1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belakangan ini fenomena karya adaptasi utamanya dari sastra ke bentuk karya seni yang lain makin marak dilakukan, satu diantaranya adalah di bidang teater. Sebut saja beberapa pementasan yang merupakan hasil karya adaptasi, antaranya; Nyai Ontosoroh dari novel kuartet pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Laskar Pelangi dari novel Andrea Hirata, novel Les Mirables karya Victor Hugo menjadi Prahara Badai Cinta Kasih, Calon Arang yang merupakan folklor masyarakat Bali, dan masih banyak lagi. Selain adaptasi, dikenal juga dengan istilah transformasi1 yang merupakan sebuah proses kerja yang menjadi bagian dari adaptasi, karena menitikberatkan pada proses perubahan bentuk, rupa, atau sifat sebagai hasilnya. Transformasi dalam karya sastra, disebut juga dengan alih wahana, atau peralihan rupa.2 Menurut Damono, alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke dalam jenis 1 Penggunaan kata “transformasi” di sini ditempatkan dalam pengertian yang umum sebagaimana yang terdapat dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Daring, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, (kbbi.web.id, 2008); (badanbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, 2008); Hoetomo, M.A., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya; Mitra Pelajar, 2005), 551. 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), sampai edisi keempat, tahun 2008, istilah “alih wahana” ini belum dimasukkan. Dalam penggunaannya, istilah ini digunakan oleh Sapardi Djoko Damono, yang maksudnya adalah menjelaskan suatu perubahan yang tidak hanya sebatas pada bentuk atau genre, melainkan juga pada wahananya. 2 kesenian lain. Wahana dapat diartikan sebagai medium yang digunakan untuk mengungkapkan, mencapai, atau memamerkan gagasan atau perasaan.3 Perubahan yang terjadi akan menampakkan perbedaan antara karya yang menjadi sumbernya dengan karya sebagai hasil dari alih wahana tersebut.4 Perbedaan wahana atau media secara langsung tentu akan mempengaruhi cara penyajian cerita dan bentuk penyajian cerita. Selain masalah keterbatasan (limit) yang dimiliki oleh masing-masing media, masalah proses resepsi, penulis naskah atau penyutradaraan terhadap karya tersebut juga akan berpengaruh terhadap kehadiran sebuah karya adaptasi. Bermacam alasan yang mendasari terjadinya sebuah proses adaptasi, antaranya adalah memiliki kedekatan emosional dengan karya yang akan diadaptasi, keinginan untuk melestarikan karya yang akan diadaptasi, karya yang akan diadaptasi sudah terkenal, laris di pasaran (best seller) dan menarik minat banyak orang, sehingga masyarakat umum sudah tidak asing lagi dengan ceritanya. Pada akhirnya, ketidakasingan atau kedekatan tersebut sangat mendukung aspek komersil, sehingga memudahkan mencari pihak yang mau mendanai atau menjadi produser dari karya itu.5 Linda 3 4 Sapardi Djoko Damono, Alih Wahana. (Jakarta: Editum, 2012), 1. Sapardi Djoko Damono, Sastra Bandingan. (Jakarta; Editum, 2009), 128-130. 5 Richard Krevolin, Rahasia Sukses Film-Film Box Office; 5 Langkah Jitu Mengadaptasi Apa pun Menjadi Skenario Jempolan. (Bandung; PT. Mizan Pustaka, 2003), 11 -14. 3 Hutcheon juga memaparkan alasan melakukan adaptasi berkaitan dengan faktor ekonomis, kultural, personal dan politis.6 Dalam penelitian ini, adaptasi yang akan dilakukan adalah dari teks prosa lirik menjadi bentuk pementasan drama. Adaptasi yang dimaksud bukan hanya sekedar perkara pengalihan wahana (media) semata, tetapi juga soal pemindahan ruang, waktu, penokohan, dan budaya dari cerita asli yang masih berbentuk teks prosa lirik ke ruang, waktu, penokohan, dan budaya pada pementasannya. Dalam proses adaptasi juga dibutuhkan sebentuk kreatifitas dan improvisasi untuk dapat menghidupkan kembali ide-ide yang dianggap masih relevan dengan situasi yang sedang berkembang di tengah masyarakat saat ini, karena adaptasi adalah sebuah proses kreatif yang di dalamnya melibatkan proses menginterpretasikan dan menciptakan kembali. ketidaksuksesan sebuah Hutcheon film menambahkan, adaptasi bukan jika terletak terjadi pada ketidaksamaannya dengan teks yang diadaptasi tetapi lebih pada miskinnya kreatifitas dan ketrampilan untuk menangkap keutuhan teks tersebut .7 Proses ini juga terjadi pada prosa lirik Pengakuan Pariyem; Dunia Batin Seorang Wanita Jawa karya Linus Suryadi Agustinus8 6 Linda Hutcheon, Theory of Adaptation. (New York: Routledge: 2006), 86- 92. 