6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nitrifikasi Definisi nitrifikasi di dalam tanah secara umum adalah pengubahan nitrogen secara biologis di dalam tanah dari bentuk tereduksi menjadi bentuk yang lebih teroksidasi atau dengan kata lain oksidasi biologis garam amonium dalam tanah menjadi nitrit dan selanjutnya oksidasi nitrit menjadi nitrat (Rao, 1994). Oksidasi amonia ke nitrat dapat diselesaikan dengan 3 bentuk proses, yaitu proses kimiawi (chemical), proses physicochemical, dan proses biologis (biological chemical) yang merupakan proses yang amat penting. Mengenai proses biologis dari amonia menjadi nitrat sesungguhnya berlangsung melalui 2 tingkatan, yang selanjutnya dikenal sebagai proses nitritasi dan nitratasi (Sutedjo et al., 1991). Menurut Spotte (1979), nitrifikasi adalah proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan kemudian menjadi nitrat secara biologis oleh bakteri autotrof, umumnya berasal dari genus Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp. yang merupakan genus yang terpenting dari bakteri autotrof. Bakteri autotrof yang melakukan proses nitrifikasi membutuhkan senyawa anorganik sebagai sumber energi dan karbondioksida sebagai sumber karbon. Nitrifikasi melalui dua tahapan reaksi, yaitu tahap pertama oksidasi amonium menjadi nitrit yang dilakukan oleh mikroba pengoksidasi amonium (Nitrosomonas sp.), pada tahap kedua oksidasi nitrit menjadi nitrat oleh mikroba pengoksidasi nitrit (Nitrobacter sp.). Tahapan reaksi yang dilakukan oleh bakteri adalah sebagai berikut (Spotte, 1979): NH3 + H2O NH4+ + OH- Faktor-faktor yang mempengaruhi proses nitrifikasi adalah jumlah NH4+ Nitrosomonas sp. + NO2- kelembaban + 2H+ + H2Otanah, dan dalam tanah, populasi mikrob, reaksi tanah, aerasi tanah, NH4 + 3/2 O2 Energi = -66 Kkal mol N-1 + monooksigenase Enzim amonia temperatur. Amonium (NH4 ) dapat berasal dari proses dekomposisi bahan organik. Apabila perbandingan C/N dari satu bahan organik tinggi, maka NH4+ Nitrobacter sp. akan sebanding yang dihasilkan dari proses dekomposisi NO3- dengan pertambahan NO2 + 1/2 O2 Energi = Universitas -18 Kkal mol Iowa N-1 populasi mikroba Penelitian-penelitian yang dilakukan Enzim nitrit oksidase 7 membuktikan bahwa apabila faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses nitrifikasi pada dua tempat yang sama, proses tersebut tetap terhambat jalannya. Ternyata hambatan ini disebabkan oleh populasi mikroba yang berbeda di kedua tempat. Proses nitrifikasi biasanya berlangsung antara pH 5.5 sampai pH 10 dengan pH optimum sekitar 8.5, tetapi juga diketahui bahwa nitrat dapat dihasilkan pada tanah dengan pH 4.5 dan terdapat laporan bahwa proses nitrifikasi terjadi pada padang rumput dengan pH 3.8. Nitrifikasi berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan pupuk amonium sebab ada pengaruh NH3 bebas terhadap kegiatan mikroorganisme (Leiwakabessy et al., 2003). Sedangkan menurut Paul dan Clark (1996); Jenie dan Rahayu (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi nitrifikasi antara lain (1) kemasaman, nilai pH maksimum berkisar dari 6.6 sampai 8.0. Tingkat nitrifikasi dalam tanah pertanian di bawah pH 6.0 dan menjadi lebih rendah di bawah 4.5. Nilai pH yang tinggi menghambat transformasi NO2- ke NO3-; (2) aerasi, karena O2 merupakan kebutuhan obligat bagi semua spesies, maka aerasi penting bagi nitrifikasi. Difusi O2 ke dalam tanah dan untuk aerasi dikendalikan oleh faktor-faktor seperti struktur dan kelembaban tanah; (3) Kelembaban dan temperatur, kelembaban mempengaruhi regim aerasi dalam tanah. Kadar air tanah berpengaruh dalam produksi NO3-. Kelembaban optimum bervariasi untuk tanah-tanah berbeda, tapi