BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Masalah penanggulangan kejahatan di masyarakat, tentunya tidak dapat dipisahkan
dari konteks pembicaraan mengenai politik kriminal. Arti atau definisi dari politik
kriminal itu sendiri menurut Sudarto, adalah usaha rasional dari masyarakat dalam
menanggulangi kejahatan. Usaha penanggulangan kejahatan ini, dapat bersifat penal
dan nonpenal. Usaha penanggulangan kejahatan secara penal, yang dilakukan melalui
langkah-langkah perumusan norma-norma hukum pidana, yang didalamnya terkandung
unsur-unsur substantif, struktural dan kultural masyarakat tempat sistem hukum pidana
itu diberlakukan. Usaha penanggulangan kejahatan melalui sarana penal tersebut dalam
operasionalisasinya dijalankan melalui suatu sistem yakni sistem peradilan pidana yang
di dalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya yaitu
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Koreksi (Lembaga Pemasyarakatan)
yang
secara
keseluruhan
merupakan
satu
kesatuan
(totalitas)
berusaha
mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan
sistem peradilan pidana yaitu berupa resosialisasi pelaku tindak pidana (jangka
pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah) dan kesejahteraan sosial (jangka
panjang).
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu
perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak
pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi
merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan
34
sarana hukum pidana (penal) sehingga termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana
(penal policy).50
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya
mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di
samping itu, karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada
umumnya, maka kebijakan penegakan hukum inipun termasuk dalam bidang kebijakan
sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum
pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam
bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan
pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif.51
Hal ini berarti bahwa dalam menanggulangi suatu kejahatan tidak ada suatu
keharusan yang mewajibkan untuk menanggulangi kejahatan tersebut dengan sarana
hukum pidana (penal), mengingat penanggulangan kejahatan dengan menggunakan
kebijakan hukum pidana berupa pemberian pidana memberikan dampak buruk seperti
yang dikemukakan oleh Herman Bianchi bahwa lembaga penjara dan pidana penjara
harus dihapuskan untuk selama-lamanya dan secara menyeluruh. Tidak sedikitpun
(bekas) yang patut diambil dari sisi yang gelap di dalam sejarah kemanusiaan ini.52
Kebijakan penal yang bersifat represif, namun sebenarnya juga mengandung unsur
prefentif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik
diharapkan ada efek pencegahan/penangkal (“deterrent effect”) nya. Di samping itu,
kebijakan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan, karena hukum
50
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di Indonesia, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006), Halaman 20.
51
Op. Cit. Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana
Penjara, Halaman 17-18
52
Herman Bianchi dalam Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2010 Cetakan II), Halaman 37.
35
pidana
merupakan
salah
satu
sarana
kebijakan
sosial
untuk
menyalurkan
“ketidaksukaan masyarakat (“social dislike”) atau penceaan/kebencian sosial (“social
disapproval social abhorrence”) yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana
“perlindungan sosial” (“social defence”. Oleh karena itulah sering dikatakan, bahwa
“penal policy” merupakan bagian integral dari “social defence policy”.53
Hal senada juga dikemukakan oleh Roeslan Saleh, beliau mengemukakan tiga
alasan yang cukup panjang mengenai masih diperlukannya pidana dan hukum pidana,
adapun intinya sebagai berikut:54
a.
b.
c.
Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang
hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan
itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan
dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batasbatas kebebasan pribadi masing-masing.
Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali
bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaranpelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu
saja.
Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si
penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga
masyarakat yang menaati norma-norma masyarakat.
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief dan Roeslan Saleh,
dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi
kejahatan masih sangat diperlukan pada saat ini, mengingat bahwa hukum pidana selain
memiliki sisi represif juga memiliki sisi preventif untuk mencegah agar masyarakat
yang taat pada hukum tidak ikut melakukan atau akan berfikir dua kali jika ingin
melakukan kejahatan.
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan
“penal
policy”
atau
“penal
law
enforcement
policy”
yang
fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap:55
53
Op. Cit. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, Halaman 182.
54
Op. Cit. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Halaman 153.
36
1.
Tahap formulasi (kebijakan legislatif);
2.
Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif);
3.
Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif).
Dengan adanya tahap formulasi maka upaya pencegahan dan penanggulangan
kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga aparat
pembuat hukum; bahkan kebijakan legislative merupakan tahap paling strategis dari
penal policy. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislative merupakan
kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.
