BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

advertisement
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian
Taufik Ismail lahir pada Angkatan ‟66 yang dikenal juga pada masa itu bentuk
pemberontakan tidak diperlihatkan secara langsung. Taufik Ismail dikenal dengan
seorang demonstran. Akan tetapi bentuk demonstrasi atau bentuk protes Taufik Ismail
hanya disalurkan lewat karya sastra yang disebut dengan puisi. Hal tersebut karena
kondisi zaman pada saat itu juga sangat tidak memungkinkan untuk memperlihatkan
bentuk demo yang terang-terangan. Bahasa-bahasa yang digunakan Taufik Ismail
terlihat
tegas,
walaupun
demikian
tetap
mudah
dimengerti
serta
masih
memperhatikan kesantunan dalam mengeluarkan kata-kata.
OR. Mandak lahir pada angkatan pujangga baru sebelum angkatan ‟66. Sama
halnya pada angkatan Taufik Ismail, pada angkatan OR. Mandak juga telah
diterapkan aturan pemerintahan yang apabila dilanggar maka akan mendapatkan
hukuman. Walaupun sama-sama lahir pada zaman yang masih ketat dengan aturan,
akan tetapi berbeda dengan Taufik Ismail yang menggunakan bahasa-bahasa yang
lebih mudah dimengerti dalam puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan
Bersahaja, dalam puisi OR. Mandak yang berjudul Sebab Aku Terdiam menggunakan
bahasa-bahasa yang halus serta agak terlalu sulit dimengerti, bentuk puisi OR.
Mandak masih terbawa-bawa dengan bentuk puisi lama akan tetapi tidak termasuk
dalam puisi lama.
Berikut akan dibahas gaya bahasa pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang
Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail dan puisi Sebab Aku Terdiam karya OR.
mandak yang ditinjau dari aspek bunyi, kata dan kalimat, serta majas/citraan.
4.1.1
Bunyi Pada Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja
karya Taufik Ismail
Pembahasan di bawah ini akan membahas mengenai gaya bahasa pada puisi
Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail, yang akan
dipaparkan satu persatu seperti berikut.
Bait 1
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Bunyi
/u/ dalam kata aku, duduk, tribun, memberikan efek yang cukup
menarik perhatian, karena pada kalimat tersebut seolah-olah memberikan informasi
adanya maksud atau tujuan yang ingin diperjelas penyair. Sama halnya bunyi /n/ dan
/s/ pada kata tribun, kanan, jenjang,menyaksikan, sebuah, pentas. Hal seperti ini
biasa terjadi karena penyair ingin menyatakan maksud dan tujuannya dengan cara
yang diinginkan. Akan tetapi biasanya penyair juga menyesuaikan dengan adanya
bunyi-bunyi dalam setiap kata agar bisa memenuhi efek tertentu. Penyair lebih
banyak mononjolkan bunyi konsonan karena diseuaikan dengan kata-kata yang ada
dalam bait puisi tersebut, setiap kata yang dipilih oleh penyair tidak dapat tergantikan
oleh kata-kata yang lain, sehingga pengulangan konsonan pada bait itu selain
merupakan nilai keindahan juga untuk memperjelas maksud setiap kata.
Bait ke-2
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Bunyi /g/ dan /i/ seperti pada kata memasang, gendang, telinga, menggali,
kembali, ingatan, agresi, memberikan efek adanya betapa sangat inginnya penyair
mengungkapkan sesuatu yang dirasakannya yang terus bernaung dalam pikirannya.
Bait ke- 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bunyi /r/ dan /s/ pada kata berenang, antara, arus, kertas, bibliografi,
wawancara, gugusan, sajikan, kurasa, sudah, fisiologi-sukmamu, sejarah, ternyata,
baru, permukaan, sahaja memberikan adanya efek kelembutan yang digambarkan
oleh pengarang dengan tujuan merendahkan diri.
Bait ke- 4
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Pada bait ke-4 tersebut terdapat bunyi /s/ dan /r/, pada kata kesempatan, emas,
atas, tribun, sosok-sosok, pemeran, drama, silam, mereka, mendirikan, negeriku,
Negara, remaja-remaja, belajar, laras, senjata, operator, radio, rimba, raya,
sertifikat, armada, penerbang, merindukan, sayap-sayap, pemberani, segala,
kemiskinan, beribu, format. Kata-kata yang dirangkai dalam satu bait ini memberi
kekuatan ekspersif kepada sajak dengan adanya hubungan antarkata yang
dirangkaikan oleh penyair dan menggambarkan sesuatu yang ada dalam pikirannya.
Bait ke- 5
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
jelas
Bunyi /r/ dan /t/ seperti pada kata mereka, berbadan, kurus-kurus, sudut,
tulang, rahang, kelihatan, berambut, hitam, lebat, lengket, ingat, betul, bercelana,
kedombarangan. Kata-kata dalam bait puisi ini memperlihatkan adanya tekanan yang
berat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh penyair dengan menggambarkan
adanya keadaan susah pada masa itu.
Bait ke- 6
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran
serta ide,
Bunyi /s/ dan /r/ yang mendominasi setiap kata-kata seperti pada kata mereka,
semuanya,
berani,
bersikap,
besahaja,
memikirkan,
materi,
merenungkan,
memperjuangkan, pikiran, serta. Pengulangan bunyi /s/ dan /r/ yang mendominasi
bait ini karena adanya tujuan penyair yang ingin menciptakan adanya efek keseriusan,
bait ini mempunyai kekuatan eksperesif yang sulit dilukiskan maknanya oleh
pembaca.
Bait ke- 7
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan
ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi,
begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman
itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika
memerdekakan Nusantara,
Bunyi pada bait ke-7 tersebut didominasi oleh bunyi /r/ dan /s/ paling banyak
bunyi /r/ yang mendominasi bait ini seperti pada kata terkenang, sahabat-sahabat,
mereka, hadir, ruangan, karena, beribu-ribu, ikhlas, memberikan, memerdekakan,
dan nusantara. Bunyi /s/ dan /r/ pada bait ini memperlihatkan adanya sesuatu yang
ingin digambarkan penyair secara jelas.
Bait ke- 8
Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka,
Bunyi /t/ dan /j/ seperti pada kata kita, tundukan, sejenak, pejamkan, mata,
detik, hati, Al-fatihah,dan untuk. Tekanan bunyi /t/ dan /j/ memperlihatkan adanya
keheningan yang digambarkan oleh penyair.
Bait ke- 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
I
tu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Bunyi yang jelas terlihat pada bait ini adalah bunyi /s/, /r/, /g/, /a/, /n/, /u/
seperti pada kata suara, lintas, Jakarta, gemuruh, gedung, mataku, berjuta, sosok,
raut, wajahnya, adresnya, mereka, dulu, melepas, gelang, berlian, kalung, cincin,
tabungan, membelikan, senjata, pesawat terbang, untuk, perang, kemerdekaan.
Bunyi-bunyi dalam kata-kata yang diulang-ulang tiada lain dimaksudkan untuk
memperjelas maksud dari penyair.
Bait ke- 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dala direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Bunyi yang menonjol pada bait ini adalah bunyi /e/, /s/ dan /r/ seperti kata
pernah, mereka, harian, sore, direktori, siapa, masuk, acara, wawancara, teks,
sejarah, resmi, versi, berkuasa, partikelir, dan swasta. Bunyi dalam setiap kata
tersebut memberi kesan tersendiri dari penyair.
Bait ke- 11
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionete menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Dalam bait ini juga bunyi /r/ dan /s/ dan /j/ sangat mendominasi setiap kata
yang terkandung dalam bait tersebut seolah-olah ingin menggambarkan adanya hal
yang sangat ingin diperjelas oleh penyair. Seperti kata sebenarnya, morfologi,
kerangka, semuanya, semuanya, berjuta-juta, marionet, menari, melonjak-lonjak,
simfoni, gerakan, sedemikian, ruwet, sekaligus, akhirnya, baraturan, atas, histori,
pementasannya, sejarahwan, sibuk, menganalisanya, mereka, menjawabnya.
Bait ke-12
Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahan-
lahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik
Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”.
Bunyi pada bait ini adalah /a/ dan /e/ yang mengandung rasa berat, seperti
pada kata saksikan, menggeleng, perlahan-lahan, rasa, pasti, menjawab, sebenarnya,
sedikit, saja.
Bait ke-13
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Dalam bait terakhir ini sama halnya dengan bait-bait sebelumnya, bunyi yang
menonjol adalah bunyi /g/, /j/, /r/ dan /s/ yang mengandung rasa berat dan suasana
gundah, dan penuh pengharapan seperti pada kata sehabis, masa, hari, kurindukan,
suatu, bersamanya, keikhlasan, lalu-lintas, pikiran, disenandungkan, berbeda-beda,
harus, sama, semua, ukuran, lebar, warnanya, senyum, dipasang, panjang, topeng,
panggung, pementasan, sikap, bersahaja, diperebutkan.
Asonansi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas karya Taufik Ismail
dan Bersahaja terdapat pada bait berikut.
Bait ke-2
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Bait ke- 6
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran
serta ide,
Bait ke- 7
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan
ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi,
begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman
itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika
memerdekakan Nusantara,
Bait ke- 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dala direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Bait ke- 11
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionete menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Aliterasi pada puisi Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya
Taufik Ismail terdapat pada bait berikut.
Bait 1
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Bait ke-2
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Bait ke- 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait ke- 5
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
Bait ke- 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
jelas
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Bait ke-13
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Bait-bait yang telah disebutkan di atas adalah yang termasuk dalam aliterasi
atau pengulangan konsonan dalam puisi.
4.1.2
Kata dan Kalimat pada puisi Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan
Bersahaja karya Taufik Ismail
Kata-kata yang sering dipergunakan penyair dalam puisi tersebut adalah kata-
kata yang sedikit mengandung protes, kritikan, dan kata-kata yang memang sudah
dipilih sebelumnya oleh penyair dengan maksud mempertegas, mengenang, dan
memberikan pernyataan kepada pembaca akan maksud dari puisinya tersebut. Hal
tersebut akan ditandai dalam puisi berikut seperti apa kata-kata yang dimaksud.
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran
serta ide,
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan
ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi,
begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman
itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika
memerdekakan Nusantara,
Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka,
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik
Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”.
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
jelas
Kata-kata yang telah ditandai di atas adalah kata-kata yang digunakan oleh
penyair yang telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat itu. Bahasabahasa yang sedikit tegas akan tetapi menyentuh hati itulah yang dipakai penyair
dalam puisi tersebut untuk menyatakan adanya maksud dan tujuan serta ide-ide yang
berkecamuk dalam benak penyair. Penyair dalam menyajikan kata-kata tidak
mencantumkan kata-kata dengan bahasa daerah sebagaimana sastrawan yang biasa
mencantumkan sedikit bahasa daerah ke dalam puisi. Bahasa yang digunakan penyair
lebih cenderung ke bahasa sehari-sehari, sehingga lebih mudah dapat dipahami.
Penggunaan kata-kata yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari bukan
berarti tidak mempunyai nilai-nilai estetik, akan tetapi dapat memberikan adanya
suatu gaya yang realistis.
Denotasi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya
Taufik Ismail adalah sebagai berikut.
Bait 1
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Bait 2 larik 1
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Bait 4
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Bait 5
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
Bait 6
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran
serta ide,
Bait 7
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan
ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi,
jelas
begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman
itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika
memerdekakan Nusantara,
Bait 8
Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka,
Bait 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Bait 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Bait 11 larik 4, 6 dan 7
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Bait 12
Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik
Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”.
Bait 13 larik 1
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Berikut adalah konotasi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan
Bersahaja karya Taufik Ismail.
Bait 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait 4 larik 4,5,7
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Bait 11 larik 1,2,3, dan 5
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Bait 13 larik 2-7
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja juga terdapat
adanya anaphora. Hal tersebut terlihat pada bait puisi di bawah ini.
Bait 1,2 dan 3
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait 5
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
jelas
Bait 6
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran
serta ide,
Bait 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Bait 11
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja Karya Taufik
Ismail juga mengandung epizeuksis seperti bait berikut.
Bait ke- 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait 4
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Bait 5
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
jelas
Bait 6
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran
serta ide,
Bait 8
Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka,
Bait 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Bait 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Bait 13
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Sebagaimana yang terlihat dari puisi tersebut dapat diketahui bahwa penyair
membuat setiap bait puisi tersebut tanpa penghabisan kalimat. Akan tetapi setiap bait
hanya diselesaikan dengan tanda koma (,). Hal tersebut menandakan seperti tiada
hentinya dan begitu banyaknya hal-hal yang harus dituliskan dalam puisi tersebut,
sehingga penyair merasa tanda titik itu akan diberikan nanti pada saat telah berakhir
juga kalimat-kalimat dalam puisi. Sebagaimana yang jelas terlihat pada puisi tersebut,
penyair membicarakan persoalan sosial dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang
polos sehingga dengan mudah dapat dimengerti.
4.1.3
Majas/Citraan pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan
Bersahaja karya Taufik Ismail
Terdapat majas pertentangan yaitu paradoks seperti yang terlihat pada bait
berikut.
Bait 4
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Berikut adalah majas analogi/identitas/perbandingan seperti simile pada puisi
Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat pada
bait berikut.
Bait 1
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Berikut adalah metafora pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan
Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat pada bait berikut.
Bait 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait 4
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Bait 11
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Bait 13
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail
juga mempunyai perumpamaan seperti berikut.
Bait 1 larik 2
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Personifikasi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja
karya Taufik Ismail terdapat pada bait berikut.
Bait 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Bait 13
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik
Ismail juga terdapat hiperbola seperti yang tampak pada bait berikut.
Bait 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait 4
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Bait 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Litotes pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya
Taufik Ismail terdapat pada bait berikut.
Bait 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
Wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Bait 12
Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik
Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”.
Majas kedekatan/kontiguitas/pertautan pada puisi Aku Rindu Pada Zaman
yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail seperti metonomia terdapat pada bait
berikut.
Bait 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait 8
Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka,
Bait 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Bait 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Bait 11
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Bait 13
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Citraan pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja seperti
citra penglihatan pada puisi karya Taufik Ismail tersebut terdapat pada bait berikut.
Bait 1 dan 2
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Bait 4 dan 5
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
jelas
Bait 7, 8, dan 9
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan
ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi,
begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman
itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika
memerdekakan Nusantara,
Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka,
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Bait 10- 13
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik
Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”.
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Pada puisi karya Taufik Ismail dengan judul Aku Rindu Pada Zaman yang
Ikhlas dan Bersahaja juga terdapat citra pendengaran seperti yang tampak pada bait
berikut.
Bait 2
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Bait 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Bait 11, 12, dan 13
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik
Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”.
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik
Ismail juga terdapat citra gerak seperti tampak pada bait berikut.
Bait 11
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
4.1.4
Bunyi pada puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bunyi pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak yang paling
ditonjolkan oleh penyair adalah bunyi /r/seperti kata terpekur,tersandar,diri,mashyur,
peri. Sebagaimana yang terlihat pada bait pertama, bunyi /r/ dalam bait tersebut
menandakan rasa berat, kata-kata seruan yang ada pada bait tersebut menandakan
adanya perasaan gundah.
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Pada bait 2 ini bunyi yang ditonjolkan penyair adalah bunyi /g/ dan /r/ seperti
pada kata gunung, kupandang, bingung, serasa, kemari, mereka, caraku. Bunyi /g/
dan /r/ mempunyai nada yang berat yang dapat mengartikan pula maksud dari penyair
tersebut.
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Bunyi pada bait 3 yang menonjol adalah bunyi /g/ dan /s/ seperti pada kata
dongengku, tenaga, hilang, dipusing-pusingkan, lancing, lesu-lesu, pasti. Bunyi /g/
dan /s/ pada bait tersebut menandakan adanya rasa gundah.
Bait 4
Aku dongengkan yang jauh-jauh
Yang ta‟ dapat dilihat mata
Yang tidak-tidak dapat disentuh
Yang Cuma ada dibibir saja
Pada bait 4 ini bunyi /g/ yang dan /h/ yang menonjol seperti pada kata
dongengkan, kata yang hingga tiga kali diulang, jauh-jauh, dilihat, disentuh. Bunyi
/g/ dan /h/ yang menonjol pada bait ini menandakan adanya hal yang dipentingkan
oleh penyair.
Bait 5
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Bunyi yang mendominasi bait di atas adalah bunyi /g/, /m/, dan /r/ seperti
pada kata sedang, tengah, terngangah, banggalah, mereka, melihat, mendengar,
menari, bicara, merasa, diri. Bunyi /g/, /m/, /r/ dalam bait ini memperlihatkan adanya
sedikit kegirangan.
Bait 6
Di sepanjang jalan aku berjumpa
Dengan kaumku yang papa-papa
Anak menangis ditinggal bapa
Ibu sakit pucat rupa…
Pada bait enam tersebut bunyi /p/ yang paling ditonjolkan oleh penyair seperti
pada kata berjumpa, papa-papa, bapa, rupa. Bunyi /a/ juga sangat dominan seperti
yang terlihat pada bait tersebut.
Bait 7
Kepada mereka yang sakit lapar
Aku berkata: “hendaklah sabar…
Mereka mengeluh: “kami lapar…
Kuberi petuah:”wajib sabar!”…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti pada
kata kepada, mereka, sakit, lapar, aku, berkata, hendaklah sabar, kuberi, petuah.
Bunyi /a/ dan /r/ yang dominan tersebut memberi adanya arti yang sidikit penegasan
oleh penyair.
Bait 8
Inilah sebab, wahai saudara
Sekian lama aku terdiam
Hampir ta‟ tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam…
Bunyi yang dominan pada bait ini adalah bunyi /a/ dan /l/. Bunyi /l/ yang
mengandung rasa berat tersebut dapat diartikan sebagai kegundahan yang ingin
dilukiskan oleh penyair.
