika dan Moralitas ........................................................ 70 B. Membangun Norma untuk Membuat Penilaian Moral ...................................... 73 1. Teori Teleologis ............................................................................................... 74 2. Teori Deontologis ............................................................................................ 75 vii C. Menggali dan Membangun Karakter Kristiani, dan Hubungan Karakter dengan Iman dan Etika Kristen ........................................................................... 78 D. Sistem Etika Kristen dan Prinsip Utamanya ....................................................... 86 E. Etika Teologis dan Etika Filsafati ......................................................................... 88 F. 1. Etika Teologis .................................................................................................. 88 2. Etika Filsafati ................................................................................................... 89 Rangkuman ............................................................................................................ 89 G. Tugas Belajar Lanjutan dan Penyajian ................................................................ 90 BAB V HUBUNGAN IMAN KRISTIANI DENGAN ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN SENI ........................................................................................................................ 91 Pendahuluan ................................................................................................................... 91 A. Tipologi Hubungan Iman dan Ilmu Pengetahuan dalam Sejarah Kekristenan............................................................................................................ 92 B. 1. Dominasi Iman/Agama terhadap llmu Pengetahuan/Sains ...................... 94 2. Dominasi llmu Pengetahuan terhadap Agama ........................................... 95 Pengertian Teknologi Modern ............................................................................ 101 C. Tipologi Respons Kristen terhadap Teknologi Modern ................................... 102 D. 1. Teknologi sebagai Pembebas (Liberator) .................................................. 111 2. Teknologi sebagai Ancaman ........................................................................ 115 3. Teknologi sebagai Instrumen Kekuasaan .................................................. 118 Hubungan Teknologi dan Kekuasaan Politis .................................................... 118 E. Membangun Sikap Kristen yang Lebih Realistis terhadap Teknologi ........... 119 F. Rangkuman .......................................................................................................... 120 G. Tugas Belajar Lanjutan dan Penyajian .............................................................. 121 BAB VI MENCIPTAKAN KERUKUNAN ANTARUMAT BERAGAMA .................................. 122 Pendahuluan ................................................................................................................. 122 A. Menelusuri Konsep Kerukunan Antarumat Beragama ................................... 122 B. Menanya Bentuk-Bentuk Kerukunan Antarumat Beragama ......................... 126 C. Menggali Sumber Alkitab tentang Kerukunan Antarumat Beragama .......... 130 D. 1. Allah sebagai Pencipta dan Manusia sebagai Ciptaan .............................. 135 2. Umat Allah sebagai Pelayan Kebersamaan Manusia ............................... 137 Membangun Argumen tentang Pluralisme Agama sebagai Persoalan Teologis .............................................................................................................................. 139 viii E. Mendeskripsikan Peran Umat Beragama dalam Mengembangkan Kerukunan Antarumat Beragama..................................................................... 146 F. Rangkuman .......................................................................................................... 152 G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian .................................................................. 152 BAB VII PENJAGA CIPTAAN ALLAH ............................................................................... 153 A. Menelusuri Hubungan antara Ekonomi dan Ekologi ....................................... 154 B. Manusia dalam Alam ........................................................................................... 163 C. Menggali Dasar Teologis dari Pemahaman mengenai Keutuhan Ciptaan ... 170 D. Membangun Argumen tentang Kedudukan Manusia dalam Lingkungan Alam ..................................................................................................................... 178 E. Mendeskripsikan Sikap Manusia terhadap Alam .............................................. 186 F. Rangkuman .......................................................................................................... 204 G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian .................................................................. 205 BAB VIII CARA BERGAUL YANG BAIK ............................................................................ 206 Pendahuluan ................................................................................................................. 206 A. Menelusuri Konsep Seni Bergaul ....................................................................... 207 B. Menjadi Sahabat Sejati ........................................................................................ 214 C. Menggali Sumber Alkitab tentang Pergaulan .................................................. 219 D. Membangun Argumen tentang Suka dan Duka Pergaulan ............................ 227 E. Mendeskripsikan Tahap-Tahap Pergaulan ....................................................... 229 F. Rangkuman .......................................................................................................... 234 G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian .................................................................. 235 DAFTAR ACUAN ............................................................................................................ 236 ix BAB I AGAMA DAN FUNGSINYA DALAM KEHIDUPAN MANUSIA Agama adalah suatu fenomena yang selalu hadir dalam sejarah umat manusia, bahkan dapat dikatakan bahwa sejak manusia ada, fenomena agama telah hadir. Walaupun demikian, tidaklah mudah untuk mendefinisikan apa itu agama. Mengapa? Pertama, karena pengalaman manusia tentang agama sangat bervariasi, mulai dengan yang paling sederhana seperti dalam agama animisme/dinamisme sampai ke agama-agama politeisme Sumber: dan monoteisme. Kedua, selain begitu http://www.smh.com.au/lifestyle/losing -my- religion-20130625-2ouww.html variatifnya pengalaman manusia tentang agama, dan begitu variatifnya disiplin ilmu yang digunakan untuk memahami fenomena agama. Misalnya, agama bisa ditinjau dari sudut psikologi, antropologi, sosiologi, ekonomi, bahkan teologi. Melalui bab ini, Anda diharapkan mencapai tiga tujuan pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang diharapkan dicapai adalah: (i) bersikap rendah hati dan bergantung kepada Tuhan yang diwujudkan antara lain dalam ibadah yang teratur; (ii) menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dalam kepelbagaian agama, suku dan budaya; (iii) menjelaskan pengertian agama, mengidentifikasi fungsi-fungsi agama dalam kehidupan manusia baik yang positif maupun negatif, merumuskan pengertian agama dengan kata-kata sendiri, dan menalar perbedaan fungsi agama yang positif dan negatif. 1 Sekarang, cobalah Anda melakukan refleksi pribadi berdasarkan pengalaman beragama Anda selama ini, rumuskan agama itu. Kalau bukan suatu definisi, cobalah sebutkan unsur-unsur yang membentuk pengalaman beragama Anda! Setelah itu bandingkanlah pengertian Anda dengan pandangan para ahli mengenai agama itu! Cobalah Anda amati pengertian agama dari disiplin ilmu psikologi, antropologi, sosiologi, dan teologi. Lihatlah buku psikologi, antropologi, sosiologi, dan teologi yang mengulas tentang pengertian agama. Bandingkanlah masing-masing definisi tersebut dan diskusikanlah dalam kelas! Fenomena agama merupakan fenomena yang tak bisa dijelaskan secara tuntas dengan kategori ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun begitu, Arnold Toynbee, seorang ahli sejarah ternama, mengatakan bahwa: “in religion the whole of human being personality is involved: the emotional and moral facets of the human psyche above all, but the intellectual facet as well. And the concern extends to the whole of Man’s World; it is not limited to that part of which is accessible to the human senses and which can therefore be studied scientifically and can be manipulated by technology (John Goley 1968, v). Jadi menurut Toynbee, dalam agama, keseluruhan kepribadian manusia terlibat antara lain: segi-segi emosional, segimoral dan kejiwaan, dan segi intelektual juga. Keprihatinan agama mencakup keseluruhan “dunia manusia”; tidak hanya dibatasi pada bagian yang bisa diakses oleh indra manusia yang pada gilirannya dapat dipelajari secara ilmiah tetapi juga yang dapat dimanipulasi oleh teknologi. Singkatnya, seluruh kemanusiaan kita terlibat di dalam pengalaman beragama manusia. Cobalah Anda amati hal-hal apa saja dalam diri manusia yang terlibat di dalam pengalaman beragama manusia! Kita mencoba menelusuri berbagai pengertian agama sebagaimana dikemukakan oleh berbagai ahli dari berbagai perspektif. Jika ditelusuri, ternyata ada begitu banyak definisi/pengertian agama dari yang sifatnya sangat positif sampai ke yang sifatnya sangat negatif. Begitu bervariasinya definisi agama karena, antara lain, ada yang memasukkan agama-agama yang sangat sederhana atau primitif, seperti dalam bentuk animisme/dinamisme, sampai ke agama-agama yang lebih rumit dan kompleks, seperti dalam agama-agama yang monoteisme ke dalam definisi mereka. Pada umumnya definisi-definisi tersebut bersifat positif dan tidak menilai benar atau salahnya suatu keyakinan religius. Namun, ada juga 2 definisi-definisi yang sangat kritis bahkan cenderung merendahkan pengalaman agamawi manusia. Cobalah Anda amati dan kemukakan beberapa definisi tentang agama yang sangat kritis! Berikut ini kita akan melihat beberapa contoh definisi, dan dengan menelusuri beberapa definisi mudah-mudahan kita menangkap pengertian agama. Beberapa definisi yang diberikan oleh berbagai kamus antara lain seperti berikut; Penguin Dictionary of Religion (1970) mendefinisikan agama sebagai suatu istilah umum yang dipakai untuk menggambarkan semua konsep tentang kepercayaan kepada ilah (ilah-ilah) dan keberadaan spiritual yang lain atau keprihatinan ultima yang transendental. Britanica Concise Encyclopedia (online, 2006) mendefinisikan agama sebagai hubungan manusia kepada Allah atau ilah-ilah, atau apa saja yang dianggap sakral, atau dalam beberapa kasus hal-hal yang supernatural. Encyclopedia Britanica (online, 2006) mendefinisikan agama sebagai hubungan manusia dengan apa yang dianggap sebagai suci, sakral, spiritual atau ilahi. Selain definisi-definisi dari kamus yang sifatnya netral, ada juga pengertian agama yang sifatnya negatif. Berikut tiga contoh definisi negatif tentang agama: 1. Karl Marx mendefinisikan agama adalah vitamin untuk masyarakat yang tertindas ... agama adalah candu bagi masyarakat. 2. Sigmund Freud dalam New Introductory Lectures on Psychoanalysis, mengatakan bahwa agama adalah ilusi dan menarik kekuatannya dari fakta bahwa ia berasal dari keinginan-keinginan instingtif manusia. 3. Bertrand Russel berpendapat bahwa agama adalah sesuatu yang terbawa/tertinggal dari masa kanak-kanak dari inteligensi kita, agama akan lenyap ketika kita mengadopsi penalaran dan ilmu pengetahuan sebagai penuntun kita. Dari penelusuran beberapa definisi di atas, dapatkah Anda membuat kesimpulan sendiri mengenai apa yang dipahami para ahli di atas tentang agama? Amatilah apa yang menyebabkan para ahli mendefinisikan agama seperti itu! Apakah definisi-definisi tersebut sesuai dengan pengalaman keagamaan Anda? Buatlah catatan kritis terhadap definisi tersebut! Untuk lebih memperjelas pemahaman kita mengenai agama secara umum, sebenarnya ada empat pendekatan definisai agama yakni: substantif, fungsional, verstehen, dan formal. Pendekatan subtantif dan pendekatan fungsional akan dibahas pada alinea berikut. Dua pendekatan lain (verstehen 3 dan formal) tidak dibahas di sini, Anda dipersilakan mencari di buku lain untuk memahami pendekatan verstehen dan formal! Sumber: http://putriempuutri.blogspot.com/2012/ Definisi-definisi substantif adalah definisi yang melihat apa substansi agama. Misalnya, Tyler mendefinisikan agama sebagai “kepercayaan kepada keberadaan spiritual.” Ini menunjukkan substansi agama sebagai kepercayaan kepada yang hal spiritual/rohaniah. Namun, kadang definisi substantif dipakai juga untuk analisis fungsional. Misalnya saja Ross (1901:197) melihat agama sebagai sesuatu yang memberi kontrol sosial tertentu. Dalam konsep ini, agama sudah bersifat fungsional, meskipun Tyler sebenarnya mendefinisikan agama secara substantif. Ia mengatakan bahwa agama sebagai suatu kepercayaan kepada yang tak terlihat, dengan perasaan takut, kagum, hormat, rasa syukur, dan kasih, demikian pun institusinya seperti doa, ibadah, dan pengorbanan. Definisi fungsional menekankan pada fungsi agama, atau apa yang dilakukan agama. Contoh dari definisi-definisi fungsional adalah definisi yang dikemukakan Ward dan Cooley berikut. Ward (1898) berpendapat bahwa agama adalah suatu substitusi dalam dunia yang rasional terhadap insting pada dunia yang subrasional. Cooley (1909:372) juga mendefinisikan agama sebagai suatu kebutuhan bagi hakikat manusia, untuk menjadikan hidup kelihatan lebih rasional dan baik. 4 Cobalah Anda amati perbedaan antara definisi substantif dan fungsional! Pertanyaannya adalah apakah definisi-definisi di atas menggambarkan dengan akurat pengalaman agamawi Anda sendiri? Definisi manakah yang paling cocok dengan pengalaman agamawi Anda. Sumber: http://livinglifewithoutanet.com/2011/05/26/atlantas-apologist-examiner-calls-forchristian-education-i-disagree/ Penulis setuju dengan definisi yang diberikan oleh Thomas H. Groome dalam bukunya Christian Religious Education. Ia mengatakan bahwa agama adalah: “human quest for the transcendent in which one’s relationship with an ultimate ground of being is brought to consciousness and somehow given expression” (Groome 1980, 22). Penulis setuju dengan definisi ini karena tiga alasan. Pertama, semua agama tentu berurusan dengan yang transenden dan manusia mencari yang transenden tersebut karena dalam dirinya ada suatu kesadaran religius untuk mengakui adanya suatu kodrat yang melampaui manusia. Kedua, yang transenden itu juga bisa menjadi dasar keberadaannya, dan dalam arti itu sangat imanen dengan manusia. Jadi, definisi ini menjaga keseimbangan antara yang transenden dan imanen. Tuhan tak semata transenden jauh di sana, yang bisa membuat manusia merasa teralienasi dari berbagai hal bahkan dengan diri sendiri karena mencari-Nya, tetapi juga tidak sekadar imanen karena bisa juga manusia lalu menyamakan dirinya dengan Tuhan. Imanensi Tuhan menyatakan kedekatan-Nya dengan ciptaan-Nya. Ketiga, dalam pencarian itu manusia berusaha berelasi dengan Tuhan sebagaimana Tuhan juga berelasi dengan manusia, tetapi relasi-relasi itu diberi manifestasi dengan berbagai cara: iman, ritual, ibadah dan ketaatan terhadap apa yang dikehendaki oleh sang Pencipta yang transenden dan dasar keberadaan tadi. 5 Silakan Anda amati kelebihan dan kekurangan definisi agama yang dikemukakan oleh Groome! Silakan Anda membangun definisi sendiri yang dapat menolong pemahaman Anda sendiri, tetapi dalam hubungan dengan komunitas iman tempat Anda tergabung dan menjadi bagiannya, serta dalam terang Kitab Suci yang Anda anut! Pembahasan tentang agama selalu berkaitan dengan pokok tentang Allah atau yang dianggap Allah. Setiap manusia pada dasarnya mempunyai kesadaran religius, yakni kesadaran bahwa ada suatu kodrat Ilahi di atas realitas dunia ini dan dalam berbagai agama diberi nama yang bermacammacam. Memang menarik untuk dicatat bahwa gejala yang kita sebut agama sudah ada sejak dahulu kala hingga sekarang pun gejala itu masih tetap ada. Memang agama mengalami pasang surut bahkan kadang agama tertentu mengalami kemerosotan dalam konteks tertentu (dalam masyarakat sekuler misalnya), namun secara umum agama tetap hadir dalam kehidupan manusia. Bahkan ada ahli yang meramalkan “kebangkitan agama-agama.” Silakan Anda mengajukan beberapa pertanyaan kritis yang berkenaan dengan kebangkitan agama-agama dan setiap manusia pada dasarnya mempunyai kesadaran religius. Pertanyaan yang perlu kita renungkan dan diskusikan adalah: mengapa gejala agama selalu hadir sebagai suatu fenomena dalam kehidupan masyarakat? Jawaban terhadap pertanyaan itu tentu saja tak mudah, lagi pula bermacam-macam. Ada yang berpendapat bahwa kenyataan tersebut disebabkan oleh karena manusia menyadari keterbatasannya, dan dalam keterbatasan itu maka ia berpaling kepada “sesuatu yang dianggap tak terbatas.” Oleh karena itu, agama tidak lebih dari suatu pelarian. Atau bahkan dianggap merupakan ciptaan manusia. Itulah sebabnya ketika ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang dan dapat berfungsi untuk mengatasi berbagai keterbatasan manusia, fenomena agama mengalami kemerosotan, setidaknya di negara-negara Barat yang dibangun atas dasar perkembangan ilmu dan teknologi modern. Meskipun ada kemerosotan, gejala agama tak pernah hilang sama sekali, bahkan ada tanda-tanda kebangkitan kembali dari fenomena agama. Mengapa? Sebab pertanyaan- pertanyaan manusia yang terdalam tidak bisa seluruhnya dijawab oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Silakan Anda bertanya secara kritis tentang kemerosotan agama di negara- negara Barat! 6 Pendapat lain beranggapan, bahwa agama tak pernah akan bisa lenyap, karena ia berfungsi untuk menjawab pertanyaan mendasar manusia yang tak bisa dijawab oleh ilmu dan teknologi. Pertanyaan mendasar tersebut antara lain arti dan tujuan kehidupan (untuk apa kita hidup), serta bagaimana sesudah kematian ini? Pertanyaan mendasar seperti itu tak dapat dijawab kecuali melalui iman yang ditawarkan oleh keyakinan agamawi. Dalam kekristenan, kita percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga ada kesadaran religius dalam dirinya yakni suatu kesadaran akan adanya kodrat Ilahi di atas manusia, dengan nama yang bermacam-macam sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Kesadaran itulah yang kemudian mendorong manusia untuk mewujudkan relasinya dengan kodrat Ilahi yang pada gilirannya memunculkan fenomena agama. Itulah sebabnya fenomena agama tak mungkin bisa dihapus sama sekali, walaupun bisa ditekan ke tingkat yang serendah-rendahnya oleh berbagai faktor dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila, gejala agama merupakan suatu gejala yang amat penting. Karena sila pertama dari Pancasila, semua warga negara diasumsikan mempunyai kepercayaan kepada Tuhan meskipun dengan konsep yang berbeda-beda. Di Indonesia, agama telah meresapi berbagai aspek kehidupan: sosial, politik, pendidikan, dan lain-lain. Karena itu, masyarakat Indonesia tidak dapat dipahami dengan baik tanpa memahami peranan agama di dalam masyarakatnya. Silakan Anda mengajukan pertanyaan kritis tentang peranan agama di dalam masyarakat! Cobalah Anda memikirkan secara kritis, dari perspektif Anda sendiri mengapa fenomena agama bertahan meskipun dalam dunia yang sudah maju dan dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern, khususnya mengapa di Indonesia fenomena agama sangat nyata dan memengaruhi berbagai bidang lain juga termasuk politik dan ekonomi! Di mana-mana rumah-rumah ibadat dan banyak sekali aktivitas keagamaan bermunculan dan memenuhi nusantara ini. Berilah contoh-contohnya (?) dalam berbagai agama, dan coba beri penjelasan mengapa demikian! 7 Semua yang dikatakan di atas barulah sebagian pertanyaan yang muncul dalam memikirkan apa itu agama dan fungsinya dalam kehidupan manusia. Anda bisa menambahkan lagi sejumlah pertanyaan yang muncul dalam benak Anda dalam kaitan pembicaraan kita tentang pengertian agama dan fungsinya! Jadi, kita bisa menyimpulkan dalam masyarakat Indonesia, fenomena agama sulit diabaikan untuk memahami masyarakat Indonesia. Masih banyak lagi pertanyaanpertanyaan yang Anda bisa munculkan. Silakan saja dan diskusikan itu dengan teman-temanmu serta pengajarmu! Sumber: http://theology101.org/world.htm. Anda telah mencoba merumuskan sendiri pengertian agama berdasarkan pengalaman beragama Anda sendiri. Tentu saja hal ini penting! Sekarang kita coba menggali lebih jauh dari berbagai sumber, apa fungsi agama terutama fungsinya yang positif. Dalam kenyataan konkret kadang kala agama juga juga disalah mengerti dan karena itu dapat berfungsi destruktif. Silakan Anda mengumpulkan informasi sebanyak mungkin yang berkenaan dengan fungsi agama yang positif dan negatif. Diskusikan dalam kelas bersama rekan-rekanmu! Fungsi Agama? Sudah ada sejarah yang panjang dalam menilai dan usaha menjelaskan fungsi agama. Karl Marx dan Engels misalnya berpendapat bahwa fungsi agama 8 adalah untuk menutupi realitas yang mendasari sistem ekonomi dan mengurangi rasa sakit penderitaan dari massa pekerja. Durkheim berpendapat bahwa fungsi agama adalah untuk memungkinkan terjadinya ritual-ritual yang mengikat atau menyatukan masyarakat bersama-sama. Freud, pada pihak lain, mengatakan bahwa fungsi agama tak lebih dari mengatasi rasa takut serta mencukupi kebutuhan-kebutuhan emosional. Silakan Anda mengumpulkan informasi yang lain dari teolog-teolog mengenai fungsi agama. Banyak ahli berpendapat bahwa fungsi agama adalah untuk memajukan serta mempertahankan perilaku-perilaku moral. Para pendukung teori evolusi modern melihat agama terutama sebagai adaptasi yang berfungsi untuk meningkatkan kohesi kelompok, dan inilah juga yang dikemukakan oleh Durkheim. Philip Goldberg yang merangkum berbagai fungsi agama memberi daftar fungsi agama sebagai berikut: 1 2 3 4 5 Transmisi atau pewarisan: yakni untuk meneruskan ke setiap generasi suatu “sense of identity” melalui kebiasaan-kebiasaan, cerita, dan kelanjutan historis yang dimiliki bersama. Translasi atau penerjemahan: yakni untuk menolong individu-individu menafsirkan peristiwa-peristiwa kehidupan, mendapatkan suatu rasa bermakna dan bertujuan, dan memahami hubungan-hubungannya dengan keseluruhan yang lebih besar (baik dalam arti sosial maupun kosmis). Transaksi: yakni untuk menciptakan dan mempertahankan suatu komunitas yang sehat, dan memberi penuntun terhadap perilaku-perilaku moral dan hubungan-hubungan etis. Transformasi: yakni sebagai pengembangan kedewasaan dan pertumbuhan yang terus- menerus, menolong umat beragama untuk merasa lebih penuh dan komplet. Transendensi: yakni untuk memuaskan kerinduan untuk memperluas batasan-batasan diri yang dipersepsikan, menjadi lebih sadar terhadap aspek kehidupan yang lebih sakral, dan mengalami persekutuan/ penyatuan dengan dasar keberadaan yang mutlak. Daftar di atas kurang lebih mencoba merangkum berbagai definisi fungsional dari agama dan daftar itu masih bisa lebih panjang lagi. Silakan Anda mengumpulkan informasi yang lain lagi mengenai fungsi agama dari sosiolog! Tentu saja tidak setiap orang memaknai agama yang dianutnya 9 dengan keseluruhan fungsi seperti di atas, atau memberi tekanan yang sama terhadap semua fungsi di atas, karena memang pengalaman agamawi setiap orang itu unik dan individual. Itulah sebabnya ada ahli lain yang membuat daftar fungsi agama secara lebih panjang lagi. Dalam suatu tulisan, ada ahli yang memberikan daftar mengenai 10 fungsi agama yang penting, baik dari segi individual maupun sosial. Delapan dari 10 fungsi agama tersebut akan dikemukakan di bawah ini. Dua fungsi agama yang lain, Anda cari sendiri dari berbagai buku. 1. Agama memberikan kedamaian mental (mental peace). Menurut pendapat ini, kehidupan manusia sangat tak menentu. Manusia bergumul untuk tetap hidup di tengah-tengah ketidakpastian, ketidakamanan, dan bahaya- bahaya. Kadang-kadang ia merasa tak berdaya maka agama lah yang memberikan penghiburan dan dorongan dalam masa-masa krisis tersebut. Agama memberi tempat perlindungan yang benar bagi manusia maka manusia memeroleh kedamaian mental dan dukungan emosional. Agama memberi dorongan kepada manusia untuk menghadapi kehidupan dan masalah-masalahnya. 2. Agama menanamkan kebajikan-kebajikan sosial. Agama mempromosikan kebajikan-kebajikan sosial yang utama, misalnya, kebenaran, kejujuran, sikap nirkekerasan, pelayanan, cintakasih, disiplin, dsb. Seorang pengikut agama tertentu menginternalisasi kebajikan-kebajikan ini dan menjadi warga masyarakat yang berdisiplin. 3. Agama meningkatkan solidaritas sosial. Agama membangkitkan semangat persaudaraan/persaudarian. Durkheim berpendapat bahwa agama memperkuat solidaritas sosial. Ahli lain menunjukkan bahwa agama mempunyai kekuatan mengintegrasikan dalam masyarakat manusia. Hal ini benar karena orang beragama mempunyai kepercayaan yang sama, sentimen yang sama, ibadah yang sama, berpartisipasi dalam ritual bersama dan seterusnya merupakan faktor-faktor perekat yang penting yang memperkuat kesatuan dan solidaritas. 4. Agama adalah agen sosialisasi dan kontrol sosial. Dikatakan oleh Parson bahwa agama adalah salah satu agen paling penting untuk sosialisasi dan kontrol sosial. Agama mempunyai peranan penting dalam mengatur/mengorganisasikan dan mengarahkan kehidupan sosial. 10 Agama juga menolong menjaga norma-norma sosial dan kontrol sosial. Ia mensosialisasikan individu dan melakukan kontrol baik terhadap individu maupun kelompok dengan berbagai cara. Organisasi seperti gereja, masjid, dan sejenisnya juga mengontrol perilaku dari individu pada tingkat yang berbeda-beda. 5. Agama meningkatkan kesejahteraan. Agama mengajarkan kepada umatnya agar melayani masyarakat serta meningkatkan kesejahteraan masayarakat. Ia mengajarkan bahwa pelayanan kepada sesama manusia adalah juga pelayanan kepada Tuhan. Karena itulah manusia menggunakan uangnya untuk memberi makan kepada yang miskin dan yang membutuhkan. Agama-agama tertentu seperti Hindu, Islam dan Kristen, dan lain-lainnya, memberi tekanan kepada tujuan memberi kepada yang miskin dan peminta-minta. Agama mengembangkan sikap filantropis manusia dan dengan demikian mendorong ide saling menolong dan bekerjasama. Karena dipengaruhi oleh kepercayaan agamawi, berbagai organisasi agamawi melibatkan diri dalam berbagai aktivitas menyejahterakan orang lain. Mungkin saja tidak semua orang beragama sependapat dengan hal ini, tetapi hampir pasti bahwa ada ajaran seperti ini ada dalam berbagai agama. Pemberian Kartu Keluarga Sejahtera dan Kartu Indonesia Sehat merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kesejahteraan bersama yang dananya berasal dari pembayaran Pajak. Membayar pajak merupakan salah satu perwujudan pelayanan kepada sesama manusia untuk menyejahterakan manusia lain yang kurang mampu Sumber: jateng.tribunnews.com 11 Manfaat pembayaran pajak yang dirasakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari Sumber: Kementerian Keuangan RI 6. Agama memberikan rekreasi kepada manusia. Apa maksud dari fungsi ini? Agama memainkan peranan yang mempesona atau mengagumkan dalam memberikan rekreasi kepada umat. Misalnya, dalam ritus agamawi maupun festival-festival/perayaan agamawi yang diselenggarakan oleh berbagai agama memberikan kelegaan atau kebebasan kepada umatnya dari berbagai tekanan mental. Hal ini juga terjadi bilamana ada kuliah atau khotbah-khotbah agamawi atau konser musik agamawi yang diiringi oleh lagu-lagu pujian, memberikan lebih banyak kesenangan kepada umat dan menyediakan rekreasi abadi kepada umat. 7. Agama berfungsi memperkuat rasa percaya diri. Agama dianggap sebagai cara efektif untuk mengukuhkan atau memperkuat rasa percaya diri. Ada kepercayaan-kepercayaan tertentu seperti “kerja sebagai ibadah”, “tanggungjawab atau tugas adalah bersifat ilahi,” dan lain-lain ajaran yang ada dalam berbagai agama memberi penguatan kepada individuindividu dan sekaligus memperkuat rasa percaya diri. 8. Agama juga mempunyai pengaruh kepada ekonomi serta sistem politik. Max Weber misalnya mempunyai tesis yang membuktikan hubungan antara etika Protestan dan perkembangan kapitalisme. Begitu pula ada yang kita kenal dengan ekonomi syariah. Contoh bahwa agama memengaruhi sistem politik misalnya sangat banyak, baik pada zaman dulu maupun pada zaman modern ini. Ada negara yang didasarkan pada agama (negara agama), bahkan 12 dalam negara-negara modern dan demokratis, pengaruh agama tak terhindarkan dalam dunia politik. Demikianlah penggalian beberapa sumber tentang fungsi agama yang sangat kompleks. Rasanya tak cukup menggali dari berbagai sumber, perlu juga membuat refleksi kritis terhadap fungsi agama yang cenderung negatif atau destruktif dari contoh pengalaman konkret. Misalnya mengapa kadang agama mempunyai fungsi negatif dan destruktif? Mengapa misalnya timbul konflikkonflik sosial yang bernuansa agama? Mengapa dengan dalih agama atau kemurnian ajaran, orang beragama cenderung menggunakan kekerasan dalam menghadapi orang-orang lain yang dianggap mengajarkan ajaran agama yang menyimpang dari apa yang selama ini dianut? Mengapa pula, kadang, demi ajaran tertentu yang diyakini benar, orang bisa mengabaikan hidup konkret di dunia ini, dan rela mati demi menantikan apa yang diharapkan dalam keyakinan agamawinya? Apakah fungsi-fungsi tersebut karena kesalahan ajaran agama ataukah manusia yang memberi penafsiran yang salah terhadap ajaran tertentu? Silakan Anda mengumpulkan informasi sebanyak mungkin yang berkenaan dengan penyebab agama berfungsi negatif. Walaupun penelusuran dan pertanyaan-pertanyaan di atas membantu kita untuk lebih memahami apa itu agama dan fungsinya, kita perlu juga membangun argumen sendiri tentangnya. Silakan Anda mengasosiasi dan membangun argumen sendiri tentang pengertian dan fungsi agama. Berikut ini penulis memberi contoh bagaimana membangun argumen sendiri tentang fungsi agama yang berfungsi positif tetapi kadang berfungsi destruktif. Untuk itu kita secara khusus akan memberi perhatian pada dua hal saja, yakni(i) fungsi agama sebagai pemberi identitas, dan (ii) sebagai penuntun moral, etika dan karakter. Silakan Anda mengemukakan argumen sendiri yang membuktikan agama sebagai pemberi identitas dan penuntun moral! Agama sebagai pemberi identitas sangat penting, karenanya agama menjadi sumber acuan untuk memahami dan menemukan apa makna hidup manusia. Dari perspektif Kristen, makna hidup manusia adalah bertumpu pada menjalankan kehendak- Nya. Apakah kehendak-Nya? Yang paling mendasar 13 ada di dalam perintah utama dan pertama: yakni hukum kasih baik kasih kepada Allah maupun kasih terhadap sesama (Matius 22: 37-40). Dalam hukum utama itulah segala kehendak Tuhan tersirat. Sesama manusia tidak ditentukan oleh kesamaan suku, ras atau agama, walaupun ketiga tersebut adalah pemberi identitas sosial bagi manusia (ingat akan Perumpamaan Orang Samaria yang baik hati). Jadi identitas yang menyamakan kita dengan orang lain tak peduli agama, ras dan sukunya adalah identitas kemanusiaan. Yang menyamakan semua orang adalah kemanusiaannya, itulah sebabnya perintah itu berbunyi kasihilah sesamamu manusia. Namun terkadang, identitas suku, ras dan agama menjadi lebih diprioritaskan dari identitas kemanusiaan, dan akhirnya identitas-identitas itu cenderung menjadi tembok- tembok yang memisahkan dan menjauhkan manusia dari sesamanya. Teori identitas memang mengatakan bahwa identitas: suku, ras dan agama kadang berfungsi menjadi tembok pemisah antara kita yang sama suku, ras dan agama dengan mereka yang berbeda ras, suku dan agama. Apabila dipicu oleh masalah ketidakadilan ekonomi atau politik maka identitasidentitas tersebut menjadi alasan untuk melakukan konflik yang bernuansa kekerasan. Sangat disayangkan bukan? Fungsi kedua adalah fungsi penuntun moral dan karakter yang dibentuk/dibangun berdasarkan kebajikan-kebajikan moral yang bersumber dari agama. Semua agama mengakui fungsi ini, dan seharusnya fungsi ini tak boleh dipisahkan dari fungsi agama sebagai pemberi identitas. Misalnya, dari perspektif Kristen, fungsi agama sebagai pemberi identitas adalah pemberi makna hidup yang diwujudkan dalam kasih kepada Tuhan dan sesama. Dalam pengertian seperti itu, fungsi agama sebagai pemberi identitas menjadi sama dengan fungsi agama sebagai penuntun moral dan pembangunan karakter yakni berdasarkan prinsip utama tadi yakni kasih. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan suatu prinsip dalam pembangunan karakter moral/etis: seperti engkau suka orang lain perbuat padamu, perbuatlah itu terhadap orang lain (Lukas 6:31). Nah sekarang giliran Anda membuat argumen sendiri mengapa agama kadang bersifat ambigu dalam fungsinya: memberi hal-hal positif tetapi kadang juga memberi alasan untuk melakukan hal negatif. Silakan Anda berargumentasi! 14 Sumber: http://www.foodforthepoor.org/prayer/ Adalah tugas Anda sekarang untuk membuat suatu deskripsi dengan kata-kata sendiri tentang apa yang Anda ketahui mengenai apa itu agama dan apa saja fungsinya dalam kehidupan manusia setelah mendiskusikan hal-hal yang sudah ditelusuri, ditanya, dan digali dari berbagai sumber. Dalam deskripsi itu, apa saja yang mengalami perkembangan dari apa yang sebelumnya Anda pahami? Apakah ada pemahaman Anda sebelumnya yang Anda koreksi? Ataukah ada hal baru dari arti dan fungsi agama yang belum disinggung dan mungkin mau Anda tambahkan? Apa saja itu? Buatlah deskripsi Anda sendiri, bukan karena orang lain mengatakan. Hal ini penting karena yang beragama atau beriman itu Anda sendiri dan bukan orang lain. Hakikat agama sangatlah kompleks dan pemahaman seseorang tentang agama sangat bergantung pada pengalaman pribadinya. Ada yang sangat sederhana, ada juga yang sangat kompleks. Demikian pula fungsi agama tidaklah sederhana, karena hakikat agama itu sendiri dipahami secara berbeda-beda dan fungsinya juga dimengerti secara berbeda-beda. Walaupun begitu, setidaknya ada sesuatu yang sama, yaitu agama selalu berurusan dengan Tuhan atau yang dianggap Tuhan dan berfungsi sekurang-kurangnya sebagai pemberi identitas dan tuntunan moral dan karakter. 15 Dalam konteks masyarakat Indonesia, agama sangat penting dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya, karena agama meresapi setiap aspek kehidupan manusia: ekonomi, politik, budaya, pendidikan dll. Jadi, masyarakat Indonesia tidak bisa dipahami lepas dari fenomena agamanya. Mengapa? Salah satunya karena sila pertama dari Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara dipahami sebagai kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, artinya semua orang diharapkan beragama. Namun, sesungguhnya nilai yang ada dalam sila itu adalah kebebasan beragama yang menjamin hak setiap orang untuk beragama sesuai dengan pilihannya sendiri dan juga untuk tidak beragama bilamana ia memilih demikian. Untuk yang terakhir ini, orang-orangnya tidak melakukan aktivitas antiagama. Buatlah deskripsi Anda sendiri setelah belajar bab ini: apa itu agama dan fungsinya, serta jelaskan pula mengapa agama kadang berfungsi destruktif? Apa yang berkembang dan dikoreksi dari pemahaman Anda dan apa yang masih kurang dan perlu ditambahkan? Presentasikan kepada dosen dan rekan-rekan yang lain! 16 BAB II ALLAH DALAM KEPERCAYAAN KRISTEN Dari manakah kita mulai percakapan kita tentang mata kuliah agama Kristen? Pada umumnya bilamana seseorang berbicara tentang agama, mau tak mau orang berbicara tentang Allah. Semua agama mempercayai adanya Allah atau sejenisnya, dan kepercayaan tentang Allah inilah yang membedakan agama dengan fenomena lainnya. Demikianpun dengan agama Kristen (kekristenan). Karena itu, adalah penting untuk mempelajari dan memikirkan kembali kepercayaan yang mendasar tentang siapakah Allah yang kita percayai sebagai orang Kristen. Pemahaman dan penghayatan kita akan substansi kajian ini akan memengaruhi bagaimana orang Kristen hidup ditengah- tengah dunia ini. Misalnya, kalau kita percaya kepada Allah yang sewenang- wenang, hidup kristiani kita adalah usaha untuk “taat secara terpaksa” kepada kehendak-Nya, mungkin dengan cara menyogok-Nya dengan berbagai sesajen. Walaupun setiap agama mempunyai kepercayaan tentang Allah atau yang dianggap Allah, tiap-tiap agama mempunyai konsepnya sendiri-sendiri tentang siapakah Allah yang dipercayainya. Demikian pula agama Kristen, sudah tentu mempunyai konsep tersendiri tentang Allah yang dipercayainya. Konsep tersebut didasarkan pada kesaksian Alkitab yang dipercayai sebagai dasar untuk kepercayaan dan perilaku kristiani. Harus diakui bahwa Alkitab tentu mempunyai ungkapan-ungkapan yang sangat kaya tentang siapakah Allah. Meskipun kekristenan percaya akan “Satu Allah” 17 akan tetapi Allah yang dipercayai itu menyatakan diri dengan berbagai cara yakni sebagai Bapa, Pencipta segala sesuatu, sebagai penyelamat dalam Yesus Kristus, dan sebagai pembaharu dalam Roh Kudus. Kekayaan penyataan diri Allah seperti inilah yang biasanya oleh Gereja pada zaman dahulu dikenal dengan ungkapan Trinitas (Tritunggal). Ungkapan itu bukanlah istilah Alkitab, tetapi mengandung kebenaran alkitabiah. Pokok-pokok (substansi kajian) ini akan dibahas secara lebih rinci dalam subsubpokok bahasan berikut ini dengan memberi tekanan khusus kepada implikasi atau konsekuensinya terhadap kehidupan Kristiani di dunia ini terutama pengembangan karakter Kristiani. Melalui bab tentang siapakah Allah, Anda diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah bersyukur kepada Tuhan yang telah mencipta, menyelamatkan, memelihara dan membarui ciptaan-Nya; bersikap rendah hati dan bergantung kepada Tuhan yang diwujudkan antara lain dalam ibadah yang teratur; mengembangkan sikap kasih kepada Tuhan sebagai Pencipta, Penyelamat, Pemelihara dan Pembaru ciptaan-Nya; berpengharapan akan masa depan yang lebih baik; peduli dan bertanggung jawab memelihara ciptaan Tuhan; menganalis karya Tuhan sebagai Pencipta dunia dan isinya berdasarkan kesaksian Alkitab; menjelaskan karya Tuhan sebagai Penyelamat manusia berdasarkan kesaksian Alkitab; menganalisis ajaran tentang karya Tuhan sebagai Pemelihara dan Pembaharu ciptaan-Nya berdasarkan kesaksian Alkitab; merumuskan hasil penelaahan dasar-dasar Alkitab yang menunjukkan Tuhan sebagai Pencipta; merumuskan dengan kata-kata sendiri hasil penelaahan dasar-dasar Alkitab yang menunjukkan Tuhan sebagai Penyelamat manusia; dan menyajikan hasil penelaahan dasar-dasar Alkitab yang memperlihatkan Tuhan sebagai Pemelihara dan Pembaharu ciptaan-Nya. Silakan Anda membuka Alkitab, khususnya Kitab Kejadian pasal 1-2 dan Keluaran pasal 1-15. Siapakah Allah yang dipercayai oleh umat Kristen menurut Kitab Kejadian pasal 1-2 dan Keluaran pasal 1-15? Anda juga perlu membaca buku Ikhtisar Dogmatika karangan R. Soedarmo, khususnya topik yang membahas tentang Allah. Siapakah Allah yang dipercayai oleh umat Kristen menurut R. Soedarmo? Pembahasan tentang agama bagaimanapun selalu berkaitan dengan pokok tentang Allah atau yang dianggap Allah. Itulah 18 kesimpulan dari penelusuran kita terhadap definisi agama pada bab sebelumnya. Setiap manusia pada dasarnya mempunyai kesadaran religius, yakni kesadaran bahwa ada suatu kodrat Ilahi di atas realitas dunia ini dan dalam berbagai agama diberi nama yang bermacam-macam. Dalam kekristenan, kita percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga ada kesadaran religius dalam dirinya yakni suatu kesadaran akan adanya kodrat Ilahi di atas manusia, dengan nama yang bermacam-macam sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Kesadaran itulah yang kemudian mendorong manusia untuk mewujudkan relasinya dengan kodrat Ilahi itu yang pada gilirannya memunculkan fenomena agama. Itulah sebabnya fenomena agama tak mungkin bisa dihapus sama sekali walaupun bisa ditekan ke tingkat yang serendah-rendahnya oleh berbagai faktor dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Dalam upaya penelusuran kesaksian Alkitab tentang Allah, perlu kita menyinggung juga topik Allah dan penyataan-Nya. Pertanyaan yang cukup penting bagi kita adalah: “Dapatkah manusia mengenal Allah dan hakikatNya?” Terhadap pertanyaan itu, ada dua kemungkinan jawaban. Yang pertama, manusia tak mungkin dapat mengenal Allah dan hakikat-Nya, karena manusia adalah terbatas dan karenanya tidak mungkin mengenal Allah yang tak terbatas. Kemungkinan kedua, mengatakan bahwa manusia mungkin mengenal Allah dan hakikat-Nya hanya apabila Ia menyatakan diri-Nya. Di atas telah dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia sedemikian rupa, sehingga ada kesadaran religius dalam dirinya. Kesadaran religius (kesadaran akan adanya kodrat Ilahi) itu tak sama dengan pengenalan akan Tuhan. Kesadaran akan adanya kodrat Ilahi melalui Penciptaan itulah, yang biasanya disebut penyataan Allah yang umum. Penyataan umum adalah cara Allah menyatakan diri-Nya melalui penciptaan, sejarah dunia, dan suara hati. Artinya, melalui pengamatan manusia akan alam ciptaan yang begitu luar biasa dan teratur itu, manusia dapat tiba pada kesadaran akan adanya Pencipta atau arsitek di balik ciptaan ini. Pandangan ini terutama didasarkan pada kata-kata Rasul Paulus antara lain yang mengatakan bahwa: “…apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak daripada- Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (lih. Rm. 1:19-20). Pemazmur juga berulang kali menyaksikan bahwa “segala langit menceritakan kemuliaan Allah” (lih. Mzm. 19). Pertanyaannya, apakah mungkin manusia 19 mencapai pengenalan yang benar akan Allah hanya melalui penyataan umum? Tidak selalu! Artinya kesadaran religius saja tak cukup. Itulah sebabnya menurut kepercayaan Kristen, manusia membutuhkan penyataan yang khusus. Sumber: http://chrispypaul.blogspot.com/2013/09/religion-and-me-photo- essay.html Penyataan khusus adalah cara Allah menyatakan diri dan kehendak-Nya melalui firman-Nya dan mencapai puncaknya dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Walaupun demikian, melalui penyataan Allah yang khusus pun belum dapat membuat manusia mengenal Allah secara tuntas, oleh karena Allah lebih dari apa yang Allah nyatakan, apakah melalui firman-Nya maupun Yesus Kristus. Karenanya, Allah masih tetap merupakan misteri yang tidak pernah habis diselidiki dan dipahami. Hal itu membuat kita mempunyai sikap kagum dan heran akan kebesaran-Nya. Silakan Anda mengamati perbedaan antara penyataan umum dan khusus! Marilah sekarang kita menelusuri tentang Allah dalam kepercayaan Kristen sebagaimana disaksikan oleh Kitab Suci Alkitab. Dalam kepercayaan Kristen Allah dikenal dari tindakannya: Allah sebagai Pencipta, Penyelamat dalam Yesus Kristus, dan pembaharu dalam Roh Kudus. 1. Allah Sang Pencipta Dari manakah pembicaraan tentang Allah dimulai? Ada berbagai pendekatan dalam pembicaraan tentang Allah. Pertama, ada yang memulai dengan 20 membicarakan kodrat dan sifat-sifat-Nya, lalu dilanjutkan dengan karyakarya-Nya. Kedua, ada yang mulai dengan membicarakan karya-karya-Nya lalu dilanjutkan dengan kodrat dan sifat-sifat-Nya. Pendekatan kedua mungkin lebih berguna. Artinya melalui pembahasan tentang karya-karya (apa yang dilakukan Allah), kita akan sampai kepada kodrat dan sifat-sifat-Nya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa “Allah adalah apa yang Allah lakukan, tetapi apa yang Allah lakukan belum seluruhnya menjelaskan tentang siapa Allah sesungguhnya.”Apakah yang dilakukan Allah yang menunjuk kepada hakikat dan sifat-Nya? Alkitab memulai kesaksiannya tentang Allah sebagai Pencipta langit dan bumi dan seluruh isinya termasuk manusia (lih. Kej. 1 dan 2). Demikianpun Pengakuan Iman Rasuli dimulai dengan pengakuan bahwa Allah, Bapa adalah Khalik/Pencipta langit dan bumi. Karena itu, bagi orang Kristen Allah pertama- tama dikenal sebagai Pencipta alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Silakan Anda mengamati Pengakuan Iman Rasuli secara saksama. Hal ini perlu mendapat tekanan oleh karena kita berhadapan dengan bermacam-macam pandangan tentang asal usul dunia ini, termasuk teori evolusi Darwin. Kita tahu sekurang-kurangnya ada dua teori besar mengenai asal usul segala sesuatu yang ada. Teori pertama, adalah yang dikenal dengan teori evolusi sebagaimana diperkenalkan oleh Darwin dan pengikutpengikutnya. Teori ini pada dasarnya menolak adanya “Pencipta atau arsitek” di balik keajaiban dunia ini, dan menyatakan bahwa segala sesuatu berkembang secara evolusi dalam kurun waktu jutaan tahun. Sedangkan teori asal usul kedua adalah yang biasanya dikenal dengan “teori Penciptaan” (Creation theory), yang menerima adanya pencipta di balik semua ciptaan yang menakjubkan ini. Agama-agama menerima teori asal usul penciptaan ini termasuk agama Kristen. Kekristenan percaya akan adanya pencipta di balik keberadaan dunia yang begitu menakjubkan ini (lih. Kej. 1 dan 2; Mzm. 33:6). Penciptaan yang dilakukan oleh Allah jelas berbeda dengan ciptaan atau karya manusia, karena Allah mencipta dari yang tidak ada menjadi ada dengan firman-Nya (lih. Rm. 4:17 dan Ibr. 11:13). Menerima bahwa ada pencipta di balik keberadaan langit dan bumi serta isinya, tak berarti menolak sama sekali bahwa ada evolusi dari ciptaan- ciptaan itu. Allah Pencipta, adalah Sang Pribadi yang Mahakuasa. Dengan membahas karya Allah sebagai Pencipta maka kita juga dapat tiba pada hakikat dan sifat Allah. Salah satu simpulan yang dapat dibuat adalah bahwa Allah adalah Sang 21 Pribadi yang Mahakuasa. Allah dalam kebijaksanaan-Nya membuat keputusan untuk menciptakan alam semesta dan isinya termasuk manusia menunjukkan bahwa Ia adalah pribadi yang berpikir dan membuat keputusan. Ia juga membangun relasi/hubungan dengan ciptaan-Nya, khususnya dengan manusia. Kapasitas seperti yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa Allah adalah suatu pribadi dalam arti berpikir, membuat keputusan dan membangun relasi dengan pihak lain. Silakan Anda mengamati keputusan yang diambil Allah dalam Kitab Kejadian pasal 1-2 dan Kitab Keluaran pasal 115. Memang sangat sulit membayangkan kepribadian Allah, namun kita akan sedikit tertolong bilamana kita membayangkan kepribadian manusia, karena manusia diciptakan menurut gambar Allah. Ini tidak berarti bahwa kepribadian manusia menjadi patokan untuk mengukur kepribadian Allah, karena kepribadian manusia hanyalah refleksi dari kepribadian Allah. Namun demikian, kepribadian manusia mengandung tanda-tanda yang sama dengan kepribadian Allah. Sumber: https://www.behance.net/Gallery/Christian-Artwork-Part-1/111811 Lebih jauh, Allah bukan sekadar pribadi, tetapi pribadi yang Mahakuasa. Kemahakuasaan Allah jelas dari karya ciptaan-Nya bukan saja dari yang tiada menjadi ada melainkan juga dalam keteraturan dan kebesaran ciptaan. Kemahakuasaan-Nya menunjukkan bahwa Allah tak terbatas oleh ruang dan waktu, dan karenanya Ia kekal adanya. Dari sini dapatlah ditambahkan 22 sejumlah atribut/sifat Allah yang sempurna dan tak terbatas misalnya: Kemahahadiran Allah, Mahatahu, Mahaadil, Mahabesar, dan lain-lain. Semua atribut ini hanya ingin menekankan perbedaan yang hakiki antara Pencipta (Allah) dan ciptaan (manusia dan ciptaan lain). Silakan Anda amati perbedaan yang lain antara Pencipta (Allah) dan ciptaan (manusia dan ciptaan lain). 2. Allah Penyelamat Silakan Anda membaca Injil Yohanes 3:16. Siapakah Allah yang dipercayai umat Kristen menurut Injil Yohanes 3:16? Ide tentang keselamatan mempunyai tempat dalam setiap agama. Mulai dari agama primitif yang percaya roh-roh, maupun agama politeisme yang percaya banyak ilah/dewa/i, sampai ke agama monoteisme, ajaran mengenai keselamatan dan Allah sebagai penyelamat selalu hadir. Memang maknanya berbeda dari satu agama ke agama lain. Bahkan maknanya dalam satu agama pun cukup bervariasi dan luas. Keselamatan dalam agama tertentu bisa melulu, merupakan pengalaman masa kini dan di sini, bisa juga melulu pengalaman nanti, di masa yang akan datang sesudah kehidupan ini, tetapi bisa juga kedua-duanya. Ajaran atau ide tentang keselamatan mungkin merupakan salah satu faktor yang mendorong orang untuk beragama. Sebagai contoh, kita dapat menunjuk kepada berbagai upacara keagamaan dalam berbagai agama. Banyak upacara dalam agama-agama suku misalnya, dilakukan dalam rangka atau sebagai upaya untuk memeroleh keselamatan, apa pun maknanya. Misalnya sebelum seseorang bepergian jauh, maka upacara selamatan dilakukan agar memeroleh keselamatan di jalan atau di tempat pekerjaan. Orang-orang mengadakan serangkaian upacara menjelang musim menanam agar selamat, dalam arti terhindar dari kegagalan apakah karena iklim atau wabah hama. Dalam kasus-kasus di atas, keselamatan semata-mata mempunyai dimensi masa kini dan di sini. Sebaliknya, banyak juga upacara keagamaan yang dilakukan dalam rangka memeroleh keselamatan di akhirat yakni sesudah kematian, misalnya untuk masuk surga atau hidup yang kekal, apa pun arti yang diberikan kepada surga dan kehidupan kekal tersebut. Dengan demikian, ada hubungan erat antara keselamatan, agama, dan Allah. Hal ini tak berarti bahwa mereka yang tidak beragama atau tidak percaya kepada Tuhan tak mempunyai konsep keselamatan. Setidak-tidaknya bagi mereka, keselamatan merupakan situasi terlepas atau terhindar dari bermacam-macam bahaya, ancaman, penyakit, dan lain-lain. Memang patut diakui bahwa semakin maju dan berkembangnya 23 ilmu dan teknologi, banyak persoalan manusia dapat diatasi. Namun, ketika manusia menyadari baik keterbatasan manusia maupun ilmu dan teknologi, manusia cenderung kembali kepada kepercayaan akan Tuhan atau yang dianggap Tuhan. Dalam ajaran Kristen, ajaran tentang keselamatan dan Allah sebagai penyelamat khususnya dalam Yesus Kristus mempunyai tempat yang sangat penting bahkan sentral. Sedemikian sentralnya sehingga dalam Pengakuan Iman Rasuli, fakta Kristus, mulai dari praeksistensi-Nya, kelahiran, pekerjaan, penderitaan, kematian, kenaikan ke surga, dan kedatangan-Nya kembali, mengambil tempat yang sangat banyak. Silakan Anda mengamati Pengakuan Iman Rasuli secara saksama. Sesungguhnya agama Kristen lahir karena kepercayaan akan Allah sebagai Penyelamat di dalam Yesus Kristus. Sebutan Kristen justru dikenakan kepada orang-orang yang menjadi pengikut Kristus. Kepercayaan kepada Allah sebagai Penyelamat bukan berarti bahwa orang Kristen menyembah lebih dari satu Allah, karena Allah Pencipta adalah juga Allah yang menyelamatkan. Silakan Anda mengamati Alkitab yang memperlihatkan bahwa Allah yang menyelamatkan umat manusia. Daftarkanlah nama kitab yang memperlihatkan dengan jelas bahwa Allah yang menyelamatkan umat manusia. Perlu dicatat bahwa konsep tentang Allah sebagai Penyelamat bukan monopoli Perjanjian Baru, tetapi sudah ada dalam Perjanjian Lama. Umat Perjanjian Lama mempunyai syahadat (pengakuan percaya) bahwa Allah itu menyelamatkan. Silakan Anda membaca dan mengamati Kel. 14:13 dan Mzm. 3:8; 62:2-3. Ada berbagai istilah yang dipakai oleh PL yang menunjuk kepada konsep keselamatan. Konsep ini dihubungkan dengan Tuhan sebagai yang melakukan tindakan penyelamatan terhadap umat-Nya. Ada berbagai tindakan penyelamatan Allah terhadap umat-Nya. Kitab Keluaran 15 merupakan pasal pertama yang mengungkapkan tindakan penyelamatan Allah dalam sejarah umat Israel. Musa dalam lagunya untuk merayakan peristiwa pembebasan umat Allah dari perbudakan di Mesir, antara lain berkata: “Tuhan telah menjadi keselamatannya” (Kel. 15:2). Tindakan penyelamatan Allah dalam peristiwa keluar dari Mesir melalui Laut Teberau ini, telah memberi kesan yang sangat mendalam dalam sanubari dan ingatan bangsa Israel. Oleh karena itu, peringatan akan peristiwa tersebut dirayakan setiap tahun dalam perayaan Paskah (lih. Ul. 16:1). Pembebasan dari Mesir justru merupakan bukti paling 24 utama dan kuat tentang kasih setia Tuhan, karena hal itu merupakan tanda yang sentral dari PL tentang anugerah penyelamatan bagi umat yang baru kelak. Silakan Anda mengamati proses keluarnya umat Israel dari Mesir dalam Kitab Keluaran 1-15. Itu pula sebabnya dalam pembukaan Dekalog (Sepuluh Perintah), peristiwa pembebasan dari Mesir juga disebutkan kembali dan menjadi dasar dari respons moral kepada Tuhan. Dengan kata lain, hukum-hukum Tuhan yang merupakan refleksi kehendak Tuhan tentang bagaimana umat Allah seharusnya menjalani hidupnya, didasarkan pada peristiwa penyelamatan Allah melalui pembebasan dari Mesir. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah makna dari konsep keselamatan dalam PL tatkala Allah sebagai Penyelamat? Harus diakui bahwa dalam PL, makna atau arti konsep keselamatan itu mengalami perkembangan. Kalau kita bertanya “dari apakah Allah menyelamatkan umat-Nya?” Maka jawaban yang umum, khususnya pada sejarah awal dari umat Allah dalam PL, adalah “keselamatan dari segala bentuk ketidakberuntungan, perbudakan, sakit penyakit, kekeringan dan kelaparan, musuh-musuh, dan seterusnya.” Secara umum dalam PL, tekanannya jatuh kepada apa yang bisa kita sebut sebagai aspek negatif dari keselamatan, daripada aspek positifnya. Keselamatan dianggap sebagai kelepasan dari kuasa jahat dan bahaya dari pemilikan atas berkat-berkat khusus. Walaupun begitu, adalah salah juga kalau yang terakhir itu dianggap tak ada sama sekali khususnya dalam kitab-kitab Mazmur. Silakan Anda membaca dan mengamati Mzm. 28:9, 31:16, 5l:2! Pada bagian-bagian kemudian dari PL, jelas ada pergeseran dari ide keselamatan sebagai tindakan-tindakan kelepasan dalam wilayah atau bidang materiil, fisik semata-mata, menuju kepada aspek moral dan spiritual (lih. Yes.59:7, 62:10). Yang paling menonjol dari antara aspek spiritual dan moral ini adalah ketaatan kepada kehendak Allah. Mereka yang benar dan adil yang mempunyai pengharapan akan pertolongan keselamatan dari Allah. Sebaliknya, bilamana umat menyimpang dari jalan Tuhan dan menyerahkan diri kepada kuasa jahat, keselamatan hanya dimungkinkan dengan jalan perubahan hati, melalui pertobatan. Dengan demikian, jelaslah bahwa tekanan utama adalah kebebasan dari tirani (kuasa) dosa. Nabi-nabi besar memberitakan kesiapan Allah untuk menyelamatkan dari perspektif baru. Berkat-berkat eksternal masih juga diharapkan, namun tekanannya kini lebih kepada kebutuhan akan suatu perubahan hati, 25 pengampunan, kebenaran, dan pembaharuan hubungan dengan Allah. Keselamatan masih mempunyai implikasi sosial, namun tekanannya lebih kepada perjanjian dengan individu daripada dengan bangsa. Itu berarti bahwa keselamatan terutama menjadi pengalaman dari setiap individu. Dengan demikian, kita dapat membaca pengakuan Yesaya, misalnya bahwa: “Allah adalah keselamatanku” (Yes. 12:2), sebab Allah menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang benar dan Juruselamat; tidak ada Allah lain selain Dia (Yes. 45:21, 43:11). Karena itu, dalam Kitab Yesaya, istilah Allah sama dengan Juruselamat. Dengan menggunakan kata pengharapan, keselamatan dari Allah dipikirkan sebagai sesuatu yang akan terjadi kelak. Bahwa “Allah akan mendatangkan keselamatan di Sion” (Yes. 46:13) menunjuk ke masa yang akan datang. Keselamatan yang demikian bukan lagi hanya untuk Israel sendiri, melainkan dengan datangnya “Hamba Allah,” maka keselamatan akan menjangkau sampai ujung bumi. Artinya, untuk semua bangsa (Yes. 49:6). Dengan demikian, maka seluruh bumi akan melihat keselamatan dari Allah kita (Yes. 52:10). Dengan demikian, janji Allah tentang keselamatan menjadi semakin besar dan mendalam. Sebagai simpulan, ketika kita memerhatikan PL, ide tentang keselamatan dalam sejarah awal umat Allah (lsrael) adalah bahwa Allah menyelamatkan orang yang baik dari berbagai kesukaran. Akan tetapi, dengan pemahaman yang berkembang tentang hubungan antara keselamatan dan dosa, dalam konteks kebutuhan akan pertobatan, topik ini memeroleh pengertian yang lebih rohani dan moral. Hal ini menuntun kita kepada doktrin tentang keselamatan yang khas dalam Perjanjian Baru, yakni bahwa Allah menyelamatkan orang jahat dari dosa- dosanya dan membenarkan mereka. Pembicaraan mengenai Allah sebagai penyelamat dalam agama Kristen tak dapat dilepaskan dari pribadi Yesus Kristus. Yesus bahkan di dalam Perjanjian Baru dikenal dengan sebutan Juruselamat. Karena itu, kita dapat mengatakan bahwa Allah di dalam Yesus Kristus adalah Allah Penyelamat. Keselamatan menjadi tujuan utama dari kedatangan dan pelayanan Yesus Kristus. Yesus maupun para penulis PB menggunakan istilah “menyelamatkan” sebagai suatu yang menyeluruh untuk menggambarkan misi-Nya. Ia disambut dalam arena sejarah dunia dengan pernyataan para malaikat bahwa “Ia akan dinamai Yesus, yang berarti yang menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka” (Mat. 1:21). 26 Apabila dalam Perjanjian Lama Allah juga menyatakan diri sebagai Penyelamat, dalam Perjanjian Baru secara jelas Allah menyatakan diri sebagai Penyelamat di dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Karena itulah, Gereja mula-mula ketika merumuskan pengakuan imannya memberi tempat yang sangat sentral kepada fakta Yesus Kristus mulai dengan pengakuan bahwa Ia Anak Tunggal Allah dan Tuhan (prainkarnasi), kelahiran-Nya (inkarnasi), pekerjaan-Nya khususnya penderitaan, penyaliban, dan kematian-Nya, kebangkitan-Nya, kenaikan-Nya ke surga dan kedatangan-Nya kembali untuk menjadi Hakim. Kenyataan ini menunjukkan bahwa seluruh fakta Kristus merupakan perwujudan dari karya penyelamatan Allah bagi manusia yang telah jatuh ke dalam dosa dan karena itu terputus atau rusak hubungannya dengan Allah. Memang mustahil bagi kita untuk membahas seluruh aspek dari pribadi Yesus Kristus. Namun, dari fakta Kristus yang kita sebutkan di atas, jelas bahwa di dalam diri Yesus tergabung sifat keilahian dan kemanusiaan sekaligus. Hal ini jelas sangat unik dan sulit dipahami. Apabila pengakuan Iman Rasuli mulai dengan pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Tunggal Allah dan Tuhan, ini menunjuk kepada keilahian-Nya yakni sebagai Allah dan sehakikat dengan Allah. Kemudian dilanjutkan dengan pengakuan bahwa Ia telah dikandung oleh Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria, menunjukkan penjelmaan-Nya menjadi manusia. Memang ajaran tentang penjelmaan sudah merupakan persoalan sejak Gereja mula-mula. Dalam suatu pertemuan Gerejawi di Khalcedon pada tahun 451, para pemimpin gereja merumuskan masalah yang sulit ini sebagai berikut: “Tuhan kita Yesus Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati, sehakikat dengan Bapa dalam segala sesuatu yang menyangkut keilahianNya, namun dalam kemanusiaan-Nya sama seperti kita, kecuali tanpa dosa. Jadi, Yesus dikenal dalam dua tabiat: ilahi dan manusiawi. Kedua tabiat itu berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini tidak dilenyapkan oleh penyatuan keduanya, tetapi ciri-ciri khusus masing-masing tabiat tetap dipelihara.” Rumusan di atas adalah suatu contoh dari usaha para pemimpin Gereja untuk memahami pribadi Yesus yang unik itu sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab Perjanjian Baru. Akan tetapi, rumusan itu tidak dengan sendirinya menghilangkan rahasia penjelmaan ini. Karena itu, kita dapat mengamini kekaguman Paulus, misalnya, dalam kata-kata berikut ini:“Dan sesungguhnya agunglah rahasia ibadah kita: “Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia .