Kepada Yang Terhormat, KETUA MAHKAMAH

advertisement
Kepada Yang Terhormat,
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Di Jalan Medan Merdeka Barat No. 6
Jakarta Pusat 10110
Perihal: Kesimpulan Permohonan Pengujian Materiil Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1; Pasal
8; Pasal 10; Pasal 11; Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1
angka 6; Pasal 57 ayat (2) dan (3); serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, c dan e UU
No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan hormat,
Perkenankanlah kami:
Wahyudi Djafar, S.H., Al Araf, S.H., M.T., Indriaswati D. Saptaningrum, S.H., LL.M.,
Kristina Viri, S.H. Zainal Abidin, S.H., Wahyu Wagiman, S.H., Andi Muttaqien, S.H.,
Ardimanto Putra, S.H., Emerson Junto, S.H., Donal Fariz, S.H., Lola E. Kaban, S.H.,
Abraham Utama, S.H., Erwin Natosmal Oemar, S.H., Refki Saputra, S.H., Dina
Ardiyanti, S.H., M.A., M. Fandrian Hadistianto, S.H., Ari Lazuardi, S.H., Supriyadi
Widodo Eddyono, S.H., Eddy H. Gurning, S.H., Adiani Viviana, S.H.
Kesemuanya adalah advokat/pengacara publik/asisten advokat/asisten pengacara publik, yang
tergabung dalam Tim Advokasi untuk Kebebasan Berserikat, memilih domisili hukum di Jalan
Siaga II No. 31 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Telp. 021-7972662 Fax. 02179192519, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 29 November 2013 dalam hal ini
bertindak bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama:
1.
Yayasan FITRA Sumatera Utara, beralamat di Jalan Arief Rahman Hakim, Gg.
Sukmawati No. 1A Medan 20217, sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (5) Akta
Pendirian Yayasan FITRA Sumatera Utara, dalam hal ini diwakili oleh Irvan Hamdani
HSB, S.Kom., warga negara Indonesia, lahir di Gunung Tua, 25 Oktober 1978, agama
Islam, selaku Sekretaris Dewan Pengurus.
Selanjutnya disebut sebagai _______________________________________ Pemohon I
2.
Perkumpulan Indonesia Corruption Watch (ICW), beralamat di Jalan Kalibata Timur
IV/D No. 6 Jakarta Selatan, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (3) Akta Pendirian
Perkumpulan ICW, dalam hal ini diwakili oleh Danang Widoyoko, S.T., lahir di
Rembang, 8 Maret 1973, agama Katholik, warga negara Indonesia, selaku Koordinator
Badan Pekerja.
Selanjutnya disebut sebagai ______________________________________ Pemohon II
3.
Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia
(YAPPIKA), beralamat di Jl. Pedati Raya No. 20, Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur,
sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (5) Akta Pendirian YAPPIKA, dalam hal ini
diwakili oleh Abdi Suryaningati, warga negara Indonesia, lahir di Surabaya, 7 Februari
1964, agama Islam, selaku Sekretaris Pengurus.
Selanjutnya disebut sebagai _____________________________________ Pemohon III
4.
Ir. H. Said Iqbal, warga negara Indonesia, lahir di Jakarta, 5 Juli 1968, pekerjaan
karyawan swasta sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), agama
Islam, bertempat tinggal di jalan Lestari RT/RW 009/003, Kel. Kalisari, Kec. Pasar Rebo,
Kota Jakarta Timur.
Selanjutnya disebut sebagai _____________________________________ Pemohon IV
5.
M. Choirul Anam, S.H., warga negara Indonesia, lahir di Malang, 25 April 1977,
pekerjaan Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG), agama Islam,
bertempat tinggal di Jalan Mahoni Blok CO No. 02 BDB. 2 RT/RW 006/015, Kel.
Sukahati, Kec. Cibinong, Kabupaten Bogor.
Selanjutnya disebut sebagai ______________________________________ Pemohon V
6.
Poengky Indarti, S.H., LL.M., warga negara Indonesia, lahir di Surabaya, 18 Februari
1970, pekerjaan Direktur Eksekutif Imparsial, agama Islam, bertempat tinggal di
Perumahan Bumi Sentosa Blok D8 No. 10, RT/RW 007/009, Kel. Nanggewer Mekar, Kec.
Cibinong, Kabupaten Bogor.
Selanjutnya disebut sebagai _____________________________________ Pemohon VI
Untuk selanjutnya secara keseluruhan Pemohon tersebut di atas disebut juga sebagai PARA
PEMOHON.
Dengan ini Para Pemohon bermaksud mengajukan kesimpulan dalam perkara No. 03/PUUXII/2014 perihal pengujian Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1; Pasal 8; Pasal 10; Pasal 11; Pasal 23;
Pasal 29 ayat (1); Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1 angka 6; Pasal 57 ayat (2) dan (3); serta Pasal
59 ayat (2) huruf b, c dan e UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Pada kesempatan yang baik ini, untuk dan atas nama Para Pemohon, kami mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, atas
dilangsungkannya persidangan dalam permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon, dalam
suatu ruang pembuktian yang baik dan adil. Dalam persidangan tersebut, para pihak diberikan
ruang dan kesempatan yang cukup serta berimbang, untuk menyampaikan argumentasinya
masing-masing, atas permasalahan yang mengemuka dalam pengujian undang-undang a quo.
Proses persidangan ini telah berlangsung dengan sangat menarik dan penuh dengan
argumentasi konstitusional dan hukum, serta aspek-aspek lain yang melingkupinya, termasuk
politis dan sosiologis. Perdebatan-perdebatan seputar jaminan konstitusional dan hukum
terhadap hak atas kebebasan berserikat, diperbincangkan dengan begitu terbuka selama
berlangsungnya persidangan. Banyak perspektif dan sudut pandang yang dikemukakan oleh
para ahli yang dihadirkan, sehingga melengkapi setiap celah persoalan dalam perlindungan hak
Page 1 of 19
atas kebebasan berserikat, sehingga kami berharap itu semua bisa membantu Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi, di dalam mengakhiri perdebatan seputar ruang lingkup dan batasan
perlindungan hak atas kebebasan berserikat yang diatur dalam UUD 1945.
Dari persidangan ini, seluruh masyarakat Indonesia, bisa mengikuti betapa luasnya perdebatan
seputar hak atas kebebasan berserikat, termasuk sejauhmana negara bisa terlibat untuk
mengaturnya. Selain itu, khusus bagi para pembentuk undang-undang, juga pemerintah selaku
pelaksana undang-undang, yang dalam praktiknya langsung bersinggungan dengan
masyarakat, kami harap dapat menarik pelajaran yang berharga dalam menegakkan prinsipprinsip demokrasi serta perlindungan hak asasi manusia, dalam koridor negara hukum yang
demokratis dan berkedaulatan rakyat.
Lebih jauh, untuk keperluan menyempurnakan seluruh proses persidangan yang telah
dilangsungkan, maka melalui uraian ini, kami Para Pemohon hendak membabarkan
Kesimpulan dari permohonan atas proses pemeriksaan di persidangan yang telah berjalan.
Kesimpulan ini sebagai penutup agar dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi, agar dapat mengambil putusan yang berdasarkan konstitusi dan aspirasi
keadilan yang berkembang di masyarakat, dengan tidak mengenyampingkan cita hukum
lainnya, kepastian dan kemanfaatan tentunya.
A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Para Pemohon dalam uraian permohonannya, bahwa
melalui permohonan ini Para Pemohon hendak mengujikan Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1; Pasal
8; Pasal 10; Pasal 11; Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1 angka 6; Pasal
57 ayat (2) dan (3); serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, c dan e UU No. 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan terhadap UUD 1945. Menurut Para Pemohon ketentuan a quo
telah melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas, dan multi tafsir, sehingga merugikan
hak-hak konstitusional Para Pemohon.
Oleh karena itu kemudian Para Pemohon mengajukan permohonan ini kepada Mahkamah
Konstitusi sebagai the sole interpreter of constitution. Artinya bahwa Mahkamah Konstitusi
ialah satu-satunya lembaga yang berwenang memberikan penafsiran terhadap sebuah
ketentuan pasal-pasal Undang-Undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Hal ini
seperti dituangkan di dalam ketentuan Pasal 24C UUD 1945 maupun secara detail telah diatur
di dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Bersandar pada ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi jelas
memiliki wewenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan a quo.
B. Kedudukan hukum Para Pemohon
Pemohon I sampai dengan Pemohon III adalah Pemohon yang merupakan Badan Hukum
Privat, yang memiliki legal standing dan menggunakan haknya untuk mengajukan
permohonan ini dengan menggunakan prosedur organization standing (legal standing).
