PENINGKATAN JUMLAH NEUTROFIL PADA SEKRET VAGINA BERHUBUNGAN DENGAN TINGGINYA PERSALINAN PRETERM dr. Tjok G A Suwardewa, Sp.OG(K) BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP SANGLAH DENPASAR 2013 RINGKASAN Persalinan preterm yang terjadi spontan mempunyai hubungan yang cukup bermakna dengan kejadian infeksi pada vagina dan servik. Hal ini sering dikaitkan dengan terjadinya infeksi pada jaringan korioamnion. Telah banyak tes diagnostik yang digunakan untuk memprediksi kelahiran preterm, namun belum ada yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang baik.Pemeriksaan neutrofil vagina dapat menjadi penanda infeksi dan dinilai tidak invasif. Pengecatan gram digunakan untuk mendiagnosis neutrofil, dan dievaluasi menggunakan sistem skoring Nugent 10-point Kerangka konsep penelitian ini adalah bahwa penyebab sepertiga dari persalinan preterm dihubungkan dengan proses infeksi yang terjadi pada korion dan desidua. Hal ini mengakibatkan peningkatan sitokin dan chemokines yang menyebabkan peningkatan infiltrasi neutrofil. Peningkatan jumlah neutrofil perlapang pandang pada sekret vagina menunjukkan pematangan serviks, yang dapat digunakan sebagai penanda persalinan preterm. Hipotesis penelitian ini adalah tingginya jumlah neutrofil perlapang pandangpada sekret vagina berhubungan dengan tingginya kejadian persalinan preterm Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol, yang dilakukan di ruang Bersalin dan Poliklinik Kebidanan RSUP Sanglah dari bulan Desember 2011 sampai bulan Desember 2012, diperoleh 52 sampel dimana 26 pasien dengan kehamilan preterm dan 26 pasien dengan persalinan preterm pada umur kehamilan 28-37 minggu yang diambil secara consecutive sampling, yang dipasangkan (matching) dalam hal umur ibu, umur kehamilan dan paritas. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa neutrofil vagina tinggi dapat meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm sebesar 18 kali dibandingkan dengan netrofil vagina yang rendah(R0 = 18,3, IK 95% = 2,15-56,58, p = 0,001). ABSTRAK Latar Belakang : Infeksi saluran genitalia bawah merupakan salah satu penyebab terjadinya persalinan kurang bulan.Pematangan serviks dalam persalinan merupakan suatu proses inflamasi. Proses ini menyebabkan terjadinya penurunan jumlah kolagen. Neutrofil merupakan sumber kolagenase, yang menyebabkan pematang serviks yang diperantarai oleh sitokin (IL-8). Pemeriksaan neutrofil vagina merupakan salah satu pemeriksaan penanda infeksi dan tidak invasif. Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui jumlah neutrofil pada swab vagina dan menilai hubungannya dengan persalinan preterm. Metode penelitian : Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol. Jumlah sampel sebesar 52 sampel, dimana 26 sampel kasus persalinan preterm dan 26 sampel kontrol kehamilan preterm, yang dipasangkan (matching) dalam hal umur ibu, umur kehamilan dan paritas. Pengambilan spesimen dari vagina dengan swab, kemudian dioleskan ke objek glass dan dilakukan pewarnaan Gram dan pembacaan netrofil vagina perlapangan pandang di laboratorium. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji Chi-Square dengan tingkat kemaknaan p <0,01. Rasio Odds digunakan menilai besarnya risiko. Hasil : Uji Chi-Square antara neutrofil vagina dan persalinan preterm didapatkan nilai p=0,001. Hal ini berarti kejadian persalinan preterm pada kedua kelompok berbeda secara bermakna. Nilai Rasio Odds sebesar 18,3 (IK 95% = 2,15-56,58, p=0,001) yang berarti neutrofil vagina yang tinggi dapat meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm sebesar 18 kali. Simpulan : Neutrofil vagina tinggi dapat meningkatkan secara bermakna risiko terjadinya persalinan preterm sebesar 18kali dibanding kontrol. Kata kunci : persalinan preterm, kehamilan preterm, neutrofil vagina. ABSTRACT Backgroud :Lower genital tract infection is one of the important cause of preterm labor. Cervical ripening in labor was a imflammatory process. This process cause decrease of collagen. Neutrophil was a collagen resources and became cervical ripening mediated by cytocine (IL-8). Vaginal neutrophil examination is no invasive tools to evaluate infection. Objective :Determine neutrophils count on vaginal swab and the correlation with preterm labor. Material and Method :A case control study, with 52 samples, which is 26 samples each group of preterm labor and control, matched for maternal age, gestational age, and parity. Sample collected from vaginal with swab and object glass, followed by staining Gram and neutrophils count in laboratory. Collected data analyze with Chi square on confident level p < 0.001. Risk estimated in Odds Ratio. Results :Preterm labor risk with Chi-Squareanalysis on neutrophils vaginal count was p=0,001. Significantly, preterm labor prevalent on both group was different. High level neutrophils count increasing the risk of preterm labor 18 times, with Odds Ratio 18,3 (CI 95% 2,15-56,58, p=0,001). Conclusion :High level neutrophils count significantly increasing the risk of preterm labor 18 times greater than normal control. Key words :Preterm delivery, preterm labor, neutrophils vaginal count. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persalinan preterm masih merupakan masalah penting dalam bidang obstetri khususnya dibidang perinatologi, karena terjadi 10-15% dari seluruh persalinan, juga merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas neonatus terbanyak, baik dinegara berkembang maupun negara maju.Kira-kira 70% dari kematian neonatus disebabkan oleh bayi yang lahir preterm (Goldenberg, 2000). Bayi preterm terutama yang lahir dengan usia kehamilan < 32 minggu, mempunyai risiko kematian 70 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir cukup bulan karena imaturitas sistem organ tubuhnya. Komplikasi yang sering terjadi adalah Respiratory Distress Syndrome (RDS), Intraventricular Hemorrhage (IVH), displasia bronkopulmoner, sepsis dan enterokolitis nekrotikans. Masalah lain yang dapat timbul adalah masalah perkembangan neurologis seperti serebral palsi, gangguan intelektual, retardasi mental, gangguan sensoris, kelainan perilaku, dan gangguan konsentrasi. Hal ini dapat mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Selain itu,perawatan bayi preterm juga membutuhkan teknologi kedokteran canggih dan mahal (Greer,2005). Pada tahun 2005, sebanyak 12,5 juta kelahiran atau 9,6% dari semua kelahiran di seluruh dunia adalah kelahiran preterm. Kejadian tertinggi kelahiran preterm berada di Afrika yaitu 11,9% dari semua kelahiran, dan terendah berada di Eropa (6,2%) (WHO,2010). Di Indonesia diperkirakan persalinan preterm terjadi 10% dari sekitar 4 juta kelahiran, dan angka kematian neonatal sebanyak 20% dari seluruh persalinan preterm (HKFM, 2005). Pada tahun 2001 di Amerika Serikat 28.000 neonatus meninggal pada tahun pertama kehidupannya, 51% merupakan neonatus yang lahir pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu. Tiga belas persen merupakan neonatus yang lahir pada umur kehamilan 32 – 36 minggu (Cunningham et al, 2005). Dalam periode waktu 3 tahun (1999-2001) di Rumah Sakit Sanglah sebanyak 253 bayi (57,2%) meninggal dari 442 bayi lahir dengan berat badan 1000-1500 gram (Artana, 2002). Angka kejadian persalinan preterm bergantung populasi, berkisar antara 5 -15 %, sebanyak 30-50 % terjadi spontan sedangkan sisanya oleh karena persalinan elektif akibat indikasi medis dan obstetrik (hipertensi dalam kehamilan, plasenta previa, solusio plasenta) dan duapertiga persalinan preterm terjadi secara spontan (Spontaneus Preterm Labour) yang belum jelas diketahui penyebabnya.Selama dua dekade terakhir, infeksi traktus genitalia dan infeksi ascenden pada koriodesidua menjadi perhatian khusus karena dianggap sebagai penyebab terbanyak persalinan preterm (Slattery, 2002). Pemicu awal persalinan preterm spontan masih belum bisa dijelaskan secara pasti. Beberapa konsep yang ada telah berusaha menjelaskan patofisiologi persalinan preterm yang dikaitkan dengan kejadian infeksi, iskhemia dan respon pada jaringan khorioamnion dan desidua. Dikemukakan pula bahwa 70-80% persalinan preterm yang terjadi spontan mempunyai hubungan yang cukup bermakna dengan kejadian infeksi pada vagina dan servik, yang sering dikaitkan dengan terjadinya infeksi pada jaringan korioamnion (Abadi, 1999 ; Wibowo, 2005 ; Cunningham et al, 2005). Infeksi pada selaput ketuban dan cairan ketuban oleh berbagai mikroorganisme merupakan hal yang bisa menjelaskan terjadinya persalinan preterm dan ketuban pecah dini (Cunningham et al, 2005). Berbagi mikroorganisme seperti Gardnerella vaginalis, Chlamydia trachomatis, E. colli dan Group Beta Steptococcus sering dihubungkan dengan terjadinya persalinan preterm.Hampir 50% kasus yang dirawat dengan persalinan preterm mempunyai koloni kuman yang tidak normal divagina dibandingkan dengan 15% pada kelompok kontrol. Angka kejadian yang tinggi didominasi oleh golongan Bacteroides, Garderella vaginalis, Ureaplasma urealithicum, Mycoplasma hominis, Group B Streptococcus (Abadi,1999; Pararas et al, 2006). Penelitian sebelumnya menggambarkan adanya hubungan antara penanda infeksi dan atau inflamasi pada saluran genitalia atas dan saluran genitalia bawah dengan kejadian persalinan preterm (Simhan et al, 2003). Infeksi dapat merupakan salah satu penyebab persalinan kurang bulan, terutama infeksi yang menjalar dari saluran genitalia bawah ke selaput korioamnion (korioamnionitis). Penelitian terhadap penanda biokimia adanya korioamnionitis seperti fibronektin fetal, interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8, faktor nekrosis tumor, protein C reaktif dan neutrofil elastase pada selaput korioamnion telah banyak dilakukan, namun merupakan pemeriksaan invasif dan memerlukan biaya yang mahal (Anna, 2010). Pematangan serviks dalam persalinan merupakan suatu proses inflamasi. Proses ini menyebabkan terjadinya penurunan jumlah kolagen. Neutrofil ini sendiri merupakan sumber kolagenase, yang menyebabkan pematangan serviks yang diperantarai oleh sitokin (IL-8) (Goldberg,2011). Pada kehamilan, ditemukan diantara wanita dengan persalinan preterm spontan dengan membran intak, lebih dari 5 netrofil perlapang pandang (pembesaran x 400 ) sangat sensitif menunjukkan infeksi atau inflamasi dari cairan amnion. (Hitti et al, 2001) Para ahli terus mengembangkan pengetahuan tentang etiologi, pencegahan, penanganan persalinan dan kelahiran preterm dengan tujuan meningkatkan outcome bayi preterm. Idealnya, ibu hamil memerlukan skrining yang menjadi bagian dari pelayanan antenatal untuk mengidentifikasi risiko dan mencegah terjadinya kelahiran preterm. Telah banyak tes diagnostik yang digunakan untuk memprediksi kelahiran preterm sebelumnya, namun belum ada yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang baik untuk digunakan klinisi dalam praktek sehari-hari (Masset, 2003). Pemeriksaan yang tidak invasif dan telah dilakukan di RS Dr. Hasan Sadikin adalah pemeriksaan gabungan pH dan neutrofil vagina yang memberikan nilai spesifisitas dan akurasi yaitu 83,3% dan 75% untuk memprediksi terjadinya persalinan kurang bulan (Ieffa, 2005). Penanda biologik ini meningkat pada swab vagina, yang ditemukan pada persalinan preterm melalui pemeriksaan pengecatan gram (Simhan et al, 2003). Pengecatan gram digunakan untuk mendiagnosis neutrofil, dan dievaluasi menggunakan sisitem skoring Nugent 10-point. Neutrofil vagina akan dihitung dalam lima lapangan pandang yang nonkonsekutif tanpa mukus serviks dan bahan lainnya. Hanya daerah yang mengandung satu lapis sel epithelial yang akan dievaluasi. (Hiller,1995;Krohn,1995;Cotch,1997;Nugent,1991) Berdasarkan data tersebut diatas, maka dianggap perlu dilakukan penelitian di RSUP Sanglah mengenai tes diagnostik neutrofil vagina melalui swab vagina pasien, dimana tingginya jumlah neutrofil vagina perlapangan pandang meningkatkan kejadian persalinan preterm. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka terdapat permasalahan sebagai berikut: Apakah jumlah neutrofil yang tinggi perlapangan pandang pada swab vagina meningkatkan resiko terjadinya persalinan preterm. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui jumlah neutrofil perlapangan pandang pada swab vagina dan apakah beresiko tinggi pada persalinan preterm. 1.3.2 Tujuan khusus 1.Untuk mengetahui jumlah neutrofil vagina perlapangan pandang pada kehamilan normal. 2. Untuk mengetahui jumlah neutrofil vagina perlapangan pandang pada wanitahamil denganpersalinan preterm. 3. Untuk mengetahui hubungan jumlahneutrofil vagina perlapangan pandang antara kehamilan normaldengan persalinan preterm. 4. Untuk mengetahui bahwa neutrofil vagina yang tinggi pada swab vagina merupakan faktor risiko persalinan preterm. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat bagi ilmu pengetahuan Apabila didapatkan neutrofil vagina yang tinggi pada persalinan preterm, maka dapat dibuktikan bahwa infeksi/inflamasi merupakan faktor risiko terjadinya persalinan preterm. 1.4.2 Manfaat bagi pelayanan Apabila neutrofil vagina yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya persalinan preterm, dapat diusulkan sebagai pemeriksaan awal atau penanda untuk terjadinya persalinan preterm. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Definisi Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 20 minggu sampai kurang dari 37 minggu atau 259 hari gestasi, dihitung dari haid pertama hari terakhir (WHO, 2009). Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists, 1995, persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu (Cunningham et al, 2005). Creasy dan Herron (2009) mendefinisikan persalinan preterm sebagai persalinan pada usia gestasi 20 – 36 minggu, dengan kontraksi uterus empat kali setiap 20 menit atau delapan kali setiap 60 menit selama enam hari, dan diikuti oleh satu dari beberapa hal berikut: ketuban pecah dini (premature rupture of membrane/ PROM), dilatasi servik ≥ 2 cm, penipisan servik> 50%, atau perubahan dalam hal dilatasi dan penipisan serviks pada pemeriksaan secara serial. Definisi persalinan preterm lainnya yaitu munculnya kontraksi uterus dengan intensitas dan frekuensi yang cukup untuk menyebabkan penipisan dan dilatasi servik sebelum memasuki usia gestasi yang matang, antara 20 sampai 37 minggu (Ross, 2009). Indikator yang sering dipakai untuk menyatakan terjadinya persalinan adalah kontraksi uterus dengan frekuensi paling sedikit 4 kali setiap 20 menit dan lamanya kontraksi 30 7 detik atau lebih, disertai perubahan serviks yang progresif, dilatasi servik> 1 cm dan penipisan > 80% (Cunningham et al, 2005). 2.2. Insiden persalinan preterm Insiden persalinan preterm berbeda-beda di beberapa negara tergantung populasi.Di Amerika Serikat sejak tahun 1981-1989, didapatkan insiden persalinan preterm meningkat dari 9% menjadi 11%.Sekitar 80% karena ketuban pecah dini preterm dan partus preterm spontan (Yost, 2000). Insiden persalinan preterm di Afrika 11,9%, Asia 9,1%, Australia 6,4% dan Eropa 6,2%. Pengetahuan tentang faktor risiko dan mekanisme persalinan preterm terus dipelajari, namun angka kejadian persalinan preterm cenderung meningkat, di Amerika Serikat dari 9,5% pada tahun 1981 menjadi 12,7% pada tahun 2005 (Hamilton, 2005).Insiden persalinan preterm di beberapa rumah sakit pemerintah di Indonesia beberapa tahun terakhir bervariasi antara 3-9%. Di RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1998-2000, berkisar 8,2%. Di RS Sanglah Denpasar tahun 1998-2000, partus preterm spontan memberikan kontribusi sebesar 33,3% sebagai penyebab persalinan preterm dan 31,7% oleh karena ketuban pecah dini (Teguh, 2001). Dan pada tahun 2001-2003 di RS Sanglah Denpasar, persalinan preterm sebesar 8,3% dari seluruh persalinan (Udiarta,2004). 2.3. Etiologi Persalinan preterm terjadi oleh karena berbagai mekanisme, termasuk infeksi, inflamasi, iskemi atau perdarahan uteroplasenta, peregangan uterus yang berlebihan, stres, dan berbagai macamproses imunologi (Romero, 2008). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari faktor-faktor risiko persalinan preterm, namun adanya faktor risiko tersebut tidak selalu menyebabkan terjadinya persalinan preterm, bahkan sebagian persalinan preterm yang terjadi spontan tidak mempunyai faktor risiko yang jelas (Goldenberg, 2005). Ada tiga kelompok yang mungkin sebagai penyebab persalinan preterm (Blanco, 2000; Saifuddin dkk, 2000), yaitu: 1. Partus preterm atas indikasi ibu/janin (obstetri ). Persalinan dibuat atas indikasi medis atau bedah dimana kondisi intrauterin dapat membahayakan janin atau membahayakan ibunya. Pada keadaan ini janin dilahirkan untuk mencegah morbiditas atau mortalitas ibu dan atau janin tanpa memperhatikan umur kehamilan. Kondisi ini termasuk preeklampsia, hipertensi kronik, diabetes mellitus, plasenta previa atau solusio plasenta. Persalinan ini terjadi sekitar 20-30% dari seluruh persalinan preterm. 2. Ketuban pecah dini preterm Sekitar 70-80% persalinan preterm disebabkan oleh ketuban pecah dini preterm atau partus preterm spontan.Ketuban pecah dini sendiri memberi kontribusi sekitar 30%.Walaupun kedua kondisi ini biasanya dianggap terpisah, tetapi pada kenyataannya saling mempengaruhi. 3. Partus preterm spontan Seperti dikemukakan di atas, bahwa partus preterm spontan sering menyebabkan ketuban pecah dini dan sebaliknya banyak ibu hamil dengan ketuban pecah dini mempercepat terjadinya partus preterm.Persalinan preterm terjadi secara spontan pada 50% kasus. Pada tahun-tahun terakhir ditunjukkan bahwa proses infeksi inflamasi sebagai penyebab ketuban pecah dini dan partus preterm spontan. Beberapa konsep yang ada telah menjelaskan patofisiologi persalinan preterm ini yang dikaitkan dengan kejadian infeksi, iskemia, inflamasi dan tanggap kebal (immune respons) pada jaringan korioamnion dan desidua yang umumnya berasal dari infeksi di vagina dan servik. Ada beberapa faktor risiko yang diketahui meningkatkan kejadian persalinan preterm: (Smith,2007;Thompson,2006; Hendler,2005) 1. Faktor psiko-sosio demografik a. Sosial, ekonomi dan pendidikan rendah b. Status perkawinan c. Usia ibu (< 16 tahun atau > 35 tahun) d. Ras dan etnis e. Status gizi f. Perilaku ibu g. Stres 2. Faktor ibu a. Riwayat kehamilan sebelumnya (persalinan prematur, abortus, interval kehamilan) b. Inkompetensi serviks c. Kelainan uterus d. Kelainan medis pada ibu (hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan hipertiroid) e. Peregangan uterus yang berlebihan (kehamilan kembar, polihidramnion) f. Perdarahan pervaginam ( plasenta previa atau solusio plasenta) 3. Faktor infeksi a. Infeksi intra uterin : 1) Ascenden dari vagina dan servik 2) Hematogen melewati plasenta 3) Iatrogenic akibat prosedur invasif 4) Penyebaran melalui saluran telur b. Infeksi Ekstra uterin 1) Pielonefritis 2) Bakteriuria asimptomatis 3) Pneumonia 4) Periodontitis 5) Infeksi virus (varicella,malaria) c. Infeksi Genital 1) Bakterial vaginosis 2) Chlamydia trachomatis 4. Faktor genetik dan biologi 2.4. Patogenesis Persalinan Preterm 2.4.1 Infeksi dan inflamasi Infeksi merupakan penyebab tersering dari persalinan preterm, dimana bakteri dapat menyebar ke uterus dan cairan amnion sehingga memicu terjadinya inflamasi dan mengakibatkan persalinan preterm dan ketuban pecah dini. Terdapat beberapa macam bakteri yang dihubungkan dengan persalinan preterm yaitu : Gardrenella vaginalis, Mycoplasma homnis, Chlamydia, Ureaplasma urealyticum, Fusobacterium, Trichomonas vaginalis, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli dan Hemophilus vaginalis (Romero, 2002). Persalinan spontan yang terjadi pada trimester kedua dihubungkan oleh infeksi virus pada jaringan plasenta. Menurut beberapa penelitian, infeksi Human Papilloma Virus (HPV) dan Cytomegalovirus (CMV) dapat merangsang kematian sel trofoblas ekstravilli dan mengurangi invasi plasenta pada dinding uterus sehingga menyebabkan disfungsi plasenta dan berakibat pada keluaran bayi, termasuk persalinan preterm (Gomez, 2008). Korioamnionitis adalah infeksi pada membran janin dan cairan amnion, juga dihubungkan dengan persalinan preterm. Infiltrasi sel-sel radang pada membran janin dan desidua merangsang pengeluaran prostaglandin sehingga memicu terjadinya persalinan. Mekanisme ini terjadi oleh karena infeksi bakteri ascendens dari saluran genitalia bagian bawah ke lapisan koriodesidua dan selanjutnya menuju rongga amnion dan janin, yang dijelaskan sebagai berikut(Cunningham, 2005) : a. Mikroorganisme menghasilkan enzim protease dan musinase yang menghidrolisis barier mukus serviks dan melemahkan jaringan kolagen pada selaput membran korioamnion sehingga mikroorganisme dapat menembus servik. b. Bakteri juga menghasilkan fosfolipase yang berperan dalam pembentukan asam arakidonat (senyawa yang membentuk prostaglandin). Prostaglandin merupakan mediator penting terjadinya kontraksi otot polos uterus dan pembukaan servik. c. Mikroorganisme menghasilkan sitokin dan kemokin inflamasi seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor (TNF) yang merangsang pembentukan prostaglandin dan matrix metalloproteinase (MMP) yang menyebabkan kerusakan membran, preterm premature rupture of the membrane (PPROM), pembukaan servik dan kontraksi uterus. d. Pada janin yang terinfeksi, terjadi peningkatan produksi corticotropin releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus janin dan plasenta yang menyebabkan peningkatan sekresi kortikotropin janin, yang selanjutnya meningkatkan produksi kortisol oleh adrenal janin. Sekresi kortisol akan meningkatkan produksi prostaglandin dan menyebabkan timbulnya kontraksi uterus. Gambar 2.1 Lokasi Potensial Infeksi bakteri (Goldenberg , 2000) Patogenesis terjadinya persalinan preterm dikemukakan oleh Goldenberg (2000) adalah sebagai berikut : Jalur pertama yang menginisiasi persalinan preterm adalah invasi bakteri pada koriodesidua yang merangsang pelepasan endotoksin, eksotoksin, dan juga mengaktifkan desidua dan membran janin untuk menghasilkan berbagai sitokin, yaitu TNF- α, IL-α, IL1β, IL-6, IL-8 dan granulocyte colony-stimulating factor (GCSF). Sitokin, endotoksin, dan eksotoksin merangsang pembentukan dan pelepasan prostaglandin serta mengawali kemotaksis neutrofil, infiltrasi dan aktivasi, dimana pada puncaknya akan terjadi pembentukan dan pelepasan metalloprotease dan substansi bioaktif lainnya. Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus dimana invasi metalloprotease pada membran korioamnion menyebabkan pecahnya ketuban. Metalloprotease juga menyebabkan perlunakan dan remodelling kolagen servik. Cairan amnion pada wanita dengan persalinan preterm yang disertai dengan infeksi intra amnion memperlihatkan peningkatan kadar sitokin seperti IL-1, TNF-α, IL-6 dan RANTES ( regulated on activation, normal T-cell-expressed and secreted). Kadar sitokin-sitokin dalam cairan amnion berhubungan dengan adanya infeksi korioamnion. Produksi prostanoid pada desidua, korion, amnion dan sel miometrium dan produksi endotelin oleh sel amnion dan sel desidua dirangsang oleh tingginya konsentrasi endotoksin dan juga oleh IL-1 dan TNF-α. Keberadaan IL-6 pada serum, cairan amnion serta sekret servikovagina berhubungan dengan kejadian korioamnionitis dan persalinan preterm. Aktivasi dari jejaring sitokin menyebabkan peningkatan apoptosis plasenta dan selaput korioamnion dengan glikoprotein pada Fas Ligand (Fasl). Ekspresi Fasl diatur oleh TNFα pada plasenta. Apoptosis dari sel otot polos servik berperan dalam pembukaan sevik dan mengambil tempat pada sel epitel amnion dalam sel selaput janin dan menyebabkan pecahnya selaput. Jalur kedua yang berperan adalah prostaglandin dehidrogenase di jaringan korion yang dapat menghambat masuknya prostaglandin ke miometrium sehingga mencegah terjadinya kontraksi uterus. Infeksi korionik dapat menurunkan aktivitas dehidrogenase ini, sehingga menyebabkan peningkatan jumlah prostglandin yang mencapai miometrium. Jalur ketiga melibatkan janin itu sendiri. Pada janin yang terinfeksi, terjadi peningkatan produksi CRH (Corticotropin Releasing Hormone) oleh hipotalamus janin dan plasenta yang menyebabkan peningkatan sekresi kortikotropin janin, yang selanjutnya meningkatkan produksi kortisol oleh adrenal janin. Pada akhirnya sekresi kortisol akan meningkatkan produksi prostaglandin dan menyebabkan timbulnya kontraksi uterus. Pada janin yang terinfeksi terjadi peningkatan produksi sitokin dan waktu persalinan semakin cepat. Pada 88 % kasus janin terinfeksi dan terjadinya peningkatan produksi sitokin, terjadi persalinan dalam waktu 48-72 jam kemudian. Perbedaan waktu antara terjadinya infeksi dengan kejadian persalinan preterm belum diketahui pasti penyebabnya. Gambar 2.2 Mekanisme Potensial Persalinan Preterm akibat Kolonisasi Bakteri Koriodesidual (Goldenberg , 2000) 2.4.2 Aktivasi maternal-fetal hipotalamus-hipofisis-axis adrenal Stres meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm dengan meningkatkan pelepasan CRH (Corticotropin Releasing Hormone). CRH berasal dari hipotalamus dan berperan sebagai mediator pelepasan ACTH( Adrenocorticotropin Hormone), kemudian ACTH akan meningkatkan sekresi kortisol. Peningkatan kortisol secara cepat dapat meningkatkan jumlah CRH dalam sirkulasi darah sehingga produksi prostaglandin juga meningkat. Prostaglandin berperan sebagai uterotonin dan meningkatkan kemampuan miometrium melalui peningkatan jumlah reseptor oksitosin dan juga melalui pembentukan gap-junction. CRH juga merangsang produksi estrogen plasenta dengan menstimulasi prekusornya dari kelenjar adrenal janin. Estrogen berinteraksi dengan miometrium sehingga terjadi kontraksi dan pembukaan servik(Cunningham, 2005) . 2.4.3 Perdarahan desidua Perdarahan desidua adalah perdarahan yang terjadi didalam desidua yaitu jaringan endometrium yang membatasi uterus, yang berhubungan dengan membran janin dan plasenta. Perdarahan desidua akan menyebabkan penurunan fungsi dari pembuluh darah uteroplasenta dan kekurangan oksigen pada janin yang akan melepaskan CRH, meningkatkan serbukan makrofag dengan pelepasan sitokinnya atau secara langsung merangsang produksi protease dan prostanoid desidua melalui pembentukan trombin. Aktivitas trombin merangsang koagulasi dan pembentukan gumpalan darah (clot), sehingga merangsang produksi protease. Protease memiliki kemampuan untuk merusak membran janin dan menyebabkan pembukaan serviks sehingga terjadi preterm premature rupture of the membranes (PPROM). Trombin juga secara tidak langsung memiliki efek uterotonika pada miometrium dan merangsang kontraksi (Cunningham, 2005). Berkurangnya aliran darah ke uterus yang terjadi sekunder akibat dari kelainan pembuluh darah berakibat terjadinya kerusakan jaringan setempat oleh perioksidase lemak (lipid perioksidase/LPO) dan radikal bebas, ini akan meningkatkan produksi prostanoid, protease dan endotelin yang akan meningkatkan pelepasan CRH (Lockwood, 2009). 2.4.4 Peregangan uterus yang berlebihan Peregangan uterus yang berlebihan seperti polihidramnion, kehamilan multipel dan kelainan anatomi uterus dapat meningkatkan risiko persalinan pretem spontan. Mekanisme yang ditimbulkan adalah : peregangan dapat meningkatkan aktivitas miometrium, pengeluaran prostaglandin dan sitokin, serta meningkatkan reseptor oksitosin pada miometrium sehingga tejadi persalinan preterm (Romero, 2005). Gambar 2.3 Jalur dan mediator potensial dalam persalinan preterm (Perkin, 2009) 2.5. Infeksi Multibakterial di Vagina Ibu Hamil Pada wanita hamil jarang diperhatikan mengenai pola mikroorganisme yang terdapat pada liang vagina. Pada wanita hamil, flora normal vagina terdiri dari Staphylococcus epidermis, Lactobacillus dan ragi. Mikroorgansme patogen yang mungkin ditemukan pada cervical swab yaitu Streptococcusbeta haemolyticus, Neisseria gonorrhoeae sedangkan pada vaginal swab ditemukan Trichomonas vaginalis, Candida sp, Klebsiella sp, Lactobacillus, Gardenella vaginalis, E.coli kadang-kadang Neisseria gonorrhoeae. Dan mikroorganisme inilah yang sering dihubungkan dengan terjadinya persalinan preterm (Klein, 2004; Newton, 2001; Orlando Regional Health Care, 2004). Herawati (2005) dalam penelitiannya mengenai pola mikroorganisme pada liang vagina wanita hamil di RSU Soetomo mendapatkan sebanyak 37% hasil pembenihan positif pada osteum cervix dan 47% pada forniks posterior vagina. Dari osteum cervix terdiri dari Streptococcus a. hemolitikus (23%), Lactobacillus (31%), Staphylococcus aureus (15%) ,Staphylococcus albus (8%) dan Escherichia coli (23%). Sedangkan pada forniks posterior vagina yang terbanyak adalah Streptococcus a. hemolitikus dan Escherichia coli (36%). Pada kehamilan normal, cairan vagina bersifat asam (pH 3,8-4,5), akibat peningkatan kolonisasi Lactobacillus (flora normal vagina) yang memproduksi asam laktat. Keadaan asam yang berlebih ini mencegah pertumbuhan berlebihan bakteri patogen, sehingga menurunkan risiko persalinan preterm. Keadaan ini tidak selalu dapat dipertahankan, karena apabila jumlah bakteri Lactobacillus menurun, maka keasaman cairan vagina berkurang dan akan mengakibatkan pertambahan bakteri lain, yaitu antara lain Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis, dan Bacteroides sp.; keadaan ini juga dapat terjadi pada wanita dengan Lactobacillus yang tidak menghasilkan H2O2. Terdapat hubungan timbal balik antara dihasilkannya H2O2 dengan terjadinya vaginosis bakterial, meskipun jumlah Lactobacillus tidak menurun (Chang JC et al, 2007 ; Eckert LO, 2006 ; Mulyawan SY, 2001). Infeksi multibakterial di vagina ibu hamil cenderung menimbulkan berbagai perubahan, yang sering terjadi adalah perubahan pH vagina oleh karena perubahan flora normal.Vaginosis bakterial adalah suatu keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang disebabkan oleh bertambahnya pertumbuhan flora vagina bakteri anaerob menggantikan Lactobacillus yang mempunyai konsenterasi tinggi sebagai flora normal vagina. Infeksi multibakterial seperti halnya vaginosis bakterial didefinisikan sebagai suatu keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang dikarakterisasi oleh pergantian konsentrasi Lactobacillus yang tinggi sebagai flora normal vagina oleh konsentrasi bakteri anaerob yang tinggi, terutama Bacteroidessp., Mobilincus sp., Gardnerella vaginalis, dan Mycoplasma hominis. Jadi vaginosis bakterial bukan suatu infeksi yang disebabkan oleh satu organisme, tetapi timbul akibat perubahan kimiawi dan pertumbuhan berlebih dari bakteri yang berkolonisasi di vagina (Hillier, 2005 ; Mulyawan SY, 2001). Mekanisme dan patofisiologi infeksi vagina dan pengaruhnya pada kejadian persalinan preterm sampai saat ini belum diketahui secara jelas. Pada beberapa penelitian telah dikemukakan bahwa beberapa jenis kuman menghasilkan enzim yang mempengaruhi selaput amnion dan desidua. Bacteroides species meningkatkan risiko terjadinya penjalaran infeksi ke atas (ascendens) serta mampu melunakkan tegangan selaput khorioamniotik dengan enzim protease yang dihasilkan bersama – sama kuman Group B Streptococcus. Kelompok mikroorganisme gram negatif yang menghasilkan endotoksin (lipopolisacharida) dan gram positif yang menghasilkan peptidoglikan akan mengaktifkan makrofag untuk menghasilkan mediator radang (sitokin) yang berperan dalam pembentukan prostaglandin. Tampaknya infeksi pada vagina dan servik merupakan pemicu terjadinya persalinan preterm melalui jalur pembentukan prostaglandin (Abadi, 1999) Untuk mengidentifikasi infeksi multibakterial di vagina ibu hamil digunakan cara swab vagina yang kemudian dilakukan kultur menggunakan media tertentu. Beberapa mikroorganisme yang bisa teridentifikasi dengan “blood agar” yaitu Escherichia coli, Salmonella, Shigella, Enterobacteriaceae, Pseudomonas, Moraxella, Helicobacter, Stenotrophomonas, Bdellovibrio, acetic acid bacteria, Legionella, Neisseria gonorrhoeae, Hemophilus influenzae, Klebsiella pneumoniae, Legionella pneumophila, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Proteus mirabilis, Enterobacter cloacae, Serratia marcescens, Helicobacter pylori, Salmonella enteritidis, Salmonella typhi. Dan dengan menggunakan media agar Mac Conkey dapat teridentifikasi Staphylococcus, Enterococcus, Bacillus, Corynebacterium, Nocardia, Clostridium, Actinobacteria, Listeria, Mycoplasma, Actinobacteria (Hiller, 2005). 2.6Neutrofil Neutrofil, disebut juga leukosit polimorfonuklear merupakanjumlah yang paling banyak dari populasi sel darah putih dan sebagai perantara fase awal dari reaksi inflamasi (Andrew,2010). Neutrofil merupakan sel yang berbentuk bola dengan diameter kira-kira 12-15 µm dengan membran yang banyak.Neutrofil memiliki segmen yang terbentuk dari 3 sampai 5 lobulus yang saling berhubungan, oleh karena itu neutrofil disebut juga polymorphonuclear leukocyte.Sitoplasma neutrofil terdiri dari 2 tipe granula. Yang paling banyak adalah granula spesifik yang terdiri dari enzim seperti: lysozyme, kolagenase dan elastase. Granulosa ini tidak memberikan pewarnaan yang kuat pada pengecatan dasar atau pengecatan yang bersifat asam ( seperti hematoxylin, eosin dan sejenisnya), hal ini yang membedakan granulosa neutrofil dengan basofil dan eosinofil. Granulosa yang lain dari neutrofil disebut granulose azurophilic adalah lisosom yang mengandung enzim dan substansi mikrobisidal lainnya, termasuk defensins dan cathelicidins (Andrew,2010). Gambar 2.4Morfologi Neutrofil. Mikrograf cahaya dari neutrofil darah menunjukkan nukleus yang multilobus dan granulosa sitoplamik yang jenuh, oleh karenanya disebut juga polymorphonuclear leukocyte (Andrew, 2010) Neutrofil diproduksi di sumsum tulang belakang dan keluar dari asal yang sama dengan fagosit mononuklear. Produksi dari neutrofil distimulasi oleh granulocyte colonystimulating factor (G-CSF).Manusia dewasa memproduksi lebih dari 1x1011 neutrofil perhari, dan bersirkulasi dalam darah hanya kurang lebih 6 jam.Neutrofil bisa berpindah ketempat yang mengalami infeksi, hanya dalam beberapa jam setelah masuknya mikroba. Jika neutrofil tidak menuju ke tempat terjadinya reaksi inflamasi pada periode tersebut, hal tersebut menunjukkan terjadi proses apoptosis dan biasanya terjadi fagositosis oleh makrofag di hati atau limpa. Setelah memasuki jaringan, fungsi dari neutrofil hanya beberapa jam dan kemudian mati. Gambar 2.5 Hematopoiesis. Perkembangan dari berbagai macam sel darah merah digambarkan dalam “Pohon Hematopoietic” (Andrew, 2010) 2.7 Fagositosis dan Respon Inflamasi Fagosit, termasuk neutrofils dan makrofag adalah