1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belakangan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belakangan ini fenomena karya adaptasi utamanya dari
sastra ke bentuk karya seni yang lain makin marak dilakukan, satu
diantaranya
adalah
di
bidang
teater.
Sebut
saja
beberapa
pementasan yang merupakan hasil karya adaptasi, antaranya; Nyai
Ontosoroh dari novel kuartet pulau Buru karya Pramoedya Ananta
Toer, Laskar Pelangi dari novel Andrea Hirata, novel Les Mirables
karya Victor Hugo menjadi Prahara Badai Cinta Kasih, Calon Arang
yang merupakan folklor masyarakat Bali, dan masih banyak lagi.
Selain adaptasi, dikenal juga dengan istilah transformasi1 yang
merupakan sebuah proses kerja yang menjadi bagian dari adaptasi,
karena menitikberatkan pada proses perubahan bentuk, rupa, atau
sifat sebagai hasilnya. Transformasi dalam karya sastra, disebut juga
dengan alih wahana, atau peralihan rupa.2 Menurut Damono, alih
wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke dalam jenis
1
Penggunaan kata “transformasi” di sini ditempatkan dalam pengertian
yang umum sebagaimana yang terdapat dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) Daring, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional,
(kbbi.web.id, 2008); (badanbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, 2008);
Hoetomo, M.A., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya; Mitra Pelajar,
2005), 551.
2 Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama), sampai edisi keempat, tahun 2008, istilah “alih wahana” ini
belum dimasukkan. Dalam penggunaannya, istilah ini digunakan oleh Sapardi
Djoko Damono, yang maksudnya adalah menjelaskan suatu perubahan yang
tidak hanya sebatas pada bentuk atau genre, melainkan juga pada wahananya.
2
kesenian lain. Wahana dapat diartikan sebagai medium yang
digunakan untuk mengungkapkan, mencapai, atau memamerkan
gagasan atau perasaan.3 Perubahan yang terjadi akan menampakkan
perbedaan antara karya yang menjadi sumbernya dengan karya
sebagai hasil dari alih wahana tersebut.4 Perbedaan wahana atau
media secara langsung tentu akan mempengaruhi cara penyajian
cerita
dan
bentuk penyajian
cerita.
Selain
masalah
keterbatasan (limit) yang dimiliki oleh masing-masing media, masalah
proses resepsi, penulis naskah atau penyutradaraan terhadap karya
tersebut juga akan berpengaruh terhadap kehadiran sebuah karya
adaptasi.
Bermacam alasan yang mendasari terjadinya sebuah proses
adaptasi, antaranya adalah memiliki kedekatan emosional dengan
karya yang akan diadaptasi, keinginan untuk melestarikan karya
yang akan diadaptasi, karya yang akan diadaptasi sudah terkenal,
laris di pasaran (best seller) dan menarik minat banyak orang,
sehingga masyarakat umum sudah tidak asing lagi dengan ceritanya.
Pada akhirnya, ketidakasingan atau kedekatan tersebut sangat
mendukung aspek komersil, sehingga memudahkan mencari pihak
yang mau mendanai atau menjadi produser dari karya itu.5 Linda
3
4
Sapardi Djoko Damono, Alih Wahana. (Jakarta: Editum, 2012), 1.
Sapardi Djoko Damono, Sastra Bandingan. (Jakarta; Editum, 2009),
128-130.
5 Richard Krevolin, Rahasia Sukses Film-Film Box Office; 5 Langkah Jitu
Mengadaptasi Apa pun Menjadi Skenario Jempolan. (Bandung; PT. Mizan
Pustaka, 2003), 11 -14.
3
Hutcheon juga memaparkan alasan melakukan adaptasi berkaitan
dengan faktor ekonomis, kultural, personal dan politis.6
Dalam penelitian ini, adaptasi yang akan dilakukan adalah dari
teks prosa lirik menjadi bentuk pementasan drama. Adaptasi yang
dimaksud bukan hanya sekedar perkara pengalihan wahana (media)
semata, tetapi juga soal pemindahan ruang, waktu, penokohan, dan
budaya dari cerita asli yang masih berbentuk teks prosa lirik ke
ruang, waktu, penokohan, dan budaya pada pementasannya. Dalam
proses adaptasi juga dibutuhkan sebentuk kreatifitas dan improvisasi
untuk dapat menghidupkan kembali ide-ide yang dianggap masih
relevan
dengan
situasi
yang
sedang
berkembang
di
tengah
masyarakat saat ini, karena adaptasi adalah sebuah proses kreatif
yang di dalamnya melibatkan proses menginterpretasikan dan
menciptakan
kembali.
ketidaksuksesan
sebuah
Hutcheon
film
menambahkan,
adaptasi
bukan
jika
terletak
terjadi
pada
ketidaksamaannya dengan teks yang diadaptasi tetapi lebih pada
miskinnya kreatifitas dan ketrampilan untuk menangkap keutuhan
teks tersebut .7
Proses ini juga terjadi pada prosa lirik Pengakuan Pariyem;
Dunia Batin Seorang Wanita Jawa karya Linus Suryadi Agustinus8
6
Linda Hutcheon, Theory of Adaptation. (New York: Routledge: 2006), 86-
92.
7
Linda Hutcheon, 20.
Sejak diterbitkan, novel Pengakuan Pariyem; Dunia Batin Seorang
Wanita Jawa yang berbentuk prosa lirik karya Linus Suryadi AG ini telah
banyak diadaptasi ke dalam bentuk pementasan drama, baik yang
8
4
yang diadaptasi ke dalam bentuk pementasan drama musikal
Pariyem 2000. Pemahaman drama musikal yang dijadikan judul oleh
pihak produser dan sutradara pada pementasan di sini, tidak
merujuk pada pengertian opera (operette)9 tetapi hanya sebatas
sebagai sebuah pementasan drama, karena musik dan lagu yang
dihadirkan hanya untuk memberikan gambaran suasana yang
mengiringi laku pada tokoh utamanya, sedangkan dialog-dialognya
disampaikan tanpa dibuat menjadi nyanyian. Oleh karena itu penulis
tidak memfokuskan perhatian pada pemahaman bentuk drama
musikalnya, tetapi lebih menitikberatkan kepada adaptasi tokoh
utamanya saja.
