Tinjauan Pustaka Asap Rokok sebagai Bahan Pencemar dalam Ruangan Aila Haris, Mukhtar Ikhsan, Rita Rogayah Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - RS Persahabatan, Jakarta PENDAHULUAN Indonesia setiap tahunnya mengkonsumsi 215 milyar batang rokok, menduduki peringkat ke lima negara pengkonsumsi rokok terbanyak di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia.1 Konsumsi rokok tersebut meningkat sejak tahun 1970. Prevalensi perokok berusia 15 tahun ke atas meningkat dari 26,9% pada tahun 1995 menjadi 31,5% pada tahun 2001; hal ini dikaitkan dengan peningkatan prevalensi perokok pada laki-laki dari 53,4 % menjadi 62,2% selama kurun waktu tersebut sedangkan pada perempuan tidak ada perubahan berarti.2 Data WHO menyebutkan 59% laki-laki dan 3,7% perempuan Indonesia adalah perokok.1 Secara keseluruhan pada tahun 2001, penduduk Indonesia yang merokok sekitar 31,5%, berarti terdapat sekitar 60 juta perokok di Indonesia.2 Asap rokok merupakan bahan penyebab terbanyak pencemaran udara terutama di dalam ruangan.3,4 Kualitas udara dalam ruangan merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian karena akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Menurut National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) tahun 1997, penyebab masalah kualitas udara dalam ruangan pada umumnya oleh beberapa hal yaitu kurangnya ventilasi udara (52%), sumber pencemaran di dalam ruangan (16%), sumber pencemaran di luar ruangan (10%), mikroba (5%), bahan material bangunan (4%) dan lain-lain (13%).5 Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas asap rokok sebagai bahan pencemar udara di dalam ruangan dan pengaruh yang dapat ditimbulkannya. PENCEMARAN UDARA Pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat atau bahan kimia ke dalam lingkungan udara normal yang CDK-189/ vol. 39 no. 1, th. 2012 mencapai jumlah tertentu sehingga dapat dideteksi oleh manusia serta dapat memberikan efek pada manusia dan lingkungan.4 Departemen Kesehatan mendefinisikan pencemaran udara yaitu masuk atau dimasukkannya zat, energi dan atau komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia.5 Kumar mendefinisikan pencemaran udara adalah terdapatnya bahan polutan di atmosfer dalam konsentrasi tertentu yang akan mengganggu keseimbangan dinamik atmosfir dan mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya.6 Bahan pencemar udara atau polutan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu polutan primer dan sekunder. Polutan primer adalah polutan yang dikeluarkan langsung dari sumber tertentu dan dapat berupa gas maupun partikel. Polutan yang termasuk dalam bentuk gas adalah senyawa karbon (C), sulfur (S), nitrogen (N), halogen sedangkan polutan dalam bentuk partikel berupa zat padat maupun suspensi aerosol cair. Berdasarkan ukuran partikel dibedakan menjadi partikel debu kasar bila ukurannya > 10 µ, partikel debu, uap dan asap jika diameternya 1-10 µ serta aerosol jika ukurannya < 1 µ.4 Polutan sekunder terjadi karena reaksi dua atau lebih bahan kimia di udara misalnya reaksi foto kimia yaitu disosiasi nitrogen dioksida (NO2) yang menghasilkan nitrogen oksida (NO) dan oksida (O) radikal. Proses kecepatan dan arah reaksi dipengaruhi oleh faktor konsentrasi relatif dari bahan reaktan, derajat fotoaktivasi, kondisi iklim, tofografi dan embun. Polutan sekunder ini mempunyai sifat fisis dan kimia yang tidak stabil. Termasuk dalam polutan sekunder adalah ozon (O3), peroksilaksil nitrat (PAN), dan formaldehid. 4 Pencemaran udara di dalam ruangan Pencemaran udara dalam ruangan dapat sangat berbahaya karena sumbernya berdekatan dengan manusia secara langsung. Di negara berkembang masalah pencemaran udara dalam ruangan yang penting adalah pencemaran dalam rumah karena memasak atau membakar kayu untuk pemanasan tanpa cerobong asap yang memadai. Polutan lain yang berdampak buruk pada kesehatan adalah O3, radiasi pengion dan asap rokok. WHO memperkirakan setiap tahun terdapat sekitar tiga juta kasus akibat pencemaran udara dalam ruangan dan 0,2 juta akibat pencemaran di luar ruangan.7 Berdasarkan penelitian American College of Allergies sekitar 50% penyakit disebabkan oleh pencemaran udara dalam ruangan. United States Enviromental Protection Agency (US EPA) menyatakan bahwa udara dalam ruangan dua sampai sepuluh kali lebih berbahaya dibandingkan udara luar ruangan. Scientific America melaporkan bahwa bayi yang sedang merangkak di atas lantai menghirup debu karpet, jamur, lumut, tungau dan lain-lain setara dengan menghisap empat batang rokok sehari. Lebih dari 90% orang menghabiskan waktunya dalam ruangan sehingga pencemaran