pola diet vegetarian sebagai faktor protektif dominan terhadap

advertisement
POLA DIET VEGETARIAN SEBAGAI FAKTOR PROTEKTIF
DOMINAN TERHADAP DEMENSIA PADA LANSIA DI JAKARTA
BARAT TAHUN 2014
Debi, Fatmah
Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Demensia adalah keadaan di mana seseorang mengalami penurunan atau gangguan kognitif. Tujuan diadakannya
penelitian ini adalah memperoleh prevalensi demensia serta menganalisis faktor risiko mana yang paling
dominan terkait demensia pada lansia di Jakarta Barat pada tahun 2014. Penelitian dilakukan kepada 130 orang
lansia (berusia ≥60 tahun) pada vihara terpilih di Jakarta Barat dengan desain penelitian cross sectional selama
bulan April – Mei 2014. Demensia diukur dengan menggunakan Standardized Mini Mental Examination
(SMMSE), di mana skor ≤24 dikatagorikan menjadi demensia. Prevalensi demensia pada penelitian ini sebesar
42,3%. Terdapat hubungan signifikan antara usia (p-value = 0,02), pola diet vegetarian (p-value = 0,001), asupan
vitamin B2 (p-value = 0,042), vitamin B6 (p-value = 0,048), Vitamin B12 (p-value = 0,032), dan riwayat
penyakit jantung (p-value = 0,008) dengan demensia pada lansia di Jakarta Barat tahun 2014. Pola diet
vegetarian merupakan faktor protektif yang paling dominan terhadap demensia. Lansia dengan pola diet
nonvegetarian memiliki risiko 4,5 kali terkena demensia dibandingkan dengan lansia yang menganut pola diet
vegetarian setelah dikontrol dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, asupan zat gizi mikro (vitamin A,
vitamin B2, vitamin B6, asam folat, vitamin B12 dan seng), aktivitas fisik, riwayat stroke, dan riwayat penyakit
jantung.
Vegetarian Dietary Pattern as Dominant Protective Factor of Dementia in Elderly at
West Jakarta in 2014
Abstract
Dementia is a condition which cognitive has decreased or cognitive impairment. The objective of this research
was to know prevalence of dementia and to find which of the risk factor is the dominant factor that is related to
dementia in elderly at West Jakarta in 2014. This study was conducted in 130 elderly (≥60 year) at four chosen
temple which located in West Jakarta with cross sectional study design in April-May 2014. Dementia was
measured using Standardized Mini Mental Examination (SMMSE), which score ≤24 been categorized into
dementia. Prevalence of dementia in this research is 42,3%. Statistical test showed that dementia has
significantly associated with age (p-value = 0,02), vegetarian dietary pattern (p-value = 0,001), vitamin B2
intake (p-value = 0,042), vitamin B6 intake (p-value = 0,048), Vitamin B12 intake (p-value = 0,032), and
history of heart disease (p-value = 0,008). Vegetarian dietary pattern was the most dominant protective factor
that related with demensia. Elderly with nonvegetarian dietary pattern is 4,5 times at risk of dementia than
elderly with vegetarian dietary pattern, after controlled with age, gender, level of education, micronutrient intake
(vitamin A, vitamin B2, vitamin B6, folate, vitamin B12, zinc), physical activity, stroke history, and heart
disease history.
Keywords : Dementia; Elderly; Nutrient intake; SMMSE; Vegetarian
1
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
Pendahuluan
Demensia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama karena dapat mengganggu
aktivitas harian pasien dan keluarga pasien, menyebabkan gizi kurang pada lansia serta dapat
menyebabkan kematian (WHO, 2008; Dementia Education & Training Program, 2008;
Australian Institute of Welfare and Health, 2012; Murphy, et al., 2013). Hampir 35,6 juta
(4,7%) penduduk di dunia mengalami demensia, dan diperkirakan akan meningkat menjadi
65,7 juta penduduk pada tahun 2030 (WHO, 2012a; WHO, 2012b). Demensia di Indonesia
pun mengalami peningkatan dari 606.100 kasus pada 2005 menjadi 1.016.800 kasus pada
tahun 2020 (Access Economics, 2006). Jumlah lansia dengan demensia di Indonesia pun lebih
tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga, yaitu 63.000 kasus di Malaysia dan 22.000
kasus di Singapura pada tahun 2005 (Access Economics, 2006). Beberapa penelitian di
Indonesia juga menunjukkan kecenderungan angka demensia yang tinggi di masyarakat.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 di kelurahan Depok Jaya, DKI Jakarta pada 2006
dan Jakarta Barat pada 2008 menunjukkan prevalensi demensia sebesar 41,7% , 62,5%, dan
47,5% (Aisyah, 2009; Handajani, 2006; Purnakarya, 2008). Terdapat beberapa faktor yang
berhubungan dengan demensia,yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, indeks massa
tubuh (IMT), pola diet vegetarian, asupan zat gizi makro, asupan zat gizi mikro, aktivitas fisik
dan riwayat penyakit degeneratif. Semakin meningkatnya usia, risiko terkena demensia
semakin tinggi (Sahadevan, et al., 2008). Lansia wanita juga lebih berisiko mengalami
demensia (Hebert, et al., 2013). Lansia yang buta huruf 4,68 kali lebih beresiko terkena
demensia (Kim, et al., 2011). Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara
peningkatan indeks massa tubuh pada masa paruh baya dengan meningkatnya demensia pada
saat lansia (Beydoun, Beydoun & Wang, 2008; Gorospe & Dave, 2007). Pola diet vegetarian
dinyatakan dapat menurunkan risiko demensia sebesar 11,5 kali (Purnakarya, 2008). Selain
itu, asupan gizi makro dan mikro juga mempengaruhi terjadinya demensia pada lansia.
Penelitian Ortega, et al (1997) menyatakan bahwa konsumsi makanan yang kaya akan
karbohidrat, vitamin (asam folat, vitamin C, vitamin E, dan beta karoten) dan mineral (zink
dan besi) akan meningkatkan kemampuan kognitif. Asupan tinggi protein dan lemak juga
berkaitan dengan fungsi kognitif yang lebih baik (Roberts, et al., 2012). Menurut Weuve, et
al. (2004) dan Van Gelder, et al. (2004) aktivitas fisik dapat meningkatkan performa kognitif.
Diabetes mellitus, hipertensi pada saat paruh baya, riwayat penyakit jantung, stroke, dan
hiperkolesterolemia juga berhubungan dengan terjadinya demensia (Ott, et al., 1999; Skoog,
et al., 1996; Kivipelto, et al., 2001; Martinez, et al, 2008; Chi, et al, 2010). Penelitian
2
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
dilakukan pada lansia vegetarian dan non vegetarian di Jakarta Barat. Lansia dipilih sebagai
sasaran penelitian karena demensia lebih sering terjadi pada lansia (Alzheimer’s Diesease
International, 2009). Jakarta Barat dipilih sebagai lokasi penelitian karena Jakarta Barat
merupakan wilayah dengan jumlah vihara terbanyak di Jakarta (BPS Provinsi DKI Jakarta,
2012). Vihara dijadikan sebagai tempat penelitian karena di vihara dapat diperoleh lansia
dengan pola makan vegetarian dan non vegetarian dengan jumlah yang seimbang. Hal ini
berkaitan dengan pernyataan Phelps (2004) yang mengatakan bahwa meskipun belum ada
statistik yang akurat, namun diperkirakan separuh dari penganut agama Buddha di dunia
adalah vegetarian. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh prevalensi
demensia serta menganalisis faktor risiko mana yang paling dominan terkait demensia pada
lansia di Jakarta Barat pada tahun 2014.