Karya Linus, Pengakuan Pariyem, ini ditulis dalam kurun masa
tiga tahun (1977-1980), dan diterbitkan pertama kali oleh penerbit
Sinar Harapan tahun 1981.10 Pemilihan prosa lirik Pengakuan
Pariyem karya Linus Suryadi Agustinus dan pementasan Pariyem
2000 sebagai wujud transformasinya, yang menjadi bahan kajian
penulis ini, dilatarbelakangi oleh adanya ketertarikan terhadap
kekuatan cerita yang berfokus pada tokoh utamanya, Pariyem.
Dimana
cerita
dan
dinamika
dramatik
terjadi
pada
seputar
kehidupan pribadi dan sosial tokoh utama yang disampaikan lewat
menggunakan monolog ataupun dialog.
9 Menurut buku The Penguin Dictionary of Theatre pengertian Operette
adalah bentuk pementasan drama yang melibatkan nyanyian sebagai unsur
dialog dan tarian sebagai bagian dari akting. John Russell Taylor, The Penguin
Dictionary of Theatre. (England: Penguin Books Ltd, 1970), 207.
10 Lihat: Bakdi Soemanto, Angan-Angan Budaya Jawa; Analisis Semiotik
Pengakuan Pariyem, (Yogyakarta; Gadjah Mada Press, 2007), i.
5
penuturan dan interaksi tokoh utama dengan tokoh lain. Diketahui
juga bahwa prosa lirik ini dianggap cukup fenomenal pada waktu itu,
karena Pengakuan Pariyem dianggap sebagai karya sastra berupa
sebuah prosa lirik terpanjang dari yang pernah ada, yang memiliki
potensi sebagai sebuah karya yang mimetik-realistik dan sekaligus
juga lirik-meditatif.11
Pengakuan Pariyem dan Pariyem 2000 berkisah tentang sosok
perempuan dari strata sosial kelas bawah yang mencoba bertahan
dengan keyakinan dan kepatuhannya pada nilai-nilai tradisi budaya
Jawa, di tengah perubahan sosial masyarakatnya. Adapun sifat-sifat
dimensi sosial yang terjadi berkaitan dengan fakta-fakta sosial dalam
kehidupan
cerita,
dapat
dipandang
sebagai
sebuah
cerminan
masyarakat atau refleksi atas realitas sosialnya.12 Sebab, ide atau
gagasan karya naratif bersumber dari realitas sosial pengarang, dan
pengarangnya
adalah
manusia
yang
hidup
di
tengah-tengah
komunitas sosial (masyarakat).13
Jadi, ide atau gagasan yang terjadi dalam sebuah karya, baik
sastra ataupun pementasan teater adalah hasil dari sebuah interaksi
si
pencipta
11
dengan masyarakatnya baik
langsung
atau tidak
Bakdi Soemanto, 4.
Lihat: Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar,
(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), 4; Umar Junus, Sastra Melayu Modern:
Fakta dan Interprestasi, (Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka,1984), 57.
13 Nur Sahid, Wanita-Wanita Korban Peradaban Priyayi Jawa Dalam
Karya Naratif Indonesia: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra, (Laporan Penelitian
DIPA ISI Yogyakarta), 2004, 5-6.
12
6
langsung.14 Realitas yang ada di dalamnya selalu memiliki relasi
dengan yang lain, baik itu aktifitas sosial masyarakat maupun
dinamika yang terjadi dalam suatu masyarakat. Bahkan dapat
dikatakan bahwa karya seni (sastra dan drama) adalah produk
budaya
dari
masyarakatnya.15
Meskipun
kaum
stukturalis
beranggapan bahwa sebuah karya bersifat otonom, bebas dari
pengaruh luar, tetapi kenyataan membuktikan bahwa masyarakat,
baik pengarang, pembaca, maupun budaya suatu masyarakat,
memiliki peranan yang cukup penting dalam pengolahan imajinasi
dan pengembangan suatu karya.16 Dalam hal ini, kemampuan
resepsi dari pembaca atau penonton menjadi sangat menentukan
keberhasilan sebuah karya seni diterima oleh masyarakatnya.
Ide awal adaptasi Pengakuan Pariyem ini muncul dari Renville
Siagian, seorang musisi dan penyair asal sumatra utara yang telah
lama menetap di Yogyakarta. Kemudian digarap ke dalam bentuk
pementasan drama musikal oleh sutradara Untung Basuki, dan
naskah ditulis oleh Asa Jatmiko. Untung Basuki sendiri dikenal
sebagai seorang penyair dan dramawan, beliau termasuk salah satu
anggota Bengkel Teater asuhan Rendra, selain dia juga memiliki
14 Umar Junus, Resepsi Sastra. (Jakarta: Gramedia, 1985), 7-11; Jan
Van Luxemburg, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra (yang
diterjemahkan oleh Dick Hartoko). (Jakarta: Gramedia, 1984), 17-19.
15 Arnold Hauser, The sosiology of art. Terj. Kenneth J. Northcott
(Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1982), 94; dan Janet
Wolff, The Social Production of Art. (New York: Saint Martin’s Press: 1981), 1.
16 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), 2023.