…” (1 Tim.3:16). 27 Jadi, apabila kita berbicara tentang kodrat ilahi dan manusiawi Kristus, hal ini menunjuk kepada keadaan atau kenyataan-Nya. Kalau kita berkata bahwa Yesus memiliki kodrat ilahi, yang kita maksudkan ialah bahwa semua sifat atau ciri khas yang dapat digunakan untuk menggambarkan Allah juga berlaku bagi Dia. Dengan demikian, Ia adalah Allah dan bukan sekadar menyerupai Allah, melainkan Allah sejati. Apabila kita, mengatakan bahwa Yesus mempunyai kodrat manusiawi, yang kita maksudkan adalah bahwa Ia bukanlah Allah yang berpura-pura menjadi manusia, melainkan Ia adalah Allah yang sejati. Ia bukan hanya Allah atau hanya manusia, melainkan Ia adalah Allah “yang menjadi manusia dan diam diantara kita” (Yoh. 1:14). Ia tidak menukar keilahian-Nya dengan kemanusiaan. Ia malah mengambil keadaan manusia. Artinya Ia menambah tabiat manusia pada tabiat Ilahi-Nya. Jadi, dengan penjelmaan ini, Ia adalah Allah sejati dan manusia sejati. Walaupun Yesus memiliki semua sifat atau ciri yang dimiliki manusia termasuk ciri-ciri fisik atau jasmani, tetapi kita tak dapat mengatakan bahwa pada hakikat-Nya yang terdalam, Ia adalah manusia. Ia adalah pribadi Ilahi dengan kodrat manusia. Kepribadian Ilahi itulah hakikat-Nya yang terdalam, karena itu kita dapat menyembah Dia sebagai Allah yang patut disembah. Jadi, dalam diri Yesus sebagai penjelmaan Allah, Ia menyatakan keilahian yang sejati dan kemanusiaan sejati dalam satu pribadi. Dalam Dia terdapat keterpaduan sifatsifat, sehingga apa pun yang kita katakan tentang Dia sesuai dengan apa yang dapat dikatakan tentang Allah dan manusia. Pertanyaan yang segera muncul adalah “Mengapa Allah menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus?” Di atas kita telah menyinggung bahwa tujuan kedatangan dan pelayanan Yesus adalah untuk menyelamatkan manusia berdosa. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah “Mengapa untuk menyelamatkan manusia berdosa, Allah harus menjelma menjadi manusia?” Terhadap pertanyaan seperti ini, harus diakui bahwa kita tak mungkin menjawabnya dengan tuntas dan memuaskan. Sebagaimana Allah tak mungkin kita pahami secara sempurna, begitu pula maksud-maksud-Nya tak terselami. Penjelasan berikut ini, mungkin dapat menolong kita untuk membuka sebagian dari selubung misteri Allah dan rencana-Nya. Untuk dapat menjadi penyelamat atau Juruselamat manusia berdosa dari hukuman dosanya, Ia harus dapat menanggung penderitaan dan hukuman itu. Untuk tugas seperti itu, Juruselamatnya haruslah juga manusia sejati. 28 Dibutuhkan Juruselamat yang menjadi korban yang tak bercacat. Oleh karena semua manusia telah berdosa dan bercacat, Allah sendirilah yang tak bercacat itu menjelma menjadi manusia agar dapat berperan sebagai Juruselamat. Dosa selalu membawa hukuman, ini adalah keadilan Allah. Namun, mengapa Ia sendiri yang mau menanggung hukuman itu? Di sinilah hakikat Allah yang terdalam, yakni bahwa Allah adalah kasih. Ia tak sekadar memiliki kasih, tetapi merupakan kasih itu sendiri. Jadi, pada satu sisi, Allah menjadi manusia untuk menjadi Juruselamat karena keadilan-Nya, namun pada sisi yang lain karena kasih-Nya. “Karena demikianlah Allah mengasihi isi dunia sehingga diberikanNya anak-Nya yang tunggal itu….” (lih. Yoh. 3:16). Di samping itu, penjelmaan Allah di dalam Yesus Kristus juga hendak menyatakan Allah dalam segala keunggulan dan keindahan-Nya yang tak ada bandingnya. Silakan Anda membaca dan mengamati Yoh.14:7-11. Itulah sebabnya kita percaya bahwa dalam Yesus Kristus penyataan Allah mencapai klimaks atau puncaknya. Tak ada wujud penyataan diri Allah yang paling jelas dan langsung melebihi penyataan-Nya dalam diri Yesus Kristus, Allah penyelamat itu. Penyataan diri yang paling jelas dari hakikat-Nya yang adalah kasih dan juga adil. Silakan Anda mengamati Yoh. 15:13. Di dalam penjelmaan, Tuhan Yesus menjadi teladan yang paling sempurna mengenai hidup yang dikehendaki Allah. Dengan demikian, sebagai makhluk pencari makna, kita dapat belajar dari hidup Kristus bagaimana kita menjalani hidup kita secara bermakna sesuai dengan kehendak Allah. Kehidupan Kristen, yakni kehidupan mengikut Kristus yang menjadi teladan yang sempurna. Sebelum kita mengakhiri pembahasan tentang Allah Sang Penyelamat, maka ada baiknya kita mengkaji kesaksian Perjanjian Baru tentang makna atau arti keselamatan yang dikerjakan Allah dalam Yesus Kristus. Konsep keselamatan dalam Perjanjian Baru adalah khas Kristen dan mendapat tempat yang sangat utama, kendatipun PB penuh dengan ajaran-ajaran moral dan kehidupan Kristen. Harus diakui bahwa berbagai kitab atau surat dalam PB menjelaskan keselamatan itu dengan istilah-istilah yang bervariasi, akan tetapi ada kesamaan makna atau pengertian. Keselamatan diungkapkan dengan istilah yang bermacam-macam, misalnya hidup kekal, masuk atau mewarisi Kerajaan Allah atau Kerajaan Surga, dan sebagainya. Apakah makna atau arti keselamatan ini? Sayangnya Perjanjian Baru bukan merupakan uraian yang sistematis dari konsep keselamatan itu. Karena itu, uraian berikut ini hanyalah sekadar menangkap secara ringkas makna yang mendasar dari konsep itu, 29 sebagaimana dimaksudkan baik oleh Yesus dalam Injil-injil maupun dalam surat-surat para rasul. Salah satu perkembangan makna keselamatan dibandingkan dengan ajaran Perjanjian Lama adalah bahwa baik Yesus maupun para rasul memberi arti yang lebih rohani dan universal kepada konsep keselamatan itu. Artinya, meskipun keselamatan mengandung juga aspek fisik, tetapi lebih-lebih aspek rohani mendapat tekanan yang penting. Dengan demikian, keselamatan menaruh perhatian terhadap manusia seutuhnya. Keselamatan bukan hanya bagi satu bangsa saja tetapi bagi seluruh umat manusia melampaui batas bangsa. Berkali- kali kita katakan di atas bahwa Allah di dalam Yesus Kristus datang untuk menyelamatkan manusia dari dosa-dosanya atau tepatnya dari hukuman dosa. Apakah hukuman dosa yang paling nyata? Bagaimana manusia diselamatkan? Hukuman dosa adalah maut, kata Paulus (Rm. 6:23). Maut atau kematian di sini lebih bersifat rohani, yakni keterasingan dari Allah, putus atau rusaknya hubungan atau persekutuan manusia dengan Allah. Dalam pengertian seperti itu, kita dapat memahami pengalaman Yesus yang paling hebat dan mengerikan ketika dalam karya penyelamatan-Nya Ia mengalami ditinggalkan oleh Allah, Bapa-Nya. Di atas kayu salib Ia berseru “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Dengan demikian, keselamatan yang dikerjakan Allah pada dasarnya adalah restorasi (pembaharuan, perbaikan) hubungan dengan Allah, suatu pengalaman hubungan atau persekutuan yang benar dengan Allah. Sumber: http://evangelistic.blog.com/files/2011/09/SalibKristus.gif Oleh karena itu, di dalam Yesus Kristus kita yang percaya boleh menyebut Allah itu Bapa, dalam arti kita memiliki hak untuk menjadi anak-anak Allah, 30 suatu kualitas hubungan yang intim dengan Allah. Dalam hubungan itu, kita dapat memahami mengapa Yesus mengajarkan murid-murid-Nya untuk berdoa dan menyapa Allah itu: Bapa kami. Hidup kekal bukan saja suatu keabadian, melainkan suatu kualitas hidup yang baru, yakni pengalaman hubungan yang benar dan intim dengan Allah melalui Yesus Kristus. Paulus kadang menyebutkan hidup yang demikian sebagai hidup dalam Kristus, hidup dalam damai sejahtera dengan Allah. Dalam kaitan dengan penjelasan di atas, dapatlah kita pahami bahwa keselamatan menurut PB khususnya dalam surat-surat para rasul merupakan pengalaman yang sudah kita alami pada masa kini, bukan hanya pada masa yang akan datang sesudah kematian. Merupakan pengalaman masa kini, karena memang keselamatan atau hidup kekal merupakan suatu kualitas hidup baru, yakni hidup dalam hubungan dan persekutuan yang benar dengan Allah. Akan tetapi, keselamatan juga mengandung aspek masa depan, yakni bahwa penyempurnaan-Nya masih akan terjadi di masa yang akan datang, ketika Yesus datang kembali untuk menggenapkan dan menyempurnakan segala sesuatu. Itulah sebabnya keselamatan mengandung aspek pengharapan juga, meskipun ia telah merupakan pengalaman masa kini. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Ef.2:4-9. Pekerjaan Yesus menunjukkan lebih dari segi rohani saja, karena Yesus memberi makan orang lapar, menyembuhkan orang sakit, membebaskan orang yang dibelenggu oleh kuasa jahat, tetapi juga membebaskan mereka yang tertindas dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa keselamatan dalam kekristenan adalah suatu yang komprehensif atau menyeluruh, sama halnya Injil atau kabar baik adalah kabar baik yang menyeluruh. Kita harus menolak pembatasan keselamatan hanya sebagai yang spiritual saja. Ini yang kita sebut despiritualisasi keselamatan. Bukan berarti bahwa keselamatan tidak mempunyai dimensi spiritual, melainkan menolak pembatasannya hanya pada dimensi yang spiritual (Baum 1975, 202). 3. Allah Pembaharu Ciptaan-Nya Pokok kepercayaan mendasar ketiga tentang Allah adalah Allah sebagai pembaharu ciptaan-Nya yang menyatakan diri dalam Roh Kudus. Banyak orang menyangka bahwa Allah baru hadir dan bekerja dalam Roh Kudus pada Perjanjian Baru yakni ketika Roh Kudus dicurahkan pada hari Pentakosta di Yerusalem. Hal ini tidak benar. Kehadiran maupun tindakan Allah dalam Roh Kudus telah berlangsung jauh sebelumnya bahkan sejak awal, karena pada 31 hakikatnya Allah adalah Roh. Pada waktu Allah menciptakan langit dan bumi beserta isinya, Allah dalam Roh yang berkarya dalam penciptaan tersebut. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Kej.l:7-2:25. Roh Kudus dalam PL tidak saja dikaitkan dengan penciptaan, tetapi juga dengan nubuat. Sudah jelas bahwa Roh Allah adalah berbeda dengan roh manusia, sebab Roh Allah adalah Allah itu sendiri. Dalam PL juga ditekankan bahwa Roh Allah itu mengilhamkan nubuatan. Ini adalah salah satu tema utama Alkitab. Allah yang melampaui kita tetapi masuk dalam dunia manusia, bukanlah dengan maksud untuk menakuti, tetapi justru untuk berkomunikasi. Roh Allah merupakan suatu kekuatan, namun kekuatan yang dirancang untuk mengomunikasikan kehendak Allah dan membawa ciptaan kepada hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya. Itulah sebabnya dalam Alkitab sering ada hubungan yang erat antara Roh Allah dan firman Allah. Roh Allah dan firman Allah tak dapat dipisahkan. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Mzm.33:6 dan 2 Sam. 23:2. Contoh konkret dari hubungan ini adalah pengalaman Raja Saul. Ketika Saul menolak firman Allah, konsekuensinya “Roh Allah meninggalkannya. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan 1 Sam. 15:26 dan 16:14. Hubungan ini sangat penting, dan Gereja sering membuat perbedaan tajam dan karena itu, kehilangan suatu perspektif alkitabiah yang cukup penting. Memang hubungan ini sangat kuat di dalam Perjanjian Lama. Bilamana Roh Allah datang kepada seseorang, Ia mengomunikasikan maksud berita dari Allah. Berita ini dapat saja mengambil bentuk-bentuk yang misterius. Ia dapat datang melalui mimpi seperti dalam peristiwa Yusuf yang dimampukan untuk menafsirkan arti mimpi Firaun melalui Roh Allah yang ada dalam dirinya. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Kej. 41:38. Ia bisa juga datang melalui penglihatan. Orang-orang seperti Abraham, Yakub, Yehezkiel, dan Daniel menangkap maksud Allah melalui suatu penglihatan. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Kej. 15:1, Kej. 46:2, Yeh. 1:1, Dan. 1:17; 4:5; 7:7. Akan tetapi, harus disadari bahwa bukan pengalaman misterius yang menentukan seseorang dapat bernubuat atau tidak, tetapi Allah datang dengan Roh-Nya yang membuat manusia dimampukan untuk mengomunikasikan maksud dan firman Allah kepada sesamanya. Hal ini nyata, misalnya, dalam nabi-nabi yang lebih kemudian seperti Amos, Mikha, Zakaria, dan lain-lain. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Am. 3:8, Mi.3:5 danZa.7:12. Singkatnya bilamana seseorang bernubuat, itu karena Roh Allah 32 datang ke atasnya dan mengomunikasikan maksud atau berita dari Allah melaluinya. Hal lain yang juga cukup penting kita catat sepanjang itu berkaitan dengan Roh Allah di dalam PL adalah tentang kepribadian Roh Allah. Di dalam PL, Roh itu tidak tampak sebagai keberadaan yang Ilahi. Ia lebih dilihat sebagai kehadiran dan intervensi (pelibatan diri) pribadi Allah. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Yes. 31:3. Di dalam kata-kata ini, Yesaya bukan mempertentangkan daging dan roh sebagai bagian luar dan dalam dari seseorang yang sama. Yang ia lakukan adalah mengelompokkan “daging dan manusia bersama-sama, dengan Roh dan Allah bersama-sama.” Roh merupakan realitas (kenyataan) pada pihak Allah yang berbeda dengan pihak manusia. Apabila Roh Allah hadir di dalam manusia, itu berarti intervensi Allah sendiri yang Mahakasih dan pribadi. Dalam Yesaya 63, Roh merupakan ekspresi pribadi dan Allah sendiri. Ia adalah suci, bukan saja merupakan kuasa Ilahi tetapi sifat moral dari Allah. Ia adalah Allah yang bekerja untuk kepentingan umat-Nya. Perlu dicatat bagaimana Roh itu disamakan dengan “lengan” Allah dan yang hendak dikatakan adalah bahwa Roh itu merupakan aktivitas penyelamatan-Nya. Roh itu adalah kuasa yang personal dan aktif dari Tuhan Allah. Walaupun dalam PL kita menjumpai fakta Roh Allah yang berintervensi dalam kehidupan manusia, baru dalam Perjanjian Barulah dinyatakan fakta tentang Roh Kudus secara lebih luas oleh para penulisnya. Meskipun dalam Injil- injil sekalipun sangat sedikit diungkapkan tentang Roh Kudus, kalau diperhatikan baik, Roh Kudus justru berpusat dalam diri Tuhan Yesus Sang Mesias dan kemudian juga dicurahkan kepada orang-orang percaya, terutama pada peristiwa Pentakosta. Mungkin ada baiknya kita bertanya mengapa Yesus pada suatu ketika mengatakan kepada para murid-Nya: “Adalah lebih berguna bagi kamu jika Aku pergi. “Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Yoh. 16:7. Kata-kata ini diucapkan dalam konteks janji pemberian Penolong atau Penghibur yakni Roh Kudus. Kita tahu bahwa meskipun Yesus adalah Allah sejati, tetapi Ia juga adalah manusia sejati. Sebagai manusia, Ia terbatas dalam hal kehadiran-Nya pada satu tempat di suatu saat. Dengan kehadiran atau kedatangan Roh Kudus, Ia tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu dan juga dalam pekerjaan-Nya. Roh Kudus adalah sesungguhnya Roh Allah dan juga Roh Yesus Kristus dan dengan demikian Ia adalah Allah itu sendiri. Karena memang Allah adalah Roh adanya. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Yoh. 4:24. Roh Kudus 33 memiliki semua ciri keilahian sama seperti yang dimiliki oleh Allah, yakni Mahahadir, Mahatahu, dan Mahakuasa. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan l Kor. 2:10-16; Luk. 1:35; Kis. 1:8. Karena itu, kalau kita menyembah Allah, sesungguhnya kita menyembah Allah yang menyatakan diri sebagai Bapa Pencipta, Yesus Penyelamat, dan Roh Kudus Pembaharu dan Penolong. Walaupun Roh Kudus tidak dapat kita batasi pekerjaan-Nya dalam dunia ini, dalam kesempatan ini kita akan membatasi pembahasan kita tentang pekerjaan-Nya di dalam kehidupan orang beriman dan persekutuan orang- orang beriman yang kita sebut Gereja. Memang membatasi peranan Roh Kudus sebagai Pembaharu dan Penolong juga tidak tepat, karena Ia terlibat bersama Bapa dalam karya Penciptaan dan terlibat bersama Yesus Kristus dalam karya Sumber: http://rhrenunganhidup.com/holyPenyelamatan. Akan tetapi, dua peranan itu sangatlah menonjol dalam Perjanjian Baru. Marilah kita melihat peranan tersebut secara lebih mendalam. Bagaimanakah karya Allah di dalam Roh Kudus yang memperbaharui? Pertama-tama kita harus akui bahwa kita menjadi orang percaya karena karya pembaharuan-Nya. Sebagai orang berdosa, kita telah mati secara rohani. Namun oleh pekerjaan Roh Kudus, kita mengalami kelahiran kembali atau kelahiran baru secara rohani. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Yoh. 3:5-7. Hal ini memungkinkan kita menjadi orang beriman kepada Allah di dalam Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat manusia. Bandingkan juga dengan peristiwa Pentakosta setelah khotbah Petrus, ada ribuan orang menjadi percaya dan dibaptis (Kis. 2). Pembaharuan itu tidak hanya menyangkut kepercayaan kita, tetapi menyangkut juga sifat dan tabiat kita. Di dalam Kristus kita menjadi ciptaan baru. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan 2 Kor.5:17. Sebagai ciptaan baru, yang lama telah lenyap dan yang baru telah terbit, termasuk sifat atau watak kita. Itulah sebabnya Paulus menekankan bahwa kalau kita hidup oleh Roh, kita tidak akan menuruti keinginan daging. Silakan Anda mengamati dan 34 menafsirkan Gal. 5:16. Sebagai ganti perbuatan daging (Gal. 5:19-21), kita akan menghasilkan buah Roh yakni “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal. 5:22-23). Silakan Anda mengamati diri Anda sendiri buah Roh apa saja yang telah ada dalam diri Anda! Sifat atau ciri-ciri ini adalah buah atau karya Roh Kudus dalam kehidupan orang percaya. Walaupun demikian, kita harus mengatakan bahwa karya Roh Kudus ini merupakan suatu proses yang tidak sekali jadi, karena kita masih juga berperang melawan kemanusiaan kita yang lama yang dikuasai oleh keinginan daging. Karya pembaharuan Allah tidak saja bagi orang percaya secara individu, melainkan juga bagi persekutuan orang-orang percaya yang kita namakan Gereja. Oleh kuasa dan karya Roh Kudus, terbentuklah suatu persekutuan orang-orang percaya yang tekun dalam persekutuan, bersaksi dan melayani dalam kasih persaudaraan. Karya pembaharuan Roh Kudus memungkinkan adanya suatu persekutuan yang baru, yang setia dan tekun melaksanakan tugas panggilannya untuk bersaksi dan melayani. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Kis.2:41-47. Jadi, ketekunan mereka dalam persekutuan mencakup juga dimensi kehidupan rohaniah, yakni untuk berdoa dan melaksanakan sakramen perjamuan, juga dalam memperdalam pengetahuan dan pemahaman mereka akan pengajaran para rasul. Mereka juga bertekun dalam pelayanan kasih kepada sesamanya yang membutuhkan. Selanjutnya, dalam seluruh Kisah Para Rasul kita membaca bagaimana oleh pimpinan Roh Kudus, bukan saja para rasul tetapi juga persekutuan orang percaya bertekun dalam kesaksian mereka, baik melalui kata-kata maupun perbuatan nyata, sehingga jumlah orang percaya terus bertambah. Dengan menggambarkan peranan Roh Kudus yang membaharui, baik orang percaya secara individu maupun secara bersama-sama sebagai gereja, kita sesungguhnya telah menunjukkan bagaimana Roh Kudus merupakan penolong yang dijanjikan oleh Yesus Kristus. Roh Kudus menolong kita untuk membuka mata rohani kita sehingga kita dapat percaya kepada misteri kasih Allah dalam Yesus Kristus yang menyelamatkan, menolong kita untuk mengubah sifat-sifat kita sesuai dengan kehendak-Nya, tetapi juga menolong Gereja untuk setia dan mampu melaksanakan tugas panggilannya untuk bersekutu, bersaksi, dan melayani. Akan tetapi, kita juga dapat berbicara mengenai pertolongan-Nya dalam bentuk-bentuk yang lain. Misalnya: menghibur di kala duka, memberi kekuatan di kala menghadapi penganiayaan, menyatakan kebenaran Allah, menolong 35 kita untuk berdoa dengan benar, dan sebagainya. Silakan Anda mengamati dan mendaftar pertolongan-Nya yang lain dalam kehidupan Anda! Jadi, ketika kita berdoa kepada Allah untuk memohon pertolongan-Nya, sesungguhnya kita mengharapkan pertolongan Allah melalui Roh Kudus. Pada akhirnya, kita harus menyebut satu hal lagi tentang peranan Roh Kudus yang membaharui. Setelah kenaikan Yesus ke surga dan kemudian turunlah Roh Kudus, sesungguhnya sejarah dunia telah memasuki suatu era baru yakni era Roh Kudus yang mencapai puncaknya ketika Yesus datang untuk kedua kalinya. Pada saat itulah karya Allah disempurnakan, Ia akan membaharui segala sesuatu (lih. Why. 21:5-6). Dalam ayat ini, Tuhan mengatakan: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru! ”Kemudian dilanjutkan dengan mengatakan “Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir.” Allah yang dipercayai oleh umat Kristen, adalah Allah yang sejak awal menjadi Pencipta segala sesuatu dan memeliharanya tidak saja dengan hukum alam tetapi dengan intervensi langsung, dan adalah Allah yang sama yang menyelamatkan dalam Yesus Kristus. Allah ini adalah juga yang membaharui hidup manusia, baik secara individu maupun bersama-sama sebagai orang percaya, dan pada akhirnya membaharui segala sesuatu pada akhir sejarah. Ia akan menghadirkan langit dan bumi yang baru. Ia akan menyempurnakan pemerintahan-Nya sebagai Raja yang menghadirkan kasih, damai sejahtera, keadilan, kebebasan, keutuhan, kesamaderajatan, dan lain-lain. Ada teolog yang mengatakan bahwa “now more than ever it is vital that we know what we believe, because what we believe determines how we live” (Donald English 1982). Kalau benar seperti pernyataan ini, bahwa apa yang kita percayai menentukan bagaimana kita menjalani hidup kita, pertanyaan yang penting bagi kita bukan hanya apa pandangan Alkitab tentang Allah, melainkan bagaimana kepercayaan kita kepada Allah menentukan bagaimana kita menjalani hidup kita secara praktis. Karena itu, pada bagian ini kita akan menanya atau bertanya secara kritis, apa implikasi kepercayaan kepada Allah sebagai Pencipta, Penyelamat dan Pembaharu bagi kehidupan praktis seharihari. Silakan Anda menanya secara kritis dan sebebas-bebasnya yang berkenaan dengan implikasi kepercayaan kepada Allah sebagai Pencipta, Penyelamat dan Pembaharu ciptaan- Nya. 36 1. Implikasi Kepercayaan kepada Tuhan sebagai Pencipta Dalam rangka menanya secara kritis apa implikasi kepercayaan kepada Tuhan sebagai Pencipta, ada baiknya kita menarik beberapa implikasi dari kepercayaan terhadap Allah sebagai Pencipta dalam kaitannya dengan kehidupan kita sebagai orang percaya. Pertama, bahwa sebagai Pencipta, Allah adalah sumber kehidupan dan keberadaan kita. Karena itu, hidup kita sepenuhnya bergantung kepada Allah, dan kita adalah milik Allah Sang Pencipta. Ini berarti juga bahwa Allah berdaulat atas hidup dan tujuan hidup kita. Hanya Allah yang berhak menentukan untuk apa kita hidup di dunia, dan kita tak akan menemukan kedamaian sampai kita menemukan Allah sumber dan tujuan kehidupan kita. Sebagai milik Allah, adalah kewajiban kita untuk memuliakan Allah dengan hidup kita. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan 1 Kor. 6:20. Coba baca baik-baik bagian Alkitab ini dan diskusikan apa hubungan kepemilikan Allah atas hidup kita dengan bagaimana kita menjalani hidup kita. Ajukanlah pertanyaan kritis Anda yang bisa timbul setelah membaca 1 Kor. 6:20! Jelaskanlah apa alasan tuntutan seperti itu? Apakah tuntutan seperti itu wajar? Bagaimana pendapat Anda? Allah tak hanya berdaulat atas hidup kita tetapi atas tujuan hidup kita. Manusia adalah makhluk yang mencari tujuan dan makna hidup, dan kita hanya dapat menemukan tujuan hidup kita dalam Tuhan yang menciptakan kita. Tujuan hidup kita tak lain adalah untuk memuliakan Allah (lih. Rm. 11:36). Di atas telah dibahas bahwa agama berfungsi sebagai pemberi identitas, dan identitas adalah sumber makna. Jadi, kalau kita hendak menemukan apa makna hidup kita, di dalam Tuhan, pencipta yang berdaulat menentukan tujuan hidup kita itulah, kita memeroleh makna dan tujuan hidup kita. Hal ini penting ketika kita membahas masalah karakter nanti. Untuk apa kita hidup berkarakter? Kedua, pengakuan dan kepercayaan akan kemahakuasaan dan kebesaran Allah mendorong kita untuk mengagumi kebesaran penciptaan Tuhan. Hal ini mendorong kita kepada sikap bersyukur dan beribadah kepada Tuhan. Perasaan kagum, heran dan syukur mendorong kita bukan saja untuk memuji Tuhan tetapi juga untuk selalu berdoa dan memohon pertolongan-Nya. Semua ini menjadi dasar dari kehidupan ibadah kita sebagai orang beriman. Anda bisa mengemukakan pertanyaan-pertanyaan kritis, mengapa agama harus memiliki ritus atau ibadah. Kekristenan juga tidak sepi dari ibadah sebagaimana juga agama-agama yang lain. Apa dasar dan tujuan dari ibadah kristiani? 37 Ketiga, karena Allah Pencipta adalah juga pribadi, manusia terpanggil untuk menjawab penyataan diri Allah dengan memasuki hubungan yang bersifat pribadi dengan-Nya. Jadi, pengetahuan saja tidak cukup, melainkan dibutuhkan hubungan pribadi. Hubungan ini dipelihara dan dikembangkan melalui ibadah dan ketaatan kepada-Nya. Kita terpanggil bukan saja untuk mengetahui siapa Dia, melainkan untuk mengenal-Nya dan mengenal dalam arti alkitabiah berarti masuk dalam hubungan pribadi dengan-Nya (Groome 1980, 141). Injil Yohanes dan surat-suratnya secara eksplisit menegaskan bahwa “for John to know the Lord is to love, obey and believe” (lih. 1 Yohanes 4:8). Coba baca baik-baik bagian Alkitab ini dan tariklah kesimpulan Anda sendiri apa hubungan mengenal Allah dan mengasihi Allah! Bandingkan juga 1 Yohanes 2:3, dan jelaskan hubungan antara mengenal dan mentaati perintah-perintah-Nya. Silakan Anda menanya secara kritis berkaitan dengan mengenal Allah berarti mengasihi, mentaati dan percaya kepada Allah! 2. Implikasi Kepercayaan kepada Allah sebagai Penyelamat bagi Kehidupan Praktis Apa implikasinya bila kita percaya kepada Allah sebagai Sang Penyelamat dalam Yesus Kristus? Hal ini perlu kita renungkan oleh karena kepercayaan Kristen sebenarnya bertumpu pada kepercayaan akan Tuhan Yesus dan mengikutiteladan-Nya. Sumber: http://www.google.com/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Fgodsbreath. iles.wordpress.com%2F2010%2F05%2Fimage_of_god_love. 38 Pertama, kepercayaan Kristen kepada Allah tidak terbatas kepada Allah yang Mahakuasa, Agung, dan Hebat yang wajib kita sembah tetapi juga kepada Allah sebagai Penyelamat menunjuk kepada hakikat Allah yang adalah kasih. Allah tidak hanya mengasihi tetapi Ia adalah kasih itu sendiri (lih. 1 Yohanes 4:8b). Bacalah dengan teliti bagian Alkitab 1 Yoh. 4: 7-8 dan bertanyalah kepada diri sendiri apa implikasinya bila seseorang percaya kepada Allah yang adalah kasih. Percaya adalah suatu respons manusia, dan percaya kepada Allah yang adalah kasih berarti merespons kasih Allah dengan jalan mengasihi Allah melalui kasih kita terhadap sesama manusia. Silakan Anda menanya secara kritis dan sebebas-bebasnya mengenai Allah adalah kasih! Kedua, kita percaya kepada Allah yang mengasihi manusia, yang berinisiatif mencari dan mendatangi manusia. Oleh karena kasih-Nya, yang persuasif (memberikan dorongan, tidak memaksa), kepercayaan kita merupakan jawaban terhadap Allah yang mengasihi kita. Jawaban terhadap kasih Allah tak bisa lain adalah kasih kepada Allah melalui kasih kepada sesama dan alam ciptaan-Nya. Kita tidak hanya percaya akan Allah yang jauh di sana, tetapi Allah yang hadir dan dekat dengan manusia, dan manusia dapat memasuki hubungan yang intim dengan-Nya dalam Kristus yang diberi nama Imanuel yang berarti Allah beserta kita. Pengalaman inilah yang memungkinkan para murid dapat bertahan meskipun menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan hidup. Kita perlu menjaga keseimbangan antara gambaran tentang Allah yang transenden dan Allah yang berada di antara kita dan bersama kita dalam arti imanensi-Nya. Bila kita hanya menekankan dimensi transendental, kita bisa teralienasi. Bila kita hanya menekankan imanensi-Nya, kadang bisa berakibat bahwa Allah sama dengan ciptaan-ciptaan lain. Ketiga, bila kita mengatakan percaya kepada Allah sebagai Sang Penyelamat dalam Yesus Kristus, kepercayaan ini harus dipahami bahwa keselamatan adalah karya Allah, anugerah Allah dan bukan hasil karya manusia yang dicapai karena prestasinya. Kita boleh mengatakan bahwa dasar keselamatan adalah anugerah Allah sedangkan saluran keselamatan adalah iman yang menyelamatkan. Iman bukan semata-mata pengakuan akal kita bahwa Allah ada dan menyelamatkan, melainkan bahwa kita menerima-Nya sebagai pengganti kita dalam menanggung hukuman dosa kita. Realisasi (wujud nyata) keselamatan itu adalah suatu hubungan yang diubahkan dan hidup yang diperbaharui. Artinya, kita memasuki suatu kualitas hidup baru, hidup dalam hubungan dan persekutuan yang benar dengan Allah, yang mendapat ekspresi dalam kedekatan hubungan kita dengan sesama, dan tanggung 39 jawab memelihara alam semesta. Silakan Anda menanya secara kritis dan sebebas-bebasnya mengenai Allah Sang Penyelamat dalam Yesus Kristus! Kekristenan menolak pemisahan antara ibadah kepada Allah melalui ritusritus keagamaan dengan sikap terhadap sesama dalam arti berlaku adil (lih. Mi. 6: 6-8, Yak. 1:26-27). Bacalah kedua perikop tersebut dengan teliti dan diskusikan maknanya khususnya hubungan ibadah dengan perbuatan baik: berlaku adil dan memerhatikan para janda dan yatim piatu! Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan kritis yang timbul setelah membaca Mi. 6:6-8 dan Yak. 1:26-27! Ekspresi keselamatan adalah suatu pengalaman penebusan dari hukuman dosa, penebusan dari hidup tanpa makna ke dalam hidup yang bermakna. Meskipun Yesus adalah manusia sejati, Ia juga Allah sejati. Karena itu, dalam ibadah, baik melalui doa, puji-pujian, kita dapat mengarahkannya kepada Allah Sang Bapa Pencipta, tetapi juga kepada Yesus Sang Anak Penyelamat. Pada dasarnya, sasaran kita adalah kepada Allah yang satu, yang menyatakan Diri baik sebagai Bapa Pencipta maupun sebagai Anak Sang Penyelamat. 3. Implikasi Kepercayaan bahwa Allah adalah Pembaharu dalam Roh Kudus Apakah implikasinya bila kita percaya kepada Allah yang menyatakan diri dalam Roh Kudus sebagaimana digambarkan di atas? Ajukanlah pertanyaanpertanyaan kritis Anda dari implikasi kepercayaan bahwa Allah adalah Pembaharu dalam Roh Kudus! Berikut ini kita hanya akan mengemukakan beberapa implikasi yang cukup penting. Pertama, kepercayaan kepada Allah yang menyatakan diri dalam Roh Kudus berarti bahwa manusia percaya kepada kuasa Allah yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, dan dapat bekerja dalam diri manusia untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan. Pembaharuan itu dapat mencakup iman atau kepercayaan seseorang, misalnya, dari tidak percaya menjadi percaya akan Allah yang Mahakasih dalam Yesus Kristus. Suatu perubahan dan pembaharuan akan orientasi hidup, prioritas kehidupan dan sebagainya. Kedua, kuasa Allah melalui Roh Kudus juga dapat memperbaharui orientasi nilai dan sikap hidup etis seseorang. Sebagai contoh, dari kecenderungan hidup yang menuruti keinginan daging menuju kepada kecenderungan hidup yang menuruti Roh Kudus, sehingga menghasilkan buah Roh seperti kasih, damai sejahtera, sukacita, kesabaran, dan sebagainya (lih. Gal. 5:22-23). Bacalah dengan teliti ayat tersebut serta bertanyalah pada diri sendiri secara kritis 40 apa implikasi bila orang percaya bahwa Allah membaharui hidup manusia melalui Roh Kudus-Nya! Ketiga, kuasa Allah yang bekerja melalui Roh Kudus dapat membawa pembaharuan di dalam kehidupan persekutuan orang-orang percaya sehingga mereka dituntun kepada kebenaran, dan dimungkinkan untuk tekun dan setia mengemban tugas panggilannya di dunia ini untuk bersekutu, bersaksi, dan melayani. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Yoh. 16:1 dst. Keempat, kepercayaan akan karya Allah di dalam Roh Kudus yang akan memperbaharui segala sesuatu kelak, memberi dasar kepada kehidupan yang berpengharapan bagi orang-orang percaya. Pengharapan akan penyempurnaan pemerintahan Allah sebagai Raja, di mana ada nilai-nilai Kerajaan Allah. Pengharapan ini tidak membuat manusia menjadi pasif menunggu pembaruan dan penyempurnaan melainkan bertekun untuk mewujudkan pengharapannya kini dan di sini yang mencakup juga pembaruan tatanan sosial politik, ekonomi, menjadi lebih adil seperti yang diharapkan, yakni perjuangan menghadirkan masa depan yang diharapkan dalam kehidupan kini dan di sini. Inilah yang disebut oleh ahli- ahli sosiologi sebagai utopia yang konkret, yang tidak hanya tinggal diam mengharapkan apa diharapkan terjadi begitu saja. Inilah yang disebut utopia yang abstrak oleh Ernst Bloch (Baum 1975). Kepercayaan kepada Allah seperti digambarkan di atas, menantang orang percaya untuk menjalani hidupnya sebagai respons kepada Kerajaan Allah, yakni respons kepada Allah yang memerintah sebagai Raja. Hal ini akan menuntun kita kepada dasar-dasar kepercayaan berikutnya, yakni tentang siapakah manusia? Pada bagian ini, kita diajak untuk menoleh ke belakang untuk memahami bagaimana para teolog Kristen menggumuli dan memperdebatkan beberapa isu sekitar hakikat dan sifat Allah. Tujuannya terutama untuk memahami bahwa isu- isu yang pada masa kini diperdebatkan itu bukanlah hal baru, dan memahami bagaimana para pendahulu mencoba memecahkan hal-hal yang sulit dan rumit. Ajaran yang paling sulit dimengerti dan dijelaskan adalah ajaran tentang Trinitas. Suatu ajaran yang sudah menjadi pokok perdebatan sejak awal 41 kehadiran kekristenan. Sesuatu yang tidak bisa juga dihindari karena memang Alkitab sebagai dasar kepercayaan Kristen menggambarkan Allah dengan berbagai cara. Dari aktivitas-Nya kita telah menyebutkan bahwa Allah mencipta (dalam Allah Bapa), menyelamatkan (dalam Yesus Kristus) dan membaharui (melalui Roh Kudus-Nya). Hal ni saja sudah menunjukkan nuansa Trinitas, ketiga macam penyataan diri Allah yang adalah tunggal atau satu. Menurut Alister E. McGrath “the Trinity is a remarkably difficult area of Christian Theology” (McGrath 1994, 257). Ia juga mencoba mengemukakan 4 model pendekatan terhadap isu ini baik yang klasik maupun modern. Yang paling penting dari pendekatan klasik adalah pendekatan Agustinus sedangkan dari model modern adalah Karl Barth. Kita hanya akan membahas dua pendapat yakni Agustinus dan Barth. Silakan Anda mengumpulkan informasi mengenai kelebihan dan kelemahan pandangan Agustinus dan Barth dari buku-buku teologi atau sumber belajar yang lain. 1. Agustinus Menurut McGrath, “Agustinus mengambil banyak unsur dari konsensus yang sedang muncul tentang Trinitas (Tritunggal). Hal ini dapat dilihat dalam penolakannya yang keras atas bentuk subordinasisme apapun (misalnya yang menganggap Sang Anak dan Roh Kudus sebagai inferior/lebih rendah dari Sang Bapa di dalam keallahan). Agustinus berpendapat bahwa tindakan dari ketiga unsurTrinitas harus dipahami di belakang tindakan dari setiap unsur. Misalnya, manusia diciptakan bukan saja menurut imago dei (gambar Allah) melainkan juga menurut gambar Trinitas. Perbedaan penting dibuat antara keallahan yang kekal dari Sang Anak dan Roh, dan tempatnya dalam urusan keselamatan. Meskipun Sang Anak dan Roh kelihatannya lebih kemudian dari sang Bapa, penilaian ini hanya berlaku dalam peranan proses penyelamatan. Dan meskipun Sang Anak dan Roh tampak lebih rendah terhadap Sang Bapa dalam sejarah, dalam kekekalan semuanya sederajat. Menurut McGrath, elemen yang paling khusus dari pendekatan Agustinus terhadap Tritunggal adalah pemahamannya tentang pribadi dan tempat Roh Kudus. Menurutnya, Sang anak diidentifikasikan dengan “kebijaksanaan” (wisdom), dan Roh Kudus dengan “Kasih”. Walaupun ia mengakui bahwa ia tak memiliki dasar alkitabiah terhadap identifikasi ini; ia menganggap hal itu sebagai kesimpulan yang masuk akal dari bahan-bahan Alkitab. “Roh 42 membuat kita tinggal dalam Tuhan dan Tuhan dalam kita.” Identifikasi yang eksplisit dari Roh sebagai dasar kesatuan dari Allah dan orang-orang percaya itu penting sebagaimana ia menunjuk kepada ide Agustinus tentang Roh sebagai pemberi komunitas/persekutuan. Roh adalah karunia ilahi yang mengikat kita dengan Allah. Karenanya, ada hubungan dalam Allah Tritunggal tersebut. Singkatnya, Agustinus ingin mengatakan bahwa “Roh Kudus membuat kita tinggal dalam Allah, dan Allah dalam kita. Tetapi, itu adalah akibat dari kasih. Karena Roh Kudus adalah Allah yang adalah kasih”. Salah satu ciri yang paling khas dari pendekatan Agustinus terhadap Trinitas adalah upaya mengembangkan “analogi-analogi psikologis. ”Ia berpendapat bahwa dalam menciptakan dunia dan isinya, Allah telah meninggalkan jejak yang khas dalam ciptaan-Nya. Jejak itu ada pada manusia sebagai ciptaan tertinggi. Oleh karena itu, kita perlu berpaling kepada kemanusiaan dalam upaya kita mencari gambaran tentang Allah. Agustinus mengambil langkah lebih jauh yang sangat disayangkan oleh banyak pihak. Atas dasar pandangan dunia yang dipengaruhi oleh NeoPlatonis, ia kemudian mengatakan bahwa “pikiran (mind) manusia adalah puncak dari kemanusiaan.” Karena itu, terhadap pikiran manusia individual, dan ke arah itulah seharusnya para teolog berpaling dalam mencari penjelasan tentang misteri Tritunggal dalam penciptaan. Individualisme yang radikal dari pendekatan ini, digabungkan dengan intelektualisme yang nyata, berarti bahwa ia memilih jalan untuk menemukan Trinitas dalam dunia mental individu-individu, daripada misalnya dalam hubungan-hubungan personal. 2. Karl Barth Kini kita beralih ke contoh modern tentang penjelasan dari misteri Trinitas. Karl Barth mengemukakan pandangannya sebagai reaksi terhadap rivalnya Schleirmacher. Bagi Schleirmacher, Trinitas adalah kata terakhir yang dapat diucapkan tentang Allah, sedangkan bagi Barth justru Trinitas adalah kata yang harus dibicarakan sebelum kita bicara tentang penyataan sebagai suatu kemungkinan (McGrath 1994, 261). Intisari dari pendapat Barth bisa kita sajikan dengan lebih sederhana walaupun sulit dipahami. Kenyataan bahwa penyataan tersebut membutuhkan suatu penjelasan. Bagi Barth, hal ini mengandung arti bahwa manusia adalah pasif dalam proses penerimaan penyataan. Proses penyataan dari awal sampai akhir ada di bawah kekuasaan Allah sebagai Tuhan. Jadi, untuk terwujud penyataan, Allah harus mampu mengakibatkan penyataan diri 43 kepada manusia berdosa, walaupun mereka berdosa. Menurut Barth, ada hubungan yang langsung antara yang menyatakan diri dan penyataan itu. Jika Allah menyatakan diri sebagai Tuhan, Allah mestinya adalah Tuhan lebih dahulu dalam dirinya. Penyataan, menurut Barth, adalah pengulangan (reiteration) pada waktu tertentu tentang apa yang sesungguhnya sudah ada dalam kekekalan. Karena itu, ada hubungan yang langsung antara dua hal berikut. Pertama, Allah yang menyatakan diri. Kedua, penyataan diri sendiri dari Allah. Dalam bahasa teologi Trinitas hal ini berarti Sang Bapa dinyatakan di dalam sang Anak. Lalu bagaimana dengan Sang Roh Kudus? Di sinilah kita berhadapan dengan aspek yang paling sulit dari doktrin Barth tentang Trinitas/Tritunggal: ide tentang “revealedness” (hal dinyatakan). Terjemahan dari konsep revealedness adalah sulit. Mungkin harus menggunakan ilustrasi yang tidak dipakai oleh Barth sendiri. Konsep tadi bisa dijelaskan dengan contoh sebagai berikut. Bayangkanlah ada dua orang berjalan di luar Yerusalem pada sekitar tahun 30 AD (sesudah Masehi). Mereka melihat tiga orang yang disalibkan, dan mereka berhenti sejenak untuk memandang ketiga orang itu. Orang pertama menunjuk kepada sang tersalib yang di tengah, dan berkata: “ada seorang pelaku kriminal yang sama yang disalibkan.” Namun orang kedua menunjuk kepada tersalib yang di tengah dan berkata: “ada Anak Allah yang rela mati untukku.” Jadi, ia mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah penyataan diri Allah tak ada artinya apa-apa pada dirinya sendiri; harus ada semacam cara dengan mana Yesus diakui sebagai penyataan diri Allah. Pengakuan akan penyataan sebagai penyataan yang membentuk “ide revealedness.” Bagaimanakah pemahaman ini dicapai? Barth sangat jelas dalam hal ini: kemanusiaan yang berdosa (orang berdosa) tak mampu mencapai pemahaman itu tanpa bantuan. Barth sama sekali tak memberi peluang bahwa ada peranan positif manusia dalam menafsirkan penyataan, karena percaya bahwa hal ini sangat tergantung kepada penyataan ilahi terhadap teori-teori pengetahuan manusia. Interpretasi penyataan sebagai penyataan haruslah pada dirinya merupakan karya Allah atau lebih akurat lagi adalah pekerjaan Roh Kudus. Manusia tidak mempunyai kemampuan mendengar Firman Tuhan, dan karenanya mendengarkan firman; mendengar dan kapasitas untuk mendengar adalah pemberian dalam satu tindakan oleh Roh Kudus. 44 Bagaimanakah Anda mencoba memahami penjelasan dua teolog besar yang mewakili zaman klasik dan modern? Apakah penjelasan mereka dapat dipahami secara tuntas? Dari refleksi kritis Anda, apakah yang dapat Anda simpulkan tentang doktrin Allah Tritunggal? Silakan Anda mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya mengenai doktrin Allah Tritunggal dari buku-buku teologi dan sumber belajar yang lain. Lebih jujur bila kita katakan bahwa kita tak seluruhnya bisa memahami misteri Tritunggal itu, meskipun sudah ada berbagai upaya dilakukan oleh para teolog dari dulu sampai sekarang. Bukankah sesungguhnya Allah walau sudah menyatakan diri tetap saja merupakan misteri yang tak terselami dan tak tuntas untuk dimengerti. Bila ada orang percaya kepada Allah yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus, menurut Barth hal itu karena dinyatakan oleh Allah sendiri melalui Roh Kudus karena pada dasarnya manusia berdosa tak mempunyai kemampuan untuk melakukan hal itu. Segala bentuk penjelasan tentang Tritunggal tak akan memuaskan rasio manusia apalagi dalam dunia yang sangat mengagungkan penalaran. Apa yang kita butuhkan adalah iman yang bukan bertentangan dengan rasio melainkan iman yang melampaui rasio kita. Setiap orang bukan saja berkewajiban memahami apa yang dipercayai, tetapi itu juga merupakan hak untuk menjelaskan apa yang dipercayai. Silakan Anda merumuskan dengan cara sendiri bagaimana ajaran tentang Tritunggal itu Anda mengerti! Yang jelas: Allah menyatakan diri-Nya secara amat kaya, baik sebagai Bapa pencipta dan pemelihara, Anak sebagai penyelamat, dan Roh Kudus sebagai pembaharu, dan semuanya menunjuk kepada Allah yang sama dan satu. Fenomena agama dinilai atau diukur dari ibadah atau ritual keagamaan apakah memadai? Silakan Anda mengemukakan argumen Anda yang menunjukkan bahwa agama tidak memadai bila hanya bila diukur dari ritual keagamaan. Bagaimana pemahaman Anda sebagai orang percaya terhadap kecenderungan pemisahan kedua hal ini? Cobalah Anda membangun argumen sendiri mengapa pemisaan antara ibadah agamawi tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari sikap dan tanggung jawab moral/etis kita baik terhadap sesama, diri sendiri, dan alam ciptaan Tuhan! Cobalah cari dasar-dasar Alkitab untuk membangun argumen Anda! 45 Pengalaman keberagamaan adalah sesuatu yang sangat pribadi, meskipun praktik keberagamaan bisa saja bersifat komunal. Oleh sebab itu, Anda dipersilakan untuk mengomunikasikan atau mendeskripsikan dengan bahasa dan kata-kata sendiri mengena kepercayaan kepada Allah sebagai dialami dan dihayati dalam pengalaman keberagamaan Anda. Silakan mengomunikasikan beberapa pengalaman keberagamaan Anda kepada rekan-rekan sekelas. Akan tetapi apa yang dipahami dan dihayati tentang Allah apalagi Allah Tritunggal bukanlah sesuatu yang mudah untuk dideskripsikan dengan bahasa dan kata-kata kepada orang lain. Agama selalu berurusan dengan yang transenden atau dasar keberadaan yang mutlak. Karena itu, semua agama mempunyai konsepnya sendiri-sendiri tentang yang transenden atau dasar keberadaan yang mutlak itu. Dalam kekristenan, yang transenden itu adalah Allah atau Tuhan yang menyatakan diri secara sangat kaya. Misalnya, Allah Sang Pencipta yang sering disebut Bapa sebagaimana diajarkan dalam Doa Bapa Kami oleh Tuhan Yesus. Allah yang kita percayai adalah juga Allah Penyelamat dalam Yesus Kristus. Rupanya kepercayaan ini mempunyai tempat yang sentral dalam kepercayaan Kristen. Itulah sebabnya dalam Pengakuan Iman Rasuli, Ia mempunyai tempat yang utama. Allah Penyelamat menyatakan hakikat-Nya sebagai kasih yang berkorban, dengan menjelma menjadi manusia untuk dapat menanggung hukuman dosa manusia. Karena itu, iman sebagai jawaban terhadap kasih Allah memanggil manusia untuk mengasihi Allah melalui kasih kepada sesama dan makhluk ciptaan-Nya. Keselamatan yang dikerjakan-Nya pada hakikatnya membawa manusia kepada hubungan yang baru dengan Allah dan persekutuan yang benar dengan-Nya, tetapi juga pembebasan dari segala yang menghalangi kita menghayati kemanusiaan kita secara penuh. Keselamatan merupakan pengalaman masa kini tetapi juga masa yang akan datang. Keselamatan juga sangat komprehensif dan holistik artinya tidak hanya bersifat spiritual, melainkan juga kesejahteraan manusia kini dan di sini. Berita Injil yang diberitakan tidak hanya untuk keselamatan jiwa tetapi juga pengalaman hidup yang bebas dari segala bentuk penindasan dan dominasi. Injil adalah kabar baik yang menyeluruh untuk manusia seutuhnya. Kita memberitakan Injil yang utuh untuk manusia yang utuh juga. Kita menolak 46 spiritualisasi keselamatan dalam arti bahwa keselamatan yang dikerjakan Kristus hanya terbatas pada keselamatan jiwa, maupun pengertian bahwa keselamatan adalah pengalaman nanti di seberang kematian. Allah juga menyatakan diri sebagai Roh yang membaharui semua ciptaan dan juga setiap individu yang percaya agar dapat menjalani hidup kekiniannya dengan sukacita, damai sejahtera, kasih, keadilan dan sebagainya sebagai dasar dari karakter kristianinya. Selain itu, janji untuk membaharui semua ciptaan pada suatu kali kelak menjadi dasar pengharapan yang merupakan daya penggerak sejarah untuk bekerjakeras mewujudkan apa yang diharapkan dalam kekinian meskipun tak secara sempurna. Carilah sejumlah ungkapan dalam Alkitab yang berbeda-beda tentang bagaimana gambaran yang diberikan tentang Allah! Dari situ buatlah kesimpulan sendiri tentang bagaimana Anda menyapa Allah dalam doa, ibadah, dan puji- pujian! Presentasikan di depan kelas! 47 BAB III MANUSIA MENURUT AJARAN KRISTEN Pembicaraan tentang manusia adalah hal yang sangat pokok dan sentral dalam kekristenan karena manusia ada di pusat kehidupan beragamadan pengambilan keputusan etis. Pembahasan tentang manusia dari perspektif Kristen dapat menolong kita untuk memahami berbagai aspek dalam kehidupan beragama, bermasyarakat maupundalam pengembangan ilmu dan teknologi modern, termasuk berbagai permasalahan yang muncul dalam kehidupan manusia. Sumber: http://www.slideshare.net/ijalmustofa/1hakekat-manusia Pertama-tama harus diakui bahwa pertanyaan “siapakah manusia?” dalam arti apa hakikatnya “menantang setiap masa atau abad.” Berbagai pihak apakah dia filsuf, teolog, biolog, maupun sosiolog telah mencoba menjawab pertanyaan itu dan masing-masing memberikan jawaban yang berbeda. Hal 48 itu sah-sah saja, karena memang setiap pihak berusaha memberi jawaban dari perspektifnya masing-masing. Pada dasarnya jawaban terhadap pertanyaan siapakah manusia akan membawa dampak atau konsekuensi serius bagi berbagai aspek penting terutama yang berkaitan dengan sikap dan perlakuan kita terhadap sesama maupun diri sendiri. Misalnya, bila manusia dianggap sebagai “makhluk ekonomis” yang menghasilkan barang dan jasa, nilai manusia tergantung pada produktivitasnya. Begitu pula, bila manusia diangap sebagai makhluk biologis, perhatian utamanya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat biologis dan kebutuhan-kebutuhan lain dianggap tidak ada atau tidak penting. Agama Kristen pun melalui para teolognya sepanjang abad telah juga memberikan jawaban terhadap pertanyaan tentang hakikat manusia. Ini tidak berarti bahwa pandangan para teolog Kristen bersifat seragam atau monolitik. Ada perbedaan-perbedaan misalnya saja tentang arti sesungguhnya dari ungkapan Alkitab, bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah (imago Dei). Pada bab III ini, Anda diharapkan mencapai empat belas tujuan pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah (i) bersyukur kepada Tuhan yang telah mencipta, menyelamatkan, memelihara dan membarui ciptaan-Nya; (ii) bersikap rendah hati dan bergantung kepada Tuhan yang diwujudkan antara lain dalam ibadah yang teratur; (iii) menumbuhkembangkan sikap sabar, tangguh dan pembawa damai; (iv) menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dalam kepelbagaian agama, suku dan budaya;(v) bersikap peduli terhadap sesama manusia; (vi) bersikap jujur dan adil dalam kehidupan bermasyarakat; (vii) menganalisis ajaran Alkitab tentang manusia sebagai ciptaan Imago Dei dan makhluk religius; (viii) menganalisis ajaran Alkitab tentang manusia sebagai makhluk sosial, rasional dan berbudaya; (ix) menerangkan dengan contoh bahwa manusia adalah makhluk etis/moral berdasarkan ajaran Alkitab; (x) menganalisis arti dosa baik personal dan sosial berdasarkan ajaran Kristen; (xi) menalar hasil penelaahan ajaran Alkitab tentang manusia sebagai ciptaan Imago Dei dan makhluk religius; (xii) menyajikan hasil penelaahan ajaran Alkitab tentang manusia sebagai makhluk sosial, rasional dan berbudaya; (xiii) menggunakan hasil penelaahan ajaran Alkitab tentang manusia sebagai makhluk etis/moral; dan (xiv) mengkreasi peta konseptual dan/atau operasional tentang dimensi dosa yang bersifat personal dan sosial menurut ajaran Alkitab. 49 Sebelum kita membahas beberapa aspek penting dari hakikat manusia berdasarkan kesaksian Alkitab, ada baiknya kita melihat beberapa pernyataan modern tentang siapakah manusia itu. Silakan Anda mengamati beberapa pandangan filsuf abad ke-20 tentang manusia dari buku-buku filsafat dan sumber belajar yang lain! Hal ini penting karena karena kita hidup dalam konteks kemodernan dan pandangan-pandangan yang berkembang sedikit banyak memengaruhi pandangan kepercayaan. Kita hanya akan melihat beberapa saja yang relevan. McDonald dalam bukunya The Christian View of Man menyebutkan beberapa pemikiran modern yang penting yang relevan dengan pengkajian kita (McDonald 1981, 115). Berbagai pandangan yang relevan adalah sebagai berikut: 1. Manusia Komunis Filsafat sosial dan politis komunis bersumber dari teori antropologis Karl Marx (1818-1883). Pemahamannya mengenai hakikat manusia, menempatkan manusia pada pusat kepentingannya, dan karena itu berpendapat bahwa karena manusia adalah ciptaan dirinya sendiri, hanya manusia yang dapat menjawab kepada dirinya sendiri, dan mampu dengan upaya sendiri menemukan tujuannya dengan kebebasan yang absolut. Marx juga menerima pendapat Ludwig Feuerbach bahwa “Allah orang Kristen hanya suatu refleksi fantastis, suatu gambaran dalam cermin dari dirinya sendiri.” Karena itu Marx percaya bahwa Allah adalah khayalan atau pemenuhan kebutuhan manusia. Hanya dengan membersihkan diri sendiri dari pengertian suatu hubungan dengan Allah, manusia mampu mengaktualisasikan dan menjadi diri yang sesungguhnya. Silakan Anda mengamati dan menilai pandangan Marx yang menyatakan manusia adalah ciptaan dirinya sendiri. Ada tiga ciri dari antropologi Marxist. Pertama, manusia sebagai suatu produk alami (natural): karena tiada Tuhan, ditolak juga pendapat bahwa manusia adalah ciptaan yang khusus. Alternatif cerita asal kehidupan manusia ialah hipotesis Darwin mengenai evolusi. Satu-satunya fakta adalah dunia materiil yang dipersepsi oleh indra. Karena itu, pikiran adalah hasil produksi dari halhal kebendaan, dan karenanya manusia adalah “a lump of thinking matter” yang artinya bahwa manusia sekadar bongkahan bahan yang berpikir. Secara esensial manusia adalah satu dengan alam. Dalam proses evolusi, manusia tiba pada titik saat ia membedakan dirinya dari dunia binatang karena manusia memiliki kemampuan membuat peralatan dan menggunakannya sebagai 50 organ tambahan untuk menguasai alam. Manusia dalam proses sampai pada suatu titik saat mereka bisa mengatakan sesuatu satu terhadap yang lainnya. Manusia tiba pada eksistensi sebagai makhluk sosial tergantung pada kerja sosialnya. Silakan Anda mengamati dan menilai pandangan Marx yang menyatakan manusia adalah “a lump of thinking matter”! Kedua, manusia sebagai ciptaannya sendiri yang bekerja. Dalam istilah Marx, manusia adalah “homo faber” (pembuat). Hakikatnya adalah untuk bekerja dan menjadi pencipta. Manusia berkembang ketika ia mengubah tatanan alam dalam kerjasama yang harmonis dengan spesies-spesies lainnya. Jadi bagi Marx, kerja dianggap otonomi. Manusia adalah pekerja, dan karena itu, nilai manusia juga tergantung pada produktivitasnya. Silakan Anda mengamati dan menilai pandangan Marx yang menyatakan bahwa manusia adalah “homo faber”! Ketiga, manusia sebagai unit yang teralienasi. Ide alienasi adalah tema yang terulang sejak Hegel dan filsafat pasca Hegelian, dan juga mempunyai tempat yang sentral dalam antropologi masa kini. Bagi Marx, alienasi adalah kategori kunci, dan ia menjelaskan hal itu dalam istilah sosio-ekonomis. Yang menyebabkan manusia teralienasi adalah sistem hubungan dan nilainilai kapitalis. Manusia menderita berbagai macam alienasi: dari hasil produksinya sendiri, dirinya sendiri, dan dari sesamanya. Yang paling tragis adalah alienasi dengan diri sendiri, yang membuat manusia menjadi tak manusiawi secara total. Silakan Anda mengamati dan menilai pandangan Marx yang menyatakan bahwa manusia sebagai unit yang teralienasi! 2. Manusia Humanis Tak ada pola tunggal pemikiran humanis. Ia bisa mencakup eksistensialis, ilmiah, positivisme, liberal atau popular yang kadang-kadang saling bertentangan satu sama lain Dalam pengertian yang luas, humanisme berpusat pada realitas manusia yang memberi manusia semua kepentingan dan inspirasinya yang memadai/cukup. Semua humanis percaya bahwa manusia adalah bentuk eksistensi yang paling tinggi dan, karenanya, adalah satu-satunya objek yang pantas disembah dan dilayani. Humanisme adalah suatu pengakuan akan rasa percaya kepada hakikat manusia yang menolak ide tentang Allah sebagai hal yang perlu karena manusia bisa membentuk kembali dirinya sendiri. Amati dan bandingkanlah kedua pandangan tentang manusia di atas, manakah yang lebih mengagungkan manusia, pandangan Marxisme atau humanisme? 51 Diskusikan dan sesudah itu bandingkanlah dengan pandangan yang bersumber dari Alkitab! Amatilah di manakah posisi Tuhan dalam pemahaman kedua pandangan di atas dalam hubungannya dengan hakikat manusia? Ada anggapan bahwa hanya dalam relasi dengan Tuhan manusia memahami hakikat kemanusiaannya dan menemukan arti serta tujuan hidupnya. Seberapa benar pernyataan itu? Cobalah ajukan beberapa pertanyaan kritis lainnya yang berkenaan dengan hakikat manusia! Pada bagian berikut, kita akan membahas beberapa aspek mendasar dari kesaksian Alkitab tentang hakikat manusia menurut pandangan Kristen. 1. Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah (lih Kej. 1 dan Kej. 2) Bacalah dengan teliti cerita penciptaan manusia baik dalam Kejadian pasal 1 maupun2! Ajukanlah beberapa pertanyaan kritis setelah membaca Kejadian pasal 1 dan 2. Bandingkanlah pemahaman Anda dari bacaan tersebut dengan uraian berikut ini! Fakta yang pertama dari kesaksian Alkitab tentang manusia adalah bahwa manusia makhluk ciptaan Allah. Hal ini perlu ditegaskan untuk menolak anggapan bahwa semua hal, termasuk manusia, terjadi dalam proses evolusi, dan karenanya sulit untuk memberi landasan mengapa manusia adalah makhluk pencari makna. Sebagai makhluk, ia tetap makhluk dan tidak pernah menjadi sama dengan khaliknya. Apa implikasi kemakhlukan manusia? Sebagai makhluk, pertama-tama, ia tergantung kepada Allah khalik dan sumber kehidupannya. Sebagai khalik, Allah berdaulat atas hidup dan tujuan hidup manusia. Karena itu, manusia yang menerima kemakhlukkannya akan menerima kedaulatan Allah atas hidup dan tujuan hidupnya. Itulah sebabnya secara hakiki, manusia selalu mendambakan relasi dengan-Nya. Sebagai makhluk, manusia bukan saja tergantung kepada Allah sebagai sumber hidup, tetapi bahwa Allah berdaulat atas hidup dan tujuan hidup manusia. Alkitab menggambarkan hubungan manusia dengan Allah pencipta-Nya, sebagai tanah liat di tangan penjunan. Allah berhak dan berdaulat untuk tujuan apa benda-benda atau peralatan tanah liat yang dibuat-Nya. Demikianlah manusia di tangan Allah pencipta, tujuan hidupnya ditentukan oleh khalik-Nya. Agustinus, seorang teolog terkenal mengatakan bahwa “jiwaku gelisah sampai aku menemukan kedamaian dalam Tuhan.” Ketika manusia menolak 52 kemakhlukkannya dan penciptaannya oleh Allah, tidak ada alasan apa pun untuk mencarimakna hidup ini di luar diri sendiri atau masyarakatnya. ALLAH Manusia Imagodei Rasional/Ber budaya Sosial Etis Dalam hal ini Marx konsisten, karena ia menolak keberadaan Allah Pencipta, ia juga menolak mencari makna dan hakikat manusia di luar diri manusia itu sendiri. Sebagaimana disampaikan pembahasan tentang penciptaan alam semesta dan segala isinya, Alkitab menolak teori evolusi sebagai teori asal usul, termasuk asal usul manusia, yang sejak awal manusia berbeda secara hakiki dengan ciptaan Tuhan yang lain. Manusia tidak berasal dari kera! Manusia bagaimanapun tetap ciptaan dan tak bisa menyamai penciptanya meskipun dengan daya rasionalitas yang luar biasa apapun. Yang diciptakan tidak akan menyamai pencipta, yang mencipta dari yang tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo). 