Kebijakan hukum pidana (penal policy) pada hakikatnya juga merupakan kebijakan
penegakan hukum pidana. Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian
proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan. Pertama, tahap kebijakan formulatif atau
tahap kebijakan legislatif, yaitu tahap penyusunan/perumusan hukum pidana. Tahap
kedua, tahap kebijakan yudikatif/aplikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana. Tahap
ketiga, tahap kebijakan administrasi/eksekutif yaitu tahap pelaksanaan/eksekusi hukum
pidana.
M. Cherif Bassiouni menyebut ketiga tahap itu dengan istilah: tahap formulasi
(proses legislatif), tahap aplikasi (proses peradilan) dan tahap eksekusi (proses
administrasi). Tahap pertama (kebijakan legislatif) yang merupakan bagian dari kajian
penelitian penulis saat ini ialah merupakan tahap penegakan hukum “in abstracto”,
sedangkan tahap kedua dan ketiga (tahap kebijakan yudikatif dan eksekutif) merupakan
tahap penegakan hukum “in concreto”.
Ketiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana tersebut di atas mengandung tiga
kekuasaan atau kewenangan legislatif yang merumuskan atau menetapkan perbuatan
55
Op. Cit. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Halaman 77
37
sebagai perbuatan yang dapat dipidana (tindak pidana) dan sanksi pidananya,
kekuasaan/kewenangan
aplikasi
hukum
oleh
aparat
penegak
hukum,
dan
kekuasaan/kewenangan mengeksekusi atau melaksanakan hukum secara konkret oleh
aparat/badan yang berwenang. Ketiga kekuasaan/kewenangan ini mirip dengan istilah
yang digunakan Masaki Hamano sewaktu menguraikan ruang lingkup jurisdiksi.56
Menurutnya, secara tradisional ada tiga kategori jurusdiksi, yaitu jurisdiksi
legislatif (legislative jurisdiction), jurisdiksi judisial (“judicial jurisdiction”) dan
jurisdiksi eksekutif (“executive jurisdiction). Istilah jurisdiksi yang dikemukakan oleh
Masako Hamano ini mirip dengan yang digunakan oleh Jonathan Clough, yaitu
Prescriptive jurisdiction, Adjudicative Jurisdiction, and enforcement jurisdiction.57
Pada tahap kebijakan legislatif ditetapkan sistem pemidanaan, pada hakikatnya
sistem pemidanaan itu merupakan sistem kewenangan/kekuasaan menjatuhkan pidana.
Patut dicatat bahwa pengertian “pidana” tidak hanya dapat dilihat dalam arti
sempit/formal, tetapi juga dilihat dalam arti luas/materiel. Dalam arti sempit/formal,
penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan/mengenakan sanksi pidana
menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim).
Dalam arti luas/materiel, penjatuhan pidana merupakan suatu mata rantai proses
tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan,
penuntutan sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan
oleh aparat pelaksana pidana.58 Dilihat dari pengertian pidana dalam arti luas itu
sebagai suatu proses maka “kewenangan penyidikan” pada hakikatnya merupakan
bagian juga dari “kewenangan pemidanaan”.
56
Op. Cit. Barda Nawawi Arief, Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana Dalam Peraturan PerundangUndangan, Halaman 10
57
Ibid, hal 10
58
Op. Cit. Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
Halaman 30
38
Kebijakan legislatif yang integral di bidang penegakan hukum pidana itu tidak
berarti harus dituangkan dalam satu kitab undang-undang. Berbagai undang-undang
seperti saat ini (ada hukum pidana materiel di dalam dan di luar KUHAP; dan ada
undang-undang pelaksana pidana). Dalam setiap perundang-undangan itu dapat saja
diatur kewenangan masing-masing pejabat/aparat penegak hukum yang terkait dengan
keempat tahap/proses di atas.
Kekuasaan negara untuk memidana dapat dibagi habis lewat undang-undang
kepada berbagai pejabat/aparat negara yaitu pejabat penyidik, pejabat penuntut umum,
pejabat pemberi keputusan dan pejabat eksekusi pidana.59 Proses legislasi/formulasi
merupakan tahap perencanaan awal yang sangat strategis dari proses penegakan hukum
“in concreto.” Roeslan Saleh pernah menyatakan bahwa undang-undang merupakan
bagian dari suatu kebijaksanaan tertentu; ia tidak hanya alat untuk melaksanakan
kebijaksanaan, tetapi juga menentukan, menggariskan atau merancangkan suatu
kebijaksanaan.
