bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pasca reformasi 1998, otonomi daerah mulai hangat diperdebatkan dalam
dunia akademik maupun dunia pemerintahan. Hal tersebut tidak lepas bahwa
otonomi daerah adalah manifestasi dari desentralisasi1, kekuasaan yang menyebar
dan tidak terpusat dimana diharapkan bisa membangun wilayah-wilayah yang ada
di
Indonesia.
Semangat
pembangunan
daerah
tersebut
muncul
ketika
pemerintahan orde baru yang berjalan kurang lebih 32 tahun tumbang dengan
adanya reformasi yang dilakukan oleh mahasiwa, akademisi maupun elit politik di
Indonesia, ini juga berimbas kepada perubahan pola pemerintahan yang pada
masa pemerintahan orde baru bersifat sentralistis, bertransformasi atau bergeser
menuju pemerintahan yang desentralisasi2, dimana kewenangan mengenai
pemerintahan dilimpahkan kepada daerahnya masing-masing dan dikuatkan
dengan adanya sumber hukum yaitu UU No 22 Tahun 1999 dan di revisi menjadi
UU No. 32 Tahun 2004 yang didalamnya menjelaskan tentang hubungan hierarki
antara Kabupaten dengan Provinsi, antara Provinsi dan Pemerintah Pusat.
Wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah dengan
prinsip desentralisasi, dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan atau
1
Tidak ada definisi tunggal dan universal mengenai arti kata desentralisasi, dari akar kata bahasa
Latinya desentralisasi berart jauh dari pusat (away from centre) (Meenakshisundaran dalam Jha
Mathur, 1999 : 55 )
2
Pergeseran pola pemerintahan tersebut tidak lepas dari UU No 28 Tahun 1999 Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
1
keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk membangun dan mengatur rumah
tangganya sendiri3. Hasil dari itu ternyata memberikan dampak yang cukup kuat
kepada daerah yang memiliki sumber daya alam atau pendapatan yang cukup
tinggi dibandingkan wilayah lain untuk melakukan pemekaranya. Selain masalah
sumberdaya alam beberapa alasan mengapa sebuah daerah berinisiasi untuk
melakukan pemekaran daerah antara lain4 kebutuhan untuk pemerataan ekonomi
daerah, kondisi geografis yang terlalu luas, perbedaan basis identitas, kegagalan
pengelolaan konflik komunal, setelah itu masuk ke proses inisiasi pemekaran,
dalam PP No. 129 tahun 2000, pembentukan daerah atau penggabungan daerah
dan RPP tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah
tahun 2006 ditegaskan bahwa proses inisiasi pemekaran daerah tergantung pada
kuatnya dukungan dan inisiatif daerah5. Hal tersebut terlihat jelas ketika kita
melihat alur proses inisiasi pemekaran daerah pasal 16 dan 17 dalam PP. 129
Tahun 20006.
Merujuk pada paragraf sebelumnya, dinamika mengenai pemerintahan
daerah mulai muncul kembali pasca tumbangnya rezim pemerintahan orde baru
3
Pada masa pemerintahan sentralisis atau pada masa pemerintahan orde baru, pemerintah juga
telah banyak dilakukan pembentukan daerah otonom baru. dikutip dari buku Perjuangan Menuju
Puncak ditulis oleh Dr. Pratikno dan Hasrul Hanif hal : 2
4
R. Alam Surya Putra , Pemekaran Daerah Baru di Indonesia : Kasus diwilayah peneltian IRDA,
Makalah disampaikan pada seminar Internasional “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga,
11 – 14 juli 2006
5
Hasrul Hanif dan Pratikno (2006) ,Perjuangan Menuju Puncak , Yogyakarta, Program Pasca
Sarjana (S2) Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, Hal : 4
6
Alur proses inisiasi diawali dengan proses penyaringan aspirasi masyarakat; kedua kajian
akademis independen, pemerintah daerah induk kemudian memutuskan apakah aspirasi pemekaran
tersebut akan di setujui atau tidak, ketika di setujui daerah induk akan memberikan usulan tersebut
ke daerah yang lebih tinggi untuk mendapatkan persetujuan, pemerintah pusat dalam hal ini
depdagri kemudian membuat kajian akademis terhadap usulan pemekaran, hasil kajian tersebut
akan diverifikasi oleh DPOP, selanjutnya presiden mengamanatkan kepada mendagri untuk
menyiapkan RUU pembentukan daerah.
2
yang memberikan dampak cukup signifikan mengenai banyaknya keinginan
wilayah-wilayah untuk mengurusi rumah tangganya sendiri. Menurut Tri
Ratnawati, ada empat faktor pendorong tingginya semangat elit-elit daerah untuk
melakukan pemekaran wilayah, yaitu: 1) dalam rangka efektivitas/efisiensi
mengingat wilayah yang begitu luas, penduduk yang menyebar dan ketertinggalan
pembangunan; 2) kecenderungan untuk melakukan homogeniasasi daerah
berdasarkan etnis, bahasa, agama dll; 3) adanya kemanjaan fiskal yang dijamin
oleh UU bagi daerah-daerah pemekaran seperti adanya DAU, bagi hasil dari
SDA,PAD dll; 4) bureaucratic and political rent –seeking yaitu motif elit-elit
tertentu untuk memburu rente atau mengejar keuntungan ekonomis dan politis
melalui pemekaran7.
Tidak lepas dari pro dan kontra mengenai meledaknya beberapa daerah
yang ingin melakukan pemekaran wilayah, di wilayah Provinsi Jawa Barat
sebenarnya sudah sejak lama muncul isu bahwa Cirebon ingin memisahkan diri
dari Jawa Barat, keinginan tersebut tidak lepas dari beberapa masalah, seperti
halnya permasalahan budaya atau bahasa yang sampai sekarang Cirebon adalah
salah satu wilayah yang tidak menggunakan bahasa Sunda8, dalam sejarah Jawa
Barat, konflik mengenai Cirebon dengan Jawa Barat sebenarnya muncul sejak
tahun 1948, konflik tersebut dilatar belakangi pertarungan elite, ketika Tokoh –
Tokoh Cirebon menghadiri sidang konfrensi Jawa Jarat III di Bandung Pada
7
Tri Ratnawati, Potret Pemerintahan Lokal di Indonesia di Masa Perubahan,Jakarta,Pustaka
Pelajar, Hal : 333
8
Bahasa Sunda adalah bahasa yang biasa digunakan oleh mayoritas masyarakat jawa barat, ada
dua wilayah di jawa barat yang tidak menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa keseharianya
yaitu Wilayah Cirebon dan Wilayah Indramayu, bahasa yang dipakai di kedua wilayah tersebut
adalah bahasa kacirebonan, yaitu bahasa perpaduan bahasa jawa dan sunda.
