Hubungan Penutur dengan Ragam Bahasa pada Surat-surat Keraton Yogyakarta Periode 1941-1963 pada Masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik Wahyu Seto Aji dan Novika Stri Wrihatni Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia [email protected] [email protected] Abstrak Artikel ini membahas mengenai ragam bahasa yang ada pada surat-surat Keraton Yogyakarta. Sumber data dalam artikel ini berasal dari surat-surat yang disimpan di Keraton Yogyakarta tahun 1941-1963. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui kosakata yang dijadikan penanda ragam bahasa. Adapun ragam bahasa itu dipengaruhi oleh kedudukan atau status sosial penutur. Artikel ini menggunakan teori mengenai ragam bahasa yang ditinjau dari segi pemakainya, khususnya kedudukan atau status sosial penutur (Mansoer Pateda, 1994). Selain itu, teori kebahasaan yang membahas kelas kata (Wedhawati dkk, 2006) juga digunakan. Metode yang digunakan yaitu kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa kosakata yang memiliki ragam bahasa. Hal itu berdasarkan kedudukan atau status sosial penutur dan kawan tutur pada surat. The Relationship of Speakers with Language Variety in the Official Letters of Keraton Yogyakarta in 1941-1963 Reign Sri Sultan Hamengku Buwono IX: A Review of Sociolinguistics Abstract The focus of this study is about the variety of language that exist in the letters of Keraton Yogyakarta. Sources of data in this study came from the letters stored in Keraton Yogyakarta in 1941-1963. This study aims to determine the words used as a marker of language variations. As for, the variety of languages are influenced by the position or social status of the speaker. This study uses the theory of the variety of language in terms of the uses, especially the position or social status of speakers from Mansoer Pateda (1994). In addition, the class of words theory from Wedhawati et al (2006) are also used. The method of this study is descriptive qualitative. The results showed that there are some words that have variety of language. It was based on the position or social status of speakers. Keywords: social status, language variety, class of words. Pendahuluan Manusia merupakan makhluk sosial yang saling berkomunikasi satu sama lain untuk mempertahankan hidup. Dengan demikian, komunikasi menjadi hal esensial yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Lyons (1989) menyatakan bahwa berkomunikasi 1 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014 merupakan pengiriman informasi dengan menggunakan tanda-tanda yang membangun sebuah sistem. Untuk dapat berkomunikasi, manusia menggunakan bahasa dalam menyampaikan tandatanda tersebut (Rahyono, 2012). Bahasa merupakan sistem tanda bunyi yang telah disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu untuk berkomunikasi, bekerja sama, dan mengidentifikasi diri (Harimurti Kridalaksana, 2009). Hymes (1974) menyebutkan adanya unsur-unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa. Unsur-unsur itu adalah latar (setting and scene), peserta (participants), hasil (ends), amanat (act sequence), cara (key), sarana (instrumentalities), norma (norms), dan jenis (genres). Di samping itu, suatu peristiwa tutur memiliki faktor-faktor yang mendukung fungsi bahasa. Adapun faktorfaktor itu adalah waktu dan tempat (setting), pesan atau pokok pembicaraan (message), penutur (addresser), kawan tutur (addressee), jalur (channel), bentuk atau kemasan pesan (message form), dan aspek bahasa (code) (Hymes dalam Basuki Suhardi dan Cornelius Sembiring, 2009). Berkaitan dengan penjelasan itu komunikasi dan fungsi bahasa saling mendukung dan