FORMULASI KEBIJAKAN PAJAK LINGKUNGAN

advertisement
FORMULASI KEBIJAKAN PAJAK LINGKUNGAN (ENVIRONMENTAL
TAXATION) SEBAGAI INSTRUMEN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN
HIDUP MENURUT PRINSIP REGULEREND
Aldila Cesaria Rezkita Ayu
Dikdik Suwardi, S.Sos, M.E
This research discusses the tax policy formulation process of Environmental
taxation as one of the Government instrument to managed and protect the
environment according to regulerend principle, which depart from how fiscal
policy give a contributions in DKI Jakarta. This research was conducted by a
qualitative approach and cross-sectional study with literature review and field
research as a data collection techniques. This study used qualitative data analysis
techniques refer to theory of Local Tax, green tax/environmental taxation and
Pigouvian Tax. The result shows that fiscal policy whether in tax or levies, have
not contributed enough so far for the environment protection. Environmental tax
formulation has been through several processes, but has not been fullest in the
formulation concept. Therefore, this study presented the application concept of
green tax in China and India as additional information in this study.
Keywords : Policy Formulation, Green tax/Environmental Taxation, Pigouvian
Tax, Industry sector
1. Pendahuluan
Kondisi lingkungan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin
memprihatinkan. Kasus lingkungan ini terus meningkat seiring kebijakan daerah
dalam mengelola daerahnya masing-masing. Berdasarkan data terakhir dari
Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, pada 2012 sudah ada 300 kasus
lingkungan hidup seperti kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, pelanggaran
hukum, dan pertambangan. Merujuk pada Laporan Badan Dunia Food and
Agriculture Organization (FAO) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), mengenai
State of the World’s Forest tahun 2007, menunjukkan bahwa Indonesia berada
pada urutan ke-8 dari 10 negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia, akan
tetapi, dengan laju kerusakan hutan yang tergolong tinggi di dunia. Kementerian
Kehutanan mencatat hingga tahun 2009 kerusakan hutan yang terjadi telah
mencapai lebih dari 1,08 juta hektar pertahun. Dari 130 juta hektar lahan, tinggal
43 juta saja yang masuk dalam kategori hutan alam(Budilaksono).
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
Data lain yang mendukung tentang potret lingkungan Indonesia adalah
berdasarkan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup yang dibuat oleh Kementerian
Lingkungan Hidup(National Geographic Indonesia). Kementerian Lingkungan
Hidup mencatat ada penurunan kualitas lingkungan, yakni pada tahun 2009
mengalami penurunan sebesar 59,79%, tahun 2010 turun sebesar 61,7% , dan
pada tahun 2011 turun sebesar 60,84%. Hal ini juga diperkuat dengan data
terakhir “Menuju Indonesia Hijau” dimana Indonesia hanya memiliki luas tutupan
hutan sebesar 48,7% di seluruh Indonesia.
Industri adalah salah satu sektor andalan pertumbuhan ekonomi di DKI
Jakarta, disamping sektor keuangan dan sektor konstruksi. Tidak heran jika
pertumbuhan industri terutama industri manufaktur berskala besar dan sedang
pada triwulan IV 2012 mengalami kenaikan sebesar 4,35% dibandingkan dengan
triwulan IV 2011 dengan metode year-on-year. Jenis-jenis industri yang
mengalami kenaikan antara lain adalah industri percetakan dan reproduksi media
rekaman naik sebesar 27,14%, industri pakaian jadi naik 16,1%, bahan kimia dan
barang dari bahan kimia naik 13,62%, kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer
naik 6,98% serta barang dari logam, bukan mesin dan peralatannya naik sebesar
6,92% (BRS Provinsi DKI Jakarta).
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, wilayah Jakarta Utara
merupakan wilayah yang memiliki jumlah unit usaha industri terbesar di DKI
Jakarta untuk tahun 2008 dan 2009. Terdapat kurang lebih 1857 unit usaha
industri di Jakarta Utara dengan peringkat pertama adalah industri pakaian jadi
dari tekstil, disusul dengan industri bordir, percetakan, pengolahan dan
pengawetan ikan & biota perairan lainnya, serta industri kemasan dari plastik
(Kemenperin.go.id). Di wilayah Jakarta Utara ini pula terdapat kawasan industri
Kawasan Berikat Nusantara (Persero) dengan luas wilayah 578 hektar, lebih luas
bila dibandingkan dengan kawasan industri Pulogadung dengan luas 500
hektar(Himpunan Kawasan Industri).
Pertumbuhan sektor industri dan tingkat pencemaran di DKI Jakarta
menunjukkan bahwa ada hubungan antar keduanya. Dapat disimpulkan bahwa
pertumbuhan industri memiliki hubungan korelasi positif dengan tingkat
pencemaran pada suatu daerah. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tinggi tingkat
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
pertumbuhan industri di suatu daerah, maka akan semakin tinggi pula tingkat
pencemaran di daerah tersebut.
Isu lingkungan merupakan salah satu isu penting yang sedang hangat
dibicarakan di berbagai forum baik di tingkat nasional maupun internasional.
Beberapa aktivitas yang terkait dengan pelestarian lingkungan dalam rangka
meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan lingkungan,
juga sedang giat digencarkan oleh pemerintah, seperti salah satunya penanaman
satu juta pohon. Namun, bila tidak diiringi dengan keseimbangan dalam
pertumbuhan industri yang ramah lingkungan, maka hal ini tidak akan
memberikan kontribusi besar dalam pelestarian lingkungan hidup.
