1 Fenomena kasus kekerasan pada anak kini dapat dengan mudah dijumpai baik melalui media cetak mau elektronik. Anak-anak rentan menjadi korban kekerasan yang dapat terjadi di mana saja, baik kekerasan dalam rumah tangga, di jalanan, di sekolah dengan antar teman sepermainan atau sebayanya. Anak-anak menerima berbagai bentuk kekerasan meliputi kekerasan fisik, seksual, emosi dan penolakan terhadap anak-anak (Paramastri, Prawitasari, Prabandani, & Ekowarni, 2011). Salah satu bentuk kekerasan pada anak yang saat ini sedang banyak terjadi dan memberikan efek berkepanjangan baik fisik mau psikologis ialah bentuk kekerasan seksual (McHugh, Adams, Wortley, & Tilley, 2015). Kekerasan seksual anak ialah aktivitas seksual yang dikenakan pada anak dengan paksaan atau ancaman yang dilakukan oleh orang dewasa atau teman sebayanya (Finkerlhor, 2009; Richter, Makusha, Komarek, Daniels, & Coates, 2015; Belur & Singh, 2015). Kekerasan seksual memiliki arti sebagai segala bentuk aktivitas seksual, baik kontak mau non kontak (Vivolo, Holland, Teten, & Holt, 2010). Kekerasan seksual anak terdiri dari dua bentuk yakni kontak dan non-kontak (Kinnear, 2007; Olafson, 2011; Vivolo dkk, 2010). Kekerasan seksual anak kontak dapat diartikan dengan mencium anak dengan intim, membelai anak untuk meraih kepuasan seksual, memasukkan jari ke dalam vagina atau anus anak, sedangkan non kontak misal dengan melakukan masturbasi di hadapan anak, mengintip anak ketika berpakaian atau mandi, berbicara mengenai topik-topik seksual pada anak dengan tujuan menimbulkan gairah atau rangsangan. Kekerasan seksual yang dikenakan pada anak diantaranya berupa hubungan seksual, incest, perkosaan, sodomi, eksploitasi seksual, prostitusi, pornografi, stimulasi seksual, meraba, memperlihatkan kemaluan di depan anak dengan tujuan kepuasan seksual, memaksa anak menyentuh kemaluan orang lain dan memaksa anak untuk melihat aktivitas seksual (Erlinda, 2014; Indriati, 2001; Verona, Murphy, & Javdani, 2015; Belur & Singh, 2015). Berdasarkan laporan UNICEF, 1 dari 10 anak di dunia mengalami pelecehan seksual dan kekerasan seksual yang diterima oleh anak-anak meningkat tajam selama satu dekade terakhir (Liputan6.com, 2014). UNICEF merilis beberapa negara dengan angka kekerasan seksual anak tertinggi di antaranya Inggris dengan 2 4.171 kasus pelecehan dan pemerkosaan terhadap anak di bawah usia 13 tahun. Negara lain seperti Afrika Selatan terdapat 1 dari 4 laki-laki mengaku pernah melakukan tindak kekerasan seksual dengan sepertiga korban adalah anak-anak. Selanjutnya adalah India dengan lebih 48.000 kasus pemerkosaan anak selama 10 tahun terakhir sejak tahun 2001 dengan pelaku pemerkosaan mencakup ayah, saudara, tetangga dan guru sekolah. Zimbabwe menangani lebih dari 30.000 kasus pemerkosaan dalam periode empat tahun, dan Amerika Serikat data berdasarkan Departemen Kesehatan setempat menunjukkan 16% remaja antara 14 hingga 17 tahun pernah menjadi korban kekerasan seksual baik berupa sodomi, pelecehan mau perkosaan (UNICEF, 2012). Indonesia memiliki angka kekerasan seksual yang menimpa anak-anak mengalami peningkatan setiap tahun. Berikut adalah data yang dihimpun oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) : Tabel 1 Data KPAI Kasus Kekerasan Seksual Anak Tahun 2011-2014 Tahun 2011 2012 2013 2014 (Januari – April) Kasus Kekerasan Seksual Anak Total Kasus 1.481 1.635 2.070 2.509 2.637 3.339 324 (belum tercatat) (Sumber: BKKBN, 2014) Data Polri tercatat 697 kasus kekerasan seksual anak yang terjadi di separuh tahun 2014, pelaku yang tertangkap 726 orang dengan 859 korban (KPAI, 2014). Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sejak Januari hingga Juni 2015, mencatat 37 kasus kekerasan anak dengan 24 di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual anak yang terdiri atas 11 kasus persetubuhan, 9 kasus pencabulan, 2 kasus pemerkosaan dan 2 kasus pelecehan seksual (Kompas, 2015). Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta telah mencanangkan darurat kekerasan seksual anak, berdasarkan data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tertera pada tabel 2 dan 3. Berdasarkan kedua tabel, tampak kenaikan angka korban kekerasan seksual anak sejak tahun 2012 hingg 2013. Pada tabel 2 Kabupaten Kulonprogo menempati urutan pertama dengan korban baru kekerasan seksual anak sejumlah 3 17, ada penurunan pada tahun 2013 menjadi 14, hal tersebut nampak pada tabel 2. Tidak diketahui faktor penyebab turunnya angka kekerasan seksual anak di Kabupaten Kulonprogo. Berbeda halnya dengan wilayah Kota Yogyakarta yang pada tahun 2012 nihil kasus baru kekerasan seksual anak, namun pada tahun 2013 terdapat lonjakan drastis hingga mencapai angka 61 untuk jumlah korban baru. Yogyakarta meski tidak termasuk dalam daftar kota dengan tingkat kekerasan seksual anak tertinggi di Indonesia, namun kewaspadaan tetap diperlukan untuk melakukan pencegahan tetap diperlukan. Tabel 2 Data korban kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani tahun 2012 Wilayah Kab. Kulonprogo Kab. Bantul Kab. Gunung Kidul Kab. Sleman Kota Yogyakarta Jumlah Baru Berulang 17 14 3 11 0 45 Rujukan 0 0 0 0 0 2 10 12 0 0 3 22 (Sumber: BPPM, 2014) Tabel 3 Data korban kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani tahun 2013 Wilayah Kab. Kulonprogo Kab. Bantul Kab. Gunung Kidul Kab. Sleman Kota Yogyakarta Jumlah Baru Berulang 14 56 22 29 61 182 Rujukan 0 8 0 0 3 11 0 18 3 0 13 34 (Sumber: BPPM, 2014) Kekerasan seksual pada anak-anak berbeda halnya dengan yang menimpa orang dewasa. Pelaku kekerasan seksual yang diterima oleh orang dewasa sebagian besar pelakunya adalah orang asing atau orang yang tidak dikenal sebelumnya. Berbeda halnya pada kasus kekerasan seksual anak-anak seperti perkosaan, sodomi, hingga pelecehan seksual lainnya sebagian besar kasus kekerasan seksual terhadap anak, pelaku adalah orang-orang terdekat dengan anak, misalnya keluarga seperti paman, bibi atau sepupu, tetangga, teman bahkan guru dan seringkali hal tersebut terjadi di rumah (McKillop, Brown, Wortley, & Smallbone, 2015). KPAI mencatat 40% pelaku kekerasan seksual anak berasal dari lingkungan keluarga dan 30% pelaku kekerasan seksual berasal dari 4 lingkungan sekolah, sehingga dapat dikatakan bahwa 70% ancaman terhadap anak justru datang dari sekolah dan rumah yang seharusnya merupakan lingkungan aman bagi anak (BKKBN, 2014). Penelitian Fu’ady (2011) dan McKillop, dkk (2015) menunjukkan bahwa pelaku kekerasan seksual anak tidak mengenal usia tertentu. Selain itu korban tidak terbatas usia, ras, etnis, budaya dan latar belakang ekonomi, baik anak-anak dari perkotaan, pedesaan, pinggiran kota dan dapat terjadi pada anak laki-laki juga perempuan (APA, 2011). Media masa seringkali menayangkan banyak berita yang menunjukkan