PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya yang Dilakukan Daerah Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah [email protected] Abstrak Tujuan kajian ini adalah menyusun peta kemampuan keuangan provinsi dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah, terutama berdasarkan kinerja Pendapatan Asli Daerah (PAD). Studi ini dibatasi pada sisi pendapatan dan berfokus pada aspek PAD provinsi. Terdapat lima daerah sampel di tiga provinsi dan di dua kabupaten/kota yang dipilih secara acak, yaitu: Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Sidoarjo. Parameter yang digunakan adalah Perhitungan dan Analisis Kinerja PAD melalui Ukuran Elastisitas, Share, dan Growth; Pemetaan dan Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dengan Metode Kuadran dan Metode Indeks; dan Kebijakan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah di Lima Daerah Sampel yang Terkait dengan Peningkatan PAD dan Investasi. Hasil kajian ini antara lain menyimpulkan bahwa: (1) dilihat dari indikator kinerja PAD, secara umum provinsi-provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) mempunyai kemampuan keuangan lebih baik jika dibanding provinsi-provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI); (2) provinsi yang mempunyai sumberdaya alam melimpah tidak serta merta memiliki kinerja PAD yang baik. Adapun rekomendasi yang dapat disampaikan adalah, pertama, daerah yang berada di kuadran II dan III atau IKK Sedang, perlu mendapat dorongan agar PADnya tumbuh. Sementara daerah yang berada di kuadran IV atau IKK rendah, tampaknya perlu ada upaya-upaya khusus yang menyentuh penataan berbagai aspek. Kedua, keberadaan PAD hendaknya dipahami sebagai hasil ikutan dari tumbuhnya investasi di daerah. Dengan demikian kebijakan peningkatan PAD tidak boleh mengorbankan kepentingan jangka panjang yang berdampak lebih luas yaitu investasi sektor swasta. 1. LATAR BELAKANG Sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah pada tanggal 1 Januari 2001 lalu, telah terjadi pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang lebih luas oleh pemerintah daerah tersebut perlu didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai. Disadari bahwa sumber-sumber penerimaan antar satu daerah dengan daerah lainnya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Kreativitas dan inisiatif suatu daerah dalam menggali sumber keuangan akan sangat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintahan daerah itu 1 sendiri. Di satu sisi, mobilisasi sumber daya keuangan untuk membiayai pelbagai aktivitas daerah ini dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya. Namun demikian, mobilisasi sumber dana secara eksesif dan berlebihan dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang tidak kondusif. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dipandang perlu dilakukan pengkajian secara mendalam mengenai kemampuan keuangan daerah, yang dalam kasus ini dibatasi pada kemampuan keuangan propinsi. 2. TUJUAN Tujuan dari kegiatan kajian ini adalah: 1. Menyusun peta kemampuan keuangan daerah provinsi dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah, terutama berdasarkan kinerja Pendapatan Asli Daerah (PAD). 2. Mengidentifikasi beberapa kebijakan lokal dalam memobilisasi sumber dana di daerah yang dapat diaplikasikan di tempat lain, sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah; dan 3. Menyusun dan merumuskan rekomendasi untuk peningkatan PAD. 3. METODOLOGI 3.1 Metode Pelaksanaan Kajian Wilayah kajian ini adalah provinsi. Profil atau peta kemampuan keuangan daerah dilihat untuk seluruh provinsi. Untuk mengetahui gambaran umum kebijakan yang terkait dengan upaya peningkatan investasi dan PAD serta pengelolaan keuangan daerah, dilakukan kajian terfokus di tiga provinsi dan di dua kabupaten/kota yang dipilih secara acak, yaitu: Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Sidoarjo. Tahap-tahap kajian meliputi: 1. Mengumpulkan data APBD di 30 provinsi. 