UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN RERATA STANDART BASE EXCESS PADA PASIEN KETOASIDOSIS DIABETIKUM YANG DIRESUSITASI DENGAN NORMAL SALINE DIBANDINGKAN DENGAN BALANCED ELECTROLYTE SOLUTION DI INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT CIPTOMANGUNKUSUMO PERIODE APRIL-OKTOBER 2013 TESIS ANNE SUWAN DJAJA 1006767140 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI JAKARTA DESEMBER 2013 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN RERATA STANDART BASE EXCESS PADA PASIEN KETOASIDOSIS DIABETIKUM YANG DIRESUSITASI DENGAN NORMAL SALINE DIBANDINGKAN DENGAN BALANCED ELECTROLYTE SOLUTION DI INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT CIPTOMANGUNKUSUMO PERIODE APRIL-OKTOBER 2013 TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif ANNE SUWAN DJAJA 1006767140 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI JAKARTA DESEMBER 2013 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 HALAMAN PERNYATAAN ORISINAI-ITAS Tesis irri adalah lrasil karra sa\a sencliri. clatr serrrLra srrrntrcr telah sa1 huili r lns dil'trtip nrilr.rpr.ur clirtrlrrli a nratakan dengan l"renar Nama : Anne Suvran Dja.la NPM: 1006761140 tangan : ;Tanda d6DnTanggal : 3l Desenrber 2013 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 HALAMAN PENGESAHAN Anne Suwan Djaja 1006767140 NPM Program studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Perbandingan rerata Standart Base Excess (SBE) pada Judul pasien Ketoasidosis Diabetikum (KAD), yang diresusitasi dengan normal saline dibandingkan dengan Bolanced Electrolyte Solution (BES) di Instalasi Gawat Darurat RS. Cipto Mangunkusumo periode April- Oktober 2013 Nama Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yagn diperlukan untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif pada Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif X'akultas Kedokteran Universitas Indonesia DEWAN PENGUJI Pembimbing I : dr. Dita Aditianingsih SpAn KIC Pembimbing II : dr. Yohanes WH George SpAn KIC Pembimbing III: dr. Dante Saksono SpPD KEMD, dr. Indro Mulyono SpAn KIC Penguji I Penguji II dr. Susilo Chandra SpAn Arif HM Marsaban SpAn Penguji III dr. Penguji lV dr. Riyadh Firdaus SpAn Ditetapkan di : ,'---'---\ t )<-= ,/ (--'-'/ -r\, ,[/\_--, Jakarta Tanggal : 31 Desember2013. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 \-/ \ ) KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Dokter Spesialis Anestesiologi pada Fakultas Kedokterann Universitas Indonesia. Saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. dr. Dita Aditianingsih SpAn KIC, selaku dosen pembimbing I yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan proposal ini. 2. dr. Yohanes WH George SpAn KIC selaku pembimbing II yang telah membantu dan mengarahkan saya. 3. dr. Dante SpPD KEMD, selaku pembimbing III, dan segenap staf Divisi Endokrin dan Metabolik FKUI- RSCM, yang telah mendukung proposal penelitian saya. 4. Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK, selaku ketua komite etik FKUIRSCM 5. dr. Andri Lubis SpOT, selaku kepala bagian penelitian FKUI-RSCM. 6. dr. Ariel Pradipta dan dr. Christy A Billy, yang telah membantu pengolahan data. 7. Rekan-rekan parestesi ”Julz 2010” atas kebersamaannya melewati suka duka sebagai residen anestesi; dr. Arinando Pratama, dr. Wida Herbinta, dr. Yudhi Prasetyo, dr. M. Taufik Azhari, dr. M. Zulfadli S, dr. Betardi Aktara, dr. M. Amarulah, dr. Thomas A, dr. Meliana Siswanto, dr. Peni Yulia, dr. Indah Pudjiningsih, dr. Apriliana, dr. Mutia Farina, dr. Regina Prima. 8. Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan dukungan material dan moral Semoga Tuhan yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu dan tesis ini dapat dilaksanakan dengan lancar dan bagi pengembangan ilmu. Jakarta, November 2013 Penulis Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 HAI,AMAN PERN YA'I'AAN PT]RST]'I'T IJ T AN PI] T} I,I KASI TUGAS AKIIIR UNTUK KEPTiNI-INCAN,\KADIi]\IIS I Sebagai sivitas akadernika Urriversitas Indonesia. sala )ang bertarrda tangan di bawah ini : Nama NPM Prograrn studi Fakultas Jenis karya Anne Suwan D.ia.ia t006167 t40 Anestesiologi Kedokteran Universitas I ndonesia Tesis Demi perrgetlbangan ilrrLr pengetahLran. rrenr utuirri trntrrk rlcrlberikan kepada Universitas Indorresia Hali Bebas Rovalti NoneksklLrsil'(Norr-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilnriah sava vang ber-ludLrl: Perbandingan rerata Stundurt Buse Excess (SBE) patla pasien Ketoasidosis Diabetikum (KAD), yang diresusitasi dengan normul saline dibanrringkan dengan Balqnc'ed Electrol:tte Solution (BI.lS) cli Instalasi Gawat Darurat RS. Cipto Mangunkusumo periode April- Oktober 20lJ (ika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Universitas Indonesia berhak menyimpan, Beserta perangkat yang ada Noneksklusif ini mengalihmedia/fonnatkan. nrengelola dalam bentirk parrekalarr clata (rJatabase). merawat dan mempublikasikan tulisan sava selama tetap trencantulxkan nalra saya sebagai perrulis darr sebagai pernilik hak cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Di di .lakarta bLrat llada tanggal 3l l)eserlber 201] ---"-Anne Survan Dja.ia lv Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas lndonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Health Research Ethics Committee Faculty of Medicine Universitas lndonesia Ci pto Man g u n ku s u m o H ospito I Jalan Salemba Raya No.6,Jakarta Pusat 10430.Te|p.021-3157008. E-mail:[email protected] Nomor Hal , '117 lHz. Ft/fitK/xl/20t3 16 Desember 2O!3 : Penggantian judul proposal penelitian. Yth. Peneliti Utama/PPDS dr. Anne Suwan Djaja Departemen Anestesiologi dan Terapi lntensif FKUI-RSUPNCM Jakarta Sehubungan dengan proposal penelitian yang berjudul : "Perbandingan rerata Stondort Bose Excess (SBE/ sebagai penanda keberhasilan resusitasi mikrosirkulasi pada pasien Ketoasidosis Diabetikum (KAD), yang diresusitasi dengan normol soline dibandingkan dengan Bolonced Electrolyte Solution (BES) di lnstalasi Gawat Darurat RS Cipto Mangukusumo periode April - Oktober 2073." Komite Etik Perielitian Kesehatan FKUI RSCM telah menerima dan meninjau surat Dokumen Perihal Nomor Tanggal surat Permohonan penggantian 1. Proposal penelitian, 2 12 Desember judul proposal. Jitid. 2013 2. Kopi Surat Keterangan Lolos Kaji Etik, No. 315I H2.F L I ET tK I 201.3, tanggal 20 Mei 2OL3, L lembar. 1. Judul proposal menjadi Perbandingan rerata Standart Base Excess (SBE) pada pasien Ketoasidosis Diabetikum (KAD), yang diresusitasi dengan normol soline dibandingkan dengan Bolonced Electrolyte Solution (BES) di lnstalasi Gawat Darurat RS.CiptoMangukusumoperiodeApril-oktober2o-1^ proposal ters ebu Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI RSCM m Atas laporan dan kerjasamanya, kami ucapkan ituf& r Ketua Semua prosedur persetujuan dilahrkan sesuai dengan standar ICH-GCP. All proiedures of Ethical Apprwal are performed in accordancewith ICH-GCP standard procedure. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 1.. KEMENTERIAN KESEHATAN DIREKTORAT JENDERAL BINA UPAYA R.I. I:J:, KESEHATAN RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL DR. CIPTO MANGUNKUSUMO ii i ffi$trffi "1" - Jalan Diponegoro No.71 Jakarta 10430, Kotak Pos 1086 Te1p.3918301, 3 1930808 (Hunting), Fax 3148991 Jakarta,l0 Juni 2013 No , lAe fiU-K/Li7Yyzor3 Hal : Keterangan Lolos Kaji Etik : Persetuiuan Iiin Penelitian Lampiran Kepada Yth, Ka. Instalasi Gawat Darurat RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo J akarta. Bersama ini kami hadapkan peneliti : dr. Anne Suwan Djaja Nama 1006767t40 NPM Kedokteran Fakultas Indonesia Universitas SPI Anestesiologi dan Intenisve Care Strata Yang bersangkutan akan mengadakan penelitian dengan judul: "Perbandingan Rerata Standart Base Base Exce,ss Sebagai Penenda Keberhasilan Resusitasi Mikrosirkulasi pada Pasien Ketoasidosis Diabetikum yung Dir"rusitasi dengan Normal Saline Dibandingkan dengan Balanced Electrolyte Solution di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Periode Aoril - Oktober 2}L3'rpenelitian ini akan dilakukan di lnstalasi Gawat Darurat. Sesuai dengan permohonan peneliti dengan disposisi oleh Direktur Pengembangan dan Pemasaran No. 223351TU.M/69Nl20l3,tanggal 27 Mei 2013. Pada prinsipnya kami mengijinkan, selanjutnya mohon kiranya Saudara dapat membantu kegiatan penelitian tersebut. Sebagai data di Bagian Penelitian, agar peneliti wajib mengirimkan hasil penelitian dalam bentuk hard cover disertai dengan melampirkan Abstrak penelitian dalam bentuk email dilengkapi nama lengkap, asal institusi dan judul penelitian yang dikrimkan kepada bagian penelitian (penelitian.rscm@ gmail. com). Demikian, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih. Ka. Bagian Penelitian RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Dr.dr. Andri Maruli Tua Lubis. Sp.OT NIP: 19681 105199903 1001 Tembusan Yth : 1. Direktur Pengembangan dan Pemasaran 2. Ketua Departemen Anestesiologi FKUI-RSCM 3. Ketua Program Studi Anestesiologi FKUI-RSCM 4. Arsip Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 ABSTRAK Nama : Anne Suwan Djaja Program studi : Anestesiologi Judul : Perbandingan rerata Standart Base Excess (SBE) pada pasien Ketoasidosis Diabetikum (KAD), yang diresusitasi dengan normal saline dibandingkan dengan Balanced Electrolyte Solution (BES) di Instalasi Gawat Darurat RS. Cipto Mangunkusumo periode April- Oktober 2013 Latar Belakang: Normal saline adalah cairan yang selama ini digunakan dan terbukti memiliki efek samping yang merugikan yaitu asidosis metabolik hiperkloremik. Balanced Electrolyte Solution (BES) merupakan cairan kristaloid isotonus yang memiliki kandungan lebih menyerupai plasma darah dan memiliki kandungan klorida lebih rendah. Tujuan: Membandingkan rerata SBE pasien ketoasidosis diabetikum (KAD) yang diresusitasi dengan menggunakan normal saline dan balanced electrolyte solution (BES). Metode: Tiga puluh subyek KAD, usia 18-65 tahun, yang sesuai dengan kriteria inklusi dan tidak dieksklusi, secara berturut-turut dimasukan menjadi sampel penelitian. Pembagian kelompok ditentukan secara acak berdasarkan undian. Sampel dikelompokan menjadi dua, yaitu kelompok kontrol (normal saline) dan kelompok perlakuan (BES). Kedua kelompok kecuali dalam hal jenis cairan resusitasi. Pemeriksaan kesadaran, gula darah sewaktu, dan tanda-tanda vital dilakukan setiap jam selama enam jam pertama, dan setiap 12 jam hingga jam ke 48. Pemeriksaan analisa gas darah, laktat dan elektrolit dilakukan setiap dua jam selama enam jam pertama, dan setiap 12 jam hingga jam ke 48. Pemeriksaan keton dilakukan setiap enam jam hingga jam ke 48. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental terbuka consecutive sampling. Hasil: rerata SBE kelompok BES selalu lebih tinggi daripada kelopok NS. Rerata SBE kelompok BES lebih tinggi bermakna daripada rerata SBE kelompok NS pada jam ke 24 dan 48. SID kelompok BES selalu lebih tinggi secara bermakna di setiap jam yang diukur daripada kelompok NS. Kesimpulan: SBE kelompok BES lebih mendekati normal daripada kelompok NS di setiap jam yang diukur. Kata kunci: Ketoasidosis diabetikum, asidosis hiperkloremik, balanced electrolyte solution. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 ABSTRACT Name : Anne Suwan Djaja Study Program : Anesthesiology Title : Comparison of standard base excess (SBE) in diabetic ketoacidosis subjects receiving normal saline and balanced electrolyte solution in Emergency Department Ciptomangunkusumo Hospital in April-October 2013. Background: Normal saline is the resuscitation solution which is regularly used in diabetic ketoacidosis management. This solution has negative side effect causes hyperchloremic acidosis. Balanced Electrolyte Solution (BES) is isotoniccrystaloid solution, more resembling plasma than normal saline, and it has less chloride than normal saline. Objectives: This study compares the SBE mean in diabetic ketoacidosis, using normal saline and BES. Methods: Thirty diabetic ketoacidosis patients, 18-65 years age, who full filled the inclusion criteria and were not excluded, were consecutively enrolled to this study. Group was determined by tossed. Both groups received the same treatment except the kind of resuscitation fluid. The consciousness, blood sugar, and vital sign were recorded every hour until first six hour and every 12 hour until 48 hour. the blood gas analysis, lactate, and electrolyte were recorded every two hour until six hour, and every 12 hour until 48 hour. Blood ketones ware recorded every six hour until 48 hour. This is an open experimental consecutive study. Result: Mean SBE value in BES group was higher in every record. Mean SBE value in 24th and 48th hour were significantly higher in BES group than in NS group. Conclusion: SBE in BES group were closer to normal limit than in NS group. Keywords: Diabetic ketoacidosis, hyperchloremic acidosis, balanced electrolyte solution . Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL................................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................... ii KATA PENGANTAR............................................................................................. iii LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH................................ iv ABSTRAK............................................................................................................... v DAFTAR ISI............................................................................................................ vii DAFTAR GAMBAR............................................................................................... viii DAFTAR TABEL....................................................................................................ix DAFTAR GRAFIK...................................................................................................x 1. PENDAHULUAN............................................................................................... 