bahwa pelaku kekerasan seksual datang dari lingkungan terdekat anak (Laclerc, Feakes, & Cale, 2015). Kasus pertama adalah pada siswa TK yang mengalami kekerasan seksual berupa sodomi di Jakarta International School (JIS) yang pelakunya ialah petugas kebersihan sekolah dan guru pada Maret 2014. Kasus lain terjadi pada Desember 2014 mengungkap seorang guru musik melakukan pelecehan seksual terhadap 4 siswinya yang masih duduk di kelas 1 SD. Selain itu pada Juni 2015 seorang ayah mencabuli putri kandungnya selama 3 tahun, awalnya sang ayah hanya meraba-raba dada putrinya, meremas organ vital hingga memperkosa. Termutakhir pada Oktober 2015 bocah berusia 3 tahun dicabuli oleh tetangganya yang tinggal di satu lantai rusun yang sama (Kompas, 2015). Kasus kekerasan seksual anak termasuk dalam masalah besar dalam masyarakat namun seringkali merasa enggan dan tabu untuk membicarakan atau melaporkan kepada pihak yang berwajib (Plummer, 2004). Johnson (2004) menyatakan bahwa kekerasan seksual anak masih banyak tidak diketahui karena adanya rasa malu dan takut untuk melaporkan kepada pihak berwajib, serta adanya kemungkinan anak belum terampil dalam berkomunikasi dengan baik dalam menceritakan kejadian dengan cermat. Pemahaman anak juga dinilai kurang dapat mengenali tindakan yang merupakan kekerasan seksual, terutama jika pelaku kekerasan seksual tersebut ialah orang terdekat atau pengasuh, sehingga banyak kasus yang tidak muncul ke permukaan dan tidak mendapat penanganan optimal. Oleh karena itu, cukup sulit untuk mendapatkan angka pasti kasus kekerasan seksual anak yang terjadi pada setiap tahunnya. Berdasarkan proses Praktik Kerja Profesi Psikolog (PKPP) peneliti pada bulan April 2015, ditemukan kasus sodomi yang dilakukan oleh anak laki-laki 5 berusia 11 tahun (SD kelas VI) terhadap saudara sepupu yang berusia tiga tahun (TK). Pelaku diketahui pernah mengalami sodomi pada usia tiga tahun yang dilakukan oleh anak-anak yang berusia lebih tua darinya. Hal ini menunjukkan bahwa ketika seorang anak menjadi korban kekerasan seksual, maka akan ada kemungkinan untuk menjadi pelaku di kemudian hari (Kusumaningrum, 2015). Hal ini didukung oleh pernyataan Whitaker (Cahsmore & Shackel, 2013) yang menyatakan bahwa sebagian besar pelaku kekerasan seksual anak adalah orangorang yang menjadi korban kekerasan seksual pada masa lalunya. Anak yang mengalami kekerasan seksual dapat mengalami trauma baik fisik, psikologis mau sosial (Hall & Hall, 2011; Smith, 2012). Hasil wawancara peneliti pada Kepala Seksi PAUD dan TK Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (DISDIKPORA) menunjukkan bahwa pentingnya dilakukan prevensi terhadap kekerasan seksual anak penting dilakukan, hal tersebut tertuang dalam hasil wawancara berikut: “Saat ini kasus anak-anak di bawah usia 10 tahun menjadi korban kekerasan seksual sangat marak di media, kasus seperti itu sangat mengkhawatirkan namun sejauh ini dinas belum memiliki program prevensi khusus dan masih fokus pada kurikulum-kurikulum baru” (Kepala Seksi PAUD dan TK, 2015) Perlindungan dan pendidikan merupakan hal pokok bagi kehidupan anak, hal tersebut telah diatur dengan regulasi yang jelas terutama di Indonesia. Prinsipprinsip perlindungan anak berupa non-diskriminasi, kepentingan anak, pendidikan, kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan penghargaan terhadap partisipasi anak diatur dalam