KETERLIBATAN PENGASUHAN AYAH SEBAGAI ORANG TUA

advertisement
KETERLIBATAN PENGASUHAN AYAH SEBAGAI ORANG TUA
TUNGGAL DENGAN ANAK PEREMPUANNYA SETELAH
TERJADINYA PERCERAIAN
(Studi Kasus Komunikasi Antarpribadi di Desa Kwangsan, Kecamatan
Jumapolo)
PUBLIKASI ILMIAH
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika
Oleh:
DENNY ASTUTI
L 100110042
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
1
2
3
KETERLIBATAN PENGASUHAN AYAH SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL
DENGAN ANAK PEREMPUANNYA SETELAH TERJADINYA PERCERAIAN
(Studi Kasus Komunikasi Antarpribadi di Desa Kwangsan, Kecamatan Jumapolo)
ABSTRAK
Menjadi orang tua tunggal memang tidak mudah terlebih seorang ayah dan mengasuh anak
perempuan yang masih di bawah umur 12 tahun. Selain harus mencukupi kebutuhan keluarga
seorang diri, seorang ayah yang menjadi orang tua tunggal harus mengasuh anak secara mandiri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana keterlibatan pengasuhan ayah
sebagai orang tua tunggal kepada anak perempuannya setelah terjadinya perceraian. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan komunikasi antarpribadi. Informan
penelitian ini terdiri dari tiga orang ayah yang menjadi orang tua tunggal karena latar belakang
perceraian di desa Kwangsan, Kecamatan Jumapolo. Data di kumpulkan dengan menggunakan
teknik wawancara semi-terstruktur. Metode analisis data yang di gunakan adalah analisis
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) komunikasi antarpribadi yang di lakukan ayah
sebagai orang tua tunggal kepada anaknya untuk memberikan pemahaman mengenai keluarga
tidak menjelaskan tentang artinya perceraian namun memberikan pemahaman tentang pekerjaan
ibunya; (2) keterlibatan pengasuhan di lakukan secara mandiri dan tidak melibatkan siapapun; (3)
tanggung jawab seorang ayah ketika meninggalkan anak perempuan adalah dengan cara di titipkan
dengan anggota keluarga lain; (4) aksesibilitas sebagai orang tua tunggal, ayah selalu memberikan
waktu untuk menemani bermain dan aktivitas anak perempuannya setiap hari. Dapat di simpulkan
bahwa keterlibatan pengasuhan ayah sebagai orang tua tunggal terhadap anak perempuannya
adalah terlibat langsung dalam semua kebutuhan.
Kata kunci: orang tua tunggal, keterlibatan pengasuhan, komunikasi antarpribadi
ABSTRACT
Being a single parent is not easy especially for father, and caring for his girls are still under age of
12 years old. Beside for suffice the needs of the family of an themselves a father is a single parent
should parenting is independent. The purpose of the research to describe how to engagement
parenting father as a single parent to his daughter after the occurance of divorce. This research
using descriptive qualitative method with the approach of communication interpersonal. The
object of this research consist of three father became a single parent because of the background of
divorce in Jumapolo subdistrict. The technique of collecting data using semi-structured interview.
The method of analysing data using descriptive analysing. The result of this research suggests that:
(1) the communication interpersonal conducted father as a single parent to this child to give
understanding of the family is not explained about divorce but give understanding of the work of
this mother, (2) engagement parenting conducted in independent and not involved to the other, (3)
the responsibility of father when leaving the girls with entrusting to this family, (4) accessibility is
a single parent, father always give time to accompany for playing and activities his child everyday.
It can be concluded that the involvement parenting father as a single parent to his daughter is
directly in all fulfillment needs.
Keywords: single parent, parenting involvement, interpersonal communication
1. PENDAHULUAN
Keluarga adalah unit terkecil dari masyrakat. Menurut Djamarah (2004), keluarga adalah
sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan perkawinan. Komunikasi adalah suatu hal yang
pasti terjadi dalam kehidupan, termasuk dalam sebuah keluarga. Komunikasi yang sering kita
amati adalah komunikasi antarpribadi dalam sebuah keluarga. Komunikasi antarpribadi
4
adalah sebuah proses komunikasi yang berlangsung dua orang atau lebih secara tatap muka
(Cangara, 2002).
Keluarga idealnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Setiap anggota pun mempunyai
peran masing-masing, namun kondisi tersebut tidak selalu dapat terwujud karena adanya
beberapa faktor, salah satunya adalah faktor perceraian. Banyak hal yang melatar belakangi
terjadinya perceraian dan perceraian itu sendiri mengakibatkan efek negatif bagi anak-anak
yang menjadi korban dari orang tuanya. Kurangnya kesejahteraan psikologis adalah salah
satu efek dari perceraian orang tua. Kesejahteraan psikologis dalam hal ini menyangkut hal
kepribadian, kepuasan hidup, kepercayaan diri, komunikasi, dan aktivitas sehari-hari (Kume,
2015). Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap
communication, dapat mengembangkan masalah kesehatan-kesehatan mental (Prayoga,
2013).
Orang tua tunggal dalam pengertian psikologis adalah orang tua yang terdiri dari ayah
maupun ibu yang siap menjalani tugasnya dengan penuh tanggung jawab sebagai orangtua
tunggal. Jika dia mampu mengurus anak-anak, berani dan bertanggung jawab dengan segala
resikonya dalam mengasuh anak itulah di sebut orang tua tunggal. Pertaruhan orang tua
tunggal di sini mengenai tanggung jawabnya. Tak mudah memang menjadi orang tua tunggal,
apa lagi dimasa-masa awal perpisahan dengan pasangan hidup baik karena perceraian
maupun kematian (Sari, 2015).
Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia dalam data Penduduk Berumur 10 Tahun
Keatas Menurut Wilayah dan Status Perkawinan Indonesia di Provinsi Jawa Tengah per
tahun 2015 adalah wanita yang cerai hidup sebanyak 294.330 orang, sedangkan cerai mati
sebanyak 150.670 orang. Kemudian laki-laki yang cerai hidup sebanyak 117.891 orang, dan
cerai mati sebanyak 301.649 orang (“www.bps.go.id,” 2015). Dapat dilihat bahwa ibu
sebagai orang tua tunggal lebih banyak jumlahnya dari seorang ayah. Di Kecamatan
Jumapolo, khususnya desa Kwangsan dalam empat tahun terakhir ini kasus perceraian
mengalami peningkatan. Dilihat dari data di kantor Kelurahan Kwangsan per bulan Juli tahun
2016, pada tahun 2013 ada kasus perceraian sebanyak 5 orang, tahun 2014 sebanyak 7 orang,
tahun 2015 sebanyak 9 orang, dan pada tahun 2016 sampai bulan Juli sebanyak 8 orang.
Dalam pandangan masyarakat juga demikian, ibu sebagai orang tua tunggal terlihat biasa dan
tidak dianggap peran yang sulit untuk dijalankan. Begitu pula di negara barat seperti Amerika
Serikat dan Eropa, pengasuhan anak di bawah ayahnya masih kurang dominan dan belum
bisa diterima oleh masyarakat walaupun banyak juga perempuan yang saat ini memilih untuk
5
bekerja di luar rumah atau wanita karier (Kume, 2015). Masyarakat akan memiliki pandangan
yang berbeda-beda tentang orang tua tunggal. Di sisi lain orang tua tunggal harus dapat
memberikan pengertian, lebih sabar dan tegar dalam menghadapi masalah dalam keluarganya
(Prayoga, 2013). Sejalan dengan pernyataan (Purbasari & Putri, 2015) bahwa pembagian
peran dan maupun pembagian tugas rumah tangga yang adil antara suami dan istri terkadang
masih dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat mengenai peran gender yang cenderung
memposisikan wanita untuk selalu berperan pada wilayah domestik. Wilayah domestik di sini
artinya adalah bekerja sebagai ibu rumah tangga saja mengurus rumah dan seisinya. Hal ini
membuat peneliti tertarik melakukan penelitian yang berfokus pada ayah yang berperan
sebagai orang tua tunggal.