Sementara Pemohon IV sampai dengan Pemohon VI adalah perseorangan Warga Negara
Indonesia, yang hak-hak konstitusionalnya dilanggar, akibat berlakunya UU a quo.
Pemohon I s.d Pemohon III adalah Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga Swadaya
Masyarakat yang tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas kehendak dan keinginan
Page 2 of 19
sendiri di tengah masyarakat yang didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat mendorong
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan negara, turut berpartisipasi dalam
pemberantarasan korupsi, serta menumbuhkembangkan partisipasi dan insiatif masyarakat
dalam pembangunan.
Dasar dan kepentingan hukum Pemohon I s.d Pemohon III dalam mengajukan Permohonan
Pengujian Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1; Pasal 8; Pasal 10; Pasal 11; Pasal 23; Pasal 29 ayat (1);
Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1 angka 6; Pasal 57 ayat (2) dan (3); serta Pasal 59 ayat (2) huruf
b, c dan e UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dapat dibuktikan dengan
Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga Para Pemohon. Dalam Anggaran Dasar
dan/atau Anggaran Rumah Tangga Para Pemohon disebutkan dengan tegas mengenai tujuan
didirikannya organisasi, dan Para Pemohon juga telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan
Anggaran Dasar-nya, seperti telah dijelaskan dalam permohonan a quo.
Upaya-upaya dan serangkain kegiatan yang dilakukan oleh Pemohon I s.d Pemohon III adalah
dalam rangka melaksanakan hak konstitusional yang dimilikinya, guna memperjuangkan
haknya secara bersama untuk kepentingan bangsa dan negara, sebagaimana ditegaskan oleh
ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya”. Selain jaminan perlindungan konstitusional, penegasan
serupa juga mengemuka di dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pasal 8
dan Pasal 9 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme, dengan tegas menyebutkan bahwa peran serta masyarakat
sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan yang bersih.
Ketentuan serupa juga ditegaskan di dalam Pasal 15 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yang mengatakan bahwa setiap orang, baik secara pribadi maupun kolektif berhak
untuk mengembangkan dirinya dalam rangka membangun masyarakat, bangsa dan negara.
Bahkan di dalam Pasal 16 UU Hak Asasi Manusia disebutkan secara khusus tentang hak
individu atau kelompok untuk mendirikan suatu organisasi untuk tujuan sosial dan kebajikan,
termasuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran hak asasi manusia.
Bahwa persoalan yang menjadi objek dari UU a quo merupakan persoalan setiap warga negara
karena sifat universalnya, yang bukan hanya urusan Pemohon I s.d Pemohon III, terutama
menyangkut keberlanjutan serta kepastian ruang partisipisasi masyarakat dalam pembangunan
bangsa dan negara. Lebih jauh, pengajuan permohonan pengujian undang-undang a quo,
merupakan wujud kepedulian dan upaya Pemohon I s.d Pemohon III untuk terus mendorong
partisipasi dan inisiatif masyarakat dalam pembangunan, termasuk dalam upaya pemenuhan
dan perlindungan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, maupun penyelenggaraan
pemerintahan negara yang bersih, transparan, dan akuntabel.
Pemohon I khususnya, telah mengalami kerugian konstitusional yang nyata dan aktual akibat
berlakunya UU a quo. Kerugian ini terjadi saat Pemohon I mengajukan permohonan informasi
kepada Dinas Informasi dan Pengolahan Data Elektronik Kab. Karo, Sumatera Utara.
Permohonan informasi ini merupakan bentuk partisipasi masyarakat sebagaimana dijamin oleh
peraturan perundang-undangan, juga merupakan pelaksanaan dari hak untuk memperoleh
informasi sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik.
Page 3 of 19
Menanggapi permintaan tersebut, Dinas Informasi dan Pengolahan Data Elektronik Kab. Karo
menolak untuk memberikan informasi sebagaimana diajukan oleh Pemohon I dengan alasan
bahwa Pemohon I belum terdaftar di Kantor Kesbanglinmas Kabupaten Karo. Merujuk pada
UU a quo, Dinas Informasi dan Pengolahan Data Elektronik Kabupaten Karo menyatakan
bahwa Pemohon I belum absah, sehingga SKPD di Kabupaten Karo tidak dapat memenuhi
permintaan informasinya.
Kejadian yang dialami oleh Pemohon I jelas memperlihatkan adanya ketidakpastian hukum
dari UU a quo, sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional Pemohon I.
Mengapa menimbulkan ketidakpastian hukum? Bahwa Pemohon I berdasarkan pada UU No.
28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, nyata-nyata telah
terdaftar sebagai badan hukum Yayasan pada Kementerian Hukum dan HAM Republik
Indonesia dengan nomor: AHU-8315.AH.01.04 Tahun 2012, tertanggal 26 Desember 2012.
Oleh karena Pemohon 1 telah terdaftar sebagaimana diatur oleh UU Yayasan, maka merujuk
pada ketentuan Pasal 15 ayat (3) UU a quo, maka Pemohon I tidak perlu melakukan
pendaftaran kembali pada organisasi mana pun, termasuk Kantor Kesbangpollinmas
Kabupaten Karo. Ketentuan Pasal 15 ayat (3) UU a quo menyebutkan, “Dalam hal telah
memperoleh status badan hukum, Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
memerlukan surat keterangan terdaftar”.
Terjadinya peristiwa tersebut, terlihat sangat nyata dan aktual kerugian konstitusional yang
dialami oleh Pemohon I akibat dari berlakunya UU a quo, yang menciptakan situasi
ketidakpastian hukum (Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945), sehingga
menghambat partisipasi Pemohon I dalam pembangunan (Pasal 28C ayat (2) UUD 1945), serta
dalam menjalankan hak asasinya (Pasal 28F UUD 1945). Oleh karena itu, Pemohon I
mempunyai hubungan causal-verband dengan berlakunya UU a quo, dan memiliki legal
standing untuk mewakili kepentingan publik, khususnya badan hukum serupa, untuk
mengajukan permohonan uji materiil UU a quo.
Sedangkan terhadap Pemohon II, berlakunya UU a quo juga telah menghambat upaya
menguatkan posisi tawar rakyat yang teroganisir dalam mengontrol negara dan turut serta
dalam pengambilan keputusan serta mewujudkan tata kelola pemerintahan yang demokratis,
bebas korupsi, berkeadilan ekonomi, sosial, dan jender. Jaminan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan (UU No. 28 Tahun 1999) bagi seluruh kegiatan yang diselenggarakan
oleh Pemohon II dalam rangka mencapai tujuannya maupun maksud yang hendak dicapai oleh
UU No. 28 Tahun 1999, potensial digagalkan oleh lahirnya UU a quo, yang menciptakan
situasi ketidakpastian hukum.
Sementara terhadap Pemohon III, pembatasan dan rezim pengaturan tunggal terhadap
organisasi masyarakat sipil yang diatur oleh UU a quo, dengan berbagai kerumitannya, telah
berakibat pada dirugikannya hak-hak konstitusional Pemohon III. Kerugian ini khususnya
terjadi dikarenakan lahirnya UU a quo sangat potensial menggagalkan upaya-upaya Pemohon
III di dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam setiap proses pengambilan kebijakan
negara maupun dalam penyelenggaraan negara secara umum. Dalam rangka upaya tersebut,
Pemohon III berupaya untuk menumbuhkembangkan berbagai macam organisasi masyarakat
sipil, dengan beragam bentuk dan aktivitasnya. Sebaliknya, berlakunya UU a quo, malah
berupaya untuk membatasi upaya itu semua, yang diakibatkan oleh berbagai kerumitan aturan
pendirian organisasi.
Page 4 of 19
Secara umum berlakunya UU a quo juga nyata-nyata atau setidaknya potensial telah merugikan
hak-hak konstitusional Pemohon I s.d. Pemohon III untuk berpartisipasi dalam pembangunan
masyarakat, bangsa dan negara, sebagaimana dijamin Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, maupun
sejumlah peraturan perundang-undangan. Hal ini terjadi sebagai akibat: (i) UU a quo didesain
untuk menghambat pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat; dan (ii) UU a quo menciptakan
situasi ketidakpastian hukum dalam pengaturan organisasi masyarakat sipil.
Pemohon IV merupakan individu warga negara Indonesia, yang saat ini menjabat sebagai
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang aktif memperjuangkan hak-hak
dan kesejahteraan buruh di Indonesia, melalui wadah serikat/organisasi buruh. Bahwa
keberadaan serikat buruh, selain dilindungi oleh UUD 1945, juga dijamin oleh sejumlah
peraturan perundang-undangan, seperti UU Ketenagakerjaan dan UU No. 11 Tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta UU
No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang
telah disahkan Indonesia dalam undang-undang nasionalnya. Lahirnya UU a quo nyata-nyata
atau setidak-tidaknya berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Pemohon IV, dalam rangka
memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan buruh melalui wadah organisasi buruh,
dikarenakan munculnya UU a quo baik secara langsung maupun tidak langsung telah
menghambat hidup dan berkembangnya organisasi buruh sebagai ruang perjuangan buruh.
