seleksi dan pengujian bakteri asam laktat kandidat probiotik

advertisement
SELEKSI DAN PENGUJIAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT
PROBIOTIK HASIL ISOLAT LOKAL SERTA KEMAMPUANNYA
DALAM MENGHAMBAT SEKRESI INTERLEUKIN-8 DARI ALUR SEL
HCT 116
EKO FARIDA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
SELEKSI DAN PENGUJIAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT
PROBIOTIK HASIL ISOLAT LOKAL SERTA KEMAMPUANNYA DALAM
MENGHAMBAT SEKRESI INTERLEUKIN-8 DARI ALUR SEL HCT 116
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah
dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan diperiksa kebenarannya.
Bogor, 8 Februari 2006
Eko Farida
NRP.F 251024031
ABSTRAK
EKO FARIDA. Seleksi dan Pengujian Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik
Hasil Isolat Lokal serta Kemampuannya dalam Menghambat Sekresi Interleukin -8
dari Alur Sel HCT 116. Dibimbing oleh DEDDY MUCHTADI dan RETNO
DUMILAH ESTI WIDJAYANTI.
Probiotik adalah sediaan sel mikroba hidup atau komponen dari sel
mikroba yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan
kehidupan inangnya. Kelompok Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan salah
satu kultur yang sering digunakan sebagai probiotik karena kebanyakan strainnya
tidak patogen, bahkan beberapa strain telah mendapatkan status GRAS (Generally
Recognized As Safe) dari FDA. Pada penelitian ini dilakuka n seleksi terhadap 20
isolat BAL hasil isolat lokal (susu kuda liar, feses bayi, whey dan tanah di sekitar
kandang) yang berpotensi sebagai probiotik. Pengujian yang dilakukan meliputi
ketahanan terhadap asam (pH 2,5), ketahanan terhadap garam empedu (bile salt),
aktivitas antagonis terhadap bakteri patogen (Escherichia coli, Staphylococcus
aureus dan Bacillus cereus) dan kemampuannya menempel pada permukaan
stainless steel (SS).
Enam belas isolat mampu tumbuh pada pH 2,5 selama 90 menit dan semua
isolat mampu tumbuh pada garam empedu 1% dan 5% dengan ketahanan yang
beragam untuk masing-masing isolat. Semua isolat juga mempunyai sifat
antagonistik terhadap bakteri patogen enterik (Escherichia coli, Staphylococcus
aureus dan Bacillus cereus) dengan derajat penghambatan yang berbeda. Dari
ketiga uji tersebut, lima isolat BAL terpilih sebagai kandidat probiotik yaitu (SK2,
SK3, WT1, WT2 dan FS1) dan diuji kemampuannya menempel pada permukaan
SS. Hasilnya kelima isolat tersebut mampu menempel pada permukaan SS.
Isolat SK3 dan WT1 diuji lebih lanjut untuk mengetahui kemampuannya
sebagai imunomodulator. Parameter yang diamati adalah kemampuan isolat SK3
dan WT1 tersebut dalam menghambat sekresi interleukin-8 dari alur sel HCT 116.
Hasilnya menunjukkan kecenderungan peningkatan kadar interleukin-8 dengan
meningkatnya konsentrasi BAL yang ditambahkan. Kedua isolat, pada konsentrasi
107 dan 108 cfu/ml mampu menurunkan sekresi interleukin-8 jika dibandingkan
dengan kontrol. Sebaliknya pada konsentrasi 109 cfu/ml, terjadi peningkatan
sekresi interleukin-8. Pada penyakit tertentu dimana sel-sel berada dalam kondisi
inflamasi (seperti pada kasus Inflamatory Bowel Disease), maka penurunan
sekresi interleukin-8 lebih diharapkan. Pada kondisi tersebut, suplementasi
probiotik dapat membantu mengatasi penyakit ini. Sedangkan pada saat kondisi
tubuh melemah, maka pemberian probiotik pada dosis yang tepat dapat memacu
peningkatan kekebalan tubuh.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa BAL hasil isolat lokal yang
diisolasi dari berbagai sumber dapat dipertimbangkan sebagai kultur probiotik
yang memiliki pengaruh yang menguntungkan sebagai imunomodulator, yaitu
mampu menurunkan sekresi interleukin-8.
SELEKSI DAN PENGUJIAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT
PROBIOTIK HASIL ISOLAT LOKAL SERTA KEMAMPUANNYA DALAM
MENGHAMBAT SEKRESI INTERLEUKIN-8 DARI ALUR SEL HCT 116
EKO FARIDA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul Tesis
:
Seleksi dan Pengujian Bakteri Asam Laktat Kandidat
Probiotik Hasil Isolat Lokal serta Kemampuannya
dalam Menghambat Sekresi Interleukin -8 dari Alur Sel
HCT 116
Nama Mahasiswa
:
Eko Farida
NRP
:
F251024031
Program Studi
:
Ilmu Pangan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS
Dr. Ir. Retno Dumilah Esti Widjayanti
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS
Tanggal Lulus : 8 Februari 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 13 Januari 1979 sebagai anak
pertama dari tiga bersaudara dengan orang tua Supadi Mardi Utomo dan Sri
Dwiyanti. Penulis telah menikah dengan Edi Marwanto pada tahun 2005.
Jenjang pendidikan yang ditempuh yaitu pada tahun 1997 lulus dari SMU
Negeri 1 Semarang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB mela lui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima pada Program Studi
Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor dan lulus pada Oktober 2001. Pada tahun 2003, penulis mengikuti
pendidikan Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah
Pascasarjana IPB dengan melakukan penelitian yang bekerja sama dengan Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya
serta
kemudahan
yang
diberikan
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS dan Ibu Dr. Ir. Retno Dumilah Esti
Widjayanti selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga
dan pikirannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis sejak awal
penelitian hingga akhir penulisan tesis ini.
2. Ibu Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum, M.Sc selaku Dosen Penguji Luar
yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk menguji dan
memberikan arahan terhadap penulisan tesis ini.
3. Badan Pengka jian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta yang telah
memberikan dana penelitian ini.
4. Suamiku Edi Marwanto yang telah banyak membantu baik dalam bentuk
moril maupun materiil, dan ananda Rafa (almarhum), semoga Allah SWT
memberikan tempat yang terbaik di sisi-Nya. Amin.
5. Keluarga besar Bpk. Supadi Mardi Utomo di Semarang dan Bpk. Sapon di
Lampung atas doa yang tiada pernah putusnya kepada penulis.
6. Keluarga Ir. Joko Sutrisno dan Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si yang telah
memberikan bantuan dana untuk penyelesaian studi selama ini.
7. Ibu Ida Susanti, Ibu Retno Windya K, Bpk. Karnadi, Mbak Fatim, Mas Udin
dan seluruh warga Laboratorium Teknologi Bioproses, BPPT Serpong atas
kebersamaan, bantuan dan doanya.
8. Mbak Ari dan teman-teman IPN serta semua pihak yang telah membantu
penulis selama menyelesaikan penelitian dan tesis ini.
Bogor, 8 Februari 2006
Eko Farida
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI.................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................
1
Tujuan Penelitian.....................................................................................
5
Manfaat Penelitian...................................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA
Probiotik ..................................................................................................
6
Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik...................................................
8
Karakteristik Probiotik ............................................................................
11
Aktivitas antagonis terhadap bakteri enterik patogen.......................
11
Ketahanan terhadap asam lambung...................................................
16
Ketahanan terhadap garam empedu (bile salt) ..................................
19
Penempelan bakteri pada permukaan padat ......................................
22
Respon Imun ...........................................................................................
26
Respon imun non spesifik .................................................................
27
Respon imun spesifik ........................................................................
28
Reaksi Inflamasi......................................................................................
29
Probiotik sebagai Imunomodulator .........................................................
31
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat Penelitian.......................................................................
38
Metode Penelitian....................................................................................
40
Tahap persiapan.................................................................................
40
Persiapan stok kultur ...................................................................
40
Penentuan fase logaritmik bakteri patogen.................................
41
Seleksi Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik .............................
41
Uji ketahanan terhadap asam.......................................................
42
Uji ketahanan terhadap garam empedu .......................................
42
Uji antagonis terhadap bakteri enterik patogen...........................
43
Uji Kemampuan Penempelan secara In Vitro ...................................
44
Persiapan lempeng Stainless steel...............................................
44
Uji penempelan pada lempeng Stainless steel.............................
44
Pengaruh Bakteri Probiotik terhadap Sekresi Interleukin-8..............
45
Persiapan kultur sel HCT 116 .....................................................
45
Kurva relasi OD dengan jumlah sel bakteri probiotik .................
46
Persiapan kultur bakteri probiotik ...............................................
47
Stimulasi sekresi interleukin-8 oleh bakteri probiotik ................
47
Deteksi sekresi interleukin-8 dengan metode ELISA .................
48
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketahanan terhadap pH rendah...............................................................
50
Ketahanan terhadap garam empedu ........................................................
53
Aktivitas antagonistik BAL terhadap bakteri enterik patogen................
59
Pemilihan isolat untuk uji penempelan secara in vitro............................
65
Uji penempelan pada lempeng stainless steel secara in vitro .................
68
Pengaruh penambahan bakteri probiotik terhadap sekresi interleukin-8
70
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan..................................................................................................
74
Saran........................................................................................................
76
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
77
LAMPIRAN..................................................................................................
83
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Populasi kelompok bakteri utama pada usus manusia ................................. 21
2
Bakteri asam laktat yang digunakan............................................................. 39
3
Ketahanan bakteri asam laktat terhadap pH rendah..................................... 51
4
Ketahanan bakteri asam laktat terhadap garam empedu 1% ........................ 54
5
Ketahanan bakteri asam laktat terhadap garam empedu 5% ........................ 56
6
Perbandingan ketahanan BAL terhadap garam empedu 1% dan 5% ...........57
7
Aktivitas antagonistik bakteri asam laktat terhadap Escherichia coli..........60
8
Aktivitas antagonistik bakteri asam laktat terhadap S. aureus..................... 62
9
Aktivitas antagonistik bakteri asam laktat terhadap Bacillus cereus ...........63
10 Perbandingan diameter penghambatan antar bakteri enterik patogen..........64
11 Urutan isolat berdasarkan rangking untuk setiap sifat yang diuji ................ 67
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Struktur dinding sel bakteri gram negatif dan gram positif ...........................13
2 Proses terjadinya inflamasi............................................................................. 30
3 Penempelan bakteri asam laktat pada lempeng stainless steel.......................68
4 Konsentrasi interleukin-8 pada berbagai konsentrasi BAL ............................ 71
DAFTAR LAMPIRAN
....................................................................................................................................
Halaman
1
Data pengujian pengaruh pH rendah terhadap penurunan jumlah koloni BAL
yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan ...................................................83
2
Analisis ragam pengaruh pH rendah terhadap penurunan jumlah koloni BAL
yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan ...................................................83
3
Data pengujian pengaruh garam empedu 1% terhadap penurunan jumlah
koloni BAL yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan...............................84
4
Analisis ragam pengaruh garam empedu 1% terhadap penurunan jumlah
koloni BAL yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan...............................84
5
Data pengujian pengaruh garam empedu 5% terhadap penurunan jumlah
koloni BAL yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan...............................85
6
Analisis ragam pengaruh garam empedu 5% terhadap penurunan jumlah
koloni BAL yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan...............................85
7
Perbandingan pengaruh garam empedu 1% dan 5% terhadap penurunan
jumlah koloni BAL ......................................................................................86
8
Analisis ragam pengaruh garam empedu 1% dan 5% terhadap penurunan
jumlah koloni BAL ..................................................................................... 86
9
Data pengujian aktivitas antagonistik BAL terhadap Escherichia coli.......87
10 Analisis ragam pengujian aktivitas antagonistik BAL terhadap Escherichia
coli ...............................................................................................................87
11 Data pengujian aktivitas antagonistik BAL terhadap Staphylococcus aureus
..................................................................................................................... 88
12 Analisis
ragam
pengujian
aktivitas
antagonistik
BAL
terhadap
Staphylococcus aureus ................................................................................ 88
13 Data pengujian aktivitas antagonist ik BAL terhadap Bacillus cereus ........ 89
14 Analisis ragam pengujian aktivitas antagonistik BAL terhadap Bacillus cereus
..................................................................................................................... 89
15 Perbandingan pengujian aktivitas antagonistik BAL terhadap Escherichia
coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus........................................ 90
16 Analisis ragam pengujian aktivitas antagonistik BAL terhadap Escherichia
coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus........................................ 90
17 Data pengamatan uji penempelan pada lempeng stainless steel................. 91
18 18a Data pertumbuhan bakteri enterik patogen...........................................92
19 18b Kurva pertumbuhan bakteri enterik patogen........................................ 92
20 19 Kurva relasi OD dengan jumlah sel BAL ............................................ 93
21 20 Data standar interleukin-8.................................................................... 94
22 21 Data konsentrasi interleukin-8 ............................................................. 95
23 22 Analisis ragam konsentrasi interleukin -8............................................. 95
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Minat masyarakat terhadap makanan dan minuman kesehatan akhirakhir ini cenderung meningkat, terutama untuk produk-produk yang dapat
menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Hal ini disebabkan oleh adanya pergeseran
gaya hidup, semakin meningkatnya ilmu pengetahuan tentang siste m pencernaan
dan metabolisme di dalam tubuh, munculnya beberapa gejala penyakit yang
disebabkan oleh mikroba-mikroba yang terdapat di dalam usus dan tuntutan
manusia untuk dapat memperoleh makanan dan minuman dengan kondisi nutrisi
yang baik. Pengetahuan gizi yang semakin meningkat, mengakibatkan orang akan
lebih selektif dalam memilih dan menentukan jenis makanan dan minuman yang
akan dikonsumsinya. Salah satu jenis produk makanan dan minuman kesehatan
yang berkembang pesat adalah probiotik dengan bermacam bentuk dan kultur
yang digunakan.
Konsep tentang probiotik sebenarnya telah muncul sejak dahulu kala,
saat ilmuwan Rusia Elie Metchnikoff (penerima hadiah Nobel) pada tahun 1907
menyampaikan hipotesisnya bahwa orang Bulgaria memiliki umur yang panjang
dan sehat dikarenakan konsumsi susu yang telah mengalami fermentasi. Beliau
meyakini bahwa konsumsi susu yang difermentasi oleh Lactobacillus memberikan
efek yang menguntungkan pada mikroba usus dan dapat menurunkan aktivitas
toksin yang dihasilkan mikroba. Selanjutnya konsep probiotik telah mengalami
beberapa perubahan definisi seiring dengan perkembangan hasil penelitian ilmiah
tentang pengaruh, mekanisme kerja dan aplikasinya. Definisi probiotik terbaru
diusulkan oleh Salminen et al. (1999) menyatakan bahwa probiotik adalah sediaan
sel mikroba hidup atau komponen dari sel mikroba yang memiliki pengaruh
menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya.
Syarat utama suatu isolat bermanfaat sebagai probiotik adalah memiliki
ketahanan terhadap asam dan garam empedu sehingga dapat mencapai usus dalam
keadaan hidup, serta memiliki kemampuan menempel (adherence ) dan
berkolonisasi pada mukosa usus. Menurut Chou dan Weimer (1999), stres
terhadap bakteri probiotik di mulai dari lambung, dimana bakteri ini harus mampu
bertahan terhadap pH yang sangat rendah. Waktu yang dibutuhkan bakteri mulai
masuk sampai keluar lambung adalah 90 menit. Setelah bakteri probiotik berhasil
melalui lambung, mereka akan memasuki saluran usus bagian atas dimana garam
empedu disekresikan. Setelah perjalanan melalui lingkungan yang sulit, bakteri
probiotik harus mampu menempel pada mukosa usus. Kemampuan menempel
pada sel epitel merupakan indikasi bahwa bakteri ini dapat melakukan kolonisasi
di dalam usus.
Untuk mendapatkan isolat yang memiliki sifat-sifat ini, sumber yang paling ideal
adalah isolat berasal dari jalur intestin manusia. Diperkirakan isolat yang mampu tumbuh pada
jalur intestin memiliki resistensi terhadap asam dan garam empedu. Syarat lain bakteri probiotik
adalah
kemampuannya
menghasilkan
senyawa
antimikroba
sehingga
mampu
menekan
pertumbuhan bakteri patogen enterik. Berbagai jenis senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh
bakteri probiotik adalah asam organik, hidrogen peroksida, diasetil dan diperkirakan juga
bakteriosin (protein atau polipeptida yang memiliki sifat antibakteri).
Rolfe (2000) menyatakan bahwa probiotik dapat berupa bakteri Gram
positif, Gram Negatif, khamir atau fungi. Namun mikroba-mikroba yang umum
digunakan dalam pembuatan minuman dan makanan probiotik terutama berasal
dari kelompok bakteri asam laktat (BAL). BAL sering digunakan sebagai
probiotik karena kebanyakan strainnya tidak patogen, bahkan beberapa strain
telah mendapatkan status GRAS (Generally Recognized As Safe) dari FDA. Selain
itu, kemampuannya untuk hidup di dalam saluran pencernaan dapat menekan
pertumbuhan bakteri patogen enterik sehingga dapat dimanfaatkan untuk menjaga
kesehatan tubuh dan potensi ini yang menyebabkan BAL digunakan sebagai
probiotik. Beberapa strain BAL yang berpotensi sebagai probiotik antara lain
Lactobacillus reuteri , Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophillus dan
Bifidobacterium.
Penelitian mengenai BAL sebagai probiotik dilakukan baik pada galur
bakteri itu sendiri atau pada produk pangan yang mengandung bakter i tersebut.
Produk pangan yang umum diteliti adalah produk susu, termasuk susu fermentasi
seperti yoghurt dan susu nonfermentasi yang ditambahkan kultur mikroba
(Sanders, 2000). Salah satu pengaruh probiotik yang menguntungkan bagi
kesehatan adalah mempertahankan keseimbangan mikroflora usus. Mikroflora
usus adalah ekosistem yang kompleks, yang terdiri dari berbagai jenis bakteri
dalam jumlah yang besar. Aktivitas dan kapasitas metabolik bakteri penghuni usus
sangat beragam yang dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif pada
fisiologi
usus.
Penelitian
untuk
mengubah
mikroflora
usus
ke
arah
menguntungkan dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kesehatan adalah topik
yang sangat menarik.
Terkait dengan kemampuan BAL sebagai probiotik, maka salah satu
pendekatan yang potensial adalah penggunaannya sebagai imunomodulator.
Menurut Tzianabos (2000), imunomodulator atau biologic respon modifier (BRM)
adalah komponen yang mampu berinteraksi dengan sistem imun serta
menimbulkan efek menstimulasi atau menekan sistem imun.
Bakteri probiotik telah banyak digunakan untuk terapi berbagai penyakit
pencernaan baik pada manusia maupun hewan. Mekanismenya belum begitu jelas
tetapi hal ini terkait langsung dengan sel epitel usus yang diinduksinya. Sel epitel
usus merupakan pertahanan utama pada usus dan berpartisipasi dalam respon
imun non spesifik. Sel epitel usus akan melepaskan beberapa proinflamatory
cytokine seperti interleukin-8 sebagai respon terhadap bakteri patogen enterik.
Untuk menggambarkan kondisi inflamasi pada usus secara in vitro , maka
digunakan alur sel HCT 116, yang merupakan sel kanker usus stadium lanjut pada
manusia (late phase adenocarcinoma). Alur sel HCT 116 berada dalam kondisi
inflamasi, sehingga banyak mensekresikan interleukin-8.