Aktivitas-aktivitas yang terkait dengan pelestarian lingkungan belum
sepenuhnya mampu mengatasi dan menekan perusakan dan pencemaran baik yang
dilakukan oleh anggota masyarakat maupun badan usaha. Dalam menanggapi hal
ini, dalam perspektif fiskal ada beberapa skema fiskal yang bisa dilakukan untuk
menerapkan ekonomi hijau (green economy) yang mendukung upaya pelestarian
lingkungan. Dua instrumen yang menonjol adalah subsidi dan pajak. Subsidi
memiliki karakteristik positif eksternalitas yang dapat menjadi acuan yang kuat
untuk transisi menuju ekonomi hijau. Subsidi tersebut bisa dalam hal dukungan
harga, insentif pajak dan hibah langsung untuk kegiatan yang terkait
lingkungan(Danida 1).
Dari beberapa kebijakan fiskal terkait pengelolaan dan pelestarian
lingkungan yang ada, pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah apakah
kebijakan tersebut sudah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya
pelestarian lingkungan hidup? Hal ini pula yang menimbulkan asumsi yang
mendorong Pemerintah Indonesia untuk mulai memikirkan suatu terobosan yang
dapat menekan laju perusakan dan pencemaran lingkungan, yaitu dengan adanya
rencana penerapan pajak lingkungan. Seperti yang telah diketahui belakangan ini,
bahwa pemerintah berencana memberlakukan pajak lingkungan dalam Rancangan
Undang-Undang (RUU) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Pemerintah
melalui Departemen Keuangan akan menerapkan pajak senilai 0,5% terhadap
perusahaan manufaktur beromzet minimal Rp 300 juta (Harian Kontan, 2006).
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
Sudah tentu ide ini mengundang pro dan kontra. Penambahan komponen
pajak ini bisa dianggap akan mengurangi minat investor menanamkan modalnya
di Indonesia. Tambahan pajak itu akan membuat profit margin lebih kecil, atau
jika harus dipertahankan akan membawa konsekuensi pada kenaikan harga
produk yang dapat mengurangi kemampuan bersaing di pasaran. Asumsi lain
tentang penolakan pajak lingkungan adalah akan terjadi salah persepsi mengenai
penerapannya. Sehingga timbul pemahaman bahwa memperbolehkan pengusaha
merusak lingkungan dengan cukup melakukan pembayaran pajak kepada negara.
Pro dan kontra akibat dari rencana penerapan pajak lingkungan ini mengakibatkan
usulan ini hanya dimunculkan sampai menjadi RUU Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Rancangan Undang-Undang ini batal dijadikan UU karena banyaknya
penolakan yang timbul dari kalangan pengusaha.
Dengan melihat kondisi-kondisi di atas maka diperlukan studi lebih lanjut
yang berangkat dari kontribusi kebijakan fiskal terkait dengan pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup di DKI Jakarta selama ini ada. Kemudian dari titik
dan sudut pandang inilah dapat diperoleh latarbelakang munculnya usulan
kebijakan pajak lingkungan untuk dilihat secara mendalam fenomena proses
formulasi kebijakan pajak lingkungan tersebut.
2. Kerangka Teori
2.1 Kebijakan Publik
Kebijakan publik merupakan hasil dari suatu proses yang mempunyai
implikasi terhadap kehidupan masyarakat dalam suatu negara. Ada banyak
pengertian dari kebijakan publik itu sendiri yang sudah dirumuskan oleh para
ahli.Karakter dari pengertian kebijakan publik itu sendiri bermacam-macam,
tergantung dari mana pengkaji teori melihatnya. Berikut merupakan beberapa
definisi dari Kebijakan Publik dari beberapa ahli. Dye dalam Winarno(Winarno
15) mengatakan kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah
untuk dilakukan atau tidak dilakukan sedangkan menurut Anderson(Winarno 16),
kebijakan publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang
ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah
atau suatu persoalan.Kebijakan publik pada garis besarnya mencakup tahap-tahap
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.
Tahap-tahap ini disebut dengan proses kebijakan publik.
2.2 Formulasi Kebijakan
Menurut William N. Dunn dalam bukunya Pengantar Anlisis Kebijakan
Publik (2000), peramalan atau forecasting dapat menyediakan pengetahuan yang
relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang
sebagai akibat dari diambilnya alternative, termasuk tidak melakukan sesuatu.
Dalam formulasi kebijakan, peramalan dapat menguji masa depan yang plausible,
potensial, dan secara normative bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang
ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi
dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan
oposisi) dari berbagai pilihan.
Proses perumusan ini merupakan bagian penting dalam agenda kebijakan
karena dengan perumusan kebijakan yang terpadu, akan menghasilkan sebuah
kebijakan tepat untuk ditetapkan. Formulasi kebijakan public memiliki tahapantahapan yang bersifat kontinuitas dan metologis agar pada akhirnya output yang
keluar telah sesuai dan melewati tahapan-tahapan yang ada.
Tahapan formulasi kebijakan public terdiri dari :
1. Pemahaman masalah
Pemahaman masalah yang terkait dengan tahapan formulasi
kebijakan publik yaitu berangkat dari maslaah publik yang terjadi dalam
masyarakat. Masalah publik yang telag terjadi alam masyarakat dirasa
perlu untuk diambil tindakan dalam bentuk kebijakan publik.