3
Tanggal 28 Februari 1948, para tokoh Cirebon menolak statement salah satu
tokoh pasundan yaitu Soeria Kartalegawa mengenai pemberlakuan bahasa siding
yang menggunakan bahasa Pasundan atau Sunda9. Konflik kecil yang terjadi
antara pasundan dengan Cirebon sebenarnya muncul sejak Indonesia baru
berumur 3 tahun, konflik tersebut sebenarnya dimulai dari elit-elit atau tokohtokoh yang ada di kedua wilayah tersebut.
Keinginan Cirebon untuk memisahkan diri dari Jawa Barat muncul
kembali, ketika undang-undang No 23 Tahun 2000 mengesahkan bahwa Banten
adalah wilayah otonom yang keluar dari Provinsi Jawa Barat. Keberhasilan
terciptanya Provinsi Banten tidak lepas dari peran masyarakat dan peran orang
kuat local di Provinsi tersebut. Pada tahun 1999, masyarakat Banten melakukan
deklarasi di alun–alun Kota Banten guna menginkan pembentukan Provinsi
Banten10, imbas dari pemekaran wilayah tersebut memunculkan kembali gairah
wilayah – wilayah di Jawa Barat yang ingin memisahkan diri seperti Bogor yang
berkeinginan untuk memisahkan diri dengan Jawa Barat dan membentuk Provinsi
Bogor Raya.
Melihat dari pengalaman perjuangan Banten dalam keberhasilanya
memperjuangkan pemekaran provinsi, di wilayah Cirebon sekarang mulai
menguat kembali isu pemekaran yang sudah redup dari awal tahun 1950an
tersebut, menguatnya isu tersebut dilatar belakangi oleh munculnya sebuah
9
http://gragecirebon.wordpress.com/2008/05/16/arsip-propinsi-cirebon-tribun-jabar/#more-17
diunduh pada tanggal 15 oktober 2012
10
Lihat http://www.humasprotokol.bantenprov.go.id/2012/07/profil-provinsi-banten/ diunduh
pada tanggal 15 oktober 2012
4
Gerakan Politik yang terjadi di Wilayah CIAYUMAJAKUNING yaitu Presidium
Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) yang dibentuk oleh masyarakat dan juga elit
pemerintah dan Keraton Ka- Cirebonan yang dalam beberapa tahun ini dinilai
sangat vocal dalam menyerukan pembentukan Provinsi Cirebon. Hingga saat ini
ada dua alasan yang selalu disuarakan untuk memisahkan diri dari Provinsi Jawa
Barat oleh gerakan tersebut yaitu masalah sejarah (budaya) dan masalah ekonomi.
Hal tersebut diperkuat ketika isu pembentukan Provinsi Cirebon meliputi wilayah
– wilayah yang sekarang menjadi motor pembangkit ekonomi di Jawa Barat yaitu
Kabupaten Cirebon,
Kabupaten Kuningan,
Kabupaten Majalengka,
dan
Kabupaten Indramayu
(CIAYUMAJAKUNING). Menurut pengamatan peneliti
yang juga sebagai masyarakat Jawa Barat, ke empat wilayah tersebut sudah
memiliki spesialisasi masing – masing dimana kekuatan industri dan jasa
dipegang oleh wilayah Cirebon, kekuatan perikanan, pertanian dipegang oleh
wilayah Indramayu, kekuatan dilevel pariwisata dan agronomi dipegang oleh
kabupaten Kuningan dan terakhir wilayah spesialisasi agronomi dan perkebunan
yaitu wilayah Majalengka.
Dari uraian diatas, inisiasi pemekaran di wilayah Ciayumajakuning tidak
lepas dari adanya beberapa aktor politik yang ada di wilayah tersebut seperti elit
birokrasi daerah, masyarakat, dan kekuatan lokal “Keraton Cirebon”yang terlihat
ketika acara halal bihalal paguyuban sedulur Cirebon11, tokoh-tokoh sentral dari
beberapa kabupaten yang mendukung dan menandatangani terbentuknya Provinsi
Cirebon, walaupun disatu sisi Gubernur Jawa Barat tidak menyepakati
11
Lihat http://radarcirebon.com/2010/09/berita-nasional/provinsi-cirebon-diabaikan/ pada tanggal
12 desember 2012
5
terbentuknya Provinsi tersebut, selain itu beberapa element masyarakat yang
berada di beberapa daerah di wilayah tersebut menolak terbentuknya sebuah
pemekaran wilayah.
Meledaknya beberapa wilayah yang ingin memisahkan diri dari wilayah
sebelumnya, bisa dikatakan sebagai wujud implikasi dari kemudahan pra-syarat
pembentukan sebuah wilayah otonom baru dan didorong oleh beberapa UndangUndang dan juga peraturan pemerintah yang dinilai sangat memudahkan beberapa
daerah untuk memisahkan diri, dari beberapa syarakat kemudahan yang diberikan
oleh pemerintah pusat tersebut dijadikan sebuah kesempatan oleh beberapa aktor
perubahan untuk mengorganisir dan membentuk sebuah gerakan untuk menuntut
sebuah pemekaran daerah.
Penelitian ini sangat menarik, ketika kita melihat beberapa upaya yang
sudah dilakukan oleh gerakan politik Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon
(P3C) dalam menginisiasi Pembentukan Provinsi Cirebon, disamping itu yang
lebih menarik dari penelitian ini adalah ketika kita melihat pergulatan yang terjadi
dalam upaya gerakan politik pembentukan Provinsi Cirebon untuk mencapai
keberhasilanya yaitu terbentuknya Provinsi Cirebon.
2. Rumusan Masalah
Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh Presidium Pembentukan
Provinsi Cirebon (P3C) dalam menginisiasi pembentukan Provinsi Cirebon?