Tinjauan Teoritis
Faktor risiko demensia
Pola diet vegetarian
Pola diet vegetarian cenderung mengonsumsi lemak jenuh dan kolesterol yang lebih sedikit,
serta mengonsumsi serat, magnesium, vitamin C, Vitamin E, asam folat, karoten, flavonoid,
dan fitomikia yang lebih tinggi (ADA, 2009). Salah satu teori menyebutkan radikal bebas
berperan terhadap terjadinya demensia (Harman, 2000). Diet vegetarian yang tinggi akan
konsumsi antioksidan diyakini melindungi tubuh dari radikal bebas dan dapat mengurangi
resiko demensia pada lansia (Messina, 1996). Penelitian lainnya juga mendukung bahwa
vegetarian memiliki risiko lebih rendah terkena demensia dibandingkan dengan non
vegetarian (Gien, et al.,1993). Hal ini berkaitan dengan tekanan derah yang lebih rendah pada
vegetarian dan asupan antioksidan yang lebih tinggi pada kelompok vegetarian (Luchsinger
& Mayeux, 2004). Selain itu, pola diet vegetarian juga dapat menurunkan tingkat kolesterol
darah, menurunkan risiko hipertensi dan diabetes tipe 2 (ADA, 2009). Seorang vegetarian
juga cenderung memiliki BMI yang lebih rendah (Tuso, et al, 2013).
Asupan karbohidrat
Karbohidrat, terutama glukosa sangat penting bagi fungsi otak. Sel otak (neuron) tidak dapat
menyimpan karbohidrat sehingga membutuhkan suplai glukosa terus menerus melalui darah.
Terlalu banyak glukosa pada waktu singkat menyebabkan insulin dikeluarkan dari pankreas
untuk mengimbanginya sehingga otak akan mengalami krisis energi akibat glukosa darah
yang menjadi rendah dalam waktu singkat (Franklin Institute, 2004). Penelitian Ortega, et al.
3
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
(1997) menunjukkan bahwa subjek dengan asupan karbohidrat yang tinggi cenderung
memiliki skor MMSE yang lebih tinggi dibandingkan subjek dengan asupan karbohidrat yang
lebih rendah.
Asupan protein
Penelitian eksperimental membuktikan bahwa beberapa asam amino seperti fenilalanin,
tirosin, triptofan, histidin, arginin, treonin, dan glisin berperan sebagai prekusor
neurotransmitter yang berperan terhadap fungsi otak (Lieberman, 1999). Penelitian Roberts,
et al (2012) menyatakan bahwa asupan tinggi protein mengurangi risiko demensia. Hal ini
berkaitan dengan konsumsi tinggi protein menyebabkan asupan asam amino yang lebih
banyak sehingga neurotransmitter yang dihasilkan juga lebih banyak.
Asupan lemak
Lemak diperlukan untuk membuat selaput mielin pada neuron. Semakin tebal selaput mielin
semakin cepat impuls dihantarkan sehingga kinerja otak semakin cepat. Lemak tak jenuh,
terutama asam lemak tak jenuh ganda membantu menjaga fungsi kognitif melalui
pembentukan stuktur, fungsi dan sinapsis pada neuron (Youdim, Martin & Joseph, 2000).
Selain itu, asam lemak tak jenuh ganda dapat mengurangi jumlah protein β amiloid yang
memicu terjadinya alzheimer (Calon, et al., 2004).
Asupan Vitamin A, Vitamin C dan Vitamin E
Vitamin A atau β karoten merupakan salah satu bentuk antioksidan yang berperan dalam
melawan radikal bebas. Salah satu teori menyebutkan radikal bebas berperan terhadap
terjadinya demensia (Harman, 2000) dan asupan vitamin A yang tinggi dapat menangkal
radikal bebas dan mencegah seseorang mengalami demensia. Penelitian La Rue, et al. (1997)
dan peneltitian Ortega, et al. (1997) membuktikan bahwa asupan vitamin C berhubungan
positif dengan kemampuan kognitif pada lansia. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi
vitamin C sebagai antioksidan yang memiliki mekanisme tidak langsung dalam mencegah
demensia dan penurunan kognitif (Neuropathology Group, 2001). Vitamin E merupakan
antioksidan yang berperan penting untuk melindungi sel akibat kerusakan yang disebabkan
oleh radikal bebas. Komponen terpenting dari vitamin E, yaitu α tokoferol berperan dalam
mekanisme mencegah reaksi oksidatif yang dapat merusak otak (WHO & FAO, 2004).
Asupan Vitamin B kompleks dan asam folat
Vitamin B1 dalam bentuk koenzim Tiamin Pirofosfat (TPP) atau koenzim Tiamin Trifosfat
(TPP) berperan dalam tranformasi energi, serta konduksi membran dan saraf (Almatsier,
2004). Vitamin B2 berperan untuk mengubah vitamin B6 menjadi koenzim fungsionalnya,
4
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
sedangkan vitamin B6 berperan dalam pembuatan mielin yang melapisi sel – sel otak. Asam
folat berperan dalam pembentukan DNA dan RNA di dalam tubuh. Kekurangan asam folat
dapat mengganggu metabolisme DNA sehingga mengganggu kerja sel – sel di dalam tubuh
(Almatsier, 2004). Vitamin B12 berpengaruh terhadap jaringan saraf karena B12 berperan
dalam metabolisme jaringan saraf (Almatsier, 2004).Tingkat serum vitamin B1, B2, B6, B12
dan asam folat memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan kognitif pada lansia
(Perrig, Perrig & Stehelin, 1997).
Asupan Zat Besi
Zat besi memiliki fungsi sebagai pengangkut oksigen ke berbagai jaringan tubuh, termasuk
otak. Selain itu, zat besi juga berperan di dalam pembentukkan neurotransmitter di otak,
seperti serotonin dan dopamin (WHO & FAO, 2004). Penelitian Ortega, et al. (1997) dan
penelitian Yauz, et al. (2012) menyatakan bahwa defisiensi zat besi pada lansia dapat
menurunkan fungsi kognitif lansia, di mana lansia yang mengalami defisiensi zat besi
cenderung memiliki skor MMSE yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena zat besi
merupakan kofaktor esesial dalam pembuatan neurotransmitter dan selaput mielin pada
neuron (Connor, 1994).
Asupan Seng
Asupan seng yang lebih tinggi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan skor
MMSE yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena efek seng sebagai antioksidan dalam
melawan radikal bebas (Ortega, et al., 1997).
Aktivitas Fisik
Penelitian de Bruijn, et al.(2013) menyatakan bahwa aktivitas fisik yang tinggi dapat
mengurangi risiko demensia pada lansia. Penelitian Weuve, et al. (2004) dan Van Gelder, et
al. (2004) juga menunjukkan aktivitas fisik dapat meningkatkan performa kognitif pada lansia.
Aktivitas fisik dapat mengurangi depresi pada lansia yang berkaitan dengan berkurangnya
risiko demensia (Barbour & Blumental, 2005). Aktivitas fisik akan meningkatkan volume
hipokampus, mencegah pengurangan materi abu- abu pada otak, meningkatkan konektivitas
neuron pada otak, , dan mencegah pembentukan plak β-amiloid. (Ahlskog, et al.,2011; Imtiaz,
et al., 2014).
