BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pasca reformasi 1998, otonomi daerah mulai hangat diperdebatkan dalam dunia akademik maupun dunia pemerintahan. Hal tersebut tidak lepas bahwa otonomi daerah adalah manifestasi dari desentralisasi1, kekuasaan yang menyebar dan tidak terpusat dimana diharapkan bisa membangun wilayah-wilayah yang ada di Indonesia. Semangat pembangunan daerah tersebut muncul ketika pemerintahan orde baru yang berjalan kurang lebih 32 tahun tumbang dengan adanya reformasi yang dilakukan oleh mahasiwa, akademisi maupun elit politik di Indonesia, ini juga berimbas kepada perubahan pola pemerintahan yang pada masa pemerintahan orde baru bersifat sentralistis, bertransformasi atau bergeser menuju pemerintahan yang desentralisasi2, dimana kewenangan mengenai pemerintahan dilimpahkan kepada daerahnya masing-masing dan dikuatkan dengan adanya sumber hukum yaitu UU No 22 Tahun 1999 dan di revisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 yang didalamnya menjelaskan tentang hubungan hierarki antara Kabupaten dengan Provinsi, antara Provinsi dan Pemerintah Pusat. Wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah dengan prinsip desentralisasi, dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan atau 1 Tidak ada definisi tunggal dan universal mengenai arti kata desentralisasi, dari akar kata bahasa Latinya desentralisasi berart jauh dari pusat (away from centre) (Meenakshisundaran dalam Jha Mathur, 1999 : 55 ) 2 Pergeseran pola pemerintahan tersebut tidak lepas dari UU No 28 Tahun 1999 Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 1 keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk membangun dan mengatur rumah tangganya sendiri3. Hasil dari itu ternyata memberikan dampak yang cukup kuat kepada daerah yang memiliki sumber daya alam atau pendapatan yang cukup tinggi dibandingkan wilayah lain untuk melakukan pemekaranya. Selain masalah sumberdaya alam beberapa alasan mengapa sebuah daerah berinisiasi untuk melakukan pemekaran daerah antara lain4 kebutuhan untuk pemerataan ekonomi daerah, kondisi geografis yang terlalu luas, perbedaan basis identitas, kegagalan pengelolaan konflik komunal, setelah itu masuk ke proses inisiasi pemekaran, dalam PP No. 129 tahun 2000, pembentukan daerah atau penggabungan daerah dan RPP tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah tahun 2006 ditegaskan bahwa proses inisiasi pemekaran daerah tergantung pada kuatnya dukungan dan inisiatif daerah5. Hal tersebut terlihat jelas ketika kita melihat alur proses inisiasi pemekaran daerah pasal 16 dan 17 dalam PP. 129 Tahun 20006. Merujuk pada paragraf sebelumnya, dinamika mengenai pemerintahan daerah mulai muncul kembali pasca tumbangnya rezim pemerintahan orde baru 3 Pada masa pemerintahan sentralisis atau pada masa pemerintahan orde baru, pemerintah juga telah banyak dilakukan pembentukan daerah otonom baru. dikutip dari buku Perjuangan Menuju Puncak ditulis oleh Dr. Pratikno dan Hasrul Hanif hal : 2 4 R. Alam Surya Putra , Pemekaran Daerah Baru di Indonesia : Kasus diwilayah peneltian IRDA, Makalah disampaikan pada seminar Internasional “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 11 – 14 juli 2006 5 Hasrul Hanif dan Pratikno (2006) ,Perjuangan Menuju Puncak , Yogyakarta, Program Pasca Sarjana (S2) Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, Hal : 4 6 Alur proses inisiasi diawali dengan proses penyaringan aspirasi masyarakat; kedua kajian akademis independen, pemerintah daerah induk kemudian memutuskan apakah aspirasi pemekaran tersebut akan di setujui atau tidak, ketika di setujui daerah induk akan memberikan usulan tersebut ke daerah yang lebih tinggi untuk mendapatkan persetujuan, pemerintah pusat dalam hal ini depdagri kemudian membuat kajian akademis terhadap usulan pemekaran, hasil kajian tersebut akan diverifikasi oleh DPOP, selanjutnya presiden mengamanatkan kepada mendagri untuk menyiapkan RUU pembentukan daerah. 2 yang memberikan dampak cukup signifikan mengenai banyaknya keinginan wilayah-wilayah untuk mengurusi rumah tangganya sendiri. Menurut Tri Ratnawati, ada empat faktor pendorong tingginya semangat elit-elit daerah untuk melakukan pemekaran wilayah, yaitu: 1) dalam rangka efektivitas/efisiensi mengingat wilayah yang begitu luas, penduduk yang menyebar dan ketertinggalan pembangunan; 2) kecenderungan untuk melakukan homogeniasasi daerah berdasarkan etnis, bahasa, agama dll; 3) adanya kemanjaan fiskal yang dijamin oleh UU bagi daerah-daerah pemekaran seperti adanya DAU, bagi hasil dari SDA,PAD dll; 4) bureaucratic and political rent –seeking yaitu motif elit-elit tertentu untuk memburu rente atau mengejar keuntungan ekonomis dan politis melalui pemekaran7. Tidak lepas dari pro dan kontra mengenai meledaknya beberapa daerah yang ingin melakukan pemekaran wilayah, di wilayah Provinsi Jawa Barat sebenarnya sudah sejak lama muncul isu bahwa Cirebon ingin memisahkan diri dari Jawa Barat, keinginan tersebut tidak lepas dari beberapa masalah, seperti halnya permasalahan budaya atau bahasa yang sampai sekarang Cirebon adalah salah satu wilayah yang tidak menggunakan bahasa Sunda8, dalam sejarah Jawa Barat, konflik mengenai Cirebon dengan Jawa Barat sebenarnya muncul sejak tahun 1948, konflik tersebut dilatar belakangi pertarungan elite, ketika Tokoh – Tokoh Cirebon menghadiri sidang konfrensi Jawa Jarat III di Bandung Pada 7 Tri Ratnawati, Potret Pemerintahan Lokal di Indonesia di Masa Perubahan,Jakarta,Pustaka Pelajar, Hal : 333 8 Bahasa Sunda adalah bahasa yang biasa digunakan oleh mayoritas masyarakat jawa barat, ada dua wilayah di jawa barat yang tidak menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa keseharianya yaitu Wilayah Cirebon dan Wilayah Indramayu, bahasa yang dipakai di kedua wilayah tersebut adalah bahasa kacirebonan, yaitu bahasa perpaduan bahasa jawa dan sunda. 