235 PROSPEK-PROSPEK HARMONISASI HUKUM DlLlNGKUNGAN NEGARA-NEGARA ASEAN. *J Oleh: Prof. Dr. Mr. S. Gautama . Persetujuan kerjasama peradilan R.1. - Thailand . Kerjasama antara negara-negara ASEAN dalam bidang Hukum (JudiCial Cooperation) telah mendapat dasar hukumnya dalam ASEAN CONCORD yang telah diterima baik di Bali. Dalam pernyataan tersebut ditentukan bahwa kerjasama antara negara ASEAN dibidang peradilan perlu ditingkatkan. Sebagai realisasi daripada kerjasama antara negara·negara ASEAN dibidang hukurn ini telah ditandatangani suatu "Persetujuan kerjasama dibidang peradilan antara Repuhlik Indonesia dan Kerajaan Thailand." Persetujuan ini telah ditandatangani di Bangkok pada tg!. 8 Maret 1978. Kemudian dengan keputusan Presiden no. 6 tahun 1978 tg!. 22 April 1978 telah disahkan Persetujuan Kerjasama peradilan R.I. - Thailand tersebut. Pertukaran piagam ratifikasi telah dilakukan di Jakarta pada tg!. 12 F ebruari 1979 antara Menteri Luar Negeri RI. Prof. Dr. M~chtar Kusumaatmadja dan Duta Besar Thailand. Dengan dilakukannya pertukaran piagam terse but, maka persetujuan kerjasama peradilan telah mulai berlaku antara kedua negara pada hari itu juga. Hal ini adalah sesuai dengan pasal 19 dari Persetujuan tersebut. [ 1) Persetujuan ini dimaksudkan sebagai suatu Model persetujuan yang dapat dipergunakan kernudian dalam suatu Konvensi yang lebih meluas dan meliputi semua negara-negara AS EAN. Dengan demikian maka langkah pertama dalam kerjasama dibidang hukum secara positif telah tercapai l Apa yang tadinya hanya merupakan cita-cita. telah memperoleh konkretisasinya dalam pelaksanaan daripada Persetujuan Kerjasama ini. lsi daripacta Persetujuan Kerjasama dibidang peradilan ini antara lain mengenai penyampaian dokumen peradilan dan memperoleh bukti dalam hal perkara-perkara perdata dan dagang. Oleh kedua negara telah ditunjuk suatu instansi yang berkewajiban untuk mengirim dan menerima pennohonan untuk melakukan pemanggilan. dan memperoleh bukti-bukti tersebut (Central Authority). Instansi yang ditugaskan bagi fihak Indonesia untuk melaksanakan segala sesuatu itu adalah Direktorat lenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum, Departemen Kehakiman. Persetujuan yang telah diratifikasi ini dan sekarang sudah menjadi Undang-undang bagi negara kita, merupakan suatu hasil yang konkrit dari*) Disampaikan dalam Seminar Hukum NasionallV, 26 sid 30 Maret 1978 di Jakarta l) Pasal 19 tersebu t berbunyi : "Persetujuan ini akan diratifikasi dan akan mulai berlaku pada hari - tanggal penukiiran piagam-piagam ratifikasi", 236 hukum dan pembangunan pada kerjasama dibidang peradilan. Mengenai Persetujuan Kerjasama bidang peradilan antara R.1. dan Muangthai ini kami telah mengadakan pembahasan tersendiri pada kesempatan lain5 2 } Kerjasama antar Pemerintah. Inilah suatu contoh bagaimana kerjasama dibidang hukum antara nega· ra-negara ASEAN dapat menjadi suatu realita. Dalam hal ini kami saksikan bahwa kerjasama seeara positif tersebut adalah hasil daripada usaha pemerintah (Government) Memang tidak dapat disangkal bahwa terutama pada tingkat Intergovermental inilah dapat tercipta dan terlaksana kerjasama dibidang hukum secara konkrit. Usaha kerjasama daripada para Sarjana Hukum dalam organisasi para ahli hukum AS EAN yang bersifat non governmental seperti telah dianjurkan . untuk didirikan oleh "Conference on Legal Development in Asean Countries" , yang diadakan pada tgl. 5 sampai 10 Februari 1979 di Jakarta dapat membantu dalam usaha ini. Tetapi sudah nyata bahwa kerjasama secara regional antara negara-negara ASEAN pacta waktu sekarang mi. akan meningkatkan pula lalulintas antara berbagai negara dan bangsa-bangsa dari negara-negara bersangkutan , baik dalam bidang ekonomi maupun sosial. Karena bertambahnya hubunganhubungan diantara negara ASEAN ini, akan dfuadapi berbagai problema hukum yang ditirnbulkan karen a adanya perbedaan sistim-sistim hukurn dan pluralisme hukum dian tara anggota-anggota ASEAN ini. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul berkenaan dengan aneka ragam hukum biasanya diadakan uSf:lha kearah unifikasi alau harmonisasi daripada sistim-sistim hukum yang langsung terlibat dalam lalulintas sosial dan ekonomi antara warganegara dad negara-negara bersangkutan. Dengan bertambah ciutnya dunia ini (shrinking World) semakin terasa eratnya komunikasi antara berbagai negara dan warganegara dari bangsa-bangsa sedunia. Sejalan dengna rneningkatnya kornunikasi antara negara-negara dalarn reti~ ASEAN , bertambah \l\lla bertemunya sistim-sistim hukum yang tidak selalu sarna ini. "Titik-titik pertalian atau pertautan makin bertambah.,,(4) Maka dirasakan perlu bahwa didalam bidang ini diadakan usaha kerjasarna kearah kesatuan hukum (Unifikasi Hukum) atau harmonisasi hukum yang beraneka ragam itu. 2) 3) 4) Antaea lain dalam majalah "Hukum dan Pembangunan" dari Fakultas Hukum Uni· versitas Indonesia, dalam Majalah Peradin dan dalam Hirnpunan Karangan "Indonesia dan Konvensi-konvensi Hukum perdata lnternasional" Unifikasi hukum ini dianggap