Bait 9
Jauh-jauh aku berseru
Begini-begitu kusebut dalil
Ahli kerabat dekat mataku
Kulihatkan saja: sengsara, jahil
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/, /i/, /u/ seperti pada
kata jauh-jauh, aku, berseru, begini, begitu, kusebut, dalil, ahli, kerabat, dekat,
mataku, kulihatkan, saja, sengsara, jahil.
Bait 10
Kepada mereka yang hampir pingsan
Aku berteriak: “mari berkorban!”
Mereka berkata: kami ta‟ makan…”
Muka segera aku palingkan
Bunyi yang dominan pada bait tersebut di atas adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti
yang tampak pada kata kepada, mereka, yang, hampir, pingsan, aku, berteriak, mari,
berkorban, berkata, kami, ta‟ makan, muka, segera, palingkan. Kemudian bait
sebelas yang bunyinya sama persis dengan bait delapan berarti mempunyai maksud
dan tujuan yang sama oleh penyair.
Bait 12
Kepada mereka yang sedang payah
Selalu kuberi nasehat pula:
“hendaknya kamu kuat bersedekah
Dengan hati yang suci rela!...
Bunyi yang dominan pada bait tersebut di atas adalah bunyi /a/, /u/ dan /r/.
Bunyi dalam setiap kata tersebut memberi arti sebuah penegasan yang dimaksudkan
oleh penyair.
Bait 13
Tiada lama sesudah itu
Ke mukaku lalu yatim piatu
Pucat kurus tidak berbaju…
Aku berpaling pepura ta‟ tahu…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/, /u/, dan /r/ seperti
yang tampak pada kata tiada, lama, sesudah, itu, mukaku, lalu, yatim, piatu, pucat,
kurus, tidak, berbaju, berpaling, pepura, ta‟ tahu.
Bait 15
Di jalan pulang aku berjumpa
Dengan kirabat yang sedang lumpuh
Lemah, melarat, sengsara, papa…
Memohon-mohon sedang bersimpuh…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/, /u/, dan /r/ seperti
pada kata jalan, pulang, aku, berjumpa, dengan, kirabat, sedang, lumpuh, lemah,
melarat, sengsara, papa, bersimpuh.
Bait 16
Aku berbuat pepura lengah
Atau serupa terburu-buru…
Tinggalah dia lagi tengadah
Sampai sekarang menunggu-nunggu…
Bunyi yang menonjol pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /u/ seperti yang
tampak pada kata aku, berbuat, pepura, lengah, atau, serupa, terburu-buru,
tinggalah, dia, lagi, tengadah, sampai, sekarang, menunggu-nunggu.
Bait 18
Lagi suatu, wahai saudara,
Menyebabkan dadaku malu bicara
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku mereka sengsara…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti pada
kata lagi, suatu, wahai, saudara, menyebabkan, dadaku, malu, bicara, kaumku, tidak
terpelihara, lantaran, daku, mereka, sengsara.
Bait 19
Katanya aku tempat berlindung
Hujan dan panas „kan ganti tudung…
Begitu cerita bunda-kandung
Sedari Putera lagi dibendung…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /g/ dan /u/ seperti yang
tampak pada kata aku, berlindung, hujan, ganti, tudung, begitu, bunda, kandung, lagi,
dibendung.
Bait 20
Kini Putera sudah dewasa
Sedikit ta‟ ada membalas jasa
Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa
Bagi keluarga jadi penyiksa…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /s/ seperti pada
kata putera, sudah, dewasa, sedikit, ta‟ ada, membalas, jasa, bagi, se-kaum, bangsa,
nusa, keluarga, penyiksa.
Bait 21
Betapa aku mendongeng jua
Besar mulut banyak bicara
Jika dilihat tidak bersua
Orang yang tahu menggeleng tertawa?
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti yang
terlihat pada kata betapa, aku, jua, besar, banyak, bicara, jika, dilihat, tidak, bersua,
orang, yang, tahu, tertawa.
Bait 22
Mungkinkah aku bunda lahirkan
Sahaya untuk mendongeng saja
Dengan ta‟ wajib lagi amalkan
Teladan cukup dibibir saja?
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /l/ seperti pada
kata mungkinkah, aku, bunda, lahirkan, sahaya, saja, dengan, ta‟wajib, lagi,
amalkan, teladan.
Bait 23
Betapa, saudara,
Mulutku ta‟ akan tertutup
Jika aku tengah bicara…
Kudengar sayup-sayup
Keluhan saudara saya
Menderita kesakitan hidup?…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /u/ seperti pada
kata betapa, saudara, mulutku, ta‟ akan, tertutup, jika, aku, tengah, bicara, kudengar,
sayup-sayup, keluhan, saudara, saya, menderita, kesakitan, hidup.
Bait 24
Aku berpetuah di muka khalayak
Mencurahkan serba jenis nasihat
Didengarkan oleh umat yang banyak…
Sedang di situ nyata kulihat
Fakir meminta terberi tidak…
Lemah, lumpuh, tidak bertongkat…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /t/ seperti pada
kata aku, berpetuah, muka, khalayak, mencurahkan, serba, nasihat, didengarkan,
umat, banyak, sedang, nyata, kulihat, fakir, meminta, tidak, bertongkat.
Bait 25
Betapa, saudara
Aku ta‟ kan terpekur
Bila aku habiskan bicara…
… fakir memohon, sayup suara
Lutut terujam, tangan terukur?...
Bunyi dominan yang terdapat pada bait tersebut adalah bunyi /u/ dan /r/
seperti pada kata saudara, aku, terpekur, bicara, fakir, sayup, lutut, terujam, terukur.
Bait 26
Dia nyata orang yang lemah
Bukan karena malas dan lalai
Nafasnya sesak terengah-engah…
Tidak didengar si burung murai
Orang yang lalu berpura lengah
Serupa terburu hendak lekas sampai…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan bunyi /r/ yang
terlihat pada kata orang, karena, terengah-engah, didengar, burung, murai, berpura,
serupa, terburu.
Bait 27
Betapa, saudara
Lidahku ta‟ akan terkalang
Sesudah aku habis bicara
Berjumpa saudaraku bingung tualang
Sedikit ta‟ dapat aku membela
Mengantarkan ke tempat yang dia jelang…
Bunyi yang dominan yang terdapat pada bait tersebut adalah bunyi /g/ dan /r/
seperti yang tampak pada kata terkalang, bingung, tualang, jelang, saudara,
terkalang, bicara, berjumpa, mengantarkan.
Bait 28
Saudara!
Sudah malulah kini suara
Seperti dulu memenuhi udara
Ta‟ tahu lagi aku bicara
Jika ujud tidak kentara
Banyak disebut tidak bertara…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan bunyi /r/ seperti
pada kata saudara, suara, udara, bicara, kentara, bertara.
Asonansi pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada bait yang
akan disebutkan berikut.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Bait 4
Aku dongengkan yang jauh-jauh
Yang ta‟ dapat dilihat mata
Yang tidak-tidak dapat disentuh
Yang Cuma ada dibibir saja
Bait 5
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Bait 6
Di sepanjang jalan aku berjumpa
Dengan kaumku yang papa-papa
Anak menangis ditinggal bapa
Ibu sakit pucat rupa…
Bait 8
Inilah sebab, wahai saudara
Sekian lama aku terdiam
Hampir ta‟ tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam…
Bait 9
Jauh-jauh aku berseru
Begini-begitu kusebut dalil
Ahli kerabat dekat mataku
Kulihatkan saja: sengsara, jahil
Bait 12
Kepada mereka yang sedang payah
Selalu kuberi nasehat pula:
“hendaknya kamu kuat bersedekah
Dengan hati yang suci rela!...
Bait 13
Tiada lama sesudah itu
Ke mukaku lalu yatim piatu
Pucat kurus tidak berbaju…
Aku berpaling pepura ta‟ tahu…
Bait 15
Di jalan pulang aku berjumpa
Dengan kirabat yang sedang lumpuh
Lemah, melarat, sengsara, papa…
Memohon-mohon sedang bersimpuh…
Bait 16
Aku berbuat pepura lengah
Atau serupa terburu-buru…
Tinggalah dia lagi tengadah
Sampai sekarang menunggu-nunggu…
Bait 18
Lagi suatu, wahai saudara
Menyebabkan dadaku malu bicara
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku mereka sengsara…
Bait 20
Kini Putera sudah dewasa
Sedikit ta‟ ada membalas jasa
Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa
Bagi keluarga jadi penyiksa…
Bait 21
Betapa aku mendongeng jua
Besar mulut banyak bicara
Jika dilihat tidak bersua
Orang yang tahu menggeleng tertawa?
Bait 28
Saudara!
Sudah malulah kini suara
Seperti dulu memenuhi udara
Ta‟ tahu lagi aku bicara
Jika ujud tidak kentara
Banyak disebut tidak bertara…
Bait-bait yang telah disebutkan di atas adalah yang termasuk dalam asonansi.
Berikutnya adalah yang termasuk dalam aliterasi. Seperti yang terdapat pada bait
berikut.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Bait 5
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Bait 6
Di sepanjang jalan aku berjumpa
Dengan kaumku yang papa-papa
Anak menangis ditinggal bapa
Ibu sakit pucat rupa…
Bait 7
Kepada mereka yang sakit lapar
Aku berkata: “hendaklah sabar…
Mereka mengeluh: “kami lapar…
Kuberi petuah:”wajib sabar!”…
Bait 15
Di jalan pulang aku berjumpa
Dengan kirabat yang sedang lumpuh
Lemah, melarat, sengsara, papa…
Memohon-mohon sedang bersimpuh…
Bait 16
Aku berbuat pepura lengah
Atau serupa terburu-buru…
Tinggalah dia lagi tengadah
Sampai sekarang menunggu-nunggu…
Bait 17
Inilah sebab, wahai saudara
Sekian lama aku terdiam
Hampir ta‟ tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam…
Bait 18
Lagi suatu, wahai saudara
Menyebabkan dadaku malu bicara
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku mereka sengsara…
Bait 19
Katanya aku tempat berlindung
Hujan dan panas „kan ganti tudung…
Begitu cerita bunda-kandung
Sedari Putera lagi dibendung…
Seperti yang terlihat pada bait-bait di atas dapat dilihat penyair menggunakan
rima yang teratur pada bait-bait puisi tersebut. Hal tersebut karena penyair ingin
menjadikan puisi tersebut dengan rima yang beraturan agar bisa menjadi lebih terlihat
puitis.
4.1.5
Kata dan Kalimat pada Puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak
Kata-kata yang dipergunakan oleh penyair pada puisi Sebab Aku Terdiam
karya OR. Mandak menggunakan bahasa-bahasa melayu dan bentuk puisinya seperti
pantun. Walaupun penyair dalam puisi Sebab Aku Terdiam menggunakan bahasabahasa melayu akan tetapi kata-katanya tetap dapat dipahami karena masih serumpun
dengan bahasa Indonesia sendiri. Kata-kata yang dipergunakan penyair dalam puisi
Sebab Aku Terdiam terlihat halus, tidak secara langsung mengungkapkan apa yang
ada dalam pikirannya, walaupun terlihat seperti sebuah kritikan akan tetapi penyair
mengungkapkan kata-kata tersebut secara halus dan indah didengar. Hal tersebut
seperti yang terlihat pada bait-bait berikut.
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Aku dongengkan yang jauh-jauh
Yang ta‟ dapat dilihat mata
Yang tidak-tidak dapat disentuh
Yang Cuma ada dibibir saja
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Di sepanjang jalan aku berjumpa
Dengan kaumku yang papa-papa
Anak menangis ditinggal bapa
Ibu sakit pucat rupa…
Kepada mereka yang sakit lapar
Aku berkata: “hendaklah sabar…
Mereka mengeluh: “kami lapar…
Kuberi petuah:”wajib sabar!”…
Inilah sebab, wahai saudara
Sekian lama aku terdiam
Hampir ta‟ tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam…
Jauh-jauh aku berseru
Begini-begitu kusebut dalil
Ahli kirabat dekat mataku
Kulihatkan saja: sengsara, jahil
Kepada mereka yang hampir pingsan
Aku berteriak: “mari berkorban!”
Mereka berkata: kami ta‟ makan…”
Muka segera aku palingkan
Inilah sebab wahai saudara,
Sekian lama aku terdiam
Hampir ta‟ tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam…
Kepada mereka yang sedang payah
Selalu kuberi nasehat pula:
“hendaknya kamu kuat bersedekah
Dengan hati yang suci rela!...
Tiada lama sesudah itu
Ke mukaku lalu yatim piatu
Pucat kurus tidak berbaju…
Aku berpaling pepura ta‟ tahu…
Inilah sebab, wahai saudara,
Sekian lama aku terdiam
Hampir tak tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam
Di jalan pulang aku berjumpa
Dengan kirabat yang sedang lumpuh
Lemah, melarat, sengsara, papa…
Memohon-mohon sedang bersimpuh…
Aku berbuat pepura lengah
Atau serupa terburu-buru…
Tinggalah dia lagi tengadah
Sampai sekarang menunggu-nunggu…
Inilah sebab wahai saudara
Sekian lama aku terdiam
Hampir ta‟ tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam…
Lagi suatu, wahai saudara,
Menyebabkan dadaku malu bicara
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku mereka sengsara…
Katanya aku tempat berlindung
Hujan dan panas „kan ganti tudung…
Begitu cerita bunda-kandung
Sedari Putera lagi dibendung…
Kini Putera sudah dewasa
Sedikit ta‟ ada membalas jasa
Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa
Bagi keluarga jadi penyiksa…
Betapa aku mendongeng jua
Besar mulut banyak bicara
Jika dilihat tidak bersua
Orang yang tahu menggeleng tertawa?
Mungkinkah aku bunda lahirkan
Sahaya untuk mendongeng saja
Dengan ta‟ wajib lagi amalkan
Teladan cukup dibibir saja?
Betapa, saudara,
Mulutku ta‟ akan tertutup
Jika aku tengah bicara…
Kudengar sayup-sayup
Keluhan saudara saya
Menderita kesakitan hidup?…
Aku berpetuah di muka khalayak
Mencurahkan serba jenis nasihat
Didengarkan oleh umat yang banyak…
Sedang di situ nyata kulihat
Fakir meminta terberi tidak…
Lemah, lumpuh, tidak bertongkat…
Betapa, saudara
Aku ta‟ kan terpekur
Bila aku habiskan bicara…
… fakir memohon, sayup suara
Lutut terujam, tangan terukur?...
Dia nyata orang yang lemah
Bukan karena malas dan lalai
Nafasnya sesak terengah-engah…
Tidak didengar si burung murai
Orang yang lalu berpura lengah
Serupa terburu hendak lekas sampai…
Betapa, saudara
Lidahku ta‟ akan terkalang
Sesudah aku habis bicara
Berjumpa saudaraku bingung tualang
Sedikit ta‟ dapat aku membela
Mengantarkan ke tempat yang dia jelang…
Saudara!
Sudah malulah kini suara
Seperti dulu memenuhi udara
Ta‟ tahu lagi aku bicara
Jika ujud tidak kentara
Banyak disebut tidak bertara…
Denotasi pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada
bait satu dan dua seperti yang tampak pada bait berikut.
Bait 1 dan 2
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Bait 5, 6 dan 7
Sedang mereka tengah terngangah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Di sepanjang jalan aku berjumpa
Dengan kaumku yang papa-papa
Anak menangis ditinggal bapa
Ibu sakit pucat rupa…
Kepada mereka yang sakit lapar
Aku berkata: “hendaklah sabar…
Mereka mengeluh: “kami lapar…
Kuberi petuah:”wajib sabar!”…
Bait 9 dan 10
Jauh-jauh aku berseru
Begini-begitu kusebut dalil
Ahli kerabat dekat mataku
Kulihatkan saja: sengsara, jahil
Kepada mereka yang hampir pingsan
Aku berteriak: “mari berkorban!”
Mereka berkata: kami ta‟ makan…”
Muka segera aku palingkan
Bait 13
Tiada lama sesudah itu
Ke mukaku lalu yatim piatu
Pucat kurus tidak berbaju…
Aku berpaling pepura ta‟ tahu…
Bait 15 dan 16
Di jalan pulang aku berjumpa
Dengan kirabat yang sedang lumpuh
Lemah, melarat, sengsara, papa…
Memohon-mohon sedang bersimpuh…
Aku berbuat pepura lengah
Atau serupa terburu-buru…
Tinggalah dia lagi tengadah
Sampai sekarang menunggu-nunggu…
Bait 23 dan 24
Betapa, saudara,
Mulutku ta‟ akan tertutup
Jika aku tengah bicara…
Kudengar sayup-sayup
Keluhan saudara saya
Menderita kesakitan hidup?…
Aku berpetuah di muka khalayak
Mencurahkan serba jenis nasihat
Didengarkan oleh umat yang banyak…
Sedang di situ nyata kulihat
Fakir meminta terberi tidak…
Lemah, lumpuh, tidak bertongkat…
Bait 28
Saudara!
Sudah malulah kini suara
Seperti dulu memenuhi udara
Ta‟ tahu lagi aku bicara
Jika ujud tidak kentara
Banyak disebut tidak bertara…
Bait-bait yang telah disebutkan di atas adalah yang termasuk dalam kalimat
denotasi. Berikut ini adalah yang termasuk dalam kalimat konotasi. Seperti yang
tampak pada bait-bait berikut.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Bait 3 dan 4
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Aku dongengkan yang jauh-jauh
Yang ta‟ dapat dilihat mata
Yang tidak-tidak dapat disentuh
Yang Cuma ada dibibir saja
Bait 11 dan 12
Inilah sebab, wahai saudara
Sekian lama aku terdiam
Hampir ta‟ tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam…
Kepada mereka yang sedang payah
Selalu kuberi nasehat pula:
“hendaknya kamu kuat bersedekah
Dengan hati yang suci rela!...
Bait 18-22
Lagi suatu, wahai saudara,
Menyebabkan dadaku malu bicara
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku mereka sengsara…
Katanya aku tempat berlindung
Hujan dan panas „kan ganti tudung…
Begitu cerita bunda-kandung
Sedari Putera lagi dibendung…
Kini Putera sudah dewasa
Sedikit ta‟ ada membalas jasa
Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa
Bagi keluarga jadi penyiksa…
Betapa aku mendongeng jua
Besar mulut banyak bicara
Jika dilihat tidak bersua
Orang yang tahu menggeleng tertawa?