6
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat upaya sebuah Gerakan Politik di
Ciayumajakuning yaitu Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon(P3C) dalam
menginisiasi pembentukan provinsi Cirebon, dan yang secara rinci bertujuan :

Untuk melihat sejauh mana upaya sebuah Gerakan Politik
Presidium
Pembentukan
Provinsi
Cirebon
(P3C)
dalam
menginisiasi pembentukan Provinsi Cirebon.
4. Landasan Teori
4.1 Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Pemahaman mengenai definisi otonomi daerah memiliki berbagai macam
penjelasan. Menurut UU No.32 Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan per
undang-undangan12.
Beberapa ahli pun berpendapat mengenai konsepsi Otonomi Daerah
seperti Philip Mahwood (1983) :
Suatu pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sendiri dimana
keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah
guna mengalokasikan sumber material yang bersifat substansial mengenai
fungsi yang berbeda13”.
Penjelasan Mahwood (1983) diatas bisa diartikan bahwa sebuah
kemandirian pemerintahan daerah tidak lepas dari pemberian kewenangan dari
12
UU 32 tahun 2004 BAB I
http://otonomidaerah.com/pengertian-otonomi-daerah.html diunduh pada tanggal 18 Desember
2012
13
7
pemerintah pusat kepada daerah, yang akan berimbas kepada efektiftas kinerja
pemerintah daerah dan efektifitas pelayanan publik yang ada di daerah-daerah.
Tujuan otonomi daerah pada hakekatnya untuk meningkatkan kemampuan
aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangan di bidang
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat, serta meningkatkan
kinerja unit-unit organisasi pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan
fungsi pelayanan kepada masyarakat.
Merujuk dari pemaparan diatas, semangat otonomi daerah yang terjadi di
Negara Indonesia ini, berimplikasi kepada masyarakat yang mulai berlombalomba untuk menjadikan wilayahnya sebagai daerah otonom baru guna
mendapatkan sebuah kemudahan dalam pelayanan public maupun kesejahteraan
wilayahnya.
Selaras dengan pendapat J.Kaloh14 Dalam konteks pemekaran daerah atau
wilayah tersebut yang lebih dikenal dengan pembentukan daerah otonom baru,
bahwa daerah otonom tersebut diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang
lebih besar dalam mengurus dirinya sendiri, terutama berkaitan dengan
pengelolaan sumber – sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam, dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat
yang lebih baik.
Otonomi daerah lahir tidak lepas dari adanya sebuah asas desentralisasi
didalamnya. Desentralisasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah, dari
14
J.Kaloh, “Mencari Bentuk Otonomi Daerah” , Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm.194.
8
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, disisi lain pemerintah daerah berhak
mengatur atau mengurusi sebuah pemerintahannya sendiri, implikasi dari
pelimpahan wewenang tersebut melahirkan sebuah hak bagi pemerintah daerah
untuk mengatur dan mengurusi kepentingan pemerintahannya sendiri, hak atas
pengaturan dan kepengurusan pemerintah secara mandiri tersebut adalah makna
dari otonomi daerah, dimana kebebasan untuk pengaturan kebijakan sebuah
wilayah tidak lagi berada di pusat pemerintahan, melainkan berada di
daerah,Terkecuali15 hal-hal yang berhubungan tentang hubungan luar negeri,
pertahanan dan keamanan, fiskal, agama dam hukum (Rule of Law).
Desentralisasi adalah azas pemerintahan yang dipertentangkan dengan
sentralisasi, karena didalamnya terdapat pembagian kewenangan, serta tersedianya
ruang gerak yang memadai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada
unit pemerintahan yang lebih rendah (Pemerintahan Lokal). Hal tersebut yang
melatar belakangi perbedaan antara konsep desentralisasi dengan konsep
sentralisasi16.
Menurut UU No.32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintah dalam system Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
15
Adisubrata , winarna Surya (1999) Otonomi Daerah di Era Reformasi , UPP AMP YKPN,
Yogyakarta Hal : 1
16
Riswanda Imawan, Makalah disampaikan pada workshop tentang desentralisasi, demokratisasi
dan akuntabilitas pemerintah daerah , diselenggarakan oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI)
,Partnership Governance Reform in Indonesia dan Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang ,
25 – 27 Maret 2002 , dalam buku Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Hal : 40
9
Tujuan utama dari sebuah konsep desentralisasi antara lain adalah upaya
untuk menciptakan kemapuan unit pemerintah secara mandiri dan independent,
dimana pemerintah harus rela melepaskan fungsi-fungsi tertentu untuk
menciptakan unit–unit pemerintahan yang baru yang otonom yang berada diluar
kontrol langsung pemerintah pusat17.
Melihat dari kompleksitas mengenai konsepsi desentralisasi, secara umum
dapat dibagikan menjadi dua perspektif utama, yakni Political Decentralisation
Perspective
(Perspektif
Desentarlisasi
Politik)
dan
Administrative
Decentralisasion Perspective (Perspektif Desentralisasi Administrasi). Perbedaan
mendasar dari kedua perspektif ini terletak pada rumusan desentralisasi dan tujuan
dari desentralisasi tersebut. Perspektif desentralisasi politik mendefinisikan
desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, dan perspektif desentralisasi administratif18,
Rondinelli and Cheema (1983: 18), mengatakan:
Decentralisation is the transfer of planning, decision-making, oradministrative authority from
central government to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and
parastatal organisations, local government, or non-government organisations.
Mengutip dari tulisan sebelumnya perbedaan yang lahir dari kedua
perspektif ini tidak lepas dari tujuan dan rumusan desentralisasi. Secara umum
perspektif desentralisasi politik lebih menekankan tujuan yang hendak dicapai
pada aspek politis, antara lain: meningkatkan keterampilan dan kemampuan
17
18
Khoirudin (2005) Sketsa Kebijakan Desentralisasi Di Indonesia,Averroes Press, Malang Hal : 4
Syarif Hidayat dalam Jurnal Poelitik Vol 1 tahun 2008 hal :2-3
10
politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, serta mempertahankan
integrasi nasional19.