Orang tua tunggal biasanya akan merasa lebih tertekan daripada orang tua utuh dalam
kemampuan mengasuh sebagai orang tua pada umumnya. Kemampuan orang tua ini nantinya
dapat berpengaruh pada bagaimana si orang tua mengasuh anaknya. Orang tua tunggal yang
tidak mempunyai pasangan untuk tempat berbagi mengasuh anak akan berpengaruh pada
perkembangan psikologi anak (Prayoga, 2013). Parke dalam Kume (2015), mengatakan
bahwa keterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan anak akan menciptakan efek yang positif
dibandingkan anak dalam pengasuhan ibu saja walaupun jika pengasuhan dilakukan oleh
kedua orang tua yang utuh maka efeknya akan lebih signifikan. Efek lain dari keterlibatan
ayah dalam pengasuhan anak adalah kemampuan hubungan sosialnya akan terhambat atau
terganggu. Selaras dengan pernyataan Barnet dan Kibra dalam (Katorski, 2003) bahwa
hubungan yang positif antara ayah dengan anak akan berpengaruh baik dalam perkembangan
psikologisnya, sementara hubungan yang negatif diperkirakan dapat membuat tekanan
psikologis pada anak. Melihat pernyataan ini dapat dikatakan bahwa pada umumnya
mempunyai hubungan yang baik dengan ayah menjadi suatu hal yang penting untuk di
perhatikan karena menyangkut perkembangan psikologis anak terlebih untuk anak yang
masih di bawah umur 12 tahun.
Menjadi orang tua tunggal tentu saja tidak mudah bagi seorang ayah, yang
memberatkan lagi adalah anggapan dari masyarakat yang sering memojokkan para ayah yang
dianggap tidak maksimal kemudian hal tersebut dapat mempengaruhi pikiran seorang anak
(Dian, 2012). Namun menurut Lee, Khuser, dan Cho (2007) hubungan ayah dengan anak
perempuan justru menimbulkan efek yang positif dikaitkan dengan hasil prestasi akademik.
Sejalan dengan pernyataan Hanson (2007) bahwa remaja perempuan di Amerika dan Afrika
mengalami peningkatan prestasi akdemik setelah menjalin hubungan baik dengan ayahnya
6
(Barrett, 2006). Sejalan dengan pernyataan (Taufik, 2014), bahwa menjadi orang tua tunggal
harus menanggung semua kebutuhan anak seorang diri, terlebih jika seseorang itu bekerja
maka tidak dapat mengikuti dan melihat perkembangan anak secara maksimal. Pangkal
masalah yang sering dihadapi oleh seorang orang tua tunggal adalah masalah anak. Anak
akan merasa di rugikan dengan hilangnya salah satu orang yang berarti dalam hidupnya.
Anak yang di keluarga yang hanya memiliki orangtua tunggal cenderung kurang mampu
mengerjakan sesuatu dengan baik di bandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga
yang orang tuanya utuh. Hal tersebut dapat menimbulkan dampak yang kurang baik pada
anak di akibatkan oleh keadaan orang tuanya.
Bagi kebanyakan ayah mempunyai hubungan yang baik dan mendalam dengan anak
dapat mempengaruhi kesehatan emosional dan psikologis secara signifikan untuk ayah dan
juga untuk anak perempuan (Berry, dalam Morman & Floyd, 2006). Perilaku komunikasi
dimasa depan pada anak juga berpengaruh dari bagaimana kedekatannya dengan ayah pada
waktu kecil, keberhasilan dalam berpikir rasional dengan pasangan ketika sudah dewasa
nanti, berpengaruh pada prestasi dalam pendidikan. Bahkan McLanahan & Sindefur (1994)
menyatakan bahwa anak yang tumbuh tanpa peran seorang ayah akan cenderung sulit untuk
dapat lulus dari sekolah tinggi, dan memungkinkan terlibat dalam perilaku kriminal
(Morman & Floyd, 2006).
Hubungan antara ayah dengan anak sudah layak menjadi perhatian umum terutama
mengenai kualitas dalam hubungan antarpribadi di keluarga yang tidak ideal seperti adanya
perceraian atau kematian istri/suami. Kedekatan merupakan suatu aspek yang fundamental
dari sebuah hubungan antarpribadi orang tua dengan anak-anak mereka. Hubungan antara
ayah dengan anak ini tidak hanya sebatas dalam hitungan waktu hari, minggu, bulan, bahkan
tahun, namun mecakup waktu seumur hidup dan memainkan peran penting dalam
membentuk identitas antara ke dua individu. Karena kualitas hubungan antara ayah dengan
anak perempuan secara signifikan dapat mempengaruhi banyak hal yang penting bagi anak
perempuan. Misalnya; memahami pikiran atau pendapat antara ke dua individu dalam satu
waktu dan mendekatkan kepentingan dalam bernegosiasi suatu hal (Barrett, 2006).
Menurut Charmaz dalam Barrett (2006), hubungan antara ayah dengan anak perempuan
juga dapat memberikan pelajaran bagaimana menjalin hubungan dekat dengan orang lain
maupun pasangan ketika sudah menjadi dewasa nanti, pelajaran mengenai pengalaman
sehari-hari seperti; bermain dan olah raga atau mengerjakan tugas sekolah dan juga peristiwa
penting misalnya menikah dan melahirkan seorang keturunan. Kume (2015) juga mengatakan
7
bahwa ada efek positif perceraian karena adanya pertemuan rutin antara ayah dengan anak
perempuannya. Hak asuh bersama merupakan suatu hal yang sangat penting untuk anak yang
masih di bawah umur 16 tahun untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,
pelecehan seksual, odan kecenderungan perceraian ketika sudah memiliki pasangan suatu
saat nanti.
Penelitian sebelumnya juga banyak dilakukan pada anak yang berusia di bawah 16
tahun dan yang paling banyak menjadi responden adalah anak yang berusia 4-12 tahun
(Lamb, 2000). Pada usia seperti itu lebih mudah mendapatkan hasil yang akurat tetapi harus
terjun langsung ke lapangan dan observasi langsung dengan responden Finley and Schwartz
dalam Kume (2015). Jika dilihat dari perbedaannya dengan penelitian ini terdapat pada
obyeknya, penelitian sebelumnya yang menjadi responden adalah anak sedangkan penelitian
ini adalah ayahnya meskipun sama-sama fokus dengan anak yang berumur dibawah 12 tahun.
Mengenai pandangan masyrakat yang menganggap bahwa ayah yang menjadi orang tua
tunggal tidak bisa menghasilkan efek yang positif bagi anak perempuannya terutama anak
perempuan yang masih dibawah umur 12 tahun adalah suatu hal yang cukup memberatkan.
Namun pada kenyataannya keterlibatan ayah menjadi sangat penting dalam hal kemampuan
hubungan sosial (Kume, 2015). Namun Morman & Floyd (2006) meberikan pernyataan
bahwa peran sebagai ayah adalah meberikan cinta dan kasih sayang untuk anak, memberikan
ketersediaan untuk mengasuh, dan berperan langsung dalam mengasuh anak. Ketiga hal ini
cenderung dapat mengatasi hal berpikir anak secara rasional dan emosional sehingga
berpengaruh positif juga pada kemampuan hubungan sosial anak.
Naluri ayah dalam mengasuh anak tentu tidak seperti seorang perempuan. Namun,
demi sang buah hati, ayah harus bisa menjalankan peran tersebut ketika menjadi ayah
tunggal. Sebagai seorang single parent, peran ayah dalam keluarga tentu saja menjadi
lebih luas. Selain dituntut memegang peran pencari nafkah, ayah juga harus mengurus
berbagai keperluan rumah tangga.Yang paling penting, memastikan tumbuh kembangnya
anak berjalan dengan baik (Dian, 2012).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Algood, Beckert, dan Peterson (2012)
menghasilkan pernyataan bahwa keterlibatan pengasuhan seorang ayah berhubungan erat
dengan kesejahteraan psikologis anak perempuan mereka. Selain itu juga berkaitan dengan
peningkatan kepuasan hidup dan kepercayaan diri seorang anak perempuan. Merujuk pada
banyak penelitian sebelumnya yang dilakukan di negara barat mengenai efek dari perceraian
dan keterlibatan pengasuhan anak dapat disimpulkan bahwa keterlibatan ayah dengan anak
8
perempuannya menghasilkan efek yang positif setelah terjadinya perceraian. Sedangkan di
Indonesia sendiri banyak anggapan masyarakat yang melihat bahwa seorang ayah yang
menjadi orang tua tunggal kurang efektif dalam mengasuh seorang anak (Widaningsih,
2007). Terlebih anak perempuan yang umurnya masih antara 4-12 tahun. Banyak efek yang
terjadi dalam diri anak setelah terjadi perceraian orang tuanya. Misalnya kurangnya
kepercayaan diri, kurangnya kepuasan hidup, merasa harga dirinya rendah, dan cenderung
akan mudah memutuskan suatu hubungan ketika mereka sudah dewasa nanti dikarenakan
melihat apa yang sudah terjadi pada orang tuanya ketika ia masih kecil (Kume, 2015).