oleh seorang sarjana sebagai memakai "dezelfde juridische uniform" S. van Brakel, Gr'lndslagen en beginselen van Nederlandsch lnternationaal Privaatrecht", ceL ke-3, Zwolle (1953) Prakata, h.9 Istilah "titil< pertalian atau "points of contact" dipakai untuk menunjukkan faktor-faktor dan keadaan yang menyebabkan lerciptanya masalah Hukum Perdata Intcrnasional (Titik pertalian primer). Alm:lfhum Ny Gadis Sockahar· Sadri SH mempergunakan istilah "titik taut pembeda" Bandin)!kan untuk ini buku kami, Pengungar Hukum Perdata Intcrnasional Indonesia, Jakarta, Pener· bitan Badan Pembinaan Hukum Nasional- Bina Cipta, Bandung (19 77) h. 25 dst. 237 asean Dibidang mana perlu diadakan harmonisasi hukum antar negara-negara ASEAN? Pertanyaan yang perlu pertarna-tama dija wab ialah : dalarn bidang mana saja sebaiknya usaha kerjasama harmonisasi hukum ini dilakukan ? Sudah tentu bahwa harmonisasi hukum atau kesatuan hukum ini per-tama-tama harus dicari dibidang hukum perdagangan internasional (International trade law)(S) Inilah paling banyak titik taut yang nampak antara negara-negara di dunia pada umumnya dan dian tara negara-negara ASEAN khususnya yang pada saat ini mempertinggi kerjasama dalam bidang ekonomi dan perdagangan serta industri ini. Tidak dibidang hukum kekeluargaan, tetapi dibidang hukum dagang. Sudah terang bahwa usaha kearah harmonisasi atau uniformisasi hukum antara negara-negara ASEAN ini jangan dilakukan dalam bidang hukum kekeluargaan atau hukum dimana perasaan-perasaan orang-orang yang bersangkutan, keagamaan , kebudayaan dan tradisi dirasakan sangat kuat adanya. Sebaiknya yang dijadikan objek untuk kesatuan hukum ini adalah soal-soal dibidang hukum dagang seperti hukum kontrak, badan-hadan hukum, hukum dagang, pada umumnya hukum yang berkenaan dengan komunikasi atau hubungan lalulintas baik dilaut, udara maupun darat, hukum tentang pos dan ielekomunikasi, hukurn maritim, hukurn ar1:Htrase perdagangan dsb. Tetapi dalarn bidang kekeluargaan, seperti hukum orang tua dan anak, hukum perkawinan, hukum perceraian, hukum warisan dsb, menurut hem at karoi tidak riil untuk memikirkan kearah harmonisasi atau kesatuan hukum itu. Dalam hubungan ini kami rnenunjuk pada apa yang telah diutarakan pula dalam ceramah pengarahan dari Menteri Luar Negeri kita Prof. Dr. Mohtar Kusumaatmadja mengenai "Law and Development in the ASEAN region, The Indonesian Experience" pada Conference on Legal Development in ASEAN Countries, Jakarta, pada tg!. 5 Februari 1979 yang baru lalu. Cara-cara mencapai kesatuan hukum. Dalam garis besar ada dua macam usaha yang dapat ditempuh kearah hannonisasi hukum yang beraneka ragam. Dapat dilakukan kesatuan ini dengan mengunifikasikan kaedah-kaedah hukum perdata internasional (HPI Conflict Rules) daripada negara-negara bersangkutan. Usaha semacam ini sudah lama dilakukan oleh "The Hague Conferences on Private International Law", Konperensi-konperensi Hukum Perdata Internasional di Den Haag. Konperensi-konperensi HPI di Den Haag ini diadakan secara berkala, setiap 4 tahun sekali, dengan teratur sejak perang dunia ke-I1 berakhir. Usaha lain adalah yang dilakukan oleh "The International Institute for the Unification 5). lstilah "internalional trade law" ini sekarang scdang "in". Tidak sedik it hal ini discbabkan karcna semakin populernya nama "UNCITRAL, United Nations Commission on lntemational Trade Law" dan karya-karyanya. Bdgk Honnold, John 0., The reconciliation of international and national codifications of international trade law", dalam "International Economic and Trade Law, Universal and regional integration", Schmitthoff, Clive M., and Simmonds, Kenneth-, R A .W.Sythoff, Leyden (1976) 77 ds!. 238 hukum dan pembangunan of Private Law" lebih terkenal dengan nama singkatannya "UNIDROIT" yang berpusat di Roma dan sudah berusia lebih dari 50 tahun. 6) Unifikasi Hukum yang hendak dicapai oleh UNIDROIT ini adalah daripada kaedah· kaedah materiiL Sebagai contoh konkrit daripada usaha kearah ini adalah usaha mengenai unifikasi daripada hukum jual beli internasional (International Sale of Goods). Suatu usaha yang telah mencapai konkritisasi dengan diterimanya Konvensi Den Haag dati tahun 1964 mengenai suatu "Uniform Law on the International Sale Of Goods" dan Konvensi Den Haag mengenai "Uniforn:t Law on the Formation of Contracts in International Sale of Goods." 