7
kedekatan hubungan dengan Linus Suryadi. Inilah yang mendorong
Untung
Basuki
tertarik
untuk
menggarap
pementasan
drama
musikal Pariyem 2000 yang dipentaskan pada tanggal 6 Februari
2013 di Societet, Taman Budaya Yogyakarta. Hal yang menarik dalam
pementasan drama hasil transformasi ini adalah usaha untuk
menghadirkan kembali tokoh utamanya, Pariyem, sebagai seorang
pembantu rumah tangga dalam konteks sekarang. Penonton yang
pernah membaca Pengakuan Pariyem seolah-olah diajak untuk
melanjutkan kembali kisah Pariyem yang sudah dibuat oleh Linus
sebelumnya, hal ini sengaja dilakukan karena ingin memberikan sisi
lain kehidupan dari sosok Pariyem yang jika diandaikan hadir pada
masa sekarang dengan sudut pandang yang berbeda.17
Tokoh Pariyem dalam Pariyem 2000 adalah tokoh yang hidup di
tahun 2000 dengan permasalahan yang jauh lebih kompleks
dibanding dengan tokoh Pariyem dalam karya sebelumnya. Awal
kehadiran Pariyem di tahun 1981, masih sangat kental dengan
nuansa feodalistik, dimana kehidupan model bangsawan telah
menciptakan jarak antara para Priyagung (kaum bangsawan) dengan
masyarakat biasa. Pada Pariyem 2000, adalah Pariyem yang hidup di
tahun 2000, yang dituntut untuk beradaptasi terhadap perubahan
yang ada disekitarnya. Di sisi lain, sebagai seorang anak yang hidup
dan tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan budi pekerti
17
2013.
Renville Siagian, wawancara di Mantrijeron, Yogyakarta, 15 Maret
8
budaya Jawa,18 Pariyem diharuskan untuk tetap patuh kepada
kehendak kedua orang tuanya, yang menginginkan agar ia mencari
kehidupan yang lebih baik lagi. Akhirnya, meski dengan berat hati
Pariyem terpaksa meninggalkan nDalem Suryomentaraman, tempat
dimana selama ini ia mengabdi, dan pergi mengadu nasib ke Jakarta,
seperti yang dilakukan hampir semua tetangga desa mereka di
daerah Wonosari. Akan tetapi, ibarat pepatah yang mengatakan
‘untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak’, Pariyem
bukannya mendapatkan apa yang ia cita-citakan, melainkan sebuah
kenyataan
pahit,
karena
tidak
mampu
menghadapi
dinamika
kehidupan di Jakarta.19 Jakarta menjadi begitu sangat garang bagi
seorang
Pariyem,
ketika
ia
mencoba
tetap
bertahan
dengan
memegang teguh prinsip-prinsip hidup yang dijalaninya. Prinsip
hidup dari kepribadian seorang perempuan Jawa20 yang selama ini
dia ‘lakoni’ dan tak pernah sedikitpun ragu dalam me’lakoni’nya.21
18
Menurut Geertz (dalam Endaswara) budi pekerti dalam budaya Jawa
adalah terkait dengan sikap hormat yang dilakukan oleh seorang anak kepada
kedua orang tuanya melalui tiga situasi, yaitu sikap: wedi, isin, dan sungkan.
Apa yang dikatakan oleh orang tua akan bertuah karena didasari oleh
pengalaman yang panjang. Periksa Suwardi Endraswara, Budi Pekerti Jawa;
Tuntunan Luhur dari Budaya Adiluhung (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2006), 2325; Christina S. Handayani dan Ardhian Novianti menjelaskan prinsip hormat
merupakan “pengekangan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat
kepada pribadi lain”, Kuasa Wanita, (Yogyakarta: LkiS, 2004), 66.
19 Asa Jatmiko, Pariyem 2000, ( Bukit Jati, Yogyakarta, 1999).
20 Lihat: Saparinah Sadli (dalam Brouwer) mengatakan bahwa dalam
teori psikologi yang dimaksud dengan kepribadian adalah faktor herediter
(faktor keturunan) dan faktor lingkungan sosial budaya, dalam hal ini adalah
budaya Jawa. Periksa M.A.W. Brouwer, Kepribadian dan Perubahannya,
(Jakarta: PT. Gramedia, 1981), 147.
21 Untung Basuki, wawancara, di Ngadisuryan, Yogyakarta, 9 Februari
2013.
9
B. Rumusan Masalah
Dari
paparan
berbagai
alasan
di
depan,
maka
penulis
memandang penting untuk membuat penelitian tentang transformasi
tokoh Pariyem sebagai sebuah refleksi perubahan sosial budaya
perempuan Jawa. Penulis mencoba memformulasikan beberapa fokus
permasalahan yang diharapkan dapat menerangkan hal tersebut
dengan lebih tajam yang tersusun dalam rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah identifikasi tokoh Pariyem dalam Pengakuan
Pariyem?
2. Bagaimanakah hubungan intertekstualitas antara pementasan
drama Pariyem 2000 terhadap prosa lirik Pengakuan Pariyem?
3. Bagaimanakah perubahan aspek sosial budaya yang terjadi
dan dapat terungkap dari hasil adaptasi tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai
dengan
fokus
permasalahan
yang
telah
penulis
rumuskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
menemukan perubahan bentuk yang terjadi pada tokoh Pariyem dari
prosa lirik Pengakuan Pariyem ke dalam pementasan drama musikal
Pariyem 2000 yang merupakan bagian dari sebuah proses kerja
adaptasi. Selain itu, melalui tokoh Pariyem diharapkan dapat
10
mengungkap aspek-aspek perubahan sosial budaya yang menjadi
refleksi dari perubahan yang terjadi pada masyarakat, khususnya
perempuan Jawa, saat ini.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan
bagi semua pihak terutama bagi mereka yang berkepentingan dalam
pengembangan dunia kajian kontekstual antara keilmuan sastra dan
drama, serta sekaligus bermanfaat bagi perkembangan dunia teater
secara lebih luas. Seiring dengan perkembangan model penelitian
kualitatif
yang
memberikan
angin
segar
bagi
peneliti
untuk
mengekplorasi sumber data dengan telaah secara integral dan
independent antara tekstual karya sastra dan konteks sosial dalam
pementasannya. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan
pemahaman konsep dan teori tentang adaptasi sastra ke dalam
bentuk drama, khususnya yang mengungkap kajian intertekstual
dan sosiologi budayanya. Selanjutnya penelitian ini juga dapat
memberikan temuan-temuan yang berharga bagi para peneliti,
pemerhati, dan seniman yang tertarik pada dunia sastra dan drama.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian dengan menggunakan objek materi Pengakuan
Pariyem telah banyak sekali dilakukan, diantaranya;
C. Soebakdi Soemanto, dengan tesisnya berjudul “Pengakuan
Pariyem Analisis Semiotik” di jurusan sastra Indonesia dan Jawa,
11
Universitas Gadjah Mada, tahun 1985, yang kemudian menjadi buku
dengan
judul
Angan-Angan
Budaya
Jawa:
Analisis
Semiotik
Pengakuan Pariyem yang diterbitkan di Yogyakarta oleh Universitas
Gadjah Mada tahun 2007. Dalam pengamatan Bakdi Soemanto yang
sangat rinci disaat melakukan penelitian terhadap Pengakuan
Pariyem ini, sejak pertama kali diterbitkan hingga tahun 1985, tidak
kurang terdapat 16 karangan tentang karya tersebut. Dari 16
karangan itu, oleh Bakdi Soemanto yang dianggap penting ada lima
karangan, di antaranya: “Multilingualisme dalam Kesusastraan
Indonesia Kontemporer” oleh Umar Kayam; “Pengakuan Pariyem:
Sebuah Tinjauan Singkat dari Segi Sosiolinguistik” oleh Stephanus
Djawanai; “Puitika Jawa dalam Kancah Sastra Indonesia” oleh I.
