Jalan Panjang Menuju Ratifikasi Statuta Roma

advertisement
Jalan Panjang
menuju
Ratifikasi ICC di Indonesia
Kata Sambutan
Sampai awal Desember 2009, Statuta Roma
tentang Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute on
the International Criminal Court – ICC) telah diratifikasi
oleh 110 negara. Artinya, sudah lebih dari separuh jumlah
negara anggota PBB menjadi negara pihak (state party) dari
ICC. Sayangnya, sampai hari ini, Indonesia belum menjadi
bagian dari rejim keadilan internasional tersebut. Namun
demikian, bisa dipastikan bahwa Indonesia akan segera
menjadi negara pihak, karena tidak ada syarat-syarat yang
tidak tersedia. Tinggal masalah waktu saja. Setidaknya,
begitulah optimisme Koalisi Masyarakat Sipil untuk
Mahkamah Pidana Internasional (Koalisi), yang telah dan
sedang melakukan kampanye dan advokasi ratifikasi ICC
selama 2 tahun terakhir.
iii
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Setelah reformasi, Indonesia sebenarnya telah
sudah menunjukkan sikap dan komitmennya untuk masuk
dalam rejim keadilan internasional dan memutus rantai
impunitas. Partisipasi aktif delegasi Indonesia dalam
Konferensi Diplomatik PBB di Roma, Italia yang akhirnya
mengesahkan Statuta Roma tentang ICC pada tangal 17 Juli
1998 dan Pidato Dubes RI untuk PBB Marty Natalegawa
(sekarang Menlu RI) pada sidang Dewan Keamanan PBB
bulan Desember 2007 di New York yang menyatakan
bahwa impunitas tidak bisa ditolerir, adalah sikap tegas
yang selayaknya ditindaklanjuti dengan tindakan nyata,
dalam hal ini dengan meratifikasi ICC.
Namun, tetap saja, usaha untuk mewujudkan
ratifikasi universal ICC belum menemukan jalan lempang di
Indonesia. Walaupun dicanangkan untuk diratifikasi pada
tahun 2008, sebagaimana disebutkan dalam Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004 – 2009),
namun sampai akhir tahun 2009, ICC belum juga diratifikasi
atau diaksesi oleh Indonesia. Tidak ada alasan yang sangat
jelas mengapa target ratifikasi 2008 tidak tercapai. Namun
Koalisi mendapatkan informasi bahwa lembaga pemerintah
di sektor pertahanan dan keamanan menyatakan bahwa
Indonesia belum siap melakukannya. Beberapa isu seperti
kedaulatan nasional dan asas non-retroaktifitas dikatakan
masih mengandung kontroversi. Padahal, isu-isu tersebut
sebenarnya sangat dijunjung tinggi oleh ICC.
Buku ini diterbitkan oleh Koalisi dengan tujuan
untuk menyebarluaskan gagasan dan pemikiran beberapa
pakar hukum internasional dan aktifis hak asasi manusia
bahwa Indonesia perlu dan siap meratifikasi ICC. Beberapa
isu yang dianggap kontroversial oleh beberapa kalangan
dikupas dan dipaparkan di sini, dengan harapan agar sikap
setuju dan belum setuju meratifikasi ICC tidak didasarkan
iv
Kata Sambutan
pada asumsi-asumsi, tetapi pemahaman yang ilmiah tentang
Statuta Roma.
Selanjutnya, Koalisi berharap agar pemerintah dan
parlemen hasil pemilu 2009 menjadikan rencana ratifikasi
ICC ini sebagai prioritas, karena ia mencerminkan ekspresi
sikap pemerintah SBY di bidang hukum dan hak asasi
manusia dalam peradaban dunia baru.
Jakarta, Desember 2009
Mugiyanto
Convenor
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Mahkamah
Pidana Internasional
v
Kata Sambutan
vii
Daftar Isi
ix
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
x
Daftar Isi
xi
KATA PENGANTAR
Enny Soeprapto PhD
Gustav Moynier, yang bersama Henri Dunant
membentuk Komite International bagi Pertolongan untuk
Orang-orang yang Luka dalam sengketa bersenjata (1863),
yang kemudian menjadi Komite International Palang Merah
(1876), pada 1872 mengusulkan agar negara-negara yang
berperang membentuk
pengadilan-pengadilan pidana
international, segera setelah pecahnya sengketa bersenjata,
yang majelis hakimnya terdiri atas warga negara dari
negara-negara yang berperang dan yang netral. 65 tahun
kemudian, pada 1937, Liga Bangsa-bangsa berhasil
mewujudkan gagasan ini dengan menerima sebuah perjanjian
international bagi pembentukan sebuah mahkamah pidana
international. Perjanjian international ini tidak sempat
berlaku karena kurangnya minat negara-negara untuk
mengesahkannya dank arena pecahnya Perang Dunia Kedua
(1939). Meskipun demikian, niat komunitas International
untuk membentuk sebuah pengadilan pidana international
yang bersifat permanen tetap hidup.
xiii
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Perhatian komunitas international pada masalah
kejahatan international dan, berkaitan dengan ini,
berkembangnya hukum pidana international, meningkat
setelah Perang Dunia Kedua. Perkembangan ini dapat
dilihat, antara lain, dari pembentukan Tribunal Militer
International Nuerenberg (45) dan, padanannya untuk Asia
Timur, Tribunal Militer International Tokyo (1946), yang
keduanya bersifat ad hoc, dan tercantumnya ketentuan
dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman
Kejahatan Genosida, 1948 yang menetapkan bahwa mereka
yang dituduh melakukan kejahatan dan perbuatan lain
yang berkatian dengan kejahatan ini, akan diadili oleh
pengadilan negara tempat terjadinya kejahatan ini atau
oleh sebuah “tribunal pidana international” yang mungkin
mempunyai yuridikasi terhadap Negara-negara Pihak yang
telah menerima yuridikasinya (Pasal VI).
Gagasan
pembentukan
sebuah
pengadilan
international yang bersifat permanen yang menangani
kejahatan international tertentu mulai menjadi perhatian
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 1950. Pada 1950
Majelis Umum (MU) PP meminta Komisi Hukum International
(KHI), yang dibentuk oleh MUPBB pada 1947, untuk
melakukan empat hal, yakni, pertama, mengodifikasikan
prinsip-prinsip Nuerenberg, kedua, menjajaki masalah
yurisdikasi pidana international dalam hubungan dengan
Konvensi Genosida 1948, ketiga, membahas masalah
pendefinisian kejahatan agresi, dan, keempat, menyusun
rancangan pengaturan penanganan tindak pidana terhadap
perdamaian dan keamanan umat manusia. Mengenai hal
tersebut terakir ini, pada 1951, KHI menyampaikan kepada
MUPBB rancangan pengaturan yang bersangkutan beserta
usul pembentukan sebuah mahkamah pidana international.
Namun, Perang Dingin telah menyebabkan terhalangnya
kemajuan KHI dalam melaksanakantugas-tugas yang
xiv
Daftar Isi
diberikan oleh MUPBB tersebut. Baru pada 1989, dengan
berakhirnya Perang Dingin, MUPBB meminta KHI,
sewaktu membahas Rancangan Pengaturan Tindak Pidana
terhadap Perdamaian dan Keamanan umat Manusia, (juga)
“membahas masalah pembentukan sebuah mahkamah pidana
international atau mekanisme dan pemeriksaan pengadilan
kejahatan international yang lain dengan yurisdiksi terhadap
orang-orang yang dituduh telahh melakukan kejahatan yang
mungkin diliput oleh pengaturan tersebut, termasuk orangorang yang terlibat dalam perdagangan gelap narkotika yang
melintasi perbatasan nasional”. Pada 1993 KHI menyusun
sebuah rancangan statuta Mahkamah Pidana International,
yang setelah dibahas oleh MUPBB dan memperoleh
masukan dari Negara-negara Anggota PBB, diajukan
kepada Konferensi Diplomatik Wakil-wakil Berkuasa Penuh
PBB tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
yang diselenggarakan di Roma pada 16 Juni-17 Juni 1998
yang kemudian diterima pada 17 Juli 1998 dengan suara
120 suara setuju, tujuh menentang, dan 21 abstain. Statuta
Mahkamah Pidana International tersebut, yang kemudian
terkenal dengan sebutan populernya “Statuta Roma”
(karena diterima dalam suatu konferensi international
yang diadakan di Roma), mulai berlaku pada 1 Juli 2002,
setelah dipenuhinya persyaratan bagi mulai berlakunya
instrument tersebut menurut Pasal 126 ayat 1, yakni sesudah
disimpankannya piagam ratifikasi, penerimaan, persetujuan,
atau aksesi yang ke-60 pada Sekretaris Jenderal PBB.
Pada saat pemungutan suara pada 17 Juli 1998,
Indonesia adalah salah satu dari 120 negara yang memberikan
suara setuju bagi penerimaan Statuta Roma dan, kemudian,
mencantumkan instrument tersebut dalam Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) sebagai salah satu
instrument yang dikategorikan oleh Pemerintah Indonesia,
secara implicit, sebagai instrument HAM internasional, yang
xv
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
akan disahkan pada 2008. Namun, sampai berakhirnya
kala hidup RANHAM 2004-2009 tersebut pada 10 Mei
2009, instrumen tersebut, jangankan disahkan, diproses
pengesahannya pun belum. Bahkan, sebaliknya, tampak
kecenderungan di sementara di kalangan Pemerintah
sekarang untuk justru tidak mengesahkan Statuta Roma.
Sudah tentu sikap demikian mencederai citra Pemerintah
sendiri, karena mengingkari komitmennya sendiri, sebagai
mana dinyatakannya dalam RANHAM 2004-2009 yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) (Keppres
40/2006).
Sejak 1999, di kalangan pembuat undangundang dan banyak kalangan lainnya di Indonesia, terjadi
kekisruhan konseptual mengenai jenis kejahatan yang
termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana International
(MPI), setidak-tidaknya yang berkenaan dengan kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagai
“pelanggaran HAM” dengan kualifikasi “berat”, padahal
kejahatan-kejahatan tersebut adalah kejahatan internasional
(international crimes), bukan “pelanggaran HAM yang
berat” . Kekeliruan yang berlanjut ini, pada gilirannya, akan
mengakibatkan ketidakpastian hukum jika tidak secepatnya
dikoreksi.
Sebagaimana ditetapkan atau dicerminkan
dalam instrument konstitutif pengadilan-pengadilan
pidana international yang dibentuk secara ad hoc
sebelumterbentuknya MPI atau dalam instrument
international mengenai penindakan kejahatan international
yang bersangkutan, dalam hal ini kejahatan genosida, dapat
dicatat pokok-pokok berikut: (a) Kejahatan terhadap
kemanusiaan ditetapkan sebagai salah satu dari tiga
kejahatan (crimes) yang termasuk yurisdiksi Tribunal Militer
International Nuerenberg (Pasal 6 Piagam TMI, 1945); (b)
xvi
Daftar Isi
Genosida dinyatakan sebagai “kejahatan menurut hukum
internasional” oleh Konvensi Genosida 1948 (Paragraf
preambuler pertama dan Pasal I); (c) Yurisdiksi Tribunal
Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia, yang
berkewenangan menuntut orang-orang yang bertanggung
jawab atas pelanggaran hokum humaniter internatsional
yang dilakukan di wilayah bekas Yugoslavia sejak 1991
(Pasal 1, Statuta), meliputi genosida (yang dikategorikan
sebagai “penerjangan gawat Konvensi-konvensi Jenewa
1949) (Pasal 4 Statuta) dan kejahatan terhadap kemanusiaan
apabila terjadi dalam konflik bersenjata (Pasal 5 Statuta);
dan (d) Tribunal Pidana Internasional untuk Rwanda, yang
berkewenangan menuntut orang-orang yang bertanggung
jawab atas ‘pelanggaran serius hukum humaniter
internasional” (yangterjadi di wilayah Rwanda dan warga
negara Rwanda yang bertanggung jawab atas pelanggaran
demikian yang terjadi di wilayah negara-negara tetangga,
antara 1 January 1994-31 Desember 1994) beryudiksi yang
meliputi Genosida (Pasal 2) dan juga kejahatan terhadap
kemanusiaan (Pasal 3).
Tidak satupun dari empat instrument internasional
yang menyangkut genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan yang dibuat, masing-masing, pada 1945, 1948,
1993, dan 1994 tersebut di atas yang mengaitkan kejahatan
genosida dan/atau kejahatan terhadap kemanusiaan dengan
HAM.
Selanjutnya, MPI, yang kewenangannya meliputi
kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, dan kejahatan agresi (Pasal 5
Statuta), mengualifikasikan keempat kejahatan tersebut
sebagai “kejahatan paling serius yang menjadi urusan
komunitas internasional secara keseluruhan” (paragraph
preambuler keempat dan kesembilan serta chapeau Pasal
xvii
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
5), mengategorikan keempat kejahatan tersebut sebagai
“kejahatan internasional” (paragraph preambuler keenam),
dan mengklasifikannya sebagai “kejahatan paling serius
yang menjadi urusan internasional” (Pasal 1). Statuta MPI,
sama halnya dengan instrumen-instrumen internasional yang
dibuat sebagaimana disebut dalam paragraph sebelumnya,
sama sekali tidak menyebut keempat kejahatan itu sebagai
“pelanggaran HAM” ataupun “pelanggaran Ham” yang
dikualifikasikan sebagai “serius”, “berat”, atau “gawat”.
Statuta Roma adalah instrument hukum pidana internasional
(bukan instrument HAM internasional), MPI adalah sebuah
pengadilan pidana internasional (bukan pengadilanHAM
internasional), sedangkan kejahatan-kejahatan yang
termasuk yurisdiksi MPI (kejahatan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan
agresi) adalah, pertama, “kejahatan”, kedua, kejahatan
itu adalah “kejahatan internasional”, ketiga, kejahatan
internasional tersebut merupakan “kejahatan yang paling
serius”, dan , keempat, kejahatan yang paling serius itu
merupakan “urusan internasional” dan bahkan merupakan
‘urusan komunitas internasional secara keseluruhan”.
Meskipun demikian, Statuta Roma memuat tiga
hal berikut yang secara eksplisit atau implisit menghormati
dan/atau melindungi HAM, yakni, pertama, ketentuan yang
menetapkan bahwa penerapan dan penafsiran hukum dalam
pelaksanaan Statuta Roma, Unsur-unsur Kejahatan, serta
Aturan Acara dan Bukti harus konsisten dengan HAM yang
diakui secara internasional serta tanpa pembatasan yang
merugikan atas alasan seperti gender, umur, ras, warna kulit,
bahasa, agama atau kepercayaan, pandangan politik atau
pandangan lain, asal rumpun bangsa, asal etnis, atau asal
social, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya (Pasal 21
ayat 3), kedua, penetapan asas-asas hukum pidana yang pada
hakikatnya merupakan penegasan asas-asas HAM HAM
xviii
Daftar Isi
sebagaimana ditetapkan dalam instrument-instrumen HAM
internasional, seperti asas legalitas, ketidakberlakusurutan,
dan nondiskriminatif (Pasal 22-Pasal 33), dan, ketiga,
ketentuan-ketentuan yang secara tidak langsung melindungi
HAM tertentu, seperti hak untuk hidup (Pasal 6(a), Pasal
7.1 (a), dan Pasal 8.2 (a(ii), (b) (vi), (xI), dan (xxii), serta e
(i)), hak seseorang untuk tidaki dirampas kemerdekaannya
secara sewenang-wenang (Pasal 7.1(e)), hak untuk tidak
disiksa (Pasal 7.1(f) dan Pasal 8.2 (a) (ii) serta (c) (ii)), hak
untuk memeluk agama atau kepercayaan (Pasal 8.2(a)
(ii) dan (c) (ii), serta hak untuk beribadat menurut agama
atau kepercayaan masing-masing (Pasal 8.2(b) (ix)), untuk
menyebut beberapa di antaranya.
Kekisruhan konseptual yang menyebabkan
kekisruhan hukum di Indonesia berawal pada 1999 dengan
pemasukan istilah “pelanggaran hak asasi manusia yang
berat” dalam Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999) (Pasal 104 ayat
(1) beserta penjelasannya). Kekisruhan berlanjut dengan
diundangkannya Undang Undang Nomer 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU 26/2000). UU
26/2000 menetapkan pengertian istilah “pelanggaran HAM
yang berat” tidak dengan mendefinisikannya melainkan
dengan menyebutkan kejahatan apa saja yang terliput oleh
istilah ini, in casu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (Pasal 1 angka 2dan Pasal 7), dengan penjelasan
Pasal 7 yang menyatakan bahwa “ Kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan’ dalam ketentuan ini sesuai
dengan ‘Rome Statute of the International Criminal Court’
(Pasal 6 dan Pasal 7)”.
UU 26/2000 makin “meramaikan” kekisruhan
konseptual mengenai kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan, dengan, pertama, mengukuhkan
xix
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
istilah umum “pelanggaran HAM yang berat” menjadi
istilah yuridis dan mengategorikan kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM
dengan kualifikasi berat, padahal, sebagaimana ditegaskan
oleh Statuta Roma, kedua kejahatan tersebut, beserta
kejahatan perang dan kejahatan agresi, adalah kejahatan
internasional dengan dua kualifikasi, yakni, pertama, paling
serius dan, kedua, menjadi urusan komunitas internasional
secara keseluruhan.
Dalam konteks keseyogiaan menjadi pihaknya
Indonesia pada Statuta Roma, Indonesia harus mempunyai
peraturan perundang-undangan sendiri yang menangani
kejahatan yang termasuk yurisdiksi MPI, sehingga peraturan
perundang-undangan nasional Indonesia menjadi instrumen
rujukan utama, sedangkan Statuta Roma, sebagaimana
ditetapkan sendiri olehnya (paragraph preambuler
kesepuluh dan Pasal 1), benar-benar bersifat dan berfungsi
sebagai instrument pelengkap belaka. Oleh karena itu,
UU 26/2000 harus diganti dengan undang-undang yang
baru sama sekal, yang memuat pokok-pokok pengaturan
berikut: (a) Bermateri muatan hokum pidana internasional,
bukan HAM; (b) Pengadilan yang dibentuk berdasarkan
undang-undangyang baru adalah pengadilan pidana, bukan
pengadilan HAM; (c) Yurisdiksi materiil pengadilan pidana
yang bersangkutan meliputi, sekurang kurangnya, semua
kejahatan yang termasuk yurisdiksi materiil MPI (kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
perang, dan kejahatan agresi); (d) Ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam undang-undang yang baru tersebut benarbenar sesuai dengan ketentuan=ketentuan Statuta Roma
yang relevan; (e) Ratione personae undang-undang yang
baru itu mencakup, pertama, warga negara Indonesia yang
melakukan perbuatan yang termasuk kategori kejahatan
yang termasuk yurisdiksi materiil pengadilan pidana yang
xx
Daftar Isi
bersangkutan, di mana pun perbuatan itu di lakukan, di
tempat yang berada di bawah yurisdiksi Indonesia ataupun
di luarnya, kedua, orang bukan warga negara Indonesia
yang melakukan perbuatan demikian di tempat yang berada
di bawah yurisdiksi Indonesia, dan, ketiga, apabila korban
perbuatan demikian, di mana pun terdapatnya, adalah
warga negara Indonesia atau milik negara atau warga
negara Indonesia; (f) mempunyai hokum acara sendiri
yang lengkap; dan (g) dapat diberlakukan secara surut atas
dasar kasus demi kasus dengan mekanisme yang menjalin
kelancaran pelaksanaannya.
Dengan dipunyainya undang-undang pidana
yang mengatur penuntutan dan pemeriksaan di siding
pengadilan atas kejahatan yang termasuk yurisdiksi MPI
dengan ketentuan-ketentuan yang tidak menyimpang dari
ketentuan-ketentuan yang relevan dari Statuta Roma, maka
kekhawatiran ‘intervensi’ MPI ke dalam urusan internal
Indonesia dan/atau kecurigaan atan terjadinya ‘pelanggaran
kedaulatan” Indonesia oleh MPI menjadi tidak berdasar,
sepanjang Indonesia memang benar-benar mau dan mampu
melaksanakan undang-undang yang bersangkutan.
Ditandai pula terdapatnya kesalahmengertian
di sementara kalangan di Indonesia bahwa Statuta Roma
dapat diberlakusurutkan, sebagaimana halnya instrument
konstitutif pengadilan pidana
Internasional yang pernah atau masih ada yang
bersifat ad hoc (seperti TMI Nuerenberg, TPI untuk Bekas
Yugoslavia, dan TPI untuk Rwanda). Hal ini sudah tentu
keliru, karena Pasal 24 ayat 1 Statuta Roma menetatpkan
tidak boleh dipertanggungjawabkan secara pidana siapa pun
atas tindak yang dilakukannyasebelum mulai berlakunya
Statuta Roma. Ketentuan ini berlaku bagi negara-negara
xxi
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
yang telah menjadi pihak pada Statuta Roma pada 1 Juli
2002. Untuk negara-negara lain yang menjadi pihak setelah
1 Juli 2002, sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat 2,
Statuta Roma baru akan mulai berlaku bagi negara yang
bersangan “pada hari pertama dari bulan setelah enam puluh
hari sesudah penyimpanan piagam ratifikasi, penerimaan,
persetujuan, atau aksesi oleh negara yang bersangkutan”,
jadi bukan berhitung mulai 1 Juli 2002.
Sementara kalangan juga mengertikan secara
salah bahwa dengan menjadi pihak Indonesia pada Statuta
Roma akan menjadikan warga negara Indonesia “sasaran
tembak langsung” Statuta Roma. Pengertian demikian
keliru, sedangkan yang benar adalah sebagai berikut:
(a) Sesuai dengan sifat Statuta Roma sebagai instrument
pelengkap, Statuta Romahanya dapat diterapkan apabila
peraturan perundang-undangan nasional yang menyangkut
penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan kejahatan
yang termasuk yurisdiksi MPI tidak ada atau, walaupun
ada, Negara Pihak yang bersangkutan tidak mau atau tidak
mampu melaksanakannya; (b) Karena materi muatan yang
di atur dalam peraturan perundang-undangan nasional
Indonesia yang bersangkutan adalah kejahatan internasional,
maka peraturan perundang-undangan nasional Indonesia
tersebut berlaku tidak saja bagi warga negara Indonesia,
di mana pun ia melakukan perbuatannya yang termasuk
kejahatan internasioanltersebut ataupun orang asing apabila
ia melakukan perbuatan demikiandi wilayah Indonesia (atau
di kapal laut atau kapal terbang yang beregistrasi Indonesia),
meskipun perbuatan yang bersangkutan dilakukan di luar
wilayah Indonesia (atau di luar kapal laut atau pesawat
udara yang beregistrasi Indonesia), kecuali jika Indonesia
memilih untuk mengekstradisikan orang yang bersangkutan
ke negara kewarganegaraannya atau negara tempat
dilakukannya perbuatan yang dituduhkan padanya.
xxii
Daftar Isi
Penggesahan dan, kemudian, menjadi pihaknya
Indonesia pada Statuta Roma melalui prosedur aksesi, akan
merupakan sumbangan bangsa Indonesia sebagai bagian
komunitas internasional dalam upaya bersama untuk
mengakhiri impunitas pelaku dan mencegah terjadinya
kejahatan paling serius yang menjadi urusan komunitas
internasional secara keseluruhan sebagai salah satu tujuan
Statuta Roma (paragraph preambuler kelima). Pengakhiran
impunitas pelaku dan pencegahan terjadinya kejahatan
internasional demikian akan menciptakan situasi yang
menunjang upaya penciptaan dan pelaksanaan ketertiban
dunia sebagaimana diamanatkanoelh Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 (UUD
1945) (alinea keempat). Dengan demikian, pengesahan dan
menjadi pihaknya Indonesia pada Statuta Roma tidaklah
lain merupakan salah satu langkah yang diambil oleh bangsa
Indonesia yang tidak saja merupakan sumbangan pada kerja
sama internasional untuk menanggulangi kejahatan paling
serius yang menjadi urusan komunitas internasional secara
keseluruhan melainkan juga, tidak lain, sebagai salah satu
bentuk pelaksanaan amanat Pembukaan UUD 1945.
Patut dicatat sejak awal bahwa pengesahan dan
aksesi Indonesia pada Statuta Roma akan harus dilengkapi
dengan peraturan perundang-undangan yang bertingkat
di bawah undang-undang yang tepat, misalnya peraturan
presiden (Perpres), mengenai dua pokok, yaitu, pertama,
penerapan Persetujuan tentang Hak Istimewa dan kekebalan
MPI (Agreement on the Privileges and Immunities of the
International Criminal Court) pada para hakim, penuntut,
deputi penuntut, panitera, deputi panitera, penasihat, ahli,
saksi, dan orang lain diperlakukan yang mungkin bertugas
di Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 48 Statuta
Roma dan, kedua, mengenai tata cara kerja sama antara
Indonesia dan MPI dalam pelaksanaan Statuta Roma di
xxiii
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
bidang-bidang tertentu, sebagai penerapan pasal 86 dan
Pasal 88 Statuta Roma. Mengenai hal yang tersebut terakhir
ini Indonesia dapat memperhatikan peraturan perundangundangan nasional sejenis yang dibuat oleh negara-negara
lain yang telah menjadi pihak pada Statuta Roma
xxiv
Ratifikasi Statuta Roma dan
Upaya Menghentikan Impunitas
di Indonesia
Zaenal Abidin
Kata “impunitas” berarti ketidakmungkinan -de
jure atau de facto- untuk membawa pelaku pelanggaran
hak asasi manusia untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya baik dalam proses peradilan kriminal, sipil,
administratif atau disipliner karena mereka tidak dapat
dijadikan objek pemeriksaan yang dapat memungkinkan
terciptanya penuntutan, penahanan, pengadilan dan,
apabila dianggap bersalah, penghukuman dengan hukuman
yang sesuai, dan untuk melakukan reparasi kepada korbankorban mereka.1
Impunitas merupakan problem di banyak negara
dan oleh karenanya telah sejak lama dunia internasional
memperjuangkan untuk menghentikan praktek-praktek
1
Lihat Serangkaian Prinsip Anti Impunitas yang disusun oleh Louis Joinet. Lihat
juga Laporan Diane Orentlicher, Updated Set of principles for the protection and
promotion of human rights through action to combat impunity.
1
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
impunitas. Sejarah pelanggaran hak asasi manusia
diberbagai negara menunjukkan bahwa seringkali tanpa
akuntabilitas yakni menghukum para pelakunya dan
memberikan hak-hak pemulihan kepada korban. Berbagai
mekanisme internasional telah dibangun untuk memastikan
penghentian impunitas dengan berbagai bentuk pengadilan
untuk meminta pertanggungjawaban para pelakunya.
Setelah serangkaian usaha panjang pengadilan
terhadap kejahatan kemanusiaan, pada tahun 1998, dunia
internasional sepakat membangun suatu Mahkamah
Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC)
yang didirikan berdasarkan Statuta Roma 1998. Paragraf
kelima dari konsiderans Statuta Roma jelas menyatakan
“Determined to put an end to impunity for the perpetrators
of these crimes and thus to contribute to the prevention
of such crimes”. Pernyaataan ini menandakan bahwa
Mahkamah Pidana Internasional salah satu tujuannya
adalah untuk menghentikan impunitas para pelaku dan
mendorong pencegahan terjadi kejahatah kejahatan
semacam kejahatan genosida (the crime of genocide),
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity),
kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the
crime of aggression).2
Di Indonesia, pada tahun 1998 dengan runtuhnya
kekuasaan rejim otoriter orde baru dan masuknya era
reformasi menjadikan terjadi tuntutan atas penyelesaian
pelanggaran HAM yang terjadi selama rezim Orde Baru
berkuasa. Terjadi gerakan menuntut adanya perubahan di
tataran instrumental untuk mendorong adanya penegakan
hukum dan penghormatan atas hak asasi manusia. Pada
tahun 2000, salah satu instrumen penting yang lahir yaitu
mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi
2
Lihat Pasal 5 Statuta Roma.
2
Ratifikasi Statuta Roma dan
Upaya Menghentikan Impunitas di Indonesia
manusia yang berat yaitu kejahatan genosida (the crime
of genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity) melalui Pengadilan HAM berdasarkan
UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.3 Dua
kejahatan yang menjadi yurisdiksi pengadilan HAM ini
merujuk pada Statuta Roma.4
Tahun 2004, muncul UU Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi sebagai suatu mekanisme lain untuk meminta
pertanggungjawaban pelanggaran HAM masa lalu melalui
pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi. Karena UU ini
mempunyai banyak kelemahan dan akhirnya dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi. Sejak itu, rencana pembentukan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi belum terlaksana sampai
terbentuknya UU Baru.
Pengadilan HAM yang diharapkan menjadi
mekanisme akuntabilitas melalui jalur pengadilan juga
akhirnya gagal memenuhi mandatnya. Sejumlah persolan
menghadang berjalannya pengadilan HAM, mulai dari
kelemahan UU, kapasitas penegak hukum dan dukungan
pemerintah terhadap pengadilan HAM. Praktis, sampai
tahun 2009 sejumlah kasus yang telah disidangkan gagal
menghukum pelaku dan memberikan pemulihan kepada
korban. Sementara kasus-kasus yang telah diselidiki
oleh Komnas HAM belum berhasil dilanjutkan ke proses
persidangan.
3
Sebelum keluarnya UU No. 26 tahun 2000 Pemerintah Indonesia di bawah Habibie
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1
Tahun 1999. Perpu ini diumumkan presiden pada tanggal 8 Oktober 1999, tiga
hari menjelang pidato pertanggungjawaban di MPR. Namun kehadiran Perpu ini
ditolak oleh DPR dalam sidang paripurna di bulan Maret 2000, karena dianggap
tidak memiliki alasan kuat berkaitan dengan kegentingan yang memaksa.
4
Lihat penjelasan pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000.
3
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Kondisi ini memunculkan kembali persoalan
impunitas di Indonesia, kalau tidak bisa dikatakan bahwa
impunitas di Indonesia masih terus berlangsung. Merujuk
pada pengertian impunitas oleh Louis Joinet, Indonesia
telah gagal dalam melakukan penghukuman yang sesuai
dan untuk melakukan reparasi kepada korban-korban.
Ratifikasi Statuta Roma seharusnya bisa memberikan
peluang bagi Indonesia untuk memperbaiki sistem peradilan
pidana dan memajukan pengadilan HAM sebagaimana yang
diharapkan.
ICC dan Komitmen Indonesia
Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court - ICC) yang didirikan berdasarkan Statuta
Roma 1998 mengatur kewenangan untuk mengadili
kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian
internasional. Kejahatan yang dimaksud terdiri dari empat
jenis, yaitu kejahatan genosida (the crime of genocide),
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity),
kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the
crime of aggression).5
Dalam 3 konsiderannya, Statuta Roma tegas
menyatakan bahwa penghukuman terhadap kejahatankejahatan yang sangat serius harus dilakukan dan diupayakan
untuk mengakhiri impunitas dan untuk mencegah terjadinya
kejahatan-kejahatan serius tersebut. konsideran-konsideran
tersebut ditujukan untuk menegaskan tujuan-tujuan dari
Statuta Roma yang hendak dicapai.
Paragraf 4 Statuta Roma menegaskan sebuah tujuan
dari politik pemidanaan yaitu “the most serious crimes” …
5
Lihat Pasal 5 Statuta Roma.
4
Ratifikasi Statuta Roma dan
Upaya Menghentikan Impunitas di Indonesia
must not go unpunished” dan tugas dari peradilan yang
efektif harus dijamin dilaksanakan dengan melakukan
tindakan-tindakan pada level nasional dan memperbesar
kerja sama internasional untuk mengadili “the most
serious crimes” tersebut.6 Paragraf 5 melanjutkan tujuan
dari paragraf 4 yaitu “to put an end of impunity for the
perpetrators of these crimes”, yang mengisyaratkan bahwa
sebuah penegakan hukum secara efektif yang pada saat yang
sama mendorong pada pencegahan kejahatan-kejaahatan
tersebut dengan membangun kesadaran dan menunjukkan
pelaku potensial dari “the most serious crimes” tidak akan
lebih lama menikmati impunitas dengan adanya mekanisme
penegakan hukum yang efektif.7 Paragraf 6 mengingatkan
kepada negara-negara tentang kewajibannya “…state to
exercise its criminal jurisdiction over those responsible for
international crimes”,8 sebagaimana dinyatakan dalam pasal
5 Statuta Roma.9
Penegasan tentang tujuan dibentuknya ICC tersebut
disetujui oleh Indonesia dengan menyatakan dukungannya
atas pengesahan Statuta Roma dan pembentukan
Mahkamah Pidana Internasional.10 Tahun 1999, Indonesia
6
Lihat paragfat 4 Statuta Roma, “Affirming that the most serious crimes of concern
to the international community as a whole must not go unpunished and that their
effective prosecution must be ensured by taking measures at the national level and
by enhancing international cooperation”.
7
Lihat paragfat 5 Statuta Roma, “Determined to put an end to impunity for the
perpetrators of these crimes and thus to contribute to the prevention of such
crimes”.
8
Lihat paragfat 5 Statuta Roma, “Recalling that it is the duty of every State to
exercise its criminal jurisdiction over those responsible for international
crimes”.
9
Otto Triffterer, “Commentary on the Rome Statute of the International Criminal
Court, Observers’ Notes, Article by Article, Nomos Verlagsgessellschaft, 1999,
hal. 9-12.
10
Dalam proses pengadopsian Statuta Roma, Indonesia terlibat secara aktif dengan
5
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
menyampaikan pernyataan positif kepada Komite Ke-6
Majelis Umum PBB dalam pandangannya mengenai Statuta
Roma. Indonesia menyatakan bahwa “partisipasi universal
harus menjadi ujung tombak ICC ” dan bahwa “Pengadilan
menjadi bentuk hasil kerjasama seluruh bangsa tanpa
memandang perbedaan politik, ekonomi, sosial dan budaya.”
Dalam pernyataan yang sama, Indonesia menyatakan bahwa
Statuta Roma menambah arti penting pada nilai-nilai yang
terkandung dalam Piagam PBB yang meliputi persepakatan,
imparsialitas, non-diskriminasi, kedaulatan negara dan
kesatuan wilayah. Dalam hal ini, Indonesia menegaskan
bahwa Mahkamah berusaha untuk melengkapi dan bukan
menggantikan mekanisme hukum nasional.11
Kemandekan Dua Mekanisme
Sejak tahun 2000 Indonesia memiliki mekanisme
untuk memeriksa dan mengadili kejahatan yang juga
menjadi yurisdiksi ICC yaitu Kejahatan Genosida dan
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dengan adanya UU No.
26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
(UU No. 26/2000).12 UU ini memberikan mekanisme
pertanggungjawaban melalui peradilan baik untuk
pelanggaran HAM yang berat masa lalu dan masa depan.
Pada tahun 2000 juga muncul Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat No. V Tahun 2000 tentang
mengirimkan delegasi untuk mengikuti Konferansi Diplomatik di Roma pada
bulan Juli 1998, ketika Statuta Roma itu disahkan.
11
Lihat Kertas Kerja, Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma, Koalisi Masyarakat
Sipil Untuk Mahkamah Pidana Internasional, 2008.
12
Lihat pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa
Kejahatan genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sesuai dengan Rome
Statute 1998.
6
Ratifikasi Statuta Roma dan
Upaya Menghentikan Impunitas di Indonesia
Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Ketetapan
ini merekomendasikan untuk membentuk Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial
yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan
mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran
hak asasi manusia pada masa lampau dan melaksanakan
rekonsiliasi. Maksud dan tujuan dari Ketetapan MPR ini
adalah untuk mengidentifikasi permasalahan, menciptakan
kondisi untuk rekonsiliasi dan menetapkan arah kebijakan
untuk memantapkan persatuan nasional. Kesadaran dan
komitmen untuk memantapkan persatuan ini diwujudkan
dengan langkah nyata untuk membentuk KKR Nasional
dan merumuskan etika berbangsa dan visi Indonesia masa
depan.13 Setelah dua tahun, yakni pada tahun 2004, terbentuk
mekanisme lain untuk akuntabilitas pelanggaran HAM
masa lalu yaitu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) dengan adanya UU No. 27 tahun 2004 (UU KKR).
Praktis untuk penyelesaian pelanggaran masa lalu Indonesia
mempunyai dua mekanisme yaitu melalui pengadilan dan
melalui KKR.14
13
Peranan dan fungsi KKR sebagaimana dimandatkan oleh TAP MPR V/2000
dijelaskan dalam Pendahuluan, bagian B, ‘Maksud dan Tujuan,’ yang secara
keseluruhan menyatakan bahwa: “Ketetapan mengenai pemantapan persatuan
dan kesatuan nasional mempunyai maksud dan tujuan untuk secara umum
mengidentifikasi permasalahan yang ada, menentukan kondisi yang harus
diciptakan dalam rangka menuju kepada rekonsiliasi nasional dan menetapkan
arah kebijakan sebagai panduan untuk melaksanakan pemantapan persatuan dan
kesatuan nasional”, “Kesadaran dan komitmen yang sungguh-sungguh untuk
memantapkan persatuan dan kesatuan nasional harus diwujudkan dalam langkahlangkah yang nyata, berupa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Nasional, serta merumuskan etika berbangsa dan visi Indonesia masa depan.”
14
Sebagai catatan Pada tahun 2001, UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua menegaskan perlunya pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.4 KKR Papua mempunyai tugas melakukan klarifikasi sejarah Papua
untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia; dan merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi yang
mencakup pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, permintaan maaf,
pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau
alternatif lain yang bermanfaat dan dengan memperhatikan rasa keadilan dalam
masyarakat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa.
7
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Sejak itu, tercatat sejumlah kasus telah diselidiki
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),
namun hanya 2 pengadilan HAM ad hoc dan 1 Pengadilan
HAM yang berhasil dibentuk. Hasil dari putusan-putusan
pengadilan tersebut ternyata membebaskan semua terdakwa.
Banyak kalangan menyatakan bahwa pengadilan ini telah
gagal, bahkan selama proses pengadilan berjalan, kritik telah
muncul berkaitan dengan kinerja pengadilan yang berada
dibawah standar pengadilan internasional,15 dan adanya
dugaan bahwa pengadilan ini memang sejak awal sengaja
diupayakan untuk mengalami kegagalan.16 Sejalan dengan
itu, pengadilan HAM juga gagal dalam memenuhi hak-hak
korban yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi.17
15
Progress Report ELSAM IV, “Pengadilan HAM dibawah Standar: Preliminary
Conclusive Report”, 4 Juli 2002.
16
David Cohen, Intended to Fail , The Trial Before the Ad Hoc Human Rights Court
in Jakarta, ICTJ, July, 2004.
17
Berdasakan pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 korban berhak mendapatkan hak atas
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
8
Ratifikasi Statuta Roma dan
Upaya Menghentikan Impunitas di Indonesia
Kasus-Kasus Pelanggaran HAM yang Berat
No
1.
Kasus
Timor-Timur
Putusan/Proses
-
-
-
2.
Tanjung Priok
-
-
-
Keterangan
Mengakui adanya -
pelanggaran HAM
Tidak ada pelaku
yang bersalah
Tidak
ada -
kompensasi kepada
korban
Tidak mengakui -
a d a n y a
pelanggaran HAM
Tidak ada pelaku
yang bersalah
-
Tidak
ada
kompensasi kepada
korban
-
3.
Abepura
-
-
-
Tidak mengakui -
a d a n y a
pelanggaran HAM
Tidak ada pelaku
yang bersalah
Tidak
ada -
kompensasi kepada
korban
Putusan
pertama,
banding dan kasasi
saling
bertolak
belakang
Pandangan
hakim
sangat berbeda dalam
mengimplementasikan
UU No. 26/2000
Putusan
pertama,
banding dan kasasi
saling
bertolak
belakang
Pada tingkat pertama
ada yang dinyatakan
bersalah
dan
ada
kompensasi
untuk
korban, yang dianulir
di tingkat banding dan
kasasi.
Pandangan
hakim
sangat berbeda dalam
mengimplementasikan
UU No. 26/2000
Pada tingkat pertama
pengadilan
gagal
menghukum
pelaku
dan kompensasi untuk
korban
Kelanjutan
tingkat
banding dan kasasi
tidak jelas.
Kegagalan pengadilan untuk melakukan proses
pengkuman yang efektif dan memberikan remedies kepada
korban membuka kenyataan bahwa pengadilan ini ternyata
memiliki sejumlah kelemahan dan hambatan. Studi dan
pengkajian yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan
9
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
bahwa kelemahanan proses peradilan HAM terjadi dalam
tahap mulai dari penyelidikan sampai dengan pemeriksaan
di pengadilan. Persoalan ketidakcukupan regulasi disebutsebut menjadi salah satu faktor yang mendorong kegagalan
pengadilan. Faktor lainnya yang juga diduga sebagai faktor
yang memperlemah pengadilan HAM adalah kapasitas
para penegak hukumnya baik mulai tingkat penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan tidak terkecuali para hakim
yang mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat
ini.18
Sejalan dengan kegagalan di level pengadilan, pada
tahun 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan
UU KKR karena dianggap bertentangan dengan konstitusi
dan lebih khusus bertentangan dengan hukum ham dan
hukum humaniter internasional. Mahkamah kemudian
memandatkan untuk membentuk UU KKR yang baru
yang lebih sesuai dengan hukum HAM internasional dan
Konstitusi.19 Keputusan ini menggagalkan upaya untuk
membuka serangkaian pelanggaran HAM masa lalu
melalui mekanisme pencarian kebenaran.20 Padahal, pada
tahun 2006 juga terbentuk UU No. 11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh yang memandatkan pembentukan
KKR Aceh dan pengadilan HAM di Aceh. Pembentukan
KKR Aceh dimaksudkan untuk menyelesaian pelanggaran
18
Lebih jauh tentang berbagai aspek kegagalan ini dapat dilihat dalam tulisan
“Pengadilan Yang Melupakan Korban”, Laporan Pemantauan, Kelompok Kerja
Pemantau, Pengadilan Hak Asasi Manusia , ELSAM – KONTRAS – PBHI, 24
Agustus 2006
19
Lihat putusan terhadap perkara 006/PUU-IV/2006,. Putusan ini muncul sebagai
akibat dari adanya judicial review yang dilakukan sejumlah organisasi (LSM)
dan korban atas sejumlah pasal dalam UUKKR dan bukan untuk membatalkan
keseluruhan UU KKR. Analisis selengkapnya lihat dalam tulisan “Ketika Prinsip
Kepastian Hukum Menghakimi Konstitusionlias Penyelesaian Pelanggaran HAM
Masa Lalu : Pandangan kritis atas putusan MK dan implikasinya bagi penyelesaian
pelanggaran HAM di masa lalu”, ELSAM, 19 Desember 2006.
20
Pada Tahun 2006, setelah tertunda hamppir 2 Tahun, proses seleksi anggota KKR
ini telah berjalan namun belum diajukan presiden untuk dilakukan seleksi oleh
DPR.
10
Ratifikasi Statuta Roma dan
Upaya Menghentikan Impunitas di Indonesia
HAM masa lalu di Aceh yang merupakan bagian dari KKR
Indonesia.21
Pembatalan UU KKR dan kegagalan pengadilan
HAM semakin memperbesar problem impunitas di
Indonesia. Terdapat pandangan bahwa pembuatan upaya
pembentukan Pengadilan HAM dan KKR tampaknya
lebih banyak digunakan oleh pemerintah untuk kebutuhan
politik diplomatisnya, ketimbang untuk menyelesaikan
problem di masa lalu, membela para korban apalagi untuk
mencari keadilan dan kebenaran. Terkesan prakteknya akan
melegalisir praktek impunitas, dimana para pelaku kejahatan
HAM tidak akan pernah di hukum, tapi justru mendapatkan
pengampunan. Pola-pola impunitas itu adalah; pertama,
pelaku sama sekali tidak disentuh oleh proses hukum. Kedua,
pelaku dibebaskan oleh hakim dalam proses pengadilan,
baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi. Ketiga,
kasus dipeti-eskan atau dibiarkan mengambang dengan
alasan-alasan teknis yuridis-prosedural.22
21
Lihat pasal 229 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
22
Ikohi, Resolusi Konggres II Ikohi, “Stop Impunitas dan Kekerasan Negara,
Tegakkan Hak-Hak Korban Sekarang Juga”, 7-10 Maret 2006.
11
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Hasil Tiga Pengadilan HAM
No
1.
Kasus
Pelangaran HAM
di TimorTimur
Perkembangan Kasus
Terdakwa
1. Adam Damiri
2.Tono Suratman
3. M. Noermuis
4. Endar Prianto
5. Asep Kuswani
6. Soejarwo
7. Yayat Sudrajat
8.Liliek Koeshadiyanto
9.Achmad
Syamsudin
10. Sugito
11. Timbul Silaen
12. Adios Salova
13. Hulman
Gultom
14. Gatot Subyaktoro
15. Abilio Jose
Osorio Soares
Tingkat I
3 Tahun
Bebas
5 Tahun
Bebas
Bebas
5 Tahun
Bebas
Bebas
Banding Kasasi
Bebas
Bebas
Bebas
bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
3 Tahun
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
-
Bebas
3 Tahun
3 Tahun 3 Tahun
(PK
Bebas)
Bebas
16. Leonito Mar- Bebas
tens
17. Herman
Bebas
Bebas
Sedyono
18. Eurico Gu10 Tahun 5 Tahun 10 tahun
terres
12
Kompensasi
Tidak ada
satupun
putusan
tentang
Kompensasi, Restitusi dan
rehabilitasi Kepada
Korban
Ratifikasi Statuta Roma dan
Upaya Menghentikan Impunitas di Indonesia
2.
3.
Pelanggaran
HAM di
Tanjung
Priok
1.Rudolf Adolf
10 tahun
Bebas
Butar-butar
2. Pranowo
Bebas
Bebas
3. Sriyanto
Bebas
Bebas
4. Sutrisno Mascung
5. Asrori
6. Siswoyo
7. Abdul Halim
8. Zulfata
9. Sumitro
10. Sofyan Hadi
11. Prayogi
12. Winarko
13. Idrus
14. Muhson
3 Tahun
Bebas
Bebas
2 Tahun
2 Tahun
2 Tahun
2 Tahun
2 Tahun
2 Tahun
2 Tahun
2 Tahun
2 Tahun
2 Tahun
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Bebas
Pelangga- Jhoni Wainal
ran HAM Usman
di Papua Daud Sihombing Bebas
(Abepura).
13
Pada Tk.
Pertama
terdapat
kompensasi, tingkat
Banding
dengan
bebasnya
terdakwa
tidak ada
putusan
yang jelas
tentang
Kompensasi tersebut.
Tidak ada
kompensasi
Tidak ada
kompensasi
Pada Tk.
Pertama
terdapat
kompensasi, tingkat
Banding
dengan
bebasnya
terdakwa
tidak ada
putusan
yang jelas
tentang
Kompensasi tersebut.
Tidak ada
kompensasi
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Pola impunitas pertama dan kedua sudah terbukti
dan pola yang ketika inilah yang terjadi pada kasus tragedi
Mei 1998 dan kasus Trisakti-Semanggi I dan II, dan lainnya.
Sampai dengan tahun 2008, nasib hasil penyelidikan Komnas
HAM juga tidak jelas kelanjutanya. Sejumlah problem
masih mengganjal soal pembentukan pengadilan HAM
karena Kejaksaan Agung tidak mau melakukan penyidikan
dari hasil laporan Komnas HAM. Setidaknya terdapat
5 hasil penyelidikan Komnas HAM kasus yang saat ini
mandeg di Kejaksaan. Pokok persoalan dari tahun ke tahun
masih sama, yaitu ketidakmauan Kejaksaan Agung untuk
melakukan penyidikan dengan berbagai alasan misalnya
untuk pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000
belum ada rekomendasi dari DPR dan untuk pelanggaran
HAM yang terjadi setelah tahun 2000 masih ada berbagai
hal yang harus dilengkapi oleh Komnas HAM.
Kasus-kasus Yang Mandeg
No
Kasus
Posisi
1. Trisakti, Semanggi I Di Kejaksaan Agung
dan Semanggi II
2. Wasior dan Wamena Di kejaksaan Agung
3.
Penghilangan Paksa Di kejaksaan Agung
1997-1998
4.
Talangsari
Di kejaksaan Agung
Keterangan
Tidak ada rekomendasi
DPR
Kejaksaan
Agung
meminta Komnas HAM
melengkapi penyelidikan
Belum ada rekomendasi
DPR.
Baru
pada
akhir September 2009
muncul
rekomendasi
pembentukan Pengadilan
HAM ad hoc.
Belum ada rekomendasi
DPR
Putusan Mahkamah Konstitusi juga tidak
mempengaruhi atau bahkan dipatuhi oleh Kejaksaan
14
Ratifikasi Statuta Roma dan
Upaya Menghentikan Impunitas di Indonesia
Agung untuk melakukan penyisikan. MK dalam
putusannya berpendapat bahwa untuk menentukan perlu
tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas
suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti
memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang
mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR. Akan tetapi,
DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan
HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan
dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang
untuk itu. Oleh karena itu, DPR tidak akan serta merta
menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan
penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang,
yaitu Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan
Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000.23 Keputusan ini harusnya menjadi
jalan pembuka baru bagi tersendatnya proses pembentukan
pengadilan HAM ad hoc.
Perkembangan kasus-kasus pelanggaran HAM
masa lalu sedikit ada perkembangan ketika pada akhir
tahun Panitia Khusus (Pansus) Orang Hilang yang dibentuk
oleh DPR untuk menyelesaikan kasus orang hilang pada
tahun 1997-1998. Pasus ini dianggap bersifat politis karena
berencana memanggil sejumlah petinggi militer pada masa
lalu yang terkait dengan kasus ini diantaranya Wiranto
dan Prabowo yang dianggap akan menjegal mereka dalam
pemilu tahun 2009. Pansus ini sebetulnya sudah dibentuk
sejak Februari 2008.24 Tidak jelas arah pansus ini karena
dalam perkembangannya, pansus sepertinya tidak hanya
melaksanakan tugasnya untuk membantu DPR memberikan
rekomendasi tentang pembentukan pengadilan HAM ad
23
Putusan MK No 18/PUU-V/2007 tanggal 21/2/2008.
24
Kompas.com, 14 November 2008. ”IKOHI : Pansus Orang Hilang Bermuatan
Politik” http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/14/15233213/ikohi..pansus.
orang.hilang.bermuatan.politik
15
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
hoc namun juga melakukan penyelidikan ulang terkait
kasus ini. Sampai dengan awal tahun 2009 hasil pansus
belum terlihat.25 Akhirnya, pada 28 September 2009, DPR
merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk
Pengadilan HAM ad Hoc untuk kasus Penghilangan Paksa
1997-1998.26 Namun, hasil rekomendasi ini perlu terus
dipantau agar jelas implementasinya.
Mandegnya dua mekanisme tersebut menjadikan
proses akuntabilitas pelanggaran HAM yang berat di
Indonesia kian tidak jelas. Tidak ada perkembangan khusus
terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu dan akuntabilitas
untuk sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi paska
Tahun 2000. Semua proses yang berjalan mandeg ditengah
jalan. Padahal. berdasarkan pada Rencana Aksi Nasional
Hak Asasi Manusia (RANHAM), peningkatan upaya
penyelesaian pelanggaran HAM yang berat adalah salah satu
rencana yang dicanangkan pada periode 2004-2009. Selain
itu adalah peningkatan pengembangan standar operasional
pembuktian (SOP) untuk pelanggaran HAM yang berat dan
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi sebagai
sarana penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.27
Hingga kini, upaya-upaya perbaikan pengadilan
HAM juga belum terlaksana, demikian juga pembentukan
UU KKR baru yang masih jauh dari kenyataan. Sampai titik
ini pula, impunitas masih terus berlangsung, sementara para
korban menunggu keadilan tanpa ada kepastian.
25
Lihat Laporan Hukum dan HAM, “2008 : Perjuangan Melawan Lupa”, Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Januari 2009.
26
Terdapat 4 rekomendasi dari DPR yaitu yaitu pembentukan Pengadilan HAM
ad hoc untuk menangani kasus orang hilang, memberikan kompensasi kepada
keluarga korban, pencarian 13 orang hilang yang belum ditemukan dan ratifikasi
Konvensi HAM PBB tentang penghilangan orang secara paksa.
27
Lihat Lampiran Keppres RI No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional
Hak Asasi Manusia Tahun 2004-2009.
16
Ratifikasi Statuta Roma dan
Upaya Menghentikan Impunitas di Indonesia
Ratifikasi Statuta Roma sebagai Pendorong Penghentian Praktek Impunitas di Indonesia
Kemandekan mekanisme pertanggungjawaban
pelanggaran HAM yang berat di Indonesia saat ini
menunjukkan adanya impunitas terhadap para pelaku
pelanggaran hak asasi manusia. Sampai dengan tahun 2009,
meski terdapat berbagai pengadilan, tidak ada satu pelaku
pelanggaran HAM yang berat dijatuhi pidana dan adanya
pemenuhan hak-hak kepada para korban. Problem impunitas
ini sudah sejak lama diidentifikasi oleh berbagai kalangan.
Pada tahun 2000 persoalan impunitas ini mengemuka karena
berbagai pelanggaran HAM yang tengah terjadi di Aceh dan
Papua, tidak mendapatkan prioritas bahwa cenderung untuk
diabaikan dan negara cenderung melakukan pembiaran
terus menerus.28
Kegagalan pengadilan ini sebetulnya tidak
menurunkan semangat untuk memperbaiki sistem peradilan
dan akuntabilitas terhadap pelanggaran hak asasi manusia
di Indonesia. Pada tahun 2004 Presiden Megawati
Sukarnoputeri mengesahkan Rencana Aksi Nasional
tentang Hak-Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004
-2009. Rancangan tersebut menyatakan bahwa Indonesia
bermaksud meratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008.
Demikian pula dengan Parlemen Indonesia yang pada
Agustus 2006, perwakilan parlemen Indonesia berpartisipasi
dalam konferensi regional dengan seluruh parlemen Asia
tentang Mahkamah Pidana Internasional dan berjanji
akan bekerja untuk mengupayakan ratifikasi/aksesi pada
tahun 2008 atau lebih cepat. Tahun 2007 telah didirikan
28
Lihat Kontras, Siaran Pers No 61/Kontras/SP/XII/2000 Tentang Tahun 2000,
Tahun Impunitas : Catatan Pelanggaran HAM di Indonesia : Menyambut
Peringatan Hari HAM Se-dunia, 10 Desember 2000. http://www.kontras.org/
index.php?hal=siaran_pers&tahun=2002
17
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
pula Parliamentarian for Global Action (PGA) Indonesia
Chapters, dimana sekretariat internasional PGA selama ini
sangat aktif mendukung universalitas Mahkamah Pidana
Internasional.29
Niat baik pemerintah untuk meratifikasi itu ternyata
tidak sejalan dengan kemajuan dan perbaikan penegakan
HAM, termasuk perbaikan akuntabilitas melalui pengadilan
HAM. Selama tahun 2007, berbagai masalah HAM yang
terjadi ternyata tidak diselesaikan oleh aparatus negara. Fakta
ini bertentangan dengan komitmen dan janji Pemerintah
Indonesia terhadap Dewan HAM dan komunitas Internasional.
Kasus-kasus tersebut antara lain, penculikan aktivis 97-98,
Tragedi Mei, Trisakti Semanggi I dan II dan Timor Leste.30
Selain kemandekan berbagai kasus pelanggaran
HAM yang berat, penyelesaian kasus Munir juga
menunjukkan masih kuatnya impunitas di Indonesia.
Bebasnya Muchdi PR dalam dugaan pembunuhan terhadap
pejuang HAM Munir adalah menambah daftar panjang
kasus-kasus impunitas yang selalu dipertanyakan dunia
Internasional kepada Pemerintahan Indonesia. Sampai saat
ini problem impunitas (kekebalan) hukum masih menjadi
penghalang penegakkan HAM di Indonesia.31
Melihat berbagai kegagalan dalam proses pengadilan
dan khususnya pengadilan HAM, maka bisa dikatakan
29
Lihat Kertas Kerja, Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma, Koalisi Masyarakat
Sipil Untuk Mahkamah Pidana Internasional, 2008.
30
Lihat Press Release, Mempertegas Komitmen Internasional Untok kondisi HAM
di Indonesia, Imparsial, 15 Maret 2007. http://www.imparsial.org/pers_release/
index.php?year=2007&month=3&action=READ&lang=id-8859&id=pers_
release45f915a9669ef
31
Detiknews, “Muchdi Pr Bebas, Potret Buruk Penegakan HAM, Catatan Buat
SBY”, 31 Desember 2008. http://www.detiknews.com/read/2008/12/31/154941/
1061539/10/potret-buruk-penegakan-ham-catatan-buat-sby
18
Ratifikasi Statuta Roma dan
Upaya Menghentikan Impunitas di Indonesia
mekanisme yang dibuat justru menjadi tempat berlindungan
yang aman bagi para pelaku. Contoh 3 pengadilan HAM
yang digelar menunjukkan penanganan kasus pelanggaran
HAM yang berat yang terjadi di Indonesia yang berakhir
dengan kegagalan Pengadilan untuk menemukan dan
menghukum para pelakunya. Sementara kemandekan
kasus-kasus lainnya menunjukkan kompleksitas prosedural
yang dihadapi dan kemauan pemerintah secara serius untuk
menyelesaikannya.
