1 KEBIJAKAN DAN PELAYANAN PUBLIK BAGI MASYARAKAT

advertisement
KEBIJAKAN DAN PELAYANAN PUBLIK BAGI MASYARAKAT ADAT
DI ERA GLOBALISASI DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAM
Orasio untuk Dies ke-56 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Katolik Parahyangan
Oleh: Dr. Indraswari
Yang terhormat perwakilan dari Yayasan Universitas Katolik Parahyangan, Bapak Rektor dan
jajarannya, Bapak Dekan FISIP dan jajarannya, Ketua Program Studi FISIP dan jajarannya,
perwakilan alumni FISIP, panitia Dies ke-56 FISIP yang saya hormati, para undangan sekalian,
rekan-rekan semua yang banyak berkontribusi dalam penyelenggaraan orasio ini, dan adik-adik
mahasiswa yang saya cintai. Merupakan kebanggaan dan kebahagiaan yang luar biasa bagi saya
sebagai pembaca orasio kali ini bahwa bapak, ibu, dan saudara-saudara sekalian menyempatkan
hadir pada acara yang amat penting bagi FISIP Unpar.
Sesungguhnya pada Bulan Agustus ini ada beberapa event penting. Di Unpar kita memperingati
dies ke-56 atau peringatan hari lahir Fisip Unpar yang jatuh pada tanggal 19 Agustus. Di tingkat
nasional kita memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-72 yang jatuh pada tanggal
17 Agustus. Di tingkat internasional kita memperingati hari masyarakat adat sedunia (the
international day of the world’s indigenous peoples) pada tanggal 9 Agustus yang dideklarasikan
pengesahannya oleh PBB melalui resolusi nomor 49/214 pada tanggal 23 Desember 1994.
Dies ke-56 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan kali ini
mengusung tema Globalizing local issues. Dalam konteks tersebut saya akan membawakan subtema “kebijakan dan pelayanan publik bagi masyarakat adat di era globalisasi ditinjau dari
perspektif HAM”.
Dalam literatur ada berbagai peristilahan masyarakat adat yaitu: masyarakat adat, masyarakat
hukum adat dan masyarakat traditional. Dalam bahasa Inggris istilah yang lazim digunakan adalah
1
indigenous society, indigenous communities, traditional society. Istilah-istilah tersebut seringkali
digunakan secara cair. Dalam makalah ini istilah yang dipakai adalah masyarakat adat.
Adapun pengertian indigenous people adalah:
Indigenous communities, peoples and nations are those which, having a
historical continuity with pre-invasion and pre-colonial societies that developed
on their territories, consider themselves distinct from other sectors of the
societies now prevailing on those territories, or parts of them. They form at
present non-dominant sectors of society and are determined to preserve, develop
and transmit to future generations their ancestral territories, and their ethnic
identity, as the basis of their continued existence as peoples, in accordance with
their own cultural patterns, social institutions and legal system (Cobo study
dikutip dalam APF dan OHCHR, 2013:6).
Kongres Masyarakat Adat Nusantara pada tanggal 17 Maret 1999 mendefinisikan masyarakat adat
adalah “komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di
atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial
budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan
kehidupan masyarakatnya”.
Mengutip Irianto (2016) “NKRI bukan satu-satunya “nation” karena di nusantara ini terdapat
“nation” lain yang kecil, tua, berbasis kesukubangsaan. ‘Nation’ itulah masyarakat adat”. Salah
satu masalah masyarakat adat menurut Irianto adalah ketiadaan identitas hukum sebagai penghayat
[kepercayaan]. Kebudayaan masyarakat adat berkelindan dengan kepercayaan/agama asli, tetapi
justru itulah mereka dipolitisasi sebagai “liyan”. [Padahal] keberadaan penghayat kepercayaan dan
pemeluk agama leluhur telah hadir jauh sebelum Indonesia sebagai negara-bangsa berdiri.
Sebelum agama-agama yang kini dikenal sebagai agama “resmi” negara – Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Konghucu - ini berkembang, masyarakat nusantara telah memiliki
keanekaragaman kepercayaan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat setempat dari generasi
ke generasi (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya Seni dan
Film, 2009:7).
Berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) diperkirakan terdapat 60-70 juta
masyarakat adat atau 24-28% dari total penduduk Indonesia sebesar 250 juta jiwa. Sebagian dari
2
mereka merupakan penganut kepercayaan dan tinggal di wilayah pedesaan.
Di satu sisi konstitusi UUD 1945 dan berbagai kebijakan mengakui keberadaan masyarakat adat.
Di sisi lain masih ada kebijakan yang diskriminatif dan berkontribusi terhadap marginalisasi
masyarakat adat, tidak terpenuhinya hak asasi manusia dan mereka tidak mendapatkan pelayanan
publik sebagaimana mestinya.
Ada banyak masalah yang dihadapi masyarakat adat terkait dengan sumber daya alam, hutan dan
kepemilikan lahan. Dalam makalah ini pembahasan masalah masyarakat adat – termasuk di
dalamnya perempuan adat - difokuskan pada aspek kebijakan publik khususnya kebijakan
administrasi kependudukan dan kaitannya dengan akses terhadap pelayanan publik. Analisis
dibangun dalam perspektif hak asasi manusia (HAM) khususnya hak ekonomi, sosial dan budaya.