udara dalam ruangan memberikan dampak kesehatan yang lebih berbahaya dibandingkan pencemaran udara luar ruangan.8,9 Peningkatan kadar bahan polutan di dalam ruangan selain berasal dari penetrasi polutan luar ruangan dapat juga dari sumber polutan dalam ruangan seperti asap rokok, asap yang berasal dari dapur atau pemakaian obat anti nyamuk. Sumber lain bahan polutan di dalam ruangan adalah perlengkapan pekerjaan seperti pakaian, sepatu atau perlengkapan lainnya yang dibawa masuk ke dalam rumah dari tempat kerja. Perbedaan bahan polutan di dalam dan luar ruangan tergantung faktor gaya hidup individu, sosial ekono- 17 Tinjauan Pustaka mi, struktur gedung, kondisi bahan polutan di dalam dan luar ruangan, ventilasi dan sistem pendingin ruangan, geografi dan meteorologi serta lokasi sumber polutan di luar ruangan.4 Sumber polutan udara dalam ruangan dapat dilihat pada gambar 1. Kualitas udara dalam ruang yang baik didefinisikan sebagai udara yang bebas pencemaran, bebas iritasi, ketidaknyamanan atau terganggunya kesehatan penghuni. Menurut Environmental Protection Agency (1991) terdapat empat elemen yang mempengaruhi kualitas udara dalam ruangan yaitu :10 - Sumber pencemaran - Heating ventilation and air conditioning system (HVAC) - Media yaitu berupa udara - Pekerja atau penghuni yang berada dalam ruangan tersebut apakah mempunyai riwayat penyakit pernapasan atau alergi. 62-2001 mengenai ventilasi untuk kualitas udara yang memadai (ventilation for acceptable indoor air quality). Pengertian kualitas udara yang memadai menurut pedoman tersebut adalah udara yang tidak ada kontaminan pada konsentrasi membahayakan dan sudah ditetapkan oleh para ahli yaitu bila sebanyak 80% atau lebih para penghuni suatu gedung tidak merasakan ketidakpuasan atau ketidaknyamanan.11 Menurut NIOSH, terdapat lima sumber pencemar di dalam ruangan:11 a. Pencemaran dari dalam gedung seperti asap rokok, pestisida, bahan-bahan pembersih ruangan. b. Pencemaran dari luar gedung yang dapat masuk ke dalam ruangan seperti gas buangan kendaraan bermotor, gas cerobong asap atau dapur yang terletak dekat gedung umumnya disebabkan karena penempatan lokasi lubang bahan kimia yg dilepaskan dari bahan bangunan dan perabotan polusi udara luar jamur dan bakteri bahan kimia dari produk pembersih gas pembakaran dari perapian dan kompor kayu bulu dan kulit hewan CO dari garasi gas kimia dari cat dan pelarut asap rokok gas termasuk radon dari tanah Gambar 1. Sumber Pencemaran udara dalam ruangan10 Definisi dan pedoman mengenai kualitas udara yang memadai dan umum digunakan adalah berdasarkan pedoman American Society of Heating Refrigerating and Air Conditioning Enginering (ASHRAE) 18 udara yang tidak tepat. c. Pencemaran akibat bahan bangunan, seperti formaldehid, lem, asbes, fiberglass, dan bahan lain yang merupakan komponen pembentuk gedung tersebut. d. Pencemaran akibat mikroba berupa bakteri, jamur, protozoa, dan produk mikroba lainnya yang ditemukan di saluran udara serta alat pendingin beserta seluruh sistemnya. e. Gangguan ventilasi udara berupa kurangnya udara segar yang masuk serta buruknya distribusi udara dan kurangnya perawatan sistem ventilasi udara. Asap rokok sebagai bahan pencemar udara dalam ruangan Kebiasaan merokok merupakan masalah penting dewasa ini. Rokok oleh sebagian orang sudah menjadi kebutuhan hidup yang tidak bisa ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang merokok pertama kali adalah suku bangsa Indian di Amerika untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad ke-16 ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian para penjelajah Eropa itu meniru dengan mencoba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa.12 Klasifikasi rokok Di Indonesia rokok dibedakan berdasarkan bahan pembungkus rokok, bahan baku atau isi rokok, proses pembuatan rokok dan penggunaan filter pada rokok. Berdasarkan bahan pembungkus maka rokok dibedakan menjadi : 12 - Klobot : rokok yang bahan pembungkus berupa daun jagung. - Kawung : rokok yang bahan pembungkus berupa daun aren. - Sigaret : rokok yang bahan pembungkus berupa kertas. - Cerutu : rokok yang bahan pembungkus berupa daun tembakau. Sedangkan berdasarkan bahan baku atau isi, rokok dibedakan menjadi : 12 - Rokok putih : rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. - Rokok kretek : rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. - Rokok klembak : rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau, CDK-189/ vol. 39 no. 1, th. 2012 Tinjauan Pustaka cengkeh dan kemenyan yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. Pembagian rokok berdasarkan proses