Pada sisi lain, pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional bertujuan untuk menghentikan dan mencegah
praktik impunitas terhadap pelaku kejahatan internasional
yang serius yang diatur oleh Statuta Roma serta membuat
perubahan signifikan atas perilaku aktor negara-bangsa.
Terdapat dua faktor penting keberadaan Mahkamah Pidana
Internasional sebagai pencegah terjadinya kejahatan serius
internasional sebagaimana diatur dalam Statuta Roma.
Pertama, para penguasa tidak dapat lagi melakukan praktik
dengan alasan apapun termasuk melakukan impunitas
dengan maksud melindungi menggunakan mekanisme hukum
nasional baik dengan jalan menggelar pengadilan yang
bertujuan melindungi pelaku yang ataupun pengampunan
(amnesty). Kedua, para pelaku selain tidak dapat berlindung
melalui mekanisme perundangan nasional negaranya juga
tidak dapat berlindung pada negara lain sekalipun negara
itu bukan menjadi pihak dari statuta. Dalam praktiknya,
negara-negara yang telah menjadi pihak telah melakukan
transformasi terhadap Statuta Roma tentang Mahkamah
Pidana Internasional sehingga ketentuan-ketentuan statuta
menjadi bagian dari hukum nasional secara penuh.
Berdasarkan kenyataan praktek impunitas dan
kegagalan pengadilan HAM dikaitkan dengan peranan
dan tujuan ICC untuk menghentikan praktek impunitas,
19
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
meratifikasi atau mengaksesi Statuta Roma menjadi
pilihan yang penting. Hal ini mengingat peranan ICC dan
juga kewajiban dan hak negara pihak yang meratifikasi.
Dengan meratifikasi atau aksesi berbagai perubahan positif
diharapkan terjadi misalnya mempercpat proses reformasi
hukum di Indonesia, efektifitas hukum nasional, dan
peningkatan upaya perlindungan HAM.
Dengan meratifikasi Statuta Roma, Indonesia
punya kewajiban untuk memperbaiki mekanisme pengadilan
HAM sesuai dengan standar-standar ICC. Artinya,
berbagai kelemahan pengadilan HAM yang menghambat
penghukuman yang efektif dan hambatan untuk memberikan
keadilan kepada korban harus segera diperbaiki dengan
melakukan langkah-langkah perbaikan baik dari sisi regulasi
maupun berbagai sisi yang lainnya. perbaikan-perbaikan ini
akan menjadikan perbaikan sistem pengadilan HAM untuk
mampu menjerat secara efektif pelaku pelanggaran HAM
yang berat dan memberikan keadilan kepada para korban.
Penutup
ICC merupakan mekanisme akuntabilitas terhadap
kejahatan-kejahatan yang paling serius yang menjadi
concern masyarakat seluruh dunia. Mekanisme ini salah
satu tujuannya adalah menghentikan praktek impunitas dan
pencegah terjadinya kejahatan-kejahatan tersebut terjadi
dan ICC memberikan kesempatan pertama (kepada hukum
nasional suatu negara untuk melakukan proses penuntutan
dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan yang paling
serius tersebut.
Indonesia saat ini bisa dikatakan terus menerus
melanggengkan praktek impunitas dengan serangkaian
20
Ratifikasi Statuta Roma dan
Upaya Menghentikan Impunitas di Indonesia
kegagalan proses akuntabilitas terhadap pelanggaran
HAM yang terjadi. Pengadilan HAM yang diharapkan
menjadi mekanisme yang efektif justru penuh dengan
personalan baik dari sisi regulasi maupun implementasinya.
Dengan meratifikasi Statuta Roma untuk ICC, Indonesia
berkesempatan memperbaiki mekanisme akuntabilitas
terhadap kejahatan-kejahatan yang sanga serius dan
menjadi bagian dari negara-negara yang berjuang untuk
menghentikan impunitas.
21
Kekerasan Seksual sebagai
Kejahatan terhadap
Kemanusiaan: Terobosan
Jurisprudensi Internasional dan
ICC
Galuh Wandita
Selama tanggal 30 s/d 13 September 1999 Ana ditangan
TNI, Polisi, dan milisi Darah Merah dan diperlakukan
sesuai dengan kehendak mereka. Pada tanggal 11
September Ana minta kepada mereka untuk diantar
kerumah untuk menengok kedua anaknya. Setelah sampai
di rumah dan dihadapan saya Ana ditarik dan ditelanjangi
dan diperkosa secara bergiliran di halaman rumah. Yang
lain berjaga-jaga dan saya juga diancam akan dibunuh.
Saya tahu persis ditubuh Ana ada bekas luka bakar mulai
dari kemaluan sampai di payudara, juga bekas siraman air
panas. Dan mereka masih sempat keluarkan uang dari saku
celana Ana sebanyak Rp 200.000. Tanggal 12 September
Ana dibonceng oleh seorang anggota Kodim berkeliling
di pelosok kota Gleno untuk di pamerkan. [Keesokan
23
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
harinya] seorang komandan Darah Merah [memanggil
Ana untuk ikut dalam mobilnya.] … mulai pagi itu saya
menunggu hingga sore tidak ada yang muncul. Tiba-tiba
ada seorang tentara yang memberitahukan, “Mama jangan
menunggu terus karena [Ana] sudah dibunuh.” 1
Kejahatan terhadap kemanusiaan mempunyai
akar dalam sejarah manusia yang cukup jauh kebelakang,
tetapi biasanya dianggap bahwa secara formal ‘kejahatan
terhadap kemanusiaan’ digunakan untuk pertama kalinya
dalam pengadilan militer Nuremberg dan Tokyo sesudah
Perang Dunia Kedua. Pada waktu itu sudah ada beberapa
kesepakatan internasional untuk kejahatan perang, misalnya
Konvensi den Haag (1907), Konvensi Jenewa (1949) yang
mengatur peraturan perang antar negara.2 Tetapi belum ada
kejahatan perang yang dilakukan terhadap warga-negara
sendiri. Dalam konteks rejim Nazi di Jerman pemusnahan
warga-negara Jerman yang beragama Yahudi, musuh-musuh
politik, dan orang-orang pinggiran seperti kaum homoseksual
–ada diluar jurisdiksi kejahatan perang. Sehingga pada saat
itu, perlu ada sebuah konstruksi kejahatan internasional
yang baru yang mencakup kejahatan terhadap warganegaranya sendiri.
Pengadilan militer ini diselenggarakan oleh para
pemenang Perang Dunia Kedua dan sering dikritik sebagai
‘keadilan pemenang’ atau victor’s justice. Tetapi pengamat
dan praktisi pengadilan internasional memandang bahwa
Pengadilan Nuremberg dan Tokyo menaruh fondasi yang
1
Kesaksian Ines Lemos pada Audiensia Publik Perempuan dan Konflik, yang
diadakan CAVR, di Dili, April 2003. Ia menceritakan penculikan, perkosaan dan
pembunuhan anaknya, Ana Lemos, seorang guru dan aktivis prokemerdekaan di
Ermera.
2
Perkosaan disebut dalam kedua konvensi ini walaupun dikategorikan sebagai
pelanggaran martabat keluarga, penyerangan martabat, dan tidak dianggap sebagai
bentuk pelanggaran yang berat.
24
Kekerasan Seksual sebagai Kejahatan terhadap
Kemanusiaan: Terobosan Jurisprudensi Internasional dan ICC
kuat untuk proses peradilan internasional, karena:
• Menjamin hak-hak terdakwa
• Hak untuk mendapat pembelaan hukum
• Hak untuk mendapatkan surat dakwaan dalam
bahasa yang dapat dimengerti oleh terdakwa
• Putusan yang berdasarkan hukum
• Proses peradilan mencegah eksekusi seketika
Dibawah Pasal 6 Piagam Mahkamah Militer
Internasional, kejahatan terhadap kemanusiaan didefinisikan
sebagai “…pembunuhan, pembasmian (extermination),
perbudakan, deportasi dan tindakan tidak manusiawi
yang dilakukan terhadap masyarakat sipil, sebelum atau
sesudah perang; atau persecution berdasarkan politik, ras,
agama yang dilakukan berkaitan dengan kejahatan yang
berada dibawah jurisdiksi mahkamah tidak tergantung
apakah kejahatan tersebut meruppakan pelanggaran dalam
undang-undang domestik dimana kejahatan itu terjadi.”3
Definisi ini berkontribusi pada 2 prinsip modern kejahatan
terhadap kemanusiaan –bahwa kejahatan tersebut dapat
terjadi dalam maupun diluar konteks perang, dan bahwa
kejahatan ini mempunyai jurisdiksi universal –tidak terbatas
pada undang-undang domestik.
Walaupun kekerasan seksual terjadi dalam Perang
Dunia II terjadi secara meluas dan sistematik, kedua
mahkamah militer ini tidak mengadili kekerasan seksual
secara optimal. Perkosaan tidak disebut dalam piagam
yang menjadi landasan hukum kedua pengadilan, walupun
3
Kritz, Neil J., Transitional Justice: How emerging democracies reckon with
former regimes, Vol. III, (Washington, USA: USIP Press, 1995) p. 459-460.
25
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
dalam salah-satu peraturan yang dibuat Sekutu, Allied
Local Council Law no 10, perkosaan disebut dalam daftar
kejahatahan terhadap kemanusiaan. Namun perkosaan
tidak disebutkan baik dalam dakwaan-dakwaan maupun
putusan pengadilan Nuremberg. Dalam pengadilan Tokyo
perkosaan disebutkan dalam bukti-bukti yang dipaparkan
didepan pengadilan dan menjadi bagian dari putusan
pertanggung-jawaban komando terhadap Jendral Toyoda
dan Matsui, serta beberapa orang lainnya.4
Ada dua perangkat hukum lainnya yang muncul
paska-Perang Dunia Kedua, yaitu Konvensi Genosida (1948)
dan Konvensi-konvensi Jenewa (1949).5 Namun walaupun
ada ‘persenjataan hukum’ ini Perang Dingin membuat dunia
internasional tidak berdaya, khususnya mekanisme PBB
lumpuh dihadapan berbagai pelanggaran HAM berat—
pembantaian di Indonesia, Timor-Leste, Kamboja beberapa
contoh dari Asia.
Sebagai respon dari ‘pembantaian etnis’ di
Balkan, Dewan Keamanan PBB yang sudah terbebaskan
dari belenggu Perang Dingin menggunakan kekuasaannya
untuk menentukan sebuah ancaman terhadap perdamaian
internasional dan tindakan untuk memulihkan perdamaian.
Sebuah terobosan radikal dilakukan oleh Dewan Keamanan
yang membuat keputusan untuk mendirikan sebuah
Pengadilan Adhoc untuk Yugolsavia (ICTY) pada tahun
1993. Lebih dari satu tahun kemudian, pengadilan yang
serupa didirikan untuk genosida di Rwanda (ICTR).
4
Asian Legal Resource Center, Specific Context of Sexual Torture. http://www.
alrc.net/mainfile.php/torture/151 (retrieved February 20, 2003.)
5
Perkosaan dan kekerasan seksual tidak disebut secara khusus dalam Konvensi
Genosida, walaupun dapat diinterpretasi sebagai salah satu unsur kejahatan
genosida, yaitu ‘menyebabkan kerusakan fisik dan mental yang serius pada
anggota kelompok.’ Demikian pula Konvnesi Jenewa hanya dianggap pelanggaran
terhadap martabat dan bukan pelanggaran berat (grave breaches).
26
Kekerasan Seksual sebagai Kejahatan terhadap
Kemanusiaan: Terobosan Jurisprudensi Internasional dan ICC
Dalam waktu singkat, dibentuk dua pengadilan
untuk mengadili kejahatan internasional yang maju dengan
pesat, sesudah lebih dari empat dasawarsa adanya impunitas
de-facto bagi pelaku kejahatan internasional. Ada beberapa
pencapaian ICTY dan ICTR, termasuk jurisdiksi universal
untuk perang saudara, penangkapan terdakwa secara lintasnegara, dan penuntutan yang berhasil untuk perkosaan
dan kekerasan seksual sebagai kejahatan internasional.
Kedua pengadilan internasional ini menjadi batu-landasan
untuk dikembangkannya Statuta Roma untuk didirikannya
mahkamah pidana internasional (ICC), dan turut mendesak
pengadilan-pengadilan domestik dibeberapa negara
untuk melaksanakan jurisdiksi universal atas kejahatan
internasional.
Putusan-putusan ICTY dan ICTR tentang kekerasan
seksual sebagai kejahatan internasional:6
Perkosaan
sebagai penyiksaan
6
Dalam kasus Celibici (1998), pengadilan ICTY memutuskan bahwa perkosaan terhadap perempuan dalam kamp
penjara Celebici adalah tindakan penyiksaan. Hazim Delic,
seorang wakil pimpinan camp, bersalah atas pelanggaran
berat Konvensi Jenewa (penyiksaan) dan kejahatan perang
(penyiksaan) karena perkosaan-perkosaan yang dilakukannya. Zdravko Mucic diputuskan mempunyai pertanggungjawaban komando atas kejahatan-kejahatan yang terjadi
dalam kamp tersebut, termasuk penyerangan seksual.
Putusan bersejarah ini menyatakan bahwa perkosaan menyebabkan penderitaan berat secara fisik dan psikologis
yang dapat dikategorikan sebagai penyiksaan. Dalam putusannya, hakim menulis bahwa kekerasan seksual, “menyerang inti dari martabat manusia dan integritas fisik.”
Putusan ini juga menekankan bahwa terjadi dua bentuk
pelanggaran –perempuan diperkosa karena ia perempuan,
dan perempuan diperkosa karena etnisitasnya—sehingga
diskriminasi jender menjadi unsur dari kejahatan penyiksaan.
Tabel ini diterjemahkan dan dikembangkan dari sebuah penelitian Human Rights
Watch, http://www.hrw.org/backgrounder/eca/kos0510.htm
27
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Perkosaan
sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan
Perbudakan
seksual sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan
Perkosaan sebagai genosida
Perkosaan
sebagai pelanggaran hukum kebiasaan
perang
Pertanggungjawaban komando untuk
perkosaan
Dalam putusan Akayesu (1998), ICTR menemukan terdakwa bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan karena ia menyaksikan dan mendorong terjadinya perkosaan
perempuan Tutsi sebagai pimpinan komunitasnya. Pengadilan menyatakan bahwa perkosaan terjadi secara sistematis
dan meluas.
Dalam kasus Tadic, ICTY mendengar kesaksian tentang
perkosaan dan kekerasan seksual yang terjadi di kamp penahanan Omarska dan Trnoploce. Tadic bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan atas pemukulan yang
ia lakukan terhadap perempuan Muslim di kamp tersebut.
Dalam kasus Foca (1996), ICTY membuat keputusan
bersejarah tentang perkosaan dan perbudakan seksual
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam kasus
ini, sembilan orang disekap dalam sebuah apartemen oleh
paramiliter elit Serbia, mengalami perkosaan beruntun, dan
dipaksa bekerja didalam dan diluar rumah. Empat orang
perempuan akhirnya ‘dijual’ pada tentara lain, walaupun
dalam putusan pengadilan ini, penjualan bukan pra-syarat
pembuktian perbudakan seksual.
Dalam kasus Akayesu (1998), terdakwa dinyatakan bersalah atas kejahatan genosida. Bukti-bukti yang didengar
oleh pengadilan ICTR termasuk karena ia menyaksikan
dan mendorong terjadinya perkosaan dan mutilasi seksual
terhadap perempuan Tutsi sebagai bagian dari kampanye
genosida, pada saat ia menjadi pimpinan komunitasnya
Dalam kasus Furundzija (1998), pengadilan ICTY memutuskan bahwa Anto Furundzija, seorang pimpinan militer
Croat Bosnia, bersalah dalam membantu (aiding and abetting) perkosaan seorang perempuan Muslim Bosnia. Ia dinyatakan memberi “dukungan, bantuan, dukungan moral”
dalam perkosaan seorang perempuan oleh bawahannya
yang sedang diinterogasi oleh Furundzija.
Dalam putusan Celebici (1998), ICTY memutuskan bahwa
Zdravko Mucic diputuskan mempunyai pertanggungjawaban komando atas pelanggaran hukum perang yang
dilakukan oleh bawahannya dalam kamp tersebut. Hakim
menyatakan bahwa kejahatan-kejahatan tersebut begitu
sering terjadi dan begitu terkenal sehingga tidak mungkin
ia tidak mengetahui bahwa kejahatan-kejahatan tersebut
terjadi, termasuk perkosaan dan kekerasan seksual yang
dilakukan oleh anak buahnya. Dalam dakwaan terhadap
pimpinan Serbia Bosnia yang bernama Karadzic dan
Mladic termasuk juga pertanggung-jawaban komando atas
perkosaan dan kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
28
Kekerasan Seksual sebagai Kejahatan terhadap
Kemanusiaan: Terobosan Jurisprudensi Internasional dan ICC
Perkosaan
sebagai kejahatan perang
dalam perang
internal
Kehamilan
yang dipaksakan sebagai
genosida
Akayesu juga dituntut melakukan kejahatan perang perkosaan dalam perang saudara ini. Namun tuntutan ini ditarik
kembali karena tidak ditemukan cukup bukti bahwa ia
menjadi anggota militer, atau mempunyai tugas-tugas militer.
Dalam putusan Akayesu, disebut bahwa apabila ada perkosaan yang terjadi dengan maksud ‘mencemarkan’ garis
keturunan etnis ini dapat menjadi unsur dari kejahatan
genosida.
Putusan-putusan pengadilan ICTY dan ICTR
memutuskan mata-rantai impunitas untuk kejahatan
berbasis jender yang sudah sekian lama bertahan. Walaupun
terobosan ini terjadi karena adanya sebuah ruang khusus
ditingkatan internasional tidak menutup kemungkinan
bahwa terobosan-terobosan ini bisa, lambat laun, juga
mempengaruhi bagaimana pengadilan domestik dapat
menghadirkan keadilan untuk korban-korban kejahatan
berbasis jender di tingkat nasional.
Terobosan Statuta Roma untuk Kejahatan berbasis
Jender 7
Berdasarkan jurisprudensi diatas, Statuta Roma
membangun terobosan untuk mengintegrasikan kejahatan
seksual dalam kerja-kerja pokok ICC. Terobossan ini dapat
dilihat dalam 3 ruang: substansi, prosedur, dan struktur.
Substansi Kejahatan Berbasis Jender dalam Statuta Roma
•
7
Statuta Roma secara eksplisit telah menyatakan
Ulasan dibawah ini disadur dari “GENDER IN PRACTICE: Guidelines &
Methods to address Jender Based Crime in Armed Conflict” oleh Women’s
Initiatives for Jender Justice]
29
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
bahwa tindakan-tindakan sbb: pemerkosaan,
perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan
paksa, sterilisasi paksa, dan bentuk-bentuk
kekerasan seksual lainnya sebagai kejahatan perang,
baik di dalam konflik bersenjata internasional
maupun non-internasional dan juga sebagai
kejahatan kemanusiaan. ( Lihat Pasal 8(2)(b)(xxii),
8(2)(e)(vi) dan 7(1)(g).)
•
Statuta Roma mengadopsi definisi genosida melalui
Konvensi Genosida, dimana dinyatakan, antara
lain, bahwa tindakan mencegah kehamilan bisa
menjadi salah-satu tindakan genosida. (Lihat Pasal
6.)
•
Statuta Roma juga menyatakan secara spesifik
bahwa aplikasi dan interpretasi dari hukum harus
dijalankan tanpa perbedaan yang mendiskriminasi,
termasuk dari perspektif jender. (Lihat Pasal
21(3).)
Perlindungan saksi dan partisipasi korban, yang bersahabat dengan perempuan
•
Partisipasi dan Perlindungan Saksi: ICC diberi
tanggung jawab besar untuk melindungi keamanan,
keadaan fisik dan psikologis, martabat dan
privasi dari korban dan saksi, termasuk berkaitan
dengan faktor usia, jender, kesehatan dan bentuk
kejahatan. Mahkamah dapat mengambil tindakan
pencegahan yang diperlukan di dalam persidangan,
termasuk melakukan sidang tertutup (in camera)
dan pengadaan bukti-bukti dengan menggunakan
bantuan elektronik. Bahkan, Penuntut Umum
30
Kekerasan Seksual sebagai Kejahatan terhadap
Kemanusiaan: Terobosan Jurisprudensi Internasional dan ICC
harus mempertimbangkan perlindungan saksi
dan korban ini didalam tahap penyelidikan dan
persidangan. (Lihat Pasal 68.)
•
Unit Saksi Korban: Statuta Roma juga membentuk
sebuah Unit Saksi dan Korban (Victim and Witness
Unit – VWU) di dalam tubuh panitera ICC. VWU
bertugas menyediakan perlindungan, keamanan,
konseling dan bentuk bantuan lainnya bagi korban
dan saksi yang muncul sebelum Persidangan, dan
orang – orang lainnya yang berisiko. (Lihat Pasal
43.)
•
Partisipasi: Statuta Roma mengakui hak korban
secara eksplisit untuk berpartisipasi di dalam proses
peradilan, baik secara langsung maupun melalui
representasi hukum mereka, dengan diberikannya
kesempatan untuk menyampaikan pandangan dan
kekhawatiran mereka dalam proses persidangan.
(Lihat Pasal 68(3).)
•
Reparasi: Statuta Roma memberi kekuatan
kepada Mahkamah untuk membuat prinsipprinsip kerja, dan dalam situasi khusus,
memberikan reparasi kepada korban, termasuk
dengan cara memberikan restitusi, kompensasi
dan rehabilitasi. (Lihat Pasal 75.)
Keterlibatan Perempuan dalam ICC
•
Personil perempuan di dalam tubuh Mahkamah:
Statuta Roma mensyaratkan “representasi yang
adil dari hakim perempuan dan laki-laki” dalam
proses seleksi hakim. Ketentuan yang sama juga
diaplikasikan kepada pemilihan staf Penuntut
31
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Umum dan Panitera. (Lihat Pasal 36 (8)(a)(iii);
Pasal 44(2).)
•
Pakar Trauma: Panitera diwajibkan mempunyai
staf yang memiliki keahlian dalam bidang trauma,
termasuk trauma yang berkaitan dengan kekerasan
seksual. (Pasal 43(6).)
•
Keahlian tentang Kekerasan terhadap Perempuan:
Statuta Roma mensyaratkan adanya keahlian
dalam persoalan kekerasan terhadap perempuan
dan anak-anak dalam memilih hakim, penuntut
dan staf lainnya, untuk memastikan adanya
penyelidikan dan penuntutan kejahatan jender.
(Lihat Pasal 42 (9), 44(2) dan 36(8).)
•
Dana Abadi bagi Korban: Statuta Roma
mensyaratkan didirikannya Penyandang Dana
Abadi untuk kepentingan korban dari kejahatan
yang tersebut di dalam jurisdiksi Mahkamah, dan
untuk keluarga mereka. (Pasal 79)
Sebagai langkah yang lebih konkrit, Statuta Roma
juga menyodorkan sebuah lampiran tentang unsur-unsur
kejahatan yang juga telah disetujui oleh negara-negara
penanda-tangan Statuta Roma. Unsur-unsur kejahatan
ini mencerminkan kesepakatan antara negara-negara
beradab, sehingga mempunyai nilai yang telah mendekati
hukum kebiasaan internasional. Namun, unsur-unsur ini
tidak mengikat secara hukum melainkan menjadi panduan
bagi para hakim ICC nantinya. Apabila nantinya hakimhakim ICC menggunakan unsur-unsur ini, maka unsurunsur ini menjadi bagian dari jurisprudensi hukum pidana
internasional. Contoh dari salah-satu penjabaran unsurunsur kejahatan adalah definisi unsur-unsur “Perkosaan
32
Kekerasan Seksual sebagai Kejahatan terhadap
Kemanusiaan: Terobosan Jurisprudensi Internasional dan ICC
sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan,” sbb:
Pelaku menginvasi tubuh seseorang dengan
tindakan yang mengakibatkan penetrasi, sedikit apapun,
dari bagian manapun dari tubuh korban atau pelaku dengan
organ seksualnya, atau lubang anus atau kelamin korban
dengan benda apapun atau dengan bagian tubuh manapun.
1. Invasi dilakukan dengan paksa, atau dengan
ancaman paksa atau pemaksaan, seperti yang
mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di
bawah paksaan, penahanan, penekanan psikologis
atau penyalah-gunaan kekuasaan, terhadap orang
tersebut atau orang lain, atau dengan mengambil
kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau invasi
dilakukan atas seseorang yang tidak mampu untuk
memberikan persetujuan yang sesungguhnya.
2. Tindakan ini dilakukan sebagai bagian dari
penyerangan sistematik atau luas terhadap
masyarakat sipil.
3. Pelaku mengetahui bahwa tindakannya adalah
bagian dari atau berniat bahwa tindakannya adalah
bagian dari penyerangan luas atau sistematik
terhadap masyarakat sipil.8
Sampai dengan sekarang ICC masih dalam proses
investigasi dan persiapan dakwaan. Penuntut Umum MorenoOcampo telah menyiapkan beberapa dakwaan penting
untuk kasus-kasus di Afrika, namun sangat disayangkan
dengan perangkat hukum yang begini lengkap, masih belum
8
Lampiran ICC ini menguraikan unsur-unsur kejahatan untuk semua kejahatan
yang ada dalam jurisdiksi Statuta Roma. Untuk melihat penjabaran unsurunsur kejahatan berbasis jender bisa dilihat di “Perempuan dan Hukum Pidana
Internasional,” Volume II, Komnas Perempuan, 2007.
33
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
ada dakwaan yang mengikut-sertakan kejahatan kekerasan
seksual.9 Di lain pihak, standar yang telah dikembangkan di
ICC sepatutnya menjadi contoh bagaimana mengupayakan
keadilan jender dalam proses pengadilan di tingkat
nasional.
Penutup
Jurisprudensi kekerasan seksual dalam pengadilan
ICTY dan ICTR, maupun dalam Statuta Roma, tidak
muncul dengan sendirinya. Kekerasan seksual juga terjadi
dalam skala yang luas dan sistematis pada Perang Dunia
Kedua, namun sampai sekarang masih terselubung kabut
impunitas. Dalam pengadilan ICTY, ICTR, ada penekanan
dan dorongan dari kelompok perempuan dan hak asasi
manusia untuk mengangkat kekerasan seksual yang terjadi
ke meja pengadilan. Sebelumnya, kelompok perempuan
telah aktif mengangkat persoalan kekerasan seksual dalam
konflik pada forum internasional seperti Konferensi Dunia
Hak Asasi di Wina (1993) dan Konferensi Perempuan di
Beijing (1995). Menurut Rhonda Capelon, surat dakwaan
untuk kasus Akayesu pada awalnya tidak menyebut
perkosaan. Ada pandangan dari pihak kejaksaan di ICTR
bahwa perkosaan bukan kejahatan yang serius dan para
perempuan yang hanya diperkosa cukup beruntung tidak
dibunuh, walaupun sudah cukup banyak laporan NGO
yang mengungkapkan kejahatan ini dalam konteks genosida
di Rwanda. Satu-satunya hakim perempuan di ICTR,
Hakim Navanethem Pillay, yang malahan mengungkapkan
kekerasan seksual yang terjadi pada saat Hakim tersebut
bertanya kepada saksi yang dihadirkan jaksa untuk memberi
9
Lihat “Outcry Over ICC’s Scrapping of Rape Charges: Victims of sexual violence
in DRC angered by court’s controversial move” di http://www.peacewomen.org/
news/Africa/GreatLakes/June08/DRCChargesDroped.html
34
Kekerasan Seksual sebagai Kejahatan terhadap
Kemanusiaan: Terobosan Jurisprudensi Internasional dan ICC
kesaksian tentang kejahatan yang lain. Saksi J menceritakan
bahwa anaknya yang berumur 6 tahun diperkosa oleh milisi
Interahamwe sebelum membunuh suaminya. Saksi lain
juga menceritakan bahwa ia diperkosa dan ia menyaksikan
perkosaan perempuan-perempuan lainnya pada sat itu.
Menurut Capelon, pihak jaksa tetap enggan memperbaiki
dakwaan tetapi akhirnya, sesudah banyak surat dilayangkan
kepada Chief Prosecutor Louise Arbour (mantan Komisaris
Tinggi HAM PBB) oleh kelompok perempuan dan sebuah
amicus brief dimasukkan ke pengadilan, akhirnyan jaksa
merubah dakwaannya.10
Demikian pula sebuah proses pengadilan untuk
kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
tidak akan muncul dengan sendirinya di Indonesia. Harus ada
upaya yang konsisten dan jangka-panjang untuk menjawab
impunitas untuk kejahatan terhadap kemanusiaan secara
umumnya, dan impunitas untuk kekerasan seksual sebagai
bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan.
Beberapa upaya misalnya:
•
10
Perhatian dan tekanan yang konsisten terhadap
proses pengadilan HAM berat yang telah atau
akan berjalan di Indonesia. Termasuk melakukan
dokumentasi dan advokasi untuk proses
pengadilan pelanggaran HAM berat untuk kasuskasus pelanggaran berbasis jender di Aceh, Papua,
berkaitan dengan peristiwa 1965, dan juga yang
terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999 dan
sebelumnya.
Rhonda Capelon, “Gender Crimes as War Crimes: Integrating Crimes against
Women into International Criminal Law”, (2000) 46 McGill L.J. 217. Dalam
makalah ini ia juga menceritakan peran kelompok perempuan menulis amicus
brief untuk kasus-kasus lain di ICTY/R.
35
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
•
Perhatian dan tekanan terhadap mekanismemekanisme non-judisial yang adalah bagian dari
proses melawan impunitas, seperti memastikan
adanya kepekaan jender dalam draft RUU Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia.
•
Pendekatan hukum tidak cukup, tanpa penguatan
korban dan komunitasnya, perubahan budaya
yang mengorbankan korban, khususnya korban
perempuan. Termasuk disini perhatian pada upaya
treansformasi budaya dalam institusi-institusi
penegak hukum.
•
Proses pembelajaran dalam rangka ratifikasi ICC,
khususnya perubahan apa yang masih harus
diperjuangkan untuk memastikan perangkat hukum
domestik di Indonesia bisa mengadili kejahatan
seksual sebagai pelanggaran HAM berat.
Pada akhirnya, kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah tanggung-jawab kita semua, tanpa batas, sebagai
bagian dari umat manusia. Impunitas yang berkelanjutan
melanggar martabat manusia dan inti dari kemanusiaan.
Perempuan Indonesia dan Timor-Leste korban kekerasan
seksual dan keluarganya, seperti Ines Lemos, masih
menunggu keadilan.
36
Pengesahan Statuta Roma dan
Harmonisasi Hukum Nasional
Reny Rawasita Pasaribu
Pengesahan perjanjian internasional dikenal
melalui beberapa cara. UU No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional dalam Pasal 1 mengatur bahwa
Pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan
dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession),
penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). Meski
demikian yang paling umum digunakan dan juga seringkali
membingungkan diantara keduanya adalah penggunaan
istilah ratifikasi dan aksesi.
Ratifikasi yaitu apabila Negara yang akan
mengesahkan suatu perjanjian internasional turut
menandatangani
naskah
perjanjian
internasional.
Sedangkan aksesi (accession) yaitu apabila Negara yang
akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak
turut menandatangi naskah perjanjian.
Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang
Perjanjian Internasional mendefinisikan “ratifikasi” sebagai
37
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
tindakan internasional dari suatu negara dengan mana
dinyatakan kesepakatan untuk mengikatkan diri pada
perjanjian.1 Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary
ratifikasi adalah:
Confirmation and acceptance of a previous act, thereby
making the act valid from the moment it was done.2
Dalam hukum ketatanegaraan, ratifikasi selalu
diartikan sebagai tindakan persetujuan oleh suatu organ
Negara terhadap perbuatan pemerintah untuk membuat
perjanjian atau konfirmasi organ tersebut terhadap
penandatangan suatu perjanjian oleh pemerintahnya.3
Dari sisi hukum perjanjian maka Ratifikasi pada
esensinya adalah konfirmasi. Konfirmasi ini dibutuhkan
karena pada era permulaan berkembangnya perjanjian
internasional masalah komunikasi serta jarak geografis antar
Negara merupakan faktor yang mengharuskan adanya ruang
bagi setiap Negara untuk mengkonfirmasi setiap perjanjian
yang telah ditandatangani oleh pejabatnya4.
Meski istilah yang tepat adalah aksesi dalam konteks
1
Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional Konvensi
Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Bandung: Binacipta,
1986, hlm.6. Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional:
“ ‘ratification’, ‘acceptance’, ‘approval’ and ‘accession’ mean in each case the
international act so named whereby a state establishes on the international plane
its consent to be bound by a treaty”.
2
Black’s Law Dictionary. 7th Edition (c) 1999.
3
Damos Dumoli Agusman, Apa Arti Pengesahan? Ratifikasi perjanjian Internasional.
http://www.scribd.com/doc/16710619/Apa-Arti-PengesahanRatifikasiPerjanjian-Internasional, diakses tanggal 27 September 2009.
4
Ibid.
38
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
Statuta Roma karena Indonesia tidak ikut menandatangani
Statuta Roma namun karena lebih dikenalnya istilah ratifikasi
di kalangan masyarakat dan juga pengambil kebijakan maka
demi kepentingan advokasi, koalisi menggunakan istilah
ratifikasi ketimbang aksesi.
Karena materi Statuta Roma masuk kedalam
beberapa kategori dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional maka pengesahan Statuta
Roma harus dilakukan dengan bentuk Undang-Undang.5
Undang-Undang sebagai Bentuk Pengesahan
Meski UU Perjanjian Internasional mengatur
bahwa pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan
baik dengan undang-undang atau keputusan presiden (Pasal
9 ayat 2) namun karena materi muatan Statuta Roma
setidaknya berkaitan dengan: i) masalah politik, perdamaian,
pertahanan, dan keamanan negara. ii) kedaulatan atau hak
berdaulat negara; ii) hak asasi manusia serta iv) pembentukan
kaidah hukum baru maka pengesahan Statuta Roma harus
dilakukan dengan undang-undang.
Terkait bentuk pengesahan ini maka setidaknya
ada tiga peraturan yang menjadi dasar hukum pengesahan
Statuta Roma dengan Undang-undang yaitu: UU No. 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang5
Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur bahwa
pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang- undang apabila
berkenaan dengan : i) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan
negara; ii)perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia; iii) kedaulatan atau hak berdaulat negara; iv) hak asasi manusia dan
lingkungan hidup; v) pembentukan kaidah hukum baru; vi) pinjaman dan/atau
hibah luar negeri.
39
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
undangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2005
tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang_
Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan
Rancangan Peraturan Presiden.
Meski sudah ada ketiga peraturan tersebut namun
masih ada banyak ketidakjelasan dalam proses ratifikasi di
Indonesia. UU 10 tahun 2004 hanya mengatur soal teknis
pembuatan UU saja, misal bentuk baku UU pengesahan dan
cara penulisannya. Perpres 68 tahun 2005 hanya sebatas
mengatur pelaksanaan persiapan RUU di tingkat pemerintah
sedangkan UU Perjanjian Internasional masih sangat umum
mengatur prinsip-prinsip dasar perjanjian internasional.
Beberapa pertanyaan mendasar yang sama sekali tidak
ditemukan dalam peraturan tersebut yang sampai saat ini
masih menjadi perdebatan dikalangan akademisi adalah:
a. Sejauh apa kewenangan inisiatif DPR sebagai
pemegang kewenangan pembentukan undangundang dalam proses ratifikasi?
b. Bagaimana harmonisasi hukum seharusnya
dilakukan sebagai tindak lanjut dari ratifikasi?
DPR sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan
utama dalam pembentuk peraturan perundang-undangan
berdasarkan Pasal 20 UUD 1945 memegang peran dominan
dalam proses pembuatan undang-undang pada umumnya
hanya saja dalam proses ratifikasi kewenangan tersebut
tidak seluas sebiasanya karenanya proses ratifikasi perjanjian
internasional merupakan proses pembentukan peraturan
perundang-undangan yang unik karena ada peralihan titik
berat kewenangan legislasi dari legislatif ke eksekutif.
40
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
Terkait kewenangan inisiatif DPR, dalam prakteknya
ketidakjelasan kewenangan ini menimbulkan ketidakpastian
dalam proses legislasi. Masyarakat yang ingin mendorong
ratifikasi sebuah perjanjian internasional pasti akan kesulitan
dalam melakukan advokasi karena tidak jelasnya pihakpihak yang harus didekati karena ketidakjelasan pemegang
kewenangan sebagaimana yang sempat dialami oleh Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Ratifikasi Statuta Roma. Disisi lain,
ketidakjelasan ini memberikan peluang bagi pemerintah
untuk berkelit dan menyalahkan DPR yang lambat bekerja
ketika proses ratifikasi tidak juga dilakukan. Padahal, dalam
banyak kasus ratifikasi keterlambatan proses berada pada
pihak pemerintah yang lambat menyerahkan RUU ratifikasi
kepada DPR.
Lambatnya pemerintah bekerja dalam proses
ratifikasi dapat terlihat dari daftar UU ratifikasi yang
dihasilkan DPR dimana sebagian besar UU ratifikasi tersebut
adalah untuk perjanjian yang sudah jauh hari ditandatangani
oleh pemerintah. Misalnya saja UU Pengesahan Perjanjian
Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Korea
(Treaty on Extradition Between the Republic of Indonesia
and The Republic of Korea) yang sudah ditandatangani
sejak tahun 2000 oleh pemerintah namun baru diserahkan
kepada Pimpinan DPR untuk diratifikasi pada 2005.
Proses ratifikasi suatu perjanjian internasional
sesungguhnya sangat ringkas jika dibandingkan dengan
proses pembuatan peraturan perundang-undangan pada
umumnya. Pembahasan antara DPR dan Pemerintah biasanya
berlangsung lebih kurang satu sampai tiga minggu saja.
Bandingkan dengan pembahasan RUU pada umumnya yang
bahkan bisa sampai satu tahun atau bahkan lebih. Kesulitan
terbesar dalam proses pengikatan diri pada suatu perjanjian
internasional sesungguhnya adalah pada kajian implikasi
41
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
perjanjian tersebut terhadap hukum nasional. Idealnya
ketika pemerintah sudah memutuskan menandatangani
suatu perjanjian internasional maka sebelumnya sudah
dilakukan kajian implikasi tersebut sehingga proses ketika
ratifikasi diajukan kepada DPR, perdebatan soal implikasi
sudah selesai atau sangat minim. Dengan demikian tidak
ada alasan bagi pemerintah baru mengusulkan ratifikasi
perjanjian yang sudah ditandatangani tersebut empat atau
delapan tahun kemudian6.
Lambatnya kerja ratifikasi ini dapat dilihat pada
jumlah undang-undang ratifikasi yang dihasilkan oleh
pemerintah dan DPR setiap tahunnya yang paling banyak
hanya mencapai tujuh ratifikasi saja. Tahun 2008 jumlah
RUU ratifikasi sebanyak tiga RUU, jumlah ini terbilang
sedikit jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada
2007 DPR melakukan ratifikasi lima perjanjian internasional
sedangkan pada 2006 dan 2005 masing-masing ada tujuh
ratifikasi perjanjian internasional7.
Sebagai konsekuensi diberi bentuk undang-undang,
maka seharusnya segala tata cara membentuk undang-undang
berlaku pada peraturan perundang-undangan pengesahan
perjanjian internasional. Keenam tahapan pembentukan
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU 10
tahun 2004 juga berlaku untuk undang-undang pengesahan
perjanjian internasional yang terdiri dari:
6
Aria Suyudi et.al., Catatan Awal TahunKinerja Legislasi DPR Tahun 2008;
Mengais Harapan Diujung Pengabdian, Pusat Studi Hukum & Kebijakan
Indonesia. 2008.
7
Ibid.
42
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
a. Perencanaan;
Seharusnya semua undang-undang yang akan
dihasilkan oleh pemerintah dan DPR masuk dalam daftar
program legislasi nasional (Prolegnas) yang dihasilkan untuk
lima tahun dan daftar prioritas tahunan yang dihasilkan
setiap tahunnya, termasuk pula RUU ratifikasi8. Daftar ini
dimaksudkan agar arah kebijakan legislasi nasional dapat
dengan maksimal mendukung arah kebijakan pembagunan
nasional. Perencanaan ini juga diperlukan untuk kepentingan
penghitungan sumberdaya manusia dan rencana anggaran
berjalan. Namun dalam prakteknya, utamanya untuk
daftar prioritas legislasi tahunan, terkait RUU pengesahan
perjanjian internasional, daftar perencanaan tersebut tidak
menyebutkan secara rinci jumlah dan judul perjanjian
internasional yang akan disahkan. Daftar tahunan tersebut
hanya mencantumkan kalimat “Daftar Rancangan UndangUndang Kumulatif terbuka tentang Ratifikasi Perjanjian
Internasional”. Ketidakjelasan jumlah dan judul RUU yang
menjadi prioritas ini menyulitkan pihak yang ingin terlibat
dalam proses.
Perpres 68 Tahun 2005 mengatur bahwa RUU
tentang pengesahan perjanjian internasional sebagai salah
satu RUU yang dapat dipersiapkan diluar Prolegnas.
Pengaturan ini membuat daftar prioritas RUU pengesahan
perjanjian internasional semakin tidak transparan dan sulit
diakses publik.
8
Prolegnas adalah program pembuatan undang-undang yang berbentuk daftar judul
RUU yang disusun dan disepakati bersama antara pemerintah dan DPR untuk
masa kerja lima tahun. Prolegnas 2004-2009 mencantumkan 284 judul RUU yang
menjadi prioritas. Sedangkan daftar prioritas tahunan adalah daftar judul undangundang yang disepakati bersama oleh presiden dan pemerintah untuk diselesaikan
dalam periode satu tahun. Daftar prioritas tahunan ini diambil dari RUU yang
dicantumkan dalam Prolegnas dan beberapa RUU lainnya yang masuk dalam
kategori keadaan tertentu yang diatur dalam Pasal 3 Perpres 68 Tahun 2005.
43
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
b. Persiapan;
Tahap persiapan ini pada prinsipnya adalah tahap
pembuatan naskah akademis dan draf RUU oleh pemerintah
untuk kemudian diserahkan kepada pimpinan DPR untuk
dibahas. Berdasarkan kesepakatan bersama antara DPR dan
pemerintah pada saat penyusunan Prolegnas 2004-2009
maka setiap RUU harus disertai dengan naskah akademis
yang menjelaskan urgensi dari pembuatan undang-undang
tersebut. Setelah naskah akademis selesai maka draf RUU
dapat segera dibuat.
BPHN
adalah
pihak
yang
biasanya
bertanggungjawab dalam pembuatan naskah akademis
sedangkan
dephukham
bertanggungjawab
dalam
merumuskan draf RUU. Meski demikian ada banyak kasus
dimana naskah akademis digarap langsung oleh departemen
pemrakarsa. Dalam menyusun draf RUU, departemen
pemrakarsa harus ikut menyertakan dephukham sebagai
lembaga yang mengkoordinir segala proses terkait
pembuatan peraturan perundang-undangan.
RUU pengesahan perjanjian internasional Batang
tubuhnya pada dasarnya hanya terdiri atas 2 (dua) pasal
yaitu:
i. Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional
dengan memuat pernyataan melampirkan salinan
naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
ii. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai
berlaku.
Sederhananya format RUU pengesahan perjanjian
internasional ini seharusnya mendorong segeranya proses
44
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
ratifikasi dilakukan apabila pemerintah sudah mengikatkan
diri pada suatu perjanjian internasional.
UU 10 Tahun 2004 mengatur bahwa RUU yang
diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan
lembaga pemerintah nondepartemen, sesuai dengan lingkup
tugas dan tanggung jawabnya (Pasal 18). Karena RUU
pengesahan perjanjian internasional merupakan RUU
dari Presiden maka proses penyiapannya berada dibawah
kewenangan pemerintah. Masalah dalam prakteknya adalah
seringkali terjadi lempar tanggungjawab atau malah tarik
menarik antar lembaga pemerintah untuk memprakarsai
sebuah RUU yang pada akhirnya membuat proses persiapan
menjadi kontraproduktif.
Perjanjian internasional sangat varian isinya, mulai
dari isu sosial budaya, hak asasi manusia sampai soal tapal
batas negara. Karena isunya yang menyentuh banyak lini
inilah sering terjadi irisan antar departemen terkait soal
siapa yang seharusnya memprakarsai RUU pengesahan
tersebut. Konflik kewenangan terbesar adalah antara
kewenangan Departemen Luar Negeri yang mengurusi segala
bentuk pengikatan perjanjian dengan negara lain dengan
kewenangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Dephukham) yang bertanggungjawab dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan di pemerintah.
Selama koalisi melakukan advokasi mendorong
pengesahan Statuta Roma, konflik serupa muncul dimana
baik Deplu dan Dephukham mengulur-ulur waktu dalam
memutuskan siapa yang akan menjadi Departemen
Pemrakarsa yang berakibat semakin tertundanya proses
persiapan RUU pengesahan Statuta Roma.
45
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Dalam tahapan ini pula departemen Pemrakarsa
membentuk Panitia Antardepartemen sebagai forum
komunikasi antardepartemen terkait RUU yang dibuat.
Forum ini dimaksudkan pula sebagai forum dalam rangka
harmonisasi dan sinkronisasi RUU yang sedang dibahas
tersebut.
Jika RUU pengesahan perjanjian internasional
sudah disepakati di pemerintah maka Presiden akan
mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) yang pada intinya
menyerahkan RUU tersebut kepada Pimpinan DPR untuk
segera melakukan pembahasan antar kedua belah pihak.
Dalam surat tersebut Presiden menunjuk menteri/pejabat
yang akan melakukan pembahasan dengan DPR terkait
RUU yang dimaksud. Dengan diserahkannya RUU tersebut
oleh Presiden kepada DPR maka RUU pengesahan perjanjian
internasional tersebut resmi menjadi RUU usul pemerintah.
c. Pembahasan;
Dalam tahapan ini pemerintah dan DPR melakukan
pembahasan terhadap RUU pengesahan perjanjian
internasional yang diajukan oleh pemerintah. Biasanya
pembahasannya cukup singkat hanya dalam beberapa
minggu saja.
Sebagaimana dengan UU pada umumnya, tahapan
pembahasan ini ada dua yaitu:
i. Tahap I: pembahasan antara Pansus/Komisi dengan
pemerintah dalam forum Rapat Pansus/Komisi
atau turunannya (Panitia Kerja,Tim Sinkronisasi,
Tim Perumus)
ii. Tahap II: Pengambilan keputusan dalam Rapat
Paripurna dimana baik DPR dan pemerintah
46
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
menyatakan persetujuan bersama atas RUU yang
sedang dibahas
d. Pengesahan;
Jika RUU sudah disetujui bersama anatara
pemerintah dan DPR dalam forum Rapat Paripurna maka
pimpinan DPR akan mengirimkan RUU tersebut kepada
Presiden untuk dimintakan pengesahannya. Pengesahan
dilakukan dengan Presiden membubuhkan tanda tangannya
pada RUU yang disetujui bersama tersebut dalam jangka
waktu paling lambat 30 hari sejak rancangan undangundang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden
(Pasal 38 UU 10 Tahun 2004)
e. Pengundangan;
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan
Perundang-undangan pengesahan perjanjian internasional
baik dalam bentuk UU maupun Perpres harus diundangkan
dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia. Sedangkan penjelasan UU ditempatkan dalam
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. (Pasal 45
dan Pasal 46 UU 10 Tahun 2004)
f. Penyebarluasan.
Pemerintah merupakan pihak yang wajib
menyebarluaskan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 51 UU 10 tahun 2004) termasuk pula UU
pengesahan perjanjian internasional.
Keenam tahapan proses legislasi tersebut
merupakan tahapan yang harus dilalui untuk melakukan
47
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
pengesahan perjanjian internasional. Meski segala tata cara
membentuk undang-undang berlaku pula pada peraturan
perundang-undangan pengesahan perjanjian internasional
menurut Bagir Manan untuk Perjanjian internasional
terdapat dua pengecualian. Pertama, hak inisiatif membuat
atau memasuki suatu perjanjian internasional semata-mata
ada pada Presiden. DPR tidak mempunyai hak inisiatif
membuat atau memasuki suatu Perjanjian Internasional
karena berdasarkan sistem pembagian kekuasaan dan
pemisahan kekuasaan, hubungan luar negeri masuk ke dalam
lingkungan kekuasaan eksekutif bahkan sebagai kekuasaan
eksklusif (exclusive power) esksekutif9.
Jadi, kalau pernah ada pengesahan suatu Perjanjian
Internasional atas inisiatif DPR merupakan suatu
penyimpangan atas Asas Pembagian Kekuasaan
sebagai kekuasaan eksklusif Presiden (Pemerintah)
-Prof. DR. Bagir MananKedua, DPR tidak mempunyai hak amandemen
dalam pengesahan Perjanjian internasional. DPR hanya
berwenang menyetujui atau tidak menyetujui, menerima
atau menolak mengesahkan suatu perjanjian internasional.
RUU suatu Perjanjian Internasional adalah hasil kesepakatan
yang sudah diparaf oleh masing-masing pemerintah.
Dalam hal memasuki perjanjian internasional, DPR hanya
setuju atau tidak setuju mengikatkan diri pada perjanjian
internasional yang sudah ada.10 DPR tentu saja dapat
9
Bagir Manan, Akibat Hukum di dalam Negeri Pengesahan Perjanjian
Internasional (Tinjauan Hukum Tata Negara). Focus Group Discussion tentang
Status Perjanjian INternasional dalam Sistem Hukum Nasional . Departemen
Luar Negeri-Universitas Padjajaran, 29 November 2008. http://www.scribd.com/
doc/17599259/Status-Perjanjian-Internasional-Dalam-Tata-PerundangUndanganNasional, diakses tanggal 28 September 2009.
10
Ibid.
48
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
mendorong proses ratifikasi. Idealnya keterlibatan DPR
hanya sebatas mendorong dan menekan pemerintah untuk
segera mengajukan usul inisitif RUU ratifikasi dalam koridor
pengawasan yang dimilikinya. Sebagai representasi dari
masyarakat yang diwakilinya, jika memang DPR merasa ada
perjanjian internasional yang perlu segera diratifikasi karena
alasan tertentu, DPR dalam koridor fungsi pengawasannya
dapat mendorong pemerintah untuk meratifikasi perjanjian
internasional tersebut apalagi jika misalnya perjanjian
tersebut sudah disebut sebagai bagian dari rencana kerja
pemerintah yang dijanjikan ke publik. Misalnya saja
ratifikasi terhadap Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court) yang masuk
Rencana Aksi nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM)
dimana disebutkan bahwa Pemerintah akan meratifikasi
statuta tersebut pada tahun 2008, namun nyatanya sampai
akhir 2008, pemerintah bahkan belum menyerahkan RUU
ratifikasi statuta tersebut ke DPR11.
Berdasarkan alasan inilah koalisi masyarakat
sipil untuk ratifikasi Statuta Roma melakukan advokasi.
Pemerintah merupakan pihak sentral dalam ratifikasi
karenanya menjadi sasaran utama dalam proses advokasi.
Meski demikian pendekatan kepada DPR tetap dilakukan
agar DPR dapat ikut mendorong pemerintah untuk segera
menghasilkan RUU ratifikasi.
Harmonisasi: Pilihan antara Monisme atau Dualisme
Setelah sebuah RUU pengesahan perjanjian
internasional sudah disahkan menjadi UU maka pertanyaan
berikutnya adalah bagaimana relasi antara hukum
internasional yang sudah disahkan tersebut dengan hukum
11
Aria Suyudi, op.cit.
49
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
nasional? apakah perjanjian internasional tersebut dapat
langsung diimplementasikan? Pertanyaan ini yang sampai
sekarang masih belum diselesaikan dalam peraturan
Indonesia yang saat ini berlaku yang mengatur soal
pembentukan peraturan perundang-undangan. Padahal
implikasi dari ketidakjelasan inilah yang menjadi sumber
mandulnya perjanjian internasional yang sudah diratifikasi
di Indonesia.
Sumber perdebatan soal ini berputar pada apakah
Indonesia menganut monisme atau dualisme.. Monisme
menempatkan hukum nasional dan hukum internasional
sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum pada
umumnya, keduanya saling berhubungan. Monisme dibagi
lagi menjadi dua yaitu monism primat hukum nasional dan
monism primat hukum internasional. Yang dimaksud primat
hukum nasional adalah ketika Hukum nasional dianggap
lebih tinggi dari hukum internasional sedangkan primat
hukum internasional adalah ketika hukum internasional
dianggap lebih tinggi dari hukum nasional.
Dualisme menempatkan hukum nasional dan hukum
internasional sebagai sistem hukum yang terpisah, masingmasing berdiri sendiri dan tidak ada hubungan satu dengan
yang lainnya. Meski menurut Mochtar Kusumaatmadja
Indonesia menganut aliran monisme dengan primat Hukum
Internasional12 namun dalam prakteknya masih terjadi
ketidakkonsistenan soal ini.
12
Praktek Indonesia dalam masalah implementasi
perjanjian internasional dalam hukum nasional RI
tidak terlalu jelas mencerminkan apakah Indonesia
menganut monisme, dualisme atau kombinasi
Prof. Dr. Ibrahim R. Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional di
dalam Hukum Nasional (permasalahan teoritik dan praktek).
50
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
keduanya. Dalam prakteknya, sekalipun suatu
perjanjian internasional telah diratifikasi dengan
UU, masih dibutuhkan adanya UU lain untuk
mengimplementasikannya ada domain hukum
nasional,. Di lain pihak, terdapat pula perjanjian
internasional yang diratifikasi namun dijadikan
dasar hukum untuk implementasi seperti konvensi
wina 1961/1963 tentang hubungan diplomatik/
konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1 Tahun
1982 13
Pilihan terhadap konsep dasar ini menentukan
sejauh apa harmonisasi dan sinkronisasi peraturan
perundang-undangan harus dilakukan terhadap suatu
perjanjian internasional yang sudah diratifikasi. Apakah
perlu dibuat undang-undang khusus yang mengadopsi ulang
perjanjian tersebut seperti UNCLOS 1982 yang diratifikasi
oleh UU No. 17 Tahun 1985 tetap membutuhkan UU No. 6
Tahun 1996 tentang Perairan atau cukup membuat aturan
pelaksana saja (jika dirasa perlu) yang merupakan turunan
langsung dari perjanjian internasional tersebut?
Apapun
pilihannya
harmonisasi
menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari ratifikasi perjanjian
internasional. Kesesuaian materi perjanjian internasional
yang ditandatangani pemerintah dengan hukum positif
Indonesia menjadi kendala utama dalam penerapan
perjanjian internasional tersebut dengan kata lain perlu
dilakukan proses harmonisasi dan sinkronisasi. Jika belum
sesuai dengan hukum positif berarti perlu dilakukan
13
Damos Dumoli Agusman, Perjanjian internasional dalam teori dan praktek di
indonesia: kompilasi permasalahan/. Direktorat Perjanjian Ekonomi sosial dan
Budaya, Direktorat jenderal hukum dan Perjanjian Internasional, Departemen Luar
Negeri, 2008, http://www.scribd.com/doc/18623572/Perjanjian-InternasionalDalam-Teori-Dan-Praktek-Di-Indonesia-Kompilasi-Permasalahan?from_
email_04_friend_send=1, diakses tanggal 27 September 2009.
51
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
penyesuaian dengan hukum Indonesia lewat ketentuan
pelaksananya. Penyesuaian tersebut dapat dilakukan dengan
cara membuat atau mengubah hukum positif yang berlaku.
Pekerjaan harmonisasi dan sinkronisasi bukan
pekerjaan gampang. Butuh kajian mendalam dan
komprehensif karena memiliki akibat hukum yang luar
biasa jika harmonisasi dan sinkronisasi tidak maksimal.
Kekosongan hukum, tabrakan nilai dan silang kewenangan
akan menimbulkan chaos di masyarakat. Mirisnya,
harmonisasi dan sinkronisasi terkait ratifikasi perjanjian
internasional sangat lambat akibatnya ratifikasi hanya
sebatas formalitas saja tanpa makna dan dampak langsung
ke masyarakat. Jika harmonisasi dan sinkronisasi sudah
dilakukan maka dapat terlihat apakah perlu dibuat aturan
pelaksana baru atau perubahan terhadap peraturan yang
sudah ada.
Badan Pembinaan Hukum Nasional pernah
mengeluarkan sebuah buku mengenai metode harmonisasi
dan sinkronisasi yang menjadi panduan bagi BPHN dalam
melakukan setiap kajian harmonisasi dan sinkronisasi.
Menurut panduan tersebut harmonisasi dalam hukum adalah
mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan,
keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum
dan asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan
hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan,
kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan
mengorbankan pluralism hukum kalau memang dibutuhkan.