Riwayat Penyakit Degeneratif
Diabetes mellitus, hipertensi pada saat paruh baya, riwayat penyakit jantung, stroke, dan
hiperkolesterolemia juga berhubungan dengan terjadinya alzheimer (Ott, et al., 1999; Skoog,
et al., 1996; Kivipelto, et al., 2001; Martinez, et al, 2008; Chi, et al, 2010). Lansia yang
5
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
memiliki riwayat stroke berpotensi 7.8 kali demensia (Martinez, et al, 2008). Orang yang
memiliki riwayat diabetes mellitus 2.27 lebih berisiko mengalami demensia (Chi, et al, 2010).
Hipertensi dapat menstimulasi proses neurodegeneratif atau meningkatkan kerusakan pada
pembuluh darah otak (Imtiaz, et al, 2014). Tingkat kolesterol dalam darah yang tinggi
berkaitan dengan arterosklerosis yang dapat menyebabkan pembuluh darah otak
tersumbat(Kivipelto, et al., 2001). Penyakit jantung dan stroke dapat menyebabkan hipoksia
pada jaringan otak (Kivipelto, et al., 2001).
Indeks Massa Tubuh
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara peningkatan indeks massa tubuh
pada masa paruh baya dengan meningkatnya demensia pada saat lansia (Beydoun, Beydoun
& Wang, 2008; Gorospe & Dave, 2007). Terdapat dua penelitian yang telah menunjukkan
adanya hubungan berbentuk U antara indeks masa tubuh ketika paruh baya dengan demensia
pada saat lansia (Beydoun, et al., 2008; Rosengren, et al., 2005). Hal ini berkaitan dengan
meningkatnya risiko penyakit kardiovaskuler dan diabetes pada seseorang yang mengalami
obesitas (Beydoun, Beydoun & Wang, 2008; Gorospe & Dave, 2007). IMT pada saat lansia
sudah tidak dapat dijadikan faktor risiko demensia dan bahkan dapat merupakan salah satu
gejala klinis akibat demensia (Dahl, 2009).
Usia
Dari para penderita alzheimer, 4% berusia di bawah 65 tahun, 13% berusia 65 hingga 74
tahun, 44 % berusia 75 hingga 85 tahun dan 38% berusia lebih dari 85 tahun (Hebert, et al.,
2013). Insiden alzheimer juga meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang
(Hebert, et al., 2013). Literatur lainnya juga secara konsisten menyatakan bahwa prevalensi
demensia meningkat seiring bertambahnya usia. Prevalensi demensia meningkat 2 kali lipat
setiap peningkatan usia 5-6 tahun sejak usia 65 tahun (ADI 2009; Lobo et al. 2000; Mathers
& Leonardi 2006).
Jenis Kelamin
Perempuan lebih berisiko terkena demensia dibandingkan dengan laki – laki. Sekitar dua
pertiga dari pasien demensia di Amerika Serikat berjenis kelamin perempuan (Hebert, et al.,
2013). Proporsi lansia perempuan yang lebih besar disebabkan terutama karena wanita
memiliki usia harapan hidup yang lebih panjang dibandingkan laki – laki (Hebert, et al.,
2001).
Tingkat Pendidikan
6
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
Lansia dengan tingkat edukasi yang lebih rendah lebih berisiko mengalami demensia
dibandingkan dengan lansia yang memiliki tingkat edukasi yang lebih tinggi (Evans, et al.,
1997). Penelitian di Cina pada tahun 2006 juga menyatakan pendidikan memiliki hubungan
yang signifikan dengan demensia (Zhou, et al., 2006). Hubungan biologis antara tingkat
pendidikan dengan demensia dipercaya karena tingkat pendidikan yang lebih tinggi
membangun cadangan kognitif yang membuat individu lebih dapat bertahan dari perubahan di
otak (Roe, et al., 2007; Stern, 2012). Berdasarkan hipotesis tersebut, semakin tinggi tingkat
penddikan akan meningkatkan koneksi antara neuron di otak.
Metode Penelitian
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian
dilakukan pada 130 lansia berusia ≥60 tahun di Pusdiklat Maitreyawira, Vihara Dharma Bakti,
Vihara Dharma Hastabrata dan Cetiya Yen Ruen yang terletak di Jakarta Barat selama bulan
April – Mei 2014. Kriteria inklusi adalah seluruh lansia berusia ≥60 tahun yang dapat
berbahasa Indonesia dengan lancar dan tidak mengalami gangguan ingatan. Sedangkan,
kriteria eksklusi adalah lansia tuna rungu, tuna netra dan lansia yang mengalami gangguan
berkomunikasi (sulit berbicara). Instrumen yang diperlukan di dalam penelitian ini meliputi
Letter of Consent, kuesioner FFQ semi kuantitatif yang berisi 99 jenis makanan untuk
mengukur asupan rata – rata harian zat gizi makro dan mikro, kuesioner SMMSE
(Standardized Mini Mental State Examination) untuk mengukur tingkat kognitif lansia, dan
kuesioner GPAQ (Global Physical Activity Questionairre) untuk mengukur aktivitas fisik.
Selain itu digunakan juga timbangan berat badan merk Karada Scan - Omron dengan
ketelitian 0,1 kg dan Microtoise dengan ketelitian 0,1 cm untuk mengukur IMT responden.
Pengambilan data dilakukan oleh 5 orang enumerator dengan metode wawancara dan
pengukuran antropometri. Metode pengambilan sampel dengan menggunakan
non
probability sampling dengan purposive sampling karena pengambilan responden tidak secara
acak. Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh prevalensi demensia dan gambaran
variabel independen, yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, IMT, pola diet
vegetarian, asupan zat gizi makro dan mikro, aktivitas fisik, dan riwayat penyakit degeneratif.
Analisis bivariat menggunakan uji chi square pada data yang bersifat katagorik dan uji t
independen pada data yang bersifat numerik. Hasil uji statistik menghasilkan 2 kemungkinan
yaitu hipotesis ditolak atau hipotesis gagal ditolak dengan tingkat kemaknaan (α) sebesar
0,05. Uji multivariat dilakukan menggunakan regresi logistik ganda dengan model prediksi
7
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
untuk mengetahui variabel independen mana yang paling berhubungan secara signifikan
dengan variabel dependen.
Hasil Penelitian
Hasil analisis terhadap 130 responden menunjukkan bahwa 42,3 % responden mengalami
demensia dengan skor SMMSE ≤ 24. Terdapat 69 dari 130 responden yang berusia kurang
dari 65 tahun (53,1%). Tingkat pendidikan responden pada umumnya adalah tamat SMP
sebanyak 46 orang (35,4%) dan IMT responden pada umumnya obesitas, yaitu sebanyak 56
43,1%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 28,5 % responden menganut pola diet vegetarian.