Mengacu
dari
pendapat
Mahwood
dan
Rondinelli,
kemunculan
desentralisasi dan otonomi daerah berimbas kepada keinginan daerah-daerah
untuk memisahkan diri dan membentuk sebuah daerah otonom baru yang
diharapkan bisa mampu untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakatnya dan
juga untuk mengektifitaskan kinerja pemerintah. Selain itu kemunculan UU No.32
Tahun 2004 BAB II tentang pembentukan daerah dan kawasan khusus, disitu
menjelaskan mengenai syarat penggabungan sebuah wilayah secara administratif,
melihat kasus di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan
(CIAYUMAJAKUNING), secara tidak langsung kemunculan UU No.32 Tahun
2004 dan beberapa pasal didalamnya, berimplikasi terhadap banyaknya wilayahwilayah yang menginginkan untuk membentuk sebuah daerah otonom baru.
Kemunculan UU No.32 Tahun 2004 mengenai pembentukan daerah dan
kemudahan prasyarat pembentukan daerah berimplikasi terhadap munculnya
beberapa daerah ingin memisahkan diri dari wilayah sebelumnya, gejolak-gejolak
politik muncul sebagai respon atas kemudahan prasyarat pembentukan daerah
tersebut, disamping itu konflik-konflik elit dan konflik kedaerahan memicu
semakin banyak nya beberapa wilayah ingin memisahkan diri dari wilayah
sebelumnya, seperti halnya di Jawa Barat yang belum lama ini memisahkan diri
dari wilayah sebelumnya yaitu Provinsi Banten.
19
Op,cit hal : 3
11
4.2 Gerakan Politik
4.2.1 Karakteristik dan Kemunculan Gerakan Politik.
Sebelum membahas lebih dalam mengenai teori sebuah gerakan, sejenak
peneliti mengajak pembaca memahami apa sebenarnya definisi dari gerakan,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)20, gerakan diartikan sebagai
perbuatan atau keadaan bergerak atau dapat diartikan usaha kegiatan dilapangan
sosial dan politik.
Kemunculan sebuah gerakan tidak lepas dari dinamika sosial politik yang
kemudian berimplikasi terhadap keprihatinan mengenai kondisi yang ada,
rangkaian tersebut biasanya dikemas dalam sebuah bentuk aksi kolektif, merujuk
pada tesis Eisinger21 mengenai mekanisme kemunculan gerakan disini ia
menjelaskan bahwa kemunculan sebuah gerakan dilatar belakangi oleh adanya
kesempatan politik atau yang populer disebut sebagai Political Opportunity
Structure (POS), dalam hal ini Eisinger menyebutkan ada 4 variable yang melatar
belakangi sebuah kemunculan gerakan. Pertama bahwa Sebuah gerakan muncul
ketika tingkat akses terhadap lembaga-lembaga politik mengalami keterbukaan.
Kedua,
ketika
keseimbangan
politik
sedang
tercerai-berai
sedangkan
keseimbangan politik baru tersebentuk. Ketiga, ketika para elit politik mengalami
konflik besar dan konflik ini dipergunakan oleh pelaku perubahan sebagi
20
ger.ak.an n1
Tesis Eisinger mengenai mekanisme ini sebenarnya lebih mengacu kedalam paradiga gerakan
sosial.
21
12
kesempatan. Keempat, ketika pelaku perubahan digandeng oleh para elit yang
berada di dalam system untuk melakukan sebuah perubahan22.
Menurut pandangan Ritzer (1979) ada beberapa karakteristik yang harus
ada didalam sebuah gerakan yaitu:
1. Suatu gerakan melibatkan sebagian besar individu yang berusaha
memprotes suatu keadaan, agar dapat dikategorikan sebagai suatu
gerakan, maka sejumlah individu tadi harus memiliki persyaratan dasar
dari suatu organisasi.
2. Suatu gerakan harus mempunyai skope yang relatif luas. Gerakan
tersebut mungkin berawal dari skope yang kecil tetapi akhirnya harus
mampu mempengaruhi sebagian masyarakat.
3. Gerakan tersebut dapat menggunakan berbagai macam taktik untuk
mencapai tujuannya. Taktik-taktik tadi bervariasi, baik dari yang tidak
menggunakan
kekerasan
sampai
dengan
yang
menggunakan
kekerasan.
4. Meskipun dalam gerakan didukung oleh individu-individu tertentu,
namun tujuan akhir dari gerakan tersebut adalah merubah kondisi yang
ada pada masyarakat secara umum.
5. Gerakan tersebut merupakan suatu usaha yang secara sadar dilakukan
untuk mengadakan perubahan, dan bagi mereka yang terlibat
22
Dicuplik dari , Abdul Wahid Situmorang (2007), Gerakan Sosial (Studi Kasus Beberapa
Perlawanan) , Pustaka Pelajar, Yogyakarta Hal :4
13
didalamnya mungkin tidak menyadari segala tindakannya,tetapi
mereka tetap mengetahui tujuan utama gerakan tadi23.
Pemaparan Rietzer mengenai karakteristik gerakan diatas, belum
menemukan titik akhir atau jawaban mengenai pemilhan tipologi dari sebuah
gerakan. Apakah karakteristik yang di tulis oleh Ritzer adalah gerakan sosial atau
gerakan politik, dan untuk melacak tipologi tersebut peneliti melihatnya dari
tujuan sebuah gerakan, apakah lebih dominan gerakan itu mengarah kepada isu
sosial24 atau gerakan ini dominan mengarah kepada isu politik yang berimplikasi
terhadap perubahan kebijakan politik atau revolusi.
Keberadaan Gerakan Politik selalu dilatar belakangi adanya gesekan
antara masyarakat dengan pemerintah sebagai representasi dari negara (civil
society vs state), gesekan tersebut berimplikasi terhadap sebuah bentuk partisipasi
masyarakat terhadap kegiatan politik. Woshinsky menggambarkan proses
partisipasi tersebut seperti laying-layang terbalik25, dibagian atas adalah kelompok
elit minoritas yang berpengaruh terhadap keputusan politik dan memiliki
kemampuan mengerahkan massa untuk gerakan politik, kategori kelompik ini
disebut influentials (tokoh berpengaruh) yang jumlahnya hanya mencapai (1-3%).
Kelompok dibawahnya disebut participants yaitu mereka yang secara regular aktif
23
George Ritzer, et. al., Sociology : Experiencing A Changing society, Massachusets : Allyn and
bacon Inc., 1979. Hal ; 553-554
24
isu sosial disini digambarkan sebagai isu yang lebih ringan dan hanya mempengaruhi perubahan
sosial
25
Woshinsky,Oliver H. Culture and Politics. Prentice Hall,Englewoods Cliffs, New Jersey,
1995,p.127w
14
dalam kegiatan politik, yang jumlahnya sekitar (10-20%). Kelompok dibawahnya
lagi disebut dengan citizens yang jumlahnya paling dominan yaitu 40-70%26.