7) Konvensi-konvensi dati tahun 1964 di Den Haag ini merupakan unifikasi daripada kaedah·kaedah hukum jual-beli internasiona!. Berlainan adalah Konvensi-Konvensi yang diselenggarakan juga di Den Haag, yaitu Konvensi tahun 1951 (1955) tentang Hukum yang berlaku untuk jual beli bersifat intemasional daripada benda bergerak (Convention sur la loi applicable aux ventes a caractere international d'bojets mobiliare corporeIs) ditandatangani tg!. 15 Juni 1955, Konvensi tentang hukum yang berlaku atas peraJihan hak milik pada jual-beli bersifat internasional dari benda·benda bersifat bergerak dan berwujud (Convention sur la loi applicable en transfert de la propriete en 'cas de vente a caractere international d'objets mobiliers corporels), ditandatangani tg!. 15-4- 1958 dan "Konvensi mengenai kompetensi dari hakim yang dimufakati berkenaan dengan jual·beli yang bersifat internasional dari 'benda-benda bergerak" (Convention sur la 10i ap· plicable en transfert de la propriete en cas de vente a caractere international d'objets mobiliers corporels), ditanda tangani tg!. 15-4-1958. Konvensi· Konvensi ygn baro disebut ini adalah mengenai kesatuan dati pada kaedahkaedah Hukum Perdata Internasional. Ketiga konvensi yang diselenggaraka~ oleh Konperensi Hukum Perdata lnternasional di Den Haag ini berkenaan dengan harmonisasi daripada kaedah-kaedah Hukum Perdata Internasional. Ha· kim-hakim daripada negara-negara peserta Konvensi-Konvensi ini akan mempergunakan kae dah-kaedah hukum Perdata Internasional yang sarna dalam menyelesaikan masalah-masalah jual-bell internasional ini. Akan tetapi pada Konvensi-Konvensi tentang jual-beli internasional yang diadakan pada tahun 1964 di Den Haag Hukum materill mengenai jua!bell internasional yang hendak diunifikasikan. Negara-negara yang akan menerima Konvensi-konvensi ini akan mempunyai hukum yang unifonn, kesatuan hukum, harmonisasi hukum, daripada semua kaedah-kaedah materiil mereka dibidang jual bell internasional ini. Dengan diterimanya Konvensi-Konvensi ini maka negara-negara bersangkutan akan melakukan unifikasi dari 6) 7) Bdgk Matteucci, Mario , President dari UNIDROIT daIam papernya "UNIDROIT. The fIrst fifty years", dalam "UNIDROrr. New Directions in international Trade Law" Acts and Proceedings on the 2nd Congress of Private Law held by the International lnstitute for the Unification on Private Law" Roma 9-15 Sept. 1976, vo1.1 Reports, Oceana, Dobbs Ferry, N. Y. (1977) h. XVll dst. Untuk . usaha-usaha UNIDROIT dibidang unifikasi "law on the sale of goods" dan lain-lain aktivitas ilmiah organisasi ini, lihat Professor Riccardo Monaco. The scientific activity of UNIDROIT dalam himpunan karangan "UNIDROIT. New directions in international trade law" vol. 1, Oceana (1977) h. XXVII dst. 239 asean pada hukum mengenai jual-bell internasional dari negara-negara mereka sendiri. Jadi kaerah-kaedah yang tercantum dalam Konvensi-konvensi intemasiona! ini akan dimaksukkan pula dalam per-Undang-Undangan nasiona! masingmasing negara peserta daripada Konperensi ini hingga dengan demikian bagi. negara-negara peserta yang menerimanya akan merupakan hukum yang sarna. Usaha dari UNCITRAL. Seperti diketahul maka Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1964 tentang jual bell internasiona! dan pembentukan kontrak-kontrak jual-beJi internasional ini sedang direvisi dalam rangka United Nations Commision on International Trade Law (UNCITRAL), 8) Sudah da!am sidangnya yang pertama pada tahun 1968 telah diadakan usaha untuk membuat draft-draft barn, merevisi konvensi-konvensi Den Haag tahun 1964 yang telah direncana- kan jauh dimuka dan setelah pertama dipersiapkan oleh UNIDROIT Roma (International Institute for the Unification of Private Law), Memang tidak dapat disangkal bahwa Konvensi-lConvensi ini telah diterima setelah melalui persiapan yang sangat luas dan bertahun-tahun lamanya, sejak usaha dari Ernst Rabel, yang dapat dipandang sebagai Sapak daripada Hukum'jua! Seli lntemasional ini. Tetapi Konvensi-Konvensi tahun 1964 ini ternyata tidak menarik bagi banyak negara, terutama dati pada negara-negara yang termasuk negara-negara berkembang yang lazimnya sekarang cinamakan sebagai negara- negara dari "Third World", Negara-Negata Asia Afrika umumnya tidak tertarik pada Konvensijual bell internasional ini karena dipandang terlalu memperhatikan kepentingan-kepentingan dari flhak- negara-negara yang sudah maju (Developed Countries), OIeh karena itu oleh UNCITRAL telah diadakan usaha untuk merevisi Konvensi-Konvensi bersangkutan ini agar supaya dapat lebih diterima oleh negara-negara yang sedang berkem bang (Developing Countries), Telah diusahakan oleh UNCITRAL untuk dapat mengadakan modifikasi daripada konvensi-konvensi bersangkutan dan rnembuat draft-draft baru hingga dapat diterima secara lebih luas oleh negara-negara yang mempunyai sistirn hukum, sosial dan ekonomi yang berlainan. Pada sidang UNCITRAL yang diadakan dalam bulan Mei - Juni 1978 diadakan suatu draft baru yang menyatukan kedua Konvensi tahun 1964 dati Den Haag ini didalam satu naskah dinamakan "Draft Convention on Contracts for the International Sales of Goods". Tujuan daripada usaha UNCITRAL ini adalah untuk lebih memperhatikan kepentingan-kepentingan dati negara-negara yang sedang berkembang. Usaha negara-negara Asia Afrika Dalam rangka kerjasama negara-negara Asia Afrika (Negara-negara Konferensi Bandung), maka telah dibahas seeara bersama antara negar "lp.ga.ra 8) Untuk tinjauan chas mengenai peranan UNCITRAL dalam rangka uniflkasi secara internasional dan kodiftkasi nasional dibidang international trade law. lihat karangan Honnold yang telah disebut diatas. Tugas dari UNCITRAL yang didirikan dengan Resolusi no. 2205 (XXI) dad General