sel-sel yang fungsi utamanya adalah untuk mengidentifikasi, memakan atau mencerna dan menghancurkan mikroba. Respon fungsional dari fagosit dalam pertahanan host terdiri dari langkah-langkah berurutan : perekrutan aktif sel ke tempat infeksi. Pengenalan mikroba, proses ingesti mikroba dengan proses fagositosis, dan penghancuran mikroba. Selain itu, fagosit menghasilkan sitokin yang melayani banyak peran penting dalam respon imun adaptif dan perbaikan jaringan. (Andrew,2010) 2.7.1 Perekrutan leukosit ke situs infeksi Neutrofil dan Monosit direkrut dari darah ke situs infeksi dengan mengikat molekul adhesi pada sel endotel dan kemoatraktan dihasilkan sebagai respons terhadap infeksi.Pada suasana non infeksi, leukosit berada di sirkulasi dan tidak berada di jaringan.Perekrutan leukosit adalah proses bertahap dimulai dari pengikatan leukosit pada lapisan endotelial pada lumen vena post kapiler kemudian migrasi melewati dinding pembuluh darah ( Gambar 2.7) Setiap langkah diatur oleh beberpa molekul tertentu. (Andrew,2010) 1. Selektin-memediasi pemindahan lekosit pada endotel Sebagai respon yang timbul akibat adanya mikroba dan sitokin yang diproduksi oleh sel –sel yang menyerang mikroba, sel endotelial pada daerah kapiler dimana terdapat inflamasi terjadi peningkatan ekspresi protein permukaan yang disebut selektin.Salah satu sitokin yang terpenting dalam aktivasi endotel adalah Tumor Necrosis Factor (TNF) dan Interleukin 1 (IL-1).Kedua tipe dari selektin yang diekspresikan dari sel endotel adalah selectin-P, yang tersimpan pada granul sitoplasma dan secara cepat didistribusikan pada permukaan sebagai respon dari produk mikroba dan sitokin.Selektin-E yang disintesis sebagai respon dari interleukin 1(IL-1) dan TNF, bersamaan dengan produk mikroba, diekspresikan ke permukaan sel dalam waktu 1 sampai 2 jam. Selektin ketiga, disebut Lselektin(CD62L), diekspresikan pada limfosit, dan leukosit lainnya. Dimana ia menyediakan reseptor untuk limfosit T dan sel dendrit pada limfonodi, memediasi ikatan antara limfosit T dengan endotel vena. Pada neutrofil, memberikan ikatan pada sel endotel yang diaktivasi oleh sitokin (TNF,IL-1, dan IFN∂) yang terdapat pada inflamasi. Leukosit mengekspresikan L-selektin dan ligan kaborhidrat untuk selektin P dan E pada mikrovili masing-masing, memfasilitasi interaksi dengan molekul pada permukaan sel endotel. Interaksi ligan selektin-selektin adalah dengan afinitas yang rendah (Kd-100mm), mudah dilepaskan oleh gaya pada aliran darah. Sehingga, leukosit kembali berikatan dengan permukaan endotel. Hal ini menunjukkan bahwa leukosit pada endotel memulai langkah selanjutnya pada proses aktivasi leukosit. 2. Mediasi kemokin meningkatkan afinitas integrin Kemokin adalah polipetida sitokin berukuran kecil,yang diproduksi oleh makrofag jaringan, sel endotel, dan beberapa tipe sel sebagai respon dari produk mikroba, IL1, TNF, sitokin yang diasosiasikan dengan infeksi. Fungsi utama dari kemokin adalah untuk menstimulasi kemotaksis dari sel (“kemokin” adalah kontraksi dari “sitokin kemoatraktan”). Kemokin diproduksi pada tempat infeksi dan ditransportasikan ke lumen permukaan dari sel endotel pada vena kapiler, dimana mereka berikatan dengan heparan sulfat glikosaminoglikan, dan terjadi pada konsentrasi yang tinggi. Pada lokasi ini, kemokin berikatan dengan reseptor kemokin yang spesifik pada permukaan leukosit.Leukosit mengekspresikan molekul adhesi disebut integrin.Dimana dengan kondisi afinitas rendah tetap memerankan interaksi adhesi.Dua konsekuensi sinyal dari reseptor kemokin; 1) meningkatnya afinitas dari leukosit-integrin pada ligan-nya, dan clustering membran pada integrin, keduanya menyebabkan meningkatnya aviditas dari integrin-mediated untuk adhesi leukosit pada permukaan sel endotel. 3. Stable integrin- memediasi adhesi leukosit pada dinding endotel Paralel dengan aktivasi integrin dan konversinya menjadi keadaan afinitas tinggi, sitokin (TNF dan IL-1) juga meningkatkan ekspresi ligan-integrin pada sel endotel, terutama Vascular Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1, ligan untuk VLA-4 integrin) dan Intracelluar Adhesion Molecule (ICAM-1, ligan untuk I.FA-1 dan Mac-1 integrins). Hasil dari perubahan ini adalah leukosit berikatan dengan endothelium, sitoskeleton terorganisir, dan mereka tersebar pada permukaan endotel. 4. Transmigrasi dari leukosit melewati endotel Kemokin memiliki peran dalam adhesi leukosit dan stimulasi sel dalam migrasi melewati ruang interendotelial mengikuti gradient konsentrasi kimia (pada lokasi infeksi). Protein lain yang diekspresikan pada leukosit dan sel endotel, khususnya CD31, memiliki peran dalam proses migrasi melewati endotel. Akumulasi leukosit pada jaringan merupakan komponen utama dari proses inflamasi. Pada umumnya ditimbulkan oleh mikroba, namun dapat juga diamati pada respon terhadap proses non infeksi. Terdapat spesifitas pada proses migrasi leukosit tergantung pada kombinasi molekul adhesi dan reseptor kemokin pada neutrofil maupun monosit. Sebagai contoh, migrasi neutrofil melepaskan utamanya adalah LFA-1-ICAM-1 yang berinteraksi dan berkombinasi dengan reseptor kemokin CXCR-1 dan CXCR2, serta berikatan dengan CXCL8, dimana monosit utamanya melepaskan VLA-4VCAM-1 yang berinteraksi bersama dengan kemokin CCL2 berikatan dengan reseptor kemokin CCR-2. Perbedaaan dari ekspresi molekul adhesi dan kemokin pada lokasi infeksi menyebabkan neutrofil dilepaskan terlebih dahulu (dalam waktu jam sampai sehari) diikuti selanjutnya oleh monosit (dalam hari sampai minggu.Kombinasi molekul adhesi dan kemokin mengontrol migrasi dari limfosit kedalam jaringan limfoid dan non limfoid. Gambar 2.6 Perekrutan Leukosit (Andrew,2010) 2.7.2 Fagositosis dari mikroba Neutrofil dan makrofag mencerna mikroba yang terikat pada vesikel disebut sebagai proses fagositosis. (Andrew,2010) Fagositosis adalah proses aktif, memerlukan energi dalam proses mencerna partikel yang besar (>0,5 micrometer pada diameter). Proses mencerna mikroba ini bertempat pada vesikel yang dibentuk saat fagositosis, dan proses ini berpotensi menyebabkan perlukaan pada sel, namun prosesnya terlokalisir dari seluruh sel.(Andrew,2010) Proses pertama dari fagositosis adalah pengenalan mikroba oleh sel fagosit.Neutrofil dan makrofag yang terekspos dengan sel normal tidak akan memberikan reaksi apa-apa, namun secara spesifik mereka akan bereaksi dan mencerna berbagai mikroba dan partikelnya. Spesifitas menunjukkan bahwa neutrofil dan makrofag mengekspresikan reseptor yang secara spesifik mengenali mikroba , dan secara fungsional reseptor ini berperan dalam proses fagositosis. Beberapa reseptor ini merupakan reseptor pengenal, termasuk lektin tipe-C dan reseptor scavenger. Reseptor pengenal berperan dalam proses fagositosis pada organisme yang melepaskan pola tertentu, seperti mannose. Beberapa grup lain dari reseptor fagositosis mengenali protein host yang menempel pada mikroba yang disebut opsonins, dan termasuk antibodi, protein komplemen, dan lektin. Proses dari pelapisan mikroba yang menjadi target fagositosis disebut opsonisasi. (Andrew,2010) Fagositosis memiliki reseptor dengan afinitas tinggi yang berikatan secara spesifik pada molekul antibodi, protein komplemen, dan lektin; reseptor ini sangat penting dalam proses fagositosis pada beberapa mikroba. Salah satu dari sistim yang paling efisien dalam opsonisasi mikroba adalah menyelimutinya dengan antibodi. Molekul antibodi memiliki ikatan antigen pada satu sisi dan sisi lainnya dinamakan dengan region Fc, antibodi berinteraksi dengan sel efektor dan molekul dari sistem imun bawaan.(Andrew,2010) Fagosit mengekspresikan afinitas reseptor Fc yang tinggi disebut Fc∂RI spesifik untuk antibodi Ig G. Ketika individu merespon adanya antigen mikroba dengan memproduksi Ig G,dimana Ig G berikatan dengan antigen mikroba,ujung Fc berinteraksi dengan reseptor Fc∂RI padasel fagosit, dan semakin meningkatkan efisiensi dalam proses fagositosis mikroba tersebut.Berbagai macam jenis antibodi yang dihasilkan dalam proses ikatan ini, bergantung dari jenis produk mikroba,opsonisasi mediated antibodi semakin memperluas kemampuan fagositosis dan melengkapi kerja dari reseptor pengenal. Meskipun antibodi Ig G penting dalam proses fagositosis dalam berbagai organisme, dimana Ig G adalah produk dari respon imun adaptif yang dihasilkan oleh limfosit B yang menggerakan efektor respon imun didapat (fagosit) untuk melakukan tugasnya. Berbagai variasi reseptor pengenal dan molekul efektor dari sistim imun innate/didapat, termasuk komplemen dan lektin, adalah merupakan opsonin yang penting. Opsonin ini terdapat didarah, mereka berikatan dengan mikroba, dan sel fagosit mengekspresikan resesptornya untuk opsonin ini (Andrew,2010). Saat mikroba atau partikelnya berikatan dengan reseptor sel fagosit, membran plasma pada bagian reseptor mulai berubah bentuk mengelilingi mikroba. Saat membran menonjol mengelilingi partikel, kemudian benar-benar mengelilingi/”zips up”, dan mengunci membentuk mangkuk atau sebuah intraselular vesikel. Vesikel ini disebut fagosome, terdiri dari partikel asing yang dicerna, dan terpisah oleh membrane plasma. Reseptor pada membrane juga memberikan sinyal untuk aktivasi dari proses fagositosis. Bersamaan dengan itu, mikroba yang difagositosis akan mengaktivasi peptide dari protein mikroba dandipresentasikan ke limfosit T sehingga mengaktivasi respon imun adaptif. (Andrew,2010) 2.7.3 Proses fagositosis mikroba (Andrew,2010) Neutrofil dan makrofag yang teraktivasi akan membunuh mikroba dengan aktivitas molekul mikrobisida pada fagolisosom. Beberapa reseptor yang mengenali mikroba , seperti TLRs dan reseptor protein G-coupled, antibodi Fc dan reseptor komplemen C3, dan reseptor sitokin, IFN∂, saling bekerjasama dalam aktivasi sel fagosit dalam membunuh mikroba. Fusi dari vakuol sel fagosit (fagosom) dengan lisosom membentuk formasi fagolisosom, dimana mekanisme mikrobisidal berada. Mekanisme mikrobisidal akan dijelaskan sebagai berikut : Neutrofil dan makrofag yang teraktivasi memproduksi beberapa enzim proteolitik pada fagolisosom yang fungsinya adalah untuk membunuh mikroba. Salah satu enzim yang penting adalah elastase, enzim serin protease spektrum luas dikenal berperan dalam membunuh berbagai jenis bakteri. Enzim lainnya adalah katepsin G, pada penelitian yang dilakukan pada gen tikus, menunjukkan bahwa gen-gen ini berperan dalam proses proses fagositosis suatu bakteri. Neutrofil dan makrofag yang teraktivasi merubah molekul oksigen menjadi Reactive Oxygen Species (ROS), yang memiliki agen oxide yang reaktif dalam membunuh mikroba (dan sel lainnya). Sistem utama dari pembentukan radikal bebas adalah sistem fagosit oksidase. Fagosit oksidase diinduksi dan diaktivasi oleh berbagai stimulus, salah satunya IFN∂ dan TLRs. Funsi dari enzim ini adalah untuk mengurangi bentuk Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phospate (NADPH) sebagai kofaktor. Superokside adalah enzim yang mengalami dismutase menjadi hydrogen perokside, yang digunakan oleh enzim myeloperoksidase untuk merubah ion halide normal menjadi asam hipohalous reaktif yang toksik terhadap bakteri. Proses dimana ROS diproduksi disebut respiratory burst. Meskipun produksi ROS utamanya fungsi fagosit oksidase, fungsi lain dari enzim ini adalah membuat vakuol fagosit memproduksi growth factor seperti fibroblast dan sel endotel yang berpartisipasi dalam proses remodeling jaringan setelah proses infeksi dan cedera. Gambar 2.7 