beriringan dalam membangun kemaknaan yang melibatkan partisipan di dalamnya. Berdasarkan uraian di atas, salah satu unsur yang terdapat dalam peristiwa komunikasi adalah sarana (instrumentalities). Sarana merujuk pada bentuk komunikasi yang berbentuk lisan dan tulisan (Hymes dalam Suhardi dan Sembiring, 2009). Komunikasi lisan disebut juga pembicaraan adalah komunikasi yang terjalin ketika individu-individu bertatap muka secara langsung maupun tidak langsung. Komunikasi lisan merupakan bentuk yang paling cepat serta menguntungkan karena peserta komunikasi dapat merasakan secara langsung emosi dan menjadi bagian dari pembicaraan. Sementara itu, komunikasi tertulis merupakan komunikasi yang dituangkan melalui media tulis. Menurut Gibb, dkk (1992) komunikasi tertulis walaupun bersifat pribadi merupakan bagian organisasi yang teramat penting. Komunikasi tertulis dapat berbentuk buku, poster, dan surat. Surat adalah bentuk komunikasi tertulis yang digunakan sebagai sarana penyampai pesan antara penutur kepada kawan tutur. Thomas Wiyasa (1987) mengatakan bahwa surat adalah alat untuk menyampaikan suatu maksud secara tertulis ke pihak lain, atau salah satu kegiatan berbahasa yang dilakukan dalam komunikasi tertulis. Informasi yang tertulis di dalam surat dapat berupa pemberitahuan, pernyataan, pertanyaan, permintaan, dan laporan. Sebagai alat komunikasi tertulis, surat menjadi wakil dari penutur kepada kawan tutur. Dengan demikian, surat dapat 2 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014 menampilkan citra dan menjadi cermin mentalitas suatu organisasi maupun pribadi seseorang. Tentunya dalam hal ini adalah penutur atau penulis surat tersebut. Sebagai instrumen komunikasi, surat berfungsi sebagai tanda bukti tertulis yang otentik, alat pengingat, dokumentasi historis, dan jaminan keamanan (Thomas Wiyasa, 1987). Berkaitan dengan fungsi tersebut—khususnya fungsi dokumentasi historis—surat dapat menjadi sumber data dalam penelitian kebahasaan. Pada hemat penulis ini, surat tidak hanya suatu tulisan yang ada pada secarik kertas, lebih daripada itu surat menjadi rekaman kebahasaan tertulis yang memuat bentuk dan perkembangan suatu bahasa. Salah satu instansi yang menggunakan surat sebagai alat komunikasi berbahasa Jawa adalah Keraton Yogyakarta. Sebagai instansi yang memiliki struktur organisasi khusus, keraton menggunakan surat sebagai jembatan komunikasi yang melibatkan antarbagian di dalamnya. Koordinasi antarbagian menjadi hal penting karena untuk memberikan bukti tertulis dan otentik dalam menyampaikan urusan tertentu. Dengan demikian, bahasa yang terekam pada surat memberikan pengertian dan makna kepada kawan tutur atau pembaca surat tersebut. Teori dan Metode Penelitian ini berpijak pada kajian sosiolinguistik yang mengaitkan aspek kebahasaan dengan konteks sosial masyarakat. Dalam buku Sosiolinguistik karya Nababan (1991), Saussure (1916) menjelaskan bahwa bahasa merupakan lembaga masyarakat yang menimbulkan ragam-ragam bahasa yang bukan hanya berfungsi sebagai petunjuk perbedaan golongan kemasyarakatan penuturnya, tetapi juga sebagai indikasi situasi berbahasa serta mencerminkan tujuan, topik, aturan-aturan, dan modus penggunaan bahasa (Nababan, 1991). Pernyataan Saussure dalam Nababan (1991) mengenai bahasa dan golongan kemasyarakatan berimplikasi pada ragam bahasa yang ada pada masyarakat. Dalam buku Sosiolinguitik karya Mansoer Pateda (1994), C.A. Ferguson dan J.D. Gumperz dalam Allen (1973:92) mengemukakan bahwa berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa ragam bahasa merupakan adanya pola-pola bahasa yang sama. Pola-pola bahasa tersebut dapat