BAB 2 LANDASAN TEORI Dalam bab 2 yang berisikan landasan teori ini, penulis untuk memberikan teoriteori yang akan digunakan untuk menganalisa data pada bab selanjutnya. Teori yang digunakan oleh penulis adalah teori semantik, teori konotasi-denotasi, teori medan makna, dan teori kotowaza. 2.1 Teori Semantik Semantik menurut Charles Morris dibagi menjadi 3 konsep, yakni : 1. Sign, adalah sebuah subtitusi untuk hal lain-lain. Oleh Karen itu sign memerlukan interpretasi. Misalnya ketika melihat tomat yang berwarna merah, itu merupakan sign bagwa tomat tersebut sudah matang. 2. Signal, adalah sebuah stimulus pengganti. Misalnya lampu merah adalah stimulus untuk berhenti. 3. Symbol, adalah sebuah sign yang dihasilkan oleh interpreter tentang sebuah signal dan bertindak sebagai pengganti signal tersebut. Tindak itu sinonim dengan signal yang diintepretasikan. Misalnya jika ada seseorang yang melihat kearah jam tangannya, maka itu di intepretasikan sebagai satu signal yang berarti “sudah waktunya!”, dan ini merupakan satu symbol (Parera 2004 , hal.9-10). 8 Menurut ahli semantik modern Heijima (2001, hal.1-3), Semantik merupakan ilmu yang mempelajari makna dari kata, frase, dan kalimat. Semantik adalah studi tentang makna. Untuk memahami suatu ujaran dalam konteks yang tepat, seseorang harus memahami makna dalam komunikasi. (Keraf, 2007, hal.25). 2.1.1 Teori Denotasi dan Konotasi Keraf (2009, hal.27) mengemukakan bahwa masalah bentuk kata lazim dibicarakan dalam tatabahasa setiap bahasa. Bagaimana bentuk sebuah kata dasar, bagaimana menurunkan kata baru dari bentuk kata dasar atau gabungan dari bentuk-bentuk dasar biasanya dibicarakan secara terperinci dalam tatabahasa. Maka terlebih dahulu memperkenalkan makna kata yang dibedakan atas makna yang bersifat denotasi dan konotasi. Menurut Harley (1995, hal.178), makna denotasi dari sebuah kata merupakan intinya, makna yang paling mendasar, semua orang mengerti dan setuju dengan makna kata secara denotasi. Contohnya, makna denotatif dari kata “anjing” merupakan makna inti dari kata anjing sebagai hewan itu adalah berhubungan antara kata dan kelas objek tersebut. Imbuhan –de pada kata denotasi memiliki arti tetap dan wajar sebagai mana adanya. Jadi denotasi adalah makna yang wajar, yang asli, yang muncul pertama, yang diketahui pada mulanya, makna sebagai mana adanya, dan makna sesuai kenyatannya. (Parera, 2004, hal.97-98) Setiap kata memiliki denotasi, maka seorang penulis harus mempersoalkan kata yang dipilihnya sudah tepat atau belum. Ketepatan pilihan 9 kata itu tampak dari kesanggupannya untuk menuntun pembaca pada gagasan yang ingin disampaikan, yang tidak memungkinkan interpretasi lain selain dari sikap pembicara dan gagasan-gagasan yang akan disampaikan. Dalam semantik sebuah denotasi yang tepat, dengan sendirinya lebih mudah memilih konotasi yang tepat. Apabila terjadi suatu kesalahan dalam denotasi, maka hal itu mungkin disebabkan oleh kekeliruan atas kata-kata yang mirip bentuknya, kekeliruan tentang antonym, atau kekeliruan karena tidak jelas maksud dan referennya (Keraf, 2009, hal.28-29). Imbuhan –ko pada konotasi memiliki arti yang bersama yang lain. Ada tambahan yang lain terhadap notasi yang bersangkutan. Jadi konotasi adalah makna dari kata asli atau makna denotasi yang telah memperoleh tambahan perasaan tertentu, emosi tertentu, nilai tertentu, dan rangsangan tertentu yang bervariasi dan juga tak terduga (Parera, 2004, hal.97-98). Menurut Harley (1995, hal.178), makna konotasi dari sebuah kata merupakan makna implikasi sekunder, atau makna emotif atau makna evaluative asosiasi, setiap orang mempunyai pendapat yang berbeda-beda akan konotatif. Contohnya makna konotasi dari kata “anjing”, kemungkinan memiliki arti “menyenangkan”, “menakutkan”, atau “berbau busuk’. Konotasi atau makna konotasi disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluative. Makna konotatif adalah suatu jenis makna yang stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju, tidak 10 setuju, senang, tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar. Dipihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaraannya juga memendam perasaan yang sama (Keraf, 2009, hal.29). 