Fagositosis dan destruksi intraselular oleh mikroba (Andrew,2010) Proses inflamasi itu sendiri merupakan salah satu tanda awal dari persalinan dan mungkin mempengaruhi hal- hal lain dalam perubahan yang berhubungan dengan proses persalinan. Thompson dkk, (1999) menggunakan imunohistokimia untuk menggambarkan bahwa neutrofil dan makrofag merupakan sel yang terutama menginfiltrasi miometrium saat usia kehamilan cukup bulan. Leukosit juga ditemukan dalam jumlah yang banyak pada jaringan desidua dan amnion.Analisa sampel dari wanita inpartu cukup bulan didapatkan neutrofil yang spesifik dan faktor pencetus (Haddad, 2006). Tidak hanya neutrofil yang ditemukan dalam jumlah yang banyak di miometrium, desidua dan jaringan servik, tetapi sel ini sebagai juga sebagai sumber utama dari tumor necrosis factor α (TNFα) dan sitokin inflamasi lainnya, seperti: interleukin (IL) -1β, IL-6, dan IL-8 pada sampel jaringan, selama proses persalinan spontan dibandingkan dengan yang tidak dalam proses persalinan (Young, 2002). Sel imun dari wanita yang dalam proses persalinan juga memproduksi faktor inflamasi lainnya, seperti: reactive oxgen species (ROS) dimana dapat mengoksidasi lemak, mengubah fungsi protein dan merubah DNA dengan memodifikasi basisnya, menggeser tulang punggung deoxyribose, reaksi silang molekul lainnya dan memodifikasi secara umum fungsi sel (Orrenius, 2007). Inflamasi mempengaruhi produksi dari prostaglandin dan analognya, progesterone withdrawal juga dapat diaktifkan melalui mekanisme regulasi nuclear factor (NF) κ B untuk meningkatkan bentuk hambatan dari progesterone reseptor (Masden, 2004; Bisits, 2005). Sitokin dari proses reaksi inflamasi diketahui untuk menginduksi protein dan gene MMP, konsentrasi serum prostaglandin dan menurunkan sintesis kolagen (Farina, 2005). Peningkatan sitokin inflamasi dan respon inflamasi dengan infiltrasi dan aktivasi neutrofil pada jaringan desidua, menyebabkan bertambahnya dilatasi dan penipisan servik dan melemahnya membran amnion (Challis, 2009; Oner, 2008). Penelitian pada wanita dengan persalinan preterm menunjukkan peningkatan sensitivitas dari tanda inflamasi dan peningkatan regulasi dari banyak gen pro-labor seperti: MMPs, Prostaglandin dan sejumlah interleukin (Challis, 2009). Gambar 2.8 Produk neutrofil dan efek progesteron reseptor pada proses persalinan (Anna, 2010) 2.8 Peran Neutrofil Vagina Dalam Persalinan Proses persalinan melibatkan tiga proses fisiologis yang terpisah yaitu proses perubahan (remodelling) dari servik yang disertai dengan proses pematangan dan dilatasi servik sehingga bayi dapat lahir melalui jalan lahir, melemahnya dan pecahnya selaput ketuban, dan inisiasi dari kontraksi yang ritmis disertai peningkatan amplitudo dan frekuensinya (Holst, 2009).Proses perubahan dari servik dibagi dalam empat fase yang saling tumpang tindih yaitu: pelembutan, pematangan, dilatasi dan pemulihan servik pospartum (Timmons et. al., 2010). Komponen penting dari persalinan adalah terjadinya proses pematangan servik. Perubahan yang terjadi selama proses pematangan servik pada fase kedua persalinan ini disertai pula dengan invasi stroma oleh sel inflamasi. Hal ini mencetuskan hipotesa bahwa proses pematangan servik ini merupakan suatu proses inflamasi dimana terdapat kemoatraktan yang memasukkan sel inflamasi ke dalam servik. Proses pematangan servik ditandai dengan perubahan konsistensi, pendataran dan dilatasi servik. Proses ini dievaluasi dengan skor Bishop. Proses ini dibagi ke dalam dua fase. Adapun fase pertama adalah fase lambat (slow ripening) atau tahap persiapan. Pada fase ini terjadi perubahan gradual dari kadar kolagen. Fase ini berlangsung kurang lebih mulai 32 minggu, atau paling awal pada usia 16-24 minggu. Fase kedua adalah fase cepat (rapid ripening) yang terjadi sesaat sebelum onset persalinan (Holst, 2009).Proses pematangan servik melibatkan perubahan besar pada jaringan ikat di servik. Selama fase lambat terjadi penurunan jumlah kolagen sampai 30% dan proteoglikan sampai 50% dibandingkan dengan ibu yang tidak hamil. Proses akhir dari pematangan servik ini adalah melembutnya dan dilatasi dari servik. Mekanisme yang terlibat dalam proses pematangan servik ini belum sepenuhnya diketahui (Senntrom et. al., 1997). Pematangan servik berhubungan dengan berkurangnya kadar kolagen serta penurunan jumlah serat kolagen. Selain itu juga terjadi proses penurunan daya regang dari matriks ekstraseluler dari servik. Terdapat perubahan pada proses ini yaitu terjadi penurunan kadar decorin (dermatan sulfat proteoglikan 2) yang menyebabkan separasi dari serat kolagen. Kedua hal inilah yang mengakibatkan proses perlunakan servik (Goldberg et. al., 2011). Matriks ekstraseluler pada servik berjumlah sekitar 85% dan serat otot hanya 610%.Matriks ekstraseluler servik mengandung komponen fibriler, proteoglikan, hyaluronan, dan glikoprotein.Komponen fibriler terdiri dari kolagen dan elastin. Pada servik, kolagen menempati jumlah terbnyak yaitu 80% dimana didominasi oleh kolagen tipe I dan tipe III (Dubicke, 2009).Ikatan kolagen akan membentuk kekakuan dari servik dan dengan cepat mengalami perubahan oleh pengaruh enzim kolagenase. Kolagen yang terdapat dalam servik terutama kolagen tipe I, III dan IV.Kolagen tipe I dan III merupakan komponen jaringan ikat utama, sedangkan yang tipe IV ditemukan berhubungan dengan otot polos dan vaskuler. Dengan bertambahnya umur kehamilan maka serat kolagen, otot polos dan fibroblas tersusun dengan rapat yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan atau daya regang jaringan sehubungan dengan bertambahnya berat janin (Goldberg, 2011). Proses perlunakan servik merupakan akibat dari proses pencernaan kolagen dalam servik serta peningkatan kandungan air. Dengan adanya pematangan servik maka bagian atas dari servik yaitu ostium uteri internum bergerak ke lateral sehingga menjadi sulit dibedakan dengan segmen bawah rahim. Hal ini menandakan bahwa ostium uteri internum merupakan tempat dimana proses pematangan servik menjadi maksimal (Kelly, 2002). Dengan proses pematangan servik, terjadi penurunan jumlah kolagen. Selain itu terjadi pula perubahan pada konsentrasi proteoglikan. Yang utama adalah penurunan konsentrasi decorin dan peningkatan kadar kondroitin sulfat proteoglikan vercican, sedikit sulfat proteoglikan biglikan dan sulfat proteoglikan heparan. Versican dapat menarik air dan berikan dengan hyaluronan serta menghasilkan disintergrasi dari ikatan kolagen dan perubahan pada struktur fisiknya sehingga menghasilkan jaringan yang lunak dan elastis yang nantinya akan diikuti dengan proses dilatasi servik (Dubicke, 2009). Gambar 2.9. Matriks Ekstraseluler Pada Servik (Dubicke, 2009) Terdapat interaksi hormonal pada proses ini yaitu terjadi peningkatan kadar enzim siklooksigenase-2 yang mengakibatkan peningkatan kadar prostaglandin E2 (PGE2) lokal di servik. Hal ini akan mengakibatkan: - Dilatasi dari pembuluh darah kecil di servik - Peningkatan degradasi kolagen - Peningkatan asam hyaluronidase - Peningkatan kemotaksis leukosit yang mengakibatkan degradasi kolagen - Peningkatan pelepasan interleukin-8 (Goldberg et. al., 2011dan Holst, 2009). Pada persalinan preterm terjadi pula penurunan progesteron tetapi mekanismenya belum jelas diketahui dan hal ini bukanlah merupakan satu-satunya pencetus inisiasi.Progesteron yang menurun menyebabkan terjadi aktivasi Macrophage-likedecidua cell dan sumsum tulang mengeluarkan makrofag. Makrofag ini akan memproduksi interleukin-1 (IL-1), asam arakidonat, prostaglandin E2 (PGE2) dan prostaglandin F2 serta platelet activating factor (PAF). Sedangkan sel desidua yang telah diaktifkan juga akan memproduksi makrofag dan macrophage-like decidua cells yang kemudian melepaskan PAF, IL-1, macrofag colony stimulating factor (mCSF) dan tumor necrosis factor (TNF). IL-1 dan TNF mempengaruhi desidua untuk memproduksi prostaglandin, terutama PGE2 dan PGF2.PGF2 terutama bekerja pada miometrium dalam pembentukan cell-to-cell gap junction dan reseptor oksitosin.Pembentukan ini makin meningkat dengan adanya hormon estrogen, tetapi dihambat oleh progesteron dan prostasiklin. Sekali cell-to-cell gap junction ini terbentuk maka depolarisasi akan menjalar pada sel miometrium, yang mengakibatkan meningkatnya ion kalsium intra selular. Kalsium ini akan berikatan dengan kalmodulin untuk mengaktifkan myosin like chain kinase yang bekerja pada aktin dan miosin sehingga akan menimbulkan pemendekan serabut miometrium dan terjadilah kontraksi. Sedangkan PGE2 bersama-sama dengan mCSF mempengaruhi sel darah putih dan fibroblas di servik menyebabkan terjadinya sintesis dan pelepasan kolagenase. Kolagenase ini akan memecah jaringan kolagen servik sehingga jumlah kolagen menurun, maka terjadilahproses pelunakan atau pematangan servik. Servik yang melunak ini akan menyebabkan mudahnya terjadi penipisan dan pembukaan.(Gomez,1997). Agen yang dapat digunakan untuk proses pematangan servik adalah kemokin yaitu interleukin-8. Interleukin-8 mempunyai efek yang selektif dalam menstimulasi pelepasan kolagenase dari granula spesifik tanpa pelepasan protease desktruktif yang lainnya.Kecepatan produksi neutrofil sekitar 1011 perhari sehingga neutrofil merupakan sumber yang tak terbatas dari kolagenase (Kelly, 2002). Perubahan struktur servik saat persalinan yang ditandai dengan penurunan konsentrasi kolagen, berkurangnya matriks dan peningkatan kandungan air menandakan bahwa jaringan servik memberikan tahanan yang rendah. Selama kontraksi uterus jaringan servik mengalami proses penipisan dan dilatasi. Pada saat pematangan servik terjadi proses disosiasi dan degradasi kolagen yang mengakibatkan perubahan struktur kolagen selama peride ini. Perubahan katalitik dari kolagen ini dimediasi oleh enzim kolagenase (matriks metaloproteinase) yang telah dibuktikan pada beberapa penelitian bahwa kadarnya meningkat pada serviks saat partus (Norman et. al, 2005) Kolagenase yang terpenting adalah matriks metaloproteinase-8 yang dilepaskan lebih besar dari granula neutrofil yang spesifik dibandingkan dengan yang disintesa oleh stroma fibroblas servik. Terjadi infiltrasi neutrofil ke dalam stroma servik saat inpartu dan mengakibatkan proses degranulasi. Interleukin-8 merupakan suatu kemokin yang berefungsi untuk mengikat dan mengaktifkan neutrofil. Proses ekstravasasi neutrofil terjadi dengan cara proses adhesi dan diapedesis melalui endotel pembuluh darah. Hal ini akan diikuti dengan proses aktivasi neutrofil oleh interleukin-8. Interleukin-8 merupakan kemokin yang dihasilkan oleh makrofag dan tipe sel lainnya seperti sel epitel dan sel endotel. Fungsi utama dari interleukin-8 adalah untuk induksi proses kemotaksis pada target sel yaitu neutrofil (Wikipedia, 2011). Neutrofil merupakan sumber dari enzim kolagenase yang terdapat dalam granula spesifik yang dapat diproduksi melalui proses degranulasi yang diperantarai oleh sitokin yaitu interleukin-8. Dua fungsi utama dari interleukin-8 inilah yaitu proses masuknya neutrofil (recruitment) dan menstimulasi neutrofil untuk memproduksi kolagenase menjadikan interleukin-8 ini merupakan agen yang kuat untuk proses inisiasi pengaturan matriks ekstraseluler pada proses pematangan servik. Kadar neutrofil dalam darah cukup tinggi yaitu 6x106 mL dengan produksi harian rata-rata 1011 perhari (Kelly, 2002) Gambar 2.10.Proses Pematangan Servik (Kelly, 2002). Yudha dkk (2008), didapatkan hasil yang sangat bermakna (p<0,001) dengan jumlah neutrofil > 5 per lapang pandang pada persalinan kurang bulan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Vincendo dkk (2007), didapatkan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Yudha dkk (2008), dimana didapatkan jumlah neutrofil vagina > 5 per lapang pandang pada persalinan kurang bulan secara bermakna lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dalam usia pasangannya disertai dengan variasi yang lebar (5,0(0-3.290) vs 0(0-11);p<0,001). Jumlah neutrofil vagina yang terdeteksi pada penelitian oleh Riedewald dkk (2006), lebih tinggi yakni > 10 per lapang pandang (p<0,001) jika dibandingkan kontrol dengan usia berpasangan. Berdasarkan kurva receiver operating characteristics (ROC) pada penelitian Yudha dkk (2008), didapatkan nilai penentu (cut-off point) jumlah neutrofil vagina adalah > 9 per lapang pandang yang memberikan nilai sensitivitas 73%, spesifisitas 100%, akurasi 87%, nilai prediksi positif 100% dan nilai prediksi negatif 79%. Pada penelitian Yamada dan Fayes (2006) nilai penentu (cut-off point) untuk jumlah neutrofil vagina adalah > 10 per lapang pandang dengan sensitivitas 80%, spesifisitas 55%, akurasi 67,5%, nilai prediksi positif 64% dan nilai prediksi negatif 73,3%. 