dianalisis secara deskriptif dan dibatasi oleh makna yang digunakan penuturnya dalam berkomunikasi. Dengan demikian, ragam bahasa dapat ditinjau berdasarkan tempat, waktu, pemakai, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan pemakaiannya. Adapun 3 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014 penutur suatu bahasa dapat dibedakan menjadi glosolalia1, idiolek2, jenis kelamin, monolingual3, rol, status sosial, dan umur. Namun dalam peneltian ini hanya membahas rol dan status sosial penutur yang memberikan pengaruh pada ragam bahasa yang digunakan. Pateda (1994) memerikan bahwa rol merupakan peranan yang dimainkan seorang penutur dalam interaksi sosial. Sebagai contoh Sultan, pengageng (pembesar/pejabat), darah dalem (keturunan Sultan), dan abdi dalem (abdi Sultan) memiliki pemilihan kata dan struktur kalimat tersendiri untuk digunakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan tiga tahapan, yaitu tahap pengumpulan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis data. Metode deskriptif adalah metode penelitian yang dilakukan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan berupa perian bahasa yang bersifat potret dan paparan yang apa adanya (Sudaryanto, 1992). Analisis dan Interpretasi Data Bahasa Jawa (BJ) yang digunakan di lingkungan keraton—khususnya yang ada pada surat— memiliki perbedaan dengan BJ yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya. BJ yang digunakan di lingkungan keraton disebut dengan Basa Bagongan. Bahasa ini menjadi simbol budaya keraton yang menunjukkan suatu entitas sosial tertentu. Dalam surat tersebut, terdapat istilah atau kosakata yang penggunaannya mengacu pada latar latar belakang sosial penutur sebagai penulis surat, dan kawan tutur sebagai pembaca surat. Latar belakang sosial masyarakat keraton memberikan pengaruhnya pada penggunaan bahasa sebagai wujud entitas diri mereka. Misalnya penggunaan kata ganti orang/pronomina persona untuk Sultan berbeda dengan pengageng (pejabat kantor) maupun abdi dalem (abdi Sultan). Surat-surat tersebut secara umum menunjukkan hubungan atau koordinasi antarbagian di dalam lingkungan keraton. Fenomena kebahasaan pada surat-surat keraton menunjukkan kaitan kedudukan atau posisi suatu kelas sosial tertentu terhadap bahasa yang digunakan. 1 Glosolalia adalah ujaran yang diungkapkan dalam keadaan tidak sadar dalam upacara keagamaan atau magis. Sistem bunyi dari ujaran itu sesuai dengan konvensi suatu bahasa tetapi maknanya mungkin tidak dikenali pendengar atau penutur itu sendiri (Harimurti Kridalaksana, 2008:72). 2 Idiolek adalah keseluruhan ciri-ciri bahasa seorang pribadi manusia (Harimurti Kridalaksana, 2008:90). 3 Monolingual adalah mampu atau biasa menggunakan satu bahasa saja (Harimurti Kridalaksana, 2008:157). 4 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014 Penelitian ini menggunakan sumber data berupa surat-surat Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX tahun 1941-1963. Surat-surat tersebut ditulis menggunakan Bahasa Jawa (BJ) dengan aksara rumi4. Terdapat sebelas surat yang ditulis oleh beberapa kalangan masyarakat keraton, seperti Sultan, pengageng (pembesar/pejabat), dan abdi dalem (abdi Sultan). Surat-surat itu terdiri atas tema kepegawaian dan protokoler. Adapun suratsurat itu dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan tujuan penulisan surat, yaitu tedakan (surat salinan/turunan), wara-wara (pemberitahuan), dan udani (mohon dimengerti). Berikut merupakan surat-surat yang menjadi sumber data penelitian : Tabel 1 Daftar dan Kode Surat-surat Keraton Yogyakarta No . 1. 