2. Manusia diciptakan menurut Gambar Allah (Imago Dei) Salah satu aspek hakikat manusia berdasarkan ajaran Alkitab adalah bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah. Gambar Allah inilah yang dikenal dengan istilah “Imago Dei.” Tradisi Kristen yang mendasarkan dirinya pada cerita Alkitab dalamKejadian 1, telah menafsirkan makna kesegambaran manusia dengan Allah dengan bermacam-macam arti. Hal ini bisa juga diartikan secara salah, seolah- olah manusia mirip dengan Allah. Sebagai makhluk yang diciptakan, manusia akan 53 tetap berbeda dengan Allah Sang Pencipta. Sudah ada banyak arti diberikan kepada konsep ini, antara lain sebagai wakil Allah di dunia, dalam arti pelaksana atau mandataris Allah untuk tugas kebudayaan. Akan tetapi, tugas mandataris menunjuk kepada relasi manusia dengan ciptaan yang lain serta alam semesta ini. Pada zaman bapa-bapa Gereja ide ini ditafsirkan sebagai kemampuan rasional manusia yang membedakannya dengan makhlukmakhluk yang lain. Ada juga yang mengartikan kesegambaran itu sebagai kemiripan dalam sifat-sifat Allah. Dari berbagai arti yang ditawarkan oleh para ahli, arti yang paling mendasar yakni: potensi/kemampuan manusia untuk berhubungan atau merespons Allah, dan dalam arti ini manusia adalah makhluk religius. Manusia diciptakan sebagai gambar Allah berarti manusia diciptakan sedemikian rupa untuk menjadi pihak lain yang diajak komunikasi oleh Allah (Allah menyatakan diri dan kehendak-Nya serta menuntut responsnya). Kenyataan bahwa Alkitab menyatakan bahwa Allah berfirman/memberi perintah kepada manusia adalah bukti bahwa manusia dengan satu dan lain cara dapat menyatakan hubungannya dengan Allah. Penciptaan manusia sebagai gambar Allah memungkinkan terjadinya sesuatu antara Allah dan manusia, yaitu makhluk yang berhubungan dengan Allah dan kepada siapa Ia berfirman. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Kej. 1:27! Lalu, Anda diberi kesempatan untuk bertanya secara kritis setelah membaca Kej. 1:27 Implikasinya bagi tanggung jawab manusia adalah bahwa manusia selalu mendambakan relasinya dengan Allah atau yang dianggap Allah. Inilah yang kita sebut orientasi religius manusia yang memungkinkan fenomena agama selalu hadir dalam sejarah umat manusia: fenomena agama selalu hadir dalam kehidupan manusia dari dulu hingga sekarang. Fenomena agama bisa mengalami Sumber: kemerosotan, namun kesadaran http://metouganda.blogspot.com/ religius manusia dalam arti kesadaran akan adanya suatu kodrat Ilahi di atas manusia yang penuh dengan misteri yang tidak dapat secara tuntas diselidiki dan dipahami oleh manusia. 54 Kesadaran akan adanya kodrat Ilahi di atas manusia dan tak terbatas ini, mendorong manusia untuk selalu kagum, takjub, dan rendah hati, yang mendorong manusia untuk beribadah kepada-Nya. Potensi ini dapat mengarah kepada yang positif yakni merespons dengan percaya kepada Allah atau yang dianggap Allah, namun juga bisa mengarah kepada yang negatif yakni penolakan dan penyangkalan akan eksistensi Allah dengan segala konsekuensinya. Potensi ini sebagaimana potensi yang lain perlu dipupuk, diarahkan serta dikembangkan agar dimanifestasikan secara bertanggung jawab dan menuju kepada pertumbuhan yang sehat. Kecenderungan untuk terus berorientasi kepada kodrat Ilahi di atas dirinya itulah yang disebut “dimensi religius” dari manusia yang menjadikan manusia makhluk religius. Jadi, ada kaitan erat antara manusia yang diciptakan menurut gambar Allah dengan potensi religius/kesadaran religius yang membuatnya sebagai makhluk religius. Silakan Anda menanya secara kritis yang berkenaan dengan adanya kaitan erat antara manusia yang diciptakan menurut gambar Allah dengan potensi religius/kesadaran religius yang membuatnya sebagai makhluk religius! 3. Manusia sebagai Makhluk Sosial Manusia sebagai makhluk sosial menunjuk kepada kenyataan bahwa manusia adalah tidak sendirian dan selalu dalam keterhubungan dengan orang lain dan berorientasi kepada sesama (Kej.2:18). Perdebatan mengenai hakikat manusia dalam dimensi individual dan kolektif telah berjalan lama yang menghasilkan dua ideologi besar yang memengaruhi sistem kemasyarakatan, politik, dan ekonomi dari penganutnya. Negara-negara dunia pertama yang sangat mengagungkan dimensi individual dengan memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan individu telah melahirkan sistem masyarakat dan ekonomi yang kapitalis dengan ideologi pasar bebasnya. Ideologi ini berpendapat bilamana manusia diberi kebebasan, manusia akan bekerja keras untuk menjadi efisien, dan kalau semua bekerja efisien, semua akan maju. Jadi, pasar bebas pada akhirnya akan memajukan semua. Benarkah? Atau dengan ideologi ini jurang antara yang kaya dan miskin semakin menjadi lebar? Manakah yang benar? Ajukanlah beberapa pertanyaan kritis yang berkenaan dengan kebebasan individu telah melahirkan sistem masyarakat dan ekonomi yang kapitalis. Demikian juga pihak yang sangat mengagungkan dan menomorsatukan dimensi sosial dari kemanusiaan telah melahirkan sistem kemasyarakatan 55 yang dikenal dengan sosialisme. Pada sistem ini hak-hak dan kebebasan individu harus tunduk kepada kepentingan kelompok atau masyarakat. Persaingan ideologis seperti ini telah terjadi dan dikenal dengan perang dingin. Meskipun perang dingin itu kini telah berakhir dan kelihatannya sistem kemasyarakatan dan ekonomi kapitalis tampak unggul, hal ini tidak berarti bahwa pemutlakan dimensi individual manusia adalah suatu kebenaran yang didukung oleh kekristenan. Bagaimanakah sesungguhnya sikap Kristen yang bertanggung jawab dalam hal ini? Ajukanlah beberapa pertanyaan kritis yang berkenaan dengan dampak mengagungkan dan menomorsatukan dimensi sosial dari kemanusiaan telah melahirkan sosialisme. Teologi Kristen yang banyak berkembang di Barat tempat dimensi individu itu sangat diunggulkan. Kita harus mengkritik terhadap segala bentuk privatisasi ajaran Kristen yang fundamental seperti: privatisasi dosa dan keselamatan maupun pemahaman diri yang sangat individualistik (Baum 1975, 196). Pada Kitab Kejadian 2 dinyatakan bahwa tak baik kalau manusia itu sendiri, oleh karena itu Allah menciptakan penolong yang sepadan. Hal ini tidak hanya terbatas pada manusia jenis kelamin yang lain, tetapi juga bahwa manusia sendirian adalah tidak baik. Allah menghendaki manusia hidup dengan sesamanya. Dorongan untuk membutuhkan Manusia Dorongan untuk berinteraksi sosial Dorongan untuk belajar REAKSI ATAS PENILAIAN ORANG LAIN Manusia sebagai Mahluk Sosial Sumber: http://aabied.wordpress.com/2010/10/14/hakikat-manusia/ 56 Ada ahli teologi bahkan yang mengatakan bahwa hanya dalam hubungan dengan orang lain kita memahami dan menemukan hakika tkita sebagai manusia. Hal ini membawa implikasi bahwa manusia selamanya dan selalu berorientasi kepada sesamanya. Manusia tak tahan dalam kesendirian. Orientasi kepada sesama juga menyebabkan lahirnya berbagai pranata dan lembaga sosial (misalnya keluarga, komunitas darilokal sampai internasional, maupun pranata politik, ekonomi, dan lain-lain). Dengan kata lain, lahirnya berbagai pranata sosial merupakan konsekuensi logis dari penciptaan manusia sebagai makhluk sosial. Orientasi kepada sesama manusia juga turut berperan dalam berbagai tindakan religius dan pertimbangan serta pengambilan keputusan etis. Itulah sebabnya orang tidak bisa beragama sendiri. Agama selalu merupakan fenomena sosial, walaupun hubungan seseorang dengan Tuhan, atau yang dianggap Tuhan sangat bersifat pribadi. Inilah yang melahirkan komunitas iman: seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha dll. Beragama tak bisa lepas dari komunitas, karena tak mungkin beragama secara sendiri. Agama selalu punya dimensi sosial atau komunitas. Hal ini sehat sejauh komunitas-komunitas dengan identitas agamawi yang berbedabeda tersebut tidak membangun tembok-tembok pemisah apalagi prasangka dalam hubungan antarmereka. Kita harus berhati-hati dengan pandangan yang memutlakkan dan mengunggulkan dimensi sosial serta meremehkan dimensi individu, dan karenanya jatuh ke dalam kolektivisme. Sebaliknya, ada juga pendapat yang begitu mengutamakan dimensi individu di atas dimensi sosial, dan karenanya jatuh ke dalam individualisme. Sikap yang lebih bertanggung jawab adalah bahwa kita adalah individu dalam kolektivitas, ada keseimbangan antara dimensi individu dan kolektivitas manusia. Individu tidak boleh dikorbankan demi kolektivitas, sebaliknya kolektivitas tidak bisa diabaikan demi individualitas. Kita dipanggil untuk percaya secara individu, namun kita juga terpanggil untuk menjadi orang percaya dalam kolektivitas yang kita sebut Gereja. Kita perlu memerhatikan pertumbuhan dan kepentingan individu, sebaliknya kita juga bertanggung jawab untuk pertumbuhan bersama-sama. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Efesus 4:11-16, setelah itu, ajukanlah beberapa pertanyaan kritis yang timbul. 57 4. Manusia sebagai Makhluk Rasional dan Berbudaya Allah (menurut Alkitab) memberi perintah kepada manusia untuk memerintah, menaklukkan serta memelihara alam semesta., menunjukkan adanya hubungan yang tidak terpisahkan antara manusia dengan alam semesta ini. Inilah yang biasanya disebut sebagai tugas kemandatarisan manusia (manusia sebagai mandataris Allah) dalam arti pelaksana dan wakil Allah dalam memerintah dan memelihara alam semesta ini. Jadi, berbudaya adalah perintah atau mandat yang kita sebut dengan mandat kebudayaan. Mandat itu hanya bisa dilaksanakan karena Tuhan memperlengkapi manusia dengan potensi rasional (kemampuan rasional) yang menjadi salah satu ciri khas manusia dibandingkan dengan makhluk ciptaan yang lain, bahkan dengan binatang paling cerdas sekalipun. Konsisten dengan tugas sebagai mandataris Allah, manusia diperlengkapi oleh Allah dengan potensi rasional dan karena itu dapat berbudaya. Ini juga salah satu keunikan manusia yang membedakan manusia dengan ciptaan yang lain. Bahwa rasionalitas adalah keunikan manusia ternyata dalam fakta bahwa kebudayaan manusia (dalam arti yang sempit) sebagaibuah rasionalitasnya mengalami perkembangan maju, dan perkembangan itu telah membawa kita pada apa yang dikenal dengan zaman ilmu dan teknologi modern (lih. Kej. 1:16-18; Kej. 2:15). Dengan kata lain, kemajuan manusia yang membawa manusia kepada abad ilmu dan teknologi modern adalah konsekuensi logis dari rasionalitas manusia (penciptaan manusia sebagai makhluk rasional), dan itu sesuai dengan kehendak Tuhan. Hanya saja perlu dipertanyakan, untuk apa dan untuk siapa kemajuan kita dalam bidang ilmu dan teknologi modern. Di sinilah berbagai macam isu etis modern muncul yang membutuhkan pemikiran dan pergumulan yang serius. Potensi akal ini sangat mengagumkan sehingga manusia bukan saja dapat menciptakan teknologi modern, tetapi bahkan dapat memecahkan rahasia yang selama ini belum terpecahkan termasuk bepergian ke planet yang lain. Potensi ini juga sangat mengerikan, dan kita telah menyaksikan bahwa potensi akal manusia yang luar biasa dapat menciptakan persenjataan modern dan canggih yang cukup untuk menghancurkan planet bumi kita. Masih ingatkah Anda akan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki? Apa dampaknya? Dapatkah dibayangkan bahwa dahsyatnya potensi rasional manusia itu bisa sangat positif dan bisa juga sangat negatif. Dalam kekristenan, kita mengenal “Hukum Kasih” yakni yang kita sebut “Hukum Utama.” Dalam hukum utama Tuhan Yesus menuntut agar kita “mengasihi Allah dengan segenap hati, dan dengan segenap jiwa, dan 58 dengan segenap akal budi” (lih. Mat.22:37-38). Jadi, potensi rasional manusia dengan segala produk dan hasilnya, perlu dipakai untuk mengasihi Allah juga. Tanpa itu, kita akan berulang kali menyaksikan pemusnahan umat manusia dan peradabannya seperti dalam pemboman Hiroshima dan Nagasaki pada waktu yang lalu. 5. Manusia sebagai Makhluk Etis Secara klasik, Alkitab menggambarkan bahwa manusia diberi “hukum” (nomos) oleh Allah dalam bentuk larangan memakan buah pohon pengetahuan hal yang baik dan jahat. Silakan Anda mengamati dan menafsirkanKej. 2:17. Setelah itu, ajukanlah beberapa pertanyaan kritis yang timbul. Nomos ini menempatkan manusia pada persimpangan jalan ketika ia dapat memilih di antara dua alternatif. Dua alternatif itu adalah ketaatan atau pelanggaran terhadap nomos (dapat juga berarti berbuat yang baik atau jahat). Kesempatan untuk memilih ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk memilih dari dua alternatif yang diperhadapkan kepadanya. Dengan kata lain, manusia tidak secara determinatif harus memilih salah satunya. Memang ada pandangan yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa berbuat lain kecuali mengikuti nalurinya. Ajaran Kristen mengedepankan adanya pilihan yang bebas, dan hanya karena adanya pilihan bebas itulah manusia tidak saja bertanggung jawab atas pilihannya tetapi juga diminta mempertanggungjawabkan pilihannya itu. Sebab tanpa pilihan bebas, manusia tidak dapat dituntut untuk bertanggung jawab. Kesadaran untuk membedakan yang baik dan yang jahat menunjuk kepada hakikat manusia sebagai makhluk etis. Ajukanlah beberapa pertanyaan kritis Anda yang berkenaan dengan manusia sebagai makhluk etis! Bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk etis berarti manusia mempunyai kesadaran etis: kesadaran untuk membedakan mana yang baik dari yang buruk, yang benar dari yang salah, dan yang bertanggung jawab dari yang sebaliknya. Manusia tidak hanya dilengkapi dengan kesadaran etis, tetapi juga dilengkapi dengan kebebasan untuk memilih dari alternatif baik dan buruk, benar dan salah, bertanggung jawab dan tidak bertanggung jawab. Hanya apabila manusia mempunyai kebebasan etis (memilih secara etis), manusia dapat dituntut pertanggungjawaban etis. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa manusia adalah makhluk etis dalam arti sebagai berikut. Pertama, manusia mempunyai kesadaran etis yakni kesadaran untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang 59 bertanggung jawab dan yang tidak bertanggung jawab. Kedua, manusia mempunyai kebebasan etis yakni memilih secara bebas dari alternatif di atas. Ketiga, manusia mempunyai pertanggungjawaban etis, yakni bertanggung jawab atas pilihannya. Sumber: http://www.dreamstime.com/royalty-free- stock-images-wrong-right-ethical-question- Untuk sementara kita dapat menarik beberapa simpulan dari uraian tersebut. Dari deskripsi tentang hakikat manusia di atas, kita dapat memahami mengapa Kitab Kejadian 1:31 mengatakan “Maka Allah melihat segala yang dijadikanNya itu, sungguh amat baik….” Dari deskripsi tersebut kita juga dapat menarik simpulan bahwa pada dasarnya manusia ditempatkan oleh Allah dalam hubungan multidimensional (hubungan yang berdimensi banyak): yaitu dengan Allah, sesama manusia, diri sendiri, dan dengan alam semesta. Karena manusia juga adalah makhluk etis, setiap dimensi hubungan itu mempunyai konsekuensi dan tanggung jawab etis. Ada tuntutan dan tanggung jawab etis manusia dalam hubungannya dengan Allah, sesama, diri sendiri, dan alam semesta. Dari sini, kita mencoba menarik suatu “ultimate principle” yang berhubungan dengan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus dalam merangkum berbagai hukum dan kebajikan dalam suatu prinsip pokok: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu ... Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat.22:37, 39b). Dengan memerhatikan ajaran Tuhan Yesus seperti tertulis dalam kitab-kitab Injil dan ajaran para rasul, kita dapat juga merumuskan 60 kedua hukum kasih dengan satu hukum saja: kasih kepada Allah melalui kasih kita kepada sesama dan alam ciptaan Tuhan. Tuhan Yesus mengidentifikasikan dirinya dengan mereka yang menderita, telanjang, sakit dan dalam penjara (lih. Mat. 25:31-46). Rasul Yohanes malah mengatakan bahwa mereka yang mengatakan mengasihi Allah tetapi membenci saudaranya (sesamanya) adalah suatu kebohongan (lih. 1 Yoh. 4:20). Dalam Perjanjian Lama, Nabi Mikha mengecam ibadah kepada Tuhan yang tak disertai dengan berlaku adil terhadap sesama manusia. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Mikha 6:1-8. Setelah itu, ajukanlah beberapa pertanyaan kritis yang muncul! Kita hidup dalam suatu dunia yang penuh dengan kontradiksi. Bagaimana mungkin dunia dan manusia yang digambarkan begitu luar biasa di atas, ternyata dalam kenyataan hidup kini penuh dengan peperangan, kekerasan, yang dimotivasi oleh keserakahan, pementingan diri, dan kebencian? Hal ini membawa kita kepada pokok antropologi lain yakni bahwa manusia, menurut kesaksian Alkitab adalah makhluk berdosa. Yang dimaksudkan paradoks adalah pada satu sisi penciptaan manusia sebagai makhluk religius, sosial, rasional dan berbudaya serta etis menunjukkan sisi keagungan manusia dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain. Kitab Kej. 1:31 mengatakan: “maka Allah melihat segala sesuatu yang dijadikan- Nya itu, sungguh amat baik.” Pada sisi yang lain, kita juga belajar atau menyaksikan dan bahkan mengalami sendiri sisi-sisi kelam dari kehidupan manusia. Berapa perang yang terjadi karena alasan agama atau ideologi? Berapa banyak koruptor di tanah air ini yang tega memperkaya diri dan membuat orang lain menderita? Berapa banyak orang tamak yang hanya menumpuk kekayaan sendiri kalau perlu dengan eksploitasi orang lain atau alamini? Apakah kata-kata Mahatma Gandi masih mempunyai arti: “the earth provides enough for everybody’s need but not for everybody’s greed.” Kita umumnya tahu juga apa yang baik yang seharusnya kita lakukan tetapi kita tidak berdaya melakukannya bahkan yang sebaliknya yang kita lakukan (lih. Rm 7: 21-24). Inilah paradoks kehidupan manusia. Lalu bagaimana menjelaskannya? untuk membedakan yang baik dari yang jahat, yang benar dari yang salah, serta memiliki kebebasan untuk memilih melakukan yang baik atau yang jahat. Hal-hal ini adalah kemampuan-kemampuan yang bersifat netral dan terdapat pada pengalaman manusia. Semua yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia dan baik. Lebih dari 61 itu, manusia juga mempunyai kemajuan yang mengagumkan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat mempermudah hidup manusia, dan menjadikan hidupnya lebih manusiawi. Anehnya pada sisi lain, manusia juga dihadapkan pada berbagai permasalahan akibat berbagai ulahnya sendiri yang tidak bertanggung jawab. Paradoks ini membawa kita kepada pertanyaan mengapa? Banyak jawaban diberikan oleh berbagai disiplin ilmu pengetahuan, maupun filsafat, termasuk juga agama. Dalam kekristenan dipercayai bahwa paradoks ini terjadi karena manusia telah jatuh ke dalam dosa (lih. Kej. 3). Silakan Anda mengumpulkan informasi dari buku-buku dan sumber belajar yang lain yang menunjukkan bahwa paradoks ini terjadi karena manusia telah jatuh ke dalam dosa. Dosa dipahami bukan sekadar pelanggaran moral, tetapi sikap memberontak kepada Allah, yakni menolak otoritas Allah yang menentukan tujuan hidup manusia. Dosa dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap kehendak Allah seperti tercermin dalam hukum utama-Nya. Dosa memang mengandung konsekuensikonsekuensi etis dan moral dalam berbagai dimensi hubungan manusia: dalam hubungan dengan sesama, diri sendiri, dan alam semesta. Inilah yang sering kali disebut sebagai persoalan-persoalan etis yang rumit dan menentukan kelangsungan hidup planet bumi dan masyarakat kita. Memang dosa mengambil bentuk dalam dosa pribadi tetapi juga dosa sosial. Dalam tradisi agama, lebih banyak ditekankan dosa pribadi dibandingkan dengan dosa sosial. Kita perlu mengakui dosa-dosa pribadi kita dan juga dosa kolektif atau sosial. Dosa pribadi seperti ketamakan dapat membawa konsekuensi penderitaan sesama, namun dosa sosial berupa sistem dan struktur yang tidak adil bahkan lebih merusak dan membawa konsekuensi yang lebih berat bagi lebih banyak orang. Silakan Anda mengumpulkan informasi lebih lanjut mengenai contoh-contoh dosa pribadi dan sosial! Karena hakikat manusia sebagai makhluk sosial, dosa tidak dapat dibatasi hanya sebagai dosa pribadi/individu, tetapi juga harus dipahami sebagai dosa sosial. Gregory Baum dalam Religion and Alienation, mengartikan dosa sosial dalam kaitan dengan pelakunya: yakni kolektivitas suatu kelompok, suatu komunitas, suatu umat. Jadi, yang dia maksudkan dosa sosial ialah dosa yang dihasilkan tanpa sengaja atau pilihan bebas. Dosa tersebut menghasilkan konsekuensi yang jahat tetapi pelakunya tidak merasa bersalah dalam pengertian yang biasa. Jadi, dosa sosial dilakukan karena kebutaan/ketidaksadaran kolektif. Orang terlibat dalam tindakan destruktif tanpa menyadarinya. 62 Masyarakat mampu tetapi tidak membayar pajak, merupakan salah satu bentuk dosa sosial yang dapat merusak tatanan ekonomi negara. Sumber: poskotanews.com Dalam kaitan itu, Baum (1975, 201) juga mencoba mendeskripsikan dosa sosial dalam berbagai level atau tingkatan. Tingkatan pertama dari dosa sosial terdiri atas kecenderungan-kecenderungan yang tidak adil dan tidak manusiawi (dehumanizing) yang terbangun dalam berbagai institusisosial, politis, ekonomi, agamawi, yang merupakan perwujudan dari kehidupan kolektif manusia. Pada saat kita melakukan pekerjaan harian, kita memenuhi kewajiban-kewajiban kita, kecenderungan yang destruktif yang terbangun dalam institusi kita, akan merusak semakin banyak orang dan akhirnya menghancurkan kemanusiaan kita. Kejahatan sosial ini bisa saja berjalan terus tanpa benar-benar disadari. Konsekuensinya, butuh waktu yang lama untuk disadari. Tingkatan kedua dari dosa sosial mengambil bentuk simbol-simbol kultural dan agamawi, yang hidup dalam imajinasi dan didukung oleh masyarakat, yang membenarkan serta memperkuat (reinforce) lembaga-lembaga (institutions) yang tidak adil, dan karena itu memperburuk kerugian/ kerusakan terhadap banyak orang. Lagi-lagi dalam hal inipun kita tak menyadari akibatnya. Tingkatan ketiga, dosa sosial merujuk kepada kesadaran palsu yang diciptakan oleh institusi-institusi dan ideologi-ideologi yang digunakan umat untuk melibatkan diri mereka secara kolektif, dalam tindakan-tindakan destruktif seolah-olah mereka melakukan hal yang benar. Kesadaran palsu ini 63 meyakinkan kita bahwa kejahatan yang kita buat adalah justru hal yang baik untuk menjaga tujuan demi kesejahteraan bersama. Menurut Baum, contoh-contoh dari masyarakat kita sendiri misalnya orientasi “achievement” (pencapaian/kesuksesan) dari budaya dominan, spiritnya yang individualistis dan kompetitif, dan juga arogansi kolektif tentang pemahaman diri sendiri bersama dengan rasismenya. Sudah tentu kesadaran palsu ini ada atau mengambil bentuk dengan intensitas yang bermacammacam derajatnya, mulai dari identifikasi total dengan tren dominan dari masyarakat, termasuk semua efek sosialnya, ke pembuatan jarak yang semakin lebar dengan tren-tren tadi serta kesadaran yang semakin bertumbuh tentang ketidakadilan di dalamnya. Pada tingkat inilah perlawanan kita terhadap dosa sosial mulai. Banyak ahli mengkaitkannya dengan kritik ideologi, atau dalam bahasa Freire, konsientisasi. Secara kristiani, di sini, bilamana seseorang terbuka pada pekerjaan Roh Kudus, dia dimampukan untuk menyadari dan berpaling dari ketidakadilan yang terjadi tanpa sadar di dalam masyarakatnya. Pada level tiga inilah terjadi pertobatan menurut Baum. Tingkatan keempat, pada tingkat ini dosa sosial terdiri dari keputusankeputusan kolektif, yang diperkuat oleh kesadaran yang didistorsi, yang meningkatkan ketidakadilan dalam masyarakat dan memperkuat kekuasaan dari tren-tren dehumanisasi. Keputusan-keputusan kolektif oleh parlemen, atau pengurus yayasan baik sekuler maupun agamawi, tampaknya seolah didasarkan pada pilihan bebas. Dosa dapat mengambil bentuk secara sosial dan struktural, misalnya dengan berbagai ketidakadilan yang ada dalam berbagai tatanan sosial kemasyarakatan dalam bidang ekonomi, politik, kebudayaan, hubungan antaragama, dan lain-lain. Cobalah Anda diskusikan pemahaman tentang dosa sosial ini, serta berilah contoh-contohnya pada setiap level dalam konteks masyarakat kita atau komunitas iman kita! Silakan Anda mengumpulkan informasi lebih lanjut dari buku-buku dan sumber belajar yang lain mengenai contoh-contoh dosa sosial pada setiap level dalam konteks masyarakat kita atau komunitas iman kita dan dampak dari dosa sosial. Bagaimanakah Anda membangun argumen bahwa hubungan yang rusak tadi dapat diperbaiki dan dibaharui? Argumen di bawah hanyalah sekadar contoh saja. Yang lebih penting Anda sendiri membangun argumen Anda sendiri 64 berdasarkan pemahaman Anda tentang karya penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus! Alkitab tidak mengakhiri kesaksiannya dan meninggalkan manusia dalam kegelapan yang tidak berpengharapan. Alkitab menyaksikan bahwa ada pengharapan akan kemungkinan restorasi hubungan-hubungan yang telah rusak oleh dosa. Konsisten dengan kepercayaan akan Allah sebagai penyelamat dan pembaharu, kekristenan percaya akan penyelamatan dan pembaharuan relasi dengan Allah melalui Kristus dan Roh-Nya. Keselamatan tidak boleh dipahami hanya bersifat individual dan di seberang sana tetapi juga dipahami secara sosial, dan berlaku kini dan di sini. Orang Kristen terpanggil untuk menolak berbagai ketidakadilan dalam tatanan sosial (sosial, ekonomi, politik) dan memperjuangkan adanya keadilan di dalamnya sehingga ada perdamaian. Coba Anda baca 2 Korintus 5:18-21! Bagaimanakah perbaikan hubungan itu terjadi? Inisiatif siapakah yang utama? Apa dampak pendamaian dengan Allah terhadap tanggungjawab kita untuk tugas pendamaian yang dipercayakan Tuhan kepada kita? Apa saja dimensi dari pendamaian itu? Silakan Anda membangun argumen yang solid bahwa manusia dimungkinkan untuk membaharui hubungan dengan Allah, sesama dan alam ciptaan. Salah satu aspek yang penting dalam membicaraan manusia dan hakikatnya adalah manusia dan pengharapannya. Akhir-akhir ini ada tekanan yang kuat tentang dimensi pengharapan baik dalam pemikiran filosofis maupun dalam teologi. Maksudnya adalah hakikat manusia harus dikaitkan dengan pengharapannya. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang berharap akan masa depan yang lebih baik. Karena itu perlu mencari deskripsi mengenai tekanan ini dalam dua tokoh penting yakni orang ateis seperti Ernst Bloch dan orang beriman seperti Jurgen Moltman. Ernst Bloch seorang filsuf ateis berpendapat bahwa manusia hidup dalam suatu dunia yang sedang menjadi, yang belum terjadi. Karena itu, selalu ada kemungkinan baru. Manusia pada dirinya sendiri adalah makhluk dengan bermacam kemungkinan (creature of possibility). Ia dapat menciptakan dunia yang lebih baik bagi dirinya dan dia sendiri menjadi keberadaan yang lebih baik tanpa batas (McDonald 1981, 123-124). 65 Teolog ternama Jurgen Moltman dengan Theology of Hope dipengaruhi oleh prinsip pengharapan dari Bloch. Teologi-teologi yang lebih awal memandang penggenapan dari pengharapan eskatologis melulu merupakan tindakan dan karunia Allah. Moltman justru sebaliknya memberi tempat kepada peranan Sumber:http://grannymountain.blogspot.com/2010/0 manusia untuk mewujudkan 7/future-past-or-present.html pengharapan eskatologis tersebut, bukan saja pada dunia di seberang sana, melainkan juga kini dan di sini. Artinya, bahwa pengharapan eskatologis tidak hanya menyangkut keselamatan jiwa saja di seberang sana, tetapi juga perdamaian, keadilan, kebebasan dari penindasan harus diusahakan diwujudkan kini dan di sini meskipun penyempurnaannya adalah karya Tuhan. Jadi, pengharapan itu menjadi kekuatan penggerak sejarah untuk mewujudkan apa yang diharapkan kini dan di sini atau dalam bahasa Moltman “membawa masa depan yang diharapkan ke masa kini.” Tentu saja pengharapan itu tidak melulu dengan kekuatan dan kehebatan manusia tetapi dalam persekutuan dengan Tuhan. Bila tidak, pengharapan Kristen akan menjadi ideologis secara peyoratif (negatif) bagaikan candu bagi mereka yang menderita ketidakadilan. Silakan Anda mengomunikasikan pemikiran Anda terhadap pandangan Ernst Bloch dan Jurgen Moltman. Kita telah menelusuri, menanya dan menggali dari berbagai sumber khususnya sumber Alkitab dan tradisi teologi Kristen mengenai siapakah manusia dalam pandangan Kristen. Singkatnya dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dikaruniai hakikat sebagai makhluk religius yang selalu sadar akan adanya kodrat ilahi. Manusia juga sebagai makhluk sosial yang selalu berorientasi kepada sesama. Hal ini seharusnya membuat kita melihat sesama sebagai sesama dalam hubungan antar subjek bukan subjek dengan objek dan bebas dari dominasi. Manusia juga adalah makhluk rasional yang berbudaya dan perkembangan kebudayaan sudah mencapai tingkatnya 66 yang sangat canggih, namun rentan dipakai secara salah. Karena itu, harus dipakai secara bertanggungjawab karena memang manusia adalah juga makhluk etis. Namun dosa membuat keagungan manusia ternodai, dan membawa dampak rusaknya relasi dengan Tuhan, sesama, diri sendiri serta alam yang tampak dalam berbagai patologi sosial dan alam. Kabar baiknya adalah bahwa manusia dimungkinkan hidup dalam relasi yang diperbaharui oleh karena penyelamatan Allah dalam Kristus dan Roh Kudusnya. Sebagai makhluk yang mempunyai pengharapan, pengharapan kepada Allah harus menjadi kekuatan penggerak sejarah untuk mewujudkan apa yang diharapkan kini dan di sini meski diakui tidak akan sempurna karena penyempurnaan adalah karya dan anugerah Tuhan. Buatlah suatu puisi atau syair yang menggambarkan kepercayaan Anda tentang siapakah manusia itu berdasarkan kesaksian Alkitab! Carilah contoh sebanyak mungkin mengenai pokok-pokok ajaran tentang manusia dari perspektif Alkitab atau Kristen. Presentasikan di depan kelas! 67 BAB IV ETIKA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER KRISTIANI Setiap hari dan setiap saat dalam kehidupan yang sadar, kita selalu dihadapkan dengan berbagai pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tentu saja pilihan-pilihan tersebut terjadi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti makan apa, pakai apa, belajar apa, pergi ke mana dan sebagainya. Dari berbagai pilihan tersebut, tidak semua pilihan berkaitan dengan masalah etika, tetapi bisa jadi berkaitan dengan selera, kesukaan dan atau yang lain. Tidak dapat disangkal bahwa banyak sekali pilihan yang kita hadapi adalah pilihanpilihan dalam bidang etika yakni berkaitan dengan apa yang baik, benar, bertanggungjawab atau sebaliknya. Pilihan dan keputusan etis tentu saja sangat penting dalam kehidupan manusia karena bukan hanya berkaitan dengan kepentingan diri sendiri, Sumber: melainkan juga berkaitan dengan http://thepropheticbooksofbible.org/allkepentin gan orang banyak yang aboutchristianity/ bible-study-lesson-on-fruit-of-the-spirit lain dan bahkan berkaitan dengan kelestarian alam lingkungan hidup. Apalagi bagi mereka yang mempunyai jabatan publik, keputusan dan kebijakannya sangat menentukan kehidupan banyak orang, dan karenanya tuntutan dan pertimbangan etis sangat penting. 68 Pejabat publik yang amanah selalu membuat kebijakan pembangunan yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat karena dana pembangunan diperoleh dari rakyat melalui pajak (Sumber: finance.detik.com) Seorang ahli etika yang bernama David W. Gill mengatakan bahwa kini kita hidup dalam suatu masa yang sulit ketika orang tidak sepakat mengenai apa yang baik dan buruk, bukan saja di kalangan akademisi, filsuf, tetapi juga pada akar rumput. Dalam ketidaksepakatan itu muncullah saling menyerang dan menyalahkan bahkan dengan cara- cara yang kasar (Gill 2000, 12-13). 69 Karena itulah, perlu pengkajian yang lebih saksama apa sesungguhnya yang baik dan benar, dan bagaimana hal itu terbangun dalam diri kita menjadi karakter. Karakter menjadi sangat penting bukan saja bagi individu dan keluarganya, tetapi juga bagi masyarakat dan bangsa. Bangsa yang kuat hanya mungkin, bilamana karakter masyarakatnya juga kuat termasuk pemimpinnya. Dalam bab ini kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan etika dan moralitas, serta karakter kristiani. Sesudah mempelajari bab ini Anda diharapkan mencapai beberapa tujuan pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah (i) mengembangkan sikap kasih kepada Tuhan sebagai Pencipta, Penyelamat, Pemelihara dan Pembaru ciptaan-Nya; (ii) menumbuhkembangkan sikap sabar, tangguh dan pembawa damai; (iii) menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dalam kepelbagaian agama, suku dan budaya; (iv) bersikap peduli terhadap sesama manusia; (v) bersikap jujur dan adil dalam kehidupan bermasyarakat; (vi) bersikap terbuka untuk bekerja sama dengan semua pihak dalam rangka mendatangkan kebaikan bersama; (vii) menjelaskan hubugan iman Kristen dengan etika/moralitas dan karakter Kristiani; serta (viii) menyajikan hasil telaah tentang hubungan iman Kristen dengan moralitas dan karakter Kristiani. Hal-hal yang dibahas dalam bab ini adalah pengertian etika dan moralitas, teori-teori yang berkaitan dengan bagaimana orang membangun nilai sebagai standar atau norma menilai perilaku dan motivasi manusia, berbagai macam pengelompokkan etika berdasarkan sumber normanya, hubungan antara pandangan tentang manusia dan nilai moral, prinsip utama dalam etika Kristen, dan keputusan etis dalam kasus yang bersifat dilematis. Bagian kedua yang sama pentingnya adalah pengertian karakter, hubungan karakter dan moralitas, dan elemen karakter (character traits) yang perlu dibangun. Silakan Anda mengamati dan menilai pengertian etika dan moralitas yang terdapat dalam buku-buku etika! Apa pengertian etika dan moralitas? Kata etika berasal dari bahasa Yunani ethos dan ‘ethos atauta ethika dan ta ‘ethika. Kata ethos berarti kebiasaan atau adat dan tentu saja yang sesuai kebiasaan dan adat dianggap baik. Sedangkan ‘ethos dan ‘ethikos lebih berarti kesusilaan, 70 perasaan batin, atau kecenderungan hati yang menyertai seseorang terdorong untuk melakukan suatu perbuatan (Verkuyl 1993, 15). Kata etika muncul pertama kali dalam buku Etika Nikomachea yang dikarang oleh Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani. Buku tersebut memuat kaidahkaidah perbuatan manusia. Dari buku itu, kata etika menjadi istilah teknis khusus untuk “ilmu pengetahuan yang mempelajari/menyelidiki soal kaidahkaidah dalam rangka mengukur perilaku dan perbuatan manusia.” Untuk mendefinisikan apa itu etika, ada baiknya terlebih dahulu dibedakan antara pertimbangan etis dan nonetis. Bilamanakah suatu pertimbangan itu berkaitan atau tidak berkaitan dengan etika. Sebagai contoh pertimbangan dan keputusan seseorang untuk memilih makan nasi goreng atau KFC didasarkan pada pertimbangan etis? Bisa ya, bisa tidak. Tidak merupakan pertimbangan etis bila tindakan itu semata-mata didasarkan pada pertimbangan selera. Jadi, seseorang yang memilih makan nasi goreng dan bukan KFC tidak bisa kita adili, apakah dia itu baik atau jahat. Bila pertimbangan untuk makan nasi goreng dan bukan KFC didasarkan pada pertimbangan kesehatan, karena menjaga kesehatan, tindakan itu adalah tindakan yang dianggap bertanggungjawab. Dengan contoh ini, jelaslah bahwa pertimbangan dan keputusan etis adalah pertimbangan dan keputusan yang terkait dengan masalah baik, benar atau bertanggungjawab atau sebaliknya. Pertimbangan nonetis adalah pertimbangan yang didasarkan bukan pada pertimbangan baik, benar, bertanggungjawab atau tidak, melainkan didasarkan pada, misalnya: selera makan atau mode pakaian dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan ungkapan “sikap/tindakan etis dan tindakan yang tidak etis.” Keduanya adalah sikap dan tindakan yang didasarkan pada pertimbangan etis. Yang pertama bermakna bahwa sikap dan tindakannya itu baik secara etis, sedangkan yang kedua adalah sikap dan tindakannya itu tidak baik secara etis. 71 Apakah penilaian etis itu hanya sebatas perilaku yang kelihatan? Bagaimana suatu tindakan yang kelihatannya baik tetapi didorong oleh motivasi menginginkan pujian atau motivasi tersembunyi yang bersifat egoistis? Masihkah kita menilai perilaku yang kelihatan itu suatu hal yang baik jika akhirnya ketahuan bahwa motivasinya hanya ingin mencari pujian atau mempunyai kepentingan pribadi? Tentu saja tidak. Apa yang dinilai baik, tidak sebatas terhadap perilaku yang kelihatan saja melainkan juga motivasi yang mendorong perilaku itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kaitan ini, masih perlu dibedakan lagi antara istilah baik dan benar sebab baik dan benar tidak selalu berkonotasi etis. Misalnya dalam ungkapan bahwa “apel ini masih baik” atau dalam ungkapan “2+2= 4 adalah benar” keduanya tidak ada konotasi etis. Dengan demikian, disimpulkan bahwa penilaian dan pertimbangan etis itu selalu berkaitan dengan penilaian atau pertimbangan mengenai baik, benar, bertanggungjawab atau sebaliknya, tentang perilaku dan motivasi manusia. Karena itu, sebagai ilmu, etika didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari nilai- nilai atau norma-norma sebagai dasar untuk menilai perilaku dan motivasi manusia itu dikatakan baik, benar, bertanggungjawab atau sebaliknya. Definisi lain yang diberikan oleh Albert Schweitzer yakni “etika adalah nama yang kita berikan kepada keprihatinan kita untuk perilaku yang baik. Kita merasa suatu kewajiban untuk mempertimbangkan bukan saja kesejahteraan diri kita sendiri, namun juga orang-orang lain bahkan masyarakat manusia secara keseluruhan” (Ryan dan Bohlin1999, ix). Dimensi studinya yang serius tidak ditampakkan, namun saya yakin bahwa ada dimensi itu apabila seseorang sungguh prihatin. Pandangan Gill mungkin lebih menolong karena ia membedakan antara an ethic dengan ethics dalam bahasa Inggris. Maksudnya an ethic ‘suatu etika’ (yang sama dengan suatu moralitas) adalah “a working set of guidelines concerning what is good and bad (or evil), right and wrong, sedangkan maksud ethics (or moral philosophy) is the serius study of such guidance and its justification (Gill 2000,12). Silakan Anda mengamati dan menilai perbedaan antara definisi etika yang dikemukakan oleh Albert Schweitzer dan Gill! Gill membedakan “suatu etika” (suatu etika atau moralitas) sebagai suatu perangkat penuntun tentang apa yang baik dan buruk/jahat, benar dan salah, sedangkan studi yang serius terhadap penuntun itulah disebut etika (ethics atau disebut juga moral philosophy). Penulis lebih suka menyebut “an ethic” sebagai “suatu sistem etika” seperti sistem etika Kristen, sistem etika Hindu, sistem etika Buddha, sistem etika Islam (sistem etika-sistem etika teologis), begitu pula sistemetika yang bersumber dari 72 filsafat. Masing-masing sistem etika sudah tentu mempunyai seperangkat penuntun (guidelines) untuk menilai tentang apa yang baik atau jahat, yang benar atau yang salah, yang bertanggungjawab atau sebaliknya. Sumber: http://thepastwithanewoutfit.wordpress.co m/2010/12/26/golden-rule/ Dalam sistem etika Kristen, ada sangat banyak perangkat penuntunnya, meskipun dapat juga didasarkan pada “prinsip utamanya” atau “golden rule” (kaidah kencananya) saja. Silakan Anda mengamati dan menilai sistem etika Kristen yang berlaku hingga dewasa ini! Silakan Anda mengajukan beberapa pertanyaan kritis yang berkenaan dengan cara manusia membangun norma untuk membuat penilaian moral! Misalnya, bagaimanakah caranya manusia membangun kaidah atau norma penilaian moral? Pertanyaan seperti ini sebenarnya telah menggiring kita untuk studi yang lebih serius tentang “penuntun” penilaian moral. Pada bagian kedua kita telah memasuki wilayah etika sebagai ilmu atau disebut filsafat moral. Bila manusia tidak bisa tidak harus melakukan penilaian moral atau etis, dari manakah norma penilaian itu? Atau, bagaimanakah norma itu dibangun? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut pembicaraan beralih pada beberapa teori dalam rangka pembangunan kaidah atau norma penilaian etis. Beberapa akan kita bahas dalam bagian ini. Bila etika sebagai ilmu mempelajari norma-norma sebagai ukuran untuk menilai secara etis (menilai baik, benar dan bertanggungjawab), pertanyaannya adalah bagaimanakah orang membangun normanya/penilaian etisnya? Dalam kaitan itu maka ada dua kategori teori yang berbeda yakni yang oleh filsuf moral disebut teori teleologis dan teori deontologist (Wagner1991, 1-13). 73 1. Teori Teleologis Teori Teleologis adalah teori yang berpendapat bahwa kebaikan atau kebenaran itu ditentukan oleh tujuan yang baik (telos = tujuan). Jadi, kalau seseorang mempunyai tujuan yang baik yang mendorong suatu tindakan apapun tindakan itu pasti dinilai baik, melulu karena tujuannya baik. Namun muncul pertanyaan: tujuan yang baik untuk siapa? Untuk pelakunya kah atau untuk orang banyak? Dalam hal ini ada dua subteori lagi yakni yang dinamakan etika egoisme (egoism ethics) dan etika universalisme (universalism ethics). Etika egoisme berpendapat bahwa tujuan yang baik adalah bagi pelakunya (orang itu sendiri atau setidaknya kelompoknya). Walaupun tujuan yang baik untuk diri sendiri atau kelompoknya tidak selalu jahat atau buruk, teori ini bisa melahirkan suatu sistem etika yang disebut “hedonisme” yakni kenikmatan hidup dengan prinsip nikmatilah hidup ini selagi masih hidup, besok Anda akan mati dan tidak ada apa-apa lagi yang bisa dinikmati. Teleologis > Kebaikan/Kebenaran = Tujuan Baik Etika universalisme adalah teori etika yang berpendapat bahwa kebenaran/kebaikan itu ditentukan oleh tujuan yang baik untuk jumlah terbesar. Misalnya kebijakan-kebijakan pemerintah untuk kepentingan orang banyak bisa mengorbankan kepentingan pribadi dan jumlah orang yang lebih sedikit. Kita ingat akan proyek waduk Kedung Ombo, juga dengan penalaran seperti di atas. Kita mendapatkan contoh sistem etika utilitarianisme (utility) seperti yang dikembangkan oleh John Stuart Mill, yakni yang berprinsip bahwa tindakan yang terbaik yang membawa dampak atau kegunaan bagi jumlah terbesar itulah yang dinilai baik, benar dan bertanggungjawab (prinsipnya the greatest good for the greatest number). 74 2. Teori Deontologis Teori Deontologis pada prinsipnya berpendapat bahwa suatu tindakan itu baikbila memenuhi kewajiban moral (deon=kewajiban). Untuk teori inipun terbagi dua bagian lagi berkaitan dengan kewajiban itu siapa yang menentukan? Kalau kewajiban itu ditentukan oleh aturan-aturan yang sudah ada (darimana pun datangnya) teori itu disebut sebagai “deontologis aturan” (rule deontologist). Untuk itu, kebanyakan etika yang bersifat legalistik yang didasarkan pada legalisme, termasuk dalam teori ini. Apakah etika-etika keagamaan yang sangat legalistis bisa dimasukkan dalam kategori ini? Namun ada juga yang berpendapat bahwa kewajiban ditentukan bukan oleh aturan yang sudah ada melainkan oleh situasi/keadaan, teori ini disebut “deontologis tindakan” (act deontologist). Dalam hal ini kita mendapatkan contoh sistem etika yang dikenal dengan nama etika situasi (situation ethics) yang dikembangkan oleh Joseph Fletcher. Pertanyaan untuk didiskusikan: bagaimanakah sistem etika keagamaan yang Anda anut, masuk dalam kategori manakah? Di manakah letak etika Kristen dalam kerangka teori di atas? Apakah orang Kristen dalam proses pertimbangan dan penilaian etis mendasarkan diri pada tujuan atau pemenuhan kewajibankewajiban moral/etis? Kalau berdasarkan tujuan yang baik, maka kebaikan untuk siapakah? Kalau berdasarkan pemenuhan kewajiban moral, darimana kah datangnya kewajiban moral itu? Apakah dari aturan-aturan moral yang sudah ada (dari manapun datangnya) atau dari situasi tertentu? Silakan Anda mengajukan beberapa pertanyaan kritis yang lain. Cobalah analisis contoh kasus-kasus berikut ini dengan menggunakan teoriteori di atas dan buatlah kesimpulan atau penilaian etis atas kasus tersebut! Kasus 1: Pada masa kekuasaan Nazi, orang-orang Yahudi dikejar-kejar untuk dimusnahkan. Cory ten Boom seorang Kristen yang saleh menyembunyikan beberapa orang Yahudi di rumahnya. Ketika tentara Nazi mendatangi rumahnya 75 dan bertanya apakah ada orang Yahudi berdiam di tempat tinggalnya? Ia dihadapkan dengan pertimbangan moral dan harus membuat keputusan moral. Ia memilih untuk berbohong meskipun ia ingat betul salah satu dari Dekalog (10 Perintah yang merupakan acuan moral orang Kristen) adalah larangan: ”janganlah menjadi saksi dusta.” Menurut hemat Anda apa yang menjadi dasar pertimbangan moral Cory ten Boom dalam membuat keputusan etisnya? Apakah ia mendasarkan diri kepada tujuan yang baik atau pemenuhan kewajiban moral yang ditentukan oleh hukum-hukum yang sudah ada seperti kesepuluh hukum Tuhan dalam dekalog tersebut? Contoh Kasus 2: Dilema Heinz dalam penelitian Lawrence Kohlberg Berikut adalah versi cerita yang sudah diringkas dan dimodifikasi untuk keperluan diskusi kita. Ada satu pasang keluarga yakni keluarga Heinz, orangnya sederhana saja. Istrinya menderita sakit yang sulit diobati, dan tinggal menunggu waktu. Di kota yang sama, hiduplah seorang apoteker atau tukang obat yang berhasil menemukan sejenis obat yang bisa mengobati penyakit yang diderita oleh istri Heinz melalui kerjakeras dan penelitiannya. Heinz dengan harap-harap cemas berusaha membeli obat itu, namun harganya tidak terjangkau oleh Heinz. Walaupun ia sudah berusaha dengan berbagai cara, si apoteker tidak rela memberi obat itu untuk istri Heinz. Lalu dalam keputusasaan dan didorong oleh kecintaan kepada sang istri, ia akhirnya mencoba mencuri obat itu dan tertangkap, lalu dipenjara. Coba diskusikan: siapakah yang salah dalam kasus ini? Tentu saja ada hukum negara yang melarang mencuri bukan? Apakah sikap Heinz salah karena berusaha menyelamatkan sang istri tercinta? Apakah sang apoteker benar mempertahankan harga obat yang mahal itu karena telah berkorban meneliti dan membuatnya? Adakah prinsip- prinsip yang lebih utama yang dipakai Heinz untuk membenarkan tindakannya? Apakah ada prinsip mendasar yang barangkali diabaikan oleh si apoteker dalam menentukan sikapnya? Cobalah eksplorasi pertanyaan-pertanyaan kritis lain yang berhubungan dengan kasus tersebut. Kedua contoh disebut sebagai keadaan dilematis. Suatu keadaan ketika seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama mempunyai konsekuensi melanggar aturan atau norma yang berlaku, namun orang harus memilih salah satu dari antaranya. Banyak contoh pilihan etis tetapi tidak 76 berada dalam situasi dilematis. Contoh kasus ke-3 berikut ini akan mencoba menolong Anda untuk melihat sisi lain dari moralitas dan karakter. Contoh Kasus 3: Osceola McCarthy, seorang tukang laundry yang pensiun Osceola McCarthy menjadi agak terkenal pada tahun 1995 di Amerika Serikat, pada usianya yang ke-87 tahun, ketika seseorang dari Universitas Southern Missisippi menceritakan apa yang ia perbuat. McCarthy, seorang tua dan miskin Amerika yang berasal dari Afrika telah memberikan tabungannya selama bertahun- tahun menjadi tukang cuci pakaian yang berjumlah US$ 150,000 atau setara dengan 1,5 milyar rupiah kepada universitas tersebut. Tujuan donasinya kepada universitas tersebut adalah untuk mendukung beasiswa bagi mahasiswa Amerika yang berasal dari Afrika. Ia menabung satu sen dari upahnya mencuci dan mengeringkan pakaian untuk para ningrat di daerahnya, dan ia ingin menolong orang-orang muda dalam komunitasnya. Ia mengatakan kepada pejabat universitas, ”I am giving my savings to the young generation ... I want them to have an education” (Ryan and Bohlin: 1999, 3). Luar biasa bukan? McCarthy tidak mempunyai pendidikan formal yang cukup, karena waktu kelas 6 SD ia meninggalkan sekolah untuk merawat tantenya yang sakit. Ia juga menolong ibu serta neneknya dalam bisnis cuci pakaian di belakang rumah. Ketika tantenya sudah sehat kembali, ia merasa bahwa kembali ke sekolah sudah tak pantas lagi karena pastilah ia kelihatan lebih besar dari kawan-kawan sekelasnya. Ia kemudian menjadi pembantu dalam bisnis cuci pakaian itu, bangun bersama terbitnya matahari, dan bekerja hingga tenggelamnya matahari. Dunianya hanya terdiri dari tiga, yakni tempat cucian/bak air, papan seterika, dan Alkitabnya. Tidak pernah menikah dan tidak mempunyai anak. Ketika menderita arthritis, McCarthy memutuskan untuk memberikan kesempatan yang tidak ia dapatkan. Ia berkata saya harus bekerja keras sepanjang hidupku agar mereka dapat memiliki kesempatan yang tidak saya miliki. Beasiswa McCarthy diberikan kepada lulusan sekolah menengah yang tidak bisa melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi. Pemberian McCarthy telah memberi inspirasi begitu banyak orang untuk melakukan tindakan kemurahhatian, tetapi beberapa orang jadi bingung. Ia selalu ditanya mengapa ia tak menggunakan tabungannya untuk dirinya sendiri? Ia menjawab secara sederhana, “aku telah menggunakannya bagi diriku.” Dari katakatanya kita bisa menafsirkan bahwa dengan menyumbangkan tabungannya bagi mereka yang kurang beruntung, ia telah menemukan makna hidupnya, dan dengan begitu, ia bahagia. Kasus ini benar-benar terjadi. Kesempatan menggunakan uangnya cukup besar, tetapi uang itu ia sumbangkan untuk mengambil kembali kesempatannya yang hilang dengan memberi kesempatan bagi orang lain untuk tidak menjadi seperti dia. 77 Anda dapat menanya secara kritis prinsip apakah yang menuntun keputusannya? Darimanakah prinsip itu ia dapatkan dan kembangkan dalam hidupnya? Apa hubungan iman dan moralitas serta karakter di sini? Topik etika dan moralitas yang dibahas di atas selalu berkaitan dengan karakter kristiani karena berhubungan dengan sifat/karakter individu dan komunitas yang membentuknya. Di bawah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai karakter tersebut. Today’s students are tomorrow’s leaders and citizens. If the schools educate the students to be young people of high character, our country will eventually become a nation of high character” (Ryan dan Bohlin 1999, xi). Kutipan ini ingin menunjukkan bahwa karakter itu sangat penting, bukan hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat bahkan bangsa. Karena itu, kita perlu menggali dan mengkaji karakter, hubungan karakter dengan iman dan Etika Kristen, serta bagaimana membangun karakter. Silakan Anda mengumpulkan banyak informasi dari berbagai buku dan sumber belajar yang lain mengenai pengertian karakter, hubungannya dengan iman dan Etika Kristen serta bagaimana membangun karakter. Apakah karakter itu? Mengapa karakter itu penting? Inilah beberapa pertanyaan awal kita. Gill adalah seorang yang dengan teliti mencoba menggali dari berbagai sumber apa itu karakter dan juga menunjukkan hubungan antara karakter dan iman Kristen. Sumber: http://qbq.com/3-traits-of-accountablepeople/ 78 Mengapa kita melakukan hal yang kita lakukan? Ini suatu pertanyaan penting dan kompleks. Pilihan-pilihan kita tentang baik dan buruk mempunyai sejumlah faktor penyumbang: misalnya kondisi mental dan psikologis kita. Kalau kita sedang stres, kita berbicara dan bertindak lain dibandingkan waktu kita tidak stres. Lingkungan sosial banyak berperan dalam keputusan dan tindakan etis kita. Hubungan-hubungan masa lampau kita juga bisa memengaruhi kita, begitu pula orang-orang sekitar kita bisa memberi tekanan atau mendukung yang pada gilirannya memengaruhi kita. Kadang kita juga mengatakan pikiran-pikiran jahat selalu membisikkan kepada kita untuk melakukan sesuatu, atau sebaliknya Tuhan mengatakan agar kita melakukannya (Gill,2000:27). Sebelum lebih jauh dibicarakan tentang karakter, perlu diperhatikan beberapa konsep penting berikut ini: prinsip-prinsip (principles), nilai-nilai (values) dan kebajikan-kebajikan (virtues). Silakan Anda mengumpulkan informasi sebanyak mungkin yang dapat menunjukkan dengan jelas perbedaan antara prinsip-prinsip (principles), nilai- nilai (values) dan kebajikan-kebajikan (virtues). Manakala seseorang melakukan sesuatu yang secara moral terpuji atau sebaliknya, perhatian orang tertuju kepada prinsip-prinsip moral mereka (apakah tinggi, rendah atau tidak ada). Prinsip-prinsip moral diartikan sebagai pernyataan singkat (brief statement) yang berfungsi sebagai penuntun tindakan yang menentukan hal benar apa yang harus dilakukan (atau sebaliknya yang tak boleh dilakukan). Pada dasarnya prinsip- prinsip bersifat luas, umum, dan inklusif seperti halnya apa yang sering disebut sebagai kaidah kencana (Do unto others as you would have them do unto you). Sama seperti engkau suka orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah itu kepada orang lain, kata Yesus (lih. Luk.6:31). Contoh lain adalah “principle of utility” (Do what results in the greatest happiness for the greatest number). Akan tetapi, masalah dalam pengambilan keputusan etis ini tidak terletak pada kurangnya prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang baik. Mereka yang korupsi uang rakyat dari pajak atau membunuh orang yang tak berdosa pasti juga tahu perintah jangan mencuri dan jangan membunuh. Karena itu menurut Gill, kalau ada orang yang baik seperti Mother Theresa dll., mungkin prinsip-prinsip yang baik saja tak cukup menjelaskan mengapa mereka melakukan apa yang dilakukan. Di mana-mana kita menyaksikan kemerosotan prinsip- prinsip moral dalam berbagai tindakan manusia, namun ada banyak bukti pula bahwa memiliki prinsip-prinsip moral tidak dengan sendirinya akan menuntun kepada pelaksanaannya. Menurut Gill, ada sesuatu yang lebih mendasar daripada sekadar prinsipprinsip: yaitu karakter. Prinsip cenderung melayang-layang di atas eksistensi kita seperti formula- formula yang terpisah dari diri kita. Kita berkonsultasi 79 dengan mereka; kadang juga terkait dalam ingatan kita. Prinsip tidak selalu diaplikasikan terhadap situasi konkret. Dibutuhkan motivasi dan upaya keras untuk mengingat, menafsirkannya, dan menerapkan serta menghidupi prinsip-prinsip tersebut. Pada sisi lain, karakter Anda selalu ada bersama Anda, selalu secara segera hadir dalam situasi apapun. Kekuatan karakter dapat menolong membawa kita melalui situasi-situasi saat kita tidak dapat mengingat suatu prinsip pun. Jadi, apakah karakter itu? Bill Hybels, seorang pendeta, mengatakan karaktermu adalah “siapa Anda ketika tidak seorangpun melihatmu,” maksudnya adalah bahwa Anda harus tetap jujur bahkan ketika tidak seorangpun tahu apa yang Anda lakukan. Misalnya, Anda tidak akan mengambil barang bukan milik Anda meskipun tidak seorangpun tahu bahwa Anda yang mengambilnya, karena karakter Anda selalu bersama Anda, yakni karakter kejujuran itu. Kita baru mengatakan seseorang itu jujur, bukan karena ia tahu dan memiliki prinsip kejujuran, melainkan karena ia mempraktikkan kejujuran dan telah menjadi pola hidupnya. Karakter adalah apa dan siapa kita tanpa orang lain melihat kita atau tidak. Karakterku adalah orang macam apa saya (siapa saya). Ada macam-macam karakter: fisik, emosional, intelektual, dll. Yang terutama adalah karakter moral (moral character). Mungkin, suatu latihan yang baik, kalau kita membayangkan apa kata orang kelak pada saat penguburan kita. Bukan gelar, harta yang mereka katakan tetapi karakter kita, bahwa kita seorang yang murah hati suka menolong atau orang akan mengatakan kita sangat pelit. Kedua, nilai-nilai (values). Konsep lain yang perlu kita bahas dalam upaya memahami apa itu karakter dan pembentukannya, adalah konsep mengenai nilai-nilai (values). Sekali lagi perhatian kita dalam bagian ini adalah tentang karakter moral dan etis. Suatu cara modern untuk berbicara tentang etika kita adalah bertanya “apa saja nilai- nilai” kita. Apakah yang kita jawab tentang nilai-nilai kita? Atau, nilai-nilai apa saja yang secara aktual menuntun kita (meskipun implisit dan tidak dianalisis)? Istilah nilai- nilai (values) ini menunjuk kepada fakta bahwa kita menganggap atau memandang atribut-atribut tertentu dari karakter kita sebagai “layak” (penting) bagi kita, sebagai hal yang kita setujui. 80 Sumber: http://onapitupulu70.wordpress.com/2013/05/21/pendidikan- karakter-berbasis-nilainilai-kristiani-3/ Persoalan kita dengan bahasa nilai-nilai (values), bukanlah pada apa yang kita katakan melainkan pada apa yang tidak kita katakan. Ia menyungguhkan sisi yang subjektif dari isu (walau adalah penting untuk menghargai beberapa atribut karakter). Namun ia mengesampingkan pertanyaan apakah “nilai-nilai saya ini” adalah layak dianut, dan secara aktual memang baik. Kita juga harus mencatat fakta bahwa kita mengambil dari suatu istilah ekonomi (value), dan menerapkannya secara total kepada isu-isu karakter. Hal ini menunjuk kepada konsumerisme dari perspektif kita dan bahwa hal ini tidak terlalu menggembirakan. Ketiga, kebajikan-kebajikan (virtues). Menurut Gill lebih baik menggunakan bahasa nilai-nilai secara terbatas saja, dan berusaha menemukan kembali bahasa klasik yang penting: virtues (kebajikan-kebajikan). Pada waktu lalu umum untuk berbicara tentang atribut atau ciri (trait) dari karakter yang baik sebagai virtues (kebajikan- kebajikan) sedangkan karakter yang buruk disebut dengan vices (sifat buruk). Virtues berasal dari bahasa Latin virtus yang secara harfiah berarti sesuatu seperti “power” (kekuatan/kuasa). Jadi, virtues pada dasarnya bukan sekadar values (nilai-nilai) yakni ciri-ciri (traits) yang kita rasakan berguna/layak, tetapi kekuatan-kekuatan yang merupakan kemampuan yang riil untuk mencapai sesuatu yang baik. Silakan Anda 81 mengumpulkan informasi yang lain sebanyak-banyaknya dari berbagai buku dan sumber belajar yang lain mengenai pengertian kebajikan-kebajikan. Dari perspektif kebajikan ini, pertanyaannya yang muncul adalah “apa saja kekuatan-kekuatan (virtues) yang perlu dikembangkan untuk mencapai suatu kehidupan yang baik? Sebenarnya, menurut Gill, sebelum istilah Latin virtus sudah ada konsep Yunani yang disebut arête (yang oleh orang Romawi diterjemahkan dengan virtus). Karena itulah para filsuf moral menterjemahkan “the ethics of character” (etika karakter) sebagai “aretaic ethics” (etika aretaic). Sedangkan arête dalam bahasa Yunani mungkin paling baik diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai excellence ‘keunggulan‘. Keunggulan ini bukan keunggulan dalam semua hal, melainkan hanya keunggulan dalam terang tujuan yang sudah ditentukan. Karena itu, virtue sebagai arête ‘keunggulan’ merujuk kepada kekuatan-kekuatan dan kemampuan-kemampuan yang kita miliki–bukan semua kekuatan dan kemampuan, melainkan hanya yang memungkinkan kita mencapai secara unggul tujuan-tujuan kita. Dapat juga dikatakan bahwa virtues adalah keterampilan yang dibutuhkan untukmencapai tugas kehidupan (yang baik). Ketika kebajikan-kebajikan seperti itu terjalin dalam karakter kita, kebajikan-kebajikan itu tidak menjadi sekadar komponen-komponen pengalaman hidup kita tetapi sudah menjadi kebiasaan-kebiasaan, kecenderungan-kecenderungan, dan watak-watak yang terus-menerus. Ketika bermacam- macam tantangan muncul, kita tidak hanya berkonsultasi dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai, tetapi kita sudah mempunyai kecenderungan dan keinginan untuk bereaksi dengan kebaikan, keadilan, atau dengan kebajikan-kebajikan lain yang tepat- kita juga telah memeroleh keterampilan dan kemampuan untuk bertindak dengan cara yang tepat. Kembali lagi kepada pertanyaan awal: apakah sesungguhnya karakter itu? Ryan dan Bohlin mencoba dengan cara yang agak beda menjelaskan tentang apa itu karakter. Dengan mengutip Exupery yang mengatakan “It is only with the heart that one seesrightly; what is essential is invisible to the eye.” Dari kutipan itu mereka berdua ingin mengatakan bahwa karakter adalah satu dari hal-hal yang esensial tersebut. Karakter adalah salah satu dari katakata yang biasa kita dengar, tetapi yang sulit dijelaskan. Seperti halnya semua hal abstrak, kita tak bisa melihat, menjamah, maupun merasakannya. Bilamana kita berada di dekat seseorang yang mempunyai karakter yang baik, kita bisa menyadarinya (Ryan 1999, 5). 