FORMULASI KEBIJAKAN PAJAK LINGKUNGAN (ENVIRONMENTAL TAXATION) SEBAGAI INSTRUMEN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT PRINSIP REGULEREND Aldila Cesaria Rezkita Ayu Dikdik Suwardi, S.Sos, M.E This research discusses the tax policy formulation process of Environmental taxation as one of the Government instrument to managed and protect the environment according to regulerend principle, which depart from how fiscal policy give a contributions in DKI Jakarta. This research was conducted by a qualitative approach and cross-sectional study with literature review and field research as a data collection techniques. This study used qualitative data analysis techniques refer to theory of Local Tax, green tax/environmental taxation and Pigouvian Tax. The result shows that fiscal policy whether in tax or levies, have not contributed enough so far for the environment protection. Environmental tax formulation has been through several processes, but has not been fullest in the formulation concept. Therefore, this study presented the application concept of green tax in China and India as additional information in this study. Keywords : Policy Formulation, Green tax/Environmental Taxation, Pigouvian Tax, Industry sector 1. Pendahuluan Kondisi lingkungan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan. Kasus lingkungan ini terus meningkat seiring kebijakan daerah dalam mengelola daerahnya masing-masing. Berdasarkan data terakhir dari Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, pada 2012 sudah ada 300 kasus lingkungan hidup seperti kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, pelanggaran hukum, dan pertambangan. Merujuk pada Laporan Badan Dunia Food and Agriculture Organization (FAO) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), mengenai State of the World’s Forest tahun 2007, menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-8 dari 10 negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia, akan tetapi, dengan laju kerusakan hutan yang tergolong tinggi di dunia. Kementerian Kehutanan mencatat hingga tahun 2009 kerusakan hutan yang terjadi telah mencapai lebih dari 1,08 juta hektar pertahun. Dari 130 juta hektar lahan, tinggal 43 juta saja yang masuk dalam kategori hutan alam(Budilaksono). Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. Data lain yang mendukung tentang potret lingkungan Indonesia adalah berdasarkan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup(National Geographic Indonesia). Kementerian Lingkungan Hidup mencatat ada penurunan kualitas lingkungan, yakni pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 59,79%, tahun 2010 turun sebesar 61,7% , dan pada tahun 2011 turun sebesar 60,84%. Hal ini juga diperkuat dengan data terakhir “Menuju Indonesia Hijau” dimana Indonesia hanya memiliki luas tutupan hutan sebesar 48,7% di seluruh Indonesia. Industri adalah salah satu sektor andalan pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta, disamping sektor keuangan dan sektor konstruksi. Tidak heran jika pertumbuhan industri terutama industri manufaktur berskala besar dan sedang pada triwulan IV 2012 mengalami kenaikan sebesar 4,35% dibandingkan dengan triwulan IV 2011 dengan metode year-on-year. Jenis-jenis industri yang mengalami kenaikan antara lain adalah industri percetakan dan reproduksi media rekaman naik sebesar 27,14%, industri pakaian jadi naik 16,1%, bahan kimia dan barang dari bahan kimia naik 13,62%, kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer naik 6,98% serta barang dari logam, bukan mesin dan peralatannya naik sebesar 6,92% (BRS Provinsi DKI Jakarta). Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, wilayah Jakarta Utara merupakan wilayah yang memiliki jumlah unit usaha industri terbesar di DKI Jakarta untuk tahun 2008 dan 2009. Terdapat kurang lebih 1857 unit usaha industri di Jakarta Utara dengan peringkat pertama adalah industri pakaian jadi dari tekstil, disusul dengan industri bordir, percetakan, pengolahan dan pengawetan ikan & biota perairan lainnya, serta industri kemasan dari plastik (Kemenperin.go.id). Di wilayah Jakarta Utara ini pula terdapat kawasan industri Kawasan Berikat Nusantara (Persero) dengan luas wilayah 578 hektar, lebih luas bila dibandingkan dengan kawasan industri Pulogadung dengan luas 500 hektar(Himpunan Kawasan Industri). Pertumbuhan sektor industri dan tingkat pencemaran di DKI Jakarta menunjukkan bahwa ada hubungan antar keduanya. Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan industri memiliki hubungan korelasi positif dengan tingkat pencemaran pada suatu daerah. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tinggi tingkat Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. pertumbuhan industri di suatu daerah, maka akan semakin tinggi pula tingkat pencemaran di daerah tersebut. Isu lingkungan merupakan salah satu isu penting yang sedang hangat dibicarakan di berbagai forum baik di tingkat nasional maupun internasional. Beberapa aktivitas yang terkait dengan pelestarian lingkungan dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan lingkungan, juga sedang giat digencarkan oleh pemerintah, seperti salah satunya penanaman satu juta pohon. Namun, bila tidak diiringi dengan keseimbangan dalam pertumbuhan industri yang ramah lingkungan, maka hal ini tidak akan memberikan kontribusi besar dalam pelestarian lingkungan hidup. Aktivitas-aktivitas yang terkait dengan pelestarian lingkungan belum sepenuhnya mampu mengatasi dan menekan perusakan dan pencemaran baik yang dilakukan oleh anggota masyarakat maupun badan usaha. Dalam menanggapi hal ini, dalam perspektif fiskal ada beberapa skema fiskal yang bisa dilakukan untuk menerapkan ekonomi hijau (green economy) yang mendukung upaya pelestarian lingkungan. Dua instrumen yang menonjol adalah subsidi dan pajak. Subsidi memiliki karakteristik positif eksternalitas yang dapat menjadi acuan yang kuat untuk transisi menuju ekonomi hijau. Subsidi tersebut bisa dalam hal dukungan harga, insentif pajak dan hibah langsung untuk kegiatan yang terkait lingkungan(Danida 1). Dari beberapa kebijakan fiskal terkait pengelolaan dan pelestarian lingkungan yang ada, pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah apakah kebijakan tersebut sudah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup? Hal ini pula yang menimbulkan asumsi yang mendorong Pemerintah Indonesia untuk mulai memikirkan suatu terobosan yang dapat menekan laju perusakan dan pencemaran lingkungan, yaitu dengan adanya rencana penerapan pajak lingkungan. Seperti yang telah diketahui belakangan ini, bahwa pemerintah berencana memberlakukan pajak lingkungan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Pemerintah melalui Departemen Keuangan akan menerapkan pajak senilai 0,5% terhadap perusahaan manufaktur beromzet minimal Rp 300 juta (Harian Kontan, 2006). Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. Sudah tentu ide ini mengundang pro dan kontra. Penambahan komponen pajak ini bisa dianggap akan mengurangi minat investor menanamkan modalnya di Indonesia. Tambahan pajak itu akan membuat profit margin lebih kecil, atau jika harus dipertahankan akan membawa konsekuensi pada kenaikan harga produk yang dapat mengurangi kemampuan bersaing di pasaran. Asumsi lain tentang penolakan pajak lingkungan adalah akan terjadi salah persepsi mengenai penerapannya. Sehingga timbul pemahaman bahwa memperbolehkan pengusaha merusak lingkungan dengan cukup melakukan pembayaran pajak kepada negara. Pro dan kontra akibat dari rencana penerapan pajak lingkungan ini mengakibatkan usulan ini hanya dimunculkan sampai menjadi RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Rancangan Undang-Undang ini batal dijadikan UU karena banyaknya penolakan yang timbul dari kalangan pengusaha. Dengan melihat kondisi-kondisi di atas maka diperlukan studi lebih lanjut yang berangkat dari kontribusi kebijakan fiskal terkait dengan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di DKI Jakarta selama ini ada. Kemudian dari titik dan sudut pandang inilah dapat diperoleh latarbelakang munculnya usulan kebijakan pajak lingkungan untuk dilihat secara mendalam fenomena proses formulasi kebijakan pajak lingkungan tersebut. 2. Kerangka Teori 2.1 Kebijakan Publik Kebijakan publik merupakan hasil dari suatu proses yang mempunyai implikasi terhadap kehidupan masyarakat dalam suatu negara. Ada banyak pengertian dari kebijakan publik itu sendiri yang sudah dirumuskan oleh para ahli.Karakter dari pengertian kebijakan publik itu sendiri bermacam-macam, tergantung dari mana pengkaji teori melihatnya. Berikut merupakan beberapa definisi dari Kebijakan Publik dari beberapa ahli. Dye dalam Winarno(Winarno 15) mengatakan kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan sedangkan menurut Anderson(Winarno 16), kebijakan publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.Kebijakan publik pada garis besarnya mencakup tahap-tahap Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Tahap-tahap ini disebut dengan proses kebijakan publik. 2.2 Formulasi Kebijakan Menurut William N. Dunn dalam bukunya Pengantar Anlisis Kebijakan Publik (2000), peramalan atau forecasting dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternative, termasuk tidak melakukan sesuatu. Dalam formulasi kebijakan, peramalan dapat menguji masa depan yang plausible, potensial, dan secara normative bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan. Proses perumusan ini merupakan bagian penting dalam agenda kebijakan karena dengan perumusan kebijakan yang terpadu, akan menghasilkan sebuah kebijakan tepat untuk ditetapkan. Formulasi kebijakan public memiliki tahapantahapan yang bersifat kontinuitas dan metologis agar pada akhirnya output yang keluar telah sesuai dan melewati tahapan-tahapan yang ada. Tahapan formulasi kebijakan public terdiri dari : 1. Pemahaman masalah Pemahaman masalah yang terkait dengan tahapan formulasi kebijakan publik yaitu berangkat dari maslaah publik yang terjadi dalam masyarakat. Masalah publik yang telag terjadi alam masyarakat dirasa perlu untuk diambil tindakan dalam bentuk kebijakan publik. 