Keputusan Presiden no.36 tahun 1990. UndangUndang no.4 tahun 1979 pun mengatur mengenai kesejahteraan anak. Dituangkan pula dalam Undang-Undang no.23 tahun 2002 mengenai perlindungan anak, namun pada setiap tahun di Indonesia angka kekerasan yang diterima anak semakin meningkat, terutama angka kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual anak perlu mendapat penanganan seperti pencegahan atau prevensi. Prevensi dapat diartikan sebagai perubahan yang positif, seperti memberikan perlindungan terhadap anak karena anak merupakan orang yang paling mudah dibujuk dan selain itu anak belum dapat memberontak 6 seperti yang dilakukan orang dewasa (Paramastri, dkk). Salah satu usaha untuk mencegah semakin bertambahnya angka korban kekerasan seksual anak adalah dengan melakukan prevensi primer. Penelitian oleh Finkelhor, Hammer dan Sedlak (2008) menemukan bahwa banyak anak-anak korban kekerasan seksual tidak menceritakan pada siapa hingga waktu yang cukup lama mengenai apa yang terjadi pada mereka. Hal tersebut dikarenakan adanya ancaman atau rayuan yang datang dari pelaku, mengakibatkan banyak kasus yang tidak terlaporkan dan tidak tertangani. Upaya prevensi dilakukan agar kejadian serupa tidak lagi terulang. Orangtua cukup dibuat khawatir mengenai fenomena kekerasan seksual pada anak yang seringkali menjadi pemberitaan di media masa, namun sayangnya belum banyak pelatihan atau seminar yang ditujukan pada orangtua mengenai pencegahan kekerasan seksual pada anak. Beberapa orangtua seringkali mengandalkan informasi dari media elektronik dan media cetak untuk mendapatkan informasi dalam usaha pencegahan kekerasan seksual pada anak. Tidak sedikit pula orangtua yang lebih senang melarang juga tidak memberi penjelasan pada anak karena khawatir anak akan bertanya lebih lanjut. Peneliti melakukan wawancara pada Ani (nama samaran) ibu dari 1 orang anak berusia 5 tahun mengungkapkan bahwa “Saya ajarin ya ini buat pipis disebutnya manuk, tapi gak boleh dipegang-pegang kalo gak pas pipis atau mandi. Alasan saya ya kan itu kotor, joroklah gitu maksudnya. Anak saya tuh bersihan, jadi kalo saya bilang kotor gitu nurut” (Ani, 2016) Selain itu ada pula Ujang (nama samaran) ayah dari 3 orang anak salah satu anaknya berusia 6 tahun menyatakan bahwa “Kalo masalah pendidikan seksual trus pengenalan organ reproduksi ya saya kasih tau, ini namanya apa trus fungsinya buat pipis ya gitu aja. Kalo fungsi reproduksinya kan nanti paling juga diajarin di sekolah tho. Saya juga bingung jelasin ke anak saya masih kecil-kecil gitu gimana, nanti biar belajar di sekolah aja” (Ujang, 2016) Anak seringkali tidak mendapat pendidikan seksual dari orangtua karena sebagian besar orangtua lebih suka menyerahkan tanggung jawab ini pada sekolah (Candra, 2006). Serupa dengan Allen (dalam Perkins dkk,1999) yang menyebutkan 94% orangtua lebih suka membebankan tanggung jawab pendidikan 7 seksual pada sekolah. Hal tersebut dikarenakan adanya kesulitan atau kendala yang dihadapi orangtua dalam proses penyampaian materi pendidikan seksual terlebih bila dilakukan pada anak usia TK. Kesulitan yang dihadapi orangtua diantaranya adalah karena adanya anggapan yang keliru mengenai pendidikan seksual di masyarakat. Pendidikan seksual dipersepsi sebagai kegiatan penyampaian informasi mengenai hal-hal yang mengarah pada aktivitas seksual, akibatnya timbul anggapan bahwa pendidikan