Panduan ini sudah memasukan ratifikasi perjanjian
internasional sebagai salah satu kemungkinan terjadinya
disharmoni peraturan perundang-undangan karenanya
perlu dilakukan harmonisasi.
52
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
Harmonisasi adalah suatu proses upaya menuju
harmoni. Tujuan yang disebut harmoni ini merupakan
pengertian abstrak yang sulit untuk dirumuskan. Akan
tetapi mudah jika kita berpangkal tolak dari pengertian
disharmoni, yaitu alasan mengapa diperlukan dan
diupayakan harmonisasi.
Disharmonisasi dibidang hukum dapat terjadi
karena:
a. Adanya perbedaan antara rumusan peraturan
dalam berbagai undang-undang atau perundangundangan. Selain itu jumlah peraturan yang makin
besar menyebabkan kesulitan untuk mengetahui
atau mengenal peraturan tersebut secara
keseluruhan. Ketentuan yang mengatakan bahwa
semua orang dianggap mengetahui semua hukum
yang berlaku menjadi tidak efektif.
b. Adanya perbedaan pengaturan antara peraturan
perundang-undangan nasional dan perjanjianperjanjian atau konvensi internasional
c. Adanya perbedaan pengaturan antara peraturan
perundang-undangan dengan hukum kebiasaan,
hukum adat dan atau hukum agama
d. Adanya perbedaan pengaturan antara undangundnag dengan peraturan pelaksanaannya, dan
antara peraturan perundang-undnagan dengan
kebijakan pemerintah lainnya. Deasa ini dikenal
berbagai juklak (petunjuk pelaksanaan) atau juknis
(petunjuk teknis) yang sifatnya kebijaksanaan,
yang dalam prakteknya mungkin saja bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang akan
53
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
dilaksanakan
e. Adanya perbedaan pengaturan antara peraturan
perundang-undangan dengan yurisprudensi dan
surat edaran mahkamah agung
f. Kebijaksanaan-kebijaksanaan
antar
instansi
pemerintah pusat yang saling bertentangan, serta
adanya perbedaan antara kebijaksanaan Pemerintah
Pusat dan Daerah
g. Adanya rumusan ketentuan yang kurang tegas dan
mengundang perbedaan tafsiran
h. Adanya benturan antara wewenang instansiinstansi pemerintah karena pembagian wewenang
yang tidak sistematis dan jelas.
Pertama yang harus dikerjakan adalah identifikasi
masalah dengan melihat bagian yang berbenturan atau
berhimpitan yang memerlukan harmonisasi, sebab dan
akibat benturan tersebut, siapa atau instansi mana yang
terlibat serta apa maksud dan tujuan, demikian pula pangkal
tolak serta dasar hukum masing-masing. Jika hal-hal ini
sudah jelas baru diambil langkah-langkah harmonisasi.
Dasar dan orientasi setiap langkah harmonisasi adalah
tujuan harmonisasi, nilai-niai, dan asas hukum serta tujuan
hukum itu sendiri yaitu harmoni antara keadilan, kepastian
hukum dan atau sesuai tujuan.
Secara umum, langkah-langkah untuk melaksanakan
kegiatan harmonisasi hukum adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji secara mendalam rancangan peraturan
perundang-undangan (baik RUU maupun RPP)
yang telah disusun oleh departemen/LPND teknis,
54
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
baik dari segi materi muatan maupun dari aspek
teknis perundang-undangan
2. Inventarisasi permasalahan-permasalahan pokok
yang tertuang dalam rancangan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan
3. Pembahasan terhadap materi-materi tidak sematamata dilandasi oleh analisis hukum, tetapi harus
dilakukan analisis interdisipliner termasuk analisis
ekonomi
4. Inventarisasi
keterkaitan
materi
muatan
yang dituangkan dalam rancangan peraturan
perundang-undangan nasional yang berlaku dan
atau konvensi-konvensi/perjanjian internasional
yang telah diratifikasi Indonesia dan yang telah
berlaku efektif atau telah diimplementasikan dalam
perundang-undangan nasional
5. Memberikan
pandangan-pandangan
umum
menyangkut materi muatan yang tertuang dalam
rancangan suatu peraturan perundang-undangan
yang dikaji
6. Mengambil kesimpulan dan/atau rekomendasi guna
penyempurnaan rancangan peraturan perundangundangan yang diharmonis14.
Di tingkat nasional Departemen Hukum dan HAM
adalah pihak yang memiliki peran paling signifikan dalam
menjalankan fungsi harmonisasi dan sinkronisasi peraturan
14
Moh. Hasan Wargakusumah, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodologi
Harmonisasi hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta 1996/1997.
55
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
perundang-undangan. Kesimpulan ini diambil berdasarkan
berbagai ketentuan dalam UU 10 Tahun 2004 dan Perpres
61 Tahun 2005.
Belum ada kejelasan soal harmonisasi yang
dilakukan ketika suatu peraturan sudah berjalan (sudah
diimplementasikan). Selama ini kegiatan harmonisasi baru
dilakukan ketika ada pembuatan peraturan baru. Padahal
untuk mendapatkan pengaturan yang komprehensif perlu
dilakukan monitoring yang berkelanjutan atas implementasi
peraturan-peraturan terkait sektor tertentu secara spesifik.
Secara spesifik memang target kegiatan harmonisasi
hukum dilaksanakan dalam rangka penyempurnaan
rancangan peraturan perundang-undangan khususnya yang
berbentuk Naskah Akademis RUU/RPP dan Rancangan
Undang-Undang/Rancangan Peraturan Pemerintah. Dari
pengaturan ini ada pembagian peran antara BPHN dan
Dirjen PP dephukham, sebagai pihak yang bertanggungjawab
terhadap produk legislasi pemerintah.
BPHN di desain untuk melakukan kajian
harmonisasi di tingkat penyusunan RUU/RPP/RPerpres.
Sedangkan Dirjen PP Dephukham memiliki lebih banyak
peran untuk melakukan harmonisasi selama pembahasan
RUU/RPP/RPerpres sedang dilakukan dan ketika sudah
diimplementasikan.
Pentingnya harmonisasi peraturan perundangundangan paska pengesahan perjanjian internasional untuk
dapat bekerja secara maksimal maka seharusnya perlu dibuat
mekanisme dimana menjamin segera dibuatnya ketentuan
pelaksana sebagai turunan dari undang-undang pengesahan
perjanjian internasional tersebut. Sebagaimana yang saat
ini sudah diatur dalam UU 10 Tahun 2004 soal harus
56
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
diaturnya secara jelas batas waktu pembentukan PP, Perpres
atau Perda sebagai turunan dari UU, maka dikemudian hari
seharusnya UU pengesahan perjanjian internasional dapat
mengakomodir hal yang sama dengan mencantumkan pasal
yang mengatur mengenai aturan pelaksana apa saja yang
perlu dibuat atau diubah agar selaras dan memenuhi standar
perjanjian yang diratifikasi tersebut beserta batas waktu
pembuatannya. Batas waktu ini penting untuk memastikan
bahwa ketentuan pelaksana tersebut sungguh dibuat dan
tidak ditunda-tunda sehingga UU pengesahan perjanjian
internasional tersebut segera efektif berlaku.
Pencantuman pasal soal ketentuan pelaksana
ini bukan hal yang mustahil dilakukan saat ini. Meski
belum pernah dilakukan dalam UU pengesahan perjanjian
internasional namun jika merujuk pada UU 10 Tahun 2004
yang menggunakan kata pada dasarnya dalam pasal yang
mengatur soal jumlah pasal dalam UU pengesahan perjanjian
internasional maka jika memang perlu penambahan pasal
selain dua pasal yang secara tegas disebutkan dalam UU 10
tahun 2004 tersebut maka sangat mungkin dilakukan. 15
Pentingnya harmonisasi hukum untuk memastikan
bekerjanya UU pengesahan perjanjian internasional
dipahami betul oleh koalisi masyarakat sipil sehingga dalam
naskah akademis, RUU dan berbagai kertas kerja dan materi
advokasi koalisi daftar harmonisasi peraturan perundangundangan yang diperlukan terkait rencana ratifikasi Statuta
Roma juga disertakan. Sinkronisasi dilakukan secara
15
Lampiran UU 10 Tahun 2004 (huruf F) menyebutkan bahwa:
Batang tubuh Undang-Undang tentang pengesahan perjanjian internasional pada
dasarnya terdiri atas dua pasal yaitu:
Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat pernyataan
melampirkan salinan naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan
terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
ii) Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
57
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
vertikal dan horisontal. Secara vertikal dilakukan terhadap
nilai-nilai hak asasi manusia universal dengan nilai-nilai hak
asasi manusia lokal (nasional). Sedangkan secara horisontal
dilakukan terhadap perundang-undangan yang mempunyai
derajat yang sama.16
Pembandingan ini dilakukan melalui interpretasi
hukum (penafsiran hukum). Interpretasi bertujuan untuk
mempelajari arti yang sebenarnya dan isi dari peraturanperaturan hukum yang berlaku. Dalam hukum Indonesia,
dikenal beberapa bentuk interpretasi, diantaranya:17
1. Interpretasi tata bahasa (taalkundige atau
gramatikale interpretetie) yaitu cara penafsiran
berdasarkan bunyi ketentuan undang – undang,
dengan berpedoman pada arti perkataan dalam
hubungannya satu sama lain dalam kalimat yang
dipakai dalam undang – undang; yang dianit adalah
arti perkataan menurut tatabahasa sehari-hari.
2. Interpretasi sahih atau autentik atau resmi, yaitu
penafsiran sebagaimana maksud pembuat undang
– undang itu sendiri dengan maksud agar mengikat
seperti ketentuan atau pasal lainnya.
3. Interpretasi historis atau sejarah (rechthistorische –
interpretatie), yaitu sejarah terjadinya hukum dan
undang – undang atau ketentuan hukum tertulis.
16
Hassan Suryono, Implementasi dan Sinkronisasi Hak Asaasi Manusia
Internasional dan Nasional, dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia: Hakekat
Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung:
Reflika Aditama, 2005, hlm.88.
17
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama
Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Bandung: Alumni, 2000, hlm.
99-111, CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1989, hlm.66- 69.
58
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
4. Interpretasi sistematis atau dogmatis, yaitu
penafsiran dengan menilik susunan yang
berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya
baik dalam undang-undang itu maupun dengan
undang-undang lainnya yang terkait dengan yang
sedang ditafsir.
5. Interpretasi sosiologis, yaitu penafsiran yang
mempertimbangkan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat yang melatarbelakangi pembuatan
suatu undang-undang
6. Interpretasi teleologis, yaitu penafsiran yang
mengemukakan maksud dan tujuan dari si pembuat
undang-undang.
7. Interpretasi ekstentif, yaitu memperluas arti kata
dalam suatu peraturan sehingga suatu peristiwa
atau perbuatan dapat dimasukan ke dalamnya.
8. Interpreatasi restriktif, yaitu penafsiran dengan
mempersempit (membatasi) arti kata-kata dalam
suatu peraturan.
9. Interpretasi analogis, yaitu memberi tafsiran pada
suatu peraturan hukum dengan menggunakan
perumpamaan (pengibaratan) terhadap katakata dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas
hukumnya.
10. Interpretasi argumentum a contrario atau
pengingkaran, yaitu cara menafsirkan suatu
undang-undang yang didasarkan pada perlawanan
pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal
yang diatur dalam suatu perundang-undangan.
Sehinga diperoleh kesimpulan bahwa soal yang
59
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
dihadapi tidak diatur dalam undang-undang
tersebut.
Interpretasi
terhadap
aturan
internasional
18
(konvensi) yang menggunakan bahasa yang berbeda
digunakan interpretasi secara gramatikal dan sistematis agar
tidak terjadi perbedaan makna. Selain terhadap substansi,
sinkronisasi dan interpretasi dilakukan juga terhadap
komponen kultur, yaitu gagasan-gagasan, harapan-harapan
dari semua peraturan hak asasi manusia.19 Berikut secara
rinci inventarisir disharmonisasi dan kebutuhan harmonisasi
yang berhasil ditemukan oleh koalisi masyarakat sipil untuk
ratifikasi Statuta Roma.
I. Disharmoni hukum positif Indonesia dengan Statuta
Roma
1. Aturan mengenai kejahatan yang merupakan yurisdiksi
ICC.
Aturan mengenai kejahatan dalam yurisdiksi ICC
memang belum memadai dalam sistem hukum di Indonesia.
Undang-Undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM
hanya mengatur mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan
dan genosida (pasal 8 untuk kejahatan genosida, dan pasal
9 untuk kejahatan terhadap kemanusiaan), sedangkan
kejahatan perang belum terakomodir dalam aturan hukum
di Indonesia. Namun jika merujuk dalam Rancangan KUHP
Indonesia ketiga kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC
18
Dalam hal ini Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional /
International Criminal Court(ICC).
19
Hassan Suryono, op. cit., hlm. 89.
60
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
ini sudah diatur20, sayangnya hingga saat ini rancangan
tersebut belum disahkan sehingga belum bisa dijadikan
dasar hukum.
Saat ini di Indonesia memang masih terjadi
perdebatan panjang mengenai aturan kejahatan dalam
yurisdiksi ICC. Sejauh ini, ada tiga usulan:
1. Mengamandemen
Undang-Undang
26/2000
tentang pengadilan HAM, dan memasukkan
kejahatan perang ke dalamnya;
2. Memasukkan ketiga jenis kejahatan itu menjadi
tindak pidana dalam KUHP yang baru. Seperti
yang sudah diatur dalam Rancangan KUHP 2004;
3. Membuat undang-undang baru yang mengakomodir
ketiga jenis kejahatan tersebut
Lemahnya aturan dalam Undang-Undang di
Indonesia tidak hanya dalam soal ketiga jenis kejahatan
dalam yurisdiksi ICC namun juga dalam hal aturan beracara
serta unsur-unsur kejahatan yang merupakan yurisdksi ICC.
Sehingga seiring dengan dibenahinya aturan perundangan
yang mengatur kejahatan dalam yurisdiksi ICC, maka aturan
beracaranya pun harus segera dibenahi. Dan agar terdapat
satu visi yang sama antara aparat penegak hukum dalam
mengimplementasikan ketiga kejahatan tersebut sebagai
suatu delik pidana maka seharusnya ada aturan yang jelas
mengenai unsur-unsur kejahatannya, baik dituangkan dalam
penjelasan Undang-Undang maupun dalam buku pedoman
20
Kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC diatur dalam BAB IX Rancangan
KUHP (2004) tentang tindak pidana terhadap hak asasi manusia, yakni dalam Pasal
390 tentang tindak pidana genosida, Pasal 391 tentang tindak pidana kemanusiaan
dan Pasal 392 mengenai tindak pidana perang dan konflik bersenjata.
61
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
tersendiri seperti element of crimes dalam Statuta Roma.21
2. Aturan mengenai kadaluarsa
Aturan kadaluarsa tidak berlaku bagi kejahatan
dalam yurisdiksi ICC. Aturan tidak berlakunya kadaluarsa
bagi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
perang juga telah lama diatur dalam Konvensi tentang
Tindak Berlakunya Kadaluarsa Bagi Kejahatan Perang dan
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan tahun 1968.22 Sementara
dalam KUHP di Indonesia, aturan kadaluarsa masih berlaku
sebagai salah satu faktor gugurnya kewenangan penuntutan
dan pelaksanaan pidana, hal yang sama juga masih tetap
diatur dalam Rancangan KUHP 200423. Namun dalam
Undang-Undang 26/2000, secara eksplisit dinyatakan
bahwa aturan kadaluarsa tidak berlaku bagi pelanggaran
berat HAM24.
Agar tidak menimbulkan kebingungan dalam
menerapkan aturan kadaluarsa tersebut, aturan implementasi
Statuta Roma di Indonesia nantinya harus secara eksplisit
21
The Asia Foundation bekerjasama dengan ELSAM telah merampungkan
pembuatan Hukum Acara dan Pembuktian bagi Undang-Undang 26/2000 serta
Unsur-Unsur Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan serta UnsurUnsur Pertanggungjawaban Komando. Saat ini draft yang sudah final tersebut telah
diteruskan ke Mahkamah Agung untuk lebih lanjut disahkan sebagai PERMA.
22
Pasal 1(b) 1968 Convention on Non-Applicability of Statutory Limitation to
War Crimes and Crimes Against Humanity menyatakan statuta ini berlaku bagi
kejahatan terhadap kemanusiaan baik yang terjadi pada saat damai maupun konflik
bersenjata seperti yang diatur dalam Piagam Nuremberg serta kejahatan genosida
seperti yang diatur dalam Konvensi Genosida 1948
23
Kadaluarsa dalam hal penuntutan dan pelaksanaan pidana diatur dalam : Pasal 76,
78-82, 84,85 KUHP, Pasal 146, 147, 148, 149, 150, 152, 153 Rancangan KUHP
2004.
24
Pasal 46 Undang-Undang 26/2000 menyatakan bahwa : “Untuk pelanggaran
HAM yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini tidak berlaku
ketentuan mengenai kadaluarsa.
62
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
menyatakan bahwa aturan kadaluarsa tidak berlaku bagi
kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan
genosida.
3. Aturan mengenai Ne bis in Idem
Ne bis in idem berarti seseorang tidak boleh diadili
dua kali atas suatu perbuatan yang telah mendapatkan
putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Ne bis in
idem adalah merupakan prinsip-prinsip umum hukum
pidana (general principle of criminal law), dan prinsip ini
diatur dalam Statuta Roma (Pasal 21) juga dalam KUHP
Indonesia (Pasal 76) seperti halnya prinsip-prinsip umum
hukum pidana lainnya (nullum crimen sine lege, nulla
poena sine lege, non-retroaktif, dll) . Namun, prinsip ini
tidak ditemukan dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000
yang justru merupakan satu-satunya Undang-Undang di
Indonesia yang mengatur mengenai pelanggaran HAM yang
berat. Sebagai prinsip umum hukum pidana, maka sudah
seharusnya prinsip-prinsip umum ini selalu dicantumkan di
setiap konvensi atau Undang-Undang yang berkaitan dengan
hukum pidana, demikian pula dalam aturan implementasi
Statuta Roma Indonesia nantinya, jangan sampai prinsipprinsip umum ini tidak dicantumkan seperti dalam UndangUndang 26 Tahun 2000.
4. Aturan mengenai pidana mati
Statuta Roma menjelaskan bahwa pidana mati
tidak berlaku bagi kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah.
Pidana maksimum yang berlaku bagi kejahatan terhadap
kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang adalah pidana
penjara seumur hidup.
63
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Indonesia adalah termasuk Negara yang masih
menerapkan pidana mati. Aturan pidana mati diatur
baik dalam KUHP dan Undang-Undang 26/2000 tentang
Pengadilan HAM25. Sementara dalam Rancangan KUHP
baru (2004), dijelaskan bahwa pidana mati tidak berlaku
bagi tindak pidana hak asasi manusia.26 Jika Indonesia
meratifikasi Statuta Roma, tentu saja aturan pidana mati
ini akan bertentangan dengan Statuta, kecuali jika pada
akhirnya Rancangan KUHP sudah disahkan.
5. Aturan mengenai amnesti
Dalam berbagai konvensi internasional aturan
hukum amnesti sudah dianggap sebagai aturan hukum yang
bertentangan dengan aturan-aturan hukum mengenai Hak
Asasi Manusia, khususnya aturan yang mengatur bahwa
semua pelaku kejahatan internasional harus dihukum.27
Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa
tidak selamanya amnesty bertentangan dengan hukum
internasional, karena amnesty bisa dibenarkan sebagai
bentuk derogation (pengurangan) yang dibenarkan dalam
hukum internasional.28
Jose Zalaquett, mantan pengacara HAM Amnesti
International, berkewarganegaraan Chille, menyatakan
25
Pidana mati diatur dalam Pasal 10 dan 11 KUHP dan Pasal 36-37 Undang-Undang
26/2000.
26
Rancangan KUHP 2004 menjelaskan pidana maksimum untuk genosida adalah 15
tahun (Pasa390), tindak pidana kemanusiaan maksimum 15 tahun (Pasal 391), dan
tindak pidana perang dan konflik bersenjata maksimum 15 tahun (Pasal 392).
27
Misalnya, Konvensi Genosida 1948 dan Konvensi Jenewa 1949 mewajibkan
semua Negara pihak untuk menuntut dan menghukum orang-orang yang diduga
melakukan kejahatan yang diatur dalam perjanjian tersebut (genosida dan kejahatan
perang). Sehingga, memberlakukan hukum amnesti terhadap para pelaku kejahatan
tersebut merupakan hal yang sangat bertentangan dengan Konvensi tersebut.
28
Ifdhal Kasim,…Op.Cit,p. 6
64
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
bahwa negara yang sedang menghadapi masa transisi, dapat
masuk ke dalam konteks ”public emergency” yang diatur
dalam pasal 4 Persetujuan Internasional hak-Hak Sipil dan
Politik, sehingga diperbolehkan mengurangi (derogation)
sebagian kewajiban internasionalnya.29 Namun, masih
menurut Pepe (panggilan akrab Zalaquett) terdapat syaratsyarat yang harus dipenuhi untuk pemberian amnesty
yaitu30:
a. Kebenaran terlebih dahulu harus ditegakkan;
b. Amnesty tidak diberikan untuk pelaku kejahatan
terhadap kemanusiaan dan genosida;
c. Amnesty harus sesuai dengan ”keinginan” rakyat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pemberian amnesty bagi kejahatan yang merupakan yurisdiksi
ICC adalah tetap merupakan hal yang bertentangan dengan
hukum internasional.
Harmonisasi yang Harus Dilakukan Paska Ratifikasi
a. KUHP, RKUHP dan KUHAP
Pelanggaran HAM yang berat tidak diatur dalam
KUHP sehingga pengaturan secara khusus di luar KUHP
dibenarkan menurut sistem hukum Indonesia karena
29
Argumen penggunaan azas derogation itu dikemukakan oleh Naomi RothArriaza, “Special Problems of a Duty to Prosecute Derogation, Amnesties, Statute
of Limitation, and Superior Orders”, dalam Impunity and Human Rights in
International Law and Practice, New York :Oxford University Press, 1995,p. 5770, dikutip dari Ifdhal Kasim,…ibid,p. 9.
30
Ibid.
65
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
sifatnya yang khusus. Beberapa pakar hukum pidana
mengemukakan bahwa tindak pidana yang diatur dalam
ICC sama dengan tindak pidana yang diatur dalam KUHP
Indonesia. Kesamaan tersebut diantaranya dalam beberapa
prinsip yang dianut oleh ICC yang juga telah diatur dalam
KUHP Indonesia, yakni prinsip legalitas (non retroactive
principle), pertanggungjawaban individual, hal tentang
penyertaan, percobaan dan pembantuan serta pemufakatan.
Namun pengaturan secara teknis memang tidak sepenuhnya
sama, karena dalam KUHP tidak diatur sebagai tindak
pidana yang berdiri sendiri.31
Secara substansi, tidak ada masalah antara KUHP
dan Statuta Roma diantaranya prinsip legalitas (nonretroaktif), pengaturan mengenai penghukuman terhadap
pelaku pembunuhan. Meskipun banyak hal yang belum
sesuai32 diantaranya KUHP yang masih menganut ancaman
hukuman mati pada terpidana, hal ini tidak dikenal dalam
ICC. Disamping itu masalah mengenai kadaluwarsa yang
masih dianut dalam KUHP, sedangkan dalam kejahatan
berat terhadap HAM yang diatur dalam ICC, tidak dikenal
adanya kadaluwarsa.
Perbedaan yang cukup besar terdapat dalam
hukum acara. Dalam Statuta Roma semua unsur penegak
hukum dalam sistem peradilan ICC bersifat independen,
berdiri sendiri tanpa pengaruh pihak manapun, begitu juga
dengan proses beracaranya yang berbeda dengan perkara
pidana biasa. Sistem yang digunakan ICC merupakan
gabungan hasil kesepakatan negara-negara bersistem AngloSaxon dan Eropa Kontinental. Sedangkan dalam Pengadilan
HAM kita yang diatur oleh Undang-Undang No.26 Tahun
31
op cit, hlm.38.
32
lihat selanjutnya dalam Bab 3, Implementasi Efektif Statuta Roma.
66
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
2000, hukum acara yang digunakan adalah sama dengan
acara yang terdapat dalam KUHAP dengan sistem kita yang
menganut Eropa Kontinental.
b. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
Undang-Undang ini merupakan awal tonggak
pengaturan HAM secara khusus, dan juga merupakan
Undang-Undang yang menunjuk KOMNAS HAM sebagai
badan penyelidik dan penyidik kasus pelanggaran HAM yang
berat, bersifat independen sebagai salah satu unsur penegak
hukum dalam pelanggaran HAM yang berat. Lembaga
independen ini diantaranya memiliki fungsi pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantuan dan meditasi tentang
hak asasi manusia.33 Pengakuan terhadap nilai-nilai HAM
diatur lebih spesifik. Meskipun demikian undang-undang
ini belum menyebutkan unsur-unsur tindak pidana seperti
dalam jurisdiksi ICC sehingga perlu penyelarasan dengan
substansi dari statute roma
c. Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia
Undang – undang ini dibuat atas dasar kesadaran
dan kepentingan bahwa Indonesia sebagai negara yang
berdaulat. Pertimbangan yang dilakukan tentunya didasari
prinsip dasar pembentukan suatu peraturan perundangan di
Indonesia, diantaranya landasan filosofis, sosiologis, yuridis
dan politis. Sebagi landasan filosofis, Undang-Undang ini
dibuat sebagai penerapan cita-cita bangsa yang dipelopori
oleh para pendiri bangsa ini dalam rangka pencapaian tujuan
bangsa diantaranya mensejahterakan rakyat Indonesia
33
Pasal 76 ayat (1) Undang Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
67
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
melalui perlindungan HAM. Pertimbangan yuridis yang
menjadi landasan Undang-Undang ini yaitu untuk menjamin
keadilan dan kepastian hukum, dikarenakan KUHP
Indonesia tidak mengatur pelanggaran berat terhadap
HAM yang merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary
crimes). Dalam sistem hukum Indonesia, suatu hal yang
belum diatur dalam KUHP dapat diatur dalam peraturan
tersendiri sehingga Undang-Undang 26 Tahun 2000 banyak
melakukan terobosan-terobosan aturan hukum yang tidak
diatur sebelumnya dalam KUHAP (seperti yang telah
dijelaskan dalam Bab I).
Landasan sosiologis dalam Undang-Undang ini
yaitu sebagai upaya menjaga dan meningkatkan upaya
perlindungan HAM, dan mencegah terjadinya kembali
pelanggaran-pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
Sedangkan alasan politik dalam Undang-Undang ini yaitu
bahwa pelanggaran HAM yang berat bersifat politis yang
dilakukan oleh sekelompok orang yang memegang kekuasaan.
Adanya Undang-Undang No.26 Tahun 2000 yang isinya
banyak mengadopsi dari Statuta Roma ini merupakan salah
satu upaya yang dilakukan Indonesia untuk menunjukan
bahwa Indonesia mampu melaksanakan peradilan sendiri
yang sesuai dengan standar internasional (Statuta Roma)
dan untuk menguatkan prinsip komplementaritas yang
dianut oleh ICC. Undang-Undang ini menunjukan niat
dan itikad baik pemerintah Indonesia untuk melaksanakan
penghukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM yang
berat di negaranya.
d. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
Sejak tahun 2006, Indonesia telah mempunyai
UU khusus tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU ini
68
Pengesahan Statuta Roma
dan Harmonisasi Hukum Nasional
mengatur tentang hak-hak korban dan saksi, termasuk dalam
saksi dan korban kejahatan-kejahatan yang merupakan
pelanggaran HAM yang berat. Beberapa hak saksi yang diatur
diantaranya hak-hak saksi untuk diberikan perlindungan
pergantian identitas dan relokasi saksi (pasal 5). Selain itu
juga mengadopsi berbagai ketentuan dalam Statuta Roma
tentang perlindungan saksi diantaranya pemeriksaan saksi in
camera, atau pemberian kesaksian melalui media elektronik
lainnnya (pasal 9). Meski demikian masih banyak standar
perlindungan yang perlu disesuaikan dengan standar yang
diatur dalam Statuta Roma.
Dalam rangka melindungi saksi dan korban
secara lebih baik, UU ini juga memandatkan pembentukan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga
ini merupakan lembaga yang mandiri dengan anggota yang
mewakili lembaga-lembaga penegak hukum dan masyarakat
dan dengan sistem kerja yang berkoordinasi dengan lembagalembaga penegak hukum lainnya. Meskipun berbeda
konsepnya dengan unit perlindungan saksi dan korban di
ICC, namun dalam beberapa hal lembaga ini mempunyai
kesamaan tujuan dan fungsi.
Adanya UU Perlindungan saksi dan korban ini
menunjukkan komitmen Indonesia untuk memenuhi
kewajibannya dalam menuntut kejahatan-kejahatan yang
termasuk pelanggaran HAM yang berat dengan adanya
sistem perlindungan bagi saksi dan korban. Demikian juga
komitmen untuk memberikan hak-hak reparasi (pemulihan)
kepada para korban, yang sesuai dengan hukum internasional
dan Statuta Roma.
Harmonisasi yang dilakukan oleh koalisi masyarakt
sipil untuk ratifikasi Statuta Roma ini lebih kepada membuat
aturan turunan/pelaksana dari Statute Roma ketimbang
69
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
mentransformasikannya kedalam hukum nasional dengan
membuat undang-undang baru yang membahasakan ulang
pasal-pasal dari Statuta Roma.
70
Statuta Roma dan Reformasi
Sektor Keamanan Indonesia
Bhatara Ibnu Reza
Pendahuluan
Komitmen Indonesia untuk meratifikasi Statuta
Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court) telah dinyatakan dalam Peraturan Presiden
No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia (RAN HAM). Akan tetapi komitmen tersebut
yang seharusnya dilaksanakan pada 2008 ternyata masih
harus tertunda untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Ratifikasi
Mahkamah Pidana Internasional (selanjutnya di sebut
Koalisi) telah memprediksi beberapa kendala yang akan
dihadapi dalam upaya mendesak Pemerintah Republik
71
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Indonesia (RI) untuk mewujudkan bergabung Indonesia
bersama-sama dengan negara-negara di dunia yang telah
menjadi pihak dalam kampanye menegakan keadilan
internasional. Adapun diantara kendala-kendala tersebut
adalah lambannya kejelasan proses yang dilakukan negara
dalam menentukan focal point dalam proses peratifikasian
yang kemudian oleh belakangan negera menetapkan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Hal lain yang tak kalah penting adalah tantangan
yang kuat dari tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI)
yang secara jelas mengungkapkan keberatan-keberatan
mereka jika Indonesia menjadi negara pihak dari Statuta
Roma. Berbagai alasan mereka ungkapkan salah satunya
berkait dengan belum siapnya perangkat hukum nasional
yang compatible dengan Statuta Roma. Namun dibalik
alasan itu adalah kekhawatiran TNI terhadap kemungkinankemungkinan mereka untuk menjadi target dari Mahkamah
Pidana Internasional jika terdapat dugaan pelanggaranpelanggaran serius yang diakui dalam hukum internasional
(serious violations recognized by international law)
sebagaimana termaktub dalam Statuta Roma.
Kekhawatiran ini jelaslah sangat berlebihan
mengingat personil TNI tidak selalu menjadi target tetapi juga
dapat menjadi korban. Perspektif salah kaprah ini dapat saja
diartikan bahwa TNI dalam setiap operasi militernya selalu
menggunakan kekerasan yang berujung pada pelanggaran
HAM sehingga dengan Indonesia menjadi pihak dalam
Statuta Roma, TNI tidak dapat lagi leluasa menggunakan
kekerasan terutama terhadap penduduk sipil.
Bila ditelisik lebih jauh sudah sepantasnya
pemahaman yang benar mengenai Statuta Roma dilakukan
oleh Indonesia mengingat keikutsertaan aktifnya dalam
72
Statuta Roma
dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
pembahasan dan pengadopsian Statuta Roma pada 17 Juli
1998 dalam Konferensi Diplomatik PBB di Roma, Italia.
Konferensi yang digelar selama tiga hari (15-17 Juli 1998)
ini dihadiri oleh wakil dari 160 negara dan ratusan peserta
mewakili LSM internasional.
Tulisan ini mencoba melihat bagaimana reformasi
sektor keamanan Indonesia dalam kaitannya dengan
reformasi peradilan militer serta Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Militer yang justeru merupakan upaya
militer untuk memperkuat posisi dan kedudukannya dalam
hukum di Indonesia. Selain itu perubahan tersebut akan
memperlihatkan bagaimana upaya militer untuk memperluas
yurisdiksi formalnya dengan menarik orang sipil sebagai
pelaku kejahatan militer serta yurisdiksi material yaitu
memasukan kejahatan perang dalam Kitan Undang-ndang
Hukum Pidana Militer (KUHPM).
Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
Indonesia yang masih berada dalam masa transisi
masih terus dibayangi dengan kemungkinan-kemungkinan
kembalinya peran besar yang dimiliki militer dalam
perpolitikan nasional dengan cara yang lebih halus dan
legal. Akan tetapi, reformasi politik menuntut posisi militer
dalam supremasi sipil serta mengembalikannya sebagai
institusi pertahanan dan profesional. Tidak hanya militer,
lembaga kepolisian, lembaga intelijen serta seluruh lembaga
pelaksana sektor keamanan juga mengalami reformasi yang
terus berlanjut hingga saat ini yaitu menempatkan fungsifungsi sebagai aktor keamanan dalam negeri sekaligus aktor
yang menjunjung tinggi HAM.
Untuk memperbesar otoritas sipil diperlukan dua
73
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
pendekatan, pertama, militer haruslah tidak terlibat dalam
arena politik dan kedua, otoritas sipil harus terlibat dalam
permasalahan-permasalahan militer sebagaimana fungsinya
dalam pertahanan nasional negara dibawah pengawasan dan
kontrol sipil.1 Keterlibatan sipil dalam hal ini tidak hanya
diwakili oleh para elit politik namun oleh elemen warga
negara seperti kelompok masyarakat sipil yang concern
dengan perubahan dalam reformasi sektor keamanan
dilakukan dengan keterlibatannya melalui penanataan ulang
institusi keamanan dan pertahanan melalui regulasi politik
atau reformasi legislasi. Dengan melakukan perubahan pada
regulasi politik tersebut diharapkan terjadinya perubahan
terhadap para aktor keamanan untuk menjadi lebih
profesional dibawah kontrol sipil.
Hal ini juga dimungkinkan karena perubahan
politik pascajatuhnya Soeharto yang turut serta mengubah
konfigurasi politik menjadi lebih demokratis yang membuka
kesempatan atau peluang bagi partisipasi rakyat secara
penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum
sehingga yang dihasilkan adalah sebuah produk hukum
yang berkarakter yang mencerminkan rasa keadilan dan
memenuhi harapan masyarakat.2
Adapun tolok ukur dalam melihat suksesnya
reformasi sektor keamanan ditentukan oleh tujuh
komponen:3
1
Lihat Terence Lee, “The Nature and Future of Civil-Military Relations in
Indonesia”, Asian Survey at 703-704, Vol. 40, No. 4 (Jul.-Aug., 2000).
2
Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, Cet.2, 2001),
hal. 24-25.
3
Lihat Nicolle Ball, Tsjeard Bouta dan Luc van de Goor, Enhancing Democratic
Governance of the Security Sector, An Institutional Assessment Framework,
(Clingendael: The Netherlands Ministry of Foreign Affairs/TheNetherlands
Institute of International Relations, 2003)
74
Statuta Roma
dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
1. Tertatanya
ketentuan
perundang-undangan
berdasarkan the rule of law.
2. Terbangunnya
kemampuan
pengembangan
kebijakan, menyusun perencanaan pertahanan dan
keamanan (defense and security planning).
3. Terlaksanannya pelaksanaan
(Implementasi kebijakan).
dari
kebijakan
4. Terwujudnya profesionalisme aktor pelaksana.
5. Kemampuan dan efektifitas pengawasan.
6. Penggelolaan
proporsional.
anggaran
yang
logis
dan
7. Terselesaikannya penyelesaian kasus pelanggaran
HAM.
Tolok ukur tersebut bukanlah merupakan pilihanpilihan yang harus dilakukan oleh otoritas politik akan
tetapi merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan.
Indonesia saat ini masih belum mampu untuk
menyelesaikan reformasi sektor keamanan disebabkan
ketidakpahaman politisi sipil akan posisi militer pada Negara
demokrasi. Yang terjadi kemudian adalah politisi sipil masih
berpikir bahwa keterlibatan militer adalah suatu keharusan
tidak hanya dalam ranah politik tetapi dalam semua aspek
kehidupan bernegara.
Di Indonesia, militerisasi terhadap semua aspek
kehidupan telah dimulai jauh sebelumnya hingga Soeharto
75
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
berkuasa pada 1966 posisi militer semakin kuat.4 Salah
satu aspek penting adalah melakukannya dengan peraturan
perundang-undangan sehingga memberikan legitimasi bagi
militer secara sah terlibat dalam kehidupan politik negara.
Terdapat enam karakter masyarakat yang telah
termiliterisasi, pertama, secara nyata kehadiran militer
dalam pemerintahan baik diwujudkan sebagai rejim militer
atau sebuah kekuatan yang dipaksa (force established)
kedalam ruang politik langsung dibawah kekuatan
eksekutif (executive power).5 Kedua, kehadiran militer
dalam kehidupan ekonomi masyarakat dari pusat hingga
ke daerah hinga tingkat desa sehingga mendekati negara
korporasi yang mendukung perekonomian militer.6 Ketiga,
terjadi proses pembelokan nilai-nilai tradisional dan normanorma atau sedang dalam proses pembelokan dengan nilainilai dan norma-norma militer dengan militerisasi terhadap
institusi-insitusi sosial.7 Keempat, administrasi dengan cara
melakukan pelanggaran HAM merupakan bagian yang tidak
4
Literatur-literatur sejarah dan politik militer Indonesia yang diangkat dengan
berbagai tema oleh penulis-penulis dalam dan luar negeri seperti Ulf Sundhaussen
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945 -1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI,
[The Road to Power: Indonesian Military Politics 1945-1967], [Dirterjemahkan
oleh Hasan Basari], (Jakarta: LP3ES, 1986); Nugroho Notosusanto, Ed., Pejuang
dan Prajurit: konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1991); Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru: Keterlibatan ABRI dalam
Bidang Ekonomi dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Rezim Otoriter,
(Bandung: Rosda Karya, 1998); Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer
dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, Cet. Kedua, 2002); Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan: Puncakpuncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, (Yogyakarta: Narasi, 2005);
Salim Said, Legitimizing Military Rule: Indonesian Armed Forces Ideology 19582000, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006); Leonard C. Sebastian, Realpolitik Ideology:
Indonesia’s Use of Military Forces, (Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies-ISEAS, 2006).
5
Mathews George Chunakara, The Militarisation of Politics and Society: Southeast
Asian Experiences, (Hongkong: DagaPress, 1994), hal. 21.
6
Ibid. hal. 21.
7
Ibid. hal. 21.
76
Statuta Roma
dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
terpisahkan dari kehidupan negara. Kelima, operasi terhadap
pemberontak (counterinsurgency operation) yang tidak lain
sebagai sebuah ekspresi militer dengan sikap represifnya.8
Dan terakhir adalah negara memiliki kebijakan perluasan
program transfer persenjataan militer serta produksi senjata
domestik yang menjadi bagian dari sumber budget militer.9
Sejumlah karakteristik masih dapat terlihat
terutama karakter pertama yaitu insitusi Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Polri) masih berada dibawah Presiden. Alhasil, militerisasi
mengakibatkan intervensi kehidupan warga sipil dan
tentunya mengancam HAM dan kekebasan-kebebasan dasar
(fundamental freedoms) yang telah dijamin oleh konstitusi.
Perlu kiranya juga untuk mengingat kembali tolok ukur
suksesnya reformasi sektor keamanan yaitu tertatanya
ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan rule
of law dan terwujudnya profesionalisme aktor pelaksana.10
Maksud dari rule of law adalah semangat hukum
yang mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi, HAM dan
keadilan sehingga legislasi yang dihasilkan tidak sekedar
dasar dari kekuasaan belaka. Prinsip demokrasi dalam
legislasi sektor keamanan haruslah diiringi dengan semangat
ketertundukan militer atas kontrol otoritas sipil yang sah.
Sedangkan dalam kaitannya dengan profesionalisme,
tentunya legislasi yang dihasilkan menjadikan serta
mendukung terwujudnya kemampuan aktor pelaksana
untuk menjadi profesional dan tidak menjadikan mereka
terlibat dalam politik.
8
Ibid. hal. 21.
9
Ibid. hal. 21.
10
77
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Upaya Menghalangi Mahkamah Pidana Internasional:
Reformasi Peradilan Militer dan Perluasan Yurisdiksi
Formal dan Material Peradilan Militer
Upaya untuk menjadikan Indonesia menjadi bagian
dari masyarakat internasional memutus rantai impunitas
dengan meratifikasi Statuta Roma justeru mendapatkan
rintangan dari berbagai pihak khususnya militer Indonesia.
Sebagaimana telah diulas dimuka bahwa kekhawatiran
utama dari militer Indonesia adalah mereka akan menjadi
target utama dari pemberlakukan yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional.
Alasan lain yang sering diungkapkan Indonesia
belum memiliki peraturan perundang-undangan nasional
yang mengadopsi Statuta Roma sehingga dipandang
tidak siapa untuk meratifikasinya. Padahal Indonesia juga
memiliki peraturan perundang-undangan yang memang
diadopsi dari Statuta Roma yaitu UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM meski dalam praktiknya justeru
tidak mengindahkan standar internasional.
Alasan-alasan
tersebut
merupakan
bentuk
kekhawatiran berlebihan yang tidak didasarkan pada
kenyataan dan pemahaman terhadap hukum internasional
secara benar. Selain itu, alasan tersebut muncul dari
“trauma” saat Indonesia menghadapi tekanan masyarakat
internasional untuk bertanggungjawab dalam pelanggaran
berat HAM (gross violations of human rights) pascajajak
pendapat di Timor Timur pada 1999.
Karena itulah reformasi sektor keamanan yang
salah satu tujuannya untuk melakukan penataan terhadap
hukum justeru digunakan untuk menambah kekebalan
78
Statuta Roma
dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
militer dari yurisdiksi pengadilan yang mengadili kejahatankejahatan serius yang dikenal dalam hukum internasional
(serious violations recognized by international law)
sebagaimana diatur dalam Statuta Roma yaitu kejahatan
perang. Dengan kata lain upaya pertama yang dilakukan
oleh adalah militer mencoba mempertahankan eksistensi
peradilan militer tetap berada dalam pengaturannya meski
fakta-fakta telah menunjukannya sebagai sarana impunitas.
Kedua, adalah dengan melakukan perluasan yurisdiksi
peradilan militer dengan dua sasaran yaitu orang sipil dan
memasukan kejahatan-kejahatan serius yang diakui dalam
hukum internasional sebagai bagian dari kejahatan militer.
1. Perluasan Yurisdiksi Formal Peradilan Militer: Superioritas Peradilan Militer
Sepanjang 2004-2009, pemerintah melalui
Departemen Pertahanan dengan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) membahas RUU Perubahan UU No. 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer. Pemerintah melalui Departemen
Pertahanan sejak Oktober 2005 saat pertama kali pembahasan
telah dengan sengaja menarik ulur persoalan-persoalan yang
krusial dalam rangka menempatkan peradilan militer dalam
sistem kekuasaan kehakiman yang benar.
Dalam upayanya yang pertama, terdapat tiga hal
penting yang menjadi fokus utama dalam pembahasan RUU
ini yaitu soal yurisdiksi; pengadilan dengan acara koneksitas
dan keterlibatan perangkat penegak hukum militer seperti
Polisi Militer (PM) dalam penyelidikan kasus di peradilan
umum serta pelaksanaan putusan. Ketiga hal ini tidak hanya
menempatkan kedudukan peradilan militer menjadi superior
tetapi juga merupakan contoh konkrit penggambaran dari
upaya menempatkan militer sebagai kelas superior dalam
masyarakat Indonesia.
79
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Perihal yurisdiksi dimana RUU tersebut menyatakan
prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili
di Peradilan Umum dan jika melakukan kejahatan militer
akan diadili di Peradilan Militer sebagaimana amanat TAP
MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran
Polri dan UU No. 34 Tahun tentang TNI.11 Namun dalam
hal ini akhirnya Persoalan yurisdiksi ini sempat menjadikan
pembahasan RUU ini menjadi berlarut-larut karena
Departemen Pertahanan bersikukuh untuk tidak menerima
yurisdiksi peradilan umum terhadap prajurit TNI.
Akan tetapi pada akhir November 2006, ketika
masih berada di Tokyo Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menyampaikan melalui Menteri Sekretaris Negara Yusril
Ihza Mahendra dan Menteri Hukum dan HAM Hamid
Awaludin bahwa Pemerintah setuju prajurit TNI yang
melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum.
Dengan pernyataan tersebut, maka kebuntuan yang selama
ini terjadi antara DPR dengan Pemerintah sudah menemui
jalan keluar dan sepakat untuk melanjutkan pembahasan.12
Kedua, tentang pengadilan dengan acara koneksitas
yaitu jika suatu tindak pidana dilakukan secara bersamasama antara anggota militer dengan warga sipil dan untuk
tidak menimbulkan konflik yurisdiksi maka penentuannya
dilakukan dengan melihat apakah tindak pidana yang
dilakukan mereka merugikan kepentingan militer atau
kepentingan publik secara umum. Dalam pembahasannya,
Panitia Kerja RUU Perubahan UU No. 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer akhirnya menerima pendapat
pemerintah mengenai perlunya mempertahankan peradilan
koneksitas dalam peradilan militer yang kali ini mencoba
11
Ibid. hal. 229.
12
Ibid. hal. 229.
80
Statuta Roma
dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
menjaring warga sipil yang melakukan tindak pidana militer
yang pada praktik sebelumnya apakah sebuh tindak pidana
merugikan kepentingan pada salah satu pihak apakah
militer atau sipil. Argumen pemerintah yang terdengar
absurd ini mengandaikan keterlibatan warga sipil bersamasama dengan militer dalam tindak pidana militer.
Dalam praktiknya koneksitas merupakan cara yang
dilakukan militer untuk melindungi anggotannya mengingat
sesuai ketentuan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer menitikberatkan pada status pelaku kejahatan dan
bukan jenis kejahatan. Walhasil tindak kejahatan yang tidak
memiliki sangkut paut dengan kejahatan yang memang khas
militer menjadi yurisdiksi peradilan militer. Bahkan acara
koneksitas telah terbukti sebagai bagian dari superioritas
militer terhadap berbagai kasus yang tidak ada hubungannya
dengan tindak pidana militer.
Aturan tentang kejahatan yang dilakukan secara
bersama-sama oleh anggota militer dengan warga sipil
pertama kali diatur dalam UU No. 5 Tahun 1950 tentang
Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam
Lingkungan Peradilan Ketentaraan. Akan tetapi penggunaan
istilah koneksitas baru diperkenalkan di masa Orde Baru
ketika ditabalkan dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasan Kehakiman dan kemudian diatur
juga oleh Pasal 8 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Untuk pelaksanaan penanganan perkara koneksitas
itu kemudian dikeluarkan sebuah Keputusan Bersama antara
Menteri Kehakiman, Menhankam/Pangab, Ketua Mahkamah
Agung dan Jaksa Agung (MA) RI yang dituangkan dalam
No. KEP/B/61/XII/1971 tentang Kebijaksanaan dalam
Pemeriksaan yang Dilakukan Bersama-sama oleh Orang
81
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
yang Termasuk dalam Yurisdiksi Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Militer/Angkatan Bersenjata dan Orang yang
Termasuk dalam Yurisdiksi di Lingkungan Peradilan Umum
yang diterbitkan pada 7 Desember 1971.
Dari segi hukum, surat ini jelas bermasalah
mengingat tidak terdapat batas antara MA sebagai
pemegang kekuasaan yudikatif dengan sebagian pihak
yang merupakan lembaga yang berada di bawah kekuasaan
legislatif. Hal ini terjadi karena pengaruh luar biasa ABRI
saat itu dalam sistem peradilan Indonesia di mana lembaga
peradilan dan penuntutan telah mengalami kooptasi dan
militerisasi. Selain itu keputusan ini lebih mencerminkan
politik hukum Pemerintahan Soeharto daripada sebuah
peraturan perundang-undangan.
Terbitnya KUHAP bagi ABRI saat itu dianggap
tidak cukup memadai sehingga kemudian dikeluarkan
Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan
dan Menteri Kehakiman KEP.10/M/XII/1983 dan KEP.57.
PR.09.03 Tahun 1983 tanggal 29 Desember 1983 tentang
Pembentukan Tim Tetap untuk Penyidikan Perkara Tindak
Pidana Koneksitas.
Setelah diterbitkannya Keputusan Bersama tersebut
di atas, selanjutnya Mabes ABRI menerbitkan sebuah surat
keputusan yaitu Skep Pangab No. 809/IX/1988 tangggal
2 November 1988 tentang Pengendalian dan Pengawasan
Atas Kegiatan Tim Tetap untuk Penyidikan Tindak
Surat Keputusan itu kemudian direspon oleh Oditur
Jendral (Orjen) ABRI dengan menerbitkan Surat Edaran
Orjen ABRI No. SE/B/95/VII/1991 tanggal 29 Agustus
1991 tentang Penunjuk Sementara Pelaksanaan Penyidikan
Perkara Pidana Koneksitas dan Petunjuk Pelaksana Orjen
82
Statuta Roma
dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
ABRI No. Juklak/01/IV/1993 tanggal 7 Juni 1993 tentang
Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas.
Adalah fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri
dimana terdapar warga sipil yang diadili oleh peradilan militer
khususnya oleh Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Mahmilub yang memiki kekuasaan untuk memeriksa dan
mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir perkaraperkara khusus yang ditentukan oleh Presiden dalam bentuk
keputusan presiden sebagaimana diatur dalam UU No. 16
Pnps Tahun 1963 tentang PembentukanMahkamah Militer
Luar Biasa.
Sederetan kasus yang telah diadili melalui mekanisme
melalui Mahmilub berdasarkan keputusan presiden tersebut
diantaranya pengadilan terhadap tokoh RMS, Dr. Soumokil
dengan Keppres No. 6 Tahun 1964, perkara H. Bachrum
Effendi auctor intellectualis peristiwa Idhul Adha dengan
Keppres No. 156 Tahun 1964, perkara Ibnu Hajar dalam
kasus pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dengan
Keppres No. 157/1964 serta pengadilan terhadap sejumlah
perwira dan tokoh PKI di tahun 1965 dengan Keppres No.
370 Tahun 1965.
Namun bila kita ditelisik lebih dalam, pengadilan
dengan menggunakan mekanisme Mahmilub merupakan
pelaksanaan politik hukum Demokrasi Terpimpin yang
memberikan ruang kekuasaan intervensi terhadap
independensi peradilan kepada Presiden Soekarno. Saat itu
kekuasaan kehakiman dalam hal ini pengadilan merupakan
alat revolusi sesuai dengan UU No. 19 Tahun 1964 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undangundang ini kemudian memberikan kewenangan penuih bagi
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi untuk campur tangan
dalam pengadilan demi kepentingan revolusi, kehormatan
83
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat.
Hakikatnya setiap peristiwa yang melibatkan
warga sipil dan kelompok militer bersenjata dalam tindak
pidana menggulingkan pemerintah atau makar adalah
merupakan yurisdiksi peradilan umum. Di berbagai belahan
dunia praktik peradilan terhadap kejahatan makar atau
yang disebut sebagai high treason ini merupakan wilayah
kewenangan peradilan umum meski terdapat keterlibatan
militer didalamnya. Selain itu pengertian high treason tidak
hanya menyangkut upaya untuk meenggulingkan pemerintah
yang sah tetapi juga termasuk tindak pengkhianatan terhadap
kedaulatan negara.
Untuk yang terakhir ini kembali sejarah peradilan
Indonesia pada masa keemasannya pernah melakukannya
sekali dan belum pernah terulang kembali adalah kasus
Sultan Hamid II. Dalam kasus ini, Sultan Hamid II terlibat
berkolaborasi dengan Kapten Raymond Westerling dalam
usaha percobaan pembunuhan terhadap sejumlah menteri
diantaranya Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX yang kemudian memunculkan Peristiwa APRA
di Bandung yang menewaskan sejumlah perwira APRIS.
Persidangan kasus yang mendapatkan perhatian masyarakat
saat itu digelar MA dan dipimpin langsung ketuanya yaitu
Prof. Mr. Wirjono Projodikoro selaku ketua majelis hakim
serta Jaksa Agung Soeprapto selaku penuntut umum. 13
Dengan melihat berbagai kasus tersebut dapat
dikatakan peradilan koneksitas tidak dapat lagi menjadi
jawaban dalam menangani kasus-kasus pidana militer. Jika
praktik mekanisme Mahmilub yang menjadi dasar argumen
13
Lihat Iip D. Yahya, Mengadili Menteri Memeriksa Perwira: Jaksa Agung Suprapto
dan Penegakan Hukum di Indonesesia Periode 1950-1959, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004).
84
Statuta Roma
dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
bagi pemerintah sebagai dasar pembenar untuk menyeret
warga sipil masuk ke dalam yurisdiksi peradilan militer
adalah kesalahan besar. Preseden yang digunakan justeru
menafikan independensi dan imparsialitas peradilan yang
telah menjadi prinsip yang diakui oleh seluruh bangsa di
dunia. Ditambah lagi, praktik tersebut muncul dari sejarah
kelam hukum Indonesia yang imbasnya masih kita rasakan
sehingga tidak tepat juga untuk dijadikan contoh ditengahtengah upaya mereformasi dunia peradilan Indonesia.
Ketiga, persoalan ketelibatan Polisi Militer dalam
penyelidikan dalam kasus-kasus tindak pidana umum.
Usulan ini datang dari pemerintah dengan alasan bahwa
meski anggota militer yang melakukan tindak pidana
umum tunduk pada yurisdiksi peradilan umum akan tetapi
prosesnya tetap dilakukan dalam yurisdiksi peradilan militer
dan kasusnya akan dilimpahkan oleh Oditur Militer. Konsep
ini jelas memosisikan superioritas peradilan militer terhadap
peradilan umum. Upaya ini dilakukan persoalan kedudukan
polisi militer dijadikan pemerintah untuk mengganjal
yurisdiksi peradilan umum berkait dengan tindak pidana
umum. Selain itu, upaya pemerintah untuk memasukan
hal ini dalam pembahasan merupakan upaya menarik ulur
pembahasan rancangan legislasi ini.14
DPR sebagai pembuat undang-undang harus secara
tegas melihat bahwa persoalan kendala psikologis tidak
dapat dijadikan alasan dalam upaya penegakan hukum.
Bagaimanapun juga Kepolisian Negara RI merupakan aktor
utama sistem peradilan pidana (integrated criminal justice
system) dalam penyelidikan tindak pidana umum dan
14
Lihat Pernyataan Bersama, “Pansus Peradilan Militer jangan Terjebak Permainan
Pemerintah” (Konferensi Persi Ruang Wartawan Nusantara III DPR, 19 Desember
2008). Lihat www. vivanews.com, “Pemerintah Dinilai Sengaja Tarik Ulur”,
http://politik.vivanews.com/news/read/16763-pemerintah_dinilai_sengaja_tarik_
ulu, (Diakses pada 17April 2009).
85
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
bukan polisi militer. Sehingga menempatkan polisi militer
kedalam sistem peradilan pidana umum menjadikan mereka
seakan-akan memiliki yurisdiksi dalam peradilan umum dan
berujung pada kekacauan penerapan hukum acara pidana.
Tidak hanya itu, superioritas peradilan militer
kedepan akan berpengaruh pada proses penyelidikan yang
akan dilakukan oleh lembaga lain seperti Komnas HAM
selaku penyelidik dalam kasus pelanggaran HAM berat yang
diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, serta penyelidikan kasus korupsi yang dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai dengan UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dengan
keterlibatan PM serta Oditur selau jaksa penuntut umum
dilingkup peradilan militer artinya sama saja bahwa prinsip
yurisdiksi peradilan umum terhadap pelaku militer sama
sekali diabaikan dan malah yang terjsdi adalah penguatan
kedudukan peradilan militer terhadap peradilan umum.
Superioritas peradilan militer juga semakin Nampak
jika kewenangan Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum)
serta mekanisme Perwira Penyerah Perkara (Papera) tidak
mengalami perubahan dalam rancangan legislasi ini dan
turut serta berperan dalam menangani tindak pidana
umum yang dilakukan oleh prajurit TNI. Ankum memiliki
kewenangan sebagai penyelidik sekaligus penyidik perkara
dalam lingkup peradilan militer sehingga jikalau mekanisme
ini dipakai maka jalannya perkara akan ditentukan oleh tiga
aktor yaitu PM, Oditur Milter serta Ankum.