3 Tanggal 28 Februari 1948, para tokoh Cirebon menolak statement salah satu tokoh pasundan yaitu Soeria Kartalegawa mengenai pemberlakuan bahasa siding yang menggunakan bahasa Pasundan atau Sunda9. Konflik kecil yang terjadi antara pasundan dengan Cirebon sebenarnya muncul sejak Indonesia baru berumur 3 tahun, konflik tersebut sebenarnya dimulai dari elit-elit atau tokohtokoh yang ada di kedua wilayah tersebut. Keinginan Cirebon untuk memisahkan diri dari Jawa Barat muncul kembali, ketika undang-undang No 23 Tahun 2000 mengesahkan bahwa Banten adalah wilayah otonom yang keluar dari Provinsi Jawa Barat. Keberhasilan terciptanya Provinsi Banten tidak lepas dari peran masyarakat dan peran orang kuat local di Provinsi tersebut. Pada tahun 1999, masyarakat Banten melakukan deklarasi di alun–alun Kota Banten guna menginkan pembentukan Provinsi Banten10, imbas dari pemekaran wilayah tersebut memunculkan kembali gairah wilayah – wilayah di Jawa Barat yang ingin memisahkan diri seperti Bogor yang berkeinginan untuk memisahkan diri dengan Jawa Barat dan membentuk Provinsi Bogor Raya. Melihat dari pengalaman perjuangan Banten dalam keberhasilanya memperjuangkan pemekaran provinsi, di wilayah Cirebon sekarang mulai menguat kembali isu pemekaran yang sudah redup dari awal tahun 1950an tersebut, menguatnya isu tersebut dilatar belakangi oleh munculnya sebuah 9 http://gragecirebon.wordpress.com/2008/05/16/arsip-propinsi-cirebon-tribun-jabar/#more-17 diunduh pada tanggal 15 oktober 2012 10 Lihat http://www.humasprotokol.bantenprov.go.id/2012/07/profil-provinsi-banten/ diunduh pada tanggal 15 oktober 2012 4 Gerakan Politik yang terjadi di Wilayah CIAYUMAJAKUNING yaitu Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) yang dibentuk oleh masyarakat dan juga elit pemerintah dan Keraton Ka- Cirebonan yang dalam beberapa tahun ini dinilai sangat vocal dalam menyerukan pembentukan Provinsi Cirebon. Hingga saat ini ada dua alasan yang selalu disuarakan untuk memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat oleh gerakan tersebut yaitu masalah sejarah (budaya) dan masalah ekonomi. Hal tersebut diperkuat ketika isu pembentukan Provinsi Cirebon meliputi wilayah – wilayah yang sekarang menjadi motor pembangkit ekonomi di Jawa Barat yaitu Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Indramayu (CIAYUMAJAKUNING). Menurut pengamatan peneliti yang juga sebagai masyarakat Jawa Barat, ke empat wilayah tersebut sudah memiliki spesialisasi masing – masing dimana kekuatan industri dan jasa dipegang oleh wilayah Cirebon, kekuatan perikanan, pertanian dipegang oleh wilayah Indramayu, kekuatan dilevel pariwisata dan agronomi dipegang oleh kabupaten Kuningan dan terakhir wilayah spesialisasi agronomi dan perkebunan yaitu wilayah Majalengka. Dari uraian diatas, inisiasi pemekaran di wilayah Ciayumajakuning tidak lepas dari adanya beberapa aktor politik yang ada di wilayah tersebut seperti elit birokrasi daerah, masyarakat, dan kekuatan lokal “Keraton Cirebon”yang terlihat ketika acara halal bihalal paguyuban sedulur Cirebon11, tokoh-tokoh sentral dari beberapa kabupaten yang mendukung dan menandatangani terbentuknya Provinsi Cirebon, walaupun disatu sisi Gubernur Jawa Barat tidak menyepakati 11 Lihat http://radarcirebon.com/2010/09/berita-nasional/provinsi-cirebon-diabaikan/ pada tanggal 12 desember 2012 5 terbentuknya Provinsi tersebut, selain itu beberapa element masyarakat yang berada di beberapa daerah di wilayah tersebut menolak terbentuknya sebuah pemekaran wilayah. Meledaknya beberapa wilayah yang ingin memisahkan diri dari wilayah sebelumnya, bisa dikatakan sebagai wujud implikasi dari kemudahan pra-syarat pembentukan sebuah wilayah otonom baru dan didorong oleh beberapa UndangUndang dan juga peraturan pemerintah yang dinilai sangat memudahkan beberapa daerah untuk memisahkan diri, dari beberapa syarakat kemudahan yang diberikan oleh pemerintah pusat tersebut dijadikan sebuah kesempatan oleh beberapa aktor perubahan untuk mengorganisir dan membentuk sebuah gerakan untuk menuntut sebuah pemekaran daerah. Penelitian ini sangat menarik, ketika kita melihat beberapa upaya yang sudah dilakukan oleh gerakan politik Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) dalam menginisiasi Pembentukan Provinsi Cirebon, disamping itu yang lebih menarik dari penelitian ini adalah ketika kita melihat pergulatan yang terjadi dalam upaya gerakan politik pembentukan Provinsi Cirebon untuk mencapai keberhasilanya yaitu terbentuknya Provinsi Cirebon. 2. Rumusan Masalah Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) dalam menginisiasi pembentukan Provinsi Cirebon? 6 3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat upaya sebuah Gerakan Politik di Ciayumajakuning yaitu Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon(P3C) dalam menginisiasi pembentukan provinsi Cirebon, dan yang secara rinci bertujuan : Untuk melihat sejauh mana upaya sebuah Gerakan Politik Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) dalam menginisiasi pembentukan Provinsi Cirebon. 