Perilaku Keberagamaan Remaja Kasus Pada

advertisement
88 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Penelitian Kerangka berpikir penelitian tentang perilaku keberagamaan remaja ini, didasari oleh teori behaviourisme (perilaku hasil interaksi individu dengan lingkungan), tingkah laku seseorang sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (keluarga, sekolah, komunitas dan masyarakat luas) dan hubungan tingkah laku individu ditentukan oleh ada atau tidak adanya reinforcement akan membawa pengaruh terhadap tindakan individu. Perilaku adalah hasil dari manusia belajar dengan lingkungannya, yang dikembangkan oleh Skinner dengan teori belajar sosial, yang menekankan pada proses belajar operan, yaitu manusia selalu dikendalikan oleh faktor luar (lingkungan, rangsangan). Skinner mengatakan bahwa dengan memberikan ganjaran positif suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan; sebaliknya, jika diberikan ganjaran negatif suatu perilaku akan dihambat. Selain itu juga digunakan teori belajar kognitif Bandura yang mengatakan bahwa perilaku bukan hanya ditentukan oleh faktor eksternal tetapi juga internal (kognitif). Pendapat lain menambahkan bahwa proses belajar sosial juga dapat terjadi dengan bekerjasama dengan orang yang lebih mahir (orang tua, guru/ustaz). Dalam melihat kuat atau lemahnya pengaruh rangsangan Brofenbrenner (Walgito, 2003) menyusun lingkaran­lingkaran yang berlapis, yaitu: (1) Lingkaran mikro­sistem (yang paling dekat dengan remaja) seperti: keluarga, sekolah, guru, teman sebaya, dan tetangga/masyarakat tempat tinggal; (2) Lingkaran meso­sistem (interaksi antara faktor­ faktor dalam lingkaran mikro­sistem); (3) Lingkaran exo­sistem (lingkungan yang tidak menyentuh langsung remaja tetapi memiliki pengaruh besar) seperti: masjid/mushalla, perpustakaan, perkantoran, media massa; dan (4) Lingkaran makro­sistem (paling luar) seperti: ideologi, hukum, adat istiadat, sistem budaya, dan pemerintahan. Ada tiga cara pembentukan perilaku: (1) dengan cara pembiasaan (kondisioning), yang didasarkan pada teori yang dikemukan oleh Pavlov, Thordinke dan Skinner, (2) dengan cara memberi pengertian (insight), yang didasarkan atas teori belajar kognitif oleh Kohler, dan (3) dengan cara menggunakan model, yang didasarkan pada teori belajar sosial oleh Bandura (Walgito, 2003:16­17). Jadi kalau membentuk perilaku Islami remaja, maka dimulai sejak kecil dengan pembiasaan melaksanakan
89 ajaran agama, kemudian pada kemampuan kognitif operasi konkrit (6­11 tahun) mulai diberikan pengertian dan selanjutnya dengan memberikan model atau tauladan. Dalam teori Islam, perilaku juga merupakan hasil interaksi faktor internal dan eksternal, seperti yang disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang artinya: “Setiap anak Adam (manusia) dilahirkan dalam keadaan berpotensi untuk bertauhid (beragama), maka tergantung orang tuanyalah ia menjadi penganut Yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R. Muslim, dalam Shahih Muslim Kitab Qadar bab 23). Dalam Alquran ayat 8–10 surat al­Syam dikatakan: “Maka Allah memberikan dalam jiwa manusia potensi fujur (kejahatan/ingkar) dan takwa (kebaikan/taat). Sungguh berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya, dan celakalah orang yang mengotorinya.” Manusia lahir tidak mempunyai ilmu, tetapi dia diberi perlengapan untuk mendapatkan ilmu, yaitu pendengaran, penglihatan dan akal (fuad), seperti firman Allah yang artinya: “ Dan Allah yang telah melahirkan kamu sekalian dari rahim ibumu kamu tidak memiliki pengetahuan sesuatu apapun, kemudian dijadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan akal (fuad), mudah­mudahan kamu bersyukur (Q.S. 16/al­Nahl : 87). Pengalaman­pengalaman yang diterima seseorang sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya akan menentukan pengetahuan, sikap dan tingkah lakunya (kepribadian). Ketika pengalaman yang dilalui menyenangkan, menggembirakan dan menguntungkan, maka akan kuat pengaruhnya dalam membimbing kepribadian seseorang. Demikian pula bila pengalaman keagamaan yang dialami seseorang di keluarga, sekolah, komunitas dan masyarakat luas bila menyenangkan, menggembirakan, menguntungkan dan sesuai dengan kebutuhan individu bersangkutan, maka ajaran agama akan menjadi dasar yang menentukan kepribadiannya. Bila yang terjadi sebaliknya, pengalaman beragama yang tidak menyenangkan, memberatkan dan jauh dari harapannya, maka ajaran agama akan sulit menjadi kepribadiaan. Oleh karena itu sosialisasi agama dalam keluarga, sekolah dan masyarakat hendaknya menggembirakan (mubasysyir), jangan menakutkan, memberatkan dan menyulitkan (munzir). Untuk itu orang tua, guru agama, tokoh agama, dan ulama diharapkan memiliki kemampuan yang memadai untuk bisa melakukan bimbingan, pembinaan keagamaan kepada remaja yang mubasysyir (menggembirakan/menyenangan). Perilaku religiusitas (beragama) remaja adalah tingah laku remaja sebagai hasil interaksi diri remaja dengan lingkungannya yaitu: lingkungan mikro, lingkungan messo,