2. Agenda Setting Agenda pemerintah adalah suatu kesepakatan umum, belum tentu tertulis, tentang adanya masalah publik yang perlu menjadi perhatian bersama dan menuntut campur tangan pemerintah untuk memecahkannya. Suatu masalah publik bisa diangkat ke agenda pemerintah pada saat: Isu itu dinilai penting dan membawa dampak yang besar kepada banyak orang, isu itu mendapa perhatian dari policy maker, isu tersebut sesuai dengan platform politik, isu tersebut kemungkinan dapat terpecahkan. Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. 3. Policy Problem Formulation Langkah-langkah kegiatan perumusan masalah menurut Willian Dunn tahun 1999 hal 45, yaitu : - Aktivitas pengenalan masalah menghasilkan pemahaman mendalam mengenai situasi masalah tersebut. - Aktivitas pencarian masalah menghasilkan pemetaan masalah. Maksudnya adalah pengkategorisasian masalah-masalah yang ingind ipecahkan melalui berbagai alternatif-alternatif yang ada berdasarkan pemahaman mendalam tentang masalah tersebut. - Aktivitas pendefinisian masalah menghasilkan masalah substantive. - Aktivitas spesifikasi masalah menghasilkan spesifikasi masalah formal. 4. Policy Design Langkah-langkah yang menjadi inti dalam proses policy design yaitu (Islamy, 1997. p.52): a. Pengkajian persoalan. Menemukan dan memahami hakekat dari permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat. b. Penetapan tujuan dan sasaran adalah akibat yang secara sadar ingin dicapai atau dihindari. c. Perumusan alternative, sejumlah cara atau alat-alat yang digunakan untuk mencapai langsung atau tidak sejumlah tujuan yang telah ditentukan. d. Penyusunan model, penyederhanaan dari kenyataan persoalan yang dihadapi diwujudkan dalam huungan kausal atau fungsional. e. Penentuan kriteria diperlukan untuk menilai alternative. Penilaia tersebut terdiri dari technical feasibility, economic dan financial feasibility, political viability, dan administrative operability. f. Penialian alternative untuk mendapatkan gambaranlebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan feasibilitas. Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. g. Perumusan rekomendasi, saran-saran alternatif yang diperhitungkan dapat mencapai tujuan. 2.3 Fungsi Pajak Fungsi pajak secara umum dibagi menjadi fungsi budgetair dan regulerend. Hampir semua ahli memiliki pendapat yang sama. Fungsi budgetair berkaitan dengan bagaimana pajak dapat memberikan pemasukan yang sebanyakbanyaknya bagi penerimaan negara. Pemasukan yang diterima ditujukan untuk membiayai kegiatan pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun pembiayaan pembangunan. Pengalaman Indonesia dan negara-negara berkembang selama ini menunjukkan bahwa penggunaan penerimaan uang dari pajak tidak hanya diperuntukkan bagi penyelenggaraan pemerintah, tetapi juga untuk membiayai pembangunan nasional(Mansury 2). 2.4 Pajak Lingkungan (Green Taxes) Green tax merupakan sebuah ragam luas dari alat-alat atau kelengkapan dasar pasar yang didesain untuk mengubah tingkah laku masyarakat dalam peranannya di dalam perekonomian. Hal ini bekaitan dengan eksternalitas, yaitu suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain. Mengatasi eksternalias tersebut dapat digunakan instrumen pajak, pajak terhadap kegiatan-kegiatan yang menimbulkan eksternalitas negatif ini lazim disebut pigovian tax, yang diambil dari nama pencetusnya, yakni Arthur Pigou, sebagaimana merupakan terjemahan dari teori yang diungkapkan Rock : Green taxes refer to a wide variety of market-based instrumens designed to change environmental behaviors of economic actors. The obvious point of departure for consideration of green taxes is their economic rationale and Pigou (1952) was the fisrt to develop such a rationale (Rock 7). Teori ini menegaskan bahwa pajak lingkungan menjalankan fungsinya sebagai fungsi regulerend, dimana pajak dipergunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu yaitu mengubah tingkah laku masyarakat. Menurut Pigouvian(Pigou), pajak lingkungan seharusnya sebanding dengan kerugian marjinal, dan dikenakan langsung pada sumber emisi. Perolehan pendapatan pajak yang diperoleh dari suatu sumber penyebab terjadnya distorsi ekonomi, yang Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. kemudian digunakan secara tepat untuk merespon terjadinya kehilangan sumber distorsi yang lain dalam ekonomi, tidak akan menyebabkan adanya peningkatan pendpaatan akibat daur ulang yang efisien atas proses pertukaran tersebut. Pajak lingkungan merupakan pungutan yang bersifat insentif permanen yang bertujuan mengurangi pencemaran dan menekan biaya penanggulangannya (Hardjasoemantri). Bell dan McGillivray (McGillivray) mengatakan terdapat beberapa pajak lingkungan yang lazim dikenal, yaitu: 1. Pajak bagi biaya-biaya administrasi untuk melaksanakan system peraturam. Contohnya adalah