7 Linda Hutcheon, 20. Sejak diterbitkan, novel Pengakuan Pariyem; Dunia Batin Seorang Wanita Jawa yang berbentuk prosa lirik karya Linus Suryadi AG ini telah banyak diadaptasi ke dalam bentuk pementasan drama, baik yang 8 4 yang diadaptasi ke dalam bentuk pementasan drama musikal Pariyem 2000. Pemahaman drama musikal yang dijadikan judul oleh pihak produser dan sutradara pada pementasan di sini, tidak merujuk pada pengertian opera (operette)9 tetapi hanya sebatas sebagai sebuah pementasan drama, karena musik dan lagu yang dihadirkan hanya untuk memberikan gambaran suasana yang mengiringi laku pada tokoh utamanya, sedangkan dialog-dialognya disampaikan tanpa dibuat menjadi nyanyian. Oleh karena itu penulis tidak memfokuskan perhatian pada pemahaman bentuk drama musikalnya, tetapi lebih menitikberatkan kepada adaptasi tokoh utamanya saja. Karya Linus, Pengakuan Pariyem, ini ditulis dalam kurun masa tiga tahun (1977-1980), dan diterbitkan pertama kali oleh penerbit Sinar Harapan tahun 1981.10 Pemilihan prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Agustinus dan pementasan Pariyem 2000 sebagai wujud transformasinya, yang menjadi bahan kajian penulis ini, dilatarbelakangi oleh adanya ketertarikan terhadap kekuatan cerita yang berfokus pada tokoh utamanya, Pariyem. Dimana cerita dan dinamika dramatik terjadi pada seputar kehidupan pribadi dan sosial tokoh utama yang disampaikan lewat menggunakan monolog ataupun dialog. 9 Menurut buku The Penguin Dictionary of Theatre pengertian Operette adalah bentuk pementasan drama yang melibatkan nyanyian sebagai unsur dialog dan tarian sebagai bagian dari akting. John Russell Taylor, The Penguin Dictionary of Theatre. (England: Penguin Books Ltd, 1970), 207. 10 Lihat: Bakdi Soemanto, Angan-Angan Budaya Jawa; Analisis Semiotik Pengakuan Pariyem, (Yogyakarta; Gadjah Mada Press, 2007), i. 5 penuturan dan interaksi tokoh utama dengan tokoh lain. Diketahui juga bahwa prosa lirik ini dianggap cukup fenomenal pada waktu itu, karena Pengakuan Pariyem dianggap sebagai karya sastra berupa sebuah prosa lirik terpanjang dari yang pernah ada, yang memiliki potensi sebagai sebuah karya yang mimetik-realistik dan sekaligus juga lirik-meditatif.11 Pengakuan Pariyem dan Pariyem 2000 berkisah tentang sosok perempuan dari strata sosial kelas bawah yang mencoba bertahan dengan keyakinan dan kepatuhannya pada nilai-nilai tradisi budaya Jawa, di tengah perubahan sosial masyarakatnya. Adapun sifat-sifat dimensi sosial yang terjadi berkaitan dengan fakta-fakta sosial dalam kehidupan cerita, dapat dipandang sebagai sebuah cerminan masyarakat atau refleksi atas realitas sosialnya.12 Sebab, ide atau gagasan karya naratif bersumber dari realitas sosial pengarang, dan pengarangnya adalah manusia yang hidup di tengah-tengah komunitas sosial (masyarakat).13 Jadi, ide atau gagasan yang terjadi dalam sebuah karya, baik sastra ataupun pementasan teater adalah hasil dari sebuah interaksi si pencipta 11 dengan masyarakatnya baik langsung atau tidak Bakdi Soemanto, 4. Lihat: Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), 4; Umar Junus, Sastra Melayu Modern: Fakta dan Interprestasi, (Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka,1984), 57. 13 Nur Sahid, Wanita-Wanita Korban Peradaban Priyayi Jawa Dalam Karya Naratif Indonesia: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra, (Laporan Penelitian DIPA ISI Yogyakarta), 2004, 5-6. 12 6 langsung.14 Realitas yang ada di dalamnya selalu memiliki relasi dengan yang lain, baik itu aktifitas sosial masyarakat maupun dinamika yang terjadi dalam suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa karya seni (sastra dan drama) adalah produk budaya dari masyarakatnya.15 Meskipun kaum stukturalis beranggapan bahwa sebuah karya bersifat otonom, bebas dari pengaruh luar, tetapi kenyataan membuktikan bahwa masyarakat, baik pengarang, pembaca, maupun budaya suatu masyarakat, memiliki peranan yang cukup penting dalam pengolahan imajinasi dan pengembangan suatu karya.16 Dalam hal ini, kemampuan resepsi dari pembaca atau penonton menjadi sangat menentukan keberhasilan sebuah karya seni diterima oleh masyarakatnya. Ide awal adaptasi Pengakuan Pariyem ini muncul dari Renville Siagian, seorang musisi dan penyair asal sumatra utara yang telah lama menetap di Yogyakarta. Kemudian digarap ke dalam bentuk pementasan drama musikal oleh sutradara Untung Basuki, dan naskah ditulis oleh Asa Jatmiko. Untung Basuki sendiri dikenal sebagai seorang penyair dan dramawan, beliau termasuk salah satu anggota Bengkel Teater asuhan Rendra, selain dia juga memiliki 14 Umar Junus, Resepsi Sastra. (Jakarta: Gramedia, 1985), 7-11; Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra (yang diterjemahkan oleh Dick Hartoko). (Jakarta: Gramedia, 1984), 17-19. 15 Arnold Hauser, The sosiology of art. Terj. Kenneth J. Northcott (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1982), 94; dan Janet Wolff, The Social Production of Art. (New York: Saint Martin’s Press: 1981), 1. 16 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), 2023. 