seksual dapat menstimulasi anak untuk melakukan hubungan seksual (Agung, 2002). Hambatan lain yang dihadapi orangtua ialah banyak orangtua yang tidak cukup memiliki pengetahuan mengenai cara menyampaikan informasi atau pemahaman terkait masalah seksual dan kesehatan reproduksi pada anak (Masters, Johnsons, & Kolodny, 1992). Candra (2006) menyatakan sebagian besar orangtua merasa canggung dan tidak menyanggupi untuk melakukan komunikasi pada anak mengenai pendidikan seksual dikarenakan beberapa hal, diantaranya (a) anggapan bahwa membicarakan masalah seksual adalah tabu dan membahayakan dan (b) orangtua merasa belum memiliki bekal informasi dan keterampilan yang cukup mengenai pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi sebagai bahan berkomunikasi dengan anak. Memberikan pendidikan seksual merupakan sebuah usaha melindungan anak, dari tindak kekerasan seksual dengan anak mendapat pemahaman mengenai seksualitas yang cukup dari orangtua sesuai tahap perkembangannya, anak tidak mencari pemahaman dari luar atau memberi celah oranglain yang dapat mengancam keselamatan anak dalam hal seksual. Sesuai dengan yang diutarakan oleh Goldenberg dan Goldenberg (1985) salah satu tugas orangtua adalah memberikan perlindungan, sejalan dengan hal tersebut Schroeder dan Mowen (2014) pun mengutarakan agen sosialiasi terpenting untuk anak adalah orangtua. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, orangtua seringkali menyerahkan tanggung jawab pendidikan pada sekolah dikarenakan orangtua merasa belum memiliki pengetahuan juga keterampilan yang memadai dalam menyampaikan pendidikan seksual pada anak juga adanya anggapan bahwa membicarakan masalah seksual pada anak adalah tabu karena dikhawatirkan akan menstimulasi anak untuk mencoba melakukan aktivitas seksual. 8 Pada penelitian yang dilakukan oleh Fitzgerald, Jordan, dan Price (2002) mengungkap bahwa 80% partisipan percaya bahwa pendidikan seksual terbaik dilakukan oleh ayah dan ataupun ibu. Oleh sebab itu salah satu pertimbangan peneliti memilih orangtua sebagai agen prevensi kekerasan seksual pada anak ialah karena orangtua dianggap sebagai pihak memiliki andil besar dalam perlindungan dan panutan bagi anak dalam nilai-nilai moral kehidupan. Oleh karena itu, orangtua, dalam hal ini adalah orangtua dengan anak yang berusia sekolah TK, dinilai tepat untuk menerima prevensi primer mengenai kekerasan seksual anak (Barron & Topping, 2003). Berdasarkan studi literatur dan hasil wawancara dalam preliminary study, dapat disimpulkan bahwa orangtua belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai pendidikan seksual khususnya kekerasan seksual pada anak baik pemahaman, dampak maupun penanganannya dan adanya kebingungan pada orangtua mengenai prevensi kekerasan seksual anak. Oleh karena itu, peneliti menyusun modul “Orangtua Beraksi” yang mengacu pada modul “Jari Peri” (Guru Ajari Perlindungan Diri) yang telah disusun oleh beberapa peneliti sebelumnya yang memberikan prevensi melalui guru pada siswa SLB, SD Negeri, SD Swasta dan Sekolah Minggu (Wahida, Kusuma, Islawati, & Supardi, 2014) dan pada siswa TK (Pramitya, 2015). Program-program tersebut meningkatkan keterampilan juga efikasi guru dalam menyampaikan prevensi kekerasan seksual anak pada siswa, baik dalam keterampilan mengajar mau komunikasi. Penelitian yang melakukan intervensi menggunakan metode pelatihan kepada