Penelitian yang berkembang selama ini adalah mengisolasi BAL dari
berbagai makanan fermentasi Indonesia seperti kecap ikan, asinan kubis, growol,
gatot, tempoyak, tape ketan, bekasam, dan lain -lain, dimana isolat- isolat tersebut
mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan sebagai kultur probiotik.
Sementara itu, kemampuan dan sifat yang dimiliki oleh masing-masing isolat
yang berhasil diisolasi sangat bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor
diantaranya kondisi lingkungan pertumbuhan. Maka perlu dicoba untuk
menyeleksi BAL hasil isolat lokal sehingga akan didapatkan isolat yang potensial
sebagai probiotik.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menyeleksi BAL hasil isolat lokal (susu
kuda liar, feses bayi, whey dan tanah di sekitar kandang laboratorium P3
Teknologi Bioindustri, Serpong) sehingga didapatkan isolat unggul probiotik
dengan karakteristik terbaik dalam hal ketahanan terhadap asam (pH rendah),
ketahanan terhadap garam empedu (bile), aktivitasnya sebagai penghambat bakteri
patogen, dan kemampua nnya menempel pada permukaan usus secara in vitro.
Kemudian dilihat pengaruh isolat unggul probiotik tersebut terhadap sekresi
interleukin-8 dari alur sel HCT 116 (sebagai model dari sel epitel usus).
Interleukin-8 merupakan salah satu proinflammatory cytokine yang dikeluarkan
oleh sel epitel usus saat terinfeksi oleh enterik patogen.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan isolat BAL yang
berpotensi sebagai probiotik, sehingga dapat digunakan sebagai kultur dalam
pembuatan dan pengembangan produk probiotik yang disertai dengan bukti ilmiah
mengenai potensinya sebagai imunomodulator.
TINJAUAN PUSTAKA
Probiotik
Istilah probiotik yang berasal dari bahasa Yunani yang artinya for life
memiliki pengertian yang berbeda-beda. Istilah probiotik yang pertama kali
dilontarkan oleh Lilley dan Stiwell pada tahun 1965, yang mendefinisikan
probiotik sebagai senyawa yang dihasilkan mikroba untuk menstimulir
pertumbuhan mikroba lainnya, sehingga merupakan lawan kata dari antibiotik
yaitu senyawa yang digunakan untuk membunuh mikroba. Kemudian definisi
probiotik berkembang menjadi organisme atau senyawa yang memiliki kontribusi
terhadap keseimbangan mikroflora saluran pencernaan.
Pada mulanya probiotik dikembangkan sebagai tambahan pada pakan
ternak untuk meningkatkan produktivitas dan kesehatan ternak. Definisi probiotik
selanjutnya diperbaiki oleh Fuller (1989) yang mendefinisikan probiotik sebagai
mikroba hidup yang disuplementasikan ke dalam makanan atau pakan dan
memiliki efek menguntungkan bagi inang yang mengkonsumsi melalui
keseimbangan mikroflora saluran pencernaan. Definisi yang hampir sama juga
disampaikan oleh Havenar et al. (1992) yang mengartikan probiotik sebagai kultur
mikroba tunggal atau campuran yang dapat diaplikasika n pada hewan atau
manusia yang memiliki efek menguntungkan dengan cara memperbaiki sifat-sifat
mikroflora indigenus pada saluran pencernaan.
Salminen dan Wright (1993) berpendapat bahwa probiotik adalah
sejumlah bakteri hidup, produk susu yang difermentasi atau suplemen makanan
yang mengandung BAL dalam kondisi hidup. Pernyataan ini kemudian
diperbaharui lagi oleh Salminen et al. (1999) yang menyatakan bahwa probiotik
adalah sediaan sel mikroba hidup atau komponen dari sel mikroba yang memiliki
pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya.
Mikroba probiotik pada umumnya dimasukkan dalam makanan
fermentasi yang berbasis susu. Alasan pemilihan produk ini adalah bahwa susu
yang sudah difermentasi (contohnya yoghurt) telah dikenal sebagai makanan yang
menyehatkan. Makanan yang mengandung mikroba probiotik untuk konsumsi
manusia tersebut telah dipasarkan di Jepang sejak tahun 1920. Bakteri yang
pertama digunakan adalah Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus casei yang
merupakan mikroba pada produk susu fermentasi. Saat ini jumlah spesies mikroba
yang digunakan dalam makanan probiotik sudah meningkat dengan pesat, tetapi
makanan pembawa kultur probiotik yang utama tetap susu fermentasi dengan
berbagai variasi produk olahannya.
Di Jepang Fermented Milks and Lactic Acid Bacteria Association
mensyaratkan jumlah minimal 1 x 107 bifidobacteria setiap g atau ml produk
makanan probiotik. Jumlah minimal sel probiotik yang dapat memberikan efek
kesehatan masih tetap belum jelas (kontroversial), tetapi peneliti yang lain
menyebutkan dosis terapi minimum 1 x 105 sel hidup setiap g atau ml produk.
Namun demikian dosis ini sebetulnya sangat tergantung dari jenis makanan serta
strain yang digunakan (Rahayu, 2004).
Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik
Bakteri asam laktat (BAL) adalah bakteri Gram positif yang bersifat
mikroaerofilik, tidak berspora, dan mampu memfermentasi karbohidrat menjadi
asam laktat. BAL ada yang berbentuk batang (Lactobacillus, Carnobacterium dan
Bifidobacterium) dan koki (Lactococcus, Vagococcus, Leuconostoc, Pediococcus,
Aerogonococcus dan Tetragenococcus). Perkembangan klasifikasi BAL yang
terbaru menurut Salminen dan Wright (1998), terdiri atas 16 genera yaitu
Aerococcus, Alloiococcus, Dolosigranulum, Globicatella, Carbobacterium,
Enterococcus,
Lactococcus,
Lactobacillus,
Lactosphera,
Leuconostoc,
Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus dan
Weissela. Sedangkan genus Lactobacillus dibagi lagi menjadi 3 subgenera yaitu
Betabacterium, Streptobacterium dan Thermobacterium.
Berdasarkan kemampuannya dalam metabolisme glukosa dan produk
akhir yang dihasilkan, BAL dibagi menjadi dua kelompok yaitu homofermentatif
dan heterofermentatif. BAL homofermentatif merupakan BAL yang memproduksi
asam laktat sebagai produk utama atau satu-satunya produk hasil fermentasi
glukosa, sedangkan BAL heterofermentatif yaitu BAL yang memproduksi laktat,
CO 2 dan etanol dari metabolisme heksosa. BAL homofermentatif digunakan
dalam pengawetan makanan karena produksi asam laktat dalam jumlah besar dan
mampu menghambat bakteri penyebab kebusukan makanan dan bakteri patogen
lainnya.
Sedangkan
golongan
heterofermentatif
lebih
ditujukan
kepada
pembentukan flavour dan komponen aroma, seperti asetaldehid dan diasetil
(Fardiaz, 1989).
BAL memiliki peranan yang penting pada kehidupan manusia, karena
kemampuannya untuk menghasilkan makanan fermentasi maupun kemampuannya
untuk hidup di dalam saluran pencernaan. Menurut Kozaki (1998), BAL berperan
pada beberapa proses fermentasi tradisional di Asia Tenggara. Dari penelitian
Rahayu dkk. (1996), yang mengisolasi beberapa makanan tradisional Indonesia
yaitu asinan rebung, asinan terong, growol, moromi, tape ubi kayu, tempe dan
tempoyak, diperoleh BAL yaitu Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus
pento sus sebagai Lactobacillus yang dominan. Pada penelitian tersebut juga
diketahui potensi BAL yang lain, yaitu kemampuannya menghasilkan senyawasenyawa tertentu selain asam laktat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
lain yang tidak dikehendaki. Kemampuan BAL untuk hidup di dalam saluran
pencernaan dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen enterik sehingga dapat
dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan tubuh dan potensi ini yang menyebabkan
BAL digunakan sebagai probiotik.
Menurut Mitsuoka (1990), BAL dapat dibagi atas 4 grup, berdasarkan
keberhasilan hidupnya di dalam saluran pencernaan manusia, yaitu :
A. Grup yang berhasil hidup di dalam lumen usus dan merupakan organisme
yang paling banyak ditemukan dalam spesimen usus manusia, contohnya
galur-galur dari Bifidobacterium.
B. Grup yang berhasil hidup di dalam lumen usus dan sering ditemukan dalam
spesimen usus manusia, contohnya Lactobacillus (Lactobacillus acidophilus,
Lactobacillus reuteri).
C. Grup yang berhasil hidup di dalam lumen usus dan kadang-kadang ditemukan
dalam spesimen usus manusia, contohnya Lactobacillus (Lactobacillus casei,
Lactobacillus brevis).
D. Grup yang sering digunakan dalam pembuatan produk susu dan tidak dapat
dijumpai
dalam
spesimen
usus
manusia,
contohnya
Lactobacillus
(Lactobacillus bulgaricus) dan laktokoki (Streptococcus thermophilus,
Streptococcus cremoris).
Menurut Bennet et al. (1993) bakteri dari genus Bifidobacteria dan
Lactobacillus telah terbukti memiliki efek probiotik pada manusia. Keberadaan
Lactobacillus dalam saluran pencernaa n penting untuk menjaga keseimbangan
ekosistem mikroba dalam usus. Bakteri ini menunjukkan aktivitas penghambatan
terhadap
pertumbuhan
bakteri
patogen
seperti
Listeria
monocytogenes,
Escherichia coli, Salmonella sp dan lainnya (Jacobsen et al. 1999). Penghambatan
ini disebabkan oleh produksi komponen penghambat seperti asam organik,
hidrogen peroksida, bakteriosin atau kompetisi dalam penempelan pada sel epitel
usus.
BAL dengan aktivitas probiotiknya berperan penting dalam mengatur
ekosistem saluran pencer naan. Aktivitas probiotik terbagi atas 3 spektrum, yaitu
nutrisi, fisiologi dan efek antimikroba (Naidu dan Clemens, 2000). Aspek nutrisi
berupa penyediaan enzim untuk membantu metabolisme komponen makanan
(laktase), sintesis beberapa jenis vitamin (K, folat, piridoksin, pantotenat, biotin
dan riboflavin) dan menghilangkan racun bagi metabolit komponen makanan di
dalam usus. Aspek fisiologi meliputi kemampuan menjaga keseimbangan
komposisi mikroflora usus dan menstimulasi sistem kekebalan usus. Dan yang
terakhir efek antimikroba meliputi kemampuan untuk memperbaiki ketahanan
terhadap bakteri patogen.
Karakteristik Probiotik
Karakteristik suatu isolat bakteri untuk dapat dikategorikan sebagai
probiotik antara lain memiliki aktivitas antagonis terhadap bakteri patogen,
mampu bertahan pada kondisi asam lambung dan tahan terhadap garam empedu
serta menempel pada permukaan usus.
Aktivitas Antagonis terhadap Bakteri Enterik Patogen
Bernett et al. (1997) menyatakan bahwa terdapat dua hipotesa mengenai
penurunan jumlah bakteri patogen dalam usus manusia. Dua hipotesa tersebut
adalah (1) sel BAL mampu mengganti posisi penempelan bakteri patogen di usus
dan (2) komponen antimikroba yang dimiliki BAL dapat menghambat bakteri
patogen. Hipotesa ini didukung oleh banyak penelitian yang menunjukkan
aktivitas antimikroba yang dimiliki galur -galur BAL dan terbukti mampu
menghambat pertumbuhan bakteri patogen.
Sifat antimikroba adalah suatu kemampuan antagonistik suatu senyawa
kimia untuk menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan. Menurut
Frazier dan Westhoff (1988), efektifitas antimikroba dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain (1) jenis, jumlah, umur dan latar belakang kehidupan mikroba,
(2) konsentrasi zat antimikroba, (3) suhu dan waktu kontak, (4) sifat fisika-kimia
substrat (pH, kadar air, tegangan permukaan, jenis dan jumlah zat terlarut, dan
senyawa lainnya).
Pelczar et al. (1993) mengemukakan bahwa senyawa antimikroba dapat
digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba
dengan mekanisme berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat proses
pembentukannya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk,
dan perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran zat
nutrisi dari dalam sel. Dengan rusa knya membran sitoplasma akan menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel. Pada umumnya bakteri Gram negatif
mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap senyawa antimikroba dibanding
bakteri Gram positif. Struktur dinding sel bakteri Gram negatif lebih kompleks
yaitu lapisan luar berupa lipoprotein, lapisan tengah berupa polisakarida dan
lapisan paling dalam adalah peptidoglikan (5-10%). Sedangkan struktur dinding
sel bakteri Gram positif lebih sederhana (90% dinding selnya terdiri dari
peptidoglikan), sehingga memudahkan senyawa antimikroba untuk dapat masuk
ke dalam sel (Gambar 1 ).
Drago et al. (1997) berhasil menguji kemampuan beberapa galur isolat
klinis Lactobacillus dalam menghambat bakteri patogen (E. coli, S. enteridis dan
Vibrio cholerae).
Hasil
penelitiannya
menunjukkan
bahwa
kemampuan
penghambatan BAL ini disebabkan oleh produksi senyawa antimikroba berupa
asam laktat dan metabolit lainnya seperti bakteriosin, hidrogen peroksida dan
asam lemak rantai pendek. Sebagian dari senyawa ini me mperlihatkan aktivitas
antagonistik terhadap banyak mikroba perusak dan patogen makanan (Havenar et
al. 1992).
Gambar 1. Struktur dinding sel bakteri Gram negatif dan Gram positif
(Lohner, 2001)
Menurut Ouwehand (1998), komponen antimikroba dari bakteri asam
laktat antara lain adalah asam organik, hidrogen peroksida, karbondioksida,
diasetil, reuterin dan bakteriosin. Asam organik yang dihasilkan BAL
mengakibatkan
akumulasi
produk
akhir
asam
dan
turunnya
pH
yang
menyebabkan penghambatan yang luas terhadap bakteri baik Gram positif
maupun negatif. Nilai pH rendah yang dicapai, konstanta disosiasi dan konsentrasi
asam menentukan aktivitas penghambatan dari asam yang dihasilkan. Asam-asam
lipofilik seperti asam laktat dan asetat dalam bentuk tidak terdisosiasi dapat
menembus sel mikroba dan pada pH intraseluler yang lebih tinggi, berdisosiasi
menghasilkan ion-ion hidrogen dan mengganggu fungsi metabolik esensial seperti
translokasi substrat dan fosforilasi oksidatif, dengan demikian mereduksi pH
intraseluler.
Pada kondisi aerob, BAL mampu memproduksi hidrogen peroksida
melalui transpor aktif dengan bantuan enzim flavin. Hidrogen peroksida dapat
merusak susunan membran lipid dan meningkatkan permeabilitas membran. Hal
ini merupakan efek bakterisidal dengan cara mengoksidasi sel bakteri dan
menyebabkan kerusakan asam nukleat dan protein sel (Naidu dan Clemens, 2000).
Di dalam susu, hidrogen peroksida mampu bereaksi dengan senyawa lain
membentuk senyawa yang mempunyai pengaruh antimikroba yang dis ebut sistem
laktoperoksidase (sistem LP). Dalam susu mentah, tiosianat (SCN-) pada
konsentrasi 1-10 ppm dioksidasi oleh enzim laktoperoksidase dengan adanya
hidrogen peroksida pada konsentrasi sekitar 10 mmol/L, menjadi senyawa
antibakteri yaitu hipotiosia nat (OSCN). Senyawa tersebut dapat mengganggu
enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme bakteri yang dapat menyebabkan
kematian (Reiter dan Harnulv, 1984).
Karbondioksida (CO 2) adalah produk akhir terbesar pada fermentasi
heksosa oleh BAL yang bersifat heterofermentatif. Beberapa BAL dapat
menghasilkan CO2 dari malat, sitrat dan arginin melalui jalur arginin deaminase.
Sifat antimikroba yang dimiliki karbondioksida berupa kemampuan menciptakan
kondisi lingkungan yang anaerobik dengan cara mengganti posisi oksigen,
menurunkan nilai pH dan merusak membran sel. Oleh sebab itu karbondioksida
mempunyai spektrum penghambatan yang relatif luas (Naidu dan Clemens, 2000).
Diasetil (2,3-butanedione) adalah produk akhir pada metabolisme piruvat
melalui fermentasi sitrat oleh BAL. Sifat antimikroba yang dimiliki diasetil lebih
efektif terhadap bakteri Gram negatif, khamir dan kapang. Diasetil mengganggu
penggunaan arginin oleh bakteri Gram negatif dengan cara bereaksi dengan
arginin yang terikat pada protein sel. Diasetil sebagai senyawa antimikroba
terbukti efektif terhadap bakteri Gram negatif seperti Salmonella typhimurium dan
Escherichia coli (Davidson dan Hoover, 1993).
Reuterin adalah senyawa antimikroba dengan spektrum luas yang efektif
terhadap bakteri Gram nega tif, khamir, kapang dan protozoa. Senyawa ini
menghambat enzim-enzim sulfhidril seperti ribonukleotida reduktase, suatu enzim
yang terlibat dalam biosintesis DNA. Reuterin dihasilkan oleh Lactobacillus
reuterii yang terdapat dalam alat pencernaan manusia dan hewan. Berat molekul
reuterin adalah kurang dari 200 Da dan tahan terhadap aktivitas protease. Reuterin
merupakan campuran dengan komposisi berimbang dari monomer hidrat dan
dimer siklik dari â-hidroksipropionaldehida yang terbentuk selama metabolisme
anaerobik gliserol dan gliseraldehid (Talarico dan Dobrogosz, 1989).
Bakteriosin
merupakan
produk
metabolit
sekunder
BAL
yang
mempunyai kesamaan kerja seperti antibiotik, yaitu mampu menghambat
pertumbuhan beberapa bakteri tertentu. Bakteriosin adalah senya wa protein, oleh
karena itu disintesis melalui mekanisme biosintesis protein secara umum yang
melibatkan transkripsi dan translasi (Davidson dan Hoover, 1993). Sifat
antimikroba yang dimiliki bakteriosin adalah spesifik untuk spesies tertentu dan
aktivitas penghambatannya melalui adsorpsi pada reseptor spesifik atau
nonspesifik yang terdapat pada permukaan luar sel bakteri yang dituju. Adsorpsi
ini diikuti dengan perubahan metabolik, biologi dan morfologi, selanjutnya bakteri
yang diserang akan mati (Naidu dan Clemens, 2000). Target utama dari
bakteriosin yang diproduksi BAL kemungkinan besar adalah membran
sitoplasma,
permeabilitas
karena
bakteriosin
membran
sehingga
memulai
reaksi-reaksi
mengganggu
transpor
yang
mengubah
membran
atau
menghilangkan tenaga gerak proton yang mengakibatkan terhambatnya produksi
energi dan biosintesis protein atau asam nukleat (Nissen-Meyer, 1992).
Galur murni Lactobacillus sp. yang diisolasi dari produk probiotik
komersial mampu menghambat Listeria monocytogenes, Escherichia coli,
Salmonella typhimurium dan Salmonella enteridis (Chateu et al. 1993). Menurut
Salminen et al. (1993), Lactobacillus acidophilus bersifat antagonistik terhadap
pertumbuhan Salmonella typhimurium. Pada penderita yang terinfeksi Salmonella
pada
ususnya, terbukti akan sembuh bila mengkonsumsi Lactobacillus
acidophilus dalam jumlah besar (3,0 x 10 12 cfu/ml). Namun pemberian probiotik
tidak mempengaruhi lamanya diare, hanya menurunkan frekuensinya (Naidu dan
Clemens, 2000). Lactobacillus acidophilus merupakan bakteri yang secara normal
terdapat di saluran usus manusia dan mampu memproduksi senyawa antimikroba
seperti hidrogen peroksida, asam organik dan antibiotik.