7 kedekatan hubungan dengan Linus Suryadi. Inilah yang mendorong Untung Basuki tertarik untuk menggarap pementasan drama musikal Pariyem 2000 yang dipentaskan pada tanggal 6 Februari 2013 di Societet, Taman Budaya Yogyakarta. Hal yang menarik dalam pementasan drama hasil transformasi ini adalah usaha untuk menghadirkan kembali tokoh utamanya, Pariyem, sebagai seorang pembantu rumah tangga dalam konteks sekarang. Penonton yang pernah membaca Pengakuan Pariyem seolah-olah diajak untuk melanjutkan kembali kisah Pariyem yang sudah dibuat oleh Linus sebelumnya, hal ini sengaja dilakukan karena ingin memberikan sisi lain kehidupan dari sosok Pariyem yang jika diandaikan hadir pada masa sekarang dengan sudut pandang yang berbeda.17 Tokoh Pariyem dalam Pariyem 2000 adalah tokoh yang hidup di tahun 2000 dengan permasalahan yang jauh lebih kompleks dibanding dengan tokoh Pariyem dalam karya sebelumnya. Awal kehadiran Pariyem di tahun 1981, masih sangat kental dengan nuansa feodalistik, dimana kehidupan model bangsawan telah menciptakan jarak antara para Priyagung (kaum bangsawan) dengan masyarakat biasa. Pada Pariyem 2000, adalah Pariyem yang hidup di tahun 2000, yang dituntut untuk beradaptasi terhadap perubahan yang ada disekitarnya. Di sisi lain, sebagai seorang anak yang hidup dan tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan budi pekerti 17 2013. Renville Siagian, wawancara di Mantrijeron, Yogyakarta, 15 Maret 8 budaya Jawa,18 Pariyem diharuskan untuk tetap patuh kepada kehendak kedua orang tuanya, yang menginginkan agar ia mencari kehidupan yang lebih baik lagi. Akhirnya, meski dengan berat hati Pariyem terpaksa meninggalkan nDalem Suryomentaraman, tempat dimana selama ini ia mengabdi, dan pergi mengadu nasib ke Jakarta, seperti yang dilakukan hampir semua tetangga desa mereka di daerah Wonosari. Akan tetapi, ibarat pepatah yang mengatakan ‘untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak’, Pariyem bukannya mendapatkan apa yang ia cita-citakan, melainkan sebuah kenyataan pahit, karena tidak mampu menghadapi dinamika kehidupan di Jakarta.19 Jakarta menjadi begitu sangat garang bagi seorang Pariyem, ketika ia mencoba tetap bertahan dengan memegang teguh prinsip-prinsip hidup yang dijalaninya. Prinsip hidup dari kepribadian seorang perempuan Jawa20 yang selama ini dia ‘lakoni’ dan tak pernah sedikitpun ragu dalam me’lakoni’nya.21 18 Menurut Geertz (dalam Endaswara) budi pekerti dalam budaya Jawa adalah terkait dengan sikap hormat yang dilakukan oleh seorang anak kepada kedua orang tuanya melalui tiga situasi, yaitu sikap: wedi, isin, dan sungkan. Apa yang dikatakan oleh orang tua akan bertuah karena didasari oleh pengalaman yang panjang. Periksa Suwardi Endraswara, Budi Pekerti Jawa; Tuntunan Luhur dari Budaya Adiluhung (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2006), 2325; Christina S. Handayani dan Ardhian Novianti menjelaskan prinsip hormat merupakan “pengekangan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat kepada pribadi lain”, Kuasa Wanita, (Yogyakarta: LkiS, 2004), 66. 19 Asa Jatmiko, Pariyem 2000, ( Bukit Jati, Yogyakarta, 1999). 20 Lihat: Saparinah Sadli (dalam Brouwer) mengatakan bahwa dalam teori psikologi yang dimaksud dengan kepribadian adalah faktor herediter (faktor keturunan) dan faktor lingkungan sosial budaya, dalam hal ini adalah budaya Jawa. Periksa M.A.W. Brouwer, Kepribadian dan Perubahannya, (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), 147. 21 Untung Basuki, wawancara, di Ngadisuryan, Yogyakarta, 9 Februari 2013. 9 B. Rumusan Masalah Dari paparan berbagai alasan di depan, maka penulis memandang penting untuk membuat penelitian tentang transformasi tokoh Pariyem sebagai sebuah refleksi perubahan sosial budaya perempuan Jawa. Penulis mencoba memformulasikan beberapa fokus permasalahan yang diharapkan dapat menerangkan hal tersebut dengan lebih tajam yang tersusun dalam rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah identifikasi tokoh Pariyem dalam Pengakuan Pariyem? 2. Bagaimanakah hubungan intertekstualitas antara pementasan drama Pariyem 2000 terhadap prosa lirik Pengakuan Pariyem? 3. Bagaimanakah perubahan aspek sosial budaya yang terjadi dan dapat terungkap dari hasil adaptasi tersebut? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan fokus permasalahan yang telah penulis rumuskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan perubahan bentuk yang terjadi pada tokoh Pariyem dari prosa lirik Pengakuan Pariyem ke dalam pementasan drama musikal Pariyem 2000 yang merupakan bagian dari sebuah proses kerja adaptasi. Selain itu, melalui tokoh Pariyem diharapkan dapat 10 mengungkap aspek-aspek perubahan sosial budaya yang menjadi refleksi dari perubahan yang terjadi pada masyarakat, khususnya perempuan Jawa, saat ini. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi semua pihak terutama bagi mereka yang berkepentingan dalam pengembangan dunia kajian kontekstual antara keilmuan sastra dan drama, serta sekaligus bermanfaat bagi perkembangan dunia teater secara lebih luas. Seiring dengan perkembangan model penelitian kualitatif yang memberikan angin segar bagi peneliti untuk mengekplorasi sumber data dengan telaah secara integral dan independent antara tekstual karya sastra dan konteks sosial dalam pementasannya. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan pemahaman konsep dan teori tentang adaptasi sastra ke dalam bentuk drama, khususnya yang mengungkap kajian intertekstual dan sosiologi budayanya. Selanjutnya penelitian ini juga dapat memberikan temuan-temuan yang berharga bagi para peneliti, pemerhati, dan seniman yang tertarik pada dunia sastra dan drama. D. Tinjauan Pustaka Penelitian dengan menggunakan objek materi Pengakuan Pariyem telah banyak sekali dilakukan, diantaranya; C. Soebakdi Soemanto, dengan tesisnya berjudul “Pengakuan Pariyem Analisis Semiotik” di jurusan sastra Indonesia dan Jawa, 11 Universitas Gadjah Mada, tahun 1985, yang kemudian menjadi buku dengan judul Angan-Angan Budaya Jawa: Analisis Semiotik Pengakuan Pariyem yang diterbitkan di Yogyakarta oleh Universitas Gadjah Mada tahun 2007. Dalam pengamatan Bakdi Soemanto yang sangat rinci disaat melakukan penelitian terhadap Pengakuan Pariyem ini, sejak pertama kali diterbitkan hingga tahun 1985, tidak kurang terdapat 16 karangan tentang karya tersebut. Dari 16 karangan itu, oleh Bakdi Soemanto yang dianggap penting ada lima karangan, di antaranya: “Multilingualisme dalam Kesusastraan Indonesia Kontemporer” oleh Umar Kayam; “Pengakuan Pariyem: Sebuah Tinjauan Singkat dari Segi Sosiolinguistik” oleh Stephanus Djawanai; “Puitika Jawa dalam Kancah Sastra Indonesia” oleh I. Kuntara Wiryamartana; “Multilingualisme dalam Burung-burung Manyar dan Pengakuan Pariyem” tesis Pasca Sarjana oleh Sudaryono (1985); dan “Tinjauan Sosiologis Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG” oleh Sutarto. Bagi Bakdi Soemanto, stratifikasi sosial dalam teks Pengakuan Pariyem dapat diposisikan sebagai landasan strategis, kemudian dibangun struktur pikiran atas dasar kenyataan dualistik Pengakuan Pariyem: yang memiliki potensi asosiasi mimetik-realistik di satu sisi, dan potensi lirik-meditatif di sisi lain; di satu sisi pelukisan kenyataan sosial Jawa-Mataram, di pihak lain adalah karya imajiner; di satu sisi menerang-jelaskan secara prosaistik, di pihak lain 12 ekspresif-lirik. Berdasar pertimbangan itu Bakdi Soemanto memilih langkah: strategi wacana saja dipandang tidak cukup, dalam hal ini harus diperhitungkan aspek ekspresif yang dimiliki oleh Pengakuan Pariyem sendiri, jagad Jawa yang dihadirkan di dalamnya. Hal itu dapat diwujudkan tidak hanya dengan data sinkronik, melainkan juga dimensi diakronik yang menunjuk kepada perspektif kesejarahan. Hal ini didorong kenyataan bahwa Pengakuan Pariyem memiliki tegangan yang bersifat dualistik seperti dikemukakan tadi. Tegangan dualistik itu akan menuntut pembaca, hal-hal yang tampak defamiliar di dalam Pengakuan Pariyem agar dijadikan familiar. Karenanya, langkah dan pemosisian pemaknaan hanya dapat dilakukan jika seluruh unsur di dalamnya diposisikan sebagai sistem tanda dari tingkat pertama (penanda, petanda, dan tanda) kepada tingkat kedua (PENANDA, PETANDA, dan TANDA). Dalam hal ini Bakdi Soemanto meminjam penampang semiotik Roland Barthes. Heri Nugroho; Tesis Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2011, Kajian Sosial Budaya dan Nilai Pendidikan Prosa Lirik Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi AG. Penelitian ini menjelaskan dan mendiskripsikan (1) unsur-unsur sosial budaya yang terungkap dalam prosa lirik, (2) relevansi unsur sosial budaya dalam kehidupan nyata, (3) nilai pendidikan yang terdapat dalam prosa lirik, (4) gaya bahasa yang ada dalam prosa lirik. Pendekatan yang digunakan oleh Heri Nogroho adalah sosiologi sastra dan 13 stilitika. Nur Sahid, Wanita-Wanita Korban Peradaban Priyayi Jawa Dalam Karya Naratif Indonesia: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra, (Laporan Penelitian DIPA ISI Yogyakarta, 2004). Dalam Penelitian ini, Nur Sahid mengangkat masalah tokoh-tokoh perempuan dalam karya naratif Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Agustinus dan Jejak Bisu karya Koes Yuliadi, yang menjadi korban egoisme laki-laki dalam lingkungan para priyayi Jawa. Meskipun jarak kehadiran antara kedua karya tersebut cukup lama, sekitar 19 tahun, Nur Sahid melihat permasalahan egoisme di kalangan priyayi laki-laki Jawa tersebut masih relevan. Menurut Nur Sahid, kedua karya tersebut dipengaruhi oleh faktor sosiologis yang terjadi dalam masyarakat Jawa yang masih mengenal adanya stratifikasi sosial yang membedakan antara priyayi dengan wong cilik. Stratifikasi semacam ini bukan hanya membuat jurang pemisah antara kedua kelompok sosial, tetapi juga menciptakan ketidakadilan gender. Pariyem, Juminah, dan Nastiti, tokoh-tokoh dalam kedua karya tersebut, merupakan perempuan-perempuan yang menjadi korbannya. Melalui kajian beberapa kepustakaan yang telah ditelusuri sebelumnya, maka dapat dilihat bahwa penelitian ini merupakan penelitian pertama tentang transformasi prosa lirik Pengakuan 14 Pariyem ke dalam bentuk pementasan drama dengan judul pariyem 2000. E. Kerangka Teori Kerangka pikir merupakan inti sari dari teori yang telah dikembangkan yang dapat mendasari perumusan hipotesis. Teori yang telah dikembangkan dalam rangka memberi jawaban terhadap pendekatan pemecahan masalah yang menyatakan hubungan antar variabel berdasarkan pembahasan teoritis. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang memuaskan maka diperlukan sebuah kerangka berpikir yang jelas dan tepat. Kajian dalam penelitian ini adalah kajian multi-disiplin karena menggunakan beberapa pendekatan sekaligus, dengan adaptasi sebagai pendekatan utama; 1. Adaptasi Dari uraian di atas maka perpindahan Pengakuan Pariyem dari bentuk teks berupa prosa lirik menjadi sebuah pementasan drama akan dikaji lebih dalam dengan menggunakan teori adaptasi. Melalui teori ini dapat ditelaah secara mendalam bagaimana sebuah proses penciptaan sebuah karya dengan mengambil gagasan dari cerita yang sudah ada, kemudian dikemas kembali dengan sudut pandang yang berbeda. Pemahaman tentang adaptasi, atau transformasi, atau alih wahana pada hakikatnya adalah sama, yaitu sebuah proses pemindahan dari suatu karya menjadi karya yang lain dengan 15 beberapa perubahan di dalamnya. Selain itu, pemilihan teori adaptasi dalam penelitian ini adalah untuk mengungkapkan perubahan bentuk dan fungsi, serta kandungan makna yang terdapat dalam sebuah karya sebagai hasil dari adaptasi. Adaptasi menurut Greenberg dalam buku A Theory of Adaptation karya Linda Hutcheon adalah: “Adaptation is repetition, but repetition without replication. And there are manifestly many different possible intentions behind the act of adaptation: the urge to consume and erase the memory of the adapted text or to call it into question is as likely as the desire to pay tribute by copying. Adaptations such as film remakes can even be seen as mixed in intent: "contested homage". “Adaptasi adalah pengulangan, tetapi pengulangan tanpa peniruan. Dan terdapat banyak kemungkinan tujuan yang berbeda dibalik suatu tindakan dari adaptasi: desakan untuk mengkonsumsi dan menghapus memori dari teks yang telah diadaptasi atau menjadikannya sebagai sebuah pertanyaaan bagaikan sebuah keinginan untuk membayar kembali dengan cara menyalin. Adaptasi seperti pembuatan ulang suatu film bahkan dapat dilihat sebagai percampuran tujuan: “kontes penghormatan”.22 Linda Hutcheon sendiri mendefinisikan kata adaptasi sebagai proses penyesuaian dan interpretasi teks terdahulu ke dalam teks baru dan dapat merujuk kepada tiga hal; pertama, merupakan pemindahan suatu karya yang dikenal dari satu bentuk ke bentuk yang lain, atau dengan kata lain, sebuah produk yang berwujud (process of transposition). Kedua, adalah sebuah proses kreatif (process of creation) yang melibatkan re-interpretasi dan rekreasi. Ketiga, merupakan sebuah bentuk intertekstualitas. Pada 22 Linda Hutcheon, 2006, 7. 16 dasarnya adaptasi adalah sebagai sebuah cara untuk menuliskan kembali cerita yang sama tapi dengan sudut pandang yang berbeda.23 Disamping itu, ada beberapa elemen yang paling mudah dan umum untuk diadaptasi antar media, genre atau konteks. Elemenelemen tersebut antara lain adalah tema, karakter dan fabula (unitunit terpisah dalam cerita). Elemen-elemen ini masuk ke dalam proses adaptasi, di mana mereka diubah, disesuaikan atau dicocokkan dengan medium, genre, atau konteksnya yang baru.24 Melalui adaptasi, berbagai bagian dari unsur-unsur dari karya sastra sebelumnya direformulasi, disesuaikan bahkan dihilangkan. Proses adaptasi dapat membatasi atau bahkan disaat yang bersamaan membuka kemungkinan baru dalam bercerita. Namun begitu, membandingkan keduanya tetap menjadi studi penting, terutama dalam kaitannya dengan usaha kita lebih memahami hakikat masing-masing jenis kesenian tersebut.25 Richard Krevolin menjelaskan pula bahwa adaptasi adalah proses menangkap esensi sebuah karya asli untuk dituangkan ke dalam media lain. Memang tidak bisa dihindari beberapa elemen akan tetap digunakan dan beberapa lainnya akan ditinggalkan tetapi jiwa cerita itu haruslah sama.26 Perubahan ini terjadi biasanya menyangkut struktur suatu karya misalnya adanya perbedaan tokoh, 23 Linda Hutcheon, 2006, 8. Linda Huthceon, 2006, xiii-xv. 25 Damono, 2009, 85. 26 Krevolin, 2003, 77-78. 24 17 penambahan dan pengurangan alur cerita, dan perbedaan sudut pandang. Karya hasil adaptasi telah menjadi sebuah karya baru yang utuh, meskipun sering ditemui beberapa komponen yang sama dengan karya sebelumnya. Hasil transformasi tersebut adalah sesuatu yang harus dinilai lepas dari karya yang menjadi sumbernya. Karya hasil adaptasi dengan karya asli (karya yang diadaptasi) memiliki nilai yang sama.27 Proses menangkap esensi sebuah karya yang akan diadaptasi sudah tentu melibatkan pula proses resepsi terhadap karya tersebut. Wolfgang Iser memberikan penekanan pada penerimaan pembaca sehingga meninggalkan efek dan kesan langsung dari sebuah teks yang dapat dirasakan mereka. Kemudian imajinasi pembaca yang akan mengkongkretkan dan merekonstruksi saat melakukan resepsi langsung terhadap teks yang dibaca untuk kemudian menghubungkannya dengan realita yang ada, dalam hal ini pembaca diberikan kebebasan sepenuhnya atas sebuah teks. Melalui kesan, pembaca dapat menyatakan penerimaannya terhadap suatu karya.28 Iser juga mengatakan bahwa keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra sangat diperlukan agar karya tersebut bermakna. Iser sendiri lebih menfokuskan perhatian pada 27 Joseph M. Boggs, Cara Menilai Sebuah Film, (terj. Asrul Sani). (Jakarta: Yayasan Citra, 1991), 219 - 225. 28 Umar Yunus, 1985, 51. 