pembuatannya: 12 - Sigaret kretek tangan (SKT) : rokok yang proses pembuatannya dengan cara digiling atau dilinting dengan menggunakan tangan dan atau alat bantu sederhana. - Sigaret kretek mesin (SKM) : rokok yang proses pembuatannya menggunakan mesin. Sederhananya, material rokok dimasukkan ke dalam mesin pembuat rokok. Keluaran yang dihasilkan mesin pembuat rokok berupa rokok batangan. Berdasarkan penggunaan filter pada rokok maka rokok dibedakan menjadi rokok filter (RF) dan rokok non filter (NRF). Rokok filter adalah rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus sedangkan rokok non filter adalah rokok yang pada bagian pangkalnya tidak terdapat gabus12 Bahan-bahan yang terkandung dalam asap rokok Rokok mengandung lebih dari 4000 bahan zat organik berupa gas maupun partikel yang telah diidentifikasi dari daun tembakau maupun asap rokok. Bahan tersebut umumnya bersifat toksik, karsinogenik di samping beberapa bahan yang bersifat radioaktif dan adiktif. Komponen dalam rokok dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu fase gas dan fase tar (fase partikulat). Fase gas adalah berbagai macam gas berbahaya yang dihasilkan oleh asap rokok; terdiri dari nitrosamin, nitrosopirolidin, hidrasin, vinil klorida, uretan, formaldehid, hidrogen sianida, akrolein, asetaldehida, nitrogen oksida, amonia piridin, dan karbon monoksida. Fase tar adalah bahan yang terserap dari penyaringan asap rokok menggunakan filter cartridge dengan ukuran pori-pori 0,1 µm. Fase ini terdiri dari bensopirin, dibensakridin, dibensokarbasol, piren, fluoranten, hidrokarbon aromatik, polinuklear, naftalen, nitrosamin yang tidak mudah menguap, nikel, arsen, nikotin, alkaloid tembakau, fenol dan kresol. Bahan yang terkandung dalam asap rokok dapat dilihat pada gambar 2.13 CDK-189/ vol. 39 no. 1, th. 2012 Asetaldehid Akrolein Aseton Asam Sianida Toluidin Amoniak (deterjen) Uretan Fenol Butana Dibenzakridin Toluen (Kimia industri) Arsenik (Recun berat) Polonium 210 pembakaran menjadi kurang lengkap dan mengeluarkan lebih banyak bahan kimia.15 Gambar 2. Bahan-bahan yang terkandung dalam rokok13 Dalam hal perokok pasif, International Non Governmental Coalition Against Tobacco (INGCAT) telah menyampaikan rekomendasi yang didukung oleh lebih dari 60 negara di seluruh dunia yang dimuat dalam IUALTD News Bulletin on Tobacco and Health 1997. Rekomendasi ini berbunyi ”paparan terhadap asap rokok lingkungan yang sering kali disebut perokok pasif dapat menyebabkan kanker paru dan kerusakan kardiovaskuler pada orang dewasa yang tidak merokok dan dapat merusak kesehatan paru dan pernapasan pada anak”.16 Pajanan asap rokok Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok tersebut. Faktor lain yang dapat mempengaruhi pajanan asap rokok adalah usia mulai merokok, lama merokok dan dalamnya hisapan. Jumlah rokok yang dihisap dapat dinyatakan dalam packyears setara dengan berapa bungkus rokok yang dihisap dalam satu hari (1 bungkus = 20 batang) dikalikan lamanya merokok dalam tahun. Pola penghisapan rokok sangat bervariasi tergantung pada kebiasaan seseorang. Udara yang dihisap melalui rokok berkisar 25-50 ml tiap hisapan. Udara dapat dihisap melalui mulut atau hidung kemudian dikeluarkan kembali dengan cara serupa.3,14 Pengaruh asap rokok pada organ tubuh Asap rokok dapat menimbulkan kelainan atau penyakit pada hampir semua organ tubuh yaitu :17 a. Otak : stroke, perubahan kimia otak b. Mulut dan tenggorokan : kanker bibir, mulut, tenggorokan dan laring c. Jantung : kelemahan arteri, meningkatkan serangan jantung d. Paru : penyakit paru obstruktif kronik, kanker paru, asma e. Hati : kanker hati f. Abdomen : kanker lambung, pankreas dan usus besar g. Ginjal dan kandung kemih : kanker h. Reproduksi : impotensi, kanker leher rahim, mandul i. Kaki : gangren Dimetilnitrosamin Naftalen Nikotin Naftilamin Metanol Piren Kadmium Karbon monoksida Benzopiren Vinil klorida Merkuri Striren DDT (insektisida) Goudron Plomb Perokok pasif Asap rokok yang dihisap ke dalam paru oleh perokok disebut asap rokok utama (mainstream smoke/MS) sedangkan asap rokok yang berasal dari ujung rokok yang terbakar disebut asap rokok samping (sidestream smoke/SS). Polusi udara yang ditimbulkan disebut asap rokok lingkungan (ARL) atau environment tobacco smoke (ETS). Mereka yang menghisap ETS disebut perokok pasif. Mereka yang tidak merokok tetapi terpaksa menghisap asap rokok dari lingkungannya mungkin akan menderita berbagai penyakit akibat rokok kendati mereka sendiri tidak merokok. Kandungan bahan kimia pada asap rokok sampingan ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan asap rokok utama