Ketahanan terhadap Asam Lambung
Ketahanan terhadap asam lambung merupakan syarat penting sua tu
isolat untuk dapat menjadi probiotik. Hal ini disebabkan bila isolat tersebut masuk
ke dalam saluran pencernaan manusia, maka ia harus mampu bertahan dari pH
asam lambung yaitu sekitar 2,5 (Jacobsen et al. 1999). Hasil sekresi lambung yang
dikenal dengan istilah getah lambung merupakan cairan jernih berwarna kuning
pucat yang mengandung HCl 0,2 – 0,5% dengan pH sekitar 1 (bila lambung dalam
kondisi benar-benar kosong). Getah lambung terdiri atas air (97 – 99%), musin
(lendir) serta garam anorganik, enzim pencernaan (pepsin serta renin) dan lipase.
Berrada et al. (1991) yang dikutip oleh Chou dan Weimer (1999) menyatakan
bahwa waktu yang diperlukan mulai saat bakteri masuk sampai keluar dari
lambung sekitar 90 menit. Jadi isolat yang diseleksi untuk diguna kan sebagai
probiotik harus mampu bertahan dalam keadaan asam lambung selama sedikitnya
90 menit.
BAL adalah mikroorganisme fermentatif yang dapat hidup pada kisaran
pH yang luas. Pertahanan utama sel bakteri dari lingkungannya adalah membran
seluler yang terdiri atas struktur lemak dua lapis. Bila sel bakteri terpapar pada
kondisi yang sangat asam, maka membran sel dapat mengalami kerusakan dan
berakibat hilangnya komponen-komponen intraseluler, seperti Mg, K dan lemak
dari sel. Biasanya kerusakan ini me nyebabkan kematian pada sel. Kondisi ini
dapat dideteksi dengan cara mengukur konsentrasi komponen intraseluler yang
keluar dari dalam sel. Bakteri yang toleran terhadap asam, membran selnya lebih
tahan terhadap kebocoran akibat pH rendah dibandingkan dengan yang tidak
tahan asam.
Toleransi BAL yang cukup tinggi terhadap asam juga disebabkan oleh
kemampuannya untuk mempertahankan pH sitoplasma lebih basa daripada pH
ekstraseluler. Menurut Siegumfeldt et al. (2000), pada BAL terjadi perubahan
dinamis pH intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan pH ekstraseluler
sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Bagi BAL gradien proton yang
besar tidak menguntungkan sebab translokasi proton menggunakan banyak energi.
Selain itu gradien proton yang besar mengakibatkan akumulasi anion, asam
organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut.
BAL tidak hanya tumbuh dengan lambat pada pH rendah, tapi kerusakan
akibat asam dan hilangnya viabilitas juga dapat terjadi pada sel bakteri yang
terpapar pa da pH rendah. Tiap galur memiliki ketahanan yang berbeda terhadap
asam atau pH rendah. Contohnya Lactobacillus lebih toleran terhadap pH rendah
daripada laktokoki dan streptokoki. Zavaglia et al. (1998) telah menguji ketahanan
isolat klinis Bifidobacteria bila terpapar pada pH 3,0 selama 1 jam. Hasilnya
menunjukkan bahwa sebanyak 11 dari 25 isolat klinis Bifidobacteria berhasil
hidup dalam kondisi pH rendah, dengan ketahanan lebih besar dari 1%. Jacobsen
et a.l (1999) menguji ketahanan 47 isolat BAL dari berbagai sumber pada pH 2,5.
Dari 47 isolat tersebut hanya 29 isolat yang mampu bertahan pada pH 2,5 dan
tidak ada satupun yang mampu tumbuh setelah inkubasi 4 jam. Sedangkan Chou
dan Weimer (1999) menyeleksi 7 isolat Lactobacillus acidophilus dan hasilnya
menunjukkan bahwa semua isolat tahan terhadap pH 3,5 selama 90 menit.
Isolat BAL dari dadih yang berhasil diisolasi oleh Elida (2002) ternyata
menunjukkan ketahanan yang cukup tinggi saat dipaparkan pada pH 3,5 selama
24 jam. BAL yang diisolasi dari dadih tersebut (Lactobacillus brevis ae4,
Streptococcus lactis subsp. diacetylactis abk1, Leuconostoc mesenteroides abk1
dan Leuconostoc paramesenteroides dk7) memiliki ketahanan terhadap asam
berkisar antara 70-90% dengan penurunan sebesar 1 log dari jumlah awal 108
cfu/ml. Sedangkan isolat BAL dari tempoyak mempunyai ketahanan yang lebih
rendah yaitu sebesar 40% pada pH 2,5 yang berarti bahwa BAL yang diisolasi
dari tempoyak tersebut lebih sensitif terhadap asam (Wirawati, 2002).
Kusumawati (2002) melakukan sele ksi BAL asal makanan fermentasi
Indonesia dan hasilnya menunjukkan hampir semua isolat memiliki ketahanan
yang baik untuk tumbuh pada pH rendah dengan penurunan jumlah koloni pada
pH rendah dibandingkan kontrol tidak sampai 1 unit log/ml, kecuali Lactobacillus
Plantarum FNCC 107 mengalami penurunan 1,1 unit log/ml. Sedangkan
Evanikastri (2003) menguji ketahanan 17 isolat klinis BAL yang diisolasi dari
feses bayi. Dari 17 isolat ternyata terdapat 13 yang mengalami penurunan jumlah
koloni kurang dari 1 unit log/ml (paling resisten), sedangkan 4 isolat lainnya
mengalami penurunan jumlah koloni antara 1,5 – 3,5 unit log/ml (resisten).
Ketahanan terhadap Garam Empedu (Bile Salt)
Lactobacillus adalah mikroflora normal yang terdapat di dalam saluran
pencernaan manusia dan mempunyai ketahanan yang bervariasi terhadap garam
empedu. Ketahanan isolat klinis BAL terhadap garam empedu juga merupakan
syarat penting untuk probiotik. Seperti halnya ketahanan terhadap asam, menurut
Zavaglia et al. (1998) dan Jacobsen et al. (1999), semua mikroba yang berhasil
hidup setelah ditumbuhkan dalam MRSA yang ditambah 0,3% oxgal, dinyatakan
bersifat tahan terhadap garam empedu. Konsentrasi garam empedu sebesar 0,3%
merupakan konsentrasi yang kritikal, nilai yang cukup tinggi untuk menyeleksi
isolat yang resisten terhadap garam empedu.
Asam empedu disintesa dalam hati dari kolesterol, menghasilkan
senyawa asam empedu primer. Asam empedu ini berkonjugasi dengan glisin atau
taurin dan disekresikan ke dalam kantung empedu sebagai asam empe du
terkonjugasi. Asam empedu di dalam kantung empedu dilepaskan ke dalam lumen
duodenum dalam bentuk misel dengan asam lemak dan gliserol yang dihasilkan
oleh pencernaan lipase pankreatik. Menurut Corzo dan Gilliland (1999), antara
5.500 sampai 35.500 mg asam empedu terkonjugasi disekresikan ke dalam usus
kecil manusia setiap harinya untuk membantu absorpsi lemak makan, kolesterol,
vitamin hidrofobik dan senyawa larut lemak yang lain. Asam empedu terkonjugasi
diserap dari usus kecil (sekitar 97%) dan dikembalikan ke dalam hati melalui
sirkulasi hepatik. Sebagian kecil dari asam empedu (250–400 mg) yang tidak
terserap hilang dari tubuh manusia sebagai asam empedu bebas di feses.
Mekanisme di mana asam empedu diserap dalam usus kecil dan kolon, disintesa
kembali dan disekresikan lagi dikenal sebagai sirkulasi hepatik.
Laktobasili yang paling bersifat resisten terhadap garam empedu terdapat
pada bagian atas usus halus (jejunum). Hal ini juga dilaporkan oleh Ray (1996)
dan Drouault et al. (1999), bahwa jumlah BAL yang terdapat di jejunum lebih
rendah dibanding ileum, caecum dan colon (Tabel 1). Hal ini disebabkan
konsentrasi garam empedu pada bagian jejunum paling tinggi daripada ileum,
karena lokasinya paling dekat bila garam empedu masuk ke dalam saluran usus.
Tabel 1. Populasi kelompok bakteri utama pada usus manusia (Ray, 1996)
Kelompok Bakteri
Lactobacillus
Gram positif, tidak berspora,
anaerob
Enterococcus
Bacteroides
Enterobacteriaceae
Jumlah bakteri (log10 CFU/ml)
Jejunum
Ileum
Colon
Feses
3
2
5
2
6
5
6
6
3
3
3
5
3
4
7
7
6
7
9
8
Menurut Smet et al. (1995) beberapa Lactobacillus mempunyai enzim
dengan aktivitas untuk menghidrolisa garam empedu (bile salt hydrolase, BSH).
Enzim ini mampu mengubah kemampuan fisika-kimia yang dimiliki oleh garam
empe du, sehingga tidak bersifat racun bagi BAL. Semakin tinggi konsentrasi
garam empedu, maka jumlah sel Lactobacillus yang mati juga akan meningkat
(Ngatirah et al. 2000 ; Kusumawati, 2002). Hal ini disebabkan karena peningkatan
aktivitas enzim β-galaktosidase terhadap garam empedu, sehingga meningkatkan
permeabilitas membran sel. Bila permeabilitas membran sel meningkat maka
banyak materi intraseluler yang keluar dari dalam sel. Bila hal ini berlangsung
terus-menerus akan menyebabkan lisis sel bakteri.
Ngatirah et al. (2000) menguji ketahanan isolat BAL yang diisolasi dari
makanan fermentasi dan feses bayi terhadap garam empedu. Pengujian dilakukan
pada MRSB yang mengandung garam empedu 10% selama 24 jam. Ketahanan
terhadap garam empedu dihitung berdasarkan se lisih unit OD (Optical Density)
pada panjang gelombang 660 nm yang dicapai setelah inkubasi 24 jam dengan
OD pada awal inkubasi yang hasilnya berkisar antara 1,16-2,34. Dari penelitian
tersebut terungkap bahwa isolat yang diisolasi dari sumber yang sama me miliki
ketahanan terhadap garam empedu yang beragam atau ketahanan terhadap garam
empedu bersifat strain dependent.
Kusumawati (2002) melaporkan bahwa isolat BAL yang diisolasi dari
makanan fermentasi asal Indonesia menunjukkan perbedaan ketahanan untuk
tumbuh pada lingkungan yang mengandung garam empedu 1% dan 5%, dimana
perbedaan tersebut bersifat beragam untuk masing-masing galur. Pada konsentrasi
1%, Lactobacillus acidophilus FNCC 116 memiliki selisih log yang terkecil yaitu
0,73 unit log/ml dan pada konsentrasi 5% Lactobacillus plantarum To22 memiliki
selisih log yang terkecil yaitu 0,68 unit log/ml, dimana hasil tersebut tidak
berbeda nyata dengan beberapa galur yang lain.
Menurut Wirawati (2002), ketahanan isolat BAL asal tempoyak terhadap
garam empedu 0,3% berkisar antara 34,8% - 100%. Berdasarkan kisaran tersebut
terlihat bahwa isolat BAL asal tempoyak relatif tahan terhadap garam empedu.
Bahkan isolat To 8 tidak menunjukkan penurunan selama inkubasi 24 jam.
Evanikastri (2003) menguji ketahanan 17 isolat klinis bakteri asam laktat terhadap
garam empedu 0,5%. Hasilnya menunjukkan bahwa Lactobacillus G1 mempunyai
ketahanan yang baik terhadap garam empedu kemudian disusul berturut -turut oleh
F1, G2, M, Kk, Nkp, En6, K, F2 dan Ae1 (penurunan log < 1,0 cfu/ml).
Lactobacillus N merupakan isolat yang paling sensitif terhadap 0,5% garam
empedu.
Penempelan Bakteri pada Permukaan Padat
Kemampuan menempel suatu isolat BAL untuk dapat dijadikan sebagai
probiotik merupakan syarat penting bagi bakteri untuk dapat mendatangkan
manfaat bagi manusia yang mengkonsumsinya. Bakteri akan mengkolonisasi dan
membentuk biofilm pada permukaan padat bila telah dapat menempel secara tetap
(reversibel). Pada BAL yang akan digunakan sebagai probiotik, biofilm pada
permukaan padat diharapkan dapat menjadi indikasi kemampuan membentuk
biofilm yang stabil di permukaan usus manusia sehingga mampu mendominasi
dan mencegah bakteri lain untuk tumbuh. Biofilm pada permukaan ini harus stabil
terhadap gerakan peristaltik usus, sehingga bakteri yang sudah menempel tidak
mudah lepas.
Salah satu sifat yang mempengaruhi sifat penempelan bakteri pada
permukaan padat adalah sifat hidrofobisitas sel bakteri. Sifat hidrofobisitas
menunjukkan kecenderungan bakteri untuk saling menempel, semakin tinggi sifat
hidrofobisitasnya maka semakin besar kecenderungan mikroba tersebut untuk
mengkolonisasi, membentuk agregasi atau menempel (Zavaglia et al. 1998).
Namun penelitian yang dilakukan Elida (2002), Wirawati (2002) dan Syafia
(2002) menunjukkan bahwa sifat hidrofobik tidak mempengaruhi sel BAL untuk
dapat membentuk agregat atau menempel pada permukaan padat. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa BAL yang bersifat hidrofilik baik dari isolat
makanan (Elida, 2002; Wirawati, 2002 dan Syafia, 2002) maupun isolat klinis
(Syafia, 2002) ternyata mampu membentuk agregat dan menempel dengan baik
pada stainless steel. Penempelan bakteri dapat dilihat dengan menggunakan
mikroskop epifluoresens, mikroskop elektron dan mikroskop SEM (Scanning
Electron Microscope).
Pengujian penempelan bakteri terhadap sel inangnya dapat dilakukan
secara in vitro maupun in vivo. Pengujian secara in vitro dapat dilakukan dengan
cara menggunakan permukaan padat seperti lempeng baja (stainless steel), karet
atau kultur sel seperti sel Caco-2. Pengujian dengan stainless steel diharapkan
dapat memberikan indikasi sifat penempelan bakteri tersebut pada usus manusia
yang mengindikasikan pula bahwa bakteri dapat melakukan kolonisasi di dalam
usus. Morita et al. (2002) melakukan penelitian penempelan 11 isolat Lactobacilli
dan 19 isolat Bifidobacterium pada sel Caco-2 dan melihat efeknya terhadap
sekresi cytokine. Hasilnya tidak ada korelasi antara sifat penempelan BAL dengan
produksi cytokine oleh sel epitel usus. Hal ini berarti, BAL dengan sifat
penempelan yang kuat belum tentu dapat merespon proses inflamasi dengan
maksimal.
Menurut Ouwehand et al. (1999), sifat penempelan BAL merupakan
suatu prasyarat utama dan sering diklaim sebagai kelebihan bakteri ini dibanding
bakteri lainnya, tetapi sebenarnya penelitian tentang mekanisme penempelan BAL
pada saluran usus belum banyak dilaporkan. Tannock (1990) menyimpulkan
bahwa Lactobacillus menempel pada dinding usus melalui zat ekstraseluler yang
mengandung polisakarida, protein, lipid dan asam lipoteikoat. Asam teikoat juga
berpartisipasi dalam penempelan Streptococci pada sel mamalia.
Menurut Jay (1996), flora normal yang berada pada permukaan sel
mukosa mempunyai sifat penempelan yang lebih tinggi dibanding bakteri
pembusuk dan bakteri patogen. Hal ini penting untuk mencegah bakteri pembusuk
dan bakteri patogen menempel dan merusak usus. Bila flora normal berhasil
menempel pada permukaan sel mukosa, maka bakteri ini akan mengkolonisasi
seluruh permukaan usus sehingga bakteri lain tidak dapat hidup. Bakteri yang
tidak dapat mengkolonisasi sel mukosa tidak bertahan lama karena tidak mampu
bersaing dalam memperoleh makanan.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa penempelan bakteri pada
permukaan padat berhubungan dengan asal isolat. Kusumawardhani (2002)
melaporkan bahwa isolat klinis BAL yang terdiri dari Lactobacillus brevis,
lactobacillus casei subsp. rhamnosus dan Lactobacillus acidophilus mempunyai
kemampuan menempel pada stainless steel yang lebih rendah (3,85 - 4,05 log
sel/cm2) dibanding isolat makanan yaitu Lactobacillus brevis (4,4 log sel/cm2 ).
Hal yang sama juga ditemukan oleh Triputro (2002), Senjani (2002) dan Syafia
(2002) walaupun perbedaan yang terjadi tidak begitu besar. Todoriki et al. (2001)
melaporkan bahwa Lactobacillus yang diisolasi dari saluran pencernaan
mempunyai kemampuan menempel yang lebih baik dibandingkan Lactobacillus
yang diisolasi dari makanan hasil fermentasi.
Morata et al. (1999) melakukan penelitian mengenai penempelan
Lactobacillus casei CRL 431 pada sel usus tikus. Hasilnya menunjukkan bahwa
Lactobacillus casei yang diisolasi dari usus manusia mempunyai kemampuan
menempel yang lebih baik dibanding Lactobacillus casei yang diisolasi dari
produk susu. Penempelan tersebut terjadi pada suhu 37 0 C dengan pH 6-7,5.
Kimoto et al. (1999), melaporkan bahwa Lactococcus johnsonii La1 dan
Lactococcus lactis ssp. lactis NIAI 527 memiliki kemampuan menempel dengan
kuat pada sel Caco-2. Sedangkan 5 isolat lainnya yaitu menempel dengan
intensitas yang bervariasi. Penempelan diamati dengan Scanning Electron
Microscope.
Greene dan Klaenhammer (1994) melaporkan bahwa Lactobacillus yang
berasal dari isolat klinis memiliki kemampuan menempel pada sel Caco-2
manusia lebih tinggi jika dibandingkan dengan kultur yang berasal dari produk
susu. Salminen (1992) melaporkan bahwa Lactobacillus GG yang merupakan
isolat klinis dapat mengkolonisasi saluran usus manusia dan menempel lebih kuat
jika dibandingkan dengan Lactobacillus dan Streptococcus yang digunakan
sebagai kultur starter dalam industri susu.
Respon Imun
Respon imun merupakan sistem interaktif komplek dari beragam jenis
sel imunokompeten yang bekerjasama dalam proses identifikasi dan eliminasi
mikroorganisme patogen dan zat–zat berbahaya lainnya yang masuk ke dalam
tubuh. Semakin baik respon imun tubuh, semakin baik status kesehatan seseorang.
Gangguan respon imun berakibat pada penurunan daya tahan tubuh sehingga
meningkatkan angka kesakitan, menurunkan stamina, kemampuan belajar dan
produktivitas kerja.
Respon imun dibedakan dalam respon imun non spesifik dan spesifik.
Respon
imun
non
spesifik
timbul
sebagai
reaksi
terhadap
serangan
mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya melalui fagositosis oleh netrofil
dan monosit (makrofag). Respon imun spesifik meliputi respon imun seluler dan
humora l. Leukosit khususnya limfosit berperan penting dalam respon imun
spesifik. Respon imun seluler memberikan pertahanan terhadap mikroorganisme
intra dan ekstraseluler melalui sekresi limfokin seperti interferon dan interleukin.
Sedangkan respon imun humoral memberi pertahanan melalui produksi antibodi
terhadap antigen spesifik (Roitt, 1991 ; Kuby, 1992 ; Kresno, 1996).