Meningkatnya partisipasi politik tidak lepas dari transisi kekuasaan yang
terjadi di Indonesia, lengsernya Soeharto dari puncak kepemimpinan memberikan
dampak yang cukup signifikan terhadap meningkatnya partisipasi politik di
Indonesia dan dibarengi dengan meningkatnya kemunculan gerakan perlawanan
di beberapa wilayah di Indonesia.
Partisipasi masyarakat mengenai kegiatan politik biasanya dilakukan
dengan berbagai macam metode atau cara, yang paling sering kita ketahui ketika
mengkaji mengenai gerakan politik kita selalu bersentuhan dengan sebuah bentuk
aksi kolektif seperti demonstrasi, protest publik atau pengiriman petisi oleh
elemen masyarakat terhadap lawan gerakan seperti lembaga negara dan beberapa
perangkat negara.
Singkatnya, dapat disimpulkan bahwa gerakan politik adalah sebuah
bentuk protes kolektif atau aksi kolektif yang nantinya akan merujuk terhadap
perubahan sebuah kebijakan politik dan kekuasaan, seperti contoh yang terjadi di
Indonesia turunya rezim Soeharto adalah sebuah bentuk keberhasilan dari sebuah
gerakan, pengaruh yang paling kuat atas runtuh nya sebuah rezim yang dikenal
otoritarian memberi pengaruh terhadap perubahan kebijakan politik.
Disamping itu, perubahan kebijakan politik yang semakin terbuka dan
konflik elit semakin menjalar hal itu yang dinamakan oleh Mc Carthy dan Zald
26
Sunyoto Usman.Arah Gerakan Mahasisa “Gerakan Politik atau Gerakan Moral?”, Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Vol III, 1999, Hal : 147-148
15
sebagai kesempatan politik untuk para pelaku perubahan27. Merujuk dari
pernyataan Carthy dan Zald mengenai gerakan, hal ini menegasikan bahwa
disamping meningkatnya partisipasi politik masyarakat kemunculan beberapa
gerakan di daerah-daerah dilatar belakangi oleh adanya sebuah kesempatan
politik.
4.2.3 Tahapan Dalam Perjuangan Gerakan Politik.
Sejarah pergerakan di Indonesia bukanlah hal yang baru, dari fase awal
kemerdekaan beberapa gerakan lahir di bangsa yang konon dijajah kurang lebih
selama tiga ratus tahun oleh bangsa Eropa, di fase kemerdekaan muncul beberapa
organisasi atau gerakan seperti Budi Oetomo atau organisasi politik yang sampai
sekarang masih menuai kontroversi yaitu gerakan politik komunisme (PKI) yang
sempat menjadi buai-buaian rezim pemerintahan orde baru. Gerakan yang belum
lama muncul di akhir abad ke-19 yaitu gerakan reformasi yang memiliki tujuan
menggulingkan rezim Soeharto dari tahta pemerintahan. Gerakan ini bisa dinilai
berhasil dalam mencapai tujuanya yaitu mundurnya Soeharto dari tahta tertinggi
pemerintahan di Indonesia.
Keberhasilan gerakan reformasi ternyata berimplikasi terhadap perubahan
pola pemerintahan yang kini semakin terbuka, indikator tersebutlah yang
menimbulkan lahirnya beberapa gerakan-gerakan perlawanan di Indonesia. Dari
beberapa uraian tersebut membuktikan bahwa masyarakat dapat mempengaruhi
sebuah kebijakan politik lewat sebuah gerakan politik.
27
Wahib Situmorang, Abdul, 2007, Gerakan Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hal : 7
16
Mengutip istilah Ted Robert Gurr, pasca gelombang reformasi muncul,
gejolak resistensi masyarakat terhadap negara semakin meningkat, hal tersebut
dijelaskan oleh Gurr lewat teori nya yaitu relative deprivation, kemunculan
resistensi tersebut dijelaskan oleh Gurr dilatarbelakangi oleh adanya perampasan
(deprivation), perasaan terampas inilah yang digambarkan oleh Gurr sebagai
relative deprivation yang berarti suatu persepsi perihal kesenjangan antara nilai
yang diharapkan (value expectation) dengan kapabilitas untuk meraih nilai (value
capabilities) yang diperlukan. Menurut Gurr, nilai adalah suatu kejadian, barang,
dan kondisi yang di inginkan oleh manusia untuk dimiliki, sementara nilai
ekspektasi adalah benda dan kondisi yang menurut mereka mampu untuk
memperoleh atau memeliharanya.
Relative deprivation
inilah
yang menyulut
ketidakpuasan dalam
masyarakat, yang berwujud kemarahan, ketidak puasan, kemurkaan, atau
kejengkelan, tergantung pada kedalaman rasa terampas. Kadar ketidakpuasan
akan berkurang bila tersedia sarana untuk menyalurkanya, Saluran ini
digambarkan oleh Gurr sebagai value opportunities, apabila saluran itu tidak
tersalurkan maka ia akan bemertamorfosis menjadi sebuah pemberontakan,
kekerasan yang berwujud kekacauan, konspirasi atau perang dalam negeri28.
Pemberontakan yang dimaksud dalam teori relative deprivation yang dijelaskan
oleh Gurr, penulis mencoba menggambar ini sebagai sebuah upaya dari gerakan
politik untuk mencapai sebuah sebuah keberhasilanya.
28
Ted Robert Gurr, Why Men Rebel (Princeton, New Jersey, Pricenton University Press, 1970)
dalam Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elit, Yogyakarta, Resist Book, 2005 Hal : 24
17
Horton dan Hunt(1993) dalam bukunya menjelaskan beberapa tahapan
dari sebuah dinamika gerakan. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
1. Tahap ketidak tentraman, karena ketidak pastian dan ketidak puasan
semakin meningkat;
2. Tahap perangsangan, yakni ketika perasaan ketidakpuasan sudah semakin
membesar, penyebab-penyebab nya sudah teridentifikasi, dan saran-saran
tidak lanjut sudah diperdebatkan;
3. Tahap formalisasi, yakni ketika para pemimpin telah muncul, rencana
telah disusun, para pendukung telah ditempat, dan organisasi serta taktik
telah dimatangkan;
4. Tahap institusionalisasi, yakni ketika organisasi telah diambil alih dari
para pemimpin terdahulu, birokrasi telah diperkuat, dan ideology serta
program telah terwujudkan.