antara lain karena tembakau terbakar pada temperatur yang lebih rendah ketika sedang dihisap membuat Merokok menyebabkan kerusakan dan penyakit pada semua bagian tubuh Rambut rontok Katarak Kanker hidung Karies Gigi berlubang dan berwarna kuning dialami oleh hampir semua perokok Kanker lidah, mulut, kelenjar ludah, tenggorokan, kerongkongan Kanker payudara Banyak diderita oleh wanita yang suaminya adalah perokok Jari-jari pucat Kanker rahim Kerusakan sperma Kulit keriput Hilangnya pendengaran Kanker Kulit Osteoporosis (Pengeroposan tulang) Penyakit jantung Perokok berisiko mengalami mati mendadak 4 kali lipat dibanding bukan perokok Kanker Paru 90% pasien kanker paru adalah perokok Emphysema Tukak lambung dan kanker lambung Kanker usus besar dan kanker anus Kanker ginjal, kandung kemih, penis, pankreas Mutu dan jumlah sperma akan berkurang jika Anda terus merokok Peradangan pada kulit yang sangat gatal Amputasi Kaki Karena penyumbatan pembuluh darah pada kaki Penyakit pembuluh darah dan pembusukan jari-jari kaki Gambar 3. Penyakit yang ditimbulkan akibat merokok17 19 Tinjauan Pustaka Pengaruh asap rokok pada saluran pernapasan Mekanisme asap rokok menimbulkan penyakit pada saluaran napas dapat dilihat pada gambar 4.18 a. Penyakit paru obstruktif kronik Iritasi saluran napas oleh asap rokok dan bahan toksik lain akan menimbulkan reaksi inflamasi saluran napas sehingga terjadi deposit sel radang neutrofil maupun makrofag di tempat tersebut. Neutrofil akan mengeluarkan elastase yang berlebihan mengakibatkan metaplasia sel epitel sekretori dan hipertrofi kelenjar mukus. Elastase netrofil menghambat mucociliary clearance. Di samping itu elastase neutrofil akan merangsang produksi mukus berlebihan akibat hipertrofi kelenjar dan metaplasia sel sekretori. b. Kanker paru Telah diketahui perokok merupakan faktor risiko kanker paru. Asap rokok mengandung bahan toksin dan iritan, mutagenik dan karsinogenik termasuk reactive organic radicals (RORs) yang memicu proliferasi sel, kerusakan kromosom, perubahan formasi DNA dan aktivasi onkogen. c. Interstitial lung disease (ILD) Merupakan sekelompok penyakit heterogen paru umumnya ditandai dengan sesak napas, batuk kering, diffuse interstitial infiltrate yang membatasi fungsi paru dan gangguan pertukaran gas. Interstitial lung disease dapat berupa sarkoidosis, fibrosis paru idiopatik (IPF), pneumokoniosis dan penyakit yang berhubungan dengan jaringan ikat. SIMPULAN 1. Pencemaran udara adalah bertambahnya bahan pencemar ke dalam lingkungan udara normal yang memberikan efek pada manusia dan lingkungan. 2. Pencemaran udara di dalam ruangan lebih berbahaya dibandingkan dengan di luar ruangan. 3. Asap rokok merupakan sumber utama pencemaran udara dalam ruangan. 4. Asap rokok terdiri dari asap rokok utama dan samping. 5. Perokok pasif adalah mereka yang menghisap ETS yang berasal dari asap rokok samping. 6. Asap rokok menimbulkan kelainan pada hampir semua organ tubuh. 20 asap rokok oksidan aldehid asam amonia dll gangguan pembersihan siliar retensi mukus dan toksin iritasi lokal epitel jln napas injuri/kematian sel influks netrofil inflamasi PPOK dan penyakit inflasi paru lain infeksi oksidan hidrokarbon aromatik nitrosamin dll sinyal pertumbuhan naik kerusakan kromosom dan aduksi DNA ekspresi onkogen karsinogenesis kanker paru Gambar 4. Mekanisme asap rokok menimbulkan penyakit pada saluran napas18 DAFTAR PUSTAKA 1. Mackay J, Eriksen M. The tobacco atlas 2002. Geneva: WHO;2002.p.30-3. 2. Soerojo W. Mitos dan fakta tentang tembakau di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Parlemen Menyikapi Masalah Rokok, Gedung MPR/DPR RI. Jakarta;2004.p.1-4. 3. Lumb AB. Smoking and air polluton. In: Lumb AB. Nunn’s Applied Respiratory Physiology, 5th ed. London: Butterworth-Heinemann; 2000.p.407-14. 4. Mukono HJ. Pencemaran udara dan pengaruhnya terhadap gangguan pernapasan.Surabaya: Airlangga University Press; 2003.p.1-3. 5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1407/Menkes/SK/XI/2002/ tentang pedoman pengendalian dampak pencemaran udara. 6. Kumar A. Enviromental chemistry. New Delhi: Wiley Eastern Limited:1987.p.26-9. 7. World Health Organization. Health environment in sustainable development. Geneva: WHO;1997.p.3-6. 8. Indoor air quality epidemic. [cited 2010 Aug. 30]. Available from: http://www.indoorpurifiers.com/iaqepid. htm 9. Koenig JQ, Mar TF, Allen RW, Jansen K, Lumley T, Sullivan JH, et al. Pulmonary effects indoor and outdoor generated particle in children with asthma. Environ Health Perspect. 2005; 113:499-503. 10. EPA. A standardized EPA protocol for characterization indoor air quality in large office building; 2003.pp 15-9. 