2. Agenda Setting
Agenda pemerintah adalah suatu kesepakatan umum, belum tentu
tertulis, tentang adanya masalah publik yang perlu menjadi perhatian
bersama dan menuntut campur tangan pemerintah untuk memecahkannya.
Suatu masalah publik bisa diangkat ke agenda pemerintah pada saat: Isu
itu dinilai penting dan membawa dampak yang besar kepada banyak
orang, isu itu mendapa perhatian dari policy maker, isu tersebut sesuai
dengan platform politik, isu tersebut kemungkinan dapat terpecahkan.
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
3. Policy Problem Formulation
Langkah-langkah kegiatan perumusan masalah menurut Willian
Dunn tahun 1999 hal 45, yaitu :
-
Aktivitas
pengenalan
masalah
menghasilkan
pemahaman
mendalam mengenai situasi masalah tersebut.
-
Aktivitas pencarian masalah menghasilkan pemetaan masalah.
Maksudnya adalah pengkategorisasian masalah-masalah yang ingind
ipecahkan melalui berbagai alternatif-alternatif yang ada berdasarkan
pemahaman mendalam tentang masalah tersebut.
-
Aktivitas
pendefinisian
masalah
menghasilkan
masalah
substantive.
-
Aktivitas spesifikasi masalah menghasilkan spesifikasi masalah
formal.
4. Policy Design
Langkah-langkah yang menjadi inti dalam proses policy design
yaitu (Islamy, 1997. p.52):
a.
Pengkajian persoalan. Menemukan dan memahami hakekat dari
permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab
akibat.
b.
Penetapan tujuan dan sasaran adalah akibat yang secara sadar ingin
dicapai atau dihindari.
c.
Perumusan alternative, sejumlah cara atau alat-alat yang digunakan
untuk mencapai langsung atau tidak sejumlah tujuan yang telah
ditentukan.
d.
Penyusunan model, penyederhanaan dari kenyataan persoalan yang
dihadapi diwujudkan dalam huungan kausal atau fungsional.
e.
Penentuan kriteria diperlukan untuk menilai alternative. Penilaia
tersebut terdiri dari technical feasibility, economic dan financial
feasibility, political viability, dan administrative operability.
f.
Penialian alternative untuk mendapatkan gambaranlebih jauh
mengenai tingkat efektivitas dan feasibilitas.
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
g.
Perumusan
rekomendasi,
saran-saran
alternatif
yang
diperhitungkan dapat mencapai tujuan.
2.3 Fungsi Pajak
Fungsi pajak secara umum dibagi menjadi fungsi budgetair dan
regulerend. Hampir semua ahli memiliki pendapat yang sama. Fungsi budgetair
berkaitan dengan bagaimana pajak dapat memberikan pemasukan yang sebanyakbanyaknya bagi penerimaan negara. Pemasukan yang diterima ditujukan untuk
membiayai kegiatan pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun pembiayaan
pembangunan. Pengalaman Indonesia dan negara-negara berkembang selama ini
menunjukkan bahwa penggunaan penerimaan uang dari pajak tidak hanya
diperuntukkan bagi penyelenggaraan pemerintah, tetapi juga untuk membiayai
pembangunan nasional(Mansury 2).
2.4 Pajak Lingkungan (Green Taxes)
Green tax merupakan sebuah ragam luas dari alat-alat atau kelengkapan
dasar pasar yang didesain untuk mengubah tingkah laku masyarakat dalam
peranannya di dalam perekonomian. Hal ini bekaitan dengan eksternalitas, yaitu
suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain.
Mengatasi eksternalias tersebut dapat digunakan instrumen pajak, pajak terhadap
kegiatan-kegiatan yang menimbulkan eksternalitas negatif ini lazim disebut
pigovian tax, yang diambil dari nama pencetusnya, yakni Arthur Pigou,
sebagaimana merupakan terjemahan dari teori yang diungkapkan Rock :
Green taxes refer to a wide variety of market-based instrumens
designed to change environmental behaviors of economic actors.
The obvious point of departure for consideration of green taxes is
their economic rationale and Pigou (1952) was the fisrt to develop
such a rationale (Rock 7).
Teori ini menegaskan bahwa pajak lingkungan menjalankan fungsinya
sebagai fungsi regulerend, dimana pajak dipergunakan oleh pemerintah untuk
mencapai tujuan tertentu yaitu mengubah tingkah laku masyarakat. Menurut
Pigouvian(Pigou), pajak lingkungan seharusnya sebanding dengan kerugian
marjinal, dan dikenakan langsung pada sumber emisi. Perolehan pendapatan pajak
yang diperoleh dari suatu sumber penyebab terjadnya distorsi ekonomi, yang
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
kemudian digunakan secara tepat untuk merespon terjadinya kehilangan sumber
distorsi yang lain dalam ekonomi, tidak akan menyebabkan adanya peningkatan
pendpaatan akibat daur ulang yang efisien atas proses pertukaran tersebut.
Pajak lingkungan merupakan pungutan yang bersifat insentif permanen
yang bertujuan mengurangi pencemaran dan menekan biaya penanggulangannya
(Hardjasoemantri). Bell dan McGillivray (McGillivray) mengatakan terdapat
beberapa pajak lingkungan yang lazim dikenal, yaitu:
1.