Kuntara Wiryamartana; “Multilingualisme dalam Burung-burung
Manyar dan Pengakuan Pariyem” tesis Pasca Sarjana oleh Sudaryono
(1985); dan “Tinjauan Sosiologis Prosa Lirik Pengakuan Pariyem
karya Linus Suryadi AG” oleh Sutarto.
Bagi Bakdi Soemanto, stratifikasi sosial dalam teks Pengakuan
Pariyem dapat diposisikan sebagai landasan strategis, kemudian
dibangun struktur pikiran atas dasar kenyataan dualistik Pengakuan
Pariyem: yang memiliki potensi asosiasi mimetik-realistik di satu sisi,
dan potensi lirik-meditatif di sisi lain; di satu sisi pelukisan
kenyataan sosial Jawa-Mataram, di pihak lain adalah karya imajiner;
di satu sisi menerang-jelaskan secara prosaistik, di pihak lain
12
ekspresif-lirik. Berdasar pertimbangan itu Bakdi Soemanto memilih
langkah: strategi wacana saja dipandang tidak cukup, dalam hal ini
harus diperhitungkan aspek ekspresif yang dimiliki oleh Pengakuan
Pariyem sendiri, jagad Jawa yang dihadirkan di dalamnya. Hal itu
dapat diwujudkan tidak hanya dengan data sinkronik, melainkan
juga
dimensi
diakronik
yang
menunjuk
kepada
perspektif
kesejarahan. Hal ini didorong kenyataan bahwa Pengakuan Pariyem
memiliki tegangan yang bersifat dualistik seperti dikemukakan tadi.
Tegangan dualistik itu akan menuntut pembaca, hal-hal yang tampak
defamiliar di dalam Pengakuan Pariyem agar dijadikan familiar.
Karenanya, langkah dan pemosisian pemaknaan hanya dapat
dilakukan jika seluruh unsur di dalamnya diposisikan sebagai sistem
tanda dari tingkat pertama (penanda, petanda, dan tanda) kepada
tingkat kedua (PENANDA, PETANDA, dan TANDA). Dalam hal ini
Bakdi Soemanto meminjam penampang semiotik Roland Barthes.
Heri Nugroho; Tesis Universitas Sebelas Maret, Surakarta,
2011, Kajian Sosial Budaya dan Nilai Pendidikan Prosa Lirik
Pengakuan
Pariyem
Karya
Linus
Suryadi
AG.
Penelitian
ini
menjelaskan dan mendiskripsikan (1) unsur-unsur sosial budaya
yang terungkap dalam prosa lirik, (2) relevansi unsur sosial budaya
dalam kehidupan nyata, (3) nilai pendidikan yang terdapat dalam
prosa lirik, (4) gaya bahasa yang ada dalam prosa lirik. Pendekatan
yang digunakan oleh Heri Nogroho adalah sosiologi sastra dan
13
stilitika.
Nur Sahid, Wanita-Wanita Korban Peradaban Priyayi Jawa
Dalam Karya Naratif Indonesia: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra,
(Laporan Penelitian DIPA ISI Yogyakarta, 2004). Dalam Penelitian
ini, Nur Sahid mengangkat masalah tokoh-tokoh perempuan
dalam karya naratif Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi
Agustinus dan Jejak Bisu karya Koes Yuliadi, yang menjadi korban
egoisme laki-laki dalam lingkungan para priyayi Jawa. Meskipun
jarak kehadiran antara kedua karya tersebut cukup lama, sekitar
19 tahun, Nur Sahid melihat permasalahan egoisme di kalangan
priyayi laki-laki Jawa tersebut masih relevan. Menurut Nur Sahid,
kedua karya tersebut dipengaruhi oleh faktor sosiologis yang
terjadi dalam masyarakat Jawa yang masih mengenal adanya
stratifikasi sosial yang membedakan antara priyayi dengan wong
cilik. Stratifikasi semacam ini bukan hanya membuat jurang
pemisah antara kedua kelompok sosial, tetapi juga menciptakan
ketidakadilan gender. Pariyem, Juminah, dan Nastiti, tokoh-tokoh
dalam kedua karya tersebut, merupakan perempuan-perempuan
yang menjadi korbannya.
Melalui kajian beberapa kepustakaan yang telah ditelusuri
sebelumnya, maka dapat dilihat bahwa penelitian ini merupakan
penelitian pertama tentang transformasi prosa lirik Pengakuan
14
Pariyem ke dalam bentuk pementasan drama dengan judul pariyem
2000.