Assembly PBB adalah diusahakannya "the progressive harmonization and unification of international trade law" 240 hukum dan pembangunan Asia Afrika yang menjadi anggota dati Asia African Legal Consultative Com- mittee (AALCC) draft UNCITRAL ini. Tujuan daripada AALCC adalah untuk secara kerjasama antara para sarjana hukum dari pemerintah-pemerintah negara-negara Asia Afrika mengusulkan amandemen-amandemen dan modiflkasi-modifikasi dalam draft UNCITRAL ini supaya lebih sesuai dengan kepentingan-kepen!ingan dari negara-negara yang sedang berkembang diwilayah Asia Afrika. Seperti diketabui AALCC ini mengadakan sidangnya tiap tahun . Yang terakhir ini ialah yang ke-XX, telah diadakan antara tg!. 19- 26 Februari 1979 di Seoul, Republik Korea Selatan. 9) Usaha kerjasama dibidang hukum dari negara-negara Asia Afrika ini mempunyai tujuan tertentu , yakni agar supaya dalam proses mencapai harmonisasi hukum dan kesatuan hukum mengada- kan koorinasi dan kerjasama serta sikap serupa dalam mengabdapi draft-draft oleh UNCITRAL yang hendak diajukan sebagal Konvensi yang dapat diterima seeara umum dan berlaku untuk seluruh dunia. Contoh konkrit untuk kerjasama negara-negara ASEAN. Kiranya· usaha hannonisasi hukum ini dapat dijadikan pula proyek kerjasama dibidang hukum antara negara-negara ASEAK Seperti con!oh yang dapat kita Imat dalam Asian African legal Consultative Commitee ini yang mengadakan pembahasan secara seksama daripada proyek-proyek internasio- nal yang telab disiapkan oleh badan organisasi internasional PBB yai!u UNCITRAL, maka juga dalam rangka regio yang lebih kecil dapa! seCara baik diadakan usaha keIjasama untuk dapat menerima suatu konsep atau mengusulkan modifikasi amandemen-amandemen !erhadap draft-draft yang telah dipersiapkan oleh UNCITRAL, seperti dalam rangka yang lebih luas sudah diusulkan oleh negara-negara Asia Afrika dalam organisasi Asian African Legal Consultative Commitee. Dati organisasi AALCC ini semua negara-negara ASEAN merupakan anggota. Apakah tidak "overlapping" ? Pertanyaan mungkin timbul apakah usaba yang diusuikan ini yaltu agar supaya diadakan pekerjaan persiapan dalam rangak kerjasama negaranegara ASEAN kearah penentuan sikap bersarna terhadap konsepsi-konsepsi UNCITRAL, suatu usaba yang·juga sudah dilakukan o[eh AALCC dalam rangka negara-negara Asia Afrika, tidak merupakan suatu usaba yang berkelebihan dalam arti kata "overlapping". Menurut hemal kami tidak demikian adanya. Dari Regionalisme ke Universalisme Justru sebaliknya daripada overlapping, menurut hemal kami apabiJa hukum internaaional hendak berkembang dengan balk, maka dalam terbanyak bodang, harus terlebih dahulu hukum ini melewati suatu fase "regional" se9) Untuk keperluan tiap-tiap Session in~ fihak Sekretariat AALCC yang berpusat di New Delhi mempersiapkan "Briefs" tertentu. yang dipergunakan sebagai Working Paper. a.1 untuk Session ke XX di Seoul 19 - 26 Pebruari 1979 ini : "Brief of documents on international commercial Arbitration for settlement of disputes in commersial transactions" "Brief on Trade Law Matters" dsb. asean 241 belum dapat menjadi suatu sistim sedunia. Bahkan kadang-kadang justru yang berhasil adalah usaha harmonisasi atau kesatuan hukum didalam rangka regional daripada didalam suatu sitim unifikasi yang berlaku untuk seluruh dunia. 10) Tidak dapat disangkal bahwa dalam bidang unifikasi hukum secara internasional, maka organisasi-organisasi regional seperti negara-negara ASEAN yang membatasi usaha mereka untuk negara-negara dari region tertentu, harus dipandang sarna pentingnya bahkan kadang-kadang bisa dianggap lebih penting daripada usaha organisasi dunia. Bahkan dapat dikatakan bahwa juga oleh organisasi-organisasi re~onal mungkin diadakan Konvensi-Konvensi yang mempunyai luas bidang seeara internasional. Dapat dikatakan pula bahwa menurut kenyataannya banyak Konvensikonvensi yang dimaksudkan berlaku seeara universil, hanya berhasil di dalam taraf regional. Misalnya Konvensi tentang wesel dan aksep atau Konvensi mengenai eek dati Jenewa ternyata terutama telah diterima oleh negara-negara Eropah dan tidak oleh negara-negara bukan Eropah Demikian pula Konvensi tentang hukum maritim dari Brussel hanya diterima oleh sekelompok kecil negara-negara bukan Eropah. Yang nyata adalah bah wa unifikasi secara regional didalam bidang hukum sesungguhnya adalah suatu fase yang harus kita lewati sebelum dapat diadakan unifikasi seeara internasional. Hal ini adalah serupa seperti keadannya juga dalam bidang politik. Pernah dikemukakan bahwa orang-orang yang hendak mengusahakan tercapainya suatu sistim hukum perdata yang dapat berlaku untuk seluruh dunia, diibaratkan seperti oraI).g-orang- yang secara tidak capai-capainya menyebar pukat mereka kedalam laut, tetapi tidak pernah mendapatkan ikan. 11) Arlinya usaha ini lerlola idealistis dan kurang riil. Padahal secara lebib riil usaha harmonisasi alau kesatu.n hukum ini dapal tereapai pada raraf regional. Barn setelah taraf regional ini tercapai, ada prospek b.ik unlilk,diperlus kepada taraf intern.sional. 