18 hubungan individual antara teks sastra dengan pembaca.29 Dalam hal ini pembaca dapat melakukan hubungan secara personal terhadap teks berdasarkan storage yang dimilikinya dengan cara yang berbeda. Reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh pembaca (penonton) terhadap sebuah karya dapat ditanggapi dengan positif atau sebaliknya. Tanggapan (sambutan) pembaca pada dasarnya akan sampai pada pemaknaan karya itu sendiri. Dari reaksi pembaca yang berbeda-beda memungkinkan pembaca memberikan penilaian terhadap karya sastra dengan memanfaatkan kode-kode tertentu menurut pemahamannya.30 Hal yang menentukan baik tidaknya karya adaptasi tersebut adalah dari keutuhan karya yang disesuaikan dengan media yang digunakan. Mengadaptasi adalah seperti menyusun kembali sumbersumber utama yang diambil dari karya sebelumnya, kemudian dipindahkan dan disesuaikan dengan media baru untuk menciptakan satu perubahan atau penyelarasan yang lebih baik. Dalam kaitan dengan proses ide kreatif pengarang, kehadiran sebuah teks sebenarnya merupakan hasil yang diperoleh dari teks- 29 Pembaca yang dimaksud oleh Iser adalah Implied Reader (pembaca implisit). Dikatakan pembaca implisit karena merupakan suatu instansi di dalam teks sastra yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks sastra dengan pembacanya. Proses membaca di sini bukanlah proses satu arah, melainkan proses interaksi dinamis antara pembaca dengan teks. “ Reading is not a direct internalization because it is not a one way process but a dynamic interaction between text and reader”. Lihat; Wolfgang Iser, The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. (London: The John Hopkins University Press1987), 107. 30 Suwardi Endraswara, 2003, 120. 19 teks lain, kreatifitas itu memiliki masa lalu. Kreatifitas sendiri bersifat generatif, relasional, dan temporal.31 2. Intertekstual Dalam perspektif intertekstualitas,32 teks tidak hanya berhubungan dengan teks tertulis saja, namun juga gambar, lukisan, musik dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu ditelusuri tentang teori intertekstual untuk menganalisis perbedaan teks prosa lirik Pengakuan Pariyem terhadap pementasan drama Pariyem 2000 sebagai adaptasinya yang menghasilkan perubahan bentuk dan fungsi. Melalui perubahan tersebut, keutuhan makna dari suatu karya baik prosa maupun drama pementasannya dapat tercapai. Intertekstual merupakan kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu.33 Kajian intertekstual ini mencakup sastra bandingan, yaitu studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih.34 Setelah membandingkan maka dapat dibangun hubungan dialektik antara keduanya. Menurut prinsip interteksualitas, setiap teks sastra harus 31 Tim Ingold dan Elizbeth Hallam dalam Creativity and Cultural Improvisation: An Introduction. (ASA Monographs, Oxford, New York: Berg, 2007), 1-3. 32 Istilah Intertekstual pertama kali dikemukakan oleh Mikhail Bakhtin via Kristeva melalui kutipan berikut ini: “ ... Any text is constructed as a mosaic of quotations; any text is the absorption and transformation of another”, yang menjelaskan bahwa setiap teks merupakan mozaik kutipan-kutipan; setiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks lain. Periksa: Julia Kristeva, Desire In Language: A Semiotics Approach to literature And Art. (England: Basil Blackwell Ltd., 1987), 66. 33 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992), 50. 34 Rene Wellek, dan Austin Werren, Teori Kesusastraan (diterjemahkan oleh Melani Budianto. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990), 49. 20 dibaca dengan latar belakang teks lain. Tidak ada sebuah teks yang dalam penciptaan dan pembacaannya dapat dilakukan tanpa adanya teks lain sebagai contoh. Ini artinya bahwa dalam adaptasi, teks yang sudah ada memainkan peranan yang penting: pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi. Pemahaman terhadap teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya.35 Lebih jauh, dijelaskan pula bahwa yang memberikan kedinamisan dimensi terhadap strukturalisme adalah konsep literary word sebagai sebuah titik pertemuan dari suatu permukaan isi teks yang di dalamnya terjadi dialog antara beberapa teks sebelumnya.36 Dialog tersebut dapat berupa dialog penulis, pembaca atau konteks kebudayaan lama atau sejaman. Pada hakikatnya kajian intertekstualitas adalah menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat pada teks, mencakup seluruh unsur teks termasuk bahasa, yang disesuaikan dengan fungsi teks di masyarakat.37 Kristeva juga mendefinisikan intertekstualitas sebagai kesimpulan pengetahuan yang membuat teks memiliki makna: ketika pembaca berpikir mengenai sebuah teks sebagai teks yang bebas, berasal dari teks-teks yang lain yang diserap dan ditransformasikan; pada tempat 35 sebagai intersubjektif itulah, tempatnya A. Teeuw, 1984, 145-146. Julia Kristeva, 2006, 66. 37 Periksa: Kristeva (dalam Suripan Sadi Hutomo, Merambah Matahari: Sastra Dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa, 1993), 13-14. 