2. Keterangan Surat Waktu Penulisan Surat 11 Desember 1941 Penutur Sri Sultan Hamengku Buwono IX Pangeran Adipati Arja Danoeredja Slamet Prawiromantri Sri Sultan Hamengku Buwono IX 13 Januari 1945 Poeroebojo 3. 24 Oktober 1949 5. 23 April 1952 6. 16 Nopember 1953 7. 25 Mei 1956 8. 28 Nopember 1956 Kode Surat A B Gusti Pangeran Hangabehi C K.R.T. Brongtodiningrat darah dalem (keturunan Sultan) D Bondo Kasmolo abdi dalem (abdi Sultan) E B.P.H. Surjabrangta G.P. Hangabehi G.P.A. Hadikusumo G.P. Hangabehi Jagapawukir parentah kabupaten (otoritas kabupaten) 20 Februari 1947 4. Kawan Tutur F G H 4 Aksara latin/romawi (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php. Diakses pada Senin, 30 Juni 2014. Pukul 1431.) 5 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014 9. 23 Desember 1957 10. Sri Sultan Hamengku Buwono IX Wedana Judasudirdja B.P.H. Prabuningrat Pengageng Parentah Hageng Karaton (pejabat kantor) J Pengageng Parentah Hageng Karaton (pejabat kantor) K 12 Desember 1963 B.P.H. Prabuningrat 11. 27 Desember 1963 I Surat merupakan sarana komunikasi tertulis yang melibatkan dua komunikan, yaitu penutur dan kawan tutur. Pada bagian ini dijelaskan kedudukan komunikan pada setiap surat. Penutur—pada ihwal ini adalah penulis surat diberi simbol X, sedangkan kawan tutur atau pembaca diberi simbol Y. Adapun untuk menyatakan kedudukan atau derajat sosial antara kedua komunikan dinyatakan dengan tiga simbol. Ketiga simbol itu adalah simbol (>) untuk menyatakan derajat A lebih tinggi dari B, simbol (=) untuk menyatakan derajat A sama/setara dengan C, dan simbol (<) untuk menyatakan derajat B lebih rendah dari A. Berikut merupakan pembahasan kedudukan atau derajat sosial komunikan pada surat A, F, dan B yang dianggap mewakili data: (1) Surat A Surat A ditulis oleh Sultan Hamengku Buwono IX kepada Pangeran Arja Adipati Danoeredja mengenai perintah untuk berdoa dalam situasi peperangan. Surat A ditulis pada tanggal 22 Doelkangidah, Be 1872 atau 11 Desember 1941. Tabel 2 Keterangan Komunikan pada Surat A Keterangan Surat Penulis Pembaca (X) (Y) Sri Sultan Pangeran Arja Hamengku Adipati Buwono IX Danoeredja Kedudukan Komunikan Penulis Sultan (raja) Pembaca Derajat Sosial Komunikan Patih Dalem (perdana menteri) X>Y Berdasarkan tabel di atas dapat disimak bahwa sebagai penulis, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi dibandingkan Pangeran Arja 6 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014 Adipati Danoeredja yang berkedudukan sebagai pepatih dalem atau perdana menteri. Seorang Sultan merupakan pemimpin yang berfungsi sebagai kepala negara, sedangkan pepatih dalem atau perdana menteri merupakan kepala pemerintahan yang berfungsi sebagai pelaksana perintah Sultan. (2) Surat F Surat dari B.P.H. Suryabrangta, Pengageng Kawedanan Hageng Sriwandawa kepada Kyai Lurah Kangmas Gusti Pangeran Hangabehi, Pengageng Parentah Hageng Karaton tentang penggantian Tepas Najanapura, Tepas Budyarta Parajaya, Tepas Wadudarma. Surat ini ditulis pada tanggal 9 Mulud Jimawal 1883 atau 16 Nopember 1953. Tabel 3 Keterangan Komunikan pada Surat F Keterangan Surat Penulis Pembaca (X) (Y) BPH. Kyai Lurah Suryabrangta Kangmas Gusti Pangeran Hangabehi Kedudukan Komunikan Penulis pengageng (pejabat kantor) Pembaca pengageng (pejabat kantor) Derajat Sosial Komunikan X=Y Berdasarkan tabel di atas, penulis dan pembaca dianggap memiliki kedudukan yang setara, yaitu sebagai pengageng atau pejabat yang mengepalai kantor tertentu dalam struktur pemerintahan keraton. Penulis merupakan Pengageng Kawedanan Hageng Sriwandawa, sedangkan pembaca merupakan Pengageng Parentah Hageng Karaton. Dalam tabel di atas, dapat disimak bahwa kedua