11. ASHRAE. Handbook-fundamentals, Am. Soc. of Heating, Refrigerating air-conditioning Engineers Inc., Atlanta. GA; 2001.p.24-6. 12. Jaya M. Pembunuh berbahaya itu bernama rokok. Yogyakarta: Rizma; 2009. p.15-8. 13. Pignot J. Quantification and chemical markers of tobacco exposure. Eur J Resp Dis. 1987;70:1-7. 14. American Thoracic Society. Cigarette smoking and health. Am J Respir Crit Care Med. 1996;153:861-5. 15. Aditama TY. Perokok pasif. In: Andi A. Masalah merokok dan penanggulangannya. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia; 2001.p.10-4. 16. Mackay J. Tobacco control now in future. Proc. INGCAT International NGO Mobilisation Meeting. Geneva; 1999. p.11-4. 17. Mackay J, Eriksen M. The Tobacco Atlas 2002. Geneva: WHO;2002.p.32-5. 18. Behr J, Nowak D. Tobacco and smoke respiratory disease. Eur Respir Mon 2002;21:161-79. CDK-189/ vol. 39 no. 1, th. 2012 Tinjauan Pustaka Sick Building Syndrome Dian Yulianti, Mukhtar Ikhsan, Wiwien Heru Wiyono Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Persahabatan, Jakarta, Indonesia PENDAHULUAN Gedung-gedung tinggi dibangun dengan struktur lebih tertutup dan umumnya dilengkapi sistim sirkulasi udara serta pendingin buatan untuk menciptakan kondisi lingkungan kerja yang nyaman. Udara luar yang masuk ke dalam sistim ventilasi gedung akan berkurang bahkan mencapai titik nol, hanya udara resirkulasi yang digunakan untuk bernapas. Hal tersebut menyebabkan buruknya kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality atau IAQ) dan terdapat banyak radikal bebas bersumber dari asap rokok, ozon dari mesin fotokopi dan printer, perabotan, cat serta bahan pembersih.1 Sick building syndrome (SBS) atau sindrom gedung sakit dikenal sejak tahun 1970. Kedokteran okupasi tahun 1980 memperkenalkan konsep SBS sebagai masalah kesehatan akibat lingkungan kerja berhubungan dengan polusi udara, IAQ dan buruknya ventilasi gedung perkantoran. World Health Organization (WHO) tahun 1984 melaporkan 30% gedung baru di seluruh dunia memberikan keluhan pada pekerjanya dihubungkan dengan IAQ. Di seluruh dunia 2,7 juta jiwa meninggal akibat polusi udara, 2,2 juta di antaranya akibat indoor air pollution atau polusi udara di dalam ruangan.1 Sick building syndrome terjadi akibat kurang baiknya rancangan, pengoperasian dan pemeliharaan gedung. Gejala yang dapat terjadi berupa iritasi kulit, mata dan nasofaring, sakit kepala, lethargy, fatique, mual, batuk, dan sesak. Gejala tersebut akan berkurang atau hilang bila pekerja tidak berada di dalam gedung, hal tersebut dapat terjadi pada satu atau dapat tersebar di seluruh lokasi gedung.2,3 DEFINISI Sick building syndrome adalah keadaan yang menyatakan bahwa gedung-gedung industri, perkantoran, perdagangan, dan rumah tinggal memberikan dampak penya- CDK-189/ vol. 39 no. 1, th. 2012 kit2 dan merupakan kumpulan gejala yang dialami oleh pekerja dalam gedung perkantoran berhubungan dengan lamanya berada di dalam gedung serta kualitas udara. Environmental Protection Agency (EPA) tahun 1991 mengatakan sindrom ini timbul berkaitan dengan waktu yang dihabiskan seseorang dalam sebuah bangunan, namun gejalanya tidak spesifik dan penyebabnya tidak bisa diidentifikasi. National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) tahun 1997 menyebutkan 52% penyakit pernapasan terkait dengan SBS akibat buruknya ventilasi gedung dan kinerja air conditioner (AC) akibat jarang dibersihkan.4 Penelitian terhadap 350 karyawan dari 18 kantor di Jakarta selama 6 bulan (Juli-Desember 2008) menunjukkan penurunan kesehatan pekerja dalam ruangan akibat udara ruangan tercemar radikal bebas (bahan kimia), berasal dari dalam maupun luar ruangan dan 50% orang yang bekerja dalam gedung perkantoran cenderung mengalami SBS.5 Penelitian Occupational Safety and Healthy Act (OSHA) mendapatkan dari 446 gedung, penyebab polusi udara dalam gedung karena ventilasi tidak adekuat (52%), alat/bahan dalam gedung (7%), polusi luar gedung (11%), mikroba (5%), bahan bangunan/alat kantor (3%), dan tidak diketahui (12%). Gejala yang terjadi tidak spesifik, berupa nyeri kepala, iritasi membran mukosa, mata serta nasofaring, batuk, sesak, rinitis dan gejala lain tetapi bukan merupakan penyakit spesifik dan penyebabnya tidak diketahui dengan jelas.6 PATOFISIOLOGI Terdapat 3 hipotesis untuk menjelaskan gejala SBS antara lain hipotesis kimia bahwa volatile organic compounds (VOCs) yang berasal dari perabot, karpet, cat serta debu, karbon monoksida atau formaldehid yang terkandung dalam pewangi ruangan dapat menginduksi respons reseptor iritasi terutama pada