1 1.1. Latar belakang............................................................................................... 1 1.2. Rumusan masalah......................................................................................... 2 1.3. Pertanyaan penelitian.................................................................................... 3 1.4. Hipotesis....................................................................................................... 3 1.5. Tujuan penelitian.......................................................................................... 4 1.6. Manfaat penelitian........................................................................................ 4 1.7. Definisi operasional...................................................................................... 5 2. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................... 10 2.1. Ketoasidosis diabetikum............................................................................... 10 2.2. Tatalaksana ketoasidosis diabetikum............................................................ 12 2.3. Resusitasi mikrosirkulasi.............................................................................. 16 2.4. Balanced Electrolyte Solution (BES)………………………………………19 2.5. Standard Base Excess (SBE) sebagai prediktor outcome…………………. 22 KERANGKA TEORI……………………………………………………………...25 KERANGKA KONSEP…………………………………………………………...26 3. METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………….. 27 3.1. Desain penelitian........................................................................................... 27 3.2. Waktu dan tempat penelitain........................................................................ 27 3.3. Populasi penelitian........................................................................................ 27 3.4. Kriteria inklusi dan eksklusi......................................................................... 27 3.5. Besar sample................................................................................................. 28 3.6. Cara pengambilan sample............................................................................. 28 3.7. Alokasi sample.............................................................................................. 28 3.8. Cara kerja penelitian………………………………………………………. 28 3.9. Rencana analisis............................................................................................ 31 3.10. Etika............................................................................................................ 31 4. HASIL..................................................................................................................32 5. PEMBAHASAN..................................................................................................42 6. KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................................52 DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................54 LAMPIRAN.............................................................................................................56 Informed consent Penelitian..................................................................................56 Persetujuan tindakan.............................................................................................57 Formulir penelitian...............................................................................................58 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Peranan mikrosirkulasi dalam goal directed therapy............................23 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Definisi operasional.......................................................................................5 Tabel 2.1. Panduan sliding scale insulin......................................................................15 Tabel 2.2. Komposisi elektrolit cairan kristaloid....................................................... ..20 Tabel 3.1. Protokol pemberian cairan, insulin, kalium dan bikarbonat........................30 Tabel 4.1. Karakteristik subyek berdasarkan kelompok perlakuan..............................32 Tabel 4.2. Rerata MAP berdasarkan kelompok perlakuan...........................................33 Tabel 4.3. Rerata CVP berdasarkan kelompok perlakuan............................................34 Tabel 4.4. Rerata GDS berdasarkan kelompok perlakuan...........................................34 Tabel 4.5. Rerata keton berdasarkan kelompok perlakuan..........................................35 Tabel 4.6. Rerata SBE berdasarkan kelompok perlakuan............................................36 Tabel 4.7. Jumlah kematian berdasarkan kelompok perlakuan....................................37 Tabel 4.8. Rerata SID berdasarkan kelompok perlakuan.............................................37 Tabel 4.9. Rerata pH berdasarkan kelompok perlakuan..............................................38 Tabel 4.10Rerata laktat berdasarkan kelompok perlakuan..........................................38 Tabel 4.11. Rerata ureum berdasarkan kelompok perlakuan.......................................40 Tabel 4.12. Rerata kreatinin berdasarkan kelompok perlakuan...................................40 Tabel 4.13. Rerata albumin pada jam ke 0..................................................................41 Tabel 4.14. Rerata enzim hati pada jam ke 0...............................................................41 Tabel 4.15. Rerata jumlah cairan resusitasi yang diberikan.........................................41 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 DAFTAR GRAFIK Grafik 5.1. Rerata SID pada kedua kelompok perlakuan.............................................45 Grafik 5.2. Rerata SBE pada kedua kelompok perlakuan............................................46 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan salah satu komplikasi penyakit diabetes mellitus (DM), memiliki dampak metabolik yang paling besar dan berhubungan dengan mortalitas yang tinggi.1 Ketoasidosis diabetikum didefinisikan sebagai akumulasi badan keton dalam darah, yang berhubungan dengan suatu kondisi asidosis metabolik yang ditimbulkan akibat diabetes mellitus tidak terkontrol, deplesi cairan berat, dan gangguan elektrolit. Pencetus munculnya KAD yang paling sering adalah infeksi, penghentian terapi insulin, dan onset baru diabetes.2 Di Kanada, insidens terjadinya KAD adalah 4,6-8 per 1000 diabetisi setiap tahunnya.1 Laju mortalitas KAD adalah 4-10% di Kanada.1 Berdasarkan American Diabetes Association (ADA), prioritas utama dalam tatalaksana KAD adalah penggantian defisit cairan dengan cairan kristaloid, yaitu normal saline.3 Di samping penggunaannya yang luas, normal saline memiliki efek samping yang tidak baik, yaitu pH yang tidak sesuai dengan pH tubuh, dan kandungan klor yang tinggi. Asidosis metabolik hiperkloremik merupakan salah satu efek samping dari resusitasi dengan menggunakan normal saline (NS).3 Selain pada kondisi resusitasi, pemberian cairan dalam jumlah besar juga dilakukan pada kondisi perioperatif. Scheingraber et al (1999) melakukan penelitian terhadap dua kelompok subjek, masing-masing terdiri dari 12 orang yang menjalankan operasi ginekologik. Kelompok kontrol mendapatkan cairan perioperatif normal saline, kelompok perlakuan mendapatkan cairan perioperatif dengan ringer laktat, yang jumlahnya sama yaitu 30 mL/kg berat badan per jam. Hasil dari penelitian tersebut adalah kejadian asidosis hiperkloremik terjadi pada Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 kelompok yang mendapatkan normal saline, dan bukan pada kelompok yang mendapatkan ringer laktat.4 Jenis cairan kristaloid lain yang memiliki kandungan elektrolit lebih menyerupai cairan tubuh, yang dikenal dengan Balanced Electrolyte Solution (BES) pernah digunakan dalam tatalaksana KAD dan memiliki hasil yang lebih baik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mahler, et al (2011), terbukti bahwa subjek KAD yang diresusitasi dengan menggunakan normal saline memiliki kadar klorida yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang diresusitasi dengan menggunakan Balanced Electrolyte Solution (BES) (p<0,001).3 Derajat keparahan asidosis metabolik diukur dengan Standard Base Excess(SBE). SBE merupakan penanda hasil resusitasi dan perbaikan dari SBE berhubungan dengan hasil akhir yang lebih baik.5 Penelitian kali ini bertujuan untuk membandingkan rerata SBE pada kelompok yang ditatalaksana dengan tatalaksana konvensional, yaitu dengan NS dibandingkan dengan BES. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pandunanprotokol tatalaksana KAD sesuai dengan panduan pelayanan medik departemen endokrin, ilmu penyakit dalam FKUI-RSCM, dan tidak bermaksud untuk mengubah protokol yang sudah ada. 1.2.Perumusan Masalah Seiring dengan meningkatnya prevalensi DM, prevalensi KAD sebagai mortalitas yang berhubungan dengannya juga semakin meningkat. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengevaluasi tatalaksana KAD. Sampai saat ini terapi cairan yang digunakan dalam tatalaksana KAD memiliki kekurangan-kekurangan yang justru memperburuk KAD. Dengan demikian, masalah penelitian ini adalah membandingkan rerata SBE, mengetahui proporsi pencetus KAD, kesadaran, mean arterial pressure, central venous pressure (CVP)gula darah, dan mortality rate 48 jam dan 28 hari pada pasien KAD yang diberikan NS dengan pasien yang diberikan BES. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 1.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan utama: bagaimana perbandingan rerata nilai SBE antara resusitasi dengan NS dibandingkan BES tiap dua jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48? Pertanyaan tambahan: Bagaimanakah karakteristik subjek KAD, yaitu usia, jenis kelamin, tipe DM, pencetus KAD? Bagaimanakah tingkat kesadaran subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36dan jam ke 48 ? Bagaimanakah rerata Mean Arterial Pressure (MAP)subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48? Bagaimanakah rerata Central Venous Pressure (CVP)subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48? Bagaimanakah rerata kadar gula darah subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48? Bagaimanakah rerata keton darah subjek di kedua kelompok setiap enam jam selama 48 jam pertama? Bagaimanakah rerata SBE subjek di kedua kelompok tiap dua jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48? Bagaimanakah mortality rate dalam 48 jam pertama, dan 28 hari? 1.4. Hipotesis Rerata SBE pada kelompok BES lebih mendekati nilai normal dibandingkan dengan NS. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 1.5. Tujuan Penelitian Tujuan umum: Diketahuinya efek resusitasi KAD dengan menggunakan BES dan normal saline pada pasien KAD, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan KAD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan April-Oktober 2013. Tujuan khusus: Diketahuinya karakteristik subjek KAD, yaitu usia, jenis kelamin, tipe DM, pencetus KAD. Diketahuinya tingkat kesadaran subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36dan jam ke 48. Diketahuinya rerata Mean Arterial Pressure (MAP)subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48. Diketahuinya rerata Central Venous Pressure (CVP)subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48. Diketahuinya rerata kadar gula darah subjek di kedua kelompok tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48. . Diketahuinya rerata keton darah subjek di kedua kelompok setiap enam jam selama 48 jam pertama. Diketahuinya rerata SBE subjek di kedua kelompok tiap dua jam selama enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24, jam ke 36 dan jam ke 48. Diketahuinya mortality rate dalam 48 jam pertama, dan 28 hari. 1.6. Manfaat Penelitian Untuk tatalaksana KAD secara tepat sasaran dan tidak menimbulkan asidosis metabolik hiperkloremik seperti yang sering terjadi pada tatalaksana sebelumnya. Penelitian ini bermanfaat bagi penentu kebijakan tatalaksana KAD, tenaga kesehatan dan pasien. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 1.7. Definisi Operasional Tabel 1.1. Definisi operasional N Variabel Pengukur Alat ukur Cara Pengukuran o Skala Pengukura n 1 Faktor Peneliti Pemeriksaan Sesuai pencetus sendiri fisik, standar KAD laboratorium, pemeriksaan fisik radiologi 2 Usia dengan Kategorik Peneliti Data sendiri medis pasien FKUI-RSCM rekam Mencocokan dengan Numerik rekam medis pasien 3 Jenis kelamin Peneliti Data sendiri medis rekam Mencocokan dengan Kategorik rekam medis 4 Tipe Diabetes Peneliti Anamnesis, Sesuai Mellitus pemeriksaan standar fisik, pelayanan medik pemeriksan RSCM sendiri dengan Kategorik penunjang 5 Tingkat Dokter Tidak Glassglow kesadaran residen menggunaka Comma anestesi n alat ukur (GCS) Numerik Scale semester 3 ke atas 6 Mean Arterial Dokter Tensi meter Manset Pressure residen digital merk ukuran (MAP) anestesi Phillips tensi Numerik dewasa dipasang diregio semester lengan 3 ke atas diilakukan pengukuran Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 atas, berkala setiap lima belas menit. 7 Central Perawat Penggaris Venous IGD dan Pressure Tutup three way Numerik tabung ke arah pasien, pengukur alirkan cairan ke (CVP) arah tabung pengukur, kemudian arahkan way three ke pasien arah dan tabung pengukur 8 Gula darah Perawat Alat Sampel dari ujung jari sewaktu IGD pengukur (GDS) RSCM gula diambil Numerik darah tangan, bedsite merk diteteskan GlucoDR® secukupnya pada stik gula darah. 