Tabel 1. Hasil Analisis Univariat
Variabel Dependen
Demensia
Usia
Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan
IMT
Pola Diet Vegetarian
Asupan Karbohidrat
Asupan Protein
Asupan Lemak
Asupan Vitamin A
Asupan Vitamin B1
Asupan Vitamin B2
Asupan Vitamin B6
Asupan Asam Folat
Asupan Vitamin B12
Asupan Vitamin C
Asupan Vitamin E
Asupan Zat Besi
Katagori
1. Demensia
2. Tidak Demensia
1. ≥65 Tahun
2. 60-64 Tahun
1. Perempuan
2. Laki – Laki
1. Tidak Sekolah/ Tidak Tamat SD
2. Tamat SD
3. Tamat SMP
4. Tamat SMA
5. Tamat Akademi/ Perguruan Tinggi
1. Underweight
2. Normal
3. Overweight
4. Obesitas
1. Nonvegetarian
2. Vegetarian
1. <100% AKG
2. ≥100% AKG
1. <100% AKG
2. ≥100% AKG
1. <100% AKG
2. ≥100% AKG
1. <100% AKG
2. ≥100% AKG
1. <100% AKG
2. ≥100% AKG
1. <100% AKG
2. ≥100% AKG
1. <100% AKG
2. ≥100% AKG
1. <100% AKG
2. ≥100% AKG
1. <100% AKG
2. ≥100% AKG
1. <100% AKG
2. ≥100% AKG
1. <50% AKG
2. ≥50% AKG
1. <100% AKG
n = 130
55
75
69
61
104
26
20
39
46
23
2
4
47
23
56
93
37
94
36
78
52
41
89
7
123
82
48
111
19
96
34
126
4
124
6
54
76
116
14
79
%
42,3
57,7
53,1
46,9
80
20
15,4
30
35,4
17,7
1,5
3,1
36,2
17,7
43,1
71,5
28,5
72,3
27,7
60
40
31,5
68,5
5,4
94,6
63,1
36,9
85,4
14,6
73,8
26,2
96,9
3,1
95,4
4,6
41,5
58,5
89,2
10,8
60,8
8
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
Asupan Seng
Aktivitas Fisik
Riwayat DM
Riwayat Hipertensi
Riwayat
Hiperkolesterol
Riwayat Stroke
Riwayat Penyakit
Jantung
2.
1.
2.
1.
2.
1.
2.
1.
2.
1.
2.
1.
2.
1.
2.
≥100% AKG
<100% AKG
≥100% AKG
Kurang
Cukup
Ada
tidak ada
ada
tidak ada
ada
tidak ada
ada
tidak ada
ada
tidak ada
51
124
6
41
89
23
107
61
69
61
69
8
122
5
125
39,2
95,4
4,6
31,5
68,5
17,7
82,3
46,9
53,1
46,9
53,1
6,2
93,8
3,8
96,2
Pada hasil analisis bivariat diperoleh 6 variabel independen yang memiliki hubungan yang
signifikan dengan demensia, yaitu usia (OR= 2,842 (1,177 – 6,864)), pola diet vegetarian
(OR= 4,571 (1,826 – 11,445)), asupan vitamin B2, asupan vitamin B6 (OR= 2,556 (1,081 –
6,043)), asupan vitamin B12, dan riwayat penyakit jantung. Dari 61 orang responden yang
berusia 60 – 64 tahun, terdapat 21 orang responden (34,4%) yang mengalami demensia. Uji
statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia dan demensia dan
didapatkan pula OR = 2,842 (1,177 – 6,864) yang berarti lansia dengan usia ≥65 tahun 2,842
kali lebih berisiko mengalami demensia. Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dan
demensia diperoleh bahwa ada sebanyak 48 perempuan (46,2%) yang mengalami demensia.
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,12 yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin dengan demensia. Terdapat 48 (46,7%) responden dengan
tingkat pendidikan rendah (pendidikan < 9 tahun) yang mengalami demensia. Dari hasil uji
statistik diperoleh nilai p = 0,066 yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan
antara pendidikan dengan demensia. Dari hasil analisis, diperoleh rata – rata IMT responden
yang mengalami demensia adalah 25,03 ± 3,44 kg/m2. Sementara, rata – rata IMT responden
yang tidak mengalami demensia adalah 23,97 ± 3,63 kg/m2. Hasil uji statistik menunjukkan
nilai p = 0,097 yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara IMT dengan
demensia. Dari 93 orang responden yang menganut pola diet nonvegetarian, terdapat 51,6%
responden yang mengalami demensia. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara pola diet vegetarian dengan demensia ( OR = 4,571 (1,826 – 11,445))
yang berarti lansia dengan pola diet nonvegetarian 4,5 kali lebih berisiko terkena demensia
dibandingkan lansia dengan pola diet vegetarian. Rata – rata asupan karbohidrat responden
yang mengalami demensia adalah 235,62 ± 51,05 g/ hari. Sementara, rata – rata asupan
karbohidrat responden yang tidak mengalami demensia adalah 237,66 ± 49,02 g/ hari. Rata –
9
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
rata asupan protein responden yang mengalami demensia adalah 55,67
±13,59 g/ hari.
Sementara, rata – rata asupan protein responden yang tidak mengalami demensia adalah 56,72
±14,09 g/ hari. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p masing – masing sebesar 0,819 dan
0,669 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan karbohidrat dan protein
dengan demensia. Hasil analisis hubungan antara asupan lemak dan demensia diperoleh
bahwa terdapat 43,9% responden dengan asupan lemak <100% AKG yang mengalami
demensia. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,953 yang berarti tidak ada hubungan
yang signifikan antara asupan lemak dengan demensia. Hasil analisis hubungan asupan
vitamin A, B1, C, E, asam folat, zat besi dan seng menunjukkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara asupan zat gizi tersebut dengan demensia. Hasil analisis hubungan antara
asupan vitamin B2 dan demensia diperoleh bahwa terdapat 49,5 % responden dengan asupan
vitamin B2 <100% AKG, 47,9 % responden dengan asupan vitamin B6 <100% AKG, dan
44,4 % responden dengan asupan vitamin B12 <100% AKG yang mengalami demensia.Uji
statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara 3 variabel tersebut dengan
demensia. Hasil analisis hubungan antara tingkat aktivitas fisik dan demensia diperoleh
bahwa terdapatn 43,9% responden dengan tingkat aktivitas fisik kurang yang mengalami
demensia. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,953 maka dapat disimpulkan tidak ada
hubungan signifikan antara aktivitas fisik dengan demensia. Hasil uji statistik juga
menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara riwayat diabetes mellitus,
hipertensi, hiperkolesterolemia dan stroke dengan demensia. Sementara terdapat hubungan
yang signifikan antara riwayat penyakit jantung dengan demensia.