biaya untuk pengeluaran izin, serta membiayai inspeksi, pengawasan, dan monitoring pelaksanaan dari izin tersebut; 2. Pajak untuk pelaksanaan pengawasan lingkungan dan penanggulangan pencemaran. Contohnya adalah biaya pembersihan setelah terjadinya pencemaran; 3. Pajak yang mencerminkan biaya lingkungan total dari kegiatan yang tertentu. Pajak ini seringkali dikaitkan dengan tingkat emisi yang dihasilkan, sehingga sering disebut biaya emisi. Contoh dari pajak ini adalah pajak karbon yang diterapkan pada setiap pemakaian bahan bakat yang mengandng karbon; 4. Pajak yang dikenakan bagi setiap penggunaan bahan atau proses yang dapat menimbulkan pencemaran. Contohnya adalah pajak yang dibebankan pada pengelola limbah, yang akan mendorong naiknya pengelolaan limbah yang akan mendorong orang untuk menggunakan barang yang menghasilkan limbah sedikit. 3. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian “Formulasi Kebijakan Pajak Lingkungan (Environmental Taxation) sebagai Instrumen Perlindungan Lingkungan Hidup Menurut Fungsi Regulerend” ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian mengenai analisis rencana kebijakan pajak lingkungan ini menggunakan pendekatan. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian termasuk ke Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. dalam kategori penggambaran fenomena sosial. Tujuan penelitian ini disebut penelitian deskriptif. Penelitian ini, berdasarkan manfaatnya termasuk dalam kategori penelitian murni. Dari segi dimensi waktu, penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional karena hanya dilakukan pada satu periode waktu tertentu, yakni pada bulan Januari-Juni 2013 di DKI Jakarta tanpa bertujuan untuk melakukan penelitian ulang dengan topik yang sama dan membandingkannya dengan penelitian sebelumnya. Teknik pengumpulan data melalui studi literatur dan studi lapangan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Data yang diperoleh bersumber dari hasil studi literatur, dan wawancara yang mendalam. Kemudian memilih hasil wawancara yang paling relevan dengan topik penelitian untuk kemudian dipahami lebih lanjut. Kemudian membuat daftar untuk mengategorisasikan topik dan memberikan kode pada topik-topik tersebut. Selanjutnya mereduksi daftar tersebut, hanya yang terkait dengan permasalahan penelitian. proses terakhir adalah melakukan analisis dari proses pengumpulan dan pengategorisasian hasil wawancara dengan cara mengaitkannya dengan masalah penelitian. Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk kutipan-kutipan langsung atau penjelasan dari hasil wawancara dengan informan penelitian, serta kajian bahan tulisan yang dimulai dengan menelaah seluruh data yang pada akhirnya memperoleh informasi yang akurat untuk dituangkan dalam laporan penelitian ini. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Kebijakan Fiskal atas Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup yang Ada Selama ini di DKI Jakarta Terdapat beberapa jenis kebijakan fiskal berupa pajak dan retribusi terkait dengan pengelolaan lingkungan yang ada di DKI Jakarta. Dalam penelitian ini, hanya 3 jenis pajak dan retribusi daerah yang akan dibahas lebih lanjut terkait kebijakan mengenai pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Diantara 3 jenis pajak tersebut antara lain pajak air permukaan dan air tanah, pajak kendaraan bermotor (PKB) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB), serta Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. beberapa jenis retribusi seperti retribusi izin gangguan dan retribusi pengolahan limbah cair. Pada kenyataannya, kebijakan fiskal baik berupa pajak maupun retribusi belum sepenuhnya memberikan kontribusi yang besar bagi pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Di Provinsi DKI Jakarta sendiri, setidaknya ada 12 jenis pajak daerah yang merupakan jenis pajak provinsi dan jenis pajak kabupaten/kota, namun hanya beberapa saja yang didalamnya terdapat unsurunsur yang memberikan perhatiannya pada keberlangsungan lingkungan. Seperti yang dikemukakan berikut oleh Dian Putra, selaku Kepala Seksi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah IIB, Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan RI: “Jadi kebijakan fiskal terkait pengelolaan lingkungan itu, selama ini tidak ada. Tidak ada yang secara langsung mengatur tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan, khususnya berupa pajak itu nggak ada. Jadi memang terkait dengan pengelolaan lingkungan, terkait dengan pajak dan retribusi daerah ini memang tidak ada instrumennya untuk langsung di earmarking untuk digunakan langsung…” (Wawancara Mendalam dengan Dian Putra, Kasie PDRD IIB, Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan RI, 3 Mei 2013). Selama ini belum ada kebijakan fiskal, terutama berupa pajak yang secara langsung mengatur mengenai pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, selain yang kita ketahui yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dari