82 Kata bahasa Inggris “character” berasal dari bahasa Yunani charassein yang berarti ’mengukir, memahat ‘seperti tindakan mengukir pada lempengan lilin, batu permata, atau permukaan logam. Dari akar tersebut, berkembanglah arti karakter sebagai suatu tanda atau petunjuk yang khusus, dan dari situ bertumbuhlah konsepsi bahwa karakter adalah pola perilaku individu yakni keadaan moralnya. Setiap manusia ditandai oleh berbagai campuran khas antara hal-hal negatif, kesabaran, kelambanan, keprihatinan, kebaikan dan sejenisnya. Menurut Ryan dan Bohlin, suatu karakter yang sudah tetap– misalnya karakter yang baik–jauh melebihi sekadar pola perilaku dan kebiasaan bertindak yang tetap. Mereka menyimpulkan bahwa karakter yang baik adalah sifat mengetahui apa yang baik, mencintai yang baik, dan melakukan apa yang baik. Ketiganya secara dekat berhubungan. Kita lahir dengan orientasi yang berpusat pada diri sendiri, dan tidak tahu apa-apa di mana dorongan-dorongan primitif kita menguasai penalaran kita. Semua upaya pendidikan dan pengasuhan adalah untuk membawa kecenderungan, perasaan, dan cita-cita dalam harmoni dengan penalaran. Untuk mengetahui yang baik, tibalah pada pemahaman akan yang baik dan jahat. Tindakan ini berarti mengembangkan kemampuan untuk menilai situasi, dan secara sadar memilih hal yang benar untuk dilakukan dan melakukannya. Inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagai penalaran praktis (practical reason). Ini tidak hanya bijaksana mengatur waktu tetapi juga menentukan prioritas, dan memilih dengan baik dalam semua bidang kehidupan. Mencintai yang baik berarti mengembangkan suatu perasaan dan emosi moral yang penuh, termasuk mencintai apa yang baik dan membenci yang jahat, termasuk suatu kemampuan untuk berempati dengan orang lain. Ini adalah masalah menyukai untuk melakukan yang baik. Mencintai yang baik memungkinkan kita menghargai dan mengasihi meski kita tahu tindakantindakannya salah. Ia mengizinkan kita mencintai orang yang berdosa dan membenci dosanya. Melakukan yang baik berarti, bahwa setelah pertimbangan yang teliti dan sungguh-sungguh atas semua keadaan dan fakta-fakta yang relevan, kita mempunyai kemauan untuk berbuat/bertindak. Dunia kita penuh dengan orang-orang yang tahu hal benar apa yang harus dilakukan, tetapi kurang sekali kemauan untuk melakukannya. Mereka tahu apa yang baik, tetapi tak dapat menghantar mereka kepada melakukan yang baik. 83 Pertanyaannya adalah apakah yang baik? Kebudayaan sangat majemuk dan pendapat orang mengenai yang baik itu juga kadang majemuk, walaupun ada tumpang tindihnya di sana sini. Semua budaya mempunyai semacam bentuk “golden rule” (Ryan dan Bohlin 1999, 6-7). Biasanya apa yang baik melampaui batas-batas budaya dan bahkan batas-batas agama. Namun dari perspektif Kristen, yang baik adalah yang dikehendaki Tuhan. Apa yang dikehendaki Tuhan? Sangat banyak dan tersebar dalam seluruh Alkitab. Intinya adalah “kasih” atau mengasihi karena itulah hukum utama dan pertama. Apa artinya mengasihi itu? Tentu saja masih membutuhkan penjelasan. Bisa juga kita katakan bahwa hukum kasih yakni “mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri” (lih. Mat. 22:37-40) adalah prinsip utama dan terdalam. Hal ini masih bisa dijabarkan secara lebih spesifik seperti dalam kata-kata Tuhan Yesus dalam Lukas yang mengatakan: “sama seperti kamu suka orang lain perbuat kepadamu, maka perbuatlah itu kepada orang lain.” Bagaimanakah hubungan antara iman dan etika Kristen dan karakter Kristen? Hubungan di antara ketiganya sangat erat dan bahkan menyatu. Iman Kristiani, bilamana dipahami dengan betul, tidak hanya menyangkut kepercayaan dalam arti kognitif, sebagai pengakuan intelektual kita mengenai kebenaran dari yang kita percayai. Iman Kristiani juga mencakup pengertian mempercayakan diri kepada yang dipercayai dan membangun sikap dalam hubungan dan komitmen dengan yang dipercayai. Pada akhirnya, pengetahuan dan sikap saja tidak cukup untuk mewujudkan iman Kristiani itu. Kita perlu melakukan apa yang kita percayai dan kita ketahui bahwa hal itu baik. Tuhan Yesus setelah selesai membasuh kaki para murid-Nya, menantang mereka dengan pertanyaan: mengertikah mereka akan apa yang sudah dilakukan-Nya? Dan tanpa menunggu jawaban mereka, Tuhan Yesus langsung melanjutkan dengan kata-kata berikut ini: “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu” (Mat. 7:24). Intinya jelas bahwa karakter Kristen tidak hanya terbatas pada tahu apa yang baik, tetapi juga mempunyai kecintaan, dan keinginan melakukannya, serta melakukannya dalam tindakan nyata. Berkali-kali Alkitab mempertegas hal ini, misalnya dalam Yakobus 2:26 yang mengatakan bahwa “sama seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikianpun iman tanpa perbuatan adalah mati.” Di 84 sini seolah-olah iman dan perbuatan dipisahkan, mungkin saja iman dalam arti tahu apa yang baik. Gill kembali lagi menegaskan perlunya memahami konsep “hati” di dalam Alkitab. Bagi mereka yang percaya akan Alkitab sebagai Firman Tuhan, “hati” adalah pusat yang mengontrol kehidupan seseorang. Tuhan Yesus mengatakan, “sebab dari dalam, dari hati orang timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, irihati, hujat, kesombongan, kebebalan. ”Semua hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang (lih. Markus 7:21-23). Karena itu, kita butuh hati yang baru, cara pandang baru, yang berasal dari Allah dan diasuh oleh firman-Nya serta didukung oleh komunitas orang berkarakter baik, sehingga seseorang terbangun karakter Kristianinya. Hati kita adalah hakikat paling inti dari keberadaan kita, dari jiwa kita, dan menjadi pusat yang mengontrol karakter kita. Hati menjadi sumber mata air dari motivasi-motivasi dan perilaku kita. Anda dapat melihat betapa dekat hubungannya dengan karakter kita. Dalam membangun dan membangun kembali karakter kita, hati kita harus terkait dengan hati baru, dan hidup baru yang dijanjikan Allah. Bagaimanakah pembangunannya? Inilah yang kita sebut pendidikan karakter. Tanggungjawab siapakah pendidikan karakter itu? Pertama, dari sudut pandang manapun, terutama teologis, pendidikan karakter adalah tanggungjawab utama dan pertama dari orang tua, karena setiap anak pada umumnya terlahir dalam keluarga, dan dipercaya anak sebagai karunia Tuhan. Karena itu, orang tua lah penanggungjawab utama untuk pendidikan karakter bagi anak-anaknya. Kedua, secara tradisional, komunitas agamawi juga bertanggungjawab terhadap pendidikan karakter umatnya. Fungsi agama, antara lain, sebagai penuntun moral, termasuk karakter moralnya. Di sinilah dipertanyakan apakah keluarga maupun komunitas iman benar-benar telah menjalankan tanggungjawab ini? Apa hambatan dan halangannya? Coba Anda diskusikan dengan rekan Anda, apa yang salah dengan keluarga dan Gereja sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap pendidikan karakter. Apa solusi yang Anda hendak berikan? Ketiga, sekolah bertanggung jawab terhadap pendidikan karakter. Belakangan ini, sekolah diingatkan untuk mengerjakan tanggungjawab ini khususnya 85 masyarakat Amerika yang sudah menjadikan pendidikan karakter sebagai suatu gerakan nasional. Seperti sudah dikatakan sebelumnya, bahwa karakter adalah “tahu apa yang baik, mencintai apa yang baik, serta melakukan apa yang baik”. Pendidikan karakter adalah upaya sengaja untuk menolong naradidik di dalam konteks manapun untuk mengetahui apa yang baik, mencintai apa yang baik serta maumelakukan apa yang baik itu. Sudah dikatakan bahwa suatu kebajikan itu baru akan menjadi kebiasaan bilamana hal-hal itu sudah terjalin dalam pengalaman kehidupan. Jadi, untuk menjadi orang berkarakter baik dibutuhkan pembiasaan, pengajaran dan dorongan. Pembiasaan itu hanya bisa terwujud bilamana para pendidik apakah orang tua, pemimpin umat, dan guru dapat menjadi teladan yang berwibawa dan bisa menegakkan disiplin dan kebiasaan yang baik. Di sinilah dibutuhkan dukungan komunitas karakter. Keluarga, sekolah dan gereja/komunitas agamawi dapat menjadi komunitas karakter. Hal ini hanya bisa terjadi bila keluarga, sekolah/universitas, serta komunitas agamawi mempunyai budaya berkarakter: adil, memberi perhatian, disiplin, terbuka, dll. Pendidikan agama hanyalah salah satu unsur kecil dalam keseluruhan budaya suatu komunitas keluarga, gereja dan sekolah. Alangkah baiknya bila ketiga pilar tadi bekerjasama secara sinergis sehingga karakter anak didik benarbenar terbangun. Ingat bahwa dunia melalui berbagai industri budaya dan hiburan/mainan menawarkan dan membangun karakter anak-anak muda tetapi karakternya yang bertentangan dengan kebajikan yang dianut keluarga, sekolah dan gereja. Sumber: http://ethicalframeworks.wikispaces.com/ Ethical+Frameworks Berbicara tentang etika, yang akan dibicarakan adalah sistem etika yakni sistem etika Kristen, sistem etika Islam, sistem etika Hindu, sistem etika Buddha, atau sistem etika filsafati seperti utilitarianisme, positivisme dan sebagainya. Fokus tulisan ini adalah etika Kristen. Etika Kristen yakni ilmu yang mempelajari norma-norma atau 86 nilai-nilai yang digunakan oleh orang Kristen untuk menilai tindakan dan motivasi manusia itu dapat dikatakan baik, benar, dan bertanggungjawab atau sebaliknya. Untuk itu, acuannya adalah kitab suci Alkitab yang dipercayai sebagai standar bagi kepercayaan dan perilaku/motivasi orang Kristen. Apakah etika Kristen itu masuk dalam kategori teleologis atau deontologis? Atau keduanya? Apakah Alkitab langsung memberi hukum-hukum dan aturan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh? Ataukah pernyataan Alkitab hanya memberi prinsip umum yang harus diaktualisasikan dalam situasi yang konkret? Misalnya, menghadapi masalah nilai kesetaraan gender, dari bagian manakah nilai kesetaraan gender itu diambil? Tentu tidak ada hukum kesetaraan gender, tetapi prinsipnya ada yakni bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan menurut gambar-Nya dan mereka diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan. Karena keduanya diciptakan segambar dengan khaliknya, manusia laki-laki maupun perempuan setara dan sederajat, jadi ada kesetaraan gender (equality=kesamaderajatan manusia laki-laki dan perempuan). Kesetaraan dalam harkat, martbat dan hak-hak paling asasi, dan tidak dimaksudkan setara atau sama dalam segala fungsi. Laki-laki tentu tidak bisa mengandung dan melahirkan, mengandung dan melahirkan adalah kodrat perempuan dan tidak ada kaitannya dengan perbedaan derajat. Dekalog/sepuluh perintah Tuhan memuat larangan-larangan dan bisa dianggap sebagai hukum-hukum. Kalau dibaca dari kaca mata Perjanjian Baru, dekalog tetap merupakan acuan moral dan karakter orang percaya. Walaupun Tuhan Yesus memperbaharuinya dengan mengatakan bahwa hanya ada satu hukum utama yakni hukum kasih, baik kasih kepada Allah dan dan kasih kepada sesama manusia (atau lebih akurat dikatakan: kasih kepada Allah melalui kasih kepada sesama dan pemeliharaan terhadap ciptaan Allah). Inilah jiwa dari sepuluh hukum dalam dekalog tersebut. Tanpa kasih, ketaatan terhadap kesepuluh hukum itu akan kehilangan roh dan justru bisa mengorbankan esensinya yakni kasih. Setiap sistem etika ada prinsip utamanya (ultimate principle). Demikian pun dalam sistem etika Kristen ada prinsip utamanya: yakni prinsip kasih. Silakan Anda memberikan argumentasi Anda yang memperlihatkan kesetujuan Anda bahwa prinsip utama dalam sistem etika Kristen adalah kasih! Kasih lebih dari sekadar tidak melakukan kepada orang lain apa yang tidak kita suka orang lain lakukan kepada kita, melainkan terutama sebuah prinsip “sama seperti kita suka orang lain lakukan kepada kita demikianlah juga kita melakukan kepada orang lain” (lih. Lukas 6:3). Jadi, kaidah kencana itu bisa kita ambil dari Matius 87 22:37-40 tentang Hukum Kasih (prinsip kasih) dan Lukas 6:31 sebagai prinsip umumnya. Keduanya tidak hanya prinsip yang abstrak di luar diri manusia melainkan harus ditumbuhkembangkan sehingga terjalin dalam pengalaman keseharian manusia. Itulah yang menjadi dasar karakter Kristiani. Kasih adalah melakukan apa yang terbaik bagi yang dikasihi. Kasih tanpa syarat, bukan kasih karena…, melainkan kasih walaupun…. Bila etika adalah ilmu yang mempelajari norma-norma sebagai ukuran untuk menilai perilaku dan motivasi manusia apakah baik atau tidak, pertanyaan yang muncul adalah dari manakah sumber norma manusia itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua kategori jawaban. Pertama, dari Allah atau yang dianggap Tuhan. Kedua, dari manusia sendiri melalui kontrak sosial atau penalarannya. Berikut ini adalah deskripsi tentang etika teologis dan filsafati. Amatilah perbedaan antara etika teologis dan filsafati dalam uraian berikut. Setelah itu, Anda diminta untuk mengomunikasikan perbedaan antara etika teologis dan filsafati dengan menggunakan kata-kata Anda sendiri di kelas. 1. Etika Teologis Etika teologis adalah sistem etika yang sumber normanya dipercayai berasal dari Tuhan atau setidak-tidaknya lahir dari asumsi-asumsi teologis baik tentang Tuhan dan manusia yang sumber utamanya dari kitab suci masingmasing agama. Pernyataan- pernyataan dari kitab suci masing-masing agama itu masih perlu ditafsirkan dalam konteks dan sejarahnya agar menemukan arti serta nilai-nilai yang bisa dijadikan norma perilaku dan motivasi manusia. Etika Kristen, etika Islam, etika Hindu, etika Buddha, dll. termasuk dalam kategori etika teologis. Memang cara orang percaya menggunakan kitab suci untuk menyimpulkan nilai moral sebagai norma etis berbeda antara satu orang/kelompok dengan orang/kelompok lain. Walaupun demikian, tidak dapat disangkal bahwa dari berbagai etika teologis itu banyak sekali nilai-nilai yang tumpang tindih atau sama. Mengapa demikian? Bisakah Anda memberi penjelasan berupa deskrispsi yang memadai? Menurut Anda, adakah masalah ketika seseorang menganut suatu sistem etika yang sumber normanya dipercayai berasal dari Tuhan? Berilah contoh dalam deskripsi atau jawaban Anda! Mungkinkah seseorang dapat melakukan kesalahan/pelanggaran serius 88 melulu karena yakin bahwa nilai moralnya dari Tuhan dan diterapkan secara harafiah tanpa memahami konteksnya dulu maupun sekarang? Bagi sistem etika Kristen, acuan utamanya adalah pada tokoh dan teladan Kristus sendiri, melalui ajaran-ajaran-Nya terutama melalui contoh kehidupanNya. Karakter yang ideal sesuai kehendak Allah terwujud dan tercermin dalam keseluruhan hidup-Nya. Jadi, apa yang sudah dijelaskan di atas, tidak ada etika Kristen dan karakter Kristen kalau tidak dikaitkan dengan Yesus Kristus baik melalui ajaran-Nya dan teladan-Nya. 2. Etika Filsafati Etika filsafati adalah etika yang dibangun atas dasar pemikiran filsafati manusia maupun berdasarkan kontrak sosial. Etika filsafat ini sudah ada sejak dulu, bahkan setiap kebudayaan melahirkan sistem nilai yang menjadi norma perilaku dan motivasi yang baik. Yang menjadi persoalan, apakah sistem etika teologis/keagamaan tidak membutuhkan sistem etika filsafati atau setidaknya pemikiran filsafati keagamaan, atau sebaliknya? Mungkinkah? Yang masuk dalam kategori etika filsafati adalah positivisme, hedonisme, utilitarianisme dan lain-lain. Dalam kaitan dengan etika filsafati, di manakah letak sistem etika Kristen? Apakah sistem etika Kristen hanya menjadikan kitab suci agamanya (Alkitab) sebagai sumber satu-satunya. Sebagai suatu sistem, dibutuhkan koherensi dan penalaran sehingga pasti butuh penalaran filsafati juga walaupun etika Kristen tidak bisa dikatakan sebagai produk penalaran manusia saja. Bila produk penalaran manusia saja, etika Kristen kekurangan daya pendorong untuk dilakukan. Agama tanpa dimensi etis, moral, dan karakter, hampir tidak ada fungsi yang signifikan bagi kemanusiaan dan dunia ciptaan Tuhan. Agama mungkin hanya berfungsi memberi penghiburan di kala duka, dan pengharapan di kala putus asa sambil menggiring orang masuk surga. Pada bab ini, secara agak panjang lebar telah dibahas etika, moral, dan karakter serta kaitannya dengan iman Kristiani. Walau etika sebagai ilmu mempelajari prinsip-prinsip dan bagaimana prinsip-prinsip tersebut dibangun, etika juga kurang berguna bila suatu sistem etika tidak memberi seperangkat penuntun untuk bertindak konkret. Etika Kristen sebagai suatu sistem memang menjadi seperangkat penuntun untuk bertindak secara moral di tengah-tengah nilai-nilai yang bertabrakan di sana sini yang membuat manusia bingung. Sudah tentu etika Kristen bukan satu89 satunya penuntun yang berlaku di masyarakat karena masing-masing sistem etika menawarkan penuntun. Meski sumber penuntun moral itu adalah Alkitab, dan tersebar di mana-mana, ada prinsip utama yang menjadi Kaidah Kencananya, yakni yang terdapat dalam Hukum Kasih: kasih kepada Allah melalui kasih kepada sesama dan alam ciptaan Tuhan. Bisa juga sumber penuntun moral diambil dari kata-kata Tuhan Yesus: sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka. Pada akhirnya etika dan moralitas harus menunjukkan kebajikankebajikan (virtues) yang kemudian melalui pendidikan membangun karakter kebajikan-kebajikan tersebut terjalin dengan pengalaman keseharian kita. Itulah karakter yang baik, sehingga tujuan pendidikan semula untuk menjadi naradidik “smart and good” menjadi suatu kenyataan yang pada gilirannya menyumbang untuk menjadikan bangsa dan masyarakat ini berkarakter. Coba Anda telusuri bagaimana karakter dari masyarakat kita terutama para pejabat publik, apakah menurut Anda karakter mereka cukup menggembirakan? Ataukah memprihatinkan? Beri alasan atas jawaban Anda! Apakah Anda mempunyai solusi jika hal itu memprihatinkan? Apa solusi Anda? Presentasikan di depan kelas! 90 BAB V HUBUNGAN IMAN KRISTIANI DENGAN ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN SENI Sumber: http://www.blogs.hss.ed.ac.uk/science-and-religion/ Kita hidup pada zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan dalam banyak hal persoalan-persoalan manusia banyak teratasi walaupun masalah-masalah baru terus bermunculan. Kemajuan ilmu pengetahuan juga membawa dampak bagi kehidupan manusia termasuk kehidupan beragamanya. Beberapa negara barat, yang dibangun atas dasar industri, atas dasar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengalami kemerosotan dalam hal kehidupan beragama. Manusia cenderung sulit mengambil sikap yang tepat dalam kaitan antara imannya dan ilmu pengetahuan yang sangat maju. Kita juga hidup dalam suatu dunia saat teknologi telah mencapai kemajuan yang tidak terbayangkan dalam berbagai bidang terutama teknologi komunikasi. Sudah banyak dampaknya baik yang lebih memanusiakan manusia, maupun yang kurang atau tidak memanusiakan manusia. 91 Seni adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia termasuk kehidupan agamawinya. Ada pengaruh timbal baliknya di antara keduanya. Bab ini akan mempelajari bagaimana hubungan iman dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta mencari hubungan yang bermakna di antara ketiganya. Setelah Anda mempelajari bab ini, Anda diharapkan mencapai beberapa tujuan pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah: (i) bersikap rendah hati dan bergantung kepada Tuhan yang diwujudkan antara lain dalam ibadah yang teratur; (ii) berpengharapan akan masa depan yang lebih baik; (iii) berdisiplin dan bertanggung jawab dalam menuntut, mengembangkan, serta menggunakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (iv) menjelaskan tanggung jawab etis kristiani dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; serta (v) menggunakan hasil rumusan tanggung jawab etis kristiani dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Silakan Anda mengamati dan menilai hubungan antara iman dan ilmu pengetahuan dalam sejarah kekristenan dari berbagai buku dan sumber belajar yang lain. Amati juga apa yang menjadi pokok persoalan dalam membahas topik llmu pengetahuan dan teknologi dalam hubungannya dengan pendidikan agama di perguruan tinggi. Pada satu sisi, perguruan tinggi adalah tempat ilmu pengetahuan dan teknologi dipelajari sekaligus dikembangkan. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya untuk menguasainya, namun agar dapat menyumbang baik untuk perkembangan manusia secara pribadi maupun untuk masyarakat secara bersama-sama. Bila ilmu pengetahuan dan teknologi dijadikan salah satu substansi kajian, ada asumsi, bahwa agama memberi sumbangan yang berarti dalam rangka memotivasi manusia untuk mempelajari dan mengembangkannya demi kegunaan bagi manusia dan masyarakat. Selain itu, tantangan terbesar dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bahwa agama bisa menjadi kurang atau tidak relevan lagi dalam memecahkan persoalan hidup manusia dan masyarakatnya. Disadari benar bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dibuktikan secara empiris, dapat saja memerosotkan iman seseorang sehingga tidak percaya lagi pada kebenaran agama bilamana temuan ilmu pengetahuan 92 ternyata berbeda dengan deskripsi Kitab Suci. Singkatnya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi ancaman bagi kehidupan beragama. Jadi, bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi tetap diusahakan berkembang, tetapijuga iman dan takwa manusia dalam kehidupan beragamanya ditingkatkan. Karena itu, haruslah dicari hubungan yang bermakna antara iman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Hubungan yang bagaimanakah di antara keduanya yang dapat dipertanggungjawabkan? Tantangan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi belum begitu terasa di Indonesia. Karena ideologi Pancasila mengasumsikan semua orang percaya kepada Tuhan, secara publik jarang ada orang mempertanyakan eksistensi Tuhan dan kebenaran dari apa yang dianggap penyataan Ilahi dalam kitab-kitab suci keagamaan. Hal ini tidak berarti bahwa secara individual orang tidak secara kritis Sumber: http://www.google.com/iFreligion- andscience.jpg&imgrefurl=d mempertanyakan dasar iman mereka. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional juga secara tegas merumuskan tujuan pendidikan nasional pertama-tama untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan, dan juga memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagaimanakah sifat hubungan antara iman (agama) dan ilmu pengetahuan dalam sejarah (khususnya sejarah kekristenan)? Hubungan yang bagaimanakah yang dapat kita kembangkan agar berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sekaligus meningkatkan keimanan dan ketakwaan manusia kepada Tuhan? Inilah persoalan substansial kajian ini. Sebelum kita menelusuri tipologi hubungan iman dan ilmu pengetahuan menurut Ian Barbour, baiklah secara sederhana dilihat dua tipe hubungan yang terlihat tidak membangun. 93 1. Dominasi Iman/Agama terhadap llmu Pengetahuan/Sains Di Barat, tempat kekristenan berasal, selama berabad-abad lamanya, khususnya selama Abad Pertengahan, dapat disaksikan dominasi iman atas ilmu pengetahuan atau sains. Teologi yang menjadi acuan kehidupan iman orang Kristen, dianggap sebagai ratu ilmu pengetahuan, telah menempatkannya sebagai ukuran kebenaran untuk segala hal, bukan hanya untuk soal iman danetika. Tragisnya, ketika Galileo mengemukakan temuan ilmu pengetahuannya bahwa bukan matahari yang beredar dari timur ke barat, melainkan bumilah yang beredar mengelilingi matahari, gereja sebagai pemegang otoritas kebenaran ajaran teologi menjatuhkan hukuman yang mengerikan terhadap dia. Penemuannya justru dianggap bertentangan dengan deskripsi Alkitab yang ditafsirkan secara literal (harfiah) dan dikenal dengan istilah Biblical Literalism, tanpa memerhatikan konteks budaya ketika Alkitab ditulis. Alkitab ditulis dalam konteks masyarakat agraris dan masih sederhana, dan deskripsi tentang fenomena alam berdasarkan pengamatan sematamata. Secara awam sudah tentu deskripsi bahwa matahari yang beredar mengelilingi bumi adalah hal yang wajar tetapi tentu maksud Alkitab bukanlah untuk memberi deskripsi tentang gejala-gejala alam dan menjadi buku teks ilmu pengetahuan alam. Tujuannya jauh lebih tinggi dari deskripsi seperti itu. Penulis hendak menyaksikan bahwa di balik semua yang ada, ada penciptanya. Suatu pengakuan tentang eksistensi Tuhan dan bahwa Tuhan adalah Allah yang hidup dan bertindak dalam sejarah umat manusia. Silakan Anda amati dan nilai dampak negatif dominasi iman/agama terhadap ilmu pengetahuan/ sains. 94 Untungnya, setelah beberapa abad kemudian Gereja mengakui bahwa hukuman terhadap Galileo Galilei adalah suatu kekeliruan, dan Gereja telah meminta maaf atas hal tersebut. Umumnya, pada masa kini tidak ada yang beranggapan bahwa mataharilah yang beredar mengelilingi bumi dan bukan bumi yang mengelilingi matahari, walaupun tidak berani menolak otoritas Alkitab, karena Alkitab bukan buku teks ilmu pengetahuan. Lalu bagaimana sebaiknya hubungan iman/agama dengan ilmu pengetahuan? 2. Dominasi llmu Pengetahuan terhadap Agama Sejak zaman Pencerahan, dominasi iman atas ilmu mulai dipertanyakan, malahan berkembang menjadi dominasi ilmu atas iman. Tantangan utama atas agama atau iman dalam abad ilmu pengetahuan adalah keberhasilan metode ilmu pengetahuan. Tampaknya ilmu pengetahuan memberikan satusatunya jalan yang dapat dipercaya menuju kepada pengetahuan (knowledge). Banyak orang menganggap sains (ilmu pengetahuan) bersifat objektif, universal, rasional, dan didasarkan pada bukti observasi/pengamatan yang kuat. Sedangkan agama pada sisi yang lain, bersifat sangat subjektif, lokal (sempit skopnya), emosional, dan didasarkan pada tradisi atau sumber kewibawaan yang saling bertentangan satu sama lain. Lama-kelamaan, orang lebih yakin akan metode ilmu pengetahuan, mulai meragukan keyakinannya, dan bahkan meninggalkannya sebagai suatu yang tidak berdasar. Rasio manusia menjadi ukuran atas segala-galanya bukan hanya dalam bidang sains (ilmu pengetahuan) tetapi juga dalam hal-hal yang bersifat imaniah dan kepercayaan. Sebagai akibatnya, para teolog ada juga yang mencoba menyesuaikan pernyataan Alkitab dengan temuan ilmu pengetahuan, dan dengan demikian iman tunduk kepada ilmu pengetahuan. Inilah dominasi ilmu atas iman. Silakan Anda amati dan nilai dampak negatif dominasi ilmu pengetahuan atas iman/agama! 95 Dari dua sifat hubungan di atas, dapat dikatakan bahwa keduanya kurang sehat baik untuk agama dan iman maupun untuk ilmu pengetahuan. Ian Barbour membagi tipe hubungan iman dan ilmu pengetahuan masa sekarang dalam 4 tipe hubungan. Liek Wilardjo telah membuat suatu ringkasan yang sangat baik tentang keempat tipe itu serta menerbitkannya dalam Jurnal Waskita (Wilardjo 2004, 15-29). Menurut Wilardjo, keempat pengelompokkan yang dibuat Barbour itu, dapat disingkat dengan empat (4) P, yakni: Pertentangan (Conflict), Perpisahan (lndependence), Perbincangan (Dialogue), dan Perpaduan (lntegration). Wilardjo lebih jauh menjelaskan makna dari keempat tipologi hubungan iman dan ilmu di atas sebagai berikut. a. Pertentangan (conflict) Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipologi hubungan iman dan ilmu yang pertama, yakni pertentangan. Pertentangan ialah hubungan yang bertentangan (conflicting), dan dalam kasus yang ekstrem mungkin bahkan bermusuhan (hostile). Barbour menunjukkan bahwa contoh historis dari konflik ini adalah kasus Galileo. Lebih jauh dia katakan bahwa pada satu sisi mereka yang menganut Materialisme Ilmiah (pada pihak ilmu pengetahuan) berada pada pertentangan yang tidak terdamaikan dengan mereka dari pihak agama/iman yang menganut Literalisme Alkitabiah. Baik Materialisme IImiah dan Literalisme Alkitabiah percaya bahwa ada konflik yang serius antara ilmu pengetahuan masa kini dengan kepercayaan-kepercayaan agamawi klasik. Keduanya mencari pengetahuan dengan fondasi yang pasti: pada satu sisi berdasarkan pada data logika dan indrawi, sedang pada sisi yang lainnya berdasarkan pada kitab suci yang tidak ada salahnya (infallible scripture). Keduanya mengklaim bahwa baik ilmu pengetahuan maupun teologi membuat pernyataan-pernyataan yang bertentangan tentang hal yang sama, misalnya sejarah dari alam ini, dan seseorang harus memilih salah satunya. Menurut Barbour, keduanya justru mewakili penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Penganut Materialisme Ilmiah mulai dengan ilmu pengetahuan tetapi kemudian berakhir dengan membuat klaim-klaim filosofis yang luas. Sebaliknya, penganut Literalisme alkitabiah bergerak dari teologi lalu membuat klaim-klaim tentang hal-hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Kedua aliran/kubu kurang memberi penghargaan yang memadai kepada perbedaan-perbedaan kedua disiplin ilmu itu. 96 b. Perpisahan (independence) Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipe hubungan iman dan ilmu yang kedua, yakni perpisahan. Perpisahan berarti ilmu dan agama berjalan sendiri-sendiri dengan bidang garapan, cara, dan tujuannya masing-masing tanpa saling mengganggu atau mempedulikan. Ini salah satu cara untuk menghindari konflik atau saling menyalahkan. Masing-masing mempunyai bidang yang berbeda, dan dengan metode yang khas yang dapat dibenarkan atas dasar terminologinya sendiri-sendiri. Pendukung dari pandangan ini berpendapat bahwa ada dua yuridiksi (otoritas) dan tiap pihak tidak boleh campur urusan pihak yang lain, melainkan berurusan dengan urusannya sendiri. Setiap cara inkuiri (penelitian) bersifat selektif dan mempunyai keterbatasan. Perpisahan yang tajam ini dimotivasi atau didorong bukan saja oleh keinginan untuk menghindari konflik yang tidak perlu, melainkan oleh keinginan untuk setia kepada sifat yang berbeda dari setiap bidang kehidupan dan pemikiran. Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa ilmu dan agama mempunyai perspektif yang berbeda atas bidang yang sama, ketimbang bidang penelitian yang berbeda. Apakah ini cara terbaik untuk melihat hubungan keduanya? Pada satu sisi tampaknya cara ini agak aman, namun bagaimanakah seorang ilmuwan yang juga adalah seorang beriman? Mungkinkah cara ini berfungsi? c. Perbincangan (dialogue) Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipologi hubungan iman dan ilmu yang ketiga, yakni perbincangan. Perbincangan ialah hubungan yang saling terbuka dan saling menghormati, karena kedua belah pihak ingin memahami perbedaan dan persamaan antara keduanya. Dalam kategori ini pun ada berbagai kelompok pendapat yang masih ada perbedaan di sana sini. Ada banyak tokoh baik bidang ilmu pengetahuan maupun teologi yang menjadi pendukung dari tipe ini. Salah satu argumen dari tipe ini menurut Barbour ialah adanya kesejajaran metodologis dalam kedua disiplin ini: ilmu pengetahuan dan teologi/iman. Sebelum tahun 1950-an, ada pembedaan yang tajam antara sifat dan metode ilmu pengetahuan dan teologi. Ilmu pengetahuan dikatakan bersifat objektif, yang berarti bahwa teori-teorinya divalidasi dengan kriteria yang jelas, diuji oleh persetujuan data yang tidak dapat dibantah dan bebas teori/nilai. Baik kriteria maupun data ilmu pengetahuan diakui tidak tergantung pada subjek individual, dan tidak dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh budaya. Pada sisi yang lain menurut pendapat itu, agama atau teologi bersifat subjektif karena ada keterlibatan 97 pribadi di dalamnya. Sesudah tahun 1950-an, kontras atau perbedaan yang tajam ini secara berangsur-angsur dipertanyakan. Ilmu pengetahuan tidak seluruhnya objektif, agama tidak seluruhnya subjektif sebagaimana diduga sebelumnya. Memang ada perbedaan-perbedaan dalam tekanan di antara kedua bidang ini, tetapi perbedaannya tidak semutlak seperti yang diduga. Data-data ilmiah didasarkan pada teori/anggapandan bukan bebas nilai. Asumsi- asumsi teoretis ikut bermain dalam menyeleksi, melaporkan, dan menafsirkan apa yang dianggap sebagai data. Lebih lagi, teori-teori tidaklah lahir dari analisis data yang logis, melainkan melalui tindakan imajinasi kreatif kadang-kadang analogi dan model-model memainkan peranan. Model-model konseptual menolong kita membayangkan apa yang tidak dapat diamati secara langsung. Pada sisi yang lain, banyak dari ciri-ciri ini juga dapat ditemukan dalam agama khususnya dalam berteologi. Kalau data agama termasuk pengalaman agamawi, ritus- ritus, dan teks kitab suci, data-data seperti itu bahkan lebih dipengaruhi oleh interpretasi konseptual. Bahasa-bahasa agamawi juga penuh dengan metafora-metafora dan model-model. Sudah jelas bahwa kepercayaan religius tidaklah tunduk terhadap pengujian empiris yang ketat, namun dapat didekati dengan semangat yang sama yang terdapat di dalam penelitian ilmu pengetahuan. Kriteria ilmiah mengenai koherensi, menyeluruh, dan kegunaannya mempunyai kesejajaran dalam pemikiran agamawi. Barbour juga mengutip Thomas Khun yang mengatakan bahwa baik teori-teori dan data dalam ilmu pengetahuan tergantung pada paradigma dari komunitas ilmiah (keilmuan). Khun mengartikan paradigma sebagai suatu kelompok presuposisi (praanggapan) konseptual, metafisik dan metodologis yang terwujud dalam suatu tradisi pekerjaan ilmiah. Dengan paradigma baru, data lama direinterpretasikan dan dilihat dengan cara baru, dan data baru dicari. Dalam memilih paradigma, tidak ada aturan untuk menerapkan kriteria ilmiah. Evaluasinya merupakan suatu tindakan menilai oleh komunitas ilmu (ilmiah). Tradisi agamawi dapat juga dipandang sebagai komunitas- komunitas yang berpegang pada paradigma yang sama. Penafsiran data (seperti pengalaman agamawi dan peristiwa sejarah), bahkan lebih bergantung kepada paradigma dibandingkan dengan ilmu pengetahuan. Banyak cara dan wilayah yang dapat digunakan oleh ilmu pengetahuan dan teologi/iman untuk berdialog satu sama lain yang dapat memperkaya keduanya dalam memenuhi panggilannya untuk memanusiakan manusia, menjaga kelestarian alam semesta, dan pada saat yang sama memperkuat 98 ketakwaan dan keimanannya kepada Allah. Salah satu yang diusulkan adalah mengembangkan spiritualitas yang berpusat kepada alam (nature). Teologi Kristen sebaiknya menjaga keseimbangan antara imanensi Ilahi (Allah) dalam alam, dan pada saat yang sama transendensi Ilahi (Allah) atas alam. Belajar dari ilmu-ilmu sosial khususnya teori sosial kritis, para teolog Pembebasan misalnya mengembangkan teologi yang memberi perhatian kepada ketidakadilan dan dominasi, dan membaca Alkitab secara kritis serta melakukan kritik sosial maupun kritik agamawi khususnya kritik terhadap teologi yang mengalienasi manusia baik dari diri sendiri, sesama, alam semesta, bahkan dari Tuhan. d. Perpaduan (Integration) Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipe hubungan iman dan ilmu yang keempat, yakni perpaduan. Beberapa penulis berpendapat bahwa semacam integrasi antara ilmu dan iman/agama adalah mungkin. Ada tiga versi yang berbeda dari integrasi menurut Ian Barbour. Yang pertama, dalam teologi natural (alamiah), diklaim bahwa eksistensi Allah dapat disimpulkan dari bukti-bukti rancangan dalam alam. Bahwa alam sedemikian teratur menunjukkan adanya suatu perancang di baliknya. Ia tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Ilmu pengetahuan menolong kita untuk lebih menyadarinya. Yang kedua, dalam teologi tentang alam, sumber utama dari teologi terletak di luar ilmu pengetahuan, namun teori-teori ilmiah dapat memengaruhi perumusan ulang dari doktrin- doktrin tertentu dalam agama, khususnya doktrin tentang penciptaan dan hakikat manusia. Yang ketiga, dalam sintesa sistematis, baik ilmu maupun agama, menyumbang untuk pengembangan dari suatu metafisik yang inklusif, seperti dalam filsafat proses. Barbour memberi penjelasan yang panjang lebar dari ketiga macam versi integrasi ilmu dan agama di atas, namun tidak dimuat di sini. Liek Wilardjo menyimpulkan bahwa Barbour berpendapat bahwa “perpaduan” adalah hubungan yang bertumpu pada keyakinan bahwa pada dasarnya kawasan telaah, rancangan penghampiran, dan tujuan ilmu dan agama adalah sama dan menyatu. Perpaduan itu menurut Barbour seperti disimpulkan oleh Wilardjo, dapat diusahakan dengan bertolak dari sisi ilmu (Natural Theology), atau dari sisi agama (Theology of Nature). 99 Tipe manakah yang seharusnya dipakai? Barbour sangat mendukung tipe keempat yakni perpaduan (integrasi) walaupun ia juga pro perbincangan/dialogue. Wilardjo cenderung ke tipe ketiga yakni perbincangan (dialog), karena di antara keduanya ada perbedaan yang menipiskan kemungkinan perpaduan, tetapi juga ada persamaan sebagai dasar perbincangan. Wilardjo tidak menolak tipe perpaduan, dan terbuka terhadap kemungkinan itu, namun menurutnya tidak perlu dipaksakan. Tampaknya memang untuk sementara tipe perbincangan lebih memungkinkan, walaupun kita tetap terbuka pada tipe perpaduan, tetapi tidak perlu dipaksakan. Secara alkitabiah dan imaniah, kita pada satu sisi menerima bahwa ilmu pengetahuan dapat dikembangkan manusia, karena hal ini adalah mandat kebudayaan. Untuk melaksanakan mandat itu Tuhan, memperlengkapi manusia dengan kemampuan rasional dan kemampuan yang lain. Pada saat yang sama, manusia adalah juga makhluk religius dan karenanya agama tidak bisa tidak hadir dalam kehidupan manusia dan menjadi kebutuhan manusia untuk berelasi dengan Tuhan. Karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana kedua potensi itu dipakai untuk membentuk kepribadian yang utuh, dan bagaimana keduanya saling menunjang dan mendukung? Lebih-lebih bagaimana pengembangan ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas demi ilmu itu sendiri tetapi demi kemaslahatan manusia dan kelestarian alam, dan karena dengan demikian kita telah melaksanakan kehendak Tuhan yang telah menciptakan dunia dan isinya dengan perintah untuk mengasihi sesama, dan memelihara alam ciptaan Tuhan. Tujuan akhir agama adalah transformasi manusia dan masyarakat dalam rangka mentaati kehendak Tuhan. 100 Kini kita akan mengalihkan perhatian kita kepada teknologi sebagai aplikasi ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah. Reaksi dan tanggapan terhadap perkembangan teknologi modern dan canggih bermacam-macam. Oleh sebab itu, silakan Anda mengajukan beberapa pertanyaan kritis yang berkaitan dengan manfaat dan dampak negatif teknologi modern. Ada tiga kelompok dalam merespon perkembangan teknologi modern. Kelompok pertama melihat perkembangan teknologi modern sebagai sumber yang memungkinkan standar kehidupan lebih tinggi, meningkatkan kesehatan, dan komunikasi yang lebih baik maupun mudah. Pokoknya, teknologi modern dianggap memberi dampak peningkatan kesejahteraan manusia. Klaim bahwa persoalan apa pun yang diakibatkan oleh teknologi modern pada dirinya sendiri tunduk atau dapat dikontrol oleh solusi teknologis. Kelompok kedua bersikap kritis terhadap teknologi, karena teknologi modern dapat menyebabkan alienasi dari alam, penghancuran lingkungan hidup, mekanisasi dari kehidupan manusia, dan hilangnya kebebasan manusia. Kelompok ketiga berpendapat bahwa teknologi bersifat ambigu, dampaknya bervariasi tergantung pada konteks sosial karena teknologi dirancang dan digunakan, dan menjadi produk maupun sumber dari kekuatan ekonomis dan politis. Terlepas dari bervariasinya respons terhadap teknologi modern, persoalan pokoknya adalah kita hidup di dalam situasi teknologi modern dan kita tidak dapat menghindarinya. Cepat atau lambat, pengaruh dan dampaknya akan dirasakan oleh semua orang. Lebih repot lagi mereka yang tertinggal oleh teknologi akan semakin tertinggal dalam kesejahteraan hidupnya. Bagaimana sikap agamawi (kristiani) terhadap pengembangan maupun penggunaan teknologi modern. Selanjutnya akan dibicarakan pengertian teknologi modern dan diteruskan dengan beberapa tipe respons manusia terhadap teknologi modern dengan mengikuti kategori Ian Barbour. Menurut Eka Darmaputera, tujuan akhir dari sains adalah mengetahui sebanyak-banyaknya tentang dunia dan alam semesta, sedangkan tujuan akhir dari teknologi mengubah dunia dalam arti bagaimana pengetahuan dari sains tadi dapat diaplikasikan dalam peralatan untuk memecahkan masalah (Supardan 1991, 241). Ada yang mengatakan bahwa teknologi adalah aplikasi sains untuk memecahkan masalah manusia. Dalam pengertian itu ada kaitan erat antara ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Tanpa sains tidak mungkin 101 teknologi berkembang, sebaliknya tanpa teknologi, sains menjadi mandul. Teknologi, menurut Darmaputera, tidak pernah cukup dijelaskan hanya dengan kategori-kategori sains saja. Teknologi mengimplikasikan pilihan, dan pilihan menuntut keputusan yang tidak hanya menyangkut aspek ilmiah, namun juga yang berdimensi etis dan religius. Misalnya, secara ilmiah, teknologi kloning dapat diterapkan juga kepada manusia, tetapi apakah seorang ilmuwan/wati boleh melakukan hal tersebut? Ada banyak sekali pertimbangan dalam membuat keputusan apakah seseorang dapat melakukan kloning manusia, dan perdebatan mengenani hal ini masih terus berjalan. Barbour mengutip pendapat ahli yang mengatakan bahwa teknologi dapat didefinisikan sebagai aplikasi dari pengetahuan yang terorganisir kepada tugas- tugas praktis dengan atau melalui sistem-sistem yang tertata, dan mesin-mesin (Barbour 1993, 3). Menurut Barbour ada tiga kekuatan dan keuntungan dari definisi luas ini. Pertama, “organizedknowledge” (pengetahuan yang terorganisir) memungkinkan untuk mencakup teknologiteknologi yang didasarkan pada pengalaman dan penemuan praktis, tetapi juga didasarkan pada teori-teori keilmuan (ilmiah). Kedua, istilah “practical tasks” (tugas-tugas praktis) dapat mencakup baik produksi dari barangbarang materiil (seperti dalam industri dan pertanian), dan penyediaan pelayanan (melalui komputer, media komunikasi, bioteknologi, dan lain-lain). Ketiga, istilah “ordered systems of people and machine” (sistem tertata dari orang-orang dan mesin-mesin) mengarahkan perhatian kita kepada institusiinstitusi sosial maupun perangkat keras teknologi. Luasnya definisi itu juga mengingatkan kita akan adanya perbedaan-perbedaan yang besar di antara berbagai teknologi. Singkatnya teknologi adalah aplikasi ilmu pengetahuan dalam peralatan demi memecahkan masalah. Semua ini terjadi dalam sistem tertata dari orangorang dan mesin-mesin. Menurut Anda masalah-masalah apa saja yang dapat dipecahkan dengan teknologi? Berilah contoh konkret dari jawaban Anda! Khususnya dalam bidang komunikasi, apa saja dampaknya yang Anda rasakan? Rupanya respons orang Kristen terhadap teknologi modern tidaklah sama sepanjang sejarah. Oleh sebab itu, silakan Anda mengumpulkan informasi 102 sebanyak- banyaknya dari berbagai buku dan sumber belajar yang lain mengenai respons orang Kristen terhadap teknologi modern! Pada satu sisi, ada yang sangat positif dan menganggap teknologi sebagai pembebas, tetapi sebaliknya ada juga yang sangat pesimis dan menganggap teknologi sebagai ancaman. Ada juga yang berada di jalan tengah dan sangat berhati-hati dalam merespons teknologi modern. Kita akan menggali pandangan-pandangan tersebut dalam bagian berikut ini. Ada tiga respons terhadap teknologi, menurut Ian Barbour (Barbour 1993:4-21). 1. Teknologi sebagai Pembebas (Liberator) Sepanjang sejarah modern, perkembangan teknologi telah disambut secara bersemangat oleh karena potensinya untuk membebaskan kita dari kelaparan, penyakit, dan kemiskinan. Teknologi telah dirayakan sebagai sumber dari kemajuan materiil dan pemenuhan kemanusiaan kita. Silakan Anda mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya dari buku-buku dan sumber belajar yang lain tentang tokoh-tokoh yang menganut pandangan teknologi sebagai liberator. Berikut ini diidentifikasi beberapa kegunaan teknologi. Sumber: http://nirkabeld3mi09.blogspot.com/ 111 Pertama, standar kehidupan yang lebih tinggi. Obat-obat baru, perhatian medis yang lebih baik, sanitasi dan nutrisi yang meningkat telah meningkatkan masa/lama kehidupan manusia lebih dari dua kali di negara-negara industri sepanjang abad yang lalu. Mesin-mesin, misalnya, telah membebaskan manusia dari pekerjaan berat yang menghabiskan waktu dan energi. Kemajuan materiil berarti pula pembebasan manusia dari tirani alam. Impian kuno untuk hidup bebas dari kelaparan maupun penyakit sedang mulai terealisasi melalui teknologi. Jadi, banyak orang di negara-negara sedang berkembang kini berpaling kepada teknologi sebagai sumber pengharapan yang utama. Produktivitas dan pertumbuhan ekonomi akhirnya akan membawa manfaat bagi setiap orang. Kedua, kesempatan untuk memilih. Pilihan individu mempunyai cakupan yang lebih luas dewasa ini dibandingkan sebelumnya karena teknologi telah menghasilkan opsi baru yang belum tersedia sebelumnya, dan juga menghasilkan berbagai barang dan jasa. Mobilitas geografis dan sosial memungkinkan suatu pilihan yang lebih besar baik untuk pekerjaan ataupun tempat. Dalam masyarakat industri urban (perkotaan), pilihan atau opsi seseorang tidaklah terlalu dibatasi oleh ekspektasi/harapan orangtua maupun komunitas seperti pada masyarakat pedesaan yang bersifat agraris. Dinamisme teknologi dapat membebaskan manusia dari tradisi yang statis dan membelenggu untuk bertanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri. Kekuasaan atas alam memberi kesempatan yang lebih besar untuk mewujudkan kebebasan manusiawi. Ketiga, lebih banyak waktu luang. Peningkatan dalam produktivitas telah membawa kita kepada jam kerja yang lebih pendek. Komputer dan otomasi menjanjikan untuk mengurangi banyak dari pekerjaan yang bersifat monoton yang merupakan ciri dari industrialisasi fase awal. Sejak lama, waktu luang untuk menikmati hal-hal yang bersifat kultural (nonton pertunjukan misalnya) hanyalah hak istimewa dari segelintir masyarakat kelas atas, sedangkan kebanyakan warga masyarakat masih bergumul bagaimana bisa tetap hidup. Dalam masyarakat maju ada waktu untuk mengikuti pendidikan yang berkelanjutan, seni, pelayanan sosial, olah raga, dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Teknologi dapat menyumbang untuk memperkaya kehidupan manusia, dan berkembangnya kreativitas. Peralatan yang membuat hemat tenaga dan waktu kerja membebaskan kita untuk melakukan apa yang tidak dapat dikerjakan oleh mesin-mesin. 112 Pendukung dari pandangan ini mengatakan bahwa manusia dapat mengatasi materialisme ketika kebutuhan-kebutuhan materiil mereka telah terpenuhi. Keempat, komunikasi-komunikasi yang meningkat. Dengan bentukbentuk baru transportasi, seseorang dalam waktu beberapa jam saja dapat bepergian ke tempat-tempat yang jauh yang sebelumnya butuh waktu berbulan- bulan untuk mencapainya. Dengan teknologi elektronik (radio, televisi, jaringan komputer, telepon genggam, dan sebagainya), kecepatan, jangkauan, dan skop komunikasi telah berkembang dengan pesat. Kombinasi antara gambar dan berita yang didengar mempunyai tingkat kesegeraan yang tidak terdapat dalam kata-kata yang tercetak. Media yang baru ini menawarkan kemungkinan komunikasi sedunia yang instan, interaksi dan pemahaman yang lebih besar, dan saling menghargai dalam apa yang kita sebut “global village” (desa global). Jadi, menurut pendukung dan pembela tipe ini, teknologi membawa kegunaan psikologis maupun sosial, bahkan kemajuan material. Di samping membuat daftar kegunaan teknologi sebagai liberator, ada banyak penulis dari dunia sekuler maupun dunia agama mengemukakan pandangan yang sangat optimis tentang teknologi. Berikut ini disampaikan beberapa contoh pandangan para teolog Kristen yang mendukung tipe ini. Mereka pada dasarnya melihat teknologi bukan saja sebagai sumber standar hidup yang lebih tinggi, melainkan juga sumber kebebasan yang lebih besar dan ekspresi kreatif. Harvey Cox, misalnya, dalam tulisan awalnya berpendapat bahwa kebebasan untuk menguasai dan membentuk dunia melalui teknologi membebaskan kita dari kungkungan tradisi. Kekristenan menyebabkan desakralisasi dari alam, dan memungkinkannya dikontrol dan dipakai untuk kesejahteraan manusia. Norris Clarke juga berpendapat bahwa teknologi merupakan suatu alat pemenuhan manusiawi dan ekspresi diri dalam menggunakan inteligensi karunia Tuhan untuk mengubah dunia. Pembebasan dari perbudakan alam adalah kemenangan roh atas hal yang materiil. Sebagai kokreator Allah, kita dapat merayakan kontribusi akal/pikiran manusia untuk memperkaya kehidupan manusia. Teolog-teolog lain malah mengonfirmasi bahwa teknologi sebagai alat atau instrumen kasih dan belas kasih dalam meringankan penderitaan manusia sebagai suatu respons modern terhadap perintah Alkitab untuk memberi makan kepada yang lapar, dan menolong kebutuhan sesama. 113 Pierre Teilhard de Chardin berpendapat bahwa membangun dunia adalah suatu hal yang penting karena tindakan itu berarti ikut bekerja sama dalam pekerjaan kreatif Allah. Teknologi adalah suatu partisipasi dalam kreativitas Ilahi. Teknologi memberi visi tentang masa depan planet yang di di dalamnya teknologi dan perkembangan spiritual dihubungkan satu sama lain. Walaupun demikian, tidak kurang pula yang merespons secara kritis terhadap pihak yang sangat optimis terhadap perkembangan teknologi. Ada sejumlah respons terhadap para pendukung teknologi yang optimis. Barbour mengidentifikasikan beberapa contoh. Pertama, risiko kerugian manusiawi dan kerugian pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh teknologi tidak terlalu diperhatikan oleh mereka yang bersikap optimis. Menurut mereka yang optimis, solusi teknis dapat ditemukan untuk masalah lingkungan hidup. Limbah beracun bisa mengotori air tanah beberapa dekade kemudian setelah dikuburkan. Lubang pada lapisan ozon belum terlalu dipikirkan oleh para ilmuwan. Selain itu, erosi tanah dan penggundulan hutan secara besar-besaran mengancam sumber-sumber biologis yang sangat esensial/penting untuk kehidupan manusia. Kedua, perusakan lingkungan hidup adalah gejala dari masalah yang lebih mendalam, yakni keterasingan dari alam. Ide tentang dominasi manusia atas alam mempunyai banyak akar. Misalnya, tradisi agamawi Barat sering menarik garis pemisah yang tajam antara manusia dan ciptaan yang lain. Lembagalembaga ekonomi memperlakukan alam sebagai suatu sumber untuk dieksploitasi oleh manusia. Mereka yang bersemangat dalam teknologi menambah evaluasi dari dunia alamiah karena mereka memandangnya sebagai objek untuk dikontrol dan dimanipulasi. Para ahli teknologi kurang sensitif terhadap alam dibandingkan dengan para pengkritiknya. Ketiga, teknologi ternyata menyumbang kepada pemusatan kekuasaan ekonomi dan politis. Hanya kelompok dan bangsa kaya yang bisa memiliki teknologi mutakhir. Dengan demikian, jurang antara yang kaya dan miskin telah dipertahankan dan dalam banyak kasus diperlebar oleh perkembangan teknologi. Bangsa-bangsa kaya memakai energi dan kekayaan dunia secara tidak proporsional. Komitmen untuk keadilan membutuhkan suatu analisis yang lebih serius mengenai kerugian dan keuntungan dari teknologi. Banyak macam teknologi yang keuntungannya dinikmati satu kelompok sedangkan kelompok lain dihadapkan pada risiko dan biaya sosialnya. 114 Keempat, teknologi berskala besar penuh risiko. Sifatnya padat modal dan bukan padat karya sehingga menimbulkan pengangguran di mana-mana. Sistem berskala besar sangat rentan terhadap kesalahan, kecelakaan, ataupun sabotase. Contoh paling konkret adalah malapetaka Chernobyl pada tahun 1986, yang merupakan produk dari kesalahan manusia, peralatan yang cacat, rancangan yang buruk, dan prosedur keamanan yang tidak dapat diandalkan. Kelima, ketergantungan kepada ahli untuk membuat keputusan mengenai kebijakan, tentu tidak diharapkan. Para teknokrat mengklaim bahwa pertimbangan mereka bersifat bebas nilai; dan para elite teknis diharapkan bersikap nonpolitis. Mereka yang punya kuasa, jarang menggunakan kuasanya secara rasional dan objektif, khususnya kalau kepentingannya terancam. Walaupun kita masih bisa menambah lagi deretan pertanyaan terhadap pendukung tipe pertama, untuk sementara cukup dulu. Kita kini beralih kepada tipe kedua: teknologi sebagai ancaman. 2. Teknologi sebagai Ancaman Pada ekstrem yang berlawanan adalah kritik terhadap teknologi modern yang melihatnya sebagai ancaman terhadap kehidupan manusia yang autentik. Silakan Anda mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya dari bukubuku dan sumber belajar yang lain tentang tokoh-tokoh yang menganut pandangan teknologi sebagai ancaman. Kita akan membatasi diri hanya pada kritik terhadap kemanusiaan, daripada kritik terhadap lingkungan hidup. Ada lima ciri teknologi industri yang dijadikan dasar kritik mereka khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan kemanusiaan. Pertama, uniformitas (keseragaman) dalam masyarakat yang bersifat massal. Produksi besar-besaran menuntut adanya hasil yang distandarkan, dan media massa cenderung menghasilkan budaya nasional yang seragam. Individualitas hilang dan perbedaan-perbedaan lokal atau regional dihilangkan dalam keseragaman industrialisasi. Ketidakmampuan menyesuaikan diri dianggap tidak efisien, sehingga pekerja yang bisa bekerja sama diberi 115 hadiah. Identitas individu ditentukan oleh peranannya dalam organisasi. Penyesuaian diri dengan masyarakat merusak spontanitas dan kebebasan. Kedua, kriteria yang sempit tentang efisiensi. Teknologi membimbing ke arah organisasi yang rasional dan efisien, yang pada gilirannya menuntut fragmentasi, spesialisasi, kecepatan, hasil yang maksimum. Kriterianya adalah efisiensi dalam mencapai suatu tujuan tunggal atau suatu rangkaian tujuantujuan yang sempit. Sedangkan efek sampingan ataupun kerugian manusiawi diabaikan. Kriteria kuantitatif lebih diutamakan daripada kriteria kualitatif. Pekerja menjadi budak dari mesin ketika menyesuaikan diri dengan jadwal kerjanya dan temponya, menyesuaikan diri dengan tuntutannya. Perananperanan kerja yang bermakna hanya dimiliki oleh segelintir orang dalam masyarakat industri kini. Reklame menciptakan kebutuhan (demand) untuk produk baru, tidak peduli apakah produk itu sungguh dibutuhkan atau tidak. Tujuannya tidak lain adalah hanya supaya mendorong volume produksi yang lebih besar. Ketiga, tidak bersifat pribadi (impersonality) dan manipulasi. Hubunganhubungan dalam masyarakat teknologi dijadikan spesialisasi dan fungsional. Komunitas yang sesungguhnya dan interaksi antarpribadi terancam. Ketika mentalitas teknologis begitu dominan, orang diperlakukan sebagai objekobjek. Keempat, tidak dapat dikontrol. Teknologi-teknologi yang terpisah membentuk suatu sistem yang saling terkait, suatu jaringan kerja yang menyeluruh, saling memperkuat, yang tampaknya berjalan sendiri tanpa bisa dikontrol. Beberapa pengkritik mengatakan bahwa teknologi bukan hanya satu set peralatan yang dapat disesuaikan untuk dipakai manusia, melainkan sudah menjadi suatu bentuk kehidupan yang mencakup segalanya, suatu struktur yang persuasif dengan logika dan dinamikanya sendiri. Kelima, keterasingan pekerja. Keterasingan dari pekerja adalah tema sentral dari tulisan Karl Marx. Ditempatkan di bawah kapitalisme, katanya, pekerja tak memiliki alat dan mesinnya, dan mereka sangat tidak berdaya dalam kehidupan pekerjaannya. Mereka dapat menjual tenaga kerjanya sebagai suatu komoditi, tetapi pekerjaan mereka bukan suatu bentuk yang bermakna untuk ekspresi diri. Marx berpendapat bahwa keterasingan semacam itu merupakan produk dari pemilikan kapitalis yang dengan sendirinya akan hilang di bawah kepemilikan negara. Banyak penulis kini sadar bahwa keterasingan itu juga tetap saja ada dalam kepemilikan negara atas modal dan alat-alat produksi. Dengan begitu, perasaan kecewa, frustrasi, dan rasa tidak berdaya adalah 116 gejala umum dari pekerja-pekerja di mana saja termasuk dalam negara kapitalis. Dalam kaitan ini, kita catat seorang filsuf Perancis yang sangat keras memberi kritik terhadap teknologi yakni Jacques Ellul. Menurutnya, teknologi adalah suatu kekuatan yang otonom dan tidak dapat dikontrol yang merendahkan martabat manusia siapa saja yang disentuhnya. “Tehnique” suatu istilah yang luas yang dipakai Ellul untuk merujuk kepada mentalitas dan struktur teknologis yang meresapi bukan saja proses industri, melainkan juga kehidupan sosial, politik, dan ekonomi pun telah dipengaruhi olehnya. Efisiensi dan organisasi diterapkan dalam semua aktivitas. Ahli-ahli lain mengatakan bahwa dalam negara yang kaya atau maju, keprihatinan yang sah untuk mencapai kemajuan materiil, dengan mudah menjadi tujuan hidup tertinggi dan dikejar habis-habisan. Obsesi seperti itu akan mendistorsi nilai-nilai dasar kemanusiaan, maupun relasi-relasi kita dengan orang lain. Teknologi, selanjutnya, bersifat imperialistis dan membuat manusia kecanduan (adiktif). Beberapa teolog juga ada yang menganut tipe ini dan melancarkan kritiknya terhadap kemajuan teknologi, terutama dalam kaitan dengan dampaknya terhadap kehidupan spiritual. Paul Tillich, misalnya, mengatakan bahwa rasionalitas serta impersonality dari sistem-sistem teknologi merendahkan atau mengabaikan praanggapan pribadi dari komitmen agamawi. Gabriel Marcel juga mengatakan bahwa cara pandang teknologis yang sangat memengaruhi hidup manusia akan mengabaikan “rasa sakral” (sense of sacred). Teknisi memperlakukan segala sesuatu sebagai masalah yang dapat dipecahkan dengan teknik manipulatif tanpa harus ada keterlibatan pribadi. Hal ini akan mengabaikan misteri dan eksistensi manusia, yang hanya dapat diketahui melalui keterlibatan sebagai manusia yang utuh atau menyeluruh. Barbour khususnya juga memberi respons terhadap para pesimis dalam bidang teknologi. Rupanya para pengkritik terlalu membuat generalisasi atas teknologi yang begitu bervariasi itu. Selain itu, mereka seolah menyangkal kemungkinan bahwa teknologi dapat diarahkan kembali (redirect). Kemudian mereka lupa bahwa teknologi dapat menjadi pelayan manusia. 