2.9 Hapusan Pada Swab Hapusan swab diambil dan hapuskan pada objek gelas dengan cara mengulirkannya kebelakang dan kedepan bagian objek gelas untuk mendapatkan lapisan yang tipis dari bahan sampel. Hal ini menjaga morfologi dan hubungan mikroorganisme dan elemen selluler (Leona, 2010). Swab tidak boleh diputar balik dan menyilang objek gelas, karena bahan yang penting yang terdapat pada bagian yang berlawanan dari swab kemungkinan tidak terbaca dan elemen dari smearakan menjadi rusak (Leona, 2010). Gambar 2.11 Hapusan swab (Leona,2010) 2.10 Pewarnaan Gram Pewarnaan adalah pewarnaan secara artifisial pada bahan hapusan sehingga dapat dilihat dengan menggunakan alat pembesar yang disediakan yaitu mikroskop. Pewarnaan dapat dibedakan menjadi (Leona, 2010): 1. Pewarnaan sederhana adalah pewarnaan yang dilakukan untuk mengetahui bentuk dan susunan material yang didapatkan. 2. Pewarnaan differensial adalah pewarnaan yang dilakukan untuk mengetahui komponen spesifik dari elemen yang terdapat. 3. Pewarnaan DNA probe-mediated adalah pewarnaan yang secara spesifik untuk mengidentifikasi suatu organisme. Pewarnaan yang paling umum dipergunakan di laboratorium mikrobiologi adalah pewarnaan gram, tahan asam (acid-fast), calcofuor white, dan pewarnaan Wright-Giemsa yang dimodifikasi. Pewarnaan yang lain diperuntukkan spesifik grup organisme. Penilaian dari spesimen harus dimulai dari pemeriksaan visual secara langsung dan kemudiaan diproses, pada tingkat pembesaran yang dapat dibaca dan diperlukan untuk mengidentifikasi dan membedakan apakah bahan tersebut patogen atau tidak (Leona, 2010). Pewarnaan Gram sendiri adalah metode pewarnaan yang dikembangkan oleh bakteriologis dari Denmark, Chistian Gram pada tahun 1884.Bahan yang harus disiapkan adalah crystal violet (hexamethyl ρ-rosaline chloride) untuk mewarnai seluruh sel dan warna untuk mewarnai latar belakang material/spesimen adalah deep blue (biru gelap).Iodine gram mempersiapkan elemen iodine yang lebih luas untuk menggantikan klorida yang lebih kecil pada pewarnaan molekul (Leona, 2010). Pewarnaan gram digunakan secara rutin dan sesuai permintaan di laboratorium mikrobiologi, untuk bahan hapusan dan kultur, dimana pemeriksaannya menggunakan mikroskop. Pemeriksaan ini sesuai untuk bahan, dimana kecurigaan terhadap infeksi bakteria sangat kuat, tetapi pemeriksaan ini juga dapat dilakukan untuk menilai karakteristik dari spesimen itu sendiri (Leona, 2010). Prosedur pewarnaan gram (Leona, 2010): 1. Keringkan bahan pada objek gelas sehingga tidak tercuci pada prosedur pewarnaan. Fiksasi bahan dapat ditingkatkan dengan melakukan fiksasi dengan menggunakan alkohol 70% sampai 90% atau dengan memanaskan objek gelas untuk mengeringkan air pada bahan. 2. Tempatkan smear pada rak pewarnaan dan letakkan permukaan objek gelas yang mengandung spesimen pada bagian atas sehingga dapat diwarnai. 3. Tempatkan hapusan pada bagian atas dari rak pewarnaan, sehingga sisa air dapat menguap dan bahan hapusan mengering. Jangan mengotori bahan hapusan. Jangan memberikan minyak emersi pada bahan hapusan sampai benar-benar kering. 4. Nilai pewarnaan hapusan menggunakan pembesaran yang paling rendah, dan kemudian pilih tempat yang akan dinilai lebih dekat dengan menggunakan pembesaran 40-60 kali. Area yang mencurigakan dapat dievaluasi dengan menggunakan pembesaran 100x pada mikroskop. Pada pertemuan awal dan pertemuan berikutnya, sesuai dengan prosedur, dilakukan pemeriksaan pelvis yang steril dan bersih dengan spekulum tanpa lubrikasi.Spesimen dari genitalia diambil dan diproses.Swab vagina diambil untuk mendiagnosa adanya neutrofil. Neutrofil vagina dihitung pada lima nonkonsekutif lapang pandang tanpa mukus servik dan bahan lainnya. Hanya area dengan satu lapis epithelial sel yang akan dinilai. Hapusan vagina akan dinilai oleh lima analisa yang berbeda secara blind. Dengan kesepakatan, didapatkan ≤ 5 atau > 5 neutrofil perlapang pandang adalah 95%, dimana diperkirakan hasil analisa adanya neutrofil oleh analisis adalah sempurna (Simhan, 2003). Gambar 2.12 Pewarnaan Gram (Leona,2010) BAB III KERANGKA KONSEP 3.1. Kerangka Berpikir Sepertigapenyebab dari persalinan preterm dikaitkan dengan proses infeksi yang terjadi pada korion dan desidua. Hal ini mengakibatkan peningkatan sitokin dan chemokines yang menyebabkan peningkatan infiltrasi neutrofil. Peningkatan infiltrasi neutrofil ini sendiri merupakan suatu proses inflamasi yang mempengaruhi proses pematangan servik, yang berhubungan dengan terjadinya persalinan preterm. Selain proses tersebut ada juga beberapa faktor perancu yang juga dianggap dapat menyebabkan kerusakan desidua yaitu : plasenta previa, solusio plasenta,kelainan medis ibu (anemia,hipertensi kronik, preeklampsia, eklampsia), polihidramnion, hamil kembar, kelainan kongenital mayor, ketuban pecah dini, riwayat persalinan preterm sebelumnya. 3.2. Konsep Penelitian Hamil Preterm Infeksi Neutrofil Vagina ↑ Faktor Perancu : - Plasenta previa - Solusio plasenta - Kelainan medis ibu (anemia,hipertensi kronis, preeclampsia, eklampsia) - Polihidramnion - Hamil kembar - Kelainan kongenital mayor - Ketuban pecah dini - Riw. Persalinan preterm Persalinan Preterm Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian 3.3. Hipotesis Penelitian Jumlah neutrofil yang tinggi perlapang pandang pada sekret vagina merupakan faktor risiko terjadinya persalinan preterm. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol, dengan persalinan preterm spontan sebagai kasus. Sedangkan sebagai kontrol digunakan kehamilan preterm yang tidak mengalami tanda - tanda persalinan. Kasus dan kontrol dipasangkan berdasarkan umur ibu, umur kehamilan dan paritas. Neutrofil vagina (+) Kehamilan Preterm Tidak Inpartu Neutrofil vagina (-) Neutrofil vagina (+) Kehamilan Preterm Inpartu Neutrofil vagina (-) Gambar 4.1 Rancangan Penelitian 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dikerjakan di Ruang Bersalin dan Poliklinik Kebidanan RSUP Sanglah dari bulan Desember 2011 sampai bulan Desember 2012 atau sampai dengan jumlah sampel terpenuhi. 4.3 Populasi Penelitian Semua ibu hamil yang datang ke poliklinik dan kamar bersalin RSUP Sanglah Denpasar dengan diagnosis kehamilan pretermdan persalinan preterm. 4.4 Sampel Penelitian Semua ibu hamil yang datang ke poliklinik dan kamar bersalin RSUP SanglahDenpasar dengan diagnosis kehamilan pretermdan persalinan preterm yang memenuhi kriteria inklusi. 4.4.1 Kriteria inklusi 1. Kehamilan tunggal dengan umur kehamilan dari 22 minggu sampai 37 minggu 2. Janin hidup 3. Selaput ketuban masih intak 4. Bersedia mengikuti penelitian 4.4.2 Kriteria eksklusi : 1.Plasenta previa 2.Solusio plasenta 3. Dari anamnesa dicurigai adanya penyakit sistemik yang menyertai ibu hamil (kelainan jantung,diabetes mellitus, hipertensi, preeklampsia/eklampsia, anemia, asma, HIV) 4.Riwayat persalinan preterm pada kehamilan sebelumnya atau pernah dirawatdengan partus prematurus iminens pada kehamilan ini 5. Polihidramnion 6. Kehamilan kembar 7. Diketahui mempunyai kelainan kongenital yang fatal pada janin 8. Riwayat mendapat pengobatan dengan antibiotika dalam satu minggu Terakhir 4.4.3 Perhitungan besar sampel Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : ( Z α √2 PQ + Z β √P1Q1 + P2Q2 )2 n= ( P1-P2)2 P1 =Kelompok Kasus = 42,86 P2 = Kelompok Kontrol = 2,86 Q1 = 1- P1 Q2 = 1- P2 n = Besar sampel Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus diatas diperoleh besar sampel minimal penelitian ini adalah 20,94 pasang sampel. Untuk menghindari adanya data yang tidak terbaca, maka ditambahkan 20 % sehingga menjadi 25,13 yang dibulatkan menjadi 26 pasang sampel. 4.4.4 Cara pengambilan sampel Kasus ditentukan dengan cara consecutive sampling dari ibu hamil pretermyang inpartu diruang bersalin RSUP Sanglah Denpasar dan telah memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kontrol ditentukan secara consecutive sampling dari ibu hamil preterm yang tidak inpartu sesuai kriteria kontrol di poliklinik Kebidanan RSUP Sanglah Denpasar yang dipasangkan (matching) dalam hal umur ibu, umur kehamilan dan paritas. Perbandingan kasus dan kontrol = 1:1 4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Identifikasi variabel 4.5.1.1 Variabel bebas :neutrofil vagina perlapang pandang 4.5.1.2Variabel tergantung : persalinan preterm 4.5.1.3 Variabel terkontrol :umur ibu, umur kehamilan dan paritas 4.5.2 Definisi operasional variabel 1. Kehamilan preterm adalah ibu hamil dengan umur kehamilan dari 22 minggu sampai 37 minggu. 2. Persalinan preterm spontan adalah adanya kontraksi uterus minimal 2 kali dalam 10 menit dengan pembukaan serviks ≥ 2 cm disertai penipisan serviks ≥ 50%, keluar lendir campur darah pada umur kehamilan dari 22 minggu sampai 37 minggu. 3. Neutrofil adalah sel yang berbentuk bola dengan diameter kira-kira 12-15 µm dengan membran yang banyak. Neutrofil memiliki segmen yang terbentuk dari 3 sampai 5 lobulus yang saling berhubungan, oleh karena itu neutrofil disebut juga polymorphonuclear leukocyte. 4. Neutrofil positif (+) adalah didapatkannya neutrofil vagina perlapang pandang pada pemeriksaan swab vagina > 5. 5. Neutrofil negatif (-) adalah didapatkannya neutrofil vagina perlapang pandang pada pemeriksaan swab vagina < 5. 6. Umur ibu adalah jumlah tahun lengkap. 7. Umur kehamilan dihitung berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT) atau dikonfirmasi berdasarkan hasil pemeriksaan USG (Ultra Sonography) yang dilakukan oleh dokter spesialis obstetri ginekologi (SpOG) yang dilakukan pada umur kehamilan sebelum 20 minggu. 8. Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan viable. 9. Plasenta previa adalah suatu keadaan dimana insersi plasenta disegmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum pada kehamilan 28 minggu atau lebih berdasarkan hasil pemeriksaan USG. 10. Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebagian atau seluruhnya dari tempat implantasinya yang normal pada uterus sebelum janin dilahirkan, pada usia kehamilan diatas 20 minggu atau berat janin 500 gram dan dikonfirmasi berdasarkan hasil pemeriksaan USG. 11. Kelainan kongenital fatal pada janin ialah kelainan kongenital mayor yang ditemukan dari pemeriksaan ultrasonografi oleh dokter SpOG. 12. Polihidramnion adalah didapatkannya indeks cairan amnion dengan diameter vertikal kantong amnion terbesar pada 4 kuadran uterus > 25 cm pada pemeriksaan USG. 13. Preeklampsia adalah komplikasi kehamilan yang ditandai timbulnya hipertensi yaitu tekanan darah sistolik ≥ 140/90 mmHg disertai proteinuria pada umur kehamilan ≥ 20 minggu. 