4. Landasan Teori 4.1 Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pemahaman mengenai definisi otonomi daerah memiliki berbagai macam penjelasan. Menurut UU No.32 Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan per undang-undangan12. Beberapa ahli pun berpendapat mengenai konsepsi Otonomi Daerah seperti Philip Mahwood (1983) : Suatu pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sendiri dimana keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber material yang bersifat substansial mengenai fungsi yang berbeda13”. Penjelasan Mahwood (1983) diatas bisa diartikan bahwa sebuah kemandirian pemerintahan daerah tidak lepas dari pemberian kewenangan dari 12 UU 32 tahun 2004 BAB I http://otonomidaerah.com/pengertian-otonomi-daerah.html diunduh pada tanggal 18 Desember 2012 13 7 pemerintah pusat kepada daerah, yang akan berimbas kepada efektiftas kinerja pemerintah daerah dan efektifitas pelayanan publik yang ada di daerah-daerah. Tujuan otonomi daerah pada hakekatnya untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangan di bidang pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat, serta meningkatkan kinerja unit-unit organisasi pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Merujuk dari pemaparan diatas, semangat otonomi daerah yang terjadi di Negara Indonesia ini, berimplikasi kepada masyarakat yang mulai berlombalomba untuk menjadikan wilayahnya sebagai daerah otonom baru guna mendapatkan sebuah kemudahan dalam pelayanan public maupun kesejahteraan wilayahnya. Selaras dengan pendapat J.Kaloh14 Dalam konteks pemekaran daerah atau wilayah tersebut yang lebih dikenal dengan pembentukan daerah otonom baru, bahwa daerah otonom tersebut diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang lebih besar dalam mengurus dirinya sendiri, terutama berkaitan dengan pengelolaan sumber – sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang lebih baik. Otonomi daerah lahir tidak lepas dari adanya sebuah asas desentralisasi didalamnya. Desentralisasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah, dari 14 J.Kaloh, “Mencari Bentuk Otonomi Daerah” , Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm.194. 8 pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, disisi lain pemerintah daerah berhak mengatur atau mengurusi sebuah pemerintahannya sendiri, implikasi dari pelimpahan wewenang tersebut melahirkan sebuah hak bagi pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurusi kepentingan pemerintahannya sendiri, hak atas pengaturan dan kepengurusan pemerintah secara mandiri tersebut adalah makna dari otonomi daerah, dimana kebebasan untuk pengaturan kebijakan sebuah wilayah tidak lagi berada di pusat pemerintahan, melainkan berada di daerah,Terkecuali15 hal-hal yang berhubungan tentang hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, fiskal, agama dam hukum (Rule of Law). Desentralisasi adalah azas pemerintahan yang dipertentangkan dengan sentralisasi, karena didalamnya terdapat pembagian kewenangan, serta tersedianya ruang gerak yang memadai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah (Pemerintahan Lokal). Hal tersebut yang melatar belakangi perbedaan antara konsep desentralisasi dengan konsep sentralisasi16. Menurut UU No.32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. 15 Adisubrata , winarna Surya (1999) Otonomi Daerah di Era Reformasi , UPP AMP YKPN, Yogyakarta Hal : 1 16 Riswanda Imawan, Makalah disampaikan pada workshop tentang desentralisasi, demokratisasi dan akuntabilitas pemerintah daerah , diselenggarakan oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) ,Partnership Governance Reform in Indonesia dan Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang , 25 – 27 Maret 2002 , dalam buku Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Hal : 40 9 Tujuan utama dari sebuah konsep desentralisasi antara lain adalah upaya untuk menciptakan kemapuan unit pemerintah secara mandiri dan independent, dimana pemerintah harus rela melepaskan fungsi-fungsi tertentu untuk menciptakan unit–unit pemerintahan yang baru yang otonom yang berada diluar kontrol langsung pemerintah pusat17. Melihat dari kompleksitas mengenai konsepsi desentralisasi, secara umum dapat dibagikan menjadi dua perspektif utama, yakni Political Decentralisation Perspective (Perspektif Desentarlisasi Politik) dan Administrative Decentralisasion Perspective (Perspektif Desentralisasi Administrasi). Perbedaan mendasar dari kedua perspektif ini terletak pada rumusan desentralisasi dan tujuan dari desentralisasi tersebut. Perspektif desentralisasi politik mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dan perspektif desentralisasi administratif18, Rondinelli and Cheema (1983: 18), mengatakan: Decentralisation is the transfer of planning, decision-making, oradministrative authority from central government to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-government organisations. Mengutip dari tulisan sebelumnya perbedaan yang lahir dari kedua perspektif ini tidak lepas dari tujuan dan rumusan desentralisasi. Secara umum perspektif desentralisasi politik lebih menekankan tujuan yang hendak dicapai pada aspek politis, antara lain: meningkatkan keterampilan dan kemampuan 17 18 Khoirudin (2005) Sketsa Kebijakan Desentralisasi Di Indonesia,Averroes Press, Malang Hal : 4 Syarif Hidayat dalam Jurnal Poelitik Vol 1 tahun 2008 hal :2-3 10 politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, serta mempertahankan integrasi nasional19. Mengacu dari pendapat Mahwood dan Rondinelli, kemunculan desentralisasi dan otonomi daerah berimbas kepada keinginan daerah-daerah untuk memisahkan diri dan membentuk sebuah daerah otonom baru yang diharapkan