1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Seorang
remaja sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai kanak-kanak, namun masih
belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Mereka sedang mencari pola
hidup yang paling sesuai baginya dan cenderung dilakukan melalui metode cobacoba dengan banyak kesalahan. Kesalahan yang dilakukan sering menimbulkan
kekuatiran serta perasaan yang tidak menyenangkan bagi lingkungan dan orangtua
dalam keluarga. Hal ini yang membuat karakteristik remaja dipahami sebagai fase
transisi dalam pencarian identitas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga merupakan lingkungan primer bagi
seseorang sejak lahir sampai tiba masa individu meninggalkan rumah dan
membentuk keluarganya sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antar
manusia paling awal terjadi dalam keluarga. Oleh sebab itu setiap individu
menyerap norma dan nilai yang ada dalam keluarga untuk dijadikan bagian dari
kepribadiannya sebelum mengenal norma dan nilai dari masyarakat umum
(Thontowi, 2001: 3).
Masa remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup mereka.
Kenangan terhadap masa remaja tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apa
pun kenangan tersebut. Sementara banyak orangtua yang memiliki anak berusia
remaja merasakan bahwa usia remaja merupakan masa yang sulit dipahami.
1
2
Banyak orangtua yang tetap menganggap remaja mereka masih perlu dilindungi
dengan ketat. Di mata orangtua para remaja masih belum siap menghadapi
tantangan dunia orang dewasa. Sebaliknya, bagi remaja tuntutan internal
membawa remaja pada keinginan untuk mencari jati diri yang mandiri dari
pengaruh orangtua. Namun, keduanya memiliki kesamaan pemahaman yaitu masa
remaja adalah waktu yang kritis sebelum menghadapi masa dewasa (Zulkifli,
2002: 86).
Masa-masa kritisnya remaja salah satunya ketika mereka dihadapkan pada
suatu konflik. Dalam menyelesaikan konflik, remaja biasanya saling menghindari
konflik. Remaja perempuan lebih suka bekerjasama dalam kelompok dan merasa
bangga apabila diterima dalam bagian kelompoknya, dan sering membicarakan
tentang emosi. Sedangkan remaja laki-laki bangga dengan sikap kemandirian,
mengembangkan sikap kompetisi dan bersaing, serta sering membicarakan
masalah beserta pemecahannya (Sari, 2008: 8).
Menurut Deborah (dalam Goleman, 2002: 185) pria dan wanita
menghendaki dan menginginkan hal-hal yang amat berbeda untuk dipercakapkan,
dimana pria puas berbicara tentang masalah-masalah, sementara kaum wanita
mencari hubungan emosi. Hal ini menunjukkan bahwa wanita relatif lebih
dominan menggunakan perasaan dalam menghadapi konflik.
Harapan remaja perempuan dan orangtua sering seolah-olah saling
bertolak belakang seiring dengan perubahan dramatis dimasa pubertas. Banyak
orangtua melihat anak mereka mengalami perubahan dari sosok yang patuh
menjadi seseorang yang tidak patuh, beroposisi, dan menolak standar orangtua.
3
Kondisi seperti ini dapat menimbulkan konflik antara remaja perempuan dan
orangtua.
Gessel (dalam Thontowi, 2001: 4) mengemukakan bahwa remaja
perempuan usia 16 tahun seringkali mudah marah, mudah terangsang, dan
emosinya mudah meledak dan kurang bisa mengendalikan perasaannya. Hal ini
merupakan bentuk permasalahan yang akarnya bisa saja sepele tapi memakan
korban akibat tidak adanya penyelesaian yang baik terhadap masalah. Remaja
perempuan lebih memilih adu otot daripada duduk bersama dan membicarakan
masalah yang terjadi. Ketidakmatangan emosi pada usia remaja membuat remaja
perempuan menyelesaikan masalah dengan cara yang tidak tepat. Ketika
menghadapi ketidaknyamanan emosional, tidak sedikit remaja perempuan yang
menghadapinya secara baik, sebagai upaya untuk melindungi kelemahan dirinya.