Pajak bagi biaya-biaya administrasi untuk melaksanakan system
peraturam. Contohnya adalah biaya untuk pengeluaran izin, serta
membiayai inspeksi, pengawasan, dan monitoring pelaksanaan dari izin
tersebut;
2.
Pajak untuk pelaksanaan pengawasan lingkungan dan penanggulangan
pencemaran. Contohnya adalah biaya pembersihan setelah terjadinya
pencemaran;
3.
Pajak yang mencerminkan biaya lingkungan total dari kegiatan yang
tertentu. Pajak ini seringkali dikaitkan dengan tingkat emisi yang
dihasilkan, sehingga sering disebut biaya emisi. Contoh dari pajak ini
adalah pajak karbon yang diterapkan pada setiap pemakaian bahan bakat
yang mengandng karbon;
4.
Pajak yang dikenakan bagi setiap penggunaan bahan atau proses yang
dapat
menimbulkan
pencemaran.
Contohnya
adalah
pajak
yang
dibebankan pada pengelola limbah, yang akan mendorong naiknya
pengelolaan limbah yang akan mendorong orang untuk menggunakan
barang yang menghasilkan limbah sedikit.
3. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian “Formulasi Kebijakan Pajak
Lingkungan
(Environmental
Taxation)
sebagai
Instrumen
Perlindungan
Lingkungan Hidup Menurut Fungsi Regulerend” ini adalah pendekatan kualitatif.
Penelitian
mengenai
analisis
rencana
kebijakan
pajak
lingkungan
ini
menggunakan pendekatan. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian termasuk ke
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
dalam kategori penggambaran fenomena sosial. Tujuan penelitian ini disebut
penelitian deskriptif. Penelitian ini, berdasarkan manfaatnya termasuk dalam
kategori penelitian murni. Dari segi dimensi waktu, penelitian ini merupakan
penelitian cross-sectional. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional
karena hanya dilakukan pada satu periode waktu tertentu, yakni pada bulan
Januari-Juni 2013 di DKI Jakarta tanpa bertujuan untuk melakukan penelitian
ulang dengan topik yang sama dan membandingkannya dengan penelitian
sebelumnya. Teknik pengumpulan data melalui studi literatur dan studi lapangan.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data kualitatif. Data yang diperoleh bersumber dari hasil studi literatur, dan
wawancara yang mendalam. Kemudian memilih hasil wawancara yang paling
relevan dengan topik penelitian untuk kemudian dipahami lebih lanjut. Kemudian
membuat daftar untuk mengategorisasikan topik dan memberikan kode pada
topik-topik tersebut. Selanjutnya mereduksi daftar tersebut, hanya yang terkait
dengan permasalahan penelitian. proses terakhir adalah melakukan analisis dari
proses pengumpulan dan pengategorisasian hasil wawancara dengan cara
mengaitkannya dengan masalah penelitian. Data yang terkumpul disajikan dalam
bentuk kutipan-kutipan langsung atau penjelasan dari hasil wawancara dengan
informan penelitian, serta kajian bahan tulisan yang dimulai dengan menelaah
seluruh data yang pada akhirnya memperoleh informasi yang akurat untuk
dituangkan dalam laporan penelitian ini.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Kebijakan Fiskal atas Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan
Hidup yang Ada Selama ini di DKI Jakarta
Terdapat beberapa jenis kebijakan fiskal berupa pajak dan retribusi terkait
dengan pengelolaan lingkungan yang ada di DKI Jakarta. Dalam penelitian ini,
hanya 3 jenis pajak dan retribusi daerah yang akan dibahas lebih lanjut terkait
kebijakan mengenai pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Diantara 3
jenis pajak tersebut antara lain pajak air permukaan dan air tanah, pajak kendaraan
bermotor (PKB) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB), serta
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
beberapa jenis retribusi seperti retribusi izin gangguan dan retribusi pengolahan
limbah cair.
Pada kenyataannya, kebijakan fiskal baik berupa pajak maupun retribusi
belum sepenuhnya memberikan kontribusi yang besar bagi pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup. Di Provinsi DKI Jakarta sendiri, setidaknya ada
12
jenis pajak daerah yang merupakan jenis pajak provinsi dan jenis pajak
kabupaten/kota, namun hanya beberapa saja yang didalamnya terdapat unsurunsur yang memberikan perhatiannya pada keberlangsungan lingkungan. Seperti
yang dikemukakan berikut oleh Dian Putra, selaku Kepala Seksi Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah IIB, Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan RI:
“Jadi kebijakan fiskal terkait pengelolaan lingkungan itu, selama
ini tidak ada. Tidak ada yang secara langsung mengatur tentang
pengelolaan dan perlindungan lingkungan, khususnya berupa
pajak itu nggak ada. Jadi memang terkait dengan pengelolaan
lingkungan, terkait dengan pajak dan retribusi daerah ini memang
tidak ada instrumennya untuk langsung di earmarking untuk
digunakan langsung…” (Wawancara Mendalam dengan Dian
Putra, Kasie PDRD IIB, Ditjen Perimbangan Keuangan,
Kementerian Keuangan RI, 3 Mei 2013).