90 lingkungan exo dan lingkungan makro (keluarga, sekolah, komunitas, masyarakat luas, media massa, sistem sosial dan nilai­nilai sosial budaya) yang diperoleh melalui proses belajar, baik belajar yang disengaja atau yang tidak dsengaja. Perilaku beragama ini ditunjukkan dengan tingkat penerimaan dan keterlibatan dalam keyakinan (iman), keterlibatan dalam ritual (ibadah), kebiasaan bertingkah laku yang Islami (akhlak) dalam kehidupan sehari­hari. Perilaku Islami seseorang dipengaruhi oleh faktor internal (bawaan) dan eksternal. Faktor internalnya adalah perkembangan fisik, psiko­kognitif, psiko­sosial, psiko­moral dan psiko­keyakinan remaja, sedangkan faktor eksternalnya, yaitu pengalaman­pengalaman dengan lingkungan keluarga, lingkungan sosial tempat tinggal, teman sebaya, media massa, sistem sosial, nilai budaya dan lingkungan sekolah. Lingkungan Keagamaan di Keluarga Keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi anak dalam mencapai perkembangannya, termasuk perkembangan keberagamaannnya. Karena keluarga berfungsi sebagai (1) pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnnya, (2) sumber pemenuhan fisik dan psikis, (3) sumber kasih sayang dan penerimaan, (4) model perilaku yang tepat bagi anak untuk dapat belajar menjadi anggota masyarakat yang baik, (5) pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat, (6) pembentuk anak dalam memecahkan masalah dan untuk penyesuaian diri terhadap kehidupan, (7) Pemberi bimbingan dalam belajar motorik, verbal dan sosial yang dibutuhkan untuk dalam penyesuaian diri, (8) stimulus bagi pengembangan anak dalam mencapai prestasi di sekolah dan masyarakat, (9) Pembimbing dalam pengembangan aspirasi, dan (10) sumber persahabatan dan teman bermain bagi anak sampai usia berkeluarga. Suatu keluarga yang fungsional ditandai oleh ciri­ciri berikut: (1) saling mencintai dan menghargai, (2) bersikap terbuka dan jujur, (3) orang tua menerima perasaan, mendengar anak dan menghargai pendapatnya, (4) ada saling membagi (sharing) masalah atau pendapat di antara anggota keluarga, (5) bersinergi untuk berjuang mengatasi masalah hidup, (6) saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi, (7) melindungi dan mengayomi anak, dan (8) ada komunikasi yang baik. Keluarga yang ideal ditandai oleh: (1) minimnya pertengkaran atau perselisihan antar anggota keluarga, (2) ada kesempatan untuk menyatakan keinginan dan perasaan,
91 (3) penuh kasih sayang, (4) penerapan disiplin yang tidak kaku, (5) ada kesempatan untuk bersikap mandiri, (6) saling mencintai dan menghargai (respek), (7) ada musyawarah keluarga dalam memecahan masalah, (8) menjalin kebersamaan dan kerjasama, (9) orang tua memiliki emosi yang stabil, (10) berkecukupan secara ekonomi, dan (11) mengamalkan nilai­nilai agama dan moral. Selain keberfungsian keluarga, yang juga dapat mempengaruhi perkembangan agama remaja dalam keluarga adalah perlakuan orang tua terhadap anak (parenting style). Beberapa bentuk perlakuan orang tua terhadap anak adalah authoritarian, permissive dan democrative. Orang tua yang authoritarian cenderung membuat perilaku anak bersikap bermusuhan dan memberontak. Orang tua yang permissive cenderung anak berperilaku bebas (tidak terkontorol), dan orang tua yang democrative cenderung anak terhindar dari perilaku gelisah, kacau dan nakal. Selain keberfungsian keluarga dan bentuk hubungan dengan anak, juga yang tidak kalah pentingnya adalah pengaruh kelas sosial dan status ekonomi. Pengaruh status ekonomi terhadap kehidupan remaja cukup besar. Orang tua yang mengalami tekanan ekonomi atau tidak mampu memenuhi kebutuhan finansialnya, cenderung menjadi depresi, mengalami konflik keluarga, akhirnya remaja kurang punya harga diri, prestasi belajar rendah, kurang dapat bergaul, mengalami masalah dalam penyesuaian diri, dan agresi. Lingkungan keluarga yang dilihat berpengaruh terhadap kepribadian dan perilaku Islami remaja adalah: status sosial dan ekonomi keluarga, ketersediaan fasilitas keagamaan, ketaatan beragama orang tua, keteladanan, cara dan sikap orang tua dalam memperlakukan anak (pola asuh orang tua), kondisi atau pengamalan nilai­nilai religius dalam keluarga. Lingkungan Sosial Keagamaan Masyarakat Pada masyarakat yang interaksi sosial berjalan dengan harmonis, kontrol sosial berjalan dengan baik, dan sosio kulturalnya berdasar nilai­nilai religius dan moralitas, maka akan melahirkan masyarakat madani, yang menjunjung tinggi nilai­nilai kemanusiaan, keadilan, kejujuran, persamaan dan toleransi. Sebaliknya, masyarakat