Hasil penelitian terhadap perkembangan anak yang tidak mendapat asuhan dan
perhatian ayah menyimpulkan, perkembangan anak menjadi pincang. Kelompok anak yang
tidak mendapat perhatian ayahnya cenderung memiliki kemampuan akademis menurun,
aktivitas sosial terhambat, dan interaksi sosial terbatas (Dagun, 1990).
Dilihat dari latar belakang di atas dapat ditarik kesimpulan untuk fokus penelitian ini
yaitu bagaimanakah komunikasi antarpribadi dalam memberikan pemahaman mengenai
perceraian dan keterlibatan ayah sebagai orangtua tunggal kepada anak perempuannya setelah
terjadinya perceraian. Karena keterlibatan ayah dapat merubah efek yang terjadi pada anak
setelah terjadinya perceraian. Peran dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan ayah pada
suatu saat nanti akan dapat mempengaruhi bagaimana anak akan bersikap, menjalani hidup,
bersosialisasi, dan meningkatkan kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis anak.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana komunikasi yang dijalin
anatara ayah dengan anak perempuannya mengenai pemahaman tentang perceraian dan
keterlibatan pengasuhan ayah sebagai orangtua tunggal kepada anak perempuannya setelah
terjadinya perceraian. Kemudian, ada dua manfaat dalam penelitian ini, yang pertama adalah
manfaat akademis yang diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai ilmu
komunikasi antarpribadi dalam sebuah keluarga yang terdapat orangtua tunggal. Yang kedua
adalah manfaat praktis yang diharapkan dapat menjadi masukan dan menambah pengetahuan
bagi seorang ayah sebagai orangtua tunggal tentang pentingnya komunikasi antarpribadi
kepada anak perempuan setelah terjadinya perceraian orangtuanya
2. TELAAH PUSTAKA
a. Komunikasi Antar Pribadi dalam Keluarga
Disetiap kehidupan seseorang pasti memiliki kehidupan yang selalu berhubungan dengan
keluarga. Keluarga merupakan kelompok yang mengidentifikasi diri dengan anggotanya
terdiri dari dua individu atau lebih, Keluarga adalah kelompok sosial terkecil yang
9
timbul akibat adanya perkawinan. Perkawinan adalah suatu kesatuan antara seorang laki
- laki atau lebih dengan seorang perempuan atau lebih dalam hubungannya dengan
suami istri yang di jamin oleh hukum (Prayoga & Hidayati, 2013).
Komunikasi antar pribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan
antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang dengan beberapa efek dan
beberapa umpan balik seketika. Komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi di dalam
diri sendiri, di dalam diri manusia terdapat komponen-komponen komunikasi seperti sumber,
pesan, saluran penerimaan dan balikan. Dalam komunikasi antar pribadi hanya seorang yang
terlibat. Pesan mulai dan berakhir dalam diri individu masing-masing. Komunikasi antar
pribadi mempengaruhi komunikasi dan hubungan dengan orang lain. Suatu pesan yang di
komunikasikan, bermula dari seseorang (Budyatna & Ganiem, 2011). Dari definisi tersebut,
peneliti menyimpulkan bahwa komunikasi antarpribadi adalah penyampaian pesan secara
langsung yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan dapat menimbulkan feedback dalam
waktu yang sama dan dapat mempengaruhi satu sama lain.
Menurut Cangara (2002), dilihat dari sifatnya komunikasi antarpribadi dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu komunikasi diadik dan komunikasi kelompok kecil.
Komunikasi diadik adalah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang dalam
situasi tatap muka. Sedangkan komunikasi kelompok kecil adalah komunikasi yang
berlangsung antara tiga orang atau lebih secara tatap muka dimana anggota-anggotanya
saling berinteraksi satu sama lainnya. Pada penelitian ini komunikasi yang dijalin adalah
komunikasi dua orang yaitu seorang ayah dengan seorang anak, jika dilihat dari sifatnya
termasuk dalam komunikasi diadik.
Komponen-komponen yang berperan dalam komunikasi antarpribadi adalah
komunikator, encoding, pesan, saluran atau media, komunikan, decoding, umpan balik,
gangguan, dan yang terakhir adalah konteks komunikasi (Cangara, 2002).
Keluarga adalah kelompok kecil yang memiliki pemimpin dan anggota, mempunyai
pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.
Keluarga adalah tempat pertama dan yang utama di mana anak-anak belajar. Dari keluarga
mereka mempelajari sifat keyakinan, sifat-sifat mulia, komunikasi dan interaksi sosial, serta
keterampilan hidup (Helmawati, 2014).
Komunikasi keluarga adalah suatu kegiatan yang pasti terjadi dalam kehidupan
keluarga. Tanpa komunikasi, sepilah kehidupan keluarga dari kegiatan berbicara, berdialog,
bertukar pikiran akan hilang. Akibatnya kerawanan hubungan antara anggota keluarga sukar
10
dihindari, oleh karena itu komunikasi antara suami dan istri, komunikasi antara orang tua
dengan anak perlu dibangun secara harmonis dalam rangka membangun hubungan yang baik
dalam keluarga (Djamarah, 2004).
Komunikasi antarpribadi dalam keluarga sangat penting karena dengan adanya
komunikasi antarpribadi antara sesama anggota keluarga maka akan tercipta hubungan yang
harmonis dan dapat diketahui apa yang diinginkan dan yang tidak di inginkan oleh salah satu
anggota keluarganya. Yang dimaksud dengan komunikasi antarpribadi dalam keluarga adalah
hubungan timbal balik antara anggota keluarga untuk berbagi berbagai hal dan makna dalam
keluarga. Tujuannya untuk mengetahui dunia luar untuk mengubah sikap dan perilaku
(Rejeki, 2008).
Teori ini berkaitan dengan pernyataan Kume (2015), yang mengatakan bahwa seorang
anak yang diasuh oleh orangtua tunggal akan bermasalah dalam hal perilakunya. Maka
penelitian ini ingin mengetahui bagaimana keterlibatan pengasuhan ayah sebagai orangtua
tunggal kepada anak perempuannya setelah terjadinya perceraian. Karena pendidikan yang
utama dan pertama bagi anak adalah keluarganya.
b. Pengasuhan Ayah Kepada Anak Perempuan
Komunikasi antarpribadi dalam keluarga menjadi sangat penting dan perlu diutamakan
karena latar belakang keluarga yang sudah tidak lagi ideal sebagaimana keluarga normal
lainnya yang anggotanya masih utuh. Fungsi komunikasi antarpribadi dalam keluarga ini
mengacu pada fungsi komunikasi sosial dalam hal keterlibatan pengasuhan seorang ayah
sebagai orang tua tunggal kepada anak perempuannya. Proses komunikasi antarpribadi ini
ditanamkan sejak dini agar di dalam kehidupan bermasyarakat tidak ada ketegangan dan
tekanan dikarenakan adanya pandangan masyarakat yang menilai bahwa seorang ayah tidak
bisa menjadi orang tua tunggal bagi anak perempuannya. Dalam sisi lain bahwa seorang ayah
yang mengasuh seorang diri dapat menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis anak
perempuannya ketika sudah menjadi dewasa. Cooper, dalam Kume (2015), menyatakan
bahwa keberhasilan anak perempuan menentukan karier ketika dewasa karena keterlibatan
pengasuhan seorang ayah. Hubungan yang dimiliki oleh seorang anak perempuan dengan
ayahnya menjadi hal yang sangat mempengaruhi hidupnya dan hubungan ini di mulai ketika
masih anak-anak sampai menjadi dewasa. Jika dibandingkan dengan hubungan anak
perempuan dengan pasangannya, maka hubungan antara ayah dengan anak perempuan akan
lebih memiliki pengaruh yang signifikan (Katorski, 2003).