kebanyakan nitrifikasi berlangsung pada kelembaban -0.1 sampai -1 MPa. Reaksi mineralisasi secara umum menghasilkan NH4+ lebih rendah jika dibandingkan saat kekurangan air atau temperatur rendah; NH4+ terakumulasi dalam kadar air rendah atau tanah yang beku. Meskipun nitrifikasi berjalan lambat di bawah 5oC, namun dapat berlangsung pada tanah-tanah yang tertutup salju. Nitrifikasi juga berjalan lambat pada suhu di bawah 40oC. Suhu optimumnya antara 30 dan 35oC. Hubungan antara temperatur, kelembaban, aerasi, dan faktor lainnya membuat efek musim. Di daerah beriklim sedang, nitrifikasi terjadi sangat cepat saat musim semi dan gugur, dan paling lambat terjadi saat musim panas dan dingin. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses nitrifikasi adalah waktu tinggal sel rata-rata (mean cell residence time/MCRT), laju hidraulik, tingkat kompetisi dengan bakteri (nitrifikasi) heterotrof, Rasio AOB/NOB, dan konsentrasi senyawa toksik/penghambat proses nitrifikasi seperti aseton, fenol, 8 etilendiamin, kloroform, heksametilendiamin, etanol, seng, tembaga, air raksa, krom, nikel, perak, kobalt, kadmium, dan logam berat lainnya (Magdalena, 2009) Nitrifikasi tidak hanya berperan dalam ketersediaan N, akan tetapi juga berpotensi mencemari air tanah lewat pelindian NO3- (nitrat) karena kemampuan tanah menjerap anion pada umumnya kecil dan mencemari tanah oleh NO2- yang beracun bagi tumbuhan. Untunglah konversi nitrit ke nitrat berlangsung lebih cepat daripada konversi amonia ke nitrit (Notohadiprawiro, 1999). Nitrifikasi dapat pula menyebabkan kerugian. Amonium merupakan kation, diadsorbsi oleh tanah, dan relatif stasioner. Di sisi lain, nitrat adalah anion yang mobil di dalam larutan tanah. Di bawah kondisi tertentu, khususnya pada tanah berpasir dengan curah hujan tinggi atau irigasi berlebihan dilakukan, NO3akan tercuci dari daerah perakaran. Hal tersebut juga dapat terjadi akibat kehilangan dalam denitrifikasi. Hal ini dapat mengkontaminasi atmosfer. Pencucian kelebihan NO3- dari tanah seringkali berakhir dalam air bawah tanah, danau, dan sungai. Hal ini dapat berimplikasi pada: (1) kelebihan pertumbuhan tanaman dan alga (eutrofikasi), (2) masalah kesehatan seperti methemoglobin hewan, (3) terbentuknya nitrosamin yang bersifat karsinogen akibat adanya reaksi dengan senyawa nitrogen lainnya. Gas intermediet hasil nitrifikasi merupakan polutan atmosfer (Paul dan Clark, 1996). Produk samping atau gas intermediet dari reaksi oksidasi amonium dapat berupa gas N2O atau dapat juga digunakan sebagai senyawa nitrogen yang terlibat dalam metabolisme bakteri pengoksidasi amonium setelah diasimilasi oleh sel (Tresnawati, 2006). King dan Nedwell (1985) menjelaskan bahwa produksi N2O meningkat secara proporsional dengan menurunnya konsentrasi amonium karena proses oksidasi. 2.2. Bakteri Penitrifikasi Bakteri penitrifikasi termasuk ke dalam dua kelompok fisiologi yang berbeda, yang terpenting dari masing-masing kelompok adalah Nitrosomonas yang mengoksidasi amonium menjadi nitrit dan Nitrobacter yang mengoksidasi nitrit menjadi nitrat. Kedua macam bakteri itu berbentuk batang kecil, Gram negatif, tidak membentuk endospora, berflagella polar, dan bersifat aerob obligat 9 (Imas et al., 1989). Nitrosomonas dan Nitrobacter lebih menjadi perhatian karena adanya pendapat yang menginginkan agar proses nitrifikasi ini perlu dikendalikan sehubungan dengan efisiensi pemupukan N dan pengendalian pencemaran lingkungan (Iswandi, 1989). Bakteri pengoksidasi amonia tergolong Gram negatif yang memiliki bentuk sel batang (panjang 0.6-4 µm), ellipsoid, sferikal, dan spiral. Sel tidak motil dan motil dengan flagella polar sampai subpolar atau