2.1.2 Teori Medan Makna Buah pikir dari F.de Saussure dan muridnya C. Bally, juga buah pikir dari W. von Humboldr, Weisgerber, dan R.M Meyer telah menjadi inspirasi utama bagi J. Trier dalam pengembangan teori medan makna. Dalam bukunya tentang istilah-istilah ilmiah bahasa Jerman, Der Deutche Wortsschatez in Sinnberzirk des Verstandes (1891), J. Trier melukiskan vokabulari sebuah bahasa tersusun rapi dalam medan-medan dan dalam medan itu setiap unsur yang berbeda didefinisikan dan diberi batas yang jelas sehingga tidak ada tumpang tindih antarsesama makna. Ia mengatakan bahwa medan makna itu tersusun sebagai satu mosaik. Setiap medan makna itu akan selalu tercocokan antarsesama medan sehingga membentuk satu keutuhan bahasa yang tidak mengenal tumpang tindih. (Parera, 2004, hal.139). Bally, yang merupakan murid de Saussure, memasukkan konsep medan asosiatif dan menganalisisnya secara mendetail dan terperinci. Ia melihat medan asosiatif sebagai satu lingkaran yang mengelilingi satu tanda dan muncul ke dalam lingkungan leksikalnya. Bally menggambarkan kata ox. Kata ox menyebabkan orang berpikir tentang kata seperti cow, lalu makin jauh orang akan berpikir tentang plow, dan akhirnya tentang strength, dan sebagainya. (Parera, 2004, hal.138). 11 2.1.2.1 Gambar Medan Makna (Sumber Bally, 2004) 2.2 Konsep Kotowaza Dalam bukunya yang berjudul 日韓類似ことわざ辞典 (Nikkan Ruiji Kotowaza Jiten), Kakigyon mengatakan pengertian kotowaza seperti berikut : けいたい そなえ きわ かんけつ “ことわざは、文レベルの刑熊を 備 え、極めて簡潔体ではあるものの、人間の ほうこ みんぞく 生活のあらゆるものにかかわる知識や哲学の宝庫と言われている。民族の文化 けっしょう かごん の一つの 結 晶 と言って過言ではなかろう。” Terjemahan : “Kotowaza merupakan persiapan bentuk dari sebuah kalimat, yang sangat simpel, dan semuanya yang berhubungan dengan kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan pengetahuan maupun ilmu filsafat yang dijadikan dalam satu perbendaharaan kata.” 12 Salah satu contoh kotowaza yang dianalis oleh penulis adalah : Karitekita Neko「借りてきた猫」 Terjemahan : Kucing yang dipinjam Makna : Diam atau Bersikap baik, tidak seperti biasanya Contoh kalimat : “花子はおじさんの家に行くのが初めてだったので、借りてきた猫のよう だった”。 “Karena Hanako baru pertama kali kerumah kakek, dia bersikap tidak seperti biasanya” Menurut penelitian, jika kucing berada di tempat asing atau tempat baru maka kucing akan bersikap diam atau tidak seperti biasanya. Oleh karena itu disebutlah Karitekita Neko 借りてきた猫. 2.3 Konsep Kucing di Masyarakat Jepang Kucing adalah hewan berbulu yang lucu dan menggemaskan. Tidak kalah dengan anjing, kucing juga banyak mengabil hati orang-orang untuk menjadikannya hewan untuk dipelihara. Menurut KBBI, kucing adalah binatang yang rupanya seperti harimau, biasa dipelihara orang. 「ネコ科の哺乳動物。体はしなやかで、毛色は多 様。しまい込むことのできるつめ、足の裏の発達した肉球、ざらざらした舌、 光によって瞳の大きさが変わる目が特徴。愛玩用、鼠駆除用として飼われ る。」. Yang berarti “keluarga kucing adalah hewan menyusui, badannya lemah lembut, warna bulu beraneka ragam. , pada belakang bagian kaki cakarnya telah berkembang, 13 lidah kasar, memiliki cirri khas ukuran bola mata dapat berubah mengikuti cahaya. Dipelihara untuk menangkap tikus dan dimanja.” (Kadokawa, 2001) Di dalam karangan Fogle yang berjudul “Complete Cat Care” menjelaskan bahwa menurut sejarah, kucing lokal pertama muncul di daerah yang bernama Fertile Cresent, daerah yang kaya akan sungai dan bentuk daerahnya melengkung bagai bulan sabit. Mulai dari sungai Nila di Mesir yang melewati Israel, Lebanon, dan Syria bahkan sampai di bagian Turki selatan, lalu kembali lagi melewati Tigris dan sungai Euphrates yang melewati Iran dan Irak. Disinilah, sekitar 10.000 tahun yang lalu beberapa kucing liar secara terus menerus memilih untuk pindah dan hidup disini. Karena nenek moyang kucing ini tinggal didaerah gurun, dapat dilihat kotoran kucing juga kering dan mereka selalu menguburnya di pasir. 2.3.1 Gambar The Fertile Crescent (sumber : Gill, 1924) 「 猫 」berasal dari kanji Cina kuno. Hewan karnivora yang menyusui yang masuk dalam keluarga kucing disebut Felix Silvestris (エイネコ/eineko). Pada zaman 14 kuno eineko merupakan naturalisasi dari yamaneko atau kucing gunung. Eineko yang berada di Asia berasal dari kucing gurun India. Sedangkan di Cina ketika jaman perang, untuk pertama kalinya dimulai kebiasaan yang menggunakan kucing sebagai “alat” untuk menangkap tikus. Lalu setelah dari situlah lama-lama kucing dijadikan hewan peliharaan. Pada awalnya kanji 狸 digunakan untuk kanji kucing, namun pada akhirnya muncullah kanji 貓 dan digunakan untuk kanji kucing. Miau merupakan gion go yang しきょうたいが mengikuti suara kucing. Didalam buku puisi korea yang berjudul 詩経大雅, kanji 貓 mempunya arti yamaneko (kucing liar). Suara dari kucing yang tertangkap adalah miau (penulisannya 苗), pada waktu yang sama kanji tersebut bisa dibayangkan untuk sesuatu yang kecil. Seiring dengan evolusi yang terjadi, dari kanji 貓 tersebut akhirnya menjadi kanji berikut 猫 (Tokida, 1999). 15