Pemohon V adalah perorangan warga negara Indonesia yang bekerja sebagai Wakil Direktur
dari Human Rights Working Group (HRWG), sebuah organisasi masyarakat sipil di Indonesia
yang aktif mendorong pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak atas
kebebasan berserikat dan berorganisasi. Bahwa Pemohon V juga aktif melakukan penyadaran
publik dan terlibat secara terus-menerus dalam berbagai proses pengambilan kebijakan publik,
melalui beragam aktifitas. Berlakunya UU a quo, nyata-nyata atau setidak-tidaknya potensial
menghambat atau bahkan menggagalkan usaha-usaha yang dilakukan oleh Pemohon V.
Pemohon VI merupakan individu warga negara Indonesia yang bekerja sebagai Direktur
Eksekutif Imparsial, sebuah organisasi hak asasi manusia di Indonesia yang aktif melakukan
pemantuan pelaksanaan HAM di Indonesia dalam rangka pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia. Pemohon VI juga aktif melakukan penyadaran publik dan terlibat secara terusmenerus dalam berbagai proses pengambilan kebijakan publik, melalui beragam aktifitas di
tempat bekerjanya. Sebagaimana Pemohon V, berlakunya UU a quo, juga nyata-nyata atau
setidaknya berpotensi menghambat atau bahkan menggagalkan segala upaya yang telah
dilakukan oleh Pemohon VI.
Dari uraian tersebut secara jelas terlihat bahwa Pemohon IV s.d. Pemohon Pemohon VI adalah
individu-individu warga negara yang concern dengan kepentingan publik dan peran serta
masyarakat dalam pembangunan, khususnya dalam upaya pemenuhan hak-hak dan
kesejahteraan buruh yang diperjuangan melalui serikat buruh, serta upaya pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak atas kebebasan berserikat. Para Pemohon
merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan adanya rumusan pasal, ayat dan frasa dari
UU a quo, karena tidak sejalan dengan jaminan hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan
bangsa dan negara, serta berseberangan dengan jaminan hak atas kebebasan berserikat, yang
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Selain itu, Pemohon
IV s.d. Pemohon VI juga merupakan pembayar pajak (tax payer) aktif, yang menyatakan
kepentingan konstitusionalnya telah terlanggar dengan adanya UU a quo, karena menciptakan
ketidakpastian hukum, serta menghambat pemenuhan hak berpartisipasi dalam pembangunan
dan hak atas kebebasan berserikat.
Page 5 of 19
Berdasarkan uraian di atas, jelas keseluruhan Para Pemohon telah memenuhi kualitas maupun
kapasitas sebagai Pemohon pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 51 huruf c UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi dan sejumlah
putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat untuk
menjadi pemohon pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Oleh karena itu pula,
keseluruhan Para Pemohon memiliki hak dan kepentingan hukum mewakili kepentingan publik
untuk mengajukan permohonan pengujian UU a quo terhadap UUD 1945.
C. UU a quo mengkhianati amanat reformasi, pengesahannya dipaksakan dan
minim dukungan serta legitimasi publik
Reformasi konstitusi menjadi pijakan penting dalam menghidupkan kembali wibawa hukum,
yang bersandar pada prinsip-prinsip the rule of law, setelah berakhirnya pemerintahan rezim
otoritarian birokratik Soeharto. Selama pemerintahan militer Orde Baru berkuasa, meski
senantiasa mengatasnamakan hukum dalam bekerjanya, namun tegas harus dikatakan, hukum
sebatas menjadi alat legitimasi kekuasaan, propaganda dan teror. 1 Produk-produk hukum yang
diciptakan tidak berpegang pada prinsip the rule of law, tetapi sebaliknya, justru
mengedepankan pendekatan the rule by law. Suatu cara pikir yang menempatkan hukum
sebagai alat kekuasaan belaka, dengan menitikberatkan pada model legalistik. 2 Merujuk
pendapat Moh. Mahfud MD (1998), dalam situasi ini, politik cenderung mendeterminasi
hukum, akibatnya hukum berkarakter menindas dan tunduk pada politik kekuasaan. 3 Oleh
karena itu, amandemen konstitusi berupaya untuk melakukan pembongkaran terhadap
rumusan-rumusan UUD 1945 yang membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan, dengan
mengatasnamakan hukum, melalui penciptaan aturan yang lebih detil. Sistem cheks and
balances juga diperkuat, sebagai sarana saling mengawasi antar-cabang-cabang kekuasaan
negara. Amandemen konstitusi juga memberikan penegasan perihal jaminan ruang yang besar
bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara, dengan beragam saluran yang
disediakan, termasuk mendirikan serikat/organisasi, sebagaimana ditegaskan Pasal 28E ayat
(3) UUD 1945.
Pemerintahan Orde Baru mencengkramkan kekuasaan politiknya, dalam rangka pembentukan
‘negara kuat’ salah satunya dengan pembentukan sejumlah undang-undang bidang politik,
diantaranya adalah UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).
Undang-undang ini dibentuk sebagai sarana kontrol negara terhadap kehidupan organisasi
masyarakat sipil, dalam bingkai asas tunggal, termasuk juga penciptaan wadah tunggal untuk
organisasi-organisasi yang sejenis. Sayangnya, seiring dengan berakhirnya pemerintahan
otoriter Orde Baru, undang-undang yang materinya bertentangan dengan jaminan perlindungan
hak atas kebebasan berserikat, sebagaimana ditegaskan ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD
1945 ini, justru tidak segera dilakukan pencabutan. Kondisi ini seperti dikemukakan oleh
Anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, dari Fraksi Partai Bulan Bintang, Hamdan
Zoelva, pada saat proses amandemen UUD 1945, yang terkait dengan materi hak asasi
manusia. Pada kesempatan tersebut Hamdan Zoelva mengatakan: 4
Lihat Julie Southwood dan Patrick Flanagan, Indonesia: Law, Propaganda and Terror, (London: Zed Press, 1983).
Lihat Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law: History, Politics, Theory, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004).
3 Lihat Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998).
4 Lihat Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan
Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia, dan Agama, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hal. 288.
1
2
Page 6 of 19
Seperti halnya yang lalu di Pasal 28 diamanahkan hak berserikat kemudian diatur di
dalam Undang-Undang Keormasan, maka hak berserikat itu dibatasi sedemikian rupa
dalam undang-undang sehingga membelenggu hak-hak asasi manusia yang sudah
diatur dengan tegas di dalam Undang-Undang Dasar itu.
Pernyataan tersebut seperti memberi penegasan bahwa UU Ormas sebagai produk dari
pemerintahan Orde Baru, meski dikatakan sebagai pengejawantahan dari Pasal 28 UUD 1945,
namun materinya justru kontradiktif dengan jaminan perlindungan hak atas kebebasan
berserikat yang ditegaskan konstitusi. Oleh karenanya, sudah selayaknya pula undang-undang
ini dihapuskan keberadaannya dalam era demokrasi konstitusional hari ini, yang menjunjung
tinggi negara hukum dan hak asasi manusia.
Namun demikian, setelah satu dekade masa reformasi, justru pemerintah dan DPR berencana
untuk melakukan ‘revitalisasi’ terhadap eksistensi UU Ormas, dengan memasukkan agenda
pembentukan UU Ormas, sebagai salah satu prioritas legislasi nasional (Prolegnas) 2009-2014.
Sejumlah isu jangka pendek, khususnya tindak kekerasan yang kerap dilakukan oleh Ormas
tertentu, menjadi argumentasi resmi pemerintah dan DPR, untuk memberikan legitimasi bagi
upaya menghidupkan kembali salah satu undang-undang warisan otoritarian ini. Padahal
problem utamanya terletak pada ketidaktegasan aparat penegak hukum, untuk menindak secara
pidana, oknum-oknum Ormas yang melakukan tindak kekerasan. Hal ini sebagaimana juga
diakui oleh pemerintah dan DPR, dalam rapat gabungan antara Komisi II, Komisi III, dan
Komisi VIII dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mendagri,
Menkumham, Menteri Agama, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Intelijen Negara
(BIN), pada 30 Agustus 2010. Persoalan utamanya bukan pada ketiadaan aturan untuk
menindak. Kendati begitu, pada kenyataannya pemerintah dan DPR tetap merekomendasikan
pentingnya revisi UU Ormas. Bukan untuk menjamin hak atas kebebasan berserikat, namun
semangatnya agar dapat mengawasi dan menindak secara hukum serikat/organisasi.