117 3. Teknologi sebagai Instrumen Kekuasaan Posisi atau respons ketiga berpendapat bahwa teknologi tidak secara inheren baik atau jelek/jahat, tetapi teknologi adalah instrumen kekuasaan yang ambigu/mendua, yang konsekuensi-konsekuensinya tergantung pada konteks sosialnya. Beberapa teknologi tampaknya netral jika mereka dapat dipakai untuk kebaikan atau kejahatan sesuai dengan tujuan pemakainya. Pisau dapat dipakai untuk operasi atau membunuh, dan seterusnya. Tetapi analisis historis Sumber: memperkuat kesimpulan bahwa http://rido_prasojo2403.blog.ugm.ac.i kebanyakan teknologi sudah d/2011/10/19/teknologi-yang-semakin-maju/ dibentuk oleh interes/kepentingan dan tujuan-tujuan institusional yang khusus. Teknologi adalah konstruksi sosial, dan jarang sekali bersifat netral sebab tujuan khusus sudah terjalin dalam rancangannya. Tujuan alternatif akan menuntun kepada rancangan alternatif. Beberapa rancangan masih memungkinkan beberapa pilihan tentang bagaimana menggunakannya. Barbour mengemukakan dua hal dalam kaitan dengan posisi ketiga ini. Pertama, tentang hubungan teknologi dengan kekuasaan politik. Kedua adalah mengarahkan kembali teknologi. Silakan Anda mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya dari bukubuku dan sumber belajar yang lain tentang tokoh-tokoh yang menganut pandangan teknologi sebagai instrumen kekuasaan. Menurut Anda, apakah teknologi memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan politis? Coba kemukakan argumentasi Anda jika Anda menyatakan teknologi memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan politis. Pada satu sisi, para pendukung teknologi memiliki hubungan dengan politik bersikap kritis terhadap teknologi. Mereka juga menawarkan pengharapan bahwa teknologi dapat dipakai untuk tujuan yang lebih manusiawi, baik oleh kekuatan politis maupun ekonomi. Menurutnya, ada dua kekuatan yang 118 sangat menentukan perkembangan teknologi yakni para pembuat keputusan dalam perusahaan-perusahaan besar (Trans-National Corporations) dan pemerintah. Karena itu, merekalah yang paling bertanggung jawab untuk apa teknologi dikembangkan. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, kita dapat berharap bahwa keputusan politis yang dibuat oleh para birokrat dapat sungguh-sungguh memerhatikan kepentingan rakyat banyak dan bukan hanya kepentingan perusahaan-perusahaan besar. Dengan perkataan lain, sesungguhnya rakyatlah yang harus mengontrol teknologi macam apa yang dikembangkan dan untuk tujuan apa dikembangkan. Sayangnya, kerja sama antara penguasa ekonomi yakni perusahaan-perusahaan besar dan birokrat telah begitu kuat dan saling menguntungkan sehingga tak bisa lagi dikontrol oleh rakyat. Karena itu, kepentingan rakyat banyak sulit dijamin dalam pengembangan teknologi modern. Salah seorang yang secara optimis percaya bahwa teknologi dapat diarahkan kembali adalah Victor Ferkis, seorang ahli ilmu politik. Bagi dia, baik yang optimis maupun yang pesimis terhadap teknologi, telah mengabaikan keragaman di antara teknologi, dan khususnya peranan potensial dari struktur politik dalam mereformulasikan kebijakan-kebijakan. Pada masa lalu, katanya, teknologi telah menjadi instrumen keuntungan, dan keputusankeputusan dimotivasikan oleh kepentingan-kepentingan pribadi yang berjangka pendek dari perusahaan-perusahaan. Kebebasan yang dipahami secara individualistis telah menjadi lisensi bagi mereka yang secara ekonomi berkuasa. Hak individu diutamakan di atas kepentingan dan kebaikan bersama, walaupun disadari bahwa manusia semakin saling tergantung. Ferkis masih percaya bahwa kriteria ekonomi dapat ditempatkan di bawah kriteria sosial seperti keseimbangan ekologis dan kebutuhan manusia. Ini adalah peranan dari kekuatan politis yang dalam sistem demokratis dikontrol oleh rakyatnya. Setelah mendeskripsikan ketiga macam respons terhadap teknologi, yang manakah yang dapat kita anggap sebagai sikap Kristen yang bertanggung jawab? Silakan Anda mengomunikasikan sikap Anda terhadap teknologi kepada rekan- rekan di kelas dengan menggunakan kata-kata sendiri. Tentu masing-masing dapat menentukan pilihannya. Sejalan dengan pandangan Ian Barbour, sikap ketiga terlihat lebih realistis dan sejalan dengan sikap etis Kristen. Pertama, kita tidak dapat terlalu optimis dan mengagungkan teknologi sebagai penyelamat, karena hanya Tuhan yang dapat menyelamatkan. 119 Keasyikan dengan teknologi dapat berkembang menjadi sikap mendewakan teknologi, suatu penyangkalan dari kedaulatan dan kekuasaan Allah, dan juga suatu ancaman terhadap eksistensi manusia yang khas. Akan tetapi, kita juga jangan terlalu pesimis dengan teknologi, sebab teknologi yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang sesungguhnya adalah perwujudan dan ekspresi yang sah dari kapasitas kreatif manusia dan merupakan kontribusi esensial bagi kesejahteraannya. Dalam dunia yang penuh dengan penyakit dan kelaparan, teknologi yang secara benar digunakan dapat menjadi ekspresi keprihatinan yang luar biasa kepada manusia. Pemahaman alkitabiah tentang hakikat manusia adalah realistis tentang penyalahgunaan kuasa, dan pelembagaan dari kepentingan pribadi. Alkitab juga sangat menekankan pentingnya keadilan sosial dalam mendistribusikan buah dari teknologi. Apa saja kriteria yang dapat menuntun setiap pihak dalam pengembangan dan penggunaan teknologi modern? Ada yang berpendapat bahwa pengembangan dan penggunaan teknologi modern haruslah menjamin tiga hal berikut ini. 1. adanya jaminan bahwa harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi, termasuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. 2. haruslah menjamin adanya kelestarian alam, yakni menjaga keseimbangan antara kepentingan manusia kini dan manusia yang akan datang. 3. adanya jaminan keadilan sosial dari distribusi hasil dari teknologi. Silakan Anda menambahkan dan mengomunikasikan kriteria-kriteria lain yang sejalan dengan nilai dan keyakinan religius Anda kepada rekan-rekan di kelas. Kita tidak mungkin menghindar berhadapan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun seni. Semuanya menuntut respons kita sebagai orang percaya bagaimana mengembangkan pola hubungan yang positif antara iman dengan ilmu, teknologi dan seni. Pertama, hubungan yang positif antara iman dan ilmu bisa disimpulkan pertama dengan mensyukuri karunia Tuhan kepada manusia untuk berakal budi dan berpikir rasional sehingga ilmu dapat berkembang. Ilmu tidak bisa berkembang tanpa kriteria dan kontrol yakni harus membawa kemaslahatan manusia dan dunia ini sehingga dengan demikian Allah dimuliakan. 120 Kedua, hubungan positif atara iman dan teknologi juga harus disyukuri dan diterima secara positif, karena melaluinya Allah menyatakan kasih-Nya kepada manusia melalui kemajuan teknologi. Jangan pernah berilusi bahwa teknologi tidak membawa dampak negatif yang tidak memanusiakan manusia. Karena itu, harus dikritisi dan ada upaya meminimalkan dampak negatifnya. Teknologi tak perlu dielu-elukan sebagai liberator, karena akhirnya hanya Tuhanlah sang Liberator sesungguhnya. Ketiga, seni adalah karunia Tuhan dalam kehidupan yang harus disyukuri. Kita perlu menikmati keindahan. Seni dapat dipakai sebagai ekspresi iman, melalui puji-pujian, dan berbagai manifestasi seni yang lain. Beragama tanpa melibatkan unsur seni sangatlah kering dan membosankan, tidak imajinatif. Tak ada ekspresi keagamaan yang bebas dari seni. Seni memperkaya kehidupan keagamaan dan mendekatkan manusia kepada Tuhan. Sebaliknya, agama dan iman juga perlu mewarnai seni dan mengontrolnya agar dikembangkan untuk mendatangkan kebaikan dan bukan kejahatan, seperti pornografi dll. Mahasiswa terlebih dahulu melakukan ekplorasi dalam kelompokkelompok kecil bagaimana hubungan iman dan ilmu pengetahuan dalam perspektif historis, untuk dapat mengidentifikasi kecenderungan saling mendominasi dan karenanya saling menghambat. Kemudian mahasiswa/i ditantang untuk melakukan penyelidikan bagaimana hubungan yang bermakna dibangun antara iman dan ilmu, teknologi dan seni, dalam arti mengembangkan alasan imaniah mengenai tanggung jawab pengusahaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu, teknologi dan seni demi kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan hidup, yang pada gilirannya untuk kemuliaan Tuhan. Presentasikan hasil penyelidikan yang Anda lakukan! 121 BAB VI MENCIPTAKAN KERUKUNAN ANTARUMAT BERAGAMA Sebenarnya persoalan kerukunan hidup umat beragama bukanlah sesuatu yang baru sama sekali. Kerukunan hidup umat beragama adalah sesuatu yang didambakan, dan sekaligus juga dibutuhkan perjuangan berat untuk mewujudkannya. Hal ini tidak mengherankan karena agama-agama dapat menimbulkan ketegangan, bahkan konflik. Segala ketegangan bahkan konflik tidaklah semata-mata disebabkan oleh agama. Unsur kekuasaan serta dominasi politik dan ekonomi dapat memainkan peranan yang sangat menentukan dalam menyulut api konflik. Dalam keadaan demikian, agama diperalat untuk mencapai tujuan yang bertentangan dengan misi agama itu sendiri. Melalui bab ini, Anda diharapkan mencapai beberapa tujuan pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah: (i) menumbuhkembangkan sikap sabar, tangguh, dan pembawa damai; (ii) menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dalam kepelbagaian agama, suku dan budaya; (iii) bersikap peduli terhadap sesama manusia; (iv) bersikap terbuka untuk bekerja sama dengan semua pihak dalam rangka mendatangkan kebaikan bersama; (v) mengevaluasi kerukunan antarumat beragama dewasa ini; dan (vi) mencipta kerukunan antarumat beragama dewasa ini. Menurut Anda, apakah pernah terjadi dalam sejarah dunia peperangan yang didorong agama? Jika pernah terjadi, apa yang menyebabkan terjadinya konflik antarumat beragama tersebut? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, Anda bisa melihat buku karangan A. A. Yewangoe yang berjudul Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila atau buku yang lain. 122 Indonesia adalah sebuah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk, demikian pula agamanya. Indonesia sangat potensial untuk terpecah-belah. Pancasila sebagai ideologi negara dan sekaligus sebagai “payung” mengabsahkan bahwa benarlah bangsa ini sebuah keluarga besar. Permasalahan-permasalahan yang muncul di dalam masyarakat mestinya merupakan persoalan bersama. Demikian juga, segala sesuatu yang telah dicapai haruslah dilihat sebagai hasil bersama. Tidak ada satu golongan agama pun yang merasa dirinya lebih berjasa dalam membangun bangsa Indonesia. Ketegangan akan terjadi apabila satu golongan agama mementingkan kepentingan golongannya sendiri dan mengabaikan golongan-golongan lainnya. Pancasila telah menyediakan ruangan bagi terciptanya kerukunan di antara bangsa Indonesia. Agaknya istilah “kerukunan” jauh lebih positif dan dinamis ketimbang istilah “toleransi” yang statis (Yewangoe 2002, 4). Toleransi lebih mengisyaratkan adanya persetujuan satu pihak untuk memberikan hak hidup kepada pihak lain. Artinya, keberadaan satu pihak hanya dapat terjadi lantaran pihak lain menghendakinya. Andaikata pihak itu tidak berkenan, pihak lain dengan mudah ditiadakan. Perhatikan ilustrasi berikut ini. Sebuah kutil yang terdapat di kulit Anda pada hakikatnya bukan merupakan bagian normal dari kulit tersebut. Ia adalah unsur asing yang mengganggu. Anda tetap membiarkannya di situ, bukan karena Anda suka, melainkan karena Anda “berkenan.” Itulah makna toleransi. Sedangkan “kerukunan” mengandung pengertian bahwa walaupun kita berbeda, kita mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Hak hidup Anda tidak tergantung pada izin pihak lain. Kita justru secara bersama-sama tergantung pada sesuatu yang lebih luhur, yaitu citacita bernegara, berbangsa dan bermasyarakat untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, damai sejahtera berdasarkan Pancasila, yang akhirnya tergantung pada Tuhan. Oleh sebab itu, istilah “kerukunan” lebih dipopulerkan daripada toleransi. Kerukunan tidak mengharuskan kita seragam dalam segala sesuatu. Kerukunan memang memungkinkan kita supaya “sepakat” justru dalam persoalan yang kelihatannya sulit disepakati. 123 Kerukunan antarumat beragama Sumber: blog.uad.ac.id Kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang autentik dan dinamis (Darmaputera 2011, 105). Kerukunan yang autentik adalah kerukunan yang lahir dari penghayatan iman masing-masing. Kerukunan yang dinamis adalah kerukunan yang secara aktif dan kreatif berjalan bersama mengupayakan kesepakatan-kesepakatan baru. Selain itu, kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang berada dalam interaksi yang seimbang dengan kebebasan. Kerukunan dan kebebasan saling menghidupi. Hanya bila ada kerukunan, kebebasan terpelihara. Hanya dalam kebebasan, ada kerukunan yang sejati. Kerukunan beragama dan kebebasan beragama dalam arti kebebasan untuk memeluk, menyiarkan, dan berpindah agama perlu diperjuangkan bersama-sama. Ukuran bagi kedewasaan kita beragama dan kesiapan kita untuk menyambut positif kepelbagaian agama-agama adalah kemampuan untuk menciptakan kerukunan di samping penghormatan terhadap kebebasan agama (Ngelow 1993, 73). Kerukunan tidak dikorbankan untuk kebebasan, dan sebaliknya kebebasan tidak dikorbankan untuk kerukunan. Kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang tidak mengurangi atau membatasi, melainkan malah justru mengembangkan kebebasan beragama di tanah air kita. Artinya harus dalam keseimbangan yang dinamis, kebebasan tidak merusak kerukunan dan sebaliknya kerukunan tidak mematikan kebebasan. Silakan Anda amati dan analisis dampak positif konsep kerukunan yang kita kehendaki! 124 Kerukunan yang tidak kita kehendaki adalah kerukunan hanya dipahami sebagai keadaan tanpa konflik. Konflik tidak dengan sendirinya buruk. Misalnya konflik antara Yesus dan Orang Farisi, Paulus dan Petrus, Elia dan Ahab dan lain- lain. Tentu saja benar yang dinasihatkan Paulus, “sedapatdapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Rm.12:8). Kerukunan harus dilandaskan pada kebenaran, dan tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk menindas kebenaran. Kerukunan sejati terjadi ketika semua pihak dalam interaksi intens terus mencari pemahaman kebenaran yang lebih tinggi. Dalam proses itu, bisa terjadi perbedaan yang tajam, bahkan ketegangan, namun tidak perlu merusak kerukunan selama segala sesuatu bisa dan boleh dibicarakan dengan terbuka, bukan basi-basi dalam semangat, terus- menerus berusaha mencapai kesepakatan yang lebih maju. Kerukunan yang tidak dikehendaki adalah bila kerukunan dipahami sebagai tujuan pada dirinya. Kerukunan penting dan dikehendaki Allah sejak awal karya penciptaan-Nya, bukan yang terpenting. Kerukunan bukan satu-satunya dan segala-galanya dan tidak boleh dijadikan tujuan akhir dan satu-satunya pada dirinya. Nilai-nilai kehidupan yang lain tidak boleh dikorbankan demi kerukunan. Yang benar adalah yang sebaliknya: ketika kebenaran dijunjung tinggi, ketika keadilan diperjuangkan dan diwujudkan secara tulus dan murni dan ketika kebebasan asasi dialami, di situlah kerukunan yang sejati dengan sendirinya akan terjadi. Kerukunan yang tidak kita kehendaki adalah bila kerukunan hendak dipaksakan dari luar. Kerukunan yang sejati harus tumbuh secara bebas dan sadar dalam diri masing-masing. Tidak bisa dipaksakan oleh pemerintah. Tidak bisa diwujudkan dengan undang-undang. Kerukunan harus menjadi urusan masing- masing agama. Kekuatan-kekuatan eksternal dapat menciptakan kondisi yang kondusif bagi terangsangnya kesadaran dari dalam. Sebaliknya, kekuatan eksternal juga bisa merusak kemungkinan itu. Sikap berpihak dan pilih kasih, misalnya, amat merusak. Kerukunan dapat didorong dari luar, namun harus tumbuh dari dalam. Kerukunan yang dipaksakan atau disebabkan oleh faktor- faktor eksternal, biasanya akan tipis dan sementara saja, tidak mendalam dan tidak awet. Kerukunan yang tidak dikehendaki adalah bila kerukunan harus dibayar dengan hilangnya perbedaan dan kebebasan. Usaha untuk menghilangkan perbedaan dan kebebasan itulah yang justru merusak kerukunan. Menekan ketegangan dan menyembunyikan konflik ke bawah permukaan. Silakan Anda 125 amati dan analisis dampak negatif konsep kerukunan yang tidak kita kehendaki! Simaklah gaya hidup jemaat Galatia yang saling menggigit dan saling menelan yang terdapat dalam Galatia 5:13-15. Menurut Anda, bolehkah antarumat beragama saling menggigit dan saling menelan? Mengapa tidak boleh? Apa akibatnya jika antarumat beragama saling menggigit dan menelan? Silakan Anda mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis yang lain lagi! Setelah menyimak gaya hidup jemaat Galatia tersebut dan paparan di bawah ini, Andapun diberi kesempatan lagi untuk mengajukan pertanyaan kritis yang lain sebanyak- banyaknya yang berkaitan dengan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Untuk mencapai kerukunan antarumat beragama, pemerintah telah melakukan berbagai program antara lain program “Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama” yang dalam Pelita I-V mengambil bentuk dalam kegiatan- kegiatan Dialog, Studi Kasus, Kerja Sama Sosial, Kunjungan Silaturahmi dan lain-lain. Pembentukan Wadah Musyawarah Antarumat Beragama tanggal 30 Juni 1980 dilihat sebagai usaha yang sangat penting dalam hubungan dengan pembinaan kerukunan antarumat beragama (Sairin 1996, 187). Dari antara bentuk-bentuk kegiatan yang berhubungan dengan kerukunan antarumat beragama, bentuk dialog adalah bentuk yang paling awal dilaksanakan dengan prakarsa pemerintah dan telah dilakukan di berbagai kota di Indonesia. Dialog adalah suatu percakapan yang bertolak pada upaya untuk mengerti mitra percakapan dengan baik, saling mendengarkan pendapat mitra percakapan. Dialog menunjuk pada adanya percakapan antara dua orang atau lebih mengenai berbagai permasalahan yang menyangkut kepentingan bersama. Dialog antarumat beragama adalah pertemuan yang disengaja untuk bertukar pikiran, informasi dan pengalaman tentang keyakinan masing-masing tanpa pretensi menganggap diri lebih benar. Yang berdialog adalah manusia. Oleh sebab itu, dalam konteks kepelbagaian agama yang ada di Indonesia, bukanlah dialog agama, tetapi dialog antarorang beragama. Banyak pemikiran keagamaan yang dapat disumbangkan oleh umat beragama seandainya ada wadah dialog. Banyak kecurigaan yang tidak wajar dalam hubungan antarumat akan lenyap, akan berganti dengan pergaulan yang akrab. 126 Dialog antarumat beragama di Indonesia mulai mendapat perhatian sejak tahun 1960-an, khususnya setelah berdirinya Orde Baru. Musyawarah kerukunan beragama yang diprakarsai oleh Departemen Agama telah berlangsung pada tahun 1967. Kemudian berbagai pertemuan di tingkat pemuka agama berlangsung di banyak daerah, sekitar masalah kerukunan dan toleransi beragama. Mukti Ali, semasa menjabat Menteri Agama, paling gencar mengupayakan terciptanya dialog antarumat beragama (Sitompul 2006, 8). Semboyannya yang terkenal ialah “dialog dan bukan apolog” Dari sifatnya dialog dapat dibedakan menjadi dialog formal dan informal. Dialog formal adalah suatu dialog yang membahas suatu tema tertentu dalam suatu pertemuan yang pembahasannya bertolak dari visi teologis masingmasing. Dialog informal adalah suatu dialog yang terjadi dalam bentuk-bentuk pergaulan, kerja sama, dan hubungan social antarumat yang berbeda agama. Melalui kesempatan itu mereka saling mengenal satu sama lain. Dalam dialog informal inilah warga gereja banyak terlibat karena mereka sehari-hari bertemu serta bergaul dengan umat dari berbagai agama. Untuk melakukan dialog, ada empat hal yang harus diperhatikan. Pertama, kita memerlukan pendalaman tentang isi kepercayaan/agama kita sendiri. Kita mesti mampu menjelaskan dengan jujur pokok-pokok iman kita, tradisi gereja kita dan lain-lain yang berkaitan dengan agama kita sendiri. Kedua, kita memerlukan pemahaman tentang agama mereka. Ketiga, kita harus bersikap saling menghormati tanpa memandang latar belakang “mayoritas dan minoritas” dan lain-lain. Keempat, dialog tidak berarti merelatifkan kebenaran Injil atau menuju ke sinkretisme. Pada umumnya kita membedakan antara dialog verbal dan dialog karya. Dialog verbal sudah sangat populer, bukan saja di Indonesia melainkan juga di bagian lain di dunia. Dialog dengan segala kesulitannya memang merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Interaksi antara penganut agamaagama sudah sedemikian rupa sehingga berbagai kesulitan dapat saja muncul jika tidak tercapai pengertian yang mendalam. Sesungguhnya, dialog bisa terjadi karena berbagai faktor. Pertama, pengetahuan dan pemahaman terhadap agama-agama makin lama makin luas dan menyeluruh, terutama akibat makin canggihnya alat- alat komunikasi. Kedua, muncul masyarakat majemuk di seluruh dunia. Homogenitas yang merupakan ciri masyarakat tradisional sudah mulai ditinggalkan. 127 Dialog juga bisa menimbulkan berbagai ketegangan. Misalnya, apakah kita boleh mempercakapkan dogma-dogma dalam dialog? Bukankan dogmadogma agama selalu bersifat kaku sehingga tidak mungkin dipercakapkan dengan penganut agama lain? Di kalangan Kristen misalnya, timbul pertanyaan apakah dialog bisa menggantikan Pekabaran Injil? Dengan kata lain, setelah mengadakan dialog, apakah kita masih membutuhkan Pekabaran Injil? Tidak jarang pula dialog dicurigai sebagai upaya terselubung untuk menobatkan mereka yang beragama lain. Tuduhan yang lebih fatal lagi adalah bahwa dialog merupakan upaya mencampuradukkan agama-agama (sinkretisme). Kekhawatiran bahwa dialog akan menyinggung perasaan orang lain membuat kita enggan untuk berdialog. Kekhawatiran lain secara tidak disadari ialah kita takut seandainya yang kita percayai itu tidak benar, kita khawatir janganjangan kepercayaan kita menjadi goyah. Humanitas dan keprihatinan sosial sebagai dasar dialog (Singgih 1999, 101). Yang dimaksud dengan “humanitas” adalah apa yang mewujudkan keberadaan manusia. Oleh sebab itu, humanitas meliputi segala komponen yang menyebabkan kita menamakan diri kita manusia. Tentu, hal ini terdengar aneh. Sebab, bukankah dengan sendirinya kita tahu bahwa kita adalah manusia, yang berbeda dari binatang misalnya? Tentu, pada satu pihak kesadaran bahwa kita adalah manusia bersifat prareflektif. Artinya tidak perlu dipikir dalam-dalam, sudah jelas bahwa kita adalah manusia. Namun, pada pihak lain, ada masalah apakah kesadaran bahwa kita adalah manusia juga menyebabkan kita mau mengakui bahwa orang lain juga manusia? Dalam sejarah dunia, kita melihat betapa sulitnya bagi manusia untuk mengakui bahwa mereka yang lain dari dia adalah juga sesama manusia, misalnya yang berwarna kulit lain, berambut dan bermata lain, yang berkeyakinan lain, yang berideologi lain, yang beragama lain, yang termasuk suku atau bangsa lain, pada pokoknya, kelompok lain. Pokok humanitas berhubungan dengan persoalan bagaimana mengakui kemanusiaan orang lain juga, dan dari sana bertolak untuk menggumuli permasalahan bersama manusia dan aspirasi bersama manusia. Keprihatinan sosial bersangkut-paut dengan masalah-masalah sosial yang dihadapi bersama oleh umat beragama: kemiskinan yang parah dan penderitaan yang disebabkannya. Di samping itu, penderitaan oleh karena keterasingan manusia yang disebabkan tekanan dari struktur masyarakat modern yang memperlakukan manusia sebagai sekadar “mur” atau “baut” dari 128 mesin produksi. Oleh banyak orang, keprihatinan sosial ini dimasukkan ke dalam dialog karya. Kelihatannya, tahap dialog di Indonesia baru bersifat tukar pikiran terutama di kalangan pejabat dan intelektual. Dari situ, baru ada ajakan agar melakukan dialog karya sebagai sesuatu yang lebih konkret daripada dialog yang bersifat tukar pikiran. Dalam perjalanan pemikiran mengenai dialog, orang tidak terlalu puas dengan istilah “dialog karya”. Seakan-akan orang-orang dari agama yang berbedabeda hanya berkumpul pada satu saat tertentu untuk “bekerja bakti”, lalu pulang kembali ke rumahnya masing-masing. Dalam rangka kehidupan yang memungkinkan kerukunan beragama dalam arti kata yang sebenarnya, orang dari agama yang berbeda-beda perlu berkumpul dan bergaul bersama. Bukan hanya sebagai warga negara di tempat pekerjaan kita bersama, melainkan juga dalam pergaulan sehari-hari. Oleh karena itu, ada yang mengusulkan supaya istilah dialog karya diperluas menjadi “dialog kehidupan”. Dalam pengertian ini orang dari berbagai agama diajak untuk hidup berdampingan secara damai dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan secara menyeluruh yang meliputi baik aspek rohani maupun jasmani. Akan tetapi, segera jelas bahwa dialog karya atau dialog kehidupan, kerja sama di bidang penanganan masalah-masalah sosial masyarakat dan peningkatan mutu kehidupan yang biasanya dianggap sebagai “aras horizontal” dan tidak berhubungan dengan masalah ajaran, tidak bisa begitu saja dilepaskan dari “aras vertikal”, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan masalah ajaran. Mau tidak mau orang akan menghubungkan kedua aras itu. Bagi banyak orang beragama, keterlibatan dalam aras horizontal tidak akan dilakukan kalau tidak ada amanat dari aras vertikal. Alasan untuk menjamin mulusnya kerukunan pada akhirnya tidak dapat dicari di luar tubuh agama saja, tetapi seharusnya juga dari dalam tubuh agama. Meskipun segala wujud dialog yang disebutkan di atas merupakan hal yang baik dan harus dilakukan oleh kalangan umat beragama sehingga tidak terasing satu dengan yang lain, tampaknya belum cukup kalau setiap agama tidak melakukan upaya teologis untuk melegitimasikan upaya-upaya kerukunan beragama. Halangan terbesar dari upaya teologis ini adalah asumsi bahwa suatu agama dalam segi ajaran pasti tidak akan sesuai atau cocok dengan agama lain. Tidak ada agama yangsama ajarannya. Bahkan, bisa saja orang berpendapat bahwa ajaran agama yang satu pasti bertentangan dengan ajaran agama yang lain. Di pihak lain, percuma saja apabila asumsi ini dilawan dengan asumsi lain, yaitu yang menganggap bahwa semua agama sama saja. Jalan keluar yang 129 paling baik adalah memulai dari asumsi bahwa banyak hal yang tidak sama dalam agama- agama, tetapi ada juga hal-hal yang sama, yang dapat menjadi titik temu dalam kepelbagaian yang ada. Dalam setiap agama ada hal-hal yang khas, yang partikular, tetapi sekaligus ada juga hal-hal yang umum, yang universal. Dialog perlu terus diupayakan, bukan saja karena perkembangan internasional dan nasional, melainkan juga karena komitmen sebagai umat beragama mendorong kita melakukannya. Pertama, upaya membangun kesejahteraan tidak dapat terlaksana dengan mengabaikan eksistensi orang lain. Masalahmasalah kehidupan di sekitar kita yang semakin kompleks adalah masalah bersama. Kepercayaan kita kepada Allah, pertama-tama harus membuat kita mengakui dengan rendah hati bahwa pluralitas masyarakat adalah karunia Tuhan untuk dikembangkan dengan maksimal melalui dialog. Dialog akan membuka perspektif baru dalam menjalankan komitmen keagamaan. Kedua, adalah tepat untuk mengupayakannya di kalangan pemuda. Sebab pemuda memiliki potensi besar untuk membangun masa depan bersama yang lebih dinamis, terbuka dan penuh kemungkinan. Ketiga, kalau agama-agama ingin tetap berperan di dalam arah pembangunan bangsa, dialog adalah cara yang tepat untuk menggalang potensi. Jika tidak ada dialog, kehidupan akan semakin terfragmentasi dan pada gilirannya akan diabaikan oleh masyarakat. Keempat, dialog bukan saja sarana untuk makin saling mengenal, melainkan membuat kita makin mengenal jati diri kita sendiri. Menurut Anda, apa pandangan Alkitab mengenai kerukunan antarumat beragama? Dapatkah hubungan kita dengan orang-orang yang beragama lain lebih daripada sekadar hubungan antara orang yang memberi kesaksian dan yang menerimanya? Dapatkah hubungan itu merupakan hubungan kerja sama yang saling membantu dengan kedudukan yang sejajar? Silakan Anda mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari buku-buku dan sumber belajar yang lain mengenai kerukunan antarumat beragama dalam Alkitab. Umat manusia sebagai keluarga besar Allah harus hidup rukun. Salah satu penyebab mengapa orang mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan baik dengan yang berbeda agama adalah karena kecenderungan manusia untuk mempertuhankan agama dan kebenaran agama masing-masing. Bahwa hanya agama kita saja yang benar dan oleh karena itu, semua agama yang lain 130 itu salah. Hanya kita saja yang akan masuk ke surga dan oleh karena itu, semua orang yang beragama lain pasti akan masuk ke neraka. Kalau sudah begini pemahaman kita, tentu sulit kita menghargai orang yang beragama lain. Kalau kita tidak dapat menghargai orang yang beragama lain, mustahil kita dapat menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Allah memang mutlak, tetapi agama tidak mutlak! Kita menyembah Allah, bukan menyembah agama. Agama tidak sama dengan Allah dan Allah tidak sama dengan agama. Tentu saja agama adalah “jalan” untuk menyembah Allah. Benar! Oleh karena itu, agama penting, tetapi “jalan” itu bukan “tujuan.” Jalan itu tidak sama dengan tujuan. Kita tidak boleh mengidentifikasi jalan dengan tujuan. Akibat dari sikap melihat agama sebagai tujuan itu tragis. Ada keluarga yang pecah karena agama. Orang saling membenci, bahkan saling membunuh karena agama. Tragis dan ironis karena semua agama mengajarkan belas kasih dan kasih sayang. Karena penganut- penganutnya memutlakkan agama sendiri sebagai tujuan, agama lalu berwajah seram. Anda tidak percaya bahwa agama itu relatif, tidak mutlak? Dalam percakapan dengan perempuan Samaria, Yesus berkata, ”Percayalah kepada- Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem” (Yoh. 4:21). Lalu ayat 24, “Allah itu roh dan barang siapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” Orang cenderung memutlakkan agamanya masingmasing. Kalau mau menyembah Tuhan, mesti di sini, mesti begini, lain dari itu salah, sesat dan dosa. Tentang agama, Yesus mengatakan bukan di mana orang itu menyembah itu yang penting, bukan pula dengan cara apa orang menyembah itu yang paling menentukan, tetapi apakah ia menyembah Allah. Dalam Kisah Para Rasul 10, ada sebuah kisah yang amat menarik tentang bagaimana Tuhan mendidik Petrus agar ia lebih terbuka terhadap orang yang berbeda agama dan kritis terhadap ajaran agamanya sendiri. Petrus diperintahkan oleh Tuhan untuk pergi bahkan bermalam di rumah Kornelius, seorang perwira tentara Roma, yang baik tetapi menurut ajaran agama 131 dikategorikan sebagai kafir. Petrus tentu saja amat ragu-ragu untuk melaksanakan perintah ini. Berkunjung, apalagi bermalam di rumah dan kemudian makan bersama-sama dengan orang kafir adalah haram. Sampai tiga kali, Tuhan harus mempersiapkan Petrus, supaya hatinya lebih terbuka. Tiga kali Tuhan menurunkan dari langit, benda berbentuk kain lebar yang isinya adalah binatang-binatang yang halal dan haram. Dua kali Petrus disuruh makan, Petrus menolak. “Tidak Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir” (ay. 14). Tetapi apa kata Tuhan? “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram” (ay. 15). Menurut aturan agama, Kornelius itu kafir, haram dan najis. Pada ayat 28, Petrus mengatakan begitu kepada Kornelius, “Kamu tahu, betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka. Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir.” Agama itu dapat mengotak-ngotakkan manusia, menyekat-nyekat manusia, memisah-misahkan manusia. Agama dapat membuat seseorang saling menajiskan satu dengan yang lain, penuh prasangka., tidak dapat saling menerima seperti apa adanya. Padahal Tuhan tidak begitu. Tuhan menerima orang seperti apa adanya, yang baik Ia katakan baik, yang buruk Ia katakan buruk. Ada hal yang amat penting dalam Kisah Para Rasul 10:34-35, ketika Petrus akhirnya berkata, ”Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya” (Galatia 3:26-27). Begitulah kita harus memandang sesama kita yang beragama lain. Dalam Yohanes 3:16 tertulis, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Pada kutipan tersebut dikatakan, bahwa yang dikasihi oleh Allah adalah dunia ini, semua orang, seluruh umat manusia. Allah tidak membedakan orang. Artinya, Allah tidak pilih kasih. Allah tidak hanya mengasihi sekelompok orang. Allah tidak hanya mengasihi orang Kristen. Lebih dari itu, Allah menerima semua orang tanpa memandang bangsa atau agama. Jangan memusuhi orang lain, atau menganggap siapa pun sebagai musuh. Surat Paulus kepada jemaat di Roma (12:18) mengajarkan sebuah perilaku kristiani yang amat penting, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” Bahkan bila ada orang bermaksud jahat kepada kita pada ayat 19, dikatakan bahwa,” janganlah 132 kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah” Berusahalah hidup damai dengan semua orang, oleh karena Yesus sendiri mengatakan, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat. 5:9). Dalam 1 Raja-raja 5: 1-12 diceritakan kerja sama yang indah antara Salomo, Raja Israel, dengan Hiram, Raja Tirus. Kerja sama antara dua bangsa yang beragama lain. Yang satu biasa disebut sebagai “umat Allah,” yang lain disebut “bangsa kafir.” Yang mungkin mengejutkan, ini bukan saja kerja sama yang bersifat sosial saja (misalnya kerja sama atau gotong royong membangun jembatan atau memperbaiki jalan), tetapi kerja sama untuk membangun Bait Allah. Bagi orang-orang Kristen yang ekstrem hal ini sulit sekali diterima. Kita sering ditanya, “Boleh tidak orang Kristen bekerja di sebuah percetakan yang mencetak kitab-kitab agama lain? Apa dengan begitu, orang Kristen tersebut tidak membantu menyebarkan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Kristen?” Begitu pertanyaan mereka. Menurut 1 Raja-raja 5:1-12 orang kafir, dalam hal ini Hiram, Raja Tirus, malah diundang oleh Salomo untuk ikut membangun Bait Allah. Kerja sama yang indah sekali menandakan adanya kerukunan antarumat beragama. Hiram memasok bahan dan tukang untuk Salomo, sedangkan Salomo memasok bahan pangan untuk Hiram. Kalau orang kafir boleh ikut membangun Bait Allah, tentu saja adil kalau orang Kristen juga boleh membantu membangun rumah ibadah orang lain. Tidak adil namanya, kalau orang itu hanya mau dibantu, tetapi tidak mau membantu. Apakah di percetakan LAI, tempat Alkitab kita itu dicetak, ada orang- orang beragama lain yang ikut bekerja? Pasti ada! Kalau ada, baru adil, jika orang Kristen boleh bekerja di percetakan yang mencetak kitab-kitab agama lain. Sekadar untuk cari nafkah kan boleh? Tentu boleh! Kecuali kalau ada yang begitu ekstremnya sampai ada yang berpendapat, kalau mau membangun gedung gereja, tukang-tukangnya harus Kristen semua. Kalau tidak, haram! Mungkin ini biasa. Bila mau konsisten betul, semennya juga mesti semen yang dibuat oleh orang Kristen, kayunya mesti berasal dari orang Kristen, juga genteng, paku, dan sebagainya. Mungkinkah? Alkitab tidak menghendaki kita berpikiran serta bersikap eksklusif seperti itu. Seolah-olah semuanya mesti dari Kristen, oleh Kristen dan untuk Kristen. Dalam masyarakat majemuk seperti masyarakat Indonesia, kerja sama antara 133 pemeluk berbagai agama bukan hanya mungkin, tetapi bahkan tak terelakkan. Oleh sebab itu, umat beragama harus mengembangkan kerukunan antarumat beragama. Dalam kehidupan masyarakat, kerja sama itu juga merupakan hal yang tak terhindarkan sebab dalam banyak hal kita menghadapi masalah yang sama. Masalah keamanan kampung, misalnya, bukan hanya dihadapi oleh orangorang Kristen, tetapi juga orang-orang Islam, Buddha, Hindu dan Khonghucu. Karena itulah, orang-orang dari berbagai agama harus bersama-sama ikut siskamling. Dalam mengurus kepentingan-kepentingan kita sendiri, kita mau tidak mau melibatkan orang-orang beragama lain. Waktu penahbisan pendeta, kita minta bantuan beberapa hansip dan polisi yang bukan beragama Kristen. Dari contoh- contoh tersebut, jelaslah bahwa kerja sama kita dengan orang-orang yang beragama lain merupakan hal yang bukan hanya mungkin tetapi bahkan, mau tidak mau harus. Masalahnya sekarang adalah sejauh mana kita boleh dan dapat bekerja sama dengan para penganut agama lain? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, baiklah kita belajar dari kisah Salomo yang terdapat dalam 1 Raja-raja 11:1-13. Dalam kitab 1 Raja-raja 11:1-13 kita diperingatkan bahwa kita harus mau bekerja sama seerat-eratnya, sebanyakbanyaknya dan setulus-tulusnya dengan siapa saja tetapi ada batasnya. Salomo tidak salah bekerja sama dengan Hiram, Raja Tirus, atau bekerja sama dengan siapa saja. Dalam 1 Raja-raja 11 kita membaca bahwa Salomo akhirnya jatuh, tidak diperkenankan Allah dan dihukum oleh Allah. Karena apa? Karena ia melanggar batas itu! Dikatakan dalam ayat 1, “Adapun raja Salomo mencintai banyak perempuan asing.” Ayat 3, “Ia mempunyai tujuh ratus isteri dari kaum bangsawan dan tiga ratus gundik; isteri-isterinya itu menarik hatinya dari pada TUHAN.” Ayat 4, “Sehingga ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada TUHAN.” Kerja sama baik dan harus, tetapi jangan kita mengkhianati keyakinan dan kepercayaan kita sendiri. Jangan kita kalah pengaruh, jangan sampai kepercayaan kita hilang. Menghormati kepercayaan orang lain, ya, tetapi juga menghormati dan menjaga kepercayaan serta keyakinan kita sendiri adalah harus! Kita harus ingat bahwa di samping sebagai mitra dari orang-orang yang beragama lain, pertama-tama kita adalah mitra Allah. Oleh karena itu, kerja sama kita dengan manusia harus kita tempatkan di bawah kerja sama kita dengan Allah. Bahkan kerja sama kita dengan orang lain seharusnya kita lakukan dalam rangka menjadi rekan sekerja Allah. Kesetiaan kita terhadap Allah tidak boleh menghalangi kita dalam bersikap terbuka dan mau bekerja 134 sama dengan orang-orang yang beragama lain. Kesetiaan kita dalam kerja sama dengan orang-orang yang beragama lain tidak boleh mengurangi sedikit pun kesetiaan kita terhadap Allah. Berdasarkan uraian tentang dasar Alkitab mengenai kerukunan antarumat beragama di atas, kita dapat mengatakan bahwa Alkitab mendorong umat Kristen untuk hidup rukun dengan penganut agama yang lain. Selain itu, Alkitab tidak mendorong umat Kristen ke arah sikap eksklusif. Bahkan dalam beberapa hal, Alkitab menganjurkan sikap yang terbuka dan toleran. Memang ada sikap yang keras terhadap pengaruh luar tetapi hal itu dilihat dalam pengaruh yang merusak kehidupan dan ditujukan bukan kepada penganut lain, tetapi kepada umat Allah sendiri. Setelah Anda menelusuri dasar Alkitab mengenai kerukunan antarumat beragama, Anda juga perlu mengetahui dasar teologis bagi kerukunan antarumat beragama. Di bawah ini akan dikemukakan dua buah dasar teologis bagi kerukunan antarumat beragama, yakni sebagai berikut: 1. Allah sebagai Pencipta dan Manusia sebagai Ciptaan Dasar yang pertama adalah apa yang kita baca terutama dalam Kitab Kejadian pasal 1-11, tetapi juga dalam banyak bagian-bagian Alkitab yang lain, yaitu pengakuan iman bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta dan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan-Nya. Bagi banyak orang, pokok pengakuan ini akan terdengar sangat biasa saja. Kesan “biasa” ini didapatkan karena kita selalu menghubungkan pokok penciptaan dengan masalah adanya Allah dan bagaimana manusia harus hidup di hadapan Allah, bukan dengan masalah kerukunan antarumat beragama dan kebersamaan manusia sebagai sesama ciptaan Allah. Dalam konteks percakapan mengenai kerukunan antarumat beragama, kita memerlukan perspektif baru yang khas Indonesia, yang bisa menyoroti pokok penciptaan secara baru pula. Dalam kerangka ini, penting sekali bagi kita untuk menyadari bahwa “Adam” bukanlah sekadar nama dari manusia pertama. Memang dalam Kejadian 4:25 “Adam” adalah nama orang, akan tetapi sebelum itu “Adam” selalu berarti “Manusia.” 135 Dalam Kejadian 1:26-28 manusia disebut “gambar Allah.” Biasanya, orang memulai pendekatan terhadap “gambar Allah” secara keliru, yaitu mulai mempertanyakan apakah yang dimaksud bahwa manusia adalah gambar Allah? Padahal, kisah Kejadian mau memperlihatkan bahwa gambar Allah adalah manusia. Hanya manusia dari seluruh ciptaan Allah yang lain yang disebut gambar Allah. Itu berarti, pada satu pihak manusia adalah ciptaan sama seperti makhluk lainnya, tetapi tetap ada keunikannya. Di mana letak keunikannya? Gambar Allah menunjuk pada kemanusiaan manusia. Dalam situasi mana pun manusia berada, dia tetap gambar Allah, dia tetap manusia. Tidak dapat dibinatangkan oleh siapa pun. Dalam teologi tradisional calvinisme, gambar Allah yang ada pada manusia sudah rusak oleh karena kejatuhannya dalam dosa. Baru oleh karya Yesus Kristus yang adalah gambar Allah yang sejati, hakikat manusia sebagai gambar Allah dipulihkan kembali. Tanpa bermaksud menentang teologi yang tradisional ini, ada baiknya kita menyadari bahwa dalam Kejadian 1-11 secara eksplisit tidak dikemukakan bahwa gambar Allah sudah rusak. Penentangan atau pemberontakan manusia terhadap Allah pun tidak merusak kemanusiaan manusia. Bila kita menghubungkan Kejadian 1-11 dengan ayat-ayat mengenai Imago Dei dalam Perjanjian Baru, penafsiran mengenai gambar Allah yang sudah rusak dapat dikonstruksikan. Bila kita tetap mau mengikuti teologi tradisional, jalan ke luar yang dapat diambil adalah mengakui bahwa, pada satu pihak, dosa menyebabkan manusia kehilangan gambar Allah, tetapi oleh Yesus Kristus, gambar Allah ini dipulihkan kembali. Dipulihkannya ini tidak mesti sesudah manusia menerima Kristus. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Paulus, ”Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rm. 5:8). Masih ada satu segi dari pokok penciptaan yang perlu menjadi perhatian kita, yakni manusia sering disebut sebagai “daging” (basar). Maksudnya, bukan pertama-tama mau mengungkapkan aspek kejasmanian manusia, melainkan aspek kerapuhannya sebagai makhluk fana yang dapat mati. Tradisi Hikmat 136 yang berada di belakang Kitab-kitab Kejadian, Ayub, Amsal, Pengkhotbah dan juga sebagian Mazmur memuat pelbagai macam himbauan mengenai apa yang harus dibuat oleh manusia untuk menerima kefanaannya. Namun, itu sekaligus juga membuat hidup manusia yang singkat ini menjadi berharga. Dalam tradisi ini, pergumulan universal manusia sebagai makhluk dari darah dan daging, yang meliputi harapan dan sukacita, tetapi juga amat menonjolkan kekecewaan dan keputusasaannya. Kefanaan manusia dan kerinduan manusia untuk imortalitas merupakan masalah fundamental bagi agama-agama. Oleh karena itu, pokok mengenai manusia sebagai “daging” dapat menjadi dasar untuk pemahaman yang membantu memotivasi kerukunan antarumat beragama. 2. Umat Allah sebagai Pelayan Kebersamaan Manusia Dasar yang kedua adalah pemahaman mengenai umat Allah. Pokok ini sering dianggap sebagai sesuatu yang eksklusif sifatnya. Abraham dipanggil keluar dari Ur supaya menjadi cikal bakal umat Israel, sedangkan umat Israel dipanggil keluar (Exodus) supaya menjadi umat kesayangan Tuhan. Demikian kita baca di dalam Ulangan 7:6. Pemahaman mengenai Israel sebagai umat kesayangan Tuhan, umat yang dipilih Tuhan dari antara bangsa-bangsa yang lain memang amat menonjol di dalam Alkitab. Bahkan, dalam Perjanjian Baru yang sudah berwawasan universal, ide ini tetap kuat juga. Keselamatan datang dari orang Yahudi (Yoh. 4:22). Dalam Surat Paulus kepada jemaat di Roma pasal 11, Paulus tetap mempertahankan bahwa Israel adalah umat Allah sedangkan orang Kristen non-Yahudi cuma “cangkokan” saja (Rm. 11:17). Ide umat Allah kemudian diteruskan dalam Surat-surat Petrus. Orang Kristen menjadi bagian dari “imamat yang rajani” (1 Ptr. 2:9). Berbeda dengan Israel yang mempunyai golongan imam dan awam, Israel baru, jemaat Tuhan, semuanya adalah imam. Dalam Perjanjian Baru tidak banyak ayat yang mengungkapkan kelompok Kristen sebagai umat (laos). Yang banyak dipakai adalah “persekutuan” (koinonia). Dalam teologi tradisional, Gereja biasanya digambarkan menggantikan tempat Israel sebagai umat Allah. Gereja adalah Israel baru, yang menjadi kesayangan Tuhan. Yang jarang disadari adalah, bahwa di dalam Alkitab juga ada pemahaman mengenai umat Allah yang tidak menekankan status sebagai “kesayangan Tuhan.” Hal ini terutama terdapatn pada ayat-ayat yang dekat sekali dengan masa pembuangan dan yang berasal dari zaman pembuangan. Dalam Zefanya 3:12 umat Israel yang luput dari hukuman Tuhan akan dibiarkan, menjadi “suatu umat yang rendah hati dan lemah.” Maksudnya, umat yang tidak bisa 137 membanggakan status mereka sebagai umat terpilih, sedangkan dalam Kitab Yesaya terdapat 4 buah syair yang oleh para penafsir disebut “syairsyair Hamba Tuhan” (ebed Yahweh), yaitu Yesaya 42:1-4, 49:1-6, 50:4-11 dan 52:13-53:12. Pada pokoknya, dalam keempat syair ini direfleksikan bagaimana Israel harus memandang penderitaan masa lalunya berupa kehinaan pembuangan yang telah memalukan mereka, bagaimana mereka harus bersikap sekarang dan bagaimana Israel di masa depan sesudah pembuangan berakhir, dapat menjadi bangsa-bangsa, bagaimana harus hidup. Model ini bukanlah model yang triumfalistik, eksklusif ataupun intoleran, melainkan model yang rendah hati, inklusif dan toleran. Biasanya seorang tokoh tertentu disebut sebagai hamba. Israel secara keseluruhan sebagai umat disebut Hamba. Tekanan tidak lagi pada umat kesayangan, sebab pembuangan telah diinterpretasikan sebagai hukuman yang layak bagi umat yang berdosa dan tidak bisa mempertanggung- jawabkan keberadaan mereka sebagai umat terpilih. Dalam syair terakhir (Yesaya 52:13-53:12) yang sangat padat makna dan karena itu juga bersifat multitafsir, penderitaan Israel dilihat sebagai sesuatu yang bermakna, bukan hanya bagi Israel sendiri, melainkan juga bagi yang lain. Israel tidak dilihat sebagai model penampilannya menarik dan mengagumkan, tetapi model yang sebetulnya pantas dipertanyakan, apakah layak menjadi model. Penggambaran yang menjijikkan bermakna sebagai metafor dari Israel dalam pembuangan yang menderita malu yang amat sangat. “Kita” dalam syair terakhir ini adalah dunia (bangsa-bangsa) yang menyaksikan penderitaan Israel. Meskipun menderita malu yang amat sangat, penderitaan ini tidak berdampak traumatik, yang menyebabkan Israel nantinya membangun konsep umat terpilih yang triumfalis, eksklusif dan intoleran sebagai kompensasi atas penderitaan masa lalu dan tidak mau menderita lagi atas alasan apa pun sehingga daripada menderita lebih baik menderitakan orang lain, tetapi penderitaan dilihat sebagai penebusan bagi dunia ini. Israel menderita untuk dunia dalam rangka melayani dunia. Di dalam narasi Matius kita mencatat ada Khotbah di Bukit (pasal 5-7) yang ditujukan baik kepada para murid dan siapa pun yang mau mendengar dan yang isinya berkaitan dengan bagaimana manusia yang satu berelasi dengan manusia yang lain. Dalam Matius 7:13 Yesus meringkaskan isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi sebagai berikut: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” Ratusan tahun sebelumnya Khong Hu Cu sudah berkata demikian, 138 tetapi dengan perumusan yang berbentuk negatif, “yang tidak kamu kehendaki.” Mereka yang berpola pikir partikular akan mengatakan bahwa ucapan Yesus tetap unik oleh karena dirumuskan secara positif, sedangkan ucapan Khong Hu Cu kurang dibandingkan ucapan Yesus oleh karena dirumuskan secara negatif. Di sini terjadi kerancuan berpikir yang menganggap sebuah rumusan yang berbentuk negatif sebagai bermakna negatif! Mengapa tidak menerima saja bahwa baik Yesus maupun Khong Hu Cu mengambil inspirasi dari kebenaran universal yang laku sepanjang masa? Pada akhir Injil Matius kita menjumpai pasal yang terkenal mengenai penghakiman terakhir (Mat. 25:31-46). Menarik sekali bahwa di sini Yesus mengidentikkan pelayanan kepada-Nya dengan pelayanan kepada mereka yang tersisih dalam masyarakat. Pada penghakiman terakhir “semua bangsa” harus mempertanggungjawabkan tindak-tanduk mereka. Perikop ini tidak berbicara mengenai penghakiman orang yang tidak percaya, tetapi penghakiman orang yang tidak menolong sesama yang membutuhkan pertolongan konkret. Itu makna dari perikop ini. Dalam sejarah makna ini sering diselubungi dengan makna partikular yang sangat berat sebelah. Pada ayat 32 dan 33 disebutkan mengenai “domba” dan “kambing.” Domba ditempatkan di sebelah kanan sedangkan kambing di sebelah kiri. Yang di sebelah kanan masuk ke hidup yang kekal, tetapi yang di sebelah kiri masuk ke siksaan yang kekal (ayat 46). Otomatis “domba” diidentikkan dengan partikularitas umat! Dalam rangka mencari dasar Alkitab bagi kerukunan umat antarumat beragama, sudah mendesak adanya upaya menafsirkan kembali ayat- ayat yang universal sifatnya, tetapi yang terang universalnya lama terselubung oleh penafsiran tradisional yang tidak sesuai dengan makna harfiahnya. Uraian di dalam Alkitab mengenai kekhasan umat tidak pernah dapat dilepaskan dari keuniversalan manusia. Kekhasan umat bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Orang terpanggil untuk menyadari jati dirinya, supaya dapat berkembang bersama yang lain menuju keuniversalan manusia. Oleh karena itu, pembinaan keumatan tidak dapat dilaksanakan terlepas dari pembinaan kemanusiaan. Menurut Anda, bagaimana sikap orang Kristen terhadap kemajemukan agamaagama? Adakah titik temu antara agama Kristen dengan agama lain? Bagaimana Anda menyikapi umat lain sementara pokok-pokok kepercayaan sangat berbeda atau bertentangan? Silakan Anda menyatakan argumentasi Anda yang menunjukkan bahwa pluralisme agama sebagai persoalan teologis. 139 Setiap umat beragama, tentu saja, akan menganggap agama yang dianutnya sebagai agama yang benar. Ini tidak bisa disalahkan. Bahkan seharusnya begitu. Agama adalah soal kepercayaan sehingga orang itu tidak layak ragu-ragu terhadap agama yang dianutnya. Hal yang dikemukakan terakhir ini tidak akan menjadi soal besar andaikata agama yang diturunkan Tuhan hanya satu. Dengan kata lain, andaikata Tuhan menyatakan diri atau kehendak-Nya hanya melalui satu saluran saja. Dalam kenyataannya tidaklah demikian. Ada sekian banyak agama yang kita kenal. Hebatnya lagi, agama-agama itu selalu mengajarkan hal-hal luhur, walaupun kenyataannya para penganut agama sering membelokkan ajaran-ajaran agama demi tujuan mereka sendiri. Hal inilah yang menyebabkan agamaagama dicemarkan, bahkan tidak jarang mendapat cap yang tidak mengenakkan. Misalnya, Karl Marx, yang memandang agama sebagai candu bagi masyarakat. Pluralisme agama bukan saja merupakan sebuah kenyataan yang sudah ada selama berabad-abad, melainkan juga merupakan persoalan teologis. Kalau orang berkata-kata mengenai persoalan teologis, yang dimaksudkan adalah persoalan tentang “kebenaran” itu sendiri. Artinya, jika kita memerhatikan banyak agama haruskah kita berkata bahwa ada satu agama yang benar dengan konsekuensi bahwa agama lain dianggap tidak benar? Sebuah pertanyaan yang menarik tetapi jawabannya tidak mudah. G.E. Lessing, seorang filsuf dan teolog yang hidup pada abad XVIII di Jerman, juga dihantui pertanyaaan seperti itu (Yewangoe 2002, 17). Dalam sebuah drama yang berjudul Nathan, der Weise, ia mencoba menguraikan pendapatnya. Konon hiduplah seorang ayah yang mempunyai tiga orang putra. Ketiga-tiganya dikasihi. Tidak ada dari ketiganya yang lebih dikasihi dibanding yang lain. Sebelum meninggal si ayah bermaksud mewariskan sesuatu yang paling berharga bagi ketiga anaknya. Apakah yang paling berharga yang dimiliki sang ayah? Ternyata ia memiliki sebuah cincin yang sangat indah dan mahal. Kalau cincin itu hanya diberikan kepada salah seorang dari ketiganya, terbukti bahwa hanya satu orang yang dikasihi. Ini bertentangan dengan sifat sang ayah yang mengasihi ketiganya. Kalau cincin tersebut dibagi tiga, cincin itu tidak berharga lagi. Akhirnya, sang ayah mendapat akal. Ia memanggil seorang jauhari dan menyuruhnya membuat dua cincin lain yang sama persis dengan cincin yang asli. Begitu sempurnanya tiruan cincin tadi sehingga si ayah pun tidak tahu lagi mana cincin yang sungguh-sungguh asli. Ketika meninggal, sang ayah mewariskan kepada 140 masing-masing anak sebuah cincin dengan klaim bahwa itulah yang asli. Demikian cerita itu. Tentu saja, tiga cincin yang dimaksud adalah ibarat tiga agama besar yang sudah dikenal waktu itu: Yahudi, Kristen dan Islam. “Dari ketiga agama ini tentu harus ada satu yang sungguh-sungguh merupakan agama yang benar,” demikian kata Sultan Saladin yang juga merupakan tokoh dalam drama tersebut. Ia lalu bertanya kepada Nathan, “Seorang yang bijaksana seperti Anda,” kata Saladin selanjutnya, “Tidak bisa tetap berdiri saja di tempat Anda dilahirkan. Kalau pun Anda tetap berdiri di situ, pilihan tersebut harus dapat dijelaskan sebagai yang sungguh-sungguh lebih baik.” Dengan kata lain, Anda harus dapat meyakinkan dengan bukti mengapa Anda memilih agama ini, bukan agama itu. Perlu Anda ketahui bahwa Lessing hidup dalam suatu zaman ketika segala sesuatu harus disertai bukti-bukti yang masuk akal. Cincin mana yang sejati? Jawaban yang diberikan Nathan adalah bahwa pertanyaan itu tidak berguna, hendaknya mereka bertiga bersama-sama bersikap bijak dan memerintah negara. Kesimpulan dari cerita ini tentunya bahwa segala pertengkaran tentang agama mana yang lebih benar adalah tidak relevan dan kampungan (Suseno 2004, 135-136). Kembali ke perumpamaan tiga cincin tadi. “Jikalau cincin sejati tidak dapat dibuktikan, biarlah kekuatan cincin sejati itu yang membuktikan dirinya sendiri,” kata Nathan. Dengan kata lain, biarlah setiap orang membuktikan melalui pengalaman hidupnya bahwa “cincin” yang dipegangnya adalah sungguhsungguh cincin sejati. “Biarlah setiap orang berperilaku sesuai dengan kasih yang tidak cacat dan cinta yang tanpa iri hati.” Puas? Inikah jawaban yang dinantikan? Ternyata tidak semudah itu. Sebab pertanyaan lanjutan yang muncul adalah apakah memang kebenaran dapat disamakan begitu saja dengan manfaat sebuah agama. Dapatkah kebenaran sebuah agama direduksi hanya lantaran agama itu bermanfaat, menolong, dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan? Anda yang jeli akan segera melihat bahwa pertanyaan tersebut tidak dapat dilepaskan dari persoalan-persoalan teologis. Artinya, kita tidak dapat menyelesaikan begitu saja pertanyaan tersebut dengan satu atau dua jawaban yang kedengarannya sederhana. Kita ditempatkan pada posisi yang terusmenerus mencari, walaupun tidak berarti bahwa kita harus mengisolasi diri dari sesama yang berbeda agama dari kita. Kita bisa menyebutnya sebagai penjelajahan teologis. 141 Adalah Hans Kung, seorang teolog Katolik kondang, yang menggambarkan empat posisi dasar relasi antaragama (Yewangoe 2002, 19). Posisi pertama adalah tidak ada agama yang benar atau semua agama samasama tidak benar. Tentu saja Kung tidak sedang mempromosikan sebuah pandangan yang bersifat ateis di sini. Memang inilah tantangan yang diajukan kepada semua agama. Dalam bentuknya yang ekstrem, dunia pernah mengenal seorang Nietzsche yang memproklamirkan bahwa “Allah Telah Mati.” Barangkali kita tidak perlu cepat-cepat mencela Nietzsche akibat ucapan ini, tetapi kita perlu merenungkannya secara mendalam apa makna beragama dan percaya kepada Tuhan. Posisi kedua adalah bahwa hanya ada satu agama yang benar atau semua agama lain tidak benar. Pendirian ini langsung mengingatkan kita pada pendirian Gereja tradisional yang pada masa awalnya diperkembangkan oleh Origenes, Cyprianus dan Augustinus. Belakangan dalam Konsili Lateran IV (1215) pendirian itu dikenal secara luas sebagai slogan Extra Ecclesia Nulla Salus (Di Luar Gereja Tidak Ada Keselamatan). Konsili Florence (1442) kembali menegaskan bahwa Gereja percaya dengan teguh sambil mengaku dan menyatakan bahwa tidak ada seorang pun di luar Gereja yang akan mengambil bagian dalam kehidupan kekal. Sebaliknya mereka, yaitu orang kafir dan orang Yahudi serta semua orang yang tidak percaya telah dikutuk supaya masuk ke dalam api yang kekal kecuali apabila mereka masuk dan ambil bagian dalam Gereja sebelum mereka meninggal. Tentu saja, pendirian ini telah menjadi “masa lalu” dari Gereja. Konsili Vatikan II (1962-1965) dalam konstitusinya mengenai gereja menjelaskan Sumber: bahwa mereka yang bukan karena kesalahan http://protectthepope.com/?p=2673 mereka sendiri tidak mengenal Injil Kristus dan gereja- Nya, tetapi tetap mencari Allah dengan hati yang jujur serta berupaya memenuhi kehendak-Nya sebagaimana diakui di dalam perintah-perintah suara hati dan dalam perbuatan-perbuatan yang didorong oleh karya anugerah-Nya, akan mencapai keselamatan kekal. Kemudian dalam deklarasi mengenai agama-agama non-Kristen terdapat perhargaan terhadap agama 142 tersebut yang memuncak pada kalimat berikut: “Gereja Katolik tidak menolak apa yang benar dan kudus di dalam agama-agama ini.” Posisi ketiga adalah bahwa setiap agama adalah benar atau semua agama sama-sama benar. Jelas pendirian ini cenderung menyamaratakan semua agama yang sebenarnya tidak mungkin. W.C. Smith, seorang pakar ilmu agama asal Kanada, berkata bahwa bahkan dalam satu agama saja tidak mungkin agama itu tetap sama sepanjang masa. Seiring dengan perjalanan waktu, kebudayaan dan peradaban umat manusia berkembang sehingga agama pun ikut berkembang. Jadi, kalau dalam satu agama sudah terjadi perbedaan antara “dulu” dan “sekarang,” mana mungkin setiap agama dapat dianggap sebagai sama-sama benar. Kalau begitu posisi ketiga agama ini memang mustahil. Posisi keempat beranggapan bahwa hanya satu agama yang benar dan semua agama mempunyai andil dalam kebenaran agama yang satu ini. Pendirian semacam ini, terutama kita temukan pada agama yang berasal dari India. Semua agama adalah empiris. Artinya, pengalaman sehari-hari hanya menampilkan satu segi tertentu dari sebuah kebenaran universal. Agama tersebut bukannya tidak benar, tetapi hanya bersifat sementara. Semuanya mempunyai bagian dalam kebenaran universal. Pandangan yang lazim disebut inklusivisme ini juga ditemukan dalam kekristenan. Karl Rahner, seorang teolog Katolik dari Jerman, memperkenalkan anonymous Christian (‘Orang Kristen Anonim’). Menurutnya, semua orang Yahudi, Hindu, Muslim dan Buddha akan diselamatkan. Sebab, pada akhirnya mereka juga Kristen atau lebih tepat Orang Kristen Anonim. Keempat posisi yang dikemukakan Kung mungkin tidak memuaskan dalam upaya memahami kemajemukan agama-agama itu. Penjelasan itu telah makin meyakinkan kita bahwa persoalan ini tetap akan diketengahkan sebab ia menyangkut eksistensi manusia itu sendiri. Kemajemukan agama bukanlah masalah teoretis atau akademis belaka, melainkan ia berkaitan dengan kebutuhan manusia yang sering tidak berjalan mulus. Ada orang yang tidak mau bersusah payah mempertanyakan secara teologis persoalan ini dan hanya mendorongnya ke arah praktis belaka. Tidak dapat dihindarkan bahwa orang akan mempertanyakan hakikat pluralisme itu sendiri. “Bila hanya ada satu Tuhan, tidakkah seharusnya hanya ada satu agama saja?” demikian pernah orang bertanya kepada Gandhi. Apa jawaban Gandhi? Ia berkata: “Sebatang pohon punya sejuta daun. Ada banyak agama sebagaimana ada banyak pria dan wanita, tetapi semuanya berakar pada satu Tuhan saja.” Jawaban Gandhi ini barangkali tidak tepat betul. Ia hendak memperingatkan 143 bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengklaim kebenaran sebagai miliknya sendiri. Demikian juga Allah tidak mungkin diklaim sebagai milik dari satu agama tertentu. Sayangnya, kata Wesley Ariarajah, seorang Pendeta Metodis di Sri Lanka, Tuhan telah didorong begitu rupa supaya menjadi Tuhan dari “suku” tertentu, padahal Ia adalah Tuhan dari segala suku, bangsa dan umat (Ariarajah 1989, 14-15). Menyadari bahwa kebenaran tidak mungkin dapat diklaim, akhir-akhir ini, khususnya di kalangan teolog Protestan, ada usul yang kuat sekali untuk membuat sebuah “Revolusi Copernicus” dalam teologi. Secara khusus hal itu diketengahkan oleh John Hick, seorang teolog dari Inggris. Kalau dulu Copernicus melawan teori Ptolemeus yang menempatkan “bumi” sebagai pusat alam semesta dan menggantikannya dengan “matahari” yang dikelilingi planet- planet lain, perubahan berpikir yang radikal juga harus terjadi dalam teologi. Sudah tiba masanya, kata Hick, meninggalkan pandangan bahwa agama Kristen adalah pusat sedangkan agama-agama lain hanya berputarputar mengelilingi pusat. Sekarang “kebenaran” harus ditempatkan pada pusat, sedangkan agama Kristen bersama agama-agama lain beredar di sekitar “Kebenaran” itu. Setiap agama percaya bahwa Allah adalah mahakuasa, mahamurah dan maharahim. Pendeknya, Ia adalah Allah yang tidak menghendaki kebinasaan manusia. Allah senantiasa memberi kesempatan kepada manusia supaya bertobat. Bagaimana kita mengetahui bahwa Allah sungguh-sungguh menghendaki manusia selamat? Hampir setiap agama mengajarkan bahwa hal ini hanya dapat diketahui kalau Allah sendiri memberitahukannya kepada manusia. Pemberitahuan ini dalam agama Kristen disebut “Penyataan,” sedangkan dalam agama Islam disebut “Wahyu.” Tentu saja, setiap agama akan mengklaim bahwa pemberitahuan Allah kepadanyalah yang paling autentik dan lengkap. Sekali lagi klaim ini tetap sulit dibantah karena ia merupakan perkara keyakinan. Namun demikian, kita harus tetap mempunyai pemikiran bahwa Allah pun dapat memakai kemungkinan lain untuk menyatakan kehendak-Nya kepada manusia. Artinya, karena Allah adalah mahakuasa, kemahakuasaan-Nya tidak mungkin dapat dibatasi hanya ke satu “saluran” saja. Allah lebih besar dibanding agama-agama dan segala perumusan agama tentang Allah 144 Konfrontasi, Koeksistensi, Pluralisme Ada tiga model hubungan antarumat berbeda agama, yakni konfrontasi, koeksistensi damai dan pluralisme. Pada pola yang pertama, yang dahulu lazim dianut agama-agama besar dunia, pendekatannya adalah konfrontatif: berupaya dengan segala cara mengenyahkan yang lain. Tidak ada tempat bagi agama- agama lain, agama-agama lain adalah kafir. Pola yang kedua adalah koeksistensi (kebersamaan statis). Di dalam pola ini mereka hidup bersama tanpa kebersamaan, mereka sering bekerja bersama-sama namun tidak terjadi interaksi, mereka bercakap-cakap tetapi tidak ada dialog sejati. Apa yang terjadi adalah “Kuhidupi hidupku dan kau hidupilah hidupmu,” atau “Jangan ganggu aku dan tak akan kuganggu kau.” Orang hidup bersama secara sosial dan praktis, tetapi tidak secara teologis. Pola yang ketiga adalah prinsip dan sikap pluralisme, yakni kebersamaan kreatif. Dengan prinsip ini perbedaan agama tidak dilihat semata-mata sebagai sesuatu yang secara praktis tidak terhindarkan, melainkan sesuatu yang bermakna dan teologis. Dalam wawasan pluralisme ini, yakni yang menerima serta menghayati kepelbagaian secara positif, misi masing-masing agama tidak dihapuskan, melainkan dikembangkan dari monolog (dengarlah aku) ke dialog (marilah kita saling mendengarkan). Demikian juga perbedaan asasi antara agama-agama tidak dinisbikan, melainkan ditonjolkan untuk saling memperkaya wawasan. Dalam dialog dan interaksi dengan penganut agama-agama lain penghayatan iman saya diperdalam dan komitmen sosial saya diperkokoh. Wawasan pluralis akan menciptakan hubungan antarumat berbeda agama yang lebih rukun dan berinteraksi secara positif dalam kemanusiaan bersama yang kreatif dan keberagamaan yang dinamis. Wawasan primordial digantikan wawasan kemanusiaan, yang antara lain terungkap dalam perjuangan bersama untuk melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga Negara, menegakkan demokrasi, hak-hak asasi, keadilan sosial dan kedaulatan hukum, bertolak dari sumber keagamaan masing-masing yang dikembangkan secara sehat dan dinamis. 