Reaksinya itu tampil dalam tingkah laku yang agresif seperti melawan perkataan
orangtua, bertengkar, berkelahi dan senang mengganggu.
Konflik antar remaja perempuan dan teman sebaya terbukti dengan adanya
penelitian Lidyasari pada tahun 2000 terhadap kasus perkelahian siswi-siswi SMA
di Pati, ulah geng nero langsung menyadarkan masyarakat bahwa aksi kekerasan
di sekolah ternyata tidak hanya dilakukan oleh anak laki-laki. Jika selama ini
kasus tawuran dilakukan oleh para pelajar putra, kasus kekerasan di Pati justru
dilakukan oleh para pelajar putri. Dalam rekaman kamera handphone yang
beredar di masyarakat, kekerasan yang dilakukan oleh geng nero sungguh sangat
memprihatinkan.
4
Sementara itu, kasus terbaru melibatkan para remaja perempuan SMA di
Kupang. Beberapa remaja perempuan terlibat saling ejek, baku hantam, bahkan
sampai bergulat yang bermula dari perbedaan selera dan minat lagu di antara
mereka. Sepintas, penyebab perkelahian massal ini sangat sepele. Sementara itu,
kasus lain di Makasar, 5 anggota geng beberapa sekolah menengah atas yang
terdiri dari 3 orang perempuan dan 2 orang laki–laki ditangkap polisi, karena
kelima pelajar tersebut menganiaya dan merampas uang pada salah seorang
temannya (Anggraeini, 2010: 8).
Dalam sebuah studi yang melibatkan keluarga yang memiliki status sosial
ekonomi menengah, konflik antara remaja perempuan dan orangtua merupakan
peristiwa yang biasa dialami, namun dalam intensitas yang rendah dan
masalahnya hanya terkait kehidupan sehari-hari
seperti kamar remaja, tugas
sehari-hari di rumah, pemilihan aktivitas, dan pekerjaan rumah. Hampir semua
konflik diselesaikan remaja perempuan dengan menyerah kepada orangtua,
meskipun demikian konflik remaja perempuan cenderung menurun seiring dengan
bertambahnya usia mereka (Santrock: 2007: 20-21).
Dalam studi lain di Amerika yang melibatkan 64 murid SMA kelas dua,
peneliti melakukan wawancara di rumah selama tiga hari yang ditentukan secara
acak dalam periode tiga minggu. Para remaja diminta untuk menceritakan
peristiwa-peristiwa yang terjadi satu hari sebelumnya, termasuk konflik yang
dialami dengan orangtuanya. Remaja dan orangtua memiliki perbedaan pendapat,
mengalami pertengkaran dan adu argumentasi. Selama 192 minggu meneliti 64
remaja, rata-rata terjadi 68 kali adu argumentasi dengan orangtua. Ini berarti
5
bahwa rata-rata konflik remaja dan orangtua berlangsung selama 11 menit.
Sebagian besar konflik terjadi dengan ibu, dan sebagian besar terjadi antara ibu
dan remaja perempuan (Santrock, 2007: 21).
Konflik lainnya yang banyak terjadi pada remaja perempuan kadang
muncul hanya karena hal yang sangat sepele (bagi orang lain/dewasa), akan tetapi
dianggap sangat serius bagi remaja perempuan yang dapat menyebabkan
perkelahian seperti perselisihan pendapat antar teman, konflik dengan orangtua,
guru, pacar, polisi, masyarakat sekitar, dan lain-lain. Sebagai contoh, orangtua
yang berbicara kepada remaja perempuannya disaat yang tidak tepat kerap kali
terjadi, misalnya orangtua meminta mereka melakukan sesuatu, padahal mereka
tengah asyik bermain atau menikmati aktifitas kesukaannya. Remaja perempuan
pun merasa terganggu dengan permintaan orangtuanya tersebut. Dalam kondisi
seperti ini, remaja perempuan biasanya akan mengabaikan permintaan
orangtuanya, menunda melakukannya, atau langsung menolaknya. Jika orangtua
terus memaksa, sangat mungkin akan terjadi ketegangan atau konflik. Beberapa
kasus kejadian lainnya yaitu, ketika remaja perempuan sangat menginginkan
sesuatu, tetapi orangtuanya tidak dapat memenuhi keinginan tersebut. Remaja
perempuan pun kemudian menunjukkan keras kepala atau suka melawan
orangtua. Remaja perempuan melakukan ini untuk mencari perhatian orangtua
sebagai cara untuk menyampaikan protes. Remaja perempuan berharap dengan
perubahan perilaku yang ditunjukkannya, orangtua mau memenuhi keinginannya
(Widyastuti, 2014).