Selama ini belum ada kebijakan fiskal, terutama berupa pajak yang secara
langsung mengatur mengenai pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup,
selain yang kita ketahui yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dari berbagai
jenis pajak yang ada di DKI Jakarta, tidak ada yang secara langsung digunakan
untuk membiayai pengelolaan lingkungan hidup di daerahnya. Istilah ini disebut
dengan earmark tax, dimana pemungutan atas suatu earmark tax tersebut hasilnya
akan langsung digunakan untuk membiayai akibat yang timbul dari objek yang
dipajaki tersebut.
Usaha-usaha perbaikan dan pengelolaan lingkungan yang dilakukan
daerah dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Namun seperti yang diketahui bahwa sebagian besar pengeluaran APBD
merupakan belanja pegawai, maka alokasi pembiayaan untuk pengelolaan
lingkungan hidup menjadi sedikit karena terbagi dengan keperluan-keperluan
pembangunan daerah yang lain. Alokasi anggaran tersebut kurang bisa
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
dimanfaatkan dengan baik oleh Pemerintah Daerah. Hal ini diungkapkan juga
oleh Dian Putra sebagai berikut:
“…ya kan kita juga tahu kalau di APBD itu sebagian besar
belanja nya, sekitar 60-70% nya digunakan untuk belanja
pegawai. Sudah tentu pembiayaan untuk lingkungan mesti berbagi
dengan alokasi untuk bidang lain seperti untuk kesehatan,
pendidikan, dan lain-lain.” (Wawancara Mendalam dengan Dian
Putra, Kasie PDRD IIB, Ditjen Perimbangan Keuangan,
Kementerian Keuangan RI, 3 Mei 2013).
Untuk Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), seperti yang sudah disinggung
sebelumnya adalah merupakan salah satu penyumbang terbesar Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Bila di dalam Undang-undang No.28 Tahun 2009 menekankan
bahwa setidaknya sebesar 10% penerimaan daerah yang berasal dari Pajak
Kendaraan Bermotor dialokasikan untuk lingkungan, namun pada kenyataannya
kebijakan tersebut belum dapat mengurangi kerusakan lingkungan akibat
meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), juga serupa dengan
Pajak Kendaraan Bermotor. Begitu juga dengan Pajak Air Tanah dan Air
Permukaan. Ketiganya memiliki fungsi yang bersifat mengatur (regulerend).
Fokus kepada pembatasan dalam menggunakan dan/atau pengambilan dan/atau
pemanfaatan sumber daya alam yang ada di lingkungan demi mendukung
pembangungan yang berkelanjutan. Namun sekali lagi perlu disayangkan bahwa
Pemerintah Daerah dalam menerapkan baik Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Tanah dan Pajak Air Permukaan,
masih jauh menekankan pada fungsi budgeter saja, yaitu untuk mengisis kas
daerah. Seperti yang sebelumnya sudah dikutip oleh salah satu narasumber yaitu
Arief Kepala Bidang bagian Peraturan dan Penyuluhan Pajak Daerah, Dinas
Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta.
4.2 Kebijakan Pajak Lingkungan (Green taxes) yang Diterapkan di China
dan India
Konsep green tax sudah dikenal di negara-negara uni-eropa. Dalam
beberapa negara, penerapan konsep green tax atau pajak lingkungan ini berbedabeda jenisnya. Dalam penelitian ini, akan dibahas mengenai penerapan green tax
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
yang ada di negara China dan India sebagai green policy di negaranya masingmasing. Informasi yang didapatkan dalam pembahasan kali ini bersumber dari
KPMG
Green
tax
Index,
yang
merupakan
sebuah
penelitian
untuk
mengidentifikasi negara yang paling banyak menggunakan instrumen pajak
sebagai salah satu kebijakan hijau (green policy) di negaranya dan untuk
memperbaiki tata kelola lingkungan mereka.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh KPMG tersebut, didapat bahwa 6
negara dengan peringkat tertinggi yang paling banyak atau aktif menggunakan
instrumen pajak sebagai alat green policy. Negara-negara tersebut adalah Amerika
Serikat (US), Jepang, Inggris, Korea Selatan dan China diposisi keenam. Keenam
negara tersebut dinilai sebagai negara yang paling aktif dalam menggunakan
instrumen pajak sebagai alat untuk menuju pembangunan berkelanjutan dan
mencapaitujuan dari kebijakan hijau atau yang dikenal dengana sebutan “green
policy”. Penelitian yang diumumkan pada tahun 2013 ini dinilai dari bagaimana
pemerintah menggunakan system perpajakannya dalam merespon pada isu
tantangan global seperti pengamanan energi, kelangkaan sumberdaya air, polusi
serta isu perubahan iklim.
Penelitian ini menemukan beberapa skema kebijakan diantaranya green
tax incentive dan penalty, yang berfokus pada kebijakan seperti penghematan
energi, efisiensi air, emisi karbon, green
innovation dan green buildings.
Setidaknya ada 30 jenis green tax incentives baru, maupun jenis-jenis regulasi lain
yang ditemukan semenjak KPMG memulai penelitian ini pada 2011 yang lalu.
Hasil penelitian ini menunjukkan sejumlah peringkat dengan negara-negara yang
menggunakan green tax sebagai instrumen/alat green policy. China dalam hal ini
menempati posisi keenam, sedangkan India berada di posisi kesepuluh.