11
Menurut Doherty, Kouneski, dan Erickson dalam Kume (2015), ada tiga dimensi
dalam pengasuhan ayah sebagai orang tua tunggal yaitu keterlibatan, tanggung jawab, dan
aksesibilitas. Keterlibatan yang dimaksudkan adalah sejauh mana seorang ayah mengalami
kontak langsung dan berbagi dengan anak-anaknya dalam konteks perawatan atau
pengasuhan, bermain, dan aktivitas sehari-hari. Selanjutnya, tanggung jawab adalah
bagaimana seorang ayah mengatur kebutuhan kehidupan anak-anaknya dari makanan dan
semua fasilitas yang diperlukan oleh anaknya. Yang terakhir, aksesibilitas dapat diartikan
sebagai kehadiran seorang ayah dan waktu yang diberikan kepada anaknya.
Keterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan anak dari bayi menciptakan efek yang
positif dan signifikan. Ketika seorang ayah diberikan kesempatan untuk mengekspresikan
kasih sayang mereka terhadap anak-anaknya, mereka akan lebih lembut dan lebih ekspresif.
Jika seorang anak di asuh oleh ayahnya sejak kecil, seorang anak akan lebih lekat terhadapa
ayahnya, namun jika anak di asuh pada masa sudah remaja atau dewasa maka mereka akan
lebih dekat pada suatu saat nanti atau jika memang sedang membutuhkan keterlibatan
seorang ayah (Parke, 1996). Kotelchuck (1976) mengatakan bahwa kemampuan hubungan
sosial yang baik dengan masyarakat juga merupakan efek lain dari keterlibatan seorang ayah
terhadap anak perempuannya.
Menurut pengertian di atas dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah obyek dari
penelitian ini yang berfokus pada ayah sebagai orang tua tunggal yang memiliki tiga anak
perempuan yang masing-masing usianya masih di bawah 12 tahun. Hal ini tentu saja mereka
di besarkan sejak kecil atau di asuh oleh ayahnya sejak kecil dan banyak pembelajaran utama
yang di dapatkan dari seorang ayah di bandingkan dari seorang ibu. Keterlibatan ayah dalam
pengasuhan lebih banyak di bandingakan seorang ibu.
Perkembangan anak yang dibesarkan dari keluarga utuh berlawanan dengan keluarga
yang yang bercerai. Karena anak yang dibesarkan dalam keluarga bercerai mempunyai
tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah, dan kurangnya
kepuasan dalam menjalani kehidupan berkeluarga atau menerima keadaan pernikahan
orangtuanya, dan pasti akan mempunyai masalah dalam hal perilaku dan tekanan mental
(Amato dan Keith, 1991).
Orang tua yang sudah bercerai namun masih saling mengasuh anak secara bersamasama akan berdampak lebih baik dibandingkan jika harus mempunyai orangtua yang bercerai
dan melakukan pengasuhan sendiri sebagai orang tua tunggal, karena hal ini akan
menimbulkan efek yang negatif dalam hal sikap sosial (Buserman, 2002). Melakukan
12
pengasuhan bersama tidak berarti berada dalam satu atap atau tinggal bersama dalam satu
rumah pada orangtua yang sudah becerai, namun masih saling berhubungan baik antar kedua
orangtua untuk membicarakan mengenai pengasuhan anak. Penelitian Wellerstein (2000)
mengungkapkan bahwa anak yang memiliki kontak konsisten atau berkomunikasi secara
rutin dengan orang tuanya yang tidak tinggal satu rumah akan menimbulkan efek yang positif
di bandingkan jika anak harus kehilangan kontak dengan orangtua mereka yang tidak tinggal
bersama dalam satu rumah. Hal ini berkaitan dengan perkembangannya psikologisnya dalam
menyesuaikan diri dengan kehidupan sekitar yang berbeda dengan apa yang di alaminya
setelah terjadinya perceraian antara kedua orang tuanya.
Sebaliknya, kurangnya kontak atau komunikasi yang efektif dengan orangtua setelah
terjadinya perceraian dapat menyebabkan rendahnya harga diri seorang anak, kurangnya
kepercayaan diri, hingga dapat menimbulkan depresi. Selain itu, ketika sudah dewasa atau
sudah menikah perceraian cenderung akan terulang kembali pada mereka. Anak-anak yang
dipisahkan dari orangtuanya atau sama sekali tidak memiliki kontak dan komunikasi yang
efektif dengan orang tuanya memiliki kecenderungan tinggi untuk mudah memutuskan
sebuah hubungan termasuk ketika sudah menikah nanti (Baker, 2007). Anak-anak yang
mempunyai latar belakang keluarga yang terganggu atau latar belakang perceraian pada
umumnya kurang bersosialisasi, mereka memiliki lebih sedikit teman dekat, mengahabiskan
lebih sedikit waktu dengan teman-temannya dan lebih sedikit berpartisipasi dalam kegiatan
bersama. Namun jika diamati pada anak laki-laki, hasilnya cenderung berbeda karena anak
laki-laki dari latar belakang perceraian memiliki kontak yang lebih besar dengan temantemannya (Parish, 1981).
Salah satu fungsi keterlibatan ayah kepada anak perempuannya adalah tentang
memilih pasangan ketika sudah menjadi dewasa nanti. Laki-laki pertama yang di lihat dan
dikenal dekat oleh anak perempuan adalah ayahnya. Ayah sangat berperan dalam
mambangun kepercayaan diri dalam hubungan sosial dengan lawan jenis ketika sudah remaja
atau dewasa nanti (Williamson, 2004). Wyckoff dalam Kume (2015), mengatakan bahhwa
keterlibatan ayah berdampak lebih besar dalam pemilihan pasangan ketika sudah dewasa
nanti, sedangkan ibu lebih pada bagaimana mengajarkan agar seorang anak dapat menjalin
hubungan yang baik dengan pasangannya. Barrett (2006) memberikan pernyataan bahwa
menjalin hubungan yang baik dengan pasangan kuncinya adalah benar-benar konsekuen
dengan hubungan yang sedang di jalani.
13
Lee, Kusher, dan Cho (2007) mengatakan bahwa hubungan yang baik antara ayah
dengan anak perempuannya akan memberikan efek yang positif dalam peningkatan hasil
prestasi akademik. Sedangkan Nielsen (2011), menyebutkan bahwa beberapa dekade ini
hubungan ayah dengan anak akan rusak dikarenakan perceraian kedua orang tuanya bukan
dikarenakan hanya sebatas adanya masalah antara ayah dengan anak. Dengan demikian
memahami komunikasi antarpribadi ayah sebagai orang tua tunggal dengan anak
perempuannya mengenai keterlibatan pengasuhan dalam hal perkembangan kedekatan
mereka sudah dilakukan oleh (Barrett, 2006). Peneliti tertarik untuk mengetahui keterlibatan
pengasuhan ayah sebagai orang tua tunggal kepada anak perempuannya akibat terjadinya
perceraian. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus komunikasi antarpribadi di
Desa Kwangsan, Kecamatan Jumapolo.
3. METODE
Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif Kualitatif untuk mendeskripsikan dan
menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi, pemikiran
orang-orang secara individual maupun kelompok (Sukmadinata, 2013), yaitu untuk
mengetahui bagaimana komunikasi antarpribadi mengenai perceraian dan keterlibatan
seorang ayah yang menjadi orangtua tunggal kepada anak perempuannya setelah terjadinya
perceraian. Penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling dengan kriteria sebagai
berikut; 1) Seorang ayah yang menjadi orangtua tunggal di Desa Kwangsan, Kecamatan
Jumapolo dengan latar belakang akibat terjadinya perceraian hidup, 2) mempunyai anak
perempuan yang berusia kurang dari 12 tahun yang sedang dalam pengasuhan ayah. Dari
kriteria tersebut ada 3 orang yang terpilih sebagai informan dalam penelitian ini.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara dan
observasi. Wawancara ini bersifat semi-tersruktur karena terbatasnya waktu. Proses
pelaksanaan wawancara dilakukan pada bulan Mei 2016, dan direkam dengan media perekam
audio untuk memudahkan. Proses wawancara ini menggunakan bahasa Jawa karena informan
adalah orang yang terbiasa menggunakan bahasa Jawa, sehhingga diharapkan akan ada
kedekatan emosional antara peneliti dan informan. Kemudian hasilnya akan diterjemahkan
sendiri oleh peneliti menggunakan bahasa Indonesia dikarenakan peneliti sudah fasih dalam
berbahasa Jawa. Jenis observasi dalam penelitian ini adalah observasi non partisipatif karena
peneliti tidak terlibat langsung dalam keluarga tersebut namun peneliti memiliki pemahaman
mengenai kondisi keluarga yang bercerai karena peneliti adalah salah satu dari anak yang
orangtuanya mengalami perceraian tetapi dalam pengasuhan Ibu. Dalam penelitian ini data
14
diperoleh dari tiga orang informan. Informan yang menjadi sumber data primer adalah ayah
yang menjadi orangtua tunggal yang kesemuanya mempunyai anak perempuan dalam
pengasuhan mereka.