Tabel 2 Hasil analisis bivariat
Independen
Demensia
N
%
Usia
1. ≥65 tahun
2. 60-64 tahun
Jenis Kelamin
1. Perempuan
2. Laki – Laki
Tingkat Pendidikan
1. Rendah
2. Tinggi
Pola Diet Vegetarian
1. Nonvegetarian
2. Vegetarian
Asupan Lemak
1. <100% AKG
2. ≥ 100% AKG
Asupan Vitamin A
Demensia
Tidak demensia
n
%
p- value
OR (95% CI)
Jumlah
n
%
34
21
49,3
34,4
35
40
50,7
65,6
69
61
100
100
0,02*
2,842
(1,177- 6,864)
48
7
46,2
26,9
56
19
53,8
73.1
104
26
100
100
0,12
2,327
(0,901 – 6,007)
49
6
46,7
24
56
19
53,3
76
105
25
100
100
0,066
2,771
(1,025– 7,492)
48
7
51,6
18,9
45
30
48,4
81,1
93
37
100
100
0,001*
4,571
(1,826 - 11,445)
18
37
43,9
41,6
23
52
56,1
58,4
41
89
100
100
0,953
1,1
(0,521 - 2,322)
10
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
1. <100% AKG
2. ≥ 100% AKG
Asupan Vitamin B1
1. <100% AKG
2. ≥ 100% AKG
Asupan Vitamin B2
1. <100% AKG
2. ≥ 100% AKG
Asupan Vitamin B6
1. <100% AKG
2. ≥ 100% AKG
Asupan Asam Folat
1. <100% AKG
2. ≥ 100% AKG
Asupan Vitamin B12
1. <100% AKG
2. ≥ 100% AKG
Asupan Vitamin C
1. <100% AKG
2. ≥ 100% AKG
Asupan Zat Besi
1. <100% AKG
2. ≥ 100% AKG
Aktivitas Fisik
1. Kurang
2. Cukup
Riwayat DM
1. ada
2. tidak ada
Riwayat Hipertensi
1. ada
2. tidak ada
Riwayat
Hiperkolesterol
1. ada
2. tidak ada
Riwayat Stroke
1. ada
2. tidak ada
Riwayat Jantung
1. ada
2. tidak ada
Variabel Independen
IMT
Asupan Karbohidrat
Asupan Protein
Vitamin E
Seng
5
50
71,4
40,7
2
73
28,6
59,3
7
123
100
100
0,109
3,65
(0,61 – 19,561)
36
19
43,9
39,6
46
29
56,1
60,4
82
48
100
100
0,768
1,195
(0,579 – 2,465)
51
4
49,5
21,1
60
15
54,1
78,9
111
19
100
100
0,042*
3,188
(0,995 – 10,213)
46
9
47,9
26,5
50
25
52,1
73,5
96
34
100
100
0,048*
2,556
(1,081 – 6,043)
55
0
43,7
0
71
4
56,3
100
126
4
100
100
0,087
-
55
0
44,4
0
69
6
55,6
100
124
6
100
100
0,032*
-
25
30
46,3
39,5
29
46
53,7
60,5
54
76
100
100
0,551
1,322
(0,653 – 2,676)
35
20
44,3
39,2
44
31
55,7
60,8
79
51
100
100
0,566
1,233
(0,602 – 2,524)
18
37
43,9
41,6
23
52
56,1
58,4
41
89
100
100
0,953
1,1
(0,521 - 2,322)
9
46
39,1
43
14
61
60,9
57
23
107
100
100
0,915
0,852
(0,339 - 2,141)
26
29
42,6
42
35
40
57,4
58
61
69
100
100
1,000
1,025
(0,51 - 2,057)
23
24
37,7
34,8
38
45
62,3
65,2
61
69
100
100
0,729
1,135
(0,553 – 2,324)
5
50
62,5
41
3
72
37,5
59
8
122
100
100
0,233
2,4
(0,548 – 10,502)
5
100
125 100
Mean
25,03
23,97
235,62
237,66
55,67
56,72
4,967
5,035
6,329
6,892
0,008*
5
100
0
50
40
75
Variabel Dependen
Demensia
Tidak Demensia
Demensia
Tidak Demensia
Demensia
Tidak Demensia
Demensia
Tidak Demensia
Demensia
Tidak Demensia
0
60
N
55
75
55
75
55
75
55
75
55
75
SD
3,439
3,632
51,05
49,02
13,59
14,09
1,86
1,96
1,5
1,95
SE
0,464
0,419
6,88
5,66
1,83
1,63
0,25
0,22
0,2
0,22
P value
0,097
0,819
0,669
0,842
0,065
Seleksi kandidat multivariat dilakukan dengan cara melakukan uji bivariat terhadap masing –
masing variabel. Hajil uji bivariat akan masuk dalam pemodelan multivariat apabila memiliki
11
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
p-value >0,25. Variabel – variabel hasil seleksi bivariat tersebut kemudian dianalisis dengan
pemodelan multivariat. Dari hasil analisis multivariat diperoleh 11 variabel yang termasuk ke
dalam pemodelan akhir dan terdapat 2 variabel yang berhubungan paling signifikan dengan
demensia yaitu usia dan pola diet vegetarian. Lansia yang berusia ≥65 tahun memiliki risiko
2,7 kali mengalami demensia dan lansia dengan pola diet nonvegetarian 4,5 kali lebih berisiko
mengalami demensia.
Tabel 3. Hasil Pemodelan Akhir Multivariat
Variabel
B
Wald
p – value
OR
95% CI
Usia
Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan
Pola Diet Vegetarian
Asupan Vitamin B2
Asupan Vitamin B6
Asupan Asam Folat
Asupan Seng
Aktivitas Fisik
Riwayat Penyakit Stroke
Riwayat penyakit jantung
1.009
-1.177
1.040
1.504
0.875
0.452
-0.006
0.231
0.254
1.060
2.122
5.253
3.216
2.642
7.538
1.484
.490
2.047
1.809
.277
1.293
2.916
0.022*
0.073
0.104
0.006*
0.223
0.484
0.152
0.179
0.599
0.255
0.088
2.742
0.308
2.828
4.497
2.398
1.571
0.994
1.260
1.290
2.887
8.347
1.157 – 6.497
0.085 – 1.115
0.807- 9.906
1.538 – 13.156
0.587 – 9.797
0.443 – 5.569
0.987 – 1.002
0.900 – 1.765
0.500 – 3.329
0.464 – 17.949
0.731 – 95.318
Pembahasan
Usia
Uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia dengan demensia, di
mana lansia yang berusia ≥65 tahun 2,842 kali lebih berisiko mengalami demensia. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahardjo, et al (2008) di Indonesia dan
penelitian Sahadevan, et al., (2008). Prevalensi demensia meningkat 2 kali lipat setiap
peningkatan usia 5-6 tahun sejak usia 65 tahun (ADI 2009; Lobo et al. 2000; Mathers &
Leonardi, 2006). Hal ini terkait dengan perubahan pada sistem limbik yang terlibat dalam
proses memori, mood dan motivasi (Timiras, 2007).
Jenis Kelamin
Jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan demensia terkait dengan
sampel yang hampir homogen (80% berjenis kelamin perempuan). Namun, perempuan
cenederung lebih berisiko mengalami demensia berkaitan dengan proporsi lansia perempuan
yang lebih besar, terutama karena wanita memiliki usia harapan hidup yang lebih panjang
dibandingkan laki – laki (Hebert, et al., 2001).
Tingkat Pendidikan
12
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
Pendidikan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan demensia terkait dengan sampel
yang hampir homogen (80,8% memiliki tingkat pendidikan rendah). Namun, lansia dengan
tingkat pendidikan rendah cenderung lebih berisiko mengalami demensia karena tingkat
pendidikan yang lebih tinggi membangun cadangan kognitif yang membuat individu lebih
dapat bertahan dari perubahan di otak (Roe, et al., 2007; Stern, 2012).
IMT
IMT tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan demensia karena IMT dapat
merupakan manifestasi dari demensia maupun penyebab demensia (Dahl, 2009). Namun dari
penleitian ini dapat dilihat bahwa lansia dengan demensia cenderung memiliki IMT lebih
tinggi dibandingkan lansia tanpa demensia. Hal ini didukung oleh dua penelitian yang telah
menunjukkan adanya hubungan berbentuk U antara indeks masa tubuh dengan demensia pada
saat lansia (Beydoun, et al., 2008; Rosengren, et al., 2005).
Pola Diet Vegetarian
Dari hasil analisis statistik, lansia dengan pola diet nonvegetarian 4,5 kali lebih berisiko
terkena demensia dibandingkan lansia dengan pola diet vegetarian. Pola diet vegetarian
cenderung lebih tidak demensia karena pola diet vegetarian cenderung mengonsumsi lemak
jenuh dan kolesterol yang lebih sedikit, serta mengonsumsi serat, magnesium, vitamin C,
Vitamin E, asam folat, karoten, flavonoid, dan fitomikia yang lebih tinggi (ADA, 2009).