145 Ada tiga posisi dasar beragama dewasa ini (Suseno 2004, 137-139). Pertama, eksklusivisme agama. Sikap ini bertolak dari keyakinannya akan wahyu yang diterima dari Allah dan karena itu yakin bahwa agamanya sendiri adalah agama yang benar. Agama-agama lain tidak benar dan bahwa keselamatan kekal hanya terbuka bagi mereka yang menyembah Allah menurut wahyu Allah itu. Menurut eksklusivisme, di luar agamanya sendiri tidak ada keselamatan. Pendek kata, menurut eksklusivisme hanya ada satu agama yang benar, ialah agamaku sendiri dan hanya penganut agamaku itu dapat masuk surga. Kedua, inklusivisme agama. Inklusivisme agama tidak melepaskan keyakinan bahwa yang benar adalah agamanya sendiri. Jadi, bagi orang Kristen, bahwa hanyalah karena Yesus dari Nazaret semua orang dapat selamat. Inklusivisme tidak mengakui semua agama lain sebagai sama-sama benar. Akan tetapi, disebut inklusivisme karena mereka menerima bahwa orang dari agamaagama lain juga dapat selamat. Ketiga, pluralisme agama. Pluralisme agama diperjuangkan di kalangan Kristen oleh teolog-teolog seperti John H. Hick, Paul F. Knitter dari Protestan dan Raimundo Pannikar dari Katolik. Mereka menolak eksklusivisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan. Agama-agama hendaknya pertama-tama memperlihatkan kerendahan hati, tidak menganggap diri lebih benar daripada yang lain-lain. Teologi yang mendasari anggapan itu adalah, kurang lebih, dan dengan rincian berbeda, anggapan bahwa agama-agama merupakan ekspresi religiositas umat manusia. Para pendiri agama, seperti Buddha, Yesus dan Muhammad merupakan genius-genius religius. Mereka menghayati dimensi religius secara mendalam. Salah satu implikasi pluralisme adalah penolakan terhadap misi. Apabila agama-agama sekadar ungkapan dimensi religius semesta, mau “mempertobatkan” umat beragama lain tidak masuk akal. Yang dapat mereka benarkan paling-paling saling memperkenalkan penghayatan rohani masing-masing untuk saling memperkaya, saling membantu dalam mengatasi unsur-unsur sempit yang tidak memadai dan mengembangkan semacam sinergi kepositifan antara agama-agama. Menurut Anda, haruskah agama yang mempunyai nilai-nilai luhur ditundukkan begitu saja ke bawah nafsu rendah manusia untuk mencapai tujuan yang sering kali bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri? Haruskah agama dipurukkan sebagai topeng bagi kemunafikan serta menjadi alat manipulasi 146 psikologis yang menanamkan fanatisme sempit dan menyebarkan kebencian kepada sesama manusia serta tidak jarang menjadi sumber legitimasi bagi pertumpahan darah? Bagaimana bisa agama dijadikan alat manipulasi psikologis yang menanamkan fanatisme sempit dan menyebarkan kebencian kepada sesama manusia? Apa akibatnya jika agama dijadikan sumber legitimasi bagi pertumpahan darah? Silakan Anda mengomunikasikan dengan kata-kata dan gagasan Anda sendiri mengenai peran umat beragama dalam mengembangkan kerukunan antarumat beragama. Untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama empat hal berikut ini harus diperhatikan oleh umat beragama. Pertama, tanggung jawab yang lebih besar pada yang lebih besar. Jika kerukunan hanya menjadi urusan dan perjuangan yang kecil akan menjadi sia-sia. Tidak ada perubahan yang berarti bisa terjadi tanpa dukungan umat mayoritas yang banyak dan militer yang kuat. Lebih mulus lagi bila juga memeroleh dukungan dari birokrasi yang berkuasa. Seperti tidak mungkin ada demokrasi tanpa mereka, juga tidak akan ada kerukunan tanpa mereka. Kedua, kerukunan harus diupayakan terusmenerus. Tidak hanya menjadi topik seminar setelah ada konflik, melainkan dirawat dan ditumbuhkan terus-menerus melalui pengalaman bersama. Saat mengupayakan kerukunan terus-menerus kebebasan harus ditata. Kebebasan yang liar dan binal akan menghancurkan kebebasan itu sendiri. Masing-masing menata kebebasannya sendiri dengan bertanggung jawab, dan dengan ini masing-masing mewujudkan kerukunan beragama dan sekaligus memelihara kebebasan itu sendiri. Selain itu, kerukunan harus diupayakan langkah demi langkah dengan mengupayakan kesepakatan-kesepakatan minimal yang semakin maju melalui pengalaman perjalanan bersama. Ketiga, tugas mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama adalah tugas bersama: lembaga-lembaga keagamaan, umat beragama serta pemerintah. Keempat, kita harus menerobos dan merobohkan tembok prasangka religius (Ismail 2002, 47). Hal tersebut kita lakukan dalam rangka meneladani sikap Yesus Kristus. Yesus Kristus telah menerobos dan merobohkan tembok prasangka rasial dan religius sebagaimana tercatat dalam Yohanes 4:1-42. Menurut ayat 3 Tuhan Yesus dan para murid berniat meninggalkan Yudea (Israel bagian selatan) menuju Galilea (Israel bagian utara). Lalu, di ayat 4 tertulis, “Ia harus melintasi daerah Samaria.” Perhatikan kata harus dalam kalimat itu. Samaria adalah bagian tengah Israel. Sebenarnya sangat wajar bila orang melintasi wilayah tengah dalam perjalanan dari selatan ke utara atau sebaliknya. Orang Yahudi 147 menghindari wilayah Samaria kecuali bila sangat terpaksa. Mereka lebih bersedia berputar jalan daripada harus melintasi daerah orang Samaria, sebab mereka enggan bertemu dengan orang Samaria. Ada tembok prasangka antara kedua etnik itu. Sumber: http://buktidansaksi.com/blogs/1/2009/12/-Did-Allah-Exist- Tembok pemisah itu tergambar dalam kalimat, “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” (ay. 9a). Lalu pengarang Injil memberi keterangan, “Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria” (ay. 9b). Prasangka antara orang Yahudi dengan orang Samaria itu ternyata sudah berlangsung lebih dari 500 tahun. Awalnya begini. Pada tahun 722 sM., Asyur menaklukkan wilayah Samaria. Penduduk Samaria yang berjumlah sedikit itu dicampur dengan beberapa bangsa pendatang sehingga agamanya pun tercampur (lih. 2 Raj. 17:24-41). Ketika kemudian orang Yudea membangun ulang Bait Allah di Yerusalem, orang Samaria menawarkan bantuan. Namun, bantuan itu ditolak, sebab orang Yudea menganggap orang Samaria sebagai bukan Yahudi murni lagi akibat kawin campur dengan bangsa-bangsa lain. Ini menjadi benih kebencian antara etnik Yahudi dengan etnik Samaria. Apalagi ketika kemudian orang Samaria membangun sebuah Bait Allah sendiri di Gunung Gerizim. Akibatnya orang Samaria dianggap bukan orang Yahudi lagi dan bukan beragama 148 Yahudi lagi. Sejak itu orang Samaria menjadi kelompok minoritas yang dijadikan tumpahan kebencian dan kedengkian. Bahkan pernah pula pada tahun 129 sM. orang Yahudi menyerang orang Samaria (Ismail 2002, 46). Sebagai seorang yang berbangsa Yahudi dan beragama Yahudi, sebenarnya bisa dimengerti seandainya Yesus juga berprasangka terhadap orang Samaria. Ternyata Yesus tidak berprasangka demikian! Sebaliknya, Yesus malah mengambil langkah yang menerobos dan merobohkan tembok prasangka itu. Ia menyapa seorang Samaria (lih. ay. 7). Tentu saja para muridNya menjadi heran (lih. ay. 27). Lalu Yesus melakukan terobosan yang lebih mengejutkan lagi. Ia menerima baik ajakan orang Samaria untuk menginap di rumah orang Samaria (lih. ay. 40). Bayangkan kebingungan para murid-Nya ketika tiba waktu makan. Seumur-umur mereka belum pernah makan dari piring dan mangkok orang Samaria sebab menurut aturan agama Yahudi pinggan dan cawan orang beragama lain adalah najis atau haram. Selain empat hal di atas, untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama umat beragama perlu mengembangkan sikap proeksistensi ketimbang koeksistensi (Sitompul 2006, 49). Di dalam koeksistensi kita memang mengakui orang lain dan merasa cukup kalau tidak saling mengganggu. Sedangkan proeksistensi mencakup saling menghargai dan berupaya mengembangkan kehidupan bersama yang harmonis dan dinamis. Ini berkait erat dengan pengakuan bahwa umat beragama lain mempunyai “legitimasi religius” yang tidak berhak kita nilai apakah benar atau salah. Umumnya umat beragama masih terjebak pada sikap superior atau eksklusivisme, merasa diri sendiri satu-satunya yang benar, sedangkan yang lain salah. Walaupun tidak diungkapkan terang- terangan, paling tidak “di kalangan sendiri” gencar diucapkan. Sikap merelatifkan agama bahwa semua agama itu sama juga tidak baik. Menyamakan semua agama berarti merendahkan penghayatan religius kita sendiri. Penghayatan agama atau spiritualitas adalah sesuatu yang personal, eksistensial dan menentukan bagi kualitas hidup kita, sesuatu yang tidak mungkin disamaratakan begitu saja dengan penghayatan orang lain. Kita perlu merenungkan kembali cara kita menghayati agama kita masingmasing. Meskipun agama adalah pilihan pribadi, ia juga berdampak bagi hubungan-hubungan sosial. Di dalam keluarga besar Bangsa Indonesia yang pluralistik, cara-cara kita menghayati dan mengungkapkan iman memainkan peranan penting agar kita terhindar dari konflik-konflik yang tidak perlu dan tidak produktif. 149 Kerukunan yang kita usahakan dan kembangkan bukanlah sekadar “rukunrukunan,” melainkan kerukunan yang benar-benar autentik dan dinamis. Kerukunan yang autentik bukanlah kerukunan yang diusahakan hanya oleh karena alasan-alasan praktis, pragmatis dan situasional, tetapi semangat kerukunan yang benar-benar keluar dari hati yang tulus dan murni. Kerukunan itu benar-benar dapat keluar dari hati yang tulus dan murni karena ia didorong dari suatu keyakinan iman yang dalam sebagai perwujudan dari ajaran agama yang diyakini. Oleh sebab itu, kerukunan bukanlah sekadar masalah politis atau teknis. Kerukunan juga tidak kurang adalah masalah teologis atau masalah keyakinan iman. Bertolak dari situ, umat beragama yang lain bukan saingan atau ancaman apalagi musuh, melainkan sebagai saudara-saudara sesama ciptaan Tuhan yang oleh Tuhan ditempatkan untuk hidup bersama dan bekerja bersama bagi kebaikan bersama dan oleh karena itu untuk dikasihi. Kerukunan yang autentik akan terwujud oleh keyakinan yang eksistensial seperti ini dan bukan hanya oleh kesepakatan-kesepakatan formal saja. Kerukunan yang dinamis bukan sekadar kerukunan yang berdasarkan kesediaan untuk menerima eksistensi yang lain dalam suasana hidup bersama tetapi tanpa saling menyapa. Kerukunan yang dinamis adalah kerukunan yang didorong oleh kesadaran bahwa meskipun berbeda, semua umat beragama mempunyai tugas dan tanggung jawab bersama yang satu, yaitu mengusahakan kesejahteraan lahir batin yang sebesar-besarnya bagi semua orang (bukan hanya umatnya sendiri), dan oleh karena itu mesti bekerja sama dan bukan hanya sama- sama bekerja. Salah satu tantangan terhadap pengembangan kerukunan adalah adanya peristiwa-peristiwa lokal yang mengarah pada peningkatan benturan dan konflik SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Adanya cara-cara melaksanakan dakwah, penginjilan, dan misi yang melecehkan dan menghakimi agama lain juga merupakan tantangan terhadap pengembangan kerukunan. Selain itu, adanya fundamentalisme agama dalam masyarakat majemuk juga merupakan tantangan terhadap pengembangan kurikulum. Fundamental berbeda dari Fundamentalisme. Fundamentalisme tidak hanya terdapat dalam satu agama. Fundamentalisme adalah gejala yang dapat terjadi dalam setiap agama. Berdasarkan asal usulnya, fundamentalisme adalah gerakan yang muncul dalam gereja pada abad ke-19 dan awal abad ke20 di Eropa. Pada abad ke-19 gereja berhadapan dengan ilmu pengetahuan 150 yang makin lama makin menguasai kehidupan banyak orang. Gereja yang selama ini berperanan besar dalam kehidupan sehari-hari menjadi terdesak. Bahkan muncul kecenderungan bahwa gereja sudah mulai ditinggalkan, entah karena ajarannya dianggap tidak relevan lagi atau karena pengaruhnya yang selama ini sangat dominan dianggap tidak sesuai lagi dengan roh zaman yang menghendaki kebebasan yang lebih besar bagi manusia. Perkembangan semacam itu dianggap berbahaya bagi kelanjutan hidup gereja. Untuk mengatasi kesulitan, muncullah fundamentalisme yang bertujuan membangun benteng yang kokoh demi mempertahankan diri dari serangan dunia luar yang dianggap membahayakan gereja. Di dalam benteng itu gereja berupaya mengokohkan pokok-pokok ajaran Kristen sekaligus juga peri kehidupan sehari- hari sebagai tandingan perilaku kehidupan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan yang sekularistis. Setelah benteng itu dibangun, mereka dengan sendirinya mengurung dirinya dari orang-orang lain yang berada di luar benteng. Dialog tidak mungkin dilakukan. Yang terjadi adalah pemaksaan kehendak yang dalam bentuk ekstremnya dapat berupa konflik bersenjata. Dalam penampilan yang militan, fundamentalisme merumuskan segala sesuatu dalam terminologi-terminologi yang serba mutlak. Kemutlakan itu dipaksakan kepada setiap orang. Dengan demikian, fundamentalisme menuntut komitmen orang atas kebenaran yang absolut, kalau perlu mempertaruhkan segala sesuatu. Tentu saja fundamentalisme sangat berbahaya, apalagi dalam suatu masyarakat majemuk seperti Indonesia. Kalau kelompok agama A memaksakan kehendaknya kepada kelompok agama B, pemaksaanpemaksaan yang absolut pasti terjadi yang akan menimbulkan ketegangan atau bahkan konflik. Pemaksaan itu bukan saja terjadi antara agama A dan agama B, melainkan dapat pula terjadi di dalam agama itu sendiri secara intern. Kalau ini terjadi, kecenderungan perpecahan tidak dapat dihindarkan. Gejala fundamentalisme dapat bermacam-macam. Secara umum dapat dikatakan bahwa sikap agresivitas sangat menonjol dalam cara penyebaran ajaran mereka. Bahkan muncul kecenderungan bahwa fundamentalisme keagamaan ini terpisah sama sekali dari asas-asas kemanusiaan, spiritual dan etika yang justru bagi kebanyakan agama merupakan unsur yang terpenting. Terdapat juga kecenderungan fanatisme yang berlebih-lebihan yang akhirnya 151 merupakan ancaman bagi keserasian sosial, keadilan dan hak-hak asasi manusia. Istilah “kerukunan” jauh lebih positif dan dinamis ketimbang istilah “toleransi” yang statis. Kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang autentik dan dinamis. Kerukunan yang tidak kita kehendaki adalah bila kerukunan harus dibayar dengan hilangnya perbedaan dan kebebasan. Dari antara bentuk-bentuk kegiatan yang berhubungan dengan kerukunan antarumat beragama, bentuk dialog adalah bentuk yang paling awal dilaksanakan dengan prakarsa pemerintah dan telah dilakukan di berbagai kota di Indonesia. Dari sifatnya, dialog dapat dibedakan menjadi dialog formal dan informal. Selain itu, pada umumnya kita membedakan antara dialog verbal dan dialog karya. Alkitab mendorong umat Kristen untuk hidup rukun dengan penganut agama yang lain. Alkitab tidak mendorong umat Kristen ke arah sikap eksklusif. Bahkan dalam beberapa hal, Alkitab menganjurkan sikap yang terbuka dan toleran. Memang ada sikap yang keras terhadap pengaruh luar tetapi hal itu dilihat dalam pengaruh yang merusak kehidupan dan ditujukan bukan kepada penganut lain, tetapi kepada umat Allah sendiri. Pluralisme agama bukan saja merupakan sebuah kenyataan yang sudah ada selama berabad-abad, melainkan juga merupakan persoalan teologis. Kalau orang berkata-kata mengenai persoalan teologis, yang dimaksudkan adalah persoalan tentang “kebenaran” itu sendiri. Untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama empat hal berikut ini harus diperhatikan oleh umat beragama. Pertama, tanggung jawab yang lebih besar pada yang lebih besar. Kedua, kerukunan harus diupayakan terusmenerus. Ketiga, tugas mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama adalah tugas bersama: lembaga-lembaga keagamaan, umat beragama serta pemerintah. Keempat, kita harus menerobos dan merobohkan tembok prasangka religius. Buatlah makalah sebanyak 15 halaman tentang kerukunan antarumat beragama di tempat Anda tinggal! Tugas ini juga dipresentasikan di depan kelas. 152 BAB VII PENJAGA CIPTAAN ALLAH Teknologi canggih yang diterapkan dalam dunia bisnis tidak semuanya bersahabat dengan lingkungan alam. Sejak tahun 1960-an, kita sudah sangat sering mendengar teriakan tentang menipisnya sumber alam, pengotoran udara, air dan tanah, pemanasan bumi, musim yang berubah tanpa aturan lagi, hutan- hutan menjadi gundul, efek rumah kaca dan lain-lain. Semuanya itu membuat kita berpikir untuk menemukan suatu relasi yang benar dalam perspektif hubungan yang tidak saling mematikan antara dunia bisnis, manusia dan alam lingkungan. Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (WCC), yang pada bulan Februari 1992 menyelenggarakan Sidang Raya yang ke-8 di Canberra-Australia, menyerukan agar upaya kita tidak berorientasi lagi kepada manusia (man oriented) tetapi kepada kehidupan (life oriented). Manusia diserukan supay sadar bahwa dia bukanlah tujuan penciptaan. Upaya-upaya untuk mengeksploitasi bumi bagi kepentingannya sendiri harus diganti oleh sikap dasar bahwa manusia pada hakikatnya tidak mempunyai arti apa-apa bila dilepaskan dari makhluk-makhluk lainnya dalam suatu lingkaran ekologis yang tidak putus-putusnya. Melalui bab ini, Anda diharapkan mencapai beberapa tujuan pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah: (i) bersyukur kepada Tuhan yang telah mencipta, menyelamatkan, memelihara dan membarui ciptaan- Nya; (ii) mengembangkan sikap kasih kepada Tuhan sebagai Pencipta, Penyelamat, Pemelihara dan Pembaru ciptaan-Nya; (iii) berpengharapan akan masa depan yang lebih baik; (iv) peduli dan bertanggung jawab memelihara ciptaan Tuhan; (v) menganalis karya Tuhan berdasarkan kesaksian Alkitab; (vi) menganalisis ajaran tentang karya Tuhan berdasarkan kesaksian Alkitab; (vii) menerapkan tanggung jawab etis Kristen dalam pemeliharaan lingkungan hidup; (viii) merumuskan hasil penelaahan dasardasar Alkitab yang menunjukkan Tuhan sebagai Pencipta; (ix) menyajikan hasil penelaahan dasar-dasar Alkitab yang memperlihatkan Tuhan sebagai 153 Pemelihara dan Pembaharu ciptaan-Nya; serta (x) melakukan tindakan pemeliharaan lingkungan hidup sebagai tanggung jawab etisnya. Gambar kerusakan alam berupa polusi udara akibat penerapan teknlogi Sumber: fransiscofaldo.wordpress.com Simaklah pernyataan sejarawan Amerika, Lynn White, berikut. Ia menyatakan bahwa “kekristenan bukan saja mentahbiskan dualisme manusia dan alam, tetapi juga menggarisbawahi kehendak Allah bahwa manusia mengeksploitasi alam demi kepentingan pribadinya. Kekristenan memikul beban kesalahan yang maha besar” (Stott 2005, 158-159). Menurut Anda, apakah benar pernyataan White tersebut? Mengapa White mengeluarkan pernyataan seperti itu? Apa yang perlu Anda lakukan untuk mematahkan pernyataan White tersebut? Silakan Anda mengamati dan menganalisis hubungan antara ekonomi dan ekologi yang terjadi dewasa ini di Indonesia! Hubungan antara ekonomi dan ekologi menjadi pusat perhatian, sebab pada dasarnya masalah ekologi timbul sebagai akibat serta menjadi korban dari kegiatan ekonomi (Sumartana 1994, 110). Kegiatan ekonomi yang menjadi tulang punggung pembangunan sering dianakemaskan sebegitu rupa sehingga ia menjadi terlalu manja dan kurang diawasi, kenakalan mereka dibiarkan. Hubungan antara ekonomi dan ekologi kemudian menampakkan 154 wajah yang buruk. Dalam tayangan televisi dapat disaksikan rusaknya lingkungan laut yang menyebabkan matinya ikan, kerang dan kepiting, serta merugikan para nelayan dan petani kerang. Mereka sangat dirugikan oleh pembuangan limbah pabrik yang seenaknya sehingga mematikan dan merusak lingkungan. Tingkah para pencari untung tersebut mencerminkan sikap etik tertentu yang perlu dipertimbangkan secara kritis. Mereka menganggap seolah-olah mereka hidup tanpa tetangga, tanpa orang lain, tidak mau tahu bahwa perilaku mereka telah amat merugikan orang lain, merusak lingkungan hidup. Para pemilik pabrik yang tidak bertanggung jawab dan pencari untung tersebut telah berbuat seolah-olah mengejar keuntungan diri sendiri layak membuat rugi orang lain. Hubungan antara ekonomi dan ekologi dalam praktik dipertentangkan satu terhadap yang lain. Inilah awal dari malapetaka itu. Sebenarnya hubungan antara ekonomi dan ekologi bisa dijabarkan dari pengertian etimologis yang justru bisa saling membantu dan membina. Ekonomi berasal dari kata oikos dan nomos. Oikos berarti ’rumah tangga‘ dan nomos berarti ’aturan, hukum.’ Ekonomi bisa diartikan sebagai upaya untuk mengatur atau penatalayanan rumah tangga (housekeeping). Sedang ekologi gabungan dari kata oikos dan logos. Oikos berarti ’rumah tangga‘, logos berarti ‘perkataan, pemahaman dan pengertian.’ Hubungan antara ekonomi dan ekologi tergabung dalam pemahaman bahwa kita tidak bisa menata masyarakat dan alam ini tanpa mengerti dan memeliharanya. Dengan kata lain, maka usaha untuk melakukan housekeeping harus dibarengi naturekeeping. Berbicara tentang ekonomi dan ekologi, khususnya dari perspektif Indonesia, harus dimulai dengan mengatakan bahwa ia tidak merupakan masalah pilihan “ini atau itu,” seolah-olah dengan bebasnya dapat dipilih antara ekonomi atau ekologi. Atau andai dipaksa untuk memilih, yang harus kita katakan adalah bahwa ini bukanlah pilihan yang mudah atau sederhana. Akar masalahnya memiliki sejarah yang cukup panjang. Selama lebih dari 200 tahun, pertumbuhan industri yang menjadi sakaguru pertumbuhan ekonomi Barat, telah didukung oleh tersedianya bahan bakar yang murah, sumber alam yang melimpah ruah serta lingkungan yang seakan-akan tanpa batas mampu menyerap semua limbah (Daraputera 1996, 120). Keadaan seperti ini 155 tidak hanya terjadi di Barat. Selama dasawarsa pertama pembangunan di Indonesia, kita juga dibuai oleh asumsi yang sama: persediaan minyak dan gas bumi yang melimpah, simpanan sumber alam yang kaya raya, dan tidak sedikit pun terpikirkan bahwa limbah industri akan menjadi masalah. Kesadaran bahwa industrialisasi juga menciptakan masalah datangnya amat lambat. Pengalaman Amerika Serikat memberikan ilustrasi yang menarik. Pada tahun 1960-an, mereka telah mulai menyadari terjadinya degradasi lingkungan yang disebabkan oleh industrialisasi. Namun demikian, pada waktu itu, mereka masih yakin bahwa teknologi pada akhirnya pasti akan mampu memecahkan masalah tersebut. Baru kemudian, sebelum dasawarsa itu berakhir, mereka menyadari bahwa walaupun teknologi mampu membantu dalam menemukan sumber daya alternatif, teknologi menciptakan masalah lingkungan yang amat serius. Oleh karena itu, pada awal tahun 1970-an, disahkanlah beberapa perangkat peraturan untuk mengendalikan polusi serta melindungi kelestarian alam. Pada pertengahan tahun 1970-an, kembali terjadi titik balik. Pada waktu itu, Amerika Serikat menderita akibat embargo minyak dan resesi ekonomi. Menghadapi keadaan seperti itu, banyak orang beranggapan bahwa masalah energi serta pertumbuhan ekonomi jauh lebih penting ketimbang masalah lingkungan. Pada akhir tahun 1970-an, peraturan mengenai lingkungan mulai dikendorkan demi pertumbuhan ekonomi. Indonesia juga mempunyai cerita yang hampir sama. Selama Pelita I-III, fokus pembangunan Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi. Baru kemudian kita terkejut menyadari betapa tingginya harga yang harus dibayar untuk itu: kelestarian ekologi yang telah kita kurbankan demi pertumbuhan ekonomi. Didorong oleh kesadaran ini lahirlah konsep “Pembangunan Berwawasan Lingkungan,” “Amdal” (Analisis dampak atas lingkungan), dan sebagainya. Belakangan ini, untuk lebih menarik para investor asing ke Indonesia, ada kecenderungan untuk mengendurkan masalah ekologi lagi. Alasan yang paling banyak dikemukakan untuk mengendurkan aturan- aturan mengenai lingkungan hidup adalah ekonomi: demi pertumbuhan ekonomi, penanaman modal asing, industrialisasi, menciptakan lapangan kerja, persaingan global dan sebagainya. Alasan-alasan itu ada benarnya. Namun demikian, harus dipertanyakan alasannya yang paling dasar: apakah memang dapat dibenarkan bila kita mengurbankan ekologi demi ekonomi? 156 Mengurbankan sesuatu hanya sah apabila: kita harus melakukannya demi tujuan yang lebih luhur dan kita yakin bahwa manfaatnya lebih besar daripada yang kita kurbankan. Tampak jelas bahwa di balik isu ekonomi dan ekologi, sesungguhnya ada konflik-konflik kepentingan, konflik-konflik kekuasaan, dan konflik-konflik nilai- nilai yang pelik. Betapa sulitnya menentukan kebijakan yang secara seimbang sekaligus menjamin baik lingkungan hidup, pertumbuhan ekonomi, tersedianya lapangan kerja, maupun kesehatan manusia. Di satu sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi dan industri untuk menciptakan lapangan kerja. Indonesia juga membutuhkan teknologi pertanian yang baru untuk memproduksi bahan pangan yang lebih banyak, bahkan teknologi tinggi untuk mampu bertahan dalam persaingan global. Pada sisi lain, kita mengetahui bahwa semua itu juga akan menguras habis sumber daya alam kita, menciptakan polusi terhadap lingkungan hidup kita, serta membahayakan kesehatan manusia, dan sebagainya. Kompleksitas masalah ini penting kita sadari terus-menerus, agar kita tidak terjerembab pada penyederhanaan masalah yang berlebihan. Namun demikian, kita juga tidak boleh hanya berhenti dalam frustasi lalu tidak mampu bertindak apa-apa, sementara tindakan begitu dibutuhkan. Untuk mampu bertindak secara benar dan tepat, kita perlu melakukan analisis biaya dan manfaat. Analisis ini akan membantu Anda untuk mengetahui kerumitan permasalahannya. Namun demikian, analisis ini hanyalah awal saja, yang segera harus diikuti dengan analisis etis. Analisis etis akan membantu menentukan tindakan yang benar, baik dan tepat. Analisis biaya dan manfaat mengasumsikan bahwa semuanya dapat dihitung dengan pasti. Di dalam beberapa kasus, kalkulasi seperti itu memang mungkin. Misalnya, kita dapat menghitung dengan hampir pasti berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membersihkan air laut dari tumpahan minyak mentah dari sebuah kapal tanker yang tenggelam. Dalam banyak kasus yang lain, terutama apabila polusi itu melibatkan kerugian bagi 157 kesehatan manusia atau kematian, kerugian itu tidak pernah dapat diukur dengan angka. Berapakah harga sebuah kehidupan? Masalah pokoknya adalah bagaimana memperkirakan dan menghitung risiko. Penghitungan risiko merupakan masalah karena ada begitu banyak teknologi mutakhir yang tidak pernah dapat kita perkirakan risikonya dengan tepat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Contohnya penggunaan teknologi nuklir. Persoalan etis mendasar yang harus kita kemukakan sehubungan dengan analisis biaya dan manfaat adalah sebagai berikut. Misalnya diasumsikan bahwa kita dapat membuktikan manfaat dari teknologi tertentu memang jauh lebih besar dari kerugiannya. Apakah ini dengan sendirinya memperbolehkan kita memaksakannya kepada semua orang, termasuk kepada mereka yang berkeberatan? Bagaimana dengan hak-hak moral mereka yang paling dasar? Bukankah setiap orang mempunyai hak untuk diperlakukan atas sesuatu oleh orang lain, hanya setelah ia menyatakan persetujuannya? Bila orang dengan jelas telah menyatakan ketidaksetujuannya, bukankah hak moral dasar mereka itu dilanggar bila dipaksakan juga? Ketika analisis biaya dan manfaat tidak mampu memberikan petunjuk yang pasti mengenai bagaimana harus bertindak, keputusan mengenai hal itu haruslah diserahkan kepada masyarakat yang bersangkutan. Ini tentu saja benar! Namun demikian, di dalam kenyataan, prinsip ini amat sulit diterapkan. Orang akan dapat memberikan persetujuannya hanya apabila ia sebelumnya mengetahui benar apa yang harus disetujuinya dan apa saja risiko dari persetujuannya itu. Harus diingat bahwa teknologi mutakhir itu sering begitu kompleksnya sehingga masyarakat awam tidak mungkin menguasai seluk-beluk persoalannya, apalagi risiko-risiko yang mungkin dapat ditimbulkannya. Bahkan di kalangan para ahli pun, ketidaksepakatan mengenai ini adalah sesuatu yang lazim. Bila kita tidak mampu mengetahui, bagaimana kita harus mengambil keputusan? Kita memerlukan pendekatan yang lain, yakni pendekatan yang tidak sepenuhnya cuma bergantung pada analisis biaya dan manfaat. Kehidupan, pada akhirnya, selalu melampaui kalkulasi angka-angka. Dalam hal ini, yang kita butuhkan adalah sebuah komitmen moral. Komitmen moral yang 158 Environtment menghormati kehidupan di atas segala-galanya, termasuk melampaui keuntungan ekonomi. Ecology Society Economy Bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa keuntungan ekonomi itu tidak penting bagi kehidupan. Sebaliknya, ekonomi adalah bagian kehidupan yang amat penting. Ekonomi mempunyai fungsi yang amat vital bagi kehidupan, dan oleh karena itu jangan kita meremehkannya. Yang hendak dikatakan adalah ekonomi itu penting sepanjang menopang kehidupan. Oleh sebab itu, persoalan kita bukanlah ekonomi atau kehidupan, melainkan ekonomi untuk kehidupan Walaupun bermanfaat, suatu tindakan tidak dapat digantungkan sepenuhnya pada kalkulasi untung rugi. Ketika biaya atau risiko tidak dapat dipastikan sebelumnya, kehidupan harus ditempatkan di depan, menjadi pertimbangan kita satu-satunya. Bagaimana menerjemahkan prinsip ini ke dalam tindakan? Ada beberapa kemungkinan. Beberapa ahli mengusulkan bahwa ketika risiko tidak mungkin diperkirakan dengan pasti, jalan terbaik adalah memilih proyek-proyek yang tidak mengandung risiko kerusakan yang tidak mungkin diperbaiki. Sekalipun sebuah teknologi baru dapat diharapkan memberikan manfaat yang 159 maksimum, tetapi bila ia juga mengandung risiko penghancuran yang fatal, proyek ini harus mutlak kita tolak. Beberapa ahli lain mengusulkan cara lain, demi keadilan diidentifikasikan siapa-siapa yang akan paling dibahayakan atau menanggung risiko yang terbesar sekiranya kemungkinan yang paling buruk terjadi, dan kemudian direncanakan langkah-langkah untuk memastikan bahwa mereka terlindungi. Generasi mendatang dan anak-anak, misalnya, termasuk dalam kategori yang mesti dijamin perlindungannya. Pendekatan lain lagi adalah sebagai berikut. Ketika risiko tidak mungkin diperhitungkan dengan pasti sebelumnya, harus diasumsikan kemungkinan yang paling buruk, dan kemudian mempertanyakan apakah dalam situasi yang seperti itu, kehidupan terlindungi. Tentu saja risiko adalah bagian yang tidak terelakkan dari kehidupan. Namun demikian, hidup ini bukan permainan untung-untungan. Ketika yang dipertaruhkan adalah kehidupan itu sendiri, kita tidak punya pilihan lain. Ketika hidup itu sendirilah yang menghadapi risiko kehancuran, manfaat apa lagi yang masih mungkin kita harapkan? Bisnis memang bertujuan untuk mencari untung. Dan harus diakui bahwa mencari untung tidak haram. Seorang pengusaha bekerja untuk mencari untung. Tujuan hidup (termasuk pengusaha) adalah mencari untung serupa dengan analogi bahwa tujuan hidup adalah bernafas. Kita tidak bisa hidup tanpa bernafas, tetapi agaknya sulit diterima kalau dikatakan bahwa tujuan hidup “hanya” untuk bernafas. Di samping itu, ada batasan moral mengenai keuntungan, sebab jual beli manusia, jual beli obat terlarang, jual beli minuman keras, jual beli pornografi, sekalipun mungkin amat menguntungkan; jelasjelas bertentangan dengan moral masyarakat. Termasuk di dalamnya menipu pajak, memperkerjakan anak-anak, menindas buruh, memanipulasi peraturan; semuanya bisa menguntungkan, akan tetapi bukan itu bisnis yang bercorak etis. Dalam kaitan dengan ekologi, ekonomi sering berjalan sendiri. Ekonomi sering dikelola dengan naluri atau dorongan ketamakan, ketidaksabaran, kerakusan, kebodohan dan kecerobohan. Kalangan bisnis sering menganggap bahwa alam ini adalah suatu aset modal yang didapat dengan gratis. Di pihak lain, tenaga manusia yang melimpah menyebabkan sumber daya manusia itu 160 dihargai seminimal mungkin, ditekan serendah mungkin sebagai “faktor produksi.” Bisnis dijalankan seolah-olah “tidak ada hari esok,” mengeruk dan mengeruk keuntungan, seolah-olah manusia tidak mempunyai anakanak yang harus tetap hidup. Bisnis dilakukan seolah-olah perusahaan sedang mengalami likuidasi. Cara kita mengeksploitasi alam dan sesama manusia, bagaikan menjelang mengalami proses kebangkrutan, sehingga dilakukan pengurasan habis-habisan terhadap sumber daya alam dan sumber daya manusia. Melaksanakan kewajiban perpajakan merupakan salah satu bentuk tanggung jawab warga negara untuk turut serta dalam membangun bangsa dan negara Sumber: bisnis.liputan6.com Kebebasan dalam berbisnis, ternyata ada batas-batasnya. Kebebasan itu berakhir ketika ia mengancam kehidupan orang lain, dan sekarang ini dengan amat nyata ditambahkan aspek baru yang sangat menonjol yaitu kelestarian lingkungan. Hubungan antara ekonomi dan ekologi berkenaan dengan batas-batas ini. Kebebasan kita berakhir ketika kebebasan itu sudah mulai mengancam hak hidup orang lain. Menyangkut soal lingkungan, lebih fundamental lagi, karena yang dipertaruhkan bukan hanya kehidupan orang lain belaka, akan tetapi seluruh umat manusia dalam seluruh sejarahnya. Untuk menghadapi destruksi alam dan kemanusiaan di masyarakat, pendekatan etika ekologis dimulai dari asumsi mengenai keterikatan yang menyatu antara semua unsur kehidupan di muka bumi. Kehidupan ini bukan 161 hanya kehidupan untuk manusia (lebih-lebih bukan untuk segelintir orang), akan tetapi semuanya merupakan sebuah komunitas, yaitu “komunitas biotik.” Kita perlu mencari keseimbangan antara kebebasan individu yang merupakan asumsi dari dunia bisnis, dengan seluruh lingkungan biotik, baik dalam bentuk alam lingkungan dan masyarakat. Dilihat dari perspektif ekologis, setiap individu berada dalam suatu jaringan kehidupan yang saling bergantung satu dengan yang lain. Keseluruhan kehidupan itu merupakan satu kesatuan organis yang memberikan kepada setiap “warganya” hak yang sama untuk hidup. Ada “kodeterminasi” yang dinamis antara individu dan masyarakat, ada saling ketergantungan antara ekonomi dan ekologi, antara manusia dan alam, antara buruh dan majikan. Pada akhirnya, segala persoalan yang kita hadapi berkaitan dengan kerusakan lingkungan, adalah bertemu dengan musuh terbesar kita, yaitu diri kita sendiri. Manusia yang batil, serakah dan yang tidak mempedulikan alam serta sesama. Manusia berada di dalam sistem, struktur serta institusi yang ia ciptakan sendiri, yang menguras sesamanya dan alam sekitarnya. Dalam segala upaya kita untuk memperbaiki kualitas lingkungan, kita juga bertemu dengan partner yang terbaik dan terpercaya, yaitu diri kita sendiri. Manusia merindukan perbaikan dirinya dan percaya pada kebaikan, baik sebagai lawan maupun sebagai kawan. Kita disadarkan bahwa alam lingkungan sekitar kita dan mereka yang menjadi korban dari penganiayaan adalah tanggung jawab seluruh warga masyarakat bersama. Etika haruslah kritis terhadap segala keputusan yang kena-mengena dengan manusia dan menyangkut integritas alam. Kelemahan-kelemahan manusiawi dalam dirinya maupun institusinya haruslah tetap ditempatkan di bawah kritik etika terus-menerus. Etika lingkungan menuntut agar kita belajar untuk menghormati alam. Kita juga harus membatinkan suatu perasaan tanggung jawab khusus terhadap lingkungan lokal kita sendiri. Kita harus merasa bertanggung jawab terhadap kelestarian biosfer. Etika lingkungan memuat larangan keras untuk merusak, mengotori dan meracuni. Selain itu, sikap solidaritas dengan generasigenerasi yang akan datang juga dituntut oleh etika lingkungan. Kita harus menolak pandangan bahwa bila diperlukan kita harus mengurbankan ekologi demi ekonomi, seolah-olah ekonomi itu lebih luhur daripada ekologi. Sebaliknyalah, dalam mempertimbangkan situasi ekologis 162 secara global sekarang ini, kita harus mengatakan ekonomilah yang harus melestarikan ekologi! Apabila kita mesti mengurbankan ekologi, pengurbanan ini hanya dapat dibenarkan apabila itu benar-benar diperlukan demi kehidupan itu sendiri. Kehidupan adalah sesuatu yang lebih luhur ketimbang ekonomi ataupun ekologi. Kehidupan itu lebih dari sekadar “ada” secara fisik. Yang kita maksudkan dengan “kehidupan” adalah apa yang dijanjikan oleh Yesus “hidup dalam segala kepenuhannya.” Dengan demikian, jelaslah bahwa baik ekonomi maupun ekologi adalah bagian-bagian yang penting dari kehidupan. Pentingnya masing-masing ditentukan oleh sumbangan masing-masing, baik kuantitatif maupun kualitatif bagi hidup dalam segala kepenuhannya itu. Simaklah renungan yang berjudul Maka Alam Menjadi Murka berikut ini (Ismail 2002, 120-122). Maka Alam Menjadi Murka Sengsara. Semua orang jadi sengsara. Banjirnya makin lama makin gawat. Di rumah ini seumur-umur belum pernah banjir, 10 tahun lalu banjir 5 cm, lima tahun lalu 40 cm, eh sekarang 80 cm! Di sana lebih parah lagi, tinggi air dalam rumah sampai 140 cm! Ranjang, meja makan dan lemari pakaian terendam air lumpur. Orang mengungsi naik perahu. Rumah yang tidak kena banjir juga ikut sengsara. Listrik padam. Telepon putus. Air bersih tidak ada. Tidak bisa keluar rumah. Jalan jadi sungai. Mobil mogok. Lalu lintas macet. Sampah berserakan. Kantor tutup. Pasar tutup. Toko tutup. Ekonomi lumpuh total. Penduduk desa lebih sengsara lagi. Bukit longsor. Rumah tertimbun. Bendungan jebol. Pohon tumbang. Jembatan roboh. Sawah membusuk. Ternak mati. Ikan hanyut. Penyakit merajalela. Pokoknya, semua orang merasa sengsara. Kalau alam menjadi murka kita semua menderita. Mengapa alam menjadi murka? Cobalah bermawas diri dan lihat apa yang telah kita perbuat terhadap alam. Kita mulai dengan perkara kecil yaitu sehelai kantong plastik yang kita buang di sembarangan tempat. Kantong plastik itu masuk ke got, lalu terbawa ke kali lalu bertumpuk di waduk. Got jadi mampat, kali jadi dangkal dan pompa waduk jadi macet. Akibatnya meluaplah air. Lihat contoh lain. Tanah terbuka kita lapisi semen dan beton. Taman dan situ kita timbun, lalu di atasnya kita bangun rumah, kantor, sekolah, dan sebagainya. Padahal wilayah itu adalah 163 daerah resapan air atau tempat parkir bagi air. Akibatnya air hujan jadi liar dan menggenangi kita. Lihat juga apa yang kita perbuat terhadap alam di pedalaman. Hutan digunduli. Bukit digaruk. Akibatnya semua air hujan langsung masuk ke sungai. Terjadilah longsor. Terjadilah banjir. Pokoknya kita telah menggerayangi gunung, menyakiti hutan, mencekik sungai, melukai danau, mencemari waduk dan membekap tanah. Kita telah mengusik alam, maka sekarang alam mengusik kita. Kita telah memusuhi alam, maka sekarang alam memusuhi kita. Padahal sebenarnya alam adalah sahabat dan mitra kita. Baik alam maupun kita adalah sama-sama ciptaan Allah. Tuhan menempatkan kita di tengah alam supaya kita hidup bersama dengan alam. Hal itu sudah ditulis sejak halaman pertama dalam Alkitab. Dalam Kitab Kejadian terdapat dua cerita penciptaan. Cerita pertama terdapat dalam Kejadian 1:1 sampai dengan 2:4a, ditulis oleh para pengarang kelompok imam pada abad ke-5 sM. Menurut cerita pertama ini manusia bertugas menguasai dan menggarap alam. Istilah yang digunakan adalah “taklukkanlah ... berkuasalah” (1:28). Cerita kedua terdapat dalam Kejadian 2:4b sampai dengan 25, ditulis oleh para pengarang kelompok Yahwist empat abad sebelum cerita pertama. Menurut cerita kedua tugas manusia adalah “mengusahakan dan memelihara” (Kej. 2:15). Dalam bahasa Ibrani abad (menghambakan diri, melayani) dan shamar (menjaga, merawat, melestarikan). Kemudian dengarkan pengakuan pemazmur: “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mzm. 24:1) dan “Punya-Mulah langit, punya-Mulah juga bumi, dunia serta isinya Engkaulah yang mendasarkannya” (Mzm. 89:12). Alam ini bukan milik kita, melainkan milik Tuhan. Kita hanya menumpang tinggal, tanpa bayar sewa atau kontrak. Kita punya tugas memelihara gunung, hutan, sungai, laut, waduk, danau, serta tanah kepunyaan Tuhan ini, bukan merusaknya. Kita telah merusak dan mengotori alam ini. Kita kurang ramah terhadap alam. Kita makin serakah dalam menggaruk alam. Akibatnya alam murka. Makin lama ia makin murka dan kita makin menjadi sengsara. Bukankah lebih baik kita berdamai dengan alam? Sebetulnya alam bisa bersahabat dengan kita, kalau kita juga mau bersahabat. Lebih baik kita bersahabat dengan alam supaya hidup kita di tengah alam bukan menjadi 164 sengsara melainkan sejahtera. Setelah menyimak renungan di atas yang berjudul Maka Alam Menjadi Murka dan paparan di bawah ini, Anda diberi kesempatan untuk menanya sebanyak-banyaknya pertanyaan kritis yang berkenaan dengan tugas manusia dalam alam. Skala pencemaran lingkungan pada abad ke-21 ini menjadi semakin besar. Pada masa lampau masalah lingkungan itu nyata di kota-kota besar saja, misalnya dalam hal pencemaran udara dan air. Jumlah perusahaan dan industri memang masih sangat terbatas. Sementara dalam abad ke-21 ini pengaruh pencemaran lingkungan memang meningkat dengan sangat pesat dan bukan hanya terjadi di kota-kota besar saja. Di samping itu, laju perkembangan produksi sintetis-organis dari bahan- bahan kimia tidak dapat dibendung, dan merupakan suatu hal yang baru. Semakin meningkatnya jumlah kebutuhan produksi kimia ikut mendorong agar penanganan atas masalah lingkungan dilakukan pada tingkat internasional. Masalah lingkungan juga semakin rumit: bukankah rumah kaca untuk pembibitan tanaman juga mengandung berbagai macam bahan kimia yang dapat merusak kesehatan, belum lagi robeknya lapisan ozon, hujan asam, peracunan udara, air dan dasar bumi dan sebagainya. Penyebab utama krisis ekologi adalah keserakahan manusia yang pernah diungkapan sebagai mendapat laba ekonomis melalui rugi ekologis. Mahatma Gandhi menyatakan, “Bumi ini mempunyai cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, namun tidak cukup untuk memenuhi keserakahan semua orang.” Sumber-sumber alam secara global cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar semua orang, apabila dimanfaatkan secara bijak dan didistribusikan secara adil. Kecukupan bagi semua orang harus didahulukan ketimbang kelimpahan bagi segelintir orang (Darmaputera 1996, 128). Perusakan lingkungan hidup mempunyai banyak sebab. Polusi dari industri dan kendaraaan bermotor merupakan salah satu sebab yang ditemukan di mana-mana. Ada juga sebab yang berlaku khusus untuk suatu wilayah tertentu. Sampai sekarang kita mendapat kesan bahwa persoalan spesifik bagi Indonesia di bidang lingkungan hidup adalah penebangan hutan tropis (dengan izin maupun liar) dan kebakaran hutan yang hampir setiap musim kemarau terjadi di beberapa tempat. Tanah air kita sebagai negara kepulauan dulu dianggap diganggu oleh penebangan hutan bakau yang secara alamiah 165 melindungi keutuhan pantai di belakangnya. Kini kita menyadari bahwa ada sebab lebih dahsyat lagi, yaitu pengerukan pasir laut yang menghilangkan ratusan hektar tanah dari tujuh pulau kecil di Kalimantan Timur dan merusak seluruh ekosistem di sekitarnya sehingga para nelayan pun banyak dirugikan, karena menangkap ikan menjadi semakin sulit (Bertens 2004, 213-214). Sekaligus kita dengar bahwa cara merusak ini sudah berlangsung lama dan tidak sebatas Kalimantan Timur saja. Di Kepulauan Riau rupanya sebelumnya sudah terjadi hal yang sejenis. Tenggelamnya Pulau Nipah disebut sebagai contohnya. Di daerah perbatasan ini akibat perusakan jelas lebih parah lagi sebab selain pengaruh destruktif atas lingkungan hidup, hilangnya pulau, timbulnya persoalan territorial. Sebuah pulau berperanan pula sebagai titik pangkal penentuan batas RI dengan negara-negara tetangga. Pada bulan Juni 1992, di Rio de Janairo, Brazilia, diselenggarakan KTT Bumi yang dihadiri oleh hampir seluruh Kepala Negara di dunia. KTT tersebut mencetuskan tekad untuk menyelamatkan bumi dari malapetaka yang bakal datang oleh ulah manusia. Bersamaan dengan KTT tersebut, diselenggarakan pula pertemuan tokoh-tokoh agama yang terkenal di dunia: Katolik, Protestan, Islam, Buddha dan Yahudi. Tokoh agama tersebut secara bersama-sama mengaku dosa mereka atas kealpaan mereka selama ini. Mereka mengaku bahwa selama ini mereka sibuk dengan pertentangan dan pertengkaran di antara mereka untuk memperebutkan anggota-anggota, sedangkan masalah bumi yang tercemar sangat diabaikan. Mereka bertekad untuk memperbarui komitmen. Mereka sepakat untuk bekerja sama seerat-eratnya untuk mencari jalan bagaimana caranya menyelamatkan “Ibu Bumi” yang setia mengayomi dan merangkul anak-anaknya, kendati anak-anaknya telah memperkosanya selama bertahun-tahun. Sesuatu yang dipercayakan kepada kita tentu kita jaga baik-baik. Merawat kehidupan tidak cukup hanya dengan pengendalian polusi. Kita juga harus berbicara mengenai konservasi. Memelihara kelestarian sesuatu itulah yang disebut konservasi. Ancaman terbesar terhadap umat manusia bisa saja pada akhirnya bukan perang nuklir, melainkan risiko yang datangnya dari suatu masa damai, yakni perusakan sumber daya alami bumi oleh kebodohan, kerancuan berpikir dan keserakahan manusia. Konservasi merupakan tindakan penyelamatan atau penjatahan sumber-sumber alam untuk penggunaan yang 166 kemudian. Oleh karenanya, konservasi melihat ke depan: kebutuhan untuk membatasi konsumsi sekarang agar kita mempunyai persediaan bagi hari esok, bagi generasi-generasi yang akan datang. Dua pertanyaan dapat dikemukakan sehubungan dengan konservasi. Pertama, mengapa kita mesti melakukan konservasi bagi generasi-generasi mendatang? Kedua, berapa banyak yang harus kita konservasikan? Pertanyaan ini kedengarannya aneh. Namun demikian, pertanyaan ini harus kita sampaikan sebab ada beberapa ahli yang mengemukakan bahwa kita tidak mempunyai dasar rasional untuk menyesuaikan tindakan kita sekarang demi kepentingan generasi yang akan datang. Kita tidak dapat dengan pasti mengetahui, begitu kata mereka, apakah generasi yang akan datang itu akan betul-betul ada, kita juga tidak dapat mengetahui secuil pun bagaimana mereka itu nanti. Apa yang mereka butuhkan dan apa yang mereka inginkan, bisa saja amat berbeda dari kita. Siapa tahu mereka sudah dapat memperkembangkan sumber-sumber daya pengganti yang murah dan cukup banyak guna menggantikan sumber-sumber yang langka yang kita miliki sekarang. Karena kita tidak mengetahui dengan pasti mengenai hal-hal ini, begitu kata mereka selanjutnya, salahlah kita bila kita mesti mengurbankan kebutuhan-kebutuhan kita sekarang dengan risiko menghancurkan seluruh peradaban hanya demi kepentingan masa depan yang sama sekali di luar pengetahuan kita. Tentu saja benar untuk mengatakan bahwa kita tidak memiliki kepastian apaapa mengenai generasi-generasi yang akan datang. Namun demikian, tidak berarti kita lalu tidak mempunyai kewajiban moral untuk bersikap adil terhadap mereka. Tentu saja tidak adil bila kita secara berlebihan mengurbankan generasi sekarang demi kepentingan generasi-generasi yang akan datang. Sama tidak adilnya apabila generasi sekarang tidak meninggalkan apa pun bagi generasi- generasi mendatang. Kita mempunyai kewajiban moral untuk mewariskan kepada generasi yang akan datang suatu kondisi kehidupan yang lebih baik daripada kondisi sewaktu kita menerimanya dahulu dari generasi yang sebelum kita. Sudah waktunya kita menyadari tanggung jawab kita terhadap generasi-generasi yang akan datang. Setiap orang tua yang baik berusaha untuk menjaga rumah, perabot, dan tanah yang dimiliki sebagai warisan bagi anak cucu mereka. Sikap ini harus 167 menjadi sikap umum manusia terhadap generasi-generasi yang akan datang. Kita dibebani kewajiban berat untuk mewariskan ekosistem bumi ini dalam keadaan baik dan utuh kepada anak, cucu, dan cicit kita. Kalau begitu, berapa banyak yang mesti kita konservasikan agar kebutuhankebutuhan kita sekarang terpenuhi dan sekaligus hak-hak generasi mendatang terlindungi? Apakah Anda dapat mengusulkan angka-angka? Sebenarnya yang dibutuhkan bukanlah angka-angka, tetapi sebuah pergeseran paradigma. Perubahan seluruh cara berpikir kita. Kita mesti bergeser dari paradigma lama ke paradigma baru. Paradigma lama adalah paradigma era industri yang memiliki komponen-komponen sebagai berikut: harapan akan kemajuan material yang tidak terbatas serta konsumsi yang terus bertumbuh, keyakinan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi akan mampu memecahkan semua persoalan, mencapai sasaran efisiensi, pertumbuhan dan produktivitas dalam segala hal, penguasaan atas alam, serta hidup yang diwarnai oleh persaingan dan individualisme. Paradigma inilah yang telah menyeret dunia kepada degradasi lingkungan, pengurasan sumber-sumber alam, hilangnya makna hidup, distribusi yang tidak merata serta tidak terkendalinya teknologi dengan efektif. Paradigma baru adalah paradigma era pascaindustri yang memiliki komponen-komponen sebagai berikut: kecukupan material yang didasarkan pada terpenuhinya kebutuhankebutuhan dasar, hemat dalam pemanfaatan sumber- sumber alam, sedikit demi sedikit beralih kepada sumber-sumber yang dapat didaur ulang, pergeseran dari hak milik pribadi kepada pemerataan melalui pembayaran pajak, dari orientasi jangka pendek ke jangka panjang, dari isu-isu nasional ke isu-isu global, tekanan kepada etika lingkungan dan penatalayanan terhadap alam, tujuan diarahkan kepada perkembangan dan realisasi diri manusia, serta pertumbuhan kesadaran dan kreativitas dan kerja sama serta solidaritas sebagai pengganti persaingan dan individualisme. Paradigma era pascaindustri sebagai dasar bagi terbentuknya sebuah masyarakat yang lestari. Kita harus berusaha berpikir dan bertindak ekologis. Kita bertobat dari segala tindakan yang bersifat menghambur-hamburkan sumber daya alam, mencemarkan dan merusak tanpa alasan. Kita sadar bahwa bagi manusia lebih mudah menaklukkan bumi daripada menaklukkan dirinya sendiri. 