Mungkinkah aku bunda lahirkan
Sahaya untuk mendongeng saja
Dengan ta‟ wajib lagi amalkan
Teladan cukup dibibir saja?
Bait 25-27
Betapa, saudara
Aku ta‟ kan terpekur
Bila aku habiskan bicara…
… fakir memohon, sayup suara
Lutut terujam, tangan terukur?...
Dia nyata orang yang lemah
Bukan karena malas dan lalai
Nafasnya sesak terengah-engah…
Tidak didengar si burung murai
Orang yang lalu berpura lengah
Serupa terburu hendak lekas sampai…
Betapa, saudara
Lidahku ta‟ akan terkalang
Sesudah aku habis bicara
Berjumpa saudaraku bingung tualang
Sedikit ta‟ dapat aku membela
Mengantarkan ke tempat yang dia jelang…
Kata-kata atau kalimat pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak
seperti yang terlihat pada bait-bait di atas menyinggung masalah sosial dengan
menggambarkan adanya keadaan masyarakat. Hal tersebut penyair lakukan karena
penyair ingin menggambarkan adanya keadaan masyarakat pada saat itu dengan
sedikit menyinggung persoalan seorang pemimpin yang tidak dapat mengurus
rakyatnya dengan baik sebagaimana yang sangat diharapkan oleh rakyatnya.
Epizeuksis pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terlihat pada beberapa
bait seperti yang tampak pada bait berkut.
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Bait 5
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Bait 7
Kepada mereka yang sakit lapar
Aku berkata: “hendaklah sabar…
Mereka mengeluh: “kami lapar…
Kuberi petuah:”wajib sabar!”…
Bait 20
Kini Putera sudah dewasa
Sedikit ta‟ ada membalas jasa
Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa
Bagi keluarga jadi penyiksa…
Hal-hal yang baru disebutkan di atas adalah yang termasuk dalam epizeuksis,
dan berikutnya adalah anaphora. Anaphora pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR.
Mandak terdapat pada bait berikut.
Bait 4
Aku dongengkan yang jauh-jauh
Yang ta‟ dapat dilihat mata
Yang tidak-tidak dapat disentuh
Yang Cuma ada dibibir saja
Puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak sebagaimana yang telah
diperlihatkan di atas masih mempunyai bentuk penulisan masih dipengaruhi oleh
puisi lama.
4.1.6
Majas/Citraan pada Puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak
Majas pertentangan yang termasuk dalam paradoks pada puisi Sebab Aku
Terdiam karya OR. Mandak terlihat pada bait berikut.
Bait 12
Kepada mereka yang sedang payah
Selalu kuberi nasehat pula:
“hendaknya kamu kuat bersedekah
Dengan hati yang suci rela!...
Majas analogi/ identitas/ perbandingan pada puisi Sebab Aku Terdiam karya
OR. Mandak seperti majas metafora terlihat pada bait berikut.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Seperti yang terdapat pada bait tersebut di atas, kata kaca, gunung, dan
dongeng itu adalah maksud yang bukan sebenarnya yang disebutkan penyair dengan
perantara benda atau hal lain.
Personifikasi yang terdapat pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak
terlihat pada bait berikut.
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Bait 18
Lagi suatu, wahai saudara,
Menyebabkan dadaku malu bicara
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku mereka sengsara…
Seperti yang terlihat pada bait di atas kalimat mabuk oleh dongengku dan
kalimat dadaku malu bicara merupakan personifikasi karena menyebutkan sesuatu
benda atau hal yang tak hidup seolah-olah hidup.
Hiperbola pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada
bait berikut.
Bait 4 dan 5
Aku dongengkan yang jauh-jauh
Yang ta‟ dapat dilihat mata
Yang tidak-tidak dapat disentuh
Yang Cuma ada dibibir saja
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Kalimat pada bait di atas merupakan hiperbola karena terlalu mengada-ada
atau membesar-besarkan hal yang dimaksudkan.
Litotes pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terlihat pada bait berikut.
Bait 15
Di jalan pulang aku berjumpa
Dengan kirabat yang sedang lumpuh
Lemah, melarat, sengsara, papa…
Memohon-mohon sedang bersimpuh…
Bait 20
Kini Putera sudah dewasa
Sedikit ta‟ ada membalas jasa
Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa
Bagi keluarga jadi penyiksa…
Bait 24
Aku berpetuah di muka khalayak
Mencurahkan serba jenis nasihat
Didengarkan oleh umat yang banyak…
Sedang di situ nyata kulihat
Fakir meminta terberi tidak…
Lemah, lumpuh, tidak bertongkat…
Kalimat pada bait-bait tersebut di atas merupakan litotes karena terlalu
merendahkan diri. Hal yang dijelaskan penyair semakin rendah makin direndahkan
lagi penyebutannya seperti yang terlihat pada bait 24 di atas.
Majas kedekatan/kontiguitas/pertautan seperti metonomia terlihat pada bait berikut.
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Bait 19
Katanya aku tempat berlindung
Hujan dan panas „kan ganti tudung…
Begitu cerita bunda-kandung
Sedari Putera lagi dibendung…
Bait 26
Dia nyata orang yang lemah
Bukan karena malas dan lalai
Nafasnya sesak terengah-engah…
Tidak didengar si burung murai
Orang yang lalu berpura lengah
Serupa terburu hendak lekas sampai…
Bait-bait di atas terdapat sebuah kata yang termasuk dalam majas metonomia
seperti halnya kata hujan dan panas, si burung murai. Kata itu bukan kata sebenarnya
yang ingin dimaksudkan penyair, akan tetapi sebagai pengganti nama yang
sebenarnya.
Berikut adalah citraan yang termasuk dalam puisi Sebab Aku Terdiam karya
OR. Mandak seperti citra penglihatan dan citra pendengaran. Seperti yang tampak
pada bait berikut adalah yang termasuk dalam citra penglihatan.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Bait 5
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Bait 6
Di sepanjang jalan aku berjumpa
Dengan kaumku yang papa-papa
Anak menangis ditinggal bapa
Ibu sakit pucat rupa…
Bait 13
Tiada lama sesudah itu
Ke mukaku lalu yatim piatu
Pucat kurus tidak berbaju…
Aku berpaling pepura ta‟ tahu…
Bait 15
Di jalan pulang aku berjumpa
Dengan kirabat yang sedang lumpuh
Lemah, melarat, sengsara, papa…
Memohon-mohon sedang bersimpuh…
Bait 27
Betapa, saudara
Lidahku ta‟ akan terkalang
Sesudah aku habis bicara
Berjumpa saudaraku bingung tualang
Sedikit ta‟ dapat aku membela
Mengantarkan ke tempat yang dia jelang…
Kemudian adalah citra pendengaran pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR.
Mandak tampak pada bait berikut.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Bait 5
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Bait 6
Di sepanjang jalan aku berjumpa
Dengan kaumku yang papa-papa
Anak menangis ditinggal bapa
Ibu sakit pucat rupa…
Bait 7
Kepada mereka yang sakit lapar
Aku berkata: “hendaklah sabar…
Mereka mengeluh: “kami lapar…
Kuberi petuah:”wajib sabar!”…
Bait 9
Jauh-jauh aku berseru
Begini-begitu kusebut dalil
Ahli kerabat dekat mataku
Kulihatkan saja: sengsara, jahil
Bait 10
Kepada mereka yang hampir pingsan
Aku berteriak: “mari berkorban!”
Mereka berkata: kami ta‟ makan…”
Muka segera aku palingkan
Bait 12
Kepada mereka yang sedang payah
Selalu kuberi nasehat pula:
“hendaknya kamu kuat bersedekah
Dengan hati yang suci rela!...
Bait 23-28
Betapa, saudara,
Mulutku ta‟ akan tertutup
Jika aku tengah bicara…
Kudengar sayup-sayup
Keluhan saudara saya
Menderita kesakitan hidup?…
Aku berpetuah di muka khalayak
Mencurahkan serba jenis nasihat
Didengarkan oleh umat yang banyak…
Sedang di situ nyata kulihat
Fakir meminta terberi tidak…
Lemah, lumpuh, tidak bertongkat…
Betapa, saudara
Aku ta‟ kan terpekur
Bila aku habiskan bicara…
… fakir memohon, sayup suara
Lutut terujam, tangan terukur?...
Dia nyata orang yang lemah
Bukan karena malas dan lalai
Nafasnya sesak terengah-engah…
Tidak didengar si burung murai
Orang yang lalu berpura lengah
Serupa terburu hendak lekas sampai…
Betapa, saudara
Lidahku ta‟ akan terkalang
Sesudah aku habis bicara
Berjumpa saudaraku bingung tualang
Sedikit ta‟ dapat aku membela
Mengantarkan ke tempat yang dia jelang…
Saudara!
Sudah malulah kini suara
Seperti dulu memenuhi udara
Ta‟ tahu lagi aku bicara
Jika ujud tidak kentara
Banyak disebut tidak bertara…
4.2
Pembahasan
4.2.1
Bunyi Pada Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja
karya Taufik Ismail
Bait 1
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Bunyi /a/, /u/, /n/ dan /s/ yang menonjol dan mengawali bait pertama di atas,
menggambarkan bahwa penyair ingin menonjolkan bunyi konsonan, untuk mewakili
jiwanya yang sedang mengenang masa lalu yang bersejarah. Selain menggambarkan
bahwa penyair sedang mengenang masa bersejarah, penyair juga menyesuaikan
dengan bunyi-bunyi yang dapat memperindah bait tersebut dengan menghadirkan
cukup banyak bunyi konsonan. Pengulangan bunyi konsonan pada bait puisi tersebut
bermaksud untuk memperkuat maksud dari setiap kata yang telah dipilh oleh penyair,
bunyi tersebut jika dihubungkan dengan kata, maka kata-kata yang telah dipilih
penyair tidak bisa digantikan dengan kata-kata lain oleh karena itu pengulangan bunyi
konsonan pada bait tersebut memang sudah disesuaikan dengan pilihan kata oleh
penyair.
Bait ke-2
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Bunyi /g/ dan /i/ yang menonjol pada bait dua di atas adalah untuk
memperjelas maksud dari penyair, dan menggambarkan betapa sangat prihatin
penyair pada kejadian masa lalu yang bersejarah tersebut.
Bait ke- 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bunyi /r/ dan /s/ pada bait tiga di atas menggambarkan bahwa penyair
mendapatkan sebuah pelajaran yang sangat berharga yang sebelumnya tidak
diketahui, mengenai peristiwa sejarah yang ada dalam pikirannya tersebut.
Bait ke- 4
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Kata-kata yang dirangkai dalam satu bait empat tersebut di atas memberi
kekuatan ekspersif kepada sajak dengan adanya hubungan antarkata yang
dirangkaikan oleh penyair yang menggambarkan kejadian penting yang bersejarah.
Bait ke- 5
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
jelas
Bunyi /r/ dan /t/ dalam bait lima puisi di atas memperlihatkan adanya tekanan
yang berat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh penyair dengan
menggambarkan adanya keadaan susah pada masa itu.
Bait ke- 6
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran
serta ide,
Pengulangan bunyi /s/ dan /r/ yang mendominasi bait enam di atas adalah
karena adanya tujuan penyair yang ingin menciptakan adanya efek keseriusan, bait ini
mempunyai kekuatan eksperesif yang sulit dilukiskan maknanya oleh pembaca.
Bait ke- 7
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan
ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi,
begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman
itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika
memerdekakan Nusantara,
Bunyi /r/ dan /s/ yang mendominasi bait tujuh di atas adalah penyair
menggambarkan adanya peristiwa yang menyedihkan yang telah terjadi pada masa
bersejarah itu.
Bait ke- 8
Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka,
Tekanan bunyi /t/ dan /j/ memperlihatkan adanya keheningan yang
digambarkan oleh penyair untuk mengenang kembali masa-masa bersejarah tersebut
dalam doa.
Bait ke- 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
tu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Bunyi yang jelas terlihat pada bait ini adalah bunyi /s/, /r/, /g/, /a/, /n/, /u/
Bunyi-bunyi dalam kata-kata tersebut yang diulang-ulang tiada lain dimaksudkan
untuk memperjelas maksud dari penyair bahwa pada saat itu untuk berkorban pada
Negara mereka tidak mengharapkan imbalan, akan tetapi siap mengorbankan apa saja
yang mereka miliki selama itu untuk kepentingan Negara.
Bait ke- 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dala direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Bunyi yang menonjol pada bait ini adalah bunyi /e/, /s/ dan /r/ Bunyi dalam
setiap kata tersebut memberi kesan tersendiri dari penyair. Pada bait sepuluh di atas
penyair menggambarkan bahwa untuk berkorban kepada Negara tidak perlu harus
dikenal semua orang, akan tetapi yang paling penting adalah niat untuk berbakti pada
Negara dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Bait ke- 11
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Bunyi /r/ dan /s/ dan /j/ sangat mendominasi setiap kata yang terkandung
dalam bait tersebut adalah menggambarkan adanya hal yang sangat ingin diperjelas
oleh penyair, dan mempertanyakan bagaimana sebuah keikhlasan itu bisa tumbuh
dan menjadi kuat dalam diri kita untuk mempertahankan Negara ini tanpa ada
maksud lain.
Bait ke-12
Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik
Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”.
Bunyi pada bait ini adalah /a/ dan /e/ yang mengandung rasa berat,
menggambarkan
adanya
sebuah
keikhlasan,
tanpa
kesombongan,
tanpa
mengharapkan apapun dalam bentuk materi atau imbalan lainnya.
Bait ke-13
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Dalam bait terakhir ini sama halnya dengan bait-bait sebelumnya, bunyi yang
menonjol adalah bunyi /g/, /j/, /r/ dan /s/ yang mengandung rasa berat dan suasana
gundah, dan penuh pengharapan. Bait terakhir tersebut juga menggambarkan bahwa
di zaman sekarang masih ada sisa-sisa manusia yang mempunyai jiwa yang ikhlas ,
tanpa adanya kepura-puraan dalam mengorbankan sesuatu untuk Negara.
Asonansi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas karya Taufik Ismail
dan Bersahaja terdapat pada bait berikut.
Bait ke-2
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Bait ke- 6
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran
serta ide,
Bait ke- 7
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan
ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi,
begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman
itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika
memerdekakan Nusantara,
Bait ke- 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dala direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Bait ke- 11
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionete menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Aliterasi pada puisi Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya
Taufik Ismail terdapat pada bait berikut.
Bait 1
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Bait ke-2
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Bait ke- 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait ke- 5
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
Bait ke- 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
jelas
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Bait ke-13
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Bait-bait yang telah disebutkan di atas adalah yang termasuk dalam aliterasi
atau pengulangan konsonan dalam puisi. Dalam puisi Aku Rindu pada Zaman yang
Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail lebih banyak mengandung pengulangan
bunyi konsonan atau biasa disebut dengan aliterasi. Penyair menggunakan banyak
aliterasi untuk mewakili perasaan sedih, kegundahan, perasaan berat, dengan
mengulang-ulang bunyi konsonan pada puisi tersebut, untuk mewakili segala apa
yang dirasakan oleh penyair yang dirangkaikan dengan bunyi-bunyi tersebut.
Bunyi dalam puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja tidak
memiliki bunyi yang beraturan pada bait terakhir. Hal tersebut karena dari dulu
sampai sekarang penyair memang seperti itu dalam membuat puisi. Penyair tidak
terlalu mengutamakan bunyi, akan tetapi lebih mengutamakan bentuk kata dan
kalimat serta makna yang terkandung dalam puisi. Hal lain mengapa penyair tidak
terlalu mengutamakan bunyi adalah karena puisi penyair tersebut sudah bukan puisi
lama, yang masih terikat oleh konteks bunyi yang harus beraturan. Dalam membuat
puisi juga setiap penyair mempunyai hal-hal yang harus diutamakan, misalnya lebih
mengutamakan bunyi, kata dan kalimat, tipografi, atau makna. Pada puisi Taufik
Ismail yang berjudul Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja tidak
mengutamakan bunyi karena gaya bunyi pada setiap puisi Taufik Ismail tidak selalu
diutamakan.
4.2.2
Kata dan Kalimat pada puisi Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan
Bersahaja karya Taufik Ismail
Kata-kata yang sering dipergunakan penyair dalam puisi tersebut adalah kata-
kata yang sedikit mengandung protes, kritikan, dan kata-kata yang memang sudah
dipilih sebelumnya oleh penyair dengan maksud mempertegas, mengenang, dan
memberikan pernyataan kepada pembaca akan maksud dari puisinya tersebut. Hal
tersebut akan ditandai dalam puisi berikut seperti apa kata-kata yang dimaksud.
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang jelas
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran
serta ide,
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan
ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi,
begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman
itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika
memerdekakan Nusantara,
Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka,
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik
Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”.
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Penyair memilih kata dan kalimat seperti yang telah ditandai di atas adalah
untuk mempertegas maksud dari penyair itu sendiri. Walaupun penyair tidak
mencantumkan bahasa daerah ke dalam puisi sebagaimana penyair lain, akan tetapi
itulah gaya kata dan kalimat yang biasa penyair buat. Penyair lebih cenderung bersifat
realistis, dengan maksud agar pembaca bisa lebih komunikatif dalam membaca
puisinya. Watak penyair yang tergolong tegas, santai tapi serius, dapat dilihat dari
cara penyair menyajikan kata dan kalimat.
Kata dan kalimat yang tegas, ditambah dengan sedikit bentuk protes, serta
bentuk puisi penyair yang sebagian besar berbentuk narasi, deskripsi, hal itu
disebabkan oleh latar belakang penyair yang hidup di zaman penjajahan, hidup di
zaman yang pada saat itu kekerasan terjadi di mana-mana, sehingga dalam membuat
puisi, penyair selalu terlihat tegas dalam menyampaikan kata dan kalimat, karena
untuk mengetahui latar belakang puisi diciptakan, tidak hanya melihat siapa pencipta
puisi, akan tetapi melihat kata-kata dan kalimat yang ada dalam puisi.