Kesalahan/kelemahan pada tahap kebijakan legislasi/formulasi merupakan
kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya penegakan hukum “in
concreto”. Kebijakan strategis memberikan landasan, arah, substansi, dan batasan
kewenangan dalam penegakan hukum yang akan dilakukan oleh pengemban
kewenangan yudikatif maupun eksekutif. Posisi strategis tersebut membawa
konsekuensi bahwa, kelemahan kebijakan formulasi hukum pidana akan berpengaruh
pada kebijakan penegakan hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan.60
59
Ibid;
Op.cit ,Barda Nawawi Arief, Kebijakan formulasi Ketentuan Pidana Dalam Peraturan Perundang-Undangan,
Halaman 11
60
39
B.
Penegertian dan Ruang Lingkup Korporasi
Korporasi merupakan hal yang asing adalah hukum pidana di Indonesia karean
istilah pemidanaan korporasi tidak terdapat dalam KUHP. Secara etimologis, korporasi
berasal dari kata corporatio dalam bahasa latin. Corporatio merupakan suatu kata
benda, berasal dari sebuah kata kerja yaitu corporare, yang banyak dipakai oleh orang
pada zaman pertengahan. Corporare sendiri berasal dari kata corpus yang berati
memberikan badan atau membadankan, dengan perkataan lain badan yang dijadikan
orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan
manusia yang terjadi menurut alam.61
Menurut Subekti dan Tjitrosudibio Korporasi adalah suatu perseroan yang
merupakan badan hukum. Sedangkan menurut Rudi Prasetyo adalah : kata korporasi
sebutan yang lazim digunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa
yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan
hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechtspersoon atau yang
dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.
Badan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum yang
bukan manusia, yang dapat menuntut atau dapat dituntut subjek hukum lain di muka
pengadilan. Ciri-ciri dari sebuah badan hukum adalah :62
1. Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang
menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut.
2. Memiliki hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban orang-orang
yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut.
3. Memiliki tujuan tertentu.
61
Op.Cit. Muladi dan Dwija Priyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Grup,
Halaman. 86
62
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang
Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, Halaman 82-83
40
4. Berkesinambungan ( memiliki kontinuitas ) dalam arti keberadannya tidak terikat
pada orang-orang tertentu karena hak dan kewajibannya tetap ada meskipun
orang-orang yang menjalankannya berganti.
Didalam hukum pidana terdapat model pertanggungjawaban pidana korporasi
yaitu :63
1. Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggung jawab.
2. korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab.
3. korporasi yang berbuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Berkembangnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana di
landasi
oleh
teori-teori
pertanggungjawaban
korporasi,
Teori-Teori
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana adalah :64
63
64
1.
Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung atau teori identifikasi langsung.
Di dalam doktrin ini disebutkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pejabat
senior sama halnya dengan perbuatan yang dilakukan oleh korporasi. Jika pejabat
senior melakukan kesalahan maka dapat diidentifikasi bahwa yang melakukan
kesalahan adalah korporasi. Doktrin tersebut, disebut juga sebagai doktrin alter
ego atau teori organ. Dalam arti sempit (di Inggris) kesalahan atau perbuatan
yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi adalah perbuatan atau
kesalahan yang dilakukan oleh pejabat senior (Otak Korporasi). Dalam arti luas
(Amerika) kesalahan atau perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada
korporasi adalah perbuatan atau kesalahan yang dilakukan oleh pejabat senior
(otak Korporasi) dan juga pejabat dibawahnya (agen). Dari pendapat yang
dikemukakan oleh para ahli hukum mengenai pengertian tentang pejabat senior
maka dapat ditarik kesimpulan yaitu, yang dimaksud dengan pejabat senior
adalah para direktur dan manager atau pegawai perusahaan yang bekerja atau
melaksanakan petunjuk dari pejabat tinggi perusahaan, orang yang
mengendalikan jalanya perusahaan dan ia tidak bertanggungjawab pada orang
lain dalam perusahaan tersebut, orang yang telah dipercaya oleh perusahaan
untuk menjalankan kekuasaan perusahaan.
2.
Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti
Doktrin ini berawal dari doktrin respondeat superior dan didasarkan pada
employment principal. Dalam prinsip ini ditegaskan bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh buruh adalah tanggung jawab dari majikan. Jika dihubungkan
antara employment principle dengan vicarious liabiliti menurut Peter Gillies,
perusahaan bertanggungjawab terhadap perbuatan yang dilakukan oleh
karyawannya, pertanggungjawaban ini muncul untuk delik yang dapat dilakukan
Op.Cit. Muladi dan Dwija Priyanto, Halaman 86.
Op. Cit. Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum pidana ( Cetakan ke-3 ), Halaman. 193-198
41
secara vicarious. Jika didasarkan pada prisip pendelegasian yaitu perusahaan
dapat dikenai pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang dilakukan oleh
karyawannya bila terjadi pendelegasian wewenang dan kewajiban perusahaan
pada karyawan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.
4.
Doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang (strict
liability) yaitu pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi
semata-mata hanya berdasarkan ketentuan dalam undang-undang, yaitu bilamana
korporasi melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam undangundang atau korporasi tidak memenuhi kewajiban atau kondisi dan situasi tertentu
yang telah dirumuskan dalam undang-undang
Doktrin atau teori budaya korporasi, menurut teori tersebut pertanggungjawaban
korporasi dilihat dari sisi prosedur, sistem bekerjanya atau budaya yang terdapat
dalam korporasi. Kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan pada korporasi
adalah kesalahan berdasarkan struktur pengambilan keputusan secara internal.
Korporasi jika dilihat dari sisi kebijakan kriminal (criminal policy) untuk
menanggulangi kejahatan korporasi banyak pendekatan bisa dilakukan, di samping
melalui sistem peradilan pidana yang bersifat represif yang berujung pada penjatuhan
sanksi pidana dan/atau tindakan. Dalam hal ini pendekatan non penal tidak kalah
pentingnya, seperti pertama, pendekatan sukarela untuk mengubah baik perilaku
korporasi dan strukturnya; kedua, intervensi kuat melalui politik negara untuk
mengubah dengan paksa struktur korporasi (corporate organizational reform), disertai
dengan sanksi hukum pidana, perdata dan/atau administrasi untuk menimbulkan efek
jera; dan ketiga, tindakan yang dilakukan konsumen (consumer action and pressure)
seperti boikot atas produk korporasi.65
Sanksi pidana denda selama ini pada undang-undang khusus di luar KUHP
sebagian besar hanya berupa sanksi pidana denda termasuk di dalamnya sanksi pidana
denda bagi korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang dalam Undangundang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Sanksi pidana denda hanya mempunyai efek preventif yang terbatas dan lebih
bersifat reaktif daripada proaktif. Meskipun demikian, sanksi moneter tampaknya tetap
mendominasi sanksi terhadap korporasi. Sekalipun demikian, berbagai variasi mulai
65
Muladi dan Diah sulistyani, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Bandung: Alumni, 2013), Halaman 67.
42
diperkenalkan, mulai dari denda sampai dengan perampasan kekayaan (confiscation of
property). Demikian pula, bentuk-bentuk lain seperti pembayaran kompensasi, restitusi,
perampasan keuntungan dan lain-lain.
Regulasi berbagai negara secara umum dapat disimpulkan bahwa sanksi yang
dapat dijatuhkan meliputi:66
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
denda atau sanksi financial misalnya larangan menerbitkan cheque (pecuniary
penalties);
perampasan keuntungan hasil kejahatan;
pengambilalihan;
menutup sementara waktu atau permanen bangunan yang digunakan melakukan
kejahatan;
penutupan perusahaan sementara waktu atau seterusnya;
pencabutan izin sementara atau seterusnya;
tindakan administratif, diletakkan di bawah administrator yang ditunjuk
pengadilan sementara waktu;
pengumuman keputusan hakim;
melarang sementara untuk melakukan perbuatan tertentu seperti larangan
sementara waktu atau permanen melakukan kontrak dengan pemerintah atau
lembaga publik lain;
perintah restorasi, berupa perintah untuk mengerjakan apa yang telah dilalaikan
korporasi atau tidak mengerjakan apa yang telah korporasi secara melawan
hukum;
pengawasan (mandatory management oversight, probation); dan
pidana kerja sosial (community service order).