2. Mengidentifikasi kemampuan keuangan daerah dalam membiayai belanja daerah yang bersumber dari PAD. 3. Mengidentifikasi sumber-sumber keuangan daerah yang potensial untuk mendukung tugas desentralisasi dan otonomi daerah di lima daerah sampel. 4. Survei di lima daerah sampel untuk memperdalam/memperkaya data 5. Membuat analisis kinerja PAD dan menyusun peta kemampuan keuangan provinsi. 6. Melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan pemerintah daerah. 3.2 Metode Analisis 3.2.1 Kerangka Regulasi Kebijakan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal sesuai UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 merupakan awal era baru penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih otonom. Dalam rangka melaksanakan fungsinya secara efektif, maka pemerintah daerah harus didukung sumber-sumber pendapatan yang pasti agar pelaksanaan dan kelangsungan kegiatan pemerintah di daerah terjamin. Berdasarkan UU tersebut, Daerah memiliki: (1) kewenangan mendayagunakan potensi keuangan daerah; (2) dana perimbangan keuangan pusat dan daerah serta antar daerah, dan; (3) akses terhadap pinjaman di dalam negeri maupun di luar negeri. 2 Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 105 Tahun 2000, dijelaskan bahwa keuangan daerah mengandung pengertian semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang. termasuk segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dengan demikian, wilayah kajian kemampuan keuangan daerah dapat mencakup aspek hak, yaitu pendapatan; dan aspek kewajiban, yaitu belanja. Sumber pendapatan daerah terdiri dari PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Adapun belanja daerah dirinci berdasarkan organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Kajian kemampuan keuangan daerah pada studi ini dibatasi pada sisi pendapatan dan fokus pada aspek PAD. Untuk membiayai kewenangan daerah, PAD idealnya menjadi sumber pendapatan pokok daerah. Sumber pendapatan lain dapat bersifat fluktuatif dan cenderung di luar kontrol kewenangan daerah. Melalui kewenangan yang dimiliki, daerah diharap dapat meningkatkan PAD, seraya tetap memperhatikan aspek ekonomis, efisiensi, dan netralitas. 3.2.2 Kerangka Analisis Dalam kajian ini digunakan sejumlah parameter, yaitu: 1. Perhitungan dan Analisis Kinerja PAD melalui Ukuran Elastisitas, Share, dan Growth. Adapun elastisitas adalah rasio pertumbuhan PAD dengan pertumbuhan PDRB. Rasio ini bertujuan melihat sensitivitas atau elastisitas PAD terhadap perkembangan ekonomi suatu daerah. Sedangkan share merupakan rasio PAD terhadap belanja rutin dan belanja pembangunan daerah. Rasio ini mengukur seberapa jauh kemampuan daerah membiayai kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan. Rasio ini dapat digunakan untuk melihat kapasitas kemampuan keuangan daerah. Dan growth merupakan angka pertumbuhan PAD tahun i dari tahun i-1. 2. Pemetaan dan Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dengan Metode Kuadran dan Metode Indeks Yang dimaksud metode kuadran adalah salah satu cara menampilkan peta kemampuan keuangan daerah. Masing-masing kuadran ditentukan oleh besaran nilai growth dan share. Dengan nilai growth dan share maka masing-masing provinsi dapat diketahui posisinya (pada kuadran berapa). Kondisi di masingmasing kuadran dijelaskan pada tabel 1. 3 Tabel. 