Klimaksnya, pada 2 Juli 2013, DPR dan Pemerintah menyepakati pengesahan RUU Ormas
menjadi undang-undang. 5 Pengesahan ini terkesan dipaksakan, mengingat besarnya penolakan
publik terhadap pengesahan RUU ini, termasuk dari organisasi-organisasi besar, yang memiliki
pengaruh sangat kuat di Indonesia. Publik justru menghendaki UU Ormas dicabut, bukan
‘direvitalisasi’. Dalam pernyataannya, Muhammadiyah menilai RUU Ormas memiliki
paradigma totaliter dan menganut paham kekuasaan yang absolut. Muhammadiyah menolak
dan menyarankan kepada pemerintah dan DPR untuk menyusun RUU Perkumpulan
sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 28 UUD 1945. Sementara, Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama memberikan enam pokok pandangan kritis dan meminta DPR untuk menunda
pengesahan RUU Ormas, guna menghindari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari
pengesahan RUU ini.
Berbagai organisasi keagamaan lainnya juga secara tegas menolak kehadiran UU Ormas,
seperti dinyatakan antara lain oleh: Majelis Taklim Alqur'an (MTA), Forum Masyarakat
Katolik Indonesia (FMKI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Media Umat Kristen
Indonesia (MUKI), Walubi, Forum Komunikasi Kristen Jakarta (FKKJ), Nasyiatul Aisyiah,
Dewan Dakwah Islamiah, PGI Wilayah, Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) DKI
Jakarta, dan Parmusi. Kelompok buruh juga menyatakan penolakan serupa, seperti
diungkapkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), KSPSI, FSPMI, FSPNI, FSP,
Ini merupakan rapat paripurna ketiga yang digelar dengan agenda pengesahan RUU Ormas. Dua rapat paripurna sebelumnya gagal
mengesahkan, akibat kuatnya penolakan dari dalam DPR sendiri.
5
Page 7 of 19
KEP, PPMI, dan FSP. Beberapa kali unjuk rasa besar dilakukan oleh kelompok buruh di
gedung DPR, untuk menolak RUU Ormas.
Pernyataan menolak RUU Ormas, secara resmi dikemukakan pula oleh sejumlah lembaga
negara. Hal ini sebagaimana dinyatakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menurut Komnas HAM, RUU Ormas
dinilai bertentangan dengan nilai-nilai HAM, serta menjadi ancaman terhadap kebebasan
berserikat. Lebih jauh Komnas HAM merekomendasikan agar segera dibentuk dan disahkan
UU Perkumpulan, sebagai pendamping UU Yayasan.
Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan, tindakan pengesahan RUU Ormas menjadi undangundang, oleh DPR dan pemerintah, adalah salah satu bentuk ‘pengkhianatan’ nyata terhadap
mandat reformasi, yang menghendaki adanya jaminan atas kebebasan berserikat. Sedangkan
UU Ormas adalah bentuk nyata pengekangan terhadap kebebasan berserikat, yang jauh dari
mandat Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Selain itu, secara formil pembentukan peraturan
perundang-undangan, pemaksaan pengesahan RUU Ormas oleh DPR dan pemerintah, di
tengah fakta-fakta masifnya penolakan terhadap RUU tersebut, juga memperlihatkan bahwa
pembentukan UU Ormas tidak memenuhi Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
D. UU a quo berwatak otoritarian, tidak relevan dan bertolak belakang dengan
jaminan perlindungan hak atas kebebasan berserikat
Membaca secara keseluruhan materi muatan UU a quo, jelas kita tidak akan menemukan
perbedaan yang diametral dengan UU Ormas terdahulu, UU No. 8 Tahun 1985. Oleh karena
itu, secara lugas bisa disimpulkan, bahwa UU a quo berwatak otoritarian, meski lahir dalam
sebuah era yang demokratis. Kesimpulan ini setidaknya tergambar dari keterangan sejumlah
ahli yang dihadirkan oleh Para Pemohon dalam persidangan ini. Ahli Drs. Amir Effendi
Siregar, M.A., misalnya mengatakan, materi UU a quo tak bisa dilepaskan dengan Permendagri
33 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di lingkungan
Kementrian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, yang dikeluarkan pada 23 April 2012.
Permendagri yang isinya penuh dengan semangat anti demokrasi dan bersifat sangat otoriter
itu justru materi muatannya diadopsi dan dinaikkan statusnya oleh UU a quo. Dalam
Permendagri ini disebutkan bahwa semua organisasi wajib mendaftarkan diri dan memperoleh
Surat Keterangan Terdaftar (SKT). SKT ini bisa dicabut apabila organisasi menyebarkan
ideologi marxisme, atheisme, kapitalisme, sosialisme, dan ideologi lain yang bertentangan
dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. 6
Lebih jauh, ahli Amir Effendi Siregar menyatakan, secara substansi, materi UU a quo tidak
jauh berbeda dengan Permendagri No. 33 Tahun 2012 dan UU No. 8 Tahun 1985, yang lahir
pada masa otoriter. UU a quo berambisi mengatur seluruh organisasi masyarakat sipil,
termasuk yayasan dan perkumpulan. Bahkan tidak hanya itu, UU a quo juga menghambat
kebebasan berkomunikasi dan kemerdekaan pers. Dalam UU a quo termuat larangan
menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan
Pancasila (atheisme, komunisme/marxisme, leninisme). Akibatnya, organisasi pers dapat
diklasifikasikan sebagai organisasi bermasalah, yang dianggap melanggar UU a quo, karena
pemberitaan, artikel, informasi yang diberitakannya seringkali menyebarkan ideologi lain,
6
Risalah sidang Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014, 11 Februari 2014, hal. 17.
Page 8 of 19
yang kadangkala memang tidak sesuai Pancasila. Padahal, tugas media dan wartawan adalah
menyajikan informasi yang lengkap dari berbagai macam sudut pandang, termasuk pandangan
dan ajaran yang dapat saja bertentangan dengan Pancasila. 7
Sekali lagi, pembentukan UU a quo, jelas telah menantang semangat jaman, yang menghendaki
adanya jaminan penuh terhadap hak atas kebebasan berserikat, yang juga memiliki korelasi
kuat dengan perlindungan terhadap kebebasan pers. Dalam proses amandemen UUD 1945,
perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang diwakili Didik Supriyanto, pada saat rapat
dengar pendapat dengan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR mengatakan: 8
Oleh karena itu, selayaknya dalam amendemen Undang-Undang Dasar 1945 secara
tegas disebutkan bahwa negara menjamin kebebasan menyatakan pendapat, berserikat
dan berkumpul. Bahkan perlu dinyatakan pula bahwa tidak boleh ada satupun undangundang ataupun peraturan lainnya yang membatasi kebebasan menyatakan pendapat,
berserikat dan berkumpul.
Tidak hanya AJI, organisasi-organisasi pers lainnya, termasuk Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) dan Masyarakat Pers dan Penyiar Indonesia (MPPI), juga memberikan usulan senada.
PWI yang diwakili Tarman Azam, pada saat itu meminta kepada MPR, untuk menegaskan
adanya jaminan kebebasan pers, sebagai bagian yang tak-terpisahkan dari ketentuan Pasal 28
UUD 1945. 9 Usulan-usulan tersebut ditegaskan kembali oleh anggota PAH I BP MPR dari
Fraksi Kebangkitan Bangsa, Abdul Kholiq, yang mengatakan: 10
Pada Pasal 28, meskipun ini tidak terbahas di dalam Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja
dan menjadi kesepakatan bulat. Tetapi saya kira kita juga harus mempertimbangkan
aspirasi-aspirasi yang masuk dari kalangan masyarakat pers kita. Karena di situ
mengesankan bahwa Pasal 28 ini bentuk pengekangan yang diabadikan. Oleh karena
itu maka kami usulkan bahwa Pasal 28 ini disempurnakan menjadi: “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya dijamin oleh negara”. Jadi kata yang ditetapkan dengan undang-undang
itu disempurnakan menjadi, dijamin oleh negara. Saya kira ini lebih logis dan
kemudian bisa memberikan satu pemahaman bahwa, demokrasi kita memang berjalan
dengan baik.
Bersandar dari penafsiran historis (original intent) atas pembahasan terhadap Pasal 28, dalam
proses amandemen UUD 1945, nampak sekali bahwa jaminan terhadap hak atas kebebasan
berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pikiran serta pendapat, merupakan material penting
yang akan menjadi alat ukur sejauhmana berjalannya demokrasi kita. Oleh karena itu, segala
bentuk pengekangan harus dijauhkan dalam pelaksanaan hak-hak tersebut.