mata dan hidung. Iritasi saluran napas menyebabkan asma dan rinitis melalui interaksi radikal bebas sehingga terjadi pengeluaran histamin, degradasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi. Pergerakan silia menjadi lambat sehingga tidak dapat membersihkan saluran napas, peningkatan produksi lendir akibat iritasi oleh bahan pencemar, rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran napas, membengkaknya saluran napas dan merangsang pertumbuhan sel. Akibatnya terjadi kesulitan bernapas, sehingga bakteri atau mikroorganisme lain tidak dapat dikeluarkan dan memudahkan terjadinya infeksi saluran napas. Hipotesis ke dua adalah hipotesis bioaerosol; penelitian cross sectional menunjukkan bahwa individu yang mempunyai riwayat atopi akan memberikan reaksi terhadap VOCs konsentrasi rendah dibandingkan individu tanpa atopi. Hipotesis ke tiga ialah faktor pejamu, yaitu kerentanan individu akan mempengaruhi timbulnya gejala.7 Stres karena pekerjaan dan faktor fisikososial juga mempengaruhi timbulnya gejala SBS. Building related illness (BRI) berbeda dengan SBS, adalah suatu penyakit yang dapat didiagnosis dan diketahui penyebabnya berkaitan dengan kontaminasi udara dalam gedung.8 LINGKUNGAN KANTOR Konsep lingkungan kantor terbagi 2 yaitu lingkungan fisis terdiri dari faktor-faktor fisis, kimia dan lingkungan sosial terdiri dari faktor organisasi, aturan dan norma; keduanya berpengaruh pada kesehatan manusia. Lingkungan kantor merupakan kombinasi antara penerangan, suhu, kelembaban, kualitas udara dan tata ruang. Hubungan antara pekerja dengan lingkungan kantor dapat menimbulkan keluhan fisik (objektif) dan mental (subjektif). Sick building syndrome disebabkan multifaktor termasuk faktor fisik, kimia, 21 Tinjauan Pustaka biologis dan fisiologis. Jika faktor tersebut terpelihara baik maka lingkungan kantor menjadi tempat yang nyaman dan sehat untuk bekerja.8 Di beberapa kantor pekerjanya dapat mengalami gangguan kesehatan karena ketidakimbangan lingkungan kantor. Sistim pendingin merupakan penyebab terbanyak SBS karena tidak terjadi pertukaran udara optimal dan menjadi sumber infeksi mikroorganisme serta menambah kontaminasi tempat kerja. Melius (1984), Collet dan Sterling (1988)6 mendapatkan SBS 50-68 % berhubungan dengan kondisi ventilasi buruk dan polusi udara. Exhaust Outdoor Air Relief Roof Tabel 1. Asal polusi dan polutan yang mempengaruhi IAQ lingkungan kantor 3 Asal polusi Polutan Polusi dari luar gedung Lalu lintas NOX, CO,SO2, partikel Industri NOX, CO, SO2, partikel Polusi dari dalam gedung Alat tulis kantor formaldehid (VOCs) Pembersih formaldehid (VOCs) Bahan lembab jamur Konstruksi gedung Mempengaruhi penetrasi dan dilusi dari luar ke dalam gedung Sistim HVAC Ventilasi Mempengaruhi distribusi dan dilusi polutan Pemanas Mempunyai efek pada suhu Pelembab Berpotensi sebagai sumber mikroba Penghuni gedung Virus, bakteri, asap rokok Keterangan tabel: NOX: nitrogen oksida, CO: karbon monoksida, SO2: sulfur dioksida Return Air Hendling Unit Supply Gambar 1. Ventilasi gedung 1 Ventilasi gedung dan sumber polusi Sistim pendingin gedung dirancang dan dioperasikan tidak hanya untuk pendinginan tetapi juga untuk mencukupi pertukaran udara dari dalam dan luar gedung. Masalah timbul saat sistim pendingin tidak dapat membawa udara luar ke dalam gedung, hal ini menyebabkan kualitas udara dalam gedung menjadi buruk. Buruknya ventilasi dapat juga terjadi jika sistem pemanasan atau heating, ventilasi dan air conditioning (HVAC) tidak efektif mendistribusikan udara dan menjadi sumber polusi udara dalam ruangan, menyebabkan gangguan kesehatan dan kenyamanan para pekerja.9 American Society of Heating, Refrigerating and Air-conditioning Engineers (ASHRAE) menganjurkan ventilasi dalam gedung minimum 15 m3/me- Gambar 2. Sumber polusi udara dalam ruangan 8 22 nit dan sampai dengan 20 m3/menit pada tempat-tempat tertentu, misalnya ruang khusus untuk merokok. Sumber polusi dalam ruangan antara lain berasal dari karpet, perekat (lem), mesin fotokopi dan bahan pembersih yang mengandung gas toksik dan mudah meng­ uap seperti formaldehid atau volatile organic compounds (VOCs).8,9 (Tabel 1). Identifikasi dan mekanisme iritasi senyawa atau zat dalam ruangan yang dapat menimbulkan SBS masih belum diketahui dengan jelas. Para pekerja kantor juga merupakan sumber polutan dalam gedung. Virus, bakteri, karbon dioksida, karbon monoksida, aseton, alkohol, dan gas organik lain merupakan polutan yang dapat dikeluarkan oleh pekerja kantor melalui pernapasan dan keringat. Partikel yang melekat pada pakaian yang berasal dari luar dapat disebarkan ke dalam