Terdapat perbedaan konsep pajak lingkungan yang diterapkan di negara
China dan India. Pajak lingkungan (Green tax) diimplementasikan kedalam
instrumen fiskal. Di negara China dan India, fokus penerapan green tax adalah
dalam sektor sumberdaya energi terutama energi terbarukan. Green tax diberikan
berupa insentif fiskal pada PPh dan PPN, pemberian subsidi keuangan dan insentif
pajak untuk proyek Energi Performance Contracting (EPC), serta subsidi
keuangan untuk konservasi pengembangan teknologi. India juga memfokuskan
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
padasumberdaya energi terbarukan. Instrumen green tax yang diberikan
pemerintah India antara lain investasi dan subsidi berupa tax holiday. Pemerintah
India juga memberikan pendanaan bagi pengembangan energi terbarukan di India.
Penerapan Carbon Credit dan Clean Development Mechanisms (CDMs) di India
juga merupakan langkah pemerintah untuk mewujudkan green policy nya.
4.3 Proses Formulasi Rencana Kebijakan Pajak Lingkungan Menurut
Prinsip Regulerend
Tahap pertama dalam proses formulasi kebijakan pajak lingkungan dalam
Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) no. 28
Tahun 2009 adalah Identifikasi Masalah. Hal paling mendasari dirumuskannya
pajak lingkungan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) No. 28 Tahun 2009
tentang PDRD ini adalah karena kondisi lingkungan hidup yang makin lama
makin memprihatinkan. Seperti yang sudah dijelaskan dalam latarbelakang
penelitian ini, bahwa masih terdapat wilayah-wilayah di Indonesia, khususnya
wilayah Jawa Barat yang mengalami kerusakan lingkungan. Hal ini tentu tidak
sejalan dengan program pemerintah dalam pembangunan nasional yang
mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan (suistainable development).
Dimana dalam pembangunan berkelanjutan selain faktor ekonomi, faktor
lingkungan hidup selaku tempat kita melakukan segala aktivitas, juga merupakan
faktor penting dalam kelanjutan pembangunan untuk generasi mendatang. Dari
kondisi lingkungan yang memprihatinkan inilah sehingga kemudian menyadarkan
pemerintah bahwa perlu adanya kebijakan yang menangani secara khusus tentang
pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dari sisi ekonomi.
Selain itu ada beberapa hal lain yang menjadi substansi mendasar
dirumuskannya kebijakan pajak lingkungan dalam Rancangan Undang-Undang
No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yaitu : (1)
Perwujudan undang-undang tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dan konsekuensi dari kebijakan otonomi daerah. (2) Kebijakan fiskal terkait
pengelolaan lingkungan hidup yang belum memberikan kontribusi yang besar
dalam upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. (3) Upaya
mencapai
pembangunan
nasional
yang
berkelanjutan
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
(suistainability
development) dalam konteks green economy dimana lingkungan menjadi
perhatian lebih dari pemerintah.
Tahap selanjutnya yang dilakukan dalam proses formulasi kebijakan pajak
lingkungan adalah pembuatan naskah akademik oleh pemerintah, dalam hal ini
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. Masalahmasalah yang ditemukan dalam tahap identifikasi masalah dimasukan kedalam
agenda pemerintah untuk dibahas menjadi masalah publik yang perlu ada
pembahasan lebih lanjut bagaimana solusi yang tepat untuk menyelesaikan
masalah-masalah tersebut. Tahapan ini menurut beberapa ahli yaitu disebut
tahapan Agenda Setting.
Permasalahan utama yang mendasari diusulkan pajak lingungan ini adalah
kondisi lingkungan yang sudah cukup memprihatinkan. Hal ini juga mendapatkan
perhatian dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Kementerian
Lingkungan Hidup. Direkorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK)
mengemukakan bahwa tidak ada cara lain yang bisa digunakan untuk menekan
laju kerusakan lingkungan akibat limbah industri selain dengan pajak. Seperti
yang diungkapkan oleh Dian Putra berikut ini:
“Kita mengusulkan undang-undang baru gitu ya misalnya. Kita
bikin kajian akademis, terkait lingkungan yang sudah sedemikian
rusaknya. Dan tidak ada cara lain yang bisa digunakan untuk
menekan itu kecuali dengan pajak.” (Wawancara Mendalam
dengan Dian Putra, Kasie PDRD IIB, Ditjen Perimbangan
Keuangan, Kementerian Keuangan RI, 3 Mei 2013).
Begitu pula dengan permasalahan lainnya yaitu belum maksimalnya
kontribusi kebijakan fiskal baik pajak dan retribusi yang selama ini di terapkan di
daerah. Sehingga dibutuhkan kebijakan yang mengatur secara langsung tentang
pengelolaan dan perlindungan dari sisi pajak. Isu green economy seperti yang juga
dijelaskan dalam tahapan identifikasi di atas, merupakan isu yang mendapat
perhatian lebih dari pemerintah dan tentunya isu ini memberikan dampak bagi
orang banyak. Apalagi terkait dengan pertumbuhan industri di Indonesia yang
dapat dibilang berkembang pesat, sudah tentu harus diiringi dengan keseimbangan
dalam hal pengelolaan dan perlindungan lingkungan. Dalam tahapan agenda
setting ini, diputuskan bahwa permasalahan-permasalahan tersebut perlu
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
ditemukan formulasi kebijakan yang tepat guna menyelesaikan permasalahan
tersebut.