peritrik. Semua spesies aktivitasnya berjalan pada kondisi aerobik, temperatur pertumbuhan optimum 2530oC, tidak aktif pada suhu 4oC dan pH optimum berkisar 7.5-8.0. berkoloni pada media seperti kerikil, pasir, atau media sintetik lain, memerlukan oksigen untuk mengkonversi senyawa anorganik sebagai sumber energinya, dan memerlukan CO2 sebagai sumber karbon. Rasio reproduksi sangat lambat (waktu generasi 2040 jam) (Holt et al., 1994; Magdalena, 2009). Bakteri nitrifikasi tumbuh sangat lambat meskipun pada kondisi optimum. Waktu generasinya bergantung pada pH dan bervariasi dari 100 jam pada pH 6.2 sampai 38 jam pada pH 7.6 bagi Nitrosomonas dan dari 58 jam pada pH 6.2 sampai 21 jam pada pH 6.6 atau lebih bagi Nitrobacter. Waktu generasi ini dihitung dari laju pengubahan nitrogen amonium dan nitrogen nitrit dan dengan anggapan bahwa hubungan antara waktu generasi dan hilangnya substrat di dalam tanah itu seperti yang terjadi pada biakan (Imas et al., 1989). Menurut Alexander (1999), Nitrosomonas dan Nitrobacter tergolong ke dalam bakteri kemoautotrof obligat. Kemoautotrof obligat memerlukan sumber energi yang spesifik, misalnya saja Nitrosomonas membutuhkan amonium sebagai sumber energi dan Nitrobacter memerlukan nitrit. Akan tetapi, menurut laporan, Nitrobacter dapat menggunakan asetat sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi, sehingga sebenarnya istilah ‘autotrof fakultatif’ mungkin lebih sesuai (Imas et al., 1989). 2.2.1. Bakteri Pengoksidasi Amonium Bakteri-bakteri yang tergolong ke dalam bakteri pengoksidasi amonium antara lain bakteri yang berasal dari Genus Nitrosomonas. Bakteri yang tergolong ke dalam Genus Nitrosomonas adalah Nitrosomonas aestuarii, Nitrosomonas 10 communis, Nitrosomonas europaea, Nitrosomonas eutropha, Nitrosomonas halophila, Nitrosomonas marina, Nitrosomonas nitrosa, Nitrosomonas oligotropha, dan Nitrosomonas ureae. Selain dari Genus Nitrosomonas, bakteri pengoksidasi amonium yang lain berasal dari Genus Nitrosococcus (Nitrosococcus briensis, Nitrosococcus oceani), Genus Nitrosospira (Nitrosospira briensis, Nitrosospira multiformis, Nitrosospira tenuis), Genus Nitrosolobus (Nitrosolobus multiformis), dan Genus Nitrosovibrio (Nitrosovibrio tenius) (Magdalena, 2009). Bakteri-bakteri tersebut menurut Holt et al. (1994) termasuk ke dalam genus bakteri pengoksidasi amonium dan bersifat obligat kemoliautotrof yang membutuhkan energi untuk mengoksidasi amonium atau nitrit menjadi nitrat. Kebutuhan sumber karbon diambil melalui proses fiksasi CO2. Spesies bakteri pengoksidasi amonium ini terdistribusi mulai dari tanah, laut, danau, sungai, dan sistem pembuangan limbah. Nitrosomonas sp. adalah bakteri aerob khemolitotrof obligat yang memperoleh energi dari oksidasi senyawa amonium dan menggunakan CO2 sebagai sumber utama karbon di dalam sintesa biomassanya. Secara morfologis, bakteri ini berbentuk batang pendek, kadang-kadang bentuk sel elips, motil dan non motil, terdapat dalam bentuk konsorsium, berpasangan sebagai rantai pendek maupun sendiri. Bakteri ini adalah bakteri Gram negatif dan memiliki sitomembran. Sel tumbuh bebas pada medium dan membentuk matriks tipis. Bakteri ini dapat tumbuh optimum pada temperatur 5-30oC dan pH optimum 5.88.5, serta hidup pada habitat air laut, air tawar, dan tanah (Holt et al., 1994; Hairiyah dan Handayanto, 2007). Jenis Nitrosococcus sp. bentuk selnya sferik sampai ellipsoidal, Gram negatif, bersifat motil dengan satu atau dua flagella, mampu tumbuh pada suhu sekitar 15-30oC dengan pH 6.5-8.0, dan habitatnya di air tawar atau air laut. Bakteri yang berasal dari Genus Nitrospira sp. bentuk selnya spiral, Gram negatif, mempunyai sitomembran yang tidak merata, kadang-kadang membentuk seperti membran plasma, non motil dan motil dengan menggunakan flagella peritrikus, dan memiliki habitat di air tawar (Holt et al., 1994). 