Sebagai penutup disampaikan kesimpulan dan usulan kontribusi yang dapat dilakukan perguruan
tinggi dalam pemberdayaan masyarakat adat.
Masyarakat adat dalam bingkai NKRI
Para hadirin yang saya hormati.
Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masyarakat adat adalah warga negara
Indonesia yang setara kedudukannya dengan warga negara lain.
Konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945 pasal 18B(2)
menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pasal 28I(3) menyatakan ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Sebagai warga negara Indonesia, hak asasi masyarakat adat dijamin oleh hukum. Pasal 1 UU
nomor 39/1999 tentang hak asasi manusia menyatakan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
3
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia”.
Secara khusus perlindungan HAM masyarakat adat tertulis dalam pasal 6 UU nomor 39/1999
yaitu: 1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat
hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah; 2)
Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras
dengan perkembangan zaman.
Hak asasi manusia terdiri dari hak sipil politik dan hak ekonomi, sosial, budaya. Indonesia telah
meratifikasi kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang tertuang dalam UU
nomor 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (kovenan
internasional tentang hak-hak sipil dan politik). Demikian pula kovenan internasional tentang hakhak ekonomi sosial dan budaya telah diratifikasi dalam UU nomor 11/2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (kovenan internasional tentang
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya).
Sebagian masyarakat adat tinggal di wilayah yang secara administratif termasuk dalam kategori
desa. Dalam pemerintahan, kebutuhan mereka diakomodasi dalam UU nomor 23/2014 tentang
pemerintahan daerah. Pasal 1 ayat 43 UU tersebut menyatakan:
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia”. Secara spesifik UU nomor 6/2014 tentang Desa mengatur desa adat yang tertuang dalam bab XII
pasal 94-95 tentang lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa, serta bab XIII pasal 96111 tentang ketentuan khusus desa adat. Pada intinya pasal-pasal tersebut mengatur tentang
masyarakat adat dan mengakomodasi kepentingan mereka dalam struktur pemerintahan desa,
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, pelestarian adat istiadat dan hukum adat.
4
Sebagai warga negara Indonesia, masyarakat adat berhak mendapatkan pelayanan administrasi
kependudukan. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 UU nomor 24/2013 tentang Perubahan atas Undangundang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, pengertian administrasi
kependudukan adalah “… rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen
dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi
administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan
pembangunan sektor lain”.
Pemenuhan hak warga negara dalam administrasi kependudukan berimplikasi pada pelayanan
publik yang mereka terima. Berdasarkan pasal 1 UU nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik,
pelayanan publik adalah “… kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang- undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik”.
Ada pula Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat
yang saat ini merupakan salah satu prioritas dari program legislasi nasional (prolegnas). Pada
intinya RUU tersebut mengatur seluk beluk masyarakat adat termasuk di dalamnya hak dan
kewajiban masyarakat adat, tugas dan wewenang pemerintah, kelembagaan masyarakat adat,
pemberdayaan, pendanaan, penyelesaian sengketa, pusat data dan informasi dan peran serta
masyarakat adat.
Masalah yang dihadapi masyarakat adat khususnya para penghayat kepercayaan dan penganut
agama leluhur terkait administrasi kependudukan, diuraikan berikut ini dengan rujukan utama
laporan pemantauan Komnas Perempuan [b] (2017).
Kebijakan administrasi kependudukan dan pelayanan publik bagi masyarakat adat
Para hadirin yang saya hormati,
Masalah masyarakat adat terkait kebijakan administrasi kependudukan dan pelayanan publik erat
kaitannya dengan agama/kepercayaan yang mereka anut.
5
Pada umumnya masyarakat adat menganut agama/kepercayaan dari leluhur diluar agama “resmi”
yang diakui pemerintah1. Pemantauan yang dilakukan Komnas Perempuan meliputi: masyarakat
adat Sunda Wiwitan di Kuningan Jawa Barat; komunitas penghayat Sapta Darma di Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur; masyarakat penganut Kaharingan di Kalimantan Tengah;
masyarakat adat Bayan Wetu Telu di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat; masyarakat adat Botti
dan Jinitiu di Nusa Tenggara Timur; masyarakat Adat Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan;
masyarakat adat Bissu di Pangkep, Sulawesi Selatan, masyarakat adat Tolotang di Sulawesi
Selatan; masyarakat adat Ngatatoro di Palu, Sulawesi Tengah; masyarakat adat Musi, Sulawesi
Utara (Komnas Perempuan [b], 2017)
Ada tiga istilah yang merujuk pada penganut agama/kepercayaan di luar agama ”resmi” yang
diakui negara yaitu: penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan pelaksana ritual adat
(Komnas Perempuan [b], 2017). Istilah penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur
merujuk pada mereka yang memeluk agama/kepercayaan yang diwariskan turun-temurun dan
tidak termasuk salah satu dari enam agama “resmi” berdasarkan pengaturan UU No. 1/PNPS/1965
[tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama] (ibid). Pelaksana ritual adat,
yaitu mereka yang pada saat bersamaan memeluk salah satu dari enam agama “resmi” negara
sambil juga tetap melanjutkan tradisi-tradisi ritual kepercayaan yang dimaknai sebagai bagian dari
kegiatan adat (ibid).