92 yang selalu terjadi konflik dan jauh dari nilai­nilai religius dan moralitas, maka akan menyuburkan tumbuhnya masyarakat yang tidak beradab, gaya hidup materialistis dan hedonistis, hipokratik/munafik, mengabaikan nilai kemanusiaan, diskrimatif, intoleran dan mendewakan nilai­nilai kebendaan yang profan. Kualitas masyarakat yang kondusif untuk perkembangan kesadaran beragama remaja ditunjukkan oleh perilaku pribadi sebagai berikut: (1) taat menjalankan kewajiban agama secara vertikal dan horizontal; (2) menghindari perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama dan moralitas, seperti sikap permusuhan, saling curiga, munafik, mencuri, korupsi, perbuatan maksiat dan keji lainnya, dan (3) berjalannya kontrol sosial. Kualitas masyarakat yang tidak kondusif ditandai: (1) gaya hidup materialistis, hedonistis dan sekularistis; (2) sikap dan tindakan yang melecehkan ajaran agama; dan (3) mementingkan individualitik dan tidak peduli terhadap kemiskinan, kebodohan dan kemaksiatan yang terjadi di masyarakat. Erich Fromm (1995) mengatakan bahwa masyarakat yang sakit ditandai oleh: (1) fungsi­fungsi sosial tidak berjalan dengan baik, (2) kehidupan sehari­hari penuh dengan prilaku immoraltas, (3) angka gangguan mental individu tinggi, (4) pola hidup semakin materialistik dan individualistik, dan agka bunuh diri dan pembunuhan semakin meningkat. Lingkungan fisik masyarakat yang kondusif ditandai dengan penataan lingkungan yang sehat, bersih dan estetis. Tersedianya sarana ibadah yang mencukupi (masjid/mushalla), adanya majelis taklim atau pengajian agama, tersedianya sumber bacaan keagamaan yang memadai, tidak adanya tempat­tempat yang bisa menstimulansi lahirnya perilaku negatif, seperti tempat penjualan narkoba, miras, perjudian, pelacuran, warung remang­remang dan toko penyewan CD/VCD/DVD porno dan sebagainya. Kondisi sosial keagamaan masyarakat yang kondusif bagi perkembangan agama remaja ditandai dengan penataan lingkungan yang memenuhi standar kesehatan dan estetika, tersedia sarana dan kapital sosial untuk menjalankan dan meningkatkan pengamalan nilai­nilai agama, anggota masyarakat yang taat menjalankan kewajiban agama secara vertikal dan horizontal, menghindari perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama dan moralitas, seperti sikap permusuhan, saling curiga, munafik, mencuri, korupsi, perbuatan maksiat dan keji lainnya. Teman Sebaya (Peer Group)
93 Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja mempunyai peranan yang penting bagi perkembangan kesadaran beragama mereka. Peranan itu cukup penting ketika terjadi perubahan dalam masyarakat pada: (1) perubahan struktur keluarga dari keluarga besar kepada keluarga kecil, (2) kesenjangan antara generasi tua dengan generasi muda, (3) derasnya arus komunikasi yang menerpa kaum muda, dan (4) panjangnya masa penundaan memasuki masyarakat orang dewasa. Peranan positif teman sebaya bagi remaja memberikan kesempatan untuk belajar tentang: (1) bagaimana berinteraksi dengan orang lain, (2) mengontrol tingkah laku sosial, (3) mengembangkan keterampilan dan minat yang relevan dengan usianya, dan (4) saling bertukar perasaan dan masalah. Menurut Peter dan Anna Freud, teman sebaya telah berperan bagi remaja dalam: (1) memperbaiki luka­luka psikologis masa kanak­ kanak, (2) mengembangkan hubungan baru yang lebih baik, dan (3) membantu pemahaman tentang: (a) konsep diri, masalah dan tujuan hidup yang lebih jelas; (b) perasaan berharga; dan (c) perasaan optimis tentang masa depan. Kondisi­kondisi di atas membuat remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman­teman sebaya sebagai kelompok. Maka dapat dipahami bahwa pengaruh teman­teman sebaya terhadap sikap, pembicaraan, penampilan dan tingkah laku, minat dan nilai­nilai yang dianut berpengaruh lebih besar dari pada pengaruh orang tua atau guru. Ketika mereka berperilaku sesuai dengan perilaku kelompok, seperti cara berpakaian yang sesuai dengan kelompok sebaya, merokok, mencoba melakukan miras, keluyuran di mall­mall dan lain sebagainya, maka memberikan kesempatan yang lebih besar kepada mereka untuk diterima oleh kelompok. Ada beberapa kondisi agar remaja dapat diterima atau ditolak oleh kelompok mereka yaitu: (1) kesan pertama yang menyenangkan akibat penampilan sikap yang menarik perhatian, (2) reputasi dan prestasi, (3) penampilan yang sesuai dengan penampilan teman­teman sebaya, (4) perilaku sosial yang ditdanai oleh bisa kerjasama, tanggung jawab, mudah bergaul, pintar, bijakasana dan sopan, (5) memiliki kematangan emosional, (6) bermoral yang ditunjukkan oleh perilaku jujur, setia, empati dan ektraversi, dan (7) status sosial­ekonomi (Hurlock, 1980: 217). Faktor yang menentukan daya tarik hubungan interpersonal di antara remaja adalah karena adanya persamaan, seperti: jenis kelamin, usia, ras, minat, nilai­nilai, pendapat, dan sifat­sifat kepribadian. Daya tarik di sekolah dipengaruhi oleh faktor­