9 Keton darah Perawat Mesin keton Sampel IGD darah diambil Numerik dari lumen CVC laboratorium IGD RSCM merk optium® 10 Standard Base Perawat Mesin Excess (SBE) laboratorium IGD IGD di SBE nilai normal -2 merk sampai Nova Phox® memiliki Numerik +2. semakin negatif nilainya, berarti semakin asidosis, semakin positif nilainya berarti Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 semakin alkalosis. yang Nilai dianggap lebih baik adalah yang semakin mendekati nilai normal 11 Mortality Rate Peneliti sendiri Tidak Pasien menggunaka perkembanganny n diikuti Numerik mesin a selama 48 jam pengukur pertama dan 28 hari perawatan. 12 AGD (arteri Perawat Mesin dan mixed IGD laboratorium vein) IGD di Sampel arteri AGD Numerik diambil merk dari arteri, AGD Nova Phox® mixed vein diambil dari lumen CVC 13 Laktat Perawat Mesin di Sampel IGD laboratorium diambil Numerik dari lumen CVC IGD RSCM merk 14 Darah perifer Perawat Mesin lengkap laboratorium IGD di Sampel diambil Numerik dari vena perifer IGD RSCM merk Cell Dyn 15 Elektrolit Perawat Mesin Sampel (natrium, IGD Laboratoriu dari lumen CVC kalium, m klorida, RSCM IGD kalsium, Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 diambil Numerik magnesium) 16 Ureum Perawat Mesin Sampel IGD Laboratoriu dari lumen CVC m diambil Numerik IGD RSCM 17 Kreatinin Perawat Mesin Sampel IGD Laboratoriu dari lumen CVC m diambil Numerik IGD RSCM 18 Gagal napas Dokter Kriteria Frekuensi napas Kategorik residen klinis >30x/menit, anestesi menggunakan semester otot bantu napas, 3 ke atas pola napas gasping 19 Dekompensas Dokter Kriteria Tidak dapat Kategorik io kordis residen klinis melakukan anestesi (NYHA aktifitas semester kelas IV) tanpa fisik keluhan, terdapat 3 ke atas saat gejala istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas. 20 Infark Dokter Klinis dan Nyeri dada khas Kategorik miokard akur residen penunjang di dada kiri yang anestesi menjalar semester lengan 3 ke atas perubahan EKG, enzim positif Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 ke kiri, jantung 21 Cedera kepala Dokter berat Klinis Terdapat riwayat Kategorik residen cedera kepala anestesi berat dalam 24 semester jam 3 ke atas terdapat jejas di terakhir, kepala, gambaran perdarahan intrakranial pada CT scan kepala. 22 Gagal hati Dokter Klinis dan Subjek residen laboratorium ikterik, Kategorik riwayat anestesi gangguan semester kronik, 3 ke atas koagulopati, hepar peningkatan enzim asites. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 hati, BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Ketoasidosis Diabetikum Ketoasidosis diabetik merupakan suatu kondisi katabolisme yang tidak terkontrol yang dipicu oleh defisiensi insulin baik relatif maupun absolut. Trias ketoasidosis diabetik ialah asidosis metabolik (pH < 7.35), hiperglikemia (gula darah > 250 mg/dl) dan ketosis (terdapatnya badan keton baik di urine ataupun di darah). Defisiensi insulin absolut atau relatif ini juga diikuti oleh peningkatan hormon-hormon counterregulasi (seperti glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan, dan kortisol), yang menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh hati (glukoneogenesis) dan katabolisme lemak (lipolisis). Lipolisis menghasilkan substrat untuk produksi badan keton oleh hati. Produksi badan keton ini menyebabkan terjadinya asidosis dan peningkatan anion gap, yang hampir selalu terjadi pada ketoasidosis diabetik.6 Defisiensi insulin akut yang mempengaruhi metabolisme glukosa menyebabkan terjadinya kondisi hiperglikemia. Akumulasi glukosa ekstraseluler ini menyebabkan terjadinya kondisi hiperosmolaritas.7 Ketika kadar glukosa darah meninggi ke tingkat pada saat jumlah glukosa yang difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi, glukosa akan dieksresikan di urine (glukosuria). Adanya glukosa di urine ini akan menimbulkan efek osmotik yang menarik air bersamanya, sehingga menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria dan ekskresi Na+ serta K+ melalui ginjal. Poliuria ini menyebabkan cairan keluar berlebihan dari tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer. Natrium yang diekskresikan akan menyebabkan natrium yang ada di dalam tubuh menjadi terdilusi, oleh karena itu kadar natrium pasien hiperglikemia harus dikonversi dalam darahnya sesuai dengan kadar gula darahnya, yaitu dengan cara menambahkan natrium sebanyak 1,6 mg/dL untuk setiap 100 mg/dl gula darah diatas 100 mg/dL. Selain itu juga timbul rasa haus berlebihan (polidipsia) yang sebenarnya merupakan mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi. Kegagalan sirkulasi apabila tidak diperbaiki dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian, atau menimbulkan gagal ginjal sekunder Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat. Penurunan aliran darah ke ginjal juga menyebabkan ekskresi glukosa melalui ginjal berkurang, sehingga semakin memperberat kondisi hiperglikemia tersebut. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik. Sel-sel otak sangat peka terhadap keadaan ini, sehingga dapat timbul gangguan fungsi sistem saraf.7,8 Selain itu akibat terjadinya defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan meningkat sehingga timbul polifagia (pemasukan makanan berlebihan). Akan tetapi walaupun terjadi peningkatan pemasukan makanan, berat tubuh menurun secara progresif akibat efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak dan protein. Dalam metabolisme protein, defisiensi insulin menyebabkan terjadinya pergeseran ke arah katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot, bersamaan dengan abnormalitas kadar elektrolit, menyebabkan otot rangka melemah dan mengecil sehingga terjadi penurunan berat badan, dan pada anak, terjadi hambatan pertumbuhan secara keseluruhan. Peningkatan penguraian protein ini menyebabkan peningkatan kadar asam amino dalam sirkulasi darah, yang selanjutnya dapat digunakan untuk glukoneogenesis dan memperparah kondisi hiperglikemia yang telah terjadi.7-9 Dalam metabolisme lemak, defisiensi insulin menyebabkan peningkatan lipolisis, sehingga terjadi peningkatan kadar asam lemak dalam darah yang sebagian besar digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternatif. Peningkatan penggunaan lemak oleh hati ini menyebabkan pengeluaran berlebihan badan keton (asam asetoasetat, Beta hidroksibutirat, dan aseton) ke dalam darah. Di samping itu, terjadinya peningkatan kadar hormon-hormon counter-regulasi seperti glukagon, epinefrin dan kortisol juga menyebabkan peningkatan produksi badan keton. Akumulasi badanbadan keton ini menyebabkan terjadinya asidosis metabolik progresif. Sebagai kompensasi terhadap asidosis metabolik, terjadi peningkatan ventilasi untuk meningkatkan pengeluaran CO2 pembentuk asam. (pernapasan Kussmaul). Ekshalasi salah satu badan keton, yaitu aseton, menyebabkan napas penderita yang mengalami ketoasidosis diabetikum berbau seperti “buah”. Kondisi asidosis, kelainan kadar elektrolit dan dehidrasi yang terjadi selanjutnya dapat mengganggu fungsi sel saraf, menekan fungsi otak dan dapat menimbulkan terjadinya koma diabetikum dan kematian. 7-9 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 2.2. Tatalaksana Ketoasidosis Diabetikum Pasien-pasien ketoasidosis diabetikum sebaiknya dirawat di area dimana mereka dapat diobservasi secara reguler, dengan tenaga medis yang berpengalaman, atau dirawat di unit intensif jika kondisi pasien sangat buruk.10 Prinsip pengelolaan ketoasidosis diabetikum ialah:11,12 Penggantian cairan dan garam yang hilang Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin Mengatasi stres sebagai pencetus ketoasidosis diabetikum Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan dan penyesuaian pengobatan Dalam tatalaksana ketoasidosis diabetikum, terdapat 5 hal yang harus diberikan, yaitu cairan, garam, insulin, kalium dan glukosa. Selain itu pengobatan umum juga perlu diberikan pada pasien ketoasidosis diabetikum, yaitu pemberian antibiotik yang adekuat untuk mengatasi infeksi yang terjadi, pemberian oksigen bila pO2<80mmHg, dan heparin bila ada DIC atau bila ada hiperosmolar (>380mOsm/l).12 Apabila terdapat penurunan kesadaran pada pasien, sebaiknya dilakukan pemasangan selang nasogastrik untuk mencegah aspirasi pada pasien akibat atonia gaster yang merupakan salah satu komplikasi pada ketoasidosis diabetikum. Pemasangan kateter urine juga dianjurkan pada pasien dengan penurunan kesadaran, akan tetapi jika memungkinkan dihindari pada pasien yang sadar penuh dan kooperatif untuk mengurangi sumber infeksi. Pada pasien dengan kelainan jantung atau ginjal atau pada pasien dengan kondisi syok, sebaiknya dilakukan pemasangan kateter vena sentral untuk mengevaluasi derajat hipovolemia dan untuk monitor pemberian cairan.8 Dalam tatalaksana ketoasidosis diabetikum, pemantauan juga merupakan bagian terpenting untuk penyesuaian selama terapi berlangsung. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah tiap jam, elektrolit setiap 6 jam selama 24 jam, analisis gas darah secara berkala, tanda-tanda vital pasien setiap jam sampai kondisi pasien stabil, balans cairan dan kondisi hidrasi pasien serta kewaspadaan terhadap kemungkinan DIC.11 Jika diagnosis ketoasidosis diabetikum telah ditegakkan, pemberian cairan isotonik minimal 2 liter dalam 2-3 jam pertama pada pasien dewasa merupakan hal yang Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 penting dilakukan untuk membantu mengembalikan volume plasma dan stabilisasi tekanan darah sambil mengurangi kondisi hiperosmolar yang terjadi. Selain itu, pemberian cairan akan membantu memperbaiki aliran darah ke ginjal, sehingga dapat membantu mengembalikan kapasitas ginjal untuk mengekskresi ion hidrogen, dan memperbaiki kondisi asidosis yang terjadi.12 Pemberian cairan ini dapat dimodifikasi disesuaikan dengan usia, berat badan, dan adanya kelainan jantung pada pasien.10 Pada sebagian besar pasien dewasa, defisit cairan yang terjadi ialah sebanyak 4-5 liter atau 100 ml/kgBB.11,12. Seperti telah disebutkan di atas, pemberian cairan dilakukan secara cepat untuk mencapai 1-2 liter/jam dalam 1-2 jam pertama. Setelah 2 jam pertama, cairan diberikan dengan kecepatan 300-400 cc/jam. Kegagalan penggantian secara cukup (minimal 3-4 liter dalam 8 jam pertama) untuk mengenbalikan kondisi perfusi normal merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi ketoasidosis diabetikum. Akan tetapi, pemberian cairan berlebihan (>5 liter dalam 8 jam) dapat menyebabkan timbulnya acute respiratory distress syndrome atau edema serebri. Apabila kadar glukosa darah turun (<200mg/dL), pemberian cairan diganti menjadi dextrose 5% untuk mencegah hipoglikemia dan mengurangi resiko edema serebri yang dapat diakibatkan penurunan kadar glukosa daran yang terlalu cepat.8 Pedoman terapi cairan pada tatalaksana ketoasidosis diabetikum yang digunakan di RSCM yaitu: 12 NaCl 0,9% diberikan ±1-2 L pada 1 jam pertama, lalu ± 1L pada jam kedua, lalu ±0,5L pada jam ketiga dan keempat, dan ± 0,25L pada jam kelima dan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5L Jika Na+ >155 mEq/L → ganti cairan dengan NaCl 0,45% Jika gula darah <200 mg/dL → ganti cairan dengan Dextrose 5% Segera setelah pemberian cairan inisial, pemberian insulin secara bolus cepat intravena harus diberikan. Pemberian insulin ini akan menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan.8,12 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Insulin yang digunakan pada tatalaksana ketoasidosis diabetikum hanya regular insulin. Insulin dapat diberikan secara intravena, intramuskular ataupun subkutan. Akan tetapi pemberian secara drip intravena lebih dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar glukosa darah lebih lambat, efek insulin lebih cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit terjadi.12 Pemberian insulin inisial menggunakan loading dose 0.3 unit/kgBB secara intravena untuk mengaktivasi reseptor insulin jaringan. Setelah bolus inisial, dosis insulin diberikan 0.1 unit/kg/jam secara drip intravena perlahan. Apabila kadar glukosa darah gagal turun minimal 10% dalam 1 jam pertama, dosis loading dose dapat diulang. Terapi insulin sebaiknya tetap dilanjutkan sampai pH gas darah menjadi normal.8 Efek kerja insulin terjadi dalam beberapa menit setelah insulin berikatan dengan reseptor, kemudian reseptor yang telah berikatan akan mengalami internalisasi dan insulin akan mengalami destruksi. Dalam keadaan hormon kontraregulator masih tinggi di dalam darah dan untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis, pemberian insulin tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba dan perlu dilanjutkan beberapa jam setelah koreksi hiperglikemia tercapai bersamaan dengan pemberian larutan glukosa untuk mencegah hipoglikemia.12 Protokol pemberian insulin yang digunakan pada tatalaksana ketoasidosis diabetikum di RSCM yaitu :12 Regular Insulin (RI) diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan RI bolus 180 mU/kgBB IV, dilanjutkan RI drip 90 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9% Jika GD < 200 mg/dL: kecepatan dikurangi →RI drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9% Jika GD stabil 200-300 mg/dL selama 12 jam →RI drip 1–2 U/jam IV, disertai sliding scale setiap 6 jam: Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Tabel 2.1. Panduan sliding scale insulin13 Gula darah RI mg/dl (Unit, subkutan) <200 0 200–250 5 250–300 10 300–350 15 >350 20 Jika kadar GD ada yang <100 mg/dL: drip RI dihentikan Setelah dosis koreksi tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan) Kehilangan kalium dari poliuria dan muntah pada pasien ketoasidosis diabetikum dapat mencapai 200 meq (3-5 meq/kgBB). Akan tetapi akibat pergeseran kalium dari intrasel ke esktrasel sebagai akibat kondisi asidosis, serum kalium pada umumnya normal atau sedkit meningkat. Seiring dengan dikoreksinya asidosis, kalium akan kembali masuk ke intrasel dan dapat terjadi hipokalemia jika tidak dilakukan penggantian kalium. Jika pasien tidak dalam kondisi uremikum dan produksi urinenya adekuat, pemberian kalium secara intravena sebaiknya diberikan 10-30 meq/jam dalam jam ke-2 dan ke-3 bersamaan dengan terkoreksinya kondisi asidosis. Penggantian kalium sebaiknya dimulai secara cepat jika serum kalium mulai turun atau sebaliknya, ditunda jika serum kalium tidak berespon terhadap terapi dan tetap di atas 5 meq/l, seperti pada kasus insufisiensi renal. Penggantian kalium dapat diberikan secara oral jika pasien kooperatif dan dalam kondisi ketoasidosis ringan. Selama penggantian kalium, sebaiknya dilakukan monitoring EKG secara berkala untuk mengevaluasi status kalium pasien.8 Protokol pemberian kalium yang digunakan dalam tatalaksana ketoasidosis diabetikum di RSCM ialah:13 Kalium (K Cl) drip dimulai bersamaan dengan drip RI, dengan dosis 50 mEq/6 jam. Syarat: Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG, dan jumlah urine cukup adekuat Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua: <3,5 → drip KCl 75 mEq/6jam 3,0–4,5 drip KCl 50 mEq/6jam 4,5–6,0 drip KCl 25 mEq/6jam >6,0 drip dihentikan Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama seminggu Penggunaaan natrium bikarbonat dalam tatalaksana ketoasidosis diabetikum menjadi kontroversi karena terdapat beberapa konsekuensi yang dapat membahayakan untuk pasien: Terjadinya hipokalemia akibat pergeseran kalium secara cepat ke intrasel jika asidosis dikoreksi secara berlebihan Anoxia jaringan akibat berkurangnya disosiasi oksigen dari hemoglobin apabila asidosis dikoreksi secara cepat Asidosis serebri akibat berkurangnya pH cairan serebrospinal Oleh karena itu, pemberian bikarbonat hanya dianjurkan jika pH gas darah arteri ≤ 7.0 dengan monitoring ketat untuk mencegah overkoreksi.8 Walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam jiwa tetap merupakan indikasi pemberian bikarbonat. 