Sementara ahli Sri Budi Eko Wardhani, M.Si., menyebutkan, untuk pertama kalinya, kelahiran
UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas, adalah dimaksudkan untuk menjauhkan aktivitas
masyarakat sipil di tingkat bawah dari kegiatan politik. Pada masa ini ormas dihimpun dalam
satu wadah pembinaan, yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri. Menurut UU Ormas,
pemerintah dapat membekukan atau membubarkan pengurus atau organisasi apabila mereka
Risalah sidang Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014, 11 Februari 2014, Hal. 18-19.
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Pembahasan 1999-2002, Buku VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia, dan Agama, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hal. 257.
9 Ibid., hal. 255.
10 Ibid., hal. 202.
7
8
Page 9 of 19
melakukan kegiatan yang mengganggu ketertiban umum atau menerima bantuan dana asing
tanpa persetujuan pemerintah. Situasi berbeda terjadi setelah tumbangnya pemerintahan Orde
Baru. Pada era demokrasi, masyarakat sipil tidak dapat lagi diabaikan dalam proses perubahan
politik ke arah yang lebih demokratis, sebab merekalah yang sesungguhnya yang memberikan
legitimasi politik bagi kekuasaan pemerintahan. 11
Namun demikian, dikatakan oleh Sri Budi Eko Wardhani, ketegangan antara masyarakat sipil
dan negara kembali terjadi, khususnya paska-Pemilu 2009, yang berujung dengan lahirnya UU
a quo. Mengapa demikian? Sebab Organisasi Masyarakat Sipil kemudian berkembang dengan
memerankan berbagai fungsi, termasuk yang didorong adalah kontrol terhadap otoritas politik.
Sayangnya, negara membaca peranan tersebut sebagai ancaman. Lebih jauh dikemukakannya,
salah satu persoalan krusial dari UU a quo, adalah rumusan norma dari UU a quo yang telah
menyempitkan makna masyarakat sipil menjadi Ormas. Hal ini memperlihatkan, bahwa
pembentuk undang-undang sesungguhnya tidak memahami keragaman masyarakat sipil, yang
sebetulnya bisa tumbuh dari komunitas yang kecil.
Pada kenyataanya di lapangan, organisasi masyarakat sipil tidak selalu terlembaga dan
memiliki AD/ART. Keunikan organisasi masyarakat sipil disesuaikan dengan kebutuhan untuk
berkumpul agar kepentingannya dapat tersampaikan. Organisasi Masyarakat Sipil juga
memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri, tidak bisa diintervensi oleh pemerintah.
Esensi keberadaan masyarakat sipil adalah pengawasan dan kontrol terhadap proses politik
negara, karena dia berada di luar arena politik. Oleh karenanya, keberadaan UU a quo secara
evolutif dan sistematis jelas akan melemahkan fungsi kontrol dari masyarakat sipil. Kondisi ini
dinamakan semi otoriter, yaitu secara prosedural demokratis namun secara substansial nondemokratik dan ini sangat berbahaya, tegas Sri Budi Eko Wardhani. 12
Pandangan senada juga dikemukakan oleh ahli Prof. Dr. Syamsuddin Haris. Menurutnya
paradigma yang melatarbelakangi cara pandang penerbitan UU a quo sangat keliru, karena
cenderung melihat masyarakat sipil sebagai sumber ancaman, sumber konflik sosial, dan
bahkan sumber disintegrasi bangsa. Padahal, masyarakat sesungguhnya adalah sumber
legitimasi bagi keabsahan negara dan pemerintahan yang dihasilkan oleh pemilu-pemilu
demokratis. Oleh karenanya, menjadi sangat aneh, ketika masyarakat yang tidak lain adalah
himpunan warga negara, yang telah memberi mandat politik melalui pemilu, dicurigai sebagai
sumber ancaman, sumber konflik sosial, dan bahkan sumber disintegrasi bangsa. 13
Kerangka pikir semacam itu, dikatakan oleh Syamsuddin Haris, hanya pantas dimiliki oleh
rezim-rezim otoriter seperti Orde Baru, yang menjadikan masyarakat sebagai musuh negara,
sehingga semua aktivitas masyarakat dicurigai dan diawasi oleh negara. Hal itu wajar saja,
mengingat dalam sistem otoriter, negara hanya percaya pada dirinya sendiri. Oleh sebab itu,
sangat mengherankan jika di dalam sistem demokrasi konstitusional, paradigma dan kerangka
pikir yang keliru dan sesat itu dihidupkan kembali oleh pembentuk undang-undang, dengan
mengesahkan UU a quo. Ironisnya lagi, paradigma dan kerangka pikir yang keliru dan sesat
tersebut, dihidupkan atas nama Pancasila, UUD 1945, dan Kebhinekaan bangsa. 14
Dilihat dari urgensinya dalam sistem demokrasi konstitusional sekarang ini, ditegaskan
Syamsuddin Haris, UU a quo tidak diperlukan dan tidak relevan, karena semua kekhawatiran
Risalah sidang Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014, 27 Februari 2014, hal. 10-11.
Risalah sidang Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014, 27 Februari 2014, hal. 12, 13 dan 34.
13 Risalah sidang Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014, 17 Maret 2014, hal. 4.
14 Risalah sidang Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014, 17 Maret 2014, hal. 5.
11
12
Page 10 of 19
terkait, misalnya tindak kekerasan oleh ormas tertentu, penyimpangan terhadap ideologi
negara, dan juga pemberian sumbangan dari atau kepada pihak asing, telah ada solusi dan
sanksi hukumnya di dalam berbagai produk perundang-undangan lainnya. Meningkatnya
tindak kekerasan oleh berbagai elemen masyarakat selama lebih dari 10 tahun ini, tentunya
tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menerbitkan UU a quo. Tindak kekerasan massa lebih
terkait dengan kegagalan negara mengelola kebebasan berekspresi di satu pihak, dan
ketidakmampuan aparat negara dalam penegakan supremasi hukum di lain pihak. 15
Ahli yang dihadirkan Para Pemohon, Prof. Dr. Syamsuddin Haris bahkan menyatakan, UU a
quo justru lebih buruk dari UU No. 8 Tahun 1985 yang diterbitkan oleh rezim otoriter.
Mengapa lebih buruk? Jawabannya sangat jelas, karena paradigma dan kerangka pikir yang
keliru dan sesat itu, justru dihidupkan kembali dalam era demokrasi konstitusional. Seperti
diketahui, tiga keberatan kita atas UU No. 8 Tahun 1985, ternyata juga kembali diadopsi oleh
UU a quo, yang meliputi: (i) adanya kewajiban bagi setiap ormas berideologikan Pancasila
sebagai satu-satunya asas. Dalam UU a quo, kemudian bahasanya dihaluskan menjadi tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945; (ii) kewenangan pembinaan juga sama, hanya
bahasanya diganti menjadi pemberdayaan, otoritasnya pun masih berada di instansi yang
sama—Kementerian Dalam Negeri; dan (iii) kewenangan pemerintah untuk membekukan
kepengurusan dan bahkan membubarkan Ormas jika dinilai tidak berasaskan Pancasila. 16
Dari paparan sejumlah ahli yang telah dihadirkan oleh Para Pemohon, maupun juga penafsiran
terhadap materi rumusan Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, dengan memperhatikan
perdebatan pembahasannya, nampak terang benderang, bahwa UU a quo, telah melenceng jauh
dari jaminan konstitusional hak atas kebebasan berserikat. Bahkan dari perdebatan yang
mengemuka, terlihat betul adanya kecenderungan untuk mengembalikan kontrol negara
terhadap masyarakat, yang diidentifikasi sebagai ancaman. Hal ini tentu saja menunjukkan
adanya sebuah paradoks dari UU a quo, dalam periode demokrasi konstitusional dewasa ini,
karena UU a quo justru memberikan gambaran tentang bekerjanya sistem otoriter.
E. UU a quo menciptakan kekacauan hukum, yang menimbulkan situasi
ketidakpastian hukum dalam perlindungan hak atas kebebasan berserikat
Salah satu permasalahan krusial dalam UU Ormas (UU No. 8 Tahun 1985), seperti juga diakui
di dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Ormas (NA RUU Ormas), yang
dibuat oleh Badan Legislasi DPR, tahun 2011, adalah terkait dengan konsepsi Organisasi
Masyarakat. Dalam NA RUU Ormas disebutkan, persoalan mendasar dari UU No. 8 Tahun
1985 adalah kerancuan pengertian ormas. Definisi ormas dalam UU tersebut mencakup semua
organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat, baik berdasarkan keanggotaan atau pun
tanpa anggota. Akan tetapi karena tidak diikuti kejelasan norma, maka seringkali ditafsirkan
hanya mengatur organisasi berdasarkan keanggotaan. 17 Kejanggalan muncul, ketika kerancuan
konstruksi ormas dalam UU No. 8 Tahun 1985, justru kembali digunakan dalam rumusan
ketentuan Pasal 1 angka 1 UU a quo, padahal sebelumnya dikatakan, kerancuan tersebut ialah
problem utama UU Ormas.