Salah satu teori menyebutkan radikal bebas berperan terhadap terjadinya demensia (Harman,
2000). Diet vegetarian yang tinggi akan konsumsi antioksidan diyakini melindungi tubuh dari
radikal bebas dan dapat mengurangi resiko demensia pada lansia (Messina, 1996). Selain itu,
pola diet vegetarian juga dapat menurunkan tingkat kolesterol darah, menurunkan risiko
hipertensi dan diabetes tipe 2 (ADA, 2009).
Asupan Karbohidrat
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata – rata asupan karbohidrat pada lansia yang tidak
demensia lebih tinggi dibandingkan asupan karbohidrat lansia yang mengalami demensia
meskipun perbedaannya tidak signifikan secara statistik. Hal ini sejalan dengan penelitian
Ortega, et al. (1997) menunjukkan bahwa rata – rata asupan karbohidrat subjek dengan nilai
MMSE lebih rendah adalah 218,1 ± 65,7 g/ hari untuk subjek laki – laki dan 171,2 ± 41,5 g/
hari untuk subjek perempuan sedangkan rata – rata asupan karbohidrat subjek dengan nilai
MMSE yang tinggi adalah 232,5 ± 63,7 g/ hari untuk subjek laki – laki dan 177,7± 50,7 g/
hari untuk subjek perempuan.
Asupan Protein
13
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
Meskipun, hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara
asupan protein dan demensia, namun rata – rata asupan protein responden yang tidak
mengalami demensia lebih tinggi dibandingkan asupan protein responden yang mengalami
demensia. Hal ini terkait denngan fungsi beberapa asam amino seperti fenilalanin, tirosin,
triptofan, histidin, arginin, treonin, dan glisin sebagai prekusor neurotransmitter yang
berperan terhadap fungsi otak (Lieberman, 1999). Konsumsi tinggi protein menyebabkan
asupan asam amino yang lebih banyak sehingga neurotransmitter yang dihasilkan juga lebih
banyak.
Asupan Lemak
Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara asupan lemak
dengan demensia. Namun, responden dengan asupan lemak rendah cenderung lebih berisiko
mengalami demensia. Hal serupa juga dinyatakan di dalam penelitian Roberts,et al (2012)
yang menyatakan bahwa
responden yang mengonsumsi lemak yang lebih banyak akan
mengurangi risiko terkena demensia. Hal ini dikarenakan lemak diperlukan untuk membuat
selaput mielin pada neuron. Semakin tebal selaput mielin semakin cepat impuls dihantarkan
sehingga kinerja otak semakin cepat.
Asupan Vitamin A, C, dan E
Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara asupan vitamin
A, C dan E dengan demensia. Namun, responden dengan asupan vitamin A, C, dan E yang
lebih rendah cenderung mengalami demensia. Hal ini terkait dengan fungsi vitamin A, C dan
E sebagai antioksidan yang berperan dalam melawan radikal bebas. Salah satu teori
menyebutkan radikal bebas berperan terhadap terjadinya demensia (Harman, 2000;
Neuropathology Group, 2001; WHO & FAO, 2004).
Asupan Vitamin B Kompleks
Uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara asupan vitamin B1
dan asam folat dengan demensia. Namun, hasil penelitian menunjukkan adanya
kecenderungan demensia pada lansia dengan asupan vitamin B1 dan asam folat yang rendah.
Hal ini disebabkan karena folat berperan dalam metabolisme untuk menghasilkan
methylgroups yang diperlukan untuk sintesis myelin, neurotransmitter, membran fosfolipid
serta DNA (Ravalgia, et al.,2005) dan Vitamin B1 dalam bentuk koenzim Tiamin Pirofosfat
(TPP) atau koenzim Tiamin Trifosfat (TPP) berperan penting dalam tranformasi energi, serta
konduksi membran dan saraf (Almatiser, 2004). Sedangkan, didapatkan hubungan yang
signifikan antara asupan vitamin B2, B6 dan B12 terhadap demensia. Hal ini berkaitan
14
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
dengan fungsi Vitamin B2 untuk mengubah vitamin B6 menjadi koenzim fungsionalnya, di
mana vitamin B6 berperan dalam pembuatan mielin yang melapisi sel – sel otak (Almatsier,
2004). Sementara, vitamin B12 berkaitan dengan fungsi metabolisme DNA dan sintesis
protein yang berperan penting dalam remethylation homosistein menjadi metionin (Gracia &
Zannibi, 2004). Defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan perubahan pada metabolisme
metionin
yang
berakibat
meningkatnya
kadar
homosistein
di
dalam
tubuh(hiperhomosisteinemia) (Welch & Loscalzo, 1998). Peningkatan homosistein dapat
berkontribusi terhadap akumulasi amyloid dan protein tau yang menyebabkan kematian sel
otak (Gracia & Zannibi, 2004).
Asupan Zat Besi
Meskipun secara statistik tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara asupan besi dan
demensia, lansia dengan asupan zat besi <100% AKG cenderung lebih sering mengalami
demensia dibandingkan lansia dengan asupan zat besi ≥ 100% AKG. Hal ini terkait dengan
fungsi zat besi sebagai pengangkut oksigen ke berbagai jaringan tubuh, termasuk otak. Selain
itu, zat besi juga berperan di dalam pembentukkan neurotransmitter di otak, seperti serotonin
dan dopamin (WHO & FAO, 2004). Kekurangan zat besi juga berkaitan dengan terjadinya
hipoxia (kekurangan suplai oksigen) pada otak yang menyebabkan gangguan kognitif
(Petranovic, et al., 2008).
Asupan Seng
Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara asupan seng
dan demensia . Namun, data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata – rata asupan seng
lebih tinggi pada lansia yang tidak mengalami demensia. Hal ini disebabkan karena efek seng
sebagai antioksidan dalam melawan radikal bebas (Ortega, et al., 1997).
Aktivitas Fisik
Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik
dan demensia . Meskipun demikian, dari hasil uji bivariat terlihat bahwa lansia dengan
aktivitas fisik rendah cenderung lebih berisiko mengalami demensia. Aktivitas fisik dapat
mengurangi depresi pada lansia yang berkaitan dengan berkurangnya risiko demensia
(Barbour & Blumental, 2005). Hal ini disebabkan karena aktivitas fisik meningkatkan volume
hipokampus, mencegah pengurangan materi abu- abu pada otak, meningkatkan konektivitas
neuron pada otak, , dan mencegah pembentukan plak β-amiloid. (Ahlskog, et al.,2011; Imtiaz,
et al., 2014). Selain itu, aktivitas fisik yang dapat mengurangi resiko penyakit vaskular
15
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
seperti : hipertensi, obesitas, PJK dan DM yang merupakan faktor resiko demensia. (Imtiaz, et
al, 2014).
Riwayat Penyakit Degeneratif
Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara riwayat
diabetes mellitus, hipertensi, hiperkolesterolemia dan stoke dengan demensia. Hal ini
disebabkan karena rata – rata responden baru memiliki riwayat penyakit tersebut 1-5 tahun.
Diabetes berkaitan dengan demensia karena memiliki faktor risiko yang sama, yaitu
atherosklerosis, stroke, hiperlipidemia, hipertensi, dan retinopati (Whitmer, 2007). Sedangkan,
hipertensi dapat meningkatkan risiko demensia karena hipertensi akan menstimulasi proses
neurodegeneratif atau meningkatkan kerusakan pada pembuluh darah otak (Imtiaz, et al,
2014). Tingkat kolesterol dalam darah yang tinggi berkaitan dengan arterosklerosis yang
dapat menyebabkan pembuluh darah otak tersumbat (stroke) sehingga aliran darah ke otak
berkurang (Kivipelto, et al., 2001). Namun, uji statistik memperoleh hubungan yang
signifikan antara riwayat penyakit jantung dengan demensia. Sama seperti stroke, penyakit
jantung juga berkaitan dengan demensia karena penyakit jantung juga dapat menyebabkan
hipoksia pada jaringan otak sehingga membuat sel – sel otak mengalami kematian (Kivipelto,
et al., 2001).