Respon Imun Non Spesifik
Proses pertahanan tubuh melawan serangan mikroorganisme patogen
dan zat asing berbahaya lainnya pada respon imun non spesifik melibatkan
fagositosis oleh netrofil dan monosit (makrofag). Makrofag berperan penting
dalam pertahanan badan melawan infeksi dan penting dalam pengaturan kondisi
fisiologi. Makrofag berperan dalam proses fagositosis, pengaturan respon imun,
sekresi dan sebagai scavenger. Karena merupakan fagosit profesional, makrofag
mampu menelan dan menghancurkan patogen yang tidak dapat secara efektif
dikontrol netrofil, terutama organisme intraseluler dan yang menyebabkan respon
inflamasi.
Selama fagositosis dan aktivasi, makrofag melepaskan produk toksik
seperti radikal oksigen dan enzim proteolitik ke lingkungan. Penambahan produk
toksik yang terlalu besar mungkin berperan pada timbulnya berbagai penyakit
karena mengakibatkan kerusakan jaringan lokal oleh reaksi inflamasi. Pada
pengaturan respon imun, makrofag dapat bertindak sebagai fagosit profesional
dan antigen presenting cell (APC). Sebagai fagosit profesional, makrofag dan
monosit menelan dan menghancurkan patogen yang dijumpai karena mengandung
hidrolase asam dan peroksidase (Roitt, 1991). Sebagai APC, makrofag membantu
aktivasi set T dengan cara mengikat antigen yang masuk ke badan sebelum
dikenal sel limfosit T. APC memproduksi dan melepaskan sitokin seperti
interleukin.
Respon Imun Spesifik
Limfosit merupakan sel imunokompeten non fagositik yang berfungsi
dalam respon imun spesifik yaitu respon imun seluler dan humoral. Pada manusia
normal, limfosit B (sel B) berjumlah 5-15% dan limfosit T (sel T) berjumlah 6580% dari total limfosit (Kresno, 1996). Sel B berperan dalam respon imun
humoral yaitu produksi antibodi terhadap antigen spesifik yang masuk ke dalam
tubuh, sedangkan sel T berfungsi dalam respon imun seluler.
Proses produksi antibodi oleh sel B dibantu oleh subset sel T yaitu sel Th
(Thelper). Ketika terekspos pada antigen eksogenous, sel B mengenali epitop pada
antigen dan menangkapnya secara spesifik melalui reseptor sIg membran dan
diproses melalui jalur endosomal. Fragmen antigen dipresentasikan pada
permukaan membran bersama dengan molekul Major Histocompatibility Complex
kelas II (MHC II) membentuk komplek antigen-MHC II. Molekul CD4 pada sel
Th mengenali antigen pada komplek tersebut, sehingga sel Th teraktivasi dan
terstimulasi untuk mensekresi sejumlah sitokin seperti interleukin dan interferon
yang dapat menstimulasi berbagai tahap pembelahan dan diferensiasi sel B
menjadi sel-sel plasma yang dapat mensekresi antibodi dan sel memori (Roitt,
1991). Satu sel plasma dapat mensekresi beribu-ribu molekul antibodi setiap
detik. Sel B yang teraktivasi mengalami serangkaian proses pembelahan dan
diferensiasi sel setiap 24 jam selama periode 5 hari.
Sel T memiliki molekul T Cell Antigen Reseptor (TCR) yang dapat
mengenali epitop suatu antigen melalui kerjasama dengan molekul protein
permukaan pada APC yaitu MHC. Sel T teraktivasi oleh antigen spesifik sehingga
terstimulasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan
berbagai sel T efektor yang mensekresi berbagai limfokin. Limfokin tersebut
berpengaruh pada aktivasi sel B, sel Tc, sel-sel fagositik, sel NK dan sel lain yang
terlibat dalam respon imun.
Reaksi Inflamasi
Bila sel-sel atau jaringan tubuh mengalami cidera maka akan timbul
respon pada sistem pertahanan tubuh yang dinamakan inflamasi. Inflamasi adalah
pengiriman cairan, zat-zat terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan
interstitial pada daerah cidera yang diikuti dengan pengeluaran zat-zat penyebab
luka. Proses terjadinya inflamasi dan beberapa faktor yang terlibat didalamnya
dapat dilihat pada Gambar 2.
Pada Gambar 2 terlihat adanya dua jalur utama pada proses inflamasi.
Jalur pertama merupakan proses pelepasan beberapa meditor yang berbeda
jenisnya. Mediator yang terpenting adalah prostaglandin dan mediator lainnya
adalah histamin dan serotonin. Jalur kedua merupakan jalur aktivasi sistem imun
yang melibatkan sistem imun seluler dan sistem imun humoral. Pada jalur sistem
imun seluler, sel-sel secara aktif memproduksi bermacam-macam faktor terutama
interleukin. Pada jalur sistem imun humoral melibatkan aktivasi leukosit. Sebelum
aktivasi leukosit terjadi proses pembentukan antibodi dan pengaktifan sistem
komplemen yang merupakan tahapan proses yang sangat penting dalam proses
peradangan. Setelah terjadi infiltrasi leukosit, proses selanjutnya adalah
fogositosis dan pelepasan enzim-enzim lisosomal (Timmerman, 1995).
KERUSAKAN
Aktivasi sistem imun
JARINGAN
Respon imun
Pelepasan mediator
(prostaglandin,
humoral
Respon imun
histamin, serotonin)
Pembentukan
Vasodilatasi
antibodi
Faktor-faktor
Kemerahan
Kemotaksis
Infiltrasi
Beberapa
Peningkatan
permeabilitas
Fagositosis :
Enzim-enzim lisosomal
edema
Kerusakan jaringan
Sakit
demam
Reaksi-reaksi
Gambar 2. Proses terjadinya inflamasi (Timmerman, 1995)
Probiotik sebagai Imunomodulator
Imunomodulator adalah senyawa atau sekelompok senyawa yang
mampu memodifikasi
respon biologi sehingga mempengaruhi respon imun
apakah akan distimulasi atau disupresi (Stites et al. 1997). Sedangkan Tzianabos
(2000) mendefinisikan imunomodulator atau biologic respon modifier (BRM)
sebagai komponen yang mampu berinteraksi dengan sistem imun serta
menimbulkan efek menstimulasi atau menekan sistem imun.
Komponen bakteri adalah salah satu imunomodulator yang pertama
dikenal. Lipopolisakarida (LPS) yang berasal dari membran sel bakteri dan
phytohemaglutinin
(PHA)
yang
berasal
dari
tanaman
adalah
contoh
imunomodulator yang bersifat menstimulasi proliferasi sel B dan T (Stites et al.,
1997). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi suatu komponen bersifat
imunomodulator seperti dosis, cara dan waktu pemberian. Faktor lain yang juga
berperan adalah bentuk dan lokasi terjadinya mekanisme imunomodulasi oleh
komponen tersebut (Tzianabos, 2000).
Mekanisme imunomodulasi bakteri probiotik adalah melalui sel epitel
usus yang diinduksinya. Sel epitel usus merupakan membran pertahanan dan
berperan dalam proses inflamasi atau respon imun di usus. Pada kasus infeksi
saluran pencernaan atau kondisi peradangan di usus seperti Inflamatory Bowel
Disease (IBD), sel-sel yang berperan dalam proses inflamasi seperti monosit dan
limfosit akan teraktivasi. Sel tersebut mengeluarkan berbagai macam produk
inflamasi seperti sitokin dan kemokin. Sekresi sitokin yang berlebihan
menyebabkan tindakan biologis dari sel epitel usus. Sebagai contoh, TNF-á akan
menginduksi sel epitel usus untuk mensekresikan interleukin-8.
Sitokin adalah protein yang diproduksi oleh banyak jenis sel yang berperan dalam
inflamasi dan respon imun (merupakan mediator utama dalam komunikasi antar
sel sistem imun). Sedangkan kemokin adalah sitokin yang berperan dalam
pergerakan (kemotaksis) sel-sel leukosit (limfosit, monosit dan neutrofil) ke
tempat infeksi atau kerusakan jaringan sehingga mempermudah interaksi antar sel.
Mikroflora normal pada saluran pencernaan manusia terdiri dari
bermacam-macam populasi bakteri yang berperan penting dalam pertahanan
mukosa usus dan kekebalan non spesifik. Penelitian untuk memanipulasi flora
normal usus menggunakan probiotik memiliki efek yang menguntungkan terhadap
kesehatan dengan meningkatnya bakteri yang menguntungkan di usus. Penelitian
untuk mempelajari mekanisme aksi probiotik di epitel usus dan sistem imun yang
berperan di dalamnya sangatlah menarik.
Bai AP et al. (2004) melakukan penelitian untuk mempelajari efek
probiotik terhadap sekresi interleukin-8 dari sel epitel usus ketika distimulasi oleh
proinflamatory cytokine. Untuk menggambarkan kondisi inflamasi pada usus
secara in vitro , maka digunakan TNF-á untuk menstimulasi alur sel HT 29
mensekresikan interleukin-8. Kedua isolat probiotik yaitu Bifidobacterium longum
dan Lactobacillus bulgaricus mampu menurunkan sekresi interleukin-8 dari alur
sel HT 29. Hal ini membuktikan bahwa kedua isolat probiotik tersebut dapat
menekan proses inflamasi (anti-inflamasi) di sel epitel usus. Karena perannya
sebagai anti-inflamasi, maka probiotik dapat digunakan untuk terapi penderita
IBD (Inflamatory Bowel Disease).
Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Donglai Ma et al. (2004)
yang mempelajari efek Lactobacillus reuterii terhadap produksi sitokin dan
respon interleukin -8 yang diinduksi TNF-á pada sel epitel usus menggunakan alur
sel T84 dan HT 29. Dosis penghambatan yang efektif terhadap sekresi interleukin8 dari alur sel T84 adalah pada konsentrasi 10 7 cfu/ml dan pada kedua alur sel
tersebut, Lactobacillus reuterii mampu menurunkan sekresi interleukin -8.
Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan Neish et al. (2000), dimana
Salmonella pullorum yang bersifat non patogen mampu menurunkan sekresi
interleukin-8 yang diinduksi TNF-á pada alur sel T84, tetapi sebaliknya
Salmonella enterica serovar Typhimurium yang bersifat patogen dapat
meningkatkan sekresi interleukin -8 dari alur sel T84.
Selain itu, mengkonsumsi BAL yang berpotensi sebagai probiotik baik
melalui produk fermentasi susu atau sebagai sel hidup memberikan keuntungan
terhadap kesehatan manusia, termasuk keuntungan melawan penyakit pada
saluran pencernaan misalnya diare, konstipasi, kanker usus dan lain sebagainya.
Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan mengkonsumsi BAL antara lain :
1. Melawan pertumbuhan mikroflora indigenus usus yang tidak menguntungkan
dan mengontrol infeksi usus yang disebabkan oleh patogen enterik
(Klaenhammer, 2000; Rolfe, 2000).
2. Mengurangi lactose intolerance dengan jalan meningkatkan aktivitas dan
produksi β-galaktosidase (Ray, 1996 ; Sanders, 2000 ; Klaenhammer, 2000).
3. Mengurangi kanker usus besar dan organ-organ pencernaan lainnya (Ray,
1996 ; Galllaher et al. 1999 ; Sanders, 2000 ; Brady et al. 2000 ;
Klaenhammer, 2000).
4. Mengurangi kadar kolesterol darah dan penyakit jantung koroner (Ray, 1996 ;
Sanders, 2000 ; Ngatirah dkk. 2000 ; Kusumawati, 2002).
5. Menstimulir sistem imunitas dan pergerakan usus (Ray, 1996 ; Erikcson et al.
2000 ; Klaenhammer, 2000).
6. Menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi (Sanders, 2000 ;
Klaenhammer, 2000).
Vanderhoof et al. (1999) melakukan penelitian dengan memberikan
terapi probiotik menggunakan Lactobacillus GG pada anak-anak penderita diare
dengan hasil yang memuaskan, yaitu 85% pasien tidak lagi menderita diare
setelah pemberian Lactobacillus GG selama 2 minggu. Infeksi usus yang
menyebabkan diare ini disebabkan oleh bakteri patogen yang masuk melalui
makanan dan minuman atau tidak terkontrolnya bakteri indigenus yang terkait
dengan gejala -gejala tersebut. Diduga bakteri ini dapat dikurangi keberadaannya
karena sensitivitasnya terhadap metabolit antimikroba yang diproduksi oleh BAL.
Rolfe (2000) menyatakan mekanisme mikroba probiotik dalam melindungi usus
dari gangguan bakteri enterik adalah : (1) produksi senyawa-senyawa penghambat
seperti asam organik, hidrogen peroksida dan bakteriosin, (2) memblokade sisi
penempelan melalui kompetisi pada permukaan epitel usus, (3) kompetisi
perolehan nutrisi, (4) degradasi reseptor toksin, dan (5) menstimulir sistem
imunitas.
Lactose intolerance pada manusia diakibatkan ketidakmampuan tubuh
manusia untuk memproduksi β-galaktosidase oleh sel-sel epitel usus karena
kerusakan genetik. Mengkonsumsi makanan yang mengandung BAL terutama
dari golongan Lactobacillus acidophilus dan Lactobacillus reuteri mampu
meningkatkan sistem β-galaktosidase, sehingga dapat digunakan sebagai sumber
β-galaktosidase pada saat dikonsumsi. Selain itu, susu fermentasi yang
mengandung Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus juga
mampu mengurangi lactose intolerance walaupun tidak seefektif kedua mikroba
sebelumnya. Hal ini telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Lin
et al. (1991) dan Vesa et al. (1996) dengan hasil secara umum kultur starter
yogurt (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus delbruechii subsp.
bulgaris) dalam keadaan normal dengan jumlah sel lebih besar dari 108 cfu/ml
sangat efektif meningkatkan daya cerna laktosa pada penderita lactose
intolerance. Pengaruh dari mengkonsumsi mikroba ini lebih ditentukan oleh
jumlah sel daripada jenis galur.
Penurunan resiko kanker usus besar mungkin diperoleh melalui kontrol
pertumbuhan bakteri patogen seperti E. coli, S. faecalis dan C. paraputrificum
pada usus melalui kompetisi sisi penempelan dan nutrisi. Dinding sel BAL
menunjukkan kemampuannya menstimulir fagositosis dari makrofag sehingga
menekan terbentuknya tumor dan kanker usus. Enzim-enzim yang berperan
mengubah komponen-komponen prokarsinogen menjadi komponen karsinogen
seperti β-glukosidase, β-glukoronidase, nitroreduktase dan azoreduktase terbukti
ditekan jumlahnya dengan mengkonsumsi susu fermentasi yang mengandung
Bifidobacterium longum dan Lactobacillus acidophilus.
Kebutuhan tubuh akan kolesterol tersedia melalui sintesis kolesterol di
hati dan pencernaan melalui konsumsi makanan. Konsentrasi kolesterol yang
terlalu tinggi dapat menimbulkan resiko penyakit kardiovaskuler. Penelitianpenelitian yang telah dilakukan menunjukkan beberapa galur Lactobacillus
acidophilus dapat
menurunkan
kadar
kolesterol
darah
terkait
dengan
kemampuannnya mendekonjugasi glukokholat dan taurokholat menjadi asam
empedu, yang kemudian dibuang melalui feses. Akibat kekurangan asam empedu
ini, maka hati akan memetabolisme kolesterol dalam darah menjadi asam empedu
sehingga menurunkan konsentrasi kolesterol darah. Mekanisme lain dikemukakan
oleh De Smet et al. (1994) yang dikutip oleh Sanders (2000) bahwa mikroba
probiotik dari golongan Lactobacillus dan Bifidobacteria memiliki kemampuan
untuk mendekonjugasi garam empedu secara enzimatik yang kemudian dibuang
melalui feses. Oleh karena kolesterol merupakan prekursor dari asam empedu,
maka hal ini dapat menurunkan kadar kolesterol dalam serum darah karena
molekul kolesterol dikonversi menjadi asam empedu.
Keuntungan lain dari konsumsi BAL adalah menstimulir pergerakan
usus dan meningkatkan sistem imunitas. Stimulasi pergerakan usus terkait dengan
waktu transit di dalam usus (lamanya transit). Jika BAL mampu bertahan lama di
dalam usus maka akan menstimulir gerak peristaltik di usus, sehingga waktu
transit feses lebih singkat. Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium bifidum
memiliki efek menguntungkan dalam peningkatan fungsi kekebalan tubuh dengan
mekanisme yang sampai saat ini tidak begitu jelas, tetapi diduga komponen
khusus dinding sel atau lapisan sel menjadi prekursor dan meningkatkan respon
imunitas (Erickson dan Hubbard, 2000). Hal senada dikemukakan oleh Ouwehand
et al. (1999) berpendapat bahwa stimulasi sistem imun BAL adalah melalui
komponen dinding sel, yaitu peptidoglikan yang menginduksi pada permukaan
mukosa. Glukan pada dinding sel bakteri akan merangsang makrofag
memproduksi interleukin, meningkatkan aktivitas proliferasi sel limfosit. Sel
limfosit membelah menjadi limfosit T dan limfosit B. Limfosit T akan
melepaskan interferon, kembali mengaktifkan makrofag dan limfosit B dalam
memproduksi antibodi. Selain itu glukan juga akan merangsang makrofag lebih
banyak memproduksi lizozim. Antibodi yang dihasilkan ini merupakan respon
mekanisme humoral dalam mekanisme kekebalan spesifik.
Furushiro et al. (1993) melakukan penelitian mengenai antihipertensi
dari Lactobacillus casei pada tikus hipertensi (SHR = Spontaneously hypertensive
Rats). Pemberian secara oral Lactobacillus casei dengan dosis 100 mg/kg BB
pada tikus normal jenis Wistar ternyata tidak ada efeknya, tetapi jika diberikan
pada tikus SHR mampu menurunkan tekanan darah. Prinsip mencegah hipertensi
adalah mencegah perubahan Angiotensin I menjadi Angiotersin II dengan
Angiotensin Conversion Enzyme (ACE) inhibitor (penghambat kerja ACE).
Lactobacillus casei dan Lactobacillus helveticus menghasilkan bioactive peptide
(protein) yang memiliki aktivitas terhadap ACE inhibitor.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat Penelitian
Bakteri asam laktat (BAL) yang digunakan dalam penelitian ini berasal
dari koleksi Food and Nutrition Culture Collection (FNCC) Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta dan hasil isolasi dari berbagai sumber nabati dan bahan
berbasis susu oleh Laboratorium Teknologi Bioindustri, Pusat Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Bioindustri, BPPT Serpong seperti yang tercantum pada
Tabel 2. Sedangkan bakteri patogen yang digunakan untuk uji aktivitas
antagonistik yaitu Bacillus cereus, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, IPB Bogor. Alur sel HCT 116 diperoleh dari ATCC (American
Type Culture Collection).
Bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan stok kultur adalah pepton
water 0,1%, susu skim 10%, MSG 1% dan gliserol 20%. Untuk uji antagonis
terhadap enterik patogen digunakan media MRSB / deMan Rogosa and Sharp
Broth (Oxoid), media NA / Nutrien Agar (Oxoid) dan NB / Nutrient Broth
(Oxoid). Sedangkan untuk uji ketahanan terhadap asam digunakan media MRSB
(Oxoid), MRSA (Oxoid), NaCl 0,85% steril dan HCl. Uji ketahanan terhadap
garam empedu menggunakan media MRSB (Oxoid), MRSA (Oxoid), NaCl
0,85% steril dan oxgall (Oxoid). Uji kemampuan menempel pada permukaan
stainless steel menggunakan MRSB (Oxoid), PBS (Phosphat Buffer Saline), dan
acridine orange (Sigma). Reagen untuk pewarnaan Gram yaitu kr istal violet,
garam yodium, alkohol aseton dan safranin yang merupakan produk dari Sigma.