Kekacauan hukum yang ditimbulkan oleh UU a quo, disinggung oleh ahli Para Pemohon,
Surya Tjandra, S.H., LL.M., yang mengatakan, pengertian Ormas dalam UU a quo sangat rancu
dan politis. Hal itu terjadi karena semenjak awal kelahirannya, Ormas dipandang bukanlah
Ibid.
Ibid., hal. 7.
17 Lihat Naskah Akademik RUU Organisasi Kemasyarakatan (2011), hal. 16.
15
16
Page 11 of 19
melulu sebagai suatu badan hukum melainkan lebih bersifat politis. Parahnya, Ormas
ditempatkan secara superior di dalam posisi di atas, yang meliputi organisasi berbadan hukum
dan organisasi tidak berbadan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 dan Pasal 11
UU a quo. 18 Pandangan ahli Surya Tjandra ini diperkuat dengan pendapat ahli dari Para
Pemohon yang lain, Dr. Zainal Arifin Mochtar, yang mengatakan bahwa UU a quo, telah
mencampuradukkan pengaturan organisasi yang berbasis anggota (perkumpulan), dengan
organisasi yang tidak berbasis anggota (yayasan). Menurutnya, percampuran pengaturan ini
sangatlah tidak tepat, karena keduanya memiliki tipe yang sangat berbeda, sehingga tidak dapat
dipaksakan dalam satu undang-undang yang sama, yakni UU a quo. Pengaturan UU a quo jutru
tidak memberi jaminan atas pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat berkumpul, karena
menimbulkan ketidakpastian hukum yang nyata-nyata bertentangan dengan prinsip negara
hukum yang UUD 1945. 19
Ketidakpastian hukum yang ditimbulkan akibat penormaan dalam UU a quo, juga
diperlihatkan oleh ahli Para Pemohon, Prof. Dr. Saldi Isra. Dalam keterangan tertulisnya, ahli
Saldi Isra menyebutkan, pada satu sisi UU a quo membuat pemisahan/melakukan pembedaan
antara Ormas berbadan hukum dengan Ormas tidak berbadan hukum, namun pada sisi yang
lain juga mencampur keduanya, seperti yang termaktub dalam Bab VII UU a quo, yang
mengatur tentang struktur dan kepengurusan ormas. Dengan demikian, seluruh ketentuan Bab
VII UU a quo, berlaku untuk semua Ormas tanpa membeda-bedakan bentuknya. Persoalannya
kemudian, apabila ormas berbadan hukum yayasan, bagaimana mungkin ormas tersebut
diharuskan pula memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% dari jumlah
propinsi di seluruh Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU Ormas? Dijelaskan Saldi
Isra, bukankah yayasan tunduk pada ketentuan UU Yayasan? Di mana, dalam UU Yayasan
tegas didefinisikan, bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan,
dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota (Pasal 1 Ayat (1) UU No 16 Tahun 2001
sebagaimana telah diubah dengan UU No 28 Tahun 2004).
Pertanyaan lanjutan dikemukakan oleh ahli Saldi Isra, apabila norma-norma yang terdapat
dalam Bab VII UU a quo dikatakan tidak berlaku untuk Ormas yang berbadan hukum yayasan,
pada ketentuan mana pengecualian tersebut diatur? Sebab, pengecualian terhadap yayasan
hanya ditemukan dalam ketentuan Pasal 9 UU a quo, yang mengatur persyaratan pendirian
ormas. Oleh karena itu, dapat dipastikan ketentuan terkait organisasi dan kepengurusan ormas
yang diatur dalam Bab VII juga berlaku untuk Ormas berbadan hukum yayasan. Dalam konteks
inilah akan muncul ketidakpastian hukum, yang bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD
1945, dan mengancam jaminan perlindungan hak atas kebebasan berserikat.
Persoalan lain yang menunjukkan adanya ketidakpastian hukum dalam rumusan UU a quo,
adalah terkait dengan pengaturan mengenai pendaftaran. Melihat logika struktur yang
dibangun dalam UU a quo, pembentuk undang-undang menggunakan logika pendaftaran partai
politik. Akan tetapi, ketika mengatur tentang lingkup organisasi dan wilayah kerja, justru
pembentuk undang-undang menggunakan logika pendaftaran yayasan, perkumpulan dan
lingkup kerja profesi (seperti advokat). Hal ini menunjukkan UU a quo dibuat dengan logika
tambal-sulam, sehingga menyebabkan norma yang satu dengan yang lain saling bertentangan.
Termasuk hal yang menyangkut teknis pendaftaran pun nampak adanya ketidakpastian hukum,
ketika dua kementerian sekaligus memiliki wewenang melakukan pendaftaran. Kementerian
18
19
Risalah sidang Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014, 11 Februari 2014, hal. 16.
Risalah sidang Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014, 17 Maret 2014, hal. 11.
Page 12 of 19
Hukum dan HAM untuk Ormas yang berbadan hukum, Kementerian Dalam Negeri untuk yang
tidak berbadan hukum. Sementara itu, pada saat yang bersamaan sistem informasi Ormas
dibangun oleh Kementerian Dalam Negeri. Meski UU a quo mengatakan Ormas yang sudah
berbadan hukum otomatis terdaftar, tapi dalam praktiknya untuk membangun sistem informasi
tersebut, mereka harus mendaftarkan diri kembali ke Kementerian Dalam Negeri. Situasi
demikian tentu dapat dimanfaatkan untuk menekan dan mengebiri hak-hak organisasi/serikat,
tambah Saldi Isra.
F. UU a quo tidak sejalan dengan prinsip-prinsip pembatasan hak asasi manusia
Para pemohon dalam argumentasi permohonannya telah membabarkan perihal
ketidaksinkronan pembatasan hak atas kebebasan berserikat, yang dilakukan oleh UU a quo,
baik merujuk pada ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, UU No. 39 tentang Hak Asas
Manusia, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil
dan Politik, maupun instrumen hukum internasional hak asasi manusia lainnya. Pendapat
serupa juga ditegaskan oleh ahli dari Para Pemohon, Roichatul Aswidah, M.A., yang
menyatakan bahwa UU a quo telah mengenyampingkan prinsip-prinsip tentang pembatasan
hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, Prinsipprinsip Siracusa dan Prinsip-prinsip Johanesburg. Mengapa demikian? Sebab UU a quo
bersifat ambigu serta dibuat tidak secara hati-hati dan teliti.
Ahli Roichatul Aswidah bahkan menyebutkan, UU a quo telah menjadi batu sandungan bagi
bekerjanya sistem demokrasi, karena pengaturannya yang sewenang-wenang, sehingga
sebenarnya pengaturan tentang pembatasan tersebut tidak dibutuhkan. Merujuk pada sejumlah
instrumen internasional hak asasi manusia, Roichatul Aswidah menegaskan, bahwa
pembatasan hak tidak boleh dilakukan dan diterapkan untuk melemahkan inti dari suatu hak
yang diakui oleh Kovenan. Oleh karena itu pembatasan hak harus memiliki alasan yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kovenan.
Dijelaskannya, terkait dengan hak atas kebebasan berserikat, pembatasan dan pengaturan yang
dilakukan oleh negara harus tetap menjamin dan tidak membahayakan aspek-aspek penting
dari kebebasan berserikat tersebut, yakni: (i) harus menjamin kebebasan tujuan organisasi; (ii)
harus menjamin kebebasan bentuk organisasi; (iii) harus menjamin dari tiadanya kontrol
terhadap kegiatan; (iv) harus menjaminan bahwa proses pendaftaran tidak dilakukan secara
sewenang-wenang; (v) harus menjamin tiadanya pembatasan dan pembubaran organisasi yang
sewenang-wenang.
Sedangkan UU a quo, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5, telah mengatur rincian tujuan
sebuah organisasi, sehingga pada hakikatnya telah membuat tujuan sebuah organisasi menjadi
terbatas dan justru membahayakan aspek penting dari kebebasan berserikat. Begitu pula
mengenai bentuk, seperti diatur dalam ketentuan Pasal 10 UU a quo, yang menggabungkan
organisasi berbasis anggota dengan yang tidak berbasis anggota. Ketentuan ini telah menafikan
pengaturan yang lebih khusus yang secara spesifik mengatur tentang perkumpulan atau
perserikatan tersebut.
Kontrol terhadap kegiatan organisasi juga sangat potensial terjadi, berdasarkan pada UU a quo.