Di Belanda, pelaksanaan sanksi tersebut dapat berada dalam ruang lingkup pidana
bersyarat (suspended sentences). Sebaliknya, ditegakkan apa yang dinamakan the
carrot-stick model. Stick berupa denda yang lebih tinggi daripada masa lalu bagi
korporasi yang tetap tidak secara sungguh-sungguh melakukan pencegahan dan
mendeteksi kejahatan, sedangkan carrot terdiri atas pengurangan denda apabila
korporasi telah mengadopsi program ketaatan hukum dan program etika secara efektif.
C.
Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pengertian perdagangan manusia (trafficking) mempunyai arti yang berbeda bagi
setiap orang. Perdagangan manusia meliputi sederetan masalah dan isu sensitif yang
66
Ibid, Halaman 73-74
43
kompleks yang ditafsirkan berbeda oleh setiap orang, tergantung sudut pandang pribadi
atau organisasinya.67
Pada masa lalu, masyarakat biasanya berfikir bahwa perdagangan manusia adalah
memindahkan perempuan melewati perbatasan, di luar keinginan mereka dan memaksa
mereka memasuki dunia prostitusi. Seiring berjalannya waktu masyarakat lebih
memahami mengenai isu perdagangan manusia yang kompleks dan sekarang melihat
bahwa pada kenyataannya perdagangan manusia melibatkan berbagai macam situasi.68
Perluasan definisi perdagangan sebagaimana dikutip dari Wijers dan Lap-Chew
yaitu perdagangan sebagai perpindahan manusia (khususnya perempuan dan anak),
dengan atau tanpa persetujuan orang bersangkutan, di dalam suatu negara atau ke luar
negeri, untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi dan
perbudakan yang berkedok pernikahan (servile marriage).69
Definisi yang luas ini menunjukkan bahwa lebih banyak orang Indonesia yang
telah mengalami kekerasan yang berkaitan dengan perdagangan manusia daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Hal ini membawa kepada suatu konsepsi baru mengenai
perdagangan. Kerangka konseptual baru untuk perdagangan ini melambangkan
pergeseran dalam beberapa situasi dibawah ini yang didasari atas poin-poin yang
diberikan Wijers dan Lap-Chew:70
1.
Dari “Perekrutan” menjadi “Eksploitasi”
Kerangka tersebut berkembang dari mengkonseptualisasi perdagangan
sebagai sekedar perekrutan menjadi kondisi eksploitatif yang dihadapi seseorang
sebagai akibat perekrutannya. Pada tahun 1904 dibuat konvensi internasional
67
Ruth Rosenberg, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, International Catholic Migration
Commission (ICMC) dan American Center for International Labor Solidarity (ACILS), 2003.
68
Pendampingan Korban Perdagangan Manusia dalam Proses Hukum di Indonesia: Sebuah Panduan Untuk
Pendampingan Korban, American Center for International Labor Solidarity (ACILS) dan International Catholic
Migration Commission (ICMC), 2004, Halaman. 5.
69
Op. Cit. Ruth Rosenberg
70
Ibid.
44
pertama anti perdagangan, yaitu International Agreement for the Suppression of
The White Slave Trade (Konvensi Internasional untuk Memberantas Perdagangan
Budak Berkulit Putih).
Sasaran konvensi ini adalah perekrutan internasional yang dilakukan
terhadap perempuan, di luar kemauan mereka, untuk tujuan eksploitasi seksual.
Kemudian pada tahun 1910 dibuat konvensi yang bersifat memperluas konvensi
tahun 1904 dengan memasukkan perdagangan perempuan di dalam negeri. Kedua
konvensi ini membahas proses perekrutan yang dilakukan secara paksa atau
dengan kekerasan terhadap perempuan dewasa untuk tujuan eksploitasi seksual.
2.
Dari “Pemaksaan” menjadi “dengan atau tanpa persetujuan”.
Kerangka tersebut juga berubah dari mensyaratkan bahwa perdagangan
harus melibatkan unsur penipuan, kekerasan atau pemaksaan, menjadi pengakuan
bahwa seorang perempuan dapat menjadi korban perdagangan bahkan jika ia
menyetujui perekrutan dan pengiriman dirinya ketempat lain.
3.
Dari “prostitusi” menjadi “perburuhan yang informal dan tidak diatur oleh
hukum”
Pada tahun 1994, PBB mengesahkan suatu resolusi mengenai “perdagangan
perempuan dan anak” yang memperluas definisi perdagangan sehingga
memasukkan eksploitasi yang tidak hanya untuk tujuan prostitusi saja tetapi juga
untuk semua jenis kerja paksa. Dalam resolusi ini perdagangan didefinisikan
sebagai “tujuan akhir dari memaksa perempuan dan anak perempuan masuk
kedalam situasi yang menekan dan eksploitatif dari segi ekonomi ataupun
seksual”
4.