94 faktor: apresiasi pendidikan, prestasi, absensi, dan pengerjaan tugas­tugas rumah (Syamsu, 2002:60). Remaja yang tumbuh kembangnya di tengah­tengah keluarga yang sosial ekonomi relatif baik, fungsi keluarganya berjalan dengan harmonis, penuh kasih sayang, religius, menghargai prestasi dan nilai­nilai moralitas, maka akan lahir remaja yang religius dan mampu menghindarkan diri dari pengaruh negatif atau tidak sehat teman sebaya, bahkan akan berusaha memperbaiki temannya dan menjadi contoh teladan bagi teman lainnya. Dalam penelitian ini, kualitas teman sebaya yang dapat mempengaruhi remaja adalah latar belakang sosial keagamaan, dasar pertimbangan memilih teman, intensitas interaksi dengan teman, dan aktivitas yang dilakukan dengan teman. Pengaruh Media Informasi Katerdadahan pada media massa adalah perilaku pengguna media komunikasi dalam bentuk aktivitas membaca media masa cetak, mendengarkan radio, dan menonton televisi, dan film. Pengukuran keterdadahan pada media massa dilihat dari aspek yang berkaitan dengan jumlah waktu yang digunakan, jenis isi media dan hubungan individu konsumen dengan media. Efek media massa terhadap khalayak berkaitan dengan efek pesan dan efek kehadiran. Efek pesan adalah efek yang berkaitan dengan pesan yang disampaikan oleh media massa, yang meliputi aspek kognitif (berubah pandangan dan pendapatnya), afektif (berubah perasaan) dan konatif (mengambil keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu). Efek kehadiran media massa merupakan efek yang timbul akibat kehadirannya sebagai benda fisik. Dalam membicarakan efek media massa ini ada dua teori, yaitu model jarum hipodermik dan model uses and gratification. Yang pertama mengatakan bahwa komunikator, pesan dan media sangat perkasa dalam mempengaruhi khalayak, sebab khalayak pasif, sedangkan yang kedua berpendapat bahwa khalayak peserta aktif dan selektif dalam menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya (Rakhmat, 1998: 220). Menurut asumsi, teori Uses dan Gratification ini adalah: (1) khalayak dianggap aktif, artinya mereka menggunakan media mempunyai tujuan, (2) persepsi khalayak selektif, artinya mereka memilih media dan isi media untuk memenuhi kebutuhannya,
95 (3) media bersaing dengan sumber­sumber lain seperti: keluarga, teman, dan (4) khalayak mengetahui kebutuhannya dan dapat memenuhinya jika dikehendaki, artinya mereka mengetahui alasan­alasan menggunakan media (Rakhmat, 1998: 205). Ada dua hal yang mempengaruhi perilaku khalayak akan media, yaitu lingkungan sosial dan motif untuk memenuhi kebutuhan. Lingkungan sosial mencakup demografi, afiliasi kelompok dan karakteristik kepribadian. Karakteristik demografi meliputi: usia, jenis kelamin, agama, etnis, suku bangsa, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan dan pendapatan (Effendi, 1993). Kebutuhan khalayak terhadap media meliputi kebutuhan kognitif, afektif, integrasi personal, integrasi sosial, dan kebutuhan melepaskan ketegangan atau hiburan. Dalam kaitan fungsi media massa untuk memenuhi kebutuhan khalayak, terdapat aliran unifungsional, yang berpendapat bahwa media massa hanya dapat memenuhi satu motif, yaitu hiburan, atau hasrat bermain, atau kontak sosial, atau informasi. Dan fungsi multifungsional meliputi: pengawasan lingkungan; hubungan sosial; transmisi kultural dan hiburan (Rachmat, 1998:208). McQuail (Rahmat, 1998: 210) menjelaskan tentang motif khalayak dalam penggunaan media massa, yaitu : (5) Motif mencari hiburan: (a) hasrat melarikan diri dari kegitan rutin, (b) bersantai, (c) mengisi waktu, (d) penyaluran emosi, dan (e) memperoleh rasa estetis dan membangkitkan gairah seks. (6) Motif identitas pribadi: (a) menemukan penunjang nilai­nilai pribadi, (b) menemukan model perilaku, (c) mengindentifikasi diri dengan nilai­nilai lain dalam media, dan (d) meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri. (7) Motif integrasi sosial: (a) memperoleh empati sosial, (b) mengindentifikasi diri dengan orang lain, (c) menemukan bahan percakapan sosial, dan (d) membantu menjalankan peran sosial yang memungkinkan berinteraksi dengan teman, keluarga dan masyarakat. (8) Motif informasi: a) mencari berita tentang peristiwa dan kondisi lingkungan dan masyarakat; b) referensi untuk memperteguh pilihan/keputusan, c) memuaskan rasa ingin tahu, d) belajar dan pendidikan, dan e) rasa damai, percaya diri dengan penambahan pengetahuan. Pengaruh negatif tayangan televisi terhadap perilaku khalayak, ditentukan oleh tingginya frekuensi menonton televisi memberi sumbangan atas penyimpangan nilai dan