10) 11. Bdgk. Rene David, The international unification of Private law, dalam International Encyclopedia of Comparative Law, vol.I1, h. 51: "If international law is to progress, it must, in most fields, pass through a "regional" stage before begin~ ning a world system, if a world system ever comes to pass" tetapi Mario Matteucci, President dari UNIDROIT mengharapkan agar supaya tidak ada kompetisi yang kurang sehat antara "world-wide unification" dan "regional unification", dengan rnemberikan prioritas kepada yang pertama dengan cara "adopting the method of regional unification only if universal unification is not possible" dalam "The contitution of ~niversal and regional organizations to the development of international trade lawn, dalam SchmiUhof a.c., h. 85 dst. Bdgk. Melli, yang sudah dalam 1889 mengemukakan: "The partisans .o f a general worldwide system of private law .... do not really impress me: they are like those people who indefatigably cast their lines far out to sea, and never catch a fish", dalam Die internationale Unionen uber das Recht der Weltverkehranstalten und des Gcistigen Eigentums (Leipzig 1889, h 57-58, s.d. Rene David, o.c. h.52). Graveson R: H. menjelaskan bahwa untuk berhasilnya unifikasi memang diperlukan kondiSi-kondisi atau prasjarat-prajarat tertentu, a.1. harus ada keinginan untuk unifikasi antara negara -negara tertentu bersangkutan karena alasan--alasan politis, 242 hu.klJ..m dan pembangunan Dari usaha regional keusaha dunia. Dengan demikian kami melihat bah \Va kemungkinan keIja sarna antara negara-negara ASEAN dan para aWi hukum dari negara ASEAN adalah terutama berkenaan dengan diadakannya berbagai usaba daiam rangka hukum dagang Internasional dan kerjasama ekonomi antara negara-negara yang sedang berkembang. Pada scope Regional yang terkecil kerjasama ini dapat diadakan antara negara-negara ASEAN. Dalam scope lebib besar dalam region atau wilayah negara-negara Asia Afrika. Dan kemudian dalam Tanglea lebib besar lagi dalam Iingkungan sedunia dalam rangka Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Tata Ekonomi Internasional Baru Dalam bid.ng ini kiranya d.p.t kit. mengad.kan kerj.sama secara konkrit, secara terkoordinir dap.t ditelaab kembali segal. usah. kerja dan persiapan-persiapan daripada Konvensi-Konvensi Intemasional yang dibuat oleh UNCITRAL sebagai badan khusus darip.da PBB. Misalny. kerjsama diantara negara-negara ASEAN ini dapat didasarkan atas usaha untuk mene- l••h lebib lanjut segala implementasi hukum daripada ap. y.ng din.mak.n sebagai "The New International Economic Order on International Trade .L aw", Hukum Dagang Internasional (Intern.tional Trade Law) ini bisa ditelaat lebib lanjut dan dibabas dalam rangka usaba daripada PBB untuk memberikan dasar bagi apa yang dinamakan "The New International Economic Order." Agar supaya dalam hal ini diperhatikan dan diberi isi kepada "New International Economic Order" ini yang ,eperti diketahui telah diterima baik dalam General Assembly daripada PBB dengan apa yang din.manan Dekl.rasi tentang pembentukan suatu Tata Ekonomi Internasional Ba_Iu" (Declaration on the Establishment of new International Economic Order). Didalam sidan pleno PBB ke-2229 Ig!. I Mei 1974, lelab dilerima "Deklarasi Tata Temb Ekonomi Intemasional yang ~aru" ini. (Resolusi no. 3201 (S-VII). 12) Sebagai landasan Deklarasi ini telab diterima adanya ke[asial atall lain scbab, atau ada kebutuhan ekonomi dan sosial untuk unifIkasi; 12). ada keadaan setaraf dari tingkat sistim-sistim hukum yang hendak dipersatukan; atao ada hasrat untuk perubahan hukum. Gurubesar ini bahkan mengemukakan bahwa mungkin lebih bermanfaat uotuk menetapkan "model laws" daripada membuat konvensi-konvensi intemasional yang terbukti hanya mengenal sukses yang teIbatas. Model laws ini dapat diterirna aleh Hap Negara, tanpa peelu menjadi anggota dari suatu Konperensi dan karenanya terbebas dari kewajiban mernbayar iuran. Lagipula negara-negara ini secara sesukanya. dapat mengubah-ubah atau menerimanya dalam keseluruhan: "They co~ld take and apply just as much as they wished , and th c more variation they made, the less uniform the total result becam e", (The international unification of law, 16 AIel - American Journal of Comparative Law, 1968, h.4 dst., juga ditcrbitkan kembali dalam "One Law on jurisprudence and the unification of law", Selected essays, vol Il, North Holland publishing Coy, Amsterdam - New York - Oxford (1977) h 203 dst. p.h.209 Untuk teks Deklarasi ini,lihat 68 AJlL (American Journal of International Law) Law) h.798 - 801 (1974), juga dalam Lazar Leonard, Transnational Economic and Monetary Law. Oceana Publications (I 977) Dobbs Ferry . N. Y. h.l.S.O 12 asean 243 samarataan kedaulatan disamping interdependensi. kepentingan bersama serta kooperasi antara negara-negara di dunia, dengan tidak memandang sistim-sistim ekonomi maupun sosialnya. Dengan demikian perlu diadakan koreksi atas ketidak-samarataan dan dihilangkan ketidak adilan. Diharapkan pula supaya dapat dihilangkan "gap" yang