Sedangkan Papera adalah perwira yang memiliki
kewenangan khusus untuk menentukan suatu perkara
pidana yang dilakukan prajurit TNI yang berada dibawah
komandonya diserahkan kepada atau diselesaiakan diluar
pengadilan militer. Jikalau peran Papera juga masuk dalam
86
Statuta Roma
dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
penanganan tindak pidana umum kemungkinan akan terjadi
impunitas mengingat Papera untuk tidak menyerahkan anak
buahnya terutama dengan alasan-alasan bahwa prajurit
tersebut memiliki keahlian yang dibutuhkah dalam operasi
militer. Dengan kata lain, Papera memiliki kewenangan yang
cukup kuat untuk menutup sebuah perkara tidak hanya di
peradilan militer tetapi juga dilingkup peradilan umum
Hingga tulisan ini dibuat, pemerintah masih tetap
bersikukuh atas pendapatnya yang menjadikan pembahasan
melalui Panitia Sinkronisasi antara DPR dengan Pemerintah
mengalami deadlock. Hal ini seharusnya dapat dihindari
apabila DPR tetap pada pendiriannya untuk melakukan
reformasi total terhadap peradilan militer. Adalah
benar dalam proses pembuatan undang-undang, DPR
melakukannya bersama-sama dengan pemerintah. Namun
dalam hal ini DPR lebih memiliki peranan mengingat
kedudukan dan kewenangannya selaku pembuat undangundang yang telah dikuatkan dalam konstitusi. Dengan kata
lain, DPR seharusnya dapat mengambil langkah-langkah
tegas untuk tidak berkompromi dikarenakan DPR telah
membaca gelagat niat tidak baik pemerintah selama proses
pembahasan berlangsung.
Padahal jikalau menilik lebih jauh terhada
substansi RUU ini, yang tak kalah penting juga adalah
perihal jaminan hak terhadap prajurit. Meski prajurit
adalah bagian dari negara akan tetaoi mereka masih
memiliki Hak Asasi Manusia (HAM) yang terbatas
termasuk dimana hak-hak tersangka, terdakwa dan
terpidana yang termasuk dalam rumpun hak-hak yang
tidak dapat dkurangi dalam keadaan apapun (nonderogable rights). Dalam kaitan itu terdapat perbedaan
yang cukup signifikan antara penerapan hak-hak
tersebut antara UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
87
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Undang-undang Hukum Pidana dengan RUU Perubahan
atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Pembatasan-pembatasan ini jelas menjadikan
peradilan militer secara tidak langsung melakukan
pelanggaran HAM terhadap hak-hak non-derogable
rights para prajurit. Bagaimanapun hak-hak ini dapat
menimbulkan efek ketidakadilan terutama bagi prajurit
sendiri serta keluarganya jika hendak melakukan
keluhan atau langkah hukum jika dikemudian
hari peradilan militer melakukan kesalahan dalam
penerapan hukum.
Seharusya dalam pembahasan rancangan
legislasi ini, DPR hendaknya dapat mendasarkan diri
pada sejumlah prinsip-prinsip guna mewujudkan TNI
yang profesional, dalam konteks Peradilan Militer
berdasarkan pengalaman sejarah, amanat reformasi
serta perkembangan dan perbandingan internasional,
ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi dan
mendasari UU Peradilan Militer yang baru, yaitu15,
prinsip pertama, peradilan militer harus menjunjung tinggi
demokrasi dan hak asasi manusia, sesuai dengan amanat
konstitusi.
Prinsip kedua, Indonesia adalah negara hukum
(rechstaat). Oleh karena itu di dalam peradilan militer juga
harus dijamin asas persamaan di muka hukum (equality
before the law).
Prinsip ketiga, reformasi peradilan militer harus
mengarah pada penguatan wibawa peradilan militer untuk
memperkuat disiplin anggota militer, dengan tetap mengacu
15
Lihat Bhatara Ibnu Reza, et,al, Reformasi Peradilan Militer di Indonesia, (Jakarta:
Imparsial, 2007). hal. 65-66.
88
Statuta Roma
dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
kepada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Prinsip
keempat, posisi dan komposisi peradilan militer harus diatur
sedemikian rupa sehingga meskipun merupakan bagian dari
TNI, namun peradilan militer dapat bekerja independen
tanpa terpengaruh oleh rantai komando yang berlaku di
TNI.
Prinsip kelima, peradilan militer harus menjamin
keadilan bagi semua prajurit TNI dan melindungi hak asasi
prajurit TNI. Tidak boleh ada diskriminasi dalam sistem
peradilan militer, artinya baik prajurit maupun perwira
harus diposisikan sama di muka hukum. Dalam hal prajurit
TNI yang melakukan tindak pidana, maka hak untuk
didampingi pengacara, hak untuk menghubungi keluarga,
hak untuk tidak disiksa, hak untuk segera diadili, dan lainlain harus dijamin dengan Undang-undang.
Prinsip keenam, peradilan militer harus memiliki
yurisdiksi yang jelas. Dalam hal ini yurisdiksi peradilan
militer harus didasarkan terutama oleh tindak pidana yang
disangkakan, dan bukan semata-mata pada subyek pelaku,
waktu, atau lokasi terjadinya kejahatan. Dengan demikian,
yurisdiksi peradilan militer terbatas pada tindak pidana yang
diatur dalam KUHP Militer. Yurisdiksi berdasarkan tindak
pidana yang disangkakan tersebut (ratione materiae) dapat
diperluas jika dan hanya jika Indonesia sedang mengalami
situasi perang. Dari aspek subyek pelaku tindak pidana
(ratione personae), yurisdiksi peradilan militer terbatas
pada mereka yang menjadi anggota militer serta yang
dipersamakan.
Sedangkan dari segi lokasi kejadian perkara
(ratione loci), yurisdiksi peradilan militer hanya terbatas
pada medan pertempuran ketika Indonesia sedang dalam
situasi perang. Dalam situasi perang, aspek-aspek ratione
89
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
materiae, personae dan loci di atas dapat diperluas dengan
berdasarkan keputusan/persetujuan DPR. Maka dari itu,
dengan prinsip ini praktek peradilan koneksitas menjadi
tidak relevan dan harus dihapuskan dari sistem peradilan
militer.
Prinsip
ketujuh,
peradilan
militer
harus
bersifat terbuka sehingga bisa dikontrol dan dapat
dipertanggungjawabkan. Segala bentuk pelanggaran serta
tindakan terhadap pelanggaran hukum pidana dan disiplin
militer, harus dilaporkan dan dapat di-review oleh eksekutif
melalui Menteri Pertahanan. Dengan demikian diharapkan
dapat dicegah terjadinya pemidanaan militer dan mekanisme
disiplin militer terhadap tindakan yang semestinya masuk
yurisdiksi peradilan umum.
Prinsip kedelapan, menyangkut akuntabilitas
peradilan militer, harus ada aturan yang jelas dan terukur
mengenai mekanisme hukum dan disiplin militer yang
berlaku di lingkungan internal militer. Oleh karena itu
mekanisme-mekanisme ekstra-yudisial seperti Dewan
Kehormatan Militer atau Dewan Kehormatan Perwira harus
dihapus. Kalaupun diperlukan mekanisme ekstra-yudisial
semacam itu, tidak boleh bersifat subtitutif terhadap sistem
hukum yang berlaku. Mekanisme-mekanisme ekstra-yudisial
tersebut harus ditempatkan sebagai komplemen/suplemen
dari sistem hukum yang berlaku.
Prinsip kesembilan, sebagai bagian dari unifikasi
hukum dan menghindari dualisme rezim hukum tata usaha
di Indonesia, maka Undang-undang Peradilan Militer tidak
semestinya mengatur tata usaha militer.
Perluasan Yurisdiksi Material Peradilan Militer:
Perebutan
90
Statuta Roma
dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
Setelah sebelumnya melakukan perluasan yurisdiksi
formal dengan memasukan orang sipil dalam yurisdiksi
Pengadilan militer.
Kali ini fokus utamanya adalah
perluasan yurisdiksi material berkait dengan upaya militer
untuk memasukan salah satu kejahatan serius dalam hukum
internasional. Dalam draft RUU Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Militer (2005), dimana dimasukan kejahatan
seperti kejahatan perang. Sedangkan Komnas HAM dalam
Draft RUU Amandemen UU No. 26 Tahun 2000 telah
memasukan pula kejahatan perang sebagai yurisdiksinya.
Dengan kata lain militer “berlomba” dengan
Komnas HAM untuk memperebutkan yurisdiksi kejahatan
perang bagi Pengadilan militer dan Pengadilan HAM.
Padahal bila ditelisik dengan seksama dari praktikpraktik pengadilan internasional seperti International
Military Tribunal (IMT) atau Nuremberg Tribunal 1945;
International Military Tribunal for the Far East (IMTFE)
atau dikenal sebagai Tokyo Tribunal 1945; International
Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) 1994
serta International Criminal Tribunal for Rwanda (1996),
menunjuklan bahwa tidak hanya anggota militer yang dapat
didakwa melakukan kejahatan perang melainkan juga orang
sipil. Salah satu contoh kasus adalah ketika bekas Presiden
Yugoslavia, Slobodan Milosevic akhirnya diadili oleh ICTY
dalam dengan salah satu dakwaannya adalah kejahatan
perang.
Preseden ini juga bukan menjustifikasi kejahatan
perang berada dalam yurisdiksi material Pengadilan
Militer dengan fokus keterlibatan orang sipil. Sama sekali
tidak karena justeru Pengadilan Militer harus dan hanya
mengadili kasus-kasus kejahatan yang memang khas militer
serta mengeluarkan kejahatan perang didalamnya.
91
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Jika menelisik KUHPM dimaksudkan sebagai
tambahan dari KUHP, namun berlaku khusus untuk militer
dan orang-orang lainnya yang tunduk kepada yurisdiksi
peradilan militer.16 Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa selain tunduk pada KUHPM mereka juga masih
tunduk pada ketentuan-ketentuan KUHP selama tidak ada
ketentuan-ketentuan lain yang mengecualikannya.17 Alasanalasan di mana keberadaan KUHPM merupakan tambahan
dari KUHP antara lain bahwa ketentuan-ketentuan hukum
yang terdapat dalam KUHP dianggap belum atau tidak
cukup keras terhadap beberapa perbuatan tertentu di mana
perbuatan itu jika dilakukan oleh seorang militer di dalam
keadaan tertentu akan mempunyai sifat yang sangat berat.
Misalnya adalah kejahatan pencurian yang diatur dalam
Pasal 362 KUHP dengan Pasal 140 KUHPM. Selain itu
beberapa perbuatan yang terdapat dalam KUHPM hanya
dapat dilakukan oleh militer. Misalnya sengaja tidak
menaati perintah kedinasan (Pasal 103 KUHPM) atau
menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban dinas (Pasal
118 KUHPM).18
Pada Buku II KUHPM mengatur perihal kejahatan
dan membaginya atas tujuh bab yaitu:
1. Kejahatan-kejahatan terhadap keamanan negara.
2. Kejahatan-kejahatan
terhadap
kewajibankewajiban militer tidak dengan maksud untuk
memberikan bantuan kepada musuh atau
merugikan negara terhadap musuh.
16
Marjoto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnja
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, 1965), hal. 8.
17
Ibid. hal. 8. Lihat juga Pasal 1 dan 2 KUHPM.
18
Ibid. hal 8-9.
92
Statuta Roma
dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
3. Kejahatan-kejahatan yang merupakan suatu cara
bagi seorang militer menarik diri dari pelaksaan
kewajiban dinas.
4. Kejahatan-kejahatan pengabdian.
5. Kejahatan-kejahatan tentang pelbagai keharusan
dinas.
6. Pencurian dan penadahan.
7. Merusak, membinasakan atau menghilangkan
barang-barang keperluan angkatan perang.
Sebagian besar kejahatan itu sebenarnya diatur
juga dalam KUHP. Salah satu kejahatan yang sama-sama
diatur oleh KUHPM dan KUHP adalah kejahatan-kejahatan
terhadap keamanan negara. Dalam KUHPM kejahatan
tersebut diatur dalam Pasal 64 hingga Pasal 72 sedangkan
pada KUHP diatur dalam Pasal 104 hingga 129.
Berangkat dari berbagai macam kejahatan itu
serta hubungannya dengan KUHP, tindak pidana militer
sebagaimana yang diatur dalam KUHPM dibagi dalam dua
bagian yaitu:19
1. Tindak pidana militer murni yaitu tindakantindakan yang pada prinsipnya hanya mungkin
dilanggar oleh seorang militer karena keadaanya
yang bersifat khusus atau karena suatu kepentingan
militer menghendaki tindakan tersebut ditentukan
sebagai tindak pidana. Adapun contohnya:
a. Seorang militer yang dalam keadaan
19
S.R. Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1985), hal. 19.
93
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
perang dengan sengaja menyerahkan
seluruh atau sebagian dari suatu pos
yang diperkuat kepada musuh tanpa ada
usaha mempertahankannya sebagaimana
dituntut/diharuskan dari padanya (Pasal
73 KUHPM).
b. Kejahatan Desersi (Pasal 87 KUHPM)
c. Meninggalkan pos penjagaan (Pasal 118
KUHPM)
2. Tindak Pidana Militer Campuran yaitu tindakantindakan yang pada pokoknya sudah ditentukan
dalam perundang-undangan lain namun diatur
kembali dalam KUHPM atau undang-undang
hukum pidana militer lainnya karena adanya suatu
keadaan yang khas militer atau karena adanya
sesuatu yang sifatnya lain sehingga diperlukan
ancaman pidana yang lebih berat dari ancaman
pidana semula sebagaimana telah diatur dalam
Pasal 52 KUHP. Contoh dari tindak pidana tersebut
adalah seorang militer yang ikut serta melakukan
pemberontakan diatur dalam Pasal 65 KUHPM
yang pada intinya juga diatur dalam Pasal 108
KUHP. Perbedaan dari kedua Pasal tersebut adalah
subyek dan ancaman pidananya.
Dalam melihat tindak militer campuran,
sebagaimana telah dijelaskan dalam kaitannya dengan
kejahatan makar kita haruslah jeli melihat bahwa yurisdiksi
yang berlaku adalah peradilan umum.
Kekosongan pengaturan kejahatan perang dalam
hukum nasional kita juga dapat menjadi permasalahan. Selain
itu kita dapat melihat contoh berkait dengan praktik pasukan
94
Statuta Roma
dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
perdamaian PBB dimana Indonesia sangat aktif dalam peran
sertanya menjaga perdamaian dunia.20 Asas Komplementer
tetap berlaku namun permasalahannya Indonesia tidak
memiliki mekanisme hukum nasional untuk mengadili para
pelaku khususnya berkait dengan kejahatan perang. UU No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak mengatur
kejahatan perang dalam yurisdiksinya. Sehingga dapat
dimungkinkan kemungkinan dikategorikan tidak mampu
(unable) untuk mengadili para pelaku kejahatan. Namun
sepertinya militer mengmabil kesempatan ini untuk mereka
dapat mengadili sendiri kasus-kasus kejahatan perang baik
dalam penugasan nasional maupun internasional.
Simpulan
Berangkat dari pemaparan diatas dapat disimpulkan
bahwa reformasi sektor keamanan Indonesia lebih banyak
mengakomodasi kepentingan-kepentingan militer yang
sebenarnya tidak beranjak dari persoalan-persoalan yang
seharusnya direformasi. Reformasi peradilan militer yang
menjadi bagian didalamnya telah membuktikan kegagalan
Indonesia untuk memutus rantai impunitas yang selama ini
dipraktikan oleh peradilan Militer.
Perubahan-perubahan seperti perluasan yurisdiksi
formal dan terutama sekali yurisdiksi material merupakan
bukti lain dimana militer mencoba menjadi sangat superior
dalam dunia peradilan. Statuta Roma, preseden-perseden
serta keputusan-keputusan pengadilan internasional berkait
dengan kejahatan perang tidak menjadi tolok ukur bahwa
pengadilan militer tidak memiliki yurisdiksi dalam mengadili
kejahatan tersebut.
20
Secara khusus dapat dibaca dalam pembahasan perihal Perlindungan Pasukan
Perdamaian dan Buruh Migran
95
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Sungguhpun demikian, jalan keluar dari persoalan
ini adalah Indonesia secepatnya meratifikasi Statuta Roma.
Ratifikasi Statuta Roma justeru menjadi pemicu dari
upaya Indonesia untuk perbaikan serta penguatan atas
mekanisme hukum nasionalnya. Dengan demikian adalah
tepat memasukan kejahatan perang dalam Amandemen
UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sekaligus
sebagai bentuk implementasi Statuta Roma dalam hukum
nasional Indonesia.
96
Tentang Complementarity dan
Retroactivity
Agung Yudhawiranata
Asas Komplementer
Terdapat kekhawatiran di beberapa kalangan
bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma
tentang
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) berarti menyetujui
dan mengikatkan diri terhadap semua aturan dalam Statuta
Roma.1 Hal ini menurut beberapa kalangan sangat beresiko
khususnya bagi negara berkembang, dikarenakan pandangan
bahwa ICC akan merongrong kedaulatan hukum nasional
melalui intervensi kewenangan ICC terhadap pengadilan /
sistem hukum suatu negara.
1
Merupakan reaksi terhadap prinsip non-reservasi yang dianut oleh Statuta Roma
1998 dalam Pasal 120 yang menyatakan bahwa “No reservation may be made
to this statute.” Artinya bila suatu Negara meratifikasi dan menjadi pihak dalam
Statuta ini maka Negara harus menerima dan melaksanakan semua ketentuan
dalam Statuta Roma tanpa kecuali. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
penyimpangan dan tidak sampainya tujuan yang dimaksud dalam pembuatan
Statuta. Lihat William Schabas, An Introduction to the International Criminal
Court, Cambridge University Press, 2001, hlm.159-160., Otto Triffterer (ed),
Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, BadenBaden : Nomos Verl Ges., 1999, hlm. 1251-1263.
97
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Kekhawatiran sebagian masyarakat akan adanya
intervensi internasional oleh ICC ke dalam hukum nasional
Indonesia sebenarnya terjawab dengan uraian mengenai
prinsip komplementer (complementarity principle) yang
merupakan prinsip fundamental dari keberlakuan ICC
dalam suatu Negara. Prinsip ini tertuang dalam paragraf
10 Mukadimah2 yang berarti bahwa ICC hanya merupakan
pelengkap bilamana pengadilan nasional tidak mau
(unwilling) atau tidak mampu (unable) mengadili suatu
pelanggaran berat terhadap kemanusiaan menjadi alasan
dasar yang menepis kekhawatiran Negara akan intervensi
internasional dalam kedaulatan negaranya bilamana
menjadi negara pihak Statuta Roma. Pasal 1 Statuta Roma
juga menyatakan bahwa tujuan pembentukan Mahkamah
adalah untuk menerapkan jurisdiksi atas pelaku tindak
pidana internasional sebagaimana terdapat dalam Statuta
dan memiliki fungsi untuk melengkapi (complementarity)
sistem peradilan nasional Negara.3
Perlu ditegaskan bahwa Mahkamah adalah sebuah
hasil proses perundingan demokratis yang ingin menciptakan
“international justice” dan lebih mengedepankan nilai-niliai
hukum sesuai dengan tujuan utama PBB (Pasal 1 ayat 1
Piagam PBB)4 diantaranya untuk mencegah berkembangnya
2
Paragraf 10 Preamble Statuta Roma: “Emphasizing that the International Criminal
Court established under this Statute shall be complementary to national criminal
jurisdictions”.
3
Hans-Peter Kaul, Breakthrough in Rome Statute of the International Criminal
Court; Law and State, vol.59/60, Supp.10 (a/49/10)
4
Pasal 1 ayat (1) Piagam PBB: “Tujuan PBB adalah memelihara perdamaian dan
keamanan internasional dan untuk tujuan itu: mengadakan tindakan-tindakan
bersama yang efektif untuk mencegah dan melenyapkan ancaman-ancaman
terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap perdamaian; dan akan menyelesaikan
dengan jalan damai, serta sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum
internasional, mencari penyesuaian atau penyelesaian pertikaian-pertikaian
internasional atau keadaan-keadaan yang dapat mengganggu perdamaian”
98
Tentang Complementarity
dan Retroactivity
kejahatan-kejahatan internasional.5
Singkatnya, Mahkamah Pidana Internasional
dilarang melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatan
ketika pengadilan nasional sedang mengadili kejahatan
yang sama dan (i) Kasusnya sedang diselidiki atau dituntut
oleh suatu Negara yang mempunyai jurisdiksi atas kasus
tersebut, (ii) Kasusnya telah diselidiki oleh suatu Negara
yang mempunyai jurisdiksi atas kasus tersebut dan Negara
itu telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang
bersangkutan, kecuali kalau keputusan itu timbul dari
ketidaksediaan atau ketidak-mampuan Negara tersebut
untuk benar-benar melakukan penuntutan; (iii) kasusnya
tidak cukup gawat untuk membenarkan tindakan lebih
lanjut oleh Mahkamah (Pasal 17 Statuta Roma). Dan sebagai
tambahan, (iv) orang yang bersangkutan telah dihukum atau
dibebaskan atas kejahatan yang sama, melalui pengadilan
dan layak dan adil (Pasal 17(c) dan 20 Statuta Roma).6
Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan
mekanisme hukum nasional suatu Negara kecuali jika
Negara tersebut “tidak mau” (unwilling) atau “tidak
mampu” (unable) untuk melakukan penyelidikan atau
penuntutan terhadap pelaku sehingga kejahatan tersebut
menjadi yurisdiksi Mahkamah (Pasal 17 Statuta Roma).
Selain itu, prinsip komplementer ini tidak hanya
berlaku terhadap Negara pihak Statuta saja tetapi juga
terhadap negara yang bukan merupakan pihak Statuta
Roma (Pasal 18 (1)) tetapi memberikan pernyataan sebagai
pengakuannya atas jurisdiksi ICC. Misalnya, seorang warga
5
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2003, hlm.544.
6
Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, 2003, p.
342.
99
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
negara bukan pihak Statuta yaitu negara A telah melakukan
kejahatan internasional dalam wilayah teritori negara B
yang merupakan pihak dari Statuta Roma, kemudian ia
kabur ke negara C yang bukan merupakan pihak Statuta
Roma. Negara C melaksanakan yurisdiksinya terhadap
warga negara A tersebut dengan dasar bahwa kejahatan
tersebut merupakan kejahatan yang diatur dalam perjanjian
internasional dan tersangka berada dalam wilayah teritorinya
(the forum deprehensionis principle) atau juga karena
didasarkan pada prinsip universalitas. Dan Mahkamah
tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya apabila terbukti
bahwa Negara C memiliki kemauan dan mampu untuk
melaksanakan pengadilan yang layak dan adil.7
Paparan di atas secara jelas menggambarkan bahwa
ICC tidak berfungsi untuk menggantikan pengadilan nasional
suatu Negara melaksanakan kewajiban penghukuman
terhadap pelaku kejahatan yang termasuk dalam jurisdiksi
ICC. Bahwa tanggungjawab utama untuk menghukum
pelaku kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC adalah
Negara, bukan ICC. Karena itu mekanisme penegakkan
hukum di Negara tersebut harus benar-benar efektif,
misalnya dengan memasukkan kejahatan dalam yurisdiksi
ICC sebagai kejahatan dalam sistem hukum nasionalnya.
Pengalaman Indonesia dalam menegakkan hukum
khususnya hukum HAM dengan disertai berbagai hambatan
dalam instrumen hukum, aparat penegak hukum serta
sarana dan prasarana yang tidak memadai, menjadikan
peratifikasian Statuta Roma terasa begitu penting untuk
mendorong Indonesia segera membenahi berbagai
kekurangan dan kelemahannya tersebut. Peratifikasian
Statuta Roma merupakan bentuk komitmen nyata dalam
rangka upaya perlindungan HAM dan penegakan hukumnya
7
ibid
100
Tentang Complementarity
dan Retroactivity
yang dapat memberi banyak keuntungan baik secara hukum
maupun politis.
ICC merupakan the last resort atau disebut juga
ultimum remedium. Pasal 17 ayat (1) huruf a, b dan c
menegaskan bahwa pengadilan nasional yang merupakan
kedaulatan Negara tidak dapat dikontrol oleh ICC, jadi
bila Negara mampu melakukan penuntutan maka ICC
tidak akan mencampuri jurisdiksi nasional Negara tersebut.
Ini merupakan jaminan bahwa ICC bertujuan untuk
mengefektifkan sistem pengadilan pidana nasional suatu
Negara.
Asas Non-retroaktif
Selain prinsip complementarity, Statuta Roma
juga menganut prinsip non-retroktif. Artinya, kejahatankejahatan yang masuk dalam yurisdiksi Statuta Roma
namun terjadi sebelum disahkannya Statuta Roma, tidak
akan dapat diadili di Mahkamah Pidana Internasional
(ICC). Dengan demikian, Indonesia tidak perlu khawatir
bahwa para pejabat negaranya akan diadili di Mahkamah
Pidana Internasional dengan tuduhan bertanggung jawab
atas kejahatan HAM yang terjadi di masa lalu.
Khususnya mengenai prinsip non-retroaktif ini,
terjadi pemahaman yang keliru mengenai penerapannya
dalam sistem dan mekanisme hukum Indonesia. Sebagian
kalangan mengkhawatirkan, jika Statuta Roma diratifikasi
maka mekanisme pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk
oleh UU No.26 Tahun 2000 untuk mengadili kejahatan serius
HAM di masa lalu terpaksa dihapuskan atas nama mentaati
prinsip non-retroaktif yang dijunjung tinggi dalam Statuta
Roma, dan oleh karenanya akan menghilangkan harapan
101
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
korban pelanggaran HAM masa lalu akan keadilan.8
Berdasarkan praktek hukum internasional,
kewenangan untuk mengadili pelanggaran masa lalu yang
dimungkinkan melalui mekanisme pengadilan HAM ad
hoc berdasarkan UU No.26/2000 bukanlah merupakan
pelanggaran terhadap asas non-retroaktif, karena yang ada
adalah kewenangan pelaksanaan yurisdisksi retrospektif
(exercising retrospective jurisdiction) dan bukan pengakuan
atas asas retroaktif. Dalam hukum internasional tidak
dikenal adanya asas retroaktif, yang dikenal adalah asas nonretroaktif yang menjadi prinsip dasar (cardinal principle)
dari hukum internasional.
Menurut prinsip-prinsip hukum umum (general
principles of law) yang menjadi sumber hukum internasional,
pelanggaran HAM berat yang menjadi yurisdiksi dari UU
No.26 Tahun 2000 yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against humanity) dan kejahatan genosida (crimes
of genocide) merupakan kejahatan internasional paling
serius (most serious international crimes) yang tunduk
pada yurisdiksi hukum internasional sebagai ius cogens
dimana pelakunya dianggap musuh semua umat manusia
(hostis humane generis) dan merupakan kewajiban semua
bangsa (obligatio erga omnes) untuk mengadili pelakunya.
Sejak diselenggarakannya pengadilan Nuremberg 1946 dan
Pengadilan Tokyo 1946 maka pengadilan atas kejahatan
internasional paling serius tersebut tidak lagi dianggap
pelanggaran terhadap asas non-retroaktif.
8
Pendapat ini muncul berdasarkan pemahaman bahwa
mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk oleh UU
No.26 Tahun 2000 adalah penerapan asas retroaktif. Pemahaman
ini keliru, karena dalam hukum pidana internasional tidak dikenal
adanya asas retroaktif, yang ada hanya asas non-retroaktif sebagai
pengejawantahan dari asas kardinal nulla poena sine lege primae.
102
Tentang Complementarity
dan Retroactivity
Selain itu, perlu kembali diingat bahwa Statuta
Roma menjunjung tinggi asas complementarity yang
mengutamakan proses pidana domestik sebelum dapat
diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional. Ini merupakan
pengakuan eksplisit bahwa kepentingan nasional Negara
Pihak menjadi hal yang diutamakan. Maka, mekanisme
pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili pelanggaran
berat HAM masa lalu sebagaimana diatur dalam UU No.26
Tahun 2000 dapat diletakkan dengan tepat dalam konteks
argumen “demi kepentingan nasional” karena memang
ada kebutuhan obyektif untuk menyelesaikan pelanggaran
HAM masa lalu di Indonesia agar dapat menatap masa
depan Indonesia yang lebih baik, dan karenanya mekanisme
internasional tidak dapat mengganggu gugat kondisi ini.
Kepentingan Nasional
Tujuan Statuta Roma untuk memberikan jaminan
penghukuman bagi kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang dan genosida, menghapuskan rantai
impunity dan mengefektifkan mekanisme hukum nasional,
dapat menjadi sarana pendorong bagi Indonesia untuk
segera membenahi kekurangannya tersebut dan mewujudkan
komitmennya sebagai negara yang menjunjung tinggi
penegakkan HAM. Diharapkan, dengan diratifikasinya
Statuta Roma disertai dengan penyerbarluasan informasi
yang terstruktur dan sistematis, maka pemahaman
tentang aturan hukum HAM dan kewajiban negara dalam
menegakkan hukum HAM internasional dapat lebih baik
lagi. Dan tentu saja, untuk mewujudkannya diperlukan
kerjasama yang baik serta peran aktif berbagai pihak baik
pemerintah sebagai pembuat kebijakan, legislatif sebagai
sarana legitimasi, para penegak hukum, akademisi dan
seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya.
103
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Implikasi ratifikasi sendiri tidak hanya keluar, tapi
juga ke dalam. Selama ini ratifikasi instrumen internasional
/ absorbsi nilai-nilai universal dianggap melemahkan
integritas nasional bukan menguatkan, sehingga dalam
penerapannya ada resistensi-resistensi. Harus dibangun
wacana/argumen bahwa meratifikasi ini justru adalah upaya
untuk memperkuat ikatan-ikatan kebangsaan, NKRI, dsb
(termasuk bahwa nilai-nilai yg diperjuangkan ICC khususnya
dan gerakan HAM pada umumnya selaras dengan nilai-nilai
Pancasila seperti kemanusiaan yg adil dan beradab) perlu
dielaborasi. Misalnya tentang jaminan keadilan, jaminan
pencegahan kekejaman di masa depan, dan sebagainya.
ini diletakkan dalam prinsip-prinsip ratifikasi yang tidak
menyerang nasionalisme. Sebaliknya, proses ratifikasi ini
justru diharapkan dapat melakukan purifikasi terhadap
pemahaman yang salah atas nasionalisme selama ini.
Mengingat pentingnya arti Statuta Roma dalam
upaya perlindungan HAM internasional, dan menyadari
kelemahan Indonesia dalam memberikan jaminan
perlindungan HAM bagi warganegaranya ditandai dengan
masih terjadinya praktek impunity, ketidakmemadaian
instrumen hukum HAM, aparat penegak hukum serta
sarana prasarana perlindungan saksi dan korban di
Indonesia menjadikan peratifikasian Statuta Roma sebagai
suatu kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan. Dalam
konteks ini, perlu dibangun pemahaman bersama bahwa
national interest Indonesia bukan hanya menjaga sovereignty
of the State, tapi bahwa menghormati HAM juga bagian
dari national interest yang diakui dalam konstitusi seperti
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu ikut serta
secara aktif dalam memelihara perdamaian, ketertiban dan
keamanan dunia.
104
REKAM PROSES PERAN
MASYARAKAT SIPIL DALAM
UPAYA MENDORONG
RATIFIKASI STATUTA ROMA
DI INDONESIA
Pengantar
Ratifikasi
Statuta
Roma
(ICC – International Criminal Court)
merupakan agenda penting bagi
kemajuan hukum dan keadilan di
Indonesia. Ratifikasi Statuta Roma
akan memberikan kontribusi yang
sangat positif dalam penegakan
dan perlindungan hak asasi manusia
di Indonesia, ditingkat regional dan
internasional. Kegagalan mekanisme hukum nasional
untuk memenuhi keadilan bagi korban dan semakin
berkembangnya fenomena impunitas menjadi dasar
kebutuhan Indonesia akan mekanisme hukum internasional
105
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
yang dapat memberikan keadilan bagi korban dan
melindungi masyarakat dari tindak pelanggaran HAM.
Pentingnya posisi Statuta Roma ICC sebagai salah satu
mekanisme internasional yang dapat menjamin penegakan
dan perlindungan HAM menjadikan ratifikasi ICC sebagai
agenda bersama bagi komunitas korban pelanggaran HAM
dan organisasi HAM di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, perkembangan
upaya Indonesia dalam meratifikasi ICC menunjukkan
perkembangan positif dengan adanya komitmen dari
Pemerintah Indonesia untuk melakukan ratifikasi pada
tahun 2008 seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No.
40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia tahun 2004-2009. Di sisi lain, perkembangan positif
ini juga menghadirkan beberapa tantangan untuk memenuhi
komitmen ratifikasi ICC pada tahun 2008. Tantangan ini bisa
dideskripsikan sebagai: pertama, bagaimana publik dapat
memastikan Pemerintah melaksanakan komitmen untuk
meratifikasi ICC dan, kedua, pada waktu yang beriringan
juga untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan
mengenai ICC dalam insitusi pemerintahan dan anggota
DPR yang berada dalam level pemerintahan. Selain itu,
ketiga, peningkatan pemahaman publik mengenai apa itu
ICC dan alasan mengapa masyarakat membutuhkan ICC
harus dilakukan secara lebih massif dengan mengumpulkan
berbagai perspektif dan pendapat masyarakat mengenai
ICC.
Dalam perspektif tersebut, IKOHI dengan
dukungan dari Indonesia-Australia Legal Development
Facility (IALDF), menjalankan program “Indonesia Menuju
Ratifikasi Statuta Roma ICC” sebagai sebuah upaya
untuk mendorong ratifikasi ICC di Indonesia. Program ini
bertujuan untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut
106
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
diatas. Tantangan ini memang bukan tantangan yang
mudah dan sederhana karena mencakup dua ranah kerja
yang kadang sangat sulit berhubungan: masyarakat dan
pemerintah. Namun dengan pendekatan dan strategi yang
tepat dan didukung berbagai aktivitas, diyakini mampu
menjawab tantangan tersebut.
Setelah melalui pergulatan dan kerja keras selama
lebih dari satu tahun, berbagai perkembangan positif telah
dicapai. Menguatnya wacana ratifikasi Statuta Roma ICC
dalam masyarakat dan konsolidasi masyarakat sipil dalam
mendorong proses ratifikasi adalah sebagian perkembangan
positif yang telah dicapai. Tulisan ini mencoba merekam
proses dan upaya yang telah dilakukan sebagai sebuah
bahan refleksi dari upaya masyarakat sipil dalam mendorong
ratifikasi ICC di Indonesia.
Membangun dan Mengelola Dukungan Masyarakat Sipil
Dalam rangka merancang dan melaksanakan
strategi kerja yang komprehensif dalam proses ratifikasi
Statuta Roma ICC di Indonesia, pada tanggal 10 Juni 2008
di Jakarta diadakan sebuah pertemuan untuk membentuk
tim ahli dan sekaligus motor kerja untuk membuat draft
naskah akademis dan mempersiapkan seluruh aktivitas
yang berhubungan dengan rancangan strategi tersebut. Tim
ini beranggotakan lima orang berdasarkan latar belakang
kemampuan dan bidang kerja yang ditekuni. Mereka
adalah Mugiyanto dari IKOHI yang berkecimpung dalam
perjuangan keadilan dan hak-hak korban pelanggaran
HAM, Agung Yudhawiranata (ELSAM) yang selama ini
mengeluti riset dan kajian mengenai HAM, Bhatara Ibnu
Reza (IMPARSIAL) yang menekuni isu HAM dan security
sector reform, Reny Rawasita Pasaribu (PSHK) yang intens
107
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
dalam kajian dan penguatan instrumen hukum, serta Zainal
Abidin (YLBHI) yang berpengalaman dalam riset dan
pembelaan kepada masyarakat. Pada bulan April 2009,
posisi Reni Rawasita Pasaribu digantikan oleh Herni Sri
Nurbayanti (PSHK) karena Reny harus pindah ke Perancis.
Untuk memastikan implementasi dan penerapan strategi
serta menjadi jembatan komunikasi bagi anggota tim,
dibentuklah tim kesekretariatan yang berlokasi di IKOHI.
Keberadaan tim ahli inilah, beserta dengan lembaga masingmasing, yang menjadi pencetus sekaligus tulang punggung
berdirinya Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk
Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Untuk memberikan penguatan dan masukan
terhadap berbagai draft yang diproduksi, Koalisi meminta
beberapa orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman
dalam berbagai isu seputar ICC sebagai Dewan Pengarah
dalam Koalisi. Dewan Pengarah ini terdiri dari: Enny
Soeprapto, Ph.D, Fadillah Agus, S.H., M.H, Galuh Wandita,
B.A., LL.M, Ifdhal Kasim, S.H, Kemala Tjandrakirana, M.A
dan Dr. Rudi M. Rizki, S.H., LL.M.
Dalam memperkuat dukungan publik untuk proses
ratifikasi di Indonesia, dalam workshop Statuta Roma
yang diadakan di Jakarta pada bulan Juni 2008, seluruh
partisipan sepakat untuk membuat koalisi yang lebih luas
untuk mensupport ratifikasi. Koalisi sendiri dinamakan
“Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana
Internasional” yang diluncurkan pada tanggal 25 Juni 2008.
Anggota koalisi terdiri dari banyak sector dari akademisi,
media, kelompok perempuan, komunitas korban dan NGO.
Koalisi juga terdiri dari person individu yang memiliki
kepedulian tentang reformasi hukum, keadilan, dan HAM
di Indonesia.
108
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Koalisi Indonesia juga menjadi anggota koalisi
internasional untuk ICC (CICC), sebuah koalisi internasional
dengan lebih dari 2,500 organisasi di seluruh dunia, koalisi
ini dibangun untuk mendukung kampanye dalam proses
ratifikasi.
Menggelar Konsultasi Publik untuk Isu ICC
Sebagai elemen penting dalam upaya mendorong
ratifikasi ICC, konsultasi publik adalah sebuah proses
yang sangat penting. Konsultasi publik merupakan sebuah
wadah untuk menghimpun pandangan dan masukan dari
berbagai elemen masyarakat mengenai isu ICC. Untuk
mengoptimalkan prose’s konsultasi publik ini, Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional
menyusun serangkaian proses konsultasi publik dalam
format focused group discussion (FGD) di enam daerah
yaitu Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Aceh dan Papua.
109
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Masing-masing FGD mendiskusikan dan memuat masukan
strategis dari 15 orang stakeholder utama dan ahli-ahli
ditingkat daerah. Partisipan yang terlibat termasuk pejabat
pemerintah, akademisi, pengacara dan pemuka masyarakat
dalam bidang yang relevan.
Secara lebih spesifik, rangkaian FGD ini memiliki
tujuan untuk: (1) mendapatkan pemahaman mengenai
tujuan ratifikasi Statuta Roma dalam konteks hukum,
politik dan ekonomi serta mendiskusikan strategi kampenye
dan penyebaran informasi mengenai pentingnya ratifikasi
Statuta Roma kepada publik, (2) berbagi pengetahuan dan
sumber daya antara pemerintah, parlemen, akademisi dan
masyarakat sipil untuk mengatur dan mempercepat proses
ratifikasi dan (3) pembagian peran dan kerja diantara
stakeholder dan peserta dalam rangka mempercepat proses
ratifikasi Statuta Roma. Rangkaian proses dan hasil dari
konsultasi publik atau FGD dapat dipaparkan sebagai
berikut:
Jakarta
110
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Sebagai pembuka proses konsultasi publik
tentang ICC digelar FGD di Jakarta selama dua hari pada
tanggal 24-25 Juni 2008 di Hotel Harris, Jakarta. Proses
ini dihadiri lebih dari 20 orang yang berasal dari institusi
pemerintah dan masyarakat sipil. Pada sesi hari pertama
difokuskan pada topik urgensi Indonesia meratifikasi
Statuta Roma, konsekuensi-konsekuensi ratifikasi, dan isuisu penting seperti non-surrender agreement, kedaulatan
negara, dan pelanggaran HAM masa lalu dengan narasumber
Bhatara Ibnu Reza (Tim Ahli - Imparsial) dan Evelyn Balais
Serrano (Coalition for The International Criminal Court CICC).
Pada hari kedua, proses
dilanjutkan dengan menfokuskan pada
perkembangan terakhir dalam proses
persiapan ratifikasi, kendala yang
dihadapi dan upaya mencari kesepakatan
jalan keluar, kebutuhan penyusunan
peraturan pelaksanaan yang terpadu
dengan narasumber Nursyahbani Katjasungkana (DPR RI)
dan Prof Hakristuti Hakrisnowo, SH, MA, Ph.D (Dirjen
HAM-Depkumham RI)
Dari proses selama dua hari ini, terpaparkan
kendala-kendala yang dapat menjadi ganjalan upaya
ratifikasi ICC bagi Indonesia. Kendala-kendala tersebut
adalah:
•
Ratifikasi ICC tidak masuk dalam PROLEGNAS
2005-2009
•
Hubungan antara ICC dan sistem hukum nasional,
khususnya
dalam
implementasi
peraturan
dibutuhkan untuk meratifikasi Statuta Roma
111
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
•
Ratifikasi Statuta Roma tergantung pada kebijakan
dan sikap politik pemerintah
•
Ada keengganan dari beberapa aktor politik di
Indonesia
Menghadapi kendala-kendala ini disusun beberapa
rekomendasi penting yang meliputi:
• Media memiliki peran penting untuk mendorong
proses ratifikasi Statuta Roma, dan adalah hal yang
penting untuk melibatkan media dalam kerja-kerja
koalisi
• Pentingya
publik.
menyebarkan
materi
ICC
kepada
• Materi ICC akan sangat menarik dalam kuliah
di universitas. Forum Dekan direkomendasikan
sebagai salah satu kelompok sasaran untuk diajak
112
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
bekerjasama dalam konteks menggelar kuliah di
tingkat universitas.
• Di
setiap
propinsi,
Forum
RANHAM
direkomendasikan sebagai kelompok sasaran
untuk diajak bekerjasama untuk mendorong proses
ratifikasi Statuta Roma
• Pentingnya untuk bekerjasama dengan kelompok
atau institusi yang menangani isu-isu perempuan
Pada acara ini juga, secara resmi diluncurkan
keberadaan Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk
Mahkamah Pidana Internasional sebagai langkah konkrit
dari masyarakat sipil untuk mendorong ratifikasi ICC di
Indonesia. Selain oleh Koalisi ini, dorongan agar Indonesia
meratifikasi ICC juga dilakukan oleh Koalisi Internasional
untuk ICC (CICC), sebuah koalisi internasional yang
beranggotakan 2.500 organisasi. CICC meluncurkan
program Kampanye Ratifikasi Universal bulan Juni 2008
dengan target Indonesia. Sebagai bagian dari kampanye
tersebut, CICC telah mengirimkan surat ke Presiden SBY,
Menkumham dan Menlu tanggal 11 Juni 2008.
Surabaya
P r o s e s
konsultasi publik
dilanjutkan dengan
FGD di Surabaya
yang
dilakukan
pada 29 - 30 Juli
2008 dengan peserta
113
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
33 orang yang berasal dari lembaga pemerintah, akademisi
dan masyarakat sipil seperti: Komisi A DPRD Jatim, SBMIJatim, KPPD – Surabaya, ALHA-RAKA Syarikat-Jember,
LPKP 65-Surabaya, MBH-Surabaya, BEM UWK-Surabaya,
BEM FISIP Unair- Surabaya, IKOHI-Malang, Forsam –
Unair, LBH-Surabaya, Repdem – Jatim, Tim Advokasi TNI/
Polri, Lakpesdam NU – Sumenep, AGRA – Jatim, Walhi –
Jatim, CRCS, AJI Surabaya, Staff Pengajar HI FISIP Unair,
Korban Alas Tlogo – Pasuruan.
Fokus
utama
proses
FGD
adalah
mengenai
bagaimana mekanisme ICC dapat
diimplementasikan dalam kasuskasus pelanggaran HAM yang
terjadi di wilayah lokal. Meskipun
pelanggaran HAM masa lalu
tidak termasuk dalam jurisdiksi
ICC, meratifikasi Statuta Roma
merupakan sesuatu yang sangat
penting sebagai affirmative action
untuk mencegah pelanggaran HAM terjadi lagi dimasa
yang akan datang. Adapaun untuk mengawal proses
diskusi dihadirkan narasumber Agung Yudhawiranata (Tim
ahli – ELSAM), Riawan Adi (Ahli Hukum Pidana) dan R.
Herlambang Perdana (Dosen Hukum dan HAM, Universitas
Airlangga).
Dalam proses ini dihasilkan kesepakatan umum
bahwa pemerintah harus segera menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Artinya
selain segera meratifikasi Statuta Roma, pemerintah juga
harus berkonsentrasi untuk menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran HAM masa lalu, terutama kasus-kasus yang
terjadi di Jawa Timur. Organisasi lokal juga memiliki
114
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
komitmen untuk mendesak pemerintah daerah untuk
mendeklarasikan bahwa mereka mendukung pemerintah
pusat di Jakarta untuk meratifikasi Statuta Roma.
Hal senada juga terjadi dalam proses konsultasi
publik yang dilakukan di Makassar pada tanggal 4 dan 5
Agustus 2008, di Aceh pada tanggal 11 dan 12 Agustus
2008 dan di Medan pada tanggal 14 dan 15 Agustus 2008.
Papua
Proses konsultasi publik yang dilakukan oleh koalisi
di Papua dilaksanakan pada 29-30 Agustus 2008 dalam
bentuk diskusi publik dan workshop. Banyaknya kasuskasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua juga karena
alasan sebaran representasi geografis menjadikan Papua
salah satu daerah yang wajib masuk dalam daftar daerah
yang perlu dikunjungi dalam proses mendorong ratifikasi.
Sebagaimana pula konsultasi yang dilakukan di daerah
115
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
lain, di Papua peserta berasal dari perwakilan organisasi
masyarakat sipil, pemerintahan daerah, akademisi dan
keluarga korban pelanggaran HAM yang berjumlah kurang
lebih enam puluhan.
Selain perwakilan dari sekretariat koalisi
masyarakat sipil untuk ratifikasi Statuta Roma, hadir pula
sebagai pembicara dalam diskusi publik tersebut Bruder Budi
Hermawan dari Serikat Keadilan Perdamaian dan Harry
Martubong dari Kontras Papua. Kegagalan menghadirkan
Dirjen HAM Dephukham dan Ketua Komnas HAM dalam
diskusi ini menyebabkan banyak peserta diskusi kecewa
karena tidak bisa mendapatkan kepastian resmi sejauh
apa proses ratifikasi di pemerintah sudah berjalan dan
bagaimana komitmen sesungguhnya dari pemerintah baik
terkait kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu maupun
paska ratifikasi.
Banyaknya kasus pelanggaran HAM di masa
lalu yang belum terungkap menyeret arah diskusi kepada
manfaat ratifikasi ICC terhadap kasus-kasus pelanggaran
HAM di masa lalu tersebut. Fakta bahwa ICC hanya
memiliki yurisdiksi paska ratifikasi, jelas menimbulkan
kekecewaan dari sebagian besar peserta utamanya dari
keluarga korban yang semula sangat berharap akan
mendapat manfaat langsung terhadap ratifikasi ICC. Dalam
diskusi bahkan sempat muncul pernyataan bahwa ratifikasi
sama sekali tidak perlu dilakukan jika memang tidak ada
korelasi langsung dengan penyelesaian kasus-kasus HAM
yang selama ini terjadi di Papua.
Karena banyaknya perbedaan opini selama
diskusi, dan sulitnya mengontrol berkembangnya isu selama
diskusi berlangsung, sekretariat mengambil pendekatan
yang berbeda dengan tidak menyimpulkan hasil diskusi
116
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
tapi memetakan kekhawatiran dan harapan peserta dari
ratifikasi Statuta Roma. Kekhawatiran dan harapan
tersebutlah yang kemudian dikemas menjadi pernyataan
bersama peserta diskusi untuk mendorong ratifikasi.
Harapan dan kekhawatiran yang berhasil direkam selama
proses berlangsung tersebut adalah sebagai berikut:
Harapan
Kekhawatiran
1. Pemerintah Indonesia
segera meratifikasi
Statuta Roma
2. Keuntungan Indonesia
apabila ratifikasi Statuta
Roma tercapai
3. Jaringan masyarakat
sipil di setiap propinsi di
Indonesia segera bekerja
4. Peraturan yang lebih
baik untuk kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi
untuk korban
pelanggaran HAM
dan keluarga korban
pelanggaran HAM
5. Perlindungan yang lebih
baik agar pelanggaran
HAM tidak terjadi
lagi dimasa yang akan
datang
1.
2.
3.
4.
Konsistensi pemerintah dalam
proses ratifikasi
Pemerintah sering mengulurulur waktu dalam proses
ratifikasi
ICC memiliki prinsip tidak
berlaku surut sehubungan
dengan pelanggaran HAM
masa lalu
Masalah dalam implementasi
ICC dalam prosedur hukum
nasional
Harapan yang muncul dan paling banyak
diungkapkan adalah bahwa ratifikasi Statuta Roma agar
segera dilakukan. Dari ratifikasi inilah nantinya keuntungankeuntungan lainnya bisa didapatkan yang dapat mendorong
perbaikan proses peradilan di Indonesia yang kemudian
berujung pada berkurangnya kasus-kasus pelanggaran
HAM di masa yang akan datang. Perbaikan yang dimaksud
termasuk pula perbaikan terhadap sistem kompensasi,
117
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
restitusi dan rehabilitasi yang masih sangat tidak berpihak
pada korban.
Dalam proses mendorong ratifikasi tersebut,
peserta juga berharap agar jaringan kerjasama masyarakat
sipil antardaerah dapat segera terwujud untuk memperkuat
dorongan pada pemerintah agar segera melakukan
ratifikasi.
Disisi lain ada banyak kekhawatiran yang muncul
dari peserta terkait proses ratifikasi yang paling menonjol
adalah bahwa proses ratifikasi sendiri tidak dilakukan dengan
serius oleh pemerintah. Dalam proses tersebut pemerintah
terlihat mengulur-ngulur waktu untuk melakukan ratifikasi
dan tidak konsisten terhadap kebijakan pemerintah sendiri
yang sudah mencanangkan proses ratifikasi di Tahun 2008
tapi belum juga dilakukan bahkan belum ada persiapan
sama sekali.
Kekhawatiran lainnya adalah terkait relasi
ratifikasi dengan kasus-kasus HAM berat masa lalu yang
tidak memiliki kaitan langsung. Seolah-olah kasus-kasus
HAM yang selama ini belum terselesaikan tersebut sudah
terlupakan dan tidak lagi penting. Selain itu dikhawatirkan
implementasi UU ratifikasi tidak ada sebagaimana praktek
yang banyak muncul dari ratifikasi konvensi-konvensi
internasional lainnya. Karenanya, salah satu poin penting
yang dimunculkan dalam pernyataan bersama adalah terus
diusutnya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
118
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Kampanye publik
Selain melakukan proses konsultasi publik, aktivitas
kampanye diyakini akan memberikan kontribusi besar
dalam menggalang dukungan masyarakat untuk mendorong
proses ratifikasi ICC di Indonesia. Berbagai seminar dan
diskusi publik dilakukan dalam kerangka tersebut. Dan
untuk semakin meluaskan kampanye, dilakukan berbagai
talk-show radio jaringan nasional
dengan harapan dapat menjangkau
publik yang lebih luas. Gambaran
proses kampanye publik disajikan
sebagai bahan refleksi atas upaya
yang dilakukan untuk menggalang
dukungan publik.
Untuk mendukung kerja
kampanye ratifikasi, Koalisi juga
memproduksi kampanye material,
119
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
diantaranya adalah penerbitan buku saku ICC yang berisi
informasi dasar mengenai apa dan bagaimana mekanisme
ICC. Buku saku ini dibuat dalam format pertanyaan dan
jawaban dengan cara penulisan yang populer. Buku saku
berisi informasi dasar mengenai ICC disebarakan kepada
publik dan institusi pemerintah. Selain itu, Koalisi juga
memproduksi pin, tas dan block-note yang dibagiakan pada
seluruh kegiatan yang diselenggarakan oleh Koalisi.
Seminar Nasional
Seminar nasional sebelumnya direncanakan
akan digelar di Jakarta. Dengan beberapa pertimbangan
diantaranya untuk mengumpulkan lebih banyak lagi
dukungan untuk ratifikasi Statuta Roma dari lebih banyak
stakeholder diluar Jakarta, koalisi memutuskan untuk
menggelar seminar nasional di Yogyakarta.
120
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Bekerjasama dengan Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (PusHAM
UII), seminar dilaksanakan pada 6 April di Plaza Hotel
Jogyakarta dengan topik “Tantangan Reformasi Hukum
dan Perlindungan HAM di Indonesia pasca Pemilu 2009”.
Pembicara dalam seminar nasional ini adalah Ifdhal Kasim
dari Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab dari ELSAM,
Bhatara Ibnu Reza salah satu tim ahli dari koalisi dan
Abdul Haris Semendawai dari Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK). T Kurang lebih 100 orang partisipan
dari beberapa aparat pemerintah, penegak hukum, NGO,
akademisi, mahasiswa yang turut berpartisipasi dalam
seminar nasional ini.
Pada bagian akhir seminar, partisipan bersepakat
bahwa siapapun yang terpilih pada Pemilu 2009 seharusnya
lebih memperhatikan penegakan HAM dalam rangka
meningkatkan demokrasi sejati di Indonesia. Salah satu
kerja untuk membuat hal tersebut tercapai adalah dengan
121
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
meratifikasi perjanjian internasional atau mekanisme
internasional, dimana salah satunya adalah Statuta Roma
ICC.
Talk-show Radio
Talk show radio dikemas sebagai media
menyebarkan informasi mengenai pentingnya ratifikasi
Statuta Roma dan isu-isu terkait kepada publik. Koalisi
mengadakan aktivitas ini dengan bekerjasama dengan KBR
68H dan VHRmedia (Voice of Human Rights). Beberapa
proses dan hasil talkshow akan dideskripsikan dibawah ini.
Diskusi radio dengan tema “Pentingnya Ratifikasi
ICC di Indonesia” ini bekerjasama dengan KBR 68H. Diskusi
radio ini diadakan di Olive Tree Restaurant, Hotel Nikko
dengan menghadirkan pembicara Mugiyanto (IKOHI),
122
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Djoko Susilo (Komisi I DPR RI), dan Riyawan Pramudjo
(Direktur HAM, Ditjen HAM-Depkumham RI).
Kegiatan ini mengundang beberapa wartawan
dan masyarakat umum. Selain itu memang diharapkan ada
respon dari pendengar KBR 68H yang menanggapi materimateri yang dibawakan dari pembicara. Hal ini dilakukan
agar masyarakat umum dapat mengenal lebih jauh mengenai
ICC dan merasa penting untuk mendukung ratifikasi ICC,
karena jelas mekanisme mahkamah pidana internasional
ini akan berpengaruh besar pada kehidupan demokrasi di
Indonesia dan akan mencegah kasus-kasus pelanggaran
HAM di kemudian hari. Kegiatan diskusi radio ini, selain
dipublikasikan oleh KBR 68H, juga dipublikasikan oleh
Koran TEMPO pada tanggal 26 Juni 2008.
Dari diskusi radio ini memang diketahui bahwa
ada komitmen pemerintah, khususnya Depkumham, untuk
segera meratifikasi ICC. Proses ratifikasi ICC yang dilakukan
123
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
oleh Depkumham sedang dalam tahap pengkajian oleh tim
Litbang Depkumham. Namun sesungguhnya pengajuan
draft ratifikasi ICC ini sudah harus diserahkan kepada DPR
pada tahun 2008. Karena hal ini tertuang dalam RANHAM
2004-2009 yang menyatakan Indonesia akan meratifikasi
ICC pada tahun 2008.
Namun kelemahannya adalah tidak semua pejabat
Negara yang berwenang dalam ratifikasi ICC ini memahami
secara jelas mengenai mekanisme ICC. Bahkan menurut
Djoko Susilo, di Komisi III, komisi yang berhubungan
langsung dengan Depkumham, belum tentu memahami
mengenai mekanisme ICC. Maka dari itu, harus segera
dibuat sebuah kegiatan untuk mensosialisasikan mekanisme
ICC ini kepada anggota parlemen, khususnya anggota
Komisi III. Karena tentunya pemahaman yang tidak jelas
terhadap mekanisme ICC akan menghambat berjalannya
proses ratifikasi ICC di tingkat parlemen.
124
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Masyarakat umum yang mendengarkan diskusi ini
melalui radio juga mendesak agar pemerintah dan parlemen
bekerja secara serius dalam meratifikasi ICC ini. Karena
dari tanggapan masyarakat, mereka merasa bahwa proses
ratifikasi ICC ini akan dapat mencegah terjadinya kasuskasus pelanggaran HAM dan menjadi sebuah pembelajaran
demokrasi di Indonesia.
Selain rangkaian diskusi radio reguler, Koalisi juga
menyelenggarakan diskusi radio pada momen-momen yang
berhubungan dengan ICC. Sebagai contoh adalah pada
momen peringatan Hari Keadilan Sedunia. Pada momen
peringatan ini Koalisi juga menyelenggarakan diskusi Radio
dengan tema “ World Day of International Justice dan
Ratifikasi ICC di Indonesia” diadakan di Kedai Tempo pada
tanggal 10 Juli 2008.