Kesimpulan
Prevalensi demensia pada lansia di Jakarta Barat pada tahun 2014 sebesar 42,3%. Lebih dari
separuh (53,1%) responden berusia 60 – 64 tahun dan sebagian besar responden (80%)
berjenis kelamin perempuan. Tingkat pendidikan responden pada umumnya adalah tamat
SMP (35,4%) dan 63,9% responden memiliki IMT yang tidak normal. Terdapat 28,5 %
responden menganut pola diet vegetarian dan rata – rata asupan zat gizi makro dan mikro
responden masih kurang dari 100% AKG, kecuali asupan lemak, vitamin A dan vitamin C.
Sebagian besar (68,5%) responden memiliki aktivitas fisik yang cukup. Terdapat 17,7%
responden yang memiliki memiliki riwayat diabetes melitus. Selain itu, terdapat 46,9%
responden memiliki riwayat hipertensi dan hiperkolesterol. Sedangkan, distribusi riwayat
stroke dan penyakit jantung tergolong rendah, yaitu masing – masing 6,2% dan 3,8%
memiliki riwayat stroke dan penyakit jantung . Terdapat hubungan positif antara usia (p value
= 0,02) dan riwayat penyakit jantung(p value = 0,008) dengan demensia. Terdapat hubungan
negatif yang signifikan antara pola diet vegetarian (p value = 0,001), asupan vitamin B2 (p
value = 0,042), vitamin B6 (p value = 0,048), dan Vitamin B12 (p value = 0,032) dengan
16
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
demensia. Pola diet vegetarian merupakan faktor protektif yang paling dominan terhadap
demensia. Lansia dengan pola diet nonvegetarian memiliki risiko 4,5 kali terkena demensia
dibandingkan dengan lansia yang menganut pola diet vegetarian.
Saran
Sebaiknya dilakukan kerja sama antara vihara dengan institusi kesehatan/ pendidikan
kesehatan
terkait
untuk
mengadakan
atau
mengembangkan
program
KIE
(Komunikasi,Informasi dan Edukasi) mengenai gizi dan demensia sehingga umat menjadi
tertarik untuk menganut pola diet vegetarian sebagai langkah nyata untuk mencegah
demensia . Untuk peneliti lainnya, sebaiknya dapat mengambil subjek dengan kategori usia
pra lansia dan lansia sehingga dapat melihat prevalensi demensia pada pra lansia dan
melakukan studi pada pasien dengan diabetes, hipertensi, dan penyakit degeneratif lainnya
untuk melihat hubungan penyakit- penyakit tersebut dengan demensia.
Daftar Pustaka
Access Economic. (2006). Dementia in The Asia Pacific Region: The Epidemic is Here.
[online]
Dari:
http://www.fightdementia.org.au/common/files/NAT/20060921_Nat_AE_FullDemAsi
aPacReg.pdf [20 Februari 2014]
Ahlskog JE et al. (2011).Physical exercise as a preventive or disease-modifying treatment of
dementia and brain aging. Mayo Clinic Proceedings, 86 (9): 876–884
Aisyah, Bunga. (2009). Hubungan Asupan Zat Gizi Mikro, Aktivitas Fisik, dan Latihan
Kecerdasan dengan Kejadian Demensia pada Lansia di Kelurahan Depok Jaya Tahun
2009 [Skripsi]. Program Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI, Depok
American Dietetic Association. (2009). Position of American Dietetic Association:
Vegetarian diets. J Am Diet Assoc; 109: 1266 - 1282
Australian Institute of Health and Welfare. (2012). Dementia in Australia. Canberra:
Australian Institute of Health and Welfare
Barbour,KA., Blumental JA. (2005). Excercise training and depression in older
adults.Neurobiom Aging; 26:119-123
Beydoun MA, Beydoun HA, Wang Y. (2008). Obesity and central obesity as risk factors for
incident dementia and its subtypes: a systematic review and metaanalysis.Obesity
Reviews;9:204-218
Beydoun MA, Lhotsky A, Wang Y, et al. (2008). Association of adiposity status and changes
in early to mid-adulthood with incidence of Alzheimer's disease. Am J
Epidemiol;168:1179-1189
BPS Provinsi DKI Jakarta. 2012. Jakarta dalam Angka 2012. Jakarta: BPS Provinsi DKI
Jakarta
Calon F, Lim GP, Yang F, Morihara T, Teter B, Ubeda O, Rostaing P, Triller A, Salem N Jr,
Ashe KH, Frautschy SA, Cole GM. (2004). Docosahexaenoic Acid protects from
dendritic pathology in an Alzheimer's disease mouse model. Neuron; 43:633–645
17
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
Chi, et al. (2010). Determinants of Cognitive Impairment Over Time among the Elderly in
Taiwan : Results of National Longitudinal Study. Gerontology and Geriatrics 50
(Suppl. 1):S53–S57
Connor JR. (1994). Iron acquisition and expression of iron regulatory proteins in the
developing brain: manipulation by ethanol exposure, iron deprivation and cellular
dysfunction. Dev Neurosci;16:233-47
Dahl, Anna. (2009). Body Mass Index, Cognitive Ability, and Dementia Prospective
Associations and Methodological Issues in Late Life. Dissertation Series 7. Jonkoping:
School of Health Sciences Jonkoping University
de Bruijn, Renee FAG., Elisabeth MCS, Karen AG, et al. (2013). The association between
physical activity and dementia in an elderly population: the Rotterdam Study. Eur J
Epidemiol; 28:277–283
Dementia Education & Training Program. (2008). Weightloss in Dementia Patient. [online]
Dari: www.alzbrain.org (15 Maret 2014)
Evans DA, Hebert LE, Beckett LA, Scherr PA, Albert MS, Chown MJ, et al. (1997).
Education and other measures of socioeconomic status and risk of incident Alzheimer
disease in a defined population of older persons. Arch Neurol ;54(11):1399–405
Franklin Institute. (2004). Carbohydrates Fuel Your Brain. [online] dari:
http://www.fi.edu/learn/brain/carbs.html (8 Maret 2014)
Gorospe EC, Dave JK. (2007). The risk of dementia with increased body mass
index. Age
Ageing;36:23-29
Gracia A, Zanibbi K. (2004). Homocysteine and cognitive function in elderly people.