semakin meluas antara negara-negara yang sedang berkembang dan negara-negara yang sudah maju (Developing dan Developped Countries) Anlara lain dikedepankan dalam hubungan ini bahwa dalam abad setelah kemerdekaan daripada jajahanjajahan kekuasaan asing, maka negara-negara yang telah meredeka ini juga perlu kiranya memperkuat dan memperkembangkan dalam rangka pembangunan tehnologi dan aktivitas ekonomi mereka sebagai potensi yang kekar untuk dapat memperbaild nasib daripada semua negara-negara bersangkutan. Dengan demikian maka semua sisa-sisa daripada pengaruh kekuasaan asing dan penjajahan luar negeri serta diskriminasi harus dihapuskan. Usaha UNCT AD Didalam Deklarasi ini telah dikemukakan bahwa negara-negara berkembang yang terdiri dari 70% penduduk dunia ini, hanya memperoleh 30% daripada penghasilan sedunia. Dengan demikian kalau tidak diadakan perbalkan, akan bertambah besarlah "gap" antara sistim-sistim negara-negara yang sdah maju dan negara-negara yang sedang berkembang ini. Ketidak samarataan akan tetap merajalela, bahkan bertambah. Oleh karena itu maka perlu diadakan suatu perornbakan total dan diciptakan suatu suasana barn didalam seluruh approach dan peninjuan kern bali dalam rangka apa yang dinamakan kerjasama ekonomi secara intemasional dan hukurn dagang internasional ini. Be~enaan dengan itu maka sesuai juga dengan pekerjaan UNCITRAL ini diadakaI;1 usaha bersama pula dalam rangka UNCT AD, United Nations Conference on Trade and Development. Sebagai follow up perIu kiranya diadakan kerjasama Jiantara negara-negara ASEAN lebih lanjut untuk menelaah usahausaha, balk dari UNCITRAL maup~n dati UNCTAD ini. Antara lain kiranya dapat ditelaah berbagai topik-topik khusus, misalnya masalah-masalah kontrak dagang internasional, arbitrase dagang intern asienal. Uniform Rules atau standar kontrak dan formulir-formulirnya, jaminan-jarninan atas'pemberian hutang secara internasionaJ dsb. Secara konkrit kiranya kerjasama antara negara-negara dan para sarjana hukum negara-negara ASEAN ini dapat meliputi persiapan dari peraturan untuk negara ASEAN tentang Kontrak Dagang mengenai arbitrase. Didalam hal ini bisa diadakan kerjasama dengan Asian African Legal Consultative Committee (AALCC) yang sudah membentuk secara konkrit suatu Arbitration Centre di Kualalumpur pada tahun yang lal u disamping Kairo dalam bulan lanuari 1979. Arbitration Centre inipun sudah mengadakan kerjasama dengan World Bank dalarn hal pelaksanaan arbitrase daripada sengketa-sengketa berkenaan dengan penanaman modal. Dalam hubungan ini kiranya negara-negara ASEAN dapat memanfaati kemungkinan untuk mengadakan arbitrase tentang masalah-masalah penanaman modal pada Arbitration Centre di Washington dari lCSID (International Centre for the Settle· ment of Investment Disputes) bcrdasarkan Convention on the Settlement 244 hukum dan pembangunan of Investment Disputes berween States and Nationals of other States. 13) Menurut Persetujuan antara AALCC dan ICSID ini, maka Arbitrase-arbitrase yang mungkin diadakan dibawah naungan Konvensi tentang penyelesaian sengketa mengenai investment dari tahun 1966 sekarang dapat diadakan secara keseluru~an atau sebagian melalui Arbitration Centre AALCC di KuaJalumpur. Dengan demikian maka jika teIjadi suatu perkara arbitrase antara pedagang-peciagang luarnegeri yang telah menanam modal didalam negara ASEAN, dan kemudian hendak melaksanakan arbitrase ini dengan fihak pemerintah-pemerintah dari negara ASEAN bersangkutan, maka segala sesuatu sekarang dapat dilaksanakan melalui Arbitration Centre di Kualalumpur. Jadi tidak perlu lagi disalurkan melalui Washington, tapi cukup dengan Arbitration Centre dari AALCC di Kualalumpur. Memang perjanjian antara AALCC dan World Bank tentang kemungkinan arbitrase sengketa penanaman modal di Kualalumpur pada Arbitration Centre daripada AALCC, menambah prestige daripada Badan Arbitrase AALCC ini. Dengan demikian dapat dikatakan telah diperoleh pengakuan secara positif oleh fihak International Bank for Development and Reconstruction (World Bank) terhadap AALCC ini. Peranan dari negara-negara berkembang dimana justru dimasukan banyak modal dati luarnegeri, mulai diakuL Dimana sebelumnya semua sengketa berkenaan dengan arbitrase penanaman modal yang juga banyak dilakukan dalam negara-negara ASEAN, harus dilakukan meJalui ICSID (Investment Centre for the Settlement of Investment Disputes) di Washington maka sekarang cUkup bahwa persoalan itu diajukan melalui Arbitrasion Centre dari AALCC di Kualalurnpur. lni adalah suatu fasilitas yang dapat memperlancar prosedur Arbitrase. Karenanya dapat diharapkan bahwa dikemudian hari akan bertarnbah kemungkinan terjadinya penyelesaian sengketa-sengketa penanaman modal ini me1alui Arbitration Centre di Kualalumpur Kiranya para sarjana negara-ne- gara ASEAN dapat berkeIjasama dan mengkoordinir usaha-usaha untuk memperkembangkan segala sesuatu berkenaan dengan pelaksanaan arbitrase dari AALCC di Kualalumpur ini. Harmonisasi dan unifikasi hukum dapat kiranya juga diadakan dalam rangka arbitrase