Analisis data dilakukan dengan cara memberikan kode pada tema-tema yang muncul
agar menjaga kerahasiaan data diri informan. Selanjutnya dilakukan kategorisasi terhadap
tema-tema tersebut guna menemukan jawaban penelitian. Adapun kode-kodenya sebagai
berikut;
-
Wawancara dengan informan 1: Wawancara dengan informan pertama yang
mempunyai anak perempuan kelas 4 SD dan bekerja di sekitar rumahnya.
-
Wawancara dengan informan 2: Wawancara dengan informan ke dua yang
mempunyai anak perempuan di bawah umur 5 tahun yang masih PAUD dan
bekerja sebagai Guru SMP.
-
Wawancara dengan informan 3: Wawancara dengan informan ke tiga yang
mempunyai anak perempuan kelas 3 SD dan bekerja di rumah membuka cuci
mobil.
-
Pa (Poin A): Proses komunikasi antar pribadi dalam keluarga
-
Pb (Poin B): Keterlibatan dalam pengasuhan
-
Pc (Poin C): Tanggung jawab orangtua tunggal dalam mengasuh anak perempuan
-
Pd (Poin D): Aksesibilitas
-
1,2,3...dst : Nomor percakapan dengan informnan
Teknik analisis data penelitian ini menggunakan model analisis Miles dan Huberman,
dimana kegiatan analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan,
yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi sesuatu yang
jalin menjalin merupakan proses siklus dan interaktif pada saat sebelum, selama, dan sesudah
pengumpulan data dalam bentuk sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut
“analisis” (Silalahi, 2012).
Validitas data dalam penelitian ini menggunakan teknik Trianggulasi. Teknik
Trianggulasi adalah teknik yang menganalisis jawaban subjek dengan meneliti kebenarannya
dengan data empiris atau sumber data lainnya yang tersedia (Kriyantono, 2010). Teknik
Trianggulasi yang di gunakan dalam penelitian ini adalah teknik Trianggulasi sumber, yaitu
membandingkan atau mengecek ulang derajad kepercayaan suatu informasi yang di peroleh
dari sumber yang berbeda.
15
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian diperoleh empat kategori dalam pengasuhan seorang ayah sebagai
orangtua tunggal terhadap anak perempuannya, yakni; (1) proses komuikasi antarpribadi
dalam keluarga, (2) keterlibatan, (3) tanggung jawab, dan (4) aksesibilitas. Berikut ini
dipaparkan secara terperinci untuk masing-masing tema.
a. Proses Komunikasi Antarpribadi dalam Keluarga
Informan dalam penelitian ini menyatakan bahwa, pada umumnya ada saudara yang yang
dapat mengisi sosok keibuan untuk anak perempuan dari seorang ayah yang menjadi orangtua
tua tunggal untuk membantu mengasuh ketika ditinggal bekerja. Namun ada satu informan
yang menyatakan bahwa anak perempuannya tidak mempunyai kedekatan dengan perempuan
lain dikarenakan memang keadaan mereka yang dalam satu rumah hanya ada ayah dengan
anak perempuan tersebut.
“Perempuan yang paling deket ya paling mbak titin. Heem..soale yang di rumah kan
cuma itu, lainnya kan merantau. Cuma nek pas pulang ya deket semua dek. Kaya nek
pas lebaran, ya cedak kabeh (Perempuan yang paling deket ya paling mbak titin.
Heem..soalnya di rumah kan Cuma itu, lainnya kan merantau. Cuma kalau lagi
pualang ya dekat semua dek. Kaya pas lebaran ya dekat semua)” – (Wawancara
dengan informan 3/Pa, 4. Tanggal 26 Mei 2016)
Dari kutipan wawancara di atas nampak bahwa ada perempuan yang dekat dengan
anak perempuan yang sedang dalam pengasuhan ayahnya sebagai orangtua tunggal. Dalam
kesehariannya anak perempuan biasanya dekat dengan tante dan neneknya, kerena memang
masih dalam satu lingkungan rumah. Meskipun ketika hari-hari tertentu seperti lebaran anak
perempuan dekat dengan keluarga lain, namun hal ini terjadi dalam beberapa waktu saja,
artinya tidak setiap hari. Jadi, bisa dikatakan bahwa anak perempuan tersebut menjalin
kedekatan hanya dengan satu orang perempuan tidak dengan banyak orang (perempuan lain).
“Ora! kae lak mbahe enek, enek kancane momong. Nek aku kui ora enek, yo neng
omah kan muk wong 2. (enggak! itu kan ada neneknya, ada temennya mengasuh.
Kalau aku gak ada. Ya di rumah kan cuma berdua)” – (Wawancara dengan informan
1/Pa, 15. Tanggal 17 Mei 2016)
Menurut pernyataan informan pertama di atas, menunjukkan bahwa salah satu anak
perempuan tidak mempunyai kedekatan dengan perempuan lain. Karena dalam satu rumah
hanya terdapat dua orang saja, yaitu ayah dan anak perempuannya. Dan kebetulan dil
ingkungan tempat tinggalnya tidak saling berdekatan dengan rumah yang lain. Meskipun
16
mempunyai banyak kerabat perempuan, dan jangkauan antar rumahnya tidak jauh namun
menurut observasi peneliti untuk menguatkan wawancara, anak perempuan ini juga tidak
mempunyai kedekatan dengan perempuan lain.
Mengasuh anak secara mandiri tentu saja tidak mudah, terlebih bagi seorang ayah.
Menjadi orangtua tunggal tidak semudah jika menjadi orangtua yang bersama-sama
mengasuh dan membesarkan anak berdua dengan pasangan atau istri. Kesulitan dan
hambatan sering menjadi masalah dalam menjalani proses pengasuhan, terlebih seorang ayah
dengan anak perempuan yang masih kecil. Mengasuh dan mendidik anak kecil tidak semudah
jika di bandingkan dengan mengasuh anak yang sudah remaja dalam konteks pengasuhan
sehari-hari seperti mandi, mencuci pakaiannya, dan menyiapkan makannya. Jika sudah
remaja atau anak yang sudah besar tentunya mereka akan lebih bisa melakukannya dirinya
sendiri tanpa harus memerlukan bantuan orangtuanya. Namun ketika anak masih kecil atau
kurang dari 12 tahun terkadang makan, menyiapkan makanan, dan mandi masih memerlukan
bantuan orangtuanya (Taufik, 2014).
Terkait dengan masalah kesulitan dan hambatan menjadi orangtua tunggal ini pada
umumnya ayah dari anak perempuan yang masih kecil ini tidak di jadikan sebuah hambatan
dan kesulitan. Karena memang keadaan yang mengharuskan mereka menjadi orangtua
tunggal. Maka dari itu mereka harus dapat menerima dengan baik dan menyesuaikan keadaan
agar tidak menjadi beban bagi mereka. Jadi, ketika menjalani peran ganda mereka sebagai
orangtua tunggal akan merasa lebih nyaman mengingat semua peran yang di lakukan adalah
sebuah tanggung jawab. Berikut kutipan wawancaranya;
“Nek masalah kesulitan kesusahan, yo biasa sih yo, mergo keadaan kui dadi wes
terbiasa. Dadi kudu menyesuaikan kabeh..si anak yo di mandiin gampang, nyiapke
susu yo gampang, di sisir i rambute yo gampang..dadi yo muk menyesuaikan dadine
luwih pena, nyantai. (kalau masalah kesulitan kesusahan, ya biasa sih ya, karna
keadaan itu jadi udah terbiasa, jadi harus menyesuaikan semuanya. Anak ya mudah
di mandiin, nyiapin susu juga mudah, menyisir rambut juga mudah. Jadi cuma
menyesuaikan jadi lebih enak, santai)” – (Wawancara dengan informan 2/Pa, 8.