Tabel 2. Bakteri asam laktat yang digunakan
No
Isolat BAL
Asal isolat
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Pediococcus pentosaceus FNCC 018
Streptococcus lactis FNCC 086
Lactobacillus delbrueckii FNCC 160
Lactobacillus bulgaricus
Streptococcus thermophilus
T1A
T1B
T2A
T3
SK2
SK3
TT1
TT2
TT3A
TT3B
WT1
WT2
W1
W2
FS1
IFO 12230*
IFO 12007*
JCM 1012**
Yoghurt
Yoghurt
Tanah
Tanah
Tanah
Tanah
Susu kuda
Susu kuda
Tanah
Tanah
Tanah
Tanah
Whey
Whey
Whey
Whey
Feses bayi umur 18 hari
* Institute for Fermentation Osaka
** Japan Collection of Microorganism
Untuk persiapan kultur sel digunakan media Dulbecco’s Modified Eagle
Medium (DMEM) dari Gibco, Fetal Bovine Serum (FBS) dari Gibco, MRSB
(Oxoid), Tryphan blue, PBS pH 7,4 dan BD OptEIATM Set Human Interleukin-8
dari BD Biosciences Pharmingen dengan nomor katalog 555244.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi biosafety cabinet,
laminar flow type BSL II, alat-alat gelas, spektrofotometer, autoklaf, inkubator,
timbangan analitis, refrigerator, vortex, pipet mikro dan tip, bunsen, sentrifus, pH
meter, pinset, lempeng stainless steel tipe 304,
mikroskop epifluoresens,
mikroskop inverte d tipe CKX merk Olympus, hemasitometer, plate kultur, flask
kultur merk Nunc atau Falcon, inkubator 5% CO 2 dan 95% O2 dan ELISA Reader
merk Tecan-Magellan.
Metode Penelitian
Penelitian ini terbagi atas tiga tahap yaitu tahap pertama mencakup
persiapan stok kultur dan penentuan fase logaritmik bakteri patogen. Pada tahap
kedua dilakukan seleksi BAL sebagai kandidat probiotik. Parameter yang diuji
adalah ketahanan terhadap asam, ketahanan terhadap garam empedu dan aktivitas
antagonis terhadap enterik patogen. Isolat potensial yang diperoleh dari tahap
seleksi, kemudian diuji secara in vitro untuk mengetahui kemampuan penempelan
isolat BAL terpilih pada lempeng stainless steel. Pada tahap ketiga dilakukan uji
pengaruh bakteri probiotik (2 isolat yang terpilih pada tahap dua) terhadap sekresi
interleukin-8 dari alur sel HCT 116 dengan metode ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay).
Tahap Persiapan
Persiapan Stok Kultur
Semua isolat BAL ditumbuhkan secara fakultatif-aerob pada media
MRSB (Oxoid) suhu 37 °C selama 18-20 jam.
Kultur stok dibuat dengan
menumbuhkan isolat BAL selama 18-20 jam, kemudian dipanen dengan
sentrifugasi pada 3500 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dan pelet dicuci
dua kali dengan 0,1% pepton water, kemudian direkonstitusi dengan larutan 10%
susu skim + 1% MSG steril, dan ditambahkan 20% glycerol. Setiap cryotubes
segera dibekukan dan disimpan pada suhu –80 °C untuk pemakaian selanjutnya.
Setiap percobaan menggunakan kultur stok yang kemudian diinokulasikan ke
dalam media. Masing-masing isolat bakteri disubkultur dalam MRSB sebanyak
dua kali sebelum digunakan dalam pengujian.
Penentuan Fase Logaritmik Bakteri Patogen
Penentuan fase logaritmik bakteri patogen dilakukan untuk mengetahui
fase pertumbuhan dari masing-masing Bacillus cereus, Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus. Hal ini penting untuk mengetahui jumlah bakteri patogen
yang akan digunakan dalam uji antagonis BAL terhadap bakteri patogen. Masingmasing isolat ditumbuhkan dalam media cair NB sebanyak 1%, yang kemudian
diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam. Pengamatan dilakukan setiap 2 jam.
Tabung divortex selama 1 menit dan dilakukan serial pengenceran dan
pemupukan dengan media padat NA. Kemudian diinkubasi pada suhu 37 0 C
selama 24 jam. Jumlah koloni yang tumbuh dinyatakan dalam unit koloni per ml
(cfu/ml). Selain itu dilakukan pula pengukuran Optical Density (OD) pada
panjang gelombang 546 nm setiap 2 jam seperti terlihat pada Lampiran 18.
Seleksi Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik
Sebanyak 20 isolat BAL seperti yang tercantum pada Tabel 2 dan diduga
berpotensi sebagai probiotik diseleksi melalui sejumlah uji sehingga didapatkan 5
isolat unggul BAL untuk uji penempelan secara in vitro. Uji yang dilakukan
meliputi :
Uji Ketahanan terhadap Asam (Chou dan Weimer, 1999)
Uji ketahanan terhadap asam dilakukan dengan metode hitungan cawan
seperti yang dilakukan oleh Chou dan Weimer (1999) dengan modifikasi pada
kondisi sentrifugasi dan pH media. Kultur bakteri asam laktat dalam 10 ml MRSB
berumur 24 jam dipanen dengan sentrifugasi pada 3500 rpm selama 15 menit pada
suhu 4 o C. Pelet dicuci dengan NaCl steril 0,85%, dan resuspensi sel dimasukkan
1% (v/v) dalam 10 ml MRSB (Kontrol) dan MRSB yang diatur pada pH 2,5
menggunakan HCl, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama 90 menit.
Setelah diinkubasi dilakukan hitungan cawan pada MRSA dengan metode tuang,
dan diinkubasi pada suhu 37 o C selama 48 jam. Ketahanan terhadap asam dihitung
berdasarkan selisih unit log jumlah koloni yang tumbuh pada kontrol dengan
perlakuan. Semakin kecil selisih semakin tahan kultur bakteri asam laktat yang
diuji terhadap pH rendah.
Uji Ketahanan terhadap Garam Empedu (Ngatirah et al., 2000)
Uji ketahanan terhadap garam empedu dilakukan menurut Ngatirah et al
(2000) tetapi konsentrasi garam empedu yang digunakan hanya 1% dan 5%
dengan penentuan akhir menggunakan metode hitungan cawan. Sebanyak 1 ml
kultur BAL dalam MRSB berumur 24 jam dimasukkan ke dalam 9 ml MRSB
(kontrol) dan MRSB yang mengandung garam oxgal 1% dan 5% (b/v) kemudian
diinkubasi pada 37 o C selama 24 jam. Jumlah BAL dihitung pada MRSA dengan
metode tuang, kemudian diinkubasi pada 37 o C selama 48 jam. Ketahanan
terhadap garam empedu dihitung berdasar selisih unit log jumlah koloni yang
tumbuh pada kontrol dengan perlakuan. Semakin kecil selisih, semakin tahan
kultur BAL yang diuji terhadap garam empedu.
Uji Antagonis terhadap Bakteri Enterik Patogen (Jin et al., 1996)
Uji antagonis terhadap enterik patogen dilakukan dengan metode difusi
agar seperti yang dilakukan oleh Jin et al. (1996) dengan modifikasi pada
penuangan kultur bakteri patogen. Kultur BAL ditumbuhkan pada medium MRSB
selama 18-20 jam pada suhu 37 o C. Bakteri patogen diinokulasikan 1 ose ke
dalam NB, kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama 24 jam. Diambil
sebanyak 0,2 ml, dimasukkan ke dalam 100 ml NA (0,2%) dan dicampur sampai
homogen, kemudian dipindahkan ke dalam cawan petri masing-masing 15-20 ml,
dan dibiarkan sampai memadat. Setelah agar memadat, dibuat lubang sumur pada
agar dengan diameter 6 mm dan 5 lubang untuk setiap cawan petri.
Kultur BAL dari MRSB dispotkan ke dalam lubang sumur sebanyak 50
µl, kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama 24 jam dan sebagai kontrol
digunakan medium MRSB tanpa BAL. Pengamatan dilakukan dengan mengukur
areal bening diluar sumur menggunakan jangka sorong. Aktivitas antagonis BAL
terhadap enterik patogen dinyatakan sebagai diameter areal bening (hasil
pengukuran jari-jari dikali dua) yang terbentuk.
Uji Kemampuan Penempelan secara in vitro (Dewanti, 1995)
Persiapan Lempeng Stainless Steel (SS)
Potongan lempeng SS berukuran 1 x 1 cm direndam dalam detergen
panas selama 1 jam, kemudian dibilas dengan air destilata sebanyak 2 kali.
Lempeng SS dikeringanginkan di udara dan sebelum digunakan lempeng SS yang
telah bersih tersebut disterilisasi pada suhu 121 0C selama 20 menit.
Uji Penempelan pada Lempeng Stainless Steel (SS)
Isolat BAL ditumbuhkan pada media MRSB selama 18-20 jam
kemudian dipanen dengan sentrifugasi pada 3500 rpm selama 15 menit pada suhu
4 0 C. Pelet dic uci dengan PBS hingga mencapai jumlah sel 105 cfu/ml dan
diinokulasikan ke dalam 100 ml MRSB yang mengandung 3 lempeng SS.
Setelah 1 jam pada suhu kamar, lempeng SS dibilas sebanyak 2 kali
dengan air destilata kemudian ditetesi pewarna 0,026% acridine orange dan
dibiarkan selama 5 menit. Selanjutnya lempeng SS tersebut dibilas dengan air
destilata sebanyak 5 kali dan siap untuk dilakukan penghitungan jumlah sel
bakteri yang menempel menggunakan mikroskop epifluoresen. Pembesaran yang
digunakan adalah 1000 kali dengan minyak imersi.
Jumlah sel bakteri yang menempel dihitung dengan melakukan
pergeseran sebanyak 10 kali untuk setiap lempeng SS dan dirata-ratakan. Jumlah
sel bakteri yang menempel per cm2 dihitung dengan rumus :
∑ sel per cm
2
=
100
x jumlahrata − rata sel per pengama tan
0 .0227
Keterangan :
100
: faktor konversi (1 cm2 = 100 mm2 )
0,0227 : luas bidang pandang yang diamati (1/4 ð d 2 )
d
: diameter bidang pandang mikroskop epifluoresens =
0,17 mm
Pengaruh Bakteri Probiotik terhadap Sekresi IL-8 (Bai AP et al. 2004)
Persiapan Kultur Sel HCT 116
Alur sel HCT 116 merupakan sel kanker usus stadium lanjut pada
manusia (late phase adenocarcinoma ). Kultur sel dilakukan dalam laminar flow
type BSL II yang sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol 70% dan
disterilisasi dengan UV selama 15 menit. Alur sel HCT 116 dari cryotubes
dibiarkan terlebih dahulu dalam suhu ruang, kemudian dituangkan seluruhnya
dalam tabung sentrifus yang berisi 10 ml DMEM dan disuplementasi dengan 10%
FBS (Fetal Bovine Serum). Setelah itu disentrifus dengan kecepatan 800 rpm,
suhu 4 0C selama 5 menit. Supernatan dibuang ke dalam wadah yang berisi
chlorox (desinfektan) dan sel diresuspensi kembali dengan 10 ml DMEM baru
(dikocok bolak-balik). Kemudian dituang dalam flask kultur steril dan diinkubasi
pada suhu 37 0C, 5% CO2 dan 95% O2 selama 48 jam.
Setelah inkubasi, medium la ma dibuang (sel harus ada sekitar 70% -80%
confluent) dan dicuci dengan 10 ml PBS (Phosphate Buffer Saline) sebanyak 3
kali. Kemudian ditambahkan 1 ml trypsin -EDTA ke dalam flask kultur dan
diinkubasi pada suhu ruang selama 1 menit. Trypsin-EDTA berfungsi untuk
memisahkan sel yang bergerombol sehingga diperoleh sel tunggal. Ke dalam
flask kultur ditambahkan 10 ml medium DMEM yang baru, kemudian diamati
dibawah inverted mikroskop tipe CKX atau KX merk Olympus dan sel harus
kelihatan tunggal.
Lalu isi flask kultur dipindahkan secara aseptis ke dalam
tabung sentrifuse dengan pipet volume dan disentrifuse pada kecepatan 800 rpm
selama 5 menit. Supernatan dibuang ke dalam beaker berisi chlorox (desinfektan)
dan sel diresuspensi dengan 10 ml medium DMEM yang baru. Kemudian 100 ìl
suspensi sel ditransfer ke dalam tabung eppendorf dan ditambah 100 ìl pewarna
trypan blue, dikocok-kocok sebentar, kemudian dilakukan penghitungan sel
dengan hemasitometer.
Sel kemudian diencerkan dengan medium DMEM untuk memperoleh
suspensi sel dengan konsentrasi 105 cfu/ml. Kemudian sebanyak 1 ml suspensi sel
ditransfer ke dalam plate kultur dengan 24 sumur dan diinkubasi pada 37 0 C, 5%
CO 2 dan 95% O2, selama 24 jam.
Kurva Relasi OD (Optical Density) dan Jumlah Sel Bakteri Probiotik
Masing-masing isolat bakteri probiotik sebanyak 2-3 loop dari agar
miring, diinokulasikan ke dalam 7 ml MRSB, dan diinkubasi pada suhu 37 0 C,
selama 24 jam. Sebanyak 1 ml kultur broth (1% inokulum) diinokulasikan pada
labu erlenmeyer yang berisi 100 ml MRSB dan diinkubasi pada suhu 37 0 C
sampai fase eksponensial (sekitar 18 jam).
Selanjutnya dari masing-masing isolat bakteri probiotik dibuat beberapa
serial pengenceran dan dibaca absorbansinya pada 600 nm. Selain itu, dilakukan
penghitungan sel dengan metoda tuang pada MRSA. Sel bakteri probiotik
dihitung berdasarkan persamaan linier kurva OD dengan jumlah sel (cfu/ml).
Persiapan Kultur Bakteri Probiotik
Masing-masing isolat bakteri probiotik sebanyak 2-3 loop dari agar
miring, diinokulasikan ke dalam 4 ml MRSB, dan diinkubasi pada suhu 37 0 C,
selama 24 jam. Sebanyak 2 ml kultur broth (5% inokulum) ditransfer ke dalam
erlenmeyer yang berisi 40 ml MRSB dan diinkubasi pada 37 0C sampai fase
eksponensial (sekitar 18 jam). Kemudian 10 ml kultur broth disentrifuse pada
5000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang dan sel dicuci 2 kali dengan serum
free medium (SF-DMEM). Sel diresuspensi dalam 10 ml DMEM. Untuk
menghitung konsentrasi sel dilakukan pembacaan pada OD 600 nm. Nilai OD
kemudian dikonversikan dengan persamaan yang telah diperoleh dari kurva relasi
OD dengan jumlah sel yang telah dibuat sebelumnya.
Stimulasi Sekresi Interleukin-8 oleh Bakteri Probiotik
Kultur bakteri probiotik diencerkan pada tabung-tabung terpisah
sehingga diperoleh konsentrasi 107 , 10 8 dan 109 cfu/ml. Dari masing-masing isolat
diambil sebanyak 1 ml dan ditambahkan ke dalam plate kultur sel HCT 116 yang
sebelumnya telah diinkubasi selama 24 jam.
Lalu plate kokultur yang berisi
suspensi sel HCT 116 dan bakteri probiotik tersebut diinkubasi pada 37 0C, 5%
CO 2 dan 95% O2 selama 6 jam. Setelah inkubasi, suspensi sel dan bakteri diambil
dengan pipet ke dalam tabung eppendorf volume 2 ml dan disentrifuse pada
12.000 rpm, 0 0 C, selama 10 menit. Supernatan dimasukkan pada tabung
eppendorf baru dan disimpan pada -20 0 C untuk analisa berikutnya.
Deteksi Sekresi Interleukin-8 dengan metoda ELISA
Pada plate ELISA ditambahkan 100ìl/sumur capture antibody yang
diencerkan dalam coating buffer. Kemudian plate ditutup dan diinkubasi 24 jam
pada suhu 4 0C. Setelah inkubasi, larutan capture antibody dari plate dibuang dan
dicuci 3 kali dengan washing buffer. Pada pencucian terakhir, plate dibalikkan
pada gumpalan tissue tebal, lalu dibalut dan diketuk-ketuk sampai tidak ada cairan
buffer tersisa. Plate diblok dengan assay diluent sebanyak 200 ìl/sumur, dan
diinkubasi pada suhu ruang selama 1 jam. Kemudian plate dicuci dengan washing
buffer seperti langkah sebelumnya.
Selanjutnya dilakukan pengenceran larutan standar (0; 3,1; 6,25; 12,5;
25; 50; 100 pg/ml) dari Human Interleukin-8 ELISA Set (BD Biosciences)
mengikuti manual yang telah ada pada kit tersebut.
Larutan standar dalam
berbagai konsentrasi, sampel, kontrol positif (sel HCT 116 tanpa BAL), dan
kontrol negatif (BAL tanpa sel HCT 116) masing-masing sebanyak 100 ìl
ditambahkan ke dalam sumur. Plate ditutup dan diinkubasi pada suhu ruang
selama 2 jam. Lalu dilakukan pencucian seperti tahap di atas sebanyak 5 kali.
Setelah dicuci, ke dalam setiap sumur ditambahkan 100 ìl working detector
(detection antibodi + avidin -HRP reagen), plate ditutup dan diinkubasi pada suhu
ruang selama 1 jam. Kemudian dilakukan pencucian seperti tahap di atas
sebanyak 7 kali. Pada pencucian terakhir, sumur dibiarkan terendam dengan
washing buffer selama 30 detik - 1 menit.
Kemudian ke dalam setiap sumur ditambahkan larutan substrat sebanyak
100 ìl, dan diinkubasi dalam gelap selama 30 menit pada suhu ruang. Larutan
substrat ini akan memberikan warna sebagai akibat adanya reaksi antara detektor
antibody dengan interleukin-8 yang ada pada setiap sumur. Untuk menghentikan
reaksi, kedalam setiap sumur ditambahkan 50 ìl stop solution. Kemudian dibaca
dengan ELISA reader merk Tecan-Magellan absorbansi pada 450 nm dikurangi
dengan absorbansi pada 570 nm dalam waktu 30 menit setelah reaksi dihentikan.
Data dianalisa berdasarkan persamaan dalam kurva kalibrasi standar.
Analisis Dat a
Data kuantitatif yang diperoleh dalam penelitian ini diuji dengan
analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui
perbedaan antar isolat dan perlakuan. Data selanjutnya dianalisis menggunakan
software SPSS release 12.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketahanan terhadap pH Rendah
Stress yang pertama terjadi pada sel bakteri yang memasuki saluran
pencernaan adalah terpapar pada asam lambung (Chou dan Weimer, 1999). BAL
tidak hanya tumbuh lambat pada pH rendah tetapi mungkin juga mengalami
kerusakan asam dan menurun viabilitasnya jika sel bakteri berada pada kondisi pH
rendah. Pada penelitian ini ketahanan BAL terhadap pH rendah dilakukan pada
pH medium 2,5 selama 90 menit. Hasil uji ketahanan BAL terhadap pH rendah
dapat dilihat pada Tabe l 3.