36 21 intertekstualitas.38 Menurut Riffaterre ada beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam penerapan kajian intertekstual, yaitu: Ekspansi, yakni perluasan atau pengembangan hipogram39; Konversi, yakni berupa pemutarbalikan hipogram; Modifikasi, yaitu berupa penyesuaian atau perubahan terhadap hipogram, pada umumnya berlaku terhadap pemikiran, alur, atau gaya yang lain dibangun dalam karya tersebut; Ekserp, yakni pengguguran, intisari dari pembuangan hipogram; atau Haplologi penghilangan yang berupa sehingga tidak seluruh teks dihadirkan.40 Hal ini menunjukkan bahwa dari segi tertentu, prinsip intertekstualitas dapat pula dikaitkan dengan resepsi sastra. Hal ini dikarenakan seringkali dalam teks tertentu terungkap semacam kreasi yang sekaligus juga merupakan resepsi. 3. Sosiologi Seni Sebuah karya sastra (drama) sebagai akan mewakili pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya, sehingga karya tersebut tidak akan 38 Jonathan Culler, The Pursuit of Signs: Semiotics, Literature, Deconstruction. Paul and Henley; Routledge & Kegan Paul, 1981), 103-104. 39 Riffaterre mengatakan bahwa teks sastra yang menjadi latar karya sastra sesudahnya itu itu disebut hipogram. Periksa: Michael Riffaterre, Semiotics of Poetry. (Bloomington and London: Indiana University Press, 1978), 11-23; Rahmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi. (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1993), 167; Menurut Riffaterre (dalam Hutomo, 1993:14): hipogram adalah unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dll) yang terdapat di dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian dijadikan model, acuan, atau latar teks yang lahir kemudian (teks sastra yang dipengaruhinya). 40 Napiah via Rokhani, Transformasi Novel ke Film; Analisis Ekranisasi Terhadap Novel Ca Bau Khan. Tesis Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada 1994, xxiv-xxv. 22 dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra (drama) diabaikan begitu saja.41 Dengan demikian, sebuah karya seni (sastra dan drama) dapat dipahami dengan memperhatikan konteks dimana karya tersebut diproduksi, didistribusikan dan akhirnya dikonsumsi. Ini berarti, kajian terhadap Pengakuan Pariyem dan Pariyem 2000 memerlukan tinjauan terhadap masyarakatnya atau kerangka sosial yang melingkupinya. Oleh sebab itu, konsep-konsep sosiologi khususnya sosiologi seni diperlukan di dalam kajian ini. Menurut Janet Wolff, penonton seni pertunjukan - seperti juga pembaca karya sastra - terlibat aktif dalam konstruksi sebuah karya seni dan tanpa tindakan resepsi dari mereka sebuah produk seni budaya belumlah lengkap.42 Kemampuan resepsi pembaca atau penonton dapat berhubungan dengan ideologi,43 sehingga faktorfaktor perubahan sosial budaya masyarakat yang mempengaruhinya dapat ditelusuri. Secara sederhana Wolff mengemukakan bahwa ideologi adalah gagasan dan kepercayaan seseorang yang secara sistematis dihubungkan dengan kondisi-kondisi material dan aktual kehidupan mereka.44 Secara sosiologis ide dan nilai karya seni terbentuk akibat interaksi seniman yang intensif dengan kondisi 41 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), 57. 42 Janet Wolff, 1981, 95. 43 Umar Yunus, 1985, 102-114. 44 Janet Wolff, 1981, 50. 23 sosial masyarakatnya.45 Sastra dapat dipandang pula sebagai suatu gejala sosial, karena karya sastra (seni) yang dibuat pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma yang ada pada masa itu, dalam beberapa hal Wolff menyebutnya sebagai ‘agen ideologi’, yang mengekspresikan pandangan dan kepercayaan sebuah kelompok, bisa aspek politik, sosial, dan gagasan atau pemikiran lainnya dalam sebuah medium artistik. Kondisi materiil produksi artistik, teknologi, dan kelembagaan, menjembatani ekspresi ini dan menentukan bentuk khas produk budaya.46 Selanjutnya bahwasanya hubungan antara karya seni dengan konvensi estetik yang ada dalam alam ideologi seni dijembatani oleh dua arah tingkatan estetis. Pertama, melalui kondisi-kondisi materiil dan sosial produksi karya seni. Kedua, melalui kode-kode artistik serta konvensi-konvensi yang ada dimana karya seni itu dibentuk. Dalam proses tersebut, kompleksitas permasalahan ideologi dan tujuan-tujuan, intensi, pesan, misi, dan keinginan penulis naskah, sutradara ataupun produser sangat dipengaruhi oleh jiwa zaman, fenomena sosial yang berkembang, kultur, dan sosial masyarakatnya. Dilihat dari persoalan-persoalan yang diangkat yang dekat dengan permasalahan kehidupan sehari-hari, pementasan Pariyem 2000 dapat dimasukkan dalam kategori seni populer. Menurut Arnold 45 Nur Sahid, Dramaturgi Teater Gandrik Yogyakarta Dalam Lakon “Orde Tabung” Dan “Departemen Borok”, (disertasi doktoral Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana UGM, 2012), 41. 46 Janet Wolff, 1981, 63. 24 Hausser karakteristik kesenian populer sendiri adalah; bersifat komersial, terkadang seringkali kaku terhadap aturan, dan standarstandar yang mengikat kesuksesan, best seller, dan sebagainya, mudah mengakomodasi formula-formula tradisional atau yang terjadi tengah masyarakatnya, diproduksi untuk masyarakat urban (perkotaan), yang secara ideologi milik masyarakat kelas menengah bawah, serta tidak identik dengan seni proletarian.47 Oleh karena itu menjadi penting kiranya dalam penelitian ini membahas kedua karya tersebut dengan menggunakan sudut pandang sosiologi seni. F. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berarti studi yang mencakup penggunaaan dan pengumpulan berbagai data empirik yang bisa dilakukan untuk menjawab fokus permasalahan yang telah dirumuskan, melalui observasi, interview, dan interaksi. Dalam hal ini Pertti Alasuutari mengatakan bahwa interpretasi penelitian dapat diibaratkan menebak sebuah ‘teka-teki’ atau ‘misteri’.48 Pendekatan kualitatif selalu mendasarkan pada hal-hal yang bersifat fenomena yang kemudian dianalisis dan dideskripsikan dan akhirnya disimpulkan berdasarkan temuan dan analisis yang telah diakukan. Oleh karena itu, peneliti melakukan pembacaan dan 47 Arnold Hausser, 1982, 583-587. R.M. Soedarsono, Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dengan Contoh-contoh untuk Tesis dan Disertasi, (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia,1999), 39. 48 25 penelahan secara langsung yang menyangkut berbagai data49 yang ada dalam sumber data sebagaimana yang telah ditetapkan dalam fokus masalah. Meskipun dalam penelitian ini diawali dengan usaha mengumpulkan data dari berbagai keterangan yang bersifat tertulis seputar teks dan pementasan Pariyem, namun sebagai pembanding dari data yang diperoleh digunakan juga teknik wawancara.50 Tahapan analisis merupakan kegiatan utama dan paling penting seiring paradigma dan pendekatan kualitatif yang intinya adalah mencari makna dibalik data yang tersurat, dan yang tersirat; yaitu dengan cara mendiskusikan dan mengelaborasi setiap elemen sumber data dengan landasan teori yang digunakan dan menggunakan logika dan intuitif yang dituangkan melalui expresi kata-kata. Dari teori yang sudah disusun, tampak bahwa pendataan dituntun sebagai berikut: Pertama, mencermati dan mencatat datadata intrinsik dari materi utama dalam penelitian ini yaitu prosa lirik Pengakuan Pariyem; Dunia batin seorang Wanita Jawa karya Linus Suryadi Agustinus dari terbitan Pusaka Pelajar yang merupakan cetakan keenam ditahun 2002; Kedua, adalah mensejajarkan antara 49 Ada bermacam-macam sumber data kualitatif seperti sumber data tertulis, lisan, artefak, peninggalan sejarah, dan rekaman. Lihat; R.M Soedarsono, 1999, 126. 50 Menurut Danandjaja, ada dua model wawancara yang digunakan dalam pengumpulan data, yaitu: wawancara terencana (standardized interview) dan wawancara tidak terencana (unstandardized interview), Periksa James Danandjaja, Antropologi Psikologi, Teori, Metode dan Sejarah Perkembangannya (Jakarta: Rajawali, 1988), 102. 26 data intrinsik dan data sosiologi tekstual; Ketiga, mencermati pementasan Pariyem 2000 dan mencatat hasil pencermatan untuk kemudian membandingkannya51 dengan teks yang menjadi hipogramnya sehingga dapat diketahui persamaan, perbedaan dan perubahan bentuk serta dialektika yang terjadi di dalamnya sebagai akibat dari sebuah proses adaptasi. Dengan perbandingan juga didapatkan perubahan fungsi beserta alasan-alasan terjadinya perubahan fungsi tersebut. Dengan membuat analisis yang lebih mendalam terhadap relasi-relasi fungsional diantara pesan-pesan yang diamanatkan dalam cerita terhadap aspek-aspek sosial budaya yang menjadi latar dari kedua karya tersebut, kemudian mengkonteks-kan kembali pesan tersebut dengan keadaan masyarakat saat ini. G. Sistematika Penulisan Hasil penelitian tentang transformasi ini diuraikan melalui pembahasan yang dikodifikasikan ke dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pengantar, yang merupakan uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat 51 Analisis perbandingan adalah suatu cara untuk menunjukkan kesamaan dan perbedaan antara dua objek atau lebih dengan menggunakan dasar-dasar tertentu. Gorys Keraf via Nur Sahid dalam disertasi “Dramaturgi Teater Gandrik Yogyakarta Dalam Lakon Orde Tabung dan Departemen Borok”, (Pengkajian Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana UGM, tahun 2012), 55. 27 penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretis, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Dari bab ini dapat diambil gambaran mengenai kajian yang akan dilakukan pada bab-bab selanjutnya. Bab II Pariyem dalam teks. Pada bagian ini akan menguraikan jagad yang menjadi identitas dari tokoh Pariyem dalam teks prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Agustinus dan menjadikannya sebagai data intrinsik, serta mensejajarkannya dengan data sosiologi tekstual. Bab III Intertekstualitas dan perubahan aspek sosial budaya dalam pementasan. Pada bagian ini mencermati pementasan drama musikal Pariyem 2000 sebagai hasil adaptasi dari teks prosa lirik Pengakuan Pariyem dan mengupas secara rinci tentang hubungan intertekstualitas antara keduanya. Kemudian membuat perbandingan dengan mendudukkan kedua karya tersebut dalam posisi yang sejajar, sehingga dapat dilihat perubahan bentuk, fungsi, dan makna, yang terjadi. Selanjutnya dari hasil analisis hubungan intertekstual tersebut dapat dilihat perubahan aspek sosial budaya dalam pementasan Pariyem 2000 sebagai sebuah hasil adaptasi yang dilakukan pada era yang berbeda dengan karya yang menjadi sumber adaptasinya. Bab IV Penutup, yang berisi kesimpulan dari keseluruhan bab 28 pada tulisan ini, serta rekomendasi untuk penelitianpenelitian selanjutnya.