bisa mampu untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakatnya dan juga untuk mengektifitaskan kinerja pemerintah. Selain itu kemunculan UU No.32 Tahun 2004 BAB II tentang pembentukan daerah dan kawasan khusus, disitu menjelaskan mengenai syarat penggabungan sebuah wilayah secara administratif, melihat kasus di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan (CIAYUMAJAKUNING), secara tidak langsung kemunculan UU No.32 Tahun 2004 dan beberapa pasal didalamnya, berimplikasi terhadap banyaknya wilayahwilayah yang menginginkan untuk membentuk sebuah daerah otonom baru. Kemunculan UU No.32 Tahun 2004 mengenai pembentukan daerah dan kemudahan prasyarat pembentukan daerah berimplikasi terhadap munculnya beberapa daerah ingin memisahkan diri dari wilayah sebelumnya, gejolak-gejolak politik muncul sebagai respon atas kemudahan prasyarat pembentukan daerah tersebut, disamping itu konflik-konflik elit dan konflik kedaerahan memicu semakin banyak nya beberapa wilayah ingin memisahkan diri dari wilayah sebelumnya, seperti halnya di Jawa Barat yang belum lama ini memisahkan diri dari wilayah sebelumnya yaitu Provinsi Banten. 19 Op,cit hal : 3 11 4.2 Gerakan Politik 4.2.1 Karakteristik dan Kemunculan Gerakan Politik. Sebelum membahas lebih dalam mengenai teori sebuah gerakan, sejenak peneliti mengajak pembaca memahami apa sebenarnya definisi dari gerakan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)20, gerakan diartikan sebagai perbuatan atau keadaan bergerak atau dapat diartikan usaha kegiatan dilapangan sosial dan politik. Kemunculan sebuah gerakan tidak lepas dari dinamika sosial politik yang kemudian berimplikasi terhadap keprihatinan mengenai kondisi yang ada, rangkaian tersebut biasanya dikemas dalam sebuah bentuk aksi kolektif, merujuk pada tesis Eisinger21 mengenai mekanisme kemunculan gerakan disini ia menjelaskan bahwa kemunculan sebuah gerakan dilatar belakangi oleh adanya kesempatan politik atau yang populer disebut sebagai Political Opportunity Structure (POS), dalam hal ini Eisinger menyebutkan ada 4 variable yang melatar belakangi sebuah kemunculan gerakan. Pertama bahwa Sebuah gerakan muncul ketika tingkat akses terhadap lembaga-lembaga politik mengalami keterbukaan. Kedua, ketika keseimbangan politik sedang tercerai-berai sedangkan keseimbangan politik baru tersebentuk. Ketiga, ketika para elit politik mengalami konflik besar dan konflik ini dipergunakan oleh pelaku perubahan sebagi 20 ger.ak.an n1 Tesis Eisinger mengenai mekanisme ini sebenarnya lebih mengacu kedalam paradiga gerakan sosial. 21 12 kesempatan. Keempat, ketika pelaku perubahan digandeng oleh para elit yang berada di dalam system untuk melakukan sebuah perubahan22. Menurut pandangan Ritzer (1979) ada beberapa karakteristik yang harus ada didalam sebuah gerakan yaitu: 1. Suatu gerakan melibatkan sebagian besar individu yang berusaha memprotes suatu keadaan, agar dapat dikategorikan sebagai suatu gerakan, maka sejumlah individu tadi harus memiliki persyaratan dasar dari suatu organisasi. 2. Suatu gerakan harus mempunyai skope yang relatif luas. Gerakan tersebut mungkin berawal dari skope yang kecil tetapi akhirnya harus mampu mempengaruhi sebagian masyarakat. 3. Gerakan tersebut dapat menggunakan berbagai macam taktik untuk mencapai tujuannya. Taktik-taktik tadi bervariasi, baik dari yang tidak menggunakan kekerasan sampai dengan yang menggunakan kekerasan. 4. Meskipun dalam gerakan didukung oleh individu-individu tertentu, namun tujuan akhir dari gerakan tersebut adalah merubah kondisi yang ada pada masyarakat secara umum. 5. Gerakan tersebut merupakan suatu usaha yang secara sadar dilakukan untuk mengadakan perubahan, dan bagi mereka yang terlibat 22 Dicuplik dari , Abdul Wahid Situmorang (2007), Gerakan Sosial (Studi Kasus Beberapa Perlawanan) , Pustaka Pelajar, Yogyakarta Hal :4 13 didalamnya mungkin tidak menyadari segala tindakannya,tetapi mereka tetap mengetahui tujuan utama gerakan tadi23. Pemaparan Rietzer mengenai karakteristik gerakan diatas, belum menemukan titik akhir atau jawaban mengenai pemilhan tipologi dari sebuah gerakan. Apakah karakteristik yang di tulis oleh Ritzer adalah gerakan sosial atau gerakan politik, dan untuk melacak tipologi tersebut peneliti melihatnya dari tujuan sebuah gerakan, apakah lebih dominan gerakan itu mengarah kepada isu sosial24 atau gerakan ini dominan mengarah kepada isu politik yang berimplikasi terhadap perubahan kebijakan politik atau revolusi. Keberadaan Gerakan Politik selalu dilatar belakangi adanya gesekan antara masyarakat dengan pemerintah sebagai representasi dari negara (civil society vs state), gesekan tersebut berimplikasi terhadap sebuah bentuk partisipasi masyarakat terhadap kegiatan politik. Woshinsky menggambarkan proses partisipasi tersebut seperti laying-layang terbalik25, dibagian atas adalah kelompok elit minoritas yang berpengaruh terhadap keputusan politik dan memiliki kemampuan mengerahkan massa untuk gerakan politik, kategori kelompik ini disebut influentials (tokoh berpengaruh) yang jumlahnya hanya mencapai (1-3%). Kelompok dibawahnya disebut participants yaitu mereka yang secara regular aktif 23 George Ritzer, et. al., Sociology : Experiencing A Changing society, Massachusets : Allyn and bacon Inc., 1979. Hal ; 553-554 24 isu sosial disini digambarkan sebagai isu yang lebih ringan dan hanya mempengaruhi perubahan sosial 25 Woshinsky,Oliver H. Culture and Politics. Prentice Hall,Englewoods Cliffs, New Jersey, 1995,p.127w 14 dalam kegiatan politik, yang jumlahnya sekitar (10-20%). Kelompok dibawahnya lagi disebut dengan citizens yang jumlahnya paling dominan yaitu 40-70%26. Meningkatnya partisipasi politik tidak lepas dari transisi kekuasaan yang terjadi di Indonesia, lengsernya Soeharto dari puncak kepemimpinan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap meningkatnya partisipasi politik di Indonesia dan dibarengi dengan meningkatnya kemunculan gerakan perlawanan di beberapa wilayah di Indonesia. Partisipasi masyarakat mengenai kegiatan politik biasanya dilakukan dengan berbagai macam metode atau cara, yang paling sering kita ketahui ketika mengkaji mengenai gerakan politik kita selalu bersentuhan dengan sebuah bentuk aksi kolektif seperti demonstrasi, protest publik atau pengiriman petisi oleh elemen masyarakat terhadap lawan gerakan seperti lembaga negara dan beberapa perangkat negara. Singkatnya, dapat disimpulkan bahwa gerakan politik adalah sebuah bentuk protes kolektif atau aksi kolektif yang nantinya akan merujuk terhadap perubahan sebuah kebijakan politik dan kekuasaan, seperti contoh yang terjadi di Indonesia turunya rezim Soeharto adalah sebuah bentuk keberhasilan dari sebuah gerakan, pengaruh yang paling kuat atas runtuh nya sebuah rezim yang dikenal otoritarian memberi pengaruh terhadap perubahan kebijakan politik. Disamping itu, perubahan kebijakan politik yang semakin terbuka dan konflik elit semakin menjalar hal itu yang dinamakan oleh Mc Carthy dan Zald 26 Sunyoto Usman.Arah Gerakan Mahasisa “Gerakan Politik atau Gerakan Moral?”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol III, 1999, Hal : 147-148 15 sebagai kesempatan politik untuk para pelaku perubahan27. Merujuk dari pernyataan Carthy dan Zald mengenai gerakan, hal ini menegasikan bahwa disamping meningkatnya partisipasi politik masyarakat kemunculan beberapa gerakan di daerah-daerah dilatar belakangi oleh adanya sebuah kesempatan politik. 4.2.3 Tahapan Dalam Perjuangan Gerakan Politik. Sejarah pergerakan di Indonesia bukanlah hal yang baru, dari fase awal kemerdekaan beberapa gerakan lahir di bangsa yang konon dijajah kurang lebih selama tiga ratus tahun oleh bangsa Eropa, di fase kemerdekaan muncul beberapa organisasi atau gerakan seperti Budi Oetomo atau organisasi politik yang sampai sekarang masih menuai kontroversi yaitu gerakan politik komunisme (PKI) yang sempat menjadi buai-buaian rezim pemerintahan orde baru. Gerakan yang belum lama muncul di akhir abad ke-19 yaitu gerakan reformasi yang memiliki tujuan menggulingkan rezim Soeharto dari tahta pemerintahan. Gerakan ini bisa dinilai berhasil dalam mencapai tujuanya yaitu mundurnya Soeharto dari tahta tertinggi pemerintahan di Indonesia. Keberhasilan gerakan reformasi ternyata berimplikasi terhadap perubahan pola pemerintahan yang kini semakin terbuka, indikator tersebutlah yang menimbulkan lahirnya beberapa gerakan-gerakan perlawanan di Indonesia. Dari beberapa uraian tersebut membuktikan bahwa masyarakat dapat mempengaruhi sebuah kebijakan politik lewat sebuah gerakan politik. 27 Wahib Situmorang, Abdul, 2007, Gerakan Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hal : 7 16 Mengutip istilah Ted Robert Gurr, pasca gelombang reformasi muncul, gejolak resistensi masyarakat terhadap negara semakin meningkat, hal tersebut dijelaskan oleh Gurr lewat teori nya yaitu relative deprivation, kemunculan resistensi tersebut dijelaskan oleh Gurr dilatarbelakangi oleh adanya perampasan (deprivation), perasaan terampas inilah yang digambarkan oleh Gurr sebagai relative deprivation yang berarti suatu persepsi perihal kesenjangan antara nilai yang diharapkan (value expectation) dengan kapabilitas untuk meraih nilai (value capabilities) yang diperlukan. Menurut Gurr, nilai adalah suatu kejadian, barang, dan kondisi yang di inginkan oleh manusia untuk dimiliki, sementara nilai ekspektasi adalah benda dan kondisi yang menurut mereka mampu untuk memperoleh atau memeliharanya. Relative deprivation inilah yang menyulut ketidakpuasan dalam masyarakat, yang berwujud kemarahan, ketidak puasan, kemurkaan, atau kejengkelan, tergantung pada kedalaman rasa terampas. Kadar ketidakpuasan akan berkurang bila tersedia sarana untuk menyalurkanya, Saluran ini digambarkan oleh Gurr sebagai value opportunities, apabila saluran itu tidak tersalurkan maka ia akan bemertamorfosis menjadi sebuah pemberontakan, kekerasan yang berwujud kekacauan, konspirasi atau perang dalam negeri28. Pemberontakan yang dimaksud dalam teori relative deprivation yang dijelaskan oleh Gurr, penulis mencoba menggambar ini sebagai sebuah upaya dari gerakan politik untuk mencapai sebuah sebuah keberhasilanya. 28 Ted Robert Gurr, Why Men Rebel (Princeton, New Jersey, Pricenton University Press, 1970) dalam Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elit, Yogyakarta, Resist Book, 2005 Hal : 24 17 Horton dan Hunt(1993) dalam bukunya menjelaskan beberapa tahapan dari sebuah dinamika gerakan. Tahapan-tahapan tersebut adalah: 1. Tahap ketidak tentraman, karena ketidak pastian dan ketidak puasan semakin meningkat; 2. Tahap perangsangan, yakni ketika perasaan ketidakpuasan sudah semakin membesar, penyebab-penyebab nya sudah teridentifikasi, dan saran-saran tidak lanjut sudah diperdebatkan; 3. Tahap formalisasi, yakni ketika para pemimpin telah muncul, rencana telah disusun, para pendukung telah ditempat, dan organisasi serta taktik telah dimatangkan; 4. Tahap institusionalisasi, yakni ketika organisasi telah diambil alih dari para pemimpin terdahulu, birokrasi telah diperkuat, dan ideology serta program telah terwujudkan. 