BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Taufik Ismail lahir pada Angkatan ‟66 yang dikenal juga pada masa itu bentuk pemberontakan tidak diperlihatkan secara langsung. Taufik Ismail dikenal dengan seorang demonstran. Akan tetapi bentuk demonstrasi atau bentuk protes Taufik Ismail hanya disalurkan lewat karya sastra yang disebut dengan puisi. Hal tersebut karena kondisi zaman pada saat itu juga sangat tidak memungkinkan untuk memperlihatkan bentuk demo yang terang-terangan. Bahasa-bahasa yang digunakan Taufik Ismail terlihat tegas, walaupun demikian tetap mudah dimengerti serta masih memperhatikan kesantunan dalam mengeluarkan kata-kata. OR. Mandak lahir pada angkatan pujangga baru sebelum angkatan ‟66. Sama halnya pada angkatan Taufik Ismail, pada angkatan OR. Mandak juga telah diterapkan aturan pemerintahan yang apabila dilanggar maka akan mendapatkan hukuman. Walaupun sama-sama lahir pada zaman yang masih ketat dengan aturan, akan tetapi berbeda dengan Taufik Ismail yang menggunakan bahasa-bahasa yang lebih mudah dimengerti dalam puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja, dalam puisi OR. Mandak yang berjudul Sebab Aku Terdiam menggunakan bahasa-bahasa yang halus serta agak terlalu sulit dimengerti, bentuk puisi OR. Mandak masih terbawa-bawa dengan bentuk puisi lama akan tetapi tidak termasuk dalam puisi lama. Berikut akan dibahas gaya bahasa pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail dan puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. mandak yang ditinjau dari aspek bunyi, kata dan kalimat, serta majas/citraan. 4.1.1 Bunyi Pada Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail Pembahasan di bawah ini akan membahas mengenai gaya bahasa pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail, yang akan dipaparkan satu persatu seperti berikut. Bait 1 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Bunyi /u/ dalam kata aku, duduk, tribun, memberikan efek yang cukup menarik perhatian, karena pada kalimat tersebut seolah-olah memberikan informasi adanya maksud atau tujuan yang ingin diperjelas penyair. Sama halnya bunyi /n/ dan /s/ pada kata tribun, kanan, jenjang,menyaksikan, sebuah, pentas. Hal seperti ini biasa terjadi karena penyair ingin menyatakan maksud dan tujuannya dengan cara yang diinginkan. Akan tetapi biasanya penyair juga menyesuaikan dengan adanya bunyi-bunyi dalam setiap kata agar bisa memenuhi efek tertentu. Penyair lebih banyak mononjolkan bunyi konsonan karena diseuaikan dengan kata-kata yang ada dalam bait puisi tersebut, setiap kata yang dipilih oleh penyair tidak dapat tergantikan oleh kata-kata yang lain, sehingga pengulangan konsonan pada bait itu selain merupakan nilai keindahan juga untuk memperjelas maksud setiap kata. Bait ke-2 Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Bunyi /g/ dan /i/ seperti pada kata memasang, gendang, telinga, menggali, kembali, ingatan, agresi, memberikan efek adanya betapa sangat inginnya penyair mengungkapkan sesuatu yang dirasakannya yang terus bernaung dalam pikirannya. Bait ke- 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bunyi /r/ dan /s/ pada kata berenang, antara, arus, kertas, bibliografi, wawancara, gugusan, sajikan, kurasa, sudah, fisiologi-sukmamu, sejarah, ternyata, baru, permukaan, sahaja memberikan adanya efek kelembutan yang digambarkan oleh pengarang dengan tujuan merendahkan diri. Bait ke- 4 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Pada bait ke-4 tersebut terdapat bunyi /s/ dan /r/, pada kata kesempatan, emas, atas, tribun, sosok-sosok, pemeran, drama, silam, mereka, mendirikan, negeriku, Negara, remaja-remaja, belajar, laras, senjata, operator, radio, rimba, raya, sertifikat, armada, penerbang, merindukan, sayap-sayap, pemberani, segala, kemiskinan, beribu, format. Kata-kata yang dirangkai dalam satu bait ini memberi kekuatan ekspersif kepada sajak dengan adanya hubungan antarkata yang dirangkaikan oleh penyair dan menggambarkan sesuatu yang ada dalam pikirannya. Bait ke- 5 Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, jelas Bunyi /r/ dan /t/ seperti pada kata mereka, berbadan, kurus-kurus, sudut, tulang, rahang, kelihatan, berambut, hitam, lebat, lengket, ingat, betul, bercelana, kedombarangan. Kata-kata dalam bait puisi ini memperlihatkan adanya tekanan yang berat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh penyair dengan menggambarkan adanya keadaan susah pada masa itu. Bait ke- 6 Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide, Bunyi /s/ dan /r/ yang mendominasi setiap kata-kata seperti pada kata mereka, semuanya, berani, bersikap, besahaja, memikirkan, materi, merenungkan, memperjuangkan, pikiran, serta. Pengulangan bunyi /s/ dan /r/ yang mendominasi bait ini karena adanya tujuan penyair yang ingin menciptakan adanya efek keseriusan, bait ini mempunyai kekuatan eksperesif yang sulit dilukiskan maknanya oleh pembaca. Bait ke- 7 Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi, begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika memerdekakan Nusantara, Bunyi pada bait ke-7 tersebut didominasi oleh bunyi /r/ dan /s/ paling banyak bunyi /r/ yang mendominasi bait ini seperti pada kata terkenang, sahabat-sahabat, mereka, hadir, ruangan, karena, beribu-ribu, ikhlas, memberikan, memerdekakan, dan nusantara. Bunyi /s/ dan /r/ pada bait ini memperlihatkan adanya sesuatu yang ingin digambarkan penyair secara jelas. Bait ke- 8 Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka, Bunyi /t/ dan /j/ seperti pada kata kita, tundukan, sejenak, pejamkan, mata, detik, hati, Al-fatihah,dan untuk. Tekanan bunyi /t/ dan /j/ memperlihatkan adanya keheningan yang digambarkan oleh penyair. Bait ke- 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka I tu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Bunyi yang jelas terlihat pada bait ini adalah bunyi /s/, /r/, /g/, /a/, /n/, /u/ seperti pada kata suara, lintas, Jakarta, gemuruh, gedung, mataku, berjuta, sosok, raut, wajahnya, adresnya, mereka, dulu, melepas, gelang, berlian, kalung, cincin, tabungan, membelikan, senjata, pesawat terbang, untuk, perang, kemerdekaan. Bunyi-bunyi dalam kata-kata yang diulang-ulang tiada lain dimaksudkan untuk memperjelas maksud dari penyair. Bait ke- 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dala direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Bunyi yang menonjol pada bait ini adalah bunyi /e/, /s/ dan /r/ seperti kata pernah, mereka, harian, sore, direktori, siapa, masuk, acara, wawancara, teks, sejarah, resmi, versi, berkuasa, partikelir, dan swasta. Bunyi dalam setiap kata tersebut memberi kesan tersendiri dari penyair. Bait ke- 11 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionete menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Dalam bait ini juga bunyi /r/ dan /s/ dan /j/ sangat mendominasi setiap kata yang terkandung dalam bait tersebut seolah-olah ingin menggambarkan adanya hal yang sangat ingin diperjelas oleh penyair. Seperti kata sebenarnya, morfologi, kerangka, semuanya, semuanya, berjuta-juta, marionet, menari, melonjak-lonjak, simfoni, gerakan, sedemikian, ruwet, sekaligus, akhirnya, baraturan, atas, histori, pementasannya, sejarahwan, sibuk, menganalisanya, mereka, menjawabnya. Bait ke-12 Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahan- lahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”. Bunyi pada bait ini adalah /a/ dan /e/ yang mengandung rasa berat, seperti pada kata saksikan, menggeleng, perlahan-lahan, rasa, pasti, menjawab, sebenarnya, sedikit, saja. Bait ke-13 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Dalam bait terakhir ini sama halnya dengan bait-bait sebelumnya, bunyi yang menonjol adalah bunyi /g/, /j/, /r/ dan /s/ yang mengandung rasa berat dan suasana gundah, dan penuh pengharapan seperti pada kata sehabis, masa, hari, kurindukan, suatu, bersamanya, keikhlasan, lalu-lintas, pikiran, disenandungkan, berbeda-beda, harus, sama, semua, ukuran, lebar, warnanya, senyum, dipasang, panjang, topeng, panggung, pementasan, sikap, bersahaja, diperebutkan. Asonansi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas karya Taufik Ismail dan Bersahaja terdapat pada bait berikut. Bait ke-2 Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Bait ke- 6 Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide, Bait ke- 7 Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi, begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika memerdekakan Nusantara, Bait ke- 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dala direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Bait ke- 11 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionete menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Aliterasi pada puisi Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat pada bait berikut. Bait 1 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Bait ke-2 Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Bait ke- 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait ke- 5 Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, Bait ke- 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak jelas kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Bait ke-13 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Bait-bait yang telah disebutkan di atas adalah yang termasuk dalam aliterasi atau pengulangan konsonan dalam puisi. 4.1.2 Kata dan Kalimat pada puisi Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail Kata-kata yang sering dipergunakan penyair dalam puisi tersebut adalah kata- kata yang sedikit mengandung protes, kritikan, dan kata-kata yang memang sudah dipilih sebelumnya oleh penyair dengan maksud mempertegas, mengenang, dan memberikan pernyataan kepada pembaca akan maksud dari puisinya tersebut. Hal tersebut akan ditandai dalam puisi berikut seperti apa kata-kata yang dimaksud. Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide, Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi, begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika memerdekakan Nusantara, Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka, Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”. Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. jelas Kata-kata yang telah ditandai di atas adalah kata-kata yang digunakan oleh penyair yang telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat itu. Bahasabahasa yang sedikit tegas akan tetapi menyentuh hati itulah yang dipakai penyair dalam puisi tersebut untuk menyatakan adanya maksud dan tujuan serta ide-ide yang berkecamuk dalam benak penyair. Penyair dalam menyajikan kata-kata tidak mencantumkan kata-kata dengan bahasa daerah sebagaimana sastrawan yang biasa mencantumkan sedikit bahasa daerah ke dalam puisi. Bahasa yang digunakan penyair lebih cenderung ke bahasa sehari-sehari, sehingga lebih mudah dapat dipahami. Penggunaan kata-kata yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari bukan berarti tidak mempunyai nilai-nilai estetik, akan tetapi dapat memberikan adanya suatu gaya yang realistis. Denotasi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail adalah sebagai berikut. Bait 1 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Bait 2 larik 1 Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Bait 4 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Bait 5 Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, Bait 6 Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide, Bait 7 Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi, jelas begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika memerdekakan Nusantara, Bait 8 Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka, Bait 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Bait 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Bait 11 larik 4, 6 dan 7 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Bait 12 Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”. Bait 13 larik 1 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Berikut adalah konotasi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail. Bait 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait 4 larik 4,5,7 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Bait 11 larik 1,2,3, dan 5 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Bait 13 larik 2-7 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja juga terdapat adanya anaphora. Hal tersebut terlihat pada bait puisi di bawah ini. Bait 1,2 dan 3 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait 5 Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, jelas Bait 6 Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide, Bait 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Bait 11 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja Karya Taufik Ismail juga mengandung epizeuksis seperti bait berikut. Bait ke- 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait 4 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Bait 5 Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, jelas Bait 6 Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide, Bait 8 Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka, Bait 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Bait 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Bait 13 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Sebagaimana yang terlihat dari puisi tersebut dapat diketahui bahwa penyair membuat setiap bait puisi tersebut tanpa penghabisan kalimat. Akan tetapi setiap bait hanya diselesaikan dengan tanda koma (,). Hal tersebut menandakan seperti tiada hentinya dan begitu banyaknya hal-hal yang harus dituliskan dalam puisi tersebut, sehingga penyair merasa tanda titik itu akan diberikan nanti pada saat telah berakhir juga kalimat-kalimat dalam puisi. Sebagaimana yang jelas terlihat pada puisi tersebut, penyair membicarakan persoalan sosial dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang polos sehingga dengan mudah dapat dimengerti. 4.1.3 Majas/Citraan pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail Terdapat majas pertentangan yaitu paradoks seperti yang terlihat pada bait berikut. Bait 4 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Berikut adalah majas analogi/identitas/perbandingan seperti simile pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat pada bait berikut. Bait 1 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Berikut adalah metafora pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat pada bait berikut. Bait 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait 4 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Bait 11 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Bait 13 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail juga mempunyai perumpamaan seperti berikut. Bait 1 larik 2 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Personifikasi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat pada bait berikut. Bait 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Bait 13 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail juga terdapat hiperbola seperti yang tampak pada bait berikut. Bait 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait 4 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Bait 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Litotes pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat pada bait berikut. Bait 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan Wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Bait 12 Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”. Majas kedekatan/kontiguitas/pertautan pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail seperti metonomia terdapat pada bait berikut. Bait 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait 8 Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka, Bait 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Bait 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Bait 11 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Bait 13 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Citraan pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja seperti citra penglihatan pada puisi karya Taufik Ismail tersebut terdapat pada bait berikut. Bait 1 dan 2 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Bait 4 dan 5 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, jelas Bait 7, 8, dan 9 Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi, begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika memerdekakan Nusantara, Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka, Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Bait 10- 13 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”. Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Pada puisi karya Taufik Ismail dengan judul Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja juga terdapat citra pendengaran seperti yang tampak pada bait berikut. Bait 2 Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Bait 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Bait 11, 12, dan 13 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”. Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail juga terdapat citra gerak seperti tampak pada bait berikut. Bait 11 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? 4.1.4 Bunyi pada puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bunyi pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak yang paling ditonjolkan oleh penyair adalah bunyi /r/seperti kata terpekur,tersandar,diri,mashyur, peri. Sebagaimana yang terlihat pada bait pertama, bunyi /r/ dalam bait tersebut menandakan rasa berat, kata-kata seruan yang ada pada bait tersebut menandakan adanya perasaan gundah. Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Pada bait 2 ini bunyi yang ditonjolkan penyair adalah bunyi /g/ dan /r/ seperti pada kata gunung, kupandang, bingung, serasa, kemari, mereka, caraku. Bunyi /g/ dan /r/ mempunyai nada yang berat yang dapat mengartikan pula maksud dari penyair tersebut. Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Bunyi pada bait 3 yang menonjol adalah bunyi /g/ dan /s/ seperti pada kata dongengku, tenaga, hilang, dipusing-pusingkan, lancing, lesu-lesu, pasti. Bunyi /g/ dan /s/ pada bait tersebut menandakan adanya rasa gundah. Bait 4 Aku dongengkan yang jauh-jauh Yang ta‟ dapat dilihat mata Yang tidak-tidak dapat disentuh Yang Cuma ada dibibir saja Pada bait 4 ini bunyi /g/ yang dan /h/ yang menonjol seperti pada kata dongengkan, kata yang hingga tiga kali diulang, jauh-jauh, dilihat, disentuh. Bunyi /g/ dan /h/ yang menonjol pada bait ini menandakan adanya hal yang dipentingkan oleh penyair. Bait 5 Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Bunyi yang mendominasi bait di atas adalah bunyi /g/, /m/, dan /r/ seperti pada kata sedang, tengah, terngangah, banggalah, mereka, melihat, mendengar, menari, bicara, merasa, diri. Bunyi /g/, /m/, /r/ dalam bait ini memperlihatkan adanya sedikit kegirangan. Bait 6 Di sepanjang jalan aku berjumpa Dengan kaumku yang papa-papa Anak menangis ditinggal bapa Ibu sakit pucat rupa… Pada bait enam tersebut bunyi /p/ yang paling ditonjolkan oleh penyair seperti pada kata berjumpa, papa-papa, bapa, rupa. Bunyi /a/ juga sangat dominan seperti yang terlihat pada bait tersebut. Bait 7 Kepada mereka yang sakit lapar Aku berkata: “hendaklah sabar… Mereka mengeluh: “kami lapar… Kuberi petuah:”wajib sabar!”… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti pada kata kepada, mereka, sakit, lapar, aku, berkata, hendaklah sabar, kuberi, petuah. Bunyi /a/ dan /r/ yang dominan tersebut memberi adanya arti yang sidikit penegasan oleh penyair. Bait 8 Inilah sebab, wahai saudara Sekian lama aku terdiam Hampir ta‟ tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam… Bunyi yang dominan pada bait ini adalah bunyi /a/ dan /l/. Bunyi /l/ yang mengandung rasa berat tersebut dapat diartikan sebagai kegundahan yang ingin dilukiskan oleh penyair. Bait 9 Jauh-jauh aku berseru Begini-begitu kusebut dalil Ahli kerabat dekat mataku Kulihatkan saja: sengsara, jahil Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/, /i/, /u/ seperti pada kata jauh-jauh, aku, berseru, begini, begitu, kusebut, dalil, ahli, kerabat, dekat, mataku, kulihatkan, saja, sengsara, jahil. Bait 10 Kepada mereka yang hampir pingsan Aku berteriak: “mari berkorban!” Mereka berkata: kami ta‟ makan…” Muka segera aku palingkan Bunyi yang dominan pada bait tersebut di atas adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti yang tampak pada kata kepada, mereka, yang, hampir, pingsan, aku, berteriak, mari, berkorban, berkata, kami, ta‟ makan, muka, segera, palingkan. Kemudian bait sebelas yang bunyinya sama persis dengan bait delapan berarti mempunyai maksud dan tujuan yang sama oleh penyair. Bait 12 Kepada mereka yang sedang payah Selalu kuberi nasehat pula: “hendaknya kamu kuat bersedekah Dengan hati yang suci rela!... Bunyi yang dominan pada bait tersebut di atas adalah bunyi /a/, /u/ dan /r/. Bunyi dalam setiap kata tersebut memberi arti sebuah penegasan yang dimaksudkan oleh penyair. Bait 13 Tiada lama sesudah itu Ke mukaku lalu yatim piatu Pucat kurus tidak berbaju… Aku berpaling pepura ta‟ tahu… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/, /u/, dan /r/ seperti yang tampak pada kata tiada, lama, sesudah, itu, mukaku, lalu, yatim, piatu, pucat, kurus, tidak, berbaju, berpaling, pepura, ta‟ tahu. Bait 15 Di jalan pulang aku berjumpa Dengan kirabat yang sedang lumpuh Lemah, melarat, sengsara, papa… Memohon-mohon sedang bersimpuh… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/, /u/, dan /r/ seperti pada kata jalan, pulang, aku, berjumpa, dengan, kirabat, sedang, lumpuh, lemah, melarat, sengsara, papa, bersimpuh. Bait 16 Aku berbuat pepura lengah Atau serupa terburu-buru… Tinggalah dia lagi tengadah Sampai sekarang menunggu-nunggu… Bunyi yang menonjol pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /u/ seperti yang tampak pada kata aku, berbuat, pepura, lengah, atau, serupa, terburu-buru, tinggalah, dia, lagi, tengadah, sampai, sekarang, menunggu-nunggu. Bait 18 Lagi suatu, wahai saudara, Menyebabkan dadaku malu bicara Kaumku tidak terpelihara Lantaran daku mereka sengsara… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti pada kata lagi, suatu, wahai, saudara, menyebabkan, dadaku, malu, bicara, kaumku, tidak terpelihara, lantaran, daku, mereka, sengsara. Bait 19 Katanya aku tempat berlindung Hujan dan panas „kan ganti tudung… Begitu cerita bunda-kandung Sedari Putera lagi dibendung… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /g/ dan /u/ seperti yang tampak pada kata aku, berlindung, hujan, ganti, tudung, begitu, bunda, kandung, lagi, dibendung. Bait 20 Kini Putera sudah dewasa Sedikit ta‟ ada membalas jasa Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa Bagi keluarga jadi penyiksa… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /s/ seperti pada kata putera, sudah, dewasa, sedikit, ta‟ ada, membalas, jasa, bagi, se-kaum, bangsa, nusa, keluarga, penyiksa. Bait 21 Betapa aku mendongeng jua Besar mulut banyak bicara Jika dilihat tidak bersua Orang yang tahu menggeleng tertawa? Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti yang terlihat pada kata betapa, aku, jua, besar, banyak, bicara, jika, dilihat, tidak, bersua, orang, yang, tahu, tertawa. Bait 22 Mungkinkah aku bunda lahirkan Sahaya untuk mendongeng saja Dengan ta‟ wajib lagi amalkan Teladan cukup dibibir saja? Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /l/ seperti pada kata mungkinkah, aku, bunda, lahirkan, sahaya, saja, dengan, ta‟wajib, lagi, amalkan, teladan. Bait 23 Betapa, saudara, Mulutku ta‟ akan tertutup Jika aku tengah bicara… Kudengar sayup-sayup Keluhan saudara saya Menderita kesakitan hidup?… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /u/ seperti pada kata betapa, saudara, mulutku, ta‟ akan, tertutup, jika, aku, tengah, bicara, kudengar, sayup-sayup, keluhan, saudara, saya, menderita, kesakitan, hidup. Bait 24 Aku berpetuah di muka khalayak Mencurahkan serba jenis nasihat Didengarkan oleh umat yang banyak… Sedang di situ nyata kulihat Fakir meminta terberi tidak… Lemah, lumpuh, tidak bertongkat… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /t/ seperti pada kata aku, berpetuah, muka, khalayak, mencurahkan, serba, nasihat, didengarkan, umat, banyak, sedang, nyata, kulihat, fakir, meminta, tidak, bertongkat. Bait 25 Betapa, saudara Aku ta‟ kan terpekur Bila aku habiskan bicara… … fakir memohon, sayup suara Lutut terujam, tangan terukur?... Bunyi dominan yang terdapat pada bait tersebut adalah bunyi /u/ dan /r/ seperti pada kata saudara, aku, terpekur, bicara, fakir, sayup, lutut, terujam, terukur. Bait 26 Dia nyata orang yang lemah Bukan karena malas dan lalai Nafasnya sesak terengah-engah… Tidak didengar si burung murai Orang yang lalu berpura lengah Serupa terburu hendak lekas sampai… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan bunyi /r/ yang terlihat pada kata orang, karena, terengah-engah, didengar, burung, murai, berpura, serupa, terburu. Bait 27 Betapa, saudara Lidahku ta‟ akan terkalang Sesudah aku habis bicara Berjumpa saudaraku bingung tualang Sedikit ta‟ dapat aku membela Mengantarkan ke tempat yang dia jelang… Bunyi yang dominan yang terdapat pada bait tersebut adalah bunyi /g/ dan /r/ seperti yang tampak pada kata terkalang, bingung, tualang, jelang, saudara, terkalang, bicara, berjumpa, mengantarkan. Bait 28 Saudara! Sudah malulah kini suara Seperti dulu memenuhi udara Ta‟ tahu lagi aku bicara Jika ujud tidak kentara Banyak disebut tidak bertara… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan bunyi /r/ seperti pada kata saudara, suara, udara, bicara, kentara, bertara. Asonansi pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada bait yang akan disebutkan berikut. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Bait 4 Aku dongengkan yang jauh-jauh Yang ta‟ dapat dilihat mata Yang tidak-tidak dapat disentuh Yang Cuma ada dibibir saja Bait 5 Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Bait 6 Di sepanjang jalan aku berjumpa Dengan kaumku yang papa-papa Anak menangis ditinggal bapa Ibu sakit pucat rupa… Bait 8 Inilah sebab, wahai saudara Sekian lama aku terdiam Hampir ta‟ tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam… Bait 9 Jauh-jauh aku berseru Begini-begitu kusebut dalil Ahli kerabat dekat mataku Kulihatkan saja: sengsara, jahil Bait 12 Kepada mereka yang sedang payah Selalu kuberi nasehat pula: “hendaknya kamu kuat bersedekah Dengan hati yang suci rela!... Bait 13 Tiada lama sesudah itu Ke mukaku lalu yatim piatu Pucat kurus tidak berbaju… Aku berpaling pepura ta‟ tahu… Bait 15 Di jalan pulang aku berjumpa Dengan kirabat yang sedang lumpuh Lemah, melarat, sengsara, papa… Memohon-mohon sedang bersimpuh… Bait 16 Aku berbuat pepura lengah Atau serupa terburu-buru… Tinggalah dia lagi tengadah Sampai sekarang menunggu-nunggu… Bait 18 Lagi suatu, wahai saudara Menyebabkan dadaku malu bicara Kaumku tidak terpelihara Lantaran daku mereka sengsara… Bait 20 Kini Putera sudah dewasa Sedikit ta‟ ada membalas jasa Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa Bagi keluarga jadi penyiksa… Bait 21 Betapa aku mendongeng jua Besar mulut banyak bicara Jika dilihat tidak bersua Orang yang tahu menggeleng tertawa? Bait 28 Saudara! Sudah malulah kini suara Seperti dulu memenuhi udara Ta‟ tahu lagi aku bicara Jika ujud tidak kentara Banyak disebut tidak bertara… Bait-bait yang telah disebutkan di atas adalah yang termasuk dalam asonansi. Berikutnya adalah yang termasuk dalam aliterasi. Seperti yang terdapat pada bait berikut. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Bait 5 Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Bait 6 Di sepanjang jalan aku berjumpa Dengan kaumku yang papa-papa Anak menangis ditinggal bapa Ibu sakit pucat rupa… Bait 7 Kepada mereka yang sakit lapar Aku berkata: “hendaklah sabar… Mereka mengeluh: “kami lapar… Kuberi petuah:”wajib sabar!”… Bait 15 Di jalan pulang aku berjumpa Dengan kirabat yang sedang lumpuh Lemah, melarat, sengsara, papa… Memohon-mohon sedang bersimpuh… Bait 16 Aku berbuat pepura lengah Atau serupa terburu-buru… Tinggalah dia lagi tengadah Sampai sekarang menunggu-nunggu… Bait 17 Inilah sebab, wahai saudara Sekian lama aku terdiam Hampir ta‟ tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam… Bait 18 Lagi suatu, wahai saudara Menyebabkan dadaku malu bicara Kaumku tidak terpelihara Lantaran daku mereka sengsara… Bait 19 Katanya aku tempat berlindung Hujan dan panas „kan ganti tudung… Begitu cerita bunda-kandung Sedari Putera lagi dibendung… Seperti yang terlihat pada bait-bait di atas dapat dilihat penyair menggunakan rima yang teratur pada bait-bait puisi tersebut. Hal tersebut karena penyair ingin menjadikan puisi tersebut dengan rima yang beraturan agar bisa menjadi lebih terlihat puitis. 4.1.5 Kata dan Kalimat pada Puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak Kata-kata yang dipergunakan oleh penyair pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak menggunakan bahasa-bahasa melayu dan bentuk puisinya seperti pantun. Walaupun penyair dalam puisi Sebab Aku Terdiam menggunakan bahasabahasa melayu akan tetapi kata-katanya tetap dapat dipahami karena masih serumpun dengan bahasa Indonesia sendiri. Kata-kata yang dipergunakan penyair dalam puisi Sebab Aku Terdiam terlihat halus, tidak secara langsung mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, walaupun terlihat seperti sebuah kritikan akan tetapi penyair mengungkapkan kata-kata tersebut secara halus dan indah didengar. Hal tersebut seperti yang terlihat pada bait-bait berikut. Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Aku dongengkan yang jauh-jauh Yang ta‟ dapat dilihat mata Yang tidak-tidak dapat disentuh Yang Cuma ada dibibir saja Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Di sepanjang jalan aku berjumpa Dengan kaumku yang papa-papa Anak menangis ditinggal bapa Ibu sakit pucat rupa… Kepada mereka yang sakit lapar Aku berkata: “hendaklah sabar… Mereka mengeluh: “kami lapar… Kuberi petuah:”wajib sabar!”… Inilah sebab, wahai saudara Sekian lama aku terdiam Hampir ta‟ tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam… Jauh-jauh aku berseru Begini-begitu kusebut dalil Ahli kirabat dekat mataku Kulihatkan saja: sengsara, jahil Kepada mereka yang hampir pingsan Aku berteriak: “mari berkorban!” Mereka berkata: kami ta‟ makan…” Muka segera aku palingkan Inilah sebab wahai saudara, Sekian lama aku terdiam Hampir ta‟ tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam… Kepada mereka yang sedang payah Selalu kuberi nasehat pula: “hendaknya kamu kuat bersedekah Dengan hati yang suci rela!... Tiada lama sesudah itu Ke mukaku lalu yatim piatu Pucat kurus tidak berbaju… Aku berpaling pepura ta‟ tahu… Inilah sebab, wahai saudara, Sekian lama aku terdiam Hampir tak tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam Di jalan pulang aku berjumpa Dengan kirabat yang sedang lumpuh Lemah, melarat, sengsara, papa… Memohon-mohon sedang bersimpuh… Aku berbuat pepura lengah Atau serupa terburu-buru… Tinggalah dia lagi tengadah Sampai sekarang menunggu-nunggu… Inilah sebab wahai saudara Sekian lama aku terdiam Hampir ta‟ tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam… Lagi suatu, wahai saudara, Menyebabkan dadaku malu bicara Kaumku tidak terpelihara Lantaran daku mereka sengsara… Katanya aku tempat berlindung Hujan dan panas „kan ganti tudung… Begitu cerita bunda-kandung Sedari Putera lagi dibendung… Kini Putera sudah dewasa Sedikit ta‟ ada membalas jasa Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa Bagi keluarga jadi penyiksa… Betapa aku mendongeng jua Besar mulut banyak bicara Jika dilihat tidak bersua Orang yang tahu menggeleng tertawa? Mungkinkah aku bunda lahirkan Sahaya untuk mendongeng saja Dengan ta‟ wajib lagi amalkan Teladan cukup dibibir saja? Betapa, saudara, Mulutku ta‟ akan tertutup Jika aku tengah bicara… Kudengar sayup-sayup Keluhan saudara saya Menderita kesakitan hidup?… Aku berpetuah di muka khalayak Mencurahkan serba jenis nasihat Didengarkan oleh umat yang banyak… Sedang di situ nyata kulihat Fakir meminta terberi tidak… Lemah, lumpuh, tidak bertongkat… Betapa, saudara Aku ta‟ kan terpekur Bila aku habiskan bicara… … fakir memohon, sayup suara Lutut terujam, tangan terukur?... Dia nyata orang yang lemah Bukan karena malas dan lalai Nafasnya sesak terengah-engah… Tidak didengar si burung murai Orang yang lalu berpura lengah Serupa terburu hendak lekas sampai… Betapa, saudara Lidahku ta‟ akan terkalang Sesudah aku habis bicara Berjumpa saudaraku bingung tualang Sedikit ta‟ dapat aku membela Mengantarkan ke tempat yang dia jelang… Saudara! Sudah malulah kini suara Seperti dulu memenuhi udara Ta‟ tahu lagi aku bicara Jika ujud tidak kentara Banyak disebut tidak bertara… Denotasi pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada bait satu dan dua seperti yang tampak pada bait berikut. Bait 1 dan 2 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Bait 5, 6 dan 7 Sedang mereka tengah terngangah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Di sepanjang jalan aku berjumpa Dengan kaumku yang papa-papa Anak menangis ditinggal bapa Ibu sakit pucat rupa… Kepada mereka yang sakit lapar Aku berkata: “hendaklah sabar… Mereka mengeluh: “kami lapar… Kuberi petuah:”wajib sabar!”… Bait 9 dan 10 Jauh-jauh aku berseru Begini-begitu kusebut dalil Ahli kerabat dekat mataku Kulihatkan saja: sengsara, jahil Kepada mereka yang hampir pingsan Aku berteriak: “mari berkorban!” Mereka berkata: kami ta‟ makan…” Muka segera aku palingkan Bait 13 Tiada lama sesudah itu Ke mukaku lalu yatim piatu Pucat kurus tidak berbaju… Aku berpaling pepura ta‟ tahu… Bait 15 dan 16 Di jalan pulang aku berjumpa Dengan kirabat yang sedang lumpuh Lemah, melarat, sengsara, papa… Memohon-mohon sedang bersimpuh… Aku berbuat pepura lengah Atau serupa terburu-buru… Tinggalah dia lagi tengadah Sampai sekarang menunggu-nunggu… Bait 23 dan 24 Betapa, saudara, Mulutku ta‟ akan tertutup Jika aku tengah bicara… Kudengar sayup-sayup Keluhan saudara saya Menderita kesakitan hidup?