Potensi ini mengemuka antara lain dengan adanya rumusan Pasal 16 UU a quo, yang
mensyaratkan adanya surat pernyataan kesanggupan untuk melaporkan kegiatan. Selain itu,
rumusan Pasal 59 ayat (2) tentang larangan-larangan, dapat pula menjadi instrumen negara
untuk melakukan kontrol terhadap kegiatan organisasi, karena rumusannya yang luas dan
Page 13 of 19
kabur. Ketidaksesuaian pengaturan UU a quo dengan prinsip pembatasan hak atas kebebasan
berserikat juga nampak dalam pengaturan Pasal 15 sampai dengan Pasal 19 UU a quo, yang
mengatur tentang kewajiban Ormas untuk mendaftar secara aktif dan memenuhi seluruh
persyaratan administratif.
Menguatkan keterangan dari ahli Roichatul Aswidah, ahli Dr. Zainal Arifin Mochtar dengan
menggunaan penafsiran sistematis terhadap Pasal 28E UUD 1945 menyebutkan, bahwa hak
berserikat dan berkumpul dalam Pasal 28E ayat (3) merupakan manifestasi dari hak atas
kebebasan meyakini kepercayaan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani yang
dijamin Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap
sesuai hati nurani diekspresikan dalam bentuk, diantaranya berserikat, berkumpul, dan
menyatakan pendapat. Selain itu, jika merujuk pada jaminan Pasal 28E ayat (1) yang
melindungi hak untuk memeluk agama, termasuk dalam kategori hak yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Oleh karena itu, hak berserikat dan
berkumpul sebagai salah satu ekspresi dari hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani
pengaturannya tidak boleh ditujukan untuk mengurangi, menghalangi, atau menghilangkan
hak-hak tersebut. Pengaturan dalam bentuk pembatasan hanya bisa dilakukan semata-mata,
sebagai jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum, sebagaimana penegasan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. 20
G. UU a quo mencengkram semua bentuk organisasi, akibatnya kebebasan
berserikat dikekang, dan menghambat pelaksanaan hak untuk berpartisipasi
dalam pembangunan
Konstruksi Ormas yang dibangun oleh UU a quo telah menyentuh hampir semua bentuk dan
aspek organisasi yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Oleh karena itu, UU a quo
memiliki dampak ancaman yang luar biasa besar bagi hidupnya hak atas kebebasan berserikat.
Ahli dari Para Pemohon, Surya Tjandra mengungkapkan, dengan memperhatikan bahasa dan
susunannya, UU a quo dibuat amat detil—sampai pada hal-hal kecil dan preskriptif, dengan
tujuan untuk sejauh mungkin memberikan definisi dan meliputi setiap unsur dari pembentukan
dan berfungsinya organisasi. Akan tetapi, karena terlalu preskriptif, sebagaimana terumuskan
dalam pengaturan tujuan, fungsi, dan cakupan Ormas, pada saat yang sama UU a quo menjadi
tidak jelas dan melebar. Akibat pengaturan yang demikian, menurut Surya Tjandra, UU a quo
akan memiliki implikasi yang membahayakan terhadap penjaminan pelaksanaan hak atas
kebebasan berserikat di Indonesia. Sebuah organisasi masyarakat sipil dengan segala
aktivitasnya akan dengan mudah dinyatakan ilegal karena dianggap keluar dari definisi-definisi
yang tercantum secara eksplisit dalam UU a quo.
Selain itu, ketidakpastian hukum yang ditimbulkan akibat pengaturan UU a quo, sehingga
memungkinkan kelenturan dalam penafsiran mengenai cakupan definisi dan ruang lingkup,
telah berdampak pada pemaknaan yang sewenang-wenang dari aparat pemerintahan. Hal ini
seperti halnya yang Serikat Buruh di Kabupaten Singkil, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Meski tidak secara eksplisit disebutkan dalam cakupan UU a quo, untuk dikualifikasi sebagai
Ormas, namun dalam praktiknya pemerintah daerah melalui Dinas Kesbangpol, tetap
memaksakan serikat-serikat buruh setempat, untuk mendaftarkan diri, dengan persyaratan
sebagaimana layaknya pengaturan dalam UU a quo.
20
Risalah sidang Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014, 17 Maret 2014, hal. 8.
Page 14 of 19
Padahal, merujuk keterangan ahli Dr. Meuthia Ganie Rochman, pada faktanya di lapangan,
sebagian besar Organisasi Non-Pemerintah (Ornop), memiliki kapasitas pelayanan skala kecil
dengan perubahan yang terbatas, karena memang pengetahuan inovatif dan sumberdayanya
pun terbatas. Oleh karena itu, hadirnya UU a quo akan sangat membebani secara psikologis
maupun sumberdaya atas keharusan administratif misalnya ADRT, rencana kerja, bagi
organisasi skala kecil tersebut. Situasi demikian tentu akan berimplikasi sangat serius bagi
pelaksanaan hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya yang dilakukan secara
kolektif, sebagaimana ditegaskan oleh ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Dr. Meuthia Ganie Rochman dalam keterangan ahlinya kemudian menekankan bahwa
“Organisasi Masyarakat Sipil tidaklah sama dengan Ormas”. Organisasi Masyarakat Sipil
mencakup pengertian organisasi yang sangat luas dan memiliki peran yang sangat penting bagi
demokrasi. Sementara, Ormas memiliki pengertian sempit secara sejarah dan politis dengan
supervisi dari Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kementerian
Dalam Negeri. Dengan berlakunya UU a quo, ada potensi disempitkannya pengertian
Organisasi Masyarakat Sipil ke dalam Ormas. Hal ini tercermin dalam definisi luas yang ada
dalam Pasal 1 ayat (1) UU a quo dan dalam praktik yang dijalankan Dirjen Kesbangpol, yang
kerap mencampuradukkan antara Ormas, Organisasi Nirlaba, dan LSM.
Cengkraman terhadap organisasi masyarakat sipil, yang merupakan pengejawantahan dari
kebebasan berserikat, menjadi kian nyata, dengan diberikannya ruang bagi pemerintah, melalui
Kementerian Dalam Negeri, meski dengan dalih pemberdayaan. Hal itu seperti ditegaskan ahli
Dr. Zainal Arifin Mochtar. Lebih jauh dikemukakannya, paradigma kontrol terhadap aktifitas
berserikat dan berkumpul tersebut, akan lebih rentan lagi jika dilakukan oleh dinas-dinas
Kesbangpol di pemerintahan daerah. Pemerintah daerah akan memiliki kuasa sangat besar
terhadap masyarakat dengan mengatasnamakan pemberdayaan Ormas. Bukan tidak mungkin
demokrasi di tingkat lokal terancam jika kepala daerah, melalui dinas Kesbangpol, memiliki
kewenangan pengendalian terhadap ormas di daerah. Potensi lain yang bakal terjadi, ialah
perilaku kepala daerah, yang bertindak demi kepentingan politiknya, dengan mematikan Ormas
tertentu yang berseberangan dengannya, dan memberikan fasilitas kepada ormas tertentu
lainnya yang sejalan. Hak atas kebebasan berserikat nyata-nyata berada dalam ancaman, karena
kemudian akan ada ormas plat merah dan ormas yang bukan plat merah, tegas Zainal Arifin
Mochtar. 21
H. Kerugian konstitusional yang sifatnya faktual, telah banyak terjadi akibat
berlakunya UU a quo
Salah satu kerugian konstitusional yang nyata, akibat berlakunya UU a quo, adalah yang
dialami oleh Pemohon I, Yayasan FITRA Sumatera Utara. Hanya 1,5 bulan setelah pengesahan
UU a quo, tepatnya pada 19 Agustus 2013, Yayasan FITRA Sumut telah merasakan dampak
nyata dari ketidakpastian hukum dari rumusan UU a quo. Organisasi yang berbadan hukum
yayasan ini mengalami penolakan permohonan informasi publik dari Dinas Komunikasi,
Informasi dan Pusat Data Elektronik, Kabupaten Karo, dengan alasan tidak terdaftar di
Kesbangpolinmas setempat. Dengan alasan merujuk pada berlakunya UU a quo. Padahal,
berdasarkan pada ketentuan UU a quo, ditegaskan pula Ormas berbadan hukum yang telah
mendapatkan status badan hukum, secara otomatis dinyatakan terdaftar, dan tidak perlu
melakukan pendaftaran diri kembali.
21
Risalah sidang Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014, 17 Maret 2014, hal. 9-10.