orangtua telah banyak dikembangkan dan secara konsisten dapat meningkatkan keterampilan (Heinrich, Bertram, Kuschel, & K.Hahlweg, 2005; Sanders, 1999). Program-program tersebut menyediakan pelatihan pada orangtua dengan tujuan meningkatkan hubungan dan interaksi positif dengan anak. Modul yang disusun oleh peneliti sendiri bertujuan untuk memberikan pendidikan seksual pada orangtua siswa TK dalam usaha pencegahan terjadinya kekerasan seksual pada anak. Dasar dari intervensi ini ialah (1) meningkatkan kekuatan individu dan mengurangi kelemahan (2) meningkatkan dukungan sosial dan mengurangi tekanan sosial (Bloom, 1996). Prevensi primer dalam penelitian ini adalah 9 dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan individu melalui pendidikan atau pelatihan dengan memodifikasi agen pengubah atau lingkungan terdekat (Gullota & Bloom, 2014; Laclerc, Feakes, & Cale, 2015). Supratiknya (2011) mendefinisikan psikoedukasi sebagai pemberian informasi juga pengembangan dalam bentuk pendidikan masyarakat terkait dengan prinsip psikologi sederhana atau popular atau informasi lain yang mempengaruhi kesejahteraan psikososial masyarakat, pemberian psikoedukasi dapat didukung dengan menggunakan berbagai media atau pendekatan. Supratiknya (2011) mendefiniskan pelatihan bermakna sebagai kegiatan yang bermaksud untuk memperbaiki juga mengembangkan sikap, perilaku, keterampilan, dan pengetahuan seseorang sesuai dengan tujuan tertentu. Penelitian ini dirancang untuk memberikan intervensi pada suatu kelompok orangtua siswa TK. Intervensi tidak bersifat individual melainkan kelompok. Berbagi pengalaman dan pemberian umpan balik antar peserta merupakan unsur penting dalam intervensi ini, sehingga teori yang digunakan sebagai acuan yang digunakan dalam proses penyusunan kerangka pelatihan adalah teori belajar sosial. Program “Orangtua Beraksi” ini disusun dengan mengacu pada teori belajar sosial Bandura yang memandang bahwa manusia dapat belajar dari pengalaman langsung, tetapi lebih banyak yang mereka pelajari dari aktivitas mengamati perilaku orang lain secara langsung. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki manusia diperoleh dari aktivitas mengamati lebih banyak tertahan dalam proses kognitif dan perkembangan sosial (Bandura, 1986). Intervensi yang disusun berdasarkan teori belajar sosial dapat dijelaskan sebagai berikut, (a) Proses atensi mengeksplorasi dan membangun persepsi terhadap perilaku yang dimodelkan, diawali dengan dimodelkan oleh trainer pada peserta yakni orangtua kemudian orangtua memberikan model pada anak melalui lembar peraga. Agar dapat mempelajari model dengan baik, model harus relevan dan memiliki karakteristik yang sesuai dengan target (b) Proses retensi yakni proses mengingat materi-materi yang diberikan, di dalamnya pun termuat proses koreksi pada model. Materi yang diterima peserta tersimpan pada memori dalam bentuk kode, baik berupa audio maupun visual (c) Proses produksi, peserta 10 menerapkan materi-materi yang didapat selama proses pelatihan dengan caranya sendiri (d) Proses motivasi, pada proses yang terakhir ini ialah pemberian motivasi pada peserta dalam rangka memberikan penguatan pada perilaku yang dipelajari sebelumnya. Penguatan ini sebagai bentuk pemahaman peserta atas konsekuensi perilaku dan kemudian menentukan perilaku tersebut apakah telah dipelajari dengan baik juga akan digunakan dengan