6
Di Amerika diperkirakan pada sekitar 20 persen keluarga, remaja dan
orangtua terlibat konflik yang lama, intens, berulang, dan tidak sehat. Tidak ada
yang bisa menjanjikan bahwa hubungan remaja dan orangtua akan berlangsung
mulus (Santrock, 2007: 21).
Selain konflik dengan orangtua, secara umum hal-hal lain yang
memberikan kontribusi pada konflik dalam diri remaja perempuan sehingga
menjadi identitas yang tipikal pada tahap perkembangannya adalah pertumbuhan
fisik yang sangat pesat, seperti badan menjadi semakin panjang dan tinggi, juga
mulai aktifnya organ-organ reproduksi. Menurut Sarwono (2002: 173),
ketidakserasiannya dan ketidakharmonisan dalam diri remaja perempuan pada
masa berfungsinya sistim reproduksi menimbulkan dorongan atau hasrat yang
belum pernah dirasakan remaja perempuan pada masa sebelumnya. Keinginan
untuk berkencan dengan lawan jenis dapat menimbulkan stress bagi remaja, sebab
pada saat yang bersamaan terdapat tuntutan penyesuaian sikap, nilai dan aturan
yang relatif baru bagi remaja, hal ini dapat menyebabkan kebingungan bagi
remaja perempuan yang dapat menimbulkan gejala negatif dalam kehidupan
remaja perempuan.
Ditinjau dari kondisi emosi, Hall (dalam Asrori, 2004: 102) menyebutkan
masa remaja sebagai fase topan dan badai. Konsep ini menunjukkan bahwa masa
remaja adalah masa goncangan yang ditandai dengan konflik dan perubahan
suasana hati, pikiran, perasaan dan tindakan remaja berubah-ubah antara
kesombongan dan kerendahan hati, baik dari godaan, kebahagiaan dan kesedihan,
7
pada suatu saat remaja mungkin bersifat jahat terhadap teman, tetapi dilain waktu
dapat menjadi sangat baik terhadap teman.
Pada masa remaja juga terjadi perubahan-perubahan pola hubungan sosial,
diantaranya perubahan sikap dan perilaku sosial. Hubungan yang selanjutnya
terjadi antara kelompok, keluarga, saudara maupun orang lain dapat merupakan
sumber terjadinya konflik bagi remaja. Penyebab konflik meliputi ketidakjelasan
apa yang harus dilakukan, gangguan komunikasi, tekanan waktu, standar,
kebijakan yang tidak jelas, perbedaan status, dan harapan yang tidak tercapai
(Kartono, 1996: 153). Hal senada juga dikemukakan oleh Rostiana (1999: 97),
yang mengatakan konflik muncul sebagai salah satu konsekuensi dari kehidupan
sosial yang memerlukan interaksi dengan orang lain. Dalam interaksi tersebut bisa
terjadi perbedaan pendapat, pertentangan tujuan, atau persaingan yang dapat
memicu konflik interpersonal. Jenis konflik ini lebih bersifat antar pribadi yang
biasanya terkait dengan sejumlah keterampilan hubungan sosial yang dimiliki
masing-masing orang.