Page 15 of 19
Tidak lama berselang, pada 23 Agustus 2013, KONSORSIUM Lombok Tengah menjadi salah
satu organisasi yang dikelompokkan ke dalam kategori ilegal oleh Kepala Kesbangpol
Kabupaten Lombok Tengah. KONSORSIUM Lombok Tengah adalah koalisi yang
beranggotakan sekitar 20 organisasi masyarakat sipil Lombok Tengah. 22 Dibentuk pada 2006,
KONSORSIUM Lombok Tengah merupakan mitra strategis Pemerintah Kabupaten Lombok
Tengah dalam pembangunan dan penyusunan peraturan daerah yang berpihak pada masyarakat
miskin. Pemkab Lombok Tengah menempatkan KONSORSIUM Lombok Tengah sebagai
anggota TKPKD (Tim Penanggulangan Kemiskinan Daerah), yang dikuatkan melalui SK
Bupati Lombok Tengah. Sebagai pengaturan internal, KONSORSIUM Lombok Tengah
memiliki statuta yang mengikat seluruh anggotanya.
Berlakunya UU a quo, telah mengakibatkan legalitas KONSORSIUM Lombok Tengah
terganggu, termasuk partisipasinya dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara,
sebagaimana dijamin UUD 1945. Dalam pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh
Kesbangpol Lombok Tengah, menyatakan mayoritas LSM di Lombok Tengah tidak memiliki
kantor resmi dan tidak memiliki izin. Temuan lain mendapatkan rata-rata LSM memanfaatkan
kediaman koordinatornya sebagai kantor dan tidak memasang plang lembaga. Walaupun LSM
tersebut memiliki akte pendirian, AD/ART, dan struktur kepengurusan, keberadaan kantor
dianggap menjadi salah satu pengakuan secara hukum di mata Kesbangpolinmas, sehingga
LSM yang tidak memiliki kantor dan izin dianggap ilegal. Dinas Kesbangpolinmas Lombok
Tengah bahkan telah bertindak lebih jauh daripada Kementerian Dalam Negeri. Meski
Peraturan Pemerintah (PP) mengenai pendaftaran Ormas berdasar pada ketentuan UU a quo
belum diundangkan, Kesbangpolinmas setempat telah mengeluarkan edaran mengenai syaratsyarat untuk melakukan pendaftaran Ormas.
Kedua fakta di atas, sekali lagi menegaskan betapa masifnya kerancuan hukum yang
ditimbulkan akibat berlakunya UU a quo. Selain itu, kelahiran UU a quo juga telah secara
langsung dan faktual mengancam pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat, termasuk juga
menjadi penghalang dalam pelaksanaan hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan,
sebagaimana dijamin UUD 1945.
Pemerintah juga ternyata gagal menjawab pertanyaan dari Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi, yang disampaikan dalam sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 11 Februari 2014.
Pertanyaan yang disampaikan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi kepada Pihak
Pemerintah adalah, “apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah jika ada organisasi yang tidak
mendaftar?”. Ternyata Pemerintah tidak mampu menjawab pada saat sidang tersebut dan
berjanji akan menyerahkan jawaban tertulis. Sampai saat ini, Pemerintah tidak juga mampu
menyediakan jawaban lisan maupun tertulis atas pertanyaan tersebut.
I. Membatalkan UU a quo pilihan terbaik bagi tegaknya hak atas kebebasan
berserikat dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
Dalam keterangannya, ahli Dr. Zainal Arifin Mochtar menyebutkan, bahwa UU a quo telah
memberikan ruang besar kepada pemerintah atas nama negara memasuki wilayah negara,
untuk mengontrol masyarakat sipil, yang potensial disalahgunakan, sehingga mengancam
inisiatif warga yang kritis. Misalnya, dalam bidang antikorupsi, pelanggaran HAM, dan
perusakan lingkungan. Dengan situasi yang demikian, pengaturan UU a quo, meski
disandarkan pada ketentuan Pasal 28 dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yang dimaksudkan
22
Risalah Sidang Perkara Nomor 3/PUU-XII/2014, 27 Februari 2014, hal. 4-8.
Page 16 of 19
guna mengatur pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat, akan tetapi justru mematikan inti
dari hak atas kebebasan berserikat itu sendiri.
Sebagaimana telah berulangkali disinggung dalam paparan di atas, model pengaturan yang
dianut oleh UU a quo, jelas bertentangan dengan esensi hak atas kebebasan berserikat yang
diatur dalam Pasal 28 dan secara tegas dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Bahkan jika
merujuk pada perdebatan selama proses pembahasan amandemen UUD 1945, mencuplik
pendapat Anggota PAH I BP MPR, Hamdan Zoelva, munculnya UU a quo adalah belenggu
terhadap hak asasi manusia yang telah dijamin oleh UUD 1945 sendiri. Apabila terus dibiarkan
hidup, UU a quo juga akan kian mempersempit dan mempersulit ruang partisipasi masyarakat
dalam pembangunan, yang merupakan mandat dari Pasal 28C ayat (2).
Dibatalkannya UU a quo tidak akan mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum
(rechtsvacuum), karena peraturan perundang undangan terkait organisasi yang bergerak di
bidang sosial telah ada. Ada UU Yayasan yang mengatur organisasi sosial yang berbentuk
badan hukum yang tidak mempunyai anggota (non membership organization), dan ada
Stb.1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van
Verenegingen) yang mengatur bentuk Perkumpulan (membership based organization).
Ormas bukanlah suatu badan hukum, melainkan hanya suatu status politik yang menyatakan
bahwa suatu organisasi tersebut terdaftar di Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik
(Dirjen Kesbangpol). Jika UU Ormas dibatalkan maka rezim status politik tersebut akan hapus.
Tidak akan terjadi kekosongan hukum, justru hal tersebut akan mengembalikan pendekatan
hukum yang benar kepada organisasi masyarakat sipil dan pada akhirnya akan menjaga
kebebasan berserikat berkumpul di Indonesia.
UU a quo seharusnya dicabut, bukan direvisi. Indonesia perlu mengembalikan pengaturan
kepada kerangka hukum yang benar, yaitu badan hukum Yayasan (untuk organisasi sosial
tanpa anggota) dan badan hukum Perkumpulan (untuk organisasi sosial dengan anggota). RUU
Perkumpulan telah masuk dalam Prolegnas 2010-2014, dan mendapatkan nomor 228, sebagai
prioritas, namun sampai hari ini belum juga dibahas oleh pembentuk undang-undang.
Oleh karena itu, sangat cukup alasan dan argumentasi bagi Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi, untuk membatalkan UU a quo, sebagai jalan terbaik bagi tegaknya hak atas
kebebasan berserikat dan hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Pembatalan terhadap
UU a quo, juga merupakan langkah besar dalam penyelamatan agenda demokratisasi di
Indonesia, yang sistemnya sudah kita bangun sedikitnya dalam 15 tahun terakhir. Pembaruan
UU Yayasan dan pembahasan RUU Perkumpulan sebagai pengganti dari Staatsblad
Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum, menjadi pilihan paling tepat dalam pengaturan
mengenai jaminan hak atas kebebasan berserikat di Indonesia, tanpa harus khawatir dengan
terjadinya kekosongan hukum akibat dibatalkannya UU a quo. Proses ini, akan menjadi ikhtiar
bagi kita semua untuk terus merawat supremasi konstitusi.
J. Penutup
Dari seluruh paparan argumentasi yang kami susun dalam permohonan, serta dikuatkan oleh
para ahli yang kami hadirkan selama proses persidangan, dan ditutup dengan uraian kesimpulan
di atas, pada akhirnya, dengan kerendahan hati, kami Para Pemohon, memohon kepada yang
mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, yang memeriksa, mengadili dan memutus
permohonan Para Pemohon untuk:
Page 17 of 19
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang yang diajukan
oleh Para Pemohon;
2. Menyatakan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1; Pasal 8; Pasal 10; Pasal 11; Pasal 23;
Pasal 29 ayat (1); Pasal 57 ayat (2) dan (3); Pasal 59 ayat (2) huruf b, c dan e UU No. 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945;
3. Menyatakan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1; Pasal 8; Pasal 10; Pasal 11; Pasal 23;
Pasal 29 ayat (1); Pasal 57 ayat (2) dan (3); Pasal 59 ayat (2) huruf b, c dan e UU No. 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
4. Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dibaca “Menteri adalah
menteri yang menyelenggarakan urusan hukum dan hak asasi manusia;
5. Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dibaca
“Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan hukum dan hak asasi manusia;
6. Menyatakan ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dibaca “Sistem informasi
Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh kementerian atau instansi
terkait yang dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan
urusan hukum dan hak asasi manusia”;
7. Menyatakan ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dibaca “Sistem
informasi Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh kementerian
atau instansi terkait yang dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan hukum dan hak asasi manusia”;
Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadiladilnya (ex aeque et bono).
Page 18 of 19
Download