Diskusi kali ini menghadirkan pembicara Agung
Yudhawiranata (Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah
Pidana Internasional), Hakristuti Hakrisnowo (Dirjen
HAM Depkumham) dan Ifdal Kasim (Komnas HAM).
Pembahasan dalam diskusi kali ini adalah tentang World
Day of International Justice yang diperingati sebagai hari
ditetapkannya Statuta Roma pada tanggal 17 Juli. Diskusi
tersebut membahas mengenai mengapa hari tersebut
begitu bersejarah bagi keberlanjutan keadilan di dunia
dan pentingnya Statuta Roma tersebut bagi kehidupan
berkeadilan. Karena Statuta Roma tersebut adalah cikal
bakal dari terbentuknya sebuah mekanisme permanen untuk
mengadili para pelaku.
125
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Penyusunan Kertas Posisi dan Naskah Akademis
Sesuai dengan alur dan pembagian kerja, tim
ahli bertanggungjawab penuh untuk membuat draft dan
menyelesaikan material pendukung ICC, seperti: kertas
posisi, naskah akademik dan draft RUU ratifikasi yang
nantinya akan didistribusikan dan dijadikan bahan masukan
kepada Pemerintah.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, tim ahli
menggelar beberapa pertemuan untuk mengatur pembagian
kerja. Pada pertemuan pertama yang dilaksanakan pada
tanggal 10 Juni 2008 disepakati mengenai pembagian dan
penanggungjawab kerja dalam rangka mengumpulkan
referensi untuk kertas posisi dan naskah akademis. Selanjutnya
tim mulai bekerja dan melakukan berbagai pertemuan
koordinasi. Akhirnya pada tanggal 2 Juli 2009, tim berhasil
menyelesaikan kertas posisi dan mempublikasikannya untuk
mendukung kampanye pentingnya ratifikasi Statuta Roma
di Indonesia. Kertas posisi ini juga telah diterjemahkan
ke dalam bahasa inggis untuk kepentingan kampanye
internasional. Materi kampanye ini telah didistribusikan ke
beberapa institusi dan publik, contohnya: dalam seminar
dan diplomatic briefing yang diadakan oleh Kedutaan Besar
Swiss pada 28 Agustus 2008 di Hotel Ritz Carlton, Mega
Kuningan, Jakarta Selatan. Beberapa partisipan yang hadir
dalam kegiatan tersebut adalah perwakilan dari Kedutaan
Jerman, Kedutaan Belanda, Kedutaan Kanada, Kedutaan
Australia, Kedutaan Afrika Selatan, Kedutaan Swiss,
Kedutaan Inggris, Uni Eropa, IALDF, AusAID, United
Nation, dan ICRC.
Sementara itu, proses pembuatan naskah akademik
dan draft RUU Ratifikasi Statuta Roma dimulai pada
pertemuan tim ahli sehari penuh yang dilaksanakan pada
126
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
bulan Agustus 2008 di Imparsial dan dilanjutkan dengan
pertemuan sehari penuh di Elsam pada bulan November
2008. Dalam pertemuan-pertemuan ini, tim ahli membuat
draft naskah akademik dan draft RUU Statuta Roma dan
mendistribusikan naskah tersebut kepada tim ahli adhoc seperti: Enny Suprapto, Fadillah Agus, Ifdhal Kasim,
Kemala Chandrakirana dan Rudi Rizky untuk mendapatkan
komentar dan masukan.
Dengan saran yang diberikan oleh tim ahli ad-hoc:
Enny Suprapto dan Fadillah Agus, serta pembaca: Ifdhal
Kasih – Komnas HAM yang menyarankan kepada koalisi
untuk mengembalikan isu ICC ke area hukum kriminal
dan tidak terlalu mengedepankan pelanggaran HAM masa
lalu, dan revisi untuk naskah akademik final selesai pada
7 februari 2009 dalam pertemuan lain tim ahli di Aston
Residence Jakarta. Dalam naskah akademis final, koalisi
memberi penjelasan lebih lanjut mengenai keuntungan
ratifikasi Statuta Roma untuk Indonesia, misalnya seperti
perlindungan buruh migran dan misi menjaga perdamaian.
Workshop Bersama Parlemen
127
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Workshop bersama dengan anggota DPR
dilaksanakan di gedung DPR pada 17 Februari 2009 dengan
bekerjasama dengan Parliament for Global Action (PGA)
dengan tema “ICC: Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta
Roma”. Workshop ini diadakan untuk meningkatkan
pemahaman anggota DPR mengenai ICC dan mendorong
DPR untuk bekerja bersama koalisi dalam proses ratifikasi
ICC di Indonesia. Workshop ini dilaksanakan bersamaan
dengan kedatangan delegasi internasional yang dipimpin
oleh Senator Kanada Ms. A. Raynell Anreychuk (ketua,
Komite HAM) dan Australia MP Ms. Melissa Parke (Ketua,
Komisi Australia untuk integritas Penegakan Hukum).
Workshop tersebut dibuka oleh ketua PGA Indonesia
Dr. Theo Sambuaga dan dilanjutkan dengan pembicara kunci
Mr. John Holmes, Duta Besa Kanada untuk Indonesia, yang
menyatakan bahwa jurisdiksi ICC adalah tidak berlaku
surut, bersifat komplemener terhadap hukum nasional dan
ICC didesign untuk memperkuat sistem hukum nasional,
dimana di dalamnya terdapat tanggungjawab utama untuk
menyeret pelaku kejahatan serius untuk dihukum secara
adil.
128
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Pembicara selanjutnya adalah, Prof. Harkristuti
Harkrisnowo (Dirjen HAM DepkumHAM) yang
menjelaskan bahwa pemerintah telah terikat secara inklusif
dengan proses konsultasi dan legal drafting ratifikasi ICC,.
Pemerintah juga sangat memahami bahwa batas waktu
tahun 2008 untuk meratifikasi Statuta Roma telah lewat
dan sekarang naskah akademis harus menjadi prioritas.
Pembicara dari pihak koalisi, Reny Rawasita
Pasaribu, menekankan mengenai dukungan dari masyarakat
sipil kepada pihak pemerintah dan DPR untuk meratifikasi
ICC. Sementara Marzuki Darusman menyatakan bahwa
ratifikasi Statuta Roma harus disepakati di DPR antara
bulan Mei dan Juni 2009. Pernyataan Marzuki Darusman
dipertegas oleh Partrice Morin dengan pernyataan: “DPR
harus membuat perubahan dalam legislatif, dan ICC
hanyalah masalah waktu saja”
Pada momentum ini juga, sebagai tanggapan atas
percepatan yang terjadi di DPR, koalisi membuat pernyataan
pers yang menekankan pada:
•
Pemerintah berkomitmen untuk meratifikasi ICC
sebelum pemilihan DPR baru 2009-2014. Dari
perspektif pemerintah, ratifikasi Statuta Roma
akan memperkuat sistem perlindungan HAM di
Indonesia
• Pertanyaan-pertanyaan mengenai kerahasiaan
tidak lagi menjadi hal yang penting, mengingat ICC
memberikan jaminan hukum yang berlaku secara
universal bagi semua orang.
129
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Lobby dan Audiensi
Audiensi dengan DPR
Audiensi dengan DPR, khususnya dengan Komisi
I dan Komisi III yang berhubungan dengan isu ICC adalah
kegiatan penting dalam mendukung percepatan ratifikasi
Statuta Roma. Sehubungan dengan tujuan ini, koalisi
menghadiri pertemuan Rapat Dengar Pendapat Umum
dengan Komisi III pada 26 Mei 2009 dan dengan Komisi
I pada 10 Juni 2009. Dalam pertemuan dengan Komisi III
yang difasilitasi oleh Suripto, Nasir Djamil (keduanya dari
Partai Keadilan Sejahtera) dan Yudho Paripurno (PPP),
Komisi III memberikan komitmen untuk meratifikasi Statuta
Roma dan berencana untuk menggunakan Hak Inisiatif
antar seluruh anggota Komisi III.
Pada 10 Juni 2009, koalisi mengadakan pertemuan
dengan Komisi I yang difasilitasi oleh Theo Sambuaga
(Ketua Komisi I), Marzuki Darusman dan Sidharto
Danusubroto (PDIP). Komisi I juga memberikan komitmen
untuk meratifikasi Statuta Roma dan memajukan beberapa
isu “sensitif” yang berhubungan dengan ICC seperti:
• Prosedur legislatif: naskah akademis dan draft RUU
ratifikasi ICC
• Salah satu kemungkinan yang dihadapi oleh
pemerintah yang belum selesai adalah naskah
akademis dan RUU. Di beberapa kesempatan,
Dirjen HAM menyatakan telah membuat tim
dan mencoba untuk menyelesaikan dua dokumen
tersebut. Namun kenyataannya sampai April 2009
perkembangannya masih belum jelas.
130
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
• Fakta bahwa naskah akademis dan RUU, sebagai
satu kondisi untuk mempercepat ratifikasi, belum
selesai dan harapan untuk ratifikasi pada tahun 2009
masih sangat jauh dari kenyataan. Ada beberapa
hal yang harus dipertimbangkan, pertama, adalah
hal yang penting untuk menyebarkan naskah
akademik dan draft RUU kebeberapa departemen
dan kepada publik untuk mendapatkan masukan;
kedua, membuat sinkronisasi dengan kebijakan lain
yang akan dibuat oleh Dirjen Perundang-undangan
Depkumham untuk kemudian ditandatangani oleh
Mentri Hukum dan HAM.
• Isu kedaulatan dan harmonisasi hukum
• Ada dua isu besar yang muncul dalam ratifikasi
di Indonesia. Mengenai jurisdiksi ICC dan
harmonisasi dengan peraturan nasional yang telah
ada. ICC memiliki prinsip tidak berlaku surut, hal
tersebut yang tidak banyak diketahui, sehingga hal
tersebut menciptakan ketakutan bahwa dengan
ratifikasi akan mengarah pada penghukuman
perwira TNI yang telah melakukan pelanggaran
HAM dimasa lalu. Meskipun Menteri Pertahanan
Juwono Sudarsono telah memiliki perspektif yang
jelas mengenai posisi dan implikasi ICC, namun
tetap saja ada ketakutan mengenai hubungan ICC
dengan pengadilan nasional (mekanisme domestik).
Prinsip ini jelas penting sebagai antisipasi isu
kedaulatan nasional yang sering dimunculkan oleh
beberapa ahli hukum.
• Isu harmonisasi ICC dengan sistem hukum nasional,
sebagai contoh, seperti yang tampak pada kehadiran
UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
131
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Beberapa pihak melihat bahwa Indonesia telah
mengakomodir dua kejahatan intenasional dalam
UU tersebut, kejahatan melawan kemanusiaan dan
genosida. Seperti hukum perang, hal tersebut bisa
dibawa ke pengadilan internasional.
• Isu “tidak mau dan tidak mampu”
• Isu “tidak mau dan tidak mampu” dalam konteks
mekanisme pengadilan nasional dimunculkan
oleh pihak militer dalam hubungannya dengan
pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia yang
telah diadili di pengadilan HAM adhoc seperti
kasus Timor Leste, Tanjung Priok dan Penghilangan
Paksa Aktivis 1998. Penjelasan atas intervensi ICC
dalam mekanisme nasional dibutuhkan untuk
mempengaruhi pihak militer dan DPR bahwa
terminology “tidak mau dan tidak mampu” sangat
mudah untuk dilaksanakan oleh prosecutor ICC
dan telah memiliki mekanisme yang sangat jelas
untuk dijalankan.
Selain pertemuan-pertemuan formal yang digelar,
koalisi juga secara rutin menghubungi para anggota DPR
terutama anggota PGA Indonesia seperti: Nursyabani
Katjasungkana, Marzuki Darusman, Theo Sambuaga, untuk
mendiskusikan dan berbagi infomasi tentang perkembangan
isu ICC.
Pertemuan dengan Depkumham
Koalisi Masyarakat SIpil Indonesia untuk
Mahkamah Pidana Internasional mengadakan audiensi
dengan Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Dirjen HAM)
pada tanggal 27 Maret 2009. Dalam pertemuan tersebut,
132
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
ibu Harkristuti Harkrisnowo menyoroti perlunya para
akademisi bicara mengenai sinkronisasi Statuta Roma ICC
dengan mekanisme hukum nasional. Dirjen HAM juga
menjelaskan keuntungan apabila akademisi mendukung
untuk proses ratifikasi, khususnya untuk meyakinkan pihak
militer dan pemerintah dalam isu ratifikasi.
Selain itu, pertemuan juga menghasilkan beberapa
poin:
1. Dalam perkembangan di Depkumham, terjadi
koordinasi antara Dirjen HAM dengan BPHN
untuk mendiskusikan naskah akademik dan draft
RUU ratifikasi Statuta Roma
2. Ada masalah yang timbul sehubungan dengan sikap
Departemen Luar Negeri yang menyatakan bahwa
ratifikasi harus menunggu sinkronisasi dengan
peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan
ICC
3. Koalisi telah menyerahkan naskah akademis dan
draft RUU Ratifikasi Statuta Roma kepada Dirjen
HAM dan akan terus mendukung proses dalam
Departemen Hukum dan HAM untuk melakukan
percepatan proses ratifikasi ICC.
Pertemuan dengan Komnas HAM
Untuk mendukung proses ratifikasi, pertemuan
dengan Komnas HAM diperlukan karena Komnas HAM
adalah salah satu stakeholder dalam isu ini. Tujuan dari
pertemuan ini adalah untuk mendapatkan dukungan dari
Komnas HAM sebagai salah satu lembaga pemerintah
dalam proses ratifikasi.
133
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Pertemuan pertama dengan Komnas HAM
dilaksanakan pada 23 Juni 2008 di Jakarta. Pertemuan ini
dihadiri oleh Ifdal Kasim (Komnas HAM), Evelyn (CICC),
Mugiyanto, Agung Yudha, Bhatara Ibnu Reza, Reny
Rawasita Pasaribu, Zainal Abidin, Ari Yurino dan Veronica
Iswinahyu dari Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk
Mahkamah Pidana Internasional. Sebagai kesimpulan
pertemuan, Komnas HAM sepakat untuk mendukung secara
aktif kerja-kerja yang dilakukan untuk meratifikasi Statuta
Roma ICC di Indonesia.
Pertemuan kedua dengan Komnas HAM
dilaksanakan pada 18 Februari 2009 di kantor Komnas
HAM. Pertemuan dihadiri oleh Ifdal Kasim (Komnas HAM),
Fadillah Agus (tim ahli Ad-hoc), Enny Soeprapto (tim ahli
Ad-hoc), Zaenal Abidin, Simon dan Agung Yudhawiranata
(Koalisi). Beberapa hasil pertemuan adalah:
1. Komnas HAM dalam waktu singkat akan
mengeluarkan kertas posisi mengenai Statuta
Roma yang akan sangat berguna sebagai materi
lobby kepada Deplu dan Depkumham
2. Komnas HAM akan mengadakan seminar publik
dengan Menteri Hukum dan HAM dalam upaya
mendorong proses ratifikasi Statuta Roma
3. Sehubungan dengan kerja Komnas HAM dalam
revisi UU No. 26/2000 tentang pengadilan
HAM, ratifikasi Statuta Roma masih dapat
berjalan, mengingat perdebatan mengenai prinsip
komplimenter dapat melindungi prinsip retroaktif
dalam hukum pengadilan HAM
134
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Roundtable discussion bersama Mr. Song Sang-hyun
(President ICC)
Presiden ICC Song Sang-hyun mengunjungi
Indonesia pada 28 April 2008. Koalisi mendapatkan
kesempatan untuk mengadakan diskusi komprehensif
dengan Song Sang-hyun. Pertemuan diadakan di Hotel
Millenium Sirih – Jakarta dimulai pukul 14.00 – 15.30.
Prof. Dr. Komariah
Emong (Mahkamah Agung)
dan Enny Suprapto juga terlibat
dalam diskusi ini. Setelah
koalisi
mempresentasikan
perkembangan
proses
ratifikasi di Indonesia, Mr.
Song mengatakan bahwa
kedatangannya ke Indonesia
sangat penting karena ICC
mempertimbangkan Indonesia
sebagai salah satu negara yang memiliki pengaruh di dunia,
Indonesia harus menjadi bagian ICC. Kedatangan presiden
Song juga untuk mendorong Indonesia, yang di sebut
135
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
sebagai negara yang “penting” dan “berpengaruh” untuk
menyelesaikan proses ratifikasi, dimana Mr. Song telah
diberitahu bahwa hal tersebut akan diselesaikan tahun lalu.
Media juga diundang dalam aktivitas ini,
diantaranya adalah: Jakarta Post, Vivanews dan Voice
of Human Rights. Selama kedatangan presiden, banyak
sekali peliputan media dan mereka sangat berguna bagi
perkembangan proses ratifikasi di Indonesia.
Pertemuan dengan Mr. Rod Rastan dari kantor Prosecutor – ICC
Pada 9 juni 2008 Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) - Depkumham menggelar FGD bersama
Mr. Rod Rastan dari Kantor Prosecutor Jurisdiction – ICC
sebagai salah satu pembicara kunci dalam diskusi mengenai
Statuta Roma yang memfokuskan pada pengalaman empiris
ICC dalam mendorong jurisdiksi tersebut selama 7 tahun
belakangan. Tujuan dari pertemuan ini juga untuk mendapat
masukan atas draft naskah akademik ratifikasi Statuta Roma
yang sedang disusun oleh Departemen Hukum dan HAM.
Untuk merespon kedatangan Rod Rastan ini,
Koalisi menggelar pertemuan untuk memberikan masukan
dan penjelasan kepada Mr. Rastan sehubungan dengan
perkembangan terakhir dari proses ratifikasi dan persoalan
yang dihadapi. Pertemuan ini digelar sebagai input dari
masyarakat sipil untuk Mr. Rastan.
136
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Catatan Akhir
Program Indonesia Menuju Ratifikasi ICC
merupakan inisiatif masyarakat sipil untuk berpartisipasi
dalam reformasi hukum dan mempromosikan perlindungan
HAM di Indonesia. Dari persepsi masyarakat sipil, ratifikasi
Statuta Roma ICC diyakini akan meningkatkan mekanisme
hukum di Indonesia, khususnya untuk mekanisme pidana,
juga untuk menangani pelanggaran berat HAM di Indonesia.
Sejalan dengan tujuan fundamental dari Statuta Roma ICC,
masyarakat sipil percaya bahwa ratifikasi dan implementasi
ICC akan mengakhiri praktek impunitas di Indonesia
Sehubungan dengan tujuan ini, pemerintah
Indonesia telah memiliki tekad untuk meratifikasi ICC
Statuta Roma sejak 2004 dengan memasukkan Statuta Roma
dalam RANHAM 2008. Lembaga negara atau institusi
negara yang berhubungan dengan menyoroti komitmen ini
dengan pernyataan yang sering disampaikan oleh lembagalembaga pemerintahan. Namun sangat disayangkan, sampai
pada akhir kabinet SBY-JK pada 2009, tidak ada realisasi
atas komitmen mengenai ratifikasi.
Secara umum, strategi dan implementasi
aktivitas koalisi menghasilkan beberapa perkembangan
untuk memajukan proses ratifikasi Statuta Roma ICC
khususnya dalam hal kampanye publik dan pembukaan
jalur komunikasi antar berbagai pemangku kepentingan.
Berdasarkan pengamatan dalam proses program, hambatan
dan dan posisi para stakeholder dapat dideskripsikan sebagai
berikut:
137
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Masalah
Naskah Akademis
dan Draft RUU
ratifikasi Statuta
Roma
Dukungan dari
DPR
Resistensi dari
institusi militer
Pendapat dari
Akademisi
Posisi Menteri
Luar Negeri
Posisi Politik
Presiden
Deskripsi
Naskah Akademis dan
Draft RUU Ratifikasi
Statuta Roma yang diterima oleh pemerintah
seharusnya diproduksi
oleh Kementrian untuk
diberikan kepada presiden dan diajukan kepada
DPR
DPR, Komisi I dan
Komisi III, memberikan
komitmen yang besar
untuk ratifikasi
Insitusi militer masih
memiliki keengganan
dalam ratifikasi Statuta
Roma.
Pendapat dari akademisi
merupakan salah satu elemen kunci dalam proses
ratifikasi. pada harihari terakhir, beberapa
akademisi memiliki keberatan dengan ratifikasi
Statuta Roma dengan
berbagai mancam argumentasi
Menteri Luar negeri
merupakan salah satu
focal point dalam proses
ratifikasi Statuta Roma,
namun bersikap pasif.
Posisi politik presiden
sehubungan dengan
Ratifikasi Statuta Roma
masih belum jelas.
Stakeholders/ Aktor
Mentri Hukum dan
HAM
Komisi I dan Komisi III
Anggota PGA di Indonesia seperti:
-
-
-
-
-
-
Marzuki Darusman
Theo Sambuaga
Nursyahbani K
Djoko Susilo
Menteri Pertahanan
MABES TNI
Akademisi hukum
terkemuka di Indonesia
Menteri Luar Negeri
Presiden
Berdasarkan pemetaan hambatan dan pemetaan
aktor serta pencapaian program dan perkembangan terakhir,
138
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil
dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
upaya untuk meneruskan dan mengembangkan inisiatif
masyarakat sipil untuk mendorong ratifikasi Statuta roma
di Indonesia masih diperlukan. Upaya kedepan ini minimal
meliputi beberapa area kerja, diantaranya:
•
Penyebaran isu ratifikasi Statuta Roma ditingkatan
publik untuk semakin menggalang dukungan yang
kuat untuk meyakinkan pemerintah RI.
•
Mendukung dan memfasilitasi proses dan membuat
Naskah Akademis dan Draft RUU ratifikasi pada
Menteri Hukum dan HAM serta DPR
•
Menginisiasi dan menjaga dukungan dari akademisi
untuk mendukung ratifikasi Statuta Roma
•
Melakukan
pendekatan
dan
memfasilitasi
penyebaran prinsip-prinsip Statuta Roma kepada
institusi militer untuk mengatasi keengganan
mengenai Statuta Roma
*****
139
Beberapa Pelajaran yang Bisa
Dipetik
Mugiyanto
Segera setelah Statuta Roma tentang Mahkamah
Pidana Internasional disahkan dalam sebuah Konferensi
Diplomatik di Roma, Italia pada tanggal 17 Juli 1998,
beberapa NGO hak asasi manusia, lembaga akademik
dan pemerintah di Indonesia telah melakukan kerja-kerja
pengkajian dan advokasi agar Indonesia menjadi negara
pihak (state party) dari ICC. Pekerjaan tersebut terus
berlangsung, dan semakin intens ketika ICC enter into force
pada tahun 2002, ketika 60 negara telah meratifikasinya.
Tidak hanya di tingkat nasional, kerja-kerja
pengkajian dan advokasi juga dilakukan dengan terlibat
dan melibatkan komunitas internasional, baik itu pihak ICC
sendiri yang berkedudukan di Den Haag negeri Belanda,
maupun dengan koalisi internasional untuk ratifikasi dan
implementasi ICC, International Coalition on International
Criminal Court (CICC) yang juga berkedudukan di Den
Haag dan New York, Amerika Serikat. Beberapa seminar,
workshop dan konferensi digelar di Jakarta dan kota-kota
lain di Indonesia. Beberapa pakar hukum internasional dan
141
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
aktifis HAM juga terlibat secara aktif dalam beberapa forum
internasional, termasuk dalam menghadiri sidang Majelis
Negara Pihak (Assembly of States Party – ASP) baik di Den
Haag maupun di New York.
Berawal dari pekerjaan-pekerjaan dan aktifitas
inilah, dalam sebuah workshop di Jakarta pada bulan Juni
2008 didirikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah
Pidana Internasional. Beberapa lembaga yang menjadi
inisiator pembentukan Koalisi ini adalah Elsam, Imparsial,
YLBHI, PSHK dan IKOHI, yang kemudian meluas dan
melibatkan ratusan lembaga dan individu yang menaruh
perhatian pada reformasi sistem hukum, penegakan keadilan
dan hak asasi manusia di Indonesia.
Pembentukan Koalisi ini didasari kebutuhan untuk
mensinergikan langkah dan gerak lembaga-lembaga dan
individu-individu yang berada di dalamnya agar usaha
untuk memastikan Indonesia meratifikasi ICC menjadi lebih
kuat dan efektif. Terbukti, tak lama setelah Koalisi berdiri,
proses pengkajian, diseminasi informasi, kampanye dan
advokasi tentang ICC berjalan di hampir seluruh propinsi
di Indonesia, dengan melibatkan berbagai stakeholder, baik
elemen masyarakat sipil maupun pemerintah dan parlemen.
Dalam proses ini, Koalisi bahkan bisa berjalan beriringan
dengan focal point pemerintah untuk persiapan ratifikasi
ICC, yaitu Depkumham dan Deplu dengan cukup baik.
Dalam masa kerja yang belum genap 2 tahun,
Koalisi telah menerbitkan buku saku tentang ICC, kertas
kerja (lobby paper), serta Naskah Akademik dan Rancangan
Undang-Undang tentang Ratifikasi ICC yang kesemuanya
sudah diserahkan ke focal point pemerintah untuk menjadi
sandingan dokumen yang akan dibuat pemerintah, sebelum
nantinya diajukan ke DPR untuk disahkan.
142
Beberapa Pelajaran yang Bisa Dipetik
Sebagai anggota CICC, Koalisi setidaknya telah 3
kali menghadiri Sidang Majelis Negara Pihak (ASP) di Den
Haag dan New York, dimana laporan perkembangan ICC,
penanganan-penanganan kasus (situasi) dan perdebatanperdebatan mengenai partisipasi korban, keadilan jender,
kejahatan agresi dan lain-lain terjadi. Secara paralel, lobilobi untuk mendapatkan dukungan internasional juga
dilakukan oleh delegasi Koalisi dalam forum tersebut.
Sebagai tindak lanjut, pada tahun 2007 CICC
menggelar Strategy Meeting di Jakarta, yang pada saat
yang sama melakukan lobi kepada pemerintah dan DPR.
Bahkan pada bulan Juni 2009, Indonesia dijadikan sasaran
Universal Ratification Campaign (URC) CICC. Universal
Ratification Campaign adalah strategi kampanye CICC yang
diluncurkan tiap bulan dengan menyasar satu negara untuk
menjadi sasaran lobi dan kampanye ratifikasi. Untuk tujuan
tersebut, ratusan surat dari CICC dan lembaga-lembaga
HAM internasional terkemuka dikirimkan ke President.
Tidak hanya itu, secara informal, Jaksa Penuntut
(Chief Prosecutor) ICC, Luis Moreno Ocampo dan Hakim
Ketua (Chief Judge), Judge Song Sang-hyun juga berkunjung
ke Indonesia pada tahun 2008 dan 2009 untuk bertemu
dengan pemerintah dan masyarakat sipil, termasuk dengan
Koalisi.
Di tingkat parlemen, pada tahun 2008 juga
terbentuk Parliamentarian for Global Action (PGA)
Indonesia Chapter, yang salah satu fokus utamanya adalah
mempersiapkan proses ratifikasi ICC. Sayangnya, anggota
PGA yang sudah sangat terbuka dan mendukung ratifikasi
ICC ini tidak bias melakukan banyak hal, karena prosesnya
tengah dijalankan oleh pemerintah.
143
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Dalam kegiatan sosialisasi, kampanye dan
advokasi ICC di Indonesia, Koalisi mendapatkan banyak
sekali masukan dan dukungan dari dari masyarakat sipil,
terutama dari kalangan aktifis HAM dan keluarga korban
pelanggaran HAM. Akan tetapi, tantangan masih sangat
besar, karena ICC masih merupakan hal baru dalam dunia
penegakan HAM, sehinga masih sering disalahartikan
dengan Mahkamah Internasional (International Court of
Justice - ICJ), termasuk minimnya pemahaman mengenai
jurisdiksi dan kewenangannya.
Hal lain yang juga ditemukan dalam proses ini
adalah masih belum nyaringnya suara-suara kalangan
akademisi dan ahli hukum internasional yang sejalan
dengan semangat perlunya Indonesia bergabung dalam rejim
keadilan global ini. Suara yang kerap muncul justru dari
kalangan ahli hukum konservatif, yang melihat ICC sebagai
ancaman, dan bukan sebagai peluang bagi perbaikan sistem
hukum dan keadilan di Indonesia.
Sebagai penutup, rencana ratifikasi tahun 2008
memang sudah terlewati. Tetapi proses tetap berjalan.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai
focal point masih terus menyusun Naskah Akademik dan
Rancangan Undang-Undang, untuk kemudian diajukan
ke DPR untuk persetujuan. Namun nampaknya proses ini
tidak berjalan terlalu mulus. Ada indikasi, beberapa pihak
terutama di Departemen Pertahanan dan Mabes TNI masih
belum nyaman dengan ICC. Isu kedaulatan nasional dan
potensi intervensi asing, serta jurisdiksi ICC atas peristiwa
pelanggaran HAM masa lalu nampaknya dijadikan sebagai
argumen bahwa Indonesia belum siap menjadi negara pihak.
Namun, ada argumen lain yang nampaknya juga dijadikan
alasan penundaan ratifikasi yang mengatakan bahwa
Indonesia tidak perlu meratifikasi ICC karena sudah ada
144
Beberapa Pelajaran yang Bisa Dipetik
UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebuah
argumen gegabah dan menyesatkan.
Presiden SBY yang tengah mengemban mandat
kedua diharapkan belajar dari kekurangan dan kegagalan
di masa pemerintahan sebelumnya. Terlebih lagi, penegakan
hukum, keadilan dan hak asasi manusia kini semakin
menjadi buah bincang pemerintah. Ratifikasi ICC tidak
hanya perlu dimasukkan kembali dalam RANHAM 2010
– 2015, tetapi harus dijadikan sebagai prioritas Program
Legislasi Nasional 2010. Hanya dengan begitu, Indonesia
akan benar-benar membuktikan dirinya sejajar dengan
negara-negara beradab lain yang telah menjadi bagian dari
sistem keadilan internasional.
Dan Koalisi, bersama kelompok masyarakat sipil
lainnya akan terus mengawal dan mendampingi proses yang
sedang dilakukan oleh pemerintah.
145
Naskah Akademis
Rancangan Undang-Undang
Ratifikasi Statuta Roma
tentang Mahkamah Pidana
Internasional (International
Criminal Court)
Disusun Oleh:
Elsam-Imparsial-IKOHI-PSHK-YLBHI
BAB I
Latar Belakang Masalah
A. Latar Belakang Pendirian Mahkamah Pidana Internasional (MPI)
Empat Pengadilan Pidana Ad Hoc Internasional
telah dibentuk selama abad ke-20 yakni; International
Military at Nuremberg, Tokyo Tribunal, International
Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dan
International Crimminal Tribunal for Rwanda (ICTR).
Kelebihan dan kekurangan dari keempat Mahkamah ini
secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
pendirian
dari
Mahkamah
Pidana
Internasional
(International Criminal Court yang selanjutnya disebut
sebagai MPI). Khususnya dalam Draf International Law
Commission (ILC) tahun 1994 tentang MPI, mendapat
pengaruh yang sangat besar dari Statuta ICTY.1 Di bawah
1
Report of the ILC on the Work of Its 46th Sess, UN GAOR, 49th Sess, Supp No.
10(A/49/10). Diambil dari Kriangsak Kittichaisaree, International Criminal
Law, Oxford University Press, January, 2001, p. 27.
149
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
ini akan diuraikan secara singkat mengenai Mahkamahmahkamah Pidana Ad hoc tersebut dan berbagai kritikankritikan masyarakat internasional yang mewarnai kinerja
keempat mahkamah ad hoc tersebut yang pada akhirnya
bermuara pada pendirian MPI.
Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg
adalah sebuah pengadilan yang dibentuk oleh empat Negara
pemenang perang setelah Perang Dunia II untuk mengadili
warganegara Jerman. Empat Negara tersebut adalah Inggris,
Perancis, Uni Soviet dan AS yang bertindak atas nama “semua
negara”. Mahkamah ini telah mengadili 24 terdakwa penjahat
perang Nazi di mana 3 terdakwa dibebaskan, 12 dihukum
mati, 3 dipenjara seumur hidup dan 4 dihukum penjara.2
Namun, tidak semua pelaku kejahatan yang merupakan
pemimpin Nazi tersebut dihadapkan ke pengadilan, bahkan
kebebasan dari penghukuman yang mereka terima nampak
sebagai suatu balas jasa atas apa yang telah mereka lakukan
dan mereka mendapat pengampunan atas kejahatan mereka
tersebut.3 Mahkamah, yang dibentuk berdasarkan perjanjian
London tanggal 8 Agustus 1945 ini, juga dikritik sebagai
Mahkamah bagi pemenang perang (victor’s justice) karena
semua jaksa dan hakim berasal dari kekuatan sekutu, bukan
dari Negara yang netral. Semua terdakwa dan pembelanya
berasal dari Jerman, dan mereka mendapat fasilitas yang
sangat terbatas dalam mempersiapkan kasus-kasus mereka
serta mendapatkan pemberitahuan mengenai bukti-bukti
penuntutan.4 Sehingga jelas Mahkamah ini bukanlah
Mahkamah yang imparsial.
2
3
4
Kriangsak…ibid, p.18
Geoffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan Untuk
Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia2002, p.
252.
Ibid, p.271
150
Lampiran
Terlepas dari segala kekurangan dan kegagalannya,
Mahkamah Nuremberg sangat berarti bagi penegakkan hak
asasi manusia internasional karena telah meletakan prinsipprinsip dasar pertanggungjawaban pidana secara individu
(yang tertuang dalam Nuremberg Principle). Selain itu,
definsi kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam
Pasal 6(c) Piagam Nuremberg, belum pernah ditemukan
dalam Konvensi-konvensi sebelumnya. Mahkamah ini juga
secara tegas menolak prinsip ‘impunitas kedaulatan negara’
seperti yang tertuang dalam pasal 7 Piagam Nuremberg.
Mahkamah Internasional Timur Jauh, atau
dikenal dengan Mahkamah Tokyo, juga merupakan
mahkamah yang didirikan sekutu (berdasarkan deklarasi
Mc Arthur) untuk mengadili penjahat perang. Julukan
Victors Justice juga melekat dalam Mahkamah ini karena:
Jepang tidak diijinkan untuk membawa AS ke hadapan
Mahkamah Tokyo atas tindakan pemboman Hiroshima
dan Nagasaki yang dilakukan AS, dan Jepang juga tidak
diijinkan untuk mengadili Uni Soviet atas pelanggarannya
terhadap perjanjian kenetralan tanggal 13 April 1941.5
Selain itu praktek impunitas juga sangat jelas terjadi dalam
Mahkamah ini ketika Amerika Serikat memutuskan untuk
tidak membawa Kaisar Hirohito ke meja pengadilan, tapi
justru melanggengkan kedudukannya dalam Kekaisaran
Jepang. 6 Hal ini sangat bertolak belakang mengingat
sumbangan yang paling besar dari Pengadilan ini adalah
konsep “pertanggungjawaban komando” ketika mengadili
Jenderal Tomoyuki Yamashita (teori ini kemudian menjadi
dasar penuntutan di ICTY atas kasus Mladic dan Karadzic).
Impunitas lain yang dipraktekan dalam pengadilan ini adalah
5
6
Lihat. Y Onuma, “The Tokyo Trial : Between Law and Politics, in C.Hosoya.N.Ando,
Y.Onuma and R Minear (eds), The Tokyo War Crimes Trial : An Internasional
Symposium (Kodansha, 1986), p.45. Diambil dari Kriangsak…Op.cit,p. 19
Geoffrey Robertson…Op.Cit, p. 252
151
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
tidak diadilinya para industrialis Jepang yang menjajakan
perang serta pemimpin-pemimpin nasionalis yang senang
kekerasan.
Hampir setengah abad setelah Perang Dunia
berakhir, masyarakat internasional kembali dikejutkan
dengan praktek pembersihan etnis yang lagi-lagi terjadi
di Eropa yakni di Negara bekas Yugoslavia. Konflik di
Bosnia-Herzegovina, sejak April 1992 dan berakhir bulan
November 1995, merupakan praktek pembersihan etnis
yang kekejamannya sudah mencapai tingkat yang tidak
pernah dialami Eropa sejak Perang Dunia II. Kamp-kamp
konsentrasi, perkosaan yang sistematis, pembunuhan
besar-besaran, penyiksaan, dan pemindahan penduduk
sipil secara massal adalah bukti-bukti yang tidak dapat
diingkari yang akhirnya mendorong Dewan Keamanan
PBB untuk mendirikan International Criminal Tribunal
for The Former Yugoslavia (ICTY) berdasarkan Resolusi
808 tanggal 22 February 1993, dengan pertimbangan
bahwa sudah meluasnya tindakan pelanggaran terhadap
hukum humaniter termasuk praktek pembersihan etnis
sehingga sangat mengancam perdamaian dan keamanan
internasional.7 Berbagai kritikan kembali muncul seiring
terbentuknya ICTY ini, banyak kalangan yang menganggap
bahwa mahkamah ini hanyalah kebetulan belaka mengingat
berbagai kegagalan diplomasi dan sanksi serta penolakan
PBB untuk mengorbankan tentara keamanannya melalui
intervensi bersenjata membuat mahkamah terhadap penjahat
perang sebagai alat satu-satunya untuk menyelamatkan
muka PBB.8
7
8
Florence Hartman, Bosnia, diambil dari Roy Gutman and David Rieff, Crimes
of War : What Public Shuld Know, W.W Norton Company, New York-London,
1999, p. 53.
Geoffrey Robertson, …Op.Cit, p. 352-353.
152
Lampiran
Walaupun mahkamah ini bukan lagi merupakan
keadilan pemenang perang namun justru dikenal sebagai
keadilan yang selektif (selective justice) karena hanya
mendirikan Mahkamah untuk mengadili kejahatan yang
dilakukan di Negara-negara tertentu, serta Mahkamah ini
juga jelas berdasarkan pada anti-Serbian bias.9 Selain itu,
Mahkamah ini juga tidak mengadili angkatan bersenjata
NATO yang ikut melakukan pemboman di Negara bekas
Yugoslavia. Padahal, sangatlah jelas serangan udara yang
dilakukan NATO terhadap Kosovo seharusnya menuntut
pertanggungjawaban para pemimpin NATO atas pilihan
target pemboman yang mereka lakukan karena jelas
merupakan pelanggaran terhadap hukum perang.10
Kritikan yang sama mengenai “selective justice”
juga ditujukan kepada PBB ketika Dewan Keamanannya
mendirikan International Criminal Tribunal for Rwanda
(ICTR) berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan 955 tanggal
8 November 1994 di kota Arusha, Tanzania. Pengadilan ini
didirikan untuk merespon terjadinya praktek genosida, serta
kejahatan terhadap kemanusiaan yang sudah meluas yang
terjadi di Rwanda.11 Banyak kalangan menilai, ICTY dan
ICTR ini hanyalah Mahkamah Internasional yang didirikan
dengan alasan yang sangat politis, dan berdasarkan prinsip
yang abstrak dan tidak jelas. Bagaimana dengan penyiksaan
yang terjadi di Beijing terhadap anggota Falun Gong
hingga meninggal dan menjual organ-organ vital mereka?
9
10
11
Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, 2003,
p. 337.
Professor Jeremy Rabkin, The UN Criminal Tribunal for Yugoslavia and Rwanda
: International Justice or Show of Justice?, diambil dari William Driscoll,
Joseph Zompetti and Suzette W. Zompetti, The International Criminal Court:
Global Politcs and The Quest for Justice, The International Debate Education
Association, New York, 2004, p. 131.
Kriangsak Kittichaisaree, Op.Cit,p. 24.
153
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Bagaimana dengan pembunuhan besar-besaran di Shabra
dan Shatila terhadap wanita dan anak-anak Palestina?
Akankah pelaku kejahatan-kejahatan tersebut juga dibawa
ke Mahkamah seperti halnya Mahkamah untuk Yugoslavia
dan Rwanda? Akankah PBB memiliki keberanian untuk itu?
Selective Justice adalah keadilan yang ditunda dan itu sama
saja dengan victors justice.12
Berbagai kekurangan dan kegagalan dari
mahkamah-mahkamah internasional di atas akhirnya
menggerakkan PBB untuk melaksanakan konferensi pada
tahun 1998 untuk mendirikan suatu Mahkamah Pidana
yang permanen yang diharapkan dapat menyempurnakan
berbagai kelemahan dari Mahkamah Internasional
sebelumnya. Aspirasi untuk mendirikan MPI telah muncul di
era 1980-an melalui proposal yang diajukan Negara-negara
Amerika Latin (yang diketuai oleh Trinidad dan Tobago)
kepada Majelis Umum PBB.13
Selanjutnya, setelah pendirian ICTY dan ICTR,
Majelis Umum PBB mendirikan Komite yang bernama
Komite Persiapan untuk pendirian MPI (Preparatory
Committee for The Establishment of an International
Criminal Court), yang telah bertemu enam kali sejak 19961998 untuk mempersiapkan teks Konvensi sebagai dasar
MPI.14 Puncak dari proses yang panjang tersebut adalah
disahkannya Statuta MPI dalam Konferensi di Roma
tanggal 17 Juli 1998 sehingga Statuta tersebut akhirnya
12
13
14
Taki, Unpopular Truht: Selective Justice, from “Slobodamnation”, New York
Press, Volume 14, issued 28. This Article was found at http : // www.issuesviews.com.
Surat tanggal 21 Agustus 1989 dari Perwakilan Permanen Trinidad dan
Tobago kepada Sekretaris Jenderal PBB, UNGAOR, 47th Sess, Annex 44, Agenda
item 152, Un.Doc.A/44/195 (1989), diambil dari Kriangsak Kittichasairee, …
Op.Cit,p. 27.
Kriangsak Kittichasairee, ibid,p. 28.
154
Lampiran
dikenal dengan nama Statuta Roma. Seperti yang tertuang
dalam Mukadimah dari Statuta Roma tentang Mahkamah
Pidana Internasional, bahwa Mahkamah ini bertujuan
untuk mewujudkan keadilan yang global (Global Justice),
memutuskan rantai kekebalan hukum (impunity) bagi para
pelaku kejahatan, serta mengefektifkan kinerja mekanisme
hukum nasional dalam menghukum pelaku kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida.
B. Pendirian Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)
MPI didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal
17 Juli 1998, ketika 120 negara berpartisipasi dalam “United
Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the
Establishment of an International Criminal Court” telah
mesahkan Statuta Roma tersebut.15 Dalam pengesahan Statuta
Roma tersebut, 21 negara abstain, dan 7 negara menentang
termasuk Amerika Serikat, Cina, Israel, dan India16. Kurang
dari empat tahun sejak Konferensi diselenggarakan, Statuta
yang merupakan dasar pendirian Mahkamah bagi kejahatan
yang paling serius yakni genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang serta kejahatan agresi
ini, sudah berlaku efektif sejak 1 Juli 2002 yakni setelah
60 negara meratifikasinya. Ini adalah waktu yang sangat
cepat jika dibandingkan dengan perjanjian multilateral
lain dan jauh lebih cepat dari waktu yang diharapkan oleh
masyaratakat internasional. Hingga saat ini telah ada 108
negara peratifikasi Statuta Roma17.
15
16
William Driscoll, Joseph Zompetti and Suzette W. Zompetti, The International
Criminal Court: Global Politcs and The Quest for Justice, The International
Debate Education Association, New York, 2004,p.30
17
Berdasarkan data tanggal 28 Juli 2008 dari www.iccnow.org.
ibid, p. 131.
155
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Mahkamah Pidana Internasional (MPI) sendiri
secara resmi dibuka di Den Haag tanggal 11 Maret 1998
dalam sebuah upacara khusus yang dihadiri oleh Ratu Beatrix
dari Belanda serta Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan.18
Berbeda
dengan
mahkamah
internasional
sebelumnya yang sifatnya ad hoc, Mahkamah ini merupakan
pengadilan yang permanen (Pasal 3(1) Statuta Roma).
Mahkamah ini hanya berlaku bagi kejahatan yang terjadi
setelah Statuta Roma berlaku (Pasal 24 Statuta Roma).
Mahkamah ini merupakan mahkamah yang independent
dan bukan merupakan organ dari PBB, karena dibentuk
berdasarkan perjanjian multilateral. Namun antara
Mahkamah dengan PBB tetap memiliki hubungan formal
(Pasal 2 Statuta Roma). Pasal 13b serta Pasal 16 Statuta
Roma juga menjelaskan mengenai tugas yang cukup
signifikan dari Dewan Keamanan PBB yang berhubungan
dengan pelaksanaan yurisdiksi Mahkamah yakni Dewan
Keamanan PBB memiliki wewenang untuk memulai atau
menunda dilakukannya investigasi berdasarkan bab VII
Piagam PBB. Mahkamah ini juga hanya boleh mengadili
para pelaku di atas usia 18 tahun.
Yurisdiksi MPI terbagi empat :
a. territorial jurisdiction (rationae loci): bahwa
yurisdiksi MPI hanya berlaku dalam wilayah
negara pihak, yurisdiksi juga diperluas bagi kapal
atau pesawat terbang yang terdaftar di Negara
pihak, dan dalam wilayah bukan negara pihak yang
mengakui yurisdiksi MPI berdasarkan deklarasi ad
hoc. (Pasal 12 Statuta Roma)
18
Hans Peter Kaul, Developments at The International Criminal Court : Construction
Site for More Justice: The ICC After Two Years, April 2005, p. 170.
156
Lampiran
b. material jurisdiction (rationae materiae): bahwa
kejahatan yang menjadi yurisdiksi MPI terdiri
dari kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
perang, genosida dan kejahatan agresi (Pasal 5-8
Statuta Roma)
c. temporal jurisdiction (rationae temporis): bahwa
MPI baru memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan
yang diatur dalam Statuta setelah Statuta Roma
berlaku yakni 1 Juli 2002. (Pasal 11 Statuta
Roma)
d. personal jurisdiction (rationae personae): bahwa
MPI memiliki yurisdiksi atas orang (natural person),
dimana pelaku kejahatan dalam yurisdiksi MPI
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
secara individu (individual criminal responsibility),
termasuk pejabat pemerintahan, komandan baik
militer maupun sipil. (Pasal 25 Statuta Roma).
Selanjutnya, dalam hal penerapan dari keempat
yurisdiksi MPI diatas pada suatu Negara, terdapat prinsip
yang paling fundamental yakni MPI “harus merupakan
komplementer (pelengkap) dari yurisdiksi pidana nasional
suatu Negara” (complementarity principle). Hal ini secara
eksplisit dijelaskan dalam paragraph 10 Mukadimah Statuta
Roma serta dalam Pasal 1 Statuta Roma. Penjelasan lebih
lanjut mengenai prinsip ini akan diuraikan secara lengkap
dalam Bab II. Namun pada intinya prinsip komplementer
(complementarity principle) ini menegaskan bahwa fungsi
MPI bukanlah untuk menggantikan fungsi sistem hukum
nasional suatu Negara, namun MPI merupakan mekanisme
pelengkap bagi Negara ketika Negara tidak mau (unwilling)
atau tidak mampu (unable) untuk menghukum pelaku
kejahatan yang merupakan yurisdiksi MPI.
157
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Kejahatan paling serius yang menjadi perhatian
masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh
dibiarkan tak dihukum dan bahwa penuntutan terhadap
pelaku kejahatan tersebut secara efektif harus dijamin
dengan mengambil langkah-langkah di tingkat nasional
dan dengan memajukan kerja sama internasional. Sehingga
pada akhirnya kejahatan-kejahatan seperti itu dapat
dicegah dan tidak akan terulang di kemudian hari. Karena
pada hakikatnya, keadilan yang tertunda akan meniadakan
keadilan itu sendiri (justice delayed can be justice denied)19.
C. Indonesia dan Mahkamah Pidana Internasional
Pengalaman penyelesaian kasus-kasus pelanggaran
HAM dimasa lalu harus menjadi pelajaran berharga
bagaimana Indonesia di masa depan seharusnya bersikap.
MPI sebagai sebuah pengadilan yang diakui secara
internasional yang bekerja dengan menggunakan standar,
rasa keadilan dan hukum internasional pastinya menjadi
jaminan penyelesaian kasus serupa di masa yang akan
datang, meniadakan praktek impunitas.
Berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) yang terjadi di Indonesia menunjukan lemahnya
upaya penyelesaian kasus-kasus tersebut. Praktek Pengadilan
HAM baik yang Ad Hoc (untuk kasus Tanjung Priok)
maupun permanen (untuk kasus Abepura yang diadili
melalui Pengadilan HAM Makassar) terbukti sulit untuk
menjangkau dan menghukum orang yang paling bertanggung
jawab dalam kasus tersebut. Tidak terselesaikannya berbagai
kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara memadai
menunjukan bahwa ada masalah dalam mekanisme
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang saat
19
Geoffrey Robertson, …Op.Cit,p. 254.
158
Lampiran
ini dimiliki oleh Indonesia baik itu terkait sistem hukum
maupun kapasitas aparat penegak hukumnya.
Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain
bebasnya para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi hakhak korban pelanggaran HAM yang berat. Hak-hak korban
yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
sampai saat ini tidak satupun yang diterima oleh korban.
Padahal para korban pelanggaran HAM yang berat berhak
mendapat kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Studi dan pengkajian yang dilakukan oleh berbagai
pihak menunjukkan bahwa kelemahan proses peradilan HAM
terjadi dalam tahap mulai dari penyelidikan sampai dengan
pemeriksaan di pengadilan. Persoalan ketidakcukupan
regulasi menjadi salah satu faktor yang mendorong
kegagalan pengadilan. Faktor lainnya yang memperlemah
pengadilan HAM adalah kapasitas para penegak hukumnya
baik mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan
dan tidak terkecuali para hakim yang mengadili kasus-kasus
pelanggaran HAM yang berat ini.
Kebutuhan terhadap mekanisme yang tepat dalam
menyelesaikan pelbagai kejahatan hak asasi manusia berat
juga menjadi isu di dunia internasional yang kemudian
berujung pada lahirnya Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court) pada 17 Juli 1998.
Dengan demikian Indonesia memiliki kesamaan
dengan masyarakat internasional dalam hal kebutuhan akan
mekanisme yang tepat dan efektif untuk menyelesaikan
kasus-kasus kejahatan paling serius dan memberikan
keadilan pada korban.
159
Lampiran
BAB II
Kebutuhan Indonesia untuk
Meratifikasi Statuta Roma
Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi Statuta
Roma walaupun “sebagian” kejahatan yang merupakan
yurisdiksi dari Statuta ini sudah diadopsi oleh UndangUndang No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hanya
saja ada banyak kritik terhadap bagaimana UU tersebut telah
salah mengadopsi dan bahkan tidak mengambil beberapa
ketentuan dalam Statuta Roma. Hal-hal penting yang tidak
terambil seperti misalnya tidak masuknya kejahatan perang,
perlindungan saksi yang tidak maksimal, dan hukum
acaranya yang masih menggunakan hukum acara KUHP.
Ketidaklengkapan aturan ini sangat berkontribusi terhadao
bolong besar dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran
HAM di masa lalu.
Berangkat dari kenyataan bahwa Indonesia
masih banyak menemukan kendala dalam hal penegakkan
hukum khususnya Hukum HAM, uraian di bawah ini akan
menjelaskan betapa ternyata Indonesia sangat memerlukan
161
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
ratifikasi Statuta Roma ini sebagai sarana pendorong untuk
membenahi berbagai kelemahan dan kekurangan dari segi
instrumen hukum, aparat penegak hukum, serta prosedur
penegakkan hukumnya sehingga Indonesia dapat benarbenar mampu memberikan jaminan perlindungan HAM
bagi warganegaranya.
a.
Menghapus Berbagai Praktek Impunity
Salah satu tujuan didirikannya MPI adalah untuk
menghapuskan praktek impunitas (impunity). Pasal 28
Statuta Roma secara rinci mengatur bahwa seorang atasan
baik militer maupun sipil, harus bertanggungjawab secara
pidana ketika terjadi kejahatan dalam yurisdiksi MPI yang
dilakukan oleh anak buahnya. Aturan yang telah ada sejak
Piagam Nuremberg, Tokyo, Konvensi Jenewa 1949, ICTY,
ICTR dan kemudian disempurnakan dalam Pasal 28 Statuta
Roma, memiliki tujuan untuk dapat menghukum “the most
responsible person” walaupun orang tersebut memiliki posisi
sebagai pemegang kekuasaan yang seringkali sulit terjangkau
hukum. Pasal 28 Statuta Roma telah diadopsi dalam pasal
42 Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, namun terdapat banyak kesalahan penterjemahan
yang justru menjadi celah bebasnya para atasan/komandan
tersebut.20
Secara umum impunitas dipahami sebagai
“tindakan yang mengabaikan tindakan hukum terhadap
pelanggaran (hak asasi manusia)” atau dalam kepustakaan
umum diartikan sebagai “absence of punishment”. Dalam
perkembangannya istilah impunity digunakan hampir secara
ekslusif dalam konteks hukum, untuk menandakan suatu
20
Uraian rinci tentang kesalahan penterjemahan pasal 42 tersebut dapat dilihat
dalam Bab I Sub Bab ii. Mengatasi kelemahan sistem hukum di Indonesia tentang
Undang-undang 26/2000, p.13-14.
162
Lampiran
proses di mana sejumlah individu luput dari berbagai bentuk
penghukuman terhadap berbagai tindakan illegal maupun
kriminal yang pernah mereka lakukan.21 Praktek impunitas
ini telah terjadi sejak berabad yang lalu diantaranya
adalah gagalnya Negara-negara Eropa untuk mengadili
Raja Wilhelm II sebagaimana yang direkomendasikan oleh
Perjanjian Versailles, tidak diadilinya Kaisar Hirohito oleh
Mahkamah Tokyo atas keputusan AS, berbagai pengadilan
pura-pura yang mengadili serdadu-serdadu rendah dengan
hukuman yang ringan dan melawan hari nurani keadilan
masyarakat.22 Praktek ini menunjukan bahwa setiap Negara
selalu memiliki kecenderungan untuk melindungi pelaku
kejahatan yang merupakan warganegaranya sendiri apalagi
apabila pelaku tersebut merupakan orang yang memegang
kekuasaan di Negara tersebut. Fenomena ini menunjukan
betapa kepentingan politik dan ekonomi jangka pendek masih
dominan ketimbang penegakkan HAM dan keadilan.
Bagaimana impunity dalam konteks Indonesia,
terutama setelah jatuhnya rezim Soeharto? Peralihan
kekuasaan Soeharto ke Habibie menyisakan sejumlah catatan
penting dalam penegakan HAM di Indonesia. Meskipun
Peradilan Militer dibentuk di masa Habibie untuk mengadili
sejumlah petinggi dan anggota Kopassus yang tergabung
dalam Tim Mawar, atas kejahatan terhadap kemanusiaan
dan penculikan orang secara paksa, tetapi tidak pernah
ada penjelasan mengenai siapa yang harus bertanggung
jawab atas korban-korban penghilangan paksa yang belum
kembali hingga saat ini. Peradilan ini lebih kepada kompromi
politik elit-elit politik dan militer, untuk tidak menjatuhkan
21
Genevieve Jacques, Beyond Impunity: An Ecumenical Approach to Truth, Justice
and Reconciliation, Geneva: WWC Publication, 2000, p.1 .
22
Abdul Hakim G Nusantara, Sebuah Upaya Memutus Impunitas : Tanggung Jawab
Komando Dalam Pelanggaran Berat HAM, Jurnal HAM Komisi Nasional HAM
Vol.2 No.2, November 2004, p.v
163
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
hukuman yang dinilai mampu mengakibatkan keguncangan
dalam tubuh militer. Sekaligus mencoba untuk berkompromi
dengan korban-korban yang sudah dilepaskan. Yang pasti
peradilam militer kasus penculikan tersebut gagal untuk
memenuhi prinsip-prinsip keadilan.23
b.
Mengatasi Kelemahan Sistem Hukum Indonesia
Meratifikasi Statuta Roma serta memasukkan
kejahatan internasional serta prinsip-prinsip umum
hukum pidana internasional ke dalam sistem hukum
pidana nasional, akan meningkatkan kemampuan negara
untuk mengadili sendiri para pelaku kejahatan terhadap
kemanusiaan serta kejahatan perang. Bahkan negara secara
efektif akan menghalangi dan mencegah terjadinya kejahatan
yang paling serius yang menjadi perhatian masyarakat
internasional tersebut. Dengan melaksanakan kewajibannya
untuk mengadili pelaku kejahatan internasional yang paling
serius tersebut, negara secara langsung akan memberikan
kontribusi terhadap keamanan, stabilitas, kedamaian
nasional, regional, bahkan internasional.24
Sebagai bagian dari masyarakat internasional
yang juga ingin berperan aktif dalam perdamaian dunia,
serta menyadari begitu banyaknya kelemahan dalam
sistem hukumnya seringkali membuat Indonesia sulit
untuk memenuhi kewajibannya dalam menghukum pelaku
kejahatan internasional. Indonesia harus melakukan begitu
23
Daniel Hutagalung, Negara dan Pelanggaran Masa Lalu : Tuntutan
Pertanggungjawaban Versus Impunitas diambil dari Dignitas : Jurnal HAM
ELSAM, Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri, Volume No.1, 2005, p. 230231.