Denotasi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya
Taufik Ismail adalah sebagai berikut.
Bait 1
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Kata pentas, yang disebutkan penyair pada bait di atas, menggambarkan
bahwa penyair berusaha menjelaskan bahwa penyair sedang mengingat suatu
kejadian dengan sangat bersejarah bagi bangsa Indinesia.
Bait 2 larik 1
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Kata dalam kalimat ingatan pada agresi kedua 1948 menggambarkan bahwa
penyair sedang mengingat suatu kejadian bersejarah pada tahun 1948 yang menjadi
tahun bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Bait 4
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Kalimat di atas menggambarkan bahwa pada masa bersejarah tersebut banyak
yang ikut serta berjuang melawan penjajah, termasuk yang ikut di dalamnya adalah
anak-anak kecil yang berjiwa pejuang, dan orang-orang miskin yang pemberani.
Mereka semua ikut serta membela bangsa Indonesia tanpa mengharapkan apa-apa,
yang ada dalam benak mereka adalah membela bangsa apapun yang akan terjadi
sampai di titik darah penghabisan.
Bait 5
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
jelas
Kata kurus-kurus, tulang rahang, hitam lebat, kedombrangan yang disajikan
penyair pada bait di atas menggambarkan bahwa betapa susahnya hidup di masa
penjajahan, aka tetapi semangat berjuang mereka sangat kuat.
Bait 6
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran
serta ide,
Kata uang, dan materi pada bait di atas menggambarkan bahwa pada masa
itu, mereka yang berjuang melawan penjajah tidak mengharapkan imbalan dalam
bentuk apapun, mereka tidak memikirkan materi apa yang akan mereka dapatkan,
akan tetapi mereka mempunyai tekad yang kuat untuk membela bangsa ini.
Bait 7
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan
ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi,
begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman
itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika
memerdekakan Nusantara,
Kata dalam kalimat memenuhi panggilan Illahi adalah menggambarkan
bahwa mereka yang dulu telah berjuang membela bangsa ini, mereka yang
menjadikan bangsa ini merdeka telah meninggal dunia.
Bait 8
Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka,
Kata Al-fatihah yang ada pada bait di atas menggambarkan bahwa marilah
kita mendoakan pahlawan-pahlawan yang telah lebih dulu meninggalkan kita,
marilah kita kenang sejenak perjuangan mereka dalam melawan negeri tercinta ini.
Bait 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
kata adresnya, gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan,
mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang
untuk
perang kemerdekaan, meggambarkan bahwa pada saat itu merekalah yang
mengorbankan harta benda mereka untuk berjuan melawan penjajahan agar tidak
akan merajalela di negeri ini.
Bait 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Kata-kata yang telah disebutkan di atas adalah menggambarkan bahwa para
pejuang yang telah membela bangsa ini tidak banyak dikenang lagi oleh kita yang
telah merasakan kemerdekaan.
Bait 11 larik 4, 6 dan 7
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Kata dan kalimat pada bait di atas menggambarkan bahwa sejarawan hanya
sibuk mencatat siapa saja pejuang yang telah memerdekakan bangsa ini tanpa
mengambil banyak pelajaran dari apa yang telah terjadi.
Bait 12
Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik
Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”.
Kata cendekia pada bait di atas menggambarkan adanya orang yang cerdas
dan masih mempunyai sifat merendahkan diri.
Bait 13 larik 1
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Bait terakhir di atas menggambarkan bahwa penyair merindukan zaman yang
seperti zaman dulu di mana persatuan itu sangat melekat pada diri pejuang, tidak ada
kesombongan, tidak ada mengharapkan imbalan, hanya tekad yang kuat untuk
memerdekakan bangsa ini sampai titik darah penghabisan.
Penyair lebih banyak menggunakan kata dan kalimat denotasi dalam puisi ini
dengan maksud agar pembaca lebih komunikatif dalam memahami puisi tersebut.
Kata dan kalimat yang dipilih oleh penyair yang lugas menandakan bahwa penyair
tidak suka hal-hal yang terbelit-belit. Penyair lebih menyukai kata atau kalimat yang
lugas, tanpa menghadirkan banyak kalimat atau kata yang bermakna ganda. Apalagi
penyair dikenal dengan seorang kritikus, walalupun tidak semua karya mengandung
kritikan, oleh karena itu penyair lebih menonjolkan kata atau kalimat yang denotasi.
Hal tersebut bukan berarti puisi penyair tidak memiliki nilai estetik, akan tetapi
sebuah nilai yang realisitis di dalam puisi itulah dapat menimbulkan nilai estetik pada
puisi penyair tersebut.
Berikut adalah konotasi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan
Bersahaja karya Taufik Ismail.
Bait 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
penyair memilih kata berenang dengan maksud mendalami apa yang telah
terjadi pada peristiwa bersejarah beberapa tahun silam. Kalimat memetik gugusan
buah pengalaman, dan menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja pada bait di atas
tersebut bermaksud menggambarkan bahwa dengan adanya peristiwa bersejarah
tersebut penyair dapat mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi, dan dengan
adanya peristiwa bersejarah tersebut penyair menyadari bahwa kita manusia yang
hidup di zaman kemerdekaan ini tidaklah sebanding dengan masa dulu di mana jiwa
persaudaraan itu sangat kuat.
Bait 4 larik 4,5,7
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Bait empat di atas menggambarkan adanya pejuang di masa penjajahan
tersebut tidak mengenal siapa mereka, kaya maupun miskin, anak-anak maupun
orang dewasa, siapapun mereka yang ada dalam gambaran bait di atas, mereka adalah
orang-orang sangat berjasa untuk Negara ini. Mereka dengan tabah melawan
penjajahan dengan niat untuk membela negeri tercinta ini.
Bait 11 larik 1,2,3, dan 5
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Kata morfologi keikhlasan pada bait di atas menggambarkan bagaimana
seharusnya kita sebagai penerus bangsa ini untuk menumbuhkan nilai-nilai
keikhlasan sebagaimana pejuang di masa penjajahan itu, kata marionet dan simfoni
pada bait di atas maksudnya adalah zaman sekarang ini di saat banyak masalah yang
terjadi, akan tetapi masih ada saja yang bersenang-senang di atas penderitaan orang
lain. Kata panggung histori menggambarkan adanya peristiwa sejarah yang terjadi
beberapa ratus tahun lahu yang seharusnya kita sebagai penerus bangsa dapat
mengambil pelajaran dari perjuangan-perjuangan pejuang kita.
Bait 13 larik 2-7
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Kata nyanyian keikhlasan, lalu-lintas pikiran, yang terkandung dalam bait
puisi di atas menggambarkan bahwa penyair sangat menginginkan kita yang hidup di
zaman yang sudah merdeka ini mampu mencontoh pejuang-pejuang kita yang sudah
merelakan nyawa mereka untuk memerdekakan bangsa ini tanpa mengharapkan
apapun dalam bentuk imbalan, dan bisa dengan ikhlas berbakti pada bangsa dan
Negara.
Penyair tidak terlalu banyak menuangkan kata atau kalimat konotasi dalam
puisinya karena memang gaya bahasanya penyair seperti itu. Dalam membuat puisi
penyair hanya menuangkan sedikit-sedikit saja kata atau kalimat yang konotasi. Hal
tersebut mengingat bahwa penyair adalah seorang yang tegas, dan lugas dalam
menyampaikan segala sesuatu ke dalam puisi.
Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja juga terdapat
adanya anaphora. Hal tersebut terlihat pada bait puisi di bawah ini.
Bait 1,2 dan 3
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Kata dua hari aku, aku dan ku yang terdapat padi tiga bait di atas
menggambarkan bahwa penyair menjelaskan secara berulang-ulang apa yang
digambarkan. Dua hari adalah waktu yang cukup lama jika kita hanya terfokus
mengingat kejadian bersejarah tersebut. Kata aku yang selalu diulang-ulang oleh
penyair menggambarkan adanya perasaan penyair bahwa penyair sangat merindukan
zaman dimana pejuang bangsa tingkat persatuan mereka sangat kuat. Kata aku dalam
bait di atas juga mewakili adanya perasaan bangsa Indonesia yang sangat berharap
kepada kita sebagai penerus bangsa agar dapat belajar dengan baik, bisa mengambil
hikmah dari kejadian bersejarah. sehingga tidak akan mudah dijajah seperti dulu lagi.
Bait 5
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
jelas
Bait 6
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran
serta ide,
kata mereka dalam bait di atas adalah menggambarkan mereka para pejuang
yang dengan rela mengorbankan nyawa untuk membela bangsa Indonesia dari tangan
penjajah. Penyair mengulang kata mereka karena menurut penyair sendiri kata itu
sangat penting untuk diulang.
Bait 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Kata aku tak pernah yang diulang-ulang oleh penyair pada bait di atas
menggambarkan bahwa pejuang yang telah gugur akibat melawan penjajah sampai
sekarang tidak banyak dikenang dalam acara pertelevisian, radio, atau media massa.
Rakya Indonesia seakan-akan telah lupa bahwa tanpa mereka kita tidak akan
menikmati indahnya kemerdekaan yang telah mereka persembahkan kepada kita
sebagai penerus bangsa.
Bait 11
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Kata-kata pertanyaan yang diulang-ulang penyair di atas menggambarkan
perasaan
resah,
penyair
menggambarkan
adanya
perasaan
gelisah
karena
menyaksikan penerus bangsa Indonesia yang tidak terlalu perduli, dan mengambil
hikmah dari pengorbanan yang dilakukan oleh pejuang.
Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja Karya Taufik
Ismail juga mengandung epizeuksis seperti bait berikut.
Bait ke- 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Kata aku yang selalu diulang-ulang penyair dalam puisi tersebut sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kata aku tersebut menggambarkan adanya
perasaan penyair, atau bisa juga menggambarkan Indinesia saat sekarang ini.
Bait 4
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Kata-kata yang diulang-ulang di atas adalah menggambarkan bahwa pada saat
itu mereka yang mewakili kata pejuang, mereka adalah orang-orang yang cerdas,
pejuang-pejuang yang dengan rela membela bangsa ini dari tangan-tangan penjajah.
Penyair mengulang-ulang kata-kata tersebut karena untuk memperjelas maksud
penyair dan menurut penyair sendiri bahwa kata itu penting untuk diulang-ulan.
Bait 5
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
jelas
Bait 6
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran
serta ide,
Bait 8
Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka,
kata kita dalam bait di atas adalah kita sebagai bangsa Indonesia, marilah kita
sama-sama mengenang, mendoakan mereka yang sudah tidak ada di dunia ini lagi
karena telah gugur di medan pertempuran pada peristiwa sejarah tersebut, mari kita
pintar-pintar mengambil hikmah, dan menjadikan peristiwa sejarah itu menjadi
tonggak bagi kita sebagai penerus bangsa untuk selalu belajar dengan baik, sehingga
jika akan terjadi penjajahan lagi maka kita bisa melawannya dengan semangat juang
seperti semangat para pejuang dulu.
Bait 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Bait 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Kata tak pernah yang diulang-ulang dalam bait di atas menggambarkan
bahwa sampai sekarang pengorbanan para pejuang itu makin jarang dikenang lagi
oleh bangsa Indonesia.
Bait 13
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Kata zaman yang diulang-ulang oleh penyair menggambarkan bahwa bangsa
kita, bangsa Indonesia sangat merindukan zaman dimana semangat juang itu begitu
mendarah daging pada setiap warga Negara Indonesia. Zaman dimana ketika kita
melakukan sesuatu untuk Negara ini tidak mengharapkan imbalan apa-apa, zaman
yang semangat persatuan sama seperti dulu.
Dalam puisi tersebut penyair lebih menonjolkan epizeuksis karena untuk
memperjelas maksud dari penyair, dengan mengulang-ulang kata yang sangat
dipentingkan oleh penyair. Hal tersebut juga memuat puisi tersebut lebih hidup, lebih
terlihat puitis.
Sebagaimana yang terlihat dari puisi tersebut dapat diketahui bahwa penyair
membuat setiap bait puisi tersebut tanpa penghabisan kalimat. Akan tetapi setiap bait
hanya diselesaikan dengan tanda koma (,). Hal tersebut menandakan seperti tiada
hentinya dan begitu banyaknya hal-hal yang harus dituliskan dalam puisi tersebut,
sehingga penyair merasa tanda titik itu akan diberikan nanti pada saat telah berakhir
juga kalimat-kalimat dalam puisi.
Sebagaimana yang jelas terlihat pada puisi tersebut, penyair membicarakan
persoalan sosial dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang polos sehingga dengan
mudah dapat dimengerti.
4.2.3
Majas/Citraan pada Puisi Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan
Bersahaja Karya Taufik Ismail
Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail
terdapat majas pertentangan yaitu paradoks seperti yang terlihat pada bait berikut.
Bait 4
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Penyair menggunakan majas pertentangan berupa paradoks pada bait tersebut
karena penyair menggambarkan adanya pejuang masa itu yang disebut dengan
seorang diplomat tetapi tidak memiliki ijazah diplomat, artinya adalah mereka
seorang yang pemikirannya luas, seperti layaknya seorang diplomat berpikir, padahal
mereka bukan seorang diplomat, kemungkinan mereka hanya remaja-remaja yang
duduk di bangku SMA yang ikutserta melawan penjajah pada saat itu. Pelaut tanpa
armada, artinya mereka siap berjuang, melawan penjajah walaupun tidak ada yang
memaksa mereka untuk ikutserta melawan penjajah, penerbang yang merindukan
sayap-sayap, kalimat tersebut bermakna bahwa mereka sangat mengharapkan adanya
kehidupan yang tenang, bisa hidup bebas tanpa adanya penjajah yang hanya membuat
sengsara.
Berikut adalah majas analogi/identitas/perbandingan seperti simile pada puisi
Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat pada
bait berikut.
Bait 1
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Penyair menggunakan kata bagai pada bait di atas untuk memperjelas maksud
dari penyair bahwa keadaan sekarang ini bagaikan sebuah pentas, apa-apa yang akan
dilakukan pasti ada yang akan meliput berita itu. Seakan-akan apa yang diperbuat
hanya untuk mendapatkan balasan berupa penghargaan.
Berikut adalah metafora pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan
Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat pada bait berikut.
Bait 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait 4
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Bait 11
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Bait 13
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Penyair menggunakan metafora pada bait-bait yang telah disebutkan di atas
adalah untuk menyatakan apa yang ada di dalam pikirannya secara tidak langsung.
Maksudnya adalah, karena penyair dikenal sebagai pelopor angkatan ‟66 yang pada
saat itu dilarang mendemo, memprotes, mengkritik secara langsung, sehingga penyair
dalam puisi tersebut menggunakan metafora pada beberapa bait dalam puisi, untuk
menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya secara tidak langsung.
Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail
juga mempunyai perumpamaan seperti berikut.
Bait 1 larik 2
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
penyair
menggunakan
sedikit
perumpamaan
dalam
puisi,
untuk
mengumpamakan pejuang zaman sekarang beda dengan yang dulu, yang sekarang
banyak diliput, sedangkan yang dulu bahkan tidak yang tidak dikenal oleh warga
Negara Indonesia, hal tersebut seperti yang dicantumkan penyair pada puisinya
dengan kalimat bagai menyaksikan sebuah pentas karena sekecil apapun perjuangan
yang dilakukan selalu ada yang meliput sehingga dapat disaksikan oleh masyarakat.
Personifikasi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja
karya Taufik Ismail terdapat pada bait berikut.
Bait 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Bait 13
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Penyair memilih personifikasi pada bait-bait di atas karena penyair ingin
menggambarkan sifat-sifat yang dimiliki manusia terhadap sesuatu yang tidak hidup.
Selain merupakan nilai keindahan dalam puisi, personifikasi juga merupakan bahasa
kias yang cocok untuk mewakili perasaan penyair.
Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik
Ismail juga terdapat hiperbola seperti yang tampak pada bait berikut.
Bait 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait 4
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Bait 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Hiperbola yang ada dalam bait puisi di atas adalah untuk mewakili perasaan
jiwa penyair, yang terkesan benar-benar sangat mengenang para pejuang dengan
bahasanya sendiri yang menurut penyair bisa mewakili perasaan dan apa yang ada
dalam pikirannya. Hiperbola dapat mewakili gaya bahasa penyair yang dikenal tegas,
penuh semangat, sehingga dalam menggambarkan sesuatu dalam puisi penyair benarbenar bersemangat dalam menuangkan kata-kata atau kalimat-kalimat dalam puisi
dengan semangat yang berapi-api.
Litotes pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya
Taufik Ismail terdapat pada bait berikut.
Bait 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
Wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Bait 12
Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik
Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”.
Penyair menuangkan sedikit majas litotes dalam puisi tersebut, untuk
menggambarkan bahwa pada masa itu sebesar apapun perjuangan mereka, tidak
pernah ada terselip kesombongan dalam diri mereka, mereka justru merasa bahwa apa
yang mereka lakukan belum seberapa, yang mereka utamakan adalah bisa meraih
kemerdekaan secepatnya tanpa mempedulikan apapun termasuk nyawa mereka.
Majas kedekatan/kontiguitas/pertautan pada puisi Aku Rindu Pada Zaman
yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail seperti metonomia terdapat pada bait
berikut.
Bait 3
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Bait 8
Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka,
Bait 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Bait 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Bait 11
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Bait 13
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Penyair menuangkan majas metonomia pada bait-bait di atas adalah
sebagaimana penyiar menuangkan majas personifikasi, yaitu untuk mewakili
perasaan jiwa penyair. Penyair menggunakan metonomia dalam puisinya sebagai
sarana untuk mengungkapkan maksudnya secara tidak langsung. Sebagaimana yang
telah dikenal bahwa penyiar hidup pada masa di mana aturan sangat ketat, sehingga
harus pintar-pintar dalam memilih kata dan kalimat yang bisa mewakili maksud dan
tujuan dari penyair itu sendiri.
Citraan pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja seperti
citra penglihatan pada puisi karya Taufik Ismail tersebut terdapat pada bait berikut.
