POLA DIET VEGETARIAN SEBAGAI FAKTOR PROTEKTIF DOMINAN TERHADAP DEMENSIA PADA LANSIA DI JAKARTA BARAT TAHUN 2014 Debi, Fatmah Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Email: [email protected] Abstrak Demensia adalah keadaan di mana seseorang mengalami penurunan atau gangguan kognitif. Tujuan diadakannya penelitian ini adalah memperoleh prevalensi demensia serta menganalisis faktor risiko mana yang paling dominan terkait demensia pada lansia di Jakarta Barat pada tahun 2014. Penelitian dilakukan kepada 130 orang lansia (berusia ≥60 tahun) pada vihara terpilih di Jakarta Barat dengan desain penelitian cross sectional selama bulan April – Mei 2014. Demensia diukur dengan menggunakan Standardized Mini Mental Examination (SMMSE), di mana skor ≤24 dikatagorikan menjadi demensia. Prevalensi demensia pada penelitian ini sebesar 42,3%. Terdapat hubungan signifikan antara usia (p-value = 0,02), pola diet vegetarian (p-value = 0,001), asupan vitamin B2 (p-value = 0,042), vitamin B6 (p-value = 0,048), Vitamin B12 (p-value = 0,032), dan riwayat penyakit jantung (p-value = 0,008) dengan demensia pada lansia di Jakarta Barat tahun 2014. Pola diet vegetarian merupakan faktor protektif yang paling dominan terhadap demensia. Lansia dengan pola diet nonvegetarian memiliki risiko 4,5 kali terkena demensia dibandingkan dengan lansia yang menganut pola diet vegetarian setelah dikontrol dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, asupan zat gizi mikro (vitamin A, vitamin B2, vitamin B6, asam folat, vitamin B12 dan seng), aktivitas fisik, riwayat stroke, dan riwayat penyakit jantung. Vegetarian Dietary Pattern as Dominant Protective Factor of Dementia in Elderly at West Jakarta in 2014 Abstract Dementia is a condition which cognitive has decreased or cognitive impairment. The objective of this research was to know prevalence of dementia and to find which of the risk factor is the dominant factor that is related to dementia in elderly at West Jakarta in 2014. This study was conducted in 130 elderly (≥60 year) at four chosen temple which located in West Jakarta with cross sectional study design in April-May 2014. Dementia was measured using Standardized Mini Mental Examination (SMMSE), which score ≤24 been categorized into dementia. Prevalence of dementia in this research is 42,3%. Statistical test showed that dementia has significantly associated with age (p-value = 0,02), vegetarian dietary pattern (p-value = 0,001), vitamin B2 intake (p-value = 0,042), vitamin B6 intake (p-value = 0,048), Vitamin B12 intake (p-value = 0,032), and history of heart disease (p-value = 0,008). Vegetarian dietary pattern was the most dominant protective factor that related with demensia. Elderly with nonvegetarian dietary pattern is 4,5 times at risk of dementia than elderly with vegetarian dietary pattern, after controlled with age, gender, level of education, micronutrient intake (vitamin A, vitamin B2, vitamin B6, folate, vitamin B12, zinc), physical activity, stroke history, and heart disease history. Keywords : Dementia; Elderly; Nutrient intake; SMMSE; Vegetarian 1 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 Pendahuluan Demensia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama karena dapat mengganggu aktivitas harian pasien dan keluarga pasien, menyebabkan gizi kurang pada lansia serta dapat menyebabkan kematian (WHO, 2008; Dementia Education & Training Program, 2008; Australian Institute of Welfare and Health, 2012; Murphy, et al., 2013). Hampir 35,6 juta (4,7%) penduduk di dunia mengalami demensia, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 65,7 juta penduduk pada tahun 2030 (WHO, 2012a; WHO, 2012b). Demensia di Indonesia pun mengalami peningkatan dari 606.100 kasus pada 2005 menjadi 1.016.800 kasus pada tahun 2020 (Access Economics, 2006). Jumlah lansia dengan demensia di Indonesia pun lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga, yaitu 63.000 kasus di Malaysia dan 22.000 kasus di Singapura pada tahun 2005 (Access Economics, 2006). Beberapa penelitian di Indonesia juga menunjukkan kecenderungan angka demensia yang tinggi di masyarakat. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 di kelurahan Depok Jaya, DKI Jakarta pada 2006 dan Jakarta Barat pada 2008 menunjukkan prevalensi demensia sebesar 41,7% , 62,5%, dan 47,5% (Aisyah, 2009; Handajani, 2006; Purnakarya, 2008). Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan demensia,yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, indeks massa tubuh (IMT), pola diet vegetarian, asupan zat gizi makro, asupan zat gizi mikro, aktivitas fisik dan riwayat penyakit degeneratif. Semakin meningkatnya usia, risiko terkena demensia semakin tinggi (Sahadevan, et al., 2008). Lansia wanita juga lebih berisiko mengalami demensia (Hebert, et al., 2013). Lansia yang buta huruf 4,68 kali lebih beresiko terkena demensia (Kim, et al., 2011). Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara peningkatan indeks massa tubuh pada masa paruh baya dengan meningkatnya demensia pada saat lansia (Beydoun, Beydoun & Wang, 2008; Gorospe & Dave, 2007). Pola diet vegetarian dinyatakan dapat menurunkan risiko demensia sebesar 11,5 kali (Purnakarya, 2008). Selain itu, asupan gizi makro dan mikro juga mempengaruhi terjadinya demensia pada lansia. Penelitian Ortega, et al (1997) menyatakan bahwa konsumsi makanan yang kaya akan karbohidrat, vitamin (asam folat, vitamin C, vitamin E, dan beta karoten) dan mineral (zink dan besi) akan meningkatkan kemampuan kognitif. Asupan tinggi protein dan lemak juga berkaitan dengan fungsi kognitif yang lebih baik (Roberts, et al., 2012). Menurut Weuve, et al. (2004) dan Van Gelder, et al. (2004) aktivitas fisik dapat meningkatkan performa kognitif. Diabetes mellitus, hipertensi pada saat paruh baya, riwayat penyakit jantung, stroke, dan hiperkolesterolemia juga berhubungan dengan terjadinya demensia (Ott, et al., 1999; Skoog, et al., 1996; Kivipelto, et al., 2001; Martinez, et al, 2008; Chi, et al, 2010). Penelitian 2 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 dilakukan pada lansia vegetarian dan non vegetarian di Jakarta Barat. Lansia dipilih sebagai sasaran penelitian karena demensia lebih sering terjadi pada lansia (Alzheimer’s Diesease International, 2009). Jakarta Barat dipilih sebagai lokasi penelitian karena Jakarta Barat merupakan wilayah dengan jumlah vihara terbanyak di Jakarta (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2012). Vihara dijadikan sebagai tempat penelitian karena di vihara dapat diperoleh lansia dengan pola makan vegetarian dan non vegetarian dengan jumlah yang seimbang. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Phelps (2004) yang mengatakan bahwa meskipun belum ada statistik yang akurat, namun diperkirakan separuh dari penganut agama Buddha di dunia adalah vegetarian. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh prevalensi demensia serta menganalisis faktor risiko mana yang paling dominan terkait demensia pada lansia di Jakarta Barat pada tahun 2014. Tinjauan Teoritis Faktor risiko demensia Pola diet vegetarian Pola diet vegetarian cenderung mengonsumsi lemak jenuh dan kolesterol yang lebih sedikit, serta mengonsumsi serat, magnesium, vitamin C, Vitamin E, asam folat, karoten, flavonoid, dan fitomikia yang lebih tinggi (ADA, 2009). Salah satu teori menyebutkan radikal bebas berperan terhadap terjadinya demensia (Harman, 2000). Diet vegetarian yang tinggi akan konsumsi antioksidan diyakini melindungi tubuh dari radikal bebas dan dapat mengurangi resiko demensia pada lansia (Messina, 1996). Penelitian lainnya juga mendukung bahwa vegetarian memiliki risiko lebih rendah terkena demensia dibandingkan dengan non vegetarian (Gien, et al.,1993). Hal ini berkaitan dengan tekanan derah yang lebih rendah pada vegetarian dan asupan antioksidan yang lebih tinggi pada kelompok vegetarian (Luchsinger & Mayeux, 2004). Selain itu, pola diet vegetarian juga dapat menurunkan tingkat kolesterol darah, menurunkan risiko hipertensi dan diabetes tipe 2 (ADA, 2009). Seorang vegetarian juga cenderung memiliki BMI yang lebih rendah (Tuso, et al, 2013). Asupan karbohidrat Karbohidrat, terutama glukosa sangat penting bagi fungsi otak. Sel otak (neuron) tidak dapat menyimpan karbohidrat sehingga membutuhkan suplai glukosa terus menerus melalui darah. Terlalu banyak glukosa pada waktu singkat menyebabkan insulin dikeluarkan dari pankreas untuk mengimbanginya sehingga otak akan mengalami krisis energi akibat glukosa darah yang menjadi rendah dalam waktu singkat (Franklin Institute, 2004). Penelitian Ortega, et al. 3 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 (1997) menunjukkan bahwa subjek dengan asupan karbohidrat yang tinggi cenderung memiliki skor MMSE yang lebih tinggi dibandingkan subjek dengan asupan karbohidrat yang lebih rendah. Asupan protein Penelitian eksperimental membuktikan bahwa beberapa asam amino seperti fenilalanin, tirosin, triptofan, histidin, arginin, treonin, dan glisin berperan sebagai prekusor neurotransmitter yang berperan terhadap fungsi otak (Lieberman, 1999). Penelitian Roberts, et al (2012) menyatakan bahwa asupan tinggi protein mengurangi risiko demensia. Hal ini berkaitan dengan konsumsi tinggi protein menyebabkan asupan asam amino yang lebih banyak sehingga neurotransmitter yang dihasilkan juga lebih banyak. Asupan lemak Lemak diperlukan untuk membuat selaput mielin pada neuron. Semakin tebal selaput mielin semakin cepat impuls dihantarkan sehingga kinerja otak semakin cepat. Lemak tak jenuh, terutama asam lemak tak jenuh ganda membantu menjaga fungsi kognitif melalui pembentukan stuktur, fungsi dan sinapsis pada neuron (Youdim, Martin & Joseph, 2000). Selain itu, asam lemak tak jenuh ganda dapat mengurangi jumlah protein β amiloid yang memicu terjadinya alzheimer (Calon, et al., 2004). Asupan Vitamin A, Vitamin C dan Vitamin E Vitamin A atau β karoten merupakan salah satu bentuk antioksidan yang berperan dalam melawan radikal bebas. Salah satu teori menyebutkan radikal bebas berperan terhadap terjadinya demensia (Harman, 2000) dan asupan vitamin A yang tinggi dapat menangkal radikal bebas dan mencegah seseorang mengalami demensia. Penelitian La Rue, et al. (1997) dan peneltitian Ortega, et al. (1997) membuktikan bahwa asupan vitamin C berhubungan positif dengan kemampuan kognitif pada lansia. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi vitamin C sebagai antioksidan yang memiliki mekanisme tidak langsung dalam mencegah demensia dan penurunan kognitif (Neuropathology Group, 2001). Vitamin E merupakan antioksidan yang berperan penting untuk melindungi sel akibat kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Komponen terpenting dari vitamin E, yaitu α tokoferol berperan dalam mekanisme mencegah reaksi oksidatif yang dapat merusak otak (WHO & FAO, 2004). Asupan Vitamin B kompleks dan asam folat Vitamin B1 dalam bentuk koenzim Tiamin Pirofosfat (TPP) atau koenzim Tiamin Trifosfat (TPP) berperan dalam tranformasi energi, serta konduksi membran dan saraf (Almatsier, 2004). Vitamin B2 berperan untuk mengubah vitamin B6 menjadi koenzim fungsionalnya, 4 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 sedangkan vitamin B6 berperan dalam pembuatan mielin yang melapisi sel – sel otak. Asam folat berperan dalam pembentukan DNA dan RNA di dalam tubuh. Kekurangan asam folat dapat mengganggu metabolisme DNA sehingga mengganggu kerja sel – sel di dalam tubuh (Almatsier, 2004). Vitamin B12 berpengaruh terhadap jaringan saraf karena B12 berperan dalam metabolisme jaringan saraf (Almatsier, 2004).Tingkat serum vitamin B1, B2, B6, B12 dan asam folat memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan kognitif pada lansia (Perrig, Perrig & Stehelin, 1997). Asupan Zat Besi Zat besi memiliki fungsi sebagai pengangkut oksigen ke berbagai jaringan tubuh, termasuk otak. Selain itu, zat besi juga berperan di dalam pembentukkan neurotransmitter di otak, seperti serotonin dan dopamin (WHO & FAO, 2004). Penelitian Ortega, et al. (1997) dan penelitian Yauz, et al. (2012) menyatakan bahwa defisiensi zat besi pada lansia dapat menurunkan fungsi kognitif lansia, di mana lansia yang mengalami defisiensi zat besi cenderung memiliki skor MMSE yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena zat besi merupakan kofaktor esesial dalam pembuatan neurotransmitter dan selaput mielin pada neuron (Connor, 1994). Asupan Seng Asupan seng yang lebih tinggi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan skor MMSE yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena efek seng sebagai antioksidan dalam melawan radikal bebas (Ortega, et al., 1997). Aktivitas Fisik Penelitian de Bruijn, et al.