11 2.2.2. Bakteri Pengoksidasi Nitrit Salah satu bakteri yang berperan dalam mengoksidasi nitrit menjadi nitrat berasal dari genus Nitrobacter. Genus Nitrobacter ini terdiri atas Nitrobacter alakticus, Nitrobacter hamburgensis, Nitrobacter vulgaris, dan Nitrobacter winogradsky. Nitrobacter sp. diketahui dapat mengoksidasi nitrit oksida (NO) menjadi nitrat (NO3-), kebutuhan sumber karbon diambil melalui proses fiksasi CO2. Habitat kelompok bakteri ini tersebar pada air tawar, air laut, serta tanah. Jenis Nitrobacter sp. selnya berbentuk batang pendek, pleomorfik, seringkali berbentuk pears, Gram negatif, dan biasanya non motil (Holt et al., 1994). Selain genus Nitrobacter, genus lain yang mampu mengoksidasi nitrit adalah genus Nitrococcus (Nitrococcus mobilis merupakan satu-satunya spesies yang termasuk Nitrococcus yang dijumpai hanya di perairan laut), genus Nitrospina (Nitrospina gracilis), dan Nitrospira (Magdalena, 2009). Oleh karena Nitrobacter adalah bakteri autotrof maka proses nitrifikasi hanya berlangsung bila ada oksigen. Makin tinggi kadar oksigen makin tinggi pula laju proses nitrifikasi. Pada suasana anaerob proses ini akan terhambat. Pada pH yang terlalu tinggi (pH 7.5-8.0) aktivitas bakteri Nitrobacter berkurang sehingga terjadi penumpukan NO2- karena konversi ke NO3- tertekan. Tetapi sebaliknya pada pH 7.0 kecepatan konversi NO2- ke NO3- melebihi kecepatan konversi NH4+ ke NO3- (Leiwakabessy et al., 2003). Jenis Nitrospina sp. bentuk selnya batang panjang, Gram negatif, bersifat non motil, memiliki habitat di air laut, dan tumbuh baik pada kondisi lingkungan yang mengandung senyawa organik. Suhu optimum untuk pertumbuhannya berkisar 25-30 oC dan pH 7.5-8.0 (Holt et al., 1994). 2.3. Peranan Bakteri Penitrifikasi dalam Proses Pengolahan Limbah Limbah ialah kumpulan air bekas yang telah dipakai oleh suatu masyarakat, yang terdiri dari: (1) limbah domestik (rumah tangga), termasuk kotoran manusia dan air cucian, semua air yang mengalir dari saluran pembuangan perumahan dan kota ke dalam sistem pembuangannya, (2) limbah industri, seperti senyawa yang bersifat asam, minyak, minyak pelumas, sisa-sisa hewan, dan sayur-sayuran yang 12 dibuang oleh pabrik, (3) air tanah, air permukaan, yang masuk ke dalam sistem pembuangan (Pelczar and Chan, 2008). Menurut Warlina (2004), dampak yang ditimbulkan oleh limbah yang mencemari kawasan perairan antara lain dampak terhadap kehidupan biota air (terganggunya perkembangan biota laut dan kematian biota laut), dampak terhadap kualitas air tanah, dampak terhadap kesehatan (seperti: Diare, Disentri, Hepatitis A), dan dampak terhadap estetika lingkungan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi pencemaran akibat limbah yaitu melalui bioremediasi. Bioremediasi merupakan salah satu cara untuk membersihkan senyawa polutan baik kimia maupun organik yang bersifat toksik menjadi bentuk lain yang tidak berbahaya. Prosesnya melibatkan aktivitas mikroba dan sasaran yang akan dicapai dalam proses tersebut adalah menurunkan polutan sampai tingkat konsentrasi yang aman (Alexander, 1999). Dalam hal ini, dilakukan dengan proses nitrifikasi oleh bakteri-bakteri penitrifikasi, khususnya Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp. Bakteri-bakteri penitrifikasi mulai banyak digunakan untuk mengatasi pencemaran yang disebabkan oleh limbah hasil kegiatan industri, khususnya untuk penanggulangan pencemaran pada kawasan perairan maupun sistem akuakultur. Di Indonesia sendiri, penanggulangan