dagang internasional dan arbitrase daripada sengketa-sengketa mengenai penanaman modal dinegara-negara ASEAN ini dengan keIjasarna dengan Pusat-pusat Arbitrase dari negara Asia Afrika yang merupakan hasil dati usaha negara-negara berkem bang! Usaha unifikasi kaedah-kaedah HPI Den Haag. Dalam hubungan ini' dapat kiranya diadakan pula keIjasama mengenai kaedah·kaedah HPI yang uniform (Uniform Conflictor Law Rules) satu dan lain seperti dilakukan dalam rangka daripada Konferensi-konferensi Hukum Perdata Internasional di Den Haag. (Hague Conferences on Private International Law). Kiranya diantara para sarjana hukum negara-negara ASEAN dengan disponsori pemerintah m asing-m asing, dapat diadakan usaha kearah penelaah kem bali. dan koordinasi sikap berkenaan dengan hasil-hasil Konpe13) Untuk lembaga ini, lihat Broches, Aron, The international Centre for settlement of investment disputes dalam "Handbook of institutional arbitration in international trade", edited Ernest J. Cohn, Martin Domke, Frederic Eisemann, Northolland Publishing Coy, Amsterdam, New York - Oxford (1977) h.3 dst. 245 asean rensi-Konperensi HPI di Den Haag. 14) Dengan demikian maka akan diterima kaedah-kaedah Hukum Perdata Internasional yang serupa oleh negaranegara ASEAN dalam menghadapi masalah-masalah Hukum Perdata Internasional. Dalam hubungan ini kiranya yang terutama penting dan dapat dibarapkan memperoleh hasil kerjasama yang positif adalah bidang mengenai Huku m Acara Perdata (Convention on Civil Procedure) (dari tg!. I Maret 1954), kemudian Konvensi tentang penghapusan syarat untuk legalis~i. daripada dokumen asing (Convention Abolishing the requirement of legalization for foreign public documents) yaitu yang telah dilangsungkan tg!. 5 Oktober 1961 yang menarik perhatian . Sejalan dengan ini juga dapat diadakan kerjasarna mengenai penerimaan Konvensi ten tang penyampaian panggilan dan lain-lain dokumen hukum diluar negeri dalam perkara-perkara perdata dan dagang (Convention on the Service Abroad of Judicial and Extra Judicial Documents in Civil and Comercial Matters) yang telah dilangsungkan pada tg!. 15 November 1965. Didalam hubungan ini pun menarik perhatian dalam bidang kerjasama negara ASEAN untuk meninjau kern bali dan menerima sedapatnya Konvensi ten tang pengakuan dan eksekusi daripada keputusan-keputusan luarnegeri dalarn perkara-perkara perdata dan dagaI).g (Convention on the Recognition and Enforcement" of Foreign Judgements in Civil and Commercial Matters) yang dilangsungkan tgl. I Februari 1971. Eksekusi keputusan-keputusan luar negeri. Dengan adanya kerjasama dibidang pelaksanaan daripada keputussankeputusan dalam perkara-perkara perdata dan dagang, yang telah diambil dalam negara-negara ASEAN satu terhadap yang lain dapat dillarapkan tercapainya harmorusasi hukum seeara Ie bill. konkrit. Kiranya dapat dipikirkan apakah untuk negara-negara ASEAN ini tidak dapat diterirna suatu naskah perselujuan multilaleral lenlang pengakuan daripada keputusan-keputusan hakirn dalam perkara-perkara dagang dan perdata. Apabila hal ini dapat tercapai, maka keputusan yang misalnya telah dibual oleh Pengadilan di Indonesia dapal juga dilaksanakan dilladapan Pengadilan di Singapur., KUalalumpur, Manila, atau Bangkok, apabila temyata fillak yang kalah mempunyai kekayaan dan hirrta benda dinegara-negara bersangkutan ilu. Maka kemenangan disalahsatu negara ASEAN dapat dilaksanakan pula sebagai keputusan hakim di negara-negara ASEAN lainnya. Tentunya dalam hal ini ada keuntungan dan kerugiannya. Keuntungannya adalah bahwa dengan dernikian maka lebill eratlah hubungan anlara sistirn-sistirn hukum dari negara-negara ASEAN dan pelaksanaannya dalam praktek sehari-hari. 14) 15) Tujuan dari "Conference de la Haye de droit international prive" menurut Anggaran Dasaro)'a tahun 1955 adalah uotuk mencapai "l'unification progressive des regles de droit international privett (pasal 1). Hingga kini telah diterima 26 konvensi-konvensi mengenai macam-macam bidang HPI. UnNI luar-negeri atau "foreign element" ini yang membuat suatu persoalan menjadi bersifat HPI (Hukum Perdata lnternasional) Bdgk. buku kaml, Pengantar Hukum Perdata lnternasional Indonesia, penerhitan Badan Pembinaan Hukum Nasional - Binaeipta, Bandung (1977) h.4 dst. 246 hukum dan pembangunan Keputusan yang tercapai kiranya dapat berarti dalam memperoleh hasH eksekusi tanpa diperlukan mengajukan perkara haIu lagi di masing-masing negara dimana fihak yang kalah mempunyai harga bendanya. Seperti keadaannya sekarang, seorang yang telah menang di Singapore misalnya, tidak mungkin untuk melaksanakan keputusan itu dihadapan Pengadilan di Indonesia. Pengadilan-pengadilan di Indonesia tidak akan memberikan bantu an dan tidak dapat melaksanakan keputusan-keputusan dari negara-negara ASEAN lainnya termasuk daripada negara Singapore itu karena tidak ada suatu perjanjian khusus antara negara-negara ASEAN bersangkutan mengenai pelaksanaan dan pengakuan dari keputusan-keputusan pengadilan dalam perkara perdata dan dagang ini (Executie-verdrag). Sepanjang belum ada persetujuan semacam itu , maka hakim di Indonesia terpaksa harus meme- . gang teguh pada ketentuan dalam pasal 436 RV yang mengatakan bahwa keputusan-keputusan luar negeri tidak ada artinya dan tidak dapat dilaksana- kan disini. Tetapi persoalan hukum yang telah diputus oleh Pengadilan diluar negeri ini, harus sekali lagidiajukan sebagai perkara biasa dihadapan Pengadilan di Indonesia. 