komunikan memiliki gelar kerajaan yang berbeda. (3) Surat B Surat B ditulis oleh Panitya Ageng Pakempalan Pemuda Kasultanan yang ditujukan kepada Sultan Hamengku Buwono IX mengenai Pakempalan Pemuda Kasultanan yang telah genap berusia setahun. Berdasarkan uraian yang ada pada surat, penulis merupakan wakil dari kepanitiaan perkumpulan pemuda yang diketahui sebagai abdi dalem. Hal itu ditunjukkan melalui penyebutan diri penulis di akhir surat dengan kata habdi dalem 7 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014 kawoela. Sementara itu, surat ini ditulis di Yogyakarta pada tanggal 13 Januari 2605 atau 13 Januari 1945. Tabel 4 Keterangan Komunikan pada Surat B Keterangan Surat Kedudukan Komunikan Penulis Pembaca Penulis Pembaca (X) (Y) Slamet Sri Sultan abdi dalem Sultan (raja) Prawiromantri Hamengku (abdi Sultan) Buwono IX Derajat Sosial Komunikan X<Y Berdasarkan tabel di atas, penulis memiliki kedudukan lebih rendah daripada pembaca. Hal itu karena penulis berkedudukan sebagai abdi dalem (abdi Sultan) yang bertindak sebagai wakil dari panitia perkumpulan pemuda kerajaan. Sementara itu, pembaca adalah Sultan yang berkedudukan sebagai pemimpin keraton dan kepala pemerintahan. Hubungan Penutur dengan Ragam Bahasa Pada bagian ini dipaparkan mengenai kedudukan penutur dan kawan tutur dengan kata yang digunakan. Pemilihan kata yang digunakan oleh penutur pada surat menjadi kosakata khusus sehingga mudah dikenali. Hal itu tidak terlepas dari kedudukan atau status sosial masyarakat Kraton Yogyakarta yang bertindak sebagai pemakai bahasa itu. Terdapat tiga kelompok surat berdasarkan kedudukan penutur, yaitu kelompok I, kelompok II, dan kelompok III. Kelompok I merupakan kelompok surat dengan kedudukan penutur lebih tinggi daripada kawan tutur. Kelompok II merupakan kelompok surat dengan kedudukan setara, yaitu kedudukan penutur sama dengan kedudukan kawan tutur. Kelompok III merupakan kelompok surat dengan kedudukan penutur lebih rendah dibanding kedudukan kawan tutur. 1) Analisis Surat Kelompok I Surat pada kelompok ini merujuk pada penuturnya, yaitu Sultan sebagai penulis surat yang memiliki kedudukan atau status sosial yang lebih tinggi dari kawan tutur atau pembaca surat (X > Y). Berikut analisis penggunaan kata pada surat A: a) ingsun 8 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014 (1) Kabeh abdiningsoen pamoetihan pada Ingsoen kersakake tahlil sarta andedonga ana ing kagoenganingsoen Mesjid wewengkone dewe-dewe. (Surat A, 11 Des. 1941, baris 4-5) ‘Seluruh abdiku pamutihan, aku perintahkan (untuk) tahlil serta berdoa di Mesjidku di daerah (mereka) masing-masing.’ (2) Abdiningsoen djoeroekoentji Imagiri sarta Koeta-Gede, pada Ingsoen kersakake tahlil sarta andedonga ana ing Pasarean, preloe nenoewoen ing kasoegenganingsoen sarta slamete, poetra-santananingsoen, Karatoningsoen, Nagaraningsoen saabdiningsoen lan kawoelaningsoen kabeh, apa-dene nenoewoen moega-moega pradja Nederland kaleboe India-Nederland sasekoetone oenggoela djoerite. (Surat A, 11 Des. 1941, baris 6-10) ‘Abdiku pegawai Imagiri serta Koeta-Gede, Aku perintahkan (untuk) tahlil serta berdoa di pemakaman guna memohon keselamatan hidupku, anak-cucuku, istanaku, negaraku, abdiku, dan rakyatku semua. Hendaknya (kita semua) memohon mogamoga Kerajaan Belanda termasuk Hindia-Belanda (beserta) sekutunya berjaya (dalam) peperangan.’ Kata ingsun dalam kalimat di atas berarti ‘aku, -ku’ yang diambil dari bahasa Kawi (Poerwadarminta, 1939:173), secara harafiah berarti ‘saya, aku, ku’ (Prawiroatmodjo, 1996:170). Kata –ingsun pada surat A merupakan persona enklitis pertama tunggal. Rangkaian persona enklitis 5 –ingsun dengan nomina seperti kawula dan kraton menunjukkan hubungan kepemilikan. Kata ingsun pada penggalan kalimat surat A dan I menyatakan kata ganti persona pertama yang digunakan oleh Sultan sebagai penutur. b) iki (3) Sarta bab iki sira Ingsoen kersakake ngawoeningakna marang rama toewan Gouverneur. (Surat A, 11 Des. 1941, baris 15) ‘Dan hal ini, aku perintahkan engkau (untuk) memberitahukan kepada Bapak Tuan Gubernur.’ 5 Enklitis adalah klitik yang terikat dengan unsur yang mendahuluinya, misalnya –ku dalam kata klambiku (Harimurti, 2008:57). 9 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014 Kata iki dalam kalimat pada surat di atas berarti ‘ini’ (Prawiroatmodjo, 1996:166). Kata iki menempati kelas kata pronomina demonstratif berfungsi sebagai penunjuk yang menjelaskan sesuatu (benda) yang dekat dengan penutur. Oleh karena itu, kata iki berfungsi sebagai pronomina demonstratif substantif. Bentuk iki dalam surat A dan I menempati ragam ngoko yang dipakai oleh penutur dalam hal ini adalah Sultan. c) iku (varian : ikoe) (4) Kang ikoe sira bandjoer andawoehna kaja dene dawoehingsoen kang kaseboet doewoer maoe adja nganti kekoerangan, Ingsoen pitaja marang sira. (Surat A, 11 Des. 1941, baris 16-17) ‘Yang itu, engkau kemudian memerintahkan (abdiku) seperti perintahku tersebut di atas jangan sampai kurang, aku percaya padamu.’ Kata iku dalam kalimat pada surat di atas berarti ‘itu’, akan tetapi jika kata tersebut didahului dengan kata kang- maknanya berubah menjadi ‘karena itu’ (Prawiroatmodjo, 1996:166). Kata iku menempati kelas kata pronomina demonstratif substantif yang digunakan sebagai penunjuk substansi tertentu yaitu merujuk pada benda yang berjarak agak jauh dengan penutur. Bentuk iku dalam surat A menempati ragam ngoko yang digunakan oleh penutur dalam hal ini Sultan. 2) Analisis Surat Kelompok II Surat pada kelompok ini merujuk pada penuturnya, yaitu anggota masyarakat keraton (bukan Sultan) sebagai penulis surat yang memiliki kedudukan atau status sosial yang sama/setara dengan kawan tutur atau pembaca surat (X = Y).Berikut analisis penggunaan kata pada surat F: a) menira (5) Wijose, Dawuh-Dalem Ngarsa-Dalem Sampejan-Dalem Ingkeng Sinuwun, menira kakersakake handawuhake, sapuniki ingkang dados Karsa Dalem: (Surat F, 16 Nov. 1953, baris 6-7) ‘Dengan ini, (berdasarkan) perintah Sultan, saya diminta (untuk) memerintahkan (bahwa) yang menjadi perintahnya sekarang:’ 10 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014 Kata manira diambil dari bahasa Kawi yang berarti ‘aku’ (Poerwadarminta, 1939:290). Secara harafiah kata manira berarti ‘aku, saya’ (Prawiroatmodjo, 1996:334). Adapun kata itu termasuk salah satu kosakata Basa Bagongan. Pada kalimat surat di atas, kata manira menempati kelas kata pronomina persona pertama tunggal. Pronomina persona merupakan pronomina yang mengacu pada manusia, dalam hal ini merujuk pada penutur dalam surat tersebut di atas. b) puniki (6) Kadjawi puniku wiwit titimangsa dawuh puniki, Rama G.P.H. Hadikusuma, kakersakake dados Warga Panitya Tata Tjara. (Surat F, 16 Nov. 1953, baris 17-18) ‘Selain itu, mulai tertanggal perintah ini Bapak G.P.H Hasikusuma diminta menjadi anggota Panitya Tata Tjara.’ Kata puniki pada kalimat di atas merupakan ragam krama dari iki yang berarti ‘ini’ (Prawiroatmodjo, 1996:615). Adapun kata itu termasuk salah satu kosakata Basa Bagongan. Kata puniki menempati kelas kata pronomina demonstratif yang berfungsi sebagai penunjuk yang menjelaskan sesuatu (obyek) yang dekat dengan penutur. Oleh karena itu, kata puniki berfungsi sebagai pronomina demonstratif substantif. Bentuk puniki lazim digunakan dalam karya sastra berbentuk puisi (tembang) (Wedhawati dkk, 2006:270). c) puniku (7) Rama G.P.H. Buminata, Pangageng Tepas Najanapura, puniku wewahane kuwadjiban, kwarat serat serat dawuh Parentah Hageng Karaton, katitimangsaa tanggal kaping : 3 : Besar Djimakir 1882, hutawi surja kaping : 4 : September 1951, sapuniki kasowak. (Surat F, 16 Nov. 1953, baris 8-10) ‘Bapak G.P.H Buminata, Pimpinan Kantor Najanapura, hal tersebut (merupakan) tambahan kewajiban yang termaktub dalam surat-surat Parentah Hageng Karaton, tertanggal 3 Besar Djimakir 1882, atau tanggal 4 September 1951, sekarang dibatalkan.’ Kata puniku pada kalimat di atas merupakan ragam krama dari iku yang berarti ‘itu’ (Prawiroatmodjo, 1996:615). Adapun kata itu termasuk salah satu kosakata Basa Bagongan. Kata puniku menempati kelas kata pronomina demonstratif substantif yang 11 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014 digunakan sebagai penunjuk substansi tertentu yaitu merujuk pada benda yang berjarak agak jauh dengan penutur. Bentuk puniku lazim digunakan dalam karya sastra berbentuk puisi (tembang) (Wedhawati dkk, 2006:270). 3) Analisis Surat Kelompok III Penutur dalam kelompok ini menempati kedudukan atau status sosial lebih rendah dibanding kawan tutur (X < Y). Pada kelompok ini dibahas mengenai penggunaan kata pada surat B. Berikut analisis penggunaan kata pada surat B: (a) kula (8) Noewoen hawijosipoen, ingkang hasareng poenika koela namanipoen Panitya-ageng Dalem pakempalan “Pemoeda-Kasoeltanan”, weling hoendjoek, hangoendjoekaken wonten hing S.S.D.Ng.D.I Sinoewoen Kangdjeng Soeltan: (Surat B, 13 Jan. 2605, baris 3-5) ‘Dengan ini, bersamaan dengan ini saya (atas) nama Panitya-ageng Dalem pakempalan “Pemoeda-Kasoeltanan” memberi tahu kepada S.S.D.Ng.D.I Sinoewoen Kangdjeng Soeltan:’ Kata kula dalam kalimat surat di atas merupakan bentuk ragam krama dari ‘aku, -ku’ (Poerwadarminta, 1939:233), secara leksikal berarti ‘saya, aku, ku’ (Prawiroatmodjo, 1996:274). Kata kula menempati kelas kata pronomina persona tunggal yang merujuk pada diri sendiri/penutur. b) punika (varian: poenika) (9) Noewoen hawijosipoen, ingkang hasareng poenika koela namanipoen Panitya-ageng Dalem pakempalan “Pemoeda-Kasoeltanan”, weling hoendjoek, hangoendjoekaken wonten hing S.S.D.Ng.D.I Sinoewoen Kangdjeng Soeltan: (Surat B, 13 Jan. 2605, baris 3-5) ‘Dengan ini, bersamaan dengan ini saya (atas) nama Panitya-ageng Dalem pakempalan “Pemoeda-Kasoeltanan” memberi tahu kepada S.S.D.Ng.D.I Sinoewoen Kangdjeng Soeltan:’ 12 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014 (10) Kadjawi poenika oegi hangoendjoekaken oeninga, bilih pakoermatan Saptoe-paing hing ngadjeng poenika, bade kawontenaken wonten hing pondok kawoela Wetanbeteng, (Surat B, 13 Jan. 2605, baris 14-16) ‘Selain itu juga (saya) memberi tahu jika (acara) penghormatan Sabtu Pahing pada (minggu) depan ini akan diadakan di rumah saya (sebelah) barat beteng,’ Kata punika pada kalimat di atas merupakan ragam krama dari iki dan iku yang berarti ‘ini, itu’ (Prawiroatmodjo, 1996:615). Kata punika menempati kelas kata pronomina demonstratif substantif yang digunakan sebagai penunjuk substansi tertentu; yakni merujuk pada benda yang berjarak dekat, agak jauh, dan jauh dari penutur. Dengan demikian bentuk punika dapat digunakan untuk menyatakan hubungan suatu benda dengan jarak apapun. Pada surat B, kata punika digunakan untuk menyatakan kata ‘ini’ dan ‘itu’. Penutup Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan mengenai penelitian ini. Bahasa yang ada pada surat-surat Keraton Yogyakarta menunjukkan adanya ciri khusus yang menjadi penanda keragaman