E. Kerangka Teori
Kerangka pikir merupakan inti sari dari teori yang telah
dikembangkan yang dapat mendasari perumusan hipotesis. Teori
yang telah dikembangkan dalam rangka memberi jawaban terhadap
pendekatan pemecahan masalah yang menyatakan hubungan antar
variabel berdasarkan pembahasan teoritis. Untuk mendapatkan hasil
penelitian yang memuaskan maka diperlukan sebuah kerangka
berpikir yang jelas dan tepat. Kajian dalam penelitian ini adalah
kajian multi-disiplin karena menggunakan beberapa pendekatan
sekaligus, dengan adaptasi sebagai pendekatan utama;
1. Adaptasi
Dari uraian di atas maka perpindahan Pengakuan Pariyem dari
bentuk teks berupa prosa lirik menjadi sebuah pementasan drama
akan dikaji lebih dalam dengan menggunakan teori adaptasi. Melalui
teori ini dapat ditelaah secara mendalam bagaimana sebuah proses
penciptaan sebuah karya dengan mengambil gagasan dari cerita yang
sudah ada, kemudian dikemas kembali dengan sudut pandang yang
berbeda. Pemahaman tentang adaptasi, atau transformasi, atau alih
wahana
pada
hakikatnya
adalah
sama,
yaitu
sebuah
proses
pemindahan dari suatu karya menjadi karya yang lain dengan
15
beberapa perubahan di dalamnya. Selain itu, pemilihan teori adaptasi
dalam penelitian ini adalah untuk mengungkapkan perubahan
bentuk dan fungsi, serta kandungan makna yang terdapat dalam
sebuah karya sebagai hasil dari adaptasi.
Adaptasi menurut
Greenberg dalam buku A Theory of
Adaptation karya Linda Hutcheon adalah:
“Adaptation is repetition, but repetition without replication. And
there are manifestly many different possible intentions behind the
act of adaptation: the urge to consume and erase the memory of
the adapted text or to call it into question is as likely as the desire
to pay tribute by copying. Adaptations such as film remakes can
even be seen as mixed in intent: "contested homage".
“Adaptasi adalah pengulangan, tetapi pengulangan tanpa
peniruan. Dan terdapat banyak kemungkinan tujuan yang
berbeda dibalik suatu tindakan dari adaptasi: desakan untuk
mengkonsumsi dan menghapus memori dari teks yang telah
diadaptasi atau menjadikannya sebagai sebuah pertanyaaan
bagaikan sebuah keinginan untuk membayar kembali dengan
cara menyalin. Adaptasi seperti pembuatan ulang suatu film
bahkan dapat dilihat sebagai percampuran tujuan: “kontes
penghormatan”.22
Linda Hutcheon sendiri mendefinisikan kata adaptasi sebagai
proses penyesuaian dan interpretasi teks terdahulu ke dalam teks
baru dan dapat merujuk kepada tiga hal; pertama, merupakan
pemindahan
suatu
karya
yang
dikenal
dari
satu
bentuk
ke
bentuk yang lain, atau dengan kata lain, sebuah produk yang
berwujud (process of transposition). Kedua, adalah sebuah proses
kreatif (process of creation) yang melibatkan re-interpretasi dan rekreasi. Ketiga, merupakan sebuah bentuk intertekstualitas. Pada
22
Linda Hutcheon, 2006, 7.
16
dasarnya adaptasi adalah sebagai sebuah cara untuk menuliskan
kembali cerita yang sama tapi dengan sudut pandang yang berbeda.23
Disamping itu, ada beberapa elemen yang paling mudah dan
umum untuk diadaptasi antar media, genre atau konteks. Elemenelemen tersebut antara lain adalah tema, karakter dan fabula (unitunit terpisah dalam cerita). Elemen-elemen ini masuk ke dalam
proses
adaptasi,
di
mana
mereka
diubah,
disesuaikan
atau
dicocokkan dengan medium, genre, atau konteksnya yang baru.24
Melalui adaptasi, berbagai bagian dari unsur-unsur dari karya sastra
sebelumnya direformulasi, disesuaikan bahkan dihilangkan. Proses
adaptasi dapat membatasi atau bahkan disaat yang bersamaan
membuka kemungkinan baru dalam bercerita. Namun begitu,
membandingkan keduanya tetap menjadi studi penting, terutama
dalam kaitannya dengan usaha kita lebih memahami hakikat
masing-masing jenis kesenian tersebut.25
Richard Krevolin menjelaskan pula bahwa adaptasi adalah
proses menangkap esensi sebuah karya asli untuk dituangkan ke
dalam media lain. Memang tidak bisa dihindari beberapa elemen
akan tetap digunakan dan beberapa lainnya akan ditinggalkan tetapi
jiwa cerita itu haruslah sama.26 Perubahan ini terjadi biasanya
menyangkut struktur suatu karya misalnya adanya perbedaan tokoh,
23
Linda Hutcheon, 2006, 8.
Linda Huthceon, 2006, xiii-xv.
25 Damono, 2009, 85.
26 Krevolin, 2003, 77-78.
24
17
penambahan dan pengurangan alur cerita, dan perbedaan sudut
pandang. Karya hasil adaptasi telah menjadi sebuah karya baru yang
utuh, meskipun sering ditemui beberapa komponen yang sama
dengan karya sebelumnya. Hasil transformasi tersebut adalah
sesuatu yang harus dinilai lepas dari karya yang menjadi sumbernya.
Karya hasil adaptasi dengan karya asli (karya yang diadaptasi)
memiliki nilai yang sama.27
Proses menangkap esensi sebuah karya yang akan diadaptasi
sudah tentu melibatkan pula proses resepsi terhadap karya tersebut.
Wolfgang Iser memberikan penekanan pada penerimaan pembaca
sehingga meninggalkan efek dan kesan langsung dari sebuah teks
yang dapat dirasakan mereka. Kemudian imajinasi pembaca yang
akan mengkongkretkan dan merekonstruksi saat melakukan resepsi
langsung
terhadap
teks
yang
dibaca
untuk
kemudian
menghubungkannya dengan realita yang ada, dalam hal ini pembaca
diberikan kebebasan sepenuhnya atas sebuah teks. Melalui kesan,
pembaca dapat menyatakan penerimaannya terhadap suatu karya.28
Iser juga mengatakan bahwa keberadaan pembaca dalam memberi
penilaian terhadap karya sastra sangat diperlukan agar karya
tersebut bermakna. Iser sendiri lebih menfokuskan perhatian pada
27 Joseph M. Boggs, Cara Menilai Sebuah Film, (terj. Asrul Sani).
(Jakarta: Yayasan Citra, 1991), 219 - 225.