Para penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan pelaksana ritual adalah kelompok
minoritas dalam masyarakat Indonesia. Untuk konteks Indonesia ruang lingkup minoritas adalah:
1)
2)
3)
4)
5)
Kelompok minoritas ras
Kelompok minoritas etnis
Kelompok minoritas agama dan keyakinan
Kelompok penyandang disabilitas
Kelompok minoritas berdasarkan identitas gender dan orientasi seksual
(Komnas HAM [a], 2016)
1
Pernyataan ini tidak berarti bahwa para penganut kepercayaan hanya dari kalangan masyarakat adat saja. Ada
pula penganut kepercayaan yang tidak termasuk kategori masyarakat adat.
6
Berdasarkan kategori di atas, masyarakat adat penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur
termasuk dalam kategori kelompok minoritas etnis, agama dan keyakinan. Dalam hal keyakinan
status mereka sebagai minoritas terkait dengan UU nomor 1/PNPS/1965 yang mengatur tentang
agama “resmi” sebagaimana disebutkan diatas dan Tap MPR nomor IV/MPR/1978 tentang Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN) yang menegaskan bahwa “aliran kepercayaan terhadap Tuhan
yang Maha Esa tidak merupakan agama”. Dengan demikian hal ini merupakan suatu diskriminasi
terhadap penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur.
Para hadirin yang saya hormati,
Diskursus agama/kepercayaan sebagai ranah pribadi tampaknya tidak berlaku bagi masyarakat
adat penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur. Tidak menganut salah satu dari enam
agama “resmi” yang diakui negara berdampak pada pencatatan data kependudukan yang berbeda
dengan penganut agama “resmi” serta diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Diskriminasi khususnya menimpa para penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur.
Pelaksana ritual adat berada dalam kondisi relatif lebih baik karena secara administratif mereka
tercatat sebagai pemeluk salah satu dari enam agama “resmi” yang diakui negara. Diskriminasi
yang menimpa para penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur secara spesifik terjadi
dalam area sebagai berikut:
1. Diabaikan dalam administrasi kependudukan, yaitu:
-
Akses pencatatan perceraian yang dipersulit.
Hambatan pembuatan akta lahir
Hambatan pencatatan perkawinan
Hambatan pembuatan KTP
Hambatan pembuatan kartu keluarga
2. Dibedakan dalam akses pekerjaan dan manfaatnya, yaitu:
-
Pemecatan
Dihambat akses pekerjaan dan promosi
Kehilangan tunjangan dan fasilitas
3. Dihambat mengakses bantuan pemerintah.
4. Dibedakan dalam akses pendidikan, yaitu:
7
-
Pemaksaan keyakinan
Dihambat akses administrasi siswa
Pemaksaan busana
5. Pelarangan keyakinan, yaitu:
-
Kesulitan mendirikan rumah ibadah
Kesulitan dalam melaksanakan upacara keagamaan/upacara adat
Dihalangi akses pemakaman
(Komnas Perempuan, 2017 [b])
Masalah nomor 1 adalah masalah yang terkait langsung dengan kebijakan administrasi
kependudukan. Masalah nomor 2-4 adalah masalah lanjutan/dampak dari masalah nomor 1.
Masalah nomor 5 adalah masalah yang terkait langsung dengan ketentuan enam agama resmi yang
diakui pemerintah sesuai UU nomor 1/PNPS/1965 dan Tap MPR nomor IV/MPR/1978.
Dalam hal administrasi kependudukan, posisi sebagai penghayat kepercayaan dan penganut agama
leluhur membuat mereka sulit untuk mendapatkan dokumen-dokumen seperti kartu tanda
penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), akta nikah, akta kelahiran.
Berdasarkan UU nomor 24/2013 tentang Perubahan atas UU nomor 23/2006 tentang Administrasi
Kependudukan, dalam KTP elektronik penduduk yang menganut agama di luar agama “resmi”
yang diakui negara, kolom agama tidak diisi atau dikosongkan. Pasal 64 ayat 1 dan 5 UU nomor
24/20132 menyatakan:
1) KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK,
nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan,
golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku,
tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el;
5) Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi
tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
2
Garis bawah oleh penulis.
8
Tentang kartu keluarga (KK) pasal 61 UU nomor 23/20063 tentang Administrasi Kependudukan
menyatakan:
1) KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala
keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal
Iahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam
keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua;
2) Keterangan rnengenal kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi
tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. Kebijakan administrasi kependudukan terkait kolom agama mengakibatkan sebagian masyarakat
adat penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur tidak memiliki KTP atau memiliki KTP
dengan kolom agama dikosongkan atau diberi tanda strip (-), keduanya berdampak negatif.
Tidak memiliki KTP berdampak pada terhambatnya akses terhadap dokumen kependudukan lain.