baik. Pemberian motivasi dapat dilakukan dari trainer pada peserta, peserta pada peserta juga peserta sebagai orangtua pada anak. Penelitian dengan metode pelatihan yang dikenakan pada orangtua untuk mencegah kekerasan seksual pada anak sangat jarang ditemukan sehingga modul yang digunakan dalam penelitian disusun oleh peneliti mengacu pada modul “Jari Peri”: Guru Ajari Perlindungan Diri. Pada modul “Orangtua Beraksi” yang disusun oleh peneliti selain mengacu pada modul “Jari Peri”: Guru Ajari Perlindungan Diri, peneliti pun memperhatikan faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam pengetahuan kekerasan seksual pada anak dan keterampilan penyampaian informasi mengenai kekerasan seksual pada anak. Program “Orangtua Beraksi” pada praktiknya dilengkapi dengan penggunaan video yang dapat menjadi model bagi orangtua, diskusi kelompok, poster sebagai model prevensi dan tugas praktik untuk mempraktikkan hal-hal yang telah dipelajari (Gross, Garvey, Julion, & Fogg, 2007). Menyampaikan informasi pada orangtua terkait tahap perkembangan anak dan problem yang dihadapai pada setiap tahap perkembangan tertentu merupakan hal penting yang perlu dijadikan bagian dalam pemberian intervensi pada orangtua (Cresswell & Hatton, 2007). Oleh sebab itu sesi pelatihan dalam penelitian ini diawali dengan menyampaikan informasi mengenai tahap perkembangan dengan fokus tahap perkembangan anak usia dini. Pada sesi selanjutnya disampaikan informasi pada orangtua mengenai pengertian, karakteristik, faktor penyebab dan akibat dari kekerasan seksual pada anak. Pada sesi pertama dan kedua ini, edukasi diberikan dengan tujuan untuk memberikan wawasan para orangtua mengenai kekerasan seksual pada anak. Orangtua dan anak memiliki perbedaan persepsi dalam memandang situasi yang menegangkan dan memiliki cara yang berbeda pula dalam menghadapinya 11 (Bagdi & Fister, 2006). Bagdi dan Fister (2006) menyatakan mengubah cara berpikir orangtua dalam memandang sebuah situasi dapat pula mempengaruhi cara anak dalam memandang situasi-situasi tertentu. Tidak semata-mata mengubah cara berpikir orangtua kemudian anak dapat terpengaruh, namun diperlukan peningkatan internsitas dan kualitas komunikasi dalam keluarga, dalam hal ini orangtua dan anak yang merupakan unsur berikutnya yang perlu ada dalam proses intervensi pelatihan pada orangtua (Cresswell & Hatton, 2007). Dasar komunikasi yang baik antara orangtua dan anak adalah empati untuk memahami apa yang dialami anak dengan menempatkan diri dan memandang dengan sudut pandang anak kemudian memberikan respon yang sesuai dengan usia anak (Gottman & DeClaire, 1997). Maka pada sesi ketiga, orangtua tidak hanya diberikan materi mengenai komunikasi verbal dan non verbal pada anak mengenai pencegahan kekerasan seksual pada anak. Komunikasi verbal dan non verbal menjadi dasar dalam proses komunikasi tidak hanya diberikan dengan metode ceramah, tetapi juga praktik dengan metode role play. Pada sesi keempat dan kelima pelatihan dirancang untuk orangtua praktik keterampilan dalam menyampaikan informasi terkait pencegahan kekerasan seksual pada anak. Sesi keempat dan kelima sama halnya dengan sesi ketiga yakni sesi praktik dengan metode roleplay, namun ditambakan sesi feedback antar peserta pelatihan dan trainer pun memberikan motivasi untuk memperkuat perilaku yang telah dipelajari sebelumnya. Terdapat 5 sesi dengan