Penurunan jumlah koloni yang terkecil menunjukkan ketahanan yang
besar terhadap pH rendah. Sebaliknya penurunan jumlah koloni yang besar
menunjukkan ketahanan isolat BAL yang rendah terhadap kondisi asam. Jumlah
koloni yang tumbuh pada kontrol berkisar antara 8,00-9,11 log cfu/ml dan pada
media dengan pH rendah berkisar antara 5,48-8,04 log cfu/ml (Lampiran 1). Pada
Tabel 3 terlihat bahwa dari 20 isolat yang diuji, terdapat 4 isolat yang tidak
mampu tumbuh sama sekali pada pH 2,5 yaitu isolat FNCC 018, T2A, T3 dan
TT1. Nilai pH 2,5 yang digunakan dalam penelitian ini tampaknya memiliki sifat
merusak pada isolat BAL yang diuji tersebut.
Isolat FS1 memiliki ketahanan yang baik terhadap pH rendah. Hal ini
ditunjukkan oleh penurunan jumlah koloni pada kontrol dibandingkan pada pH
rendah kurang dari 1 unit log/ml. Isolat FS1 yang diisolasi dari feses bayi
memiliki penurunan jumlah koloni terkecil yaitu 0,73 unit log/ml, dimana hasil
tersebut tidak berbeda nyata dengan isolat W1 (dari whey), T1A (dari tanah
kandang) dan SK3 (dari susu kuda). Sedangkan 15 isolat lainnya mengalami
penurunan lebih dari 1 unit log/ml, tetapi isolat TT2 adalah yang paling rentan
terhadap pH 2,5 dengan penurunan jumlah koloni terbesar yaitu 2,83 unit log/ml.
Hal ini tidak menjadi masalah, seperti yang dikemukakan oleh Jacobsen et al.
(1999), bahwa semua bakteri yang berhasil bertahan pada kondisi pH rendah
dinyatakan bersifat tahan/resisten terhadap asam. Jadi walaupun penurunannya
lebih dari 1 unit log/ml bukan berarti isolat tersebut tidak tahan terhadap pH
rendah, kecuali 4 isolat yang memang tidak mampu tumbuh pada pH 2,5 tersebut.
Tabel 3. Ketahanan bakteri asam laktat terhadap pH rendah
Isolat
Penurunan Jumlah Koloni (Unit log/ml)
Rerata
Ulangan 1
Ulangan 2
(Unit log/ml)
FNCC 018
FNCC 086
2,16
2,91
2,54fg
FNCC 160
2,32
3,19
2,76fg
Lb
3,19
2,12
2,65fg
St
2,68
1,80
2,24efg
T1A
1,00
1,08
1,04bcd
T1B
2,08
2,66
2,37efg
T2A
SK2
2,00
2,88
2,44efg
SK3
1,18
1,82
1,50bcde
WT1
2,23
1,74
1,99defg
WT2
2,90
2,20
2,55fg
W1
1,27
0,73
1,00bc
W2
2,25
2,00
2,13efg
T3
TT3A
1,89
2,95
2,42efg
TT3B
1,75
1,84
1,79cdef
TT1
TT2
2,78
2,89
2,83g
FS1
0,55
0,92
0,73ab
Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan
Hasil analisis ragam pada Lampiran 2 menunjukkan terdapat
perbedaan nyata (p<0,05) pada ketahanan asam dari masing-masing isolat BAL
yang diuji. Hal ini berarti bahwa isolat yang diisolasi dari sumber yang sama tidak
memiliki ketahanan terhadap asam yang sama, sehingga masing-masing isolat
bersifat strain dependent.
Kondisi asam pada penelitian ini diperoleh dengan menambahkan HCl
3N dalam media pertumbuhan, untuk mendekati kondisi lambung yang juga
mengandung HCl. HCl adalah asam kuat yang mudah terdisosiasi menghasilkan
proton, menyebabkan penurunan pH medium di luar sel atau pH ekstraseluler.
Paparan pada kondisi yang sangat asam dapat mengakibatkan kerusakan membran
dan lepasnya komponen intraseluler yang dapat menyebabkan kematian. Bakteri
tahan asam memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap kerusakan membran
akibat terjadinya penurunan pH ekstraseluler dibandingkan bakteri yang tidak
tahan asam.
Menurut Hutkins dan Nannen (1993), BAL yang tahan terhadap
kondisi asam disebabkan ole h kemampuan BAL tersebut untuk mempertahankan
pH sitoplasma lebih basa daripada pH ekstraseluler. Supaya pH sitoplasma lebih
basa, maka sel harus memiliki pertahanan terhadap aliran proton yaitu melalui
membran sitoplasma. Membran sitoplasma bakteri terdir i dari 2 lapis fosfolipid
(lipid bilayer ) dimana pada masing-masing permukaan lapisan tersebut melekat
protein dan glikoprotein. Lipid bilayer bersifat semipermeabel yang akan
membatasi pergerakan senyawa yang keluar masuk antara sitoplasma dengan
lingkungan luar. Karakteristik dan permeabilitas membran sitoplasma dipengaruhi
oleh keragaman komposisi asam lemak penyusun membran sitoplasma dan hal ini
sangat beragam diantara spesies bakteri. Selain itu, komposisi dan struktur protein
yang berbeda pada membran sitoplasma juga berpengaruh terhadap karakteristik
dan permeabilitasnya. Keragaman asam lemak dan protein pada membran
sitoplasma ini diduga mempengaruhi keragaman ketahanan bakteri terhadap pH
rendah.
Mekanisme bakteri untuk mengatur pH internalnya adalah melalui
translokasi proton oleh enzim ATP -ase (Hutkins dan Nannen, 1993). Enzim yang
terikat pada membran sel bertindak sebagai pompa yang akan memindahkan ion
dan reaksinya bersifat reversibel. Enzim tersebut juga akan mengkatalisa gerakan
proton menye berangi membran sel sebagai akibat dari hidrolisis dan sintesis ATP.
Pada bakteri yang tahan asam, pH optimal enzim tersebut lebih rendah
dibandingkan dengan bakteri yang kurang tahan terhadap asam.
Ketahanan terhadap Garam Empedu
Untuk dapat bertahan dan tumbuh pada saluran pencernaan, BAL
sebagai kultur probiotik harus mampu melewati berbagai kondisi lingkungan yang
menekan. Salah satunya adalah pada saat BAL memasuki bagian atas saluran usus
dimana empedu disekresikan ke dalam usus. Penambahan oxgal 0,3% merupakan
konsentrasi kritis yang disarankan oleh Gilliland et al. (1984) dan cukup tinggi
untuk menseleksi galur-galur yang resisten. Namun pada penelitian ini,
konsentrasi garam empedu yang digunakan adalah 1% dan 5% (Ngatirah et al.
2000). Hasil penelitian pengaruh garam empedu 1% terhadap penurunan jumlah
koloni BAL disajikan pada Tabel 4 dan pengaruh garam empedu 5% disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 4. Ketahanan bakteri asam laktat terhadap garam empedu 1%
Isolat
FNCC 018
Penurunan Jumlah Koloni (Unit log/ml)
Rerata
Ulangan 1
Ulangan 2
(Unit Log/ml)
1,36
1,19
1,27abcd
FNCC 086
2,98
2,35
2,67ef
FNCC 160
1,13
1,11
1,12abcd
Lb
2,02
2,05
2,04cde
St
1,57
1,82
1,70bcd
T1A
1,60
1,35
1,47abcd
T1B
2,21
1,81
2,01cde
T2A
0,89
1,03
0,96ab
SK2
1,47
1,52
1,49 abcd
SK3
1,42
1,97
1,69bcd
WT1
1,06
1,42
1,24abcd
WT2
0,82
1,35
1,09abc
W1
2,74
2,77
2,75ef
W2
1,21
2,96
2,08de
T3
3,08
2,78
2,93f
TT3A
1,00
1,27
1,14abcd
TT3B
1,96
1,17
1,56bcd
TT1
1,37
1,04
1,21abcd
TT2
1,61
1,56
1,58bcd
FS1
0,71
0,41
0,56a
Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan
Hasil analisis ragam pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan nyata (p<0,05) pada ketahanan isolat-isolat yang diu ji untuk tumbuh
pada media yang mengandung garam empedu 1%. Pada Tabel 4 terlihat bahwa
pada penambahan garam empedu 1%, penurunan jumlah koloni berkisar antara
0,56 – 2,93 unit log/ml, dimana jumlah koloni pada kontrol berkisar antara 8,15 –
9,95 log cfu/ml dan pada media yang mengandung garam empedu 1% adalah 6,00
– 8,39 log cfu/ml (Lampiran 3).
Pada Tabel 4 terlihat bahwa dari 20 isolat yang diuji, semuanya
mampu bertahan pada kondisi garam empedu 1%, dengan penurunan jumlah
koloni yang bervariasi. Pada penambahan garam empedu 1%, isolat FS1 yang
diisolasi dari feses bayi menunjukkan penurunan jumlah koloni terkecil yaitu 0,56
unit log/ml dimana hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan beberapa isolat lain
yaitu T2A (dari tanah kandang), WT2 (dari whey) , FNCC 160, TT3A (dari tanah
kandang), TT1 (dari tanah kandang), WT1 (dari whey), FNCC 018, T1A (dari
tanah kandang) dan SK2 (dari susu kuda). Sedangkan isolat T3 (dari tanah), W1
(dari whey), FNCC 086, W2 (dari whey), Lb dan T1B (dari tanah) adalah isolat
yang paling rentan terhadap garam empedu 1% dengan penurunan jumlah koloni
pada kontrol dan perlakuan berkisar antara 2,01-2,93 unit log/ml (Tabel 4).
Pada penambahan garam empedu 5% penurunan jumlah koloni
berkisar antara 0,56 – 2,38 unit log/ml (Tabel 5), dimana jumlah koloni pada
kontrol berkisar antara 8,15 – 9,95 log cfu/ml (Lampiran 5) dan pada media yang
mengandung garam empedu 5% berkisar antara 6,18 – 8,14 log cfu/ml (Lampiran
5). Pada penambahan garam empedu 5%, isolat FS1 yang diisolasi dari feses bayi
memiliki penurunan jumlah koloni yang terkecil yaitu 0,56 unit log/ml, dimana
hasil tersebut berbeda nyata dengan isolat lainnya. Hal ini berarti, isolat tersebut
memiliki ketahanan yang baik terhadap garam empedu 5%. Isolat yang paling
rentan terhadap garam empedu 5% adalah T3 (dari tanah kandang), T1B (dari
tanah kandang) dan Lactobacillus bulgaricus, dengan penurunan jumlah koloni
lebih dari 2 unit log/ml (Tabel 5). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
peningkatan konsentrasi garam empedu, secara umum menyebabkan penurunan
jumlah koloni BAL yang lebih besar.
Tabel 5. Ketahanan bakteri asam laktat terhadap garam empedu 5 %
Isolat
FNCC 018
FNCC 086
FNCC 160
Lb
Penurunan Jumlah Koloni (Unit log/ml)
Ulangan 1
1,49
1,43
2,19
2,00
Ulangan 2
1,60
1,67
1,76
2,02
Rerata
1,54bcd
1,55 bcd
1,98 bcd
2,01 cde
St
1,23
1,23
1,23 b
T1A
1,43
1,75
1,59 bcd
T1B
2,40
1,81
2,10 de
T2A
1,22
1,69
1,46 bcd
SK2
1,52
1,44
1,48 bcd
SK3
1,10
1,54
1,32 bc
WT1
1,52
1,36
1,44 bcd
WT2
1,51
1,28
1,39 bcd
W1
1,47
1,33
1,40 bcd
W2
1,81
1,99
1,90 bcde
T3
1,85
2,90
2,38 e
TT3A
1,56
1,01
1,29 bc
TT3B
2,40
1,51
1,95 bcde
TT1
1,57
1,45
1,51 bcd
TT2
1,75
1,55
1,65 bcde
FS1
0,87
0,25
0,56 a
Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan
Hasil analisis ragam pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara konsentrasi garam empedu yang
digunakan terhadap ketahanan dari masing-masing isolat terhadap garam empedu.
Jadi penggunaan konsentrasi garam empedu 1% dan 5% tidak berpengaruh
terhadap ketahanan masing-masing isolat. Tetapi terdapat perbedaan nyata
(p<0,05) dari masing-masing isolat terhadap ketahanan terhadap garam empedu,
Hal ini membuktikan bahwa masing-masing isolat bersifat strain dependent.
Tabel 6. Perbandingan ketahanan BAL terhadap garam empedu 1% dan 5%
Isolat
FNCC 018
FNCC 086
FNCC 160
Lb
St
T1A
T1B
T2A
Penurunan Jumlah Koloni (Unit log/ml) Rerata
1%
1,27
2,67
1,12
2,04
1,70
1,47
2,01
0,96
5%
1,54
1,55
1,98
2,01
1,23
1,59
2,10
1,46
1,41b
2,11f
1,55bcdef
2,02 cdef
1,46 bc
1,53 bcde
2,06 def
1,21 b
SK2
1,49
1,48
1,49 bcd
SK3
1,69
1,32
1,51 bcde
WT1
1,24
1,44
1,34 b
WT2
1,09
1,39
1,24 b
W1
2,75
1,40
2,08 ef
W2
2,08
1,90
1,99 cdef
T3
2,93
2,38
2,65 g
TT3A
1,14
1,29
1,21 b
TT3B
1,56
1,95
1,76 bcdef
TT1
1,21
1,51
1,36 b
TT2
1,58
1,65
1,62 bcdef
FS1
0,56
0,56
0,56a
Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan
Dari hasil analisis ragam (Lampiran 8) dan uji lanjut (Tabel 6)
menunjukkan bahwa isolat yang diisolasi dari sumber yang sejenis tidak
memberikan karakteristik ketahanan terhadap garam empedu yang sama.
Misalnya T1A dan T1B, TT3A dan TT3B, TT1 dan TT2
yang sama -sama
diisolasi dari tanah di sekitar kandang menunjukkan ketahanan yang berbeda
terhadap garam empedu, begitu pula dengan SK2 dan SK3 yang diisolasi dari susu
kuda, W1 dan W2, WT1 dan WT2 yang diisolasi dari whey juga menunjukkan
ketahanan yang berbeda pula. Selain itu dari hasil penelitian juga terlihat bahwa
keragaman toleransi BAL terhadap garam empedu tidak berhubungan dengan
perbedaan spesies akan tetapi tergantung dari masing-masing galur atau bersifat
strain dependent. Hal ini seiring dengan hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa diantara galur -galur BAL dari spesies yang sama serta diisolasi dari
sumber yang sama, mempunyai keragaman pada toleransinya terhadap garam
empedu (Chou dan Weimer, 1999). Pada penelitian tersebut, ga lur-galur dari
spesies Lactobacillus acidophilus memiliki ketahanan yang berbeda terhadap
garam empedu.
Menurut Sanders (2000) Lactobacillus dan Bifidobacterium secara
umum lebih resisten terhadap garam empedu dibandingkan genus Streptococcus
dan genus lainnya, terutama bakteri asam laktat yang digunakan sebagai kultur
starter yogurt. Toleransi terhadap garam empedu ini diduga disebabkan oleh
peranan polisakarida sebagai salah satu komponen penyusun dinding sel bakteri
gram positif , tetapi mekanisme yang terlibat di dalamnya belum diketahui dengan
jelas.
Garam empedu berpengaruh terhadap permeabilitas sel bakteri,
Penelitian yang dilakukan Noh dan Gilliland (1993) menunjukkan bahwa
Lactobacillus acidophilus memiliki ketahanan terhadap garam empedu, sebab
pada sel yang diinkubasi pada media yang mengandung oxgal masih terjadi
pertumbuhan dan tidak terjadi lisis. Akan tetapi pada penelitian tersebut terbukti
pula bahwa sel yang diinkubasi pada media yang mengandung oxgal mengalami
peningkatan kebocoran materi intraseluler yang terabsorpsi pada panjang
gelombang 260 nm, yang berarti terjadi perubahan sifat permeabilitas pada
membran sel bakteri. Pada bakteri yang tidak tahan terhadap garam empedu
diduga bahwa perubahan permeabilitas seluler dan kebocoran materi intraseluler
yang dialami lebih besar sehingga menyebabkan lisisnya sel, mengakibatkan
kematian. Empedu bersifat sebagai senyawa aktif permukaan sehingga dapat
menembus dan bereaksi dengan sisi membran sitoplasma yang bersifat lipofilik,
menyebabkan perubahan dan kerusakan struktur membran. Sifat aktif permukaan
ini menyebabkan aktifnya pula enzim lipolitik yang disekresikan oleh pankreas.
Enzim ini mungkin bereaksi dengan asam lemak pada membran sitoplasma
bakteri sehingga mengakibatkan perubahan struktur membran dan sifat
permeabilitasnya. Keragaman struktur asam lemak pada membran sitoplasma
bakteri menyebabkan perbedaan permeabilitas dan karakteristik membran
sehingga mempengaruhi ketahanan bakteri terhadap garam empedu.
Aktivitas Antagonistik Bakteri Asam Laktat terhadap Bakteri Patogen
Salah satu kriteria BAL yang digunakan untuk kultur probiotik adalah
kemampuannya
untuk
menghambat
bakteri
patogen
sehingga
mampu
berkompetisi dengan bakteri patogen untuk mempertahankan keseimbangan
mikroflora normal dalam usus. Pada penelitian ini digunakan 3 spesies bakteri
patogen yaitu Bacillus cereus, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli yang
berturut-turut mewakili bakteri Gram positif pembentuk spora, Gram positif tidak
membentuk spora serta bakteri Gram negatif.
Tujuan dari tahap penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi
penghambatan
isolat
BAL
dan
menyeleksi
isolat
yang
paling
besar
penghambatannya terhadap bakteri patogen. Hal ini berkaitan dengan kemampuan
isolat BAL dalam mencegah pertumbuhan bakter i patogen yang masuk ke dalam
saluran pencernaan. Hasil uji aktivitas antagonistik BAL terhadap bakteri patogen
menunjukkan bahwa semua isolat BAL memiliki aktivitas penghambatan yang
beragam terhadap bakteri patogen. Kisaran diameter penghambatan isolat BAL
terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus berturutturut adalah 4,0 – 7,8 mm (Tabel 7); 3,0 – 6,5 mm (Tabel 8) dan 3,8 – 7,5 mm
(Tabel 9)
Tabel 7. Aktivitas antagonistik bakteri asam laktat terhadap Escherichia coli
Kode Isolat
Diameter penghambatan (mm)
Rerata (mm)
Ulangan 1
Ulangan 2
FNCC O18
7,5
7,5
7,5 fg
FNCC O86
7,0
7,0
7,0 defg
FNCC 160
6,0
6,0
6,0 cde
Lb
5,0
4,0
4,5 ab
St
5,0
5,0
5,0 abc
T1A
4,0
4,0
4,0 a
T1B
6,0
5,5
5,8 bcd
T2A
5,0
5,5
5,3 abc
SK2
7,5
6,5
7,0 defg
SK3
8,0
7,5
7,8 g
WT1
8,0
6,5
7,3 efg
WT2
6,0
6,5
6,3 cdef
W1
5,5
5,5
5,5 bc
W2
6,0
5,5
5,8 bcd
T3
5,0
5,0
5,0 abc
TT3A
4,0
4,0
4,0 a
TT3B
4,5
3,5
4,0 a
TT1
7,5
5,0
6,3 cdef
TT2
6,0
5,0
5,5 bc
FS1
5,0
5,0
5,0 abc
Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan
Hasil analisis ragam pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan nyata antara isolat yang diuji (p<0,05). Hasil uji aktivitas antagonistik
BAL terhadap Escherichia coli disajikan pada Tabel 7 dan terlihat bahwa SK3
yang diisolasi dari susu kuda memiliki diameter penghambatan terbesar terhadap
Escherichia coli (7,8 mm), dimana hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan
isolat FNCC 086, FNCC 018, SK2 dan WT1.