Seseorang yang tidak memiliki KTP maka pernikahan mereka hanya dapat dilaksanakan secara
adat/agama/kepercayaan. Bagi penghayat yang memilih ‘tidak berorganisasi’ dan tidak memiliki
KTP, perkawinan mereka tidak tercatat oleh negara dan tidak mendapatkan akta nikah sebagaimana
ketentuan PP nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU nomor 23/2006 tentang Administrasi
Kependudukan pasal 814 sebagai berikut:
1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka Penghayat
Kepercayaan;
2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan
ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani
surat perkawinan Penghayat Kepercayaan;
3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftar pada
kementrian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pasal 82 UU nomor 23/2006 sebagai berikut:
1)
Peristiwa perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (2) wajib
dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana paling lambat
60 (enam puluh) hari dengan menyerahkan: surat perkawinan Penghayat
Kepercayaan, foto kopi KTP, pas foto suami dan istri, akta kelahiran dan paspor
suami dan atau istri bagi orang asing.
Pasal 61 UU nomor 23/2006 tidak termasuk pasal yang diubah dalam UU nomor 24/2013 tentang perubahan atas
UU nomor 23/2006 tentang administrasi kependudukan. Garis bawah oleh penulis.
4
Garis bawah oleh penulis.
3
9
Selanjutnya pasangan yang tidak memiliki KTP dan atau surat nikah, tidak dapat memiliki kartu
keluarga. Tanpa surat nikah, anak-anak hasil pernikahan di kalangan masyarakat adat penghayat
kepercayaan dan penganut agama leluhur dianggap bukan anak yang lahir dari hubungan
pernikahan. Dalam pencatatan kelahiran anak-anak ini tercatat sebagai anak ibu atau anak yang
lahir di luar nikah. Ketika tinggal diluar komunitas mereka rentan dikriminalkan sebagai pasangan
yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan karena tidak mempunyai akta nikah. Anak-anak
mereka mendapat stigma negatif sebagai anak yang lahir di luar nikah.
Tidak memiliki KTP artinya tidak dapat atau potensial tidak dapat mengakses pelayanan publik,
karena pelayanan publik diberikan berbasis nomor identitas kependudukan (NIK) sebagaimana
amanat pasal 645 UU nomor 24/2013 tentang Perubahan atas UU nomor 23/20016 tentang
Administrasi Kependudukan.:
1) KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu
NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status
perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto,
masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan
pemilik KTP-el;
2) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi nomor identitas tunggal
untuk semua urusan pelayanan publik;
3) Pemerintah menyelenggarakan semua pelayanan publik dengan berdasarkan
NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
4) Untuk menyelenggarakan semua pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), pemerintah melakukan integrasi nomor identitas yang telah ada dan
digunakan untuk pelayanan publik paling lambat 5 (lima) tahun sejak UndangUndang ini disahkan;
5) Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan
tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
Ruang lingkup pelayanan publik sebagaimana ketentuan pasal 5 UU nomor 25/2009 adalah:
1) Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa
5
Garis bawah oleh penulis.
10
publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundangundangan;
2) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendidikan,
pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi,
lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan,
sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya. Kebijakan negara yang hanya mengakui enam agama “resmi”, kebijakan pengosongan atau
penulisan tanda strip (-) dalam kolom agama KTP bagi penghayat kepercayaan dan penganut
agama leluhur bertentangan dengan prinsip HAM sebagaimana mandat UU nomor 39/1999
tentang HAM.
Kebijakan tersebut juga bertentangan dengan prinsip non diskriminasi dalam pelayanan publik
sebagaimana diamanatkan dalam pasal 344 ayat 2 UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah6
sebagai berikut:
Pelayanan publik diselenggarakan berdasarkan pada asas:
a. kepentingan umum;
b. kepastian hukum;
c. kesamaan hak; d. keseimbangan hak dan kewajiban;
e. keprofesionalan;
f. partisipatif;
g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h. keterbukaan; i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k. ketepatan waktu; dan
6
Garis bawah oleh penulis.
11
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Tidak perlu menunggu hingga tahun 2018 atau lima tahun setelah pemberlakuan UU 24/2013
terkait NIK yang akan menjadi dasar pelayanan publik. Pemantauan Komnas Perempuan [b]
(2017) yang dilakukan pada tahun 2010-2014 menunjukan berbagai masalah yang dihadapi para
penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur yang berpangkal dari pembedaan dalam
pelayanan administrasi kependudukan.
Anak yang lahir dari orang tua tanpa surat nikah7 dan atau kedua orang tua tidak memiliki KTP,
mengalami kesulitan mendapatkan akte lahir. Tidak memiliki akte lahir berdampak pada kesulitan
akses terhadap pendidikan, dimana pendaftaran sekolah mensyaratkan akte tersebut. Saat dewasa,
anak yang terpinggirkan dari akses pendidikan menjadi tidak berkeahlian, sulit mendapat
pekerjaan yang layak dan sangat potensial jatuh miskin.
Dalam hal anak penghayat kepercayaan/penganut agama leluhur yang dapat mengakses
pendidikan formal, mereka tidak mendapatkan pelajaran agama sesuai agama/kepercayaan yang
dianut dan terpaksa mengikuti salah satu pelajaran agama yang “resmi” diakui negara. Hal ini
merupakan salah satu bentuk pemaksaan keyakinan yang bertentangan dengan prinsip HAM.