5. Tahap Pembubaran (Disolusi), yakni ketika gerakan itu berubah menjadi
organisasi tetap atau justru mengalami pembubaran29.
Disamping itu, dalam Catatan yang ditulis oleh Haryanto30
mengenai pendalaman mengenai gerakan sosial politik, ia menyebutkan
ada beberapa tahap yang dilakukan oleh gerakan dalam upaya
keberhasilanya, tahapan-tahapan tersebut meliputi:
Tahap 1 : Pernyataan Sepontan Tentang Ketidakpuasan Bersama.
29
Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L.,. Sosiologi, Terjemahan Aminuddin Ram dan Tita
Sobari. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993
30
Op,Cit hal :16
18
Tahap 2 : Pemilihan Pemimpin Gerakan.
Tahap 3 : Transformasi tindakan yang tidak terstruktur menjadi tindakan
yang terorganisir.
Tahap 4 : Konfrontasi dengan Lawan Gerakan.
Tahap 5 : Pencapaian Hasil.
Beberapa tahapan yang digambarkan diatas dijadikan sebuah indikator
untuk mengukur sejauh mana gerakan ini melakukan sebuah upayanya, banyak
kasus yang terjadi didalam sebuah gerakan adalah menurunya tensi perlawanan
sebagai akibat dari faktor kepemimpinan didalam gerakan yang kurang
diakomodir oleh beberapa simpatisan gerakan, dan disamping itu ada faktor lain
yang menyebabkan menurunya tensi gerakan seperti konfrontasi dengan lawan
gerakan dan juga konflik didalam gerakan. Dalam beberapa tahap yang ditulis
diatas masuk kedalam tahap ke 4 yaitu konfrontasi dengan lawan. Tahap ini
adalah tahap terakhir dalam gerakan yang harus dilakukan dengan tensi
perlawanan yang cukup tinggi, atau bisa dikatakan sebagai sebuah tahap yang
paling menentukan didalam sebuah gerakan, karena didalam tahap ini kita bisa
melihat titik akhir dari gerakan, apakah gerakan ini berhasil atau tidak dalam
memperjuangkan beberapa upaya nya. Karena, banyak dari gerakan politik yang
lahir pasca refermasi ini gagal dalam tahap konfrontasi dengan lawan, seperti
contoh beberapa gerakan agraria yang beberapa tahun ini muncul di daerahdaerah, kekalahan gerakan dalam berkonfrontasi dengan lawan gerakan biasanya
di picu oleh beberapa faktor seperti, kuantitas aktor didalam gerakan atau
19
pengorganisasian gerakan dan terakhir adalah kekuatan pemimpin gerakan dalam
melakukan manuver gerakan.
4.2.4 Strategi Gerakan Dalam Perjuangan Gerakan Politik.
Strategi gerakan adalah sebuah hal yang sangat fundamental didalam
gerakan, berhasil dan tidaknya sebuah gerakan tidak lepas dari pemilihan strategi
gerakan, Gamson (1975)31 menjelaskan bahwa ada dua strategi yang digunakan
dalam sebuah gerakan yaitu strategi yang menggunakan metode kekerasan dan
metode non-kekerasan, dalam gagasan Gamson, strategi ini adalah sesuatu yang
sangat penting didalam dinamika gerakan, kesalahan dalam menentukan sebuah
strategi bisa berimplikasi terhadap kegagalan sebuah gerakan, akhir-akhir ini
misalkan banyak bermunculan gerakan yang sering melakukan kekerasan, hal
inilah yang mempengaruhi minimnya partisipasi dan rasa kepedulian masyarakat
kedalam gerakan. Maka pemilihan atas strategi gerakan harus benar-benar
diperhatikan demi keberhasilan sebuah gerakan.
McAdam mencatat bahwa keberhasilan dan kegagalan sebuah gerakan
sangat bergantung pada kemampuan organisasi, kemampuan organisasi disini
tidak lain adalah logistik, pengaruh kepemimpinan, akses dan massa atau
dukunga. Seperti yang terjadi pasca reformasi, meledaknya partisipasi politik
memberikan dampak semakin signifikan terhadap banyaknya gerakan yang
muncul di daerah-daerah, tetapi peledakan gerakan tersebut tidak berbanding lurus
dengan pencapaian sebuah gerakan, hal tersebut tidak lain karena minimnya
31
ibid, hal :20
20
pengetahuan mengenai pengorganisasian dan disamping itu, merujuk dari
pendapat Mc Adam yaitu minimnya kemampuan organisasi seperti logistik dan
akses politik.
Wilson(1973) menyebutkan bahwa ada dua alasan mengapa strategi dan
taktik sangat penting dalam sebuah gerakan. Pertama strategi dalam gerakan
biasanya menyita perhatian karena terkesan tak lazim. Kedua, strategi bisa jadi,
meliputi semua hal yang dapat “dilihat” di dalam gerakan32. Secara singkat,
penjelasan Wilson menunjukan bahwa taktik dari sebuah gerakan harus memiliki
fungsi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat seperti cita-cita yang dibawa
oleh sebuah gerakan dalam melakukan perjuangan politik nya.
Taktik dan Strategi yang paling polpuler yang dilakukan oleh gerakan di
Indonesia menggunakan taktik dan strategi yang ditawarkan oleh Eric Hoffer
yaitu menanamkan sekaligus memanfaatkan rasa kecewa dan tak puas itu sendiri
kepada para anggotanya yang terlibat dan aktif33. Strategi yang ditawarkan oleh
Hoffer juga bisa dinilai lebih dinamis dari strategi yang ditawarkan sebelumnya,
karena strategi yang ditaarkan oleh Hoffer disini bisa digunakan juga dalam
melakukan mobilisasi yang sifatnya lebih dekat, seperti jaringan kekeluargaan dan
juga hubungan kekerabatan, hubungan yang sifatnya memiliki ikatan emosional.