Semakin tajam dan meluasnya konflik yang dialami remaja perempuan
maka kecenderungan semakin banyak hal-hal yang dilakukan remaja perempuan
yang dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
fakta berikut: 1) Kenakalan remaja dan tawuran pelajar, 2) Perilaku seksual
pranikah, yang dampaknya bisa menyebar penyakit kelamin, 3) Kehamilan yang
tidak dikehendaki yang berbuntut dengan anak-anak yang lahir di luar pernikahan,
atau aborsi (Sarwono, 2009 : 73).
8
Farida (dalam Thontowi, 2001: 2) memandang konflik pada remaja
perempuan sebagai akibat dari perubahan peran yang diharapkan oleh lingkungan
sosial di sekitarnya karena remaja perempuan mengalami transisi tahapan usia dan
perubahan-perubahan menuju kematangan. Kecemasan dan akumulasi stres dari
berbagai transisi tersebut umumnya akan meningkatkan kemungkinan timbulnya
konflik atau efektifnya penanganan konflik.
Agar remaja perempuan terhindar dari berbagai dampak negatif dari
konflik yang dialaminya, maka remaja perempuan harus menyelesaikan konflik
yang dialaminya. Untuk menyelesaikan konflik ini dapat menggunakan suatu
strategi manajemen konflik (Mu’tadin & Zainud, 2003: 2). Pandangan ini selaras
dengan pandangan Rostiana (1999: 7), yang mengatakan semakin kurang terampil
seseorang dalam menjalin hubungan sosial maka konflik interpersonal akan
semakin mudah merasuk ke dalam pengalaman orang tersebut. Keterampilan
yang dimaksud adalah kompetensi dalam kemampuan memanajemen/mengelola
konflik.
Pandangan Mu’tadin, Zainud dan Rostiana di atas dipertegas pula oleh
Weitzman dan Patricia (dalam Lidyasari, 2000: 2) yang mengatakan isu terpenting
untuk menyikapi konflik adalah bukan mencegah timbulnya konflik melainkan
bagaimana memanajemen konflik. Hal senada juga diungkapkan oleh Prasojo
(dalam Sarwono, 2002: 103) bahwa konflik tidak bisa dihilangkan, konflik hanya
bisa dikelola dan potensi konflik ditransformasikan. Oleh karena itu setiap
individu perlu memiliki keterampilan dalam manajemen konflik secara positif
agar dapat mengambil manfaat dan menjadi produktif ketika mengalami konflik.
9
Manajemen konflik atau lazim disebut mengelola konflik adalah
kecenderungan seseorang dalam menata atau mengatur pertentangan dalam wujud
sikap dan perilaku. Sebab masalah yang lahir dari pertentangan merupakan
sesuatu yang menghambat, merintangi, atau mempersulit seseorang mencapai
maksud dan tujuan tertentu (Moore, 2004: 176).
Dalam kenyataannya, yang peneliti dapatkan melalui wawancara dengan
beberapa remaja perempuan yang berstatus sebagai siswi di salah satu Sekolah di
Pekanbaru yang dilakukan pada tanggal 17 Oktober 2012, diperoleh gambaran
bahwa remaja perempuan mengalami konflik diantaranya konflik dengan
orangtua, dan teman sebaya. Konflik remaja perempuan dan orangtua seperti : 1)
Remaja perempuan yang suka melawan orangtua. Hal ini terjadi ketika
orangtuanya terlalu sibuk dengan pekerjaannya atau memang orangtua kurang
mampu memberi perhatian dan didikan yang dibutuhkan mereka sehingga nilainilai kebaikan seperti sopan santun, menghargai orang lain, jujur dalam
berkomunikasi, batasan benar salah, boleh tidak boleh, tidak tertanam dengan baik
pada diri remaja perempuan. dikarenakan dibiarkan tumbuh tanpa bimbingan.
Dengan kondisi seperti itu, maka remaja perempuan pun tumbuh menjadi pribadi
yang egois, dan sikap ketidakjujuranpun mulai tertanam pada diri mereka, dan
sikap melawan kepada orangtua dikarenakan mudah meniru perilaku temantemannya, orang-orang yang dikenalnya, atau menyaksikan tayangan televisi.