96 perilaku. Pengaruh tayangan televisi didorong oleh faktor lingkungan keluarga dan ketaatan beragama. Makin lemah kedua faktor itu, makin kuat pangaruh televisi. Menurut teori Cybernetics, atau teori mutakhir, teori Kritis, yang menegaskan bahwa, media massa "hanya mungkin" berpengaruh secara signifikan dalam habitat yang sesuai dengan tingkat sosial, terpaan medianya, kebutuhan individu, dll. Pengaruh positif atau negatif disaring oleh hal­hal tadi. Pada masyarakat yang tingkat melek hurufnya rendah, seperti Indonesia, ketika media massa hanyalah pengisi waktu, maka pengaruh negatif adalah besar. Berdasarkan survei khalayak, waktu yang dipakai orang Indonesia untuk menonton televisi, jauh lebih besar dibdaning warga AS. Menurut data US Census Bureau (1998), orang AS hanya memberi waktu rata­rata 2,5 jam sehari untuk melihat Televisi, sedang orang Indonesia sanggup duduk lebih dari 5 jam sehari. Media massa telah mengambil alih fungsi pranata sosial tradisional dalam internalisasi nilai. Kemampuan ini diperkuat oleh ketiadaan konstruksi pengetahuan kritis dalam tubuh khalayak, khususnya di Indonesia, terhadap muatan media massa karena nilai kekeluargaan dan agama yang memudar. Remaja kota Bandung lebih banyak mengenal seks dari media massa daripada orang tua atau sekolah (Pikiran Rakyat, Mei 2002). Di sisi lain, aborsi di kalangan remaja ditengarai cukup tinggi juga dari pengaruh media massa ini. Jenis media massa yang digunakan, jenis informasi yang disukai, motif penggunaan media massa, jumlah waktu yang digunakan berinteraksi dengan media massa, dan frekuensi berinteraksi dengan informasi keagamaan akan dapat mempengaruhi perilaku Islami remaja. Pendidikan Keagamaan di Sekolah Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang secara formal dan sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya dalam aspek moral­spiritual, emosional, intelektual, dan sosial. Karena itu, sekolah berperan sebagai substitusi keluarga dan guru sebagai substitusi orang tua untuk mengembangkan potensi siswa dalam cara berpikir, bersikap dan bertingkah laku. Dengan kata lain, sekolah mempunyai peran dan tanggung jawab dalam membantu siswa mencapai tugas perkembangannya.
97 Sekolah berperan bagi perkembangan siswa karena: (a) siswa harus hadir di sekolah; (b) sekolah memberikan pengaruh sejak dini sesuai dengan perkembangan konsep dirinya; (c) siswa banyak menghabiskan waktunya di sekolah dari pada di tempat lain di luar rumah; (d) sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk meraih sukses; dan (e) sekolah memberikan kesempatan pertama kepada siswa untuk menilai dirinya, dan kemampuannya secara realistik (Syamsu, 2002: 55) Agar peran dan tanggung jawab sekolah terlaksana dengan baik, maka sekolah harus mengupayakan iklim yang kondusif, atmosfer yang sehat, baik menyangkut aspek manajemen dan profesionalisme pengelolanya. Sekolah yang kondusif bagi perkembangan siswa adalah sekolah yang memajukan, meningkatkan atau mengembangkan prestasi akademik, keterampilan sosial, sopan santun, sikap positif terhadap belajar, rendahnya angka absen siswa, memberikan keterampilan­keterampilan yang memungkinkan siswa dapat bekerja. Sekolah yang sehat bagi perkembangan siswa selain ditandai oleh hal­hal di atas juga sangat didukung oleh kualitas para guru, yang menyangkut karakteristik pribadi dan kompetensi. Sebab kemajuan belajar di kelas dipengaruhi oleh hubungan interpersonal antar guru dengan siswa. Hubungan itu bisa bersifat hangat atau dingin, tenang atau tegang, kohesif atau antagonistik, bersahabat atau bermusuhan, harmonis atau tidak harmonis dan stimulatif atau restriktif. Menurut Kerlinger, karakteristik guru yang mendukung hubungan dengan siswa ditandai oleh: (1) orientasi pribadi yang positif, (2) organisasi tugas yang sistematik efisien, saksama, teliti, dan dapat dipahami, dan (3) lentur dalam berpikir, imajinatif, sensitif, dan toleran. Dalam kaitan dengan pengembangan kesadaran beragama siswa, karakteristik guru agama yang baik adalah: (1) Kepribadian yang berakhlak mulia seperti: jujur, bertangung jawab, disiplin, komitmen terhadap tugas, bersemangat, kreaktif, dan respek terhadap siswa. (2) Menguasai disiplin ilmu yang diajarkan. (3) Memahami ilmu­ilmu yang relevan untuk menunjang kemampuan dalam mengelola proses belajar­mengajar. (4) Memiliki wawasan yang luas agar mampu mengkontektualisasikan materi Pendidikan Agama Islam yang diberikan.