berbagai jenis pajak yang ada di DKI Jakarta, tidak ada yang secara langsung digunakan untuk membiayai pengelolaan lingkungan hidup di daerahnya. Istilah ini disebut dengan earmark tax, dimana pemungutan atas suatu earmark tax tersebut hasilnya akan langsung digunakan untuk membiayai akibat yang timbul dari objek yang dipajaki tersebut. Usaha-usaha perbaikan dan pengelolaan lingkungan yang dilakukan daerah dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun seperti yang diketahui bahwa sebagian besar pengeluaran APBD merupakan belanja pegawai, maka alokasi pembiayaan untuk pengelolaan lingkungan hidup menjadi sedikit karena terbagi dengan keperluan-keperluan pembangunan daerah yang lain. Alokasi anggaran tersebut kurang bisa Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. dimanfaatkan dengan baik oleh Pemerintah Daerah. Hal ini diungkapkan juga oleh Dian Putra sebagai berikut: “…ya kan kita juga tahu kalau di APBD itu sebagian besar belanja nya, sekitar 60-70% nya digunakan untuk belanja pegawai. Sudah tentu pembiayaan untuk lingkungan mesti berbagi dengan alokasi untuk bidang lain seperti untuk kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.” (Wawancara Mendalam dengan Dian Putra, Kasie PDRD IIB, Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan RI, 3 Mei 2013). Untuk Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), seperti yang sudah disinggung sebelumnya adalah merupakan salah satu penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bila di dalam Undang-undang No.28 Tahun 2009 menekankan bahwa setidaknya sebesar 10% penerimaan daerah yang berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor dialokasikan untuk lingkungan, namun pada kenyataannya kebijakan tersebut belum dapat mengurangi kerusakan lingkungan akibat meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), juga serupa dengan Pajak Kendaraan Bermotor. Begitu juga dengan Pajak Air Tanah dan Air Permukaan. Ketiganya memiliki fungsi yang bersifat mengatur (regulerend). Fokus kepada pembatasan dalam menggunakan dan/atau pengambilan dan/atau pemanfaatan sumber daya alam yang ada di lingkungan demi mendukung pembangungan yang berkelanjutan. Namun sekali lagi perlu disayangkan bahwa Pemerintah Daerah dalam menerapkan baik Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Tanah dan Pajak Air Permukaan, masih jauh menekankan pada fungsi budgeter saja, yaitu untuk mengisis kas daerah. Seperti yang sebelumnya sudah dikutip oleh salah satu narasumber yaitu Arief Kepala Bidang bagian Peraturan dan Penyuluhan Pajak Daerah, Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta. 4.2 Kebijakan Pajak Lingkungan (Green taxes) yang Diterapkan di China dan India Konsep green tax sudah dikenal di negara-negara uni-eropa. Dalam beberapa negara, penerapan konsep green tax atau pajak lingkungan ini berbedabeda jenisnya. Dalam penelitian ini, akan dibahas mengenai penerapan green tax Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. yang ada di negara China dan India sebagai green policy di negaranya masingmasing. Informasi yang didapatkan dalam pembahasan kali ini bersumber dari KPMG Green tax Index, yang merupakan sebuah penelitian untuk mengidentifikasi negara yang paling banyak menggunakan instrumen pajak sebagai salah satu kebijakan hijau (green policy) di negaranya dan untuk memperbaiki tata kelola lingkungan mereka. Dalam penelitian yang dilakukan oleh KPMG tersebut, didapat bahwa 6 negara dengan peringkat tertinggi yang paling banyak atau aktif menggunakan instrumen pajak sebagai alat green policy. Negara-negara tersebut adalah Amerika Serikat (US), Jepang, Inggris, Korea Selatan dan China diposisi keenam. Keenam negara tersebut dinilai sebagai negara yang paling aktif dalam menggunakan instrumen pajak sebagai alat untuk menuju pembangunan berkelanjutan dan mencapaitujuan dari kebijakan hijau atau yang dikenal dengana sebutan “green policy”. Penelitian yang diumumkan pada tahun 2013 ini dinilai dari bagaimana pemerintah menggunakan system perpajakannya dalam merespon pada isu tantangan global seperti pengamanan energi, kelangkaan sumberdaya air, polusi serta isu perubahan iklim. Penelitian ini menemukan beberapa skema kebijakan diantaranya green tax incentive dan penalty, yang berfokus pada kebijakan seperti penghematan energi, efisiensi air, emisi karbon, green innovation dan green buildings. Setidaknya ada 30 jenis green tax incentives baru, maupun jenis-jenis regulasi lain yang ditemukan semenjak KPMG memulai penelitian ini pada 2011 yang lalu. Hasil penelitian ini menunjukkan sejumlah peringkat dengan negara-negara yang menggunakan green tax sebagai instrumen/alat green policy. China dalam hal ini menempati posisi keenam, sedangkan India berada di posisi kesepuluh. Terdapat perbedaan konsep pajak lingkungan yang diterapkan di negara China dan India. Pajak lingkungan (Green tax) diimplementasikan kedalam instrumen fiskal. Di negara China dan India, fokus penerapan green tax adalah dalam