1 Klasifikasi Status Kemampuan Keuangan Daerah Berdasarkan Metode Kuadran KUADRAN KONDISI I Kondisi paling ideal. PAD mengambil peran besar dalam APBD dan daerah punya kemampuan mengembangkan potensi lokal. Kondisi ini ditunjukan dengan besarnya nilai share disertai nilai growth yang tinggi. II III IV Kondisi ini belum ideal, tapi daerah punya kemampuan mengembangkan potensi lokal sehingga PAD berpeluang memiliki peran besar dalam APBD. Sumbangan PAD terhadap APBD masih rendah namun pertumbuhan (growth) PAD tinggi. Kondisi ini juga belum ideal. Peran PAD yang besar dalam APBD punya peluang mengecil karena pertumbuhan PADnya kecil. Di sini sumbangan PAD terhadap APBD tinggi, namun pertumbuhan PAD rendah. Kondisi ini paling buruk. PAD belum mengambil peran yang besar dalam APBD dan daerah belum punya kemampuan mengembangkan potensi lokal. Sumbangan PAD terhadap APBD rendah dan pertumbuhan PAD rendah. Adapun metode Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) merupakan rata-rata hitung dari Indeks Pertumbuhan (Growth), Indeks Elastisitas, dan Indeks Share. Untuk menyusun indeks ketiga komponen tersebut, ditetapkan nilai maksimum dan minimum dari masing-masing komponen. Menyusun indeks untuk setiap komponen IKK dilakukan dengan menggunakan persamaan umum : Indeks X = Nilai X hasil pengukuran – Nilai X kondisi minimum Nilai X kondisi maksimum – Nilai X kondisi minimum Berdasarkan persamaan diatas maka persamaan IKK dapat ditulis sebagai berikut : IKK = XG + X E + X S 3 Keterangan: XG = Indeks Pertumbuhan (PAD) XE = Indeks Elastisitas (Belanja Pembangunan terhadap PAD) XS = Indeks Share (PAD terhadap APBD) Nilai IKK 30 provinsi diurut dimulai dari yang terbesar. Sepertiga besar pertama dikelompokkan dan dikategorikan sebagai provinsi-provinsi yang mempunyai kemampuan keuangan tinggi. Sepertiga besar kedua dikelompokkan dan dikatagorikan sebagai provinsi-provinsi yang mempunyai kemampuan 4 keuangan sedang. Dan sepertiga besar terakhir dikelompokkan dan dikatagorikan sebagai provinsi-provinsi yang mempunyai kemampuan keuangan rendah. Hasil pengolahan data dan analisis dibahas dalam forum FGD (Focus Group Discussion) dengan mengundang pembahas dari kelompok profesional dan akademisi yang relevan. 3. Kebijakan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah di Lima Daerah Sampel yang Terkait dengan Peningkatan PAD dan Investasi. Pada lima daerah sample diidentifikasi beberapa masalah strategis sebagai bahan pelajaran bagi daerah lainnya agar dapat dilaksanakan di daerah lain sesuai dengan karekteristik masing-masing daerah. Data dan informasi primer diperoleh melalui wawancara mendalam dengan pejabat/pelaku terkait serta kegiatan seminar dan FGD. Analisis dilakukan secara deskriptif. Kajian umum pengelolaan keuangan daerah difokuskan pada aspek perangkat organisasi, akuntansi, dan SDM, sesuai perkembangan kebutuhan dan persepsi daerah yang bersangkutan. Data dan informasi primer diperoleh melalui wawancara mendalam dengan pejabat/pelaku terkait serta kegiatan FGD. Analisis dilakukan secara deskriptif. 4. HASIL KAJIAN 4.1 Kondisi Umum Keuangan Daerah Setelah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah diberlakukan pada tingkat provinsi, terjadi perkembangan PAD yang menggembirakan. PAD di provinsi seluruh Indonesia mengalami peningkatan dari Rp 2,8 triliun pada tahun 2000, menjadi Rp 9,9 triliun pada tahun 2001, kemudian Rp 10,2 triliun pada tahun 2002. Lihat Gambar 1. Kalau dilihat dari peran PAD dalam membiayai APBD, maka besaran PAD tahun 2000 tersebut merupakan 25% dari APBD; PAD tahun 2001 merupakan 34 % dari APBD; dan PAD tahun 2002 merupakan 32% dari APBD. Lihat Gambar 2. Gambar 1 Perkembangan PAD Provinsi 9,9 (Rp Triliun) 12 10,2 10 8 6 4 2,8 2 0 2000 2001 2002 Sumber : Diolah dari Data Ditjen PKPD Depkeu tahun 2000, 2001, dan 2002 5 Ga m b a r 2 P e r a n P A D d a la m A P B D P r o vin s i (%) 40 34 35 (Dalam %) 30 32 25 25 20 15 10 5 0 2000 2001 2002 Sumber : Diolah dari Data Ditjen PKPD Depkeu Tahun 2000, 2001, dan 2002 Secara rinci komposisi penerimaan daerah provinsi pada tahun 2002 adalah sebagai berikut: Dana Perimbangan sebesar 54 %, PAD sebesar 32 %, Lain-lain yang sah sebesar 1 %, dan anggaran tahun yang lalu sebesar 13 %. Pada Tahun 2002 dapat dilihat bahwa Dana Perimbangan menduduki peran terbesar didalam struktur pendapatan APBD Provinsi (54 %) disusul peran dari PAD (32 %). Sementara Pinjaman Daerah tidak ada, karena belum efektifnya PP 107. Di sisi lain anggaran tahun lalu yang masih dikategorikan penerimaan mencapai 13 %. Lihat Gambar 3 Gambar 3 Proporsi Sumber Pendapatan APBD Provinsi se-Indonesia Tahun 2002 Pinjaman Daerah 0% Lain-lain yang Sah 1% Anggaran Tahun Lalu 13% Dana Perimbangan 54% PAD 32% Sumber : Diolah dari Data Ditjen PKPD Tahun 2000, 2001, 2002 Dari sisi belanja (pengeluaran), rata-rata Belanja Rutin dalam APBD Provinsi mengambil porsi lebih besar dibandingkan dengan Belanja Pembangunan. Jika dibanding antara tahun 2001 dengan tahun 2002, ada kecenderungan Belanja Rutin menurun, dari 63,7 % (tahun 2001) menjadi 56,1 % (tahun 2002). Lihat Gambar 4 6 Gam b ar 4 P e r b a n d in g a n Be la n ja Ru t in d a n Be la n ja P e m b a n g u n a n 8 0 .0 % 6 3 .7 % 5 6 .1 % 6 0 .0 % 4 3 .9 % 3 6 .3 % 4 0 .0 % 2 0 .0 % 0 .0 % T H 2001 Be la n ja Ru t in T H 2002 Be la n ja P e m b a n g u n a n Sumber : Diolah dari Data Ditjen PKPD Tahun 2001 dan 2002 Perubahan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam PP No. 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 diharapkan sudah dimulai pada tahun 2003. Penerapan tersebut dilakukan secara bertahap dan dimulai dari perubahan sistem penganggaran. Sampai kajian ini dilakukan, proses penatausahaan keuangan daerah umumnya masih menggunakan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) sesuai dengan Kepmendagri No. 900-099 Tahun 1980. Manual ini telah ditambah dan diubah, terakhir dengan Kepmendagri No. 3 tahun 1999 tentang Bentuk dan Susunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kemudian sudah dimulai persiapan untuk menerapkan Kepmendagri No 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 4.2 Analisis Kemampuan Keuangan Daerah 4.2.1. Analisis Kinerja PAD 4.2.1.1 Elastisitas Dari analisis elastisitas PAD terhadap PDRB, diketahui bahwa ada 12 provinsi (41,37%) yang mempunyai nilai elastisitas ≥ 1. Setiap perubahan PDRB di 12 provinsi tersebut sensitif terhadap perubahan/peningkatan PAD. Sementara di 17 provinsi lain (58,62%), perubahan PDRBnya tidak cukup mempengaruhi peningkatan PAD. Bagi daerah dengan elastisitas < 1 patut diduga nilai tambah PDRB-nya lebih banyak keluar dari daerah tempat kegiatan perekonomian tersebut diselenggarakan. 4.2.1.2 Pertumbuhan Rata-rata nasional pertumbuhan PAD provinsi adalah 2,66%. Dari 29 provinsi, terdapat 19 provinsi yang pertumbuhan PAD-nya positip (65,52%) pada tahun 2001-2002. Pertumbuhan PAD cukup besar terjadi di Provinsi Bangka 7 Belitung (1956,39%), Bali (99,55%), Gorontalo (80,57%), Banten (33,80%), Kalimantan Tengah (41,80%), dan Aceh (43,21%). 4.2.1.3 Peran (Share) Kemampuan daerah membiayai belanja daerah dapat dilihat dari rasio antara PADdengan APBD. Semua provinsi belum mampu untuk membiayai seluruh kebutuhan belanja daerahnya dari PAD. Rata-rata nasional rasio PAD terhadap APBD dalam dua tahun terakhir (2001-2002) adalah 27,17%. Ada 17 provinsi (58,62%) yang mengalami kenaikan rasio PAD terhadap APBD dari tahun 2001 ke tahun 2002. Kenaikan tertinggi dari 17 provinsi tersebut adalah Provinsi Bali (27,3 %), merupakan akibat pertumbuhan PAD Provinsi Bali yang sangat tinggi, yaitu 78,93% dan menurunnya peran Dana Perimbangan. Provinsi Gorontalo, Banten, dan Aceh, walaupun pertumbuhan PAD-nya besar, ternyata peran PAD dalam APBD mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah Dana Perimbangan yang diterima. Gambar 5 Rasio PAD Terhadap APBD Propinsi Tahun 2001 dan 2002 2001 2002 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% PAPUA MALUT MALUKU NTT NTB BALI SULTRA SULSEL SULTENG GORONTALO SULUT KALTIM KALSEL KALTENG KALBAR JATIM YOGYA JATENG BANTEN JABAR DKI JAKARTA LAMPUNG BENGKULU BABEL SUMSEL JAMBI RIAU SUMBAR SUMUT ACEH 4.2.1.4 Peta Kinerja Pendapatan Asli Daerah Berdasarkan informasi elastisitas, growth, dan share, ditampilkan Peta Kinerja PAD sebagai gambaran umum kemampuan keuangan daerah. Peta Kinerja PAD ditampilkan melalui metode Kuadran dan Indeks. 