28 Umar Yunus, 1985, 51.
18
hubungan individual antara teks sastra dengan pembaca.29 Dalam
hal ini pembaca dapat melakukan hubungan secara personal
terhadap teks berdasarkan storage yang dimilikinya dengan cara
yang
berbeda.
Reaksi-reaksi
yang
ditimbulkan
oleh
pembaca
(penonton) terhadap sebuah karya dapat ditanggapi dengan positif
atau sebaliknya. Tanggapan (sambutan) pembaca pada dasarnya
akan sampai pada pemaknaan karya itu sendiri. Dari reaksi pembaca
yang berbeda-beda memungkinkan pembaca memberikan penilaian
terhadap karya sastra dengan memanfaatkan kode-kode tertentu
menurut pemahamannya.30
Hal yang menentukan baik tidaknya karya adaptasi tersebut
adalah dari keutuhan karya yang disesuaikan dengan media yang
digunakan. Mengadaptasi adalah seperti menyusun kembali sumbersumber utama yang diambil dari karya sebelumnya, kemudian
dipindahkan
dan
disesuaikan
dengan
media
baru
untuk
menciptakan satu perubahan atau penyelarasan yang lebih
baik. Dalam kaitan dengan proses ide kreatif pengarang, kehadiran
sebuah teks sebenarnya merupakan hasil yang diperoleh dari teks-
29
Pembaca yang dimaksud oleh Iser adalah Implied Reader (pembaca
implisit). Dikatakan pembaca implisit karena merupakan suatu instansi di
dalam teks sastra yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks
sastra dengan pembacanya. Proses membaca di sini bukanlah proses satu arah,
melainkan proses interaksi dinamis antara pembaca dengan teks. “ Reading is
not a direct internalization because it is not a one way process but a dynamic
interaction between text and reader”. Lihat; Wolfgang Iser, The Act of Reading: A
Theory of Aesthetic Response. (London: The John Hopkins University Press1987),
107.
30 Suwardi Endraswara, 2003, 120.
19
teks lain, kreatifitas itu memiliki masa lalu. Kreatifitas sendiri
bersifat generatif, relasional, dan temporal.31
2. Intertekstual
Dalam
perspektif
intertekstualitas,32
teks
tidak
hanya
berhubungan dengan teks tertulis saja, namun juga gambar, lukisan,
musik dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu ditelusuri tentang teori
intertekstual
untuk
menganalisis
perbedaan
teks
prosa
lirik
Pengakuan Pariyem terhadap pementasan drama Pariyem 2000
sebagai adaptasinya yang menghasilkan perubahan bentuk dan
fungsi. Melalui perubahan tersebut, keutuhan makna dari suatu
karya baik prosa maupun drama pementasannya dapat tercapai.
Intertekstual merupakan kajian terhadap sejumlah teks sastra yang
diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu.33 Kajian
intertekstual ini mencakup sastra bandingan, yaitu studi hubungan
antara dua kesusastraan atau lebih.34
Setelah membandingkan
maka dapat dibangun hubungan dialektik antara keduanya.
Menurut prinsip interteksualitas, setiap teks sastra harus
31
Tim Ingold dan Elizbeth Hallam dalam Creativity and Cultural
Improvisation: An Introduction. (ASA Monographs, Oxford, New York: Berg, 2007),
1-3.
32 Istilah Intertekstual pertama kali dikemukakan oleh Mikhail Bakhtin
via Kristeva melalui kutipan berikut ini: “ ... Any text is constructed as a mosaic
of quotations; any text is the absorption and transformation of another”, yang
menjelaskan bahwa setiap teks merupakan mozaik kutipan-kutipan; setiap teks
merupakan penyerapan dan transformasi dari teks lain. Periksa: Julia Kristeva,
Desire In Language: A Semiotics Approach to literature And Art. (England: Basil
Blackwell Ltd., 1987), 66.
33 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1992), 50.
34 Rene Wellek, dan Austin Werren, Teori Kesusastraan (diterjemahkan
oleh Melani Budianto. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990), 49.
20
dibaca dengan latar belakang teks lain. Tidak ada sebuah teks yang
dalam penciptaan dan pembacaannya dapat dilakukan tanpa adanya
teks lain sebagai contoh. Ini artinya bahwa dalam adaptasi, teks yang
sudah ada memainkan peranan yang penting: pemberontakan atau
penyimpangan
mengandaikan
adanya
sesuatu
yang
dapat
diberontaki ataupun disimpangi. Pemahaman terhadap teks baru
memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang
mendahuluinya.35
Lebih
jauh,
dijelaskan
pula
bahwa
yang
memberikan kedinamisan dimensi terhadap strukturalisme adalah
konsep literary word sebagai sebuah titik pertemuan dari suatu
permukaan isi teks yang di dalamnya terjadi dialog antara beberapa
teks sebelumnya.36 Dialog tersebut dapat berupa dialog penulis,
pembaca atau konteks kebudayaan lama atau sejaman. Pada
hakikatnya
kajian
intertekstualitas
adalah
menganalisis
unsur
intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat pada teks, mencakup seluruh
unsur teks termasuk bahasa, yang disesuaikan dengan fungsi teks di
masyarakat.37 Kristeva juga mendefinisikan intertekstualitas sebagai
kesimpulan pengetahuan yang membuat teks memiliki makna: ketika
pembaca berpikir mengenai sebuah teks sebagai teks yang bebas,
berasal dari teks-teks yang lain yang diserap dan ditransformasikan;
pada
tempat
35
sebagai
intersubjektif
itulah,
tempatnya
A. Teeuw, 1984, 145-146.
Julia Kristeva, 2006, 66.
37 Periksa: Kristeva (dalam Suripan Sadi Hutomo, Merambah Matahari:
Sastra Dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa, 1993), 13-14.