5. Tahap Pembubaran (Disolusi), yakni ketika gerakan itu berubah menjadi organisasi tetap atau justru mengalami pembubaran29. Disamping itu, dalam Catatan yang ditulis oleh Haryanto30 mengenai pendalaman mengenai gerakan sosial politik, ia menyebutkan ada beberapa tahap yang dilakukan oleh gerakan dalam upaya keberhasilanya, tahapan-tahapan tersebut meliputi: Tahap 1 : Pernyataan Sepontan Tentang Ketidakpuasan Bersama. 29 Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L.,. Sosiologi, Terjemahan Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993 30 Op,Cit hal :16 18 Tahap 2 : Pemilihan Pemimpin Gerakan. Tahap 3 : Transformasi tindakan yang tidak terstruktur menjadi tindakan yang terorganisir. Tahap 4 : Konfrontasi dengan Lawan Gerakan. Tahap 5 : Pencapaian Hasil. Beberapa tahapan yang digambarkan diatas dijadikan sebuah indikator untuk mengukur sejauh mana gerakan ini melakukan sebuah upayanya, banyak kasus yang terjadi didalam sebuah gerakan adalah menurunya tensi perlawanan sebagai akibat dari faktor kepemimpinan didalam gerakan yang kurang diakomodir oleh beberapa simpatisan gerakan, dan disamping itu ada faktor lain yang menyebabkan menurunya tensi gerakan seperti konfrontasi dengan lawan gerakan dan juga konflik didalam gerakan. Dalam beberapa tahap yang ditulis diatas masuk kedalam tahap ke 4 yaitu konfrontasi dengan lawan. Tahap ini adalah tahap terakhir dalam gerakan yang harus dilakukan dengan tensi perlawanan yang cukup tinggi, atau bisa dikatakan sebagai sebuah tahap yang paling menentukan didalam sebuah gerakan, karena didalam tahap ini kita bisa melihat titik akhir dari gerakan, apakah gerakan ini berhasil atau tidak dalam memperjuangkan beberapa upaya nya. Karena, banyak dari gerakan politik yang lahir pasca refermasi ini gagal dalam tahap konfrontasi dengan lawan, seperti contoh beberapa gerakan agraria yang beberapa tahun ini muncul di daerahdaerah, kekalahan gerakan dalam berkonfrontasi dengan lawan gerakan biasanya di picu oleh beberapa faktor seperti, kuantitas aktor didalam gerakan atau 19 pengorganisasian gerakan dan terakhir adalah kekuatan pemimpin gerakan dalam melakukan manuver gerakan. 4.2.4 Strategi Gerakan Dalam Perjuangan Gerakan Politik. Strategi gerakan adalah sebuah hal yang sangat fundamental didalam gerakan, berhasil dan tidaknya sebuah gerakan tidak lepas dari pemilihan strategi gerakan, Gamson (1975)31 menjelaskan bahwa ada dua strategi yang digunakan dalam sebuah gerakan yaitu strategi yang menggunakan metode kekerasan dan metode non-kekerasan, dalam gagasan Gamson, strategi ini adalah sesuatu yang sangat penting didalam dinamika gerakan, kesalahan dalam menentukan sebuah strategi bisa berimplikasi terhadap kegagalan sebuah gerakan, akhir-akhir ini misalkan banyak bermunculan gerakan yang sering melakukan kekerasan, hal inilah yang mempengaruhi minimnya partisipasi dan rasa kepedulian masyarakat kedalam gerakan. Maka pemilihan atas strategi gerakan harus benar-benar diperhatikan demi keberhasilan sebuah gerakan. McAdam mencatat bahwa keberhasilan dan kegagalan sebuah gerakan sangat bergantung pada kemampuan organisasi, kemampuan organisasi disini tidak lain adalah logistik, pengaruh kepemimpinan, akses dan massa atau dukunga. Seperti yang terjadi pasca reformasi, meledaknya partisipasi politik memberikan dampak semakin signifikan terhadap banyaknya gerakan yang muncul di daerah-daerah, tetapi peledakan gerakan tersebut tidak berbanding lurus dengan pencapaian sebuah gerakan, hal tersebut tidak lain karena minimnya 31 ibid, hal :20 20 pengetahuan mengenai pengorganisasian dan disamping itu, merujuk dari pendapat Mc Adam yaitu minimnya kemampuan organisasi seperti logistik dan akses politik. Wilson(1973) menyebutkan bahwa ada dua alasan mengapa strategi dan taktik sangat penting dalam sebuah gerakan. Pertama strategi dalam gerakan biasanya menyita perhatian karena terkesan tak lazim. Kedua, strategi bisa jadi, meliputi semua hal yang dapat “dilihat” di dalam gerakan32. Secara singkat, penjelasan Wilson menunjukan bahwa taktik dari sebuah gerakan harus memiliki fungsi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat seperti cita-cita yang dibawa oleh sebuah gerakan dalam melakukan perjuangan politik nya. Taktik dan Strategi yang paling polpuler yang dilakukan oleh gerakan di Indonesia menggunakan taktik dan strategi yang ditawarkan oleh Eric Hoffer yaitu menanamkan sekaligus memanfaatkan rasa kecewa dan tak puas itu sendiri kepada para anggotanya yang terlibat dan aktif33. Strategi yang ditawarkan oleh Hoffer juga bisa dinilai lebih dinamis dari strategi yang ditawarkan sebelumnya, karena strategi yang ditaarkan oleh Hoffer disini bisa digunakan juga dalam melakukan mobilisasi yang sifatnya lebih dekat, seperti jaringan kekeluargaan dan juga hubungan kekerabatan, hubungan yang sifatnya memiliki ikatan emosional. Dibeberapa daerah, gerakan-gerakan politik kedaerahan biasanya menggunakan beberapa strategi atau taktik yang dibangun oleh Hoffer, dengan memiliki modal 32 John Wilson Wilson, John (1973) Introduction to Social Movements, New York: Basic Books Inc. hal :226 33 Hoffer, Eric (1988) Gerakan Massa : Antara Kecewa dan Harapan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Hal: 25-26 21 kedekatan emosional dan kekerabatan, kekuatan kolektivitas bisa dibangun didalam gerakan, tetapi disisi lain kelemahan dari beberapa gerakan kedaerahan biasanya dilatar belakangi atas kesalahan dalam memilih strategi didalam gerakan, seperti kegagalan beberapa gerakan politik yang sekupnya kecil dibeberapa daerah di Indonesia. Dari beberapa uraian diatas membuktikan, bahwa pemilihan strategi gerakan adalah sesuatu yang cukup vital, berhasil dan tidak nya sebuah gerakan tidak lepas dari peran strategi yang dilakukan oleh sebuah gerakan. Seperti contoh yang terjadi di Indonesia, kegagalan gerakan politik atau gerakan sosial tidak lepas dari kesalahan dalam pemilihan strategi atau dalam kata lain strategi yang digunakan tidak tepat sasaran, sehingga banyak dari gerakan politik atau gerakan sosial di Indonesia mengalami kegagalan dalam memperjuangkan beberapa citacita nya, contoh yang paling populer adalah mandegnya beberapa gerakan tani di beberapa wilayah di Indonesia. 