98 Faktor lain yang mendukung perkembangan keberagamaan siswa di sekolah adalah : (1) Kepedulian kepala sekolah, guru­guru dan staf sekolah terhadap pelaksanaan ajaran agama di sekolah, seperti memberikan contoh dalam bertingkah laku, bertutur kata, berpenampilan yang sesuai dengan ajaran Islam; (2) Upaya guru bidang studi umum menyisipkan atau menghubungkan nilai­nilai agama dalam mata pelajaran yang diajarkannya; (3) Tersedianya sarana ibadah yang memadai dan menfungsikannya secara optimal; (4) Tersedianya media informasi atau buku­buku keagamaan yang memadai; (5) Penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler kerohanian, ceramah­ceramah, diskusi keagamaan secara rutin; (6) Suasana sekolah yang dihiasi dengan asesoris dan pesan­pesan religius. Pada hakikatnya, pendidikan agama ini adalah bertujuan membentuk karakter seseorang menjadi manusia yang berakhlakul karimah. Karena itu, dalam menjalankan pendidikan agama di sekolah ada tiga elemen yang penting diperhatikan yaitu: prinsip, proses dan praktiknya. Dalam menjalankan prinsip, nilai­nilai agama yang diajarkan harus termanifestasi dalam kurikulum sehingga semua siswa paham betul tentang nilai­ nilai itu dan mampu menerjemahkannya dalam perilaku nyata. Karena itu, nilai­nilai harus diterapkan di seluruh unsur sekolah (school wide approach). Pendekatan yang ditempuh agar pendidikan agama menjadi karakter siswa adalah (1) Sekolah harus dipandang sebagai suatu lingkungan yang memiliki bahasa dan budayanya sendiri. Namun sekolah juga harus memperluas pendidikan akhlak/karakter bukan saja kepada guru, staf dan siswa tapi juga kepada keluarga/rumah dan masyarakat sekitarnya; dan (2) Dalam menjalankan kurikulum pendidikan agama sebaiknya: (a) pengajaran tentang nilai­nilai berhubungan dengan sistem sekolah secara keseluruhan, (b) diajarkan sebagai subjek yang berdiri sendiri namun diintegrasikan dalam kurikulum sekolah secara keseluruhan, (c) seluruh guru dan staf menyadari dan mendukung tema nilai­nilai yang diajarkan, dan (3) Penekanan ditempatkan untuk merangsang siswa bagaimana menerjemahkan prinsip nilai ke dalam bentuk perilaku pro­sosial. Pembentukan manusia yang berkualitas secara intelektual, emosional dan spiritual melaluii pendidikan agama di sekolah amat diperlukan dan strategis. Bukan hanya untuk siswa mengetahui agama/kebajikan (knowing the good) tapi juga
99 merasakan (feeling the good), mencintai (loving the good) menginginkan (desiring the good) dan mengerjakan kebaikan atau ajaran agama (acting the good). Metode pendidikan agama yang lebih menekankan otak kiri dengan hafalan konsep (memorization in learning) harus dirubah dengan metode yang lebih menekankan pada otak kanan dengan perasaan, cinta, pembiasaan/latihan dan amalan­amalan di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Lingkungan pendidikan agama di sekolah yang kondusif bagi terciptanya perilaku Islami remaja ditujukan dengan ketersediaan sarana keagamaan yang memadai, kemapuan atau kompetensi guru yang berkualitas, etos dan keteladanan guru agama tinggi, dukungan yang optimal dari semua pihak sekolah dan aktivitas ekstrakurikuler keagamaan yang terencana dan sesuai kebutuhan remaja. Kegiatan Keagamaan Remaja Kegiatan keagamaan merupakan sejumlah aktivitas yang dilakukan individu berusia antara 15­20 yang menentukan atau membimbing tingkah laku dan pemikirannya secara spesifik. Organisasi pengalaman sebagai hasil interaksi individu dengan berbagai lingkungan, seperti lingkungan keluarga sekolah, teman sebaya, komunitas dan masyarakat luas akan membedakan satu pribadi dengan pribadi lainnya. Organisasi pengalaman keagamaan yang dialami remaja dalam keluarga, masyarakat, sekolah, dengan teman sebaya, dan dengan media massa akan menentukan atau membimbing remaja berpikir dan bertingkah laku, terutama dalam mengembangkan potensi diri dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada untuk meningkatkan kualitas perilaku Islami mereka. Dalam penelitian ini, kegiatan keagamaan dilihat yang berpengaruh terhadap perilaku Islami adalah tingkat