16) . Usaha AALCC dalam rangka New York Convention 1958. Sejaian adalah usaha daripada negara-negara Asia Afrika yang tergabung dalam Asian African Legal Consultative Committee untuk mengadakan suatu persetujuan khusus tentang pelaksanaan keputusan-keputusan arbitrase didalam negara-negara Asia Afrika. lni merupakan kerjasama dalam suatu bi- dang yang mungkin dalam pola besamya dapatditrapkan kepada Convention tentang Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards dari 'enewa tahun 1927 yang kemudian telah disusul dengan New York Convention dibawah naungan PBB tahun 1958 tentang pengakuan dan pelaksanaan daripada keputusan-keputusan arbitrase secara internasional (Convention on the Recognition and Enforcement of Foreig Arbitral Awards). Selama usaha ini dikerahkan terutama dalam bidang-bidang perdagangan internasional dan juga berkenaan dengan hukum Acara Perdata Interna- tional, dapat diadakan kerjasama yang bermanfaat secara konkrit kearah harmonisasi dan unifikasi dari pada kaedah -kaedah hukum diantara negara- negara .ASEAN. Manfaat yang praktis nampak sekali dan hubungan erat antara negara-negara ASEAN akan bertambah' dengan adanya kerjasama dibidang hukum ini. "Hamburg Rules" 1978 Mungkin dalam hubungan ini dapat pula diperhatikan kerjasama dan hannonisasi kearah diterimanya Konvensi dari pada pengangkutan intern asional melalui laut (International Transport) yang diwaktu akhir-akhir ini at as prakarsa UNCITRAL telah menghasilkan revisi secara konkrit daripada apa yang dinamakan "Hague Rules" yang hingga kini merupakan pegangan 16) 8dgk untuk persoalan ini, karangan kami Pengakuan dan pelaksanaan daripada Keputusan-Keputusan Luar Negari di Indonesia dalam "Kontrak Dagang InternasionaI" Penerbit Alumni, Bandung (1976) h.4 7 dst . 247 asean untuk persoalan-persoalan "Bills of Lading". Dengan diterimanya apa yang dinamakan "Hamburg Rules" yait~ Konvensi dibawab prakarsa UNCITRAL yang telab diadakan dalam bulanl Maret 1978 di Hamburg, maka kita saksikan bahwa bertambahlan perhatian; daripada negara-negara yang sedang berkembang dalam bidang bersang-' kutan. 17) Seperti diketabui isi daripada Hamburg Rules ini adalah lebih menguntungkan untuk posisi daripada fihak negara-negara berkembang yang memakai kapal-kapal dari pada pemilik-pemilik kapal negara-negara yang sudah maju. Didalam hubungan ini dapat kami kemukakan suatu hal yang menarik . perhatian. Pada waktu salah satu sidang dari pada Sub-Committe on Trade La w Asian African Legal Conference di Seoul beberapa minggu yang lalu (Akhir Febmari 1979) Sekretaris dari UNCITRAL yang khusus diundang pada sidang AALCC terse but yaitu Mr. W.V. Vis, telab menceritakan penga- , lamannya tentang apa yang dinamakan hasil yang baik daripada suatu usaha kerjasama secara konkrit negara-negara berkembang di dalam menghasilkan Hamburg Rules ini. Para wakil dati negara yang khusus memiliki banyak kapal telah menyatakan tidak akan menyetujui dan keberatan terhadap Hamburg Rules ini. Pokoknya, dari fihak mereka tidak akan dimulai dengan menandatangani Konvensi Hamburg Rules bersangkutan. Tetapi, apabila menurut kenyataannya negara-negara berkembang terbanyak akan mulai menandatangainya, maka barulah merekapun akan mengadakan langkah- langkah kearab turut serta dalam Konvensi Hamburg Rules terse but. Kesirnpulan Penutup. Disinilab justm salah satu contoh daripada dapat diadakannya koordinasi dan hannonisasi hukum dalam bidang internasional yang dipers~pkan semula dari rangka regional. Diantara negara-negara ASEAN dapat diadakan persiapan-persiapan untuk mempelajari kemwtgkinan-kemungkinan menerima Hamburg Rules ini secara seirama dalam menentukan sikap d.an menyusun amandemen-amandemen atau reserve clauses yang kiranya perIu diadakan pada Konvensi. yang di harapkan berIaku secara internasional ini. Demildan pula kiranya usaha kearah bidang revisi daripada Konvensi tentang International. Sales of Goods yang kini sedang disiapkan oleh UNCITRAL dan telab dibahas pula oleh AALCC dalam rangka negara-negara Asia Afrika. Juga negara-negara ASEAN kiranya dalam hal ini dapat mengadakan kerjasama untuk rnenentukan sikap. Dalam hubungan ini maka dapat dipusatkan koordinasi daripada kerjasama dan penentuan sikap secara bersa- rna dari negara-negara ASEAN dan sarjana hukum ASEAN dalam menghadapi Konvensi-konvensi internasional daripada UNCITRAL, UNCTAD Konferensi- konferensi Hukum Perdata Internasional Den Haag, karya-karya UNIDROIT dan sebagainya. 17) Bdgk untuk usaha-usaha dalam bidang pengangkutan laut ini Kurt Gronfors "Universalims and regionalism in the law of carriage by sea", dalam Schmitthoff o.c. h.147 dst.