Setelah permasalahan-permasalahan tersebut masuk kedalam agenda
pemerintah, pembuatan naskah akademik terus berlanjut. Dalam pembuatan
naskah akademik dikaji kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul dalam
upaya penanggulangan kerusakan lingkungan akibat limbah industri. Kajian
akademik ini juga berisi penjelasan lebih rinci dan detail terkait dengan
permasalahan-permasalahan yang sudah ditentukan sebelumnya dalam tahap
identifikasi masalah. Kemudian dijelaskan juga bagaimana peran pajak
lingkungan yang nantinya akan diterapkan untuk menekan pencemaran
lingkungan terutama akibat limbah industri.
Dalam naskah akademik inilah dikaji secara mendalam konsep pajak
lingkungan yang akan diterapkan di Indonesia. Tahapan ini disebut dengan tahap
perumusan kebijakan atau formulasi kebijakan. Seperti mencoba berbagai
alternatif formulasi yang tepat. Seperti yang diungkapkan oleh Dian Putra selaku
Kepala Seksi PDRD IIB, jika dilihat dari sisi jenis pajaknya terdapat 3 hal yang
bisa dipajaki, yaitu konsumsi, pendapatan, atau property. Dan dalam kajian
akademik yang diadakan oleh Direktorat PDRD ini, dalam usulan pajak
lingkungan akhirnya disepakati bahwa pengenaan pajak lingkungan lebih diatur
dari sisi pendapatan.
Tahap selanjutnya setelah formulasi kebijakan adalah tahap policy design.
Pada tahap ini merunut proses yang telah dilalui dalam rangka menghasilkan
rumusan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang
ditemukan pada tahap identifikasi masalah. Terdapat serangkaian proses yang
substansial dalam tahap policy design, yaitu seperti yang dijelaskan berikut ini:
1. Pengkajian persoalan yaitu menemukan dan memahami hakekat dari
permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.
Hal ini telah dilakukan dalam tahap identifikasi masalah dimana ditemukan 4
masalah pokok yang menyebabkan perlu adanya instrumen pajak sebagai
solusi dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
2. Penetapan tujuan dan sasaran adalah akibat yang secara sadar ingin dicapai
atau dihindari. Dalam hal ini pemerintah melalui Direktorat PDRD, DJPK ini
memiliki tujuan dalam pengajuan usulan pajak lingkungan dalam RUU PDRD
No. 28 tahun 2009 ini, yaitu diantaranya ingin memiliki pendanaan yang
mandiri dalam upaya menangani pengelolaan dan perlindungan lingkungan
hidup. Dana mandiri tersebut diperoleh dari pajak lingkungan yang hasilnya
akan langsung digunakan untuk membiayai upaya-upaya Pemerintah Daerah
dalam menaggulangi pengrusakan lingkungan akibat usaha industri. Tujuan
lainnya yaitu double deviden. Dimana disatu sisi Pemerintah Daerah
mendapatkan pembiayaan untuk upaya pengendalian dan pengelolaan
lingkungan hidup, juga pemerintah dapat membatasi kegiatan industri yang
berpotensi merusak lingkungan sehingga kerusakan lingkungan tidak hanya
diminimalisir dalam jangka waktu dekat tapi juga memperhatikan pengelolaan
dan perlindungan lingkungan untuk masa depan.
3. Perumusan alternatif, sejumlah alat atau cara-cara yang digunakan untuk
mencapai secara langsung atau tdak sejumlah tujuan yang telah ditentukan.
Cara yang dilakukan pemerintah yaitu dalam hal usulan kebijakan pajak
lingkungan yang diharapkan dapat mencapai tujuan semula, sehingga
permasalahan-permasalahan yang ada dapat diselesaikan.
Sayangnya tahapan policy design dalam perumusan kebijakan pajak
lingkungan ini tidak mengikuti tahapan-tahapan sebagaimana dikemukakan oleh
DR. Joko Widodo (Widodo), yang dilakukan pemerintah dalam perumusan
kebijakan pajak lingkungan hanya sampai pada penyusunan model kebijakan.
Dengan ditentukannya ketentuan umum tentang pajak lingkungan seperti dasar
pengenaan pajak (DPP) serta tarif dan lain-lainnya, dirasa perumusan tersebut
belum didasari pertimbangan yang cukup serta kajian yang mendalam dalam
menetukan model atau rumusan yang tepat untuk mengaplikasikan pajak
lingkungan yang dimaksud.
Usulan kebijakan pajak lingkungan yang disampaikan oleh DJPK, ternyata
masih belum dapat meyakinkan pihak-pihak yang terkait dalam proses
pembahasan RUU PDRD No. 28 Tahun 2009 ini. Beberapa alasan utamanya
antara lain: (1) konsep pajak lingkungan yang diusulkan kurang matang, (2)
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
Pengenaan dasar pengenaan pajak yang diusulkan dihitung dari perkalian tarif
dengan harga pokok produksi, dinilai berat oleh banyak pengusaha terutama yang
bergerak di bidang industri manufaktur, yang ikut serta dalam proses Fokus
Group Discussion (FGD), (3) Usulan kebijakan pajak lingkungan dinilai masih
cenderung mengutamakan fungsi budgeteir.
5. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
1. Terdapat beberapa kebijakan fiskal, berupa pajak dan retribusi, terkait
pengelolaan lingkungan hidup di DKI Jakarta. Diantaranya adalah Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
(PBBKB) dan Pajak Air Tanah. Sedangkan dari segi retribusi, terdapat
retribusi izin gangguan. Kebijakan yang paling berpengaruh terhadap
pengelolaan lingkungan adalah pajak air tanah. Karena kebijakan ini
memberikan manfaat langsung terhadap lingkungan berupa pembatasan
pemanfaatan dan penggunaan Namun kenyataannya, fungsi tersebut
menjadi timpang jika melihat kebijakan lainnya yang masih belum
memberikan kontribusi yang cukup terhadap lingkungan. Kebijakan
pembiayaan lingkungan hidup dinilai masih belum mengambil peran besar
dalam upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Hingga saat
ini pemerintah tidak memiliki pos penerimaan khusus yang dapat
digunakan untuk upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.
2. Konsep pajak lingkungan yang diterapkan di negara China dan India
menunjukkan penerapan konsep yang berbeda. Di China, focus penerapan
green tax adalah dalam sektor sumberdaya energi terutama energi
terbarukan. Green tax diberikan berupa insentif fiskal dibeberapa elemen
pajak seperti PPh dan PPN, dan insentif pajak untuk proyek Energi
Performance Contracting (EPC). India juga memfokuskan pada sumber
daya energi terbarukan. Instrumen green tax yang diberikan pemerintah
India antara lain investasi dan subsidi berupa tax holiday. Pemerintah
India juga memberikan pendanaan bagi pengembangan energi terbarukan
di India. Penerapan Carbon Credit dan Clean Development Mechanisms
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
(CDMs) di India juga merupakan langkah pemerintah untuk mewujudkan
green policy nya.
3. Proses formulasi kebijakan pajak lingkungan dalam RUU Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (PDRD) No. 28 Tahun 2009 telah melewati proses
perumusan kebijakan publik. Tahapan yang dilalui dalam perumusan
kebijakan ini antara lain tahap identfikasi permasalahan yang ada, agenda
setting, formulasi kebijakan pajak lingkungan dan policy design. Namun
dalam tahap policy design, kebijakan pajak lingkungan ini belum
menjalankan tahapannya sesuai dengan kriteria yang berlaku. Sehingga
kemungkinan besar adanya kekurangan dalam tahap policy design
menyebabkan kurang kuatnya argumen pemerintah dalam pembahasan
ditingkat DPR sehingga usulan kebijakan pajak lingkungan ditolak untuk
dijadikan undang-undang.
5.2 Saran
1. Ada kajian akademis yang lebih mendalam terkait dengan rumusan konsep
pajak lingkungan yang akan diterapkan di Indonesia. Disarankan untuk
melibatkan pihak dari sisi akademisi yang secara nyata menguasai dengan
baik konsep kebijakan pajak lingkungan, green taxes, dan environmental
taxation yang sudah diterapkan di beberapa negara lain. Sehingga didapat
rumusan
kebijakan
pajak
lingkungan
yang
mudah
dari
sisi
administratifnya namun sesuai dengan prinsip green taxes/environmental
taxation yang memiliki peran dalam upaya pengelolaan dan perlindungan
lingkungan hidup.
2. Ada kalanya agar Pemerintah dapat mempertimbangkan kembali usulan
pajak lingkungan dengan konsep yang lebih matang untuk kemudian
diusulkan menjadi Pajak Tidak Langsung atau Pajak Pusat.
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
Daftar Pustaka
BRS Provinsi DKI Jakarta. "Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Triwulan
IV Tahun 2012." 1 February 2013. 14 March 2013.
<http://jakarta.bps.go.id>.
Budilaksono, Agung. "Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai." Layakkah Pajak
lingkungan diterapkan di Indonesia? (2012): 2.
Creswell, John W. Research Design; Qualitative and Quantitative Approaches.
California: Sage Publications, 1994.
Danida. "ESP-Environtmental Support Programme." Tinjauan Kebijakan Fiskal
yang Berlaku di Indonesia untuk Pengelolaan Lingkungan (2011): 2.
Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan . Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005.
Himpunan Kawasan Industri.
industrialestate.com>.
2010.
14
Maret
2013.
<www.hki-
Kemenperin.go.id. Kementerian Perindustrian. February 2013. Maret 2013.
<www.kemenperin.go.id>.
Mansury. Kebijakan Fiskal. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran
Pengetahuan Perpajakan Bird, 1999.
Mardiasmo. Perpajakan. Yogyakarta: ANDI, 2003.
Marsyahrul, Tony. Pengantar Perpajakan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2005.
McGillivray, Bell S. dan. Environtmental Law, 5th Edition. London: Blackstone
Press, 2000.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT.
Remaja Rosadakarya, 2005.
National Geographic Indonesia. Potret Lingkungan Indonesia Kian
Memprihatinkan.
October
2012.
15
March
2013.
<http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/10/potret-lingkunganindonesia-kian-memprihatinkan>.
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
Nugroho, Riant D. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2003.
Pigou. The Economic of Welfare. London: Macmillan and Co., 1920.
Rock, Michael T. "Paper." Using Green Tax to Increase Revenues and Improve
Environtmenral Management in Local Government Following
Decentralization (2000): 7.
Siahaan, Marihot P. Pajak dan Retribusi Daerah. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005.
Widodo, Joko. Analisis Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia, 2007.
Winarno, Budi. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media
Pressindo, 2002.
Formulasi kebijakan..., Aldila Cesaria Rezkita Ayu, FISIP UI, 2013.
Download