4.2.2 Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) Adalah Gerakan Politik. Perdebatan mengenai mengenai teori gerakan sampai saat ini masih terus berjalan, pendikotomian antara gerakan politik dengan gerakan sosial seakan-akan menjadi sesuatu hal yang harus dilakukan oleh peneliti, dalam pendikotomian mengenai sebuah gerakan penulis terlebih dahulu menggunakan gagasan Gramsci mengenai perbedaan dalam terminologi gerakan, Gramsci menyatakan bahwa tidak ada perbedaan secara tegas mengenai gerakan gerakan politik dan gerakan sosial, dan tidak perlu juga membedakan antara masyarakat sipil dan masyarakat 22 politik, karena pada dasarnya yang diperlukan dari sebuah gerakan adalah Counter hegemony, dalam artian luas adalah melawan negara34. Merujuk dari tulisan diatas, gerakan sosial yang terjadi di masyarakat selalu berkembang menjadi suatu gerakan politik, atau paling tidak membawa implikasi terhadap politik35. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam memahami sebuah gerakan yang itu lahir sebagai gerakan sosial ataupun gerakan politik, kedepan nya akan bermuara kepada sesuatu yang berhubungan dengan politik atau kekuasaan. Peneliti mencoba untuk mengaitkan beberapa uraian teori diatas dengan objek penelitian yaitu Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C). Peneliti disini berinisiatif untuk menarik benang merah dari sebuah perdebatan mengenai pendikotomian atas gerakan sosial dan gerakan politik. Seperti yang sudah di tuliskan diparagraf sebelumnya, benang merah dari perdebatan ini adalah tujuan dari sebuah gerakannya itu sendiri, walaupun beberapa ahli berpendapat bahwa kedua gerakan ini pada dasarnya memiliki karakteristik yang sama dan tujuan yang sama, tetapi disini peneliti mencoba memilah itu dengan melihat dari tujuan gerakanya, ketika merujuk kepada gerakan yang ada di Ciayumajakuning gerakan ini bisa dinilai lebih mengarah kedalam terminologi gerakan politik, hal tersebut terlihat dari tujuan atau capaian dari sebuah cita-cita gerakan yaitu terbentuknya Provinsi baru, tujuan tersebut 34 Yaya Mulyana dalam, Politik Transisi Pasca Soeharto, 2004, FISIPOL UGM. Hal : 225. Haryanto, Tanpa Tahun, Gerakan Sosial Politik dalam Orientasi Pendalaman Tugas DPRD TK 1 & 2. Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri. Hal ; 2. Dalam Skripsi Riza Kamajaya “Transformasi Gerakan Petani” Hal: 14 35 23 yang menurut kacamata peneliti menjadi dasar bahwa gerakan ini memiliki pengaruh atas sebuah perubahan kebijakan politik dan bisa diklaim sebagai sebagai gerakan politik. Disamping itu, selain memiliki misi yang kuat akan terjadinya sebuah perubahan politik, klaim atas gerakan ini dinamakan sebuah gerakan politik juga sangat jelas ketika kita melacak beberapa aktor yang bermain dalam sebuah gerakan ini, aktor tersebut meliputi berasal dari beberapa element seperti organisasi masyarakat, keraton Kacirebonan dan beberapa aktor politik partai berkuasa diwilayah tersebut, beberapa hal tersebut yang melatar belakangi klaim mengenai gerakan yang memiliki cita-cita pembentukan Provinsi baru di wilayah Jawa Barat. 5 . Definisi Konseptual 1. Desentralisasi adalah sebuah konsep penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi rumah tangga pemerintahanya secara mandiri, yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah daerah. 2. Otonomi Daerah adalah kemandirian sebuah pemerintahan dalam mengurusi sebuah rumah tangganya sendiri yang bertujuan untuk mengefektifkan peran pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangan di bidang pemerintahan, pembangunan serta meningkatkan kinerja unit-unit organisasi pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan kepada masyarakat. 24 3. Gerakan Politik adalah sebuah bentuk protes kolektif yang nantinya akan merujuk terhadap perubahan sebuah kebijakan politik dan kekuasaan. 4. Tahahapan Gerakan adalah indikator pengukur upaya dari sebuah gerakan dalam melakukan manuver pergerakanya. 5. Strategi Gerakan adalah metode yang dilakukan oleh sebuah gerakan dalam melakukan sebuah pergerakan,metode ini dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah metdoe non-kekerasan dan yang kedua adalah metode kekerasan. 6. Definisi Operasional Melihat dari pemaparan yang sudah dituliskan di kerangka teori, maka dapat dioperasionalkan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Upaya Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) dalam menginisiasi Pembentukan Provinsi dapat dilihat dari beberapa Indikator sebagai berikut: a. Mobilisasi Masa Sebagai Alat Perlawanan b. Dukungan Elit Politik, Keraton dan Pejabat Daerah. c. Draft Akademik Pembentukan Provinsi Cirebon. d. Demonstrasi dan Aksi Massa. 