36
21
intertekstualitas.38
Menurut Riffaterre ada beberapa prinsip yang dapat digunakan
dalam
penerapan
kajian
intertekstual,
yaitu:
Ekspansi,
yakni
perluasan atau pengembangan hipogram39; Konversi, yakni berupa
pemutarbalikan hipogram; Modifikasi, yaitu berupa penyesuaian atau
perubahan terhadap hipogram, pada umumnya berlaku terhadap
pemikiran, alur, atau gaya yang lain dibangun dalam karya tersebut;
Ekserp,
yakni
pengguguran,
intisari
dari
pembuangan
hipogram;
atau
Haplologi
penghilangan
yang
berupa
sehingga
tidak
seluruh teks dihadirkan.40 Hal ini menunjukkan bahwa dari segi
tertentu, prinsip intertekstualitas dapat pula dikaitkan dengan
resepsi sastra. Hal ini dikarenakan seringkali dalam teks tertentu
terungkap semacam kreasi yang sekaligus juga merupakan resepsi.
3. Sosiologi Seni
Sebuah
karya
sastra
(drama)
sebagai
akan
mewakili
pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu melainkan
sebagai anggota masyarakatnya, sehingga karya tersebut tidak akan
38
Jonathan Culler, The Pursuit of Signs: Semiotics, Literature,
Deconstruction. Paul and Henley; Routledge & Kegan Paul, 1981), 103-104.
39
Riffaterre mengatakan bahwa teks sastra yang menjadi latar karya
sastra sesudahnya itu itu disebut hipogram. Periksa: Michael Riffaterre,
Semiotics of Poetry. (Bloomington and London: Indiana University Press, 1978),
11-23; Rahmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi. (Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, 1993), 167; Menurut Riffaterre (dalam Hutomo, 1993:14):
hipogram adalah unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa,
dll) yang terdapat di dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian
dijadikan model, acuan, atau latar teks yang lahir kemudian (teks sastra yang
dipengaruhinya).
40 Napiah via Rokhani, Transformasi Novel ke Film; Analisis Ekranisasi
Terhadap Novel Ca Bau Khan. Tesis Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada
1994, xxiv-xxv.
22
dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat
yang telah melahirkan teks sastra (drama) diabaikan begitu saja.41
Dengan demikian, sebuah karya seni (sastra dan drama) dapat
dipahami dengan memperhatikan konteks dimana karya tersebut
diproduksi, didistribusikan dan akhirnya dikonsumsi. Ini berarti,
kajian terhadap Pengakuan Pariyem dan Pariyem 2000 memerlukan
tinjauan
terhadap
masyarakatnya
atau
kerangka
sosial
yang
melingkupinya. Oleh sebab itu, konsep-konsep sosiologi khususnya
sosiologi seni diperlukan di dalam kajian ini.
Menurut Janet Wolff, penonton seni pertunjukan - seperti juga
pembaca karya sastra - terlibat aktif dalam konstruksi sebuah karya
seni dan tanpa tindakan resepsi dari mereka sebuah produk seni
budaya belumlah lengkap.42 Kemampuan resepsi pembaca atau
penonton dapat berhubungan dengan ideologi,43 sehingga faktorfaktor perubahan sosial budaya masyarakat yang mempengaruhinya
dapat ditelusuri. Secara sederhana Wolff mengemukakan bahwa
ideologi adalah gagasan dan kepercayaan seseorang yang secara
sistematis dihubungkan dengan kondisi-kondisi material dan aktual
kehidupan mereka.44 Secara sosiologis ide dan nilai karya seni
terbentuk
akibat interaksi seniman yang intensif dengan kondisi
41 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian sastra: Epistemologi, Model,
Teori, dan Aplikasi. (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), 57.
42 Janet Wolff, 1981, 95.
43 Umar Yunus, 1985, 102-114.
44 Janet Wolff, 1981, 50.
23
sosial masyarakatnya.45 Sastra dapat dipandang pula sebagai suatu
gejala sosial, karena karya sastra (seni) yang dibuat pada kurun
waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma yang ada
pada masa itu, dalam beberapa hal Wolff menyebutnya sebagai ‘agen
ideologi’, yang mengekspresikan pandangan dan kepercayaan sebuah
kelompok, bisa aspek politik, sosial, dan gagasan atau pemikiran
lainnya dalam sebuah medium artistik. Kondisi materiil produksi
artistik, teknologi, dan kelembagaan, menjembatani ekspresi ini dan
menentukan bentuk khas produk budaya.46
Selanjutnya bahwasanya hubungan antara karya seni dengan
konvensi estetik yang ada dalam alam ideologi seni dijembatani oleh
dua arah tingkatan estetis. Pertama, melalui kondisi-kondisi materiil
dan sosial produksi karya seni. Kedua, melalui kode-kode artistik
serta konvensi-konvensi yang ada dimana karya seni itu dibentuk.
Dalam proses tersebut, kompleksitas permasalahan ideologi dan
tujuan-tujuan, intensi, pesan, misi, dan keinginan penulis naskah,
sutradara ataupun produser sangat dipengaruhi oleh jiwa zaman,
fenomena sosial yang berkembang, kultur, dan sosial masyarakatnya.
Dilihat dari persoalan-persoalan yang diangkat yang dekat
dengan permasalahan kehidupan sehari-hari, pementasan Pariyem
2000 dapat dimasukkan dalam kategori seni populer. Menurut Arnold
45 Nur Sahid, Dramaturgi Teater Gandrik Yogyakarta Dalam Lakon “Orde
Tabung” Dan “Departemen Borok”, (disertasi doktoral Program Studi Pengkajian
Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana UGM, 2012), 41.
46 Janet Wolff, 1981, 63.
24
Hausser karakteristik kesenian populer sendiri adalah; bersifat
komersial, terkadang seringkali kaku terhadap aturan, dan standarstandar yang mengikat kesuksesan, best seller, dan sebagainya,
mudah mengakomodasi formula-formula tradisional atau yang terjadi
tengah
masyarakatnya,
diproduksi
untuk
masyarakat
urban
(perkotaan), yang secara ideologi milik masyarakat kelas menengah
bawah, serta tidak identik dengan seni proletarian.47 Oleh karena itu
menjadi penting kiranya dalam penelitian ini membahas kedua karya
tersebut dengan menggunakan sudut pandang sosiologi seni.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berarti
studi yang mencakup penggunaaan dan pengumpulan berbagai data
empirik yang bisa dilakukan untuk menjawab fokus permasalahan
yang telah dirumuskan, melalui observasi, interview, dan interaksi.