14. Eklampsia adalah kejang dan atau koma pada kehamilan, persalinan dan atau nifas, dengan gejala preeklampsia sebelumnya. 15. Kehamilan dengan Diabetes Mellitus adalah adanya intoleransi karbohidrat, baik ringan (Toleransi Glukosa Terganggu = TGT), maupun berat (Diabetes Mellitus) yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan berlangsung dan memenuhi kriteria WHO. 16. Kehamilan dengan Hipertensi adalah kehamilan dengan tekanan darah> 140/90 mmHg diukur dua kali selang 4 jam setelah penderita beristirahat. 17. Kehamilan dengan Penyakit Jantung adalah kehamilan yang disertai dengan gangguan fungsi jantungberdasarkan kriteria New York Heart Assocciation (NYHA). 18. Kehamilan dengan anemia adalah kehamilan yang ditandai dengan kadar Hb < 11gr % menurut WHO. 19. Kehamilan dengan asma adalah kehamilan yang disertai suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil suatu pengobatan. 20. Kehamilan dengan HIV adalah kehamilan yang disertai pemeriksaan anti-HIV serum ibu didapatkan hasil positif. 21. Leukositosis maternal adalah jumlah sel leukosit > 15.000/mm3 yang diambil dari darah tepi ibu dan dinilai dengan alat Cell-Dyn 3700 di Lab. RSUP Sanglah. 22. Riwayat persalinan preterm sebelumnya adalah ibu hamil yang pada kehamilan sebelumnya pernah melahirkan pada umur kehamilan 28 sampai kurang dari 37 minggu atau berat badan lahir < 2500 gram. 23. Kehamilan kembar adalah kehamilan dengan lebih dari satu janin yang ditemukan dari pemeriksaan ultrasonografi oleh dokter SpOG. 24. Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum inpartu, bila diikuti satu jam kemudian tidak timbul tanda – tanda awal persalinan. 4.6 Alur Penelitian Pemilihan kasus dan kontrol yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan dengan cara pemeriksaan pada ibu hamil preterm yang bersalin dan kontrol antenatal di RSUP Sanglah Denpasar. Pemeriksaan meliputi anamnesa, pemeriksaan umum, obstetri dan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis. Yang memenuhi kriteria inklusi untuk kasus dan kontrol diberikan penjelasantentang penelitian ini, begitu juga dengan keluarganya. Setelah mengerti dan bersedia ikut dalam penelitian, maka penderita diminta untuk menandatangani persetujuan penelitian. Penapisan pada ibu hamil preterm dan bersalin dengan anamnesa, periksa fisik umum, obstetri & lab. Di RSUP Sanglah Denpasar Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi Informed Consent Consecutive sampling KASUS (Kehamilan preterm inpartu) Pengambilan swab vagina Positif KONTROL (Kehamilan preterm tidak inpartu) Pengambilan swab vagina Negatif Analisa Data Gambar 4.2 Alur Penelitian Positif Negatif 4.7 Instrumen Penelitian dan Metode Pemeriksaan 4.7.1Instrumen penelitian Instrumen penelitian terdiri dari meja ginekologi, sarung tangan, spekulum, objek gelas, pewarnaan gram dan perlengkapan alat tulis. 4.7.2 Metode pemeriksaan a. Penderita berbaring dimeja ginekologi dalam posisi litotomi b. Kenakan sarung tangan steril c. Lakukan asepsis di labia, jangan melakukannya sampai bagian dalam vagina d. Selaput ketuban harus utuh e. Pemeriksaan spekulum yang steril (sebelum pemeriksaan dalam) dengan cocor bebek (Grave) f. Digunakan swab untuk mengambil spesimen dari vagina g. Swab ditahan selama 10-15 detik di dalam vagina h. Spekulum dikeluarkan i. Hapuskan bahan swab ke objek gelas j. Dibawa ke laboratorium mikrobiologi klinik k. Dilakukan pewarnaan gram l. Pembacaan neutrofil vagina perlapang pandang Hasil positif dapat diartikan saat neutrofil vagina perlapang pandang > 5. Jika jumlah neutrofil vagina perlapang pandang < 5, maka hasilnya adalah negatif. 4.8 Pengumpulan dan Analisis Data 4.8.1Pengumpulan data Data yang didapatkan di poliklinik dan ruang bersalin bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam formulir penelitian (terlampir). 4.8.2Analisis data Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis sebagai berikut : 1. Analisis deskriptif yang meliputi variabel umur ibu, umur kehamilan dan paritas 2. Uji normalitas dengan Shapiro-Wilk 3. Uji homogenitas dengan Levene’s 4. Uji Chi-square berdasarkan tabel silang 2x2 Tabel 4.1 Tabel silang 2x2 antara neutrofil vagina dengan persalinan preterm Neutrofil vagina Persalinan preterm Kehamilan preterm (+) A B a+b (-) C D c+d a+c b+d a+b+c+d X2 = Ʃ (Oi – Ei)2 E BAB V HASIL PENELITIAN Telah dilakukan penelitian kasus-kontrol dengan 52 orang wanita sebagai sampel, dengan kelompok kasus adalah 26 orang wanita dengan kehamilan preterm inpartu dan kelompok kontrol adalah 26 orang wanita dengan kehamilan preterm tidak inpartu di RSUP Sanglah Denpasar. 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian Karakteristik subjek meliputi umur, umur kehamilan, dan paritas disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol Kelompok Variabel P Kasus Kontrol (n = 26) (n = 26) Umur (th) 27,42±8,25 27,65±4,97 0,903 Umur kehamilan 32,19±2,38 31,62±3,66 0,503 Paritas 0,85±1,00 1,08±0,90 0,386 Tabel 5.1 di atas menunjukkan bahwa dengan 62 uji t-independent pada ketiga variabel didapatkan nilai p > 0,05. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan rerata umur, umur kehamilan, dan paritas antara kelompok kasus dengan kelompok control, sehingga bisa dianalisa. 5.2Hubungan antara Neutrofil Vagina dengan Persalinan Preterm Untuk mengetahui hubungan antara neutrofil vagina dengan persalinan preterm dipakai uji Chi-Square yang disaji pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Hubungan antara Neutrofil Vagina dengan Persalinan Preterm Kelompok Neutrofil vagina Kasus Kontrol (+) 11 1 (-) 15 25 RO IK 95% p 18,3 2,15-56,58 0,001 Tabel 5.2 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara neutrofil vagina dengan persalinan preterm. Dimana diketahui bahwa neutrofil vagina pada persalinan preterm lebih tinggi bermakna secara objektif dibandingkan dengan kehamilan preterm. Didapatkan rasio odds 18,3 yang berarti neutrofil vagina yang tinggi dapat meningkatkan resiko terjadinya persalinan preterm sebesar 18 kali BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Subyek Penelitian ini melibatkan 52 orang sampelyang telah memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, yang terdiri dari 26 orang sebagai kasus dan 26 orang lainnya sebagai kontrol. Pada penelitian yang dilakukan, karakteristik subjek penelitian yang dibandingkan adalah umur, umur kehamilan, paritas. Telah dilakukan matching antara tiap kelompok penelitian dengan maksud memperoleh sampel yang homogen, sehingga layak untuk diperbandingkan. Berdasarkan analisis statistik dengan menggunakan uji t-independent dapat disimpulkan bahwa pada kedua kelompok penelitian tidak ditemukan perbedaan yang bermakna (p>0,05) sehingga untuk selanjutnya dapat dibandingkan. 64 Dari hasil penelitian didapatkan rerata umur ibu kelompok kasus adalah 27,42±8,25 dan rerata kelompok kontrol adalah 27,65±4,97, dengan nilai p = 0,903. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan umur antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Hasil dari penelitian ini ternyata hampir sama dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Pada beberapa penelitian yang dilakukan, Yudha, 2008 usia rerata pada pasien persalinan kurang bulan 25,4 tahun. Romero dkk, 2008 menyatakan bahwa rerata usia pasien persalinan kurang bulan adalah 30,8 tahun. Hasil diatas menunjukkan bahwa persalinan kurang bulan terjadi pada usia reproduksi. Rerata umur kehamilan ibu kelompok kasus adalah 32,19±2,38 dan rerata kelompok kontrol adalah 31,62±3,66, dengan nilai p = 0,503. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan umur kehamilan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Yudha, 2008 menyatakan rentang usia kehamilan pada persalinan kurang bulan adalah 2836 minggu , sedangkan beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa persalinan kurang bulan terjadi pada 16,7-18% wanita dengan usia kehamilan 28-36 minggu. Hasil diatas menunjukkan bahwa persalinan kurang bulan banyak terjadi pada usia kehamilan trimester ketiga. Rerata paritas kelompok kasus adalah 0,85±1,00 dan rerata kelompok kontrol adalah 1,08±0,90, dengan nilai p = 0,386. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan paritas antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Pada beberapa penelitian didapatkan paritas pasien pada persalinan kurang bulan adalah paritas dua (16,7%), hasil ini sesuai dengan Creasy dkk,2009 yang menyatakan bahwa pasien multiparitas memiliki risiko tinggi terjadinya persalinan kurang bulan. 6.2 Neutrofil Vagina Tinggi Sebagai Faktor Risiko Persalinan Preterm Dengan uji Chi-Square didapatkan bahwa neutrofil vagina tinggi merupakan faktor risiko terjadinya persalinan preterm sebesar 18 kali dibandingkan dengan neutrofil vagina normal(R0 = 18,3, IK 95% = 2,15-56,58, p = 0,001). Hal ini dapat dijelaskan bahwa proses inflamasi itu sendiri merupakan salah satu tanda awal dari persalinan dan mungkin mempengaruhi hal- hal lain dalam perubahan yang berhubungan dengan proses persalinan. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitiannya Hitti et al, 2001 yang menyatakan bahwa wanita dengan persalinan preterm spontan ditemukan membran intak, lebih dari 5 netrofil perlapang pandang sangat sensitif menunjukkan infeksi atau inflamasi dari cairan amnion. Ieffa, 2005 menyatakan bahwa pemeriksaan yang tidak invasif dan telah dilakukan di RS Dr. Hasan Sadikin adalah pemeriksaan gabungan pH dan neutrofil vagina yang memberikan nilai spesifisitas dan akurasi yaitu 83,3% dan 75% untuk memprediksi terjadinya persalinan kurang bulan.Penanda biologik ini meningkat pada swab vagina, yang ditemukan pada persalinan preterm melalui pemeriksaan pengecatan gram (Simhan et al, 2003).Thompson dkk, (1999) menggunakan imunohistokimia untuk menggambarkan bahwa neutrofil dan makrofag merupakan sel yang terutama menginfiltrasi miometrium saat usia kehamilan cukup bulan. Leukosit juga ditemukan dalam jumlah yang banyak pada jaringan desidua dan amnion.Analisa sampel dari wanita inpartu cukup bulan didapatkan neutrofil yang spesifik dan faktor pencetus (Haddad, 2006). Tidak hanya neutrofil yang ditemukan dalam jumlah yang banyak di miometrium, desidua dan jaringan servik, tetapi sel ini sebagai juga sebagai sumber utama dari tumor necrosis factor α (TNFα) dan sitokin inflamasi lainnya, seperti: interleukin (IL) -1β, IL-6, dan IL-8 pada sampel jaringan, selama proses persalinan spontan dibandingkan dengan yang tidak dalam proses persalinan (Young, 2002). Sel imun dari wanita yang dalam proses persalinan juga memproduksi faktor inflamasi lainnya, seperti: reactive oxgen species (ROS) dimana dapat mengoksidasi lemak, mengubah fungsi protein dan merubah DNA dengan memodifikasi basisnya, menggeser tulang punggung deoxyribose, reaksi silang molekul lainnya dan memodifikasi secara umum fungsi sel (Orrenius, 2007). Inflamasi mempengaruhi produksi dari prostaglandin dan analognya, progesterone withdrawal juga dapat diaktifkan melalui mekanisme regulasi nuclear factor (NF) κ B untuk meningkatkan bentuk hambatan dari progesterone reseptor (Masden, 2004; Bisits, 2005). Sitokin dari proses reaksi inflamasi diketahui untuk menginduksi protein dan gene MMP, konsentrasi