7. Metode Penelitian Penelitian tentang Gerakan Sosial yang terjadi di Wilayah Cirebon dalam skripsi ini termasuk penelitian kualitatif, dengan menggunakan model penelitian deskriptif, sejalan dengan pemikiran Whitney (1960) yang menyatakan bahwa 25 penelitian deskriptif dapat menjelaskan masalah-masalah didalam masyarakat , serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap dan juga pandangan36. Dengan demikian penerapan jenis penelitian kualitatif diharapkan dapat digunakan untuk mempelajari, membuka dan menjelaskan apa yang terjadi dibelakang fenomena kemunculan dan perjuangan gerakan sosial Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) yang diketahui oleh khalayak luas. 7.1 Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah pengurus Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) simpatisan P3C, dan juga beberapa masyarakat yang ada di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. 7.2 Prosedur Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data di dalam penelitian ini adalah metode participant observation atau observasi partisipatif dimana peneliti melibatkan diri dalam lingkungan yang akan diteliti37. Dipilihnya observasi partisipatif tidak langsung karena kedudukan peneliti disitu adalah masyarakat yang terlibat dalam proses Gerakan Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) sekaligus sebagai peneliti, tetapi dalam penelitian tersebut peneliti tetap menjaga ke obyektifasan dan kebenaran sebuah data sehingga tidak ada masalah mengenai manipulasi data ataupun kesubyektifan penelitian. 36 37 Moh.Nazir.Metode Penelitian .Ghalia Indonesia. Jakarta. 1983 Hal : 63 -64 James M Henslin ,2007 ,Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, Erlangga Hal : 28 26 Adapun beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini menggunakan beberapa instrument, demi terkumpulnya sebuah datadata yang ada dilapangan , intstrument tersebut antara lain adalah: Observasi Langsung Instrument observasi langsung digunakan dengan tujuan melihat secara langsung sebuah objek yang akan diteliti, data yang akan didapat dari instrumen ini berasal dari subjek yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal ataupun subjek yang tidak mau berkomunikasi secara verbal, selain itu instrumen ini juga digunakan untuk mencatat hal-hal mengenai perilaku suatu kejadian yang terjadi, dan secara tidak langsung instrumen ini digunakan unutk tidak menggantungkan data dari ingatan seseorang38. Wawancara Instrument wawancara secara mendalam (deep-interview)ini digunakan dengan tujuan mendapatkan data primer melalui tanya jawab atau pembicaraan dengan dilakukan secara langsung dengan beberapa aktor kunci didalam gerakan Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon, dan juga beberapa masyarakat yang ada di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Dokumentasi Dalam instrument dokumentasi ini diharapkan bisa memperkaya data-data dan juga memperkuat validitas data yang ditemukan dengan instrument yang 38 Moh.Nazir.Metode Penelitian .Ghalia Indonesia. Jakarta. 1983 Hal : 212-213 27 sudah di tuliskan diatas, adapun beberpa sumber dari dokumentasi disini adalah buku, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, media cetak maupun media elektronik, dan juga temuan-temuan yang pernah dituliskan didalam internet, data yang menggunakan instrument dekomunentasi ini akan digunakan sebagai data utama atau data pelengkap dari penelitian. 7.3 Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, teknik analisis data akan diterjemahkan ke dalam beberapa tahap secara sistematis, seperti interpretasi yang digunakan untuk memahami kata-kata dan tindakan dari hasil temuan dari partisipan penelitian39, dan juga untuk pembuatan kesimpulan yang berkaitan dengan pertanyaanpertanyaan didalam penelitian, selanjutnya adalah reduksi data yang digunakan untuk memilah-milah data yang tidak beraturan dan dijadikan potongan-potongan yang beraturan dan juga membaca dengan hati-hati dari data yang terekam, dan juga mengidentifikasi tingkah laku ,sifat dan lain-lain. Disamping itu, penelitiian menggunakan teknik matriks analisis SWOT40 untuk menganalisa kondisi internal maupun eksternal suatu organisasi atau gerakan yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi dan program kerja. 7.4 Sistematika Penulisan Penelitian tentang proses dan dinamika pembentukan Provinsi Cirebon ini, peneliti membagi kedalam IV BAB, BAB I berisi tentang pendahuluan yang 39 40 Christine Daymon, Immy Holloway,Metode Riset Kualitatif, Bentang, Yogyakarta. Hal :369 kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness) peluang (Opportunity) dan tantangan (Threaths) 28 didalamnya terbagi kedalam sub BAB seperti: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori dan metodelogi penelitan, selanjutnya pada BAB II, lebih jauh akan menceritakan tentang kemunculan pertama isu pembentukan Provinsi Cirebon dan beberapa dinamika yang terjadi di fase awal kemunculan isu pembentukan Provinsi, dan juga history kemunculan P3C sebagai gerakan yang menginisiasi Pembentukan Provinsi sementara itu pada BAB III menjelaskan tentang substansi dalam penelitian dan temuan lapangan yang akan dianalisis melalui analisis SWOT, analisis tersebut meliputi aspek kekuatan, kelemahan, tantangan dan peluang dari sebuah gerakan politik Preisidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C). Disamping itu dalam bab ini juga peneliti akan menjelaskan beberapa strategi yang dapat digunakan sebagai upaya pembentukan Provinsi Cirebon melallui gerakan P3C. BAB IV akan menyimpulkan keseluruhan dari sebuah penelitian dengan berbasiskan pada temuan-temuan dan data- data yang terjadi di lapangan. 29