pencemaran oleh limbah cair secara biologis melalui proses nitrifikasi ini semakin berkembang. Salah satu contoh penggunaan bakteri penitrifikasi (nitrifying bacteria) dalam mengatasi pencemaran oleh limbah di Indonesia yaitu pada industri minyak kelapa sawit. Industri minyak kelapa sawit adalah industri hasil pertanian yang selama proses produksinya banyak menghasilkan air buangan yang memiliki kandungan TSS (Total Suspended Solid), COD, BOD, dan amonia cukup tinggi. Pengolahan limbah cair industri minyak kelapa sawit ini dirancang dengan menggunakan bioreaktor pertumbuhan lekat terfluidasi dengan media poliuretan untuk proses degradasi senyawa organik dan amonium yang terkandung dalam limbah cair industri minyak kelapa sawit. Hasil yang diperoleh dari aplikasi bioreaktor ini yaitu efisiensi penurunan konsentrasi COD berkisar antara 72.8583.07% dan efisiensi penurunan amonium berkisar antara 59.64-76.72% (Agustiyani dan Imamuddin, 2000). 13 Hasil pengujian lain menunjukkan bahwa aplikasi kultur mikroba N-Sw (kultur mikroba campuran hasil kultivasi dari sludge pengolahan limbah industri minyak kelapa sawit) selama 12 jam reaksi, konsentrasi N-NH4 mengalami penurunan dari 178.99 mg/l menjadi 91.60 mg/l, efisiensi penurunan mencapai 48.82%. Efisiensi penurunan N-NH4 meningkat menjadi 100% setelah 24 jam reaksi. Laju penurunan amonium mencapai 7.46 N-NH4/l/jam/g biomassa. Efisiensi pembentukan nitrit dan nitrat (nitrifikasi) mencapai 89.59% (Agustiyani et al., 2007). Selain dalam pengolahan limbah industri, bakteri penitrifikasi ini juga berperan dalam budidaya perairan, misalnya saja pada budidaya tambak udang di Thailand. Sejak dulu, budidaya perairan, khususnya tambak udang di Thailand memegang peranan utama dalam pertumbuhan ekonomi, seperti juga halnya pada negara-negara di kawasan Aisa Tenggara lainnya. Penelitian mengenai peran bakteri penitrifikasi yang diinokulasikan pada tambak udang ini dilakukan dengan metode molekuler. Metode ini dilakukan dengan identifikasi dan kuantifikasi bakteri penitrifikasi melalui Fluorescence In Situ Hybridization (FISH) menggunakan gen 16S rRNA. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui bakteri penitrifikasi mana yang memegang peranan penting dalam budidaya perairan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana cara untuk memanipulasi sistem budidaya tersebut (Paungfoo et al., 2006). Upaya serupa juga dilakukan pada tambak udang Litopenaeus vannamei di Indonesia. Akumulasi amonia dan nitrit pada sistem yang dihasilkan oleh udang dalam sistem statis (batch) dapat menyebabkan kematian pada udang. Penggunaan bakteri nitrifikasi yang terdiri dari AOB (Ammonium Oxidizing Bacteria) dan NOB (Nitrite Oxidizing Bacteria) dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas air dengan mereduksi jumlah amonia dan nitrit. Berdasarkan hasil penelitian Nestiti (2008) ini, diperoleh bahwa inokulasi bakteri nitrifikasi 24 jam sebelum udang dimasukan ke dalam tambak dengan sistem statis dapat mempertahankan kesintasan udang tertinggi hingga 80.67% dengan penurunan konsentrasi amonia dari 0.103 menjadi 0.01 mg/L. Selain itu, tidak hanya pada sistem statis, baik strain bakteri pengoksidasi amonia maupun bakteri pengoksidasi nitrit ini juga 14 dapat diinokulasikan pada biofilter dalam tambak udang Litopenaeus vannamei dengan sistem resirkulasi (Kuhn et al., 2010). Menurut Davis dan Cornwell (1991), nitrifikasi merupakan metode yang terbaik karena alasan-alasan sebagai berikut: (1) efisiensi penyisihannya yang tinggi, (2) reabilitas dan stabilitas prosesnya tinggi, (3) pengontrolan proses yang mudah, (4) kebutuhan lahan yang minim, dan (5) biaya relatif murah.