24
Michael Cottier, The Ratification of the Rome Statute and the Adoption of
Legislation Providing Domestic Jurisdiction over International Crimes, makalah
disampaikan dalam acara : accra conference on “domestic implementation of the
rome statute of the international criminal court”, 21 - 23 February 2001.
164
Lampiran
banyak pembenahan khususnya dalam hal instrumen hukum
serta sumber daya manusianya. Fenomena yang terjadi di
Indonesia saat ini adalah terlalu banyaknya Undang-Undang
yang antara satu dan lainnya saling bertentangan sehingga
dalam hal kepastian hukum seringkali membingungkan.
Tidak hanya di tingkat Undang-Undang, namun juga di
tingkat aturan pelaksanaannya (seperti Peraturan Daerah).
Selain itu, sistem hukum Indonesia khususnya dalam
mengasorbsi hukum internasional ke dalam hukum nasional
Indonesia masih sangat tidak jelas.
Praktek di Indonesia menunjukan bahwa setelah
meratifikasi suatu konvensi Internasional (baik dalam
bentuk Undang-undang maupun Keppres) maka harus
segera disertai dengan aturan pelaksanaan (implementing
legislation) yang memuat lembaga pelaksana dan sanksi
pidana efektif suatu kejahatan tertentu sehingga konvensi itu
bisa benar-benar berlaku efektif terhadap warga negaranya.25
Padahal berdasarkan Pasal 7(2) Undang-Undang 39 tahun
1999 mengenai Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa
“ketentuan hukum internasional yang telah diterima Negara
Republik Indonesia yang menyangkut Hak Asasi Manusia
menjadi hukum nasional”.
Sementara itu, banyak aparat penegak hukum
yang tidak memahami aturan hukum internasional dan
berbagai praktek internasional yang terjadi, bahkan banyak
diantara mereka cenderung tidak memiliki keberanian untuk
melakukan terobosan dengan mendasarkan suatu kejahatan
yang terjadi dengan praktek internasional. Sehingga, sangat
jarang ditemukan suatu putusan pengadilan di Indonesia
25
Misalnya dalam hal kejahatan perang. Sejak tahun 1958 melalui Undang-Undang
No.59 tahun 1958, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949. Namun
hingga saat ini Konvensi tersebut tidak dapat berlaku efektif karena tidak adanya
aturan pelaksanaan yang memuat sanksi pidana efektif dari kejahatan perang
tersebut.
165
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
yang mendasarkan pada kasus-kasus internasional atau
hukum kebiasaan internasional.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa kelemahan
sistem hukum Indonesia sehingga ratifikasi Statuta Roma
sangat dibutuhkan untuk membenahinya, yaitu :
a. Instrumen hukum
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
Banyak aturan dalam KUHP yang sudah tidak
lagi relevan dan memadai untuk mengakomodir
jenis-jenis kejahatan yang sudah semakin
berkembang. Khususnya dalam hal penegakan
hukum HAM, beberapa jenis kejahatan seperti
pembunuhan,
perampasan
kemerdakaan,
perkosaan, penganiayaan adalah jenis kejahatan
yang diatur dalam KUHP. Namun jenis kejahatan
tersebut adalah jenis kejahatan yang biasa
(ordinary crimes) yang jika dibandingkan dengan
pelanggaran HAM yang berat atau kejahatankejahatan dalam yurisdiksi MPI harus memenuhi
unsur atau karateristik tertentu. Perumusan yang
berbeda ini tidak mungkin menyamakan perlakuan
dalam menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP
tidak dapat untuk menjerat secara efektif pelaku
pelanggaran HAM yang berat. 26
2. Hukum Acara: Dalam pasal 10 Undang-Undang
26/2000 dijelaskan bahwa ketika terjadi pelanggaran
HAM yang berat maka hukum acara yang
digunakan adalah Kitab-Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tentu saja hal ini
26
Agung Yudhawiranata, Pengadilan HAM di Indonesia : Prosedur dan Praktek, p.
1.
166
Lampiran
tidak lah memadai mengingat jenis-jenis kejahatan
yang diatur dalam undang-undang ini adalah extra
ordinary crimes sehingga banyak hal yang baru yang
tidak diatur dalam KUHAP. Sebagian dari hal-hal
baru tersebut telah diatur dalam Undang-Undang
26/2000 yakni mengenai 27:
a) Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim
ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan
hakim ad hoc
b) Penyelidik hanya dilakukan oleh KOMNAS
HAM sedangkan penyidik tidak diperkenankan
menerima laporan atau pengaduan sebagaimana
diatur dalam KUHAP
c) Diperlukan ketentuan mengenai tenggang
waktu tertentu melakukan penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan pengadilan.
d) Ketentuan mengenai perlindungan korban dan
saksi
27
Namun terdapat aturan khusus lain yang tidak
diatur baik dalam KUHAP maupun UndangUndang 26/2000 sehingga sangat diperlukan
hukum acara dan pembuktian yang khusus (seperti
bentuk rules of procedure and evident dari Statuta
Roma) sebagai dasar hukumnya. Hal-hal yang
tidak diatur baik dalam KUHAP maupun dalam
Undang-Undang 26/2000 diantaranya adalah dasar
hukum sub poena power yang dimiliki penyelidik
dalam hal ini KOMNAS HAM.
ibid, p. 7.
167
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
3. Undang-Undang 26/2000 tentang Pengadilan
HAM: Undang-undang 26/2000 tentang Pengadilan
HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran
HAM yang berat. Yurisdiksi Pengadilan ini adalah
kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.
Walaupun undang-undang ini dikatakan sebagai
pengadopsian dari Statuta Roma namun terdapat
banyak kelemahan (entah disengaja atau tidak)
yang akhirnya sangat berpengaruh terhadap
penegakan hukum bagi pelanggaran HAM yang
berat di Indonesia. Misalnya Undang-Undang
26/2000 hanya mencantumkan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan genosida sebagai yurisdiksinya
sementara kejahatan perang yang juga merupakan
yurisdiksi Statuta Roma tidak dicantumkan dalam
Undang-Undang ini. Akibatnya, ketika terjadi
kejahatan perang di Indonesia maka belum ada
Undang-undang yang mengatur mengenai sanksi
pidana yang efektif bagi kejahatan ini.
28
Berbagai kesalahan penterjemahan juga banyak
ditemukan dalam pasal-pasal di undang-undang
ini. Misalnya dalam pasal 9 mengenai kejahatan
terhadap kemanusiaan28, terdapat kata-kata
“serangan tersebut ditujukan secara langsung
kepada penduduk sipil” sementara dalam teks asli
Statuta Roma “directed against civilian population”
yang artinya “ditujukan kepada penduduk sipil”.
Penambahan kata “secara langsung” di sini dapat
berakibat sulitnya menjangkau para pelaku yang
bukan pelaku lapangan. Para pelaku di tingkat
Pasal 9 UU 26/2000 : “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :…”
168
Lampiran
pemberi kebijakan sulit terjangkau berdasarkan
pasal ini.
29
Dalam Pasal 42 (1) mengenai pertanggungjawaban
komando bagi komandan militer29 terdapat katakata “dapat bertanggungjawab”. Sementara dalam
teks asli Statuta Roma kata yang digunakan adalah
“shall be criminally responsible” (lihat Pasal 28
Statuta Roma) yang berarti “harus bertanggung
jawab secara pidana”. Penggantian kata “harus”
dengan “dapat” diartikan bahwa komandan tidak
selalu harus bertanggungjawab atas tindak pidana
yang dilakukan bawahannya. Dan penghilangan
kata “pidana” diartikan bahwa komandan tidak
harus bertanggung jawab secara pidana tetapi
tanggungjawab administratif saja sudah cukup.
Sehingga tidak lah mengherankan jika banyak para
komandan militer terbebas dari jeratan hukum
dalam Pengadilan HAM baik Ad Hoc maupun
permanen di Indonesia. Anehnya lagi, kata-kata
“dapat bertanggungjawab” tidak ditemukan dalam
ayat (2) yang berlaku bagi atasan sipil. Hal ini
menunujukan adanya inkonsistensi penerjemahan
dalam Undang-Undang ini.
Dalam Statuta Roma terdapat penjelasan mengenai
unsur-unsur kejahatan yang menjadi yurisdiksinya
Pasal 42 UU 26/2000:
(1) komandan militer atau seseorang yg secara efektif bertindak sebagai komandan
militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam
jurisdiksi ...
(2) seseorang atasan, baik polisi maupun sipil, bertanggungjawab secara pidana
terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dilakukan oleh
bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif,
karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara
patut dan benar, yakni : ...”
169
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
yaitu unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan,
genosida dan kejahatan perang, serta unsur
dari pertanggungjawaban komando. Penjelasan
mengenai unsur-unsur ini dapat memudahkan aparat
penegak hukum ketika menafsirkan kejahatan ini
dalam proses pembuktian, penuntutan maupun
sebagai pertimbangan hakim dalam mengambil
keputusan. Dalam Undang-undang 26/2000 tidak
ada penjelasan mengenai unsur-unsur kejahatan
terhadap kemanusiaan maupun genosida, baik
dalam penjelasan undang-undang maupun terpisah
dalam bentuk buku pedoman lain. Hal ini tentu
saja seringkali menyulitkan aparat penegak hukum
dalam berproses di Pengadilan. Ketidakjelasan
uraian yang menunjukan delik kejahatan yang diatur
dalam Undang-undang 26/2000 khususnya unsur
kejahatan terhadap kemanusiaan mengakibatkan
hakim seringkali memberikan penafsiran yang
berbeda dalam putusannya karena rujukan yang
digunakan pun berbeda-beda.
Terlepas dari begitu banyaknya kelemahan
dalam Undang-Undang 26/2000 namun Undangundang ini juga banyak melakukan terobosan
misalnya dalam hal alat bukti, praktek Pengadilan
HAM Ad Hoc untu Timor-Timur membuktikan
dimungkinkannya digunakan alat bukti lain diluar
yang diatur dalam KUHAP30 seperti rekaman
baik dalam bentuk film atau kaset, siaran pers,
wawancara korban, wawancara pelaku, kondisi
keadaan tempat kejadian, kliping, Koran, artikel
lepas, dll.31
30
Alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
31
Progress report pemantauan pengadilan HAM Ad Hoc ELSAM ke X tanggal 28
170
Lampiran
b. Sumber Daya Manusia
Dengan meratifikasi Statuta Roma, akan banyak
sekali manfaat bagi Indonesia sebagai Negara
Pihak, khususnya dalam hal meningkatkan
kapasitas sumber daya manusia. Dengan menjadi
Negara Pihak MPI maka secara otomatis Indonesia
menjadi anggota dari Majelis Negara Pihak
(Assembly of States Parties) yang memiliki fungsi
sangat penting dalam MPI32. Majelis Negara Pihak
ini kurang lebih sama dengan fungsi dari Majelis
Umum dalam Badan PBB. Fungsi penting dari
Majelis Negara Pihak diantaranya adalah dapat
ikut serta melakukan pemilihan terhadap semua
posisi hukum di MPI. Posisi tersebut diantaranya
adalah posisi hakim dan penuntut umum.33
Tujuh bulan setelah Statuta Roma berlaku, yakni
tanggal 7 Februari 2003, tujuh wanita dan sebelas
laki-laki dari lima kawasan berbeda di dunia telah
dipilih oleh Majelis Negara Pihak sebagai delapan
belas hakim MPI pertama34. Selain itu, pada bulan
Maret, Luis Moreno-Ocampo (Argentina) juga
telah dipilh oleh Majelis Negara Pihak untuk
Januari 2003, diambil dari makalah Agung Yudhawiranata, Pengadilan HAM di
Indonesia : Prosedur dan Praktek.
32
Berbagai keuntungan menjadi anggota dari Assembly of State Parties diantaranya
adalah setiap Negara pihak memiliki perwakilan di Assembly, mereka memiliki
suara dan setiap masalah susbstansi di ICC harus disetujui oleh 2/3 suara anggota
yang hadir. (lebih lengkap mengenai Assembly of State Parties dapat dilihat dalam
Pasal 112 Statuta Roma).
33
International Centre for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy
(ICCLR), Update on the International Criminal Court, Vancouver, Canada,
2002,p.5
34
Hans Peter Kaul, Developments at The International Criminal Court : Construction
Site for More Justice: The ICC After Two Years, April 2005,p. 370.
171
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
menjadi Ketua Penuntut Umum35. Jika Indonesia
meratifikasi Statuta Roma sebelum 30 November
2002, maka Indonesia berhak mengajukan salah
satu warganegaranya untuk dinominasikan sebagai
salah satu calon hakim. Namun, walaupun para
hakim telah terpilih sebagai hakim pertama di
MPI, namun kesempatan bagi Indonesia masih
tetap terbuka seiring dengan pergantian hakim
yang telah habis baktinya.36 Karena itu, semakin
cepat Indonesia meratifikasi Statuta Roma, maka
akan semakin terbuka pula kesempatan sumber
daya manusia Indonesia untuk menempati posisi
sebagai salah satu hakim internasional di MPI.
Dengan demikian, menjadi Negara Pihak dalam
Statuta Roma, berarti Indonesia turut berperan
aktif dalam memajukan fungsi efektif dari MPI.
Itu juga berarti sumber daya manusia Indonesia
akan memiliki kesempatan untuk berperan aktif
dalam sistem international, sehingga hal itu akan
meningkatkan kapasitas sumber daya manusia
Indonesia. Selain itu, dalam hal penegakkan hukum
di Indonesia, setelah meratifikasi Statuta Roma
maka para aparat penegak hukum mau tidak mau
harus membuka diri mereka untuk lebih terbiasa
dan terlatih dalam melihat perkembangan kasuskasus internasional yang terjadi dan menjadikannya
bahan referensi dalam menyelesaikan permasalahan
hukum di Indonesia.
Kenyataan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah
35
ICC Press Release, Election of the Prosecutor-Statement by the President of the
Assembly of State Parties Prince Zeid Ra’ad Zeid Al Husein, 25 March,2003.
36
Mengenai persyaratan, pencalonan dan pemilihan hakim ICC dapat dilihat dalam
Pasal 36 Statuta Roma.
172
Lampiran
banyak aparat penegak hukum yang tidak siap
khususnya ketika harus mengadili kasus-kasus
yang merupakan extra ordinary crimes di mana
pengaturannya sangat tidak memadai jika hanya
mendasarkan pada KUHP dan KUHAP. Sedangkan
sebagian besar dari mereka hanya terlatih untuk
selalu mendasarkan setiap kasus pidana dengan
KUHAP dan KUHP. Misalnya, praktek Pengadilan
HAM Ad Hoc untuk Timor Timur mencatat berbagai
kekurangan dalam hal sumber daya manusia.
Kekurangan tersebut diantaranya adalah37:
i. Dalam hal pemilihan hakim oleh Mahkamah
Agung, seleksi dilakukan secara subjektif dan
tidak sesuai dengan track record para calon
hakim
ii. Tidak ada publikasi mengenai proses
persidangan (prosiding) serta sangat sulit untuk
mendapatkan hasil keputusan dalam bentuk
tertulis.
iii. Banyaknya laporan yang dikeluarkan oleh para
aktivis HAM di Indonesia mengenai praktek
korupsi yang sudah meluas dalam sistem
pengadilan HAM.
iv. Kurangnya independensi, impartiality, dan
profesionalisme dari para aparat penegak
hukum
v. Kurangnya
kepercayaaan
terhadap pengadilan.
37
masyakarakat
Report to the Secretary General of The Commission of experts to Review the
Prosecution of Serious Violations of Human Rights in Timor Leste 1999, 26 May
2005, p. 55.
173
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Di samping itu, pelapor khusus mengai kenetralan
hakim dan pengacara (Special Rapporteur on
the independence of judges and lawyer) Dato’
Param Cumaraswamy menyatakan bahwa ada
sejumlah hakim yang hanya mendapatkan sedikit
sekali pelatihan mengenai standar dan praktek
internasional dalam hal mengadili kejahatan
serius seperti kejahatan terhadap kemanusiaandan
genosida.38
Kualitas para hakim tentu saja sangat mempengaruhi
hasil dari suatu kasus. Misalnya,ada pendapat
yang dikemukakan oleh seorang pengamat
Pengadilan Ad Hoc Timor Timur yang mengatakan
bahwa kelompok hakim terbagi tiga ; (1) hakim
konservatif yang bekerja menurut buku dan kaku
pada hukum acara pidana, (2) hakim karir dan ad
hoc yang dikenal akan pengetahuannya tentang
hukum humaniter internasional dan berpandangan
progresif, kelompok ini bertanggungjawab atas
munculnya sejumlah keputusan bersalah, dan (3)
kelompok tengah yang dapat pergi ke mana saja
tergantung panel di mana mereka duduk. Menurut
para pengamat kelompok yang ke-3 ini “ingin
terlihat menguasai hukum humaniter internasional
tapi motivatisnya lebih hanya untuk karir”. 39
Para hakim karir di pengadilan HAM Ad Hoc
Timur-Timur juga tetap harus menangani kasuskasus yang lain sehingga sulit bagi mereka untuk
fokus pada proses pengadilan HAM. Mereka juga
38
ibid.
39
Professor David Cohen, Intended to Fail : The Trials Before The Ad Hoc Human
Rights Court in Jakarta, International Center for Transitional Justice, July, 2004,
p. 55-56.
174
Lampiran
sangat kurang mendapatkan bantuan fasilitasfasilitas yang mendukung perkara yang mereka
tangani misalnya perpustakaan, komputer, dan
akses internet.
c. Perlindungan Saksi dan Korban
Salah satu tujuan pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional adalah untuk menjamin korban dan saksi
mendapatkan perlindungan. Perlindungan saksi dan korban
diatur baik dalam Statuta Roma maupun dalam Rules of
Procedure and Evidence-nya (RPE). Aturan ini didasarkan
pada norma yang sama yang telah diatur dalam dua
pengadilan ad hoc internasional sebelumnya yakni ICTY
dan ICTR.
Partisipasi saksi dan korban mendapatkan
jaminan dalam setiap tingkat proses persidangan di MPI.
Perlindungan saksi dan korban diatur dalam Pasal 68 Statuta
Roma, yaitu:
i. Proses persidangan in camera (sidang tertutup
untuk umum), dan memperbolehkan pengajuan
bukti dengan sarana khusus atau sarana elektronika
lain (Pasal 68(2) Statuta Roma). Secara khusus,
tindakan-tindakan tersebut harus dilaksanakan
dalam hal seorang korban kekerasan seksual atau
seorang anak yang menjadi korban atau saksi
dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.
ii. Unit Saksi dan Korban (Pasal 68(4) Statuta Roma):
dalam Mahkamah Pidana Internasional, unit ini
dibentuk oleh Panitera di dalam Kepaniteraan.
Setelah berkonsultasi dengan Kantor Penuntut
Umum, unit ini berfungsi untuk menyediakan
175
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
langkah-langkah perlindungan dan pengaturan
keamanan, jasa nasihat dan bantuan yang perlu
bagi para saksi, korban yang menghadap di depan
Mahkamah dan orang-orang lain yang mungkin
terkena risiko karena kesaksian yang diberikan
oleh para saksi tersebut.
Unit ini juga mencakup staf dengan keahlian
mengatasi trauma, termasuk trauma yang terkait dengan
kejahatan kekerasan seksual (Pasal 43(6) Statuta Roma).
Bahkan dalam RPE, unit ini wajib untuk menjamin
perlindungan dan kemanan saksi agar semua saksi dan
korban dapat hadir di persidangan. Untuk itu unit ini wajib
untuk membuat rencana perlindungan korban dan saksi baik
untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya,
setelah berkonsultasi dengan Kantor Kejaksaan, unit ini harus
menyusun tata cara mengenai keamanan dan kerahasiaan
professional untuk para penyelidik, pembela dan organisasiorganisasi (pemerintah dan non-pemerintah) yang bertindak
atas nama Mahkamah. Disamping itu unit ini juga diberi
kewenangan untuk membuat perjanjian dengan Negaranegara untuk kepentingan pemukiman (resettlement) korban
dan saksi yang mengalami trauma atau ancaman. 40
Di Indonesia, perlindungan saksi dan korban dalam
pelanggaran HAM yang berat diatur dalam Pasal 34 UndangUndang 26/2000 dan diikuti oleh Peraturan Pemerintah
No. 2 tahun 2002 sebagai aturan pelaksanaannya. Namun
berbagai aturan perlindungan saksi dan korban serta reparasi
bagi korban yang diatur dalam Statuta Roma di atas banyak
yang tidak diatur dalam Pasal 34 serta Peraturan Pemerintah
tersebut. Akibatnya, praktek pengadilan HAM Ad Hoc
40
Rudi Rizki at al, Pelaksanaan Perlindungan Korban dan Saksi Pelanggaran HAM
Berat, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Departemen Kehakiman dan
HAM RI, Jakarta, 2003, p. 28
176
Lampiran
Timor Timur dan Tanjung Priok membuktikan bahwa
banyak korban serta saksi yang tidak mau hadir ketika
dipanggil ke pengadilan. Alasan-alasan mereka diantaranya
adalah ketidakpercayaan adanya jaminan keamanan karena
tidak adanya perahasiaan korban, tidak ada safe house,
perlakuan terhadap korban dan saksi dari aparat, kurangnya
persiapan dan pengalaman aparat, dan alasan biaya.
Akibat dari ketidakhadiran saksi maka kebenaran
tidak terungkap dengan baik sehingga keputusan tidak
memenuhi rasa keadilan. Disamping itu asas peradilan
yang cepat dan hemat pun tidak tecapai karena seringnya
pengunduran / perobahan jadwal persidangan akibat
ketidakhadiran saksi.
Selain mendapatkan perlindungan, para saksi
dan korban juga berhak mendapatkan reparasi moral
dan material. Pasal 75 Statuta Roma mengatur mengenai
berbagai bentuk reparasi terhadap korban (kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi). Selain itu Pasal 79 Statuta
Roma berdasarkan Majelis Negara-Negara Pihak berhak
menetapkan adanya Trust Fund untuk kepentingan para
korban dan keluarganya.
Mahkamah dapat memerintahkan uang dan
kekayaan lain yang terkumpul lewat denda atau penebusan
untuk ditransfer, atas perintah Mahkamah, kepada Trust
Fund. Pengelolaan Trust Fund adalah berdasarkan kriteria
yang diatur Majelis Negara-Negara Pihak. Aturan lebih jelas
mengenai hal diatas diatur dalam Aturan 94 dari MPI Rules
of Procedure and Evidence (RPE).
Proses untuk menentukan reparasi bisa atas
permohonan korban sendiri (Aturan 94 (1) RPE) atau
atas mosi Mahkamah sendiri berdasarkan pasal 75 (1)
177
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Statuta Roma (Aturan 95 (1) RPE). Korban dan terdakwa
boleh mengambil bagian dalam proses penetuan reparasi.
Mahkamah juga dimungkinkan untuk mengundang ahli
untuk membantu proses reparasi tersebut dalam hal
menetapkan kerugian, kerusakkan atau luka dan memberikan
saran dalam hal “tipe-tipe dan cara reparasi yang layak
untuk dilakukan”. Menariknya, berdasarkan Aturan 97(2)
“Mahkamah harus mengundang secara layak para korban
dan penasihat hukumnya, terdakwa, orang-orang serta
negara yang berkepentingan lainnya untuk memberikan
penilaian terhadap laporan dari ahli tersebut”. 41
Selain melaksanakan penghukuman bagi pelaku,
pemberian kompensasi kepada korban adalah merupakan
salah satu bentuk tanggungjawab Negara (state responsibility)
ketika terjadi pelanggaran HAM yang berat di wilayahnya.
Karena itu, idealnya pemberian kompensasi ini tidak harus
menunggu pelaku atau pihak ketiga tidak mampu untuk
memenuhi tanggungjawabnya, namun merupakan kewajiban
yang sudah melekat bagi Negara. Definisi ini sebenarnya
sudah diatur dalam pasal 1 (6) Undang-Undang KKR No.3
tahun 2004, dan seharusnya definisi inilah yang diterapkan
dalam praktek Pengadilan HAM kita sehingga dibebaskan
atau dihukumnya terdakwa tidak akan mempengaruhi
kewajiban Negara untuk memberikan kompensasi bagi
korban pelanggaran HAM yang berat. d. Mahkamah Pidana Internasional dan Kejahatan Terorisme
Statuta Roma secara khusus tidak memiliki
yurisdiksi khusus terhadap kejahatan terorisme. Kejahatan
terorisme sendiri menjadi perhatian dunia pasca 9/11 yang
41
Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, 2003,
p. 430.
178
Lampiran
kemudian oleh Amerika Serikat (AS) dipergunakan sebagai
bagian politik globalnya untuk memulai kampanye perang
terhadap terorisme (war against terrorism). Kampanye ini
tidak didasarkan pada penegakan hukum internasional yang
justru berdampak pada munculnya sejumlah pelanggaran
HAM dalam penanganan kasus-kasus terorisme dan
stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok tertentu.
Padahal dalam mengadili pelaku terorisme
walaupun melalui mekanisme yurisdiksi nasional haruslah
sesuai dengan standar hukum internasional khususnya
dalam perlindungan dan penghormatan terhadap HAM.
Hal ini penting mengingat munculnya produk perundangundangan anti terorisme yang bersifat draconian di berbagai
negara di dunia pasca 9/11.
Bagaimanapun, kejahatan terorisme telah diakui
sebagai ancaman secara global dan MPI adalah satu-satunya
institusi yang tepat untuk mengadili para pelaku kejahatan
terorisme. Bila ditelisik dari segi yuridiksi rationae personae,
Statuta Roma mengatur bahwa Mahkamah memiliki
yurisdiksi terhadap orang atau individu sehingga dalam
mengadili para pelaku, Mahkamah akan tetap fokus pada
pertanggungjawaban pidana secara individu (individual
criminal responsibility). Selain itu yang tak kalah penting
adalah bila mengacu pada prinsip komplementer dimana
mekanisme yurisdiksi nasional diberlakukan terlebih
dahulu untuk mengadili para pelaku. Dengan demikian
penanganan terorisme melalui mekanisme MPI dapat
menekan pelanggaran HAM yang mungkin terjadi dan
menghindarkan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok
tertentu.
Karenanya menjadi agenda penting untuk
Indonesia memasukan kejahatan terorisme dalam yurisdiksi
179
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
MPI. Jalan satu-satunya adalah dengan mengusulkannya
dalam review conference pada 2010 mendatang sehingga
akan tercapai standardisasi internasional dan perubahan
perspektif terhadap penanganan kejahatan terorisme yang
saat ini penuh dengan nuansa politik global AS dan terbukti
menimbulkan permasalahan penghormatan dan penegakan
hukum internasional. Indonesia akan dapat melakukannya
jika telah meratifikasi Statuta Roma.
e. Memperkuat Peran Indonesia dalam Kerangka Piagam
ASEAN
Indonesia telah meratifikasi Piagam ASEAN
pada Oktober 2008 sebagai bagian dari upayanya untuk
memperkuat dan berkontribusi bagi organisasi regional ini.
Meski ada banyak kritik terhadap substansi piagam akan
tetapi tetap berkait erat dengan upaya untuk mempromosikan
penghormatan HAM dan Hukum Humaniter Internasional.
Hal inilah yang dapat memperkuat Indonesia dalam perannya
di ASEAN bila ratifikasi Statuta Roma 1998 tentang
Mahkamah Pidana Internasional segera direalisasikan.
Pada Prinsip-prinsip Piagam ASEAN dalam Pasal
2(2)(j) Piagam ASEAN ditegaskan bahwa negara-negara
anggota akan menjunjung tinggi Piagam PBB dan Hukum
Internasional termasuk Hukum Humaniter Internasional
yang telah menjadi bagian dari hukum nasional dari negaranegara anggota ASEAN. Terdapat dua hal penting yang
tercermin dari pasal ini, pertama, ini merupakan bentuk
penegasan ASEAN bahwa negara-negara ASEAN hanya
menerima dan mengakui hukum internasional yang telah
menjadi bagian dari hukum nasionalnya atau dengan kata
lain hukum internasional yang telah diratifikasi. Artinya
ASEAN melakukan penerimaan secara parsial terhadap
hukum internasional tertentu dan menolak hukum
180
Lampiran
internasional lainnya seperti hukum HAM internasional
yang sebagian besar telah menjadi hukum kebiasaan
internasional (customary international law).
Kedua, di satu sisi ASEAN secara khusus
memfokuskan diri pada penghormatan hukum humaniter
internasional yang memberikan perlindungan kepada
penduduk sipil dalam konflik bersenjata internasional
maupun non-internasional termasuk didalamnya soal
pengungsi dan kejahatan perang. Namun pertanyaannya
kemudian apakah mungkin hukum humaniter internasional
dapat berlaku dengan baik jika hukum HAM internasional
tidak menjadi bagian penting bagi perlindungan terhadap
penduduk sipil dalam konflik bersenjata?
Bila kita gunakan instrumen HAM internasional
sebagai ukuran akan peneriman negara-negara ASEAN
terhadap HAM universal maka dapat disimpulkan bahwa
hanya ada dua instrumen HAM yang telah diratifikasi oleh
semua negara ASEAN yaitu Convention on Rights of the
Child (CRC) dan Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Selain
itu semua negara ASEAN juga telah menjadi pihak dalam
satu instrumen hukum humaniter internasional yaitu Geneva
Conventions 1949.
Sedangkan Indonesia telah meratifikasi 24
Instrumen HAM termasuk di dalamnya 8 instrumen pokok
HAM internasional serta 52 peraturan perundang-undangan
nasional lainnya yang berkait dengan perlindungan dan
penegakan HAM serta termasuk negara yang paling dahulu
meratifikasi Geneva Conventions 1949. Dengan demikian,
Indonesia dapat mengambil peran lebih dalam kawasan
Asia Tenggara dalam kaitannya dengan penghormatan dan
promosi keadilan internasional.
181
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Bila ditelisik negara-negara anggota ASEAN
khususnya Cambodia. Laos, Myanmar dan Vietnam
(CLMV) serta negara-negara semi otoriter seperti Malaysia
dan Singapura dan negara monarki absolut seperti Brunei
memiliki permasalahan dalam kaitannya dengan penegakan
Hukum Humaniter Internasional dan HAM. Sedangkan
Indonesia dan Filipina merupakan negara yang secara
progresif melakukan ratifikasi sejumlah instrumen hukum
internasional.
Indonesia juga dapat mengambil peran dalam
rangka penghapusan rantai impunitas di ASEAN melalui
ratifikasi Statuta Roma. Dengan meratifikasi Statuta Roma,
Indonesia akan melengkapi ketentuan yang telah diatur oleh
Piagam ASEAN yang telah pula menjadi bagian dari hukum
nasional Indonesia. Kedua instrumen tersebut juga akan
memperkuat kebijakan Indonesia di dalam negeri khususnya
dalam memutus rantai impunitas dan mempromosikan
pelaksanaan keadilan internasional di kawasan Asia
Tenggara.
182
Lampiran
BAB III
Menimbang Untung Rugi
Implementasi Statuta Roma
Ratifikasi merupakan bentuk kepedulian dan
keseriusan suatu negara terhadap suatu hal yang diatur dalam
konvensi internasional. Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1969
tentang Perjanjian Internasional mendefinisikan “ratifikasi”
sebagai tindakan internasional dari suatu negara dengan
mana dinyatakan kesepakatan untuk mengikatkan diri pada
perjanjian.42 Ratifikasi merupakan bentuk penundukan
suatu negara terhadap suatu ketentuan hukum
(konvensi) internasional, artinya bilamana suatu negara
meratifikasi suatu konvensi maka ia terikat dengan hak
dan kewajiban yang terdapat dalam konvensi tersebut.
Selain
ratifikasi,
pengesahan
perjanjian
internasional dapat pula dalam bentuk aksesi sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000
42
Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional Konvensi
Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Bandung: Binacipta,
1986, hlm.6. Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional:
“ ‘ratification’, ‘acceptance’, ‘approval’ and ‘accession’ mean in each case the
international act so named whereby a state establishes on the international plane
its consent to be bound by a treaty”.
183
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
tentang Perjanjian Internasional. Jika ratifikasi dilakukan
apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian
internasional turut menandatangani naskah perjanjian maka
aksesi dilakukan apabila negara yang mengesahkan suatu
perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah
perjanjian. Namun secara umum istilah ratifikasi lebih
banyak digunakan dalam praktek pengesahan peraturan
perjanjian internasional.
Ratifikasi berarti konfirmasi dari suatu negara bahwa
suatu perjanjian yang diratifikasinya tidak bertentangan
dengan kepentingan negaranya Dalam kerangka Hukum
Tata Negara ratifikasi merupakan pernyataan untuk
menegaskan bahwa perjanjan internasional yang telah
disepakati tidak bertentangan dengan hukum nasional.43
Dalam konteks urgensi ratifikasi Statuta Roma, hal ini berarti
semua negara peserta konvensi terikat dengan segala hak
dan kewajiban dalam Statuta Roma, diantaranya kewajiban
untuk mengadili para pelaku kejahatan sesuai dengan
jurisdiksi Mahkamah. Negara peratifikasi berkewajiban
untuk bekerjasama dalam investigasi dan penuntutan (pasal
86) dalam bentuk penerapan dalam hukum nasional.44
Sehingga sebelumnya Negara tersebut harus menjamin
bahwa peraturan perundangan di negaranya sudah memadai
(sebagai bentuk efektifitas prinsip komplementer).
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
(RANHAM) 2004-2009 berdasarkan Keppres No.40 Tahun
2004 tanggal 11 Mei 2004 diantaranya mencakup rencana
ratifikasi terhadap Statuta Roma pada tahun 2008.
43
R.C. Hingorani, “Commencement of Treaty” dalam S.K. Agrawala, ed. “Essays
on the Law of Treaties”, Madras, 1972, hlm.19 diambil dari Budiono, op.cit., hlm.
7.
44
Amnesty International, The International Criminal Court – The case for Ratification,
diambil dari http://iccnow.org/pressroom/factsheets.FS-Al-CaseforRatification.
pdf.
184
Lampiran
Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) Indonesia-Timor Leste juga secara eksplisit
menekankan perlunya upaya untuk menciptakan budaya
hukum dan hak asasi manusia dikalangan masyarakat luas,
diantaranya dengan memasukan materi hak asasi manusia
dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Inisiatif yang
disarankan untuk dilakukan antara lain adalah sosialisasi
dan implementasi hak-hak yang tercantum dalam instrmeninstrumen hak asasi manusia dan hukum internasional
terutama Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR),
Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR),
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW), dan Statuta Roma tentang
Mahkamah Pidana Internasional. Rekomendasi ini sejalan
dengan pelaksanaan RANHAM 2004-2009 seperti yang
tersebut di atas.
Sekali lagi hal ini dapat menunjukan dan
menegaskan itikad baik serta komitmen Indonesia dalam
rangka perlindungan HAM internasional yang selaras
dengan hukum nasional. Urgensi ratifikasi Statuta Roma
dirasa semakin mendesak, seiring dengan kebutuhan
untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM yang
terjadi di Indonesia dan komitmen Indonesia dalam upaya
perlindungan dan penegakan hukum HAM. Bukan karena
tren dunia internasional yang tengah mempromosikan MPI,
namun hal ini memang diperlukan agar dapat mendorong
kemajuan perlindungan HAM dan penegakan hukumnya
terutama dalam perbaikan sistem peradilan Indonesia.
Tujuan penerapan MPI ke dalam hukum nasional:
1. untuk menempatkan Negara Pihak dalam
kewajibannya untuk bekerjasama penuh dengan
MPI
185
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
2. agar jurisdiksi MPI dapat menjadi pelengkap
terhadap sistem pengadilan nasional negara pihak
(prinsip komplementer)
Negara sebagai bagian dari masyarakat internasional
mempunyai kewajiban untuk menghukum para pelaku
kejahatan yang termasuk dalam kejahatan internasional yang
dianggap dapat mengancam dan mengganggu perdamaian,
keamanan dan ketertiban dunia sesuai dengan isi Piagam
PBB. Hal ini ditegaskan dalam Resolusi Majelis Umum PBB
3074 (XXVIII) yang dikeluarkan pada tanggal 3 Desember
1973 yang menyatakan bahwa penerapan jurisdiksi
internasional mengikat semua Negara anggota PBB, “setiap
negara berkewajiban untuk bekerjasama satu sama lain
secara bilateral atau multilateral untuk mengadili mereka
yang dianggap bertanggungjawab melakukan kejahatan
perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan
menjadi negara pihak dalam Statuta Roma tentang MPI,
mengingat salah satu tujuan pendirian MPI yaitu menjamin
penghukuman terhadap pelaku kejahatan yang serius yang
menjadi perhatian masyarakat internasional. Sehingga
dengan menjadi Negara Pihak Statuta Roma mau tidak
mau suatu negara akan termotivasi untuk melaksanakan
penegakan hukum melalui pengefektifan praktek dan sistem
peradilan nasionalnya yang dilatarbelakangi salah satu
prinsip fundamental MPI yaitu prinsip komplementer.
Proses ratifikasi Statuta Roma merupakan upaya
pencegahan terjadinya kejahatan dengan akibat yang lebih
besar di kemudian hari, juga memberikan perlindungan
dan reparasi bagi korban. Beranjak dari pengalaman
pengadilan-pengadilan ad hoc yang pernah ada, dimana
pertanggungjawaban dirasa kurang mencukupi karena
186
Lampiran
selalu dipengaruhi unsur politik, MPI menekankan
pertanggungjawaban individu45 atas kejahatan perang,
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan agresi.
A. Keuntungan Meratifikasi Statuta Roma
Konsekuensi logis dari proses ratifikasi suatu
instrumen internasional yaitu bahwa negara yang melakukan
ratifikasi terikat dengan aturan dalam konvensi tersebut.
Berbagai pertimbangan tentu diperlukan oleh suatu negara
yang hendak meratifikasi suatu perjanjian internasional
dalam hal ini Statuta Roma. Selain bunyi pasal-pasal yang
terdapat dalam suatu konvensi dan dasar kepentingan suatu
negara, dampak yang dapat timbul akibat peratifikasian
pun harus menjadi salah satu pertimbangan, jangan
sampai dampak negatifnya lebih besar daripada dampak
positifnya. Diantaranya dampak terhadap legislasi nasional
maupun kelembagaan hukum di Indonesia serta hubungan
keterkaitan dan keterpengaruhan peran Indonesia dalam
percaturan dunia internasional.46
a. Hak preferensi secara aktif dan langsung dalam
segala kegiatan MPI.
Keuntungan nyata yang diperoleh yaitu bilamana
ada suatu musyawarah yang melibatkan negara
peserta, maka kita akan dapat memberikan suara
dan pandangan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan isi Statuta maupun hal-hal lain yang
menyangkut pengaturan dan pelaksanaan MPI,
termasuk masalah administratif, dimana kita
45
Necessity of Ratifying the Statute of the International Criminal Court, Zagerb
April 10, 2000, Translation of Press Release. www.beehive.govt.nz
46
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, Jakarta:
PT.Hecca Mitra Utama, 2004, hlm.48.
187
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
menjadi anggota Majelis Negara Pihak (Assembly
of States Parties).47 Bagi negara pihak Statuta
Roma, hal ini berarti memberikan hak preferensi
secara aktif dan langsung untuk memberikan
peranannya secara aktif dalam segala kegiatan
MPI, termasuk diantaranya melindungi warga
negaranya yang menjadi subjek MPI.
b. Kesempatan untuk menjadi bagian dari organ
MPI.
Dengan menjadi negara pihak dalam Statuta Roma,
maka kesempatan untuk menjadi bagian dari organ
MPI pun terbuka lebar, karena setiap negara pihak
berhak mencalonkan salah satu warganegaranya
untuk menjadi hakim, penuntut umum ataupun
panitera. Hal ini dapat meningkatkan kemampuan
para aparat penegak hukum Indonesia dalam
berpraktek di pengadilan internasional dan dapat
menguatkan posisi tawar negara dalam pergaulan
internasional. Sementara negara bukan pihak tidak
dapat mencalonkan wakilnya untuk menjadi organ
inti MPI.
c. Membantu percepatan pembaharuan hukum (legal
reform) di Indonesia.
47
Dengan meratifikasi Statuta Roma, maka
Indonesia akan segera terdorong untuk membenahi
instrumen hukumnya yang belum memadai agar
selaras dengan aturan dalam Statuta Roma. Hal
Lihat William A. Schabas, op.cit., hlm.157, lihat pasal 112 Statuta Roma 1998.
Majelis Negara Pihak merupakan organ yang mempunyai kekuasaan tertinggi
dalam memberikan keputusan berkenaan dengan masalah administratif dan isi
Statuta, diantaranya dalam memilih, mengangkat dan memberhentikan hakim serta
penuntut umum juga menentukan anggaran serta amandemen terhadap Statuta.
188
Lampiran
ini dikarenakan prinsip non-reservasi dalam proses
ratifikasi Statuta Roma, yang berarti bahwa negara
pihak tunduk pada semua aturan dalam Statuta
Roma.
Salah satu hal yang patut dicontoh oleh Indonesia
dalam rangka pembaharuan sistem hukum,
khususnya dalam Pengadilan HAM yaitu
mekanisme pre-trial48 di MPI yang sangat
berbeda dengan pra-peradilan dalam sistem
KUHAP. Dalam sistem KUHAP, pra-peradilan
merupakan pemeriksaan awal berkaitan dengan
proses beracara yang diantaranya berkenaan
dengan49:
i. Sah tidaknya penangkapan atau penahanan
tersangka, diajukan oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka;
ii. sah tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penyidikan penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan
keadilan;
iii. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi
oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain
dengan kuasa dari tersangka yang perkaranya
tidak diajukan ke pengadilan.
48
Istilah pre-trial tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena belum
ditemukan padanan kata yang tepat dan bahwa mekanisme ini adalah praktek yang
berbeda dengan hukum acara pidana di Indonesia, untuk menghindari ambiguitas
dan perbedaan penafsiran maka istilah pr-trial dibiarkan sebagaimana istilah
aslinya.
49
Pasal 1 angka 10 UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
189
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Sementara itu, ada tiga cara di mana MPI dapat
memulai proses penyelidikkan (trigger mechanism)
yakni (i) Negara pihak boleh melaporkan suatu
“situasi” kepada Penuntut Umum di mana telah
terjadi satu atau lebih kejahatan yang merupakan
yurisdiksi MPI (Pasal 13 (a) dan pasal 14 Statuta
Roma) , (ii) atas inisiatif Penuntut Umum
untuk melakukan penyelidikan proprio motu50,
karena adanya informasi dari sumber yang bisa
dipertanggungjawabkan bahwa telah terjadi suatu
kejahatan yang merupakan yurisdiksi MPI, dan
Penuntut Umum telah diberikan kewenangan
oleh Pre-Trial Chamber untuk melaksanakan
penyelidikan pidana (Pasal 13(c) dan Pasal 15
Statuta Roma), () atas dasar laporan dari Dewan
Keamanan PBB mengenai situasi di mana telah
terjadi satu atau lebih kejahatan (yang berada
dalam yurisdiksi MPI) berdasarkan Bab VII Piagam
PBB (Pasal 13(b) dan 52(c) Statuta Roma)51.
Trigger mechanism yang didasarkan atas inisiatif
Penuntut Umum berdasarkan penyelidikan proprio
motu karena ada informasi dari orang-orang yang
dapat dipercaya harus melewati mekanisme PreTrial Chamber terlebih dahulu. Penuntut Umum
harus menganalisis keseriusan informasi tersebut
dengan mencari keterangan tambahan dari badanbadan PBB, organisasi antar pemerintah, LSM,
dan sumber lain yang dapat dipercaya. Ketika
Penuntut Umum menyimpulkan bahwa terdapat
dasar yang masuk akal untuk melaksanakan
50
Bahasa latin yang berarti tindakan berdasarkan insiatif sendiri
51
A Joint Project of Rights and Democracy and The International Center for
Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy, International Criminal Court :
Manual for the Ratification of the Rome Statute, Vancouver, 2002, p. 4
190
Lampiran
penyelidikkan, Penuntut Umum dapat meneruskan
permohonan kewenangan untuk melaksanakan
penyelidikkan kepada Sidang Pre-Trial yang terdiri
dari tiga orang hakim disertai dengan keterangan
pendukungnya52.
Korban secara khusus dapat mengirimkan
wakilnya dalam Sidang Pre-Trial, khususnya untuk
mendukung Sidang agar memberikan kewenangan
untuk melaksanakan penyelidikan. Jika Sidang
Pre-Trial, setelah memeriksa permohonan dan
bahan pendukung, menyatakan adanya ‘dasar
yang masuk akal’ untuk memulai pennyelidikan
yang merupakan yurisdiksi dari Mahkamah,
maka Sidang harus segera memberikan wewenang
kepada Penuntut Umum untuk melaksaksanakan
penyelidikan (pasal 15(4) Statuta Roma). Namun
jika Sidang Pre-Trial menolak untuk memberikan
wewenang, hal ini tidak menutup kemungkinan
Penuntut Umum untuk mengajukan kembali
permohonan yang sama dengan fakta-fakta atau
bukti baru (Pasal 15(5) Statuta Roma).53
Mekanisme pre-trial memang tidak dikenal dalam
KUHAP Indonesia karena berasal dari sistem
hukum Anglo Saxon yang dipraktekan dalam
proses persidangan.
Namun dalam prinsip-prinsip dalam mekanisme
ini telah digunakan dalam hukum acara Pengadilan
Tata Usaha Negara dengan istilah dismissal process
52
Rules of Procedure and Evidence, UN Doc.PCNICC/2000/INF/3/Add.3, Rule
50
53
William Schabas, An Introduction to the International Criminal Court, Cambridge
University Press, 2001,p. 98
191
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
dan juga digunakan oleh Mahkamah Konstitusi
dengan istilah pemeriksaan persiapan.54 Belajar
dari pengalaman Pengadilan HAM dalam
kasus di Indonesia, mekanisme ini akan
memberikan banyak manfaat jika dipraktekan
dalam penegakan hukum HAM di Indonesia,
diantaranya:
i. Pre-trial ini dapat mencegah terjadinya
bolak-balik berkas perkara antara penyelidik
(KOMNAS
HAM)
dengan
penyidik
(Kejaksaan Agung) yang biasanya disebabkan
karena ketidaklengkapan hasil penyelidikan
atau karena hal teknis lain misalnya tidak
disumpahnya penyelidik.
ii. Kelengkapan bukti-bukti, perlindungan saksi
dan korban, jumlah saksi yang akan dibawa
ke persidangan,dll, dapat dipersiapkan
semaksimal mungkin dalam Sidang Pre-Trial
sehingga terhindar dari pengadilan yang dinilai
seolah tidak serius.55
iii. Hal-Hal yang telah diperiksa dan diputuskan
54
Diskusi dengan A.H Semendawai, ELSAM, 20 Desember 2005 dan wawancara
dengan Rudi M. Rizki, pakar HAM, 29 Desember 2005.
55
Pengalaman pada persidangan kasus Timor-Timur dimana diantaranya terdapat
ketidakseimbangan antara saksi yang meringankan dan memberatkan, tidak
ada perlindungan saksi dan korban sebagaimana layaknya pengadilan HAM
internasional, para saksi yang ternyata tidak dapat hadir dalam persidangan karena
alasan biaya dan transportasi, kurangnya fasilitas penerjemah bagi saksi yang
tidak bisa berbahasa Indonesia, dakwaan tunggal dan ’kurang memanfaatkan’
perangkat hukum lain yang terkait sehingga dapat mengakibatkan terdakwa dapat
dengan mudah lepas dari dakwaan/tuntutan, dan hal-hal teknis maupun nonteknis lainnya. Pernyataan Prof. DR. Komariah Emong Sapardjaja, S.H., Guru
Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, hakim ad hoc Pengadilan HAM
Indonesia, Rudi M. Rizki, pakar HAM Internasional, hakim ad hoc Pengadilan
HAM Indonesia.
192
Lampiran
oleh Pre-Trial tidak perlu lagi diperiksa dalam
Pengadilan sehingga akan tercapai tujuan
pengadilan yang murah, cepat dan efisien.
Sebenarnya mekanisme ini pernah digunakan
dalam kasus Trisakti Semanggi Satu (TSS I) di
mana pada akhirnya DPR memutuskan bahwa
tidak terjadi pelanggaran HAM yang berat pada
kasus tersebut. Namun tidak dilakukan dengan
tepat karena mekanisme pre-trial dilakukan oleh
DPR yang notabene adalah institusi politik, dimana
seharusnya diberikan pada institusi yudikatif.
Disini terlihat jelas pengaruh politik masih sangat
besar dalam upaya penegakan dan perlindungan
HAM di Indonesia. Inilah salah satu hal yang
harus diperbaiki dalam sistem hukum kita. Dengan
kata lain, dengan meratifikasi Statuta Roma ini
sangat mendukung dan
dapat mempercepat
upaya reformasi hukum di Indonesia, khususnya
berkenaan dengan mekanisme penegakkan hukum
Indonesia.
d. Mengefektifkan sistem hukum nasional.
56
Indonesia tidak perlu khawatir untuk meratifikasi
Statuta Roma ini, karena dalam Statuta Roma itu
sendiri ditegaskan secara nyata bahwa penyelesaian
suatu perkara tetap mengutamakan upaya hukum
nasional baik secara formal maupun material
dengan prinsip dan asas-asas yang sesuai dengan
hukum internasional. Artinya MPI justru membuka
kesempatan yang besar untuk mengefektifkan
sistem hukum nasional dan pengadilan domestik56
Ini juga yang menjadi alasan sebagian besar Negara-negara Uni Eropa dalam
meratifikasi Statuta Roma. Lihat www.npwj.org
193
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
dalam menuntut para pelaku kejahatan. Ini
yang disebut pendekatan komplementer melalui
pola yang strategis dan lebih terfokus.57
Kita telah memiliki instrumen hukum yang
berkaitan dengan perlindungan HAM yang cukup
memadai, seperti dalam Undang Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang
Undang N0.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, dan KUHP, sehingga kekhawatiran akan
adanya intervensi dari forum internasional dapat
dieliminir melalui implementasi yang tegas atas
instrumen-instrumen tersebut. Artinya hal ini
dapat mendorong para penegak hukum dan
pemerintah serta semua pihak untuk turut aktif
dalam penegakan hukum dan perlindungan HAM.
e. Sebagai motivator dalam peningkatan upaya
perlindungan HAM.
57
Adanya MPI ini dapat menjadi motivator
untuk terus menggiatkan dan meningkatkan
peran Indonesia dalam upaya perlindungan
HAM internasional, seperti tujuan negara yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu
turut aktif dalam upaya menjaga ketertiban dan
perdamaian dunia. Serta menunjukan komitmen
Indonesia bahwa Indonesia dapat melaksanakan
perlindungan HAM melalui pengadilan HAM
secara efektif dan efisien dengan menjamin prinsip
pertanggungjawaban individu, penuntutan dan
penghukuman bagi pelaku kejahatan. Secara politis
hal ini dapat mengangkat status Indonesia di mata
pergaulan internasional.
www.hrw.org, www.untreaty.un.org
194
Lampiran
f. Menjadi preseden positif bagi
khususnya di Asia Tenggara.
negara
lain,
Indonesia sebagai Negara besar di Asia Tenggara
seharusnya dapat menjadi contoh dan dapat
mempengaruhi negara-negara lain di sekitarnya.
Namun, dalam hal menjadi pihak dalam Statuta
Roma, justru negara-negara di Asia Tenggara yang
biasanya dianggap tidak diperhitungkan dan tidak
berpengaruh telah melakukan penandatanganan
dan meratifikasi Statuta Roma, seperti Kamboja
dan Timor Leste58. Sebaliknya, negara-negara
berpengaruh justru belum bertindak apapun,
hanya Filipina dan Thailand yang telah
menandatangani Statuta Roma meskipun
belum meratifikasinya hingga sekarang.
Demikian pula dengan negara-negara besar
lainnya di dunia.59 Dengan meratifikasi Statuta
Roma, Indonesia sebagai salah satu negara
besar di kawasan Asia Tenggara dapat menjadi
contoh (trendsetter) yang baik dalam upaya
perlindungan HAM dan penegakan hukum
internasional khususnya bagi negara-negara
tetangga, seperti Malaysia, Singapura dan
Brunei Darussalam.
B. Kerugian Tidak Meratifikasi Statuta Roma
Kerugian secara umum tentunya adalah kebalikan
dari keuntungan-keuntungan seperti yang telah diuraikan di
atas. Namun terdapat beberapa hal lain disamping hal tersebut
58
Kamboja melakukan penandatanganan pada 23 Oktober 2000 dan meratifikasi
pada 11 april 2002. lihat www.amnesty.org.
59
lihat selengkapnya dalam www.amnesty.org dan www.iccnow.org.
195
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
diatas yang menjadi perhatian khusus, diantaranya:
a. Tidak memiliki posisi tawar yang signifikan
Kerugian suatu negara tidak meratifikasi
Statuta Roma diantaranya adalah negara tidak
dapat memberikan suara berkaitan dengan isi
maupun pelaksanaan Statuta. Kesempatan untuk
mengajukan warga negaranya sebagai hakim dan
jaksa di MPI juga tidak dimungkinkan. Namun
berbeda bila negara tersebut mendukung dan
meratifikasi Statuta Roma.
b. Reformasi hukum nasional akan berjalan lambat
apabila tidak termotivasi dengan tidak adanya
keinginan untuk memperbaiki sistem yang berlaku.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan
meratifikasi Statuta Roma yang berisi aturan
mengenai bentuk-bentuk kejahatan luar biasa
(extra ordinary crimes) yang bersifat dinamis tetapi
tidak diatur dalam KUHP dapat memotivasi negara
untuk memperbaiki hukum nasional terutama
sistem peradilannya, termasuk dalam hal hukum
acara karena setelah meratifikasi Statuta, negara
pihak harus menyesuaikan hukum domestiknya
agar berjalan sesuai aturan pelaksanaan dan isi
Statuta.
c. Praktek impunitas
Belajar dari pengalaman penegakkan hukum di
Indonesia seperti yang telah diuraikan dalam Bab
I di mana masih banyak terjadi praktek impunitas.
Para penguasa atau para komandan/atasan masih
bisa berlindung dari jeratan hukum karena alasan
196
Lampiran
tugas negara atau karena tidak memadainya
instrumen hukum Indonesia yang memberikan
celah untuk membebaskan mereka. Dalam konteks
ini diakibatkan oleh unsur politis masih sangat
kental dalam penegakkan hukum di Indonesia.
Tentu saja hal ini tidak akan terjadi ketika Indonesia
meratifikasi Statuta Roma karena Indonesia
tidak ingin dinilai tidak mau (unwilling) untuk
menghukum pelaku (yang merupakan komandan/
atasan tersebut) ketika terbukti Pengadilan tidak
independen atau tidak serius dalam menghukum
pelaku.
d. Resiko intervensi asing dalam kedaulatan negara
semakin besar.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dengan
tidak meratifikasi Statuta Roma 1998 tidak berarti
bahwa Indonesia terlepas dari ancaman intervensi
pihak asing terhadap kedaulatan hukum negaranya.
Resiko intervensi pihak asing justru semakin besar
jika tidak meratifikasi, karena prinsip komplementer
hanya berlaku bagi negara pihak Statuta Roma.
Dengan menerapkan yurisdiksi universal, suatu
negara dapat mengadili warga negara lain yang
melakukan kejahatan internasional dengan
menggunakan mekanisme hukum domestiknya.
Jika bukan merupakan Negara pihak dari Statuta
Roma, maka Negara tersebut tidak dapat membela
warga negaranya yang diadili melalui penerapan
yurisdiksi universal, karena tidak dapat mengajukan
penerapan prinsip komplementer yang ada dalam
statuta roma.
e. Tekanan dari dunia internasional.
197
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Dari sisi pergaulan internasional, jika tidak segera
meratifikasi statuta roma, Indonesia dapat dianggap
tidak mendukung upaya pencapaian tujuan
perdamaian dunia, yang salah satunya adalah
penghormatan dan perlindungan HAM dengan cara
penegakan hukum. Komitmen Indonesia terhadap
perlindungan HAM dapat dianggap hanya sebagai
retorika politis karena dalam prakteknya Indonesia
tidak mendukung upaya-upaya yang mengarah
pada kemajuan perlindungan HAM.
f. Kesiapan Infrastruktur dan Instrumen Hukum
Indonesia
Statuta Roma sebagai pembentuk MPI merupakan
angin segar dan bentuk solidaritas sekaligus bentuk
pertanggungjawaban masyarakat internasional
terutama dalam upaya penegakan hukum pidana
internasional dengan salah satu tujuannya yaitu
menghentikan impunitas para pelaku kejahatan
internasional. Seperti dikemukakan di atas, bahwa
untuk mengadopsi ketentuan hukum internasional ke
dalam ketentuan hukum nasional melaui kebijakan
legislatifnya (diantaranya kebijakan meratifikasi
konvensi internasional), perlu dipertimbangkan
berbagai aspek untuk mengantisipasi adanya
perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut. Dalam
implementasinya di tingkatan hukum nasional
diperlukan pertimbangan dari berbagai aspek yang
berkembang, diantaranya sosial, budaya, politik,
hukum dan ekonomi. Hanya dengan meratifikasi
Statuta Roma, kita dapat memahami dengan baik
melalui implementasinya di tingkat nasional.