Ketika remaja perempuan mendapati teman-temannya atau orang lain, remaja
akan mudah melakukan perilaku yang sama/meniru perilaku teman-temannya. 2)
Dalam melanjutkan pendidikan, remaja perempuan memilih untuk sekolah di
10
pesantren akan tetapi orangtua berkehendak anaknya sekolah di Madrasah Aliyah.
Hal ini menyebabkan terjadinya pertentangan dari kedua pihak, dikarenakan
orangtua yang memaksakan kehendaknya pada remaja perempuan dan tidak
memberikan kepercayaan kepada remaja perempuannya dalam mengambil
keputusan dan memberikan hak-hak dan cita-cita sebagai anak remaja untuk
melanjutkan pendidikan yang ia sukai. 3) Konflik dalam hal prestasi belajar,
karena prestasi remaja perempuan belum sesuai dengan harapan remaja dan
orangtua, contohnya: adanya tuntutan orangtua terhadap perempuannya untuk
mendapatkan prestasi yang tinggi di sekolah, sementara kemampuan remaja
kurang untuk pelajaran tersebut, dikarenakan ada faktor-faktor yang menyebabkan
menurunnya prestasi, misalnya: persaingan kuat, pelajaran yang dipelajari tidak
sesuai dengan minatnya atau pelajaran yang tidak disukainya. Hal ini
mengakibatkan hasil belajar yang sangat rendah. 4) Larangan-larangan dalam
berpacaran, remaja yang sudah mulai berpacaran, adanya ketidaksetujuan dari
orangtua karena umur yang masih kecil, dan masih sekolah. Dikarenakan orangtua
yang membatasi pergaulan remaja perempuannya. 5) Problem keuangan, problem
ini muncul pada remaja perempuan yang berasal dari keluarga kalangan bawah
yang mengalami kesulitan dalam pembayaran uang sekolah, sehingga
mengakibatkan penunggakan SPP.
Konflik lainnya antara remaja perempuan dan teman sebaya, seperti: 1)
Konflik dalam hal perbedaan pendapat antara pengurus OSIS dengan pengurus
organisasi siswa lain di sekolah yang akan saling bekerjasama dalam program
kerja OSIS maupun organisasi lain dalam penanggulangan dana.
11
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian konflik yang
terjadi pada remaja perempuan adalah konflik dengan orangtua disebabkan karena
kurangnya pengertian orangtua terhadap pertumbuhan yang dihadapi oleh remaja
perempuannya. Salah satu hal yang dapat memicu timbulnya konflik remaja
perempuan dengan orangtua adalah faktor komunikasi. Komunikasi yang tidak
efektif akan mempengaruhi kemampuan remaja perempuan dalam mengatasi
konfliknya, dan komunikasi yang baik berbagai masalah dapat diatasi lebih baik.
Komunikasi yang dilakukan oleh remaja perempuan dengan orangtua, teman
sebaya, dan guru terjadi agar hubungan diantara mereka dapat terjalin dengan baik
sehingga tidak terjadi penyimpangan dan tindakan-tindakan yang tidak diinginkan
(Anggraeini, 2010: 6).
Remaja
perempuan
yang
sedang
menghadapi
konflik,
idealnya
membutuhkan suatu perencanaan dan pengelolaan tugas dengan baik, sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki, sehingga dapat memecahkan konflik dengan
mudah dan cepat (Anggraeini, 2010: 3).
Kurangnya kemampuan remaja perempuan dalam memanajemen konflik
bisa berdampak negatif bagi dirinya, untuk itu seorang remaja perempuan harus
mampu melaksanakan manajemen konflik. Agar remaja perempuan dapat
melakukan manajemen konflik dengan baik, maka sangat diperlukan kemampuan
komunikasi interpersonal (Boardman & Horowitz dalam Thontowi, 2001: 83).