168 Allah memberi alam kepada manusia dan memberi manusia kepada alam. Dari satu segi, hasil bumi diberikan kepada manusia sebagai makanan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang lain (Kej. 1:29). Dari segi yang lain, manusia diberi tugas untuk berkuasa di bumi dan memelihara bumi (Kej. 2:15) sesuai dengan kehendak Tuhan. Hubungan ini berfaedah bagi manusia dan juga bagi alam. Tugas pertama adalah manusia diberi tugas untuk menggunakan alam dan berkuasa atas alam. Waktu Allah menciptakan manusia, Ia berkata kepada mereka, “Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej.1:28). Manusia diberi tugas untuk membimbing dan menjinakkan alam. Pandangan Alkitab ini sering dikritik oleh orang-orang yang merasa bahwa pandangan ini menyebabkan manusia merusak dan kurang menghargai alam. Perlu diingat bahwa perintah untuk menaklukkan dunia diberikan kepada manusia sebagai wakil Allah. Manusia diletakkan dalam dunia sebagai sarana pemerintahan Allah. Manusia dimaksudkan untuk berkuasa sesuai dengan kehendak Allah, bukan dengan sewenang-wenang. Dia bertanggung jawab untuk menggunakan alam bukan dengan mengutamakan dirinya sendiri tetapi dalam pelayanan kepada sesamanya dan penghargaan kepada alam. Tugas kedua ialah memelihara alam. Manusia harus menjaga alam sehingga tidak rusak. Menurut Alkitab alam tanpa pemeliharaan manusia tidak lengkap. Manusia dibutuhkan untuk mengatur alam bukan demi keuntungan manusia saja tetapi juga demi kebaikan alam. Manusia bertanggung jawab untuk memelihara alam sebagai karunia dari Allah, yang juga mencintai alam itu. Sumber: http://naturenesia.wordpress.com/about/ 169 Tugas manusia untuk menggunakan alam dan berkuasa di atas alam perlu dipisahkan dari tugasnya untuk memelihara alam. Di negara-negara industri tugas menaklukkan alam sering diutamakan dengan mengabaikan tugas menjaga, merawat, dan mengagumi alam. Sebagai akibat teknologi dan industri, penaklukan alam sering disertai sikap yang terlalu keras dan eksploitatif terhadap alam. Manusia modern sering kehilangan sikap yang lembut dan ramah terhadap alam. Ia menggunakan alam tetapi kurang menyayangi alam. Tugas manusia dalam dunia diberikan oleh Allah, dan ia bertanggung jawab kepada Allah atas pelaksanaan tugas itu. Prinsip utama yang mendasari pandangan orang Kristen tentang lingkungan ialah bahwa dunia adalah milik Tuhan. Ia yang menciptakan dan memelihara dunia juga memiliki alam dan mempunyai kewibawaan tertinggi atasnya. “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya dan dunia serta yang diam di dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di atas sungai-sungai” (Mzm. 24:1-2). Manusia tidak mempunyai hak milik yang mutlak atas bumi. Ia hanya menjadi pengurus atau manajer. Bumi dipercayakan kepada manusia untuk diolah dan diurusnya. Simaklah renungan berikut ini yang berjudul Lagi-lagi Bencana Alam (Ismail 2012, 65-67). Negeri apa yang paling banyak gunung berapinya? Indonesia. Gunung apinya ada 129. Negeri apa yang frekuensi gempanya paling kerap dan paling kontinu sepanjang tahun? Juga Indonesia. Lagi-lagi Bencana Alam “Para ahli geologi memperkirakan bahwa kepulauan Indonesia tercipta sedikit demi sedikit sejak 55 juta tahun lalu melalui benturan-benturan lempeng bumi yang sudah berlangsung 136 juta tahun. Proses penciptaan ini masih berlangsung hingga kini, misalnya terciptanya gunung api yang baru seperti Gunung Anak Krakatau yang setiap tahun bertambah tinggi dan bertambah aktif kepundannya sejak munculnya pasca tahun 1883. Sebuah lempeng adalah bagian kulit bumi setebal 50 sampai 250 km. Tiga buah lempeng, yakni lempeng Eurasia, Indoaustralia, dan Pasifik bertemu di bawah bumi Indonesia. Benturan ketiga lempeng mendongkrak kerak bumi ke atas dan mencuatkan deretan gunung api. 170 Di peta tampak gunung api berderet sepanjang Sumatera terus ke Jawa, Nusa Tenggara, Banda, Sulawesi, dan Halmahera. Selain itu, benturan lempeng juga mengakibatkan adanya zona sesar yang lemah sehingga rawan gempa. Di peta geologi terlihat sayatan sesar itu bagaikan menyayat perut bumi Indonesia sampai ke Papua. Oleh sebab itulah, kita sering terkena bencana letusan gunung api dan gempa yang kadang-kadang juga mengakibatkan tsunami. Tetapi, itu baru sedikit. Sebagian besar bencana alam justru terjadi di luar kaitan gunung api dan gempa. Di Indonesia 65% dari bencana alam adalah bencana hidrometeorologi, yaitu berhubungan dengan iklim dan curah hujan seperti banjir, longsor, angin topan, air pasang, kekeringan, kebakaran hutan, dan gelombang laut. Berbeda dengan letusan gunung dan gempa yang tidak dapat dicegah, sebaliknya kebanyakan bencana iklim dan hujan sebetulnya dapat dicegah karena penyebabnya adalah kita sendiri. Banjir terjadi karena kita menebangi pohon, sehingga air hujan tidak tersimpan di dalam tanah. Lalu kita pun sembarangan membuang sampah, sehingga saluran air tersumbat dan sungai dangkal. Longsor terjadi karena kita menebangi pohon di lereng. Naiknya air pasang ke daratan terjadi karena kita merusak hutan bakau di pesisir. Akhir-akhir ini muncul pula jenis bencana alam lain. Di tengah musim kemarau tiba-tiba turun hujan lebat dan badai berhari-hari. Atau sebaliknya, di tengah musim hujan terjadi kekeringan. Akibatnya panen gagal. Jenis bencana alam ini karena pemanasan global atau krisis iklim, dan pemanasan global ini yang paling berbahaya karena mengancam keberlangsungan hidup di bumi. Duduk perkaranya begini. Es yang ada di Kutub Utara dan Selatan sejak ribuan tahun lalu kini mulai mencair karena suhu semakin panas. Akibatnya, permukaan air laut di seluruh dunia sedikit demi sedikit naik. Ada kemungkinan permukaan laut akan naik sampai tujuh meter sehingga pantai dan dataran rendah di seluruh dunia akan tenggelam. Gejala lain adalah terjadinya cuaca ekstrem. Cuaca jadi sulit diprediksi. Terjadi banjir di satu tempat dan kekeringan di lain tempat atau suhu sangat dingin di satu tempat dan sangat panas di tempat lain. Siapa penyebabnya? Kita! Pemanasan global dan krisis iklim terjadi akibat perbuatan kita. Asap mobil dan motor, pabrik, pembangkit tenaga listrik, peternakan, dan penumpukan sampah memproduksi beberapa macam gas yang memicu pemanasan global. Kebanyakan bencana alam terjadi akibat sikap kita yang keliru. Kita merasa diri mampu berbuat sewenang-wenang terhadap alam. Kita merasa diri kuat sehingga bersikap kasar terhadap alam, sama seperti kita merasa diri kuat 171 sehingga bersikap kasar terhadap kelompok minoritas. Bagaikan hukum karma, bencana demi bencana timbul. Kita memang mempunyai dua pilihan dalam bersikap terhadap bumi, yaitu bersikap kasar dan sewenang-wenang, atau bersikap harmonis. Cerita penciptaan di Alkitab bagaikan menawarkan dua macam pilihan itu. Cerita penciptaan menurut mazhab Imam (Kej. 1:1-2:4a) yang ditulis pada awal masa pembuangan Babel abad ke-6 SM menawarkan manusia untuk “menaklukkan dan menguasai” (Kej. 1:28; Ibrani kabash artinya ‘mengalahkan,’ dan radah artinya ‘menginjakinjak’). Sebaliknya, cerita penciptaan menurut mazhab Yahwis (Kej. 2:4b-3:24) yang ditulis pada masa kerajaan Daud abad ke-10 SM, menawarkan manusia untuk “mengusahakan dan memelihara” (Kej. 2:15; Ibrani abad artinya ‘mengabdi,’ dan syamar artinya ‘melestarikan’). Cerita penciptaan tradisi imam berkonteks bumi yang basah dan hijau, sedangkan cerita tradisi Yahwis berkonteks bumi yang gersang. Lalu kedua versi itu disambung menjadi satu sebagaimana yang ada pada kita sekarang oleh para editor di Babel pada akhir masa pembuangan, atau pasca pembuangan sekitar tahun 530 SM.” Memang ada dua pilihan. Pertama, kita mencemari dan merusak bumi. Kedua, kita menyayangi dan memelihara bumi. Kita boleh memilih. Pilihannya terpulang pada kita. Setelah menyimak renungan tersebut, menurut Anda, mengapa pemanasan global dan krisis iklim terjadi? Apa akibatnya jika pemanasan global dan krisis iklim terjadi? Apa yang perlu Anda lakukan agar pemanasan global dan krisis iklim tidak terjadi? Silakan Anda mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya dari berbagai buku dan sumber belajar yang lain mengenai dasar teologis dari pemahaman mengenai keutuhan ciptaan. Seorang sejarawan Amerika Serikat yang bernama Lynn White, Jr. pernah mengajukan pertanyaan berikut ini (Singgih 1993, 245). Apakah ada kesalahan yang dibuat di dalam sistem ajaran Kristen mengenai manusia dan dunia sehingga menyebabkan terangsangnya orang Kristen di masa lalu untuk mengeksploitasi dunia ini sehabis-habisnya “demi nama Tuhan?” Ia menjawab sendiri pertanyaan tersebut secara positif “ya.” Menurut dia kesalahan itu terdapat dalam doktrin penciptaan di dunia Kristen Barat yang membedakan tajam sekali di antara manusia sebagai gambar Allah (imago Dei) dan dunia sebagai ciptaan yang bukan gambar Allah. Penghayatan terhadap doktrin ini menghasilkan rasa superioritas dan transenden dari 172 manusia terhadap alam yang sedemikian rupa, sehingga manusia dilihat sebagai penguasa alam, sedangkan alam hanya menjadi objek untuk kepentingan manusia. Apa yang dikatakan White menimbulkan kegemparan di kalangan orang Kristen. Kegemparan tersebut dapat dimengerti sebab orang mempertanyakan suatu doktrin atau interpretasi suatu doktrin keagamaan, yang biasanya oleh kalangan penganut agama tersebut tidak dipermasalahkan sama sekali. Biasanya doktrin dianggap “tidak bisa salah.” John Macquarrie dan James Barr berusaha membuktikan bahwa tuduhan mengenai Alkitab sebagai pokok gara-gara yang menyebabkan kerusakan alam bukan merupakan tuduhan yang kuat, sekaligus kedua orang ini bersedia mengakui bahwa dalam perkembangan sejarah ada penafsiran tertentu terhadap manusia sebagai penguasa yang eksploitatif, dan bahwa gambaran ini tidak cocok dengan apa yang terdapat dalam teks Alkitab itu. Penafsiran ini sama sekali tidak sesuai dengan teks Alkitab. Manusia diakui sebagai yang utama, sebagai penguasa, tetapi pengakuan ini oleh penafsir tertentu di kemudian hari diberi penekanan berlebih-lebihan, sehingga akhirnya “menguasai” berarti “mengeksploitasi.” Menurut Macquarrie ada hubungan organik antara Allah dan dunia. Macquarrie memulai uraiannya dengan mencatat kecenderungan para teolog modern untuk mengusut asal-usul ilmu pengetahuan dan teknologi dari Alkitab dan dari doktrin Kristen mengenai penciptaan. Kalau alam dilihat sebagai ciptaan, alam yang tadinya dianggap ilahi dapat dilihat secara objektif sebagai alam semata-mata. Dengan demikian, alam dapat dipelajari dan dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Pada waktu mereka merumuskan pandangan ini, dunia berada dalam dekade 60-an. Orang sedang jenuh terhadap tekanan pada keselamatan di dalam sejarah dan mulai kembali memerhatikan pokok penciptaan. Belum ada kritik terhadap teknologi. Bahkan teknologi dihargai tinggi sekali. Kalau teknologi yang mulia ini dapat diusut sebagai berasal dari penghayatan iman Kristen atau bahkan dari penghayatan iman di Alkitab, agama Kristen dapat dihargai tinggi pula oleh dunia. Tanpa diduga sebelumnya, segera timbul reaksi keras terhadap kecenderungan teologis ini. Teknologi tiba-tiba menjadi bulan-bulanan, 173 dianggap sebagai sumber pelbagai kesulitan dan kerugian manusia, misalnya kerusakan serius pada lingkungan hidup dan hancurnya hidup kebersamaan dalam masyarakat akibat perkembangan individualisme yang diakibatkan oleh penerapan teknologi. Ironisnya, reaksi yang muncul itu tetap mempertahankan bahwa teknologi berasal dari Alkitab dan doktrin penciptaan. Hanya saja kalau pandangan sebelumnya menilainya amat positif, kecenderungan baru ini menilainya amat negatif. Kalau iptek menghasilkan begitu banyak kerugian, pasti ada yang salah pada sumbernya. Kecenderungan baru ini menganjurkan penggantian tekanan dalam hubungan antara Allah, manusia dan dunia. Hubungan ini harus dirumuskan ulang. Masalah-masalah yang merupakan dampak penerapan teknologi tidak dapat diselesaikan dengan hanya menciptakan teknologi yang lebih baik, melainkan dengan menyediakan suatu struktur pemikiran yang dapat menjadi landasan bertolak bagi tingkah laku manusia. Di sinilah menurut Macquarrie seorang teolog dapat berperan di dalam krisis ekologi. Bagaimana bentuknya sumbangan itu? Yang harus dilakukan ialah meninjau kembali tradisi Kristen dan memeriksa mana tahap-tahap perkembangan tradisi itu yang telah terjadi distorsi karena tekanan yang terlampau dilebih-lebihkan, dan menanyakan apakah di dalam tradisi ini tidak ada sumber-sumber yang laten, yang dapat menjawab kebutuhan masa kini. Tindakan selanjutnya adalah mengoreksi tekanan yang berlebih-lebihan ini dan mempromosikan apa yang tadinya laten. Macquarrie mengajak untuk melihat ke penciptaan di dalam Alkitab. Bahwa konsep penciptaan akan melahirkan teknologi tidak dapat dibuktikan jika ditinjau dari Alkitab. Orang Ibrani tidak menelurkan teknologi. Mesir dan Mesopotamia lah yang menjadi pelopor teknologi. Orang Kristen mula-mula juga tidak melahirkan teknologi meskipun mengambil alih doktrin penciptaan dari Perjanjian Lama. Hal itu malah terjadi di Yunani. Ini berarti bahwa hubungan antara doktrin penciptaan dengan teknologi baru terjadi sebagai perkembangan kemudian, di dalam kebudayaan Eropa Barat. Ada kecenderungan untuk melihat hubungan antara Allah – manusia – dunia sebagai hubungan penguasaan. Model ini disebut model monarkhis. Model ini dominan, ditekankan secara berlebih-lebihan. Menurut model monarkhis Allah tanpa dunia = Allah. Sebaliknya dunia tanpa Allah = nol. Kita bisa setuju bahwa dunia tanpa Allah = nol, namun kita tidak bisa setuju bahwa Allah tanpa dunia 174 = Allah. Tanpa dunia/bumi/ciptaan, Allah tidak bermakna apa-apa. Allah berada dalam hubungan dengan bumi sejak semula. Hakikat Allah adalah bahwa Ia pencipta. Tanpa hakikat-Nya sebagai Pencipta, Ia bukan Allah. Macquarrie menyatakan bahwa ada model lain yang laten, yakni model organis. Model organis inilah yang perlu dipromosikan. Menurut model organis, dunia ini berhubungan secara organis dengan Tuhan. Bahkan Tuhan berada di dalam dunia ini. Macquarrie tidak menganjurkan panteisme yang berpandangan Allah = Dunia, tetapi model organis menuntut agar paling tidak Tuhan dilihat secara integral, sebagai yang transenden sekaligus yang imanen. Selama ini apologetika Kristen mencoba membela dan mempertahankan doktrin penciptaan dari tuduhan sebagai sumber penyebab kerusakan ekologi dengan menunjuk pada konsep penatalayanan (stewardship). Bagi Macquarrie hal ini belum memuaskan sebab penatalayanan masih menganggap bahwa dunia ini milik manusia, jadi berarti manusia masih lebih tinggi daripada alam, masih tetap penguasa alam. Padahal model organis menaikkan derajat alam dan menurunkan derajat manusia, sehingga hasil akhir adalah suatu keseimbangan. Manusia dan alam, kedua-duanya bersumberkan Tuhan. Menurut James Barr perlu ada penafsiran baru terhadap pemahaman manusia mengenai “gambar Allah.” Barr sadar bahwa terdapat tuduhan-tuduhan serius yang melemparkan tanggung jawab kerusakan ekologis masa kini ke atas Perjanjian Lama. Kerusakan ini disebabkan oleh teknologi, yang dilahirkan oleh ilmu pengetahuan, sedangkan pada gilirannya ilmu pengetahuan lahir dari sikap religius Yahudi-Kristen terhadap alam. Sikap ini adalah menganggap alam sebagai objek yang harus dikuasai dan dilumpuhkan oleh manusia. Sama seperti Macquarrie, ia mencatat bahwa para teolog pada umumnya menganggap hubungan IPTEK dengan Alkitab sebagai sesuatu yang positif, sedangkan para sejarawan menilainya sebagai sesuatu yang negatif. Barr mengusulkan untuk melihat kembali ke dalam Kitab Kejadian secara khusus dan Perjanjian Lama secara umum, agar dapat dipastikan apakah hubungan di antara keduanya ini betul merupakan hasil penafsiran yang tepat dan apakah dalam sejarah memang ada hubungan antara Alkitab dan IPTEK. Oleh karena White mengkritik doktrin Kristen dengan bertitik tolak dari pokok yang disetujui juga oleh para teolog, yakni hubungan di antara Alkitab dan 175 IPTEK, menurut Barr kita harus meninggalkan pokok ini. Sebab kritik terhadap suatu pokok dari titik tolak yang sama biasanya sulit ditangkis. Untuk melakukan hal ini kita tidak perlu memutuskan hubungan antara konsep penciptaan dan IPTEK. Pandangan hidup Kristen bisa memengaruhi perkembangan IPTEK. Kenyataan berbicara bahwa IPTEK mengalami perkembangannya di dunia Barat yang berlatar belakang Kristen. Agak berlebih-lebihan kalau kita merumuskan bahwa konsep penciptaan mengakibatkan lahirnya IPTEK. Barr meninjau masalah istilah “gambar Allah” yang terdapat di dalam Kejadian 1:26-28. Kecenderungan umum adalah melihat di dalam istilah ini ada dominasi atas alam. Karena Tuhan memerintahkan segala sesuatu, demikian juga manusia sebagai gambar Allah memerintahkan ciptaan lain. Gambar Allah memperlihatkan relasi yang bersifat analogikal. Menurut Barr, tafsiran seperti ini tidak tepat. Istilah gambar Allah sebenarnya mau memberi jalan keluar bagi permasalahan di Israel, sampai seberapa jauh kemiripan manusia dengan Allah. Memang ada hubungan antara gambar Allah dan penguasaan alam, tetapi bukan dalam arti bahwa gambar itu semata-mata terdiri dari penguasaan. Relasinya lebih bersifat konsekuential: oleh karena manusia adalah gambar Allah, biarlah ia berkuasa. Berbicara mengenai penguasaan, tekanan umumnya diletakkan pada kekuatan manusia dan kegiatan-kegiatannya yang eksploitatif. Jadi kata rada, ‘berkuasa’ ditarik sampai ke etimologinya yang memang melukiskan proses penginjak-injakkan buah anggur untuk dijadikan minuman. Demikian pula kata kabasy, ’menaklukkan’ diartikan sebagai “menindas.” Sebenarnya konteks tidak menunjuk makna yang sekeras itu. Dalam Kejadian 1, manusia adalah vegetarian. Baru sesudah Air Bah, manusia boleh makan daging (Kej. 9). Jadi di dalam Kejadian 1 penguasaan terhadap alam tidak mengandung unsur kekuatan yang mengorbankan binatang dan bagian dunia yang lain. Rada lebih baik diartikan sebagai ’menaungi,’’mengayomi.’ Kabasy menurut etimologinya memang berarti menginjak-injak, menindas. Konteksnya di sini berhubungan dengan bumi, “penuhilah bumi dengan anak cucumu dan taklukanlah itu.” Apakah mengusahakan bumi/tanah dapat dianggap sebagai eksploitasi? Dapat saja ditafsirkan seperti itu jika menuruti tafsiran yang dominan, tetapi tidak mesti begitu. Salah satu prinsip penafsiran Alkitab yang elementer 176 adalah bahwa arti kata-kata tidak boleh semata-mata ditetapkan berdasarkan etimologinya saja, melainkan juga berdasarkan caranya kata-kata itu dipakai dalam konteksnya. Jadi, kalau kita mau menjawab tuduhan White, di masa depan pemahaman terhadap kata-kata rada dan kabasy haruslah melepaskan tekanan yang berlebih- lebihan pada nada keras dan kuat yang eksploitatif. Kalau pada mulanya kedua kata ini tidak eksploitatif, sebenarnya teks Kejadian 1:26-28 tidak dapat dijadikan bulan-bulanan sebagai penyebab kerusakan terhadap alam. Kisah-kisah penciptaan Perjanjian Lama tidak memperlihatkan perhatian teknologis dan metode-metodenya. Jika ada uraian mengenai hal itu, seperti misalnya dalam kisah Kain dan Habel serta keturunan Kain, bagian itu diinspirasikan oleh cerita- cerita kuno di luar Israel yang memang gemar pada teknologi. Menurut Barr tradisi Yahudi-Kristen tidak langsung berhubungan dengan teknologi, dan karena itu terlebih-lebih lagi tidak bersangkut paut dengan kerusakan ekologi. Barr tidak mengungkapkan hal ini untuk melepaskan diri dari tanggung jawab, tetapi sebagai bagian dari tanggung jawab akademis untuk mengungkapkan kebenaran ilmiah. Kalau begitu siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan ekologis? Menurut Barr, eksploitasi habis-habisan terhadapalam dilakukan di dalam alam humanisme liberal yang berpandangan manusia tidak lagi menganggap diri sebagai berada di bawah naungan sang Pencipta. Pengaruh humanisme liberal inilah yang dimasukkan ke dalam pemahaman mengenai Kejadian 1:26-28 dan pada pandangan Perjanjian Lama terhadap alam. Kalau begitu, apa peran kisah penciptaan bagi masa kini yang sedang mengalami krisis ekologis? Sumber: http://smpksantostanislaus.wordpress.com/2013/06/05/dampak-rokok-padaperingatan-hari-lingkungan-hidup-sedunia-di-smpk-st-stanislaus/ 177 Pertama kita menekankan bahwa ciptaan itu baik adanya. Kita bertanggung jawab untuk mengontrol dan membatasi pelbagai usaha kita untuk mengelola danmemanfaatkan alam ini, sehingga kebaikan alam ciptaan tetap terjaga. Kedua, kisah penciptaan di dalam Kitab Kejadian mengungkapkan dunia ini sebagai dunia yang teratur. Alam dibagi-bagi atas fungsi dan jenis. Prinsip- prinsip IPTEK tidak berasal dari Kitab Kejadian, tetapi apa yang kita lihat di dalam Kitab Kejadian mempunyai keparalelan dengan apa yang kita lihat di bidang IPTEK. Ketiga, kerangka Kejadian 1 menunjukkan tempat manusia. Manusia adalah manusia apabila ia berada pada tempatnya di dalam alam. Tempatnya adalah tempat yang utama, tetapi sebagai pemelihara alam. Keempat, kita melihat bahwa Israel melakukan alih teknologi dari luar Israel. Orang Israel tidak mengklaim teknologi sebagai “anak” mereka. Mereka bisa hidup dengan “orang lain.” Bukankah ini contoh yang baik bagi kita yang memiliki tradisi penciptaan Yahudi-Kristen untuk hidup berdampingan dengan dunia IPTEK tanpa mengklaimnya sebagai “anak?” Bumi ini milik Allah sekaligus milik manusia. Bumi adalah milik Allah sebab Ia yang menciptakannya, milik kita sebab Ia telah memberikannya kepada kita (lih. Mzm. 115:16). Jelas Allah bukan memberikannya kepada kita sedemikian tuntas sehingga Ia sama sekali tak punya hak dan tak punya kontrol lagi atasnya, melainkan memberikannya kepada kita supaya kita menguasainya atas nama Dia. Itulah sebabnya penguasaan kita atas bumi ini adalah berdasarkan hak pakai, bukan berdasarkan hak milik. Kita hanya penggarap saja, Allah sendiri tetap “Tuan tanahnya,” Tuan atas semua tanah. Simaklah renungan berikut ini yang berjudul Bumi Hampir Punah? (Ismail 2009, 65-68). Bumi Hampir Punah? Apalagi kalau hujan, tidak ada hujan pun terjadi banjir. Kenapa? Karena muara sungai meluap. Kenapa meluap? Karena air laut pasang kian tinggi tiap tahunnya. Kenapa? Karena permukaan laut di seluruh dunia kian naik. Kenapa? Karena bongkah-bongkah es di kutub yang membeku sejak ratusan ribu tahun lalu kini 178 mulai mencair secara mencolok. Kenapa? Karena suhu udara kian panas. Kenapa? Karena kita menebang pohon, mencemari udara dengan knalpot kendaraan, cerobong asap pabrik, pembakaran sampah, dan banyak pencemaran lain. Itu gambaran sederhana tentang mata rantai kerusakan lingkungan hidup kita. Emangnye gue pikirin? Tunggu dulu, sebab kita semua akan kena akibatnya. Lihat gambaran sederhana berikut ini. Mengapa penebangan pohon dan asap knalpot atau pabrik menyebabkan suhu kian panas? Karena udara jadi tercemar, sehingga dalam lapisan udara yang disebut lapisan ozon timbul semacam “tenda” yang menyelubungi bumi. Akibatnya, segala macam asap beracun dan udara panas dari bumi terperangkap oleh selubung itu. Ini disebut efek rumah kaca. Apa itu rumah kaca? Para petani di negeri bermusim dingin bercocok tanam dalam rumah yang berdinding dan beratap kaca agar udara pengap di situ menimbulkan suhu hangat bagi tanaman sebab di luar turun salju. Inilah juga yang sedang terjadi dengan lapisan udara bumi. Selubung di udara kita mengakibatkan udara menjadi pengap dan panas. Lalu ini disebut efek rumah kaca atau pemanasan global. Knalpot kendaraan, cerobong asap, penebangan pohon dan berbagai gas racun lainnya telah mencemarkan ozon sehingga mengacaukan keseimbangan kadarnya. Asap berkabut menggantung di udara. Akibatnya ozon yang selama berjuta-juta tahun telah melindungi dan menopang kehidupan di bumi kini malah menjadi ancaman. Tanaman cepat menguning dan rusak. Hewan dan manusia terkena cacat lahir, kanker, atau penyakit lainnya. Kehidupan alam, tanaman, hewan, dan manusia terancam. Bumi bisa menjadi tandus. Apa yang telah diciptakan oleh Allah selama berabad-abad kini rusak dengan cepat akibat kecerobohan dan keserakahan kita. Dalam Guinness Book of World Record Indonesia tercatat sebagai perusak hutan tercepat di dunia, yaitu lima lapangan sepak bola per menit. Batubara yang digali dalam setahun adalah hasil endapan alami selama 400.000 tahun. Tidak heran bahwa bumi sedang menjadi tandus. Ketika Nabi Yesaya menggambarkan kedahsyatan kuasa Allah atas hidup manusia, ia menggambarkan bahwa bumi akan menjadi tandus jika manusia melanggar ketetapan Tuhan. Dalam pasal 24-27, Yesaya menulis puisi bergaya bahasa apokaliptik. Tulisnya, “TUHAN akan menanduskan bumi dan akan menghancurkannya ... Bumi akan ditanduskan setandus- tandusnya ...” (Yes. 24:1, 3). Tentang lambang kehidupan, yaitu pohon anggur, ia menulis. ”..pohon anggur merana” (ay. 7). Tulisnya, “Bumi cemar karena penduduknya, sebab mereka melanggar undang-undang, mengubah ketetapan dan mengingkari perjanjian abadi” (ay. 4). Tetapi sebagai penutup nubuat akhir zaman, Yesaya memberi pengharapan jika manusia bertobat, yaitu: “kalau putri malu dan rumput ... mencari damai dengan Aku, ya mencari damai dengan Aku! ... Yakub akan berakar, Israel akan berkembang dan bertunas” (27:5-6). 179 Manusia ditempatkan di bumi untuk memelihara bumi. Tetapi jika manusia merusak dan mencemarkan bumi, bumi akan menjadi tandus lalu manusia akan terkena akibatnya. Kelangsungan hidup terancam punah. Dalam buku Dunia di Ambang Kepunahan, Antony Milne menulis, “Sejarah menunjukkan bahwa awal menurunnya peradaban adalah gangguan iklim. Bangsa-bangsa seluruhnya terjepit oleh gerakan penekan udara dingin dari utara dan perluasan gurun pasir ke selatan, atau jika mereka tinggal di pantai mereka harus melarikan diri dari gelombang pasang yang terus bergerak cepat. Generasi sekarang menghadapi ancaman yang sama.” Apakah kita bisa mencegah kepunahan ini? Ya! Kita masing-masing bisa berbuat sesuatu untuk menyelamatkan bumi. Tanamlah pohon di halaman rumah, sekolah, mesjid, gereja, dan kantor kita. Hijaukan lingkungan! Dalam hal kehijauan lingkungan, Indonesia tertinggal di peringkat 102, kalah dari Malaysia (26) dan Sri Lanka (50). Berhematlah dengan air meskipun itu air sumur yang gratis! Di muka bumi memang ada banyak air, tetapi hanya 1% yang bisa diminum. Jangan tinggalkan ruangan dengan lampu atau alat elektronik yang menyala. Tenaga listrik dibuat dengan membakar banyak bahan energi. Jika bisa berjalan kaki atau bersepeda, jangan gunakan kendaraan bermotor. BBM yang kita gunakan dalam sejam adalah hasil dari proses alam selama ratusan ribu tahun. Jangan buang sampah sembarangan supaya sampah tidak jatuh ke got lalu masuk ke sungai yang mengakibatkan sungai itu dangkal dan airnya berbau busuk serta berwarna hitam pekat. Berhematlah dengan plastik dan styrofoam karena sampahnya susah terurai. Jika semua sampah plastik ditebar, seluruh daratan permukaan bumi akan tertutup oleh plastik. Sedapat mungkin pakailah penyemprot yang dipompa, bukan penyemprot aerosol, sebab aerosol ikut merusak ozon. Ada gereja yang berlitani, “Bapa surgawi, begitu nyaman kami berbakti di sini, tetapi kami tidak peduli pada lingkungan hidup yang telah Engkau kerjakan selama berabad-abad dan kini sedang kami rusakkan dalam sekejap.” Ada pula gereja yang berlitani, “Sesamaku ciptaan Tuhan, yaitu gunung, hutan, laut, hewan dan tanaman, ampunilah dosa kami terhadap bumi dan surga.” Setelah menyimak renungan tersebut, menurutAnda, mengapa bumi hampir punah? Apa akibatnya jika bumi punah? Apa yang akan Anda lakukan untuk mencegah bumi tidak punah? Silakan Anda memberikan argumentasi Anda 180 yang menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk yang mempunyai tempat bersama dengan makhluk-makhluk yang lain dalam ciptaan. Sumber: http://hettyherawati2704.wordpress.com/auth or/hettyherawati2704/page/4/ Kita perlu menyajikan satu batasan istilah “alam” karena arti istilah alam cenderung kabur yang disebabkan faktor-faktor berikut. Manusia adalah bagian dari “alam” dalam arti kita ikut serta dalam proses-proses biologis dan fisiologis, sama seperti binatang dan makhluk hidup lainnya. Sebaliknya, manusia juga “terpisah” dari alam karena kita memiliki kesadaran dan sanggup mengambil keputusan secara sadar tentang cara mengubah alam di sekitar kita. Oleh sebab itu, istilah alam yang dimaksud dalam bagian ini dibatasi pada ciptaan bukan manusia. Nilai alam bagi manusia tidak bisa disangkal. Makanan yang dimakan manusia, minuman yang diminumnya, udara yang dihirupnya, serta bahan untuk pakaiannya, perumahannya, alat-alatnya dan tenaga yang menjalankan mesin- mesinnya semuanya disediakan dari alam. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah alam mempunyai nilai terlepas dari gunanya bagi manusia. Jawaban pertama kepada pertanyaan ini ialah bahwa nilai alam yang utama dalam rencana Allah ialah nilainya untuk manusia. Alam bernilai tetapi nilai manusia jauh lebih tinggi daripada tumbuh-tumbuhan atau binatang-binatang. Dalam Kejadian 2 semua makhluk diciptakan untuk dinikmati dan digunakan oleh manusia. Keistimewaan manusia itu perlu ditekankan karena banyak buku yang penuh angan-angan tentang lingkungan menilai alam setinggi manusia atau lebih tinggi dari manusia. Manusia dilihat sebagai benalu yang mengganggu karunia 181 alam, merampas kekayaan alam dan mengotorkan keindahan alam. Hutan yang indah tidak dapat diganti dalam seribu tahun tetapi manusia dapat lekas melahirkan anak-anak. Maka pohon mempunyai nilai yang tidak dipunyai orang. Keindahan alam makin susah ditemui tetapi orang-orang sukar dihindari karena mereka ada di mana-mana. Hak-hak alam sama pentingnya dengan hak-hak manusia. Keindahan bukit atau lembah lebih penting daripada perut yang kenyang. Kepada pandangan semacam ini kita perlu menjawab bahwa orang lebih berharga daripada pohon atau binatang. Walaupun keindaham alam itu penting, kebutuhan manusia lebih penting. Setiap orang unik dan tidak dapat diganti. Oleh sebab itu, tepatlah kalau ekologi menjadi manusia sentris. Keselarasan alam perlu dijaga terutama demi kesejahteraan manusia. Pencemaran udara dan air merugikan manusia. Penghanyutan tanah dan penghabisan pohon-pohon di hutan menghambat usaha untuk menyediakan makanan dan perumahan untuk manusia. Nilai alam yang utama ialah gunanya untuk manusia. Namun demikian, perlu ditambah bahwa alam juga bernilai terlepas dari nilainya bagi manusia. Allah menganggap ciptaan-Nya baik sebelum manusia dijadikan (Kej. 1:10, 12, 18, 21, 25). Salah satu alasan mengapa Allah menciptakan manusia adalah untuk memelihara kebaikan alam. Sesudah air bah Allah membuat perjanjian bukan saja dengan Nuh dan keturunannya tetapi juga “dengan segala makhluk hidup” (Kej. 9:10). Walaupun perjanjian dinyatakan kepada Nuh sebagai wakil makhluk-makhluk lain, tetapi Allah mempunyai hubungan dengan semua makhluk. Bahkan Ia mempunyai kewajiban kepada makhluk-makhluk itu berdasarkan perjanjian-Nya. Walaupun alam dimaksudkan untuk digunakan manusia, alam tidak sematamata untuk maksud itu. Hutan lebih dari sekadar sumber kayu bagi manusia. Binatang-binatang lebih dari sekadar sumber daging untuk dimakan. Setiap unsur alam mempunyai nilai dalam dirinya sebagai ciptaan Tuhan. Dalam alam semesta ada banyak bintang yang begitu jauh dari bumi sehingga tidak dapat dilihat manusia. Astronom mengatakan bahwa mungkin sekali di planet yang lain dalam alam semesta ada makhluk-makhluk hidup lainnya. Karena itu menjadi nyata bahwa alam memiliki nilai terlepas dari gunanya bagi manusia. Meskipun manusia mempunyai tempat yang terpenting dalam maksud 182 Allah bagi dunia, tidak bisa dikatakan bahwa alam semesta berada sematamata bagi manusia. Kita perlu mengingat dasar nilai alam. Alam tidak bernilai karena keramat atau karena mempunyai kepribadian seperti manusia, tetapi karena sifat-sifatnya sebagai alam. Suatu pohon bernilai bukan karena penuh dengan zat ilahi atau karena mempunyai perasaan atau kebajikan manusiawi tetapi karena diciptakan oleh Tuhan dengan ciri khasnya sebagai pohon, dan sebagai pohon ia mempunyai fungsi dalam maksud Tuhan. Para ahli etika lingkungan menganggap alam memiliki tiga nilai (Drummond 2001, 78). Kalau kita memandang alam sebagai sumber untuk dikelola bagi kepentingan manusia, alam mempunyai nilai instrumental (instrumental value). Kalau kita yakin bahwa alam memiliki nilai di dalam dan dari dirinya sendiri, alam mempunyai nilai bawaan (inherent value). Nilai bawaan ini sering digunakan oleh para ahli etika sebagai acuan pada nilai sesuatu, dengan asumsi bahwa ada nilai subjek. Misalnya, kayu mempunyai nilai bawaan bagi pemiliknya selama ia ada. Sebaliknya, kalau kita yakin bahwa alam memiliki nilai hakiki (intrinsic value), nilai itu ada terbebas dari manusia atau kehadiran manusia sebagai subjek yang menilai. Dalam Alkitab manusia adalah bagian dari alam. Ia terikat dalam kesatuan dengan bagian-bagian alam yang lain. Manusia juga berbeda dengan makhlukmakhluk yang lain. Ia mempunyai kedudukan khas di atas alam. Pada satu segi manusia itu sebagian dari ciptaan Tuhan. Seperti unsur- unsur ciptaan yang lain, ia tidak ilahi dan tidak mahakuasa. Seperti makhlukmakhluk yang lain, manusia ialah makhluk biologis-alamiah. Ia harus takluk kepada hukum-hukum alam. Ia harus makan, minum dan tidur. Ia memeroleh keturunan melalui proses kehamilan dan kelahiran seperti binatang menyusui yang lain. Akhirnya manusia seperti binatang-binatang yang lain akan mati. Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan. “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej. 2:7) seperti Ia juga “membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara” (Kej. 2:19). Dalam bahasa Ibrani kata untuk manusia, yaitu adam, mempunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah yaitu adamah. Manusia, adam, dibentuk dari tanah, adamah. Manusia 183 “mengusahakan tanah” (Kej. 3:23) dan hidup dari tanah, dan manusia kembali menjadi tanah (Kej. 3:19). Pandangan bahwa manusia ialah salah satu makhluk di antara makhlukmakhluk yang lain paling jelas terlihat dalam Mazmur 104:20-24. Pemazmur tersebut mencatat, “Apabila Engkau mendatangkan gelap, maka hari pun malamlah; ketika itulah bergerak segala binatang segala binatang hutan. Singa- singa muda mengaum-aum akan mangsa, dan menuntut makanannya dari Allah. Apabila matahari terbit, berkumpullah semuanya dan berbaring di tempat perteduhannya; manusia pun keluarlah ke pekerjaannya, dan ke usahanya sampai petang. Betapa banyak perbuatan-Mu, ya TUHAN, sekaliannya Kau jadikan dengan kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaanMu.” Dengan demikian Alkitab menggambarkan manusia sebagai makhluk yang mempunyai tempat bersama dengan makhluk-makhluk yang lain dalam ciptaan. Pandangan ini sesuai dengan pandangan ekologi. Manusia dan makhluk- makhluk yang lain terikat bersama dalam hubungan timbal balik. Kita hidup dalam suatu ekosistem yang terdiri dari semua faktor dalam lingkungan kita. Dalam ekosistem ini binatang-binatang, tanam-tanaman, air, udara, cuaca dsb. serta manusia dan kebudayaannya saling memengaruhi. Kalau satu faktor diganggu, semua faktor ikut terganggu. Karena itu manusia tidak bisa merusak alam tanpa merugikan dirinya sendiri. Walaupun demikian manusia juga berbeda dengan unsur-unsur alam yang lain. Ia mempunyai kuasa lebih besar daripada makhluk-makhluk yang lain. Sama seperti Allah ialah Raja di sorga, manusia dinobatkan sebagai raja di dunia. Ia dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat sehingga kedudukannya hanya sedikit lebih rendah daripada penghuni-penghuni sorga (Mzm. 8:6). Manusia diciptakan dalam gambar Allah (Kej. 1:26-27). Walaupun ia tidak ilahi, ia mempunyai sifat-sifat yang mirip dengan Allah sendiri. Ia menjadi wakil Allah di antara makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di dunia ini sebagai duta dari Allah. Sebagai duta dari Allah itu ia diberi tugas untuk mengatur dunia sesuai dengan kehendak Allah. Apakah ciri khas manusia yang membedakannya dari semua makhluk yang lain? Secara jasmani ia mempunyai otak yang lebih besar, dan ia mampu 184 berjalan lebih tegak daripada binatang-binatang yang lain. Tetapi ciri-ciri jasmani ini bukan hal yang menentukan statusnya. Banyak orang merasa bahwa keunggulan manusia terletak dalam kemampuannya untuk berpikir secara rasional dan membentuk konsep-konsep yang abstrak. Orang-orang lain menekankan kemampuan manusia untuk berbahasa, membuat dan menggunakan alat-alat dan membentuk kebudayaan sehingga ia tidak hanya hidup dalam lingkungan alam tetapi juga menciptakan lingkungannya sendiri dan bisa belajar dari manusia yang lain. Ada juga orang-orang yang menganggap bahwa ciri khas manusia terletak dalam keinsafan dirinya yaitu kemampuannya untuk menyadari proses pemikirannya dan menujukan proses itu sesuai dengan kehendak-Nya. Secara teologis perlu dikatakan bahwa manusia hanya sungguh-sungguh menjadi manusia jikalau iamenyadarihubungannya dengan Tuhan dan dapat berdoa. Menurut cerita penciptaan, walaupun manusia seperti binatangbinatang yang lain diciptakan dari debu dan tanah, tetapi hanya manusia mempunyai nafas hidup yang dihembuskan ke dalam hidungnya langsung dari Allah sendiri (Kej. 2:7). Seperti makhluk-makhluk yang lain, kehidupan biologis manusia bergantung kepada tanah dan Allah. Berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain manusia mempunyai kehidupan khusus yang datang langsung dari Allah. Manusia memerlukan roti dan nasi, tetapi makanan itu tidak cukup. Ia juga hidup dari firman Allah (Mat. 4:4). Hanya manusia bisa berdoa dan beribadah kepada Allah. Hanya manusia bisa mentaati atau tidak mentaati Allah. Hanya manusia bisa berbicara dengan Allah dan mengerti kehendak Allah. Singkatnya manusia mempunyai dua segi. Sebagai ciptaan Allah ia bersatu dengan makhluk-makhluk yang lain. Ia juga dapat bersatu dengan Allah. Ia terlibat dalam alam tetapi ia berwibawa atas alam. Sebagai gambar Allah ia mewakili Allah dalam ciptaan. Sebagai makhluk termulia ia mewakili ciptaan di depan Allah. Walaupun Allah berhubungan langsung dengan seluruh ciptaanNya, salah satu cara hubungan yang pokok ialah melalui manusia. Oleh sebab itu, manusia perlu mengembangkan kemampuannya untuk mengasihi Allah tanpa melupakan kekerabatannya dengan makhluk-makhluk yang lain. 185 Sumber:http://1.bp.blogspot.com/OoyHZx4zg1w/TyJIk8Lsw7I/AAAAAAAAARg/18CiSg8SV1w/s1600/care_eart h.png Simaklah tulisan berikut ini yang termuat di Kompas pada hari Rabu, 12 Maret 2014. Tulisan tersebut berjudul Rakyat Menuntut Keadilan Ekologis. Isi tulisannya adalah sebagai berikut. Rakyat Menuntut Keadilan Ekologis Rakyat menuntut keadilan lingkungan dari penyelenggara pemerintah. Kehancuran hutan dan punahnya kekayaan alam, serta pangan lokal akibat aktivitas tambang, perkebunan sawit, dan pencemaran laut merupakan potret wajah Indonesia dari wilayah barat hingga timur, dan kini mengancam Papua. Sekitar 2.000 orang, Selasa (11/3), mengikuti Rapat Akbar Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Gedung Tenis Indoor, Senayan, Jakarta. Mereka aktivis lingkungan, buruh, petani, nelayan, dan masyarakat sipil lain. Mereka membawa pesan bagi para pemilih: “tolak perusak lingkungan.” Direktur Eksekutif Nasional Wahli Abetnego Tarigan membacakan Platform Politik Gerakan Lingkungan Hidup Indonesia, ditandai pemukulan kentongan bersama. Platform yang dicanangkan, menurut Abetnego, merupakan hasil advokasi dan proses gerakan perjuangan bersama masyarakat adat, korban kekerasan, nelayan, petani, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil lain. Terdapat lima agenda perubahan pada platform itu, yaitu pengembalian mandat negara di mana pemimpin memiliki agenda eksplisit dan bersih dari jejak kekerasan, penataan ulang relasi negara – modal – rakyat, penyelesaian secara adil konflik sumber daya alam, pemulihan 186 keseimbangan alam, dan penyelesaian utang luar negeri untuk menciptakan kemandirian rakyat. Menurut Abetnego, krisis ekologi terjadi karena pemerintah, pemodal, dan ilmu pengetahuan membuat sumber daya alam menjadi komoditas untuk memeroleh keuntungan ekonomi. Semua berujung krisis multidimensi: ekonomi, sosial budaya, politik, dan ekologi yang kian sulit dipulihkan. Itu ditandai absennya keadilan sosial ekologis dan keadilan antargenerasi. Setelah menyimak tulisan tersebut, menurut Anda, mengapa rakyat menuntut keadilan ekologis dari penyelenggara pemerintah? Bagaimana cara penyelenggara pemerintah menciptakan keadilan ekologis? Apa yang perlu dilakukan oleh Anda agar terjadi keadilan ekologis? Silakan Anda mengomunikasikan sikap Anda terhadap alam kepada rekan-rekan di kelas. Karena alam bernilai, manusia perlu menghargai alam. Ia patut menggemari keindahan alam. Ia mengiakan penilaian Allah waktu Dia memandang ciptaan-Nya dan “melihat bahwa semuanya itu baik.” Ia patut memeroleh pembaruan semangat dan beriang hati karena keelokan alam. Penghargaan ini disertai dengan rasa kagum terhadap alam. Manusia perlu mengindahkan keajaiban alam. Rasa kagum sangat penting dalam zaman teknologi dan ilmu pengetahuan ini. Pengertian kita tentang alam tidak usah menghilangkan kesadaran kita tentang keajaiban alam. Malahan pengertian kita dapat menjadikan kita lebih sadar akan sifat-sifat alam yang dahsyat dan megah. Menghargai alam tidak sama dengan menyembah alam. Pemazmur menulis: “Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung, dari manakah akan datang pertolonganku?” Pertolongannya datang bukan dari gunung-gunung tetapi “dari Tuhan yang menjadikan langit dan bumi” (Mzm. 121:1-2). Karena alam tidak ilahi, alam tidak layak disembah. Penghargaan kita kepada alam disertai dengan rasa syukur kepada Penciptanya. Kalau kita memperlakukan alam seolah-olah alam itu tidak bernilai, kita mengurangi nilai diri kita sendiri. Kalau kita mengabaikan arti yang ada dalam alam, kehidupan kita kehilangan sebagian artinya. Kalau kita memperlakukan alam seperti mesin, kehidupan kita menjadi lebih seperti mesin. Kalau kita hanya melihat alam sebagai sumber keuntungan bagi kita sendiri, kehidupan kita menjadi lebih egois dan kering. 187 Penghargaan kepada alam tidak berarti bahwa kita tidak boleh menggunakan alam, tetapi penggunaan kita jangan merosot sehingga menjadi perkosaan. Kita boleh saja menebang pohon untuk membangun rumah, tetapi kita jangan menebang pohon-pohon dengan sembarangan atau tanpa memikirkan bagaimana hutan dapat dipelihara. Kita boleh saja membunuh binatang untuk makanan, tetapi kita jangan membunuh binatang-binatang dengan membabi buta. Kita juga perlu berusaha supaya kita tidak menyebabkan penderitaan binatang (Ul. 22:6-7). Kita boleh saja memakai hewan untuk membajak tanah tetapi kita wajib memerhatikan kebutuhankebutuhan hewan itu (Ul. 25:4; Ams. 12:10). Manusia juga perlu bersahabat dengan alam. Ia mencintai alam. Kesan yang diberikan oleh Kejadian 2:18-20 ialah bahwa Allah memberi binatangbinatang dan burung-burung untuk manusia supaya manusia dapat hidup dalam persekutuan dengan binatang-binatang dan burung-burung itu. Tentu persekutuan itu kurang memenuhi kebutuhan manusia untuk persahabatan dan persekutuan, karena di antara binatang-binatang dan burung-burung tidak ada “penolong yang sepadan dengan” manusia (Kej. 2:20). Persekutuan manusia yang lengkap hanya mungkin dengan Allah dan manusia yang lain. Namun demikian, persahabatan manusia dengan alam juga penting. Istilah “sesama makhluk” patut dipakai dalam membicarakan hubungan kita dengan makhluk-makhluk yang lain. Sesama makhluk berbeda dengan sesama manusia. Ada orang-orang yang ingin menambah hukum ketiga kepada kesimpulan hukum Taurat dalam Matius 22:37-39. Menurut mereka kita harus mengasihi Allah, sesama manusia dan alam. Saran mereka kurang memerhatikan perbedaan antara manusia dan makhluk-makhluk yang lain. Saran itu juga mengurangi makna kasih. Dalam Perjanjian Baru kasih mengandung kesanggupan untuk berkorban bagi orang yang dikasihi. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 17:13). Kasih semacam ini hanya patut kepada manusia atau Allah. Walaupun demikian, perlu dikatakan bahwa kita harus menyayangi sesama makhluk kita. Kita perlu merasakan kesatuan antara kita dan makhluk-makhluk lain berdasarkan penciptaan kita oleh Allah. Umumnya ada tiga sikap manusia terhadap alam (Brownlee 1993, 152157). Pertama, orang dapat memandang alam sebagai ruang kuasa-kuasa 201 yang menakutkan sehingga manusia perlu tunduk kepada alam dan menyenangkan kuasa-kuasa alam dengan sesajen, kenduri atau upacaraupacara. Kedua, sebaliknya dari yang pertama, alam dipandang bukan sebagai subjek (dan manusia sebagai objek) yang menentukan nasib manusia, alam dipandang sebagai objek (dan manusia sebagai subjek) yang dapat diselidiki dan dipergunakan oleh manusia. Alam berada untuk kita, bukan kita untuk alam. Ketiga, baik alam maupun manusia dilihat sebagai dua subjek yang saling memengaruhi. Manusia dan alam perlu berjalan bersama dalam hubungan yang selaras karena manusia adalah satu dengan alam. Sikap ketiga lebih lazim di Indonesia, terutama di Jawa. Dalam kebudayaan Jawa, alam merupakan suatu keseluruhan yang sakral. Tentu tidak semua bagian dari alam sama kesuciannya. Ada bagian-bagian alam misalnya puncak bukit tinggi, jurang yang curam, kuburan dan pohon-pohon (beringin, bunga gading, pohon aren) yang lebih indah daripada bagian-bagian yang lain. Seluruh alam bersifat sakral tetapi sifat itu terserak, bukan homogen, tetapi heterogen. Dalam pandangan ini manusia bersatu dengan alam. Ia tidak berdiri berhadapan dengan kosmos, melainkan ia sebagian daripadanya. Karena alam bersifat keramat, manusia ingin mencari keselarasan dengan alam. Ia cenderung lebih menyesuaikan diri dengan alam daripada menguasai dan menggarap alam. Tentu kecenderungan ini tidak mutlak karena setiap bangsa harus menggunakan alam. Namun dalam kebudayaan-kebudayaan Indonesia, terutama kebudayaan Jawa, ada kecenderungan yang kuat untuk lebih mencari keselarasan dengan alam daripada menaklukkan alam. Dalam pandangan modern manusia berusaha menguasai dan mempergunakan alam sama dengan sikap kedua di atas. Bagi pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, alam perlu dilihat bukan sebagai kosmos yang sakral tetapi sebagai bidang untuk diselidiki dan digarap oleh manusia. Manusia tidak menyesuaikan diri dengan alam yang keramat tetapi berhasrat mengerti hukum-hukum alam dan menaklukkan alam. Dalam pandangan Barat umumnya manusia berdiri di luar alam sebagai subjek yang dapat mengatur dan menguasai alam. Manusia bukan sebagian dari alam tetapi pengolah dan penguasa alam. 202 Manusia membentuk peradaban, yaitu suatu lingkungan yang tidak alamiah untuk mempertahankan manusia melawan kekerasan alam. Sumber: http://trianawuri.blogspot.com/2011_04_01_archive.html Pandangan tradisional itu menekankan keselarasan manusia dengan alam tetapi kurang mendorong manusia untuk mengembangkan dirinya sendiri serta kebudayaannya dan masyarakatnya. Pandangan itu kurang menolong manusia mengatasi kesulitan-kesulitan dan halangan-halangan yang disebabkan oleh alam. Pada pihak lain pandangan modern mendorong kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan sehingga manusia dapat mengatur alam dan menggunakan sumber-sumber alam untuk membangun masyarakat yang lebih sejahtera. Namun dengan mengabaikan kesatuan manusia dengan alam, pandangan modern membuka pintu bagi perusakan alam oleh manusia. Manusia yang menganggap dirinya sebagai penakluk alam merasa bebas untuk memperlakukan alam dengan sewenang-wenang demi keuntungan manusia itu. Karena ia tidak lagi menghormati alam sebagai lingkungan keramat, maka ia merasa bebas untuk memperkosa alam. Karena ia dibebaskan dari keharusan untuk menyesuaikan diri dengan alam, ia menghancurkan dan memeras alam. Ia hanya melihat alam sebagai sumber keuntungan. Masalahmasalah ekologi masa kini, seperti misalnya pencemaran air dan udara serta pengurasan sumber-sumber alam, menunjukkan bahwa pandangan modern tentang lingkungan alam, walaupun penting bagi pengembangan teknologi 203 dan ilmu pengetahuan, disertai dengan kelemahan- kelemahan yang perlu diperbaiki. Sikap terhadap alam yang seharusnya dipunyai manusia disimpulkan dalam Kejadian 2:15: “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” Manusia harus mengusahakan alam tetapi ia juga harus memeliharanya. Walaupun alam bukan Allah, alam menunjukkan Allah. Walaupun alam tidak mempunyai kuasa keramat, alam bernilai. Walaupun manusia harus menaklukkan alam, manusia harus menghargai alam. Hubungan antara ekonomi dan ekologi bisa dijabarkan dari pengertian etimologis yang justru bisa saling membantu dan membina. Ekonomi berasal dari kata oikos dan nomos. Oikos berarti ’rumah tangga‘ dan nomos berarti ’aturan, hukum.’ Ekonomi bisa diartikan sebagai upaya untuk mengatur atau penatalayanan rumah tangga (housekeeping). Sedang ekologi gabungan dari kata oikos dan logos. Logos berarti perkataan, pemahaman dan pengertian. Sehingga hubungan antara ekonomi dan ekologi tergabung dalam pemahaman bahwa kita tidak bisa menata masyarakat dan alam ini tanpa mengertinya dan memeliharanya. Dengan kata lain, usaha untuk melakukan housekeeping harus dibarengi naturekeeping. Ada dua tugas manusia dalam alam. Pertama manusia diberi tugas untuk menggunakan alam dan berkuasa atas alam. Tugas kedua ialah memelihara alam. Tugas manusia dalam dunia diberikan kepadanya oleh Allah, dan ia bertanggung jawab kepada Allah atas pelaksanaan tugas itu. Prinsip utama yang mendasari pandangan orang Kristen tentang lingkungan ialah bahwa dunia adalah milik Tuhan. Ia yang menciptakan dan memelihara dunia juga memiliki alam dan mempunyai kewibawaan tertinggi atasnya. “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya dan dunia serta yang diam di dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di atas sungai-sungai” (Mzm. 24:1-2). Manusia tidak mempunyai hak milik yang mutlak atas bumi. Ia hanya menjadi pengurus atau manajer. Bumi dipercayakan kepada manusia untuk mengolah dan mengurusnya. 204 John Macquarrie dan James Barr berusaha membuktikan bahwa tuduhan mengenai Alkitab sebagai pokok gara-gara yang menyebabkan kerusakan alam bukan merupakan tuduhan yang kuat. Tetapi sekaligus kedua orang ini bersedia mengakui bahwa dalam perkembangan sejarah ada penafsiran tertentu terhadap manusia sebagai penguasa yang eksploitatif, dan bahwa gambaran ini tidak cocok dengan apa yang terdapat dalam teks Alkitab itu sendiri. Penafsiran ini bukannya sama sekali tidak kena dengan teks Alkitab. Sebab dalam teks, manusia diakui sebagai yang utama, sebagai penguasa. Pengakuan ini oleh penafsir tertentu di kemudian hari diberi penekanan berlebih-lebihan, sehingga akhirnya “menguasai” berarti “mengeksploitasi” dan mereka melupakan fungsi memeliharanya. Dalam Alkitab manusia adalah bagian dari alam. Ia terikat dalam kesatuan dengan bagian-bagian alam yang lain. Manusia berbeda dengan makhlukmakhluk yang lain. Ia mempunyai kedudukan khas di atas alam. Umumnya ada tiga sikap manusia terhadap alam. Pertama, orang dapat memandang alam sebagai ruang kuasa-kuasa yang menakutkan sehingga manusia perlu tunduk kepada alam dan menyenangkan kuasa-kuasa alam dengan sesajen, kenduri atau upacara-upacara. Kedua, sebaliknya dari yang pertama. Alam dipandang bukan sebagai subjek (dan manusia sebagai objek) yang menentukan nasib manusia. Alam dipandang sebagai objek (dan manusia sebagai subjek) yang dapat diselidiki dan dipergunakan oleh manusia. Alam berada untuk kita, bukan kita untuk alam. Ketiga, baik alam maupun manusia dilihat sebagai dua subjek yang saling memengaruhi. Manusia dan alam perlu berjalan bersama dalam hubungan yang selaras karena manusia adalah satu dengan alam. Buatlah daftar jenis perubahan gaya hidup yang Anda bersedia lakukan dalam rangka hidup dengan cara yang lebih harmonis dengan lingkungan dan presentasikan di depan kelas! 205 BAB VIII CARA BERGAUL YANG BAIK Setiap orang ingin dikasihi dan diterima oleh orang-orang lain. Seseorang senang bilaia mempunyai teman-teman yang dapat bergaul dengannya. Ia senang bila terikat pada orang lain dalam hubungan tolong-menolong. Manusia diciptakan sebagai hewan sosial atau social animal. Artinya, kita diciptakan sebagai makhluk yang paling bergaul. Kita ingin berhubungan dan berteman. Kita diciptakan untuk mengasihi orang lain seperti Tuhan mengasihi kita. Kita bisa bersyukur atas hubungan-hubungan sosial kita. Kita bisa bersyukur atas sahabat-sahabat kita yang memperkaya kehidupan kita dengan perkataan-perkataan mereka, permainan mereka, keseriusan mereka dan pertolongan mereka. Kehidupan kita sungguh lebih kering bila kita tidak ikut serta dalam suka dan duka teman-teman kita dan bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan yang mulia. Melalui bab ini, Anda diharapkan mencapai beberapa tujuan pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah:(i) memuliakan Allah dalam pergaulan mudamudi; (ii) menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dalam kepelbagaian agama,suku,dan budaya; (iii) bersikap peduli terhadap sesama manusia; (iv) bersikap terbuka untuk bekerja sama dengan semua pihak dalam rangka mendatangkan kebaikan bersama; (v) menerapkan tanggung jawab etis kristiani Sumber:http://nadhasocial.blogspot.com/2010/09 /kehidupan-sosial-manusia.html dalam pergaulan muda-mudi; dan (vi) menggunakan prinsipprinsip etis kristiani dalam pergaulan muda-mudi. 206 Ada orang yang disukai atau tidak disukai dalam pergaulan. Menurut Anda, apa yang menyebabkan orang tersebut disukai atau tidak disukai dalam pergaulan? Apa yang perlu dilakukan agar Anda disukai dalam pergaulan? Apa akibatnya jika Anda tidak disukai dalam pergaulan? Silakan Anda mengamati dan menilai pergaulan muda-mudi di gereja Anda sendiri! Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa hubungan dengan orang lain. Oleh sebab itu, adanya individu-individu lain merupakan suatu keharusan. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang selalu akan hidup dalam suatu hubungan keterikatan dengan individu lainnya. Seorang manusia selalu membutuhkan pergaulan dengan manusia lainnya agar dapat mencapai taraf tingkah laku manusia. Dalam perkembangan usia, pola hubungan seseorang juga berkembang. Pola itu jelas pada usia remaja dan terus bertahan sampai usia lanjut. Pola itu terdiri atas lima dimensi (Ismail 2007, 109). Pertama, dimensi persamaan. Kita memilih teman yang mempunyai persamaan dalam kepribadian, nilai-nilai hidup, perilaku, minat dan latar belakang. Kedua, dimensi timbal balik. Kita mencari teman yang bisa saling mengerti, saling percaya, saling tolong, saling mengakui keunggulan dan saling memaklumi kelemahan masing-masing. Ketiga, dimensi kecocokan. Kita berteman karena merasa cocok dan senang berada bersama dia. Keempat, dimensi struktur. Kita mencari teman yang berjarak dekat, mudah dihubungi dan bisa langgeng. Kelima, dimensi model. Kita berteman karena kita respek dan mengagumi kualitas kepribadiannya. Sejalan dengan berkembangnya kemampuan, kematangan dan kebutuhan, pola hubungan antarorang berkembang dalam tujuh tahap. Adapun ketujuh tahap tersebut adalah: tahap bayi, tahap anak kecil (3-6 tahun), tahap anak besar (6-12 tahun), tahap remaja dan pemuda (12-25 tahun), tahap dewasa muda (25-40 tahun), tahap dewasa (40-65) dan tahap usia lanjut. Tahap bayi. Bayi berusia setahun terheran-heran melihat bayi lain. Biasanya ia melihat orang dewasa, tiba-tiba ia melihat makhluk kecil. Ia tertarik pada temannya dengan cara meraba, menyentuh atau memukul. Ia ikut menangis ketika temannya menangis. Menjelang usia dua tahun ia bisa menghibur temannya dengan cara membelai atau memberikan mainan. Bayi yang sekalikali didekatkan pada bayi lain belajar berteman. 207 Sumber:http://biokuasyik.blogspot.com/2012/03/pertumbuhan-dan-perkembanganmanusia.html Tahap anak kecil (3-6 tahun). Pada tahap ini anak hanya melihat dari sudut pandang dan kepentingannya sendiri. Ia mengukur teman dari faktor kebendaan. Katanya, “Si Daniel temanku, ia punya sepeda merah.” Pada usia ini perangai mulai tampak. Anak yang menerima cukup kehangatan, pujian, dan perlakuan baik dari orang tuanya akan lebih terbuka dan berprakarsa mendekati teman. Sebaliknya, ada anak yang malu dan ragu-ragu, bahkan bermasalah, misalnya merasa terancam, curiga, iri, merampas, menjerit, mengejek atau membentak. Tahap anak besar (6-12 tahun). Keberhasilan atau kegagalan berteman pada tahap ini akan mewarnai hidup kita seterusnya. Pergaulan dengan teman pada tahap ini membentuk kepribadian kita. Ketika ada teman yang lebih pandai, apakah kita ikut bangga ataukah mendengki? Di sinilah letak faedah utama bersekolah. Anak yang mendapat ilmu secara pribadi di rumah, mungkin akan menjadi orang dewasa yang hipersensitif terhadap ejekan, perlakuan iseng dan persaingan, atau menjadi orang dewasa yang cuma mau menang sendiri, sulit bergaul dan sulit bekerja sama. Tahap remaja dan pemuda (12-25 tahun). Pada tahap ini kita membentuk jati diri sambil menjauhkan diri dari pengaruh orang tua, sehingga pengaruh teman menjadi dominan. Tanpa teman kita merasa kurang percaya diri. Demi memelihara persahabatan, kita meniru perbuatan teman dan menaati seluruh suruhannya. Akibatnya kita kurang kritis dalam memilih teman. Kita mengalami sejumlah ambivalensi. Di satu pihak kita merasa mandiri, di lain pihak kita merasa bergantung, terutama pada teman. Di satu pihak, kita 208 tidak mau diatur oleh orang tua, tetapi pada kenyataannya kita justru diatur oleh teman. Tahap dewasa muda (25-40 tahun). Jumlah kawan kita memuncak pada usia ini karena teman di lingkungan perumahan, kantor, gereja dan sesama orang tua anak di sekolah. Biasanya pada usia ini kita sulit mempunyai intimasi karena tidak mau mencampuri urusan pribadi teman. Pergaulan yang sehat ditandai oleh teratasinya kesulitan itu, sehingga kita bisa intim dengan kawan, namun tidak mencampuri urusan pribadinya. Mereka yang sudah menikah juga akan menikmati “persahabatan ganda,” yaitu dua pasang suami-istri yang cocok satu sama lain. Tahap dewasa (40-65 tahun). Pada tahap ini kita cenderung sibuk dengan kepentingan sendiri, karena kita berada pada puncak karier. Kita tidak mendapat banyak teman baru, kecuali tetangga atau teman organisasi. Tahap usia lanjut. Pada usia ini biasanya jumlah teman berkurang namun mutu persahabatan menjadi lebih matang dan murni. Dengan teman segolongan usia, kita bisa saling ikut merasakan dan saling menopang dalam suka maupun duka. Sedangkan dengan teman yang lebih muda kita bisa menjadi sumber hikmat dan bijak dalam menghadapi persoalan sehari-hari, karena kita telah mengalami semua itu. Manusia selalu akan terlibat dalam pergaulan. Pergaulan bila disorot secara khusus akan memberikan gambaran yang berbeda-beda dari segi kualitas waktu, misalnya, pergaulan yang hanya bersifat sementara, meliputi jangka waktu yang pendek dan yang meliputi jangka panjang. Demikian pula, sifat pergaulan tidak selalu sama. Ada pergaulan yang menggambarkan hubungan reaktif saja, seolah-olah antara dua individu atau lebih hanya terjalin hubungan bagaikan tanya jawab saja. Ada pula pergaulan yang individu-individunya aktif dan kreatif menciptakan hubungan, masing-masing individu saling memajukan taraf kehidupannya, dan saling menyempurnakan martabatnya. Pergaulan merupakan suatu hubungan yang meliputi tingkah lebih dari seorang individu (Gunarsa dan Gunarsa 1997, 36). Pergaulan merupakan suatu hubungan antarmanusia yang tidak dapat dihindarkan. Pergaulan ini acap kali menimbulkan persoalan sehingga justru menimbulkan kesulitan bagi orang yang bersangkutan. Pergaulan yang mengakibatkan timbulnya kesulitan, kurang membantu kelancaran hidup bahkan menimbulkan keguncangan jiwa yang menghambat dan merugikan perkembangan individu yang bersangkutan. 209 Pergaulan yang sebenarnya diperlukan demi penyempurnaan martabat manusia, tidak selalu mengarah ke kehidupan yang positif dalam rangka pembangunan mental, akan tetapi sebaliknya sering berakibat negatif dan menghambat kelancaran hidup sosial. Pergaulan yang matang, dewasa dan positif membantu kelancaran kehidupan sosial tidak mudah dicapai. Seni bergaul adalah cara bagaimana membuat diri kita disukai oleh sesama (Selan 1991, 103). Keinginan untuk disukai merupakan kodrat manusia. Oleh sebab itu, manusia mencurahkan segenap akal budinya untuk menemukan cara- cara yang jitu agar dirinya disukai oleh banyak orang. Faktor utama dalam memupuk seni bergaul adalah pengertian dari kita sendiri tentang pribadi orang lain. Sering terjadi kita tidak menyenangi seseorang, karena kita salah mengerti motif, kemampuan, sikap dan kepribadian orang tersebut. Hubungan antarpribadi yang baik akan meningkatkan nilai dan arti dari seseorang. Hubungan tersebut akan menghasilkan kepuasan bagi mereka yang tahu seni bergaul. Untuk meningkatkan seni bergaul, Anda perlu memerhatikan empat belas pedoman berikut ini (Selan 1991, 104-105). Pertama, dalam pergaulan pada setiap individu perlu adanya keterbukaan diri: melalui pertimbangan menerima apa yang diberikan oleh orang lain dalam bentuk pendapat dan pandangan. Keterbukaan mengharuskan kita berhubungan dengan orang lain tanpa bersembunyi di balik topeng. Keterbukaan merupakan kunci menuju persahabatan (Kesler 1994, 975). Kedua, melihat seseorang sebagaimana Tuhan memandangnya. Ketiga, mengenal individu lain sebagai seorang individu yang lain yang tidak sama dengan diri kita sendiri. Mengenal individu lain berarti berusaha mengetahui sifat-sifat, sikap, pandangan dan latar belakangnya yang telah membentuk individu lain itu dan yang mendasari kepribadiannya maupun tingkah lakunya. Sering kali usaha mencari latar belakang sebab-sebab yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan tidak tercapai. Usaha membuka tabir rahasia yang menyelubungi seseorang tidak selalu dan tidak sepenuhnya berhasil. Keempat, mengerti bahwa individu lain memiliki ciri khas, sifat khusus dan latar belakang masing-masing. Adanya perbedaan ini tidak berarti bahwa perbedaan tersebut perlu diubah dengan maksud agar orang lain dipaksa menyamakan dirinya dengan diri kita. Kita perlu menerima individu lain dengan kekhususannya, dalam arti masih dalam batas-batas wajar dan dapat diterima oleh umum. Kelima, memerhatikan orang lain dalam berbagai keadaan. Keenam, ambillah waktu untuk bersahabat dengan dia dan 210 membiarkan dia berbicara tentang hobinya serta problemnya, temantemannya dan pokok-pokok yang menarik baginya. Ketujuh, memahami faktor psikologis yang mendorong kelakuannya. Mengapa seseorang bertindak demikian? Dengan mengerti keadaan psikologisnya, kita lebih dapat menerima orang lain sebagaimana adanya. Kedelapan, berusaha untuk menghindari sifat atau sikap yang kurang menyenangkan seseorang. Kesembilan, perbuatlah apa yang menurut pendapat Anda harus diperbuat orang lain kepada Anda. Kesepuluh, setiap orang mendambakan pujian. Usaha manusia yang terbesar adalah untuk mendapatkan pujian. Alasannya, tentu saja, adalah bahwa pujian yang tulus membuat kita merasa diterima, menambah keyakinan diri kita dan membantu menghilangkan keragu-raguan kita. Pujian adalah ungkapan penghargaan yang diberikan secara tulus, tanpa pamrih untuk kepentingan pribadi. Memberikan pujian selalu lebih efektif daripada kritik. Pujian menghasilkan banyak perbuatan baik daripada keluhan. Manusia bertindak lebih baik sebagai reaksi terhadap pujian yang positif daripada terhadap ucapan yang negatif. Pujian sebaiknya jangan dimentahkan dengan kata tetapi, “Pekerjaan Anda bagus sekali, dan saya sangat menghargainya, tetapi ada satu hal yang tidak Anda lakukan secara benar.” Kata “tetapi” ini menghilangkan semua kegembiraan dan menghilangkan efektivitas pujian. Orang yang tidak menerima diri sendiri, atau yang sebenarnya tidak menyukai diri sendiri, sulit untuk memberikan pujian (Osborne 1996,13). Kesebelas, hindarilah perbantahan. Ini bukan berarti menjadi, yes-man, melainkan bahwa Anda terlalu bijaksana untuk terseret dalam perbantahan yang sia-sia, yang tidak seorang pun akan menang. Keduabelas, jangan merusak kesenangan orang lain. Salam yang hangat, pujian atau penghargaan dapat memberikan kesenangan dan membuat seseorang merasa enak sepanjang hari. Ketigabelas, bersahabatlah dengan pemuda atau pemudi yang akan membawa Anda ke hidup yang baik, jangan yang jahat. Keempatbelas, pupuklah rasa humor. Rasa humor dapat membuat suasana gembira dan santai. Banyak konflik dan ketegangan dalam pergaulan dapat diatasi dengan sikap yang suka humor. Humor haruslah yang sopan, dan tidak berkesan menghina, menyindir, atau mengejek orang lain. Humor yang sehat dapat mempererat persahabatan, tetapi humor yang kasar dapat merusak pergaulan yang baik (Fances 1993, 84). Hati-hatilah! 