serum prostaglandin dan menurunkan sintesis kolagen (Farina, 2005). Peningkatan sitokin inflamasi dan respon inflamasi dengan infiltrasi dan aktivasi neutrofil pada jaringan desidua, menyebabkan bertambahnya dilatasi dan penipisan servik dan melemahnya membran amnion (Challis, 2009; Oner, 2008). Penelitian pada wanita dengan persalinan preterm menunjukkan peningkatan sensitivitas dari tanda inflamasi dan peningkatan regulasi dari banyak gen pro-labor seperti: MMPs, Prostaglandin dan sejumlah interleukin (Challis, 2009). Yudha dkk (2008), didapatkan hasil yang sangat bermakna (p<0,001) dengan jumlah neutrofil > 5 per lapang pandang pada persalinan kurang bulan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Vincendo dkk (2007), didapatkan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Yudha dkk (2008), dimana didapatkan jumlah neutrofil vagina > 5 per lapang pandang pada persalinan kurang bulan secara bermakna lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dalam usia pasangannya disertai dengan variasi yang lebar (5,0(0-3.290) vs 0(0-11);p<0,001). Jumlah neutrofil vagina yang terdeteksi pada penelitian oleh Riedewald dkk (2006), lebih tinggi yakni > 10 per lapang pandang (p<0,001) jika dibandingkan kontrol dengan usia berpasangan. Berdasarkan kurva receiver operating characteristics (ROC) pada penelitian Yudha dkk (2008), didapatkan nilai penentu (cut-off point) jumlah neutrofil vagina adalah > 9 per lapang pandang yang memberikan nilai sensitivitas 73%, spesifisitas 100%, akurasi 87%, nilai prediksi positif 100% dan nilai prediksi negatif 79%. Pada penelitian Yamada dan Fayes (2006) nilai penentu (cut-off point) untuk jumlah neutrofil vagina adalah > 10 per lapang pandang dengan sensitivitas 80%, spesifisitas 55%, akurasi 67,5%, nilai prediksi positif 64% dan nilai prediksi negatif 73,3%. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian didapatkan simpulan sebagai berikut: 1. Neutrofil vagina pada persalinan preterm secara statistik lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan preterm. 2. Neutrofil vagina merupakan faktor risiko terjadinya persalinan preterm sebesar 18 kali. 7.2 Saran Berdasarkan simpulan tersebut di atas dapat disarankan sebagai berikut: 1. Ibu-ibu yang ANC dapat dianjurkan melakukan pemeriksaan netrofil vagina sehingga dapat dideteksi dan diantisipasi terjadinya persalinan preterm. 2. Melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui factor-faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya infeksi. DAFTAR PUSTAKA Artana WD. Hamid A. 2002. Karakteristik bayi berat lahir sangat rendah yang lahir di RS Sanglah. Penelitian deskriptif pada Lab./SMF Ilmu Penyakit Anak FK UNUD/RS Sanglah Denpasar. Abadi A. 1999. Radang Selaput Ketuban dan Plasenta serta Interleukin-6 Dalam Air Ketuban Sebagai Faktor Penentu Terjadinya Persalinan Pada Persalinan Kurang Bulan Membakat (Studi kohort dengan pendekatan imunoendokrinologi). Disertasi. Anna S. 2010. Neutrophil Products Control The Expression of Progesterone Receptors and Matrix Metalloproteinase-1 in The Decidual and Myometrium and are Possible Regulators of Premature Labor. A Thesis, Virginia Commonwealth University. Andrew H, et al. 2010.Innate Immunity. In: Cellular and Molecular Immunology, 6 th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier,p29-38. Blanco JD. 2000. Clinical problem of preterm labor. In: Pitkim RM. And Scott JR. eds. Clinical Obstetrics and Gynecology.Philadelphia : Lippincott-Williams & Wilkins Inc; 43:713-c16. Bisits AM, Smith R, Mesiano S, Yeo G, Kwek K, MacIntyre d, et al. 2005. Inflammatory aetiology of hmuman myometrial activation tested using directed graph. PLoS Comput Biol vol 1:132-6. Chang JC., Hsu TY., Hsieh CH., Hsu YR., Tai MC., Chen LF.2007. Vaginal and Cervical pH Measurements in Normal Pregnancy and Preterm Labor.Journal of MaternalFetalInvestigation.7:193–196 Cunningham, F.G.et al. 2005. Preterm delivery in Williams Obstetric, 22nd Ed, The McGraw Hill Comp, New York,p 763-808. Cotch, M.F. et al. 1997. Trichomonas vaginalis associated with low birth weight and preterm delivery: the Vaginal Infection and Prematurity Study Group. Sex Transm Dis vol 24:353-60. Creasy, R. K. et. al.2009. Maternal-Fetal Medicine, 6th Ed, Elsevier, Philadelphia. Challis J.R, Lockwood C.J. et al. 2009. Inflamation and pregnancy 3rd. Reprod Sci vol 16:206-15. Dubicke, A. (2009), Preterm and Term Cervical Ripening, Karolinska Institutet, Stockholm. Ekcert LO. 2006. Acute Vulvovagnitis. The New England Journal of Medicine.355:12. Farina L. et al. 2005.A review of the role of proinflammatory cytokines in labor and noninfectious preterm labor. Biol Res Nurs vol 6: 23 0-8. Goldenberg, Culhane. 2005. Prepregnancy health status and the risk of preterm delivery. Arch Pediatr Adolesc Med, vol 159:89-90. Goldenberg.et al. 2000. Intrauterine Infection and Preterm Delivery. New England Journal of Medicine, vol 342:1500-1507. Goldberg, A. E. et. al. (2011), WebMD Professional, http://webmd.cervicalripening.html. Accesed: April 20th 2011. Gomez. et al. 1997 . The role of infection in preterm labor and delivery,Churchill Livingstone.p. 85-125. Greer, I. Norman, J. 2005.Preterm Labor, Managing Risk in Clinical Practice, Cambridge University Press.p.1-26. Hendler.et al. 2005. The preterm prediction study : association between body mass index and spontaneous preterm birth.vol 192: 882 -886. Hamilton.et al .2005.Births : preliminary data for 2005 . Health E -stats.p.10-14 Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. 2005. Manajemen Persalinan Preterm. Hiller S.L. et al. 1995. Association Between Bacterial Vaginosis and Preterm Delivery of a Low-birth-weight infant. The Vaginal Infection and Prematurity Study Group. N Engl J Med vol 333: 1737-42. Hitti J. et al. 2001. Vaginal Indicators of Amniotic Fluid Infection in Preterm Labor vol 97: 211-9. Herawati S. 2005. Pola Mikroorganisme pada Liang Vagina Wanita Hamil di RSU dr. Soetomo Surabaya, Penelitian Pendahuluan. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU dr. Soetomo Surabaya. Holst, R. M. (2009). Cervical and Intra-amniotic Markers of Preterm Birth and Infection, University of Gothenburg, Sweden. Ieffa D. A. 2005.Pemeriksaan pH dan neutrofil vagina untuk prediksi persalinan kurang bulan.Tesis. Bandung: Bagian Obstetri dan Ginekologi Fk Unpad. Krohn M.A. 1995. The genital flora of women with intraamniotic infection.Vaginal Infection and Prematurity Study Group. J Infect Dis vol 171: p 1475-80. Klein, L.L., Gibbs, R.S. 2004. Use of Microbial cultures and antibiotics in the prevention of infection-associated preterm birth.American Journal of Obstetric and Gynaecology, vol. 190, pp.1493-1502. Kelly, R. W. (2002), “Inflammatory Mediators and Cervical Ripening”. Journal of Reproductive Immunology, vol. 57, pp. 217-224. Loena W. 2011.Microscopic Examination of Infected Materials. In: DiagnosticMicrobiology, 4 th edition. Missouri: Saunders Elsevier: pp130-33. Massett, H. A. et al. 2003. Public perceptions about prematurity: a national survey. Am J Prev Med, vol 24 :120-127. Muliawan SY, 2001. Deteksi Dini Vaginosis Bakterial padaKehamilan dapat Menurunkan RisikoPersalinan Preterm.Cermin Dunia Kedokteran No. 133. Masden G. et al. 2004. Prostaglandins differentially modulate progesterone receptor-A and –B expression in human myometrial cells: evidence for prostaglandin-induced functional progesterone withdrawal. J Clin Endocrinol Metab vol 89:p1010-3. Newton, E.R., Piper, J.M., Shain, R.N., Perdue, S.T., Peairs, W. 2001. Predictors of the Vaginal Microflora.Am J Obstet Gynecol, Vol.184, pp. 845-855. Norman, J. et. al (2005), Preterm Labour Managing Risk in Clinical Practice, Cambridge University Press, Cambridge. Orlando Regional Healthcare, Education & Development. 2004. Neonatal Sepsis. Oner C., Schatz F,.et al. 2008. Progestin-inflammatory cytokine interactions affect matrix metalloproteinase-1 and -3 expression in term decidual cells: implications for treatment of chorioamnionitis-induced preterm delivery. J Clin Endocrinol Metab, vol 93:p252-9. Orrenius S, Gogvadze V, Zhivotosky B. 2007. Mitochondrial oxidative stress: implication for cell death. Annu rev Pharmacol Toixicol, vol 47:p 143-83. Pararas MV., Skevaki CL., Kafetzis DA. 2006. Preterm Birth Due to Maternal Infection : Causative Pathogens and Modes of Prevention. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 25 (9) : 562-9 Romero.et al. 2008.Epidemiology and causes of preterm birth.Lancet.vol 371: 75-84. Riedewald S. et.al. 2006. Vaginal and Cervical pH in Normal Pregnancy Complicated by Preterm labor. J Perinat Med, vol 23: p 1816. Ross, M.G. Eden, R.E. 2009. Preterm Labor. Available from: www.emedicine.com. Accesed on: July 6th, 2011 Smith.et al. 2007. Sosioeconomic inequalities in very preterm birth rates. Arch Dis Child Fetal Neonatal, vol 92:11-14. Slattery, M.M. Morrison, J.J. 2002. Preterm Delivery. Lancet, vol 360: 1489-1497. Simhan H.N. et al. 2003. Elevated Vaginal pH and Neutrophils are Associated Strongly with Early Spontaneous Preterm Birth. Am J Obstet Gynecol, vol 189: p 1150-4. Saifuddin AB., Adriaansz G., Wiknjosastro GH., Waspodo J. 2001. Masalah Yang Berhubungan Dengan Lamanya Kehamilan Dalam : Saifuddin AB., Adriaansz G., Wiknjosastro GH., Waspodo J. es. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta: JNPKKR-POGI_YBP Sarwono Prawiroharjo. 300:304 Sennstrom, M. K. B. et. al. (1997). “Interleukin-8 is a Mediator of Final Cervical Ripening in Humans”, Europan Journal of Obstetrics and Gynecology, vol. 74, pp. 89-92. Thompson.et al.2006.Secular trends in sosioeconomic status and the implications for preterm birth. Paediatr Perinat Epidemiology, vol 20:182-187. Teguh M. 2001. Tinjauan Kass Persalinan Preterm Di RSUP Sanglah Denpasar Periode 1 Januari 1998-31 Desember 2000. Penelitian Deskriptif Pada Lab/SMF Obstetri & Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Timmons, B. et. al. (2010). “Cervical Remoeling During Pregnancy and Parturition”, Trends ini Endocrinology and Metabolism, pp.353-361. Udiarta.,Suwardewa, T.G.A. 2004. Profil Persalinan Preterm di RS Sanglah periode Januari 2001 sampai Desember 2003.Lab/SMF Obstetri Ginekologi RS Sanglah Denpasar. Vicendo K. et al. 2007. Premature Rupture of The Fetal Membranes. Mechanism of Disease, vol 338: p 663-70. Wibowo B, Wiknjosastro GH. 2005. Kelainan Dalam Lamanya Kehamilan. Dalam : Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: 312317. WHO Bulletin. 2009. The worldwide incidence of preterm birth: a systematic review of maternal mortality and morbidity, vol 88: 31-38. Wikipedia (2011), Interleukin 8, Wikipedia. http://en.wikipedia.org/wiki/Interleukin_8. Accesed: April 20th 2011. Yost MP., Cox SM. 2000. Infection And Preterm Labor. In: Pitkim RM. And Scott JR. eds. Clinical Obstrtric and gynecology. Philadelphia: Lippicott- Williams & Wilkins Ic; 43: 759-67. Yudha, R.K. et al. 2008. Uji Diagnostik Antara Pemeriksaan Epitel dan neutrofil Vagina Dibandingkan Dengan pemeriksaan pH dan Neutrofil Vagina Pada Persalinan Kurang Bulan. MKB, vol 11: 168-75. Yamada H, Fayes ZA. 2006. Preterm Premature Rupture of Membranes. In: Diagnosing and Management of Obstetric Emergencies. 1st edition. California: Addison- Wesley Publishing Co. p 849-57. Young A. Thomson A.J. et al. 2002.Immunolocalization of proinflammatory cytokines in myometrium, cerviks and fetal membranes during human parturition at term. Biol Reprod,vol66: p 445-9.