Masyarakat adat penghayat kepercayaan/penganut agama leluhur yang memiliki KTP dengan
kolom agama dikosongkan atau diberi tanda strip (-) tidak pula menyelesaikan masalah, karena
mereka rentan mendapat stigma sebagai komunis atau atheis yang berdampak pada kesulitan
pemenuhan HAM khususnya hak sosial ekonomi dan budaya yaitu hak untuk mengakses
pekerjaan, akses perbankan, akses bantuan pemerintah.
Dalam hal pekerjaan, hal yang lazim di Indonesia para perekrut tenaga kerja di sektor pemerintah
dan swasta mensyaratkan KTP. Membuka rekening bank mensyaratkan KTP. Bermobilitas
menggunakan sarana transportasi publik seperti kereta api dan pesawat terbang juga mensyaratkan
KTP. Bepergian ke luar negeri membutuhkan paspor dan pembuatan paspor mensyaratkan KTP.
7
Yaitu orang tua penghayat kepercayaan/penganut agama leluhur yang menikah secara adat/agama/kepercayaan dan
tidak tercatat oleh negara.
12
Akses terhadap program pemerintah seperti bantuan finansial bagi masyarakat miskin, kredit
usaha, beasiswa pendidikan, pelayanan asuransi kesehatan semuanya mensyaratkan KTP.
Perlu ditambahkan disini untuk mengakses berbagai hal di atas syarat pemilikan KTP bukan
sekedar KTP namun KTP dengan kolom agama yang diisi salah satu dari agama “resmi” yang
diakui negara.
Masyarakat adat penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur juga kesulitan menjalankan
agama/kepercayaan mereka khususnya dalam hal pendirian rumah ibadah, kesulitan dalam
melaksanakan upacara keagamaan/upacara adat dan akses pemakaman umum. Semua hal ini
adalah dampak dari UU nomor 1/PNPS/1965 dan Tap MPR nomor IV/MPR/1978 yang memuat
klausul tentang agama “resmi” yang diakui negara yang bertentangan dengan prinsip HAM.
Para hadirin yang saya hormati,
Kebijakan terkait pelayanan publik jelas menyebutkan perlakuan non-diskriminatif8 - semestinya
berlaku pula bagi para penghayat kepercayaan/penganut agama leluhur - melalui perlakuan khusus
dalam KTP-el yaitu kolom agama bagi penghayat kepercayaan/penganut agama leluhur tidak diisi
tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam data base kependudukan9. Dalam praktik “non
diskriminatif” dan “tetap dilayani” tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pengosongan kolom
agama atau pengisian dengan tanda strip (-) itu sendiri adalah perlakuan diskriminatif yang
menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, ketidaksetaraan yang merugikan bukan hanya
masyarakat adat penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur, melainkan juga merugikan
bangsa.
Dalam kerangka kebijakan publik, formulasi–implementasi–evaluasi kebijakan, adalah kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Formulasi kebijakan penulisan kolom agama di KTP yang sejak awal
membedakan penganut agama “resmi” dan “tidak resmi” tidak dapat dibenarkan. Formulasi
8
Pasal 344 ayat 2 UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah.
Pasal 64 ayat 1 dan 5 UU nomor 24/2013 tentang Perubahan atas UU nomor 23/20016 tentang Administrasi
Kependudukan.
9
13
tersebut (pasal 61 dan 64 UU administrasi kependudukan) secara vertikal bertentangan dengan
kebijakan yang lebih tinggi yaitu konstitusi UUD 1945 khususnya pasal 28A-J tentang hak asasi
manusia dan secara horisontal dengan kebijakan yang setara yaitu UU 39/1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Bermasalah pada formulasi kebijakan menimbulkan masalah lanjutan pada tataran
implementasi. Meskipun terdapat klausul “tetap dilayani” dalam konteks administrasi
kependudukan dan “non diskriminatif” dalam konteks pelayanan publik, terjadi kebingungan bagi
para pelaksana di lapangan. Akibatnya masyarakat terkait yang menjadi korban, HAM mereka
dilanggar
Berdasarkan konstitusi UUD 1945, pelanggaran atau potensi pelanggaran hak asasi manusia yang
menimpa masyarakat adat terkait agama/kepercayaan yang berada diluar agama “resmi” yang
diakui negara adalah:
1. Hak atas kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan (pasal 27[1], pasal 28D
[1], pasal 28D[3]).
2. Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya (pasal 28C[1]).
3. Hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan diri secara itu sebagai
manusia yang bermartabat (pasal 28H[3]).
4. Hak mendapat pendidikan (pasal 31[1], pasal28C[1]).
5. Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan (pasal 28E[2]).
6. Hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya (pasal 28E[1], pasal
29[2]).
7. Hak untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani (pasal 28E[2]).
8. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27[2]).
9. Hak untuk bekerja dan mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja (pasal 28D[2]).
10. Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin (pasal 28H[1]).
11. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan (pasal 28H[1]).
12. Hak untuk membentuk keluarga (pasal 28B[1]).
13. Hak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan dan kepastian hukum yang adil (pasal
28D[1])
14. Hak atas perlakuan yang sama dihadapan hukum (pasal 28D[1], pasal 27 [1]).
15. Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (pasal 28G[1]).
16. Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun (pasal 28I[2]).
17. Hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 28B[2], pasal 28I[2].
14
Sejauh ini telah diuraikan salah satu masalah masyarakat adat di Indonesia yaitu pencatatan data
kependudukan (agama) yang sepintas terlihat sederhana ternyata kompleks. Pencatatan data
kependudukan bukan masalah administrasi semata. Dibalik pencatatan yang membedakan
penganut agama “resmi” dan “tidak resmi” adalah masalah pengakuan identitas penduduk yang
selanjutnya berdampak pada pemenuhan hak asasi manusia.
Dalam makalah ini dibahas HAM masyarakat adat khususnya hak ekonomi, sosial dan budaya.
Namun sesungguhnya HAM yang dilanggar meliputi pula hak sipil dan politik. Ketiadaan identitas
penduduk (KTP) membuat masyarakat adat tidak dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan
umum.
Masalah Perempuan Adat
Para hadirin yang saya hormati,
Di muka telah diuraikan berbagai masalah administrasi kependudukan dan pelayanan publik yang
dihadapi masyarakat adat, laki-laki dan perempuan. Namun sebagai perempuan ada hal-hal khusus
terkait pelanggaran HAM, diskriminasi dan kekerasan yang menimpa mereka.
Akar masalah pelanggaran HAM bagi perempuan adat adalah “Perempuan adat mengalami beban
ganda (multiple effect) dalam patriarki negara dan adat. Perempuan adat tak hanya berhadapan
dengan tidak atau belum adanya pengakuan sebagai masyarakat hukum adat, tapi juga dominasi
masalah-masalah adat yang tak mengangkat masalah-masalah perempuan adat” (Komnas HAM,
2016:58).
Terkait perempuan adat kita perlu merujuk pada kerangka konsep pemenuhan HAM yang
dikembangkan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Adapun
yang dimaksud sebagai diskriminasi perempuan berdasarkan pasal 1 CEDAW, yaitu:
“...pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dilakukan atas dasar jenis kelamin yang
memiliki dampak atau dengan tujuan untuk mengurangi atau mengabaikan pengakuan,
penikmatan dan penggunaan oleh perempuan, terlepas dari status perkawinannya, atas dasar
15
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, hak asasi dan kemerdekaan fundamental mereka di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan lainnya.”
Selanjutnya pasal 2-5 konvensi CEDAW mengikat negara untuk mengambil tindakan segera
secara cermat untuk menghasilkan secara efektif kesetaraan substantif antara perempuan dan lakilaki dalam hal akses, penikmatan maupun manfaat dari perlindungan hak mereka sebagai manusia.
Pasal 3-16 memuat sejumlah topik khusus dalam persoalan kesetaraan gender, termasuk dalam hal
akses terhadap pendidikan, kesehatan, politik, kewarganegaraan dan dalam hubungan perkawinan
dan keluarga. Persoalan relasi kuasa yang ada di dalam masyarakat antara laki-laki dan perempuan
perlu menjadi perhatian sebab dalam kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan, ditengarai
perempuan berada dalam posisi yang lebih rentan karena dia perempuan.
Konvensi CEDAW juga memuat pemaknaan tentang kekerasan dan keterkaitannya dengan
diskriminasi. Pemaknaan ini dipandang penting karena tidak secara serta-merta negara menangkap
keterkaitan yang erat antara diskriminasi terhadap perempuan dengan pelanggaran hak-hak asasi
dan kemerdekaan fundamental yang dialami perempuan.
Dalam hal pengalaman perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan pelaksana
ritual adat, maka basis diskriminasi yang mereka alami tidak saja karena gendernya. Pengalaman
kekerasan dan diskriminasi itu juga hadir terkait dengan identitasnya sebagai pemeluk
agama/kepercayaan tertentu.
Di tingkat komunitas perempuan adat seringkali terpinggirkan dalam pengambilan keputusan.
Akibatnya suara mereka jarang terdengar, kepentingan mereka tidak terakomodasi. Perempuan
adat juga rentan mengalami diskriminasi berlapis artinya basis diskriminasi yang mereka alami
bersumber pada lebih dari satu faktor. Pengalaman kekerasan dan diskriminasi mereka terkait
dengan
identitasnya
sebagai
perempuan,
perempuan
adat
dan
sebagai
penghayat
kepercayaan/penganut agama leluhur.
Sebagai contoh laki-laki dan perempuan yang memiliki anak “di luar nikah”10 sama-sama
10
Karena menikah secara agama/kepercayaan/adat dan tidak memiliki akta nikah.
16
mendapat stigma negatif. Namun perempuan menanggung stigma lebih berat sebagai perempuan
yang tidak bermoral. Perempuan yang menikah secara agama/kepercayaan/adat juga rentan
kehilangan perlindungan negara dalam perkawinan akibat pernikahannya tidak tercatat oleh
negara. Peran gendernya di dalam keluarga menyebabkan perempuan sebagai ibu sangat
menguatirkan dampak tidak dapat menghadirkan akta lahir terhadap kehidupan anaknya,
terhambatnya akses pendidikan, tidak bisa mengakses asuransi kesehatan, tidak dapat mengakses
berbagai bantuan pemerintah.