211 Sumber: http://inspirably.com/quotes/by-siti-marnina/sahabat sejati- adalah-tertawa-bersamadalam-kegembiraan-dan Seorang sahabat adalah dia yang menerima kita sebagaimana adanya. Ia menyelami kelemahan kita dan rela menolong kelemahan itu. Sekaligus ia mengagumi keunggulan kita dan mau memetik pelajaran dari keunggulan itu. Hanya orang yang berjiwa besar bisa bersikap bersahabat. Ia bersih dari iri dan dengki. Ia sama sekali tidak punya pikiran untuk menjegal dan menjatuhkan kita. Ia beriktikad baik. Yang diinginkannya terjadi pada kita adalah hal yang terbaik untuk kepentingan kita. Mendapatkan sahabat bukanlah perkara yang mudah. Oleh sebab itu, kita perlu mengetahui cara mendapatkan sahabat dengan mudah. Bagaimanakah Anda mendapatkan sahabat dengan mudah? Berikut ini ada beberapa hal praktis yang dapat menolong Anda mendapatkan sahabat dengan mudah: 1. Memusatkan perhatian Anda pada orang lain. Pikirkanlah tentang bagaimanakah Anda dapat menolong mereka. Jika berbicara dengan orang lain, janganlah berbicara diri Anda. Tunjukkanlah bahwa Anda menikmati kehadiran mereka. 2. Menghargai orang lain. Belajarlah untuk membuat orang lain berharga. Perlakukanlah mereka sebagai gambar dan rupa Allah yang sama dengan Anda. Penampilan, kedudukan sosial dan keadaan ekonomi bukanlah dasar penghargaan kita. Hargailah mereka sebagai ciptaan Allah. 3. Mengubah cara berpikir tentang orang lain. Kecurigaan adalah senjata yang ampuh untuk melumpuhkan atau memutuskan tali persahabatan. 212 Berpikiran negatif tentang orang lain akan mendorong tindakan yang negatif pula. 4. Mencari orang yang terlantar dan sedih. Dunia penuh dengan orang yang tidak mempunyai teman, orang yang menderita kesakitan dan yang menjadi korban kekejian orang lain sehingga mereka penuh dengan dendam. Dengan menerapkan keempat hal di atas, tentu kita dapat mendapatkan sahabat dengan mudah. Bagaimana bersahabat dengan seteru? Benyamin Franklin pernah berkata, “Kasihilah musuhmu sebab ia yang menunjukkan kesalahan- kesalahanmu. Tuhan Yesus Kristus mengajar para pengikut-Nya: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Matius 5:44). Bagaimanakah perintah ini dapat terwujud dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai pengikut-pengikut Yesus Kristus? Berikut ini beberapa hal praktis yang dapat menolong Anda bersahabat dengan seteru: 1. Pusatkan perhatian Anda pada bagaimana Anda dapat menolong mereka. Hal yang pasti mereka butuhkan adalah seorang sahabat. Salah satu kebutuhan yang mendasar dari manusia ialah untuk bersosialisasi, yaitu bergaul dengan sesama. Bantulah musuh Anda dan lakukanlah itu seperti Anda melakukannya bagi Tuhan. Pikirkanlah tentang yang sedang dikerjakan oleh Tuhan dalam hidupnya. Selanjutnya, pikirkanlah tentang bagaimanakah Anda dapat memupuk persahabatan dan bagaimana musuh Anda dapat memanfaatkan persahabatan Anda dan bukan berpikir tentang manfaat atau keuntungan yang Anda harapkan dari persahabatan Anda dengan dia. 2. Daftarkanlah kebaikan-kebaikan yang Anda lihat dari orang yang kurang menyenangkan hati Anda. Setiap manusia yang diciptakan Tuhan mempunyai kebaikan. Sejahat-jahatnya seseorang, di dalam lubuk hatinya tersimpan kebaikan yang belum sempat dinyatakan. 3. Bawalah mereka yang pernah menyakiti hati Anda kepada Tuhan dalam doa. Mengucap syukurlah kepada Tuhan atas apa yang menyenangkan dalam pribadi mereka serta memohon berkat dan pertolongan Tuhan bagi mereka. Kemudian, nikmatilah sukacita dariTuhan. Anda telah taat kepada firman Tuhan untuk mengasihi musuh Anda. 213 Simaklah kisah persahabatan antara Andar Ismail dan Syarif yang dikisahkan oleh Andar Ismail dalam bukunya yang berjudul Selamat Panjang Umur (Ismail 1995, 49-53). Andar Ismail menceritakannya sebagai berikut. Apa yang dapat diperbuat seseorang untuk memelihara kenangan tentang seorang sahabat lama yang sudah sekian tahun hilang jejaknya? Yang saya perbuat adalah mengabadikan nama sahabat itu pada nama anak sendiri. Begitulah ketika anak kami lahir, tanpa ragu-ragu kami menamakan dia Syarif, yaitu nama seorang sahabat saya di kelas 5 Sekolah Dasar Kristen di Bandung. Sebenarnya ada banyak perbedaan antara Syarif dengan saya. Syarif tinggal di rumah besar, berlantai dua, terbuat dari tembok dan terletak di tepi jalan raya. Sebaliknya rumah saya kecil, terbuat dari bilik bambu dan terletak pinggir gang. Syarif anak keluarga dokter dan bergelar raden, sebaliknya orang tua saya orang bersahaja. Syarif beragama Islam, saya beragama Kristen. Syarif orang Jawa, saya orang Cina. Segala perbedaan itu tidak kami rasakan. Tiap hari Syarif dan saya bermain dan membuat pekerjaan rumah bersama. Kami berdua menjadi ketua dan wakil ketua kelas. Kala menghadapi ulangan berhitung, Syarif yang mengajar saya karena dia juara kelas. Bila belajar sejarah dan ilmu bumi sayalah yang mengajar dia. Hasil ulangan cepat-cepat kami bandingkan. Kalau saya mendapat nilai buruk untuk berhitung (dalam kenyataannya memang hampir selalu begitu), Syarif tampak kecewa. Ketika saya menjadi juara untuk sejarah dan ilmu bumi, ia menepuk pundak saya dan memuji, “Hoe kan je nou zoveel weten?” (‘Bagaimana kamu bisa tahu sebanyak itu?’). Syarif sering datang ke rumah saya, kadang-kadang kami makan bersama. Saya masih ingat bagaimana dia mengerinyutkan dahi sambil memerhatikan makanan di piring lalu bertanya dengan nada gurau, “Zit er een varkentje in deze soep?” (‘Apa ada anak babi di sayur ini?’). Lalu kami tertawa terbahakbahak. Ibu saya pun ikut tertawa, sebab di piring itu sama sekali tidak ada daging apa-apa. Keluarga kami memang hampir tidak pernah makan daging, sebab harganya terlalu mahal. Saya pun sering datang ke rumah Syarif dan menginap di situ. Kami tidur seranjang dan mengobrol sampai larut malam. Dengan berbisik kami saling bertanya siapa teman perempuan yang kami senangi. Lalu kami tertawa bercekikikan dan cepat-cepat menaruh jari telunjuk di bibir sebagai janji saling menyimpan rahasia ini. Pada suatu hari Syarif mendapat seekor anak ayam yang sangat mungil. Bulu ayam itu kuning dan terasa sangat halus, siang malam kami sibuk membuat kandang dan mengurus ayam itu. Yang sulit adalah menyambung kawat dan memasang lampu untuk menghangatkan ayam itu. Kalau ayam itu kedinginan, segera kami dekatkan lampu pada ayam itu. Kemudian ketika 214 ayam itu kegerahan, kami jauhkan lampu itu. Beberapa hari kemudian kami mendapatkan ayam itu sudah kaku dan mati. Kami tersentak dan saling memandang. Lama kami duduk di depan kandang itu dengan kepala tertunduk. Syarif terdiam, saya pun begitu. Kami saling berpegangan. Lalu kami menangis bersama-sama. Persahabatan menyatukan perasaan. Kita senang bersama dan sedih bersama. Persahabatan tumbuh dari keterbukaan dan rasa percaya. Kita merasa dekat. Kita saling mengagumi, tetapi ita berani berterus terang menegur kesalahan masing-masing. Kita saling membutuhkan, tetapi tidak saling memanfaatkan. Sahabat tidak membujuk, tetapi juga tidak menuntut. Antara sahabat tidak ada iri dan dengki. Keberhasilannya menjadi kebanggaanku, kegagalannya menjadi kekecewaanku. Sahabat saling mau mendengarkan, menyelami dan mengerti. Sahabat saling peduli. Untuk bersahabat kita perlu berjiwa besar dan berhati ikhlas. Terhadap sahabat kita boleh mengeluarkan perasaan sebagaimana adanya, tanpa pura-pura ramah dan memasang senyum buatan. Persahabatan dipupuk oleh iktikad dari kedua belah pihak. Dalam persahabatan ada kedekatan. Atau dengan katakata Amsal: “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran” (Ams. 17:17) Demikian, kisah persahabatan antara Andar Ismail dan Syarif. Setelah membaca kisah persahabatan antara Andar Ismail dan Syarif serta paparan di bawah ini, Anda diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kritis sebanyak-banyaknya yang berkaitan dengan cara menjadi sahabat sejati. Sumber: http://www.dreamstime.com/royalty-free-stock-photography-relationship-friendsfriend-need-friend-indeed-image30173487 215 Sahabat adalah sebuah kata yang tidak asing dalam hidup manusia. Kata ini mempunyai makna yang sangat mendalam. Setiap orang pasti membutuhkannya dan senantiasa berusaha mendapatkan sahabat, bahkan bila orang tersebut telah memilikinya, ia akan senantiasa memeliharanya. Menjadi sahabat bagi orang lain dan mempunyai seorang sahabat adalah sesuatu yang sangat berarti dan berharga dalam hidup seseorang, karena memang Sang Pencipta menata manusia untuk hidup bersama dengan orang lain. Bagi orang Inggris, arti seorang sahabat diungkapkan dalam sebuah pepatah: afriend in need is a friend indeed, artinya sahabat yang sejati ialah sahabat yang selalu siap menolong ketika seseorang memerlukannya (Chandra 2006, 97). Alasan utama mengapa orang sulit menjalin persahabatan adalah kenyataan bahwa mereka tidak pernah benar-benar menerima diri mereka sendiri. Jika kita tidak menerima diri kita sendiri, kita akan mendapatkan kesulitan untuk menerima orang lain, dan kebiasaan negatif ini akan tercermin dalam hubungan kita. Untuk membangun persahabatan ada tujuh prinsip berikut ini yang perlu diperhatikan. Pertama, perhatikan setiap orang baru di sekitar Anda. Kedua, kembangkan ekspresi yang membuat suasana ceria. Ketiga, berlatih menyapa orang dengan nama. Keempat, ajukan pertanyaan yang tepat. Kelima, menjadi pendengar yang baik. Keenam, jangan congkak dan merasa lebih baik dari orang lain. Apakah Anda pernah bertemu dengan orang yang gila hormat? Ia tentu ingin dikenal sebagai orang istimewa dan penting, bukan orang sembarangan. Pasti selalu ingin mendapat kesempatan menceritakan kehebatan, kekayaan dan lain- lain yang lebih meninggikan dirinya. Setelah beberapa saat, pasti ia tidak berkesempatan lagi. Setiap orang mulai menghindari sejauh-jauhnya. Dari pengalaman itu, bersikaplah biasa. Meskipun mungkin Anda merasa memiliki kemampuankemampuan yang lebih daripada biasanya, hendaknya jangan congkak dan merasa lebih baik dari orang lain. Ketujuh, hendaknya sopan santun dalam tingkah laku. Persahabatan yang baik berawal dari perkenalan dengan orang yang memiliki suatu persamaan dengan kita. Ada daya tarik timbal balik. Anda senang berada bersama-sama dengannya. Anda merasa orang yang lain itu menyegarkan, memberi dorongan dan menyenangkan. Anda melihat dia mau mendengarkan Anda, memberi dorongan yang tepat kepada Anda. Persahabatan pun tumbuh. Persahabatan itu memerlukan waktu. Anda mungkin bertemu seseorang dan segera berhubungan. Sebelum hubungan itu 216 bisa tumbuh menjadi persahabatan yang sungguh, Anda harus saling mengenal selama suatu jangka waktu. Persahabatan jangan seluruhnya bergantung pada perasaan. Perasaan memang penting, tetapi jengkel atau kecewa terhadap seseorang jangan sampai merusak hubungan itu. Kita hendaknya tidak membuang atau mematikan persahabatan hanya karena ternyata tidak semuanya menyenangkan. Jika Anda berpikir untuk menjalin persahabatan, ketahuilah bahwa tidak semua orang ingin menjadi sahabat Anda. Orang mempunyai kebebasan untuk membuat pilihan itu. Jikalau Anda berusaha memaksakan persahabatan, akan timbul masalah. Persahabatan harus tercipta dengan sukarela. Adapun ciri-ciri persahabatan yang baik adalah sebagai berikut. Pertama, persahabatan yang baik tidak mementingkan diri sendiri. Amsal 17:17 mengatakan bahwa “seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu.” Seorang sahabat yang berkata, “Aku mengasihimu jika ...” atau “Aku mengasihimu bila ...” bukan sahabat seperti yang dilukiskan oleh Alkitab. Sahabat sejati akan berkata, “Aku mengasihimu setiap waktu.” Kasihku tidak bersyarat dan tidak mementingkan diri sendiri. Kedua, persahabatan sejati bersifat teguh. Jika Anda ingin sungguh-sungguh mengetahui berapa banyak sahabat yang Anda miliki dan siapa mereka, buatlah kesalahan dan lihatlah apa yang terjadi. Setelah Anda mengalami kesulitan, coba lihat berapa banyak sahabat Anda yang masih setia kepada Anda? Persahabatan sejati itu teguh. Ketiga, persahabatan sejati bersedia berkorban. Kalau Anda ingin menjadi sahabat, Anda harus hidup dengan bersedia berkorban bagi orang yang menerima persahabatan Anda. Keempat, persahabatan sejati bersifat menyucikan. Amsal 27:17 berkata, “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.” Seorang sahabat sejati akan menjadikan Anda orang yang lebih baik. Persahabatan sejati membuat hidup Anda lebih maju, mempertajam kecerdasan Anda dan membuat Anda lebih giat. Anda akan menjadi orang yang lebih baik dan lebih berguna karena persahabatan itu. Persahabatan sejati tidak akan menumpulkan kerohanian Anda. Seorang sahabat sejati adalah orang yang cukup peduli sehingga ia akan menegur Anda 217 bila Anda salah. Alkitab berkata dalam Amsal 27:6, “Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpahlimpah.” Kita harus membangun persahabatan denganorang-orang non-Kristen juga. Ini hendaknya tidak merupakan hubungan dengan maksud penginjilan (persahabatan demi satu jiwa), melainkan persahabatan karena kita benarbenar mengasihi orang-orang tersebut. Bila Anda mempunyai sahabat orangorang non- Kristen, Anda perlu bertanya kepada diri Anda sendiri, apakah persahabatan ini memungkinkan Anda tetap dekat dengan Tuhan atau dapat memisahkan Anda dari Tuhan. Jikalau Anda mulai melihat bahwa persahabatan Anda dengan seorang non-Kristen tertentu menjauhkan Anda dari Tuhan, Anda harus melakukan sesuatu. Sulit rasanya membayangkan hidup tanpa kehadiran sahabat di samping Anda. Ya, tanpa kehadiran sahabat, hari-hari Anda akan terasa kosong dan hampa. Oleh sebab itu, hubungan persahabatan harus dipupuk dengan baik. Apakah Anda sudah merasa menjadi sahabat yang sejati bagi sahabat Anda? Pertama, sahabat sejati adalah sahabat yang bersedia mendengarkan segala macam cerita dan keluh kesah sahabatnya. Oleh sebab itu, jadilah pendengar yang baik untuk sahabat-sahabat Anda. Jika mereka membutuhkan masukan, berilah pendapat Anda secara perlahan-lahan tanpa bersikap menggurui. Kedua, belajarlah menghargai segala macam perbedaan sifat sahabat Anda. Ingat setiap orang memiliki berbagai macam kepribadian yang berbeda. Cobalah mengerti bagaimana karakter sahabat Anda. Jika Anda mengalami perbedaan pendapat, selesaikanlah masalah tersebut dengan baik-baik. Sebab, semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Ketiga, jagalah baik-baik kepercayaan yang telah diberikan oleh sahabat Anda. Jangan pernah sekali pun Anda membocorkan rahasia penting sahabat Anda, apalagi yang berupa aib. Banyak kejadian sahabat berubah menjadi musuh karena telah membocorkan rahasia penting sahabatnya. Keempat, jadilah sahabat yang selalu siap memberikan dukungan. Jika sahabat Anda melakukan kesalahan, jadilah orang pertama yang menyemangatinya. Jika perlu sebisa mungkin Anda jangan menyalahkannya. Berilah sahabat Anda motivasi agar dapat bangkit dari kesalahannya. Kelima, jangan jadikan sahabat Anda sebagai saingan terberat Anda. Hilangkan perasaan iri atas keberhasilan sahabatAnda. Jadikanlah rasa iri tersebut 218 sebagai cambuk bagi Anda agar berbuat lebih baik lagi. Lalu, jangan lupa ikutlah berbahagia dengan keberhasilan yang telah dicapainya. Keenam, jangan pernah ragu untuk minta maaf pada sahabat saat Anda melakukan sebuah kesalahan padanya. Setelah itu, berusahalah perbaiki kesalahan Anda. Begitu pula sebaliknya, berikanlah maaf dan lupakan kesalahan sahabat Anda jika ia bersalah. Simaklah 1 Korintus 5:9-11. Dalam 1 Korintus 5:9-11 tersebut, Paulus melarang jemaat di Korintus untuk bergaul dengan orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu. Menurut Anda, mengapa Paulus melarang jemaat di Korintus untuk bergaul dengan orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu. Apa maksud dan makna perkataan Paulus yang terdapat dalam 1 Korintus 5:9-11 “Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul. Yang aku maksudkan bukanlah dengan semua orang cabul pada umumnya dari dunia ini atau dengan semua orang kikir dan penipu atau dengan semua penyembah berhala, karena jika demikian kamu harus meninggalkan dunia ini. Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama.” Silakan Anda mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari berbagai buku dan sumber belajar yang lain mengenai pergaulan yang sehat dan benar menurut Alkitab. “Jangan dipengaruhi oleh orang-orang lain” adalah nasihat yang sia-sia. Setiap orang dipengaruhi oleh orang-orang lain. Yang menjadi masalah ialah orang-orang macam apa yang memengaruhi kita. Selain itu, yang menjadi masalah ialah bagaimana kita dipengaruhi. Kita perlu bergaul dengan orangorang yang dapat menolong kita mengembangkan suatu pandangan hidup yang lebih luas, lebih manusiawi dan lebih sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita juga perlu mempunyai suatu integritas yang tidak diombang-ambingkan oleh setiap pengaruh, suatu pendirian yang sekaligus terbuka dan teguh. Ada dua bahaya yang menyangkut hubungan kita dengan teman-teman kita (Brownlee 1986, 77-78). Bahaya pertama adalah keeksklusifan, yaitu kecenderungan untuk menolak orang-orang dari kalangan tertentu. Mungkin 219 orang itu ditolak karena suku bangsanya, kemiskinannya, dianggap bodoh atau terlalu pintar, atau karena alasan yang lain. Sikap eksklusif ini merugikan baik orang yang menolak maupun orang yang ditolak. Sikap itu mengembangkan kesombongan dalam hati orang-orang yang menolak. Kesombongan itu merusak kepribadian seseorang. Karena kesombongannya, orang yang lemah lembut dapat menjadi keras hati dan kejam. Sikap eksklusif juga merugikan orang yang ditolak. Ia merasa sepi karena terputus hubungannya dengan sekelompok sesamanya manusia. Setiap kali ia berhadapan dengan orangorang yang menolaknya, ia merasa dihina. Mungkin ia merasa rendah diri dan sering bertanya dalam hatinya mengapa ia dinilai kurang. Allah bekerja untuk mempersatukan orang-orang. Ia mengasihi semua orang. Kasih kita perlu mencerminkan kasih Allah yang sangat inklusif itu. Orang Kristen perlu menerima dan mengasihi sebanyak mungkin orang, bukan menolak mereka. Terutama orang Kristen perlu mengasihi orang-orang yang dianggap hina oleh masyarakat. Yesus bergaul dengan orang-orang yang dibenci oleh kebanyakan orang dalam masyarakat-Nya. Kalau kita yakin bahwa kita diterima dan dikasihi oleh Allah, kita tidak usah mengangkat harga diri kita dengan menganggap rendah orang lain. Bila kita ditolak oleh orangorang lain, kita bisa merasa yakin bahwa kita masih diterima dan dianggap penting oleh Tuhan. Bahaya kedua yang menyangkut hubungan kita dengan teman-teman ialah tekanan untuk menyesuaikan diri dengan pendapat dan perbuatan yang tidak baik. Sering orang-orang membenarkan suatu perbuatan yang diragukan benar salahnya dengan berkata, “Semua orang berbuat demikian.” Kalau kebanyakan orang dalam kalangan kita sudah berbuat demikian, seseorang akan dianggap kolot bila ia berkata, “Aku tidak boleh berbuat demikian.” Kalau kebanyakan orang dalam suatu kelas menyontek, orang yang tidak menyontek dianggap aneh. Kalau semua orang di kantor menerima suap, orang yang tidak menerima suap dihindari. Sering orang-orang menyerah kepada dorongan-dorongan dari temantemannya, walaupun dorongan-dorongan itu bertentangan dengan suara hati mereka. Kalau demikian, kebutuhan untuk diterima oleh teman-teman menjadi lebih penting daripada iman dan pendirian diri sendiri. Pemudapemuda yang memiliki kebebasan untuk mengambil keputusannya sendiri tanpa tekanan dari orang tua atau lembaga-lembaga sering dengan rela membuang kebebasan itu untuk mengikuti keinginan teman-temannya. Penyesuaian dengan orang lain dapat menjadi ganti bagi pikiran. Orang yang 220 ikut-ikutan tidak lagi berpikir bagi diri sendiri. Ia mengikuti arus tanpa mengembangkan cara hidup berdasarkan pandangan sendiri. Sangat sukar untuk berdiri sendirian berlawanan dengan tekanan-tekanan dari orang-orang lain. Karena itu, kita memerlukan teman-teman yang juga berusaha untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Mereka dapat menolong kita menggumuli masalah-masalah dan menentang godaangodaan yang kita hadapi. Manusia adalah makhluk sosial, tidak terkecuali orang Kristen. Sebab itu, sudah seharusnya manusia itu memiliki teman atau sahabat dalam kehidupan ini. Orang yang membenci pergaulan adalah orang yang tidak normal. Orang yang seperti itu biasanya disebut antisosial. Mereka tidak membutuhkan pergaulan, bahkan membenci pergaulan. Tanpa sahabat rasanya hidup ini gersang dan sepi. Namun dalam 1 Korintus diberitahukan agar kita berhati-hati dalam pergaulan. Karena pergaulan yang buruk dapat merusak kehidupan kita. Misalnya, kita bisa terlibat dalam seks bebas, minum minuman keras dan memakai narkotika. Di dalam Amsal 18:24 dikatakan, “Ada teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat yang lebih karib daripada seorang saudara.” Ada sahabat yang lebih baik daripada saudara sendiri. Ayat di atas bukan mengajak kita hanya bersahabat dengan orang Kristen saja. Siapa saja boleh menjadi sahabat kita. Dengan kata lain, pergaulan Kristen bukanlah eksklusif pada orang Kristen saja. Sebaliknya, pergaulan Kristen juga bukan “asal bergaul” sehingga dapat merusak kehidupan dan kesaksian kita, melainkan harus memerhatikan prinsip bergaul yang benar. Pergaulan yang berprinsip bukan pergaulan yang eksklusif. Tetapi pergaulan yang bertanggung jawab, beretiket pergaulan yang sesuai dengan prinsip Firman Tuhan. Motif dalam pergaulan Kristen adalah “kasih yang sudah kita 221 terima dari Kristus,” bukan “kasih yang sekuler,” misalnya kasih yang dikuasai oleh hawa nafsu, kasih yang materialistis atau kasih yang egoistis. Beberapa prinsip pergaulan yang berdasarkan kasih Kristus dan yang sesuai dengan kebenaran Alkitab adalah sebagai berikut. Pertama, kemuliaan bagi Allah. Motif tertinggi yang patut dimiliki orang yang menyebut dirinya anakanak Allah ialah melakukan segala sesuatu demi kemuliaan Allah. Hanya Dialah yang layak beroleh pujian tertinggi. Di dalam 1 Korintus 10:31 dikatakan, .”.. jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semua itu untuk kemuliaan Allah.” Selain itu, di dalam Kolose 3:23 dikatakan, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Kedua, demi kebaikan orang lain. Dalam 1 Korintus 10:24 dikatakan, “Jangan seorang pun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap- tiap orang mencari keuntungan orang lain.” Jadi dalam pergaulan kita tidak boleh merugikan sesama, melainkan melakukan sesuatu yang mendatangkan berkat bagi sesama. Ketiga, kebaikan bagi diri sendiri. Dalam 1 Korintus 10:23 dikatakan, “Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.” Manusia memang diberi Tuhan kebebasan, tetapi harus diingat bahwa tidak semua yang boleh dan dapat kita lakukan, berguna bagi sesama dan diri kita sendiri. Oleh karena itu, kalau hendak melakukan sesuatu hendaklah yang bermanfaat bagi manusia. Keempat, saling mempercayai. Sikap saling mempercayai ini akan membangun persahabatan yang baik. Sebaliknya, sikap saling mencurigai akan menghancurkan persahabatan. Sikap “saling curiga” membuat seseorang menjadi terlalu sensitif, cemburu buta, penyebar gosip, atau tidak jujur. Hindarilah sikap saling curiga. Kelima, saling menghargai. Sikap saling menghargai menghasilkan sifat suka menghormati orang lain, lebih banyak mendengar daripada berbicara, toleransi, berani menerima pendapat orang lain dan tidak suka memperalat orang lain. Sebaliknya, orang yang “suka menghina” akan terlihat dari sifatnya yang kurang menghargai pribadi orang lain, suka mencela, emosinya tidak stabil, ceroboh, kasar, pemarah, dan terlalu agresif. Hindarilah sikap suka menghina. 222 Keenam, saling mengasihi. Kasih yang benar adalah kasih yang berasal dari Kristus. Kasih yang seperti itu terlihat dari sifat tenggang rasa, tidak suka perhitungan dengan teman, tahan diri untuk tidak selalu membicarakan diri sendiri, rela berkorban dan suka mengalah untuk menang. Kasih yang seperti itu mendasari pergaulan yang menjadi sahabat lebih baik daripada saudara, karena orang yang seperti itu rela menerima sahabatnya sebagaimana dia adanya. Dalam keadaan bagaimanapun, pada saat kapanpun dan di mana pun tempatnya, dia tetap menjadi “sahabat yang baik.” Sumber: http://himpalaunas.com/artikel/etalase/2012/02/05/hati-hati-situs-jejaring-sosialdapat-mengubah-otak-manusia Dalam hidup ini ada banyak sekali hal yang indah. Agaknya, salah satu yang paling indah adalah persahabatan seperti yang dirasakan oleh orang lumpuh dalam Injil Markus 2:1-12 (Ismail 2002, 20-23). “Pada saat Tuhan Yesus sedang mengajar tiba-tiba terjadi gangguan yang mengejutkan. Secara tiba-tiba ada tilam diturunkan dengan tali dari atas atap. Di tilam itu terbaring seorang lumpuh. Orang lumpuh itu digotong oleh empat orang kawannya untuk disembuhkan oleh Tuhan Yesus. Pasti berat menggotongnya. Rumahnya mungkin jauh dari tempat itu. Lalu ternyata 223 tempat itu sudah dipenuhi banyak orang sehingga tidak ada lagi jalan masuk. Untunglah keempat kawannya mempunyai akal. Mereka menggotong dia naik ke atap. Kemudian mereka mengikat tilam pembaringan orang lumpuh itu dengan empat utas tali. Sesudah itu mereka membuka atap. Lalu mereka mengulur tali itu dan menurunkan orang lumpuh itu perlahan-lahan ke lantai dasar. Pasti susah. Pasti harus berhati- hati dan seimbang. Bayangkan betapa susahnya menurunkan orang sakit yang terbaring di tilam dengan tali dari atas atap rumah. Apa jadinya kalau salah satu utas tali itu terlalu cepat turunnya, pasti tilam itu miring dan orang itu jatuh. Atau apa jadinya kalau salah satu utas tali itu tiba-tiba putus. Tetapi ternyata mereka berhasil. Hebat sekali. Bukan main cakapnya para sahabat orang lumpuh itu. Hebat! Sungguh menarik bahwa perhatian Yesus tertuju pada kawan- kawan orang lumpuh tersebut. Mereka masih ada di atas atap. Mereka tidak bisa turun. Mereka menatap dan menunggu di atas. Rupanya Yesus juga langsung melihat ke atas. Yesus bisa melihat mereka. Mungkin Yesus memerhatikan wajah keempat orang itu. Mereka mungkin tampak agak takut, sebab mereka tahu bahwa mereka mengganggu Yesus yang sedang mengajar. Di wajah mereka juga tampak dambaan untuk belas kasih agar kawan mereka yang lumpuh itu bisa disembuhkan. Yesus menatap wajah mereka. Lalu Yesus melihat ke bawah dan menatap wajah orang lumpuh itu yang tampak cemas harap-harap dalam ketidakberdayaannya. Sungguh beruntung orang lumpuh itu. Ia mempunyai kawan- kawan. Mereka itulah yang menggotong dia. Mereka memberi semangat dan pengharapan. Hidup terasa bermakna lagi. Tanpa kawan-kawan ini, orang lumpuh itu hanya terkulai seorang diri di rumah. Sungguh baik hati sahabat-sahabatnya.” Di bagian Alkitab yang lain terdapat juga contoh pergaulan dan persahabatan yang baik. Contoh pergaulan dan persahabatan yang baik tersebut terlihat dengan jelas pada kisah pergaulan dan persahabatan antara Yonatan dan Daud yang dipaparkan oleh Andar Ismail dalam buku Selamat Berteman (Ismail 2007, 10-14). Ceritanya begini. Selamat Berteman. “Yonatan adalah putra sulung Raja Saul. Pada waktu itu, yakni sekitar tahun 1000 sM., kerajaan Israel sedang ditekan oleh tentara Filistin yang jauh lebih besar. Hampir seluruh wilayah kerajaan dikuasai tentara Filistin. Mereka menjarah rumah orang Israel. Mereka menyita semua senjata orang Israel. Bahkan semua peralatan tukang besi disita dengan maksud mencegah orang Israel membuat senjata. Para petani harus pergi kepada orang Filistin untuk mengasah alat pertanian dengan bayaran yang tinggi. Hanya Yonatan dan Raja Saul yang masih mempunyai senjata (lih. 1 Sam. 13:19-22). 224 Dalam pasukan kerajaan yang nyaris lumpuh itu, Yonatan menjadi komandan. Ia berprestasi dengan gemilang. Ia mengalahkan pasukan Filistin di Gerba. Raja Saul memanfaatkan kemenangan itu untuk menimbulkan percaya diri pada rakyat (lih. 1 Sam. 13:3-4). Prestasi Yonatan yang kedua adalah di Mikhmas. Ia meminta tanda pertolongan Tuhan. Kata Yonatan, “Mungkin TUHAN akan bertindak untuk kita, sebab bagi TUHAN tidak sukar untuk menolong, baik dengan banyak orang maupun dengan sedikit orang” (1 Sam. 14:6). Dengan hanya ditemani oleh seorang pembantunya, Yonatan mendekati perkemahan musuh. Yonatan berpegang pada tanda bahwa jika musuh mengusir dia, maka itu pertanda TUHAN tidak berkenan, namun jika musuh menantang, maka itu pertanda TUHAN akan menolong. Yonatan dan pembantunya menaiki bukit perkemahan musuh. Dari kaki bukit itu Yonatan memperlihatkan diri. Tentara musuh berteriak, “Naiklah ke mari, maka kami akan menghajar kamu.” Segeralah Yonatan dan pembantunya merangkak ke puncak bukit. Mereka bertarung. Pasukan musuh itu tewas di tangan Yonatan. Penyerbuan Yonatan itu berdampak sebagai perang urat syaraf yang menjatuhkan moral pihak musuh (lih. 1 Sam. 14-15). Tetapi kemenangan itu masih bersifat lokal. Tentara musuh masih menguasai sebagian besar wilayah kerajaan. Pada suatu hari, di istananya, Yonatan melihat seorang pemuda berkulit “kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok” yang menjadi pegawai baru di istana. Pegawai itu bertugas sebagai pemain kecapi yang menghibur Raja Saul. Yonatan menyukai pemain kecapi itu. Sejak itu mereka berteman. Pemuda itu bernama Daud. Tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya Daud sudah diurapi oleh Nabi Samuel untuk kelak menjadi raja atas seluruh Israel (lih. 1 Sam. 16:1-13). Sementara itu pasukan Israel semakin terdesak musuh. Seorang pendekar musuh bernama Goliat menantang untuk berduel. Tidak ada yang berani. Lalu Daud menawarkan diri. Ternyata Daud menang. Selanjutnya Yonatan menjadi lebih berteman dengan Daud. Tertulis, ”..berpadulah jiwa Yonatan dengan jiwa Daud; dan Yonatan mengasihi dia seperti jiwanya sendiri” (1 Sam. 18:1). Lalu mereka berdua mengikat perjanjian persahabatan. Yonatan menanggalkan jubah dan pedangnya lalu diserahkannya kepada Daud sebagai tanda persahabatan. Setelah itu Yonatan mengikutsertakan Daud dalam pasukannya. Daud selalu berprestasi gemilang. Penduduk kota menyambut Daud dengan nyanyian dan tarian, “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksalaksa.” Raja Saul cemas bahwa kedudukannya akan goyah oleh popularitas Daud. Ia “selalu mendengki Daud.” Dua kali ia mencoba membunuh Daud (lih. 1 Sam. 18:8-12). Yonatan juga tahu bahwa popularitas Daud melebihi dirinya. Sebenarny popularitas Daud merugikan kedudukan Yonatan sebagai putra mahkota. Tetapi Yonatan tidak mendengki. Tolok ukur kepribadian yang bisa 225 bersahabat adalah bersih dari iri dan dengki. Yonatan malah membela Daud. Ujar Yonatan kepada ayahnya, “Janganlah raja berbuat dosa terhadap Daud, hambanya, sebab ia tidak berbuat dosa terhadapmu ...” (1 Sam. 19:4). Pada kesempatan lain Yonatan membela lagi Daud di hadapan raja. Yonatan tahu bahwa dengan demikian ia mempertaruhkan nyawanya sendiri demi membela nyawa Daud. Ternyata benar, rajamenjadi marah sehingga “melemparkan tombaknya kepada Yonatan untuk membunuhnya” (1 Sam. 20:33). Sekarang Yonatan tahu bahwa Daudbetul-betul dalam keadaan terancam. Lalu Yonatan merelakan Dau untuk mengungsi dan mengembara supaya tidak bisa dilacak oleh raja. Sebelum berpisah mereka mengulangi lagi sumpah persahabatan mereka. Tercatat, “Dan Yonatan menyuruh Daud sekali lagi bersumpah demi kasihnya kepadanya, sebab ia mengasihi Daud seperti dirinya sendiri” (1 Sam. 20:17). Lalu dicatat juga, “Mereka berciumciuman dan bertangis-tangisan” (1 Sam. 20:41). Kehilangan sahabat adalah derita berat. Ketika kemudian Yonatan mengetahui bahwa Daud terus dikejar pasukan ayahnya, ia berusaha untuk menemukan Daud. Di gurun Zif, Yonatan dan Daud bertemu lagi. Di situ Yonatan “menguatkan kepercayaan Daud kepada Allah” dan meneguhkan komitmennya bahwa meskipun ia berhak atas jabatan raja, namun jabatan itu ia peruntukkan bagi Daud. Kata Yonatan, “Janganlah takut, sebab tangan ayahku Saul tidak akan menangkap engkau; engkau akan menjadi raja atas Israel, dan aku akan menjadi orang kedua di bawahmu” (1 Sam. 23:17). Dalam ayat berikutnya dicatat, “Kemudian kedua orang itu mengikat perjanjian di hadapan TUHAN.” Bayangkan konflik batin Yonatan. Sahabatnya begitu dibenci oleh ayahnya. Lalu bagaimana sikap Yonatan terhadap kedua orang itu? Ia tetap mencintai keduanya. Ia terus mendampingi ayahnya dalam pertempuran melawan Filistin. Pada suatu pertempuran, baik Yonatan maupun Raja Saul dibantai oleh musuh. Mendengar berita kematian itu merataplah Daud. Ratapannya dicatat dalam 2 Samuel 1:19-27. Salah satu syairnya berbunyi, “Merasa susah aku karena engkau, saudaraku Yonatan, engkau sangat ramah kepadaku; bagiku cintamu lebih ajaib daripada cinta perempuan.” Ketika kemudian Daud menjadi raja, ia mencari keluarga Yonatan. Ia menampung di istananya Mefiboset, putra Yonatan yang cacat kaki karena jatuh dalam serbuan tentara musuh. Kata Daud kepada Mefiboset, “Janganlah takut, sebab aku pasti akan menunjukkan kasihku kepadamu oleh karena Yonatan, ayahmu; aku akan mengembalikan kepadamu segala ladang Saul, nenekmu, dan engkau akan tetap makan sehidangan dengan aku” (2 Sam. 9:7). 226 Maka, persahabatan antara Yonatan dan Daud diteruskan melalui keturunannya. Sahabat sejati menjadi sahabat abadi. Sahabat abadi terpatri sampai mati.” Simaklah Amsal 13:20, “Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang.” Menurut Anda, apa sukanya bergaul dengan orang bijak dan apa dukanya bergaul dengan orang bebal? Apa akibatnya jika Anda bergaul dengan orang bijak dan orang bebal? Apa yang perlu Anda lakukan agar bisa bergaul dengan orang bijak dan tidak berteman dengan orang bebal? Apa maksud dan makna Amsal 13:20? Silakan Anda mengemukakan argumen Anda yang menunjukkan bahwa ada suka dan duka dalam pergaulan. Setiap orang mesti bergaul. Orang yang sama sekali tidak bergaul akan lekas mati. Oleh para ahli sosiologi, pergaulan disebut interaksi. Interaksi bisa bersifat luas (bergaul dengan banyak orang) atau bersifat frekuen (sering bergaul dengan orang). Dua orang yang bersahabat secara kental tidak bergaul secara luas tetapi frekuen, sedangkan seorang ekstrovert bergaul secara luas tetapi hanya sebentar saja (Brouwer 1981, 2). Sejak dilahirkan manusia memang sudah mempunyai naluri untuk hidup berkumpul dengan orang-orang lain. Bahkan pada suatu saat orang tadi dipisahkan dari orang-orang lain, kemungkinan besar keseimbangan jiwanya akan mengalami gangguan. Manusia mempunyai naluri untuk hidup berkumpul dengan orang-orang lain, karena memang manusia itu tidak diperlengkapi dengan alat-alat yang cukup untuk dapat hidup sendiri di dunia. Oleh karena itu, gejala yang wajar jika manusia selalu akan mencari kawan, baik semas dia baru dilahirkan, maupun sampai dewasa. Selain itu, tidaklah terlalu mengherankan bila muda- mudi senang hidup berkumpul dan bergaul dengan kawan-kawannya, walaupun hal tersebut tidak selalu akan membawa pengaruh-pengaruh yang baik. Sebab sukar untuk disangkal bahwa di samping pengaruh-pengaruh baik atau positif, pergaulan juga memiliki banyak pengaruh-pengaruh buruk atau negatif. Apalagi kalau kawankawannya berasal dari lingkungan sosial yang kurang baik. Sebagai salah satu buktinya, mengendarai kendaraa bermotor dengan ugalugalan adalah hasil dari pengaruh tidak baik dari lingkungan. Salah satu penyebab penyalahgunaan narkotika adalah pengaruh yang tidak baik dari lingkungan yang negatif sifatnya. 227 Orang yang ekstrovert mempunyai bakat bergaul. Selain itu, orang yang mempunyai bakat bergaul biasanya adalah orang yang menyukai keramaian dan suka bertemu dengan banyak orang. Sebaliknya, orang yang tidak bisa bergaul dengan orang lain adalah orang yang bertipe introvert. Orang yang tidak bisa bergaul dengan orang lain biasanya kalau bertemu orang lain merasa tegang dan membenci keramaian. Di samping itu, perlu diperhatikan juga adanya beberapa sifat yang menghalangi pergaulan, seperti sikap sombong, egois, cerewet, kecenderungan suka memaksa orang lain dan sebagainya. Suka dan duka dalam pergaulan tentu saja ada, bahkan boleh dikatakan banyak. Contoh sukanya adalah sebagai berikut. Anda sedang sendirian di rumah karena anggota keluarga yang lain sedang pergi. Sendiri adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Tiba-tiba datang seorang teman dan akhirnya Anda asyik ngobrol. Dengan bergaul Anda juga dapatmencari jalan untuk memecahkan persoalan yang Anda hadapi bersama dengan teman. Mengatasi kesulitan bersama-sama tentu lebih mudah daripada mengatasi sendirian. Sukanya bergaul yang lain adalah saat Anda sakit. Teman-teman Anda akan mengunjungi Anda dengan segera. Selain itu, ketika Anda dalam keadaan sedih dan susah teman dapat menghibur dan memberikan nasihatnasihat. Pergaulan mendatangkan banyak keuntungan. Misalnya, setelah Anda mulai bergaul lebih dekat dengan teman-teman kuliah, Anda memeroleh keterangan bahwa dahulu mereka menganggap bahwa Anda merupakan pribadi yang sombong, lebih senang bermain dengan teman yang sama sekali tidak setingkat dengan Anda. Keuntungan yang lain adalah bergaul dengan temanteman sangat menyenangkan sebab dengan bergaul Anda dapat menghilangkan kekesalan yang ada dalam hati Anda. Anda dapat bergembira bersama, bertukar pendapat dan dapat juga menambah pengetahuan tentang hal-hal yang ada dalam masyarakat. Anda butuh teman juga untuk menumpahkan seluruh isi hati Anda yang memang belum tentu teman Anda dapat membantu, tetapi minimal Anda merasa seolah-olah bebas bila Anda telah mencurahkan isi hati Anda. Dalam pergaulan Anda tidak boleh terlalu acuh atau akrab sebab dalam pergaulan ada duka. Misalnya, Anda telah akrab dengan seseorang. Apabila terjadi perselisihan dengan orang tersebut, rahasia Anda bisa dibongkar semua. Sikap tersebut tidaklah benar bagi persahabatan. Adapun duka pergaulan yang lain yang bisa Anda alami ialah jika seseorang dari teman- 228 teman Anda menjauhi Anda dengan alasan yang tidak jelas, mungkin iri atau yang lain yang Anda sendiri tidak tahu pasti. Duka lain, misalnya, ada teman yang mulai mengucapkan fitnah supaya nama Anda menjadi jelek dan dijauhi oleh teman lain. Duka pergaulan yang lain lagi adalah terjadi salah paham dalam pergaulan antara Anda dengan teman dan mengakibatkan hubungan menjadi agak terganggu. Ada pula yang mau menghargai teman yang bermobil saja, kaya raya, dan sebagainya, tetapi tidak mau menghargai teman yang kurang mampu sehingga dalam pergaulan, Anda dapat melihat adanya kelompok-kelompok dalam pergaulan. Yang kaya dengan yang kaya, sedangkan yang miskin dengan yang miskin. Di dalam bergaul, kita juga sering mendapat kesukaran karena tidak semua orang mempunyai sifat yang sama, ada yang sombong, ada yang genit, ada yang egois dan sebagainya. Simaklah Amsal 20:19! Dalam Amsal 20:19 terdapat nasihat agar Anda jangan bergaul dengan orang yang bocor mulut. Menurut Anda, mengapa Anda dilarang bergaul dengan orang yang bocor mulut? Apa akibatnya jika Anda bergaul dengan orang yang bocor mulut? Apa yang perlu Anda lakukan agar tidak bergaul dengan orang yang bocor mulut? Apa maksud dan makna Amsal 20:19 yang menyatakan, “Siapa mengumpat, membuka rahasia, sebab itu janganlah engkau bergaul dengan orang yang bocor mulut.” Silakan Anda mengomunikasikan kepada rekan-rekan di kelas tahap-tahap pergaulan yang harus dilewati dalam kehidupan manusia! Tulus Tu’u (1988, 33-36) membagi pergaulan muda-mudi ke dalam lima tahap. Pertama, sifatnya terbatas pada persahabatan biasa. Dalam tahap ini, hubungan seorang dengan yang lain masih bebas tanpa ikatan. Seseorang dapat bergaul dengan siapa saja. Tahap pertama ini adalah persahabatan biasa baik dengan teman-teman sejenis maupun teman-teman lawan jenis. Pada tahap ini, tidak ada pikiran tentang pernikahan atau hubungan seksual dengan sahabat- sahabat itu. Pergaulan tahap ini dapat terjadi di sekolah, di gereja, di rumah teman-teman, dan di tempat-tempat yang lain. Tahap ini penting sekali karena di dalamnya kita mengenal teman lawan jenis sebagai manusia dan bukan sebagai objek seksual saja. Di dalam persahabatan ini, kita bertukar pikiran, bekerja sama, dan mengalami saat-saat biasa dan istimewa dengan orang-orang lawan jenis tanpa hubungan asmara. 229 Sumber:http://www.google.com/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Fm.hai Kedua, persahabatan yang lebih istimewa. Adalah lumrah apabila ada dua jenis manusia yang berbeda kelamin itu menjalin persahabatan yang lebih akrab dan istimewa. Hubungan ini berdasarkan keinginan untuk lebih mengenal seorang atau beberapa orang lawan jenis karena kita merasa tertarik kepada mereka. Kita berusaha untuk mengenal mereka dengan lebih baik dengan bercakap-cakap bersama di gereja, di kampus pada waktu santai. Pada tahap ini pertemuan- pertemuan tidak selalu terjadi secara kebetulan saja, tetapi berdasarkan usaha dan rencana untuk bertemu. Namun, pertemuanpertemuan ini tidak mengikat dua orang yang bertemu. Selalu ada kebebasan untuk tidak bertemu lagi. Pertemuan- pertemuan semacam ini juga tidak usah terbatas kepada satu orang lain saja. Seorang laki-laki bisa berusaha untuk lebih mengenal beberapa orang wanita. Begitu juga seorang wanita bisa berusaha untuk lebih mengenal beberapa orang laki-laki. Pada tahap persahabatan yang lebih istimewa ini tidak ada kemesraan yang intim. Pada tahap ini pertemuan diadakan dalam kelompok, bukan sebagai pasangan yang terlepas dari kelompok. Misalnya, malam ini di pertemuan Pemuda Gereja, Budi dapat bercakap-cakap dengan Tini dan Dewi. Besok di sekolah ia bercakap-cakap dengan Yuli. Pada hari Sabtu, ia akan berenang dengan rombongan pemuda. Ia mengetahui bahwa Tini juga akan mengikuti rombongan itu, dan ia mempunyai harapan untuk berbicara dengan Tini, walaupun ia juga akan bergaul dengan kawan-kawannya yang lain. Dengan pertemuan-pertemuan seperti ini, ia dapat lebih mengenal beberapa orang tanpa membentuk hubungan erat yang mengikat. Hubungan-hubungan pada tahap ini masih dicurigai oleh banyak orang. Tahap ini sangat perlu 230 dikembangkan oleh pemuda-pemudi yang memerlukan kesempatan untuk mengenal baik lebih banyak orang dari lawan jenis. Dengan demikian, mereka dapat memilih bakal jodoh mereka dengan lebih matang. Perkembangan tahap ini dapat juga mencegah kecenderungan untuk terlalu lekas membentuk hubungan yang terlalu intim dengan seorang dari lawan jenis. Tidak jarang terjadi bahwa dua orang yang masih muda jatuh cinta. Dengan cepat mereka menjadi mesra sekali. Hubungan ini menghilangkan kesempatan mereka untuk mengenal orang-orang lain dari lawan jenis dengan lebih baik. Hubungan ini juga dapat menimbulkan godaan untuk mengadakan hubungan seksual yang belum patut. Ketiga, pacaran. Pergaulan tahap ini sepasang pemuda pemudi melakukan suatu persetujuan bahwa mereka akan mengadakan hubungan khusus dan akan menghentikan semua hubungan khusus dan akrab yang lain dengan orang-orang dari lawan jenisnya. Mereka masih ingin saling mengenal dengan lebih baik, tetapi sekarang ada unsur yang baru. Mereka masih bebas untuk memutuskan hubungan mereka, tetapi sekarang tindakan putus itu perlu disertai pembicaraan bersamadan keterangan bersama yang lebih dalam daripada yang diperlukan pada tahap- tahap sebelumnya. Karena tujuan pokok tahap ini adalah lebih mengenal pacar, mereka perlu banyak berbicara bersama dan banyak menjalankan aktivitas- aktivitas bersama. Tahap ini perlu makan waktu yang cukup lama sehingga mereka dapat mengetahui apakah mereka benar-benar tepat untuk meneruskan hubungan mereka ke tahap yang lebih dalam. Tahap pacaran ini tidak selamanya diakhiri dengan perkawinan. Mungkin juga terjadi perpisahan apabila ternyata ada ketidakcocokan yang hakiki. Oleh sebab itu, prinsip yang berlaku dalam pacaran adalah tidak melangkah jauh kepada kemesraan yang membuat tidak dapat mengendalikan diri, harus menjaga kesucian diri masing-masing dan dapat menahan diri tidak terbuai oleh cinta berahi. Karena hubungan pacaran jelas masih dapat putus! Keempat, bertunangan. Berbeda dengan semua tahap sebelumnya, pertunangan biasanya berdasar atas perjanjian resmi yang diumumkan kepada orang-orang lain. Perjanjian ini berbunyi bahwa sepasang pemuda pemudi akan menuju pernikahan. Tahap ini merupakan masa ujian. Mereka memperdalam hubungan mereka dengan menguji apakah mereka tepat menikah atau cocok membangun suatu rumah tangga. Ada persetujuan bahwa mereka akan menikah kecuali kalau ternyata suatu alasan kuat untuk tidak menikah. Pertunangan dapat dibatalkan, tetapi pembatalan harus disertai 231 dengan alasan-alasan yang penting yang penuh tanggung jawab. Biasanya pertunangan akan berakhir dalam pernikahan. Bila ternyata bahwa mereka sebaiknya tidak menikah, mereka sebaiknya berpisah sebelum pernikahan mereka terjadi. Kelima, pernikahan. Pada tahap ini, ada dua unsur baru. Pertama, hubungan antara dua orang itu sekarang tidak boleh diceraikan. Menurut ajaran Kristen mereka yang telah menikah tidak boleh dipisahkan kecuali oleh kematian. Kedua, mereka mulai hidup bersama dan bersenggama. Unsur kedua berhubungan erat dengan unsur pertama, karena senggama hanya tepat kalau dilindungi oleh hubungan yang tidak dapat dihentikan. Dengan demikian, senggama memperkuat hubungan itu. Sebaiknya, pernikahan di catatan sipil diadakan pada waktu yang sama atau hampir sama dengan pemberkatan pernikahan oleh gereja. Bila pemberkatan dua orang ditunda sesudah pernikahan di catatan sipil, timbul kebingungan tentang status hubungan mereka dalam mata orang banyak dan mungkin juga dalam pikiran mereka sendiri. Pada setiap tahap dalam proses ini ada derajat kesetiaan dan kemesraan yang patut. Pada tahap-tahap pertama, hubungan tidak begitu mesra dan dapat dibatalkan dengan aga mudah. Pada tahap-tahap terakhir hubungan menjadi makin mesra dan makin sukar untuk dibatalkan. Dua orang perlu berusaha supaya kemesraan dan keintiman mereka berjalan sejajar dengan kesetiaan mereka. Kalau derajat kemesraan menjadi lebih tinggi daripada derajat kesetiaan, banyak masalah bisa muncul. Pemuda-pemudi Kristen sering bertanya, “Perilaku macam apa yang patut antara pemuda dan pemudi sebelum mereka menikah? Kami tahu bahwa persetubuhan tidak baik. Bagaimana dengan berciuman, berpeluk-pelukan dan meraba-raba?” Praktik berciuman, berpeluk-pelukan dan meraba-raba dianggap oleh kaum muda sebagai suatu tindakan “yang biasa,” yang “tidak perlu diganggu gugat lagi,” yang “tidak usah dijadikan bahan cerita lagi.” Menurut Anda, benarkah demikian? Pertanyaan ini penting tetapi, sayang, tidak bisa dijawab dengan mudah. Soalnya, arti perbuatan-perbuatan seperti mencium dan memeluk tidak sama untuk semua orang. Misalnya bagi Tono mencium sekali waktu mengucapkan “Selamat malam,” cuma sebagai tanda terima kasih, dan ia sama sekali tidak merasa terangsang. Bagi Matius mencium dalam situasi yang sama adalah tanda kemesraan yang sangat dalam yang sangat merangsang nafsu berahi. Dalam masalah ini, seperti banyak masalah yan lain, Alkitab tidak memberikan 232 petunjuk-petunjuk yang menerangkan secara spesifik bagaimana kita seharusnya berbuat. Namun ada hal-hal yang perlu kita pertimbangkan. Misalnya, Matius 5:28 bisa dijadikan salah satu pertimbangan kita. Ada pemuda-pemudi yang mencium, memeluk dan meraba-raba hanya untuk mengalami sensasi tubuh. Kita perlu bertanya, “Kalau tubuhku adalah bait Roh Kudus (1 Kor. 6:19), apakah aku patut menggunakan tubuhku dan tubuh orang lain hanya untuk iseng-iseng?” Kemesraan seksual adalah hubungan antara dua orang manusia. Kemesraan seksual seharusnya menjadi tanda bahwa satu orang ingin memberikan dirinya kepada yang lain. Kalau perbuatan-perbuatan seksual dipakai hanya untuk mencari sensasi saja, makna hubungan antara pria dan wanita dikorbankan demi kepuasan sementara dan dangkal. Masalah menjadi lebih kompleks kalau dua orang sungguh-sungguh saling mencintai. Wajarlah kalau kita ingin menyentuh orang yang kita cintai. Wajarlah kalau kita ingin mengutarakan cinta kasih kita secara jasmani. Bila kita sungguh- sungguh mencintai orang lain, kita menginginkan yang terbaik baginya. Seorang wanita yang sungguh-sungguh mencintai seorang pria tidak mau menciptakan situasi yang membuat pria itu sukar untuk membatasi dirinya. Bila seorang pria sungguh-sungguh mengasihi seorang wanita, ia tidak mau membawanya kepada perbuatan-perbuatan yang membuat dia merasa malu pada esok harinya. Ada tiga pertanyaan kepada diri sendiri yang dapat menolong kita memutuskan apakah suatu perbuatan baik atau buruk dalam hubungan kita dengan orang yang lain jenis kelaminnya. Pertama, apakah saya berbuat demikian hanya untuk memuaskan nafsu seks saya atau apakah perbuatan itu menyatakan hormat dan kasih saya kepada partner saya? Kedua, dengan perbuatan demikian, apakah hubungan kita menjadi lebih mulia atau apakah perbuatan itu merosotkan penghargaan partner saya terhadap saya? Ketiga, sesudah perbuatan itu, apakah kita berdua akan merasa puas dan dapat menguasai diri atau apakah perbuatan itu dapat merangsang nafsu yang sukar untuk dikuasai dan menyebabkan perbuatanperbuatan yang akan kita sesali? Pria dan wanita yang bergaul bersama perlu bersikap jujur. Misalnya, kalau kita mempunyai banyak teman yang lain jenis kelaminnya di tahap kedua, kita jangan berkata kepada salah satu orang, “Engkau yang satu-satunya bagiku.” Kejujuran menjadikan hubungan kita lebih wajar dan memungkinkan dua orang menentukan hubungan mereka tanpa kekecewaan yang berlebihan. 233 Ada empat ciri persahabatan yang baik. Pertama, persahabatan yang baik tidak mementingkan diri sendiri. Kedua, persahabatan sejati bersifat teguh. Jika Anda ingin sungguh-sungguh mengetahui berapa banyak sahabat yang Anda miliki dan siapa mereka, buatlah kesalahan dan lihatlah apa yang terjadi. Setelah Anda mengalami kesulitan, coba lihat berapa banyak sahabat Anda yang masih setia kepada Anda. Persahabatan sejati itu teguh. Ketiga, persahabatan sejati bersedia berkorban. Kalau Anda ingin menjadi sahabat, Anda harus hidup dengan bersedia berkorban bagi orang yang menerima persahabatan Anda. Keempat, persahabatan sejati bersifat menyucikan. Ada enam prinsip pergaulan yang sesuai dengan kebenaran Alkitab. Pertama, kemuliaan bagi Allah. Kedua, demi kebaikan manusia. Ketiga, kebaikan bagi diri sendiri. Keempat, saling mempercayai. Kelima, saling menghargai. Keenam, saling mengasihi. Kasih yang benar adalah kasih yang berasal dari Kristus. Kasih yang seperti itu terlihat dari sifat tenggang rasa, tidak suka perhitungan dengan teman, tahan diri untuk tidak selalu membicarakan diri sendiri, rela berkorban dan suka mengalah untuk menang. Kasih yang seperti itu mendasari pergaulan yang menjadi sahabat lebih baik daripada saudara. Karena orang yang seperti itu rela menerima sahabatnya sebagaimana dia adanya. Dalam keadaan bagaimanapun, pada saat kapanpun dan di mana pun tempatnya, dia tetap menjadi “sahabat yang baik.” Suka dan duka dalam pergaulan tentu saja ada, bahkan boleh dikatakan banyak. Pergaulan mendatangkan banyak keuntungan. Misalnya, setelah Anda mulai bergaul lebih dekat dengan teman-teman sekelas Anda memeroleh keterangan bahwa dahulu mereka menganggap bahwa Anda merupakan pribadi yang sombong, lebih senang bermain dengan teman yang sama sekali tidak setingkat dengan Anda. Dalam pergaulan, Anda tidak boleh terlalu acuh atau akrab sebab dalam pergaulan ada duka. Misalnya Anda telah akrab dengan seseorang dan apabila terjadi perselisihan, bisa dibongkar semua rahasia padahal sikap tersebut tidaklah benar bagi persahabatan. Ada lima tahap dalam pergaulan muda-mudi. Pertama, sifatnya terbatas pada persahabatan biasa. Kedua, persahabatan yang lebih istimewa. Ketiga, pacaran. Keempat, bertunangan. Kelima, pernikahan. 234 Amatilah pergaulan muda-mudi yang terjadi di daerah sekitar Anda tinggal. Setelah itu buatlah makalah dan presentasikan kepada dosen dan rekan-rekan Anda di kelas! 235 DAFTAR ACUAN Ariarajah, Wesley. 1989. Alkitab dan Orang-orang yang Berkepercayaan Lain. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Barbour, Ian. 1993.Ethics in an Age ofTechnology. San Francisco: Harper. Barbour, Ian. 1997.Religion and Science: Historical and Contemporary Issues.San Francisco: Harper. Barbour, Ian. 2000. When Science Meets Religion. San Francisco: Harper. Baum, Gregory. 1975. Religion and Alienation: A Theological Reading of Sociology. New York: Paulist Press. Bertens, K. 2004. Sketsa-Sketsa Moral. Yogyakarta: Kanisius. Boland B.J. dan Niftrik. 1980. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK GunungMulia. Brouwer, M.A.W. 1981. Pergaulan. Jakarta: Gramedia. Brownlee, Malcolm. 1986. Hai Pemuda, Pilihlah! Jakarta: BPK Gunung Mulia. Brownlee, Malcolm. 1993. Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan. Jakarta: BPK GunungMulia. Chandra, Robby I. 2006. Pendidikan Bandung: Generasi Infomedia. Menuju Manusia Mandiri. Cogley, John. 1968. Religion in a Secular Age: The Search for Final Meaning. New York: Frederik A Praeger Publishers. Darmaputera, Eka. 1987.Etika Sederhana Untuk Semua. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Darmaputera, Eka. 1996. “Ekonomi dan Ekologi” dalam Banawiratma, J.B. (eds.). 1996.Iman, Ekonomi, danEkologi. Yogyakarta: Kanisius (hal.120-133.) 236 Darmaputera, Eka. 2011. “Bentuk dan Dimensi Kerukunan Hidup Antarumat Beragama di Indonesia” dalam Weinata Sairin (ed.). 2011. Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa: Butir- butir Pemikiran. Jkarta: BPK Gunung Mulia.103106 Drummond, Celia Deane. 2001. Teologi & Ekologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Fances, Eddy. 1993. Bertumbuh Menuju Kesempurnaan. Yogyakarta: Yayasan ANDI. Fletcher, Verne H. 2007.Lihatlah Sang Manusia: Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Gill, David W. 2000. Becoming Good: Character.DownerGrove: InterVarsity Press. Building Moral Groome, Thomas H. 1980. Christian Religious Education: Sharing Our Story and Vision.SanFrancisco: Harper. Gunarsa, Singgih D., dan Yulia Singgih D. Gunarsa. 1997. Psikologi untuk Muda- Mudi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hauwerwas, Stanley. 1981. A Community of Character: Toward a Constructive Christian Social Ethics. Notre Dame: University of Notre Dame Press. Ismail, Andar. 1995. Selamat Panjang Umur: 33 Renungan tentang Hidup. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Ismail, Andar. 2002. Selamat Sejahtera: 33 Renungan tentang Kedamaian. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Ismail, Andar. 2007. Selamat Berteman: 33 Renungan tentang Hubungan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Ismail, Andar. 2012. Selamat Berjuang: 33 Renungan tentang Perjuangan Hidup.Jakarta: BPK Gunung Mulia. Kesler, Jay. 1994. “Keterbukaan: Kunci Menuju Persahabatan” dalam Kesler, Jay (ed.) 1994. Pola Hidup Kristen. Malang: Gandum Mas (hal.975977). 237 Lickona, Thomas. 2004. Pendidikan Karakter.Yogyakarta: Kreasi Wacana. McDonald, H.D. 1981.The Christian View of Man. Westchester: Crossway Book. McGrath, Alister E. 1994.Christian Theology: An Introduction. Oxford: Blacwell Publisher. Ngelow, Zakaria J. 1993. “Dari Kerukunan Sampai Kritik Profetis: Fungsi SosialAgama-agama di Indonesia Dewasa ini” dalam Sumartana Th. (eds.). 1993. Terbit Sepucuk Taruk: Teologi Kehidupan 60 Tahun Dr. Liem Khiem Yang. Jakarta: P3M STTJ Balitbang PGI (hal.70-84). Niebuhr, Reinhold. 1964.The Nature and Destiny of Man. New York: Charles Scribner’s Son. Osborne, Cecil G. 1996. Seni Bergaul. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Pelikan, Jaroslav. 1990. The World Treasure of Modern Religious Thought. Boston: Litle Brown and Company. Polkinghorne, John. Belief in God in the Age of Science. New Haven: Yale University Press. Robun, Keely dkk. 1982. An Introduction to the Christian Faith. Oxford: Lynx. Ryan, Kevin dan Bohlin, Karen E. 1999.Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey- Bass. Sairin, Weinata. 1996. Iman Kristen dan Pergumulan Kekinian. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Selan, Ruth F. 1991. Membina Kepribadian yang Menarik. Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil “Immanuel.” Singgih, E. G. 1999. “Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yangBersifatMajemuk” dalam Tim Balitbang PGI (eds.). 1996.Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum. Jakarta: BPK Gunung Mulia (hal.100-121). 238 Singgih, E.G. 1993. “Dasar Teologis dari Pemahaman mengenai Keutuhan Ciptaan” dalam Sumartana, Th. (eds.). 1993. Terbit Sepucuk Taruk: Teologi Kehidupan 60 Tahun Dr. Liem Khiem Yang. Jakarta: P3M STTJ Balitbang PGI (hal. 241-258). Sitompul, Einar M. 2006. Gereja Menyikapi Perubahan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Smith, Huston. 2008.Agama-agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor. Sproul, R.C. 1995.Sifat Allah: Mencari dan Menemukan Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Sreight, David. Ed. 2008.Parenting for Character: Five Experts, Five Practices. Portland: CSEE. Stott, John. 2005. Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. Sumartana, Th. 1994. “Ekonomi, Ekologi dan Etika” dalam Banawiratma, Y.B. (eds.) Merawat & BerbagiKehidupan. Yogyakarta: Kanisius (hal.109-123). Supardan, ed. 1991.Ilmu, Teknologi dan Etika. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Suseno, Franz Magnis. 2004. Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk. Jakarta: Obor. Tu’u, Tulus. 1988. Etika dan Pendidikan Seksual. Bandung: Kalam Hidup. Wagner, Michael F. An Historical Introduction to Moral Philosophy. New Jersey: Prentice Hill. Wilardjo, Liek. 2004. “Ilmu dan Agama di Perguruan Tinggi: Dipadukan atau Diperbincangkan?” dalam Jurnal Waskita, Vol 1. No.1. Yewangoe, A.A. 2002. Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 239