198
Lampiran
C. Pro Kontra Ratifikasi Mahkamah Pidana Internasional
Silang Pendapat mewarnai rencana ratifikasi
Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional.
Kekhawatiran terbesar muncul karena pendapat yang
mengatakan bahwa ketika Indonesia meratifikasi Statuta
Roma berarti menyetujui dan mengikatkan diri terhadap
semua aturan dalam Statuta Roma.60 Hal ini menurut
beberapa kalangan sangat beresiko khususnya bagi
negara berkembang, dikarenakan pandangan bahwa
MPI akan merongrong kedaulatan hukum nasional
melalui intervensi kewenangan Mahkamah terhadap
pengadilan/sistem hukum suatu negara.
Perlu ditegaskan bahwa Mahkamah adalah sebuah
hasil proses perundingan demokratis yang ingin menciptakan
“international justice” dan lebih mengedepankan nilainiliai hukum sesuai dengan tujuan utama PBB (Pasal 1
ayat 1 Piagam PBB)61 diantaranya untuk mencegah
berkembangnya kejahatan-kejahatan internasional62.
60
Merupakan reaksi terhadap prinsip non-reservasi yang dianut oleh Statuta Roma
1998 dalam Pasal 120 yang menyatakan bahwa “No reservation may be made
to this statute.” Artinya bila suatu Negara meratifikasi dan menjadi pihak dalam
Statuta ini maka Negara harus menerima dan melaksanakan semua ketentuan
dalam Statuta Roma tanpa kecuali. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
penyimpangan dan tidak sampainya tujuan yang dimaksud dalam pembuatan
Statuta. Lihat William Schabas, An Introduction to the International Criminal
Court, Cambridge University Press, 2001, hlm.159-160., Otto Triffterer (ed),
Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, BadenBaden : Nomos Verl Ges., 1999, hlm. 1251-1263.
61
Pasal 1 ayat (1) Piagam PBB: “Tujuan PBB adalah memelihara perdamaian dan
keamanan internasional dan untuk tujuan itu: mengadakan tindakan-tindakan
bersama yang efektif untuk mencegah dan melenyapkan ancaman-ancaman
terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap perdamaian; dan akan menyelesaikan
dengan jalan damai, serta sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum
internasional, mencari penyesuaian atau penyelesaian pertikaian-pertikaian
internasional atau keadaan-keadaan yang dapat mengganggu perdamaian”
62
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2003, hlm.544.
199
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Kekhawatiran di atas sebenarnya tidak akan terjadi
jika kita memahami benar mengenai prinsip komplementer
(complementary principle) seperti yang telah disinggung dalam
Bab I. Prinsip ini tertuang dalam paragraf 10 Mukadimah63
dimana Mahkamah hanya dapat melaksanakan yurisdiksinya
sebagai pelengkap bilamana hukum nasional tidak mampu
(unable) dan atau tidak mau (unwilling) melakukan suatu
proses peradilan terhadap para pelaku kejahatan yang
berada dalam jurisdiksi Mahkamah. Pasal 1 Statuta Roma
juga menyatakan bahwa tujuan pembentukan Mahkamah
adalah untuk menerapkan jurisdiksi atas pelaku tindak
pidana internasional sebagaimana terdapat dalam Statuta
dan memiliki fungsi untuk melengkapi (complementarity)
sistem peradilan nasional Negara.64
Singkatnya, Mahkamah Pidana Internasional
dilarang melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatan
ketika pengadilan nasional sedang mengadili kejahatan
yang sama dan (i) Kasusnya sedang diselidiki atau dituntut
oleh suatu Negara yang mempunyai jurisdiksi atas kasus
tersebut, (ii) Kasusnya telah diselidiki oleh suatu Negara
yang mempunyai jurisdiksi atas kasus tersebut dan Negara
itu telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang
bersangkutan, kecuali kalau keputusan itu timbul dari
ketidaksediaan atau ketidak-mampuan Negara tersebut
untuk benar-benar melakukan penuntutan; () kasusnya tidak
cukup gawat untuk membenarkan tindakan lebih lanjut
oleh Mahkamah (Pasal 17 Statuta Roma). Dan sebagai
tambahan, (iv) orang yang bersangkutan telah dihukum atau
dibebaskan atas kejahatan yang sama, melalui pengadilan
63
Paragraf 10 Preamble Statuta Roma: “Emphasizing that the International Criminal
Court established under this Statute shall be complementary to national criminal
jurisdictions”.
64
Hans-Peter Kaul, Breakthrough in Rome Statute of the International Criminal
Court; Law and State, vol.59/60, Supp.10 (a/49/10)
200
Lampiran
dan layak dan adil (Pasal 17(c) dan 20 Statuta Roma).65
Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan
mekanisme hukum nasional suatu Negara kecuali jika
Negara tersebut “tidak mau” (unwilling) atau “tidak
mampu” (unable) untuk melakukan penyelidikan atau
penuntutan terhadap pelaku sehingga kejahatan tersebut
menjadi yurisdiksi Mahkamah (Pasal 17 Statuta Roma).
Selain itu, prinsip komplementer ini tidak hanya
berlaku terhadap Negara pihak Statuta saja tetapi juga
terhadap negara yang bukan merupakan pihak Statuta
Roma (Pasal 18 (1)) tetapi memberikan pernyataan sebagai
pengakuannya atas jurisdiksi MPI. Misalnya, seorang warga
negara bukan pihak Statuta yaitu negara A telah melakukan
kejahatan internasional dalam wilayah teritori negara B
yang merupakan pihak dari Statuta Roma, kemudian ia
kabur ke negara C yang bukan merupakan pihak Statuta
Roma. Negara C melaksanakan yurisdiksinya terhadap
warga negara A tersebut dengan dasar bahwa kejahatan
tersebut merupakan kejahatan yang diatur dalam perjanjian
internasional dan tersangka berada dalam wilayah teritorinya
(the forum deprehensionis principle) atau juga karena
didasarkan pada prinsip universalitas. Dan Mahkamah
tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya apabila terbukti
bahwa Negara C memiliki kemauan dan mampu untuk
melaksanakan pengadilan yang layak dan adil.66
Dengan demikian, Mahkamah merupakan the last
resort atau disebut juga ultimum remedium. Ini merupakan
jaminan bahwa Mahkamah bertujuan untuk mengefektifkan
sistem pengadilan pidana nasional suatu Negara. Mahkamah
65
Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, 2003, p.
342.
66
ibid
201
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
dapat menerapkan jurisdiksinya diantaranya67 pada negara
yang menjadi pihak yakni negara peratifikasi Statuta
Roma.
67
Jurisdiksi MPI berlaku pada Negara pihak atau Negara bukan pihak tapi mengakui
jurisdiksi MPI melalui pernyataan/deklarasi tertulis.
202
Lampiran
BAB IV
Implikasi Ratifikasi Statuta
Roma terhadap Sistem Hukum
Indonesia
Negara yang sudah menjadi Pihak dalam Statuta
Roma berarti negara tersebut mengakui bahwa MPI memiliki
yurisdiksi di negaranya terhadap kejahatan yang diatur
dalam Pasal 5 Statuta68, serta terhadap warganegara atau
orang lain yang berada dalam wilayah teritori negara pihak
tersebut untuk diadili di MPI dengan beberapa persyaratan
yang sudah ditentukan dalam Statuta. Dengan demikian,
negara pihak harus menjamin bahwa tidak ada halangan
dalam hal kerjasama dengan MPI tersebut.
Negara yang telah menjadi pihak Statuta berarti
memiliki dua kewajiban fundamental dalam hal:69
68
Kejahatan-kejahatan tersebut adalah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang dan kejahatan agresi.
69
Amnesti International, International Criminal Court : Checklist for Effective
Implementation, July 2000,p. 2
203
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
1. Complementarity : Seperti yang telah dijelaskan
dalam Bab II, bahwa berdasarkan Pasal 1 dan Pasal
17 Statuta Roma, Negara pihak mengakui bahwa
negara, bukan MPI, memiliki tanggungjawab utama
dalam mengadili para pelaku kejahatan genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan
perang. Tidak hanya Negara yang memiliki
kewajiban untuk mengadili pelaku kejahatan
internasional, namun MPI juga dapat mengadilinya
hanya apabila Negara tersebut tidak mampu dan
tidak mau melaksanakan kewajibannya. Jika MPI
menjadi pelengkap efektif suatu Negara dalam
sistem pengadilan internasional, maka Negara
tersebut harus melaksanakan tanggungjawabnya.
Negara harus membuat dan menegakkan hukum
nasionalnya yang mengatur bahwa kejahatan
terhadap hukum internasional adalah berarti
kejahatan terhadap hukum nasionalnya. Negara
yang gagal melaksanakan kewajibannya tersebut
akan beresiko untuk dianggap sebagai Negara
yang tidak mau dan tidak mampu untuk mengadili
kejahatan yang merupakan yurisdiksi MPI.
Membuat peraturan implementasi yang efektif
akan menunjukan bahwa Negara peduli terhadap
kewajiuban utamanya berdasarkan hukum
internasional untuk menjamin ditegakkannya
hukum bagi kejahatan tersebut dan akan
mengadilinya melalui pengadilan nasionalnya.
2. Kerjasama yang penuh (fully cooperation): Ketika
MPI telah menetapkan bahwa MPI memiliki
kewajiban untuk melaksanakan yurisdiksinya
berdasarkan prinsip komplementer, Negara pihak
setuju untuk berkerjasama penuh dengan MPI
dalam hal penyelidikkan dan penuntutan terhadap
204
Lampiran
kejahatan yang menjadi yurisdiksi MPI. Kewajiban
ini berarti bahwa Negara harus memberikan
perlakuan khusus dan kekebalan tertentu kepada
aparat penegak hukum dan personil MPI70. Tanpa
perlakuan khusus dan kekebalan seperti ini, akan
sangat sulit, bahkan tidak mungkin, bagi MPI untuk
berfungsi efektif71. MPI memiliki perjanjian terpisah
yang mengatur mengenai perlakuan khusus dan
kekebalan bagi staf MPI (Agreement on Privilege
and Immunities of the MPI)72 dan Pasal 48 Statuta
Roma menjelaskan keharusan Negara pihak untuk
meratifikasi dan mengimplementasikan perjanjian
ini. Beberapa aturan yang penting dalam perjanjian
ini diantaranya adalah Penuntut Umum dan
Pembela MPI dapat melaksanakan penyelidikan
yang efektif dalam yurisdiksinya, dan pengadilan
nasional serta aparat penegak hukumnya
harus bekerjasama penuh dalam memberikan
dokumen, penempatan serta perampasan asetaset dari tersangka, melaksanakan pencarian dan
perampasan barang bukti, melindungi saksi serta
menahan dan menyerahkan tersangka kepada MPI.
Negara juga harus bekerjasama dengan MPI dalam
menegakkan hukuman dengan membuat fasilitas
penahanan bagi pelaku yang telah dihukum.
Untuk lebih mengefektifkan kerjasama dengan
MPI, Negara harus memberikan pendidikan dan
70
Coalition for the International Criminal Court, Question and Answer : The
Privileges and Immunities Agreement of the ICC, Last updated 13 February 2003,
diambil dari www.iccnow.org.
71
ibid.
72
Agreement on Privilege and Immunities of the ICC dirancang oleh Komisi
Persiapan ICC dan diadopsi oleh Assembly of State Parties (ASP) tanggal 9
September 2002. Perjanjian ini akan berlaku setelah diratfikasi oleh 10 negara.
Hingga saat ini ada 31 negara yang sudah meratifikasinya. 205
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
pelatihan kepada aparat penegak hukum (jaksa,
hakim, pengacara) serta publik mengenai kewajiban
Negara berdasarkan Statuta Roma.
Untuk
menjamin bahwa sistem hukum internasional
terintegrasi dengan penuh, dimana pengadilan
nasional dan internasional saling menguatkan satu
sama lain, Negara tidak hanya harus melaksanakan
kerjasama dengan MPI namun juga dengan ICTY
dan ICTR. Negara juga harus mengakui yuirsdiksi
universal terhadap kejahatan internasional dan
memperkuat sistem kerjasama antar Negara
melalui ekstradisi dan bantuan hukum yang saling
menguntungkan.
Uraian diatas adalah gambaran mengenai hal-hal
apa saja yang menjadi kewajiban suatu Negara apabila
memutuskan untuk menjadi pihak dalam MPI. Namun,
mengingat Indonesia belum meratifikasi MPI, maka
muncul pertanyaan manakah yang harus didahulukan
antara ratifikasi Statuta Roma ataukah membuat peraturan
implementasi Statuta Roma? Seperti yang telah dijelaskan
pada Bab I, bahwa setelah Negara meratifikasi Statuta
Roma maka Negara tersebut berhak mengirimkan satu
orang perwakilannya dalam Majelis Negara Pihak dan
memiliki satu suara di Majelis. Berdasarkan Pasal 112
Statuta Roma, Majelis Negara Pihak memiliki tugas yang
sangat penting antara lain memilih hakim dan jaksa dan
menentukan anggaran Mahkamah.73 Sehingga, Negara yang
telah meratifikasi Statuta Roma memiliki kesempatan untuk
memberikan kontribusi yang besar terhadap pelaksanaan
fungsi MPI. Berbeda jika suatu Negara hanya merupakan
penandatangan tapi bukan peratifikasi Statuta Roma.
73
A Joint Project of Rights and Democracy and The International Center for
Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy, International Criminal Court :
Manual for the Ratification of the Rome Statute, Vancouver, 2002, p.10
206
Lampiran
Negara tersebut hanya diberikan status sebagai peninjau
dan tidak memiliki suara dalam Majelis Negara Pihak.
Beberapa Negara di Eropa dan Afrika berdasarkan
konstitusinya, biasanya harus mempersiapkan undangundang implementasi dahulu sebelum meratifikasi sebuah
perjanjian internasional. Namun demikian, mereka
akhirnya memutuskan untuk meratifikasi Statuta Roma
terlebih dahulu, dan kemudian menggunakan waktu antara
ratifikasi dan berlakunya Statuta Roma (entry into force)
untuk membuat rancangan undang-undang implementasi
mereka74.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa dengan meratifikasi
Statuta Roma terlebih dahulu akan memberikan lebih
banyak manfaat bagi negara khususnya Indonesia, jika
dibandingkan dengan membuat dan mengesahkan terlebih
dahulu undang-undang implementasinya.
Namun hal itu bukan berarti persiapan pembuatan
peraturan implementasi tidak penting, karena kesiapan
Indonesia dalam membuat peraturan implementasi Statuta
Roma akan dapat meminimalkan intervensi internasional
(karena Indonesia tidak akan dianggap tidak mau dan
tidak mampu) dan mengefektifkan mekanisme penegakkan
hukum nasionalnya. Kenyataan yang terjadi sekarang ini
adalah dari 100 negara peratifikasi Statuta Roma, hanya
36 negara yang sudah mengesahkan undang-undang yang
mengimplementasikan berbagai kewajiban yang tertuang
dalam Statuta Roma dan berbagai aturan hukum internasional
kedalam hukum nasionalnya75. Dari 36 negara tersebut hanya
74
Ibid ,p.11. Proses ratifikasi Negara-negara ini dilakukan sebelum Statuta Roma
berlaku yakni sebelum 1 Juli 2002.
75
Beberapa diantara 64 Negara Pihak lainnya telah memiliki rancangan undangundang implementasi, dan masih dalam proses untuk pengesahannya. Proses
207
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
19 negara yang mencantumkan kewajiban komplementer
(complementarity obligations) dan kewajiban kerjasama
(cooperation obligations) dalam Undang-Undangnya76. Dan,
hanya 31 negara yang meratifikasi Agreement on Privileges
and Immunities of the MPI77 dan tidak ada satu Negara pun
yang sudah mengimplementasikannya.78
A. Peraturan Perundangan yang Perlu Disinkronisasikan
Setelah melihat uraian hal-hal apa saja yang harus
diakomodir dalam peraturan implementasi Statuta Roma,
maka kita juga harus melihat aturan-aturan dalam instrumen
hukum nasional Indonesia. Apakah telah selaras dengan
aturan-aturan Statuta Roma, atau justru malah banyak yang
bertentangan sehingga perlu disinkronisasikan?
Dibawah ini akan dijelaskan beberapa aturan
yang kurang memadai, beberapa diantaranya ada yang
bertentangan, dengan aturan-aturan dalam Statuta Roma.
Sehingga Indonesia perlu segera melakukan pembenahan
baik dengan melakukan amandemen dari instrumen hukum
yang telah ada, atau membuat undang-undang baru untuk
mengakomodir aturan-aturan tersebut. Juga disertai dengan
praktek beberapa Negara yang telah merafikasi Statuta
pembuatan rancangannya sebagian dilakaukan dalam bentuk diskusi tertutup tanpa
melibatkan masyarakat umum, walaupun ada beberapa Negara yang juga turut
melibatkan masyarakat umum dalam pembuatan rancangannya (Peru, Democratic
Republic of Congo, UK). Data diperoleh dari Amnesti International, International
Criminal Court : The Failure of States to Enact Effective Implementing Legislation,
September 2004, p. 1
76
Negara-negara tersebut diantaranya adalah : Australia, Belgium, Bulgaria, Canada,
Croatia, Denmark, Estonia, Finland, Georgia, Germany, Iceland, Lithuania, Malta,
The Netherlands, New Zealand, Slovakia, South Africa, Spain dan UK. Data
diperoleh dari Amnesti Internasional…ibid, p.2
77
www.iccnow.org
78
Amnesty International, Op Cit, p. 42
208
Lampiran
Roma dan membuat undang-undang implementasinya.
Aturan-aturan tersebut diantaranya adalah:
1. Aturan mengenai kejahatan yang merupakan
yurisdiksi MPI
Aturan mengenai kejahatan dalam yurisdiksi MPI
memang belum memadai dalam sistem hukum di
Indonesia. Undang-Undang No. 26/2000 tentang
Pengadilan HAM hanya mengatur mengenai
kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida
(Pasal 8 untuk kejahatan genosida, dan Pasal 9
untuk kejahatan terhadap kemanusiaan), sedangkan
kejahatan perang belum terakomodir dalam aturan
hukum di Indonesia. Namun jika merujuk dalam
Rancangan KUHP Indonesia ketiga kejahatan
yang merupakan yurisdiksi MPI ini sudah diatur79,
sayangnya hingga saat ini rancangan tersebut
belum disahkan sehingga belum bisa dijadikan
dasar hukum.
Saat ini di Indonesia memang masih terjadi
perdebatan panjang mengenai aturan kejahatan
dalam yurisdiksi MPI. Sejauh ini, ada tiga usulan:
a. Mengamandemen Undang-Undang No. 26
Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, dan
memasukkan kejahatan perang ke dalamnya;
b. Memasukkan ketiga jenis kejahatan itu menjadi
tindak pidana dalam KUHP yang baru. Seperti
yang sudah diatur dalam Rancangan KUHP
2004;
79
Kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC diatur dalam BAB IX Rancangan
KUHP (2004) tentang tindak pidana terhadap hak asasi manusia, yakni dalam Pasal
390 tentang tindak pidana genosida, Pasal 391 tentang tindak pidana kemanusiaan
dan Pasal 392 mengenai tindak pidana perang dan konflik bersenjata.
209
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
c. Membuat
undang-undang
baru
yang
mengakomodir ketiga jenis kejahatan tersebut
80
Sebagai perbandingan, Negara Swiss yang sudah
meratifikasi Statuta Roma sejak tanggal 12
Oktober 2001 juga mengalami kendala yang sama
ketika harus mengakomodir kejahatan-kejahatan
yang merupakan yurisdiksi MPI ke dalam hukum
nasionalnya. Setelah Hukum Federal (Federal
Law) Swiss tentang kerjasama dengan MPI
dan amandemen Hukum Pidana Swiss tentang
pelanggaran terhadap tata pelaksanaan peradilan
disahkan bersamaan dengan berlakunya MPI
(July 2002), selanjutnya masalah yang masih
dibahas dalam interdepartmental working group
adalah mengenai substansi hukum pidana tentang
kejahatan yang diatur dalam Pasal 5-8 Statuta
Roma. Apakah akan dimasukkan dalam Hukum
Pidana yang sudah ada atau dibuat undangundang baru? Akhirnya, walaupun belum final,
ada kecenderungan untuk memasukkan kejahatan
tersebut ke dalam Hukum Pidana serta ke dalam
Hukum Pidana Militer Swiss.80
Seperti yang sudah dijelaskan dalam bab I
mengenai kelemahan sistem hukum di Indonesia,
ketidakmemadaian aturan dalam Undang-Undang
di Indonesia tidak hanya dalam hal aturan yang
memuat ketiga jenis kejahatan dalam yurisdiksi
MPI namun juga dalam hal aturan beracara serta
Jurg Lidenmann, The Ratification and Implementation of the Rome Statute of the
International Criminal Court in Switzerland, diambil dari International Academy
of Comparative Law, International Criminal Courts, International Congress
of Comparative Law, Brisbane 14-20 July 2002. Hingga saat ini, Swiss belum
mengesahkan peraturannya mengenai kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC
tersebut.
210
Lampiran
unsur-unsur kejahatan yang merupakan yurisdksi
MPI. Sehingga seiring dengan dibenahinya aturan
perundangan yang mengatur kejahatan dalam
yurisdiksi MPI, maka aturan beracaranya pun
harus segera dibenahi. Dan agar terdapat satu visi
yang sama antara aparat penegak hukum dalam
mengimplementasikan ketiga kejahatan tersebut
sebagai suatu delik pidana maka seharusnya
ada aturan yang jelas mengenai unsur-unsur
kejahatannya, baik dituangkan dalam penjelasan
Undang-Undang maupun dalam buku pedoman
tersendiri seperti element of crimes dalam Statuta
Roma.81
2. Aturan mengenai kadaluarsa
Bagian (1) di atas menjelaskan bahwa semua
aturan kadaluarsa tidak berlaku bagi kejahatan
dalam yurisdiksi MPI. Aturan tidak berlakunya
kadaluarsa bagi kejahatan terhadap kemanusiaan
dan kejahatan perang juga telah lama diatur dalam
Konvensi tentang Tindak Berlakunya Kadaluarsa
Bagi Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan tahun 1968.82 Sementara dalam KUHP
di Indonesia, aturan kadaluarsa masih berlaku
sebagai salah satu faktor gugurnya kewenangan
penuntutan dan pelaksanaan pidana, hal yang
81
The Asia Foundation bekerjasama dengan ELSAM telah merampungkan
pembuatan Hukum Acara dan Pembuktian bagi Undang-Undang 26/2000 serta
Unsur-Unsur Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan serta UnsurUnsur Pertanggungjawaban Komando. Saat ini draft yang sudah final tersebut telah
diteruskan ke Mahkamah Agung untuk lebih lanjut disahkan sebagai PERMA.
82
Pasal 1(b) 1968 Convention on Non-Applicability of Statutory Limitation to
War Crimes and Crimes Against Humanity menyatakan statuta ini berlaku bagi
kejahatan terhadap kemanusiaan baik yang terjadi pada saat damai maupun konflik
bersenjata seperti yang diatur dalam Piagam Nuremberg serta kejahatan genosida
seperti yang diatur dalam Konvensi Genosida 1948
211
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
sama juga masih tetap diatur dalam Rancangan
KUHP 200483. Namun dalam Undang-Undang 26
Tahun 2000, secara eksplisit dinyatakan bahwa
aturan kadaluarsa tidak berlaku bagi pelanggaran
berat HAM84.
Agar tidak menimbulkan kebingungan dalam
menerapkan aturan kadaluarsa tersebut, aturan
implementasi Statuta Roma di Indonesia nantinya
harus secara eksplisit menyatakan bahwa aturan
kadaluarsa tidak berlaku bagi kejahatan perang,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.
3. Aturan mengenai Ne bis in Idem
Ne bis in idem berarti seseorang tidak boleh
diadili dua kali atas suatu perbuatan yang telah
mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan
tetap. Ne bis in idem adalah merupakan prinsipprinsip umum hukum pidana (general principle of
criminal law), dan prinsip ini diatur dalam Statuta
Roma (Pasal 21) juga dalam KUHP Indonesia
(Pasal 76) seperti halnya prinsip-prinsip umum
hukum pidana lainnya (nullum crimen sine lege,
nulla poena sine lege, non-retroaktif, dll) . Namun,
prinsip ini tidak ditemukan dalam Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000 yang justru merupakan
satu-satunya Undang-Undang di Indonesia yang
mengatur mengenai pelanggaran HAM yang
berat. Sebagai prinsip umum hukum pidana, maka
83
Kadaluarsa dalam hal penuntutan dan pelaksanaan pidana diatur dalam : Pasal 76,
78-82, 84,85 KUHP, Pasal 146, 147, 148, 149, 150, 152, 153 Rancangan KUHP
2004.
84
Pasal 46 Undang-Undang 26/2000 menyatakan bahwa : “Untuk pelanggaran
HAM yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini tidak berlaku
ketentuan mengenai kadaluarsa.
212
Lampiran
sudah seharusnya prinsip-prinsip umum ini selalu
dicantumkan di setiap konvensi atau UndangUndang yang berkaitan dengan hukum pidana,
demikian pula dalam aturan implementasi Statuta
Roma Indonesia nantinya, jangan sampai prinsipprinsip umum ini tidak dicantumkan seperti dalam
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000.
4. Aturan mengenai pidana mati
Statuta Roma menjelaskan bahwa pidana mati
tidak berlaku bagi kejahatan dalam yurisdiksi
Mahkamah. Pidana maksimum yang berlaku
bagi kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida
dan kejahatan perang adalah pidana penjara
seumur hidup. Dewan Keamanan PBB jug telah
mengecualikan aturan pidana mati dalam Statuta
ICTY dan ICTR untuk kejahatan yang sama
dengan yuridiksi MPI. Penerapan pidana mati
juga bertentangan dengan hak untuk hidup seperti
yang diatur dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia. Hampir setengah jumlah Negaranegara di dunia (118 negara) sudah menghapuskan
hukuman mati dalam sistem hukumnya85. Namun
yang menjadi perhatian serius sekarang ini adalah
beberapa Negara pihak Statuta Roma seperti
Democratic Republic of Congo (Pasal 17), Mali
(Pasal 32), Republic of Congo (Pasal 2,3,5,7,8,9,dan
10), Uganda (bagian 7(3)(a) dan Pasal 9(3)(a)),
telah mencantumkan aturan hukuman mati dalam
rancangan undang-undang implementasinya86. Hal
85
Amnesti International, Abolitionist and Retentionist Countries (diambil dari
www.amnesti.org/pages/deathpenalty-countries-eng)
86
Amnesti International, International Criminal Court : The Failure of States to
Enact Effective Implementing Legislation, September 2004, p.27
213
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
ini jelas bertentangan dengan Statuta Roma karena
Statuta Roma menyatakan bahwa Negara pihak
harus mengecualikan aturan pidana mati terhadap
kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan
kejahatan perang dalam hukum nasionalnya.
Indonesia adalah termasuk Negara yang masih
menerapkan pidana mati. Aturan pidana mati
diatur baik dalam KUHP dan Undang-Undang
26/2000 tentang Pengadilan HAM87. Sementara
dalam Rancangan KUHP baru (2004), dijelaskan
bahwa pidana mati tidak berlaku bagi tindak pidana
hak asasi manusia.88 Jika Indonesia meratifikasi
Statuta Roma, tentu saja aturan pidana mati ini
akan bertentangan dengan Statuta, kecuali jika
pada akhirnya Rancangan KUHP sudah disahkan.
5. Aturan mengenai amnesti
Dengan memberlakukan amnesti terhadap pelaku
tindak pidana maka sebagai konsekwensinya
adalah: (1) penuntut akan kehilangan hak
atau kewenangannya untuk melaksaksanakan
penyidikkan, (2) semua hukuman yang diberlakukan
bagi tindak pidana tersebut dihapuskan. Alasan
pemberian amnesti adalah karena amnesti dianggap
cara yang paling baik untuk menyembuhkan sakit
masyarakat atas tejadinya konflik bersenjata,
huru-hara, dengan cara melupakan kesalahankesalahan masa lalu dan menghapuskan semua
87
Pidana mati diatur dalam : Pasal 10 dan 11 KUHP dan Pasal 36-37 UndangUndang 26/2000.
88
Rancangan KUHP 2004 menjelaskan pidana maksimum untuk genosida adalah 15
tahun (Pasa390), tindak pidana kemanusiaan maksimum 15 tahun (Pasal 391), dan
tindak pidana perang dan konflik bersenjata maksimum 15 tahun (Pasal 392).
214
Lampiran
pelaku kejahatan dari semua pihak peserta konflik.
Cara ini dipercaya merupakan cara yang paling
tepat dan efisien untuk menghentikan kebencian
dan mencapai rekonsiliasi nasional. Namun,
dalam beberapa kasus, para pejabat militer serta
pimpinan polisi banyak yang mendapatkan amnesti
dengan alasan untuk memberikan perubahan
yang diharapakan dalam pemerintahan dan agar
terbebas dari penuntutan di masa mendatang89.
Misalnya setelah Perang Dunia II, Perancis dan
Itali memberikan amnesti kepada warganegaranya
yang telah berperang melawan Jerman. Chile dan
Argentina memberikan amnesti kepada semua
kejahatan yang terjadi selama periode pasca Allende.
Sementara Peru dan Uruguay juga memberikan
amnesti kepada semua pelanggaran berat Hukum
HAM termasuk penganiayaan.90
89
90
Dihadapkan oleh kenyataan untuk menyelamatkan
demokrasi terlebih dahulu, masyarakat-masyarakat
transisi banyak yang memilih kebijakan amnesty
ketimbang pengajuan ke Pengadilan. Jalan inilah
yang ditempuh untuk menyelesaikan masa lalu
mereka, untuk menarik garis pembeda yang tajam
dari rezim terdahulu: bahwa rezim ini bukanlah
kelanjutan dari rezim lama. Kebijakan amnesty
merupakan necessary evil yang harus diambil oleh
pemerintah baru untuk mencapai tujuan yang lebih
besar yakni menjaga stabilitas demokrasi yang
masih rapuh yang sewaktu-waktu dapat berbalik ke
arah sistem politik semula yang otoriter. Pemberian
Antonio Casesse, International Criminal law, Oxford University Press, New
York, 2003, p. 312.
Ibid.
215
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
amnesty dengan demikian dapat dipandang sebagai
tindakan khusus dalam konteks menyelesaikan
masalah transisi.91
91
92
93
94
Namun, dalam berbagai konvensi internasional
aturan hukum amnesti sudah dianggap sebagai
aturan hukum yang bertentangan dengan aturanaturan hukum mengenai Hak Asasi Manusia,
khususnya aturan yang mengatur bahwa semua
pelaku kejahatan internasional harus dihukum.92
Ada beberapa pendapat yang mengatakan
bahwa tidak selamanya amnesty bertentangan
dengan hukum internasional, karena amnesty
bisa dibenarkan sebagai bentuk derogation
(pengurangan) yang dibenarkan dalam hukum
internasional.93 Jose Zalaquett, mantan pengacara
HAM Amnesti International, berkewarganegaraan
Chille, menyatakan bahwa negara yang sedang
menghadapi masa transisi, dapat masuk ke dalam
konteks ”public emergency” yang diatur dalam
Pasal 4 Persetujuan Internasional hak-Hak Sipil
dan Politik, sehingga diperbolehkan mengurangi
(derogation) sebagian kewajiban internasionalnya.94
Ifdhal Kasim, Menghadapi Masa Lalu : Mengapa Amnesty?, Briefing paper
Series tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi No.2 tanggal 1 Agustus
2000, ELSAM, p. 6
Misalnya, Konvensi Genosida 1948 dan Konvensi Jenewa 1949 mewajibkan
semua Negara pihak untuk menuntut dan menghukum orang-orang yang
diduga melakukan kejahatan yang diatur dalam perjanjian tersebut (genosida
dan kejahatan perang). Sehingga, memberlakukan hukum amnesti terhadap
para pelaku kejahatan tersebut merupakan hal yang sangat bertentangan
dengan Konvensi tersebut.
Ifdhal Kasim,…Op.Cit,p. 6
Argumen penggunaan azas derogation itu dikemukakan oleh Naomi RothArriaza, “Special Problems of a Duty to Prosecute Derogation, Amnesties,
Statute of Limitation, and Superior Orders”, dalam Impunity and Human
Rights in International Law and Practice, New York :Oxford University Press,
216
Lampiran
Namun, masih menurut Pepe (panggilan akrab
Zalaquett) terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk pemberian amnesty yaitu95 :
a) Kebenaran terlebih dahulu harus ditegakkan;
b) Amnesty tidak diberikan untuk pelaku kejahatan
terhadap kemanusiaan dan genosida;
c) Amnesty harus sesuai dengan ”keinginan”
rakyat.
95
96
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pemberian amnesty bagi kejahatan yang merupakan
yurisdiksi MPI adalah tetap merupakan hal yang
bertentangan dengan hukum internasional.
Tahun 2000, Perancis merevisi Konstitusinya
sebagai langkah pengimplementasian Statuta
Roma. Dalam Constitutionality of the MPI
Statute, Perancis berkewajiban untuk menahan dan
menyerahkan kepada MPI orang yang memiliki
potensi untuk diberi amnesti oleh Perancis untuk
diadili. Sementara aturan ini bertentangan dengan
Konstitusi Perancis (Pasal 34) yang menyatakan
bahwa pemberian amnesti adalah hak prerogatif
dari Parlemen Perancis. Namun kemudian, untuk
kejahatan yang merupakan yurisdiksi MPI, Perancis
tunduk pada aturan bahwa hukum amnesti tidak
berlaku untuk kejahatan demikian.96
Kewenangan untuk memberikan amnesti dimiliki
1995,p. 57-70, dikutip dari Ifdhal Kasim,…ibid,p. 9.
Ibid.
Antonio Casesse, ...Op.Cit, p. 315
217
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
oleh Presiden setelah meminta pertimbangan
dari DPR (Pasal 14 ayat (2) UUD 1945). Namun
sampai saat ini belum ada aturan yang memperinci
mekanisme dan kategori penilaian pemberian
amnesti karenanya mekanisme ini sangat rentan
terhadap terjadinya praktek impunity yang
dilegalkan oleh Negara. Meski kontroversial,
sebelumnya mekanisme amnesti diatur dalam
Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dalam
UU KKR ini, ada subkomisi yang khusus untuk
memberikan rekomendasi kepada Presiden tentang
permohonan amnesti. Keputusan MK No. 006/
PUU-IV/2006 yang membatalkan Undang-Undang
KKR ini kembali memberikan ketidakpastian soal
pemberian amnesti.
Aturan-aturan di atas hanyalah beberapa
contoh aturan-aturan di Indonesia yang perlu
disinkronisasikan dengan aturan-aturan dalam
Statuta Roma. Seperti yang telah dijelaskan di atas,
bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma maka
Indonesia berkewajiban untuk menerapkan aturanaturan Statuta Roma dalam hukum nasionalnya,
dan agar tidak terjadi pertentangan agar UndangUndang yang telah ada dengan aturan Statuta
Roma, maka sinkronisasi ini menjadi sangat
penting untuk segera dilakukan.
B. Kebutuhan Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan
Nasional Paska Ratifikasi
Dalam upaya perlindungan dan penegakan Hak
Asasi Manusia, Indonesia telah melakukan berbagai upaya
bahkan sebelum adanya Statuta Roma 1998 maupun
218
Lampiran
Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948. Para pendiri bangsa kita
telah memikirkan dan menerapkannya dalam Pembukaan
dan batang tubuh UUD 1945. Seiring perkembangan
jaman maka pengaturan mengenai perlindungan Hak Asasi
Manusia semakin berkembang dan khusus, dimulai dari
UUD 1945 sampai yang terakhir adalah UU No.26 Tahun
2000. Berbagai pengaturan baik dari tingkat lokal maupun
yang berasal dari konvensi – konvensi internasional telah
diratifikasi dan berlaku menjadi hukum positif. Hal ini
menunjukan kepedulian dan eksistensi Indonesia terhadap
perlindungan HAM. Indonesia telah selangkah lebih maju
diantara negara ASEAN lainnya dalam upaya ini.97
Sinkronisasi dilakukan secara vertikal dan
horisontal. Secara vertikal dilakukan terhadap nilai-nilai
hak asasi manusia universal dengan nilai-nilai hak asasi
manusia lokal (nasional). Sedangkan secara horisontal
dilakukan terhadap perundang-undangan yang mempunyai
derajat yang sama.98
Pembandingan ini dapat dilakukan melalui
interpretasi hukum (penafsiran hukum). Interpretasi
bertujuan untuk mempelajari arti yang sebenarnya dan
isi dari peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Dalam
hukum Indonesia, dikenal beberapa bentuk interpretasi,
diantaranya:99
97
98
99
Romli Atmasasmita, Op cit, hlm.61.
Hassan Suryono, Implementasi dan Sinkronisasi Hak Asaasi Manusia
Internasional dan Nasional, dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia: Hakekat
Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung:
Reflika Aditama, 2005, hlm.88.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama
Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Bandung: Alumni, 2000,
hlm. 99-111, CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm.66- 69.
219
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
1. Interpretasi tata bahasa (taalkundige atau
gramatikale interpretetie) yaitu cara penafsiran
berdasarkan bunyi ketentuan undang – undang,
dengan berpedoman pada arti perkataan dalam
hubungannya satu sama lain dalam kalimat yang
dipakai dalam undang – undang; yang dianit adalah
arti perkataan menurut tatabahasa sehari-hari.
2. Interpretasi sahih atau autentik atau resmi, yaitu
penafsiran sebagaimana maksud pembuat undang
– undang itu sendiri dengan maksud agar mengikat
seperti ketentuan atau pasal lainnya.
3. Interpretasi historis atau sejarah (rechthistorische –
interpretatie), yaitu sejarah terjadinya hukum dan
undang – undang atau ketentuan hukum tertulis.
4. Interpretasi sistematis atau dogmatis, yaitu
penafsiran dengan menilik susunan yang
berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya
baik dalam undang-undang itu maupun dengan
undang-undang lainnya yang terkait dengan yang
sedang ditafsir.
5. Interpretasi sosiologis, yaitu penafsiran yang
mempertimbangkan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat yang melatarbelakangi pembuatan
suatu undang-undang
6. Interpretasi teleologis, yaitu penafsiran yang
mengemukakan maksud dan tujuan dari si pembuat
undang-undang.
7. interpretasi ekstentif, yaitu memperluas arti kata
dalam suatu peraturan sehingga suatu peristiwa
atau perbuatan dapat dimasukan ke dalamnya.
220
Lampiran
8. Interpreatasi restriktif, yaitu penafsiran dengan
mempersempit (membatasi) arti kata-kata dalam
suatu peraturan.
9. Interpretasi analogis, yaitu memberi tafsiran pada
suatu peraturan hukum dengan menggunakan
perumpamaan (pengibaratan) terhadap katakata dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas
hukumnya.
10. Interpretasi argumentum a contrario atau
pengingkaran, yaitu cara menafsirkan suatu
undang-undang yang didasarkan pada perlawanan
pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal
yang diatur dalam suatu perundang-undangan.
Sehinga diperoleh kesimpulan bahwa soal yang
dihadapi tidak diatur dalam undang-undang
tersebut.
Interpretasi
terhadap
aturan
internasional
(konvensi)100 yang menggunakan bahasa yang berbeda
digunakan interpretasi secara gramatikal dan sistematis agar
tidak terjadi perbedaan makna. Selain terhadap substansi,
sinkronisasi dan interpretasi dilakukan juga terhadap
komponen kultur, yaitu gagasan-gagasan, harapan-harapan
dari semua peraturan hak asasi manusia.101
Di sisi lain, sesuai dengan pasal 7 ayat (2) UndangUndang No. 39 Tahun 1999 102 maka seharusnya setelah
Undang-Undang peratifikasian Statuta Roma disahkan oleh
100
101
102
Dalam hal ini Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional /
International Criminal Court(ICC).
Hassan Suryono, op. cit., hlm. 89.
Pasal 7 ayat (2): Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara
Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum
nasional.
221
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Presiden, maka Statuta Roma otomatis menjadi hukum
nasional (positif) kita, begitu juga dengan ratifikasi konvensikonvensi lainnya yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
Sehingga kita tidak perlu khawatir dengan masalah kesiapan
perangkat hukum kita yang kini dirasa belum memadai,
karena perangkat hukum berkenaan dengan perlindungan
hak asasi manusia telah terakomodir dengan berbagai
konvensi internasional yang telah kita ratifikasi dan sudah
otomatis menjadi hukum nasional. Berikut paparan secara
rinci kebutuhan harmonisasi yang dibutuhkan paska
ratifikasi Statuta Roma:
a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945)
Seperti telah dikemukakan di atas, para pendiri
Indonesia
telah
merumuskan
pengaturan
perlindungan HAM dalam UUD 1945 baik
dalam Pembukaan maupun batang tubuh. Dalam
Pembukaan, secara eksplisit dan implisit Indonesia
mengemukakan pernyataan dan komitmennya
dalam upaya perlindungan HAM. Dimana salah
satunya dilakukan melalui peran aktif dalam upaya
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial yang juga merupakan salah satu tujuan
bangsa Indonesia.103
Dalam perjalanannya, UUD 1945 telah mengalami
empat kali amandemen, yang diantaranya sangat
berkaitan dengan perlindungan HAM baik dari sisi
hak-hak sipil dan politik maupun yang termasuk
dalam hak-hak sosial, ekonomi dan budaya.
i. Amandemen Pertama UUD 1945
103
lihat paragraph 4 Pembukaan UUD 1945
222
Lampiran
Amandemen pertama UUD 1945 dilakukan
pada tahun 1999, pada garis besarnya
amandemen ini dilakukan terhadap pasal-pasal
yang berkaitan dengan Presiden, pengangkatan,
janji serta hak untuk mengajukan Rancangan
Undang Undang.
ii. Amandemen Kedua UUD 1945
Amandemen kedua yang disahkan pada tahun
2000 pada intinya dilakukan terhadap pasalpasal yang bekenaan dengan hak dan kewajiban
DPR, serta pengaturan mengenai Pemerintah
Daerah. Selain itu amandemen ini mendapat
perhatian besar dari kalangan aktivis HAM
karena dalam amandemen ini dibuat aturan
yang lebih rinci berkenaan dengan pengaturan
perlindungan HAM khususnya di bidang
hak-hak sipil dan politik, yaitu dalam BAB
X A Pasal 28 A – Pasal 28 J yang merupakan
aturan baru yang mengatur lebih rinci tentang
perlindungan HAM dan penegakan hukumnya
dalam UUD 1945. Sebelumnya pengaturan
yang berkaitan dengan perlindungan dan
penegakan HAM secara rinci hanya diatur
dalam Undang Undang dan perangkat hukum
lainnya di bawah UUD.
iii. Amandemen Ketiga UUD 1945
Amandemen ini disahkan pada tahun 2001
yang diantaranya mengatur masalah kekuasaan
kehakiman, hak uji materil dan mekanisme
pemilihan umum. Selain itu diatur juga masalah
kerjasama antara presiden dan DPR.
223
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
iv. Amandemen Keempat UUD 1945
Amandemen keempat yang disahkan pada
tahun 2002 ini lebih menitikberatkan pada
perlindungan HAM di bidang ekonomi, sosial
dan budaya.
b. KUHP, RKUHP dan KUHAP
Pelanggaran HAM yang berat tidak diatur dalam
KUHP sehingga pengaturan secara khusus di luar
KUHP dibenarkan menurut sistem hukum Indonesia
karena sifatnya yang khusus. Beberapa pakar hukum
pidana mengemukakan bahwa tindak pidana yang
diatur dalam MPI sama dengan tindak pidana yang
diatur dalam KUHP Indonesia. Kesamaan tersebut
diantaranya dalam beberapa prinsip yang dianut
oleh MPI yang juga telah diatur dalam KUHP
Indonesia, yakni prinsip legalitas (non retroactive
principle), pertanggungjawaban individual, hal
tentang penyertaan, percobaan dan pembantuan
serta pemufakatan. Namun pengaturan secara
teknis memang tidak sepenuhnya sama, karena
dalam KUHP tidak diatur sebagai tindak pidana
yang berdiri sendiri.104
Secara substansi, tidak ada masalah antara KUHP
dan Statuta Roma diantaranya prinsip legalitas (nonretroaktif), pengaturan mengenai penghukuman
terhadap pelaku pembunuhan. Meskipun banyak
hal yang belum sesuai105 diantaranya KUHP
yang masih menganut ancaman hukuman
mati pada terpidana, hal ini tidak dikenal
104
105
op cit, hlm.38.
lihat selanjutnya dalam Bab 3, Implementasi Efektif Statuta Roma.
224
Lampiran
dalam MPI. Disamping itu masalah mengenai
kadaluwarsa yang masih dianut dalam KUHP,
sedangkan dalam kejahatan berat terhadap
HAM yang diatur dalam MPI, tidak dikenal
adanya kadaluwarsa.
Perbedaan yang cukup besar terdapat dalam hukum
acara. Dalam Statuta Roma semua unsur penegak
hukum dalam sistem peradilan MPI bersifat
independen, berdiri sendiri tanpa pengaruh pihak
manapun, begitu juga dengan proses beracaranya
yang berbeda dengan perkara pidana biasa. Sistem
yang digunakan MPI merupakan gabungan hasil
kesepakatan negara-negara bersistem AngloSaxon dan Eropa Kontinental. Sedangkan dalam
Pengadilan HAM kita yang diatur oleh UndangUndang No.26 Tahun 2000, hukum acara yang
digunakan adalah sama dengan acara yang terdapat
dalam KUHAP dengan sistem kita yang menganut
Eropa Kontinental.
Angin segar dibawa oleh RKUHP Tahun 2004
yang memasukkan jurisdiksi MPI (genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan
perang) menjadi bagian RKUHP. Pengaturan ini
diantaranya terdapat dalam Buku Kedua tentang
‘Tindak Pidana’; Bab I tentang ‘Tindak Pidana
terhadap Keamanan Negara’ paragarf 4 tentang
‘Tindak Pidana Waktu Perang’ (pasal 233-237)
serta Bab IX tentang ‘Tindak Pidana terhadap Hak
Asasi Manusia’ (pasal 390 – 399). Di dalamnya
berisi pengaturan dari segi materi tindak pidana
beserta hukuman yang dapat dijatuhkan kepada
para pelaku tindak pidana tersebut. Memang
terdapat perbedaan berat hukuman dengan yang
225
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
telah ditentukan oleh Undang Undang No.26
Tahun 2000, tetapi hal ini dapat dipertimbangkan
kembali. Namun yang menjadi hal penting dalam
RKUHP ini bahwa bila RKHUP ini disahkan dengan
segera artinya kita tidak perlu mengkhawatirkan
kemungkinan buruk yang dapat timbul106 dari
peratifikasian Statuta Roma berkenaan dengan
pengaturan jurisdiksi yang berbeda dengan
Undang Undang No.26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM yang hanya memasukan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
dalam jurisdiksinya.
RKUHP ini menunjukan komitmen dan kesiapan
Indonesia dalam upaya perlindungan HAM
yang sejalan dengan standar aturan hukum
internasional.
c. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
106
Undang-Undang ini merupakan awal tonggak
pengaturan HAM secara khusus, dan juga
merupakan Undang-Undang yang menunjuk
KOMNAS HAM sebagai badan penyelidik dan
penyidik kasus pelanggaran HAM yang berat,
bersifat independen sebagai salah satu unsur
penegak hukum dalam pelanggaran HAM yang
berat. Lembaga independen ini diantaranya
memiliki
fungsi
pengkajian,
penelitian,
kekhawatirkan diantaranya akan adanya intervensi internasional bilamana
Indonesia meratifikasi ICC karena kejahatan perang tidak termasuk dalam
jurisdiksi Undang Undang N0.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
sedangkan konflik yang terjadi di Aceh tidak menutup kemungkinan adanya
pelanggaran terhadap common article 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 yang
juga diatur dalam Pasal 8 ayat 2 huruf c.
226
Lampiran
penyuluhan, pemantuan dan meditasi tentang hak
asasi manusia.107 Pengakuan terhadap nilai-
nilai HAM diatur lebih spesifik. Meskipun
tidak secara rinci menyebutkan unsur-unsur
tindak pidana seperti dalam jurisdiksi MPI,
tetapi Undang Undang ini mengatur mengenai
hak-hak mendasar yang wajib mendapat
perlindungan diantaranya yang termasuk
dalam hak-hak sipil dan politik serta yang
termasuk dalam hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya.
Berkaitan dengan forum internasional, Undang
Undang ini pun tidak menentang adanya upaya
yang dilakukan ke forum internasional dalam
rangka perlindungan HAM bilamana upaya yang
dilakukan di forum nasional tidak mendapat
tanggapan. Pasal 7 ayat (1) Undang Undang No.
39 Tahun 1999:
107
108
“Setiap orang berhak untuk mengajukan
semua upaya hukum nasional dan forum
internasional atas semua pelanggaran hak asasi
manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia
dan hukum internasional mengenai hak asasi
manusia yang telah diterima negara Republik
Indonesia.”
Maksudnya bahwa mereka yang ingin menegakan
HAM dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk
menempuh semua upaya hukum Indonesia108
Pasal 76 ayat (1) Undang Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
misalnya oleh Komnas HAM atau oleh pengadilan termasuk upaya banding
ke Pengadilan Tinggi ataupun mengajukan kasasi dan peninjauan kembali ke
227
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
terlebih dahulu (exhaustion of local remedies)
sebelum menggunakan forum di tingkat
regional maupun internasional.109 Hal ini
seiring dengan prinsip komplementer yang
dianut MPI.
d. Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia
109
Undang – undang ini dibuat atas dasar kesadaran
dan kepentingan bahwa Indonesia sebagai negara
yang berdaulat. Pertimbangan yang dilakukan
tentunya didasari prinsip dasar pembentukan
suatu peraturan perundangan di Indonesia,
diantaranya landasan filosofis, sosiologis, yuridis
dan politis. Sebagi landasan filosofis, UndangUndang ini dibuat sebagai penerapan cita-cita
bangsa yang dipelopori oleh para pendiri bangsa
ini dalam rangka pencapaian tujuan bangsa
diantaranya mensejahterakan rakyat Indonesia
melalui perlindungan HAM. Pertimbangan yuridis
yang menjadi landasan Undang-Undang ini yaitu
untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum,
dikarenakan KUHP Indonesia tidak mengatur
pelanggaran berat terhadap HAM yang merupakan
kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes).
Dalam sistem hukum Indonesia, suatu hal yang
belum diatur dalam KUHP dapat diatur dalam
peraturan tersendiri sehingga Undang-Undang
26/2000 banyak melakukan terobosan-terobosan
aturan hukum yang tidak diatur sebelumnya dalam
Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat
banding,
Penjelasan Pasal 7 Undang Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
228
Lampiran
KUHAP (seperti yang telah dijelaskan dalam Bab
I).
Landasan sosiologis dalam Undang-Undang ini
yaitu sebagai upaya menjaga dan meningkatkan
upaya perlindungan HAM, dan mencegah terjadinya
kembali pelanggaran-pelanggaran HAM yang
berat masa lalu. Sedangkan alasan politik dalam
Undang-Undang ini yaitu bahwa pelanggaran
HAM yang berat bersifat politis yang dilakukan
oleh sekelompok orang yang memegang kekuasaan.
Adanya Undang-Undang No.26 Tahun 2000 yang
isinya banyak mengadopsi dari Statuta Roma
ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan
Indonesia untuk menunjukan bahwa Indonesia
mampu melaksanakan peradilan sendiri yang sesuai
dengan standar internasional (Statuta Roma) dan
untuk menguatkan prinsip komplementaritas yang
dianut oleh MPI. Undang-Undang ini menunjukan
niat dan itikad baik pemerintah Indonesia untuk
melaksanakan penghukuman terhadap pelaku
pelanggaran HAM yang berat di negaranya.
Perangkat hukum yang telah dimiliki Indonesia
merupakan kelebihan dan ‘modal’ yang dimiliki
Indonesia yang menunjukan kesiapan sistem hukum
kita dalam penegakan HAM, jika dibanding negara
lain seperti Norwegia dan Kamboja ataupun negaranegara yang tergabung dalam Uni Eropa110 yang
telah meratifikasi Statuta Roma tapi belum
memiliki aturan pelaksanaan maupun perangkat
hukum yang mendukung implementasi
Statuta Roma. Meskipun demikian, hal
tersebut tidak menjadi penghalang itikad
110
Lihat selengkapnya dalam www.npwj.org.
229
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
baik mereka dalam mewujudkan komitmen
yang kuat dalam upaya perlindungan HAM
dan penegakan hukumnya. Hal ini terlihat
dari komitmen yang dibuat oleh Norwegia
yang akan melakukan peninjauan kembali
terhadap berbagai perangkat hukumnya yang
disesuaikan dengan pengaturan dalam Statuta
Roma111 seperti KUHP, KUHPerdata dan aturan
kemiliterannya.112 Begitu pula yang terjadi
dengan Kamboja yang melakukan ratifikasi
terlebih dahulu lalu kemudian selanjutnya
dibuat aturan pelaksanaannya.
Dengan demikian, didukung dengan uraian sejumlah
peraturan perundangan (khususnya peraturan mengenai
HAM) yang dimiliki Indonesia di atas, menunjukan kesiapan
Indonesia dalam meratifikasi Statuta Roma. Kekhawatiran
akan dibayang-bayanginya proses penegakkan hukum
HAM di Indonesia oleh MPI bila Indonesia menjadi negara
pihak Statuta Roma, menjadi tidak beralasan dengan uraian
mengenai prinsip komplementer di atas. Sehingga, sudah
saatnyalah Indonesia segera meratifikasi Statuta Roma
sebagai salah satu perwujudan tujuan bangsa Indonesia
seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu ikut
serta secara aktif dalam memelihara perdamaian, ketertiban
dan keamanan dunia.
111
112
sebagian besar Negara yang tergabung dalam Uni Eropa melakukan hal ini
bahkan jika diperlukan dilakukan amandemen terhadap konstitusinya.
Herta Daubler-Gmelin, International Law and the International Criminal
Court.
230
Lampiran
BAB V
KESIMPULAN
Upaya penegakan hukum dan perlindungan
HAM internasional telah diakui sebagai hal yang sangat
penting dan mendesak. Empat Mahkamah Internasional
ad hoc telah dilaksanakan untuk menghukum para pelaku
kejahatan internasional khususnya kejahatan perang,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa banyak kritik yang muncul
yang mewarnai kinerja mahkamah-mahkamah tersebut
diantaranya adalah victors justice, selective justice, dan
praktek-praktek impunity yang sulit dihapuskan.
Berangkat dari tujuan ingin menyempurnakan
kekurangan-kekurangan mahkamah-mahkamah terdahulu
serta menjamin penghukuman terhadap pelaku kejahatan
yang paling serius yang meresahkan masyarakat internasional
agar tidak terulang di kemudian hari, maka didirikanlah
231
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
suatu Mahkamah Pidana Internasional permanen (MPI)
berdasarkan Statuta Roma 1998 yang telah berlaku efektif
sejak tanggal 1 Juli 2002. Hingga saat ini sudah 100 negara
yang menjadi pihak Statuta Roma.
MPI ,dalam menerapkan yurisdiksinya, memiliki
prinsip yang fundamental yakni prinsip komplementer
(complementary principle). Prinsip ini menegaskan
bahwa MPI hanyalah mekanisme pelengkap bilamana
suatu negara tidak mampu (unable) dan tidak mau
(unwilling) untuk mengadili para pelaku kejahatan dalam
jurisdiksinya yakni kejahatan perang, kejahatan terhadap
kemanusiaan, genosida dan kejahatan agresi. Prinsip
ini jelas membuktikan bahwa fungsi MPI bukan untuk
melaksanakan intervensi internasional dengan mengambil
alih fungsi pengadilan nasional suatu negara, namun justru
menjunjung tinggi kedaulatan nasional suatu negara dengan
mengutamakan keefektifan mekanisme hukum nasionalnya
untuk menghukum pelaku kejahatan yang merupakan
warganegaranya.
Indonesia yang belum menjadi pihak dalam Statuta
Roma, seringkali menemukan kesulitan dalam menegakkan
hukum HAM dikarenakan instrumen hukum HAM tidak
memadai serta ketidaksiapan aparat penegak hukumnya
dalam menghadapi isu HAM yang relatif baru bagi mereka.
Hal ini seringkali menyebabkan Indonesia sulit memenuhi
kewajiban untuk melakukan penghukuman terhadap pelaku
pelanggaran HAM yang berat seperti yang misalnya terjadi
dalam kasus Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura.