(2013) menyatakan bahwa aktivitas fisik yang tinggi dapat mengurangi risiko demensia pada lansia. Penelitian Weuve, et al. (2004) dan Van Gelder, et al. (2004) juga menunjukkan aktivitas fisik dapat meningkatkan performa kognitif pada lansia. Aktivitas fisik dapat mengurangi depresi pada lansia yang berkaitan dengan berkurangnya risiko demensia (Barbour & Blumental, 2005). Aktivitas fisik akan meningkatkan volume hipokampus, mencegah pengurangan materi abu- abu pada otak, meningkatkan konektivitas neuron pada otak, , dan mencegah pembentukan plak β-amiloid. (Ahlskog, et al.,2011; Imtiaz, et al., 2014). Riwayat Penyakit Degeneratif Diabetes mellitus, hipertensi pada saat paruh baya, riwayat penyakit jantung, stroke, dan hiperkolesterolemia juga berhubungan dengan terjadinya alzheimer (Ott, et al., 1999; Skoog, et al., 1996; Kivipelto, et al., 2001; Martinez, et al, 2008; Chi, et al, 2010). Lansia yang 5 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 memiliki riwayat stroke berpotensi 7.8 kali demensia (Martinez, et al, 2008). Orang yang memiliki riwayat diabetes mellitus 2.27 lebih berisiko mengalami demensia (Chi, et al, 2010). Hipertensi dapat menstimulasi proses neurodegeneratif atau meningkatkan kerusakan pada pembuluh darah otak (Imtiaz, et al, 2014). Tingkat kolesterol dalam darah yang tinggi berkaitan dengan arterosklerosis yang dapat menyebabkan pembuluh darah otak tersumbat(Kivipelto, et al., 2001). Penyakit jantung dan stroke dapat menyebabkan hipoksia pada jaringan otak (Kivipelto, et al., 2001). Indeks Massa Tubuh Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara peningkatan indeks massa tubuh pada masa paruh baya dengan meningkatnya demensia pada saat lansia (Beydoun, Beydoun & Wang, 2008; Gorospe & Dave, 2007). Terdapat dua penelitian yang telah menunjukkan adanya hubungan berbentuk U antara indeks masa tubuh ketika paruh baya dengan demensia pada saat lansia (Beydoun, et al., 2008; Rosengren, et al., 2005). Hal ini berkaitan dengan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskuler dan diabetes pada seseorang yang mengalami obesitas (Beydoun, Beydoun & Wang, 2008; Gorospe & Dave, 2007). IMT pada saat lansia sudah tidak dapat dijadikan faktor risiko demensia dan bahkan dapat merupakan salah satu gejala klinis akibat demensia (Dahl, 2009). Usia Dari para penderita alzheimer, 4% berusia di bawah 65 tahun, 13% berusia 65 hingga 74 tahun, 44 % berusia 75 hingga 85 tahun dan 38% berusia lebih dari 85 tahun (Hebert, et al., 2013). Insiden alzheimer juga meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang (Hebert, et al., 2013). Literatur lainnya juga secara konsisten menyatakan bahwa prevalensi demensia meningkat seiring bertambahnya usia. Prevalensi demensia meningkat 2 kali lipat setiap peningkatan usia 5-6 tahun sejak usia 65 tahun (ADI 2009; Lobo et al. 2000; Mathers & Leonardi 2006). Jenis Kelamin Perempuan lebih berisiko terkena demensia dibandingkan dengan laki – laki. Sekitar dua pertiga dari pasien demensia di Amerika Serikat berjenis kelamin perempuan (Hebert, et al., 2013). Proporsi lansia perempuan yang lebih besar disebabkan terutama karena wanita memiliki usia harapan hidup yang lebih panjang dibandingkan laki – laki (Hebert, et al., 2001). Tingkat Pendidikan 6 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 Lansia dengan tingkat edukasi yang lebih rendah lebih berisiko mengalami demensia dibandingkan dengan lansia yang memiliki tingkat edukasi yang lebih tinggi (Evans, et al., 1997). Penelitian di Cina pada tahun 2006 juga menyatakan pendidikan memiliki hubungan yang signifikan dengan demensia (Zhou, et al., 2006). Hubungan biologis antara tingkat pendidikan dengan demensia dipercaya karena tingkat pendidikan yang lebih tinggi membangun cadangan kognitif yang membuat individu lebih dapat bertahan dari perubahan di otak (Roe, et al., 2007; Stern, 2012). Berdasarkan hipotesis tersebut, semakin tinggi tingkat penddikan akan meningkatkan koneksi antara neuron di otak. Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian dilakukan pada 130 lansia berusia ≥60 tahun di Pusdiklat Maitreyawira, Vihara Dharma Bakti, Vihara Dharma Hastabrata dan Cetiya Yen Ruen yang terletak di Jakarta Barat selama bulan April – Mei 2014. Kriteria inklusi adalah seluruh lansia berusia ≥60 tahun yang dapat berbahasa Indonesia dengan lancar dan tidak mengalami gangguan ingatan. Sedangkan, kriteria eksklusi adalah lansia tuna rungu, tuna netra dan lansia yang mengalami gangguan berkomunikasi (sulit berbicara). Instrumen yang diperlukan di dalam penelitian ini meliputi Letter of Consent, kuesioner FFQ semi kuantitatif yang berisi 99 jenis makanan untuk mengukur asupan rata – rata harian zat gizi makro dan mikro, kuesioner SMMSE (Standardized Mini Mental State Examination) untuk mengukur tingkat kognitif lansia, dan kuesioner GPAQ (Global Physical Activity Questionairre) untuk mengukur aktivitas fisik. Selain itu digunakan juga timbangan berat badan merk Karada Scan - Omron dengan ketelitian 0,1 kg dan Microtoise dengan ketelitian 0,1 cm untuk mengukur IMT responden. Pengambilan data dilakukan oleh 5 orang enumerator dengan metode wawancara dan pengukuran antropometri. Metode pengambilan sampel dengan menggunakan non probability sampling dengan purposive sampling karena pengambilan responden tidak secara acak. Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh prevalensi demensia dan gambaran variabel independen, yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, IMT, pola diet vegetarian, asupan zat gizi makro dan mikro, aktivitas fisik, dan riwayat penyakit degeneratif. Analisis bivariat menggunakan uji chi square pada data yang bersifat katagorik dan uji t independen pada data yang bersifat numerik. Hasil uji statistik menghasilkan 2 kemungkinan yaitu hipotesis ditolak atau hipotesis gagal ditolak dengan tingkat kemaknaan (α) sebesar 0,05. Uji multivariat dilakukan menggunakan regresi logistik ganda dengan model prediksi 7 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 untuk mengetahui variabel independen mana yang paling berhubungan secara signifikan dengan variabel dependen. Hasil Penelitian Hasil analisis terhadap 130 responden menunjukkan bahwa 42,3 % responden mengalami demensia dengan skor SMMSE ≤ 24. Terdapat 69 dari 130 responden yang berusia kurang dari 65 tahun (53,1%). Tingkat pendidikan responden pada umumnya adalah tamat SMP sebanyak 46 orang (35,4%) dan IMT responden pada umumnya obesitas, yaitu sebanyak 56 43,1%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 28,5 % responden menganut pola diet vegetarian. Tabel 1. Hasil Analisis Univariat Variabel Dependen Demensia Usia Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan IMT Pola Diet Vegetarian Asupan Karbohidrat Asupan Protein Asupan Lemak Asupan Vitamin A Asupan Vitamin B1 Asupan Vitamin B2 Asupan Vitamin B6 Asupan Asam Folat Asupan Vitamin B12 Asupan Vitamin C Asupan Vitamin E Asupan Zat Besi Katagori 1. Demensia 2. Tidak Demensia 1. ≥65 Tahun 2. 