Bagi perempuan adat yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sulit bagi mereka
untuk mendapatkan perlindungan negara jika perkawinan mereka tidak tercatat. UU nomor
23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga mengatur tentang kekerasan yang
terjadi dalam institusi perkawinan. Pengajuan gugat cerai (untuk menghindari KDRT dan
penyebab lain) tidak mungkin dilakukan melalui jalur legal formal karena tidak ada bukti status
menikah disebabkan pernikahan yang tidak dicatat oleh negara. Sependek pengetahuan penulis
tidak tersedia data jumlah KDRT yang dialami perempuan adat. Namun data UN Women
menyatakan secara global satu dari tiga perempuan adat mengalami kekerasan seksual, sangat
mungkin sebagian diantaranya terjadi dalam institusi perkawinan.
HAM dan pembangunan berkeadilan: masalah global
Secara global terdapat 370 juta masyarakat adat yang tersebar di 90 negara (APF dan OHCHR,
2013:10). Masyarakat adat di tiap negara memiliki masalahnya masing-masing, namun mereka
memiliki benang merah yang sama: “Masyarakat adat termasuk kategori penduduk dunia yang
paling rentan, miskin dan termarginalisasi, mereka termasuk dalam sepertiga penduduk termiskin
dunia” (ibid).
Marginalisasi dan kemiskinan masyarakat adat banyak terkait dengan peminggiran akses terhadap
sumber daya alam (hutan/lahan pertanian), tidak diakuinya identitas/budaya/agama mereka,
kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat adat, diskriminasi dan pelanggaran
hak asasi manusia.
17
Selain instrumen HAM internasional yang bersifat umum, telah terdapat instrumen khusus untuk
perlindungan masyarakat adat seperti Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat, Deklarasi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk
Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan. Berbagai masalah
masyarakat adat terus disuarakan di berbagai event international sebagai medium advokasi untuk
mengangkat dan memecahkan masalah mereka. PBB memiliki forum minoritas (minority forum)
yang secara berkala membahas berbagai masalah kelompok minoritas termasuk masyarakat adat.
Pelayanan publik dibidang pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perlindungan KDRT adalah
“perpanjangan” dari pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Pemenuhan hak-hak ini
berkontribusi terhadap pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Mereka yang
berdaya - memiliki akses terhadap pekerjaan, berpendidikan/berkeahlian dan sehat fisik dan
mental – berpeluang lebih besar mengentaskan dirinya sendiri dari kemiskinan dan berkontribusi
dalam pembangunan.
Bila akses terhadap pekerjaan, pendidikan, kesehatan terhambat (karena kebijakan administrasi
kependudukan yang diskriminatif) maka sulit bagi masyarakat adat untuk berdaya. Sebaliknya
masyarakat adat akan semakin terpinggirkan dan menjadi beban negara, potensi mereka terhambat.
Kerugian ditanggung bukan hanya oleh komunitas yang bersangkutan, namun juga oleh negara.
Dengan demikian pemenuhan hak asasi manusia adalah prasyarat bagi pembangunan yang
berkeadilan dan mensejahterakan seluruh komponen masyarakat sebagaimana semangat
kesepakatan pembangunan global sustainable development goals (SDGS). Mewujudkan
pemenuhan HAM dan pembangunan berkeadilan secara umum dan secara khusus bagi masyarakat
adat adalah tantangan yang dihadapi bukan hanya di Indonesia melainkan diberbagai belahan
dunia dengan berbagai variasi. Masalah ini adalah masalah global dan diperlukan kemitraan global
untuk menyelesaikannya.
Kesimpulan
Para hadirin yang saya hormati,
18
Dapat disimpulkan faktor-faktor yang menyebabkan pelanggaran HAM dan diskriminasi dalam
pelayanan administrasi kependudukan dan pelayanan publik lain yaitu:
1. Adanya produk hukum dan kebijakan yang mendiskriminasi penghayat kepercayaan dan
penganut agama leluhur.
2. Kapasitas
penyelenggara
negara
yang
terbatas
sehingga
belum
mampu
mengoperasionalisasikan prinsip non diskriminasi dalam kebijakan publik, pelayanan publik
dan penyelenggaraaan pemerintahan pada umumnya;
3. Pemahaman dan kebijakan yang memposisikan agama “resmi” dan “tidak resmi”.
4. Sikap masyarakat yang masih mentolerir diskriminasi, termasuk yang berbasis
agama/kepercayaan.
Penutup
Terkait berbagai pelanggaran HAM dan diskriminasi tersebut diatas, telah diajukan judicial review
UU administrasi kependudukan khususnya mengenai kolom agama dalam KTP. Saat ini kita masih
menantikan keputusan Mahkamah Konstitusi terkait judicial review tersebut. Demikian pula telah
ada RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat yang diharapkan dapat segera
disahkan guna memberikan jaminan yang baik dalam hal perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Sudah selayaknya negara memberikan perlindungan dan menjamin hak-hak asasi seluruh warga
negara karena Indonesia adalah rumah kita bersama apapun etnis, agama dan kepercayaan kita.