Ratifikasi Statuta Roma diharapkan dapat menjadi sarana
pendorong bagi Indonesia untuk segera membenahi
kekurangannya tersebut sehingga Indonesia bisa memenuhi
kewajibannya untuk memberikan jaminan perlindungan
HAM terhadap warganegaranya.
232
Lampiran
Jika dibandingkan negara ASEAN lain, Indonesia
dapat berbangga dengan kesiapan instrumen hukum yang
memberikan perlindungan HAM bagi warganegaranya
seperti misalnya yang tercantum dalam UUD 1945, KUHP,
KUHAP, Undang-Undang 39/1999, dan Undang-Undang
26/2000. Walaupun banyak kekurangan seperti yang telah
diuraikan dalam paragraf sebelumnya, instrumen hukum
yang dimiliki Indonesia sudah cukup menunjukan diri
sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia
dan dinilai sudah cukup siap untuk meratifikasi Statuta
Roma.
Keuntungan yang akan didapatkan Indonesia
ketika menjadi pihak dalam Statuta Roma selain mendorong
pembenahan sistem hukum nasional Indonesia (khususnya
hukum HAM) juga dapat meningkatkan kapasitas sumber
daya manusia Indonesia dengan terbukanya kesempatan
khususnya bagi aparat penegak hukum untuk berpartisipasi
dalam mahkamah internasional dengan menjadi hakim,
jaksa atau panitera di MPI. Selain itu, keterlibatan Indonesia
dalam MPI dapat menjadi contoh yang baik bagi negaranegara tetangganya khususnya negara-negara besar di
ASEAN yang hingga saat ini belum satupun yang menjadi
negara pihak Statuta Roma.
Berdasarkan berbagai alasan inilah maka Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia harus
segera meratifikasi Statuta Roma tentang MPI. Sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undang maka RUU
tentang Pengesahan Perjanjian internasional sekurangkurangnya terdiri atas dua pasal yaitu pasal pertama memuat
pengesahan perjanjian internasional dengan memuat
pernyataan melampirkan salinan naskah aslinya atau naskah
asli bersama dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia
233
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
dan Pasal kedua memuat ketentuan mengenai saat mulai
berlakunya undang-undang pengesahan tersebut.
Ratifikasi Statuta Roma saja tidak cukup jika
akhirnya aturan Statuta Roma tersebut tidak dapat
diberlakukan secara efektif hanya karena aturan-aturan
tersebut belum menjadi hukum nasional di Indonesia,
seperti nasib dari banyak konvensi Internasional yang
sudah diratifikasi Indonesia namun hanya menjadi dekorasi
hukum semata, misalnya Konvensi Jenewa 1949. Belajar
dari hal tersebut, maka segera setelah Indonesia meratifikasi
Statuta Roma, maka aturan implementasinya pun harus
segera disahkan pula. Hal ini penting untuk meminimalkan
intervensi internasional karena Indonesia tidak akan
dikategorikan sebagai negara yang unwilling/unable.
Penyusunan aturan implementasi Statuta Roma bisa
dimulai dari penjabaran aturan-aturan Statuta Roma yang
belum terakomodir di Indonesia sehingga aturan tersebut
bisa terabsorpsi dalam hukum nasional kita. Selanjutnya
melakukan pembaharuan terhadap aturan-aturan yang sudah
ada yang bertentangan dengan aturan dalam Statuta Roma,
seperti misalnya aturan pidana mati, aturan kadaluarsa, dan
aturan amnesty bagi pelanggaran HAM yang berat. Sehingga
pada akhirnya, aturan Statuta Roma tersebut dapat berjalan
selaras dengan hukum nasional dan implementasinya akan
berjalan efektif sehingga tujuan peratifikasian Statuta Roma
akan tercapai.
Selain melaksanakan sinkronisasi, penyebarluasan
informasi mengenai aturan Statuta Roma juga tidak
kalah pentingnya, khususnya ke kalangan aparat penegak
hukum, unit-unit angkatan bersenjata, serta para akademisi
dan praktisi hukum. Sejak disahkannya Undang-Undang
26/2000 mengenai Pengadilan HAM yang merupakan
234
Lampiran
pengadopsian “sebagian” aturan dalam Statuta Roma,
berbagai upaya telah dilakukan untuk mengenalkan aturan
ini khususnya kepada aparat penegak hukum. Misalnya,
berbagai pelatihan, seminar dan studi banding ke negara
lain telah dilaksanakan untuk meningkatkan pengetahuan
para hakim dan jaksa Pengadilan HAM Indonesia mengenai
mekanisme penegakkan hukum HAM internasional. Selain
itu kesadaran akan pentingnya hukum HAM juga sudah
semakin meningkat di kalangan angkatan bersenjata seiring
dengan banyaknya para petinggi militer yang diadili di
Pengadilan HAM. Namun, di kalangan akademisi, materi
MPI masih sangat jarang ditemukan dalam kurikulum
perkuliahan. Diharapkan, dengan diratifikasinya Statuta
Roma disertai dengan penyerbarluasan informasi yang
terstruktur dan sistematis, maka pemahaman tentang aturan
hukum HAM dan kewajiban negara dalam menegakkan
hukum HAM internasional dapat lebih baik lagi. Dan tentu
saja, untuk mewujudkannya diperlukan kerjasama yang baik
serta peran aktif berbagai pihak baik pemerintah sebagai
pembuat kebijakan, legislatif sebagai sarana legitimasi,
para penegak hukum, akademisi dan seluruh masyarakat
Indonesia pada umumnya.
235
Lampiran
BAB VI
PENUTUP
Pentingnya arti Statuta Roma dalam upaya
perlindungan HAM internasional, dan menyadari kelemahan
Indonesia dalam memberikan jaminan perlindungan HAM
bagi warganegaranya ditandai dengan masih terjadinya
praktek impunity, ketidakmemadaian instrumen hukum
HAM, aparat penegak hukum serta sarana prasarana
perlindungan saksi dan korban di Indonesia menjadikan
peratifikasian Statuta Roma sebagai suatu kebutuhan yang
mendesak untuk dilakukan. Karena, tujuan Statuta Roma
untuk memberikan jaminan penghukuman bagi kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan genosida,
menghapuskan rantai impunity dan mengefektifkan
mekanisme hukum nasional, dapat menjadi sarana pendorong
bagi Indonesia untuk segera membenahi kekurangannya
tersebut dan mewujudkan komitmennya sebagai negara
yang menjunjung tinggi penegakkan HAM.
237
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Agar tujuan peratifikasian Statuta Roma bagi
penegakkan Hukum HAM di Indonesia tercapai, maka
ratifikasi tersebut harus segera diikuti dengan pengesahan
aturan implementasi dari Statuta Roma tersebut. Hal ini
penting agar aturan-aturan dalam Statuta Roma bisa segera
berlaku efektif menjadi bagian dari hukum nasional di
Indonesia. Karena, walaupun proses ratifikasi suatu konvensi
internasional merupakan wujud terikatnya suatu negara
terhadap aturan dalam konvensi internasional tersebut,
namun seringkali aturan-aturanya tidak dapat diterapkan
langsung ke dalam lingkup teritorial suatu negara. Artinya
harus ada proses transformasi atau penjabaran aturan dalam
konvensi internasional dalam hal ini Statuta Roma ke dalam
hukum (pidana) nasional Indonesia dengan cara membuat
aturan implementasinya.
Proses pembuatan aturan implementasi dilakukan
dengan melakukan sinkronisasi aturan dalam Statuta Roma
dengan hukum (pidana) nasional Indonesia. Aturan-aturan
yang penting dalam Statuta Roma harus segera diakomodir
dalam hukum nasional Indonesia, dan memperbaharui
aturan-aturan yang bertentangan dengan Statuta Roma.
Mekanisme sinkronisasi bisa dengan jalan mengamandemen
Undang-Undang yang sudah dimiliki Indonesia misalnya
Undangt-Undang 26/2000 tentang Pengadilan HAM, atau
mengesahkan Undang-Undang baru yang merupakan
undang-undang khusus pengeimplementasian aturan dalam
Statuta Roma seperti yang dilakukan beberapa negara
peratifikasi Statuta Roma atau mengesahkan Rancangan
KUHP Indonesia yang baru dengan terlebih dahulu
mensinkronisasikan aturan dalam RKUHP tersebut dengan
aturan dalam Statuta Roma.
Mengingat pentingnya aturan implementasi Statuta
Roma ini maka pengesahannya harus dilaksanakan segera
238
Lampiran
setelah Indonesia meratifikasi Statuta Roma agar Indonesia
tidak dikatakan sebagai negara yang unwilling/unable untuk
mengadili pelaku kejahatan internasional. Artinya persiapan
pembuatan aturan implementasi Statuta Roma harus sudah
dilaksanakan dari sekarang mengingat begitu banyaknya
aturan dalam hukum nasional Indonesia yang harus
disinkronisasi dengan aturan dalam Statuta Roma. Untuk
mewujudkannya, maka dalam salah satu pasal UndangUndang Ratifikasi Statuta Roma Indonesia hendaknya juga
diatur mengenai jangka waktu yang harus dipenuhi Indonesia
untuk segera mengesahkan aturan implementasi Statuta
Roma tersebut. Hal tersebut diharapkan bisa menjadi suatu
kepastian hukum bagi pembuat Undang-Undang untuk
segera melaksanakan kewajibannya sehingga peratifikasian
Statuta Roma tidak menjadi dekorasi hukum semata.
239
Lampiran
DRAFT
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …. TAHUN …..
TENTANG
PENGESAHAN ROME STATUTE OF THE
INTERNATIONAL CRIMINAL COURT, 1998
(STATUTA ROMA TENTANG MAHKAMAH PIDANA
INTERNASIONAL 1998)
Disusun Oleh:
Elsam-Imparsial-IKOHI-PSHK-YLBHI
241
Lampiran
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …. TAHUN …..
TENTANG
PENGESAHAN ROME STATUTE OF THE
INTERNATIONAL CRIMINAL COURT, 1998
(STATUTA ROMA TENTANG MAHKAMAH PIDANA
INTERNASIONAL 1998)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak
dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, dan
oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
b. bahwa sebagai bagian dari masyarakat
internasional yang juga ingin berperan aktif
dalam perdamaian dunia, bangsa Indonesia
mendukung segala bentuk penindakan
terhadap kejahatan genosida, kejahatan
kemanusiaan, kejahatan perang, dan
tindakan agresi serta menolak segala bentuk
impunitas;
c. bahwa dengan melaksanakan kewajibannya
untuk
mengadili
pelaku
kejahatan
internasional yang paling serius tersebut,
Indonesia secara langsung akan memberikan
kontribusi terhadap keamanan, stabilitas,
kedamaian nasional, regional, bahkan
internasional;
243
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
d. bahwa sistem hukum Indonesia akan
semakin kuat jika didukung oleh perangkat
sistem hukum internasional yang sudah
lebih mapan dalam menangani isu kejahatan
internasional dan memberikan perlindungan
terhadap saksi dan korban kejahatan
internasional;
e. bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e,
perlu membentuk Undang-Undang tentang
Pengesahan Rome statute of International
Criminal Court, 1998 (Statuta Roma tentang
Mahkamah Pidana Internasional, 1998).
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3882);
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3886);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4012).
244
Lampiran
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN ROME
STATUTE OF THE INTERNATIONAL CRIMINAL
COURT,
1998
(STATUTA
ROMA
TENTANG
MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL 1998)
Pasal 1
(1) Mengesahkan Rome statute of International criminal court, 1998 (Statuta
Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional) yang salinan naskah asli
Rome statute of International criminal court, 1998 (Statuta Roma tentang
Mahkamah Pidana Internasional) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya
dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …..
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …..
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN …. NOMOR …..
245
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …. TAHUN ……
TENTANG
PENGESAHAN ROME STATUTE OF THE
INTERNATIONAL CRIMINAL COURT, 1998
(STATUTA ROMA TENTANG MAHKAMAH PIDANA
INTERNASIONAL 1998)
I. UMUM
A. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG
LAHIRNYA KONVENSI
Empat Mahkamah Pidana Ad Hoc Internasional telah dibentuk
selama abad ke-20 yakni; International Military at Nuremberg,
Tokyo Tribunal, International Criminal Tribunal for the
Former Yugoslavia (ICTY), dan International Crimminal
Tribunal for Rwanda (ICTR). Kelebihan dan kekurangan
dari keempat Mahkamah ini secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi pendirian dari Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court yang selanjutnya
disebut sebagai ICC).
Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg adalah sebuah
pengadilan yang dibentuk oleh empat negara pemenang
perang setelah Perang Dunia II untuk mengadili warganegara
Jerman. Empat Negara tersebut adalah Inggris, Perancis, Uni
Soviet dan AS yang bertindak atas nama “semua negara”.
Mahkamah ini telah mengadili 24 terdakwa penjahat perang
Nazi di mana 3 terdakwa dibebaskan, 12 dihukum mati, 3
dipenjara seumur hidup dan 4 dihukum penjara. Namun,
tidak semua pelaku kejahatan yang merupakan pemimpin
Nazi tersebut dihadapkan ke pengadilan, bahkan kebebasan
dari penghukuman yang mereka terima nampak sebagai suatu
balas jasa atas apa yang telah mereka lakukan dan mereka
mendapat pengampunan atas kejahatan mereka tersebut.
246
Lampiran
Mahkamah, yang dibentuk berdasarkan perjanjian London
tanggal 8 Agustus 1945 ini, juga dikritik sebagai Mahkamah
bagi pemenang perang (victor’s justice) karena semua jaksa
dan hakim berasal dari kekuatan sekutu, bukan dari Negara
yang netral. Semua terdakwa dan pembelanya berasal dari
Jerman, dan mereka mendapat fasilitas yang sangat terbatas
dalam mempersiapkan kasus-kasus mereka serta mendapatkan
pemberitahuan mengenai bukti-bukti penuntutan. Sehingga
jelas Mahkamah ini bukanlah Mahkamah yang imparsial.
Terlepas dari segala kekurangan dan kegagalannya,
Mahkamah Nuremberg sangat berarti bagi penegakkan hak
asasi manusia internasional karena telah meletakan prinsipprinsip dasar pertanggungjawaban pidana secara individu
(yang tertuang dalam Nuremberg Principle). Selain itu, definsi
kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam Pasal
6(c) Piagam Nuremberg, belum pernah ditemukan dalam
Konvensi-Konvensi sebelumnya. Mahkamah ini juga secara
tegas menolak prinsip ‘impunitas kedaulatan negara’ seperti
yang tertuang dalam pasal 7 Piagam Nuremberg.
Mahkamah Internasional Timur Jauh, atau dikenal dengan
Mahkamah Tokyo, juga merupakan mahkamah yang didirikan
sekutu (berdasarkan deklarasi Mc Arthur) untuk mengadili
penjahat perang. Julukan Victors Justice juga melekat
dalam Mahkamah ini karena: Jepang tidak diijinkan untuk
membawa AS ke hadapan Mahkamah Tokyo atas tindakan
pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang dilakukan AS,
dan Jepang juga tidak diijinkan untuk mengadili Uni Soviet
atas pelanggarannya terhadap perjanjian kenetralan tanggal
13 April 1941. Selain itu praktek impunitas juga sangat
jelas terjadi dalam Mahkamah ini ketika Amerika Serikat
memutuskan untuk tidak membawa Kaisar Hirohito ke meja
pengadilan, tapi justru melanggengkan kedudukannya dalam
Kekaisaran Jepang. Impunitas lain yang dipraktekan dalam
pengadilan ini adalah tidak diadilinya para industrialis Jepang
yang menjajakan perang serta pemimpin-pemimpin nasionalis
yang senang kekerasan.
Hampir setengah abad setelah Perang Dunia berakhir,
masyarakat internasional kembali dikejutkan dengan praktek
247
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
pembersihan etnis yang lagi-lagi terjadi di Eropa yakni di
Negara bekas Yugoslavia. Konflik di Bosnia-Herzegovina,
sejak April 1992 dan berakhir bulan November 1995,
merupakan praktek pembersihan etnis yang kekejamannya
sudah mencapai tingkat yang tidak pernah dialami Eropa
sejak Perang Dunia II. Kamp-kamp konsentrasi, perkosaan
yang sistematis, pembunuhan besar-besaran, penyiksaan,
dan pemindahan penduduk sipil secara masal adalah buktibukti yang tidak dapat diingkari yang akhirnya mendorong
Dewan Keamanan PBB untuk mendirikan International
Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY)
berdasarkan Resolusi 808 tanggal 22 Februari 1993, dengan
pertimbangan bahwa sudah meluasnya tindakan pelanggaran
terhadap hukum humaniter termasuk praktek pembersihan
etnis sehingga sangat mengancam perdamaian dan keamanan
internasional.
Berbagai kritikan kembali muncul seiring terbentuknya
ICTY ini, banyak kalangan yang menganggap bahwa
mahkamah ini hanyalah kebetulan belaka mengingat berbagai
kegagalan diplomasi dan sanksi serta penolakan PBB untuk
mengorbankan tentara keamanannya melalui intervensi
bersenjata membuat mahkamah terhadap penjahat perang
sebagai alat satu-satunya untuk menyelamatkan muka PBB.
Walaupun mahkamah ini bukan lagi merupakan keadilan
pemenang perang namun justru dikenal sebagai keadilan yang
selektif (selective justice) karena hanya mendirikan Mahkamah
untuk mengadili kejahatan yang dilakukan di Negara-negara
tertentu, serta Mahkamah ini juga jelas berdasarkan pada antiSerbian bias. Selain itu, Mahkamah ini juga tidak mengadili
angkatan bersenjata NATO yang ikut melakukan pemboman
di Negara bekas Yugoslavia. Padahal, sangatlah jelas serangan
udara yang dilakukan NATO terhadap Kosovo seharusnya
menuntut pertanggungjawaban para pemimpin NATO atas
pilihan target pemboman yang mereka lakukan karena jelas
merupakan pelanggaran terhadap hukum perang.
Kritikan yang sama mengenai “selective justice” juga
ditujukan kepada PBB ketika Dewan Keamanannya
mendirikan International Criminal Tribunal for Rwanda
(ICTR) berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan 955 tanggal
248
Lampiran
8 November 1994 di kota Arusha, Tanzania. Pengadilan ini
didirikan untuk merespon terjadinya praktek genosida, serta
kejahatan terhadap kemanusiaan yang sudah meluas yang
terjadi di Rwanda. Banyak kalangan menilai, ICTY dan ICTR
ini hanyalah Mahkamah Internasional yang didirikan dengan
alasan yang sangat politis, dan berdasarkan prinsip yang
abstrak dan tidak jelas.
Berbagai kekurangan dan kegagalan dari mahkamahmahkamah internasional di atas akhirnya menggerakkan
PBB untuk melaksanakan konferensi pada tahun 1998 untuk
mendirikan suatu mahkamah pidana yang permanen yang
diharapkan dapat menyempurnakan berbagai kelemahan
dari mahkamah internasional sebelumnya. Aspirasi untuk
mendirikan ICC telah muncul di era 1980-an melalui proposal
yang diajukan Negara-negara Amerika Latin (yang diketuai
oleh Trinidad dan Tobago) kepada Majelis Umum PBB.
Selanjutnya, setelah pendirian ICTY dan ICTR, Majelis Umum
PBB mendirikan Komite yang bernama Komite Persiapan
untuk pendirian ICC (Preparatory Committee for The
Establishment of an International Criminal Court), yang telah
bertemu enam kali sejak 1996-1998 untuk mempersiapkan
teks Konvensi sebagai dasar ICC.
Puncak dari proses yang panjang tersebut adalah disahkannya
Statuta ICC dalam Konferensi di Roma tanggal 17 Juli 1998
sehingga Statuta tersebut akhirnya dikenal dengan nama
Statuta Roma. Seperti yang tertuang dalam Mukadimah dari
Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional, bahwa
Mahkamah ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan yang
global (Global Justice), memutuskan rantai kekebalan hukum
(impunity) bagi para pelaku kejahatan, serta mengefektifkan
kinerja mekanisme hukum nasional dalam menghukum
pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang,
dan genosida.
ICC didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli
1998, ketika 120 negara berpartisipasi dalam “United
Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the
Establishment of an International Criminal Court” telah
249
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
mensahkan Statuta Roma tersebut. Dalam pengesahan Statuta
Roma tersebut, 21 negara abstain, dan 7 negara menentang
termasuk Amerika Serikat, Cina, Israel, dan India. Kurang
dari empat tahun sejak Konferensi diselenggarakan, Statuta
yang merupakan dasar pendirian Mahkamah bagi kejahatan
yang paling serius yakni genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang serta kejahatan agresi ini,
sudah berlaku efektif sejak 1 Juli 2002 yakni setelah 60 negara
meratifikasinya.
B. ARTI PENTING KONVENSI BAGI INDONESIA
Indonesia masih banyak menemukan kendala dalam hal
penegakan hukum khususnya hukum hak asasi manusia
(HAM), uraian di bawah ini akan menjelaskan betapa
ternyata Indonesia sangat memerlukan ratifikasi Statuta Roma
ini sebagai sarana pendorong untuk membenahi berbagai
kelemahan dan kekurangan dari segi instrumen hukum,
aparat penegak hukum, serta prosedur penegakkan hukumnya
sehingga Indonesia dapat benar-benar mampu memberikan
jaminan perlindungan HAM bagi warganegaranya.
1. Menghapuskan Berbagai Praktek Impunitas
Salah satu tujuan didirikannya ICC adalah untuk
menghapuskan praktek impunitas (impunity). Pasal 28
Statuta Roma secara rinci mengatur bahwa seorang atasan
baik militer maupun sipil, harus bertanggungjawab secara
pidana ketika terjadi kejahatan dalam yurisdiksi ICC
yang dilakukan oleh anak buahnya. Aturan yang telah
ada sejak Piagam Nuremberg, Tokyo, Konvensi Jenewa
1949, ICTY, ICTR dan kemudian disempurnakan dalam
Pasal 28 Statuta Roma, memiliki tujuan untuk dapat
menghukum “the most responsible person” walaupun
orang tersebut memiliki posisi sebagai pemegang
kekuasaan yang seringkali sulit terjangkau hukum. Pasal
28 Statuta Roma telah diadopsi dalam pasal 42 UndangUndang 26/2000 tentang Pengadilan HAM, namun
terdapat banyak kesalahan penterjemahan yang justru
menjadi celah bebasnya para atasan/komandan tersebut.
Secara umum impunitas dipahami sebagai “tindakan yang
250
Lampiran
mengabaikan tindakan hukum terhadap pelanggaran
(hak asasi manusia)” atau dalam kepustakaan umum
diartikan sebagai “absence of punishment”. Dalam
perkembangannya istilah impunity digunakan hampir
secara ekslusif dalam konteks hukum, untuk menandakan
suatu proses di mana sejumlah individu luput dari
berbagai bentuk penghukuman terhadap berbagai
tindakan illegal maupun pidana yang pernah mereka
lakukan. Praktek impunitas ini telah terjadi sejak berabad
yang lalu diantaranya adalah gagalnya Negara-negara
Eropa untuk mengadili Raja Wilhelm II sebagaimana
yang direkomendasikan oleh Perjanjian Versailles, tidak
diadilinya Kaisar Hirohito oleh Mahkamah Tokyo atas
keputusan AS, berbagai pengadilan pura-pura yang
mengadili serdadu-serdadu rendah dengan hukuman yang
ringan dan melawan hari nurani keadilan masyarakat.
Praktek ini menunjukan bahwa setiap negara selalu
memiliki kecenderungan untuk melindungi pelaku
kejahatan yang merupakan warganegaranya sendiri
apalagi apabila pelaku tersebut merupakan orang yang
memegang kekuasaan di Negara tersebut. Fenomena ini
menunjukan betapa kepentingan politik dan ekonomi
jangka pendek masih dominan ketimbang penegakkan
HAM dan keadilan.
Bagaimana impunity dalam konteks Indonesia, terutama
setelah orde baru? Peralihan kekuasaan Soeharto ke Habibie
menyisakan sejumlah catatan penting dalam penegakan
HAM di Indonesia. Meskipun Peradilan Militer dibentuk
di masa Habibie untuk mengadili sejumlah petinggi dan
anggota Kopassus yang tergabung dalam Tim Mawar, atas
kejahatan terhadap kemanusiaan dan penculikan orang
secara paksa, tetapi tidak pernah ada penjelasan mengenai
siapa yang harus bertanggung jawab atas korban-korban
penghilangan paksa yang belum kembali hingga saat
ini. Peradilan ini lebih kepada kompromi politik elit-elit
politik dan militer, untuk tidak menjatuhkan hukuman
yang dinilai mampu mengakibatkan keguncangan dalam
tubuh militer. Sekaligus mencoba untuk berkompromi
dengan korban-korban yang sudah dilepaskan. Yang pasti
251
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
peradilam militer kasus penculikan tersebut gagal untuk
memenuhi prinsip-prinsip keadilan.
Praktek Pengadilan HAM baik yang Ad Hoc (untuk kasus
Tanjung Priok) maupun permanen (untuk kasus Abepura
yang diadili melalui Pengadilan HAM Makassar) juga
terbukti sulit untuk menjangkau dan menghukum orang
yang paling bertanggung jawab. Penyebab kegagalan
tersebut diantaranya adalah perangkat hukum HAM di
Indonesia khususnya hukum acaranya yang tidak memadai
serta aparat penegak hukum yang dinilai kurang siap
untuk menghadapi kasus yang relatif baru bagi mereka.
Inilah tantangan bagi para penegak hukum dan
pemerintah untuk dapat menemukan celah-celah keadilan
yang selama ini sulit untuk ditembus oleh hukum. Dengan
menjadi pihak dalam Statuta Roma menjadikan Indonesia
mau tidak mau harus membenahi aturan hukumnya
khususnya dalam hal menghapuskan rantai impunitas
di negaranya sebagai komitmen keseriusan Pemerintah
Indonesia untuk memberikan jaminan perlindungan serta
penegakkan HAM terhadap warga negaranya.
2. Melengkapi Kekurangan Sistem Hukum Indonesia
Meratifikasi Statuta Roma serta memasukkan kejahatan
internasional serta prinsip-prinsip umum hukum pidana
internasional ke dalam sistem hukum pidana nasional,
akan meningkatkan kemampuan negara untuk mengadili
sendiri para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan
serta kejahatan perang. Bahkan negara secara efektif akan
menghalangi dan mencegah terjadinya kejahatan yang paling
serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional
tersebut. Dengan melaksanakan kewajibannya untuk
mengadili pelaku kejahatan internasional yang paling
serius tersebut, negara secara langsung akan memberikan
kontribusi terhadap keamanan, stabilitas, kedamaian
nasional, regional, bahkan internasional.
Sebagai bagian dari masyarakat internasional yang juga
ingin berperan aktif dalam perdamaian dunia, serta
252
Lampiran
menyadari begitu banyaknya kelemahan dalam sistem
hukumnya seringkali membuat Indonesia sulit untuk
memenuhi kewajibannya dalam menghukum pelaku
kejahatan internasional. Indonesia harus melakukan
begitu banyak pembenahan khususnya dalam hal
instrumen hukum serta sumber daya manusianya.
Fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini adalah
terlalu banyaknya undang-undang yang antara satu dan
lainnya saling bertentangan sehingga dalam hal kepastian
hukum seringkali membingungkan. Tidak hanya di
tingkat Undang-Undang, namun juga di tingkat aturan
pelaksanaannya (seperti Peraturan Daerah). Selain itu,
sistem hukum Indonesia khususnya dalam mengasorbsi
hukum internasional ke dalam hukum nasional Indonesia
masih sangat tidak jelas.
Praktek di Indonesia menunjukan bahwa setelah
meratifikasi suatu konvensi internasional (baik dalam
bentuk Undang-undang maupun Keppres) maka harus
segera disertai dengan aturan pelaksanaan (implementing
legislation) yang memuat pengaturan mengenai lembaga
pelaksana dan jika perlu sanksi pidana efektif suatu
kejahatan tertentu sehingga konvensi itu bisa benarbenar berlaku efektif terhadap warga negaranya. Padahal
berdasarkan Pasal 7(2) Undang-Undang 39 tahun
1999 mengenai Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa
“ketentuan hukum internasional yang telah diterima
Negara Republik Indonesia yang menyangkut Hak Asasi
Manusia menjadi hukum nasional”.
Sementara itu, banyak aparat penegak hukum yang tidak
memahami aturan hukum internasional dan berbagai
praktek internasional yang terjadi, bahkan banyak
diantara mereka cenderung tidak memiliki keberanian
untuk melakukan terobosan dengan mendasarkan suatu
kejahatan yang terjadi dengan praktek internasional.
Sehingga, sangat jarang ditemukan suatu putusan
pengadilan di Indonesia yang mendasarkan pada kasuskasus internasional atau hukum kebiasaan internasional.
253
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa kelemahan sistem
hukum Indonesia sehingga ratifikasi Statuta Roma sangat
dibutuhkan untuk membenahinya, yaitu :
a. Instrumen hukum
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
Banyak aturan dalam KUHP yang sudah tidak
lagi relevan dan memadai untuk mengakomodir
jenis-jenis kejahatan yang sudah semakin
berkembang. Khususnya dalam hal penegakan
hukum HAM, beberapa jenis kejahatan seperti
pembunuhan,
perampasan
kemerdakaan,
perkosaan, penganiayaan adalah jenis kejahatan
yang diatur dalam KUHP. Namun jenis kejahatan
tersebut adalah jenis kejahatan yang biasa
(ordinary crimes) yang jika dibandingkan dengan
pelanggaran HAM yang berat atau kejahatankejahatan dalam yurisdiksi ICC harus memenuhi
unsur atau karateristik tertentu. Perumusan
yang berbeda ini tidak mungkin menyamakan
perlakuan dalam menyelesaikan masalahnya,
artinya KUHP tidak dapat untuk menjerat secara
efektif pelaku pelanggaran HAM yang berat.
2. Hukum Acara: Dalam pasal 10 UndangUndang 26/2000 dijelaskan bahwa ketika terjadi
pelanggaran HAM yang berat maka hukum acara
yang digunakan adalah Kitab-Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tentu
saja hal ini tidak lah memadai mengingat jenisjenis kejahatan yang diatur dalam undangundang ini adalah extra ordinary crimes sehingga
banyak hal yang baru yang tidak diatur dalam
KUHAP. Sebagian dari hal-hal baru tersebut telah
diatur dalam Undang-Undang 26/2000 yakni
mengenai:
a) Diperlukan penyelidik dengan membentuk
tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad
hoc, dan hakim ad hoc
b) Penyelidik
hanya
dilakukan
oleh
KOMNAS HAM sedangkan penyidik
254
Lampiran
tidak diperkenankan menerima laporan
atau pengaduan sebagaimana diatur dalam
KUHAP
c) Diperlukan ketentuan mengenai tenggang
waktu tertentu melakukan penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan pengadilan.
d) Ketentuan mengenai perlindungan korban
dan saksi
Namun terdapat aturan khusus lain yang
tidak diatur baik dalam KUHAP maupun UndangUndang 26/2000 sehingga sangat diperlukan
hukum acara dan pembuktian yang khusus
(seperti bentuk rules of procedure and evident dari
Statuta Roma) sebagai dasar hukumnya. Hal-hal
yang tidak diatur baik dalam KUHAP maupun
dalam Undang-Undang 26/2000 diantaranya
adalah dasar hukum sub poena power yang
dimiliki penyelidik dalam hal ini Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM).
3. Undang-Undang 26/2000 tentang Pengadilan
HAM:
Undang-undang
26/2000
tentang
Pengadilan HAM dibentuk untuk mengadili
pelanggaran HAM yang berat. Yurisdiksi
Pengadilan ini adalah kejahatan terhadap
kemanusiaan dan genosida. Walaupun undangundang ini dikatakan sebagai pengadopsian dari
Statuta Roma namun terdapat banyak kelemahan
yang akhirnya sangat berpengaruh terhadap
penegakan hukum bagi pelanggaran HAM yang
berat di Indonesia. Misalnya Undang-Undang
26/2000 hanya mencantumkan kejahatan
terhadap kemanusiaan dan genosida sebagai
yurisdiksinya sementara kejahatan perang
yang juga merupakan yurisdiksi Statuta Roma
tidak dicantumkan dalam Undang-Undang ini.
Akibatnya, ketika terjadi kejahatan perang di
Indonesia maka belum ada Undang-undang yang
mengatur mengenai sanksi pidana yang efektif
bagi kejahatan ini.
255
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Berbagai kesalahan penterjemahan juga
banyak ditemukan dalam pasal-pasal di undangundang ini. Misalnya dalam pasal 9 mengenai
kejahatan terhadap kemanusiaan, terdapat
kata-kata “serangan tersebut ditujukan secara
langsung kepada penduduk sipil” sementara
dalam teks asli Statuta Roma “directed against
civilian population” yang artinya “ditujukan
kepada penduduk sipil”. Penambahan kata
“secara langsung” di sini dapat berakibat
sulitnya menjangkau para pelaku yang bukan
pelaku lapangan. Para pelaku di tingkat pemberi
kebijakan sulit terjangkau berdasarkan pasal ini.
Dalam Statuta Roma terdapat penjelasan
mengenai unsur-unsur kejahatan yang menjadi
yurisdiksinya yaitu unsur-unsur kejahatan
terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan
perang, serta unsur dari pertanggungjawaban
komando. Penjelasan mengenai unsur-unsur
ini dapat memudahkan aparat penegak hukum
ketika menafsirkan kejahatan ini dalam proses
pembuktian, penuntutan maupun sebagai
pertimbangan
hakim
dalam
mengambil
keputusan. Sedang Undang-Undang 26/2000
tidak memberikan penjelasan mengenai unsurunsur kejahatan terhadap kemanusiaan maupun
genosida, baik dalam penjelasan undang-undang
maupun terpisah dalam bentuk buku pedoman
lain.
Hal ini seringkali menyulitkan aparat
penegak hukum dalam berproses di Pengadilan.
Ketidakjelasan uraian yang menunjukan delik
kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang
26/2000 khususnya unsur kejahatan terhadap
kemanusiaan mengakibatkan hakim seringkali
memberikan penafsiran yang berbeda dalam
putusannya karena rujukan yang digunakan pun
berbeda-beda.
256
Lampiran
b. Sumber Daya Manusia
Dengan meratifikasi Statuta Roma,
akan banyak sekali manfaat bagi Indonesia
sebagai Negara Pihak, khususnya dalam hal
meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.
Dengan menjadi Negara Pihak ICC maka secara
otomatis Indonesia menjadi anggota dari Majelis
Negara Pihak (Assembly of States Parties) yang
memiliki fungsi sangat penting dalam ICC.
Majelis Negara Pihak ini kurang lebih sama
dengan fungsi dari Majelis Umum dalam Badan
PBB. Fungsi penting dari Majelis Negara Pihak
diantaranya adalah dapat ikut serta melakukan
pemilihan terhadap semua posisi hukum di ICC.
Posisi tersebut diantaranya adalah posisi hakim
dan penuntut umum. Semakin cepat Indonesia
meratifikasi Statuta Roma, maka akan semakin
terbuka pula kesempatan sumber daya manusia
Indonesia untuk menempati posisi sebagai salah
satu hakim internasional di ICC.
Dengan demikian, menjadi Negara Pihak
dalam Statuta Roma, berarti Indonesia turut
berperan aktif dalam memajukan fungsi efektif
dari ICC. Itu juga berarti sumber daya manusia
Indonesia akan memiliki kesempatan untuk
berperan aktif dalam sistem internasional,
sehingga hal itu akan meningkatkan kapasitas
sumber daya manusia Indonesia. Selain itu, dalam
hal penegakkan hukum di Indonesia, setelah
meratifikasi Statuta Roma maka para aparat
penegak hukum mau tidak mau harus membuka
diri mereka untuk lebih terbiasa dan terlatih dalam
melihat perkembangan kasus-kasus internasional
yang terjadi dan menjadikannya bahan referensi
dalam menyelesaikan permasalahan hukum di
Indonesia.
Kenyataan yang terjadi di Indonesia saat ini
adalah banyak aparat penegak hukum yang tidak
257
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
siap khususnya ketika harus mengadili kasuskasus yang merupakan extra ordinary crimes di
mana pengaturannya sangat tidak memadai jika
hanya mendasarkan pada KUHP dan KUHAP.
Sedangkan sebagian besar dari mereka hanya
terlatih untuk selalu mendasarkan setiap kasus
pidana dengan KUHAP dan KUHP. Misalnya,
praktek Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Timor
Timur mencatat berbagai kekurangan dalam
hal sumber daya manusia. Kekurangan tersebut
diantaranya adalah:
i. Dalam hal pemilihan hakim oleh
Mahkamah Agung, seleksi dilakukan
secara subjektif dan tidak sesuai dengan
track record para calon hakim
ii. Tidak ada publikasi mengenai proses
persidangan (prosiding) serta sangat sulit
untuk mendapatkan hasil keputusan
dalam bentuk tertulis.
iii. Banyaknya laporan yang dikeluarkan oleh
para aktivis HAM di Indonesia mengenai
praktek korupsi yang sudah meluas dalam
sistem pengadilan HAM.
iv. Kurangnya independensi, impartiality,
dan profesionalisme dari para aparat
penegak hukum
v. Kurangnya kepercayaaan masyakarakat
terhadap pengadilan.
Di samping itu, pelapor khusus mengai
kenetralan hakim dan pengacara (Special
Rapporteur on the independence of judges and
lawyer) Dato’ Param Cumaraswamy menyatakan
bahwa ada sejumlah hakim yang hanya
mendapatkan sedikit sekali pelatihan mengenai
standar dan praktek internasional dalam hal
mengadili kejahatan serius seperti kejahatan
terhadap kemanusiaandan genosida.
Kualitas para hakim tentu saja sangat
mempengaruhi hasil dari suatu kasus. Misalnya,
258
Lampiran
ada pendapat yang dikemukakan oleh seorang
pengamat Pengadilan Ad Hoc Timor Timur yang
mengatakan bahwa kelompok hakim terbagi tiga
; (1) hakim konservatif yang bekerja menurut
buku dan kaku pada hukum acara pidana,
(2) hakim karir dan ad hoc yang dikenal akan
pengetahuannya tentang hukum humaniter
internasional dan berpandangan progresif,
kelompok ini bertanggungjawab atas munculnya
sejumlah keputusan bersalah, dan (3) kelompok
tengah yang dapat pergi ke mana saja tergantung
panel di mana mereka duduk. Menurut para
pengamat, kelompok yang ke-3 ini “ingin terlihat
menguasai hukum humaniter internasional tapi
motivatisnya lebih hanya untuk karir”.
Para hakim karir di pengadilan HAM Ad
Hoc Timur-Timur juga tetap harus menangani
kasus-kasus yang lain sehingga sulit bagi mereka
untuk fokus pada proses pengadilan HAM.
Mereka juga sangat kurang mendapatkan bantuan
fasilitas-fasilitas yang mendukung perkara
yang mereka tangani misalnya perpustakaan,
komputer, dan akses internet.
3. Perlindungan saksi atau korban
Salah satu tujuan pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional adalah untuk menjamin korban dan saksi
mendapatkan perlindungan. Perlindungan saksi dan korban
diatur baik dalam Statuta Roma maupun dalam Rules of
Procedure and Evidence-nya (RPE). Aturan ini didasarkan
pada norma yang sama yang telah diatur dalam dua
pengadilan ad hoc internasional sebelumnya yakni ICTY
dan ICTR. Perlindungan korban dan saksi pada hakikatnya
terbagi dua:
a. Perlindungan korban dan saksi
Partisipasi korban dan saksi mendapatkan jaminan dalam
setiap tingkat proses persidangan di ICC. Perlindungan
saksi dan korban diatur dalam Pasal 68 Statuta Roma,
yakni:
259
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
i. Proses persidangan in camera (sidang tertutup
untuk umum), dan memperbolehkan pengajuan
bukti dengan sarana khusus atau sarana
elektronika lain (Pasal 68(2) Statuta Roma).
ii. Unit Saksi dan Korban (Pasal 68(4) Statuta Roma):
dalam Mahkamah Pidana Internasional, unit ini
dibentuk oleh Panitera di dalam Kepaniteraan.
Setelah berkonsultasi dengan Kantor Penuntut
Umum, unit ini berfungsi untuk menyediakan
langkah-langkah perlindungan dan pengaturan
keamanan, jasa nasihat dan bantuan yang perlu
bagi para saksi, korban yang menghadap di depan
Mahkamah dan orang-orang lain yang mungkin
terkena risiko karena kesaksian yang diberikan
oleh para saksi tersebut. Unit itu juga mencakup
staf dengan keahlian mengatasi trauma, termasuk
trauma yang terkait dengan kejahatan kekerasan
seksual (Pasal 43(6) Statuta Roma).
Bahkan, dalam RPE, unit ini wajib untuk menjamin
perlindungan dan kemanan saksi agar semua saksi dan
korban dapat hadir di persidangan. Untuk itu unit ini
wajib untuk membuat rencana perlindungan korban
dan saksi baik untuk jangka pendek maupun jangka
panjang. Disamping itu unit ini juga diberi kewenangan
untuk membuat perjanjian dengan Negara-negara untuk
kepentingan pemukiman (resettlement) korban dan saksi
yang mengalami trauma atau ancaman.
Di Indonesia, perlindungan saksi dan korban dalam
pelanggaran HAM yang berat diatur dalam Pasal 34
Undang-Undang 26/2000 dan diikuti oleh Peraturan
Pemerintah No. 2 tahun 2002 sebagai aturan
pelaksanaannya. Namun berbagai aturan perlindungan
saksi dan korban serta reparasi bagi korban yang diatur
dalam Statuta Roma di atas banyak yang tidak diatur
dalam Pasal 34 serta Peraturan Pemerintah tersebut.
Akibatnya, praktek pengadilan HAM Ad Hoc Timor
Timur dan Tanjung Priok membuktikan bahwa banyak
korban serta saksi yang tidak mau hadir ketika dipanggil
260
Lampiran
ke pengadilan. Alasan-alasan mereka diantaranya
adalah ketidakpercayaan adanya jaminan keamanan
karena tidak adanya perahasiaan korban, tidak ada safe
house, perlakuan terhadap korban dan saksi dari aparat,
kurangnya persiapan dan pengalaman aparat, dan alasan
biaya. Akibat dari ketidakhadiran saksi maka kebenaran
tidak terungkap dengan baik sehingga keputusan tidak
memenuhi rasa keadilan. Disamping itu asas peradilan
yang cepat dan hemat pun tidak tecapai karena seringnya
pengunduran / perobahan jadwal persidangan akibat
ketidakhadiran saksi.
b.
Selain mendapatkan perlindungan, para saksi dan korban
juga berhak mendapatkan reparasi moral dan material.
Pasal 75 Statuta Roma mengatur mengenai berbagai
bentuk reparasi terhadap korban (kompensasi, restitusi
dan rehabilitasi).
Selain itu Pasal 79 Statuta Roma berdasarkan Majelis
Negara-Negara Pihak berhak menetapkan adanya Trust
Fund untuk kepentingan para korban dan keluarganya.
Mahkamah dapat memerintahkan uang dan kekayaan
lain yang terkumpul lewat denda atau penebusan untuk
ditransfer, atas perintah Mahkamah, kepada Trust Fund.
Pengelolaan Trust Fund adalah berdasarkan kriteria yang
diatur Majelis Negara-Negara Pihak. Secara rinci aturan
ini diatur dalam Aturan 94 dari ICC Rules of Procedure
and Evidence (RPE).
4. POKOK-POKOK ISI KONVENSI
Secara garis besar isi konvensi adalah:
BAB 1 Pembentukan Mahkamah.
Mahkamah ini merupakan mahkamah yang permanen, mandiri
dan bukan merupakan organ dari PBB, karena dibentuk
berdasarkan perjanjian multilateral. Namun antara Mahkamah
dengan PBB tetap memiliki hubungan formal. Mahkamah
berkedudukan di Den Haag, Belanda.
261
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
BAB 2 Jurisdiksi, Hukum yang dapat diterima dan diterapkan.
Yurisdiksi ICC terbagi empat :
a. territorial jurisdiction (rationae loci) : bahwa yurisdiksi
ICC hanya berlaku dalam wilayah negara pihak,
yurisdiksi juga diperluas bagi kapal atau pesawat
terbang yang terdaftar di Negara pihak, dan dalam
wilayah bukan negara pihak yang mengakui yurisdiksi
ICC berdasarkan deklarasi ad hoc. (Pasal 12 Statuta
Roma)
b. material jurisdiction (rationae materiae) : bahwa
kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC terdiri dari
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang,
genosida dan kejahatan agresi (Pasal 5-8 Statuta Roma)
c. temporal jurisdiction (rationae temporis) : bahwa ICC
baru memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang diatur
dalam Statuta setelah Statuta Roma berlaku yakni 1 Juli
2002. (Pasal 11 Statuta Roma)
d. personal jurisdiction (rationae personae) : bahwa
ICC memiliki yurisdiksi atas orang (natural person),
dimana pelaku kejahatan dalam yurisdiksi ICC harus
mempertanggungjawabkan
perbuatannya
secara
individu (individual criminal responsibility), termasuk
pejabat pemerintahan, komandan baik militer maupun
sipil. (Pasal 25 Statuta Roma).
BAB 3 Prinsip-prinsip Umum Hukum Pidana .
Bagian ini mengatur mengenai beberapa prinsip umum hukum
pidana yang digunakan oleh ICC yaitu bahwa ICC tidak
berwenangan mengadili kejahatan yang dilakukan sebelum
pendirian ICC. ICC hanya berwenang mengadili kejahatan yang
masuk dalam jurisdiksinya, dan penghukuman yang dilakukan
ICC harus selalu berdasar pada ketentuan yang ada pada Statuta
Roma. Selain itu diatur bahwa ICC mengadili tanggung Jawab
Pidana Perorangan dan bahwa kejahatan yang dilakukan anak
dibawah usia 18 tahun tidak dapat diadili.
262
Lampiran
BAB 4 Komposisi dan Administrasi Mahkamah.
Mahkamah terdiri dari badan-badan berikut ini: (a) Kepresidenan;
(b) Divisi Banding, Divisi Pengadilan dan Divisi Pra-Peradilan;
(c) Kantor Penuntut Umum; (d) Kepaniteraan.
BAB 5 Penyelidikan dan Penuntutan.
Bagian ini berisi pengaturan mengenai: (a) Dimulainya
Penyelidikan; (b) Tugas dan Kekuasaan Penuntut Umum
Berkenaan dengan Penyelidikan; (c) Hak Orang-Orang Selama
Penyelidikan; (d) Fungsi dan Kekuasaan Sidang Pra-Peradilan.
BAB 6 Persidangan.
Bagian ini menjelaskan mengenai (a) Fungsi dan Kekuasaan
Sidang Pengadilan; (b) Hak-Hak Tertuduh; (c) Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi dan Keikut-sertaan Mereka dalam
Proses Pengadilan; (d) Bukti; (e) Perlindungan terhadap Informasi
Keamanan Nasional; (f) Ganti Rugi kepada Korban
BAB 7 Hukuman.
Hukuman yang Bisa Diterapkan dan pengaturan mengenai
Trust Fund
BAB 8 Permohonan Banding dan Peninjauan Kembali.
Pengaturan mengenai mekanisme perohonan banding dan
pengaturan mengenai kompensasi kepada seorang yang ditahan
atau dihukum
BAB 9 Kerjasama Internasional dan Bantuan Yudisial.
Salah satu yang paling menarik dibagian ini adalah adanya
kewajiban dari Negara-Negara Pihak untuk memastikan bahwa
ada prosedur yang tersedia dalam hukum nasional mereka bagi
semua bentuk kerjasama yang ditetapkan di bawah bagian ini.
263
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
BAB 10 Pemberlakuan.
Bagian ini mengatur mengenai mekanisme pemberlakuan
penghukuman. Kerjasama Negara-negara pihak dalam
pemberlakuan penghukuman dan mekanisme pengawasannya.
BAB 11 Majelis negara-negara Pihak.
Pengaturan mengenai berbagai kewajiban dan kewenangan dari
Negara-negara pihak.
BAB 12 Pendanaan.
Pengeluaran Mahkamah dan Majelis Negara-Negara Pihak,
akan disediakan oleh sumber-sumber berikut ini: (a) Kontribusi
yang diperkirakan oleh Negara-Negara Pihak; (b) Dana yang
disediakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, tunduk pada
pengesahan Majelis Umum, terutama dalam kaitan dengan
pembiayaan yang timbul yang disebabkan oleh penyerahan dari
Dewan Keamanan.
BAB 13 Klausal Penutup.
Setiap perselisihan akan diatur dengan keputusan agama. Bagian
terakhir ini mengatur pula larangan reservasi dan mekanisme
amandemen bagi Statuta Roma.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap
terjemahan dalam bahasa Indonesia, maka
dipergunakan salinan aslinya dalam bahasa
Inggris.
Pasal 2
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR…..
264
KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK
MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL
IKOHI – ELSAM – PSHK – YLBHI – IMPARSIAL
Sekretariat: Kalasan Dalam No. 5 Menteng – Jakarta
Telp/fax: +6221 3157915, email: [email protected]
PROFIL
KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK MAHKAMAH
PIDANA INTERNASIONAL
Tentang Koalisi
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional,
merupakan kumpulan organisasi masyarakat sipil yang
mengkampanyekan ratifikasi dan implementasi Statuta Roma
tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court). Dalam pandangan Koalisi, kampanye dan penggalangan
dukungan bagi Indonesia untuk ratifikasi Statuta Roma sangat
penting. Selain karena sudah dicanangkan dalam Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004-2009, ratifikasi
Statuta Roma ini akan menjadi ukuran keseriusan Indonesia dalam
rejim keadilan internasional dan menghentikan impunitas.
Mahkamah Pidana Internasional yang merupakan mekanisme
sistem keadilan internasional menjadi satu kebutuhan untuk
menghentikan impunitas bagi berbagai kasus pelanggaran HAM
yang berat yang tidak tuntas dan mencegah terjadinya kasus
pelanggaran HAM yang berat di kemudian hari. Sampai hari
ini, 108 negara telah meratifikasi Statuta Roma dan hanya 7
265
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
diantaranya dari Asia yaitu Afghanistan, Tajikistan, Mongolia,
Kamboja, Timor Leste, Jepang dan Korea Selatan. Ratifikasi oleh
Indonesia akan memberi contoh dan dorongan bagi negara-negara
lain di wilayah Asia.
Beberapa kegiatan telah dilakukan oleh Koalisi yang sudah
terbentuk sejak tahun 2006 terutama difokuskan pada pembuatan
dan penyempurnaan Naskah Akademis dan RUU Ratifikasi
Statuta Roma; sosialisasi mengenai pentingnya ratifikasi Statuta
Roma bagi pemenuhan keadilan untuk korban dan perbaikan
system hukum di Indonesia; melakukan advokasi dalam proses
legislasi RUU Ratifikasi Statuta Roma di DPR RI; serta mendorong
berbagai kebijakan pemerintah untuk merealisasikan ratifikasi
Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional.
Struktur Koalisi
Convenor:
Mugiyanto
Tim ahli:
- Agung Yudhawiranata, S.IP, LL.M
- Bhatara Ibnu Reza, S.H., M.Si, LL.M.
- Reny Rawasita Pasaribu, S.H., LL.M
- Zainal Abidin, S.H.
Penasehat:
- Enny Soeprapto, Ph.D
- Fadillah Agus, S.H., M.H.
- Galuh Wandita
- Ifdhal Kasim, S.H.
- Kamala Tjandrakirana, M.A
- Dr. Rudi M. Rizki, S.H., LL.M
Sekretariat:
- Simon, S.H.
- Dhyta Caturani,
- Veronica Iswinahyu
Anggota:
Koalisi ini beranggotakan lembaga-lembaga dan individu yang
menaruh perhatian pada reformasi sistem hukum, penegakan
keadilan, dan hak asasi manusia di Indonesia, antara lain Elsam,
IKOHI, Imparsial, PSHK, YLBHI, Demos, KontraS, PAHAM FH
Unpad, FRR, terAs Trisakti, Komunitas Korban 65, Komunitas
266
Lampiran
Korban Tanjung Priok, Federasi LBH APIK Indonesia, Gema
Prodem, DPP.SSSV, Kontras Medan, SBMI-SU, FH USU, PBHI
Wil. USU, Univ.D Agung, Bakuaa SU, LBH Medan, SMM Medan,
KKP HAM, Senat FH UNCEN, Kontras Papua, Komunitas
Supervisor Papua, PMKRI Jayapura, Komunitas Supervisor
Abepura, UKM Dehaling, LBH Papua, IKOHI K2N, ElshamPB, HMI Cab. Jayapura, LP3A-P, 6 MKI JPR, KPK GKI, KPKC
HKBP-Medan, STH Uel Mandiri, Dewan adat papua, STIH,
AMTPI, Aji papua, UKM Dehaling UNCEN, BEM STIH, Fosis
UMI, LBH Makasar, Walhi Sul-Sel, EPW Sul – Sel, PUSHAM –
UH, Gardan, PKHUN-UH, Aji Makasar, Kontras Sulawesi, FIK
ORNOP, LPR KROB, LAPAR, Sedrap, LBH Apik Makasar, SPAM, SKP-HAM, Pusham Univ’45, Walhi Sulsel, LBH-Makassar,
LPKP, BEM- UNM, SKP- HAM Sul – Sel, Komisi A DPRD
Jatim, SBMI-Jatim, KPPD – Surabaya, ALHA-RAKA, SyarikatJember, LBH-Surabaya, IKOHI-Malang, LPKP 65-Surabaya,
MBH-Surabaya, SMKR-Surabya, BEM UWK-Surabaya, LHKISurabaya, BEM FISIP Unair- Surabaya, Repdem – Jatim, Forsam –
Unair, Marules – Banyuwangi, CRCS – Surabaya, Lakpesdam NU
– Sumenep, LSAPS – Lamongan, AGRA – Jatim, Walhi – Jatim,
FKTS – Pasuruan, Korban Alas Tlogo – Pasuruan, Jerit, WE SBY,
KBS, CRCS, CRCS, Aji Surabaya, AIMSA – Surabaya, BM – PAN
– Jatim, Staff Pengajar HI FISIP Unair, LPKP 65, ICRC, FRR Law
Office, LESPERSSI, IKOHI-Jakarta, Voice Human Rights, dan
lainnya.
Alamat Sekretariat:
Jl. Kalasan Dalam No.5 Menteng
Jakarta Pusat
Telepon/Fax: (021) 3157915
e-mail: [email protected]
267
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
268
ICC atau Mahkamah Pidana Internasional digagas sebagai jawaban atas kebutuhan
akan keadilan dan sekaligus refleksi dari berbagai tribunal yang pernah digelar
yang lebih merupakan pengadilan bagi pemenang. Institusi permanen yang
disahkan pada tahun 2002 menjadi pilihan terbaik saat ini bagi negara-negara dan
masyarakat dunia dalam upaya memenuhi dahaga akan keadilan yang independen, berwibawa dan
partisipatif. Tak kurang hingga saat ini 108 negara mengikatkan diri pada mekanisme ICC.
Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi niali-nilai kemanusiaan universal dan keadilan
menunjukkan keinginan kuat untuk bergabung dengan negara-negara lain dalam mekanisme ICC. Hal
ini ditunjukkan dengan dimasukkannya ICC dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM)
2004-2008. Berlandaskan pada tekad ini, pemerintah telah memerintahkan jajaran terkait untuk
mewujudkannya.
Sambutan positif juga diberikan masyarakat sipil atas niat pemerintah untuk segera meratifikasi ICC.
Terbentuknya Koalisi Masyarakat Sipil untuk Ratifikasi ICC di Indonesia yang beranggotakan hampir 100
lembaga dan individu yang peduli menjadi bukti sekaligus bagian dari upaya mendorong niat ratifikasi
menjadi kenyataan.
Upaya mendorong pemerintah untuk menepati jadwal ratifikasi ICC sesuai dengan RANHAM bukannya
pekerjaan yang mudah dan lapang. Sebaliknya, upaya ini merupakan jalan berliku dan membutuhkan
proses panjang. Mengenalkan ICC dan seluk-beluknya pada para pihak, meyakinkan bahwa ICC
adalah mekanisme yang dihadirkan bukan untuk menyudutkan siapapun dan menjaring aspirasi
dan harapan publik akan kehadiran ICC menjadi bagian keseharian dari kerja koalisi.
Meyakini bahwa setiap proses dan perjalanan adalah landasan terbaik bagi refleksi
dan pembelajaran, maka pencatatan atas proses, liku dan pengalaman dalam
kerja koalisi adalah mutlak. Penulisan buku ini diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan tersebut.
ld f
INDONESIA • AUSTRALIA
LEGAL DEVELOPMENT FACILITY
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
K
eadilan selalu menjadi harapan dalam sejarah kehidupan manusia yang
penuh dengan kontradiksi dalam memenuhi kebutuhan dan tujuan
hidupnya. Perbenturan kepentingan melahirkan ketidakadilan yang
menuntun moral dan pemahaman manusia akan kebutuhan akan mekanisme dan
perangkat kehidupan yang bertujuan mewujudkan keadilan. Diantaranya dalah
mekanisme pengadilan.
Download