intensitas berhubungan dengan sumber keagamaan, keterlibatan dalam organisasian keagamaan/kerohanian, partisipasi dalam kegiatan keagamaan di masyarakat, dan akses informasi keagamaan. Perilaku Islami Remaja Dalam mendefinisikan religiusitas, sekurangnya terdapat tiga kriteria penting: (a) tingkat kepercayaan seseorang (the degree of a person belief), (b) seberapa sering dia mengikuti kegiatan keagamaan di mesjid/gereja, dan sebagainya (how often he/she attends in services, dan (c) bagaimana penting dan berapa sering dia beribadah (how important dan how often he/she prays). Untuk melihat kadar religiusitas seseorang
100 dapat diketahui melalui lima dimensi yaitu: (a) keterlibatan ritual; (b) keterlibatan ideologi; (c) keterlibatan intelektual; (d) pengalaman keagamaan; dan (e) pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari­hari. Untuk mendeteksi kadar religiusitas siswa, digunakan dimensi­dimensi konsep religiusitas yang telah dikemukakan di atas yang mengajukan lima dimensi tentang konsep religiusitas, yaitu: (1) keterlibatan ritual, (2) keterlibatan idiologi/keyakinan, (3) keterlibatan intelektual/pengetahuan, (4) pengalaman batin keagamaan, dan (5) pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari­hari. Keterlibatan ritual adalah tingkat sejauhmana orang mengerjakan kewajiban ibadah secara Islami. Keterlibatan ideologi/keyakinan ialah tingkat sejauhmana orang­ orang menerima kebenaran rukun iman (hal­hal yang dogmatis). Keterlibatan intelektual adalah kedalaman pengetahuan seseorang tentang ajaran Islam (iman, ibadah dan akhlak) dan sejauhmana aktivitas dalam memperdalam pengetahuan agamanya. Pengalaman keagamaan adalah pengalaman tentang keajaiban atau keluarbiasaan yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa. Pengamalan agama dalam kehidupan sehari­hari berisikan perilaku (kognisi, afeksi dan konasi) seseorang yang dimotivasi oleh ajaran agama seperti selalu ingat kepada Allah, menyebut nama Allah, berdoa, taat shalat, puasa, jujur, adil, bersedekah, menolong orang lain, mengunjungi orang sakit, toleran, dan lain sebagainya. Tujuan dari pengamalan ajaran Islam adalah untuk mewujudkan manusia yang utama (al­ins al­fadhil), yaitu individu yang sadar akan keberadaannya sebagai abd Allah (hamba Allah) dan khalifah Allah (wakil Allah di muka bumi). Sebagai hamba Allah, di dalam dirinya terdapat suasan batin yang senantiasa terikat dengan Allah, yang darinya lahir sikap hanya berkomitmen terhadap nilai­nilai yang digariskan oleh Allah dan seluruh amal usahanya (tindakannya) diorientasikan (ditujukan dalam rangka taat) kepada Allah (Yusuf, 1995:154). Sebagai khalifah Allah, dirinya sadar akan tugas amanah yang diembannya, mengelola bumi berdasarkan pesan Allah. Dengan kata lain, pada pribadi ini terdapat karakter utama: etos bertadzakkur (berzikir/inggat/taat); bertafakkur (mengembangkan/meningkatkan kemampuan akal); berikhtiyar (berusaha/bekerja dengan semangat); berjihad (bersungguh­sungguh dalam mengamalkan agama); berijtihad (kreatif untuk menghasilkan yang baru dan bermanfaat); beristiqamah (konsisten/teguh pendirian dalam kebenaran); berta`awun (semangat menolong);
101 bertawasau (korektif untuk membangun/perbaiki); bertasamuh (toleransi); bermusyawarah (demokratis); berukhwah (persaudaraan); dan berfatabiqul khairat (kompetisi/berlomba­lomba untuk kebaikan) (Yusuf, 1995: 154). Sejalan dengan fungsi manusia menurut Islam di atas, maka perilaku yang diharapkan dari remaja masa depan adalah yang memiliki ciri­ciri sebagai berikut: memiliki pengetahuan tentang rukun iman dan rukun/ritual Islam, meyakini kebenaran iman, senang terhadap ibadah/ritual Islam, taat menjalankan ibadah shalat, puasa, infaq/shadaqah, terbiasa berdoa dalam setiap aktivitas, selalu ingat kepada Allah (zikir hati dan lisan), gemar membaca Alquran/buku­buku agama: memiliki tingkah laku Islami dengan sesama yang baik: suka menolong, berbagi, kerjasama, menyumbang/dermawan, kejujuran, disiplin, bersemangat belajar, bertanggung jawab, peduli pada orang lain, memperhatikan hak orang