Dibeberapa daerah, gerakan-gerakan politik kedaerahan biasanya menggunakan
beberapa strategi atau taktik yang dibangun oleh Hoffer, dengan memiliki modal
32
John Wilson Wilson, John (1973) Introduction to Social Movements, New York: Basic Books
Inc. hal :226
33
Hoffer, Eric (1988) Gerakan Massa : Antara Kecewa dan Harapan, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia. Hal: 25-26
21
kedekatan emosional dan kekerabatan, kekuatan kolektivitas bisa dibangun
didalam gerakan, tetapi disisi lain kelemahan dari beberapa gerakan kedaerahan
biasanya dilatar belakangi atas kesalahan dalam memilih strategi didalam gerakan,
seperti kegagalan beberapa gerakan politik yang sekupnya kecil dibeberapa daerah
di Indonesia.
Dari beberapa uraian diatas membuktikan, bahwa pemilihan strategi
gerakan adalah sesuatu yang cukup vital, berhasil dan tidak nya sebuah gerakan
tidak lepas dari peran strategi yang dilakukan oleh sebuah gerakan. Seperti contoh
yang terjadi di Indonesia, kegagalan gerakan politik atau gerakan sosial tidak
lepas dari kesalahan dalam pemilihan strategi atau dalam kata lain strategi yang
digunakan tidak tepat sasaran, sehingga banyak dari gerakan politik atau gerakan
sosial di Indonesia mengalami kegagalan dalam memperjuangkan beberapa citacita nya, contoh yang paling populer adalah mandegnya beberapa gerakan tani di
beberapa wilayah di Indonesia.
4.2.2 Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) Adalah
Gerakan Politik.
Perdebatan mengenai mengenai teori gerakan sampai saat ini masih terus
berjalan, pendikotomian antara gerakan politik dengan gerakan sosial seakan-akan
menjadi sesuatu hal yang harus dilakukan oleh peneliti, dalam pendikotomian
mengenai sebuah gerakan penulis terlebih dahulu menggunakan gagasan Gramsci
mengenai perbedaan dalam terminologi gerakan, Gramsci menyatakan bahwa
tidak ada perbedaan secara tegas mengenai gerakan gerakan politik dan gerakan
sosial, dan tidak perlu juga membedakan antara masyarakat sipil dan masyarakat
22
politik, karena pada dasarnya yang diperlukan dari sebuah gerakan adalah Counter
hegemony, dalam artian luas adalah melawan negara34.
Merujuk dari tulisan diatas, gerakan sosial yang terjadi di masyarakat
selalu berkembang menjadi suatu gerakan politik, atau paling tidak membawa
implikasi terhadap politik35. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
dalam memahami sebuah gerakan yang itu lahir sebagai gerakan sosial ataupun
gerakan politik, kedepan nya akan bermuara kepada sesuatu yang berhubungan
dengan politik atau kekuasaan.
Peneliti mencoba untuk mengaitkan beberapa uraian teori diatas dengan
objek penelitian yaitu Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C). Peneliti
disini berinisiatif untuk menarik benang merah dari sebuah perdebatan mengenai
pendikotomian atas gerakan sosial dan gerakan politik.
Seperti yang sudah di tuliskan diparagraf sebelumnya, benang merah dari
perdebatan ini adalah tujuan dari sebuah gerakannya itu sendiri, walaupun
beberapa ahli berpendapat bahwa kedua gerakan ini pada dasarnya memiliki
karakteristik yang sama dan tujuan yang sama, tetapi disini peneliti mencoba
memilah itu dengan melihat dari tujuan gerakanya, ketika merujuk kepada
gerakan yang ada di Ciayumajakuning gerakan ini bisa dinilai lebih mengarah
kedalam terminologi gerakan politik, hal tersebut terlihat dari tujuan atau capaian
dari sebuah cita-cita gerakan yaitu terbentuknya Provinsi baru, tujuan tersebut
34
Yaya Mulyana dalam, Politik Transisi Pasca Soeharto, 2004, FISIPOL UGM. Hal : 225.
Haryanto, Tanpa Tahun, Gerakan Sosial Politik dalam Orientasi Pendalaman Tugas DPRD TK 1
& 2. Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri. Hal ; 2. Dalam Skripsi Riza
Kamajaya “Transformasi Gerakan Petani” Hal: 14
35
23
yang menurut kacamata peneliti menjadi dasar bahwa gerakan ini memiliki
pengaruh atas sebuah perubahan kebijakan politik dan bisa diklaim sebagai
sebagai gerakan politik.
Disamping itu, selain memiliki misi yang kuat akan terjadinya sebuah
perubahan politik, klaim atas gerakan ini dinamakan sebuah gerakan politik juga
sangat jelas ketika kita melacak beberapa aktor yang bermain dalam sebuah
gerakan ini, aktor tersebut meliputi berasal dari beberapa element seperti
organisasi masyarakat, keraton Kacirebonan dan beberapa aktor politik partai
berkuasa diwilayah tersebut, beberapa hal tersebut yang melatar belakangi klaim
mengenai gerakan yang memiliki cita-cita pembentukan Provinsi baru di wilayah
Jawa Barat.
5 . Definisi Konseptual
1. Desentralisasi adalah sebuah konsep penyerahan wewenang dari pemerintah
pusat
kepada
pemerintah
daerah
untuk
mengurusi
rumah
tangga
pemerintahanya secara mandiri, yang bertujuan untuk meningkatkan
keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah daerah.
2. Otonomi Daerah adalah kemandirian sebuah pemerintahan dalam mengurusi
sebuah rumah tangganya sendiri yang bertujuan untuk mengefektifkan peran
pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangan di bidang pemerintahan,
pembangunan serta meningkatkan kinerja unit-unit organisasi pemerintah
daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan kepada masyarakat.
24
3. Gerakan Politik adalah sebuah bentuk protes kolektif yang nantinya akan
merujuk terhadap perubahan sebuah kebijakan politik dan kekuasaan.
4. Tahahapan Gerakan adalah indikator pengukur upaya dari sebuah gerakan
dalam melakukan manuver pergerakanya.
5. Strategi Gerakan adalah metode yang dilakukan oleh sebuah gerakan dalam
melakukan sebuah pergerakan,metode ini dibagi menjadi dua bagian, yang
pertama adalah metdoe non-kekerasan dan yang kedua adalah metode
kekerasan.