CMAJ 2004;171(8):897-904
Handajani, Y.S. (2006). Indeks Pengukuran Disabilitas dan Prediksi Kualitas Hidup pada
Masyarakat Usia Lanjut di DKI Jakarta [Disertasi]. Program
Pasca Sarjana Ilmu
Kesehatan Masyarakat FKM UI, Depok
Harman, Denham. (2000). Alzheimer's Disease: A Hypothesis on Pathogenesis. J Amer
Aging Assoc, 23:147-161
Hebert LE, Scherr PA, McCann JJ, Beckett LA, Evans DA. (2001). Is the risk of developing
Alzheimer’s disease greater for women than for men? Am J Epidemiol;153(2):132–6
Hebert LE, Weuve J, Scherr PA, Evans DA. (2013). Alzheimer’s disease in the United
States (2010-2050) estimated using the 2010 Census. Neurology. [online]
Dari:www.neurology.org/content/early/2013/02/06/WNL.0b013e31828726f5
[20 Februari 2014]
Imtiaz, et al. (2014). Future Directions in Alzheimer’s Disease From Risk Factors to
Prevention.Biochem Pharmacol
Kim, Ki Wong, Joon Hyuk Park, Myoung Hee Kim, et al. (2011). A Nationwide Survey on
the Prevalence of Dementia and Mild Cognitive Impairment in South Korea.Journal of
Alzheimer’s Disease; 23: 281–291
Kivipelto M, Helkala EL, Laakso MP, Hanninen T, Hallikainen M, Alhainen K et al. (2001).
Midlife vascular risk factors and Alzheimer’s disease in later life: longitudinal,
population based study. BMJ 322(7300):1447-51
La Rue, Asenath, Kathleen M Koehler, Sharon J Wayne, et al. (1997). Nutritional status and
cognitive functioning in a normally aging sample: a 6-y
reassessment. Am J Clin
Nutr ;65:20-9
Lieberman HR. (1999). Amino acid and protein requirements: cognitive performance,stress,
and brain function. In The Role of Protein and Amino
Acids in Sustaining and
Enhancing Performance. Washington, DC: National Academy Press
18
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
Lobo A, Launer LJ, Fratiglioni L, Andersen K, Di Carlo A, Breteler MMB et al. (2000).
Prevalence of dementia and major subtypes in Europe: a collaborative study of
population based cohorts. Neurology ; 54(11,
supplement 5):S4–S9
Luchsinger, JA and Mayeux R. (2004). Dietary factors and Alzheimer’s disease. Lancet
Neurol; 3:579-587
Martinez, et al. (2008). Risk Factors for Dementia in Epidemiological Study of
Munguialde Country (Basque Country: Spain). BMC Neurology, 8:39
Mathers C & Leonardi M. (2006). Global burden of dementia in the year 2000: summary
of methods and data sources. Geneva: WHO
Messina, M. (1996). Health consequences of vegetarian diets. The Dietitian’s
Guide
to
Vegetarian Diets: Issues and Applications. Washington: Aspen Publishers
Murphy, Sherry L; Jiaquan Xu & Kenneth D. Kochanek. ( 2013). Deaths: Final Data
for
2010. National Vital Statistics Report; 61 (4): p 1-118
Neuropathology Group. (2001). Pathological correlates of late-onset dementia in amulticentre,
community-based population in England and Wales Neuropathology Group of the
Medical Research Council Cognitive function and Ageing Study (MRC CFAS).
Lancet ; 357:169–175
Ortega, RM, Requejo AM, Andres P, et al. (1997). Dietary intake and cognitive function in
a group of elderly people. Am J Clin Nutr;66:803-9
Ott A, Stolk RP, van HF, Pols HA, Hofman A, Breteler MM.(1999). Diabetes mellitus and
the risk of dementia: The Rotterdam Study. Neurology;53(9):1937-42
Perrig,WJ, P. Perrig and B. Stehelin. (1997). The relation between antioxidants and
memory performance in the old and very old, J. Am. Geriatr. Soc; 45: 718–724
Petranovic D, Batinac T, Petranovic D, et al. (2008). Iron deficiency anaemia Influences
cognitive functions. Med Hypotheses; 70: 70–72
Phelps, Norm (2004). The Great Compassion: Buddhism & Animal Rights. New York:
Lantern Books
Purnakarya, Idral. (2008). Analisa Pola Makan dan Faktor Lainnya yang Berhubungan
dengan Kejadian Demensia pada Lansia di Wilayah Jakarta Barat [Tesis]. Program
Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI, Depok
Rahardjo, TBW., Yudarini, Subarkah, et al. (2008). Mental and social activities and
possible dementia among the elderly in three indonesian comunities, Poster Session:
Spring School on Aging Oxford Institute of Aging,University of Oxford, 13 – 18
April 2008
Ravalgia, G., Forti P, Maioli F, et al. (2005). Plasma amino acid concentrations in patients
with amnestic mild cognitive impairment or Alzheimer disease, Am J Clin Nutr
2005; 80: 483-8
Roberts, Rosebud O, Lewis A. Roberts, Yonas E. Geda, et al. (2012). Relative
Intake of
Macronutrients Impacts Risk of Mild Cognitive Impairment or dementia. Alzheimers
Dis; 32(2): 329–339
Roe CM, Xiong C, Miller JP, Morris JC. (2007). Education and Alzheimer Disease
without
dementia: Support for the cognitive reserve hypothesis. Neurology;68(3):223–8
Rosengren A, Skoog I, Gustafson D, et al. (2005). Body mass index, other cardiovascular risk
factors, and hospitalization for dementia. Arch Intern Med;165:321-326
Sahadevan, S., Saw SM, Gao W, et al. (2008). Ethnic differences in Singapore's dementia
prevalence: the stroke, Parkinson's disease, epilepsy, and dementia in Singapore
study. J Am Geriatr Soc;56(11):2061-8
Skoog I, Lernfelt B, Landahl S, Palmertz B, Andreasson LA, Nilsson L et al. (1996). 15-year
longitudinal study of blood pressure and dementia. Lancet; 347(9009):1141- 5
19
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
Stern Y. (2012). Cognitive reserve in ageing and Alzheimer’s disease. Lancet
Neurol;11(11):1006–12
Timiras, Paola S.(2007). Physiological Basis of Aging and Geriatrics. New York: Informa
Healthcare USA
Tuso, Philip J., Mohammed H Ismail, Benjamin P, et al. (2013). Nutritional
updates for
physicians: Plant - based diet. Perm J; 17 (2): 61 - 66
Van Gelder, BM, Tijhuis MAR, Kalmijin S, et al. (2004). Excercise training and depression
in older adults. Neurobiom Aging, 26:119-123
Weuve, J., Kang JH, Manson JE, et al. (2004). Physical Activity, including walking and
cognitive function in older woman. JAMA; 292:1454-61
Whitmer RA. (2007). Type 2 Diabetes and Risk of Cognitive Impairment and
Dementia.
Current Neurology and Neuroscience Reports 2007, 7:373–380
WHO and FAO. 2004. Vitamin and Mineral Requirements in Human Nutrition 2nd
ed.
Geneva: WHO
World Health Organization (WHO). (2008). The Global Burden of Disease:
2004
Update. Geneva: World Health Organization
World Health Organization (WHO). (2012a). Dementia Fact Sheet. [online] Dari:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs362/en/ [20 Februari 2014]
World Health Organization (WHO). (2012b). Dementia: A Public Health Priority.
Geneva:World Health Organization
Yauz, BB., Cankutaran M, Haznedaroglu IC, Halil M, et al. (2012). Iron deficiency
can
cause cognitive impairment in geriatric patients. J Nutr
Health Aging;16(3):220-4
Youdim KA, Martin A, Joseph JA. (2000). Essential fatty acids and the brain:
possible
health implications. International journal of developmental neuroscience : the official
journal of the International Society for
Developmental
Neuroscience;
18:
383-399
Zhou DF, Wu CS, Qi H, Fan JH, Sun XD, Como P, Qiao YL, Zhang L, Kieburtz K. (2006).
Prevalence of dementia in rural China: impact of age, gender
and
education.
Acta Neurol Scand; 114: 273–280
20
Universitas Indonesia
Pola diet..., Debi, FKM UI, 2014
Download