lingkungan kantor. Asap rokok merupakan sumber terbesar partikel kimia iritatif di dalam gedung.10 Ooi dkk.8 mendapatkan faktor stres secara signifikan berpengaruh pada terjadinya SBS. Suhu dan kelembapan udara dalam gedung Manusia dapat bekerja nyaman pada suhu 20-26°C dengan kelembapan 40-60%. Suhu ruangan dapat mempengaruhi secara langsung saraf sensorik membran mukosa dan kulit serta dapat memberikan respons neurosensoral secara tidak langsung yang mengakibatkan perubahan sirkulasi darah. CDK-189/ vol. 39 no. 1, th. 2012 Tinjauan Pustaka Kelembapan dapat mempengaruhi gejala SBS dan terdapat hubungan signifikan antara udara kering, lembap, suhu dengan gejala pada membran mukosa.11 Polutan kimia dan partikel pada kelembapan rendah dapat menimbulkan kekeringan, iritasi mata serta saluran napas dan kelembapan di atas 60% menyebabkan kelelahan dan sesak. Perubahan tingkat kelembapan dan suhu mempengaruhi emisi dan absorpsi VOCs. Akumulasi uap pada konstruksi gedung menyebabkan kelembapan dan pertumbuhan mikroba. Perubahan warna, pengelupasan permukaan meterial, noda basah, perlekatan dan bau jamur merupakan tanda kelembapan. Sumber kelembaban berasal dari air hujan, air permukaan, air tanah, air lokal yang tidak terdrainase baik dan mengalami kondensasi.12 Harrison dkk.13 melaporkan prevalensi gejala SBS berkaitan dengan derajat polutan bakteri dan jamur di udara pada gedung perkantoran di Inggris. Dermatophagoides pteronyssinus dan D farinae adalah tungau debu rumah yang sering ditemukan pada gedung lembap dan menyebabkan sensitisasi alergi. Beberapa pekerja kantor pada 19 gedung di Taiwan menunjukkan keluhan pada mata, batuk dan letargi yang dikaitkan dengan kelembapan dan jamur. Aspergilus, Stachybotrys, Penicillium spesies merupakan jenis jamur yang sering ditemukan pada pemeriksaan udara dalam gedung.14 GEJALA DAN DIAGNOSIS Terdapat dua komponen diagnosis SBS, pertama apakah gejala terjadi pada satu atau beberapa pekerja dalam gedung yang sama dan kedua adalah gejala muncul saat berada di dalam gedung dan menghilang bila berada di luar gedung. Sick building syndrome bukan penyakit tunggal yang dapat didiagnosis segera pada pekerja di dalam gedung. Asma, rinitis dan konjungtivitis alergi adalah penyakit alergi yang mempunyai gejala sama dengan SBS. Sakit kepala dan lethargy merupakan gejala nonspesifik yang dapat terjadi pada sebagian besar penyakit dan dapat berkaitan dengan pajanan okupasi.15 Pengenalan gejala, pemeriksaan fisis serta laboratorium bila tersedia merupakan langkah awal dalam mendiagnosis dan penatalaksanaan SBS bertujuan untuk menyingkirkan kondisi lain yang mempunyai gejala sama (Tabel 2). CDK-189/ vol. 39 no. 1, th. 2012 Tabel 2. Gejala dan tanda SBS 5 Kelainan Iritasi membran mukosa Gejala neurologis Gejala menyerupai asma Gangguan kulit Gejala gastrointestinal Gejala Iritasi mata, hidung dan tenggorokan Nyeri kepala Kelelahan Sulit konsentrasi Cepat marah Dada terasa tertekan Wheezing Kulit kering Iritasi kulit Diare Pekerja dengan SBS lebih sensitf terhadap stimuli dibandingkan dengan pekerja tanpa SBS. Keluhan wheezing dan atau dada tertekan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan peakflow meter atau spirometri sebelum dan sesudah kerja. Jika hasil pemeriksaan tidak ditemukan kelainan maka tidak terdapat penyakit. Waktu saat timbulnya penyakit merupakan salah satu faktor penting pada SBS.16 Beberapa metode dapat digunakan untuk membantu dalam mendiagnosis SBS (tabel 3). Tabel 3. Metode penilaian efek pada SBS 5 Efek Metode Gejala Iritasi hidung, kemerahan Wawancara Nasal lavage Acoustic rhinometry Anterior dan posterior rhinomanometry Conjunctival photography Tear film break-up time Peak flow meter Spirometri Uji metakolin Tes neurofisiologik Pemeriksaan vestibular Pengukuran Ig E spesifik Iritasi mata Reaktiviti bronkus Sistim saraf pusat Respons imunologi Lingkungan sosial merupakan salah satu faktor penyebab SBS. Stres akibat lingkungan kerja mekanismenya belum jelas diketahui, diduga karena tidak ada keseimbangan antara kebutuhan dengan kemampuan.13,16 Stres merupakan gabungan antara beban kerja di kantor dengan lingkungan sosial dan faktor ini dapat memberikan fenomena fisiologis maupun psikologis. Kuantitas kerja dapat menghambat kenyamanan bekerja dan berperan pada iritasi mukosa dan keluhan umum lainnya. Hal ini merupakan indikator tidak langsung akibat stres kerja. Pasila Office Center melaporkan bahwa suasana lingkungan sosial kerja menjadi faktor kuat terjadinya SBS.17 PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan terbaik adalah pencegahan dan atau menghilangkan sumber