Bait 1 dan 2
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Bait di atas mengandung citra penglihatan. Penyair menggunakan kata bagai
menyaksikan, dan menggali kembali ingatan, kalimat tersebut untuk mengajak
pembaca agar bisa membayangkan secara jelas sejarah apa yang telah terjadi pada
agresi kedua tersebut.
Bait 4 dan 5
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
jelas
Penyair memilih kata menatap sosok-sosok, dan aku bayangkan, jelas
kelihatan, pada empat dan lima di atas untuk menjelaskan sedikit demi sedikit kepada
pembaca mengenai sejarah pada agresi kedua tersebut. Penyair juga memberi
gambaran kepada pembaca mengenai situasi pejuang pada saat itu yang hanya berasal
dari kalangan biasa, akan tetapi mempunyai tekad yang kuat untuk melawan
penjajahan.
Bait 7, 8, dan 9
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan
ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi,
begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman
itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika
memerdekakan Nusantara,
Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka,
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Penyair memilih kata-kata aku terkenang, pejamkan mata, terbayang di
mataku, untuk mengajak kepada pembaca untuk ikut mengenang mereka yang telah
memperjuangkan bangsa ini, pada bait ke delapan penyair mengajak kepada kita
untuk mendoakan mereka yang telah meninggal dunia, mereka yang telah
memerdekakan bangsa ini, dan pada bait ke sembilan penyair mulai mengenang
kembali mereka yang sangat berjasa bagi bangsa ini. Pada bait di atas tersebut
penyair memilih kata-kata yang cukup menyedihkan.
Bait 10- 13
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik
Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”.
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Pada bait sepuluh penyair menggunakan kalimat tak pernah melihat wajah
mereka, untuk menggambarkan bahwa kita sebagai penerus bangsa ini mungkin tidak
mengenal mereka, kita bahkan lebih banyak mengenal artis daripada pahlawan yang
telah gugur tersebut. Bait sebelas memilih kata menari, dan melonjak-lonjak
menggambarkan bahwa cukup banyak penerus bangsa yang hanya bersenang-senang
menikmati indahnya kemerdekaan tanpa mengetahui betapa sulitnya meraih
kemerdekaat itu, harusnya sebagai penerus bangsa kita belajar dengan baik sehingga
bisa berbakti pada bangsa nantinya. Bait dua belas penyair menuangkan kata aku
saksikan pada kalimat tersebut dengan maksud menggambarkan bahwa zaman
sekarang tetap masih ada penerus bangsa yang mempunyai jiwa rendah hati. Pada bait
tiga belas penyair menuliskan kata senyum yang nampak, maksud dari kalimat
tersebut adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi bangsa kita jika selamanya jiwa
yang ikhlas itu akan selalu ada dalam diri kita sebagai penerus negeri tercinta ini.
Pada puisi karya Taufik Ismail dengan judul Aku Rindu Pada Zaman yang
Ikhlas dan Bersahaja juga terdapat citra pendengaran seperti yang tampak pada bait
berikut.
Bait 2
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Citra pendengaran yang dituangkan penyair melalui kalimat memasang
gendang telinga dan menyimak dimaksudkan bahwa penyair sedang mengenang
kejadian yang sangat bersejarah.
Bait 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Kalimat pada bait Sembilan di atas dimaksudkan bahwa penyair semakin
teringat akan perjuangan pejuang-pejuang di zaman dahulu tersebut ketika mendengar
suara-suara bergemuruh yang mengantarkannya untuk mengenang kembali mereka
yang telah berjuang melawan penjajah.
Bait 11, 12, dan 13
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Kalimat pada bait sebelas yang telah ditandai di atas mengajak pembaca untuk
berfikir bagaimana caranya mempertahankan kemerdekaan bangsa ini, tidak hanya
senang menikmati rasanya merdeka, akan tetapi memikirkan nasib bangsa ini
kedepan.
Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik
Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”.
Kalimat pada bait dua belas di atas menggambarkan pada kita bahwa seperti
itulah jiwa yang ikhlas, tidak ada kesombongan terlintas pada kalimat yang
dilontarkan di atas tersebut.
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Kalimat pada bait tiga belas di atas memberikan efek tertentu kepada
pembaca, nyanyian keikhlasan yang dimaksudkan penyair adalah jiwa yang ikhlas,
tanpa mengharapkan imbalan jasa, disenandungkan dengan nada berbeda-beda yang
dimaksud penyair adalah berbagai macam saran dan masukan yang sangat bermanfaat
untuk masa depan negeri tercinta ini.
Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik
Ismail juga terdapat citra gerak seperti tampak pada bait berikut.
Bait 11
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Citra gerak yang terdapat pada bait sebelas di atas dipilih penyair untuk lebih
menghidupkan puisi, sehingga pembaca bisa merasakan sedikit gerakan pada dirinya
ketika membaca puisi.
4.2.4
Bunyi pada Puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bunyi pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak yang paling
ditonjolkan oleh penyair adalah bunyi /r/seperti kata terpekur,tersandar,diri,mashyur,
peri. Sebagaimana yang terlihat pada bait pertama, bunyi /r/ dalam bait tersebut
menandakan rasa berat, kata-kata seruan yang ada pada bait tersebut menandakan
adanya perasaan gundah.
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Pada bait 2 ini bunyi yang ditonjolkan penyair adalah bunyi /g/ dan /r/ seperti
pada kata gunung, kupandang, bingung, serasa, kemari, mereka, caraku. Bunyi /g/
dan /r/ mempunyai nada yang berat yang dapat mengartikan pula bahwa si aku
membuat orang-orang disekitarnya bingung dengan ulahnya sendiri.
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Bunyi pada bait 3 yang menonjol adalah bunyi /g/ dan /s/ seperti pada kata
dongengku, tenaga, hilang, dipusing-pusingkan, lancing, lesu-lesu, pasti. Bunyi /g/
dan /s/ pada bait tersebut menandakan adanya rasa bersalah pada diri sendiri.
Bait 4
Aku dongengkan yang jauh-jauh
Yang ta‟ dapat dilihat mata
Yang tidak-tidak dapat disentuh
Yang Cuma ada dibibir saja
Pada bait 4 ini bunyi /g/ yang dan /h/ yang menonjol seperti pada kata
dongengkan, kata yang hingga tiga kali diulang, jauh-jauh, dilihat, disentuh. Bunyi
/g/ dan /h/ yang menonjol pada bait ini menandakan adanya hal yang dipentingkan
oleh penyair yang menggambarkan adanya nasehat yang selalu diberikan kepada
orang lain akan tetapi pada dirinya sendiri tidak dilakukan nasehat itu.
Bait 5
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Bunyi yang mendominasi bait di atas adalah bunyi /g/, /m/, dan /r/ seperti
pada kata sedang, tengah, terngangah, banggalah, mereka, melihat, mendengar,
menari, bicara, merasa, diri. Bunyi /g/, /m/, /r/ dalam bait ini memperlihatkan adanya
sedikit kegirangan. Si Aku menggambarkan bahwa ia merasa bangga karena banyak
orang yang mendengarkan semua yang diucapkan karena kepintarannya dalam
mempengaruhi lawan bicara.
Bait 6
Di sepanjang jalan aku berjumpa
Dengan kaumku yang papa-papa
Anak menangis ditinggal bapa
Ibu sakit pucat rupa…
Pada bait enam tersebut bunyi /p/ yang paling ditonjolkan oleh penyair seperti
pada kata berjumpa, papa-papa, bapa, rupa. Bunyi /a/ juga sangat dominan seperti
yang terlihat pada bait tersebut. Bunyi tersebut menggambarkan bahwa cukup banyak
orang yang menderita di sepanjang jalan yang dilewati.
Bait 7
Kepada mereka yang sakit lapar
Aku berkata: “hendaklah sabar…
Mereka mengeluh: “kami lapar…
Kuberi petuah:”wajib sabar!”…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti pada
kata kepada, mereka, sakit, lapar, aku, berkata, hendaklah sabar, kuberi, petuah.
Bunyi /a/ dan /r/ yang dominan tersebut memberi adanya maksud bahwa si aku tidak
mau menolong mereka yang kelaparan, akan tetapi hanya memberi nasehat kepada
mereka agar lebih bersabar dalam menjalani hidup ini.
Bait 8
Inilah sebab, wahai saudara
Sekian lama aku terdiam
Hampir ta‟ tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam…
Bunyi yang dominan pada bait ini adalah bunyi /a/ dan /l/. Bunyi /l/ yang
mengandung rasa berat tersebut dapat diartikan sebagai kegundahan yang ingin
dilukiskan oleh penyair. Bait delapan tersebut menggambarkan adanya si aku yang
tidak bisa berbuat apa-apa ketika melihat kaumnya menderita.
Bait 9
Jauh-jauh aku berseru
Begini-begitu kusebut dalil
Ahli kerabat dekat mataku
Kulihatkan saja: sengsara, jahil
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/, /i/, /u/ seperti pada
kata jauh-jauh, aku, berseru, begini, begitu, kusebut, dalil, ahli, kerabat, dekat,
mataku, kulihatkan, saja, sengsara, jahil. Bunyi yang oleh penyair mengandung nilai
ekspresif, penyair menggambarkan tentang si aku yang mungkin adalah seorang
ulama yang selalu berseru, mengatakan ini wajib ini haram, sedangkan dirinya sendiri
tidak perduli dengan tetangganya yang hidup sengsara.
Bait 10
Kepada mereka yang hampir pingsan
Aku berteriak: “mari berkorban!”
Mereka berkata: kami ta‟ makan…”
Muka segera aku palingkan
Bunyi yang dominan pada bait tersebut di atas adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti
yang tampak pada kata kepada, mereka, yang, hampir, pingsan, aku, berteriak, mari,
berkorban, berkata, kami, ta‟ makan, muka, segera, palingkan. Dalam hal ini penyair
jelas menggambarkan seorang ulama yang hanya pintar menyerukan dalil akan tetapi
tidak melakukan seperti apa yang diperintahkan kepada semua orang yang ditemui.
Kemudian bait sebelas yang bunyinya sama persis dengan bait delapan berarti
mempunyai maksud dan tujuan yang sama oleh penyair.
Bait 12
Kepada mereka yang sedang payah
Selalu kuberi nasehat pula:
“hendaknya kamu kuat bersedekah
Dengan hati yang suci rela!...
Bunyi yang dominan pada bait tersebut di atas adalah bunyi /a/, /u/ dan /r/.
Bunyi dalam setiap kata tersebut memberi arti sebuah penegasan yang dimaksudkan
oleh penyair. Penegasan yang dimaksud adalah penegasan yang oleh si aku tersebut
wajib dilakukan misalnya bersedekah dengan ikhlas.
Bait 13
Tiada lama sesudah itu
Ke mukaku lalu yatim piatu
Pucat kurus tidak berbaju…
Aku berpaling pepura ta‟ tahu…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/, /u/, dan /r/ seperti
yang tampak pada kata tiada, lama, sesudah, itu, mukaku, lalu, yatim, piatu, pucat,
kurus, tidak, berbaju, berpaling, pepura, ta‟ tahu. Bait di atas menggambarkan
adanya si aku yang tidak perduli dengan seorang yatim piatu sekalipun padahal si aku
tersebut selalu menyerukan dalil yang ternyata si aku sendiri tidak mengerjakan.
Bait 15
Di jalan pulang aku berjumpa
Dengan kirabat yang sedang lumpuh
Lemah, melarat, sengsara, papa…
Memohon-mohon sedang bersimpuh…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/, /u/, dan /r/ seperti
pada kata jalan, pulang, aku, berjumpa, dengan, kirabat, sedang, lumpuh, lemah,
melarat, sengsara, papa, bersimpuh. Bunyi pada bait tersebut bermakna adanya
kesusahan, penderitaan, sebagaimana yang digambarkan pada bait di atas, dimana
banyak orang yang menderita di sekitar si aku, akan tetapi si aku sedikitpun tidak
perduli.
Bait 16
Aku berbuat pepura lengah
Atau serupa terburu-buru…
Tinggalah dia lagi tengadah
Sampai sekarang menunggu-nunggu…
Bunyi yang menonjol pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /u/ seperti yang
tampak pada kata aku, berbuat, pepura, lengah, atau, serupa, terburu-buru,
tinggalah, dia, lagi, tengadah, sampai, sekarang, menunggu-nunggu. Bunyi pada bait
tersebut bermakna adanya kesengsaraan yang terjadi di sekitar si aku, sebagai seorang
yang selalu memberikan dalil kepada semua orang maka wajarlah jika mereka orang
hidup menderita meminta sedikit pertolongan akan tetapi sedikitpun tidak dihiraukan
oleh si aku yang sebenarnya adalah seorang ulama tersebut.
Bait 18
Lagi suatu, wahai saudara,
Menyebabkan dadaku malu bicara
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku mereka sengsara…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti pada
kata lagi, suatu, wahai, saudara, menyebabkan, dadaku, malu, bicara, kaumku, tidak
terpelihara, lantaran, daku, mereka, sengsara. Bunyi yang mendominasi bait tersebut
bermakna adanya perasaan gundah, keresahan yang ada dalam diri si aku yang hanya
tahu memberi fatwa akan tetapi tidak bisa mengasihani kaumnya yang dalam keadaan
susah.
Bait 19
Katanya aku tempat berlindung
Hujan dan panas „kan ganti tudung…
Begitu cerita bunda-kandung
Sedari Putera lagi dibendung…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /g/ dan /u/ seperti yang
tampak pada kata aku, berlindung, hujan, ganti, tudung, begitu, bunda, kandung, lagi,
dibendung yang bermakna adanya perasaan gundah yang menaungi pikiran si aku
yang menurutnya dia tidak pantas dianggap sebagai tempat untuk berlindung.
Bait 20
Kini Putera sudah dewasa
Sedikit ta‟ ada membalas jasa
Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa
Bagi keluarga jadi penyiksa…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /s/ seperti pada
kata putera, sudah, dewasa, sedikit, ta‟ ada, membalas, jasa, bagi, se-kaum, bangsa,
nusa, keluarga, penyiksa. Bunyi tersebut bermakna adanya perasaan bersalah dalam
hati si aku yang menurutnya dia tidak berguna bagi bangsanya sendiri.
Bait 21
Betapa aku mendongeng jua
Besar mulut banyak bicara
Jika dilihat tidak bersua
Orang yang tahu menggeleng tertawa?
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti yang
terlihat pada kata betapa, aku, jua, besar, banyak, bicara, jika, dilihat, tidak, bersua,
orang, yang, tahu, tertawa dan bermakna adanya si aku yang semakin
mempertanyakan dirinya sebagai seorang yang banyak menasehati banyak orang akan
tetapi semua apa yang diucapkannya sama dengan sebuah dongeng karena ia pun
tidak pernah melakukannya.
Bait 22
Mungkinkah aku bunda lahirkan
Sahaya untuk mendongeng saja
Dengan ta‟ wajib lagi amalkan
Teladan cukup dibibir saja?
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /l/ seperti pada
kata mungkinkah, aku, bunda, lahirkan, sahaya, saja, dengan, ta‟wajib, lagi,
amalkan, teladan dan bermakna adanya keresahan hati si aku yang menyalahkan
kelahiran dirinya yang hanya bisa selalu berfatwa akan tetapi tidak bisa melakukan
apa yang difatwakan tersebut.
Bait 23
Betapa, saudara,
Mulutku ta‟ akan tertutup
Jika aku tengah bicara…
Kudengar sayup-sayup
Keluhan saudara saya
Menderita kesakitan hidup?…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /u/ seperti pada
kata betapa, saudara, mulutku, ta‟ akan, tertutup, jika, aku, tengah, bicara, kudengar,
sayup-sayup, keluhan, saudara, saya, menderita, kesakitan, hidup yang bermakna
adanya kegundahan dalam hati si aku yang jika berbicara maka ia akan berbcara terus
menerus padahal dia tidak menyadari bahwa ada yang mulai memprotes dirinya yang
hanya bisa berkata tetapi tidak bisa melakukan apa yang dikatakannya tersebut.
Bait 24
Aku berpetuah di muka khalayak
Mencurahkan serba jenis nasihat
Didengarkan oleh umat yang banyak…
Sedang di situ nyata kulihat
Fakir meminta terberi tidak…
Lemah, lumpuh, tidak bertongkat…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /t/ seperti pada
kata aku, berpetuah, muka, khalayak, mencurahkan, serba, nasihat, didengarkan,
umat, banyak, sedang, nyata, kulihat, fakir, meminta, tidak, bertongkat, bunyi pada
bait tersebut bermakna adanya perasaan resah, dimana bait tersebut menggambarkan
bahwa dalam keadaan menasehati banyak orang, dan melihat orang yang patut
dikasihani ikut serta mendengarkan segala macam nasehatnya akan tetapi si aku tidak
memberi apa-apa kepada orang susah tersebut.
Bait 25
Betapa, saudara
Aku ta‟ kan terpekur
Bila aku habiskan bicara…
… fakir memohon, sayup suara
Lutut terujam, tangan terukur?...
Bunyi dominan yang terdapat pada bait tersebut adalah bunyi /u/ dan /r/
seperti pada kata saudara, aku, terpekur, bicara, fakir, sayup, lutut, terujam, terukur.
Bunyi tersebut bermakna adanya perasaan gundah pada diri si aku, yang tidak bisa
terdiam jika dalam keadaan berbicara walaupun ada seorang fakir memohon-mohon
padanya.
Bait 26
Dia nyata orang yang lemah
Bukan karena malas dan lalai
Nafasnya sesak terengah-engah…
Tidak didengar si burung murai
Orang yang lalu berpura lengah
Serupa terburu hendak lekas sampai…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan bunyi /r/ yang
terlihat pada kata orang, karena, terengah-engah, didengar, burung, murai, berpura,
serupa, terburu. Bunyi tersebut bermakna adanya kegundahan dalam hati si aku yang
pada bait tersebut mengambarkan keadaan orang miskin yang sengsara dan tidak ada
satupun yang perduli termasuk si aku tersebut.