Diameter penghambatan yang terkecil adalah TT3A (4,0 mm), TT3B
(4,0 mm) dan T1A (4,0 mm). TT3A dan TT3B adalah isolat BAL yang diisolasi
dari tanah disekitar kandang yang bersifat termofilik. Sebagian besar isolat BAL
yang diisolasi dari tanah di sekitar kandang yang bersifat termofil memiliki
aktivitas antagonistik yang rendah terhadap Escherichia coli, yaitu TT2 (5,5 mm),
TT3A (4,0 mm) dan TT3B (4,0 mm) kecuali TT1 (6,3 mm). Tetapi tidak semua
isolat BAL yang diisolasi dari tanah memiliki aktivitas antagonistik yang rendah
terhadap Escherichia coli karena isolat T1B (5,8 mm) memiliki aktivitas
antagonistik yang tinggi terlihat dari lebarnya diameter penghambatan. Tetapi
sebaliknya, isolat BAL yang diisolasi dari whey yang bersifat termofilik justru
memiliki aktivitas penghambatan yang lebih besar (WT1=7,3 mm; WT2=6,3 mm)
dibanding isolat W1 (5,5 mm) dan W2 (5,8 mm).
Aktivitas antagonistik isolat BAL terhadap Staphylococcus aureus
berturut-turut dari yang paling besar adalah Streptococcus thermophilus (6,5 mm),
Lactobacillus bulgaricus (6,5 mm), FNCC 086 (6,5 mm), SK3 (6,3 mm) dan
FNCC 018 (6,3 mm) seperti terlihat pada Tabel 8. Hasil analisis ragam pada
Lampiran 12 menunjukkan terdapat perbedaan nyata antara isolat BAL yang diuji
(p<0,05). Isola t BAL yang diisolasi dari tanah di sekitar kandang memiliki
diameter penghambatan yang rendah terhadap Staphylococcus aureus (T3, TT1,
TT2, T1A, T1B dan T2A) seperti halnya terhadap Escherichia coli.
Tabel 8. Aktivitas antagonistik bakteri asam laktat te rhadap S, aureus
Kode Isolat
FNCC O18
FNCC O86
FNCC 160
Diameter penghambatan (mm)
Ulangan 1
Ulangan 2
6,5
6,0
6,0
7,0
6,0
5,0
Rerata (mm)
6,3 fg
6,5 g
5,5 defg
Lb
6,0
7,0
6,5 g
St
6,0
7,0
6,5 g
T1A
3,0
3,5
3,3 ab
T1B
3,0
3,5
3,3 ab
T2A
3,0
3,0
3,0 a
SK2
4,5
4,0
4,3 bc
SK3
6,0
6,5
6,3 fg
WT1
5,5
6,0
5,8 defg
WT2
5,0
5,5
5,3 cdef
W1
5,0
6,0
5,5 defg
W2
5,5
5,5
5,5 defg
T3
5,0
5,0
5,0 cde
TT3A
4,5
5,0
4,8 cd
TT3B
6,5
5,5
6,0 efg
TT1
5,0
5,0
5,0 cde
TT2
5,0
5,0
5,0 cde
FS1
6,0
4,5
5,3 cdef
Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan
Pada Tabel 9 terlihat bahwa isolat W1 (7,5 mm) yang diisolasi dari
whey memiliki aktivitas antagonistik terbesar terhadap Bacillus cereus. Seperti
halnya terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus , isolat yang diisolasi
dari tanah juga memiliki aktivitas antagonistik yang rendah terhadap Bacillus
cereus. Hasil analisis ragam pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa isolat BAL
yang diuji memiliki aktivitas antagonistik terhadap bakteri patogen dengan derajat
penghambatan yang berbeda secara nyata (p<0,05). Hal ini membuktikan bahwa
masing-masing isolat bakteri bersifat strain dependent.
Tabel 9. Aktivitas antagonistik bakteri asam laktat terhadap Bacillus cereus
Kode Isolat
FNCC O18
FNCC O86
FNCC 160
Lb
St
T1A
T1B
Diameter penghambatan (mm)
Ulangan 1
Ulangan 2
6,5
5,5
7,0
6,0
5,5
3,5
5,5
4,5
7,5
6,0
5,0
4,5
4,5
3,5
Rerata (mm)
6,0 cdef
6,5 def
4,5 abc
5,0 abcd
6,8 ef
4,8 abc
4,0 ab
T2A
5,5
4,5
5,0 abcd
SK2
6,5
6,5
6,5 def
SK3
6,0
6,0
6,0 cdef
WT1
5,5
5,5
5,5 bcde
WT2
7,0
6,5
6,8 ef
W1
8,5
6,5
7,5 f
W2
8,0
6,5
7,3 f
T3
7,5
6,5
7,0 ef
TT3A
5,0
5,0
5,0 abcd
TT3B
5,0
5,0
5,0 abcd
TT1
4,5
5,5
5,0 abcd
TT2
5,5
5,5
5,5 bcde
FS1
3,5
4,0
3,8 a
Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan
Hasil penelitian ini lebih baik bila dibandingkan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Wirawati (2002). Isolat BAL yang diisolasi dari tempoyak
tidak menghasilkan penghambatan yang baik terhadap Escherichia coli,
Staphylococcus
aureus
dan
Salmonella
typhymurium
dengan
diameter
penghambatan sekitar 0,7 – 1,0 mm. Sehingga diduga isolat BAL tersebut tidak
mempunyai senyawa antimikroba yang cukup untuk menghambat bakteri patogen.
Dari hasil secara keseluruhan terlihat bahwa aktivitas antagonistik
terhadap bakteri patogen oleh BAL tidak tergantung dari spesiesnya, sebab galurgalur dari spesies yang sa ma menunjukkan perbedaan derajat penghambatan.
Selain itu juga terlihat bahwa galur yang diisolasi dari jenis yang sama tidak
memberikan derajat penghambatan yang sama, dengan demikian aktivitas
penghambatan terhadap bakteri patogen oleh BAL bersifat strain dependent. Hal
ini didukung oleh hasil analisis ragam (Lampiran 16) yang menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan nyata antar isolat yang diuji (p<0,05). Selain itu terdapat pula
perbedaan nyata antar perlakuan terhadap ketiga bakteri patogen yang diuji
(p<0,05).
Tabel 10. Perbandingan diameter penghambatan antar bakteri enterik patogen
Perlakuan
Rerata diameter penghambatan (mm)
Escherichia coli
5,7333b
Staphylococcus aureus
5,2250a
Bacillus cereus
5,8833b
Keterangan : Angka pada kolom rerata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% pada uji Duncan
Ada beberapa senyawa yang dihasilkan oleh BAL yang bersifat
antimikroba, diantaranya adalah asam-asam organik, hidrogen peroksida dan
senyawa protein atau kompleks protein spesifik yang disebut bakteriosin. Dalam
penelitian ini tidak diidentifikasi jenis senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh
galur-galur BAL yang digunakan, akan tetapi beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa BAL menghasilkan beberapa senyawa yang menghambat
pertumbuhan mikroba. Asam laktat dan asetat adalah salah satu senyawa
antimikroba yang dihasilkan oleh BAL. BAL juga menghasilkan hidrogen
peroksida yang cukup besar. Akumulasi senyawa tersebut di dalam sel terjadi
karena BAL tidak menghasilkan enzim kata lase (Salminen dan Wright, 1993).
Pelczar et al, (1993) mengemukakan bahwa senyawa antimikroba
dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh
mikroba dengan mekanisme berupa perusakan dinding sel dengan cara
menghambat proses pembentuka nnya atau menyebabkan lisis pada dinding sel
yang sudah terbentuk dan perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga
terjadi kebocoran zat nutrisi dari dalam sel. Dengan rusaknya membran sitoplasma
akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel. Pada umumnya
bakteri Gram negatif mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap senyawa
antimikroba dibanding bakteri Gram positif. Struktur dinding sel bakteri Gram
negatif lebih kompleks yaitu lapisan luar berupa lipoprotein, lapisan tengah
berupa polisakarida dan lapisan paling dalam adalah peptidoglikan (5-10%).
Sedangkan struktur dinding sel bakteri Gram positif lebih sederhana (90% dinding
selnya terdiri dari peptidoglikan), sehingga memudahkan senyawa antimikroba
untuk dapat masuk ke dalam sel (Gambar 1 ).
Pemilihan Isolat untuk Uji Penempelan secara in vitro
Pemilihan isolat BAL yang akan digunakan untuk uji penempelan
secara in vitro berdasarkan pada sifat terbaik untuk uji ketahanan terhadap pH
rendah, ketahanan terhadap garam empedu dan aktivitas antagonistik terhadap
enterik patogen yang dipilih berdasarkan ranking dengan mempertimbangkan uji
statistik yang dilakukan. Isolat yang potensial pada uji ketahanan terhadap pH
rendah dan ketahanan terhadap garam empedu 1% dan 5% adalah isolat yang
menunjukkan penurunan jumlah koloni yang kecil pada uji tersebut. Sedangkan
pada uji aktivitas antagonis terhadap enterik patogen, isolat yang dianggap
potensial adalah yang menunjukkan diameter penghambatan yang besar. Urutan
isolat BAL berdasarkan rangking untuk masing-masing sifat yang diuji terlihat
pada Tabel 11. Ranking 1 menunjukkan sifat yang paling baik dan seterusnya
menjadi menurun, sehingga rangking 20 adalah yang paling buruk. Penentuan
isolat terpilih berdasarkan isolat yang mempunyai frekue nsi berada di rangking 1
sampai 10 lebih banyak dibanding isolat lainnya.
Berdasarkan pada uji-uji sebelumnya seperti terlihat pada Tabel 11,
ternyata tidak semua karakteristik probiotik yang diinginkan berada pada satu
jenis isolat, sehingga diperlukan beberapa pertimbangan dengan mengutamakan
hal-hal yang paling penting untuk memenuhi persyaratan sebagai probiotik.
Berdasarkan pada Tabel 11 terdapat 10 isolat yang berpotensi untuk pengujian
selanjutnya, tetapi hanya 5 yang akan diuji kemampuan penempelan pada
lempeng SS. Isolat W1, W2, FNCC 086 dan St tidak diuji penempelannya karena
walaupun aktivitas antagonisnya terhadap enterik patogen bagus tetapi ternyata
isolat tersebut tidak tahan terhadap garam empedu. Sedangkan isolat TT3A
mampu bertahan dalam lingkungan pH rendah dan mengandung garam empedu,
tetapi isolat tersebut memiliki aktivitas antagonis terhadap enterik patogen yang
rendah. Untuk itu hanya isolat SK2, SK3, WT1, WT2 dan FS1 yang akan diuji
kemampuan penempelannya pada lempeng SS.
Uji Penempelan Pada Lempeng Stainless Steel Secara In Vitro
Pengujian penempelan bakteri terhadap sel inangnya dapat dilakukan
secara in vitro maupun in vivo. Pada penelitian ini dilakukan uji secara in vitro.
Salah satu cara pengujian secara in vitro yaitu dilakuka n dengan menggunakan
permukaan padat seperti lempeng baja (stainless steel). Pengujian dengan
stainless steel pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan indikasi sifat
penempelan bakteri tersebut pada usus manusia yang mengindikasikan pula
bahwa bakteri dapat melakukan kolonisasi di dalam usus.
5
4.9
Log sel per cm
4.8
4.7
4.6
4.5
4.4
4.3
4.2
4.1
SK2
SK3
FS
WT1
WT2
Kode isolat bakteri asam laktat
Gambar 3. Penempelan bakteri asam laktat pada lempeng stainless steel
Jumlah awal BAL yang diinokulasikan ke dalam media adalah 105 sel
per ml dan diinkubasi selama 1 jam. Kemampuan penempelan BAL pada lempeng
SS berkisar antara 4,4 – 4,9 log sel per cm2 seperti terlihat pada hasil lengkapnya
pada Lampiran 17. Dari Gambar 3 dapat dilihat data bahwa isolat BAL yang
paling besar kemampuan menempelnya adalah WT1, diikuti berturut-turut WT2,
SK3, SK2 dan FS1.
Jenis dan spesies bakteri yang berbeda mempunyai kemampuan
penempelan yang berbeda pula. Selain itu asal isolat juga akan berpengaruh
terhadap kemampuan penempelan bakteri. Dari hasil yang diperoleh pada Gambar
3 menunjukkan bahwa isolat yang berasal dari produk berbasis susu (SK2 dan
SK3) dan produk yang berasal dari sumber nabati (WT1 dan WT2) mempunyai
kemampuan penempelan yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat yang
berasal dari isolat klinis (FS1). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Triputro (2002) yang menyatakan bahwa isolat dadih memiliki kemampuan
penempelan lebih besar dibandingkan dengan isolat klinis.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Greene dan Klaenhammer (1994) yang melaporkan bahwa 3 kultur Lactobacillus
yang berasal dari isolat klinis memiliki kemampuan menempel pada sel Caco-2
manusia lebih tinggi jika dibandingkan dengan kultur yang berasal dari produk
susu. Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Todoriki et al. (2001),
dimana isolat Lactobacillus yang diisolasi dari saluran pencernaan mempunyai
kemampuan menempel yang lebih baik pada sel Caco-2 manusia dibandingkan
isolat Lactobacillus yang diisolasi dari makanan hasil fermentasi.
Lebih besarnya jumlah sel yang menempel pada lempeng SS dari isolat
WT1, WT2, SK2 dan SK3 dibandingkan dengan isolat klinis (FS1) ini diduga
karena tidak semua BAL yang diisolasi dari feses memiliki kemampuan
menempel yang sama. Beberapa bakteri yang berasal dari isolat klinis mungkin
memiliki kemampuan menempel yang lebih baik dibandingkan dengan bakteri
yang berasal dari isolat makanan ataupun produk berbasis susu, sedangkan
beberapa bakteri lain sebaliknya. Disamping itu, isolat SK2 dan SK3 yang biasa
tumbuh pada lingkungan kaya nutrisi (susu) akan lebih sensitif terhadap adanya
perubahan nutrisi dalam media pertumbuhannya dibandingkan isolat klinis yang
biasa tumbuh pada lingkungan yang lebih sedikit nutrisinya (usus). Oleh sebab itu,
isolat WT1, WT2, SK2 dan SK3 akan lebih menempel dibandingka n isolat klinis
di dalam MRSB yang digunakan sebagai medium penempelan. Selain itu,
perbedaan hasil mungkin juga disebabkan karena BAL lebih dapat menempel
dengan baik pada sel Caco-2 manusia dibandingkan pada SS.
Pengaruh Penambahan Bakteri Probiotik terhadap Sekresi Interleukin -8
BAL yang telah lolos sebagai kandidat probiotik melalui sejumlah uji,
kemudian dilihat kemampuannya sebagai imunomodulator. Pada penelitian ini
dilihat pengaruh bakteri probiotik tersebut terhadap sekresi interleukin-8 dari alur
sel HCT 116. Interleukin-8 merupakan senyawa yang berperan dalam proses
inflamasi (peradangan). Sekresi interleukin-8 dapat diinduksi oleh adanya bakteri
enterik patogen. Pada sel kanker (alur sel HCT 116), sel sudah berada dalam
kondisi inflamasi, sehingga banyak mensekresikan interleukin-8. HCT 116
merupakan sel kanker usus stadium lanjut pada manusia (late phase
adenocarcinoma). Untuk melihat pengaruh bakteri probiotik terhadap sekresi
interleukin-8 serta mengetahui pada dosis berapa dan pengaruh apa ya ng
diakibatkannya, maka dibuat beberapa konsentrasi isolat BAL yaitu 107 , 108 dan
109 cfu/ml.
Peradangan (inflamasi) pada usus adalah salah satu target potensial
bagi bakteri probiotik. Proinflamatory cytokine yang dihasilkan oleh sel epitel
usus, seperti TNF-á, interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8 dan interleukin 12
adalah tanda adanya respon terhadap peradangan di dalam sel Caco-2. Namun
begitu, tidak ada korelasi antara penempelan BAL dengan produksi sitokin. BAL
yang mampu menempel dengan kuat pada sel Caco-2 belum tentu dapat merespon
proses inflamasi dengan maksimal pula (Morita et al. 2002).
Mikroflora normal pada saluran pencernaan manusia terdiri dari
bermacam-macam populasi bakteri yang berperan penting dalam pertahanan
mukosa usus dan kekebalan non spesifik. Beberapa mikroflora usus dapat
melawan pertumbuhan bakteri enterik patogen. Penyimpangan mikroflora usus
terjadi pada kasus Inflamatory Bowel Disease (IBD). Penyimpangan ini
menyebabkan disregulasi sistem imun. Masuknya beberapa strain virulen ke sel
epitel usus dapat menyebabkan rusaknya integritas membran usus dan
menginduksi masuknya sel-sel yang berperan dalam proses inflamasi.
Konsentrasi IL-8 (pg/ml)
40
35
30
25
20
15
10
5
0
K(+)
K(-)
SK3-7 SK3-8 SK3-9 WT1-7 WT1-8 WT1-9
Isolat BAL
Gambar 4. Konsentrasi interleukin-8 pada berbagai
konsentrasi BAL
Konsentrasi interleukin-8 pada isolat SK3 dengan jumlah sel 107 , 108
dan 109 cfu/ml berturut-turut adalah 21,472 pg/ml ; 23,163 pg/ml dan 36,600
pg/ml. Sedangkan pada isolat WT1 dengan jumlah sel yang sama berturut-turut
adalah 17,198 pg/ml; 22,179 pg/ml dan 35,247 pg/ml. Interleukin-8 yang
diskresikan oleh kontrol positif yaitu sel HCT 116 adalah 24,578 pg/ml,
sedangkan isolat BAL sebagai kontrol negatif tidak mensekresikan interleukin -8
(Lampiran 21).
Dari Gambar 4 terlihat adanya respon yang berbeda-beda dari isolat
SK3 dan WT1 terhadap sekresi interleukin -8. Walaupun begitu hasil ELISA
menunjukkan
kecenderungan
peningkatan
kadar
interleukin -8
dengan
meningkatnya konsentrasi SK3 dan WT1 yang diberikan (Lampiran 21). Hasil
analisis ragam menunjukkan terdapat perbedaan nyata antar konsentrasi BAL
yang ditambahkan (p<0,05). Kedua isolat, pada konsentrasi 107 dan 108 cfu/ml
mampu menurunkan sekresi interleukin-8, jika dibandingkan dengan kontrol. Hal
ini membuktikan bahwa isolat SK3 dan WT1 dapat digunakan untuk menekan
proses inflamasi (anti-inflamasi). Sebaliknya, pada konsentrasi 109 cfu/ml, terjadi
peningkatan sekresi interleukin-8. Hal ini menunjukkan bahwa respon probiotik
terhadap sekresi interleukin -8 selain bersifat strain dependent juga bersifat dose
dependent.
Adanya peningkatan sekresi interleukin-8 menandakan bahwa isolat
tersebut mempunyai kemampuan dalam respon imun seluler, dimana pada respon
imun tersebut pertahanan terhadap mikroorganisme intra dan ekstraseluler
dilakukan melalui sekresi limfokin seperti interferon dan interleukin. Untuk
mengetahui kemampuan isolat tersebut terhadap respon imun seluler, sebaiknya
diuji lebih lanjut pengaruhnya terhadap sekresi interleukin -10. Menurut Donglai
Ma et al. (2004), interleukin-10 merupakan anti-inflamatory cytokine. Kedua
respon ini sebenarnya mempunyai arti yang baik tergantung pada aplikasi yang
diinginkan.