Tanggal 17 Mei 2016)
Dalam keluarga dipenelitian ini, ketiganya mempunyai latar belakang yang sama
yaitu perceraian (perpisahan antara kedua orangtuanya). Melihat latar belakang tersebut
tentunya anak perempuan ini masih mempunyai sosok ibu meskipun sedang jauh atau sedang
tidak bersama menjadi kekuarga yang ideal pada umumnya. Dari wawancara ini di temukan
17
hasil yang sama yaitu ketiga ayah yang menjadi orangtua tunggal tidak melibatkan ibu
(mantan istri) untuk memberikan pengertian dan pemahaman kepada anak perempuannya
mengenai keadaan yang sedang mereka jalani.
Alasan mereka tidak melibatkan peran istri dalam proses komunikasi antar pribadi ini
karena memang antara anak dengan ibunya sudah jarang melakukan komunikasi dan jarang
bertemu. Atau komunikasi namun hanya pada waktu tertentu dan tidak memiliki jadwal yang
tetap. Mengingat bahwa ibu dari anak perempuan dan ayah sebagai orangtua tunggal ini
sudah saling memiliki kesibukan sendiri-sendiri, selain itu ayah juga tidak mengharuskan
ibunya (mantan istri) untuk selalu menghubungi anak perempuannya dengan alasan agar
menjadi inisiatif dari mantan istri. Walaupun seorang ayah tidak membatasi anak untuk
berkomunikasi dengan ibunya termasuk juga untuk bertemu. Seperti yang disampaikan pada
wawancara berikut;
“Oh..enggak. Ora enek..nek komunikasi yo wes biasa..wes nduwe urusan dewe-dewe
dadi yo ratau komunikasi meneh (Gak ada. Komunikasi ya udah biasa..udah punya
urusan sendiri-sendiri jadi udah nggak pernah komunikasi lagi)” – (Wawancara
dengan informan 12/Pa, 10. Tanggal 17 Mei 2016)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang ayah yang menjadi orangtua tunggal
mempunyai cukup kedekatan dengan anak perempuannya. Melihat bahwa mereka adalah
keluarga yang tidak ideal, maka ayah mempunyai cara tersendiri untuk menjalin komunikasi
antar pribadi dengan anak perempuannya. Umumnya seorang ayah tidak memberikan
pengertian mengenai perceraian, namun dengan cara memberi pemahaman mengenai
pekerjaan ibunya. Sejalan dengan pernyataan Josep A. Devito dalam Cangara (2002), bahwa
komunikasi antar pribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua
orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang dengan beberapa efek dan beberapa
umpan balik seketika. Respon atau umpan balik yang didapatkan dari anak perempuan cukup
bagus. Walaupun terkadang masih menanyakan sosok ibunya, menjadi hal yang wajar
sebagai naluri anak kecil yang masih kurang dari 12 tahun. Karena pada masa-masa seperti
ini sebenarnya sosok ibu adalah sosok yang sangat penting kehadirannya.
Menurut sifatnya, komunikasi yang dijalin antara ayah dengan anak perempuan ini
adalah komunikasi diadik, karena proses komunikasinya berlangsung antara dua orang secara
tatap muka (Cangara, 2002). Adanya anggota keluarga lain dalam keluarga ini namun ayah
sebagai orang tua tunggal meskipun berperan ganda tetapi tidak melibatkan orang lain.
Dalam menjalin komunikasi antar pribadi dengan anak perempuannya.
18
b. Keterlibatan Pengasuhan Ayah Sebagi Orang Tua Tunggal
Menjadi orangtua tunggal dan melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri yang artinya
tanpa ditemani oleh pasangan (istri) dan berperan ganda dalam memenuhi kebutuhan
keluarga memang cukup berat. Karena adanya tanggung jawab yang harus di penuhi oleh
seorang ayah dalam keluarga tentunya harus dapat menyesuaikan keadaan.
“Yoo kan, pa yaa..istilahe kan..kita kan jaman saiki ada laundry yaa..kita untunge kan
disitu ya dek. Dadi ya wes kaya pakaian e gitu ya wes praktis ya dek..jadi paling ya
Cuma nyiapne sabune, odole, nek entek yo ditukokne..tapi kan yo wes iso mandi
dewe..nganggo baju dewe..paling nek kurang rapi yaa di rapiin pake.. Yoo yoo iyoo..
yo emang kudu saya akui..saya mandiri gitu dek..yo dari segi maem dari segi pakaian
yo tak siapkan lah yoo.. (ya kan jaman sekarang udah ada laundry, udah praktis,
untungnya sih disitu ya dek..jadi paling cuma nyiapin sabun, pasta gigi, kalo habis ya
dibeliin, kan udah bisa mandi sendiri, pake baju sendiri..cuma kalo belum rapi ya
dirapiin bapak..saya akui saya mandiri dek dari segi pakaian, makanan, semua saya
siapin)” – (Wawancara dengan informan 3/Pb, 2-3. Tanggal 26 Mei 2016)
Menurut kutipan wawancara dengan informan yang ke tiga di atas, seorang ayah
terlibat langsung dalam mengasuh anak, meskipun ada anggota lain di rumah namun mereka
sudah mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sehingga ayah sebagai orangtua tunggal tidak
melibatkan oranglain dalam hal pengasuhan, kecuali dalam keadaan mendadak sedang
ditinggal bekerja atau pergi.
Seiring kemajuan jaman, ayah juga memanfaatkan jasa laundry untuk membantu
mencucikan pakaiannya. Dan ketika anak belum rapi, ayah yang berperan langsung untuk
merapikan pakaian anak perempuannya. Menjadi orangtua tunggal memang dituntut harus
selalu mandiri dalam segala hal termasuk berperan langsung dalam kebutuhan anak
perempuan.
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting, terlebih bagi anak yang masih
di bawah umur 12 tahun pendidikan dasar adalah yang utama. Namun pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi menjadi sebuah kebutuhan bagi anak dan juga tanggung jawab bagi
orangtuanya. Meskipun menjadi orangtua tunggal, ketiga informan dalam penelitian ini
sangat memprioritaskan pendidikan untuk anak perempuannya. Ketika suatu saat nanti anak
meminta untuk sekolah setinggi apapun maka akan di usahakan, karena sudah seharusnya
menjadi tanggung jawab orangtua untuk memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya untuk
anaknya. Kemudian, dalam merencanakan fasilitas pendidikan, ayah sebagai orangtua
19
tunggal tidak melibatkan mantan istri (ibu dari anak perempuan) untuk ikut dalam
memberikan fasilitas pendidikan. Yang artinya adalah ayah tidak meminta kepada mantan
istri namun jika anak diberikan fasilitas pendidikan oleh ibunya juga tidak menghalangi agar
diterima dengan baik oleh anak perempuannya. Beri kut kutipan wawancara dengan informan
ke tiga;
“Nek menurut pribadi saya itu kan namanya pendidikan itu kan utama ya dek ya..jadi
istilahe..semaksimal saya..jadi yaa..ke jenjang yang lebih tinggi lah yaa misal
pendidikan..mosok iyo pake koyo ngene anake ngko ya kaya ngene ngko
kan..hehe..ngono prinsipku dek..yo asalkan ada niat pasti Allah memberi jalan ngono
wae dek..masalah biaya pendidikan itu.. (kalau menurut pribadi saya pendidikan itu
kan yang utama ya dek ya..jadi istilahnya semaksimal mungkin ke jenjang yang lebih
tinggi..masak bapaknya kaya gini nanti anaknya ya ikut kaya gini hehe..gitu prinsipku
dek..ya asalkan ada niat pasti Allah memberi jalan kalo masalah biaya pendidikan
itu..) – (Wawancara dengan informan 3/Pb, 5. Tanggal 26 Mei 2016)
Keterlibatan pengasuhan dari penelitian ini menemukan hasil bahwa ayah sebagai orangtua
tunggal terlibat langsung dalam pengasuhan anak perempuannya. Menurut Doherty,
Kouneski, dan Erickson 1998 dalam Kume (2015), keterlibatan adalah sejauh mana seorang
ayah mengalamai kontak langsung dan berbagi dengan anak-anaknya dalam konteks
perawatan, pengasuhan, bermain, dan aktivitas sehari-hari. Teori ini sejalan dengan hasil
tujuan penelitian ini bahwa seorang ayah mengalami kontak langsung dengan anak
perempuannya dalam berbagai macam hal yaitu menyiapkan makanan, menyiapkan pakaian,
dan berbagai macam keperluan anak perempuannya dilakukan secara mandiri walaupun
dalam satu rumah ada anggota keluarga lain.