6. Definisi Operasional
Melihat dari pemaparan yang sudah dituliskan di kerangka teori, maka
dapat dioperasionalkan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.
Upaya Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) dalam
menginisiasi Pembentukan Provinsi dapat dilihat dari beberapa Indikator
sebagai berikut:
a. Mobilisasi Masa Sebagai Alat Perlawanan
b. Dukungan Elit Politik, Keraton dan Pejabat Daerah.
c. Draft Akademik Pembentukan Provinsi Cirebon.
d. Demonstrasi dan Aksi Massa.
7. Metode Penelitian
Penelitian tentang Gerakan Sosial yang terjadi di Wilayah Cirebon dalam
skripsi ini termasuk penelitian kualitatif, dengan menggunakan model penelitian
deskriptif, sejalan dengan pemikiran Whitney (1960) yang menyatakan bahwa
25
penelitian deskriptif dapat menjelaskan masalah-masalah didalam masyarakat ,
serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu,
termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap dan juga pandangan36.
Dengan demikian penerapan jenis penelitian kualitatif diharapkan dapat
digunakan untuk mempelajari, membuka dan menjelaskan apa yang terjadi
dibelakang fenomena kemunculan dan perjuangan gerakan sosial Presidium
Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) yang diketahui oleh khalayak luas.
7.1 Objek Penelitian
Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah
pengurus Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) simpatisan P3C, dan
juga beberapa masyarakat yang ada di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka
dan Kuningan.
7.2 Prosedur Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data di dalam penelitian ini
adalah metode participant observation atau observasi partisipatif dimana peneliti
melibatkan diri dalam lingkungan yang akan diteliti37. Dipilihnya observasi
partisipatif tidak langsung karena kedudukan peneliti disitu adalah masyarakat
yang terlibat dalam proses Gerakan Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon
(P3C) sekaligus sebagai peneliti, tetapi dalam penelitian tersebut peneliti tetap
menjaga ke obyektifasan dan kebenaran sebuah data sehingga tidak ada masalah
mengenai manipulasi data ataupun kesubyektifan penelitian.
36
37
Moh.Nazir.Metode Penelitian .Ghalia Indonesia. Jakarta. 1983 Hal : 63 -64
James M Henslin ,2007 ,Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, Erlangga Hal : 28
26
Adapun beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan di dalam
penelitian ini menggunakan beberapa instrument, demi terkumpulnya sebuah datadata yang ada dilapangan , intstrument tersebut antara lain adalah:
 Observasi Langsung
Instrument observasi langsung digunakan dengan tujuan melihat secara
langsung sebuah objek yang akan diteliti, data yang akan didapat dari instrumen
ini berasal dari subjek yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal ataupun
subjek yang tidak mau berkomunikasi secara verbal, selain itu instrumen ini juga
digunakan untuk mencatat hal-hal mengenai perilaku suatu kejadian yang terjadi,
dan secara tidak langsung instrumen ini digunakan unutk tidak menggantungkan
data dari ingatan seseorang38.
 Wawancara
Instrument wawancara secara mendalam (deep-interview)ini digunakan
dengan tujuan mendapatkan data primer melalui tanya jawab atau pembicaraan
dengan dilakukan secara langsung dengan beberapa aktor kunci didalam gerakan
Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon, dan juga beberapa masyarakat yang
ada di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan.
 Dokumentasi
Dalam instrument dokumentasi ini diharapkan bisa memperkaya data-data
dan juga memperkuat validitas data yang ditemukan dengan instrument yang
38
Moh.Nazir.Metode Penelitian .Ghalia Indonesia. Jakarta. 1983 Hal : 212-213
27
sudah di tuliskan diatas, adapun beberpa sumber dari dokumentasi disini adalah
buku, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, media cetak maupun media elektronik, dan
juga temuan-temuan yang pernah dituliskan didalam internet, data yang
menggunakan instrument dekomunentasi ini akan digunakan sebagai data utama
atau data pelengkap dari penelitian.
7.3 Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisis data akan diterjemahkan ke dalam
beberapa tahap secara sistematis, seperti interpretasi yang digunakan untuk
memahami kata-kata dan tindakan dari hasil temuan dari partisipan penelitian39,
dan juga untuk pembuatan kesimpulan yang berkaitan dengan pertanyaanpertanyaan didalam penelitian, selanjutnya adalah reduksi data yang digunakan
untuk memilah-milah data yang tidak beraturan dan dijadikan potongan-potongan
yang beraturan dan juga membaca dengan hati-hati dari data yang terekam, dan
juga mengidentifikasi tingkah laku ,sifat dan lain-lain.
Disamping itu, penelitiian menggunakan teknik matriks analisis SWOT40
untuk menganalisa kondisi internal maupun eksternal suatu organisasi atau
gerakan yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi
dan program kerja.
7.4 Sistematika Penulisan
Penelitian tentang proses dan dinamika pembentukan Provinsi Cirebon ini,
peneliti membagi kedalam IV BAB, BAB I berisi tentang pendahuluan yang
39
40
Christine Daymon, Immy Holloway,Metode Riset Kualitatif, Bentang, Yogyakarta. Hal :369
kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness) peluang (Opportunity) dan tantangan (Threaths)
28
didalamnya terbagi kedalam sub BAB seperti: latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, kerangka teori dan metodelogi penelitan, selanjutnya pada BAB
II, lebih jauh akan menceritakan tentang kemunculan pertama isu pembentukan
Provinsi Cirebon dan beberapa dinamika yang terjadi di fase awal kemunculan
isu pembentukan Provinsi, dan juga history kemunculan P3C sebagai gerakan
yang menginisiasi Pembentukan Provinsi sementara itu pada BAB III
menjelaskan tentang substansi dalam penelitian dan temuan lapangan yang akan
dianalisis melalui analisis SWOT, analisis tersebut meliputi aspek kekuatan,
kelemahan, tantangan dan peluang dari sebuah gerakan politik Preisidium
Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C). Disamping itu dalam bab ini juga peneliti
akan menjelaskan beberapa strategi yang dapat digunakan sebagai upaya
pembentukan Provinsi Cirebon melallui gerakan P3C. BAB IV akan
menyimpulkan keseluruhan dari sebuah penelitian
dengan berbasiskan pada
temuan-temuan dan data- data yang terjadi di lapangan.
29
Download