Pada penyakit tertentu dimana sel-sel berada dalam kondisi inflamasi
(seperti pada kasus Inflamatory Bowel Disease), maka penurunan sekresi
interleukin-8 lebih diharapkan (Bai, 2004). Pada kondisi tersebut, suplementasi
probiotik dapat membantu mengatasi penyakit ini. Sedangkan pada saat kondisi
tubuh melemah, maka pemberian probiotik pada dosis yang tepat dapat memicu
peningkatan kekebalan tubuh.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Isolat BAL yang diuji memiliki ketahanan yang baik terhadap pH
rendah dan dari hasil analisis ragam diketahui terdapat perbedaan nyata
dari masing -masing isolat terhadap pH rendah. Enam belas isolat mampu
tumbuh pada pH 2,5 selama 90 menit dengan penurunan jumlah koloni yang
bervariasi (antara 0,73-2,83 unit log/ml), sedangkan 4 isolat tidak mampu
tumbuh pada pH rendah yaitu isolat FNCC 018, T2A, T3 dan TT1.
Isolat BAL yang diuji juga memiliki ketahanan yang berbeda untuk
tumbuh pada lingkungan yang mengandung garam empedu 1% dan 5%.
Pada konsentrasi garam empedu 1%, isolat FS1 memiliki penurunan jumlah
koloni yang terkecil yaitu 0,56 unit log/ml, dimana hasil ini berbeda nyata
dengan isolat-isolat lainnya. Sedangkan pada konsentrasi garam empedu
5%, isolat FS1 juga memiliki penurunan jumlah koloni yang terkecil yaitu
0,56 unit log/ml. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan nyata (p>0,05) antara konsentrasi garam empedu yang digunakan
terhadap ketahanan dari masing-masing isolat terhadap garam empedu. Jadi
penggunaan konsentrasi garam empedu 1% dan 5% tidak berpengaruh
terhadap ketahanan masing -masing isolat. Tetapi terdapat perbedaan nyata
(p<0,05) dari masing -masing isolat terhadap ketahanan terhadap garam
empedu. Hal ini membuktikan bahwa masing-masing isolat bersifat strain
dependent.
Isolat BAL yang diuji memiliki aktivitas antagonistik terhadap patogen
enterik dengan derajat penghambatan yang berbeda-beda. Kisaran diameter
penghambatan isolat BAL terhadap Escherichia coli adalah 4,7–6,8 mm, dan
Staphylococcus aureus adalah 3,8–7,2 mm. Isolat FNCC 018 menunjukkan
penghambatan tertinggi terhadap kedua bakteri patogen tersebut. Diameter
penghambatan terhadap Bacillus cereus adalah dan 3,5–7,2 mm, dimana
penghambatan terbesar oleh isolat SK2.
Berdasarkan pada uji ketahanan terhadap asam dan garam empedu serta
aktivitas antagonis terhadap patogen enterik, maka isolat BAL yang terpilih
sebagai probiotik dan diuji kemampuan penempelannya pada lempeng SS adalah
WT2, WT1, SK2, SK3 dan FS. Dari uji penempelan tersebut, semua isolat mampu
menempel dengan baik pada lempeng SS. Isolat yang paling menempel adalah
WT1 yaitu 4,9 log sel per cm2 , disusul oleh WT2 (4,8 log sel per cm2), SK3 (4,8
log sel per cm2), SK2 (4,7 log sel per cm2) dan FS1 (4,4 log sel per cm2 ).
Hasil uji pengaruh bakteri probiotik terhadap sekresi interleukin-8 dari alur
sel HCT 116 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan sekresi
interleukin-8
dengan
meningkatnya
konsentrasi
bakteri
probiotik
yang
ditambahkan. Namun demikian, isolat SK3 dan WT1 pada konsentrasi 107 dan 108
cfu/ml dapat menurunkan sekresi interleukin-8 dari alur sel HCT 116 jika
dibandingkan dengan kontrol, sebaliknya pada konsentrasi 109
mampu
meningkatkan sekresi interleukin-8. Hal ini menunjukkan bahwa respon probiotik
terhadap sekresi interleukin -8 selain bersifat strain dependent juga bersifat dose
dependent.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi isolat BAL yang
berpotensi sebagai probiotik yang dihasilkan dari penelitian ini dan akan lebih
baik pula jika dilakukan identifikasi terhadap senyawa antimikroba yang
dihasilkan. Isolat SK3 dan WT1 mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih
lanjut sebagai imunomodulator. Untuk itu perlu penelitian lebih mendalam untuk
mempelajari kemungkinan penerapan isolat tersebut untuk terapi penyakit
Inflamatory Bowel Disease (IBD). Untuk mengetahui efek isolat probiotik
terhadap respon imun seluler, maka perlu dilihat pengaruh isolat tersebut terhadap
sekresi interleukin-10.
DAFTAR PUSTAKA
Bai AP, Q Ouyang, W Zhang, CH Wang dan SF Li. 2004. Probiotics inhibit TNFá-induced interleukin-8 secretion of HT29 cells. World Journal
Gastroenterology. 10(3) : 455-457
Bender GR dan RE Marquis. 1987. Membran ATP-ase and acid tolerance of
Actinomyces viscosus and Lactobacillus casei. Applied And
Environmental Microbiology. 59(12) : 2124-2128
Bernett MF, D Brassart, JR Neeser dan AL Servin. 1993. Adhesion of human
Bifidobacteria strains to cultured human intestinal epithelial cells and
inhibition of Enteropathogen-cell interaction. Applied And Environmental
Microbiology. 59(12) : 4121-4128
Brady LJ, Gallaher DD dan Busta FF. 2000. The role of probiotic cultures in the
prevention of colon cancer. Journal Nutrition. 130 : 410S-414S
Chateu N, I Castenallos dan AM Deschamps. 1993. Heterogeneity of bile salt
resistance in the Lactobacilllus isolates of a comercial probiotic
consortium. Journal Applied Microbiology. 84 : 759-768
Chou LS dan B Weimer. 1999. Isolation and characterization of acid and bile
tolerant isolates from strains of Lactobacillus acidophilus. Journal Dairy
Science. 62 : 23-31
Corzo G, Gilliland SE. 1999. Measurement of bile salt hydrolase activity from
Lactobacillus acidophilus based on dissapearance of conjugated bile salts.
Journal Dairy Science. 82 : 466-471
Davidson PM dan DG Hoover. 1993. Antimicrobial component from lactic acid
bacteria. Di Dalam : Salminen S dan AV Wright. Lactic Acid Bacteria.
Marcell Dekker. Inc. New York
Dewanti R. 1995. Studies on Biofilm Formation by Escherichia coli O157:H7.
Disertasi. University of Wisconsin-Madison
Donglai Ma, P Forsythe dan J Bienenstock. 2004. Live Lactobacillus reuteri is
essential for the inhibitory effect on tumor necrosis factor alpha-induced
interleukin-8 expression. Infection and Immunity. 72(9) : 5308-5314
Drago L, MR Gismondo, A Lombardi, C de Haen, dan L Gozzini. 1997.
Inhibition of in vitro growth of Enteropathogens by New Lactobacillus
isolates of human intestinal origin. FEMS Microbiology Letters. 153 :
455-463
Drouault S, G Corthier, SD Erlich dan P Renault. 1999. Survival physiology and
lysis of Lactococcus lactis in the digestive tract. Applied And
Environmental Microbiology. 65 : 4881-4886
Elida M. 2002. Profil bakteri asam laktat dari dadih yang difermentasi dalam
berbagai jenis bambu dan potensinya sebagai probiotik. Tesis. Institut
Pertanian Bogor : Program Studi Ilmu Pangan
Erickson KL dan Hubbard NE. 2000. Probiotic imunomodulation in health and
disease. Journal Nutrition. 130 : 403S-409S
Evanikastri. 2003. Isolasi dan karakterisasi bakteri asam laktat dari sampel klinis
yang berpotensi sebagai probiotik. Tesis. Institut Pertanian Bogor :
Program Studi Ilmu Pangan
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi pangan I. PT Gramedia, Jakarta
Fuller R. 1989. Probiotic in man and animals. Journal Applied Bacteriology. 66 :
365-378
Furushiro M, Hashimoto S, Hamura M dan Yokokura T. 1993. Mechanism of the
antihypertensive effect of a polysaccharide-glycopeptide complek from
Lactobacillus casei in spontaneously hypertensive rats (SHR). Bioscience
Biotechnology Biochemistry. 57 : 978-981
Frazier WC dan DC Westhoff. 1988. Food Microbiology. 4th ed. Mc Graw-Hill
Book Co., New York
Gallaher DD, Khil J. 1999. The effect of synbiotics on colon carcinogenesis in
rats. American Society for Nutritional Sciences
Greene JD dan TR Klaenhammer. 1994. Factors involved in adherence of
Lactobacilli to human Caco-2 cells. Journal Applied and Environmental
Microbiology. 60(12) : 4487-4494
Harrigan WF dan ME Mc Cance. 1976. Laboratory Methods in Food and Dairy
Microbiology. Academic Press. New York
Havenar R, BT Brink dan JHJ Huis in’t Veld. 1992. Selection of strains for
probiotic use. Di Dalam : Fuller R, editor. Probiotics : The Scientific
Basic. Chapman & Hall. London
Hutkins RW, Nannen NL. 1993. pH homeostatis in lactic acid bacteria. Journal
Dairy Science. 76 : 2354-2365
Jacobsen CN, VR Nielsen, AE Hayford, PL Moller, KF Michaelsen, AP
Erregaard, B Sandstrom, M Tvede dan M Jakobsen. 1999. Screening of
probiotic activities of forty seven strains of Lactobacillus spp. by in vitro
techniques and evaluation of the colonization ability of five selected
strains in human. Applied And Environmental Microbiology. 65 : 49494956
Jay JM. 1996. Modern Food Microbiology. Cha pman and Hall. New York, USA
Jin LZ, YW Ho, N Abdullah, MA Ali dan S Jalaludin. 1996. Antagonistic effect
of intestinal Lactobacillus isolates on pathogens of chicken. Letters in
Applied Microbiology. 23 : 67-71
Kimoto H, J Kurisaki, NM Tsuji, S Ohmomo dan T Okamoto. 1999. Lactococci
as probiotic strains : adhesion to human enterocyte-like Caco-2 cells and
tolerance to low pH and bile. Letters in Aplied Microbiology. 29 : 313-316
Klaenhammer TR. 2000. Probiotic bacteria : Today and Tomorrow. Journal
Nutrition. 130 : 415S-416S
Kozaki M. 1998. Microorganism and their function in “Tradisional Fermented
Food” in Southeast Asia. Proceeding of International Conference on Asia
Network on Microbial Researches. Yogyakarta, 23th-25t h February
Kresno KB. 1996. Imunologi : diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi ketiga.
Balai Penerbit FK-UI. Jakarta
Kuby J. 1992. Immunology. WH Freeman and Company. New York
Kusumawati N. 2002. Seleksi bakteri asam laktat indigenus sebagai galur
probiotik dengan kemampuan mempertahankan keseimbangan mikroflora
usus feses dan mereduksi kolesterol serum darah tikus. Tesis. Institut
Pertanian Bogor : Program Studi Ilmu Pangan
Liao CC, AE Yousef, GW Chism dan ER Richter. 1994. Inhibition of S. aureus
in buffer, culture media in food by lacidin A, a bacteriocin produced by
Lactobacillus acidophilus OSV 133. Journal Food Safety. 4(2)
Lin M, Savaiano Y dan Harlander S. 1991. Influence of nonfermented dairy
product containing bacterial starter cultures on lactose maldigestion in
huma ns. Journal Dairy Science. 74 : 87-95
Lohner K. 2001. Development of novel antimicrobial agents : emerging strategies.
Horizon Scientific Press, Wymondham, UK
Mitsuoka T. 1990. Profile of intestinal bacteria : our lifelong partners. Yakult
Honsa co. Ltd
Morata VI, Silvia N Gonzalez dan G Oliver. 1999. Study of adhesion of
Lactobacillus casei CRL 431 to ileal intestinal cells of mice. Journal Food
Protection. 62 : 1430-1434
Morita H, Fang He, T Fuse, AC Ouwehand, H Hashimoto, M Hosoda, K
Mizumachi dan J Kurisaki. 2002. Adhesion of lactic acid bacteria to Caco2 cells and their effect on cytokine secretion. Microbiol Immunol. 46(4) :
293-297
Naidu AS dan RA Clemens. 2000. Probiotics. Di Dalam Natural Food
Antimicrobial Systems. Naidu AS (Ed). CRC Press, LLC
Neish AS, AT Gewirtz, H Zeng, AN Young, ME Hobert, V Karmali, AS Rao dan
JL Madara. 2000. Prokaryotic regulation of epithelial responses by
inhibition of ikappa B-alpha ubiquitination. Science. 289 : 1560-1563
Ngatirah A, Harmayanti ES dan T Utami. 2000. Seleksi bakteri asam laktat
sebagai agensia probiotik yang berpotensi menurunkan kolesterol. Di
Dalam : Prosiding Seminar Nasional Industri Pangan. PATPI (II) : 63-70
Nissen-Meyer J, Holo H, Havastein S, Sketten K, Nes IF. 1992. A novel
lactococcal bacteriocin whose activity depend on the complementary
action of two peptides. Journal Bacteriology. 174 : 5686-5692
Ouwehand AC, PV Kirjavainen, C Shortt dan S Salminen. 1999. Probiotic :
Mechanism and established effect. International Dairy Journal. 9 : 43-52
Ouwehand AC. 1998. Antimicrobial components from lactic acid bacteria. Di
Dalam : Salminen S dan AV Wright. Lactic Acid Bacteria. Marcell
Dekker Inc. New York
Pelczar MC, ECS Chan dan Krieg NR. 1993. Microbiology Concept and
Application. Mc Graw-Hill, Inc., New York
Purwandhani SN, ES Rahayu dan E Harmayani. 2000. Isolasi Lactobacillus yang
berpotensi sebagai probiotik. Di Dalam : Prosiding Seminar Nasional
Industri Pangan. PATPI (II) : 125-133
Rahayu ES. 2004. Makanan fermentasi dan probiotik. Pusat Studi Pangan dan
Gizi, Universitas Gajah Mada
Rahayu ES, Djafar TF, Wibowo D dan Sudarmadji S. 1996. Lactic acid bacteria
from indigenus fermented foods and their antimicrobial activity. Journal
Indonesian Food & Nutrition Progress. 3 : 21-27
Ray B. 1996. Probiotic of lactic acid bacteria. Science or Myth. Di Dalam:
NATO ASI Series, editor. Lactic acid bacteria. Current advances in
metabolism, genetic and application. Volume V(98). Springer-Verlag.
Germany
Reid G. 1999. The Scientific basic for probiotic strains of Lactobacillus.
Minireview. Applied And Environmental Microbiology. 65 : 3763-3766
Reiter B, G Harnulv. 1984. Lactoperoxidase antibacterial system : natural
occurrence, biological function and practical applications . Journal Food
Protect. 47 : 724-732
Roitt IM. 1991. Essential Immunology. Blackwell Scientific Publication. London
Rolfe RD. 2000. The role of probiotic culture in the control of gastrointestinal
health. Journal Nutrition. 130 : 396S-402S
Salminen S dan Deighton M. 1992. Lactic acid bacteria in the gut in normal and
disordered states. Digestive disease. 10 : 227-238
Salminen S, M Deighton, dan S Gorbach. 1993. Lactic Acid Bacteria in Health
and Disease. Di Dalam : Salminen, S. dan AV Wright, editor. Lactic Acid
Bacteria
Salminen S, A Ouwehand, Y Beno dan YK Lee. 1999. Probiotic : how should
they be defined?. Trends in Food Science and Technology
Salminen S dan AV Wright. 1998. Lactic Acid Bacteria. Marcell Dekker Inc. New
York
Sanders ME. 2000. Consideration for use of probiotic bacteria to modulate human
health. Journal Nutrition. 130 : 384S-390S
Senjani D. 2002. Pembentukan biofilm oleh isolat lokal bakteri asam laktat pada
permukaan stainless steel [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Teknologi Pertanian
Siegumfeldt H, Rechninger BK, Jacobsen M. 2000. Dynamic changes of
intracellular pH in individual lactic acid bacterium cells in response to a
rapid drop in extracellular pH. Applied and Environmental Microbio logy.
66 : 2330-2335
Smet ID, L van Hoorde, MV Woestyne, H Christiaens dan W Verstraete. 1995.
Significance of bile salt hydrolytic activities of lactobacilli. Journal
Applied Bacteriology. 79 : 292-301
Syafia R. 2002. Penempelan dan pembentukan biofilm bakteri asam laktat pada
permukaan stainless steel dan pengujian sifat hidrofobisitasnya [skripsi].
Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian
Stites DP, Terr AL and Parslow TG. 1997. Medical Immunology. 9
Singapore. Simon & Schuster Co
th
ed.
Talarico TL, Dobrogosz WJ. 1989. Chemical caracterization of an antimicrobial
substances produced by L. reuteri. Antimicrobial Agents Chemother. 33 :
674-679
Tannock GW. 1990. The microecology of Lactobacilli inhibiting the
gastrointestinal tract. Advance Microbiology Ecology. 11 : 147
Timmerman H. 1995. Relationship between structure and inhibition of
lipoxygenase activity of curcumin derivatives. Di dalam : Recent
development in curcumin phamacochemistry. Proceeding of the
International Symposium on Curcumin Pharmacochemistry (ISCP).
Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta
Triputro A. 2002. Penempelan dan pembentukan biofilm bakteri asam laktat pada
permukaan stainless steel dan pengujian kandungan polisakarida
ekstraselulernya [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas
Teknologi Pertanian
Todoriki M, T Mukai, S Sato dan T Toba. 2001. Inhibition of adhesion of
foodborne pathogen to caco-2 cells by Lactobacillus strains. Journal
Applied Microbiology. 91 : 154-159
Tzianabos AO. 2000. Polysaccharides immunomodulatory as therapeutic agents :
structural aspect and biological function. Clin Microbiol Review. 523-533
Vanderhoof JA, Whitney DB dan Antonson DL. 1999. Lactobacillus GG in
prevention of antibiotic associated diarrhea in children. Journal Pediatric.
135-143
Vesa T, Marteau H, Briet F, Pochart F and Rambaud JC. 1996. Digestion and
tolerance of lactose from yogurt and different semisolid fermented dairy
product containing Lactobacillus acidophilus and Bifidobacteria. Europe
Journal Clinical Nutrition. 50 : 730-733
Vuys L de, Vandamme EJ. 1994. Antimicrobial potential of lactic acid bacteria.
Di dalam : De Vuys L, EJ Vandamme. Bacteriocins of lactic acid bacteria
: microbiology, genetic and application. London : Blackie Academic &
Profesional
Wirawati CU. 2002. Potensi bakteri asam laktat yang diisolasi dari tempoyak
sebagai probiotik. Tesis. Institut Pertanian Bogor : Program Studi Ilmu
Pangan
Yu B dan HY Tsen. 1993. Lactobacillus cells in the rabbit digestive tract and the
factors affecting their distribution. Journal Applied Bacteriology. 75 : 269275
Zavaglia AG, G Kociubinski, P Perez dan G De Antoni. 1998. Isolation and
characterization of Bifidobacterium strains for probiotic formulation.
Journal Food Protect. 61(7) : 865-873
Download