Menurut Parke (1996), jika seorang anak di asuh oleh ayahnya sejak kecil, seorang
anak akan lebih lekat terhadapa ayahnya, namun jika anak di asuh pada masa sudah remaja
atau dewasa maka mereka akan lebih dekat pada suatu saat nanti atau jika memang sedang
membutuhkan keterlibatan seorang ayah. Peneliti menemukan hasil yang berkaitan dengan
teori ini dilihat dari observasi memang anak perempuan ini lebih dekat dengan ayahnya jika
dibandingkan dengan anggota keluarga lain walaupun sama-sama sebagai perempuan.
c. Tanggung Jawab
Peran ganda memang sudah identik dengan seorang ayah yang menjadi orangtua tunggal.
Tanggung jawab yang di pikul terbilang juga cukup berat. Ketika ayah harus bekerja di luar
20
rumah dan meninggalkan anak demi pemenuhan kebutuhannya, maka tanggung jawab ayah
adalah memastikan bahwa anak sudah mengerti dan di titipkan kepada anggota keluarga lain.
“Yo.. yowes pamit..pamit biasa.. Yoo..kan enek manda iki..kadang tak titipne..trus
Cuma aku kan berusaha kudu mulih ngono dek..jadi misal lungo esuk, sore kudu
mulih dek..aku yo titip karo mbak titin..jadi titip sak mulihku..tak kon nyiapke maeme
barang..yo kadang Cuma tak tinggali duit..nyoh urusono..aku kan muk ngono
dek..(yaudah ak pamitin biasa..ya kan kadang ada manda..kadang aku titipin tp aku
berusaha juga kudu pulang enggak nginep, berangkat pagi sore kudu udah pulang
dek..aku titip sampai aku pulang..tak suruh nyiapain maemnya juga..ya kadang cuma
aku tinggalin uang biar diurusin sama dia, cuma gitu aja dek)” –(Wawancara dengan
informan 3/Pc, 2-3. Tanggal 26 Mei 2016)
Seperti kutipan wawancara di atas, ketika ayah sedang pergi maka anak di titipkan
kepada tantenya. Namun selalu berusaha agar sore tetap pulang, artinya tidak harus menginap
di luar dan meninggalkan anak dengan waktu yang cukup lama. Bentuk tanggung jawab ayah
sebagai orangtua tunggal ketika akan pergi di sini yaitu memberikan uang agar di belikan dan
di siapkan makanan dan semua kebutuhan untuk anak perempuannya. Begitu pula pada ayah
yang lain, mereka mempersiapkan segala sesuatunya yang di butuhkan anak seperti susu,
makanan, dan pakaian. Jadi ketika di titipkan pada neneknya semua sudah siap agar tidak
terlalu merepotkan orang lain.
Namun ada satu keluarga yang memang karena keadaan hanya dua orang, yaitu ayah
dengan anak perempuan. Maka ketika anak sedang sekolah dan ayah bekerja diluar rumah,
sebelumnya anak di berikan pengertian dan memberitahukan dimana ayahnya sedang bekerja,
agar nanti ketika anak perempuan itu sudah pulang dari sekolah, anak menyusul ke tempat
ayahnya bekerja dan sebelumnya sudah di siapkan makanan dirumah. Jadi, ketika ayah
sedang pergi memastikan bahwa dirumah sudah ada makanan untuk anak perempuannya.
Berikut adalah kutipan wawancara dengan informan pertama mengenai tanggung jawab
ketika sedang meninggalkan anak perempuan dirumah;
“Iyo sakwene gede iki .. ngko mulih sekolah nyusul, tak kandani tak kon maem sek ...
tak kon golek dewe wes tak cepakne ngono..Iyo wes tak cepaki panganan..yo nek esuk
tetep wes tak gawekne sarapan (Iya waktu udah gede ini kalau pulang sekolah nyusul,
saya bilang dulu saya suruh makan..cari sendiri udah saya siapin..sudah saya siapin
juga setiap pagi saya bikinkan sarapan)” –(Wawancara dengan informan 1/Pc, 1-2.
Tanggal 17 Mei 2016)
21
Menjadi orangtua tungal memang harus bertanggung jawab untuk berperan ganda. Tanggung
jawab disini meliputi pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan masa depn atau
fasilitas yang akan diberikan kepada anak. Doherty, Kouneski, dan Erickson (1998),
mengatakan bahwa tanggung jawab adalah bagaimana seorang ayah mengatur kebutuhan
kehidupan anak-anaknya. Hasil temuan penelitian ini adalah ayah sebagai orangtua tunggal
akan memberikan fasilitas yang sebaik-baiknya dalam hal pendidikan. Namun dalam konteks
kehidupan sehari-hari, pemberian fasilitas di prioritaskan untuk kebutuhan yang penting,
karena mengingat seorang ayah harus secara mandiri dalam mengasuh anak dan sekaligus
untuk menanmkan pembelajaran menabung bagi anak.
d. Aksesibilitas
Aksesibilitas adalah kehadiran seorang ayah dan waktu yang diberikan kepada
anaknya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini bahwa setiap hari ada waktu dimana
orangtuanya menemani kegiatan rutin anak perempuannya. Sekedar meluangkan waktu untuk
bermain atau berinteraksi/berkomunikasi agar anak tidak merasa kesepian. Hasil wawancara
dengan tiga orang ini ketiganya pada umumnya sama, yaitu setiap hari menemani belajar,
bermain, dan menemani aktivitas rutin anak perempuannya. Waktu disini juga menjadi
prioritas seorang ayah sebagai orangtua tunggal mengingat mereka adalah keluarga yang
tidak ideal maka membuat merasakan kehadiran orangtuanya menjadi sangat penting.
Bagi anak perempuan seusia mereka, pada masa ini adalah masa-masa yang sedang
sangat membutuhkan teman yang banyak namun tidak selalu ada. Aksesibilitas menjadi
sangat penting dan perlu diprioritaskan oleh seorang ayah yang menjadi orangtua tunggal.
Menemani setiap kegiatan anak ketika mempunyai waktu luang adalah hal yang dirasa
menjadi kewajiban. Latar belakang perceraian atau perpisahan kedua orangtua dari anak
perempuan ini akan berpengaruh pada perkembangannya. Maka sebisa mungkin setiap hari
seorang ayah yang menjadi orangtua tunggal meluangkan waktu untuk anak perempuannya,
seperti pada kutipan wawancara berikut ini dengan informan ke 3;
“Iyaa setiap hari dek, tapi nek hari-hari biasa paling bar maem yoo sinau diluk. Bar
sinau diluk ngko kita kasih batasan waktu jam setengah 9 kudu bobok. Kadang nek
wes sore wes santai wes tutup ngene iki kan yoo..pengen tuku susu..kadang pengen
jajan..paling ya gur kui. Paling minta waktu bersama pas ngonokui dek..nek dekne
pengen tuku susu pengen tuku jajan ngono uwes..barkui gek nonton tv mainan
ngonokui..karo mbah kakung juga kadang..(setiap hari kita bareng dek..kalo hari biasa
habis maem sore gini ya belajar bentar..abis belajar nanti kita kasih batasan waktu
22
sampe jam setengah 9 trus bobok. Kadang juga kalo sore udah santai kaya gini minta
beli susu minta beli jajan aku anterin abis itu nonton tv, sama mbah kakungnya juga
kadang) – (Wawancara dengan informan 3/Pd, 1-2. Tanggal 26 Mei 2016)
Seorang anak terutama yang masih kecil atau dibawah umur 12 tahun adalah waktuwaktu dimana anak sangat membutuhkan peran ibunya. Kemudian keadaan dalam keluarga
ini anak harus berpisah dan jauh dari ibunya. Maka tugas seorang ayah sebagai orangtua
tunggal adalah selalu memberikan waktu untuk anak perempuannya setiap hari agar anak
tidak merasa kesepian dengan latar belakang yang disebabkan karena perpisahan antara
kedua orangtuanya. Aksesibilitas yang disebutkan oleh Doherty, Kouneski, dan Erickson
(1998) adalah kehadiran seorang ayah dan waktu yang diberikan kepada anaknya. Hal ini
selaras dengan hasil penelitian ini bahwa setiap hari ayah sebagai orangtua tunggal selalu
meluangkan waktu untuk anak perempuannya dan selalu menemani kegiatan rutinnya setiap
hari. Seperti misalnya mengantar TPA dan sekolah, atau membimbing belajar, dan sekedar
bersepeda bersama. Kegiatan ini akan membuat anak merasa tidak kesepian karena keadaan
keluarganya yang tidak ideal.