kontaminasi penyebab SBS. Pasien dianjurkan menghindari gedung yang dapat menimbulkan keluhan meskipun tidak selalu dapat terlaksana karena dapat menyebabkan kehilangan pekerjaan. Menghilangkan sumber polutan, memperbaiki laju ventilasi dan distribusi udara, membuka jendela sebelum menggunakan pendingin, menjaga kebersihan udara dalam gedung, pendidikan dan komunikasi merupakan beberapa cara mengatasi SBS.18 Laju ventilasi dalam gedung harus adekuat, direkomendasikan minimum 15 L/detik/ orang. Jendela dan atau pintu yang dapat terbuka serta pemeliharaan rutin sistim HVAC dengan membersihkan dan mengganti penyaring secara periodik (setiap 3 bulan) dapat memberikan ventilasi yang baik, kenyamanan bekerja serta lingkungan kerja yang sehat. Larangan merokok di ruangan harus dilaksanakan. Pencegahan SBS dengan menentukan lokasi dan arsitektur gedung yang sehat, jauh dari sumber polutan dengan bahan bangunan ramah lingkungan, merancang pemeliharan yang baik dan dikhususkan pada sistim HVAC sebagai penyebab tersering SBS.19 Diperlukan komunikasi yang baik antara pekerja, manager dan pemelihara gedung untuk mengetahui, mencegah serta mengatasi masalah SBS. SIMPULAN 1. Sick building syndrome merupakan kumpulan gejala yang akut pada pekerja di gedung perkantoran dapat berupa nyeri kepala, batuk, sesak, iritasi kulit, membran mukosa dan gejala lain tetapi bukan merupakan penyakit spesifik dan penyebabnya tidak dapat diidentifikasi dengan jelas. 2. Sick building syndrome terjadi karena buruknya kualitas udara dalam ruangan (IAQ). 3. Pengenalan SBS mencakup penilaian terhadap faktor individu dan lingkungan. 4. Pencegahan dan penatalaksanaan SBS bersifat komprehensif, melibatkan pekerja, manager dan organisasi. 23 Tinjauan Pustaka DAFTAR PUSTAKA 1. Utami ET. Hubungan antara kualitas udara pada ruangan ber-AC sentral dan sick building sindrome di kantor Telkom Divre IV Jateng-DIY. Tesis DIY:UNNES:2005. 2. Heimlich JE. Environmental Health Center. Sick building syndrome. [Online]. 2009 [cited 2001 Jan 26]; Available from URL: http://www.nsc.org/ehc/indoor/sbs.htm. 3. Jaakkola K, Jaakkola MS. Sick building syndrome. In: Hendrik DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorder of the lung: recognation management and prevention. 5th ed. London: WB Saunders;2002.p.241-55. 4. U.S Environmental Protection Agency. Indoor air facts no.4 (revised): sick Building syndrome (SBS). [Online]. 2009. [cited 2004 Jan 14]; Available from: URL: http:// www.epa.gov/cgibin/epaprintonly.cgi. 5. Aditama TY, Andarini SL. Sick building syndrome. Med J Indones 2002;11: 124-31. 6. Menzies D, Bourbeau J. Building related illnesses. N Engl J Med 1997;337:1524-31. 7. Winarti M, Basuki B, Hamid A. Air movement, gender and risk of sick building syndrome headache among employees in Jakarta office. Med J Indones 2003;12: 171-2. 8. Ooi PL, Goh KT. Sick building syndrome: an emerging stress-related disorder Int J Epidemiol 1997;26:1243-9. 9. Trout D, Bernstein J, Martinez K, Biagini R, Wallingford K. Bioaerosol lung damage in a worker with repeated exposure to fungi in a water-damaged building. Environ Health Perspect 200;109:641-4. 10. Harrison J, Pickering CA, Faragher FB. An investigation of the relationships between microbial and particulate indoor air pollution and the sick building syndrome. Respir Med 1992;86:225-35. 11. Husman T. Health effects of indoor air microorganisms. Scan J Work Environt Health 1996;22:5-13. 12. Sabir M, Shashikiran U, Kochar SK. Building related illness and indoor pollution. J Assoc Physicians India 1999;47:426-30. 13. Muzi G, Dell Omo M, Abbritti G. Objective assessment of ocular and respiratory alterations in employee a sick building. Am J Ind Med 1998;34:79-88. 14. Baker DB. Social and organizational factors in office building associated illness. Occup Med 1989;4:607-24. 15. Jaakkola JJK, Heinnonen OP, Seppanen O. Mechanical ventilation in office building and the sick building syndrome: an experimental and epidemiological study. Indoor Air 1991;1:111-21. 16. Sujayanto G. Gedung tertutup bisa menyebabkan sakit. [cited 2001 Sept 12]; Available from: URL:http//www.indomedia.com/intisari/ewi/sept/airud/htm. 17. Baker DB. Social and organizational factors in office building associated illness. Occup Med 1989;15:286-92. 18. Hodgson M. Indoor environmental exposure and symptoms. Environ Health Perspect 2002;110:663-7. 19. Saijo y, Kishi R, Seta F, Katakura Y, Urashima Y, Hatakayama A, et al. Symptoms in relation to chemicals and dampness in newly built dwellings. Int Arch Occup Environ Health 2004;77:461-70. 24 CDK-189/ vol. 39 no. 1, th. 2012