Dalam hal ini Pertti Alasuutari mengatakan bahwa interpretasi
penelitian
dapat
diibaratkan
menebak
sebuah
‘teka-teki’
atau
‘misteri’.48 Pendekatan kualitatif selalu mendasarkan pada hal-hal
yang bersifat fenomena yang kemudian dianalisis dan dideskripsikan
dan akhirnya disimpulkan berdasarkan temuan dan analisis yang
telah diakukan. Oleh karena itu, peneliti melakukan pembacaan dan
47
Arnold Hausser, 1982, 583-587.
R.M. Soedarsono, Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
dengan Contoh-contoh untuk Tesis dan Disertasi, (Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukkan Indonesia,1999), 39.
48
25
penelahan secara langsung yang menyangkut berbagai data49 yang
ada dalam sumber data sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
fokus masalah. Meskipun dalam penelitian ini diawali dengan usaha
mengumpulkan data dari berbagai keterangan yang bersifat tertulis
seputar teks dan pementasan Pariyem, namun sebagai pembanding
dari data yang diperoleh digunakan juga teknik wawancara.50
Tahapan analisis merupakan kegiatan utama dan paling penting
seiring paradigma dan pendekatan kualitatif yang intinya adalah
mencari makna dibalik data yang tersurat, dan yang tersirat; yaitu
dengan cara mendiskusikan dan mengelaborasi setiap elemen
sumber
data
dengan
landasan
teori
yang
digunakan
dan
menggunakan logika dan intuitif yang dituangkan melalui expresi
kata-kata.
Dari teori yang sudah disusun, tampak bahwa pendataan
dituntun sebagai berikut: Pertama, mencermati dan mencatat datadata intrinsik dari materi utama dalam penelitian ini yaitu prosa lirik
Pengakuan Pariyem; Dunia batin seorang Wanita Jawa karya Linus
Suryadi Agustinus dari terbitan Pusaka Pelajar yang merupakan
cetakan keenam ditahun 2002; Kedua, adalah mensejajarkan antara
49
Ada bermacam-macam sumber data kualitatif seperti sumber data
tertulis, lisan, artefak, peninggalan sejarah, dan rekaman. Lihat; R.M
Soedarsono, 1999, 126.
50 Menurut Danandjaja, ada dua model wawancara yang digunakan dalam
pengumpulan data, yaitu: wawancara terencana (standardized interview) dan
wawancara tidak terencana (unstandardized interview), Periksa James
Danandjaja, Antropologi Psikologi, Teori, Metode dan Sejarah Perkembangannya
(Jakarta: Rajawali, 1988), 102.
26
data intrinsik dan data sosiologi tekstual; Ketiga, mencermati
pementasan Pariyem 2000 dan mencatat hasil pencermatan untuk
kemudian
membandingkannya51
dengan
teks
yang
menjadi
hipogramnya sehingga dapat diketahui persamaan, perbedaan dan
perubahan bentuk serta dialektika yang terjadi di dalamnya sebagai
akibat dari sebuah proses adaptasi. Dengan perbandingan juga
didapatkan
perubahan
fungsi
beserta
alasan-alasan
terjadinya
perubahan fungsi tersebut. Dengan membuat analisis yang lebih
mendalam terhadap relasi-relasi fungsional diantara pesan-pesan
yang diamanatkan dalam cerita terhadap aspek-aspek sosial budaya
yang menjadi latar dari kedua karya tersebut, kemudian mengkonteks-kan kembali pesan tersebut dengan keadaan masyarakat
saat ini.
G. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian tentang transformasi ini diuraikan melalui
pembahasan yang dikodifikasikan ke dalam beberapa bab dengan
sistematika sebagai berikut:
Bab I
Pengantar, yang merupakan uraian tentang latar belakang
masalah,
rumusan
masalah,
tujuan
dan
manfaat
51
Analisis perbandingan adalah suatu cara untuk menunjukkan
kesamaan dan perbedaan antara dua objek atau lebih dengan menggunakan
dasar-dasar tertentu. Gorys Keraf via Nur Sahid dalam disertasi “Dramaturgi
Teater Gandrik Yogyakarta Dalam Lakon Orde Tabung dan Departemen Borok”,
(Pengkajian Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana UGM,
tahun 2012), 55.
27
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretis, metode
penelitian, dan sistematika penulisan. Dari bab ini dapat
diambil gambaran mengenai kajian yang akan dilakukan
pada bab-bab selanjutnya.
Bab II
Pariyem dalam teks. Pada bagian ini akan menguraikan
jagad yang menjadi identitas dari tokoh Pariyem dalam teks
prosa
lirik
Pengakuan
Pariyem
karya
Linus
Suryadi
Agustinus dan menjadikannya sebagai data intrinsik, serta
mensejajarkannya dengan data sosiologi tekstual.
Bab III
Intertekstualitas dan perubahan aspek sosial budaya dalam
pementasan. Pada bagian ini mencermati pementasan
drama musikal Pariyem 2000 sebagai hasil adaptasi dari
teks prosa lirik Pengakuan Pariyem dan mengupas secara
rinci tentang hubungan intertekstualitas antara keduanya.
Kemudian membuat perbandingan dengan mendudukkan
kedua karya tersebut dalam posisi yang sejajar, sehingga
dapat dilihat perubahan bentuk, fungsi, dan makna, yang
terjadi.
Selanjutnya
dari
hasil
analisis
hubungan
intertekstual tersebut dapat dilihat perubahan aspek sosial
budaya dalam pementasan Pariyem 2000 sebagai sebuah
hasil adaptasi yang dilakukan pada era yang berbeda
dengan karya yang menjadi sumber adaptasinya.
Bab IV
Penutup, yang berisi kesimpulan dari keseluruhan bab
28
pada tulisan ini, serta rekomendasi untuk penelitianpenelitian selanjutnya.
Download