Pederson dan Robson dalam Kume (2015), juga menyatakan bahwa selain frekuensi
pengasuhan dari seorang ayah yang menjadi orangtua tunggal kepada anak perempuannya,
interaksi bermain antara ayah dan anak lebih penting karena untuk membentuk penghargaan
antara anak dengan ayah. Kaitannya dengan penelitian ini adalah mengenai waktu yang di
berikan untuk anak memang lebih banyak dalam kesehariannya dan di anggap prioritas
karena fokus dalam kehidupan keluarga pada ketiga informan ini hanya untuk anak
perempuannya saja.
Tidak diragukan lagi bahwa ayah itu berperan penting dalam perkembangan anaknya
secara langsung. Mereka dapat membelai, mengadakan kontak bahasa, berbicara atau
bercanda dengan anaknya. Semuanya itu akan sangat mempengaruhi perkembangan anak
selanjutnya. Ayah juga dapat mengatur serta dapat mengarahkan aktivitas anak. Misalnya
menyadarkan anak bagaimana menghadapi lingkungannya dan situasi di luar rumah. Ia
memberi dorongan, membiarkan anak mengenal lebih banyak, melangkah lebih jauh,
menyediakan perlengkapan permainan yang menarik, mengajari mereka membaca, mengajak
anak untuk memperhatikan kejadian-kejadian dan hal menarik di luar rumah serta mengajak
anak berdiskusi. Semua tindakan ini adalah cara ayah atau orang tua tunggal untuk
memperkenalkan anak dengan lingkungan hidupnya dan dapat mempengaruhi anak dalam
23
menghadapi perubahan sosial dan membantu perkembangan kognitifnya di kemudian hari
(Dagun, 1990).
5. PENUTUP
Keterlibatan pengasuhan orangtua tunggal dengan anak perempuannya setelah terjadinya
perceraian meliputi tiga hal yaitu keterlibatan, tanggung jawab, dan aksesibilitas. Ayah
sebagai orangtua tunggal terlibat langsung dan berperan ganda dalam mengasuh anak
perempuannya. Tanggung jawab ayah sebagai orangtua tunggal setelah perceraian untuk
mengasuh anaknya adalah mengenai tanggung jawab pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan
perencanaan pendidikan masa depan akan ditanggung secara mandiri dan tidak melibatkan
mantan istri atau ibu dari anak perempuannya karena jika sudah dalam pengasuhan ayah
maka akan menjadi tanggung jawab ayah. Yang terakhir mengenai aksesibilitas, yang artinya
adalah waktu dimana seorang ayah sebagai orangtua tunggal memeberikan waktu untuk anak
perempuannya setiap hari agar tidak merasa kesepian akibat latar belakang kedua
orangtuanya yang sudah bercerai. Seorang ayah setiap hari selalu meluangkan waktu untuk
menemani aktivitas dan kegiatan rutin anak perempuannya.
Mengingat keterbatasan penelitian ini yang hanya menggunakan 3 informan maka
untuk penelitian selanjutnya agar dilakukan kajian mengenai objek yang cakupan
informannya lebih luas dan melibatkan anak perempuan yang sudah memasuki umur remaja
untuk dijadikan informan. Agar mendapatkan hasil yang lebih maksimal mengenai
pengasuhan ayah sebagai orangtua tunggal dan dapat dicari informan yang lebih banyak.
Karena keterbatasan penelitian ini maka untuk penelitian selanjutnya diharapkan tidak hanya
berfokus karena latar belakang perceraian saja namun juga karena keadaan lain seperti
kematian istri atau atau ibu dari anak. Tidak hanya ayah yang dapat diteliti menjadi orangtua
tunggal, begitupun ibu yang menjadi orangtua tunggal dikarenakan latar belakang perceraian
maupun kematian seorang suami atau ayah dari anak.
PERSANTUNAN
1. Ibu Palupi, M.A selaku pembimbing skripsi.
2. Ketiga informan peneliti yang sudah membantu penelitian ini.
3. Bapak Giyanto, Ibu Giyarni, dan Tia yang menjadi tempat pulangku.
4. Sahabat-sahabatku.
5. Mas Teguh Hendrawan yang selalu menemani.
24
DAFTAR PUSTAKA
Barrett, E. (2006). Turning points of closeness in the father/daughter relationship. Journal of
Chemical
Information
and
Modeling,
53(9),
1689–1699.
http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Budyatna, M., & Ganiem, L. M. (2011). Teori Komunikasi Antar Pribadi (1st ed.). Jakarta:
Kencana.
Cangara, H. (2002). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Dagun, S. M. (1990). Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.
Dian, S. (2012). Peran Ayah Sebagai Orang Tua Tunggal Dalam Keluarga (Studi Kasus 7
Orang Ayah Di Kelurahan Turikale Kabupaten Maros). Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Hasanuddin Makassar
Djamarah, S. B. (2004). Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga. Jakarta: Rineka
Cipta.
Helmawati. (2014). PENDIDIKAN KELUARGA Teoretis dan Praktis. (N. N. Muliawati, Ed.)
(1st ed.). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Katorski, J. (2003). Father / Daughter Relationships : Effects of Communicative Adaptability
and Satisfaction on Daughter ’ s Romantic Relationships, 1–6.
Kriyantono, R. (2010). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Kume, T. (2015). The Effect of Father Involvement in Childcare on the Psychological Wellbeing of Adolescents: A Cross-Cultural Study. New Male Studies: An International
Journal, 4(1), 38–51.
Morman, M., & Floyd, K. (2006). Good Fathering: Father and Son Perceptions of What It
Means to Be a Good Father. Fathering: A Journal of Theory, Research, and Practice
about Men as Fathers, 4(2), 113–136. http://doi.org/10.3149/fth.0402.113
Parish, T. S. (1981). The impact of divorce on the family. Adolescence, 16(63), 577–586.
http://doi.org/10.1007/BF01434640
Prayoga, S. A. (2013). Pola Pengasuhan Anak Pada Keluarga Orangtua Tunggal (Studi
Pada 4 Orangtua Tunggal di Bandar Lampung). Universitas Lampung.
Prayoga, S. A., & Hidayati, D. A. (2013). Pola Pengasuhan Anak Pada Keluarga Single
Parent. Jurnal Sociologie, Vol. 1, No, 106–113.
Purbasari, D., & Putri, K. (2015). Pembagian Peran Dalam Rumah Tangga. Fakultas
Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. 16(1), 72–85.
Rejeki, Sry Ayu. (2008). Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal dalam Keluarga
25
dengan
Pemahaman Moral pada Remaja. Jurnal psikologi. Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
Sari, A. (2015). Model Komunikasi Keluarga Pada Orangtua Tunggal (Single Parent) Dalam
Pengasuhan Anak Balita. Jurnal Ilmu Komunikasi, VOL. 3 NO., 126–145.
Silalahi, U. (2012). Metode Peneleitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sukmadinata, N. S. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Taufik. (2014). Dampak Pola Asuh Single Parent Terhadap Tingkah Laku Beragama Remaja
(Studi Kasus Dua Remaja PAda Dua Keluarga Single Parent di Dusun Kuden,
Sitimulyo, Piyungan, Bantul). UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Widaningsih, L. (2007). Relasi Gender Dalam Keluarga : Internalisasi Nilai-Nilai
Kesetaraan, 1–7.
www.bps.go.id. (2015). Retrieved from www.bps.go.id (diakses pada: 25 November, 2015)
26
Download