4.2.1.4.1 Metode Kuadran Dari profil kemampuan keuangan dengan metode kuadran diketahui bahwa secara umum jumlah provinsi pada masing-masing kuadran relatif merata. Untuk kuadran I (kondisi ideal) didominasi oleh provinsi Kawasan Barat Indonesia (KBI), yaitu sekitar 71,43% (5 provinsi). Di kuadran II dan III (kondisi sedang) masih didominasi KBI, yaitu 73,33% (11 provinsi) di KBI, dan 26,67% (empat provinsi) di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Provinsi yang berada di kuadran terburuk (IV) didominasi provinsi yang berada di KTI, yaitu 80% (empat dari lima provinsi). Provinsi-provinsi di KBI masih mempunyai kemampuan lebih baik dalam mendayagunaan PAD sebagai sumber pembiayaan belanja daerah. 8 Yang menarik, provinsi yang mempunyai sumberdaya alam melimpah tidak serta merta menduduki kondisi kinerja PAD yang baik. Sebagai contoh, Papua berada di Kuadran IV (buruk), karena pertumbuhan PADnya kecil serta peranannya dalam APBD kecil. Kalimantan Timur dan Riau peran PAD-nya dalam belanja pembangunan juga sangat kecil (di kuadran II). Provinsi-provinsi yang berada di kuadran I (ideal/baik) relatif dapat dinilai tidak memiliki sumber daya alam yang besar. Ada harapan bahwa kemandirian daerah yang diukur melalui PAD dapat dikembangkan melalui potensi-potensi lain diluar dari sekedar bergantung kepada Sumber daya alam. Lihat Gambar 6 S H A R E (%) Gambar 6 Peta Kemampuan Keuangan Provinsi Berdasarkan Metode Kuadran (titik tengah rata-rata nasional) GROWTH (%) KUADRAN – II KUADRAN – I • Gorontalo • Bali • Aceh • Banten • Kalimantan Tengah • Sumatera Selatan • Kalimatan Timur • Yogyakarta • Nusa Tenggara Barat • Sumatera Barat • Riau • Kalimantan Barat • Sulawesi Tengah • Sulawesi Selatan • • • • • KUADRAN – IV Nusa Tenggara Timur Sulawesi Tenggara Bengkulu Papua Sulawesi Utara • • • • • • • • KUADRAN – III Jawa Barat DKI Jakarta Kalimantan Selatan Jawa Tengah Lampung Jambi Sumatera Utara Jawa Timur S H A R E (%) GROWTH (%) 4.2.1.4.2 Metode Indeks Dengan metode IKK, diketahuisembilan provinsi yang mempunyai IKK Tinggi, yaitu Bali, Banten, Gorontalo, Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Berikutnya terdapat sembilan provinsi yang mempunyai IKK Sedang yaitu Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, NTB, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Lampung. Dan sembilan provinsi mempunyai IKK rendah adalah: Kalimantan Timur, Jambi, Sulawesi Tengah, Riau, Sulawesi Tenggara, NTT, Bengkulu, Sulawesi Utara, dan Papua. 9 Tabel 2 Peta Kemampuan Keuangan Daerah Provinsi Berdasarkan Metode Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) NO NAMA PROVINSI a 1 2 3 4 5 6 7 8 B 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 BALI BANTEN GORONTALO JAWA BARAT YOGYA SUMATERA BARAT SUMATERA UTARA JAWA TENGAH SUMATERA SELATAN KALIMANTAN TENGAH JAWA TIMUR KALIMANTAN BARAT NUSA TENGGARA BARAT DKI JAKARTA SULAWESI SELATAN ACEH KALIMANTAN SELATAN LAMPUNG KALIMANTAN TIMUR JAMBI SULAWESI TENGAH RIAU SULAWESI TENGGARA NUSA TENGGARA TIMUR BENGKULU SULAWESI UTARA PAPUA INDEKS KEMAMPUAN KEUANGAN STATUS KEMAMPUAN KEUANGAN c 0.93 0.68 0.60 0.47 0.47 0.45 0.45 0.44 D TINGGI 0.44 0.42 0.42 0.40 0.40 0.40 0.39 0.38 SEDANG 0.36 0.35 0.33 0.31 0.29 0.27 0.22 RENDAH 0.22 0.18 0.11 0.10 10 4.2.2 Kebijakan Peningkatan PAD dan Investasi Walaupun belum optimal, ada dinamika dan upaya daerah untuk meningkatkan kemampuan keuangan dan mendorong potensi ekonomi lokal melalui