masing-masing sesi berdurasi 120 menit, sehingga total keseluruhan adalah 600 menit atau 10 jam. Sebuah pelatihan terbukti efektif memberikan manfaat bila diselenggarakan minimal 10 jam yang mencakup tataran kognitif, pembelajaran sosial dan penguatan terhadap perilaku (Kazdin, 1997). Metode yang digunakan dalam program ini antara lain adalah ceramah pada peserta mengenai pendidikan seksual, tahap perkembangan dan kekerasan seksual anak yang dalam proses penyampaiannya menggunakan poster, presentasi, dan video, selain itu juga menggunakan metode diskusi, sharing, roleplay, dan demontrasi. Pelatihan ini ditujukan pada orangtua dengan anak usia dini yang sedang menempuh pendidikan TK atau berada dalam rentang usia 5 hingga 6 tahun. 12 Supardi (2014) dan Djalal (2015) menyatakan bahwa pelatihan dalam meningkatkan keterampilan dalam prevensi kekerasan seksual dilakukan dalam 3 pertemuan dengan berbagai variasi metode di dalamnya sehingga peserta tidak merasa jenuh dan materi dapat diterima dengan baik. Terdapat dua hipotesis yang diuji dalam penelitian ini. Hipotesis pertama ialah Modul “Orangtua Beraksi” memiliki validitas isi yang baik. Hipotesis kedua yakni terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan eksperimen setelah diberi perlakuan, yakni setelah diselenggarakannya Program “Orangtua Beraksi”. Kelompok eksperimen mendapat skor yang lebih tinggi setelah diberi perlakuan dalam pengetahuan dan keterampilan komunikasi prevensi kekerasan seksual pada anak dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak mendapat perlakuan. Penelitian ini terdiri tas dua bagian, bagian yang pertama ialah proses validasi isi dan bagian yang kedua ialah proses validasi empirik. Hal pertama yang dilakukan ialah menganalisa latar belakang masalah, kemudian dilakukan proses validasi konten. Proses validasi konten, diawali dengan penyusunan modul selanjutnya dilakukan penilaian kesesuaian isi modul oleh para ahli. Para ahli memberikan penilaian pada masing-masing sesi dalam modul juga memberikan masukan, kemudian dilakukan revisi sesuai dengan masukan yang diberikan oleh para ahli dan dilakukan proses ujicoba modul. Proses validasi empirik berupa intervensi eksperimen berdasarkan modul yang telah divalidasi sebelumnya. Tujuan dari intervensi ini ialah meningkatkan pemahaman dan keterampilan orangtua dalam penyampaian prevensi kekerasan seksual anak. Pada akhir proses, diharapkan orangtua mampu menyampaikan informasi prevensi kekerasan seksual pada anak. 13 Pada gambar berikut dijelaskan proses kerangka kerja penelitian: Paradigma masyarakat dalam mengenalkan pendidikan seksual pada anak usia dini Kurangnya pemahaman orangtua mengenai prevensi kekerasan seksual pada anak Penyusunan blueprint Modul “Orangtua Beraksi” Validasi isi Modul “Orangtua Beraksi” oleh para ahli Revisi Modul “Orangtua Beraksi” Kekhawatiran orangtua mengenai kekerasan seksual anak akan menimpa anak mereka masalah Uji coba Modul “Orangtua Beraksi” Validasi Konten Orangtua mampu menyampaikan informasi prevensi kekerasan seksual pada anak Prevensi primer kekerasan seksual anak tercapai Intervensi Program “Orangtua Beraksi” Pemahaman dan keterampilan orangtua dalam penyampaian prevensi kekerasan seksual anak meningkat Validasi Empirik Hasil Akhir Keterangan : : kerangka kerja : proses di dalamnya : alur kerja Gambar 1. Kerangka Kerja Penelitian “Orangtua Beraksi”