60-64 Tahun 1. Perempuan 2. Laki – Laki 1. Tidak Sekolah/ Tidak Tamat SD 2. Tamat SD 3. Tamat SMP 4. Tamat SMA 5. Tamat Akademi/ Perguruan Tinggi 1. Underweight 2. Normal 3. Overweight 4. Obesitas 1. Nonvegetarian 2. Vegetarian 1. <100% AKG 2. ≥100% AKG 1. <100% AKG 2. ≥100% AKG 1. <100% AKG 2. ≥100% AKG 1. <100% AKG 2. ≥100% AKG 1. <100% AKG 2. ≥100% AKG 1. <100% AKG 2. ≥100% AKG 1. <100% AKG 2. ≥100% AKG 1. <100% AKG 2. ≥100% AKG 1. <100% AKG 2. ≥100% AKG 1. <100% AKG 2. ≥100% AKG 1. <50% AKG 2. ≥50% AKG 1. <100% AKG n = 130 55 75 69 61 104 26 20 39 46 23 2 4 47 23 56 93 37 94 36 78 52 41 89 7 123 82 48 111 19 96 34 126 4 124 6 54 76 116 14 79 % 42,3 57,7 53,1 46,9 80 20 15,4 30 35,4 17,7 1,5 3,1 36,2 17,7 43,1 71,5 28,5 72,3 27,7 60 40 31,5 68,5 5,4 94,6 63,1 36,9 85,4 14,6 73,8 26,2 96,9 3,1 95,4 4,6 41,5 58,5 89,2 10,8 60,8 8 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 Asupan Seng Aktivitas Fisik Riwayat DM Riwayat Hipertensi Riwayat Hiperkolesterol Riwayat Stroke Riwayat Penyakit Jantung 2. 1. 2. 1. 2. 1. 2. 1. 2. 1. 2. 1. 2. 1. 2. ≥100% AKG <100% AKG ≥100% AKG Kurang Cukup Ada tidak ada ada tidak ada ada tidak ada ada tidak ada ada tidak ada 51 124 6 41 89 23 107 61 69 61 69 8 122 5 125 39,2 95,4 4,6 31,5 68,5 17,7 82,3 46,9 53,1 46,9 53,1 6,2 93,8 3,8 96,2 Pada hasil analisis bivariat diperoleh 6 variabel independen yang memiliki hubungan yang signifikan dengan demensia, yaitu usia (OR= 2,842 (1,177 – 6,864)), pola diet vegetarian (OR= 4,571 (1,826 – 11,445)), asupan vitamin B2, asupan vitamin B6 (OR= 2,556 (1,081 – 6,043)), asupan vitamin B12, dan riwayat penyakit jantung. Dari 61 orang responden yang berusia 60 – 64 tahun, terdapat 21 orang responden (34,4%) yang mengalami demensia. Uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia dan demensia dan didapatkan pula OR = 2,842 (1,177 – 6,864) yang berarti lansia dengan usia ≥65 tahun 2,842 kali lebih berisiko mengalami demensia. Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dan demensia diperoleh bahwa ada sebanyak 48 perempuan (46,2%) yang mengalami demensia. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,12 yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan demensia. Terdapat 48 (46,7%) responden dengan tingkat pendidikan rendah (pendidikan < 9 tahun) yang mengalami demensia. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,066 yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan demensia. Dari hasil analisis, diperoleh rata – rata IMT responden yang mengalami demensia adalah 25,03 ± 3,44 kg/m2. Sementara, rata – rata IMT responden yang tidak mengalami demensia adalah 23,97 ± 3,63 kg/m2. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,097 yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara IMT dengan demensia. Dari 93 orang responden yang menganut pola diet nonvegetarian, terdapat 51,6% responden yang mengalami demensia. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola diet vegetarian dengan demensia ( OR = 4,571 (1,826 – 11,445)) yang berarti lansia dengan pola diet nonvegetarian 4,5 kali lebih berisiko terkena demensia dibandingkan lansia dengan pola diet vegetarian. Rata – rata asupan karbohidrat responden yang mengalami demensia adalah 235,62 ± 51,05 g/ hari. Sementara, rata – rata asupan karbohidrat responden yang tidak mengalami demensia adalah 237,66 ± 49,02 g/ hari. Rata – 9 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 rata asupan protein responden yang mengalami demensia adalah 55,67 ±13,59 g/ hari. Sementara, rata – rata asupan protein responden yang tidak mengalami demensia adalah 56,72 ±14,09 g/ hari. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p masing – masing sebesar 0,819 dan 0,669 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan karbohidrat dan protein dengan demensia. Hasil analisis hubungan antara asupan lemak dan demensia diperoleh bahwa terdapat 43,9% responden dengan asupan lemak <100% AKG yang mengalami demensia. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,953 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan lemak dengan demensia. Hasil analisis hubungan asupan vitamin A, B1, C, E, asam folat, zat besi dan seng menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan zat gizi tersebut dengan demensia. Hasil analisis hubungan antara asupan vitamin B2 dan demensia diperoleh bahwa terdapat 49,5 % responden dengan asupan vitamin B2 <100% AKG, 47,9 % responden dengan asupan vitamin B6 <100% AKG, dan 44,4 % responden dengan asupan vitamin B12 <100% AKG yang mengalami demensia.Uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara 3 variabel tersebut dengan demensia. Hasil analisis hubungan antara tingkat aktivitas fisik dan demensia diperoleh bahwa terdapatn 43,9% responden dengan tingkat aktivitas fisik kurang yang mengalami demensia. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,953 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan signifikan antara aktivitas fisik dengan demensia. Hasil uji statistik juga menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara riwayat diabetes mellitus, hipertensi, hiperkolesterolemia dan stroke dengan demensia. Sementara terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit jantung dengan demensia. Tabel 2 Hasil analisis bivariat Independen Demensia N % Usia 1. ≥65 tahun 2. 