sektor sumberdaya energi terutama energi terbarukan. Green tax diberikan berupa insentif fiskal pada PPh dan PPN, pemberian subsidi keuangan dan insentif pajak untuk proyek Energi Performance Contracting (EPC), serta subsidi keuangan untuk konservasi pengembangan teknologi. India juga memfokuskan Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. padasumberdaya energi terbarukan. Instrumen green tax yang diberikan pemerintah India antara lain investasi dan subsidi berupa tax holiday. Pemerintah India juga memberikan pendanaan bagi pengembangan energi terbarukan di India. Penerapan Carbon Credit dan Clean Development Mechanisms (CDMs) di India juga merupakan langkah pemerintah untuk mewujudkan green policy nya. 4.3 Proses Formulasi Rencana Kebijakan Pajak Lingkungan Menurut Prinsip Regulerend Tahap pertama dalam proses formulasi kebijakan pajak lingkungan dalam Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) no. 28 Tahun 2009 adalah Identifikasi Masalah. Hal paling mendasari dirumuskannya pajak lingkungan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD ini adalah karena kondisi lingkungan hidup yang makin lama makin memprihatinkan. Seperti yang sudah dijelaskan dalam latarbelakang penelitian ini, bahwa masih terdapat wilayah-wilayah di Indonesia, khususnya wilayah Jawa Barat yang mengalami kerusakan lingkungan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan program pemerintah dalam pembangunan nasional yang mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan (suistainable development). Dimana dalam pembangunan berkelanjutan selain faktor ekonomi, faktor lingkungan hidup selaku tempat kita melakukan segala aktivitas, juga merupakan faktor penting dalam kelanjutan pembangunan untuk generasi mendatang. Dari kondisi lingkungan yang memprihatinkan inilah sehingga kemudian menyadarkan pemerintah bahwa perlu adanya kebijakan yang menangani secara khusus tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dari sisi ekonomi. Selain itu ada beberapa hal lain yang menjadi substansi mendasar dirumuskannya kebijakan pajak lingkungan dalam Rancangan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yaitu : (1) Perwujudan undang-undang tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan konsekuensi dari kebijakan otonomi daerah. (2) Kebijakan fiskal terkait pengelolaan lingkungan hidup yang belum memberikan kontribusi yang besar dalam upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. (3) Upaya mencapai pembangunan nasional yang berkelanjutan Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. (suistainability development) dalam konteks green economy dimana lingkungan menjadi perhatian lebih dari pemerintah. Tahap selanjutnya yang dilakukan dalam proses formulasi kebijakan pajak lingkungan adalah pembuatan naskah akademik oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. Masalahmasalah yang ditemukan dalam tahap identifikasi masalah dimasukan kedalam agenda pemerintah untuk dibahas menjadi masalah publik yang perlu ada pembahasan lebih lanjut bagaimana solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Tahapan ini menurut beberapa ahli yaitu disebut tahapan Agenda Setting. Permasalahan utama yang mendasari diusulkan pajak lingungan ini adalah kondisi lingkungan yang sudah cukup memprihatinkan. Hal ini juga mendapatkan perhatian dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Direkorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) mengemukakan bahwa tidak ada cara lain yang bisa digunakan untuk menekan laju kerusakan lingkungan akibat limbah industri selain dengan pajak. Seperti yang diungkapkan oleh Dian Putra berikut ini: “Kita mengusulkan undang-undang baru gitu ya misalnya. Kita bikin kajian akademis, terkait lingkungan yang sudah sedemikian rusaknya. Dan tidak ada cara lain yang bisa digunakan untuk menekan itu kecuali dengan pajak.” (Wawancara Mendalam dengan Dian Putra, Kasie PDRD IIB, Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan RI, 3 Mei 2013). Begitu pula dengan permasalahan lainnya yaitu belum maksimalnya kontribusi kebijakan fiskal baik pajak dan retribusi yang selama ini di terapkan di daerah. Sehingga dibutuhkan kebijakan yang mengatur secara langsung tentang pengelolaan dan perlindungan dari sisi pajak. Isu green economy seperti yang juga dijelaskan dalam tahapan identifikasi di atas, merupakan isu yang mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan tentunya isu ini memberikan dampak bagi orang banyak. Apalagi terkait dengan pertumbuhan industri di Indonesia yang dapat dibilang berkembang pesat, sudah tentu harus diiringi dengan keseimbangan dalam hal pengelolaan dan perlindungan lingkungan. Dalam tahapan agenda setting ini, diputuskan bahwa permasalahan-permasalahan tersebut perlu Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. ditemukan formulasi kebijakan yang tepat guna menyelesaikan permasalahan tersebut. Setelah permasalahan-permasalahan tersebut masuk kedalam agenda pemerintah, pembuatan naskah