Bait 27
Betapa, saudara
Lidahku ta‟ akan terkalang
Sesudah aku habis bicara
Berjumpa saudaraku bingung tualang
Sedikit ta‟ dapat aku membela
Mengantarkan ke tempat yang dia jelang…
Bunyi yang dominan yang terdapat pada bait tersebut adalah bunyi /g/ dan /r/
seperti yang tampak pada kata terkalang, bingung, tualang, jelang, saudara,
terkalang, bicara, berjumpa, mengantarkan. Bunyi tersebut bermakna adanya
perasaan gundah dalam hati si aku. Sebagaimana yang terlihat pada bait tersebut
ternyata si aku memang seorang yang tidak bisa berbuat apa-apa untukm menolong
kaumnya.
Bait 28
Saudara!
Sudah malulah kini suara
Seperti dulu memenuhi udara
Ta‟ tahu lagi aku bicara
Jika ujud tidak kentara
Banyak disebut tidak bertara…
Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan bunyi /r/ seperti
pada kata saudara, suara, udara, bicara, kentara, bertara. Bunyi pada bait di atat
tersebut adalah menggambarkan adanya perasaan malu, si aku merasa malu pada
dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong kaumnya.
Asonansi pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada bait yang
akan disebutkan berikut.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Bait 4
Aku dongengkan yang jauh-jauh
Yang ta‟ dapat dilihat mata
Yang tidak-tidak dapat disentuh
Yang Cuma ada dibibir saja
Bait 5
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Bait 6
Di sepanjang jalan aku berjumpa
Dengan kaumku yang papa-papa
Anak menangis ditinggal bapa
Ibu sakit pucat rupa…
Bait 8
Inilah sebab, wahai saudara
Sekian lama aku terdiam
Hampir ta‟ tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam…
Bait 9
Jauh-jauh aku berseru
Begini-begitu kusebut dalil
Ahli kerabat dekat mataku
Kulihatkan saja: sengsara, jahil
Bait 12
Kepada mereka yang sedang payah
Selalu kuberi nasehat pula:
“hendaknya kamu kuat bersedekah
Dengan hati yang suci rela!...
Bait 13
Tiada lama sesudah itu
Ke mukaku lalu yatim piatu
Pucat kurus tidak berbaju…
Aku berpaling pepura ta‟ tahu…
Bait 15
Di jalan pulang aku berjumpa
Dengan kirabat yang sedang lumpuh
Lemah, melarat, sengsara, papa…
Memohon-mohon sedang bersimpuh…
Bait 16
Aku berbuat pepura lengah
Atau serupa terburu-buru…
Tinggalah dia lagi tengadah
Sampai sekarang menunggu-nunggu…
Bait 18
Lagi suatu, wahai saudara
Menyebabkan dadaku malu bicara
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku mereka sengsara…
Bait 20
Kini Putera sudah dewasa
Sedikit ta‟ ada membalas jasa
Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa
Bagi keluarga jadi penyiksa…
Bait 21
Betapa aku mendongeng jua
Besar mulut banyak bicara
Jika dilihat tidak bersua
Orang yang tahu menggeleng tertawa?
Bait 28
Saudara!
Sudah malulah kini suara
Seperti dulu memenuhi udara
Ta‟ tahu lagi aku bicara
Jika ujud tidak kentara
Banyak disebut tidak bertara…
Bait-bait yang telah disebutkan di atas adalah yang termasuk dalam asonansi.
Berikutnya adalah yang termasuk dalam aliterasi. Seperti yang terdapat pada bait
berikut.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Bait 5
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Bait 6
Di sepanjang jalan aku berjumpa
Dengan kaumku yang papa-papa
Anak menangis ditinggal bapa
Ibu sakit pucat rupa…
Bait 7
Kepada mereka yang sakit lapar
Aku berkata: “hendaklah sabar…
Mereka mengeluh: “kami lapar…
Kuberi petuah:”wajib sabar!”…
Bait 15
Di jalan pulang aku berjumpa
Dengan kirabat yang sedang lumpuh
Lemah, melarat, sengsara, papa…
Memohon-mohon sedang bersimpuh…
Bait 16
Aku berbuat pepura lengah
Atau serupa terburu-buru…
Tinggalah dia lagi tengadah
Sampai sekarang menunggu-nunggu…
Bait 17
Inilah sebab, wahai saudara
Sekian lama aku terdiam
Hampir ta‟ tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam…
Bait 18
Lagi suatu, wahai saudara
Menyebabkan dadaku malu bicara
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku mereka sengsara…
Bait 19
Katanya aku tempat berlindung
Hujan dan panas „kan ganti tudung…
Begitu cerita bunda-kandung
Sedari Putera lagi dibendung…
Bunyi yang menonjol pada bait-bait di atas adalah bunyi asonansi atau
pengulangan vokal. Penyair menonjolkan asonansi daripada aliterasi karena
keseluruhan bait pada puisi tersebut menggambarkan perasaan gundah, resah,
perasaan yang berat yang dapat diwakili dengan menghadirkan adanya asonansi,
sehingga asonansi lah yang terlihat menonjol pada puisi tersebut. Seperti yang terlihat
pada bait-bait di atas dapat dilihat penyair menggunakan rima yang teratur pada baitbait puisi tersebut. Hal tersebut karena penyair ingin menjadikan puisi tersebut
dengan rima yang beraturan agar bisa menjadi lebih terlihat puitis.
4.2.5
Kata dan Kalimat pada Puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak
Kata-kata yang dipergunakan oleh penyair pada puisi Sebab Aku Terdiam
karya OR. Mandak menggunakan bahasa-bahasa melayu dan bentuk puisinya seperti
pantun. Walaupun penyair dalam puisi Sebab Aku Terdiam menggunakan bahasa-
bahasa melayu akan tetapi kata-katanya tetap dapat dipahami karena masih serumpun
dengan bahasa Indonesia sendiri. Kata-kata yang dipergunakan penyair dalam puisi
Sebab Aku Terdiam terlihat halus, tidak secara langsung mengungkapkan apa yang
ada dalam pikirannya, walaupun terlihat seperti sebuah kritikan dan sindiran akan
tetapi penyair mengungkapkan kata-kata tersebut secara halus dan indah didengar.
Hal tersebut seperti yang terlihat pada bait-bait berikut.
Penyair menggunakan kata-kata atau kalimat yang halus, walaupun berupa
kritikan dan sindiran, akan tetapi itulah gaya bahasanya penyair. Mengingat penyair
termasuk dalam angkatan pujangga baru yang pada masa itu dikenal dengan masa
pemerintahan keras, baik peraturannya dan hukuman yang akan diberikan jika
melanggar, maka membuat penyair dalam memasukan kata atau kalimat dalam puisi
tetap bersifat sindiran, kritikan yang tidak secara langsung agar tidak membuat yang
disindir atau dikritik menjadi marah.
Kata-kata atau kalimat pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak
seperti yang terlihat pada bait-bait di atas menyinggung masalah sosial dengan
menggambarkan adanya keadaan masyarakat. Hal tersebut penyair lakukan karena
penyair ingin menggambarkan adanya keadaan masyarakat pada saat itu dengan
sedikit menyinggung persoalan seorang ulama yang menjadi seorang pemimpin dan
tidak dapat mengurus rakyatnya dengan baik sebagaimana yang sangat diharapkan
oleh rakyatnya.
Pada puisi ini penyair lebih menonjolkan kata dan kalimat yang konotasi
dibandingkan dengan denotasi. Hal tersebut karena penyair lebih mementingkan efek
kepuitisan. Penyair juga menuangkan segala apa yang ada dalam pikirannya melalui
kata dan kalimat yang konotasi untuk mewakili perasaanya. Hal tersebut seperti yang
terlihat pada bait berikut.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Kata terpekur bermakna terdiam, tidak bisa melakukan apa-apa lagi, atau
tidak tahu apa-apa lagi. Ke dalam kaca bermakna si aku tersebut diperintahkan untuk
mengintropeksi dirinya sendiri. Segala peri bermakna segala apa yang kurang dari si
aku tersebut.
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Kalimat „kan naik ke atas gunung bermakna semakin tinggi ilmu pengetahuan
yang ada pada diri si aku semakin banyak yang bingung dengan sikap si aku juga
yang tidak pernah mau membantu orang kesusahan.
Bait 3 dan 4
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Aku dongengkan yang jauh-jauh
Yang ta‟ dapat dilihat mata
Yang tidak-tidak dapat disentuh
Yang Cuma ada dibibir saja
Kata mabuk pada bait di atas bermakna sudah muak, bosan, dongengku
bermakna cerita-cerita yang hanya diucapkan akan tetapi tidak pernah dilakukan.
Bait 11 dan 12
Inilah sebab, wahai saudara
Sekian lama aku terdiam
Hampir ta‟ tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam…
Kepada mereka yang sedang payah
Selalu kuberi nasehat pula:
“hendaknya kamu kuat bersedekah
Dengan hati yang suci rela!...
Kalimat patah tumpul kalam bermakna ilmu yang selama ini ada pda diri si
aku tidak berguna untuk dirinya sendiri dan orang lain. Kata payah bermakna orang
yang sedang kesusahan, sedang ditimpah musibah.
Bait 18-22
Lagi suatu, wahai saudara,
Menyebabkan dadaku malu bicara
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku mereka sengsara…
Katanya aku tempat berlindung
Hujan dan panas „kan ganti tudung…
Begitu cerita bunda-kandung
Sedari Putera lagi dibendung…
Kini Putera sudah dewasa
Sedikit ta‟ ada membalas jasa
Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa
Bagi keluarga jadi penyiksa…
Betapa aku mendongeng jua
Besar mulut banyak bicara
Jika dilihat tidak bersua
Orang yang tahu menggeleng tertawa?
Mungkinkah aku bunda lahirkan
Sahaya untuk mendongeng saja
Dengan ta‟ wajib lagi amalkan
Teladan cukup dibibir saja?
Kata dadaku pada bait di atas bermakna diri si aku, hujan dan panas
bermakna baik susah dan senang, penyiksa bermkana tidak berguna akan tetapi hanya
membuat resah masyarakat, dan dongeng bermakna sesuatu yang tidak pernah
dilakukan oleh si aku akan tetapi yang selalu diserukan kepada semua orang untuk
dikerjakan.
Bait 25-27
Betapa, saudara
Aku ta‟ kan terpekur
Bila aku habiskan bicara…
… fakir memohon, sayup suara
Lutut terujam, tangan terukur?...
Dia nyata orang yang lemah
Bukan karena malas dan lalai
Nafasnya sesak terengah-engah…
Tidak didengar si burung murai
Orang yang lalu berpura lengah
Serupa terburu hendak lekas sampai…
Betapa, saudara
Lidahku ta‟ akan terkalang
Sesudah aku habis bicara
Berjumpa saudaraku bingung tualang
Sedikit ta‟ dapat aku membela
Mengantarkan ke tempat yang dia jelang…
Kata terpekur bermakna terdiam, tidak tahu lagi mau bicara apa, lutut terujam
tangan terukur bermakna ketika ada yang meminta pertolongan kaki tak bisa
melangkah dan tangan tak bisa memberi. Kata terkalang bermakna terhalang, artinya
tak mau berhenti dalam berkata-kata dan menyampaikan sesuatu.
Epizeuksis pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terlihat pada
beberapa bait seperti yang tampak pada bait berkut.
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Bait 5
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Bait 7
Kepada mereka yang sakit lapar
Aku berkata: “hendaklah sabar…
Mereka mengeluh: “kami lapar…
Kuberi petuah:”wajib sabar!”…
Bait 20
Kini Putera sudah dewasa
Sedikit ta‟ ada membalas jasa
Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa
Bagi keluarga jadi penyiksa…
Hal-hal yang baru disebutkan di atas adalah yang termasuk dalam epizeuksis,
karena penyair ingin menjelaskan seara berulang-ulang kata dan kalimat yang
menurut penyair sendiri penting untuk diulang. Berikutnya adalah anaphora.
Anaphora pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada bait
berikut.
Bait 4
Aku dongengkan yang jauh-jauh
Yang ta‟ dapat dilihat mata
Yang tidak-tidak dapat disentuh
Yang Cuma ada dibibir saja
Anaphora dalam bait-bait di atas dihadirkan penyair dengan maksud untuk
mempejelas maksud dan tujuan sebagaimana yang ada dalam benak penyair. Selain
untuk menhadirkan efek kepuitisan dalam puisi, penyair juga ingin agar pembaca
dengan mudah dapat memahami puisi tersebut dengan ditampilkannya kalimat yang
berulang pada kalimat berikutnya atau bait berikutnya.
Puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak sebagaimana yang telah
diperlihatkan di atas masih mempunyai bentuk penulisan masih dipengaruhi oleh
puisi lama. Misalnya bentuk baitnya yang masih teratur dan rimanya yang masih
teratur juga. Pada keseluruhan puisi tersebut penyair cukup banyak menghadirkan
penyimpangan pola sintaksis seperti kata tidak di singkat menjadi „ta kata akan
menjadi „kan. Akan tetapi mengingat bahwa dalam penulisan puisi terdapat istilah
lisencia potika yang artinya kebebasan dalam berkarya, termasuk kebebasan dalam
memutar balikan kata atau kalimat, sehingga hal dalam puisi di atas disebut dengan
penyimpangan yang wajar.
4.2.6
Majas/Citraan pada Puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak
Majas pertentangan yang termasuk dalam paradoks pada puisi Sebab Aku
Terdiam karya OR. Mandak terlihat pada bait berikut.
Bait 12
Kepada mereka yang sedang payah
Selalu kuberi nasehat pula:
“hendaknya kamu kuat bersedekah
Dengan hati yang suci rela!...
Paradoks pada bait di atas terlihat karena bait tersebut menggambarkan
adanya keadaan yang bertentangan. Orang yang lemah tiada berdaya bukannya
dibantu akan tetapi hanya diperintahkan untuk bersedekah adalah hal yang
bertentangan dalam kehidupan ini.
Majas analogi/ identitas/ perbandingan pada puisi Sebab Aku Terdiam karya
OR. Mandak seperti majas metafora terlihat pada bait berikut.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Majas perbandingan pada bait di atas dipilih penyiar untuk mewakili
perasaannya yang disalin dalam bentuk puisi. Seperti yang terdapat pada bait tersebut
di atas, kata kaca, gunung, dan dongeng itu adalah maksud yang bukan sebenarnya
yang disebutkan penyair dengan perantara benda atau hal lain.
Personifikasi yang terdapat pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak
terlihat pada bait berikut.
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Bait 18
Lagi suatu, wahai saudara,
Menyebabkan dadaku malu bicara
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku mereka sengsara…
Seperti yang terlihat pada bait di atas kalimat mabuk oleh dongengku dan
kalimat dadaku malu bicara merupakan personifikasi karena menyebutkan sesuatu
benda atau hal yang tak hidup seolah-olah hidup untuk mengganti perasaan penyair
yang sebenarnya. Mengingat penyair adalah seorang yang tidak secara langsung
menyalurkan apa yang ada dalam pikirannya lewat puisi. Maka dengan menggunakan
perantara seperti majas lah sehingga penyair bisa secara tidak langsung menuangkan
apa yang dalam pikirannya ke dalam puisi serta untuk menambah nilai keindahan
dalam puisi.
Hiperbola pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada
bait berikut.
Bait 4 dan 5
Aku dongengkan yang jauh-jauh
Yang ta’ dapat dilihat mata
Yang tidak-tidak dapat disentuh
Yang Cuma ada dibibir saja
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Kalimat pada bait di atas merupakan hiperbola karena terlalu mengada-ada
atau membesar-besarkan hal yang dimaksudkan. Penyair menggambarkan sesuatu
yang sangat penting dengan membesar-besarkan apa yang dimaksudkan dengan
penggambaran yang terlalu berlebihan. Akan tetapi hal itu bisa menambah nilai
keindahan dalam puisi. Apalagi penyair dikenal sebagai seorang yang suka
menonjolkan efek keindahan dalam puisi.
Litotes pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terlihat pada bait berikut.
Bait 15
Di jalan pulang aku berjumpa
Dengan kirabat yang sedang lumpuh
Lemah, melarat, sengsara, papa…
Memohon-mohon sedang bersimpuh…
Bait 20
Kini Putera sudah dewasa
Sedikit ta‟ ada membalas jasa
Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa
Bagi keluarga jadi penyiksa…
Bait 24
Aku berpetuah di muka khalayak
Mencurahkan serba jenis nasihat
Didengarkan oleh umat yang banyak…
Sedang di situ nyata kulihat
Fakir meminta terberi tidak…
Lemah, lumpuh, tidak bertongkat…
Kalimat pada bait-bait tersebut di atas merupakan litotes karena terlalu
merendahkan diri. Hal yang dijelaskan penyair semakin rendah makin direndahkan
lagi penyebutannya seperti yang terlihat pada bait 24 di atas.
Majas kedekatan/kontiguitas/pertautan seperti metonomia terlihat pada bait berikut.
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Bait 19
Katanya aku tempat berlindung
Hujan dan panas „kan ganti tudung…
Begitu cerita bunda-kandung
Sedari Putera lagi dibendung…
Bait 26
Dia nyata orang yang lemah
Bukan karena malas dan lalai
Nafasnya sesak terengah-engah…
Tidak didengar si burung murai
Orang yang lalu berpura lengah
Serupa terburu hendak lekas sampai…
Bait-bait di atas terdapat sebuah kata yang termasuk dalam majas metonomia
seperti halnya kata hujan dan panas, si burung murai. Kata itu bukan kata sebenarnya
yang ingin dimaksudkan penyair, akan tetapi sebagai pengganti nama yang
sebenarnya untuk menyatakan maksud yang ingin disampaikan oleh penyair.
Sinekdok yang termasuk dalam pars pro toto dan totem pro parte pada puisi
Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada bait berikut.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bait satu di atas termasuk dalam totem pro parte dan pars pro toto. Kata kaca
adalah pars pro toto karena kaca menggambarkan sesuatu secara khusus yang
mengarah pada kalimat lihatlah diri dan diri adalah totem pro parte karena
menggambarkan secara umum yang menjelaskan maksud dari kalimat ke dalam kaca.