12 2. 3. Resusitasi mikrosirkulasi Hiperglikemia dan ketonemia yang terjadi pada pasien KAD akan menyebabkan osmotik diuresis, yang menyebabkan hilangnya cairan intravaskuler. Dehidrasi seluler akan menyebabkan pergeseran cairan dari intravaskuler ke intrasel. Kedua hal tersebut akan menyebabkan semakin berkurangnya preload jantung.14 Berkurangnya preload jantung akan menurunkan curah jantung. Berkurangnya curah jantung akan berakibat berkurangnya perfusi oksigen organ-organ tubuh. Perfusi organ yang tidak adekuat yang tidak segera dilakukan penggantian cairan dapat berakibat pada ketidak seimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen dan dapat berakibat pada gangguan multiorgan.14 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Syok adalah suatu kondisi klinis yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen jaringan, yang memiliki tanda dan gejala tertentu dna berakibat pada hipoksia jaringan.15 Hipoksia jaringan dapat dapat disebabkan oleh rendahnya kadar oksigen dalam arteri, yang disebut juga hipoksia hipoksik, rendahnya kadar hemoglobin darah, yang disebut juga hipoksia anemik, rendahnya curah jantung, yang disebut juga hipoksia stagnan, dan gangguan pelepasan oksigen ke jaringan, yang disebut juga hipoksia histotoksik.15 Secara klinis syok dibagi menjadi syok kardiogenik, syok obstruktif, hipovolemik, atau syok septik. Syok kardiogenik disebabkan oleh penyakit mikoradium seperti infark, miokarditis, kelainan katup. Syok obstruktif disebabkan oleh kegagalan pompa jantung yang disebabkan oleh kegagalan pompa yang disebabkan oleh selain kelainan miokardium primer, contohnya emboli paru, dan tamponade jantung. Syok hipovolemik disebabkan oleh hilangnya banyak cairan dari dalam tubuh seperti perdarahan masif, diare, diuresis berlebihan, dan pada pasien luka bakar.15 Oxygen delivery (DO2) turun pada kondisi syok. Beberapa hal berkontribusi dala hal ini, termasuk rendahnya curah jantung, anemia, dan hipoksia. Pada syok hipovolemik, rendahnya curah jantung disebabkan oleh menurunkan preload. Pada syok obstruktif, venous return di ventrikel kiri berkurang. Pada syok kardiogenik gangguan kontraksi menjadi penyebab utama turunnya DO2.14 Pada tahap awal terjadi hipoksia, tubuh berusaha mengkompensasinya dengan cara melepas lebih banyak oksigen dari hemoglobin ke jaringan. Lama-kelamaan ketika sudah melampaui batas kritisnya, oksigen yang dilepas ke jaringan juga berkurang sehingga tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan jaringan. Pada keadaan ini akan muncul kekurangan oksigen untuk metabolisme yang disebut juga dengan oxygen dept. Kekurangan oksigen untuk metabolisme aerob akan menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob, yang menghasilkan laktat, sehingga kadar laktat dalam darah akan meningkat.14 Pada kondisi yang menimbulkan respon inflamasi seperti kondisi SIRS, sepsis, akan terjadi pelepasan mediator-mediator imunologis seperti lipopolisakarida dari dinding Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 sel gram negatifm TNF-α, interleukin-1, sitokin dan zat-zat pro inflamatori lainnya. Adanya zat-zat inflamasi akan memicu aktivasi komplemen, kaskade koagulasi dan agregasi trombosit, oksigen reaktif, dan nitrik oksida. Kombinasi semuanya itu menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan penurunan relatif volume intravaskular, dan peningkatan curah jantung akibat kondisi hiperdinamik.14 DO2 pada syok septik melebihi batas normal. Hal ini disebabkan oleh peningkatan curah jantung. Kebutuhan oksigen (VO2 ) juga meningkat akibat peningkatan metabolisme jaringan. Pada kondisi ini, walaupun DO2 meningkat, tetap terjadi ketidak seimbangan hantaran oksigen, dan terjadi asidosis laktat. Metabolisme anaerobik yang terjadi terus menerus akan menyebabkan cadangan ATP dalam sel terus berkurang, dan kegagalan pompa natrium kalium (Na-K ATPase). Kegagalan Na-K ATPase akan menyebabkan masuknya natrium dan air ke dalam sel, sehingga akan terjadi pembengkakan sel. Mitokondria tidak dapat melakukan oksidasi dan fosforilasi dan pada akhirnya menyebabkan kegagalan fungsi organ, seperti penurunan kontraktilitas jantung, acute kidney injury, dan sebagainya.14 Pasien syok memiliki tampilan klinis yang bervariasi yang pada umumnya berkaitan dengan peningkatan tonus simpatis. Pasien biasanya mengalami takipnea, dan dyspnea sebagai tanda awal gangguan kardiovaskular. Tanda lain yang mungkin muncul adalah pucat, diaforesis, kulit dingin, atau mungkin kulit hangat kemerahan dan kering. Tekanan darah dapat normal, meningkat atau turun, dan nadi dapat takikardia, bradikardia, atau normal. Urine output biasanya berkurang. Dari pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai peningkatan laktat, peningkatan klorida. Pada analisa gas darah dapat ditemukan asidosis metabolik, alkalosis respiratorik atau gabungan dari keduanya.15 Resusitasi pada kondisi hipovolemik dibagi menjadi dua, yaitu periode primer dan periode sekunder. Periode primer memiliki tujuan resusitasi jantung paru dann otak. Tujuan nya adalah memberikan perfusi oksigen yang cukup ke koroner dan otak. Pada tahap ini ditekankan pada pemeliharaan jalan napas yang adekuat, pemberian ventilasi mekanik, mempertahankan mean arterial pressure >60 mmHg. Pada periode sekunder tujuan yang dicapai adalah memberikan aliran darah dan perfusi ke semua Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 organ, menjamin ketersediaan oksigen bagi semua sel yang aktif. Memberikan aliran darah dan perfusi ke semua organ dapat dicapai dengan menggunakan teknik ekspansi volume dan penggunaan obat-obatan vasoaktif. Semua hal-hal yang ingin dicapai diatas harus tercapai dalam enam jam. Dalam enam jam pertama sejak masuk ruumah sakit ada beberapa hal yang harus dicapai yaitu mempertahankan MAP>60 mmHg, mempertahankan CVP 8-12 mmHg, urine output >0,5cc/kg/jam, dan mempertahankan saturasi oksigen vena kava >70%.15 Pasien syok, selain pasien dengan gagal pompa ventrikel jantung kiri dengan edema paru kardiogenik, memiliki respon yang baik terhadap penggantian cairan intravaskuler. Jenis cairan yang digunakan untuk penggantian cairan dapat kristaloid ataupun koloid. Ringer laktat dan normal saline adalah jenis cairan yang paling sering digunakan untuk resusitasi cairan. Normal saline lebih hipertonus dari pada plasma dan meningkatkan kadar klorida dalam darah. Asidosis metabolik hiperkloremik sering terjadi dan biasanya berhubungan dengan pemberian normal saline. Asidosis iatrogenik 15 Koloid adalah cairan yang memiliki berat molekul yang besar sehingga tidak mudah keluar dari pembuluh darah. Contohnya adalah albumin, dekstran, dan hetastarch. Koloid dapat memiliki cairan dasar normal saline ataupun cairan lain dengan komposisi lebih menyerupai plasma darah seperti ringer laktat. Koloid memiliki beberapa keuntungan, seperti bertahan lebih lama di intravaskular, lebih jarang menyebabkan edema.15 2.4. Balanced Electrolyte Solution (BES) Normal salin adalah larutan garam natrium klorida 0,9%, yang memiliki tonisitas sama dengan cairan tubuh sehingga sering disebut juga dengan isotonus normal salin.16 Balanced solution adalah cairan yang memiliki komposisi elektrolit yang mirip dengan komposisi plasma darah sehingga disebut juga dengan balanced electrolyte solution (BES). Normal salin telah digunakan selama lebih dari 50 tahun untuk cairan intraoperatif, resusitasi dan maintenance.16 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Saat ini telah dikembangkan cairan-cairan yang memiliki komposisi lebih menyerupai cairan tubuh, seperti ringer laktat, ringer asetat, dan lain-lain. Penggunaan normal salin dalam jumlah besar dapat menimbulkan asidosis hiperkloremik. Sampai saat ini masih terjadi perdebatan tentang morbiditas yang berkaitan dengan asidosis hiperkloremik.16 Kejadian asidosis hiperkloremik pernah diulas oleh British Consensus Guidelines in Intravenous Fluid Therapy for Adult Surgical Patient. Dalam konsensus ini secara jelas untuk menggunakan balanced solution daripada normal salin. Tabel 2.2. Komposisi elektrolit cairan kristaloid Elektrolit Plasma Normal Ringer Salin laktat Asering Ringerfundin Natrium 140 154 131 130 140 Kalium 5 0 5 4 4 Klorida 100 154 111 108,7 127 Kalsium 2,2 0 2 2,7 2,5 Magnesium 1 0 1 0 1 Bikarbonat 24 0 0 0 0 Laktat 1 0 29 0 0 Asetat 0 0 0 28 24 Glukonat 0 0 0 0 0 Maleat 0 0 0 0 5 Dari tabel 2.2. di atas, jelas bahwa narmal salin memiliki kandungan klorida yang paling banyak diantara cairan lainnya. Asidosis hiperkloremik dapat berdampak terhadap beberapa organ tubuh, antara lain ginjal, saluran cerna, dan sistem pembekuan darah. Pada penelitian yang dilakukan pada hewan coba, klorida terbukti memiliki efek meningkatkan resistensi vaskular ginjal, menurunkan laju filtrasi glomerulus dan menurunkan aktivitas rennin. Pada penelitian in vitro, BES terbukti memiliki efek samping yang lebih kecil terhadap Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 sistem pembekuan darah. Hal ini disebabkan karena hemodilusi kalsium yang lebih kecil pada kelompok BES. 16 Asidosis metabolik sering dihubungkan dengan hasil yang buruk. Pendekatan steward untuk analisa asam basa sudah luas digunakan. Berdasarkan pendekatan steward, ada tiga hal yang mempengaruhi asam basa, yaitu strong ion difference (SID), non volatile weak acid (Atot) dan pCO2. 17 SID merupakan selisih dari kation dan anion kuat, yang diformulasikan sebagai: SID = Na+ + K+ + Mg2+ + Ca2+ - Cl- - laktat. SID memiliki nilai normal 38-40. Atot terdiri dari albumin, fosfat dan anion-anion lain yang tidak dapat diukur. Berdasarkan Steward, asidosis metabolik disebabkan oleh penurunan SID atau peningkatan Atot, sedangkan asidosis respiratorik disebabkan oleh peningkatan pCO2.17 Ketika cairan yang memiliki SID = 0, dalam hal ini adalah normal saline, diberikan kepada pasien, maka akan terjadi perubahan biokimia dan perubahan fisiologi. Perubahan biokimia yang terjadi antara lain peningkatan serum klorida hingga 10mmol/L, peningkatan serum sodium hingga 1-2mmol/L, dan penurunan albumin hingga 20-25g/L. Base deficit akan meningkat sekitar 4-5mEq/L. Hal itu disebabkan oleh efek dilusi dari normal saline terhadap plasma darah.17 Efek perubahan fisiologi tubuh antaralain asidosis hiperkloremik berat (base deficit hingga 15mEq/L) dapat menyebabkan hipotensi. Selain itu, hiperkloremia juga menyebabkan peningkatan mediator pro inflamasi seperti pelepasan nitrik oksida (NO), interleukin 6. Pemilihan cairan intravena tidak hanya mempengaruhi status asam basa, tetapi juga mempengaruhi respons imun pasien.17,18 Pelepasan mediator-mediator pro inflamasi dapat memperberat reaksi imunologis dalam tubuh, sehingga memperparah perfusi oksigen ke dalam jaringan sehingga memperberat hipoksia.17-19 Terdapat beberapa penelitian yang dilakukan untuk membandingkan outcome resusitasi cairan pada pasien KAD dengan cairan selain normal saline, diantaranya Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 dengan menggunakan ringer laktat dan Balanced Electrolyte Solution (BES) yaitu Plasma-Lyte A®. Mahler, Et al membandingkan time to pH resolve, time to lower blood sugar, dan time to resolve diabetic ketoacidosis antara normal saline dan ringer laktat. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kelompok ringer laktat tidak signifikan membutuhkan time to pH resolve yang lebih lama dibandingkan normal saline (p= 0,251), kelompok ringer laktat secara signifikan membutuhkan time to lower blood sugar yang lebih lama dari pada normal saline (p=0,044), dan tidak ada perbedaan signifikan dalam time to resolve diabetic ketoacidosis (p=0,758).20 Penelitian yang dilakukan Mahler, et al membuktikan bahwa resusitasi cairan pada ketoasidosis diabetikum dengan penggunaaan Balanced Electrolyte Solution (BES) yaitu PlasmaLyte A® secara signifikan mengurangi kejadian hiperkloremia.3 2.5. Standard Base Excess (SBE) sebagai prediktor outcome resusitasi mikrosirkulasi Mikrosirkulasi memegang peranan penting dalam transport oksigen ke jaringan. Dalam proses transport oksigen terdapat dua penanda utama, yaitu parameter upstream dan parameter downstream. Parameter upstream adalah parameterparameter hemodinamik global dan faktor-faktor yang mempengaruhi transportasi oksigen agar mencapai tingkat seluler. Parameter upstream merupakan parameter yang mewakili makrosirkulasi, yang terdiri dari preload seperti nilai CVP, afterload, seperti MAP, kontraktilitas, denyut nadi, tekanan parsial oksigen (PaO2), kadar hemoglobin, dan curah jantung. Parameter downstream adalah parameter-parameter yang berhubungan dengan mikrosirkulasi, yaitu perfusi oksigen jaringan seperti saturasi vena sentral, laktat, CO2 gap, base excess, dan pH. Syarat untuk tercapainya perfusi mikrosirkulasi yang adekuat adalah makrosirkulasi yang baik. Diperlukan fungsi pompa jantung yang mencukupi dan pembawa oksigen yang baik, agar oksigen dapat mencapai ke jaringan dan digunakan oleh sel. Oleh karena itu dalam goal directed therapy, parameter-parameter target yang umumnya digunakan adalah parameter-parameter makrosirkulasi seperti MAP, CVP, dan urine output. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Goal directed therapy: Oksigen demand Oksigen supply Parameter hemodinamik: - Preload (CVP) - Afterload (MAP, SVR) - Kontraktilitas - Nadi - Urine output Parameter upstream : endpoint resusitasi Parameter hantaran oksigen: - PaO2 - Hemoglobin - Curah jantung Mikrosirkulasi Parameter downstream : penanda keefektifan resusitasi Parameter metabolisme seluler: SvO2 Laktat CO2 gap Base excess pH - Gambar 2.1. Peranan mikrosirkulasi dalam goal directed therapy21 Base excess (BE) adalah sejumlah asam atau basa yang harus ditambahkan ke dalam sejumlah sample darah in vitro untuk meningkatkan pH darah menjadi 7,40 pada saat PCO2 40mmHg. BE menunjukan derajat keparahan asidosis atau alkalosis.5 Standard Base Excess (SBE) adalah nilai BE yang dikondisikan pada kondisi anemik, dengan kadar hemoglobin 5 g/dL. SBE merupakan prediktor outcome resusitasi pada pasien asidosis metabolik. Semakin kadarnya mendekati normal, semakin baik outcome pasien.5 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Park, et al (2008) melakukan penelitian terhadap 31 pasien sakit kritis di ICU untuk mengetahui apakah SBE merupakan suatu alat diagnostik yang tepat untuk mengetahui adanya asidosis metabolik. Hasil dari penelitian tersebut adalah SBE merupakan suatu alat diagnostik yang paling baik dibandingkan strong ion difference, level albumin, anion gap, dan laktat.22 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Kerangka Teori Ketoasidosis diabetikum Asidosis metabolik Hiperglikemia Ketosis Defisiensi insulin Hiperglikemia Diuretik osmotik Gagal sirkulasi Gangguan elektrolit Ketidakseimbangan suplai dan demand oksigen Resusitasi cairan Resusitasi cairan dengan normal saline Koreksi gangguan elektrolit Resusitasi cairan dengan Balanced electrolyte solution Kontrol gula darah Pemberian Pemberian Kalium insulin Pencetus KAD, jenis kelamin, usia, tipe DM, jumlah cairan resusitasi, kesadaran, MAP, CVP, GDS, keton, SBE, pH arteri, laktat, elektrolit, ureum, kreatinin, albumin, SGOT/ SGPT Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Tatalaksana penyebab KAD Kerangka Konsep Ketoasidosis diabetikum: Defisiensi insulin - Gagal ginjal on hemodialisa - Dekompensasio kordis - Trauma kepala dengan tanda edema serebri - Gagal napas yang membutuhkan ventilator - Gangguan elektrolit berat - Gagal hati Hiperglikemia Diuretik osmotik Gagal sirkulasi Resusitasi cairan Pemasangan CVC Koreksi :insulin, kalium, bikarbonat, kontrol infeksi Resusitasi dengan NaCl 0,9% (kelompok NS) Keterangan : variabel independen : variabel perancu : variabel dependen : hubungan - Usia - Tipe DM - Pencetus KAD - Resusitasi dengan BES (kelompok BES) Jenis kelamin Pencetus KAD Tipe DM Usia Jumlah cairan resusitasi Kesadaran MAP CVP Gula darah Keton Standart Base excess pH arteri Laktat Elektrolit (Na, K, Cl,) SID Ureum Kreatinin Albumin SGOT SGPT Mortality rate Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah uji klinis terbuka randomisasi. 3.2. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di IGD RSCM pada bulan April sampai Oktober 2013. 3.3. Populasi Penelitian Populasi target : penderita ketoasidosis diabetikum berusia 18-65 tahun. Populasi terjangkau : penderita ketoasidosis diabetik berusia 18-65 tahun di RSCM pada bulan April sampai Oktober 2013. 3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi adalah Pasien ketoasidosis diabetikum usia 18-65 tahun. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian Gula darah sewaktu saat masuk rumah sakit >250mg/dL Keton darah positif pH darah arteri kurang dari 7,35. Kriteria eksklusi adalah Gagal napas yang membutuhkan ventilasi mekanik Gagal ginjal stadium 5 on HD Dekompensasio kordis Natrium >158 Natrium < 120 Infark miokard akut dengan tanda-tanda dekompensasio kordis Cedera kepala dengan tanda-tanda edema serebri Gagal hati Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 3.5. Besar Sampel Masalah pada penelitian ini diklasifikasikan pada analitik komparatif numerik tidak berpasangan. Kesalahan tipe I sebesar 5%, hipotesis satu arah, kesalahan tipe II sebesar 20%. n1 = n2 = 2 (Zα+Zβ)2s2 (x1-x2)2 Zα = kesalahan tipe I, ditetapkan 5% hipotesis satu arah, maka nilainya 1,64 Zβ = kesalahan tipe II, ditetapkan 20%, maka nilainya 0,84 S = simpangan baku berdasarkan Park5, maka nilainya 5,4 (x1-x2) = perbedaan rerata minimal yang dianggap bermakna adalah 5 Maka n1=n2 = 14,3 = 15 3.6. Cara Pengambilan Sampel Sampel penelitian merupakan semua pasien KAD di IGD RSCM periode April sampai Oktober 2013 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak diekslusi. Jika selama penelitian subjek mengalami salah satu atau lebih dari satu kriteria eksklusi, maka subjek akan dieksklusi dari penelitian. 3.7. Alokasi Sampel Masing-masing subyek penelitian dimasukan ke dalam kelompok perlakuan secara acak berdasarkan urutan pengambilan undian. 3.8. Cara Kerja Penelitian Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak dieksklusi mendapat perlakuan terapi sesuai dengan urutan random, terapi diberikan secara terbuka dari farmasi. Subjek penelitian dilakukan pemasangan akses intravena perifer dan sentral, NGT, kateter urin, pemeriksaan laboratorium darah perifer lengkap, urinalisis, gula darah sewaktu, keton darah, laktat, AGD arteri dan mixed vein, pT/aPTT, fibrinogen, d-Dimer, albumin, ureum dan kreatinin. Setiap satu jam dilakukan pemeriksaan tanda vital tekanan darah, nadi, napas,tingkat kesadaran, CVP, diuresis dan status hidrasi. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Gula darah sewaktu (GDS) dilakukan setiap jam selama 6 jam pertama, jam ke 12, ke 24, ke 36 dan jam ke 48. AGD arteri, AGD mixed vein, laktat dan elektrolit dilakukan setiap dua jam selama 6 jam pertama, jam ke 12, ke 24, ke 36 dan jam ke 48. Keton darah diperiksa setiap enam jam selama 48 jam. Ureum dan kreatinin diperiksa setiap 24 jam selama 48 jam. Corrected natrium dihitung dengan cara : Natrium terukur + (GDS-100) x 0,0166 Subjek diberikan antibiotik yang adekuat bila terdapat infeksi, pemberian suplementasi oksigen bila pO2 <80 mmgHg, pemberian heparin bila terjadi DIC atau hiperosmoler berat (>380mOsm/l) Pasien mendapat terapi cairan, koreksi insulin, kalium dan bikarbonat sesuai dengan tabel 3.1. Pasien difollow up selama 28 hari kedepan untuk menilai fungsi ginjal. Karakteristik subjek penelitian, tingkat kesadaran, mean arterial pressure(MAP), CVP, gula darah, kadar corrected natrium, kalium, klorida, kalsium, magnesium, pH arteri, time to resolved pH hingga mencapai 7,35, time to resolved anion gap hingga mencapai 11, time to resolved SID hingga mencapai 40, saturasi mixed vein, anion gap, SID, laktat, keton, ureum, kreatinin dan mortality rate akan dilaporan secara deskriptif pada kedua kelompok sedangkan standart base excess akan dibandingkan antara kedua kelompok. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Tabel 3.1. Protokol pemberian cairan, insulin, kalium dan bikarbonat. Jam ke 0 Insulin Koreksi Koreksi Kalium bikarbonat 1000cc dalam ½ Bila pH: jam, selanjutnya ½ <7 : 100 meq kolf dalam 1 jam 7-7,1 : 50 meq >7,1 : tidak diberikan 1 Pada jam ke-2: 1000 cc 2 dilanjutkan dengan drip 500 cc 3 50 meq/6 jam Bolus 180mU/kgBB insulin 90 mU/kgBB/jam 1000 cc dalam cairan resusitasi 4 Bila kadar K 250 cc 5 Bila GDS<200, kecepatan 250 cc 6 dan <3 : 75meq/6jam dikurangi menjadi 3-4,5 : 50 meq/6jam 45mU/kgBB/jam. 4,5-6 : 25 meq/6jam Bila GDS stabil (200- >6 : tidak diberikan 300mg%) selama 12 jam seterusnya dilakukan drip insulin 1-2 U perjam, dan sliding scale tiap 6 tergantung jam. kebutuhan Dosis insulin subkutan: <200 mg% 200-250 5U 250-300 10U 300-350 15U >350 20U Bila GDS<200, ganti dengan Dextrose Setelah sliding tiap 6 jam Bila sudah sadar dapat kenaikan pH akan 5% dapat dihitung kebutuhan dberikan Kalium oral diikutin penurunan K, insulin per hari selama semingu oleh karena itu pemberian bikarbonat disertai dengan pemberian kalium. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 3.9. Rencana Analisis Analisis data menggunakan program SPSS 16.0 dengan menggunakan uji t tidak berpasangan jika sebaran data normal, atau menggunakan uji Mann Whitney bila sebaran data tidak normal. Uji normalitas data menggunakan uji kolmogorovsmirnov. 3.10. Etika Data diperoleh dari subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak dieksklusi. Identitas subyek penelitian akan disamarkan, dan dirahasiakan. Data akan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional dengan tetap menjaga kerahasiaan subyek penelitian. Sebelum data diambil dari subyek penelitian, subyek akan terlebih dulu dijelaskan mengenai perlakuan yang akan diterima, prosedur penelitian, risiko yang mungkin dialami subyek selama penelitian, manfaat penelitian, prosedur penyelamatan bila terjadi kegawatdaruratan, dan menjamin kerahasiaan identitas subyek. Pengambilan data penelitian berdasarkan sukarela dan persetujuan secara tertulis dari subyek penelitian. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 BAB 4 HASIL PENELITIAN 4. 1. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian dilakukan di Instalasi Gawat Darurat RSCM periode Mei-Oktober 2013. Selama periode observasi didapatkan total 30 pasien dengan alokasi subyek kelompok kontrol 15 subyek dan kelompok perlakuan 15 subyek. Dari 30 subyek penelitian terdapat 11 (36,7 %) subyek laki-laki , dan 19 (63,3%) subyek perempuan. Terdapat tiga subyek dengan diabetes mellitus (DM) tipe 1 (10%), 25 (83,3%) subyek dengan DM tipe 2, dua (6,7%) subyek dengan DM tipe lain. Terdapat 20 (67%) subyek dengan pencetus infeksi, dua (6,7%) subyek dengan pencetus new onset DM, tiga (10%) subyek dengan pencetus penghentian terapi DM, dan lima (16,7%) subyek dengan pencetus lain-lain. Tabel 4.1. Karakteristik subyek berdasarkan kelompok perlakuan Normal Saline BES p Laki-laki 5 (33.33%) 6 (40%) 0.705+ Perempuan 10 (66.67 %) 9 (60%) DM tipe 1 2 (13.33%) 1 (6.67%) DM tipe 2 12 (80%) 13 (86.66%) DM tipe lain 1 (6.67%) 1 (6.67%) Infeksi 11 (73.33%) 9 (60%) New onset DM 1 (6.67%) 1 (6.67%) Penghentian terapi 1 (6.67%) 2 (13.33%) Lain-lain 2 (13.33%) 3 (20%) Usia ** 56 (25, 65) 57 (23, 65) 1.00++ 0.99++ 0.967**** ** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) + uji chi square ++ uji Kolmogorov Smirnov **** uji Mann Whitney Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 4.2. Tingkat Kesadaran Subyek Selama 48 jam pertama Terdapat 28 subyek penelitian compos mentis selama 48 jam pertama, satu subyek yang meninggal di 48 jam pertama, satu subyek mengalami henti napas henti jantung dan mengalami ROSC dalam 48 jam pertama. 4.3. Rerata Mean Arterial Pressure (MAP) Rerata MAP memiliki sebaran normal pada setiap jam yang di catat, kecuali rereata MAP di jam pertama. Tabel 4.2. Rerata MAP berdasarkan kelompok perlakuan dalam satuan mmHg. Normal Saline BES p (2 tailed) Jam 0 84.13 ± 9.576* 83.31 ± 17.369* 0.874*** Jam 1 86 (70,113)** 87 ( 62, 118 )** 0.884**** Jam 2 87.31 ± 9.804* 90.16 ± 11.057* 0.462*** Jam 3 86.6 ±9.917* 88.2 ± 13.048* 0.708*** Jam 4 87.36 ±12.808* 88.71 ± 12.253* 0.769*** Jam 5 86.18 ± 16.204* 86.04 ± 10.962* 0.979*** Jam 6 83.6 ± 12.617* 86.29 ± 14.361* 0.590*** Jam 12 85.22 ± 14.013* 87.04 ± 14.632* 0.730*** Jam 18 82.62 ± 15.412* 86.98 ± 11.548* 0.389*** Jam ke 24 78.87 ± 10.996* 87.51± 11.935* 0.048*** Jam ke 30 81.58 ±10.354* 84.76 ± 11.058* 0.423*** Jam ke 36 80.82 ± 11.06* 86.78 ± 12.104* 0.17*** Jam ke 48 92.29 ± 14.069* 82.91 ± 10.293* 0.891*** Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance. * sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD ** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan **** uji Mann Whitney Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 4.4. Rerata Central Venous Pressure (CVP) Rerata CVP memiliki sebaran data normal pada setiap jam yang dicatat, kecuali rerata CVP pada jam ke 24 dan jam ke 36. Tabel 4.3. Rerata CVP berdasarkan kelompok perlakuan dalam satuan cmH2O. Normal Saline BES p ( 2 tailed) Jam ke 6 5.47 ± 2.574* 7.8 ± 3.479* 0.046*** Jam ke 12 6.6 ± 1.993* 7.67 ± 3.069* 0.270*** Jam ke 18 6.53 ± 2.438* 8.23 ± 3.615* 0.142*** Jam ke 24 6.2 ± 3.189* 8.3 ± 4.288* 0.139*** Jam ke 36 8.23 (4, 12)** 8.47 (4,13)** 0.917**** Jam ke 48 8.73 (3,12)** 9.17 (4, 12)** 0.818**** Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance. * sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD ** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan **** uji Mann Whitney 4.5. Rerata Gula Darah Sewaktu (GDS) Rerata GDS memiliki sebaran data yang tidak normal pada setiap jam yang dicatat, kecuali rerata GDS di jam ke 18 dan jam ke 24. Tabel 4.4. Rerata GDS berdasarkan kelompok perlakuan dalam satuan g/dL. Nomal saline BES p ( 2 tailed) Jam ke 0 508 (271, 842)** 467 (325, 1043)** 0.561**** Jam ke 1 390 (213, 592)** 394 (290, 900)** 0.693**** Jam ke 2 295 (135, 594)** 353 (212, 850)** 0.281**** Jam ke 3 252 (93, 424)** 290 (178, 850)** 0.221**** Jam ke 4 237 (83, 378)** 303 (89, 850)** 0.146**** Jam ke 5 205 (108, 376)** 203 (133, 450)** 0.206**** Jam ke 6 204 (59, 616)** 210 (59, 495)** 0.967**** Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Jam ke 12 176 (74, 293)** 200 ( 64, 408)** 0.407**** Jam ke 18 171.87 ± 48.131* 200.87 ± 83.905* 0.258*** Jam ke 24 190.67 ± 70.975* 214.2 ± 83.561* 0.413*** Jam ke 36 180 (94, 515)** 200 (110, 361)** 0.468**** Jam ke 48 180 (98, 636)** 187 (86, 564)** 0.709**** Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance. * sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD ** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan **** uji Mann Whitney 4.6. Rerata Keton Semuar rerata keton memiliki sebaran yang tidak normal pada setiap jam yang dicatat kecuali rerata keton di jam ke 0. Tabel 4.5. Rerata keton berdasarkan kelompok perlakuan. Normal Saline BES p (2 tailed) Jam ke 0 3.266 ± 1.748* 2.953 ± 1.692* 0.622 *** Jam ke 6 0.3 (0, 4.1)** 0.8 (0, 4.6)** 0.852**** Jam ke 12 0.2 (0, 3.9)** 0.4 (0, 2)** 0.413**** Jam ke 18 0.2 (0, 3.7)** 0.6 (0, 4.6)** 0.374**** Jam ke 24 0 (0, 2.9)** 0.2 (0, 2.6)** 0.379**** Jam ke 30 0 ( 0, 1.4)** 0.2 (0, 4.1)** 0.129**** Jam ke 36 0 (0, 0.5)** 0.1 (0, 4.3)** 0.113**** Jam ke 42 0 ( 0, 0.5)** 0 (0, 3.5)** 0.249**** Jam ke 48 0 (0, 3.3 )** 0 (0, 3)** 0.878**** Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance. * sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD ** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan **** uji Mann Whitney Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 4.7. Rerata Standart Base Excess (SBE) Semua data memiliki sebaran normal. Tabel 4.6. Rerata SBE berdasarkan kelompok perlakuan. Normal saline BES p(2-tailed) p(1-tailed) Jam ke 0 -15.40 ± 4.57* -15.71± 5.83* 0.708*** 0.354 Jam ke 2 -14.58±5.33* -11.54 ± 6.56* 0.257*** 0.128 Jam ke 4 -12.15 ± 5.80* -10.5 ± 5.97* 0.302*** 0,151 Jam ke 6 -10.28 ± 4.18* -9.61 ± 5.39* 0.764*** 0.382 Jam ke 12 -8.42 ± 5.06* -7.5 ± 6.28* 0.596*** 0.298 Jam ke 18 -9.68 ± 5.64* -4.88 ± 5.69* 0.192*** 0.096 Jam ke 24 -8.71 ± 5.35* -3.99 ± 4.27* 0.047*** 0.023 Jam ke 36 -7.55 ± 4.71* -5.70 ± 3.99* 0.133*** 0.066 Jam ke 48 -7.01 ± 5.46* -4.06 ± 4.11* 0.019*** 0.009 Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance. * sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD ** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan **** uji Mann Whitney 4.8. Mortality Rate Dari 30 subyek penelitian, 25 subyek hidup sampai 28 hari setelah perlakuan, 4 subyek meninggal di atas 48 jam, dan 1 subyek meninggal dalam waktu 48 jam perlakuan. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Tabel 4.7. Jumlah kematian berdasarkan kelompok perlakuan. Hidup Meninggal Normal saline BES p 12 (80%) 13 (86.7%) 1.0++ dalam 1 (6.7%) 0% dalam 2 (13.3%) 2 (13.3%) 48 jam Meninggal 28 hari ++ uji Kolmogorov Smirnov 4.9. Rerata SID Rerata SID memiliki sebaran yang normal pada setiap jam yang dicatat, kecuali rerata SID di jam ke 12. Tabel 4.8. Rerata SID berdasarkan kelompok perlakuan. Normal saline BES p(2tailed) Jam ke 0 37.3 ± 4.94* 43.745 ± 7.097* 0.029*** Jam ke 2 32.685 ± 6.748* 42.075 ± 6.469)* 0.052*** Jam ke 4 32.728 ± 4.643* 40.665 ± 5.727* 0.003*** Jam ke 6 32.542 ± 3.127* 39.3033 ± 4.385* 0.029*** Jam ke 12 34.6(18.6, 38.8)** 39.7 (34.5 , 51.2)** 0.005**** Jam ke 18 34.2714 ± 2.419* 42.6367 ± 6.193* 0.025*** Jam ke 24 31.7571 ± 4.073* 40.680 ± 3.876* 0.001*** Jam ke 36 35.8286 ± 3.967* 40.4467 ± 2.29* 0.035*** Jam ke 48 35.028 ± 3.952* 42.596 ± 2.835* 0.001*** Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance. * sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD ** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan **** uji Mann Whitney Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 4.10. Rerata pH pH memiliki sebaran data yang normal pada setiap jam yang dicatat. Tabel 4.9. Rerata pH berdasarkan kelompok perlakuan Normal saline BES p(2tailed) Jam ke 0* 7.326 ± 0.0491 7.286 ± 0.126 0.138*** Jam ke 2 * 7.353 ± 0.057 7.342 ± 0.128 0.916*** Jam ke 4 * 7.387 ± 0.045 7.372 ± 0.09 0.895*** Jam ke 6* 7.367±0.059 7.369 ± 0.091 0.213*** Jam ke 12* 7.394 ± 0.052 7.389 ± 0.076 0.884*** Jam ke 18 * 7.397 ± 0.044 7.432 ± 0.058 0.561*** Jam ke 24 * 7.421 ± 0.036 7.438 ± 0.064 0.981*** Jam ke 36 * 7.419 ± 0.039 7.426 ± 0.058 0.997*** Jam ke 48 * 7.425 ± 0.056 7.43 ± 0.0736 0.705*** Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance. * sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD ** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan **** uji Mann Whitney 4.11.Rerata Laktat Semua data memiliki sebaran tidak normal pada setiap jam yang dicatat kecuali rerata laktat di jam ke 24. Tabel 4.10. Rerata laktat berdasarkan kelompok perlakuan. Normal saline BES p (2 tailed) Jam ke 0 2.2 (1.1 , 20)** 1.95 (1.2 , 14.6)** 0.270**** Jam ke 2 2.15 (1.1, 19)** 1.9 ( 1.1, 9)** 0.909**** Jam ke 4 2.1 (1.3 , 18)** 1.95 (0, 9.8)** 0.974**** Jam ke 6 1.7 ( 1, 16.2)** 1.5 (0.8, 5.4)** 0.869**** Jam ke 12 1.75 (1.1, 16.2)** 1.45 (1, 5)** 0.566**** Jam ke 18 1.8 (1.2, 12)** 2.45 (0, 5.6)** 0.859**** Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Jam ke 24 2.25 ± 1.15* 2.88 ± 1.979* 0.937*** Jam ke 36 2.25 (0.9, 6.6)** 2.4 (0.8, 8.1)** 0.810**** Jam ke 48 1.8 (0.9, 2)** 1.95 (0.8, 6.9)** 0.500**** Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance. * sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD ** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan **** uji Mann Whitney 4.12. Rerata Ureum Rerata ureum memiliki sebaran yang tidak normal pada setiap jam yang dicatat. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Tabel 4.11. Rerata ureum berdasarkan kelompok perlakuan. Normal saline BES p (2 tailed) Jam ke 0** 25.4 (15.7, 163.2) 54.8 (20.8, 270) 0.820**** Jam ke 24** 13.85 (3.7, 77.3) 27.1 (3.7 , 204) 0.710**** Jam ke 48** 11.7 (2.7, 63.7) 29 (2.7, 165) 0.596**** Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance. * sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD ** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan **** uji Mann Whitney 4.13. Rerata Kreatinin Rerata kreatinin memiliki sebaran yang tidak normal pada setiap jam yang dicatat, kecuali rerata kreatinin di jam ke 24. Tabel 4. 12. Rerata kreatinin berdasarkan kelompok perlakuan. Normal saline BES p (2 tailed) Jam ke 0** 0.745 (0.55, 1.72) 1.1 (0.5, 4.1) 0.561**** Jam ke 24* 0.726 ± 0.33 1.483 ± 1.375 0.525*** Jam ke 48** 0.64 (0.21, 1.05) 0.9 (0.21, 4.87) 0.382**** Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance. * sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD ** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan **** uji Mann Whitney Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 4.14. Rerata Albumin Hati Pada Jam ke 0 Tabel 4.13. Rerata albumin pada jam ke 0 Albumin jam 0 Normal saline BES p (2 tailed) 3.19 ± 0.84* 3.25 ± 1.35* 0.910*** Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance. * sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD ** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan **** uji Mann Whitney 4.15. Rerata Enzim Hati Pada Jam ke 0 Tabel 4.14. Rerata enzim hati pada jam ke 0 Normal saline BES p (2 tailed) SGOT 24.5(6, 325)** 23 (11, 124)** 0.355**** SGPT 17.5 (6, 44)** 22 (10, 225)** 0.689**** Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance. * sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD ** sebaran data tidak normal, data ditampilkan dalam median (min, maks) *** uji t tidak berpasangan **** uji Mann Whitney 4.16. Rerata Jumlah Total Cairan yang Diberikan Tabel. 4.15. Rerata jumlah cairan resusitasi yang berikan Normal saline Jumlah cairan 6.23 ± 1.92* resusitasi dalam BES p (2 tailed) 6.23 ± 2.12* 0.447*** liter Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dengan koreksi Lilieford significance. * sebaran data normal, data ditampilkan dalam mean ± SD *** uji t tidak berpasangan Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 BAB 5 PEMBAHASAN Berdasarkan data yang diperoleh dari sampel, didapatkan bahwa sebagian besar pencetus KAD pada populasi adalah infeksi yaitu sebanyak 20 pasien, new onset DM sebanyak dua subyek, penghentian terapi DM sebanyak tiga subyek, dan lima subyek dengan pencetus lain-lain yaitu, kista pankreas sebanyak satu subyek, karsinoma nasofaring sebanyak satu subyek, konsumsi obat-obatan antipsikotik satu subyek yaitu clozapin, perforasi gaster satu subyek, dan kehamilan satu subyek. Tipe DM yang paling banyak ditemukan pada populasi kedua sampel adalah DM tipe 2 sebanyak 25 pasien. Berdasarkan data sebaran usia, jenis kelamin, pencetus KAD, dan tipe DM pada tabel 4.1, didapatkan sebaran data cukup merata pada kedua kelompok perlakuan. Kedua kelompok perlakuan memiliki karakteristik yang hampir sama, sehingga dapat dilakukan perbandingan antara kedua kelompok. Terdapat 28 subyek kompos mentis pada 48 jam pertama penelitian, kecuali dua subyek yang mengalami henti napas henti jantung di 48 jam pertama. Kedua subyek tersebut berasal dari kelompok normal saline. Penyebab henti napas henti jantung pada subyek tersebut adalah sepsis berat sebanyak satu subyek dan pasca pemberian bikarbonat sebanyak satu subyek.. Rerata MAP subyek pada kedua kelompok perlakuan tidak memiliki perbedaan bermakna, kecuali rerata MAP pada jam ke 24. Rerata MAP di kedua kelompok selalu memiliki nilai yang cukup, yaitu diatas 65. Tidak terdapat perbedaan bermakna ini disebabkan oleh kedua cairan memiliki sifat yang sama yaitu keduanya merupakan cairan kristaloid yang isotonus dengan plasma darah dan total cairan yang berikan pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Rerata CVP subyek pada kedua kelompok perlakuan tidak memiliki perbedaan bermakna, kecuali rerata CVP pada jam ke 6. Tidak terdapat perbedaan bermakna ini disebabkan oleh kedua cairan memiliki sifat yang sama yaitu keduanya merupakan cairan kristaloid yang isotonus dengan plasma darah dan total cairan yang berikan pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Rerata GDS pada kedua kelompok perlakuan tidak memiliki perbedaan bermakna di setiap jam yang dicatat. Hal ini terjadi karena kedua kelompok menerima protokol pemberian insulin yang sama sesuai standar pelayanan RSCM. Rerata keton pada kedua kelompok perlakuan tidak memiliki perbedaan bermakna di setiap jam yang dicatat. Hal ini terjadi karena kedua kelompok menerima protokol pemberian insulin dan jumlah cairan yang sama sesuai standar pelayanan RSCM. Laktat memiliki sebaran nilai yang sangat bervariasi dalam masing-masing kelompok dan tidak berbeda bermakna antara kelompok normal saline dan kelompok BES. Kedua jenis cairan, yaitu normal saline dan BES tidak mengandung laktat dalam sediaannya. Ureum memiliki sebaran nilai yang sangat bervariasi. Walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok namun jelas bahwa terdapat penurunan nilai ureum yang lebih tajam pada kelompok BES dibandingkan dengan kelompok NS. Hal ini berarti bahwa perfusi ginjal pada kelompok BES mengalami perbaikan yang lebih signifikan daripada kelompok NS. Kreatinin memiliki sebaran nilai yang sangat bervariasi. Tidak terdapat perbedaan bermakna kreatinin pada kedua kelompok. Terjadi peningkatan rerata kreatinin pada kelompok BES di jam ke 24, yaitu 1.483 ± 1.375, dibandingkan jam ke 0, yaitu 1.1 (0.5, 4.1), dan mengalami penurunan hingga ke batas yang lebih rendah daripada nilainya di jam ke 0, yaitu 0.9 (0.21, 4.87). Hal ini sangat dimungkinkan karena jenis sebaran data yang sangat tidak homogen di setiap jam nya sehingga nilainya sulit untuk di bandingkan dan parameter yang dilaporkan berbeda. Enzim SGOT dan SGPT memiliki sebaran nilai yang sangat bervariasi. Tidak terdapat perbedaan bermakna kedua enzim hati pada kedua kelompok. Mortality rate pada kedua kelompok perlakuan tidak terdapat perbedaan bermakna. Jumlah total kematian pada kelompok normal saline adalah tiga kasus dengan deskripsi satu kasus pada 48 jam pertama, dan dua kasus dalam 28 hari. Jumlah kematian pada kelompok BES adalah dua kasus dalam 28 hari. Penyebab kematian subyek dalam 48 jam pertama pada kelompok normal saline adalah sepsis berat, penyebab kematian dua subyek dalam 28 hari pada kelompok normal Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 saline adalah syok kardiogenik sejumlah satu subyek dan sepsis sejumlah satu subyek. Penyebab kematian dua subyek dalam 28 hari pada kelompok BES adalah sepsis berat. Rerata SID pada kelompok BES memiliki nilai yang lebih baik daripada kelompok normal salin pada setiap jam yang dicatat. Perbedaan SID yang terdapat pada kedua kelompok adalah bermakna kecuali di jam ke dua. Rerata SBE kelompok BES selalu lebih baik daripada kelompok normal saline pada setiap jam yang dicatat. Walaupun demikian, nilai yang memiliki perbedaan bermakna hanya pada jam ke 24 dan jam ke 48. Tidak terdapat perbedaan rerata pH pada kedua kelompok. Menurut Stewart, ada dua variabel dalam keseimbangan asam basa, yaitu variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen adalah variabel yang akan mempengaruhi variabel dependen, dan tidak berlaku hal sebaliknya. Variabel independen terdiri dari tekanan karbon dioksida (pCO2), Strong Ion Difference (SID), dan asam lemah non volatile(ATOT). Variabel independen terdiri dari ion [H+], [OH-], [HA], [A-], [HCO3-], [CO32-]. Jadi pH, yang merupakan negatif logaritma dari [H+], nilainya hanya dipengaruhi oleh tiga hal yaitu pCO2, SID, dan ATOT. Tekanan karbondioksida sangat dipengaruhi oleh ventilasi. Dengan alasan inilah subjek yang membutuhkan ventilasi mekanik dieksklusi dari penelitian ini. SID adalah selisih dari kation dan anion kuat yaitu natrium, kalium dan klorida. Kalium seringkali diabaikan karena nilainya yang kecil. SID dipengaruhi oleh ginjal dan dipengaruhi oleh elektrolit dalam tubuh. Oleh karena itu subjek dengan gagal ginjal yang membutuhkan hemodialisa dieksklusi dari penelitian ini. ATOT adalah konsentrasi asam-asam lemah non volatil, yang diatur oleh hati, dan didominasi oleh albumin. Oleh karena itulah subjek dengan gagal hati diekslusi dalam penelitian ini. Penyebab gangguan asam basa dapat dihitung secara kuantitatif dengan menggunakan rumus Stewart-Fencl. Yaitu dengan melihat standart base excess, efek natrium-klorida, efek albumin, dan efek unmeassured anion. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Ada empat hal yang dapat dihitung untuk menentukan penyebab gangguan asam basa dalam metode asam basa kuantitatif. Keempat hal tersebut adalah base excess, efek Na-Cl, efek albumin, dan efek unmeassured anion. Langkah pertama adalah menentukan besar standart base excess (SBE) berdasarkan hasil analisa gas darah. Langkah kedua adalah menentukan besar efek Na-Cl, atau yang disebut juga efek dari Strong Ion Difference (SID). Langkah ketiga adalah menentukan besar efek albumin. Albumin bersifat sebagai asam lemah, oleh karena itu nilai albumin yang tinggi dapat mempengaruhi keseimbangan asam basa. Langkah keempat adalah menentukan efek unmeassured anion (UA)dengan cara menghitung selisih base excess dengan SID, dan efek albumin. Secara matematis perhitungan di atas adalah sebagai berikut 1. Tentukan nilai SBE dari hasil analisa gas darah 2. Hitung SID, dengan cara Na + K – Cl. Karena komponen utama SID adalah ion natrium dan ion klorida, maka sering kali nilai K diabaikan, sehingga perhitungan ini sering kali disebut sebagai efek Na-Cl. 3. Hitung efek albumin dengan cara 0,25 x (42- alb (g/L) 4. Hitung efek UA dengan cara SBE - efek SID – efek albumin. Berikut ini adalah grafik rerata SID dan SBE dari setiap jam yang dicatat SID pada kedua kelompok. 44 42 40 38 36 34 32 30 43.7 42.6 42 40.6 39.3 42.5 40.6 39.7 40.4 37.3 Normal saline 35.8 34.6 32.6 32.7 34.2 32.5 35 31.7 Jam ke Jam ke Jam ke Jam ke Jam ke Jam ke Jam ke jam ke Jam ke 0 2 4 6 12 18 24 36 48 Grafik 5.1. Rerata SID pada kedua kelompok perlakuan Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 BES Pada grafik di atas, dengan jelas digambarkan nilai SID pada setiap jam yang dicatat pada kedua kelompok perlakuan. Kelompok BES memiliki SID yang bermakna lebih baik dari pada kelompok normal saline. Jam 0 -2 Jam ke 0 Jam Jam Jam Jam Jam Jam jam Jam ke 2 ke 4 ke 6 ke 12 ke 18 ke 24 ke 36 ke 48 -4 -4.1 -4.7 -5.4 SBE -6 -6.1 -8 -8.5 -9.9 -10 -11.7 -12 -14 -9.5 -8.7 -8.3 -8.5 -9.5 -10.4 -11.2 Normal saline BES -12 -13.5 -14.5 -14.5 -16 Grafik 5.2. Rerata SBE pada kedua kelompok perlakuan Dalam terapi cairan dalam KAD, efek cairan yang diberikan kepada pasien akan berpengaruh banyak dalam perhitungan efek SID, yaitu poin nomor 2. Normal saline yang diberikan pada pasien KAD memiliki SID 0 karena memiliki jumlah ion kuat positif dan ion kuat negatif yang sama banyaknya. Akibat dari pemberian cairan yang memiliki SID 0, ion-ion dalam tubuh akan mengalami mekanisme dilusi volume dan penambahan jumlah ion natrium dan klorida dalam jumlah yang sama secara bersamaan. Sebagai ilustrasinya, dalam plasma darah, terkandung ion natrium sebanyak 140 meQ/L, ion klorida sebanyak 100 mEq/L, sehingga SID plasma adalah 140-100 = 40. Jika diberikan normal saline sebanyak 1 L, maka akan terjadi pengenceran sebagai berikut, ion natrium (140+154)/2 = 147, dan ion klorida (100+154)/2 = 127. SID nya adalah 147-127, yaitu 20. Rentang SID normal dalam plasma adalah 38-44.17,22 Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Penurunan SID akan menjadikan plasma tubuh menjadi bersifat asam, dalam hal ini disebut juga asidosis metabolik dilusional karena normal saline, atau yang lebih khusus disebut dengan asidosis metabolik hiperkloremik. Walaupun perbedaan nilai SBE yang bermakna hanya terdapat pada jam ke 24, 36, dan 48, rerata SBE pada kelompok BES selalu lebih baik daripada kelompok normal saline. Unmeassured anion adalah anion-anion yang dihasilkan dari metabolisme sel, contohnya laktat, keton, sulfat, fosfat, atau anion yang didapatkan dari luar, seperti salisilat, metanol. Mediator-mediator pada sepsis juga berperan sebagai anion-anion dan berkontribusi terhadap terjadinya asidosis.23 Laktat dan keton adalah dua anion yang diukur pada penelitian ini. Nilai keduanya, memiliki sebaran yang tidak normal, dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok perlakuan. Laktat pada kelompok normal saline memilki rentang yang sangat besar yaitu mulai dari 1.1 hingga 20 di awal penelitian, 0.9 sampai 2 di akhir penelitian. Kelompok BES juga memiliki rentang nilai yang sangat besar yaitu 1.2 hingga 14.6 di awal penelitian, dan 0.8 sampai 6.9 di akhir penelitian. Bervariasinya nilai laktat pada kedua kelompok disebabkan oleh hipoperfusi jaringan yang menyebabkan tidak efektifnya metabolisme sel. Beberapa komponen yang terdapat di dalam SBE adalah SID, efek albumin, dan efek unmeassured anion. Ketiga komponen tersebut bersama-sama akan saling berkontribusi terhadap nilai SBE. Jika efek albumin dan efek unmeassured anion dihilangkan, maka akan sangat jelas nampak bahwa SBE kelompok BES memiliki nilai yang lebih baik daripada kelompok normal saline. Hal ini disebabkan karena SID kelompok BES secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok normal saline. Walaupun demikian hasil penelitian menunjukan bahwa hanya pada jam ke 24 dan ke 48 kelompok BES memiliki SBE yang lebih tinggi dibandingkan kelompok normal saline. Hal ini sangat mungkin disebabkan adanya faktor unmeassured anion yang terdapat pada kelompok BES lebih tinggi daripada kelompok normal saline. Pada kelompok BES terdapat satu subyek dengan kadar kreatinin >4, satu subyek dengan nilai kreatinin 3-4, dan tiga subyek dengan kadar kreatinin 2-3, sedangkan pada Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 kelompok normal saline terdapat pada empat subyek dengan kadar kreatinin 2-3 subyek. Oleh karena itu, pada kelompok BES diduga, terdapat subyek-subyek yang mulai atau telah mengalami insufisiensi renal. Akibat dari insufisiensi renal tersebut, terjadi penumpukan umeassured anion seperti sulfat dan fosfat, yang dapat memberikan masking effect terhadap efek SID terhadap SBE. Oleh karena itu, sekalipun SID kelompok BES secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok normal saline, SBE kedua kelompok dapat tidak memiliki perbedaan bermakna. Hal ini juga lah yang menjelaskan mengapa tidak terjadi perbedaan rerata pH antara kedua kelompok. Hal lain yang belum dapat disingkirkan sebagai penyebab SBE tidak berbeda bermakna pada setiap jam yang dicatat adalah derajat sepsis dari masingmasing kelompok perlakuan belum dapat distandardisasi di awal penelitian. Kondisi sepsis dapat meningkatkan kadar unmeassured anion. Pada penelitian ini albumin tidak dilakukan pengecekan berkala sesuai dengan pemeriksaan AGD dan elektrolit. Albumin tidak dianggap sebagai hal yang memperberat asidosis karena populasi KAD yang dipilih adalah populasi yang tidak memiliki gangguan dalam fungsi hati, albumin pada kedua kelompok tidak memiliki perbedaan bermakna, dan tidak ada risiko untuk kehilangan albumin dalam jumlah yang besar pada kedua kelompok perlakuan. Selama penelitian, terdapat beberapa kejadian antara lain, kejadian KAD berulang pada jam ke 48 dan kejadian henti napas henti jantung pada pasien KAD pasca pemberian bikarbonat. KAD berulang paling sering disebabkan oleh penghentian insulin, yaitu sebanyak 78%. Penyebab lainnya adalah infeksi (16%), penyakit medis non infeksi (3%), dan sebab-sebab lainnya (3%).24 Pada laporan kasus oleh Price di tahun 2009, dituliskan bahwa terdapat kasus ketoasidosis berulang akibat ketidaktahuan pemakaian glukometer. Dalam tulisannya, Price mengatakan bahwa kurangnya sampel darah dalam strip glukometer, ataupun kesalahan waktu untuk menunggu waktu yang tepat untuk aplikasi sampel darah ke atas strip dapat menyebabkan kesalahan pembacaan kadar gula darah, yang akibatnya adalah gula darah akan terbaca ”Lo”. Kadar gula Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 darah yang seakan-akan rendah ini membuat pasien mengurangi dosis insulinnya dan dapat mencetuskan KAD.25 Kejadian KAD berulang pada subjek penelitian sangat mungkin disebabkan oleh penghentian insulin. Penghentian insulin dilakukan karena pada saat itu kadar gula darah pasien sudah mencapai angka 95. Setelah penghentian insulin dilakukan pemeriksaan kadar gula darah dua jam berikutnya didapatkan hasil 233. Kemudian drip insulin kembali diberikan dengan kecepatan 1 unit/jam, tiga jam kemudian dilakukan pemeriksaan gula darah, laktat, elektrolit, analisa gas darah dan keton. Pada pemeriksaan tersebut didapatkan gula darah 636, keton 2,9 dan pH 7,32. Pada subjek tersebut dilakukan protokol KAD kedua. Pemberian bikarbonat menurut protokol KAD RSCM dilakukan apabila pH arteri kurang dari 7,1. Asidosis metabolik ditandai dengan penurunan pH dan penurunan bikarbonat, yang disebabkan oleh penurunan SID, atau karena peningkatan asam-asam lemah. Ada dua macam asidosis metabolik, yaitu asidosis metabolik mineral, dan asidosis metabolik organik. Asidosis metabolik mineral disebabkan oleh peningkatan anion yang tidak dapat dimetabolisme, contohnya asidosis hiperkloremik. Asidosis metabolik organik disebabkan oleh gangguan metabolisme seperti asidosis laktat, ketoasidosis diabetikum. Kedua jenis asidosis metabolik ini memiliki konsekuensi dan tatalaksana yang sangat berbeda. Asidosis mineral tidak disebabkan oleh gangguan metabolisme energi, sehingga tatalaksananya adalah mempercepat eliminasinya dari dalam tubuh, misalnya dengan diuretik atau renal replacement therapy (RRT) dan alkalinisasi, misalnya dengan pemberian natrium bikarbonat. Asidosis metabolik organik disebabkan oleh gangguan metabolisme berat dan koondisi asidosis yang terjadi pada kondisi ini dapat merupakan suatu gejala dari mekanisme kompensasi tubuh. Data eksperimental menunjukan bahwa selsel yang hipoksia dapat lebih dapat bertahan hidup pada medium yang bersifat asam. Oleh karena itu, pasien dengan gangguan metabolisme seperti ini, alkalinisasi bukanlah pilihan terapi utama.26 Pemberian bikarbonat menurut perhitungan matematis Stewart akan meningkatkan pH dengan cara meningkatkan kadar natrium darah, sehingga SID meningkat. Tatalaksana ketidakseimbangan asam basa menurut Stewart adalah Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 dengan cara melakukan terapi terhadap penyebab utama nya. Misalnya pada pasien asidosis akibat penumpukan asam organik seperti laktat, maka yang dikoreksi adalah mengurangi metabolisme anaerob sel dengan cara meningkatkan hantaran oksigen ke jaringan misalnya dengan memberikan cairan yang adekuat, memberikan vasopresor atau inotropik bila terdapat masalah pompa jantung, memberikan transfusi darah bila kadar hemoglobin rendah. Contoh yang lain adalah bila asidosis metabolik terjadi akibat penumpukan asam anorganik misalnya keracunan salisalat, hiperkloremik, maka terapinya adalah dengan cara membuang asam-asam anorganik tersebut lewat ginjal. Pemberian bikarbonat akan meningkatkan pH melalui mekanisme meningkatkan SID. Sediaan bikarbonat yang ada saat ini adalah natrium bikarbonat. Pemberian natrium bikarbonat akan meningkatkan jumlah natrium yang akan meningkatkan SID sehingga pH bertambah. Pada saat terjadi hipovolemia dan hipoperfusi jaringan, oksigenasi jaringan dipertahankan dengan melepaskan oksigen lebih banyak ke jaringan, yaitu dengan cara menggeser kurva disosiasi hemoglobin ke arah kanan. Pada saat tejadi hipoperfusi, hantaran oksigen ke sel akan berkurang jumlahnya, hal tersebut akan menyebabkan metabolisme anaerob yang menghasilkan laktat. Penumpukan laktat akan menyebabkan perubahan keseimbangan asam basa menjadi lebih asam. Kondisi asam ini sebenarnya adalah mekanisme kompensasi agar oksigen lebih mudah terdisosiasi ke jaringan. Namun, pada kondisi tertentu, yaitu pH<7.1, hormon-hormon tubuh yang berbagai modulator tubuh yang sebabian besar berupa protein akan menjadi tidak aktif. Itulah sebabnya pada pH<7.1, dilakukan pemberian natrium bikarbonat. Namun pemberian natrium bikarbonat harus dengan perhatian bahwa akan terjadi peningkatan pH. Peningkatan pH akan menyebabkan pergeseran kurva disosiasi ke kiri, yang berakibat pada sulitnya melepas oksigen ke jaringan yang dapat berakibat fatal. Mekanisme lain yang juga dapat mengancam nyawa adalah overload cairan akibat hipernatremia. Ion natrium bersifat menarik air ke dalam intravaskuler. Peningkatan natrium dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat akan menyebabkan volume intravaskular bertambah dan dapat menyebabkan overload cairan. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Pada penelitian ini terdapat empat subyek yang mendapat natrium bikarbonat karena pH saat masuk <7.1. Satu di antara keempat subyek tersebut mengalami henti napas dan henti jantung beberapa saat setelah pemberian natrium bikarbonat. Pasien tersebut menerima natrium bikarbonat 150 mEq lewat akses vena dalam selama 90 menit. Pada jam ke 2 terjadi peningkatan pH mencapai 7. 16, dan pada jam ke 4 mencapai 7.484, pada jam ke 6 mencapai 7.542. Subjek tersebut mengalami henti napas dan henti jantung di jam ke 6. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh pemberian bikarbonat yang terlalu banyak, ditambah lagi dengan pemberian normal saline yang juga meningkatkan jumlah natrium dalam darah. Pada subjek ini terjadi peningkatan jumlah natrium dari 136 saat masuk, menjadi 144 pada jam ke dua, 148 pada jam ke empat, 149 di jam ke enam. Ion klorida mengalami peningkatan dari 95 saat masuk, menjadi 105 di jam kedua, 105 di jam ke empat, dan 110 di jam ke enam. SID mengalami peningkatan dari 44,6 saat masuk menjadi 47,4 di jam ke enam. Peningkatan bikarbonat pada pasien itu terjadi dari nilai 3.8 saat pasien masuk, menjadi 7.6 di jam ke dua, menjadi 4.6 di jam ke empat, menjadi 24.3 di jam ke enam. Adanya data-data pada subjek ini semakin menguatkan bukti bahwa SID berbanding lurus dengan BES, pemberian bikarbonat bukan yang utama dalam tatalaksana asidosis, dan overshooting natrium bikarbonat dapat bersifat letal. Pada pasien ini SID tidak terlalu mencolok kenaikannya karena pada pasien ini juga terjadi peningkatan klorida, sehingga efek peningkatan natrium tertutupi oleh peningkatan klorida. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Karakteristik subyek di kedua kelompok perlakuan memiliki sebaran yang sama sehingga dapat dilakukan perbandingan diantara keduanya. Jenis kelamin perempuan memiliki frekuensi yang lebih tinggi di kedua kelompok perlakuan Diabetes mellitus tipe 2 memiliki frekuensi yang lebih tinggi di kedua kelompok perlakuan Infeksi merupakan pencetus tersering di kedua kelompok perlakuan Tidak terdapat perbedaan bermakna rerata MAP dan CVP antara kedua kelompok perlakuan karena kedua kelompok perlakuan menerima cairan kristaloid isotonus dan volume yang tidak berbeda bermakna Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar gula darah sewaktu antara kedua kelompok perlakuan karena kedua kelompok perlakuan menerima perlakuan kontrol gula darah yang sama sesuai standar RSCM. Tidak terdapat berbedaan bermakna kadar keton antara kedua kelompok, karena kedua kelopok menerima protokol yang sama sesuai standar RSCM. Rerata Standart Base Excess (SBE) pada kelompok BES selalu lebih mendekati normal daripada kelompok NS Perbedaan bermakna Standart Base Excess (SBE) pada kedua kelompok hanya terjadi pada jam ke 24 dan 48. Hal ini disebabkan oleh adanya efek unmeasured anion yang tidak terukur dalam penelitian ini. Nilai Standart Base Excess (SBE) berbanding lurus dengan nilai Strong Ion Difference (SID) Strong Ion Difference (SID) kelompok BES lebih tinggi bermakna dibandingkan kelompok NS Tidak terdapat perbedaan mortality rate antara kedua kelompok. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 6.2. Saran Dilakukan penelitian lanjutan yang memiliki kriteria inklusi yang lebih spesifik, seperti kriteria insufisiensi renal, derajat sepsis. Dilakukan pemeriksaan insufisiensi renal dengan parameter yang lebih sensitif seperti N-Gal dan cystatin C Dilakukan uji penyaring biomarker sepsis, seperti prokalsitonin untuk menyetarakan derajat sepsis. Dilakukan seleksi yang lebih ketat dalam menentukan pasien yang akann diberikan natrium bikarbonat. Berdasarkan penelitian ini, BES dapat menjadi cairan alternatif terapi ketoasidosis diabetikum untuk mencegah hiperkloremik. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 asidosis metabolik DAFTAR PUSTAKA 1. Chiasson JL, Aris Jilwan N, Belanger R, Bertrand S, Beauregard H, Ekoe JM, Fournier H, Havrankova J. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar state. CMAJ 2003; 168 (7) :859-66. 2. Joint British Diabetes Societies Inpatient Care Group. The management of diabetic ketoacidosis in adult. 2010. Available from: www.diabetes.org.uk/Documents/Adults%20-%20Guidelines.pdf 3. Mahler SA, Conrad SA, Hao Wang, Arnold TC. Resuscitation with balanced electrolyte solution prevents hyperchloremic metabolic acidosis in patient with diabetic ketoacidosis. AJEM 2011 Jul;29(6)670-4. 4. Scheingraber S, Rehm M, Sehmisch C, Finsterer U. Rapid saline infusion produces hyperchloremic acidosis in patients undergoing gynecologyc surgery. Anesthesiology 1999; 90: 1265-70. 5. Park M, Noritomi DT, Maciel AT, et al. Partitioning evolutive standard base excess determinants in septic shock patients. RBTI 2007; 19(4):437-43s 6. Jones RE, Clement S. Diabetes mellitus. McDermott MT, editor. Dalam : Endocrine secrets. Edisi ke-4. New York: Elsevier; 2007. 7. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crises in adult patients with diabetes. Diabetes Care 32(7):1335-43. 8. Gardner DG, Shoback D. Greenspan’s basic & clinical endocrinology. Edisi ke-8. San Francisco: McGraw-Hill; 2007. 9. Sherwood L. Human physiology: from cells to system. Edisi ke-2. Virginia: West; 1996. 10. Yehia BR, Epps KC, Golden SHG. Diagnosis and management of diabetic ketoacidosis in adults. Hospital Physician, 2008(35): 21-26. 11. Watkins PJ. ABC of diabetes. Edisi ke-5. London: BMJ Books; 2003. h. 37-46. 12. Soewondo P. Ketoasidosis diabetikum. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Siimandibrata M, Setiati S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI, 2006. Hal: 1896-9. 13. Nasir A, Rani A, Soegondo S. Pedoman Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2004. 14. McLuckie A. Shock-an overview. In: Bersten AD, Soni N. Oh’s Intensive Care Manual. 6th edition. 2009. Philadelphia: Elsevier. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 15. Pinsky MR. Goals of resuscitation from circulatory shock. In: Ronco C, Bellomo R, Brendolan A. Sepsis, Kidney and Multiorgan Dysfunction. Switzerland: Karger, 2004,144: 94-104. 16. Guldet B, Soni N, Rocca GD, Kozek S, Vallet B, Annane D, James M. A balanced view of balanced solutions. Crit Care 2010, 14: 325. 17. Bellomo R, Naka T, Baldwin I. Intravenous Fluids and Acid Base Balance. In: Ronco C, Bellomo R, Brendolan A. Sepsis, Kidney and Multiorgan Dysfunction.Vol. 144. Switzerland: Karger. 18. Kellum JA, song, M, Almasri E. Hyperchloremic Acidosis increase circulating inflammatory molecules in experimental sepsis. Chest 2006; 130:962-7. 19. The balanced concept of fluid resuscitation. British Journal of Anaesthesia 2007; 99(3):312-15. 20. Van Zyl DG, Rheeder P, Delport E. Fluid management in diabetic acidosis— Ringer’s lactate versus normal saline: a randomized controlled trial. QJM 2012;105(4):337-43. 21. Trzeciak S, Rivers EP. Clinical manifestasions of disordered microcirculatory perfusion in severe sepsis. Critical Care 2006: 9(4) : S20-S26. 22. Park M, Taniguchi LU, Noritomi DT, Liborio AB, Maciel AT, Cruz-Neto LM. Clinical utility of standart base excess in the diagnosis and interpretation of metabolic acidosis in critically ill patients. Brazilian Journal of Medical and Biological Research 2008; 41: 241-9. 23. Badr A, Nightingale P. An alternative approach to acid base abnormalities in critically ill patients. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care&Pain 2007: 7(4):107-111. 24. Kellum JA. Diagnosis and treatment of acid base disorder. In: Grenvik A, Shoemaker PK, ayers S, Hoolbrook (editors). Textbook of critical care. 1999. Philadelphia : WB Saunders. 25. Randall L, Begovic J, Hudson M, Smiley D, Peng L, Pitre N, et al. Recurrent diabetic ketoacidosis in inner-city minority patients: behavioral, socioeconomic, and psychosocial factors. Diabetes Care 2011;34:1981-96. 26. Price DA. Case study: recurrent diabetic ketoacidosis resulting from spurious hypoglycemia: a deleterious consequence of inadequate detection of partial strip filling by a glucose monitoring system. Clinical Diabetes 2009;27:164-6. 27. Levraut J, Grimaud D. Treatment of metabolic acidosis. Curr opin crit care 2003; 9:260-5. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Lampiran 1 Penelitian: 001/BES/2013/RSCM RS. Cipto Mangunkusumo Perbandingan rerata Standart Base Excess (SBE) sebagai penanda keberhasilan resusitasi mikrosirkulasi pada pasien Ketoasidosis Diabetikum (KAD), yang diresusitasi dengan normal saline dibandingkan dengan Balanced Electrolyte Solution (BES) di Instalasi Gawat Darurat RS. Cipto Mangunkusumo periode April- Oktober 2013 Kepada Yth: bapak dan ibu pasien IGD-RSCM Salam sejahtera bagi kita semua Saya, dr. Anne Suwan Djaja, peserta program pendidikan dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saat ini sedang mengadakan penelitian tentang perbandingan efek pengobatan ketoasidosis diabetikum dengan terapi konvensional yaitu dengan menggunakan cairan garam fisiologis, atau yang disebut dengan larutan natrium klorida 0.9% dan cairan elektrolit seimbang, atau yang disebut juga dengan balanced electrolyte solution (BES, Ringerfundin®) Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efektivitas pengobatan baru dibandingkan dengan pengobatan yang lama. Pengobatan ketoasidosis diabetikum selama ini memiliki banyak efek samping yang merugikan, diantaranya adalah asidosis metabolik hiperkloremik. Hal itu disebabkan oleh tingginya kandungan ion klorida yang terkandung dalam larutan garam fisiologis. Tingginya kadar ion klorida dalam darah menyebabkan ketidakseimbangan asam basa tubuh yang berakibat buruk bagi kesehatan seperti menurunnya fungsi ginjal, penurunan kontraksi jantung, dan lain-lain. Sampai saat ini, cairan elektrolit seimbang yang digunakan sebagai pembanding dari pengobatan lama, telah terbukti aman, memiliki kandungan zat terlarut yang lebih menyerupai cairan tubuh, dan tidak memiliki efek samping. Selama penelitian berlangsung bapak dn ibu tidak dibebankan biaya pengobatan tambahan. Bapak dan ibu bebas untuk menyetujui ataupun menolak ikut dalam penelitian ini. Bila anda telah ikut dalam penelitian, anda juga bebas untuk mengundurkan diri tanpa menyebabkan berkurangnya mutu pelayanan. Identitas bapak dan ibu akan senantiasa dirahasiakan, baik selama penelitian, setelah penelitian dan pada saat hasil penelitian ini dipublikasikan. Bila terdapat pertanyaan, bapak dan ibu dapat menghubungi saya di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Public Wing Gedung Staf FKUI-RSCM lantai 6. Hormat saya, Dr. Anne Suwan Djaja PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI-RSCM Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Lampiran 2 Penelitian: 001/BES/2013/RSCM RS. Cipto Mangunkusumo Persetujuan Partisipasi dalam Penelitian Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Usia : Rekam medik : Menyatakan bersedia berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan oleh dr. Anne Suwan Djaja, yang berjudul: Perbandingan rerata Standart Base Excess (SBE) sebagai penanda keberhasilan resusitasi mikrosirkulasi pada pasien Ketoasidosis Diabetikum (KAD), yang diresusitasi dengan normal saline dibandingkan dengan Balanced Electrolyte Solution (BES) di Instalasi Gawat Darurat RS. Cipto Mangunkusumo periode April- Oktober 2013 Saya telah dijelaskan mengenai risiko dan manfaat keikutsertaan saya pada penelitian ini dan menyatakan setuju ikut serta sebagai subyek penelitian tanpa paksaan dari pihak manapun. Jakarta, / / 2013 Peneliti Dr. Anne Suwan Djaja Peserta ( Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 ) Lampiran 3 Penelitian: 001/BES/2013/RSCM RS. Cipto Mangunkusumo FORMULIR PENELITIAN Perbandingan rerata Standart Base Excess (SBE) sebagai penanda keberhasilan resusitasi mikrosirkulasi pada pasien Ketoasidosis Diabetikum (KAD), yang diresusitasi dengan normal saline dibandingkan dengan Balanced Electrolyte Solution (BES) di Instalasi Gawat Darurat RS. Cipto Mangunkusumo periode April- Oktober 2013 Identitas Nama : Usia : Jenis Kelamin : Rekam medik : Kelompok perlakuan : A / B Data dasar penyakit Dasar diagnosis : Tipe DM : I / II / lain-lain Pencetus KAD : 1. Infeksi : 2. New onset DM 3. Penghentian terapi DM Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Penelitian: 001/BES/2013/RSCM RS. Cipto Mangunkusumo Alur penelitian Subjek penelitian Dilakukan pemasangan CVC, urine kateter, NGT Diperiksa DPL, GDS, Ureum, kreatinin, pT/aPTT, fibrinogen. D-Dimer, AGD arteri, AGD mixed vein, elektrolit (Na, K, Cl, Ca, Mg), laktat, keton darah, urinalisis. Subjek dibagi ke salah satu kelompok perlakuan secara acak Kelompok A Kelompok B Kedua kelompok mendapat perlakuan seasuai protokol penelitian, seperti yang tercantum dalam tabel 4.1. Pemeriksaan GCS, MAP, CVP setiap satu jam Pemeriksaan GDS tiap jam selama enam jam pertama, jam ke 12, 36, 48. Pemeriksaan elektrolit(Na, K, Cl, Mg, Ca), laktat, AGD arteri, AGD mixed vein setiap satu jam dalam enam jam pertama, jam ke 12, jam ke 24 dan jam ke 48 Pemeriksaan keton darah setiap enam jam selama 48 jam Pemeriksaan ureum dan kreatinin jam ke 24 dan 48 Pasien di follow up 28 hari untuk menhitung motality rate Penghitungan mortality rate dalam 48 jam pertama dan selama 28 hari Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Penelitian: 001/BES/2013/RSCM RS. Cipto Mangunkusumo Tabel.3.1. Protokol pemberian cairan, insulin, kalium dan bikarbonat. Jam ke 0 Insulin Koreksi Koreksi Kalium bikarbonat 1000cc dalam ½ Bila pH: jam, selanjutnya ½ <7 : 100 meq kolf dalam 1 jam 7-7,1 : 50 meq >7,1 : tidak diberikan 1 Pada jam ke-2: 1000 cc 2 dilanjutkan dengan drip 500 cc 3 50 meq/6 jam Bolus 180mU/kgBB insulin 90 mU/kgBB/jam 1000 cc dalam cairan resusitasi 4 Bila kadar K 250 cc 5 Bila GDS<200, kecepatan 250 cc 6 dan <3 : 75meq/6jam dikurangi menjadi 3-4,5 : 50 meq/6jam 45mU/kgBB/jam. 4,5-6 : 25 meq/6jam Bila GDS stabil (200- >6 : tidak diberikan 300mg%) selama 12 jam seterusnya dilakukan drip insulin 1-2 U perjam, dan sliding scale tiap 6 tergantung jam. kebutuhan Dosis insulin subkutan: <200 mg% 200-250 5U 250-300 10U 300-350 15U >350 20U Bila GDS<200, ganti dengan Dextrose Setelah sliding tiap 6 jam Bila sudah sadar dapat kenaikan pH akan 5% dapat dihitung kebutuhan dberikan Kalium oral diikutin penurunan K, insulin per hari selama semingu oleh karena itu pemberian bikarbonat disertai dengan pemberian kalium. Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Penelitian: 001/BES/2013/RSCM RS. Cipto Mangunkusumo Jam GCS MAP CVP Diure sis (cc/ja m) GDS Laktat Keton darah Na K Cl Ca 0 1 2 3 4 5 6 12 18 24 30 36 42 48 Outcome dalam 28 hari ke depan : Hidup / Meninggal Peningkatann Ureum : Ya Peningkatan kreatinin : Tidak Perbandingan rerata…, Anne Suwan, FK UI, 2013 Mg pH arteri SBE HCO 3- SCVO2 Ureu m Kreatin in