Dari “kekerasan terhadap perempuan” menjadi “pelanggaran hak asasi manusia”
45
Perubahan dalam kerangka konseptual menunjukkan pergeseran dari
memandang perdagangan sebagai suatu isu yang sering dianggap sebagai isu
domestik dan berada di luar yuridiksi negara menjadi suatu pelanggaran terhadap
hak asasi manusia yang mendasar.
5.
Dari “Perdagangan Perempuan” menjadi “Migrasi Ilegal”
Pergeseran paradigma ini terutama menunjukkan perubahan dalam persepsi
negara-negara penerima terhadap perdagangan sebagai suatu isu migrasi ilegal
dan penyelundupan manusia. Perubahan ini mempunyai konsekuensi negatif.
Dengan memusatkan perhatian hanya kepada status migrasi saja, kerangka yang
berubah ini mengabaikan sebagian aspek penting dalam perdagangan, yaitu
pertama, ada banyak kasus perdagangan dimana perempuan masuk ke negara
tujuan secara sah. Persepsi ini juga tidak memperhitungkan kemungkinan
perdagangan domestik. Kedua, dan mungkin yang paling penting, kerangka ini
menjauhkan perhatian dari korban. Tindak kejahatan tersebut menjadi salah satu
dari migrasi ilegal dimana korban adalah pelaku dan negara menjadi korban.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
Mencegah,
Memberantas
dan Menghukum
Perdagangan Manusia khususnya
Perempuan dan Anak, tambahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Melawan
Organisasi Kejahatan Lintas Batas tahun 2000, mendefinisikan Perdagangan Manusia
sebagai :
(a) perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan dan penerimaan seseorang
dengan cara:
• Ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan
• Penculikan
• Penipuan
• Kebohongan
• Penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau
• Memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat
memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain untuk
tujuan eksploitasi.
46
Eksploitasi termasuk paling tidak:
• Eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi
Seksual
• Kerja atau layanan paksa
• Perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan
• Penghambaan
• Pengambilan organ tubuh
(b) Persetujuan korban perdagangan manusia terhadap eksploitasi yang dimaksud
dalam subalinea (a) ini tidak akan relevan jika salah satu dari cara-cara yang
dimuat dalam subalinea (a) digunakan;
(c) Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak
untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai “perdagangan manusia” sekalipun
tindakan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam subalinea (a)
Pasal ini;
(d) Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah delapan belas tahun.
Kedua definisi ini sangat penting karena menyoroti tidak hanya pada proses
perekrutan dan pengiriman yang menentukan bagi perdagangan, tetapi juga kondisi
eksploitatif terkait kedalam mana orang diperdagangkan.71 Definisi yang luas memang
diperlukan karena definisi tersebut akan menyentuh semua jenis kekerasan yang
dialami oleh orang-orang yang mengalami perdagangan manusia.
Lampiran Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Traffiking) Perempuan dan Anak
menyatakan bahwa
“trafiking perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku trafiking yang
mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah
dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan
penampungan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak. Dengan cara
ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu
muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak
memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang dan lainlain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana
perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual
(termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan
jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri
pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentukbentuk eksploitasi lainnya.”72
71
Ibid, Halaman 15.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan (Traffiking) Perempuan dan Anak, Pasal 1.
72
47
Philipine dengan Undang-Undangnya tentang Perdagangan Manusia / AntiTrafficking in Persons Act of 2003 menyatakan bahwa Perdagangan Manusia adalah
Trafficking in Persons - refers to the recruitment, transportation, transfer or
harboring, or receipt of persons with or without the victim’s consent or knowledge,
within or across national borders by means of threat or use of force, or other forms
of coercion, abduction, fraud, deception, abuse of power or of position, taking
advantage of the vulnerability of the person, or, the giving or receiving of
payments or benefits to achieve the consent of a person having control over
another person for the purpose of exploitation which includes at a minimum, the
exploitation or the prostitution of others or other forms of sexual exploitation,
forced labor or services, slavery, servitude or the removal or sale of organs.73
Apabila diterjemahkan, maka perdagangan manusia menurut Undang-undang
Philipine adalah perekrutan, pemindahan, pengiriman atau penerimaan seseorang
dengan atau tanpa persetujuan atau pengetahuan korban, di dalam atau melintasi
perbatasan Negara, dengan ancaman atau menggunakan kekerasan atau bentuk lain dari
paksaan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi, mengambil
keuntungan dari posisi rentan seseorang, atau memberikan/menerima pembayaran atau
keuntungan untuk mendapatkan persetujuan seseorang mengendalikan orang lain
dengan tujuan mengeksploitasi atau prostitusi atau bentuk lain dari eksploitasi seksual,
pemaksaan tenaga kerja, perbudakan, atau penjualan organ tubuh.