Apa yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi? Tridarma perguruan tinggi memandatkan
pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Dalam ketiga area tersebut perguruan tinggi
dapat berkontribusi memberikan sumbangan pemikiran dan tenaga bagi pemberdayaan masyarakat
adat.
Sebagai contoh dalam konteks administrasi publik, dapat dilakukan kajian dan pelatihan
penyusunan kebijakan dan pelayanan publik berperspektif HAM dan gender bagi aparatur negara.
Dalam konteks yang sama dapat pula diberikan masukan substantif bagi RUU perlindungan dan
19
pengakuan hak masyarakat adat. Dalam konteks administrasi bisnis, dapat dilakukan kajian dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat/perempuan adat melalui pelatihan pengelolaan keuangan dan
kegiatan wirausaha dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Dalam konteks Hubungan
Internasional dapat dilakukan kajian dan advokasi agar isu masyarakat adat dapat lebih kencang
disuarakan dalam diplomasi internasional.
Dirgahayu Fisip Unpar. Terima kasih.
Daftar Pustaka
Buku:
Asia Pacific Forum (APF) of National Human Rights Institusions and The Office of the United
Nations High Commsissioner for Human Rights (OHCHR), 2013, The United Nations
Declaration on the Rights of Indigenous Peoples – A Manual for National Human Rights
Institutions, Asia Pacific Forum of National Human Rights Institusions and The Office of
the United Nations High Commsissioner for Human Rights, Geneva.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni dan Film, 2009,
Pedoman Pemberdayaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni dan Film,
Jakarta.
Department of Economic and Social Affairs (DESA) – Division for Social Policy and
Development – Secretariat of the Permanent Forum on Indigenous Issues, 2009, State of the
World’s Indigenous Peoples, United Nation, New York.
Kelleher, Ann and Klein Laura, 2006, Global Perspectives – A Handbook for Understanding
Global Issues, Pearson Prentice Hall, Upper Saddle River.
Komnas HAM (a), 2016, Upaya Negara Menjamin Hak-Hak Kelompok Minoritas di Indonesia Sebuah Laporan Awal, Komnas HAM, Jakarta.
Komnas HAM (b), 2016, Inkuiri Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia “Hak Masyarakat
Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan”, Komnas HAM, Jakarta.
Komnas Perempuan, 2012, Pencerabutan Sumber-sumber Kehidupan – Pemetaan Perempuan dan
Pemiskinan dalam Kerangka HAM, Komnas Perempuan, Jakarta.
Komnas Perempuan (a), 2017, Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan “Pengalaman dan
Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas
Nama Agama, Komnas Perempuan, Jakarta.
20
Komnas Perempuan (b), 2017, Laporan Hasil Pemantauan “Diskriminasi dan Kekerasan
terhadap Perempuan dalam Konteks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan bagi
Kelompok Penghayat Kepercayaan/Penganut Agama Leluhur dan Pelaksana Ritual Adat,
Komnas Perempuan, Jakarta.
Marzali, Amri, 2012, Antropologi dan Kebijakan Publik, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Suharto, Edi, 2005, Analisis Kebijakan Publik – Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial, Alfabeta, Bandung.
Jurnal:
Risdiarto, 2017, Perlindungan terhadap Kelompok Minoritas di Indonesia dalam Mewujudkan
Keadilan dan Persamaan di Hadapan Hukum, artikel dalam Jurnal Rechtsvinding, Volume
6 Nomor 1, April 2017, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta.
Artikel media massa:
Irianto, Sulistyowati, 2016, artikel, Masyarakat adat dan Keindonesiaan, Harian Kompas (cetak)
tanggal 10 Juni 2016, Jakarta.
Rancangan Undang-undang:
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 2016, Rancangan Undang Undang Perlindungan dan
Pengakuan Hak Masyarakat Adat. Jakarta.
Undang-undang:
Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination
of all forms of Discrimiantion against Women)
Undang-undang Republik Indonesia nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Republik Indonesia nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Undang-undang Republik Indonesia nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan
Undang-undang Republik Indonesia nomor 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant
on Civil and Political Rights (kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik).
Undang-undang Republik Indonesia nomor 11/2005 tentang Pengesahan International Covenant
on Economic Social and Cultural Rights (kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya).
21
Undang-undang Republik Indonesia nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik
Undang-undang Republik Indonesia Republik Indonesia nomor 23/2013 tentang Perubahan atas
Undang-undang nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 6/2014 tentang Desa
Deklarasi, konvensi internasional:
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan)
International Covenant on Civil and Political Rights (kovenan internasional tentang hak-hak sipil
dan politik)
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (kovenan internasional tentang
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya).
United Nation Declaration on the Elimination of Violence against Women (Deklarasi Penghapusan
Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan)
United Nation Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia)
United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (Deklarasi Hak Masyarakat Adat)
United Nation Declaration on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Deklarasi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial)
United Nation Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination
Based on Religion or Belief (Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan
Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan)
Lain-lain
“Resolusi Penganut Agama Leluhur” yang dihasilkan dalam sarasehan “Agama asli dan Posisinya
dalam NKRI” yang diadakan dalam rangkaian Kongres Masyarakat Adat, Tobelo 19-25
April 2012.
22
Download