… Aku berpetuah di muka khalayak Mencurahkan serba jenis nasihat Didengarkan oleh umat yang banyak… Sedang di situ nyata kulihat Fakir meminta terberi tidak… Lemah, lumpuh, tidak bertongkat… Bait 28 Saudara! Sudah malulah kini suara Seperti dulu memenuhi udara Ta‟ tahu lagi aku bicara Jika ujud tidak kentara Banyak disebut tidak bertara… Bait-bait yang telah disebutkan di atas adalah yang termasuk dalam kalimat denotasi. Berikut ini adalah yang termasuk dalam kalimat konotasi. Seperti yang tampak pada bait-bait berikut. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Bait 3 dan 4 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Aku dongengkan yang jauh-jauh Yang ta‟ dapat dilihat mata Yang tidak-tidak dapat disentuh Yang Cuma ada dibibir saja Bait 11 dan 12 Inilah sebab, wahai saudara Sekian lama aku terdiam Hampir ta‟ tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam… Kepada mereka yang sedang payah Selalu kuberi nasehat pula: “hendaknya kamu kuat bersedekah Dengan hati yang suci rela!... Bait 18-22 Lagi suatu, wahai saudara, Menyebabkan dadaku malu bicara Kaumku tidak terpelihara Lantaran daku mereka sengsara… Katanya aku tempat berlindung Hujan dan panas „kan ganti tudung… Begitu cerita bunda-kandung Sedari Putera lagi dibendung… Kini Putera sudah dewasa Sedikit ta‟ ada membalas jasa Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa Bagi keluarga jadi penyiksa… Betapa aku mendongeng jua Besar mulut banyak bicara Jika dilihat tidak bersua Orang yang tahu menggeleng tertawa? Mungkinkah aku bunda lahirkan Sahaya untuk mendongeng saja Dengan ta‟ wajib lagi amalkan Teladan cukup dibibir saja? Bait 25-27 Betapa, saudara Aku ta‟ kan terpekur Bila aku habiskan bicara… … fakir memohon, sayup suara Lutut terujam, tangan terukur?... Dia nyata orang yang lemah Bukan karena malas dan lalai Nafasnya sesak terengah-engah… Tidak didengar si burung murai Orang yang lalu berpura lengah Serupa terburu hendak lekas sampai… Betapa, saudara Lidahku ta‟ akan terkalang Sesudah aku habis bicara Berjumpa saudaraku bingung tualang Sedikit ta‟ dapat aku membela Mengantarkan ke tempat yang dia jelang… Kata-kata atau kalimat pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak seperti yang terlihat pada bait-bait di atas menyinggung masalah sosial dengan menggambarkan adanya keadaan masyarakat. Hal tersebut penyair lakukan karena penyair ingin menggambarkan adanya keadaan masyarakat pada saat itu dengan sedikit menyinggung persoalan seorang pemimpin yang tidak dapat mengurus rakyatnya dengan baik sebagaimana yang sangat diharapkan oleh rakyatnya. Epizeuksis pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terlihat pada beberapa bait seperti yang tampak pada bait berkut. Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Bait 5 Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Bait 7 Kepada mereka yang sakit lapar Aku berkata: “hendaklah sabar… Mereka mengeluh: “kami lapar… Kuberi petuah:”wajib sabar!”… Bait 20 Kini Putera sudah dewasa Sedikit ta‟ ada membalas jasa Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa Bagi keluarga jadi penyiksa… Hal-hal yang baru disebutkan di atas adalah yang termasuk dalam epizeuksis, dan berikutnya adalah anaphora. Anaphora pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada bait berikut. Bait 4 Aku dongengkan yang jauh-jauh Yang ta‟ dapat dilihat mata Yang tidak-tidak dapat disentuh Yang Cuma ada dibibir saja Puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak sebagaimana yang telah diperlihatkan di atas masih mempunyai bentuk penulisan masih dipengaruhi oleh puisi lama. 4.1.6 Majas/Citraan pada Puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak Majas pertentangan yang termasuk dalam paradoks pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terlihat pada bait berikut. Bait 12 Kepada mereka yang sedang payah Selalu kuberi nasehat pula: “hendaknya kamu kuat bersedekah Dengan hati yang suci rela!... Majas analogi/ identitas/ perbandingan pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak seperti majas metafora terlihat pada bait berikut. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Seperti yang terdapat pada bait tersebut di atas, kata kaca, gunung, dan dongeng itu adalah maksud yang bukan sebenarnya yang disebutkan penyair dengan perantara benda atau hal lain. Personifikasi yang terdapat pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terlihat pada bait berikut. Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Bait 18 Lagi suatu, wahai saudara, Menyebabkan dadaku malu bicara Kaumku tidak terpelihara Lantaran daku mereka sengsara… Seperti yang terlihat pada bait di atas kalimat mabuk oleh dongengku dan kalimat dadaku malu bicara merupakan personifikasi karena menyebutkan sesuatu benda atau hal yang tak hidup seolah-olah hidup. Hiperbola pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada bait berikut. Bait 4 dan 5 Aku dongengkan yang jauh-jauh Yang ta‟ dapat dilihat mata Yang tidak-tidak dapat disentuh Yang Cuma ada dibibir saja Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Kalimat pada bait di atas merupakan hiperbola karena terlalu mengada-ada atau membesar-besarkan hal yang dimaksudkan. Litotes pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terlihat pada bait berikut. Bait 15 Di jalan pulang aku berjumpa Dengan kirabat yang sedang lumpuh Lemah, melarat, sengsara, papa… Memohon-mohon sedang bersimpuh… Bait 20 Kini Putera sudah dewasa Sedikit ta‟ ada membalas jasa Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa Bagi keluarga jadi penyiksa… Bait 24 Aku berpetuah di muka khalayak Mencurahkan serba jenis nasihat Didengarkan oleh umat yang banyak… Sedang di situ nyata kulihat Fakir meminta terberi tidak… Lemah, lumpuh, tidak bertongkat… Kalimat pada bait-bait tersebut di atas merupakan litotes karena terlalu merendahkan diri. Hal yang dijelaskan penyair semakin rendah makin direndahkan lagi penyebutannya seperti yang terlihat pada bait 24 di atas. Majas kedekatan/kontiguitas/pertautan seperti metonomia terlihat pada bait berikut. Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Bait 19 Katanya aku tempat berlindung Hujan dan panas „kan ganti tudung… Begitu cerita bunda-kandung Sedari Putera lagi dibendung… Bait 26 Dia nyata orang yang lemah Bukan karena malas dan lalai Nafasnya sesak terengah-engah… Tidak didengar si burung murai Orang yang lalu berpura lengah Serupa terburu hendak lekas sampai… Bait-bait di atas terdapat sebuah kata yang termasuk dalam majas metonomia seperti halnya kata hujan dan panas, si burung murai. Kata itu bukan kata sebenarnya yang ingin dimaksudkan penyair, akan tetapi sebagai pengganti nama yang sebenarnya. Berikut adalah citraan yang termasuk dalam puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak seperti citra penglihatan dan citra pendengaran. Seperti yang tampak pada bait berikut adalah yang termasuk dalam citra penglihatan. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Bait 5 Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Bait 6 Di sepanjang jalan aku berjumpa Dengan kaumku yang papa-papa Anak menangis ditinggal bapa Ibu sakit pucat rupa… Bait 13 Tiada lama sesudah itu Ke mukaku lalu yatim piatu Pucat kurus tidak berbaju… Aku berpaling pepura ta‟ tahu… Bait 15 Di jalan pulang aku berjumpa Dengan kirabat yang sedang lumpuh Lemah, melarat, sengsara, papa… Memohon-mohon sedang bersimpuh… Bait 27 Betapa, saudara Lidahku ta‟ akan terkalang Sesudah aku habis bicara Berjumpa saudaraku bingung tualang Sedikit ta‟ dapat aku membela Mengantarkan ke tempat yang dia jelang… Kemudian adalah citra pendengaran pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak tampak pada bait berikut. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Bait 5 Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Bait 6 Di sepanjang jalan aku berjumpa Dengan kaumku yang papa-papa Anak menangis ditinggal bapa Ibu sakit pucat rupa… Bait 7 Kepada mereka yang sakit lapar Aku berkata: “hendaklah sabar… Mereka mengeluh: “kami lapar… Kuberi petuah:”wajib sabar!”… Bait 9 Jauh-jauh aku berseru Begini-begitu kusebut dalil Ahli kerabat dekat mataku Kulihatkan saja: sengsara, jahil Bait 10 Kepada mereka yang hampir pingsan Aku berteriak: “mari berkorban!” Mereka berkata: kami ta‟ makan…” Muka segera aku palingkan Bait 12 Kepada mereka yang sedang payah Selalu kuberi nasehat pula: “hendaknya kamu kuat bersedekah Dengan hati yang suci rela!... Bait 23-28 Betapa, saudara, Mulutku ta‟ akan tertutup Jika aku tengah bicara… Kudengar sayup-sayup Keluhan saudara saya Menderita kesakitan hidup?… Aku berpetuah di muka khalayak Mencurahkan serba jenis nasihat Didengarkan oleh umat yang banyak… Sedang di situ nyata kulihat Fakir meminta terberi tidak… Lemah, lumpuh, tidak bertongkat… Betapa, saudara Aku ta‟ kan terpekur Bila aku habiskan bicara… … fakir memohon, sayup suara Lutut terujam, tangan terukur?... Dia nyata orang yang lemah Bukan karena malas dan lalai Nafasnya sesak terengah-engah… Tidak didengar si burung murai Orang yang lalu berpura lengah Serupa terburu hendak lekas sampai… Betapa, saudara Lidahku ta‟ akan terkalang Sesudah aku habis bicara Berjumpa saudaraku bingung tualang Sedikit ta‟ dapat aku membela Mengantarkan ke tempat yang dia jelang… Saudara! Sudah malulah kini suara Seperti dulu memenuhi udara Ta‟ tahu lagi aku bicara Jika ujud tidak kentara Banyak disebut tidak bertara… 4.2 Pembahasan 4.2.1 Bunyi Pada Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail Bait 1 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Bunyi /a/, /u/, /n/ dan /s/ yang menonjol dan mengawali bait pertama di atas, menggambarkan bahwa penyair ingin menonjolkan bunyi konsonan, untuk mewakili jiwanya yang sedang mengenang masa lalu yang bersejarah. Selain menggambarkan bahwa penyair sedang mengenang masa bersejarah, penyair juga menyesuaikan dengan bunyi-bunyi yang dapat memperindah bait tersebut dengan menghadirkan cukup banyak bunyi konsonan. Pengulangan bunyi konsonan pada bait puisi tersebut bermaksud untuk memperkuat maksud dari setiap kata yang telah dipilh oleh penyair, bunyi tersebut jika dihubungkan dengan kata, maka kata-kata yang telah dipilih penyair tidak bisa digantikan dengan kata-kata lain oleh karena itu pengulangan bunyi konsonan pada bait tersebut memang sudah disesuaikan dengan pilihan kata oleh penyair. Bait ke-2 Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Bunyi /g/ dan /i/ yang menonjol pada bait dua di atas adalah untuk memperjelas maksud dari penyair, dan menggambarkan betapa sangat prihatin penyair pada kejadian masa lalu yang bersejarah tersebut. Bait ke- 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bunyi /r/ dan /s/ pada bait tiga di atas menggambarkan bahwa penyair mendapatkan sebuah pelajaran yang sangat berharga yang sebelumnya tidak diketahui, mengenai peristiwa sejarah yang ada dalam pikirannya tersebut. Bait ke- 4 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Kata-kata yang dirangkai dalam satu bait empat tersebut di atas memberi kekuatan ekspersif kepada sajak dengan adanya hubungan antarkata yang dirangkaikan oleh penyair yang menggambarkan kejadian penting yang bersejarah. Bait ke- 5 Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, jelas Bunyi /r/ dan /t/ dalam bait lima puisi di atas memperlihatkan adanya tekanan yang berat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh penyair dengan menggambarkan adanya keadaan susah pada masa itu. Bait ke- 6 Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide, Pengulangan bunyi /s/ dan /r/ yang mendominasi bait enam di atas adalah karena adanya tujuan penyair yang ingin menciptakan adanya efek keseriusan, bait ini mempunyai kekuatan eksperesif yang sulit dilukiskan maknanya oleh pembaca. Bait ke- 7 Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi, begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika memerdekakan Nusantara, Bunyi /r/ dan /s/ yang mendominasi bait tujuh di atas adalah penyair menggambarkan adanya peristiwa yang menyedihkan yang telah terjadi pada masa bersejarah itu. Bait ke- 8 Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka, Tekanan bunyi /t/ dan /j/ memperlihatkan adanya keheningan yang digambarkan oleh penyair untuk mengenang kembali masa-masa bersejarah tersebut dalam doa. Bait ke- 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka tu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Bunyi yang jelas terlihat pada bait ini adalah bunyi /s/, /r/, /g/, /a/, /n/, /u/ Bunyi-bunyi dalam kata-kata tersebut yang diulang-ulang tiada lain dimaksudkan untuk memperjelas maksud dari penyair bahwa pada saat itu untuk berkorban pada Negara mereka tidak mengharapkan imbalan, akan tetapi siap mengorbankan apa saja yang mereka miliki selama itu untuk kepentingan Negara. Bait ke- 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dala direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Bunyi yang menonjol pada bait ini adalah bunyi /e/, /s/ dan /r/ Bunyi dalam setiap kata tersebut memberi kesan tersendiri dari penyair. Pada bait sepuluh di atas penyair menggambarkan bahwa untuk berkorban kepada Negara tidak perlu harus dikenal semua orang, akan tetapi yang paling penting adalah niat untuk berbakti pada Negara dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bait ke- 11 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Bunyi /r/ dan /s/ dan /j/ sangat mendominasi setiap kata yang terkandung dalam bait tersebut adalah menggambarkan adanya hal yang sangat ingin diperjelas oleh penyair, dan mempertanyakan bagaimana sebuah keikhlasan itu bisa tumbuh dan menjadi kuat dalam diri kita untuk mempertahankan Negara ini tanpa ada maksud lain. Bait ke-12 Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”. Bunyi pada bait ini adalah /a/ dan /e/ yang mengandung rasa berat, menggambarkan adanya sebuah keikhlasan, tanpa kesombongan, tanpa mengharapkan apapun dalam bentuk materi atau imbalan lainnya. Bait ke-13 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Dalam bait terakhir ini sama halnya dengan bait-bait sebelumnya, bunyi yang menonjol adalah bunyi /g/, /j/, /r/ dan /s/ yang mengandung rasa berat dan suasana gundah, dan penuh pengharapan. Bait terakhir tersebut juga menggambarkan bahwa di zaman sekarang masih ada sisa-sisa manusia yang mempunyai jiwa yang ikhlas , tanpa adanya kepura-puraan dalam mengorbankan sesuatu untuk Negara. Asonansi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas karya Taufik Ismail dan Bersahaja terdapat pada bait berikut. Bait ke-2 Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Bait ke- 6 Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide, Bait ke- 7 Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi, begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika memerdekakan Nusantara, Bait ke- 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dala direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Bait ke- 11 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionete menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Aliterasi pada puisi Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat pada bait berikut. Bait 1 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Bait ke-2 Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Bait ke- 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait ke- 5 Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, Bait ke- 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak jelas kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Bait ke-13 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Bait-bait yang telah disebutkan di atas adalah yang termasuk dalam aliterasi atau pengulangan konsonan dalam puisi. Dalam puisi Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail lebih banyak mengandung pengulangan bunyi konsonan atau biasa disebut dengan aliterasi. Penyair menggunakan banyak aliterasi untuk mewakili perasaan sedih, kegundahan, perasaan berat, dengan mengulang-ulang bunyi konsonan pada puisi tersebut, untuk mewakili segala apa yang dirasakan oleh penyair yang dirangkaikan dengan bunyi-bunyi tersebut. Bunyi dalam puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja tidak memiliki bunyi yang beraturan pada bait terakhir. Hal tersebut karena dari dulu sampai sekarang penyair memang seperti itu dalam membuat puisi. Penyair tidak terlalu mengutamakan bunyi, akan tetapi lebih mengutamakan bentuk kata dan kalimat serta makna yang terkandung dalam puisi. Hal lain mengapa penyair tidak terlalu mengutamakan bunyi adalah karena puisi penyair tersebut sudah bukan puisi lama, yang masih terikat oleh konteks bunyi yang harus beraturan. Dalam membuat puisi juga setiap penyair mempunyai hal-hal yang harus diutamakan, misalnya lebih mengutamakan bunyi, kata dan kalimat, tipografi, atau makna. Pada puisi Taufik Ismail yang berjudul Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja tidak mengutamakan bunyi karena gaya bunyi pada setiap puisi Taufik Ismail tidak selalu diutamakan. 4.2.2 Kata dan Kalimat pada puisi Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail Kata-kata yang sering dipergunakan penyair dalam puisi tersebut adalah kata- kata yang sedikit mengandung protes, kritikan, dan kata-kata yang memang sudah dipilih sebelumnya oleh penyair dengan maksud mempertegas, mengenang, dan memberikan pernyataan kepada pembaca akan maksud dari puisinya tersebut. Hal tersebut akan ditandai dalam puisi berikut seperti apa kata-kata yang dimaksud. Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang jelas kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide, Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi, begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika memerdekakan Nusantara, Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka, Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”. Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Penyair memilih kata dan kalimat seperti yang telah ditandai di atas adalah untuk mempertegas maksud dari penyair itu sendiri. Walaupun penyair tidak mencantumkan bahasa daerah ke dalam puisi sebagaimana penyair lain, akan tetapi itulah gaya kata dan kalimat yang biasa penyair buat. Penyair lebih cenderung bersifat realistis, dengan maksud agar pembaca bisa lebih komunikatif dalam membaca puisinya. Watak penyair yang tergolong tegas, santai tapi serius, dapat dilihat dari cara penyair menyajikan kata dan kalimat. Kata dan kalimat yang tegas, ditambah dengan sedikit bentuk protes, serta bentuk puisi penyair yang sebagian besar berbentuk narasi, deskripsi, hal itu disebabkan oleh latar belakang penyair yang hidup di zaman penjajahan, hidup di zaman yang pada saat itu kekerasan terjadi di mana-mana, sehingga dalam membuat puisi, penyair selalu terlihat tegas dalam menyampaikan kata dan kalimat, karena untuk mengetahui latar belakang puisi diciptakan, tidak hanya melihat siapa pencipta puisi, akan tetapi melihat kata-kata dan kalimat yang ada dalam puisi. Denotasi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail adalah sebagai berikut. Bait 1 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Kata pentas, yang disebutkan penyair pada bait di atas, menggambarkan bahwa penyair berusaha menjelaskan bahwa penyair sedang mengingat suatu kejadian dengan sangat bersejarah bagi bangsa Indinesia. Bait 2 larik 1 Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Kata dalam kalimat ingatan pada agresi kedua 1948 menggambarkan bahwa penyair sedang mengingat suatu kejadian bersejarah pada tahun 1948 yang menjadi tahun bersejarah bagi bangsa Indonesia. Bait 4 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Kalimat di atas menggambarkan bahwa pada masa bersejarah tersebut banyak yang ikut serta berjuang melawan penjajah, termasuk yang ikut di dalamnya adalah anak-anak kecil yang berjiwa pejuang, dan orang-orang miskin yang pemberani. Mereka semua ikut serta membela bangsa Indonesia tanpa mengharapkan apa-apa, yang ada dalam benak mereka adalah membela bangsa apapun yang akan terjadi sampai di titik darah penghabisan. Bait 5 Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, jelas Kata kurus-kurus, tulang rahang, hitam lebat, kedombrangan yang disajikan penyair pada bait di atas menggambarkan bahwa betapa susahnya hidup di masa penjajahan, aka tetapi semangat berjuang mereka sangat kuat. Bait 6 Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide, Kata uang, dan materi pada bait di atas menggambarkan bahwa pada masa itu, mereka yang berjuang melawan penjajah tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun, mereka tidak memikirkan materi apa yang akan mereka dapatkan, akan tetapi mereka mempunyai tekad yang kuat untuk membela bangsa ini. Bait 7 Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi, begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika memerdekakan Nusantara, Kata dalam kalimat memenuhi panggilan Illahi adalah menggambarkan bahwa mereka yang dulu telah berjuang membela bangsa ini, mereka yang menjadikan bangsa ini merdeka telah meninggal dunia. Bait 8 Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka, Kata Al-fatihah yang ada pada bait di atas menggambarkan bahwa marilah kita mendoakan pahlawan-pahlawan yang telah lebih dulu meninggalkan kita, marilah kita kenang sejenak perjuangan mereka dalam melawan negeri tercinta ini. Bait 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, kata adresnya, gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang untuk perang kemerdekaan, meggambarkan bahwa pada saat itu merekalah yang mengorbankan harta benda mereka untuk berjuan melawan penjajahan agar tidak akan merajalela di negeri ini. Bait 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Kata-kata yang telah disebutkan di atas adalah menggambarkan bahwa para pejuang yang telah membela bangsa ini tidak banyak dikenang lagi oleh kita yang telah merasakan kemerdekaan. Bait 11 larik 4, 6 dan 7 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Kata dan kalimat pada bait di atas menggambarkan bahwa sejarawan hanya sibuk mencatat siapa saja pejuang yang telah memerdekakan bangsa ini tanpa mengambil banyak pelajaran dari apa yang telah terjadi. Bait 12 Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”. Kata cendekia pada bait di atas menggambarkan adanya orang yang cerdas dan masih mempunyai sifat merendahkan diri. Bait 13 larik 1 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Bait terakhir di atas menggambarkan bahwa penyair merindukan zaman yang seperti zaman dulu di mana persatuan itu sangat melekat pada diri pejuang, tidak ada kesombongan, tidak ada mengharapkan imbalan, hanya tekad yang kuat untuk memerdekakan bangsa ini sampai titik darah penghabisan. Penyair lebih banyak menggunakan kata dan kalimat denotasi dalam puisi ini dengan maksud agar pembaca lebih komunikatif dalam memahami puisi tersebut. Kata dan kalimat yang dipilih oleh penyair yang lugas menandakan bahwa penyair tidak suka hal-hal yang terbelit-belit. Penyair lebih menyukai kata atau kalimat yang lugas, tanpa menghadirkan banyak kalimat atau kata yang bermakna ganda. Apalagi penyair dikenal dengan seorang kritikus, walalupun tidak semua karya mengandung kritikan, oleh karena itu penyair lebih menonjolkan kata atau kalimat yang denotasi. Hal tersebut bukan berarti puisi penyair tidak memiliki nilai estetik, akan tetapi sebuah nilai yang realisitis di dalam puisi itulah dapat menimbulkan nilai estetik pada puisi penyair tersebut. Berikut adalah konotasi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail. Bait 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, penyair memilih kata berenang dengan maksud mendalami apa yang telah terjadi pada peristiwa bersejarah beberapa tahun silam. Kalimat memetik gugusan buah pengalaman, dan menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja pada bait di atas tersebut bermaksud menggambarkan bahwa dengan adanya peristiwa bersejarah tersebut penyair dapat mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi, dan dengan adanya peristiwa bersejarah tersebut penyair menyadari bahwa kita manusia yang hidup di zaman kemerdekaan ini tidaklah sebanding dengan masa dulu di mana jiwa persaudaraan itu sangat kuat. Bait 4 larik 4,5,7 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Bait empat di atas menggambarkan adanya pejuang di masa penjajahan tersebut tidak mengenal siapa mereka, kaya maupun miskin, anak-anak maupun orang dewasa, siapapun mereka yang ada dalam gambaran bait di atas, mereka adalah orang-orang sangat berjasa untuk Negara ini. Mereka dengan tabah melawan penjajahan dengan niat untuk membela negeri tercinta ini. Bait 11 larik 1,2,3, dan 5 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Kata morfologi keikhlasan pada bait di atas menggambarkan bagaimana seharusnya kita sebagai penerus bangsa ini untuk menumbuhkan nilai-nilai keikhlasan sebagaimana pejuang di masa penjajahan itu, kata marionet dan simfoni pada bait di atas maksudnya adalah zaman sekarang ini di saat banyak masalah yang terjadi, akan tetapi masih ada saja yang bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Kata panggung histori menggambarkan adanya peristiwa sejarah yang terjadi beberapa ratus tahun lahu yang seharusnya kita sebagai penerus bangsa dapat mengambil pelajaran dari perjuangan-perjuangan pejuang kita. Bait 13 larik 2-7 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Kata nyanyian keikhlasan, lalu-lintas pikiran, yang terkandung dalam bait puisi di atas menggambarkan bahwa penyair sangat menginginkan kita yang hidup di zaman yang sudah merdeka ini mampu mencontoh pejuang-pejuang kita yang sudah merelakan nyawa mereka untuk memerdekakan bangsa ini tanpa mengharapkan apapun dalam bentuk imbalan, dan bisa dengan ikhlas berbakti pada bangsa dan Negara. Penyair tidak terlalu banyak menuangkan kata atau kalimat konotasi dalam puisinya karena memang gaya bahasanya penyair seperti itu. Dalam membuat puisi penyair hanya menuangkan sedikit-sedikit saja kata atau kalimat yang konotasi. Hal tersebut mengingat bahwa penyair adalah seorang yang tegas, dan lugas dalam menyampaikan segala sesuatu ke dalam puisi. Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja juga terdapat adanya anaphora. Hal tersebut terlihat pada bait puisi di bawah ini. Bait 1,2 dan 3 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Kata dua hari aku, aku dan ku yang terdapat padi tiga bait di atas menggambarkan bahwa penyair menjelaskan secara berulang-ulang apa yang digambarkan. Dua hari adalah waktu yang cukup lama jika kita hanya terfokus mengingat kejadian bersejarah tersebut. Kata aku yang selalu diulang-ulang oleh penyair menggambarkan adanya perasaan penyair bahwa penyair sangat merindukan zaman dimana pejuang bangsa tingkat persatuan mereka sangat kuat. Kata aku dalam bait di atas juga mewakili adanya perasaan bangsa Indonesia yang sangat berharap kepada kita sebagai penerus bangsa agar dapat belajar dengan baik, bisa mengambil hikmah dari kejadian bersejarah. sehingga tidak akan mudah dijajah seperti dulu lagi. Bait 5 Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, jelas Bait 6 Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide, kata mereka dalam bait di atas adalah menggambarkan mereka para pejuang yang dengan rela mengorbankan nyawa untuk membela bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Penyair mengulang kata mereka karena menurut penyair sendiri kata itu sangat penting untuk diulang. Bait 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Kata aku tak pernah yang diulang-ulang oleh penyair pada bait di atas menggambarkan bahwa pejuang yang telah gugur akibat melawan penjajah sampai sekarang tidak banyak dikenang dalam acara pertelevisian, radio, atau media massa. Rakya Indonesia seakan-akan telah lupa bahwa tanpa mereka kita tidak akan menikmati indahnya kemerdekaan yang telah mereka persembahkan kepada kita sebagai penerus bangsa. Bait 11 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Kata-kata pertanyaan yang diulang-ulang penyair di atas menggambarkan perasaan resah, penyair menggambarkan adanya perasaan gelisah karena menyaksikan penerus bangsa Indonesia yang tidak terlalu perduli, dan mengambil hikmah dari pengorbanan yang dilakukan oleh pejuang. Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja Karya Taufik Ismail juga mengandung epizeuksis seperti bait berikut. Bait ke- 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Kata aku yang selalu diulang-ulang penyair dalam puisi tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kata aku tersebut menggambarkan adanya perasaan penyair, atau bisa juga menggambarkan Indinesia saat sekarang ini. Bait 4 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Kata-kata yang diulang-ulang di atas adalah menggambarkan bahwa pada saat itu mereka yang mewakili kata pejuang, mereka adalah orang-orang yang cerdas, pejuang-pejuang yang dengan rela membela bangsa ini dari tangan-tangan penjajah. Penyair mengulang-ulang kata-kata tersebut karena untuk memperjelas maksud penyair dan menurut penyair sendiri bahwa kata itu penting untuk diulang-ulan. Bait 5 Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, jelas Bait 6 Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide, Bait 8 Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka, kata kita dalam bait di atas adalah kita sebagai bangsa Indonesia, marilah kita sama-sama mengenang, mendoakan mereka yang sudah tidak ada di dunia ini lagi karena telah gugur di medan pertempuran pada peristiwa sejarah tersebut, mari kita pintar-pintar mengambil hikmah, dan menjadikan peristiwa sejarah itu menjadi tonggak bagi kita sebagai penerus bangsa untuk selalu belajar dengan baik, sehingga jika akan terjadi penjajahan lagi maka kita bisa melawannya dengan semangat juang seperti semangat para pejuang dulu. Bait 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Bait 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Kata tak pernah yang diulang-ulang dalam bait di atas menggambarkan bahwa sampai sekarang pengorbanan para pejuang itu makin jarang dikenang lagi oleh bangsa Indonesia. Bait 13 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Kata zaman yang diulang-ulang oleh penyair menggambarkan bahwa bangsa kita, bangsa Indonesia sangat merindukan zaman dimana semangat juang itu begitu mendarah daging pada setiap warga Negara Indonesia. Zaman dimana ketika kita melakukan sesuatu untuk Negara ini tidak mengharapkan imbalan apa-apa, zaman yang semangat persatuan sama seperti dulu. Dalam puisi tersebut penyair lebih menonjolkan epizeuksis karena untuk memperjelas maksud dari penyair, dengan mengulang-ulang kata yang sangat dipentingkan oleh penyair. Hal tersebut juga memuat puisi tersebut lebih hidup, lebih terlihat puitis. Sebagaimana yang terlihat dari puisi tersebut dapat diketahui bahwa penyair membuat setiap bait puisi tersebut tanpa penghabisan kalimat. Akan tetapi setiap bait hanya diselesaikan dengan tanda koma (,). Hal tersebut menandakan seperti tiada hentinya dan begitu banyaknya hal-hal yang harus dituliskan dalam puisi tersebut, sehingga penyair merasa tanda titik itu akan diberikan nanti pada saat telah berakhir juga kalimat-kalimat dalam puisi. Sebagaimana yang jelas terlihat pada puisi tersebut, penyair membicarakan persoalan sosial dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang polos sehingga dengan mudah dapat dimengerti. 4.2.3 Majas/Citraan pada Puisi Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja Karya Taufik Ismail Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat majas pertentangan yaitu paradoks seperti yang terlihat pada bait berikut. Bait 4 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Penyair menggunakan majas pertentangan berupa paradoks pada bait tersebut karena penyair menggambarkan adanya pejuang masa itu yang disebut dengan seorang diplomat tetapi tidak memiliki ijazah diplomat, artinya adalah mereka seorang yang pemikirannya luas, seperti layaknya seorang diplomat berpikir, padahal mereka bukan seorang diplomat, kemungkinan mereka hanya remaja-remaja yang duduk di bangku SMA yang ikutserta melawan penjajah pada saat itu. Pelaut tanpa armada, artinya mereka siap berjuang, melawan penjajah walaupun tidak ada yang memaksa mereka untuk ikutserta melawan penjajah, penerbang yang merindukan sayap-sayap, kalimat tersebut bermakna bahwa mereka sangat mengharapkan adanya kehidupan yang tenang, bisa hidup bebas tanpa adanya penjajah yang hanya membuat sengsara. Berikut adalah majas analogi/identitas/perbandingan seperti simile pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat pada bait berikut. Bait 1 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Penyair menggunakan kata bagai pada bait di atas untuk memperjelas maksud dari penyair bahwa keadaan sekarang ini bagaikan sebuah pentas, apa-apa yang akan dilakukan pasti ada yang akan meliput berita itu. Seakan-akan apa yang diperbuat hanya untuk mendapatkan balasan berupa penghargaan. Berikut adalah metafora pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat pada bait berikut. Bait 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait 4 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Bait 11 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Bait 13 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Penyair menggunakan metafora pada bait-bait yang telah disebutkan di atas adalah untuk menyatakan apa yang ada di dalam pikirannya secara tidak langsung. Maksudnya adalah, karena penyair dikenal sebagai pelopor angkatan ‟66 yang pada saat itu dilarang mendemo, memprotes, mengkritik secara langsung, sehingga penyair dalam puisi tersebut menggunakan metafora pada beberapa bait dalam puisi, untuk menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya secara tidak langsung. Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail juga mempunyai perumpamaan seperti berikut. Bait 1 larik 2 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, penyair menggunakan sedikit perumpamaan dalam puisi, untuk mengumpamakan pejuang zaman sekarang beda dengan yang dulu, yang sekarang banyak diliput, sedangkan yang dulu bahkan tidak yang tidak dikenal oleh warga Negara Indonesia, hal tersebut seperti yang dicantumkan penyair pada puisinya dengan kalimat bagai menyaksikan sebuah pentas karena sekecil apapun perjuangan yang dilakukan selalu ada yang meliput sehingga dapat disaksikan oleh masyarakat. Personifikasi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat pada bait berikut. Bait 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Bait 13 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Penyair memilih personifikasi pada bait-bait di atas karena penyair ingin menggambarkan sifat-sifat yang dimiliki manusia terhadap sesuatu yang tidak hidup. Selain merupakan nilai keindahan dalam puisi, personifikasi juga merupakan bahasa kias yang cocok untuk mewakili perasaan penyair. Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail juga terdapat hiperbola seperti yang tampak pada bait berikut. Bait 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait 4 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Bait 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Hiperbola yang ada dalam bait puisi di atas adalah untuk mewakili perasaan jiwa penyair, yang terkesan benar-benar sangat mengenang para pejuang dengan bahasanya sendiri yang menurut penyair bisa mewakili perasaan dan apa yang ada dalam pikirannya. Hiperbola dapat mewakili gaya bahasa penyair yang dikenal tegas, penuh semangat, sehingga dalam menggambarkan sesuatu dalam puisi penyair benarbenar bersemangat dalam menuangkan kata-kata atau kalimat-kalimat dalam puisi dengan semangat yang berapi-api. Litotes pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail terdapat pada bait berikut. Bait 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan Wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Bait 12 Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”. Penyair menuangkan sedikit majas litotes dalam puisi tersebut, untuk menggambarkan bahwa pada masa itu sebesar apapun perjuangan mereka, tidak pernah ada terselip kesombongan dalam diri mereka, mereka justru merasa bahwa apa yang mereka lakukan belum seberapa, yang mereka utamakan adalah bisa meraih kemerdekaan secepatnya tanpa mempedulikan apapun termasuk nyawa mereka. Majas kedekatan/kontiguitas/pertautan pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail seperti metonomia terdapat pada bait berikut. Bait 3 Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Bait 8 Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka, Bait 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Bait 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Bait 11 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Bait 13 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Penyair menuangkan majas metonomia pada bait-bait di atas adalah sebagaimana penyiar menuangkan majas personifikasi, yaitu untuk mewakili perasaan jiwa penyair. Penyair menggunakan metonomia dalam puisinya sebagai sarana untuk mengungkapkan maksudnya secara tidak langsung. Sebagaimana yang telah dikenal bahwa penyiar hidup pada masa di mana aturan sangat ketat, sehingga harus pintar-pintar dalam memilih kata dan kalimat yang bisa mewakili maksud dan tujuan dari penyair itu sendiri. Citraan pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja seperti citra penglihatan pada puisi karya Taufik Ismail tersebut terdapat pada bait berikut. Bait 1 dan 2 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Bait di atas mengandung citra penglihatan. Penyair menggunakan kata bagai menyaksikan, dan menggali kembali ingatan, kalimat tersebut untuk mengajak pembaca agar bisa membayangkan secara jelas sejarah apa yang telah terjadi pada agresi kedua tersebut. Bait 4 dan 5 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, jelas Penyair memilih kata menatap sosok-sosok, dan aku bayangkan, jelas kelihatan, pada empat dan lima di atas untuk menjelaskan sedikit demi sedikit kepada pembaca mengenai sejarah pada agresi kedua tersebut. Penyair juga memberi gambaran kepada pembaca mengenai situasi pejuang pada saat itu yang hanya berasal dari kalangan biasa, akan tetapi mempunyai tekad yang kuat untuk melawan penjajahan. Bait 7, 8, dan 9 Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi, begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika memerdekakan Nusantara, Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka, Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Penyair memilih kata-kata aku terkenang, pejamkan mata, terbayang di mataku, untuk mengajak kepada pembaca untuk ikut mengenang mereka yang telah memperjuangkan bangsa ini, pada bait ke delapan penyair mengajak kepada kita untuk mendoakan mereka yang telah meninggal dunia, mereka yang telah memerdekakan bangsa ini, dan pada bait ke sembilan penyair mulai mengenang kembali mereka yang sangat berjasa bagi bangsa ini. Pada bait di atas tersebut penyair memilih kata-kata yang cukup menyedihkan. Bait 10- 13 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”. Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Pada bait sepuluh penyair menggunakan kalimat tak pernah melihat wajah mereka, untuk menggambarkan bahwa kita sebagai penerus bangsa ini mungkin tidak mengenal mereka, kita bahkan lebih banyak mengenal artis daripada pahlawan yang telah gugur tersebut. Bait sebelas memilih kata menari, dan melonjak-lonjak menggambarkan bahwa cukup banyak penerus bangsa yang hanya bersenang-senang menikmati indahnya kemerdekaan tanpa mengetahui betapa sulitnya meraih kemerdekaat itu, harusnya sebagai penerus bangsa kita belajar dengan baik sehingga bisa berbakti pada bangsa nantinya. Bait dua belas penyair menuangkan kata aku saksikan pada kalimat tersebut dengan maksud menggambarkan bahwa zaman sekarang tetap masih ada penerus bangsa yang mempunyai jiwa rendah hati. Pada bait tiga belas penyair menuliskan kata senyum yang nampak, maksud dari kalimat tersebut adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi bangsa kita jika selamanya jiwa yang ikhlas itu akan selalu ada dalam diri kita sebagai penerus negeri tercinta ini. Pada puisi karya Taufik Ismail dengan judul Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja juga terdapat citra pendengaran seperti yang tampak pada bait berikut. Bait 2 Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Citra pendengaran yang dituangkan penyair melalui kalimat memasang gendang telinga dan menyimak dimaksudkan bahwa penyair sedang mengenang kejadian yang sangat bersejarah. Bait 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Kalimat pada bait Sembilan di atas dimaksudkan bahwa penyair semakin teringat akan perjuangan pejuang-pejuang di zaman dahulu tersebut ketika mendengar suara-suara bergemuruh yang mengantarkannya untuk mengenang kembali mereka yang telah berjuang melawan penjajah. Bait 11, 12, dan 13 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Kalimat pada bait sebelas yang telah ditandai di atas mengajak pembaca untuk berfikir bagaimana caranya mempertahankan kemerdekaan bangsa ini, tidak hanya senang menikmati rasanya merdeka, akan tetapi memikirkan nasib bangsa ini kedepan. Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”. Kalimat pada bait dua belas di atas menggambarkan pada kita bahwa seperti itulah jiwa yang ikhlas, tidak ada kesombongan terlintas pada kalimat yang dilontarkan di atas tersebut. Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Kalimat pada bait tiga belas di atas memberikan efek tertentu kepada pembaca, nyanyian keikhlasan yang dimaksudkan penyair adalah jiwa yang ikhlas, tanpa mengharapkan imbalan jasa, disenandungkan dengan nada berbeda-beda yang dimaksud penyair adalah berbagai macam saran dan masukan yang sangat bermanfaat untuk masa depan negeri tercinta ini. Pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail juga terdapat citra gerak seperti tampak pada bait berikut. Bait 11 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Citra gerak yang terdapat pada bait sebelas di atas dipilih penyair untuk lebih menghidupkan puisi, sehingga pembaca bisa merasakan sedikit gerakan pada dirinya ketika membaca puisi. 4.2.4 Bunyi pada Puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bunyi pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak yang paling ditonjolkan oleh penyair adalah bunyi /r/seperti kata terpekur,tersandar,diri,mashyur, peri. Sebagaimana yang terlihat pada bait pertama, bunyi /r/ dalam bait tersebut menandakan rasa berat, kata-kata seruan yang ada pada bait tersebut menandakan adanya perasaan gundah. Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Pada bait 2 ini bunyi yang ditonjolkan penyair adalah bunyi /g/ dan /r/ seperti pada kata gunung, kupandang, bingung, serasa, kemari, mereka, caraku. Bunyi /g/ dan /r/ mempunyai nada yang berat yang dapat mengartikan pula bahwa si aku membuat orang-orang disekitarnya bingung dengan ulahnya sendiri. Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Bunyi pada bait 3 yang menonjol adalah bunyi /g/ dan /s/ seperti pada kata dongengku, tenaga, hilang, dipusing-pusingkan, lancing, lesu-lesu, pasti. Bunyi /g/ dan /s/ pada bait tersebut menandakan adanya rasa bersalah pada diri sendiri. Bait 4 Aku dongengkan yang jauh-jauh Yang ta‟ dapat dilihat mata Yang tidak-tidak dapat disentuh Yang Cuma ada dibibir saja Pada bait 4 ini bunyi /g/ yang dan /h/ yang menonjol seperti pada kata dongengkan, kata yang hingga tiga kali diulang, jauh-jauh, dilihat, disentuh. Bunyi /g/ dan /h/ yang menonjol pada bait ini menandakan adanya hal yang dipentingkan oleh penyair yang menggambarkan adanya nasehat yang selalu diberikan kepada orang lain akan tetapi pada dirinya sendiri tidak dilakukan nasehat itu. Bait 5 Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Bunyi yang mendominasi bait di atas adalah bunyi /g/, /m/, dan /r/ seperti pada kata sedang, tengah, terngangah, banggalah, mereka, melihat, mendengar, menari, bicara, merasa, diri. Bunyi /g/, /m/, /r/ dalam bait ini memperlihatkan adanya sedikit kegirangan. Si Aku menggambarkan bahwa ia merasa bangga karena banyak orang yang mendengarkan semua yang diucapkan karena kepintarannya dalam mempengaruhi lawan bicara. Bait 6 Di sepanjang jalan aku berjumpa Dengan kaumku yang papa-papa Anak menangis ditinggal bapa Ibu sakit pucat rupa… Pada bait enam tersebut bunyi /p/ yang paling ditonjolkan oleh penyair seperti pada kata berjumpa, papa-papa, bapa, rupa. Bunyi /a/ juga sangat dominan seperti yang terlihat pada bait tersebut. Bunyi tersebut menggambarkan bahwa cukup banyak orang yang menderita di sepanjang jalan yang dilewati. Bait 7 Kepada mereka yang sakit lapar Aku berkata: “hendaklah sabar… Mereka mengeluh: “kami lapar… Kuberi petuah:”wajib sabar!”… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti pada kata kepada, mereka, sakit, lapar, aku, berkata, hendaklah sabar, kuberi, petuah. Bunyi /a/ dan /r/ yang dominan tersebut memberi adanya maksud bahwa si aku tidak mau menolong mereka yang kelaparan, akan tetapi hanya memberi nasehat kepada mereka agar lebih bersabar dalam menjalani hidup ini. Bait 8 Inilah sebab, wahai saudara Sekian lama aku terdiam Hampir ta‟ tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam… Bunyi yang dominan pada bait ini adalah bunyi /a/ dan /l/. Bunyi /l/ yang mengandung rasa berat tersebut dapat diartikan sebagai kegundahan yang ingin dilukiskan oleh penyair. Bait delapan tersebut menggambarkan adanya si aku yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika melihat kaumnya menderita. Bait 9 Jauh-jauh aku berseru Begini-begitu kusebut dalil Ahli kerabat dekat mataku Kulihatkan saja: sengsara, jahil Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/, /i/, /u/ seperti pada kata jauh-jauh, aku, berseru, begini, begitu, kusebut, dalil, ahli, kerabat, dekat, mataku, kulihatkan, saja, sengsara, jahil. Bunyi yang oleh penyair mengandung nilai ekspresif, penyair menggambarkan tentang si aku yang mungkin adalah seorang ulama yang selalu berseru, mengatakan ini wajib ini haram, sedangkan dirinya sendiri tidak perduli dengan tetangganya yang hidup sengsara. Bait 10 Kepada mereka yang hampir pingsan Aku berteriak: “mari berkorban!” Mereka berkata: kami ta‟ makan…” Muka segera aku palingkan Bunyi yang dominan pada bait tersebut di atas adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti yang tampak pada kata kepada, mereka, yang, hampir, pingsan, aku, berteriak, mari, berkorban, berkata, kami, ta‟ makan, muka, segera, palingkan. Dalam hal ini penyair jelas menggambarkan seorang ulama yang hanya pintar menyerukan dalil akan tetapi tidak melakukan seperti apa yang diperintahkan kepada semua orang yang ditemui. Kemudian bait sebelas yang bunyinya sama persis dengan bait delapan berarti mempunyai maksud dan tujuan yang sama oleh penyair. Bait 12 Kepada mereka yang sedang payah Selalu kuberi nasehat pula: “hendaknya kamu kuat bersedekah Dengan hati yang suci rela!... Bunyi yang dominan pada bait tersebut di atas adalah bunyi /a/, /u/ dan /r/. Bunyi dalam setiap kata tersebut memberi arti sebuah penegasan yang dimaksudkan oleh penyair. Penegasan yang dimaksud adalah penegasan yang oleh si aku tersebut wajib dilakukan misalnya bersedekah dengan ikhlas. Bait 13 Tiada lama sesudah itu Ke mukaku lalu yatim piatu Pucat kurus tidak berbaju… Aku berpaling pepura ta‟ tahu… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/, /u/, dan /r/ seperti yang tampak pada kata tiada, lama, sesudah, itu, mukaku, lalu, yatim, piatu, pucat, kurus, tidak, berbaju, berpaling, pepura, ta‟ tahu. Bait di atas menggambarkan adanya si aku yang tidak perduli dengan seorang yatim piatu sekalipun padahal si aku tersebut selalu menyerukan dalil yang ternyata si aku sendiri tidak mengerjakan. Bait 15 Di jalan pulang aku berjumpa Dengan kirabat yang sedang lumpuh Lemah, melarat, sengsara, papa… Memohon-mohon sedang bersimpuh… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/, /u/, dan /r/ seperti pada kata jalan, pulang, aku, berjumpa, dengan, kirabat, sedang, lumpuh, lemah, melarat, sengsara, papa, bersimpuh. Bunyi pada bait tersebut bermakna adanya kesusahan, penderitaan, sebagaimana yang digambarkan pada bait di atas, dimana banyak orang yang menderita di sekitar si aku, akan tetapi si aku sedikitpun tidak perduli. Bait 16 Aku berbuat pepura lengah Atau serupa terburu-buru… Tinggalah dia lagi tengadah Sampai sekarang menunggu-nunggu… Bunyi yang menonjol pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /u/ seperti yang tampak pada kata aku, berbuat, pepura, lengah, atau, serupa, terburu-buru, tinggalah, dia, lagi, tengadah, sampai, sekarang, menunggu-nunggu. Bunyi pada bait tersebut bermakna adanya kesengsaraan yang terjadi di sekitar si aku, sebagai seorang yang selalu memberikan dalil kepada semua orang maka wajarlah jika mereka orang hidup menderita meminta sedikit pertolongan akan tetapi sedikitpun tidak dihiraukan oleh si aku yang sebenarnya adalah seorang ulama tersebut. Bait 18 Lagi suatu, wahai saudara, Menyebabkan dadaku malu bicara Kaumku tidak terpelihara Lantaran daku mereka sengsara… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti pada kata lagi, suatu, wahai, saudara, menyebabkan, dadaku, malu, bicara, kaumku, tidak terpelihara, lantaran, daku, mereka, sengsara. Bunyi yang mendominasi bait tersebut bermakna adanya perasaan gundah, keresahan yang ada dalam diri si aku yang hanya tahu memberi fatwa akan tetapi tidak bisa mengasihani kaumnya yang dalam keadaan susah. Bait 19 Katanya aku tempat berlindung Hujan dan panas „kan ganti tudung… Begitu cerita bunda-kandung Sedari Putera lagi dibendung… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /g/ dan /u/ seperti yang tampak pada kata aku, berlindung, hujan, ganti, tudung, begitu, bunda, kandung, lagi, dibendung yang bermakna adanya perasaan gundah yang menaungi pikiran si aku yang menurutnya dia tidak pantas dianggap sebagai tempat untuk berlindung. Bait 20 Kini Putera sudah dewasa Sedikit ta‟ ada membalas jasa Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa Bagi keluarga jadi penyiksa… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /s/ seperti pada kata putera, sudah, dewasa, sedikit, ta‟ ada, membalas, jasa, bagi, se-kaum, bangsa, nusa, keluarga, penyiksa. Bunyi tersebut bermakna adanya perasaan bersalah dalam hati si aku yang menurutnya dia tidak berguna bagi bangsanya sendiri. Bait 21 Betapa aku mendongeng jua Besar mulut banyak bicara Jika dilihat tidak bersua Orang yang tahu menggeleng tertawa? Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /r/ seperti yang terlihat pada kata betapa, aku, jua, besar, banyak, bicara, jika, dilihat, tidak, bersua, orang, yang, tahu, tertawa dan bermakna adanya si aku yang semakin mempertanyakan dirinya sebagai seorang yang banyak menasehati banyak orang akan tetapi semua apa yang diucapkannya sama dengan sebuah dongeng karena ia pun tidak pernah melakukannya. Bait 22 Mungkinkah aku bunda lahirkan Sahaya untuk mendongeng saja Dengan ta‟ wajib lagi amalkan Teladan cukup dibibir saja? Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /l/ seperti pada kata mungkinkah, aku, bunda, lahirkan, sahaya, saja, dengan, ta‟wajib, lagi, amalkan, teladan dan bermakna adanya keresahan hati si aku yang menyalahkan kelahiran dirinya yang hanya bisa selalu berfatwa akan tetapi tidak bisa melakukan apa yang difatwakan tersebut. Bait 23 Betapa, saudara, Mulutku ta‟ akan tertutup Jika aku tengah bicara… Kudengar sayup-sayup Keluhan saudara saya Menderita kesakitan hidup?… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /u/ seperti pada kata betapa, saudara, mulutku, ta‟ akan, tertutup, jika, aku, tengah, bicara, kudengar, sayup-sayup, keluhan, saudara, saya, menderita, kesakitan, hidup yang bermakna adanya kegundahan dalam hati si aku yang jika berbicara maka ia akan berbcara terus menerus padahal dia tidak menyadari bahwa ada yang mulai memprotes dirinya yang hanya bisa berkata tetapi tidak bisa melakukan apa yang dikatakannya tersebut. Bait 24 Aku berpetuah di muka khalayak Mencurahkan serba jenis nasihat Didengarkan oleh umat yang banyak… Sedang di situ nyata kulihat Fakir meminta terberi tidak… Lemah, lumpuh, tidak bertongkat… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan /t/ seperti pada kata aku, berpetuah, muka, khalayak, mencurahkan, serba, nasihat, didengarkan, umat, banyak, sedang, nyata, kulihat, fakir, meminta, tidak, bertongkat, bunyi pada bait tersebut bermakna adanya perasaan resah, dimana bait tersebut menggambarkan bahwa dalam keadaan menasehati banyak orang, dan melihat orang yang patut dikasihani ikut serta mendengarkan segala macam nasehatnya akan tetapi si aku tidak memberi apa-apa kepada orang susah tersebut. Bait 25 Betapa, saudara Aku ta‟ kan terpekur Bila aku habiskan bicara… … fakir memohon, sayup suara Lutut terujam, tangan terukur?... Bunyi dominan yang terdapat pada bait tersebut adalah bunyi /u/ dan /r/ seperti pada kata saudara, aku, terpekur, bicara, fakir, sayup, lutut, terujam, terukur. Bunyi tersebut bermakna adanya perasaan gundah pada diri si aku, yang tidak bisa terdiam jika dalam keadaan berbicara walaupun ada seorang fakir memohon-mohon padanya. Bait 26 Dia nyata orang yang lemah Bukan karena malas dan lalai Nafasnya sesak terengah-engah… Tidak didengar si burung murai Orang yang lalu berpura lengah Serupa terburu hendak lekas sampai… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan bunyi /r/ yang terlihat pada kata orang, karena, terengah-engah, didengar, burung, murai, berpura, serupa, terburu. Bunyi tersebut bermakna adanya kegundahan dalam hati si aku yang pada bait tersebut mengambarkan keadaan orang miskin yang sengsara dan tidak ada satupun yang perduli termasuk si aku tersebut. Bait 27 Betapa, saudara Lidahku ta‟ akan terkalang Sesudah aku habis bicara Berjumpa saudaraku bingung tualang Sedikit ta‟ dapat aku membela Mengantarkan ke tempat yang dia jelang… Bunyi yang dominan yang terdapat pada bait tersebut adalah bunyi /g/ dan /r/ seperti yang tampak pada kata terkalang, bingung, tualang, jelang, saudara, terkalang, bicara, berjumpa, mengantarkan. Bunyi tersebut bermakna adanya perasaan gundah dalam hati si aku. Sebagaimana yang terlihat pada bait tersebut ternyata si aku memang seorang yang tidak bisa berbuat apa-apa untukm menolong kaumnya. Bait 28 Saudara! Sudah malulah kini suara Seperti dulu memenuhi udara Ta‟ tahu lagi aku bicara Jika ujud tidak kentara Banyak disebut tidak bertara… Bunyi yang dominan pada bait tersebut adalah bunyi /a/ dan bunyi /r/ seperti pada kata saudara, suara, udara, bicara, kentara, bertara. Bunyi pada bait di atat tersebut adalah menggambarkan adanya perasaan malu, si aku merasa malu pada dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong kaumnya. Asonansi pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada bait yang akan disebutkan berikut. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Bait 4 Aku dongengkan yang jauh-jauh Yang ta‟ dapat dilihat mata Yang tidak-tidak dapat disentuh Yang Cuma ada dibibir saja Bait 5 Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Bait 6 Di sepanjang jalan aku berjumpa Dengan kaumku yang papa-papa Anak menangis ditinggal bapa Ibu sakit pucat rupa… Bait 8 Inilah sebab, wahai saudara Sekian lama aku terdiam Hampir ta‟ tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam… Bait 9 Jauh-jauh aku berseru Begini-begitu kusebut dalil Ahli kerabat dekat mataku Kulihatkan saja: sengsara, jahil Bait 12 Kepada mereka yang sedang payah Selalu kuberi nasehat pula: “hendaknya kamu kuat bersedekah Dengan hati yang suci rela!... Bait 13 Tiada lama sesudah itu Ke mukaku lalu yatim piatu Pucat kurus tidak berbaju… Aku berpaling pepura ta‟ tahu… Bait 15 Di jalan pulang aku berjumpa Dengan kirabat yang sedang lumpuh Lemah, melarat, sengsara, papa… Memohon-mohon sedang bersimpuh… Bait 16 Aku berbuat pepura lengah Atau serupa terburu-buru… Tinggalah dia lagi tengadah Sampai sekarang menunggu-nunggu… Bait 18 Lagi suatu, wahai saudara Menyebabkan dadaku malu bicara Kaumku tidak terpelihara Lantaran daku mereka sengsara… Bait 20 Kini Putera sudah dewasa Sedikit ta‟ ada membalas jasa Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa Bagi keluarga jadi penyiksa… Bait 21 Betapa aku mendongeng jua Besar mulut banyak bicara Jika dilihat tidak bersua Orang yang tahu menggeleng tertawa? Bait 28 Saudara! Sudah malulah kini suara Seperti dulu memenuhi udara Ta‟ tahu lagi aku bicara Jika ujud tidak kentara Banyak disebut tidak bertara… Bait-bait yang telah disebutkan di atas adalah yang termasuk dalam asonansi. Berikutnya adalah yang termasuk dalam aliterasi. Seperti yang terdapat pada bait berikut. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Bait 5 Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Bait 6 Di sepanjang jalan aku berjumpa Dengan kaumku yang papa-papa Anak menangis ditinggal bapa Ibu sakit pucat rupa… Bait 7 Kepada mereka yang sakit lapar Aku berkata: “hendaklah sabar… Mereka mengeluh: “kami lapar… Kuberi petuah:”wajib sabar!”… Bait 15 Di jalan pulang aku berjumpa Dengan kirabat yang sedang lumpuh Lemah, melarat, sengsara, papa… Memohon-mohon sedang bersimpuh… Bait 16 Aku berbuat pepura lengah Atau serupa terburu-buru… Tinggalah dia lagi tengadah Sampai sekarang menunggu-nunggu… Bait 17 Inilah sebab, wahai saudara Sekian lama aku terdiam Hampir ta‟ tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam… Bait 18 Lagi suatu, wahai saudara Menyebabkan dadaku malu bicara Kaumku tidak terpelihara Lantaran daku mereka sengsara… Bait 19 Katanya aku tempat berlindung Hujan dan panas „kan ganti tudung… Begitu cerita bunda-kandung Sedari Putera lagi dibendung… Bunyi yang menonjol pada bait-bait di atas adalah bunyi asonansi atau pengulangan vokal. Penyair menonjolkan asonansi daripada aliterasi karena keseluruhan bait pada puisi tersebut menggambarkan perasaan gundah, resah, perasaan yang berat yang dapat diwakili dengan menghadirkan adanya asonansi, sehingga asonansi lah yang terlihat menonjol pada puisi tersebut. Seperti yang terlihat pada bait-bait di atas dapat dilihat penyair menggunakan rima yang teratur pada baitbait puisi tersebut. Hal tersebut karena penyair ingin menjadikan puisi tersebut dengan rima yang beraturan agar bisa menjadi lebih terlihat puitis. 4.2.5 Kata dan Kalimat pada Puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak Kata-kata yang dipergunakan oleh penyair pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak menggunakan bahasa-bahasa melayu dan bentuk puisinya seperti pantun. Walaupun penyair dalam puisi Sebab Aku Terdiam menggunakan bahasa- bahasa melayu akan tetapi kata-katanya tetap dapat dipahami karena masih serumpun dengan bahasa Indonesia sendiri. Kata-kata yang dipergunakan penyair dalam puisi Sebab Aku Terdiam terlihat halus, tidak secara langsung mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, walaupun terlihat seperti sebuah kritikan dan sindiran akan tetapi penyair mengungkapkan kata-kata tersebut secara halus dan indah didengar. Hal tersebut seperti yang terlihat pada bait-bait berikut. Penyair menggunakan kata-kata atau kalimat yang halus, walaupun berupa kritikan dan sindiran, akan tetapi itulah gaya bahasanya penyair. Mengingat penyair termasuk dalam angkatan pujangga baru yang pada masa itu dikenal dengan masa pemerintahan keras, baik peraturannya dan hukuman yang akan diberikan jika melanggar, maka membuat penyair dalam memasukan kata atau kalimat dalam puisi tetap bersifat sindiran, kritikan yang tidak secara langsung agar tidak membuat yang disindir atau dikritik menjadi marah. Kata-kata atau kalimat pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak seperti yang terlihat pada bait-bait di atas menyinggung masalah sosial dengan menggambarkan adanya keadaan masyarakat. Hal tersebut penyair lakukan karena penyair ingin menggambarkan adanya keadaan masyarakat pada saat itu dengan sedikit menyinggung persoalan seorang ulama yang menjadi seorang pemimpin dan tidak dapat mengurus rakyatnya dengan baik sebagaimana yang sangat diharapkan oleh rakyatnya. Pada puisi ini penyair lebih menonjolkan kata dan kalimat yang konotasi dibandingkan dengan denotasi. Hal tersebut karena penyair lebih mementingkan efek kepuitisan. Penyair juga menuangkan segala apa yang ada dalam pikirannya melalui kata dan kalimat yang konotasi untuk mewakili perasaanya. Hal tersebut seperti yang terlihat pada bait berikut. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Kata terpekur bermakna terdiam, tidak bisa melakukan apa-apa lagi, atau tidak tahu apa-apa lagi. Ke dalam kaca bermakna si aku tersebut diperintahkan untuk mengintropeksi dirinya sendiri. Segala peri bermakna segala apa yang kurang dari si aku tersebut. Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Kalimat „kan naik ke atas gunung bermakna semakin tinggi ilmu pengetahuan yang ada pada diri si aku semakin banyak yang bingung dengan sikap si aku juga yang tidak pernah mau membantu orang kesusahan. Bait 3 dan 4 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Aku dongengkan yang jauh-jauh Yang ta‟ dapat dilihat mata Yang tidak-tidak dapat disentuh Yang Cuma ada dibibir saja Kata mabuk pada bait di atas bermakna sudah muak, bosan, dongengku bermakna cerita-cerita yang hanya diucapkan akan tetapi tidak pernah dilakukan. Bait 11 dan 12 Inilah sebab, wahai saudara Sekian lama aku terdiam Hampir ta‟ tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam… Kepada mereka yang sedang payah Selalu kuberi nasehat pula: “hendaknya kamu kuat bersedekah Dengan hati yang suci rela!... Kalimat patah tumpul kalam bermakna ilmu yang selama ini ada pda diri si aku tidak berguna untuk dirinya sendiri dan orang lain. Kata payah bermakna orang yang sedang kesusahan, sedang ditimpah musibah. Bait 18-22 Lagi suatu, wahai saudara, Menyebabkan dadaku malu bicara Kaumku tidak terpelihara Lantaran daku mereka sengsara… Katanya aku tempat berlindung Hujan dan panas „kan ganti tudung… Begitu cerita bunda-kandung Sedari Putera lagi dibendung… Kini Putera sudah dewasa Sedikit ta‟ ada membalas jasa Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa Bagi keluarga jadi penyiksa… Betapa aku mendongeng jua Besar mulut banyak bicara Jika dilihat tidak bersua Orang yang tahu menggeleng tertawa? Mungkinkah aku bunda lahirkan Sahaya untuk mendongeng saja Dengan ta‟ wajib lagi amalkan Teladan cukup dibibir saja? Kata dadaku pada bait di atas bermakna diri si aku, hujan dan panas bermakna baik susah dan senang, penyiksa bermkana tidak berguna akan tetapi hanya membuat resah masyarakat, dan dongeng bermakna sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh si aku akan tetapi yang selalu diserukan kepada semua orang untuk dikerjakan. Bait 25-27 Betapa, saudara Aku ta‟ kan terpekur Bila aku habiskan bicara… … fakir memohon, sayup suara Lutut terujam, tangan terukur?... Dia nyata orang yang lemah Bukan karena malas dan lalai Nafasnya sesak terengah-engah… Tidak didengar si burung murai Orang yang lalu berpura lengah Serupa terburu hendak lekas sampai… Betapa, saudara Lidahku ta‟ akan terkalang Sesudah aku habis bicara Berjumpa saudaraku bingung tualang Sedikit ta‟ dapat aku membela Mengantarkan ke tempat yang dia jelang… Kata terpekur bermakna terdiam, tidak tahu lagi mau bicara apa, lutut terujam tangan terukur bermakna ketika ada yang meminta pertolongan kaki tak bisa melangkah dan tangan tak bisa memberi. Kata terkalang bermakna terhalang, artinya tak mau berhenti dalam berkata-kata dan menyampaikan sesuatu. Epizeuksis pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terlihat pada beberapa bait seperti yang tampak pada bait berkut. Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Bait 5 Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Bait 7 Kepada mereka yang sakit lapar Aku berkata: “hendaklah sabar… Mereka mengeluh: “kami lapar… Kuberi petuah:”wajib sabar!”… Bait 20 Kini Putera sudah dewasa Sedikit ta‟ ada membalas jasa Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa Bagi keluarga jadi penyiksa… Hal-hal yang baru disebutkan di atas adalah yang termasuk dalam epizeuksis, karena penyair ingin menjelaskan seara berulang-ulang kata dan kalimat yang menurut penyair sendiri penting untuk diulang. Berikutnya adalah anaphora. Anaphora pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada bait berikut. Bait 4 Aku dongengkan yang jauh-jauh Yang ta‟ dapat dilihat mata Yang tidak-tidak dapat disentuh Yang Cuma ada dibibir saja Anaphora dalam bait-bait di atas dihadirkan penyair dengan maksud untuk mempejelas maksud dan tujuan sebagaimana yang ada dalam benak penyair. Selain untuk menhadirkan efek kepuitisan dalam puisi, penyair juga ingin agar pembaca dengan mudah dapat memahami puisi tersebut dengan ditampilkannya kalimat yang berulang pada kalimat berikutnya atau bait berikutnya. Puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak sebagaimana yang telah diperlihatkan di atas masih mempunyai bentuk penulisan masih dipengaruhi oleh puisi lama. Misalnya bentuk baitnya yang masih teratur dan rimanya yang masih teratur juga. Pada keseluruhan puisi tersebut penyair cukup banyak menghadirkan penyimpangan pola sintaksis seperti kata tidak di singkat menjadi „ta kata akan menjadi „kan. Akan tetapi mengingat bahwa dalam penulisan puisi terdapat istilah lisencia potika yang artinya kebebasan dalam berkarya, termasuk kebebasan dalam memutar balikan kata atau kalimat, sehingga hal dalam puisi di atas disebut dengan penyimpangan yang wajar. 4.2.6 Majas/Citraan pada Puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak Majas pertentangan yang termasuk dalam paradoks pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terlihat pada bait berikut. Bait 12 Kepada mereka yang sedang payah Selalu kuberi nasehat pula: “hendaknya kamu kuat bersedekah Dengan hati yang suci rela!... Paradoks pada bait di atas terlihat karena bait tersebut menggambarkan adanya keadaan yang bertentangan. Orang yang lemah tiada berdaya bukannya dibantu akan tetapi hanya diperintahkan untuk bersedekah adalah hal yang bertentangan dalam kehidupan ini. Majas analogi/ identitas/ perbandingan pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak seperti majas metafora terlihat pada bait berikut. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Majas perbandingan pada bait di atas dipilih penyiar untuk mewakili perasaannya yang disalin dalam bentuk puisi. Seperti yang terdapat pada bait tersebut di atas, kata kaca, gunung, dan dongeng itu adalah maksud yang bukan sebenarnya yang disebutkan penyair dengan perantara benda atau hal lain. Personifikasi yang terdapat pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terlihat pada bait berikut. Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Bait 18 Lagi suatu, wahai saudara, Menyebabkan dadaku malu bicara Kaumku tidak terpelihara Lantaran daku mereka sengsara… Seperti yang terlihat pada bait di atas kalimat mabuk oleh dongengku dan kalimat dadaku malu bicara merupakan personifikasi karena menyebutkan sesuatu benda atau hal yang tak hidup seolah-olah hidup untuk mengganti perasaan penyair yang sebenarnya. Mengingat penyair adalah seorang yang tidak secara langsung menyalurkan apa yang ada dalam pikirannya lewat puisi. Maka dengan menggunakan perantara seperti majas lah sehingga penyair bisa secara tidak langsung menuangkan apa yang dalam pikirannya ke dalam puisi serta untuk menambah nilai keindahan dalam puisi. Hiperbola pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada bait berikut. Bait 4 dan 5 Aku dongengkan yang jauh-jauh Yang ta’ dapat dilihat mata Yang tidak-tidak dapat disentuh Yang Cuma ada dibibir saja Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Kalimat pada bait di atas merupakan hiperbola karena terlalu mengada-ada atau membesar-besarkan hal yang dimaksudkan. Penyair menggambarkan sesuatu yang sangat penting dengan membesar-besarkan apa yang dimaksudkan dengan penggambaran yang terlalu berlebihan. Akan tetapi hal itu bisa menambah nilai keindahan dalam puisi. Apalagi penyair dikenal sebagai seorang yang suka menonjolkan efek keindahan dalam puisi. Litotes pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terlihat pada bait berikut. Bait 15 Di jalan pulang aku berjumpa Dengan kirabat yang sedang lumpuh Lemah, melarat, sengsara, papa… Memohon-mohon sedang bersimpuh… Bait 20 Kini Putera sudah dewasa Sedikit ta‟ ada membalas jasa Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa Bagi keluarga jadi penyiksa… Bait 24 Aku berpetuah di muka khalayak Mencurahkan serba jenis nasihat Didengarkan oleh umat yang banyak… Sedang di situ nyata kulihat Fakir meminta terberi tidak… Lemah, lumpuh, tidak bertongkat… Kalimat pada bait-bait tersebut di atas merupakan litotes karena terlalu merendahkan diri. Hal yang dijelaskan penyair semakin rendah makin direndahkan lagi penyebutannya seperti yang terlihat pada bait 24 di atas. Majas kedekatan/kontiguitas/pertautan seperti metonomia terlihat pada bait berikut. Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Bait 19 Katanya aku tempat berlindung Hujan dan panas „kan ganti tudung… Begitu cerita bunda-kandung Sedari Putera lagi dibendung… Bait 26 Dia nyata orang yang lemah Bukan karena malas dan lalai Nafasnya sesak terengah-engah… Tidak didengar si burung murai Orang yang lalu berpura lengah Serupa terburu hendak lekas sampai… Bait-bait di atas terdapat sebuah kata yang termasuk dalam majas metonomia seperti halnya kata hujan dan panas, si burung murai. Kata itu bukan kata sebenarnya yang ingin dimaksudkan penyair, akan tetapi sebagai pengganti nama yang sebenarnya untuk menyatakan maksud yang ingin disampaikan oleh penyair. Sinekdok yang termasuk dalam pars pro toto dan totem pro parte pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak terdapat pada bait berikut. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bait satu di atas termasuk dalam totem pro parte dan pars pro toto. Kata kaca adalah pars pro toto karena kaca menggambarkan sesuatu secara khusus yang mengarah pada kalimat lihatlah diri dan diri adalah totem pro parte karena menggambarkan secara umum yang menjelaskan maksud dari kalimat ke dalam kaca. Antara kata kaca dan diri saling memperjelas maksud dari kata yang terdapat pada bait tersebut. Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Pada bait dua tersebut kata gunung adalah totem pro parte karena kata gunung dapat mewakili maksud dari keseluruhan isi yang ada dalam bait tersebut. Gunung bisa berarti tempat orang melarikan diri dari bahaya, sehingga maksud dari bait tersebut dengan menggunakan kata gunung adalah untuk mengganti perasaan takut yang bercampur-baur. Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Kata orang adalah totem pro parte karena bukan hanya seorang saja yang dimaksudkan dalam bait tersebut akan tetapi mewakili banyak orang, dan bibir adalah pars pro toto karena bibir adalah salah satu anggota tubuh yang ada pada setiap orang yang bermaksud tanpa bibir kita tidak akan bisa berkata-kata. Bait 4 Aku dongengkan yang jauh-jauh Yang ta‟ dapat dilihat mata Yang tidak-tidak dapat disentuh Yang Cuma ada dibibir saja Kata mata dan bibir adalah pars pro toto karena menjelaskan sebagian untuk keseluruhan. Maksusdnya adalah kata mata dan dibibir itu menjelaskan makna dari keseluruhan bait di atas, kata bibir dan mata mewakili penjelasan seluruh bait di atas. Bait 6 Di sepanjang jalan aku berjumpa Dengan kaumku yang papa-papa Anak menangis ditinggal bapa Ibu sakit pucat rupa… Kata jalan adalah pars pro toto karena menjelaskan maksud dengan sebagian untuk keseluruhan. Kata jalan yang dimaksudkan oleh penyair adalah perjalanan yang panjang. Maksud dari bait di atas adalah sepanjang hidup si aku dia hanya bisa menyaksikan orang-orang yang susah disekelililngnya, tanpa melakukan sesuatu untuk menolong mereka. Bait 8 Inilah sebab, wahai saudara Sekian lama aku terdiam Hampir ta‟ tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam… Kata saudara adalah totem pro parte dan kalam adalah pars pro toto. Kata saudara mewakili semua orang, sedangkan kalam adalah ilmu pengetahuan yang tidak pernah dia kerjakan di kehidupan sehari-hari. Bait 9 Jauh-jauh aku berseru Begini-begitu kusebut dalil Ahli kerabat dekat mataku Kulihatkan saja: sengsara, jahil Kata kerabat adalah totem pro parte dan mataku adalah pars pro toto. Penyair menggunakan kata kerabat untuk mewakili kata saudara, tetangga, orang yang dekat, dan mataku dimaksudkan bahwa terlihat jelas di matanya bahwa banyak orang yang susah sedangkan si aku sedikitpun tidak mau menolong. Bait 13 Tiada lama sesudah itu Ke mukaku lalu yatim piatu Pucat kurus tidak berbaju… Aku berpaling pepura ta‟ tahu… Kata berbaju adalah pars pro toto. Penyair memilih kata baju untuk menandakan keadaan susah anak yatim tersebut, sedangkan kata yatim piatu adalah totem pro parte. Penyair memilih kata itu karena seorang yatim piatu dapat mewakili anak-anak yang terlantar lainnya. Bait 18 Lagi suatu, wahai saudara, Menyebabkan dadaku malu bicara Kaumku tidak terpelihara Lantaran daku mereka sengsara… Kata dadaku termasuk dalam pars pro toto. Penyair memilih kata itu karena dadaku bisa mewakili dirinya sendiri, dapat mewakili perasaan si aku dengan menyatakan dadaku artinya dia benar-benar menyadari bahwa perbuatannya selama ini tidak seperti perkataannya yang selalu mengajak orang untuk berbuat kebaikan. Bait 19 Katanya aku tempat berlindung Hujan dan panas „kan ganti tudung… Begitu cerita bunda-kandung Sedari Putera lagi dibendung… Kata hujan dan tudung termasuk dalam pars pro toto. Penyair memilih kata tersebut untuk mewakili keadaan sudah dan senang, serta kata tudung dimaksudkan penyair dapat mewakili seorang yang bisa dijadikan tempat berlindung, atau yang bisa diandalkan untuk bisa melindungi. Bait 22 Mungkinkah aku bunda lahirkan Sahaya untuk mendongeng saja Dengan ta‟ wajib lagi amalkan Teladan cukup dibibir saja? Kata bunda termasuk dalam totem pro parte, kata tersebut dipilih penyair dengan maksud menyalahkan kelahiran dirinya di dunia ini, menyalahkan didikkan yang selama kecil selalu diajarkannya, dan ketika besar tidak bisa mempraktekkan segala ucapannya itu, dan kata bibir termasuk dalam pars pro toto. Kata tersebut mewakili suatu pekerjaan yang hanya selalu diajarkan kepada orang lain akan tetapi tidak pernah dilakukan. Bait 23 Betapa, saudara, Mulutku ta‟ akan tertutup Jika aku tengah bicara… Kudengar sayup-sayup Keluhan saudara saya Menderita kesakitan hidup?… Kata mulut termasuk dalam pars pro toto. Kata tersebut dapat mewakili semua apa yang ingin diucapkannya, semua apa yang terseimpan pada dirinya yang harus diajarkannya kepada orang banyak. Bait 26 Dia nyata orang yang lemah Bukan karena malas dan lalai Nafasnya sesak terengah-engah… Tidak didengar si burung murai Orang yang lalu berpura lengah Serupa terburu hendak lekas sampai… Kata orang pada bait di tersebut adalah totem pro parte, kata tersebut mewakili orang-orang yang susah, dan burung murai adalah pars pro toto, maksud dari kata tersebut adalah menggambarkan adanya orang kecil orang besar tidak perduli lagi kepada sesama. Bait 27 Betapa, saudara Lidahku ta‟ akan terkalang Sesudah aku habis bicara Berjumpa saudaraku bingung tualang Sedikit ta‟ dapat aku membela Mengantarkan ke tempat yang dia jelang… Kata saudara termasuk totem pro parte, kata tersebut mewakili semua orang, dan lidahku termasuk pars pro toto. Kata tersebut mewakili maksud dari keinginan, walaupun banyak orang yang meminta pertolongan tapi tidak dihiraukan, si aku tetap terus menyerukan fatwanya, tidak akan mempengaruhi dirinya melihat orang-orang yang butuh pertolongan tersebut. Bait 28 Saudara! Sudah malulah kini suara Seperti dulu memenuhi udara Ta‟ tahu lagi aku bicara Jika ujud tidak kentara Banyak disebut tidak bertara… Kata saudara termasuk dalam totem pro parte karena bermaksud menjelaskan keseluruhan untuk sebagian. Saudara mewakili semua orang yang selalu mendengar ulama berceramah sedangkan si ulama itu sendiri tidak pernah mengerjakan apa yang telah diajarkan kepada semua orang. Berikut adalah citraan yang termasuk dalam puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak seperti citra penglihatan dan citra pendengaran. Seperti yang tampak pada bait berikut adalah yang termasuk dalam citra penglihatan. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Penyair memilih kata yang telah ditandai di atas adalah untuk memberi gambaran kepada pembaca bahwa sekali-kali intropeksilah diri kita, sehingga kita bisa melihat baik dan buruk perilaku kita. Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Kalimat di atas memberi gambaran bahwa ketika kita hanya selalu mengatakan ini wajib itu haram, dan tidak pernah mengerjakan seperti apa yang dikatakan, maka orang-orang yang menyaksikan pun tidak akan mau menuruti apa yang kita serukan tersebut. Bait 5 Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Kalimat di atas menggambarkan bahwa ketika kita dengan kepercayaan diri menyerukan hal-hal yang wajib dikerjakan dan tidak bisa dikerjakan, maka orangorang pun akan terheran-heran, hanya akan kagum dengan apa yang diserukan tapi hanya akan kebingungan ketika melihat orang tersebut tidak melakukan seperti apa yang diserukan. Bait 6 Di sepanjang jalan aku berjumpa Dengan kaumku yang papa-papa Anak menangis ditinggal bapa Ibu sakit pucat rupa… Bait tersebut menggambarkan adanya sepanjang perjalanan hidup si aku tidak pernah mau menolong orang yang kesusahan, sedangka dia selau menyerukan bahwa menolong orang itu wajib, tidak perduli siapa pun yang ditemuinya sepanjang hidup, walaupun terlihat sangat menderita, tetap tidak mau si aku tersebut untuk menolong. Bait 13 Tiada lama sesudah itu Ke mukaku lalu yatim piatu Pucat kurus tidak berbaju… Aku berpaling pepura ta‟ tahu… Kalimat di atas menggambarkan adanya anak-anak yang menderita akan tetapi si aku atau si ulama tersebut tidak tergerak hatinya untuk mengasihani mereka. Bait 15 Di jalan pulang aku berjumpa Dengan kirabat yang sedang lumpuh Lemah, melarat, sengsara, papa… Memohon-mohon sedang bersimpuh… Bait di atas menggambarkan adanya orang yang terlihat sangat perlu untuk dikasihani pun tidak membuat si aku tersebut tersentuh hatinya. Bait 27 Betapa, saudara Lidahku ta‟ akan terkalang Sesudah aku habis bicara Berjumpa saudaraku bingung tualang Sedikit ta‟ dapat aku membela Mengantarkan ke tempat yang dia jelang… Bait di atas menggmbarkan ketika si aku bertemu dengan orang yang sangat membutuhkan pertolongan, sedikit pun dia tidak mau menolong, hanya memberikan saran harus begini harus begitu, tanpa mau menolong. Kemudian adalah citra pendengaran pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak tampak pada bait berikut. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bait di atas memberikan peringatan kepada kita bahwa dalam hidup ini tidak perlu menyombongkan sesuatu, karena nanti orang akan menganggap remeh kita, sekali-kali lihatlah diri kita apakah sudah sempurna, jangan hanya melihat kekurangan orang lain tanpa melihat kekurangan diri sendiri. Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Bait di atas bermaksud memberitahu kepada kita bahwa jangan hanya pintar menyuruh orang mengerjakan kemudian tidak mengerjakannya sendiri. Karena nantinya seruan tersebut tidak akan dihiraukan. Bait 5 Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Bait di atas bermaksud memberikan gambaran kepada kita jangan mudah berbangga pada diri sendiri karena adanya lelebihan. Hal itu tidak akan menolong kita pada suatu saat nanti. Bait 6 Di sepanjang jalan aku berjumpa Dengan kaumku yang papa-papa Anak menangis ditinggal bapa Ibu sakit pucat rupa… Bait di atas memberi gambaran bahwa banyak yang menderita, dan ulah si aku yang tidak perduli kepada sesama membuat mereka berlapang dada. Bait 7 Kepada mereka yang sakit lapar Aku berkata: “hendaklah sabar… Mereka mengeluh: “kami lapar… Kuberi petuah:”wajib sabar!”… Bait di atas menggambarkan adanya si aku yang seorang ulama ketika ada yang datang meminta pertolonga dia hanya mengatakan sabar dan sabar tanpa sedikitpun menolong mereka yang sangat membutuhkan pertolongan. Bait 9 Jauh-jauh aku berseru Begini-begitu kusebut dalil Ahli kerabat dekat mataku Kulihatkan saja: sengsara, jahil Bait di atas memberi gambaran bahwa si ulama tersebut dari dulu sampai sekarang selalu menyerukan inilah dalil yang harus kita kerjakan, akan tetapi ketika datang kepadanya orang yang menderita si ulama tersebut hanya melihat tanpa mau menolong. Bait 10 Kepada mereka yang hampir pingsan Aku berteriak: “mari berkorban!” Mereka berkata: kami ta‟ makan…” Muka segera aku palingkan Bait di atas menggambarkan bahwa ulama tersebut sudah dengan jiwa dan raga menyerukan mari berkorban tanpa memperhatikan banyak orang yang hidup susah dan dia sendiri pun hanya tahu menyerukan tanpa mau melakukan apa yang diserukan tersebut. Bait 12 Kepada mereka yang sedang payah Selalu kuberi nasehat pula: “hendaknya kamu kuat bersedekah Dengan hati yang suci rela!... Bait di atas memberi gambaran bahwa si ulama tersebut selalu menasehati dengan semangat kepada semua orang agar selalu bersedekaha, padahal dia sendiri tidak mau bersedekah. Bait 23-28 Betapa, saudara, Mulutku ta‟ akan tertutup Jika aku tengah bicara… Kudengar sayup-sayup Keluhan saudara saya Menderita kesakitan hidup?… Bait di atas memberi gambaran adanya banyak yang mengeluh dengan sikap si ulama tersebut yang terlihat tidak pantas dengannya sebagai seorang pemimpin. Aku berpetuah di muka khalayak Mencurahkan serba jenis nasihat Didengarkan oleh umat yang banyak… Sedang di situ nyata kulihat Fakir meminta terberi tidak… Lemah, lumpuh, tidak bertongkat… Betapa, saudara Aku ta‟ kan terpekur Bila aku habiskan bicara… … fakir memohon, sayup suara Lutut terujam, tangan terukur?... Dia nyata orang yang lemah Bukan karena malas dan lalai Nafasnya sesak terengah-engah… Tidak didengar si burung murai Orang yang lalu berpura lengah Serupa terburu hendak lekas sampai… Betapa, saudara Lidahku ta‟ akan terkalang Sesudah aku habis bicara Berjumpa saudaraku bingung tualang Sedikit ta‟ dapat aku membela Mengantarkan ke tempat yang dia jelang… Saudara! Sudah malulah kini suara Seperti dulu memenuhi udara Ta‟ tahu lagi aku bicara Jika ujud tidak kentara Banyak disebut tidak bertara… Keseluruhan bait di atas yang termasuk dalam citra pendengaran menggambarkan bahwa si aku tidak pernah berhenti untuk memberi fatwa kepada banyak orang, akan tetapi si aku tersebut tidak memperdulikan orang-orang disekelilingnya yang membutuhkan pertolngan, orang miskin, anak yatin, orang yang lagi dalam kesulitan ketika datang kepadanya untuk meminta pertolongan si aku tidak berkenaan untuk menolong mereka. Hal tersebut membuat si aku merasa gundah gulana, merasa diliputi perasaan resah, dan mulai merasa bahwa dia tidak pantas lagi menjadi seorang ulama yang memimpin, yang pantas untuk dicontoh semua orang, karena diri sendiri tidak pernah mengerjakan seperti apa yang difatwakan. 4.3 Perbandingan Gaya Bahasa Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail dan Puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak Berdasarkan pembahasan pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersajaha dengan puisi Sebab Aku Terdiam di atas, maka selanjutnya akan diperbandingkan gaya bahasa dari Taufik Ismail dan OR. Mandak yang akan dilihat dari aspek bunyi, kata dan kalimat, serta majas/citraan. 4.3.1 Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja Karya Taufik Ismail dan Puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak Ditinjau Dari Aspek Bunyi Bunyi pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail dominan pada aliterasi, yang cukup banyak disajikan dalam puisi tersebut. Dilihat secara keseluruhan adanya puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail tersebut terkesan sedang mengenang masa-masa dulu yang oleh penyair yang disalin ke dalam bentuk puisi. Perpaduan antara bunyibunyi vokal dan konsonan dalam puisi tersebut semakin menjadikan efek kepuitisan tersendiri oleh penyair. Berikut adalah bunyi-bunyi aliterasi atau biasa dikenal dengan pengulangan konsonan yang di antaranya terlihat menonjol pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja seperti berikut. Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Aku berenang di antara arus kertas, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anatomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja, Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang jelas kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide, Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi, begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika memerdekakan Nusantara, Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka, Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”. Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Bunyi pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak bunyi yang ditonjolkan penyair adalah asonansi daripada aliterasi yang hanya disajikan sedikit pada puisi tersebut. Adanya asonansi yang mendominasi puisi tersebut oleh penyair adalah untuk menciptakan efek kepuitisan tersendiri dan menggambarkan adanya perasaan berat, kegundahan seperti yang terlihat dalam puisi yang berjudul Sebab Aku Terdiam tersebut. Puisi tersebut menggambarkan adanya perasaan gundah, keresahan, karena keseluruhan puisi tersebut menggambarkan adanya seorang ulama yang memimpin rakyatnya, yang selalu menasehati, mengajarkan baik buruk, dan selalu mengatakan ini dalil, akan tetapi dirinya sendiri tidak pernah melakukan apa yang difatwakan tersebut. Ketika seseorang datang kepadanya meminta bantuan tak sedikitpun bantuan yang diberikan, baik itu orang miskin, anak yatim tidak pernah mebuat si ulama tersebut untuk menolong mereka, hal tersebut membuat hatinya merasa resah. Sebaimana yang terlihat pada puisi Sebab Aku Terdiam tersebut, asonansi dalam puisi tersebut memberikan efek tersendiri. Hal tersebut seperti yang terdapat pada puisi berikut. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “Engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Bait 3 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Bait 4 Aku dongengkan yang jauh-jauh Yang ta‟ dapat dilihat mata Yang tidak-tidak dapat disentuh Yang Cuma ada dibibir saja Bait 5 Sedang mereka tengah terngagah Melihat cakap aku menari Mendengar bijak aku bicara Aku merasa banggalah diri Bait 6 Di sepanjang jalan aku berjumpa Dengan kaumku yang papa-papa Anak menangis ditinggal bapa Ibu sakit pucat rupa… Bait 8 Inilah sebab, wahai saudara Sekian lama aku terdiam Hampir ta‟ tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam… Bait 9 Jauh-jauh aku berseru Begini-begitu kusebut dalil Ahli kerabat dekat mataku Kulihatkan saja: sengsara, jahil Bait 12 Kepada mereka yang sedang payah Selalu kuberi nasehat pula: “hendaknya kamu kuat bersedekah Dengan hati yang suci rela!... Bait 13 Tiada lama sesudah itu Ke mukaku lalu yatim piatu Pucat kurus tidak berbaju… Aku berpaling pepura ta‟ tahu… Bait 15 Di jalan pulang aku berjumpa Dengan kirabat yang sedang lumpuh Lemah, melarat, sengsara, papa… Memohon-mohon sedang bersimpuh… Bait 16 Aku berbuat pepura lengah Atau serupa terburu-buru… Tinggalah dia lagi tengadah Sampai sekarang menunggu-nunggu… Bait 18 Lagi suatu, wahai saudara Menyebabkan dadaku malu bicara Kaumku tidak terpelihara Lantaran daku mereka sengsara… Bait 20 Kini Putera sudah dewasa Sedikit ta‟ ada membalas jasa Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa Bagi keluarga jadi penyiksa… Bait 21 Betapa aku mendongeng jua Besar mulut banyak bicara Jika dilihat tidak bersua Orang yang tahu menggeleng tertawa? Bait 28 Saudara! Sudah malulah kini suara Seperti dulu memenuhi udara Ta‟ tahu lagi aku bicara Jika ujud tidak kentara Banyak disebut tidak bertara… 4.3.2 Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja Karya Taufik Ismail dan Puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak Ditinjau Dari Aspek Kata dan Kalimat Kata-kata yang digunakan penyair dalam puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja menggunakan kata-kata atau kalimat yang denotasi lebih dominan dari pada yang konotasi. Hal itu menyebabkan bahasa dalam puisi tersebut mudah dipahami karena memakai bahasa yang polos atau bahasa sehari-hari. Dalam puisi tersebut penyair juga menggunakan sedikit kata-kata yang mengandung protes dengan sedikit sindiran. Seperti biasa dalam puisi-puisi Taufik Ismail kadang mengandung masalah sosial dan bersifat demonstrasi, walaupun tidak semuanya seperti itu, seperti halnya dalam puisi karya Taufik Ismail kali ini. Hal tersebut seperti yang terlihat berikut. Bait 1 Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas, Bait 2 larik 1 Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada agresi kedua, 1948 tahunnya, Bait 4 Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah Negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah menghadapi segala kemiskinan dalam beribu format. Bait 5 Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomode yang lengket, dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan, Bait 6 Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide, Bait 7 Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di ruangan ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan Illahi, begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada zaman itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika memerdekakan Nusantara, Bait 8 Mari kita tundukan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik, dan kita bacakan dalam hati Al-fatihah untuk mereka, Bait 9 Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulu telah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecah tabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan, Bait 10 Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori apa siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi jelas yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta, Bait 11 larik 4, 6 dan 7 Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka semuanya ini? Mengapa berjuta-juta marionet menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simfoni gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya? Bait 12 Aku saksikan kepala-kepala cendekia menggeleng perlahanlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah,“sebenarnya sedikit saja”. Bait 13 larik 1 Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan, suatu zaman yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar dan warnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topeng panggung pementasan, zaman dimana sikap bersahaja diperebutkan. Puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak menggunakan kata-kata yang dominan adalah konotasi dari pada denotasi. Hal tersebut karena OR. Mandak lebih mengutamakan kepuitisan dalam puisi tersebut. Itu juga karena OR. Mandak berasal dari angkatan pujangga baru yang seringkali masih terbawa-bawa oleh bentuk puisi lama yang masih terikat oleh aturan. Dalam puisi tersebut OR. Mandak juga membicarakan masalah sosial, dengan menggunakan kata aku secara berulang-ulang yang menyatakan seolah-olah ia adalah gambaran seorang pemimpin. Walaupun begitu dalam puisi tersebut, OR. Mandak seringkali menggunakan kata-kata yang halus, yang tidak secara kasar mengungkapkan sebuah protes seperti yang terlihat berikut. Bait 1 Sekali aku jatuh terpekur Datang tersandar membentak diri: “engkau mimpi berasa masyhur Ke dalam kaca lihatlah diri! Nanti kusebut segala peri…” Bait 2 Serasa „kan naik ke atas gunung Dan kupandang kian kemari Nampak olehku mereka bingung …‟ akibat caraku selama ini! Bait 3 dan 4 Orang yang mabuk oleh dongengku: Lesu-lesu tenaga hilang… „ Akibat petuah ta‟ pasti-tentu Dipusing-pusingkan bibir yang lancing. Aku dongengkan yang jauh-jauh Yang ta‟ dapat dilihat mata Yang tidak-tidak dapat disentuh Yang Cuma ada dibibir saja Bait 11 dan 12 Inilah sebab, wahai saudara Sekian lama aku terdiam Hampir ta‟ tahu lagi bicara Menyebabkan patah tumpul kalam… Kepada mereka yang sedang payah Selalu kuberi nasehat pula: “hendaknya kamu kuat bersedekah Dengan hati yang suci rela!... Bait 18-22 Lagi suatu, wahai saudara, Menyebabkan dadaku malu bicara Kaumku tidak terpelihara Lantaran daku mereka sengsara… Katanya aku tempat berlindung Hujan dan panas „kan ganti tudung… Begitu cerita bunda-kandung Sedari Putera lagi dibendung… Kini Putera sudah dewasa Sedikit ta‟ ada membalas jasa Bagi se-Kaum, Bangsa dan Nusa Bagi keluarga jadi penyiksa… Betapa aku mendongeng jua Besar mulut banyak bicara Jika dilihat tidak bersua Orang yang tahu menggeleng tertawa? Mungkinkah aku bunda lahirkan Sahaya untuk mendongeng saja Dengan ta‟ wajib lagi amalkan Teladan cukup dibibir saja? Bait 25-27 Betapa, saudara Aku ta‟ kan terpekur Bila aku habiskan bicara… … fakir memohon, sayup suara Lutut terujam, tangan terukur?... Dia nyata orang yang lemah Bukan karena malas dan lalai Nafasnya sesak terengah-engah… Tidak didengar si burung murai Orang yang lalu berpura lengah Serupa terburu hendak lekas sampai… Betapa, saudara Lidahku ta‟ akan terkalang Sesudah aku habis bicara Berjumpa saudaraku bingung tualang Sedikit ta‟ dapat aku membela Mengantarkan ke tempat yang dia jelang… Epizeuksis pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail hanya berbanding sedikit dengan anaphora. Epizeuksis lebih dominan karena dalam puisi tersebut, Taufik Ismail ingin menjelaskan secara berulang-ulang maksud dari puisi tersebut dan apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya. Sehingga bagi Taufik Ismail untuk lebih memperjelas maksud dari puisi tersebut adalah dengan mengulang-ulang kata atau kalimat yang menurut Taufik Ismail sendiri sangat penting untuk diulang. Hal itu juga memberi adanya efek kepuitisan bagi puisi Taufik Ismail itu sendiri. Berbeda dengan puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak yamg dalam puisi karya OR. Mandak tersebut anaphora lebih dominan dibandingkan dengan epizeuksis. Hal tersebut mungkin bagi OR. Mandak sendiri dapat memberi suatu efek tertentu dengan mengulang kalimat pada kalimat atau bait berikutnya dengan maksud agar pembaca lebih cepat manangkap maksud yang terkadung dalam puisi tersebut. 4.3.3 Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja Karya Taufik Ismail dan Puisi Sebab Aku Terdiam Karya OR. Mandak Ditinjau Dari Aspek Majas/Citraan Puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail tidak terlalu banyak menggunakan majas, baik itu majas paradoks yang terdapat pada bait 4, metafora yang terdapat pada bait 3 dan 4 serta bait 11 dan 13, perumpamaan terdapat pada bait 1, personifikasi terdapat pada bait 3 dan 9, serta bait 13, hiperbola terdapat pada bait 3 dan 4, bait 9, litotes terdapat pada bait 3, bait 10 dan bait 12, dan metonomia terdapat pada bait 3, bait 8 sampai bait 13. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam puisi Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail tersebut lebih banyak menggunakan bahasa sehari-hari sehingga mudah untuk dipahami. Dalam puisi tersebut Taufik Ismail menggunakan citra penglihatan yang terdapat pada bait 1 dan 2, bait 4 dan 5, bait 7 sampai bait 13, sedangkan citra pendengaran terdapat pada bait 2, bait 9, dan bait 11 sampai 13, dan citra penglihatan yang lebih dominan daripada citra-citra yang lainnya. Hal tersebut karena Taufik Ismail ingin menonjolkan makna dari puisi tersebut dengan adanya citra penglihatan dan citra pendengaran. Sehingga pembaca lebih memahami puisi tersebut. Berbeda halnya dengan puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak yang lebih menonjolkan majas metafora yang terdapat pada bait 1,bait 2, bait 3, bait ke-4, bait 8, bait 9, bait 11, bait 14, bait 17, bait 18, bait 19, bait20, bait21, bait 26. Perumpamaan bait 1, bait2, bait4, bait6, bait8, bait9, bait11, bait 15, bait17, bait 18, bait 19, bait 20, bait 21, bait 23, bait 24, bait 25, bait 26, bait 27, bait 28. Metonomia bait, bait 8, bait 11, bait 14, bait 15, bait 17, bait19, bait 20, bait 26. Sinekdok (pars prototo/sebagian untuk keseluruhan) pars prototo pada puisi Sebab Aku Terdiam terdapat pada bait 2, bait 8, bait 11, bait 14, bait 16, bait 17, bait 18, bait 19, bait 23, bait 25, bait 27, bait 28. Totem proparte (keseluruhan untuk sebagian) terdapat pada bait 1, bait 3, bait 4, bait 5 bait 6, bait 7, bait 9, bait 10, bait 12, bait 13, bait 15. OR. Mandak cukup banyak memasukan majas ke dalam puisi tersebut karena ingin menonjolkan nilai keindahan atau biasa dikenal dengan nilai estetik pada puisi. Hal tersebut dikarenakan juga oleh bahasa yang dipergunakan oleh OR. Mandak yang tergolong halus, sehingga dalam pembuatan puisi pun OR. Mandak tidak secara langsung mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, melainkan menggunakan majas sebagai sarana untuk mengungkapkan maksudnya. Sama halnya dengan puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja karya Taufik Ismail, pada puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak juga menggunakan citra pendengaran yang terdapat pada bait 1 dan 2, bait 5 sampai bait 7, bait 9 dan 10, bait 12, dan bait 23 sampai bait 28, serta citra penglihatan terdapat pada bait 1 dan 2, bait 5 dan 6, bait 13 dan 15, serta bait 27 dalam puisi. Hal tersebut dimaksudkan agar pembaca bisa lebih memahami makna dalam puisi tersebut. Berdasarkan perbandingan-perbandingan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa Taufik Ismail pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja menggunakan gaya bahasa yang lugas, bahasa-bahasa yang digunakan begitu tegas dan bersemangat. Dapat ditarik kesimpulan juga bahwa Taufik Ismail menggunakan bahasa yang tidak terlalu bermakna ambigu karena dalam menciptakan sebuah puisi Taufik Ismail selalu bersifat realistis. Kata-kata dan kalimat-kalimat yang diungkapkan dalam puisi selalu yang bersifat realistis sehingga Taufik Ismail pun dikenal dengan seorang yang realis karena sering memasukan hal-hal yang realistis ke dalam puisinya. Sebagaimana yang dikenal banyak orang, Taufik Ismail adalah seorang demonstran yang bukan berarti pendemo pada masanya. Akan tetapi seorang demonstran pada puisi-puisi karangannya. Walaupun tidak semua puisi yang diciptakan bersifat kritikan, akan tetapi itulah julukan yang sudah diberi sejak lama. Taufik Ismail adalah seorang yang menentang segala bentuk penindasan, akan tetapi hanya dalam puisi Taufik Ismail mencurahkan segala apa yang di pikirannya, hal tersebut dikarenakan pada saat itu tidak boleh ada yang menentang peraturan Negara, bagi yang menentang akan dapat hukuman, sehingga Taufik Ismail menyalurkan semua bentuk protes, kritikan ke dalam puisi-puisi yang dibuatnya. Walaupun Taufik Ismail menjadikan puisi karangannya sebagai sarana untuk mengkritik atau memprotes, tetap Taufik Ismail tidak sembarangan mengeluarkan kata-kata dalam puisi. Hal tersebut dapat dilihat dalam puisi ini Taufik Ismail menggunakan sedikit protes dan kritikan dan tetap memperhatikan kata-kata yang santun. Taufik Ismail adalah salah seorang yang sangat peka dengan sejarah, sehingga puisi yang ditulis kali ini ada hubungannya dengan sejarah di mana Taufik Ismail sedang mengenang masa yang dulu. Taufik Ismail mengungakapkan apa yang ada dalam pikirannya pada puisi Aku Rindu Pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja dalam bentuk narasi. Kemungkinan maksud dari Taufik Ismail menulis puisi dengan cara yang demikian adalah agar pembaca lebih komunikatif dalam membaca puisi tersebut. Lain halnya dengan gaya bahasa OR. Mandak pada puisi Sebab Aku Terdiam menggunakan gaya bahasa tidak terlalu sulit untuk dimengerti. Begitu pula dengan bentuk puisi yang masih sama dengan bentuk puisi lama akan tetapi bukan berarti bentuk puisi OR. Mandak sama bentuknya dengan puisi lama. Dalam puisi Sebab Aku Terdiam, OR. Mandak menggunakan rima yang beraturan, gaya bahasanya yang halus membuat puisi Sebab Aku Terdiam terlihat berbeda dari yang lainnya walaupun dalam puisi tersebut OR. Mandak sedang menyindir seorang pemimpin dengan mengatakan aku sebagai sarana untuk mengungkapkan segala yang ada dalam pikirannya ke dalam puisi tersebut. Berbeda dengan Taufik Ismail yang menggunakan bahasa Indonesia seharihari dalam puisinya tersebut, OR. Mandak menggunakan bahasa melayu yang masih serumpun dengan bahasa Indonesia sendiri. Dikarenakan OR. Mandak tinggal di Medan jadi bahasa yang digunakan berbeda dengan bahasa Taufik Ismail. Bentuk puisi OR. Mandak yang panjang, dan hampir setiap bait dalam puisi Sebab Aku Terdiam tersebut menggunakan titik-titik banyak atau biasa disebut dengan retorik retisense. OR. Mandak menggunakan titik-titik banyak dalam puisi Sebab Aku Terdiam karena ingin menyalurkan segala yang ada dalam pikirannya yang belum terungkapkan. Hal itu dapat menjadikan adanya nilai estetik tersendiri dalam puisi Sebab Aku Terdiam karya OR. Mandak sendiri. Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan di atas, berarti Taufik Ismail menggunakan bahasa yang bersifat narasi, dan deskripsi dalam puisinya agar pembaca lebih komunikatif dalam membaca puisi tersebut, dan menyampaikan sedikit bentuk protes dalam puisi dengan gayanya sendiri karena memang pada saat itu, oleh Negara dilarang segala bentuk protes yang diberikan karena jika melanggar maka akan dijatuhi hukuman. Jadi Taufik Ismail menyalurkan segala aspirasi ke dalam puisi sebagai cara untuk mengungkapkan semua yang ada dalam pikirannya. Sama halnya dengan OR. Mandak yang termasuk dalam angkatan pujangga baru, OR. Mandak menggunakan bahasa yang halus dalam puisinya selain merupakan nilai estetik karena pada saat itu pun dilarang keras memprotes secara langsung, apalagi jika menggunakan bahasa yang kasar dalam puisi bisa saja akan diberi hukuman oleh pemerintah saat itu. Oleh karena itu, baik OR. Mandak yang termasuk dalam angkatan pujangga baru dan Taufik Ismail yang termasuk pada angkatan ‟66 menyalurkan aspirasi mereka ke dalam puisi dengan gaya yang khas dari mereka sendiri. Perbandingan di atas dilakukan sebagamana pendapat Luxemburg (1987: 87) yang menyatakan bahwa gaya bahasa puisi meliputi aspek bunyi, kata dan kalimat, serta majas/citraan. Bunyi meliputi asonansi dan aliterasi, kata dan kalimat meliputi konotasi dan denotasi, sedangkan majas/citraan meliputi majas pertentangan, majas perbandingan, dan majas pertautan, serta citraan meliputi citra penglihatan, citra pendengaran, dan citra gerak, penciuman, pengecepan. Pada kedua puisi yang telah dibandingkan di atas memiliki citra penglihatan dan pendengaran serta citra gerak. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, serta melakukan perbandingan pada kedua puisi di atas, penulis sudah melakukan dengan menggunakan teori Luxemburg seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi, dalam penelitian ini penulis menyadari pasti ada kekurangan yang mungkin tidak disadari oleh penulis sendiri. Mengingat semua hal yang dikerjakan tidak ada yang sempurna. Semoga penelitian ini bisa dilanjutkan dengan pengkajian yang lebih baik lagi.