Definisi yang diberikan oleh pemerintah Philiphine melalui Undang-Undangnya
“Anti-Trafficking in Persons Act of 2003” tidak begitu berbeda dengan definisi
Perdagangan Manusia yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui
Undang-Undang No.21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana
Perdagangan Orang, yaitu:74
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau member
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
73
Republic of The Philipines, Republic Act. No. 9208, Anti-Trafficking in Persons Act of 2003, Section 3.
Republik Indonesia, Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
74
48
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi.
Kata “eksploitasi” dalam Pasal 1 UU PTPPO dipisahkan dengan “eksploitasi
seksual” yang kemudian dijelaskan sebagai:75
Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi
tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau
praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual,
organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau
mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau
kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik
materiil maupun immateriil.
Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau
organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi
tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
Definisi yang terdapat di dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007 sudah
merupakan perluasan dari definisi-definisi yang telah ada tentang Perdagangan
Manusia.
Berbeda dengan Negara Thailand yang memberikan definisi perdagangan
manusia dengan perdagangan manusia yang bertujuan prostitusi kedalam UndangUndang yang berbeda yaitu The Traffic in Women and Children Act B.E.2540 (1997)
(Trafficking Act) yang menyatakan perdagangan manusia sebagai to transfer any
woman or child for sexual gratification, an indecent sexual purpose, or to gain any
illegal benefit for themselves or another person, whether or not the woman or child
concerned has consented to the transfer or any of the acts committed,76 dan The
Prostitution Prevention and Suppression Act B.E. 2539 (1996) (Prostitution Act) yang
menyatakan dalam section 9 "anyone who procures, seduces, or takes away another
person with or without their consent to commit prostitution within or outside Thailand,
75
Ibid.
The Kingdom of Thailand, The Traffick in Women and Children Act B.E.2540 (1997), Translated
by Mr.PornChai DanvivaThana, Section 5.
76
49
shall be punished with imprisonment of up to ten years and a fine of 20,000 to 200,000
baht".77
Belanda dalam Hukum Pidananya (Penal
Code) memberikan definisi
perdagangan pada Pasal 250 (1)(a) yaitu: "using force, threats of violence, abuse of
authority or deception to induce another person to engage in prostitution". Pasal 250a
disahkan pada 1 oktober 2000 yang menggantikan Pasal tentang trafficking yang lama
yaitu Pasal 250 ter dan 250 bis. Pada section 1(2) article 250a dinyatakan the movement
of persons to another country for the purpose of prostitution does not require force,
deception or coercion.
Lebih lanjut dinyatakan dalam Handboek Lokaal Prostiutiebeleid : "The simple
abduction and/or recruitment of people to a different country, in the knowledge that
they will enter into prostitution there, is sufficient to make it a case of trafficking in
humans, even if this takes place with the free will of the party who is taken or
recruited",78 yang secara sederhana dapat diterjemahkan menjadi “perekrutan orang ke
Negara lain, dan orang tersebut mengetahui bahwa mereka akan dipekerjakan sebagai
prostitusi, sudah cukup untuk memasukkan kasus tersebut ke dalam kasus perdagangan
manusia, walaupun orang tersebut menyetujui hal itu.”
77
The Kingdom of Thailand, The Prostitution Prevention and Suppression Act B.E. 2539 (1996), Translated by
Mr.PornChai DanvivaThana, Section 9.
78
Savourin Lohman, P., Remme, H. and Hillenaar, W., Handboek Lokaal Prostiutiebeleid, Deel IV,
Instrumenten, (Local Prostitution Policy Handbook, Section IV), (Non-official English Translation) VNG
Uitgeverij, Den Haag, 1999, Halaman 7.
50
Download