Hal ini sesuai pula dengan pandangan Widjaya (2000: 120), yang mengatakan
komunikasi interpersonal merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya manajemen konflik. Komunikasi interpersonal dalam keluarga sangat
12
penting karena dengan adanya komunikasi interpersonal antar sesama anggota
keluarga maka akan tercipta hubungan yang harmonis dan dapat diketahui apa
yang akan diinginkan dan yang tidak diinginkan oleh salah satu anggota keluarga.
Tujuan dari komunikasi interpersonal dalam keluarga yaitu untuk mengetahui
dunia luar, untuk mengubah sikap dan perilaku (Lestari, 2012: 99).
Komunikasi adalah kunci yang membuka hubungan harmonis antara
remaja dengan orangtua. Keluarga harus memiliki waktu cukup lama untuk
berbincang-bincang dan mengembangkan keterbukaan antara remaja dan
orangtua, tetapi terkadang pada masa anak menjadi remaja, komunikasi dengan
orangtua berkurang. Remaja tidak lagi berkomunikasi sebanyak seperti ketika
mereka belum menjadi remaja Schwartz dalam Hurlock, 1978: 147).
Berdasarkan hasil wawancara yang telah peneliti lakukan, ternyata remaja
perempuan yang rendah kemampuan manajemen konflik banyak berasal dari
keluarga yang komunikasi interpersonalnya juga kurang baik. Hal ini sesuai
dengan pernyataan yang diungkapkan beberapa remaja perempuan dalam
wawancara yang peneliti lakukan pada tanggal 17 Oktober 2012. Adapun
wawancara itu dapat diungkap beberapa fakta berkaitan dengan kondisi
komunikasi interpersonal yang terjadi antara anak perempuan dengan orangtua,
diantaranya: 1) Memiliki ketidak jujuran ketika sedang terjadi komunikasi,
contohnya: ketika remaja perempuan ditanyai oleh orangtua tentang masalah
pribadi anaknya akan tetapi respon mereka menutupi masalah dengan
ketidakjujuran guna menghindari campur tangan orangtua dan takut dimarahi. 2)
Membatasi pergaulan remaja perempuan dimana orangtua memaksa remajanya
13
untuk disiplin dan patuh, tanpa memberikan penjelasan atau dasar rasional
terhadap larangan-larangan yang diberikan, dan orangtua menaruh curiga secara
berlebihan terhadap remaja perempuannya. Misalnya: orangtua secara persuasif
melindungi anak dari pengaruh luar/pergaulan teman-teman sebayanya dengan
memperkuat nilai-nilai keluarga, akan tetapi orangtua tidak memberikan sikap
positif terhadap remaja perempuan untuk memberikan penjelasan nilai-nilai apa
yang paling penting untuk diterapkan. 3) Orangtua tidak memberikan kepercayaan
kepada remaja perempuan untuk mengambil keputusan sebagai wujud dari
kepercayaan orangtua terhadap remajanya, misalnya: tidak mempercayai isi
informasi yang disampaikan oleh remaja perempuan pada orangtua. Dengan tidak
mempercayai anak secara tidak langsung berarti juga tidak menghargai anak dan
tidak mengakui keberadaannya (eksistensinya) untuk mengantisipasi terjadinya
konflik. 4) Remaja perempuan dan orangtua di rumah tidak ada saling pengertian
(ketidaksesuaian & perbedaan). Dimana apa yang dicita-citakan atau yang
diinginkan oleh remajanya, orangtua selalu menolak, mengabaikan, bersikap
keras, sibuk dengan pekerjaan, tanpa memperdulikan hak-hak remaja perempuan.
5) Pihak orangtua seringkali memaksakan kehendaknya pada remaja perempuan,
tidak peduli dan tidak memahami keadaan remaja perempuan dengan
memperlakukan mereka seperti anak kecil. Bahkan saat memarahi remaja
perempuannya sering mempergunakan kata-kata merendahkan harga diri anak,
dan saat terjadinya komunikasi sering kali orangtua mendominasi pembicaraan.
Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji
lebih dalam tentang permasalahan ini dan mengemasnya dalam sebuah judul “
14
Hubungan komunikasi interpersonal anak orangtua dengan manajemen konflik
pada remaja perempuan’’.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan gejala-gejala yang dikemukakan
di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut: “Apakah ada hubungan antara komunikasi interpersonal anak
orangtua dengan manajemen konflik pada remaja perempuan?”.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah “untuk mengetahui
ada tidaknya hubungan antara komunikasi interpersonal anak-orangtua dengan
manajemen konflik pada remaja perempuan yang berstatus sebagai siswi MAN 1
Pekanbaru”.
D. Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian ini didasarkan pada beberapa penelitian terdahulu yang
mempunyai karakteristik yang relative sama dalam hal tema kajian, meskipun
berbeda dalam hal kriteria subjek, jumlah dan posisi variabel penelitian atau
metode analisis yang digunakan. Penelitian yang akan peneliti lakukan mengenai
komunikasi interpersonal anak-orangtua dan manajemen konflik pada remaja
perempuan.
Penelitian terkait manajemen konflik yang telah dilakukan antara lain
seperti penelitian Yurnalis (2010) yang meneliti tentang hubungan antara
komunikasi interpersonal terhadap manajemen konflik pada remaja. Persamaan
15
yang terdapat pada penelitian milik Yurnalis (2010) dengan Peneliti ialah samasama meneliti tentang komunikasi interpersonal dan manajemen konflik.
Dalam penelitian ini peneliti bermaksud membuktikan kembali hasil
penelitian yang dilakukan Yurnalis (2010). Dengan menggunakan karakteristik
subjek, teori, alat ukur, dan tempat penelitian yang berbeda. Teori yang digunakan
pada penelitian Yurnalis (2010) adalah teori Rahmat untuk variabel bebas
(komunikasi interpersonal) dan teori Daviddof untuk variabel terikat (manajemen
konflik), sementara itu pada penelitian ini teori yang digunakan adalah teori
Defitto untuk komunikasi interpersonal dan teori Robbins untuk manajemen
konflik. Karakteristik subjek pada penelitian Yurnalis (2010) adalah remaja
madya laki-laki dan perempuan yang bersekolah di SMU Negeri 11 Pekanbaru,
sementara subjek pada penelitian ini adalah remaja madya perempuan yang
bersekolah di MAN 1 Pekanbaru.
Sepanjang
mengungkapkan
pengetahuan
tentang
peneliti,
manajemen
ada
konflik.
beberapa
Maka
penelitian
dari
itu
yang
peneliti
mengungkapkan tentang komunikasi interpersonal anak orangtua terhadap
manajemen konflik dengan mengambil subjek hanya pada remaja perempuan,
yang akan peneliti lakukan pada penelitian ini. Karenanya insyaAllah penelitian
ini dapat dipertanggungjawabkan.
16
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dengan penelitian ini diharapkan, dapat memberikan tambahan informasi
dalam ilmu pengetahuan, khususnya mengenai komunikasi interpersonal anak
orangtua dengan manajemen konflik pada remaja perempuan. Dengan meneliti
komunikasi interpersonal dengan manajemen konflik pada remaja perempuan
akan mendukung pengembangan teori-teori tentang komunikasi interpersonal dan
manajemen konflik remaja perempuan.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi remaja perempuan akan pentingnya
komunikasi interpersonal anak orangtua pada saat remaja perempuan
mengalami konflik dan mampu memahami komponen-komponen yang ada
pada komunikasi interpersonalnya, sehingga diharapkan para remaja
perempuan dapat memanajemen konfliknya secara proporsional dan efektif.
b. Bermanfaat bagi orangtua dalam rangka menciptakan suasana komunikasi
interpersonal yang baik dengan remaja perempuan sehingga membantu putri
mereka dalam memanajemen/mengelola konfliknya.
Download