60-64 tahun Jenis Kelamin 1. Perempuan 2. Laki – Laki Tingkat Pendidikan 1. Rendah 2. Tinggi Pola Diet Vegetarian 1. Nonvegetarian 2. Vegetarian Asupan Lemak 1. <100% AKG 2. ≥ 100% AKG Asupan Vitamin A Demensia Tidak demensia n % p- value OR (95% CI) Jumlah n % 34 21 49,3 34,4 35 40 50,7 65,6 69 61 100 100 0,02* 2,842 (1,177- 6,864) 48 7 46,2 26,9 56 19 53,8 73.1 104 26 100 100 0,12 2,327 (0,901 – 6,007) 49 6 46,7 24 56 19 53,3 76 105 25 100 100 0,066 2,771 (1,025– 7,492) 48 7 51,6 18,9 45 30 48,4 81,1 93 37 100 100 0,001* 4,571 (1,826 - 11,445) 18 37 43,9 41,6 23 52 56,1 58,4 41 89 100 100 0,953 1,1 (0,521 - 2,322) 10 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 1. <100% AKG 2. ≥ 100% AKG Asupan Vitamin B1 1. <100% AKG 2. ≥ 100% AKG Asupan Vitamin B2 1. <100% AKG 2. ≥ 100% AKG Asupan Vitamin B6 1. <100% AKG 2. ≥ 100% AKG Asupan Asam Folat 1. <100% AKG 2. ≥ 100% AKG Asupan Vitamin B12 1. <100% AKG 2. ≥ 100% AKG Asupan Vitamin C 1. <100% AKG 2. ≥ 100% AKG Asupan Zat Besi 1. <100% AKG 2. ≥ 100% AKG Aktivitas Fisik 1. Kurang 2. Cukup Riwayat DM 1. ada 2. tidak ada Riwayat Hipertensi 1. ada 2. tidak ada Riwayat Hiperkolesterol 1. ada 2. tidak ada Riwayat Stroke 1. ada 2. tidak ada Riwayat Jantung 1. ada 2. tidak ada Variabel Independen IMT Asupan Karbohidrat Asupan Protein Vitamin E Seng 5 50 71,4 40,7 2 73 28,6 59,3 7 123 100 100 0,109 3,65 (0,61 – 19,561) 36 19 43,9 39,6 46 29 56,1 60,4 82 48 100 100 0,768 1,195 (0,579 – 2,465) 51 4 49,5 21,1 60 15 54,1 78,9 111 19 100 100 0,042* 3,188 (0,995 – 10,213) 46 9 47,9 26,5 50 25 52,1 73,5 96 34 100 100 0,048* 2,556 (1,081 – 6,043) 55 0 43,7 0 71 4 56,3 100 126 4 100 100 0,087 - 55 0 44,4 0 69 6 55,6 100 124 6 100 100 0,032* - 25 30 46,3 39,5 29 46 53,7 60,5 54 76 100 100 0,551 1,322 (0,653 – 2,676) 35 20 44,3 39,2 44 31 55,7 60,8 79 51 100 100 0,566 1,233 (0,602 – 2,524) 18 37 43,9 41,6 23 52 56,1 58,4 41 89 100 100 0,953 1,1 (0,521 - 2,322) 9 46 39,1 43 14 61 60,9 57 23 107 100 100 0,915 0,852 (0,339 - 2,141) 26 29 42,6 42 35 40 57,4 58 61 69 100 100 1,000 1,025 (0,51 - 2,057) 23 24 37,7 34,8 38 45 62,3 65,2 61 69 100 100 0,729 1,135 (0,553 – 2,324) 5 50 62,5 41 3 72 37,5 59 8 122 100 100 0,233 2,4 (0,548 – 10,502) 5 100 125 100 Mean 25,03 23,97 235,62 237,66 55,67 56,72 4,967 5,035 6,329 6,892 0,008* 5 100 0 50 40 75 Variabel Dependen Demensia Tidak Demensia Demensia Tidak Demensia Demensia Tidak Demensia Demensia Tidak Demensia Demensia Tidak Demensia 0 60 N 55 75 55 75 55 75 55 75 55 75 SD 3,439 3,632 51,05 49,02 13,59 14,09 1,86 1,96 1,5 1,95 SE 0,464 0,419 6,88 5,66 1,83 1,63 0,25 0,22 0,2 0,22 P value 0,097 0,819 0,669 0,842 0,065 Seleksi kandidat multivariat dilakukan dengan cara melakukan uji bivariat terhadap masing – masing variabel. Hajil uji bivariat akan masuk dalam pemodelan multivariat apabila memiliki 11 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 p-value >0,25. Variabel – variabel hasil seleksi bivariat tersebut kemudian dianalisis dengan pemodelan multivariat. Dari hasil analisis multivariat diperoleh 11 variabel yang termasuk ke dalam pemodelan akhir dan terdapat 2 variabel yang berhubungan paling signifikan dengan demensia yaitu usia dan pola diet vegetarian. Lansia yang berusia ≥65 tahun memiliki risiko 2,7 kali mengalami demensia dan lansia dengan pola diet nonvegetarian 4,5 kali lebih berisiko mengalami demensia. Tabel 3. Hasil Pemodelan Akhir Multivariat Variabel B Wald p – value OR 95% CI Usia Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan Pola Diet Vegetarian Asupan Vitamin B2 Asupan Vitamin B6 Asupan Asam Folat Asupan Seng Aktivitas Fisik Riwayat Penyakit Stroke Riwayat penyakit jantung 1.009 -1.177 1.040 1.504 0.875 0.452 -0.006 0.231 0.254 1.060 2.122 5.253 3.216 2.642 7.538 1.484 .490 2.047 1.809 .277 1.293 2.916 0.022* 0.073 0.104 0.006* 0.223 0.484 0.152 0.179 0.599 0.255 0.088 2.742 0.308 2.828 4.497 2.398 1.571 0.994 1.260 1.290 2.887 8.347 1.157 – 6.497 0.085 – 1.115 0.807- 9.906 1.538 – 13.156 0.587 – 9.797 0.443 – 5.569 0.987 – 1.002 0.900 – 1.765 0.500 – 3.329 0.464 – 17.949 0.731 – 95.318 Pembahasan Usia Uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia dengan demensia, di mana lansia yang berusia ≥65 tahun 2,842 kali lebih berisiko mengalami demensia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahardjo, et al (2008) di Indonesia dan penelitian Sahadevan, et al., (2008). Prevalensi demensia meningkat 2 kali lipat setiap peningkatan usia 5-6 tahun sejak usia 65 tahun (ADI 2009; Lobo et al. 2000; Mathers & Leonardi, 2006). Hal ini terkait dengan perubahan pada sistem limbik yang terlibat dalam proses memori, mood dan motivasi (Timiras, 2007). Jenis Kelamin Jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan demensia terkait dengan sampel yang hampir homogen (80% berjenis kelamin perempuan). Namun, perempuan cenederung lebih berisiko mengalami demensia berkaitan dengan proporsi lansia perempuan yang lebih besar, terutama karena wanita memiliki usia harapan hidup yang lebih panjang dibandingkan laki – laki (Hebert, et al., 2001). Tingkat Pendidikan 12 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 Pendidikan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan demensia terkait dengan sampel yang hampir homogen (80,8% memiliki tingkat pendidikan rendah). Namun, lansia dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih berisiko mengalami demensia karena tingkat pendidikan yang lebih tinggi membangun cadangan kognitif yang membuat individu lebih dapat bertahan dari perubahan di otak (Roe, et al., 2007; Stern, 2012). IMT IMT tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan demensia karena IMT dapat merupakan manifestasi dari demensia maupun penyebab demensia (Dahl, 2009). Namun dari penleitian ini dapat dilihat bahwa lansia dengan demensia cenderung memiliki IMT lebih tinggi dibandingkan lansia tanpa demensia. Hal ini didukung oleh dua penelitian yang telah menunjukkan adanya hubungan berbentuk U antara indeks masa tubuh dengan demensia pada saat lansia (Beydoun, et al., 2008; Rosengren, et al., 2005). Pola Diet Vegetarian Dari hasil analisis statistik, lansia dengan pola diet nonvegetarian 4,5 kali lebih berisiko terkena demensia dibandingkan lansia dengan pola diet vegetarian. Pola diet vegetarian cenderung lebih tidak demensia karena pola diet vegetarian cenderung mengonsumsi lemak jenuh dan kolesterol yang lebih sedikit, serta mengonsumsi serat, magnesium, vitamin C, Vitamin E, asam folat, karoten, flavonoid, dan fitomikia yang lebih tinggi (ADA, 2009). Salah satu teori menyebutkan radikal bebas berperan terhadap terjadinya demensia (Harman, 2000). Diet vegetarian yang tinggi akan konsumsi antioksidan diyakini melindungi tubuh dari radikal bebas dan dapat mengurangi resiko demensia pada lansia (Messina, 1996). Selain itu, pola diet vegetarian juga dapat menurunkan tingkat kolesterol darah, menurunkan risiko hipertensi dan diabetes tipe 2 (ADA, 2009). Asupan Karbohidrat Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata – rata asupan karbohidrat pada lansia yang tidak demensia lebih tinggi dibandingkan asupan karbohidrat lansia yang mengalami demensia meskipun perbedaannya tidak