peningkatan PAD dan investasi berdasarkan potensi yang dimilikinya. Beberapa upaya tersebut justru menimbulkan ekses berupa kebijakan demi peningkatan PAD yang bersifat kontra produktif terhadap peningkatan investasi. Banyak pengalaman positif daerah yang dapat dijadikan pelajaran bagi daerah lain untuk meningkatlan PAD ataupun investasi. Sehubungan dengan peningkatan PAD, pelajaran yang dapat diambil adalah: (1) intensifikasi dan ekstensifikasi pajak; (2) negosiasi ulang kerjasama dengan pihak ketiga; (3) akomodasi terhadap penerimaan dinas eks kanwil, dan; (4) optimalisasi sumbangan pihak ketiga. Sedangkan pelajaran yang terkait dengan peningkatan investasi adalah: (1) dukungan infrastruktur dasar dan penunjang, politik, dan hankam; (2) revitalisasi institusi dibidang investasi; (3) kerjasama regional; (4) kemudahan informasi, dan; (5) pemberian fasilitas insentif. 4.2.3 Pengelolaan Keuangan Daerah Secara umum ketersediaan perangkat keras dan perangkat lunak komputer sebagai pendukung system akuntansi dinilai cukup memadai. Namun dalam rangka mengantisipasi pemberlakuan Sistem Anggaran Berbasis Kinerja pada penyusunan APBD dan ketentuan pengelolaan keuangan lainnya, maka perangkat lunak yang dimiliki sekarang perlu ada penyesuaian. Para responden menilai mereka telah menjalankan secara maksimum apa yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Beberapa hambatan koordinasi antar lembaga masih dirasakan, baik dalam konteks vertikal ataupun horizontal. Hal ini terjadi akibat belum adanya kejelasan peraturan dan ego masing-masing pihak. Dalam aspek sumber daya manusia, jumlah personel dinilai sudah memadai, namun kualitasnya masih perlu ditingkatkan sebagai konsekuensi dari: (1) implementasi peraturan dan kebijakan baru dibidang keuangan; (2) tuntutan peningkatan pelayanan dari masyarakat; (3) kemajuan teknologi, dan; (4) persaingan antar daerah, antara lain dalam hal menarik calon investor. 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan 1. Dilihat dari indikator kinerja PAD, secara umum provinsi-provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) mempunyai kemampuan keuangan lebih baik jika dibanding provinsi-provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI). 2. Provinsi yang mempunyai sumberdaya alam melimpah tidak serta merta memiliki kinerja PAD yang baik. 3. Berbagai upaya telah dilakukan daerah untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah dan mendorong potensi ekonomi lokal, melalui peningkatan PAD dan investasi berdasarkan potensi yang dimilikinya. 5.2 Rekomendasi 1. Daerah yang berada di kuadran II dan III atau IKK sedang, perlu mendapat dorongan agar PAD-nya tumbuh, disertai Belanja Daerah yang rasional sesuai kemampuan riil yang dimiliki daerah. Bagi daerah yang berada di kuadran IV atau IKK rendah, tampaknya perlu ada upaya-upaya khusus yang menyentuh penataan berbagai aspek seperti: (1) peningkatan kualitas SDM; (2) penyiapan sarana/prasarana dasar dan pendukung; (3) peraturan dan perundangan yang 11 memperhatikan aspek ekonomis, efisiensi, dan netralitas; (4) revitalisasi lembaga-lembaga terkait, termasuk desentralisasi kewenangan perijinan investasi; (5) lebijakan pemberian fasilitas insentif kepada investor yang lebih menarik, dan; (6) optimalisasi potensi perekonomian lokal sehingga bermanfaat kepada daerah. Upaya khusus ini dapat dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri ataupun dengan dukungan fasilitasi dari pihak-pihak yang kompeten. 2. Keberadaan PAD hendaknya dipahami sebagai hasil ikutan dari tumbuhnya investasi di daerah. Dengan demikian kebijakan peningkatan PAD tidak boleh mengorbankan kepentingan jangka panjang yang berdampak lebih luas yaitu investasi sektor swasta. DAFTAR PUSTAKA Menteri Dalam Negeri, Kepmendagri No 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. 12