akademik terus berlanjut. Dalam pembuatan naskah akademik dikaji kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul dalam upaya penanggulangan kerusakan lingkungan akibat limbah industri. Kajian akademik ini juga berisi penjelasan lebih rinci dan detail terkait dengan permasalahan-permasalahan yang sudah ditentukan sebelumnya dalam tahap identifikasi masalah. Kemudian dijelaskan juga bagaimana peran pajak lingkungan yang nantinya akan diterapkan untuk menekan pencemaran lingkungan terutama akibat limbah industri. Dalam naskah akademik inilah dikaji secara mendalam konsep pajak lingkungan yang akan diterapkan di Indonesia. Tahapan ini disebut dengan tahap perumusan kebijakan atau formulasi kebijakan. Seperti mencoba berbagai alternatif formulasi yang tepat. Seperti yang diungkapkan oleh Dian Putra selaku Kepala Seksi PDRD IIB, jika dilihat dari sisi jenis pajaknya terdapat 3 hal yang bisa dipajaki, yaitu konsumsi, pendapatan, atau property. Dan dalam kajian akademik yang diadakan oleh Direktorat PDRD ini, dalam usulan pajak lingkungan akhirnya disepakati bahwa pengenaan pajak lingkungan lebih diatur dari sisi pendapatan. Tahap selanjutnya setelah formulasi kebijakan adalah tahap policy design. Pada tahap ini merunut proses yang telah dilalui dalam rangka menghasilkan rumusan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang ditemukan pada tahap identifikasi masalah. Terdapat serangkaian proses yang substansial dalam tahap policy design, yaitu seperti yang dijelaskan berikut ini: 1. Pengkajian persoalan yaitu menemukan dan memahami hakekat dari permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat. Hal ini telah dilakukan dalam tahap identifikasi masalah dimana ditemukan 4 masalah pokok yang menyebabkan perlu adanya instrumen pajak sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah tersebut. Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. 2. Penetapan tujuan dan sasaran adalah akibat yang secara sadar ingin dicapai atau dihindari. Dalam hal ini pemerintah melalui Direktorat PDRD, DJPK ini memiliki tujuan dalam pengajuan usulan pajak lingkungan dalam RUU PDRD No. 28 tahun 2009 ini, yaitu diantaranya ingin memiliki pendanaan yang mandiri dalam upaya menangani pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Dana mandiri tersebut diperoleh dari pajak lingkungan yang hasilnya akan langsung digunakan untuk membiayai upaya-upaya Pemerintah Daerah dalam menaggulangi pengrusakan lingkungan akibat usaha industri. Tujuan lainnya yaitu double deviden. Dimana disatu sisi Pemerintah Daerah mendapatkan pembiayaan untuk upaya pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup, juga pemerintah dapat membatasi kegiatan industri yang berpotensi merusak lingkungan sehingga kerusakan lingkungan tidak hanya diminimalisir dalam jangka waktu dekat tapi juga memperhatikan pengelolaan dan perlindungan lingkungan untuk masa depan. 3. Perumusan alternatif, sejumlah alat atau cara-cara yang digunakan untuk mencapai secara langsung atau tdak sejumlah tujuan yang telah ditentukan. Cara yang dilakukan pemerintah yaitu dalam hal usulan kebijakan pajak lingkungan yang diharapkan dapat mencapai tujuan semula, sehingga permasalahan-permasalahan yang ada dapat diselesaikan. Sayangnya tahapan policy design dalam perumusan kebijakan pajak lingkungan ini tidak mengikuti tahapan-tahapan sebagaimana dikemukakan oleh DR. Joko Widodo (Widodo), yang dilakukan pemerintah dalam perumusan kebijakan pajak lingkungan hanya sampai pada penyusunan model kebijakan. Dengan ditentukannya ketentuan umum tentang pajak lingkungan seperti dasar pengenaan pajak (DPP) serta tarif dan lain-lainnya, dirasa perumusan tersebut belum didasari pertimbangan yang cukup serta kajian yang mendalam dalam menetukan model atau rumusan yang tepat untuk mengaplikasikan pajak lingkungan yang dimaksud. Usulan kebijakan pajak lingkungan yang disampaikan oleh DJPK, ternyata masih belum dapat meyakinkan pihak-pihak yang terkait dalam proses pembahasan RUU PDRD No. 28 Tahun 2009 ini. Beberapa alasan utamanya antara lain: (1) konsep pajak lingkungan yang diusulkan kurang matang, (2) Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. Pengenaan dasar pengenaan pajak yang diusulkan dihitung dari perkalian tarif dengan harga pokok produksi, dinilai berat oleh banyak pengusaha terutama yang bergerak di bidang industri manufaktur, yang ikut serta dalam proses Fokus Group Discussion (FGD), (3) Usulan kebijakan pajak lingkungan dinilai masih cenderung mengutamakan fungsi budgeteir. 5. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan 1. Terdapat beberapa kebijakan fiskal, berupa pajak dan retribusi, terkait pengelolaan lingkungan hidup di DKI Jakarta. Diantaranya adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dan Pajak Air Tanah. Sedangkan dari segi retribusi, terdapat retribusi izin gangguan. Kebijakan yang paling berpengaruh terhadap pengelolaan lingkungan adalah pajak air tanah. Karena kebijakan ini memberikan manfaat langsung terhadap lingkungan berupa pembatasan pemanfaatan dan penggunaan Namun kenyataannya, fungsi tersebut menjadi timpang jika melihat kebijakan lainnya yang masih belum memberikan kontribusi yang cukup terhadap lingkungan. Kebijakan pembiayaan lingkungan hidup dinilai masih belum mengambil peran besar dalam upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Hingga saat ini pemerintah tidak memiliki pos penerimaan khusus yang dapat digunakan untuk upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. 2. Konsep pajak lingkungan yang diterapkan di negara China dan India menunjukkan penerapan konsep yang berbeda. Di China, focus penerapan green tax adalah dalam sektor sumberdaya energi terutama energi terbarukan. Green tax diberikan berupa insentif fiskal dibeberapa elemen pajak seperti PPh dan PPN, dan insentif pajak untuk proyek Energi Performance Contracting (EPC). India juga memfokuskan pada sumber daya energi terbarukan. Instrumen green tax yang diberikan pemerintah India antara lain investasi dan subsidi berupa tax holiday. Pemerintah India juga memberikan pendanaan bagi pengembangan energi terbarukan di India. Penerapan Carbon Credit dan Clean Development Mechanisms Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. (CDMs) di India juga merupakan langkah pemerintah untuk mewujudkan green policy nya. 3. Proses formulasi kebijakan pajak lingkungan dalam RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) No. 28 Tahun 2009 telah melewati proses perumusan kebijakan publik. Tahapan yang dilalui dalam perumusan kebijakan ini antara lain tahap identfikasi permasalahan yang ada, agenda setting, formulasi kebijakan pajak lingkungan dan policy design. Namun dalam tahap policy design, kebijakan pajak lingkungan ini belum menjalankan tahapannya sesuai dengan kriteria yang berlaku. Sehingga kemungkinan besar adanya kekurangan dalam tahap policy design menyebabkan kurang kuatnya argumen pemerintah dalam pembahasan ditingkat DPR sehingga usulan kebijakan pajak lingkungan ditolak untuk dijadikan undang-undang. 5.2 Saran 1. Ada kajian akademis yang lebih mendalam terkait dengan rumusan konsep pajak lingkungan yang akan diterapkan di Indonesia. Disarankan untuk melibatkan pihak dari sisi akademisi yang secara nyata menguasai dengan baik konsep kebijakan pajak lingkungan, green taxes, dan environmental taxation yang sudah diterapkan di beberapa negara lain. Sehingga didapat rumusan kebijakan pajak lingkungan yang mudah dari sisi administratifnya namun sesuai dengan prinsip green taxes/environmental taxation yang memiliki peran dalam upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. 2. Ada kalanya agar Pemerintah dapat mempertimbangkan kembali usulan pajak lingkungan dengan konsep yang lebih matang untuk kemudian diusulkan menjadi Pajak Tidak Langsung atau Pajak Pusat. Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. Daftar Pustaka BRS Provinsi DKI Jakarta. "Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Triwulan IV Tahun 2012." 1 February 2013. 14 March 2013. <http://jakarta.bps.go.id>. Budilaksono, Agung. "Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai." Layakkah Pajak lingkungan diterapkan di Indonesia? (2012): 2. Creswell, John W. Research Design; Qualitative and Quantitative Approaches. California: Sage Publications, 1994. Danida. "ESP-Environtmental Support Programme." Tinjauan Kebijakan Fiskal yang Berlaku di Indonesia untuk Pengelolaan Lingkungan (2011): 2. Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005. Himpunan Kawasan Industri. industrialestate.com>. 2010. 14 Maret 2013. <www.hki- Kemenperin.go.id. Kementerian Perindustrian. February 2013. Maret 2013. <www.kemenperin.go.id>. Mansury. Kebijakan Fiskal. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan Bird, 1999. Mardiasmo. Perpajakan. Yogyakarta: ANDI, 2003. Marsyahrul, Tony. Pengantar Perpajakan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005. McGillivray, Bell S. dan. Environtmental Law, 5th Edition. London: Blackstone Press, 2000. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosadakarya, 2005. National Geographic Indonesia. Potret Lingkungan Indonesia Kian Memprihatinkan. October 2012. 15 March 2013. <http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/10/potret-lingkunganindonesia-kian-memprihatinkan>. Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013. Nugroho, Riant D. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2003. Pigou. The Economic of Welfare. London: Macmillan and Co., 1920. Rock, Michael T. "Paper." Using Green Tax to Increase Revenues and Improve Environtmenral Management in Local Government Following Decentralization (2000): 7. Siahaan, Marihot P. Pajak dan Retribusi Daerah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Widodo, Joko. Analisis Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia, 2007. Winarno, Budi. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo, 2002. Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.