bahasa. Ragam bahasa itu disebabkan oleh latar belakang kedudukan atau status sosial penutur. Hal itu tidak lepas dari hubungan penutur dengan kawan tutur sebagaimana komunikasi terjadi karena melibatkan dua komunikan atau lebih, yaitu penutur (penulis) dan kawan tutur (pembaca). Adapun ragam bahasa tersebut dapat diketahui berdasarkan pemilihan kata yang menjadi penanda ragam bahasa. Adapun kata-kata itu meliputi penggunaan kata ganti persona/pronomina persona dan pronomina demonstratif subtantif. Berdasarkan data yang ada pada surat, hubungan penutur dan pemilihan kata dapat diperikan sebagai kesatuan yang saling berhubungan. Adapun dalam hal ini membentuk tiga kelompok yang menyatakan kedudukan sosial yang berbeda, yaitu (1) kedudukan penutur lebih tinggi daripada kawan tutur (kelompok I), (2) kedudukan penutur dan kawan tutur adalah sama/setara (kelompok II), dan (3) kedudukan penutur lebih rendah daripada kawan tutur (kelompok III). Berikut keterangan perihal ragam bahasa yang ada pada surat Keraton Yogyakarta (yang digunakan oleh tiga penutur, yaitu Sultan, pengageng, dan abdi dalem) pada surat A, F, dan B: 13 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014 Tabel 5 Kosakata Penanda Ragam Bahasa pada Surat A, F, dan B Kosakata Surat A Surat F Surat B saya ini Kelompok I ingsun iki Kelompok II manira puniki Kelompok III kula punika itu iku puniku punika Berdasarkan tabel di atas, kosakata bermakna ‘saya’, ‘ini’, dan ‘itu’ memiliki ragam yang berbeda. Keragaman itu disebabkan oleh perbedaan status sosial pengguna bahasa yang ada di lingkungan Keraton Yogyakarta. Daftar Referensi Buku Anwar Arifin. (1992). Ilmu komunikasi: Sebuah pengantar ringkas. Jakarta: CV Rajawali. Basuki Suhardi dan Cornelius Sembiring. (2009). Aspek sosial bahasa. Pesona bahasa: Langkah awal memahami linguistik. Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder (Peny.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Brongtodiningrat. Arti kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Museum Kraton Yogyakarta. Gibb, Jack R., dkk. (1992). Komunikasi. Semarang: Dahara Prize. Harimurti Kridalaksana. (2009). Bahasa dan linguistik. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder (Peny.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ___________________. (2008). Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Cetakan ke-1. ___________________. (2005). Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mansoer Pateda. 1994. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa . Cetakan ke-10. 14 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014 Mas Fredy Heryanto. (2010). Mengenal Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Warna. Cetakan ke-12. Nababan, P.W.J.. (1991). Sosiolinguitik: Suatu pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Cetakan ke-2 Mei 1991. Rahyono. (2012). Studi makna. Jakarta: Penaku. Sudaryanto. (1992). Metode linguistik: Ke arah memahami metode linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sumarsono dan Paina. (2004). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda Pustaka. Thomas Wiyasa. (1987). Kerangka dasar penyusunan surat. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Wedhawati, dkk. (2006). Tata bahasa jawa mutakhir. Yogyakarta: Kanisius. Cetakan ke-5. Kamus Poerwadarminta. (1939). Baoesastra Djawa. Batavia: JB. Wolters’ Uitgevers-Maatschappij N.V. Prawiroatmodjo. (1996). Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Toko Gunung Agung. Sutrisno Sastro Utomo. (2009). Kamus lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. 15 Hubungan penutur dengan..., Wahyu Seta Aji, FIB UI, 2014