lain, menghargai perbedaan atau toleran. Berdasarkan kualitas yang diharapkan dari proses pendidikan agama yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah, maka orientasi dan strategi sosialisasi (pendidikan) keagamaan ditujukan untuk menghasilkan kemampuan sebagai berikut: (1) Mampu membaca Alquran dengan fasih. (2) Mampu memahami ayat­ayat tentang: penciptaan manusia, prinsip­prinsip ibadah, demokrasi, kepedulian terhadap kaum lemah, menjaga kelestarian lingkungan hidup bertoleransi, etos kerja dan mengembangkan IPTEK. (3) Mampu mengamalkan isi kandungan ayat­ayat di atas dalam kehidupan sehari­hari. (4) Memiliki penghayatan iman kepada Allah dan sifat­sifat­Nya. (5) Mampu meneladani sifat­sifat Allah dalam kehidupan sehari­hari. (6) Memiliki keyakinan tentang keberadaan malaikat, rasul dan Kitab Allah dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan dalam perilaku sehari­hari. (7) Memiliki keyakinan tentang adanya hari akhir dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya. (8) Meyakini adanya qadha dan qadar dan selalu optimis dan berusaha sebaik mungkin dalam hidup ini. (9) Mampu melaksanakan shalat secara baik, benar dan tertib.
102 (10) Memahami hikmah yang terkdanung dalam shalat dan mampu menerapkan dalam perilaku sehari­hari. (11) Taat berpuasa dan mampu menerapkan hikmahnya dalam perilaku sehari­ hari. (12) Terbiasa melaksanakan zakat, infaq dan sedekah. (13) Memahami hukum jual beli dalam Islam dan menerapkan dalam kehidupan sehari­hari. (14) Memahami ketentuan hukum penyelenggaraan jenazah dan mampu mempraktikkannya. (15) Memahami hukum Islam tentang jinayat dan hudud dan mampu menghindari kejahatan dalam kehidupan sehari­hari. (16) Memahami ketentuan tentang khutbah dan dakwah serta mampu mempraktikkannya. (17) Memahami hukum Islam tentang mawaris dan hikmahnya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari­hari. (18) Memahami hukum Islam tentang pernikahan dan hikmahnya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari­hari. (19) Memiliki keyakinan bahwa ajaran Islam bila diamalkan oleh individu, masyarakat dan bangsa pasti akan membawa keselamatan dan kebahagiaan. Secara ringkas landasan berpikir untuk menghasilkan model dan strategi pengembangan perilaku Islami remaja sesuai dengan yang diharapkan disajikan pada Gambar 1. Hipotesis Penelitian (1) Kegiatan keagamaan remaja dipengaruhi secara langsung oleh faktor­faktor: lingkungan keagamaan keluarga, sosial keagamaan tempat tinggal, pendidikan agama di sekolah. (2) Perilaku Islami terhadap Tuhan dipengaruhi secara langsung oleh: lingkungan keagamaan di keluarga, sosial keagamaan tempat tinggal, pendidikan agama di sekolah dan kegiatan keagamaan remaja. (3) Perilaku beretika Islami dipengaruhi secara langsung oleh lingkungan keagamaan di keluarga, sosial keagamaan tempat tinggal, pendidikan agama di sekolah, kegiatan keagamaan remaja dan perilaku Islami terhadap Tuhan.
103 (4) Perilaku Islami remaja terhadap Tuhan dipengaruhi secara tidak langsung oleh lingkungan keagamaan di keluarga, sosial keagamaan tempat tinggal, pendidikan agama di sekolah melalui kegiatan keagamaan remaja. (5) Perilaku beretika Islami remaja dipengaruhi secara tidak langsung oleh lingkungan keagamaan di keluarga, sosial keagamaan tempat tinggal, pendidikan agama di sekolah, kegiatan keagamaan remaja dan perilaku Islami remaja terhadap Tuhan. (6) Perilaku Islami remaja terhadap Tuhan dan perilaku beretika Islami remaja Kota Jakarta Selatan, Kabupaten Suabumi dan Kabupaten Lebak berbeda secara nyata. Untuk menguji hipotesis di atas, disusun hubugan dan pengaruh antar peubah bebas dan peubah terikat seperti yang disajikan pada Gambar 2.
104 GLOBALISASI EKONOMI SOSIAL­BUDAYA FUNGSI KEAGAMAANKE LUARGA POLITIK PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH IDEOLOGI SOSIAL KEAGAMAAN MASYARAKAT KEGIATAN KEAGAMAAN REMAJA PERILAKU ISLAMI TERHADAP TUHAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERILAKU BERETIKA ISLAMI STRATEGI PENGEMBANGAN REMAJA BERPERILAKU ISLAMI Gambar 1. Landasan Berpikir Penelitian
Download