Antara kata kaca dan diri saling memperjelas maksud dari kata yang terdapat pada
bait tersebut.
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Pada bait dua tersebut kata gunung adalah totem pro parte karena kata gunung
dapat mewakili maksud dari keseluruhan isi yang ada dalam bait tersebut. Gunung
bisa berarti tempat orang melarikan diri dari bahaya, sehingga maksud dari bait
tersebut dengan menggunakan kata gunung adalah untuk mengganti perasaan takut
yang bercampur-baur.
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Kata orang adalah totem pro parte karena bukan hanya seorang saja yang
dimaksudkan dalam bait tersebut akan tetapi mewakili banyak orang, dan bibir adalah
pars pro toto karena bibir adalah salah satu anggota tubuh yang ada pada setiap orang
yang bermaksud tanpa bibir kita tidak akan bisa berkata-kata.
Bait 4
Aku dongengkan yang jauh-jauh
Yang ta‟ dapat dilihat mata
Yang tidak-tidak dapat disentuh
Yang Cuma ada dibibir saja
Kata mata dan bibir adalah pars pro toto karena menjelaskan sebagian untuk
keseluruhan. Maksusdnya adalah kata mata dan dibibir itu menjelaskan makna dari
keseluruhan bait di atas, kata bibir dan mata mewakili penjelasan seluruh bait di atas.
Bait 6
Di sepanjang jalan aku berjumpa
Dengan kaumku yang papa-papa
Anak menangis ditinggal bapa
Ibu sakit pucat rupa…
Kata jalan adalah pars pro toto karena menjelaskan maksud dengan sebagian
untuk keseluruhan. Kata jalan yang dimaksudkan oleh penyair adalah perjalanan
yang panjang. Maksud dari bait di atas adalah sepanjang hidup si aku dia hanya bisa
menyaksikan orang-orang yang susah disekelililngnya, tanpa melakukan sesuatu
untuk menolong mereka.
Bait 8
Inilah sebab, wahai saudara
Sekian lama aku terdiam
Hampir ta‟ tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam…
Kata saudara adalah totem pro parte dan kalam adalah pars pro toto. Kata
saudara mewakili semua orang, sedangkan kalam adalah ilmu pengetahuan yang
tidak pernah dia kerjakan di kehidupan sehari-hari.
Bait 9
Jauh-jauh aku berseru
Begini-begitu kusebut dalil
Ahli kerabat dekat mataku
Kulihatkan saja: sengsara, jahil
Kata kerabat adalah totem pro parte dan mataku adalah pars pro toto. Penyair
menggunakan kata kerabat untuk mewakili kata saudara, tetangga, orang yang
dekat, dan mataku dimaksudkan bahwa terlihat jelas di matanya bahwa banyak orang
yang susah sedangkan si aku sedikitpun tidak mau menolong.
Bait 13
Tiada lama sesudah itu
Ke mukaku lalu yatim piatu
Pucat kurus tidak berbaju…
Aku berpaling pepura ta‟ tahu…
Kata berbaju adalah pars pro toto. Penyair memilih kata baju untuk
menandakan keadaan susah anak yatim tersebut, sedangkan kata yatim piatu adalah
totem pro parte. Penyair memilih kata itu karena seorang yatim piatu dapat mewakili
anak-anak yang terlantar lainnya.
Bait 18
Lagi suatu, wahai saudara,
Menyebabkan dadaku malu bicara
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku mereka sengsara…
Kata dadaku termasuk dalam pars pro toto.
Penyair memilih kata itu karena dadaku bisa mewakili dirinya sendiri, dapat
mewakili perasaan si aku dengan menyatakan dadaku artinya dia benar-benar
menyadari bahwa perbuatannya selama ini tidak seperti perkataannya yang selalu
mengajak orang untuk berbuat kebaikan.
Bait 19
Katanya aku tempat berlindung
Hujan dan panas „kan ganti tudung…
Begitu cerita bunda-kandung
Sedari Putera lagi dibendung…
Kata hujan dan tudung termasuk dalam pars pro toto. Penyair memilih kata
tersebut untuk mewakili keadaan sudah dan senang, serta kata tudung dimaksudkan
penyair dapat mewakili seorang yang bisa dijadikan tempat berlindung, atau yang bisa
diandalkan untuk bisa melindungi.
Bait 22
Mungkinkah aku bunda lahirkan
Sahaya untuk mendongeng saja
Dengan ta‟ wajib lagi amalkan
Teladan cukup dibibir saja?
Kata bunda termasuk dalam totem pro parte, kata tersebut dipilih penyair
dengan maksud menyalahkan kelahiran dirinya di dunia ini, menyalahkan didikkan
yang selama kecil selalu diajarkannya, dan ketika besar tidak bisa mempraktekkan
segala ucapannya itu, dan kata bibir termasuk dalam pars pro toto. Kata tersebut
mewakili suatu pekerjaan yang hanya selalu diajarkan kepada orang lain akan tetapi
tidak pernah dilakukan.
Bait 23
Betapa, saudara,
Mulutku ta‟ akan tertutup
Jika aku tengah bicara…
Kudengar sayup-sayup
Keluhan saudara saya
Menderita kesakitan hidup?…
Kata mulut termasuk dalam pars pro toto. Kata tersebut dapat mewakili semua
apa yang ingin diucapkannya, semua apa yang terseimpan pada dirinya yang harus
diajarkannya kepada orang banyak.
Bait 26
Dia nyata orang yang lemah
Bukan karena malas dan lalai
Nafasnya sesak terengah-engah…
Tidak didengar si burung murai
Orang yang lalu berpura lengah
Serupa terburu hendak lekas sampai…
Kata orang pada bait di tersebut adalah totem pro parte, kata tersebut
mewakili orang-orang yang susah, dan burung murai adalah pars pro toto, maksud
dari kata tersebut adalah menggambarkan adanya orang kecil orang besar tidak
perduli lagi kepada sesama.
Bait 27
Betapa, saudara
Lidahku ta‟ akan terkalang
Sesudah aku habis bicara
Berjumpa saudaraku bingung tualang
Sedikit ta‟ dapat aku membela
Mengantarkan ke tempat yang dia jelang…
Kata saudara termasuk totem pro parte, kata tersebut mewakili semua orang,
dan lidahku termasuk pars pro toto. Kata tersebut mewakili maksud dari keinginan,
walaupun banyak orang yang meminta pertolongan tapi tidak dihiraukan, si aku tetap
terus menyerukan fatwanya, tidak akan mempengaruhi dirinya melihat orang-orang
yang butuh pertolongan tersebut.
Bait 28
Saudara!
Sudah malulah kini suara
Seperti dulu memenuhi udara
Ta‟ tahu lagi aku bicara
Jika ujud tidak kentara
Banyak disebut tidak bertara…
Kata saudara termasuk dalam totem pro parte karena bermaksud menjelaskan
keseluruhan untuk sebagian. Saudara mewakili semua orang yang selalu mendengar
ulama berceramah sedangkan si ulama itu sendiri tidak pernah mengerjakan apa yang
telah diajarkan kepada semua orang.
Berikut adalah citraan yang termasuk dalam puisi Sebab Aku Terdiam karya
OR. Mandak seperti citra penglihatan dan citra pendengaran. Seperti yang tampak
pada bait berikut adalah yang termasuk dalam citra penglihatan.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Penyair memilih kata yang telah ditandai di atas adalah untuk memberi
gambaran kepada pembaca bahwa sekali-kali intropeksilah diri kita, sehingga kita
bisa melihat baik dan buruk perilaku kita.
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Kalimat di atas memberi gambaran bahwa ketika kita hanya selalu
mengatakan ini wajib itu haram, dan tidak pernah mengerjakan seperti apa yang
dikatakan, maka orang-orang yang menyaksikan pun tidak akan mau menuruti apa
yang kita serukan tersebut.
Bait 5
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Kalimat di atas menggambarkan bahwa ketika kita dengan kepercayaan diri
menyerukan hal-hal yang wajib dikerjakan dan tidak bisa dikerjakan, maka orangorang pun akan terheran-heran, hanya akan kagum dengan apa yang diserukan tapi
hanya akan kebingungan ketika melihat orang tersebut tidak melakukan seperti apa
yang diserukan.
Bait 6
Di sepanjang jalan aku berjumpa
Dengan kaumku yang papa-papa
Anak menangis ditinggal bapa
Ibu sakit pucat rupa…
Bait tersebut menggambarkan adanya sepanjang perjalanan hidup si aku tidak
pernah mau menolong orang yang kesusahan, sedangka dia selau menyerukan bahwa
menolong orang itu wajib, tidak perduli siapa pun yang ditemuinya sepanjang hidup,
walaupun terlihat sangat menderita, tetap tidak mau si aku tersebut untuk menolong.
Bait 13
Tiada lama sesudah itu
Ke mukaku lalu yatim piatu
Pucat kurus tidak berbaju…
Aku berpaling pepura ta‟ tahu…
Kalimat di atas menggambarkan adanya anak-anak yang menderita akan tetapi
si aku atau si ulama tersebut tidak tergerak hatinya untuk mengasihani mereka.
Bait 15
Di jalan pulang aku berjumpa
Dengan kirabat yang sedang lumpuh
Lemah, melarat, sengsara, papa…
Memohon-mohon sedang bersimpuh…
Bait di atas menggambarkan adanya orang yang terlihat sangat perlu untuk
dikasihani pun tidak membuat si aku tersebut tersentuh hatinya.
Bait 27
Betapa, saudara
Lidahku ta‟ akan terkalang
Sesudah aku habis bicara
Berjumpa saudaraku bingung tualang
Sedikit ta‟ dapat aku membela
Mengantarkan ke tempat yang dia jelang…
Bait di atas menggmbarkan ketika si aku bertemu dengan orang yang sangat
membutuhkan pertolongan, sedikit pun dia tidak mau menolong, hanya memberikan
saran harus begini harus begitu, tanpa mau menolong.
Kemudian adalah citra pendengaran pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR.
Mandak tampak pada bait berikut.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bait di atas memberikan peringatan kepada kita bahwa dalam hidup ini tidak
perlu menyombongkan sesuatu, karena nanti orang akan menganggap remeh kita,
sekali-kali lihatlah diri kita apakah sudah sempurna, jangan hanya melihat
kekurangan orang lain tanpa melihat kekurangan diri sendiri.
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Bait di atas bermaksud memberitahu kepada kita bahwa jangan hanya pintar
menyuruh orang mengerjakan kemudian tidak mengerjakannya sendiri. Karena
nantinya seruan tersebut tidak akan dihiraukan.
Bait 5
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Bait di atas bermaksud memberikan gambaran kepada kita jangan mudah
berbangga pada diri sendiri karena adanya lelebihan. Hal itu tidak akan menolong kita
pada suatu saat nanti.
Bait 6
Di sepanjang jalan aku berjumpa
Dengan kaumku yang papa-papa
Anak menangis ditinggal bapa
Ibu sakit pucat rupa…
Bait di atas memberi gambaran bahwa banyak yang menderita, dan ulah si aku
yang tidak perduli kepada sesama membuat mereka berlapang dada.
Bait 7
Kepada mereka yang sakit lapar
Aku berkata: “hendaklah sabar…
Mereka mengeluh: “kami lapar…
Kuberi petuah:”wajib sabar!”…
Bait di atas menggambarkan adanya si aku yang seorang ulama ketika ada
yang datang meminta pertolonga dia hanya mengatakan sabar dan sabar tanpa
sedikitpun menolong mereka yang sangat membutuhkan pertolongan.
Bait 9
Jauh-jauh aku berseru
Begini-begitu kusebut dalil
Ahli kerabat dekat mataku
Kulihatkan saja: sengsara, jahil
Bait di atas memberi gambaran bahwa si ulama tersebut dari dulu sampai
sekarang selalu menyerukan inilah dalil yang harus kita kerjakan, akan tetapi ketika
datang kepadanya orang yang menderita si ulama tersebut hanya melihat tanpa mau
menolong.
Bait 10
Kepada mereka yang hampir pingsan
Aku berteriak: “mari berkorban!”
Mereka berkata: kami ta‟ makan…”
Muka segera aku palingkan
Bait di atas menggambarkan bahwa ulama tersebut sudah dengan jiwa dan
raga menyerukan mari berkorban tanpa memperhatikan banyak orang yang hidup
susah dan dia sendiri pun hanya tahu menyerukan tanpa mau melakukan apa yang
diserukan tersebut.
Bait 12
Kepada mereka yang sedang payah
Selalu kuberi nasehat pula:
“hendaknya kamu kuat bersedekah
Dengan hati yang suci rela!...
Bait di atas memberi gambaran bahwa si ulama tersebut selalu menasehati
dengan semangat kepada semua orang agar selalu bersedekaha, padahal dia sendiri
tidak mau bersedekah.
Bait 23-28
Betapa, saudara,
Mulutku ta‟ akan tertutup
Jika aku tengah bicara…
Kudengar sayup-sayup
Keluhan saudara saya
Menderita kesakitan hidup?…
Bait di atas memberi gambaran adanya banyak yang mengeluh dengan sikap
si ulama tersebut yang terlihat tidak pantas dengannya sebagai seorang pemimpin.
Aku berpetuah di muka khalayak
Mencurahkan serba jenis nasihat
Didengarkan oleh umat yang banyak…
Sedang di situ nyata kulihat
Fakir meminta terberi tidak…
Lemah, lumpuh, tidak bertongkat…
Betapa, saudara
Aku ta‟ kan terpekur
Bila aku habiskan bicara…
… fakir memohon, sayup suara
Lutut terujam, tangan terukur?...
Dia nyata orang yang lemah
Bukan karena malas dan lalai
Nafasnya sesak terengah-engah…
Tidak didengar si burung murai
Orang yang lalu berpura lengah
Serupa terburu hendak lekas sampai…
Betapa, saudara
Lidahku ta‟ akan terkalang
Sesudah aku habis bicara
Berjumpa saudaraku bingung tualang
Sedikit ta‟ dapat aku membela
Mengantarkan ke tempat yang dia jelang…
Saudara!
Sudah malulah kini suara
Seperti dulu memenuhi udara
Ta‟ tahu lagi aku bicara
Jika ujud tidak kentara
Banyak disebut tidak bertara…
Keseluruhan bait di atas yang termasuk dalam citra pendengaran
menggambarkan bahwa si aku tidak pernah berhenti untuk memberi fatwa kepada
banyak orang, akan tetapi si aku tersebut tidak memperdulikan orang-orang
disekelilingnya yang membutuhkan pertolngan, orang miskin, anak yatin, orang yang
lagi dalam kesulitan ketika datang kepadanya untuk meminta pertolongan si aku tidak
berkenaan untuk menolong mereka. Hal tersebut membuat si aku merasa gundah
gulana, merasa diliputi perasaan resah, dan mulai merasa bahwa dia tidak pantas lagi
menjadi seorang ulama yang memimpin, yang pantas untuk dicontoh semua orang,
karena diri sendiri tidak pernah mengerjakan seperti apa yang difatwakan.
4.3
Perbandingan Gaya Bahasa Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas
dan Bersahaja karya Taufik Ismail dan Puisi Sebab Aku Terdiam Karya
OR. Mandak
Berdasarkan pembahasan pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan
Bersajaha dengan puisi Sebab Aku Terdiam di atas, maka selanjutnya akan
diperbandingkan gaya bahasa dari Taufik Ismail dan OR. Mandak yang akan dilihat
dari aspek bunyi, kata dan kalimat, serta majas/citraan.
4.3.1
Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang
Ikhlas dan Bersahaja Karya Taufik Ismail dan Puisi Sebab Aku Terdiam
Karya OR. Mandak Ditinjau Dari Aspek Bunyi
Bunyi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya
Taufik Ismail dominan pada aliterasi, yang cukup banyak disajikan dalam puisi
tersebut. Dilihat secara keseluruhan adanya puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas
dan Bersahaja karya Taufik Ismail tersebut terkesan sedang mengenang masa-masa
dulu yang oleh penyair yang disalin ke dalam bentuk puisi. Perpaduan antara bunyibunyi vokal dan konsonan dalam puisi tersebut semakin menjadikan efek kepuitisan
tersendiri oleh penyair. Berikut adalah bunyi-bunyi aliterasi atau biasa dikenal dengan
pengulangan konsonan yang di antaranya terlihat menonjol pada puisi Aku Rindu
Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja seperti berikut.
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan
wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa
sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata
aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang jelas
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran
serta ide,
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan
ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi,
begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman
itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika
memerdekakan Nusantara,
Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka,
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik
Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”.
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Bunyi pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak bunyi yang
ditonjolkan penyair adalah asonansi daripada aliterasi yang hanya disajikan sedikit
pada puisi tersebut. Adanya asonansi yang mendominasi puisi tersebut oleh penyair
adalah untuk menciptakan efek kepuitisan tersendiri dan menggambarkan adanya
perasaan berat, kegundahan seperti yang terlihat dalam puisi yang berjudul Sebab Aku
Terdiam tersebut. Puisi tersebut menggambarkan adanya perasaan gundah, keresahan,
karena keseluruhan puisi tersebut menggambarkan adanya seorang ulama yang
memimpin rakyatnya, yang selalu menasehati, mengajarkan baik buruk, dan selalu
mengatakan ini dalil, akan tetapi dirinya sendiri tidak pernah melakukan apa yang
difatwakan tersebut. Ketika seseorang datang kepadanya meminta bantuan tak
sedikitpun bantuan yang diberikan, baik itu orang miskin, anak yatim tidak pernah
mebuat si ulama tersebut untuk menolong mereka, hal tersebut membuat hatinya
merasa resah. Sebaimana yang terlihat pada puisi Sebab Aku Terdiam tersebut,
asonansi dalam puisi tersebut memberikan efek tersendiri. Hal tersebut seperti yang
terdapat pada puisi berikut.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“Engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Bait 3
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Bait 4
Aku dongengkan yang jauh-jauh
Yang ta‟ dapat dilihat mata
Yang tidak-tidak dapat disentuh
Yang Cuma ada dibibir saja
Bait 5
Sedang mereka tengah terngagah
Melihat cakap aku menari
Mendengar bijak aku bicara
Aku merasa banggalah diri
Bait 6
Di sepanjang jalan aku berjumpa
Dengan kaumku yang papa-papa
Anak menangis ditinggal bapa
Ibu sakit pucat rupa…
Bait 8
Inilah sebab, wahai saudara
Sekian lama aku terdiam
Hampir ta‟ tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam…
Bait 9
Jauh-jauh aku berseru
Begini-begitu kusebut dalil
Ahli kerabat dekat mataku
Kulihatkan saja: sengsara, jahil
Bait 12
Kepada mereka yang sedang payah
Selalu kuberi nasehat pula:
“hendaknya kamu kuat bersedekah
Dengan hati yang suci rela!...