signifikan secara statistik. Hal ini sejalan dengan penelitian Ortega, et al. (1997) menunjukkan bahwa rata – rata asupan karbohidrat subjek dengan nilai MMSE lebih rendah adalah 218,1 ± 65,7 g/ hari untuk subjek laki – laki dan 171,2 ± 41,5 g/ hari untuk subjek perempuan sedangkan rata – rata asupan karbohidrat subjek dengan nilai MMSE yang tinggi adalah 232,5 ± 63,7 g/ hari untuk subjek laki – laki dan 177,7± 50,7 g/ hari untuk subjek perempuan. Asupan Protein 13 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 Meskipun, hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara asupan protein dan demensia, namun rata – rata asupan protein responden yang tidak mengalami demensia lebih tinggi dibandingkan asupan protein responden yang mengalami demensia. Hal ini terkait denngan fungsi beberapa asam amino seperti fenilalanin, tirosin, triptofan, histidin, arginin, treonin, dan glisin sebagai prekusor neurotransmitter yang berperan terhadap fungsi otak (Lieberman, 1999). Konsumsi tinggi protein menyebabkan asupan asam amino yang lebih banyak sehingga neurotransmitter yang dihasilkan juga lebih banyak. Asupan Lemak Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara asupan lemak dengan demensia. Namun, responden dengan asupan lemak rendah cenderung lebih berisiko mengalami demensia. Hal serupa juga dinyatakan di dalam penelitian Roberts,et al (2012) yang menyatakan bahwa responden yang mengonsumsi lemak yang lebih banyak akan mengurangi risiko terkena demensia. Hal ini dikarenakan lemak diperlukan untuk membuat selaput mielin pada neuron. Semakin tebal selaput mielin semakin cepat impuls dihantarkan sehingga kinerja otak semakin cepat. Asupan Vitamin A, C, dan E Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara asupan vitamin A, C dan E dengan demensia. Namun, responden dengan asupan vitamin A, C, dan E yang lebih rendah cenderung mengalami demensia. Hal ini terkait dengan fungsi vitamin A, C dan E sebagai antioksidan yang berperan dalam melawan radikal bebas. Salah satu teori menyebutkan radikal bebas berperan terhadap terjadinya demensia (Harman, 2000; Neuropathology Group, 2001; WHO & FAO, 2004). Asupan Vitamin B Kompleks Uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara asupan vitamin B1 dan asam folat dengan demensia. Namun, hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan demensia pada lansia dengan asupan vitamin B1 dan asam folat yang rendah. Hal ini disebabkan karena folat berperan dalam metabolisme untuk menghasilkan methylgroups yang diperlukan untuk sintesis myelin, neurotransmitter, membran fosfolipid serta DNA (Ravalgia, et al.,2005) dan Vitamin B1 dalam bentuk koenzim Tiamin Pirofosfat (TPP) atau koenzim Tiamin Trifosfat (TPP) berperan penting dalam tranformasi energi, serta konduksi membran dan saraf (Almatiser, 2004). Sedangkan, didapatkan hubungan yang signifikan antara asupan vitamin B2, B6 dan B12 terhadap demensia. Hal ini berkaitan 14 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 dengan fungsi Vitamin B2 untuk mengubah vitamin B6 menjadi koenzim fungsionalnya, di mana vitamin B6 berperan dalam pembuatan mielin yang melapisi sel – sel otak (Almatsier, 2004). Sementara, vitamin B12 berkaitan dengan fungsi metabolisme DNA dan sintesis protein yang berperan penting dalam remethylation homosistein menjadi metionin (Gracia & Zannibi, 2004). Defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan perubahan pada metabolisme metionin yang berakibat meningkatnya kadar homosistein di dalam tubuh(hiperhomosisteinemia) (Welch & Loscalzo, 1998). Peningkatan homosistein dapat berkontribusi terhadap akumulasi amyloid dan protein tau yang menyebabkan kematian sel otak (Gracia & Zannibi, 2004). Asupan Zat Besi Meskipun secara statistik tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara asupan besi dan demensia, lansia dengan asupan zat besi <100% AKG cenderung lebih sering mengalami demensia dibandingkan lansia dengan asupan zat besi ≥ 100% AKG. Hal ini terkait dengan fungsi zat besi sebagai pengangkut oksigen ke berbagai jaringan tubuh, termasuk otak. Selain itu, zat besi juga berperan di dalam pembentukkan neurotransmitter di otak, seperti serotonin dan dopamin (WHO & FAO, 2004). Kekurangan zat besi juga berkaitan dengan terjadinya hipoxia (kekurangan suplai oksigen) pada otak yang menyebabkan gangguan kognitif (Petranovic, et al., 2008). Asupan Seng Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara asupan seng dan demensia . Namun, data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata – rata asupan seng lebih tinggi pada lansia yang tidak mengalami demensia. Hal ini disebabkan karena efek seng sebagai antioksidan dalam melawan radikal bebas (Ortega, et al., 1997). Aktivitas Fisik Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dan demensia . Meskipun demikian, dari hasil uji bivariat terlihat bahwa lansia dengan aktivitas fisik rendah cenderung lebih berisiko mengalami demensia. Aktivitas fisik dapat mengurangi depresi pada lansia yang berkaitan dengan berkurangnya risiko demensia (Barbour & Blumental, 2005). Hal ini disebabkan karena aktivitas fisik meningkatkan volume hipokampus, mencegah pengurangan materi abu- abu pada otak, meningkatkan konektivitas neuron pada otak, , dan mencegah pembentukan plak β-amiloid. (Ahlskog, et al.,2011; Imtiaz, et al., 2014). Selain itu, aktivitas fisik yang dapat mengurangi resiko penyakit vaskular 15 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 seperti : hipertensi, obesitas, PJK dan DM yang merupakan faktor resiko demensia. (Imtiaz, et al, 2014). Riwayat Penyakit Degeneratif Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara riwayat diabetes mellitus, hipertensi, hiperkolesterolemia dan stoke dengan demensia. Hal ini disebabkan karena rata – rata responden baru memiliki riwayat penyakit tersebut 1-5 tahun. Diabetes berkaitan dengan demensia karena memiliki faktor risiko yang sama, yaitu atherosklerosis, stroke, hiperlipidemia, hipertensi, dan retinopati (Whitmer, 2007). Sedangkan, hipertensi dapat meningkatkan risiko demensia karena hipertensi akan menstimulasi proses neurodegeneratif atau meningkatkan kerusakan pada pembuluh darah otak (Imtiaz, et al, 2014). Tingkat kolesterol dalam darah yang tinggi berkaitan dengan arterosklerosis yang dapat menyebabkan pembuluh darah otak tersumbat (stroke) sehingga aliran darah ke otak berkurang (Kivipelto, et al., 2001). Namun, uji statistik memperoleh hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit jantung dengan demensia. Sama seperti stroke, penyakit jantung juga berkaitan dengan demensia karena penyakit jantung juga dapat menyebabkan hipoksia pada jaringan otak sehingga membuat sel – sel otak mengalami kematian (Kivipelto, et al., 2001). Kesimpulan Prevalensi demensia pada lansia di Jakarta Barat pada tahun 2014 sebesar 42,3%. Lebih dari separuh (53,1%) responden berusia 60 – 64 tahun dan sebagian besar responden (80%) berjenis kelamin perempuan. Tingkat pendidikan responden pada umumnya adalah tamat SMP (35,4%) dan 63,9% responden memiliki IMT yang tidak normal. Terdapat 28,5 % responden menganut pola diet vegetarian dan rata – rata asupan zat gizi makro dan mikro responden masih kurang dari 100% AKG, kecuali asupan lemak, vitamin A dan vitamin C. Sebagian besar (68,5%) responden memiliki aktivitas fisik yang cukup. Terdapat 17,7% responden yang memiliki memiliki riwayat diabetes melitus. Selain itu, terdapat 46,9% responden memiliki riwayat hipertensi dan hiperkolesterol. Sedangkan, distribusi riwayat stroke dan penyakit jantung tergolong rendah, yaitu masing – masing 6,2% dan 3,8% memiliki riwayat stroke dan penyakit jantung . Terdapat hubungan positif antara usia (p value = 0,02) dan riwayat penyakit jantung(p value = 0,008) dengan demensia. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara pola diet vegetarian (p value = 0,001), asupan vitamin B2 (p value = 0,042), vitamin B6 (p value = 0,048), dan Vitamin B12 (p value = 0,032) dengan 16 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 demensia. Pola diet vegetarian merupakan faktor protektif yang paling dominan terhadap demensia. Lansia dengan pola diet nonvegetarian memiliki risiko 4,5 kali terkena demensia dibandingkan dengan lansia yang menganut pola diet vegetarian. Saran Sebaiknya dilakukan kerja sama antara vihara dengan institusi kesehatan/ pendidikan kesehatan terkait untuk mengadakan atau mengembangkan program KIE (Komunikasi,Informasi dan Edukasi) mengenai gizi dan demensia sehingga umat menjadi tertarik untuk menganut pola diet vegetarian sebagai langkah nyata untuk mencegah demensia . Untuk peneliti lainnya, sebaiknya dapat mengambil subjek dengan kategori usia pra lansia dan lansia sehingga dapat melihat prevalensi demensia pada pra lansia dan melakukan studi pada pasien dengan diabetes, hipertensi, dan penyakit degeneratif lainnya untuk melihat hubungan penyakit- penyakit tersebut dengan demensia. Daftar Pustaka Access Economic. (2006). Dementia in The Asia Pacific Region: The Epidemic is Here. [online] Dari: http://www.fightdementia.org.au/common/files/NAT/20060921_Nat_AE_FullDemAsi aPacReg.pdf [20 Februari 2014] Ahlskog JE et al. (2011).Physical exercise as a preventive or disease-modifying treatment of dementia and brain aging. Mayo Clinic Proceedings, 86 (9): 876–884 Aisyah, Bunga. (2009). Hubungan Asupan Zat Gizi Mikro, Aktivitas Fisik, dan Latihan Kecerdasan dengan Kejadian Demensia pada Lansia di Kelurahan Depok Jaya Tahun 2009 [Skripsi]. Program Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI, Depok American Dietetic Association. (2009). Position of American Dietetic Association: Vegetarian diets. J Am Diet Assoc; 109: 1266 - 1282 Australian Institute of Health and Welfare. (2012). Dementia in Australia. Canberra: Australian Institute of Health and Welfare Barbour,KA., Blumental JA. (2005). Excercise training and depression in older adults.Neurobiom Aging; 26:119-123 Beydoun MA, Beydoun HA, Wang Y. (2008). Obesity and central obesity as risk factors for incident dementia and its subtypes: a systematic review and metaanalysis.Obesity Reviews;9:204-218 Beydoun MA, Lhotsky A, Wang Y, et al. (2008). Association of adiposity status and changes in early to mid-adulthood with incidence of Alzheimer's disease. Am J Epidemiol;168:1179-1189 BPS Provinsi DKI Jakarta. 2012. Jakarta dalam Angka 2012. Jakarta: BPS Provinsi DKI Jakarta Calon F, Lim GP, Yang F, Morihara T, Teter B, Ubeda O, Rostaing P, Triller A, Salem N Jr, Ashe KH, Frautschy SA, Cole GM. (2004). Docosahexaenoic Acid protects from dendritic pathology in an Alzheimer's disease mouse model. Neuron; 43:633–645 17 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 Chi, et al. (2010). Determinants of Cognitive Impairment Over Time among the Elderly in Taiwan : Results of National Longitudinal Study. Gerontology and Geriatrics 50 (Suppl. 1):S53–S57 Connor JR. (1994). Iron acquisition and expression of iron regulatory proteins in the developing brain: manipulation by ethanol exposure, iron deprivation and cellular dysfunction. Dev Neurosci;16:233-47 Dahl, Anna. (2009). Body Mass Index, Cognitive Ability, and Dementia Prospective Associations and Methodological Issues in Late Life. Dissertation Series 7. Jonkoping: School of Health Sciences Jonkoping University de Bruijn, Renee FAG., Elisabeth MCS, Karen AG, et al. (2013). The association between physical activity and dementia in an elderly population: the Rotterdam Study. Eur J Epidemiol; 28:277–283 Dementia Education & Training Program. (2008). Weightloss in Dementia Patient. [online] Dari: www.alzbrain.org (15 Maret 2014) Evans DA, Hebert LE, Beckett LA, Scherr PA, Albert MS, Chown MJ, et al. (1997). Education and other measures of socioeconomic status and risk of incident Alzheimer disease in a defined population of older persons. Arch Neurol ;54(11):1399–405 Franklin Institute. (2004). Carbohydrates Fuel Your Brain. [online] dari: http://www.fi.edu/learn/brain/carbs.html (8 Maret 2014) Gorospe EC, Dave JK. (2007). The risk of dementia with increased body mass index. Age Ageing;36:23-29 Gracia A, Zanibbi K. (2004). Homocysteine and cognitive function in elderly people. CMAJ 2004;171(8):897-904 Handajani, Y.S. (2006). Indeks Pengukuran Disabilitas dan Prediksi Kualitas Hidup pada Masyarakat Usia Lanjut di DKI Jakarta [Disertasi]. Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI, Depok Harman, Denham. (2000). Alzheimer's Disease: A Hypothesis on Pathogenesis. J Amer Aging Assoc, 23:147-161 Hebert LE, Scherr PA, McCann JJ, Beckett LA, Evans DA. (2001). Is the risk of developing Alzheimer’s disease greater for women than for men? Am J Epidemiol;153(2):132–6 Hebert LE, Weuve J, Scherr PA, Evans DA. (2013). Alzheimer’s disease in the United States (2010-2050) estimated using the 2010 Census. Neurology. [online] Dari:www.neurology.org/content/early/2013/02/06/WNL.0b013e31828726f5 [20 Februari 2014] Imtiaz, et al. (2014). Future Directions in Alzheimer’s Disease From Risk Factors to Prevention.Biochem Pharmacol Kim, Ki Wong, Joon Hyuk Park, Myoung Hee Kim, et al. (2011). A Nationwide Survey on the Prevalence of Dementia and Mild Cognitive Impairment in South Korea.Journal of Alzheimer’s Disease; 23: 281–291 Kivipelto M, Helkala EL, Laakso MP, Hanninen T, Hallikainen M, Alhainen K et al. (2001). Midlife vascular risk factors and Alzheimer’s disease in later life: longitudinal, population based study. BMJ 322(7300):1447-51 La Rue, Asenath, Kathleen M Koehler, Sharon J Wayne, et al. (1997). Nutritional status and cognitive functioning in a normally aging sample: a 6-y reassessment. Am J Clin Nutr ;65:20-9 Lieberman HR. (1999). Amino acid and protein requirements: cognitive performance,stress, and brain function. In The Role of Protein and Amino Acids in Sustaining and Enhancing Performance. Washington, DC: National Academy Press 18 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 Lobo A, Launer LJ, Fratiglioni L, Andersen K, Di Carlo A, Breteler MMB et al. (2000). Prevalence of dementia and major subtypes in Europe: a collaborative study of population based cohorts. Neurology ; 54(11, supplement 5):S4–S9 Luchsinger, JA and Mayeux R. (2004). Dietary factors and Alzheimer’s disease. Lancet Neurol; 3:579-587 Martinez, et al. (2008). Risk Factors for Dementia in Epidemiological Study of Munguialde Country (Basque Country: Spain). BMC Neurology, 8:39 Mathers C & Leonardi M. (2006). Global burden of dementia in the year 2000: summary of methods and data sources. Geneva: WHO Messina, M. (1996). Health consequences of vegetarian diets. The Dietitian’s Guide to Vegetarian Diets: Issues and Applications. Washington: Aspen Publishers Murphy, Sherry L; Jiaquan Xu & Kenneth D. Kochanek. ( 2013). Deaths: Final Data for 2010. National Vital Statistics Report; 61 (4): p 1-118 Neuropathology Group. (2001). Pathological correlates of late-onset dementia in amulticentre, community-based population in England and Wales Neuropathology Group of the Medical Research Council Cognitive function and Ageing Study (MRC CFAS). Lancet ; 357:169–175 Ortega, RM, Requejo AM, Andres P, et al. (1997). Dietary intake and cognitive function in a group of elderly people. Am J Clin Nutr;66:803-9 Ott A, Stolk RP, van HF, Pols HA, Hofman A, Breteler MM.(1999). Diabetes mellitus and the risk of dementia: The Rotterdam Study. Neurology;53(9):1937-42 Perrig,WJ, P. Perrig and B. Stehelin. (1997). The relation between antioxidants and memory performance in the old and very old, J. Am. Geriatr. Soc; 45: 718–724 Petranovic D, Batinac T, Petranovic D, et al. (2008). Iron deficiency anaemia Influences cognitive functions. Med Hypotheses; 70: 70–72 Phelps, Norm (2004). The Great Compassion: Buddhism & Animal Rights. New York: Lantern Books Purnakarya, Idral. (2008). Analisa Pola Makan dan Faktor Lainnya yang Berhubungan dengan Kejadian Demensia pada Lansia di Wilayah Jakarta Barat [Tesis]. Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI, Depok Rahardjo, TBW., Yudarini, Subarkah, et al. (2008). Mental and social activities and possible dementia among the elderly in three indonesian comunities, Poster Session: Spring School on Aging Oxford Institute of Aging,University of Oxford, 13 – 18 April 2008 Ravalgia, G., Forti P, Maioli F, et al. (2005). Plasma amino acid concentrations in patients with amnestic mild cognitive impairment or Alzheimer disease, Am J Clin Nutr 2005; 80: 483-8 Roberts, Rosebud O, Lewis A. Roberts, Yonas E. Geda, et al. (2012). Relative Intake of Macronutrients Impacts Risk of Mild Cognitive Impairment or dementia. Alzheimers Dis; 32(2): 329–339 Roe CM, Xiong C, Miller JP, Morris JC. (2007). Education and Alzheimer Disease without dementia: Support for the cognitive reserve hypothesis. Neurology;68(3):223–8 Rosengren A, Skoog I, Gustafson D, et al. (2005). Body mass index, other cardiovascular risk factors, and hospitalization for dementia. Arch Intern Med;165:321-326 Sahadevan, S., Saw SM, Gao W, et al. (2008). Ethnic differences in Singapore's dementia prevalence: the stroke, Parkinson's disease, epilepsy, and dementia in Singapore study. J Am Geriatr Soc;56(11):2061-8 Skoog I, Lernfelt B, Landahl S, Palmertz B, Andreasson LA, Nilsson L et al. (1996). 15-year longitudinal study of blood pressure and dementia. Lancet; 347(9009):1141- 5 19 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014 Stern Y. (2012). Cognitive reserve in ageing and Alzheimer’s disease. Lancet Neurol;11(11):1006–12 Timiras, Paola S.(2007). Physiological Basis of Aging and Geriatrics. New York: Informa Healthcare USA Tuso, Philip J., Mohammed H Ismail, Benjamin P, et al. (2013). Nutritional updates for physicians: Plant - based diet. Perm J; 17 (2): 61 - 66 Van Gelder, BM, Tijhuis MAR, Kalmijin S, et al. (2004). Excercise training and depression in older adults. Neurobiom Aging, 26:119-123 Weuve, J., Kang JH, Manson JE, et al. (2004). Physical Activity, including walking and cognitive function in older woman. JAMA; 292:1454-61 Whitmer RA. (2007). Type 2 Diabetes and Risk of Cognitive Impairment and Dementia. Current Neurology and Neuroscience Reports 2007, 7:373–380 WHO and FAO. 2004. Vitamin and Mineral Requirements in Human Nutrition 2nd ed. Geneva: WHO World Health Organization (WHO). (2008). The Global Burden of Disease: 2004 Update. Geneva: World Health Organization World Health Organization (WHO). (2012a). Dementia Fact Sheet. [online] Dari: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs362/en/ [20 Februari 2014] World Health Organization (WHO). (2012b). Dementia: A Public Health Priority. Geneva:World Health Organization Yauz, BB., Cankutaran M, Haznedaroglu IC, Halil M, et al. (2012). Iron deficiency can cause cognitive impairment in geriatric patients. J Nutr Health Aging;16(3):220-4 Youdim KA, Martin A, Joseph JA. (2000). Essential fatty acids and the brain: possible health implications. International journal of developmental neuroscience : the official journal of the International Society for Developmental Neuroscience; 18: 383-399 Zhou DF, Wu CS, Qi H, Fan JH, Sun XD, Como P, Qiao YL, Zhang L, Kieburtz K. (2006). Prevalence of dementia in rural China: impact of age, gender and education. Acta Neurol Scand; 114: 273–280 20 Universitas Indonesia Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014