Bait 13
Tiada lama sesudah itu
Ke mukaku lalu yatim piatu
Pucat kurus tidak berbaju…
Aku berpaling pepura ta‟ tahu…
Bait 15
Di jalan pulang aku berjumpa
Dengan kirabat yang sedang lumpuh
Lemah, melarat, sengsara, papa…
Memohon-mohon sedang bersimpuh…
Bait 16
Aku berbuat pepura lengah
Atau serupa terburu-buru…
Tinggalah dia lagi tengadah
Sampai sekarang menunggu-nunggu…
Bait 18
Lagi suatu, wahai saudara
Menyebabkan dadaku malu bicara
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku mereka sengsara…
Bait 20
Kini Putera sudah dewasa
Sedikit ta‟ ada membalas jasa
Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa
Bagi keluarga jadi penyiksa…
Bait 21
Betapa aku mendongeng jua
Besar mulut banyak bicara
Jika dilihat tidak bersua
Orang yang tahu menggeleng tertawa?
Bait 28
Saudara!
Sudah malulah kini suara
Seperti dulu memenuhi udara
Ta‟ tahu lagi aku bicara
Jika ujud tidak kentara
Banyak disebut tidak bertara…
4.3.2
Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang
Ikhlas dan Bersahaja Karya Taufik Ismail dan Puisi Sebab Aku Terdiam
Karya OR. Mandak Ditinjau Dari Aspek Kata dan Kalimat
Kata-kata yang digunakan penyair dalam puisi Aku Rindu Pada Zaman yang
Ikhlas dan Bersahaja menggunakan kata-kata atau kalimat yang denotasi lebih
dominan dari pada yang konotasi. Hal itu menyebabkan bahasa dalam puisi tersebut
mudah dipahami karena memakai bahasa yang polos atau bahasa sehari-hari. Dalam
puisi tersebut penyair juga menggunakan sedikit kata-kata yang mengandung protes
dengan sedikit sindiran. Seperti biasa dalam puisi-puisi Taufik Ismail kadang
mengandung masalah sosial dan bersifat demonstrasi, walaupun tidak semuanya
seperti itu, seperti halnya dalam puisi karya Taufik Ismail kali ini. Hal tersebut
seperti yang terlihat berikut.
Bait 1
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai
menyaksikan sebuah pentas,
Bait 2 larik 1
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali
ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya,
Bait 4
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok
pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan
negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia,
pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format.
Bait 5
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan
aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
Bait 6
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan
uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran
serta ide,
Bait 7
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan
ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi,
begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman
itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika
memerdekakan Nusantara,
Bait 8
Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita
bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka,
Bait 9
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang
di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak
kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas
gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka
itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk
perang kemerdekaan,
Bait 10
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah
mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori
apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara,
apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi
jelas
yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta,
Bait 11 larik 4, 6 dan 7
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan
melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian
ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas
panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu
pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan
menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Bait 12
Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik
Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”.
Bait 13 larik 1
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan,
suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran
disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan
harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman
ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng
panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja
diperebutkan.
Puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak menggunakan kata-kata yang
dominan adalah konotasi dari pada denotasi. Hal tersebut karena OR. Mandak lebih
mengutamakan kepuitisan dalam puisi tersebut. Itu juga karena OR. Mandak berasal
dari angkatan pujangga baru yang seringkali masih terbawa-bawa oleh bentuk puisi
lama yang masih terikat oleh aturan. Dalam puisi tersebut OR. Mandak juga
membicarakan masalah sosial, dengan menggunakan kata aku secara berulang-ulang
yang menyatakan seolah-olah ia adalah gambaran seorang pemimpin. Walaupun
begitu dalam puisi tersebut, OR. Mandak seringkali menggunakan kata-kata yang
halus, yang tidak secara kasar mengungkapkan sebuah protes seperti yang terlihat
berikut.
Bait 1
Sekali aku jatuh terpekur
Datang tersandar membentak diri:
“engkau mimpi berasa masyhur
Ke dalam kaca lihatlah diri!
Nanti kusebut segala peri…”
Bait 2
Serasa „kan naik ke atas gunung
Dan kupandang kian kemari
Nampak olehku mereka bingung
…‟ akibat caraku selama ini!
Bait 3 dan 4
Orang yang mabuk oleh dongengku:
Lesu-lesu tenaga hilang…
„ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu
Dipusing-pusingkan bibir yang lancing.
Aku dongengkan yang jauh-jauh
Yang ta‟ dapat dilihat mata
Yang tidak-tidak dapat disentuh
Yang Cuma ada dibibir saja
Bait 11 dan 12
Inilah sebab, wahai saudara
Sekian lama aku terdiam
Hampir ta‟ tahu lagi bicara
Menyebabkan patah tumpul kalam…
Kepada mereka yang sedang payah
Selalu kuberi nasehat pula:
“hendaknya kamu kuat bersedekah
Dengan hati yang suci rela!...
Bait 18-22
Lagi suatu, wahai saudara,
Menyebabkan dadaku malu bicara
Kaumku tidak terpelihara
Lantaran daku mereka sengsara…
Katanya aku tempat berlindung
Hujan dan panas „kan ganti tudung…
Begitu cerita bunda-kandung
Sedari Putera lagi dibendung…
Kini Putera sudah dewasa
Sedikit ta‟ ada membalas jasa
Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa
Bagi keluarga jadi penyiksa…
Betapa aku mendongeng jua
Besar mulut banyak bicara
Jika dilihat tidak bersua
Orang yang tahu menggeleng tertawa?
Mungkinkah aku bunda lahirkan
Sahaya untuk mendongeng saja
Dengan ta‟ wajib lagi amalkan
Teladan cukup dibibir saja?
Bait 25-27
Betapa, saudara
Aku ta‟ kan terpekur
Bila aku habiskan bicara…
… fakir memohon, sayup suara
Lutut terujam, tangan terukur?...
Dia nyata orang yang lemah
Bukan karena malas dan lalai
Nafasnya sesak terengah-engah…
Tidak didengar si burung murai
Orang yang lalu berpura lengah
Serupa terburu hendak lekas sampai…
Betapa, saudara
Lidahku ta‟ akan terkalang
Sesudah aku habis bicara
Berjumpa saudaraku bingung tualang
Sedikit ta‟ dapat aku membela
Mengantarkan ke tempat yang dia jelang…
Epizeuksis pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja
karya Taufik Ismail hanya berbanding sedikit dengan anaphora. Epizeuksis lebih
dominan karena dalam puisi tersebut, Taufik Ismail ingin menjelaskan secara
berulang-ulang maksud dari puisi tersebut dan apa yang sebenarnya ada dalam
pikirannya. Sehingga bagi Taufik Ismail untuk lebih memperjelas maksud dari puisi
tersebut adalah dengan mengulang-ulang kata atau kalimat yang menurut Taufik
Ismail sendiri sangat penting untuk diulang. Hal itu juga memberi adanya efek
kepuitisan bagi puisi Taufik Ismail itu sendiri.
Berbeda dengan puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak yamg dalam
puisi karya OR. Mandak tersebut anaphora lebih dominan dibandingkan dengan
epizeuksis. Hal tersebut mungkin bagi OR. Mandak sendiri dapat memberi suatu efek
tertentu dengan mengulang kalimat pada kalimat atau bait berikutnya dengan maksud
agar pembaca lebih cepat manangkap maksud yang terkadung dalam puisi tersebut.
4.3.3
Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang
Ikhlas dan Bersahaja Karya Taufik Ismail dan Puisi Sebab Aku Terdiam
Karya OR. Mandak Ditinjau Dari Aspek Majas/Citraan
Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail
tidak terlalu banyak menggunakan majas, baik itu majas paradoks yang terdapat pada
bait 4, metafora yang terdapat pada bait 3 dan 4 serta bait 11 dan 13, perumpamaan
terdapat pada bait 1, personifikasi terdapat pada bait 3 dan 9, serta bait 13, hiperbola
terdapat pada bait 3 dan 4, bait 9, litotes terdapat pada bait 3, bait 10 dan bait 12, dan
metonomia terdapat pada bait 3, bait 8 sampai bait 13. Sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa dalam puisi Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan
Bersahaja karya Taufik Ismail tersebut lebih banyak menggunakan bahasa sehari-hari
sehingga mudah untuk dipahami. Dalam puisi tersebut Taufik Ismail menggunakan
citra penglihatan yang terdapat pada bait 1 dan 2, bait 4 dan 5, bait 7 sampai bait 13,
sedangkan citra pendengaran terdapat pada bait 2, bait 9, dan bait 11 sampai 13, dan
citra penglihatan yang lebih dominan daripada citra-citra yang lainnya. Hal tersebut
karena Taufik Ismail ingin menonjolkan makna dari puisi tersebut dengan adanya
citra penglihatan dan citra pendengaran. Sehingga pembaca lebih memahami puisi
tersebut.
Berbeda halnya dengan puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak yang
lebih menonjolkan majas metafora yang terdapat pada bait 1,bait 2, bait 3, bait ke-4,
bait 8, bait 9, bait 11, bait 14, bait 17, bait 18, bait 19, bait20, bait21, bait 26.
Perumpamaan bait 1, bait2, bait4, bait6, bait8, bait9, bait11, bait 15, bait17, bait 18,
bait 19, bait 20, bait 21, bait 23, bait 24, bait 25, bait 26, bait 27, bait 28.
Metonomia bait, bait 8, bait 11, bait 14, bait 15, bait 17, bait19, bait 20, bait 26.
Sinekdok (pars prototo/sebagian untuk keseluruhan) pars prototo pada puisi Sebab
Aku Terdiam terdapat pada bait 2, bait 8, bait 11, bait 14, bait 16, bait 17, bait 18,
bait 19, bait 23, bait 25, bait 27, bait 28. Totem proparte (keseluruhan untuk
sebagian) terdapat pada bait 1, bait 3, bait 4, bait 5 bait 6, bait 7, bait 9, bait 10, bait
12, bait 13, bait 15. OR. Mandak cukup banyak memasukan majas ke dalam puisi
tersebut karena ingin menonjolkan nilai keindahan atau biasa dikenal dengan nilai
estetik pada puisi. Hal tersebut dikarenakan juga oleh bahasa yang dipergunakan oleh
OR. Mandak yang tergolong halus, sehingga dalam pembuatan puisi pun OR.
Mandak tidak secara langsung mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya,
melainkan menggunakan majas sebagai sarana untuk mengungkapkan maksudnya.
Sama halnya dengan puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja
karya Taufik Ismail, pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak juga
menggunakan citra pendengaran yang terdapat pada bait 1 dan 2, bait 5 sampai bait 7,
bait 9 dan 10, bait 12, dan bait 23 sampai bait 28, serta citra penglihatan terdapat pada
bait 1 dan 2, bait 5 dan 6, bait 13 dan 15, serta bait 27 dalam puisi. Hal tersebut
dimaksudkan agar pembaca bisa lebih memahami makna dalam puisi tersebut.
Berdasarkan perbandingan-perbandingan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa gaya bahasa Taufik Ismail pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan
Bersahaja menggunakan gaya bahasa yang lugas, bahasa-bahasa yang digunakan
begitu tegas dan bersemangat. Dapat ditarik kesimpulan juga bahwa Taufik Ismail
menggunakan bahasa yang tidak terlalu bermakna ambigu karena dalam menciptakan
sebuah puisi Taufik Ismail selalu bersifat realistis. Kata-kata dan kalimat-kalimat
yang diungkapkan dalam puisi selalu yang bersifat realistis sehingga Taufik Ismail
pun dikenal dengan seorang yang realis karena sering memasukan hal-hal yang
realistis ke dalam puisinya.
Sebagaimana yang dikenal banyak orang, Taufik Ismail adalah seorang
demonstran yang bukan berarti pendemo pada masanya. Akan tetapi seorang
demonstran pada puisi-puisi karangannya. Walaupun tidak semua puisi yang
diciptakan bersifat kritikan, akan tetapi itulah julukan yang sudah diberi sejak lama.
Taufik Ismail adalah seorang yang menentang segala bentuk penindasan, akan tetapi
hanya dalam puisi Taufik Ismail mencurahkan segala apa yang di pikirannya, hal
tersebut dikarenakan pada saat itu tidak boleh ada yang menentang peraturan Negara,
bagi yang menentang akan dapat hukuman, sehingga Taufik Ismail menyalurkan
semua bentuk protes, kritikan ke dalam puisi-puisi yang dibuatnya. Walaupun Taufik
Ismail menjadikan puisi karangannya sebagai sarana untuk mengkritik atau
memprotes, tetap Taufik Ismail tidak sembarangan mengeluarkan kata-kata dalam
puisi. Hal tersebut dapat dilihat dalam puisi ini Taufik Ismail menggunakan sedikit
protes dan kritikan dan tetap memperhatikan kata-kata yang santun. Taufik Ismail
adalah salah seorang yang sangat peka dengan sejarah, sehingga puisi yang ditulis
kali ini ada hubungannya dengan sejarah di mana Taufik Ismail sedang mengenang
masa yang dulu.
Taufik Ismail mengungakapkan apa yang ada dalam pikirannya pada puisi
Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja dalam bentuk narasi.
Kemungkinan maksud dari Taufik Ismail menulis puisi dengan cara yang demikian
adalah agar pembaca lebih komunikatif dalam membaca puisi tersebut.
Lain halnya dengan gaya bahasa OR. Mandak pada puisi Sebab Aku Terdiam
menggunakan gaya bahasa tidak terlalu sulit untuk dimengerti. Begitu pula dengan
bentuk puisi yang masih sama dengan bentuk puisi lama akan tetapi bukan berarti
bentuk puisi OR. Mandak sama bentuknya dengan puisi lama. Dalam puisi Sebab Aku
Terdiam, OR. Mandak menggunakan rima yang beraturan, gaya bahasanya yang
halus membuat puisi Sebab Aku Terdiam terlihat berbeda dari yang lainnya walaupun
dalam puisi tersebut OR. Mandak sedang menyindir seorang pemimpin dengan
mengatakan aku sebagai sarana untuk mengungkapkan segala yang ada dalam
pikirannya ke dalam puisi tersebut.
Berbeda dengan Taufik Ismail yang menggunakan bahasa Indonesia seharihari dalam puisinya tersebut, OR. Mandak menggunakan bahasa melayu yang masih
serumpun dengan bahasa Indonesia sendiri. Dikarenakan OR. Mandak tinggal di
Medan jadi bahasa yang digunakan berbeda dengan bahasa Taufik Ismail. Bentuk
puisi OR. Mandak yang panjang, dan hampir setiap bait dalam puisi Sebab Aku
Terdiam tersebut menggunakan titik-titik banyak atau biasa disebut dengan retorik
retisense. OR. Mandak menggunakan titik-titik banyak dalam puisi Sebab Aku
Terdiam karena ingin menyalurkan segala yang ada dalam pikirannya yang belum
terungkapkan. Hal itu dapat menjadikan adanya nilai estetik tersendiri dalam puisi
Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak sendiri.
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan di atas, berarti Taufik Ismail
menggunakan bahasa yang bersifat narasi, dan deskripsi dalam puisinya agar
pembaca lebih komunikatif dalam membaca puisi tersebut, dan menyampaikan
sedikit bentuk protes dalam puisi dengan gayanya sendiri karena memang pada saat
itu, oleh Negara dilarang segala bentuk protes yang diberikan karena jika melanggar
maka akan dijatuhi hukuman. Jadi Taufik Ismail menyalurkan segala aspirasi ke
dalam puisi sebagai cara untuk mengungkapkan semua yang ada dalam pikirannya.
Sama halnya dengan OR. Mandak yang termasuk dalam angkatan pujangga
baru, OR. Mandak menggunakan bahasa yang halus dalam puisinya selain merupakan
nilai estetik karena pada saat itu pun dilarang keras memprotes secara langsung,
apalagi jika menggunakan bahasa yang kasar dalam puisi bisa saja akan diberi
hukuman oleh pemerintah saat itu. Oleh karena itu, baik OR. Mandak yang termasuk
dalam angkatan pujangga baru dan Taufik Ismail yang termasuk pada angkatan ‟66
menyalurkan aspirasi mereka ke dalam puisi dengan gaya yang khas dari mereka
sendiri.
Perbandingan di atas dilakukan sebagamana pendapat Luxemburg (1987: 87)
yang menyatakan bahwa gaya bahasa puisi meliputi aspek bunyi, kata dan kalimat,
serta majas/citraan. Bunyi meliputi asonansi dan aliterasi, kata dan kalimat meliputi
konotasi dan denotasi, sedangkan majas/citraan meliputi majas pertentangan, majas
perbandingan, dan majas pertautan, serta citraan meliputi citra penglihatan, citra
pendengaran, dan citra gerak, penciuman, pengecepan. Pada kedua puisi yang telah
dibandingkan di atas memiliki citra penglihatan dan pendengaran serta citra gerak.
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, serta melakukan perbandingan
pada kedua puisi di atas, penulis sudah melakukan dengan menggunakan teori
Luxemburg seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi, dalam penelitian
ini penulis menyadari pasti ada kekurangan yang mungkin tidak disadari oleh penulis
sendiri. Mengingat semua hal yang dikerjakan tidak ada yang sempurna. Semoga
penelitian ini bisa dilanjutkan dengan pengkajian yang lebih baik lagi.
Download